KAWASAN PUJA MANDALA WUJUD TOLERANSI DI BALI Dermawan Waruwu Universitas Dhyana Pura Bali E-mail:
[email protected]
Abstrak Wilayah Indonesia terkenal dengan keberagaman agamanya. Keberagaman ini menjadi keunikan serta kearifan lokal masyarakatnya. Namun konflik bernuansa agama pernah melanda Indonesia, sehingga anggota masyarakat mengalami trauma psikologis. Pelarangan maupun pengrusakan tempat ibadah menjadi senjata ampuh membinasakan sesamanya. Semboyan Bhineka Tunggal Ika tinggal kenangan karena hukum tak berdaya membendung tindakan anarkis segelintir orang. Kita patut memberi apresiasi kepada masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu justru menghargai agama orang lain. Kawasan Puja Mandala wujud toleransi di Bali karena memiliki 5 tempat ibadah yang saling berdampingan, yaitu: Masjid Agung Ibnu Batutah, Gereja Katolik Maria Bunda Segala Bangsa, Gereja Kristen Protestan di Bali jemaat Bukit Doa, Vihara Buddha Guna, dan Pura Jagatnatha. Oleh sebab itu, keberadaan Puja Mandala dapat ditiru oleh daerah lain demi menghindari konflik agama tersebut. Masyarakat harus belajar menghargai setiap perbedaan, sehingga generasi masa mendatang hidup dalam kedamaian yang penuh rasa kekeluargaan. Kata kunci: Puja Mandala, Toleransi di Bali, Toleransi di Indonesia, Wisata Spiritual. Abstract Indonesian nation famous for religious diversity. This is the uniqueness and diversity of local knowledge society. But religious conflicts never hit Indonesia, which members of the public suffered psychological trauma. The prohibition and destruction of places of worship be a powerful weapon to destroy one another. The motto of Bhineka Tunggal Ika (Unity in Diversity) stay memorable because the law powerless to stem the anarchy of a few. We should give appreciation to the people of Bali is predominantly Hindu actually respect the faith of others. Region Puja Mandala form of tolerance in Bali because it has five places of worship side by side, namely: Masjid Agung Ibnu Batutah, Gereja Katolik Maria Bunda Segala Bangsa, Gereja Kristen Protestan di Bali jemaat Bukit Doa, Vihara Buddha Guna, dan Pura Jagatnatha. Therefore, the existence of Puja Mandala can be an example of tolerance in Indonesia in order to avoid the religious conflicts. Society must learn to respect individual differences, so that the future generations to live in peace full sense of kinship. Keywords: Puja Mandala, Tolerance in Bali, Tolerance in Indonesia, Spiritual Tourism.
1
1.
Pendahuluan
Wilayah Indonesia terkenal dengan keberagaman suku, agama, ras, budaya, dan seni. Keberagaman ini menjadi kearifan lokal masyarakat Indonesia yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Namun wilayah Indonesia pernah dilanda oleh konflik yang bernuansa keberagaman tersebut. Kendati konflik yang terjadi selama ini tidak berlangsung lama, namun anggota masyarakat kehilangan harta benda dan bahkan korban jiwa. Akibatnya, sebagian anggota masyarakat mengalami trauma psikologis sampai saat ini. Keberagaman yang menjadi keunikan dan kearifan lokal bangsa Indonesia telah dijadikan oleh beberapa individu atau kelompok sebagai sumber konflik selama ini. Semangat keberagaman sebenarnya telah menjadi spirit anak bangsa sebelum Indonesia merdeka. Kemerdekaan yang dulunya dicapai oleh semua unsur suku, agama, ras, dan golongan justru dicampakkan tiada berguna demi memuaskan kepentingan segelintir orang. Pelarangan maupun pengrusakan tempat ibadah menjadi senjata ampuh untuk membinasakan sesamanya secara perlahan-lahan, sehingga makna toleransi yang tersirat dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika tinggal kenangan. Pada dasarnya semboyan Bhineka Tunggal Ika telah memberikan tempat yang strategis dalam bertoleransi di negeri ini. Semangat toleransi ini terkoyak oleh kebengisan moral sekelompok orang yang menggantikan Pancasila serta berkembangannya paham radikalisme atau doktrin terorisme yang mengglobal saat ini. Hukum seolah tak berdaya membendung tindakan anarkis segelintir orang yang merasa berkuasa. Intimidasi terhadap anggota masyarakat minnoritas terang-terangan disuarakan di depan umum tanpa menghargai lagi keberagaman tersebut. Aspek agama sebagai lumbung-lumbung nilai spiritual semakin digunakan oleh segelintir elit politik untuk membinasakan sesamanya demi meraih kekuasaan yang tidak bermoral. Seluruh lini kehidupan masyarakat sedang terinveksi virus intoleransi yang seakan tiada hentinya sampai hari ini. Perbedaan agama pada suatu daerah seringkali dijadikan sumber konflik selama ini. Prinsip mayoritas dijadikan dasar untuk menghegemoni yang minoritas. Toleransi antar umat beragama pun terabaikan karena konflik agama dianggap sangat ampuh untuk meraih segala kekuasaan. Oleh sebab itu, kita sebagai warga negara yang masih menjunjung tinggi nilai Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, serta Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki keyakinan bahwa segala konflik bernuansa agama pasti ada solusinya. Kita memberi apresiasi kepada masyarakat Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu justru menjunjung tinggi makna toleransi antar umat beragama selama ini. Miniatur keberagaman sesungguhnya terdapat di Pulau Bali yang terkenal dengan pariwisatanya dengan bernafaskan kebudayaan Hindu. Semua agama yang diakui oleh pemerintah, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu hidup rukun di Pulau Seribu Pura ini. Wujud toleransi yang dibina oleh masyarakat Bali selama ini salah satunya melalui keberadaan kawasan Puja Mandala di Nusa Dua, Kabupaten Badung. Bagaimana masyarakat di kawasan Puja Mandala pada khususnya dan masyarakat Bali pada umumnya mewujudkan toleransi umat beragama selama ini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka diuraikan beberapa konsep dan landasan berpikir logis tentang makna toleransi di Pulau Bali.
2
2.
Pembahasan
Segala konflik yang terjadi di wilayah Indonesia tentu tidak sesuai dengan spirit nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bangsa Indonesia merdeka dari penjajah serta mengalami kemajuan sampai saat ini karena jerih lelah semua elemen bangsa. Kunci kesuksesan bangsa Indonesia pada masa lalu menuju ke masa depan yang lebih baik adalah menjunjung tinggi toleransi pada setiap lini kehidupan bermasyarakat. Keberadaan kawasan Puja Mandala merupakan bukti pentingnya toleransi antar umat beragama perlu ditingkatkan di seluruh wilayah Indonesia. Oleh sebab itu, ada beberapa konsep yang merupakan kunci kesuksesan terwujudnya toleransi umat beragama di Bali selama ini sebagaimana diuraikan di bawah ini. a.
Lahirnya Toleransi di Puja Mandala
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 2005), kata puja berarti upacara penghormatan kepada dewa-dewa, sedangkan mandala berarti lingkaran, lingkungan (daerah). Puja Mandala adalah tempat penghormatan kepada Tuhan sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing. Dalam kawasan ini terdapat 5 (lima) tempat ibadah, yaitu: Masjid Agung Ibnu Batutah (Islam), Gereja Katolik Maria Bunda Segala Bangsa (Katolik), Gereja Kristen Protestan di Bali jemaat Bukit Doa (Kristen), Vihara Buddha Guna (Budha), dan Pura Jagatnatha (Hindu). Kelima tempat ibadah ini berada dalam satu halaman yang saling berdampingan. Sementara agama Kong hu Chu pada saat itu masih belum disahkan oleh pemerintah menjadi agama di Indonesia. Sekitar tahun 1990an, anggota masyarakat beragama Islam yang tinggal di Nusa Dua mengalami kesulitan melaksanakan ibadah agamanya karena tidak ada masjid di daerah ini. Sementara kebijakan pendirian tempat ibadah harus mendapat persetujuan dari masyarakat di sekitarnya. Dalam mengatasi persoalan itu, maka Joop Ave selaku Menteri Pariwisata dan Kebudayaan berkoordinasi dengan pemerintah daerah Bali serta tokohtokoh masyarakat untuk membuat satu kawasan tempat ibadah yang saling berdampingan. Saran ini pun disampaikan kepada kepada Presiden Soeharto, sehingga mendapatkan ijin untuk membangun tempat ibadah tersebut. Kawasan Puja Mandala mulai dibangun tahun 1994 atas bantuan PT. Bali Tourism Development Center (BTDC) yang memberikan tanah 2 hektar untuk tempat ibadah umat beragama di Nusa Dua. Lokasinya terletak di Desa Bualu sekitar 12 km dari bandara internasional Ngurah Rai Bali. Pendirian bangunan tempat ibadah diserahkan kepada umat beragama masing-masing dengan luas tanah dan ketinggian bangunan sama rata. Tempat ibadah yang pertama sekali selesai pembangunannya, yaitu: Masjid Agung Ibnu Batutah, Gereja Maria Bunda Segala Bangsa, dan Gereja Kristen Protestan di Bali jemaat Bukit Doa, sehingga pada tahun 1997 diresmikan oleh menteri agama Tarmidzi Taher. Sementara Wihara Buddha Guna selesai sekitar tahun 2003 dan Pura Jagatnatha tahun 2005 (Nadifa, 2016). Bentuk kelima tempat ibadah ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
3
Gambar: Kawasan Puja Mandala (Dokumen: Dermawan Waruwu, 2016) Sejarah keberadaan kawasan Puja Mandala tentunya tidak terlepas dari sikap toleransi masyarakat Hindu di Bali selama ini. Hal ini sejalan dengan nasihat yang disampaikan oleh Suhardana bahwa umat Hindu hendaknya dapat mengembangkan sifatsifat manis, lemah lembut, dan ramah tamah. Dengan berbicara manis kita akan memperoleh berkah dan simpati dari orang lain. Jadikanlah semua manusia itu saudara (Suhardana, 2011). Kehadiran Puja Mandala dapat dikatakan sebagai miniatur keberagaman Indonesia dan satu-satunya kawasan di dunia yang memiliki lima tempat ibadah yang saling berdampingan. Dengan demikian, sikap toleransi sangat penting untuk terus diwujudkan dalam segala lini kehidupan bermasyarakat. Pemerintah dan masyarakat merupakan kunci utama terwujudnya toleransi antar umat beragama di Indonesia. Peran pemerintah sangat strategis dalam membuat kebijakan dalam keagamaan. Kebijakan pemerintah tentang pembatasan pembangunan tempat ibadah hendaknya dievaluasi kembali agar tidak menjadi alat bagi individu atau kelompok tertentu dalam memecah belah bangsa Indonesia tercinta ini (Waruwu dan Gaurifa, 2015). Apabila pemerintah salah dalam kebijakannya maka masyarakat pasti mengalami konflik yang berkepanjangan seperti saat ini. Peraturan tentang penderian tempat ibadah dengan segala persyaratannya menjadi alat bagi sekelompok masyarakat mayoritas pada suatu daerah dalam menindas umat minoritas. Fakta ini bukan rahasia lagi dalam kehidupan keagamaan dan keberagaman di Indonesia selama ini. Oleh sebab itu, marilah kita belajar dari pemerintah daerah dan masyarakat Bali yang telah memberi contoh sikap hidup yang menghargai agama orang lain. b. Puja Mandala Wujud Toleransi di Bali Pulau Bali yang terkenal dengan keunikan budaya, pariwisata, dan terlebih lagi masyarakatnya yang mayoritas beragama Hindu menjadi ciri khas daerah ini. Keberadaan kawasan Puja Mandala di Nusa Dua sebagai bukti nyata bahwa masyarakat Hindu di Bali pada umumnya menjamin kebebasan beragama yang dilekatkan dengan nilai-nilai toleransi yang tepat. Nilai toleransi yang tepat artinya setiap orang yang berada di Bali tetap menghormati agama dan budaya masyarakat Hindu yang telah menjadi kearifan lokal masyarakatnya. Kerukunan yang terjalin di kawasan Puja Mandala selama ini merupakan sikap toleransi masyarakat Hindu terhadap agama lain yang berada di Pulau Dewata ini. Menurut Ali (Roswidyaningsih, 2014) toleransi berasal dari bahasa latin
4
“tolerare” yang artinya menahan diri, bersikap sabar, membiarkan individu lain berpendapat, berlapang dada dan tenggang rasa terhadap individu yang berlainan pandangan, keyakinan, dan juga agama. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 2005) menjelaskan bahwa toleransi merupakan sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang lain atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri. Toleransi adalah sikap menghargai dan menghormati perbedaan antar sesama manusia dan perbedaan itu menjadi sebuah sumber kekuatan (www.jatikom.com). Dengan demikian, toleransi adalah sikap membiarkan individu atau kelompok masyarakat dalam menjalankan keinginan serta agamanya tanpa mengganggu kepentingan orang lain di sekitarnya. Sikap toleransi antar umat beragama yang terjalin di kawasan Puja Mandala menunjukkan bahwa kebebasan dalam menjalankan keyakinan agamanya masing-masing merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap umat manusia di dunia ini. Dengan memberikan kebebasan bagi orang lain dalam menjalankan agamanya merupakan amanat yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan semangat NKRI. Keharmonisan yang terjalin di kawasan Puja Mandala sangat dirasakan oleh semua anggota masyarakat yang ada di daerah ini. Berdasarkan pernyataan anggota masyarakat yang beribadah maupun yang tinggal di sekitar kawasan ini mengungkapkan bahwa selama ini tidak konflik yang terjadi antar umat beragama. Kawasan Puja Mandala justru menjadi alat untuk mempererat hubungan sosial dan toleransi antar umat beragama di daerah ini. Setiap umat diajak untuk bekerjasama, baik dalam menjaga keamanan maupun dalam kegiatan keagamaan. Hal ini ditegaskan oleh Liana (2014) bahwa jika ada kegiatan keagamaan dalam waktu bersamaan, umat beragama saling berinteraksi satu sama lain untuk mempererat kerukunan tersebut. c.
Hubungan Tri Hita Karana dengan Toleransi
Masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu memiliki filosofis hidup yaitu Tri Hita Karana. Dalam filosofis ini menekankan tentang sikap damai dengan Tuhan, damai dengan sesama, dan damai dengan alam di sekitarnya. Nilai-nilai filosofis inilah yang tetap dipegang oleh masyarakatnya sampai saat ini. Anggota masyarakatnya tetap menjaga kedamaian antar sesama manusia sebagai wujud umat yang percaya kepada Tuhan. Nilai-nilai filosofis ini pun didukung dengan keunikan seni dan budaya yang berkembang di masyarakat selama ini. Dengan demikian, Tri Hita Karana ini salah satu kearifan lokal masyarakat Hindu di Bali. Konsep Tri Hita Karana yang menjadi filosofis serta kearifan lokal masyarakat Hindu di Bali diimplementasikan dalam kawasan Puja Mandala tersebut. Konsep damai dengan sesama manusia diwujudkan melalui penerimaan serta persetujuan masyarakat untuk membangun tempat ibadah agama lain di daerah ini. Kendati masyarakatnya mayoritas beragama Hindu, tetapi prinsip berdamai dan menerima sesamanya manusia harus dilaksanakan. Hal ini sejalan dengan ungkapan Suhardana (2011) bahwa seseorang yang telah mendalami ajaran agama Hindu seyogianya tidak mempunyai rasa benci kepada orang lain, tidak pernah berkata kasar kepada siapapun …hanya dengan berlaku seperti itu, seseorang akan dapat menjadi manusia panutan dan dijadikan suri tauladan oleh masyarakat.
5
Dalam konteks ini, prinsip mayoritas di daerah Bali justru menjadi kekuatan untuk mengasihi semua orang yang ada di sekitarnya. Prinsip mayoritas ini sangat berbeda maknanya dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Keberadaan agama, suku, ras, atau golongan yang mayoritas pada suatu daerah justru memungkinkan terjadinya konflik atau melakukan hegemoni kepada kelompok minoritas (Barker, 2005). Prinsip mayoritas di daerah Bali bukanlah sesuatu yang dijadikan lebih berkuasa atau lebih hebat dari yang lain, tetapi justru masyarakatnya melindungi kelompok minoritas dengan menginjinkan pendirian tempat ibadah di kawasan Puja Mandala tersebut. Selain berdamai dengan manusia, kawasan Puja Mandala juga menampilkan arsitektur seni dan budaya Bali pada kelima tempat ibadah tersebut. Setiap tempat ibadah terlihat adanya perpaduan antara nilai seni dan budaya Bali dengan nilai-nilai agamanya masing-masing. Perpaduan inilah yang menjadi ciri khas kawasan Puja Mandala sampai hari ini dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Salah satu kearifan lokal masyarakat Bali diwujudkan melalui seni dan budayanya. Kawasan Puja Mandala sebagai simbol dari berbagai keberagaman yang ada di Indonesia namun tetap hidup harmonis antar umat lainnya. Kayakinan ini tercermin dengan memberikan kebebasan bagi agama lain untuk beribadah kepada Tuhan menurut agamanya masing-masing. Hal ini sejalan dengan pendapat Takwin (2009) bahwa Hindu selain sebagai agama, merupakan satu pola pemikiran dan juga menjadi dasar aturan dalam pembentukan masyarakat. Oleh sebab itu, keharmonisan antara penganut umat beragama yang berbeda-beda telah menjadi spirit bagi setiap umat manusia dalam menjaga kebersamaan sebagaimana masyarakat Bali melakukannya selama ini. Interaksi sosial yang terjalin dengan semua elemen masyarakat di kawasan Puja Mandala menjadi sumber inspirasi bagi kehidupan sosial dan peradaban bagi generasi berikutnya. d. Kawasan Puja Mandala Satu Keluarga Kawasan Puja Mandala ibarat satu keluarga yang berbeda-beda karakter dan kepribadian, tetapi berada dalam satu rumah atau kawasan. Kendati anggota keluarga memiliki perbedaan sikap dan karakter, namun setiap anggota keluarga sangat tidak mungkin untuk dipisahkan satu dengan lainnya. Sesungguhnya dunia ini adalah satu keluarga besar (Suhardana, 2011). Dalam keluarga tentu memiliki caranya masingmasing dalam bergerak, berekspresi, dan berkomunikasi, namun mereka pasti memiliki aturan yang disepakati bersama. Dengan demikian, keberadaan kawasan Puja Mandala ibarat satu keluarga yang saling menghormati dan menyayangi. Keberadaan kawasan Puja Mandala telah memberikan kontribusi positif tentang pentingnya toleransi antar umat beragama di Pulau Bali pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Setiap anggota masyarakat yang berkunjung ke daerah ini memiliki wawasan dan pengetahuan baru tentang pentingnya makna dari toleransi tersebut. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis pada bulan Nopember 2016 kepada beberapa tokoh agama, pengunjung, dan masyarakat di kawasan ini menegaskan bahwa keberadaan Puja Mandala adalah contoh nyata toleransi yang ada di Pulau Bali dan satu-satunya di dunia. Hal ini dikatakan oleh Jro Mangku Bajra selaku tokoh agama Hindu di daerah ini bahwa Puja Mandala terbentuk atas dasar rasa toleransi antar umat beragama dan selama ini tidak ada kendala-kendala atau konflik yang dihadapi oleh umat. Hal senada juga ditegaskan oleh Bapak Anton salah seorang pengurus agama Budha mengatakan bahwa toleransi di sini sangat tinggi dan masing-masing umat tetap menjaga suasana yang tenang dan damai.
6
Selanjutnya, pengurus Masjid mengungkapkan pengalamannya selama beribadah di kawasan ini ketika bersiap-siap untuk shalat Dzuhur sekitar jam 12.05. Pada saat itu bukan bedug yang dibunyikan melainkan lonceng gereja yang berdentang hingga puluhan kali. Setelah selesai bunyi lonceng gereja barulah petugas muadzin mengaktifkan microphone untuk mengumandangkan adzan. Sikap ini merupakan kesepakatan antara tokoh-tokoh agama yang ada di daerah ini. Hal ini diakui oleh Suster Margaret yang menyatakan bahwa pada saat umat Islam melaksanakan sholat Jumat bukan bedug yang dibunyikan melainkan lonceng gereja karena pada jam yang itu umat Katolik mengadakan doa angelus (www.kompasiana.com). Perayaan hari Raya Nyepi pernah bertepatan pada hari Jum’at. Padahal pada hari raya Nyepi semua orang yang berada di Provinsi Bali tidak diperbolehkan melakukan aktivitas di luar rumah. Masyarakat Hindu Bali melakukan empat catur brata penyepian, yaitu: tidak menyalakan api, tidak bekerja, tidak berpergian, dan tidak bersenang-senang. Semua umat Hindu berdiam diri dan berdoa seraya menginstropeksi diri selama penyepian itu berlangsung. Semua anggota masyarakat yang ada di Pulau Bali dilarang keluar rumah selama 24 jam dan pada malam harinya tidak diperbolehkan menyalakan lampu atau televisi. Untuk menjaga kesucian hari raya nyepi tersebut maka ada petugas keamanan adat (pecalang) yang patroli dengan menggunakan pakaian adat lengkap. Dalam situasi ini umat Islam sebenarnya tidak boleh melakukan aktivitas di luar rumah termasuk untuk beribadah di masjid. Namun masyarakat Bali sangat tinggi sikap toleransinya sehingga tetap mengijinkan umat Islam melaksanakan ibadahnya (sholat Jum’at) di masjid dengan diantar oleh pecalang tersebut. Hanya saja tetap menjaga ketertiban dengan tidak menggunakan pengeras suara demi menghormati umat Hindu yang sedang melaksanakan hari Raya Nyepi. Toleransi yang sudah diterapkan oleh masyarakat di kawasan Puja Mandala pada khususnya dan masyarakat Bali pada umumnya perlu diterapkan oleh masyarakat di seluruh wilayah di Indonesia. Menurut Bapak Kristian selaku anggota Gereja Kristen Protestan di Bali jemaat Bukit Doa menjelaskan bahwa pada hari raya Paskah yang diperingati oleh agama Katolik maupun Kristen, biasanya kawasan ini dijaga oleh petugas keamanan desa adat. Begitu pula pengurus masjid ikut membantu mengatur kelancaran lalulintas di jalan raya. Sebaliknya, ketika saudara-saudara kita yang beragama Islam, Hindu, dan Budha melaksanakan hari raya, maka agama Kristen dan Katolik bergantian membantu. Hal ini dilakukan sebagai komitmen dan wujud toleransi yang sudah terjalin bersama umat selama ini. Setiap pengurus rumah ibadah di daerah selalu kompak serta mengadakan pertemuan secara berkala untuk mengintensifkan komunikasi antar umat beragama sebagai langkah awal menghindari konflik. Sekecil apapun konflik yang terjadi di tengahtengah umat, maka tokoh agama atau pengurus selalu menyelesaikan dengan musyawarah serta semangat kekeluargaan. Semangat kebersamaan ini tetap terjalin agar semboyan Bhinneka Tunggal Ika dapat direalisasikan dalam kehidupan umat setiap hari. Selain itu, pemerintah berperan aktif dalam menjaga kerukunan di daerah ini melalui pelaksanaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Badung maupun Provinsi Bali. Pada setiap pertemuan FKUB selalu menggunakan tempat ibadah yang ada di daerah ini secara bergiliran. Semua perkembangan serta dinamika keagamaan dikomunikasikan dengan baik, sehingga keharmonisan dan kerukunan antar pengurus tempat ibadah maupun umat beragama semakin erat. Keberadaan kawasan Puja Mandala menjadi ekspresi nyata bahwa tolerasi sangat penting untuk dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia. Meski gema kumandang adzan
7
di Masjid Agung Ibnu Batutah kadang bersamaan dengan bunyi lonceng Gereja Katolik Maria Bunda Segala Bangsa, justru masyarakat menganggap bahwa perbedaan itu sebuah keunikan atau kearifan lokal masyarakat di kawasan ini. Suara beduk dan lonceng gereja yang saling bersahutan sesungguhnya memberikan petunjuk bahwa kawasan Puja Mandala telah terjalin toleransi yang sangat baik selama ini. Kebersamaan antar umat telah terjalin mesra, sehingga tetap menghasilkan nada-nada yang indah dari suara adzan maupun lonceng gereja tersebut. Setiap perbedaan menjadikan masyarakat semakin dewasa dalam bersikap terhadap orang lain di sekitarnya. e.
Puja Mandala Kawasan Wisata Spiritual
Kawasan Puja Mandala selama ini telah menjadi miniatur toleransi umat beragama di Indonesia dan dunia. Beberapa tokoh agama dan pemerintah dari berbagai daerah pernah mengunjungi daerah ini. Pada tahun 2010 delegasi FKUB Provinsi Kalimantan Selatan melakukan studi banding yang sekaligus mengadaan pertemuan dengan FKUB Provinsi Bali. Pada tahun 2015 peserta Parliamentary Event on Interfaith Dialog dari 17 negara mengeksplorasi kawasan Puja Mandala untuk dijadikan model toleransi bagi negaranya masing-masing. Mereka memberikan apresiasi yang tinggi terhadap sikap toleransi masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu yang menghargai agama-agama lain di daerah ini (www.pusakadunia.com). Keberadaan Puja Mandala bukan saja sebagai wujud toleransi umat beragama di Bali, namun kawasan ini telah menjadi daya tarik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara selama ini. Wisatawan belajar tentang kearifan lokal masyarakat Bali yang senantiasa menghargai dan menghormati agama orang lain. Hal ini dibenarkan oleh Ibu Tuti yang berasal dari Jawa Timur yang sedang mengunjungi kawasan Puja Mandala bersama dengan keluarganya merasa terkesan dengan keberadaan tempat ibadah yang saling berdampingan di daerah ini. Mereka mengatakan bahwa tempat seperti kawasan Puja Mandala tidak ada di daerah lain, sehingga model kerukunan ini harus dikembangkan di seluruh wilayah di Indonesia. Dengan memiliki tempat ibadah yang saling berdampingan pada suatu daerah dapat mengurangi konflik-konflik antar umat beragama yang pernah terjadi selama ini. Kawasan Puja Mandala merupakan kawasan strategis bagi wisatawan karena posisinya yang berada pinggir jalan. Tempat ini salah satu jalur menuju kawasan wisata Nusa Dua atau kawasan wisata Uluwatu, Garuda Wisnu Kencana, Dreamland, dan sebagainya. Sebagian besar wisatawan yang melalui kawasan ini biasanya berhenti untuk beribadah dan sekaligus menikmati keunikan Puja Mandala tersebut. Hampir semua wisatawan kagum melihat kerukunan yang terjalin di kawasan Puja Mandala selama ini. Oleh sebab itu, wisatawan mengharapkan agar tempat ibadah dan kawasan seperti ini dapat dibangun pada setiap daerah di Indonesia agar tetap tercipta toleransi antar semua anggota masyarakatnya. Kawasan Puja Mandala bukan saja sebagai tempat ibadah, tetapi menjadi kawasan wisata spiritual bagi setiap orang yang mengunjunginya. f. Pentingnya Toleransi di Indonesia Setiap agama pasti memiliki ajaran moral yang menjadi pegangan bagi perilaku penganutnya. Tidak ada satupun agama di dunia ini yang mengharapkan pemeluknya berbuat kejahatan serta dibenarkan membinasakan sesamanya. Pada dasarnya, semua manusia merindukan kedamaian pada tempatnya berada. Begitu pula agama semuanya
8
mengajarkan tentang kebenaran, keadilan, dan sikap saling mengasihi satu sama lain (Sairini, 2006). Hal inilah yang diwujudkan oleh masyarakat Bali yang telah lama menghargai keberagaman dan toleransi antar umat beragama selama ini. Bukti penghargaan terhadap keberagaman di Pulau Bali dapat dilihat melalui kebaradaan kawasan Puja Mandala tersebut. Menurut Munawar (Roswidyaningsih, 2014) dengan melakukan toleransi di lingkungan masyarakat maka bangsa Indonesia telah memelihara nilai-nilai warisan leluhur bangsanya sendiri. Toleransi yang dipahami oleh masyarakat Bali serta masyarakat pendatang selama ini bermuara pada sikap menghargai nilai, perilaku, adat istiadat, budaya, dan simbol-simbol dari setiap agama yang ada di Indonesia. Selama masyarakat menghargai berbagai perbedaan yang ada di sekitarnya, maka keharmonisan dan kedamaian dapat terwujud dengan baik. Sistem kebersamaan inilah yang melahirkan sebuah kebudayaan baru karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tekanan ekonomi global saat ini, sebagian anggota masyarakat cepat mengalami perubahan sikap dalam menyingkapi dinamika yang terjadi di sekitarnya. Masyarakat cenderung bersifat individualistik serta mudah terlibat dalam berbagai konflik seperti konflik agama. Dengan adanya daya tahan sosial yang tangguh melalui sikap toleransi, maka masyarakat mampu mengatasi segala setiap perubahan sosial, ekonomi, maupun suasana politik tersebut (Koswara, 2009). Dalam konteks ini, nilai-nilai toleransi sangat penting untuk dikembangkan di seluruh wilayah Indonesia agar masyarakat mampu menghadapi berbagai dinamika sosial dan pluralisme di sekitarnya (Abdullah, 2010). Pluralisme merupakan gagasan tentang kemajemukan serta kesadaran timbul sebagai anggota masyarakat yang hidup dalam kedamaian dan kesejahteraan (Tim Penyusun Tujuh Karakter, 2016). Manusia yang hidup di dunia ini tidak mungkin terhindar dari masalah atau konflik, namun setiap masalah pasti ada solusi penyelesaiannya. Menurut Kahane (2004) masalah yang kompleks hanya dapat dipecahkan secara damai, jika orang-orang yang menjadi bagian dari masalah tersebut bekerja sama secara kreatif untuk memahami situasi mereka dan memperbaikinya. Toleransi dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan cara saling menghargai perbedaan pendapat, perbedaan sikap, serta perbedaanperbedaan kecil lainnya. Dengan menerapkan prinsip toleransi maka mampu menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam seluruh masyarakat Indonesia. Dalam mewujudkan sikap toleransi maka dapat dilakukan dengan cara sederhana yaitu menghargai setiap pendapat orang lain serta menerima perbedaan yang ada di sekitar kita. Segala perbedaan dapat menjadi keindahan yang tiada taranya bagi setiap orang yang menghargainya. Dengan demikian, ungkapan “Unity in Diversity” yang terdengar selama ini menunjukkan bahwa segala bentuk perbedaan dapat membuat Indonesia bersatu. Jangan kita membiarkan suku, agama, ras, dan golongan menjadi alat bagi elit politik atau kepentingan kelompok tertentu untuk memecah belah bangsa ini. Dengan demikian, kawasan Puja Mandala telah menjadi salah satu ikon toleransi umat beragama di Indonesia yang tiada ternilai harganya selama ini. Dalam kawasan ini telah terjadi perpaduan antara nilai agama dengan nilai seni, budaya, dan adat istiadat masyarakat Hindu di Bali. Keberadaan bangunan tempat ibadah yang saling berdampingan serta umat yang melaksanakan ibadah berjalan harmonis di kawasan ini. Interaksi sosial antara penganut agama yang berbeda terjalin dengan harmonis bagaikan satu keluarga yang saling membutuhkan satu sama lain.
9
3.
Penutup
Toleransi antar umat beragama sangat didambakan oleh masyarakat Bali (Indonesia) maupun dunia. Sikap toleransi yang tinggi ini dapat membangun peradaban baru bangsa Indonesia di tengah gejolak atau konflik yang terjadi secara global saat ini. Keharmonisan antar umat beragama menjadi modal penting dalam pembangunan nasional. Oleh sebab itu, keharmonisan ini harus dimulai dari lingkup agama dengan pendekatan pada prinsip kekeluargaan, sehingga mampu menginspirasi setiap anggota masyarakat dalam berbagai level kehidupan sosialnya. Keberadaan kawasan Puja Mandala telah mencerminkan sikap toleransi yang dianut oleh masyarakat Bali sesuai dengan nilai Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan semangat NKRI. Keberadaan kelima tempat ibadah yang saling berdampingan di Puja Mandala tidak pernah menjadi sumber konflik, melainkan anggota masyarakat semakin menghargai satu sama lain. Keunikan kawasan ini membuat wisatawan domestik maupun mancanegara merasa nyaman serta memperoleh peradaban baru tentang pentingnya toleransi antar umat beragama di Indonesia dan dunia. Kawasan Puja Mandala dapat menjadi model bagi setiap daerah maupun dunia dalam membangun tempat ibadah yang saling berdampingan. Masyarakat Indonesia harus belajar menghargai setiap perbedaan yang ada di sekitarnya sebagaimana masyarakat Bali melakukannya selama ini. Konflik suku, agama, ras, dan golongan masih bisa berpotensi terjadi sampai saat ini. Oleh sebab itu, keterlibatan setiap komponen bangsa secara aktif dalam meningkatkan semangat toleransi pasti mampu meminimalkan konflik-konflik tersebut. Dengan demikian, keberadaan kawasan Puja Mandala di Nusa Dua telah menjadi inspirasi terciptanya kerukunan dan sikap toleransi yang tinggi bagi seluruh masyarakat Indonesia demi kedamaian generasi yang akan datang. Profil Penulis Dermawan Waruwu, S.Th.,M.Si., lahir 8 Desember 1979 di Umbu, Kabupaten Nias, Sumatera Utara dan tinggal di Jl. Gunung Catur, Perumahan Mekar Sari II No. 6 Denpasar Barat, Provinsi Bali, Hp. 081338665028. Penulis adalah dosen di Universitas Dhyana Pura Bali yang mengajar beberapa mata kuliah, seperti: Filsafat Ilmu dan Logika, Etika, Sosiologi, Antropologi, Kontekstualisasi Lintas Budaya, Teologi Agama-agama, dll. Selain aktif di kampus, penulis memberikan ceramah/seminar dalam rangka pengabdian kepada masyarakat di Indonesia serta melakukan penelitian. Penulis menyelesaikan S1 di John Calvin Theological Seminary tahun 2008 beasiswa dari Belanda, S2 Kajian Budaya di Universitas Udayana tahun 2012, dan sejak tahun 2014 sampai sekarang sedang menyelesaikan S3 Kajian Budaya di Universitas Udayana beasiswa Dikti (BPPDN). Ada beberapa karya tulis yang sudah terbit, yaitu: (1) Gereja Pecah: Perspektif Kajian Budaya; (2) Kepemimpinan dan Transformasi Ekonomi: Kajian Desa Blimbingsari; (3) Wisata Spiritual: Daya Tarik Wisata Palasari Bali. Selain itu, menulis beberapa artikel di Tourism Hospitality International Conference yang berjudul: “Development of Tourism Attraction in Bawomataluo Village South Nias, North Sumatra”; artikel di Vidya Samhita jurnal IHDN yang berjudul: “Kontroversi Pelaksanaan Baptisan Dalam Agama Kristen di Bali”; serta beberapa artikel di koran Bali Post dan Pos Bali.
10
Daftar Pustaka Abdullah, Masykuri. 2010. Pluralisme Agama dan Kerukunan Dalam Keragaman Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Barker, Chris. 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Bentang. http://pusakadunia.com/blog/puja-mandala-bali-simbol-bhineka-tunggal-ika/ 26 Pebruari 2017).
(diakses,
http://www.jatikom.com/2016/09/pengertian-dan-sikap-toleransi-dalam.html 30 Nopember 2016).
(diakses,
http://www.kompasiana.com/gapey-sandy/sebelum-adzan-lonceng-gereja-berdentangdi-puja-mandala-bali_552a9087f17e61941fd623e4 (diakses, 19 Pebruari 2017). Kahane, Adam. 2004. Menuntaskan Masalah Pelik Tanpa Konfli. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer. Koswara, Vemmie D. 2009. Sains dan Teknologi 2: Berbagai Ide untuk Menjawab Tantangan & Kebutuhan oleh Ristek. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Liana, Lutfia Rachma. 2014. http://fliphtml5.com/rfhh/toey/basic (diakses, 23 Pebruari 2017). Nadifa, Shinta. 2016. http://indahnyaberbeda.blogspot.co.id/2016/07/puja-mandalasebagai-perwujudan (diakses, 4 Pebruari 2017). Poerwadarminta, W.J.S. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Roswidyaningsih, L. 2014. Pengaruh Tingkat Toleransi Beragama Terhadap Interaksi Sosial di Desa Sampetan Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali. Salatiga: Unpublished undergraduate of SekolahTinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Sairini, Weineta, dkk. 2006. Kerukukan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Berbangsa. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. Suhardana, K.M. 2011. Intropeksi Diri: Bahan Kajian Koreksi Diri Umat Hindu. Surabaya: Paramita. Takwin, Bagus. 2009. Filsafat Timur: Sebuah Pengantar ke Pemikiran-pemikiran Timur. Yogyakarta: Jalasutra. Tim Penyusun Tujuh Karakter. 2016. Tujuh Karakter Universitas Dhyana Pura. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. Waruwu, Dermawan dan Suardin Gaurifa. 2015. Gereja Pecah: Perspektif Kajian Budaya. Yogyakarta: Sunrise.
11