PEMODELAN SISTEM PEMBIAYAAN DI BANK SYARI’AH DENGAN PENDEKATAN METODOLOGI SISTEM DINAMIK : STUDI KASUS PEMBIAYAAN PADA USAHA SAPI PERAH DAN PERKEBUNAN TEBU Liza Fajarningtyas, Dr. Ir. Budisantoso Wirjodirdjo, M.Eng., Nani Kurniati, ST., MT. Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 60111 Indonesia Email :
[email protected] ;
[email protected] ;
[email protected]
ABSTRAK Pendapatan bank merupakan variabel yang cukup dipertimbangkan dalam pemberian pembiayaan. Oleh karena itu, Bank Syari’ah lebih banyak menggunakan skema pembiayaan yang memberikan kepastian terhadap pendapatan yang diperoleh. Meskipun demikian, terdapat variabelvariabel lain dalam suatu pembiayaan yang juga perlu dipertimbangkan, termasuk pendapatan yang diterima nasabah pembiayaan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antar variabel dalam sistem pembiayaan di Bank Syari’ah. Variabel-variabel yang berpengaruh dalam sistem pembiayaan dimodelkan dengan pendekatan sistem dinamik. Selain itu juga dilakukan perbandingan antara penerapan konsep margin dan bagi hasil, serta perbandingan antara bagi hasil dan bunga deposito bank konvensional. Berdasarkan hasil penelitian, penerapan konsep bagi hasil lebih adil bagi pihak Bank Syari’ah dan nasabah karena pendapatan yang dibagi hasilkan bergantung pada pendapatan usaha nasabah. Pengembalian pokok pembiayaan juga dapat lebih cepat dilakukan dengan penerapan konsep bagi hasil. Dari perbandingan antara bagi hasil dan bunga deposito, menabung di Bank Syari’ah lebih menguntungkan karena tidak dipengaruhi oleh naik turunnya suku bunga. Kata kunci : deposito, dinamik, sistem, syari’ah
ABSTRACT Bank earning is considered as an important variable in defrayal agreement. Therefore, Syari’ah Bank uses defrayal schemes that give certainty to the obtained earning. Nevertheless, there are other variables in defrayal system which also required considering. This exploratory research studies the relationship between variables of a defrayal system in Syari’ah Bank. These variables are modeled using a dynamic system approach. Comparison in implementation of marginal concept with profit sharing as well as profit sharing with conventional banking deposit is also conducted in this research. The research concluded that the implementation of profit sharing is more equitable for the Syari’ah Bank and the client, due to the profit sharing that is based on the client business. Returning of the base defrayal is also quicker due to the profit sharing concept. From the comparison between profit sharing concept with convensional interest based deposit, saving in Syari’ah Bank is more beneficial because it is not influenced by the fluctuating rate of interest. Key word : deposit, dynamic, syari’ah, system
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perbankan syariah merupakan salah satu bagian dari sistem perbankan yang diyakini dapat memiliki peranan yang penting dalam Perekonomian Nasional. Sistem Perbankan Syariah menawarkan pola kerjasama kemitraaan dengan sistem bagi hasil keuntungan dan risiko usaha. Meskipun demikian, pesatnya pertumbuhan bank syariah di Indonesia belum dibarengi oleh pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang sistem operasional perbankan syariah. Meski bank
syariah terus berkembang setiap tahunnya, namun dikalangan masyarakat Indonesia masih belum mengenal apa dan bagaimana bank syariah menjalankan kegiatan bisnisnya. Umumnya masyarakat masih beranggapan bahwa bank syariah tak ubahnya seperti bank konvensional yang hanya diberi label syariah saja (Muchtasib, 2007). Dalam hal penyaluran dana, pembiayaan yang diberikan didominasi oleh skema murabahah atau jual beli, dimana keuntungan diperoleh berdasarkan margin. Secara praktek pengambilan margin yang
1
dilakukan oleh perbankan syariah seperti pengambilan bunga yang dilakukan perbankan konvensional. Cara seperti ini yang menyebabkan melekatnya anggapan masyarakat bahwa bank syariah tidak berbeda dengan bank konvensional pada umumnya. Sementara itu pembiayaan dengan sistem bagi hasil seperti akad mudharabah dan musyarakah, memiliki porsi yang cukup kecil jika dibandingkan dengan pembiayaan dengan pendapatan tetap. Dengan kata lain pembiayaan perbankan syari’ah dengan pola tersebut belum menjadi barometer Bank Syari’ah. Berdasarkan pemaparan di atas, pendapatan bank merupakan variabel yang cukup dipertimbangkan dalam pemberian pembiayaan. Meskipun demikian, terdapat variabel-variabel lain dalam suatu pembiayaan yang juga perlu dipertimbangkan, termasuk pendapatan yang diterima nasabah pembiayaan. Hubungan antar variabel tersebut perlu diketahui sehingga Bank Syari’ah dapat lebih bijak dalam memberikan pembiayaan. Penelitian tentang Bank Syari’ah yang telah dilakukan, diantaranya mengkaji manajemen kredit Bank Syari’ah, memprediksi dan mengevaluasi pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia, serta penelitian yang mengkaji potensi pembiayaan syari’ah untuk sektor pertanian. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antar variabel dalam sistem pembiayaan di Bank Syari’ah. Variabelvariabel yang berpengaruh dalam sistem pembiayaan dimodelkan dengan pendekatan sistem dinamik. Dari model tersebut dapat diketahui hubungan antar variabel serta pengaruhnya pada pembiayaan yang diberikan. Variabel yang dijadikan indikator utama dalam model simulasi sistem pembiayaan syariah yaitu pengembalian pokok pembiayaan, pendapatan yang diperoleh bank, dan pendapatan yang diperoleh oleh nasabah setelah membayar kewajibannya pada bank. 1.2 Perumusan Masalah Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini yaitu belum diketahuinya keterkaitan antar variabel pada pembiayaan dan manfaat dari Bank Syari’ah.
1.3 Tujuan Penelitian Mengacu pada latar belakang dan perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan yaitu: 1. Membuat model sistem pembiayaan yang ada di Bank Syariah pada kasus peternakan sapi perah dan perkebunan tebu. 2. Membandingkan antara penerapan konsep margin dan bagi hasil pada distribusi pendapatan antara pihak Bank Syari’ah dan nasabah, serta membandingkan bagi hasil deposito dan bunga deposito pada bank konvensional. 1.4 Ruang Lingkup Penelitian Sesuai dengan permasalahan dan tujuan dari kajian ini maka terdapat beberapa hal yang menjadi batasan dalam penelitian ini, diantaranya: a. Sistem yang dimodelkan dalam penelitian ini adalah penyaluran dana pada peternakan sapi perah dengan skema pembiayaan murabahah dan perkebunan tebu dengan skema pembiayaan isthisna. b. Pembuatan model sistem dalam penelitian ini hanya melihat dari sudut pandang pihak bank saja. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1. Bank syariah yang menjadi objek bahasan dalam kajian yang hendak dilakukan merupakan sub sistem dari sistem perbankan nasional dimana Bank Indonesia menjadi pemegang autoritas tunggal devisa dan moneter. 2. Bank-bank yang menawarkan sistem syariah dalam pengoperasionalannya tidak berbeda satu terhadap lainnya. 3. Rekening wadiah yang ada dalam model sistem diasumsikan wadiah jenis yad adhdhamanah yaitu titipan yang dapat dimanfaatkan untuk dana pembiayaan. 4. Dalam model diasumsikan deviden ditanam kembali ke dalam bank. 5. Pembiayaan lainnya diasumsikan menggunakan skema pembiayaan Murabahah. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini, diantaranya: 1. Dari penelitian yang dilakukan dapat diketahui hubungan antar variabel dalam sistem pembiayaan di Bank Syariah.
2
2. Memberikan informasi tentang mekanisme pembiayaan dalam bank syariah sehingga dapat diketahui perbedaan antara pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah dan bank konvensional. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembiayaan Syariah Peranan perbankan syariah dalam aktivitas ekonomi Indonesia tidak jauh berbeda dengan perbankan konvensional. Perbedaan mendasar antara keduanya adalah prinsipprinsip dalam transaksi keuangan/operasional. Salah satu prinsip dalam operasional perbankan syariah adalah penerapan bagi hasil keuntungan dan risiko (profit and loss sharing). Prinsip ini tidak berlaku di perbankan konvensional yang menerapkan sistem bunga atau adanya fungsi time value of money, artinya nilai uang saat ini belum tentu sama dengan nilai uang di masa mendatang. Perbedaan antara prinsip bank syariah dengan bank umum (konvensional) adalah terletak pada pola pembiayaan dan pemberian balas jasa, baik yang diterima oleh bank maupun investor. Jika dilihat pada bank umum, pembiayaan disebut loan atau pinjaman, sementara di bank syariah disebut financing atau pembiayaan (Nasution, 2003). Artinya pada bank umum pemberian pembiayaan lebih didasarkan pada kerjasama transaksi (untungrugi), sedangkan pada bank syariah lebih didasarkan pada kerjasama kemitraan. Sedangkan balas jasa yang diberikan atau diterima pada bank umum berupa bunga (interest loan atau deposit) dalam prosentase pasti. Sementara pada bank syariah dengan sistem syariah, hanya memberi dan menerima balas jasa berdasarkan perjanjian (akad) bagi hasil. Dalam perbankan syariah dikenal istilah mudharabah, murabahah dan musyarakah untuk program pembiayaan. Mudharabah yaitu jenis pembiayaan dimana bank dapat menyediakan pembiayaan modal investasi atau modal kerja hingga 100%, sedangkan nasabah menyediakan usaha manajemennya, keuntungan dibagi sesuai kesepakatan bersama dalam bentuk nisbah (prosentase) dari keuntungan. Murabahah yaitu produk perbankan Islam dalam pembiayaan pembelian barang lokal ataupun international, keuntungan diperoleh dari harga barang yang dinaikkan (bank melakukan suatu
mark-up sebelum menjual barang tersebut kepada nasabahnya atas dasar cost plus profit ). Musyarakah adalah pembiayaan sebagian (50%) dari modal usaha keseluruhan, dalam jenis pembiayaan ini bank dapat dilibatkan dalam proses manajemen. Pembagian keuntungan berdasarkan perjanjian yang disepakati bersama (Shomad, dkk., 2000). Dalam pendanaan kepada nasabah dalam bentuk pemberian kredit, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan penilaian kredit, oleh karena layak tidaknya kredit yang diberikan akan sangat mempengaruhi stabilitas keuangan bank. Penilaian kredit harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut (Rahardja, 1997) : 1. Keamanan kredit (safety). Harus benarbenar diyakini bahwa kredit tersebut dapat dilunasi kembali. 2. Terarahnya tujuan penggunaan kredit (suitability). Kredit akan digunakan untuk tujuan yang sejalan dengan kepentingan masyarakat atau setidaknya tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku. 3. Menguntungkan (profitable). Kredit yang diberikan menguntungkan bagi bank maupun bagi nasabah. Permasalahan yang biasanya dialami oleh lembaga keuangan syariah diantaranya: i) modal, ii) kegiatan operasional, iii) sistem manajemen operasional, iv) sistem manajemen keuangan, v) loyalitas kredit. 2.2
Metode Pendekatan Sistem Metode pendekatan sistem merupakan salah satu cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhankebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif (Eriyatno 1999). Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu: (1) mencari semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah; dan (2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan rasional. Pengkajian dalam pendekatan sistem seyogyanya memenuhi tiga karakteristik, yaitu: (1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit; (2) dinamis, dalam arti faktor yang terlibat ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan; dan (3)
3
probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno 1999). Dalam pelaksanaan metode pendekatan sistem diperlukan tahapan kerja yang sistematis (Hartrisari dalam Sadelie, 2003). Prosedur analisis sistem meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut: analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem, verifikasi model dan implementasi (Eriyatno, 1999). Secara diagramatik, tahapan analisis sistem disajikan pada Gambar 2.1. Mulai
A
Analisis Kebutuhan
Pemodelan Sistem
No Formulasi Permasalahan
Memuaskan
B
Yes Identifikasi Sistem
Implementasi
No A
Memuaskan
Yes Selesai
Gambar 2.1. Tahapan Analisis Sistem (Eriyatno, 1999) 2.2.1 Pendekatan Dengan Pemodelan Menurut Borshchev dan Filippov (2006), pemodelan adalah cara penyelesaian masalah yang terjadi pada dunia nyata. Model dapat dibuat apabila prototype ataupun eksperimen dengan sistem sebenarnya mahal atau tidak mungkin dilakukan. Pemodelan meliputi proses pemetaan problem dari dunia nyata terhadap model, kemudian proses abstraksi (analisa dan optimasi model), serta memetakan solusi kembali pada sistem yang sebenarnya. Borshchev dan Filippov (2006) juga memaparkan perbedaan antara metode analitis dan model simulasi. Metode analitis atau biasa disebut model statis adalah hasil fungsional dari input yang saling berpengaruh (sejumlah parameter). Solusi analitis tidak selalu exist, atau terkadang sulit untuk mencari solusinya. Sedangkan simulasi atau pemodelan dinamis lebih mudah diaplikasikan. Simulasi adalah proses ”eksekusi” model yang terjadi pada suatu waktu tertentu (diskrit atau kontinu). Secara umum, untuk problem yang kompleks, dimana waktu dinamis adalah hal yang
penting, maka permodelan simulasi adalah jawaban yang lebih baik. 2.2.2 Sistem Dinamis Sistem dinamis adalah sistem yang dipengaruhi oleh perubahan waktu. Sistem dinamis menggunakan waktu sebagai variable independent (bebas/berpengaruh). Sistem dinamis menunjukkan perubahannya setiap saat akibat aktivitas-aktivitasnya. Perubahanperubahan yang terjadi dalam sistem dapat diturunkan sebagai fungsi dari waktu. Tujuan utama dari permodelan dalam sistem dinamik adalah untuk memahami, mengenal, dan mempelajari bagaimana struktur, kebijaksanaan, dan delay pada keputusan serta tindakan dapat mempengaruhi sistem. Model ini ditujukan tidak hanya untuk menghasilkan prediksi atau perkiraanperkiraan, akan tetapi lebih ditujukan untuk pemahaman atas karakteristik maupun mekanisme internal yang bekerja di dalam sistem tersebut yang selanjutnya digunakan untuk merancang suatu cara yang efektif untuk memperbaiki perilaku sistem tersebut. Metode sistem dinamis merupakan alat yang sangat efektif dalam menunjukkan perubahan dalam sebuah sistem. Metode ini mampu mengembangkan pemahaman yang lebih baik terhadap akibat perubahan yang terjadi serta mampu merancang kebijakan alternatif dalam meningkatkan performance sebuah sistem. Metode sistem dinamis yang dikembangkan oleh Jay Forrester pada tahun 1960 ini dapat diaplikasikan pada berbagai lingkup seperti pengembangan produk, manajemen proyek, manajemen supply chain, bahkan dalam sistem sosial. Permasalahan yang dapat diaplikasikan dalam sistem dinamis minimal memiliki dua ciri (Richardson, 1981), yaitu: 1) Permasalahan tersebut harus dinamis, artinya permasalahan tersebut melibatkan tendensi-tendensi dinamis sistem yang kompleks yaitu pola-pola tingkah laku yang dibangun oleh sistem tersebut dengan bertambahnya waktu. 2) Permasalahan tersebut harus melibatkan umpan balik (feedback loop). Model sistem dinamik dibuat berdasarkan hubungan sebab akibat (kausal). State variable yang disertakan dalam model adalah variabel yang dipandang memiliki peranan terhadap perilaku sistem yang
4
dimaksud. Karena itu dengan metode ini dapat dilakukan agregasi sesuai dengan keinginan dari pembuat model. Hubungan sebab akibat dibuat oleh pembuat model berdasarkan pengalaman, situasi, sumber data, kesimpulan, asumsi, dan informasi lain yang bisa diperoleh. 3. PENGEMBANGAN MODEL 3.1 Pemodelan Sistem Pembiayaan Syari’ah Sebagai langkah awal dalam pemodelan terlebih dahulu dilakukan konseptualisasi terhadap sistem yang dimodelkan. Konseptualisasi Sistem Perbankan Syari’ah dilakukan dengan membuat model yang menggambarkan hubungan sebab akibat antar variabel dalam sistem tersebut. Konseptualisasi Sistem Perbankan Syari’ah dari model sistem yang dibuat dapat dilihat pada Gambar 3.1. <Jumlah Sapi Yang dibeli> +
<Jumlah masa angsuran Pembiayaan Isthisna>
Pembiayaan Murabahah
+
+
+
<Time> Pembiayaan untuk non UKM +
Pembiayaan UKM lainnya + Pembiayaan untuk UKM
Pembiayaan Isthisna <Time>
Jumlah Dana + Pembiayaan + +
<Time> <Wadiah untuk pembiayaan>
+
DPK untuk Pembiayaan
+ +
Modal Bank untuk Pembiayaan
-
+ +
+ Total DPK +
Jumlah Pembiayaan
+
+
<Saldo total DPK>
+
+ Jumlah Pembiayaan yang diberikan
+ Angsuran pokok Pembiayaan +
Gambar 3.1. Model Utama dalam Hubungan Sebab-Akibat pada Sistem Pembiayaan Syari’ah Tanda positif (+) di ujung tanda panah mengindikasikan bahwa kedua variabel yang terhubung memiliki hubungan yang sebanding, sedangkan tanda negatif (-) mengindikasikan bahwa kedua variabel yang terhubung memiliki hubungan yang saling berkebalikan. Misalnya variabel DPK untuk pembiayaan dan variabel jumlah dana pembiayaan memiliki hubungan positif, artinya semakin besar DPK untuk pembiayaan maka jumlah dana pembiayaan juga semakin besar. Variabel pembiayaan murabahah memiliki hubungan negatif dengan variabel pembiayaan UKM lainnya, artinya nilai pembiayaan murabahah yang dimodelkan mengurangi nilai pembiayaan yang lain dari total pembiayaan yang diberikan ke UKM. Gambar 3.1. memperlihatkan hubungan antara sumber dana dan penyaluran dana dalam Sistem Pembiayaan Syari’ah. Dari
model sistem tersebut dapat dilihat bahwa sumber dana pembiayaan yang terhimpun dalam variabel jumlah dana pembiayaan berasal dari DPK untuk pembiayaan, angsuran (pengembalian) pokok pembiayaan dan modal bank untuk pembiayaan. DPK untuk pembiayaan berasal dari dana masyarakat yang disimpan dalam bank syari’ah dalam bentuk tabungan mudharabah, deposito mudharabah, atau dalam bentuk wadiah, setelah dikurangi Giro Wajib Minimum sebesar 5%. Angsuran pokok pembiayaan merupakan pengembalian pokok pembiayaan yang telah diberikan. Besarnya modal bank untuk pembiayaan diperoleh dengan mengalikan saldo DPK dengan selisih antara CAR pada periode tersebut dan nilai CAR minimum yaitu 8%. Oleh karena itu modal bank dapat disalurkan dalam pembiayaan bila bank tersebut memiliki CAR lebih dari 8%. Variabel total DPK merupakan penjumlahan dari DPK untuk pembiayaan dan angsuran pokok pembiayaan. Bila total DPK telah mencukupi kebutuhan pembiayaan maka modal bank tidak perlu ikut disalurkan dalam pembiayaan. Jumlah pembiayaan yang diberikan dipengaruhi oleh dua variabel yaitu jumlah pembiayaan (untuk UKM dan non UKM) dan jumlah dana pembiayaan. Pembiayaan untuk non UKM adalah pembiayaan yang diberikan pada sektor non UKM. Skema pembiayaan yang digunakan sama dengan skema yang diterapkan pada pembiayaan untuk UKM. Pembiayaan untuk UKM merupakan jumlah pembiayaan yang diberikan dengan skema pembiayaan murabahah, isthisna¸ atau dengan skema pembiayaan yang lain. Pembiayaan murabahah yang dimodelkan mengambil studi kasus pembiayaan yang diberikan pada peternakan sapi dimana besarnya jumlah pembiayaan bergantung pada harga sapi dan jumlah sapi yang dibeli. Untuk pembiayaan dengan skema isthisna, studi kasus diambil pada penyaluran pembiayaan untuk perkebunan tebu dimana dana pembiayaan yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan dana untuk mengolah perkebunan tebu, mulai dari penanaman sampai tebang angkut. Sedangkan pembiayaan UKM dengan skema lainnya merupakan pembiayaan yang dapat menggunakan skema murabahah, mudharabah, musyarakah, ijarah, isthisna, atau skema pembiayaan yang lain,
5
yang disalurkan pada jenis usaha maupun pihak yang berbeda. Berdasarkan model sebab akibat pada Gambar 3.1. dibuat diagram alir untuk mensimulasikan model sistem tersebut. Diagram alir ini terdiri dari lima diagram simulasi, yaitu submodel modal bank, penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK), skema pembiayaan murabahah (studi kasus penyaluran dana untuk pembelian sapi perah), skema pembiayaan isthisna (studi kasus penyaluran dana untuk modal kerja penanaman tebu) dan skema pembiayaan lainnya yang merupakan gabungan dari pembiayaan untuk non UKM dan pembiayaan untuk UKM yang diasumsikan menggunakan skema pembiayaan murabahah. 3.2. Submodel Skema Pembiayaan Murabahah (studi kasus penyaluran dana untuk pembelian sapi perah) Penerapan skema pembiayaan murabahah mengambil studi kasus pada penyaluran dana untuk pembelian sapi perah. Besarnya pembiayaan yang diberikan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan untuk membeli sapi perah, dalam studi kasus ini jumlah sapi perah yang dibeli adalah 2.575 ekor dimana harga sapi perah adalah Rp. 17.500.000,-/ekor. Sehingga pembiayaan murabahah yang diberikan yaitu Rp. 45.062.500.000,-. Margin yang ditetapkan adalah 13.8% dengan masa angsuran 60 bulan dan grace period 6 bulan. Dalam model yang dibuat, diasumsikan setiap sapi perah dapat menghasilkan susu setiap bulan dengan jumlah yang sama yaitu 600 liter/bulan. Submodel pembiayaan murabahah dapat dilihat pada Gambar 3.2. Penyaluran pembiayaan dari bank ke peternak sapi melalui sebuah koperasi dimana para peternak sapi yang menerima pembiayaan merupakan anggota dari koperasi tersebut. Sumber pembayaran kembali fasilitas pembiayaan yang diberikan berasal dari hasil penjualan susu anggota koperasi ke pabrik susu. Mekanismenya dengan pemotongan kewajiban anggota (peternak) ke koperasi. Hasil pemotongan penjualan susu dari anggota yang dikumpulkan setiap bulan disetorkan ke bank.
Grace period Pembiayaan Murabahah
<Time> <Time>
Potongan kewajiban peternak ke koperasi
Angsuran pokok Pembiayaan Angsuran pokok Pembiayaan Murabahah
<Time>
Angsuran per bulan P. Murabahah
Susu segar yang dihasilkan per sapi Pembayaran hasil penjualan susu ke peternak sapi
Susu segar yang dihasilkan dan dikirim ke PT. X
Angsuran margin Pembiayaan Murabahah Periode angsuran Pembiayaan Murabahah
Pembayaran susu segar ke koperasi
<Time>
Jumlah Sapi Yang dibeli Harga jual susu segar ke PT. X Pembiayaan Murabahah Harga Sapi Perah
Margin Pembiayaan Murabahah
Sisa pokok P. Murabahah yang belum dibayar
OST pokok P. Murabahah
<Time>
Bagi hasil Pendapatan
Pendapatan Bank Pendapatan Bank per bulan
<Time>
Angsuran pokok P.Murabahah yang sudah dibayar
Pembayaran angsuran pokok P. Murabahah
Gambar 3.2. Diagram Simulasi Submodel Skema Pembiayaan Murabahah Selain dipengaruhi oleh persentase margin, angsuran margin pembiayaan murabahah juga dipengaruhi oleh sisa pokok pembiayaan murabahah yang belum dibayar. Sedangkan angsuran pokok pembiayaan murabahah berasal dari angsuran per bulan pembiayaan murabahah dikurangi angsuran margin pembiayaan murabahah. Angsuran margin pembiayaan murabahah dihitung dengan persamaan 3.1 sebagai berikut: AngsuranM arg inPembiayaanMurabahah = SisaPokokPembiayaan ×
M arg inPembiayaan 12
.......(3.1) Angka 12 merupakan jumlah bulan dalam satu tahun. Persamaan 3.2 digunakan untuk menghitung angsuran per bulan pembiayaan murabahah sebagai berikut: ⎡ ⎛ M arg in ⎞ ⎛ M arg in ⎞ SisaPeriodeAngsuran ⎤ ⎥ ⎢⎜ ⎟ × ⎜1 + ⎟ 12 ⎠ ⎥ ⎢ ⎝ 12 ⎠ ⎝ AngsuranPerBulanP.Murabahah = SisaPokokPembiayaan × ⎢ ⎥ SisaPeriodeAngsuran M in arg ⎛ ⎞ ⎥ ⎢ −1 ⎜1 + ⎟ ⎥⎦ ⎢⎣ 12 ⎝ ⎠
…..(3.2) 3.3. Submodel Skema Pembiayaan Isthisna (studi kasus penyaluran dana untuk modal kerja penanaman tebu) Studi kasus penerapan skema pembiayaan isthisna yaitu pada penyaluran dana untuk modal kerja penanaman tebu. Mekanisme pembiayaan ini sebagai berikut: a. Bank syari’ah menerima pesanan penanaman tebu dari koperasi dengan kriteria progres termin yang disepakati. b. Bank syari’ah meneruskan pesanan penanaman tebu ke petani tebu (anggota koperasi). c. Proses pembiayaan (akad pembiayaan) dilakukan antara Bank syari’ah dengan koperasi. d. Pencairan dana ke koperasi yang selanjutnya didistribusikan kepada para
6
petani tebu berupa sarana produksi (peralatan, pupuk, bibit tebu, dsb) dan dana untuk pengolahan lahan. e. Hasil panen tebu (pesanan) diserahkan ke koperasi yang selanjutnya akan dijual ke pabrik gula. f. Hasil penjualan barang pesanan (tebu) langsung dipotong untuk pembayaran kewajiban ke Bank syari’ah (pokok + margin). g. Sisa dari hasil pemotongan selanjutnya didistribusikan ke petani sesuai dengan kontribusi barang pesanannya (tebu). Dalam kasus ini luas lahan yang mendapat pembiayaan adalah 1.952 hektar. Biaya pengolahan perkebunan tebu sebesar Rp. 20.260.000,-/hektar, meliputi pembelian bibit sebesar Rp. 3.800.000,-/hektar, ongkos tenaga kerja untuk penanaman Rp. 1.000.000,-/hektar, pupuk Rp. 1.960.000,-/hektar, biaya pengolahan lahan (awal dan pemeliharaan) sebesar Rp. 5.800.000,-/hektar, pengairan Rp. 700.000,-/hektar, dan biaya tebang angkut pada masa panen sebesar Rp. 7.000,-/kuintal tebu dimana satu hektar lahan dapat menghasilkan 1.000 kuintal tebu sehingga total biaya tebang angkut adalah Rp. 7.000.000,-/hektar. Diasumsikan harga jual tebu ke pabrik gula Rp. 25.000,-/kuintal. Pembiayaan isthisna yang diberikan diperoleh dengan mengalikan biaya pengolahan perkebunan tebu dengan luas lahan yang akan dibiayai, sehingga pembiayaan yang diberikan sebesar Rp. 39.547.520.000,-. Margin yang ditetapkan adalah 11% per tahun dengan masa angsuran 12 bulan dan grace period 11 bulan. Karena dalam sekali tanam bibit tebu bisa menghasilkan hingga tiga kali panen maka dalam model ini pembiayaan diberikan sebanyak tiga kali. Pembiayaan pertama juga dialokasikan untuk membeli bibit tebu sedangkan pada pembiayaan kedua dan ketiga tidak ada alokasi dana untuk membeli bibit karena tebu yang tumbuh berasal dari tunas tebu sebelumnya. Model pembiayaan ini dapat dilihat pada Gambar 3.3.
Tebang Angkut Pupuk
Bibit tebu
Pengolahan lahan
Penanaman Luas Lahan
Hasil tebu per hektar
Biaya Pengolahan lahan tebu
Hasil panen tebu Harga jual tebu ke pabrik gula
<Time>
Pembayaran margin Pembiayaan Isthisna
Pembayaran pokok Pembiayaan Isthisna
<Time> <Time>
<Time>
Bagi hasil Pendapatan
Angsuran pokok Pembiayaan
Jumlah masa angsuran Pembiayaan Isthisna
<Time>
Total pembayaran P. Isthisna
Margin Pembiayaan Isthisna
Pembiayaan Isthisna
Hasil penjualan tebu ke pabrik gula
Distribusi Hasil penjualan tebu ke petani tebu
Pengairan <Time>
Pendapatan Bank
Pendapatan Bank per bulan
Gambar 3.3. Diagram Simulasi Submodel Skema Pembiayaan Isthisna 4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembiayaan Murabahah Hasil penjualan susu, angsuran pembiayaan ke bank, margin yang diterima, dari pembiayaan untuk pembelian sapi perah dapat dilihat pada Tabel 4.1. dan Gambar 4.1. Tabel 4.1. Pembiayaan Murabahah Pembayaran Distribusi "Angsuran per Time susu segar ke pendapatan ke bulan P. (Month) koperasi peternak sapi Murabahah" 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 … 56 57 58 59 60
0 0 0 0 0 0 3862500096 3862500096 3862500096 3862500096 … 3862500096 3862500096 3862500096 3862500096 3862500096
-518218752 -518218752 -518218752 -518218752 -518218752 -518218752 2737613824 2737614080 2737613824 2737613824 … 2737613312 2737615360 2737614336 2737611776 2737613824
518218752 518218752 518218752 518218752 518218752 518218752 1124886144 1124886016 1124886144 1124886144 … 1124886656 1124884864 1124885760 1124888320 1124886144
Angsuran pokok Pembiayaan Murabahah
Angsuran "Sisa pokok P. margin Murabahah yang Pembiayaan belum dibayar" Murabahah
0 0 0 0 0 0 606667392 613643904 620701056 627839104 … 1062378688 1074594176 1086952960 1099455488 1112097024
518218752 518218752 518218752 518218752 518218752 518218752 518218752 511242080 504185120 497047072 … 62507988 50290644 37932792 25432830 12789116
45062500352 45062500352 45062500352 45062500352 45062500352 45062500352 45062500352 44455833600 43842187264 43221487616 … 5435477504 4373099520 3298503680 2211550464 1112097024
Pembiayaan Murabahah 4B 3.08 B 2.16 B 1.24 B 320 M -600 M 1
16
31 Time (Month)
45
"Angsuran per bulan P. Murabahah" : MODEL AWAL Pembayaran susu segar ke koperasi : MODEL AWAL Pembayaran hasil penjualan susu ke peternak sapi : MODEL AWAL
60 Rupiah Rupiah Rupiah
Gambar 4.1. Pembiayaan Murabahah Dari Tabel 4.1. dapat dilihat pada periode 1 sampai 6, angsuran pokok dan pembayaran susu segar ke koperasi bernilai 0. Periode 1 sampai 6 ini adalah waktu penangguhan pembayaran cicilan (grace period). Adanya grace period ini karena diasumsikan sapi perah yang dibeli belum bisa langsung menghasilkan susu. Pada masa ini koperasi belum menerima pembayaran hasil penjualan susu ke pabrik, sehingga dibutuhkan
7
waktu penangguhan pembayaran karena para peternak sapi belum memperoleh penghasilan. Meskipun demikian, margin pembiayaan tetap dihitung pada masa ini. Margin dihitung dari sisa pokok pembiayaan yang belum dibayar. Karena pada periode 1 sampai 6 belum ada cicilan pokok pembiayaan, maka pada masa ini margin pembiayaannya sama yaitu Rp. 518.218.752,-. Angsuran per bulan yang merupakan penjumlahan dari pembayaran pokok dan margin pembiayaan pada masa ini nilainya sama dengan margin pembiayaan. Karena angsuran pembiayaan per bulan berasal dari pemotongan kewajiban peternak sapi ke koperasi, sementara pada masa ini koperasi belum menerima pembayaran dari pabrik susu sehingga pada Tabel 4.1 distribusi pendapatan ke peternak sapi bernilai negatif. Pada masa grace periode ini peternak sapi tidak dibebankan untuk membayar cicilan pokok pembiayaan tetapi tetap membayar marginnya. Karena pada masa ini peternak sapi belum memiliki penghasilan untuk membayar angsuran tersebut, bank memberikan kebijakan penangguhan pembayaran margin. Artinya margin pembiayaan selama masa grace periode dapat dibayar ketika peternak telah memperoleh pendapatan (hasil penjualan susu ke pabrik). Besarnya angsuran pembiayaan dan margin per bulan dipengaruhi oleh sisa pokok pembiayaan yang belum dibayar. Karena setiap bulan dilakukan pembayaran angsuran pokok (setelah grace periode) maka sisa pokok pembiayaan semakin berkurang. Angsuran margin dihitung berdasarkan nilai sisa pokok pembiayaan yang belum dibayar, sehingga nilai angsuran margin terus mengecil sampai akhir periode pelunasan. Angsuran pokok pembiayaan dipengaruhi oleh angsuran pembiayaan dan angsuran margin per bulan. Karena nilai angsuran per bulan (pokok + margin) tetap dan angsuran margin semakin mengecil, maka angsuran pokok pembiayaan semakin besar sampai seluruh pokok pembiayaan dilunasi. 4.2 Pembiayaan Isthisna Pembiayaan isthisna diberikan pada periode 1, 13, dan 25 dari waktu simulasi karena dalam satu kali penanaman bibit tebu bisa untuk tiga kali panen. Oleh karena itu dalam penelitian ini diasumsikan pembiayaan
diberikan selama masa itu. Masa pertumbuhan tebu sampai panen adalah 12 bulan. Besarnya pembiayaan yang diberikan sesuai dengan dana yang dibutuhkan untuk membiayai perkebunan tebu, mulai dari pembelian bibit, penanaman, pengolahan lahan, sampai tebang angkut pada masa panen. Besarnya pembiayaan yang diberikan pada periode 1 yaitu Rp. 39.547.518.976,-. Karena dalam sekali tanam bibit tebu bisa menghasilkan 3 kali panen maka pada musim kedua dan ketiga (periode 13 dan 25) tidak ada biaya pembelian bibit tebu sehingga dana pembiayaan yang diberikan oleh bank lebih kecil yaitu Rp. 32.129.924.024,-. Pengembalian pembiayaan dilakukan setelah masa panen yaitu pada periode 12, 24, dan 36. Hasil penjualan tebu ke pabrik gula dan distribusi pendapatan antara petani tebu dan bank dapat dilihat pada Tabel 4.2. dan Gambar 4.2. Tabel 4.2. Pembiayaan Isthisna Time Hasil penjualan tebu "Total pembayaran P. Pembayaran pokok Pembayaran margin (Month) ke pabrik gula Isthisna" Pembiayaan Isthisna Pembiayaan Isthisna 12 24 36
48,799,997,952.00 48,799,997,952.00 48,799,997,952.00
43,897,745,408.00 35,664,211,968.00 35,664,211,968.00
39,547,518,976.00 32,129,921,024.00 32,129,921,024.00
4,350,226,944.00 3,534,291,200.00 3,534,291,200.00
Distribusi Hasil penjualan tebu ke petani tebu 4,902,252,032.00 13,135,785,984.00 13,135,785,984.00
Pembiayaan Isthisna 60 B 48 B 36 B 24 B 12 B 0 1
16
31 Time (Month)
Hasil penjualan tebu ke pabrik gula : MODEL AWAL "Total pembayaran P. Isthisna" : MODEL AWAL
45
60 Rupiah Rupiah
Gambar 4.2. Pembiayaan Isthisna Dari Tabel 4.2. dapat dilihat bahwa hasil penjualan tebu yang diterima oleh petani lebih besar dari margin yang diterima oleh bank. Pada periode 12, setelah membayar kewajiban pada bank (pokok + margin) sebesar Rp. 43.897.745.408,-, petani tebu masih menerima Rp. 4.902.252.032,- sedangkan margin yang diterima bank sebesar Rp. 4.350.226.944,-. Total pembayaran (pokok + margin), pendapatan yang diterima petani tebu, dan margin untuk bank, pada periode 24 memiliki nilai yang sama dengan periode 36. Total pembayaran angsuran (pokok + margin) yaitu Rp. 35.664.211.968,-, pendapatan yang diterima petani tebu Rp. 13.135.785.984,-, dan margin untuk bank sebesar Rp. 3.534.291.200,. Nilai ini dibagikan kepada para petani tebu sesuai dengan kontribusi tebu yang diberikan.
8
4.3 Analisis Perilaku Model Salah satu karakteristik Bank Syari’ah adalah adanya mekanisme bagi hasil. Pada model awal simulasi pembiayaan yang diberikan menggunakan prinsip jual beli dengan skema murabahah dan isthisna dimana pendapatan bank berasal dari nilai margin yang dihitung dari sisa pokok pembiayaan. Dalam skenario yang dibuat, pembiayaan yang diberikan menggunakan prinsip bagi hasil dengan skema musyarakah dan mudharabah. Skema musyarakah diterapkan pada pembiayaan untuk peternakan sapi karena dana yang diberikan oleh bank digunakan untuk membeli sapi perah sementara biaya pakan ternak, tenaga kerja, dan sebagainya dibiayai oleh peternak sapi sendiri. Karena biaya untuk peternakan sapi ditanggung oleh kedua pihak (bank syari’ah dan peternak sapi) maka skema yang sesuai adalah musyarakah. Sedangkan untuk pembiayaan perkebunan tebu menggunakan skema mudharabah karena seluruh pembiayaan yang dibutuhkan berasal dari bank. Tabel 4.3. dan Tabel 4.4. memperlihatkan perbandingan antara penerapan konsep margin (model awal) dan konsep bagi hasil (skenario). Tabel 4.3. Perbandingan Konsep Margin dan Bagi Hasil (studi kasus pada pembiayaan untuk peternakan sapi)
Dari Tabel 4.3. dapat dilihat bahwa angsuran pokok dan margin pembiayaan pada
prinsip margin berubah-ubah dari satu periode ke periode yang lain. Sedangkan pada prinsip bagi hasil nilainya tetap. Dalam masa grace periode, margin tetap dihitung sedangkan bagi hasil pendapatan belum dihitung. Dalam prinsip bagi hasil, nilai angsuran pokok pembiayaan diperoleh dengan membagi nilai pembiayaan dengan periode pelunasan. Sehingga nilai per bulannya tetap. Setelah pendapatan yang diterima oleh pengelola usaha, dalam kasus ini peternak sapi, dikurangi angsuran pokok per bulan, pendapatan dibagi hasilkan antara peternak sapi (pengelola usaha) dan bank sesuai dengan nisbah yang telah disepakati di awal perjanjian (akad). Karena pendapatan (hasil penjualan susu) tetap maka bagi hasil yang diterima juga tetap. Namun bila pendapatan yang diperoleh berubah-ubah setiap periode maka bagi hasil yang diterima juga akan berbeda antar periode. Data pada Tabel 4.3. juga dapat dilihat dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 4.3. sebagai berikut: 4.5 Pembayaran susu segar ke koperasi
4
Miliar Rupiah
Pembiayaan yang diberikan pada periode 24 dan 36 lebih kecil dari pembiayaan yang diberikan pada periode 12 (tidak ada biaya pembelian bibit tebu). Karena margin pembiayaan dihitung dari pokok pembiayaan, maka pada 24 dan 36 margin untuk bank juga lebih kecil. Sehingga pada periode ini kewajiban pelunasan pembiayaan ke bank lebih kecil dari periode 12. Dengan jumlah pendapatan yang sama maka pendapatan yang diterima petani tebu pada periode 24 dan 36 lebih besar dari periode 12.
3.5
Distribusi pendapatan ke peternak sapi (Model aw al)
3
Pembayaran hasil penjualan susu ke peternak sapi (Skenario)
2.5
"Angsuran per bulan P. Murabahah" (Model aw al)
2
"Angsuran per bulan P. Musyarakah" (Skenario)
1.5 1
Angsuran pokok Pembiayaan Murabahah (Model aw al)
0.5
Angsuran pokok Pembiayaan Musyarakah (Skenario)
0 1
6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56
Angsuran margin Pembiayaan Murabahah (Model aw al)
-0.5 Bagi hasil Pembiayaan Musyarakah (Skenario)
-1
Waktu
Gambar 4.3. Grafik Perbandingan Konsep Margin dan Bagi Hasil (studi kasus pada pembiayaan untuk peternakan sapi) Bila dijumlahkan, pada prinsip margin, pendapatan yang diterima oleh peternak sapi selama 60 bulan yaitu Rp.144.721.841.152,- sedangkan pendapatan yang diterima bank dengan margin 13.8% yaitu Rp. 18.790.665.394,-. Bila bank menerapkan bagi hasil, pendapatan yang diperoleh bank dengan nisbah bagi hasil 40 : 60 dimana bagian bank adalah 40% dari pendapatan setelah dikurangi angsuran pokok yaitu Rp. 65.405.007.360,- dan bagi hasil yang diterima oleh peternak sapi yaitu Rp. 98.107.497.216,-.
9
Perbandingan prinsip margin dan bagi hasil untuk studi kasus pada pembiayaan untuk perkebunan tebu dapat dilihat pada Tabel 4.4. dan Gambar 4.4. Tabel 4.4. Perbandingan Konsep Margin dan Bagi Hasil (studi kasus pada pembiayaan untuk perkebunan tebu)
Pada prinsip margin, pendapatan yang diterima bank dengan margin 11% setelah tiga periode pembiayaan yaitu Rp. 11.418.809.344,-. Sedangkan pendapatan yang diterima oleh petani tebu yaitu Rp. 31.173.824.000,-. Bila bank menerapkan bagi hasil, pendapatan yang diperoleh bank dengan nisbah bagi hasil 40 : 60 dimana bagian bank adalah 40% dari pendapatan setelah dikurangi angsuran pokok yaitu Rp. 17.037.053.696,dan bagi hasil yang diterima oleh petani tebu yaitu Rp. 25.555.582.976,-. 60
Hasil penjualan tebu ke pabrik gula
Miliar Rupiah
50 Pembayaran pokok Pembiayaan Mudharabah
40
Distribusi Hasil penjualan tebu ke petani tebu (Model Aw al) Distribusi Hasil penjualan tebu ke petani tebu (Skenario)
30
20
Pembayaran margin Pembiayaan Isthisna (Model Aw al)
10
0 1
2
3
Bagi hasil Pembiayaan Mudharabah (Skenario)
Periode
Ket : Periode 1 = Periode 12 dalam simulasi; periode 2 = periode 24; Periode 3 = periode 36
Gambar 4.4. Grafik Perbandingan Konsep Margin dan Bagi Hasil (studi kasus pada pembiayaan untuk perkebunan tebu) 4.4 Perbandingan dengan Penggunaan Suku Bunga Bank Konvensional Sebagai imbalan kepada para nasabah yang menyimpan uangnya di bank maka bank konvensional memberikan bunga simpanan yang dihitung berdasarkan jumlah saldo rekening nasabah. Sehingga semakin besar nilai saldo rekening, bunga simpanan yang diterima juga akan semakin besar. Selain itu, suku bunga simpanan biasanya juga digunakan untuk menarik nasabah baru dan lama untuk meningkatkan jumlah saldonya. Pada umumnya bank yang memberikan bunga
simpanan yang tinggi yang akan diminati oleh calon nasabah. Agar dapat bersaing dengan bank konvensional dalam mendapatkan nasabah, bank syariah juga berupaya memberikan imbalan berupa bagi hasil yang setara dengan bunga simpanan pada bank konvensional. Tabel 4.5. memperlihatkan perbandingan antara bunga deposito pada bank konvensional dengan suku bunga 8.95% dan bagi hasil deposito pada bank syariah dengan nisbah antara nasabah dan bank syariah 56 : 44. Tabel 4.5. Perbandingan antara Bunga Deposito pada Bank Konvensional dan Bagi Hasil Deposito pada Bank Syariah
Tabel di atas memperlihatkan bagi hasil deposito lebih besar pada saat pendapatan Bank Syari’ah Rp. 441.50 miliar. Meskipun pada periode awal simulasi bunga deposito lebih besar dari bagi hasil pada bank syariah namun pada periode tiga dan seterusnya bagi hasil deposito pada bank syariah lebih besar dari bunga deposito pada bank konvensional. Hal ini disebabkan karena pada bank syariah bagi hasil yang diberikan pada pemilik dana pihak ketiga tergantung pada pendapatan bank. Sehingga bila pendapatan bank tinggi maka bagi hasil yang diterima nasabah juga akan besar, demikian pula sebaliknya. Hal ini berbeda dengan suku bunga simpanan pada bank konvensional dimana bunga dihitung berdasarkan saldo simpanan dan bank tetap membayar bunga simpanan pada nasabah meskipun bank mengalami kerugian. Pada bulan Oktober dan Nopember BI rate berada pada posisi 9.50% dan berada pada posisi 9.25% pada bulan Desember 2008. Berdasarkan survei yang dilakukan Bank Indonesia diperkirakan rata-rata suku bunga simpanan deposito akan naik menjadi 9.41%. Tabel 4.5. juga memperlihatkan nilai bunga deposito dengan suku bunga 9.41% dibandingkan dengan bagi hasil deposito pada bank syariah. Berdasarkan Tabel 4.5., meskipun bunga deposito naik menjadi 9.41%, pada periode ketiga nilai bagi hasil deposito pada bank syariah lebih besar dari bunga deposito
10
Pendapatan Bank, Bagi Hasil dan Bunga Deposito
pada bank konvensional. Data Tabel 4.5. juga dapat dilihat dalam bentuk grafik seperti Gambar 4.5. Pendapatan Bank per bulan (Miliar Rupiah)
1,000.00 800.00
Bagi hasil deposito (Miliar Rupiah)
600.00 400.00
Bunga Deposito 8.95% (Miliar Rupiah)
200.00 0.00 1
2
3
4
5
Waktu
Gambar 4.5. Grafik Perbandingan antara Bunga Deposito pada Bank Konvensional dan Bagi Hasil Deposito pada Bank Syariah Tabel 4.6. memperlihatkan perbandingan antara nilai bunga deposito dengan beberapa perubahan suku bunga dan bagi hasil deposito dengan nisbah yang sama yaitu 56 : 44.
Catatan : warna menunjukkan periode bagi hasil deposito Bank Syari’ah lebih besar dari bank konvensional
Dari Tabel 4.6. dapat dilihat bahwa pada awal simulasi bunga deposito lebih besar dari bagi hasil yang diberikan bank syari’ah. Pada kondisi bagi hasil deposito yang diberikan bank syari’ah lebih kecil dari bunga deposito, biasanya bank syari’ah akan menaikkan besaran nisbah bagi hasilnya untuk nasabah. Meskipun demikian, setelah beberapa periode dari simulasi bagi hasil yang diberikan bank syariah semakin besar karena selain nilai saldo deposito semakin besar, dalam simulasi pendapatan yang diperoleh bank syariah dari pembiayaan juga semakin besar, sehingga bagi hasil yang diterima oleh pemilik dana pihak ketiga juga akan semakin besar. Gambar 4.6. merupakan grafik dari data Tabel 4.6. Perbandingan Bagi Hasil dan Bunga Deposito
Catatan : warna menunjukkan periode bagi hasil deposito Bank Syari’ah lebih besar dari bank konvensional
Tabel 4.6. Perbandingan Antara Nilai Bunga Deposito Dengan Beberapa Perubahan Suku Bunga Dan Bagi Hasil Deposito (lanjutan)
3,000.00 Pendapatan Bank syari'ah, Bagi Hasil dan Bunga Deposito
Tabel 4.6. Perbandingan Antara Nilai Bunga Deposito Dengan Beberapa Perubahan Suku Bunga Dan Bagi Hasil Deposito
2,500.00
P endapatan B ank Syari'ah per bulan (M iliar Rupiah) B agi hasil deposito (M iliar Rupiah)
2,000.00
B unga Depo sito 15% (M iliar Rupiah) B unga Depo sito 30% (M iliar Rupiah)
1,500.00
B unga Depo sito 45% (M iliar Rupiah) B unga Depo sito 60% (M iliar Rupiah)
1,000.00
B unga Depo sito 80% (M iliar Rupiah)
500.00
B unga Depo sito 100% (M iliar Rupiah)
0.00 1
4
7 10 13 16 19 22 25 28 Waktu
Gambar 4.6. Grafik Perbandingan Antara Nilai Bunga Deposito Dengan Beberapa Perubahan Suku Bunga Dan Bagi Hasil Deposito 5. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dari penelitian ini sebagai berikut: 1. Beberapa faktor yang sangat menentukan bagi Bank Syari’ah dalam memberikan persetujuan pembiayaan antara lain: - ketersediaan dana pembiayaan dari pihak bank dan prioritas pembiayaan; - kelayakan dan kehalalan usaha yang diberikan pembiayaan; - kredibilitas nasabah. 2. Pada simulasi pembiayaan untuk peternakan sapi, pendapatan Bank Syari’ah dengan bagi hasil lebih besar yaitu sekitar 348.07% dari pendapatan dengan margin. Sedangkan pendapatan nasabah lebih besar
11
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
dengan penerapan margin yaitu sekitar 147.5% dari pendapatan dengan bagi hasil. Dengan menurunnya hasil penjualan susu, pendapatan Bank Syari’ah dengan bagi hasil tetap lebih besar yaitu sekitar 298.74% dari pendapatan dengan margin. Sedangkan pendapatan nasabah lebih besar dengan penerapan margin yaitu sekitar 144.35% dari pendapatan dengan bagi hasil. Pelunasan pembiayaan dapat lebih cepat dilakukan dengan penerapan konsep bagi hasil. Percepatan pelunasan dapat mengurangi pendapatan bank, sebaliknya dapat menambah pendapatan nasabah. Pada simulasi pembiayaan untuk perkebunan tebu, pendapatan Bank Syari’ah dengan bagi hasil lebih besar yaitu sekitar 149.2% dari pendapatan dengan margin. Sedangkan pendapatan nasabah lebih besar dengan penerapan margin yaitu sekitar 121.98% dari pendapatan dengan bagi hasil. Dengan menurunnya hasil penjualan tebu, pendapatan Bank Syari’ah lebih besar dengan penerapan margin yaitu sekitar 102.13% dari pendapatan dengan bagi hasil. Sedangkan pendapatan nasabah lebih besar dengan bagi hasil yaitu sekitar 101.44% dari pendapatan dengan margin. Peningkatan nilai CAR menjadi 10% menambah jumlah modal disetor sekitar 80.83% dari modal disetor yang dibutuhkan sebelumnya. Sedangkan dengan peningkatan nilai GWM menjadi 8% mengurangi jumlah DPK untuk pembiayaan sekitar 3.36%. Pengembalian pokok pembiayaan dapat lebih cepat dengan penerapan konsep bagi hasil. Penerapan konsep bagi hasil lebih adil bagi pihak Bank Syari’ah dan nasabah karena pendapatan yang dibagi hasilkan tergantung dari pendapatan usaha nasabah. Sedangkan penerapan konsep margin lebih memberikan jaminan bagi pihak Bank Syari’ah dalam hal pendapatan karena dihitung dari pokok pembiayaan yang diberikan. Dari perbandingan yang dilakukan, menabung di Bank Syari’ah lebih menguntungkan karena tidak dipengaruhi oleh naik turunnya suku bunga.
Saran yang diberikan untuk penelitian selanjutnya, antara lain: 1. Diperlukan penelitian untuk mengkaji alternatif solusi yang dapat mengurangi risiko bagi pendapatan Bank Syari’ah pada penerapan konsep bagi hasil. Dengan demikian diharapkan Bank Syari’ah dapat menerapkan konsep bagi hasil pada pembiayaan dengan skala yang lebih besar. 2. Perlu adanya penelitian yang mengkaji pengaruh kebijakan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang memegang kebijakan moneter di Indonesia terhadap kinerja dari Bank Syari’ah. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat diketahui apakah Bank Indonesia dapat menjadi lembaga yang menaungi Bank Syari’ah yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan bank konvensional. 6. DAFTAR PUSTAKA Antonio, M. Syafi’i (2001), Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktek, Jakarta : Gema Insani Bank Indonesia dan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Balitbang Pertanian (2007), Potensi Pembiayaan Syari’ah Untuk Sektor Pertanian, Padi, dan Palawija di Jawa Barat, < URL : http://www.bapedajabar.go.id > Borschev, A., dan Filipov, A. (2006), From System Dynamic and Descrete Event to Practical Agent Based Modelling : Reasons, Technique, Tolls, Paper of St Peters, Sburg Technical University dan XJ Technologies, Rusia. Cahyadin, Malik., dan Sasmitasiswa, Banoon (2007), PREDIKSI PERTUMBUHAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA TAHUN 2008, Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia (2007), Statistik Perbankan Syariah, Eriyatno (1999), Ilmu Sistem, Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen, Bogor : IPB Press. Forrester, J.W (1968), Principle of System, Massachusetts : Wright-Allen Press, Inc. Giyanti, Ida (2004), Kajian Kebijakan Makroekonomi untuk Mendorong Pertumbuhan Industri dengan
12
Pendekatan Model Sistem Dinamis, Laporan Penelitian Tugas Akhir Jurusan Teknik Industri, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Harimurti, Tisna (2005), Rekaan Kebijakan Pengentasan Masyarakat Miskin Di Kota Surabaya dengan Pendekatan Sistem Dinamik, Laporan Penelitian Tugas Akhir Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Muchtasib, Ach. Bakhrul (2007), Penguatan Sistem Bagi Hasil Bank Syariah, Muhamad (2002), Manajemen Bank Syari’ah. Yogyakarta: UPP AMPYKPN. Nasution, Chaeruddin Syah (2003), Manajemen Kredit Syariah Bank Muamalat, Jurnal Kajian Ekonomi Dan Keuangan, Vol. 7 No. 3. Rahardja, Prathama (1997), Uang dan Perbankan, Cetakan Ketiga, Jakarta : PT. Rineka Cipta. Richardson, George P dan Alexander L. P. III (1983), Introduction to System Dynamics Modelling with Dynamo. Cambridge : The MIT Press. Sadelie, Agus (2003), Pemodelan Sistem Dinamik Pengembangan Pariwisata Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berkelanjutan, Makalah Falsafah Sains, Program Pascasarjana IPB, Bogor. Setiawan, Aziz Budi (2006), Perbankan Syariah: Challenges dan Opportunity Untuk Pengembangan di Indonesia, Jurnal Koordinat, Vol. VIII No.1. Shomad, Abdul., Purwoleksono, Didik Endro., dan P.U, Trisadini (2000), Modifikasi dan Aplikasi Kontrak Muamalah Menurut Hukum Islam Dalam Perbankan Syariah, Jurnal Penelitian Dinamika Sosial, Vol. 1 No. 3, pp. 4149.
13