KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya untuk Allah, Rabb al-’izzati, Dzat yang Maha Rohman dan Rahim. Salawat dan salam dimohonkan untuk Nabi dan Rasul akhir zaman, Muhammad SAW, berikut keluarga, sahabat dan umatnya. Rahmat ilahi memancar kesemesta alam, turun merayap memeluk setiap insan. Semburat pengampunan dan pahala membuncah dengan hadirnya Ramadhan, saat dimana syaitan di”cuti”kan, saat dimana tidur dihargai ibadah, saat ibadah berpahala berlipat, saat pintu pengampunan dan rahmat terbuka lebar menyambut kita umat Muhammad. Ramadhan bulan penuh berkah. Berkah Ramadhan akhirnya menetes dengan terselesaikannya skripsi ini, setelah melewati masa-masa sulit dan terkatungkatung sekian tahun lamanya. Terselesaikannya skripsi dan study ini tentu tidak lepas dari peran beberapa pihak. Untuk itu saya mengucapkan banyak terima kasih: Kepada Bapak Prof. Dr. Qomarudin Hidayat selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan bapak Prof. Dr. H. Muhamad Amin Suma, SH.MA.MM. Selaku dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan segenap jajarannya. Serta kepada kepala perpustakaan UIN dan jajarannya yang sangat membantu dalam proses perkuliahan kami. Kepada Dr. Asmawi, M.Ag selaku Ketua Jurusan SJS dan khususnya kepada Ibu Sri Hidayati selaku Sekjur, terima kasih atas bimbingan dan dukungannya. Ibu adalah Sekjur terbaik sepanjang masa.
i
Kepada Bapak Dr. Rumadi, M.A, saya sampaikan terima kasih atas ketelatenannya membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini. Semoga do’a bapak agar sarjana ini membawa berkah menjadi kenyataan. Amien… Kepada kedua orang tua ku tercinta, yang telah memberikan pengorbanan tanpa mengenal kata lelah, yang telah mengajari tentang hidup dan arti kehidupan, yang telah mengajari penulis menjadi seorang lelaki. Kepada Mama’ku H. Abdur Rauf Syahid Hamim dan Umiku tercinta Hj. Annisatur Rormah, skripsi ini aku persembahkan. Hanya surgalah tempat yang layak untuk membalas semua pengorbanan kalian selama ini. Amien. Kepada kakak-kakakku, abang-abangku & ade-ade: Ka Opah & Bang Sadeli, Ka Ikoh & Pak Supriyono, Ka Ulfah & Ka Isa Anshori, Ka Farhah & Mas Haidar, Ka Ida & Ka Hadi Ali, Bang Aji & Umi Rina, Bang Ijul & Umi Indah, Ropi-U, Riri, Dede, Apit dan Imah, yang tak henti-hentinya memberi suport dan terus menerus nanyain ”Pegimana skiripsi ?” ”kapan Wisuda ?”. Serta semua saudara-saudara ku, kalian adalah lentera hidup tempat merujuk, tempat menggali sepirit, jika lentera diri meredup dan spirit mengendur. Semoga kita tetap bisa terus saling mengisi. Kepada kawan-kawan seperjuangan di BEM Siyasah 2004-2005; Iyan, Takin, Febry Manende, Zaenal, Kholiq, Hadi, Topan, dan kawan-kawan SS angkatan 2002, Lukman, Muda, Eky, Fathur, Kompor, Simon, Manzoy dll, kepada kalianlah aku belajar banyak hal. Kepada kawan-kawan HMI dan PMII yang tidak kesebut, percayalah kalian selalu lekat di hati ku, Trust Me. dan terima kasih, telah menjadi kawan yang dahsyat untukku.
ii
Kepada kawan-kawan pergerakan baik di HMI, PMII, IMM, GMNI, KM maupun KAMMI, jangan lelah berjuang. Hidup adalah perjuangan tanpa henti. Jaya selalu. Kepada kawan-kawan seperjuangan di PON-PES Al-Muhajirin: Om Said, Om Acep, Wawan Ch, Inop, Asep M, Joko, Hapy, Azhar, kang Mul, bang Uce, bang Acong, Najum, Sangaji serta kawan-kawan lainnya, Ingat perjuangan masih panjang, masih banyak yang harus kita lakukan, semoga kita tetap bisa berjuang bersama, meski kita kadang kala berbeda. Terima kasih juga dihaturkan kepada Mas Moro N dan keluarga, banyak hal yang Inu dapat dari diskusi dan silaturrahmi kita selama ini. Kepada Om Rauf (Said), Bakhtiar (BT), Iqbal, Wahyu, Ratu, dan temen2 KKN Pandeglang. serta kepada Faticha, Julimah, Agun, Mudin, Edy, Intan terima kasih suport dan bantuannya, tanpa peran kalian mungkin aku tidak akan pernah wisuda. Kepada seorang perempuan yang telah tiada letih dan lelah memberi dorongan dan doa, terimakasih...terimakasih, semoga terbentang jalan yang indah untuk bisa kita lalui berdua. Akhir kata, penulis berharap bahwa karya tulis ini dapat bermanfaat bagi kalangan civitas akademika dalam pengkayaan intelektual.
Ciputat, 27 Ramadhan 1431 H
iii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR………………………………………………………..
i
DAFTAR ISI…………….…………………………………………………....
iv
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………….……
1
B. Pebatasan dan Perumusan Masalah………………………
6
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian………………..
7
D. Metode Penelitian………………………………………...
8
E. Landasan Teoritis…………………………………………
12
F. Review Studi Terdahulu………………………………….
13
G. Sistematika Penulisan…………………………………….
14
ISLAM POLITIK DAN PROSES ADAPTASI DI INDONESIA A. Pengertian Islam Politik…………………………………..
16
B. Islam politik di Indonesia…………………………………
17
1. Pada Zaman Kolonial…..……………………………..
18
2. Menjelang
Kemerdekaan
Sampai
Awal
Kemerdekaan…………………………………………
21
3. Orde Lama……………………………………………
23
4. Orde Baru……………………………………………..
27
5. Masa Reformasi………………………………………
36
iv
BAB III
BIOGRAFI MUNAWIR SJADZALI A. Riwayat Hidup Munawir Sjadzali…………………………
41
B. Pendidikan Munawir Sjadzali……………………………..
47
C. Posisi Munawir Sjadzali diantara Para Pemikir Islam pada Masanya …………………………………………….
49
D. Corak dan Pengaruh Pemikiran Munawir Sjadzali di
BAB IV
Indonesia………………………………………………….
50
E. Karya-karya Munawir Sjadzali……………………………
52
ISLAM DAN POLITIK MENURUT MUNAWIR SJADZALI A. Konsepsi Munawir Sjadzali Tentang Hubungan Islam dan Politik……………………………………………………..
55
B. Analisa Pemikiran Munawir Sjadzali Tentang Bentuk dan Sistem Pemerintahan……………………………………...
70
C. Relevansi Pemikiran Munawir Sjadzali bagi Indonesia Dewasa ini………………………………………………... BAB V
72
PENUTUP Kesimpulan…………………..………………………………..
80
DAFTAR PUSTAKA….……………...……………………………………..
84
v
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Di sejumlah negara Muslim seperti Turki, Mesir, Sudan, Maroko, Pakistan, Aljazair, pada pertengahan abad ke-20an, tepatnya sejak keruntuhan kolonialisme Barat, banyak mengalami kesulitan dalam upaya membangun hubungan yang memugkinkan (viable) antara Islam dan negara. Tak jarang di negara-negara itu hubungan Islam dan negara mengalami ketegangan, bahkan permusuhan. Padahal disaat yang sama di sejumlah negara itu Islam menduduki posisi penting, baik karena masa lalunya maupun karena Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduknya. Oleh karena itulah di kalangan pengamat kemudian muncul pertanyaan krusial: apakah Islam sesuai atau tidak dengan sistem politik modern, dimana ide tentang negara-bangsa (nation-state) merupakan unsur terpentingnya.1 Dalam konteks Indonesia, bersitegang antara Islam dan negara tidak hanya telah berlangsung lama. Sejak negara ini merdeka masalah tersebut telah menyulut ketegangan, permusuhan, bahkan konflik fisik diantara kedunya. Dalam masa-masa formatif negara ini kaum muslim tidak hanya terus menerus menyuarakan aspirasinya untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara, tetapi 1
Dr. Azyumardi Azra, Saiful Umam, (ed.) Menteri-menteri Agama RI Biografi Sosial – Politik (Jakara: Badan Litbang Agama. Departemen Agama RI bekerjasama dengan PPIM-IAIN Jakarta, 1998), h. 385
1
2
juga menjadikan sistem politik Islam sebagai panduan dalam mengatur negara meskipun pada akhirnya terjadi kompromi-kompromi, aspirasi demikian itu tak kunjung padam, setiap ada kesempatan dan peluang sekecil apapun aspirasi demikian kembali muncul kepermukaan. Paling sedikit terdapat dua kesempatan dan peluang resmi yang digunakan kaum muslim Indonesia untuk mewujudkan aspirasi politiknya. Pertama, pada saat berlangsungnya diskusi mengenai dasar negara pada 1945. Pada kesempatan ini wakil-wakil Islam mengusulkan agar Islam dijadikan ideologi atau agama negara. Kedua, pada dekade 1950-an dalam sidang konstituante yang memberi peluang pada setiap kelompok untuk mendiskusikan ideologi dan undang-undang dasar. Pada kesempatan ini, melalui tokoh-tokoh Masyumi, aspirasi ideologi Islam kembali muncul. Bahkan jika dibandingkan dengan yang terjadi pada kesempatan pertama, kesempatan ini menyajikan perdebatan lebih luas dan mendalam mengenai pentingnya ideologi Islam dan konsepsi sistem politik dalam negara Indonesia. Akan tetapi, disamping peluang-peluang resmi tadi, kaum muslim juga terus menerus menyuarakan aspirasinya dalam berbagai forum dan kesempatan.2 Setelah jaman revolusi berakhir, tuntutan trasformasi Islam kedalam bentuk ideologi politik semakin keras. Ini terjadi dalam dua konteks yang saling 2
Lepas dari berbagai analisis yang muncul, gerakan-geraka Islam DI/TII pada dekade 40-an dan PRRI / Permesta pada dekade 60-an sering diidentifikasikan sebagai salah satu bentuk perjuangan Islam ideologis melalui kekuatan bersenjata. Bahkan higga dekade 80-an, aspirasi Islam ideologis ini masih kental disebagian kaum Muslim. Lihat Dr. Azyumardi Azra, saiful Umam, (ed.) Menterimenteri Agama, h. 386
3
berhubungan.
Pertama,
formasi
kekuatan-kekuatan
ideologis
semakin
mengkristal dengan munculnya partai-partai yang memang mendapatkan keabsahannya berdasarkan sistem demokrasi yang diperkenalkan pada masa itu. Dalam konteks ini, Islam dituntut untuk menunjukkan keunggulannya sebagai ideologi politik untuk menyelesaikan masalah-masalah Indonesia. Kedua, pencoretan kalimat-kalimat Piagam Jakarta pada tanggal 18 Agustus 1945— padahal sebelumnya telah tercapai konsensus dengan susah payah dalam sidangsidang PPKI—dan berlakunya konsistensi yang masih bersifat sementara, membuka
peluang
untuk
meningkatkan
persaingan
kelompok-kelompok
ideologis. Pembubaran konstituante melalui dekrit 5 juli 1959 mengakhiri perdebatan yang keras dan melelahkan.3 Jika di masa kolonial, Islam menjadi kekuatan pembebasan dan simbol perjuangan melawan penjajahan yang kafir, maka di masa revolusi, Islam dijadikan semangat perjuangan, dan di masa dua dasawarsa pertama kemerdekaan Islam telah mengambil bentuk "ideologi politik", maka di masa Orde Baru, Islam mengambil bentuk sebagai "kekuatan spiritual" untuk menghadapi arus modernisasi, dan nilai-nilai tuntunan berprilaku dalam kehidupan berpolitik. Islam sebagai kekuatan sejarah tidak berubah. Bahkan di tengah memudarnya penampilan Islam dalam wajah politik kepartaian saat itu, justru diimbangi dengan tuntutan makin meluasnya wilayah pengaruh dimensi-dimensi spiritual 3
Yusril Ihza Mahendra, “Makna dan Peranan Islam dalam Proses Sosio-Politik di Indonesia” Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali MA. (ed.) M. Wahyuni Nafis, dkk. (Jakarta: IPHI dan Paramadina, 1995), cet. Ke-1, h. 376-377
4
dan intelektual Islam. Tuntutan agar segala sesuatu berkembang ditengah masyarakat disesuaikan dengan nilai-nilai Islam yang semakin luas. sementara kekuatanya juga dipertegas. Ini semua mendorong kaum Muslimin beramai-ramai kembali kepada agamaya, dengan peningkatan yang luar biasa minat untuk mengamalkan ibadah-ibadah yang diajarkan Islam. Kenyataan ini penting bagi Munawir, sebab ia berpandangan bahwa menempatkan suatu agama sebagai agama negara merupakan salah satu prasarat penting. Untuk itu, dalam pandangannya, kenyataan bahwa Konstitusi Madinah tidak menyebut Islam sebagai agama negara, hal ini menujukkan bahwa Nabi Muhammd SAW, tidak menganjurkan berdirinya sebuah negara teokratis dimana Islam akan berfungsi sebagai dasar satu-satunya. Pada era awal 80-an Munawir pernah melontarkan gagasan tentang reaktualisasi ajaran Islam yang ditanggapi beragam oleh berbagai lapisan masyarakat. Titik sentral dari agenda reaktualisasi Munawir itu adalah untuk menegaskan kembali gagasan tentang ijtihad. Ide-ide Munawir sebenarnya diarahkan untuk mendorong para pemikir atau aktifis politik Islam agar (1) merumuskan kembali dasar-dasar ideologi baru politik Islam; (2) mendefinisi ulang cita-cita politik Islam; dan (3) menilai kembali pendekatan politik Islam yang pada dasarnya lebih berorientasi pada masalah-masalah keagamaan dan teologis.4
4
Bahtiar Effendy, “Islam dan Negara di Indonesia: Munawir Sjadzali dan Pengembangan Dasar-dasar Teologi Baru Politik Islam”, dalam M Wahyuni Nafis, (ed.) Kontekstualisasi Ajaran
5
Gagasan Munawir di atas, sejatinya hendak meninjau kembali sejarah para pemimpin dan aktifis politik Islam Indonesia. Pijakan-pijakan dari semangat politik saat itu menggunakan pandangan holistik Islam—Islam dianggap melulu memberikan pandagan terhadap setiap aspek kehidupan. Dalam konteks tersebut dapat dimengerti jika Islam senantiasa dijadikan sebagai patokan sebuah konsepsi yang final dan konvrehensif tentang negara atau sistem pemerintahan. Lebih dari itu, sebagian bahkan beranggapan bahwa negara merupakan bagian integral, atau perpanjangan dari Islam. Hal ini merupakan suatu posisi politik-keagamaan, yang disejumlah belahan dunia dikemas dalam jargon inn al-Islam al-din wa aldawlah—bahwa Islam adalah agama negara.5 Tetapi pada kenyataanya keinginan tersebut gagal. Saat partai-partai Islam sudah tidak hadir lagi di panggung percaturan politik nasional (pada masa Orde Baru), ternyata ada capaian-capaian yang diharapkan kalangan umat Islam dapat terwujud, seperti penetapan Undang-undang Peradilan Agama. Hal ini adalah jasa-jasa Munawir saat beliau menjadi Menteri Agama RI. Kiranya aspirasi politik semacam itu pulalah yang diingikan oleh Munawir Sjadzali yang dalam berbagai kesempatan menegaskan, "tanpa partai politik Islam, kepentingan umat Islam justru lebih berhasil diperjuangkan". Untuk itulah dalam skripsi ini, kami akan mengkaji pemikiran Munawir Sjadzali tentang Islam dan Politik khususnya dalam kaca mata keIndonesiaan. Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali MA (Jakarta: IPHI dan Paramadina, 1995), cet. Ke-1, h. 412 5 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, h. 413
6
Dan studi ini dilakukan selain karena ketertarikan penulis terhadap pemikiran juga atas pertimbangan posisi dan sosok Munawir sebagai cendikiawan, intelektual, diplomat, dan juga sebagai menteri Agama RI selama dua periode berturut-turut
(1983-1988
dan 1988-1993). Beliau
telah beberapa kali
mengeluarkan kebijakan berkenaan dengan kehidupan keagamaan dan lembagalembaga keagamaan. Namun secara umum kebijakan-kebijakan itu berada dibawah semangat Munawir untuk merumuskan hubungan yang viable antara Islam dan negara.6 Penulis berharap bahwa hasil skripsi ini dapat bermanfaat dalam upaya membangun hubungan Islam dan Politik di negeri yang demokratis ini. Berdasarkan latar belakang ini penulis sangat tertarik dan optimis untuk melakukan penelitian dengan judul “Islam dan Politik dalam Pemikiran Politik Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Dengan mengajukan skripsi ini maka peneliti memperoleh kesempatan untuk melakukan historical insight, tentang seorang tokoh besar Indonesia yaitu Prof. Dr. H Munawir Sjadzali, MA. Selain sebagai cendikiawan beliau juga berpengalaman sebagai diplomat, Menteri Agama, dan sebagai pengajar. Tak 6
Bahtiar Effendy, Hendro Prasetyo, Arief Subhan, “Munawir Sjadzali, Pencairan Ketegangan Ideologis”, dalam Azyumardi Azra, (ed.) Menteri-Menteri Agama RI; Biografi Sosial Politik. (Jakarta: PPIM, 1998), h. 411
7
diragukan lagi banyak sekali pengalaman yang menginspirasikan pemikiranpemikirannya untuk diterapkan di Indonesia. Dari sekian banyak dari pemikiran Munawir Sjadzali. Penulis ingin memfokuskan kajian penelitiannya terhadap Pemikiran Politik Islam Munawir Sjadzali semasa beliau menjabat sebagai Menteri Agama RI selama dua periode berturut-turut (1983-1988 dan 1988-1993). 2. Perumusan Masalah Dengan merujuk pada keterangan yang telah dijelaskan di atas, ada beberapa persoalan yang terangkum dalam identifikasi masalah yang diteliti sebagai berikut: 1. Bagaimana hubungan Islam dan politik dalam pemikiran Munawir Sjadzali ? 2. Bagaimana relevansi pemikiran Munawir Sjadzali, bagi Indonesia dewasa ini?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui hubungan Islam dan politik dalam pemikiran Munawir Sjadzali. b. Menjelaskan relevansi pemikiran Munawir Sjadzali ini, bagi Indonesia dewasa ini. 2. Manfaat Akademis a. sebagai tambahan referensi atau perbandingan bagi studi-studi yang akan datang, judul skripsi yang penulis angkat diharapkan akan menambah jumlah studi mengenai politik Islam.
8
b. secara akademis untuk mendapatkan jawaban terhadap berbagai persoalan yang terkait dengan perpolitikan Islam dan hubungannya antara Islam dan politik. 3. Manfaat Praktis. a. sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah keilmuan dibidang ilmu politik
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan 1. Jenis dan Pendekatan penelitian Jenis penelitian yang diterapkan dalam menyusun skripsi ini adalah penelitian kepustakaan ( labrery research ) dengan pendekatan kualitatif. Penulis mencoba mengkaji data-data dan literatur-literatur yang berkaitan dengan judul yang diangkat. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang di alami oleh subyek penelitian, misalnya prilaku, persepsi, motivasi tindakan, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiyah dan dengan manfaat berbagai metode alamiah. Adapun dari segi tujuan, penelitian ini juga menggunakan pendekatan analitis, yang bertujuan menggambarkan keadaan sementara dengan memaparkan hasil-hasil penelitian yang bersumber dari datadata.7
7
Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta, Rajawali Pres, 2003) cet ke 14, h. 75.
9
Dalam penulisan skripsi ini penulis juga menggunakan dua pendekatan. Pertama pendekatan sejarah (historical approach) dalam hal ini peneliti mengeksplorasi perkembangan konsep ataupun pemikiran serta aksi politik objek penelitian secara kronologis. Dengan mengungkap perkembangan politik Islam secara kronologis, dari itu akan dapat diketahui dengan lebih mudah perihal sebab-sebab lahir dan berkembangnya kebijakan-kebijakan pada masa itu. Pada akhirnya penulis dapat menemukan orisinalitas dan inti dari pemikiran Munawir tersebut. Kedua, pendekatan penafsiran (hermeneutical approach), yakni sebuah metode yang dengan mudah didefinisikan sebagai filsafat penafsiran makna. Dengan pendekatan ini penulis membahas inti atau pokok bahasan berupa eksplorasi gagasan-gagasan atau ide Munawir Sjadzali. Kemudian, dari hasil eksplorasi tersebut penulis mencoba memahaminya dengan penafsiran kritis terhadap ide dan gagasan Munawir Sjadzali tersebut. Penafsiran dilakukan dengan mengamati hasil eksplorasi terhadap perkembangan Islam politik secara kronologis. Hasil yang diharapkan kemudian bisa menjawab seluruh pertanyaan yang dikemukakan dalam rumusan masalah diatas dan memberikan kesimpulan yang akurat dan bermanfaat. 2. Teknik Pengumpulan Data a. Pengumpulan Data Sebagai implikasi dari pendekatan yang digunakan, maka metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah kualitatif,
10
dengan metode ini penulis mengkaji bahan atau data dari sumber tulisan yang terkait, baik dari sumber primer maupun sekunder. Adapun sumber data yang bersifat primer adalah dokumen atau karya tulis yang merupakan karya asli dari Munawir Sjazdali, diantaranya adalah: (1) Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam?. Semarang: Usaha Taruna, 1950. (2)
Partisipasi
Umat
Beragama dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: Biro Hukum dan Humas, 1984. (3) Peranan Ilmuan Muslim dalam Negara Pancasila, 1984. (4) Kebangkitan Kesadaran Beragama Sebagai Motifasi Kemajuan Bangsa, 1988. (5) Reaktualisasi Ajaran Islam, Iqbal Abdurrouf Saimima (ed). Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Pustaka Panjimas, 1988. (6) AspirasiUmat Islam terpenuhi Tanpa Partai Islam, 1992. (7) Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, 1993. (8) Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa, 1993. (9) Bunga Rampai wawasan Islam Dewasa Ini, 1994. (10) “Dari Lembah Kemiskinan”, dalam Muhamad Wahyuni Nafis, dkk (ed.) Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Munawir Sjadzali. Jakarta: IPHI dan Paramadina, 1995. (11) Ijtihad dan Kemaslahatan Umat, dalam Haidar Bagir dan Syafiq Basri (ed) Ijtihad Dalam Sorotan, 1996. Adapun sumber data yang bersifat sekunder adalah dokumen atau karya tulis yang ditulis oleh orang atau suatu lembaga tentang sosok objek yang sedang dikaji. Dengan memberikan kategorisasi dan pengelompokan kualitas pada data yang diperoleh, baik yang berasal dari dokumen pustaka ataupun dari data lainnya (internet), kemudian data-data tersebut dianalisis dengan
11
kritis secara akademis. Oleh karena itu, penulis akan merujuk pada pengkajian pustaka, baik karya asli maupun terjemahan, juga karya-karya yang sesuai atau mendukung dengan tema bahasan. b. Pengolahan data Metode pengolahan data yang di gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif analisis, yaitu memaparkan hasil-hasil penelitian yang bersumber dari data primer dan skunder. Kemudian dianalisa dengan cara menginterpretasikan dari hasi-hasil data yang telah didapatkan. Kemudian data-data tersebut diklasifikasikan sesuai dengan tema dan subsub
bab
yang
akan
dibahas
oleh
penulis,
kemudian
penulis
mendeskripsikannya dengan memeparkan secara sistematis yang disertai dengan membuat analisis, kritik dan kesimpulan. Analisis yang digunakan penulis adalah analisis hubungan, yaitu memberikan analisis dengan menghubungkan uraian dan penjelasan yang terdapat pada bab-bab sebelumnya diakhir pembahasan. c. Teknik analisis data Analisis data dengan metode analisis induktif yaitu dengan melakukan analisis secara menyeluruh terhadap data-data yang telah didata, kemudian akan dihasilkan kesimpulan penelitian terhadap permasalahan yang diangkat. Metode ini dilakukan penulis dengan berbagai langkah, yaitu dengan cara menghimpun seluruh data-data tersebut dijadikan beberapa bab dan sub bab, setelah semunya terdata dengan baik, langkah selanjutnya data-data tersebut
12
dianalisa oleh penulis sehingga menjadi sebuah kesimpulan yang sesuai dengan informasi dan data-data yang didapatkan. d. Teknik penulisan skripsi Teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada pedoman penulisan skripsi fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum (FSH) Universitas Islam Negri (UIN) Jakarta tahun 2007. E. Landasan Teoritis Dalam sub bab ini, akan dibahas mengenai landasan teoritis mengenai kajian yang akan diteliti. Teori yang akan digunakan dalam kajian ini adalah agama dan negara, seperti yang dijelaskan dalam buku “Fikih Mazhab Negara”. LKIS, 2001. Menurut buku ini, dalam hubungan agama dan negara terdapat tiga paradigma; Pertama, paradigma integralistik (unified paradigm), yaitu dimana agama dan negara menyatu (integrated). Wilayah agama meliputi politik atau negara. Dimana negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Karenanya, menurut paradigma ini, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Paradigma ini kemudian melahirkan paham negaraagama, di mana kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan prinsipprinsip keagamaan, sehingga melahirkan konsep Islam din wa daulah (Islam agama dan [sekaligus] negara). Sumber hukum positifnya adalah sumber hukum agama.
13
Kedua, paradigma simbiotik (symbiotic paradigm), dimana agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yakni suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya negara juga memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual. Ketiga, paradigma sekularistik (secularistic paradigm), paradigma ini menolak kedua paradigma diatas. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan pemisahan (dis-paritas) agama atas negara dan pemisahan negara atas agama. Konsep ad-dunya al-akhirah, ad-din ad dawlah atau umur ad-dunya umur ad-din didikhotomikan secara diametral. Dalam konteks Islam, paradigma ini menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak, menolak determinasi Islam pada bentuk tertentu dari negara.8
F. Review Studi Terdahulu Ma'mur, TB Agus, pembaharuan pemikiran di Indonesia tahun 70-an; Studi Pemikiran Munawir Sjadzali. SPI, Adab IAIN Jakarta, 2002 Abdila, Reaktualisasi Ajaran Islam Analisis Pemikiran Muawir Sjadzali Tentang Waris, SJAS, Syari'ah IAIN Jakarta 2004.
8
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fikih Mazhab Negara, Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LKIS, 2001), h. 23-33.
14
Nilayatul Maula, Tinjauan Hukum Islam terhadap Konsep pembagian Waris laki-laki dan perempuan menurut Prof. Dr. Munawir Sjadzali. MA. PMH Syari'ah. UIN Syahid Jakarta, 2006. Pembahasan skripsi lebih pada konsep waris Munawir. Oktari Liyus, Kontibusi Muawir Sjadzali dalam Peranan Islam dan Kaitanya dengan Politik di Indonesia. PPI, Ushuludin 2007. Didalam skripsi ini dibahas mengenai titik sentral dari agenda reaktualisasi Munawir Sjadzali. Yaitu gagasan tentang konsep ijtihad. Serta lebih fokus pada keterlibatan Munawir Sjadzali dalam upaya mengembangkan misi untuk meyakinkan lembaga kemasyarakatan dan keagamaan untuk menjadikan pancasila sebagai Ideologinya. Dari paparan skripsi yang membahas tentang sosok Munawir Sjadzali di atas, penulis melihat belum ada yang menggali mengenai Islam dan politik dalam pemikiran politik Munawir Sjadzali.
G. Sistematika Penulisan Bab I
Merupakan bab Pendahuluan yang diuraikan tentang Latar Belakang Masalah, Pemabatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Landasan Teoritis, Review Studi Terdahulu dan Sistematika Penulisan.
Bab II Pada bagian ini akan dibahas mengenai Pengertian Islam Politik, serta pergulatan sejarah Islam politik di Indonesia dimulai dari zaman
15
kolonial, menjelang kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru dan juga era Reformasi. Bab III Membahas
mengenai
Riwayat
Hidup,
Pendidikan,
Karya-karya
Munawir Sjadzali, Corak dan Posisi Munawir Sjadzali diantara para Pemikir Islam pada masanya, serta Pengaruh Pemikiran Munawir Sjadzali di Indonesia. Bab IV Membahas dan menjelaskan Konsepsi Munawir Sjadzali Tentang Hubungan Islam dan Politik, Pandangan Munawir Sjadzali Tentang Bentuk dan Sistem Pemerintahan yang ideal, serta Analisa Pemikiran Munawir Sjadzali Tentang Bentuk dan Sistem Pemerintahan, serta Relevansi Pemikiran Munawir Sjadzali bagi Indonesia dewasa ini. Bab V Penutup yang berisi kesimpulan dan rekomendasi.
BAB II ISLAM POLITIK DAN PROSES ADAPTASI DI INDONESIA
A.
Pengetian Islam Politik Pengertian Islam politik, menurut M. Rusli Karim dengan mengutip pendapat dari Syamsuddin1 bahwa yang dimaksud dengan Islam Politik adalah sebuah pencerminan dari ajaran Islam mengenai hubungan manusia dengan kekuasaan yang yang diilhami oleh adanya petunjuk dari tuhan, yang tentunya disini telah tercampuri dengan adanya kepentingan manusia. Dengan kata lain, bahwa antara agama, syariah dengan negara menurut paham ini bisa dikatakan nyaris tidak boleh dipisahkan. Bahkan seorang seperti Imam Syafi’i-pun mengatakan, “…tidak ada politik kecuali ia sesuai syara’— undang-undang Islam”.2 Tentu saja pandangan serta pemahaman tentang Islam politik dari banyak pakar Islam banyak yang berbeda, akan tetapi penulis pikir pada intinya sama. Yaitu, mencoba untuk menghubungkan antara kekuasaan negara dengan agama. Intisari dari al-Qur’an sendiri setidaknya ada dua ajaran yang terkandung didalamnya yaitu, Akidah dan Syari’ah. Yang antara keduanya berhubungan. 1
M. Rusli Karim dalam Bukunya, Negara dan Peminggiran Islam Politik; Suatu Kajian Mengenai Implikasi Kebijakan Pembangunan bagi Keberadaan “Islam Politik” di Indonesia Era 1970-an s/d 1980-an. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), h. 02 2 Shafi L. Dalam, Al-Aqidah wal Siyasah. (harndon: The International Institut of Islamic Thought, 1996), h. 86
16
17
Artinya, tidak ada akidah kalau tidak ada syariah, begitupun sebaliknya. Dari pemaham syariah disini, banyak para pemikir Islam pada akhirnya memperoleh satu instrumen yang melatar belakangi kenapa misalkan antara kekuasaan yang ada di dunia harus tidak boleh terpisahkan.3 Demikianlah kira-kira secara umum apa yang dimaksud dengan pengertian Islam Politik itu. B.
Islam Politik di Indonesia Indonesia sebagai mana menurut Ahmad Syafii Ma’arif4 dikenal sebagai bangsa dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Sekitar 88 persen rakyat Indonesia beragama Islam5, namun walupun agama ini tidak resmi menjadi agama negara seperti yang terjadi di negara Malaysia. Namun terlepas dari kurangnya sofistikasi intelektual sebagian besar rakyat dalam memahami ajaran Islam. Baik karena faktor sejarah maupun kultural. Islam di Indonesia adalah suatu agama yang hidup dan begitu vital, yang kini sedang terlibat dalam proses transformasi dari posisi kuantitas ke posisi kualitas.
3
Menurut Musa, M.Y. dalam bukunya, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam, (Khairah: Dar al-Katib al-Arabi Littaba’ah wa al-Nasyr, 1963). Sebagai mana yang dikutib oleh M. Rusli karim dalam bukunya, Negara dan Peminggiran Islam Politik; Suatu kajian mengenai Implikasi kebijakan pembangunan bagi keberadaan “Islam Politik” di Indonesia Era 1970-an sam 1980-an. Mengatakan, bahwa akidah-lah yang menghubungkan antara seorang hamba dengan tuhannya. Ia tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan syari’at juga menghubungkan manusia dengan tuhannya. Yang biasa di sebut dengan Ibadah. Hubungan antara sesama manusia di sebut Mu’amalah, sedangkan hubungannya antara yang di perintah dengan yang memerintah disebut dengan Siyasah. 4 Ahmad Syafii Ma’arif, Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante; Islam dan Masalah Ketatanegaraan, (Jakarta; LP3ES, 1985), h. 63 5 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), h. 56
18
Dengan kata lain, Islam di Indonesia bukanlah suatu produk sejarah yang telah rampung, namun merupakan suatu proses yang akan terus berjalan. Berikut penulis akan menjelaskan secara singkat bagaimana sesungguhnya Islam Politik dalam sejarahnya di Indonesia, di mulai dari zaman Kolonial sampai zaman Reformasi. 1.
Zaman Kolonial Bahtiar Effendy6 pernah mengatakan bahwa sebenarnya sejarah politik
Islam Indonesia modern merupakan salah satu khasanah perbandingan yang cukup lumayan untuk di perbandingkan dengan pemikiran-pemikiran politik keIslaman yang pernah dikembangkan dikawasan Timur Tengah atau dunia Islam lainya. Sepanjang sejarahnya yang telah berumur kira-kira setengah abad lamanya tersebut, pemikiran politik Islam telah mengalami perkembangan kedalam batas-batas tiga mazhab, dan pada dasawarsa antara tahun 1940-an sampai pada awal 1960-an, eksperimen, artikulasi dan detik pemikirannya tampak lebih kurang telah bersifat absolutis dan atagonistik antara pemikir yang berada di kubu “golongan agama” dan “golongan nasionalis” Selanjutnya sebagai mana yang di ungkap oleh Ahmad Syafii Ma’arif juga mengatakan kalau sesungguhnya sebuah penilaian yang pantas terhadap
6
Bahtiar Effendy, dalam Pengantar Gagalnya Islam Politik, Karya Oliver Roy, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), h. 63
19
berbagai pengalaman dan kegiatan politik Islam pada masa muta’akhir Indonesia terutama tergantung terhadap pengertian yang cukup terhadap Islam sebagai kekuatan pembebas didalam berhadapan dengan politik kolonial belanda terhadap umat Islam pada empat dekade pertama abad ini. Masih menurut Ahmad Syafii Ma’arif semenjak kedatangan Kompeni India Timur Belanda ke Nusantara yang diperkirakan datang pada permulaan abad ke-17, tak dapat tersangkalkan bila saat itu umat Islam sudah melakukan perlawanan yang cukup keras terhadap mereka dan pada tahun 1936, melalui wawancara dengan koresponden Deli Courent, Gubernur Jenderal B.C de Jonge nampaknya masih berharap agar kekuasaan kolonial Belanda akan berlangsung lama di Indonesia.7 Akan tetapi enam tahun kemudian tepatnya pada bulan maret 1942. Kekuasaan kolonial Belanda di usir dari Indonesia oleh pasukan Jepang tanpa adanya perlawanan yang berarti dari pihak penjajah Belanda. Kedatangan Jepang pada mulanya disambut dengan sangat antusias bukan saja oleh umat Islam melainkan juga oleh seluruh bangsa Indonesia. Lantaran kesadaran yang mendalam terhadap pentingnya memperbaiki komunikasi antara partai-partai dan organisasi yang berasaskan Islam, maka 7
Bahkan dengan sangat pongahnya ia berucap, “Kami sudah berkuasa di sini selama kurang lebih tiga ratus tahun dengan Cambuk dan Cemeti, dan kami akan berbuat begitu lagi untuk tiga ratus tahun kedepan” dikutip dari Sutan Sjahrir, Out of Exile, terjemahan dari bahasa belanda oleh Charles Wolf Jr. (New York: The John Day Company, 1949), h. 122 Lihat A Syafii Ma’arif, Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante; Islam dan Masalah Ketatanegaraan, (Jakarta; LP3ES, 1985), h. 163
20
KH. Mansur (Muhamdiyah), KH. Achmad Wahab Hasbullah (NU) dan pemimpin-pemimpin Islam lainya dari SI, Al-Irsyad, Al-Islam (organisasi Islam di Solo), Persyerikatan Ulama (Majalengka Jawa Barat) dan lain-lain telah berhasil membentuk suatu badan federasi MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) di Surabaya pada tanggal 20 Septermber 1937.8 Inisiatif kearah persatuan dan saling pengertian ini juga di dorong oleh dua kenyataan. Pertama, usaha-usaha politis yang bercorak Islam pada saat itu masih sangat berserakan dan karena itu persatuan amat perlu dilakukan dalam kerangka perjuangan melawan Belanda. Pentingnya persatuan dikalangan umat juga sangat dituntut secara tegas oleh al-Qur’an di dalam QS. Ali-‘Imron (3): 103
÷ΛäΖä. øŒÎ) öΝä3ø‹n=tæ «!$# |Myϑ÷èÏΡ (#ρãä.øŒ$#uρ 4 (#θè%§x s? Ÿωuρ $Yè‹Ïϑy_ «!$# È≅ö7pt¿2 (#θßϑÅÁtGôã$#uρ zÏiΒ ;οtø ãm $x x© 4’n?tã ÷ΛäΖä.uρ $ZΡ≡uθ÷zÎ) ÿϵÏFuΚ÷èÏΖÎ/ Λäóst7ô¹r'sù öΝä3Î/θè=è% t÷t/ y#©9r'sù [!#y‰ôãr& ٣ / )ل انtβρ߉tGöκsE ÷/ä3ª=yès9 ϵÏG≈tƒ#u öΝä3s9 ª!$# ßÎit6ムy7Ï9≡x‹x. 3 $pκ÷]ÏiΒ Νä.x‹s)Ρr'sù Í‘$¨Ζ9$# (١٠٣ : Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah 8
KH. Mas Mansyur, “Riwayat Berdirinya Majlis Islam Tertinggi” dalam Amir Hamjah, “Rangkaian Mutu Manikam: Buah pikiran Budiman Kyai Mas Mansur (Surabaya: Penyebar Ilmu & Ikhsan, 1968), h. 85
21
menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk” Ayat ini telah membimbing pemimpin-pemimpin Islam pada waktu mereka membentuk MIAI, adanya faksi-faksi dibidang politik dan perbedaanperbedaan paham dalam soal khilafiyah di kalangan umat perlu dibenahi di atas dasar semangat persaudaraan dalam MIAI. Kedua, adanya contoh yang kompotitif dari golongan nasionalis sekuler yang juga berusaha mempersatukan dirinya. Kenyataan ini telah makin mendorong pemimpin umat untuk menatap posisi politik mereka secara lebih kritis, dan persatuan lewat MIAI dipandang cukup memberi harapan pada waktu itu. Dengan persatuan diharapkan dapat memobilisasi seluruh gerakan-gerakan Islam untuk menghadapi pihak penjajah. Belum lima tahun setelah kehadiran MIAI, pasukan Belanda mendarat di Indonesia dan dengan mudah dapat diusir kembali. Dari penjelasan sejarah tersebut bisa kita ambil pemahaman, bahwa umat Islam di dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini sangat kuat sekali, terbukti dengan banyaknya inisiatif-inisiatif yang mereka lakukan seperti pembentukan MIAI dan lain sebagainya. 2.
Menjelang Kemerdekaan Sampai Awal Kemerdekaan Seperti yang telah penulis katakan diatas, dua hari setelah pasukan Jepang
menyerah kepada pasukan sekutu, pada tanggal 17 Agustus bangsa Indonesia dibawah
pimpinan
Soekarno
dan
Mohammad
Hata
menyatakan
22
kemerdekaannya. Tetapi negara yang baru lahir ini harus melalui jalan terjal dalam mempertahankan kemerdekaannya, karena Belanda masih belum puas dengan masa penjajahannya. Kolonialisme ingin dilanjutkan setelah perang dunia ke dua. Belanda terlalu sedih meninggalkan Nusantara yang cantik ini. Sebagaimana Kemal Attatruk, Bung Karno sebagai pejuang pemersatu bangsa, pejuang melawan kolonialisme dan imperialisme, proklamator kemerdekaan bangsa Indonesia dan presiden RI pertama juga mempunyai agenda utama dalam membangun Indonesia modern. Karena itu yang menjadi agenda utama adalah tentang sistem politik Indonesia. Di awal-awal kemerdekaan bukanlah hal yang sangat mudah untuk merumuskan hal tersebut.9 Seperti diketahui, semenjak Soekarno menjabat sebagai presiden Indonesia modern, yang segera menjadi persoalan utama ketika itu adalah tarik menariknya
ideologi negara antara proyek sekularisasi dan Islamisasi.10
Terlebih lagi jika tarik menarik itu dilihat dari persfektif religio-politik, maka akan semakin nampak bahwa sejarah Indonesia modern memang merupakan perseteruan abadi antara dua kutub yang saling berlawanan tersebut. Akibat perseteruan abadi tersebut muncul dua kelompok dikotomis dengan sederetan tokoh intelektual pendukungnya. Kelompok pertama disebut 9
Herbet Feith dan Lance Castles (ed), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta: LP3ES, 1988), h. xvii-xxxviii 10 Yudi Latif, “Sekularisasi Masyarakat dan Neagara Indonesia,” dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Islam Negara dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 2005), h. 115
23
kelompok teokratis, suatu kelompok yang menginginkan prinsip-prinsip agama dijadikan ideologi negara. Kelompok kedua disebut kelompok sekuler, suatu kelompok yang menolak prinsip-prinsip agama dimasukkan dalam ideologi negara. Dalam hal ini, Soekarno yang memiliki otoritas untuk menentukan ideologi negara bisa dimasukkan kedalam kelompok yang kedua. Sebab, secara eksplisit ia selalu menolak formalisasi agama terhadap negara. Hal ini tercermin dalam perdebatan Bung Karno dengan para petinggipetinggi negara dalam pengaturan ideologi dan konstitusional negara. Seperti dijelaskan, dari perdebatan-perdebatan tersebut memunculkan polarisasi ideilogi-ideologi kelompok besar, Golongan Nasionalis dan Golongan Agama.11 3.
Masa Orde Lama Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia masuk
dalam suatu babak kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh. Dalam perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia mengalami berbagai perubahan asas, paham, ideologi dan doktrin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan melalui berbagai hambatan dan ancaman yang membahayakan perjuangan bangsa indonesia dalam mempertahankan serta mengisi kemerdekaan. Wujud berbagai hambatan adalah disintegrasi dan instabilisasi nasional sejak periode orde lama yang berpuncak pada pemberontakan PKI 30 September 1945 sampai lahirlah Supersemar sebagai 11
Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam :pertautan Agama, h. 68
24
titik balik lahirnya tonggak pemerintahan era Orde Baru yang merupakan koreksi total terhadap budaya dan sistem politik Orde Lama dimana masih terlihat kentalnya mekanisme, fungsi dan struktur politik yang tradisional berlandaskan ideoligi sosialisme komunisme.12 Konfigurasi politik yang ada pada periode orde lama membawa bangsa Indonesia berada dalam suatu rezim pemerintahan yang otoriter dengan berbagai produk-produk hukum yang konservatif dan pergeseran struktur pemerintahan yang lebih sentralistik melalui ketatnya pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Pada masa ini pula politik kepartaian sangat mendominasi konfigurasi politik yang terlihat melalui revolusi fisik serta sistem yang otoriter sebagai esensi feodalisme. Sedangkan dibawah kepemimpinan rezim Orde Baru yang mengakhiri tahapan tradisional tersebut pembangunan politik hukum memasuki era lepas landas
lewat
proses
Rencana
Pembangunan
Lima
Tahun
yang
berkesinambungan dengan pengharapan Indonesia dapat menuju tahap kedewasaan (maturing society) dan selanjutnya berkembang menuju bangsa yang adil dan makmur. Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi dalam
12
50
Suhardiman, Pembangunan Politik Satu Abad, (Jakarta: Yayasan Lestari Budaya, 1996), h.
25
Lembaran Negara tahun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69 berintikan penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya.13 Pada masa ini Soekarno memakai sistem demokrasi terpimpin. Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis konstitusional, sebab menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang “memberlakukan” atau “tidak memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang dilakukan melalui dekrit. Sistem ini yang mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme, yang dilaksanakan
ini
berdasarkan pada
sistem
“Trial
and
Error”
yang
perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai paham politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang cepat berkembang. Maka problema dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah yang bersifat ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar, tetapi masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-realitas objektif serta mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara baik, walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan
13
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Diktat Program Pasca Sarjana UII Tahun 1998/1999, (Yogyakarta: penerbit UII, 1998), h. 133-134
26
kemudian muncul penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin” dan “Demokrasi Pancasila”. Berbagai “Experiment” tersebut ternyata menimbulkan keadaan “excessive” (berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi” (berdemokrasi secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 1950-1959, maupun suatu kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur) dengan menggunakan nama demokrasi yang dikualifikasi (gekwalificeerde democratie).14 Sistem “Trial and Error” telah membuahkan sistem multi ideologi dan multi partai politik yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas, keadaan ini terus berlangsung hingga pecahnya pemberontakan DI/TII yang berhaluan theokratisme Islam fundamental (1952-1962) dan kemudian Pemilu 1955 melahirkan empat partai besar yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI yang secara perlahan terjadi pergeseran politik ke sistem catur mayoritas. Kenyataan ini berlangsung selama 10 tahun dan terpaksa harus kita bayar tingggi berupa: (1). Gerakan separatis pada tahun 1957; (2). Konflik ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam, sehingga terjadi kemacetan total di bidang Dewan Konstituante pada tahun 1959. Oleh
karena
konflik
antara
Pancasila
dengan
theokratis
Islam
fundamentalis itu telah mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila 17 14
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Yogyakarta: FH UII PRESS, 2004), h. 141
27
Agustus 1945, maka terjadilah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara yang Pro dan yang Kontra. Yang Pro memandang dari kacamata politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata Yuridis Konstitusional. Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru, sehingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kelak dijadikan salah satu sumber hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pada perang revolusi yang berlangsung tahun 1960-1965, yang sebenarnya juga merupakan prolog dari pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun 1965, telah memberikan pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga walau harus kita bayar dengan biaya tinggi.15 4.
Masa Orde Baru Peralihan kekuasaan dan pemerintahan Orde Lama kepada Orde Baru
ditandai dengan turunnya Soekarno dan kursi kepresidenan pasca kudeta G30/S/PKI pada tahun 1965.16 Peristiwa politik tersebut telah berimplikasi kepada munculnya krisis politik yang cukup menegangkan berupa gerakan massa yang menuntut pembubaran PKI serta tuntutan pembenahan sistem
15
Sebagian pengamat sejarah asing berpendapat bahwa peristiwa Jakarta 1965 merupakan skenario hebat dari sebuah kup yang didalangi oleh Dinas Intelijen AS, CIA 16 Mochtar Masoed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, (Jakarta: LP3ES, h. 47-53.
28
politik dan pemulihan keamanan negara.17 Puncaknya terjadi pada tahun 1966, di mana pada saat itu situasi dan stabilitas dalam negeri Indonesia semakin carut marut. Pada gilirannya Soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) kepada Jenderal Soeharto yang pada intinya berisi perintah untuk pemulihan kamanan dan ketertiban nasional, konsolidasi semua aparat militer dan sipil, serta pelaporan atas segala tugas dan tanggung jawab surat perintah tersebut.18 Proses politik dalam negeri saat itu berjalan sangat cepat. Jenderal Soeharto secara langsung maupun tidak langsung menjadi pemegang kendali atas setiap proses politik. Ia mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi percepatan dan pemulihan kondisi sosial, politik dan ekonomi saat itu, hingga digelarnya Sidang Umum MPRS pada bulan Juni - Juli 1966. Ketetapan MPRS No, TX/MPRS/1966 rnenjadi landasan konstitusinal bagi Supersemar dan sekaligus digelarnya Sidang Umum MPRS tahun 1967 berhasil menggusur Soekarno dari kursi kepresidenan berupa pencabutan mandat presiden oleh MPRS dalam Tap MPRS No. XXXIII/MPRS/1967. Hal ini telah memuluskan jalan bagi Soeharto untuk naik ke puncak kekuasaan yakni diangkat menjadi
17
Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), Ke-
3, h. 140. 18
Bab. VII.
Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia, (Ithaca: Cornell University Press, 1978
29
presiden
kedua
yang
ditetapkan
dalam
ketetapan
MPRS
No.XLITI/MPRS/1968.19 Lahirnya Orde Baru yang didukung oleh kalangan pelajar dan mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI) yang para anggotanya mayoritas beragama Islam. Dapat dikatakan, mereka menjadi ujung tombak runtuhnya pemerintahan Orde Lama. Pada awal Orde Baru banyak dilakukan perubahan terhadap kecenderungan birokrasi yang tidak bertanggung jawab yang merupakan warisan Orde Lama. Dengan memakai format politik yang berporos pada eratnya hubungan militer dan teknokrat untuk tujuan melaksanakan pembangunan dan mewujudkan pemerintah yang stabil dan kuat. Kekuatan militer dan birokrasi merupakan mesin politik untuk menata kehidupan sosial dan politik masyarakat, sehingga Orde Baru melalui dua komponen tersebut menjadi kekuatan politik tunggal di Indonesia.20 Adapun format politik yang tercipta antara lain21: Pertama, peranan birokrasi sangat kuat karena dijalankan oleh militer setelah ambruknya demokrasi terpimpin, sehingga ia menjadi satu-satunya pemain utama di pentas politik nasional. Kedua, upaya membangun sebuah kekuatan organisasi sosial 19
Fuad Hasan, Meramu Intelegensi dengan Intuisi: Di antara Para Sahabat Pak Harto, (Jakarta: PT. Citra Lamtorogung Persada, 1991), h. 26 1-262. 20 Lance Castle, Birokrasi dan Masyarakat Indonesia, (Surakarta: Hapsara, 1983), h. 27. 21 Affan Gaffar, Politik Indonesia: Tradisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 37.
30
politik sebagai perpanjangan tangan ABRI dan pemerintah dalam wujud lahirnya Golkar sebagai mayoritas tunggal organisasi politik di masa Orde Baru. Ketiga, penjinakan radikalisme dalam politik melalui proses depolitisasi massa, seperti menerapkan konsep floating mass dan NKK/BKK di lingkungan pendidikan tinggi. Keempat, lebih menekankan pendekatan keamanan (Security Approach)
dan
pendekatan
kesejahteraan
(Welfare
Approuch)
dalam
pembagunan sosial politik; kelima, menggalang dukungan masyarakat melalui organisasi-organisasi sosial dan kemasyarakatan yang berbasis korporatis. Persentuhan Islam dan politik pada masa Orde Baru sesungguhnya telah diawali sejak Orde Baru menerapkan kebijakan modernisasi, di mana stigma perkembangan pola pikir dan cara pandang bangsa Indonesia serta proses transformasi kultural dan perubahan sosial lebih banyak mengadopsi apa yang pernah terjadi di negara-negara Barat. Kiblat pembangunan di Indonesia yang sebelumnya mengarah ke Eropa Timur berbalik arah ke Eropa Barat dan Amerika. Serta banyaknya kalangan cendekiawan dan kalangan intelektual yang mulai akrab dengan pemikiran-pemikiran Barat. Sementara itu, bagi kalangan Islam modernisasi ibarat dilema karena dihadapkan kepada dua pilihan, yakni apabila mendukung modernisasi ala Orde Baru berarti sama saja mendukung Barat, sedangkan pada sisi lain, apabila menolak berarti umat Islam akan
31
kehilangan kesempatan untuk berperan aktif dalam program pembangunan nasional.22 Sikap pro-kontra di kalangan mayoritas umat Islam dalam menanggapi modernisasi melahirkan tiga pola berikut: Pertama, pola apologi, yakni suatu bentuk sikap penolakan kalangan Islam terhadap segala nilai-nilai yang berakar pada wacana modernisasi. Bahkan pola pertama ini berasumsi bahwa modernisasi identik dengan westernisasi dan sekularisasi; Kedua, pola adaptif, yakni suatu bentuk sikap menerima sebagian nilai-nilai modernisasi yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam; Ketiga, pola kreatif, yakni suatu bentuk sikap dialogis yang lebih mengutamakan pendekatan intelektual dalam menanggapi modernisasi. Dan ketiga pola tersebut, tampaknya pola ketiga menjadi lebih dominan karena pendekatan intelektual yang dikembangkan oleh kalangan modernis dipandang lebih representatif untuk membangun tatanan Islam modern di Indonesia. Hal ini terjadi sebagai antitesa dari kalangan Islam konservatif yang lebih mengarah kepada upaya ideologisasi dan depolitisasi Islam secara formal yang mengakibatkan lahirnnya ketegangan dengan rezim Orde Baru. Pola pertautan politik yang serba provokatif dianggap bukan jalan terbaik bagi Islamisasi di Indonesia, mengingat penduduk Indonesia tidak seluruhnya
22
M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, (Bandung: Mizan, 1993), h. 381-382.
32
umat Islam yang dapat disatukan dalam bingkai sistem politik keormasan. Pada gilirannya, lahirlah gagasan Islam kultural sebagai jalan tengah bagi urnat Islam untuk tetap memainkan perannya dalam pentas politik nasional Paling tidak, kebenaran akan pendekatan ini mulai membuahkan hasil berupa terbukanya jalan bagi umat Islam menuju islamisasi politik Orde Baru di penghujung tahun 1970-an.23 Kebijakan-kebijakan politik Orde Baru yang menempatkan Islam dalam posisi marjinal di pentas politik nasional pada gilirannya telah melahirkan berbagai ketegangan antara Islam dan negara. Sejarah telah mencatat hahwa dinamika hubungan Islam dan negara pada masa Orde Baru mengalami pergeseran yang bersifat antagonistik, resiprokal kritis sampai akomodatif. Hubungan antagonistik (1966-1981) mencerminkan pola hubungan yang hegemonik antara Islam dengan pemerintah Orde Baru. Keadaan negara yang kuat memainkan pengaruh ideologi politik sampai ke tingkat masyarakat bawah telah berlawanan dengan sikap reaktif kalangan Islam sehingga melahirkan konflik ideologi dan sekaligus menempatkan Islam sebagai oposisi.24 Kemudian pada tahap hubungan resiprokal kritis (1982- 1985) kaum santri berupaya merefleksikan kembali cara pandang mereka dan merubah dirinya 23
M. Syafi’i Anwar, Politik Akomodasi Negara dan Cendekiawan Muslim Orde Baru: Sebuah Retrospeksi dan Refleksi, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 32-235; Lihat juga Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1985), h. 108-110. 24 M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 9.
33
untuk menampilkan sisi intelektualitas dalam percaturan politik Indonesia. Pada tahap ini pilihan-pilihan rasional-pragmatis telah melahirkan saling pengertian akan kepentingan Islam dan pemerintahan Orde Baru. Dalam kurun waktu 1982-1985 sebagian kalangan Islam mulai menerima asas tunggal dalam landasan ideologi negara serta ormas dan orpol. Sedangkan hubungan akomodatif (1985-2000) hubungan Islam dan negara terasa lebih harmonis di mana umat Islam telah masuk sebagai bagian dan sistem politik elit dan birokrasi, Pola hubungan akomodatif ini sangat terasa berupa tersalurkannya aspirasi umat Islam untuk membangun tatanan sosial, politik, ekonomi dan budaya yang berakar pada nilai-nilai luhur agama (Islam) serta budaya bangsa yang dibingkai dalam falsafah integralistik Pancasila dan UUD 1945.25 Namun demikian, khusus dalam sudut pandang perkembangan hukum Islam di Indonesia kesempatan umat Islam untuk mendapatkan hak-haknya pada pola hubungan antagonistik lebih tampak. Posisi umat Islam yang begitu lemah, seperti ketika merumuskan UU Perkawinan No.1 tahun 1974, aliran kepercayaan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4), isu ekstrim kanan, isu suku, agama dan ras (SARA), isu kristenisasi dan kebijakan ekonomi kapitalistik. Protes umat Islam atas UU Perkawinan No.1/1974 yang disusul dengan PP No.9/1975, dianggap sebagai usaha Orde Baru untuk
25
Ibid., h. 238-239.
34
menggeser Hukum Islam dari akar tatanan sosial masyarakat Islam di Indonesia.26 Dapat dikatakan bahwa hubungan Islam dan negara pada tahap antagonistik lebih banyak peristiwa yang memunculkan pola hubungan yang tidak harmonis berupa konflik ideologis. Jika sebelumnya pada masa Orde Lama Islam lebih nampak mengkristal dalam bingkai organisasi politik Masyumi, tegas berhalapan dengan ideologi nasionalis sekuler (PNI Soekarnois) dan ekstrim kiri PKI, selanjutnya pada masa Orde Baru Islam terbelah dan terpecah-pecah dari bingkai Masyumi. Hal ini terjadi karena kebijakan ketat pemerintah Orde Baru dalam merespon munculnya ideologi Islam politik yang menguat kembali. Tersendat-sendatnya aspirasi umat Islam di dalam mendapatkan hak-hak perundang-undangan dan hukum tampak ketika dilegislasikannya UU Perkawinan No.1/1974 yang kemudian disusul dengan PP No.9/1975. Selanjutnya ditetapkan pula ketentuan tentang Wakaf dalam PP No.28/1977. Tidak berhenti sampai di situ, umat Islam di tingkat legislatif kembali mempersoalkan faham/aliran kepercayaan dalam UUD 1945 sebagai agama resmi yang diakui negara. Dan yang paling krusial adalah kehendak umat Islam untuk
26
dilegislasikannya
Rancangan
Undang-undang
Peradilan
Agama
Hasanudin M. Saleh, HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 88-90.
35
(RUUPA) bagi penyelenggaraan peradilan Islam di Indonesia. 27 Kemudian pada pola hubungan resiprokal kritis, umat Islam menyadari perlunya strategi untuk menempuh jalur struktural-birokrat pada sistem kenegaraan. Pada tahapan ini, kalangan cendekiawan dan politisi Islamharus berani bersentuhan langsung dengan pemerintahan Orde Baru.28 Melalui pendekatan struktural-fungsional, umat Islam relatif mengalami kemajuan pesat berupa masuknya kalangan Islam dalam segala sistem pemerintahan sipil mulai dari pusat hingga daerah, dan sekaligus memperkokoh kekuasaan Orde Baru dalam bingkai akumulasi sipil Islam dan militer. Pada pola akomodatif, sebagai antitesa dan pola hubungan sebelumnya Islam hampir menguasai seluruh sendi-sendi pemerintahan dan negara. Tercatat realitas sosial politik umat Islam demikian penting memainkan peranannya di pentas nasional. Kehadiran ICMI, 8 Desember 1990, diyakini sebagai tonggak baru menguatnya islamisasi politik di Indonesia, dan semakin tampak ketika diakomodirnya kepentingan syari’at Islam melalui UUPA No.7/1989 sekaligus menempatkan Peradilan Agama sebagai lembaga peradilan negara yang diatur dalarn UU Pokok Kekuasaan Kehakiman No.14/1970, disusul dengan UU Perbankan No.10/1998 (pengganti UU No.7/1992), UU Zakat No.38/ 1999,
27
Ahmad Sukarja, ‚Keberlakuan Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, dalam Cik Hasan Bisri (ed.) Bunga Rampai Peradilan Islam I, (Bandung: Ulul Albab Press, 1997), h. 24-25. 28 M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi, h. 241.
36
KHI Inpres No.1/1991.29 Artikulasi dan partisipasi politik kalangan umat Islam demikian tampak mulai dan pendekatan konflik, pendekatan resiprokal kritis sampai pendekatan akomodatif. Maka dapat diasumsikan untuk menjadikan Islam sebagai kakuatan politik hanya dapat ditempuh dengan dua cara yakni secara represif (konflik) dan akomodatif (struktural-fungsional). Paling tidak ini merupakan sebuah gambaran terhadap model paradigma hubungan antara Islam dan negara di Indonesia. Masa Reformasi
5.
Transisi
demokrasi
Indonesia
pasca
reformasi
mengubah
wajah
perpolitikan Indonesia. Kondisi negara yang tidak karuan menuntut berbagai pihak merasa perlu untuk mendesakkan demokrasi, kebebasan, transparansi, akutanbilitas publik, atas persoalan-persoalan bangsa, berkaitan dengan seluruh tananan masyarakat. Tak ayal pertentangan dan konflik sosial terus terjadi. Berbagai kepentingan, baik yang mendasari atas nama bangsa dan kelompok tertentu, juga ikut mewarnai. Terbukanya katub-katub kebebasan dalam berpendapat, berkumpul, dan berserikat menjadi salah satu pendorong menguatnya gerakan masyarakat sipil. Di satu sisi, gerakan ini menjadi harapan karena mampu mendorong dan menjadi stabilisator pemerintahan, namun di saat yang lain semakin mengancam. Kegetiran masyarakat atas berbagai persoalan
29
117.
20 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama dan Peradilan Islam, dalam Cik Hasan Bisri. h. 116-
37
terutama dalam hal ekonomi, politik, dan degradasi moral menjadikan masyarakat mencari alternatif baru. Salah satunya adalah munculnya berbagai pemikiran politik Islam yang kemudian melahirkan banyak gerakan. Konsolidasi di tingkatan negara terus dilakukan, namun pada saat yang sama, terdapat konsolidasi internal di kalangan umat Islam. Fenomena ini dapat dibaca dari munculnya gerakan politik Islam dengan berbagai isu aktual. Penegakan syariat, negara Islam, khilafah Islamiyah, masyarakat madani, dan gerakan-gerakan pelegal-formalan Islam dalam kehidupan politik. Selama Orde Baru (Orba), kekuatan politik Islam mengalami pasang surut. Pada masa awal Orba, Islam mengalami peminggiran dari negara. Umat Islam merasa kesulitan mengembangan gagasan-gagasan mengenai sosial-politik karena rezim Orba yang represif. Islam sedikit memperoleh angin segar saat masuk masa pertengahan akhir rezim Orba, namun kepentinganya juga masih banyak dikooptasi negara.30 Pada era reformasi, menguat pemikiran politik Islam dan juga muncul reaksi balik dari berbagai kelompok yang bersebrangaan. Kondisi ini memunculkan tiga kubu dalam masyarakat. Pertama, menginginkan legalitas politik Islam dalam sistem negara. Kelompok ini dikenal dengan kelompok simbolis, yakni berpegang pada model legalitas simbol-simbol Islam. Kedua,
30
Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia; Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat Madani, dan Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) Cet Ke-I h. 18-20
38
kelompok yang menolak masuknya sistem Islam dalam negara, namun merasa perlu memasukan etos atau spirit Islam dalam mendasari sistem negara. Kalangan ini dikenal dengan kelompk subtansialis. Ketiga, adalah kelompok yang membedakan antara kawasan pribadi dan publik dalam kenegaraan. Agama adalah wilayah pribadi yang tidak dapat dicampurkan dalam sistem publik, negara. Kelompok ini kemudian dikenal dengan kelompok liberal. Kelompok pertama menyakini bahwa kegagalan bangsa Indonesia membangun negara yang kuat adalah karena sistem yang dianut adalah sistem negara sekuler. Islam menjadi solusi atas segala krisis bangsa; kepemimpinan, ekonomi, relasi sosial dalam masayarakat dan moralitas. Masyarakat Indonesia perlu mengambil pedoman hidup dari inti sari nilai-nilai Islam dan praktik kenegaraan Islam masa Rasulullah. Pemahanan ini sendiri melahirkan banyak model gerakan Islam di Indonesia saat ini. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad (LJ), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) merupakan gerakan sosial-politik keagamaan Indonesia kontemporer. Gerakan-gerakan ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru, karena pada masa Orde Lama juga sudah muncul gerakan politik Islam serupa. Model pemikiran gerakan Islam Indonesia memiliki kemiripan karekteristik, yakni menuntut adanya legalisasi Islam dalam sistem sosial ataupun politik Indonesia. Bahkan, HTI sangat getol untuk meng-goal-kan khilafah Islamiyah atau pemeritahan Islam di Indonesia. Bagi HTI, pemerintahan Islam merupakan suatu
39
keharusan yang wajib ditegakkan. Model negara yang diimpikan HTI adalah transnasional yang membatasi wilayah geografis atau melintasi batas-batas negara yang sudah ada. Pemikiran negara HTI banyak terinspirasi pemikiran tokohnya Taqiyuddin an-Nabanyy dari Palestina. Pemikiran politik HTI banyak terispirasi model pemerintahan Rasulullah di Madinah dan kemudian berkembang pada sistem khilafah Islamiyah. Sementara, khilafah Islamiyah sendiri runtuh pada 1924, masa kepemipinan Turki Usmani dihancurkan kekuatan kapitalisme Barat.31 Berbeda dengan HTI, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) memandang bahwa pentingnya formalisasi agama dalam sistem sosial politik Indonesia. Sepintas, MMI tidak memiliki ide pendirian negara agama, namun lebih mengedepankan simbolisasi agama dalam negara. Inilah yang membedakan antara HTI dan MMI dalam menegakkan Islam. Bagi MMI, siapa pun yang menentang penegakan syariat harus ditentang dan dilawan, sekalipun dengan kekerasan. Doktrin ini kemudian banyak menjadi pemicu ketegangan di antara umat Islam, terutama kalangan moderat dan liberal. Tidak jarang, perbedaan pemahanan ini menimbulakan gesekan dan konflik keagamaan di Indonesia akhir-akhir ini. Laskar Jihad, FPI, dan KAMMI memiliki orietasi yang kurang lebih sama dengan MMI. Namun, masing-masing memiliki karakter yang berbeda dalam gerakan keagamaannya. Gerakan-gerakan 31
Ibid, h. 386
40
ini pun sering menimbulkan gesekan ketegangan di antara umat Islam dewasa ini. Pertikaian antara FPI dengan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Lapangan Monas Jakarta (1/06/08) merupakan fakta atas hal ini.
BAB III BIOGRAFI MUNAWIR SADZALI
A.
Riwayat Hidup Munawir Sjadzali Dilahirkan di sebuah desa bernama Karanganom sekitar delapan kilometer dari ibu kota Klaten, Jawa Tengah. Ibunya bernama Tas`iyah sedangkan ayahnya bernama Abu Aswad Hasan Sjadzali yang biasa dipanggil Mughaffir.1 Keluarganya merupakan keluarga yang tergolong miskin, sehingga tidak jarang ketika masih di Sekolah Rakyat, Munawir kecil berangkat sekolah pada pagi hari tanpa sarapan terlebih dahulu, kecuali setelah satu hari sebelumnya ibunya menjual kelapa dan dengan hasil menjual kelapa itu dibelikan bahan makanan untuk sarapan keesokan paginya. Pengiriman uang saku yang tertunda bahkan sering kali dikurangi serta biaya sekolah (SPP) yang selalu menunggak saat menimba ilmu di Manba`ul `Ulum, serta mungkin yang tidak pernah dia lupakan adalah ketika ibunya harus menjual jarit (kain panjang) bekas yang masih lumayan bagus untuk menebus ijazah aliyahnya. Meskipun secara ekonomi keluarganya sangat kekurangan, namun secara agama keluarganya tergolong baik, dikarenakan ayahnya yang pernah mondok di berbagai pesantren tradisional yang cukup terkenal saat itu, seperti Pesantren
1
Nama Tua, yaitu nama yang diberikan karena tradisi masyarakat Desa Karanganom kepada setiap pasangan laki-laki dan perempuan yang baru menikah, dengan nama tua itulah pasangan itu dipanggil baik oleh keluarga maupun oleh kawan dekat.
41
42
Jamsaren (Solo, Jawa Tengah), Pesantren Tebu Ireng (Jombang, Jawa Timur), dan Pesantren Termas (Pacitan, Jawa Timur). Selain itu, ayahnya juga seorang yang aktif di organisasi Muhammadiyah. Bahkan
ayahnya
pernah
menjabat
sebagai
Ketua
Pengurus
Ranting
Muhammadiyah di kampungnya. Selain itu, ayahnya juga termasuk pengamal atau pengikut tarekat Sjadzaliyah yang merupakan salah satu ordo mistik dalam mistisisme Islam. Di lingkungan masyarakat Desa Karanganom, ayahnya juga mendapatkan panggilan Kyai, sebuah panggilan kehormatan untuk seseorang yang dianggap memiliki wawasan ilmu-ilmu agama yang luas sekaligus pengakuan sebagai pemimpin informal bagi masyarakatnya. Munawir Sjadzali adalah anak sulung dari delapan bersaudara, lahir pada pukul 10 pagi hari Sabtu Pon, tanggal 19 Bakdo Mulud (Robi`ul Akhir) tahun Be, menurut ibunya yang buta aksara latin. Ketika Munawir Sjadzali duduk di bangku Madrasah Aliyah Manba`ul Ulum, ia mendapatkan pelajaran Ilmu Falak, dengan ilmu itu ia menemukan bahwa tanggal kelahirannya adalah 7 November 1925.2 Karir Munawir dimulai sebagai guru SD Islam di Unggaran, Semarang (1944-1945) selepas dari Manba`ul `Ulum. Proklamasi kemerdekaan di bulan Agustus 1945, membawa perubahan besar di Gunungpati yang perbatasannya 2
Konversi ini sesuai dengan yang terdapat dalam buku Almanak 130 Tahun, 1870 – 2000, terbitan PT. Citra Jaya Murti. Lihat M. Wahyuni Nafis, et.al., Kontekstualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, M.A (Jakarta: IPHI dan Paramadina, 1995), Cet. I, h. 7.
43
dengan Kota Semarang hanya dibatasi oleh aliran Kali Garang yang dangkal. Sehingga Gunungpati, secara langsung atau tidak langsung menerima dampak pertama dari apa yang terjadi di Kota
Semarang, terlebih ketika terjadi
“Pertempuran Lima Hari” yang dengan sendirinya menimbulkan masalahmasalah politik, keamanan, ekonomi, dan sosial. Dan seperti yang terjadi di banyak daerah di republik yang masih sangat muda saat itu, di Gunungpati juga segera terbentuk Gerakan Angkatan Muda guna mempertahankan kemerdekaan. Munawir segera bergabung di dalamnya dan terpilih sebagai ketuanya. Inilah kiprah politik yang pertama kali digelutinya. Selama
masa
mempertahankan
kemerdekaan,
Munawir
menjadi
penghubung antara Markas Pertempuran Jawa Tengah dengan Badan-badan Kelaskaran Islam yang ada saat itu (1945-1949). Pada hal tugasnya sebagai penghubung
berawal
dari
ketidaksengajaan,
hal
ini
bermula
ketika
diselenggarakan Kongres Pemuda di Yogyakarta. Seusai kongres Munawir dan kawan-kawannya kembali ke Gunungpati, namun truk yang mereka tumpangi terhenti di Ambarawa lantaran jalannya terhalang oleh potongan-potongan pohon yang ditebang oleh para pejuang. Saat itulah muncul keinginan dari kawan-kawannya untuk bergabung dengan kesatuan-kesatuan para pejuang. Akhirnya, Gerakan Angkatan Muda yang dipimpinnya membubarkan diri. Dan
44
Munawir sendiri, memilih untuk bergabung dengan kesatuan pejuang Islam Hizbullah.3 Selain Hizbullah, organisasi lain yang juga memilki peran yang sama dalam mempertahankan kemerdekaan dan sama besar pengaruhnya di Jawa adalah Sabilillah, namun antara keduanya tidak ada koordinasi sehingga sering terjadi misskomunikasi. Maka untuk menjembatani keduanya, dibentuklah Markas Pimpinan Pertempuran Hizbullah-Sabilillah (MPHS) yang berfungsi sebagai forum komunikasi dan koordinasi. Ternyata, MPHS tidak hanya menjadi jembatan bagi komunikasi dan koordinasi antara Hizbullah dan Sabillah, tetapi juga dengan sesama badan-badan kelaskaran lainnya. Dan Munawir
sebagai
orang
yang
dianggap
piawai
dalam
berdiplomasi
diikutsertakan dalam tugas ini. Pada Mei 1947, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang berisi tentang peleburan semua badan kelaskaran, termasuk Hizbullah dan Sabilillah, ke dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR) cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI). Karena menyadari tidak memiliki memiliki bakat dalam dunia militer, memilih kembali ke Solo dan kemudian aktif dalam Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Ketika meletus Peristiwa Madiun, saat itu Munawir tergabung dalam Kesatuan Aksi Pemuda Surakarta mewakili GPII. Dan ketika Belanda menduduki Solo dalam Agresi Militer II, Munawir kembali ke medan 3
Hizbullah adalah semacam unit militer bagi pemuda Islam yang dibentuk pada masa pendudukan Jepang, tepatnya pada akhir tahun 1944. Lihat Ahmad Syafi`i Ma`arif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 98
45
pertempuran bergabung dengan kesatuan-kesatuan yang memilih tetap beroperasi di daerah pendudukan. Tahun
1949
setelah
perang
mempertahankan
kemerdekaan
dan
terlaksananya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, Munawir kembali ke Kota Semarang, di kota itu ia sering keluar-masuk perpustakaan pribadi milik KH. Munawar Cholil guna mencari pemuas dahaganya terhadap ilmu pengetahuan, dengan latar belakang madrasah ia merasa memiliki akses terhadap kitab-kitab klasik Islam4 dan di tahun 1950 dia menulis sebuah buku yang berjudul Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam ?. Bukunya kemudian menarik perhatian Bung Hatta, sehingga akhirnya Munawir di panggil Bung Hatta. Menurut Bung Hatta, secara kualitas buku tersebut perlu dikembangkan dan berani menentang klise. Lewat Bung Hatta pulalah, pada 1950 itu Munawir memperoleh pekerjaan di seksi Arab / Timur Tengah Departemen Luar Negeri dengan tugas pokok menulis ringkasan surat kabar-surat kabar yang berasal negera-negara timur tengah. Pekerjaan itu semakin menambah pemahaman globalnya terutama segala hal yang berkaitan dengan timur tengah. Setelah satu tahun berada di Inggris dalam rangka melanjutkan studi ilmu politiknya, maka pada tahun 1954 dia kembali ke tanah air dan segera ditempatkan di Direktorat Eropa. 4
Dr. Azyumardi Azra, Saiful Umam, (ed.) Menteri-menteri Agama RI Biografi Sosial – Politik (Jakara: Badan Litbang Agama. Departemen Agama RI bekerjasama dengan PPIM-IAIN Jakarta, 1998), h. 371
46
Awal tahun 1955 dia ditarik ke Sekretariat Bersama Konferensi AsiaAfrika yang membuatnya terlibat penuh dalam urusan kesekretariatan pada konferensi bersejarah itu. Pertengahan tahun 1955 untuk pertama kalinya Munawir ditugaskan ke luar negeri, yakni diperbantukan di Atase/Sekretaris III Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington DC, Amerika Serikat. Tahun 1959-1963, Munawir diangkat menjadi Kepala Bagian Amerika Utara, Deplu RI. Kemudian tahun 1963-1965, dipindahtugaskan menjadi Sekretaris I KBRI di Colombo, Sri Lanka. Tahun 1965-1968 diangkat menjadi Kuasa Usaha KBRI di Colombo. Selama lima tahun kurang dua bulan dia di Colombo, sehingga ketika di tanah air terjadi peristiwa G30S / PKI, Munawir sedang bertugas di sana. Kemudian tahun 1969-1070, dia menjabat Kabiro Tata Usaha Sekjen Deplu, lalu antara tahun 1971-1976 menjabat sebagai Minster / Wakil Kepala Perwakilan RI di London. Karir Munawir semakin meningkat, sehingga pada 1971-1980 dia diangkat menjadi Duta Besar Reoublik Indonesia untuk Emirat Arab, yang meliputi Bahrain, Qatar, dan Perserikatan Keamiran Arab. Tahun 1980, dia menjabat Staf Ahli Mentri Luar Negeri Republik Indonesia, lalu tahun 19801983 dia menjabat sebagai Dirjen Politik Deplu. Dan di puncak karirnya, Presiden Soeharto mengangkatnya sebagai Menteri Agama Republik Indonesia
47
pada Kabinet Pembangunan IV (1983-1988), dan pada Kabinet Pembangunan V (1988-1993). Prof. Dr. Munawir Sjadzali M.A yang dikenal sebagai seorang diplomat, birokrat, pendidik, dan sekaligus sebagai pemikir, telah berpulang ke rahmatullah pada hari Jum`at, 23 Juli 2004 di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, akibat serangan penyakit stroke dan kompilasi dari beberapa penyakit lainnya. B.
Pendidikan Munawir Sjadzali Munawir Sjadzali kecil menerima pengajaran dan pendidikan dari ayahnya sendiri, kemudian ia juga mendapatkan pengajaran dan pendidikan dari Sekolah Rakyat (selama tiga tahun), kemudian dari Pondok Pesantren dan Madrasah, seperti Madrasah Ibtidaiyah, Madrasatul Islam, dan Madrasah Manba`ul Ulum5 yang terletak di Solo. Ketika di Madrasah yang juga Pondok Pesantren Manbaul `Ulum inilah dia mulai belajar Bahasa Arab yang meliputi mata pelajaran Nahwu (Imrithi, Mutammimah, dan Alfiyah), Shorof, Bayan, Ma`ani, Badi’, dan Arudl. Serta Theologis, Hadits, Tafsir (Al Jalalain), Fiqih (Fathul Qarib, Safinatunnajjah, Fathul Mu`in, Fathul Wahhab, dan Al Muhadzab), Ushul Fiqh (Irsyadul Fuhul,
5
Manbaul Ulum dikenal sebagai perintis dan pelopor pembaharu pendidikan Islam modern secara selektif mempergunakan sistam pendidikan barat. Didirikan tahun 1905 oleh R. Adipati Sosrodiningrat dan R. Penghulu Tafsirul Anam. Pada mulanya, lembaga pendidikan ini hanya berbentuk pesantren tradisional, kemudian pada 1916 diadakan modernisasi dengan sistem kelas, dari kelas I sampai XI. Lihat Mahmud Yunus, Pendidikan Agama dan Pengembangan Pemikiran Keagamaan, (Jakarta: Biro Hukum dan Humas Depag RI, 1985), h. 23.
48
dan Waroqot), Falaq, Balaghah, dan Ilmu Hitung.6 Intelektualitas Munawir semakin teguh ketika pada masa berkarir dia tidak hanya menguasai bahasa Jawa, Melayu, dan Arab. Tetapi juga menguasai bahasa Inggris, dan Prancis. Pada tahun 1953, Munawir berangkat ke Inggris untuk belajar ilmu politik di Universitas College of Sout West Of England, Exter. Dan sekembalinya dari Inggris, dia sempat ditempatkan di Direktorat Eropa, kemudian terlibat penuh dalam
urusan
kesekretariatan
pada
Konferensi
Asia-Afrika
yang
diselenggarakan di kota Bandung pada awal tahun 1955. Setelah
konferensi
Asia-Afrika
selesai,
dia
diperbantukan
di
Atase/Sekretaris III Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington DC, Amerika Serikat. Kesempatan ini dia manfaatkan untuk melanjutkan studinya sambil meniti karir, sehingga pada 1959 Munawir menyandang gelar Master of Arts dalam Bidang Ilmu Politik di Universitas Goergetown dengan tesis “Indonesia’s Moslem Pasties and Their Political Concept”. Setelah mendapatkan gelar M.A, karirnya terus meroket, berpindah dari satu tugas ke tugas yang lain, sampai akhirnya oleh Presiden Soeharto dia diangkat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia selama dua periode, yakni pada Kabinet Pembangunan IV (1983-1988), dan pada Kabinet Pembangunan V (1988-1993).
6
Munawir Sjadzali, Pendidikan Agama dan Pengembangan Pemikiran Keagamaan, (Jakarta: Biro Hukum dan Humas Depag RI, 1985), h. 23
49
Di sela-sela kesibukannya dalam melaksanakan tugas negara, dia juga dipercaya sebagai Guru Besar pada Program Pascasarjana IAIN, Jakarta.7
C.
Posisi Munawir Sjadzali Diantara Para Pemikir Islam Pada Masanya Sekembalinya dari luar negri, dan menjabat sebagai Menteri Agama, ketika itu pula, ia mulai melancarkan pemikiran-pamikirannya mengenai Islam. Agaknya Munawir tidak mengetahui perkembangan pemikiran Islam di tanah airnya sendiri. Ia kurang menyadari bahwa pembaharuan atau penyegaran pemikiran tentang Islam telah dimulai oleh orang-orang muda, seperti Nurcholis Madjid pada tahun 1970, Ahmad Wahid dan Djohan Effendi yang diikuti oleh Abdurrahman Wahid dari sayap tradisional. Serta dari kalangan yang lebih senior yaitu Harun Nasution, yang menyebarkan paham pembaharuan pemikiran Islam Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh di IAIN.8 Sejak aktif dalam pemikiran di Indonesia, Munawir boleh dikatakan menjadi fenomena “Kembalinya Si Anak Hilang” ia memilih jalan kritik, bahkan kritik tajam dan langsung, dari pada jalan persuasif. Ini disebabkan karena ia merasa memiliki penguasaan literatur keagamaan langsung dari bahasa Arab yang dijalin dengan pendekatan ilmu politik Barat yang tidak 7
Munawir Sjadzali; “Dari Lembah Keminskinan; Meniti Karir Merangkap Belajar”, M. Wahyuni Nafis, (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, M.A., (Jakarta: IPHI dan Paramadina, 1995), cet. I. h. 42-74. 8 M Dawam Rahardjo, Pulangnya Si Anak Hilang: Posisi Munawir Sjadzali di Tengah Pemikiran Islam Kontemporer, dalam Islam, Komarudin Hidayat, Ahmad Gaus AF, (ed.), Negara dan Civil Society, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 2005), Cet. Ke-I, h. 10
50
kentara, yang ia pelajari secara akademis di AS, namun ia lebih menampilkan diri dan percaya diri sebagai seorang ahli fikih lulusan Manba’ul Ulum, Solo. Pendekatannya yang konfrontatif, antara lain karena ia mendapat dukungan politik yang kuat dari rezim Orde Baru yang berkuasa dan merasa sangat kuat otoritas politiknya itu, menyebabkan ia mendapatkan perlawanan yang sangat sengit sebagaimana dialami oleh Nurcholish Madjid, Ahmad Wahid dan Harun Nasution. Namun Munawir merasa sama sekali tegar untuk terus menerus mengemukakan pendapatnya yang “kontroversial” itu. Dalam menjalankan misinya, Munawir telah menulis berbagai artikel, ceramah dan pidato resmi sebagai Menteri Agama. Dalam setiap pidato, ceramah dan artikelnya, ia selalu bersikap polemis, buktiya telah mengundang komentar lisan maupun tulisan terutama dari tokoh-tokoh Islam. Jika dibandingkan dengan Nurcholis Madjid yang dikenal Kritis dan juga polemis itu, tokoh yang lebih muda itu jauh lebih santun. Disamping kritik, Nurcholis Madjid masih membawa dakwah yang memberikan semangat, yaitu semangat peradaban Islam. Tapi Munawir lebih mengarah kepada kritik dan perubahan.9
D.
Corak dan Pengaruh Pemikiran Munawir Sjadzali di Indonesia Munawir Sjadzali adalah seorang pemikir yang lebih maju dari kebanyakan orang dimasanya, terbukti pada tahun 1950-an seusai mengikuti Muktamar GPII (Gerakan pemuda Islam Indonesia) di Semarang. Munawir 9
Ibid, h. 14
51
Sjadzali—yang seorang lulusan Madrasah Islam, Manba’ul Ulum—menulis sebuah buku kecil setebal 80 halaman yang ternyata sangat orisinal mengenai pemerintahan dan negara Islam, dengan judul “Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam?”10 Tulisan yang mungkin kurang ia sadari pentingnya itu, dengan takdir Tuhan jatuh ketangan Bung Hatta. Karangan itu menarik perhatian Hatta, seorang cendekiawan nasionalis, dan salah seorang Proklamator Kemerdekaan RI yang menjabat Wakil Presiden RI pada waktu itu, sehingga mengundang anak muda itu untuk datang ke Jakarta dan menanyakan apa cita-citanya. Ternyata pemuda lulusan Madrasah itu berkeinginan untuk menjadi seorang diplomat. Maka ia pun atas rekomendasi Bung Hatta memasuki Departemen Luar Negeri, dan kemudian sambil berkerja sempat bersekolah d Kursus Diplomatik dan Konsuler Deplu dan dilanjutkannya di Universitas Exter, Inggris (1953-1954). Sambil bekerja sebagai diplomat, ia sempat melanjutkan pelajarannya di bidang politik dan berhasil meraih gelar MA di Universitas Georgetown, AS, dengan tesis yang berjudul “Indonesia’s Muslim Parties and Their Political Consepts” sebuah tema yang aktual mengenai Islam Politik di Indonesia, sebuah tema yang ternyata dikembangkan lebih lanjut atara lain oleh Dr. A. Syafi’i Ma’arif, Dr.
10
45.
Nafis, (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, M.A, h.
52
Bahtiar Effendy dan Dr. Masykuri Abdillah pada generasi berikutnya dalam disertasi mereka.11
E.
Karya-karya Munawir Sjadzali Beberapa karya yang telah Munawir Sjadzali tulis mengenai beberapa bidang, mulai dari pengalamannya sebagai menteri agama, wawasan keislaman, ketatanegaraan, pendidikan agama, pemerintahan dan tentu saja tentang perkembangan pemikiran Islam. Adapun beberapa judul tulisan Munawir Sjadzali antara lain adalah sebagai berikut: 1.
Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam?. Semarang: Usaha Taruna, 1950 Partisipasi Umat Beragama dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: Biro
2
Hukum dan Humas Departemen Agama RI, 1984 3
Peranan Ilmuan Muslim dalam Negara Pancasila. Jakarta: Depag RI, 1984
4.
Kebangkitan Kesadaran Beragama Sebagai Motifasi Kemajuan Bangsa. Jakarta: Departemen Agama RI, 1988
5.
Reaktualisasi Ajaran Islam”, Iqbal Abdurrouf Saimima (ed). Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988
6.
Sjadzali, Munawir. Aspirasi Umat Islam terpenuhi Tanpa Partai Islam. Jakarta: Departemen Agama RI, 1992
11
M Dawam Rahardjo, Pulangnya Si Anak Hilang: Posisi Munawir Sjadzali di Tengah Pemikiran Islam Kontemporer, dalam Islam, Komarudin Hidayat, Ahmad Gaus AF, (ed.), Negara dan Civil Society, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 2005), cet I, h. 4
53
7.
Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press, 1993
8.
Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa. Jakarta: UI Press 1993
9.
Bunga Rampai wawasan Islam Dewasa Ini. Jakarta: UI Press. 1994
10. “Dari Lembah Kemiskinan”, dalam Muhamad Wahyuni Nafis, dkk (ed.) Kontekstualisasi Ajaran Islam : 70 Tahun Munawir Sjadzali. Jakarta: IPHI dan Paramadina, 1995. 11. Ijtihad dan Kemaslahatan Umat”, dalam Haidar Bagir dan Syafiq Basri (ed) Ijtihad Dalam Sorotan. Bandung: Mizan, 1996 12. Partisipasi umat beragama dalam pembinaan nasional. Munawir adalah seorang pemimpin pembaharu pemikiran Islam dan mempunyai banyak gagasan. Dialah yang menggagas pertemuan tahunan Menteri-Menteri Agama Negara Brunei Darussalam, Republik Indonesia, Malaysia dan Singapura. Ide dan gagasannya dalam kongres Menteri-Menteri Agama seluruh dunia di Jeddah pada tahun 1988, telah diterima beberapa negara, sehingga diadakan empat kali pertemuan tahunan untuk meningkatkan pembaharuan pemikiran perihal Islam di kalangan negara anggota. Dalam pengabdiannya, ia telah mendapatkan sejumlah penghargaan, termasuk dari sejumlah negara sahabat. Antara lain, penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana dan Satyalencana Karya Satya Kelas II dari Pemerintah Indonesia, Great Cordon of Merit dari Pemerintah Qatar, Medallion of the
54
Order of Quwait-Special Class dari Kuwait, dan Heung in Medal-Second Class dari Korea Selatan.
BAB IV ISLAM DAN POLITIK MENURUT MUNAWIR SJADZALI
A.
Konsepsi Munawir Sjadzali Tentang Hubungan Islam dan Politik Ketika pertama sekali pada akhir 80-an, Munawir Sjadzali melontarkan isu tentang reaktulisasi ajaran Islam yang berkaitan dengan gugatan yang cukup fundamental pada nas-nas syari’ah. Pada saat itulah ia mulai memasuki persoalan dilematis antara syari’ah yang bersifat holistik dan realitas keIndonesiaan yang bersifat domestik. Namun di luar dari pengemukaan ide tersebut, ia telah mencoba membangun karakter baru syari’ah, yang dalam lontaran politik, dikenal dengan istilah “membangun peradaban dan karakter masyarakat yang khas Indonesia (nation state and character building), yang pluralistik dan anti diskriminasi berdasarkan apapun”. Persamaan equalitas pria dan wanita dalam pandangan berbangsa, seperti terumuskan dalam UUD 1945, tidak hanya dalam urusan waris, tetapi hampir pada seluruh aspek kehidupan. Sementara itu dalam tafsir al-Qur’an dan al-Hadis dilema tersebut hampir terjadi di setiap aspek kehidupan. Dilema yang sama juga terjadi pada pergaulan antar umat beragama, antara muslim dan non muslim. UUD 1945 anti terhadap diskriminasi berdasarkan gender, agama dan lainnya, sedangkan syari’ah memberlakukan sebaliknya. 55
56
Menghadapi realitas seperti demikian, umat Islam Indonesia dihadapkan pada dua pilihan; antara menggunakan syari’ah yang ada secara fundamental, dengan konsekuensi umat Islam termarginalkan dalam pergaulan masyarakat modern yang berkembang dengan sangat kompleks, atau menyerahkan kepada hukum sekuler secara absolut tanpa bantahan, yang berarti meninggalkan doktrin al-Qur’an dan al-Hadis. Kemungkinan lain adalah menjadikan al-Qur’an dan al-Hadis sejalan dengan semangat perkembangan masyarakat, dengan tetap konsisten, tanpa mengubah identitas dasar Islam. Pilihan inilah yang kemudian didengungkan oleh beberapa pembaharu modern Islam termasuk Munawir Sjadzali. Keberadaan Munawir Sjadzali dalam wilayah intelektual Indonesia, tidak disangsikan lagi sebagai salah satu pemikir modern dalam wacana pemikiran politik Islam di Indonesia. Di satu sisi kehadirannya mampu mendobrak tatanan baru pola pemikiran politik Islam dengan menghadirkan suasana baru ketika berhadapan dengan teks-teks Islam. Dan di sisi lainnya secara genial ia mampu memadukan gagasan-gagasan yang ada dalam berbagai tradisi yang berbeda berdasarkan beberapa kerangka teoritisnya. Sebagai Menteri Agama, Munawir telah beberapa kali mengeluarkan kebijakan berkenaan dengan kehidupaan keagamaan dan lembaga keagamaan. Namun secara umum kebijakan-kebijakan itu berada di bawah semangat Munawir untuk merumuskan hubungan yang viable antara Islam dan negara. Rumusan yang diajukan Munawir memiliki afinitas dengan mainstream
57
kebijakan negara yang ingin meneguhkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh organisasi politik dan organisasi sosial kemasyarakatan, termasuk yang berhaluan keagamaan. Konsep-konsep yang dibawa Munawir mendapat dukungan sepenuhnya dari negara. Tidak heran jika semasa Munawir menjabat Menteri Agama pemerintah Orde Baru mengakomodasi banyak kepentingan umat
Islam.
Tercatat
beberapa
peraturan-peraturan
yang
nampaknya
menguntungkan Umat Islam sebagai hasil konsesi pemerintah terhadap keadaan umat Islam dan Departemen Agama seperti UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres no. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.1 Dalam pemikiran politik Munawir Isu negara Islam itu sebenarnya sangat modern—artinya pada zaman nabi tidak pernah ada perdebatan apakah perlu negara Islam atau tidak. Tetapi begitu ada konsep tentang negara, dan ada pengertian baru tentang pemerintahan modern, maka wacana tentang negara Islam mulai lahir. Maka wacana negara—seperti Islam—sebenarnya berkaitan dengan perkembangan baru dunia Islam pasca-kolonial, bukan wacana berdasarkan syari’ah yang abadi dan tidak berubah. Tema melawan teokrasi ini biasanya dibicarakan dengan cara silent syari’ah.2 Kunci utama dari pendukung
1
Bahtiar Effendy, Hendro Prasetyo dan Arief Subhan, “Munawir Sjadazali; Pencairan Ketegangan Ideologis” dalam Azyumazri Azra dan Saiful Anam (ed.), Menteri-Menteri Agama RI; Biografi Sosial Politik (Jakarta: INIS, 1998), h. 411 2 Dalam perspektif pemikiran ada tiga cara pembacaan syari’ah golongan Islam Liberal ini: (1) The liberal syari’ah (suatu model yang menganggap bahwa syari’ah itu sendiri berwatak liberal jika ditafsirkan secara tepat); (2) The silent syari’ah ( Islam menjadi liberal karena syari’ah mendiamkan topik-topik tertentu, sehingga umat Islam bebas mengadopsi watak liberalisme); dan (3)
58
tema ini adalah penolakan terhadap apa yang disebut “mitologi negara Islam”, yaitu sebuah negara yang berdasar pada pemahaman total hukum Islam (syari’ah) dan peleburan monopolistik kekuasaan dan agama. Gerakan ini juga mendesakkan dialog antar agama dan perjuangan untuk menciptakan sebuah masyarakat politik demokratis dan pluralistik. Dalam konteks Indonesia, masih menurut Munawir, mengkaji gerakan Islam politik tidak bisa dinilai secara apriori sebagai bentuk tentatif dari tarik menarik kepentingan di ranah politik saja. Gerakan Islam politik di Indonesia tidaklah hadir secara spontan. Paling tidak ada empat hal yang melatarinya. Pertama, globalisasi, dengan medium kecanggihan teknologi komunikasi, seperti televisi, internet dan sebagainya, telah menyingkap tabir-tabir penindasan dan kekerasan yang dialami sebagian masyarakat Islam di berbagai belahan dunia seperti Pelestina, Afganistan, Irak, sehingga memunculkan solidaritas umat Islam Global. Kedua, Islam politik sebenarnya merupakan gejala politik keagamaan yang tidak bisa dipisahkan dari konteks power struggle. Di dalamnya terjadi perkawinan yang sempurna antara politik dan agama. Motif-motif politik yang
The interpreted syari’ah (Islam menjadi liberal jika syari’ah ditafsirkan secara liberal, sebab pemaknaan syari’ah dikembalikan pada penafsiran manusia). Hermeneutika yang paling kontroversial dari tiga konsep tersebut ialah konsep interpretasi syari’ah, di mana menurut mereka syari’ah perlu ditafsirkan kembali. Itulah sebabnya golongan ini mencoba melakukan penafsiran. Ketiga istilah ini cukup menarik, karena sejauh ini belum pernah ada yang membuat kategori pembacaan syari’ah yang tajam seperti ini, yang bisa menyadarkan kita bahwa di kalangan Islam liberal sekalipun ada konflik penafsiran mengenai Islam dan semuanya dalam koridor klaim mencari otentisitas hukum Islam yang mampu berdialektika dengan realitas keindonesiaan. Lihat Maksum Fuad, Hukum Islam Di Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, (Yogyakarta: LKIS, 2005), h. 19
59
berupaya menempatkan Islam dalam lingkar kekuasaan negara, sebagai sistem yang mengatur semua aspek kehidupan, termasuk norma hukum, sosial-budaya, sistem ekonomi, dan tata hubungan internasional, mendapatkan legitimasinya dalam bahasa agama. Ketiga, “pengalaman” politik Indonesia di awal kemerdekaan, mengenai rasionalisasi birokrasi yang berimplikasi pada “perampingan” laskar rakyat hanya pada laskar yang mendapat pendidikan dan pelatihan dari Belanda dan Jepang sedangkan yang berasal dari “inisiatif” rakyat seperti laskar di bawah komando Ibnu Hajar di Kalimantan, Kahar Muzakar di Makasar dan sebagainya tidak mendapat ruang politik dalam pemerintahan yang baru. Akibatnya, kelompok yang tersingkirkan ini menjadi gerakan “pemberontak” yang mengusung negara Islam dan penegakan syariat Islam., karena sejak awal mereka memang menjadikan Islam sebagai simbol perlawanan terhadap penjajah. Keempat, adanya “pengalaman” penerapan syariat Islam di masa-masa kerajaan dahulu, seperti pernah termaktub dalam Undang-undang Sultan Adam tahun 1835 yang dikeluarkan oleh Sultan Adam al-Watsiq billah, di masa kerajaan Banjar ataupun yang terjadi Aceh dan Padang-Minangkabau. Hal ini tentunya menjadi “ingatan“ yang tetap hidup dalam bawah sadar sosial masyarakat tertentu. Keempat realitas ini tidak dilihat dalam kerangka “tradisionalis” yang beranggapan bahwa Indonesia memiliki legitimasi historis dalam penerapan dan
60
penegakan syariat Islam di Indonesia. Juga bukan dalam kerangka “liberalis” yang mengganggap bahwa “pengalaman” penerapan syariat Islam tidak memiliki akar historisnya di Indonesia. Kerasnya sikap kaum muslim dalam memperjuangkan aspirasi politik ternyata membawa implikasi negatif—jika tidak boleh dikatakan merugikan— masyarakat Islam sendiri, baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru. Di kalangan pemerintah tidak hanya muncul kecurigaan terhadap kaum muslim, tetapi mereka juga dipandang sebagai kelompok yang tidak sepenuhnya bersedia menerima Pancasila sebagai ideologi negara. Situasi demikian pada gilirannya menimbulkan respons balik. Tidak sedikit pemikir dan aktivis politik Islam yang memandang negara dengan curiga. Dalam kaitan ini dapat dikatakan bahwa dalam negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam berkembang rasa saling curiga antara kelompok Islam dan negara. Dalam situasi sosial politik seperti inilah Munawir diangkat sebagai Menteri Agama. Di sini Munawir segera dihadapkan kepada kelompokkelompok Islam lama yang masih memperjuangkan ideologi Islam dan secara apriori menolak Pancasila sebagai asas tunggal; kalangan intelektualisme baru yang tidak lagi memperjuangkan ideologi Islam atau negara Islam, sebaliknya malah bersemboyan “Islam Yes, Partai Islam No”, dan kalangan ormas-ormas Islam yang lain masih bersikap menunggu. Perkembangan-perkembangan yang terjadi di kalangan umat Islam Indonesia tersebut tidak terlepas dari pengamatan Munawir, meskipun secara
61
formal ia bekerja di Departemen Luar Negeri. Bahkan karena tidak terlibat langsung dalam organisasi-organisasi Islam, Munawir mengakui dapat sepenuhnya mendudukkan diri sebagai pengamat. Bahkan dengan posisinya ini, ia dapat berpikir dan menganalisis secara “objektif” perkembangan yang terjadi di kalangan umat Islam Indonesia.3 Problematika hubungan Islam dan negara di tanah air sebenarnya setua Indonesia sendiri. Sejak perdebatan konstituante pasca kemerdekaan (akhir tahun 1950-an), masalah ini meruncing dan tidak pernah terselesaikan. Perdebatan berkisar tentang bentuk negara yang hendak diciptakan, apakah teokratis atau sekuler. Dua sisi ekstrim yang sulit dipertemukan. Akhirnya jalan tengah yang paling baik ditempuh yaitu negara yang non teokratis tetapi agama dilihat sebagai satuan denominasi dalam masyarakat yang diakui dan dipelihara oleh negara. Negara Pancasila itulah sebutannya. Pada dasarnya dalam perspektif pemikiran politik Islam, setidaknya ada tiga paradigma hubungan antara agama dan negara yaitu: Pertama, paradigma integralistik. Dalam konsep ini agama dan negara menyatu (integral). Agama Islam dan negara, dalam hal ini tidak dapat dipisahkan. Wilayah agama juga meliputi wilayah negara (din wa dawlah). Karenanya menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar 3
Bahtiar Effendy, Hendro Prasetyo dan Arief Subhan, “Munawir Sjadazali; Pencairan Ketegangan Ideologis” dalam Azyumazri Azra dan Saiful Anam (ed.), Menteri-Menteri Agama RI; Biografi Sosial Politik (Jakarta: INIS, 1998), h. 392.
62
“kedaulatan ilahi” (devine sovereignity) karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di tangan Tuhan.4 Paradigma ini dianut oleh kelompok Syi’ah. Hanya saja dalam term politik Syi’ah, untuk menyebut negara (ad-dawlah) diganti dengan istilah imamah (kepemimpinan). Sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan mempunyai fungsi menyeleggarakan “kedaulatan Tuhan”, negara dalam perspektif Syi’ah bersifat teokratis, salah satu wacana yang dikritik oleh kaum Islam liberal. Negara teokratis mengandung unsur pengertian bahwa kekuasaan mutlak berada di “tangan” Tuhan, dan konstitusi negara berdasarkan pada wahyu Tuhan (syari’ah). Paradigma integralistik ini yang kemudian melahirkan paham negara agama, di mana praktek ketatanegaraan diatur dengan menggunakan prinsipprinsip keagamaan, sehingga melahirkan konsep Islam din wa dawlah. Sumber hukum positipnya adalah sumber hukum agama. Selain kelompok Syi’ah, pendukung paradigma ini juga berasal dari kelompok Suni seperti Hasan alBanna, Sayyid Quthb, Sekh Muhammad Rasyid Rida dan Maulana AlMaududi.5 Kedua, Paradigma Simbiotik. Menurut pandangan ini agama versus negara berhubungan secara simbiotik, yakni suatu hubungan yang bersifat
4
Din Syamsudin, “Usaha Pencarian Konsep Negara Dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No.2 Vol.IV (tahun 1993), h. 5. 5 Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1993), h. 130. Baca juga Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 24.
63
timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara karena dengan negara agama dapat berkembang, sebaliknya negara memerlukan agama, karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan moral dan etika. Paradigma simbiotik ini dapat ditemukan dalam pemikiran alMawardi dalam bukunya al-Ahkam al-Sultaniyyah. Dalam buku ini ia mengatakan bahwa kepemimpinan negara (imamah) merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia (harasah al-din wa al-dunya). Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktifitas yang berbeda, namun mempunyai hubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian. 6 Dalam konsepsi al-Mawardi tentang negara, syari’ah mempunyai posisi sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas politik. Dalam ungkapan lain al-Mawardi mencoba mengkompromikan realitas politik dengan idealitas politik seperti disyaratkan oleh agama, dan menjadikan agama sebagai alat justifikasi kepantasan atau kepatutan politik. Dengan demikian, al-Mawardi sebenarnya mengenalkan sebuah pendekatan pragmatik dalam menyelesaikan persoalan politik ketika diperhadapkan dengan prinsip-prinsip agama. Pemikir-pemikir lain juga berpendapat demikian adalah al-Ghazali (w. 1111) dalam karyanya Nasihat al-Mulk, Kimiya-yi al-Sa’adat dan al-Iqtisad fi al-I’tiqad.7
6 7
Dien Syamsuddin, Usaha ., h. 6 Ibid., h. 7
64
Ketiga, Paradigma Sekularistik. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun hubungan simbiotik antara agama dan negara. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan pemisahan antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu dari negara. Pemrakarsa paradigma ini adalah Ali Abd al-Raziq, seorang cendekiawan muslim dari Mesir. Dalam bukunya al-Islam wa Usul alHukm, Raziq mengatakan bahwa Islam hanya sekedar agama dan tidak mencakup urusan negara; Islam tidak mempunyai kaitan agama dengan sistem pemerintahan kekhalifahan, termasuk kekhalihan Khulafa’ al-Rasyidin, bukanlah sebuah sistem politik keagamaan atau keislaman, tetapi sebuah sistem yang duniawi. Ali Abd Raziq sendiri menjelaskan pandangan pokok pandangannya bahwa: ”Islam tidak menetapkan suatu rezim pemerintah tertentu, tidak pula mendasarkan kepada kaum muslim suatu sistem pemerintahan tertentu lewat mana mereka harus diperintah; tetapi Islam telah memberikan kita kebebasan mutlak untuk mengorganisasikan negara sesuai dengan kondisi-kondisi intelektual, sosial, ekonomi yang kita miliki dan dengan mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan zaman”.8
Pandangan Raziq ini tentu saja menyulut kontroversial bahkan hingga sekarang. Rashid Ridha merasa gerah dengan pikiran Raziq sehingga menulis
8
Dikutip dari M. Din Syamsuddin, Usaha…,h. 7. Penjelasan lain mengenai pemikiran Ali ‘Abd al-Raziq ini lihat pula Leonard Binder, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologis (Chicago: Chicago of University Press, 1988), h. 128-169.
65
buku “al-Khilafah au al-Imamah al-Uzma” dan “Yusr al-Islam wa Usul alTasyri’ al-Am”. Munculnya karya Khalid Muhammad Khalid “Min Huna Nabda’”, karya al-Gazali “Min Huna Na’lam”, karya Sayyid Qutb “al-‘Adalah al-Ijtimaiyyah”, Muhammad ‘Imarah “al-Islam Wa Usul al-Ahkam Li ‘Ali ‘Abd al-Raziq”, semuanya merupakan diskusi lebih lanjut tentang perbedaan pendapat mengenai Islam versus negara. 9 Tokoh lain yang mengikuti pendapat ini adalah Thaha Husein.10 Namun yang menarik adalah hasil penelitiannya Muhammad Qasim Zaman di mana setelah melacak kembali data-data sejarah awal Islam akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa “tidak ada bukti sejarah yang kuat yang mengindikasikan adanya pemisahan agama dari politik dalam sejarah Islam”11 Dalam konteks Indonesia, polarisasi itu juga terjadi, namun bagi Munawir setelah menganalisa ketiga pemikiran yang
berkembang akhirnya ia
berkesimpulan: Setelah memperhatikan kelemahan-kelemahan mendasar pada dua aliran (integralistik dan sekularistik), kiranya bertanggung jawab terhadap
9
Akh. Minhaji, “Sekali Lagi: Kontroversi Negara Islam” dalam Majalah Asy-Syir’ah No. 6 (tahun 1999), h. 12. 10 Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1993), h. 137. Informasi lebih lanjut tentang pemikiran dan kritik atas ide Husein ini dapat dibaca pada Syahrin Harahap, AlQur’an dan Sekularisasi; Kajian Kritis terhadap Pemikiran Thaha Husein (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994). 11 Muhammad Qasim Zaman, “The Caliph, The Ulama, and The law: Defining the Role and Function of the Caliph in the Early ‘Abbasidh Period,” Islamic Law and Society 4 (January 1997), h. 1-36.
66
Islam kalau kita kemudian cenderung mengikuti aliran simbiotik yaitu paradigma penengah antara integralistik dengan paradigma sekularistik.12 Lebih lanjut Munawir mengemukakan bahwa bangsa Indonesia khususnya umat Islam patut bersyukur bahwa para pendiri negara ini telah merumuskan Pancasila untuk dijadikan ideologi negara. Dengan demikian, hendaknya umat Islam Indonesia menerima negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini sebagai sasaran akhir dari aspirasi politiknya. Dalam kaitan ini dapat dikemukakan, baik dalam sistem politik maupun sistem hukum, terdapat persamaan antara Republik Indonesia dan sebagian besar dari negara-negara Islam yang ada di dunia sekarang ini, sama-sama mengikuti pola politik barat, dengan adaptasi dan modifikasi, dan sama dalam hal, selain dalam bidangbidang perkawinan, pembagian warisan dan perwakafan, sistem hukum di negara-negara tersebut tidak sepenuhnya bersumberkan hukum Islam. 13 Pandangan Munawir
ini diperkuat oleh Ibrahim Hosen dengan
mengatakan bahwa NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah termasuk Dar al-Islam yang pemerintahannya wajib ditaati oleh warga negara RI yang beragama Islam, sejalan dengan firman Allah di dalam QS. An-Nisa (4): 59
12
Munawir Sjadzali, Islam dan . , h. 235-336. Munawir Sjadzali, Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa. (Jakarta: UI Press 1993), h. 61-66. 13
67
÷Λäôãt“≈uΖs? βÎ*sù ( óΟä3ΖÏΒ Í÷ö∆F{$# ’Í<'ρé&uρ tΑθß™§9$# (#θãè‹ÏÛr&uρ ©!$# (#θãè‹ÏÛr& (#þθãΨtΒ#u tÏ%©!$# $pκš‰r'‾≈tƒ ×öyz y7Ï9≡sŒ 4 ÌÅzFψ$# ÏΘöθu‹ø9$#uρ «!$$Î/ tβθãΖÏΒ÷σè? ÷ΛäΨä. βÎ) ÉΑθß™§9$#uρ «!$# ’n<Î) çνρ–Šãsù &óx« ’Îû (٥٩ : ٤ / ¸ ) أــءξƒÍρù's? ß¡ | ômr&uρ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
Alasan Hosen adalah bahwa di Indonesia mayoritas penduduknya adalah beragama Islam. Umat Islam bukan saja dilindungi dan dijamin hak-haknya, akan tetapi juga diberi kebebasan berdasarkan undang-undang untuk mengamalkan ajaran agamanya, bahkan mengembangkan dan menyebar luaskannya. Lebih dari itu malah, pemerintah membantu dan ikut aktif mengembangkan, memajukan dan menyemarakkan syi’ar agama Islam. 14 Alasan lain adalah bahwa dalam proses penyusunan UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara serta isinya sesuai dengan teori dan konsepsi siyasah Islam yang mengedepankan musyawarah dan tidak ada satu butirpun yang merugikan atau mempersulit, prinsip-prinsip keadilan juga tercermin di sana serta semangat dan jiwanya relevan dengan prinsip-prinsip umum pensyari’atan hukum Islam. Untuk itu dilihat dari sisi ini pun menurut Ibrahim
14
Panitia Penyusunan Biografi KH. Ibrahim Hosen, Prof. KH. Ibrahim Hussein dan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Putra Harapan, 1990), h 137-138.
68
Khosen, pemerintahan RI tidak diragukan lagi bahwa eksistensinya cukup Islami dan oleh sebab itu kebijakannya wajib ditaati selama untuk kemaslahatan.15 Tokoh lain yang memperkuat pandangan politik Munawir ini adalah KH. Sahal Mahfud (Mantan Rois Am NU). Sahal berpandangan bahwa Islam dan politik mempunyai titik singgung yang erat, bila keduanya dipahami sebagai sarana menata kebutuhan hidup manusia secara menyeluruh. Islam tidak hanya dijadikan kedok untuk mencapai kepercayaan dan pengaruh dari masyarakat semata. Politik juga tidak hanya dipahami sekedar sebagai sarana menduduki posisi dan otoritas formal dalam struktur kekuasaan. Menurut Sahal dalam konteks Indonesia, korelasi Islam dan politik juga menjadi jelas dalam penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas berbangsa dan bernegara. Ini bukan berarti menghapus cita-cita Islam dan melenyapkan unsur Islam dalam percaturan politik di tanah air. Sejauh mana unsur Islam mampu memberikan inspirasi dalam percaturan politik, bergantung pada sejauh mana kalangan muslimin mampu tampil dengan gaya baru yang dapat mengembangkan kekayaan pengetahuan sosial dan politik untuk memetakan dan menganalisis transformasi sosial.16 Jadi dalam rumusan Sahal, Islam dipandang sebagai kekuatan integratif terhadap negara. Islam adalah faktor komplementer bagi komponen-komponen
15 16
Ibid ., h. 139. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial (Yogyakarta: LKIS, 1994), h. 207-208.
69
lain bukan sebagai faktor tandingan yang justru berpotensi menciptakan disintegrasi terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsekuensinya sebagai faktor integratif, maka Islam harus difungsikan sebagai pendorong tumbuhnya partisipasi penuh dalam rangka membentuk Indonesia yang kuat, demokratis dan berkeadilan.17 Pemenuhan keadilan dan kesejahteraan inilah yang harus bagi suatu pemerintahan yang didukung oleh masyarakat. Rasulullah sendiri sebenarnya memberikan isyarat, bahwa kekuasaan memang bukan tujuan dari politik kaum muslimin. Rasulullah sendiri mencanangkan usaha perbaikan budaya politik atau pelurusan pengelolaan kekuasaan dan menghimbau kaum muslimin terutama ulama dan para elite politiknya untuk menjaga moralitas politik.18 Disaat umat Islam dengan semangat kepartaiannya tidak dapat hadir lagi di panggung politik nasional, serta semakin membaiknya hubungan Islam dan Orde Baru saat itu, ternyata banyak lahir sejumlah kebijakan politik pemerintah yang mengakomodasi aspirasi umat Islam. Antara lain kebijakan mengenai Undang-Undang Pendidikan Nasional (1988), Undang-Undang Peradilan Agama (1989), dukungan terhadap berdirinya wadah Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (1990), Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama tentang Efektiifitas Pengumpulan Zakat (1991), dan 17
Ibid., h. 249. Nampaknya pandangan Sahal tentang Islam dan negara Pancasila ini sejalan pemikiran yang sudah lama berkembang dalam NU yang notabene menjadi tempat berkiprahnya Sahal. Bagi NU, negara Pancasila merupakan bentuk final bangsa Indonesia yang pluralaristik ini. Informasi lebih lanjut bagaimana proses penerimaan Nu terhadap Pancasila sebagai asas tunggal, baca Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara, alih bahasa Lesmana (Yogyakarta: LKiS, 1999), h. 233-249. 18 Ibid. h. 256
70
surat Keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah P&K tentang diizinkannya Pemakaian Jilbab bagi Pelajar Putri.19 Hal ini merupakan jasa-jasa Munawir Sjadzali saat beliau menjadi Menteri Agama RI. Kiranya apresiasi “politik” semacam itulah yang yang diinginkan oleh Munawir Sjadzali yang dalam berbagai kesempatan menegaskan ”Tanpa partai poltik Islam, kepentingan umat Islam justru lebih berhasil diperjuangkan.”20
B.
Analisa Pemikiran Munawir Sjadzali Tentang Bentuk dan Sistem Pemerintahan Pada
akhir
1990,
Munawir
Sjadzali
mempersembahkan
kepada
masyarakat sebuah buku dengan judul Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Buku tersebut semula ditulisnya sebagai buku panduan bagi mahasiswa S3 yang mengambil mata kuliah al-Fiqh al-Siyasi. Dengan sikap rendah hati dan kejujuran diakuinya bahwa pemikiran yang ditulisnya itu merupakan hasil akhir sementara dari suatu pengembaraan intelektual yang cukup panjang dan penjelajahan ilmiah yang lumayan luasnya yang terdorong oleh obsesi untuk dapat menjawab tentang ada atau tidak adanya teori atau konsep politik / ketatanegaraan dalam Islam.
19
M Safi’I Anwar, “Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia”, “Sebuah Kajian Politik Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru” (Jakarta: Paramadina, 1995), h.12 20 Munawir Sjadzali, Aspirasi Umat Islam Terpenuhi Tanpa Partai Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1992) h. 118
71
Pendekatan yang ditempuh Munawir Sjadzali agak berbeda dengan ilmuwan lain dan menunjukkan sikap intelektual muslim yang langka ditemukan di masyarakat kita dewasa ini. Beliau menyatakan; ''Tanpa dibebani misi untuk membuktikan sesuatu, serta sama sekali tanpa praduga dan prakonsepsi, saya masuk ke khazanah kepustakaan Islam termasuk karya-karya klasik, dengan kepala terbuka mengkaji apa pun yang saya jumpai dan mempunyai kaitan dengan pencarian saya itu, dengan menjunjung tinggi kejujuran tentang dan terhadap Islam, dan menaati kaidah-kaidah keilmuwan dan objektivitas intelektual.'' ''Kemudian pada akhir kajian nanti akan saya susun hasilhasil penggalian saya itu, dan akan saya katakan: Inilah Islam sejauh yang saya temukan sampai hari ini. Kalau misalnya di kemudian hari saya menemukan fakta-fakta baru yang tidak senapas dengan apa yang selama ini saya miliki, tetapi mempunyai dasar ilmiah yang cukup kuat untuk diperhatikan, maka demi Islam dan demi ilmu, saya tidak akan segan-segan meninjau kembali apa yang selama ini saya yakini. Itulah sebabnya mengapa di muka tadi saya menyatakan bahwa buku Islam dan Tata Negara itu merupakan hasil akhir sementara. Artinya, sementara sampai saya menemukan fakta-fakta baru yang lebih menguatkan isi buku itu atau sebaliknya yang berbeda dari hasil pencarian saya selama ini.”21
Tidak semua orang sependapat dengan kesimpulan penelitiannya itu. Seorang ilmuwan dan tokoh politik Islam ketika itu setelah membaca tesisnya, menyatakan penyesalannya bahwa Munawir Sjadzali menulis tesis itu atas dasar ilmu untuk ilmu dan kurang memperhatikan tuntutan perjuangan Islam. 22 Hal yang sangat mengesankan pada Munawir Sjadzali ialah ungkapan yang sering
21
Munawir Sjadzali, Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa Ini, (Jakarta: UI Press, 1994),
22
http://groups.yahoo.com/group/IslamProgresif/message/601 diakses pada 1 september
h 45-46 2010.
72
disitirnya dalam berbagai tulisan dan pemikirannya, "Sebagai seorang muslim saya ingin mengikuti tradisi keilmuwan Imam Abu Hanifah. Merupakan suatu kebiasaan yang sangat terpuji bahwa beliau selalu menutup fatwa dengan ucapan: Apa yang baru saja saya katakan itu (hanyalah) suatu pendapat, dan inilah yang terbaik yang dapat saya berikan. Kalau kemudian ada orang (lain) yang datang dan memberikan pendapat yang lebih baik dari pendapat saya ini, maka (pendapat) dialah yang lebih tepat untuk dianggap sebagai yang benar daripada (pendapat) saya."
C.
Relevansi Pemikiran Munawir Sjadzali bagi Indonesia Dewasa ini Gerakan Islam yang memperjuangkan formalisasi Syariat Islam dalam Institusi negara / pemerintah merupakan arus baru dalam perkembangan Islam mutakhir di Indonesia karena menampilkan Islam serba syariat dengan orientasi yang formalistik ideologis. Gerakan ini berbeda dengan gerakan Islam politik lama yang diwakili oleh gerakan kultural seperti NU, Muhammadiyah, maupun kelompok intelektual baru, dengan coraknya yang inklusif-subtantif. Kelompok Islam politik masa reformasi ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok Tarbiyah, Hizbutahrir Indonesia, FPI, Majlis Mujahidin dan lainnya. Secara umum, Islam politik Pasca Orde Baru, dapat dikategorikan kedalam dua kelompok besar yaitu kelompok yang bertipe struktural dan kelompok yang bertipe kultural. Kelompok pertama, diwakili oleh partai-partai politik Islam, baik yang secara eksplisit merupakan partai Islam PBB, PKS, PKNU, PPP dan
73
yang lainnya. Serta partai-partai yang basis masanya lebih dominan berbasiskan masyarakat muslim seperti PAN, dan PKB. Kelompok kedua, diwakili oleh Fron Pembela Islam, Forum Komunikasi Ahlu Sunnah Wal Jamaah atau biasa dikenal sebagai Laskar Jihad, MMI, HAMMAS, Ikwanul Muslimin maupun Hizbutahrir. Kelompok ini di tengarai berhaluan puritan, berkarakter militan, radikal, skriptualis, konserpatif dan ekslusif. Meski memiliki platform berbeda, tapi mereka memiliki satu visi yitu pembentukan negara Islam (daulah Islamiyah) dan formalisasi syariat Islam merupakan muara dari semua aktifitas mereka. Menarik untuk dicatat, bahwa belakangan ini bermunculan perda-perda di beberapa daerah yang bernuansa syariah. Yang mana ketika lahirnya perdaperda yang bernuansa syariat ini, melalui dialektika politik yang cukup dramatis. Pertama, bahwa lahirnya perda yang bernuansa syariat ini mustahil terwujud jika hanya dimainkan oleh kelompok Islam kultural tanpa adanya sumbangsih dari beberapa kekuatan politik lain. Kekuatan politik yang dimaksud adalah sokongan dari partai politik dan pihak ekslusif. Lahirnya. Lahirnya perda syariat tidak bisa lepas dari peran optimal partai-partai sekuler—lebih khusus partai Golkar. Dan partai partai sekuler lainnya menunjukan paradigma yang cunderung pragmatis pada masa reformasi ini. Ditangan mereka isu syariat menjadi isu yang seksi untuk ditunggangi bagi kepentingan akumulasi kekuatan mereka. Perda syariat ditangan mereka menjadi terpolitisasi.
74
Kedua, faktor sejarah (romantisme masa lalu) daerah-daerah yang masih mengkampanyekan
perda syariat ini dahulu kala merupakan daerah yang
berbasis kelompok perlawanan DI/TII. Pasca lengsernya Soeharto, sebagian yang telah diberangus oleh Orde baru berharsat menemukan kembali identitas diri mereka. Untuk itu, dari mana mereka memulai dan harus dengan kendaraan politik apa mereka menyambungkan identitas diri. Dalam hal ini mereka telah terperangkap oleh nostalgia masa lalu. Ketiga, kegagalan negara dalam memberikan kesejahteraan dan rasa adil terhadap rakyatnya. Menjamurnya korupsi dan nepotisme dipemerintahan yang membuka jurang pemisah yang cukup signifikan yang berimplikasi pada tingginya angka kemiskinan di masyarakat. Serta kebebasan yang terlalu dalam semua segala hal, maka melahirkan dekandensi moral. akhirnya mereka merasa harus melahirkan perda syariat itu. Hal ini juga merupakan mekanisme yng ditempuh untuk mempertahankan diri. Pertahanan dalam arti satu-satunya cara yang tidak hanya membentengi umat
Islam, tetapi sekaligus untuk
menyelesaikan berbagai masalah dan penyakit
sosial di masyarakat.
Pelaksanaan syariat pun diyakini sebagi obat yang paling manjur untuk itu. Dalam kondisi sosial dan politik seperti ini, sangat bertolak belakang dengan semangat yang selalu diusung oleh Munawir Sjadzali. Karena, yang paling penting menurut Munawir adalah memperjuangkan nilai-nilai Islam, bukan memformalisasikannya.
75
Islam menurut Munawir Sjadzali merupakan sumber inspirasi dan motifasi, Islam sebagai landasan etika dan moral, bukan sebagai sistem sosial dan politik secara keseluruhan, tetapi coba ditangkap sepirit dan ruhnya. Oleh sebab itu, yang menjadi dasar Pemikiran Politik Islam Munawir Sadzali adalah kontekstualisasi teks doktrin guna melakukan aktualisasi ajaran Islam. Kontekstualisasi ini dilakukan karena telah terjadinya perubahanperubahan sosial. Inilah yang menjadi spirit reaktualisasi ajaran Islam. Menurut Munawir Reaktualisasi adalah upaya re-interpretasi terhadap doktrin Islam yang memiliki validitasnya sendiri. Ia harus dilakukan, untuk menampung kebutuhan hidup yang terus berkembang. Perspektif yang tidak persama jika dilihat dari sudut pandangan sejarah itu menuntut kemampuan kaum muslimin untuk merumuskan ulang nilai-nilai normatif yang langsung dalam konteks relevansinya bagi kebutuhan hidup. Prinsip-prinsip teori metodologi hukum (usul al-fiqh) dan kaidah-kaidah hukum agama (qawa’id al-fiqh) akan menjaga agar proses penafsiran kembali itu tidak menyimpang dari prinsip yang terkandung dalam hal yang ingin ditafsirkan ulang statusnya, dan tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan status hal itu sendiri semula. 23 Secara tidak disadari, proses reaktualiasasi itu telah menjadi alami dalam kehidupan kaum muslimin. Konfigurasi antara nilai-nilai normatif dan reaktualisasi ajaran agama akan tetap menjadi kebutuhan yang nyata, selama
23
Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Pengantar Editor dalam Islam, Negara dan Civil Society, Ed. Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (Jakarta: Paramadina, 2005), h.xxi
76
kaum muslimin tetap pada pendirian untuk tidak “melangkahi” ketentuan sumber tekstual, tetapi juga tidak bersedia menarik diri dari pola kehidupan yang senantiasa berubah. Dengan kata lain, konfigurasi itu merupakan upaya menjaga kontinuitas (persambungan tradisi) di tengah perubahan, agar tidak kehilangan akar-akar budaya dan keagamaan mereka. Dalam jangka panjang, sikap ini akan mematangkan fungsi doktrin Islam dalam hidup mereka. Doktrin Islam, yang semula berarti kerangka hidup normatif dengan perwujudannya sendiri sebagai doktrin formal, lalu berubah menjadi etika masyarakat yang diserahkan sepenuhnya kepada pilihan-pilihan oleh warga masyarakat. Ia tidak berkembang menjadi hipokritas, karena pada dasarnya kemunafikan haruslah dilihat adanya pada kesengajaan untuk menggelapkan ajaran. Dalam proses reaktualisasi, yang terjadi adalah upaya penafsiran kembali dari satu orang ke lain orang di kalangan kaum muslimin, tanpa mengubah pandangan formal masyarakat muslim secara keseluruhan. Terjadinya proses reaktualiasi, dan konsekuensinya perubahan ketentuan, hal-hal yang telah diterima sebagai konsensus itu menunjukkan vitalitas nilainilai normatif Islam. Tidak mudah dilakukan perubahan atasnya, tetapi tetap tidak tertutup kemungkinan bagi perubahan. Dasar lain yang menjadi landasan pemikiran politik Munawir adalah ijtihad. Pemikiran politik Islam, dalam hal ini, merupakan ijtihad politik dalam rangka menemukan nilai-nilai Islam dalam konteks sistem dan proses politik yang sedang berlangsung. Munawir memandang bahwa semua proses politik
77
dalam sejarah, termasuk suksesi kekuasaan baik yang dilakukan oleh Abu Bakar, Umar, Ustman maupun Ali, sepenuhnya adalah inisiatif dan ijtihad manusia (para sahabat Nabi) belaka. Tak ada pentunjuk dari Nabi, apalagi dari Tuhan, tentang bagaimana seharusnya sebuah tata politik (polity) diciptakan. Dengan kata lain masalah politik sepenuhnya adalah rasional. Menurut Munawir, ijtihad merupakan wujud kegiatan akal untuk berpikir, yang inherent dengan inti ajaran Islam sendiri (al-Qur’an maupun al-Hadis). Ijtihad bukan lahir dari proses sejarah sebagaimana terjadi di Barat, tetapi lebih dikarenakan
oleh
mempergunakan
dorongan pikirannya
al-Qur’an dalam
dan
al-Hadis
menghadapi
agar
problema
manusia kehidupan.
Penggunaan ijtihad tidak terbatas wilayahnya, baik terhadap masalah-masalah yang sudah ada ketentuannya dalam Nas maupun yang tidak ada ketentuannya dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Seperti hadis Mu’adz Bin Jabal yang diutus oleh Nabi ke negri Yaman untuk menjadi qadi, menunjukkan perijinan yang luas untuk melakukan ijtihad hukum pada masa Nabi. Dalam pengutusan ini Nabi bersabda:
"#$% ! )(* !+ &'( & ,- .( /0 &'( "#' 1 &'( ( .69: )-( ) &'( 2 3/+ &'( 4 - 56 37 Artinya: “Bagaimana engkau (mu’az) mengambil suatu keputusan hukum terhadap permasalahan hukum yang diajukan kepadamu? Jawab mu’az saya akan mengambil suatu keputusan hukum berdasarkan kitab Allah (Al-Quran).
78
Kalau kamu tidak menemukan dalam kitab Allah? Jawab Mu’az, saya akan mengambil keputusan berdasarkan keputusan berdasarkan sunnah Raulullah. Tanya Nabi, jika engkau tidak ketemukan dalam sunnah? Jawab Mu’az, saya akan berijtihad, dan saya tidak akan menyimpang. Lalu Rasulullah menepuk dada Mu’az seraya mengatakan segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik utusan Rasulnya pada sesuatu yang diridhai oleh Allah dan rasulnya”. (HR. Attirmidzi)24 Dalam Hadits ini secara tersirat jelas nabi telah memberikan keluasan dalam mengembangkan akal untuk menetapkan hukum yang belum tersurat dalam Al-Quran dan Sunnah. Artinya dengan keluwesannya Nabi dalam melakukan pemecahan masalah-masalah ijtihadiyah telah memberikan legalitas yang kuat terhadap para sahabat. Lebih lanjut Munawir mendorong tokoh-tokoh intelektual sesama muslim untuk melakukan ijtihad secara jujur, untuk menjadikan Islam lebih tanggap terhadap berbagai kebutuhan situasi lokal dan temporal Indonesia. Menurut Munawir, dalam perkembangan sejarah doktrin Islam terdapat banyak penguasa Islam yang berani menempuh kebijakan hukum yang tidak sesuai secara harfiyah dengan bunyi ayat-ayat al-Qur’an dan atau ucapan maupun tindakan Nabi Muhammad SAW. Maka kalau kita berusaha memahami ajaran Islam dengan akal budi, dan tentu saja dengan rasa penuh tanggungjawab kepada Islam, kita bukanlah yang pertama dalam berijtihad. Munawir menyebutkan bahwa pelopor “penyimpangan” itu tidak lain ialah Umar bin Khattab sendiri. 25
24
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, PT.Grafindo Persada, Jakarta, 1995, h.119. Dan baca Mukhtar Yahya dkk, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam, PT.Al Ma?arif, Bandung, 1999, h.119. 25 Munawir Sjadzali, Ijtihad kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1997), h.57.
79
Diilhami oleh keberanian dan kejujuran Umar, Munawir menyatakan bahwa harus dilakukan langkah-langkah yang berani dan jujur dalam memberlakukan ajaran-ajaran Islam. Seraya meyakini dinamisme dan vitalitas doktrin Islam, ia mengusulkan agar kaum muslim melaksanakan agenda-agenda reaktualisasi lewat ijtihad,untuk menjadikan Islam lebih sesuai dengan kekhasan lokal dan temporal Indonesia. Formalisasi Islam menjadi RUU atau Perda-perda akan menghilangkan kekhasan Indonesia yang merupakan negara bineka tunggal ika, dan rentan menimbulkan konflik.
BAB V PENUTUP
KESIMPULAN Persentuhan Islam dan politik pada masa Orde Baru sesungguhnya telah diawali sejak Orde Baru menerapkan kebijakan modernisasi, di mana stigma perkembangan pola pikir dan cara pandang bangsa Indonesia serta proses transformasi kultural dan perubahan sosial lebih banyak mengadopsi apa yang pernah terjadi di negara-negara Barat Dalam konteks Indonesia, polarisasi itu juga terjadi, namun bagi Munawir setelah menganalisa ketiga pemikiran yang berkembang dan memperhatikan kelemahan-kelemahan mendasar pada dua aliran (integralistik dan sekularistik), kiranya bertanggung jawab terhadap Islam kalau kita kemudian cenderung mengikuti aliran simbiotik yaitu paradigma penengah antara integralistik dengan paradigma sekularistik. Lebih lanjut Munawir mengemukakan bahwa bangsa Indonesia khususnya umat Islam patut bersyukur bahwa para pendiri negara ini telah merumuskan Pancasila untuk dijadikan ideologi negara. Dengan demikian, hendaknya umat Islam Indonesia menerima negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini sebagai sasaran akhir dari aspirasi politiknya. Dalam kaitan ini dapat dikemukakan, baik dalam sistem politik maupun sistem hukum, terdapat persamaan antara Republik 80
81
Indonesia dan sebagian besar dari negara-negara Islam yang ada di dunia sekarang ini, sama-sama mengikuti pola politik barat, dengan adaptasi dan modifikasi. Disinilah Munawir Sadzali tampil dengan pemikirannya yang original. Dengan mengacu pada konsep kontekstualisasi teks doktrin guna melakukan aktualisasi ajaran Islam. Kontekstualisasi ini dilakukan karena telah terjadinya perubahan-perubahan sosial. Inilah yang menjadi spirit reaktualisasi ajaran Islam. Menurut Munawir Reaktualisasi adalah upaya re-interpretasi terhadap doktrin Islam yang memiliki validitasnya sendiri. Ia harus dilakukan, untuk menampung kebutuhan hidup yang terus berkembang. Perspektif yang tidak persama jika dilihat dari sudut pandangan sejarah itu menuntut kemampuan kaum muslimin untuk merumuskan ulang nilai-nilai normatif yang langsung dalam konteks relevansinya bagi kebutuhan hidup. Sehingga tidak terjadi kejumudan dalam menyikapi segala permasalahan yang ada Kemudian akibat
krisis multidimensional yang
menimpa Indonesia,
khususnya ekonomi politik. Agaknya perubahan nilai yang menyertai proses sekularisasi dan modernisasi yang meminggirkan agama di berbagai bidang kehidupan sosial menyebabkan sebagian umat Islam merasa terancam dan kehilangan maknanya. Situasi tersebut tampaknya membuat mereka merasa terpanggil untuk merekonstruksi identitas mereka atas dasar agama serta mencari makna yang hilang dalam kehidupan sosial mereka. Dengan mencoba mengembalikan syariat keruang politik, dengan dalih untuk pemenuhan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Ternyata pemikiran Munawir Sjadzali sudah dianggap usang oleh politikus dan
82
birokrat pada saat ini, karena formalisasi Islam sudah menjadi keharusan. Karena kurangnya kemampuan untuk menterjemahkan ruh atau sepirit Islam kedalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal disaat umat Islam dengan semangat kepartaiannya, tidak hadir di panggung politik nasional, serta semakin membaiknya hubungan Islam dengan Orde Baru saat itu, ternyata banyak lahir sejumlah kebijakan politik pemerintah yang mengakomodasi aspirasi umat Islam. Antara lain kebijakan mengenai UndangUndang Pendidikan Nasional (1988), Undang-Undang Peradilan Agama (1989), dukungan terhadap berdirinya wadah Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (1990), Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama tentang Efektiifitas Pengumpulan Zakat (1991), dan surat Keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah P&K tentang diizinkannya Pemakaian Jilbab bagi Pelajar Putri. Hal ini merupakan jasa-jasa Munawir Sjadzali saat beliau menjadi Menteri Agama RI. Kiranya apresiasi “politik” semacam itulah yang yang diinginkan oleh Munawir Sjadzali yang dalam berbagai kesempatan menegaskan ”Tanpa partai poltik Islam, kepentingan umat Islam justru lebih berhasil diperjuangkan.” Untuk itulah diperlukan pemikiran-pemikiran dan eksen konkrit seperti sosok Munawir Sjadzali yang mampu membaca fenomena dan menterjemahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan bermodalkan kejujuran akan ilmu dan Islam sera politik yang mampu menjembatani umat secara keseluruhan tanpa ada
83
yang merasa terasingkan, terlebih lagi merasa kehilangan identitas dirinya. Semoga kita bisa meneladaninya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Zainal Abidin. Ilmu Politik Islam : Sejarah Islam dan Umatnya Sampai Sekarang, Perkembangan Dari Zaman Kezaman. Jakarta : Bulan Bintang 1997, Cet Ke-1 Ali, Fahri dan Bakhtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru. Bandung: Mizan 1986 Anwar, M. Syafi`i. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1995, Cety Ke-1 Effendy, Bakhtiar. Islam Dan Negara. Transpormasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998, Cet Ke-1 _____ , Re-Politisasi Islam : Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?. Bandung : Mizan, 2000, Cet Ke-1 Gaffar Affan, Politik Indonesia: Tradisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999 Hasan, Fuad, Meramu Intelegensi dengan Intuisi: Di antara Para Sahabat Pak Harto, Jakarta: PT. Citra Lamtorogung Persada, 1991
84
85
IAIN syarif Hidayatullah. Penganugrahan Gelar Doktor Kehormatan ( Doctor Honoris Causa) dalam Ilmu Agama Islam Kepada H. Munawir Sjadzali, Jakarta, IAIN. 1994 Karim, M. Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik; Suatu Kajian Mengenai Implikasi Kebijakan Pembangunan bagi Keberadaan “Islam Politik” di Indonesia Era 1970-an s/d 1980-an. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990 Ma`arif, Ahmad Syafi`I, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1985 Mansyur, KH. Mas, “Riwayat Berdirinya Majlis Islam Tertinggi” dalam Amir Hamjah, “Rangkaian Mutu Manikam: Buah pikiran Budiman Kyai Mas Mansur (Surabaya: Penyebar Ilmu & Ikhsan, 1968), h. 85 Marzuki Wahid dan Rumadi, Fikih Mazhab Negara, Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: LKIS, 2001, Cet. Ke-1 Masoed, Mochtar, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, (Jakarta: LP3ES, 2000 Natsir, M. Agama dan Negara: Dalam Perspektif Islam. Jakarta: Media Dakwah, 2001, Cet Ke-1 Noer,
Deliar. Islam, Pancasila dan Asas Tunggal. Perkhidmatan. 1983
Jakarta :
Yayasan
86
Panduan Skripsi Fakultas Syariah, UIN. Jakarta, 2007 Proyek. Keagamaan. Badan Litbang Agama. Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Negara Pancasila. Jakarta: Departemen Agama RI, 1984/1985 Rahardjo, M. Dawam, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, Bandung: Mizan, 1993 Sjadzali, Munawir. Aspirasi Umat Islam terpenuhi Tanpa Partai Islam. Jakarta: Departemen Agama RI, 1992 ______, Bunga Rampai wawasan Islam Dewasa Ini. Jakarta: UI Press. 1994 ______, “Dari Lembah Kemiskinan”, dalam Muhamad Wahyuni Nafis, dkk (ed.) Kontekstualisasi Ajaran Islam : 70 Tahun Munawir Sjadzali. Jakarta: IPHI dan Paramadina, 1995. Cet Ke-1 ______, Ijtihad dan Kemaslahatan Umat”, dalam Haidar Bagir dan Syafiq Basri (ed) Ijtihad Dalam Sorotan. Bandung: Mizan, 1996 ______, Reaktialisasi Ajaran Islam”, Iqbal Abdurrouf Saimima (ed). Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988 ______, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press, 1993. Edisi 5
87
______, Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa. Jakarta: UI Press 1993 ______,Kebangkitan
Kesadaran
Beragama
Sebagai
Motifasi
Kemajuan
Bangsa.Jakarta: Departemen Agama RI, 1988 ______, Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam?. Semarang: Usaha Taruna, 1950 ______, Partisipasi Umat Beragama dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: Biro Hukum dan Humas Departemen Agama RI, 1984 ______, Peranan Ilmuan Muslim dalam Negara Pancasila. Jakarta: Depag RI, 1984 ______, Pokok-pokok Kebijakan Menteri Agama dalam Pembinaan Kehidupan Beragama. Jakarta: Depag RI Suryabrata, Sumardi, Metodologi Penelitian, (Jakarta, Rajawali Pres, 2003) cet ke 14 Syamsudin, M. Din. “ Mengapa Pembaharuan Islam”. Jurnal Ulumul Qur`an. Jakarta: Vol IV. 1993 http://groups.yahoo.com/group/IslamProgresif/message/601