Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
KASUS KEMATIAN GAJAH (Elephas maximus Sumatranus) DI RIAU, LAMPUNG DAN BENGKULU (SUMATERA) DARI TAHUN 1996 – 2006 (A Case of Elephant Death (Elephas maximus Sumatranus) in Riau, Lampung and Bengkulu (Sumatera) from 1996 – 2006) YUNINGSIH Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114
ABSTRACT The population of elephant (Elephantis maximus Sumatranus) is decreasing every year in Sumatera due to illegal loging and hunting. Thirty percent of them were dead due to toxic baits to get their tusk. According to toxicological examination result from 8 cases of elephant death in Riau, Lampung and Bengkulu (Sumatera) from 1996 to 2006, in Diagnostic Laboratory, Balai Penelitian Veteriner, Bogor, that 3 reasons of elephant death was toxicity of. zinc phosphide, cyanide, poisonous plant Croton tiglium, respectively and other reason due to spoilt sample or inrepresentative sample which were affecting the laboratory examination. Key Words: Toxicity, Zinc Phosphide, Cyanide, Poisonous Plant Croton Tiglium, Elephant ABSTRAK Gajah merupakan hewan yang dilindungi dan populasinya dari tahun ketahun terus menurun karena perburuan, pembalakan dan perambahan.Tiga puluh persen kematian disebabkan unsur kesengajaan (perburuan) dengan cara pemberian racun yang bertujuan untuk keuntungan semata dengan mengambil gadingnya. Berdasarkan hasil pemeriksaan toksikologik di Laboratorium Diagnostik, Balai Penelitian Veteriner, Bogor, dari 8 kasus kematian gajah di Riau, Lampung dan Bengkulu (Sumatera) sejak tahun 1996 − 2006, menunjukkan 3 penyebabnya: 1. keracunan phospin (zinc phosphide, Zn3P2), sianida asal potas (NaCN/KCN), tanaman beracun Croton tiglium (Phorbol ester 13- decanoate) dan penyebab lain yang tidak terdeteksi jenis racunnya karena keadaan sampel tidak memenuhi syarat (busuk) atau sampel tidak mewakili (kesalahan sampling) yang sangat berepengaruh terhadap hasil pemeriksaan Kata Kunci: Keracunan, Zinc Phosphide, Sianida, Tanaman Beracun Croton Tiglium, Hewan Gajah
PENDAHULUAN Gajah Sumatera (Elephas maximus Sumatranus) adalah salah satu dari tiga spesies langka selain harimau dan badak yang dilindungi di kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Hewan ini terancam keberadannya akibat aksi pembalakan, perambahan dan perburuan liar. Efek dari ketiga aksi tersebut menyebabkan rusaknya habitat hewan tersebut dan semakin sempitnya lahan hijauan sebagai makanannya dan kemungkinan suatu saat akan kekurangan hijauan (makanan) yang dapat menyebabkan keracunan tanaman (tanaman beracun). Pemburuan liar umumnya dengan cara
796
pemberian racun sintetik, seperti rodentisida Zinc phosphide (Zn3P2) dan potas (sianida) yang keduanya bersifat cepat mematikan (YUNINGSIH, 2007). Di Zoo Animals – Brazil (Sao Paulo), kematian gajah akibat mengkonsumsi rimput yang terkontaminasi oleh rodentisida sodium fluoroacetate yang tercecer pada rumput tersebut akibat penggunaannya (membunuh tikus) yang ceroboh (TVEDTEN, 2004). KEBERADAAN POPULASI GAJAH DI SUMATERA Gajah Sumatera adalah subspesies dari gajah Asia yang berhabitat hanya di pulau
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Sumatera dan berpostur lebih kecil dari gajah India. Populasi gajah sumatera di Bengkulu merupakan populasi terkecil sedangkan populasi terbesar di Nangroe Aceh Darussalam dan Riau (Sumatera). Berdasarkan hasil survei pada tahun 2000, populasinya semakin menurun hanya sekitar 2000 – 2700 ekor gajah Sumatera yang tersisa di alam liar dan penyebabnya, yaitu dibunuh sekitar 65% dan 30% diantaranya dibunuh dengan pemberian racun secara sengaja. Kemudian daerah habitat gajah Sumatera sekitar 83% telah menjadi wilayah perkebunan akibat perambahan yang agresif untuk perkebunan baik yang memperoleh izin atau tidak dari instansi terkait. Maka populasinya pada tahun 2001 menjadi sekitar 200 – 400 ekor dan sekarang tinggal 100 ekor (WIKIPEDIA, 2009).
KASUS KEMATIAN GAJAH DI RIAU, LAMPUNG DAN BENGKULU (SUMATERA) DARI TAHUN 1996 SAMPAI 2006 Terjadinya kasus penurunan populasi gajah sumatera setiap tahunnya perlu diketahui penyebabnya, yaitu dengan cara melakukan penyidikan kasus yang berdasarkan sejarah kematian termasuk keadaan lingkungan, gejala klinis, analisis kimia dan patologi anatominya (post mortem findings), sehingga memudahkan untuk mengarahkan macam pemeriksaannya. Berdasarkan hasil penyidikan dari kasus kematian gajah di Sumatera dan hasil pemeriksaan toksikologik di Laboratorium Diagnostik, Balai Penelitian Veteriner, Bogor, dari tahun 1996 sampai dengan 2006, menunjukkan terjadi 8 kasus kematian gajah yang terjadi di daerah Riau, Lampung dan Bengkulu akibat keracunan (lihat Tabel 1).
Tabel 1. Hasil pemeriksaan toksikologik terhadap sampel asal kasus kematian gajah didaerah Riau, Lampung dan Bengkulu (1996 – 2006) Tahun terjadi kasus 1996
2004 2005 2006 2006
2006
2006
2006
Jenis sampel 1. Cairan lambung 2. Daun kelapa sawit 3. Powder warna abu- abu 4. Organ hati 5. Isi lambung 1. Muntahan (buah cempedak + kristal putih) 1. Isi lambung 2. organ hati 1.Isi lambung 2. Usus 1. Isi lambung 2. Usus 3. Hati 1. Isi lambung 2. Hati 3. Usus dan isi 1. Beras + powder kebiru-biruan 2. Powder berwarna hitam 3. Daun kelapa sawit 1 sampel isi rumen
Zn3P2 (-/+) +++ +++ + + * * +++ *
Hasil pemeriksaan Zn CN Phorbol 13(ppm) (ppm) decanoate (ppm) 118 * 4543 * 312500 * 82 * * 100 * * * >500 * * * * * 7,08 * 63,58 5,90 * 2,93 * * 44,45 * * 3,96 * 17,73 * * 16,31 * 573 * 91546 * * 57 * * * * 5
* : tidak dilakukan pemeriksaan; + : positif rendah (<5 ppm Zn3P2); +++ : positif tinggi (> 5 ppm Zn3P2) - : negatif Sumber: YUNINGSIH (2006; 2007)
797
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Sesuai dengan hasil penyidikan dan pemeriksaan toksikologik dari 8 kasus kematian gajah tersebut, maka penyebab adalah: Keracunan rodentisida zinc phosphide (Zn3P2) Powder warna hitam sebagai ciri spesifik dari rodentisida Zn3P2 dan dikenal dengan nama lain adalah Kilrat, zin-Tox, Rumetan, Phospvin dan Mons-con menyebabkan kematian 9 ekor gajah setelah mengkonsumsi daun kelapa sawit yang ditaburi dengan powder warna hitam tersebut. Sementara bentuk formulasinya cukup tinggi konsentrasinya yang rata- rata mengandung 9095% Zn3P2 (RODENBERG et al., 1989), sehingga dapat menyebabkan kematian akut pada hewan. Sementara Zn3P2 dalam lambung
akan dihidrolisis menjadi gas phospin yang sangat toksik dan dapat mematikan secara akut. Kemudian pada hewan yang menderita keracunan Zn3P2 akan menyebabkan kenaikan level unsur Zn dalam jaringan organnya (lihat Tabel 1). Sesuai dengan pendapat dari STEPHENSON (1967), bahwa terjadi kenaikkan level unsur Zn dalam jaringan organ dari hewan yang menderita keracunan Zn3P2 dan kenaikkannya tidak beraturan dan jumlahnya tidak tergantung dari jumlah Zn3P2 yang dikonsumsi. Seperti contoh penelitian keracunan Zn3P2 pada unggas dengan pemberian variasi konsentrasi Zn3P2 dan ternyata unsur Zn dan gas pospin dalam isi tembolok, gizar dan usus dari unggas setelah pemberian Zn3P2 tidak beraturan (lihat Tabel 2), begitu juga level unsur Zn dalam jaringan organ (Tabel 3) (ROBERTSON et al., 1945).
Tabel 2. Kandungan unsur Zn dalam isi tembolok, gizar dan usus setelah pemberian Zn3P2 pada hewan unggas No. unggas 2 3 4 5 7 8 10 12 14 18 22 Kontrol IX XIII XVIII XX
Dosis Zn3P2
Kadungan tembolok (mg)
ZnGizar (mg)
Usus (mg)
Gas phospin tembolok (mg)
Gizar (mg)
Usus (mg)
50 75 61 48 20,7 28,5 36 25 21 17 16,4
25,2 1,86 13,7 19,3 9,7 11,3 9,37 9,1 16,8 15,8 9,45
1,15 12,7 0,33 3,74 0,28 0,65 0,84 0,09 0,13 0,08 0,11
1,92 6,95 0,43 0,7 1,63 0,9 0,52 0,92
2,34 0,53 0,21 0.052 0,226 0,106
0,049 0,083 0,007 0,037 0,022 0.007
0,006 0,019 0,009 0,009 -
-
0,17 0,27 0,11 0,78
0,38 0,15 0,15
1,1 0,69 0,37 0,09
0,0015 -
-
-
Tabel 3. Rata- rata kandungan Zn dalam jaringan organ setelah pemberian Zn3P2 pada unggas Macam dosis (No. unggas)
Hati (mg/100 g)
Empedu & isinya (mg)
Ginjal (mg)
Jantung (mg)
Paru-paru (mg)
Otot dada (mg/100g)
Dinding usus (mg)
Dosis tunggal (12)
3,04
-
-
-
-
-
0,91
Dosis ulangan (2)
3,6
0,05
0,3
0,27
0,16
0,38
0,6
Kontrol (6)
5,98
0,05
0,5
0,13
0,42
0,57
0,75
Sumber: ROBERTSON et al. (1945)
798
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Begitu juga pendapat dari CASTEEL dan BAILEY, (1986), bahwa terbentuknya gas phospin (PH3 ) sebagai hasil hidrolisis Zn3P2 oleh asam lambung mempunyai sifat tidak stabil: Zn3P2 + 6 H2O 3 Zn (OH)2 + 2 PH3 , sehingga keberadaanya dalam jaringan organ tidak beraturan levelnya. Gejala klinis keracunan Zn3P2 dari tiap jenis hewan terlihat bervariasi. Pada kuda terjadi gejala sakit perut dan kolik, dan gejala kembung pada sapi. Kemudian banyak dilaporkan bahwa gejala keracunan Zn3P2 mirip dengan gejala keracunan strychnine pada saat sebelum terjadi kematian. Seperti contoh keracunan Zn3P2 pada anjing dengan dosis 40mg Zn3P2/kg berat badan menyebabkan kematian akut setelah 7 jam pemberian dengan gejala kejang- kejang dalam 30 menit dan kedua gejala tersebut sama dengan gejala keracunan strychnine. Kematian akut terjadi apabila penyerapan gas phospin secara langsung kedalam saluran intestinal, sedangkan keracunan kronis apabila tidak terjadi pembentukan gas phospin, hanya terjadi perubahan struktur Zn3P2 yang dapat menyebabkan kerusakan renal dan hati (OSWEILER et al., 1976). Keracunan Zn3P2 umumnya terjadi dalam waktu 15 menit sampai 4 jam setelah mengkonsumsi dengan gejala terlihat pertamakali terjadinya anoreksia, lethargy dan muntah- muntah yang selalu mengandung darah, kemudian dilanjutkan sesak nafas yang berat. Kadang- kadang terlihat gejala klinisnya sampai 18 jam setelah mengkonsumsi dan kematian dalam 3 sampai 48 jam. Untuk diagnosa keracunan dapat dilakukan dengan cara mendeteksi gas phosphin dalam sampel isi rumen keadaan segar (karkas utuh) dengan cara Scheerer’s Test (BARTIK dan PISKAC (1981), yaitu berdasarkan perubahan warna pada kertas Pb asetat, AgNO3 dan HgBr, yang masing- masing menjadi tetap putih (tidak berubah), hitam dan kuning setelah bereaksi dengan gas phospin sebagai hasil hidrolisis sampel dengan asam tartrat 10% setelah pemanasan sampai mendidih. Pemberian 5% larutan bicarbonate dapat membantu membasakan kondisi rumen (asam), sehingga dapat mencegah terjadinya hidrolisis Zn3P2 yang menghasilkan phospin. Kemudian
kondisi asam ini dapat juga dinetralkan dengan Ca-gluconate atau Na-lactate secara intravenus, dan apabila susah bernafas dapat dibantu dengan pemberian oksigen (CASTEEL dan BAILEY, 1986). Keracunan sianida (potas, NaCN/KCN) Sianida merupakan senyawa kimia yang paling beracun dan paling cepat reaksinya dalam tubuh sehingga dapat menyebabkan kematian akut. Pemberian dosis yang cukup rendah 2,0 – 2,3 ppm sianida, sudah dapat mematikan untuk hampir semua spesies hewan hanya dalam beberapa menit setelah mengkonsumsinya (CLARKE and CLARKE, 1975). Disamping bersifat racun akut dari sianida ini juga mudah diperoleh (banyak diperdagangkan) terutama dalam bentuk garamnya yang dikenal dengan nama potas (NaCN/KCN), maka bagi orang tertentu banyak dimanfaatkan untuk membunuh hewan (kriminal). Begitu juga pada kasus kematian gajah ini disebabkan oleh pemberian potas secara sengaja dengan mencampurkan dengan buah cempedak dengan tujuan mengambil gadingnya yang cukup mahal harganya. Kematian akut yang disebabkan potas ini juga terjadi pada ternak ayam, kambing dan sapi hewan setelah mengkonsumsi makanan yang dicampur dengan potas (YUNINGSIH, 1991). Terjadinya keracunan sianida pada hewan disebabkan adanya pelepasan sianida sebagai hasil hidrolisis tanaman yang mengandung sianogen (cassava) dengan bantuan microflora rumen atau mengkonsumsi makanan yang mengandung senyawa sianida (potas). Kemudian sianida diserap dengan cepat kedalam aliran darah dan terjadilah cytotoxia anoxia yaitu haemoglobin (Hb) yang tidak dapat membebaskan oksigen, maka warna darah menjadi merah terang, (kandungan oksigen tinggi) sebagai ciri spesifik dari keracunan sianida (EVERIST, 1974; OSWEILER et al., 1976). Sebagian kecil sianida diserap melalui usus dan paru- paru dan dikeluarkan dengan bau khas bitter almond (CLARKE dan CLARKE, 1978) dan sebagian besar ditoksikasi menjadi tiosianat dan dikeluarkan melalui urin dalam periode beberapa hari.
799
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Diagnosa Ciri spesifik dari keracunan sianida yaitu perubahan warna darah dari merah normal menjadi merah terang dan tercium bau pahit (bitter almond) ketika dibuka isi lambungnya. (telah disebutkan diatas). Kemudian pemeriksaan isi lambungnya dengan cara picrate paper test (HYDE, et al., 1977), yaitu berdasarkan perubahan warna kertas pikrat dari kuning menjadi merah bata apabila positif sianida. Kemudian cara lain dapat menggunakan alat spektrofotometer dan larutan NaCN sebagai larutan standar pembanding (ANDERSON, 1960). Pelepasan (dieksresikan) sianida secepatnya sebagai upaya untuk pengobatannya, seperti pemberian sodium nitrit untuk menguraikan ikatan kompleks sianida- sitokrom dengan pembentukan methaemoglobin yang berkompetisi dengan sitokrom oksidase dalam mengikat ion sianida dan membentuk sianhaemoglobin. Kemudian cara lain dengan pemberian Na- tiosulfat (Na2S2O3) yang mengubah sianida menjadi tiosianat dengan bantuan enzim rodanese (sulfur transferase) dan diekresikan melalui urin. Untuk mempercepat pelepasan sianida biasanya pemberian nitrit dan tio ini selalu bersamaan dengan komposisi tertentu, yaitu 22 mg/kg NaNO2 dan 660mg/kg Na2S3O4.(OSWEILER, et al., 1976). Keracunan tanaman Croton tiglium (tanaman kemalakian) Pembalakan liar dapat menyebabkan sempitnya lahan hijauan untuk makanan gajah, sehingga peluang besar mengkonsumsi tanaman lain (tidak biasa dikonsumsi) yang mungkin tanaman beracun. Salah satu contohnya kasus 8 (lihat Tabel 1), terjadi kematian gajah dengan gejala pembengkakan pada rongga mulut, perdarahan yang merata pada rectum, ditemukan infestasi cacing di caecum, usus halus dan usus besar, kemudian sempat tertidur. Gejala pada gajah tersebut sesuai dengan sifat tanaman Croton tiglium terutama pada bijinya dengan bahan aktif phorbol ester (phorbol 13-decanoate) yang menyebabkan iritasi kuat dan rasa pedas yang dapat menyebabkan pembengkakan bibir,
800
radang mulut, tenggorokan dan bersifat membius (HEYNE, 1987; DUKE, 1983). Kemudian isi lambung gajah tersebut mengandung phorbol 13-decanoate (5 ppm) yang membuktikan bahwa gajah tersebut telah mengkonsumsi tanaman Croton tiglium. (YUNINGSIH, 2006). Dengan toksiknya dari biji Croton tiglium, maka biji dapat dipakai sebagai ukuran dosis letal, seperti untuk manusia hanya diperlukan 4 biji dan untuk hewan kuda sekitar 15 biji (PETTIT, 1977). Penyebab keracunan lain Sebagian kasus kematian gajah tersebut tidak diketahui penyebabnya, karena gajah ditemukan rata- rata 3 – 4 hari setelah kematian dan keadaan sampel sudah busuk, begitu juga penyimpanannya dalam wadah terbuka yang dapat mempercepat penguapan senyawa toksik tertentu yang sangat berpengaruh terhadap hasil pemeriksaannya. Untuk menghindari hal ini, maka perlu mengetahui sejauhmana kesetabilan dari senyawa toksik. Sebagai contoh misalnya kestabilan gas phospin (hasil hidrolisis Zn3P2 dalam isi lambung) terhadap penyimpanan, yaitu phospin akan hilang 50% setelah 1 hari dan 2 hari, masing-masing penyimpanan secara terbuka dan tertutup. Kemudian phospin tidak terdeteksi lagi pada hari ke-7 dan ke-5, masing- masing penyimpanan tertutup dan terbuka (YUNINGSIH, 1996). Sementara sampel yang dikirim untuk pemeriksaan rata-rata lebih dari 1 minggu lamanya setelah kematian, disamping itu kurangnya informasi mengenai sejarah kematian yang dapat mempermudah diagnosa dan arah pemeriksaannya (analisis kimia). Hasil pemeriksaan isi lambung dari hewan yang menderita keracunan umumnya menunjukkan kenaikkan kandungan amonia yang tinggi karena adanya pembentukan amonia yang berlebihan sebagai hasil hidrolisis dari bahan yang dikonsumsi. Sementara amonia umumnya terbentuk dari hasil hidrolisis senyawa kimia yang mengandung nitrogen (fertiliser, pupuk, herbisida) baik asal sintetik atau alam (tanaman) (OSWEILER et al., 1976), dan dapat mengalami kesulitan dalam menentukan diagnosa atau macam pemeriksaannya. Kandungan amonia tinggi dapat juga disebabkan adanya proses
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
pembusukan yang diikuti dengan p.H rendah (< 6,0) akibat pembusukan oleh bakteri dan amonia seharusnya mempunyai pH tinggi (> 8,0). KESIMPULAN Berdasarkan ulasan dari rangkuman ke- 8 kasus kematian gajah di Sumatera dari 19962006, menunjukkan bahwa kematiannya disebabkan keracunan Zn3P2, sianida asal potas, tanaman beracun Croton tiglium dan penyebab lain yang tidak terdeteksi jenis racunnya. Sebagai saran, sebaiknya pengiriman sampel untuk pemeriksaan toksikologik berupa isi rumen tanpa pengawet atau sisa makanan yang dikonsumsi dalam wadah tertutup atau dalam bentuk segar dan dilampirkan informasi sejarah kematian hewan yang dapat memepermudah arah pemeriksaan. DAFTAR PUSTAKA
HEYNE, K. 1987. Tumbuhan berguna di Indonesia. Badan Litbang Kehutanan, Jakarta. HYDE,W., J. KIESLEY, P.F. ROSS and H.M. STAHR. 1977. Cyanide (alternate method). Analytical Methods Manual. p. 63 – 64. OSWEIER, G.D., T.L CARSON, W.B. BUCK and G.A. VAN GELDER. 1976. Zinc phosphide. Clinical and diagnostic Veterinary Toxicology. Kendall/Hunt Pub. Co. pp. 353 – 354. PETTIT, G.R. 1977.Biosynthetic Products for Cancer Chemotherapy. Vol.1 Plenum. Press. New York. RODENBERG, H.O., C.C. CINDY and A.W. WILLIAM. 1989. Zinc phosphide ingestion: Case Report and Review. Vet. Hum. Toxicol. 31(6): 559 – 562. ROBERTSON, A., J.G. CAMPBELL dan D.N. GRAVES. 1945. Experimental Zinc Phosphide poisoning in Fowls. J. Comp. Path. 55: 291 – 300. STEPHENSON, J.B.P. 1967. Zinc phosphide poisoning. Arch. Environ. Health. 15: 83 – 88. TVEDTEN, S. 2004. Poisoning, Zoo Animals-Brazil (Sao Paulo). http://edition.cnn.com/2004/ TECH/science/02/12/brazil.zoo.ap/ (30 Desember 2008).
ANDERSON, L. 1960. Precise Estimation of Hydrocyanic Acid in Sudangrass and Sorghum. Dept. Biochemistry of Wisconsin. pp. 1 – 4.
YUNINGSIH. 1991. Kasus keracunan sianida pada ternak. Penyakit Hewan. 23(41): 62 – 64.
BARTIK, M. dan A. PISKAC. 1981 Preliminary Chemical and Toxicological Examination of Biological Material. Veterinary Toxicology. Elsevier Sci. Pub. Co. New York. p. 300.
YUNINGSIH. 1996. Stabilitas Zinc Phosphide dalam isi rumen sapi terhadap perlakuan penyimpanan. Laporan intern. Balai Penelitian Veteriner, Bogor (unpublished).
CASTEEL, S.W. dan E.M. BAILEY. 1986. A review of zinc phosphide poisoning. Vet. Hum. Toxicol. 28(2): 151 – 154.
YUNINGSIH. 2006. Laporan Hasil Pemeriksaan Sampel Diagnostik. Balai Penelitian Veteriner, Bogor (unpublished).
CLARKE, E.G.C. and M.L. CLARKE. 1975. Cyanides. Veterinery Toxicology. Bailliere Tindall London. p. 251.
YUNINGSIH. 2007. Kasus keracunan pada hewan di Indonesia dari tahun 1992- 2005. Proseding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 21 – 22 Agustus 2007. Puslitbang Peternakan, Bogor.
DUKE, A. 1983. Croton tiglium L. Euphorbiaceae. Purging croton, Physic nut, Croton- oil plant. Handbook of Energy Crops. Unpublished. http://www.hort.purdue.edu/newcrop/duke_en ergy/Croton_tiglium.html (23 Oktober 2003).
2009. Gajah Sumatera. WIKIPEDIA. http://id.wikipedia.org/wiki/Gajah_sumatera (17 Juni 2009).
EVERIST, S.L. 1974. Toxic substance in plants. Poisonous plants of Australia. Angus & Robertson Pub. p. 28.
801