KETIKA ORANG YANG MERASA JANDA NIKAH LAGI (Potret Sebahagian Masyarakat Muslim Indonesia; Ditinjau Dari Sudut Pandang KHI) Oleh: Pangeran Harahap Abstrak Kajian tentang pernikahan, khususnya khususnya dari sudut kajian hukum mengenai sah tidaknya perkawinan tersebut, tentu tidak bisa terlepas dari kajian tentang rukun dan syaratnya. Salah satu dari rukun nikah itu adalah ada calon isteri. Dan salah satu syarat dari calon isteri itu adalah harus seorang yang terbebas dari ikatan perkawinan. Ia harus seorang gadis atau benar-benar janda. Mengenai janda, bahwa menurut aturan hukum, seseorang baru dapat disebut (dikategorikan) janda apabila terhadap perkawinannya terjadi salah satu dari tiga sebab. Pertama, suaminya meninggal. Kedua, suaminya mengikrarkan talak kepadanya. Ketiga, adanya putusan hakim Pengadilan Agama. Ketika tidak terjadi salah satu dari tiga sebab tersebut pada perkawinan seorang wanita (isteri), tentu secara hukum ia tidak dapat disebut (dihukumi) janda. Jika karena sesuatu hal lain dari yang tiga itu, seperti beberapa tahun ditinggalkan, lalu ia menganggap dirinya janda, kemudian menikah lagi dengan pria lain, maka secara hukum dia dapat dikatakan sebagai orang yang melakukan perkawinan poliandri. Atas dasar itu pula, secara hukum dapat dikatakan bahwa perkawinan keduanya tidak sah. Sebab pada saat akan dilangsungkan akad nikah untuk perkawinan keduanya itu, syarat untuk sah menjadi calon isteri pada dirinya tidak terpenuhi. Kata Kunci: Orang merasa janda, nikah lagi, dalam sudut pandang KHI. Pendahuluan Judul tulisan ini terlitas di dalam pikiran serta kemudian melekat ke dalam hati penulis adalah ketika redaktur “Jurnal MANHAJ” STAIS UISU P. Siantar - yang saya pahami mewilayahi Kabupaten Simalungun – meminta tulisan kepada penulis. Seketika itu juga penulis teringat dengan penelitian skripsi mahasiswa yang penulis sendiri ditunjuk sebagai pembimbingnya. Daerah penelitiannya itu berada di Kabupaten Simalungun di salah satu Desa ( Nagori ) yang tentu tidak terlalu jauh dari P. Siantar. Temuan dalam skripsi itu, hemat penulis akan menjadi satu bahan pengabdian yang sangat penting dan berarti bagi STAIS UISU P. Siantar khususnya dan Perguruan Tinggi-Perguruan Tinggi Islam pada umumnya.
79
Adapun temuannya adalah bahwa ada beberapa orang perempuan yang telah mengikat tali perkawinan dengan seorang laki-laki dan sekarang ini mereka dalam paktanya hidup sebagai pasangan suami isteri, sementara si perempuan masih terikat tali perkawinan secara hukum dengan suaminya yang sebelum suaminya sekarang. Jika perkawinannya dengan suami yang sebelumnya yaitu suami sebelum suami yang sekarang belum putus, lalu dia telah menikah dengan suami yang sekarang, inilah yang penulis maksudkan dan menyebutnya “orang merasa janda”. Perasaannyalah yang menyebut dirinya janda, sementara hukum menempatkannya bukan sebagai janda melainkan isteri sah dari suami yang sebelumnya. Kasus seperti ini, jika tinjauannya dari sisi kajian hukum terlebih-lebih lagi hukum Islam, sudah tentu bukan kasus kecil melainkan masalah besar bagi keberagamaan umat, juga bagi negara. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sendiri pada pasal 3 ayat (1) dengan tegas menyatakan: “..... Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”. Pada pasal 40 KHI dinyatakan: “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain; ...”. Ketentuan dalam hukum Islam, jangankan wanita yang masih berstatus isteri tidak boleh dinikahi, bahkan yang masih dalam status beriddahpun juga tidak boleh dan tidak sah dinikahi. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 235 dengan tegas membuat aturan tentang itu: “dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya...”. Dalam kajian fikih, keharaman atau larangan ini masuk dalam kategori larangan sementara (muaqqat).1 Artinya, ketika ia berstatus sebagai isteri tidak boleh dan tidak sah dinikahi, tetapi setelah ia jadi janda boleh dan sah dinikahi. Berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum seperti diungkapkan di atas, maka jika seorang wanita muslim melakukan perkawinan poliandri, tentulah perkawinannya itu tidak sah dan karenanya ia melakukan perbuatan yang haram yang berkelanjutan. Oleh karena itu sangatlah tepat tulisan ini di muat di jurnal ini dengan harapan kiranya perguruan tinggi tempat bernaungnya jurnal ini mau proaktif mengambil peran sebagai aplikasi dari tridarma perguruan tingginya lewat lembaga pengabdian kepada masyarakat untuk mempelopori dan 1
Abd al-Rahman I. Doi, Shari’ah The Islamic Law, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Basri Iba Asghary dan Wadi Masturi, Perkawinan Dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), halaman 20-21.
80
sekaligus mengajak pemerintah Kabupaten/Kota untuk memberi penyuluhan dan pencerahan kepada masyarakat sehingga mereka bisa terhindar dari jebakan perbuatan yang menyimpang dari aturan hukum yang bisa jadi hal itu terjadi disebabkan oleh karena ketidak mengertian mereka tentang hukum. Dengan demikian, permasalahan pokok yang perlu dipecahkan dan diberi pencerahan kepada masyarakat itu di sini adalah; a. apa acuannya
untuk dapat
menghukumi seorang wanita benar-benar janda atau hanya merasa janda. b. bagaimana kedudukan hukum perkawinannya ketika calon isteri merupakan orang yang hanya merasa dirinya janda. Jika masyarakat nantinya bisa mendapat pencerahan khususnya di bidang hukum keluarga ini, dan oleh karenanya mereka dapat pengetahuan yang memadai sehingga membuat mereka mengerti, maka tentu sangat mungkin terwujudnya tertib hukum di masyarakat. Ketertiban hukum dimaksud adalah baik yang berkenaan dengan hukum agama maupun juga yang berkenaan dengan hukum negara. Dengan demikian itu pula akan terminimalkanlah terjadinya penyimpangan hukum oleh masyarakat. Pengertian Perkawinan Yang Sah Jika ditilik kepada ketentuan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan di Indonesia dalam rangka untuk mengetahui perkawinan yang sah itu, maka konsep tentang perkawinan yang sah itu adalah sebagaimana yang diperkenalkan oleh hukum agama. Konsep tersebut dapat ditemukan dalam rumusan yang tertuang di dalam pasal-pasal UU No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Inpres No.1 Tahun 1991. Pada pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Aturan ini dengan jelas menyerahkan urusan tentang seperti apa wujud dan gambaran dari perkawinan yang sah itu atau tentang sah tidaknya suatu perkawinan itu kepada hukum agama dari orang yang melangsungkan perkawinan itu sendiri. Khusus bagi orang yang beragama Islam, perkawinannya itu dilakukan berdasarkan hukum Islam sebagaimana yang tertuang di dalam pasal-pasal KHI. Pada pasal 4 KHI dinyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam”. Adapun perkawinan yang sah menurut hukum Islam sebagaimana yang dikehendaki oleh aturan hukum yang tertuang baik di dalam UUP maupun di dalam KHI sebagaimana diungkapkan di atas, tentu perkawinan yang dilaksanakan sebagaimana pengertian dari
81
perkawinan atau nikah yang didefinisikan oleh para ulama dari berbagai mazhab yang dikemukakan sebelumnya. Bagi orang yang beragama Islam, acuannya adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pada pasal 4 KHI itu ditetapkan aturannya seperti berikut; “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam”. Aturan ini dengan jelas menegaskan bahwa bagi orang yang beragama Islam di Indonesia ini, acuannya adalah hukum Islam. Untuk kajian ini, yaitu dalam rangka untuk mendapatkan informasi mengenai seperti apa wujud dan gambaran perkawinan yang sah itu menurut hukum Islam, tentu kita bisa bertitik tolak dari atau yang lebih awal dibahas tentunya adalah mengenai pengertian dari perkawinan atau nikah itu sendiri. Ulama dari mazhab Hanafi mendefinisikan nikah dengan “akad yang menjadikan laki-laki bisa menikmati seks secara sengaja atau berhak memperoleh kesenangan seksual dari perempuan yang dinikahinya”.2 Ulama mazhab Maliki mendefinisikan nikah itu dengan “akad yang menghalalkan kenikmatan seksual dari isteri dalam rangka pemenuhan kebutuhan hasrat
seksual
atau
untuk
memperoleh
keturunan”.3
Ulama
mazhab
Syafi’i
mendefinisikannya dengan “akad yang berisi pembolehan laki-laki dan perempuan melakukan hubungan suami isteri (coitus) atau pembolehan bagi laki-laki mengambil manfaat seksual dari alat kelamin perempuan dengan menggunakan lafaz inkah atau tazwij atau yang semakna dengan itu”.4 Sedangkan ulama dari mazhab Hanbali mendefinisikannya dengan “suatu akad untuk mendapatkan kesenangan seksual antara laki-laki dan perempuan”.5 Hal yang esensinya sama dengan pengertian yang dikemukakan oleh berbagai mazhab tersebut di atas, dikemukakan juga oleh Wahbah Zuhaili dalam bukunya Kitab Fikih Imam Syafi’i dengan redaksi seperti berikut; “Nikah adalah akad yang membolehkan hubungan intim dengan menggunakan kata “menikahkan”, “mengawinkan”, atau terjemah keduanya”. 6 Dari pengertian perkawinan atau nikah yang dikemukakan oleh berbagai ulama dari berbagai mazhab seperti di atas, oleh Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA. APU., lalu mengambil suatu kesimpulan dengan mengatakan bahwa semua pendapat itu menuju satu titik kesamaan bahwa perkawinan atau nikah dalam perspektif hukum Islam adalah “suatu akad yang 2
Abd al-Ghani al-Ghanimi al-Dimisyq al-Midani, Al-Lubab Fi Syarh al-Kitab, (Ttp.: Dar al-Kutub al-Arabi, tt.), Juz 4, halaman 253. 3 Abd al-Sami’ al-Abi al-Azhari, As-Samr al-Dani Fi Taqrib al-Ma’ani Syarah Risalah Ibn Abi Zaid alQairawani, (Beirut: Maktabah Tsaqafiyah, tt.), Juz 1, halaman 131. 4 Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fath al-Mu’in, (Kudus: Menara, tt.), Jilid 3, halaman 1. 5 Abd al-Rahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Mazahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), Jilid 4, halaman 3. 6 Wahbah Zuhaili, Fikih Syafi’i, halaman 449.
82
digunakan untuk mengatur pemanfaatan suami atas kelamin isterinya dan seluruh badannya untuk tujuan kenikmatan”.7 Jadi, inti dari perkawinan itu menurut perspektif hukum Islam adalah adanya akad nikah. Jika inti dari perkawinan atau nikah itu dalam perspektif hukum Islam sebagaimana dikemukakan di atas adalah adanya akad nikah, tentu hal itu mengarahkan pikiran kita untuk berpikir kepada mesti adanya unsur-unsur lain yang mendukung bagi dapat terlaksananya akad tersebut. Akad dan unsur-unsur lain yang mesti ada dalam kegiatan melaksanakan perkawinan atau nikah itulah yang kemudian dalam istilah fikih (hukum Islam) diberi sebutan dengan rukun nikah. Dalam KHI rukun nikah ini dimuat dalam bab 4 bagian kesatu. Pada pasal 14 KHI itu dinyatakan bahwa “Untuk melaksanakan perkawinan harus ada: a. Calon suami; b. Calon isteri; c. Wali nikah; d. Dua orang saksi, dan; e. Ijab dan kabul. Masingmasing rukun tersebut memiliki syarat sendiri-sendiri. Jika dalam pelaksanaan suatu perkawinan kelima rukun itu ada, dan syarat bagi masing-masingnya terpenuhi, maka perkawinan itu secara hukum dinyatakan sah. Jadi, jika kita hendak mengukur apakah suatu perkawinan yang telah dilangsungkan sah atau tidak, maka ukuran atau acuannya adalah rukun dan sarat nikah itu sendiri. Jika dalam suatu perkawinan kelima rukun itu ada, dan syarat dari masing-masing rukun itu terpenuhi, maka perkawinan tersebut dapat dihukumi sah. Jika kemudian perkawinan yang sah menurut hukum agama itu dicatat, maka perkawinan tersebut sah dan resmi, sehingga dapat dilindungi oleh negara. Status Hukum Perkawinan Orang Yang Merasa Janda Jika kita hendak mengetahui status hukum dari suatu perkawinan yang telah dilangsungkan apakah sah atau tidak sah, maka tidak bisa tidak kita harus mengikut kepada acuan tersebut di atas mengenai perkawinan yang sah. Sebagaimana di sebutkan di atas, bahwa jika hendak mengukur apakah suatu perkawinan yang telah dilangsungkan sah atau tidak sah tadi, acuannya adalah rukun dan syarat nikah itu sendiri. Salah satu dari lima rukun nikah seperti tersebut di atas yang ada keberhubungannya dengan status seseorang bahwa ia benar-benar janda atau hanya menduga saja bahwa ia telah janda sebagaimana dilukiskan dalam judul atau yang menjadi fokus utama dalam kajian ini adalah calon isteri. Agar seseorang dapat ditempatkan secara hukum pada tempat calon isteri dalam rukun nikah, maka pada dirinya harus melekat beberapa syarat berikut: 1. Beragama Islam; 2. Terang wanitanya (bukan banci); 3. Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya; 4. Tidak bersuami 7
Teuku Edy Faisal Rusydi, Pengesahan Kawin Kontrak Pandangan Sunni & Syi’ah, (Yogyakarta: Pilar Media, 2007), halaman xx.
83
dan tidak dalam iddah; 5. Bukan mahram calon suami; 6. Belum pernah dili’an oleh calon suami; 7. Terang orangnya; dan 8. Tidak sedang dalam ihram haji dan umrah. 8 Dari kedelapan syarat tersebut di atas, yang berhubungan langsung dengan pembahasan ini, yaitu untuk dapatnya seseorang ditempatkan sebagai calon isteri, adalah point ke 4 yaitu tidak bersuami. Untuk mengetahui secara pasti bahwa seorang wanita dapat ditempatkan pada tempat calon isteri dalam rukun nikah secara hukum terutama bagi wanita yang sebelumnya pernah menjadi isteri dari seorang pria (suaminya), apakah ia telah berstatus janda atau belum, maka haruslah kita lihat kepada dan diukur dengan aturan hukum yang tertuang di dalam peraturan perundang-undangan. Ada dua peraturan yang dapat digunakan sebagai dasar hukum dan acuan bagi permasalahan ini, yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal yang seperti ini dikemukakan tidak lain adalah disebabkan bahwa selain aturan untuk masalah tersebut diatur di dalam pasal dari KHI, dengan redaksi yang sama juga ada diatur di dalam pasal dari UU Nomor 1 Tahun 1974 (UUP). Pada pasal 113 KHI dinyatakan bahwa “Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian, b. Perceraian, dan c. Atas putusan Pengadilan”. Hal yang sama juga dituangkan dalam pasal 38 UU Nomor 1 Tahun 1974 dengan redaksi seperti berikut: “Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian, b. Perceraian, c. Atas keputusan Pengadilan”. Kedua aturan inilah yang dimaksud tadi yang akan dijadikan sebagai acuan atau sebagai dasar hukum untuk menilai atau menghukumi status seorang perempuan yang dalam posisi sebagai calon isteri, apakah ia benar-benar janda atau ia dan juga orang di sekitarnya hanya menduga saja bahwa dirinya sudah dalam keadaan janda. Jika kedua aturan ini yang akan dijadikan sebagai dasar hukum acuan atau penilaian bagi seorang wanita apakah ia secara hukum berstatus janda atau sebagai isteri sah dari seseorang, maka akan dengan mudah kita bisa mendapatkan hasil penilaian itu secara baik dan benar. Berdasarkan ketentuan yang tertuang di dalam kedua aturan tersebut di atas, yaitu aturan dalam UUP dan aturan yang tertuang dalam KHI, maka akan dapat ditentukan siapakah yang dapat disebut sebagai janda menurut hukum sehingga sah menjadi calon isteri pada perkawinan berikutnya, dan karenanya perkawinannyapun akan menjadi sah, dan siapa pula yang dikategorikan sebagai orang yang merasa janda, sehingga tidak sah menjadi calon isteri
8
Departemen Agama RI., Pedoman Pegawai Pencatat Nikah, (Jakarta: Proyek Peningkatan Tenaga Keagamaan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji, 1993/1994), halaman 22.
84
pada perkawinan berikutnya, dan karenanya perkawinannnya itupun menjadi tidak sah. Mari kita lihat penjelasan berikutnya ketika kedua aturan dimaksud yang dijadikan sebagai acuannya. Apabila seorang wanita yang tadinya ia berstatus sebagai isteri dari seseorang, kemudian terjadi salah satu dari tiga penyebab putusnya ikatan perkawinan sebagaimana yang ditentukan di dalam pasal 113 KHI ataupun yang tertuang di dalam pasal 38 UUP seperti disebutkan di atas, maka dengan dasar itu si wanita tersebut secara hukum jelas berstatus janda. Karenanya, iapun dapat dan telah memenuhi salah satu syarat untuk diposisikan sebagai calon isteri dalam suatu pernikahan. Umpamanya, seorang isteri yang ditinggal wafat suaminya, maka terhitung sejak suaminya wafat dia otomatis berstatus janda, lalu ia dapat menikah atau dinikahi setelah kemudian habis masa iddahnya. Jadi, ia tinggal menunggu habis masa iddah saja untuk boleh dan sah kembali menikah. Atau dengan penyebab kedua bahwa seorang isteri yang ditalak oleh suaminya, maka dengan talak itu pula secara hukum ia berstatus janda dan iapun boleh serta sah menikah atau dinikahi setelah kemudian habis masa iddahnya. Atau dengan penyebab ketiga, yaitu adanya keputusan Pengadilan yang memutuskan ikatan perkawinannya dengan suaminya, maka dengan putusan itu iapun sah secara hukum berstatus janda, lalu iapun boleh dan sah secara hukum menikah atau dinikahi setelah kemudian habis masa iddahnya. Jadi, dengan aturan hukum yang tertuang di dalam pasal KHI tersebut, bahwa seorang wanita baru dapat dihukumi berstatus janda manakala pada perkawinannya terjadi salah satu dari tiga penyebab putusnya ikatan perkawinan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan itu tadi. Jika tidak ada yang terjadi salah satu dari tiga penyebab putusnya ikatan perkawinan tersebut, maka menurut ketentuan hukum yang berlaku, si isteri itu tetap berstatus sebagai isteri yang sah bagi suaminya, serta tidak berstatus sebagai janda. Jika secara hukum ia tidak berstatus janda, sudah pasti ia adalah berstatus sebagai isteri dari seseorang. Pada pasal 40 KHI ditegaskan dengan jelas aturan hukumnya bahwa “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: a, karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain”. Dan pada pasal 3 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 ditegaskan; “... Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”. Jika perkawinannya itu tetap juga dilangsungkan dengan tidak mengindahkan aturan hukum tadi, maka perkawinan yang seperti ini dalam sudut pandang aturan yang tertuang di dalam KHI dan UUP dapat dikategorikan sebagai perkawinan poliandri. Sebab, ia menikah dengan pria yang kedua, sementara secara hukum ia 85
masih bersuamikan pria pertama, sehingga dalam waktu yang bersamaan dalam sudut pandang hukum ia (si wanita atau orang yang merasa janda tadi) mempunyai dua suami. Dari sudut pandang bahasa, wanita yang mempunyai dua suami disebut poliandri sedang laki-laki yang mempunyai dua isteri disebut poligami. Secara khusus berkaitan dengan penyebab ketiga, yaitu seorang wanita yang tadinya berstatus sebagai isteri kemudian menjadi janda dengan adanya putusan Pengadilan, di sini dimungkinkan adanya atau munculnya permasalahan lain. Khususnya jika berkaitan dengan perkawinan yang sebelumnya berstatus perkawinan tercatat atau nikah resmi yaitu ada kutipan akta nikah (buku nikah)-nya. Dalam hal ini, terjadi dua kemungkinan berkenaan dengan status hukum tentang kejandaannya. Yaitu antara status janda menurut hukum agama (fikih) dan juga menurut hukum negara dengan status janda menurut hukum agama (fikih) tapi tidak menurut hukum negara. Jika dalam status perkawinan yang resmi atau tercatat si suami mentalak isterinya di depan sidang Pengadilan mengikuti ketentuan pasal 39 ayat (1) UUP dan pasal 115 KHI, maka sejak dari adanya ikrar talak suami di depan sidang Pengadilan itu tadi, baik secara hukum agama maupun secara hukum negara, isteri tersebut menjadi atau bestatus sebagai janda. Akan tetapi, jika si suami mentalaknya di luar daripada sidang Pengadilan, maka dengan ikrar talak suami itu secara hukum agama (fikih) si isteri tersebut menjadi atau berstatus sebagai janda sedang menurut hukum negara dia tidak mendapatkan pengakuan status janda. Sebab ikrar talak dari suami baru akan diakui oleh negara sebagai penyebab putusnya ikatan perkawinan suami isteri itu manakala suami mengikrarkan hak talaknya di depan sidang Pengadilan sebagaimana menurut aturan hukum yang berlaku. Kesimpulan dan Saran Dari pemaparan di atas berkaitan dengan tema pembahasan yaitu ketika orang yang merasa dirinya berstatus janda nikah lagi, dapatlah kita ambil beberapa kesimpulan seperti berikut: 1. Menurut ketentuan yang tertuang di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 113, bahwa seorang perempuan yang pernah terikat tali perkawinan yang sah dengan seorang laki-laki serta resmi tercatat (yaitu ada buku nikah atau kutipan akta nikahnya), hanya akan dapat dikategorikan atau dihukumi janda apabila pada perkawinannya terjadi salah satu sebab dari tiga penyebab putusnya ikatan perkawinan menurut aturan hukum, sebagaimana di atur di dalam KHI. Yaitu, pertama suaminya wafat, atau kedua suaminya 86
mengikrarkan talak kepadanya, atau ketiga Hakim Pengadilan Agama dalam suatu putusan telah menyatakan bahwa ikatan perkawinannya dengan suami putus. Jika tidak terjadi salah satu dari tiga sebab tersebut, maka perempuan tersebut tidak dapat dihukumi janda, melainkan ia tetap berstatus sebagai seorang isteri. Yaitu isteri yang sah dari suami sebelumnya. 2. Jika pada perkawinan sebelumnya bahwa perkawinan mereka tersebut resmi/tercatat, lalu suami menjatuhkan talak kepada si isteri namun di luar sidang pengadilan, maka isteri tersebut benar-benar telah menjadi janda menurut hukum agama (fikih), namun tidak diakui sebagai janda oleh negara karena perkawinannya dianggap belum putus. Tidak diakui janda oleh negara sebab status hukum perkawinan mereka dalam catatan negara sebagaimana tertuang di dalam buku nikahnya belum tercoret oleh pihak berwenang. Sepanjang buku nikahnya belum tercoret status suami isteri mereka, maka negara akan tetap menganggap mereka pasangan suami isteri yang sah, suami tidaklah jadi duda dan isteripun tidaklah jadi janda. Ketika dia (si wanita atau isteri) menikah lagi dengan pria lain, maka pernikahannya sah menurut fikih sebab dia benar-benar janda pada saat dia menjadi calon isteri dalam perkawinan tersebut, namun tak diakui oleh negara sebab perkawinan yang sebelumnya dalam administrasi negara belum putus sehingga si perempuan masih tercatat sebagai isteri bagi suaminya dalam perkawinan pertama tersebut. Akan tetapi, jika tidak ada ikrar talak dari suaminya kepadanya, maka baik dalam perspektif hukum agama (fikih) maupun dalam perspektif hukum negara statusnya tidaklah janda. Oleh karena itu, status perkawinan berikutnya baik menurut hukum agama (fikih) maupun menurut hukum negara adalah tidak sah. Kemudian, jika perkawinan sebelumnya tidak tercatat (nikah di bawah tangan), lalu suami tidak ada menjatuhkan talak, maka siperempuan tidak dapat disebut janda baik menurut hukum agama (fikih) maupun menurut hukum negara. Atas dasar itu, maka status hukum perkawinannya pada perkawinan berikutnya menjadi tidak sah baik menurut hukum agama (fikih) maupun menurut hukum negara. 3. Bertitik tolak dari kesimpulan di atas, maka penulis menyarankan kepada; a. pihak yang berkewenangan, baik berkewenangan dari sudut keilmuan maupun berkewenangan dari segi kekuasaan atau jabatan, termasuk juga berkewenangan dari sisi finansial kiranya berkerelaan dan bergiat untuk memberikan pencerahan kepada umat supaya mereka tidak terjebak, bahkan mungkin berketetapan dalam keadaan berdosa karena melanggar hukum agama yang bisa jadi karena tidak adanya pengetahuan sembari juga tidak ada yang 87
memberi pengetahuan.
b. kepada segenap umat Islam yang berencana untuk
melaksanakan pernikahan, kiranya membuka hati untuk mau mencari pengetahuan tentangnya yang sebenarnya hal itu masuk dalam wilayah fardu ‘ain. Bagi setiap wanita muslimah, mestinya mencari tahu denga pengetahuan benar kapan dia benar-benar janda tidak hanya menduga apalagi merasa. Demikian juga bagi setiap laki-laki yang akan menjadi calon suami pada satu kegiatan pernikahan, mestinya memilki pengetahuan yang baik tentang calon isteri yang betul-betul janda dan yang hanya merasa janda ketika yang ia pilih bakal calon isterinya itu wanita yang sudah pernah menikah.
Daftar Bacaan: Abd al-Rahman I. Doi, Shari’ah The Islamic Law, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Basri Iba Asghary dan Wadi Masturi, Perkawinan Dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996). Abd al-Ghani al-Ghanimi al-Dimisyq al-Midani, Al-Lubab Fi Syarh al-Kitab, (Ttp.: Dar alKutub al-Arabi, Juz 4, tt.). Abd al-Sami’ al-Abi al-Azhari, As-Samr al-Dani Fi Taqrib al-Ma’ani Syarah Risalah Ibn Abi Zaid al-Qairawani, (Beirut: Maktabah Tsaqafiyah, tt.). Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fath al-Mu’in, (Kudus: Menara, tt.). Abd al-Rahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Mazahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.). Wahbah Zuhaili, Fikih Imam Syafi’i, (Jakarta: Almahira, 2008). Teuku Edy Faisal Rusydi, Pengesahan Kawin Kontrak Pandangan Sunni & Syi’ah, (Yogyakarta: Pilar Media, 2007). Departemen Agama RI., Pedoman Pegawai Pencatat Nikah, (Jakarta: Proyek Peningkatan Tenaga
Keagamaan
Direktorat
Jenderal
Bimbingan
Masyarakat
Islam
Dan
Penyelenggaraan Haji, 1993/1994). UU Nomor 1 Tahun 1974 tentag Perkawinan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)
88