KATA PENGANTAR
Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Suban Jeriji, merupakan kawasan hutan yang ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 278/Menhut-II/2004 pada tanggal 2 Agustus 2004. KHDTK Suban Jeriji memiliki luas 761,98 hektar dan terletak di Kabupaten Muara Enim. Penunjukan KHDTK tanpa disertai penunjukan penanggung jawab pengelola KHDTK membuat pengelolaan KHDTK Suban Jeriji menjadi tidak jelas. Baru pada tahun 2014 melalui Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Nomor SK.33/VIII-SET/2014 Balai Penelitian Kehutanan Palembang ditunjuk penanggung jawab pengelolaan KHDTK Suban Jeriji. Kondisi areal saat ini sebagian besar telah dikuasai oleh pihak lain karena lamanya tidak ada pengelolaan terhadap areal tersebut, hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam pengelolaannya. Pada tahun pertama ini, kami mencoba untuk memahami karakteristik penguasaan lahan kawasan hutan oleh para penguasa lahan dan untuk membina hubungan baik antara tim peneliti dengan petani dan aktor tingkat tapak. Hasil penelitian menunjukkan ketiadaan pengelola dan aktifitas pengelolaan KHDTK Subanjeriji yang jelas menjadi hal mendasar terjadinya penguasaan lahan oleh para pihak. Membangun komunikasi yang intensif dan produktif menjadi langkah penting dalam menata pengelolaan KHDTK Subanjeriji. Kepentingan pengelola KHDTK dan para pihak pengelola lahan saat ini menjadi pertimbangan penting dalam mendorong kemitraan pengerlolaan kawasan hutan. Demikian laporan ini kami buat, semoga laporan ini bisa memberikan manfaat bagi semua pihak yang terkait. Kami menerima kritik dan saran demi perbaikan laporan penelitian ini.
Tim Peneliti,
i
DAFTAR ISI Hal KATA PENGANTAR ......................................................................................... i DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii DAFTAR TABEL ................................................................................................ iii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... iv ABSTRAK ........................................................................................................... 1 I.
PENDAHULUAN ...................................................................................... 2 A. Latar Belakang ....................................................................................... 2 B. Rumusan Masalah .................................................................................. 3 C. Tujuan dan Sasaran ................................................................................ 4
II.
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 5 A. Kerangka Teoritis ................................................................................. 5 B. Hasil-hasil Penelitian Terkait................................................................ 9
III.
METODOLOGI .......................................................................................... 10
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................... 11 A. Kondisi Sosial Masyarakat Sekitar KHDTK Suban Jeriji .................... 11 B. Sejarah Pengelolaan KHDTK Suban Jeriji ........................................... 12 C. Penguasaan Lahann oleh Para Pihak di KHDTK Suban Jeriji .............. 16 D. Praktik (best practises) Pengelolaan Lahan Hutan Kolaboratif Bagi Pembelajaran Pengelolaan KHDTK Subanjeriji .................................... 24
V.
KESIMPULAN ........................................................................................... 30
VI.
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 31
ii
DAFTAR TABEL Hal 1. Kepemilikan akses dan cara mempertahankan akses para pihak penguasa lahan di KHDTK Suban Jeriji ......................................................................... 20 2. Pemangku Kepentingan di Tahura WAR ........................................................ 25
iii
DAFTAR GAMBAR Hal 1. Peta KHDTK Suban Jeriji ............................................................................... 11 2. Dinamika pengelolaan KHDTK Suban Jeriji .................................................. 16 3. Kondisi lahan di KHDTK Suban Jeriji yang dikelola masyarakat ................. 17 4. Skema penguasaan lahan oleh parapihak di KHDTK Suban Jeriji ................. 18 5. Citra landsat penutupan lahan di Tahura WAR .............................................. 28
iv
ABSTRAK Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan skenario pengelolaan bagi kawasan hutan terkonversi pertanian, melalui mekanisme deliberatif dan komunikatif. Pada tahun 2015, tujuan penelitian yang dilakukan untuk memahami karakteristik penguasaan lahan kawasan hutan oleh para penguasa lahan dan untuk membina hubungan baik antara tim peneliti dengan petani dan aktor tingkat tapak. Tujuan khusus penelitian yang akan dicapai pada tahun pertama adalah : (1) Mengidentifikasi dan menganalisis mengenai akses dan para pihak terkait dalam penguasaan lahan di KHDTK Suban Jeriji; (2) Mengkaji latar belakang dan makna penguasaan lahan oleh masing-masing individu petani/ penguasa lahan dan aliran keuntungan yang ditimbulkannya; (3) Mendapatkan contoh praktik (best practises) pengelolaan lahan hutan kolaboratif dari luar KHDTK Suban Jeriji sebagai acuan tindakan bersama. Metodologi Studi Agraria yang disarankan oleh Wiradi (2009), Multi-stakeholder Processes for Governance and Sustainability yang disusun Hemmati (2002) dan metode komunikasi aktif (Habermas, 1987) dengan pendekatan 3 tahap pertemuan (three meeting point) menjadi pendekatan dan pengumpulan data yang dilakukan. Ketiadaan pengelola KHDTK sebelumnya yang jelas dan tingkat kebutuhan lahan yang tinggi mendorong terjadinya kerusakan dan penguasaan lahan yang terjadi saat ini. Penebangan ilegal dan kebakaran hutan dan lahan mempermudah akses masyarakat dalam menguasai lahan di KHDTK. Penguasaan lahan KHDTK dilakukan dengan cara membuka lahan sendiri, pembelian dan sistem paro (bagi hasil lahan). Para pihak yang menguasai lahan terdiri dari masyarakat lokal, masyarakat pendatang, dan masyarakat dari luar Subanjeriji. Komoditas karet dan singkong racun menjadi penting dalam pengelolaan lahan oleh para pihak saat ini. Pengelolaan kolaboratif, pembentukan dan pemberdayaan kelompok pengelola, dan pola budidaya campuran merupakan pembelajaran penting dalam membangun kemitraan pengelolaan KHDTK Subanjeriji.
Kata kunci: agroforestri, bambang lanang, program pemerintah, penggunaan lahan, adopsi inovasi
1
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik agraria antara negara dan turunannya dengan petani masih umum terjadi di Indonesia. Di Sumatera bagian selatan, konflik lahan itu hampir selalu melibatkan sektor kehutanan. Mesin pencari google memberikan informasi hasil yang beragam bila diberikan kata kunci: konflik agraria, kehutanan, dan nama propinsi, yakni Lampung 15.500, Jambi 11.100, Sumatera Selatan, dan Bengkulu 35.900. Struktur penguasaan tanah yang tidak adil disebut banyak pihak sebagai pangkal sebab konflik. Ini tergambar dalam Rencana Kehutanan Tingkat Nasional Tahun 2011-2030 yang ditetapkan oleh Permenhut 49/2011. Dari total 41,69 juta hektar penggunaan kawasan hutan, 41,01 juta hektar atau 99,5% diperuntukkan bagi perusahaan, seperti HPH, HTI, pelepasan kebun, pinjam pakai tambang. Hanya 0,21 juta hektar atau 0,5% yang diperuntukkan bagi masyarakat lokal/adat. Beberapa kasus konflik agraria memberikan pelajaran bahwa jika konflik agraria bersifat eskalatif dan fatalis maka muaranya adalah pelepasan kawasan hutan, sebagaimana terjadi di Mesuji, Provinsi Lampung pada tahun 2014. Pelepasan kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain dilakukan tanpa skema distribusi lahan yang jelas dan berkeadilan sehingga berpotensi memicu konflik horisontal. Selain itu, jika benar hutan (tertentu) adalah untuk kesejahteraan rakyat, maka pelepasan kawasan akan menjauhi kesejahteraan yang diidamkan petani. Jika sebaliknya, maka penguasaan atau reklaim negara atas areal tertentu sebagai hutan mengkhianati cita-cita terbentuknya negara itu sendiri. Pelajaran lain dari beragam kasus konflik agraria adalah negara (dalam hal ini pemerintah) harus berhadapan dengan rakyatnya sendiri yang menuntut akses pertanian terhadap kawasan hutan. Pada gilirannya, sektor kehutanan dianggap sebagai
penghambat
pembangunan
dan
kesejahteraan,
sehingga
harus
dinegasikan. Namun demikian, jika terjadi bencana lingkungan, seperti banjir, longor, amukan satwa liar, sektor kehutananlah yang dituding gagal bekerja. Masalah ini akan terus ada, karena pola pertanian ekspansif dan padat modal makin berkembang (Boucher, 2010; Rudel et al., 2009). Pada konteks pengelolaan kawasan hutan pada skala lokal seperti Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK), pelajaran-pelajaran tersebut menjadi
2
penting untuk membangun strategi pengelolaan hutan yang lebih baik. Dari 44 KHDTK yang ada di Indonesia, 33 KHDTK diantaranya dikelola oleh Badan Litbang Kehutanan. Konflik agraria pada kawasan tersebut menjadi permasalahan yang mengancam eksistensinya. Kondisi di KHDTK dapat menjadi laboratorium lapangan dalam mencari solusi terhadap berbagai konflik agraria yang terjadi di kawasan hutan dan memberikan masukan terhadap kebijakan pemerintah. Pemerintah menjadi gamang, bingung dan ragu-ragu ketika harus mengambil sikap dan tindakan terhadap kasus kawasan hutan terkonversi pertanian. Oleh karena itu, diperlukan penelitian yang fokus terhadap isu penguasaan lahan (land tenure) dan berusaha menemukenali peluang harmonisasi kepentingan akses pertanian-kelestarian ekosistem, dengan prinsip keadilan, kesejahteraan, dan keberlanjutan.
B. Rumusan Masalah Tata kelola (governance) dalam penelitian ini menggunakan definisi Williamson (1996), yaitu aturan yang mengatur hubungan-hubungan antaraktor (yang secara potensial memungkinkan terjadinya konflik) agar terhindar dari konflik atau menghilangkan gangguan terhadap peluang-peluang pencapaian hasil yang saling menguntungkan. Tata kelola lokal mengacu kepada pemberdayaan pemerintahan tingkat lokal (desa) untuk mengatur hubungan antara aktor petani dan pengelola legal kawasan hutan. Hubungan antaraktor ini dikemas dan dianalisis secara umum melalui teori tindakan komunikatif dari Habermas1. Inti dari tindakan komunikatif adalah tersedianya informasi yang cukup bagi aktor untuk berkomunikasi. Oleh karena itu, dalam konteks kawasan hutan yang terkonversi ke pertanian, pertanyaan utama penelitian adalah informasi dan proses apa sajakah yang berdayaguna bagi parapihak agar tercipta harmonisasi kepentingan penguasaan lahan hutan.
1
Habermas mempunyai keyakinan bahwa melalui tindakan komunikatif masyarakat modern dengan segala kompleksitasnya dapat diintegrasikan. Tindakan komunikatif adalah tindakan yang mengarahkan diri pada konsensus. Artinya, setiap tindakan menjadi tindakan rasional yang berorientasi kepada kesepahaman, persetujuan dan rasa saling mengerti. Konsensus semacam itu, bagi Habermas, hanya dapat dicapai melalui diskursus praktis.
3
C. Tujuan dan Sasaran Pada tahun 2015, tujuan penelitian yang dilakukan untuk memahami karakteristik penguasaan lahan kawasan hutan oleh para penguasa lahan dan untuk membina hubungan baik antara tim peneliti dengan petani dan aktor tingkat tapak. Tujuan khusus penelitian yang akan dicapai pada tahun pertama adalah : (1) Mengidentifikasi dan menganalisis mengenai akses dan para pihak terkait dalam penguasaan lahan di KHDTK Suban Jeriji; (2) Mengkaji latar belakang dan makna penguasaan lahan oleh masing-masing individu petani/ penguasa lahan dan aliran keuntungan yang ditimbulkannya; (3) Mendapatkan contoh praktik (best practises) pengelolaan lahan hutan kolaboratif dari luar KHDTK Suban Jeriji sebagai acuan tindakan bersama.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoritis A.1. Hutan dan Kawasan Hutan Berdasarkan UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan statusnya, hutan dibagi menjadi hutan hak dan hutan negara. Hutan hak yaitu hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah (dimiliki masyarakat), sedangkan hutan negara yaitu hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Hutan negara yang wilayahnya ditunjuk dan ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaanya sebagai hutan tetap disebut kawasan hutan. Berdasarkan fungsi pokoknya, kawasan hutan dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok besar, yaitu : 1. Hutan Konservasi Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. 2. Hutan Lindung Hutan lindung adalah hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. 3. Hutan Produksi Hutan produksi adalah hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Indonesia memiliki kawasan hutan yang luas, dengan luas hutan sebesar 99,6 juta hektar atau 52,3% luas wilayah Indonesia (Kemenhut, 2011). Namun, diperkirakan 48 juta hektar hutan alam produksi di Indonesia dalam kondisi terlantar. Luas hutan yang terlantar tersebut antara lain terdiri dari 33,6 juta hektar hutan produksi hak pengusaan hutan (HPH) yang tidak aktif, serta 12,5 juta hektar
5
hutan yang berada dalam status moratorium dan sisanya merupakan hutan alam produksi (Antara, 2013). A.2. Reforma Agraria dan Penguasaan Lahan (Land tenure) Reforma Agraria (Agraria reform) Permasalahan agraria merupakan salah satu masalah krusial yang terjadi di negara ini dan perlu segera di upayakan penyelesaiannya. Permasalahan agraria terutama pada sektor kehutanan telah memicu timbulnya berbagai macam konflik di masyarakat. Reforma agraria merupakan salah satu rekomendasi untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria yang telah semakin meluas. Reforma Agraria (RA) atau Agrarian Reform adalah suatu penataan kembali (penataan ulang) susunan pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria (terutama tanah) untuk kepentingan rakyat kecil (petani, buruh tani, tunakisma dan lain-lainnya) secara menyeluruh dan komprehensif. Tujuan utamanya secara makro adalah mengubah struktur masyarakat, dan susunan masyarakat warisan stelsel feodalisme dan kolonialisme menjadi suatu susunan masyarakat yang lebih adil dan merata. Secara mikro tujuannya adalah agar sedapat mungkin semua (atau sebagian besar) rakyat mempunyai aset produksi, sehingga lebih produktif dan pengangguran dapat diperkecil (Wiradi, 2013). Menurut Wibowo dan Hakim (2013), dari perspektif politik, ada dua aras ideologis dalam diskursus keagrarian. Pertama, adalah aras ideologis yang menginginkan radical agrarian reform melalui perluasan akses (access reform) dan land distribution karena tanpa land distribution peningkatan produktifitas dan keadilan tidak akan tercapai. Proponen dari pandangan ini adalah kebanyakan dari aktivis intelektual, NGO dan aktivis gerakan. Kedua, aras yang mengendaki soft agrarian reform, hanya melalui perluasan akses tidak mesti dengan land distribution. Proponen dari pandangan kedua adalah para birokrat, pemerintah dan beberapa elit politik. Reforma agraria terdiri dari dua aspek yakni aspek landreform dan nonlandreform. Land reform merupakan penataan ulang penguasaan lahan terhadap petani, sedangkan aspek non lanreform berupa berbagai hal untuk mendukungnya,
6
misalnya dukungan prasarana, kredit, teknologi serta pendampingan dan pengembangan organisasi petani (wibowo dan hakim, 2013). Prinsip-prinsip utama yang harus dipegang dalam reforma agraria (Wiradi, 2013) adalah : 1.
Tanah untuk mereka yang benar-benar mengerjakannya (penggarap)
2.
Tanah tidak dijadikan komoditi komersial, yaitu tidak dijadikan barang dagangan (jual beli yang semata-mata untuk mencari keuntungan), dan
3.
Tanah mempunyai fungsi sosial.
Penguasaan Lahan (Land Tenure) Beberapa sumber menjelaskan bahwa kata tenure berasal dari kata dalam bahasa Latin “tenere” yang mencakup arti: memelihara, memegang, memiliki. Land tenure berarti sesuatu yang dipegang dalam hal ini termasuk hak dan kewajiban dari pemangku lahan (Bruce, 1998). Penguasaan lahan adalah istilah legal untuk hak pemangkuan lahan, dan bukan hanya sekedar fakta pemangkuan lahan (Bruce, 1998). Seseorang mungkin memangku lahan, tetapi ia tidak selalu mempunyai hak menguasai. Menurut FAO (2002) land tenure merupakan bagian penting dari struktur sosial, ekonomi dan politik. Land tenure merupakan bagian dari jaringan kepentingan yang bersinggungan yang terdiri dari: 1. Kepentingan utama: ketika kekuasaan yang berdaulat (misalnya, suatu bangsa atau masyarakat memiliki kekuasaan untuk mengalokasikan atau realokasi tanah melalui pengambilalihan, dll) 2. Kepentingan yang tumpang tindih: ketika beberapa pihakmemiliki hak yang berbeda pada tanah yang sama (misalnya, salah satu pihak mungkin memiliki hak sewa, yang lain mungkin memiliki hak jalan, dll) 3. Kepentingan yang saling melengkapi: ketika pihak yang berbeda berbagi kepentingan yang sama pada sebidang lahan yang sama (misalnya, hak yang sama pada padang penggembalaan, dll) 4. Kompetisi kepentingan: ketika pihak yang berbeda berkompetisi memiliki kepentingan yang sama pada sebidang lahan yang sama (misalnya, ketika dua pihak saling mengklaim hak untuk penggunaan eksklusif sebidang tanah pertanian)
7
Menurut Suharjito (2013), konflik sumberdaya hutan yang banyak terjadi di Indonesia dipicu oleh terganggunya fungsi sosial dari hutan yang bersifat tangible dan intangible. Permasalahan mendasar yang dialami masyarakat desa hutan terkait dengan penguasaan lahan (land tenure) adalah: (1) kepastian hak penguatan sumberdaya hutan untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya hutan; (2) kapasitas masyarakat desa hutan untuk membangun diri secara terus menerus. A.3. Pengelolaan Hutan dengan Model Kemitraan Menurut Permenhut No. P. 39 /Menhut-11/2013, Kemitraan Kehutanan adalah kerjasama antara masyarakat setempat dengan Pemegang Izin pemanfaatan hutan atau Pengelola Hutan, Pemegang Izin usaha industri primer hasil hutan, dan/atau Kesatuan Pengelolaan Hutan dalam pengembangan kapasitas dan pemberian akses, dengan prinsip kesetaraan dan saling menguntungkan. Tujuan kemitraan kehutanan adalah untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat untuk mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil melalui Kemitraan Kehutanan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Berdasarkan teori kemitraan (Agency Theory) (Eggertsson dalam Saptama: 2009, 221)., kemitraan menjelaskan hubunganhubungan hirearkies atau pertukaran hak kepemilikan (property right) antar individu atau organisasi. Kemitraan pengelolaan KHDTK Suban Jeriji, merupakan model kemitraan kehutanan antara masyarakat dengan pengelola KHDTK Suban Jeriji dalam hal ini Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang. Kemitraan yang akan dijalin adalah model kemitraan kolaboratif atau lebih dikenal Model Collaborative Management (Co-Management). Model kolaboratif melibatkan lebih dari satu aktor sosial bersama-sama dengan pemerintah untuk mengambil manfaat ekonomi, sosial budaya dan ekologi dari kawasan hutan melalui kelembagaan tertentu yang dibangun secara bersama-sama (Jell and Machado 2002). Dari pengertian tersebut diatas maka kemitraan dapat terbentuk apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Ada dua pihak atau lebih, b. Memiliki kesamaan visi dalam mencapai tujuan, c. Ada kesepakatan, dan d. Saling membutuhkan. B. Hasil-Hasil Penelitian Terkait Reformasi kebijakan negara-negara tropis sedang berkembang kini fokus pada isu yang berhubungan dengan tenure (penguasaan lahan). Isu tersebut menyangkut siapa yang sebaiknya menguasai hutan, seberapa ketat hak penguasaan harus ditegakkan, dan seberapa jauh hak penggunaan harus dijelaskan dan dibatasi (Jagger et al., 2014). Hasil penelitian tentang konflik agraria yang
8
dilakukan de Olivera (2008) di Brasil menyingkapkan bahwa distribusi lahan yang tak merata dan kuatnya organisasi petani tak berlahan adalah pemicu konflik lahan dan deforestasi. Pada banyak kasus sistem penguasaan lahan (land tenure) lokal berkontribusi terhadap deforestasi karena aturan yang ada memungkinkan untuk hal demikian terjadi (Damnyag et al., 2012). Namun, beberapa hasil studi empiris menyebutkan bahwa kelompok lokal dapat berperan sebagai pengelola hutan yang efektif sebagaimana pemerintah pusat (Nelson dan Chomitz 2009; Porter-Bolland et al. 2012). Tanpa tata kelola yang efektif untuk mengendalikan deforestasi, penguasa lahan besar akan terus menambah penguasaan lahannya (Araujo et al. 2009). Langkah pertama untuk memperkuat tata kelola lahan adalah dengan cara memahami status struktur tata kelola dan potensi transformasinya (Reydon et al. 2015). Menurut Andersson et al. (2014), jika fungsi tata kelola yang diinisiasi dan diorganisasi masyarakat lebih dikuatkan, maka makin besar peluang hutan-hutan lokal untuk lestari. Paling tidak ada tiga aspek dalam aktivitas tata kelola lokal: pembuatan aturan (rule-making), pemantauan (monitoring), dan pengenaan sanksi (sanctioning). Dalam kerangka penelitian tata kelola lokal, Andersson merekomendasikan penelitian lanjutan yang membahas kesesuaian antara aturan yang dibuat dengan kondisi sosial ekonomi, biofisik, dan budaya.
9
III. METODOLOGI Kawasan hutan terkonversi pertanian merupakan salah satu bentuk dari konflik agraria pada kawasan hutan yang perlu ditangani secara menyeluruh dengan memperhatikan seluruh kepentingan dari berbagai pihak yang terkait di dalamnya. Perlu digunakan prinsip kombinasi ganda (combination of multiples); multiple observer, multiple sources of data (individu, rumah tangga, interaksi), multiple methodologies (wawancara survei, participant observation, life histories, wawancara dengan pihak ketiga) untuk mendapatkan pilihan rekomendasi skenario tindakan terhadap kawasan hutan terkonversi pertanian yang berdasar prinsip keadilan, kesejahteraan dan keberlanjutan. Guna mencapai tujuan dan sasaran penelitian perlu dirancang metodologi penelitian yang tepat dan dapat diaplikaskan oleh tim penelitian. Secara umum penelitian akan menggunakan Metodologi Studi Agraria yang disarankan oleh Wiradi (2009), Multi-stakeholder Processes for Governance and Sustainability yang disusun Hemmati (2002) dan metode komunikasi aktif (Habermas, 1987) dengan pendekatan 3 tahap pertemuan (three meeting point). Pertemuan pertama adalah tahap introduksi, tim peneliti dan individu petani saling mengenal. Tahap kedua adalah marketing, dimana tim peneliti dan kelompok kecil petani berdiskusi dengan konsep teknis kolaborasi kebun petani-kegiatan LITBANG. Tahap ketiga adalah Wrapping Up, tim peneliti menyodorkan draft nota kesepahaman kemitraan Petani-BPK Palembang.
10
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Sekitar KHDTK Suban Jeriji Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Suban Jeriji terletak di Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan. KHDTK Suban Jeriji, merupakan kawasan hutan yang ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 278/Menhut-II/2004 pada tanggal 2 Agustus 2004 dengan luas 761,98 hektar.
Gambar 1. Peta KHDTK Suban Jeriji Sebagian besar wilayah KHDTK Suban Jeriji telah dikuasai oleh masyarakat, terutama masyarakat desa yang berbatasan langsung dengan KHDTK Suban Jeriji yaitu Desa Suban Jeriji. Desa Suban Jeriji merupakan desa yang secara definitif baru diakui sejak tahun 2015, walaupun desa tersebut telah ada sejak tahun 1968. Desa Suban Jeriji terdiri dari 4 (empat) dusun dengan total jumlah kepala keluarga mencapai 943 KK. Dari empat dusun yang ada hanya satu dusun yang masyarakatnya sama sekali tidak menguasai lahan di KHDTK Suban Jerji, yaitu Dusun III. Hal ini dikarenakan letak Dusun III yang berada jauh dari kawasan KHDTK. Sedangkan dusun yang masyarakatnya banyak menguasai lahan di KHDTK Suban Jeriji
11
adalah Dusun I dan Dusun II. Pada umumnya masyarakat menguasai lahan yang dekat dengan pemukiman sehingga mudah dalam akses pengelolaannya. Keberadaan PT. Musi Hutan Persada (MHP) di wilayah Desa Suban Jeriji membuat akses jalan menuju Desa Suban Jeriji tergolong cukup baik dimana kondisi jalan menuju desa berupa jalan lebar berbatu yang telah dilakukan pengerasan. Waktu yang ditempuh untuk menuju desa hanya berkisar 1 hingga 1,5 jam dari jalan raya Prabumulih-Muara Enim dimana jalan yang dilalui merupakan jalan angkutan kayu PT. MHP menuju pabrik TEL. Sebagian besar masyarakat di Desa Suban Jeriji bermata pencaharian sebagai petani dengan karet sebagai komoditas utamanya dan sebagian masyarakat bekerja sebagai karyawan PT. MHP. Karet dipilih sebagai salah satu komoditas yang dikembangkan, karena harga getah karet di Desa Suban Jeriji merupakan harga jual tertinggi dari seluruh wilayah Sumatera Selatan. Hal ini dikarenakan jenis karet yang digunakan masyarakat adalah jenis karet unggul sehingga getah karet yang dihasilkan adalah getah karet dengan kualitas terbaik. Dengan kondisi demikian, maka ekonomi masyarakat di Desa Suban Jeriji tergolong masyarakat dengan ekonomi yang cukup baik. Sebagian besar masyarakat telah memiliki kebun sendiri baik yang berada di dalam kawasan maupun di luar kawasan. Beragamnya asal suku yang berada di Desa Suban Jeriji mengakibatkan mudahnya masyarakat untuk menerima masyarakat pendatang di wilayahnya. Masyarakat pendatang yang banyak ditemukan adalah pendatang yang berasal dari sekitar Kabupaten Muara Enim, Kabupaten Ogan Ilir dan Lampung. Masuknya pendatang ke Desa Suban Jeriji dengan cara membeli lahan di KHDTK Suban Jeriji dengan harga yang murah untuk dijadikan kebun. Masuknya masyarakat pendatang membuat mulai diadopsinya jenis-jenis komoditas tani lainnya antara lain singkong racun yang dibawa oleh pendatang dari Lampung dan jeruk lemon yang dibawa pendatang yang berasal dari Ogan Ilir. B. Sejarah Pengelolaan KHDTK Suban Jeriji KHDTK Suban Jeriji merupakan salah satu kawasan hutan produksi yang memiliki sejarah pengelolaan yang panjang. Berbagai instansi kehutanan pernah menjadi pengelola kawasan tersebut. Sebelum tahun 1970-an, kawasan tersebut
12
merupakan bagian dari konsesi perusahaan swasta HPH (Hak Pengusahaan Hutan) yang melakukan penebangan kayu pada hutan alam primer. Pengelolaan hutan dalam bentuk HPH telah menimbulkan permasalahan degradasi dan deforestasi karena cenderung timber based management dan tidak memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan. Kawasan hutan setelah era perusahaan HPH menjadi areal yang terdegradasi dengan tutupan hutan yang berkurang dan rawan kebakaran. Hal ini diutarakan oleh salah seorang warga Suban Jeriji berikut ini: “Saya termasuk orang yang awal-awal tinggal di sini, rumah saya merupakan bangunan pertama yang ada di Simpang Lokal sini, tanah di sekitar sini masih banyak alang-alang pak, bukan lagi hutan, itu sebelum proyek kehutanan masuk sini sekitar tahun 1979/1980-an. Kebakaran alang-alang hampir kejadian setiap tahun dan susah untuk berkebun di sini.” (Pak Par, Dusun 2, Suban Jeriji) Pada 1979/1980, areal di sekitar Suban Jeiji kemudian mulai dikelola oleh Direktorat Jenderal Kehutanan, di bawah Departemen Pertanian sebagai areal produksi
benih tanaman kehutanan untuk memenuhi kebutuhan benih dalam
jumlah cukup dan berkualitas baik. Beragam jenis tanaman kehutanan dari berbagai lokasi mulai ditanam sebagai bentuk uji coba dan produksi benih berkualitas. Pengelolaannya kawasqn dilanjutkan oleh Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan. Pada tahun 1986, Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan menunjuk PT. INHUTANI I untuk mengelola Areal Produksi Benih tersebut.
Direksi
INHUTANI I menindaklanjutinya dengan membentuk organisasi perbenihan yang betugas mengelola dan sekaligus memasarkan benih yang diproduksi dari areal tersebut. Pengelolaan areal produksi benih tersebut kemudian diserahkan kepada PT INHUTANI V pada 18 Desember 1991 dengan tujuan memproduksi benih tanaman kehutanan bermutu tinggi bagi pembangunan hutan tanaman industri, reboisasi, penghijauan, dan tanaman lainnya. Keberadaan areal produksi benih memiliki peran dalam pembangunan HTI PT. Musi Hutan Persada (MHP) yang berbatasan langsung dengan areal produksi benih. Selain memproduksi benih tanaman kehutanan berkualitas, areal tersebut juga menjadi areal uji coba beragam
13
tanaman kehutanan fast growing species yang kemudian diimplementasikan dalam skala luas melalui pembangunan hutan tanaman industri PT. MHP. Fokus kegiatan areal produksi benih ketika aktif dikelola adalah menanam benih-benih berkualitas dari berbagai jenis tanaman kehutanan yang berasal dari berbagai wilayah untuk kepentingan produksi benih. Ini menunjukkan bahwa tanaman yang ada merupakan tanaman berkualitas sebagai tegakan benih yang hasilnya untuk kepentingan pembangunan sektor kehutanan. Oleh karena itu luas produksi benih yang dibangun untuk kepetingan tersebut adalah 761,98 ha dengan rintisan batas yang jelas dan wilayahnya relatif mudah diakses oleh kendaraan bermotor. Jenis tanaman kehutanan yang dibudidayakan pada area ini antara lain Acacia mangium, Eucalyptus urophylla,Eucayptus deglupta, Pinuscaribeae dan Pinus oocarpa. Tanaman Acacia mangium menjadi tanaman dominan di areal produksi benih dan luasannya pada tahun 1995 mencapai 300 ha dengan produksi benihnya mencapai 1.000 kg/tahun. Kegiatan pengelolaan areal produksi benih terus dilakukan oleh PT. INHUTANI V setiap tahun dengan menempatkan 7 orang staf pengelola yang dilengkapi dengan sarana prasarana base camp dan kendaraan bermotor. Pada awal dekade 2000-an, kegiatan pengelolaan areal produksi benih oleh PT. INHUTANI V berhenti karena perusahaan mengalami masalah operasional. Kondisi ini menyebabkan pengelolaan areal mulai terlantar tanpa ada kejelasan pihak yang melanjutkan pengelolaan. Di tengah kondisi tersebut, pada bulan November tahun 2000 beberapa tokoh di Sumatera Selatan, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan PT. INHUTANI V berencana untuk membangun pusat perlebahan Sumatera Selatan (Pusbahsus) di areal produksi benih Suban Jeriji. Pengajuan ijin kepada Menteri Kehutanan untuk kegiatan tersebut kemudian diproses. Walaupun ijin belum keluar, kegiatan di lapangan berupa persiapan lahan untuk tanaman pakan lebah madu mulai berjalan di lapangan. Hasil penelusuran informasi menunjukkan kegiatan ini ternyata memiliki muatan politik yang kuat di tengah maraknya persiapan pemilihan kepala daerah secara langsung di Kabupaten Muara Enim dan memiliki kepentingan ekonomi yang kuat terkait potensi kayu yang cukup besar ketika kegiatan persiapan lahan dilakukan. Ijin terhadap rencana Pusbahsus ternyata tidak dikeluarkan oleh
14
Menteri Kehutanan dan kegiatan yang telah berjalan berhenti tanpa ada kejelasan tanggung jawab terhadap lahan yang telah dipersiapkan. Hal ini memberikan pembelajaran yang tidak baik terhadap masyarakat sekitar tentang akses penebangan dan pembukaan lahan yang ternyata bisa dilakukan di dalam areal tersebut. Masyarakat pendatang (yang kemudian menetap) yang menjalankan aktivitas konversi hutan menjadi kebun-kebun komersial atau pembalakan liar (illegal logging) (Gillis, 1988; Potter, 1996; Vayda, 1996; Vayda, 2009) juga mendorong masyarakat setempat untuk melakukan hal yang sama . Setelah kegiatan pusbahsus mengalami kegagalan, pihak yang berwenang untuk mengelola areal produksi benih tidak diketahui dan areal dibiarkan tanpa pengelolaan sehingga membuka peluang masyarakat untuk mengelola areal tersebut. Pada tahun 2004, areal tersebut ditunjuk menjadi Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Suban Jeriji untuk kegiatan penelitian dan pengembangan. Hal spesifik mengenai pengelola areal tersebut tidak dijelaskan dalam surat penunjukkan. Baru kemudian pada akhir bulan Desember tahun 2014 Balai Penelitian Kehutanan Palembang ditunjuk oleh Badan Litbang dan Inovasi Kehutanan menjadi pengelola KHDTK Suban Jeriji. Kondisi areal tersebut saat ini sebagian besar telah dikuasai oleh pihak lain karena lamanya tidak ada pengelolaan terhadap areal tersebut dan menjadi tantangan tersendiri dalam pengelolaannya. Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa pengelolaan KHDTK Suban Jeriji selama ini belum dilakukan dengan baik walaupun luasannya relatif kecil, 761,98 ha, dan memiliki potensi produksi benih variasi jenis tanaman kehutanan. Kekosongan pengelola kawasan (periode tahun 2000-an – 2014) telah menimbulkan permasalahan degradasi, pembalakan liar, deforestasi, dan penguasaaan lahan oleh pihak lain secara masif saat ini. Kondisi KHDTK saat ini merupakan akumulasi dari berbagai persoalan mendasar yang dihadapi dalam pengelolaan hutan yang belum menempatkan masyarakat sebagai bagian dari pengelolaan hutan secara komprehensif. Pemahaman interkasi hutan-masyarakat menjadi penting dalam konteks pembangunan kehutanan. Pemerintah sering menempatkan masyarakat sebagai obyek dan bukan subyek, pihak swasta sering menempatkan masyarakat sebagai plaksana program-program perusahaan yang
15
seolah-olah sesuai dengan kepentingan masyarakat yang pada kenyataannya tidak selalu demikian (Suharjito, 2014). 1978/1 •Areal produksi benih tanaman kehutanan, dibangun oleh Dirjen Kehutanan 980 1986
1991
•Dikelola PT INHUTANI I
•Dikelola PT. INHUTANI V
2000- •Berhenti pengeloaan karena kondisi perusahaan yang bangkrut an 2000
2004
2014
•Rencana pembangunan Pusat Perlebahan Sumsel, diinisiasi tokoh politik Sumsel, namun gagal karena izin dari Dephut tidak keluar •Ditetapkan sebagai KHDTK Subanjeriji •Balai Penelitian Kehutanan Palembang ditunjuk sebagai pengelola sebagai areal litbang
Gambar 2. Dinamika Pengelolaan KHDTK Suban Jeriji C. Penguasaan Lahan oleh Para Pihak di KHDTK Suban Jeriji Penguasaan lahan KHDTK Suban Jeriji dimulai pada awal dekade 2000-an seiring dengan rencana pembangunan Pusat Perlebahan Sumatera Selatan yang kemudian gagal. Pada awalnya masyarakat mencoba memanfaatkan areal alangalang bekas terbakar untuk tanaman palawija. Kegiatan masyarakat ternyata tidak ditindak dengan tegas oleh pihak kehutanan dan masyarakat mencoba menanam karet. Kekosongan pengelolaan menyebabkan tidak adanya tindakan pencegahan dan pelarangan penguasaan kawasan hutan. Penguasaan kawasan hutan oleh masyarakat menyebabkan konflik yang terpendam antara para penguasa lahan yang terus bertambah jumlahnya dengan negara sebagai penguasa formal kawasan hutan. Bila ditelaah lebih lanjut, proses penguasaan lahan yang terjadi oleh masyarakat berkaitan dengan permasalahan mendasar politik pembangunan kehutanan selama ini di Indonesia. Masyarakat ditempatkan sebagai pihak yang marjinal dengan peluang partisipasi dalam pembangunan kehutanan yang minim
16
dan sering ditempatkan sebagai pihak yang mengganggu dan merusak hutan (Suharjito, 2014). Penggunaan lahan oleh para pihak di dalam KHDTK Suban Jeriji telah berlangsung lebih dari 10 tahun lalu. Pada tahun 2004, aktivitas penggunaan lahan oleh pihak lain di areal tersebut telah dilaporkan oleh pihak staf kehutanan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Muara Enim dengan luasan mencapai 50 ha. Tidak adanya pihak yang mengelola dan berwenang terhadap pengelolaan areal tersebut bermuara pada penguasaan lahan oleh pihak lain yang terus berlangsung. Tidak adanya tindakan yang tegas terhadap penguasaan lahan tersebut juga memberikan peluang bagi pihak-pihak lainnya untuk terus menguasai lahan areal produksi benih Suban Jeriji. Penguasaan lahan terus berlangsung berdasarkan laporan UPTD Dinas Kehutanan Muara Enim pada tahun 2010. Bupati Muara Enim pada tahun 2010 mengeluarkan edaran tentang larangan menduduki kawasan hutan berdasarkan kondisi penguasaan kawasan hutan oleh pihak lain di wilayah Muara Enim.
Kebun gagal yang dikelola masyarakat
Kebun karet yang telah disadap
Kebun karet muda
Kebun palawija
Gambar 3. Kondisi lahan di KHDTK Suban Jeriji yang dikelola masyarakat
17
Proses penguasaan lahan di KHDTK Subanjeriji oleh para pihak melalui berbagai tahapan yang saling berkaitan terkait kondisi KHDTK Subanjeriji. Saat ini, sebagian besar lahan yang dikuasai telah menjadi kebun karet dengan umur yang bervariasi dari mulai tanam sampai dengan yang telah disadap (umur lebih dari 8 tahun). Berikut ini adalah skema sederhana mengenai proses penguasaan lahan oleh para pihak di KHDTK Subanjeriji.
Penebangan ilegal
KHDTK Subanjeriji minim pengelolaan
Kebakaran
Klaim lahan
Dibuka untuk dikelola
Kebun palawija, kebun karet, kebun gagal
Ditebas untuk spekulasi
Beralih penguasaan ke pihak lain untuk dibangun kebun karet atau dibiarkan sementara (kebun karet, alang-alang)
Dijual karena kebutuhan
Beralih penguasaan ke pihak lain untuk dibangun kebun karet, kebun singkong atau tetap semak belukar
Dibiarkan untuk investasi
Alang-alang, semak belukar yang akan dibuka sewaktuwaktu, tapi tidak dijual
Gambar 4. Skema penguasaan lahan oleh para pihak di KHDTK Subanjeriji Para pihak yang menguasai lahan di KHDTK Subanjeriji saat ini dapat dibedakan menjadi 3 pihak berdasarkan asal dan keberadaan para pihak tersebut. Para pihak tersebut adalah: 1. Masyarakat lokal Subanjeriji. Individu
dan
secara
berkelompok
masyarakat
lokal
Subanjeriji
(masyarakat yang telah berdomisili tetap lebih dari 20 tahun di Subanjeriji) lahan KHDTK Subanjeriji. Kelompok masyarakat ini mengetahui secara
18
pasti situasi dan kondisi terkini KHDTK Subanjeriji. Masyarakat lokal Subanjeriji secara umum cenderung untuk menguasai lahan yang lokasinya dekat ke permukiman dan mudah diakses. Hal ini untuk kemudahan pengawasan dan pengelolaan lahan yang dilakukan. 2. Masyarakat pendatang yang tinggal di Subanjeriji Masyarakat yang berasal dari berbagai daerah di luar Subanjeriji seperti sekitar Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Ogan Ilir mulai berdatangan ke Subanjeriji dalam 3-4 tahun terakhir untuk menguasai dan mengelola lahan di Subanjeriji. Mereka membeli lahan-lahan di KHDTK Subanjeriji dengan harga murah mulai dari Rp. 3-10 juta/ha untuk dijadikan kebun karet. Pendatang lainnya berasal dari Lampung yang datang dan menetap sejak 3 tahuh lalu dan membeli lahan untuk dijadikan kebun singkong racun. 3. Masyarakat luar Subanjeriji Masyarakat ini berasal dari Palembang, sekitar Muara Enim dan Palembang yang memiliki kemampuan ekonomi yang mapan dan menguasai lahan di KHDTK dengan cara membeli. Tujuan penguasaan lahan tersebut untuk investasi karena penguasaan lahan yang cukup luas. Sementara ini terdapat 4 orang yang menguasai lahan masing-masing lebih dari 20 ha yang bertujuan untuk pembangunan kebun karet. Informasi mengenai peluang penguasaan lahan diperoleh mereka dari warga Subanjeriji yang bertindak sebagai makelar jual-beli lahan. Para pihak yang menguasai lahan di KHDTK Suban Jeriji memiliki beragam akses dalam upaya menguasai dan mempertahankan lahannya. Ribot dan Peluso
(2003)
menjelaskan
setidaknya
ada
beberapa
hal
yang dapat
mempengaruhi akses, diantaranya adalah teknologi, kapital, pasar, tenaga kerja, pengetahuan, otoritas, identitas sosial dan relasi sosial. Aktor dapat memiliki dan menguasai berbagai jenis akses sekaligus ataupun bergantung hanya kepada satu jenis akses saja. Berikut ini adalah akses yang dimiliki para pengelola lahan di KHDTK Suban Jeriji.
19
Tabel 1. Kepemilikan akses dan cara mempertahankan akses para pihak penguasa lahan di KHDTK Suban Jeriji Aktor Akses yang dimiliki Cara mempertahankan penguasaan Penguasa dalam menguasai lahan dan cara memperoleh aliran lahan lahan manfaat Masyarakat lokal
Akses informasi, Delineasi areal yang belum dikelola identitas dan relasi dengan rintisan, penanaman tanaman sosial, tenaga kerja, buah, kegiatan pengelolaan aktif (kebun palawija, kebun karet)
Masyarakat pendatang
Akses kapital, akses Pengelolaan aktif lahan melalui relasi sosial, akses pembangunan kebun palawija, kebun pengetahuan, akses karet, kebun singkong racun, tenaga kerja
Masyarakat luar
Akses kapital, akses pengetahuan, akses informasi, akses komunikasi terhadap pemerintah desa dan kecamatan (akses terhadap otoritas)
Menjalin komunikasi aktif dengan aparat desa dan kecamatan, pengelolaan lahan aktif melalui pembangunan kebun karet, mempekerjakan orang lokal di lahan yang dikuasainya, mempekerjakan orang luar untuk tinggal dan mengolah lahan yang dikuasainya,
Masyarakat luar dan pendatang yang menempatkan lahan yang dikuasainya sebagai investasi memiliki akses kapital yang cukup memadai untuk kemudian menggerakkan sumberdaya lainnya dalam mengelola lahan. Studi Priyatna, et al., (2013) juga mengemukakan pentingnya kapital dalam mekanisme akses penguasaan sumberdaya. Dengan adanya akses kapital maka dengan mudah kekuatan finansial dan teknologi dimanfaatkan ke dalam proses ekstraksi, produksi, mobilisasi tenaga kerja, dan kegiatan lainnya terkait upaya menarik manfaat sumber daya atau aktor lainnya (Ribot dan Peluso, 2003). Aktor ini juga memiliki akses terhadap otoritas untuk menjaga kepentingannya dalam menguasai lahan. Hal tersebut seperti yang diungkapkan berikut ini.
20
“Saya sudah dari dulu bolak balik ke sini, tapi dulu untuk berburu. Saya dari dulu udah kenal sama almarhum sama mantan kades bapaknya Muntara itu. Kemudian saya membeli lahan di INHUTANI ini dari orang Suban untuk saya bangun kebun singkong. Masyarakat sini cuma mengandalkan karet dan belum mau untuk mencoba hal baru, padahal di Lampung udah lama menanam singkong dengan keuntungan yang lumayan.”(Bapak A, Dusun 2, Suban Jeriji) Dalam kasus di KHDTK Suban Jeriji, terdapat aktor-aktor lain yang juga berperan dalam proses penguasaan lahan. Para aktor ini sebagian bahkan tidak menguasai lahan di KHDTK namun memiliki peran dalam mendukung proses penguasaan lahan oleh pihak lain. Para aktor yang sementara ini dapat diidentifikasi adalah: 1. Oknum aparat kecamatan Ada indikasi oknum kecamatan yang berperan dalam menyampaikan informasi kepada pihak luar tentang peluang penguasaan lahan di KHDTK Suban Jeriji dan memfasilitasi proses jual beli lahan serta proses pengurusan administrasinya. Namun saat ini oknum tersebut telah meninggal dunia. 2. Oknum mantan aparat desa Oknum ini diketahui ada yang berperan secara administrasi dalam pengalihan penguasaan lahan KHDTK kepada pihak lain di tingkat desa.
Akses
kewenangan
yang
dimilikinya
digunakan
untuk
mempermudah proses pengalihan penguasaan lahan. 3. Oknum masyarakat yang bertindak sebagai makelar Oknum ini bertindak sebagai penghubung antara penguasa lahan dengan calon pembeli lahan dari luar desa. Oknum ini memberikan informasi mengenai peluang penguasaan lahan, letak lahan, kondisi penutupan lahan dan harga jualnya kepada pihak-pihak luar yang tertarik. Analisis lanjutan diperlukan untuk memperdalam dan menelusuri informasi mengenai proses penguasaan lahan dan para aktor yang terlibat. Perkembangan mengenai hal tersebut dapat mengungkap lebih jelas mengenai para pihak yang
21
terlibat dalam proses penguasaan lahan di KHDTK Suban Jeriji. Hal ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam proses penyusunan rencana pengelolaan KHDTK Suban Jeriji. Proses kerusakan hutan dan penguasaan kawasan hutan dalam perspektif sosial ekologi merupakan cerminan atas penguasaaan manusia atas alam yang akarnya berada pada penguasaan manusia atas manusia (Suharjito, 2014) Penguasaan lahan oleh para pihak terus terjadi sampai dengan saat ini. Terdapat beberapa hal yang menyebabkan kegiatan penguasaan lahan oleh pihak lain terus berlangsung dan semakin marak terjadi setelah tahun 2010, yaitu: 1. Tidak adanya kejelasan pengelola, lemahnya penegakan hukum dan solusi terhadap pelaku penguasaan lahan. Laporan mengenai terjadinya pembalakan liar dan perambahan telah dilakukan oleh staf dinas kehutanan namun tindak lanjut di lapangan tidak dilakukan. Ketidakjelasan instansi yang berwenang dalam mengelola areal tersebut merupakan permasalahan mendasar. 2. Kegiatan penebangan kayu ilegal yang marak terjadi dan melibatkan oknum aparat memberikan pemahaman dan membuka pandangan bagi para pihak lainnya untuk menguasai lahan KHDTK. Tindakan oknum aparat ini telah menjadi pemicu bagi masyarakat yang selama ini menahan diri untuk tidak menguasai lahan eks INHUTANI yang bukan menjadi haknya. 3. Kebakaran hutan di areal KHDTK yang memudahkan para pihak untuk menguasai lahan. Kebakaran telah membuat areal terlihat siap untuk dibersihkan dan dikelola dengan sumberdaya yang minim. Hal ini menjadi pemicu masyarakat untuk melakukan budidaya tanaman palawija pada areal yang bekas terbakar dan kemudian menanaminya dengan karet. 4. Adanya pernyataan pejabat Kabupaten Muara Enim tentang pemanfaatan lahan terlantar di sekitar desa yang diinterpretasikan secara sepihak oleh masyarakat sebagai bentuk persetujuan untuk menguasai lahan KHDTK secara sepihak di lapangan. Penguasaan lahan oleh para pihak yang terjadi dengan cepat oleh banyak pihak menyebabkan sebagian besar lahan KHDTK Subanjeriji saat ini telah
22
dikuasai pihak lain dengan beragam pola penggunaan lahan. Penggunaan lahan oleh para pihak di KHDTK Subanjeriji saat ini terdiri dari: 1. Kebun karet. Hal ini menjadi kondisi penggunaan lahan yang dominan dengan umur tanaman yang bervariasi. Selain kebun karet monokultur, terdapat juga kebun karet campuran dengan jenis tanaman Tembesu (Fragraea fragrans), Gaharu (Aquilaria malaccensis), Mahoni (Swietenia macrophylla), dan Mangium (Acacia mangium). 2. Kebun singkong racun. Kebun ini merupakan hal baru di Subanjeriji dan diinisiasi oleh petai dari Lampung dalam 2-3 tahun terakhir. Sebagian besar kebun singkong diusahakan oleh petani pendatang dengan minat petani lokal yang terus meningkat terhadap jenis ini karena keuntungannya yang menjanjikan. 3. Kebun karet gagal. Kebun karet yang tidak dikelola kembali karena serangan hama atau karena kebakaran dan menyisakan sebagian kecil tanaman karet. Karena alasan modal dan pengaturan waktu, kebun ini tidak dikelola sampai dengan saat ini. 4. Kebun sawit.
Kebun ini hanya ditemui di satu lokasi dengan umur
tanaman sekitar 4 tahun. Tanaman sawit ini sudah mulai dipanen namun pemeliharaannya kurang teratur. 5. Alang-alang, semak belukar. Lahan ini merupakan lahan yang belum dikuasai pihak lain dan lahan yang telah dikuasai para pihak. Lahan ini biasanya berada di lokasi yang relatif sulit diakses. Namun pada beberapa lokasi lahan ini berada pada posisi yang strategis, telah dikuasai para pihak, dan ditempatkan sebagai investasi. Cara-cara penguasaan lahan yang dilakukan oleh para pihak cukup beragam tergantung dari kemampuan yang dimilikinya. Berikut ini adalah caracara penguasaan lahan berdasarkan sumberdaya yang dimiliki: 1. Membuka sendiri dengan cara perorangan maupun berkelompok. Hal ini biasanya dilakukan oleh masyarakat lokal, baik yang memiliki modal maupun yang minim modal. Kemampuan yang dimiliki perorangan memungkinkannya untuk menandai lahan yang dikuasainya dengan membuat rintisan, membuat batas dengan cat dan menancapkan papan
23
nama pemilik. Kalangan perorangan ini menjadi pionir dalam penguasaan lahan atau menjadi pihak yang terakhir membuka lahan di sekitar KHDTK.
Pembukaan
secara
berkelompok
dilakukan
berdasarkan
kedekatan hubungan keluarga dan hubungan tetangga. 2. Menguasai lahan dengan cara membeli. Hal ini dilakukan oleh masyarakat lokal yang memiliki modal namun tidak memiliki waktu untuk membuka lahan dan biasanya berprofesi non-tani. Hal ini juga dilakukan oleh masyarakat luar yang memiliki kemampuan modal dan memiliki akses terhadap oknum-oknum tertentu di Desa Suban Jeriji. 3. Menguasai lahan dengan cara paro (bagi hasil). Hal ini ditemui pada masyarakat pendatang yang minim modal namun memiliki kemampuan teknis budidaya karet. Pendatang ini diminta untuk membangun kebun karet oleh penguasa lahan dalam luasan tertentu sesuai dengan persetujuan yang disepakati dan bila kebun karetnya telah berumur 1-2 tahun maka penguasaan kebun karet dibagi dengan pendatang tersebut. C. Praktik (best practises) pengelolaan lahan hutan kolaboratif bagi pembelajaran pengelolaan KHDTK Subanjeriji Tempat yang dipilih untuk dijadikan contoh praktik (best practises) dalam pengelolaan hutan kolaboratif bagi pengelolaan KHDTK Subanjeriji adalah Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman Lampung atau yang lebih dikenal dengan Tahura WAR. Tahura WAR merupakan salah satu Tahura yang berada di Pulau Sumatera dan dianggap telah berhasil dalam pengelolaan hutan dengan sistem pengelolaan kolaborasi bersama masyarakat. Tahura WAR telah mengalami beberapa perubahan kelembagaan formal yang mempengaruhi sistem pengelolaannya. Pengelolaan Tahura pada masa sebelum reformasi sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Hal ini menyebabkan hutan menjadi rusak, karena berbenturan dengan tuntutan pemenuhan hidup masyarakat. Kebakaran hutan, penebangan pohon dan pembukaan lahan hutan untuk pertanian dilakukan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Setelah reformasi tahun 1998, terjadi perubahan kebijakan dimana masyarakat diperbolehkan turut serta mengelola hutan melalui Hutan Kemasyarakatan (Hkm). Hal ini diwujudkan melalui Surat Keputusan
24
Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.677/Kpts-II/1998 yang mengeluarkan izin sementara pengelolaan Hutan Kemasyarakatan kepada Gabungan Kelompok Pengelola dan Pelestari Hutan (GKPPH) di Sumber Agung, Kecamatan Kemiling, Kota Bandar Lampung (Juansyah dan Kurniadi, 2011) dan dikeluarkannya sertifikat Ijin Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan Sementara No.21/IV/PHK2/1999 seluas 492,75 hektar dengan jangka waktu pengelolaan selama 5 (lima) tahun. Tahun 2001 kebijakan pengelolaan hutan dalam bentuk Hkm dicabut, sehingga pada tahun 2004 masyarakat tidak dapat melakukan perpanjangan izin Hkm. Pada tahun 2012 melalui Perda Provinsi Lampung Nomor 3 tahun 2012, pengelolaan Tahura WAR kembali dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar dengan sistem Pengelolaan Kolaborasi. Pengelolaan kolaborasi di Tahura WAR dilakukan atas dasar untuk menyelesaikan masalah Tahura secara bersama-sama dengan masyarakat sekitar dengan tujuan meningkatkan pengelolaan sumberdaya alam. Pemangku kepentingan atau stakeholder yang turut serta dalam pengelolaan Tahura WAR dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Pemangku kepentingan di Tahura WAR No
Pemangku Kepentingan
1.
Dinas Kehutanan dan UPTD Tahura
Tanggung jawab pengelolaan Kelestarian hutan Kesejahteraan masyarakat sekitar hutan
2.
Lembaga Penelitian Pendidikan
Penelitian pendidikan
dan
Kepentingan
Peran
dan
Program dan kegiatan pengelolaan Penempatan dan peningkatan SDM Pengelola Pemberdayaan masyarakat Menyediakan, menyajikan dan memberi masukan terkait data-data yang diperlukan dalam pengelolaan hutan
25
3.
Lembaga Swadaya Masyarakat
Kelestarian kawasan Pemberdayaan masyarakat
Penguatan kelembagaan Pemberdayaan masyarakat
4.
Masyarakat (Kelompok Pengelola dan Pelestari Hutan)
Tanggung jawab pengelolaan Sumber mata pencaharian
Mendukung kegiatan pengelolaan Menjaga kawasan tetap lestari Kesejahteraan masyarakat.
Sumber: Data primer penelitian (diolah) Setiap pemangku kepentingan memiliki kepentingan dan perannya masing-masing dalam pengelolaan hutan. Perlunya komitmen dalam menjaga kepentingan dan peran setiap pemangku kepentingan dapat menjamin keberlangsungan pengelolaan Tahura WAR. Pada tahun 2002, kebijakan pemerintah telah membatasi turut sertanya lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam mendampingi masyarakat dan menyerahkan pengelolaan Tahura WAR pada pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Kehutanan dan UPTD Tahura WAR. Hal ini menjadikan Kelompok Pengelola dan Pelestari Hutan (KPPH) dan UPTD Tahura WAR menjadi pemangku kepentingan utama dalam pengelolaan Tahura WAR. Dalam meningkatkan peran kelembagaan lokal dibentuk GKPPH yang berfungsi sebagai koordinator dari KPPH yang ada disetiap desa. GKPPH memiliki aturan yang mengikat bagi setiap anggotanya dan ditetapkan secara bersama-sama dengan melibatkan pemerintah daerah. Pelanggaran dari setiap aturan yang diterapkan akan dikenakan sanksi sesuai dengan kesepakatan bersama. Adapun aturan-aturan yang disepakati adalah antara lain: a) Anggota yang melanggar dengan membuka lahan di luar blok pemanfaatan (blok lindung), penyelesaiannya akan dilakukan langsung oleh Dinas Kehutanan dan diproses secara hukum. b) Anggota yang melanggar di blok pemanfaatan, penyelesaiannya akan dilakukan melalui GKPPH dan Kepala Rayon dengan berupa teguran, surat pernyataan dan hukuman yang telah disepakati bersama.
26
Pengelolaan kolaboratif yang dilakukan meliputi penentuan lokasi yang diperbolehkan dimanfaatkan oleh masyarakat, pendampingan dalam penentuan jenis tanaman yang akan ditanam di kawasan Tahura WAR dan pola tanam yang diterapkan oleh masyarakat. Pola Tanam dan Pemilihan Jenis Tanaman Sesuai dengan tujuannya untuk melestarikan keberadaan Tahura WAR, maka pola tanam yang diterapkan masyarakat adalah pola tanam campuran dengan sistem agroforestry. Dengan telah terbentuknya kesepahaman antara masyarakat
dan
pemerintah,
maka
dalam
pengelolaannya
masyarakat
mengkombinasikan berbagai jenis tanaman berkayu yang dapat memproduksi hasil hutan bukan kayu (HHBK). Jenis tanaman yang dipilih oleh masyarakat adalah tanaman tajuk tinggi (cempaka, medang, karet, durian, dll), tanaman tajuk tengah (kopi dan coklat), dan tanaman tajuk rendah (pisang, vanili dan lada). Pengambilan keputusan dalam memilih jenis tanaman yang akan dibudidayakan pada pengelolaan Tahura WAR selain didasarkan pada pengaruh ekonomi juga tetap memperhatikan aspek ekologi. Pendampingan dari pemerintah dilakukan untuk membangun kesepahaman pengelolaan dengan masyarakat. Aspek yang dipertimbangkan dalam pemilihan jenis tanaman selain untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat juga dapat menjaga kelestarian Tahura WAR. Perubahan nyata terlihat dari penutupan lahan di Tahura WAR dari sebelum melibatkan masyarakat dalam mengelola hutan dengan setelah melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan (Gambar 5.)
27
Gambar 5. Citra landsat penutupan lahan di Tahura WAR Pada gambar terlihat penutupan lahan pada tahun 2002 sebelum dilibatkannya masyarakat dalam pengelolaan hutan, terlihat banyak areal yang terbuka. Hal ini dikarenakan adanya pembukaan lahan oleh masyarakat untuk perladangan berpindah. Selain itu, tidak adanya pengetahuan mengenai jenis tanaman menyebabkan masyarakat memilih tanaman pertanian yang lebih cepat menghasilkan seperti sayur-sayuran dan tanaman semusim untuk di usahakan. Hal ini tidak hanya membuat kondisi hutan rusak, namun juga menimbulkan bencana bagi masyarakat dimana terjadi kekurangan air pada musim kemarau Setelah pengelolaan dilakukan secara kolaborasi dengan masyarakat, pemerintah dan masyarakat bersama-sama membangun kesepahaman dalam membangun hutan. Dengan pemilihan jenis tanaman yang tepat, kondisi hutan perlahan-lahan kembali hijau. Selain itu, peningkatan kesejahteraan masyarakat juga dirasakan oleh masyarakat. Hal ini terlihat dari semakin menurunnya rumah tangga miskin di sekitar areal Tahura WAR.
28
Pembelajaran Bagi Pengelolaan KHDTK Suban Jeriji Berdasarkan pembelajaran yang diperoleh dari pengelolaan kolaborasi Tahura WAR, tim peneliti mencoba untuk mengaplikasikannya pada pengelolaan KHDTK Suban Jeriji. Pada tahap awal kegiatan, dilakukan pendekatan kepada masyarakat yang menguasai lahan di areal KHDTK dan para stakeholder yang terlibat. Pendekatan dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan masyarakat terhadap KHDTK Suban jeriji, memberikan gambaran awal sejarah penguasaan lahan di KHDTK Suban jeriji dan untuk menggali potensi pengelolaan hutan secara kolaborasi bersama masyarakat yang nantinya akan bermuara pada kegiatan riset aksi. Salah satu kegiatan riset aksi yang diterapkan pada tahun ini adalah kegiatan penanaman dengan penentuan jenis tanaman dan pola tanam dilakukan secara kolaborasi bersama masyarakat. Namun, belum keseluruhan masyarakat yang dilibatkan pada kegiatan ini dikarenakan keterbatasan dana dan waktu. Pola tanam yang diterapkan adalah pola tanam campuran dan tumpang sari antara jenis tanaman musiman dengan jenis tanaman berkayu baik tanaman kehutanan maupun tanaman MPTS (buah-buahan). Jenis tanaman kehutanan yang dipilih adalah kayu bawang dan ganitri, sedangkan tanaman buah-buahan yang dipilih adalah petai, durian, mangga, nangka, dan jengkol. Sedangkan tanaman musiman yang dipilih adalah jeruk lemon, jahe, kunyit, temulawak dan kencur. Pemilihan jenis tanaman dan pola tanam dilakukan berdasarkan kesepakatan antara masyarakat dengan tim peneliti. Tanaman yang dipilih adalah tanaman yang dapat menghasilkan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang nantinya dapat membantu meningkatkan pendapatan masyarakat. Penanaman dilakukan pada lahan KHDTK Suban Jeriji yang dikuasai oleh masyarakat dengan sistem kerjasama.
29
V KESIMPULAN Penguasaan lahan di KHDTK Subanjeriji oleh para pihak merupakan kondisi yang terjadi secara umum di banyak kawasan hutan di Indonesia. Ketiadaan pengelola dan aktifitas pengelolaan KHDTK Subanjeriji yang jelas menjadi hal mendasar terjadinya penguasaan lahan oleh para pihak karena statusnya menjadi “lahan tidak bertuan”. Perkembangan Desa Subanjeriji yang berada di dalam kawasan hutan selama puluhan tahun telah meningkatkan jumlah penduduk desa dan tingkat kebutuhan lahan yang terus meningkat untuk berbagai penggunaan. Hal ini menjadikan KHDTK Subanjeriji menjadi sasaran perluasan lahan yang dibutuhkan masyarakat lokal Subanjeriji dan masyarakat dari luar Subanjeriji. Karet masih menjadi komoditas yang diandalkan masyarakat dalam memperoleh keuntungan dari lahan yang dikelola selama ini. Sedangkan singkong racun menjadi komoditas baru yang dapat memberikan keuntungan dalam waktu yang relatif cepat (7-8 bulan) dan mulai diminati masyarakat. Membangun komunikasi yang intensif dan produktif menjadi langkah penting dalam menata pengelolaan KHDTK Subanjeriji. Manajemen organisasi dan pengelolaan lahan menjadi pembelajaran penting dari Tahura WAR bagi pengelolaan KHDTK Subanjeriji. Keterlibatan para pihak dalam pengelolaan kolaboratif kawasan hutan menjadi hal penting yang dapat dipertimbangkan dalam rencana kemitraan pengelolaan KHDTK Subanjeriji. Pengelolaan lahan secara berkelompok menjadi pilihan yang dapat memudahkan pengaturan kawasan hutan yang telah dikuasai para pihak. Pola tanam campuran dengan beragam jenis tanaman dengan nilai ekonomi tinggi dan waktu panen yang berbeda merupakan pola budidaya yang mempertimbangkan kepentingan fungsi kawasan dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat diterapkan di KHDTK Subanjeriji seiring dengan fluktuatif harga komoditas karet yang terjadi sampai dengan saat ini. Kepentingan pengelola KHDTK dan para pihak pengelola lahan saat ini menjadi pertimbangan penting dalam mendorong kemitraan pengelolaan kawasan hutan.
30
DAFTAR PUSTAKA Andersson K., Benavides JP., Leon R. 2014. Institutional biodiversity and local forest management. Environmental Science & Policy 36: 61-72. Antara. 2013. Sekitar 48 Juta Hektare Hutan Produksi Terlantar. Berita antara news 4 september 2013. Diakses dari http://www.antaranews.com/berita/393923/sekitar-48-juta-hektare-hutanproduksi-terlantar pada tanggal 22 Januari 2015. Araujo, C., Bonjean, C.A., Combes, J.-L., Motel, P.C., Reis, E.J., 2009. Property rights and deforestation in the Brazilian Amazon. Ecol. Econ. 68, 2461– 2468. Boucher, D., 2010. Deforestation today: It’s Just Business. Tropical Forest and Climate. Union of Concerned Scientists, Briefing 7. Bruce, JW. 1998. Review of tenure terminology. Tenure Brief No. 1. University of Wisconsin-Madison. USA. Damnyag L., Saastamoinen O., Appiah M., Pappinen A.., 2012. Role of tenure insecurity in deforestation in Ghana’s high forest zone. Forest Policy and Economics, 14:90-98. FAO. 2002. Land Tenure and Rural Development. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Roma, Italia. Gillis M. 1988. Indonesia: Public Policies, Resource Management, and the Tropical orest. Dalam Repetto R. and Gillis M. (eds). Public Policies and the Misuse of Forest Resources. Cambridge University Press, Cambridge. Habermas, J. (1987). The theory of communicative action. Volume 1: Reason and the rationalization of society (T. McCarthy, Trans). Cambridge, United Kingdom: Polity Press. Hemmati M., 2002. Multistakeholder Processes for Governance Sustainability: Beyond Deadlock and Conflict. London: Earthscan.
and
Jagger P., Luckert MK., Duchele AE., Lund JF., Sunderlin WD. 2014. Tenure and forest income: Observations from a global study on forests and poverty. World Development Vol. 64, pp: S43 –S55. Kemenhut. 2011. Statistik Kehutanan Indonesia 2011. Kementerian kehutanan. Jakarta.
31
Nelson A, Chomitz KM. 2009. Protected area effectiveness in reducing tropical deforestation: a global analysis of the impact of protection status. Independent Evaluation Group Evaluation Brief 7. The World Bank, Washington, DC. Oliveira JAP. 2008. Property rights, land conflicts and deforestation in the Eastern Amazon. Forest Policy and Economics 10: 303-315. Porter-Bolland L, Ellis EA, Guariguata MR, Ruiz-Mallen I, Negrete-Yankelevich S, Reyes Garcia V. 2012. Community managed forests and forest protected areas: an assessment of their conservation effectiveness across the tropics. Forest Ecology and Management 268 (1): 6–17. Potter L. 1996. Forest Degradation, Deforestation, and Reforestation in Kalimantan: Towards a Sustainable Land Use ? Dalam Padoch C. and Peluso NL. (eds). Borneo in Transition: People, Forests, Conservation, and Development. Oxford University Press, Kuala Lumpur. Priyatna, F.N., Kinseng, R.A. dan A. Satria. 2013. Akses dan Strategi Aktor Aktor dalam Pemanfaatan Sumberdaya Waduk Djuanda. Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol. 8 No.1. PT. INHUTANI V. 1996. Rencana Karya Tahunan Pengelolaan Sumber Benih Subanjeriji. PT. INHUTANI V Sumatera Selatan. Reydon BP., Fernandes VB., Telles TS. 2015. Land tenure in Brazil: The question of regulation and governance. Land Use Policy 42: 509-516. Ribot, J.C. dan Peluso, N.L. 2003. A Theory of Access. Rural Sociology 68 (2): 153-181. Rudel, T.K., R. Defries, G.P. Asner, W.F. Laurance, 2009. Changing drivers of deforestation and new opportunities for conservation. Conservation Biology, Volume 23 No.6: 1306 – 1405. Suharjito, Didik. 2013. Reforma Agraria di Sektor Kehutanan: Mewujudkan Pengelolaan Hutan Lestari, Keadilan Sosial dan Kemakmuran Bangsa. Dalam Kembali ke jalan lurus: kritik penggunaan ilmu dan praktek kehutanan Indonesia ed. Hariadi Kartodihardjo. FORCI Development. Suharjito, D. 2014. Devolusi Pengelolaan Hutan dan Pembangunan Masyarakat Pedesaan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor UU No.41 Tahun 1999. Tentang: Kehutanan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 167. Sekretariat Negara. Jakarta.
32
Vayda AP. and Sahur A. 1996. Bugis Settlers in East Kalimantan’s Kutai National Park. Center for International Forestry Research, Bogor. Vayda AP. 2009. Explaining Human Actions and Environmental Changes. AltaMira Press, Lanham Wibowo, L. R dan I. Hakim. 2013. Politik di Balik Kancah Perebutan Penguasaan Lahan “terlantar” di Kawasan Hutan Negara. Dalam Jalan Terjal Reforma Agraria di Sektor Kehutanan ed. Ismatul Hakim dan Lukas R Wibowo. Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Bogor. Williamson, O.E. 1996. The Mechanism of Governance. Oxford University Press, Inc. New York, USA. Wiradi, G. 2013. Masalah Kehutanan dalam Konteks Reforma Agraria. Dalam Jalan Terjal Refor,a Agraria di Sektor Kehutanan ed. Ismatul Hakim dan Lukas R Wibowo. Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Bogor. Wiradi, G. 2009. Metodologi Studi Agraria: Karya Terpilih Gunawan Wiradi. Bogor: Sajogyo Institute.
33