STUDI FASIES FORMASI TANJUNG PADA PROSPEK X, CEKUNGAN BARITO, KALIMANTAN SELATAN Danny Daniel1, Yoga Andriana Sendjaja2, Ismawan3 1
Student at the Dept. Of Geological Engineering, Padjadjaran University, Jatinangor, Sumedang
2
Lecturer at the Dept. Of Geological Engineering, Padjadjaran University, Jatinangor, Sumedang
3
Lecturer at the Dept. Of Geological Engineering, Padjadjaran University, Jatinangor, Sumedang
SARI Secara administratif daerah penelitian terletak pada Daerah Banjar Pengaron, Kecamatan Salambabaris, Kabupaten Tapin, Provinsi Kalimantan Selatan. Berdasarkan geologi regional Satyana dan Silitonga (1994) daerah ini merupakan bagian dari Cekungan Barito. Metode penelitian yang digunakan adalah pengamatan singkapan batuan meliputi struktur dan tekstur sedimen dengan metode meassure section yang kemudian akan dibuat penampang kolom stratigrafi. Dari penampang kolom stratigrafi diinterpretasi karakteristik fasies, suksesi dan asosiasi fasies, mekanisme sedimentasi dan interpretasi lingkungan pengendapan. Berdasarkan hasil analisis fasies, pada daerah penelitian terdapat 17 litofasies yaitu: coal seam, massive claystone, lenticular lamination sandstone, massive very fine sandstone, massive fine sandstone, wavy lamination fine sandstone, wavy parallel lamination medium – fine sandstone, parallel lamination very fine sandstone, parallel lamination fine sandstone, cross lamination fine sandstone, massive medium sandstone, flaser medium – fine sandstone, wavy lamination medium sandstone, calcareous sandstone, massive coarse sandstone, graded bedding granule – coarse sandstone, dan massive granule sandstone. Terdapat 5 fasies pengendapan pada daerah penelitian, yaitu: In Channel, overbank, distributary channel, mouthbar, dan bay. Berdasarkan hal tersebut, Formasi Tanjung diinterpretasikan terbentuk pada lingkungan pengendapan Fluvial – Delta. Kata kunci : Formasi Tanjung,facies, fluvial, delta
1
2
ABSTRACT Administratively, research area lies within Banjar Pengaron and it’s vicinity area, Salambabaris District, Tapin Subprovince, South Kalimantan. Based on Satyana and Silitonga (1994) regional geology, research area is part of the barito basin. Methods that are used in this research are observing outcrop such as sedimentary texture and structure with meassure section method that will be processed to be stratigraphic log. From this log will be interpreted fasies characteristic, facies succession and association, sedimentation mekanism and depositional environment interpretation. Based on facies analysis, there ara 17 lithofacies in research area, such as: coal seam, massive claystone, lenticular lamination sandstone, massive very fine sandstone, massive fine sandstone, wavy lamination fine sandstone, wavy parallel lamination medium – fine sandstone, parallel lamination very fine sandstone, parallel lamination fine sandstone, cross lamination fine sandstone, massive medium sandstone, flaser medium – fine sandstone, wavy lamination medium sandstone, calcareous sandstone, massive coarse sandstone, graded bedding granule – coarse sandstone, and massive granule sandstone. There are 5 facies deposition, such as: in channel, overbank, distributary channel, mouthbar, and bay. From these interpretation, Tanjung Formation’s depositional environment is in fluvial – delta. Key word : Tanjung Formation, facies, fluvial, delta
PENDAHULUAN
memiliki hasil yang mengecewakan.
1.
Hasil
Cekungan Barito memiliki
yang
tidak
sesuai
ini
batuan induk yang kaya dan matang,
menimbulkan pertanyaan mengapa
reservoir yang baik, batuan tudung
cekungan dengan pertoleum system
yang baik, serta memiliki banyak
yang baik dan memiliki tatanan
perangkap akibat adanya kejadian
geologi
tektonik.
terkini
cekungan di dekatnya namun hanya
menyimpulkan bahwa batuan induk
menghasilkan migas dalam jumlah
Cekungan Barito telah menghasilkan
sedikit. Mason et al (1993) dalam
dan
hidrokarbon
Satyana (1995) menyebut peristiwa
dalam jumlah besar. Namun, tercatat
ini sebagai Barito Dilemma (Satyana,
bahwa eksplorasi pada cekungan ini
1995).
Studi
geokimia
mengeluarkan
yang
serupa
dengan
3
2.
Studi
dilakukan
sedimentologi
dan
Oligosen.
Kontak
antara
menggunakan
Formasi Tanjung tidak selaras
pendekatan interpretasi fasies pada
dengan Formasi Berai. Secara
karakteristik litologi yang diamati
litologi, Formasi Tanjung dapat
pada singkapan. Dengan interpretasi
terbagi menjadi tiga anggota (dari
fasies bisa diketahui lingkungan
bawah ke atas) :
pengendapan dan model fasies pada
Anggota
daerah
dengan
dapat
tertentu.
penelitian
dapat
dari
(Anggota
sebagai dasar pertimbangan untuk
Tanjung)
eksplorasi
hidrokarbon
daerah tersebut. Oleh karena itu penulis mengambil tema penelitian mengenai Fasies Formasi Tanjung.
–
konglomeratan
digunakan
kegiatan
ini
Aplikasi
Batupasir
Bawah
serpih Formasi
Anggota Batupasir (Anggota Tengah Formasi Tanjung) Anggota Serpih – Batugamping (Anggota
Atas
Formasi
Tanjung) GEOLOGI REGIONAL
c. Formasi
Pembagian stratigrafi regional
Berai.
Formasi
ini
didominasi oleh karbonat dengan
Cekungan Barito menurut Sapiie,
sedikit
dkk (2004) (Gambar 1.1) dalam
serpih. Pada bagian atas dan
Hydrocarbon Prospect and Potential
bawah
of Barito Basin, South Kalimantan
merupakan ketidakselarasan.
meliputi :
interkalasi
dari
d. Formasi
napal
dan
Formasi
Warukin.
Berai
Formasi
a. Batuan pre-tersier telah dianggap
Warukin dideskipsikan sebagai
sebagai basement dari Cekungan
sikuen dari batupasir, batulanau,
Barito,
serpih
mengandung
sedimen
dan
batubara
berumur
–
Akhir.
batuan beku dan metamorf yang
Miosen
terlipat kuat.
Kehadiran lapisan batubara yang
b. Formasi
Tanjung
membentuk
strata Tersier paling bawah pada Cekungan Barito. Secara umum terbatas pada umur antara Eosen
tebal
Tengah
merupakan
penciri
dari
formasi ini. e. Formasi
Dahor
secara
umum
dideskripsikan sebagai bongkah
4
konglomerat,
batupasir
batulanau,
dan
batulempung
dengan
tebal,
interkalasi
keabuan, kilap lilin, agak keras, gores
berwarna
cokelat,
bongkah
mechanical state berupa broken
fragmen batuan tua (Rotinsulu et
core (patah – patah), dan bentuk
at, 1993 dalam Sapiie, 2004).
pecahan tidak rata. Fasies ini menandakan
Metode yang digunakan yaitu dengan melakukan measure section singkapan
menghasilkan
batuan
untuk
bahkan hampir tidak ada energi. b. Massive claystone, Fasies ini memiliki
karakteristik
berupa
penampang
batulempung, warna terang abu-
litologi terukur. Penampang litologi
abu gelap, warna lapuk abu-abu
akan dikorelasi secara vertikal dan
kecoklatan,
horizontal. Kemudian penampang
terpilah baik, non karbonatan,
litologi
diinterpretasi
untuk
masif. Berdasarkan karakteristik
mengenali
litofasies
akan
ini menunjukkan bahwa fasies ini
fasiesnya.
terendapkan melalui mekanime
diinterpretasi Kemudian
suatu
yang
berkembang sangat kecil atau
METODE PENELITIAN
pada
energi
yang
asosiasi dari
asosiasi
diinterpretasi
fasies
lingkungan
pengendapannya (Gambar 1.2)
kemas
tertutup,
suspended load pada kondisi arus relatif tenang. c. Lenticular lamination claystone, Dicirikan
oleh
HASIL PENELITIAN
warna
1. Analisis Fasies dan Lingkungan
warna lapuk abu-abu kecoklatan,
abu-abu
gelap,
kemas tertutup, terpilah baik,
Pengendapan
struktur
1.1 Klasifikasi Litofasies Berdasarkan penampang
terang
batulempung,
pengamatan
stratigrafi
terukur,
sedimen
laminasi
lenticular. Didasarkan pada ciri tersebut,
fasies
ini
didapat 16 litofasies meliputi :
diinterpretasikan sebagai endapan
a. Coal seam, Terdiri dari batubara
yang terjadi pada daerah dengan
dengan
warna
segar
hitam
kecoklatan, warna lapuk coklat
mekanisme arus energi rendah
5
yaitu merupakan hasil dari lower
abu-abu
flow regime.
kuning kecoklatan, membundar
d. Massive
very fine
sandstone,
warna
lapuk
tanggung - membundar, kemas
Terdiri
atas
sangat
tertutup, terpilah sedang, agak
halus,
warna segar abu-abu,
keras, non karbonatan, dengan
warna lapuk kuning kecoklatan,
struktur sedimen laminasi wavy.
membundar
Fasies
membundar, sedang,
batupasir
terang,
tanggung tertutup,
agak
-
terpilah
keras,
non
ini
diinterpretasikan
sebagai endapan arus traksi secara bedload.
Struktur
wavy
karbonatan, masif. Berdasarkan
mengindikasikan
karakteristik
yang relatif rendah pada kondisi
bahwa
ini
fasies
menunjukkan
ini
terendapkan
melalui mekanime suspended load
adanya
arus
lower flow regime. g. Wavy parallel lamination medium
pada kondisi arus relatif tenang.
– fine sandstone, Batupasir sangat
e. Massive fine sandstone, Terdiri
halus - medium, warna segar abu-
atas batupasir halus,
dengan
abu terang, warna lapuk kuning
warna
terang,
kecoklatan, membundar tanggung
warna lapuk kuning kecoklatan,
- membundar, kemas tertutup,
membundar
terpilah sedang, agak keras, non
segar
membundar,
abu-abu
tanggung kemas
-
tertutup,
karbonatan,
dengan
terpilah sedang, agak keras, non
sedimen
karbonatan.
paralel laminasi.
Fasies
diinterpretasikan
ini
terendapkan
h. Parallel
laminasi
struktur
wavy
laminantion
dan
fine
pada kondisi arus upper flow
sandstone, Terdiri atas batupasir
regime
sangat halus, warna terang putih,
oleh
mekanisme
arus
traksi secara bedload atau pada
warna
kedalaman kolom air yang relatif
kemas tertutup, terpilah baik,
dangkal.
struktur sedimen paralel laminasi
f. Wavy lamination fine sandstone,
lapuk
abu
kecoklatan,
berupa pasir berwarna abu gelap.
Fasies ini dicirikan oleh batupasir
Fasies
ini
diinterpretasikan
halus – sangat halus, warna segar
terbentuk oleh mekanisme arus
6
traksi secara bedload pada kondisi
energi
secara
periodik
arus upper flow regime atau pada
disebabkan oleh adanya proses
kedalaman kolom air yang relatif
pasang surut. Pada saat volume air
dangkal.
melimpah
terjadi
yang
pengendapan
i. Cross lamination fine sandstone,
sedimen kasar, kemudian pada
Dicirikan oleh batupasir halus,
kondisi normal yang bekerja adalah
warna segar abu-abu muda, warna
arus tenang sehingga diendapkan
lapuk coklat, membundar tanggung
sedimen halus.
-
membundar,
kemas
terbuka.
k.
Wavy
lamination
medium
terpilah sedang, non karbonatan,
sandstone, Terdiri atas batupasir
struktur sedimen cross lamination.
medium,
Berdasarkan
kecoklatan, warna lapuk coklat,
karakteristiknya
warna
segar
litofasies ini diendapkan pada rezim
membundar
aliran bawah (lower flow regime)
membundar,
dengan sistem arus traksi melalui
terpilah sedang, agak keras, non
mekanisme bedload.
karbonatan,
j. Flaser fine sandstone, Terdiri atas
wavy.
tanggung
abu
kemas
terbuka,
memiliki
Struktur
-
laminasi
sedimen
wavy
batupasir halus sangat halus, arna
menunjukkan fasies ini terbentuk
segar abu kecoklatan, warna lapuk
oleh mekanisme arus relatif yang
coklat, membundar tanggung -
rendah pada kondisi lower flow
membundar,
regime.
kemas
terbuka,
terpilah sedang, agak keras, non karbonatan,
memiliki
struktur
l. Calcareous sandstone, Fasies ini ditandai
dengan
munculnya
sedimen laminasi flaser. Fasies ini
batupasir sangat halus , warna segar
diendapkan oleh mekanisme arus
abu-abu gelap, warna lapuk coklat,
traksi secara bedload pada kondisi
membundar
arus upper flow regime atau pada
membundar,
kedalaman
terpilah
kolom
air
relatif
baik,
tanggung kemas
-
tertutup,
keras,
masif,
Fasies
ini
dangkal (Collinson dalam Reading,
karbonatan.
1978). Struktur sedimen
flaser
diinterpretasikan sebagai endapan
fluktuasi
dari mekanisme arus traksi secara
menunjukkan
adanya
7
bedload yang relatif sedang sampai
tanggung - membundar, kemas
rendah dan merupakan tipe rezim
terrbuka, terpilah buruk, graded
transisi yaitu lower flow regime dan
bedding.
upper flow regime.
karakteristiknya Graded bedding
m.
Berdasarkan
Massive coarse sandstone,
merupakan satuan sedimentasi yang
Batupasir kasar, warna segar abu
ditandai oleh perubahan ukuran
kecoklatan, warna lapuk coklat,
partikel penyusun secara berangsur
membundar tanggung - menyudut
dari bawah ke atas, dimana partikel
tanggung, kemas terbuka, terpilah
paling kasar terletak di bawah dan
buruk, non karbonatan, dibeberapa
partikel paling halus terletak di
tempat
terdapat
sisipan
atas. Graded bedding diendapkan
dan
sedimen
dari arus yang sudah kehilangan
Berdasarkan
kemampuannya untuk mengangkut
tekstur dan struktur yang terdapat
partikel sehingga partikel sedimen
pada fasies ini memperlihatkan
yang kasar akan diendapkan lebih
bahwa fasies ini terbentuk dengan
dahulu.
batulempung karbonan
melensa.
sistem arus traksi dengan kecepatan
o.
Massive granule sandstone.
yang tinggi (Miall dalam James dan
Fasies
Walker, 1992) pada dasar sebuah
batupasir kerikilan, warna terang
saluran/channel. Hadirnya sisipan
abu
sedimen
kehijauan, menyudut tanggung -
karbonan,
dan
ini
gelap,
ditunjukkan
warna
lapuk
abu
batulempung diinterpretasikan dari
membundar
hasil
terbuka, terpilah buruk, agak keras,
erosi
bank
dan
tanggung,
oleh
memperlihatkan bahwa paket fasies
non
ini terendapkan pada kondisi energi
tekstur dan struktur yang terdapat
yang tinggi.
pada fasies ini memperlihatkan
n.
Graded bedding granule –
coarse
sandstone,
Terdiri
atas
batupasir kasar kerikilan - kasar, warna segar coklat, warna lapuk coklat
kehijauan,
membundar
karbonatan.
kemas
Berdasarkan
bahwa fasies ini terbentuk dengan sistem arus traksi dengan kecepatan yang tinggi.
8
1.2
Asosiasi Fasies
endapannya
a.
Endapan Delta Plain, Fasies
sebelumnya akan lebih kasar, dan
yang berkembang pada lingkungan
bagian yang paling dangkal, yakni
ini ditandai dengan munculnya
mouth
fasies batulempung, batupasir dan
sedimen
batubara. Batupasir diklasifikasikan
sedimen kerikilan.
sebagai
lingkungan
distributary
c.
menutupi
bar
akan
pasiran
endapan
diendapkan atau
bahkan
Pada lingkungan ini terjadi
channel karena pada lingkungan ini
pencampuran antara endapan
memiliki aliran yang cukup kuat
suspended dan
untuk
Bedload
mentransportasi
mengendapkan
material
Batulempung
dan
diendapkan
pada
overbank
dimana
dan
-
endapan bedload.
merupakan
hasil
dari
kasar.
aliran pada sungai yang membawa
batubara
material sedimen kasar pada bagian
lingkungan
dasar sungai. Bedload yang lebih
terjadi
halus tertransportasi pada bagian
sedimentasi suspended load ketika
yang
terjadi
channel.
menghasilkan profil material kasar
juga
pada bagian dasar dan semakin
memiliki vegetasi jika lingungan ini
menghalus keatas. Pada bagian tepi
memiliki iklim yang sesuai yaitu
sungai dimana aliran lebih lambat,
tropis. Vegetasi inilah yang akan
riak sungai masuk kedalam material
selanjutnya membentuk batubara.
sedimen
banjir
Lingkungan
b. pada
pada overbank
Endapan Delta Front, Fasies lingkungan
memunculkan
ini
pola
mengkasar
keatas.
dikarenakan
pada
akan fasies
dangkal
halus
sehingga
menghasilkan
struktur sedimen cross lamination. Maka
dari
batupasir
itu
pada
asosiasi
fasies
bagian
bawah
ini
penampang stasiun ini yang bersifat
lingkungan
menghalus keatas dengan butir
paling dalam dari delta front akan
yang lebih kasar serta memiliki
terendapkan sedimen halus yang
struktur sedimen cross lamination
diendapkan dengan energi rendah,
diinterpretasikan sebagai endapan
pada
meandering river.
lingkungan
Hal
lebih
yang
lebih
dangkal seperti delta slope yang
9
1.3 Korelasi
Penampang
fasies yang menunjukan asoisasi faises
Stratigrafi
overbank,
dan
terjadi
a. Stasiun Dd7.02 terletak di bagian
penebalan ke arah Utara. Batas
Barat daerah penelitian dengan
atas dari korelasi ini adalah
elevasi
91
perlapisan
mdpl N
Sedangkan
208° Stasiun
dan
arah
batubara
E/
31°.
kondisi
tenang,
Dd6.02
berupa
batulempung
terletak di bagian tengah Utara
yang
menunjukkan batas
bawah (Gambar
1.10)
daerah penelitian dengan elevasi 107 mdpl dan arah perlapisan N
KESIMPULAN
202° E/ 30°. Pada korelasi ini
Berdasarkan hasil analisis fasies,
terlihat perubahan ketebalan pada
pada daerah penelitian terdapat 16
fasies yang menunjukan asoisasi
litofasies yaitu: coal seam, massive
faises distributary channel, dan
claystone,
lenticular
terjadi penebalan ke arah Utara.
claystone,
massive
Namun
yang
sandstone, massive fine sandstone,
overbank
wavy lamination fine sandstone,
menghilang ke arah Utara. Batas
wavy parallel lamination medium –
atas dan bawah dari korelasi ini
fine sandstone, parallel lamination
adalah struktur sedimen wavy
fine sandstone, cross lamination fine
pada batupasir (Gambar 1.9).
sandstone,
endapan
menunjukkan
lamination very
massive
fine
medium
b. Stasiun Dd2.02 terletak di bagian
sandstone, flaser fine sandstone,
Selatan - Timur daerah penelitian
wavy lamination medium sandstone,
dengan elevasi 53 mdpl dan arah
calcareous
perlapisan
33°.
coarse sandstone, graded bedding
Dd2.03
granule – coarse sandstone, dan
Sedangkan
N
205° Stasiun
E/
sandstone,
massive
terletak di bagian tengah Timur
massive granule sandstone.
daerah penelitian dengan elevasi
Dari fasies tersebut dikelompokkan
70 mdpl dan arah perlapisan N
dan diklasifikasikan sebagai asosiasi
215° E/ 21°. Pada korelasi ini
fasies. Dari asosiasi fasies sedimen
terlihat perubahan ketebalan pada
halus
yang
menghalus
keatas,
10
batulempung
diinterpretasikan
sebagai endapan overbank, batupasir diinterpretasikan sebagai
endapan
distributary channel. Kedua endapan ini
merupakan
bagian
dari
DAFTAR PUSTAKA Allan, Urban S. 1989. Model for Hydrocarbon Migration and Entrapment Within Faulted Structures. Dalam AAPG Bulletin Volume 73 (July 1989) : 803 - 811.
lingkungan Delta Plain. Asosiasi fasies
yang
mengkasar
keatas,
batulempung
diinterpretasikan
sebagai
bay,
endapan
batupasir
diinterpretasikan sebagai mouthbar.
Kedua
endapan
endapan
ini
Bon, Jon et al. 1996. A Review of the Exploration Potential of the Paeocene Lower Tanjung Formation in The South Barito Basin. Proceeding of Twenty Fifth IPA Silver Anniversary Convention : 69 – 79.
merupakan bagian dari lingkungan Delta Front. Asosiasi fasies sedimen kasar
yang
menghalus
diinterpretasikan sebagai meandering
river
keatas endapan
pada
fluvial
system. Sehingga dapat disimpulkan Formasi
Tanjung
pada
daerah
penelitian terbentuk pada lingkungan Fluvial – Delta. Saran
penulis
agar
kedepannya dilakukan analisis yang lebih detail yaitu dengan melakukan pemboran korelasi
sumur-sumur, dengan
seismik
serta untuk
melihat kemenerusan batuan dari log yang sudah ada. Hal ini bertujuan untuk melihat prospek kandungan migas pada bawah permukaan.
Kusuma, Indra dan Thomas Darin. 1989. The hydrocarbon Potensial of the Lower Tanjung Formation, Barito Basin, S.E. Kalimantan. Proceeding of Eighteent IPA Annual Convention : 107 – 138. Nichols, Gary. 2009. Sedimentology and Stratigraphy. 2nd Edition. Blackwell Science Ltd : United Kingdom. Posamentier, Henry W (ed), Roger G. Walker (ed). 2006. Facies Models Revisited. SEPM (Society for Sedimentary Geology) : Tulsa. Reading, H. G. 1996. Sedimentary Environments : Processes, Facies, and Stratigraphy. Third Edition. Blackwell Publishing : Oxford.
11
Rotinsulu, Lindy F. et al. 1993. The Hydrocarbon Generation and Trapping Mechanism within The Northern Part of Barito Basin, South Kalimantan. Proceeding of Twenty Second IPA Annual Convention : 607 – 633. Sapiie,
Benyamin, dkk. 2004. Hydrocarbon Prospect and Potential of Barito Basin, South Kalimantan. Bandung : Departemen of Geologi Institut Teknologi Bandung.
Satyana, Awang Harun dan Parada D. Silitonga. 1994. Tectonic Reversal in Eastern Barito Basin, South Kalimantan : Consideration of The Types of Inversion Structures and Petroleum System Significance. Proceeding of Twenty Third IPA Annual Convention : 57 – 74. Satyana, Awang Harun. 1995. Paleogene Unconformities in the Barito Basin, Southeast kalimantan : A Concept for The Solution of The “Barito Dilemma” and A Key to The Search for Paleogene
Structures. Proceeding of Twenty Fourth IPA Annual Convention : 263 – 275. Selley, Richard C. 2000. Applied Sedimentology. Second Edition. Academic Press : San Diego Siregar, M.S. dan Rustam Sunaryo. 1980. Depositional Environtment and Hydrocarbon Prospect, Tanjung Formation, Barito Basin, Kalimantan. Proceeding of Ninth IPA Annual Convention : 379 – 400. Tucker, Maurice E. 2003. Sedimentary Rocks in The Field. Third edition. John Wiley & Sons Ltd : West Sussex. Walker, Roger G. Facies, Facies Models and Modern Stratigraphic Concepts dalam Walker, Roger G (ed), Noel P. James (ed). 1992. Facies Models: Response to Sea Level Change. Canada : Geological Association of Canada.
12
Gambar 1.1 Stratigrafi regional Cekungan Barito (Sapiie, 2004)
Gambar 1.2 Diagram Alir Penelitian
13
Gambar 1.3 Penampang stratigrafi stasiun Dd7.02
Gambar 1.4 Penampang Stratigrafi Stasiun Dd2.02
14
Gambar 1.5 Penampang stratigrafi stasiun Dd5.01
Gambar 1.6 Penampang stratigrafi stasiun Dd2.03
15
Gambar 1.7 Penampang stratigrafi stasiun Dd3.01
Gambar 1.8 Penampang straitgrafi stasiun Dd6.02
16
Gambar 1.9 Korelasi Log pada stasiun Dd7.02 dan Dd6.02 (tanpa skala)
Gambar 1.10 Korelasi Log pada stasiun Dd2.02 dan Dd2.03
17
Gambar 1.11 Ilustrasi Lingkungan Pengendapan meandering channel
Gambar 1.12 Ilustrasi Lingkungan pengendapan Delta