KARAKTERISTIK PEMANASAN PADA PROSES PENGALENGAN GEL CINCAU HITAM (Mesona palustris)
SKRIPSI
RAHMA UTAMI F14070105
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 1
KARAKTERISTIK PEMANASAN PADA PROSES PENGALENGAN GEL CINCAU HITAM (Mesona palustris)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh RAHMA UTAMI F14070105
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 2
HEATING CHARACTERISTICS OF THE BLACK CINCAU JELLY (Mesona palustris) CANNING PROCESS Rahma Utami, Dhiah Nuraini, and Putiati Mahdar Department of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia Phone 62 812 10082989, e-mail:
[email protected]
ABSTRACT In Indonesia, the black cincau is known as traditional foodstuff uses as a variation of variety of drinks. However, in the market, packaging of black cincau jelly still not hygienic. Packaging of black cincau jelly can increase the added value of these products, especially for the consumers.. This research aims to study the heat penetration parameters during the sterilization process, determines the cold point of products in cans, as well as determining and comparing F0 by using a general methods and formula methods during canning processof the black cincau jelly. Research using raw material dried plants of black cincau (Mesona palustris) the leaves and stems of the ratio 3:2. Raw materials are added with water, aquerous solution abu qi, tapioca, and sugar. Cans size that used in this reaseach is 306 x 405 (8.5 cm x 11 cm) produced by United Can Company. The research begins with measuring the distribution of heat, determinating the cold point, and measuring the F0 . In addition, conducted are observations of pH, sineresis, total dissolved solid, gel strength, microbiology analysis, and organoleptic test. Black cincau jelly belongs to low-acis foods with the value of the pH is 5.6 for repetition 1 and 5.9 for repetition 2, so that required commercial sterilization that capable for deactivate Clostridium botulinum spores. The cold point of black cincau jelly is at the center geometry of cans. Using diference temperature process resulted in a significant diference to the value of F0 . General method is usually used to evaluate a thermal process, whereas formula method used to design a thermal process. Keywords: black cincau jelly, Fo, general methods, formula methods
3
RAHMA UTAMI. F14070105. Karakteristik Pemanasan Pada Proses Pengalengan Gel Cincau Hitam (Mesona Palustris). Dibawah bimbingan Putiati Mahdar dan Dhiah Nuraini. 2012 RINGKASAN Di Indonesia, gel cincau hitam sudah dikenal sebagai bahan pangan tradisional, yang digunakan sebagai variasi dan berbagai minuman. Gel cincau hitam dalam sebuah minuman, dapat memberikan cita rasa yang khas, memberikan warna-warni dalam suatu campuran minuman sehingga terlihat lebih menarik. Gel cincau hitam diyakini berkhasiat sebagai obat penurun panas dalam, demam, sakit perut (rasa mual), diare, batuk, dan sebagainya. Bahkan di China dan Taiwan, cincau dikenal dengan nama hsian tsao yang digunakan sebagai obat untuk menurunkan tekanan darah dan obat diuretik. Produk cincau hitam masih sedikit dihasilkan di Indonesia. Industri pengolahan cincau hitam masih memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Kebanyakan produk cincau hitam banyak diproduksi oleh negara lain,seperti Singapura, Malaysia, China, Taiwan, dan Korea. Padahal bahan baku cincau hitam yang dibuat oleh negara tersebut, berasal dari Indonesia. Tujuan penelitian adalah mempelajari parameter penetrasi panas selama sterilisasi pada proses pengalengan minuman gel cincau hitam, menentukan titik dingin (cold point) produk dalam kaleng, serta menentukan dan membandingkan F0 menggunakan metode umum dan metode formula. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus dan November 2011 di Laboratorium Proses Balai Besar Industri Agro, Cikaret, Bogor. Penelitian menggunakan bahan baku tanaman cincau hitam pada bagian daun dan batang dengan perbandingan 3:2. Bahan baku tersebut dicampurkan 20 liter air per 1 kg bahan baku, 40 gram larutan abu qi, 30 gram tepung tapioka per 1 liter ekstrak, dan 150 gram gula per 1 liter ekstrak. Kaleng yang digunakan berukuran 306 x 405 buatan United Can Company. Pengambilan data diawali dengan pengukuran distribusi panas, penentuan titik terdingin (coldest point), pengukuran waktu sterilisasi. Selain itu, dilakukan pengamatan pH, sineresis, total padatan terlarut, kekuatan gel, analisa mikroba, dan uji organoleptik. Gel cincau hitam dalam kaleng tergolong dalam bahan pangan berasam rendah (low –acid foods) dengan nilai pH 5,6 untuk ulangan 1 dan 5,9 untuk ulangan 2 sehingga diperlukan sterilisasi komersial yang mampu menginaktivasi spora Clostridium botulinum. Titik terdingin gel cincau hitam kaleng berada pada pusat geometri (center) kaleng yaitu ½ tinggi kaleng. Kusnandar et al. (2006), untuk produk yang kental sehingga transfer panas terjadi secara konduksi, sehingga titik terdingin terletak pada pusat geometri kaleng. Karakteristik penetrasi panas pada ulangan 1, yaitu f h1 = 12,2 menit, f h 2 =24,5 menit, g bh =18,5, g =3,5, j =2,4, dan U = 10,13. Karakteristik penetrasi panas pada ulangan 2, yaitu yaitu f h1 = 9,1 menit, f h 2 = 21,5 menit, g bh = 8,9, g =1,05, j =2,99, dan U = 18,51. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan metode umum, nilai F0 pada ulangan 1 yaitu 3,05 menit. Artinya pada suhu 250˚C tingkat sterilitas yang diinginkan dapat tercapai selama 3,05 menit, sedangkan pada ulangan 2, nilai F0 yaitu 2,41 menit, artinya pada suhu 250˚C tingkat sterilitas yang diinginkan dapat tercapai selama 2,41 menit. Sedangkan berdasarkan perhitungan dengan menggunakan metode formula (broken heating curves), diperoleh nilai F0 = 9,87 menit pada ulangan 1 dan nilai F0 = 8,45 menit pada ulangan 2. Metode umum biasanya digunakan untuk mengevaluasi suatu proses termal, sedangkan metode formula digunakan untuk merancang suatu proses termal. Pengamatan sineresis yang dilakukan menunjukkan peningkatan sineresis pati tiap harinya yang disebakan oleh adanya interaksi antara keluarnya rantai amilosa dan amilopektin yang berkembang ke zona junction, memantulkan sejumlah cahaya. Pada pengamatan total padatan terlarut, gel cincau hitam kaleng mengalami kenaikan nilai TPT. Nilai total padatan terlarut yaitu sekitar 0,7 menjadi 15,8˚Brix untuk ulangan 1 dan 0,8 menjadi 15,8˚Brix untuk ulangan 2. Perubahan nilai total padatan terlarut dapat disebabkan oleh adanya interaksi antara pati dengan gula yang dapat menyebabkan berubahnya pola kemanisan dan memperlambat gelatinisasi pati. Pengujian kekuatan gel menunjukkan bahwa kekuatan gel cincau hitam yang belum disterilisasi lebih kecil dibandingkan kekuatan gel cincau hitam yang telah disterilisasi. Hal ini dapat disebabkan oleh pemasakan yang 4
kurang sehingga terjadi penggelembungan pati. Proses sterilisasi gel cincau hitam mengakibatkan perubahan nilai total padatan terlarut yang diakibatkan oleh adanya interaksi antara pati dengan gula. Menurut SNI 01-4033-1996 tentang rebung bambu dalam kaleng yang memiliki pH minimum 4, batas maksimum angka lempeng total adalah 1x102 koloni/gram. Sedangkan menurut SNI 01-2741-1992 tentang jamur kancing dalam kaleng dengan pH minimum medium 5, batas maksimum angka lempeng total adalah 1x102 koloni/gram. Berdasasarkan data tersebut, maka gel cincau hitam kaleng yang dihasilkan, masih berada dalam standar beberapa produk yang sejenisnya. Penilaian sensoris yang dilakukan pada 30 panelis menunjukkan bahwa konsumen suka terhadap aroma, rasa, tekstur, warna, dan keseluruhan gel cincau hitam kaleng.
5
Judul Skripsi Nama NIM
: Karakteristik Pemanasan Pada Proses Pengalengan Gel Cincau Hitam (Mesona palustris) : Rahma Utami : F14070105
Menyetujui,
Pembimbing Akademik I,
Pembimbing Akademik II,
Ir. Putiati Mahdar, M.App.Sc NIP. 130809125
Ir. Dhiah Nuraini, M.Si NIP. 090012851
Mengetahui : Ketua Departemen,
(Dr.Ir. Desrial, M.Eng) NIP. 19661201.199103.1.004
Tanggal lulus :
6
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Karakteristik Pemanasan Pada Proses Pengalengan Gel Cincau Hitam (Mesona palustris) adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, April 2012 Yang Membuat Pernyataan
Rahma Utami F14070105
7
© Hak cipta milik Rahma Utami, tahun 2012 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya.
8
BIODATA PENULIS
Rahma Utami. Lahir di Jakarta, 24 April 1990 dari ayah Ir. Dudy Suroso dan ibu Ning Khororoh, sebagai putri pertama dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Taman Siswa, Jakarta pada tahun 2001, kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 5, Jakarta hingga tahun 2004. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2004 dari SMA Negeri 1, Jakarta dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih Program Studi Teknik Pertanian, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian. Pada bulan Juni - Agustus 2010, penulis melaksanakan kegiatan praktik lapangan di PT Eramitra Agrolestari, Bakrie Sumatera Plantation (Unit Jambi 2), Pabrik Minyak Kelapa Sawit (PMKS) Pematang Kulim, Kab. Sarolangun, Provinsi Jambi. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) dan Balai Besar Industri Agro, Bogor dengan judul “Karakteristik Pemanasan Pada Proses Pengalengan Gel Cincau Hitam (Mesona palustris)” di bawah bimbingan Ir. Putiati Mahdar, M.App.Sc.
9
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum Wr. Wb. Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Karakteristik Pemanasan Pada Proses Pengalengan Gel Cincau Hitam (Mesona palustris)”. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (FATETA IPB) dan Balai Besar Industri Agro, Bogor sejak bulan Agustus hingga September 2011. Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Ir. Putiati Mahdar, M.App.Sc dan Ir. Dhiah Nuraini, M.Si selaku dosen pembimbing. 2. Dr. Ir. I Dewa Made Subrata, M. Agr selaku dosen penguji. 3. Bapak Dudy Suroso dan Ibu Ning Khororoh selaku orangtua, serta Juno Dwi Putra selaku adik penulis atas kasih sayang, perhatian, dan dukungannya kepada penulis. 4. Bapak Sulyaden dan Bapak Ahmad atas bantuan dan bimbingan selama penelitian berlangsung. 5. Seluruh staf dan teknisi Laboratorium Proses Balai Besar Industri Agro atas bantuannya selama penelitian. 6. Sahabat-sahabatku Anggy Fajar Maghfiroh, Ratna Aprilynda, Deti Kusniati, Huda Fatmawati, Siska Febriana Putri, Dewi Sartika, dan Spetriani atas bantuan, dukungan, dan perhatiannya kepada penulis. 7. Ricky Harianja dan Ibunda atas perhatian, bantuan, dan semangat yang diberikan kepada penulis. 8. Teman-teman satu bimbingan Widyaningtias Septianti, Thea Mutia, Anatasya Mandang, dan Denis Andreas atas bantuan, pengorbanan, dan dukungan kepada penulis. 9. Belinda Priska dan Saskia Piscesa atas dukungan, semangat, dan bantuannya kepada penulis. 10. Serta teman-teman Teknik Pertanian 2007 (Ensemble) atas kebersamaan, kerjasama, dan dukungan selama penulis melaksanakan studi di IPB. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk memperbaiki skripsi ini. Penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang pangan.
Bogor, April 2012
Rahma Utami
10
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR.................................................................................................. ix DAFTAR TABEL......................................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR.................................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN................................................................................................ xiii I. PENDAHULUAN........................................................................................... A. LATAR BELAKANG.............................................................................. 14 B. TUJUAN................................................................................................... 15 II. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................. A. CINCAU................................................................................................... 16 B. CINCAU HITAM..................................................................................... 18 C. GEL CINCAU HITAM............................................................................ 20 D. PROSES PENGALENGAN..................................................................... 20 E. PROSES TERMAL.................................................................................. 21 F. STERILISASI........................................................................................... 22 G. PERHITUNGAN PROSES TERMAL..................................................... 24 H. PARAMETER KECUKUPAN PROSES TERMALMAL...................... 26 I. FAKTOR-FAKTORYANG MEMPENGARUHI PROSES TERMAL.. 26 III. METODOLOGI............................................................................................... A. WAKTU DAN TEMPAT......................................................................... 28 B. ALAT DAN BAHAN............................................................................... 28 C. PROSEDUR PENELITIAN..................................................................... 28 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................ A. PEMBUATAN GEL CINCAU HITAM.................................................. 35 B. PROSES PENGALENGAN GEL CINCAU HITAM.............................. 38 C. PENENTUAN TITIK TERDINGIN, WAKTU VENTING, DAN COME UP TIME............................................................................. 39 D. PENENTUAN KECUKUPAN PANAS PADA PROSES STERILISASI GEL CINCAU HITAM KALENG.................................. 42 E. KEASAMAN GEL CINCAU HITAM DALAM KALENG.................... 44 F. SINERESIS GEL CINCAU HITAM KALENG...................................... 45 G. KEKUATAN GEL CINCAU HITAM KALENG.................................... 46 H. TOTAL PADATAN TERLARUT GEL CINCAU HITAM KALENG... 49 I. ANALISIS MIKROBA GEL CINCAU HITAM KALENG.................... 50 J. PENILAIAN ORGANOLEPTIK GEL CINCAU HITAM KALENG.... 51 V. SIMPULAN DAN SARAN............................................................................. 52 DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 53 LAMPIRAN..................................................................................................................
11
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Perbedaan beberapa jenis cincau................................................................................... 17 Tabel 2. Komposisi kimiawi daun cincau hitam......................................................................... 19 Tabel 3. Ketahanan panas bakteri yang penting pada proses sterilisasi komersial..................... 23 Tabel 4. Perbedaan kandungan amilosa dan suhu gelatinisasi pati dalam bahan pangan......... 37 Tabel 5. Nilai dari parameter penetrasi panas pada metode formula.......................................... 43 Tabel 6. Hasil pengukuran pH gel cincau hitam dalam kaleng .................................................. 45 Tabel 7. Hasil analisa mikroba gel cincau hitam kaleng............................................................. 51
12
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Empat jenis tanaman cincau....................................................................................... 16 Gambar 2. Kurva lethal rate penetrasi panas............................................................................... 24 Gambar 3. Diagram alir pengalengan gel cincau hitam............................................................... 29 Gambar 4. Broken heating curves................................................................................................ 31 Gambar 5. Hubungan nilai fh/U dengan nilai g untuk Stumbo Prosedure................................... 32 Gambar 6. Nilai r berdasarkan nilai g.......................................................................................... 32 Gambar 7 (a dan b). Bahan baku pembuatan gel cincau hitam kaleng....................................... 35 Gambar 8. Pencucian bahan baku................................................................................................ 36 Gambar 9. Penambahan abu qi.................................................................................................... 36 Gambar 10. Alat pengepres ........................................................................................................ 37 Gambar 11. Exhausting gel cincau hitam kaleng........................................................................ 39 Gambar 12. Proses penutupan kaleng......................................................................................... 39 Gambar 13. Kurva penentuan titik terdingin (cold point)........................................................... 40 Gambar 14. Kurva distribusi panas ulangan 1............................................................................ 41 Gambar 15. Kurva distribusi panas ulangan 2............................................................................ 41 Gambar 16. Kurva hubungan antara lethal rate (Lr) dengan waktu (menit) pada ulangan 1........................................................................................................ 43 Gambar 17. Kurva hubungan antara lethal rate (Lr) dengan waktu (menit) pada ulangan 2........................................................................................................ 43 Gambar 18. Hasil pengukuran sineresis gel cincau hitam kaleng.............................................. 46 Gambar 19 (a dan b). Pengukuran kekuatan gel......................................................................... 47 Gambar 20. Kurva tegangan regangan bahan biologis............................................................... 47 Gambar 21. Perbandingan Fmax sebelum dan sesudah sterilisasi................................................ 48 Gambar 22. Kurva tegangan regangan....................................................................................... 48 Gambar 23. Perbandingan nilai Modulus Secant/Es(free) sebelum dan sesudah sterilisasi......... 49 Gambar 24. Refractometer Atago PR-201................................................................................. 49 Gambar 25. Perubahan nilai total padatan terlarut (TPT) pada gel cincau hitam kaleng sebelum dan sesudah sterilisasi............................................ 50 Gambar 26. Kurva pertumbuhan mikroba................................................................................. 53
13
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Tabel hasil pengujian distribusi panas................................................................. 56 Lampiran 2. Tabel hasil pengujian penentuan titik terdingin (Cold Point).............................. 60 Lampiran 3a. Tabel hasil penentuan waktu sterilisasi optimum dengan menggunakan metode umum pada ulangan 1................................................... 62 Lampiran 3b. Perhitungan penentuan waktu sterilisasi optimum dengan menggunakan metode umum pada ulangan 2................................................... 64 Lampiran 4a. Kurva dan langkah perhitungan waktu sterilisasi optimum dengan menggunakan metode formula pada ulangan 1..................................... 66 Lampiran 4b. Kurva dan langkah perhitungan waktu sterilisasi optimum dengan menggunakan metode formula pada ulangan 2..................................... 72 Lampiran 5. Perhitungan sineresis gel...................................................................................... 78 Lampiran 6. Perhitungan kekuatan gel..................................................................................... 79 Lampiran 7. Data pengujian nilai total padatan terlarut (TPT)................................................. 80 Lampiran 8. Form uji organoleptik........................................................................................... 81 Lampiran 9. Hasil uji organoleptik........................................................................................... 82
14
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Cincau merupakan salah satu jenis minuman yang banyak digemari oleh masyarakat di Indonesia. Bahan baku minuman cincau berasal dari daun tanaman pembuat cincau. Daun yang telah dipetik, selanjutnya mendapat perlakuan sortasi dan pencucian agar kotoran yang melekat pada daun terlepas. Daun yang telah dicuci, selanjutnya dirajang menjadi ukuran yang lebih kecil agar mudah diekstrak untuk memperoleh larutan gel cincau. Tanaman yang digunakan sebagai bahan pembuat cincau terdiri atas empat jenis, yaitu cincau hijau (Cyclea barbata), cincau hitam (Mesona palustris), cincau perdu (Premna serratifolia), dan cincau minyak (Stephania hermandifolia). Tanaman yang dikenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai bahan pembuat cincau adalah tanaman cincau hijau dan cincau perdu. Namun, tanaman yang paling banyak dimanfaatkan sebagai bahan pembuat cincau adalah cincau hijau, cincau perdu, dan cincau hitam. Tanaman cincau hitam atau dikenal dengan nama janggelan, merupakan salah satu jenis tanaman cincau yang banyak dibudidayakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat di Indonesia. Tanaman cincau hitam dapat tumbuh dengan baik pada dataran menengah hingga dataran tinggi. Di Indonesia, tanaman cincau hitam dibudidayakan secara serius di Kabupaten Blitar, Jawa Timur dan Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Namun, industri cincau hitam terdapat di Surakarta, Jawa Tengah dan di Jakarta. Cincau hitam dapat diolah menjadi minuman segar yang teksturnya seperti agar-agar atau dibuat dalam bentuk bubuk cincau hitam instant. Di Indonesia, gel cincau hitam sudah dikenal sebagai bahan pangan tradisional, yang digunakan sebagai variasi berbagai minuman. Gel cincau hitam biasanya digunakan bersama-sama dengan potongan buah-buahan, irisan kelapa muda, sirup encer, atau sebagai campuran dalam minuman seperti es campur. Gel cincau hitam dalam sebuah minuman, dapat memberikan cita rasa yang khas, memberikan warna-warni dalam suatu campuran minuman sehingga terlihat lebih menarik. Gel cincau hitam memiliki kelebihan dibandingkan gel cincau hijau. Tekstur gel cincau hijau lebih lunak (lembek) dan rapuh, sehingga lebih sulit diiris. Sedangkan gel cincau hitam lebih tegar dan kokoh sehingga lebih mudah diiris. Pada suhu kamar, gel cincau hitam dapat bertahan hingga 4 hari, sedangkan pada gel cincau hijau hanya bertahan 2 hari (Widyaningsih, 2007). Kelebihan ini, membuat penggunaan gel cincau hitam lebih beragam dan mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi. Produk cincau hitam masih sedikit dihasilkan di Indonesia. Industri pengolahan cincau hitam masih memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Kebanyakan produk cincau hitam banyak diproduksi oleh negara lain, seperti Singapura, Malaysia, China, Taiwan, dan Korea. Padahal bahan baku cincau hitam yang dibuat oleh negara tersebut, berasal dari Indonesia. Gel cincau hitam juga mengandung banyak air (±98%), sehingga banyak orang memanfaatkan gel cincau hitam sebagai makanan rendah energi untuk tujuan diet, baik karena alasan kesehatan maupun untuk keperluan melangsingkan tubuh. Selain itu, gel cincau hitam diyakini berkhasiat sebagai obat penurun panas dalam, demam, sakit perut (rasa mual), diare, batuk, sariawan, pencegah gangguan pencernaan dan penurun tekanan darah tinggi. Bahkan di China dan Taiwan, cincau dikenal dengan nama hsian tsao yang digunakan sebagai obat untuk menurunkan tekanan darah dan obat diuretik. 15
Gel cincau hitam yang ada di pasaran saat ini, ada dalam bentuk bubuk cincau hitam instant, gel cincau hitam dalam kemasan plastik, cup plastik 200 gram, kotak mika 250 gram, dan kemasan kaleng 300 ml yang kebanyakan diproduksi oleh negara lain, seperti Singapura, Taiwan, dan Malaysia. Pengemasan gel cincau hitam dapat meningkatkan nilai tambah produk tersebut dimata konsumen. Pengemasan yang baik akan menghindari gel cincau hitam dari benturan, tekanan, goncangan yang dapat menurunkan mutu produk. Selain itu, pengemasan juga dapat memudahkan dalam penyimpanan, transportasi, serta memperpanjang daya simpan. Gel cincau hitam yang dikemas dalam kaleng akan terlindung dari kontaminasi mikroba, serangga, atau bahan asing yang dapat menyebabkan kerusakan pada gel cincau hitam baik dari segi cita rasa, nilai gizi, maupun penampilan. Gel cincau hitam yang dikemas dalam kaleng akan mempermudah dalam proses penyimpanan dan transportasi sehingga dapat meningkatkan peluang ekspor dan impor. Pengemasan cincau dalam kaleng harus memperhatikan pengaruh gel cincau hitam terhadap proses pemanasan. Dalam proses pengalengan terdapat proses sterilisasi yang menggunakan panas pada suhu tinggi dalam waktu yang singkat. Menurut Muhtadi (1994), sterilisasi tidak hanya bertujuan untuk menghancurkan mikroba pembusuk dan patogen, tetapi juga berguna untuk membuat produk menjadi cukup masak, yaitu dilihat dari penampilannya, teksturnya, dan citarasa sesuai yang diinginkan. Oleh karena itu, proses pemanasan ini harus dilakukan pada suhu yang cukup tinggi untuk menghancurkan mikroba, tetapi tidak boleh terlalu tinggi sehingga membuat produk menjadi terlalu masak.
B. Tujuan Mendapatkan karakteristik penetrasi panas ( j, j c , f h1 , f h2 ) selama sterilisasi pada proses pengalengan gel cincau hitam, menentukan titik dingin (cold point) produk dalam kaleng, serta menentukan dan membandingkan F0 dalam kemasan kaleng dengan menggunakan metode Umum dan metode Formula.
16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Cincau Cincau (Hanzi: 仙草, pinyin: xiancao) adalah gel serupa agar-agar yang diperoleh dari perendaman daun (atau organ lain) tumbuhan tertentu dalam air. Gel terbentuk karena daun tumbuhan tersebut mengandung karbohidrat yang mampu mengikat molekul-molekul air. Kata "cincau" sendiri berasal dari dialek Hokkian sienchau (Hanzi: 仙草, pinyin: xiancao) yang lazim dilafalkan di kalangan Tionghoa di Asia Tenggara. Cincau sendiri di bahasa asalnya sebenarnya adalah nama tumbuhan (Mesona spp.) yang menjadi bahan pembuatan gel ini. Menurut Pitojo dan Zumiati (2005), cincau bermanfaat sebagai bahan pangan terutama sebagai bahan baku minuman yang telah dikenal sejak lama. Selain itu, cincau juga berkhasiat sebagai obat karena mengandung serat alami yang mudah dicerna oleh tubuh manusia. Serat alami berperan dalam proses percernaan makanan dan mencegah timbulnya penyakit kanker usus. Gelatin cincau diakui bermanfaat untuk mengobati panas dalam dan sakit perut (abdomen discomfort). Tanaman cincau secara teknis bermanfaat untuk menunjang konservasi lahan karena tanaman ini mampu bertahan hidup pada kondisi lingkungan kering yang relatif kurang menguntungkan. Saat ini, tanaman cincau hitam dan cincau perdu telah dimanfaatkan sebagai komoditas agroindustri dan agrobisnis yang dapat memberikan keuntungan bagi petani yang membudidayakannya. Tanaman cincau perdu telah dimanfaatkan sebagai bahan dagangan walaupun sifatnya sangat terbatas dan musiman. Sedangkan, tanaman cincau hitam telah lama menjadi bahan dagangan lokal dan sebagai komoditas ekspor penghasil devisa negara. Menurut Pitojo dan Zumiati (2005), tanaman cincau terdiri dari empat jenis yaitu cincau hijau (Cyclea barbata), cincau perdu (Mesona palustris), cincau minyak (Stephania hermandifolia), dan cincau hitam (Premna serratifolia). Perbedaan beberapa jenis cincau dapat dilihat pada Tabel 1.
Cincau Hijau (Cyclea barbata)
Cincau Perdu (Premna oblongifolia)
Cincau Minyak (Stephania hermandifolia) Cincau Hitam (Mesona palustris) Gambar 1. Empat jenis tanaman cincau 17
Tabel 1. Perbedaan beberapa jenis cincau No. 1
2
3
4
Komponen Bahan Baku
Proses
Hasil Produk
Skala usaha
Perbedaan Cincau Minyak Perdu Daun Daun segar dilayukan
Hitam Brangkas (batang daun) kering
Daun asli lemas
Daun asli kaku
Daun asli kaku
Daun asli lemas
Bentuk dan ukuran asli
Bentuk dan ukuran asli
Bentuk dan ukuran asli
Warna hijau klorofil
Warna hijau klorofil
Warna hijau klorofil
Relatif bersih dari kotoran
Relatif bersih dari kotoran
Relatif bersih dari kotoran
Aroma spesifik, lemah
Aroma spesifik, lemah
Aroma langu, kuat
Tanpa pemanasan
Tanpa pemanasan
Diremas dengan air matang dingin
Diremas dengan air matang dingin
Disaring, dicetak dibiarkan dingin, dan mengental
Disaring, dicetak dibiarkan dingin, dan mengental
Sedikit
Sedikit
Kebutuhan keluarga
Kebutuhan keluarga
Tanaman sisipan
Tanaman sisipan
Hijau Daun Segar
Daun tidak dijual Sumber : Pitojo dan Zumiati (2005)
Daun tidak dijual
Pelayuan alami dan dengan air hangat Diremas dengan air matang dingin atau hangat, lalu ditambah bahan pengental Disaring, dicetak dibiarkan dingin, dan mengental SedikitBanyak Kebutuhan keluarga dan komersial Tanaman sisipan atau khusus Daun dijual
Bentuk dan ukuran telah berubah dan susut Warna cokelat karena ikatan klorofil rusak Banyak kotoran, campuran benda lain ketika proses pengeringan Aroma spesifik, lemah Perebusan dua kali, ditambahkan dye dan disaring
Direbus dan ditambahkan tepung
Dicetak dan dibiarkan dingin
Sangat banyak Kebutuhan keluarga dan komersial Tanaman sisipan atau khusus Brangkas dijual
B. Cincau Hitam Tanaman cincau hitam merupakan tanaman perdu dengan ketinggian 30-60 cm dan tumbuh pada ketinggian 150-1800 m diatas permukaan laut (Heyne (1987) dalam Rahmawansyah (2006)). Batangnya beruas, berbulu halus dengan bentuk menyerupai segiempat, kebanyakan cabang pada bagian dasarnya, dan berwarna agak kemerahan. Daun tanaman cincau hitam berwarna hijau, lonjong, 18
tipis lemas, ujungnya runcing, pangkal tepi daun bergerigi, dan memiliki bulu halus. Panjang daun sekitar 10 cm dan bertangkai sekitar 2 cm. Letak daun saling berhadapan dan berselang-seling dengan daun berikutnya (Pitojo dan Zumiati, 2005). Tanaman cincau hitam dapat dibudidayakan dengan cara generatif maupun vegetatif. Cara generatifnya adalah dengan menggunakan biji sedangkan vegetatifnya menggunakan stek batang, tunas akar, dan cara merunduk (Sunanto (1995) dalam Rahmawansyah (1995)). Proses pembibitan secara generatif tingkat keberhasilan kecambahnya hanya 1-2% saja dengan waktu 12 bulan. Hal ini menyebabkan pembibitan cara ini jarang dilakukan (Sunanto (1995) dalam Rahmawansyah (1995)). Pembudidayaan yang sering dilakukan adalah dengan cara stek batang, tunas akar, dan merunduk. Pembudidayaan dengan cara vegetatif ini tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama dan tingkat keberhasilan juga tinggi. Selain itu, tanaman yang dihasilkan memiliki sifat yang sama dengan induknya. Tanaman cincau hitam mudah dibudidayakan, terutama di daerah dataran menengah hingga tinggi. Tanaman tersebut umumnya cocok ditanam di tegalan, pekarangan, dan ladang secara monokultur atau tumpang sari dengan tanaman lain. Dalam rangka konservasi lahan, tanaman tersebut dapat ditanam di galengan teras atau ditempat yang berlereng. Hal ini didukung oleh sifat perakaran yang lebat dan kuat mengikat tanah (Pitojo dan Zumiati, 2005). Proses pemeliharaan tanaman cincau hitam dilakukan dengan melakukan penyiraman pada waktu pagi dan sore hari agar diperoleh kondisi tanah yang tetap lembab dan tidak kekeringan. Pupuk yang digunakan untuk tanaman ini pupuk yang mengandung zat N (nitrogen) seperti pupuk urea. Hal ini bertujuan agar dapat merangsang pertumbuhan daun yang lebih banyak (Sunanto (1995) dalam Rahmawansyah (1995)). Hama yang mungkin tumbuh selama penanaman cincau ini adalah jenis Maenas maculifascia yang akan merusak daun cincau. Untuk mengatasinya dilakukan penyemprotan insektisida. Penyemprotan dilakukan apabila diketahui gejala penyebarannya yaitu dengan banyaknya daun cincau yang berlubang. Insektisida yang digunakan adalah insektisida jenis Azordin 15 WSC atau Dursban 20 EC dengan dosis ringan 1,5 ml per liter air. Setelah berumur 3-4 bulan setelah tanam, dilakukan pemanenan pertama dengan cara memotong sebagian tanaman menggunakan sabit sehingga bagian yang tertinggal dapat tumbuh kembali. Pada pemanenan yang kedua dilakukan pada bulan ke 7-8, semua tanaman dicabut sampai ke akar-akarnya (Anonim, 2002). Pohon janggelan yang telah di panen selanjutnya dikeringkan dengan cara menghamparkannya di atas permukaan tanah, hingga warnanya berubah dari hijau menjadi cokelat tua. Tanaman cincau yang telah kering inilah yang merupakan bahan baku utama pembuatan cincau hitam. Tanaman cincau yang telah kering tahan untuk disimpan hingga satu tahun, akan tetapi selama penyimpanan harus dilakukan proses pengeringan sebab jika kondisinya lembab maka akan tumbuh jamur pada tanaman kering tersebut. Bagian tanaman yang memiliki komponen polisakarida yang paling banyak ada pada bagian batang dan daunnya, sehingga dalam proses pengolahannya digunakan bagian daun dan batang tanaman cincau hitam (Pitojo dan Zumiati, 2006). Tanaman cincau ini merupakan tanaman yang memiliki komponen pembentuk gel, sehingga dapat tergolong ke dalam tanaman penghasil hidrokoloid. Untuk memperoleh komponen pembentuk gel dari tanaman cincau dilakukan melalui ekstraksi dalam waktu tertentu. Ekstraksi dilakukan menggunakan bahan baku tanaman cincau hitam yang telah dikeringkan. Komponen pembentuk gel dari tanaman cincau hitam ini jika berdiri sendiri tidak mampu menghasilkan gel yang kokoh. Akan tetapi apabila komponen pembentuk gel cincau dicampurkan dengan pati dan abu qi maka akan dihasilkan gel yang kokoh. Perbandingan antara komponen pembentuk gel, pati, dan abu qi menentukan kekokohan dari gel cincau hitam.
19
Tabel 2. Komposisi kimiawi daun cincau hitam Komponen Jumlah per 100 gram Kalori 122.0 kal Protein 6.0 gram Lemak 1.0 gram Karbohidrat 26.0 gram Kalsium 100.0 mg Fosfor 100.0 mg Besi 3.3 mg Vitamin A 10,750 SI Vitamin B1 80.0 mg Vitamin C 17.0 mg Air 66.0 gram Bahan yang dapat dicerna (b.d.d) (%) 40 Sumber: Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI, 1992 dalam Widyaningsih (2007)
C. Gel Cincau Hitam Gel merupakan suatu fenomena yang menunjukkan sifat kekerasan dan kadang-kadang pada konsentrasi zat terlarut sangat rendah, tidak menunjukkan perubahan fungsional dari zat pelarutnya (Meyer, 1973). Gel mempunyai derajat kekompakan (rigiditas), elastisitas, dan kerapuhan yang tergantung pada jenis dan konsentrasi komponen pembentuk gel, kandungan garam, pH fase cairan, dan suhu. Komponen pembentuk gel pada tingkat 10% atau kurang dapat berupa polisakarida, protein atau partikel kompleks koloidal seperti misel-misel kaseinat (Powrie dan Tung, 1976). Cincau hitam merupakan masa gel yang berwarna hitam kecoklatan yang diperoleh dari pengolahan panas dari tiga komponen berupa tanaman janggelan (cincau hitam), pati, dan abu qi. Masa ini mempunyai konsistensi yang mirip dengan masa gel yang diperoleh dari agar-agar (Balai Penelitian Kimia (1975) dalam Supriharsono (1991)). Gel cincau hitam termasuk jenis gel termoreversibel (Fardiaz dan Wahab (1985) dalam Nuraini (1994)) dimana gel dapat mencair dan dibentuk kembali dengan penambahan dan pengurangan energi panas. Tekstur gel yang baik mempunyai kekuatan pecah berkisar antara 9 sampai 25 gr/cm 2. Gel dengan kekuatan pecah kurang dari 9 gr/cm2 menghasilkan tekstur yang terlalu lunak, sedangkan gel dengan kekuatan pecah lebih besar dari 25 gr/cm2 menghasilkan tekstur yang terlalu keras. Sineresis menunjukkan kemampuan gel dalam menahan air selama penyimpanan. Sineresis gel cincau hitam cenderung menurun dengan meningkatnya konsentrasi dan perbandingan komponen pembentuk cincau-pati. Tekstur gel yang baik mempunyai nilai sineresis kurang dari 60% setelah penyimpanan selama tiga minggu (Hasbullah dan Fardiaz, 1998). Berdasarkan Rahmawansah (2006), yang telah melakukan observasi ke pedagang cincau hitam di daerah bogor, pada proses ekstraksi penggunaan bobot tanaman cincau sebanyak 6%. Proses perebusan dilakukan selama 2 jam atau lebih. Hal ini seperti yang dikatakan Asyhar (1988) yaitu waktu yang diperlukan untuk mengekstrak tanaman cincau adalah 2-3 jam. Dalam pembentukan gel cincau hitam perlu diperhatikan perbandingan ekstrak cincau hitam (komponen pembentuk gel) dengan pati (tepung tapioka). Tepung tapioka mengandung 17% amilosa dan 83% amilopektin. Penggunaan tepung jenis ini disukai oleh pengolah makanan karena tidak mudah menggumpal, memiliki daya perekat yang tinggi sehingga pemakaianya dapat dihemat, tidak mudah pecah atau rusak, dan suhu gelatinisasinya rendah (Zuhri, 2010). Menurut Supriharsono 20
(1991), kekuatan gel tertinggi diperoleh dari hasil ekstraksi komponen pembentuk gel menggunakan abu qi pada konsentrasi 0.3%.
D. Proses Pengalengan Pengalengan merupakan cara pengawetan bahan pangan dalam wadah yang tertutup rapat (hermetis) dan disterilisasi dengan panas (Desrosier, 1978). Setelah proses sterilisasi harus segera dilakukan proses pendinginan untuk mencegah terjadinya over cooking pada makanan dan tumbuhnya kembali bakteri termofilik (Winarno dan Fardiaz, 1980). Pada umumnya proses pengalengan bahan pangan terdiri atas beberapa tahap, diantaranya persiapan bahan, pengisian bahan ke dalam kaleng, pengisian medium, exhausting, sterilisasi, pendinginan, dan penyimpanan (Desrosier, 1978). Persiapan bahan dilakukan dengan pemilihan bahan-bahan yang akan dikalengkan, pencucian, pemotongan menjadi bagian-bagian tertentu, dan persiapan bahan untuk pengolahan selanjutnya (Luh dan Woodroof (1975) dalam Sylviana (2005)). Pencucian bertujuan untuk memisahkan bahan dari material asing yang tidak diinginkan, seperti kotoran, minyak, tanah, dan sebagainya serta diharapkan dapat mengurangi jumlah mikroba awal yang sangat berguna dalam efektivitas proses sterilisasi (Lopez, 1981). Pengisian bahan pangan ke dalam wadah harus memperhatikan ruangan pada bagian dalam atas kaleng (head space). Head space adalah ruang kosong antara permukaan produk dengan tutup yang berfungsi sebagai ruang cadangan untuk pengembangan produk selama disterilisasi, agar tidak menekan wadah karena akan menyebabkan kaleng menjadi menggelembung. Besarnya head space bervariasi tergantung jenis produk dan jenis wadah. Umumnya untuk produk cair dalam kaleng, tingginya head space adalah sekitar 0.25 inci, sedangkan bila wadah yang digunakan adalah gelas jar, direkomendasikan head space yang lebih besar. Bila dalam pengalengan tersebut ditambahkan medium pengalengan, tinggi head space tidak boleh kurang dari 0.25 inci, tetapi bila produk dikalengkan tanpa penambahan medium, diperkenankan produk diisikan sampai hampir penuh dengan meninggalkan sedikit ruang head space (Muchtadi, 1994). Pengisian bahan ke dalam harus seragam dengan tujuan untuk mempertahankan keseragaman rongga udara (head space), memperoleh produk yang konsisten, dan menjaga berat bahan secara tetap. Menurut Muchtadi (1994), penghampaan udara (exhausting) adalah proses pengeluaran sebagian besar oksigen dan gas-gas lain dari dalam wadah agar tidak bereaksi dengan produk sehingga dapat mempengaruhi mutu, nilai gizi, dan umur simpan produk kalengan. Exhausting juga dilakukan untuk memberikan ruang bagi pengembangan produk selama proses sterilisasi sehingga kerusakan wadah akibat tekanan dapat dihindari dan untuk meningkatkan suhu produk di dalam wadah sampai mencapai suhu awal (initial temperature). Penutupan wadah dilakukan setelah proses penghampaan udara (exhausting) yang bertujuan untuk mencegah terjadinya pembusukan.
E. Proses Termal Proses termal merupakan suatu ilmu yang berkembang sejak termokopel digunakan untuk mengukur suhu. Secara industri, teknik pengemasan untuk mengawetkan makanan sudah sangat berkembang, sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk pangan hingga waktu beberapa bulan hingga beberapa tahun. Menurut Hariyadi (2000), ada beberapa keuntungan dari proses termal. Keuntungan dari proses pemanasan atau pemasakan ini adalah : a. terbentuknya tekstur dan cita rasa yang khas dan disukai, 21
b. c.
rusak atau hilangnya beberapa komponen anti gizi, peningkatan ketersediaan beberapa zat gizi, misalnya peningkatan daya cerna protein dan karbohidrat, d. terbunuhnya mikroorganisme sehingga meningkatkan keamanan dan keawetan pangan, dan e. menyebabkan inaktifnya enzim-enzim perusak, sehingga mutu produk lebih stabil selama penyimpanan. Namun, ada pula kerugian yang diakibatkan oleh proses pemanasan, antara lain adanya kemungkinan rusaknya beberapa zat gizi dan mutu (umumnya yang berkaitan dengan mutu organoleptik, seperti tekstur, warna, dan lain-lain), terutama jika proses pemanasan tidak terkontrol dengan baik. Oleh karena itu, proses pengolahan dengan suhu tinggi perlu dikendalikan dengan baik. Kontrol terpenting dalam pemanasan adalah kontrol suhu dan waktu. Selama pemanasan terdapat dua hal penting yang terjadi, yaitu destruksi atau reduksi mikroba dan inaktivasi enzim yang tidak dikehendaki. Proses pemanasan untuk meningkatkan daya simpan, dilakukan dengan cara blansir, pasteurisasi, dan sterilisisasi.
F. Sterilisasi Menurut Muchtadi (1994), sterilisasi adalah operasi yang paling penting dalam pengalengan makanan. Sterilisasi tidak hanya bertujuan untuk menghancurkan mikroba pembusuk dan patogen, tetapi juga berguna untuk membuat produk menjadi cukup masak, yaitu dilihat dari penampilannya, teksturnya, dan citarasa sesuai yang diinginkan. Oleh karena itu, proses pemanasan ini harus dilakukan pada suhu yang cukup tinggi untuk menghancurkan mikroba, tetapi tidak boleh terlalu tinggi sehingga membuat produk menjadi terlalu masak. Sterilisasi pada sebagian besar makanan kaleng biasanya dilakukan secara komersial. Sterilisasi komersial adalah sterilisasi yang biasanya dilakukan terhadap sebagian besar makanan di dalam kaleng, plastik, atau botol. Bahan pangan yang disterilkan secara komersial berarti semua mikroba penyebab penyakit dan pembentuk racun (toksin) dalam makanan tersebut telah dimatikan, demikian juga mikroba pembusuk. Spora bakteri non-patogen yang tahan panas mungkin saja masih ada di dalam makanan setelah proses pemanasan, tetapi bersifat dorman (tidak dalam kondisi aktif berproduksi), sehingga keberadaannya tidak membahayakan jika produk tersebut disimpan dalam kondisi normal (Hariyadi, 2000). Makanan yang telah dilakukan sterilisasi komersial memiliki daya simpan yang tinggi. Menurut Muchtadi (1994), sterilisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: (1) jenis mikroba yang dihancurkan, (2) kecepatan perambatan panas ke dalam titik dingin, (3) suhu awal bahan pangan di dalam wadah, (4) ukuran dan jenis wadah yang digunakan, (5) suhu dan tekanan yang digunakan untuk proses sterilisasi, dan (6) keasaman atau pH produk yang dikalengkan. Produk pangan yang mengalami sterilisasi dan dikombinasikan dengan kemasan yang kedap udara dapat mencegah terjadinya rekontaminasi. Kondisi pengemasan yang kedap udara ini dapat menyebabkan terbatasnya jumlah udara yang ada, sehingga bakteri yang bersifat aerob tidak akan mampu tumbuh pada produk pangan tersebut. Umumnya, proses pengemasan bagi bahan pangan yang disterilisasi dikombinasikan dengan teknik pengemasan yang akan menyebabkan kondisi anaerobik. Kondisi ini akan memberikan beberapa keuntungan, antara lain mikroba tidak tahan panas sehingga lebih mudah dimusnahkan pada proses pemanasan dan kondisi anaerobik ini dapat mengurangi reaksi oksidasi yang mungkin terjadi selama proses pemanasan maupun selama proses penyimpanan setelah proses. Untuk mempertahankan kondisi anaerobik ini, bahan pangan perlu dikemas dalam kemasan kedap udara. 22
Operasi sterilisasi dapat dilakukan dengan menggunakan panas yang dapat berasal dari air panas (mendidih) atau dengan menggunakan uap air panas bertekanan selama waktu yang ditentukan. Produk dalam kemasan disterilisasi dengan menggunakan ketel uap (retort). Retort yang disebut juga autoclave atau sterilizer, berbentuk bejana tertutup dan tekanan tinggi yang ditimbulkan oleh uap yang berasal dari sumber di luar retort. Sumber uap panas tersebut dapat berbentuk boiler atau steam generator. Menurut Muchtadi (1994), berdasarkan derajat keasaman atau pH produk pangan, operasi sterilisasi dapat digolongkan menjadi dua kelas, yaitu produk yang disterilisasi pada suhu 212˚F (100˚C) yang merupakan suhu air mendidih pada tekanan atmosfer dan produk yang harus disterilisasi pada suhu lebih tinggi dari 212˚F(100˚C). Bahan pangan yang asam (pH ˂ 4.5) seperti sari buah, buah-buahan, beberapa macam sayuran, umumnya disterilisasi dengan cara memanaskan wadah dalam waktu yang cukup agar suhu pada titik dingin mencapai 200˚F atau lebih. Dengan cara ini, mikroba yang dapat membusukkan bahan pangan asam telah dapat hancur. Golongan bahan pangan lainnya yang memiliki pH ˃ 4.5 seperti sayuran yang tidak asam, sup, daging, dan hasil olahannya, ikan, dan unggas, dilakukan sterilisasi pada suhu tinggi dibawah tekanan, agar diperoleh tingkat sterilitas yang memadai. Ketahanan panas bakteri yang penting dalam sterilisasi komersial disebutkan pada Tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Ketahanan panas bakteri yang penting pada proses sterilisasi komersial Golongan Bakteri
Ketahanan Panas D Z
Bahan Pangan Berasam Rendah (pH diatas 4,5) Termofilik (spora)
Golongan Flat-Sour (B. stearothermophilus)
Golongan Pembusuk/Produksi Gas (C. thermosaccharolyticuum)
Golongan Pembentuk Bau Sulfida (C. nigrificans) Mesofilik (Spora)
4,0-5,0 3,0-4,0 2,0-3,0
14-22 16-22 16-22
0,1- 0,20 0,1- 0,15
14-18 14-18
0,01-0,07
14-18
0,01-0,05 0,01-0,05
12-16 12-16
0,50-1,00
8-10
PA(Putrefactive Anaerob) C. botulinum (tipe A dan B) C. sporogenes (termasuk PA.367a) Bahan Pangan Asam (pH 4,0 – 4,5) Temofilik (spora) C. coagulans Mesofilik B. polymiyxa dan B. macerans Anaeron butirat (C. Pasterianum) Bahan Pangan Berasam Tinggi (pH ˂ 4,0) Lactobacillus sp, Leuconostoc sp, dan Kapang serta Khamir Sumber : Muhtadi, Tien R. (2008)
Untuk bahan pangan yang tergolong tidak asam dapat ditambahkan larutan garam atau larutan gula yang diasamkan sebagai mediumnya, sehingga sterilisasi dapat dilakukan pada suhu yang lebih rendah (misalnya hanya pada suhu 100˚C, tekanan atmosfer) sehingga mutu produk dapat lebih dipertahankan.
23
Menurut Reuter (1993), kerusakan mutu pangan selama proses sterilisasi adalah rendah ketika bahan pangan tersebut diberi perlakuan suhu yang tinggi dalam waktu yang singkat. Penentuan waktu dan suhu sterilisasi dipengaruhi oleh kecepatan perambatan panas, keadaan awal produk (pH, dimensi produk, dan jumlah mikroba awal), wadah yang digunakan, dan ketahanan panas mikroba atau sporanya. Setiap partikel makanan harus menerima panas dalam jumlah yang sama. Kombinasi waktu dan suhu yang diberikan pada produk yang disterilisasi harus cukup untuk mematikan mikroba patogen dan mikroba pembusuk. Untuk itu, guna memastikan tidak aktifnya enzim yang terdapat pada bahan pangan dan tercapainya waktu sterilisasi yang singkat, proses pre-sterilisasi dapat dilakukan dengan proses blansir. Proses sterilisasi komersial dengan menggunakan panas di desain untuk melindungi kesehatan konsumen dan untuk melindungi produk dari mikroba pembusuk yang dapat menyebabkan kerugian secara ekonomis (Scmitdt, 1957).
G. Perhitungan Proses Termal Perancangan proses termal bertujuan untuk menghasilkan produk yang steril secara komersial, dengan pemanasan yang cukup, sehingga dapat mempertahankan mutu produk dan meminimalisasi biaya. Perhitungan proses termal dapat diklasifikasikan menjadi dua metode, yaitu metode umum (general method) dan metode formula (formula methods).
1. Metode Umum Metode umum merupakan metode yang paling teliti dalam menghitung proses sterilisasi yang dikembangkan oleh Bigelow (1920) yang kemudian dilanjutkan oleh Ball dan kawan-kawan. Ketelitiannya yang tinggi disebabkan oleh suhu bahan pangan yang diukur dalam suatu percobaan, secara langsung digunakan dalam perhitungan tanpa mengasumsikan hubungan antara waktu dengan suhu dari makanan tersebut. Menurut Kusnandar, et al. (2006), metode umum (trapezoidal) menganggap nilai letalitas yang diukur antara titik satu dengan titik yang lainnya membentuk suatu garis lurus, sehingga nilai letalitas proses setiap selang waktu adalah luas trapesium dengan tinggi ( t n t n1 ), panjang sisi atas dan bawah masing-masing L n dan Ln 1 . Perhitungan metode umum (trapezoidal) dapat dilakukan dengan bantuan Microsoft Excel Spreadsheet. Dengan nilai F0 merupakan hasil penjumlahan parsial atau luasan di bawah kurva trapesium seperti rumus di bawah ini. Gambar 2 menunjukkan gambar kurva lethal rate penetrasi panas. n
F0
i 1
t n t n 1 ( Lo 2 L1 2 L2 2 L3 ............. 2Ln 1 2 Ln ) 2
(II.1)
24
Gambar 2. Kurva lethal rate penetrasi panas
2. Metode Formula Metode formula diawali dengan memplotkan waktu dengan suhu produk pada kertas semilog, dimana waktu sebagai absis dan suhu sebagai ordinat logaritmik. Kemudian dari grafik tersebut dapat keterlambatan sebelum diperoleh nilai karakteristik penetrasi panas dalam pangan yang diproses ( f h , f c , j h , j c ). Parameter respon suhu f h dan f c menggambarkan laju penetrasi panas ke dalam produk atau wadah, f h merupakan waktu yang dibutuhkan kurva penetrasi panas untuk melalui 1 siklus log pada fase pemanasan, sedangkan
f c pada fase pendinginan. Sedangkan
j h dan
j c menggambarkan waktu keterlambatan sebelum laju penetrasi mencapai f h dan f c . Hubungan suhu produk dengan waktu pemanasan mengikuti persamaan berikut :
(Tr T ) (Tr Ti )10 (t / f h )
(II.2)
atau
logTr T logTr Ti
t fh
(II.3)
dimana: t = waktu proses (menit) = suhu produk (pada titik terdingin) (˚F) T
Tr
= suhu retort saat proses (˚F)
Ti
= suhu awal produk (˚F)
fh
= waktu yang diperlukan kurva penetrasi panas melewati satu siklus log (menit)
25
Ball menggunakan fakta bahwa nilai sterilitas porsi pemanasan dari suatu proses termal merupakan fungsi dari kemiringan kurva pemanasan ( f h ) dan perbedaan suhu medium pemanas dengan suhu produk pada akhir pemanasan ( Tr T ) = g . Berdasarkan persamaan suhu produk dengan waktu pemanasan, maka diperoleh persamaan berikut:
j I t B ( f h ) log h h g
(II.4)
log j h log
(II.5)
Tr T pih Tr Ti
, I h Tr Ti
Dari tabel hubungan f h dan waktu pemanasan pada suhu retort untuk mencapai sterilitas yang diinginkan ( U F0 Lr ) deng an nilai g , dapat ditentukan nilai g , sehingga nilai t B dapat dihitung. Jika nilai t B sudah diketahui, nilai sterilitas proses (F0) dapat dihitung dengan :
F0
f h Lr
(II.6)
fh U
Lr 10
Tr 250
z
(II.7)
Dimana:
Lr
= letalitas
tB
= waktu proses (menit)
F0
= nilai sterilitas proses (menit) Broken heating curves adalah kurva pemanasan pada produk yang pada periode pertama pemanasan mengalami kenaikan suhu yang cepat dan pada periode berikutnya mengalami kenaikan suhu yang lambat.
H. Parameter Kecukupan Proses Termal Dalam suatu perancangan proses termal, karakteristik ketahanan panas mikroba dan profil pindah panas dari medium pemanas ke dalam bahan pada titik terdinginnya merupakan hal penting yang harus diketahui. Karakteristik ketahanan panas dinyatakan dengan nilai D dan nilai z. Nilai D adalah waktu pemanasan pada suhu tertentu untuk mereduksi mikroorganisme sebanyak 90% atau menjadi 1/10. Sedangkan nilai z adalah derajat kenaikan atau penurunan suhu untuk menurunkan atau menaikkan nilai D menjadi 10 kali dari nilai awalnya. Nilai D dan nilai z suatu mikroorganisme dapat dilihat pada Tabel 3 yang menggambarkan ketahanan panas bakteri yang penting pada proses sterilisasi komersial. Untuk mencapai level pengurangan jumlah mikroba yang diinginkan dalam suatu perancangan proses termal, maka ditentukan siklus logaritma pengurangan mikroba. Secara matematis penentuan siklus logaritma penurunan mikroba (S) dinyatakan dengan persamaan 1 berikut:
S log
No Nt
(II.8)
Dimana: Nt = jumlah populasi mikroba setelah proses termal „t‟ menit No = jumlah populasi mikroba sebelum proses termal Setelah siklus logaritma penurunan mikroba ditentukan, kemudian dihitung nilai sterilitasnya pada suhu tertentu (F0). F0 disebut sebagai nilai sterilisasi jika proses yang berlangsung adalah 26
sterilisasi, namun jika proses yang berlangsung adalah pasteurisasi, maka F0 adalah nilai pasteurisasi. F0 adalah ekuivalen letalitas proses termal dengan waktu pemanasan pada suhu 250˚F. Nilai F0 ini ditentukan sebelum proses termal berlangsung. Nilai F0 dapat dihitung pada suhu standar atau pada suhu tertentu, dimana untuk menghitungnya perlu diketahui nilai D dan nilai z. Secara umum, nilai F0 menggambarkan waktu (menit) yang dibutuhkan untuk membunuh mikroba target hingga mencapai level tertentu pada suhu tertentu.
F0 S Do
(II.9)
Proses pengujian keamanan makanan kaleng yang berasam rendah, maka kriteria sterilitas yang digunakan berdasarkan spora bakteri yang lebih tahan panas daripada spora Clostridium botulinum, yaitu spora Bacillus stearothermophilus atau FS (flat sour) 1518. Disebut sebagai FS 1518 karena pertumbuhan bakteri ini akan mengakibatkan kebusukan akibat diproduksinya asam tetapi tanpa gas sehingga bentuk tutup kaleng tetap normal (flat). Untuk makanan kaleng yang asam, proses sterilisasi dengan menggunakan panas ini biasanya didesain berdasarkan pada ketahanan panas bakteri fakultatif anaerob, seperti Bacillus coagulan (B. thermoacidurans), B. mascerans, dan B. polymyxa.
I. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Proses Termal Menurut Kusnandar, et al. (2006), faktor-faktor kritis yang mempengaruhi proses termal dan sterilisasi yang perlu diidentifikasi pengaruhnya adalah : (a) karakteristik produk yang dikalengkan, yang terdiri dari pH keseimbangan, metode pengasaman, konsistensi/viskositas dari bahan, bentuk/ukuran bahan, aktivitas air, persen padatan, rasio padatan/cairan, perubahan formula, ukuran partikel, syrup strength, jenis pengental, jenis pengawet yang ditambahkan, dan sebagainya, (b) kemasan, yang terdiri dari jenis dan dimensi, metode pengisian bahan ke dalam kemasan, (c) proses dalam retort, yang terdiri dari jenis retort, jenis media pemanas, posisi wadah dalam retort, tumpukan wadah, pengaturan kaleng, kemungkinan terjadinya nesting, dan sebagainya. Beberapa faktor kritis tersebut dijelaskan sebagai berikut: a) Keasaman (Nilai pH) Tingkat keasaman (nilai pH) merupakan salah satu karakteristik produk pangan yang menentukan apakah suatu produk harus dilakukan sterilisasi atau pasteurisasi. Pada produk pangan yang diasamkan, maka prosedur pengasaman menjadi sangat penting, yang harus menjamin pH keseimbangan dari bahan harus berada di bawah pH < 4.5. Untuk itu, perlu diketahui metode pengasaman yang digunakan dan jenis acidifying agent yang digunakan (misalnya asam sitrat, asam asetat, asam malat, saus tomat, asam tartarat, dan sebagainya). Bila pengasaman dilakukan secara benar, maka proses termal dapat menerapkan pasteurisasi. b) Viskositas Viskositas suatu produk berhubungan dengan cepat atau lambatnya laju pindah panas pada bahan yang dipanaskan yang mempengaruhi efektifitas proses panas. Pada produk yang memiliki viskositas rendah (cair) pindah panas berlangsung secara konveksi yaitu merupakan sirkulasi dari molekul-molekul panas sehingga hasil transfer panas menjadi lebih efektif. Sedangkan pada produk yang memiliki viskositas tinggi (padat), transfer panas berlangsung secara konduksi, yang mengakibatkan terjadinya tumbukan antara yang panas dan yang dingin sehingga efektifitas pindah panas menjadi berkurang. Koefisien pindah panas secara konveksi dinyatakan dengan „h‟, sedangkan koefisien pindah panas secara konduksi dinyatakan dengan „k‟. Koefisien pindah panas tersebut menunjukkan mudah atau tidaknya pindah panas yang terjadi pada suatu produk.
27
c)
Jenis medium pemanas Jenis medium pemanas pada umumnya menggunakan uap (steam) dengan teknik pemanasan secara langsung (direct heating). Teknik pemanasan dengan menggunakan uap (steam) secara langsung ini terdiri dari dua macam, yaitu : (i) steam injection, yang dilakukan dengan menyuntikkan uap secara langsung ke dalam ruangan (chamber) yang berisi bahan pangan, dan (ii) steam infusion, adalah teknik pemanasan dimana bahan pangan disemprotkan kedalam ruangan yang berisi uap panas. d) Jenis dan ukuran kaleng Jenis kemasan yang digunakan berpengaruh pada kecepatan perambatan panas ke dalam bahan. Sementara ukuran kaleng yang berdiameter lebih besar, efektifitas transfer panas lebih rendah dibandingkan kaleng dengan ukuran diameter yang lebih kecil, karena penetrasi panas lebih cepat.
28
BAB III METODOLOGI
A. Waktu dan Tempat Penelitian telah dilakukan pada bulan Agustus dan November 2011, yang berlokasi di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Proses Balai Besar Industri Agro, Cikaret, Bogor.
B. Alat dan Bahan 1.
Alat Pada penelitian ini, menggunakan alat-alat yang digunakan dalam proses pembuatan gel cincau hitam, diantaranya panci untuk merebus, kompor, pengaduk, saringan halus, toples besar, gelas ukur (volume 1 liter dan 10 ml), dan timbangan digital. Untuk proses pengukuran analisa sifat fisik, digunakan alat pengukur kadar gula (total padatan terlarut) hand refractometer, refrigerator dan cawan untuk pengukuran sineresis, serta rheometer untuk pengukuran kekuatan gel. Pengukuran analisa sifat kimia, digunakan alat pH meter untuk mengukur derajat keasaman. Sedangkan untuk pengukuran analisis mikroba, menggunakan stomacher, incubator, dan media PCA (Plate Count Agar). Untuk pengukuran penetrasi panas digunakan termokopel, recorder, dan retort. Pada proses pengemasan, digunakan kaleng yang berukuran 306 x 405 (8.5 cm x 11 cm) yang diproduksi oleh UNITED CAN COMPANY dan double seamer (penutup kaleng).
2.
Bahan Dalam proses pembuatan gel cincau hitam, bahan yang digunakan antara lain, simplisia kering janggelan (tanaman cincau hitam) air, abu qi cair, tepung tapioka, dan gula. Untuk analisa sifat kimia, bahan yang digunakan yaitu larutan buffer pH 4.0, serta larutan pengencer untuk analisa mikrobiologi.
C. Prosedur Penelitian 1.
Pembuatan dan Pengalengan Gel Cincau Hitam Proses pembuatan gel cincau hitam dijelaskan dalam bentuk diagram alir pada Gambar 3 di bawah ini.
29
Sortasi bahan baku
1 kg tanaman cincau kering Pemotongan ±5 cm
20 liter air + 40 gram abu qi
Gula pasir (150 gram/liter ekstrak) + tepung tapioka (30gram/liter ekstrak) + 20 ml air per 30 gram tepung tapioka (sebagai pelarut)
Pemasakan (100˚C) selama 5-6 jam
Penyaringan
Ampas
±16 liter ekstrak cincau
Pengepresan dengan alat pengepres ulir
Pencampuran diaduk hingga tercampur/larut
Pemanasan hingga campuran mendidih dan mengental Pengisian ke dalam kaleng dalam keadaan panas (±540gram/kaleng)
Exhausting selama 5 menit
Penutupan kaleng dengan double seamer Sterilisasi pada suhu 121˚C selama 15 menit Pendinginan hingga suhu 40˚C
Cincau hitam kaleng Gambar 3. Diagram alir pengalengan gel cincau hitam 30
2.
Pengumpulan Data Penetrasi Panas Dalam Bahan Pangan a. Lakukan kalibrasi pada setiap termokopel dan beri nomor pada setiap termokopel. b. Pasang termokopel pada titik paling dingin (cold point). Pastikan gasket benar-benar rapat. c. Isi wadah dengan produk sampai 90% volume total lalu rapatkan tutup dengan double seamer. d. Ukur dan catat dimensi kaleng dan massa produk. e. Hubungkan termokopel dengan recorder. f. Letakkan wadah (kaleng) dalam retort. g. Atur suhu retort dengan memutar tombol pengatur suhu pada suhu yang diinginkan. h. Nyalakan retort hingga mencapai suhu yang diinginkan. Hidupkan recorder sehingga suhu medium maupun suhu produk selama pemanasan dan pendinginan tercatat. i. Lakukan proses pendinginan setelah waktu proses diinginkan terpenuhi. j. Lakukan perhitungan proses termal berdasarkan data yang diperoleh dengan menggunakan metode umum dan metode formula.
3.
Perhitungan Letalitas Proses Termal a.
Metode Umum (Improved General Methods) Metode umum (trapezoidal) menganggap letalitas antar titik (waktu) yang diukur membentuk garis lurus sehingga letalitas setiap selang waktu adalah luas trapesium dengan tinggi (tn-tn-1), panjang atas dan bawah masing-masing Ln dan Ln-1. Perhitungan dapat dilakukan dengan menggunakan spreadsheed (Excel). Nilai F0 merupakan hasil penjumlahan F0 parsial atau luasan dibawah kurva trapesium seperti pada persamaan II.1. Perhitungan letalitas proses termal dengan metode umum dapat dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel dari data penetrasi panas yang telah diperoleh. Berikut langkah-langkah perhitungan letalitas proses termal dengan metode umum dengan bantuan Microsof Excel : 1. Masukkan data waktu pada satu kolom (misal kolom A). Rentang waktu tidak harus sama. 2. Masukkan data ∆t pada kolom berikutnya (kolom B) dengan cara t 2-t1 Excel A3 A2 (III.1) 3. 4.
Masukkan data suhu produk pada kolom berikutnya (misalnya kolom C). Pada kolom ketiga (kolom D) masukkan rumus untuk menghitung letalitas dan copy untuk baris-baris di bawahnya pada kolom tersebut.
Excel 10 (( B2 250) / 18)
5. 6.
(III.2) Pada cell pertama kolom ke-4 masukkan rumus untuk menghitung ∆t.L (III.3) Excel B3 * D3 Untuk menduga nilai letalitas sepanjang proses (F0), pada kolom berikutnya (E) tulis rumus penjumlahan tersebut, cell diatasnya dengan kolom sebelumnya pada cell tersebut. Excel E3 D4 (III.4)
b. Metode Formula (Ball Methods) Metode formula digunakan untuk merancang proses termal karena metode ini dapat meramalkan hubungan waktu dengan suhu dalam bahan pangan selama pemanasan. Perhitungan dengan menggunakan metode formula bila kurva pemanasan menunjukkan broken heating curves dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : 31
1. 2.
Plotkan nilai suhu produk pada titik terdingin terhadap waktu pada kertas semilog. Tarik kurva garis lurus berdasarkan titik-titik pada fase linier seperti pada Gambar 4 dibawah ini.
Gambar 4. Broken Heating Curves
5. 6.
Hitung faktor lag j = Tr – Ta / (Tr – To), fh1 dan fh2 Hitung gbh yang diperoleh dari grafik yang ditarik garis dari kiri ke kanan pada titik potong kurva. Hitung I dimana I = Tm - Ti Hitung nilai
7.
jI t bh g t t bh dan log bh log f h2 g g bh f h1 Hitung waktu proses (t) dengan menggunakan rumus
8.
jI g f h 2 log bh t f h1 log g g bh Kemudian tentukan nilai “g” dimana
3. 4.
1
g 9.
= 10
fh2
f h1 log( jI ) f h1 f h 2 log gbh t
(III.5)
(III.6)
(III.7)
Tentukan nilai (fh/U)g dan (fh/U)gbh dengan cara melakukan interpolasi data dari hubungan nilai fh/U dengan nilai g untuk Stumbo Prosedure seperti pada Gambar 5 dibawah ini. (Asumsi fc=fh2 dan j = jc)
32
fh U
Z=14
g j
Z=18
g j
Z=22
g j
0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10 15 20 25 30 35 40 45 50 60 70 80 90 100
0.000091 0.00175 0.0122 0.0396 0.0876 0.155 0.238 0.334 0.438 1.56 2.53 3.33 4.02 4.63 5.17 5.67 6.13 6.55 8.29 9.63 10.7 11.6 12.4 13.1 13.7 14.2 15.1 15.9 16.5 17.1 17.6
0.0000118 0.00059 0.0038 0.0111 0.0224 0.036 0.053 0.07 0.009 0.37 0.70 1.03 1.32 1.56 1.77 1.95 2.09 2.22 2.68 2.96 3.18 3.37 3.50 3.70 3.80 4.00 4.3 4.5 4.8 5.0 5.2
0.0000509 0.0024 0.0162 0.0506 0.109 0.189 0.287 0.400 0.523 1.93 3.26 4.41 5.40 6.25 7.00 7.66 8.25 8.78 10.88 12.40 13.60 14.60 15.50 16.30 17.00 17.7 18.9 19.9 20.8 21.6 22.3
0.0000168 0.00066 0.0047 0.0159 0.036 0.066 0.103 0.145 0.192 0.68 1.05 1.34 1.59 1.82 2.05 2.27 2.48 2.69 3.57 4.28 4.80 5.30 5.70 6.00 6.20 6.40 6.80 7.10 7.30 7.60 7.80
0.0000616 0.00282 0.020 0.065 0.143 0.25 0.38 0.527 0.685 2.41 3.98 5.33 6.51 7.53 8.44 9.26 10.00 10.67 13.40 15.30 16.9 18.2 19.3 20.3 21.1 21.9 23.2 24.3 25.3 26.2 27.0
0.0000226 0.00106 0.0067 0.0197 0.040 0.069 0.105 0.147 0.196 0.83 1.44 1.97 2.39 2.75 3.06 3.32 3.55 3.77 4.60 5.50 6.10 6.70 7.20 7.60 8.0 8.3 9.0 9.5 9.8 10.1 10.4
Gambar 5. Hubungan nilai fh/U dengan nilai g untuk Stumbo Prosedure 10. Setelah nilai (fh/U)g dan (fh/U)gbh diperoleh, selanjutnya menentukan nilai “r” berdasarkan Gambar 6 dibawah ini.
Gambar 6. Nilai r berdasarkan nilai g 33
11. Hitung nilai U dimana: U
=
f h2 r f h1 f h 2 f h U g f h U g
(III.8)
bh
12. Hitung nilai Fi dengan Fi
= 10
250Tm z
(III.9)
13. Hitung nilai F0 dimana:
F0 =
U Fi
(III.10)
14. Hitung jumlah mikroorganisme akhir setelah pemanasan dengan cara sebagai berikut: N
=
No
10F / D i
4.
(III.11)
o
Pengamatan a.
Nilai pH (AOAC, 1995) Pengukuran derajat keasaman dilakukan dengan bantuan pH meter. Alat terlebih dahulu distandarisasi dengan menggunakan larutan buffer pH 4.0. Formula sampel diambil ±100 ml dalam gelas piala. Elektroda pH meter dicelupkan ke dalam sampel, kemudian dilakukan pembacaan nilai pH sampel setelah diperoleh nilai yang konstan. b.
Total Padatan Terlarut (Muchtadi dan Sugiono, 1990) Pengukuran total padatan terlarut sampel dilakukan dengan menggunakan hand refraktometer Atago PR-201 sebanyak dua tetes sampel yang diteteskan pada refraktometer. Total padatan terlarut dinyatakan dalam ˚Brix. c.
Analisa Mikrobiologi (Uji Total Mikroba) Sampel yang diambil, dihancurkan dengan menggunakan stomacher kemudian diambil 10 ml sampel dan diencerkan dengan 90 ml larutan pengencer. Setelah itu dilakukan pengenceran kembali pada 10-2 dan 10-3, dari tiap pengenceran tersebut diambil 1 ml untuk pemupukan pada cawan petri, setiap pemupukan dilakukan duplo. Setiap cawan petri dituangkan media PCA (Plate Count Agar) dan diinkubasi pada suhu 37˚C selama 48 jam. Kemudian diamati jumlah mikrobanya. d.
Pengukuran Kekuatan Gel Berdasarkan penelitian Asyhar (1988), gel cincau hitam yang dihasilkan diukur kekuatannya dengan Sun Rheometer, dengan kondisi pengukuran sebagai berikut: a. Beban Maksimum = 2 kg b. R/H Hold = 1999 gram c. P/T Press = 30 mm/m d. Kecepatan turun kertas = 300mm/menit e. Kecepatan alat = 30 mm/menit
34
e.
Uji Organoleptik
Uji organoleptik meliputi uji hedonik dan uji ranking terhadap warna, bau, rasa, tekstur, dan penerimaan umum. Panelis yang digunakan merupakan panelis tidak terlatih sebanyak 30 orang. Skala hedonik yang digunakan yaitu pada kisaran 1 sampai 7, dimana 1= sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak tidak suka, 4 = agak suka, 5 = suka, 6 = sangat suka, dan 7 = amat sangat suka. Sampel dalam beberapa formula langsung disajikan dan dinilai oleh panelis semi tidak terlatih berdasarkan kesukaannya setelah itu dilakukan uji ranking atau pengurutan tingkat kesukaan panelis terhadap formula yang disediakan. Form uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 8. f.
Pengukuran Sineresis (AOAC, 1995)
Sineresis gel yang terjadi selama penyimpanan diamati dengan menyimpan gel cincau hitam yang terbentuk pada suhu ruang (28˚ - 30˚C) selama 24 jam, 48 jam, dan 72 jam. Masing-masing gel diwadahi dengan cawan untuk menampung air yang dibebaskan dari dalam sel selama penyimpanan. Sineresis gel dihitung dengan menghitung kehilangan berat selama penyimpanan lalu dibandingkan dengan berat awal gel.
AB
100% A dimana : A = berat awal sampel sebelum penyimpanan (gram) B = berat akhir sampel setelah penyimpanan (gram) Sineresis gel =
35
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pembuatan Gel Cincau Hitam Gel cincau hitam dibuat dengan bahan baku tanaman cincau hitam kering (Mesona palustris) yang diperoleh dari penjual tanaman cincau hitam kering yang berada di desa Situ Daun, Ciampea, Jawa Barat. Tanaman cincau hitam kering yang telah dibeli, kemudian dipisahkan dari benda asing, misalnya rumput-rumput kering, gumpalan tanah kering, dan batu-batuan secara manual dengan menggunakan tangan. Setelah diperoleh tanaman cincau hitam kering yang telah bebas dari benda asing, pada tahap selanjutnya dilakukan pemisahan tiap bagian cincau, yaitu batang dan daun. Batang yang masih panjang dipotong dengan ukuran ±5 cm agar lebih mudah dalam proses pemasakan. Komposisi tiap bagian tanaman cincau hitam untuk setiap pemasakan yaitu 60:40, yaitu 60% daun dan 40% batang. Gambar 7 menunjukkan bahan baku pembuatan gel cincau hitam. Menurut Yuliawati (1995) dalam Irawan (2001) menyatakan setiap bagian-bagian tanaman cincau hitam akan menghasilkan gel dengan kualitas yang berbeda-beda. Diantara daun, batang, dan akar tanaman cincau hitam, daun merupakan bagian tanaman cincau hitam yang menghasilkan gel dengan kualitas terbaik. Hal ini yang mungkin menyebabkan negara Cina, Taiwan, dan Korea, hanya menggunakan bagian daunnya saja. Namun, harga daun cincau kering saja lebih dari dua kali lipatnya harga tanaman cincau kering yang terdiri dari batang dan daun.
(a) Daun cincau
(b) Batang cincau Gambar 7 (a) dan (b). Bahan baku pembuatan gel cincau hitam kaleng
36
Proses kemudian dilanjutkan dengan pencucian tanaman cincau hitam kering seperti pada Gambar 8 sebelum dilakukan perebusan. Menurut Muchtadi (1994), pencucian berguna untuk membuang kotoran yang melekat dan dapat mengurangi jumlah mikroba yang terdapat pada permukaan bahan. Pencucian dilakukan sebanyak 3 kali secara manual dengan menggunakan air mengalir. Bahan dimasukkan ke dalam wadah (ember) kemudian dialiri dengan air yang mengalir.
Gambar 8. Pencucian bahan baku Bahan baku yang telah dicuci kemudian dimasukkan ke dalam panci kemudian ditambahkan 20 liter air dan 40 gram air abu Qi. Penambahan abu qi ditujukan untuk membentuk kondiri basa yang dapat menyebabkan rusaknya dinding sel tanaman, sehingga isi sel yang terdapat dalam dinding sel dapat terekstrak keluar. Semua bahan tersebut dipanaskan dengan api kecil selama 5-6 jam agar menghasilkan ekstrak cincau hitam yang optimal. Lama waktu yang digunakan untuk ekstraksi dapat meningkatkan kadar ekstrak sebab kontak bahan akan menjadi lebih lama. Semakin lama ekstraksi dan semakin tingginya kadar abu qi akan diperoleh ekstrak yang semakin banyak (Supriharsono, 1991). Penambahan abu qi ditunjukkan oleh Gambar 9.
Gambar 9. Penambahan abu qi Setelah pemasakan selama 5-6 jam, ekstrak tersebut kemudian disaring dengan menggunakan saringan sehingga diperoleh ekstrak yang bersih dari campuran serat-serat tanaman cincau. Ampas tanaman cincau hitam yang tersisa masih mengandung ekstrak, sehingga ekstrak tersebut perlu diambil dengan bantuan pengepres seperti pada Gambar 10, agar seluruh ekstrak tanaman cincau dapat diperoleh secara maksimal.
37
Gambar 10. Alat Pengepres Dari pemasakan satu kilogram tanaman cincau kering dengan 20 liter air, dan 40 gram air abu qi maka dapat diperoleh ±16 liter ekstrak cincau hitam dengan penyusutan volume sebanyak 4 liter. Ekstrak cincau hitam yang masih panas didiamkan hingga suhunya mencapai suhu normal ruang. Hal ini disebabkan karena jika ekstrak dalam keadaan panas dimasukkan dengan tepung (pati) maka akan terbentuk gumpalan-gumpalan. Menurut Fardiaz dan Wahab (1985) dalam Nusantoro dan Haryadi (2007), pati merupakan komponen penting dalam pembentukkan gel cincau hitam. Gel tidak akan terbentuk tanpa adanya penambahan pati. Fraksi pati yang berperan dalam pembentukkan gel adalah amilosa. Kadar amilosa yang terlalu tinggi maka pati akan bersifat kering, kurang lekat, dan cenderung menyerap air lebih banyak. Sedangkan pati yang mengandung amilopektin tinggi biasanya tidak membentuk gel yang kaku, tetapi hanya membentuk pasta yang lunak serta mengkerut dan pecah (Glicksman,1969 dalam Nusantoro dan Haryadi (2007)). Gel hanya akan dapat terbentuk jika campuran dipanaskan sampai suhu gelatinisasi pati. Tabel 4 di bawah ini memberikan gambaran tentang perbedaan kandungan amilosa dan suhu gelatinisasi pati dalam bahan pangan. Gelatinisasi dipengaruhi oleh jenis pati, kondisi pH, suhu, dan ukuran granula (Hariyadi dan Nusantoro (2007)). Tabel 4. Perbedaan kandungan amilosa dan suhu gelatinisasi pati dalam bahan pangan Bahan Pangan Suhu Gelatinisasi (˚C) Kandungan Amilosa (%) Jagung 62-72 22-28 Tapioka 62-73 17-22 Gamdum 58-64 17-27 Beras 68-78 16-17 Sagu 26 Sumber: Wahab (1983) dalam Rahmawansyah (2006) Ekstrak cincau hitam yang telah dingin kemudian dicampurkan dengan tepung tapioka sebanyak 30 gram/liter ekstrak dan gula sebanyak 150 gram/liter ekstrak. Takaran tepung tapioka dan gula diambil berdasarkan resep pembuatan gel cincau hitam kaleng dalam buku Olahan Cincau Hitam yang ditulis oleh Widyaningsih (2007). Tepung tapioka dipilih karena menurut Lay dan Liu (1998) dalam Irawan (2001) menyatakan bahwa berdasarkan hasil uji sensoris, gel cincau hitam yang dibuat 38
dengan pati tapioka memiliki rasa yang paling baik, elastisitas rendah, dan sineresis yang lebih nyata dibandingkan dengan pati jagung dan pati gandum. Menurut Yuliawati (2005) dalam Hariyadi dan Nusantoro (2007), selain pati tapioka, dapat pula digunakan pati aren, pati ganyong, pati garut, dan pati sagu. Tepung tapioka sebelum dicampurkan ke dalam ekstrak cincau, terlebih dahulu dilarutkan ke dalam 20 ml air per 30 gram tepung tapioka agar tidak terjadi penggumpalan pati pada cairan ekstrak yang akan dicampurkan. Campuran tersebut kemudian dipanaskan hingga menghasilkan massa kental. Massa kental tersebut kemudian dituang ke dalam kaleng dengan berat bersih 540 gram gel cincau hitam per kaleng dalam keadaan panas.
B. Proses Pengalengan Gel Cincau Hitam Gel cincau hitam yang telah dibuat, kemudian dikemas ke dalam kaleng. Penggunaan kaleng memberikan beberapa keuntungan, antara lain : (1) dapat menjaga bahan pangan di dalamnya: makanan di dalam wadah yang tertutup secara hermetis dapat dijaga terhadap kontaminasi oleh mikroba, serangga, atau bahan asing lain yang mungkin dapat menyebabkan kebusukan atau penyimpangan penampakan dan citarasanya, (2) dapat menjaga bahan pangan terhadap perubahan kadar air yang tidak diinginkan, (3) dapat menjaga bahan pangan terhadap penyerapan gas oksigen, gas-gas lain atau bau-bauan dan dari partikel-partikel radioaktif yang terdapat di atmosfir, (4) untuk beberapa bahan pangan berwarna yang peka terhadap reaksi fotokimia, maka kaleng juga dapat menjaga bahan tersebut terhadap cahaya (Muhtadi,1994), mampu melindungi makanan dari proses produksi hingga mencapai tangan konsumen, mampu mempertahankan produk dari kerusakan fisik, kimia, dan mikrobiologis sampai makanan tersebut dikonsumsi, serta sesuai dengan karakteristik produk sehingga dapat mengoptimalkan fungsi kaleng dan menghindari migrasi komponen-komponen kemasan yang dapat mebahayakan kesehatan dan keselamatan konsumen (Kusnandar et al., 2006). Pengemasan cincau hitam dalam kemasan kaleng memberikan beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan cincau hitam yang disimpan dalam kemasan cup propilen seperti pada penelitian sebelumnya dalam Rahmawansyah (2006). Dari segi keamanan, kemasan logam dapat melindungi produk di dalamnya dari kejahatan konsumen, seperti penambahan zat berbahaya tertentu ke dalam kedalam produk misalnya melalui suntikan, sedangkan pengemasan di dalam cup propilen lebih rentan terhadap bahaya tersebut. Selain itu, penggunaan kemasan logam (kaleng) mampu melindungi bahan pangan yang berwarna yang peka terhadap reaksi fotokimia akibat adanya cahaya. Dalam proses penyimpanan dan transportasi, kemasan logam (kaleng) lebih kuat dibandingkan dengan kemasan cup propilen dalam melindungi produk terhadap guncangan, tekanan, dan gesekan sehingga mutu produk lebih terjaga. Dari segi nilai ekonomis, gel cincau hitam kaleng ini memiliki berat bersih yang lebih banyak (540 gram) dan dapat diaplikasikan pada berbagai jenis minuman sehingga dapat dikonsumsi secara massal atau dapat pula dikonsumsi secara langsung. Untuk gel cincau hitam yang dikemas dalam cup propilen memiliki berat bersih yang lebih sedikit yaitu 200 gram, sehingga hanya cukup dikonsumsi oleh satu orang. Pengalengan gel cincau hitam menggunakan kaleng yang berukuran 306 x 405 yang dibuat oleh United Can Company. Ukuran ini menunjukkan bahwa kaleng tersebut memiliki diameter
3
6 5 inci dan tingginya 4 inci. Bilangan yang pertama menunjukkan diameter kaleng, sedangkan 16 16
bilangan yang kedua menunjukkan tinggi kaleng. Kaleng kemudian disterilisasi dengan dipanaskan di dalam air panas, sebelum digunakan. Kemudian kaleng ditiriskan untuk siap digunakan. Adonan gel cincau hitam yang telah mengental kemudian dituangkan ke dalam kaleng sebanyak 540 gram. Menurut Hudaya (2011), volume head space tidak lebih dari 10% kapasitas wadah. Head space 39
(ruang hampa) yang bertujuan untuk memberikan ruang bila selama sterilisasi terjadi pengembangan isi serta membantu proses penutupan kaleng karena pada waktu uap air mengembun di dalam kaleng, maka tekanan di dalam ruang hampa menjadi turun, sehingga tekanan atmosfir dari luar akan menekan tutup kaleng dan penutupan menjadi kuat (Winarno et al. (1980) dalam Kusnandar (2006)). Kaleng yang telah terisi, kemudian dilakukan exhausting (penghampaan) dengan cara memanaskan kaleng beserta isinya dengan tutup kaleng masih terbuka yang bertujuan untuk menghilangkan sebagian udara dan gas-gas lain dari dalam kaleng sesaat sebelum dilakukan penutupan kaleng. Exhausting berlangsung selama 5 menit. Suhu produk ketika keluar dari exhauter diatas 60˚C yaitu 61,2˚C untuk ulangan 1 dan 61,4˚C untuk ulangan 2. Hal ini penting diperhatikan sebab pada suhu di bawah 60˚C dikhawatirkan terjadi pertumbuhan mikroba, baik mikroba mesofilik maupun termofilik yang tumbuh pada kisaran suhu 35-55˚C sehingga akan menambah jumlah awal mikroba yang akan berpengaruh terhadap keberhasilan sterilisasi. Gambar 11 dibawah ini ditunjukkan proses exhausting gel cincau hitam kaleng.
Gambar 11. Exhausting gel cincau hitam kaleng Setelah exhausting, kaleng segera ditutup dengan suhu produk yang masih relatif tinggi dengan menggunakan menggunakan alat double seamer. Suhu produk yang masih relatif tinggi memberikan efek kevakuman karena semakin rendah tekanan di dalam kaleng sehingga tekanan atmosfir di luar dapat menekan tutup kaleng dan penutupan menjadi kuat. Proses penutupan kaleng dengan menggunakan double seamer dimulai dengan operasi pertama yaitu meletakkan kaleng dan tutup kaleng yang akan dirapatkan di atas base plate, kemudian kaleng akan terangkat dan bergabung dengan tutup kaleng. Setelah bergabung, maka rol 1 akan menyentuh lekukan pada tutup kaleng sehingga tutup terlipat ke bawah lalu membengkok lagi keatas seiring dengan perputaran mesin. Setelah itu rol 1 menjauh, kemudian dilakukan operasi kedua, yaitu rol 2 bekerja dengan menekan lipatan yang sudah terbentuk pada operasi pertama yang diikuti dengan mesin yang terus berputar. Setelah rol 2 selesai, maka rol 2 bergerak menjauh lalu base plate bersamasama kaleng yang telah tertutup bergerak turun, dan proses penutupan kaleng selesai. Proses penutupan kaleng ditunjukkan oleh Gambar 12.
40
Gambar 12. Proses penutupan kaleng
C. Penentuan Titik Terdingin Produk, Waktu Venting, dan Come Up Time Setelah gel cincau hitam dikemas dalam kaleng, maka selanjutnya dilakukan proses termal dengan melakukan sterilisasi komersial. Menurut Hariyadi (2000), sterilisasi komersial adalah suatu kondisi yang diperoleh dari pengolahan pangan dengan suhu tinggi dalam periode waktu yang cukup lama sehingga tidak ada lagi mikroorganisme yang hidup. Bahan pangan yang telah mengalami proses sterilisasi mungkin saja masih mengadung spora bakteri (terutama bakteri non-patogen), namun setelah proses pemanasan tersebut spora bakteri non-patogen bersifat dorman (tidak dalam kondisi aktif bereproduksi), sehingga keberadaannya tidak membahayakan jika produk tersebut disimpan dalam kondisi normal. Proses termal diawali dengan pengukuran distribusi panas. Pengukuran distribusi panas dilakukan dengan bantuan termokopel yang dihubungkan dengan recorder. Termokopel dipasang pada 7 tempat yaitu 3 buah dipasang di dalam kaleng produk untuk menentukan titik terdingin (coldest point) dan 4 buah dipasang di dalam retort untuk mengukur suhu lingkungan pada bagian kanan, kiri, atas, dan bawah. Hasil uji distribusi panas dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan hasil uji distribusi panas, titik terdingin (coldest point) pada produk terdapat pada ½ tinggi kaleng. Menurut Kusnandar et al. (2006), untuk produk yang kental sehingga transfer panas terjadi secara konduksi, sehingga titik terdingin terletak pada pusat geometri kaleng. Gambar 13 menunjukkan kurva perbandingan suhu pada titik-titik yang diramalkan sebagai coldest point. Hasil pengujian penentuan titik terdingin dapat dilihat pada Lampiran 2.
41
Gambar 13. Kurva penentuan titik terdingin (coldest point). Venting adalah proses pengeluaran udara yang terdapat di dalam retort sebelum proses sterilisasi dimulai yang bertujuan untuk menghindari terjadinya penghambatan penetrasi panas dari retort ke dalam kaleng yang akan mempengaruhi keberhasilan proses sterilisasi. Selain itu, venting juga bertujuan untuk menyeimbangkan antara suhu dengan tekanan, serta meningkatkan suhu awal kaleng agar sesuai dengan suhu retort (Kusnandar et al., 2006). Berdasarkan kurva distribusi panas pada Gambar 14 dan Gambar 15 dapat dilihat waktu venting dan come up time pada ulangan 1 dan ulangan 2.
Gambar 14. Kurva distribusi panas ulangan 1
42
Gambar 15. Kurva distribusi panas ulangan 2
Dari kurva diatas, dapat diketahui bahwa waktu venting ulangan 1 yaitu 4 menit pada suhu retort 114,1˚C dan pada ulangan 2 waktu venting berada pada menit ke 4 pada suhu 113,5˚C. Menurut Kusnandar et al. (2006), venting berlangsung kira-kira 8 menit hingga suhu retort mencapai 110˚C. Setelah venting selesai, saluran klep venting ditutup, sedangkan saluran uap panas tetap dalam keadaan terbuka. Setelah mencapai suhu venting, saluran uap panas masih dalam keadaan terbuka, sehingga suhu retort semakin meningkat hingga mencapai suhu proses yang diinginkan. Suhu proses pada ulangan 1 mencapai 120,1˚C. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu retort yang diinginkan yaitu 10 menit yang dinamakan sebagai come up time. Pada ulangan 2, suhu proses yang digunakan yaitu 117,7˚C. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu retort tersebut yaitu 12 menit. Menurut Kusnandar et al. (2006), come up time (CUT) adalah waktu yang diperlukan untuk menaikkan suhu retort sampai mencapai suhu proses yang dikehendaki. Dengan demikian CUT dihitung dari mulai saat pertama pipa uap dibuka sampai akhirnya retort mencapai suhu retort. Dari pengalaman empiris, diketahui bahwa hanya 40% dari CUT mempunyai efek letal yang signifikan bagi tercapainya sterilitas. Perbedaan suhu proses antara ulangan 1 dengan ulangan 2 disebabkan oleh adanya kebocoran pada retort pada saat ulangan 2 dilakukan, sehingga suhu proses yang digunakan tidak dapat sesuai yang direncanakan.
D. Penentuan Kecukupan Panas Pada Proses Sterilisasi Gel Cincau Hitam Kaleng Pada uji distribusi panas yang telah dilakukan, maka telah diketahui titik yang paling lambat menerima panas (coldest point) yaitu pada titik geometris kaleng (1/2 tinggi kaleng). Suhu pada titik inilah yang dijadikan acuan dalam perhitungan kecukupan panas pada proses sterilisasi gel cincau hitam kaleng. Penentuan kecukupan panas pada proses sterilisasi dihitung dengan menggunakan dua macam metode yaitu metode umum (improved general methods) dan metode formula. Dalam pelaksanaannya, terdapat perbedaan suhu antara suhu recorder dengan suhu termometer pada retort. Suhu yang terbaca pada termometer pada retort lebih besar dibandingkan dengan suhu pada recorder. Namun, suhu yang terbaca oleh recorder yang dijadikan sebagai acuan. 43
Untuk menghitung kecukupan panas perlu ditentukan mikroba yang akan dijadikan target, dalam hal ini target mikroba yang akan dimusnahkan adalah Clostridium botulinum. Menurut Muchtadi (2008), Clostridium botulinum memiliki nilai D pada suhu 250˚F sebesar 0,2 menit dan nilai z sebesar 18˚C. Pada penelitian kali, ini jumlah siklus yang akan diturunkan sebanyak 12 siklus logaritma (12D), sehingga dari nilai yang telah ditetapkan tersebut, dapat dirancang nilai F0 dalam proses sterilisasi sebesar 12 x 0,2 = 2,4 menit. F0 merupakan waktu yang dibutuhkan untuk memusnahkan mikroba dengan z =18. Dari hasil perhitungan dengan menggunakan metode umum (trapezoidal), pada ulangan 1, waktu yang dibutuhkan untuk memusnahkan mikroba dengan nilai z =18 atau waktu untuk mencapai tingkat sterilitas yang diinginkan adalah 24 menit pada suhu 120,1˚C atau dapat disebut dengan F120,1 . Tabel hasil perhitungan penentuan waktu sterilisasi optimum dengan metode umum ulangan 1 terdapat pada Lampiran 3a. Nilai F120,1 setara dengan nilai F0 yaitu 3,05 menit. Artinya pada suhu 250˚C tingkat sterilitas yang diinginkan dapat tercapai selama 3,05 menit. Nilai 3,05 dianggap cukup karena telah melebihi waktu yang ditargetkan sebelumnya. Gambar 16 menggambarkan hubungan Lr dengan waktu hingga mencapai tingkat sterilisasi yang diinginkan. Pada ulangan 2, berdasarkan perhitungan dengan metode umum, waktu yang dibutuhkan untuk memusnahkan mikroba dengan nilai z = 18 adalah 22 menit yang dilakukan pada suhu 117,7˚C ( F117,7 ). Nilai F117,7 setara dengan nilai F0 yang menunjukkan nilai 2,41, artinya pada suhu 250˚C tingkat sterilitas yang diinginkan dapat tercapai selama 2,41 menit. Nilai 2,41 dianggap cukup karena sudah mencapai waktu yang ditargetkan sebelumnya. Gambar 17 menunjukkan grafik hubungan letalitas (Lr) dengan waktu hingga mencapai tingkat sterilisasi yang diinginkan. Lampiran 3b menunjukkan tabel hasil perhitungan waktu sterilisasi optimum dengan metode umum pada ulangan 2.
Gambar 16. Kurva hubungan antara Lr dengan waktu (menit) pada ulangan 1
44
Gambar 17. Kurva hubungan antara Lr dengan waktu (menit) pada ulangan 2
Pada pengukuran dengan menggunakan metode formula, data penetrasi panas produk pada titik terdingin terlebih dahulu diplotkan pada kertas semilog. Dari hasil plotting, diperoleh kurva yang tidak sama seperti pada kurva pemanasan biasa (simple curve). Kurva pemanasan gel cincau hitam kaleng tergolong pada broken heating curves. Broken heating curves dapat terjadi bila produk di dalam kaleng mengalami perubahan fisik (padat-cair atau cair-padat) sehingga mengubah karakteristik pindah panasnya. Tabel 5 menunjukkan nilai parameter penetrasi panas pada metode formula. Tabel 5. Nilai dari parameter penetrasi panas pada metode formula Parameter tbh (menit)
Ulangan 1 14
Ulangan 2 14
f h1 (menit)
12.2
9.1
f h2 (menit)
24.5
21.5
gbh I j
18.5 108.4
8.9 103.36
2.4
2.99
t (menit) G
43.92 3.5
34.009 1.05
fh U
g
2.33
1.061
fh U
g bh
20,28
5.26
U
10.13
18.51
Fi (menit)
1.026
2.19
F0 (menit)
9,87
8.45
45
Pada ulangan 1, berdasarkan perhitungan dengan menggunakan metode formula untuk perhitungan pada broken heating curves, diperoleh nilai F0 keseluruhan proses adalah 9,87 menit. Kurva dan langkah perhitungan F0 dengan menggunakan metode formula dapat dilihat pada Lampiran 4a. Nilai ini berbeda jauh dengan nilai F0 keseluruhan proses yang dihitung dengan metode umum yaitu 24 menit. Pada ulangan 2, nilai F0 yang diperoleh dari perhitungan dengan metode formula adalah 8,45 menit. Nilai F0 ini berbeda jauh dengan nilai F0 keseluruhan proses yang diperoleh pada perhitungan dengan metode umum, yaitu 22 menit. Kurva dan langkah perhitungan F0 pada ulangan 2, dapat dilihat pada Lampiran 4b. Perbedaan suhu proses yang digunakan mengakibatkan perbedaan yang cukup signifikan terhadap nilai F0. Selain itu, perbedaan nilai F0 antara ulangan 1 dengan ulangan 2 disebabkan oleh komponen pembentuk gel pada ulangan 2 telah mengalami sineresis akibat penyimpanan terlalu lama pada udara terbuka sehingga air keluar akibat tekanan yang terjadi pada air yang berada diantara rantai polisakarida (McCabe 2008 dalam Karni 2011). Hal ini menyebabkan viskositas lebih rendah yang berpengaruh pada proses perambatan panas dan tekstur gel lebih lunak karena sineresis yang sudah lebih dahulu terjadi saat masih dalam ekstrak gel, sehingga nilai F0 pada ulangan 2 lebih kecil dibanding ulangan 1 walaupun suhu proses lebih rendah dibanding ulangan ke 2. Metode umum biasanya digunakan untuk mengevaluasi suatu proses termal, sedangkan metode formula digunakan untuk merancang suatu proses termal. Faktor keamanan pada metode formula dapat bertanggungjawab pada perhitungan kecukupan panas di dalam industri pangan yang bertujuan menghilangkan bahaya botulisme pada makanan kaleng olahan komersial (Toledo, 2007).
E. Keasaman Gel Cincau Hitam Dalam Kaleng Faktor penting tentang karakteristik produk pangan yang berhubungan dengan proses sterilisasi adalah nilai pH. Menurut McGlynn (2003), pH dalam makanan menunjukkan kehadiran ion hidrogen dalam makanan, yang dihasilkan dari asam yang terdapat pada makanan. Suatu bahan pangan disebut pangan pH rendah disebabkan oleh konsentrasi ion hidrogen yang meningkat, karena meningkatnya asam. Menurut Muhtadi (1991), berdasarkan nilai pH-nya, produk pangan dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu bahan pangan berasam rendah (pH˃4,5), bahan pangan asam (pH 4,0-4,5), dan bahan pangan berasam tinggi (pH˂4,0). Dari hasil pengukuran dengan menggunakan pH meter, maka dapat diketahui bahwa pH gel cincau hitam dalam kaleng adalah 5,6 untuk ulangan 1 dan 5,9 untuk ulangan 2. Hasil pengukuran pH gel cincau hitam dalam kaleng dapat dilihat pada Tabel 6. Hasil pengukuran pH menunjukkan bahwa gel cincau hitam dalam kaleng tergolong dalam bahan pangan berasam rendah (low –acid foods). Tabel 6. Hasil pengukuran pH gel cincau hitam dalam kaleng Ulangan 1
Ulangan 2
1
5,7
5,7
2
5,5
6,1
Rataan
5,6
5,9
Menurut Hariyadi (2000), untuk produk pangan berasam rendah, kondisi anaerob pada kaleng adalah kondisi yang tepat bagi Clostridium botulinum untuk tumbuh, berkembang, dan membentuk racun. Clostridium botulinum ini juga tahan panas dan membentuk spora. Oleh karena itu, proses sterilisasi komersial produk pangan berasam rendah harus mampu menginaktivasi spora Clostridium botulinum. 46
Menurut Kusnandar et al. (2006) dalam Surya (2011), aplikasi sterilisasi pada produk pangan tepat dilakukan jika produk pangan memenuhi empat kriteria : (1) produk tergolong berasam rendah (pH ≥4,6), (2) produk memiliki aktifitas air relatif tinggi (a w ≥ 0,85), (3) produk akan dikemas secara anaerob, dan (4) produk akan disimpan pada suhu ruang. Clostridium botulinum merupakan mikroorganisme yang harus diperhatikan oleh para pelaku proses pengalengan, karena dapat memproduksi toksin yang mematikan, yaitu botulin dan terdapat pada tanah dan air sehingga bahan pangan dapat dengan mudah terkontaminasi. Beberapa strain C. botulinum bersifat proteotik dan putrefaktif, yaitu membentuk bau karena degradasi protein. Miroorganisme ini tumbuh baik pada suhu 30˚C sampai 37˚C, walaupun dapat tumbuh pada suhu 10˚C dan 38˚C. Strain yang lainnya menggunakan karbohidrat seperti gula dan pati dan tidak menghasilkan senyawa yang menyebabkan bau. Beberapa strain ini diasosiasikan dengan lingkungan laut, dapat tumbuh pada suhu 4˚C dan lebih toleran terhadap oksigen. Strain C. Botulinum tertentu sangat resisten terhadap pemanasan pada suhu 100˚C selama 10 jam. Akan tetapi, toksin botulinnya tidak tahan panas. Toksin tersebut dalam makanan dapat diinaktivasi dengan mendidihnya makanan tersebut (Hariyadi, 2000).
F. Sineresis Gel Cincau Hitam Kaleng Kemampuan sineresis merupakan sifat terpenting pati, yang merupakan pelepasan air dari pasta selama pendinginan, sineresis pati cenderung meningkat selama penyimpanan (Aini dan Hariyadi, 2007). Pengamatan sineresis dilakukan pada 24 jam, 48 jam, dan 72 jam untuk ulangan 1 dan ulangan 2. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, baik ulangan 1 maupun ulangan 2 menunjukkan peningkatan sineresis pati tiap harinya seperti pada Gambar 18. Perhitungan laju sineresis ditunjukkan pada Lampiran 5.
Gambar 18. Hasil pengukuran sineresis gel cincau hitam kaleng Menurut Perera dan Hoover dalam Aini dan Hariyadi (2007), peningkatan sineresis pati yang terjadi selama penyimpanan, disebakan oleh adanya interaksi antara keluarnya rantai amilosa dan amilopektin yang berkembang ke zona junction, memantulkan sejumlah cahaya. Agregasi dan
47
kristalisasi amilosa terjadi pada beberapa jam pertama penyimpanan, sementara agregasi dan kristalisasi amilopektin terjadi pada tahap-tahap terakhir.
G. Kekuatan Gel Cincau Hitam Kaleng Menurut Aini dan Hariyadi (2007), kekuatan gel menunjukkan besarnya beban untuk melakukan deformasi gel sebelum gel menjadi sobek. Deformasi adalah perubahan bentuk, dimensi dan posisi dari suatu materi baik merupakan bagian dari alam ataupun buatan manusia dalam skala ruang dan waktu (Anonim, 2007). Pengukuran kekuatan gel dilakukan dengan menggunakan alat Sun Rheometer CR-300 dan recorder seperti pada Gambar 19 (a) dan (b). Pengujian kekuatan gel dengan menggunakan alat ini akan menghasilkan sebuah kurva tegangan regangan bahan biologis seperti Gambar 20, yang puncak (peak) menunjukkan batas lelah biologis (biological yield point). Batas lelah biologis (biological yield point) merupakan awal dari proses terputusnya hubungan antar sel (cell rupture) yang sangat berpengaruh terhadap sensitifitas bahan terhadap kerusakan. Apabila beban bahan tidak mencapai biological yield point, maka sistem sel bahan tidak mengalami kerusakan.
(a) Sun Rheometer CR-300 (b) Recorder Gambar 19 (a) dan (b). Pengukuran kekuatan gel
Normal stress, N cm-2
Deformation, mm
Gambar 20. Kurva tegangan regangan bahan biologis 48
Pengujian dilakukan untuk membandingkan kekuatan gel cincau hitam yang belum disterilisasi dengan kekuatan gel cincau hitam yang telah disterilisasi. Pengujian menghasilkan nilai Fmax yang menggambarkan nilai gaya yang dicapai tepat pada saat gel pecah akibat penekanan. Pengujian menghasilkan nilai Fmax yang berbeda antara sebelum dan sesudah pemanasan. Nilai F max sebelum sterilisasi lebih kecil dibandingkan dengan F max sesudah sterilisasi. Perubahan nilai Fmax dapat terlihat pada Gambar 21. Perhitungan kekuatan gel dapat dilihat pada Lampiran 6.
Gambar 21. Perbandingan Fmax sebelum dan sesudah sterilisasi Modulus secant merupakan kemiringan garis penghubung antara titik awal dengan titik A pada kurva tegangan dan regangan (Gambar 22).
a
c
Stress
b
B A
Strain a : Initial tangent modulus b : Secant modulus c : Tangent modulus Gambar 22. Kurva Tegangan Regangan Nilai modulus secant yang dihasilkan pada sebelum dan sesudah sterilisasi mengalami perbedaan. Nilai modulus secant pada setelah sterilisasi lebih besar dibandingkan dengan sebelum 49
sterilisasi. Hal ini menunjukkan bahwa gaya yang diperlukan untuk deformasi gel cincau hitam yang telah disterilisasi lebih besar dibandingkan dengan sebelum disterilisasi. Hal ini dapat disebabkan oleh pemasakan yang kurang sehingga terjadi penggelembungan pati pada gel cincau yang tidak di sterilisasi. Selain itu, dari grafik dapat terlihat bahwa, kekuatan gel pada ulangan 1 lebih tinggi dibandingkan dengan ulangan 2, hal ini disebabkan karena ekstrak gel ulangan 2 telah disimpan dalam waktu yang cukup lama pada udara terbuka sehingga mengakibatkan terjadinya sineresis akibat tekanan yang terdapat pada air yang berada diantara rantai polisakarida (McCabe 2008 dalam Karni 2011).
Gambar 23. Perbandingan modulus secant sebelum dan sesudah sterilisasi Menurut Fardiaz dan Wahab (1985) dalam Kartikaningrum, et al. (2001), kekerasan gel cincau hitam ditentukan oleh keseimbangan antara jumlah ekstrak komponen pembentuk gel, tapioka, dan air yang digunakan.
H. Total Padatan Terlarut Gel Cincau Hitam Kaleng Menurut Muchtadi dan Sugiono (1992) dalam Rahmawansyah (2006), total padatan terlarut merupakan bahan bukan air dan terdiri dari gula, lemak protein, atau abu serta komponen lain yang larut di dalamnya. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan hand refractometer Atago PR-201 seperti Gambar 24.
50
Gambar 24. Refractometer Atago PR-201 Pengamatan dilakukan untuk mengukur kadar gula sebelum dan setelah pemanasan. Berdasarkan pengamatan, gel cincau hitam kaleng sebelum dilakukan pemanasan (sterilisasi) memiliki nilai total padatan terlarut 15,1 ˚Brix untuk ulangan 1 dan 15,0 ˚Brix untuk ulangan 2. Nilai total padatan terlarut setelah pemanasan memiliki sedikit kenaikan sekitar 0,7 menjadi 15,8˚Brix untuk ulangan 1 dan 0,8 menjadi 15,8˚Brix untuk ulangan 2. Data pengujian total padatan terlarut dapat dilihat pada Lampiran 7. Diagram perubahan nilai TPT dapat dilihat pada Gambar 25 di bawah ini.
Gambar 25. Perubahan nilai total padatan terlarut pada gel cincau hitam sebelum dan sesudah sterilisasi Perubahan nilai total padatan terlarut yang terjadi sebelum dan sesudah sterilisasi dapat disebabkan oleh adanya interaksi antara pati dengan gula. Adanya interaksi antara pati dengan gula dapat menyebabkan berubahnya pola kemanisan dan memperlambat gelatinisasi pati. Gula bersifat higroskopis maka gula akan mengikat sebagian air dalam suspensi pati. Semakin tinggi konsentrasi gula dalam suspensi pati dalam air, maka suhu gelatinisasi semakin tinggi (Kusnandar, 2010).
51
I. Analisis Mikroba Gel Cincau Hitam Kaleng Analisis mikroba dilakukan bertujuan mengetahui jumlah mikroba yang terdapat dalam gel cincau hitam kaleng. Analisis mikroba yang dilakukan adalah pengukuran total plate count (angka lempeng total) yaitu pengukuran jumlah mikroba secara keseluruhan (total mikroba) baik bakteri, kapang, maupun khamir. Sebagai media pertumbuhannya adalah PCA (plate count agar). Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan sebelum sterilisasi dan sesudah sterilisasi pada hari pertama dan hari ke-14, diperoleh hasil seperti pada Tabel 7 dibawah ini. Gel cincau hitam kaleng setelah melalui proses sterilisasi mengalami penurunan jumlah mikroorganisme dari keadaan awalnya. Pada hari ke-14 setelah sterilisasi jumlah mikroba mengalami peningkatan dari jumlah mikroba pada hari pertama. Namun, peningkatan tersebut masih berada pada batas normal. Menurut SNI 01-40331996 tentang rebung bambu dalam kaleng yang memiliki pH minimum 4, batas maksimum angka lempeng total adalah 1x102 koloni/gram. Sedangkan menurut SNI 01-2741-1992 tentang jamur kancing dalam kaleng dengan pH minimum medium 5, batas maksimum angka lempeng total adalah 1x102 koloni/gram. Berdasasarkan data tersebut, maka gel cincau hitam kaleng yang dihasilkan, masih berada dalam standar beberapa produk yang sejenisnya. Oleh karena itu, proses pemanasan yang dilakukan, mampu mengurangi, dan menekan pertumbuhan mikroba pada gel cincau hitam kaleng. Tabel 7. Hasil uji mikroba gel cincau hitam kaleng
Kode
Tingkat Pengenceran 10
1
10
2
10
Hasil Rataan 3
Koloni/gram
SIM S II M IM II M
18/20 56/55 1/0 1/1
3/1 8/6 0/0 0/0
0/0 0/0 0/0 0/0
1,9 x 102 (< 25 x 101) 5,6 x 102 1,0 x 101 (< 25 x 101) 1,1 x 101 (< 25 x 101)
I M 14
4/6
0/0
0/0
5.0 x 101 (< 25 x 101)
II M 14
2/3
0/0
0/0
2.5 x 101 (< 25 x 101)
Keterangan Sebelum Pemanasan U 1 Sebelum Pemanasan U 2 Setelah Pemanasan U 1 Setelah Pemanasan U 2 Hari ke 14 sesudah pemanasan U1 Hari ke 14 sesudah pemanasan U2
Peningkatan jumlah mikroba (bakteri) memiliki kurva seperti pada Gambar 26. Apabila suatu bakteri tunggal diinokulasikan pada suatu medium dan memperbanyak diri dengan laju yang konstan/tetap, maka pada suatu waktu pertumbuhannya akan berhenti yang disebabkan oleh ketersediaan nutrisi yang tidak memadai, sehingga terjadi penurunan jumlah sel akibat banyaknya sel yang sudah tidak mendapatkan nutrisi lagi. Hingga pada akhirnya pada titik ekstrim menyebabkan terjadinya kematian total bakteri (Anonim, 2012).
52
Gambar 26. Kurva Pertumbuhan Bakteri
J. Penilaian Organoleptik Gel Cincau Hitam Kaleng Cincau hitam adalah salah satu pangan tradisional masyarakat Indonesia yang memiliki beberapa khasiat kesehatan tertentu, sehingga termasuk ke dalam pangan fungsional. Pangan Fungsional adalah makanan yang mempunyai khasiat kesehatan tertentu berdasarkan pengetahuan yang dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan sehari-hari, berupa makanan atau minuman (Sampoerno dan Fardiaz, 2001). Gel cincau hitam kaleng merupakan salah satu pengembangan produk makanan cincau hitam yang dikemas dalam kaleng sehingga dapat meningkatkan nilai jual produk. Sebagai produk pengembangan baru, maka perlu dilakukan pengujian untuk mengetahui penerimaan masyarakat terhadap produk tersebut. Penilaian organoleptik atau penilaian sensorik merupakan suatu cara penilaian dengan menggunakan indera yang banyak digunakan untuk menilai mutu hasil pertanian dan makanan. Pengujian organoleptik dilakukan dengan uji hedonik, yang melihat tanggapan pribadi yang menyangkut kesan senang atau tidak senang. Dari hasil pengujian sensoris yang melibatkan 30 panelis tidak terlatih, diperoleh hasil bahwa produk dapat diterima oleh konsumen. Hal ini diperlihatkan oleh hasil pengujian aroma, kekerasan (tekstur), rasa, warna, dan keseluruhan berada di batas penolakan yang ditetapkan yaitu 3,5 baik ulangan 1 maupun ulangan 2. Berdasarkan penilaian konsumen, baik aroma, rasa, warna, tekstur, dan keseluruhan menghasilkan nilai rataan diatas 5,00 (skala 7,00) yang tergolong pada kategori “suka”. Data hasil uji organoleptik ditunjukkan pada Lampiran 9.
53
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan 1.
2. 3.
Gel cincau hitam dalam kaleng tergolong dalam bahan pangan berasam rendah (low –acid foods) dengan nilai pH 5,6 untuk ulangan 1 dan 5,9 untuk ulangan 2 sehingga diperlukan sterilisasi komersial yang mampu menginaktivasi spora Clostridium botulinum. Titik terdingin gel cincau hitam kaleng berada pada pusat geometri (center) kaleng yaitu ½ tinggi kaleng. Karakteristik penetrasi panas pada ulangan 1, yaitu f h1 = 12,2 menit, f h 2 =24,5 menit, g bh =18,5,
g =3,5, j =2,4, dan U = 10,13. Karakteristik penetrasi panas pada ulangan 2, yaitu yaitu f h1 = 9,1 menit, f h 2 = 21,5 menit, g bh = 8,9, g =1,05, j =2,99, dan U = 18,51. 4.
5. 6. 7.
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan metode umum, nilai F0 pada ulangan 1 yaitu 3,05 menit. Artinya pada suhu 250˚C tingkat sterilitas yang diinginkan dapat tercapai selama 3,05 menit, sedangkan pada ulangan 2, nilai F0 yaitu 2,41 menit, artinya pada suhu 250˚C tingkat sterilitas yang diinginkan dapat tercapai selama 2,41 menit. Sedangkan berdasarkan perhitungan dengan menggunakan metode formula (broken heating curves), diperoleh nilai F0= 9,87 menit pada ulangan 1 dan nilai F0 = 8,45 menit pada ulangan 2. Perbedaan suhu proses yang digunakan mengakibatkan perbedaan yang cukup signifikan terhadap nilai F0. Selain itu, perbedaan nilai F0 antara ulangan 1 dengan ulangan 2 disebabkan oleh komponen pembentuk gel pada ulangan 2 telah mengalami sineresis akibat penyimpanan terlalu lama pada udara terbuka sehingga air keluar akibat tekanan yang terjadi pada air yang berada diantara rantai polisakarida (McCabe 2008 dalam Karni 2011). Pada pengamatan total padatan terlarut, gel cincau hitam kaleng mengalami kenaikan nilai TPT. Pengujian kekuatan gel menghasilkan nilai F max sebelum sterilisasi lebih kecil dibandingkan dengan Fmax sesudah sterilisasi. Kandungan dalam SNI 01-4033-1996 untuk rebung bambu dalam kaleng yang memiliki pH minimum 4, batas maksimum angka lempeng total adalah 1x10 2 koloni/gram. Sedangkan dalam SNI 01-2741-1992 untuk jamur kancing dalam kaleng dengan pH minimum medium 5, batas maksimum angka lempeng total adalah 1x102 koloni/gram. Berdasasarkan data tersebut, maka gel cincau hitam kaleng yang dihasilkan, masih berada dalam standar beberapa produk yang sejenisnya. Penilaian sensoris yang dilakukan pada 30 panelis menunjukkan bahwa konsumen suka terhadap aroma, rasa, tekstur, warna, dan keseluruhan gel cincau hitam kaleng.
B. Saran 1. 2.
Variasi rasa pada gel cincau hitam dapat ditambahkan sehingga dapat meningkatkan daya tarik konsumen. Penambahan asam dalam jumlah tertentu dapat pula dilakukan untuk menurunkan suhu sterilisasi, namun, perlu dikaji pengaruh asam terhadap sifat gel.
54
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Cincau. http://id.wikipedia.org/wiki/Cincau. [10 Feb 2011] Anonim. 2012. Biokimia. http://slamanto.wordpress.com. [17 April 2012] Asyhar C. 1988. Isolasi dan Karakterisasi Komponen Pembentuk Gel dari Tanaman Cincau Hitam [Skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Desrosier NW. 1978. Teknologi Pengawetan Pangan Terjemahan: Muchji Muljoharjo. Jakarta:Penerbit Universitas Indonesia (UI Press). Hariyadi P. 2000. Dasar-dasar Teori dan Praktek Proses Termal. Bogor : Pusat Studi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Hasbullah R, Fardiaz D. 1998. Pengembangan proses instanisasi bubuk cincau hitam. In: Seminar Nasional Makanan Tradisional, Bogor, 21 Februari 1998. Bogor:Institut Pertanian Bogor. Jaenah ES. 1994. Karakteristik Permanasan Pada Proses Pengalengan Rendang [Skripsi]. Bogor:Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Karni RH. 2011. Penentuan waktu akhir sineresis pada beberapa bahan cetak alginat. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30451/5/Chapter%20I.pdf. [17 April 2012] Kartikaningrum AA, Hariyadi, Marseno DW. 2001.Pengaruh penggunaan berbagai basa dan pati dalam pembuatan cincau hitam instan terhadap sifat-sifat fisik yang dihasilkan. http:// i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=3823 [21 Desember 2011] Kusnandar F. 2010. Kimia Pangan Komponen Makro. Jakarta : PT Dian Rakyat. Kusnandar F, Hariyadi P, Wulandari N. 2006. Modul Kuliah Prinsip Teknik Pangan. Bogor:Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Lopez A. 1981. A Complete Course In Canning. Maryland : Canning Trade. Meryer LH. 1973. Food Chemistry. New York : East-West Press PVT, LTD. Mcglynn W. 2003. The Importance of food pH in comercial canning operations. http://osufacts.okstate.edu/docushare/dsweb/Get/Document-2442/FAPC-118pod.pdf [11 Sep 2011] Muchtadi D. 1991. Teknologi Pengalengan Pangan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 55
Muchtadi D. 1994. Makanan Kaleng : Teknologi dan Pengawasan Mutu. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Muchtadi TR. 2008. Teknologi Proses Pengalengan Pangan. Bogor. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor Nuraida L, Hariyadi RD. 2001. Pangan Tradisional Basis Bagi Industri Pangan Fungsional dan Suplemen. Bogor: Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Nuraini D. 1994. Pengaruh Jenis Hidrokoloid terhadap Pembentukan Gel Cincau Hitam (Mesona palustris BL) [Skripsi]. Bogor:Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nusantoro BP, Hariyadi S. 1998. Pengaruh jenis pengekstrak dan jenis pati terhadap sifat gel cincau yang dibuat dengan ekstraksi dan pemasakan optimal. Agritech Vol. 18 No. 4:2428. http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?datald=5045. [30 Nov 2011] Pitojo S, Zumiati. 2005. CINCAU Cara Pembuatan dan Variasi Olahannya. Tangerang : PT Agromedia Pustaka Powrie WD, Tung MA. 1976. Food Dispersions. In: OR Fennema (ed). Principles of Food Science. Part I. Food Chemistry, p. 539. New Tork: Marcel Dekker, Inc. Reuter H. 1993. Aseptic Processing of Food : Foods -1nd ed. New Holland. Technomic. Rahmawansyah Y. 2006. Pengembangan Produk Minuman Cincau Hitam (Mesona palustris) dalam Kemasan Cup Polipropilen di PT Fits Mandiri Bogor [Skripsi]. Bogor:Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Supriharsono H. 1991. Identifikasi Mineral Abu Qi Yang Berperan Dalam Pembentukan Gel Cincau Hitam [Skripsi]. Bogor:Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sylviana. 2005. Pembuatan Produk Minuman Jelly Cincau Hitam (Mesona palustris BL) [Skripsi] Bogor:Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Toledo R. 2007. Fundamental of Food Process Engineering Third Edition. New York. Springer Science+Bussiness Media. Widyaningsih TD. 2007. Olahan Cincau Hitam. Surabaya : Trubus Agrisarana.
56
LAMPIRAN
57
Lampiran 1. Tabel hasil uji distribusi panas
Waktu
Lingkungan
CP (5/12)
CP (1/2)
CP (1/3)
Retort
Retort
Retort
(˚C)
(˚F)
(˚C)
(˚F)
(˚C)
(˚F)
(˚C)
(˚F)
(˚C)
(˚F)
(˚C)
(˚F)
(˚C)
(˚F)
0
112,1
233,8
66,1
151
72,4
162,3
67,4
153,3
112,2
234
120,6
249,1
110,2
230,36
2
112,6
234,7
69,3
156,7
77,3
171,1
71,2
160,2
113
235,4
121,3
250,3
113,4
236,12
4
112,6
234,7
73,3
163,9
82,2
180
75,6
168,1
113,1
235,6
121,2
250,2
113,8
236,84
6
111,6
232,9
77,1
170,8
86,2
187,2
80
176
112,2
234
119,6
247,3
112,8
235,04
8
112,5
234,5
80,6
177,1
89,5
193,1
83,9
183
113
235,4
119,9
247,8
113,6
236,48
10
116
240,8
84,9
184,8
93,1
199,6
87,9
190,2
116,4
241,5
123,1
253,6
117
242,6
12
117,9
244,2
90,4
194,7
97
206,6
92,4
198,3
118,3
244,9
124,4
255,9
118,8
245,84
14
118,2
244,8
96,1
205
101
213,8
97
206,6
118,5
245,3
124,4
255,9
118,9
246,02
16
117,9
244,2
102
215,6
104,3
219,7
100,9
213,6
118
244,4
123,1
253,6
118,3
244,94
18
117,2
243
105,8
222,4
106,8
224,2
104,2
219,6
117,4
243,3
121,5
250,7
117,6
243,68
20
116,4
241,5
107,8
226
108,5
227,3
106,4
223,5
116,6
241,9
120,1
248,2
116,8
242,24
22
113,9
237
108,3
226,9
109,3
228,7
107,6
225,7
114,1
237,4
116,8
242,2
114,2
237,56
24
114,9
238,8
108,5
227,3
109,6
229,3
108
226,4
115,1
239,2
117,3
243,1
115,1
239,18
26
114,5
238,1
108,6
227,5
109,9
229,8
108,5
227,3
114,6
238,3
116,6
241,9
114,7
238,46
28
116,6
241,9
108,8
227,8
110,2
230,4
108,9
228
116,7
242,1
117,9
244,2
116,8
242,24
30
114,7
238,5
109,2
228,6
110,4
230,7
109,3
228,7
114,7
238,5
116,2
241,2
114,7
238,46
32
116,6
241,9
109,5
229,1
110,6
231,1
109,6
229,3
116,6
241,9
117,7
243,9
116,6
241,88
34
117,5
243,5
110,1
230,2
110,9
231,6
110,1
230,2
117,5
243,5
118,7
245,7
117,5
243,5
36
117,3
243,1
110,8
231,4
111,3
232,3
110,6
231,1
117,3
243,1
118,5
245,3
117,2
242,96
38
116,6
241,9
111,2
232,2
111,6
232,9
110,9
231,6
116,6
241,9
117,6
243,7
116,5
241,7
40
115,8
240,4
111,6
232,9
111,8
233,2
111,2
232,2
115,7
240,3
116,4
241,5
115,6
240,08
42
114,7
238,5
111,8
233,2
112
233,6
111,5
232,7
114,6
238,3
115,3
239,5
114,5
238,1
44
113
235,4
112
233,6
112
233,6
111,6
232,9
113
235,4
113,5
236,3
112,9
235,22
46
113
235,4
112,2
234
112
233,6
111,6
232,9
113
235,4
113,1
235,6
112,9
235,22
58
Waktu
Lingkungan
CP (5/12)
CP (1/2)
CP (1/3)
Retort
Retort
Retort
(˚F)
(˚C)
(˚F)
(˚C)
(˚F)
(˚C)
(˚F)
(˚C)
(˚F)
112,2
234
111,9
233,4
115,4
239,7
115,2
239,4
115,3
239,54
112,4
234,3
112,2
234
117
242,6
117
242,6
116,9
242,42
235,4
112,6
234,7
112,4
234,3
117,4
243,3
117,6
243,7
117,2
242,96
113,1
235,6
112,8
235
112,6
234,7
116,9
242,4
117,2
243
116,8
242,24
241,3
113,3
235,9
113
235,4
112,8
235
116,3
241,3
116,5
241,7
116,2
241,16
240,1
113,5
236,3
113,2
235,8
113
235,4
115,4
239,7
115,6
240,1
115,3
239,54
115,4
239,7
113,8
236,8
113,5
236,3
113,2
235,8
115,3
239,5
115
239
115,2
239,36
62
116,8
242,2
114
237,2
113,7
236,7
113,5
236,3
116,7
242,1
116,5
241,7
116,5
241,7
64
116,3
241,3
114,1
237,4
113,7
236,7
113,6
236,5
116,2
241,2
116,3
241,3
116
240,8
66
118,6
245,5
114,3
237,7
114
237,2
113,8
236,8
118,8
245,8
117,8
244
118,6
245,48
68
118
244,4
114,5
238,1
114,3
237,7
114
237,2
117,9
244,2
117,9
244,2
117,6
243,68
70
118,8
245,8
114,7
238,5
114,5
238,1
114,2
237,6
118,9
246
118,6
245,5
118,7
245,66
72
119
246,2
114,9
238,8
114,8
238,6
114,5
238,1
119
246,2
118,8
245,8
118,7
245,66
74
118,8
245,8
115,1
239,2
115,1
239,2
114,7
238,5
118,6
245,5
118,6
245,5
118,3
244,94
76
118,1
244,6
115,3
239,5
115,3
239,5
114,9
238,8
118
244,4
117,9
244,2
117,6
243,68
78
114,6
238,3
115,5
239,9
115,4
239,7
115,2
239,4
114,3
237,7
114,3
237,7
114
237,2
80
111,3
232,3
116
240,8
115,4
239,7
115,4
239,7
111
231,8
110,9
231,6
110,6
231,08
82
108,1
226,6
116,6
241,9
115,7
240,3
116,3
241,3
107,8
226
107,8
226
107,5
225,5
84
105,3
221,5
116
240,8
116,2
241,2
116,4
241,5
105
221
104,9
220,8
104,7
220,46
86
110
230
115
239
116,2
241,2
115,9
240,6
111,3
232,3
110,2
230,4
110,9
231,62
88
113,5
236,3
114,6
238,3
116,1
241
115,6
240,1
113,6
236,5
113,2
235,8
113,3
235,94
90
116,7
242,1
114,6
238,3
115,8
240,4
115,5
239,9
117,4
243,3
116,5
241,7
117,2
242,96
92
116
240,8
114,9
238,8
115,6
240,1
114,9
238,8
116
240,8
115,9
240,6
115,4
239,72
94
105,2
221,4
114,4
237,9
115,4
239,7
114,9
238,8
105,1
221,2
104,6
220,3
104,6
220,28
(˚C)
(˚F)
(˚C)
(˚F)
(˚C)
48
115,5
239,9
112,5
234,5
50
117,1
242,8
112,8
235
52
117,5
243,5
113
54
117
242,6
56
116,3
58
115,6
60
59
Waktu
Lingkungan
CP (5/12)
CP (1/2)
CP (1/3)
Retort
Retort
Retort
(˚F)
(˚C)
(˚F)
(˚C)
(˚F)
(˚C)
(˚F)
(˚C)
(˚F)
107,8
226
106,4
223,5
67,5
153,5
66,5
151,7
66,9
152,42
98,4
209,1
98,1
208,6
56,7
134,1
61,9
143,4
59,1
138,38
180
91,2
196,2
92,7
198,9
57,2
135
55,4
131,7
59,8
139,64
77,2
171
84,5
184,1
86,5
187,7
36,4
97,5
39,3
102,7
37,8
100,04
99,3
75,5
167,9
80,8
177,4
82,7
180,9
36,9
98,4
36,7
98,1
38,8
101,84
99
74,7
166,5
78,9
174
81,2
178,2
35,7
96,3
35,9
96,6
37,9
100,22
35,7
96,3
73,7
164,7
77,6
171,7
79,9
175,8
35,3
95,5
35,7
96,3
35,2
95,36
110
34,3
93,7
72,9
163,2
76,1
169
78,1
172,6
33,6
92,5
34
93,2
34,4
93,92
112
33,6
92,5
70,7
159,3
72,4
162,3
73,4
164,1
33,1
91,6
33
91,4
33,1
91,58
114
33,6
92,5
69,7
157,5
70,9
159,6
71,1
160
33,2
91,8
33
91,4
33,2
91,76
116
33,3
91,9
68,4
155,1
69,9
157,8
70,1
158,2
33
91,4
32,7
90,9
33,4
92,12
118
33,3
91,9
66,8
152,2
68,6
155,5
68,4
155,1
33
91,4
32,7
90,9
33,4
92,12
120
33,8
92,8
65,1
149,2
66,9
152,4
66,3
151,3
33,1
91,6
32,6
90,7
33,3
91,94
122
32,3
90,1
63,4
146,1
64,9
148,8
64,3
147,7
31,2
88,2
31,9
89,4
32,3
90,14
124
32,5
90,5
61,3
142,3
63,2
145,8
61,8
143,2
31,8
89,2
32,1
89,8
32
89,6
126
32,5
90,5
59,7
139,5
60,4
140,7
60,1
140,2
32,1
89,8
32,1
89,8
32,2
89,96
128
32,1
89,8
58,2
136,8
59,2
138,6
58,4
137,1
31,6
88,9
31,8
89,2
31,6
88,88
130
32,1
89,8
56,2
133,2
58,1
136,6
56,4
133,5
31,7
89,1
31,5
88,7
31,5
88,7
132
31,5
88,7
54,9
130,8
56,4
133,5
54,9
130,8
30,9
87,6
31,1
88
31
87,8
134
31,4
88,5
53,1
127,6
55,1
131,2
53,3
127,9
30,9
87,6
30,7
87,3
31
87,8
136
31,5
88,7
51,7
125,1
53,6
128,5
52
125,6
31
87,8
31,1
88
31,1
87,98
138
31,6
88,9
50,7
123,3
52,4
126,3
50,6
123,1
31
87,8
31,1
88
31,1
87,98
140
31,5
88,7
49,5
121,1
51,2
124,2
49,4
120,9
31
87,8
31,1
88
31,2
88,16
142
31,5
88,7
48,4
119,1
50
122
48,2
118,8
31
87,8
31,3
88,3
31,3
88,34
(˚C)
(˚F)
(˚C)
(˚F)
(˚C)
96
66,9
98
57,7
152,4
103
217,4
135,9
87,9
190,2
100
57,6
135,7
82,2
102
38,4
101,1
104
37,4
106
37,2
108
60
Waktu
Lingkungan
CP (5/12)
(˚C)
(˚F)
(˚C)
144
31,4
88,5
146
31,5
88,7
148
31,5
88,7
CP (1/2)
(˚F)
(˚C)
47,2
117
46,2
115,2
45,3
113,5
CP (1/3)
Retort
Retort
Retort (˚F)
(˚C)
(˚F)
31,1
88
31,2
88,16
31,3
88,3
31,2
88,16
31,3
88,3
31,1
87,98
(˚F)
(˚C)
(˚F)
(˚C)
(˚F)
(˚C)
48,9
120
47,1
116,8
31
87,8
47,9
118,2
46,1
115
31
87,8
46,9
116,4
45
113
31
87,8
61
Lampiran 2. Tabel hasil pengujian penentuan titik terdingin (cold point) Date
Time
19/08/2011
Cold Point (5/12)
Cold Point (1/2)
Cold Point (1/3)
(˚C)
(˚F)
(˚C)
(˚F)
(˚C)
(˚F)
0
66,1
151
72,4
162,3
67,4
153,3
19/08/2011
2
69,3
156,7
77,3
171,1
71,2
160,2
19/08/2011
4
73,3
163,9
82,2
180
75,6
168,1
19/08/2011
6
77,1
170,8
86,2
187,2
80
176
19/08/2011
8
80,6
177,1
89,5
193,1
83,9
183
19/08/2011
10
84,9
184,8
93,1
199,6
87,9
190,2
19/08/2011
12
90,4
194,7
97
206,6
92,4
198,3
19/08/2011
14
96,1
205
101
213,8
97
206,6
19/08/2011
16
102
215,6
104,3
219,7
100,9
213,6
19/08/2011
18
105,8
222,4
106,8
224,2
104,2
219,6
19/08/2011
20
107,8
226
108,5
227,3
106,4
223,5
19/08/2011
22
108,3
226,9
109,3
228,7
107,6
225,7
19/08/2011
24
108,5
227,3
109,6
229,3
108
226,4
19/08/2011
26
108,6
227,5
109,9
229,8
108,5
227,3
19/08/2011
28
108,8
227,8
110,2
230,4
108,9
228
19/08/2011
30
109,2
228,6
110,4
230,7
109,3
228,7
19/08/2011
32
109,5
229,1
110,6
231,1
109,6
229,3
19/08/2011
34
110,1
230,2
110,9
231,6
110,1
230,2
19/08/2011
36
110,8
231,4
111,3
232,3
110,6
231,1
19/08/2011
38
111,2
232,2
111,6
232,9
110,9
231,6
19/08/2011
40
111,6
232,9
111,8
233,2
111,2
232,2
19/08/2011
42
111,8
233,2
112
233,6
111,5
232,7
19/08/2011
44
112
233,6
112
233,6
111,6
232,9
19/08/2011
46
112,2
234
112
233,6
111,6
232,9
19/08/2011
48
112,5
234,5
112,2
234
111,9
233,4
19/08/2011
50
112,8
235
112,4
234,3
112,2
234
19/08/2011
52
113
235,4
112,6
234,7
112,4
234,3
19/08/2011
54
113,1
235,6
112,8
235
112,6
234,7
19/08/2011
56
113,3
235,9
113
235,4
112,8
235
19/08/2011
58
113,5
236,3
113,2
235,8
113
235,4
19/08/2011
60
113,8
236,8
113,5
236,3
113,2
235,8
19/08/2011
62
114
237,2
113,7
236,7
113,5
236,3
19/08/2011
64
114,1
237,4
113,7
236,7
113,6
236,5
19/08/2011
66
114,3
237,7
114
237,2
113,8
236,8
19/08/2011
68
114,5
238,1
114,3
237,7
114
237,2
19/08/2011
70
114,7
238,5
114,5
238,1
114,2
237,6
19/08/2011
72
114,9
238,8
114,8
238,6
114,5
238,1
19/08/2011
74
115,1
239,2
115,1
239,2
114,7
238,5
19/08/2011
76
115,3
239,5
115,3
239,5
114,9
238,8
19/08/2011
78
115,5
239,9
115,4
239,7
115,2
239,4 62
Date
Time
19/08/2011
Cold Point (5/12)
Cold Point (1/2)
Cold Point (1/3)
(˚C)
(˚F)
(˚C)
(˚F)
(˚C)
(˚F)
80
116
240,8
115,4
239,7
115,4
239,7
19/08/2011
82
116,6
241,9
115,7
240,3
116,3
241,3
19/08/2011
84
116
240,8
116,2
241,2
116,4
241,5
19/08/2011
86
115
239
116,2
241,2
115,9
240,6
19/08/2011
88
114,6
238,3
116,1
241
115,6
240,1
19/08/2011
90
114,6
238,3
115,8
240,4
115,5
239,9
19/08/2011
92
114,9
238,8
115,6
240,1
114,9
238,8
19/08/2011
94
114,4
237,9
115,4
239,7
114,9
238,8
19/08/2011
96
103
217,4
107,8
226
106,4
223,5
19/08/2011
98
87,9
190,2
98,4
209,1
98,1
208,6
19/08/2011
100
82,2
180
91,2
196,2
92,7
198,9
19/08/2011
102
77,2
171
84,5
184,1
86,5
187,7
19/08/2011
104
75,5
167,9
80,8
177,4
82,7
180,9
19/08/2011
106
74,7
166,5
78,9
174
81,2
178,2
19/08/2011
108
73,7
164,7
77,6
171,7
79,9
175,8
19/08/2011
110
72,9
163,2
76,1
169
78,1
172,6
19/08/2011
112
70,7
159,3
72,4
162,3
73,4
164,1
19/08/2011
114
69,7
157,5
70,9
159,6
71,1
160
19/08/2011
116
68,4
155,1
69,9
157,8
70,1
158,2
19/08/2011
118
66,8
152,2
68,6
155,5
68,4
155,1
19/08/2011
120
65,1
149,2
66,9
152,4
66,3
151,3
19/08/2011
122
63,4
146,1
64,9
148,8
64,3
147,7
19/08/2011
124
61,3
142,3
63,2
145,8
61,8
143,2
19/08/2011
126
59,7
139,5
60,4
140,7
60,1
140,2
19/08/2011
128
58,2
136,8
59,2
138,6
58,4
137,1
19/08/2011
130
56,2
133,2
58,1
136,6
56,4
133,5
19/08/2011
132
54,9
130,8
56,4
133,5
54,9
130,8
19/08/2011
134
53,1
127,6
55,1
131,2
53,3
127,9
19/08/2011
136
51,7
125,1
53,6
128,5
52
125,6
19/08/2011
138
50,7
123,3
52,4
126,3
50,6
123,1
19/08/2011
140
49,5
121,1
51,2
124,2
49,4
120,9
19/08/2011
142
48,4
119,1
50
122
48,2
118,8
19/08/2011
144
47,2
117
48,9
120
47,1
116,8
19/08/2011
146
46,2
115,2
47,9
118,2
46,1
115
19/08/2011
148
45,3
113,5
46,9
116,4
45
113
63
Lampiran 3a. Tabel hasil perhitungan penentuan waktu sterilisasi optimum dengan metode Umum Ulangan 1 CP (1/2) Fo Kumulatif (menit)
(˚C)
(˚F)
Letalitas (L)
61,2
142,2
0,0000
60,8
141,4
0,0000
0,0000
0,0000
2
60,8
141,4
0,0000
0,0000
0,0000
6
2
60,8
141,4
0,0000
0,0000
0,0000
5
8
2
60,8
141,4
0,0000
0,0000
0,0000
6
10
2
67,1
152,8
0,0000
0,0000
0,0000
7
12
2
96,7
206,1
0,0036
0,0036
0,0036
8
14
2
110,8
231,4
0,0931
0,0967
0,1003
∆t
No.
Waktu
1
0
2
2
2
3
4
4
Luas
0,0000
9
16
2
113,3
235,9
0,1655
0,2586
0,3590
10
18
2
114,7
238,5
0,2285
0,3940
0,7530
11
20
2
116,4
241,5
0,3380
0,5665
1,3195
12
22
2
117,5
243,5
0,4354
0,7734
2,0929
13
24
2
118,3
244,9
0,5235
0,9589
3,0517
14
26
2
118,8
245,8
0,5873
1,1108
4,1625
15
28
2
119,2
246,6
0,6440
1,2313
5,3939
16
30
2
119,2
246,6
0,6440
1,2880
6,6819
17
32
2
119,0
246,2
0,6150
1,2590
7,9409
18
34
2
119,1
246,4
0,6293
1,2444
9,1853
19
36
2
119,5
247,1
0,6901
1,3194
10,5047
20
38
2
119,8
247,6
0,7394
1,4295
11,9342
21
40
2
119,9
247,8
0,7566
1,4961
13,4302
22
42
2
120,0
248,0
0,7743
1,5309
14,9611
23
44
2
120,1
248,2
0,7923
1,5666
16,5277
24
46
2
120,0
248,0
0,7743
1,5666
18,0942
25
48
2
118,2
244,8
0,5116
1,2858
19,3801
26
50
2
117,7
243,9
0,4559
0,9675
20,3475
27
52
2
117,3
243,1
0,4158
0,8717
21,2193
28
54
2
117,1
242,8
0,3971
0,8129
22,0322
29
56
2
116,7
242,1
0,3622
0,7592
22,7914
30
58
2
115,7
240,3
0,2877
0,6498
23,4412
31
60
2
114,5
238,1
0,2182
0,5059
23,9471
32
62
2
98,0
208,4
0,0049
0,2231
24,1702
33
64
2
84,6
184,3
0,0002
0,0051
24,1753
34
66
2
77,8
172,0
0,0000
0,0003
24,1756
35
68
2
74,0
165,2
0,0000
0,0001
24,1756
36
70
2
72,2
162,0
0,0000
0,0000
24,1757
37
72
2
70,9
159,6
0,0000
0,0000
24,1757 64
CP (1/2) Luas
Fo Kumulatif (menit)
(˚C)
(˚F)
Letalitas (L)
2
70,3
158,5
0,0000
0,0000
24,1757
76
2
69,9
157,8
0,0000
0,0000
24,1757
40
78
2
69,3
156,7
0,0000
0,0000
24,1757
41
80
2
68,6
155,5
0,0000
0,0000
24,1758
42
82
2
67,6
153,7
0,0000
0,0000
24,1758
43
84
2
66,3
151,3
0,0000
0,0000
24,1758
44
86
2
64,8
148,6
0,0000
0,0000
24,1758
45
88
2
63,3
145,9
0,0000
0,0000
24,1758
46
90
2
61,8
143,2
0,0000
0,0000
24,1758
47
92
2
60,3
140,5
0,0000
0,0000
24,1758
48
94
2
58,8
137,8
0,0000
0,0000
24,1758
49
96
2
57,0
134,6
0,0000
0,0000
24,1758
50
98
2
55,5
131,9
0,0000
0,0000
24,1758
51
100
2
54,2
129,6
0,0000
0,0000
24,1758
52
102
2
52,7
126,9
0,0000
0,0000
24,1758
53
104
2
51,3
124,3
0,0000
0,0000
24,1758
54
106
2
50,2
122,4
0,0000
0,0000
24,1758
55
108
2
48,8
119,8
0,0000
0,0000
24,1758
56
110
2
47,5
117,5
0,0000
0,0000
24,1758
57
112
2
46,3
115,3
0,0000
0,0000
24,1758
58
114
2
45,3
113,5
0,0000
0,0000
24,1758
59
116
2
44,4
111,9
0,0000
0,0000
24,1758
60
118
2
43,3
109,9
0,0000
0,0000
24,1758
61
120
2
42,3
108,1
0,0000
0,0000
24,1758
62
122
2
41,4
106,5
0,0000
0,0000
24,1758
63
124
2
40,6
105,1
0,0000
0,0000
24,1758
No.
Waktu
∆t
38
74
39
65
Lampiran 3b. Tabel hasil perhitungan penentuan waktu sterilisasi optimum dengan metode Umum Ulangan 2 CP (1/2) Luas
Fo Kumulatif (menit)
(˚C)
(˚F)
Letalitas (L)
61,4
142,5
0,0000
61,2
142,2
0,0000
0,0000
0,0000
2
61,0
141,8
0,0000
0,0000
0,0000
6
2
60,3
140,5
0,0000
0,0000
0,0000
5
8
2
62,5
144,5
0,0000
0,0000
0,0000
6
10
2
72,9
163,2
0,0000
0,0000
0,0000
7
12
2
95,2
203,4
0,0026
0,0026
0,0026
8
14
2
113,4
236,1
0,1694
0,1720
0,1746
∆t
No.
Waktu
1
0
2
2
2
3
4
4
9
16
2
114,6
238,3
0,2233
0,3927
0,5672
10
18
2
115,9
240,6
0,3012
0,5245
1,0918
11
20
2
116,2
241,2
0,3228
0,6240
1,7158
12
22
2
116,8
242,2
0,3706
0,6934
2,4091
13
24
2
117,2
243,0
0,4063
0,7769
3,1860
14
26
2
117,3
243,1
0,4158
0,8221
4,0082
15
28
2
117,4
243,3
0,4255
0,8413
4,8495
16
30
2
117,4
243,3
0,4255
0,8510
5,7005
17
32
2
117,6
243,7
0,4455
0,8710
6,5715
18
34
2
117,6
243,7
0,4455
0,8911
7,4626
19
36
2
117,7
243,9
0,4559
0,9015
8,3640
20
38
2
117,2
243,0
0,4063
0,8623
9,2263
21
40
2
115,9
240,6
0,3012
0,7076
9,9339
22
42
2
115,2
239,4
0,2564
0,5576
10,4915
23
44
2
114,5
238,1
0,2182
0,4746
10,9661
24
46
2
110,6
231,1
0,0889
0,3071
11,2732
25
48
2
96,5
205,7
0,0035
0,0924
11,3655
26
50
2
83,0
181,4
0,0002
0,0036
11,3691
27
52
2
75,6
168,1
0,0000
0,0002
11,3693
28
54
2
72,3
162,1
0,0000
0,0000
11,3694
29
56
2
70,5
158,9
0,0000
0,0000
11,3694
30
58
2
69,7
157,5
0,0000
0,0000
11,3694
31
60
2
69,1
156,4
0,0000
0,0000
11,3694
32
62
2
68,5
155,3
0,0000
0,0000
11,3694
33
64
2
67,8
154,0
0,0000
0,0000
11,3694
34
66
2
67,0
152,6
0,0000
0,0000
11,3695
35
68
2
66,2
151,2
0,0000
0,0000
11,3695
36
70
2
65,0
149,0
0,0000
0,0000
11,3695
37
72
2
63,8
146,8
0,0000
0,0000
11,3695 66
CP (1/2) Luas
Fo Kumulatif (menit)
(˚C)
(˚F)
Letalitas (L)
2
62,4
144,3
0,0000
0,0000
11,3695
76
2
61,0
141,8
0,0000
0,0000
11,3695
40
78
2
59,6
139,3
0,0000
0,0000
11,3695
41
80
2
58,1
136,6
0,0000
0,0000
11,3695
42
82
2
56,7
134,1
0,0000
0,0000
11,3695
43
84
2
55,3
131,5
0,0000
0,0000
11,3695
44
86
2
54,0
129,2
0,0000
0,0000
11,3695
45
88
2
52,6
126,7
0,0000
0,0000
11,3695
46
90
2
51,4
124,5
0,0000
0,0000
11,3695
47
92
2
50,2
122,4
0,0000
0,0000
11,3695
48
94
2
49,1
120,4
0,0000
0,0000
11,3695
49
96
2
48,0
118,4
0,0000
0,0000
11,3695
50
98
2
47,0
116,6
0,0000
0,0000
11,3695
51
100
2
45,9
114,6
0,0000
0,0000
11,3695
52
102
2
45,1
113,2
0,0000
0,0000
11,3695
53
104
2
44,2
111,6
0,0000
0,0000
11,3695
54
106
2
43,3
109,9
0,0000
0,0000
11,3695
55
108
2
42,6
108,7
0,0000
0,0000
11,3695
56
110
2
41,9
107,4
0,0000
0,0000
11,3695
57
112
2
41,1
106,0
0,0000
0,0000
11,3695
58
114
2
40,5
104,9
0,0000
0,0000
11,3695
59
116
2
39,9
103,8
0,0000
0,0000
11,3695
60
118
2
39,3
102,7
0,0000
0,0000
11,3695
No.
Waktu
∆t
38
74
39
67
Lampiran 4a. Tabel hasil perhitungan penentuan waktu sterilisasi optimum dengan metode Formula Ulangan 1 CP (1/2)
Retort (˚C)
(˚F)
Tr - T (˚F)
142,2
78,0
172,4
106,0
141,4
107,5
225,5
106,8
60,8
141,4
114,1
237,4
106,8
6
60,8
141,4
119,5
247,1
106,8
5
8
60,8
141,4
119,7
247,5
106,8
6
10
67,1
152,8
121,5
250,7
95,4
7
12
96,7
206,1
120,6
249,1
42,1
8
14
110,8
231,4
116,9
242,4
16,8
No.
Waktu
1 2
(˚C)
(˚F)
0
61,2
2
60,8
3
4
4
9
16
113,3
235,9
117,2
243,0
12,3
10
18
114,7
238,5
122,5
252,5
9,7
11
20
116,4
241,5
123,4
254,1
6,7
12
22
117,5
243,5
122,3
252,1
4,7
13
24
118,3
244,9
121,2
250,2
3,3
14
26
118,8
245,8
120,8
249,4
2,4
15
28
119,2
246,6
120,5
248,9
1,6
16
30
119,2
246,6
119,3
246,7
1,6
17
32
119,0
246,2
118,8
245,8
2,0
18
34
119,1
246,4
120,9
249,6
1,8
19
36
119,5
247,1
122,7
252,9
1,1
20
38
119,8
247,6
121,8
251,2
0,6
21
40
119,9
247,8
120,8
249,4
0,4
22
42
120,0
248,0
121,6
250,9
0,2
23
44
120,1
248,2
119,9
247,8
0,0
24
46
120,0
248,0
112,4
234,3
0,2
25
48
118,2
244,8
108,2
226,8
3,4
26
50
117,7
243,9
103,5
218,3
4,3
27
52
117,3
243,1
97,8
208,0
5,1
28
54
117,1
242,8
84,0
183,2
5,4
29
56
116,7
242,1
77,6
171,7
6,1
30
58
115,7
240,3
75,5
167,9
7,9
31
60
114,5
238,1
61,6
142,9
10,1
32
62
98,0
208,4
54,9
130,8
39,8
33
64
84,6
184,3
45,7
114,3
63,9
34
66
77,8
172,0
40,9
105,6
76,2
35
68
74,0
165,2
35,8
96,4
83,0
36
70
72,2
162,0
36,7
98,1
86,2
37
72
70,9
159,6
34,8
94,6
88,6 68
CP (1/2)
Retort
(˚C)
(˚F)
(˚C)
(˚F)
Tr - T (˚F)
74
70,3
158,5
34,8
94,6
89,7
39
76
69,9
157,8
35,0
95,0
90,4
40
78
69,3
156,7
35,0
95,0
91,5
41
80
68,6
155,5
35,0
95,0
92,7
42
82
67,6
153,7
36,5
97,7
94,5
43
84
66,3
151,3
34,6
94,3
96,9
44
86
64,8
148,6
34,1
93,4
99,6
45
88
63,3
145,9
34,3
93,7
102,3
46
90
61,8
143,2
33,2
91,8
105,0
47
92
60,3
140,5
32,3
90,1
107,7
48
94
58,8
137,8
31,5
88,7
110,4
49
96
57,0
134,6
30,9
87,6
113,6
50
98
55,5
131,9
30,5
86,9
116,3
51
100
54,2
129,6
30,7
87,3
118,6
52
102
52,7
126,9
30,6
87,1
121,3
53
104
51,3
124,3
30,3
86,5
123,9
54
106
50,2
122,4
30,5
86,9
125,8
55
108
48,8
119,8
30,1
86,2
128,4
56
110
47,5
117,5
30,0
86,0
130,7
57
112
46,3
115,3
29,8
85,6
132,9
58
114
45,3
113,5
29,6
85,3
134,7
59
116
44,4
111,9
29,6
85,3
136,3
60
118
43,3
109,9
30,1
86,2
138,3
61
120
42,3
108,1
29,5
85,1
140,1
62
122
41,4
106,5
29,4
84,9
141,7
63
124
40,6
105,1
29,2
84,6
143,1
No.
Waktu
38
69
70
Perhitungan penentuan waktu sterilisasi optimum dengan menggunakan metode Formula (Broken Heating Curve) tbh = 14 menit t = 44 menit fh1 = 12,2 menit fh2 = 24,5 menit Tm = 121˚C = 249,8 ˚F Ti = 60,8˚C =141,4˚F Ta = -10,3˚F Tc = 31,3˚C = 88,3˚F Gbh = 18,5 I = Tm – Ti = 249,8 – 141,4 = 108,4 ˚F Asumsi fc = fh2 dan jc = j
j
Ta Tm 10,3 249,8 2,4 To Tm 141,4 249,8
Pada broken heating curve, waktu proses mengikuti rumus berikut.
jI g f h 2 log bh t f h1 log g g bh dimana :
jI t bh 14 log f 12,2 1,147 1,15 g h1 bh
;
g t t bh 44 14 log bh 1,22 f h2 24,5 g
maka, t
= 12,2(1,15) + 24,5(1,22)
t
= 14,03 + 29,89
t
= 43,92 menit
g
= 10
fh2
24,5
1
1
= 10
1
= 10 g
f h1 log( jI ) f h1 f h 2 log gbh t
12,2 log(2,4108, 4) 12,2 24,5 log18,543,92
13,33
24,5
= 3,5
Setelah nilai g dan gbh ditemukan, maka selanjutnya dilakukan penentuan nilai fh/U dengan menggunakan tabel hubungan fh/U dengan nilai g atau gbh dengan menggunakan Stumbo Prosedure.
71
Untuk mendapatkan nilai fh/U dari nilai g = 3,5 maka dilakukan interpolasi dari data yang f diperoleh pada tabel berikut. Pada z = 18˚F dan j = 2,4 nilai g = 3,5 berada di antara h 3,0 ; ∆g/∆j= U 1,05 dan
fh 2,0 ; ∆g/∆j= 0,68, maka data yang diinterpolasikan untuk memperoleh nilai U
fh U
g 3,5
pada j 2,4 adalah :
fh 3,0 U
g j 2,4 3,26 1,05(1,4) 4,73
Nilai ini lebih besar dari 3,5, sehingga ambil nilai fh/U yang lebih rendah
fh 2,0 U
g j 2,4 1,93 0,68(1,4) 2,88
. Dari nilai yang telah diperoleh, maka nilai fh/U pada g = 3,5 diperoleh dengan interpolasi.
fh U
3 23,5 2,88 2,33 2 4,73 2,88 g 3,5
Sedangkan untuk mendapatkan nilai fh/U dari gbh = 18,5, juga dilakukan interpolasi dengan cara yang sama. Berdasarkan tabel, pada z = 18˚F dan j = 2,4 nilai fh/U pada gbh = 18,5 berada di f f antara h 25 ; ∆g/∆j= 4,8 dan h 20 ; ∆g/∆j= 4,28, maka data yang diinterpolasikan untuk U U
f memperoleh nilai h U
pada j 2,4 adalah : g 18,5
fh 25 U
g j 2,4 13,6 4,8(1,4) 20,32
Nilai ini lebih besar dari 18,5, sehingga ambil nilai f h/U yang lebih rendah.
fh 20 U
g j 2,4 12,40 4,28(1,4) 18,329
Dari nilai yang telah diperoleh, maka nilai fh/U pada g = 18,5 diperoleh dengan interpolasi.
fh U
25 2018,5 18,329 20,28 20 18,98 18,24 g 18,5
Selanjutnya menentukan nilai r, dimana r adalah parameter yang menggambarkan fraksi dari proses kematian total yang terkait dengan proses pemanasan. Berdasarkan gambar, nilai r pada gbh = 18,5 adalah 0,63, sehingga : U
=
f h2 r f h1 f h 2 f h U g f h U g bh
72
24,5 0,6312,2 24,5 2,33 20,28
U
=
U
= 10,13
Fi
= 10
250Tm z
= 10
250 249,8 18
Fi
= 1,026
Fo
=
U 10,13 9,87menit Fi 1,026
Jumlah mikroorganisme yang mungkin terdapat di dalam kaleng dapat dihitung sebagai berikut.
N Fo 9,87 49,35 log 0,2 190 Do N
= 190 x 1049,35 8,48 1048
73
Lampiran 4b. Tabel hasil perhitungan penentuan waktu sterilisasi optimum dengan metode Formula Ulangan 2 CP (1/2)
Retort (˚C)
(˚F)
Tr - T (˚F)
142,5
85,5
185,9
101,4
142,2
100,4
212,7
101,7
61,0
141,8
113,5
236,3
102,1
6
60,3
140,5
117,2
243,0
103,4
5
8
62,5
144,5
117,2
243,0
99,4
6
10
72,9
163,2
115,8
240,4
80,7
7
12
95,2
203,4
117,7
243,9
40,5
8
14
113,4
236,1
116,6
241,9
7,8
No.
Waktu
1 2
(˚C)
(˚F)
0
61,4
2
61,2
3
4
4
9
16
114,6
238,3
119,5
247,1
5,6
10
18
115,9
240,6
116,6
241,9
3,3
11
20
116,2
241,2
118,3
244,9
2,7
12
22
116,8
242,2
118,2
244,8
1,7
13
24
117,2
243,0
117,4
243,3
0,9
14
26
117,3
243,1
117,4
243,3
0,8
15
28
117,4
243,3
116,6
241,9
0,6
16
30
117,4
243,3
116,7
242,1
0,6
17
32
117,6
243,7
117,4
243,3
0,2
18
34
117,6
243,7
118,7
245,7
0,2
19
36
117,7
243,9
113,9
237,0
0,0
20
38
117,2
243,0
98,2
208,8
0,9
21
40
115,9
240,6
92,3
198,1
3,3
22
42
115,2
239,4
88,5
191,3
4,5
23
44
114,5
238,1
85,0
185,0
5,8
24
46
110,6
231,1
78,1
172,6
12,8
25
48
96,5
205,7
52,8
127,0
38,2
26
50
83,0
181,4
48,5
119,3
62,5
27
52
75,6
168,1
43,2
109,8
75,8
28
54
72,3
162,1
45,3
113,5
81,8
29
56
70,5
158,9
40,2
104,4
85,0
30
58
69,7
157,5
38,6
101,5
86,4
31
60
69,1
156,4
39,4
102,9
87,5
32
62
68,5
155,3
35,6
96,1
88,6
33
64
67,8
154,0
34,3
93,7
89,9
34
66
67,0
152,6
34,4
93,9
91,3
35
68
66,2
151,2
34,2
93,6
92,7
36
70
65,0
149,0
32,9
91,2
94,9
37
72
63,8
146,8
32,5
90,5
97,1
74
CP (1/2)
Retort
(˚C)
(˚F)
(˚C)
(˚F)
Tr - T (˚F)
74
62,4
144,3
32,6
90,7
99,6
39
76
61,0
141,8
32,1
89,8
102,1
40
78
59,6
139,3
31,9
89,4
104,6
41
80
58,1
136,6
32,0
89,6
107,3
42
82
56,7
134,1
32,0
89,6
109,8
43
84
55,3
131,5
31,9
89,4
112,4
44
86
54,0
129,2
31,8
89,2
114,7
45
88
52,6
126,7
32,0
89,6
117,2
46
90
51,4
124,5
32,0
89,6
119,4
47
92
50,2
122,4
31,1
88,0
121,5
48
94
49,1
120,4
31,0
87,8
123,5
49
96
48,0
118,4
31,1
88,0
125,5
50
98
47,0
116,6
31,0
87,8
127,3
51
100
45,9
114,6
31,0
87,8
129,3
52
102
45,1
113,2
31,1
88,0
130,7
53
104
44,2
111,6
31,2
88,2
132,3
54
106
43,3
109,9
31,1
88,0
134,0
55
108
42,6
108,7
31,0
87,8
135,2
56
110
41,9
107,4
31,1
88,0
136,5
57
112
41,1
106,0
31,1
88,0
137,9
58
114
40,5
104,9
31,1
88,0
139,0
59
116
39,9
103,8
31,2
88,2
140,1
60
118
39,3
102,7
31,3
88,3
141,2
No.
Waktu
38
75
76
Perhitungan penentuan waktu sterilisasi optimum dengan menggunakan metode Formula (Broken Heating Curve) tbh = 14 menit t = 34 menit fh1 = 9,1 menit fh2 = 21,5 menit Tm = 117,7˚C = 243,86 ˚F Ti = 60,3˚C = 140,5˚F Ta = -65˚F Tc = 31,3˚C = 88,3˚F Gbh = 8,9 I = Tm – Ti = 243,86 – 140,5 = 103,36 ˚F Asumsi fc = fh2 dan jc = j
j
Ta Tm 65 243,86 2,99 Ti Tm 140,5 243,86
Pada broken heating curve, waktu proses mengikuti rumus berikut.
jI g f h 2 log bh t f h1 log g g bh dimana :
jI t bh 14 log 1,54 g bh f h1 9,1
;
g t t bh 34 14 log bh 0,93 f h2 21,5 g
maka, t
= 9,1(1,54) + 21,5(0,93)
t
= 14,014 + 19,995
t
= 34,009 menit
g
= 10
fh2
21,5
1
1
= 10
1
= 10 g
f h1 log( jI ) f h1 f h 2 log gbh t
9,1log(2,99103,36) 9,121,5 log8,9 34,009
0, 422
21,5
= 1,05
Setelah nilai g dan gbh ditemukan, maka selanjutnya dilakukan penentuan nilai fh/U dengan menggunakan tabel hubungan fh/U dengan nilai g atau gbh dengan menggunakan Stumbo Prosedure.
77
Untuk mendapatkan nilai fh/U dari nilai g = 1,05 maka dilakukan interpolasi dari data yang f diperoleh pada tabel berikut. Pada z = 18˚F dan j = 2,99, nilai g = 1,05 berada di antara h 1,0 ; U f ∆g/∆j= 0,192 dan h 2,0 ; ∆g/∆j=068, maka data yang diinterpolasikan untuk memperoleh nilai U
fh U
pada j 2,99 adalah : g 1,05 fh 2,0 U
g j 2,99 1,93 0,68(1,99) 3,28
Nilai ini lebih besar dari 5,09, sehingga ambil nilai f h/U yang lebih rendah.
fh 1,0 U
g j 2,99 0,523 0,192(1,99) 0,905
Dari nilai yang telah diperoleh, maka nilai fh/U pada g = 5,09 diperoleh dengan interpolasi.
fh 2,0 1,01,05 0,905 1,061 1 U 3,28 0,905 g 1,05 Sedangkan untuk mendapatkan nilai fh/U dari gbh = 8,9, juga dilakukan interpolasi dengan cara yang sama. Berdasarkan tabel, pada z = 18˚F dan j = 2,99, nilai fh/U pada gbh = 8,9 berada di f f antara h 5,0 ; ∆g/∆j= 1,59 dan h 6,0 ; ∆g/∆j=1,82 , maka data yang diinterpolasikan untuk U U
f memperoleh nilai h U
pada j 2,99 adalah : g 8,9
fh 6,0 U
g j 2,99 6,25 1,82(1,99) 9,87
Nilai ini lebih besar dari 8,9, sehingga ambil nilai fh/U yang lebih rendah.
fh 5,0 U
g j 2,99 5,40 1,59(1,99) 8,56
Dari nilai yang telah diperoleh, maka nilai fh/U pada g = 8,9 diperoleh dengan interpolasi.
fh 6 58,9 8,56 5,26 5 U 9,87 8,56 g 8,9 Selanjutnya menentukan nilai r, dimana r adalah parameter yang menggambarkan fraksi dari proses kematian total yang terkait dengan proses pemanasan. Berdasarkan gambar, nilai r pada gbh = 8,9 adalah 0,74, sehingga : U
=
fh
f h2 r f h1 f h 2 f h U g U g bh
78
21,5 0,749,1 21,5 1,061 5,26
U
=
U
= 18,51
Fi
= 10
250Tm z
= 10
250 243,86 18
Fi
= 2,19
Fo
=
U 18,51 8,45menit Fi 2,19
Jumlah mikroorganisme yang mungkin terdapat di dalam kaleng dapat dihitung sebagai berikut.
N Fo 8,45 42,25 log 0,2 190 Do N
= 560 x 1042,25 3,15 1040
79
Lampiran 5. Perhitungan sineresis gel
Ulangan 1 Massa Awal Gel (gram) Massa Air (gram) Massa Gel Saat Pengukuran (gram) Sineresis (%)
Ulangan 2
24 jam
48 jam
72 jam
24 jam
48 jam
72 jam
539
553
546
537
541
553
5
7
7
2
7
8
534
546
539
535
534
545
0,928
1,266
1,282
0,372
1,294
1,447
80
Lampiran 6. Perhitungan kekuatan gel
Ulangan
Sebelum 1 Sesudah
Sebelum 2 Sesudah
Sample
Vgraph(mm/min)
Vdevice (mm/min)
Height (L) (m)
A (m2)
Fmaks (kgf)
Fs (kgf)
∆Lgraph (mm)
∆Ls (m)
1
300
30
0,015
0,000225
1,080
0,540
87,500
0,00875
Modulus Secant (kg/m2) 4114,286
2
300
30
0,015
0,000225
1,190
0,595
93,000
0,00930
4265,233
3
300
30
0,015
0,000225
0,930
0,465
86,000
0,00860
3604,651
Rata-rata 1
300 300
30 30
0,015 0,015
0,000225 0,000225
1,067 1,810
0,533 0,905
88,833 73,500
0,00888 0,00735
4002,502 8208,617
2
300
30
0,015
0,000225
1,470
0,735
72,900
0,00729
6721,536
3
300
30
0,015
0,000225
1,900
0,950
81,000
0,00810
7818,930
Rata-rata 1
300 300
30 30
0,015 0,015
0,000225 0,000225
1,727 0,639
0,863 0,320
75,800 87,000
0,00758 0,00870
7593,081 2448,276
2
300
30
0,015
0,000225
0,663
0,332
88,500
0,00885
2497,175
3
300
30
0,015
0,000225
0,740
0,370
88,500
0,00885
2787,194
Rata-rata
300
30
0,015
0,000225
0,681
0,340
88,000
0,00880
2578,283
1
300
30
0,015
0,000225
1,460
0,730
80,000
0,00800
6083,333
2
300
30
0,015
0,000225
1,330
0,665
76,300
0,00763
5810,398
3
300
30
0,015
0,000225
1,110
0,555
70,000
0,00700
5285,714
Rata-rata
300
30
0,015
0,000225
1,300
0,650
75,433
0,00754
5744,587
81
Lampiran 7. Data pengijian nilai total padatan terlarut (TPT)
Sebelum Pemanasan ˚Brix
Ulangan
Average
1
2
3
1
14,9
15,1
15,3
15,1
2
15
14,6
15,4
15,0
Setelah Pemanasan ˚Brix
Ulangan
Average
1
2
3
1
16,3
15,4
15,6
15,8
2
15,6
15,9
15,8
15,8
82
Lampiran 8. Form Uji Organoleptik
U2
FORM UJI ORGANOLEPTIK
Produk : Gel Cincau Hitam Kaleng Panelis : Tanggal :
No.
:
Tingkat Kesukaan
Parameter
1
2
3
4
5
6
7
Tekstur (Kekerasan) Aroma Rasa Warna Penerimaan Umum Keterangan : 1 = Sangat Tidak Suka 2 = Tidak Suka 3 = Agak Tidak Suka
U3
4 = Netral 5 = Agak Suka 6 = Suka
7 = Sangat Suka
FORM UJI ORGANOLEPTIK
Produk : Gel Cincau Hitam Kaleng Panelis : Tanggal :
No.
:
Tingkat Kesukaan
Parameter
1
2
3
4
5
6
7
Tekstur (Kekerasan) Aroma Rasa Warna Penerimaan Umum Keterangan : 1 = Sangat Tidak Suka 2 = Tidak Suka 3 = Agak Tidak Suka
4 = Netral 5 = Agak Suka 6 = Suka
7 = Sangat Suka
83
Lampiran 9. Hasil Uji Organoleptik
No
Panelis
Tekstur
Aroma
Rasa
Warna
Keseluruhan
U2
U3
U2
U3
U2
U3
U2
U3
U2
U3
1
Nurul Syifa
3
7
3
7
2
6
4
6
3
7
2
Neina Febrianti
3
5
4
5
6
5
4
4
4
5
3
Mevi Flaviana
3
3
5
6
5
6
6
6
6
6
4
Putri
5
4
6
6
7
6
6
5
5
5
5
Mike Juzpawiza
4
4
3
6
3
6
4
6
4
6
6
Retno Larasati
6
6
2
3
4
5
4
4
4
5
7
Thea Mutia
4
3
5
6
5
5
6
6
6
6
8
Anatasya M.
6
5
6
5
6
6
7
5
6
6
9
Widya
5
6
5
5
5
7
6
6
6
6
10
Dewi Sartika
7
7
3
3
7
7
7
7
6
6
11
Anggy FM
6
6
7
7
5
5
6
6
6
6
12
Lynda
6
5
5
3
6
4
6
6
6
5
13
Fitria S. Utami
6
6
5
6
5
5
6
6
5
5
14
Huda
6
4
4
6
5
6
6
5
6
6
15
Dhias
6
6
6
6
6
6
6
6
6
16
Ricky
7
7
7
7
7
7 7
7
6
7
7
17
An nisa R
6
3
6
3
3
3
6
6
6
6
18
Yuliana
3
4
4
5
6
4
6
6
5
6
19
Wida Mandhaga
5
4
5
5
6
6
6
6
6
6
20
Nana Winnit M.
4
2
6
5
7
4
6
4
4
4
21
Dian
6
6
6
4
3
4
5
5
5
5
22
Atmani Darwis
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
23
Nurisma
6
6
5
4
6
5
6
5
6
5
24
Isna L. R.
5
6
7
6
5
5
6
6
6
6
25
Yeni Rahmawati
5
5
6
6
6
6
6
6
6
6
26
Rida Taffarent
3
3
6
7
3
5
5
6
4
6
27
Muti
5
7
5
6
6
6
6
5
6
6
28
Sundari
6
6
4
4
5
6
4
4
5
6
29
Ikhsan Adi P.
5
6
6
6
4
6
6
6
6
6
30
Fauzi
6
5
4
4
6
5
5
6
6
5
5,167
5,133
5,100
5,300
5,233
5,500
5,700
5,600
5,467
5,767
Rata-rata Standar Deviasi
84
85