KAJIAN TRICHINELLOSIS PADA BABI DI KOTA MANADO PROVINSI SULAWESI UTARA
SYAHDU PRAMONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Trichinellosis pada Babi di Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2015 Syahdu Pramono B251130124
RINGKASAN SYAHDU PRAMONO. Kajian Trichinellosis pada Babi di Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara. Dibimbing oleh FADJAR SATRIJA and TRIOSO PURNAWARMAN. Trichinellosis adalah penyakit zoonotik bersumber makanan yang disebabkan oleh cacing nematoda Trichinella spp. Penyakit ini termasuk penyakit yang kurang mendapatkan perhatian di negara maju maupun negara berkembang meskipun dampak kerugian yang diakibatkan oleh penyakit ini sangat luas baik dari sisi kesehatan hewan dan manusia juga mempengaruhi ekonomi suatu negara. Host dari cacing ini sangat luas meliputi mamalia, burung, dan reptil. Penularan penyakit ini melalui konsumsi daging yang terinfeksi oleh larva infektif. Distribusi Trichinella spp. berkaitan dengan budaya mengonsumsi daging babi mentah atau setengah matang, dan merupakan faktor utama yang mendukung infeksi pada manusia di negara-negara industri dan nonindustri. Kajian trichinellosis di Indonesia masih sangat sedikit. Kejadian trichinellosis di Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara belum pernah dilaporkan. Penelitian ini dilakukan secara cross sectionnal untuk mengkaji trichinellosis pada babi peliharaan yang dipotong di rumah potong babi milik pemerintah dan di tempat-tempat pemotongan babi milik perseorangan di Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara. Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan uji digesty terhadap 278 sampel yang terbagi dalam 28 pool masing masing 139 sampel otot maseter dalam 14 pool dan 139 sampel otot diafragma dalam 14 pool. Hasil yang positif pada uji digesty dilanjutkan pengujian individu dengan metode kompresi untuk melihat bentuk morfologi larva Trichinella spp. apakah termasuk golongan encapsulated atau non-encapsulated menggunakan stereo mikroskop, dan dilakukan pewarnaan Hematoxilin Eosin (HE) untuk mewarnai jaringan dan larva dari Trichinella spp. sehingga memudahkan dalam pengamatan morfologi larva. Hasil penelitian menunjukkan terdapat satu pooled sampel otot difragma yang diduga mengandung larva Trichinella spp. sehingga dilanjutkan dengan pengujian secara individual terhadap sampel tersebut. Hasil dari pengujian individu dengan metode kompresi dan pewarnaan HE tidak ditemukan adanya kista dari larva Trichinella spp. pada semua sampel yang diuji. Program yang menjamin pengujian Trichinella spp. di rumah potong hewan babi maupun di tempat pemotongan babi pada daging babi untuk konsumsi manusia diperlukan agar dapat mendeteksi secara cepat keberadaan Trichinella spp. Kata kunci: Digesty, Kompresi, Trichinella.
SUMMARY SYAHDU PRAMONO. Study of trichinellosis in pig in Manado North Sulawesi Province. Supervised by FADJAR SATRIJA and TRIOSO PURNAWARMAN. Trichinellosis is a food-borne zoonotic disease caused by the nematode Trichinella spp. However the disease is still neglected disease in developed and developing countries. The impact of the loss caused by this disease is very large both in terms of animal and human health also affects the economy of a country. This worm has a very broad host spectrum involving mammals, birds, and reptiles. Transmission of the disease is through the consumption of infected meat by infective larvae. Distribution of Trichinella spp. associated with the cosumption culture of meat raw or undercooked pork, and is a major factor that supports human infection in industrialized countries and nonindustri. Study trichinellosis in Indonesia is rare. Even in the Manado city North Sulawesi, trichinellosis incident has not been reported. The study was conducted to assess trichinellosis in pigs slaughtered in the slaughterhouse pigs belonging to the government and in places pig slaughter private property in the Manado city North Sulawesi, by taking a sample of the masseter and diaphragm muscle pigs. The aims of this study were to observe the occurance Trichinella spp. in pig in Manado. The research was conducted using cross sectional study. Laboratory tests conducted by the test digesty to 278 samples divided into 28 pooled. 139 sample pools each masseter muscle in 14 pools and 139 samples and the diaphragm muscle in 14 pools. A positive result on the digesty test continued by individual testing with compression method to identified the morphology of larvae Trichinella spp. whether belonged encapsulated or nonencapsulated using a stereo microscope, and Hematoxilin eosin staining (HE) to influence the network and larvae of Trichinella spp. to facilitate the observation of the morphology of the larvae. The results showed there is a pooled sample of a diaphragma muscle suspected larvae Trichinella spp. and with testing individually sample with compression method and HE staining could not be identified any kista of larvae Trichinella spp. on all sampel tested. Programs that ensure Trichinella spp testing. The slaughterhouse pigs and in pig slaughter on pork for human consumption needed to be able to quickly detect the presence of Trichinella spp. Keywords: Compression, Digesty, Trichinella.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KAJIAN TRICHINELLOSIS PADA BABI DI KOTA MANADO PROVINSI SULAWESI UTARA
SYAHDU PRAMONO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Drh Yusuf Ridwan, MSi
Judul Tesis : Kajian Trichinellosis pada Babi di Kota Manado Provinsi Sulawesi
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul Kajian Trichinellosis pada Babi di Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara. Terima kasih penulis ucapkan kepada Drh Fadjar Satrija, MSc PhD dan Dr Drh Trioso Purnawarman, MSi selaku pembimbing yang banyak meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan dan mendorong penulis sejak awal usulan penelitian hingga selesainya karya ilmiah ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner yang telah banyak memberi saran dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada Badan Karantina Pertanian yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi S2 pada Program Studi Kesehatan MasyarakatVeteriner. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada istri tercinta Suwati, buah hati kami Arfa dan Qirania atas doa dan kasih sayangnya. serta rekan-rekan KMV 2013, atas dukungan moral dan material yang diberikan selama ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2015 Syahdu Pramono
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 2 2 2
2 TINJAUAN PUSTAKA Trichiella spp. Morfologi Siklus Hidup Distribusi Gejala Klinis Diagnosa Pencegahan dan Pengendalian
3 3 3 4 5 6 6 7
3 METODE PENELITIAN Kerangka Konsep Penelitian Waktu dan Tempat Penelitian Desain Penelitian Metode Pengujian Analisis Data
7 8 8 8 9 10
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
10
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
18 18 18
DAFTAR PUSTAKA
18
RIWAYAT HIDUP
21
DAFTAR TABEL 1 2 3 4
Lokasi dan jumlah pengambilan sampel Hasil uji digesty Hasil uji kompresi Hasil pemeriksaan degan metode pewarnaan HE
8 11 11 12
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6
Morfologi Trichinella spp. Siklus hidup Trichinella spp. Kerangka konsep penelitian Gambaran mikroskopik hasil uji digesty Gambaran mikroskopik hasil uji kompresi Gambaran mikroskopik hasil pewarnaan dengan metode HE
4 5 7 11 12 12
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Kemajuan teknologi khususnya di bidang transportasi menyebabkan meningkatnya lalulintas perdagangan antar daerah dan negara. Hal ini berdampak positif pada peningkatan ekonomi dan peningkatan daya saing produk agribisnis nasional. Lalulintas perdagangan tersebut disamping memindahkan komoditi peternakan dan produk olahannya, juga berpotensi menyebarkan penyakit dari satu daerah ke daerah lain. Sebanyak 75% penyakit-penyakit baru yang menyerang manusia dalam dua dasawarsa terakhir disebabkan oleh patogen-patogen yang berasal dari hewan atau produk hewan, sehingga pangan asal hewan lebih berpotensi berbahaya jika dibandingkan dengan pangan nabati. Oleh sebab itu, aspek keamanan pangan asal hewan perlu mendapat perhatian khusus. Salah satu penyakit parasitik zoonotik yang dianggap berbahaya untuk kesehatan manusia yang dapat ditularkan melalui produk hewan adalah trichinellosis (WHO 2005). Trichinellosis adalah penyakit zoonotik yang diakibatkan oleh infeksi cacing nematoda Trichinella spp. Penyakit ini menyebabkan kerugian pada manusia dan menjadi masalah epidemiologi di banyak negara setelah diketahui bahwa kehadiran Trichinella spp. di daging babi merupakan penyebab trichinellosis pada manusia (Schuppers 2010). Menurut Pozio (2005) Trichinella spp. tidak hanya ditemukan pada babi, namun juga pada banyak spesies hewan omnivora dan karnivora domestik maupun satwa liar. Manusia dapat terinfeksi larva Trichinella spp. melalui proses mengonsumsi daging yang tidak dimasak secara sempurna. Hal ini umum di negara-negara berkembang, namun banyak kasus juga yang terjadi di negara-negara maju di Eropa dan Amerika Utara, karena daging babi mentah atau kurang matang dan binatang liar dapat dikonsumsi sebagai hidangan. Adanya penyakit yang tidak terdeteksi dengan tepat menyebabkan meluasnya penyakit (Gottstein et al. 2009). Trichinellosis pada manusia telah dilaporkan di 41 negara di seluruh dunia (Murrell dan Pozio 2011). Oleh sebab itu pemeriksaan secara rutin terhadap Trichinella spp. di tempat pemotongan babi menjadi penting (Schuppers 2010). Informasi mengenai kejadian trichinellosis di Indonesia sendiri masih sangat sedikit hanya ada beberapa laporan mengenai penyakit ini yang telah dipublikasikan. Secara serologis kejadian trichinellosis pada manusia pernah dilaporkan terjadi pada penduduk di Pulau Bali dan sebesar 19.5% terinfeksi Trichinella spp. Infeksi Trichinella spp. pada babi domestik telah dilaporkan di Tapanuli, Sumatera Utara. Studi prevalensi trichinellosis pada daging babi di Kota Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur yang dilakukan oleh Angi et al. (2014) menyatakan bahwa 0.9% daging babi mengandung larva Trichinella spiralis. Populasi babi di Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2013 diperkirakan mencapai 409 473 ekor (Ditjennakeswan 2013). Olahan daging babi untuk konsumsi manusia di Kota Manado cukup beragam dan sangat digemari oleh masyarakat yang mempunyai kegemaran makan makanan khas minahasa. Menurut Kandou (2009), Jumlah penduduk etnis Minahasa adalah yang
2 terbanyak diantara etnis yang ada di Provinsi Sulawesi Utara dan mempunyai suatu kebiasaan pesta dengan menghidangkan makanan khas Minahasa yang sebagaian besar berasal dari babi. Makanan yang dianggap mewah adalah babi. Makanan yang dikonsumsi sehari harinya juga cenderung mengandung daging babi. Orang Minahasa makan daging babi sebagaimana kebanyakan penduduk Indonesia makan daging sapi. Kejadian infeksi oleh Trichinella spp. pada daging babi akan membahayakan kesehatan masyarakat dan tentunya akan mempuyai dampak terhadap kelangsungan peternakan babi di Provinsi Sulawesi Utara. Penelitian yang dilakukan oleh Kant et al. (2013), mengenai gambaran kebiasaan makan masyarakat di Kelurahan Malalayang Kota Manado memperlihatkan konsumsi daging babi mempunyai persentase tertinggi sebesar 65.5% dilanjutkan dengan ikan 55.6% dan daging ayam 34.4%. Konsumsi daging babi yang kurang masak dalam pengolahannya mempuyai risiko menyebarkan penyakit yang disebabkan oleh Trichinella spp. Menurut Pozio (2007), Distribusi Trichinella spp. berkaitan dengan budaya mengonsumsi daging babi mentah atau setengah matang, dan merupakan faktor utama yang mendukung infeksi pada manusia. Penelitian tentang kejadian trichinellosis di Kota Manado sampai saat ini belum pernah dilakukan. Untuk itu perlu dilakukan kajian terhadap trichinellosis di Kota Manado sehingga dapat dikembangkan strategi pengawasan dan pengendalian dalam menghindari penularan trichinellosis ke manusia.
Perumusan Masalah Tingginya kebutuhan konsumsi terhadap daging babi di kota Manado memiliki resiko tersebarnya penyakit trichinellosis pada manusia, oleh karena itu perlu dilakukan suatu kajian terhadap trichinellosis pada daging babi yang diperuntukan untuk konsumsi manusia di Kota Manado. Kajian terhadap Trichinellosis pada babi di Kota Manado dilakukan dengan pengujian laboratorium. Metode pengujian yang digunakan adalah metode digesty, metode kompresi dan metode pewarnaan Hemaxtocillin Eosin (HE).
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kejadian trichinellosis pada babi peliharaan yang dipotong di rumah potong hewan babi milik pemerintah dan di tempat-tempat pemotongan hewan babi milik perseorangan di Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara.
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai kejadian trichinellosis pada babi di Kota Manado sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan untuk menetapkan kebijakan yang harus diterapkan sebagai langkah pencegahan penyebaran trichinellosis.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Trichinella spp. Cacing nematoda yang termasuk genus Trichinella spp. adalah agen penyebab dari zoonosis yang dikenal dengan trichinellosis. Parasit ini tersebar luas di satwa liar di semua benua kecuali benua Antartika, dan babi domestik dari banyak negara. Saat ini, delapan spesies dan tiga genotipe diakui dalam genus Trichinella spp. yaitu Trichinella spiralis, Trichinella nativa, Trichinella britovi, Trichinella pseudospiralis, Trichinella murrelli, Trichinella nelsoni, Trichinella papuae, dan Trichinella zimbabwensis. Tidak ada perbedaan morfologi di antara spesies dan genotipe, tetapi dapat dibedakan dengan menggunakan analisis biokimia atau molekuler (OIE 2007). Pada tahun 1860, ahli patologi Jerman Friedrich Albert Zenker menemukan biologi dan peran patogenik dari Trichinella spiralis pada manusia. dan dapat mendeteksi sumber wabah trichinellosis dan merumuskan cara tertentu untuk mengendalikan infeksi yang ditularkan melalui makanan. Virchow pada tahun 1864 menindaklanjuti penemuan ini dan berperan dalam memperkenalkan metode pemeriksaan untuk infeksi Trichinella spp. di babi domestik di Jerman. Dari banyak studi, Virchow menyimpulkan bahwa trichinellosis adalah infeksi individu hewan, dan bahwa babi yang terinfeksi tunggal bisa menjadi penyebab infeksi pada ratusan orang (Nockler et al. 2000). Penyebaran Trichinella spp. di sebagian besar wilayah di dunia telah ditemukan sebagai agen penyebab trichinellosis pada manusia, penyakit yang tidak hanya berbahaya untuk kesehatan masyarakat, tetapi juga menimbulkan masalah ekonomi terutama dalam produksi ternak babi dan keamanan pangan (Gottstein et al. 2009). Kasus trichinelosis pada manusia di Amerika Serikat (AS) disebabkan karena memakan larva yang terdapat dalam daging babi mentah atau dimasak kurang sempurna. Peningkatan praktik pemberian makan babi dan pemeriksaan secara rutin di rumah pemotongan hewan secara drastis telah mengurangi kejadian trichinellosis pada daging babi mentah di AS pada tahun 1997-2001, hanya 17% dari kasus yang dikaitkan dengan daging babi komersial dan 13% dari kasus dari babi non-komersial (Doyle 2003). Pengendalian di beberapa negara telah difokuskan pada kontrol atau penghapusan Trichinella spp. dari rantai makanan. Sumber yang paling penting dari infeksi pada manusia di seluruh dunia adalah babi domestik, walaupun di Eropa dilaporkan daging kuda dan babi hutan telah memainkan peran penting selama wabah dalam tiga dekade terakhir (Gottstein et al 2009).
Morfologi Larva dalam otot adalah larva stadium infeksi (L1) dan perkembangan selanjutnya terjadi hanya setelah larva melakukan penetrasi di mukosa usus host yang baru. Larva yang baru lahir (rata-rata panjang 0.11 mm, lebar 0.07 mm) menunjukkan ciri-ciri morfologi dasar. Pada tahap ini, seks tidak dapat
4 diidentifikasi (OIE 2007). Secara umum morfologi Trichinella spp. dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 A. Cacing dewasa yang berkembang di usus halus setelah infeksi oral dengan larva otot; cacing kecil merupakan larva baru lahir (L1 belum matang), yaitu infeksi pada otot. B. Larva infektif dalam sel otot dikelilingi oleh kapsul kolagen (biru). C. Larva infektif otot, pewarnaan Azan dari penampang memanjang larva. M: midgut, G: primordial genital, S: stichocyte (Dewi dan Sumarwanta 2012)
Siklus Hidup Siklus hidup parasit ini terdiri dari dua macam siklus yaitu siklus domestik yang terjadi pada hewan-hewan sinantrhopik maupun hewan-hewan domestik, dan siklus sylvatik yang terjadi pada hewan liar (Pozio 2001). Jumlah larva yang akan dihasilkan tergantung pada status imun host yang terinfeksi dan jenis spesies parasit tersebut. Diperkirakan 500-1 500 larva akan lahir selama rentang kehidupan cacing betina dewasa sebelum reaksi respon imun host memaksa mereka keluar dari usus kecil (Dewi dan Sumarwanta 2012). Secara umum siklus hidup Trichinella spp. dapat dilihat pada Gambar 2.
5
Gambar 2 Trichinellosis diperoleh dengan menelan daging yang mengandung kista (larva encysted) Trichinella (1). Setelah paparan asam lambung dan pepsin, larva dilepaskan dari kista (2) dan menyerang mukosa usus kecil di mana mereka berkembang menjadi cacing dewasa (3) (betina 2.2 mm panjang, jantan 1.2 mm, rentang hidup di usus halus selama empat minggu). setelah satu minggu, betina melepaskan larva (4) yang bermigrasi ke otot lurik dan menjadi bentut kista (5) (CDC 2012)
Distribusi Cacing nematoda dari genus Trichinella adalah salah satu patogen zoonosis dengan penyebaran hampir di semua benua. Trichinella spp. telah menginfeksi pada hewan domestik terutama babi di 43 negara, sedangkan infeksi pada satwa liar telah dilaporkan di 55 negara di seluruh dunia (Pozio 2007). Dari wabah trichinellosis pada manusia yang dilaporkan di 41 negara antara tahun 1986-2009 telah terjadi 65818 kasus (Murrell dan Pozio 2011). Diperkirakan sekitar 11 juta manusia telah terinfeksi trichinellosis di berbagai negara (Dupouy-Camet 2000). Kasus trichinellosis di wilayah Asia Tenggara mulai banyak dilaporkan di Laos terdata 51 orang menderita trichinellosis yang didokumentasikan pada tahun 1975 dan di Papua Nugini bagian barat trichinellosis terdeteksi pada babi liar dan prevalensi pada manusia di daerah tersebut sebesar 28.9% (Pozio 2001). Wabah trichinellosis terjadi pada 84 siswa dan guru di Singapura, saat berkunjung ke sebuah pulau di Malaysia tahun 1998 (Kurup et al. 2000), Trichinellosis pernah juga dilaporkan di Myanmar tetapi prevalensinya belum diketahui (Watt et al. 2000). Kasus terbaru dilaporkan di Thailand dimana seroprevalensi trichinellosis
6 pada babi sebesar 4%, di Vietnam sebesar sebesar 19.9% dan di Malaysia sebesar 2% (Chandrawathani et al. 2010). Gejala Klinis Tanda-tanda klinis dari trichinellosis umumnya tidak teramati pada hewan, dan menjadi penting karena sifatnya sebagai zoonosis (OIE 2012). Hewan yang menelan larva Trichinella dalam jumlah yang tinggi dari daging yang terinfeksi tidak akan menunjukkan gejala-gejala klinis seperti yang diamati pada manusia (Pozio 2007). Gejala klinis trichinellosis pada pada manusia tergantung pada umur host, kondisi resistensi, serta jumlah larva yang ditelan. Gejala klinis ini umumnya tampak pada 1 sampai 6 minggu setelah infeksi (Capo dan Despommier 1996).
Diagnosa Metode langsung untuk mendeteksi larva Trichinella spp. dalam sampel otot dirancang untuk memberikan sensitivitas maksimum, tetapi memiliki keterbatasan. Efisiensi deteksi langsung larva Trichinella spp. tergantung pada metode tertentu yang digunakan, lokasi sampel dan ukuran sampel. Urutan pentingnya situs predileksi dapat bervariasi dalam tingkat infeksi yang rendah. Jumlah sampel yang akan digunakan untuk mendeteksi larva Trichinella spp. harus dipilih untuk memberikan tingkat yang memadai sensitivitas dan hubungan biaya-manfaat yang dapat diterima (Nockler et al. 2000). Pada prinsipnya, metode digesty memungkinkan pemeriksaan sampel otot hingga 100 sampel. Meskipun teknik pencernaan buatan membutuhkan peralatan teknis lainnya, tetapi teknik ini memenuhi persyaratan untuk efisiensi, efektivitas biaya, dan sensitivitas, baik encapsulated dan non-encapsulated larva Trichinella dapat dengan mudah dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis dari cairan pencernaan. Metode kompresi digunakan untuk membedakan antara species dari Trichinella spp. dengan melihat bentuk morphologi larva Trichinella spp. apakah termasuk golongan encapsulated atau non-encapsulated (Gottstein et al. 2009). Pewarna histologis diklasifikasikan sebagai pewarnaan asam atau sebagai pewarna dasar. Setiap bahan yang diwarnai oleh hematoxylin dianggap sebagai basofilik. Struktur basofilik biasanya mengandung asam nukleat, seperti ribosom dan kromatin yang kaya inti sel, dan daerah sitoplasma yang kaya RNA. Bila menggunakan hematoxylin, struktur dalam jaringan akan terlihat sebagai warna ungu sampai biru. Eosin bertindak sebagai pewarna asam dan karena itu warna bahan dasar akan terlihat sebagai warna merah sampai merah muda. Sebagian besar sitoplasma, protein intraseluler dan protein ekstraseluler adalah eosinophilic. Pewarnaan akan memungkinkan komponen jaringan non-nuklear menjadi jelas dibedakan satu sama lain, misalkan otot dan kolagen. Beberapa struktur yang tidak terwarnai dengan baik, seperti lamina basal, dan struktur kaya lemak hidrofobik (adiposit, myelin) cenderung tetap jelas (Rueg and Meinen 2014).
7 Pencegahan dan Pengendalian Dilihat dari daur hidupnya, babi dan tikus dapat terinfeksi di alam. Infeksi pada babi terjadi karena babi tersebut makan tikus yang mengandung larva infektif dalam ototnya, atau babi makan sampah dapur atau sisa daging babi yang mengandung larva infektif. Sebaliknya, tikus mendapat infeksi karena makan sisa daging babi di rumah pemotongan hewan atau di rumah dan juga karena makan bangkai tikus. Oleh karena itu, pencegahan penularan parasit ini sangat tergantung pada pengendalian populasi tikus dan konsumsi daging mentah (Dewi dan Sumarwanta 2012). Di daerah endemik, tikus dapat menyebabkan risiko trichinellosis untuk hewan dalam lingkungan sekitarnya karena mencemari pakan mereka. Pengendalian tikus menjadi penting untuk mencegah trichinellosis, dengan meminimalkan kontak langsung dan menjaga kebersihan pakan. Ternak babi yang mempunyai risiko tertinggi untuk infeksi Trichinella spp. adalah peternakan kecil dengan kandang yang minimal dan sering diberi makan sisa-sisa makanan atau bentuk lain dari limbah daging yang tercemar oleh tikus yang terinfeksi Trichinella spp. Pengetahuan peternak tentang cara penularan Trichinella spp. memungkinkan peternak babi untuk merancang sistem manajemen yang mencegah atau secara drastis mengurangi risiko penularan. Poin-poin penting utama adalah sistem perkandangan dan lingkungan, pakan dan penyimpanan pakan, kontrol hewan pengerat, kebersihan pertanian termasuk pembuangan hewan yang mati, dan mengendalikan peternakan babi tradisional (Gottstein et al 2009). Pencegahan trichinellosis pada manusia didasarkan pada tiga pendekatan utama yaitu pendidikan konsumen tentang risiko konsumsi daging dan produk daging mentah atau setengah matang yang bisa menjadi pembawa parasit, peternakan babi baik modern, industri, dan peternakan tradisional di bawah kontrol yang ketat dan penggunaan bahan pakan bersertifikat dan kontrol dari semua hewan yang rentan (baik domestik maupun sylvatic) (Dewi dan Sumarwanta 2012).
3 METODE PENELITIAN Kerangka Konsep Penelitian Kerangka konseptual pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3. Sampel 1. RPH babi 2. TPH babi
Metode pemeriksaan 1. Digesty 2. Kompresi 3. Pewarnaan Hematoxilin Eosin Gambar 3 Kerangka konsep penelitian
Kejadian Trichinellosis
8 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan dari Agustus sampai Oktober 2014. Pengambilan sampel dilakukan di Rumah Potong Babi Taas milik Pemerintah Daerah Kota Manado dan tempat pemotongan babi milik perseorangan yang terdapat di Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara. Pemeriksaan dan identifikasi terhadap larva Trichinella spp. pada otot dilakukan di Laboratorium Helminthologi Institut Pertanian Bogor dan pewarnaan jaringan otot dilakukan di Laboratorium Patologi Institut Pertanian Bogor.
Desain Penelitian Penelitian ini dilakukan secara lintas seksional dengan mengambil sampel otot masseter dan diafragma babi yang dipotong di rumah potong hewan babi dan tempat pemotongan babi. Besaran sampel ditentukan dengan menggunakan software Win Episcope 2.0, dengan tingkat kepercayaan 95% dan prevalensi yang diharapkan adalah 10% serta tingkat kesalahan 5% sehingga diperoleh besaran sampel sebesar 139 sampel (Tabel 1). Pengambilan sampel dilakukan di empat tempat pemotongan babi yang secara rutin melakukan pemotongan yaitu di Rumah Potong Hewan Babi Taas milik pemerintah daerah Kota Manado yang terletak di Desa Taas dan di tempat pemotongan babi milik perseorangan yang terdapat di tiga lokasi yaitu yaitu Pasar Karombasan, Pasar Perum, dan Pasar Bersihati. Tabel 1 Lokasi dan jumlah pengambilan sampel Lokasi Pengambilan Sampel RPH Babi Pasar Karombasan Pasar Perum Pasar Bersihati Jumlah
Jumlah Sampel Masetter 51 34 34
Diafragma 51 34 34
20 139
20 139
Diagnosa trichinellosis didasarkan pada hasil pemeriksaan mikroskopis keberadaan larva pada otot babi menggunakan metode sampel kelompok (pooled) digesty. Hasil yang positif pada uji digesty ditelusuri melalui pemeriksaan individu dengan metode kompresi. Selanjutnya pengamatan bentuk morfologi larva Trichinella spp. apakah termasuk golongan encapsulated atau nonencapsulated dilakukan pada jaringan otot yang diwarnai dengan Hematoxilin Eosin (HE).
Metode Pengujian Metode Digesty Pemeriksaan sampel daging dengan metode digesty dilakukan untuk mendeteksi adanya kehadiran larva Trichinella spp. Digesty dilakukan pada sampel otot masing-masing 10 gram. Sampel diblender sampai homogen dan
9 ditambahkan 50-100 ml laruran air kemudian diblender sampai campuran berbentuk cair, lalu ditambahkan 10 gram pepsin, 16 ml HCL 25% dan 200 ml air dan dicampur selama 5 detik. Sampel yang telah homogen dipindahkan ke gelas 3 liter yang berisi batang pengaduk. Kemudian ditambahkan 2 liter air ke dalam blender untuk pembilasan semua sisa homogenat dan tuang ke ke gelas 3 liter. Gelas 3 liter ditempatkan pada hotplate stirer yang dipanaskaan pada suhu 45 0C + 2 0C, kemudian gelas ditutup dengan alumunium foil. Pengaduk diaktifkan dengan kecepatan tinggi untuk membuat deep vortek tanpa percikan. Cairan pencernaan dituangkan ke dalam 2 liter separator funnel 0.17-0.18 mm dan dibilas pada suhu kamar dengan air dan tuangkan melalui saringan ke dalam 2 liter separator funnel Setelah itu pindahkan 40 ml cairan pencernaan dari separator funnel ke dalam conical tube 50 ml dan didiamkan selama 10 menit kemudian supernatant dibuang sebanyak 30 ml. secara perlahan aduk larutan sisa dan pindahkan ke dalam cawan petri dan ditunggu minimal 1 menit untuk memungkinkan larva menetap ke bawah, kemudian menggunakan mikroskop stereo pembesaran 10-16x secara sistematis cawan petri diperiksa untuk kehadiran larva Trichinella spp. (OIE 2012). Metode Kompresi Sampel otot dipotong setipis mungkin menjadi sejumlah potongan dengan masing-masing potongan sepanjang serat otot. Selanjutnya sampel otot dikompresi antara dua pelat kaca sampai terlihat tembus pandang. Otot diperiksa secara individual untuk melihat bentuk morfologi larva Trichinella spp. menggunakan mikroskop stereo (OIE 2007). Metode Pewarnaan Hematoxilin Eosin (HE) Pembuatan preparat histopatologi dimulai dengan trimming sampel otot dan didehidrasi di dalam alkohol dengan konsentrasi bertingkat (alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, alkohol absolut I dan II), xylol (I dan II) dan parafin (I dan II) dengan menggunakan tissue processor. Pencetakan adalah suatu proses penananaman jaringan dalam parafin sehingga terbentuk blok parafin. Proses ini dikerjakan dengan bantuan alat (embedding console) yang dilengkapi dengan hot plate dan tempat stock parafin cair sehingga pengaturan posisi jaringan dapat dilakukan dengan baik. Cetakan diisi dengan parafin cair kemudian jaringan diletakkan di dalamnya dengan menggunakan pinset. Blok parafin yang sudah setengah beku diberi label untuk memudahkan identifikasi jaringan. Tahap selanjutnya adalah pendinginan blok parafin pada suhu 4-5 0C. Pemotongan jaringan dilakukan dengan menggunakan alat mikrotom dengan ketebalan irisan 4-5 µm. Hasil potongan jaringan yang didapat ditempelkan pada gelas objek dan dimasukkan ke dalam inkubator dengan suhu 370C selama 24 jam sampai jaringan melekat sempurna (Samuelson 2007). Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) merupakan pewarnaan dengan menggunakan dua jenis zat warna, yaitu Mayer Hematoksilin dan Eosin. Pewarnaan HE dimulai dengan pencelupan jaringan pada larutan xylol I lalu berturut-turut xylol II, xylol III, alkohol absolut, alkohol 96%, dan alkohol 70% masing-masing selama satu menit dan dicuci dengan air selama tiga puluh detik. Selanjutnya dilakukan pencelupan ke dalam pewarna Mayer Hematoksilin selama satu menit dilanjutkan dengan mencuci dengan air selama tiga puluh detik.
10 Kemudian preparat dicelupkan tiga kali ke dalam li thium karbonat dan dibilas kembali dengan air selama tiga puluh detik. Tahap selanjutnya dilakukan pencelupan ke dalam Eosin selama dua menit tiga puluh detik dan dibilas kembali selam tiga puluh detik. Kemudian dilakukan pencelupan kembali ke dalam alkohol bertingkat mulai dari 70%, 80%, dan 96% sebanyak sepuluh celupan untuk alkohol absolut dilakukan sebanyak lima belas celupan. Berikutnya, yang terakhir adalah melakukan pencelupan ke dalam xylol I, xylol II, xylol III dan xylol IV selama masing-masing satu menit dan selanjutnya ditutup dengan cover glass (Samuelson 2007). Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran obyektif 10x sampai dengan 40x, pada beberapa bidang pandang hingga gambaran histopatologi dapat didiskripsikan secara jelas.
Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan menyajikan hasil uji keberadaan Trichinella spp. pada daging babi di Kota Manado Sulawesi Utara, dalam bentuk tabel dan gambar. Analisis deskriptif adalah bidang statistik yang membahas tentang metode mengumpulkan, menyederhanakan, dan menyajikan data sehingga dapat memberikan informasi (Mattjik dan Sumertajaya 2002).
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi Pengambilan Sampel Kota Manado sendiri terletak di ujung utara Pulau Sulawesi dan merupakan kota terbesar di belahan Sulawesi Utara sekaligus sebagai ibukota Propinsi Sulawesi Utara. Secara geografis terletak di antara 10 25' 88" - 10 39' 50" LU dan 1240 47' 00" - 1240 56' 00" BT (BPS 2014). Pengambilan sampel dilakukan di empat lokasi yang secara rutin melakukan pemotongan babi yaitu di rumah potong hewan babi milik pemerintah daerah kota manado yang terletak di desa Taas dan di tempat pemotongan hewan babi milik perseorangan yang terdapat di tiga lokasi yaitu yaitu Pasar Karombasan, Pasar Bersihati, Pasar Perum. Metode Digesty dengan Metode Magnetic Stirer Hasil pengujian dengan uji digesty terhadap 278 sampel yang terbagi dalam 28 pool masing masing 139 sampel otot maseter dalam 14 pool dan 139 sampel otot diafragma dalam 14 pool diperoleh hasil diduga positif pada satu uji digesty otot diafragma dengan kode pool P.14 (Tabel 2).
11 Tabel 2 Hasil uji Digesty Kode Pool
Hasil Digesty Maseter Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi
P.1 P.2 P.3 P.4 P.5 P.6 P.7 P.8 P.9 P.10 P.11 P.12 P.13 P.14
Diafragma Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Terdeteksi
Gambaran mikroskopik hasil uji digesty yang diduga larva Trichinella spp. dapat dilihat pada Gambar 4. A
Gambar
B
4 (A). Sampel otot babi yang diperiksa menggunakan uji digesty di bawah stereomikroskop dengan perbesaran 10 kali yang diduga merupakan larva Trichinella spp. (B). Kontrol positif Trichinella spp. (Angi et al. 2014)
Metode Kompresi Hasil pemeriksaan dengan metode kompresi terhadap 9 sampel individu (dari satu uji digesty yang positif) dengan stereomikroskop terhadap keberadaan encapsulated dan non-encapsulated larva Trichinella spp. didapatkan tidak satupun dari sampel terdeteksi larva Trichinella spp. (Tabel 3). Tabel 3 Hasil uji Kompresi Kode Sampel D 131 D 132 D 133 D 134 D 135 D 136 D 137 D 138 D 139
Hasil Pemeriksaan Tidak Terdeteksi Tidak Terdeteksi Tidak Terdeteksi Tidak Terdeteksi Tidak Terdeteksi Tidak Terdeteksi Tidak Terdeteksi Tidak Terdeteksi Tidak Terdeteksi
12 Gambaran mikroskopik hasil uji kompresi. dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 (A). Sampel otot babi yang diperiksa menggunakan uji kompresi di bawah stereomikroskop dengan perbesaran 10 kali. (B). Kontrol positif Trichinella spiralis. (Angi et al. 2014). Metode Pewarnaan HE Pewarnaan jaringan dengan metode HE dilakukan pada sampel yang diduga positif terhadap Trichinella spp. Hasil dari pewarnaan ini terhadap sampel yang diuji didapatkan tidak satupun dari sampel terdeteksi larva Trichinella spp. (Tabel 4), dan untuk gambaran mikroskopisnya dapat dilihat pada gambar 6. Tabel 4 Hasil pemeriksaan dengan metode pewarnaan HE Kode Sampel D 131 D 132 D 133 D 134 D 135 D 136 D 137 D 138 D 139
A
Hasil Pemeriksaan Tidak Terdeteksi Tidak Terdeteksi Tidak Terdeteksi Tidak Terdeteksi Tidak Terdeteksi Tidak Terdeteksi Tidak Terdeteksi Tidak Terdeteksi Tidak Terdeteksi
B
Gambar 6 A. Hasil pemeriksaan sampel otot babi yang diperiksa menggunakan pewarnaan HE di bawah stereomikroskop. B. Kontrol positif trichinellosis dokumentasi laboratorium Helminthologi FKH IPB. Pemeriksaan daging babi dengan metode langsung untuk mendeteksi larva Trichinella spp. didesain untuk mencegah trichinellosis klinis pada manusia tetapi tidak untuk mencegah infeksi. Identifikasi larva Trichinella spp. pada sampel otot babi terbatas pada pemeriksaan postmortem. Metode yang mempunyai
13 sensitivitas tinggi untuk mendeteksi larva Trichinella spp. dalam sampel otot sangat diperlukan. Kinerja dari metode langsung sangat dipengaruhi oleh ukuran sampel, jenis otot yang dipilih untuk sampling, dan metode khusus yang digunakan. Hewan yang memakan larva Trichinella spp. dengan jumlah yang banyak pada daging yang terinfeksi tidak akan menunjukkan gejala klinis seperti yang diamati pada manusia yang terinfeksi (Gottstein et al. 2009). Saat ini, deteksi langsung adalah metode pilihan untuk keperluan pemeriksaan daging babi. Kedua metode pemeriksaan baik metode trichinoscopy (kompresi) dan metode digesty dapat digunakan, namun metode digesty lebih disukai karena sensitivitas yang lebih baik dan kapasitas pemeriksaan yang lebih tinggi (Schuper 2010). Babi yang terinfeksi mungkin tidak terdeteksi positif selama pengujian dengan pengujian menggunakan metode digesty. Sensitivitas konfirmasi uji digesty tergantung pada pemilihan otot, ukuran sampel dan kepadatan larva. Di atas kepadatan larva 3-5 lpg, sensitivitas 100% tercapai, tapi di bawah 1 lpg sensitivitas turun menjadi 40%. Karena 15-20% dari babi yang terinfeksi secara alami mempunyai kepadatan larva kurang dari 1 lpg, menyebabkan babi yang terinfeksi tidak dapat dideteksi dengan metode ini (Schuppers et al. 2010). Namun demikian, metode digesty dianggap cukup sensitif untuk mencegah penyakit klinis pada manusia dan karena itu metode pilihan untuk rutin pemeriksaan daging (Schuppers 2010). Pada babi domestik, tiga situs predileksi utama untuk Trichinella spiralis adalah diafragma, lidah, dan otot. Metode yang sering digunakan untuk mendiagnosis babi yang terinfeksi adalah dengan mencampur daging sampel (misalnya, diafragma, maseter, lidah atau otot-otot lain) dengan pepsin-HCL dan kemudian dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk larva. Walaupun agak rumit, sensitivitas dari metode ini relatif seragam untuk seluruh infeksi (Gottstein et al. 2009) Selain pemilihan otot untuk diagnosa optimal, ukuran sampel yang memadai perlu diperhatikan untuk menghasilkan sensitivitas pada tingkat yang dapat diterima untuk mendeteksi larva Trichinella spp. Untuk pemeriksaan daging babi yang ditujukan untuk konsumsi manusia, dengan metode yang sensitif minimal 1 sampai 3 lpg jaringan terinfeksi dianggap merupakan masalah keamanan pangan. Untuk pemeriksaan menggunakan metode digesty di rumah potong babi, minimal sampel yang digunakan adalah 1 gram jaringan dari tempat predileksi harus diperiksa. Untuk mencapai sensitivitas diagnostik yang lebih tinggi, 5 sampai 10 gram otot predileksi harus diuji oleh metode pool digesty. Jika otot dari predileksi Trichinella tidak tersedia untuk diperiksa, pemeriksaan harus diuji menggunakan jumlah sampel yang lebih besar dari otot-otot lain dalam rangka memberikan sensitivitas yang memadai (Gottstein et al. 2009). Sampel yang di uji dengan pepsin digesty pada penelitian ini adalah 10 gram per sampel dan dalam satu pool terdapat 10 sampel yang diuji sehingga diharapkan dengan metode pepsin digesty ini dapat mendeteksi hasil positif pada sampel walaupun jika hanya ada satu larva Trichinella spp yang ditemukan. Menurut Karn et al.(2008), metode digesty mempunyai limit deteksi 1-3 lpg sampel otot. Minimum 1 gram sampel otot cukup untuk mendeteksi Trichinella spp. dimana tujuannya untuk menunjukkan adanya infeksi oleh Trichinella spp.
14 Dengan metode digesty jaringan sampel dari beberapa hewan dapat dikumpulkan dan dianalisis secara bersamaan. Pada babi domestik, sampel 1 gram jaringan diafragma dari satu babi sampai dengan 100 babi dapat dianalisis di waktu yang sama. Sampel yang diuji dengan metode ini akan mengalami proses pencernaan buatan sehingga akan melepaskan larva Trichinella spp. dari kapsulya. Selanjutnya, cairan dipelajari di bawah mikroskop untuk mendeteksi larva (Schupper 2010). Beberapa metode telah dikembangkan dalam metode digesty dan pada penelitian ini menggunakan metode magnetic stirer. Metode dengan magnetic stirer dianggap sebagai gold standard karena metode ini khusus dirancang untuk sampel yang dikumpulkan, dan telah mengalami validasi studi. Penelitian yang dilakukan oleh Gottstein et al. (2009) menunjukkan bahwa dalam uji coba validasi dari metode magnetic stirrer, kepadatan larva lebih dari 3 lpg secara konsisten terdeteksi dengan ukuran sampel yang diterima saat ini adalah dari 1 gram sampel, sedangkan kepadatan larva dari 1.0-1.9 lpg diperlukan ukuran sampel 3 gram sampai 5 gram. Bentuk tampilan yang paling membedakan larva Trichinella adalah stichosome yang terdiri dari serangkaian sel diskoid lapisan esofagus dan menempati setengah bagian depan dari tubuh cacing. Larva Trichinella mungkin muncul melingkar (saat dingin), motil (ketika hangat) atau berbentuk seperti huruf C (saat mati). Jika ragu-ragu larva harus dilihat pada perbesaran yang lebih tinggi dan jaringan harus diperiksa lebih lanjut (OIE 2012). Menurut Gottstein et al. (2009) hasil pengujian daging babi secara rutin dengan metode digesty tidak mampu menunjukkan kebebasan dari infeksi Trichinella spp. pada babi domestik. Larva nematoda yang bermigrasi kadang-kadang dapat ditemukan pada jaringan otot, dan untuk membedakan Trichinella spp. dengan nematoda lainnya diperlukan perbesaran yang kuat sehingga dapat dilakukan identifikasi. Secara teoritis diferensial diagnosa umum untuk larva Trichinella spp yang dapat ditemukan dalam pengujian digesy diantaranya adalah Ascaris suum dan Metastrongylus apri. Selain itu pengujian infeksi dengan Toxocara canis telah menunjukkan bahwa larva dapat ditemukan pada saat pengujian digesty dikarenakan adanya larva migrans ke tempat predileksinya pada tahap awal infeksi (Davidson et al. 2012). Penggunaan utama dari metode kompresi adalah untuk deteksi post mortem. Karena metode ini merupakan metode yang sederhana dan ekonomis dalam pengerjaannya, hal ini secara rutin digunakan untuk menyelidiki keberadaan larva Trichinella spp. pada otot, meskipun nilai sensitivitas diagnostik yang dipengaruhi pengalaman operator dalam pemeriksaan sampel (Melgar et al. 2007). Dengan uji kompresi, potongan kecil jaringan otot diafragma babi ditekan diantara dua pelat kaca dan diperiksa dengan seksama menggunakan mikroskop untuk mendeteksi larva Trichinella spp. Hal ini diasumsikan bahwa jaringan yang diperksa harus mengandung minimal 3 lpg untuk memmperoleh hasil deteksi secara handal. Namun, non-encapsulated spesies Trichinella seperti Trichinella pseudospiralis sangat sulit untuk dideteksi dengan metode ini. Oleh karena itu, metode ini tidak direkomendasikan untuk pemeriksaan rutin (Schupper 2010). Preparat histopatologi dalam beberapa kasus dapat digunakan untuk menentukan apakah infeksi baru atau lama dengan mengamati beberapa karakteristik dari kompleks sel parasit. Tidak adanya kapsul dan adanya cacing
15 dalam kompleks menunjukkan bahwa infeksi sedang berlangsung. Sebuah kapsul matang dan parasit melingkar mengindikasikan infeksi yang lebih lama yang mungkin telah diperoleh (Rueg and Meinen 2014). Pemeriksaan dengan metode pewarnaan HE pada sampel tidak ditemukannya bentukan cysta atau nurse cell serta tidak adanya perubahan morfologi sel otot. Menurut Wu et al. (2001), perubahan sel otot pada babi yang terinfeksi Trichinella spp. yang tampak pada pemeriksaan HE yaitu adanya perubahan morfologi segera setelah infeksi oleh larva yang baru lahir dari Trichinella spiralis. Sel otot akan kehilangan karakteristik myofibril dan akan bertransformasi ke sel perawat (nurse cell), infeksi Trichinella pseudospiralis juga akan menyebabkan disintegrasi myofibril, meskipun lebih lambat. Secara umum, sarcoplasma akan rusak kemudian serabut otot cepat tertutup untuk meminimalkan nekrosis. Akibatnya, seluruh panjang sel otot dipengaruhi oleh sel sel intraseluler dan sejumlah besar sel-sel satelit akan diaktifkan. Sel-sel satelit merupakan sumber pertumbuhan dan perbaikan pada otot rangka dewasa. Ketika diaktifkan karena cedera, sel-sel satelit memulai aktivitas sel induk dan gen ekspresi yang mengarah ke regenerasi, penggantian dan hipertrofi otot rangka. Dalam regenerasi otot, myoblasts ini menyatu satu sama lain untuk membentuk miofibril baru. Infeksi pada babi dimulai dengan infeksi fase enteral, yaitu ketika host memakan daging yang terkontaminasi dan mengandung larva otot stadium infektif. Cairan pencernakan lambung (pepsin dan asam klorida) menghancurkan kapsul selubung larva (capsule like cyst) dan melepaskan larva yang akan berpenetrasi dan melakukan absorbsi pada sel goblet mukosa, kemudian dalam waktu 24-30 jam larva akan mengalami perubahan menjadi cacing dewasa. Setelah 5 hari kemudian larva tahap pertama (L1) akan lahir, dan masuk ke peredaran darah perifer masuk ke hati dan dibawa ke berbagai jaringan tubuh khususnya. otot diafragma, otot mandibula, lidah, laring dan mata, yang kemudian akan berkembang menjadi larva tahap infektif. Penetrasi larva ke sel otot terjadi sekitar 6 hari setelah infeksi. Masa nukleus yang terbentuk di sekitar larva dikenal sebagai nurse cell yang merupakan sel perawat yang menyokong pertumbuhan larva. Pada hari ke 17 setelah infeksi larva akan menggulung dan menyerap nutrisi dari sarkoplasma host dan jaringan kapiler host disekitar larva dan kompleks nurse cell menjadi sumber pertumbuhan larva. Pada minggu ke delapan setelah infeksi larva akan menjadi infektif. Enkapsulasi dimulai sekitar hari ke 21 dan formasi kapsul menjadi lengkap sekitar 3 bulan (Bogitsh et al. 2005). Distribusi Trichinella spp. berkaitan dengan budaya mengonsumsi daging babi mentah atau setengah matang, dan merupakan faktor utama yang mendukung infeksi pada manusia di negara-negara industri dan nonindustri, di Indonesia kejadian Trichinella spp. telah dilaporkan. Pulau Bali merupakan salah satu dari beberapa daerah yang antibodi Trichinella spp. terdeteksi pada 19.5% dari anakanak dan remaja. Tiga wisatawan Italia yang mengunjungi Pulau Bali terinfeksi trichinellosis akibat mengonsumsi daging babi. Hanya dua laporan, satu pada tahun 1962 dan pada 1972, infeksi Trichinella spiralis telah dilaporkan pada babi domestik di Tapanuli, Sumatra Utara (Pozio 2007). Pengujian sampel otot maseter babi yang berasal dari Rumah Potong Hewan Oeba di Kecamatan Kota Lama Kelurahan Oeba Kota Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur terhadap larva Trichinella spiralis didapatkan prevalensi sebesar 0.9% (Angi et al. 2014).
16 Infeksi Trichinella spp. pada babi hanya dapat disebabkan dari memakan larva tahap pertama (L1) yang berada di otot-otot dari hewan yang terinfeksi. Babi dapat terinfeksi Trichinella spp. diantaranya karena memakan produk limbah mentah atau daging setengah matang yang mengandung larva, paparan babi dengan hewan pengerat yang terinfeksi, paparan satwa liar yang terinfeksi, dan paparan bangkai babi yang terinfeksi. Karena beberapa spesies Trichinella terjadi di alam, harus diasumsikan bahwa babi yang dipelihara dalam kondisi yang memungkinkan mereka untuk kontak dengan hewan liar atau bangkai hewan liar akan menjadi beresiko terpapar oleh penyakit ini. Transmisi penyakit antara hewan domestik (synanthropic) dan satwa liar (sylvatic) dapat terjadi (Pozio 2005). Manusia dapat terinfeksi oleh semua spesies dari Trichinell spp. dan sangat patogen, kecuali dari spesies non-encapsulated (T. pseudospiralis, T. papuae, dan T. zimbabwensis). Manusia hanya terinfeksi larva Trichinella spp. melalui proses mengonsumsi daging yang dalam proses pemasakannya tidak sempurna (Kociecka 2000). Secara historis trichinellosis selalu dikaitkan dengan daging babi tetapi saat ini munculnya trichinellosis sebagai zoonosis juga terkait dengan meningkatnya konsunsi daging hewan liar yang tentunya melalui proses pemasakan yang tidak sempurna sehingga larva Trichinella masih dapat bertahan dan dapat menginfeksi manusia (Foreyt 2013). Fase trichinellosis pada manusia di bagi menjadi tiga fase yaitu fase enteral atau fase intestinal, fase migrasi atau fase fase invasi mukosa, serta fase parenteral. Pada fase enteral larva yang tertelan akan menyerang usus halus, dan kemudian menjadi dewasa yang akan menyebabkan gejala diare ringan. Selama fase enteral jika jumlah larva yang tertelan sangat rendah maka tidak akan terlihat gejala klinis penyakit. Fase migrasi terjadi 2 hingga 6 minggu setelah infeksi, larva akan masuk ke peredaran darah vena dan bermigrasi melalui jaringan sehingga terjadi kerusakan mekanis pada jaringan dan menimbulkan reaksi alergi. Kerusakan pembuluh darah dapat menyebabkan oedema lokal di wajah dan tangan. Pada fase migrasi ini penderita sering mengalami kesulitan berjalan, bernafas, mengunyah serta menelan (Foreyt 2013). Pada infeksi berat, terjadi demam tinggi, nyeri otot akibat adanya pembengkakan pada otot, jika larva menyerang otot jantung atau jaringan saraf, dapat menyebabkan miokarditis, neuritis, dan ganguan sistem saraf pusat meliputi sakit kepala, vertigo, kehilangan kemampuan berbicara, serta kejang (Capo dan Despommier 1996). Pada fase parenteral penderita akan mengalami penurunan berat badan dan kelelahan atara minggu ke-5 sampai minggu ke-6 setelah infeksi. Penderita dengan jumlah infeksi larva yang besar akan menderita efek dari infeksi sampai 10 tahun (Harms et al. 1993). Pengujian secara langsung memiliki keterbatasan dalam hal sensitivitas diagnostik dan analitis. Karena alasan ini daging babi dengan pengujian negatif mungkin terinfeksi oleh larva dengan jumlah yang melebihi jumlah yang dianggap aman untuk dikonsumsi manusia. Model respon dosis menunjukkan bahwa konsumsi 100 g daging babi yang terinfeksi dengan 200 larva mungkin akan teruji negatif dengan metode digesty maupun kompresi tetapi tidak aman untuk konsumsi manusia karena kemungkinan tertular penyakit ini setelah mengosumsi 200 larva cukup besar (Teunis 2012).
17 Temuan negatif pada penelitian ini mungkin disebabkan sistem peternakan babi di Kota Manado telah baik dimana babi tidak diberi pakan berupa pakan yang mengandung daging babi mentah atau setengah matang dan kandang bebas dari tikus. Hewan pengerat merupakan reservoir utama penularan trichinellosis. Studi epidemiologi pada manusia akibat trichinellosis dinyatakan bahwa tikus dan babi berperan penting dalam penularan trichinellosis (Kaewpitoon et al. 2006). Babi dan ternak lainnya harus dijaga sehingga tidak memakan bangkai hewan mati seperti tikus yang mungki mati di kandang babi serta membawa penyakit (CDC 2012). Menurut Naibaho et al. (2001), hasil negatif dalam pemeriksaan secara langsung terhadap larva cacing Trichinella spp. dapat dipengaruhi oleh intensitas infeksi yang sangat rendah, sehingga pada pemeriksaan langsung hasilnya negatif, karena kemungkinan larva cacing Trichinella spp. ada di organ lain. Kemungkinan yang lain adalah karena sistem peternakan yang sudah baik sehingga kontak babi dengan tikus sebagai reservoir penularan trichinellosis dapat dihindari. Kejadian trichinellosis sering terjadi pada peternakan dengan skala usaha kecil hal ini disebabkan peternakan skala kecil rendah dalam manajemen kontrol terhadap penyakit. Peternakan dengan skala besar dan modern berdampak pada kontrol terhadap pengendalian trichinellosis. Sistem peternakan modern menggunakan langkah-langkah good farming practicces yang digabungkan dengan good veterinary practices sehingga risiko penularan trichinellosis menjadi rendah (Van Knapen 2000). Penyuluhan kepada masyarakat tentang cara-cara penularan penyakit, dan penjelasan tentang perlunya memasak daging babi atau produk daging babi dan daging hewan liar sebelum dikonsumsi, pada suhu yang tepat dan dengan cara yang tepat. Pada waktu dimasak hendaknya seluruh bagian daging bisa mencapai suhu 71 oC, daging akan terlihat dari berwarna merah jambu menjadi abu-abu dan pada suhu ini larva cacing akan mati. Pembekuan yang dilakukan terhadap tumpukan daging pada suhu tertentu cukup efektif untuk membunuh larva Trichinella spp. Penyimpanan daging dengan ketebalan 15 cm pada suhu -15 oC selama 30 hari atau pada suhu -25 oC atau pada suhu lebih rendah lagi selama 10 hari akan membunuh seluruh bentuk kista Trichinella spp. Radiasi sinar gamma pada dosis rendah yang dilakukan terhadap daging babi cukup efektif untuk mensterilkan dan dosis yang lebih tinggi dapat membunuh kista larva Trichinella spp. (Dewi dan Sumarwanta 2012). Surveilans yang dilakukan secara intensif di Provinsi Sulawesi Utara khususnya Kota Manado sangat penting untuk mengendalikan trichinellosis pada babi domestik di Kota Manado. Berdasarkan pedoman OIE untuk mencapai suatu daerah bebas dari trichinellosis, sistem produksi yang mencegah infeksi Trichinella spp. harus diterapkan. Status hewan perlu dipantau semua kasus yang dicurigai ditelusuri kembali, dikarantina dan diuji. Survei untuk mengumpulkan, menyusun data dan mengevaluasi kontrol kualitas laboratorium harus dilakukan secara terorganisir (Karn et al. 2008). Spektrum hospes yang luas dari genus Trichinella spp. harus dipertimbangkan ketika menerapkan langkah-langkah untuk menghindari transmisi dari hewan ke manusia. Selain itu, sebelum menerapkan tindakan
18 pengendalian, penilaian risiko dan peran masing-masing host harus dievaluasi secara cermat (Pozio 2005). Program yang memungkinkan sertifikasi babi sebagai jaminan bebas dari Trichinella spp. berdasarkan praktik manajemen yang baik yang menghilangkan risiko paparan, administratif harus diatur untuk memungkinkan dokumentasi ternak yang tepat dan bersertifikat. Pemerintah harus melakukan fungsi-fungsi diantaranya mengembangkan sistem dokumentasi manajemen produksi yang baik, mendokumentasikan masalah dan mengolah catatan dari peternakan bersertifikasi, secara berkala melakukan audit spot pada produksi peternakan bersertifikat untuk memastikan integritas sistem, dan melakukan pengujian serologi periodik pada babi yang berasal dari peternakan bersertifikasi untuk memastikan tidak adanya infeksi (Dewi dan Sumarwanta 2012).
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil pengujian 278 sampel otot babi dengan uji digesty, metode kompresi dan pewarnaan HE, tidak ditemukan sampel yang terdeteksi Trichinella spp. Saran Perlu dilakukan penelitian mengenai analisis risiko terhadap trichinellosis di Kota Manado.
DAFTAR PUSTAKA Angi AH, Satrija F, Lukman DW, Sudarwanto M, Sudarnika E. 2014. Prevalence of Trichinellosis in pork meat at slaughterhouse in Kupang City, East Nusa Tenggara Province. Global Vet. 13(4):601-605. [BPS MANADO] Badan Pusat Statistik Kota Manado. 2014. Statistik Kota Manado 2014. [Internet]. [diunduh 2014 Oktober 20]. Tersedia pada http://www.manadoKota.bps.go.id/index.php?hal=publikasi_detaildanid=05 Capo V, Despommier DD. 1996. Clinical aspects of infection with Trichinella spp. Clin Mikrobiol Rev. 9:47-54 [CDC] Center for Disease Control. 2012. Division of Parasitic Diseases. Trichinosis. [Internet]. [diunduh 2014 Oktober 17]. Tersedia pada http://www.cdc.gov/parasites/trichinellosis//. Chandrawathani P, Premalaatha B, Zaini MZ, Adnan M, Nurul AR, Zawida Z, Jamnah O, Premila M, Gajadhar AA, Ramlan M. 2010. Seroprevalence of trichinellosis in pigs in Northern States of Malaysia. Mal J Vet Res. 1:33-36. Doyle EM. 2003. Foodborne parasites [review]. Food Res Inst. 1:1-28.
19 Davidson RK, Mermer A, Oines O. 2012. Toxocara cati larva migrans in domestic pigs-detected at slaughterhouse control in Norway. Acta Vet Scand. 54(1):66. Dewi PA, Sumarwanta E. 2012. Trichinosis tinjauan umum penyakit, bahaya, dan penanggulangannya. Bul Lab Vet. 12(3):7-13. Dupouy-Camet J. 2000. Trichinellosis: A worldwide zoonosis. Vet Parasitol. 93:191-200. [Ditjenakeswan] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2013. Statistik peternakan dan kesehatan hewan 2013 [Internet]. [diunduh 2014 April 01]. Tersedia pada: http://www.mediafire.com/view/ 50036o4mlxjx1wy/Statistik_PKH_Tahun_2013.pdf. Foreyt WJ. 2013. Trichinosis: Reston Va. US. geological survey circular 1388, 60 p. 2 appendixes, [Internet].[diunduh 2014 Oktober 17]. Tersedia pada http://dx.doi.org/10.3133.cir1388. Gottstein B, Pozio E, Nockler K. 2009. Epidemiology, diagnosis, treatment, and control of trichinellosis. Clin Microbiol Rev. 22(1):127-45. Harms G, Blinz P, Feldmeier H, Zwingenberger K, Scheehauf D, Dewes W, Kress-Hermesdorf I, Klindworth C, Bienzle U. 1993. Trichinosis: A prospective controlled study of patient 10 years after acute infection. Clin Infec Dis. 17:637643. Kaewpitoon N, Kaewpitoon JS, Philasri C, Leksomboon R, Maneenin C, Sirilaph S, Pengsaa P. 2006. Trichinosis: epidemiology in Thailand. World J Gastroenterol. 12(40):6440-6445. Kandou GD. 2009. Kebiasaan makan makanan etnik Minahasa di Provinsi Sulawesi Utara. J Kes Masy. 3(2):53-57. Kant I, Pandelaki AJ, Lampus BS. 2013. Gambaran kebiasaan makan masyarakat di perumahan Allandrew Permai Kelurahan Malalayang I lingkungan XI Kota Manado. J Ked Kom Trop. 1(3):88-95. Karn SK, Horchner F, Srikitjakarn L, Baumann M, Nockler K. 2008. Cross sectional study of Trichinella spp. in pigs in CDR, Nepal using pepsin digestyon and ELISA serology. South As J Trop Med Pub Health. 39(5):795-799. Kociecka W. 2000. Trichinellosis: human disease, diagnosis and treatment. Vet Parasitol. 93:365-383. Kurup A, Yew WS, San LM, Ang B, Lim S, Tai GK. 2000. Outbreak of suspected trichinosis among travelers returning from a neighboring island. J Travel Med. 7:189-193. [OIE] Office International des Epizooties. 2007. Guidelines for the Surveillance, Management, Prevention and Control of Trichinellosis. Paris (FR). p1-51. [OIE] Office International des Epizooties. Terrestrial Manual 2012. Rome (IT):OIE. p1-9. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002 Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Jilid 5. Bogor (ID). IPB Pr. Melgar CR, Gomes PA, De-la-Rosa JL. 2007. Application of Giemsa stain for easy detection of Trichinella spiralis muscle larvae. Kor J Parasitol. 45(1):65-68. Murrell, KD, Pozio E. 2011. Worldwide occurence and impact of human trichinellosis, 1986-2009. Emerg Infect Dis. 17(12):2194-2202.
20 Nockler K, Pozio E, Voigt WP, Heidrich J. 2000. Detection of Trichinella spp. infection in food animals. Vet Parasitol 93:335–350. Naibaho A, Oka IBM, Swacita IBN. 2013. Kualitas daging babi ditinjau dari uji obyektif dan pemeriksaan larva cacing Trichinella spp. Ind Med Vet. 2(1):12-21. Pozio E. 2001. Taxonomy of Trichinella and the epidemiology of infection in the Southeast Asia and Australia regions. South As J Trop Med Pub Health. 32(2):129:132. Pozio E. 2005. The broad spectrum of Trichinella spp. hosts: From cold- to warmblooded animals. Vet Parasitol. 132:3-11. Pozio E 2007. World distribution of Trichinella spp. infections in animals and humans. Vet Parasitol 149:3-21. Ruegg M A and Meinen S. 2014. Histopathology in Hematoxylin & Eosin stained muscle sections. Biozentrum. Basel (CH). p1-9. Samuelson DA. 2007. Textbook of Veterinary Histology. Missouri (US). Schuppers ME, Frey CF, Gottstein B, Stark KD, Kihh MU, Regula G. 2010. Comparing the demonstration of freedom from Trichinella infection of domestic pigs by traditional and risk-based surveillance. Epidemiol Infect 138:1242-1251. Schuppers ME. 2010. Development of a risk-based surveillance program for Trichinella spp. in domestic swine and wildlife in Switzerland. [disertasi] Wagenigen (NL). p19-30. Teunis P F M, Koningstein M, Takumi K, Van Der Giessen J W B. 2012. Human beings are highly susceptible to low doses of Trichinella spp. Epidemiol Infect. 140:210-218. Van Knapen F. 2000. Contrl of trichinellosis by inspection and farm management practices. Vet Parasitol. 93:385-392 Watt G, Saisorn S, Jongsakul K, Sakolvaree Y, Chaicumpa W. 2000. Blinden, Placebo-controlled trial of antiparasitic drugs for trichinosis myositis. J Infect Dis. 182:371-374. [WHO] World Health Organization. 2005. Deworming for health and development. Report of the third global meeting of the partners for parasite control. Genewa (CH). WHO. Wu Z, Matsuo A, Nakada T, Nagano I, Takahashi Y. 2001. Different response of satellite cells in the kinetics of myogenic regulatory factors and ultrastructural pathology after Trichinella spiralis and T. pseudospiralis infection. Parasitol. 124:85-94.
21 RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 25 September 1980. Penulis merupakan anak ke dua dari dua bersaudara, putra pasangan Sigit Priyono dan Agustina Leminda Suharminingsih. Penulis lulus dari SMUN 2 Bandung pada tahun 1999, kemudian melajutkan pendidikan Diploma Kesehatan Hewan di Universitas Gadjah Mada dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan studi Kedokteran Hewan di Universitas Gadjah Mada dan memperoleh gelar dokter hewan (Drh) dari perguruan tinggi yang sama pada tahun 2007. Pada tahun 2009 penulis diterima sebagai pegawai negeri sipil di Badan Karantina Pertanian, Kementrian Pertanian dan ditempatkan di Balai Karantina Pertanian Kelas I Manado. Pada tahun 2013 penulis mendapatkan beasiswa dari Badan Karantina Pertanian untuk melanjutkan studi program S2 dan mengambil program studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.