ARSITEKTUR POSMODERN DI KAWASAN PARIWISATA KUTA, BALI *) Oleh: Sulistyawati **) Abstrak : Pembangunan Bali yang menitikberatkan pada pembangunan pariwisata budaya berkelanjutan, harus mampu menunjukkan karakter wajah pariwisata yang menampilkan bentuk-bentuk bangunan berindentitas Bali. Dalam mencapai tujuan itu secara sadar Pemda Bali telah menetapkan Perda No.4/PD/DPRD/1974 tentang bangun-bangunan, yang intinya mengarahkan kepada usaha mempertahankan dan pengembangan inti dan gaya Arsitektur Tradisional Bali. Namun, di sisi lain akibat dari sifat global pariwisata, meyebabkan masyarakat Bali harus berkenalan dengan pengaruh budaya posmodern yang tidak lagi menawarkan ideologi tunggal dengan nilai-nilai homogen. Ada dua kecenderungan besar dari posmodern, yaitu : posmodern dekonstruktif dan posmodern rekonstruktif. Demikian pula arsitektur posmodern tidak lagi menggunakan bahasa tunggal dari subjektif penciptanya, tetapi aneka ragam bahasa arsitektur masa lalu. Masyarakat posmodern dikenal juga sebagai masyarakat konsumer, yang ditandai oleh kekuasaan kapitalis semakin kompleks, telah membawa masyarakat ke suatu masa di mana konsumsi (komoditi) menjadi titik sentral kehidupannya. Demikian juga terjadi dengan pariwisata di kawanan Kuta, yang di bidang arsitektur telah menyebabkan terjadi penyimpangan antara kebijaksanaan dimaksud dalam Perda dengan kenyataan di lapangan. Ini tercermin dari banyaknya muncul bentuk arsitektur posmodern dekonstruktif, yang lebih menekankan pada penentangan akan segala bentuk otoritas, pengekangan dan pembatasan (hukum, aturan, agama) demi memperoleh kebebasan ekspresi dan pembebasan hasrat secara total. Karena itu, penulis ingin melihat seberapa jauh bentuk arsitektur posmodern dekonstruktif telah berpengaruh di kawasan pariwisata Kuta. Penelitian dilakukan dengan studi kepustakaan dan pengamatan lapangan. Saling pengaruh-mempengaruhi antarbangsa dan budaya di kawasan pariwisata Kuta, menyebabkan perubahan gaya hidup menuju ke gaya hidup konsumerisme sebagai produk budaya postmodern, yang berorientasi pada gaya hidup “Fun”. Pariwisata budaya yang dikembangkan di Kuta, Bali cenderung telah mengalami pergeseran menuju ke pariwisata komersial. Hal ini, juga berpengaruh pada dunia arsitektur di kawasan ini, ditandai kekuatan kapitalis global yang kompleks, yang mengondisikan masyarakat untuk selalu mengekspresikan diri dengan irama dan siklus perubahan produksi, dalam arsitektur ditandai dengan kecenderungan semakin banyaknya gaya dan idiom estetik posmodern dengan ciri-ciri : Pastiche, Parody, Kitsch, Camp, dan Skizofrenia. Semaraknya arsitektur posmodern di kawasan pariwisata Kuta, telah membuat citra arsitektur Bali kabur, galau, dan simpang siur. Ini menunjukkan bahwa Perda yang ada dan peran pengawasan dari Dinas Terkait sangat ironis dan gagal. Imbasnya, adalah tampak hasil profesi arsitek di Bali amat rapuh terhadap goncangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengaruh budaya posmodern. Bila saja disadari bahwa karya arsitektur dapat menjadi simbol dan identitas suatu bangsa; serta manusia berbudaya membutuhkan suatu bentuk yang menunjukkan citra dirinya, maka sudah seharusnya arsitektur sebagai suatu potensi budaya adalah sangat berharga untuk ditampilkan. Dalam hal ini masyarakat Bali tidak harus alergi terhadap budaya posmo, tetapi harus bisa memanfaatkannya untuk kepentingan eksistensi budaya Bali itu sendiri di mata internasional. Karena itu Perda sebenarnya sudah mentoleransi posmodern dalam arti yang rekonstruktif, untuk identitas, jatidiri, citra, dan langgam Bali.
_________________________________________________________ *) Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional, Hari Ulang Tahun & Badan Kekeluargaan Fakultas Teknik UNUD , Bali yang Ke-40. **) Penulis adalah guru besar Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik, dan dosen Program Pascasarjana dan Doktor Kajian Budaya Fakultas Sastra Universitas Udayana, serta supervisor Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia
1
PENDAHULUAN Arsitektur dapat berperan sebagai pembawa pesan yang dapat menginformasikan peradaban masa lampau, yang dapat berperanan dalam melandasi pengembangan kebudayaan nasional dan kepribadian bangsa. Dari perwujudan arsitektur, dapat ditelusuri citra, jatidiri, identitas budaya suatu bangsa, baik dalam keadaan masa lalu (atita), masa kini (nagata), dan kecenderungannya di masa mendatang (wartamana). Jadi, dalam pengembangan kebudayaan nasional dan kepribadaian bangsa, jati diri arsitektur, bukanlah merupakan objek mati atau statis, melainkan lebih berupa proses dinamis yang selalu bergerak. Menggali dan mengungkap jati diri arsitektur Bali khususnya dan Indonesia umumnya, adalah serupa dengan menjelajahi perjalanan budaya dan peradaban masyarakat sepanjang sejarahnya. Karena itu, dalam pengembangan ke depan, budaya arsitektur ini harus dapat dihayati dan diarahkan menuju kebudayaan nasional yang berkepribadian bangsa. Latar Belakang Berkaitan dengan pembangunan Bali yang menitikberatkan pembangunan pariwisata budaya, Geriya (1996: 117-119) menawarkan model adaptasi konsep Pariwisata Budaya dengan general issue Pembangunan Berkelanjutan sebagai integrasi yang bersifat holistik dengan komponen-komponen sebagai berikut: 1) kebudayaan sebagai pemberi identitas; 2) pola hubungan interaktif antara kebudayaan, pariwisata, dan lingkungan sebagai landasan; 3) pariwisata untuk Bali sebagai motivasi dan aspirasi; 4) pembangunan yang berwawasan budaya sebagai konsepsi payung; 5) pariwisata berkualitas dan kesejahteraan masyarakat sebagai sasaran. Berdasarkan mode di atas maka menurut penulis arsitektur sebagai wujud budaya fisik yang paling cepat berubah, harus mampu memberi nuansa khusus bagi karakter perwajahan pariwisata Bali melalui penampilan bentuk-bentuk bangunan yang beridentitas Bali. Pemerintah Daerah Propinsi Bali sebenarnya sejak semula telah menyadari pentingnya arsitektur beridentitas Bali, yang diwujudkan dalam bentuk penyusunan dan penetapan Perda No. 4/PD/DPRD/1974 tentang bangunbangunan, yang sampai kini masih dipakai sebagai dasar penilaian dan pemberian IMB. Masalah arsitektonis bangunbangunan secara khusus dibahas pada Bagian II dari Perda ini. Pasal 31 ayat 1 membahas masalah pemberian izin dikaitkan dengan usaha mempertahankan dan mengembangkan inti dan gaya arsitektur tradisional Bali yang sekaligus mencerminkan falsafah hidup tradisional masyarakat Bali. Ayat 2, intinya bangunan wajib memperhatikan prinsipprinsip arsitektur tradisional Bali. Pasal 33 menetapkan bahan bangun-bangunan, item a. mengenai bahan bangunbangunan tradisional, item b. mengenai bahan bangun-bangunan nontradisional. Di satu sisi, Bali telah memiliki Perda tentang bangunan sebagai dasar penataan wajah arsitektur di wilayahnya. Kemudian, di sisi lain sebagai akibat dari sifat global pariwisata, kita juga harus bersentuhan dengan pengaruh posmodernisme di bidang arsitektur, yang intinya lebih menunjuk pada gaya, corak, bentuk bangunan yang mencoba melepaskan diri dari kaidah-kaidah arsitektur modern (gaya internasional). Pengaruh arsitektur posmodern ini sepintas lalu, akan terlihat seperti memberikan jalan bagi mulusnya revitalisasi arsitektur tradisional, vernacular Bali, padahal juga bisa menjadi pengganggu keberadaan nuansa Bali. Masalahnya adalah seperti diungkapkan oleh Piliang (2004: 384-385) bahwa, posmodernisme bukanlah sebuah kecenderungan yang menawarkan kebudayaan dengan ideologi tunggal dan nilai-nilai yang homogen. Ada berbagai kecenderungan posmodernisme, namun ada dua kecenderungan besar yang dapat dikemukakan di sini, yaitu: posmodernisme dekonstruktif dan posmodernisme rekonstruktif. Posmodernisme dekonstruktif, lebih menekankan pada kebudayaan penentangan akan segala bentuk otoritas, pengekangan, dan pembatasan (hukum, aturan, agama) demi untuk memperoleh kebebasan ekspresi dan pembebasan hasrat secara total. Sedangkan posmodernisme rekonstruktif, lebih menekankan pada kebudayaan penghargaan secara positif akan keanekaragaman, dialog, heterogentitas, dan pluralitas. Demikian pula dengan karya arsitekur posmodern, dalam hal ini tidak lagi dikategorikan menjadi teks atau karya dalam pengertian modernisme, yaitu karya yang memiliki arti/makna tunggal dan utuh. Sebab bahasa yang digunakan tidak lagi bahasa tunggal dan dari subjektif pencipta, akan tetapi aneka ragam bahasa masa lalu dengan asal-usul yang tidak pasti. Di sisi lain, hakekat karya posmodern bagi Charles Jencks (Ritzer, 2004: 38) adalah menggunakan istilah double coding (pengodean ganda) dan eclecticism (eklektikisme). Istilah double coding, pada dasarnya digunakan untuk menerangkan proses dialogis antara teknik-teknik modern dan kode-kode kebudayaan masa lalu, dan juga dialog antara elit dengan popular, atau baru dengan lama. Dalam hal ini, Jencks sudah mengetahui orientasi posstrukturalis dengan menggunakan pandangan signifier (bentuk) arsitektur, yang melihat arsitektur sebagai suatu bahasa. Jencks, mendefinisikan posmodernisme (dalam arsitektur) sebagai kombinasi teknik-teknik modern dengan sesuatu yang lain (biasanya bangunan tradisional, vernacular) agar arsitektur dapat berkomunikasi dengan publik dan minoritas yang terkait (arsitek luar). Rumusan Masalah Masyarakat posmodern juga sering dikenal sebagai masyarakat consumer „consumer society‟, ditandai oleh kekuasaan kapitalis yang semakin kompleks, yang membawa masyarakat ke suatu masa di mana konsumsi
2
(komoditi) menjadi titik sentral dari kehidupannya. Konsumsi yang pada masa modern dibutuhkan berdasarkan nilai kenyataan dan fungsional, saat ini sering dibarengi dengan kebutuhan yang hanya dilandasi oleh perbedaan status simbol. Konsumsi sering dijadikan ekspresi „gaya hidup‟ (life style), yang sering berubah secara konstan, sebab mereka dikondisikan untuk selalu mengidentifikasikan diri dengan irama dan siklus perubahan produksi. Akhirnya, logika konsumsi dalam masyarakat consumer tidak lagi berdasarkan „kebutuhan‟, akan tetapi berdasarkan „keinginan‟ dan „logika bermain‟ (play). Demikian pula halnya dengan dunia pariwisata, adalah industri yang padat modal, tempat berkuasanya kapitalis yang sangat kompleks tersebut. Dalam kapitalisme, uang bisa mempengaruhi segalanya, semuanya bisa diatur dengan uang. Akibat kuatnya kapitalisme dan cenderung bersifat central ke pusat kekuasaan, menyebabkan seperti sering kita ketahui bahwa antara kebijaksanaan di Peraturan Daerah dan kenyataan lapangan akan terjadi penyimpangan. Bentuk-bentuk penyimpangan tercermin dari fakta lapangan dengan munculnya gaya arsitektur, yang dapat digolongkan ke dalam bentuk arsitektur posmodern dekonstruktif. Sedangkan, dalam membangun jatidiri dan identitas arsitektur Bali diperlukan Perda untuk membatasi masuknya anansir-anansir budaya luar yang dapat merusak citra Bali. Karena itu, penulis ingin melihat, seberapa jauh bentuk arsitektur posmodern dekonstruktif, yang ditandai dengan pemakaian idiom-idiom estetis pastiche, parody, kitsch, camp, dan skizofrenia telah berpengaruh di Kawasan Pariwisata Kuta. Lingkup masalah ini sengaja dibatasi hanya pada Kawasan Pariwisata Kuta, adalah atas dasar pertimbangan: 1) Kawasan Pariwisata Kuta dalam perkembangannya lebih bersifat alami, dan tidak ada perencanaan matang; 2) Dari pengamatan awal, kawasan ini lebih kaya dengan gaya arsitektur posmoderm; 3) Kawasan pariwisata ini, lebih disukai oleh wisatawan generasi muda dengan budaya postmodern, yang berorientasi pada gaya hidup Fun, yang juga akan berpengaruh pada keberadaan arsitektur posmodern ini. Metode Penulisan Penulisan makalah ini hanya dilakukan dengan cara studi kepustakaan, yang dikaitkan dengan asumsiasumsi dari hasil pengamatan lapangan oleh penulis tentang keberadaan arsitektur posmodern di kawasan pariwisata Kuta. Sumber-sumber yang diacu mungkin masih sangat terbatas karena terbatasnya literatur yang dimiliki, juga akibat dari keterbatasan waktu dan kemampuan pemahaman penulis.
PEMBAHASAN Kepariwisataan dan Arsitektur Kawasan pariwisata merupakan tempat perjumpaan dan berkumpulnya berbagai bangsa dan budaya dunia secara langsung. Interaksi antar bangsa dan budaya secara langsung ini, mengakibatkan terjadinya saling pengaruh mempengaruhi antara pendukung budaya satu dengan yang lainnya secara intensif, yang berdampak langsung pada perubahan dalam gaya hidup pendukung budaya masing-masing. Kawasan wisata Kuta sebagai wadah bagi perjumpaan antar budaya tidak dapat dihindari juga akan terkena pengaruh dari gaya hidup dunia pariwisata yang ditandai oleh fenomena gaya hidup konsumerisme. Gaya hidup konsumerisme yang merupakan produk dari budaya posmodern yang berorientasi pada gaya hidup Fun, juga akan berpengaruh pada dunia arsitektur di kawasan pariwisata ini. Oleh karenanya, pariwisata dan arsitektur merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam perkembangannya. Arsitektur memegang peranan penting dalam mengatur dan menjaga suatu kawasan pariwisata agar tetap dapat memberikan citra visual yang indah. (Mill dan Morrison, 1985; Oetomo, 1997:46). Selain itu, menurut hemat penulis, dalam pariwisata budaya seperti ditetapkan di Bali, citra indah saja belum cukup, karena nilai indah itu pragmatis sekali. Oleh karena itu, perlu ditambahkan dengan citra indah sesuai dengan budaya Bali, jati diri Bali, citra Bali, langgam Bali, style Bali. Sebuah kawasan wisata tidak bisa hanya mengandalkan satu objek wisata. Mungkin benar sebuah kawasan wisata pada mulanya tumbuh dan berkembang karena ada objek utama yang menjadi cikal bakal, seperti : pantai, danau, pura, persawahan, dan sebagainya. Selama ini masyarakat kurang menyadari bahwa objek utama tersebut bisa menjadi jenuh bila tidak mendapat penataan yang sepadan. Munculnya artshop, penginapan, restoran, sampai pedagang acung atau pedagang kaki lima di seputar kawasan, bila tidak ditata akan mempercepat tingkat kejenuhan itu. Padahal sesungguhnya, fasilitas yang tumbuh di sekitar kawasan tidak saja menunjang perekonomian masyarakat, namun lebih jauh dapat dijadikan sebagai aset kawasan. Kuncinya adalah penataan yang tidak bersifat kaku, melainkan penuh kreasi dan “warna-warni”, asal tidak menyimpang dari citra budaya Bali. Tanpa disadari, citra arsitektur setempat telah memberi dimensi baru bagi objek wisata, sehingga tidak heran kalau ada wisatawan yang datang untuk mencari suasana dimaksud. Unsur arsitektur yang ikut mewarnai
3
sebuah kawasan wisata sesungguhnya tak harus dimulai dari kreasi besar, tetapi kreasi sekecil apapun akan menyumbang “warna lain” itu. Sebutlah misalnya papan nama sebuah artshop terasa sederhana namun mengandung unsur desain yang lumayan lengkap dan sempurna. Ada motif, corak, gaya, warna yang diusahakan semenarik mungkin, bahkan pemilihan nama itu sendiri. Kehadirannya tidak hanya memberi penanda bagi merk dagang atau jasa saja, namun sekaligus memberi penanda bahwa telah memasuki kawasan kaya dimensi. Kreasi yang lebih luas tentu dapat diamati dengan penataan ruang-ruang fasilitas yang ada di suatu kawasan, termasuk corak dan arsitektur bangunan yang dipilih. Semua itu menjanjikan dimensi baru bagi objek bersangkutan. Untuk menuju terciptanya dimensi baru itu tentu tidak mudah. Pertama akan berhadapan dengan masalah penataan kawasan, sehingga tata ruang kawasan tidak semrawut. Dalam proses ini, arsitektur dapat menyumbang gagasan soal planning. Dan masalah berikut ini adalah mengenai bentuk dan gaya arsitektur yang diterapkan. Widjaya (1998:70-73) mengatakan, arsitektur sebagai bagian dari proses reintegrasi budaya ke arah ekosistem yang lebih kompleks, secara perlahan-lahan memulai proses asimilasi dan adaptasi dari yang bermula sebagai tempat berlindung (physical control) berkembang menjadi bahasa dan tanda-tanda (language and signs). Arsitektur kemudian mulai berpijak pada tradisi-tradisi yang berkaitan dengan dinamika zaman dan kepentingankepentingan yang melatarbelakangi seperti faktor politik, sosial, keagamaan, dan kemajuan industri. Meskipun sering kali arsitektur menjadi sedemikian fanatiknya terhadap suatu tradisi atau gerakan yang menyebabkan tradisi atau gerakan itu perlahan-lahan ditinggalkan sendiri oleh para arsiteknya. Gejala ini terjadi pada arsitektur modern, yang karena evolusi budaya menjadi arsitektur posmodern. Arsitektur Posmodern dan Idiom Estetika Posmodern Kawasan pariwisata Kuta merupakan salah satu dari 21 kawasan wisata di Bali (Perda No. 4 Tahun 1996), yang paling pesat proses perkembangan pembangunan pariwisatanya, dan paling sering diwarnai oleh berbagai permasalahan. Permasalahan yang paling dirasakan adalah di bidang sosial-budaya-ekonomi yang sangat heterogen dan kompleks, serta kurangnya tenaga-tenaga perencana dan perancang yang benar-benar memahami dunia kepariwisataan untuk mengatur kawasan pariwisata Kuta. Sedikitnya terdapat 5 (lima) alasan utama yang harus dilakukan dalam perencanaan pariwisata, yaitu: 1) Mengidentifikasikan alternatif pendekatan untuk: pemasaran, pengembangan, organisasi industri, kepedulian wisata, layanan dan aktivitas pendukung; 2) Menyesuaikan pada hal-hal yang tidak dapat diperkirakan seperti kondisi perekonomian umum, situasi permintaan, dan penyediaan energi; 3) Mempertahankan keunikan sumber daya alam, budaya lokal, arsitektur lokal, monumen sejarah dan landmarks, events dan aktivitas lokal, tamantaman dan kawasan olahraga di luar, dan lain-lainnya; 4) Menciptakan hal-hal yang diinginkan seperti: tingkat pemahaman yang tinggi akan manfaat-manfaat dari pariwisata, kesan yang jelas dan positif atas suatu kawasan sebagai tujuan wisata, organisasi industri pariwisata yang efektif, dan lain-lainnya; dan 5) Menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti: tingkah laku yang tidak bersahabat dari masyarakat lokal, kerusakan alam dan aset sejarah, hilangnya identitas budaya, dan lain-lainnya. Di sisi lain, posmodern dalam posisinya di dalam modern berupaya menyajikan sesuatu yang tidak dapat disajikan di dalam penyajian itu sendiri; yang menolak pesona bentuk-bentuk yang indah, konsensus selera yang memungkinkan pengalaman nostalgia secara kolektif dari hal-hal yang tak terjangkau; mencari bentuk-bentuk penyajian baru, tidak untuk menikmatinya tetapi untuk membangkitkan perasaan ketidakmungkinan penyajian tersebut (Sutanto, 2000:14). Perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih di zaman sekarang, menurut Heidegger (1995) telah memungkinkan manusia untuk hidup dalam satu ruang, di mana mitos telah meleburkan dirinya dalam dunia citraan, yang direpresentasikan melalui media massa, melalui computer dan televisi sebagai yang nyata. Wawasan baru tentang pengalaman ruang dan citraan, ini disebut dengan ruang dan citraan hiperealitas. Dalam ruang dan citraan hiperealitas, nilai seni dan komoditi dalam kebudayaan tidak lagi berkaitan dengan substansi nilai guna seni atau komoditi tersebut, melainkan dengan permainan tanda dan kode-kodenya, yaitu penciptaan citra-citra yang melimpah ruah sebagai tanda, dalam rangka menandai diferensi dan penciptaan efek humoristik. Ideologi seni posmodern adalah permainan dan kelucuan. Yang dicari dalam seni dan kebudayaan posmodern tidak lagi keotentikan citraan-citraan, melainkan kegairahan diferensi dan kemabukan atau ekstasi dalam permainan tanda dan kode-kodenya (Piliang, 2003: 99). Lanjut Piliang (2003:117-120), diskursus posmodern ditandai oleh peralihan-peralihan besar serta titiktitik balik dalam tatanan objek, pengaturan dan penggunaan ruang, bentuk, kekuasaan, serta kondisi kehidupan yang diciptakannya. Dalam setiap karya seni, misalnya arsitektur dapat ditemukan kode-kode bahasa estetiknya tanpa kehadiran penciptanya. Sebagaimana karya desainnya Charles Jencks Tea & Coffee Piazza (1979: 83), bukan Jencks yang berbicara melalui objek karyanya, akan tetapi bahasa estetika Tuscan, Doria, Ionia, dan
4
Korintia, yang merupakan bahasa tempo dulu. Jencks dalam hal ini, tidak lebih dari seorang operator yang memberi peluang bagi bahasa-bahasa ini untuk bicara. Dalam pengertian intertektualitas dan dialogisme yang sama, Fredric Jameson (1984) melihat para seniman atau pengarang posmodern sebagai “operator dari konotasi baru kemasalaluan”. Mereka mengoperasikan sejarah gaya dan idiom-idiom estetik dengan cara dan pendekatan baru, untuk menggantikan sejarah nyata. Beberapa karya posmodern yang cenderung dekonstruktif diberi istilah pastiche, parody, kitsch, camp dan skizofrenia (Piliang, 2003:125). Arsitektur Posmodern di Kawasan Pariwisata Kuta Wisata budaya merupakan perjalanan yang dilakukan atas dasar keinginan untuk memperluas pandangan hidup seseorang dengan jalan mengadakan kunjungan atau peninjauan ke tempat lain atau ke luar negeri, mempelajari keadaan rakyat, kebiasaan adat dan istiadat, cara hidup, budaya, dan seninya. Di antara 14 jenis wisata yang diungkapkan oleh Pendit (1994: 41-47), perkembangan kawasan wisata Kuta termasuk ke jenis wisata budaya, yang cenderung mengalami pergesaran ke arah wisata komersial. Wisata komersial merupakan perjalanan untuk mengunjungi pameran-pameran dan pekan raya yang bersifat komersial, seperti pameran industri, pameran dagang, dan sebagainya. Kini kawasan pariwisata Kuta tidak saja dituntut menyediakan wisata budaya, namun telah berkembang menjadi wisata komersial yang dari pengamatan terhadap langgam arsitektur yang berkembang di sana, ada kecenderungan mengarah kepada kepentingan industri, kepentingan masyarakat consumer „consumer society‟, yang cenderung ingin memanjakan gaya hidup wisatawan, dimana konsumsi (komoditi) menjadi titik sentral dari kehidupannya. Langgam arsitektur lebih mengarah kepentingan komersial yang dilandasi oleh perbedaan status simbol, yang mengekspresikan „gaya hidup‟ (life style), yang dikondisikan untuk selalu mengindentifikasikan diri dengan irama dan siklus perubahan produksi. Untuk mengetahui pengaruh ekspresi gaya hidup dari para wisatawan yang terdiri dari beraneka ragam negara dengan membawa beraneka ragam budaya terhadap wajah arsitektur (sebagai bentuk budaya) kawasan Kuta berubah dengan bertambahnya ruang-ruang untuk kepentingan industri. Inilah ciri-ciri dari kebudayaan posmodern yang ikut masuk ke dalam kawasan pariwisata Kuta bersama para wisatawan yang datang. Perkembangan kebudayaan posmodern yang membawa idiom estetikanya sendiri telah menyentuh langgam dan bentuk arsitektur. Untuk mengetahui seberapa jauh langgam dan bentuk arsitektur telah menyentuh kawasan pariwisata Kuta, berikut beberapa langgam dan bentuk arsitektur di kawasan pariwisata Kuta dengan idiom estetika posmodern dekonstruksi pastiche, parody, kitsch, camp, dan skizofrenia. Pastiche Pastiche didefinisikan sebagai karya yang mempunyai konotasi negatif karena mengandung unsur-unsur pinjaman, miskin kreativitas, orisinalitas, keotentikan, dan kebebasan. Eksistensi karya pastiche sangat tergantung pada eksistensi kebudayaan masa lalu, karya-karya, serta idiom-idiom estetik yang ada sebelumnya. Bangunan kompleks pertokoan ini gaya atau langgam arsitektur romawi kreativitas untuk memodifikasi, dengan imitasi murni. (Lokasi : Kompleks Pertokoan Kuta
menggunakan idiom estetika pastiche, karena digunakan begitu saja tanpa adanya sebuah sehingga terlihat sebuah karya arsitektur Square)
Bangunan bengkel ini merupakan sebuah imitasi karya arsitektur, karena gaya atau langgam arsitektur Amerika digunakan begitu saja tanpa adanya sebuah kreativitas untuk memodifikasi. Bangunan ini sangat miskin dari pembaharuan. (Lokasi : Show Room Harley-Davidson, Simpang Siur Kuta)
Parody Parody adalah suatu karya yang bertujuan untuk mengekspresikan perasaan tidak puas, tidak senang, tidak nyaman berkenaan dengan
5
intensitas gaya atau karya masa lalu yang dirujuk. Parody menjadi semacam bentuk oposisi atau kontras di antara berbagai karya, atau gaya. Satu karya atau gaya dihadapkan dengan karya atau gaya lainnya dengan maksud menyindir atau membuat lelucon darinya. Dalam bidang arsitektur, apa yang menjadi sasaran parody tidak saja karya atau arsitek tertentu, tetapi juga konvensi ikonik gaya. Dengan demikian, arsitektur berciri parody ialah karya arsitektur yang komposisi desainnya cenderung diambil dari dan dengan mempermainkan sedemikian rupa gagasan, gaya atau ungkapan khas seseorang atau suatu budaya arsitektur, sehingga membuatnya tampak absurd.
Bangunan ini sengaja menggabungkan bentuk fasade bangunan modern dikombinasikan dengan bentuk payung untuk menghasilkan karya arsitektur dengan bentuk baru. Sasaran dalam karya ini adalah konvensi ikonik payung. (Lokasi : Istana Kuta Galleria)
Salah satu sudut bangunan dengan sengaja menggabungkan bentuk fasade bangunan modern dikombinasikan dengan penggunaan ornamen Arsitektur Tradisional Bali, sehingga menghasilkan karya arsitektur dengan bentuk baru yang terlihat lucu dan aneh. (Lokasi : Istana Kuta Galleria)
Salah satu bagian bangunan dengan sengaja menggabungkan bentuk fasade bangunan modern dikombinasikan dengan penggunaan ornamen arsitektur tradisional Bali berupa karang Boma. Sehingga menghasilkan karya arsitektur yang lucu dan aneh. (Lokasi : Istana Kuta Galleria)
Kitsch Kitsch sering ditafsirkan sebagai sampah artistik atau selera rendah, yang menyiratkan miskinnya orisinalitas, keotentikan, kreativitas, dan kriteria estetik, disebabkan oleh sangat bergantung pada keberadaan objek, konsep, atau kriteria yang bersifat eksternal, seperti seni tinggi, objek sehari-hari, mitos, agama, tokoh, dan sebagainya. Kitsch memassakan objek langka, objek precious dan unik, dan sekaligus mempopulerkan juga nilai-nilai kebudayaan dari objek-objek tersebut. Arsitektur berciri kitsch adalah karya arsitektur yang berkaitan dengan selera rendah, yaitu rendahnya bakuan estetik yang dimilikinya.
Bangunan ini memassakan bentuk-bentuk topi yang sangat unik dan precious. Bentuk mengutamakan kriteria estetika. (Lokasi : Istana Kuta Galeria)
6
Bangunan ini merupakan sebuah karya arsitektur dengan kreatifitas, serta semangat reproduksi karya yang inovatif serta mempopulerkan bentukbentuk langka unik. (Lokasi : Batavia Interior, BayPass Ngurah Rai Kuta)
Camp Camp adalah satu idiom estetik, yang meskipun sering diperbincangkan, namun masih menimbulkan pengertian yang kontradiktif. Disatu pihak sering diasosiasikan dengan pembentukan makna; di pihak lain, justru diasosiasikan dengan kemiskinan makna. Camp sangat menjunjung tinggi konsep-konsep keindahan, kebaruan, dan keotentikan. Sebagai bentuk seni, camp menekankan dekorasi, tekstur, permukaan sensual, dan gaya dengan mengorbankan isi. Arsitektur dengan ciri camp adalah karya arsitektur yang komposisi desainnya dicirikan oleh sifat estetisasi, pengindahan atau penggayaannya yang sangat berlebihan, distorsif, artificial dan teatrikal.
Bangunan ini menampilkan bentuk baru yang luar biasa dan sangat jauh dari kesan alami. Tetapi terlihat penggunaan duplikat besi. Penggunaan lempengan besi yang ditatah terlihat menekankan dekorasi dan mengorbankan fasade untuk ditutupi. (Lokasi : Istana Kuta Galleria)
Bangunan ini tidak terlihat adanya unsur otentik terhadap objek daun. Bangunan ini sangat menonjolkan kegairahan untuk menciptakan bentuk baru melalui penggunaan dekorasi dengan distorsi objek daun seperti misalnya perpanjangan bentuk daun. (Lokasi : Istana Kuta Galleria)
Bagian bangunan istana Kuta Galeria yang menggunakan idiom camp. Elemen dekorasi tanaman pot yang sudah didistorsikan sehingga tidak terlihat orisinil atau otentik serta penggunaan balok pelengkung yang hanya mementingkan nilai eksotik fasade dengan mengorbankan isi serta fungsi. (Lokasi : Istana Kuta Galleria)
7
Salah satu bagian bangunan Istana Kuta galeria yang menggunakan idiom estetika camp. Karena adanya upaya penggunaan elemen dekorasi daun serta kipas yang sudah didistorsikan sehingga tidak terlihat orisinil atau otentik. (Lokasi : Istana Kuta Galleria)
SKIZOFRENIA Skizofrenia merupakan bahasa posmodern yang dihasilkan dari persimpangsiuran penanda, gaya, dan ungkapan dalam satu karya, yang menghasilkan makna-makna kontradiktif, ambiguity, terpecah, atau samar-samar. Arsitektur berciri Skizofrenia ialah karya arsitektur yang mencerminkan adanya kekacauan struktur psikis, yakni putusnya rantai pertandaan, di mana bentuk (penanda) tidak dikaitkan dengan satu makna (petanda) dengan cara pasti, sehingga menimbulkan kesimpangsiuran makna. Pada bangunan ini terlihat penggunaan gaya arsitektur yang simpangsiur, sehingga antara satu elemen dengan elemen bangunan tidak terlihat adanya satu rangkaian hubungan, hubungan yang terputus tersebut menghasilkan ungkapan yang ambigu. (Lokasi : Istana Kuta Galeria)
Pada bangunan ini terlihat penggunaan elemen arsitektur dan penanda yang saling tumpang tindih dan tidak terlihat adanya kesatuan antara elemen bangunan. (Lokasi : Istana Kuta Galeria)
Pada bangunan ini terlihat penggunaan elemen Arsitektur Tradisional Bali, arsitektur modern, dan arsitektur posmodern yang saling tumpang tindih sehingga tidak terlihat adanya kesatuan antara elemen bangunan tersebut. Ketidak- nyambungan antar elemen ini menyebabkan kesulitan di dalam menterjemahkan bahasa arsitektur yang ditampilkan. (Lokasi : Papa, s Café di Alam Kulkul Hotel Kuta-Bali)
PENUTUP Lahirnya kebudayaan kontemporer merupakan akibat perkembangan teknologi baru di masyarakat yang diawali dengan kebangkitan kebudayaan posmodern atas kebudayaan modern. Kegalauan dan simpang siur penafsiran terhadap istilah dan makna posmodern yang semakin tidak pasti ini, disebabkan oleh karena galau dan simpang siur memang merupakan produk dan sifat posmodern itu sendiri. Simpulan
8
Semaraknya arsitektur posmodern di kawasan pariwisata Kuta telah membuat citra arsitektur Bali kabur, galau dan simpang siur, kalau tidak mau disebut tercemar. Hal ini menunjukkan bahwa Perda No. 4/PD/DPRD/1974 dan peran pengawasan dari Dinas terkait ironis dan gagal. Sebagai imbasnya, tampak hasil profesi arsitek di Bali amat rapuh terhadap goncangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengaruh budaya posmodern. Tampak sekali kekuatan dan kekuasaan kapitalis dan budaya masyarakat konsumerisme sebagai pengendali utama pengembangan kawasan wisata Kuta, sehingga penciptaan identitas budaya, citra arsitektur Bali di sana boleh dikatakan telah gagal. Rekomendasi Bila saja disadari bahwa suatu karya arsitektur adalah dapat dijadikan simbol dan identitas suatu bangsa, seperti halnya dikatakan oleh Budihardjo (1998: 19) bahwa “architecture as symbol and self-identity”. Demikian juga Mangunwijaya (1995:vii) mengingatkan kita bahwa “manusia berbudaya membutuhkan suatu bentuk yang menunjukkan citra dirinya”. Salah satu bentuk budaya yang bisa menunjukkan citra diri itu adalah arsitektur, maka sudah seharusnya melalui pendekatan kajian budaya ini semua orang dapat memberi penghargaan yang sama kepada keberagaman budaya aristekturnya, sebagai suatu potensi yang sangat berharga untuk ditampilkan menjadi identitas bangsa yang berbudaya tinggi. Dengan pendekatan postmodern konstruktif diharapkan dapat dihasilkan karya-karya yang memiliki nilai guna, fungsi dan makna yang baik, tidak sekedar fun seperti idiom postmodern dekonstruktif Pastiche, Camp, Kitsch, Parody dan Schizophrenia tersebut di atas. Dalam hal ini masyarakat Bali tidak harus alergi terhadap budaya posmo, tetapi harus bisa memanfaatkannya untuk kepentingan eksistensi budaya Bali itu sendiri di mata internasional. Karena itu, sebenarnya Perda No. 4/PD/DPRD/1974, juga sudah mentoleransi posmodern dalam arti yang konstruktif, untuk identitas, jatidiri, citra, langgam Bali. Contoh, arsitektur posmodern konstruktif yang sukses adalah Proyek Kali Codenya Manguwijaya, yang mendapat penghargaan Aga Khan Award 1992, karena mampu mengadaptasi budaya dan lingkungan setempat, serta mimiliki nilai humanisme yang tinggi.
9
Daftar Pustaka Berger, Arthur Asa. 2000. Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya. Chaney, David. 2004. Lifestyles : Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta : Jalasutra. Erawan, I Nyoman. 1994. Pariwisata dan Pembangunan Ekonomi (Bali sebagai Kasus). Denpasar : Upada Sastra. Gelebet, I Nyoman. 1993. Peranan Arsitektur dalam Pengembangan Kebudayaan Nasional dan Kepribadian Bangsa dalam buku Dalam Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa (Sudharta, Tjokorda Rai. Ed.). Denpasar : Upada Sastra. Geriya, Wayan. 1996. Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan Lokal, Nasional, Global (Bunga Rampai Antropologi Pariwisata). Denpasar : Upada Sastra. Jencks, Charles. 1987. Post-Modernism : The New Classicism in Art and Architecture. London : Academy Editions. _______. 1987. The Language Of Post-Modern Architecture. London : Academy Editions. Kolb, David. 1990. Postmodern Sophistications : Philosophy, Architecture, and Tradition. Chicago & London : The University Of Chicago Press. Lyotard, Jean-Francois. 2004. Posmodernisme : Krisis dan Masa Depan Pengetahuan. Jakarta : Teraju. Mangunwidjaya, Y.B. 1995. Wastu Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Arsitektur Sendi-Sendi Filsafatnya Beserta Contoh-Contoh Praktis. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Oetomo, Andi. 1997. Integrasi Rencana Pariwisata Kota/Perkotaan dan Rencana Tata Ruang Kota dengan Konsep Tourism Business District, dalam buku Pariwisata Indonesia : Berbagai Aspek dan Gagasan Pembangunan. (Gunawan, Myra P. Ed.). Bandung : Pusat Penelitian Kepariwisataan Lembaga Penelitian ITB. Pendit, Nyoman S. 1994. Ilmu Pariwisata : Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta : Pradnya Paramita. Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 4/PD/DPRD/1974 tentang Bangun-Bangunan. Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 4 Tahun 1996 tentang 21 Kawasan Pariwisata di Bali. Piliang, Yasraf Amir. 1993. Wawasan Semiotik Bahasa Estetik Posmodernisme. Bandung : ITB. _______. 2003. Hipersemiotika : Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta : Jalasutra. _______. 2004. Dunia Yang Dilipat : Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Yogyakarta : Jalasutra. _______. 2004. Posrealitas : Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Yogyakarta : Jalasutra. Ritzer, George. 2004. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta : Kreasi Wacana. Robinson, Dave. 2002. Nietzche dan Posmodernisme. Yogyakarta : Jendela. Trachtenberg & Hyman, Marvin & Isabelle. 1986. Architecture : From Prehistory To Post-Modernism. The Netherlands : Harry N. Abrams B.V.
10