PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 28 NO. 1 2009
Identifikasi Karakteristik dan Mutu Beras di Jawa Barat Prihadi Wibowo, S. Dewi Indrasari, dan Jumali Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Jalan Raya 9 Sukamandi, Subang, Jawa Barat
ABSTRACT. Identification of Rice Characteristics and Quality in West Java. The objective of this research was to identify rice characteristics preferred by consumers and its relation to the grade standard quality of rice in West Java. The research was conducted in 2006, consisted of survey on rice milling and milled rice trader, followed by grain quality analysis in laboratory. Indramayu, Cianjur and Ciamis districts were chosen as survey locations. Rice grain quality were established by using several physical characters including: size and shape, moisture content, milling degree/ whiteness, % head rice, broken rice, brewers, yellow/damaged grain, and chalky/immature grain, chemical characters of milled rice including amylose content and gel consistency, and also protein content. Results showed that most of the commercial milled rice in three districts had similar rice characteristics. The characteristics required for rice trade were: dry grain rice (moisture content <14%), grain length (6.6-6.8 mm) and slender shape (l/w ratio 3.0-3.4), and high percentage of rice head >70%, white color (milling degree >95%), broken rice <26%, brewer <2%, immature grain <3%, yellow/ damaged grain <3%. Most of rice available at markets had medium rice texture (gel consistency of 56-60 mm) and medium sticky (amylose content 23-25%). Protein content was 8-9%. The average grade quality of rice that were sold at market in three districts were similar to that of 2005 national provision of rice criteria/standard namely grade IV SNI milled rice modified standard. The knowledge and the awareness for rice quality among rice millers and rice traders were generally low. Training on standard and labeling of rice quality is needed, to improve the awareness of rice miller and rice traders on better rice quality for better rice commercial value. Characters and quality of rice identification can be used as genetic resource database, for developing high quality of rice varieties. Keywords: Characteristics, standard quality, rice, West Java ABSTRAK. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik beras dan hubungannya dengan tingkat standar mutu beras konsumsi di Jawa Barat. Penelitian dilakukan pada tahun 2006, terdiri atas kegiatan survei dengan objek penelitian unit penggilingan padi dan pedagang beras, kemudian dilanjutkan analisa karakteristik mutu beras di laboratorium. Kabupaten Indramayu, Cianjur, dan Ciamis dipilih sebagai lokasi penelitian. Karakteristik beras yang diamati meliputi karakter fisik (ukuran dan bentuk beras, kadar air, derajat sosoh/derajat putih, persentase beras kepala, butir pecah, butir menir, butir kuning-rusak, dan butir mengapur), dan sifat fisikokimia (kadar amilosa dan sifat konsistensi gel), serta kadar protein. Hasil penelitian menunjukkan, beras yang banyak diperdagangkan di tiga kabupaten memiliki karakteristik dan mutu yang relatif sama, berasnya kering (kadar air <14%), bentuk butiran ramping (rasio p/l:3,0-3,4), berukuran panjang (6.6-6,8 mm), persentase beras kepala tinggi (>70%), berwarna putih (derajat sosoh >95%), butir patah <26%, menir <2%, butir mengapur <3%, butir kuning-rusak <3%, tingkat kepulenan nasi sedang (kadar amilosa 23-25%) dengan tekstur nasi sedang (konsistensi gel 56~60 mm), dan kadar protein 8-9%. Beras konsumsi yang diperdagangkan dan disukai di tiga kabupaten tersebut, rata-rata memiliki mutu yang relatif sama dengan standar beras pengadaan dalam negeri (BULOG) tahun 2005 (modifikasi standar SNI mutu IV). Pemahaman dan penyadaran tentang mutu beras di tingkat penggilingan dan pedagang masih
rendah. Oleh karena itu, sosialisasi standar dan labeling komponen mutu beras perlu dilakukan secara intensif agar pemilik penggilingan padi dan pedagang beras termotivasi meningkatkan mutu beras, sehingga memiliki nilai jual yang lebih baik. Hasil identifikasi karakter mutu beras dapat dimanfaatkan oleh pemulia tanaman padi dalam perbaikan dan perakitan varietas unggul baru. Kata kunci: Karakteristik, standar mutu, beras, Jawa Barat
arakter beras secara umum dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik padi merupakan faktor utama penentu karakter gabah dan beras. Ukuran dan bentuk, warna, pengapuran (chalky), kandungan amilosa-amilopektin, konsistensi gel, suhu gelatinisasi, dan aroma beras merupakan karakter yang diturunkan secara genetik. Faktor lingkungan yang mempengaruhi karakter varietas antara lain adalah butir kuning rusak, butir hijau mengapur, butir retak, dan kadar air beras (Anonim 2003). Menurut Suherman (1999), karakteristik umum yang banyak mempengaruhi mutu beras di pasaran adalah (1) ukuran dan bentuk, (2) derajat sosoh, (3) keterawangan, (4) kebersihan dan kemurnian, (5) kepulenan dan aroma Beras, tidak seperti kebanyakan sereal lainnya, dikonsumsi dalam bentuk butiran utuh. Dengan demikian sifat fisik beras seperti ukuran, bentuk, keseragaman, dan kenampakan juga berperan penting dalam hal mutu (Anonim 2003). Selanjutnya, karena beras mengalami proses penyosohan, maka sifat penting yang menyangkut karakter fisik tersebut ditentukan terutama oleh butiran endosperm beras. Terdapat korelasi antara karakter beras yang dijual di pasaran dengan preferensi beras yang dibeli konsumen. Semakin baik karakter beras makin disukai oleh konsumen sehingga mereka membelinya untuk dikonsumsi. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa konsumen di pedesaan dan kota di Jawa Barat membeli beras dengan mempertimbangkan karakter fisik dan fisikokimia beras (Rachmat et al. 2006). Ditinjau dari sisi penerapan standar mutu beras, karakter mutu yang paling disukai konsumen dapat diartikan sebagai identifikasi status pemahaman dan penerimaan standar atau kelas mutu beras yang ada. Preferensi konsumen terhadap beras pada kelas mutu tertentu dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain
K
43
WIBOWO ET AL.: IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK DAN MUTU BERAS DI JAWA BARAT
penampilan fisik beras, kepulenan nasi, budaya, dan tingkat sosial-ekonomi konsumen. Konsumen mengapresiasi kesesuaian karakter beras yang disukai dengan cara membayar insentif harga untuk tingkat mutu beras tertentu. Hasil identifikasi dan pengujian mutu beras ini dapat digunakan sebagai bahan kajian pemilihan dan pengembangan varietas padi dengan karakteristik mutu beras yang disukai di wilayah setempat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik beras dan hubungannya dengan standar mutu beras di Jawa Barat.
Besar Penelitian Tanaman Padi, untuk diidentifikasi karakter fisik dan fisikokimianya. Komponen karakteristik fisik dan fisikokimia beras diamati berdasarkan ukuran dan bentuk, serta semua kriteria mutu fisik yang tercantum dalam persyaratan kualitas beras (BULOG 2005), yaitu kadar air, derajat sosoh/derajat putih, persentase beras kepala, beras pecah, beras menir, butir kuning-rusak, butir mengapur, butir merah, dan butir gabah. Identifikasi karakter fisik beras giling dilakukan menurut metode SNI No. 01-61281999 (BSN 1999) dan metode IRRI (Anonim 2006). Identifikasi karakter fisikokimia terdiri atas kandungan amilosa dan konsistensi gel (IRRI 2002), sedangkan kandungan protein dengan metode Kjeldahl (AOAC 2000). Persyaratan kualitas beras pengadaan dalam negeri BULOG tahun 2005 digunakan sebagai pembanding standar mutu.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan pada tahun 2006 di Kabupaten Indramayu, Cianjur, dan Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Kabupaten tersebut dipilih karena merupakan sentra produksi beras dan dianggap mewakili Jawa Barat bagian utara, tengah, dan selatan. Penelitian diawali dengan survei ke objek penelitian, meliputi unit penggilingan padi dan pedagang beras, sebagai pemilik sampel beras. Identifikasi terhadap karakter beras dari objek penelitian tersebut dianggap sudah mempresentasikan karakter beras konsumsi yang banyak beredar dan disukai di Jawa Barat. Di setiap kabupaten dipilih sebanyak 20 unit penggilingan padi dan 15 pedagang beras pasar tradisional. Dari masingmasing objek penelitian, kemudian diambil sampel beras secara acak. Beras yang diambil tersebut adalah yang paling sering digiling serta beras yang banyak dan paling laku terjual oleh pedagang beras. Sampel beras dibawa ke laboratorium pengujian mutu gabah dan beras Balai
HASIL DAN PEMBAHASAN Unit Penggilingan Padi dan Pedagang Beras Unit penggilingan padi di Kabupaten Indramayu, Cianjur, dan Ciamis lebih banyak menggiling gabah yang berasnya berukuran panjang dan berbentuk ramping, seperti halnya gabah varietas IR64, Ciherang, Way Apo Buru, dan Widas (Tabel 1). Alasan utama mereka menggiling gabah jenis tersebut adalah permintaan pasar (pedagang) yang tinggi dan ketersediaan bahan baku (gabah) di sekitar unit penggilingan cukup banyak.
Tabel 1. Karakteristik dan kriteria mutu beras menurut pemilik unit penggilingan padi di Indramayu, Cianjur, dan Ciamis, Jawa Barat, 2006. Parameter
Indramayu (n=20)
Cianjur (n=20)
Ciamis (n=20)
Varietas
IR64, Ciherang, Way Apo Buru, Widas
Ciherang, IR64, Widas, Way Apo Buru, Cisantana, Pandanwangi
IR64, Ciherang, Way Apo Buru, Cisadane, Widas
Varietas yang sering digiling
IR64, Ciherang, Way Apo Buru
Ciherang, IR64, Pandan Wangi
IR64, Ciherang, Cisadane
Pencampuran/pengoplosan gabah antarvarietas
ya
ya dan tidak
ya
Klasifikasi mutu beras yang dijual
tidak ada
tidak ada
tidak ada
Ranking kriteria beras yang dianggap baik
1. 2. 3. 4.
1. 2. 3. 4.
1. 2. 3. 4.
44
derajat sosoh/putih persentase beras kepala kepulenan nasi jenis/varietas
derajat sosoh/putih persentase beras kepala kepulenan nasi nasi beraroma wangi pandan
derajat sosoh/putih persentase beras kepala kepulenan nasi jenis/varietas
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 28 NO. 1 2009
Namun di Cianjur sebagian unit penggilingan juga menggiling gabah/beras berukuran medium dan bulat lonjong (slighty bold), seperti Pandanwangi, Sariwangi, dan Cisadane. Sebagian besar unit penggilingan padi melakukan pencampuran gabah antarvarietas yang memiliki ukuran dan bentuk yang sama sebelum proses penggilingan. Akan tetapi, khusus untuk varietas lokal (Pandanwangi dan Sariwangi) atau varietas yang memiliki nilai jual lebih tinggi, mereka tidak melakukan pencampuran. Di Cianjur dan Ciamis, beras yang berbentuk bulat lonjong (slighty bold) tersebut lebih banyak dipasarkan ke kotakota besar provinsi. Beras berbentuk bulat lonjong dan beras aromatik dijual untuk kalangan konsumen menengah ke atas. Seluruh jenis beras yang digiling dan dipasarkan oleh pemilik unit penggilingan padi tidak dibedakan mutunya. Mutu beras yang berkorelasi dengan nilai harga jual ditentukan berdasarkan penampilan fisik beras pada saat itu. Beras yang dipasarkan oleh unit penggilingan padi umumnya tidak diberi label jenis atau varietas. Kemasan hanya menampilkan merk (brand) tertentu. Kriteria mutu beras yang dianggap baik dan memiliki harga jual tinggi, menurut pemilik penggilingan padi, adalah derajat sosoh/putih, persentase beras kepala, kepulenan nasi, dan subyektifitas nama varietas. Beras yang paling laku dijual oleh padagang pasar di tiga kabupaten tersebut memiliki karakter yang sama dengan yang banyak digiling oleh unit penggilingan padi, yaitu beras yang panjang dan ramping (Tabel 2). Di tingkat pedagang pasar, nama beras yang sesuai dengan varietas padinya hampir tidak ada. Hal ini diduga terkait dengan tidak adanya nama varietas yang tercantum pada kemasan beras yang dijual oleh unit penggilingan padi. Pedagang pasar umumnya tidak memberlakukan klasifikasi mutu beras yang dijual (Tabel 2). Kelas mutu beras yang diperdagangkan hanya dibedakan berdasarkan kriteria butir patah, menir, dan derajat putih. Semakin banyak butir patah dan menir atau makin kusam beras, maka kelas mutunya semakin rendah. Kelas mutu juga dibedakan berdasarkan keadaan beras, lama atau baru. Beras baru dianggap memiliki mutu yang lebih baik dibandingkan dengan beras lama (kawak). Pemahaman standar mutu beras di tingkat penggilingan maupun pedagang masih mengacu kepada harga beras yang ditawarkan. Kriteria mutu beras yang dianggap baik menurut pedagang beras pasar adalah apabila memenuhi kriteria yang baik untuk parameter derajat sosoh/putih, persentase beras kepala, kadar air (kering), dan kepulenan nasi. Undang-Undang No 7 tahun 1996 tentang Pangan, PP No 69 tentang Pelabelan, dan UU Perlindungan konsumen tahun 1999 mewajibkan pencantuman label
Tabel 2. Karakteristik dan kriteria mutu beras menurut pedagang di Indramayu, Cianjur dan Ciamis, Jawa Barat, 2006. Parameter
Indramayu (n=15)
Cianjur (n=15)
Ciamis (n=15)
Beras yang paling laku terjual
bentuk beras panjang dan ramping
bentuk beras panjang dan ramping
bentuk beras panjang dan ramping
Klasifikasi mutu beras yang dijual
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
1. derajat sosoh/putih 2. persentase beras kepala 3. kadar air 4. kepulenan nasi
1. derajat sosoh/putih 2. persentase beras kepala 3. kepulenan nasi
Rangking 1. derajat kriteria sosoh/putih beras yang 2. persentase dianggap baik beras kepala 3. kepulenan nasi
pada komoditas yang dipasarkan. Namun, peraturan tersebut hingga kini belum sepenuhnya dilaksanakan. Nama dagang beras tidak mengikuti nama varietas padinya, kecuali untuk beberapa varietas lokal yang memiliki sifat khusus. Kondisi seperti ini juga terjadi di Indramayu, Cianjur, dan Ciamis. Di ketiga daerah tersebut, dalam perdagangan beras kemasan berlabel, informasi nama dan mutu beras yang tertera dalam kemasan belum sepenuhnya dicantumkan. Beras berlabel adalah beras yang dihasilkan dari varietas yang jelas, dari benih bersertifikat, tidak tercampur dengan varietas lain, dan memiliki mutu yang sesuai dengan karakter varietasnya. Pelabelan beras dapat ditempuh dengan sistem sertifikasi produk, mulai dari pengadaan benih, tanam, sampai tahap pengemasan. Mekanisme ini dapat berjalan apabila sistem pelabelan di Indonesia sudah dilaksanakan dengan konsekuen. Pada saat ini beras yang dijual di pasaran sering dicampur atau dioplos dengan beberapa varietas, tanpa mencantumkan komposisi campuran berasnya. Persyaratan pengusulan beras berlabel dan bersertifikat meliputi (a) penggunaan benih bersertifikat, (b) penerapan teknik budi daya baku, (c) penerapan Good Manucfacture Practice (GMP) di tingkat penggilingan padi, (d) kerja sama agribisnis antara petani dengan pelaku off farm, terutama posisi pasar dan memperpendek rantai pemasaran, (e) optimalisasi peran petani melalui pemberdayaan dan penguatan organisasi petani melalui Gapoktan, dan (f) audit dari lembaga sertifikasi (Anonim 2007).
45
WIBOWO ET AL.: IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK DAN MUTU BERAS DI JAWA BARAT
Karakteristik Fisik Beras Unit Penggilingan Padi Berdasarkan hasil pengujian, beras yang dihasilkan unit penggilingan padi di tiga kabupaten rata-rata memiliki kualitas yang sama. Karakteristik mutu beras hasil penggilingan padi di Indramayu, Cianjur, dan Ciamis disajikan pada Tabel 3. Kadar air beras giling yang dihasilkan unit penggilingan padi berkisar antara 10-13%. Kondisi tersebut masih memenuhi persyaratan simpan untuk beras (Anonim 2003). Pada kadar air di bawah 14%, beras memiliki umur simpan yang relatif lama. Beras yang diproduksi oleh unit penggilingan padi di Cianjur rata-rata lebih putih atau memiliki derajat sosoh yang lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Hal ini diduga karena perlakuan pada saat proses penyosohan, celah friksi dari alat polisher lebih dipersempit atau lebih ditekan (pressing). Perlakuan tersebut juga berakibat pada rendemen beras kepala yang dihasilkan menjadi lebih rendah. Derajat sosoh yang ditentukan pada standar perdagangan beras berkisar antara 85-100%. Nilai yang identik dengan pengukuran derajat sosoh adalah derajat putih yang dapat diukur secara kuantitatif menggunakan milling meter. Nilai derajat putih berbanding lurus dengan derajat sosoh beras. Semakin tinggi nilai derajat putih, makin tinggi pula tingkat derajat sosohnya (Lamberts et al. 2007). Tingkat derajat putih diukur dari banyaknya lapisan dedak/bekatul dan lapisan silver skin yang terlepas dari butiran beras. Tingkat derajat putih beras menurut Bergman et al. (2006) juga banyak dipengaruhi oleh kekerasan, ukuran dan bentuk, kedalaman lekukan butiran beras, dan ketebalan lapisan
Tabel 3. Karakteristik mutu fisik beras di tingkat penggilingan padi di Indramayu, Cianjur, dan Ciamis, Jawa Barat, 2006. Karakteristik fisik
Indramayu (n=20)
Cianjur (n=20)
Ciamis (n=20)
Bentuk beras Panjang beras (mm) Rasio panjang/lebar
6,8 ± 0,43 3,2 ± 0,25
6,6 ± 0,32 3,4 ± 0,16
6,8 ± 0,36 3.1 ± 0.23
Mutu beras giling Kadar air (%) Derajat putih Beras kepala (%) Beras patah (%) Menir (%) Butir mengapur (%) Butir kuning/rusak (%) Butir merah (%) Butir gabah (%)
12,2 ± 0,6 39,1 ± 2,8 80,1 ± 6,4 17,9 ± 5,6 2,1 ± 0,8 0,2 ± 0,1 0,9 ± 0,7 0 0
12,1 ± 0,6 40,6 ± 2,6 78,5 ± 7,1 19,4 ± 6,7 2,1 ± 0,9 0,3 ± 0,1 0,3 ± 0,4 0 0
12,4 ± 0,8 39,3 ± 1,8 79,9 ± 5,4 18,2 ± 4,7 1,9 ± 1,5 0,2 ± 0,2 0,8 ± 0,5 0 0
Angka di Tabel adalah nilai rata-rata ± simpangan baku
46
bekatul. Sebagai perbandingan, nilai derajat putih menurut standar beras di tingkat pasar dan impor negara Jepang adalah > 39% (Anonim 2003). Dari nilai derajat putih di atas dapat dikatakan bahwa beras dari unit penggilingan padi di tiga kabupaten masih memiliki derajat sosoh yang baik karena mempunyai nilai derajat putih 35-46, atau identik dengan derajat sosoh 90-100% (Tabel 3). Unit penggilingan padi lebih menyukai varietas yang memiliki rendemen giling dan persentase beras kepala yang tinggi dan sesuai dengan preferensi konsumen. Tinggi rendahnya persentase beras kepala dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain varietas, tipe butiran, butir mengapur, teknik budi daya, pengeringan, penyimpanan, dan teknik penggilingan (Dipti et al. 2002). Ada korelasi tidak langsung antara beras kepala dengan derajat putih beras giling seperti telah diuraikan di atas. Rata-rata persentase beras kepala dari unit penggilingan padi di Cianjur lebih rendah dibandingkan dengan dua kabupaten lainnya. Akan tetapi, secara keseluruhan, persentase beras kepala di tiga kabupaten tersebut termasuk tinggi (>70%). Butir mengapur dan butir kuning/rusak dari beras giling yang diidentifikasi masih memenuhi persyaratan, rata-rata di bawah 1,0% (Tabel 3). Nilai maksimum persentase butir kapur dan butir kuning/rusak beras giling pengadaan dalam negeri adalah 3%. Tinggi rendahnya butir mengapur maupun butir kuning/rusak dipengaruhi oleh kualitas gabah yang diproses. Gabah yang belum masak optimum atau tidak matang serempak, dan terjadinya fermentasi gabah akibat terlambatnya proses pengeringan menyebabkan beras giling yang dihasilkan mengandung kapur, berwarna kuning, dan ada bercak hitam. Salah satu penelitian menyatakan bahwa bagian mengapur (chalky) sering terbentuk karena kondisi perubahan iklim selama pengisian biji, dan diperkirakan suhu tinggi sebagai faktor penyebabnya (Lisle et al. 2000). Suhu tinggi pada saat stadia pengisian biji akan mempercepat laju pengisian cairan pati, akibatnya terbentuk ruang-ruang udara di antara granula pati di dalam endosperm (Umemoto et al. 1995). Ukuran dan bentuk beras juga menjadi pertimbangan penting bagi konsumen. Panjang butiran beras dari unit penggilingan berkisar antara 6,6-6,8 mm, termasuk panjang, sedangkan dari bentuknya termasuk ramping (rasio p/l >3,0) dengan variasi rasio (p/l) 3,13,4. Preferensi terhadap ukuran dan bentuk beras bervariasi antartingkat pendapatan. Beras berukuran sedang dan agak bulat (Pandanwangi, Sariwangi, Cisadane, dan Muncul) lebih banyak dipasarkan ke kotakota besar provinsi, karena umumnya memiliki kualitas premium dengan harga yang lebih mahal. Akan tetapi,
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 28 NO. 1 2009
hasil penelitian lain menunjukkan bahwa konsumen, umumnya di Jawa Barat dan Jakarta, kini menyukai beras yang panjang dan ramping (Rachmat et al. 2006). Karakteristik Fisik Beras dari Pedagang Pasar Karakter yang tidak jauh berbeda juga ditemukan pada beras yang dijual oleh pedagang beras (Tabel 4). Hasil pengujian menunjukkan, ukuran dan bentuk beras relatif sama antara beras dari pedagang dengan unit penggilingan, yaitu panjang (>6,6 mm) dan ramping (rasio p/l >3,0). Kadar air beras dari pedagang di tiga kabupaten berkisar antara 10-13%. Demikian pula derajat putih beras, bervariasi antara 36-44, tidak berbeda dengan derajat putih beras dari unit penggilingan. Beras yang paling laku dibeli konsumen di tiga pasar kabupaten, sedikit mengalami penurunan mutu dibanding dengan beras produksi penggilingan padi. Hal ini nampak dari penurunan persentase beras kepala dan nilai derajat putih (Tabel 4). Diduga penurunan ini disebabkan oleh pengaruh pengangkutan dan penyimpanan oleh pedagang selama beras belum terjual. Rata-rata persentase beras patah dan menir dari beras yang dijual pedagang di pasar relatif tinggi. Penampakan visual beras seperti ini akan menurunkan kualitas beras secara keseluruhan. Tinggi rendahnya persentase beras patah dan menir biasanya berbanding terbalik dengan persentase beras kepala. Persentase beras patah di tingkat pedagang di Cianjur dan Ciamis lebih tinggi dari yang dijual di Indramayu. Tingginya persentase beras patah bisa disebabkan oleh pengaruh penjemuran gabah yang tidak tepat. Teknik penjemuran yang baik yaitu gabah dijemur dengan ketebalan lapisan
Tabel 4. Karakteristik mutu fisik beras di tingkat pedagang beras di Indramayu, Cianjur, dan Ciamis, Jawa Barat, 2006. Karakteristik fisik
Indramayu (n=15)
Cianjur (n=15)
Ciamis (n=15)
Bentuk beras Panjang beras (mm) Rasio panjang/lebar
6,7 ± 0,39 3,3 ± 0,18
6,6 ± 0,41 3,5 ± 0,12
6,7 ± 0,34 3,0 ± 0,20
Mutu beras giling Kadar air (%) Derajat putih Beras kepala (%) Beras patah (%) Menir (%) Butir mengapur (%) Butir kuning/rusak (%) Butir merah (%) Butir gabah (%)
11,8 ± 0,8 38,4 ± 2,5 80,9 ± 4,6 16,9 ± 4,7 2,1 ± 0,7 0,2 ± 0,1 0,6 ± 0,5 0 0
11,7 ± 0,5 39,6 ± 1,3 70,5 ± 7,9 26,7 ± 7,0 2,9 ± 1,1 0,2 ± 0,1 0,6 ± 0,4 0 0
12,5 ± 0,7 38,2 ± 1,6 74,5 ± 3,3 22,7 ± 3,2 2,8 ± 1,5 0,2 ± 0,1 0,9 ± 0,7 0 0
Angka di Tabel adalah nilai rata-rata ± simpangan baku
5-7 cm di atas lantai jemur semen. Pada ketebalan lapisan gabah tersebut akan dihasilkan beras yang bermutu baik. Pada lapisan yang tipis (<3 cm), gabah cepat kering dan terjadi butir retak. Apabila beras digiling, akan menghasilkan beras patah. Pengeringan gabah sampai kadar air <13% juga menyebabkan beras mudah patah. Butir mengapur dan butir kuning-rusak beras dari pedagang juga masih di bawah persyaratan maksimum 3% (Tabel 5). Butir mengapur dan butir kuning/rusak yang teridentifikasi rata-rata di bawah 1%. Bagian mengapur beras akan mengurangi ketahanan beras dan umur simpan selama proses penggilingan dan penyimpanan sehingga rendemen beras kepala menurun. Pada akhirnya, butir mengapur pada butiran beras akan mengurangi preferensi konsumen. (Singh et al. 2003). Karakteristik Fisikokimia Beras dari Unit Penggilingan Padi Karakteristik fisikokimia beras berperan terhadap mutu tanak (cooking quality) dan mutu rasa (eating quality) nasi. Salah satu komponen penting dan sangat menentukan karakter fisikokimia beras adalah adanya amilosa. Beras dari unit penggilingan padi di Indramayu, Cianjur, dan Ciamis rata-rata berkadar amilosa 23,3%, dengan kisaran 21,7-26,1% (Tabel 6). Kandungan amilosa beras menurut Kumar dan Khush (1986) terdiri atas amilosa rendah (8-20%), sedang (21-25%), dan tinggi (>25%). Beras dari unit penggilingan termasuk berkadar amilosa sedang atau tergolong pulen. Tingkat kepulenan nasi berkorelasi negatif dengan kadar amilosa beras. Semakin tinggi kadar amilosa beras makin rendah
Tabel 5. Persyaratan kualitas beras pengadaan dalam negeri (tahun 2005). Komponen mutu Derajat sosoh Kadar air Beras kepala Butir utuh Butir patah Butir menir Butir merah Butir kuning-rusak Butir mengapur Benda asing Butir gabah Campuran var. lain
Min Maks Min Min Maks Maks Maks Maks Maks Maks Maks Maks
Satuan
Mutu IV SNI *)
(%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) Butir/100g (%)
95 14 78 35 20 2 3 3 3 0,02 1 5
*) Modifikasi SNI No.01-6128-1999, pada butir patah dari 25% menjadi 20%, penambahan komponen beras kepala dari 73% menjadi 78%
47
WIBOWO ET AL.: IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK DAN MUTU BERAS DI JAWA BARAT
tingkat kepulenan nasinya (pera). Kandungan amilosa di dalam beras juga berpengaruh (berkorelasi positif) terhadap cooking characteristic yang lain, yaitu pengembangan volume dan penyerapan air nasi selama ditanak. Rasio pengembangan volume dan penyerapan air nasi semakin besar dengan semakin tingginya kadar amilosa (Dela Cruz 2002). Selain amilosa, konsistensi gel juga merupakan salah satu karakter yang menentukan mutu rasa (eating quality). Konsistensi gel beras merupakan karakter yang akan menunjukkan tekstur nasi setelah dingin. Beras dari unit penggilingan padi di tiga kabupaten rata-rata memiliki konsistensi gel sedang (nilai 58 mm) dengan variasi nilai 48-68 mm (Tabel 6). Sifat konsistensi sedang tersebut menunjukkan bahwa nasi memiliki tekstur sedang (tidak keras dan tidak lunak). Karakteristik konsistensi gel beras seperti ini lebih dominan diturunkan oleh sifat genetik padi. Menurut Singh et al. (2003), perbedaan tekstur antarvarietas terkait erat dengan perbedaan kandungan amilosa, perbandingan rantai panjang dan pendek molekul amilopektin, serta struktur granula pati. Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian Reddy et al. (1993), yang menyatakan bahwa beras dengan kadar amilosa tinggi dan memiliki amilopektin rantai panjang cenderung mempunyai tekstur nasi yang keras. Sebaliknya, beras yang memiliki kadar amilosa rendah dan amilopektin rantai pendek cenderung mempunyai tekstur nasi yang lunak. Karakter fisikokimia (cooking & eating quality) juga dipengaruhi oleh komponen protein (nutrition quality) beras. Menurut Ishima et al. (1984), protein beras dinyatakan sebagai komponen sekunder yang ikut menentukan eating quality, yaitu akan mempengaruhi tekstur nasi. Beras dengan kadar protein yang tinggi cenderung menghasilkan nasi yang keras. Ong dan Blanshard (1995) juga melaporkan bahwa semakin panjang rantai amilopektin dan makin tinggi kandungan amilosa akan memberikan kondisi yang sesuai bagi terjadinya inter atau intra-interaksi antara molekul pati dengan komponen lain, seperti protein dan lemak. Keadaan sebaliknya untuk struktur beras yang memiliki rantai amilopektin pendek. Kadar protein beras dari unit penggilingan padi berkisar antara 8-9% (Tabel 6). Karakteristik Fisikokimia Beras dari Pedagang Pasar Beras yang paling laku dan banyak dijual oleh pedagang pasar di tiga kabupaten tersebut memiliki karakter fisikokimia yang relatif sama dengan beras dari unit
48
Tabel 6. Karakteristik fisikokimia beras di tingkat penggilingan padi di Indramayu, Cianjur, dan Ciamis, Jawa Barat, 2006. Fisiko-kimia
Indramayu
Cianjur
Ciamis
Kadar amilosa (%) Konsistensi gel (mm) Kadar protein (%)
24,9 ± 1,2 59,0 ± 6,9 8,6 ± 0,8
23,3 ± 1,5 60,0 ± 8,7 8,9 ± 0,5
23,8 ± 1,2 56,0 ± 8,4 9,2 ± 0,5
Angka di Tabel adalah nilai rata-rata analisa (n=20) dan simpangan baku
Tabel 7. Karakteristik fisikokimia beras di tingkat pedagang beras Indramayu, Cianjur, dan Ciamis, Jawa Barat, 2006. Fisiko-kimia
Indramayu
Cianjur
Ciamis
Kadar amilosa (%) Konsistensi gel (mm) Kadar protein (%)
24,3 ± 1,9 56,0 ± 8,7 8,9 ± 0,5
23,6 ± 0,8 56,0 ± 6,2 9,0 ± 0,5
23,7 ± 1,0 57,0 ± 4,9 9,1 ± 0,2
Angka di Tabel adalah nilai rata-rata analisa (n=15) dan simpangan baku
penggilingan padi (Tabel 7). Kadar amilosa beras dari pedagang pasar rata-rata 23,8% dengan kisaran 22,426,2%. Konsistensi gel beras dari pedagang berkisar antara sedang sampai keras, dengan kisaran nilai 50-74 mm. Kandungan protein beras dari pedagang pasar relatif sama dengan beras dari unit penggilingan, berkisar antara 8- 9% (Tabel 7).
KESIMPULAN DAN SARAN Karakteristik fisik dan fisikokimia beras konsumsi di Indramayu, Cianjur, dan Ciamis, Jawa Barat, identik dengan karakter dari unit penggilingan padi dan pedagang pasar, yakni memiliki butiran kering, panjang, dan ramping, berwarna putih, persentase beras kepala tinggi, tingkat kepulenan dan tekstur nasi sedang. Karakteristik mutu beras tersebut, relatif sama dengan standar beras pengadaan dalam negeri. Karakter beras yang teridentifikasi sesuai dengan kriteria yang diinginkan unit penggilingan dan pedagang beras. Pemahaman dan penyadaran tentang mutu beras di tingkat penggilingan dan pedagang masih rendah. Sosialisasi standar dan labeling komponen mutu beras perlu dilakukan secara intensif agar pemilik penggilingan dan pedagang termotivasi meningkatkan mutu berasnya agar memiliki nilai jual yang lebih baik. Hasil identifikasi karakter mutu beras ini diharapkan bermanfaat bagi pemulia dalam perbaikan karakter dan perakitan varietas unggul baru.
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 28 NO. 1 2009
Anonim. 2003. Concepts of rice quality. Rice Quality Workshop 2003. www.plansciences.ucdavies.edu/rice/Quality/2003/ QualityConcepts.pdf.22 p. 9/1/2006.
Ishima, T., H. Taira, and K. Mikoshiba. 1984. Effect nitrogenous fertilizer application and protein content in milled rice on organoleptic quality of cooked rice. In S. Kawamura et al. 2003. Development of an automatic rice-quality inspection system. Computer and Electronics in Agriculture 40.
Anonim. 2006. Rice grain quality: determining the physical characteristics of milled rice. www.knowledgebank.irri.org/ grainQuality_loband/module_5/04.htm. 4/12/2006
Kumar, I. and G.S. Kush. 1986. Gene dosage effect of amylose content in rice endosperm. Japan Journal Genetics 61:559568.
Anonim. 2007. Program pengembangan beras berlabel di Indonesia. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian dan Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Pertanian Bogor.
Lamberts, L., Els De Bie, G.E. Vandeputte, W.S. Veraverbeke, V. Derycke, W. De Man, and J.A. Delcour. 2007. Effect of miling on colour and nutritional properties of rice. Food Chemistry 100:1496-1503.
AOAC. 2000. Official methods of analyisis of the Association of Official Analytical Chemists International, William Horwitz and G.W. Latimer Jr (eds). AOAC International, Gaithersburg, Maryland USA.
Lisle, A.J., M. Martin, and M.A. Fitzgerald. 2000. Chalky and translucent rice grains differ in starch composition and structure and cooking properties. Cereal Chemistry 77:627632.
Badan Standarisasi Nasional (BSN). 1999. Standar mutu dan cara uji beras giling. Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 016128-1999. Jakarta.
Ong, M.H. and J.M.V. Blanshard. 1995. Texture determination of cooked parboiled rice. I. Rice starch amylose and the fine structure of amylopectine. Journal of Cereal Science 21:251260.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Urusan L ogistik (BULOG). 2005. Pedoman umum pengadaan gabah dan beras dalam negeri tahun 2005 di lingkungan perusahaan umum BULOG. Divisi Pengadaan Perum BULOG, Jakarta. Bergman, C., Ming-Hsuan Chen, J. Delgado, and N. Gipson. 2006. Kernel form: rice grain quality. USDA-ARS-Rice Research Unit Rice Quality Program. http://beaumont.tamu.edu/ eLibrary/StudiRiceContest/2006/Rice Grain Quality. March 2006.
Rachmat, R., R. Thahir, and M. Gummert. 2006. The empirical relationship between price and quality of rice at market level in West Java. Indonesian Journal of Agricultural Science 7(1):27-33. Reddy, K.R., S.Z. Ali, and K.R. Bhattacharya. 1993. The fne structure of rice starch amylopectin and its relation to the texture of cooked rice. Carbohydrate Polymers 22:267-275.
Dela Cruz, N.M. 2002. Rice grain quality evaluation procedures. Methods currently in use in thePBGB (Plant Breeding, Genetic and Biochemistry) grain quality laboratory. International Rice Research Institute, Los Banos, Philippines: 9p
Suherman, D. 1999. Peningkatan nilai tambah pada prosesing produk tanaman pangan (beras). Makalah Seminar Strategi Peningkatan Nilai Tambah Komoditi Tanaman Pangan dan Hortikultura dalam Antisipasi Pasar Global Era Milenium III. Ditjen Tanaman Pangan dan Hortikultura. Jakarta. 9p.
Dipti, S.S, S.T. Hossain, M.N. Bari, and K.A . K abir. 2002. Physicochemical and cooking properties of some fine rice varieties. Asian Network for Scientific Information. Pakistan Journal of Nutrition 1(4):188-190
Singh, N., N.S. Sodhi, M. K aur, and S.K. Saxena. 2003. Physicochemical, morphological, thermal, cooking and textural properties of chalky and translucent kernels. Food Chemistry 82:433-439.
IRRI. 2002. Rice grain quality evaluation procedures. Methods currently in use in the PBGB (Plant Breeding, Genetic and Biochemistry) grain quality laboratory. International Rice Research Institute, Los Banos, Philippines: 9p
Umemoto, T., Y. Nakamura, and N. Ishikura. 1995. Activity of starch synthase and the amylose content in rice endosperm. Phytochemistry 40:1613-1616.
49