Pengantar Editor
M
asa
kepemimpinan
Nabi
Muhammad
saw.
kewajiban
melaksanakan rukun Islam masih sangat kuat karena umat Islam pada waktu itu bertemu langsung dengan pembawa syariat, yaitu Nabi Muhammad saw. Kewajiban mengeluarkan zakat dari aghniya (orang yang mampu) dikontrol langsung oleh Nabi. Sehingga praktek zakat berjalan degan baik sesuai tuntutan syariat, artinya muzaki mengeluarkan zakatnya sesuai tata cara (hitungan dan kadar) yang benar dan mustahik pun menerima sesuai kondisi dan kapasitasnya sebagai orang yang berhak menerima zakat. Zakat yang dikumpulkan dari muzaki, langsung dibagikan kepada mustahik. Kalaupun ada yang disimpan jumlahnya tidak banyak. Sehingga manfaat zakat dapat dirasakan oleh mustahik saat itu juga. Dengan demikian, kesulitan mustahik dapat segera diatasi dengan dana zakat. Praktek seperti itu mengalami pergeseran tatkala Nabi Muhammad saw. wafat. Wafatnya Nabi dianggap sebagian umat Islam sebagai akhir dari pelaksanaan kewajiban zakat sehingga banyak yang membangkang mengeluarkan zakat. Melihat kondisi demikian Abu Bakar As-Shiddiq ra. angkat senjata memerangi golongan yang enggan mengeluarkan zakat tersebut. Masa kepemimpinan Umar ibn Khattab ra. zakat dikelola lebih baik lagi, bahkan Umar turun tangan mencari mustahik ke rumah-rumah. Ia tak segan-segan memikul sekarung gandum untuk diberikan kepada rakyatnya yang miskin. Pada saat kepemimpinan Umar keberadaan baitul maal sebagai kas negara difungsikan untuk menampung zakat, di mana pada saat itu kebutuhan jihad fi sabilillah masih sangat tinggi dan zakat sebagai penopang utamanya. Begitu seterusnya hingga kepemimpinan Umar digantikan oleh Usman dan dilanjutkan Ali Ibn Abi Thalib. Bagaimana pengelolaan zakat di Indonesia? Bicara zakat di Indonesia berarti kita tidak bisa meninggalkan sejarah masuknya Islam di tanah air serta peran para ulama. Karena pada saat Islam pertama kali masuk ke tanah air ajaran yang dibawa para ulama adalah ajaran Islam. Zakat sebagai salah satu rukun Islam juga termasuk ajaran di dalamnya. Semangat menerapkan syariat Islam di Indonesia semakin berkembang tatkala rakyat Indonesia berhasil memukul mundur para penjajah. Sebab penjajah bukan hanya menyengsarakan rakyat tapi juga memasung kebebasan umat Islam dalam melaksanakan ajaran agamanya. Kesadaran mengeluarkan zakat mulai terasa saat umat Islam mempunyai gagasan mendirikan sebuah lembaga amil zakat yang independen, yaitu lembaga zakat yang berada di luar struktur kemasjidan. Lembaga ini bergerak sesuai tujuan disyariatkannya zakat, yaitu mengangkat harkat golongan penerima sakat (mustahik). Untuk mewujudkan tujuan itu lembaga zakat membuat program-program yang memiliki manfaat ganda dan manfaat lebih bagi mustahik maupun muzaki. Melihat peran lembaga zakat yang demikian itu, umat Islam semakin percaya bahwa zakat memiliki peran strategis bagi pengembangan masyarakat, sehingga para muzaki sadar
akan pentingnya menyalurkan zakat melalui lembaga. Berbeda dengan pengelolaan zakat yang masih tersentral kepada golongan-golongan tertentu (misalnya kepada kyai) yang dipraktekkan pada masa-masa sebelumnya. Pertumbuhan seperti itu disertai dengan keinginan para pegiat zakat untuk membentuk sebuah wadah silaturrahmi antar pengelola zakat, bernama Forum Zakat (FOZ), yaitu Asosiasi Lembaga Pengelola Zakat Seluruh Indonesia. Para pegiat zakat yang tergabung di dalam FOZ, memandang perlu untuk memasukkan zakat ke dalam domain Negara. Oleh karena itu muncullah UU No.38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Digulirkannya UU Pengelolaan Zakat tahun 1999 direspon positif umat Islam Indonesia. Karena di dalam UU itu sangat terbuka peluang membentuk Lembaga Pengelola Zakat. Sehingga satu demi satu muncul lembaga pengelola zakat di tanah air. Bersamaan dengan itu pula, muncul keadaan politik yang carut marut ditambah lagi keadaan ekonomi yang morat-marit, banyaknya konflik di berbagai daerah yang semua itu mengakibatkan bertambahnya jumlah kemiskinan dan pengangguran di Indonesia. Keadaan yang demikian dipandang umat Islam sebagai momentum tepat untuk mendirikan sebuah lembaga zakat sekaligus dimaksudkan untuk menggugah kesadaran berderma dan mengingatkan akan kewajiban mengeluarkan zakat bagi aghniya. Kesadaran terhadap pengelolaan zakat juga diwujudkan pemerintah Indonesia dengan mengukuhkan 16 Lembaga Amil Zakat Nasional (LAZNAS) yang terdiri dari; Dompet Dhuafa Republika, PKPU, YDSF, Baitul Maal Hidayatullah, Baitul Maal Ummat Islam BNI, Bangun Sejahtera Ummat, Lazis Dewan Dakwah, Baitul Maal BRI, Rumah Zakat Indonesia, Baituzzakah Pertamina, DPU DT, Baitul Maal Mu’amalat, Lazis Muhammadiyah, Lazis BMT, Lazis Persis, Yayasan Amanah Takaful, dan mendirikan Baznas (Badan Amil Zakat Nasional) serta Bazda (mengaktifkan kembali Bazis). Munculnya Organisasi Pengelola Zakat, baik LAZ (Lembaga Amil Zakat) maupun BAZ (Badan Amil Zakat) yang dalam hitungan usia masih ‘cukup muda’ tidak berarti sudah sempurna dan berjalan sesuai koridor yang seharusnya. Kelemahan dan kekurangan masih ditemukan di sana sini. Baik dari segi menejemen maupun kesesuaian dengan syariat. Begitu juga tidak semua masyarakat setuju dengan pola-pola yang diterapkan lembaga zakat, sehingga muncul berbagai macam kritik dari masyarakat. Ada sebagian masyarakat yang menginginkan zakat (maal) dikelola secara tradisional, dalam arti dikumpulkan di masjid pada bulan ramadhan atau menjelang idul fitri saja. Karena kenyataannya zakat dengan dikelola lembaga malah terjadi pengendapan dana dengan jumlah yang sangat besar padahal masih banyak masyarakat fakir miskin yang seharusnya mendapatkan bantuan tapi karena pertimbangan program yang dibuat lembaga akhirnya fakir miskin tidak mendapatkan bantuan padahal mereka sangat membutuhkan. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa dengan dikelola lembaga, zakat lebih berdaya guna bagi kaum fakir miskin. Terbukti dengan beragamnya program yang dibuat oleh lembaga pengelola zakat saat ini seperti mendirikan klinik, membuat lembaga pengembangan ekonomi mikro, memberi bantuan pendidikan, di mana program-program tersebut secara langsung memberi dampak positif bagi kehidupan kaum dhuafa. Untuk membantu memudahkan penyaluran zakat perlu adanya data base mustahik. Di sinilah peran pemerintah diperlukan. Pemerintah dapat membantu mendata status masyarakat terutama yang masuk kategori fakir, miskin, gharim yang ada di daerah di
seluruh Indonesia. Dengan dibuatnya data base ini akan memudahkan penyaluran zakat dan untuk meminimalisir kemungkinan salah sasaran dalam menyalurkan zakat. Standardisasi mustahik (parameter kemiskinan) yang selama ini dilakukan Bapenas, Susenas dan BPS ternyata masih belum bisa dijadikan pegangan lembaga zakat untuk menyalurkan zakatnya. Karena di samping masih banyak kelemahan, juga masih banyak fakir miskin yang belum terdaftar. Dengan demikian perlu adanya kerjasama antara pemerintah dan lembaga zakat untuk menentukan dan membuat data base itu. Dengan dibuatnya ketentuan pemerintah tentang penentuan kategori mustahik dan data base di seluruh Indonesia maka akan memacu semangat di daerah tersebut untuk menggali potensi zakat sekaligus memberdayakan dana zakat bagi masyarakat di daerahnya masing-masing (semangat otonomi daerah). Kita tahu bahwa negara Indonesia adalah negara dengan jumlah masyarakat muslim yang mayoritas. Namun kenyataannya belum dapat mengoptimalkan potensi zakat yang ada di dalamnya. Penyebabnya memang dapat bermacam-macam, selain ketersediaan infrastruktur sebagai upaya pengumpulan dana zakat, paradigma para muzaki tentang zakat yang merupakan kewajiban pribadi pun perlu diluruskan kembali. Ada berbagai macam asumsi hitungan potensi zakat di Indonesia. Ada yang menyebutkan bahwa potensi zakat di Indonesia sebesar 17 triliun pertahun, ada juga yang menyebut 8,3 triliun dan sebagainya. Kenyataannya asumsi hitungan itu masih ‘diam dan membisu’ di atas kertas. Ya, setidaknya memberi rangsangan kepada lembaga zakat untuk berupaya menggali potensi tersebut. Namun ketika dianalisis secara mendalam faktor utama yang menjadikan potensi itu belum tergali adalah belum adanya regulasi yang mengikat terhadap wajib zakat. Keberadaan UU No.38 tahun 1999 belum mampu memaksa kepada wajib zakat untuk mengeluarkan zakatnya serta belum mampu mengorganisir kepentingan pengelolaan zakat di tanah air. Oleh sebab itu upaya yang dilakukan Forum Zakat (FOZ) untuk mengamanden dapat segera terwujud sehingga semua aspek yang berkaitan dengan zakat dapat diakomodir di dalamnya. Sebetulnya, keberadaan Forum Zakat (FOZ) sebagai asosiasi lembaga pengelola zakat di Indonesia memiliki peran strategis bagi dunia perzakatan di tanah air. Fungsinya sebagai mediator, fasilitator, advocator, bagi lembaga zakat, pemerintah dan masyarakat memiliki nilai strategis yang sangat kuat –setidaknya dengan keberhasilan FOZ mengoalkan UU Zakat tahun 1999 merupakan salah satu bukti FOZ memiliki bargainning position di hadapan pemerintah. Namun mengingat keberadaan FOZ sangat tergantung dengan lembaga zakat, terutama dalam hal pendanaannya, menjadikan FOZ belum bisa membuat terobosan-terobosan yang berarti bagi dunia perzakatan di tanah air ini.[]
Tentang Buku Ini Buku yang ada di tangan pembaca ini adalah salah satu upaya untuk memotret wajah pengelolaan zakat di Indonesia, khususnya, dan di dunia Islam, umumnya. Hal ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana zakat sebagai rukun Islam ketiga dijalankan oleh umat Islam, mulai dari masa Nabi, khulafaurrasyidin, khalifah Bani Umayyah, khalifah Bani Abbasiyah, Islam masuk ke Indonesia, masa penjajah Belanda sampai perkembangan modern yang saat ini terjadi. Hal ini dilakukan guna meruntut praktik zakat pada masa-masa tersebut serta melihat bagaimana keadaan dan respon masyarakat pada saat itu. Sehingga dapat diketahui apakah zakat sebagai tiang (baca:rukun) tegaknya agama Islam sudah dijalankan sesuai tujuan disyariatkannya zakat ataukah belum. Buku ini juga diharapkan dapat memberikan gagasan-gagasan baru dan memperluas wacana serta memberikan sumbangsih pemikiran tentang praktik zakat terutama di Indonesia. Dengan mengacu pada praktik yang dijalankan masa Nabi, mengambil pola yang diterapkan oleh negara-negara tetangga atau bahkan usulan pemikiran yang dituangkan para praktisi zakat, ulama, akademisi, tokoh masyarakat sebagaimana yang terangkum dalam buku ini. Buku ini merupakan kumpulan tulisan, yang sangaja kami kumpulkan dari para penulis, beberapa tulisan pernah dipublikasikan, ada juga makalah yang disampaikan pada acara symposium. Namun sebagian besar merupakan hasil pemikiran yang masih fresh dari para penulis yang sengaja dipersiapkan untuk kepentingan penerbitan buku ini. Buku ini terbagi dalam enam bagian. Bagian pertama berisi sejarah praktik pengelolaan zakat masa Nabi dilanjutkan pada masa sahabat dan tabi’in, sampai pada praktik zakat masa awal Islam masuk di Indonesia. Dilengkapi dengan praktik pengelolaan zakat di berbagai negara Islam sebagai upaya perbandingan. Pada bagian kedua, berisi semangat umat Islam menyalurkan zakat melalui lembaga serta kondisi obyektif yang terjadi pada saat itu. Pada masa ini merupakan awal sebuah era bagi dunia perzakatan di Indonesia. Pada bagian ketiga, berisi upaya mengoptimalkan potensi zakat yang ada di Indonesia dengan meruntut sejarah, memaparkan pro-kontra pengelolaan zakat apakah oleh Negara ataukah swasta, kaitan zakat dengan pajak serta membeberkan asumsi hitungan potensi zakat, terutama di BUMN. Di bagian keempat, diungkapkan sejauhmana zakat mampu menjadi solusi alternatif bagi pengentasan kemiskinan di Indonesia serta bagaimana hal itu diterapkan. Besarnya angka kemiskinan di tanah air merupakan masalah tersendiri. Oleh sebab itu perlu dilakukan pendataan mustahik sehingga penyaluran zakat bisa tepat sasaran dan terukur. Dalam hal ini peran pemerintah dalam membuat standardisasi mustahik dan data base-nya juga sangat diperlukan. Upaya ini bisa dilakukan jika pemerintah, baik pusat maupun daerah mau bekerjasama dengan berbagai pihak, terutama dengan lembaga pengelola zakat. Inilah yang diungkap pada bagian kelima. Bagian keenam, berisi para pegiat zakat yang tergabung dalam Forum Zakat menginginkan sebuah pengelolaan zakat yang ideal. Banyaknya lembaga zakat diharapkan tidak saling berebut pengaruh, tapi sebaliknya bagaimana menciptakan sinergi program yang apik sehingga tercipta program besar yang manfaatnya dapat dirasakan secara terus
menerus oleh kaum duafa. Di satu sisi diusulkan bahwa hal itu bisa terwujud jika dilakukan upaya restorasi zakat. Tentu tidak ada yang sempurna. Buku ini pun memiliki keterbatasan. Misalnya tidak disinggung tulisan mengenai program pemberdayaan lembaga pengelola zakat. Tidak diungkap model pengelolaan zakat yang dilakukan oleh para kyai di suatu daerah tertentu, sehingga potret pengelolaan zakat di Indonesia dapat tercover dengan utuh dan menyeluruh. Buku yang diberi judul Potret Dunia Zakat ini merupakan kontribusi pemikiran dari para ulama, praktisi, akademisi yang konsen di bidang zakat. Kiprah, pemikiran dan gagasan mereka di dunia zakat tidak asing lagi. Hampir di setiap kegiatan perzakatan nasional selalu dilibatkan. Sehingga sudah sepatutnya jika kontribusi pemikirannya dirangkum dalam sebuah buku agar bermanfaat bagi masyarakat terutama bagi perkembangan perzakatan di tanah air ini. Di tengah kesibukan di Sekretariat Forum Zakat menjelang pelaksanaan Musyawarah Nasional IV, ditambah dengan kesibukan kami menghadapi masa akhir studi, alhamdulillah, buku ini bisa terbit. Buku ini tidak mungkin dapat terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dari berbagai pihak yang turut mendukung proses penerbitannya. Kami mengucapkan terima kasih dan perhargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah berjasa baik langsung maupun tidak langsung selama proses penerbitan buku ini. Secara khusus kami sampaikan terima kasih kepada Bapak Naharus Surur (Ketua Umum FOZ), Bapak Ahmad Juwaini (Sekjen FOZ) dan Bapak Mohd.Nasir (Ketua Bidang Infokom FOZ, yang menggagas penerbitan buku ini) yang telah mendukung dan mendorong terbitnya buku ini, tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pengurus Forum Zakat yang dengan gigih merancang program-program sosialisasi dan pengembangan zakat baik berskala lokal maupun nasional. Kami tidak dapat menyebutkan satu persatu mengingat keterbatasan ruang yang ada, namun hal ini tidak mengurangi rasa hormat dan terima kasih kami. Tak lupa pula kami haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para penulis, yang di tengah kesibukannya, kami kejar dan kami minta untuk memberikan kontribusi pemikirannya untuk kami kumpulkan ke dalam buku yang berbentuk antologi ini. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada teman-teman di Sekretariat Forum Zakat, khususnya kepada Mustaine dan Asnawi yang dengan gigih mengumpulkan naskah dari para penulis, tanpa bantuan mereka berdua kemungkinan buku ini tidak akan bisa terbit. Tak lupa pula kepada Ifan dan Kholil yang sering menciptakan suasana sekretariat FOZ menjadi lebih ‘segar’. “Tak ada gading yang tak retak”. Oleh sebab itu, kami selalu terbuka dan menerima saran, masukan dan kritik yang membangun dari siapapun untuk perbaikan buku ini dan penerbitan buku-buku FOZ yang akan datang. Semoga banyak manfaat yang bisa diambil dari usaha penerbitan buku ini. Sekretariat Forum Zakat, 28 Maret 2006 Kuntarno Noor Aflah
Bagian I SEJARAH PENGELOLAAN ZAKAT
Pengelolaan Zakat Pada Awal Pemerintahan Islam (Masa Nabi Muhammad Saw dan Al-Khulafa Al-Rasyidun) H.Muhammad Amin Suma MA1
Z
akat,
sebagai
salah
satu
bentuk
peribatan
yang
lebih
mengedapankan nilai-nilai sosial di samping pesan-pesan ritual, tampak memiliki akar sejarah yang sangat panjang. Bisa diduga hampir sepanjang usia umat manusia itu sendiri (generasi Adam as.) atau paling sedikit mulai generasi beberapa nabi Allah sebelum Adam as., atau selambat-lambatnya sejak sejumlah nabi Allah sebelum Muhammad saw. Menurut hemat penulis, Allah swt, hanya menurunkan satu agama sepanjang perjalanan umat manusia, sejak generasi Adam as. hingga generasi Muhammad saw. Agama yang dimaksudkan ialah al-Islam. Allah memberikan al-Islam ini kepada nabiNya yang pertama, yaitu Adam; dan agama (al-Islam) ini pula yang Allah berikan kepada nabi-Nya yang terakhir, Muhammad saw. Dengan kalimat lain, agama Allah sejak Adam as. hingga Muhammad saw, adalah al-Islam, yang dari nabi yang satu hingga kepada nabi berikutnya dalam bebera hal tertentu mengalami proses penyempurnaan sesuai dengan kondisi sosial yang ada. Tahapan penyempurnaan al-Islam ini mencapai puncaknya pada zaman Nabi Muhammad saw. seperti tersimbolkan dalam beberapa ayat Al-Quran, diantaranya: Artinya, “ … Pada hari ini (haji wada’), telah Aku lengkapkan untuk kamu agamamu, dan telah Aku sempurnakan untukmu nikmat-Ku,serta telah Aku ridhai al-Islam menjadi agamamu…” [al-Ma’idah (5) : 3]
Zakat Pada Masa-Masa Awal Islam Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para sejarawan Islam tentang waktu pensyariatan zakat. Ada yang menyatakan pada tahun kedua hijrah yang berarti satu tahun sebelum pensyariatan puasa; tetapi ada juga yang berpendirian bahwa zakat disyariatkan pada tahun ketiga hijriah yakni satu tahun setelah pensyariatan shiyam yang diwajibkan satu
tahun sebelumnya (kedua hijriah). Lepas dari perbedaan pendapat itu, yang jelas Nabi Muhammad saw. menerima perintah zakat setelah beliau hijrah ke Madinah. Pensyariatan zakat tampak seiring dengan upaya pembinaan tatanan sosial yang baru dibangun oleh Muhammad saw. setelah Nabi berada di Madinah. Sedangkan selama Muhammad saw. tinggal di Mekah, bangunan ke-Islaman hanya terfokus pada bidang akidah, qashash dan akhlaq. Baru pada periode Madinah, Nabi akhir zaman ini melakukan pembangunan dalam semua bidang. Tidak saja dalam bidang akidah dan akhlak, akan tetapi juga telah memperlihatkan bangunan mu’amalat dengan konteksnya yang sangat luas dan menyeluruh. Termasuk bangunan ekonomi sebagai salah satu tulang punggung bagi pembangunan umat Islam bahkan umat manusia secara keseluruhan. Pembangunan ekonomi yang dilakukan Muhammad saw, tampak berorientasi kerakyatan. Hal ini terlihat dari sekian banyak ayat Al-Quran yang anti monopoli ekonomi dan melarang peredaran ekonomi serta kesejahteraan sosial yang hanya dinikmati oleh segelintir kaum aghniya (the have). Sebagai yang ditunjukkan dalam surat al-Hasyr/59 : 7 yang artinya : “Apa saja hara rampasan (fa’i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilaranya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumnan-Nya.” Ada sejumlah sumber ekonomi umat yang dibangun Muhammad saw. berdasarkan wahyu Al-Quran dan sunnah-Nya. Yang terpenting di antaranya ialah lembaga wakaf, kaffarat, jizyah, ghanimah dan terutama zakat yang tahun persyariatannya telah disinggung pada bagian lain di tulisan ini. Khusus tentang zakat, Al-Quran telah mengaturnya demikian rupa berdasarkan sejumlah ayat yang ada di dalamnya. Baik yang berkenaan dengan ihwal hukum penunaiannya, maupun muzaki dan para mustahiknya. Dari sekian banyak ayat zakat yang ada dalam Al-Quran, terdapat dua ayat induk yang secara eksplisit menggariskan perihal pengelolaan zakat. Kedua ayat zakat yang dimaksudkan adalah sebagaimana yang terdapat di dalam surat At-Taubah/9 : 60, yang artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Demikian juga surat at-Taubah/9 : 103 “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoakan untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Ayat pertama, al-Baqarah/2 : 267 berisi perintah pengambilan zakat yang meliputi seluruh harta apapun jenis dan bentuknya, sedangkan ayat kedua berisi perihal
orang/pihak yang berhak menerima pembagian/penyaluran dana zakat yang lazim dikenal dengan sebutan delapan asnaf (kelompok) para mustahik zakat.
Amilin Zakat Agar dana zakat itu benar-benar sampai kepada yang berhak (mustahik), maka AlQuran dan Al-Hadits mengaturnya demikian rupa melalui pembentukan para petugas khusus yang oleh Al-Quran disebut dengan istilah “al-amilina ‘alayha”. Kata ini merupakan kata jamak (plural) dari kata ‘amil yang secara harfiah berarti para pekerja. Maksudnya ialah orang-orang yang secara spesifik, serius dan profesional terlibat dalam penanganan zakat apakah itu dalam hal penarikan dan pengelolaan, maupun dalam hal pendistribusian dan lain sebagainya. Berkenaan dengan sejarah keamilan di awal-awal Islam pada zaman Nabi Muhammad saw. dan Khulafa’ al-Rasyidin, terutama zaman Abu Bakar Al-Shiddiq, dapat ditelusuri dari sejumlah Hadits dan atsar di bawah ini; Dari Ibnu Abbas ra. dia berkata : “Ketika Nabi saw., hendak mengutus Mu’adz ke Yaman beliau bersabda : “Sesungguhnya engkau (Mu’adz), akan mengunjungi suatu kaum dari Ahli Kitab (di Yaman). Begitu kamu tiba menjumpai mereka, hendaklah kamu seru mereka untuk bersyahadat (bersaksi) bahwa tidak ada Tuhan (Yang wajib disembah) selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah. Kemudian jika mereka mentaati seruanmu itu, informasikan kepada mereka bahwa Allah memfardukan kamu supaya melakukan salat lima kali dalam sehari-semalam, katanya. Jika mereka juga mentaati seruanmu itu, maka hendaklah kamu kabari bahwa Allah swt. juga mewajibkan zakat kepada mereka untuk kemudian diserahkan (dibagikan) kepada orang-orang fakir yang ada di tengah-tengah mereka …..” (HR. al-Bukhari, Muslim dan al-Nasa’i) Dari Mu’adz bin Jabal, ra. Bahwasanya ketika Nabi Muhammad saw. mengutusnya ke Yaman, Nabi memerintahkannya supaya mengambil (zakat) dari tiap-tiap tiga puluh ekor sapi, satu tabi’ atau tabi’ah (sapi yang berumur satu tahun, jantan atau betina); dan dari tiap-tiap empat puluh ekor, satu musinnah (sapi yang berumur dua tahun berjenis kelamin betina); dan tiap-tiap orang yang baligh (hendaklah ditarik) satu dinar atau sebanding dengan itu (dari) kaum ma’afiri (nama salah satu kabilah di Yaman). (HR. alKhamsah). Dari Abdillah bin Awfa, dia berkata: “Adalah Rasulullah saw. itu manakala beliau didatangi suatu kaum untuk menyerahkan sedekah (zakatnya), Nabi berdo’a : “Ya Allah, berikanlah rahmat atas mereka” (H.R. Muttafiq ‘alaih). Dari sejumalah ayat, hadits dan atsar sahabat di atas, dapat diambil beberapa pemahaman berharga tentang berbagai persoalan yang berkenaan dengan pengurusan zakat. Beberapa pemahaman yang dimaksud adalah : Pertama, bahwa untuk menangani persoalan zakat, di samping Nabi sendiri menempatkan dirinya sebagai amil, beliau juga pernah mengangkat orang lain sebagai amil. Di antara orang yang pernah diangkat oleh Nabi Muhammada saw. menjadi amil ialah Mu’adz bin Jabal, salah seorang ahli hukum Islam (fakih) terkemuka yang oleh Nabi
Muhammada saw. sebagai salah seorang amilin; sementara hadits dari Ibn Abbas secara tersurat maupun tersirat membuktikan penunjukkan dan pengangkatan Mu’adz bin Jabal sebagai amilin zakat. Demikian pula dengan pengangkatan Anas bin Malik ra., sebagai amil di Bahrain oleh khalifah Abu Bakar al-Shiddiq ra. Kedua, pengangkatan amilin tidak hanya dilakukan untuk kepentingan pemerintah pusat akan tetapi juga diangkat amilin untuk tingkat daerah. Hadits dari Abdullah bin Awfa menggambarkan keberadaan Nabi Muhammada saw. sebagai amilin pusat yang berdiam di Madinah (ibu kota negara Islam kala itu); sementara Mu’adz bin Jabal diangkat sebagai amilin di daerah Yaman. Demikin pula dengan Khalifah Abu Bakar sebagai amil di Madinah (meskipun kemudian akhirnya pernah juga menyerahkan urusan zakat ini kepada Umar bin al-Khattab ra.), dan pengangkatan Anas bin Malik sebagai amil di Bahrain. Ketiga, dalam hal pengangkatan amilin, tampak Nabi Muhammad saw. dan Abu Bakar memilih orang-orang yang bukan saja memiliki sifat-sifat kejujuran dan keadilan (amanah dan adil), melainkan juga memperhatikan pejabat amilin benar-benar faham tentang persoalan zakat pada khususnya dan perkara-perkara hukum Islam pada umumnya. Pengangkatan Mu’adz bin Jabal sebagai amil mengisyaratkan hal itu. Demikian pula dengan pelantikan Anas bin Malik sebagai amil pada masa Khalifah Abu Bakar ra. Baik Mu’adz bin Jabal maupun Anas bin Malik keduanya adalah sahabat handal yang memiliki kecerdasan secara akademik dan mengedepankan nilai kejujuran dalam melaksanakan tugas dan tanggung-jawabnya. Mu’adz bin Jabal dikenal sebagai salah seorang sahabat Nabi yang cukup senior. Oleh Nabi dijuluki sebagai salah seorang yang sangat piawai dalam bidang hukum halal dan haram. Rasulullah bersabada : “orang yang paling alim pengetahuannya tentang halal dan haram di antara umatku ialah Mu’adz bin Jabal.” Oleh sebagian sahabat, Mu’adz dianggap sebagai pengikut setia Umar bin Al-Khattab terutama tentang keberaniannya dalam berijtihad. Bahkan ibn Mas’ud menjulukinya sebagai potret Nabi Ibrahim as. Sejak sebelum menjadi nabi, Ibrahim memang dikenal sebagai seorang yang sangat cerdas dan rasional. Sedangkan Umar bin al-Khaththab juga dikenal sebagai salah seorang sahabat Nabi Muhammad saw. yang sangat cerdas yang oleh sebagian ilmuan di antaranya Ibu Qoyyim al-Jawziyyah (691-751 H/1921-1950 M) dinobatkan sebagai muhdits. Kecerdasan Mu’adz dan ketangguhannya dalam berijtihad antara lain dapat ditelusuri lewat dialog singkatnya ketika hendak dilepas Rasulullah saw. untuk menjadi wali atau sekurang-kurangnya qadhi (hakim) di Yaman yang sekaligus juga sebagai amil. Cuplikan dialog Mu’adz dengan Nabi adalah sebagai berikut: Nabi Mu’adz Nabi Mu’adz Nabi Mu’adz
: Muadz, apa tindakanmu jika kepadamu diajukan sebuah kasus (perkara) ? : Akan aku putuskan berdasarkan Kitab Allah (Al-Quran)! : Jika kamu tidak dapatkan dalam Al-Quran ? : Akan aku putuskan menurut Sunnah Rasulullah ! : Jika tidak ada (juga) ? : Aku akan berijtihad dengan seksama !
Rasulullah saw, menutup dialog singkatnya dengan ungkapan: “Segala puji untuk Allah, Dzat yang telah menyetujui (merestui) utusan Rasulullah terhadap apa yang diridhai Rasulullah !” Akan halnya Nabi Muhammad saw. mengangkat Mu’adz bin Jabal sebagai amil, Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq juga mengangkat Anas bin Malik yang sangat cerdas. Anas bin Malik, adalah salah seorang sahabat yang pernah menjadi pelayan setia Nabi Muhammad saw. Karenanya, mudah dimengerti jika Anas tergolong ke dalam salah satu deretan nama-nama sahabat yang cukup banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw. Kedua sahabat (Mu’adz bin Jabal dan Anas bin Malik) dikenal sebagai orang-orang yang alim, cerdas dan amanah. Rasulullah saw., tidak segan-segan untuk mengganti pejabat amilin yang nakal atau tidak jujur. Di antara contohnya, suatu ketika Nabi mengutus alWalid bin Uqbah supaya mengambil zakat sebuah kampung pemukiman al-Harits dan kawan-kawan yang belum lama memeluk Islam, tetapi menyatakan kesiapan pengikutnya untuk mengeluarkan zakat. Ketika al-Walid berangkat, di perjalanan hatinya merasa gentar dan diapun pulang sebelum sampai di tempat yang dituju seraya dia menyampaikan laporan palsu kepada Rasulullah bahwa al-Harits dan kawan-kawan tidak membayar zakat. Tidak lama berselang, Rasul mengganti al-Walid dengan sahabat yang lain dan memberinya tugas yang sama yaitu untuk memungut zakat dari al-Harits dan kawan-kawan; sementara pada saat yang bersamaan, al-Harits dan kawan-kawan juga berangkat meninggalkan kampungnya untuk menghadap Rasulullah saw. dalam upaya melaporkan hasil penarikan zakat yang telah dia lakukna. Akhirnya, diketahui bahwa al-Walid ternyata dusta, dan Nabipun kemudian menggantikan al-Walid dengan sahabat lain yang benar-benar amanah (jujur) dalam melaksanakan tugasnya sebagai amil. Kasus inilah yang melatar-belakangi penurunan ayat 6 surat al-Hujurat/49 yang artinya; “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” Keempat, penarikan zakat pada dasarnya harus bersifat proaktif. Perintah penarikan/pengambilan zakat pada ayat 103 surat al-Taubah/9 dan instruksi Nabi kepada Mu’adz supaya menarik zakat penduduk Yaman menunujukkan asas proaktif tersebut. Demikian pula dengan hadits lain semisal Hadits yang diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib yang menyatakan bahwa suatu ketika Nabi Muhammad saw. memerintahkan penarikan zakat umat Islam di tempat-tempat mereka memberi minum binatang-ternaknya. Asas proaktif ini tidak berarti menghalangi partisipasi aktif para muzaki yang berkemauan untuk mengantarkan/menyerahkan zakatnya kepada amilin. Sebab, Nabi Muhammbad saw. sendiri sering menerima zakat di tempat tinggal beliau. Hadits riwayat Abdullah bin Awfa yang dikuti sebelum ini mengisyaratkan partisipasi aktif muzaki ketimbang amil zakat. Kelima, alokasi pembagian hasil dana zakat tampak lebih mengutamakan pula mustahik yang ada di daerah para muzaki (sumber zakat) itu sendiri. Perintah Nabi Muhammad saw., kepada Mu’adz bin Jabal dan membagikannya kepada para fuqara’ yang ada di Yaman mengisyaratkan upaya kesejahteraan sosial berdasarkan sumber asal ekonomi
–dalam kaitan ini zakat– itu sendiri. Maksudnya, Nabi memerintahkan Mu’adz supaya menggali potensi dana zakat yang ada di daerah Yaman untuk kesejahteraan sosial ekonomi rakyat Yaman itu sendiri. Tidak ada perintah Nabi kepada Mu’adz untuk mengirimkan dana zakat penduduk Yaman (sebagian atau seluruhnya) ke pemerintah pusat yang berada di kota Madinah. Namun demikian, tidak berarti tidak boleh mengalirkan sebagian atau seluruh dana zakat daerah tertentu untuk para mustahik zakat yang ada di daerah-daerah lain, terutama yang benar-benar membutuhkan bantuan dana zakat. Apalagi dalam satu negara semisal Indonesia. Dalam negara yang berbeda sekalipun, suatu negara boleh menyerahkan dana zakatnya untuk para mustahik yang ada di negara-negara lain. Apalagi antara daerah yang satu dengan deerah lain. Keenam, baik Nabi Muhammad saw., maupun Abu Bakar ra., keduanya memberikan informasi yang sangat jelas dan tegas tetang hukum, obyek, besar penarikan zakat dan halhal lain bertalian dengan seluk beluk perzakatan. Kejelasan dan detail informasi zakat seperti ini mutlak perlu untuk membantu mempermudah para muzaki dalam hal penghitungan dan teknik pembayaran zakat. Surat Abu Bakar yang ditujukan kepada Anas, benar-benar mencerminkan rangkaian informasi zakat hewan (binatang) ternak yang demikian konkret. Begitu pula menyangkut penambahan kekurangan/pengambilan kelebihan zakat onta dengan kambing dan atau mata uang dalam upaya mengantisipasi kemungkinan pembayaran zakat yang benar-benar pas dengan jenis-jenis onta yang telah ditentukan. Ketujuh, baik Nabi Muhammad saw., maupun Abu Bakar al-Shiddiq, keduanya berupaya sekuat tenaga untuk mendorong amilin bekerja keras agar seberapa dapat setiap muzaki mau mengeluarkan zakatnya. Bahkan jika seseorang belum bisa mencapai derajat muzaki, baik Nabi Muhammad maupun Abu Bakar tidak berkeberatan untuk menarik sebagian kecil dari harta yang dimiliki muslim yang belum mencapai nisab (kadar minimal tertentu untuk mengeluarkan zakat). Anjuran Abu Bakar untuk tetap menerima pemberian peternak yang bersedia memberikan sedikit harta/hewan ternaknya meski belum mencapai 40 ekor kambing atau 5 ekor onta, mengisyaratkan hal itu. Demikian pula dengan anjuran Nabi kepada Mu’adz bin Jabal di Yaman untuk memungut beberapa dirham dari mereka yang belum menjadi muzaki. Pendeknya, Islam mendidik semua umatnya supaya turut terlibat dengan usaha mewujudkan kesejahteraan sosial dalam berbagai bidang, tidak terkecuali dalam bidang kesejahteraan ekonomi.
Pengelolaan Zakat Pada Periode Berikutnya Kebijakan Nabi Muhammad saw. dan Khalifah Abu Bakar ra. tentang pengelolaan dana zakat kemudian dikembangkan oleh para khalifah yang menggantikannya yakni Umar bin al-Khaththab, Utsaman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Bahkan di zaman Umar bin al-Khaththab dan khususnya Utsman bin Affan, administrasi pengelolaan zakat mencapai puncak kemajuan dan kejayaannya seiring dengan kemajuan tata administrasi Islam di berbagai bidang. Seperti diketahui, Umar bin al-Khaththab-lah khalifah pertama dalam sejarah Islam yang melakukan berbagai terobosan untuk menata administrasi negara secara lebih sistematis, transparan dan profesional. Keadaan demikian terus berlanjut seiring dengan kemajuan negara Islam waktu itu, dengan mencapai puncak kejayaannya pada masa-masa dinasti Bani Abbasiyah dan Dinasti
bani Umayyah. Hanya saja, kejayaan Islam dan umatnya kemudian mengalami perkembangan pasang surut sesuai dengan jatuh-bangun kekuasaan Islam itu sendiri. Ketika negara nasional tumbuh laksana jamur yang mana kaum muslimin berlomba-lomba mendirikan negara-negara “kecil” berdasarkan asas nasionalisme, maka kini penduduk muslim di kolong langit ini tidak lagi hidup di dalam satu sama lain berbeda-beda. Tetapi semangat untuk mengeluarkan zakat terus berlanjut di setiap negara yang di dalamnya terdapat penghuni (warga negara) yang mengaku diri min al-muslimin (orang-orang Islam). Dari rangkaian pembahasan sejarah pengelolaan zakat pada zaman Nabi Muhammad saw. dan Khulafa al-Rasyidin, dapat disimpulkan bahwa pengelolaan zakat di zaman Rasulullah saw dan sahabat empat (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali Ra.) benar-benar fungsional dan prosedural, serta dikelola oleh lembaga amilin yang benar-benar profesional, transparan, dan amanah. Sehingga, zakat sebagai salah satu sumber ekonomi umat benar-benar mampu mensejahterakan masyarakat dan umat Islam waktu itu. Penanganan dan pengelolaan zakat seperti ini, mutlak perlu ditiru atau tepatnya diikuti oleh lembaga-lembaga zakat yang kini ada di Indonesia apakah itu sebagai Unit Pengumpul Zakat (UPZ) dan Badan Amil Zakat (BAZ), maupun selaku Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan lain-lain. Juga apakah itu ditingkat pusat maupun di tingkat-tingkat daerah.[]
Filantropi Dalam Sejarah Islam Di Indonesia Oleh Azyumardi Azra2 Kedermawanan atau filantropi bukan hal yang baru dalam sejarah Islam. Masalah filantropi menjadi salah satu bagian penting dari ajaran atau doktrin Islam, yang diterima Nabi Muhammad saw. sejak lima belas abad lalu. Banyak ayat Al-Quran maupun Al-Hadits yang menegaskan pentingnya berderma kepada sesama manusia. Lihat, misalnya, ayat AlQuran (QS, Al-Tawbah, 9: 103) yang artinya; “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan, Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Dalam beberapa ayat Al-Quran dan Al-Hadis dapat kita temukan ajaran-ajaran Islam yang menganjurkan kedermawanan dalam pelbagai bentuknya. Filantropi Islam sendiri memang memiliki cakupan yang sangat luas, mulai dari masalah wakaf, infak, sedekah, hingga zakat. Bahkan, kedermawanan tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat material, tetapi juga pada hal-hal yang bersifat spiritual. Dalam hal ini, senyum dapat disebut sebagai salah satu bentuk kedermawanan. Kedermawanan atau filantropi merupakan salah satu bentuk ajaran Islam tentang kepedulian dan keadilan sosial kepada sesama manusia. Di dalam doktrin Islam, orangorang yang tidak memiliki kepedulian terhadap anak yatim, orang fakir-miskin, dan kaum duafa lainnya, misalnya, dikategorikan dan dimasukkan sebagai pendusta agama. Hal ini dipertegaskan dalam ayat Al-Quran (QS Al-Mâ’ûn, 107: 1-7) yang artinya; “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, (yaitu) orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong) dengan barang berguna.” Jadi, pendusta agama adalah orang yang rajin mendirikan salat dan taat menjalankan ibadah-ibadah wajib, namun tidak memiliki perilaku sosial yang baik terhadap sesama manusia. Secara doktrinal, masalah filantropi memang telah ada sejak Islam diterima Rasulullah saw. Namun, dari sudut akademis dan kelembagaan, masalah filantropi Islam merupakan salah satu bidang yang tampaknya masih terbengkalai dan belum menjadi kajian serius, khususnya di Indonesia. Secara historis disebutkan, bahwa ada suatu kecenderungan di kalangan para penguasa muslim, sejak Daulah Abbasiyah hingga Turki Utsmani, yang selalu menunjukkan filantropi mereka dalam pelbagai bentuk kelembagaan, khususnya pendidikan dan madrasah. Dalam hal ini, menarik untuk dikaji pendirian lembagalembaga tersebut, yaitu berkenaan dengan lembaga-lembaga yang disokong dan dibiayai
sepenuhnya oleh penguasa atau pemerintah. Sebagai contoh kasus adalah Madrasah Nizhamiyah yang didirikan pada abad ke-10 dan ke-11 M. di Baghdad. Pendirian madrasah tersebut merupakan religious endowment dari penguasa pada masa itu. Juga, Dinasti Turki Utsmani pada masa modern (abad ke-18 dan ke-19 M.) yang memberikan religious endowment yang cukup besar dalam bentuk scholarly endowment. Kita tahu bahwa Pemerintah Turki Utsmani menyisihkan jumlah tertentu dari anggaran belanjanya untuk kepentingan beasiswa bagi para penuntut ilmu di kota-kota pusat keilmuan seperti Kairo, Makkah, dan Madinah. Sementara itu, Universitas Al-Azhar di Mesir menjadi satu contoh filantropi Islam yang amat luar biasa dengan harta wakafnya dan juga hasil-hasil usaha lainnya. Belum termasuk pula yang berbentuk charities dalam bentuk ZIS. Karenanya, Universitas Al-Azhar menjadi sangat independen, bahkan anggaran belanja lembaga pendidikan Islam ini lebih besar dari anggaran belanja negara Mesir sendiri. Tetapi, dalam perkembangan berikutnya, pada 1961, pemerintah Mesir di bawah Presiden Nasser melakukan nasionalisasi secara paksa atas seluruh harta wakaf Al-Azhar. Al-Azhar pun kemudian dijadikan bagian dari struktur negara; anggarannya ditetapkan dan diberikan oleh negera; Syaikh Al-Azhar dijadikan pejabat setingkat Perdana Menteri dan digaji Pemerintah. Akibatnya, Al-Azhar tidak lagi menjadi lembaga independen atau menjadi kekuatan penyeimbang kekuasaan.
Naskah-Naskah tentang Islamisasi Nusantara Nilai-nilai filantropi Islam tentu membawa perubahan pada masyarakat Nusantara, dan zakat berperan besar di sini, karena walau bagaimanapun juga, tampaknya masyarakat Nusantara mengharapkan bahwa Islam akan dapat mengubah masyarakat sedikit demi sedikit dibandingkan ketika mereka masih menyembah berhala.3 Memang tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa Islam banyak membawa perubahan pada masyarakat di Nusantara. Sebagai contoh, kontrol sosial sebagai manifestasi nilai-nilai keislaman di Nusantara tertuang dalam teks Tajul Salatin. Dalam salah satu babnya, teks tersebut tertulis penuh celaan terhadap orang-orang bakhil dan pujian bagi orang yang mau bermurah hati. “Hendaklah yang raja itu melebih hormat akan segala fakir dan miskin dan dimuliakan mereka itu terlebih daripada segala orang kaya dan harus senantiasa duduk dengan mereka itu…”.4 Semangat egalitarianisme di atas belum sepenuhnya bisa dilakukan, terlebih lagi di kalangan elite kerajaan. Dalam Adat Raja-Raja Melayu, sedekah dan zakat yang dikeluarkan oleh raja kepada fakir dan miskin diberikan pada saat diadakan upacara kerajaan seperti Upacara Kelahiran, Upacara Memotong Rambut, dan Upacara Membayar Nazar. Sedekah yang dikeluarkan raja pun tidak tanggung-tanggung, yaitu berupa emas, perak, dan pakaian kepada fakir miskin di seluruh negeri.5 Sedekah dan zakat yang diberikan raja dipakai sebagai alat melanggengkan kekuasaannya. Dalam kasus Nusantara, zakat merupakan suatu anasir penting dari tata hukum yang ada, baik hukum positif ataupun moralitas umum yang disosialisasikan melalui teks-teks bernafaskan Islam. Semangat dalam naskah yang terdapat pada kerajaan-kerajaan di wilayah barat Nusantara tidak banyak berbeda dengan teks-teks yang ditemukan sekitar abad ke-16 di wilayah Jawa walau naskah ini adalah naskah-naskah fikih dan akhlak. Misalnya dalam Wejangan Sheh Bari, di dalamnya terdapat satu bagian tentang kebajikan-
kebajikan pemberian sedekah secara diam-diam, yang tidak diketahui siapa pun kecuali kepada Tuhan.6 Sedangkan kitab tentang Akhlak Islam yang disunting Drewes juga mengatakan tentang perlunya zakat: “Zakat itu adalah kewajiban nyata yang harus ditunaikan sesuai dengan banyaknya harta milik masing-masing (sakadare artane); barangsiapa mempunyai kekayaan entah disimpan entah diputarkan tidak boleh tidak membayar zakat dengan sejujurnya tanpa kecurangan.”7 Sistem zakat ini merupakan suatu perkembangan yang sangat luas implikasinya pada masyarakat Nusantara. Lombard mengatakan bahwa cita-cita “masyarakat baru” ini, yang bersandarkan dirinya pada hukum Islam, adalah suatu pergerakan menuju masyarakat yang bersifat egaliter. Di dalam Undang-undang Melaka tidak dicantumkan pentingnya zakat, atau, secara spesifik tidak mewajibkan para pedagang dan elite-elite masyarakat Nusantara yang bermukim di Melaka untuk membayar zakat. Sehingga zakat mendapatkan status hukumnya dalam sebuah konstitusi. Secara umum, Undang-undang Melaka berisi tentang hukum-hukum mengenai pembunuhan, pelanggaran hak milik, pelecehan seksual, perlawanan terhadap pemerintah, aturan-aturan mengenai perdagangan dan sistem agraria, dan hukum mengenai perbudakan. Dari sini dapat diasumsikan bahwa lembaga filantropi Islam belum terejawantahkan pada tatanan masyarakat Nusantara dalam bentuk pengelolaannya yang mapan. Paling tidak, dengan munculnya teks-teks yang menganjurkan seseorang untuk bersedekah dan berzakat dan tidak adanya ketentuan hukum mengenai hal tersebut dalam Undang-undang Melaka, dapat dikatakan bahwa pada abad-abad pertama masuknya Islam di Indonesia, aspek filantropi Islam masih sebatas tindakan imperatif-etis. Hal ini tampaknya terkait dengan tahap-tahap Islamisasi yang terjadi secara gradual di Nusantara, dari “Islam campuran” atau heterodoksi ke “Islam Skriptural” atau ortodoksi. Hal lain yang cukup penting adalah semangat pemerintahan Muslim mewajibkan zakat dan menghukum orang yang tidak melakukan kewajiban tersebut kemungkinan besar tidak sampai ke Nusantara (Amelia dan Ary). Bahkan, menurut Gregory C. Kozlowski, sedikit sekali pemerintah Muslim yang melakukan hal itu, kecuali pada masa awal perkembangan Islam.8
Masjid dan Administrasi Kerajaan Masjid merupakan pusat kegiatan sosial-keagamaan umat Islam. Di Aceh seorang imeum ditunjuk untuk memimpin penyelenggaraan ritual-ritual keagamaan di masjid, kemudian kita juga mengenal sebutan kadi atau penghulu. Jabatan ini selalu dihubungkan dengan tugas-tugas keagamaan, terutama dalam bidang peradilan dan hukum Islam. Seperti juga jabatan keagamaan yang ada di Jawa, di Palembang juga dikenal istilah penghulu, yaitu jabatan keagamaan di bawah administrasi kesultanan untuk mengatur persoalan-persoalan keagamaan. Oleh karena itu, penghulu berperan besar dalam mengelola keuangan masjid (yang bersumber melalui zakat, sedekah, hibah maupun wakaf) karena tugasnya adalah memimpin sebuah masjid.9
Praktik Filantropi dan Otoritas Keagamaan pada Masa Kolonial Wacana keislaman pada periode kolonial tidak bisa mengesampingkan nama Dr. C. Snouck Hurgronje (1857-1936) yang merupakan Penasihat Urusan Pribumi dan Islam, bekerja pada Het Kantoor voor Inlandsche zaken mulai pada 1899 sampai 1906. Data
mengenai praktik filantropi sebagian besar didapat dari tulisan dan surat-surat Snouck yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal atau pejabat-pejabat daerah (Bupati, Residen, Asisten Residen) di wilayah Hindia Belanda. Pengetahuan Snouck yang mendalam tentang hukum Islam dan pranata sosial keagamaan di wilayah-wilayah Hindia Belanda membuat nasihatnasihatnya begitu berarti dan penting. Namun statusnya sebagai pejabat kolonial yang terkadang bertabrakan dengan semangat liberal yang dibawanya telah memberi wacana bagi praktik filantropi Islam di Nusantara. Dengan nasihat-nasihatnya, Snouck adalah tokoh yang paling berpengaruh dalam pemutusan kebijakan-kebijakan kolonial terhadap bentuk pengelolaan kas masjid yang didapatkan melalui zakat dan biaya pernikahan, serta wakaf.
Pemerintah Kolonial dan Pengelolaan Zakat Dari hasil penelitian Snouck dan data yang didapatkannya dari wilayah-wilayah di Nusantara, terlihat bahwa zakat mal, zakat fitrah, sedekah, serta sumbangan-sumbangan lain keagamaan sudah melembaga dalam masyarakat. Penekanan terhadap wajibnya zakat dan benda yang dikeluarkan zakatnya berbeda dari satu tempat dengan tempat lainnya, misalnya, zakat ternak boleh dikatakan tidak pernah ditarik di Jawa dan Madura. Zakat logam mulia dan barang dagangan pun langka sekali. Di Priangan penarikan zakat hasil pertanian padi begitu ditekankan, tapi tidak di wilayah Jawa.10 Zakat mal tidak banyak ditemukan di Jawa, tapi tradisi pembagian zakat mal secara besar-besaran dilakukan di Madura.11 Di Jawa, sifat zakat adalah sukarela dan tidak pernah seperti pajak. Hal ini berbeda dengan di Priangan. Ada beberapa faktor penting yang membuat sifat zakat begitu berbeda di dua tempat itu sehingga membuat penghasilan zakat yang sangat berbeda banyaknya. Di Jawa, tekanan pajak yang begitu tinggi menjadi tidak mungkin untuk menarik zakat hasil pertanian dari penduduk. Hal lain, menurut Snouck, terdapatnya pengetahuan yang cukup mengenai syariat Islam, adanya ketekunan para pemimpin, kepemilikan tanah secara komunal, dan rasa keagamaan yang tinggi di daerah Priangan. Bagi sebagian penduduk, zakat fitrah itu dianggap sebagai tebusan dosa selama satu tahun. Tradisi menyerahkan fitrah dalam bentuk uang, selain beras, juga sudah. Dan penduduk tidak merasa memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat itu termasuk kepada siapa zakat itu diserahkan. Kebanyakan penduduk mengharapkan berkah dari zakat yang mereka keluarkan. Dan, hanya petani kaya yang saleh saja yang mau mengeluarkan zakat pertanian dan barang dagangan.12 Kepada siapa zakat diberikan? Menurut Snouck, di Jawa sama sekali tidak ada aturan. Sebagian penduduk memberikan zakat fitrah anaknya yang masih kecil kepada bidan yang menolong kelahiran anak tersebut; jika anak itu sudah mengaji, maka fitrah diberikan kepada guru ngaji anak-anak tersebut, dan untuk penduduk dewasa, fitrah dapat diberikan kepada lebai (yang suka membacakan doa), modin, amil, kiai, atau penghulu. Menurut Snouck, ada penduduk yang berpandangan bahwa zakat fitrah disalurkan kepada kiai dengan harapan mereka mendapat berkah dari kiai itu dan dari mustahik yang menerima zakat yang tersebut. Namun sama sekali tidak ada pengawasan tentang bagaimana kiai atau penghulu mengelola uang zakat atau fitrah. Namun di Priangan pengelolaannya sangat baik. Zakat mal dan zakat fitrah dikumpulkan oleh para kiai. Setelah dipotong sekedarnya untuk bagian para kiai baru uang itu dipertanggungjawabkan dan diserahkan kepada
penghulu kecamatan dan kewedanan. Setelah dipotong sekadarnya oleh penghulu kewedanan, uang itu diteruskan kepada penghulu afdeeling, dan disebut sebagai “penghasilan agama”. Dengan cara seperti ini, maka jumlah uang zakat mal dan zakat fitrah itu begitu besar. Dan karena itu sangat rawan akan praktik korupsi.13 Tentang mustahik, atau kelompok yang berhak mendapat zakat, walaupun berjumlah delapan, namun pada akhirnya, menurut Snouck, uang zakat diberikan kepada wong putihan (di Jawa) atau santri, atau lebai yang masuk kategori fakir dan miskin dalam arti yang lebih luas. Karenanya, penghulu, naib, dan seluruh petugas masjid, guru agama, murid pesantren, penjaga makam keramat, orang saleh fakir yang menganggur, dan para amil. Istilah amil atau orang yang memungut/mengelola zakat diangkat oleh pejabat Islam, dan jabatan ini dulu banyak terdapat di daerah Jawa Barat. Dan sejak 1892, jabatan tersebut sudah tidak difungsikan lagi; namun sekarang ini istilah amil kembali digunakan pada masa Orde Baru. Pemerintah kolonial tidak mau turut campur dalam hal pengelolaan uang zakat mal dan zakat fitrah ini. Kebijakan ini sudah diterapkan jauh sebelum Snouck menjadi Penasihat Urusan Pribumi dan Islam. Pemerintah sudah mengedarkan larangan tegas tertanggal 18 Agustus 1866 nomor 216 untuk menghapus semua campur tangan pemerintah daerah atas pungutan sukarela keagamaan. Kebijakan ini diterapkan karena kekhawatiran pemerintah nantinya disalahkan jika mengubah struktur pranata keagamaan masyarakat. Kekhawatiran ini sangat beralasan karena sebagian besar pejabat pemerintah tidak tahu tentang Islam dan masyarakat Muslim Nusantara. Dari sini cukup jelas bahwa walaupun tidak terdokumentasi dengan baik, sistem dan kelembagaan zakat fitrah dan zakat mal tidak mengalami perubahan pada masa kolonial. Pemerintah kolonial pun hanya mengawasi pelaksanaan dan pengelolaan zakat di wilayah Jawa dan Madura, tidak termasuk wilayah vorstenlanden (kerajaan). Kalaupun ada perubahan, bisa masuk lewat reformasi pranata Islam itu sendiri yang dibawa oleh para pembaharu atau ulama-ulama dari luar wilayah Nusantara, khususnya dari Timur Tengah bisa melalui media haji, komunitas Jawah, atau mahasiswa yang menuntut ilmu. Walaupun demikian, kecil kemungkinan ada perubahan yang berarti karena wacana fikih tidak banyak didiskusikan lagi. Kemungkinan perubahan ada dalam interpretasi mustahik dan pengelolaan harta zakat yang lebih modern. Walaupun pada satu sisi Snouck bersikeras untuk tidak mencampuri urusan sumbangan sukarela keagamaan ini, di sisi lain ia tidak bisa tinggal diam melihat praktikpraktik kecurangan atau korupsi yang terjadi dalam pengelolaan keuangan ini. Dan, melakukan campur tangan terutama dalam pengawasan dan pengelolaan kas masjid.
Campur-tangan Pemerintah dalam Pengumpulan Zakat Karel Steenbrink melihat bahwa dalam praktiknya, penghulu adalah pejabat yang paling berhak untuk mengumpulkan zakat, tetapi bukan untuk mustahik, melainkan untuk gajinya.14 Di beberapa daerah, penghulu dianggap sebagai orang biasa yang hidup dalam lingkungan kolonial dan memperoleh gaji langsung dari Batavia. Perbedaan antara kiai/guru dengan penghulu sangat tegas pemisahannya.15 Kiai/guru biasanya mengajar di surau, langgar, madrasah, atau pesantren. Mereka hidup dari uang sumbangan dan fitrah
yang diberikan murid-murid dan penduduk. Sedangkan penghulu diangkat dan digaji dari pemerintah kolonial. Karenanya ketegangan antara penghulu dan kiai lokal atau guru yang sudah ada sejak zaman kerajaan Islam kembali berlanjut. Kalau ketika itu penghulu diangkat oleh sultan atau raja, maka pada masa kolonial penghulu diangkat oleh pemerintah kolonial. Salah satu “tugas” penghulu adalah mengawasi adanya usaha-usaha pemberontakan dan meredam ketenaran kiai lokal seperti dalam kasus perselisihan antara Kiai Mutamakin dengan penghulu Batang. Dalam praktiknya di Jawa, zakat hanya dianggap sebagai gaji pegawai masjid. Ini merupakan suatu pandangan umum masyarakat sebagaimana diilustrasikan oleh kutipan Steenbrink dari Algemeen Verslag Regenstchaap Sumenep over 1811, bahwa penghulu kerjaannya hanya mengurus persoalan perkawinan dan kematian, tetapi setiap bulan puasa ia mendapat zakat fitrah, 4 katie beras setiap satu orang, atau duit dan setiap bulan haji dia menerima daging kurban, bahkan kambing yang masih hidup.16 Oleh karena itu, ketika pada 1866 dikeluarkan peraturan bahwa pegawai negeri tidak boleh membantu pengumpulan zakat, maka kebanyakan penduduk tidak lagi memberikan zakat kepada penghulu, tetapi kepada kiai yang lebih dihormati dan dipercayai. Snouck dengan berat hati juga menegaskan bahwa penghulu tidak mengurus soal zakat fitrah dan zakat mal. Lebih buruk lagi, Snouck juga melarang usaha lain penghulu mendapatkan pemasukan dari orang yang akan berangkat haji. Terdapat praktik ilegal bahwa penghulu, guru agama atau pemandu haji menarik zakat sebesar dua setengah persen dari uang haji, dengan mengatakan bahwa haji yang tidak membayarkan zakatnya tidak sah dan hajinya tidak halal.17 Pengembalian fungsi ini memang pada satu sisi menguntungkan kiai dan guru termasuk guru tarekat dan merugikan bahkan mengurangi pemasukan penghulu. Namun menurut Snouck hal ini penting untuk dilakukan mengingat harus dikembalikannya kewibawaan lembaga penghulu dalam masyarakat. Karena itu, penghulu mendapat gaji dari uang KTC (Kawin, Talak, Cerai) yang masuk ke kas masjid dan itu pun cukup besar. Pada awal abad ke-20 M, filantropi Islam semakin berkembang di Indonesia, yang ditandai oleh hadirnya sekolah-sekolah Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan sejenisnya, termasuk organisasi-organisasi sosial-keagamaan besar semacam Jami’at Khair dan Sarekat Islam. Kehadiran institusi-institusi pendidikan Islam dan organisasi sosialkeagamaan di tengah-tengah masyarakat Islam Indonesia ini sangat terkait dengan philanthrophisme itu, dan membuktikan bahwa mereka mampu menghidupi dirinya sendiri secara mandiri. Menguatnya filantropi terus bertahan hingga Indonesia merdeka pada 1945. Dalam masa-masa berikutnya, khususnya sejak awal 1990-an —menjelang lengsernya Suharto dari kursi kepresidenan, perkembangan filantropi Islam di Indonesia tidak dapat dicegah dan dimundurkan kembali. Filantropi Islam di Indonesia sudah berkembang lebih jauh. Adalah jelas bahwa philanthropisme tidak lagi terbatas pada pembangunan madrasah, pesantren, atau masjid, misalnya, tetapi lebih menyentuh pada pemberdayaan ekonomi, pemberian beasiswa, dan lain sebagainya. Fenomena ini tentu saja cukup menggembirakan bagi masyarakat Islam Indonesia.
Dalam beberapa tahun sejak 1990-an, potensi kedermawanan atau filantropi dalam masyarakat kita terus meningkat. Kondisi ekonomi yang sulit karena terjadi multikrisis di dalam masyarakat Indonesia sejak akhir 1997, ternyata tidak membuat filantropi merosot atau menurun di Indonesia, tetapi sebaliknya justru cenderung terus meningkat. Miliaran dana kemanusiaan dan kepedulian berhasil dikumpulkan media elektronik dan cetak, atau oleh lembaga-lembaga yang memang bergerak dalam dunia filantropi. Bila dana kemanusiaan dan kepedulian yang melimpah itu dikelola dengan managemen amanah dan jujur, insya Allah public trust akan semakin tumbuh dan berkembang. Di kalangan umat Islam khususnya, peningkatan filantropi dapat dilihat dari pertumbuhan dana yang secara fenomenal berhasil dikumpulkan lembaga-lembaga filantropi seperti Dompet Dhuafa, Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), Yayasan Daarut Tauhid, dan banyak lagi, yang ditangani dengan managemen swasta dan profesional. Lembaga-lembaga seperti ini hadir tidak sekadar melengkapi BAZIS dan LAZIS yang telah ada sebelumnya —yang dikelola di bawah naungan pemerintahan, tetapi bahkan juga menawarkan berbagai terobosan baru dalam manajemen pengumpulan dan distribusi dana yang berhasil mereka kumpulkan dari masyarakat. Di tengah peningkatan filantropi di kalangan masyarakat kita, persoalannya adalah seberapa jauh dana yang dikumpulkan bermanfaat untuk meningkatkan keadilan sosial? Apakah dana filantropi yang demikian besar masih didistribusikan secara konvensional, misalnya terutama untuk pembangunan rumah ibadah, ataukah juga semakin banyak untuk membantu terciptanya kepedulian dan keadilan sosial? Masalah-masalah seperti inilah yang, antara lain, menjadi tema pokok penelitian berskala internasional yang dilakukan dan dikordinasi Pusat Bahasa dan Budaya (PBB), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejak 2003. Penelitian yang bertajuk “Philanthropy for Social Justice among Muslim Societies” itu bersifat komparatif dengan melihat pengalaman umat Islam di negara-negara mayoritas Muslim, Indonesia, Mesir, Turki, dan di Tanzania, India, dan Inggris, di mana umat Islam merupakan komunitas minoritas. Setelah Lokakarya I dilakukan di Bali pada Juni 2003, Lokakarya II diselenggarakan di Kairo, Mesir 9-10 Juni 2004, yang mengungkapkan banyak temuan menarik dari lapangan. Pertama, motivasi keagamaan merupakan motif dominan bagi sebagian besar penderma untuk mendermakan sebagian harta mereka; kedua, meningkatnya kecenderungan filantropi untuk memberdayakan lembaga, organisasi, dan kelompok keagamaan; dan ketiga meningkatnya bentuk-bentuk baru dalam managemen pengelolaan dan distribusi dana filantropi yang berhasil dikumpulkan. Lebih jauh, meski terdapat tanda-tanda peningkatan kepedulian sosial dalam filantropisme, namun kedermawanan publik belum menjadikan advokasi pemberdayaan civil society, HAM, atau kesetaraan gender dan semacamnya sebagai salah satu prioritas pokok. Karena itu masih diperlukan waktu dan usaha sungguh-sungguh untuk meyakinkan kaum filantropis muslim khususnya, bahwa semua hal ini juga merupakan bagian penting pemberdayaan masyarakat dan penciptaan keadilan sosial dalam masyarakat muslim secara keseluruhan. Dalam kerangka itu, penciptaan dan penguatan kerjasama dan jaringan antara LSM-LSM dengan lembaga-lembaga filantropi sangat dibutuhkan.[]
Pengelolaan Zakat Di Negara-negara Islam Oleh M.Taufiq Ridlo18 Dalam teori ketatanegaraan Islam, pengelolaan zakat diserahkan kepada “waliyul amr” yang dalam kontek ini adalah pemerintah, sebagaimana perintah Allah dalam firmanNya “khudz min amwalihim” (ambillah sedekah (zakat) dari harta mereka (Q.S.Attaubah:103). Para fukaha menyimpulkan ayat di atas, bahwa kewenangan untuk melakukan pengambilan zakat dengan kekuatan hanya dapat dilakukan oleh pemerintah. Oleh sebab itu di antara pemahaman para fukaha ialah wajibnya pemerintahan Islam melakukan pungutan zakat dan kemudian menyalurkannya sesuai dengan asnaf yang telah ditentukan, dan pemerintah wajib men-set up dalam struktur kepemerintahannya mulai tingkat pusat sampai ke pelosok-pelosok daerah yang mengurus masalah zakat sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan khulafaurrasyidin (Subhi Shalih, 1970) Imam Al-Kattani menyebutkan bahwa petugas Rasulullah saw. untuk urusan zakat adalah Zubair Bin Awwam, jika berhalangan digantikan oleh Jahm Bin Shalt atau Hudzaifah Bin al Yaman (Kattani, 1980). Hal tersebut juga dikuatkan oleh pernyataan Ibn Hajar dalam kitabnya Talkhis Al Khobiir bahwa Zubair dan Jahm, keduanya adalah bertugas sebagai pencatat sedekah (zakat). Perkembangan pengurusan zakat mulai dari zaman Rasulullah saw. sebagai penggagas terus berkembang seiring dengan perkembangan sistem pemerintahan yang semakin berkembang terutama di zaman Umar bin Khattab, dan dapat kita simpulkan dari perjalanan sejarah umat Islam, bahwa hampir semua penguasa kekhalifahan Islam menjalankan fungsi dan tugas amilin yaitu menghimpun dan mendistribusikan zakat dengan tingkatan yang berbeda-beda dalam penerapannya dan tidak diragukan lagi bahwa pola pengelolaan zakat yang beragam di berbagai Negara Islam sekarang ini merupakan bagian yang tidak dapat kita pisahkan dari sejarah pengelolaan zakat. Perkembangan pengelolaan zakat yang semakin berkembang dengan kondisi umat Islam yang berbeda-beda di masing-masing negaranya mendorong perlu adanya fatwa yang berskala internasional mengenai model institusi pengelolaan zakat dalam kondisi yang ada sekarang. Maka salah satu fatwa hasil symposium zakat internasional yang diadakan di Bahrain 1994 menyebutkan “Badan-badan dan lembaga-lembaga zakat yang dibentuk pada akhir-akhir ini adalah suatu bentuk modern yang memperkaya khazanah sistem pengelolaan zakat dalam tata hukum Islam. Oleh sebab itu, perlu dipelihara persyaratan yang sesuai syariah bagi para amilin zakat.” Artinya bahwa pengelolaan zakat di zaman sekarang ini memiliki berbagai macam bentuk ada yang dikolala oleh pemerintah dan adan yang dikelola atau dibentuk oleh masyarakat dan dikukuhkan oleh pemerintah sebagai wujud nyata penunaian kewajiban agama mereka. Dr Mundzir Qohf dalam salah satu tulisannya mengenai pengelolaan zakat, beliau mengklasifikasikan model pengelolaan zakat yang dipraktikkan di dunia Islam ada dua model; pertama, adalah pengelolaan yang dipayungi oleh Undang-undang dan ini ada dua model, pertama pengelolaan murni oleh pemerintah, kedua dikelola oleh lembaga yang mendapat legalitas dari pemerintah. Kedua, adalah pengelolaan yang alami tanpa ada
payung perundang-undangan yang pada hal ini diperankan oleh lembaga-lembaga kebajikan Islam maupun ormas-ormas Islam. Dengan kata lain model pengelolaan zakat di negara-negara Islam dapat dikategorikan pada dua model, pertama negara-negara yang mewajibkan zakat sebagai kewajiban yang didasarkan pada undang-undang wajib zakat dan institusi yang berwenang menanganinya, di antara negara-negara yang menerapkan kebijakan ini adalah; Sudan, Saudi Arabia, Libya dan Pakistan. Sedangkan negara-negara Islam lainnya tidak mewajibkan pembayaran zakat kepada warganya berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, melainkan diserahkan pada kesadaran masing-masing individu, atau zakat hanya merupakan kewajiban agama (Wajib Diiniyyan) tidak diperkuat kewajibannya dengan perundang-undangan (wajib Qonuuniyyan).
Pengelolaan zakat di Negara-negara yang mewajibkan zakat.19 A.Kerajaan Saudi Arabia Penerapan zakat di Saudi Arabia berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, dimulai tahun 1951 M, yang sebelumnya penunaian zakat tidak diatur oleh perundangundangan. Penerapan pengelolaan zakat oleh pemerintah Saudi berdasarkan pada Keputusan Raja (Royal Court) No 17/2/28/8634 tertanggal 29/6/1370 H/ 7/4/1951. yang berbunyi “zakat syari’ yang sesuai dengan ketentuan syariah islamiyyah diwajibkan kepada individu dan perusahaan yang memiliki kewarganegaraan Saudi” Dalam beberapa aturan berikutnya diperbolehkan bagi individu untuk menyalurkan sendiri zakatnya maksimal setengahnya, dan setengah lagi disetorkan ke Departemen keuangan sedangkan untuk perusahaan semuanya disetor ke departemen keuangan. Kewenangan penghimpunan zakat di Saudi semuanya berada pada kendali departemen keuangan dari mulai kebijakan sampai teknis, sehingga peraturan-peraturan zakat yang ada banyak terfokus hanya pada penghimpunan, sedangkan untuk penyaluran kewenangannya ada pada departemen sosial dan pekerjaan di bawah dirjen jaminan sosial (dhoman ijtimai) Sesuai dengan keputusan raja bahwa zakat hanya diwajibkan kepada warga Saudi saja, dan sebelum keputusan tersebut dikeluarkan, telah ada keputusan raja yang dikeluarkan beberapa bulan sebelum keputusan tentang zakat, yaitu keputusan raja tentang pajak pendapatan bagi bukan warga Saudi, artinya bagi warga selain Saudi tidak diwajibkan membayar zakat tapi mereka diwajibkan untuk membayar pajak pendapatan, sementara untuk warga Saudi mereka hanya diwajibkan membayar zakat. Oleh sebab itu departemen keuangan Saudi untuk mengelola hal tersebut dibentuklah bagian khusus yang disebut “Maslahat az-zakat wa ad dakhl” (kantor pelayanan zakat dan pajak pendapatan), maka tidak jarang orang Saudi yang mengidentikkan zakat dengan pajak karena sistem yang dibangun untuk penghimpunan tersebut hampir sama dengan sistem penghimpunan pajak pendapatan. Pada saat itu antara nilai zakat yang dibayarkan seseorang dengan nilai pajak pendapatan masih lebih tinggi nilai zakat, karena pajak hanya sekedar formalitas saja, sehingga kebijakannya adalah bolehnya zakat individu disalurkan sendiri maksimal 50%.
Dengan semakin berkembangnya peraturan pajak pendapatan yang diterapkan oleh Saudi, dengan mengacu pada keuntungan yang dihasilkan dan dinaikkannya persentase pajak pendapatan yang mengakibatkan nilai pajak pendapatan lebih tinggi dibanding nilai zakat, maka warga muslim yang bermukim di sana dan kebanyakan mereka adalah warga Teluk, mengajukan permohonan kepada pemerintah Saudi agar mereka pun diwajibkan membayar zakat saja sebagai pengganti pajak pendapatan mereka, maka hal tersebut disepakati oleh pemerintah Saudi dengan Keputusan Raja akhirnya ditetapkan bahwa zakat diwajibkan kepada warga Saudi dan warga teluk yang bermukim di Saudi. Penghimpunan zakat di Saudi Arabia diterapkan pada semua jenis kekayaan; zakat ternak yang dikelola oleh komisi bersama antara departemen keuangan dan departemen dalam negeri yang disebut dengan “al a’wamil” yaitu komisi khusus yang kerjanya adalah melakukan pemungutan zakat ternak ke pelosok-pelosok daerah yang kemudian mendrop semua hasilnya ke departemen keuangan. Demikian halnya dengan zakat pertanian, zakat perdagangan, zakat simpanan uang, dan zakat pendapatan. Yang termasuk dalam kategori ini adalah pendapatan Dokter, Kontraktor, pengacara, accounting, dan para pegawai, termasuk juga seniman, paenghasilan hotel, biro travel semuanya akan dipotong dari account-nya masing-masing jika telah mencapai nisab. Cara penghitungannnya berdasarkan pada laporan keungan masing-masing. Sedangkan untuk penyalurannya Pemerintah Saudi lebih fokus pada jaminan sosial untuk warganya, karena wewenang pendistribusian zakat berada pada wewengan kementrian sosial dan tenaga kerja di bawah Dirjen Jaminan Sosial. Penentuan mustahik ditentukan oleh kajian yang telah dilakukan oleh departemen dengan nilai santunan kurang lebih 6000 RS atau sekitar Rp 15.000.000 pertahunnya. Yang menarik adalah penetapan zakat atas perusahaan pemerintah, yang pada dasarnya tidak ada zakat untuk perusahaan pemerintah, karena semua hasil perusahaan tersebut untuk kepentingan umum. Tapi kemudian Majlis Tinggi Qhodhi memfatwakan untuk perusahaan patungan antara pemerintah dan swasta harus dikeluarkan zakatnya, karena mereka menganggap perusahaan tersebut menjadi satu kesatuan badan hukum “Syakhsiyyah I’tibariyyah.”
Sudan20 Peraturan pengelolaan zakat di Sudan resminya setelah diundangkannya Undangundang yang berkaitan dengan Diwan Zakat, April 1984 dan mulai efektif september 1984, yang sebelumnya telah dilakukan pengalaman selama empat tahun dari tahun 1980-1984, di mana zakat masih bersifat sukarela. Namun kerena hasil perolehan zakat tersebut kurang maksimal maka diundangkanlah wajibnya warga negara Sudan.
Karakteristik dalam pengelolaan zakat di Sudan: Pertama, Perluasan kategori harta wajib zakat. Undang-undang zakat Sudan memperluas kategori harta wajib zakat, khususnya harta penghasilan dari mustaghillat. Seluruh penghasilan dari mustaghillat wajib dizakatkan di samping harta-harta yang lain seperti, emas,perak,
perniagaan/perdagangan,pertanian,buah-buahan, dan binatang ternak. Adapun nisab dan kadar zakatnya diikutkan zakat emas. Penghasilan dari mustaghillat21 meliputi: f Penghasilan bersih dari hasil penyewaan / kontrakan. f Penghasilan dari Pertanian. f Penghasilan dari Binatang Ternak. ff Penghasilan bersih dari jasa Transportasi. Undang-undang zakat Sudan mewajibkan zakat atas penghasilan atau hasil profesi yaitu gaji para pegawai dan penghasilan sampingan lainnya. Pembayaran zakat dilakukan di saat penerimaan penghasilan tersebut dengan syarat penghasilan tersebut melebihi kebutuhan pokok minimal, dan zakat yang dikeluarkan adalah 2.5%. Standar kebutuhan pokok minimal akan di tentukan kemudian hari melalui Majlis Fatwa.
Kedua, Kewarganegaraan dan tempat tinggal menjadi syarat wajib zakat. Kewajiban zakat di Sudan tergantung kepada kewarga-negaraan dan agama seseorang, karena itu zakat hanya diwajibkan kepada warga negara Sudan yang beragama Islam dan memiliki harta, apakah sedang berada di Sudan atau ada di luar Sudan. Pasal 14 ayat 1 huruf a menyebutkan: “Zakat wajib atas warga negara Sudan yang beragama Islam dan memiliki harta kekayaan wajib zakat baik berada di dalam negeri maupun sedang berada diluar negeri.” Pasal 32 ayat 2 menyebutkan : “Harta kekayaan milik warga negara Sudan yang sedang berada di luar negeri wajib dizakatkan sebagimana harta yang ada di dalam negeri,dan penjelasannya dimuat dalam petunjuk teknis.” Sebagaimana kewarganegaraan menjadikan sebab wajibnya zakat, domisili merupakan salah satu sebab wajibnya zakat. Setiap orang yang berdomisili di negara Sudan dan memiliki harta wajib zakat berkewajiban membayar zakat. Pasal 4 ayat 1 huruf a menyebutkan: “Wajib zakat atas setiap warga negara non Sudan yang beragama Islam, berdomisili atau bekerja di Sudan dan memiliki harta wajib zakat selama negaranya sendiri belum mewajibkannya membayar zakat dan ia belum membayar zakat.” Kedua persyaratan diatas tidak mewajibkan pemiliki harta harus berada di dalam negeri saat pembayaran.
Pasal 32 ayat 1 mengatakan: “Apabila pemiliki harta benda tidak berada di dalam negeri saat jatuh tempo pembayaran, maka pembayaran bisa dilakukan oleh penanggung jawab harta benda tersebut atau orang yang secara syar’i bisa mewakilinya.” Tidak ada perbedaan antara ketidakhadiran pemilik harta benda dalam waktu tertentu atau tidak hadir untuk selamanya karena kematian contohnya. Pasal 32 ayat 2 berbunyi: “Ketika pemilik harta wajib zakat meninggal dunia, maka zakat diambil dari harta tinggalannya apabila ia meninggalkan wasiat tentang hal tersebut”. Masuknya dua pertimbangan domisili dan kewarga-negaraan menjadi syarat wajib zakat memiliki beberapa kelebihan: Pertama, tambah banyaknya pemasukan dana zakat karena zakat diambil dari harta benda milik umat Islam baik harta tersebut berada di dalam negeri ataupun di luar negeri. Dan harta milik orang luar negeri yang dikembangkan di dalam negeri Sudan. Kedua, mewujudkan kesatuan umat Islam yaitu dengan jalan mempersatukan warga negara Sudan dan non Sudan yang berdomisili di Sudan dalam menjalin hubungan kasih sayang, persaudaraan dan saling bahu mambahu dalam kehidupan sehari-hari dan dalam upaya menegakkan syari’at Islam sebagai undang-undang resmi negara. Hal ini berbeda dengan yang ada di Saudi, pemerintah mewajibkan zakat atas warga negara Arab Saudi dan perusahaan-perusahaan yang terdaftar secara resmi di Saudi. Adapun warga negara non Saudi yang berdomisili di Saudi sekalipun hanya diwajibkan atasnya pajak, demikian pula perusahaan yang tidak terdaftar secara resmi di Saudi. Lain halnya dengan yang ada di Yaman, negara tersebut mengharuskan zakat dengan kadar tertentu sebagaimana ditentukan oleh syari’at atas perusahaan asing yang modalnya dimiliki oleh warga negara muslim Yaman dan asing. Apabila pemiliki perusahaan adalah non muslim wajib atasnya membayar pajak. Dan apabila sebagian pemilik perusahaan muslim dan sebagian lainnya non muslim, maka zakat wajib atas modal yang dimiliki muslim. Ketiga, sebagian dana zakat dibagikan oleh muzaki sendiri. Dalam rangka menjaga hubungan baik antara masyarakat Sudan satu dengan lainnya, undang-undang zakat Sudan memberikan hak kepada muzaki sebesar 20 % dari dana wajib zakat untuk dibagikan kepada mustahik dari sanak famili atau handai taulannya, dan selebihnya yang 80 % disalurkan melalui Diwan Zakat. Keempat, Pembentukan Dewan Pengawas dan Dewan Syuro. Dewan Pengawas dan Dewan Syuro di bentuk di seluruh jenjang Lembaga Zakat. Di tingkat pusat ketuanya adalah Menteri Urusan Zakat dengan anggota maksimal 14 orang yang terdiri dari para profesional, ulama, tokoh masyarakat mewakili para donatur, dan perwakilan eksekutif. Tugas para ulama adalah menentukan langkah-langkah operasional yang betul-betul sesuai dengan syari’ah. Adapun tugas para tokoh yang mewakili para donatur adalah memantau kinerja para eksekutif lembaga zakat dan memberikan masukan-
masukan dalam pengembangan pengelolaan zakat. Untuk memperkuat posisi Majlis Tinggi dalam menjalankan tugas-tugas di atas dibantu oleh majlis para menteri. Dalam UU tersebut juga dijelaskan sanksi bagi orang yang menolak, menghindari kewajiban dan berkelit dari pembayaran zakat dengan denda maksimal dua kali lipat zakat yang harus ditunaikan apabila penolakan tersebut secara sengaja dan melawan hukum, sedangkan hukuman kurungan satu tahun bagi yang menolak dengan sengaja pengisian borang yang diajukan oleh Diwan Zakat kepada si muzaki. Penghimpunan zakat di Sudan satu atap dengan penghimpunan pajak, dan ada pekerjaan baru bagi para pegawai pajak tersebut yang selama ini tidak dilakukan yaitu penyaluran zakat, oleh sebab itu Diwan Zakat mendelegasikan pendistribusian zakat kepada Departemen Keuangan dan perencanaan ekonomi nasional untuk pendistribusian zakat yang diputuskan bahwa zakat hanya dibagi kepada lima asnaf, yaitu, fakir, miskin, amil, ibn sabil dan gharim, sedangkan yang tiga lainnya tidak dimasukkan. Akan tetapi kemudian Majlis Fatwa memfatwakan bahwa semua asnaf menjadi target pendistribusian zakat. Pendistribusian zakat juga mencakup para pekerja yang mengalami putus hubungan kerja, para korban bencana, anak yatim, para janda, keluarga nara pidana dan keluarga yang ditinggal oleh kepala keluarga tanpa ada berita apapun.
Karakteristik Diwan Zakat Sudan secara umum adalah:22 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Dikelola oleh Institusi resmi dilindungi undang-undang Penerapan yang gradual (bertahap) dalam empat tahapan23 Struktur manajemen mengikuti standar layanan masyarakat di Sudan Sinergis dengan kementerian penyuluhan masyarakat untuk sisi penyadaran zakat. Mendapatkan hak yang luas untuk melakukan ekspansi. Di bawah Institusi tingkat nasional Amil zakat bagian dari pemerintahan yang mendapatkan semua hak dan kewajiban pegawai pemerintah. 8. Pengelolaan berdasarkan otonomi tidak sentralistis. 9. Sebesar 10% dari penghasilan zakat dialokasikan untuk operasional kemudian 12,5% dari sisanya diambil untuk amilin. 10.Memiliki kewenangan ijtihad fikih dalam pengembangan aplikasi 11. Mekanisme pengawasan dari pihak masyarakat 12.Hak pengelolaan infak dan sedekah.
Pakistan24 Negara Pakistan didirikan tahun 1950 dan baru pada tahun 1979 diundangkan pengelolaan zakat yang disebut dengan UU Zakat dan Usyr, sifat UU tersebut dianggap belum sempurna, baru pada tahun 1980 UU zakat disempurnakan. Pengelolaan zakat di Pakistan bersifat sentralistik disebut dengan Central Zakat Fund (CZF) yang dipimpin secara kolektif oleh enam belas angota salah satunya adalah Hakim Agung Pakistan, delapan orang tidak resmi tiga di antaranya dari ulama, dan tujuh sisanya resmi salah satunya ketua Zakat Fund, empat menteri keuangan negara bagian federal dan
unsur kementerian urusan agama. CZF memiliki kewenangan menentukan berbagai kebijakan dan pengawasan hal-hal yang berkaitan dengan zakat. Hirarki pengelolaan zakat di Pakistan puncaknya adalah CZF, empat Provincial Zakat Fund (negara bagian), 81 Local zakat Fund sampai ke tingkat unit pengumpulan yang berada di daerah. Penghimpunan zakat diwajibkan kepada setiap muslim warga negara Pakistan yang hartanya telah mencapai nisab. Zakat langsung dipotong dari harta muzaki pada item-item tertentu seperti; pemotongan langsung dari account tabungan dan deposito, sertifikat deposito, setifikat investasi, obligasi pemerintah, saham perusahaan dan polis asuransi. Sedangkan harta lainnya diserahkan kepada muzaki untuk menunaikannya, seperti zakat atas uang cash, emas perak, perdagangan,industri dan sejenisnya. Tahun zakat di Pakistan ditentukan oleh pemerintah yaitu awal Ramadhan dan waktu pemotongan zakat dilakukan pada hari yang sama untuk kelompok pertama di atas, sedangkan harta lainnya diserahkan kepada muzaki sesuai dengan jatuh temponya zakat tersebut. Instansi yang berwenang untuk memotong langsung zakat adalah institusi keuangan seperti bank dan institusi keuangan lainnya yang ada di Pakistan yang kemudian disalurkan ke CZF. Dana zakat yang terhimpun dipisahkan account-nya dari account perbendaharaan pemerintah, dan pengelolaanya adalah mutlak wewenang CZF. Penyaluran zakat di Pakistan didistribusikan ke delapan asnaf dengan memperhatikan skala prioritas sebagaimana tertuang dalam naskah UU “Prioritas utama diberikan kepada fakir miskin terutama para janda, orang cacat baik dengan cara langsung atau tidak seperti melalui pendidikan resmi sekolah, pendidikan keterampilan, rumah sakit, klinik dan lainnya.” Pengelolaan Zakat di negara-negara yang tidak mewajibkan zakat.
Yordania25 Kerajaan Hasyimite Yordania telah mengambil inisiatif dengan menetapkan undangundang khusus mengenai pemungutan zakat tahun 1944 M dan merupakan Negara Islam pertama yang melahirkan undang-undang semacam itu, yaitu UU yang mewajibkan pemungutan zakat di negara Kerajaan Hasimite Yordania tahun 1944. Di tahun 1988 kemudian ditetapkan UU mengenai Shunduq Zakat yang disebut dengan UU Shunduq Zakat tahun 1988, yang memberikan kekuatan hukum kepada Shunduq Zakat juga independensi anggaran dan pengelolaan juga hak untuk memiliki dan menuntut di muka pengadilan yang dengan demikian memiliki hak untuk mengeluarkan berbagai macam aturan, juknis dan juklak untuk semakin efektifnya kegiatan penghimpunan zakat.
Fokus Aktifitas Manajemen Shunduq Zakat f f
Kegiatan Shunduq Zakat difokuskan pada kegiatan-kegiatan: Menjaring para dermawan dan lembaga-lembaga kebajikan lainnya di Yordania. Membuka diri terhadap lembaga-lembaga kebajikan lainnya, baik di dalam maupun di luar negri.
Mencakup seluruh pelosok kerajaan Yordania dengan kegiatan-kegiatan Shunduq dan mengutamakan untuk membantu daerah yang sangat miskin. f Transparansi dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh shunduq f Terintegrasinya kegiatan dan ikut kontribusinya sektor-sektor massa lainnya dalam aktifitas zakat ini semaksimal mungkin. Dalam ruang lingkup seperti inilah muncul tuntutan perlu adanya dewan Direksi Shunduq Zakat dengan turunannya dalam pengelolaan zakat di Yordania. Adapun Struktur organisasi Shunduq Zakat adalah sebagai berikut: Dewan Direksi yang di ketuai oleh Menteri Wakaf dan urusan tempat-tempat suci, dan anggotanya adalah sekjen kementerian wakaf sebagai wakil ketua, Mufti Besar Kerajaan Yordania, Direktur Shunduq Zakat, Ex Office perwakilan dari Kementrian Keuangan, Ex Officio perwakilan dari Kementrian Pertumbuhan dan Sosial mewakili Menteri langsung sebagai anggota dan lima orang anggota dari sektor swasta yang memiliki kepedulian terhadap masalah-masalah keislaman yang mereka ditetapkan nama-namanya oleh rapat kabinet sesuai usulan dari menteri wakaf dan urusan tempat-tempat suci Islam, yang keanggotaan mereka ditetapkan selama dua tahun dan dapat diperbaharui f
Sedangkan Manajemen Shunduq zakat adalah: 1. Menteri Wakaf sebagai ketua dewan direksi 2. Dewan direksi 3. Direktur Shunduq Zakat 4. Dewan Konsultasi Syariah 5. Direktorat Audit internal 6. Sekretariat Direktur umum 7. Pembantu Direktur bagian Administrasi dan Keuangan 8. Pembantu Direktur bagian proyek dan komisi-komisi 9. Pembantu direktur urusan perwakilan dan cabang 10.Direktorat bagian administrasi 11. Direktorat keuangan. 12.Direktorat Public Relation dan informasi 13.Direktoran komisi zakat 14. Direktorat urusan kajian proyek proposal 15.Cabang-cabang shunduq zakat yang tersebar diseluruh propinsi di Yordania. Shunduq zakat Yordania dalam operasionalnya mendaya gunakan kelompok kerja yang tersebar di seluruh Yordania yang disebut dengan Lajnah zakat (komisi zakat) yang tugasnya adalah: 1. Memantau kondisi kemiskinan dalam masyarakat Yordania, selanjutnya menyampaikan bantuan keuangan maupun barang terhadap keluarga yang tidak mampu setelah dilakukan studi kelayakan terlebih dahulu. 2. Mendirikan klinik-klinik kesehatan dan medical centre yang mencakup semua praktek dokter seperti: Dokter umum, anak, internis, kandungan, bedah, kulit, telinga, hidung tenggorokan THT, gigi, mata dan penyakit kewanitaan. 3. Mendirikan pusat-pusat pendidikan pengangguran
4. Mendirikan proyek-proyek investasi dengan tujuan mencukupi pemasukan, dan diharapkan komisi ini mampu secara berkesinambungan melakukan kegiatan ini sampai tercapai tujuannya. 5. Mendirikan pusat-pusat garmen (home industri) dengan melakukan pelatihan-pelatihan sebelumnya kepada keluarga-keluarga miskin yang menganggur sehingga mereka menjadi mampu memenuhi kebutuhannya.
Fokus pendistribusian zakat di Yordania meliputi: Pertama, bantuan bulanan dan bantuan sesaat, kedua,bantuan anak yatim,ketiga, program Persiapan SDM produktif. Model-model program yang digulirkan. 1. Program pertanian dan peternakan. Program ini mencakup delapan bentuk garapan produktif yang bertumpu pada prinsip investasi potensi terpendam yang dimiliki oleh kelurga miskin di daerah perkampungan. Program-program yang termasuk dalam program pemberdayaan pertanian dan peternakan adalah : f Program ternak dan pemeliharaan sapi perah f Program ternak dan pemeliharaan kambing Syiria f Program pembuatan produk kebutuhan sehari-hari yang berasal dari susu. f Program ternak dan pemeliharaan lebah. f Program ternak dan pemeliharaan ayam pedaging. f Program ternak dan pemeliharaan kelinci. f Program pembuatan produk kebutuhan sehari-hari yang berasal dari hasil pertanian. f Program cocok tanam sayur mayur lokal. 2- Program small industry dan kerajinan tangan. Program ini mencakup sepuluh macam betuk yang beragam yang bertumpu pada prinsip kemampuan dan skill serta bakat yang dimiliki oleh keluarga miskin. Bentuk-bentuk program ini adalah: a. Program tenunan pakaian adat b. Program pembuatan produk bordil dengan motif kedaerahan. c. Program pembuatan replika-replika budaya setempat. d. Program pembuatan kerajinan dari pasir berwarna yang dimasukkan kedalam botol. e. Program pembuatan kerajinan seni kaligrafi kaca. f. Program pembuatan kerajinan seni merangkai bunga dan replika tanaman. g. Program pembuatan kerajinan seni dari keramik. h. Program pembuatan kerajinan seni permadani dan sejadah. i. Program pembuatan kerajinan seni piring hiasan. j. Program pembuatan kerajinan seni permadani arab yang terbuat dari kulit dan bulu domba. 3. Program Pelatihan keahlian Program ini mencakup sepuluh bentuk pelatihan, yang bertumpu pada prinsip melatih mustahik yang memiliki potensi dan kemampuan kerja
baik pada sektor kerja jasa maupun produksi di lembaga-lembaga pelatihan yang direkomendasikan kredibilitasnya, Di antara pelatihan-pelatihan tersebut adalah : a. Pelatihan listrik elektro b. Pelatihan Servis alat-alat c. Pelatihan Merangkai produk elektroik d. Pelatihan Servis barang-barang elektronik. e. Pelatihan mengetik f. Pelatihan jasa perhotelan g. Pelatihan produk-produk dari bahan kimia ringan h. Pelatihan keterampilan kerja bangunan i. Pelatihan keterampilan kerja kayu. 4. Program Santunan mahasiswa tidak mampu 5. Program santunan orang sakit program ini bertujuan membantu orang sakit yang tidak mampu dari kalangan fakir miskin dengan cara menutupi semua kebutuhan berobatnya di rumah-rumah sakit pemerintah maupun swasta, dengan membuat kesepakan dengan rumah-rumah sakit dan juga epotek-apotek untuk memberi keringanan biaya bagi mereka. 6. Program Hari Kesehatan Gratis 7. Program pelayanan bagi orang-orang yang membutuhkan bantuan. 8. Program tas sekolah dan uang sekolah 9. Program Bingkisan Kebajikan 10.Program Bingkisan pakaian lebaran 11. Program Bingkisan daging kurban 12.Program Hidangan Ramadhan 13.Program Zakat Fitrah 14. Pelatihan-pelatihan Pemberdayan wanita.
Kuwait26 Mengenai perkembangan pengelolaan zakat di Kuwait bisa disimpulkan menjadi tiga tahap utama, sesuai dengan perkembangan hidup dan hambatannya, juga seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan-tuntutannya. Tahapan-tahapan tersebut meliputi ; Pertama, Aktivitas Individu zakat dikelola secara sukarela dan bersifat pribadi, yaitu, atas inisiatif para dermawan dalam membantu mereka yang membutuhkan. Kedua, Aktivitas Kelompok (Kolektif). Tahap ini berlangsung bersamaan dengan berkembangnya masyarakat Kuwait dan tuntutan kebutuhan-kebutuhannya seiring dengan perkembangan perdagangan (trading), yang merupakan sumber penting bagi pemasukan nasional Ketiga, Aktivitas Lembaga (Organisasi) Munculnya cikal bakal pengelolaan zakat dalam bentuk lembaga yang terorganisir bermula di awal abad 20 dan cikal bakalnya lembaga tersebut adalah pendirian “Perhimpunan Kebajikan Arab” (Al Jamiyyah Al Khoiriyyah Al Arabiyyah) pada tahun 1913 M. Seiring dengan perkembangan maka
pengelolaan zakat dalam bentuk kelembagaan ditetapkan di bawah arahan dan pengawasan negara yang direpresentasikan (diwakili) oleh dua Kementrian yaitu: 1. Kementerian Waqaf dan Urusan Islam, yang menterinya bertugas mengarahkan kerja Baituz Zakat Kuwait dan pada saat yang sama sekaligus mengurus lembaga milik pemerintah 2. Kementerian Sosial dan Tenaga Kerja bertugas mengurusi lembaga-lembaga zakat swasta milik lembaga-lembaga kebajikan. Undang-undang “Pendirian lembaga pemerintah yang akan mengurusi pengelolaan zakat di Kuwait”. disahkan dan disetujui parlemen dan diterbitkan sebagai undang-undang pendirian Baituz Zakat dengan nomer 5/82 tertanggal 21 Rabi’ul Awwal 1403 H atau bertepatan dengan 16 Januari 1982 M. Baituz Zakat memiliki Dewan direksi yang dipimpin langsung Menteri Waqaf dan Urusan Islam dengan anggota masing-masing: wakil kementerian waqaf dan urusan Islam, wakil Kementrian Sosial dan Tenaga Kerja, Direktur Utama institusi jaminan sosial, kepala rumah tangga istana, enam warga Kuwait yang memiliki pengalaman dan keahlian di bidangnya yang tidak menjabat di sebuah instansi pemerintah yang ditentukan oleh pemerintah melalui sidang kabinet dengan masa jabatan 3 tahun dan bisa diperpanjang. Baituz Zakat Kuwait sangat konsen dengan perencanaan strategis sejak pendiriannya karena yakin akan pentingnya sebuah perencanaan dalam mengantarkan lembaga pada sasaran-sasaran dan tujuannya di masa mendatang. Hal tersebut dilakukan dengan menempuh cara dan metodologi ilmiah, serta kajian yang terencana. Aktivitas perencanaan di Baituz Zakat berkembang sesuai dengan perkembangan manajemen dan cara kerja di dalamnya, dan pada saat ini hal tersebut bertumpu pada para pegawai yang ahli dalam merumuskan strategi dengan menggunakan panduan dan metodologi perencanaan strategi yang paling mutakhir. Target dan Sasaran Strategis: Target Pertama; Pengembangan sumber-sumber zakat dan dana-dana kebajikan Target Kedua; Mendistribusikan pendapatan Baituz Zakat yang terdiri dari dana zakat dan dana-dana kebajikan lainnya sesuai asnaf yang telah diatur oleh syari’at Islam dengan pelayanan dan cara-cara yang terus berkembang. Target Ketiga; Penyadaran akan kewajiban zakat dan menampilkan peran Baituz Zakat di media. Target Keempat; Koordinasi dan kerja sama dengan lembaga-lembaga sosial Kuwait lainnya, lembaga-lembaga sosial internasional dalam aktivitas kebajikannya baik di dalam maupun di luar negeri. Target Kelima: Mengembangkan infrastruktur lembaga dan meningkatkan kemampuan profesi amilin. Keberhasilan penggalangan dan pengumpulan dana dari para donatur Baituz Zakah sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut: 1. Kunjungan ke tempat kerja dan tempat tinggal para donatur. 2. Tersedianya ruang tamu khusus disesuaikan dengan status dan kondisi mereka.
3. Tersedianya media dan sarana informasi, di mana para donatur mendapatkan informasi tentang berbagai hal yang terkait dengan lembaga 4. Hubungan sosial dalam momen-momen kegiatan sosial dan pribadi. 5. Sarana penghimpunan dana dengan kantor cabang yang memadai, non stop 24 jam, on call. Untuk distribusi Baituz Zakat berpedoman pada alokasi (sasaran) yang sesuai tuntunan syari’at yang disebutkan dalam Al-Quran yaitu delapan asnaf dengan menentukan prioritas alokasi dari sisi kepentingan dan kebutuhan dan menentukan nilai dana zakat yang akan disalurkan dengan berdasarkan hitungan yang teliti sehingga tidak menyalurkan keseluruhan dana yang ada dalam satu waktu.
Malaysia27 Penghimpunan Dana Zakat dari Para Muzaki Di Malaysia, setiap negeri mempunyai Majlis Agama Islam yang telah diberi kuasa oleh Pemerintah untuk pengurusan masalah Islam, termasuk zakat dan wakaf. Majlis Agama Islam terdapat di 13 buah negeri (Selangor, Johor, Perak, Terengganu, Pilau Pinang, Kelantan, Pahang, Negeri Sembilan, Kedah, Melaka, Serawak, Sabah, Perlis) dan 1 Wilayah Persekutuan (Kuala Lumpur, Labuan, Putrajaya) yang dikoordinasikan oleh Kontor Perdana Menteri yang membawahi direktorat Kemajuan Islam dan memainkan peranan utama untuk nasional dan mewakili Malaysia untuk tingkat internasional untuk urusan agama. Di bawah setiap Majlis Agama Islam ada organisasi atau kantor yang bertanggung jawab untuk zakat dan wakaf. Salah satunya adalah Pusat Pungutan Zakat (PPZ) pertama beroperasi pada 1 Januari 1991 yang manajemennya di bawah perusahaan Hartsuci Sdn. Bhd. yang bertanggungjawab untuk manajemen PPZ bagi pihak Majlis Agama Islam. Antara Hartasuci dengan Majlis Agama Islam ada kontrak perjajian yaitu memberi kuasa untuk manajemen PPZ dan menjadi amil. Dan kontrak tersebut meliputi beberapa hal seperti tugas Hartasuci dan peraturan-peraturan yang harus diikuti oleh Hartasuci sebagai manajemen PPZ dan sebagai amil. Dengan perubahan besar tersebut terdapat pengaruh terhadap pola manajemen. Di antaranya adalah pola manajemen pungutan zakat menjadi profesional dan modern yaitu meliputi dari segi kualitas kerja, gaya kerja, komitmen kepada kerja. Kepuasan pelanggan yaitu pembayar zakat diutamakan. Menggunakan SDM sesuai dengan keahliannya, menggunakan teknologi dalam hampir semua masalah seperti komputer, fax, telepon, email, internet termasuk sistem zakat berkomputer. Objek utama PPZ ialah untuk meningkatkan jumlah pungutan zakat dan bilangan pembayar zakat. Sedangkan fungsi utama PPZ ialah mencari muzaki baru, menjaga kontinuitas pembayarannya, memberi penerangan berkenaan zakat, menghimpun zakat, mengeluarkan resi zakat kepada pembayar, membuat laporan harian, bulanan dan tahunan, membina loket-loket baru dan saluran-saluran baru untuk pembayaran zakat bagi kemudahan
pembayar dan menambah aset PPZ hasil dari lebihan upah amil setelah ditolak semua perbelanjaan. Pendistribusian zakat di Wilayah Persekutuan sebagai contoh,melalui programprogram seperti; Bantuan Langsung untuk Fakir dan Miskin seperti bantuan makanan, Bantuan keuangan, bantuan medis, sekolah, seragam sekolah, kontrak rumah, bencana alam, pernikahan dan usaha. Demikian halnya untuk asnaf lainnya. Bantuan tidak langsung adalah dalam bentuk pemberian manfaat tidak langsung melalui pembinaan, IKB (Institut Kemahiran Baitulmal) misalnya memberikan pelayanan pelatihan keterampilan tertentu untuk fakir miskin. Komplek Kebajikan Darus Sa’adah merupakan tempat perlindungan dan pendidikan bagi muallaf, janda dan fakir miskin lainnya, Kemudian IPB (Institut Profesional Baitulmal) yang memberikan pendidikan profesional setingkat perguruan tinggi kepada anak-anak fakir miskin, di samping hotel dan rumah sakit yang mereka miliki.[] PERBANDINGAN PENGELOLAAN DI BEBERAPA NEGARA Negara
Tanggal Diresmikan
Pengawasan
Muzakki & Sistem Pengumpulannya
Sistem Distribusinya
Saudi Arabia
7 April 1951
Social Security Foundation
Individu boleh menyalurkan langsung setengah kewajiban zakatnya
Badan jaminan sosial menyalurkan kepada mustahik
Libya
28 Oktbr 1971
Sekjen Dep Jaminan Sosial
Dihimpun dari zakat emas, perak, peternakan dan pertanian saja
Didistribusikan kepada mustahik yang benar-benar
Pembayaran zakat dilakukan secara sukarela
Didistribusikan dan yang kepada fakir miskin
membutuhkan Yordania
1 Januari 1978
Badan Pengelola Zakat
membutuhkan.
Amil zakat dibawah 10 %
Bahrain
18 Maret 1979
Badan Pengelola
Pembayaran zakat dilakuakn secara sukarela
Muzaki boleh menentukan
Zakat dibayarkan ke Pusat Zakat.Usur dibayarkan ke cabang-
Melalui komite zakat lokal dalam memenuhi yang merupakan
Zakat yang salah
mustahik satu direkturnya adalah menteri di pemerintahan Pakistan
24 Juni 1979
ada.
kebutuhan fakir
Dewan Pusat Zakat yang diketuai oleh
hakim tinggi cabang miskin.
lembaga tertinggi nagara Sudan
23 Agustus 1980 Disempurnakan 26 September 1984
Ad Diwaan Zakat Wajib bagi setiap warga yang dipimpin Sudan yang memiliki langsung oleh harta melebihi nisab. Presiden
Malaysia
1980
Lembaga zakat yang committeenya dipimpin oleh Mufti di Kuala Lumpur
Pembayaran zakat secara sukarela.
Sesuai dengan delapan ashnaf. Dibayarkan berupa uang atau barang atau modal usaha.
Kuwait
16 Januari 1982
Lembaga zakat yang diketuai oleh salah satu menteri
Pembayaran zakat secara sukarela.
Sesuai dengan delapan ashnaf.
Bangladesh
1982
Lembaga zakat yang diketuai oleh ulama
Pembayaran zakat secara sukarela.
50% disalurkan di daerah asal, sisanya disalurkan
ke pusat untuk
Melalui badanbadan pemerintah.
disalurkan ke
yang
daerah minus
sesuai musyawarah
komisi penyaluran
Libanon
23 Februari 1984 Komisi zakat yang diketuai oleh Mufti Beirut
Pembayaran zakat secara sukarela.
Disesuaikan dengan syariah
Catatan: Anthony Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis II: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680, Pen. R. Z. Leirissa, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999, h. 174. 2 Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya Jaringan Perniagaan, Bagian II, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999, h. 148. 3 Panuthi H.M. Sudjiman, Adat Raja-Raja Melayu, Jakarta: UI Press, 1986, h. 220, 223, 247. 4 G.W.J., Drewes, h. 92. 5 G.W.J. Drewes, An Early Javanese Code of Moslem Ethics, Bibl, Indonesia 18, Den Haag: Martinus Nijhoof, 1969. Lihat juga Lombard, h. 174. 6 Gregory C. Kozlowski, “Religious Authority, Reform, and Philanthropy in the Contemporary Muslim Wold”, dalam Philanthropy in the World Religion. 7 Pada abad ke-17 kepemimpinan masyarakat pedesaan berada pada kalangan elite-elite keagamaan. Ulama mempunyai peranan penting, oleh karena itu bersifat laten. Karena ketika ulama lebih dekat pada umara, maka Islam akan kehilangan daya pembebasannya dan cenderung beku bersamaan dengan ketatnya birokrasi kerajaan. Di Jawa dikenal lembaga keagamaan yang disebut reh-penghulon yang muncul dari organisasi masjid, dan karena memang memiliki tanggung jawab dalam urusan-urusan keagamaan, termasuk zakat, di seluruh wilayah kerajaan, ia memiliki hirarkinya sendiri. Tetapi sayangnya zakat lebih digunakan sebagai sumber penghasilan para penghulu kelas bawah. Kuntowijoyo, “Serat Cebolek dan Mitos Pembangkangan Islam: Melacak Asal-usul Ketegangan antara Islam dan Birokrasi”, Ulumul Qur’an, (vol. II, no. 5, 1990) 8 E. Gobee dan C. Andriaanse, Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Seri Khusus INIS VII, Jakarta: INIS, 1992, h. 1357-1365. 9 Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat Kiai Pesantren – Kiai Langgar di Jawa, Yogyakarta, LKيS, 1999), h. 199. 10 Ibid., h. 1367. 1
Ibid., h. 1368-1369. Karel Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam Abad ke-19, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1984, h. 228. 13 Ibid., h. 160. 14 Ibid., h. 231. 15 Ibid., h. 244 . Lihat surat Snouck Hurgronje ditujukan kepada Gubernur Jenderal tertanggal 25 Juni 1889. Op.cit., Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje, jilid V, h. 1323. 16 LKيS, 1999), h. 199. 11 12
Bagian II ERA BARU PERZAKATAN NASIONAL Ketika Zakat Dibayarkan Melalui Lembaga Oleh Ahmad Juwaini28
S
ekitar
13
abad
yang
lalu,
Islam
masuk
ke
bumi
nusantara
Indonesia. Sejak saat itu cahaya Islam menerangi tanah air yang membentang dari Aceh sampai Papua. Akhirnya, tahap demi tahap masyarakat di berbagai daerah di Indonesia mulai mengenal, memahami lalu mempraktekkan ajaran Islam. Sebagai fondasi dasar seorang muslim, rukun Islam merupakan ajaran pokok yang pertama kali dipelajari dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran pokok tersebut berupa; syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji. Zakat sebagai rukun Islam ketiga telah menjadi bagian dari kebiasaan (baca : kewajiban) yang dijalankan umat Islam Indonesia saat itu. Namun dalam prakteknya, pengelolaan zakat dilakukan dengan sangat sederhana. Dalam arti, seorang muzaki (orang yang mengeluarkan zakat) memberikan zakatnya kepada mustahik (penerima zakat) secara langsung tanpa melakukan kontrol dan pembinaan kepada mustahik tersebut. Jenis-jenis zakat ada beberapa macam, di antaranya zakat pertanian,zakat peternakan, zakat emas dan perak, dan zakat fitrah. Namun tidak semua jenis zakat terdengar populer pada saat itu kecuali zakat fitrah dan zakat pertanian. Umat Islam dalam mengeluarkan zakat fitrah ada yang berupa beras, uang atau makanan pokok dan diberikan kepada para ustadz, kyai atau ajengan di sekitar tempat tinggalnya. Sebagian lagi ada yang disalurkan kepada pesantren, masjid atau lembaga sosial Islam seperti panti asuhan anak yatim atau panti jompo. Tidak sedikit pula zakatnya langsung diberikan kepada fakir miskin atau golongan lainnya di sekitar tempat tinggalnya. Pada masa itu belum dikenal lembaga pengelola zakat formal yang secara rutin mengelola zakat. Umumnya, masih bersifat kepanitiaan temporer seperti pada bulan Ramadhan atau pada malam Hari Raya Idul Fitri. Panitia pengelola biasanya seseorang, tokoh yang dipercaya masyarakat, pengurus masjid atau pimpinan pesantren di daerah tersebut. Bisa dikatakan pada masa itu perhatian umat Islam terhadap zakat masih sangat rendah. Rendahnya perhatian terhadap zakat dapat kita lihat dengan cara membandingkan dengan rukun Islam yang lain seperti salat misalnya. Kalau kita mempertanyakan: Sejauhmana perhatian umat Islam Indonesia dalam memperhatikan urusan salat? Maka jawaban yang paling sederhana adalah banyaknya bangunan masjid dan mushalla di Indonesia. Mulai dari masjid yang dibuat dari bahan-bahan karton bekas sebagaimana yang
terdapat di kawasan pemulung sampah, sampai masjid yang dibuat dari marmer pilihan dan berukuran terbesar di Asia Tenggara, semuanya ada di Indonesia. Fakta banyaknya masjid menunjukkan secara kasat mata bahwa perhatian umat Islam terhadap salat sangat besar. Jika kita hendak bertanya: “Apa buktinya umat Islam di Indonesia telah memperhatikan haji?” Maka jawabnya adalah; sejak dahulu kala di Indonesia terkenal sebutan Pak Haji dan Bu Haji. Juga hampir di semua propinsi kita temukan bangunan asrama haji. Bahkan di Jakarta terdapat Rumah Sakit Haji. Ini semua menunjukkan bahwa umat Islam Indonesia sudah memperhatikan urusan haji. Tapi kalau kita hendak bertanya: “Apa yang bisa kita tunjukkan bahwa umat Islam Indonesia telah memperhatikan zakat?” maka jawabnya hampir-hampir tidak ada. Jejak dan bukti lahiriah praktek zakat di Indonesia, nyaris tak berbekas. Seolah selama ratusan tahun umat Islam di Indonesia, zakatnya bagai ombak yang menggulung di tengah lautan, tapi hilang tak berbekas setelah terhempas di pantai. Pertanyaan berikutnya adalah mengapa zakat belum memiliki “monumen” manfaatnya pada masa lalu, penyebab utamanya adalah karena masyarakat muslim saat itu membayarkan zakat secara langsung dan bersifat personal. Mereka belum memahami dan belum menghayati, mengapa zakat perlu disalurkan melalui lembaga. Ada banyak alasan mengapa zakat perlu ditunaikan melalui lembaga, yaitu antara lain: 1. Kalau setiap muzaki membayarkan zakat melalui lembaga, maka akan dapat dikikis sikap “egoisme” muzaki, yang seolah memandang harta zakat adalah miliknya semata. 2. Dengan penyaluran zakat melalui lembaga, maka tidak akan terjadi proses “perendahan” mustahik. Karena mustahik tidak secara langsung berhubungan dengan muzaki. 3. Jika zakat diserahkan langsung oleh muzaki kepada individu mustahik, maka tidak dapat dicapai pemerataan, keadilan dan ketepatan sasaran. 4. Sudah menjadi fitrah manusia, apabila mengamanahkan dana besar maka seharusnya melalui “lembaga”, bukan kepada perorangan. Karena jika kepada perorangan yang muncul kemudian adalah rasa ketidakadilan masyarakat manakala dana besar diberikan kepada satu atau dua orang. 5. Kalau tidak dikelola (melalui lembaga), maka potensi zakat yang besar tidak dapat dimobilisasi dan didayagunakan untuk keperluan strategis umat.
Tahap Kesadaran Setelah melewati fase pengelolaan zakat secara individual dan kepanitiaan temporer, kemudian disadari oleh sebagian kaum muslimin untuk mulai meningkatkan kualitas pengelolaan zakat. Umat Islam di Indonesia mulai merasakan perlunya lembaga untuk mengelola Zakat –belakangan ditambah dengan pengelolaan infak dan sadakah. Dorongan untuk melembagakan pengelolaan zakat ini terus menguat. Keinginan yang kuat tersebut akhirnya mengkristal dengan disampaikannya saran oleh sebelas ulama tingkat Nasional kepada Presiden Soeharto pada tanggal 24 September 1968, yang ditindaklanjuti dengan Seruan Presiden Soeharto pada Peringatan Isra Mi’raj di Istana Merdeka pada tanggal 26 Oktober 1968. Sejak saat itu perintisan pendirian lembaga
pengelola zakat formal, khususnya di Ibu Kota Jakarta terus berlangsung. Lembaga formal pertama yang berdiri adalah Badan Amil Zakat, Infak dan Sedekah (BAZIS) DKI Jakarta. Untuk mengembangkan keberadaan lembaga pengelola zakat, akhirnya dikeluarkan Instruksi Menteri Agama No. 16 tahun 1989 tentang Pembinaan Zakat, Infak/Sedekah. Selanjutnya dikukuhkan dengan Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 29 tahun 1991 dan no. 47 tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat dan Infak/Sedekah. Dan juga akhirnya diperkuat dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 280 tahun 1991 tentang Pengelolaan Zakat dan Infak/Sedekah dalam wilayah DKI Jakarta. Seiring dengan terbitnya berbagai instruksi dan keputusan Menteri, serta perkembangan BAZIS DKI Jakarta, maka di berbagai propinsi di Indonesia juga berdiri BAZIS-BAZIS, jaringan strukturnya sampai tingkat kelurahan atau desa. Bahkan kemudian bentuk BAZIS ini diikuti masyarakat melalui berbagai organisasi Islam, khususnya masjidmasjid dengan membentuk lembaga pengelola zakat. Salah satunya yang menonjol adalah Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF) Surabaya yang berdiri pada tahun 1989. YDSF saat itu cenderung menghimpun dana infak, walau kemudian akhirnya kegiatan pengelolaan zakat juga digalakkan. Setelah dibentuk BAZIS dan organisasi pengelola ZIS yang didirikan masjid dan pesantren, maka di masyarakat juga mulai disosialisasikan tentang pentingnya membayar zakat melalui lembaga. Namun kenyataanya, pada tahap ini citra pengelolaan zakat melalui lembaga belum begitu bagus. Ada dua alasan yang menyebabkannya mengapa citra pengelolaan zakat belum bagus; pertama adalah negative thinking masyarakat, bahwa pengelolaan zakat oleh lembaga lebih banyak penyimpangan penggunaan dananya, dan kedua bahwa pengelolaan zakat saat itu bercitra kuat : tradisional, marjinal dan ala kadarnya. Memasuki tahun 1993, pengelolaan zakat secara lembaga menorehkan kembali sejarahnya, yaitu tatkala Dompet Dhuafa Republika berdiri. Sebagai lembaga pengelola zakat yang didirikan masyarakat dan didukung oleh kekuatan koran Republika, Dompet Dhuafa Republika kemudian dikenal publik sebagai lembaga zakat yang mempelopori model pengelolaan zakat secara profesional. Hingga keberadaannya banyak mewarnai dinamika sejarah zakat di Indonesia. Salah satu peran besar yang dimainkan oleh Dompet Dhuafa Republika adalah membidani kelahiran Asosiasi Organisasi Pengelola Zakat “Forum Zakat” (disingkat FOZ). Melalui Seminar Zakat Perusahaan yang diadakan pada tanggal 7 Juli 1997, maka dideklarasikanlah Forum Zakat, yang pada awalnya dikonsorsiumi oleh 11 lembaga, yaitu : Dompet Dhuafa Republika, Bank Bumi Daya, Pertamina, Telkom Jakarta, Baitul Mal Pupuk Kujang, Bazis DKI, Hotel Indonesia dan Sekolah Tinggi Ekonomi Indonesia (STEI) Jakarta. Seiring dengan kiprah lembaga-lembaga pengelola zakat, khususnya melalui Forum Zakat, pemerintah juga semakin menyadari bahwa sudah saatnya dibuat instrumen regulasi zakat di Indonesia. Melalui komitmen bersama berbagai pihak di Indonesia termasuk legislatif, maka pada akhir pemerintahan Presiden Bacharoeddin Jusuf Habibie disahkan UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat pada tanggal 23 September 1999.
Tahap Institusionalisasi Dengan disahkannya UU Pengelolaan Zakat pada tahun 1999, maka Indonesia memasuki babak baru, di mana zakat menjadi elemen penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Disahkannya UU Pengelolaan Zakat juga menandai bahwa zakat telah memasuki wilayah formal kenegaraan. Meskipun diakui, isinya sebagian masih menimbulkan pro dan kontra, tetapi secara umum UU Pengelolaan Zakat dipandang membawa angin segar bagi perkembangan zakat di Indonesia. Salah satu akibat nyata dari disahkannya UU Pengelolaan zakat adalah berdirinya Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) sebagai lembaga pengelola zakat tingkat nasional yang dimaksudkan dapat melakukan peran kordinatif di antara lembaga pengelola zakat. Fungsi kordinatif BAZNAS saat ini sesungguhnya sangat diperlukan dan menentukan kerjasama pelaku zakat di Indonesia. Namun dalam perkembangannya peran ini masih memerlukan berbagai prasyarat pendukung sehingga bisa mencapai kondisi optimalnya. Selain berdirinya BAZNAS, UU Pengelolaan Zakat juga merekomendasikan berdirinya organisasi pengelola zakat, baik yang didirikan pemerintah (Badan Amil Zakat / BAZ) dan yang didirikan masyarakat (Lembaga Amil Zakat / LAZ). Dengan disahkannya UU Pengelolaan Zakat, maka hampir di semua propinsi dan sebagian besar Kabupaten Kota berdiri BAZ. Keberadaan BAZ ini juga dilengkapi dengan semaraknya kelahiran LAZ, baik tingkat nasional maupun wilayah dan daerah. UU Pengelolaan Zakat juga menegaskan berlakunya pembayaran zakat sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak. Meskipun belum memenuhi harapan utama umat, yaitu zakat sebagai pengurang pajak, akan tetapi akomodasi pembayaran zakat sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak (PPKP) merupakan bentuk motivasi dan pengakuan sehingga umat diharapkan lebih terdorong untuk membayarkan zakatnya melalui lembaga pengelola zakat formal. Tampaknya masih diperlukan sosialisasi dan fasilitasi kemudahan yang intensif sehingga pelaksanaan pembayaran zakat sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak betul-betul dapat diwujudkan seluas mungkin.
Tahap Sinergi Setelah kelahiran begitu banyak organisasi pengelola zakat, baik yang didirikan pemerintah (BAZ) maupun masyarakat (LAZ), maka tahap sekarang ini dan selanjutnya yang paling penting adalah bagaimana membangun sinergi antar organisasi zakat. Banyaknya organisasi pengelola zakat harus menjadi sarana untuk memperkuat fungsi zakat dalam membantu dan memberdayakan mustahik. Bukan sebaliknya, justru menjadi penyebab tumbuhnya sikap persaingan, kontradiksi dan konflik antar organisasi zakat. Sinergi zakat juga bagian dari langkah untuk memobilisasi berbagai sumber daya yang terkumpul pada masing-masing organisasi pengelola zakat. Sinergi meniscayakan bersatunya potensi untuk melakukan sesuatu yang lebih besar dan strategis. Jika satu atau beberapa lembaga zakat tidak mampu mewujudkan program besar bagi memberdayakan mustahik, maka sinergi memungkinkan melakukan sesuatu yang besar dan berdampak luas. Untuk mencapai tahap sinergi antar organisasi pengelola zakat, maka beberapa persyaratan atau langkah yang harus dipenuhi adalah :
1. Setiap pengelola zakat harus menyadari bahwa tugas mengelola zakat adalah tugas dari Allah swt. dalam rangka ibadah dan harus senantiasa mengutamakan kepentingan umat di atas segala-galanya. 2. Setiap pengelola zakat harus menyadari bahwa zakat yang dikelola adalah amanah dari Allah swt., amanah dari muzakki dan harus dapat dipergunakan untuk membantu mustahik. 3. Setiap pengelola zakat harus memupuk kebersamaan dan tali persaudaraan sebagai sesama muslim dan antar organisasi pengelola zakat. 4. Perlu ada keputusan bersama untuk menentukan program-program strategis apa yang harus dilakukan atau didahulukan pada periode waktu tertentu. Keputusan bersama ini perlu dijadikan patokan oleh setiap organisasi pengelola zakat. 5. Setiap pengelola zakat harus bersedia untuk melakukan sharing potensi, baik berupa dana dan SDM maupun sarana dan fasilitas dalam rangka mewujudkan program strategis umat. 6. Perlu ada komunikasi timbal balik yang intensif untuk dapat memahami dan merespons perkembangan-perkembangan yang terjadi, sehingga proses sinergi terus mengalami perbaikan dan peningkatan. Syarat dan langkah yang ditawarkan di atas merupakan suatu hal yang mutlak. Jika semua syarat terpenuhi maka keinginan untuk menciptakan program yang monumental untuk mengangkat harkat kehidupan mustahik dapat tercapai. Semoga organisasi pengelola zakat dapat meng-implementasikan sinergi antar organisasi pengelola zakat. Mudah-mudahan pula semua organisasi pengelola zakat dapat menampilkan kinerja pengelolaan zakat yang amanah, profesional dan berdayaguna, sehingga masyarakat semakin terdorong untuk menyalurkan zakatnya melalui lembaga.[]
UU Zakat dan Kondisi Obyektif Perzakatan Nasional Oleh Rahmad Riyadi29 Keinginan melahirkan UU tentang zakat telah tercetus sejak 1950-an. Namun baru sekitar 49 tahun kemudian, UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat disahkan. Tapi, kenyataannya, UU ini seolah berjalan di tempat, tetap belum efektif mengkondisikan masyarakat agar gemar berzakat melalui lembaga. Manfaat dengan diundangkannya UU No.38 yang berdampak secara langsung adalah pengakuan kepada lembaga-lembaga pengumpul zakat, bahwa mereka secara legal dapat memungut zakat. Selain itu belum ada manfaat yang cukup signifikan terhadap diberlakukannya UU tersebut. Sosialisasi dan implementasi dari undang-undang ini juga masih terbatas, belum mampu menyebar sampai ke daerah-daerah. Buktinya, prosentase muzaki yang berzakat melalui lembaga masih sangat minim, sehingga zakat sebagai ibadah sosial kehilangan makna. Para muzaki (pembayar zakat) pada akhirnya melaksanakan ibadah ini hanya sebagai penggugur kewajiban pribadi yang dilaksanakan langsung kepada para penerima (mustahik). Para muzaki ini berzakat langsung kepada mustahik, atau tidak berzakat menjadi tidak jelas, karena tidak ada lembaga yang bisa mencatatnya. Salah satu kelemahan dari UU No. 38 adalah Pemerintah menginginkan adanya lembaga zakat terpusat dan beroperasional secara langsung sebagaimana layaknya pengumpul zakat yang lain. Tetapi implementasinya kedodoran dan terkesan malah tidak mampu bersaing dengan lembaga amil zakat yang lain. Sebagian kalangan malah menyalahkan Lembaga Amil Zakat yang dikelola masyarakat sebagai penyebab ketidakberhasilan zakat di Indonesia Sebagai sebuah cita-cita memang ideal kalau sebuah negara mempunyai lembaga zakat terpusat atau baitul maal yang khusus mengurusi fakir miskin seperti yang disebutkan dalam asnaf zakat, tetapi implementasi dari amanah UU No.38 yang secara langsung membentuk sebuah badan yang melaksanakan fungsi operasional dan memposisikan diri seperti halnya lembaga sejenis yang telah terlebih dahulu beroperasi merupakan pengecilan arti dari sebuah lembaga yang sebenarnya mempunyai kapasitas besar. Ada yang terlupakan oleh Pemerintah yang diwakili Departemen Agama, bahwa masyarakat sedang mengalami krisis kepercayaan kepada lembaga plat merah, apalagi jika mereka melaksanakan pungutan langsung, kecurigaanlah yang akan muncul. Sehingga sulit untuk mengarahkan masyarakat membayar zakatnya melalui lembaga pemerintah, kecuali dengan menggunakan otoritas yang dapat mendebet secara langsung, orang yang terkena kewajiban tersebut, misalnya pegawai negeri, atau nasabah-nasabah yang memperoleh bagi hasil deposito dari Bank Pemerintah. Di sinilah perlunya kebijaksanaan pemerintah untuk bisa mengarahkan sumber daya yang dimilikinya sehingga optimal. Pegawai yang di bawah otoritas pemerintah pun sekarang juga tidak mudah melakukan pungutan paksa. Contoh kasus terkini adalah adanya Perda Zakat di Lombok Timur, yang memberlakukan potongan gaji secara langsung kepada para pegawai negeri sipil di daerah tersebut, menuai protes yang justru mendiskreditkan peran zakat.
Persoalan lain yang tak kalah penting berkait dengan isi UU tersebut. Ada beberapa klausul yang mengabaikan kebutuhan masyarakat. Tak pedulinya sebagian besar masyarakat pada zakat, bisakah diartikan sepertinya masyarakat belum butuh UU. Karena, jangankan UU, hukum syariat Islam yang telah menegaskan wajibnya zakat saja dilanggar. Bila suatu saat masyarakat muslim cuma seperti buih di lautan, seperti diingatkan Rasulullah saw., itulah ekses dari ukhuwah kita yang kendor yang mengabaikan ketaatan ibadah sosial kita. Soal lain yang menarik dari UU No.38 tahun 1999 adalah adanya klausul yang tidak memberi sanksi pada muslim kaya yang tidak mengeluarkan zakat. Tak adanya sanksi, agaknya dilandasi oleh dua hal pokok. Pertama, kondisi masyarakat yang belum sadar zakat. Kedua, diakibatkan oleh PPKP (Pengurang Penghasilan Kena Pajak) yang identik tetap mewajibkan muslim kaya membayar dua kali. Inilah problem utama UU No. 38 tahun 1999. Soal sanksi, UU ini hanya memberikan sanksi kepada LPZ (Lembaga Pengelola Zakat) yang menyimpang. Agaknya, ini langkah awal membenahi lembaga sebelum total masuk ke masyarakat. Namun justru di sini juga titik kritis UU. Dalam kondisi bad trust society, UU mengizinkan pemerintah membentuk BAZ tanpa fit and proper test, hingga tingkat kecamatan. Dalam kultur birokrasi, formalitas biasanya jadi kata kunci yang kerap mengabaikan profesionalitas. Maka sejak lahir sebenarnya BAZ berpotensi kena sanksi. Bandingkan dengan LAZ yang musti memenuhi persyaratan. Sebelum UU lahir, sejumlah LAZ yang lebih dulu lahir, telah melakukan fit and proper test pada calon-calon pengelolanya. Mereka bukan hanya diseleksi latar belakang pendidikan, juga dipantau pengalaman kegiatannya. Calon-calon ini direkrut melalui lembaga konsultan dan dites tertulis. Dengan cara ini, pengetahuan, kemampuan dan ketrampilannya dapat dideteksi. Mereka juga diwawancara untuk mengetahui sosok sesungguhnya. Tim perancang UU Pengelolaan Zakat, selalu mem-benchmark pengelolaan zakat di Malaysia. Namun apa yang hendak dipelajari, karena Mahathir Muhammad mampu mendongkrak kemakmuran tanpa dana zakat. Rakyat Malaysia yang miskin ada, tapi jumlahnya tidak signifikan. Karena makmur, menurut Baitul Maal Kuala Lumpur, orang miskin di Kuala Lumpur hanya sekitar 8.000 KK. Karena makmur ukuran tingkat kemiskinan di Malaysia pun masih jauh lebih baik ketimbang di Indonesia. Bagi warga Malaysia yang berpenghasilan di bawah RM 700, berhak atas dana zakat. Di Malaysia, negara tidak mengelola zakat secara terpusat dan bersifat nasional. Malaysia yang terdiri atas beberapa negeri, mempersilakan masing-masing negeri bagian mengelola zakatnya. Jika pengelolaan di Kuala Lumpur yang dilihat, itu hanya untuk wilayah Kuala Lumpur. Penanganan zakat di ibu kota Malaysia ini, dibedakan atas 2 fungsi. Untuk penghimpunan diserahkan murni pada swasta yakni PPZ (Pusat Pungutan Zakat). Setelah diambil haknya oleh PPZ, total dana zakat itu diserahkan pada Baitul Maal di bawah Kementerian Ugama Malaysia. Lantas Baitul Maal mendayagunakan dana tersebut di sekitar Kuala Lumpur. Mengingat kemiskinan di Kuala Lumpur jumlahnya sedikit, dana Baitul Maal yang berlebih dialokasikan untuk investasi bisnis seperti real estate dan industri lainnya.
Geliat Amil Zakat Di Indonesia pertumbungan LAZ yang dari tahun ke tahun terus berkembang cukup membanggakan. Dari pertumbuhan ini dapat disimak lebih dalam bagaimana LAZ itu bergeliat mengelola dana zakat, infak, dan sedekah. Salah satu yang tampak jelas adanya transparansi dan akuntabilitas lembaga-lembaga tersebut dalam mengelola dana-dana publik yang diamanahkan kepadanya. Selain itu paradigma bahwa zakat itu wajib, sehingga sosialisasinya seadanya juga sudah berubah, mereka melakukan sosialisasi dengan multimedia dan aktif berpromosi. Artinya dalam menghimpun dana muzaki, lembaga ini tidak hanya mengandalkan pada ketentuan bahwa zakat itu wajib. Lembaga pengelola zakat, baik BAZ maupun LAZ juga berkreasi dalam mengembang-kan program pemberdayaan mustahik. Dengan program pemberdayaan yang baik, kepercayaan dari muzaki pun tumbuh. Dari perjalanan sekian tahun, karakter dasar lembaga pun tampak. Ada lembaga zakat yang begitu kreatif. Apapun yang dilakukan, programnya segera diikuti. Bahkan ada lembaga yang sungguh-sungguh membuat program hanya berdasarkan program lembaga lain. Sementara ada lembaga yang sulit sekali bergerak, meski telah begitu banyak contoh terobosan. Dari sisi pendukung, kebanyakan lembaga ingin menjadikan floating mass sebagai basis utama. Tapi ada juga lembaga yang membasiskan diri pada jamaah pengajian dan partai. Di luar lembaga pengelola zakat, ada lembaga berbentuk forum yakni FOZ (Forum Zakat) yang juga menayangkan iklan zakat. Forum yang lahir 1997 ini terbentuk untuk mengantisipasi maraknya pertumbuhan lembaga pengelola zakat. Melalui forum, diharapkan tingkat gesekan antara anggota dapat dikurangi. Sejak tahun 1999, FOZ memang telah menghimbau anggotanya agar tidak jor-joran dalam beriklan. Cukup melalui FOZ, dan muzaki pun dapat memilih lembaga yang dituju. Lembaga zakat harus mengetengahkan esensi zakat. Harus ada tausyiah tentang konsep, aturan, dan sistem zakat. Bahwa zakat itu wajib dan bukan lagi hak muzaki. Maka dalam melayani muzaki, lembaga zakat tak boleh terbungkuk-bungkuk. Seolah khawatir menyinggung muzaki karena kedudukannya yang istimewa sebagai orang kaya. Muzaki harus dididik dengan ma’ruf, agar egonya tak memuncak. Sesungguhnya kasihan orang kaya. Lihat saja semakin zakatnya besar, semakin ingin mengelolanya sendiri. Seolah harta itu masih jadi miliknya. Karena menganggap masih jadi miliknya, amil yang ditegaskan dalam Al-Quran pun dinafikan peran dan fungsinya. Di Indonesia terjadi paradoks dari sosialisasi zakat, badan amil zakat sampai di tingkat kelurahan pada bulan Ramadhan hanya mensosialisasikan zakat fitrah. Sedangkan lembaga amil zakat mensosialisasikan keutamaan berzakat pada bulan tersebut. Pendekatan yang dilakukan Baz yang hanya mengandalkan zakat fitrah, penulis kira dengan satu alasan sederhana pengelolaannya. Hanya dengan satu nilai yaitu 2,5 kg beras.
Sistem Zakat yang Ideal Kondisi zakat yang lama tak terurus oleh Pemerintah, mengakibatkan tumbuhnya pengelola zakat dengan berbagai versi manajemen sesuai dengan kemampuan ijtihadi pengelola dalam menginterpretasikan asnaf zakat. Tentunya hal ini harus diapresiasi pemerintah dan didorong agar pengelola zakat tersebut, makin professional dan ekspert di
bidangnya. Hal ini sudah tertuang dalam Undang-Undang No.38 tahun 1999. Kalaupun belum ada aturannya dibuat dalam peraturan di bawahnya. Peran institusi zakat nasional ke depan hendaknya menjadi lembaga yang kredibel yang mampu menangkap peluang-peluang pemberdayaan fakir miskin dalam skala nasional, yang keberadaannya didukung oleh lembaga zakat yang ada. Lembaga ini seharusnya juga mampu mengakses dana-dana yang peruntukkannya untuk asnaf fakir miskin dari lembaga-lembaga pemerintah, baik BUMN dan perusahaan lainnya yang pekerjaan utamanya bukan menangani fakir miskin. Sebelum sampai pada level menjadi kordinator dan regulator bagi lembaga yang sudah terbentuk, fungsi dan bentuk institusi zakat nasional ini harus sudah diposisikan dengan jelas. Peran sebagai kordinator hendaknya harus dapat membangun sitem data base dan manajemen informasi zakat yang benar-benar efektif, sedangkan fungsi regulator yang akan diperankan diartikan memberikan dorongan, bukan justru untuk membatasi lembaga yang sudah ada. Sedangkan dari pembayar dan wajib zakat juga harus diberikan kesadaran, bahwa zakat yang dibayarkan dari hartanya pada hakekatnya adalah hak orang lain yang harus ditunaikan, sehingga pengelolaanya tidak bisa dikelola sendiri melalui yayasan yang dibentuknya atau pribadi perorangan, melainkan harus melalui lembaga yang sudah ditunjuk oleh pemerintah sebagai lembaga zakat. Kampanye ini harus secara konsisten disosialisasikan kepada masyarakat dan dibuat tolok ukur yang sistematis.[]
Dunia Perzakatan Di Indonesia30 Oleh Didin Hafidhuddin31 Pengelolaan Zakat Sebelum Tahun 90-an. Sebelum tahun 1990, dunia perzakatan di Indonesia memiliki beberapa ciri khas, antara lain sebagai berikut: 1) Pada umumnya diberikan langsung oleh muzaki kepada mustahi tanpa melalui amil zakat. 2) Jika pun melalui amil zakat hanya terbatas pada zakat fitrah. 3) Zakat yang diberikan pada umumnya hanya bersifat konsumtif untuk keperluan sesaat. 4) Harta obyek zakat (al-Amwal az-Zakawiyyah) hanya terbatas pada harta-harta yang secara eksplisit (manthuq) dikemukakan secara rinci dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits, yaitu emas dan perak, pertanian (terbatas pada tanaman yang menghasilkan makanan pokok), peternakan (terbatas pada sapi, kambing/domba), perdagangan (terbatas pada komoditas-komoditas yang berbentuk barang), dan rikaz (harta temuan). Kondisi tersebut diakibatkan oleh beberapa hal, antara lain sebagai berikut: a) Belum tumbuhnya lembaga pemungut zakat, kecuali di beberapa daerah tertentu, misalnya BAZIS DKI. b) Rendahnya kepercayaan masyarakat pada amil zakat. c) Profesi amil zakat masih dianggap profesi sambilan. d) Sosialisasi tentang zakat, baik yang berkaitan dengan hikmah, urgensi dan tujuan zakat, tata cara pelaksanaan zakat, harta obyek zakat, maupun kaitan zakat dengan peningkatan kegiatan ekonomi maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat, masih sangat jarang dilakukan.
Zakat Setelah Tahun 90-an Yusuf Al-Qardhawi, ulama besar dan penulis yang sangat produktif saat ini telah menulis sebuah buku yang memberikan pengaruh yang sangat luar biasa terhadap perkembangan zakat maupun perkembangan lembaga pengelolanya. Buku tersebut berjudul Fiqh az-Zakat, yang berisikan penjelasan zakat secara komprehensif ditulis tahun 1389 H/1969 M, diterbitkan oleh Muassasah ar-Risalah, Beirut, yang alhamdulillah telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Salman Harun, Hasanuddin (alm), dan Didin Hafidhuddin, diterbitkan tahun 1988, oleh PT. Pustaka LiteraAntarNusa, bekerjasama dengan BAZIS DKI. Yang paling menonjol dalam buku tersebut adalah tentang harta obyek zakat (alAmwal az-Zakawiyyah), yang mencakup semua harta maupun penghasilan/pendapatan yang dimiliki oleh setiap muslim yang mencakup seluruh bidang pekerjaan yang halal yang apabila telah mencapai nishab, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Termasuk di dalamnya penghasilan yang didapatkan melalui keahlian tertentu secara perorangan maupun bersama-sama, atau yang sering disebut dengan zakat profesi (mihnah). Misalnya, dokter, ahli hukum, arsitek, dosen/guru, penjahit, karyawan, maupun yang lainnya. Masuk pula
pada obyek zakat, perusahaan yang dikelola oleh seorang muslim atau bersama-sama, misalnya dalam sebuah PT. Perusahaan ini disebut syakhsiyyah I’tibariyyah (reht person/ dianggap orang). Adapun alasan-alasan dimasukkannya hal-hal baru tersebut ke dalam obyek zakat, adalah antara lain sebagai berikut: Pertama, ayat-ayat Al-Quran yang bersifat umum (QS. 2: 267, QS. 9:103) dan beberapa hadits nabi yang mewajibkan semua jenis harta untuk dikeluarkan zakatnya. “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo`alah untuk mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Kedua, dari sudut keadilan –yang merupakan ciri utama ajaran Islam– penetapan kewajiban zakat pada setiap harta yang dimiliki akan terasa sangat jelas, dibandingkan dengan hanya menetapkan kewajiban zakat pada komoditas-komoditas tertentu saja yang konvensional. Petani yang saat ini kondisinya secara umum kurang beruntung, tetapi harus berzakat, apabila hasil pertaniannya telah mencapai nishab. Karena itu sangat adil pula, apabila zakat inipun bersifat wajib pada penghasilan yang didapatkan para dokter, para ahli hukum, konsultan dalam berbagai bidang, para dosen, para pegawai dan karyawan yang memiliki gaji yang mencapai nishab (senilai 524 kg beras perbulan), dan juga para juru da’wah yang memiliki penghasilan yang cukup besar. Karena itu, para peserta Muktamar Internasional pertama tentang zakat di Kuwait (29 Rajab 1404 H/30 April 1984 M) telah sepakat tentang wajibnya zakat profesi dan perusahaan apabila telah mencapai nishab, meskipun mereka berbeda pendapat dalam tata cara mengeluarkannya. Demikian pula dalam pasal 11 ayat (2) Bab IV Undang-undang No.38/1999 tentang Pengelolaan Zakat, dikemukakan bahwa harta yang dikenai zakat adalah: a) emas, perak, dan uang; b) perdagangan dan perusahaan; c) hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan; d) hasil pertambangan; e) hasil peternakan; f) hasil pendapatan dan jasa; dan g) rikaz.
Lembaga Pengelola Zakat Hal lain yang menonjol, yang dikemukakan dalam buku Fiqh Zakat tersebut adalah bahwa zakat itu harus dikelola oleh amil (lembaga) yang profesional, amanah, bertanggung jawab, memiliki pengetahuan yang memadai tentang zakat, dan memiliki waktu yang cukup untuk mengelolanya (misalnya untuk melakukan sosialisasi, pendataan muzaki dan mustahik, dan penyaluran yang tepat sasaran, serta pelaporan yang transparan). Hal ini bisa
dipahami karena zakat adalah satu-satunya ibadah yang disyari’atkan Islam yang secara eksplisit dinyatakan ada petugasnya, seperti tersurat dalam firman Allah QS. 9: 60 dan QS. 9: 103 yang artinya; “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Pengelolaan zakat oleh lembaga pengelola zakat (amil zakat), apalagi yang memiliki kekuatan hukum formal, akan memiliki beberapa keuntungan, antara lain: Pertama, lebih sesuai dengan tuntunan syariah dan sirah nabawiyyah maupun sirah para sahabat dan tabi’in. Kedua, untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayar zakat. Ketiga, untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzaki. Keempat, untuk mencapai efisiensi dan efektivitas, serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat. Kelima, untuk memperlihatkan syi’ar Islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang Islami. Sebaliknya, jika zakat diserahkan langsung dari muzaki kepada mustahik, meskipun secara hukum syari’ah adalah sah, akan tetapi di samping akan terabaikannya hal-hal tersebut di atas, juga hikmah dan fungsi zakat, terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan umat, akan sulit diwujudkan. Karena itu pula, di zaman Rasulullah saw., para sahabat dan para tabi’in, zakat selalu dikelola oleh petugas khusus yang mengatur pengambilan maupun pendistribusiannya. Dengan demikian, zakat disamping amal yang bersifat karitatif (kedermawanan yang harus dilandasi dengan keikhlasan), juga suatu kewajiban yang bersifat otoritatif (ijbari). Di Indonesia, pengelolaan zakat diatur berdasarkan Undang-Undang No.38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 38 tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Meskipun harus diakui bahwa dalam peraturanperaturan tersebut masih banyak kekurangan yang sangat mendasar, misalnya tidak dijatuhkannya sanksi bagi muzaki yang melalaikan kewajibannya (tidak mau berzakat, dan karena itu perlu direvisi), tetapi undang-undang tersebut telah mendorong upaya pembentukan lembaga pengelola zakat yang amanah, kuat dan dipercaya oleh masyarakat. Dalam Bab II Pasal 5 undang-undang tersebut dikemukakan bahwa pengelolaan zakat bertujuan: a. Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama.
b. Meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. c. Meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat. Dalam Bab III Undang-Undang No. 38 tahun 1999 dikemukakan bahwa organisasi pengelola zakat terdiri dari dua jenis, yaitu Badan Amil Zakat (pasal 6) dan Lembaga Amil Zakat (pasal 7). Selanjutnya pada bab tentang sanksi (Bab VIII) dikemukakan pula bahwa setiap pengelola zakat yang karena kelalaiannya tidak mencatat atau mencatat dengan tidak benar tentang zakat, infaq, sedekah, hibah, wasiat, warits, dan kafarat, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8, pasal 12, dan pasal 11 undang-undang tersebut, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah). Sanksi ini tentu dimaksudkan agar BAZ dan LAZ yang ada di negara kita menjadi pengelola zakat yang kuat, amanah, dan dipercaya oleh masyarakat, sehingga pada akhirnya masyarakat secara sadar dan sengaja akan menyerahkan zakatnya kepada lembaga pengelola zakat. Dalam kaitan dengan pengumpulan zakat, walaupun masih sangat jauh dengan potensinya (menurut berbagai kalangan potensi zakat di Indonesia lebih dari 7 triliun setiap tahun) dari tahun ke tahun menunjukkan kenaikan yang cukup berarti. Bulan Ramadhan yang lalu (1425 H), BAZ dan LAZ Nasional menghimpun zakat sebesar 35 miliyar, sedangkan Ramadhan tahun ini (1426 H) sebesar 47,2 miliyar. Demikian pula pendayagunaan zakat sudah didasarkan pada program-program yang disusun oleh masing-masing BAZ dan LAZ dengan memperhatikan kondisi mustahik dan skala prioritas. Sebagai contoh pendayagunaan zakat pada hal-hal sebagai berikut: 1) Pemberian beasiswa dari tingkat SD sampai Perguruan Tinggi (bagi kalangan yang termasuk kategori mustahik); 2) Pemanfaatan dana zakat untuk usaha-usaha yang sifatnya produktif, disamping yang bersifat konsumtif; 3) Mendirikan Rumah Sakit gratis untuk kaum dhu’afa; 4) Mendirikan lembaga pendidikan unggul bagi kaum dhu’afa (gratis); 5) Mendirikan balai pelatihan keterampilan; 6) Melalui dana bergulir dengan bekerjasama dengan BMT memberikan pembiayaan bagi usaha kaum duafa; 7) Dan kegiatan lainnya bagi kepentingan mustahik, disertai pengawasan dan pendampingan dari amil zakat; 8) BAZ dan LAZ pun terlibat aktif dalam penanggulangan berbagai musibah yang terjadi di tanah air, baik pada tahap emergency maupun pada tahapan pembangunan kembali, seperti yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam dan di tempat lainnya; 9) Dalam mendayagunakan dana zakat, BAZ dan LAZ melaporkan secara terbuka kepada publik melalui berbagai media masa dan juga mempergunakan jasa auditor, baik internal maupun eksternal.
Sinergi BAZ dan LAZ Adalah sudah menjadi suatu realitas yang tidak bisa dipungkiri oleh pihak manapun bahwa di Indonesia, BAZ dan LAZ tumbuh berkembang di mana-mana. Karena itu, upaya
untuk menyatukannya dalam suatu wadah pengelola zakat yang bersifat tunggal, akan mengalami kesulitan yang cukup besar. Bahkan juga, akan menghabiskan energi yang cukup banyak. Karena itu, yang penting harus dilakukan sekarang adalah: 1) Sinergi BAZ dan LAZ dalam seluruh kegiatannya, misalnya dalam sosialisasi pada masyarakat, pelatihan SDM zakat yang berkualitas, dan pendayagunaannya. 2) Perlu dibuat obyek-obyek unggulan yang dikelola secara bersama-sama oleh seluruh BAZ dan LAZ, misalnya mendirikan Rumah Sakit Zakat Nasional yang gratis bagi kaum dhuafa, atau memperbanyak sekolah-sekolah unggulan bagi fakir miskin, atau mungkin BAZ dan LAZ bekerjasama dengan Menteri Negara Perumahan Rakyat (Menpera) membuat perumahan bagi kaum duafa yang tuna wisma, atau proyek-proyek lainnya yang dirasakan manfaatnya oleh para mustahik. 3) Sinergi ini bisa dijalankan dengan baik, di samping dengan manajemen yang rapi, teratur, dan terbuka, juga harus dilandasi dengan kejujuran dan keikhlasan untuk samasama bekerja dan bekerjasama dalam kesatuan barisan yang rapi dan teratur. 4) Kini sedang diupayakan sinergi badan dan lembaga pemungut zakat tingkat Asia Tenggara, yang pelaksanaan Muktamar Pertama Zakat Tingkat Asia Tenggara telah dilaksanakan pada 13-15 Maret 2006 di Kualalumpur Malaysia. Kita yakin, jika hal-hal tersebut di atas dilakukan dengan sungguh-sungguh, maka optimalisasi zakat di Indonesia, baik pengumpulan, pengambilan, maupun pendayagunaan dan pendistribusiannya akan dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya serta akan semakin dirasakan manfaatnya secara signifikan oleh para mustahik, terutama kaum duafa.[]
Bagian III OPTIMALISASI PENGUMPULAN ZAKAT Optimalisasi Pengumpulan Zakat Oleh Aries Muftie32
S
alah
satu
aspek
zakat
yang
penulis
uraikan
pada
bagian
ini adalah aspek optimalisasi pengumpulannya, karena aspek lainnya seperti penyaluran atau pendayagunaannya, telah dibahas dan dikaji pada bab lain dalam buku ini, dan telah banyak contoh keberhasilan serta infrastruktur yang mendukung efektifitas penyaluran dan pendayagunaan zakat. Pada dasarnya, dukungan pokok dalam mengoptimal-kan penyaluran dan pendayagunaan zakat adalah, besarnya jumlah mustahik di Indonesia. Namun kondisi saat ini justru sebaliknya, jumlah mustahik yang sangat besar itu, tidak didukung oleh pola-pola dan mekanisme pengumpulan zakat yang optimal untuk menjadi sumber bagi program pemberdayaannya. Sungguh ironi, Indonesia sebagai negara besar dari sektor kependudukan, dengan jumlah masyarakat muslim yang mayoritas, ternyata belum dapat mengoptimalkan potensi dana zakat dari mayoritas penduduknya. Penyebabnya memang dapat bermacam-macam, selain ketersediaan infrastruktur dalam upaya pengumpulan dana zakat, paradigma para muzaki tentang zakat yang merupakan kewajiban pribadi pun perlu diluruskan kembali. Oleh karena itu, dalam uraian ini penulis akan mengawali dengan firman Allah swt. Q:S At-Taubah; 103, yang artinya sebagai berikut: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka, sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Berangkat dari perintah yang tersurat dan tersirat dari ayat di atas, yang diawali dengan “kata perintah”: Ambillah, seharusnya mekanisme pengumpulan dan penyaluran zakat adalah sebagai berikut: Muzakki
Amil/petugas Mustahiq Doa (QS At Taubah:103) Zakat Ada petugas/lembaga amil Bersifat otoritatif disamping karitatif Dengan demikian, dalam pengelolaan zakat, Allah memerintahkan, ada muzaki yang merupakan pembayar zakat; ada Amil sebagai pengumpul dan penyalur; dan ada mustahik sebagai penerima zakat. Umat Islam, baik secara individu maupun kelem-bagaan (bisnis atau keuangan), perlu mematuhi dua jenis undang-undang, yaitu undang-undang Islam dan undang-undang positif. Kegagalan atas pemenuhan perintah dan larangan tersebut, berarti juga kegagalan menghayati ketentuan ajaran Islam secara utuh. Secara ekstrem, mereka seharusnya tidak dapat menyatakan bahwa mereka adalah muslim yang baik atau sebuah lembaga yang Islami. Undang-undang Islam yang harus dipatuhi oleh individu dan atau lembaga-lembaga ini juga dikenal sebagai Undang-Undang Syariah. Jadi apa yang di maksud dalam Al-Quran dan Al-Hadits harus diter-jemahkan secara teknis per-Undang-Undangan ke dalam hukum positif atau merupakan undang-undang dan peraturan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah sebuah negara atau wilayah tempat lembaga tersebut beroperasi. Dalam pengelolaan zakat, penulis akan coba berikan beberapa komparisi aturan yang berlaku dari masa ke masa sebagai berikut: Masa/Periode
Pemerintah
Pemerintah dan
Rasulullah saw.
Dikelola oleh Pemerintah. Nabi turun tangan sendiri dan memberi petunjuk operasionalnya. Sahabat Muadz ibn Jabal ditunjuk sebagai pengumpul dari dan untuk penduduk di kota Yaman (desentralisasi) dalam penyaluran, tetapi sentralisasi dalam kebijakan)
Abu Bakar ra.
Dikelola oleh Pemerintah. Bahkan mereka yang tidak berzakat diperangi. Abu Bakar turun
Masyarakat
Masyarakat
sendiri mengawasi. Zakat profesi belum diwajibkan Umar ra.
Dikelola oleh Pemerintah. Baitul maal dananya makin banyak berasal dari wilayah yang ditaklukan, jadi ada bagian yang dibagikan di wilayah namun juga ada yang disetor ke Pusat
Usman ra.
Dikelola oleh Pemerintah, namun karena gudang Baitul Maal penuh maka muzaki atas nama Khalifah boleh langsung membagikan ke ashnaf.Zaid Ibn Tsabit diangkat khusus untuk bagian Keuangan Negara (Baitul Maal)
Ali ra.
Sama seperti masa Usman. Ali mengawasi sendiri
Umar Ibn Abdul Azis
Dikelola oleh Pemerintah, dengan sistem manajemen modern. Baitul Maal penuh karena sudah tidak ada yang dhuafa. Disini mulai dikenal zakat profesi sebagai suatu kewajiban
Muawiyah ibn Sufyan di Dasmaskus
Pemerintah lepas tangan dalam hal zakat diserahkan sepenuhnya Mulai mengikuti liberal dari para pendeta kerajaan akibatnya mulai dan hedonisme, bayar zakat, terjadi timbul
kepada rakyat. contoh ekonomi tuan tanah dan Romawi, konsumerisme Aghniya berhenti kesenjangan reaksi dari rakyat,
muncullah Abu
Dzar al-Ghiffari
sebagai tokoh oposisi. Dari uraian di atas, lalu muncul pertanyaan, siapa yang sebaiknya mengelola zakat atau jangan mengelola zakat Pendapat
Kiai
Pro
Sebaiknya langsung ke Kiai dan Kiai yang membagikan, karena pada saat akad sekalian di doakan dan, sekaligus menolong Kiai tersebut
Kontra
Akuntabilitas tidak jelas. Lebih banyak digunakan untuk kepentingan Kiai dan Ponpesnya
Pemerintah
Baz dan Laz
A.Perbedaan Pendapat tentang Pengumpulan
Zakat di Indonesia
Masalah pengumpulan zakat sampai saat ini masih merupakan problem bagi efektifitas pengelolaan zakat di Indonesia. Banyak muncul perbedaan pendapat di kalangan umat Islam sendiri, antara lain: a Apakah pengumpulan zakat itu wajib atau tidak wajib? a Apakah pengumpulan zakat dilakukan oleh Pemerintah atau swasta? a Apakah perlu sertifikasi atau standar profesi amil atau tidak perlu? a Apakah bersifat sentralisasi atau desentralisasi? a Apakah harus ada regulasi atau deregulasi? a Apakah pengumpulan zakat mengurangi pajak atau tidak? a Dan apakah pengumpulan zakat merupakan masalah Khilafiah? Perbedaan pendapat tersebut, coba penulis uraikan dengan melihat kemaslahatan yang akan ditimbulkannya, sebagai berikut :
1. Wajib atau Tidak Wajib a Perintah dalam Al-Quran sudah jelas tentang kewajiban zakat, namun ada pendapat bahwa karena Pemerintah saat ini tidak berasaskan syariah (hukum Islam), maka tidak sah untuk mengangkat Amil (bukan Pemerintahan Islam). Oleh karena itu memposisikan zakat menjadi tidak wajib. a Pendapat lain yang cenderung sekuler mengatakan Indonesia adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukan Negara yang berasaskan syariah (hukum Islam), jadi zakat bukan urusan Pemerintah, tapi terserah kehendak umat saja. Implikasinya, zakat menjadi tidak wajib, sama dengan pendapat di atas. a Pendapat para praktisi Ekonomi Syariah, mengatakan zakat itu wajib. Oleh karena itu tugas Pemerintah lah untuk membuat regulasi kewajiban zakat tersebut melalui UU termasuk insentif mengurangi pajak. Zakat di kumpulkan oleh Pemerintah atau oleh Amil yang resmi di tunjuk oleh Pemerintah. Sementara penyalurannya melalui BAZ dan LAZ yang ada untuk 8 asnaf sesuai ijtihad para fukaha masa kini, khususnya untuk mengentaskan kemiskinan melalui lembaga keuangan duafa. Bila ini dijalankan maka akan terkumpul jumlah zakat yang cukup signifikan. Umat terdahulu yang masih berhadapan dengan Nabi saw. pun, setelah Nabi wafat langsung ingkar zakat sehingga diperangi oleh Abu Bakar ra., padahal Abu Bakar ra. dikenal sebagai orang yang bersih, transparan dan profesional (Siddiq, Amanah, Tabligh dan Fathonah). 2. Dikelola Pemerintah atau Swasta a Ada pendapat sebagian ulama, bahwa di dalam Al-Quran diwajibkan mengeluarkan zakat, namun Pemerintah saat ini tidak sah mengangkat amil karena tidak berasaskan Syariah. Jadi Pemerintah atau amilnya tidak berhak mengumpulkan. Kalaupun mau ber-zakat langsung disalurkan sendiri kepada mustahik. a Pendapat sebaliknya, zakat itu wajib dan menjadi tugas Pemerintah untuk membuat regulasi tentang kewajiban zakat tersebut termasuk insentif mengurangi pajak. Implikasi atas pendapat ini adalah akan terkumpul zakat yang jumlahnya triliunan. 3. Melalui Sertifikasi (Akreditasi dan Standar Profesi) Amil atau Tidak a Pendapat ulama yang mengacu kepada negara yang berasaskan syariah dan sekuler sudah tidak relevan karena menolak peran pemerintah. a Pendapat lain mengatakan bahwa, dalam Al-Quran dan Al-Hadits tidak diperintahkan karena itu tidak perlu sertifikasi. a Pendapat para praktisi, Amil adalah identik dengan Lembaga Keuangan Mikro atau Duafa karena itu perlu sertifikasi dan standar profesi, dalam rangka Good Corporate Governance (GCG), agar masyarakat percaya. Apalagi jika mereka nantinya dapat menerbitkan BSZ (Bukti Setor Zakat) dan NPWZ (Nomor Pokok Wajib Zakat). Dasar hukumnya dari Al-Quran, cerita tentang Nabi Yusuf.33 4. Sentralisasi atau Desentralisasi a Sekarang era otonomi daerah, jadi apabila pengelolaan zakat di sentralisasi akan melanggar spirit otonomi daerah.
a
a
Dalam Al-Hadits contoh pengumpulan adalah oleh pemerintah, namun penyalurannya adalah dilakukan oleh mayoritas umat di mana zakat tersebut di kumpulkan. Pendapat para ahli Ekonomi Syariah, karena zakat identik dengan pajak bila nantinya menjadi faktor pengurang pajak (saat ini masih menjadi Pengurang Penghasilan Kena Pajak), maka pengumpulannya harus sentralisasi, sedangkan penyalurannya desentralisasi. Selain itu Amil dalam penyaluran identik dengan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) maka perlu Lembaga Induk (Apex Institution) yang berfungsi sebagai Wholesaler atau sentralisasi dalam pengumpulan yang terkait dengan pengurang pajak, Nomor Pokok Wajib Zakat (NPWZ), Bukti Setor Zakat (BSZ) dan rekonsiliasinya. Sedangkan desentralisasi dalam penyalurannya melalui BAZ, LAZ dan Baitul Maal wat Tamwil (BMT).
5. Regulasi atau Tidak a Pendapat ulama atas negara yang berasaskan syariah dan sekuler sudah tidak relevan adanya regulasi zakat, karena menolak peran pemerintah. a Pendapat lain mengatakan, dalam Al-Quran dan Al-Hadits lebih dari cukup, sehingga tidak perlu regulasi lagi. a Pendapat praktisi Ekonomi Syariah, kalau kita mau mewajibkan seperti yang ada di dalam Al-Quran dan Al-Hadits, maka harus di terjemahkan ke dalam hukum positif, yaitu regulasi agar ada sanksi dari negara bila melanggarnya. 34 6. Apakah Zakat Mengurangi Pajak atau Tidak a Pendapat ulama atas negara yang berasaskan syariah dan sekuler sudah tidak relevan karena menolak peran pemerintah. a Pendapat lain mengatakan, tidak perlu di atur, karena zakat masalah agama, dan pajak masalah negara. a Sedangkan pendapat praktisi Ekonomi Syariah, salah satu manfaat pajak adalah untuk mengentaskan kemiskinan, begitu juga zakat, jadi agar tidak terjadi pembayaran ganda, yang merugikan umat Islam, maka harus di atur; zakat mengurangi pajak sebagaimana diberlakukan di negara Eropa. Pemanfaatan dana perusahaan untuk Community Development dianggap mengurangi pajak. Dengan adanya insentif ini, maka di harapkan dana zakat jumlahnya akan menjadi triliunan rupiah. 7. Masalah Khilafiah Menurut DR. Yusuf Qardhawi,sekalipun kita berkeyakinan bahwa perbedaan pendapat dalam Islam menunjukkan keaktifan berfikir yang tangguh, di samping bahwa sistem yang melindungi perbedaan pendapat itu sangat toleran, tapi hati kita tersayat-sayat melihat perbedaan pendapat pemuka-pemuka agama kita dalam menerapkan kewajiban zakat itu begitu luas, dan memperluas perbedaan persepsi. Kewajiban zakat sebagaimana di dalam ayat Al-Quran banyak sekali dihubungkan dengan salat, seharusnya memperoleh perhatian yang sungguh-sungguh dari umat Islam, sama seperti perhatian mereka pada salat, di mana pentingnya salat bagi mereka sudah
merupakan ketetapan tegas yang tidak bisa dipertanyakan lagi, yaitu lima kali dalam sehari semalam. Ada beberapa persoalan yang timbul pada saat ini yang belum dikenal oleh para ahli fikih pada masa lalu. Persoalan itu memerlukan hukum-hukum baru yang mampu melepaskan manusia dari ketidakpastian dan menjawab pertanyaan ragu-ragu yang sering muncul dalam masyarakat banyak, misalnya; harta benda dan penghasilan-penghasilan bentuk baru, seperti persoalan gedung-gedung pencakar langit yang didirikan untuk maksud disewakan dan diinvestasikan, pabrik-pabrik besar, alat-alat dan berbagai jenis produksi dan berbagai bentuk kapital bergerak atau tidak bergerak yang diinvestasi dan disewakan oleh pemiliknya dan memberi keuntungan besar, seperti kapal laut, mobil, pesawat udara, hotel, percetakan, dan sebagainya. Persoalan pendapatan pekerja-pekerja bebas seperti dokter, pengacara, arsitek, gaji pegawai apakah termasuk ke dalam “jangkauan” zakat atau tidak. Ataukah zakat hanya berlaku pada apa yang biasa berlaku pada zaman awal dahulu. Bila kita mengatakan bahwa zakat harus dikenakan pada semuanya itu, berapakah besarya? Kapan wajib berlaku? dan apa landasan hukumnya? Kemudian persoalan pajak pada zaman modern ini, esensial atau bukan, aktif atau selalu bergerak yang ditetapkan oleh pemerintah-pemerintah sekarang dan dipergunakan untuk menutupi belanja-belanja rutin negara serta untuk mencapai beberapa maksud sosial. Bagaimanakah hubungan pajak itu dengan zakat? Apakah persamaan dan perbedaan keduanya dalam hal sumber, sasaran pengeluaran, asas-asas dan tujuan-tujuan? Bila tidak mungkin bolehkah menurut agama pajak ditetapkan di samping juga zakat? Semua pertanyaan itu, saat ini,merupakan pertanyaan- pertanyaan yang memerlukan jawaban-jawaban dan perlu kita pikirkan.
B. Apakah Zakat Harus Dikelola Pemerintah? Rasulullah saw. dan para sahabatnya telah memberi contoh, zakat diserahkan kepada Khalifah (Pemerintah) atau yang mewakilinya (amil yang diangkat oleh pemerintah). Bahkan contoh yang diberikan oleh Abu Bakar ra., zakat di ambil paksa, bagi yang tidak membayar di beri hukuman. Beliau berkata: “Demi Allah, jika mereka menolak menyerahkan anak kambing betina (untuk membayar zakat ternak) yang dahulu mereka serahkan kepada Rasulullah SAW., maka akan kuperangi mereka”. Sahabat Abu Bakar ra., melaksanakan hal tersebut dengan landasan perintah Allah swt. dalam Q.S: At-Taubah ayat 103 sebagaimana penulis sebutkan dimuka. Jadi Allah swt. lah yang langsung memerintahkan kepada Rasul-Nya, agar mengambil zakat dari wajib zakat (muzaki). Rasulullah saw. menentukan para amil atau wakilnya untuk memungut zakat. Beliau juga menentukan orang yang ahli dalam menaksir hasil anggur dan kurma. Pada masa itu muzaki membayar zakat kepada Rasullah saw. dan yang mewakilinya. Keadaan ini diteruskan sampai pada masa sahabat.
Zakat ini pun tetap harus diserahkan kepada Khalifah (Pemerintah) atau yang mewakilinya, sekalipun mereka zalim, sebagaimana diriwayatkan oleh Suhail bin Abi Shalih dan bapaknya berkata: “Aku bertanya kepada Sa’ad bin Abi Waqash, Abu Hurairah, Abu Sa’id al Khudri dan Ibnu Umar:”Sesungguhnya penguasa ini melakukan perbuatan yang tidak kalian lihat. Apakah aku harus menyerahkan zakatku kepada mereka? Mereka menjawab: ”Serahkanlah zakatnya kepada mereka.” Dari Ibnu Umar berkata: “Bayarlah zakat kepada orang yang Allah telah kuasakan urusan kalian. Barang siapa yang berbuat baik maka itu bagi dirinya sendiri, dan barangsiapa yang berdosa maka hal itu atas (para penguasa atau pemerintah).” Dalam satu kesempatan bahkan Nabi saw. mengancam para muzaki yang tidak disiplin dalam menunaikan zakatnya dengan berkata: “Akan datang kepada kamu sekalian para petugas yang tidak kamu sukai. Maka apabila mereka datang, sambutlah dan biarkanlah mereka dengan apa yang mereka inginkan.” Dalam satu Hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Anas, ada seorang anak laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw.: “Apabila aku membayar zakat pada utusanmu, maka apakah aku terlepas dari kewajiban terhadap Allah dan Rasul-Nya? Nabi menjawab:”ya, jika engkau membayar zakat pada utusanku, maka engkau telah bebas dari kewajiban zakat.” Jadi dari beberapa riwayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Nabi selaku penguasa, bertindak tegas dan keras terhadap para muzaki demi terciptanya kedisiplinan pembayaran zakat. Pengertian zakat harus dibayarkan melalui Pemerintah, bukan berarti zakat yang dikumpulkan oleh Pemerintah tersebut digunakan untuk membiayai negara/Pemerintah seperti untuk biaya rutin dan biaya pembangunan, tetapi Negara dalam hal ini hanya sebagai fasilitator untuk mengumpulkan zakat atau bertindak sebagai amilin. Sebahagian negara membentuk secara khusus Kementerian Zakat dan Waqaf. Indonesia telah memiliki Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), yang di bentuk dengan Keputusan Presiden sebagai implementasi dari Undang-undang RI No.38 tentang Pengelolaan Zakat. Namun pada kenyataannya tidak memiliki kewenangan apa-apa, sehingga tidak ada bedanya dengan LAZ yang di bentuk oleh masyarakat. Dalam penyaluran zakat tidak harus Pemerintah, bahkan sebaiknya jangan. Pemerintah cukup membuat kebijakan tentang kriteria mustahik (8 ashnaf) sesuai syariah dan berfungsi sebagai pool of fund. Sedangkan yang menyalurkan adalah BAZDA dan LAZ yang terakreditasi. Untuk itu sebaiknya Pemerintah atau yang mewakilinya hanya berfungsi sebagai pool of fund atau lembaga induk dari BAZDA dan LAZ dalam penyalurannya. Singkatnya, pengumpulan secara sentralisasi dilaksanakan oleh Pemerintah atau Badan Pemerintah (pool of fund), sedangkan penyalurannya secara desentralisasi melalui BAZDA
dan LAZ yang terakreditasi. Jadi perlakuan atas pengumpulan zakat identik dengan pengumpulan pajak.
B.1. Pengelolaan Zakat Oleh Negara Sedangkan untuk mengatasi multi tafsir atas permasalahan zakat, maka urgensi adanya UU tentang Zakat dan kelembagaannya menjadi mencuat, dengan kata lain zakat harus di kelola oleh Negara, sehingga dana yang terkumpul jumlahnya cukup signifikan. Contoh beberapa potensi pengumpulan zakat bila ada regulasi yang berupa Peraturan Pemerintah (PP) atau SK Menteri Keuangan yang akan mendukung dan meningkatkan peluang yang ada karena adanya UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan UU No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, antara lain dari : f
Potensi Wajib Zakat Perseorangan: l Potensi Wajib Pajak Perseorangan: Rp 93,295 triliun (perhitungan Bp. Jamal Doa – anggota DPR) l Potensi wajib zakat perseorangan untuk profesi/karyawan
f
Potensi Wajib Zakat Badan Usaha l Jumlah badan usaha swasta sebanyak >1 juta (data Kadin). l Jumlah BUMN sebanyak 158 unit dengan ratusan (bahkan ribuan) anak perusahaannya. l Potensi wajib zakat dari Dana Pihak Ketiga pada Perbankan (Syariah dan Konvensional). l Dan lain-lain.
Untuk memanfaatkan peluang dan potensi tersebut, ada beberapa regulasi yang perlu dimodifikasi dan di sosialisasikan, antara lain : f
PPh pasal 21 l Belum disosialisasikan di kalangan wajib pajak l Belum ada SE (Surat Edaran) Dirjen Pajak tentang Bukti Setor Zakat (BSZ) sebagai pengurang PKP
f
PPh pasal 25 l Belum berlaku untuk laba BUMN, baru untuk Wajib Pajak Badan yang dimiliki oleh orang muslim.
f
PPh pasal 23 l Belum masuk ke dalam UU sebagai pengurang PKP
Selain dari regulasi, juga diperlukan perubahan paradigma, karena : a. Rendahnya kesadaran & pemahaman masyarakat terhadap kewajiban zakat
b. Yang mengerti lebih banyak berdiskusi dan berwacana daripada implementasi, dan cenderung skeptis terhadap amil yang ada. c. Rendahnya kepercayaan masyarakat kepada lembaga pengelola zakat : d. Banyaknya lembaga/orang pengumpul dana ZIS yang beroperasi e. Kualitas Badan/Lembaga Amil Zakat yang sangat beragam (belum ada standardisasi profesi Amil) f. Rendahnya transparansi pengelolaan zakat oleh BAZ/LAZ g. Belum ada success story pemberdayaan zakat (mustahik berubah menjadi muzaki) h. Belum ada kerjasama antar BAZ/LAZ yang kuat walaupun sudah ada FOZ (Forum Zakat), masih sesuai dengan visi masing-masing,bahkan masih ada yang saling menyepelekan.
B.2. Mengapa Zakat harus dikelola oleh Negara
(1) Alasan Pertama, sampai saat ini, pengelolaan zakat dipercayakan kepada pribadi umat Islam masing-masing atau dipercayakan kepada Badan Amil Zakat swasta seperti BAZDA, LAZ dan lain-lain. BAZNAS walaupun dibentuk dengan Keppres, namun tidak mempunyai kewenangan lain, hanya disejajarkan seperti BAZDA dan LAZ. Alhasil, zakat yang terkumpul sangat sedikit. Jumlah ini tentu saja tidak signifikan untuk pemberdayaan ekonomi umat dalam upaya memerangi kemiskinan. Persoalannya adalah pada masalah status yang swasta, begitu juga BAZNAS. Lembaga-lembaga tersebut hanya bisa memberikan himbauan, atau menunggu kesadaran dari para muzaki. Keberadaan UU No.38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan zakat hanya memuat sanksi bagi pengelola bukan kepada para muzaki yang tidak mau membayar zakat. Hal ini bertentangan dengan upaya yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar ra., di mana setelah baru saja Rasullah saw. wafat, banyak muzaki yang mengingkari zakat. Apalagi sekarang setelah 1400 tahun berlalu, sudah tentu kelompok ingkar zakat makin bertambah banyak. (2) Alasan kedua, ditinjau dari segi syariat Islam, zakat wajib hukumnya bagi pemeluk Islam, sebagai salah satu Rukun Islam. Rukun Islam ini harus dikerjakan seutuhnya secara kaffah, tidak boleh hanya satu-satu saja. Jangan lantaran baru syahadat saja sudah merasa Islam, ini tentu belumlah cukup. Kewajiban membayar zakat dalam Islam sangat mendasar dan fundamental. Begitu mendasarnya sehingga perintah zakat dalam Al-Quran sering disertai dengan ancaman yang tegas. Dalam Al-Quran selalu kata zakat bersamaan dengan kata salat. Seperti pada surat Al-Baqarah ayat 43 yang artinya: “Dirikanlah salat dan tunaikan zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” Kemudian Surat Al-Fushshilat ayat 6-7 yang artinya: “Celakalah bagi orang-orang musyrik yaitu orang-orang yang tidak membayar zakat dan mereka tidak percaya adanya hari akhirat.” Demikian pentingnya masalah zakat sehingga dalam Al-Quran ada 82 ayat yang menyebutkan zakat bersamaan dengan salat. Banyak para ulama yang menyarankan agar
zakat dikelola oleh negara di antaranya adalah Prof. Hazairin. Ia berargumentasi bahwa syariat Islam itu terdiri dari tiga kategori: (a)Kategori pertama, adalah syariat yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya seperti salat dan puasa, ini tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara. (b)Kategori kedua, adalah syariat yang mengatur tuntunan hidup kerohanian atau keimanan dan kesusilaan atau akhlak. Ini juga tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara. (c)Kategori ketiga, adalah syariat yang mengandung hukum dunia seperti hukum perkawinan, hukum warisan, hukum zakat dan hukum pidana. Hukum-hukum ini sangat memerlukan bantuan kekuasaan negara baik negara Islam maupun negara non Islam agar dapat berjalan dengan sempurna.
(3) Alasan ketiga, karena sebagian besar (hampir 90%) penduduk Indonesia beragama Islam dan sebagian besar pula pemimpin Indonesia beragama Islam. Menurut syariah Islam, ibadah zakat hukumnya wajib dan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 29 ayat (2) yang berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan beribadat menurut agamanya masing-masing.” Jadi baik umat Kristen, Hindu, Budha maupun Islam harus dilindungi oleh Negara untuk beribadat menurut agamanya masing-masing. Tidak perlu dipersoalkan bahwa zakat baru bisa dikelola oleh Negara apabila negara Indonesia adalah Negara Islam karena sudah ada landasan hukumnya yaitu UndangUndang Dasar 1945 pasal 29 ayat (2) dan ketetapan MPR No. 6 tahun 2002 tentang kemiskinan. Sebagaimana haji sudah dikelola oleh negara, seharusnya zakat juga dikelola oleh Negara.
B.3. Manfaat bila Negara yang mengelola zakat BiIa zakat dikelola oleh Negara, maka ada beberapa manfaat yang dapat diambil langsung yaitu: (1) Kelompok masyarakat yang lemah dan kekurangan tidak merasa hidup di belantara dengan hukum rimba, di mana yang kuat menggilas yang lemah. Sebaliknya mereka merasa hidup di tengah manusia yang beradab, memiliki nurani,kepedulian,dan tradisi saling menolong. Bagaimanapun, substansi dari zakat adalah pengambilan hak-hak orang miskin dari mereka yang mempunyai kelebihan harta atau mereka yang hartanya telah mencapai nishab (ukuran kewajiban mengeluarkan zakat), demi menjamin kelangsungan hidup mereka ditengah-tengah masyarakat. (2) Para muzaki lebih disiplin dalam menunaikan kewajibannya dan kaum fakir miskin lebih terjamin haknya, karena: Adanya petugas resmi yang bertugas memungut zakat dari para wajib zakat (muzaki) setiap tahunnya agar lebih disiplin. Dalam satu kesempatan bahkan Nabi saw. mengancam para muzaki yang tidak disiplin dalam menunaikan zakatnya dengan berkata:
“Akan datang kepada kamu sekalian para petugas yang tidak kamu sukai. Maka apabila mereka datang, sambutlah dan biarkanlah mereka dengan apa yang mereka inginkan.” Dalam satu Hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Anas, ada seorang anak lakilaki bertanya kepada Rasulullah saw.: “Apabila aku membayar zakat pada utusanmu, maka apakah aku terlepas dari kewajiban terhadap Allah dan Rasulnya? Nabi menjawab: “ya, jika engkau membayar zakat pada utusanku, maka engkau telah bebas dari kewajiban zakat.” Beberapa riwayat di atas mengisyaratkan bahwa Nabi selaku penguasa, mengambil tindakan yang tegas terhadap para muzaki demi terciptanya kedisiplinan dalam penunaian zakat. Pembayaran zakat yang disiplin akan menimbulkan perasaan tenang bagi para mustahik karena timbulnya optimisme bahwa hak mereka akan sampai kepada mereka. (3) Perasaan golongan fakir miskin lebih terjaga, karena dia tidak lagi sebagai peminta-minta. Hal ini dapat terbentuk apabila reorientasi prioritas pemanfaatan zakat dilakukan ke arah memanfaatkan dalam jangka panjang. Hal ini bisa dalam bentuk: Pertama, zakat dibagikan untuk mempertahankan insentif bekerja atau mencari penghasilan sendiri di kalangan fakir miskin. Kedua, sebagian dari zakat yang terkumpul (setidaknya 50%) digunakan untuk membiayai kegiatan yang produktif kepada kelompok masyarakat fakir miskin, misalnya penggunaan zakat untuk membiayai berbagai kegiatan dan latihan keterampilan produktif, pemberian modal kerja atau bantuan modal awal (start-up capital). Kalau pendistribusian zakat semacam ini bisa dilaksanakan, akan sangat membantu program pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan, memeratakan pendapatan dan mempersempit kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin. Karena dengan sistem semacam itu, akan mengurangi jumlah pengangguran, sehingga secara otomatis akan menekan jumlah kaum tuna karya, tuna wisma, dan juga peminta-minta. Dengan demikian, manfaat dari zakat itu akan benar-benar mempunyai dampak rambatan yang luas (multiplier effect), menyentuh semua aspek kehidupan. (4) Distribusi akan lebih tertib dan teratur (managable). Pelaksanaan yang lebih tertib dan teratur didukung oleh adanya petugas-petugas resmi yang bertugas untuk itu. Pemerintah biasanya juga memiliki data tentang sasaran (mustahik) secara dini dan konkret, sehingga kemungkinan sampainya zakat itu ke sasaran akan lebih besar, dan manfaat zakat itu akan benar-benar dapat terasa. Pengelolaan zakat oleh negara juga dapat menghindarkan dari kesimpangsiuran, karena ia hanya ditangani oleh satu pihak saja, dalam hal ini pemerintah (negara). Pengelolaan zakat oleh pemerintah juga memberikan kemudahan para muzaki dalam membayarkan zakatnya. Oleh karena itu, agar pengumpulan zakat lebih maksimal dan penyalurannya dapat tepat sasaran, walaupun bisa saja di pusatkan pengumpulan dan pencatatannya di BAZNAS, setelah itu didesentralisasikan ke daerah melalui BAZ dan LAZ yang ada dan
terakreditasi. Intinya ialah, sebaiknya pemerintah terlibat secara lebih intens mengelola dana zakat dan mengadministrasikannya secara baik seperti sistem administrasi pajak. (5) Peruntukan bagi kepentingan umum, seperti fisabilillah, dapat disalurkan dengan baik, karena pemerintah lebih mengetahui sasaran dan pemanfaatannya. Para ulama memang mulai mengembangkan konsep sabilillah itu tidak khusus pada jihad dan yang berhubungan dengannya, akan tetapi sabilillah diperluas artinya meliputi segala hal yang mencakup kemaslahatan, taqarrub dan perbuatan-perbuatan baik. Pendapat seperti itu di antaranya dikemukakan oleb Imam al-Razi dalam tafsirnya “Tafsir Fakhrur Razi”, di mana ia menyatakan bahwa zahir lafadz dalam firman Allah “wa fi sabilillah” tidak wajib dikhususkan artinya kepada orang yang berperang saja. Dengan mengutip pendapat Imam Qaffal yang bersumber dari sebagian para ulama fiqh, ia menyatakan bahwa para ulama memperkenankan menyerahkan zakat kepada semua bentuk kebajikan, seperti mengurus mayat, mendirikan benteng, dan meramaikan masjid. (6) Dana zakat tersebut dapat digunakan untuk mengelola dan mengembangkan potensi-potensi ekonomi rakyat yang bersifat produktif, seperti membuka lapangan kerja dan usaha yang diambil dari dana zakat atau memberikan bantuan modal untuk membuka usaha mandiri. Menurut Hidayat Syarief, ada beberapa manfaat yang dapat dipetik dari didayagunakannya zakat oleh pemerintah untuk pemberdayaan ekonomi rakyat, antara lain: Pertama, dana yang disalurkan tidak akan habis sesaat, tetapi akan terus mengalir dan bergulir sehingga mempunyai dampak rambatan yang luas (multiplier effect) terhadap kehidupan ekonomi masyarakat. Kedua, banyak kalangan yang tergolong ekonomi lemah terbantu, sehingga lambat laun taraf dan harkat kehidupannya akan meningkat. Dengan demikian beban sosial masyarakat akan menjadi berkurang. Ketiga, karena manfaatnya dirasakan lebih besar, maka umat Islam akan saling berlomba mengeluarkan zakat dengan tepat (fastabiqul khairat), sehingga dana yang terkumpul semakin bertambah banyak. Dalam perspektif demikian, umat Islam akan menjadi penyandang dana dalam upaya pemberdayaan ekonomi rakyat. Keempat, melalui institusi zakat dikelola oleh negara maka zakat dapat didistribusikan secara adil dan & iklas kepada kelompok masyarakat yang membutuhkan bantuan secara ekonomis. Apabila proses yang demikian itu bisa berlangsung dalam waktu relatif lama, maka dinamika kehidupan ekonomi masyarakat akan berkembang. Dengan demikian akan berdampak kepada peningkatan derajat kesejahteraan kelompok-kelompok lemah. (7) Menghilangkan rasa rikuh dan canggung yang mungkin dialami oleh mustahik ketika berhubungan dengan muzaki.
Bagaimanapun juga, secara fitrah setiap orang tidak ingin menjadi orang yang lemah dan hanya menjadi objek pemberian. Setiap orang akan mendambakan bahwa ia akan mampu memberikan manfaat kepada orang lain, yang salah satu antara wujud kemanfaatannya adalah mampu memberikan sesuatu kepada orang lain. Dengan dikelolanya zakat oleh pemerintah, maka rasa rikuh dan canggung yang dirasakan oleh para mustahik zakat akan dapat dihilangkan, atau paling tidak diminimalisir.
B.3. Tahapan Pengelolaan Zakat oleh Negara Untuk mengoptimalkan pengelolaan zakat harus dilakukan program dalam dua tahapan. Tahap pertama: mengoptimalkan BAZNAS dan undang-undang yang telah ada; dan Tahap Kedua: setelah dilakukan beberapa persiapan dalam infrastrukturnya, serta paradigma masyarakat telah dapat diarahkan, maka menjadikan Badan Pengelola Zakat menjadi Kementerian Zakat dan Wakaf. Tahap Pertama : Mengoptimalkan BAZNAS dan UU yang ada l
l
l
l
Sebelum adanya Kementerian yang khusus mengurus Zakat dan Wakaf, perlu adanya sinergi untuk memberdayakan adanya lembaga dan regulasi yang telah ada, yaitu lembaga BAZNAS dan UU No 38 Tahun 1999 serta UU No 17 Tahun 2000. Bahkan agar efisien dan tidak saling bertabrakan fungsinya, mungkin perlu merger antara BAZNAS, FOZ (Forum Zakat). Untuk tahap awal mungkin Pengurus BAZNAS adalah ex officio pengurus FOZ, agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap fungsi masing-masing. Atau agar BAZNAS berwibawa dan kuat, jadikan Badan Hukum Milik Negara. Setelah Institusi, Organisasi dan SDI (Sumber Daya Insani) terbentuk dengan baik, maka Badan ini sesungguhnya tidak perlu lagi dibiayai Pemerintah, pendanaannya berasal dari hak amilin saja yang 1/8 bagian dari dana terkumpul. Supaya dana itu terkumpul ada regulasi yang mengatur agar pada saat wajib zakat mengajukan restitusi atas pungutan zakat yang mengurangi penghasilan kena pajak, ada koordinasi yang baik antara BAZNAS dan DITJEN Pajak, untuk mengurangi keengganan muzaki/wajib pajak. Badan ini diperlukan untuk mengurus agar zakat pengurang pajak bisa terwujud, karena Badan inilah yang sesungguhnya dan seharusnya mewakili Pemerintah dalam mengadministrasikan BSZ,NPWZ,dll. Badan ini difungsikan sebagai Lembaga Induk (Apex Institution) dari BAZDA (Badan Amil Zakat Daerah, baik BAZPROF/BAZKAB/KOT) dan LAZ, sehingga tercapai hal-hal sebagai berikut: 1. Akumulasi Dana 2. Akuntanbilitas 3. Database 4. Social Security Number 5. Subsidi Silang
6. Pemetaan muzaki dan duafa 7. Berpotensi untuk mengikuti pola-pola pengumpulan pajak atau Christian Relief Services dalam hal pengumpulan dana persepuluhan. l
l
l
l
Dengan menjadikan Badan ini sebagai Lembaga Induk pengumpulan atau pencatatan Zakat (sentralisasi), maka keuntungannya adalah: 1. Data akan terkonsolidasi dan mudah direkonsiliasi 2. Standardisasi Proses, Profesi, Badan dan Pelaporan 3. Manajemen Pengelolaan akan semakin efektif 4. Akuntabilitas dan Efektifitas Pengelolaan lebih terjamin 5. NPWP dan BSZ mudah untuk divalidasi 6. Mutu dan Reputasi bisa teruji dan terukur 7. Dana Pengumpulan = Dana Penyaluran 8. Tingkat Kepercayaan dan ada kriteria keberhasilan (Cash Poor Index) 9. Peluang untuk program bagi kemaslahatan yang lebih luas, seperti untuk wakala dinar dan dirham, wakaf dll. Bila pencetakan BSZ dan data base NPWZ boleh siapa saja, tidak ditangani oleh suatu Badan secara sentralisasi, maka akan muncul masalah sebagai berikut: 1. BSZ mana yang dianggap resmi dapat mengurangi pajak. 2. Sulit dalam melaksanakan rekonsiliasi. 3. Daya Paksa untuk menggolkan PPh 23 juga menjadi obyek zakat akan menjadi tumpul, zakat final kemungkinan tidak akan disetujui. 4. Risiko ada di BAZNAS karena menggunakan logo BAZNAS. 5. Double NPWZ, maka akan terjadi dampak seperti 1 dan 2. 6. Dirjen Pajak belum tentu mau kalau tidak ada yang bertanggung jawab bila ada moral hazard, sehingga Pemerintah cenderung hanya akan berhadapan dengan satu Badan saja, karena ini menyangkut mekanisme hukum publik. 7. Tidak akan tercapai kuantitas yang diharapkan. Harus ada pembagian wilayah kerja antara BAZNAS sebagai lembaga induk dengan BAZDA yang dikoordinirnya. Antara BAZNAS sebagai Lembaga Induk menggunakan konsep kemitraan, yaitu 1. BAZDA & LAZ menjadi Mitra BAZNAS dalam hal Pengumpulan zakat, khususnya zakat yang diinginkan menjadi Pengurang PKP. 2. Sebagai Mitra Pengumpulan, BAZDA & LAZ menggunakan Bukti Setor Zakat yang distandardisasi oleh BAZNAS. 3. Dana dari BSZ tersebut dipindahbukukan ke rekening BAZNAS di Bank yang sama dengan rekening BAZDA & LAZ, dan secara otomatis (Standing Instruction) satu hari kemudian akan dikembalikan ke rekening BAZDA & LAZ sesuai kesepakatan (sesuai pembagian porsi penyaluran di daerah dengan porsi nasional). 4. Sebagai Mitra BAZDA & LAZ, akan diberikan standarisasi sistem & prosedur operasional, pelayanan, sistem informasi & pelaporan,publikasi serta programprogram penghimpunan ZIS.
5. BAZDA & LAZ dapat menjadi Mitra BAZNAS dalam hal pengumpulan dan penyaluran ZIS,dengan mengajukan Program ke BAZNAS. 6. BAZNAS akan melakukan evaluasi atas kondisi BAZDA & LAZ serta program yang diajukan. 7. Apabila sesuai dengan kebijakan BAZNAS,BAZNAS akan menyalurkan dananya ke BAZDA & LAZ tersebut. 8. Sebagai Mitra BAZDA & LAZ,akan mendapatkan supervisi dalam melaksanakan penyaluran, standardisasi sistem & prosedur penyaluran, pelayanan kepada mustahik, sistem monitoring & pelaporan, publikasi serta program-program penyaluran ZIS. 9. Di setiap Rukun Tetangga/Rukun Warga (RT/RW), Kelurahan dan desa harus ada petugas penyuluh dan pengumpul zakat yang berasal dari BAZ dan LAZ mitra BAZNAS. Petugas ini seperti sales force dengan sistem insentif bertugas menjelaskan, membantu menghitung zakatnya dengan didampingi petugas RT/RW, sekaligus mendata berapa banyak muzaki di desa atau RT/RW tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka petugas tersebut membantu membuatkan NPWZ dan membantu membuatkan BSZ bila muzaki tersebut juga mempunyai NPWP dan telah membayar zakatnya. Petugas tersebut juga membantu dalam hal restitusinya, kecuali untuk zakat final, karena otomatis zakat telah mengurangi pajak penghasilan.
Tahap Kedua: Menjadikan Badan sebagai Kementrian Zakat dan Wakaf l
l
l
l
Ini adalah tahap yang ideal, karena berlandaskan UUD 1945, Pasal 29, 33 dan 34, serta Tap MPR No 6 tahun 2002 tentang Kemiskinan, perlu dibentuk Kementerian semacam ini. Selain itu UU No 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat harus di amandemen menjadi UU Zakat saja, yang memuat sanksi bagi yang telah wajib zakat dan tidak membayar zakat. Amandemen UU No 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan agar sinkron dengan prinsip syariah tentang zakat dan juga UU tentang zakat nantinya. Sebagai contoh, dalam pasal 9 UU Pajak Penghasilan, zakat dapat mengurangi kewajiban pajak, sementara kita tahu konsep penghasilan kena pajak adalah konsep neraca laba rugi tidak dihitung dari modal atau harta, berbeda dengan konsep zakat adalah konsep asset atau harta, sehingga zakat dihitung dari aktiva lancar dikurang kebutuhan dan kewajiban jangka pendek. Dengan sinkronisasi tersebut, ada yang sifatnya zakat final seperti dana pihak ketiga milik individu muslim, BUMN, badan usaha milik muslim, langsung 2,5%nya disisihkan dari pajak sebesar 20% yang dipungut secara final oleh bank dengan komposisi 2,5% porsi zakat dan 17,5% porsi pajak penghasilan. Ditjen Pajak nantinya juga membantu memilah-milah dari pajak yang terkumpul, tinggal disisihkan 2,5% porsi zakat dari wajib pajak yang muslim dan badan hukum milik mayoritas pemegang saham muslim dan BUMN.
l
l
Bagi wajib zakat yang tidak membayar, maka dapat dikenakan sanksi dan juga asset-nya dapat di lelang untuk mengurangi utang zakat secara paksa. Manfaat dari pengelolaan zakat oleh Negara melalui Departemen Zakat dan Wakaf atau suatu Badan resmi ialah: 1. Pelaksanaan amanat UUD 45 pasal 29, 33 dan 34, yang menyangkut hak menjalankan agama, demokrasi ekonomi dan kewajiban pemerintah untuk menyantuni fakir miskin, yatim piatu, lansia dapat dijalankan tanpa harus membebani APBN. 2. Mengurangi kesenjangan, dan dampaknya adalah meminimalisir radikalisasi sosial akibat kecemburuan dari si miskin terhadap orang kaya. 3. Jaring pengaman sosial untuk masalah kemiskinan, bencana alam, pendidikan, kesehatan, pengangguran dll, karena dana yang terkumpul cukup besar jumlahnya. 4. Menambah jumlah wajib pajak, karena muzaki belum tentu rela membayar pajak, namun mungkin ia mau membayar zakat karena merupakan kewajiban, sebagai contoh banyak haji yang penghasilannya tinggi di daerah-daerah namun belum terjangkau oleh aparat pajak. Dengan memiliki NPWZ, maka ini akan menambah data base pajak.
C. Potensi Zakat Apabila pengumpulan zakat dilakukan baik oleh Pemerintah maupun masyarakat (swasta) dengan memanfaatkan UU yang ada baik UU No 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat dan UU No 17/2000 tentang Pajak, serta memodifikasi ketentuan-ketentuan yang lain sehingga zakat dapat sebagai pengurang pajak bahkan diharapkan dapat juga menjadi zakat final, konsekuensinya zakat harus dikelola oleh lembaga amil secara modern, bukan zakat tradisional yang di salurkan sendiri atau melalui tokoh-tokoh agama lokal atau guruguru agama. Dengan asumsi di atas, maka sesuai asumsi Menteri Agama RI, di tahun 2000-an saja minimal dana dapat terkumpul sekitar Rp 7,5 triliun, dan maksimal seperti yang di asumsikan oleh Jamal Doa dalam bukunya dapat lebih dari Rp 94,5 triliun. Dana yang terkumpul oleh Pemerintah tadi, dalam penyalurannya diserahkan ke swasta (Lembaga Keuangan Duafa), yaitu BAZ, LAZ atau BMT yang sesuai dengan akreditasi yang disepakati. Baik untuk lembaganya (sertifikasi) maupun untuk manajemennya (standar profesi). Mengapa hal tersebut harus dilakukan dan mengapa sebaiknya pengumpulan dan kebijakan penyaluran zakat dibuat oleh Pemerintah? Alasannya karena: 1. Untuk menjamin kepastian dan kedisiplinan pembayar zakat (reward and punishment). 2. Menjaga perasaan rendah diri para mustahik, kalau langsung menerima zakat dari muzaki. 3. Efisien, efektif karena sudah mempunyai jaringan kantor pajak, BUMN, Bank apabila nantinya ditentukan menjadi Wajib Pungut Zakat (WAPUZA), sementara saat ini hanya sebagai faktor pengurang pajak. 4. Policy secara nasional berdasarkan prioritas (prioritas aghniya (orang yang mampu) belum tentu sama dengan prioritas nasional) dan asas proporsional (proporsi agniya atau daerah belum tentu sama dengan proporsi secara nasional) dalam penyaluran, walaupun
5. 6. 7. 8.
yang menyalurkan bukan pemerintah langsung melainkan melalui mekanisme LKD seperti BAZDA dan LAZ, khususnya Baitul Maal wat Tamwil (BMT). Syiar Islam bagi Indonesia yang mayoritas penduduknya Islam. Membantu Pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan, sehingga bisa disinergikan ke dalam APBN, khususnya amanah Pasal 34 UUD 1945, sebagai Jaring Pengaman Sosial. Sesuai dengan contoh Rasulullah saw.. dan para sahabatnya bahwa manajemen zakat sepenuhnya tanggung jawab Pemerintah. Secara tidak langsung membantu Pemerintah dalam hal APBN, karena bila hal dana yang terkumpul cukup banyak, maka fungsi jaring pengaman sosial, bisa dikurangi budgetnya di APBN, dengan alternatif sumber dari zakat, infak dan sedekah.
C.1. Zakat dapat membantu APBN 35 Menurut Data Statistik, penduduk Indonesia sekarang mencapai 210 juta orang. Apabila satu keluarga dimisalkan rata-rata 5 (tiga) orang, yaitu satu istri dengan 3 orang anak, maka berarti ada 42 juta kepala keluarga (KK). Nilai 90% adalah muslim maka berarti ada 37,8 juta KK. Menurut perhitungan Bank Dunia, sekitar 60% miskin, menurut Pemerintah yang miskin hanya 40 juta, kita asumsikan saja sekitar 50%, maka berarti muzakinya sekitar 50% juga atau 18,9 juta KK. Bila si muzaki tersebut memiliki modal usaha Rp 10 juta maka dia wajib zakat sebesar 2,5% atau sebesar Rp 250.000 per tahun. Bila memiliki modal usaha Rp 10 miliar, maka dia wajib zakat sebesar Rp 250 juta per tahun. Oleh Djamal Doa di rata-ratakan saja, atau diasumsikan memiliki modal perniagaan sekitar Rp 200 juta atau menjadi wajib zakat Rp 5 juta pertahun atau kurang dari Rp 15.000 per hari. Artinya dana zakat yang dapat dikumpulkan sebesar 18.9 juta KK dikalikan Rp 5 juta, atau totalnya sekitar Rp 94,5 triliun. Setelah dikurangi hak amilin 1/8 bagian atau sekitar Rp 11, 8 triliun, maka masih ada sekitar Rp 82,7 triliun yang bisa digunakan kepada para mustahik dalam hal pendidikan, kesehatan, jaring pengaman sosial dan tentunya sektor ekonomi produktif untuk mengembangkan pengusaha duafa. Bandingkan dengan anggaran pendidikan dari APBN 2004 yang kurang dari Rp 11 triliun, anggaran pemberdayaan ekonomi lemah yang hanya sekitar Rp 1 triliun, dan lainlain. Jadi dana zakat ini tentunya bisa membantu secara tidak langsung APBN. Dan sejarah pernah membuktikan pada saat umat Islam membayar zakatnya karena ada hukumannya bila tidak membayar, maka kemiskinan yang besarnya 65% di Tunisia dan Aljazair hanya kurang dari 3 tahun bisa dihapuskan oleh Khalifah Umar bin Abdul Azis. []
C.2. Beberapa Asumsi Potensi Pengumpulan
Zakat
(a) Potensi Dana Zakat dari asumsi jumlah 30,000,000 muzaki, apabila dikelola oleh Negara No.
1 2 3 4 5
%
Jumlah KK (Rp. 000) 5.00% 5.00% 5.00% 5.00% 5.00%
1,500,000 1,500,000 1,500,000 1,500,000 1,500,000
Modal/KK Wajib Zakat
Jumlah Harta Wajib Zakat
10,000,000 20,000,000 30,000,000 40,000,000 50,000,000
15,000,000,000 30,000,000,000 45,000,000,000 60,000,000,000 75,000,000,000
Potongan Zakat 2.50% 2.50% 2.50% 2.50% 2.50%
Potensi Zakat 375,000,000 750,000,000 1,125,000,000 1,500,000,000 1,875,000,000
(Rp. 000)
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
5.00% 5.00% 5.00% 5.00% 5.00% 5.00% 5.00% 5.00% 5.00% 5.00% 5.00% 5.00% 5.00% 2.50% 1.00% 1.00% 1.00% 1.00% 1.00% 1.00% 0.50% 0.50% 0.50% 100%
1,500,000 1,500,000 1,500,000 1,500,000 1,500,000 1,500,000 1,500,000 1,500,000 1,500,000 1,500,000 1,500,000 1,500,000 1,500,000 750,000 300,000 300,000 300,000 300,000 300,000 300,000 150,000 150,000 150,000 30,000,000
60,000,000 70,000,000 80,000,000 90,000,000 100,000,000 110,000,000 120,000,000 130,000,000 140,000,000 150,000,000 160,000,000 170,000,000 180,000,000 190,000,000 200,000,000 210,000,000 220,000,000 230,000,000 240,000,000 250,000,000 260,000,000 300,000,000 500,000,000
90,000,000,000 105,000,000,000 120,000,000,000 135,000,000,000 150,000,000,000 165,000,000,000 180,000,000,000 195,000,000,000 210,000,000,000 225,000,000,000 240,000,000,000 255,000,000,000 270,000,000,000 142,500,000,000 60,000,000,000 63,000,000,000 66,000,000,000 69,000,000,000 72,000,000,000 75,000,000,000 39,000,000,000 45,000,000,000 75,000,000,000
2.50% 2.50% 2.50% 2.50% 2.50% 2.50% 2.50% 2.50% 2.50% 2.50% 2.50% 2.50% 2.50% 2.50% 2.50% 2.50% 2.50% 2.50% 2.50% 2.50% 2.50% 2.50% 2.50% TOTAL
2,250,000,000 2,625,000,000 3,000,000,000 3,375,000,000 3,750,000,000 4,125,000,000 4,500,000,000 4,875,000,000 5,250,000,000 5,625,000,000 6,000,000,000 6,375,000,000 6,750,000,000 3,562,500,000 1,500,000,000 1,575,000,000 1,650,000,000 1,725,000,000 1,800,000,000 1,875,000,000 975,000,000 1,125,000,000 1,875,000,000 81,787,500,000
(b) Potensi Dana Zakat dari BUMN dan Dana Pihak Ketiga di Perbankan, apabila dikelola oleh Negara RKAP BUMN Tahun 2006 SEKTOR
LABA (dalam jutaan Rupiah)
Sektor Industri dan Perdagangan Sektor Kawasan Industri, Jasa Konsultasi & Konstruksi Sektor Perhubungan, Telekomunikasi dan Pariwisata Sektor Jasa Keuangan Sektor Kehutanan, Perkebunan dan Pertanian Sektor Pelayanan Umum Total Laba BUMN Dikenakan Zakat (2,5%)
(c) Potensi Dana Zakat dari Dana Pihak Ketiga di Perbankan, apabila dikelola oleh Negara Dana Pihak Ketiga Desember 2005
Rp. Jutaan
Tabungan/Deposito Pihak Ke III di Bank Bagi hasil /Bunga Deposito Asumsi : 25% dari bagi hasil deposito dikenakan zakat (2,5%) *
Catatan: Untuk simpanan di Bank Syariah, zakat dikenakan dari bagi hasilnya (apabila pokoknya sudah dizakati), namun untuk simpanan di Bank konvensional secara syariah zakat dikenakan atas pokok dananya. No
Jumlah Institusi
Proyeksi Jumlah Karyawan yang
Potensi Dana Wajib Zakat
Potensi Penerimaan Zakat/tahun
1
BUMD = 1400
muslim & Asumsi Pendapatan
/bulan
100 orang /BUMD
(1400x80%) x100x2000000 x2,5%/bln
Pendapatan @ Rp 2.000.000 /karyawan
Rp56,000,000, Rp672,000,000,000.00 000.00
Zakat Badan BUMD @Rp 50 juta 2
BUMN = 158
Rp840,000,000,000.00
300org/BUMN Pendapatan @ Rp 2.000.000 /karyawan
(158x80%x400 x2500000 x2,5% /bln Rp3,160,000, 000.00
Zakat Badan BUMN @Rp 100 juta 3
PNS, TNI, & POLRI
Rp189,600,000,000.00 1.000.000 Kary Gol III & IV Pendapatan @ Rp 1.000.000 /karyawan
4
Rp37,920,000,000.00
(1.000.000x80%) 1.000.000x 2,5%/bln Rp200,000,000, Rp2,400,000,000, 000.00 000.00
Dana Simpanan Perbankan Konvensional (Tabungan & Deposito) www.bi.go.id (Posisi Agustus 2004) Persero BPD Swasta Nasional Asing & Campuran
Zakat Karyawan/ Profesi
Rp768,860,000, 000,000.00 Rp56,929,000, 000,000.00 Rp346,779,000, 000,000.00 Rp45,731,000, 000,000.00
Total
Rp1,218,299,000, 000,000.00
Zakat (2,5%x50%xtotal)
Rp152,287,375, Rp1,827,448,500,000, 000,000.00 000.00
132 Unit @ 600 Karyawan Rp. 2,500,000
132x(600x80%) x2.500.000x 2,5%/bln Rp3,960,000, 000.00
Zakat Badan Bank Konv. @Rp 50 juta
Rp47,520,000,000.00
132 Bank Umum (Konvensional) Rp6,600,000, 000.00
Rp79,200,000,000.00
5
Perbankan Syariah
3 Bank Syariah 300 Karyawan Pendapatan @Rp 1000.000
Zakat Badan @Rp 100 jt 6
Jumlah Karyawan Swasta (formal lain) diluar Perbankan
2.900.000 karyawan/Sumber: www.bps.go.id
(3x300 karyx Rp 1000.0000) 2,5% Rp225,000, 000.00
Rp2,700,000,000.00
Rp300,000, 000.00
Rp3,600,000,000.00
(2.900.000x 80%)Rp 800.000x2,5%
Pendapatan @Rp 800.0000 Rp46,400,000, 000.00 Rp556,800,000,000.00
TOTAL
Rp1,832,277,840,000, 000.00
Beberapa tahun terakhir ini angka kemiskinan di Indonesia meningkat luar biasa. Sebelum kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) angka kemiskinan berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) diperkirakan mencapai 60 juta jiwa. Kenaikan BBM yang diikuti dengan kenaikan harga beras, dan sebentar lagi (mudah-mudahan tidak terjadi) kenaikan TDL akan semakin meningkatkan jumlah kemiskinan di Indonesia. Kalangan petani, nelayan, buruh, pekerja sektor informal dan kelompok masyarakat marginal lain semakin hari semakin keras jeritannya. Berbagai program pemerintah telah dibuat untuk mengatasi masalah kemiskinan. Namun, alih-alih berkurang, angka kemiskinan terus bertambah, karena keberhasilan program tersebut tidak mampu melawan serangan penyebab kemiskinan yang semakin gencar. Banyak teori yang menjelaskan penyebab kemiskinan. Salah satunya, Robert Chambers seorang ahli pembangunan pedesaan dari Inggris, 23 tahun yang lalu telah menyimpul-kan bahwa inti dari masalah kemiskinan adalah adanya deprivation trap atau jebakan kemiskinan. Jebakan kemiskinan itu terdiri dari lima ketidakberuntungan yang melilit keluarga miskin yaitu (1) kemiskinan itu sendiri; (2) kelemahan fisik; (3) keterasingan; (4) kerentanan dan (5) ketidakberdayaan. Kelima “kemalangan” tersebut saling berkait satu sama lain sehingga menyebabkan jebakan yang berkepanjangan. Dua hal yang harus diperhatikan yaitu kerentanan dan ketidakberdayaan. Kerentanan adalah ketidakmampuan dari keluarga miskin untuk menyediakan sesuatu untuk menghadapi situasi darurat seperti datangnya bencana alam dan penyakit yang tiba-tiba menimpa keluarga tersebut. Kerentanan ini sering menjadi “roda penggerak kemiskinan” karena menyebabkan keluarga miskin harus menjual hartanya yang tersisa sehingga keluarga itu menjadi semakin miskin. Ketidakberdayaan membuat keluarga miskin menjadi semakin miskin, karena lemahnya posisi tawar keluarga miskin jika dihadapkan pada peraturan, kebijakan pemerintah atau orang-orang kaya yang tidak bertanggung-jawab. Kasus Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang tidak sampai atau sudah terpotong jumlahnya, penggusuran satu-satunya tempat usaha mereka, pemakaian kartu sehat oleh orang yang tidak berhak, merupakan contoh ketidak-berdayaan masyarakat miskin untuk
memperoleh hak-haknya. Kerentanan dan ketidakberdayaan yang dialami oleh orang miskin merupakan konstruksi sosial yang terjadi sebagai akibat struktur ekonomi, politik dan budaya.
Zakat, Infak & Sedekah untuk Mengentaskan Kemiskinan Adalah sebuah ironi, jika rakyat Indonesia itu miskin. Dan adalah tragedi, jika rakyat Indonesia itu kelaparan. Kekayaan sumber daya alamnya yang luar biasa seharusnya berlimpah untuk sekedar memberikan makanan tiga kali sehari bagi seluruh rakyat di negara ini. Apalagi dengan mayoritas penduduknya yang muslim, yang diperintahkan untuk berzakat, infak, sedekah dan wakaf bagi yang berkelebihan untuk membantu yang kekurangan. Praktik pembayaran zakat, infak, sedekah sesungguh-nya telah berjalan sangat lama, seiring dengan masuknya Islam ke Indonesia. Memang belum ada penelitian yang secara khusus membahas pengaruh zakat terhadap kemiskinan, sehingga belum dapat diketahui dampak pembayaran zakat, infak, sedekah yang telah dilaksanakan umat Islam terhadap pengurangan jumlah keluarga miskin di Indonesia. Namun, keberadaan dan hidupnya ribuan pondok pesantren di negeri ini merupakan salah satu bukti kesadaran umat Islam menunaikan kewajiban berzakatnya. Praktek yang telah berlangsung ratusan tahun itu berjalan secara individual, langsung diberikan oleh muzaki kepada mustahik untuk keperluan konsumtif tanpa melalui amil zakat, dan jika pun melalui amil zakat hanya terbatas pada zakat fitrah. Berzakat melalui kelembagaan resmi, baru dikenal setelah adanya anjuran Presiden Soeharto untuk mengkoordinir pengelolaan zakat dengan membentuk Bazis DKI Jakarta pada tahun 1967. Semenjak saat tersebut pengelolaan zakat mulai dilaksanaan oleh lembaga yang bertugas mengumpulkan dan menyalurkan zakat. Perkembangan pengelolaan zakat di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikn dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dengan Undang-undang tersebut lahirlah Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), BAZ Provinsi di 30 provinsi dan ratusan BAZ tingkat kabupaten & kota. Kelahiran Undang-Undang Pengelolaan Zakat juga merangsang lahirnya Lembaga Amil Zakat, sehingga saat ini ada 16 LAZNAS (Lembaga Zakat Nasional) yang beroperasi di tingkat nasional, dan ratusan LAZ di tingkat provinsi dan kabupaten / kota. Kedermawaan umat Islam ini terlihat dari hasil survey PIRAC tahun 2004 di 10 kota besar yang 49,8% nya mengaku sebagai wajib zakat dan rata-rata membayar zakat sebesar Rp 416.000,- per tahun. Dengan asumsi tersebut maka diperkirakan pembayaran zakat untuk tahun 2004 adalah sebesar 49,8% (jumlah muzaki)x94,5% (yang membayar zakat)x 15.000.000 (data BPS jumlah penduduk dikurangi jumlah KK miskin) x Rp 416.000/muzaki/tahun = Rp 2.903.664.000,Kedermawanan tersebut belum secara signifikan terasa dampaknya bagi pengurangan angka kemiskinan di Indonesia. Penyebab utamanya adalah jumlah dana zakat, infak, sedekah yang terkumpul sangat jauh di bawah kebutuhan keluarga miskin, yang jika diasumsikan setiap keluarga miskin membutuhkan Rp 5 juta untuk modal kerja maka dibutuhkan dana sebesar Rp 5 juta x 25 juta KK = Rp 125 triliun. Dilihat dari potensi, sesungguhnya potensi zakat, menurut perhitungan berbagai lembaga berkisar antara Rp 7,5
triliun sampai Rp 19,3 triliun, relatif besar jika dibandingkan dengan perhitungan dana zakat yang dibayarkan tersebut. Sebab lainnya adalah ketiadaan laporan lengkap penyaluran dana ZIS dari seluruh lembaga, sehingga belum dapat dipetakan manfaat yang telah dirasakan mustahik dari penyaluran zakat, infak, sedekah. Selain itu, juga karena pola penyaluran zakat yang masih terkesan spontan dan sporadis. Agar penyaluran zakat memberikan dampak yang signifikan bagi pengentasan kemiskinan, ada beberapa hal yang harus dilaksanakan, yaitu: 1. Pemilihan program penyaluran zakat Karena problem utama dalam pendayagunaan zakat adalah keterbatasan dana dan kompleksnya masalah kemiskinan, maka perlu dibuatkan skala prioritas dalam pemilihan program pendayagunaan. Kriteria utama dalam hal pembuatan program adalah bagaimana program tersebut harus mempunyai mulitiplier effect bagi keluarga miskin. Merujuk pada pendapat Robert Chambers, bahwa ada dua hal yang harus diprioritaskan dalam pengentasan kemiskinan yaitu aspek kerentanan dan ketidakberdayaan, dana zakat infak sedekah dapat digunakan untuk mengurangi aspek kerentanan keluarga miskin, setidaknya memberikan dukungan pada saat mereka menghadapi musibah. Hal ini telah dipraktikkan oleh banyak lembaga pengelola zakat yang concern pada masalah kesehatan dan penanggulangan bencana. Sedangkan aspek ketidakberdayaan masyarakat merupakan tanggung jawab dari pemerintah untuk mengatasinya. Kebijakan dan peraturan seharusnya dibuat dengan menjadikan keluarga miskin sebagai subyek penerima manfaat,bukan obyek yang dikalahkan untuk kepentingan lain. Saat ini program pendayagunaan zakat yang paling diminati oleh lembaga pengelola zakat adalah program pendidikan karena beberapa alasan : pertama, semua orang sepakat bahwa jalur untuk mengubah nasib adalah melalui pendidikan. Kedua, program ini relatif mudah dilaksanakan karena tidak memerlukan ketrampilan khusus bagi para Amil, dan yang ketiga, lebih mudah untuk dilakukan evaluasi hasilnya, meskipun hal ini jarang dilakukan oleh lembaga pengelola zakat. Program pendidikan sesungguhnya sangat strategis untuk kemandirian bangsa, mengingat kualitas sumber daya manusia Indonesia saat ini hanya berada pada urutan 46 dari 47 negara, bahkan di bawah Vietnam. Program pendidikan juga menjadi prioritas pendayagunaan zakat di Pakistan, dimana 80% dananya digunakan untuk membiayai pondok pesantren di Pakistan. Pola pendayagunaan bidang pendidikan biasanya berupa beasiswa bagi pelajar usia SD – Perguruan Tinggi. Program ini adalah baik, karena memang kebutuhan masyarakat untuk biaya sekolah sangat tinggi, meskipun biaya sekolah SD & SMP negeri adalah gratis. Namun demikian, agar memberikan dampak yang lebih luas, program pendidikan dapat diberikan dalam bentuk peningkatan kualitas guru. Karena satu guru dapat menjangkau puluhan murid, maka pemberdayaan guru akan memberikan dampak yang lebih besar bagi keberhasilan pendidikan. Sebagaimana program lain, keberhasilan pendaya-gunaan zakat di bidang pendidikan dapat diraih apabila ada program yang terencana mulai dari penentuan kriteria penerima program, pelaksanaan dan monitoringnya keberhasilan siswanya. Dengan perencanaan yang jelas dan monitoring yang berkelanjutan, diharapkan dampak pendayagunaan zakat
bidang pendidikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat terukur dengan jelas. Menurut DR. Yusuf Al-Qardhawi cara untuk mengurangi kemiskinan adalah dengan menggalakkan kerja di kalangan kaum miskin, baik dengan cara menyemangati-nya maupun menyediakan lapangan kerja, karena bekerja, merupakan perintah Allah swt. yang sangat jelas bahwa setiap manusia harus bekerja. Berdasarkan hal tersebut, beberapa lembaga pengelola zakat program pendayagunaan zakatnya dilakukan dalam bentuk bantuan ekonomi. Sebagian besar bantuan ekonomi diberikan berupa modal kerja langsung kepada mustahik untuk bekerja di sektor informal seperti pedagang kaki lima, maupun melalui kelompok-kelompok usaha di bidang pertanian dan peternakan. Problem pendayagunaan bidang ekonomi adalah resiko kegagalan yang tinggi. Kegagalan terjadi karena faktor usahanya sendiri, misalnya kelemahan aspek produksi, pemasaran; faktor eksternal seperti cuaca, hilangnya tempat usaha dan yang paling banyak adalah faktor internal mustahik. Rendahnya motivasi berusaha, ketidakdisiplinan dalam penggunaan dana, dan keingininan untuk mendapatkan hasil secara cepat (instan) merupakan sebagian dari penyebab kegagalan program pendayagunaan ekonomi. Solusi untuk problem tersebut adalah adanya pendampingan kepada mustahik yang tidak hanya membantu dalam aspek teknis usaha, namun yang lebih penting adalah membantu mengubah mental mustahik. Model lain pendayagunaan bidang ekonomi yang efek gandanya lebih besar adalah bekerjasama dengan lembaga keuangan mikro syariah seperti BPR Syariah dan Baitulmaal Wat Tamwil (BMT) untuk memberikan pembiayaan bersubsidi kepada keluarga miskin. Ada beberapa manfaat dengan pola ini, pertama, kebutuhan modal usaha mustahik tersebut dapat dilayani oleh lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) dan LKMS dapat berkembang karena pembiayaan tersebut aman. 2. Koordinasi dan sinergi antar Lembaga Pengelola Zakat baik di pusat maupun di daerah. Problem pengentasan kemiskinan sangatlah kompleks, yang jika dibandingkan dengan kemampuan Lembaga Pengelola Zakat, sangatlah tidak seimbang. Oleh karena itu diperlukan sebuah sinergi dan koordinasi. Sinergi ini merupakan keniscayaan karena beberapa alasan: pertama, keahlian dan pengalaman setiap Lembaga Pengelola Zakat adalah berbeda. Ada yang fokus kepada program pendidikan, ada yang lebih banyak pengalamannya di bidang ekonomi dan ada yang mengkhususkan diri pada penanganan bencana dan masalah kesehatan. Program pendayagunaan zakat akan efektif apabila setiap lembaga yang kompeten pada bidang garapannya masing-masing bersama-sama bergabung pada satu program pengentasan masyarakat yang menyeluruh. Kedua, penyaluran zakat yang tepat harus berbasiskan data yang akurat menyangkut jumlah mustahik dan lokasinya. Tanpa koordinasi akan terjadi overlapping dalam penyaluran zakat. Ketiga, program penyaluran zakat membutuhkan dana operasional yang tidak kecil, oleh karena itu optimalisasi kerjasama antara lembaga akan sangat efisien bagi pelaksanaan program di luar wilayah Lembaga Pengelola Zakat tersebut. Saat ini tidak ada salahnya jika dilakukan uji coba proyek sinergi pada sebuah desa/wilayah, di mana beberapa Lembaga Pengelola
Zakat bekerjasama dalam menangani masalah kemiskinan di daerah tersebut dari segala aspek. Namun demikian, disadari bahwa sinergi dan koordinasi bukanlah hal yang mudah dilakukan. Untuk terwujudnya sebuah sinergi dan koordinasi dibutuhkan kelapangan hati dan kebesaran jiwa para Amil dan Lembaga Pengelola Zakat untuk mengusung program bersama. Sekarang, tinggal berpulang kepada para Amil, bukankah kemaslahatan umat lebih penting dari kebesaran nama lembaga?[]
Dukungan Pemerintah Dalam Mendayagunakan Potensi Zakat Sebagai Instrumen Untuk Mengatasi Kemiskinan Oleh Wahyu Dwi Agung37
Kedududkan Zakat Zakat sebagai salah satu rukun Islam merupakan paket tuntunan bagi siapa saja yang dirinya disebut muslim. Kedudukan yang demikian ini sudah tentu memiliki posisi yang penting dan strategis. Bukan semata bentuk ritual penghambaan manusia pada sang Khaliq, tetapi lebih dari itu, sebagaimana rukun Islam yang lain ia merupakan ‘instrumen’ bagi agama untuk ‘memaksa’ pemeluknya menjalankan mekanisme kehidupan secara seimbang, guna mencapai kesejahteraan lahir batin. Namun demikian sangatlah naif bila untuk melaksanakan kegiatan tersebut hanya mengandalkan kesadaran masyarakat, terlebih bila hal ini dikaitkan dengan faktor ‘hidayah’. Di sisi lain, memang, beragama bukanlah ‘paksaan’, apalagi adanya lembaga pemaksa atau lembaga pengawas untuk melaksanakan kewajiban agama, bagi pemeluknya. Dalam perspektif lain kehadiran Negara, dan lebih tepatnya adalah Pemerintah merupakan unsur yang vital dalam mengatur hubungan bermasyarkat. Keberadaann hukum-hukum yang telah tersusun tidaklah cukup untuk mengatur masyarakat. Untuk memastikan bahwa hukum-hukum tersebut dapat diimplementasikan masyarakat, maka harus ada kekuasaan eksekutif. Rasulullah saw., telah membentuk institusi eksekutif dan administratif bagi masyarakat pada waktu itu. Imam Khomeini, dalam kuliahnya yang ditulis dalam buku ‘Sistem Pemerintahan Islam’ (2002), bahwasanya sistem pemerintahan ‘Islam’ yang digariskan dan dilaksanakan Nabi saw. meliputi wilayah penyampaian risalah, penjelasan dan penafsiran atas akidah, hukum-hukum Islam serta penegakannya, beliau melaksanakan seluruh hal yang menjadi tanggung jawabnya. Itulah sebabnya hingga masa sahabat, pengelolaan zakat ini menjadi salah satu perhatian utama pemerintah. Bahkan ’dipaksakan’ kepada seluruh masyarakat, sehingga peranan zakat dapat optimal dan memberikan kesejahteraan serta pemerataan ekonomi, sebagaimana disinyalir dalam AlQur’an, Surat Al Hasyr ayat 7 yang artinya: “Agar harta itu tidak beredar diantara orang-orang kaya di antaramu”
Lembaga Pengelola Zakat Di berbagai negara, khususnya negara yang berpenduduk mayoritas muslim terdapat sistem dan lembaga pengelola zakat yang cukup bervariasi. Di negara, seperti Kuwait misalnya, terdapat seorang menteri Zakat dan Wakaf, suatu institusi yang cukup memiliki kewenangan untuk mengorganisir pengelolaan hal-hal terkait dengan Ziswaf (Zakat, infaq, sedekah dan wakaf). Model ini diikuti oleh beberapa negara kawasan Teluk, di mana sebagian besar negara tersebut memang memiliki kekayaan ’minyak’ yang besar, sehingga isu permasalahan kemiskinan tidak sehebat di negara-negara berkembang. Di Malaysia, institusi pengelola zakat sebatas melibatkan Majelis ’Ugama’, seperti MUI di Indonesia, yang mendirikan istitusi ’Pusat Pungatan Zakat’ serta Baitul Maal di seluruh negara bagian, dan didukung oleh regulasi yang cukup mendukung ’penghimpunan’ zakat di Malaysia.
Meski demikian, harus diakui bahwa sebagian besar negara ’Islam’ saat ini masih memisahkan antara zakat sebagai tugas keagamaan dengan pajak sebagai tugas kenegaraan. Praktek Pengeloaan zakat di Indonesia memiliki keunikan tersendiri. Penyebaran agama Islam termasuk pelaksanaan ajarannya, sangat kuat diwarnai oleh kultur budaya yang beragam. Sentralistik masjid dengan ’kesederhanaan organisasi’nya telah banyak mengambil peran utama dalam tradisi pengelolaan ziswaf di Indonesia. Contoh yang paling konkret adalah peran masjid dalam menyalurkan zakat ’fitrah’ yang sangat kolosal itu. Memang dalam banyak hal juga terdapat kekurangan-kekurangan yang sangat mendasar. Seperti halnya, masalah manjerial dan tujuan dari zakat itu teredusir hanya sebagai ’tradisi’, bukan menjadi solusi. Pengelolaan zakat oleh organisasi massa, dan munculnya Lembaga Pengelola Zakat yang dilakukan secara full time dan profesional oleh masyarakat, memiliki arti yang penting bagi sejarah pengelolaan perzakatan di Indonesia. Benchmarking dari negeri Jiran ini telah mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999, tentang Pengelolaan Zakat, yang kemudian melahirkan istilah Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ), baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional. Tidak dapat dipungkiri, bahwa kehadiran lembaga amil zakat pasca Undang-Undang No.38/1999 tersebut telah mewarnai, bahkan memberikan andil yang signifikan dalam kancah perzakatan di Indonesia, walaupun belum mampu membangkitkan potensi zakat yang masih ’tidur’ di negeri yang memiliki masyarakat muslim terbesar di duinia ini.
Zakat dan Pemerataan Ekonomi Sebagaimana dinyatakan dalam ayat 7, Surat Al-Hasyr, bahwasanya Islam tidak menginginkan ’harta’ dunia ini dikuasai oleh segelintir orang atau golongan, sehingga memunculkan ’gap’ yang lebar, yang pada akhirnya menyebabkan hilangnya persaudaraan, bahkan kehancuran umat Islam. Zakat adalah instrumen paling ampuh untuk memberikan solusi dan pemerataan ekonomi, secara adil dan bijaksana. Menurut DR.Yusuf AlQardhawi, dalam bukunya yang berjudul Norma dan Etika Ekonomi Islam (terjemah, 1997) bahwa zakat dapat memberikan solusi dalam masalah kemiskinan, pengangguran dan pemerataan ekonomi, apabila dilakukan secara optimal. Penghimpunan zakat harus dilakukan secara efektif, dengan dukungan regulasi dan aparat yang profesional. Lebih lanjut beliau menyatakan perlunya dukungan fikih zakat yang memperluas ‘obyek’ zakat. Di sisi pendayagunaan diperlukan paradigma ‘kemanfaatan’ dan ‘skala prioritas’ harus menjadi pertimbangan tersendiri bagi lembaga amil zakat. Besaran tarif zakat adalah antara 2,5% sampai dengan 20%, jumlah ini bisa kecil dan bisa besar, tergantung dari jumlah absolut obyek kena zakat. Itulah sebabnya, DR.Yusuf AlQardhawi cenderung merekomendasikan perluasan obyek kena zakat ini. Menurut hemat penulis, dalam kaitan pemerataan ekonomi terkait dengan zakat sebagai instrumennya bisa diwujudkan apabila terpenuhi beberapa syarat sebagai berikut: 1. Jumlah zakat terhimpun harus besar, memiliki signifikansi terhadap jumlah APBN. 2. Zakat harus dikelola secara profesional, komperhensif dan integral dengan permasalahan mendasar ekonomi ummat. 3. Harus didukung regulasi yang kondusif di setiap level Pemerintahan. 4. Pemerintah pusat dan daerah harus berperan aktif dan bertanggung jawab atas keberhasilan pengelolaan zakat di wilayahnya masing-masing.
Dengan kata lain penghimpunan zakat yang optimal harus didayagunakan secara komperhensif, memperhatikan aspek ekonomi makro dan mikro, sehingga memberikan benefit optimal, khususnya membantu dunia usaha bagi kalangan mustahik. Begitu juga zakat bisa ‘disubsidi silangkan’ dengan dana komersial bank syariah. Kunci sukses yang lain adalah diperlukannya bimbingan dan pendampingan yang baik dan berkesinambungan. Rekomendasi sebagaimana tersebut di atas, bisa berhasil bila didukung oleh masayarakat, pemerintah dan institusi terkait. Sistem informasi manajemen yang handal juga memiliki peran yang penting, guna mengambil langkah serta keputusan yang tepat. Alokasi zakat harus dilakukan sesuai skala prioritas, terencana dan mempertimbangkan faktor keberhasilan program. Karena keberhasilan akan menambah kepercayaan pada institusi, meningkatkan jumlah penghimpunan dan pada akhirnya akan mendorong fungsi ’zakat’ menjadi lebih dominan di tengah-tengah masyarakat.
Regulasi Pengelolaan Zakat di Indonesia Peraturan perundangan tentang pengelolaan zakat yang paling tinggi yang ada di Indonesia saat ini yakni Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999, tentang Pengelolaan Zakat. Berbeda dengan Undang-Undang Pajak, yang menunjuk pasal 23A Undang-undang Dasar 1945 sebagai salah satu konsideransinya, yang berbunyi: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-undang”. Sedangkan konsideransi undang-undang zakat dalam UUD-45 adalah pasal 34, yang lebih banyak bersifat sosial dan tidak memaksa. Hal ini menunjukkan ‘voluentairisme’ zakat, yang memang relevan dengan substansi pengaturan Undang-undang zakat di dalam pasalpasalnya. Kehadiran Undang-Undang No.38 tahun 1999 adalah sesuatu yang patut disyukuri. Negara yang memiliki penduduk mayoritas muslim, baru dapat meloloskan undangundang yang mendorong pelaksanaan ibadah beragama sekaligus untuk menjadi warga negara yang baik baru teralisasi setelah 54 tahun merdeka. Betapapun bila ditilik dari ’tujuan’ pengelolaan zakat, undang-uang tersebut masih jauh dari cukup. Hakekat zakat, fungsi dan tujuan zakat, tidak terdefinisikan secara menyeluruh, pengaturan lebih mengarah pada keberadaan lembaga amil dan tata cara administratif saja. Undang-undang tersebut telah memicu lahirnya Lembaga Amil Zakat dan Badan Amil Zakat, tetapi belum mampu mendorong peningkatan ’setoran’ zakat, meskipun ada pasal yang mengatur tentang bolehnya zakat seseorang atau lembaga diakui sebagi biaya pengurang pajak. Dari fakta di lapangan, setelah lebih dari 5 tahun berlakunya undang-undang zakat ini, nampaknya pasal ’pengurang biaya pajak’ tidak bisa efektif, sehingga wajar bila banyak tuntutan amandemen terhadap undang-undang pengelolaan zakat. Diharapkan undangundang pengelolaan zakat berubah menjadi undang-undang zakat dengan cakupan isi lebih substantif dan komperhensif yang berorientasi pada optimalisasi penghimpunan dan pendayagunaan.
Pilihan dan Bentuk Dukungan Pemerintah dalam Mengoptimalkan Peran Zakat Sebagai Solusi Ekonomi. Sebagaimana dikemukakan terdahulu, bahwa peran pemerintah sangat strategis dalam mendorong keberhasilan pengelolaan zakat di Indonesia. Dukungan dan peran
pemerintah akan berdampak positif bagi kehidupan bernegara secara menyeluruh. Adalah wajar apabila pemerintah yang berkuasa melakukan tindakan berdasarkan kewenangan dan kekuasaan yang dimilikinya guna memihak pada rakyatnya. Oleh karena sebagian besar masyarakat Indonesia adalah muslim, dan sebagian masyarakat muslim adalah miskin, maka pemerintah wajib bertanggung jawab untuk memberikan solusi terhadap beban kemiskinan rakyatnya. Penulis merekomendasikan untuk menarik wilayah zakat tidak sekedar sebagai aspek sosial dan agama tetapi pada wilayah ekonomi dan negara. Pilihan tindakan yang diambil pemerintah bisa berbentuk penyediaan aparat dan pos jabatan yang melakukan pengelolaan zakat, dari tingkat pusat hingga daerah. Dalam hal ini adalah menteri atau pejabat setingkat menteri dengan departemen teknisnya, ataupun sebatas menteri negara. Dan pilihan kedua adalah dukungan dalam bentuk penyediaan ’regulasi’ yang memadai yang memungkinkan ’perubahan mendasar’ terhadap pengelolaan ziswaf (zakat,infak, sedekah dan wakaf) di Indonesia, dalam arti jumlah yang dihimpun, program pendayagunaan yang holistik, hingga pemecahan atas problem kemiskinan masyarakat.[]
Bagian VI STANDARDISASI MUSTAHIK Perlunya Standardisasi Mustahik di Indonesia Oleh Teten Kustiawan38
A
llah
swt.
telah
menetapkan
delapan
golongan
yang
berhak menerima zakat sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Quran Surat At-Taubah ayat 60. Delapan golongan tersebut adalah orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil zakat, yang dilunakan hatinya (mualaf), hamba sahaya (riqab), orang yang berhutang (gharimin), orang yang berperang di jalan Allah (sabilillah), dan orang yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil). DR. Yusuf Al-Qardhawi menjelaskan bahwa keterangan tentang zakat yang ada dalam Al-Quran disebutkan secara ringkas, maka secara khusus pula Al-Quran telah memberikan perhatian dengan menerangkan kepada siapa zakat itu harus diberikan. Tidak diperkenankan para penguasa membagikan zakat menurut kehendak mereka sendiri, karena dikuasai nafsu atau karena adanya fanatik buta. Juga oleh mereka yang punya ambisi besar yang tidak segan-segan meraih milik orang yang bukan haknya. Mereka takkan dibiarkan merebut hak orang yang benar-benar dalam kekurangan dan sangat membutuhkan itu. Ketentuan mengenai sasaran (masarif) zakat ini mengikat setiap amil zakat. Selain membuat strategi menghimpun zakat, amil zakat harus membuat juga strategi menyalurkannya. Dr. Yusuf Al-Qardhawi lebih jauh menjelaskan bahwa kalangan sarjana ekonomi dan sosiologi telah mengingatkan bahwa yang penting bukanlah dalam memungut dan memperoleh harta. Dengan berbagai cara, langsung atau tidak, pihak pemerintah pun telah berhasil memungut pajak. Adakalnya yang demikian itu dengan mempertimbangkan dasar keadilan juga. Tetapi yang lebih penting ialah ke mana harta itu harus dikeluarkan. Pelaksanaan ketentuan mengenai sasaran (masarif) zakat ternyata tidak mudah dan sesederhana penyebutan nama delapan golongannya. Ia lebih sulit dari menghimpun atau mengumpulkan zakat. Menerjemahkan delapan golongan ke dalam berbagai bentuk kondisi masyarakat saat ini memerlukan kajian yang sungguh-sungguh dan tidak singkat. Menetapkan alokasi untuk masing-masing golongan jelas membutuhkan kecermatan dan data yang cukup. Menyusun sistem agar penyaluran dapat mencakup kepada seluruh mustahik adalah pekerjaan yang besar, yang memerlukan sumber daya manusia dan dana yang tidak sedikit. Inilah antara lain tantangan yang harus dihadapi oleh amil zakat.
Mustahik Dan Kelas Masyarakat Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengenal adanya kelas-kelas dalam masyarakat. Dari sisi pendidikan kita mengenal istilah masyarakat terpelajar. Untuk sisi ekonomi, kita mengenal masyarakat kelas bawah, menengah, dan atas. Kita juga mengenal masyarakat miskin, masyarakat pra sejahtera, orang kaya, dan konglomerat. Dan masih ada kelas-kelas yang lain sesuai sisi tinjauannya. Keberadaan kelas-kelas dalam masyarakat tidak serta merta identik dengan golongan mustahik. Mustahik tidak identik dengan masyarakat yang bukan terpelajar atau masyarakat kelas bawah. Bahkan, yang disebut masyarakat miskin dalam pengertian umum belum tentu identik dengan orang-orang fakir atau orang-orang miskin dalam golongan mustahik. Setiap golongan mustahik memiliki kriteria masing-masing dan kriteria ini dapat berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain, apalagi antara satu negara dengan negara lain. Kriteria ini dapat dipengaruhi kondisi, zaman, dan dana zakat yang terhimpun.
Organisasi Pengelola Zakat (Opz) Dan Mustahik Setiap OPZ, yang terdiri dari Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ), selayaknya memiliki data mustahik dan berhubungan dengan mustahik. Data mustahik yang dimiliki OPZ, pada umumnya, mencakup mustahik di wilayah kerja OPZ yang bersangkutan. Berdasarkan pola hubungan OPZ dengan mustahiknya, data mustahik ini dapat bersifat sesaat, temporer, atau jangka panjang bahkan mungkin permanen. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, wilayah kerja OPZ terbagi menurut tingkatannya yaitu tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan. Tingkatan OPZ ini tidak merupakan hubungan sub organisasi, dalam artian bahwa OPZ yang wilayah kerjanya lebih kecil bukan berarti merupakan bagian dari OPZ yang wilayah kerjanya lebih luas. Dengan demikian, tidak ada OPZ yang bertugas sebagai koordinator seluruh OPZ. Walaupun, menurut UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, BAZ di semua tingkatan memiliki hubungan kerja yang bersifat koordinatif, konsultatif, dan informatif. Dari gambaran dua alinea terakhir dapat dipastikan adanya irisan, bahkan mungkin tumpang tindih, data mustahik yang ada di satu OPZ dengan OPZ yang lain.
Perlukah Standardisasi? Kalau kita tanyakan kepada OPZ yang ada di Jakarta, berapa kepala keluarga dan jiwa yang termasuk orang-orang fakir-miskin (karena hampir tidak ada OPZ yang memisahkan antara fakir dengan miskin) di Jakarta? Dapat dipastikan kita akan mendapatkan jawaban yang beragam. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pemahaman dan implementasi pemahaman hukum zakat yang terkait dengan kriteria orang-orang fakir-miskin diantara OPZ. Implementasi pemahaman hukum zakat yang terkait dengan kriteria orang-orang fakir-miskin (juga untuk golongan mustahik lainnya) kebanyakan dirumuskan dengan ukuran-ukuran yang sangat sederhana. Sebagai contoh, besaran pendapatan per bulan banyak digunakan sebagai satu-satunya kriteria seseorang atau suatu keluarga dikategorikan fakir-miskin. Dan dalam prakteknya, kriteria besaran pendapatan per bulan ini pun
berbeda-beda. Kembali sebagai contoh, tahun 2005 LAZ BAMUIS Bank BNI menggunakan besaran pendapatan Rp 300.000,00 per bulan per orang dan BAZNAS menggunakan besaran pendapatan Rp 4.000,00 per orang per hari atau Rp 120.000,00 per orang per bulan (asumsi 1 bulan sama dengan 30 hari). Selain mengenai kriteria yang berdampak pada jumlah, perbedaan terjadi juga dalam kelengkapan pendataan mustahik. Belum ada integrasi data mustahik yang dimiliki oleh para OPZ, baik dalam lingkup yang kecil –misal dalam satu kecamatan– apalagi untuk lingkup nasional. Kondisi seperti ini dapat mengakibatkan, antara lain, adanya mobilisasi orang untuk meminta zakat ke berbagai OPZ atau beberapa OPZ menyalurkan zakat ke tempat yang sama. Kondisi tersebut jelas tidak sehat. Bagaimana mungkin kita dapat merencanakan pengentasan fakir-miskin dengan baik kalau berapa jumlah dan keberadaan fakir-miskin saja kita tidak tahu. Bagaimana kita dapat menetapkan jumlah fakir-miskin yang telah berhasil menjadi muzaki kalau kriteria fakir-miskin antara satu OPZ dengan OPZ lainnya berbeda-beda. Salah satu standard kriteria mustahik yang cukup menarik untuk dirujuk adalah yang ditetapkan oleh Majlis Agama Islam Wilayah Persekutuan (MAIWP) Malaysia. Standar kriteria mustahik ini didasarkan pada kebutuhan minimal (had kifayah) yang meliputi enam unsur kebutuhan dasar dan membedakan tingkatan usia beserta statusnya. Sebagai gambaran umum, saya kutipkan tabel dari Buku Panduan Skim Agihan Zakat yang diterbitkan MAIWP Malaysia: Keperluan Ketua Dewasa Asasi Keluarga (RM) (RM)
Dewasa SK Kanakkanak (RM) (RM)
Kanakkanak SKT(RM)
Kanakkanak TSK(RM)
Perlindungan
250
-
-
-
-
Makanan Pakaian Perubatan
81 20 15
81 20 15
54 10 15
54 10 15
54 10 15
54 116
40 210
40 54 149
20 30 129
30 79
81 20 15
Pelajaran Pengangkutan Jumlah 420
-
Keterangan: 1. SK = bersekolah 2. SKT = bersekolah tadika 3. TSK = tidak bersekolah 4. RM = Ringgit Malaysia
Kebutuhan minimal tersebut dapat ditambah atau dikurangi. Ditambah RM 200.00 apabila sakit kronis, cacat, ibu tunggal, ibu tinggal, tanggung anak di IPTA, atau keluarga bermasalah (suami dalam penjara, suami penagih dadah, atau suami pengidap AIDS). Dan dikurangi, antara lain, apabila memiliki kereta berumur 1-5 tahun (RM 300), kereta berumur 6-10 tahun (RM 100), dan video (RM 50). Keberadaan standar seperti ini jelas akan sangat memudahkan bagi para amil zakat untuk menentukan seseorang layak atau tidak layak menerima zakat.
Peran Pemerintah Berdasarkan uraian di atas, dapat kita pahami bersama bahwa standardisasi mustahik merupakan kebutuhan mendasar bagi pengelolaan zakat. Adanya standardisasi mustahik, selain mempermudah kerja OPZ dalam menyalurkan zakat, dapat digunakan untuk menghitung peran zakat dalam pengentasan kemiskinan dan penyelesaian problem sosial lainnya dalam kehidupan ummat dan bangsa Indonesia pada umumnya. Standardisasi mustahik dan pengelolaan data base mustahik memerlukan political will dan sinergi dari seluruh OPZ serta sumber daya yang tidak kecil. Selain itu, diperlukan juga institusi yang dapat mengkoordinasi dan memfasilitasi guna terwujudnya hal tersebut. Berdasarkan UU Nomor 38 Tahun 1999 tidak ada satu OPZ pun yang memungkinkan melaksanakan koordinasi dan fasilitasi tersebut. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang memiliki hubungan kerja yang bersifat koordinatif, konsultatif, dan informatif hanya terbatas untuk BAZ dan tidak untuk LAZ. Oleh karena itu, peran ini hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah yang dalam hal ini Departemen Agama c.q. Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf. Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf sebagai regulator dapat menetapkan standardisasi mustahik dan data base mustahik seluruh Indonesia. Penetapan ini dapat dibuat dalam bentuk peraturan menteri. Tanpa menafikan adanya perbedaan, implementasi pemahaman fiqh zakat yang dibuat dalam standard, baik untuk mustahik maupun data base mustahik, akan sangat membantu dalam optimalisasi peran zakat. Dan apabila ini terwujud sungguh kejadian-kejadian yang memiriskan hati dalam penyaluran bantuan langsung tunai bahan bakar minyak (BLT BBM) tidak akan terjadi. Mari kita jadikan pengelolaan zakat pelopor bagi pengelolaan negara yang lebih baik.[]
Menentukan Kriteria Fakir Miskin dengan Ukuran Kebutuhan Konsumsi dan Pendidikan Oleh Noor Aflah39 Di dalam Al-Quran Surat al-Taubah ayat 60, Allah swt. berfirman yang artinya “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin, para pengurus zakat (amil), para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, untuk orang-orang yang berhutang, untuk di jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui dan Mahabijaksana.” Ayat di atas menjelaskan golongan orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahik). Mereka terdiri dari 8 golongan, yaitu ; fakir, miskin, amil, muallaf, riqab (hamba sahaya), gharim, sabilillah dan ibnu sabil. Golongan fakir dan miskin dalam ayat tersebut menempati prioritas utama dibandingkan dengan golongan-golongan lainnya. Hal ini menunjukkan perlu adanya perhatian khusus bagi kedua golongan tersebut dibandingkan dengan lainnya. Maka dari itu menurut Imam al-Syafi’i, Imam al-Nasa’i, Imam Abu Hanifah dan Imam Malik melarang untuk memberikan zakat kepada mustahik lain sementara fakir / miskin tidak diperhatikan. Bahkan secara khusus Imam al-Syafi’i menyatakan “Memprioritaskan pemberian zakat kepada fakir, miskin sampai mencukupi kebutuhannya, jauh lebih baik daripada membagi-bagikannya dalam jumlah yang sedikit kepada seluruh asnaf (golongan penerima zakat).” Untuk menentukan seseorang apakah dia tergolong sebagai mustahik (orang yang berhak menerima zakat) ataukah tidak memang dibutuhkan pengamatan (ijtihad) yang sangat mendalam, khususnya kriteria mustahik fakir atau miskin, karena fakir atau miskin adalah kriteria mustahik yang paling dominan di negeri ini dan menjadi prioritas dalam penyaluran zakat. Tidak cukup hanya dengan pengakuan secara formal lalu seseorang diyakini sebagai fakir atau miskin dan berhak menerima zakat namun harus dipastikan bahwa secara hitungan kebutuhan wajar (pokok), ia benar-benar tidak mampu mencukupi kebutuhannya. Tidak bisa hanya dengan membawa selembar surat keterangan tidak mampu dari kelurahan, atau hanya sekedar keterangan lisan (pengakuan) dari orang tersebut lalu ia dikatakan sebagai seorang fakir atau miskin, tanpa dilihat aspek lain yang terkait dengan kehidupan kesehariannya. Bagaimana menentukan seseorang sebagai mustahik fakir atau miskin? Inilah tugas seorang Amil (petugas yang menangani zakat) dalam menentukan atau mengkategorikan seorang mustahik fakir miskin. Amil dengan institusi zakatnya harus melakukan penelitian mendalam, menghitung secara detil jumlah kebutuhan riil seseorang yang harus dipenuhi dalam setiap harinya. Untuk menentukan kebutuhan pokok secara wajar, mungkin bisa berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya atau satu negara dengan negara lainnya. Hal itu sangat bergantung pada besar kecilnya harga kebutuhan pokok yang berlaku di daerah tersebut.
Bisa jadi kriteria mustahik fakir/miskin di Jakarta (di mana biaya hidup relatif tinggi) akan berbeda dengan mustahik yang tinggal di daerah (karena biaya hidupnya relatif rendah). Di sinilah salah satu peran dan fungsi dari Amil Zakat di daerah masing-masing untuk menghitung dan menentukan kelayakan seseorang menjadi mustahik (orang yang berhak menerima zakat) ataukah tidak, berdasarkan kebutuhan hidup diri dan keluarganya yang harus dipenuhi dalam setiap bulannya.
Definisi Fakir dan Miskin Kita akui bahwa studi dan diskusi tentang fakir miskin dalam konteks zakat di Indonesia memang masih relatif sedikit. Kalaupun ada, patokan asnaf fakir dan miskin baru didasarkan pada data sekunder dari BPS (Biro Pusat Statistik) dan Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) serta data-data hasil “ijtihad” yang dimiliki oleh OPZ (Organisasi Pengelola Zakat) selama ini. Definisi fakir dan miskin di dalam literatur fikih sangat beragam serta tinjauan parameternya berbeda-beda. Dan penulis sengaja tidak mencantumkan macam-macam pendapat itu. Satu pendapat yang sering digunakan di kalangan umat Islam Indonesia adalah Madzhab Syafi’i, menurut Madzhab ini, fakir adalah orang yang tidak mampu memenuhi setengah (atau 50%) dari kebutuhan hidupnya. Sedangkan miskin adalah orang yang hanya mampu mencukupi kebutuhan hidupnya separo lebih, namun tidak sampai mencukupi seluruh total kebutuhannya. Di dalam konteks Indonesia istilah fakir dan miskin kemudian digabung menjadi satu yaitu Kemiskinan. Istilah kemiskinan ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam mengidentifikasi penduduk negeri yang kekurangan tanpa mengurangi nilai yang terkandung dalam konteks perzakatan yang ada dalam ajaran Islam, terutama asnaf 8 penerima zakat. Secara definitif, BPS mengartikan kemiskinan sebagai suatu kondisi kehidupan yang serba kekurangan yang dialami seseorang/rumah tangga sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) yang layak/minimal bagi kehidupannya. Berdasarkan definisi ini selanjutnya disebut “garis kemiskinan” dari data konsumsi atau pengeluaran penduduk sebagai batas ukuran kemiskinan. Penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan ini selanjutnya dikategorikan miskin. (BPS, Ahmad Avenzora). Berdasarkan penghitungan yang dilakukan BPS tahun 2002 diperoleh ketentuan garis kemiskinan diperkotaan sebesar Rp. 130.499 perkapita/bulan (Rp. 93.351 garis makanan dan Rp. 37.148 garis bukan makanan). Sementara di pedesaan diperoleh garis kemiskinan sebesar Rp. 96.512 perkapita/perbulan (Rp.73.030 untuk makanan dan Rp. 23.482 untuk bukan makanan). Apa yang digariskan BPS bisa dijadikan pertimbangan lembaga zakat dalam menentukan kriteria mustahik fakir miskin. Namun di sini penulis ingin merujuk pada penentuan kriteria mustahik yang digunakan di Malaysia yaitu dengan menggunakan istilah Had Al-Kifayah. Hanya saja Had Al-Kifayah yang digunakan di Malaysia didasarkan pada kebutuhan minimal yang meliputi enam unsur kebutuhan dasar, yaitu makanan, pakaian, kesehatan, keamanan, pendidikan dan transportasi serta didasarkan pada tingkatan usianya.
Apa yang dimaksud dengan istilah Had al-Kifayah? Secara bahasa, arti “had” adalah batas, sedangkan “al-Kifayah” adalah kecukupan. Dengan demikian Had al-Kifayah adalah batas, di mana seseorang jika sudah mencapai jumlah hitungan tersebut dianggap cukup/mampu, dan tidak boleh menerima zakat. Sedangkan jika seseorang belum sampai memenuhi jumlah kebutuhan itu, maka belum dikategorikan mampu, dan berhak menerima zakat. Istilah Had al-Kifayah kemudian diadopsi dan menjadi akrab di kalangan Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia setelah beberapa personil amil zakat melakukan studi banding ke sana dan mempelajarinya. Lalu beberapa OPZ memakai istilah ini untuk digunakan sebagai parameter dalam menentukan mustahik fakir dan miskin di lembaganya. Sebagai contoh Lembaga Amil Zakat yang menggunakan istilah ini adalah Yayasan Baitul Maal Bank Rakyat Indonesia (YBM BRI). YBM BRI mencoba melakukan pendekatan hitungan had al Kifayah melalui tinjauan konsumsi (makanan,pakaian dan tempat tinggal) dan pendidikan. Kenapa hanya konsumsi dan pendidikan yang dipilih ? Karena kebutuhan makanan, pakaian dan tempat tinggal adalah kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Sedangkan pendidikan juga sangat penting dan memiliki peranan yang signifikan untuk meningkatkan taraf hidup seseorang dan pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Seseorang yang berpendidikan lebih baik, maka cenderung memiliki pendapatan yang lebih tinggi sehingga akan rendah peluangnya untuk menjadi miskin. Inilah alasan mendasar kenapa YBM BRI menetapkan had al-kifayah dengan melakukan pendekatan konsumsi dan pendidikan. YBM BRI telah melakukan penelitian terhadap kebutuhan seseorang terutama terkait dengan kebutuhan konsumsi dan pendidikan. Dari hitungan itu didapatkan ketentuan had al-Kifayah dengan tiga kategori, yaitu Kota Besar, Kota Sedang dan Pedesaan, sebagai berikut (lihat tabel): Tabel Had al-Kifayah di YBM BRI STATUS KOTA BESAR Kontrak
Kontrak
Rp. 487.500 Rp. 130.000 Rp.237.500
KATEGORI USIA KOTA SEDANG
PEDESAAN
Kontrak
Tdk. Kontrak Kontrak Tdk.
Tdk. Kontrak Rp. 212.000 Rp. 125.000
Rp. 171.000
Rp. 87.500
Rp. 129.000
Rp. 73.000
Rp. 65.000
Rp.
45.000
Rp. 130.000
Rp. 212.000 Rp. 125.000
Rp. 171.000 Rp. 87.500
Rp. 129.000
Rp.73.000
Rp. 65.000
Rp. 45.000
Rp.293.500
Rp.
91.000
Rp. 150.000
Rp. 87.500 Rp. 130.000
Rp. 65.600
Rp. 100.000
Rp. 65.000
Rp. 45.000
Rp. 42.000
Rp.
168.750
Rp. 91.000
Rp. 150.000 Rp. 87.500
Rp. 130.000
Rp. 65.600
Rp. 100.000
Rp. 65.000
RP. 45.000
Rp.
42.000
Rp. 220.000
Rp. 63.000 Rp. 112.500
Rp. 65.500
Rp. 100.000
Rp. 49.500
Rp. 65.000
RP. 45.000
Rp.
42.000
Rp. 36.000
Rp. 126.500 Rp. 63.000
Rp. 112.500
Rp. 65.500
Rp. 100.000
Rp. 49.500
Rp. 65.000
RP.
45.000
Rp. 42.000
Rp. 36.000 > 20 th> 20 th17-29 th17-29 th13-16 th6-12 th6-12 th0-5 th
Penyusunan had al-Kifayah di YBM BRI berdasarkan atas hitungan hasil survey Biro Pusat Statistik tahun 2002, dengan tambahan beberapa kriteria pendidikan dan non ekonomi lainnya, seperti sosial, psikologis dan ada tidaknya kebiasaan patologis serta kondisi lingkungan setempat, terutama kondisi di seluruh cabang-cabang BRI di daerah.
Dari hitungan tersebut, didapatkan angka kebutuhan setiap individu yang harus dipenuhi di dalam keluarga dalam setiap bulannya. Sebagai ilustrasi dari tabel di atas, misalnya, ada sebuah keluarga di kota besar yang belum memiliki tempat tinggal tetap (kontrak) yang terdiri dari Bapak, Istri, anak ke-1 sudah dewasa tidak sekolah, anak ke-2 sekolah SMU, anak ke-3 sekolah di SLTP, anak ke-4 sekolah SD dan anak ke-5 balita. Dari ilustrasi di atas dapat diperinci: l Suami Rp. 487.500 l Istri Rp. 130.000 l Anak ke-1 (Tdk sekolah) Rp. 125.000 l Anak ke-2 (SMU) Rp. 171.000 l Anak ke-3 (SLTP) Rp. 129.000 l Anak ke-4 (SD) Rp. 73.000 l Anak ke-5 (Balita) Rp. 45.000 Jumlah Rp. 1.160.500 Dengan demikian, jika sebuah keluarga yang terdiri dari Suami-Istri dan 5 orang anak yang hidup di Kota Besar dan belum mempunyai tempat tinggal tetap (kontrak) kebutuhan yang harus dicukupi dalam setiap bulannya sebesar Rp 1.160.500,- (satu juta seratus enam puluh ribu lima ratus rupiah). Jika tidak mampu mencukupi sebesar biaya kebutuhan tersebut (kurang dari Rp 1.160.500,-) maka keluarga tersebut dinyatakan tidak mampu (fakir atau miskin) dan BERHAK MENERIMA ZAKAT. Dan jika sudah mencapai jumlah nominal tersebut maka keluarga itu dianggap mampu dan Tidak Berhak Menerima Zakat. Begitu juga ilustrasi lainnya, misalnya di kota sedang dan pedesaan dengan jumlah keluarga yang berbeda. Ketentuan had al-Kifayah yang dibuat oleh YBM BRI ini digunakan untuk menyalurkan dana ZIS yang dikumpulkan dari Karyawan BRI di seluruh Indonesia melalui cabang-cabangnya di seluruh Indonesia. Pola penghitungan dan penentuan yang dipakai Yayasan Baitul Maal Bank Rakyat Indonesia (YBM BRI) adalah menggunakan pendekatan kebutuhan pendidikan dalam sebuah keluarga dan kebutuhan konsumsi dalam setiap bulannya. Pola ini memang belum sempurna dan masih perlu kajian-kajian yang lebih mendalam lagi. Namun setidaknya ijtihad ini bisa dijadikan acuan bagi Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) lain dalam menyalurkan dana zakatnya. Sangat mungkin pada masa yang akan datang kebutuhan seseorang mengalami perubahan sehingga penghitungan kebutuhan sebagaimana yang dipakai YBM BRI mengalami perubahan pula. Ijtihad yang dilakukan YBM BRI perlu digayung-sambuti oleh Organisasi Pengelola Zakat lainnya agar sama-sama melakukan inovasi terhadap tugas pokok amil zakat.[]
Bagian VI BAGAIMANA SEHARUSNYA PENGELOLAAN ZAKAT DI INDONESIA?
Harapan Foz Terhadap Pengelolaan Zakat Di Indonesia Oleh Naharus Surur40
Z
akat
sebagai
salah
satu
rukun
Islam
yang
wajib
ditunaikan
oleh setiap umat Islam yang mampu, sebenarnya sudah tidak ada lagi yang memungkirinya. Tapi kenyataannya, masih kita temui ketidaktaatan umat Islam dalam menjalankan kewajiban tersebut. Sehingga gambaran ideal bahwa zakat dapat mengatasi kesulitan kaum duafa belum bisa kita rasakan. Sebenarnya, zakat merupakan wujud ’komitmen sosial’ umat Islam. Ia memiliki fungsi strategis bagi kesejahteraan umat. Bisa dibayangkan bila para muzaki menunaikan zakatnya dengan benar –dalam arti jumlah dan waktunya sesuai dengan ketentuan syariah– maka kesejahteraan sosial umat akan terwujud. Sehingga tidak ada lagi orang miskin yang terlantar, tak punya penghasilan, makanan yang tak cukup dan tempat tinggal yang tak memadai sebagaimana masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Inilah cita-cita bersama yang diidam-idamkan para amil zakat/pegiat zakat di Indonesia dan bahkan di seluruh dunia. Islam menentukan syariat zakat sebagai bukti bahwa Islam adalah ‘Rahmatan lil ’alamin’. Zakat diwajibkan bagi umat Islam karena di dalam ajaran zakat terkandung nilai kepedulian terhadap sesama. Bila di dalam masyarakat terdapat orang mampu (kaya), maka di tengah-tengahnya pasti ada juga yang tidak mampu (miskin). Negara memiliki tanggungjawab untuk mensejah-terakan masyarakat miskin. Sedangkan zakat bisa dijadikan sebagai salah sumber dana bagi kesejahteraan sosial itu. Oleh sebab itu negara memiliki kewajiban untuk menata zakat di Indonesia dengan membentuk Badan Amil Zakat. Muzaki diharapkan menyalurkan zakatnya melalui amil zakat yang ditunjuk oleh negara. Karena dengan mekanisme pengelolaan amil zakat yang dibentuk negara inilah proses pendayagunaan zakat akan mampu meningkatkan taraf hidup kaum miskin. Zakat dipersiapkan oleh Islam sebagai ’cash money’ untuk meningkatkan kesejahteraan kaum duafa dari masa ke masa. Namun, umat Islam tak mampu
mewujudkan syariat zakat ini dengan baik, sehingga permasalahan kemiskinan menjadi permasalahan utama di negara-negara yang mayoritas penduduknya Islam. Sebagaimana dinamika Islam di Indonesia, zakat juga mengalami pasang surut dalam pengelolaannya, namun di masa keemasan pemerintahan Islam zakat mampu sebagai ’instrumen kesejahteraan umat.’ Di zaman Rasulullah saw., Khulafaur Rasyidin dan Pemerintahan Umar bin Abdul Azis, zakat memiliki peran optimal sebagai ’instrumen kesejahteraan umat.’ Sehingga zakat mampu sebagai ’iron stock’ dana liquid untuk peningkatan kesejahteraan umat baik untuk aspek peningkatan infra struktur maupun supra struktur kesejahteraan umat. Peranan zakat bisa optimal di masa itu disebabkan oleh beberapa hal: 1. Aturan yang jelas (Al-Quran dan Al-Hadits) 2. Aparat yang jujur dan amanah 3. Law enforcement berjalan dengan baik, dan 4. Kesadaran masyarakat tumbuh dan berkembang dengan baik. Jadi, di masa keemasan Islam zakat dikelola secara amanah dan profesional. Peran pemerintahan saat itu sangat dominan dan pemerintah juga mampu mengelolanya dengan baik. Bersamaan dengan semakin surutnya pemerintahan Islam (khilafah ala nubuwah), maka semakin surut pula dalam pengelolaan zakat. Bahkan semakin lama masalah zakat bergeser menjadi masalah individu, padahal awalnya menjadi masalah negara. Umat Islam, terutama di Indonesia masih menganggap bahwa zakat adalah urusan individu, sehingga umat Islam tidak terlalu peduli dengan aturan yang dibuat oleh pemerintah sebagai representasi negara yang berkewajiban untuk mengelola zakat. Ditambah lagi dengan citra aparat pemerintahan kita yang buruk dan kurang amanah, semakin membuat umat Islam Indonesia lebih suka menyalurkan zakatnya langsung kepada mustahik. Padahal sudah ada lembaga-lembaga amil zakat yang dikelola masyarakat secara amanah dan profesional. Keadaan semacam ini menunjukkan bahwa badan amil zakat bentukan pemerintah mengalami ketidakpercayaan yang disebabkan karena ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparatur pemerintah. Padahal, badan amil zakat yang pembentukannya berdasarkan UU No.38, berbeda dengan persepsi masyarakat yang ada saat ini. Tidak hanya unsur pemerintah saja, namun ada unsur tokoh-tokoh masyarakat, pengurus ormas Islam dan unsur cendekiawan muslim. Namun kenyataannya perubahan ini belum mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada kepengurusan badan amil zakat (BAZ). Bila kita bicara soal potensi zakat di Indonesia memang sangat besar. Menurut penelitian Pusat Budaya dan Bahasa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2004-2005, potensi zakat, infak dan sedekah di Indonesia mencapai 19,3 triliun rupiah setiap tahunnya. Sedangkan menurut penelitian PIRAC, potensi zakat 7,3 triliun dan realisasi di masyarakat yang sudah membayar zakat sebesar 3,3 triliun. Sementara menurut perhitungan FOZ (Forum Zakat) 17,5 triliun dan yang membayarkan melalui lembaga kurang lebih 350 milyar. Sehingga market-size zakat masih sangat besar di Indonesia. Dengan potensi tersebut, perlu ada terobosan baru dalam regulasi, pengelolaan zakat, profesionalisme OPZ (organisasi pengelola zakat) dan amil zakat. Bila kita berkaca pada
perkembangan negara-negara lain yang penduduknya mayoritas umat Islam, maka kita akan temukan betapa optimalisasi penghimpunan dan pendayagunaan zakatnya sudah dapat dibanggakan. Kita harus banyak mengamati, meneliti, dan mengambil yang terbaik dalam pengelolaan zakat ini dari negara-negara lain.
Regulasi Zakat Pada akhir dekade 90-an, tepatnya pada 1999, pengelolaan zakat mulai memasuki level negara, setelah sebelumnya hanya berada pada tataran masyarakat. Ini merupakan perkembangan yang menggembirakan. Lebih menggembirakan lagi ketika perkembangan itu ditandai dengan lahirnya Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat, yaitu UndangUndang No. 38 Tahun 1999. Undang-Undang inilah yang menjadi landasan legal formal pelaksanaan zakat di Indonesia. Sebagai tindak lanjut dari lahirnya Undang-Undang, maka diterbitkan Keputusan Presiden RI No. 8 tahun 2001 tentang pembentukan Badan Amil Zakat Nasional. Pengaturan secara teknis dijabarkan dalam Keputusan Menteri Agama RI tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 38 tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Kalau ditinjau sejarah lahirnya UU No.38 ini –di mana saat itu adalah masa pemerintahan BJ Habibie yang juga cukup produktif menerbitkan UU sehingga kurang lebih berjumlah 190– nampak bahwa UU No.38 ini lahir lebih karena untuk memenfaatkan momentum dan tidak bicara substansi yang mendalam. Sehingga, meskipun UU No.38 ini lahir, namun tidak ‘sempat’ disiapkan PP (peraturan pemerintah) –bahkan sampai sekarang. Yang ada hanya Kepmen (keputusan menteri). Akibatnya, banyak kendala dalam implementasinya karena Kepmen tentang pengelolaan zakat hanya mengikat dilingkungan Depag, belum mengikat kepada pemerintah daerah. Hingga yang terjadi pemda-pemda banyak yang tidak peduli dengan UU No.38 ini. Beruntungnya, sejak ada UU tentang pemerintahan daerah, pemda Kabupaten dan Kota membuat Perda tentang pengelolaan zakat. Malah di provinsi Banten hampir semua Kabupaten dan Kota memiliki perda tentang pengelolaan zakat. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati dicanangkan ‘Bulan Sadar Zakat’, sementara di masa pemerintahan Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) diadakan Pencanangan Gerakan Zakat, Infaq dan Shadaqah Nasional serta pengukuhan Pengurus Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) periode 2004-2007 oleh Presiden RI di Istana Negara 26 Oktober 2005. Moment ini merupakan miles stone penting, bukan saja bagi BAZNAS, tapi juga bagi pengelolaan zakat di Indonesia pada umumnya. Melihat perkembangan pengelolaan zakat di tanah air ini semakin pesat, maka di masa yang ada datang harus ada perubahan UU No.38 secara menyeluruh sebagai wujud antisipasi terhadap perkembangan zakat di Indonesia. Keberadaan UU No. 38 sudah berjalan selama kurang lebih 7 tahun. Sudah menjadi sebuah kewajaran untuk di review secara menyeluruh dalam rangka mengoptimalkan potensi zakat yang ada di Indonesia, memperkuat aspek pengelolaan dan regulasinya. Selain itu perlu dipersiapkan PP (peraturan pemerintah) sebagai turunan UU, agar dalam pelaksanaannya tidak terdapat hambatan dan multi tafsir.
Perkembangan pengelolaan zakat di Indonesia Jika sebelum dekade 1990-an, pengelolaan zakat masih bersifat terbatas, tradisional, dan individual, maka belakangan ini pengelolaan zakat memasuki era baru, di mana unsurunsur profesionalisme dan manajemen modern telah diterapkan. Salah satu indikatornya adalah bermunculannya badan-badan dan lembaga-lembaga amil zakat baru, yang menggunakan pendekatan-pendekatan baru yang berbeda dengan sebelumnya. Sebagai implikasinya, profesi amil kini telah tumbuh menjadi profesi baru di dunia perzakatan di tanah air. Menjadi amilin sekarang ini memerlukan komitmen yang tinggi dan aktivitas kerja secara penuh serta tidak bisa dijadikan sebagai pekerjaan sambilan. Menjadi amil yang bekerja di badan dan lembaga amil zakat harus menjadi pilihan atau jalan hidup seseorang. Mereka harus mencurahkan sepenuh hatinya, semua pikiran, tenaga dan segala kemampuannya bila ingin perzakatan di Indonesia diharapkan tumbuh dan berkembang sebagaimana zaman keemasan Islam masa lampau. Seorang amil harus bangga menjalankan profesinya sebagaimana profesi dosen, guru, banker, dokter, advokat dan profesi lain yang sejenis yang banyak dibanggakan tenaga kerja Indonesia saat ini. Begitu juga perlu tekad dan keberanian seseorang untuk menekuni profesi amil ini ditengah-tengah masyarakat yang masih sangat mengagungkan profesi lain diluar amil zakat. Bersamaan dengan banyaknya para amil yang mendedikasikan segala kemampuannya dari berbagai bidang, bersamaan dengan itu pula tumbuh dan berkembangnya pengelolaan zakat yang profesional terutama di lembaga-lembaga amil zakat (LAZ) bentukan masyarakat. Lembaga-lembaga amil ini secara learning by doing secara bertahap meningkatkan profesionalitas pengelolaannya. Banyak di antara lembaga amil zakat tersebut menerapkan sistem ISO. Ini semua dilakukan dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap semua stake-holders-nya, baik terhadap muzaki, mustahik, pengurus dan karyawannya. Bila diperhatikan pengelolaan yang dilakukan oleh lembaga amil zakat, maka tidak ada bedanya dengan para pengusaha mengelola bisnisnya. Mereka membangun corporate culture sebagaimana lembaga-lembaga bisnis melakukannya. Dalam aspek penggalangan dana, lembaga-lembaga amil zakat sudah menerapakan marketing stategy sebagaimana lembaga bisnis yang mengedepankan marketing. Inovasiinovasi penggalangan dana tidak kalah dengan lembaga-lembaga bisnis dalam menggaet customer. Lembaga-lembaga amil zakat dalam menggaet muzaki juga menerapkan prinsip customer oriented sebagaimana lembaga bisnis melakukannya. Banyak di antara lembagalembaga amil zakat yang besar tersebut menggandeng konsultan Marketing and Communication dalam mempertajam strategi penggalangan dananya. Lembaga-lembaga amil zakat sadar betul, bahwa mereka tidak memiliki modal kekuatan hukum sebagaimana badan amil zakat yang didukung oleh kekuatan struktural. Maka mau tidak mau lembaga amil zakat melakukan strategi penguasanan pasar bebas sebagaimana dalam dunia bisnis. Siapa yang kreatif, inovatif dan profesional akan memenangkann pasar. Prinsip inilah yang kemudian membuat lembaga amil zakat masih bertahan dan semakin banyak dipercaya oleh masyarakat. Kekuatan lain dari manajemen lembaga amil zakat adalah aspek komunikasi kepada publik. Kalau diperhatikan, aspek ini juga menjadi kekuatan lain dari lembaga-lembaga
amil zakat. Setiap aktivitas yang dilakukannya harus dimuat oleh media, baik cetak maupun elektronik. Ini dalam rangka membangun awareness masyarakat terhadap lembaga amil zakat tersebut dan selain itu tentunya dalam rangka mengaharapkan dukungan dari para muzaki. Sebagaimana lembaga bisnis dalam rangka mengenalkan lembaga dan produknya, mereka menggunakan media cetak dan elektronik, lembaga amil zakatpun menggunakan hal sama dalam merekrut para muzaki. Manajemen sumber daya manusia lembaga amil zakat juga tidak jauh berbeda dengan lembaga bisnis. Lembaga amil zakat yang besar sudah menerapkan gaji yang kompetitif dengan dunia bisnis, memberikan fasilitas kepemilikan kendaraan dan rumah, asuransi, fasilitas melanjutkan jenjang pendidikan formal dan informal.
Kendala Pengembangan Zakat Kendala pengembangan zakat meliputi kendala kultural dan kendala struktural. Dari aspek kultural, bahwa tradisi berzakat melalui amil belum mengakar di masyarakat kita. Kepercayaan masyarakat kepada lembaga pengelola zakat masih belum terwujud secara merata. Kendala lainnya, penyebab belum berfungsinya zakat sebagai instrumen pemerataan dan belum terkumpulnya zakat secara optimal melalui lembaga pengelola zakat adalah karena pengetahuan masyarakat terhadap harta yang wajib dikeluarkan zakatnya masih terbatas pada sumber-sumber konvensional. Di samping itu, juga banyak di antara umat Islam yang menganggap zakat tidak memiliki korelasi secara langsung dengan pembangunan ekonomi, dan karena itu mereka menganggap lebih afdhal apabila memberikan zakatnya langsung kepada mustahik. Sedangkan kendala struktural ialah peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan zakat dan pembentukan lembaga pengelola zakat, mengandung celah-celah yang mengakibatkan lembaga pengelola zakat khususnya Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Badan Amil Zakat Daerah tidak berjalan secara optimal. Hubungan antara BAZNAS, BAZ Daerah serta Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dikukuhkan oleh Pemerintah, tidak terikat dalam garis koordinasi yang jelas.
Peran Forum Zakat (FOZ) Sebagai asosiasi lembaga dan badan amil zakat pertama di Indonesia yang didirikan oleh lembaga-lembaga amil zakat pada 1997. Dalam perkembangannya FOZ telah mengalami tiga kali pergantian kepengurusan;1. periode 1997-2000 dengan ketua Eri Sudewo,MDM, 2.peride 2000-2003 dengan ketua Iskandar Zulkarnaen,SE,Msi, dan 3.periode 2003-2006 dengan ketua dr.Naharus Surur,M.Kes. Dalam perkembangannya FOZ dengan susah payah mengkonsolidasikan dirinya dan anggotanya dalam rangka memajukan perzakatan di Indonesia. Upaya-upaya strategis salah satunya adalah mendorong terbitnya UU 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat di masa presiden Habibie, selain itu presiden juga berkenan membuka Munas kedua di Jakarta. Peran-peran strategis lainnya dalam rangka mendorong perzakatan di Indonesia adalah sosialisasi zakat dan UU No.38. Upaya ini tidak berjalan dengan mulus karena kurang didukung pendanaannya oleh para anggota dan terutama pemerintah sebagai pemegang otoritas utama dalam masalah sosialisasi zakat. Sosialisasi sangat penting dan itu disadari oleh semua pihak, namun dalam pelaksanaannya dukungan terhadap program ini kurang. Memang, setiap lembaga dan badan amil zakat yang besar malakukan sosialisasi.
Namun sosialisasi zakat tersebut dilakukan masing-masing lembaga. Akan lebih efektif dan efisien bila dilakukan secara bersama-sama. Akan tetapi pada kenyataannya sangat sulit diwujudkan. Upaya sosialisasi bersama yang berhasil dilakukan oleh FOZ adalah penerbitan buku, ucapan selamat menunaikan ibadah puasa dan selamat hari raya Idul Fitri, event-event khusus saat ada bencana berskala nasional. Namun itu semua belum mampu menjawab kebutuhan sosialisasi zakat yeng lebih sistemik, terencana, dan bersamasama seluruh pelaku zakat di Indonesia ini. Peran strategis lainya adalah upaya mensinergikan program-program untuk mustahik yang berskala nasional. Upaya ini dilakukan FOZ semenjak kelahirannya, namun masih sangat banyak sekali kendala. Masing-masing lembaga sudah memiliki program-program unggulan. Bila program unggulan tersebut ditarik menjadi program bersama sebagai wujud sinergi antar OPZ, masing-masing lembaga belum mampu melepaskan, salah satu faktor penyebabnya adalah adanya egoisme lembaga. Sulit sekali mensinergikan program bagus milik satu lembaga untuk kemudian dibiayai bersama oleh lembaga dan badan amil zakat lainnya. Sebagai contoh FOZ menggagas membuat RSZ (rumah sakit zakat) yang bertujuan untuk menjawab tentang kebutuhan bukti konkret bagi para muzaki tentang efektifitas dana zakat yang dikelola LAZ/BAZ. Muzaki perlu bukti konkret bahwa zakat yang diberikan ke LAZ/BAZ itu berwujud dan besar untuk menimbulkan kepercayaan muzaki. Namun program ini pun sampai saat ini belum bisa terwujud dengan berbagai kendala. Tapi bagaimanapun upaya sinergi ini harus selalu diupayakan terus oleh FOZ. Peran strategis lain adalah mengadvokasi kepada pihak-pihak pengambil keputusan di eksekutif maupun legislatif. Peranan ini cukup konsisten dilakukan secara terus menerus oleh FOZ. Selain mendorong pemerintah untuk menerbitkan UU 38/1999, perda-perda tentang pengelolaan zakat, memberikan sikap terhadap pengelolaan problematika keumatan/bencana alam kepada pemerintah, membantu menyelesaikan problematika anggaota dengan pemerintah setempat terkait dengan perizinan. Ke depan peranan ini harus semakin ditingkatkan lagi karena problematika perzakatan akan semakin komplek bila penerapan regulasi zakat ini berjalan dengan baik maka permasalahan yang muncul akan dapat diatasi. Sebagai asosiasi, FOZ berperan sebagai tempat untuk para anggota melaporkan segala problematika yang terkait dengan masalah dengan antar anggota FOZ itu sendiri. FOZ harus mampu menjadi mediator dalam mempertemukan dan menyelesaikan problematika antar anggota yang memiliki masalah tersebut. Sebagai asosiasi lembaga dan badan amil zakat, ke depan FOZ tetap harus menjadi bagaian dari konstelasi perzakatan di Indonesia. Keberadaannya tetap dibutuhkan. Selain peranan-peranan strategis di atas, FOZ di harapkan menjadi sparing partner pemerintah sebagai pemegang otoritas perzakatan di negeri ini. Apalah jadinya bila otoritas zakat di Indonesia hanya sendirian dalam menjalankan tugasnya, maka masukan, saran dan kritik membangun tidak akan ada. Yang ada adalah situasi monoton dan stagnan. Padahal ide-ide perubahan justeru diharapkan keluar dari asosiasi seperti FOZ ini agar perzakatan di Indonesia mengalami perkembangan sebagaimana yang diharapkan.[]
Perlunya Jaringan Bagi Pengelolaan Zakat di Indonesia Oleh Iskandar Zulkarnaen41 Kemiskinan adalah masalah besar dan kronis yang mendera negeri ini. Oleh sebab itu tatkala semua instrumen dan kebijakan pemerintah untuk mengatasi kemiskinan tidak jalan, maka sebetulnya katup pengaman atau ‘savety valve’ dalam penyelesaian kesenjangan sosial ekonomi ini adalah zakat. Zakat sebagai instrumen distribusi non-ekonomi yang telah diatur oleh Allah swt. menjadi sangat penting dan perlu terus digali dan diimplementasikan untuk menolong umat Islam yang telah banyak menjadi miskin sekarang ini. Keterpurukan dan himpitan masalah ekonomi yang diderita rakyat Indonesia masih belum pulih semenjak krisis moneter melanda negeri ini tahun 1997 lalu, dengan indikasi bengkaknya angka pengangguran, sulitnya lapangan pekerjaan, anak putus sekolah, kejahatan yang meningkat, dan problematika sosial lain. Belum pulih keadaan itu, kini masyarakat merasakan lagi kesulitan babak baru sejak pemerintah mencabut subsidi dengan dinaikkannya harga BBM pada bulan November 2005 dan disusul (akan) kenaikan TDL (Tarif Dasar Listrik) yang mengakibatkan semua sektor usaha dan industri terpukul, PHK terjadi lagi di mana-mana, sementara harga-harga kebutuhan bahan pokok terus melambung, yang terjadi angka masyarakat miskin semakin banyak jumlahnya, muncul kasus baru anak kurang gizi, lumpuh layu, busung lapar dan balita mal-nutrisi. Belum lagi bencana besar yang terus terjadi, Gelombang Tsunami, Gempa bumi, Tanah longsor, Banjir, Demam berdarah, Antrax, Flu burung, dan lain-lain. Presiden Susislo Bambang Yudhoyono (SBY) sewaktu pelantikan Ketua Baznas (Badan Amil Zakat Nasional), 27 Oktober 2005 yang lalu di Istana Negara Jakarta, secara resmi menyampaikan jumlah angka kemiskinan kita adalah 15,5juta KK yang artinya sama dengan 62 juta jiwa di dalamnya, itu yang terdata untuk mendapatkan BLT (Bantuan Langsung Tunai) dari BPS (Badan Pusat Statistik), belum lainnya yang tidak terdata, sungguh akan jauh lebih besar dari angka tersebut. Selanjutnya kita menyaksikan sendiri, juga dari tayangan televisi, mereka-mereka yang seharian antri panjang berdesak-desakan bahkan ada yang pingsan untuk mendapatkan BLT Rp 100.000,-/KK ; kemudian berturut-turut dalam selang waktu yang tidak begitu lama berapa anak SD di daerah sampai nekad bunuh diri gara-gara stress dan malu karena sang bapak tidak mampu membayarkan uang sekolah bulanan-nya. Bukankah Rasulullah saw. sudah memperingatkan bahwa kemiskinan bisa menyebabkan kekufuran, maka kalau kita tidak mau lagi mendengar ataupun melihat tunastunas bangsa meregang nyawa akibat dari kemiskinan tersebut, mari kita bersama-sama membantu mereka. Karena kemana lagi dan kepada siapa lagi mereka mengadu untuk kelanjutan kehidupan diri dan keluarganya? Apa kepada saudara dan tetangga yang sama-sama miskin? Kepada para konglomerat nakal yang sibuk menyelamatkan diri dan hartanya? Kepada pejabat negara yang juga tidak kalah sibuk rapat menggarap langkah untuk melanggengkan
kekuasaannya? Kepada Negara yang tidak terlalu peduli lagi terhadap persoalan kemiskinan? Terus kepada siapa ? Pertanyaan selanjutnya adalah seburuk itukah keadaan kita, sehingga orang miskin seolah tidak punya lagi tempat mengadu? Tentu tidak. Kita percaya bahwa masih cukup banyak orang di tengah-tengah masyarakat yang peduli terhadap keadaan orang miskin. Mungkin benar, orang-orang atau pihak-pihak yang disebut di atas tidak memprioritaskan perhatiannya kepada orang miskin. Tapi bukan berarti tidak ada orang yang tidak peduli. Buktinya dari laporan keuangan Lembaga Pengelola Zakat Baz & Laz yang dipublikasikan di Media, ada kenaikan penerimaan dari sisi pengumpulan dana masyarakat di sana, artinya adalah bahwa sosialisasi yang terus berjalan untuk berzakat melalui Lembaga Amil yang selama ini dilakukan telah mulai dirasakan hasilnya. Hal ini tentunya menggembirakan kita semua,bahwa zakat sebagai Rukun Islam telah lebih meluas ditunaikan oleh para agniya (orang kaya). Namun, pertanyaan lanjutannya lagi adalah apakah kewajiban kaum agniya telah selesai seteleh mengeluarkan zakat? Ini adalah pertanyaan sama yang pernah disampaikan oleh sahabat kepada Rasulullah saw., dan beliau menjawab; “Sesungguhnya pada harta itu ada hak selain zakat”. Kemudian beliau membacakan ayat Q.S. Al-Baqarah: 177 yang artinya: “Bukanlah kebaikan itu menghadapkan wajahmu ke timur atau ke barat, tetapi kebaikan itu adalah beriman kepada Allah, hari akhir, para malaikat, kitab-kitab, dan para nabi, serta memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orangorang miskin, musafir, orang-orang yang meminta pertolongan, dan mereka yang ingin membebaskan dirinya dari perbudakan; mendirikan salat, dan mengeluarkan zakat; memenuhi janji bila berjanji, orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar imannya dan mereka itulah orang-orang yang taqwa.”
Perlu Jaringan Dengan semakin banyaknya lembaga-lembaga pengelola zakat yang sekarang tumbuh bagaikan jamur di musim hujan, perlu kiranya ada simpul untuk mengkoordinasi dan mensinergikan pengelolaan, menciptakan kebersamaan gerakan, dan menghindari tumpang tindihnya program agar optimalisasi pemberdayaan dan pemanfaatan dana ZIS tercapai. Tugas ini ada di FOZ (Forum Zakat), yaitu Asosiasi Lembaga Pengelola Zakat Indonesia -sementara BAZNAS belum mengambil perannya. Oleh sebab itu tugas FOZ adalah berat, karena harus menyamakan bahasa, mensinergikan potensi, mengemas berbagai panduan: seperti panduan zakat profesi, zakat perusahaan, akuntansi syariah, dan panduan manajemen pengelolaan ZIS, Pelatihan SDM. Termasuk juga memberikan masukan-masukan kepada pemerintah/ lembaga eksekutif dan yudikatif untuk masalah regulasi. Menumbuhkan kesadaran masyarakat ber-zis melalui lembaga dengan berkoordinasi bersama Pemerintah, Alim Ulama, DPR/D, Dewan Masjid, Swasta, Instansi-instansi, Dai, dan Tokoh-tokoh Masyarakat. Hasil pemikiran berjamaah pada Mukernas I, FOZ tgl. 07-09 Januari 1999/19-21 Ramadhan 1419 H di Hotel Indonesi-Jakarta adalah telah dirumuskannya fungsi-fungsi FOZ sbb: Koordinatif,Konsultatif,Informatif,Edukatif dan Aspiratif, sehingga tujuan utama
dari Forum Zakat adalah untuk optimalisasi zakat di Indonesia dapat tercapai. Hal ini digambarkan sbb: FOZ Sosialisasi Konsultasi
Aspirasi
Penyadaran
Masyarakat
Koordinatif
Konsultatif Informatif Pemerintah Edukatif
Aspiratif Respon Muzakki
Dukungan B/LAZ
Optimalisasi Zakat Sebelum amendemen UU No.38 tentang Pengelolaan Zakat dapat dilaksanakan, maka peran strategis FOZ sebagai simpul dari LPZ-LPZ sebagaimana yang telah dirumuskan di atas, kiranya keberadaan FOZ masih diperlukan.
Hambatan dan Solusi Dalam mewujudkan suatu jaringan kerja, tentunya akan dijumpai beberapa hambatan, antara lain yang utama adalah: 1. Hambatan Teknis Pentingnya jaringan kerja, sepenuhnya telah disadari oleh LPZ, hanya bagaimana kerjasama itu diwujudkan, acap terbentur pada masalah teknis. Misalnya, bagaimana bisa diwujudkan basis data potensi dan profil muzaki dan mustahik, ternyata tidak mudah. Solusinya, harus dicarikan sistem informasi yang tepat untuk mewujudkan basis data zakat Indonesia; “Jaringan Zakat Nasional FOZ” bekerja sama dengan PT.POS dan PT.INDOSAT, pada tgl.21 Desember 2000 bisa menjadi embrio untuk terwujudnya gagasan tersebut. 2. Hambatan Organisatoris Pada awalnya persoalan organisatoris, yakni wadah apa yang menjadi sarana terwujudnya sinergi dan jaringan kerja berpotensi menjadi hambatan. Tetapi dengan adanya Forum Zakat semestinya tidak ada lagi hambatan itu. Persoalannya adalah bagaimana mengoptimalkan fungsi kedudukan dan peran FOZ seperti yang selama ini telah dirumuskan. Solusinya adalah perluasan kelembagaan FOZ yang menjangkau seluruh wilayah. Kemudian dari jaringan itulah program-program sinergi dan jaringan kerja lembaga pengelola zakat bisa dilakukan. 3. Hambatan Psikologis Sekalipun sudah dipahami pentingnya jaringan kerja dan sinergi, tapi kadang terganjal oleh ego masing-masing lembaga. Ada suasana psikologis untuk masing-masing lembaga
ingin leading dibanding lembaga lain. Bahkan terkadang terjebak pada perhitungan untung rugi masing-masing lembaga dalam upaya menyusun jaringan kerja itu. Jadi, ada semacam keengganan untuk berbagi apalagi memberi. Akibatnya sinergi dan jaringan kerja tidak serta merta terwujud dalam kenyataan. Tanpa kerelaan semua pihak, sinergi dan jaringan kerja antar lembaga akan sangat sulit dilakukan. Solusinya harus dikembangkan suasana ukhuwah islamiyyah di antara para fungsionaris lembaga, dalam bekerja mengelola zakat tidak boleh ada perasaan yang satu lebih Hebat dari yang lain, tidak boleh ada perasaan menang kalah, tetapi harus diganti menjadi menang– menang atau win win solution. Disebut menang atau sukses bila banyak para fukara, masakin, dhuafa dan mustadafin tersantuni dengan baik oleh lembaga apapun. Jadi, harus ada perasaan kesuksesan satu lembaga adalah suatu keberhasilan kita bersama. 4. Hambatan Moral Walaupun telah dibangun “image building” pada masyarakat, dan perolehan dana zis dari LPZ-LPZ mulai meningkat, janganlah kemudian mental/moral mujahid lurus dari pribadi Amilin kemudian turun, ini akan memalukan karena mempertaruhkan syariah Islam. Solusi untuk itu “Good Corporate Governance” harus dilembagakan. 5. Hambatan Operasional Sebagai organisasi nirlaba, maka masalah dana operasional adalah selalu menjadi masalah utama, karena selain perlu sekretariat dengan segala perangkatnya, maka personal pelaksana harian juga memerlukan biaya rutin yang tidak kecil jumlahnya, terutama bagi wilayah dan daerah akan dirasakan berat biayanya. Solusinya, selain FOZ bisa menerima sumbangan yang tidak mengikat, namun juga diperlukan dukungan penuh baik moril dan materiil dari LPZ yang ada, juga dari tokoh masyarakat setempat yang peduli terhadap kaum dhuafa. Akhirnya kita semua mengharapkan perzakatan di Indonesia dari sisi regulasi bisa diundangkan lebih komprehensif dengan memasukan usulan-usulan dari seminar-seminar, dan study case yang selama ini sudah banyak diterima. Sehingga penerimaan ZIS ke depan tidak hanya dari himbauan atau kesadaran masyarakat saja, tetapi ada unsur imperative sebagai kewajiban oleh negara sebagaimana halnya dengan pungutan pajak. Dari segi institusi yang nanti terbentuk dari hasil UU yang baru, hendaknya tugas dan fungsinya bisa compatible dengan institusi terkait, dan dijalankan oleh personil-personil yang profesional dan amanah. Sehingga dengan UU Zakat yang baru nanti Insya Allah optimalisasi ZIS yang dicita-citakan bersama bisa diperoleh dengan jumlah yang besar yang pada gilirannya program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan kaum lemah bisa berjalan.[]
Restorasi Zakat, Sebuah Keniscayaan: Teladan dari Kaum Muslim Cape Town, Afrika Selatan42 Oleh Zaim Saidi43 Upaya mobilisasi dana-dana zakat, infak, sedekah dan, wakaf (ziswaf) di Indonesia dalam waktu sepuluh tahun terakhir menunjukkan perkembangan yang pesat. Hal ini ditandai dengan dua kenyataan:(1)terus meningkatnya jumlah dana yang berhasil dihimpun dan (2) bertambahnya lembaga-lembaga yang melakukan pengumpulan. Perkembangan pesat ini jelas didukung oleh satu faktor utama dan penting yakni kesadaran umat Islam di Indonesia dalam membayar zakat dan bersedekah yang sangat tinggi. Dari survei di sepuluh kota besar yang dilakukan oleh PIRAC (2004) tingkat ketaatan membayar zakat di kalangan umat Islam ini mencapai angka mendekati 95%. Perkembangan ini juga ditopang oleh strategi yang makin lazim dipakai oleh organisasi-organisasi sosial untuk memobilisasi dana yakni pemanfaatan media massa, cetak maupun eletktronik. Strategi dengan teknik komunikasi massa canggih ini terbukti sangat efektif. Lembaga-lembaga pengumpul dana sosial yang terus-menerus melakukan komunikasi dengan masyarakat, apalagi ditunjang dengan kehadiran tokoh selebriti yang digandrungi, akan mendapat dukungan dana dari masyarakat lebih banyak daripada yang tidak melakukannya. Fakta ini bahkan telah mendorong perusahaan-perusahaan media massa itu sendiri untuk melakukan penggalangan dana. Dan, terbukti pula, kemampuan media massa dalam menggalang dana masyarakat –dalam jumlah donatur, kecepatan mobilisasi, maupun uang yang terhimpun– jauh melebihi kemampuan lembaga sosial. Dari satu sisi, praktek kampanye media ini terbukti bermanfaat bagi pengumpulan dana sosial tetapi juga berpotensi menimbulkan penyelewengan44. Kemungkinan penyelewengan yang dapat diidentifikasi, setidaknya, terjadi dalam dua bentuk. Pertama, penggunaan dana-dana dari donatur yang seharusnya sepenuhnya diperuntukkan bagi kepentingan para penerima manfaat malah dipakai untuk membiayai kegiatan Public Relation (pemasangan iklan, pembuatan brosur dan majalah, atau kegiatan promosi lainnya). Sebagaimana kita ketahui biaya untuk menyelenggarakan kegiatan PR ini tidaklah murah45. Kedua, merupakan bentuk penyelewengan yang lebih serius, meskipun lebih tidak kentara, adalah klaim dari pihak penyelenggara (khususnya perusahaan media massa), atas kegiatan atau kepedulian sosial perusahaan bersangkutan. Meskipun disebutkan bahwa sumbangan itu berasal ‘dari pemirsa’ atau ‘dari pembaca’ atau ‘dari pendengar’, tidak ayal citra baik atas kepedulian sosial (keterlibatan secara material maupun non material) tersebut dapat diklaim oleh media bersangkutan. Meskipun tidak secara langsung “klaim” dan “pamrih” ini acap mengakibatkan terjadinya ketumpangtindihan dalam distribusi sumbangan di lapangan. Sekadar sebagai contoh: ada wilayah yang dibanjiri sumbangan dari berbagai pihak, sementara ada wilayah lain yang sama sekali tidak mendapatkan perhatian. Kemungkinan penyelewengan yang lebih serius dan terselubung lagi adalah pencampuradukan dana-dana masyarakat dengan dana-dana privat, yang diindikasikan antara lain dengan pemanfaatan rekening bank milik perusahaan, atau atas nama pribadi seseorang, untuk menghimpun dana masyarakat46.
Lembaga-lembaga pengumpul ziswaf tentu tidak terlepas dari berbagai ancaman negatif di atas. Namun, tulisan ini tidak akan secara lebih jauh membahas soal “persoalan teknis” semacam ini. Soal yang lebih penting adalah meluruskan praktek mobilisasi dana ziswaf yang pada kenyatannya mencampuradukkan berbagai jenis dana yang, dari segi syariah, berbeda-beda sifat dan tujuannya. Akibatnya bukan saja hal ini menjauhkannya dari tujuan yang hendak dicapai tetapi juga mengubah tata cara yang terkait dengan rukun, dan karenanya keabsahan, dari pelaksanaannya, khususnya untuk zakat. Untuk selanjutnya tulisan ini akan membahas tiga subtopik: perkembangan terakhir soal perzakatan berdasarkan beberapa survei di lapangan, pembahasan kritis atas pelaksanaan pengumpulan zakat dari segi syariah dan persoalaannya, dan upaya pelurusan pelaksanaan pengumpulan zakat berdasarkan suatu studi kasus kecil dari masyarakat Muslim di Cape Town, Afrika Selatan.
Perkembangan Mutakhir Penelitian tentang dana-dana sosial di Indonesia mulai dilakukan sejak akhir 1990an. Khusus untuk dana zakat diperoleh informasi tentang jumlah yang telah dibayarkan oleh masyarakat perkotaan, pada 2004, diperkirakan mencapai angka Rp 6.3 trilyun. Survei lain yang mencakup masyarakat kota dan pedesaan yang dilakukan oleh PBB (Pusat Budaya dan Bahasa) UIN Jakarta, dalam periode yang sama, menunjukkan angka yang jauh lebih tinggi, mencapai sekitar Rp 14.2 trilyun, bahkan sampai Rp 19.3 trilyun kalau ditambahkan dengan sumbangan in kind47. Meskipun tingkat kemiskinan semakin tinggi sejak krismon (krisis moneter) tahun 1997 dulu jumlah muzaki di Indonesia masih cukup signifikan, mencapai 49.8%, dengan tingkat ketaatan yang relatif tinggi, yang telah disebut sebelumnya, mencapai 95%. Rata-rata besarnya zakat yang dibayarkan pun tidak kecil, yakni Rp 416.000/muzaki/tahun48 atau dari survei PBB sebesar Rp 409.267 (al Makassary, 2005). Tentu angka di atas merupakan perkiraan berdasarkan beberapa asumsi tambahan, sedangkan perkiraan berdasarkan informasi yang lebih akurat dan aktual, tentunya, adalah dari data zakat yang benar-benar telah terkumpulkan, dan angkanya baru mencapai sekitar Rp 300 milyar saja atau sekitar 2-5%-nya. Hal ini bisa dipahami karena dari survei PIRAC yang sama kita ketahui 85% muzaki menyerahkan zakatnya kepada panitia di masjid/mushalla (64%) atau langsung kepada mustahik (21%), dan hanya 12.5% menyerahkannya kepada organisasi (9% ke Bazis, 1.5% ke Lazis, 2% ke yayasan sosial), dan lainnya (3%). Di sini nampak konsistensi antara data faktual dengan data dari survei rumah tangga, yang menunjukkan zakat yang termobilisasi oleh lembaga zakat dan yayasan sosial yang ada dalam satu ketegori adalah 3.5%. Sedangkan yang diserahkan kepada Bazis, kita tahu, meskipun mencapai 9%, total nilai absolutnya relatif lebih kecil. Dari sisi lain, kita juga dapat melihat pertumbuhan organisasi “amil”, baik yang secara resmi diprakarsai oleh pemerintah, Badan Amil Zakat (BAZ), dan terutama yang diprakrasai oleh masyarakat sendiri, Lembaga Amil Zakat (LAZ). Perlu dicatat juga adanya pihak lain, yang boleh dikatakan “mengail di air keruh”, adalah keterlibatan “bank-bank syariah” dalam mengumpulkan dana ziswaf. Sebagai perusahaan swasta pencari laba, dan khusus bergerak dalam mobilisasi dana masyarakat, bank-bank ini jelas tidak bisa dibenarkan mengumpulkan dana sosial dari masyarakat. Mereka melakukan hal ini
hanyalah sebagai salah satu cara untuk melegitimasi keberadaannya sebagai “bank yang sesuai syariah”49, dan mengabaikan selingkuh kepentingan yang terjadi karena pencampuradukkan dana sosial, dana privat, dan dana komersial dalam sistem perbankan mereka. Organisasi “amil” ini bukan saja sudah makin banyak jumlahnya, yang terdata dengan baik saja -misalnya yang terdaftar di Forum Zakat- mencapai hampir 180 organisasi, kemampuan memobilisasi dana juga makin tinggi dan beragam. Banyak di antara LAZ yang telah mampu memobilisasi dana di atas Rp 5 milyar per tahunnya. Dompet Dhuafa Republika, misalnya, sebagai yang paling besar telah mampu mengumpulkan dana sekitar Rp 25 milyar setahun, kemudian PKPU (Pos Keadilan Peduli Umat) dengan kemampuan memobilasi dana sekitar Rp 10 milyar setahun. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), dengan sumber dana terutama dari pegawai Pemda dan perusahaan, juga mengumpulkan dana mendekati sekitar Rp 7-8 milyar per tahun. Ada dua sisi lain yang dapat diamati dari dana ziswaf ini yaitu dari segi keragaman jenisnya dan dari segi jenis alokasinya. Di sini tidak akan diuraikan secara detil tetapi cukup dikatakan bahwa alokasi dana di atas 55-60% diperuntukkan bagi fakir dan miskin. Sisanya 40-45% diperuntukkan bagi berbagai asnaf lainnya. Data tentang komposisi jenis dana yang dikumpulkan dapat diketahui dengan lebih baik, dari studi kasus pada lima LAZ (tahun 2002) yang relatif besar (DD Republika/Jakarta, PKPU/Jakarta, Yayasan Dana Sosial Al Falah (YDSF)/Surabaya, Rumah Zakat/Bandung, dan Daarut Tauhid/Bandung). Terlihat bahwa kelima LAZ memiliki pola yang berbeda-beda (lihat Grafik 1). DD Republika 85%-nya adalah zakat, 11% sedekah, dan hanya 5% wakaf. YDSF menunjukkan gambaran sebaliknya, 86% sedekah, dan 14% zakat. PKPU memiliki pola 55%:45%, Rumah Zakat mirip DD Republika, dengan 66% zakat dan 33% sedekah, dan 2% wakaf. Daarut Tauhid Bandung berpola “ hampir berimbang”, antara tiga jenis dana, 41% zakat, 28% sedekah, dan 30% wakaf.
Grafik 1. Komposisi Jenis Dana Ziswaf pada Lima Lazis (dalam %, 2002)
Terlepas dari berbagai segi prestasi dan keragaman yang ditampilkan oleh LAZ (juga BAZ), bukan cuma di Indonesia tetapi juga di negara lain (sekurangnya yang penulis ketahui di Inggris dan Afrika Selatan), ada dua persamaan pokok yang ada di antara mereka. Pertama, hampir tanpa kecuali semuanya merupakan lembaga yang menunjuk dirinya sendiri sebagai amil zakat. Kedua, jenis sumber zakat dan zakat yang dikumpulkan hanya menyangkut zakat harta (zakat mal) dan, unsur yang paling penting, berupa uang kertas. Keduanya, sebagaimana akan dibahas dalam bagian berikut tulisan ini, justru membuat rukun zakat sebagaimana ditentukan dalam syariah tidak dipenuhi. Dengan kata lain, terlepas dari maksud baik dan kerja keras yang telah dilakukan oleh organisasiorganisasi ini beserta para pengelolanya, upaya pengumpulan zakat tersebut belum dapat dikatakan sah menurut syariah karena tidak mengikuti rukun yang telah ditetapkan.
Rukun Islam Yang Roboh Zakat adalah satu di antara lima rukun Islam, merupakan ibadah wajib, yang memiliki kedudukan sejajar dengan salat. Perintah berzakat selalu dipadukan dengan perintah bersalat (dalam redaksi ’aqimusalat wa atuzzakat’ dan sejenisnya), sekurangnya sebanyak 29 kali dalam Al Qur’an. Ini menunjukkan bahwa validitas keduanya tidak dapat dipisahkan, zakat tidak bermakna tanpa salat, begitu pun sebaliknya, salat tidak ada artinya tanpa melaksanakan zakat. Agar keduanya sah maka harus dilaksanakan menurut syarat dan rukun yang telah ditetapkan50. Dasar perintah zakat adalah ayat Al Qur’an surat At Taubah ayat 103 yang artinya: “Ambillah zakat dari kekayaan mereka untuk membersihkan dan mensucikan mereka dengannya. Dan berdoalah untuk mereka, sungguh doamu mendatangkan ketentraman bagi mereka. Allah Maha mendengar, Maha mengetahui.” Ijma’ ulama menyatakan bahwa awal ayat ini yang disebutkan dalam bentuk fi’il amr (kata perintah) “khudz” menunjukkan bahwa zakat harus diambil dari, dan bukan diserahkan oleh, muzaki. Ini mensyaratkan adanya otoritas yang melakukannya, baik secara langsung, atau dengan cara menunjuk seseorang lain sebagai amil. Dengan kata lain seorang amil hanya sah sebagai amil kalau dia memiliki, atau menerima delegasi, atas otoritas untuk itu. Bukan menunjuk dirinya sendiri, sebagaimana semua LAZ dan BAZ, yang beroperasi saat ini. Penyandingan zakat dan salat dalam satu kesatuan dan perintah pengambilannya oleh suatu otoritas menunjukkan bahwa zakat, berbeda dari salat yang merupakan urusan privat, adalah urusan publik. Zakat, selain merupakan ibadah wajib, adalah institusi politik dalam Islam. Tegaknya zakat sebagai rukun Islam mensyaratkan, dan menunjukkan, tegaknya tata pemerintahan dalam Islam. Sejak Rasulullah saw., kemudian diteruskan oleh Khulafaurrasidin, terus sampai ke sultan-sultan sepanjang ada pemerintahan Islam, zakat dilaksanakan sesuai dengan rukunnya. Fikih empat mazhab besar pun menegaskan soal ini. Bewley (2005) menunjukkan hal ini dalam kutipan berikut51: Imam al-Sarakhsi, ulama terkemuka dari mazhab Hanafi, dalam kitabnya alMabsut menyatakan, “Zakat merupakan hak Allah dan untuk dikumpulkan dan dibagikan oleh seorang pemimpin muslim atau pihak yang ditunjuknya. Kalau seseorang membayarkan zakatnya kepada orang lain, hal ini tidak menggugurkan kewajibannya membayar zakat.” Imam Malik dalam kitabnya Muwatta’ menyatakan “Pembagian zakat terserah menurut penilaian individual orang yang memegang otoritas, Tidak ada ketentuan pasti tentang porsi bagi amil zakat kecuali sesuai dengan yang dianggap tepat oleh pemimpin kaum Muslim.”
Imam As-Shafi’i dalam kitab al-Um menyatakan tentang kategorisasi dari AlQur’an soal “mereka yang mengumpulkannya” sebagai mereka yang ditunjuk oleh khalifah kaum muslim untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. Imam Ahmad dikutip dalam kitab as-Sharih ar-Rabbani li Musnad Ahmad menyatakan, “Hanya khalifah saja yang mengemban otoritas dan tanggung jawab untuk mengumpulkan dan mendistribusikan zakat, apakah dilakukannya sendiri atau melalui orang yang ditunjuknya, dan dia juga berhak dan bertanggungjawab untuk memerangi mereka yang menolak membayar-kannya.” Dari kutipan di atas sangat jelas bahwa prasyarat pertama yang harus dipenuhi,dan aspek yang harus diluruskan dari praktek pengambilan zakat saat ini, adalah menegakkan otoritas. Memang benar bahwa dalam waktu 80 tahun terakhir, sejak runtuhnya kekhalifahan Osmani,1924,otoritas semacam itu telah tidak ada lagi. Tetapi hal ini tidak berarti lalu rukun zakat telah berubah, dan mengubahnya menjadi sedekah privat seperti yang dipraktekkan saat ini bisa dibenarkan pula. Sebagaimana selanjutnya dikatakan oleh Bewley: Sepanjang kurun sejarah Islam acap terjadi ketika kekuasaan dan otoritas seorang khalifah tidak mencapai banyak wilayah umat tetapi [hal ini] tidak menghambat pelaksanaan zakat secara penuh dan benar di wilayah-wilayah tersebut. Dalam keadaan demikian pemimpin politik lokal kaum muslimin akan bertindak atas nama khalifah dan menunjuk amil dan mengorganisir pembagian zakat di daerahnya. Jelas menjadi tanggung jawab kita sebagai muslim di zaman gelap tanpa khalifah ini untuk melakukan hal yang sama. Dalam konteks kita sekarang “melakukan hal yang sama” sebagaimana dalam kutipan di atas berarti menegakkan kepemimpinan lokal umat Islam, tentu melalui cara dan mekanisme yang benar. Bagaimana hal ini bisa dilakukan akan ditunjukkan dalam studi kasus pelaksanaan penarikan zakat oleh umat Islam di Cape Town, Afrika Selatan, pada bagian selanjutnya tulisan ini. Tetapi sebelum itu akan didahului dengan pembahasan rukun kedua keabsahan zakat, yang saat ini juga tidak terpenuhi, yaitu keharusan pembayaran zakat hanya dalam bentuk ’ayn (harta nyata atau pemilikan tunai) dan bukan dayn (janji pembayaran [promissory note] atau utang).
Persoalan Alat Pembayaran Tentang jenis harta yang wajib dizakati dapat dipahami dengan jelas, secara umum terdiri atas harta uang (mal), hasil tetanaman, serta hasil peternakan. Harta uang merujuk pada emas dan perak, dalam bentuk apa pun, hasil tambang dan barang temuan, serta mata dagangan. Hasil tanaman terdiri atas produk perkebunan dan pertanian dalam jenisjenis yang dapat disimpan dalam waktu lama. Sedangkan produk peternakan terdiri atas onta, sapi, kambing dan domba, dan sejenisnya. Masing-masing dengan nishab (kadarnya)nya sendiri-sendiri, dengan atau tanpa ketentuan haul, yang tidak akan dibahas dalam tulisan ini. Kita memfokuskan pembahasan pada zakat harta uang (mal).
Nisab zakat mal dengan jelas telah ditetapkan sebagai 20 dinar (85 gr emas, 22 karat) dan 200 dirham (595 gr, perak murni), dengan haul satu tahun. Ketentuan ini merupakan ijma’ (kesepakatan bersama) para ulama yang tidak pernah berubah, sama halnya dengan ketentuan jenis mal yang terkena kewajiban zakat, yakni hanya emas dan perak, atau mata dagangan yang juga dihitung hanya dalam emas dan perak52. Perlu diingat juga bahwa dua jenis mal, emas dan perak, memiliki ketentuan terpisah yang tidak bisa saling dicampurkan. Semua ini menunjukkan pada kita bahwa ketetapan tentang zakat, berarti rukun sahnya, telah ditentukan dengan tegas dan jelas. Namun, sebagaimana halnya dengan soal kepemimpinan yang kita bahas sebelumnya, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa harta uang –karena proses sejarah dan politik– telah mengalami perubahan bentuk, berupa uang kertas dengan segala turunannya (kertas saham, deposito,cek,bond,dan sejenisnya). Tetapi, seperti juga dalam kepemimpinan, menjadi kewajiban umat Islam untuk mempertahankan suatu ketetapan, sebuah rukun yang tanpanya suatu perbuatan menjadi tidak sah, dalam hal ini menggunakan emas dan perak, dinar dan dirham, bukan saja untuk menghitung nisab zakat tetapi juga sebagai alat pembayaran zakat. Pembahasan mengenai proses politik dan sejarah yang telah mengubah makna harta, dengan segala implikasinya, dan ketidakabsahan uang kertas, yang merupakan promissory note atau dayn, sebagai alat pembayaran zakat memerlukan ruang yang lebih luas daripada tulisan ini53. Cukup di sini ditampilkan sebuah kutipan fatwa dari Syech Muhammad Illysh, Mufti Al Azhar54, yang mengatakan55: Kalau zakat menjadi wajib karena pertimbangan substansinya sebagai barang berharga (merchendise), maka nisabnya tidak ditetapkan berdasarkan nilai [nominal] nya melainkan atas dasar substansi dan jumlahnya, sebagaimana pada perak, emas, biji-bijian atau buah-buahan. Karena substansi [uang kertas] tidak relevan [dalam nilai] dalam hal zakat, maka ia harus diperlakukan sebagaimana tembaga, besi atau substansi sejenis lainnya. Dengan ‘memperlakukan uang kertas sebagaimana tembaga atau besi’ berarti yang harus dihitung sebagai nilai uang kertas adalah harga kuantitas zatnya (lazimnya dalam ukuran berat), bukan nilai nominalnya. Cara lain melihat uang kertas adalah kenyataannya sebagai promissory note atau utang, atau dayn. Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya Fiqh azZakat56 menguraikan soal uang kertas ini sebagai berikut: Uang kertas mengalami perkembangan dari waktu ke waktu dari keharusan untuk dapat ditukar menjadi tidak. Pada tahap awalnya, uang kertas semata-mata berupa IOU [I Owe You, Saya Berutang pada Anda] yang dikeluarkan oleh sebuah bank, yang menjamin substitusinya dengan sejumlah pasti emas atau perak. Bank berkewajiban menukar IOU ini dengan emas dan perak ketika diminta. Dengan bergulirnya waktu, mesin perbankan berhasil mempengaruhi pemerintah dan mendapatkan hak untuk menyimpan hanya sebagian kecil emas dan perak atas IOU yang diterbitkannya. Pemerintah sendiri kemudian ikut masuk dalam bisnis pencetakan uang kertas karena terbukti sangat menguntungkan...
Pada mulanya pemerintah menerbitkan uang kertas atas dasar cadangan emas dan perak, tapi dengan berjalannya waktu, kebutuhan yang berubah, dan penerimaan secara umum atas uang kertas, pemerintah mengganti sistem dari cadangan logam mulia menjadi sistem otorisasi kepada bank sentral untuk menerbitkan sejumlah tertentu uang kertas. Maka kita memasuki tahap non-convertibility, ketika mata uang nasional menjadi kewajiban dan tidak dapat ditebuskan dengan emas atau perak dalam batas tiap negara.5 Jelas bahwa uang kertas adalah janji utang, dan janji yang tidak pernah dibayarkan kembali,adalah melanggar kontrak utang-piutang, yang menurut syariah, adalah batil. Apalagi kebatilan itu diwajibkan, dalam hal ini atas sesuatu yang menyangkut harta, itu berarti perampasan hak milik. Dalam kenyataannya uang kertas, fiat money, yang nilai dan validitasnya hanya didasarkan pada keputusan politik dalam bentuk undang-undang alat pembayaran (Legal Tender Law) merupakan pajak (senoreige) dan sumber inflasi58. Dengan melihat esensi uang kertas sebagai IOU (dayn) ini, dan penegasan dalam fatwa seperti dari Syech Illysh di atas, dapat disimpulkan bahwa uang kertas tidak dapat dipakai sebagai alat pembayaran zakat mal. Hanya dengan emas dan perak, dinar dan dirham, zakat dapat dihitung dan dibayarkan. Restorasi pelaksanaan zakat sesuai dengan rukunnya adalah sebuah keniscayaan. Dan, sebagaimana telah dibahas di muka, ada dua aspek yang harus dilakukan saat ini yaitu mengembalikan otoritas dalam umat dan pemakaian kembali dinar dan dirham dalam perhitungan dan pembayaran zakat. Upaya restorasi ini akan menjadi bahasan dalam bagian terakhir tulisan ini, dengan merujuk pada studi kasus pada kaum Muslimin di Cape Town, Afrika Selatan.
Restorasi Zakat di Cape Town Cape Town adalah ibu kota Propinsi Western Cape, Afrika Selatan, yang merupakan tempat umat Islam terkonsentrasi di negeri ini. Di wilayah ini jumlah umat Islam diperkirakan sekitar 800.000 orang, atau lebih dari 30% dari jumlah penduduknya, atau 65% dari umat Islam di Afrika Selatan secara keseluruhan yang jumlahnya sekitar 1.25 juta orang. Secara historis umat Islam di Cape Town memiliki pertalian darah dengan umat Islam di Indonesia, karena penyebaran Islam di sana dimulai dengan kedatangan belasan ulama dan bangsawan Nusantara, antara lain Syech Yusuf dari Makasar dan Tuan Guru dari Ternate, dan ratusan tahanan politik dan budak lainnya, sejak abad ke-17. Warisan mereka saat ini ditandai dengan adanya 23 makam para wali yang sebagian besar dari Nusantara, dan adat-istiadat dan kebiasaan yang sama dengan umat Islam di Indonesia, seperti peringatan maulud nabi, lebaran, yasinan, khataman, dan sebagainya. Sejumlah kata dalam bahasa Indonesia juga masih mereka gunakan, seperti ‘baca’, ‘lebaran’, ‘jalanjalan’, ‘trema kasih’, dan sebagainya. Meskipun merupakan minoritas umat Islam di Afrika Selatan merupakan bagian penting dari bangsa Afrika Selatan sejak awal pembentukannya. Pertumbuhan dan perkembangan umat Islam di Afrika Selatan berlangsung dengan sangat dinamis, dan tidak terisolasi dari perkembangan umat Islam di bagian dunia lainnya. Umat Islam di Afrika
Selatan pun bersinggungan dengan proses pembaruan dan modernisasi, yang dicirikan dengan proses “islamisasi”. Salah satu simbol dan bentuk islamisasi yang terjadi di kalangan umat Islam Afrika Selatan berupa ekpserimen politik: mendirikan partai politik pada 1993, dan ketika pemilu demokratis pertama kali dilakukan di Afrika Selatan, 1994,ada dua parpol Islam ikut pemilu.59 Di luar politik, kehidupan sosial dan ekonomi umat mengalami arus perkembangan yang sama: modernisasi. Proses ini berpuncak pada labelisasi berbagai sektor kehidupan sebagai “Islam”, seperti “Kesehatan Islam”, “Bank Islam”, “Asuransi Islam”,”Sertifikasi Islam [Halal]”,dan sebagainya. Demikian pula dalam pengelolaan ziswaf di Cape Town,seperti yang terjadi di Indonesia, diorganisir melalui lembaga-lembaga derma,yang mengklaim dan mengangkat dirinya sebagai amil zakat. Di Cape Town sekurangnya ada 22 lembaga yang menyatakan diri sebagai penerima dan penyalur zakat. Secara nasional, organisasi derma terbesar di Afrika Selatan adalah Sanzaf (South Africa National Zakah Fund), yang berdiri sejak April 1974, yang pada tahun 2005 memiliki 22 kantor cabang di berbagai daerah. Sebagai organisasi modern Sanzaf tentu tunduk pada hukum positif setempat, dan tidak mengikuti hukum syariah. Karenanya Sanzaf kemudian terdaftar sebagai lembaga sosial yang berstatus sebagai PBO (Public Benefit Organisation). PBO adalah lembaga sosial yang memperoleh fasilitas pengurangan pajak bagi donaturnya. Dengan menyumbang Sanzaf setiap donor, baik perusahaan maupun perorangan, akan mendapatkan pengurangan pajak pendapatan sampai dengan 5%. Pengurangan ini dapat diakukan dalam bentuk tax rebate yang diperhitungkan di akhir tahun. Sebuah sistem yang pada prinsipnya dianut oleh sebagian besar pemerintahan nasional saat ini, termasuk Indonesia. Dilihat dari jumlah uang zakat dan infak yang terkumpul relatif besar, secara nasional diperkirakan mencapai sekitar 300 juta rand/tahun,setara mendekati Rp 480 milyar, atau, dengan asumsi tiap rumah tangga terdiri atas 5 orang, maka rata-rata zakat per rumah tangga/muzaki adalah 1200 rand, sekitar Rp 1.92 juta60. Angka ini berarti sekitar lima kali lipat dari rata-rata zakat umat Islam Indonesia. Besarnya nilai zakat, dan kemampuan membayar, umat Islam di Afrika Selatan relatif tinggi karena umumnya mereka dalam posisi sebagai kelas menengah, yakni kaum profesional maupun pedagang6161 Untuk mendapatkan gambaran yang lebih kontekstual bisa dibandingkan dengan tingkat upah minimum di Cape Town adalah sekitar 1000 rand/bulan. Dan, seperti di Indonesia juga, alat pembayaran zakat di Cape Town umumnya adalah uang kertas, dan hampir sepenuhnya dilakukan melalui pihak lain, yakni transaksi perbankan. Walaupun arus besar yang tengah terjadi di kalangan umat Islam di Cape Town saat ini adalah modernisasi, termasuk dalam pengelolalan zakat ini, ada sebagian umat Islam yang melakukan restorasi agar rukun zakat yang ditetapkan syariah dapat dipenuhi. Pendekatan yang dipilih oleh umat Islam di Cape Town ini tidak dilakukan dengan cara membentuk organisasi, melainkan dengan berjamaah, dan menetapkan satu di antaranya sebagai seorang pemimpin, yang disebut sebagai Amir. Dasar pilihan ini adalah ajaran Rasulullah saw., dan tradisi yang dilakukan oleh umat Islam, bila ada tiga orang atau lebih bersama-sama, bahkan hanya untuk sebuah perjalanan, maka satu di antaranya dipilih sebagai Amir yang bertindak selaku pemegang otoritas. Al-Mawardi dalam mengawali kitabnya al-Ahkam as-Sultaniyyah juga menyebutkan:
Kepemimpinan ditetapkan untuk melanjutkan kerasulan sebagai cara untuk menjaga dien dan mengelola urusan dunia. Merupakan ijma bahwa seseorang yang hendak melaksanakan sebuah tanggung jawab dalam posisi ini untuk melaksanakan Kontrak Kepemimpinan atas Umat. Otoritas diberikan kepada seorang pemimpin oleh warga jamaah dalam bentuk baiat kepadanya sebagai bentuk kontrak tersebut. Tata cara dan lafal baiat yang dilaksanakan di sini mengikuti sunah Nabi sebagaimana dipraktekkan di Madinah al-Munawarrah, ketika seseorang ber-baiat kepada Rasulullah saw. atau para pemimpin umat sesudahnya. Dalam kitab Al Muwatta’, buku ke-55, Imam Malik meriwayatkan: Malik meriwayatkan kepada saya dari Abdullah ibn Dinar bahwa Abdullah ibn Umar menulis kepada Abd al-Malik ibn Marwan,menyatakan sumpah-setia. Ia menulis, “Bismillahirrahmanirrahim. Kepada hamba Allah, Abd al-Malik, Amir-al Mukminin. Assalamu’alaikum. Saya memuji Allah untukmu. Tiada tuhan selain Dia. Saya menyatakan hak Anda atas pendengaran dan kesetiaan saya menurut sunnah Allah dan sunnah Rasulullah semampu saya. Dengan adanya sejumlah umat yang berjamaah, dan seorang Amir yang menerima baiat, yang lafalnya mengikuti sunah sebagaimana dikutip dari Muwatta di atas, terbentuklah sebuah kesatuan otoritatif, sebuah Amirat. Amir yang terpilih ini kemudian menjalankan sejumlah kewajiban dan melayani umat berupa: l Menyelenggarakan, mengimami, dan menjadi khatib dalam salat Jum’at dan dua Id (Idul Fitri dan Idul Adha), atau menunjuk penggantinya untuk tugas ini. l Menetapkan dan mengumumkan awal dan akhir bulan Ramadhan (juga berarti menetapkan Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha). l Mencetak koin dinar dan dirham dan mengawasi kesesuaiannya dengan ketetapan syariah. Standar yang dipakai adalah sesuai dengan yang ditetapkan oleh Khalifah Umar ibn Khatab. Satu dinar adalah koin emas 4.25 gr, 22 karat; dan satu dirham adalah koin perak murni, 3 gr. l Menarik zakat (dalam bentuk ayn, dinar dan dirham untuk zakat mal), atau menunjuk seseorang yang mampu dan dapat dipercaya, sebagai amil untuk mewakilinya, kemudian membagikannya kepada yang berhak dalam waktu 24 jam. l Memimpin dan menyelenggarakan berbagai kegiatan kesejahteraan umat, seperti pengajian, majelis dzikir, pengelolaan pendidikan, dan kegiatan sosial lainnya. Amirat di Cape Town telah terbentuk dengan sekitar 100 umat Islam dewasa memberikan baiat kepada Amirnya. Fungsi seorang Amir, sebagaimana disebut di atas, adalah melaksanakan sebuah amr, dan tidak menetapkannya. Pihak yang mengevaluasi dan menetapkan suatu ketentuan, berdasarkan syariah dan penerapan usul fikih, adalah seorang faqih, yang hasilnya antara lain dalam bentuk fatwa. Amirat Cape Town sendiri ada di bawah Amirat yang lebih besar, yakni Amirat Afrika Selatan, dengan kedudukan Amir-nya yang ada di Johannesburg.
Meskipun dalam konteks yang berbeda upaya pengisian kevakuman otoritas, dan pelaksanaan sejumlah amr, sebagaimana dilakukan oleh umat Islam di Cape Town ini dapat dilihat mengikuti suatu model yang pernah ada dalam sejarah umat Islam, sebagaimana digambarkan oleh al-Mawardi dalam bukunya al-Ahkam as-Sultaniyyah. Sebagaimana sejarah menunjukkan pada kita pengisian otoritas di kalangan umat Islam, sepeninggal Rasulullah saw., tidak memiliki pola yang sama, sekurangnya ada empat pola: 1. Atas dasar baiat oleh sejumlah ulama yang mengikat (ahl al-hal wa’l-’aqd) serta para pemimpin umat, sebagaimana terjadi pada kasus terpilihnya Khalifah Abu Bakar; 2. Atas dasar penunjukan dan pilihan oleh khalifah sebelumnya, sebagaimana terjadi pada kasus Khalifah Umar ibn al-Khattab; 3. Atas dasar keputusan konsultatif (shura) sejumlah orang tertentu, sebagaimana terjadi pada Khalifah Usman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib; 4. Atas dasar pengisian oleh seseorang yang berhasil, mampu dan memiliki kualifikasi, sebagai pemimpin sebagaimana banyak terjadi di berbagai masa kekhalifahan seduah Khulafaurrasidin. Dibandingkan dengan keseluruhan peran, fungsi, dan tugas yang seharusnya diemban seorang pemimpin umat yang paripurna, hal-hal yang telah dilakukan oleh Amir di Cape Town memang belum sempurna. Al-Mawardi menyebutkan sepuluh tugas seorang pemimpin. Beberapa peran lain yang disebutkan oleh al-Mawardi termasuk penunjukan hakim dan penegakkan hudud, fungsi pertahanan dan jihad serta pengelolaan baitul mal. Namun demikian, dalam konteks pelaksanaan rukun zakat, yang telah dilaksanakan di Amirat Cape Town tampak telah memenuhi syarat. Dari uraian di atas dapat kita pahami bahwa sejak berakhirnya daulah Osmani pada tahun 1924 berakhir pula penarikan zakat yang sesuai dengan rukun yang ditetapkan. Bekas wilayah Osmani, tanpa kecuali, terpecah-pecah dalam satuan nasionalis sekuler,dan tidak satupun yang menegakkan rukun zakat. Sebagian umat Islam mengambil inisiatif untuk mengangkat dirinya sebagai “amil zakat”, dan kemudian mengumpulkan “zakat” atas dasar kesukarelaan, dalam bentuk uang kertas dan melalui institusi perbankan. Hal ini mengakibatkan zakat, yang semula merupakan bagian dari urusan publik, telah berubah menjadi sedekah atau infak privat. Pengelolaannya melalui organisasi-organisasi modern, yang tunduk dalam hukum positif nasional, mengakibatkan zakat terserap ke dalam otoritas dan sistem fiskal yang tidak relevan dengan otoritas sebagaimana ditentukan oleh syariah. Kegiatan “amil-amil” partikelir yang membenarkan uang kertas dan perbankan dalam urusan zakat ini juga dapat mengakibatkan penyesatan umat, mengesankan seolah kewajiban zakat hanya pada harta mal. Harta-harta lain, yang boleh jadi nilainya lebih besar, seperti tanaman, peternakan, hasil tambang, dan mata dagangan terabaikan, dan seolah tidak lagi memiliki kewajiban zakat, setidaknya membuat umat melupakannya. Pemakaian perantara pembayaran melalui perbankan juga menjadikan dana “zakat” cenderung mengalami penimbunan dalam rekening-rekening bank, dan niscaya bercampuraduk dengan riba yang haram. Pembenaran penggunaan uang kertas sebagai alat pembayaran zakat mal, sebagaimana dilakukan oleh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya Hukum Zakat –meskipun
dengan jelas ia telah memposisikan uang kertas sebagai dayn– semata-mata berdasarkan pragmatisme. Ia mengatakan: “Uang kertas saat ini dominan dipakai sebagai alat transaksi di seluruh dunia, dan emas dan perak telah lenyap dari peredaran sebagai mata uang.” Ketetapan syariah tentunya tidak boleh dikalahkan oleh pragmatisme. Satu-satunya argumen yang mungkin diterima bagi pemakaian uang kertas sebagai alat pembayaran zakat adalah dalil al-darurah (keterpaksaan). Tetapi dalil ini tidak menggugurkan ketetapannya, hanya bersifat sementara, dan hanya boleh digunakan –sesuai namanya– dalam keadaan terpaksa ketika segala upaya telah dilakukan dan tidak membuahkan hasil. Dalam hal dinar dan dirham dalil al-darurah ini menjadi sangat lemah, dan praktis telah gugur, kerena dinar dan dirham dengan mudah bisa –dan telah- dicetak dan disediakan. Kevakuman otoritas di kalangan umat juga tidak bisa terus dibiarkan, dan menjadi kewajiban setiap muslim, untuk mengisinya sejauh yang dapat dilakukan sesuai dengan kondisi masing-masing. Pembentukan jamaah dengan pola kepemimpinan dan tata kelola yang mengikuti hukum syariah, sebagaimana diteladankan oleh umat Islam di Cape Town, Afrika Selatan, juga bisa –dan telah– dilakukan,hingga rukun zakat dapat dilaksanakan sesuai dengan yang ditetapkan.
Daftar Pustaka Abidin, Hamid, ed. Menggalang Dana ala Media (PIRAC, 2004). Al Makassary, Ridwan (2005). ’Kedermawanan untuk keadilan sosial: suatu kerangka konseptual untuk aksi’. Galang, Vol. 1, No 1, Oktober 2005 Al-Mawardi, Abu’l-Hasan (1996). Al Ahkam as-Sultaniyyah,. Terjemahan dalam bahasa Inggrisnya oleh Assadullah Yates, diterbitkan oleh Ta-Ha Publisher, London. As Sufi, Shaykh Abdalqadir (2002). Letter to An Arab Muslim. Madinah Press. Halaman 116. Bewley, Abdalhaqq (2005). Zakat and Muslim Leadership. Makalah disampaikan dalam Youth Islamic Conference: Restoration Both Leadership and Zakat, di Cape Town, 20-21 September 2005. Bewley, A dan Douglas A (2005). Restorasi Zakat: Menegakkan Pilar Islam yang Roboh. Pustaka Adina, Jakarta. Kurniawati, ed. (2004). Kedermawanan Kaum Muslimim: Potensi dan Realitas Zakat Masyarakat Indonesia. PIRAC, Jakarta. Malik ibn Anas (1991). Al-Muwatta. Terjemahan Inggris oleh Aisha Abdurrahman Bewley, Madina Press, Skotlandia. Rofi’, Abdur (2003). Quo Vadis Lembaga Pengelola Zakat, Refleksi 10 tahun LPZ. Makalah tidak dipublikasikan. Saidi, Zaim (2004). Tidak Islamnya Bank Islam. Pustaka Adina, Jakarta. _________ (2005). Kembali ke Dinar: Menegakkan Muamalah, Menghentikan Riba. Pustaka Adina, Jakarta. Vadillo, U Ibrahim (2003). The Esoteric Deviation of Islam. Madinah Press, Cape Town.
Endnote
Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Rektor dan Guru Besar Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 18 Dewan Syariah Dompet Dhuafa Republika 19 Dinukil dengan singkat dari paparan Dr Mundzir Qohf “Tahshil wa Tauzii’ az-Zakah, Tajrubah Almamlakah al Arabiyah as Suudiyyah” 20 Dinukil dari paparan ceramah Usadz Ahmad Ali As-Sauu’ri “Asaalib at-tahshil fi suudaan” (Metoda penghimpunan zakat di Sudan, Ustadz Nuh al Farkh “Asaalib tahshil zakat urudh tijarah fi sudan” (Metoda penghimpunan zakat perdagangan di Sudan” , Dr Mundzir Qohf “Tahshil zakat Syarikah fi Sudan” (Penghimpunan zakat perusahaan di Sudan), Ustadz Al-Ja’ly Basyiir Ahmad “Tauzii’ az-zakah fi Sudan” (Pendistribusian zakat di Sudan) 21 Mustaghillatialah : Harta benda yang secara ‘ain-nya tidak wajib zakat, dan tidak diputar dalam perdagangan, tetapi ia menghasilkan bagi pemiliknya, baik dengan cara menyewakannya atau manjual apa yang dihasilkannya. ( Yusuf Al-Qardhawi ). Jasa Transportsi meliputi transportasi darat, laut dan darat. Hasil penyewaan/kontrakan meliputi; sarana-sarana yang dipakai untuk perdagangan, tempat tinggal, seperti villa atau hotel. Penghitungan nisab jenis harta di atas mengikuti emas dan kadar zakatnya adalah 2.5%. 22 Muhammad Ibrahim Muhammad “tathbiiqoot a’maliyah fi jami’ az-zakah, haalah tathbiqiyyah fi sudan” (Praktek penghimpunan zakat, studi kasus Sudan) 23 Tahap pertama pembentukan Sunduq Zakat th 1980-1984, tahap kedua UU Diwan zakat wa dharaib 1984, tahap tiga pemisahan dari institusi pajak ke institusi sosial th 1986, tahap empat UU wajib zakat dengan segala bentuk aturan didalamnya 1990 24 Dinukil dari Pervez Ahmad Bet “Dirosah a’n haalah tahshiil az-zakah fi bakistan” Kajian penghimpunan zakat di Pakistan. 1 2
Dr Ali Qothoronah Direktur Shunduq Az Zakah Yordania Ahmad Athiyyah Al Bathini, Direktur Pengembangan SDM Baitu Az-Zakah Kuwait 27 Haji Mohamed Dahan bin Haji Abdul Latiff Pengurus Besar Pusat Pungutan Zakat Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, Malaysia 28 Sekretaris Jenderal Forum Zakat (FOZ) 29 Presiden Direktur Dompet Dhuafa Republika 30 Makalah ini juga disampaikan pada Seminar Zakat, Islamabad-Pakistan, Kamis, 17 Muharram 1427 H/16 Pebruari 2005. 31 Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) 32 Direktur Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) 33 Nabi Yusuf as. berkata kepada raja: “Jadikanlah aku bendaharawan negara, karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” Dalam praktik GCG (BTP) hal ini diterjemahkan sebagai fit and proper dan dalam industri keuangan ukurannya adalah sertifikasi dan standar profesi. 34 Roscoe Pound mengatakan: “Law is a tool for social engineering.” 35 Drs H M Djamal Doa, “Pengelolaan Zakat oleh Negara”, Nuansa Madani Publisher, Jakarta 2004 36 Direktur Pelaksana Harian Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) 37 Ketua Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) 38 Ketua Bidang Advokasi Program Forum Zakat (FOZ) 39 Kepala Sekretariat Forum Zakat (FOZ) 40 Ketua Umum Forum Zakat Periode 2003-2006 41 Ketua Dewan Pleno Forum Zakat (FOZ) 42 Tulisan ini merupakan bagian dari hasil penelitian yang sedang penulis persiapkan dengan studi kasus pelaksanaan zakat di kalangan kaum Muslimin di Cape Town, Afrika Selatan. 43 Direktur Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) 44 Pembahasan lebih detil mengenai peran media massa dalam pengumpulan dana sosial dan potensi negatifnya dapat dilihat dalam buku Menggalang Dana ala Media (PIRAC, 2004). 45 Sebuah survei mini tentang pemanfaatan iklan oleh lembaga pengumpul zakat pernah dilakukan lihat Rofi’, Abdur (2003). Quo Vadis Lembaga Pengelola Zakat, Refleksi 10 tahun LPZ. Makalah tidak dipublikasikan. 25 26
46 Penelitian yang dilakukan oleh PIRAC atas pengumpulan dana sosial oleh media massa selepas peristiwa Tsunami di Aceh, awal 2005, menunjukkan adanya pemanfaatan rekening-rekening privat ini, walaupun belum berarti adanya penyelewengan. 47 Asumsi yang dipakai oleh PBB dalam jumlah keluarga Muslim, yakni data BPS, sebanyak 34.5 juta rumah tangga. Lihat Al Makassary, Ridwan (2005). ‘Kedermawanan untuk keadilan sosial: suatu kerangka konseptual untuk aksi’. Galang, Vol. 1, No 1, Oktober 2005. Halaman 64. 48 Perhitungan total zakat terbayarkan ini berdasarkan asumsi jumlah keluarga Muslim dari Manteri Agama, bahwa di Indonesia saat itu, sedikit berbeda dengan data PBB UIN, adalah 32 juta keluarga sejahtera. Dengan sekitar 50% -nya muzaki, dengan ketaatan 94.5%, dengan rata-rata zakat Rp 416 ribu/muzaki, diperoleh angka Rp 6.3 trilyun. Lihat Kurniawati, ed. (2004). Kedermawanan Kaum Muslimim: Potensi dan Realitas Zakat Masyarakat Indonesia. PIRAC, Jakarta. Perlu ditambahkan catatan di sini dalam buku ini ada kesalahan kecil yang sangat mengganggu dalam perhitungan perkiraan total zakat terkumpulkan, yakni pada angka ketaatan pada muzaki, 94.5%, dan bukan 92.5% yang menunjukkan pembayar zakat tapi bukan muzaki. 49 Untuk telaah tentang ketidaksesuaian bank-bank ini dengan syariah lihat, antara lain, buku saya Tidak Islamnya Bank Islam (Pustaka Adina, 2004) 50 Mengenai hal ini lebih lanjut lihat Bewley, A dan Douglas A (2005). Restorasi Zakat: Menegakkan Pilar Islam yang Roboh. Pustaka Adina, Jakarta. 51 Cetak tebal dari saya. 52 Uraian rinci tentang fikih zakat, antara lain, bisa dilihat pada kitab Al Ahkam as-Sultaniyyah, oleh Abu’l-Hasan al-Mawardi, bab 11 tentang Pengelolaan Zakat. Terjemahan dalam bahasa Inggrisnya diterbitkan oleh Ta-Ha Publisher, London (1996). Halaman 168-185. 53 Mengenai hal ini antara lain bisa dibaca dalam buku saya Kembali ke Dinar: Menegakkan Muamalah, Menghentikan Riba. Pustaka Adina (2005). 54 Syech Muhammad Illysh digantikan oleh Muhammad Abduh yang diangkat menjadi Mufti Al Azhar oleh Lord Cromer (1899), Gubernur Kolonial Inggris di Mesir saat itu, yang nama aslinya adalah Kapten Evelyn Baring - seorang kaki tangan bankir dari Keluarga Baring. Beberapa saat kemudian Abduh mengeluarkan fatwa halalnya bunga tabungan. Untuk soal keanggotaan Muhammad Abduh, bersama Jamaluddin Al Afghani, dalam freemasonry lihat Vadillo, U Ibrahim (2003). The Esoteric Deviation of Islam. Madinah Press, Cape Town. 55 Sebagaimana dikutip dalam Postcriptbuku Shaykh Abdalqadir As Sufi (2002). Letter to An Arab Muslim. Madinah Press. Halaman 116. 56 Terjemahan Indonesianya adalah Hukum Zakat: Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur’an dan Hadits, Litera AntarNusa dan MIZAN. 1999. 57 Sebagaimana dikutip oleh Vadillo (2003). Halaman 699-698, cetak miring dari saya. 58 Mata uang dinar dan dirham tidak menimbulkan inflasi. Harga seekor kambing di zaman Rasulullah saw. tetap sama dengan harga di tahun 2005, 1 dinar emas. 59 Dua partai ini adalah Islamic Party dan Africa Muslim Party (AMP). Hanya AMP yang mendapat sedikit dukungan, 47.690 suara, kurang dari 1% dari total suara nasional. Pada Pemilu 2004 kembali AMP mencoba peruntungan politiknya, tapi dukungan terhadapnya justru merosot: cuma memperoleh 34.446 suara atau sekitar 0.20 persen dari total suara nasional. Sementara parpol yang satunya lagi, Islamic Party, praktis mati, dan para pendukungnya bergabung dalam parpol Islam baru, Partai Keadilan dan Perdamaian (Peace and Justice Party), yang juga tidak memperoleh suara secara memadai. 60 Hitungan ini dengan asumsi tiap rumah tangga rata-rata ada 5 anggota, berarti ada sekitar 250 ribu rumah tangga, yang diwakili satu muzaki/rumah tangga. Saat tulisan ini dibuat satu rand setara sekitar Rp 1600.
Catatan Kaki 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10
11
12
13
14
15 16
Tulisan ini merupakan bagian dari hasil penelitian yang sedang penulis persiapkan dengan studi kasus pelaksanaan zakat di kalangan kaum Muslimin di Cape Town, Afrika Selatan. Pembahasan lebih detil mengenai peran media massa dalam pengumpulan dana sosial dan potensi negatifnya dapat dilihat dalam buku Menggalang Dana ala Media (PIRAC, 2004). Sebuah survei mini tentang pemanfaatan iklan oleh lembaga pengumpul zakat pernah dilakukan lihat Rofi’, Abdur (2003). Quo Vadis Lembaga Pengelola Zakat, Refleksi 10 tahun LPZ. Makalah tidak dipublikasikan. Penelitian yang dilakukan oleh PIRAC atas pengumpulan dana sosial oleh media massa selepas peristiwa Tsunami di Aceh, awal 2005, menunjukkan adanya pemanfaatan rekening-rekening privat ini, walaupun belum berarti adanya penyelewengan. Asumsi yang dipakai oleh PBB dalam jumlah keluarga Muslim, yakni data BPS, sebanyak 34.5 juta rumah tangga. Lihat Al Makassary, Ridwan (2005). ’Kedermawanan untuk keadilan sosial: suatu kerangka konseptual untuk aksi’. Galang, Vol. 1, No 1, Oktober 2005. Halaman 64. Perhitungan total zakat terbayarkan ini berdasarkan asumsi jumlah keluarga Muslim dari Manteri Agama, bahwa di Indonesia saat itu, sedikit berbeda dengan data PBB UIN, adalah 32 juta keluarga sejahtera. Dengan sekitar 50% -nya muzaki, dengan ketaatan 94.5%, dengan rata-rata zakat Rp 416 ribu/muzaki, diperoleh angka Rp 6.3 trilyun. Lihat Kurniawati, ed. (2004). Kedermawanan Kaum Muslimim: Potensi dan Realitas Zakat Masyarakat Indonesia. PIRAC, Jakarta. Perlu ditambahkan catatan di sini dalam buku ini ada kesalahan kecil yang sangat mengganggu dalam perhitungan perkiraan total zakat terkumpulkan, yakni pada angka ketaatan pada muzaki, 94.5%, dan bukan 92.5% yang menunjukkan pembayar zakat tapi bukan muzaki. Untuk telaah tentang ketidaksesuaian bank-bank ini dengan syariah lihat, antara lain, buku saya Tidak Islamnya Bank Islam (Pustaka Adina, 2004) Mengenai hal ini lebih lanjut lihat Bewley, A dan Douglas A (2005). Restorasi Zakat: Menegakkan Pilar Islam yang Roboh. Pustaka Adina, Jakarta. Cetak tebal dari saya. Uraian rinci tentang fikih zakat, antara lain, bisa dilihat pada kitab Al Ahkam as-Sultaniyyah, oleh Abu’lHasan al-Mawardi, bab 11 tentang Pengelolaan Zakat. Terjemahan dalam bahasa Inggrisnya diterbitkan oleh Ta-Ha Publisher, London (1996). Halaman 168-185. Mengenai hal ini antara lain bisa dibaca dalam buku saya Kembali ke Dinar: Menegakkan Muamalah, Menghentikan Riba. Pustaka Adina (2005). Syech Muhammad Illysh digantikan oleh Muhammad Abduh yang diangkat menjadi Mufti Al Azhar oleh Lord Cromer (1899), Gubernur Kolonial Inggris di Mesir saat itu, yang nama aslinya adalah Kapten Evelyn Baring - seorang kaki tangan bankir dari Keluarga Baring. Beberapa saat kemudian Abduh mengeluarkan fatwa halalnya bunga tabungan. Untuk soal keanggotaan Muhammad Abduh, bersama Jamaluddin Al Afghani, dalam freemasonry lihat Vadillo, U Ibrahim (2003). The Esoteric Deviation of Islam. Madinah Press, Cape Town. Sebagaimana dikutip dalam Postcript buku Shaykh Abdalqadir As Sufi (2002). Letter to An Arab Muslim. Madinah Press. Halaman 116. Terjemahan Indonesianya adalah Hukum Zakat: Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur’an dan Hadits, Litera AntarNusa dan MIZAN. 1999. Sebagaimana dikutip oleh Vadillo (2003). Halaman 699-698, cetak miring dari saya. Dua partai ini adalah Islamic Party dan Africa Muslim Party (AMP). Hanya AMP yang mendapat sedikit dukungan, 47.690 suara, kurang dari 1% dari total suara nasional. Pada Pemilu 2004 kembali AMP mencoba peruntungan politiknya, tapi dukungan terhadapnya justru merosot: cuma memperoleh 34.446 suara atau sekitar 0.20 persen dari total suara nasional. Sementara parpol yang satunya lagi, Islamic
17
18
Party, praktis mati, dan para pendukungnya bergabung dalam parpol Islam baru, Partai Keadilan dan Perdamaian (Peace and Justice Party), yang juga tidak memperoleh suara secara memadai. Hitungan ini dengan asumsi tiap rumah tangga rata-rata ada 5 anggota, berarti ada sekitar 250 ribu rumah tangga, yang diwakili satu muzaki/rumah tangga. Saat tulisan ini dibuat satu rand setara sekitar Rp 1600. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih kontekstual bisa dibandingkan dengan tingkat upah minimum di Cape Town adalah sekitar 1000 rand/bulan.
Tentang Editor Kuntarno Noor Aflah, lahir di Kudus, Jawa Tengah pada tanggal 23 Juli 1973, anak ketiga dari 5 bersaudara dari kedua orang tua Sa’idi dan Sukesi. Menikah dengan Maschanah, S Ag. tahun 2002, kini dikaruniai oleh Allah anak laki-laki pertama Fieka Faidun Najih (Fieka). Ia lebih akrab dipanggil Noor Aflah. Sekaligus nama inilah yang digunakan pada setiap publikasi. Mengawali pendidikannya di SD Negeri Kaliwungu III Kudus (selesai 1985). Kemudian melanjutkan pendidikan ke Madrasah Ibtidaiyyah sampai Aliyah Qudsiyyah (1985-1995). Mengikuti program Sarjana (S1) di Fakultas Syariah di UIN (dulu IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (selesai tahun 2000), dan program Magister (S2) di Pascasarjana Konsentrasi Ekonomi Islam UIN Syarif Hidayullah Jakarta (lulus tahun 2006). Selain aktif sebagai Kepala Sekretariat Forum Zakat, juga mengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAI-NU) Jakarta sejak 2004-sekarang. Bidang tulis menulis telah dijalani sejak tahun 2000 di Majalah Pendar (DD). Di samping sebagai kepala sekretariat FOZ, juga Redaktur Majalah INFOZ (2003-sekarang).