KATA PENGANTAR
Sebagai salah satu kawasan konservasi, Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) merupakan bagian dari Kepulauan Karimunjawa yang terletak di Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Perubahan status kawasan tersebut dari cagar alam menjadi taman nasional adalah agar dapat meningkatkan pengelolaan dan mewujudkan pengaturan pemanfaatan sumberdaya alam hayati bagi masyarakat di dalam kawasan tersebut yang sekitar 70% adalah nelayan. Pemanfaatan sumberdaya alam hayati khususnya perikanan di Karimunjawa mendapatkan dukungan pemerintah daerah setempat melalui adanya pemberian ijin penggunaan berbagai macam alat tangkap perikanan; salah satunya adalah alat Muroami. Sejak alat tersebut dioperasikan, telah terjadi pro dan kontra sehubungan dengan cara pengoperasian alat tersebut dikaitkan dengan dampak ekologi yang ditimbulkan serta efek kesehatan bagi nelayannya Sebagai salah satu wujud kerjasama Wildlife Conservation Society (WCS) dengan Balai TNKJ, maka melalui program kelautan WCS, telah dilaksanakan Studi Perikanan Muro-Ami di Kepulauan Karimunjawa pada tahun 2003 secara intensif dan penuh kesungguhan. Hasil studi tersebut yang antara lain memuat data, fakta dan gambar perikanan tangkap Muro-ami telah pula disampaikan kepada pemerintah daerah terkait untuk dijadikan bahan penyempurnaan kebijakan, khususnya dalam pemanfaatan secara lestari sumberdaya perikanan di perairan Karimunjawa. Kepada Direktur WCS Indonesia Program kami ucapkan terima kasih atas responnya yang sangat posistf dalam mendukung pengelolaan TNKJ. Khusus kepada seluruh pelaksana studi Rizya, Shinta, Joni, Ahmad dan Yudi, kami haturkan salut dan terima kasih atas segala jerih payahnya mengikuti kegiatan nelayan muro-ami, semoga kalian senantiasa betah dan tetap bersemangat dalam penugasan kegiatan konservasi di TNKJ. Akhir kata semoga laporan tersebut bermanfaat bagi seluruh pihak terkait dalam mewujudkan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari di Kepulauan Karimunjawa; khususnya di Taman Nasional Karimunjawa
Semarang, Juni 2004, Kepala Balai Taman Nasional Karimunjawa
Puspa Dewi Liman
2
RINGKASAN EKSEKUTIF
Antara bulan Oktober 2002 dan Maret 2003 Wildlife Conservation Society (WCS) melaksanakan studi sosial-ekonomi dan ekologi yang terintegrasi mengenai perikanan jaring muro-ami di Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah, Indonesia. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengukur tekanan penangkapan muro-ami pada populasi ikan dan meningkatkan kapasitas peneliti lokal, mengidentifikasi ancamannya terhadap ekosistem terumbu karang, dan mengidentifikasi strategi pengelolaan yang efektif untuk mencapai tujuan konservasi terumbu karang dan dimana faktor-faktor sosialekonomi mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan atas strategi tersebut. Perikanan muro-ami diidentifikasi merupakan salah satu ancaman bagi ekosistem terumbu karang di kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Kondisi alam yang berbeda-beda dan terintegrasi dalam studi ini membuat kita dapat mengukur ancamanancaman dari alat tangkap ini pada tipe habitat yang berbeda-beda. Analisis sosialekonomi memberikan pandangan dari persepsi masyarakat mengenai dampak perikanan muro-ami dibandingkan metode penangkapan lainnya terhadap terumbu karang. Analisis ini akan menyajikan panduan informatif bagi lembaga-lembaga yang bekerja di bidang konservasi di Taman Nasional Karimunjawa. Spesies target utama perikanan muro-ami adalah ikan ekor kuning (Caesio cuning) dari famili Caesionidae. Dalam banyak kasus C. cuning adalah satu-satunya spesies yang bernilai ekonomis dari hasil tangkapan muro-ami, sementara spesies ikan lainnya dianggap hasil sampingan dan biasanya dibagikan kepada anggota nelayan muro-ami. Seringkali sejumlah besar ikan bernilai tinggi lainnya (seperti ikan kuwe, Carangidae) juga tertangkap oleh muro-ami. Survey menunjukkan bahwa ikan ekor kuning hanya 27.61% dari tangkapan keseluruhan, dimana hal ini menunjukkan bahwa penangkapan ikan ekor kuning tidak lestari dan muro-ami nampaknya menangkap jenis ini secara berlebihan. Dibandingkan dengan tipe alat tangkap lain, perikanan muro-ami sangat produktif dengan rata-rata hasil tangkapan 5,6 kg/nelayan/hari. Rata-rata luas area dalam satu operasi muro-ami adalah 2,4 Hektar, atau sekitar 80x300 m2. Biomassa ikan yang tertangkap oleh satu kali operasi dalam satu area berkisar antara 4,83 kg/Ha hingga 127,71 kg/Ha (rata-rata = 62,76 kg/Ha). Hal ini sebanding dengan 150 kg ikan diambil dari perairan Karimunjawa setiap musim per satu hari operasi perikanan muro-ami. Studi ini menyoroti bahwa muro-ami yang sekarang beroperasi menangkap ikan hingga lebih dari 5 kali lipat dibanding dengan metode penangkapan lainnya, dan metode yang dilakukan dapat memberikan dampak langsung berupa kerusakan fisik pada terumbu karang. Masalah-masalah kesehatan juga diderita para nelayan muroami dan survey sosial-ekonomi menunjukkan bahwa pelarangan muro-ami akan mendapat dukungan dan penerimaan masyarakat, terutama jika metode penangkapan alternatif dapat diidentifikasi dan diimplementasikan. Bekerja sama dengan pemerintah lokal dan Balai Taman Nasional setempat, WCS bertujuan membantu pengawasan dalam pelarangan perikanan muro-ami di Karimunjawa dengan mengajukan teknik pengelolaan yang memasukkan komponen masyarakat sebagai bagian dari pengelolaan terpadu dan perencanaan zonasi oleh BTNKJ. WCS dan pihak-pihak terkait lainnya akan melakukan pengawasan efektivitas pengelolaan secara berkala dengan membandingkan kondisi sebelum dan setelah penerapan manajemen baru tersebut.
3
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kepulauan Karimunjawa terletak sekitar 150 km arah utara Semarang, terdiri dari 27 pulau dimana 22 pulau diantaranya berada dalam kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Kepulauan ini berpenduduk sekitar 9.000 jiwa, sebagian besar mata pencahariannya tergantung pada perikanan setempat. Sekitar 60% penduduk kepulauan merupakan nelayan yang memberikan tekanan ekologis yang besar pada ekosistem (seperti terumbu karang, lamun, hutan bakau dan sumberdaya perikanan). Pengelolaan perikanan di Indonesia harus memperhitungkan masyarakat lokal yang menggantungkan kehidupan mereka pada sejumlah besar populasi perikanan dan sumberdaya alam. Pengelolaan perikanan yang kompleks secara alamiah, terdiri atas campuran dari prinsip-prinsip pengelolaan ekologis, sosial dan ekonomi, digarisbawahi oleh kenyataan bahwa produksi perikanan di Karimunjawa sangat esensial secara sosial dan ekonomi tanpa alternatif yang nyata. Dengan keberadaan praktek-praktek pengelolaan perikanan yang tidak lestari, kondisi stok ikan dan sumberdaya alam laut di Karimunjawa mengalami penurunan. Peraturan-peraturan yang ada saat ini tidak berpihak pada nelayan kecil, keuntungan diperoleh dari operasi perikanan skala besar, dan hal ini yang menjadi daya tarik perikanan di luar Karimunjawa. Apakah kondisi ini merupakan awal dari “tragedy of common” di Karimunjawa? Saat ini tanggung jawab pemerintah kabupaten adalah menetapkan suatu peraturan dan merasionalisasikan pengelolaan sumberdaya perikanan. Rasionalisasi ini akan menghasilkan efisiensi pemanfaatan sumberdaya dan menghindari eksploitasi berlebihan, menjelaskan kepemilikan wilayah laut yang tidak jelas aturannya. Efisiensi pemanfaaran sumberdaya dapat diwujudkan dengan menetapkan batas-batas pengelolaan yang jelas dalam kerangka zonasi untuk mencegah pemanfaatan sumberdaya yang tidak lestari.
4
Usaha untuk melindungi dan memanfaatkan sumberdaya perikanan di Karimunjawa secara lestari harus berupa usaha kolaboratif dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Untuk mencapai tujuan ini, sangatlah penting mendapatkan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan di Karimunjawa untuk mengurangi
konflik
sumberdaya.
Dukungan
institusional
dari
semua
tingkat
pemerintahan dan masyarakat dibutuhkan mewujudkan tujuan ini. Perikanan muro-ami cukup lazim dipraktekkan di Kepulauan Karimunjawa dan menghasilkan hasil tangkapan yang tinggi untuk setiap unit usahanya. Sejumlah besar modal diperlukan untuk menjalankan operasi penangkapan muro-ami, namun hasil tangkapan yang tinggi menjadikannya sebagai usaha yang menguntungkan bagi pihakpihak luar. Dalam sebuah operasi, pemilik kapal dari Karimunjawa mempekerjakan sekelompok nelayan untuk menjalankan operasi. Para nelayan dibayar dalam jumlah yang bervariasi untuk pekerjaan mereka dan dapat mengambil hasil tangkapan sampingan untuk kebutuhan mereka sendiri. Hubungan antara pemilik kapal dan nelayan serta hubungan antar nelayan itu sendiri sangat perlu dipelihara untuk menjaga kelancaran operasi. Aktifitas perikanan muro-ami dilaksanakan disekitar atau pada daerah terumbu karang, frekuensi operasi yang tinggi dan memperoleh hasil tangkapan yang tinggi pula. Sebagai tambahan, muncul potensi masalah kesehatan terhadap para penyelam jaring muro-ami yang seringkali mengabaikan prosedur penyelaman yang aman. Laporan ini menjelaskan studi perikanan muro-ami di kawasan Taman Nasional Karimunjawa yang dilaksanakan oleh Wildlife Conservation Society (WCS) Asia Pacific Coral Reef Program di Indonesia kedalam aspek-aspek ekologis dan sosial-ekonomi. Studi ini bertujuan untuk menampilkan pandangan mengenai praktek perikanan muroami di wilayah ini.
5
1.2. Tujuan Tujuan dari studi ini adalah: 1. Mengukur
sebaran
aktivitas
perikanan
muro-ami
di
Taman
Nasional
Karimunjawa; 2. Menjelaskan komposisi spesies oleh perikanan muro-ami dibandingkan dengan metode penangkapan lainnya; 3. Menjelaskan komposisi tangkap oleh perikanan muro-ami dibandingkan dengan metode penangkapan lainnya; 4. Mengukur kerusakan karang yang diakibatkan oleh operasi muro-ami; dan 5. Menjelaskan persepsi masyarakat lokal terhadap pengelolaan perikanan muroami.
6
II.
METODE SURVEI
Studi ini dilaksanakan dari tanggal 26 Agustus hingga tanggal 3 Oktober 2003. Parameter-parameter yang diukur termasuk data tangkapan dan usaha, efisiensi alat tangkap, tingkat kerusakan terhadap terumbu karang dan parameter sosial-ekonomi. Studi ini dilaksanakan di 3 desa yang termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Karimunjawa. Hasil dari studi ini akan menyediakan informasi mengenai aktivitas perikanan muro-ami di Karimunjawa. Parameter-parameter yang diukur untuk memperoleh tujuan dari studi ini adalah:
2.1. Parameter Sosial-Ekonomi Pengumpulan data terhadap faktor-faktor sosial-ekonomi dilakukan dengan wawancara terstruktur. Responden dipilih secara acak dari kelompok-kelompok penangkapan lokal. Pemilihan ini diambil menggunakan peta distribusi rumah tangga yang telah dibuat pada bulan Januari 2003. Informasi yang dikumpulkan digunakan untuk menjelaskan: a. Perilaku nelayan terhadap sistem pengelolaan perikanan; b. Perilaku nelayan terhadap peraturan alat tangkap perikanan; c. Perilaku nelayan terhadap dampak pengelolaan perikanan bagi kehidupan mereka; dan d. Sejarah perkembangan jaring muro-ami di Karimunjawa.
2.2. Pengukuran Efisiensi Alat Tangkap Terdapat dua langkah pengukuran rata-rata tangkapan: 1. Mencatat hasil tangkapan dari setiap kelompok perikanan muro-ami melalui wawancara; 2. Mengambil foto hasil tangkapan untuk analisis komposisi ikan hasil tangkapan; dan 3. Efisiensi alat tangkap diperolah dari jumlah ikan yang ditangkap atau diambil dari ekosistem per wilayah operasi (lebar x panjang wilayah). Efisiensi alat tangkap muro-ami disajikan dalam kg/ha.
2.3. Pengukuran Dampak Terhadap Terumbu Karang
7
Dampak-dampak aktivitas penangkapan terhadap terumbu karang diukur dengan menggunakan metode transek sabuk. Transek diletakan pada kedalaman yang sama dimana penyelam jaring muro-ami bekerja dan mengikuti proses penggiringan. Transek mengikuti seorang penyelam penggiring, sepanjang 2 meter x 100 meter (200m2) transek sabuk dilakukan pencatatan (i) kerusakan karang dan (ii) penutupan karang, menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT). Kerusakan karang digunakan untuk mengukur dampak aktivitas penangkapan dan dicatat kedalam tiga kategori: 1. BBC (Broken Branching Coral); 2. BPC (Broken Plate Coral); dan 3. UTC (Up-turned Coral). Setiap kategori kerusakan karang dicatat sebagai: 1. Jumlah patahan karang; 2. Luas kerusakan karang (cm2); dan 3. Data disajikan dalam satuan cm2 kerusakan karang dari setiap m2 of substrat karang hidup.
8
III. DESKRIPSI ALAT TANGKAP MURO-AMI DAN PENGOPERASIANNYA
3.1. Perkembangan Perikanan Muro-ami Berdasarkan klasifikasi alat tangkap menurut von Brandt (1984), muro-ami termasuk dalam drive-in net, dimana ikan ditangkap dengan cara menggiring ikan ke dalam alat tangkap jenis apa saja. Alat tangkap terdiri dari suatu konstruksi alat yang tetap (stasioner) yang menangkap ikan hanya jika ikan digiring kedalamnya oleh nelayan yang berenang atau menyelam maupun dengan menggunakan tali penggiring. Jenisjenis alat tangkap ‘drive-in’ yang digunakan diantaranya: a. Iwashi nakabiki ami, digunakan di Jepang untuk menangkap ikan-ikan sejenis sardine. b. Oshiki ami, juga digunakan di Jepang untuk menangkap jenis ikan sardine dan memiliki jaring kantong segitiga. c. Jaring berbentuk penadah debu yang dikembangkan di Filipina. d. Jaring yang menggunakan cahaya untuk menarik ikan. Muro-ami pada awalnya berkembang di Jepang kemudian diperkenalkan di Filipina pada tahun 1930-an.
Filipina melarang penggunaan alat tangkap muro-ami sejak
tahun 1986. Pelarangan pengunaan alat tangkap ini pertama kali diterapkan, karena dalam sebuah armada operasi alat tangkap ini mempekerjakan puluhan anak-anak dibawah umur.
Anak-anak ini dilepaskan dari kapal utama dengan membawa tali
penggiring yang dilengkapi pemberat dan gelang-gelang besi yang dapat menimbulkan suara. Dalam operasi muro-ami di Filipina, anak-anak dibawah umur ini seringkali menjadi korban perbudakan, dan bahkan mengalami kematian karena terjerat jaring dan tidak dapat naik ke permukaan untuk mengambil napas. Selain itu, penggunaan alat tangkap ini juga mengakibatkan kerusakan pada terumbu karang.
9
Walaupun pelarangan operasi muro-ami terus berlanjut, pada tahapan selanjutnya operasi muro-ami di Filipina ini mulai beralih dari sistem penggiringan oleh anak-anak menjadi penggunaan penyelam kompresor hookah. Sistem operasi penangkapan ikan seperti ini di Filipina dinamakan pa-aling. Operasi pa-aling ini dapat mengurangi beban jumlah pekerja yang digunakan. Dari berbagai studi yang telah dilakukan, pengoperasian alat tangkap ini dapat menghabiskan stok ikan (standing stock) hingga 50 % dalam beberapa kali penangkapan pada suatu daerah (Burke et.al., 2002). Nelayan tradisional di Palawan, Filipina, menyatakan bahwa mereka tidak dapat menangkap ikan di wilayah mereka selama empat tahun setelah kedatangan operasi kapal pa-aling (The Environmental Legal Assistance Center (ELAC), website).
3.2. Perkembangan Muro-ami di Kepulauan Karimunjawa Muro-ami pada awalnya dioperasikan di Kepulauan Karimunjawa di awal tahun 1990an oleh nelayan-nelayan dari Kepulauan Seribu, terutama dari P. Tidung, P. Kelapa dan P. Harapan.
Muro-ami yang beroperasi tersebut terdiri dari satu buah kapal
penampung ikan dan tiga kapal lain untuk operasi penangkapan dengan jumlah ABK sekitar 50-60 orang, operasi ini biasanya berlangsung selama 3 bulan dalam setahun, terutama pada musim pancaroba (sekitar bulan September hingga November). Pada tahun 1996 terjadi penolakan pengoperasian muro-ami oleh nelayan setempat karena dinilai menggangu operasi nelayan tradisional dan merugikan. Akibat penolakan tersebut, mulai tahun 1996 hingga 2001 muro-ami berhenti beroperasi di Kepulauan Karimunjawa.
10
Pada akhir tahun 2002, setelah adanya surat edaran Pemerintah Kabupaten Jepara No. 523/2813 tanggal 28 Juni 2002 mengenai Usaha Penangkapan di Karimunjawa yang mengindikasikan diperbolehkannya muro-ami beroperasi di wilayah Kepulauan Karimunjawa. Muro-ami mulai beroperasi lagi di Karimunjawa dengan beberapa persyaratan. Persyaratan yang digariskan antara lain: pemilik armada dan mayoritas ABK haruslah orang lokal, perahu-perahu yang digunakan untuk operasional juga milik orang lokal serta ukuran mata jaring yang diperbesar (minimum 2 inci). Muro-ami yang beroperasi ini merupakan modifikasi dari muro-ami yang ada sebelumnya, dimana ukuran panjang jaring pelari dan jaring kantong lebih pendek dan jumlah ABK lebih sedikit (13-20 orang/armada). Pada masa awal beroperasinya kembali muro-ami sekitar bulan September-November 2002, hasil tangkapan yang didapat sangat banyak untuk ukuran nelayan Karimunjawa berkisar antara 2 ton ikan ekor kuning (Caesio cuning) perminggu, atau 12 juta rupiah per armada per minggu. Pada saat itu baru terdapat tiga armada yang beroperasi. Sejak bulan Desember 2002, seiring dengan bertambahnya jumlah armada yang beroperasi (Gambar 3.1), hasil tangkapan mulai mengalami penurunan (Gambar 3.2). Pada bulan Januari 2003 jumlah total armada muro-ami yang beroperasi di seluruh Kepulauan Karimunjawa sebanyak 26 armada dimana 18 armada berasal dari desa Karimunjawa.
Pada
bulan
tersebut
hasil
tangkapan
rata-rata
sekitar
700
kg/armada/minggu. Pada bulan Mei 2003 dikarenakan musim barat, penurunan hasil tangkapan dan tingginya biaya operasi, jumlah armada muro-ami mulai berkurang, hingga hanya tinggal 6 armada yang masih beroperasi dengan hasil tangkapan ratarata 398 kg/armada/minggu. Pada awal September 2003 beberapa armada mulai beroperasi kembali secara reguler dengan hasil tangkapan rata-rata sekitar 814 kg/armada/minggu.
11
30 26
25
Armada
20
15
10 6
6
May 2003
September 2003
5
0 January 2003
Gambar 3.1. Jumlah armada muro-ami di Kepulauan Karimunjawa Jan-Sep 2003. 800 700
Hasil tangkapan (kg)
700 600 500 400 300 300 164
200 100 0 January 2003
May 2003
September 2003
Gambar 3.2. Rata-rata tangkapan per upaya tangkap perikanan muro-ami.
12
3.3. Aktivitas Penangkapan Operasi penangkapan ikan dengan muro-ami di Kepulauan Karimunjawa biasanya menggunakan 3 buah kapal motor (Gambar 3.3). Dua kapal merupakan kapal pembawa jaring, salah satunya menjadi penampung ikan utama yang dilengkapi dengan palka yang sudah diisi es.
Kapal ketiga berfungsi sebagai pembawa
kompresor hookah yang membawa para penyelamnya. Dalam satu hari penangkapan, satu unit armada penangkapan muro-ami rata-rata melakukan 2-3 kali seting.
Rizya L. Ardiwijaya-WCS ©2003
Gambar 3.3. Kegiatan pengoperasian muro-ami di Karimunjawa
WCS © 2003
Gambar 3.4. Daerah pengoperasian jaring muro-ami pada bulan September 2003
13
Gambar 3.5. Teknik pengoperasian jaring Muro-ami di Karimunjawa
Jaring terdiri dari tiga bagian, dua bagian jaring pelari yang berfungsi sebagai pengarah atau penggiring ikan menuju jaring kantong dan satu bagian jaring kantong yang berfungsi sebagai jaring penampung ikan. Dalam satu armada muro-ami biasanya terdiri dari 13–18 orang yang dipimpin oleh seorang kepala laut (fishing master). Kepala laut bertanggung jawab atas seluruh operasional penangkapan, mulai dari penentuan lokasi, pemasangan jaring (setting), penggiringan, hauling, proses melepas jaring hingga menentukan lokasi penangkapan berikutnya. Dalam penentuan lokasi penangkapan, seorang kepala laut biasanya menggunakan kompresor hookah untuk melihat keberadaan ikan di bawah air. Seringkali kepala laut berfungsi ganda sebagai penyelam penggiring. Penyelam kompresor terdiri dari 5 hingga 7 orang, dipimpin oleh seorang kepala tengah yang bertugas memimpin penggiringan di bawah air dan biasanya posisinya berada di tengah.
Jaring dipasang di sekitar terumbu karang dengan kedalaman
sekitar 10 hingga 20 meter. Sementara penyelam memulai penggiringan pada kisaran kedalaman 5 hingga 35 meter.
3.4. Aspek Medis Penyelaman Berdasarkan informasi lokal yang dikumpulkan dari berbagai sumber, sejumlah isu medis muncul ke permukaan dari operasi perikanan muro-ami di Kepulauan Karimunjawa sejak awal tahun 2002.
Masalah-masalah medis yang muncul dari
kegiatan yang berkaitan dengan penyelaman termasuk diantaranya 10 penyelam mengalami kelumpuhan, 5 penyelam meninggal dunia, dan dari informasi yang tidak
14
resmi, banyak penyelam yang menderita gejala kesakitan pada bagian-bagian tubuh mereka yang mereka sebut “kram”. Semua gejala diatas merupakan akibat dari prosedur penyelaman yang tidak benar dengan menggunakan kompresor hookah. Dalam satu kali hauling, seorang penyelam bisa melakukan tiga kali penyelaman yaitu pertama saat memasang jaring, kedua menggiring ikan ke jaring kantong, dan ketiga melepas jaring. Setiap aktivitas memakan waktu masing-masing sekitar 40 menit, 10– 30 menit dan 20 menit. Sebagai contoh jaring dipasang pada kedalaman sekitar 20 meter (60 feet) dan kisaran kedalaman penyelam penggiring terdalam adalah sekitar 30 meter (90 feet) akan dijelaskan kemudian. Satu unit operasi muro-ami biasanya berangkat sekitar pukul 6 – 7 pagi, dan perjalanan ke lokasi sekitar 1 jam. Sekitar pukul 8 pagi seorang kepala laut sudah mulai menyelam untuk mencari lokasi penangkapan dan mengamati ikan yang ada didalamnya. Jika lokasi yang dilihat tidak memuaskan, pencarian akan diteruskan dengan berpindah ke tempat lain yang biasanya tidak jauh dari lokasi pertama. Proses ini berlangsung terus sampai ditemukan lokasi yang tepat. Setelah mendapatkan lokasi yang tepat, kapal yang memuat jaring dan palka mulai menempatkan jangkar, kemudian para penyelam memasang jaring pelari dan jaring kantong pada kedalaman sekitar 5 hingga 35 meter. Proses ini memakan waktu sekitar 40 menit. Faktor yang cukup berperan dalam operasi muro-ami adalah arus yang membantu jaring kantong dapat terbuka secara sempurna. Setelah pemasangan selesai, para penyelam naik ke kapal yang memuat kompresor hookah, dan bersiap melakukan penyelaman tahap kedua. Tahapan ini termasuk didalamnya adalah proses penggiringan. Lama waktu penggiringan sangat bervariasi antara 10 – 40 menit, pada selang kedalaman 5 – 35 meter. Interval waktu antara penyelaman cukup pendek, sekitar 10 menit. Setelah ikan digiring kedalam jaring kantong, para penyelam mengangkat jaring kantong ke permukaan secepat mungkin. Kemudian mereka kembali masuk ke dasar untuk membongkar jaring pelari. Proses pelepasan jaring pelari ini biasanya memakan waktu sekitar 20 menit. Berdasarkan prosedur penyelaman yang benar menggunakan tabel selam, dalam satu kali operasi seperti yang dicontohkan di atas, penyelam yang yang melebihi kedalam 20 meter sudah melewati limit waktu dekompresi. Jika prosedur ini diabaikan, penyelam akan mengalami gejala “dekompresi” seperti pegal-pegal pada otot dan persendian, rasa sakit di dada, sakit belikat dan punggung, pusing-pusing, sakit kepala, mual, rasa kesemutan/kebal, dan rasa lemas (Lippman & Bugg, 1984).
Jika gejala-gejala ini
15
masih diabaikan juga maka penyelam tersebut dapat mengalami kelumpuhan pada kaki atau tangannya, bahkan dalam beberapa kasus dapat mengakibatkan kematian. Selain tidak memperhatikan interval permukaan, para penyelam muro-ami seringkali naik terlalu cepat dari perairan dalam. Kecepatan naik yang disarankan adalah tidak melebihi 1 feet per detik, atau kira-kira 20 meter dalam 1 menit. Hal ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada gas-gas lembam (inert) seperti nitrogen untuk keluar dari pembuluh darah kapiler. Para penyelam biasanya naik lebih cepat, misalnya dari kedalaman 20 meter, dia bisa naik dalam 3 – 5 detik saja. Cara naik yang terlalu cepat ini dapat mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah kapiler oleh gelembung udara, sehingga darah tidak dapat mengaliri bagian tubuh tertentu. Ini dapat menyebabkan kelumpuhan pada bagian-bagian tubuh. Jika penyumbatan terjadi pada pembuluh darah ke kepala atau otak maka akan menyebankan kematian mendadak karena otak tidak mendapatkan suplai darah dan oksigen.
IV. ANALISA SOSIAL EKONOMI
4.1. Pola Hubungan Salah satu ciri yang kuat dari struktur sosial komunitas nelayan adalah kuatnya hubungan antara juragan dengan buruh nelayan. Hal ini juga terlihat dalam hubungan antara pemilik jaring dan kapal dengan para awak kapal yang juga menjadi buruh nelayan.
Ikatan ini lahir untuk saling membagi resiko dan ketidakpastian secara
ekonomi. Ikatan ini lebih dikenal dengan istilah patron klien. Ikatan patron klien ini merupakan jaminan ekonomi yang saat ini dipraktekkan sebagai hubungan yang saling menguntungkan dan juga jalinan keakraban. Hubungan ini saling menguntungkan dalam nilai sosial, namun sangat berbeda dampaknya dalam lingkup pemanfaatan sumberdaya alam. Ikatan patron klien yang terlihat dari usaha perikanan muro-ami ini dapat dilihat dari penguasaan alat-alat produksi dan biaya operasional yang ditanggung oleh pemilik (juragan).
Penerapan sistem bagi hasil merupakan upaya untuk membagi resiko
kerugian. Sistem bagi hasil yang biasa digunakan pada operasi penangkapan dengan muro-ami adalah 3 bagian untuk kapal, 3 bagian untuk jaring, 1 bagian untuk kompresor, 2,5 bagian untuk kepala laut, 1,5 bagian untuk penyelam dan 1 bagian untuk penarik jaring. Berikut ini adalah contoh analisa ekonomi dalam satu operasi muro-ami.
16
Rata-rata hasil tangkapan bulan Mei 2003 sebesar 388.461 kg/armada/minggu. Dengan harga jual ikan ekor kuning yang diterima nelayan sebesar Rp 6.000.00/kg, maka didapatkan harga jual rata-rata sebesar 388.461 x Rp 6.000.00 = Rp 2.330.769.00. Rata-rata biaya operasional yang dikeluarkan setiap juragan adalah Rp 515.000.00. Berdasar sistem bagi hasil yang diterapkan di peroleh pembagian keuntungan dengan rata-rata
jumlah
ABK
sebanyak
16
orang
diperoleh
pendapatan
Rp.
67.262.00/minggu/pekerja dan Rp.100.892.00/minggu untuk nelayan penyelam. 4.2. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Kunci keberhasilan penerapan manajemen dalam rangka pemanfaatan sumber daya perikanan yang berkesinambungan terletak pada dukungan dari masyarakat sebagai pelaku utama.
Tanpa dukungan dari masyarakat, proses-proses pengelolaan
sumberdaya perikanan di Karimunjawa tidak akan memberikan perubahan yang berarti. Kegagalan pengelolaan akan memberikan dampak negatif bagi masyarakat nelayan. Kerugian terbesar bagi masyarakat adalah berkurangnya stok ikan yg mengarahkan kepada hilangannya rantai nilai ekonomi sumberdaya perikanan yang selama ini menjadi sumber mata pencaharian utama. Secara empiris terlihat secara jelas adanya kelemahan penegakan hukum (jumlah aparat teknis di lapangan, pembiayaan pengamanan dan penerimaan oleh masyarakat).
Wujud
nyata
partisipasi
masyarakat
sangat
dibutuhkan
dalam
pengelolaan sehingga dapat merubah sudut pandang dalam pengelolaan sumberdaya alam dari government based management menuju pengelolaan yang melibatkan semua pihak terkait. Dalam proses perubahan ini diperlukan langkah bersama untuk menyusun strategi pengelolaan yang berkelanjutan dan mengembangkan alternatif kolaborasi antar seluruh pihak terkait.
4.3. Persepsi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Wawancara kepada 120 responden nelayan dilakukan untuk menjawab pertanyaanpertanyaan kunci berikut ini: •
Strategi pengelolaan perikanan yang bagaimana yang lebih mudah untuk diterima dan diterapkan oleh nelayan dan masyarakat.
•
Bagaimanakah persepsi nelayan dan masyarakat mengenai kegiatan penangkapan ikan dan pemanfaatan sumber daya perikanan yang memungkinkan untuk terciptanya penerapan strategi pengelolaan yang efektif.
17
Hasil wawancara yang dilakukan terhadap 120 responden nelayan menunjukan bahwa 80% responden menginginkan adanya pengaturan alat tangkap ikan, sedangkan 56% dan 14% mendukung adanya sistem buka-tutup dan sistem penutupan permanent untuk suatu lokasi penangkapan (Gambar 4.1).
100
% Responden
80
60
40
20
0 Tutup Permanen
Sistem Buka Tutup
Pengaturan Alat Tangkap
Gambar 4.1. Persepsi masyarakat mengenai manajemen perikanan
Usaha yang diyakini dapat memberikan dampak yang baik adalah pengaturan jenis alat tangkap. Hal ini dapat dipahami mengingat tidak meratanya distribusi akses terhadap sumberdaya perikanan yang dipengaruhi oleh kekuatan modal. Mekanisme patron klien sebagai institusi ekonomi tidak bisa memberikan solusi bagi pemerataan kesempatan dan akses yang merata terhadap sumberdaya alam.
Bila hal ini terus
berlangsung dan sumber daya ikan terus menurun karena tingkat penangkapan yg tinggi oleh muro-ami, dikhawatirkan dapat menjadi pemicu pecahnya konflik horizontal antara kelompok-kelompok nelayan. Berdasar informasi yang bisa dikumpulkan dari seluruh responden, gambaran yang diperoleh
yaitu
50%
responden
menyatakan
keinginan
untuk
dilakukannya
pembatasan atau pelarangan terhadap alat tangkap muro-ami, 18% untuk pelarangan ambai, 37% untuk pelarangan cantrang (Gambar 4.2). Alat-alat tersebut termasuk alat yang paling efektif dalam menguras sumber daya ikan.
Ukuran mata jaring yg
termasuk kecil (<1.5 inci) juga berperan dalam menguras berbagai spesies ikan, termasuk sejumlah besar juvenil ikan. Hal ini dapat menyebabkan menurunnya stok ikan dengan sangat cepat. Respon ini perlu ditunjang dengan kebijakan yang tepat sehingga perikanan Karimunjawa bisa tetap bertahan di masa yang akan datang.
18
60
% Responden
50 40
30 20 10 0 Muro-ami
Ambai
Cantrang
Pure-seine
Alat lain
Gambar 4.2. Persepsi pengaturan jenis alat tangkap
Ada sebagian kecil responden yang memberikan dukungan untuk adanya pengaturan terhadap alat tangkap purse seine. Alat ini merupakan alat modern yang sangat efektif dalam menangkap ikan-ikan pelagis dan merupakan saingan terberat bagi nelayan pancing tradisional di Karimunjawa dalam menangkap ikan.
Sebagian lagi (12%)
memberikan perhatian terhadap alat lain, yaitu bom dan sianida.
Rendahnya
persentase ini menunjukkan rendahnya penggunaan metode penangkapan tersebut di Karimunjawa. Peraturan pemerintah dan program penyadaran masyarakat turut berperan dalam hal ini, walaupun penangkapan ikan dengan sianida masih tetap berlangsung di karimunjawa oleh kira-kira 80 orang nelayan. Persepsi masyarakat Karimunjawa mengenai peraturan pengelolaan sumber daya ikan menyatakan bahwa sistem penutupan permanen akan mendapat dukungan terendah dari masyarakat, sedangkan sistem pengaturan jenis alat tangkap akan mendapatkan dukungan terkuat karena memberikan dampak terkecil bagi mata pencaharian nelayan. Sekurangnya 33% responden menyatakan bahwa sistem pengaturan penutupan permanen (zona inti) lokasi penangkapan ikan diyakini akan memberikan dampak negatif bagi penghasilan nelayan karena berkurangnya daerah penangkapan. Kurang lebih 22% menyatakan bahwa peraturan-peraturannya tidak berdampak negatif bagi mata pencaharian mereka (Gambar 4.3).
19
90 75 60 45 30 15 0 Penutupan permanen
Ya
Sistem buka tutup
Tidak
Pengaturan Alat Tangkap
Tidak Komentar
Gambar 4.3. Dampak pengaturan sistem perikanan terhadap mata pencaharian.
Upaya pengaturan dengan sistem buka-tutup diyakini bisa memberikan dampak yang positif bagi mata pencaharian nelayan. Hal ini ditunjukkan kurang lebih 45% menyatakan sistem buka-tutup tidak berdampak negatif terhadap mata pencaharian. Kurang lebih 12% responden menyatakan sistem buka tutup akan berpengaruh negatif terhadap mata pencahariannya. Pengaturan alat tangkap diyakini memberikan pengaruh yang besar perbaikan mata pencaharian nelayan, 80% responden menyatakan pengaturan alat tangkap dapat meningkatkan stok ikan. Hanya sekitar 5% responden menyatakan pengaturan alat tangkap bisa berdampak negatif bagi penghasilan mereka.
20
V. DATA HASIL TANGKAPAN MURO-AMI
5.1. Komposisi Hasil Tangkapan Muro-ami Target utama penangkapan ikan dengan menggunakan muro-ami adalah ikan ekor kuning atau Caesio cuning dari famili Caesionidae. Ekor kuning adalah satu-satunya jenis ikan target utama tangkapan setiap operasi muro-ami. Hanya jenis ekor kuning yang bernilai jual, sedangkan jenis ikan lain, yang disebut juga hasil sampingan biasanya hanya untuk dibagi-bagi antar anggota kongsi saja, kecuali bila ditangkap dalam jumlah yang sangat besar. Misalnya pada waktu tertentu secara kebetulan tertangkap serombongan ikan dari famili Carangidae (badong) seberat 3 ton. Berdasarkan kenyataan ini, seharusnya ikan ekor kuning hasil tangkapan muro-ami merupakan bagian terbesar dari seluruh tangkapan. Namun dari data hasil penelitian ini, persentase tangkapan ikan ekor kuning hanya sebesar 27,61% dari seluruh total tangkapan ikan (Gambar 5.1). Hal ini menunjukkan bahwa masa depan perikanan ekor kuning mungkin tidak akan bertahan lama dan muro-ami tampaknya juga menguras lebih ikan-ikan jenis lain.
Caesio caerulaurea, 8.48%
Chlorurus microrhinus, 3.63%
Caesio cuning 27.61%
Caranx lugubris, 8.72% Carangoides gymnostethus, 13.86%
Gambar 5.1. Komposisi jenis ikan hasil tangkapan muro-ami
Komposisi hasil tangkapan ikan muro-ami dari seluruh family Caesionidae bahkan masih belum mencapai setengah dari total seluruh tangkapan (43,63%) (Gambar 5.2). Padahal selain ekor kuning (C. cuning), jenis ikan tangkapan lain yang termasuk dalam family Caesionidae adalah Caesio caerulaurea dan Pterocaesio lativittata (pisang-
21
pisang). Kedua jenis ikan ini tidak termasuk ke dalam jenis ikan target utama muroami walaupun berasal dari satu family dengan C. cuning.
Scaridae, 6.67%
Serranidae, 6.04% Caesionidae, 43.63%
Lutjanidae, 8.72%
Sphyraenidae , 11.39% Carangidae, 13.94%
Gambar 6.2. Komposisi famili ikan hasil tangkapan muro-ami
Rata-rata sebanyak 6,76 kg ekor kuning tertangkap per hari dari penggunaan muroami di Karimunjawa selama pengamatan pada bulan September 2003.
Keterangan
lisan dari penduduk setempat menyatakan bahwa hasil tangkapan ekor kuning pada awal beroperasinya muro-ami di Karimunjawa bulan Januari 2003 jauh lebih besar daripada data hasil tangkapan pada bulan September.
Penurunan ini mungkin
disebabkan oleh pengurangan upaya tangkap karena pengaruh musim barat. Walaupun tidak ada data akurat yang menyatakan bahwa penurunan stok ekor kuning merupaksan penyebab berkurangnya hasil tangkapan, namun perlu dilakukan pengawasan terhadap tingkat penangkapan spesies ikan ini demikian juga dengan perlunya peraturan pengelolaan yang menuju pemanfaatan sumber daya ekor kuning yang berkelanjutan. Selain Caesionidae, muro-ami juga sangat effisien dalam menangkap ikan target dari famili Carangidae, Scaridae, Sphyraenidae, dan Lutjanidae (Gambar 5.3). Scaridae (kelompok ikan kakatua) merupakan kelompok ikan karang yang sangat penting karena peranannya di dalam bio-erosion dan perputaran daur hidup alga pada ekosistem terumbu karang.
22
Persentase berat hasil tangkapan tiap alat tangkap
100%
80%
Bubu Panah Jaring
60%
Pancing Muroami
40%
Tombak 20%
Nemipteridae
Dasyatidae
Haemulidae
Lutjanidae
Sphyraenidae
Carangidae
Caesionidae
Lethrinidae
Acanthuridae
Mullidae
Serranidae
Scaridae
0%
Gambar 5.3. Komposisi famili ikan hasil tangkapan dengan berbagai alat tangkap.
5.2. Ukuran Rata-rata Hasil Tangkapan Muro-ami.
Ukuran ikan hasil tangkapan dengan muro-ami berdasarkan panjang totalnya berkisar antara 9-108 cm. Berdasarkan panjang minimum ini dapat diketahui bahwa ukuran mata jaring yang digunakan dalam operasi muro-ami kurang selektif. Terbukti dari tertangkapnya ikan–ikan dalam ukuran sangat kecil yang sama sekali bukan target utama penangkapan. Rata-rata ukuran ikan ekor kuning (C. cuning) yang tertangkap adalah 26,5 cm atau dengan ukuran nelayan setempat 5 ekor dalam 1 kg (Gambar 6.4). Ikan ekor kuning pada umumnya mencapai tahap dewasa pada ukuran 25-45 cm dan pada selang ukuran 33-46 cm atau 2 ekor dalam 1 kg baru merupakan ukuran tangkap yang optimal, dalam arti memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi.
23
120
100
Panjang Total (cm)
80
60
40
20
0 Caesio cuning Carangoides gymnostethus
Caranx lugubris
Selang Panjang Tahap Dewasa
Caesio caerulaurea
Chlorurus microrhinus
Panjang Rata-rata
Gambar 5.4. Panjang rata-rata ikan hasil tangkapan muro-ami
Bila dibandingkan dengan spesies ikan lain, hanya ekor kuning yang terancam overfishing karena rata-rata panjang total ekor kuning hampir melampaui batas terendah selang panjang tahap dewasa. Apabila rata-rata panjang ini terus berkurang, hal ini berarti sebagian besar ikan yang tertangkap berada dalam fase belum dewasa dan kelestarian sumberdaya perikanan ini berada dalam ancaman yg serius. Data-data ini menunjukkan dan memberatkan muro-ami sebagai metode penangkapan yang tidak lestari.
5.3. Efisiensi Hasil Tangkapan Pengoperasian alat tangkap muro-ami di Karimunjawa pada umumnya menggunakan 3 buah kapal dengan rata-rata 16 orang awak. Dengan metode penangkapan yang semi aktif, hasil tangkapan yang diperoleh mencapai kurang lebih 814 kg/minggu. Bila dibandingkan dengan hasil tangkapan alat lain, muro-ami memberikan hasil yang lebih baik, yaitu 5,6 kg/nelayan/hari (Gambar 5.5).
24
6
Kg/Nelayan/Hari
5 4 3 2 1 0 Tombak
Pancing
Jaring
Panah
Bubu
Muroami
Gambar 5.5. Jumlah hasil tangkapan ikan untuk tiap orang dalam satu hari
Nilai ini mewakili nilai satu bagian dalam sistem pembagian hasil yang berlaku di kalangan nelayan muro-ami.
Dalam hal ini, nilai tersebut sebanding dengan
penghasilan nelayan penarik jaring dalam suatu kongsi muro-ami. Nelayan anggota muro-ami tidak mengeluarkan biaya operasional.
Semua biaya ditanggung oleh
pemilik jaring. Hal inilah yang membuat nelayan tertarik untuk mengikuti kongsi muroami.
5.4. Biomassa Ikan Karang yang Terambil dengan Muro-ami. Ditinjau dari teknik pengoperasiannya, dalam satu kali operasi muro-ami luas rata-rata daerah yang disapu oleh para penyelam dalam menggiring ikan sampai ke jaring kantong adalah 2,4 hektar atau 80 x 300 m2. Dari nilai luasan ini dapat dikaji besarnya biomassa rata-rata ikan yang terambil dalam satu kali operasi muro-ami. Berdasarkan hasil pengamatan, selang jumlah semua ikan yang terambil dari area sapuan muro-ami adalah 4,83 kg/Ha – 127,71 kg/Ha dengan rata-rata mencapai 62,76 kg/Ha (Gambar 5.6). Dengan demikian kira-kira 150 kg ikan perhari yang keluar dari perairan Karimunjawa oleh alat tangkap muro-ami dalam satu kali operasi.
25
140 120
Kg/Ha
100 80
Rata-rata 62,76 kg/Ha 60 40 20
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Gambar 6.6. Jumlah ikan per hektar yang terambil dalam setiap operasi muro-ami
Muro-ami merupakan alat tangkap ikan yang tidak selektif karena menangkap berbagai species ikan dan dalam jumlah besar. Alat tangkap ini berpotensi, atau bahkan sudah, menguras stok ikan di perairan Karimunjawa.
Ada bukti-bukti tidak tertulis yang
menyatakan bahwa hasil tangkapan ikan selama operasi muro-ami berkurang sejak tahun 2002-2003. Penurunan hasil tangkapan muro-ami ini mungkin juga desebabkan adanya pola adaptasi dari ekor kuning terhadap teknik operasional muro-ami. Ikan ini sepertinya tidak dapat lagi digiring dengan mudah ke jaring kantong seperti pada awalnya operasi muro-ami berlangsung. pengamatan langsung.
Demikianlah yang terjadi pada beberapa
Walaupun sudah terkepung oleh para penggiring, namun
serombongan besar ikan dapat meloloskan diri dari atas dan bawah tali penggiring, dari sela-sela batu, bahkan tidak takut untuk lewat diantara para penyelam.
26
VI.
DAMPAK TERHADAP TERUMBU KARANG
Berbeda dengan jenis-jenis alat tangkap lain yang dioperasikan di daerah terumbu karang, muro-ami secara langsung memberikan dampak kerusakan terhadap terumbu karang. Kerusakan yang terjadi disebabkan oleh : 6.1. Injakan oleh Nelayan Penyelam Aktivitas penangkapan menggunakan Muro-ami lebih banyak dilakukan dibawah air yang disertai oleh proses pemasangan jaring, penggiringan, dan pengangkatan ikan. Selama proses-proses tersebut, nelayan penyelam tidak hanya berenang tetapi juga berjalan diatas karang sehingga menyebabkan kerusakan karang. Hal tersebut terutama terjadi jika operasi penangkapan dilakukan diatas hamparan karang yang didominasi oleh karang bercabang dan karang meja yang sangat mudah rusak (Gambar 6.1).
6.2. Tali Penggiring Tali penggiring sering menyebabkan kerusakan jika tersangkut pada karang (Gambar 6.2).
Rizya L. Ardiwijaya-WCS ©2003
Gambar 6.1. Aktivitas penggiringan diatas hamparan karang.
Rizya L. Ardiwijaya-WCS ©2003
Gambar 6.2. Tali penggiring tersangkut pada karang
27
6.3. Cincin Penghalau Dalam proses penggiringan ikan, para penyelam juga menggunakan alat tambahan yang berfungsi untuk menakuti ikan. Alat tersebut berupa cincin-cincin yang terbuat dari besi (Gambar 6.3). Pada prosesnya cincin-cincin tersebut digunakan dengan cara memukul-mukulkannya
pada
dasar
perairan/karang
dengan
tujuan
menghalau/menakuti ikan-ikan yang bersembunyi di dalam lubang atau celah-celah karang.
Rizya L. Ardiwijaya-WCS ©2003
Gambar 6.3. Cincin penghalau yang digunakan penyelam muro-ami
6.4. Jaring Faktor lain penyebab kerusakan adalah jaring. Hal tersebut disebabkan karena jaring ditempatkan di dasar perairan dan diikatkan langsung pada karang (Gambar 6.4) atau terkadang diberi pemberat (Gambar 6.5) yang sebagian menggunakan karang-karang hidup yang ada disekitarnya
Rizya L. Ardiwijaya-WCS ©2003
Gambar 6.4. Peletakan jaring diatas karang
Rizya L. Ardiwijaya-WCS ©2003
Gambar 6.5. Pemberat menggunakan karang
28
Kerusakan karang yang disebabkan oleh seorang penyelam muro-ami selama proses penggiringan sebesar 11,4 cm2 dalam setiap 1 m2 karang hidup, atau 0,11% kerusakan (Gambar 6.6). Nilai ini hampir sama dengan rata-rata kerusakan karang (10,3 cm2 dalam setiap 1 m2 karang hidup) yang disebabkan oleh aktivitas manusia diseluruh kepulauan Karimunjawa. Hal ini menunjukkan bahwa satu penyelam muro-ami berpotensi menimbulkan kerusakan yang relatif sebanding dengan kerusakan yang disebabkan oleh keseluruhan aktivitas (jangkar, kapal, kerusakan oleh manusia). Dalam satu kelompok operasi muro-ami terdapat 1 hingga 5 orang penyelam yang berpotensi menimbulkan kerusakan sehingga potensi kerusakan yang terjadi dengan mengalikan 11,4 cm2 dengan jumlah penyelam yang ada.
Angka tersebut adalah
potensi kerusakan dari penyelam muro-ami dan tidak mencakup kerusakan yang diakibatkan oleh aktivitas lain seperti pemasangan dan pengangkatan jaring.
GRAFIK RATA-RATA TINGKAT KERUSAKAN KARANG
Rata-rata kerusakan (cm2/m2)
16.0 14.0 12.0 10.0
11.4 10.3
8.0 6.0 4.0 2.0 0.0 Rata-rata Kep. Karimunjawa*
1 penyelam Muro-ami
Gambar 6.6. Perbandingan rata-rata kerusakan karang
29
VII. KESIMPULAN Perikanan muro-ami diidentifikasi sebagai suatu ancaman bagi ekosistem terumbu karang di kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Studi ini menyoroti bahwa aktivitas perikanan muro-ami mengambil hingga 5 kali lipat lebih banyak dibandingkan alat tangkap lain dengan hasil rata-rata 5,6 kg/nelayan/hari, atau sebanding dengan 150 kg ikan yang diambil dari perairan kepulauan Karimunjawa setiap tripnya. Metode yang diterapkan dapat mengakibatkan kerusakan langsung pada terumbu karang. Masalahmasalah kesehatan juga ditemukan diantara nelayan penyelam muro-ami dan survey sosial-ekonomi menyarankan pelarangan praktek perikanan muro-ami akan mendapat penerimaan dan dukungan, terutama apabila metode penangkapan alternatif dapat diberikan dan diterapkan. Spesies target utama dari muro-ami adalah ikan ekor kuning (Caesio cuning) dari famili Caesionidae. Pada umumnya ekor kuning satu-satunya spesies penting yang memiliki nilai ekonomis, dan sisanya merupakan hasil sampingan (by-catch) yang biasanya dibagikan diantara anggota kelompok nelayan tersebut. Studi hasil tangkapan (fish catch) dari ikan ekor kuning, menunjukan bahwa jenis tersebut hanya sebesar 27.61% dari seluruh hasil tangkapan serta ukuran rata-rata yang ditangkap dibawah ukuran dewasa. Wildlife Conservation Society bekerjasama dengan pemerintah lokal, LSM lokal dan Balai Taman Nasional bertujuan untuk mendukung proses pengaturan perikanan muroami di Taman Nasional Karimunjawa dengan mengajukan teknik pengelolaan yang baik sebagai bagian dari rencana pengelolaan dan zonasi untuk Balai Taman Nasional Karimunjawa. WCS dan pihak-pihak terkait lainnya akan melakukan pengawasan efektivitas pengelolaan secara berkala dengan membandingkan kondisi sebelum dan setelah penerapan manajemen baru tersebut. Informasi yang disampaikan dalam laporan ini akan digunakan secara langsung dalam implementasi usaha konservasi di Taman Nasional Karimunjawa.
30
DAFTAR PUSTAKA
Burke, L., L. Selig, and M. Spalding. 2002. Philippines: Muro-ami and pa-aling fishing methods. Reefs at Risk in Southeast Asia (website). Lippman, J. and S. Bugg. 1984. Diving First Aid Manual. J.L. Publications. Ashburton, Victoria, Australia. 40p. Pollnac, Richard B. Rapid Assessment of Management Parameters for Coral Reefs. Coastal Resources Center University of Rhode Island. 1998. The Environmental Legal Assistance Center (ELAC). 2001. Fishing with Dead Young Boys. Asia Observer (website). The Environmental Legal Assistance Center (ELAC). 2001. Ban Pa-aling Campaign. Pamayanan (website). von Brandt, A. 1984. Fish Catching Methods of the World. Fishing News Books Ltd. Farnham, Surrey, England. 418p.
31