HUKUM
LAPORAN PENELITIAN DOSEN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA SEBAGAI ALASAN SUATU PERCERAIAN ( Studi Kasus di Kota Magelang )
Oleh : 1.
Johny Krisnan, SH., MH.
976308121
Hukum
2.
Agna Susila, SH., MHum
865408052
Hukum
3.
Saeful Nazar
05.0201.0021 Hukum
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG 2010
i
HALAMAN LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN 1. a. Judul Penelitian
: Kekerasan Dalam Rumah Tangga Sebagai Alasan Suatu Perceraian
b. Bidang Kajian
( Studi Kasus Di Kota Magelang ) : Hukum
2. Ketua Peneliti a. Nama Lengkap dan Gelar
: Johny Krisnan, SH., MH
b. Jenis Kelamin
: Laki-Laki
c. Golongan/Pangkat/NIP/NIS
: III.c/Penata Muda/976308121
d. Jabatan Fungsional
: Lektor
e. Jabatan Struktural
: Dosen
f. Fakultas/Program Studi
: Hukum/Ilmu Hukum
3. Alamat Ketua Peneliti Alamat kantor/Telp/Fax/E-mail
: Jl. Tidar 21 Magelang/(0293)362082/ (0293)361004/
[email protected]
4. Jumlah Anggota Peneliti a. Nama Anggota/Fakultas/Progdi
: 1. Agna Susila, SH., MHum/Hukum/ Ilmu Hukum 2. Saeful Nazar/Hukum/Ilmu Hukum
b. Jumlah Anggota 5. Lokasi Penelitian
: 2 (dua) orang : Magelang
6. Kerjasama dengan institusi lain a. Nama institusi
: -
b. Alamat
: -
c. Telphon/Fax/E-mail
: -
7. Lama Penelitian
: 6 (enam) bulan
ii
8. Biaya yang diperlukan
:
a. LP3M UMM
: Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah)
b. Fakultas Hukum
: Rp. 1.500.000,(satu juta lima ratus ribu rupiah)
Jumlah
: Rp. 3.500.000,(tiga juta lima ratus ribu rupiah)
Magelang, Juli 2010 Mengetahui/menyetujui Ketua LP3M,
Ketua Peneliti,
DR. Suliswiyadi, MAg
Johny Krisnan, SH.MH
NIS.966610111
NIS. 976308121
iii
KATA PENGANTAR Assalamu`alaikum Wr. Wb. Puji syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul : “Kekerasan Dalam Rumah Tangga Sebagai Alasan Suatu Perceraian ( Studi Kasus Di Kota Magelang )”. Dalam penelitian ini penulis sadar bahwa tidak mungkin menyelesaikan hanya dengan kemampuan yang ada pada diri penulis saja, akan tetapi dalam hal ini mendapat banyak bantuan dari semua pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan segala petunjuk dan pikiran sehingga terwujudnya penyusunan penelitian ini. Penulis juga menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati lapang dada, maka saran dan kritik serta tegur sapa yang bersifat membangun guna kesempurnaan penelitian ini akan penulis terima dengan senang hati. Pada kesempatan yang berbahagia ini penulis tidak lupa menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada : 1. Bapak Prof. Dr. H. Achmadi, selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Magelang. 2. Bapak bambang Tjatur Iswanto, SH.MH. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang. 3. Bapak Drs. H. Makmun, SH.MH selaku Hakim dan Kepala Pengadilan Agama Kota Magelang serta Ibu Titik, SH.MH. selaku Hakim Pengadilan Negeri Kota Magelang yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis dalam mengadakan riset di lokasi penelitian. 4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang. 5. Semua pihak yang telah membantu penelitian ini.
iv
Semoga bantuan yang diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dari Allah SWT, begitu pula andai kata ada kesalahan maupun kekhilafan penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Wassalamu’alaikum Wr. Wb Magelang, Juli 2010 Penulis Johny Krisnan, SH.MH Agna Susila SH.MHum Saiful Nazar
v
ABSTRAKSI
Kekerasan dalam rumah tangga adalah “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikhologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”, dimana karena kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi sering berakhir dengan perceraian. Dari sinilah penulis tertarik mengambil penelitian yang berjudul “Kekerasan Dalam Rumah Tangga Sebagai Alasan Suatu Perceraian (studi Kasus di Kota Magelang). Adapun perumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah Mengapa kekerasan dalam rumah tangga dapat menjadi alasan suatu perceraian dan Bagaimanakah Putusan pengadilan kasus kekerasan dalam rumah tangga di Pengadilan Kota Magelang terhadap perceraian? Metode penelitian yang digunakan adalah Metode Pendekatan, Spesifikasi Penelitian, Bahan Penelitian, Metode Pengumpulan Data, Metode Pengolahan dan Analisa Data. Kekerasan dalam rumah tangga dapat menjadi alasan suatu peceraian, karena kekerasan dalam rumah tangga di Pengadilan Agama dianggap suatu perbuatan yang mengakibatkan dilanggarnya sighot taklik talak, sedangkan di Pengadilan Negeri Kota Magelang kekerasan dalam rumah tangga termasuk perbuatan yang dapat membahayakan pihak yang lain. Putusan pengadilan kasus kekerasan dalam rumah tangga di Pengadilan Kota Magelang terhadap perceraian adalah bahwa kekerasan dalam rumah tangga tidak disebut atau tertulis secara khusus sebagai suatu alasan perceraian walaupun sebagian besar penyebab terjadinya perceraian adalah perbuatan atau tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Kata Kunci
: Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Perceraian.
vi
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL……………………………………………………… i HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………….. ii KATA PENGANTAR…………………………………………………….. iv ABSTRAK………………………………………………………………… vi DAFTAR ISI……………………………………………………………….vii BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Permasalahan…………………………….............. 1
B.
Perumusan Masalah……………………………………................. 5
C.
Tujuan Penelitian…………………………………………............. 5
D.
Kegunaan Penelitian……………………………………................ 5
E.
Sistematika Penelitian…………………………………………...... 6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian Tindak Pidana…………………………………........... 8
B.
Unsur-unsur Tindak Pidana………………………………............ 10
C.
Jenis-jenis Tindak Piadana………………………………….........
12
D.
Subyek Tindak Pidana……………………………………...........
16
E.
Pengertian kekerasan Dalam Rumah Tangga………………........
17
F.
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga diutamakan Kepada Perempuan…………………………….......
20
G.
Lingkup Rumah Tangga…………………………………….......
21
H.
Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga………….......
21
I.
Siapa Saja Yang Dapat Menjadi Korban Dan Pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga…………………………........
J.
Hak-hak Korban Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 …………………………………………….............
K.
25 25
Tujuan Diberikannya Perlindungan Kepada Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga………………………….......
26
vii
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode pendekatan .....................................................................
27
B. Bahan Penelitian ..........................................................................
28
C. Spesifikasi Penelitian ...................................................................
28
D. Metode Pengumpulan Data .........................................................
28
E. Metode Pengolahan dan Analisa Data .......................................
29
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kekerasan Dalam Rumah Tangga dapat menjadi alasan suatu perceraian ......................................................................................
30
B. Pengadilan kasus Kekerasan Dalam rumah Tangga di Pengadilan Kota Magelang terhadap perceraian ………................................. BAB V
37
PENUTUP
A.
Kesimpulan…………………………………………………...
43
B.
Saran……………………………………………………….....
44
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rumah tangga seharusnya adalah tempat berlindung bagi seluruh anggota keluarga ,akan tetapi pada kenyataanya justru banyak rumah tangga menjadi tempat penderitaan dan penyiksaan karena terjadi tindak kekerasan yang dapat berujung pada perceraian. Kasus kekerasan dalam rumah tangga yang selama ini belum mendapatkan legitimasi melalui kekuatan hukum, saat ini telah memasuki babak baru dengan ditetapkannya Undang-Undang RI No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang-undang ini paling tidak telah mengadopsi hak-ak dan perlndungan terhadap korban dengan berbagai bentuk kekerasan/kejahatan yang terjadi dalam rumah tangga. Pada awalnya, terutama sebelum diterbitkannya undang-undang bahwa seseorang korban KDRT sangat kesulitan mencari keadilan atau mendapatkan perlindungan atas kejadian yang menimpa dirinya. Karena bukan saja pada saat itu belum ada payung hukumnya, namun di sisi lain juga adanya pandangan masyarakat bahwa mengungkap suatu hal yang tabu, aib, dan sangat privat, yang tidak perlu intervensi dari pihak luar, termasuk jika masalah rumah tangga itu sebetulnya sudah merupakan bentuk kekerasan. Hal ini sangat diyakini oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, sehingga hampir tidak pernah ada kejadian/ kasus KDRT dilaporkan kepada pihak yang berwajib bahkan mungkin diutarakan kepada pihak kerabat terdekat pun
ix
hampir tidak terlakukan, karena kuatnya keyakinan sebagai suatu aib atau tabu dan akhirnya KDRT menjadi hal yang sangat tertutup atau ditutuptutupi. Korban pun hanya diam seribu bahasa menikmati kesedihan dan kesendiriannya dalam memendam perasaan sakit, baik secara fisik maupun psikis atau perasaan perasaan lain yang pada dasarnya suatu hal yang sangat tidak adil terhadap hak-hak asasi dirinya dan sangat membutuhkan bukan saja perlindungan sosial tetapi juga perlindungan hukum. Dalam hal ada suatu pelaporan atau pengaduan atas KDRT, hal ini praktis mengalami kebuntuan dalam penanganan proses hukumnya, karena belum ada payung hukum. Sementara hukum yang ada (KUHP) hanya mengenal istilah penganiayaan (kekerasan fisik), sehingga seringkali mengalami kesulitan terutama untuk pembuktian atas kekerasan non fisik, dalam hal ini kekerasan psikis atau bentuk lain.1 Bila ditelusuri dengan seksama, undang-undang ini memuat sejumlah hal penting, yaitu : 1. Mengatur secara jelas berbagai pendefinisian bentuk kekerasan, pengertian rumah tangga dan lain-lain; 2. Pengaturan berbagai tindak kekerasan/kejahatan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga;2 3. Mengatur sanksi yang dikenakan kepada pelaku kekerasan dan kejahatan dalam rumah tangga; dan 4. mengatur hak-hak korban. Namun, dalam implementasinya masih ada sejumlah persoalan yang perlu mendapat perhatian serius, yakni: masalah sosialisasi dan pemahaman substansi udang-undang tersebut kepada para penngemban tugas peradilan dan bagaimana mereka memaknai substansi dalam upaya pengimplementasinya.
1
Mujiati, Implementasi Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga suatu tantangan yang menuju system hukumyang responsive gender, (Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Hukum dan Poitik Kementrian Pemberdayaan Permpuan, 2008). 2 Romany Sihite, Perempuan Kestaraan dan keadilan Suatu Tinjauan Berwawasan gender, (PT. Raja Gratifindo,Jakarta, 2007), hal 143
x
Sosialisasi instrumen hukum terhadap masyarakat pada umumnya sangat terbatas. Pengetahuan mengenai hukum dan siapa yang tahu tentang hukum masih menjadi prsoalan. Masalahnya yang terjadi adalah bertahun-tahun suatu undangundang ditetapkan, ironisnya masyarakat sering tidak mengetahui apalagi memahami substansinya. Padahal produk hukum tersebut berkenaan dengan hak dan perlindungan hukum bagi mereka.3 Kekerasan dalam rumah tangga, menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalan Rumah Tangga, sebenarnya adalah : “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikhologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.4 Dari definisi tersebut di atas terlihat untuk siapa saja undang-undang ini diberlakukan tidaklah semata-mata untuk kepentingan perempuan saja, tetapi untuk kepentingan semua orang dan mereka yang mengalami subordinasi dalam kenyataanya bukan hanya perempuan, baik secara dewasa maupun anak-anak, melainkan juga laki-laki baik dewasa maupun anak-anak. Hanya saja selama ini fakta menunjukkan bahwa korban yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga ini sebagian besar adalah perempuan. Hal ini penting untuk dipahami karena masih ada anggapan dari sebagian besar masyarakat yang memandang sinis terhadap undang-undang ini sebagai tuntutan yang terlalu dibuat-buat atau neko-neko perempuan. Sesuai dengan namanya maka penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
3
Ibid, halalaman 144 Rika Saraswati, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (PT Cita Aditya Bakti, Bandung, 2006), hal. 1 4
xi
Kasus kekerasan dalam rumah tangga yang selama ini belum mendapatkan legitimasi melalui kekuatan hukum, saat ini telah memasuki babak baru dengan ditetapkannya Undang Kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya juga merupakan kejahatan terhadap individu dan masyarakat yang pelakunya seharusnya dapat dipidana, tetapi sulit ditangani ( pihak luar ) karena dianggap sebagai urusan internal keluarga.5 Masalah kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga di dalam UndangUndang perkawinan dapat menjadi salah satu alasan penyebab putusnya perkawinan seperti yang diatur di dalam pasal 38 Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.6 Berdasar ketentuan pasal 39 Undang-undang NO.1 Tahun1974 ditegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, di dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 yang berlaku bagi warga Negara Indonesia non muslim, dan Kompilasi Hukum Islam pada Bab XVI Pasal 116 bagi warga Negara yang beragama Islam terdapat beberapa alasan yang dapat di jadikan dasar untuk melakukan perceraian. Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam pada Bab XVI Pasal 116 tersebut adalah sebagai berikut : a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya
5 6
Ibid. halaman 2 Ibid. halaman 3
xii
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri. f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.7 Berdasarkan uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa ada beberapa alasan yang menjadi penyebab terjadinya perceraian, hal tersebut yang mendorong penulis untuk menyusun penelitian yang berjudul “Kekerasan Dalam Rumah Tangga Sebagai Alasan Suatu Perceraian” (Studi Kasus di Kota Magelang) B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan permasalahan : 1. Mengapa Kekerasan Dalam Rumah Tangga dapat menjadi alasan suatu perceraian ? 2. Bagaimanakah Putusan Pengadilan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Pengadilan Kota Magelang terhadap perceraian ? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dengan pelaksanaan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui kekerasan dalam rumah tangga dapat menjadi alasan suatu perceraian. 2. Untuk mengetahui Putusan Pengadilan kasus Kekerasan Dalam rumah Tangga di Pengadilan Kota Magelang terhadap peceraian. D. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti, praktisi, hukum, masyarakat dan ilmu pengetahuan. 1. Bagi Peneliti, Praktisi dan Akademisi Untuk menambah pengetahuan dan pengalaman yang nantinya akan sangat berguna apabila dijadikan bekal bila terjun dalam masyarakat. 7
Sudarsono, Hukum perkawinan Nasional, (Rineka Cipta, Jakarta, 1994) hal 116
xiii
2. Bagi Masyarakat Diharapkan masyarakat akan lebih mengerti, memahami dan menyadari tentang kekerasan dalam rumah tangga, sehingga mereka tahu apa yang harus dilakukan apabila terjadi kekerasan dalam rumah tangga baik bagi mereka sendiri ataupun orang lain. 3. Bagi Ilmu Pengetahuan Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu hukum khususnya Hukum Pidana Khusus tentang Kekerasan Dalam Rumah tangga. E. Sistematika Penulisan Dalam penelitian ini dibagi menjadi V ( lima ) bab yang saling terkait. Adapun 5 bab dalam penelitian ini adalah : BAB I
PENDAHULUAN Dalam bab ini, membahas masalah pokok penelitian yang meliputi latar
belakang atau alasan dipilihnya judul skrisi serta merupakan arah jalan pemikiran singkat yang menjadi penuntun dalam melakukan pembahasan terhadap bab-bab berikutnya, rumusan masalah, tujuan peneletian, manfaat atau kegunaan penelitian dan sistematika penelitian. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini yang menjadi dasar dalam pembahasan masalah meliputi : Pengertian Tindak Pidana, Unsur-Unsur Tindak Pidana, Jenis-jenis Tindak Pidana, Subyek Tindak Pidana, Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga, Penghapusan kekerasan Dalam Rumah Tangga Diutamakan Kepada Perempuan, Lingkup Rumah Tangga, Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga, Siapa Saja yang Dapat Menjadi Korban dan Pelaku Kekerasan dalam Rumah Tangga, Hak-Hak Korban, Tujuan Diberikannya Perlindungan Kepada Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Siapa Saja Yang Wajib Memberikan Perlindungan Ini, Siapa Yang Bertanggung Jawab Dalam Upaya Pencegahan Kekerasan Dalam Penanganan Pemerintah Dalam Mengani Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Apa Tindakan Kongritnya, Bagaimana Dengan Orang-Orang Di Sekitar Korban, yang Mendengar, Melihat Atau Mengetahui Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah
xiv
Tangga, Kuwajiban Polisi Setelah Mendengar Laporan/Aduan adanya Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Tugas Tenaga Kesehatan, Pekerja Sosial, Relawan Pendamping, Dan Pembimbing Rohani. Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2003, Faktor-Faktor Kekerasan Dalam Rumah Tangga, serta alasan-alasan perceraian. BAB III
METODE PENELITIAN Dalam bab ini yang digunakan dalam penelitian dan penulisan penelitian
ini adalah metodologi yang bisa menghasilkan penelitian bersifat ilmiah. Dalam metodologi penelitian ini akan diuraikan hal-hal mengenai Jenis, Tipe, dan Spesifikasi penelitian. Metode Pendekatan, Bahan Penelitian, Spesifikasi Penelitian, Metode Pengumpulan Data, Metode Pengolahan dan Analisa Data. BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini menjelaskan mengenai hasil-hasil yang didapat dari
penelitian dan pembahasannya, yaitu : Kekerasan Dalam rumah Tangga menjadi alasan suatu perceraian, Beberapa Putusan Pengadilan terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga kaitannya dengan perceraian. BAB V
PENUTUP Yang merupakan bab terakhir dari penyusunan penelitian ini meliputi
kesimpulan dan saran-saran.
xv
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengetian Tindak Pidana Pembentuk
Undang-Undang
kita
telah
menggunakan
perkataan
strafbaarfeit untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai tindak pidana. Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidna tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan perkataan strafbaarfeit tersebut. 1. Pengertian Menurut Bahasa Perkataan feit itu sendiri berasal dari bahasa Belanda yang berarti “dapat dihukum” sehingga secara harfiah perkataan strafbaarfeit dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum” yang barang tentu tidak dapat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan. Oleh karena seperti yang telah dikatakan diatas, bahwa pembentuk undangundang kita itu tidak memberikan sesuatu penjelasan menegenai apa yang sebenarnya telah ia maksud dengan perkataan stafbarfeit, maka timbulah di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaarfeit tersebut. OLeh karena belum adanya kesatuan pendapat tentang apa yang dimaksud dengan strafbaarfeit diantara para sarjana hukum kita maka terdapatlah beberapa rumusan tentang strafbaarfeit tersebut. Antara lain ada yang menterjemahkan sebagai : a. Perbuatan Pidana xvi
b. Peristiwa Pidana c. Tindak Pidana Di Belanda istilah ini sendiri disamping strafbaarfeit dikenal juga istilah lain yaitu delict.8 2. Menurut Istilah a. Menurut Simons “Strafbaarfeit is een strafbaar gesteld onrechtmatige (wederrechelijk), met schuld in verband staande handeling van sen toerekeningsvatbaar person” b. Menurut Van Hamel Tentang perumusan “strafbaarfeit” itu sarjana ini sependirian dengan Simon hanya ia menambahkan sifat perbuatan yang mempunyai sifat yang dapat dihukum atas strafbaar. c. E. Mezger : Die straaf ist der Inbegriff der Voraussetzungen der Strafe ( Tindak pidana adalah keseluruhan syarat-syarat untuk adanya pidana ).9 d. J. Baumann Vebrechenim
weiteren,
allgemeinen
sinne
adalah
“Die
tatbestandmaszige rechwidrige und schuld-hafte Handlung” Yaitu perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan. e. Karni Delik itu mengandung perbuatan yang mengandung perlawanan hak, yang dilakukan dengan salah dosa, oleh orang yang sempurna akal budinya, dan kepada siapa perbuatan patut dipertanggung jawabkan, f. Wirjono Prodjodikoro Beliau mengemukakan definisi pendek, yakni : Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana. Jelas sekali
8 9
Sudarto. Hukum Pidana I (Semarang, Yayasan Sudarto, 1990). Halaman 40 ibid, halaman 41
xvii
dari definisi-definisi tersebut di atas tidak adanya pemisahan antara criminal act dan criminal responbility. g. Menurut VOS Menurut sarjana ini strafbaarfeit itu adalah feit yang dinyatakan dapat dihukun oleh undang-undang. Dalam perumusan tadi elah disingggung bahwa pengertian handeling atau perbuatan adalah tidak hanya perbuatan aktif saja akan tetapi juga meliputi perbuatan pasif. 10 h. W.P.J.Pompe Berpendapat bahwa menurut hukum positif strafbaarfeit adalah tidak lain daripada feit, yang diancam dalam ketentuan undang-undang. i. Menurut Prof. Mulyatno, SH Menterjemahkan istilah strafbaarfeit dengan perbuatan pidana. Yang dimaksud dengan perbuatan pidana adalah setiap perbuatan oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana. B. Unsur-Unsur Tindak Pidana. Seandainya kita berusaha untuk menjabarkan rumusan suatu delik kedalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula kita jumpai adalah disebutkannya suatu tindakan manusia , dengan tindakannya tersebut ia telah melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan suatu undang-undang. Di dalam KUHP pada umumnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yaitu : 1. Unsur Subyektif : Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. 2. Unsur Obyektif : Unsur yang terletak di luar sisi si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan yaitu dalam keadaankeadaan mana tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Di bawah ini aslah pendapat para ahli hukum pidana mengenai unsurunsur tindak pidana. 10
ibid, halaman 42
xviii
Yang pertama adalah mereka mereka yang dapat di masukkan ke dalam aliran atau yang mempunyai pandangan Monistis, adalah :
a. D. Simons Menyebutkan unsur-unsur strafbaarfeit : 1. Perbuatan manusia (positif maupun negative ; berbuat atau tidak bebuat atau membiarkan). 2. Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld) 3. Melawan hukum (onrechtmating) 4. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband stand) 5. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekening svatbaar persoon).11 Simons menyebut adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari stafbaarfeit. Yang disebut dengan unsur obyektf adalah : 1. Perbuatan orang, 2. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu, 3. Mungkin ada perbuatan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam fasal 281 KUHP sifat “openbaar”atau”dimuka umum” Segi subyektif dari strafbaarfeit : 1. Orang yang mampu bertanggung jawab, 2. Adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat perbuatan atau dengan mana perbuatan-perbuatan itu dilakukan. b. Van Hamel Menyebutkan unsur-unsur tindak pidana adalah : 11
ibid, halaman 41
xix
1. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang 2. Dengan cara melawan hukum 3. Dilakukan dengan kesalahan 4. Patut dipidana 5. c. E. Mezger Menurut Mezger unsur-unsur tindak pidana adalah : 1. Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan) 2. Sifat melawan hukum (baik bersifat obyektif maupun subyektif) 3. Dapat dipertanggung jawabkan kepada seseorang 4. Diancam dengan pidana. Selanjutnya akan disebutkan mereka yang biasa dimasukkan sebagai golongan yang mempunyai pandangan dualistis tentang syarat-syarat pemisahan a. H.B Vos Menurut beliau strafbaarfeit hanya berunsurkan : 1. Kelakuan manusia dan 2. Diancam pidana dalam undang-undang b. Moelyatno Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur : 1. Perbuatan (manusia) 2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formil) dan Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil). C.
Jenis-Jenis Tindak Pidana Di dalam KUHP ada dua jenis tindak pidana yang terdapat dalam buku II dan buku III, buku II mengatur atau berisi tentang tindak pidana yang berupa kejahatan sedangka dalam buku III berisi tentang tindak pidana yang berupa pelanggaran, sedangkan pengertian kedua jenis tindak pidana tersebut adalah : 1. Kejahatan
xx
Ialah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu udang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai yang bertentangan dengan keadilan. Missal : pembunuhan, pencurian. 2. Pelanggaran Ialah perbuatan yang oleh umum baru di sadari sebagai suatu tindak pidana, karena undang-undang menyebutnya sebagai delik, jadi karena ada undang-undang yang mengancamnya dengan pidana. Misal : memparkir mobil disebelah kanan jalan.12 Disamping jenis delik kejahatan dan pelanggaran yang terdapat di dalam KUHP, ilmu pengetahuan hukum pidanapun mengenal beberapa jenis delik atau tindak pidana antara lain : 1. Delik formil dan delik materiil a. Delik formil itu adalah delik yang perumusannya dititik beratkan kepada perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah diselesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik. Misal : Penghasutan (fasal 160 KUHP), di muka umu menyatakan perasaan kebencian, permusuhan atau penghinaan terhadap satu atau lebih golongan rakyat di Indonesia (fasal 156 KUHP); penyuapan. (fasal 209, 210 KUHP); sumpah palsu (fasal 242 KUHP), pencurian (fasal 362 KUHP). b. Delik materiil itu adalah delik yang perumusannya dititik beratkan kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum, maka paling banyak hanya ada percobaan. Misal : Pembakaran (fasal 187 KUHP), penipuan (fasal 378 KUHP), pembunuhan (fasal 338 KUHP).
12
Ibid, halaman 56
xxi
Batas antara delik formil dan delik materiil tidak tajam misalnya fasal 362. 2. Delik
Commissionis,
delik
omissionis
dan
delik
commissionis
peromissionem commissa. a. Delik commissionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan, penipuan.13 b. Delik Omissionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah ialah tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan/yang diharuskan. Misal : Tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan (fasal 522 KUHP), tidak menolong orang yang memerlukan pertolongan (fasal 531). c. Delik Commissiones per omissionen commissa : delik yang berupa pelanggaran larangan (dus delik commissionis) akan tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misal : seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memeberi air susu (fasal 338, 340 KUHP), seorang penjaga wissel yang menyebabkan terjadinya kecelakaan kereta api (fasal 194 KUHP). 3. Delik Dolus dan delik culpa a. Delik dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan Misal : fasal-fasal 187, 197, 245, 263, 310, 338 KUHP. b. Delik culpa :delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsure Misal : fasal-fasal 195, 197, 201, 203, 231 ayat 4 dan fasal 359, 360 KUHP. 4. Delik tunggal dan delik berganda a. Delik tunggal
:delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali.
b. Delik berganda : delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali perbuatan 5. Delik yang berlangsung terus menerus dan delik yang tidak berlangsung terus 13
ibid, halaman 57
xxii
Delik yang berlangsung terus : delik yang mempunyai ciri, bahwa keadaan terlarang itu berlangsung terus 6. Delik aduan dan bukan aduan14 Delik aduan : delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena. Misal : penghinaan (fasal 310 dst.yo. ayat 2), perzinaha (fasal 284 KUHP), chantage (pemerasan dengan ancaman pecemaran, fasal 335 ayat 1 sub 2 KUHP yo. Ayat 2). Delik aduan dibedakan menurut sifatnya sebagai : a. Delik aduan yang absolut Delik-delik ini menurut sifatnya hanya dapat dituntut berdasarkan pengaduan. b. Delik aduan yang relatif Karena dalam delik-delik ini ada hubungan istimewa antara si pembuat dan orang yang terkena. Catatan : perlu dibedakan antara aduan dan gugatan dan laporan. Gugatan dipakai dalam acara perdata,missal : A menggugat B di muka pengadilan, karena B tidak membayar hutangnya kepada A. Laporan hanya pemberitahuan belaka tentang adanya suatu tindak pidana kepada polisi atau jaksa. 7. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya a. Delik yang ada pemberatannya Misal : Penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau matinya orang (fasal 351 ayat 2, 3 KUHP), pencurian pada waktu malam hari dan sebagainya (fasal 363 KUHP) Delik yang ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam keadaan tertentu. Misal : pembunuhan kanak-kanak (fasal 341 KUHP),. b. Delik sederhana Misal : Penganiayaan (fasal 362 KUHP). 14
ibid, halaman 58
xxiii
8. Delik ekonomi (biasanya disebut tindak pidana ekonomi) dan bukan delik ekonomi. Apa yang disebut tindak pidana ekonomi itu terdapat dalam fasal 1 Undangundang Darurat NO.7 tahun 1955, Undang-undang Darurat tentang tindak pidana ekonomi. 9. Kejahatan ringan15 Dalam KUHP ada kejahatan-kejahatan ringan. Ialah : Pasal 364, 373, 375, 379, 482, 384, 352, 302 (1), 315, 407. D.
Subjek Tindak Pidana Di dalam sejarah sejarah perundang-undangan hukum pidana, pernah dikenal bahwa yang menjadi subyek hukum pidana tidak hanya manusia saja, tetapi juga hewan. Demikian pada abad pertengahan (1571) pernah dipidan seekor banteng (sapi), karena membunuh seorang wanita, hal tersebut sekarang sudah tidak dianut lagi. Jadi yang dimaksud subyek tindak pidana adalah manusia, sedangkan hewan tidak merupakan subyek tindak pidana. Disamping itu juga pernah dikenal, dipertanggung jawabkannya badan hukum sebagai subyek tindak pidana, tetapi atas pengaruh ajaran-ajarannya Von Savigny dan Feuerbac, yang kesimpulannya badan-badan hkum tidak melakuka delik, maka pertangung jawabanbadan hukum tadi sudah tidak dianut lagi. Dalam KUHP ada suatu ketentuan yang seakan-akan menyinggung soal ini, ialah seperti yang diatur dalam pasal 59 KUHP. Pasal tersebut berbunyi :” Dalam hal-hal dimana pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus atau komisaris-komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran, tidak dipidana. Pasal ini tidak menunjuk kearah dapat dipidananya suatu badan hukum, suatu perkumpulan atau badan (korporasi) lain. Menurut pasal ini yang dapat dipidana adalah orang yang melakukan sesuatu fungsi dalam korporasi. Seseorang
15
ibid, halaman 59
xxiv
dapat membebaskan diri, apabila dapat membuktikan bahwa pelanggaran itu dilakukan tanpa ikut campurnya. Keterangan : Di dalam hukum acara, ini juga disebut “pembalikan beban pembuktian” (omkering van bewijslast ). Bahwa yang menjadi subyek dari tindak pidana itu adalah manusia hal ini adalah sesuai dengan penjelasan
(M.v.T) terhadap pasal 59 KUHP, yang
berbunyi : “Suatu tindak pidana hanya dapat dikenakan oleh manusia”. Jadi yang dapat menjadi subyek tindak pidana adalah: 1. Telah diketahui bahwa unsur pertama tindak pidana itu adalah perbuatan orang, pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana itu manusia. 2. Badan Hukum dalam KUHP Fasal 59 berbunyi “Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tindak pidana”.16 3. Dalam KUHP juga ada fasal lain yang kelihatannya juga menyangkut korporasi sebagai subjek hukum, akan tetapi disinipun yang diancam pidana adalah orang bukan korporasinya.17 Jadi disamping manusia juga badan hukum, perkumpulan atau korporasi juga dapat menjadi subyek tindak pidana, apabila secara khusus ditentukan dalam undang-undang atau delik tertentu, misalnya seperti yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Selainnya itu, missal : mayat atau benda mati lain, tidak dapat melakukan tindak pidana dan tidak dapat dituntut pidana. E.
Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. Semisal seorang suami pulang kerumah dalam keadaan lelah dan lapar meminta istrinya untuk menyiapkan makan, namun makanan yang diminta belum siap karena ia harus mengasuh anaknya yang sedang sakit serta
16 17
. ibid, halaman 60 ibid, halaman 61
xxv
memebersihkan rumah, kemudian ia meminta suaminnya untuk menunggu sebentar sementara ia menyiapkan makanannya. Tetapi ternyata si suami malah marah-marah mencaci maki istrinya sebagai istri yang tidak becus bahkan sampai memukulnya maka tindakan tersebut adalah tidak benar, karena hal tersebut sudah merupakan suatu tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dapat diancam dengan pidana, hal tersebut diperkuat dengan adanya UndangUndang yang mengaturnya yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.18 Dalam penghapusan kekerasan dalam rumah tangga diutamakan kepada perempuan, hal ini dikarenakan selama ini yang sering menjadi korban adalah perempuan yang lebih dikarenakan adanya diskriminasi terhadap perempuan. Berdasarkan Rekomendasi Umum No. 19 tentang kekerasan terhadap perempuan dalam sidang ke 11 tahun 1992 komite PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan, diskriminasi itu juga termasuk kekerasan berbasis gender, yaitu kekerasan yang langsung ditujukan terhadap perempuan, karena dia adalah perempuan atau hal-hal yang memberi akibat terhadap perempuan secara tidak proporsional.19 Sosialisasi instrumen hukum terhadap masyarakat pada umumnya sangat terbatas. Pengetahuan mengenai hukum dan siapa yang tahu tentang hukum masih menjadi prsoalan. Masalahnya yang terjadi adalah bertahun-tahun suatu undang-undang ditetapkan, ironisnya masyarakat sering tidak mengetahui apalagi memahami substansinya. Padahal produk hukum tersebut berkenaan dengan hak dan perlindungan hukum bagi mereka. Kehadiran Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak menjamin dan serta-merta dimanfaatkan oleh mereka korban kekerasan dalam rumah tangga. Nilai sosial budaya yang menabukan persoalan privat diangkat menjadi persoalan publik, merupakan sekat-sekat penghalang bagi korban membawa kasusnya ke tingkat peradilan. Anggapan bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan persoalan hubungan antar individu yang saling 18
Kejaksan Tinggi Jawa Tengah, Penyuluhan dan Penerangan Hukum Progam Pembinaan Masyarakat Taat Hukum Tahun 2007, Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Hal.1 19 ibid,. halaman 2
xxvi
kenal dan sebagai masalah pribadi, serta dikukuhkan oleh persoalan ketergantugan ekonomi, dan masa depan, serta status anak menambah panjang argumentasi menguatkan korban tetap menutup rapat kasus domestiknya. Ideologi dan argumentasi sebagaimana dijelaskan di atas akan tetap menjadi batu sandungan bagi korban untuk melanjutkan persoalan keluarga ini ke tingkat tata peradilan pidana. Hal ini menjadikan kasus ini seolah-olah tidak layak diseret ke meja hijau. Kasus kekerasan domestik akhirnya
menjadi
kejahatan terselubung (hidden Crime) dan diduga sedikit sekali yang diungkap pada peradilan pidana, meskipun telah ada undang-undang sebagai landasan hukumnya. Masyarakat maupun korban sudah waktunya berpijak pada realitas sosial dengan pembuktian bahwa telah terjadi penyerangan, pemukulan, penganiayaan, bahkan pemerkosaan dalam lingkup rumah tangga. Ini merupakan bukti kejahatan. KUHP secara tegas pada Pasal 356 sebenarnya menjelaskan bahwa kekerasan yang dilakukan antar anggota keluarga sebagai kejahatan yang sangat serius. Pasal tersebut menjelaskan seseorang yang melakukan kejahatan terhadap ibu bapaknya yang sah, istrinya atau anaknya, sanksi ditambah sepertiga dari ancaman hukuman yang dilakukan oleh orang lain. 20 Dalam konteks Indonesia, kondisi dari budaya yang timpang sebagaimana disebutkan di atas telah menyebabkan hukum, dan sistem hukum (materiil hukum, aparat hukum, budaya hukum) yang ada kurang responsif dalam
melindungi
kepentingan
perempuan.
KUHAP
sangat
minim
membicarakan hak dan kewajiban istri sebagai korban, ia hanya diposisikan sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Begitu pula yang tercantum dalam UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 31 ayat (3): “Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga." Meski demikian, KUHP juga memuat peluang istri untuk mendapat keadilan. Kekerasan dan penganiayaan terhadap istri dalam KUHP merupakan tindak pidana yang sanksinya lebih besar sepertiga dari tindak pidana
20
Romany Sihite Op. Cit, halaman 145
xxvii
penganiayaan biasa atau dilakukan oleh dan terhadap orang lain, sebagaimana diterangkan dalam pasal 351 s.d. 355 KUHP. Pernyataan dalam KUHP tersebut dipertegas lagi dengan keluarnya UU. No. 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada tanggal 22 September 2004 yang merupakan hasil kerja cukup panjang dari berbagai elemen bangsa, baik dari pemerintah, parlemen, dan tentu saja masyarakat luas yang dalam hal ini diwakili oleh lembaga-lembaga yang mempunyai perhatian serius terhadap penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga dan pembangunan hukum yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat.21 Kekerasan dalam rumah tangga, menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalan Rumah Tangga, sebenarnya adalah : “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikhologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga” Dari pengertian tersebut dapat maka kekerasan dalam rumah tangga walaupun yang diutamakan untuk melindungi kaum perempuan akan tetapi selain itu juga untuk melindungi semua anggota keluarga dari anggota keluarga yang lain, karena dalam kenyataannya kekerasan dapat dilakukan tidak hanya oleh suami sebagai kepala keluarga kepada anggota keluarga yang lain, akan tetapi bisa dilakukan oleh istri kepada anggota keluaga yang lain, anak kepada anggota keluarga yang lain bahkan pembantupun juga bisa, jadi suami dan semua anggota keluarga dapat menjadi korban maupun pelaku kekerasan dalam rumah tangga. F.
Penghapusan kekerasan Dalam Rumah Tangga Diutamakan Kepada Perempuan.
21
Arif Hamzah, Tinjauan Sosial dan hukum Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Makalah 31 Desember 2009)
xxviii
Karena selama ini yang sering menjadi korban adalah perempuan yang lebih dikarenakan adanya diskriminasi terhadap perempuan. Berdasarkan Rekomendasi Umum No.19 tentang kekerasan perempuan dalam sidang ke 11 tahun 1992 Komite PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan, diskriminai itu juga termasuk kekerasan berbasis gender, yaitu kekeraan yang langsung ditujukan terhadap perempuan, karena dia adalah perempuan atau hal-hal yang memberi akibat terhadap perempuan secara tidak proposional.22 G.
Lingkup Rumah Tangga Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. Sedangkan yang terpenting agar kita mengetahui suatu kekerasan yang dilakukan tersebut adalah kekerasan dalam rumah tangga atau bukan yang terpenting adalah dengan mengetehui lingkup rumah tangga dan jenis-jenis tindakan kekerasannya terlebih dahulu, yaitu : Sesuai Pasal 2 Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, bahwa lingkup rumah tangga meliputi : 1. Suami, istri, anak Yang dimaksud dalam ketentuan ini termasuk anak angkat dan anak tiri. 2. Orang-orang
yang
mempunyai
hubungan
keluarga
dengan
orang
sebagaimana dimaksud pada angka satu di atas karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga. Yang dimaksud dengan “hubungan perkawinan” dalam ketentuan ini misalnya, mertua, menantu, ipar, dan besan. 3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Orang yang bekerja sebagaimana dimakud pada angka 3 dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.23
22 23
Kejaksan Tinggi Jawa Tengah , Op. Cit. halaman 3 Ibid, halaman 3
xxix
H.
Bentuk- bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. Sedang bentuk-bentuk kekerasan yang dilindungi oleh Undang-Undang ini sesuai Pasal 5 Undang-Undang No.23 Tahun 2004, adalah :
1. Kekerasan Fisik : Adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Kekerasan fisik langsung dalam bentuk pemukulan, pencakaran sampai pengrusakan vagina (kekerasan seksual) dan kekerasan fisik secara tidak langsung yang biasanya berupa memukul meja, membanting pintu, memecahkan piring, gelas, tempat bunga dan lain-lain, serta berlaku kasar. a. Kekerasan Fisik Berat, berupa penganiayaan berat seperti menendang; memukul,
menyundut;
melakukan
percobaan
pembunuhan
atau
pembunuhan dan semua perbuatan lain yang dapat mengakibatkan : 1. Cedera berat 2. Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari 3. Pingsan 4. Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati 5. Kehilangan salah satu panca indera. 6. Mendapat cacat. 7. Menderita sakit lumpuh 8. Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih 9. Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan 10. Kematian korban. b. Kekerasan Fisik Ringan, berupa menampar, menjambak, mendorong, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan: 1. Cedera ringan 2. Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat
xxx
3. Melakukan repitisi kekerasan fisik ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan berat. 2. Kekerasan Psikhis : Adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikhis berat pada seseorang. Kekerasan psikologis, berupa ucapan kasar, jorok, dan yang berkonotasi meremehkan dan menghina, mendiamkan, menteror baik secara langsung
maupun
menggunakan
media
tertentu,
berselingkuh,
dan
meninggalkan pergi tanpa kejelasan dalam waktu lama dan tanpa tanggung jawab. a. Kekerasan Psikis Berat, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan; kekerasan dan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut: 1. Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun. 2. Gangguan stress pasca trauma. 3. Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi medis) 4. Depresi berat atau destruksi diri 5. Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya 6. Bunuh diri b. Kekerasan Psikis Ringan, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang
xxxi
merendahkan atau menghina; penguntitan; ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis;yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis ringan, berupa salah satu atau beberapa hal di bawah ini: 1. Ketakutan dan perasaan terteror 2. Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak 3. Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual 4. Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan pencernaan tanpa indikasi medis) 5. Fobia atau depresi temporer 3. Kekerasan Seksual a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkungan rumah tangga tersebut. b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan /atau tujuan tertentu. Yang dimaksud dengan “kekerasan seksual” dalam ketentuan ini adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain dengan tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. 4. Penelantaran Rumah Tangga a. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya karena menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tesebut. b. Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara
xxxii
membatasi dan /atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau diluar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut.24 Kekerasan ekonomi, berupa tidak diberikannya nafkah selama perkawinan atau membatasi nafkah secara sewenang-wenang, membiarkan atau bahkan memaksa istri bekerja keras. Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras dilakukan kepadnya ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan pertimbangan demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenang-wenang kepada istrinya. I.
Korban dan Pelaku Kekerasan dalam Rumah Tangga Menurut UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004. Kekerasan dalam rumah tangga sudah menjadi fenomena sosial yang sering terjadi di semua lapisan masyarakat, baik kelas ekonomi tinggi maupun bawah. Secara umum kekerasan dalam rumah tangga bisa dialami oleh siapa saja baik itu perempuan maupun laki-laki. Tidak bisa dipungkiri bahwa korban kekerasan terbesar menimpa pada perempuan. Siapa sajakah yang dapat menjadi korban dan pelaku kekerasan dalam rumah tangga : 1. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga (Pasal I angka 3) Berdasar ketentuan di atas tersebut maka korban bisa suami, istri, anak, orangorang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami atau istri, serta pembatu selama mereka berada dalam rumah tangga yang bersangkutan yang mengalami kekerasan dan atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. 2. Pelaku, berdasarkan pengertian korban diatas maka dapat disimpulkan adalah orang yang melakukan kekerasan dan atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
24
Ibid, halaman 4
xxxiii
Seperti halnya korban maka pelaku adalah bisa suami, istri, anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami atau istri, serta pembatu selama mereka berada dalam rumah tangga yang bersangkutan yang melakukan kekerasan dan atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. J.
Hak-Hak Korban Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. Sesuai Pasal 10 dan Pasal 23 Undang-undang nomor 23 tahun 2004 korban berhak mendapatkan: 1. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; 2. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; 3. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; 4. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan 5. pelayanan bimbingan rohani. 6. Melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. 7. Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.25
K.
Tujuan Diberikannya Perlindungan Kepada Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Berdasarkan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, tujuan diberikannya perlindungan kepada korban kekerasan adalah untuk memberikan rasa aman kepada korban.26
25 26
Ibid, halaman 11 Ibid, halaman 12
xxxiv
BAB III METODE PENELITIAN Agar penelitian dapat diperoleh hasil yang bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya, maka perlu didukung dengan suatu metodologi yang baik. Metodoligi merupakan suatu unsur mutlak dalam suatu penelitian. Oleh karena itu di dalam penelitian ini penulis menggunakan metode sebagai berikut : A. Metode Pendekatan Di dalam penulisan ini terlebih dahulu penulis melakukan penlitian. Adapun metode pendekatan yang digunakan adalah metode Yuridis Normatif dan Yuridis Sosiologis. Yuridis Normatif yaitu suatu metode penelitian yang menekankan pada ilmu hukum atau berpedoman pada segi hukumnya (UU tentang KDRT) yaitu berusaha untuk menelaah peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat, sedangkan Yuridis Sosiologis yaitu merupakan gabungan antara penelitian lapangan yang menggunakan data primer berupa kasus kekerasan dalam rumah tangga yang berujung dengan perceraian dan penelitian kepustakaan yang menggunakan data sekunder berupa bahan-bahan hukum. . Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundangundangan, karena yang akan diteliti dalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Untuk itu peneleliti harus melihat hukum sebagai system tertutup yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
xxxv
1. Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada didalamnya terkait antara yang satu dengan yang lain logis . 2. All-inclusive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada kekurangan hukum . 3. Systematic bahwa disamping bertautan antara yang satu dengan yang lain, norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkis .27 B. Bahan Penelitian Bahan penelitian yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah penelitian lapangan, dan penelitian kepustakaan yang akan mendukung penelitian lapangan nantinnya diharapkan dapat mendukung penelitian di lapangan. Bahan sebagai sumber data dan informasi diperoleh dari : 1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung sebagai hasil penelitian lapangan yang dilakukan oleh penulis melalui wawancara dengan responden, diantaranya adalah Hakim Pengadilan di Kota Magelang. 2. Data Sekunder, dilakukan dengan cara mengadakan penelitian kepustakaan, peraturan-peraturan serta dokumen-dokumen yang berhubungan dengan Peraturan-Peraturan Tentang Tindak Pidana dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, diantaranya : a. Undang Undanng Nomor 23 Tahun 2004 Tetang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. b. Kitab Undang Undang Hukum Pidana ( KUHP) c. Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM). d. Keppres No.181 Tahun 1998 Tentang Komnas Perempuan e. UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 3. Data Tersier, merupakan bahan hukum untuk menjelaskan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,seperti kamus hukum dan buku-buku tentang hukum pidana atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). C. Spesifikasi Penelitian
27
Johny ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Banyumedia Publising, 2006), halaman 303
xxxvi
Spesifikasi
penelitian yang digunakan
ialah
Studi Kasus, artinya
memberikan suatu gambaran hasil penelitian yang mendalam, dan lengkap, sehingga dalam informasi yang disampaikannya tampak hidup sebagaimana adanya kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi yang berakhir dengan perceraian. D. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penulisan sripsi ini meliputi : 1. Studi Kepustakaan Penulis
mempelajri
literatur-literatur
yang
berkaitan
dengan
permasalahan yang sedang diteliti, guna mendapatkan landasan teori yang kuat. 2. Wawancara / Intervew Metode wawancara ini dilakukan sebagai perbandingan antara teori dan praktik ( kenyataan yang terjadi di lapangan.) E. Metode Pengolahan dan Analisa Data Data primer dan sekunder yang sudah terkumpul dengan lengkap kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif yaitu dengan menguraikan dan menjelaskan secara logis dan sistematis untuk disimpulkan secara deduktif agar dapat diperoleh kejelasan penyelesaian masalah.
xxxvii
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kekerasan Dalam Rumah Tangga dapat menjadi alasan suatu perceraian Kekerasan dalam rumah tangga sudah menjadi fenomena sosial yang sering terjadi di semua lapisan masyarakat, baik kelas ekonomi tinggi maupun bawah. Secara umum kekerasan dalam rumah tangga bisa dialami oleh siapa saja baik itu perempuan maupun laki-laki. Tidak bisa dipungkiri bahwa korban kekerasan terbesar menimpa pada perempuan. Dalam wawancara yang saya lakukan kepada Bapak Drs. H. Makmun, MH, beliau selaku hakim dan Kepala Pengadilan Agama Kota Magelang, beliau mengatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga bisa menjadi alasan perceraian, karena kekerasan itu adalah melanggar sighot ta’lik talak, dimana antar suami istri tidak boleh saling menyakiti. Begitupun juga dengan wawancara yang saya lakukan kepada Ibu Ibu Satyowati Yun Iriyani, SH.M.Hum, beliau selaku hakim di Pengadilan Negeri kota Magelang mengatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga dapat menjadi alasan perceraian, karena kekerasan dalam rumah tangga termasuk atau tergolong perbuatan yang membahayakan pihak yang lain, hal ini sesuai dengan Pasal 19 huruf (d) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975.
xxxviii
Berdasarkan alasan perceraian yang terdapat dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam pada Bab XVI Pasal 116, ada beberapa kemiripan atau bahkan persamaan antara alasan-alasan perceraian dalam kedua peraturan tersebut dengan bentuk- bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. Alasan alasan perceraian dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam pada Bab XVI Pasal 116, adalah sebagai berikut : 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya 2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri. 6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.28 Sedangkan Bentuk- bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, adalah : 1. Kekerasan Fisik : Adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Kekerasan fisik langsung dalam bentuk pemukulan, pencakaran sampai pengrusakan vagina (kekerasan seksual) dan kekerasan fisik secara tidak langsung yang biasanya berupa memukul meja, membanting pintu, memecahkan piring, gelas, tempat bunga dan lain-lain, serta berlaku kasar. 28
Sudarsono. Op. Cit, halaman 116
xxxix
a. Kekerasan Fisik Berat, berupa penganiayaan berat seperti menendang; memukul,
menyundut;
melakukan
percobaan
pembunuhan
atau
pembunuhan dan semua perbuatan lain yang dapat mengakibatkan : 1. Cedera berat 2. Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari 3. Pingsan 4. Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati 5.
Kehilangan salah satu panca indera.
6. Mendapat cacat. 7.
Menderita sakit lumpuh
8. Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih 9. Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan 10. Kematian korban. b. Kekerasan Fisik Ringan, berupa menampar, menjambak, mendorong, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan: 1. Cedera ringan 2. Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat 3. Melakukan repitisi kekerasan fisik ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan berat. 2. Kekerasan Psikhis : Adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikhis berat pada seseorang. Kekerasan psikologis, berupa ucapan kasar, jorok, dan yang berkonotasi meremehkan dan menghina, mendiamkan, menteror baik secara langsung maupun menggunakan media tertentu, berselingkuh, dan meninggalkan pergi tanpa kejelasan dalam waktu lama dan tanpa tanggung jawab. a. Kekerasan Psikis Berat, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang
xl
merendahkan atau menghina; penguntitan; kekerasan dan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut: 1. Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun. 2. Gangguan stress pasca trauma. 3. Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi medis) 4. Depresi berat atau destruksi diri 5. Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya 6. Bunuh diri b. Kekerasan Psikis Ringan, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan; ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis;yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis ringan, berupa salah satu atau beberapa hal di bawah ini: 1. Ketakutan dan perasaan terteror 2. Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak 3. Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual 4. Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan pencernaan tanpa indikasi medis) 5. Fobia atau depresi temporer Penjelasan: Untuk pembuktian kekerasan psikis harus didasarkan pada dua aspek secara terintegrasi, 1) tindakan yang diambil pelaku; 2) implikasi psikologis yang
xli
dialami korban. Diperlukan keterangan psikologis atau psikiatris yang tidak saja menyatakan kondisi psikologis korban tetapi juga uraian penyebabnya. 3. Kekerasan Seksual a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkungan rumah tangga tersebut. b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan /atau tujuan tertentu. Yang dimaksud dengan “kekerasan seksual” dalam ketentuan ini adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain dengan tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Penjelasan: Kata ‘pemaksaan hubungan seksual’ disini lebih diuraikan untuk menghindari penafsiran bahwa ‘pemaksaan hubungan seksual’ hanya dalam bentuk pemaksaan fisik semata (seperti harus adanya unsur penolakan secara verbal atau tindakan), tetapi pemaksaaan juga bisa terjadi dalam tataran psikis (seperti dibawah tekanan sehingga tidak bisa melakukan penolakan dalam bentuk apapun). Sehingga pembuktiannya tidak dibatasi hanya pada bukti-bukti bersifat fisik belaka, tetapi bisa juga dibuktikan melalui kondisi psikis yang dialami
korban.
Tindakan-tindakan kekerasan seksual ini dalam dirinya sendiri (formil) merupakan tindakan kekerasan dengan atau tanpa melihat implikasinya. Implikasi itu sendiri harus nya dimasukkan sebagai unsure pemberat (hukuman). Imlikasi tersebut misalnya, rusaknya hymen, hamil, keguguran, terinfeksi Penyakit Menular Seksual (PMS), kecacatan, dll. 4. Penelantaran Rumah Tangga a. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya karena menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
xlii
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tesebut. b. Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan /atau
melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau diluar rumah
sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut. Kekerasan ekonomi, berupa tidak diberikannya nafkah selama perkawinan atau membatasi nafkah secara sewenang-wenang, membiarkan atau bahkan memaksa istri bekerja keras.29 Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras dilakukan kepadnya ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan pertimbangan demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenang-wenang kepada istrinya. Berdasakan ketentuan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut, dalam alasan perceraian yang berbunyi: 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya Alasan tersebut dalam kekerasan dalam rumah tangga termasuk kedalam bentuk kekerasan psikhis. Dimana untuk pengertian kekerasan pskhis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikhis berat pada seseorang. Jadi dari pengertian tersebut bahwa berzina, menjadi pemabok, pemadat, penjudi bisa menyebabkan strees atau bahkan penderitaa psikhis berat karena melukai perasaan dari salah satu pasangan atau korban yang di dalam bentukbetuk kekerasan dalam rumah tangga dapat dikategorikan ke dalam kekerasan psikhis 29
Kejaksan Tinggi Jawa Tengah , Op. Cit. halaman 4
xliii
2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. Alasan tersebut di dalam bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga termasuk ke dalam bentuk kekerasan Penelantaran Rumah Tangga, Karena di dalam salah satu pengertian kekerasan dalam bentu penelantaran berbunyi : “Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya karena menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tesebut”. Maka jelaslah bahwa Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya termasuk menelantarkan keluarganya, di sini tidak hanya berlaku bagi pihak laki-laki saja, akan tetapi juga bagi pihak perempuan walaupun secara ekonomi yang wajib memberi nafkah adalah pihak laki-laki, karena yang dimaksud penelantaran bukan hanya penelantaran dari segi kuwajiban nafkah lahir semata, tetapi juga kuwajiban-kuwajiban yang lain, yaitu sebagaimana mestinya istri sebagai ibu rumah tangga dan suami sebagai kepala rumah tangga 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. Alasan perceraian tersebut termasuk ke dalam bentuk kekerasan dalam rumah tangga berupa kekerasan psikhis akan tetapi juga bias termasuk ke dalam bentuk penelantaran rumah tangga, karena secara psikhis jika Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung maka pihak yang lain akan merasa malu terutama yang akan menyiksa atau menyakiti psikhisnya karena harus menanggung malu terutama terhadap keluarga ataupun masyakat sekitar dia tinggal. Akan tetapi juga bias termasuk penelantaran rumah tangga, Karen selama dia salah satu fihak yang mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
xliv
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung tidak akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik atau sebagaimana mestinya. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain. Alasan tersebut jelas termasuk ke dalam bentuk kekerasan fisik,karena kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain termasuk perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat seperti yang terdapat dalam pengertian kekerasan fisik menurut undang-undang Nomor 23 Tahun 2003. 5. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Alasan perceraian ini termasuk ke dalam kekerasan psikhis karena satu sama lain dalam perselisihan dan pertengkaran akan dapat menyakiti perasaan masing-masing pasangan, atau bahkan termasuk kekerasan fisik apabila perselisihan dan pertengkaran tersebut sudah sampai maen tangan seperti pemukulan kepada salah satu fihak atau mungkin kedua-duanya. B. Putusan Pengadilan kasus Kekerasan Dalam rumah Tangga di Pengadilan Kota Magelang terhadap peceraian. Dalam wawancara yang saya lakukan kepada Bapak Drs. H. Makmun, MH, beliau selaku hakim dan Kepala Pengadilan Agama Kota Magelang, beliau mengatakan walaupun bahwa kekerasan dalam rumah tangga bisa menjadi alasan perceraian, karena kekerasan itu adalah melanggar sighot ta’lik talak, dimana antar suami istri tidak boleh saling menyakiti, akan tetapi hakim yang menangani tidak mempertimbangkan kekerasan yang terjadi dalam sidang perceraian dan secara implisit tidak menggunakan Undang undang kekerasan dalam rumah tangga, KDRT tidak dicantumkan secara tegas di dalam UU Perkawinan. Namun, di sisi lain, kekerasan itu sendiri dapat menjadi salah satu alasan perceraian. Makanya seringkali Pengadilan Agama menemukan masalah-masalah KDRT. “Meskipun itu terkuak dengan sangat jelas dan bisa dirasakan oleh masyarakat, tetapi Pengadilan Agama tidak bisa mengadili karena merupakan wewenang pengadilan pidana.
xlv
Karena pihak yang ingin mengajukan perceraianpun walaupun telah mengalami kekerasan dalam rumah tangga akan tetapi sebagai jalan keluar mereka memilih untuk bercerai tanpa melalui proses pidana atau mempidanakan pihak yang telah melakukan kekerasan tersebut. Ibu Satyowati Yun Iriyani, SH.M.Hum, beliau selaku hakim di Pengadilan Negeri kota Magelang mengatakan bahwa walaupun kekerasan dalam rumah tangga dapat menjadi alasan perceraian, karena kekerasan dalam rumah tangga termasuk atau tergolong perbuatan yang membahayakan pihak yang lain, hal ini sesuai dengan Pasal 1 butir 1 jo Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yaitu tentang definisi dan bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
1. Putusan Pengadilan Agama Kota Magelang. Di bawah ini merupakan beberapa contoh putusan kasus perceraian di Pengadilan Agama Kota magelang : a. Putusan Nomor 0115/Pdt.G/2008/PA.MGL Dimana di sini yang menjadi Penggugat adalah Yulianti binti Slamet Darman, sedangkan yang menjadi Tergugat adalah Eko Setiawan bin Darmawan. Bahwa yang menjadi penyebab atau alasan perceraian adalah: 1. Tergugat tidak pernah memberi nafkah secara layak kepada Penggugat karena penghasilan Tergugat hanya untuk kesenangan diri pribadi dan Tergugat sudah menjalin hubungan dengan wanita lain (WIL) sehingga penghasilannya untuk wanita lain(WIL) tersebut tanpa memperhatikan Penggugat sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan rumah tangganya, serta 2. Tergugat sering meninggalkan rumah kediaman bersama dan pulangnya sering larut malam bahkan sampai pagi atau tidak pulang sama sekali. Dari penyebab atau alasan perceraian di atas maka alasan tersebut termasuk kekerasan dalam rumah tangga, yaitu :
xlvi
Untuk tidak memberi nafkah termasuk kedalam kekerasan dalam bentuk penelantaran rumah tangga karena yang bersangkutan tidak memberikan perawatan atau pemeliharaan kepada korban, dan Kalau memiliki wanita idaman lain atau berselingkuh termasuk ke dalam kekerasan dalam bentuk psikhis karena menyakitkan hati korban. b. Putusan Nomor 0115/Pdt.G/2008/PA.MGL Di sini yang menjadi penggugat adalah Sini binti Wahyu, sedangkan yang menjadi tergugat adalah Waluyo bin Muchori. Dalam kasus tersebut yang menjadi penyebab atau alasan perceraian adalah : 1. Tergugat tidak pernah memberi nafkah kepada Penggugat, kalau diminta marah-marah; 2. Tergugat bermain cinta dengan perempuan lain bernama Titin, Penggugat tahu dari pengakuan Tergugat sendiri; 3. Tergugat sering meninggalkan tempat kediaman bersama dan pulangnya sering larut malam bahkan sampai pagi atau 1 hari, tanpa alasan yang jelas; 4. Tergugat sering minum-minuman keras sampai mabuk, Penggugat tahu karena kalau pulang masih dalam keadaan mabuk, disamping itu juga tergugat sering main judi, Penggugat tahu karena Tergugat sering menyusul Tergugat di tempat judi; 5. Tergugat sering cemburu buta menuduh Penggugat ada hubungan dengan laki-laki tanpa alasan; 6. Tergugat sering berhutang kepada orang lain tanpa pengetahuan Tergugat, yang mengakibatkan Tergugat sering ditagih oleh orangorang yang merasa dihutangi oleh Tegugat; 7. Tergugat sama sekali tidak mau memperhatikan Penggugat beserta anaknya,
yakni
dialebih
mementingkan
diri
sendiri
daripada
kepentingan rumah tangga dan biaya anaknya. Dari penyebab atau alasan-alasan percerain pada kasus ini, maka dapat diketahui adanya beberapa bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi, yaitu :
xlvii
Untuk tidak memberi nafkah dan sering pergi sampai satu hari, Tergugat sama sekali tidak mau memperhatikan Penggugat beserta anaknya, yakni dia lebih mementingkan diri sendiri daripada kepentingan rumah tangga dan biaya anaknya. merupakan kekerasan dalam bentuk penelantaran rumah tangga. Karena dalam hal ini karena yang bersangkutan tidak memberikan perawatan atau pemeliharaan kepada korban, sedang Tergugat bermain cinta dengan perempuan lain bernama Titin, Tergugat sering minum-minuman keras sampai mabuk, Penggugat tahu karena kalau pulang masih dalam keadaan mabuk, disamping itu juga tergugat sering main judi, Tergugat sering cemburu buta menuduh Penggugat ada hubungan dengan laki-laki tanpa alasan, Tergugat sering berhutang
kepada
orang
lain
tanpa
mengakibatkan Tergugat sering ditagih
pengetahuan
Tergugat,
yang
oleh orang-orang yang merasa
dihutangi oleh Tegugat, alasan tersebut termasuk ke dalam kekerasan dalam bentuk psikhis karena menyakitkan hati korban, serta korban akan merasa Fobia atau depresi temporer. c. Putusan Nomor 016/Pdt.G/2008PA.MGL Di sini yang menjadi penggugat adalah Indriyani binti Sucipto, sedangkan yang menjadi tergugat adalah Ardi Lastanto bin Lasiman. Dalam kasus tersebut yang menjadi penyebab atau alasan perceraian adalah : 1. Tergugat tidak pernah memberi uang kepada Penggugat kalau dimintai marah-marah; 2. Tergugat sering pergi meninggalkan rumah kediaman bersama antara 3 hari sampai 5 bulan, kalau ditanya alasannya bekerja; 3. Tergugat sering mabuk-mabukan dan mengkonsumsi pil koplo. Penggugat tahu karena Penggugat melihat dengan mata kepala sendiri, kalau diperingatkan Tergugat marah-marah 4. Penggugat sering dianiaya, bahkan pernah ditusuk pisau di bagian punggung oleh Tergugat dan sempat berobat ke rumah sakit hingga 10 hari.
xlviii
Dari penyebab atau alasan-alasan percerain pada kasus ini, maka dapat diketahui adanya beberapa bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi, yaitu : Untuk alasan perceraian Tergugat tidak pernah memberi uang kepada Penggugat kalau dimintai marah-marah dan
Tergugat sering pergi
meninggalkan rumah kediaman bersama antara 3 hari sampai 5 bulan, merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga yaitu penelantaran rumah tangga. Sedang untuk alasan perceraian Tergugat sering mabuk-mabukan dan mengkonsumsi pil koplo dan kalau diperingatkan Tergugat marah-marah, merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga yaitu kekerasan psikhis. Dan alasan perceraian yang berupa Penggugat sering dianiaya, bahkan pernah ditusuk pisau di bagian punggung oleh Tergugat dan sempat berobat ke rumah sakit hingga 10 hari, merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga berupa kekerasan fisik,karena penganiayaan dan penusukan tersebut merupakan perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat atau bahkan dapat menyebabkan kematian. 2. Putusan Pengadilan Negeri Kota Magelang. Di bawah ini merupakan beberapa contoh putusan kasus perceraian di Pengadilan Negeri Kota magelang : a. Putusan Nomor. 13/PDT/G/2009/PN.MGL Dimana di sini yang menjadi Penggugat adalah Lani Lugina Suhendra, sedangkan yang menjadi Tergugat adalah Ir. Koencoro, MBA Bahwa yang menjadi penyebab atau alasan perceraian adalah: 1. Bahwa setelah berjalan beberapa tahun kehidupan rumah tangga penggugat dengan tergugat menjadi tidak harmonis disebabkan tergugat suka bohong dan tidak konsisten dengan ucapannya juga janjinya bahkan sering memaksakan kehendak pada penggugat dan malas bekerja, sehingga yang menanggung beban kehidupan rumah tangga adalah penggugat dari dulu hingga sekarang;
xlix
2. Bahwa beberapa tahun belakangan ini sampai sekarang tergugat malah mempunyai kebiasaan yang aneh-aneh suka memuja-muja keris dan malas bekerja, bahkan malas ke gereja, akan tetapi cenderung percaya dengan hal-hal yang bersifat mistik, sehingga membuat hati penggugat menjadi tidak nyaman; 3. bahwa tergugat sudah kurang lebih 10 tahun tidak bekerja sehingga penggugatlah sebagai pencari nafkah; Dari penyebab atau alasan-alasan percerain pada kasus ini, maka dapat diketahui adanya beberapa bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi, yaitu : Untuk alasan perceraian Tergugat suka bohong dan tidak konsisten dengan ucapannya juga janjinya bahkan sering memaksakan kehendak pada penggugat, malas ke gereja, akan tetapi cenderung percaya dengan hal-hal yang bersifat mistik, merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga kekerasan psikis karena hal tersebut mengecewakan dan menyakiti perasaan korban. Sedang bahwa tergugat sudah kurang lebih 10 tahun tidak bekerja sehingga penggugatlah sebagai pencari nafkah, merupan kekerasan rumah tangga dalam bentuk penelantaran rumah tangga, karena disini Tergugat atau Pelaku tidak menjalankan kuwajibannya kepada korban untuk merawat dan memelihara korban. b. Putusan Nomor. 25/PDT/G/2006/PN.MGL Dimana di sini yang menjadi Penggugat adalahIgnatius Candra Irawan, sedangkan yang menjadi Tergugat adalah Caecilia Dewi Anggraeni Setiowati. Bahwa yang menjadi penyebab atau alasan perceraian adalah: 1. Bahwa setiap kali Tergugat pulang ke rumah bersama, Tergugat selalu marah-marah dan merendahkan Penggugat, oleh karena itu setiap kali bertemu, antara Penggugat dan Tergugat timbul perselisihan dan percekcokan;
l
2. Tergugat sebagai istri tidak menghormati Penggugat sebagai suami, karena Tergugat sering membentak-bentak Penggugat dihadapan orang lain. 3. Tergugat sebagai istri Penggugat, tidak menghormati serta tidak sopan pada orang tua Penggugat. 4. Tergugat sering marah-marah tanpa sebab dan selalu menjadikan persoalan-persoalan
kecil
menjadi
penyebab
pertengkaran
dan
perselisihan dengan Penggugat. 5. Tergugat pergi meninggalkan rumah bersama dengan membawa anak mereka tersebut tanpa seijin Penggugat. Untuk alasan-alasan perceraian dalam kasus tersebut adalah merupakan bentuk kekerasan psikhis, karena dari semua alasan-alasan tersebut merupakan perbuatan yang menyakiti atau melukai perasaan korba
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan 1. Bahwa pada dasarnya kekerasan dalam rumah tangga dapat menjadi penyebab atau alasan perceraian, karena berdasarkan alasan-alasan perceraian dalam gugatan
selalu
terdapat
alasan-alasan
yang
merupakan
atau
dapat
dikategorikan sebagai bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga, karena di Pengadilan Agama kota Magelang bahwa kekerasan dalam rumah tangga termasuk perbuatan yang dianggap telah melanggar sighot ta’lik talak, sedangkan di Pengadilan Negeri Kota Magelang kekerasan dalam rumah tangga juga dapat dijadikan alasan perceraian karena perbuatan tersebut termasuk atau tergolong perbuatan yang membahayakan pihak yang lain, hal ini sesuai dengan Pasal 1 butir 1 jo Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yaitu tentang definisi dan bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
li
2. Dalam kasus yang kita bahas dalam bab IV sebelumnya, dalam gugatan ada alasan kekerasan dalam rumah tangga, tetapi hakim yang menangani tidak mempertimbangkan kekerasan yang terjadi dalam sidang perceraian dan tidak secara khusus menggunakan Undang undang KDRT. "Tidak satupun dari Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri di Kota Magelang mengunakan perintah perlindungan korban kekerasan sesuai undang undang KDRT dalam kasus perceraian di atas." Jadi disini hakim dalam memutus perkara perceraian tersebut juga tidak karena ada unsur atau kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi walaupun di dalam alasan perceraian tersebut ada bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang di jadikan alasan perceraian, walaupun di dalam alasan tersebut tersirat adanya kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi sesuai dengan Pasal 1 butir 1 jo Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yaitu tentang definisi dan bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
B.
Saran 1. Bahwa kekerasan dalam rumah tangga harus ada peraturan khusus dan tegas yang mengaturya mungkin melalui surat edaran dari mahkamah Agung sehingga ada peraturan terkait penggunaan undang undang KDRT dalam pengadilan agama dan Pengadilan Negeri dalam kasus perceraian yang mengandung unsur KDRT, sehingga secara khusus bahwa kekerasan dalam rumah tangga dapat menjadi alasan perceraian, dan para pelaku dapat ditindak sesuai peratura yang ada yaitu Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, sehingga tidak menjadi suatu kejahatan atau tindak pidana yang terseelubung (hidden crime), dan diharapkan pelaku menjadi jera sehingga dapat menekan angka atau jumlah perceraian. 2. Hakim yang mengurusi tentang perceraian tersebut juga harus menguasai tentang Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sehingga apabila dalam kasus perceraian yang
tanganinya, beliau benar-benar mengerti dengan baik, sehingga
lii
sosialisasipun tidak hanya kepada masyarakat semata, akan tetapi kepada para penegak hukum secara maksimal juga sangat diperlukan. 3. Sebaiknya ada peradilan khusus yang menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga, sehingga apabila ada kasus yang berbau atau menyangkut kekerasan dalam rumah tangga dapat ditangani dengan lebih maksimal, karena baik pengadilan ataupun orang-orang yang menanganinya adalah khusus, sehingga benar-benar menguasainya dengan maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Arif Hamzah, 2009, Tinjauan Sosial dan hukum Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Makalah, Google. Johny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia Publishing. Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, 2007, Penyuluhan dan Penerapan Hukum Progam Pembinaan Masyarakat Taat Hukum tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Mujiati, 2008, Implementasi Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga suatu tantangan yang menuju system hukumyang responsive gender, Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Hukum dan Poitik Kementrian Pemberdayaan Perempuan.. Rika Saraswati, 2006, Perempuan dan Penyeleaian Kekerasan dalam Rumah Tangga, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
liii
Romany Sihite, 2007, Perempuan, Kesetaraan, dan Kedilan Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum Undip Semarang. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Kompilasi Hukum Islam
liv