KAJIAN SUMBERDAYA TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PERAIRAN KECAMATAN SEMAU, KABUPATEN KUPANG, PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
ADI NEXON TOMYAN LANGGA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Kajian Sumberdaya Terumbu Karang untuk Pengembangan Ekowisata Bahari di Perairan Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2010
Adi Nexon Tomyan Langga NRP C252080344
ABSTRACT ADI NEXON TOMYAN LANGGA. A Study on Coral Reefs Resources for Marine Ecotourism Development in Semau Waters, Kupang District, East Nusa Tenggara Province. Supervised by YUSLI WARDIATNO and NEVIATY PUTRI ZAMANI.
The waters of Semau Subdistrict have the potential of coral reef resources but not managed optimally for tourism activities because to lack of scientific information. This study aimed to: analyze the suitability, estimate the value of the visual seascape and images of biota, knowing the public perception and development patterns of coral reefs resources for the development of sustainable marine ecotourism in the waters of Semau Subdistrict. The data collection method is to use transect quadrant method for coral reefs, underwater visual census for reef fishes and interview for visual value. The conditions of social, economic, cultural and perception community knew through direct interviews with local residents. Formulas used for the management plan are suitability index tourism, scenic beauty estimation, zoning and SWOT analysis. The results show that coral reef resources in the waters of Semau Subdistrict feasible to be developed for two types of marine ecotourism. Diving tourism is located in the waters of Kambing Island and the Tanjung Uikalui, snorkeling tourism is located in Uiasa and Otan with appropriate category. Value of the visual landscape and images of biota coral reefs are high enough to be used as an object for development of marine ecotourism. Must local communities and government are very supportive to the development of the existing coral reef resources as a location for marine ecotourism. The strategy which is priority is the implementation of marine ecotourism activities, particularly diving and snorkeling tours in sustainable way and economic improvement of society through alternative livelihoods.
Key words: marine ecotourism, coral reefs resources, diving, snorkeling, visual value, public perception, priority strategy.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1.
2.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KAJIAN SUMBERDAYA TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PERAIRAN KECAMATAN SEMAU, KABUPATEN KUPANG, PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
ADI NEXON TOMYAN LANGGA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Tesis
: Kajian Sumberdaya Terumbu Karang untuk Pengembangan Ekowisata Bahari di Perairan Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Nama Mahasiswa : Adi Nexon Tomyan Langga
Nomor Pokok
: C252080344
Program Studi
: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc
Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc
Ketua Komisi
Anggota Komisi
Diketahui
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian: 21 September 2010
Tanggal Lulus:
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas penyertaan dan perlindungan-Nya sehingga laporan penelitian yang berjudul “Kajian Sumberdaya Terumbu Karang untuk Pengembangan Ekowisata Bahari di Perairan Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur” dapat diselesaikan. Manfaat dari penelitian ini diharapkan memberikan informasi bagi berbagai pihak dalam upaya pemanfaatan sumberdaya terumbu karang sebagai objek dalam kegiatan ekowisata bahari dan sebagai arahan bagi pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang untuk pengembangan ekowisata bahari di perairan Kecamatan Semau. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc dan Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc selaku komisi pembimbing yang dengan kesabaran dan ketulusan hati dalam pembimbingan, memberikan masukan, motivasi serta meluangkan waktu, tenaga dan pemikiran mulai dari rencana penelitian hingga penulisan tesis ini. Penyusunan tesis ini tak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Gubernur Nusa Tenggara Timur dan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB. 2. Institut Pertanian Bogor, Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) IPB Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA beserta staf khususnya Pak Zainal, Pak Dindin, Ibu Ola dan Mas Adji atas kesempatan, ilmu serta pelayanan yang penuh kasih selama penulis menuntut ilmu. 3. Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil selaku penguji luar komisi pada ujian tesis yang telah memberikan banyak masukan dalam penyempurnaan tesis ini. 4. Rektor Universität Bremen dan Pimpinan Leibniz Zentrum für Marine Tropenökologi (ZMT) Prof. Dr. Venugopalan Ittekkot beserta staf, khususnya Dr. Claudia Schultz, Frau Lies, Bruder Peter, dan Frau Janina atas kerjasama dan pelayanan yang baik selama studi di Bremen, Jerman. 5. Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc yang sudah mengurus keberangkatan ke Universität Bremen, Jerman. 6. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc yang telah memberikan saran, koreksi, dan masukan yang berharga selama penulisan tesis. 7. Coral Reef Rehabilitation and Management Program II-World Bank (COREMAP II WB) yang memberikan bantuan beasiswa selama studi Pascasarjana. 8. Orang tua yang kubanggakan dan kusayangi: Papa dan Mama serta saudarasaudariku yang sangat kukasihi: Max, Soly, Jems, Ira, Joni, Santi dan Tante Mia atas ketulusan hati dan motivasi yang diberikan, dan keponakan: Indah, Permata, Berlian, dan Prince. Berkat doa kalian akhirnya penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik dan tepat waktu.
9.
Teman-teman S2 SPL-COREMAP II-WB angkatan 2008 atas semangat dan kebersamaan yang terjalin selama studi khususnya Simon, Ralf, Hery, Barnabas, Imelda dan Ivon. 10. Teman-teman yang telah membantu penelitan di lapangan dan penulisan tesis yaitu: Gunawan, Jizrael, Wido, Dance, Bapak Salmun, Lily, Bambang, Bapak Ledoh sekeluarga, Oca, Maxi, Deni Funai, Jimy, Jojo, Jubir, Jali, Lexi, Pak Sisko, Ibu Lucana, Pak Doni, Pak Ishak, Ibu Meri, Ibu Rambu, dan Ibu Ety atas bantuan, tenaga, dan waktunya yang diberikan kepada penulis selama penelitian di lapangan. 11. Saudara-saudari ku: Persekutuan Uikumene IPB, FTTI, Gamanusratim, Jemaat Betel Oesapa Tengah, Jemaat Gloria Lotelutun, Jemaat Rayon 27 GPIB Zebaoth, Jemaat SJK Bogor, Jemaat Perki Bremen, Jemaat GIB Bremen, Baptish Church Bremen, Sdr. Yafet, Sdr. Husin, Sdr. Tom, Sdri. Retno, Bapak Yadi sekeluarga, Sdr. Adi Puling, Sdr. Deni, Bapak Purba dan ibu, Bpk. M. Wattimena, Bapak GA. Watimmena dan ibu, Kak Lusi, Pak Ajat, Tante Pau, Om Luky yang setia mendoakan dan memotivasi ku dalam menyelesaikan studi. Akhirnya dalam semua pergumulanku, kiranya tulisan ini dapat bermanfaat dan menjadi sumber informasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. TUHAN Memberkati.
Bogor, September 2010
Adi Nexon Tomyan Langga
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Oebafok, 15 Mei 1975 dari Ayah Johan Langga dan Ibu Theresia Langga Foeh. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara. Setelah menamatkan studi di SMA Negeri 3 Kupang, penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana Kupang dan lulus tahun 1999. Penulis bekerja sebagai staf di Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT sejak tahun 2000. Pada tahun 2008 diberi kesempatan mengikuti program magister sains di Program Studi Sumberdaya Pesisir dan Lautan FPIK, Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Leibniz Zentrum für Marine Tropenökologi (ZMT), Universität Bremen, Jerman yang didanai oleh COREMAP II WB.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL …………………………………………………………
xxi
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………….. xxiii DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………… xxv 1
2
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang …………………………………………………… 1.2 Rumusan Permasalahan ………………………………………… 1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………………… 1.4 Manfaat Penelitian ……………………………………………… 1.5 Kerangka Pemikiran ………………………………………………
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang ………………………………………. 5 2.2 Ekowisata …………………………………………………………. 7 2.3 Perencanaan Pengembangan Ekowisata …………………………. 9 2.4 Pengembangan Pariwisata Bahari ………………………………… 10 2.5 Analisis SWOT .......................................................................... 13
3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu ……………………………………………….. 3.2 Alat dan Bahan ……………………………………………………. 3.3 Metode Pengumpulan Data dan Informasi ……………………… 3.3.1 Data Primer ………………………………………………. 3.3.2 Data Sekunder ……………………………………………. 3.4 Analisa Data ……………………………………………………… 3.4.1 Analisis Data Ekologi …………………………………….. 3.4.2 Analisis Matriks Kesesuaian untuk Lokasi Wisata ……… 3.4.3 Analisis Penzonasian Kawasan Terumbu Karang ………. 3.4.4 Analisis Nilai Visual Ekosistem Terumbu Karang ………. 3.4.5 Analisis Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat ………………………………………………. 3.4.6 Analisis Persepsi Masyarakat ……………………………. 3.4.7 Analisis Strategi Pengelolaan .......................................... 4
1 2 3 3 3
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum ……………………………………………………. 4.1.1 Geografis ....................................................................... 4.1.2 Penduduk ....................................................................... 4.1.3 Perumahan ……………………………………………… 4.1.4 Fasilitas Umum ............................................................. 4.1.5 Kegiatan Perikanan ………………………………………..
xix
15 15 16 16 19 19 19 20 23 23 25 26 26
31 31 31 32 33 34
xx 4.2 4.3
Kondisi Lingkungan Perairan …………………………………….. Kondisi dan Potensi Sumberdaya Alam ………………………….. 4.3.1 Kondisi Terumbu Karang ………………………………… 4.3.2 Ikan Karang ………………………………………………. Kesesuaian Kawasan untuk Lokasi Ekowisata Bahari …………… 4.4.1 Selam……………………………………………………… 4.4.2 Snorkeling ………………………………………………… Rencana Zonasi Pengembangan Kawasan Wisata Selam dan Snorkeling ………………………………………………………… Estimasi Nilai Visual Ekosistem Terumbu Karang ………………. Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat ………………. Persepsi Masyarakat ………………………………………………. Strategi Pengembangan Kawasan Ekowisata Bahari ……………..
44 46 53 58 60
5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan …………………………………………………………. 5.2 Saran……………………………………………………………….
67 67
4.4
4.5 4.6 4.7 4.8 4.9
35 36 37 39 42 42 43
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………. 69 LAMPIRAN ………………………………………………………………… 75
xx
xxi
DAFTAR TABEL Halaman 1
Daftar parameter lingkungan yang diukur di lokasi penelitian ............
16
2
Daftar penggolongan komponen dasar penyusun ekosistem terumbu karang berdasarkan lifeform karang dan kodenya ..................
17
3
Kriteria penilaian persentase penutupan karang ....................................
19
4
Matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisata selam .......................
21
5
Matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisata snorkeling ..............
22
6
Matriks perhitungan nilai SBE ..............................................................
25
7
Matriks kategori nilai SBE ....................................................................
25
8
Penilaian bobot internal factor evaluation (IFE) .................................
27
9
Penilaian bobot internal factor evaluation (IFE) .................................
27
10 Matriks internal factor evaluation (IFE) ...............................................
28
11 Matriks external factor evaluation (EFE) .............................................
29
12 Matriks SWOT .....................................................................................
29
13 Penyusunan rangking strategi analisis SWOT ......................................
30
14 Rangking alternatif rencana strategi ......................................................
30
15 Jumlah penduduk Kecamatan Semau tahun 2009 ................................
31
16 Persentase mata pencaharian penduduk Kecamatan Semau ................
32
17 Parameter kualitas air di lokasi penelitian .............................................
36
18 Lebar hamparan karang di lokasi penelitian .........................................
37
19 Jenis lifeform hard coral pada masing masing lokasi penelitian ...........
39
20 Indeks keragaman ikan karang di lokasi penelitian
............................
41
………………
43
22 Hasil perhitungan matriks IKW kategori wisata selam untuk lokasi penelitian ...............................................................................
43
23 Nilai IKW untuk wisata snorkeling pada lokasi penelitian ...................
44
24 Hasil perhitungan matriks IKW kategori wisata snorkeling untuk lokasi penelitian …………………………………………………
44
25 Pengelompokan nilai SBE dari foto seascape berdasarkan kategori tinggi, sedang, dan rendah .................................................
48
21 Nilai IKW untuk wisata selam pada lokasi penelitian
xxi
xxii 26 Nilai SBE berdasarkan kelas SBE pada setiap karakteristik ekosistem terumbu karang .............................................................
49
27 Pengelompokan nilai SBE dari foto ikan berdasarkan kategori tinggi, sedang, dan rendah …………………………………………..
50
28 Nilai SBE berdasarkan kelas SBE pada masing-masing foto ikan ........
51
29 Pengelompokan nilai SBE dari foto fauna bentic berdasarkan kategori tinggi, sedang, dan rendah untuk .......................................
52
30 Nilai SBE berdasarkan kelas SBE pada masing-masing foto fauna bentic ................................................................................
53
31 Jenis dan jumlah respomdem yang diwawancara …………………
58
32 Matrik internal factor evaluation (IFE) ……………………………..
61
33 Matrik external factor evaluation (EFE) ...........................................
61
34 Penyusunan rangking strategi untuk analisis SWOT ...........................
62
35 Strategi-strategi prioritas dalam upaya pengembangan ekowisata bahari di perairan Kecamatan Semau ..............................................
62
xxii
xxiii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Bagan kerangka pemikiran penelitian
2
Peta lokasi penelitian (Sumber: Dinas Hidro-Oseanografi 2005) …… 15
3
Skema peletakan transek kuadrat pada transek garis .............................
17
4
Persentase penutupan lifeform di perairan Kecamatan Semau ..............
37
5
Kelimpahan individu ikan di lokasi penelitian .....................................
40
6
Kelimpahan spesies ikan berdasarkan kelompok utama di lokasi penelitian .............................................................................
41
Peta zonasi kesesuaian ekowisata bahari kategori wisata selam dan snorkeling di perairan Kecamatan Semau .....................................
46
8
Nilai SBE foto landscape dari lokasi penelitian ...................................
47
9
Nilai SBE foto ikan dari lokasi penelitian .............................................
50
10 Nilai SBE foto fauna bentic dari lokasi penelitian ................................
52
7
................................................
4
11 Tingkat umur responden ………………………………………………. 54 12 Tingkat pendidikan responden .............................................................
54
13 Persentase mata pencaharian responden ................................................
56
14 Tingkat pendapatan responden ............................................................
57
15 Persepsi masyarakat terhadap pengembangan ekowisata bahari ...........
59
xxiii
xxiv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Foto lokasi penelitian ……………………………………………….
77
2
Kuisioner untuk analisis social, ekonomi, budaya dan persepsi masyarakat …………………………………………………………..
79
3
Jumlah nelayan di Kecamatan Semau …..…………………………..
82
4
Jenis alat tangkap ikan di Kecamatan Semau ………………………
83
5
Jumlah perahu di Kecamatan Semau …..……………………………
84
6
Hasil analisis lifeform pada masing-masing stasiun penelitian dengan metode transek kuadran……..………………………………
85
Jenis dan kelimpahan individu ikan karang pada masing-masing stasiun penelitian …………………………………………………….
86
8
Peta rencana zonasi taman wisata alam laut Teluk Kupang ………..
91
9
Peta rencana detail tata ruang Pulau Semau tahun 2003-2013………
92
10 Foto seascape (pemandangan) dari lokasi penelitian ..……………..
93
11 Foto ikan dari lokasi penelitian ………….…………………………
96
12 Foto fauna bentic dari lokasi penelitian ……………………………
99
13 Nilai SBE dari masing-masing foto seascape (pemandangan) ……..
101
14 Nilai SBE dari masing-masing foto ikan ……………………………
102
15 Nilai SBE dari masing-masing foto fauna bentic ………………….
103
16 Penilaian bobot internal factor evaluation (IFE) …………………..
104
17 Penilaian bobot eksternal factor evaluation (EFE) …………………
105
18 Strategi pengembangan ekowisata bahari untuk selam dan snorkeling dalam model matriks SWOT ........................................
106
7
xxiv
xxv
xxv
DAFTAR TABEL Halaman 1
Daftar parameter lingkungan yang diukur di lokasi penelitian ............
16
2
Daftar penggolongan komponen dasar penyusun ekosistem terumbu karang berdasarkan lifeform karang dan kodenya ..................
17
3
Kriteria penilaian persentase penutupan karang ....................................
19
4
Matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisata selam .......................
21
5
Matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisata snorkeling ..............
22
6
Matriks perhitungan nilai SBE ..............................................................
25
7
Matriks kategori nilai SBE ....................................................................
25
8
Penilaian bobot internal factor evaluation (IFE) .................................
27
9
Penilaian bobot internal factor evaluation (IFE) .................................
27
10 Matriks internal factor evaluation (IFE) ...............................................
28
11 Matriks external factor evaluation (EFE) .............................................
29
12 Matriks SWOT .....................................................................................
29
13 Penyusunan rangking strategi analisis SWOT ......................................
30
14 Rangking alternatif rencana strategi ......................................................
30
15 Jumlah penduduk Kecamatan Semau tahun 2009 ................................
31
16 Persentase mata pencaharian penduduk Kecamatan Semau ................
32
17 Parameter kualitas air di lokasi penelitian .............................................
36
18 Lebar hamparan karang di lokasi penelitian .........................................
37
19 Jenis lifeform hard coral pada masing masing lokasi penelitian ...........
39
20 Indeks keragaman ikan karang di lokasi penelitian
............................
41
………………
43
22 Hasil perhitungan matriks IKW kategori wisata selam untuk lokasi penelitian ..........................................................................
43
23 Nilai IKW untuk wisata snorkeling pada lokasi penelitian ...................
44
24 Hasil perhitungan matriks IKW kategori wisata snorkeling untuk lokasi penelitian ………………………………………………..
44
25 Pengelompokan nilai SBE dari foto seascape berdasarkan kategori tinggi, sedang, dan rendah .................................................
48
21 Nilai IKW untuk wisata selam pada lokasi penelitian
xxi
26 Nilai SBE berdasarkan kelas SBE pada setiap karakteristik ekosistem terumbu karang .............................................................
49
27 Pengelompokan nilai SBE dari foto ikan berdasarkan kategori tinggi, sedang, dan rendah …………………………………………..
50
28 Nilai SBE berdasarkan kelas SBE pada masing-masing foto ikan ........
51
29 Pengelompokan nilai SBE dari foto fauna bentic berdasarkan kategori tinggi, sedang, dan rendah untuk .......................................
52
30 Nilai SBE berdasarkan kelas SBE pada masing-masing foto fauna bentic ................................................................................
53
31 Jenis dan jumlah respomdem yang diwawancara …………………
58
32 Matrik internal factor evaluation (IFE) ……………………………..
61
33 Matrik external factor evaluation (EFE) ...........................................
61
34 Penyusunan rangking strategi untuk analisis SWOT ...........................
62
35 Strategi-strategi prioritas dalam upaya pengembangan ekowisata bahari di perairan Kecamatan Semau ..............................................
62
xxii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Bagan kerangka pemikiran penelitian
2
Peta lokasi penelitian (Sumber: Dinas Hidro-Oseanografi 2005) …… 15
3
Skema peletakan transek kuadrat pada transek garis .............................
17
4
Persentase penutupan lifeform di perairan Kecamatan Semau ..............
37
5
Kelimpahan individu ikan di lokasi penelitian .....................................
40
6
Kelimpahan spesies ikan berdasarkan kelompok utama di lokasi penelitian .............................................................................
41
Peta zonasi kesesuaian ekowisata bahari kategori wisata selam dan snorkeling di perairan Kecamatan Semau .....................................
46
8
Nilai SBE foto landscape dari lokasi penelitian ...................................
47
9
Nilai SBE foto ikan dari lokasi penelitian .............................................
50
10 Nilai SBE foto fauna bentic dari lokasi penelitian ................................
52
7
................................................
4
11 Tingkat umur responden ………………………………………………. 54 12 Tingkat pendidikan responden .............................................................
54
13 Persentase mata pencaharian responden ................................................
56
14 Tingkat pendapatan responden ............................................................
57
15 Persepsi masyarakat terhadap pengembangan ekowisata bahari ...........
59
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Foto lokasi penelitian ……………………………………………….
77
2
Kuisioner untuk analisis social, ekonomi, budaya dan persepsi masyarakat …………………………………………………………..
79
3
Jumlah nelayan di Kecamatan Semau …..…………………………..
82
4
Jenis alat tangkap ikan di Kecamatan Semau ………………………
83
5
Jumlah perahu di Kecamatan Semau …..……………………………
84
6
Hasil analisis lifeform pada masing-masing stasiun penelitian dengan metode transek kuadran……..………………………………
85
Jenis dan kelimpahan individu ikan karang pada masing-masing stasiun penelitian …………………………………………………….
86
8
Peta rencana zonasi taman wisata alam laut Teluk Kupang ………..
91
9
Peta rencana detail tata ruang Pulau Semau tahun 2003-2013………
92
10 Foto seascape (pemandangan) dari lokasi penelitian ..……………..
93
11 Foto ikan dari lokasi penelitian ………….…………………………
96
12 Foto fauna bentic dari lokasi penelitian ……………………………
99
13 Nilai SBE dari masing-masing foto seascape (pemandangan) ……..
101
14 Nilai SBE dari masing-masing foto ikan ……………………………
102
15 Nilai SBE dari masing-masing foto fauna bentic ………………….
103
16 Penilaian bobot internal factor evaluation (IFE) …………………..
104
17 Penilaian bobot eksternal factor evaluation (EFE) …………………
105
18 Strategi pengembangan ekowisata bahari untuk selam dan snorkeling dalam model matriks SWOT ........................................
106
7
xxv
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki ciri khas tersendiri karena terdiri atas gugusan pulau yang tersebar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengenalan potensi wilayah secara tepat dan benar melalui suatu kajian secara ilmiah akan mempengaruhi keberhasilan pembangunan wilayah pada masa mendatang di bidang pariwisata yang menawarkan keindahan alam yang unik ini. Menurut Libosada (1998) mayoritas wisatawan menginginkan pariwisata bersifat alami yang dikenal dengan nama ekowisata. Ekowisata tidak hanya melakukan perjalanan tetapi juga memperoleh pengalaman berwisata di suasana lingkungan yang merefleksikan keunikan secara alami, terpelihara secara lestari, dan memperoleh pengalaman melakukan interaksi aktif dengan masyarakat setempat untuk mengenal lebih jauh tentang budaya, adat istiadat, dan nilai-nilai sosial masyarakat. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu provinsi kepulauan yang memiliki beragam sumberdaya alam yang dapat dijadikan sebagai kawasan wisata. Mengacu pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka Pemerintah Provinsi NTT memiliki kesempatan untuk mengelola sumberdaya alamnya sesuai dengan karakteristik wilayah dan kebutuhan daerah tetapi tetap menjaga kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Pulau Semau merupakan pulau kecil yang berada di bagian barat Pulau Timor dan berbatasan langsung dengan Laut Timor. Salah satu wilayahnya adalah Kecamatan Semau yang terletak sekitar 3 km dari Kupang sebagai ibu kota Provinsi NTT. Perairan Kecamatan Semau memiliki potensi sumberdaya pesisir dan lautan yang masih alami dan belum dikelola secara optimal. Salah satu potensinya adalah sumberdaya terumbu karang. Menurut Ninef et al. (2000) tutupan karang hidup di Perairan Semau adalah 29%. Potensi sumberdaya terumbu karang yang ada di perairan Kecamatan Semau ternyata cukup layak untuk dikelola, tetapi masih kurangnya informasi ilmiah
yang
bisa
menjadi
acuan
dalam
upaya
menyusun
rencana
2 pengelolaannya.
Pengelolaan
yang
lestari
dan
berkelanjutan
sangat
membutuhkan data dan informasi yang tepat sehingga kajian yang dihasilkan berkualitas ilmiah yang baik dan pelaksanaannya berlangsung secara optimal. Perairan Kecamatan Semau yang memiliki potensi sumberdaya terumbu karang, jika dikelola dengan baik bisa menjadi kawasan ekowisata karena terdapat berbagai jenis karang, ikan karang, biota laut lainnya dan pemandangan laut yang cukup indah. Kegiatan ekowisata bahari diharapkan mampu melindungi sumberdaya terumbu karang dari aktifitas manusia yang serius akibat pemanfaatan yang tidak bertanggung jawab. Selain itu kegiatan ekowisata dapat memberikan sumbangan bagi pertumbuhan ekonomi dan menciptakan hubungan sosial kemasyarakatan di lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian yang tepat agar pemanfaatannya mengacu pada prinsip konservasi. 1.2 Rumusan Permasalahan Wilayah perairan Kecamatan Semau memiliki potensi sumberdaya terumbu karang yang cukup baik namun tidak dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan karena kurangnya data dan informasi ilmiah. Mengantisipasi timbulnya permasalahan tersebut, perlu adanya upaya untuk memperoleh informasi dan data yang lengkap sehingga menjadi acuan bagi kajian pengembangan sumberdaya terumbu karang yang mampu memberikan manfaat yang lebih positif. Berdasarkan hal tersebut, perumusan masalah dalam pengembangan ekowisata bahari di perairan Kabupaten Semau sebagai berikut: a. Apakah sumberdaya terumbu karang yang ada di perairan Kecamatan Semau memiliki kesesuaian untuk pengembangan ekowisata bahari. b. Apakah nilai visual pemandangan dan biota-biota dari sumberdaya terumbu karang yang ada di perairan Kecamatan Semau cukup mendukung dalam upaya pengembangan ekowisata bahari di wilayah tersebut. c. Apakah ada kesiapan masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan ekowisata bahari di Perairan Kecamatan Semau. d. Bagaimana menentukan strategi yang menjadi prioritas dalam upaya pengembangan ekowisata bahari berkelanjutan di perairan Kecamatan Semau sehingga tidak menimbulkan dampak yang negatif.
3 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
Menganalisis kesesuaian sumberdaya terumbu karang bagi pengembangan ekowisata di perairan Kecamatan Semau.
2.
Mengestimasi nilai visual pemandangan dan biota-biota dari sumberdaya terumbu karang yang ada di perairan Kecamatan Semau.
3.
Mengetahui persepsi masyarakat dalam pengembangan ekowisata bahari di perairan Kecamatan Semau.
4.
Menentukan strategi yang menjadi prioritas dalam upaya pengembangan ekowisata bahari yang berkelanjutan di perairan Kecamatan Semau.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi bagi berbagai pihak dalam upaya pemanfaatan sumberdaya terumbu karang sebagai objek dalam kegiatan ekowisata bahari dan sebagai arahan bagi pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang untuk pengembangan ekowisata bahari di perairan Kecamatan Semau. 1.5 Kerangka Pemikiran Potensi sumberdaya terumbu karang yang terdapat di perairan Kecamatan Semau sangat berpeluang untuk pengembangan kegiatan ekowisata bahari. Guna mendukung rencana pengembangan tersebut, perlu tersedianya informasi ilmiah yang cukup sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan pengelolaan perairan Kecamatan Semau sebagai kawasan yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat sekitarnya tetapi tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Informasi yang diperlukan dalam penelitian ini melalui 2 pendekatan yaitu pendekatan ekologi dan pendekatan sosial, ekonomi dan budaya. Pendekatan ekologi akan menganalisis kesesuaian wisata dan nilai visual atau scenic beauty estimation terhadap potensi yang ada. Berdasarkan informasi kondisi potensi kawasan, indeks kesesuaian wisata, kepentingan masyarakat setempat, tata ruang dan peraturan yang berlaku akan ditentukan zonasi kesesuaian wisata melalui pendekatan sistem informasi geografis (SIG). Penzonasian tersebut dimaksudkan untuk mempermudah pengendalian, pemanfaatan dan pemeliharaan secara
4 berkelanjutan terhadap sumberdaya yang ada di perairan Kecamatan Semau dalam jangka panjang. Pendekatan sosial, ekonomi, serta budaya akan menganalisis persepsi masyarakat dalam mendukung pengembangan ekowisata bahari di wilayah perairan Kecamatan Semau. Analisis SWOT (strength, weakness, opportunity, threat) akan merumuskan rencana strategi yang menjadi prioritas dalam pengembangan sumberdaya terumbu karang untuk kegiatan ekowisata bahari di perairan Kecamatan Semau berdasarkan hasil perhitungan indeks kesesuaian wisata, scenic beauty estimation, dan persepsi masyarakat. Hasil penzonasian dan analisa SWOT dipadukan untuk menentukan strategi yang tepat dalam upaya pengembangan ekowisata bahari di perairan Kecamatan Semau. Secara skematis kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
Masalah: Kurangnya informasi ilmiah
Potensi sumberdaya terumbu karang di perairan Kecamatan Semua
Ekowisata Bahari
Pendekatan ekologi
Analisa kesesuaian ekowisata bahari
Penzonasian kawasan wisata bahari
Pendekatan sosek dan budaya
Scenic beauty estimation (SBE) ekowisata bahari
Analisa persepsi masyarakat ekowisata bahari
Analisa SWOT
Strategi pengembangan ekowisata Bahari yang berkelanjutan Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran penelitian.
5
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang memiliki keunikan di antara komunitas lautan yang seluruhnya dibentuk oleh kegiatan biologis. Terumbu adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat (CaCO3) yang dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, kelas Anthozoa, ordo Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan CaCO3. Terdapat dua kelompok karang yang berbeda yaitu hermatipik dan ahermatipik. Karang hermatipik dapat menghasilkan terumbu sedang ahermatipik tidak dapat menghasilkan terumbu (Nybakken 1992). Perbedaan mendasar antara hermatipik dan ahermatipik adalah di dalam jaringan karang hermatipik terdapat sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis dengan alga yang disebut zooxanthellae, sedangkan dalam ahermatipik tidak bersimbiosis. Hal tersebut menyebabkan terumbu karang bisa berkembang dengan baik di daerah tropis karena zooxanthellae dapat melakukan proses fotosintesis dengan bantuan cahaya matahari yang selalu tersedia sepanjang tahun (Birkeland 1997). Komponen biota terpenting di suatu terumbu karang adalah hewan karang batu (stony coral), hewan yang tergolong scleractinia yang kerangkanya terbuat dari bahan kapur, alga berkapur, dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan CaCO3. Hewan karang batu umumnya merupakan koloni yang terdiri dari banyak jenis individu berupa polip yang bentuk dasarnya seperti mangkok dengan tepian berumbai-umbai (tentakel). Pada umumnya berukuran sangat kecil (beberapa mili meter) tetapi ada pula yang besar hingga beberapa puluh sentimeter seperti pada jenis Fungia. Tiap polip tumbuh dan mengendapkan kapur yang membentuk kerangka (Nybakken 1992). 2.1.1 Sebaran dan Jenis Menurut Nybakken (1992), terdapat tiga daerah pengelompokan sebaran terumbu karang di dunia, yaitu Indonesia bagian barat (Indo-Pasifik), Carribea (Atlantik) dan sebelah selatan Samudera Hindia (Indo-Pasifik). Secara umum, jumlah species karang yang hidup di Indo-Pasifik cenderung lebih banyak
6 dibandingkan di Atlantik. Jumlah karang hermatipik yang ada di Indo-Pasifik sebanyak 88 genera dengan 700 species sedangkan di Atlantik 26 genera dan 35 species. Menurut Supriharyono (2007), mengingat binatang karang hidupnya bersimbiosis dengan zooxanthellae yang melakukan proses fotosintesa, maka pengaruh cahaya adalah penting sekali. Terkait dengan pengaruh cahaya tersebut terhadap karang, maka faktor kedalaman juga membatasi kehidupan binatang karang. Menurut Kinsman (1964), secara umum karang tumbuh baik pada kedalaman kurang dari 20 m. Tidak sedikit spesies karang yang tidak mampu bertahan pada kedalaman hanya satu meter, disebabkan oleh karena kekeruhan air dan tingkat sedimentasi yang tinggi. Suhu perairan juga merupakan faktor pembatas pertumbuhan karang. Hal ini terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan biota karang (polip karang dan zooxanthellae). Biota karang masih mentoleransi suhu tahunan maksimum sampai kira-kira 36-40 0C dan suhu minimum sebesar 180C (Nybakken 1992). Menurut Supriharyono (2000), bahwa suhu yang paling baik untuk pertumbuhan karang sekitar antara 25-290C. Tekanan hydrodinamis seperti arus dan gelombang akan memberikan pengaruh terhadap bentuk pertumbuhan karang dan mendatangkan makanan berupa plankton. Pertumbuhan karang pada daerah berarus akan lebih baik dibandingkan dengan perairan tenang (Nybakken 1992). Salinitas air laut rata-rata di daerah tropis adalah sekitar 350/00, dan binatang karang hidup subur pada kisaran salinitas sekitar 34-360/00 (Kinsman 1964). Pengaruh salinitas terhadap kehidupan binatang karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat dan pengaruh dari alam seperti run-off, badai, hujan, sehingga kisaran salinitas bisa sampai dari 17.5-52.50/00 (Birkeland 1997). Degradasi terumbu karang disebabkan oleh 2 penyebab utama yaitu alam dan akibat kegiatan manusia. Faktor alam umumnya disebabkan oleh gangguan alam seperti predator dan bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, pemanasan global, banjir, serta bencana alam lainnya seperti el-nino sedangkan degradasi terumbu karang yang disebabkan akibat kegiatan manusia antara lain: (1) penambangan dan pengambilan karang, (2) penangkapan ikan dengan
7 menggunakan alat dan metode yang merusak, (3) penangkapan yang berlebih, (4) pencemaran perairan, (5) kegiatan pembangunan di wilayah pesisir, dan (6) kegiatan pembangunan di wilayah hulu (Westmacott et al. 2000). 2.1.2 Peranan dan Fungsi Menurut Soeharsono (1996), secara alamiah, ekosistem terumbu karang memiliki berbagai peranan antara lain: 1. Sebagai lingkungan hidup karena merupakan tempat tinggal, berlindung, mencari makan, serta berkembang biak bagi biota yang hidup didaerah karang dan sekitarnya, 2. Sebagai pelindung fisik karena dapat berfungsi sebagai pemecah ombak dan penahan arus, 3. Sebagai ekosistem yang menghasilkan berbagai produk yang bernilai ekonomis penting, seperti berbagai jenis ikan karang, teripang dan moluska, serta 4. Sebagai sumber keindahan karena dapat dijadikan daerah rekreasi dan taman laut. 2.2 Ekowisata Istilah ecotourism diterjemahkan menjadi ekowisata, yaitu jenis pariwisata yang berwawasan lingkungan. Aktifitas yang dimaksud berkaitan dengan alam dan lingkungan sehingga membuatnya tergugah untuk mencintai alam atau sering disebut dengan istilah back to nature. Berbeda dengan pariwisata yang sudah dikenal secara umum, ekowisata dalam penyelenggaraannya tidak menuntut tersedianya fasilitas akomodasi yang modern yang dilengkapi dengan peralatan yang
serba
mewah Masyarakat Ekoturisme
Internasional (International
Ecotourism Society atau IES) memberikan defenisi ekowisata (ecotourism) sebagai suatu bentuk perjalanan yang bertanggung jawab ke daerah alami yang lingkungannya dilindungi agar lestari dan mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal (Libosada 1998). Sedangkan Buckley (1994) menyatakan bahwa ada 4 gambaran perjalanan yang umumnya berlabelkan ekowisata yaitu:
8 a. Wisata berbasis alamiah (nature-based tourism), b. Kawasan konservasi sebagai pendukung obyek wisata (consevation supporting tourism), c. Wisata yang sangat peduli lingkungan (environmentally aware tourism), d. Wisata yang berkelanjutan (sustainable tourism). Ekowisata dalam teori dan prakteknya tumbuh dari kritik terhadap pariwisata massal yang dipandang merusak terhadap landasan sumberdayanya yaitu lingkungan dan kebudayaan. Kritik ini melahirkan berbagai istilah baru antara lain adalah pariwisata alternatif, pariwisata yang bertangung jawab, pariwisata berbasis komunitas, dan ekowisata (Aoyama 2000). Alasan umum penggunaan konsep ini adalah karena dapat menggambarkan pariwisata yang termasuk: bukan pariwisata berskala besar atau massal, mengikuti prinsip-prinsip keberlanjutan, dan mempererat hubungan antar bangsa. Aoyama (2000) menyatakan bahwa dalam perkembangannya beberapa kriteria standar tentang bagaimana seharusnya ekowisata diterima secara umum yaitu: -
Melestarikan lingkungan karena jika ekowisata bukan merupakan suatu instrumen konservasi maka akan mendegradasi sumberdaya.
-
Secara ekonomis menguntungkan karena jika tidak menguntungkan, maka tidak akan ada modal yang akan kembali untuk konservasi, dan tidak akan ada insentif bagi pemanfaatan sumberdaya alternatif.
-
Memberi manfaat bagi masyarakat khususnya tingkat kesejahteraannya . Menurut
Libosada
(1998),
pemilihan
ekowisata
sebagai
konsep
pengembangan bagi wisata pesisir didasarkan pada beberapa unsur utama, yaitu: a. Sangat bergantung pada kualitas sumberdaya alam, peninggalan sejarah dan budaya, b. Melibatkan masyarakat dalam hal perencanaan dan pengelolaan, c. Meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah, dan budaya, d. Tumbuhnya pasar ekowisata di tingkat internasional dan nasional, dan e. Sebagai sarana mewujudkan ekonomi berkelanjutan.
9 Menurut Yulianda (2007), ekowisata adalah pariwisata yang menyangkut perjalanan ke kawasan alam secara alami karena sumberdaya alam yang berada didalamnya belum terganggu (masih alami) serta dengan tujuan untuk mengagumi, meneliti dan menikmati pemandangan yang indah, tumbuh-tumbuhan serta binatang maupun kebudayaan yang berada di wilayah tersebut. 2.3
Perencanaan Pengembangan Ekowisata Suatu wilayah bila akan dikembangkan menjadi suatu kawasan pariwisata
membutuhkan perencanaan yang baik, komprehensif, dan terintegrasi sehingga dapat mencapai sasaran (objektivitas) sebagaimana yang dikehendaki dan dapat meminimalkan munculnya dampak-dampak yang negatif, baik dari sudut pandang ekologis, ekonomis maupun sosial budaya dan hukum (Wiharyanto 2007). Pada dasarnya unsur-unsur lingkungan hidup dapat dikembangkan sebagai objek wisata bila unsur-unsur lingkungan hidup tersebut dapat dipersiapkan secara baik melalui kemampuan manusia dengan sentuhan teknologinya serta dapat memenuhi
kebutuhan
wisatawan
(Wiharyanto
2007).
Pembangunan
kepariwisataan memerlukan keterpaduan, kecermatan studi dan perencanaan agar tidak terjerumus dalam pembangunan prasarana dan wisata dengan mengorbankan obyek atau sumberdaya wisatanya sendiri. Pembangunan kepariwisataan perlu memperhatikan tuntutan kebutuhan (demand) wisatawan, tetapi tidak perlu hanya berorientasi pada pasar semata. Pembangunan kepariwisataan perlu keterpaduan dalam perencanaan dan memformulasikan tujuannya (Joyosuharto 2001). Proses perencanaan pembangunan pariwisata menurut Yoety (1997) dapat dilakukan dalam 5 tahap yaitu: 1.
Melakukan inventarisasi fasilitas yang tersedia dan potensi yang dimiliki.
2.
Melakukan penaksiran (assessment) terhadap pasar pariwisata internasional dan nasional serta memproyeksikan aliran / lalu lintas wisatawan.
3.
Memperhatikan analisis berdasarkan keunggulan daerah (region) secara komparatif, sehingga dapat diketahui daerah yang permintaannya lebih besar daripada persediaannya.
4.
Melakukan perlindungan terhadap sumberdaya alam dan budaya yang ada.
5.
Melakukan penelitian kemungkinan perlunya penanaman modal. Tantangan dalam pengembangan wisata bahari adalah memanfaatkan
10 terumbu karang yang ada secara berkelanjutan tanpa menimbulkan dampak yang merugikan. Hal ini penting karena kegiatan wisata bahari memadukan 2 sistem yaitu: kegiatan manusia dan ekosistem laut. Adanya kegiatan wisata bahari sangat tergantung pada sumberdaya alam, diantaranya terumbu karang dan apabila terjadi kerusakan akan menurunkan mutu daya tarik pariwisata (Yulianda 2007). Menurut Damanik (2006) persyaratan yang harus dipenuhi untuk keberlanjutan pariwisata yaitu: 1. Wisatawan mempunyai kesadaran untuk mengkonsumsi produk dan jasa wisata secara selektif dalam arti bahwa produk tersebut tidak diperoleh dengan mengeksploitasi sumberdaya secara berlebihan, 2. Produk wisata didorong ke produk berbasis lingkungan dan peka terhadap budaya lokal, 3. Masyarakat harus dilibatkan dalam perencanaan, implementasi dan monitoring pengembangan wisata, 4. Masyarakat harus memperoleh keuntungan secara adil dari kegiatan wisata, 5. Posisi tawar masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya pariwisata semakin meningkat. 2.4 Pengembangan Ekowisata Bahari Jenis wisata yang memanfaatkan wilayah pesisir dan laut ada yang secara langsung maupun tidak langsung. Kegiatan langsung diantaranya berperahu, berenang, snorkeling, selam, dan memancing. Kegiatan tidak langsung seperti kegiatan olah raga pantai dan piknik menikmati atmosfer laut (Nurisyah 2001). Konsep pariwisata bahari didasarkan pada view, keunikan alam, karakteristik ekosistem, kekhasan seni budaya dan karakteristik masyarakat sebagai kekuatan dasar yang dimiliki masing-masing daerah. Arifin (2008) mengemukakan syarat-syarat yang diperlukan untuk kegiatan pariwisata bahari khususnya selam antara lain: (1) persen penutupan karang, (2) kecerahan perairan, (3) jenis life form, (4) jenis ikan karang, (5) kecepatan arus, dan (6) kedalaman terumbu karang dengan rinciannya sebagai berikut: a.
Kecerahan; perairan yang cerah merupakan syarat utama yang harus dipenuhi dalam kegiatan wisata selam. Semakin cerah suatu perairan, keindahan taman laut yang dinikmati wisatawan semakin tinggi. Kawasan terumbu karang
11 dengan nilai kecerahan 80-100% adalah lokasi yang sesuai untuk wisata selam dan snorkeling. Kawasan terumbu karang dengan kecerahan 20-50% masih layak untuk wisata selam dan snorkeling. Kawasan terumbu karang dengan nilai kecerahan kurang dari 20% dianggap tidak sesuai. b.
Persentase penutupan komunitas karang, jenis lifeform, dan jenis ikan karang; potensi karang yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan wisata selam dan snorkeling terdiri dari karang keras, karang lunak, dan biota yang berasosiasi dengan terumbu karang. Komunitas-komunitas ini mempunyai daya tarik bagi wisatawan karena memiliki variasi morfologi dan warna yang menarik. Parameter karang yang digunakan untuk kesesuaian wisata selam dan snorkeling adalah persentase penutupan karang dan jenis lifeform. Tingginya persentase penutupan karang, jenis lifeform, dan ikan karang, merupakan faktor penentu suatu kawasan terumbu karang sebagai lokasi wisata selam dan snorkeling.
c.
Kecepatan arus; berkaitan dengan keamanan dan kenyamanan wisatawan dalam menyelam dan melakukan snorkeling. Kecepatan arus yang relatif lemah merupakan syarat ideal untuk wisata selam. Arus yang kuat dapat membahayakan keselamatan penyelam, kecepatan arus terbaik untuk keperluan wisata selam adalah 0-17 cm/detik (Arifin et al. 2002).
d.
Kedalaman
terumbu
karang;
kedalaman
perairan
menentukan
pertumbuhan dan keberadaan karang. Nybakken (1992) menyatakan bahwa pengaruh kedalaman berhubungan dengan faktor lingkungan seperti cahaya, pergerakan air, suhu dan salinitas. Secara umum kedalaman yang masih layak untuk pertumbuhan karang berkisar 10 -15 m. Kawasan memiliki tingkat kesesuaian yang berbeda yaitu antara sangat sesuai dan sesuai dalam pemanfaatannya untuk menerima wisatawan. Sesuai dengan rekomendasi dari Davis dan Tisdell (1996); Scheleyer dan Tomalin (2000); Zakai dan Chadwick (2002); de Vantier dan Turak (2004) salah satu upaya dalam pengelolaan untuk mengurangi tekanan dari aktifitas yang dapat merusak karang yaitu mengurangi atau membatasi waktu untuk wisata selam dan snorkeling. Pemanfaatan kawasan wisata agar tidak terjadi tumpang tindih maka dapat dihindari dengan membagi wilayah berdasarkan kedalaman. Lokasi
12 dengan kedalaman 3-6 m hanya untuk wisata snorkeling sedangkan kedalaman di atas 6 m untuk wisata selam. Pelaksanaan pariwisata bahari akan berhasil apabila memenuhi komponen: kelestarian lingkungan alami, kesejahteraan penduduk yang mendiami wilayah tersebut, kepuasan pengunjung yang menikmatinya, dan keterpaduan komunitas dengan area pengembangannya (Nurisyah 2001). Pengembangan pariwisata tanpa perencanaan dan pengelolaan yang baik akan mengakibatkan penurunan mutu kawasan yang tidak diharapkan, sebagai akibatnya adalah hilangnya kawasan yang menarik bagi wisatawan. Fasilitas dan lokasi adalah faktor utama yang menyebabkan hilangnya dan penurunan mutu sumberdaya pesisir. Pemilihan lokasi yang tidak sesuai menyebabkan kesulitan dalam pelaksanaan pemilihan pengembangan, baik sekarang maupun yang akan datang. Banyaknya dampak negatif yang terjadi akibat kesalahan dalam melakukan pendugaan terhadap karakteristik proses alami kawasan pesisir (kerusakan akibat badai atau ombak) adalah sebagai penyebab kegagalan perencanaan tata guna lahan, yang mengakibatkan rapuhnya ekosistem dan infrastruktur (Arifin 2008). Pengembangan pariwisata bahari yang berwawasan lingkungan akan memberikan jaminan terhadap kelestarian dan keindahan lingkungan, terutama yang berkaitan dengan jenis-jenis biota dan ekosistem utamanya. Pembangunan pariwisata bahari yang optimal dan berkelanjutan menurut Gunn (1994), dapat dicapai apabila kegiatan tersebut dapat mencapai empat aspek sebagai berikut: 1.
Mempertahankan kelestarian dan keindahan lingkungan (alam).
2.
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan tersebut.
3.
Menjamin kepuasan pengunjung.
4.
Meningkatkan keterpaduan dan unity pembangunan masyarakat di sekitar kawasan dan zona pengembangannya. Tujuan pembanguan yang berkelanjutan adalah memadukan pembangunan
dengan lingkungan sejak awal proses penyusunan kebijakan dan pengambilan keputusan yang strategis sampai kepada penerapan di lapangan. Konsep pengembangan kawasan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan adalah tidak merusak kondisi sumberdaya alam pesisir yang telah ada sehingga dapat dimanfaatkan secara terus menerus (Kusumastanto 2006).
13 Wisata bahari merupakan salah satu bentuk wisata potensial yang termasuk di dalam kegiatan ”clean industry”. Pelaksanaan wisata bahari dianggap berhasil apabila memenuhi berbagai komponen yakni berkaitan dengan kelestarian lingkungan alami, kesejahteraan penduduk yang mendiami wilayah tersebut, kepuasan pengunjung yang menikmatinya, dan keterpaduan komunitas dengan area pengembangannya. Wisata bahari akan memberikan kontribusi nyata bagi perekonomian masyarakat apabila memperhatikan komponen-komponen tersebut (Holden 2000). 2.5 Analisis SWOT Menurut Rangkuti (1997), Analisis SWOT (Strength, Weaknesses, Opportunities, dan Threats) adalah indentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi organisasi. Analisis tersebut didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Pelaksanaan ekowisata di suatu tempat perlu dilakukan analisis SWOT terlebih dahulu. Hal yang sangat penting dikenali adalah keadaan (keindahan, daya tarik) yang spesifik atau unik dari obyek wisata yang bersangkutan. Selanjutnya prasarana yang tersedia apakah lancer atau tidak lancar, nyaman atau tidak nyaman, sudah lengkap atau masih harus diadakan dan sebagainya. Tersedianya sumberdaya manusia yang terlatih sangat berhubungan dengan tingkat pendidikan dan budaya masyarakatnya (Fandeli et al. 2000). Fandeli (1995) menjelaskan bahwa
kegiatan kepariwisataan harus
dilaksanakan setelah ditentukan tujuan dan sasaran strategis. Suatu strategi adalah suatu rencana yang direkayasa untuk menyelasikan suatu misi. Misi itu harus direncanakan dalam parameter kekuatan dan kelemahan dari organisasi kepariwisataan, kesempatan, dan ancaman dalam lingkungan. Analisis SWOT digunakan untuk mengidentifikasikan strategi yang perlu dikembangkan dalam rangka pengusahaan ekowisata. Penyusunannya mempertimbangkan berbagai kondisi internal lokasi yaitu strength dan weakness serta kondisi eksternal yaitu opportunity dan threat.
14
3. METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di perairan Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang, Provinsi NTT (Gambar 2) dari bulan April sampai dengan Juni 2010. Lokasi pengambilan data biofisik di perairan Kecamatan Semau pada bagian timur, barat, utara, dan selatan di 6 stasiun (Lampiran 1).
Gambar 2 Peta lokasi Penelitian (Sumber: Dinas Hidro-Oseanografi 2005). 3.2 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian adalah: peta, perahu motor, peralatan SCUBA diving, kamera bawah air, global positioning system (GPS), roll meter 100 m, papan untuk manta tow, transek kuadrat dari pipa paralon berbentuk bujur sangkar berukuran 1x1 m, alat tulis dan kertas tahan air ukuran A4, secchi disc, thermometer, refractometer, floating drauge dan formulir isian (kuisioner).
15 3.3 Metode Pengumpulan Data dan Informasi 3.3.1 Data Primer Data-data primer yang diperlukan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1) Parameter Lingkungan Data yang diperlukan dalam penelitian ini sebagai berikut (Tabel 1): Tabel 1 Daftar parameter lingkungan yang diukur di lokasi penelitian. No. Jenis data Kualitas lingkungan perairan 1. Suhu 2. Salinitas 3. Kecepatan arus 4. Kecerahan 5. Kedalaman perairan Karakteristik pantai 6. Tipe pantai 7. Material dasar perairan 8. Penutupan lahan pantai
Alat
Satuan o
Keterangan
Termometer Refractometer Floating draugt Seschi disk Tali dan meteran
C /oo m/detik meter meter
in situ in situ in situ in situ in situ
Visual/kamera Visual Visual/kamera
-
in situ in situ in situ
o
-
-
2) Kondisi Terumbu Karang Pengamatan terumbu karang dilakukan dengan menggunakan metode manta tow dan transek kuadrat. Khusus metode transek kuadrat, penentuan luasan areal pengamatan yaitu 10 m x 10 m yang dimodifikasi dengan metode line intercept transect (LIT) sepanjang 50 m sejajar dengan garis pantai (English et al. 1997). Penelitian ini dilakukan dengan 2 tahapan pengamatan yaitu pertama dengan metode manta tow untuk mengetahui kondisi karang secara keseluruhan guna penentuan titik pengamatan dan yang berikutnya dengan metode transek kuadrat untuk menghitung jumlah individu karang dalam luasan terumbu karang. Teknik pelaksanaan di lapangan yaitu: penetapan transek garis untuk penentuan arah dan jarak yang konstan dari pemasangan transek kuadrat. Transek kuadrat diletakkan sejajar bentangan pita roll meter sepanjang 50 m. Setiap transek kuadrat diletakkan secara menyilang dalam luasan 10 m. Pengamatan ini dilakukan 3 kali ulangan dengan interval jaraknya 10 m (Gambar 3). Pengambilan dokumentasi koloni karang dalam bentuk foto pada transek kuadrat dengan menggunakan kamera bawah air. Foto tersebut kemudian diidentifikasi dengan program analisa Image-J dan bantuan buku identifikasi karang untuk mengetahui lifeform (Tabel 2).
16 Transek 1
Transek 2
Transek 3
1x1 m
10 m
10 m
50 m Gambar 3 Skema peletakan transek kuadrat pada transek garis. Tabel 2 Daftar penggolongan komponen dasar penyusun ekosistem terumbu karang berdasarkan lifeform dan kodenya. Kategori Dead coral
Kode DC
Dead coral with alga
DCA
Acropora
Nonacropora
Branching
ACB
Encrusting
ACE
Submassive Digitate Tabulate Branching
ACS ACD ACT CB
Encrusting
CE
Foliose
CF
Massive Submassive Mushroom Heliopora Millepora Tubipora
CM CS CMR CHL CML CTU SC SP ZO OT AA CA HA MA TA S R SI W RCK
Soft coral Sponge Zoanthids Others Alga assemblage Coralline alga Alga Halimeda Macroalga Turf alga Sand Rubble Abiotik Silt Water Rock Sumber: English et al. (1997)
Keterangan Baru saja mati, warna putih atau putih kotor Karang ini masih berdiri, struktur skeletal masih terlihat Paling tidak 20 percabangan. Memiliki axial dan radial oralit Biasanya merupakan dasar dari bentuk acropora belum dewasa Tegak dengan bentuk seperti baji Bercabang tidak lebih dari 2o Bentuk seperti meja datar Paling tidak 2o percabangan. Memiliki radial oralit. Sebagian besar terikat pada substrat (mengerak) Paling tidak 2o percabangan Karang terikat pada satu atau lebih titik, seperti daun, atau berupa piring Seperti batu besar atau gundukan Berbentuk tiang kecil, kenop atau baji. Soliter, karang hidup bebas dari genera Karang biru Karang api Bentuk seperti pipa-pipa kecil Karang lunak
Ascidians, anemon, gorgonian, dan lain-lain
Pasir Patahan karang yang ukurannya kecil Pasir berlumpur Air Batu
17 3) Ikan Karang Pengamatan ikan karang menggunakan metode underwater fish visual census (UVC) dengan melakukan pencatatan ikan yang dijumpai dalam daerah transek. Posisi transek sama dengan posisi LIT. Ikan-ikan yang dijumpai pada jarak 2.5 m di sebelah kiri dan kanan garis transek sepanjang 50 m dicatat jenis dan jumlahnya. Luas bidang yang teramati per transeknya yaitu 5 x 50 = 250 m2. Identifikasi jenis ikan karang mengacu kepada Matsuda et al. (1984) dan Kuiter (1992). Sedangkan khusus untuk ikan kerapu (grouper) digunakan acuan dari Randall and Heemstra (1991) serta Heemstra dan Randall (1993). Hasil ini kemudian dikelompokkan dalam 3 kelompok utama yaitu ikan target, indikator, dan major menurut English et al. (1997) yaitu: a.
Ikan-ikan target yaitu ikan ekonomis penting dan biasa ditangkap untuk konsumsi. Biasanya ikan-ikan ini menjadikan terumbu karang sebagai tempat pemijahan dan daerah asuhan. Ikan-ikan target ini diwakili oleh famili Serranidae (ikan kerapu), Lutjanidae (ikan kakap), Lethrinidae (ikan lencam), Nemipteria (ikan kurisi), Caesionidae (ikan ekor kuning), Siganidae (ikan baronang), Haemulidae (ikan bibir tebal), Scaridae (ikan kakak tua), dan Acanthuridae (ikan kapol).
b.
Ikan-ikan indikator yaitu jenis ikan karang yang khas mendiami daerah terumbu karang dan menjadi indikator kesuburan ekosistem daerah tersebut. Ikan-ikan indikator ini diwakili oleh famili Chaetodontidae (ikan kepe-kepe).
c.
Ikan-ikan mayor yaitu jenis ikan berukuran kecil, pada umumnya berukuran antara 5-25 cm, dengan karakteristik pewarnaan yang beragam sehingga dikenal sebagai ikan hias. Kelompok ikan ini pada umumnya ditemukan melimpah, baik dalam jumlah individu maupun jenisnya. Ikan-ikan ini sepanjang hidupnya berada di terumbu karang dan diwakili oleh famili Pomacentridae (ikan betok laut), Labridae (ikan sapu-sapu), Breniidae (ikan peniru) dan Apogonidae (ikan serinding).
4) Data Sosial, Ekonomi, dan Budaya Pengumpulan data sosial, ekonomi, dan budaya untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap pengembangan ekowisata bahari melalui masyarakat sekitar dan dinas terkait dengan wawancara langsung dan kuisioner (Lampiran 18). Hal
18 tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa responden adalah individu, masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan staf dinas yang turut berpengaruh dalam pengambilan kebijakan baik langsung maupun tidak langsung pada pengembangan ekowisata bahari di wilayah tersebut. 3.3.2 Data Sekunder Data sekunder terdiri dari data tingkat kerusakan terumbu karang, data potensi wilayah pariwisata, dan rencana pengembangan oleh pemerintah daerah setempat, serta rencana tata ruang wilayah. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi kepustakaan seperti laporan
atau
data-data
perencanaan dari instansi terkait, laporan hasil survey atau penelitian, artikel-artikel terkait lainnya serta peta-peta yang tersedia. 3.4 Analisis Data 3.4.1 Analisis Data Ekologi a. Persentase Tutupan Karang Data yang diperoleh dari metode transek kuadrat didokumentasi dengan kamera bawah air, kemudian dianalisis persentasi penutupan karang dan penyusun substrat dasar lainnya dengan menggunakan program analisa Image-J. Prinsip kerjanya adalah dengan cara mengkonversi foto dari pemotretan objek di bawah air dengan satuan meter (sesuai ukuran transek kuadrat 1x1 m) ke dalam satuan piksel; selanjutnya dilakukan digitasi koloni karang, biota, dan substrat dasar lainnya. Persentase tutupan karang dihitung dengan rumus (English et al. 1997): Persentase tutupan (%) =
x 100
Data kondisi penutupan terumbu karang yang diperoleh dari persamaan di atas kemudian dikategorikan berdasarkan Gomez dan Yap (1988) (Tabel 3): Tabel 3 Kriteria penilaian persentase penutupan karang. Persentase penutupan (%) 75.0 – 100.0 50.0 – 74.9 25.0 – 49.9 0.0 – 24.9
Kriteria penilaian Memuaskan Bagus Sedang Buruk
19 b. Keragaman dan Jenis Ikan karang Analisis
data
ikan
karang dilakukan dengan
menghitung
indeks
keanekaragaman, jumlah individu, dan jenis ikan per stasiun. -
Indeks keanekaragaman Indeks keanekaragaman dimaksud untuk mendapatkan gambaran populasi
melalui jumlah individu
masing-masing jenis dalam
suatu
komunitas.
Perhitungannnya menggunakan rumus Shannon-Wiener (Krebs 1972): H′ = −
p ln p
Keterangan: H ′ = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener s = jumlah spesies ikan karang p = proporsi kelimpahan individu dari satu individu ke i (ni/N) ni = jumlah individu tiap jenis N = jumlah total - Jumlah jenis dan individu ikan Jumlah jenis dan individu ikan karang dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus yang diformulasikan oleh Odum (1971) sebagai berikut: Jumlah Jenis/individu Ikan =
jumlah jenis/individu ikan pada pengamatan ke − i luas stasiun yang diamati
3.4.2 Analisis Matriks Kesesuaian untuk Lokasi Wisata Kegiatan wisata bahari yang dikembangkan disesuaikan dengan potensi sumberdaya dan peruntukkannya. Analisis kesesuaian pemanfaatan wisata bahari berbasis konservasi mencakup penyusunan matriks kesesuaian, pembobotan dan peringkat, serta analisis indeks kesesuaian setiap kategori wisata bahari. 3.4.2.1 Matriks Kesesuaian untuk Wisata Selam Menurut Yulianda (2007) bahwa kesesuaian ekowisata bahari dalam kategori wisata selam mempertimbangkan 6 parameter dan penilaiannya dikelompokan dalam 4 klasifikasi (Tabel 4). Penentukan indeks kesesuaian untuk wisata selam dengan menggunakan rumus: IKW =
N N
x 100 %
20 Keterangan: IKW = Indeks kesesuaian wisata N = Nilai parameter ke-i (bobot x skor) N = Nilai maksimum dari suatu kategori wisata Tabel 4 Matriks kesesuaian ekowisata bahari kategori wisata selam. No.
Parameter
Standar parameter > 80 50 – 80 20 - < 50 < 20 > 75 > 50 – 75 25 – 50 < 20 > 12 7 -12 4 -7 <4 > 50 30 – 50 10 - >30 > 10 0 – 15 >15 – 30 >30 – 50 > 50 6 – 15 >15 - 20 >20 – 30 > 30
Bobot
1.
Kecerahan perairan (%)
5
2.
Tutupan komunitas karang %
5
3.
Jumlah jenis lifeform karang
3
4.
Jenis ikan karang
3
5.
Kecepatan arus (cm/detik)
1
6.
Kedalaman terumbu karang (m)
1
Skor
N (bobot x skor)
3 2 1 0 3 2 1 0 3 2 1 0 3 2 1 0 3 2 1 0 3 2 1 0 ΣN= Σ Nmaks = 54 IKW =
Sumber : Yulianda (2007)
3.4.2.2 Matriks Kesesuaian untuk Wisata Snorkeling Menurut Yulianda (2007) bahwa kesesuaian wisata bahari kategori wisata snorkeling mempertimbangkan 7 parameter dan penilaiannya dikelompokan dalam 4 klasifikasi (Tabel 5). Selanjutnya penentukan indeks kesesuaian untuk wisata snorkeling menggunakan rumus: IKW =
N N
x 100 %
21 Keterangan: IKW = Indeks kesesuaian wisata N = Nilai parameter ke-i (bobot x skor) N = Nilai maksimum dari suatu kategori wisata Tabel 5 Matriks kesesuaian ekowisata bahari kategori wisata snorkeling. No.
Parameter
Bobot
1.
Kecerahan perairan (%)
5
2.
Tutupan komunitas karang (%)
5
3.
Jumlah jenis lifeform karang
3
4.
Jenis ikan karang
3
5.
Kecepatan arus (cm/detik)
1
6.
Kedalaman terumbu karang (m)
1
7.
Lebar hamparan datar karang (m)
1
Standar parameter 100 80 < 100 20 - < 50 < 20 > 75 > 50 – 75 25 – 50 < 20 > 12 7 -12 4 -7 <4 > 50 30 – 50 10 - >30 > 10 0 – 15 >15 – 30 >30 – 50 > 50 1–3 >3–6 >6-10 > 10-< 1 > 500 > 100 - 500 20 – 100 < 20
Skor N (bobot x skor) 3 2 1 0 3 2 1 0 3 2 1 0 3 2 1 0 3 2 1 0 3 2 1 0 3 2 1 0 ΣN = Σ Nmaks = 57 IKW =
Sumber: Yulianda (2007)
Ketentuan kelas kesesuaian untuk wisata snorkeling sebagai berikut (modifikasi Yulianda 2007): S1
= Sangat sesuai, dengan IKW 83 – 100 %
S2
= Sesuai, dengan IKW 50 - < 83 %
N
= Tidak sesuai, dengan IKW < 50%
22 Kelas kesesuaian ekowisata bahari kategori wisata selam dan snorkeling dibagi dalam tiga kelas yang didefenisikan sebagai berikut (yang dimodifikasi oleh Yulianda 2007): 1) Kelas S1, sangat sesuai (highly suitable): kawasan ekosistem terumbu karang tidak mempunyai pembatas yang berat untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata bahari (selam dan snorkeling) secara lestari dan mempunyai faktor pembatas yang kurang berarti terhadap kondisi kawasan tersebut, dan tidak menambah masukan untuk dikembangkan sebagai objek wisata bahari. 2) Kelas S2, sesuai (suitable): kawasan ekosistem terumbu karang sesuai untuk dimanfaatkan sebagai kawasan wisata bahari secara lestari. Faktor pembatasnya mempengaruhi pemanfaatan kawasan tersebut, sehingga diperlukan upaya tertentu dalam membatasi pemanfaatan yakni upaya konservasi dan rehabilitasi yang melindungi ekosistem ini dari kerusakan. 3) Kelas N, tidak sesuai (not suitable): kawasan ekosistem terumbu karang yang mengalami tingkat kerusakan yang tinggi, sehingga tidak memungkinkan untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata bahari. Sangat disarankan untuk dilakukan perbaikan secara berkelanjutan dengan teknologi tinggi dengan tambahan biaya dan memerlukan waktu yang cukup lama memulihkannya melalui konservasi dan rehabilitasi kawasan tersebut. 3.4.3 Analisis Penzonasian Kawasan Terumbu Karang Analisis
penzonasian
kawasan
pada
penelitian
ini
yaitu
arahan
pengembangan kawasan wisata bahari dengan melakukan pemetaan kesesuaian wisata menggunakan analisis keruangan. Berdasarkan analisis ini dihasilkan peta kesesuaian untuk kegiatan wisata
selam dan snorkeling. Penzonasian
menggunakan analisis keruangan untuk mengidentifikasi pemanfaatan ruang dengan analisis sistem informasi geografis (SIG) dan program ArcGis 9.3. 3.4.4 Analisis Nilai Visual Ekosistem Terumbu Karang Penentuan nilai visual ekosistem terumbu karang yaitu menggunakan metode scenic beauty estimation (SBE). Tahapan yang dilakukan dalam penilaian SBE adalah penentuan titik pengamatan, pengambilan foto, seleksi foto, dan penilaian foto oleh responden.
23 Adapun tahapan dalam penentuan nilai SBE adalah sebagai berikut: a.
Penentuan hamparan titik pengamatan dan pengambilan foto yaitu hamparan karang dan organisme yang berasosiasi dengan karang di stasiun penelitian.
b.
Seleksi foto yaitu foto yang akan diperlihatkan pada responden merupakan hasil seleksi dari seluruh foto yang diambil. Seleksi dilakukan dengan memilih foto yang dianggap dapat mewakili keanekaragaman ekosistem terumbu karang yang dilihat pada hamparan karang di stasiun penelitian. Mengurangi bias akibat pengaruh cahaya perairan maka khusus untuk foto dilakukan editing dengan menggunakan software ACDSee. Hal tersebut maksudkan agar foto yang diperlihatkan pada responden memiliki kualitas gambar yang sama dengan aslinya.
c.
Penilaian oleh responden yaitu responden yang dipilih dari wisatawan asing atau lokal, pelaku wisata selam atau penyelam yang memiliki sertifikat selam minimal A1, aparat pemerintah, dan masyarakat di sekitar lokasi penelitian. Jumlah responden yang dipilih sebayak 50 orang, penilaian oleh responden dalam bentuk memperlihatkan foto yang telah dipilih dalam bentuk kuisoner dari setiap foto yang ditampilkan, responden akan menilai setiap foto lalu memberikan skor 1-10 dimana skor 1 menunjukan nilai yang paling tidak disukai sedangkan skor 10 menunjukan nilai yang paling disukai.
d.
Penilaian nilai visual dengan menggunakan metode SBE diawali dengan tabulasi data, perhitungan frekuensi setiap skor (f), perhitungan frekuensi kumulatif (cf) dan cumulative probabilities (cp). Selanjutnya dengan menggunakan tabel z ditentukan nilai z untuk setiap nilai cp. Khusus untuk nilai cp = 1.00 atau cp = (z = ± ∞) digunakan rumus perhitungan cp = 1 – 1 / (2n) atau cp = 1 / (2n) (Daniel dan Boster 1976). Rata-rata nilai z yang diperoleh untuk setiap fotonya kemudian dimasukan dalam rumus SBE yang diformulasikan oleh Daniel dan Boster (1976) sebagai berikut: SBEx = (Zx - Zo) x 100 Keterangan: SBEx = Nilai penduga pada nilai keindahan pemandangan seascape/foto melalui foto ke-x Zx = Nilai rata-rata z untuk seascape/foto ke-x Zo = Nilai rata-rata suatu seascape/foto tertentu sebagai standar
24 Sebaran penilaian SBE kemudian diklasifikasi menjadi tiga bagian yaitu nilai SBE tinggi, sedang, dan rendah dengan menggunakan jenjang sederhana (simplified rating) menurut Sutrisno Hadi (2001) in Khakhim (2009) dengan rumus: Nilai tertinggi − Nilai terendah Jumlah kelas Kemudian dari nilai ini akan dilakukan penilaian melalui matriks perhitungan I=
nilai SBE yang dapat dilihat pada Tabel 6 dan kategorinya pada Tabel 7. Tabel 6 Matriks perhitungan nilai SBE. Skor 1 2 …… 10
f
Landscape/Foto ke-x Cf
cp
z
∑ Z = …… Z = …… SBE = (Zx – Zo) x 100 = ………
Tabel 7 Matriks kategori nilai SBE. Nilai SBE …………… - ………………. …………… - ………………. …………… - ……………….
Kategori Rendah Sedang Tinggi
3.4.5 Analisis Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat Kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat masyarakat diketahui melalui wawancara secara langsung menggunakan kuisioner (Lampiran 2). Responden dalam penelitian ini sebanyak 50 orang yang merupakan masyarakat dan aparat pemerintah yang bertempat tinggal di sekitar perairan Kecamatan Semau. Analisa ini bertujuan untuk mengetahui kondisi masyarakat setempat dalam mendukung pengembangan perairan Kecamatan Semau menjadi wilayah ekowisata bahari. Data kualitatif yang telah terkumpul kemudian dianalisis secara deskriptif yang tersajikan dalam bentuk gambar atau grafik.
25 3.4.6 Analisis Persepsi Masyarakat Persepsi masyarakat diketahui melalui wawancara secara langsung menggunakan kuisioner (Lampiran 2) terhadap responden sebanyak 50 orang yang dianggap sebagai masyarakat dan aparat pemerintah yang mengetahui keberadaan sumberdaya terumbu karang di perairan Kecamatan Semau. Analisa ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana dukungan pemerintah, masyarakat, dan pihak-pihak yang terkait dalam pengembangan perairan Kecamatan Semau menjadi wilayah ekowisata bahari. Data kualitatif yang telah terkumpul kemudian dianalisis secara deskriptif yang tersajikan dalam bentuk tabel, gambar, atau grafik. 3.4.7 Analisis Strategi Pengelolaan Analisa strategi pengelolaan untuk upaya pengembangan ekowisata bahari di perairan Kecamatan Semau dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT (strength, weakness, opportunity, threat). Analisis SWOT dilakukan dengan mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi (Rangkuti 1997). Analisis strategi rencana pengembangan ekowisata di perairan Kabupaten Semau menggunakan metode analisis SWOT yang lebih difokuskan pada faktor ekologi. Komponen-komponen yang telah diidentifikasi dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan analisis yang menerapkan kriteria sesuai dengan data kuantitatif dan deskripsi keadaan. Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis SWOT sebagai berikut: a.
Analisis matriks internal factor evaluation (IFE) dan external factor evaluation (EFE) Penilaian internal factor evaluation (IFE) untuk mengetahui sejauh mana
pengaruh internal yang dimiliki oleh suatu kawasan ekowisata dengan cara mendaftarkan semua kekuatan dan kelemahan. Penilaian external factor evaluation (EFE) untuk mengetahui sejauh mana pengaruh eksternal yang dimiliki oleh suatu kawasan ekowisata dengan cara mendaftarkan semua ancaman dan peluang. Hasil dari kedua identifikasi faktor tersebut menjadi faktor penentu dalam pemberian bobot dan peringkat atau rangking.
26 b. Penentuan Bobot Setiap Variabel Penentuan bobot melalui identifikasi faktor strategis internal dan eksternal. Penentuan bobot setiap variabel dengan skala 1, 2, 3, dan 4 (David 2002) yaitu: 1 : jika indikator horizontal kurang penting daripada indikator vertikal 2 : jika indikator horizontal sama penting dengan indikator vertikal 3 : jika indikator horizontal lebih penting daripada indikator vertikal 4 : jika indikator horizontal sangat penting dibandingkan indikator vertikal Bentuk pembobotan faktor strategis internal dapat dilihat pada Tabel 8 dan bentuk pembobotan faktor strategis eksternal dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 8 Penilaian bobot internal factor evaluation (IFE). Faktor strategis internal A B C ..... N Total
A
B
C
.......
N
Total ........ ........ ........ ........ ........ ........
N
Total ........ ........ ........ ........ ........ ........
Sumber : David (2002)
Tabel 9 Penilaian bobot external factor evaluation (EFE). Faktor strategis eksternal A B C ..... N Total
A
B
C
.......
Sumber : David (2002)
Bobot setiap variabel diperoleh dengan menentukan nilai setiap variabel terhadap jumlah nilai keseluruhan variabel dengan menggunakan rumus: ai =
n
x
i
i 1
Keterangan: ai = bobot variabel ke-i
xi i i n
= = = =
nilai variabel ke-i 1, 2, 3, ......... n (faktor internal) 1, 2, 3, ......... n (faktor eksternal) jumlah variable
27 c. Penentuan Peringkat atau Rangking Penentuan peringkat/rangking merupakan pengukuran terhadap pengaruh masing-masing variabel yang menggunakan nilai peringkat dengan skala 1-4 terhadap faktor strategis yang dimiliki objek wisata (Rangkuti 1997). Skala penilaian peringkat matriks IFE untuk faktor kekuatan adalah sebagai berikut: 1 = kekuatan yang kecil
3 = kekuatan yang besar
2 = kekuatan sedang
4 = kekuatan yang sangat besar
Sedangkan untuk faktor kelemahan sebagai berikut: 1 = kelemahan yang sangat berarti
3 = kelemahan yang kurang berarti
2 = kelemahan yang cukup berarti
4 = kelemahan yang tidak berarti
Skala pemberian nilai peringkat matriks EFE untuk faktor peluang sebagai berikut: 1 = peluang rendah, respon kurang
3 = peluang tinggi, respon di atas rata-rata
2 = peluang sedang, respon rata-rata
4 = peluang sangat tinggi, respon superior
Sedangkan untuk faktor ancaman sebagai berikut: 1 = ancaman sangat besar
3 = ancaman sedang
2 = ancaman besar
4 = ancaman kecil
Kemudian nilai dari pembobotan dikalikan dengan peringkat pada setiap faktor dan semua hasil kali tersebut dijumlahkan secara vertikal untuk memperoleh total skor pembobotan berkisar antara 1-4 dengan rata-rata 2.5. Total skor pembobotan IFE di bawah 2.5 menunjukan bahwa kondisi internal yang lemah sedangkan jika berada di atas 2.5 maka menunjukan bahwa kondisi internal yang kuat. Matriks IFE dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Matriks internal factor evaluation (IFE). Faktor strategis internal Kekuatan (Strength) 1. ...... 2. ...... ......... 5. ...... Kelemahan (Weaknesses) 1. ...... 2. ...... ......... 5. ...... Sumber : Rangkuti (1997)
Bobot
Rating
Skor
......... .........
......... .........
......... .........
.........
.........
.........
......... .........
......... .........
......... .........
.........
.........
.........
28 Matriks EFE digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan eksternal dengan melakukan klasifikasi terhadap peluang dan ancaman. Total skor pembobotan EFE berkisar antara 1-4 dengan rata-rata 2.5. Total skor pembobotan EFE di bawah 2.5 menunjukan bahwa kondisi eksternal yang lemah, sedangkan jika berada di atas 2.5 menunjukan bahwa kondisi eksternal yang kuat. Matriks EFE dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Matriks external factor evaluation (EFE). Faktor strategis eksternal Peluang (Opportunities) 1. ...... 2. ...... 3. ...... Tantangan (Threat) 1. ...... 2. ...... Total
Bobot
Rating
Skor
......... ......... .........
......... ......... .........
......... ......... .........
......... ......... .........
......... ......... .........
......... ......... .........
Sumber : Rangkuti (1997)
Keterikatan faktor internal dan eksternal tersebut digambarkan dalam bentuk matriks SWOT (Tabel 12). Matriks SWOT ini dapat disusun dalam beberapa strategi alternatif atau prioritas untuk menangani akan kelemahan dan ancaman yang ada. Tabel 12 Matriks SWOT. IFE EFE OPPOTUNITIES (O) O1 O2 Dst THREATHS (T) T1 T2 Dst Sumber : David (2002)
STRENGHTS (S) S1 S2 Dst STRATEGI S-0 (Strategi menggunakan Kekuatan untuk memanfaatkan peluang) STRATEGI S-T (Strategi menggunakan Kekuatan untuk mengatasi ancaman)
WEAKNESS (W) W1 W2 Dst STRATEGI W-O (Strategi meminimalkan Kelemahan untuk memanfaatkan peluang) STRATEGI W-T (Strategi meminimalkan Kelemahan untuk menghindari ancaman)
Strategi-strategi tersebut selanjutnya diurutkan menurut rangking berdasarkan jumlah skor unsur-unsur penyusunnya, sebagaimana disajikan pada Tabel 13.
29 Tabel 13 Penyusunan rangking strategi analisis SWOT. Unsur Peluang/Opportunities (O) Ancaman/Threath (T)
Kekuatan/Strenght (S) ......... .........
Kelemahan/Weaknesses (W) ......... .........
d. Pembuatan Tabel Rangking Alternative Strategi Jumlah skor pembobotan merupakan penjumlahan semua skor dari faktorfaktor strategis yang terkait. Jumlah skor dimaksud dapat menentukan rangking prioritas strategi. Rangking ditentukan berdasarkan urutan jumlah skor terbesar sampai dengan yang terkecil yang menjadi alternatif rencana strategi (Tabel 14). Strategi yang dihasilkan merupakan suatu keputusan teknis yang membantu pemerintah untuk mendisain suatu rencana kerja jangka panjang. Keputusan pemerintah diharapkan didukung oleh masyarat sehingga pelaksanaannya tidak merugikan salah pihak dan tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Tabel 14 Rangking alternatif rencana strategi. No Strategi S-O 1
Unsur SWOT SO1
2
SO2
Strategi S-T 3
ST1
4
ST2
Strategi W-O 5
WO1
6
WO2
Strategi W-T 7
WT1
8
WT2
Keterkaitan
Jumlah skor
Rangking
S1, S2, ......., Sn O1, O2, ......, On S1, S2, ......., Sn O1, O2, ......, On
........... ........... ........... ...........
........... ........... ........... ...........
S1, S2, ......., Sn T1, T2, ......, Tn S1, S2, ......., Sn T1, T2, ......, Tn
........... ........... ........... ...........
........... ........... ........... ...........
W1, W2, ......., Wn O1, O2, ......, On W1, W2, ......., Wn O1, O2, ......, On
...........
...........
........... ...........
........... ...........
...........
...........
W1, W2, ......., Wn T1, T2, ......, Tn W1, W2, ......., Wn T1, T2, ......, Tn
...........
...........
........... ...........
........... ...........
...........
...........
30 Setelah dilakukan analisis penzonasian dan SWOT diharapkan adanya suatu strategi pengelolaan dalam upaya pengembangan ekowisata bahari yang berkelanjutan di perairan Kecamatan Semau. Hal ini perlu disesuaikan dengan keinginan masyarakat dan kebijakan pemerintah misalnya melalui peraturan dan keputusan pemerintahan setempat serta tata ruang yang berlaku.
31
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Umum 4.1.1 Geografis Nusa Bungtilu adalah nama asli Pulau Semau. Nusa Bungtilu artinya pulau bunga tiga warna dari kapas sebagai bahan dasar tenun pakaian adat. Ketiga warna tersebut adalah warna hitam, putih, dan merah. Sejak tahun 2006 wilayah Pulau Semau ini dimekarkan menjadi dua kecamatan yaitu Kecamatan Semau dan Kecamatan Semau Selatan. Kecamatan Semau yang beribukota di Uitao dengan luas wilayah 143.42 km2. Wilayah pemerintahannya dibagi menjadi delapan desa yaitu: Uiasa, Hansisi, Huilelot, Uitao, Otan, Bokonusan, Letbaun, dan Batuinan. Secara geografis, Kecamatan Semau berbatasan dengan : - Laut Sawu di sebelah utara, - Teluk Tenau dan Selat Semau di sebelah timur, - Kecamatan Semau Selatan dan Selat Semau di sebelah selatan, dan - Laut Sawu dan Teluk Kupang di sebelah barat. 4.1.2 Penduduk Jumlah penduduk di Kecamatan Semau adalah 6.725 orang dengan rincian laki-laki : 3.384 orang dan perempuan : 3.441 orang (Tabel 15). Tabel 15 Jumlah penduduk Kecamatan Semau tahun 2009. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Desa
Usia 0-5 tahun (orang) L P 76 60 88 109 77 50 73 68 41 34 104 64 27 26 16 20 502 431
Usia 6-15 tahun (orang) L P 159 107 141 126 79 85 61 60 75 49 72 89 51 48 33 33 671 597
Uiasa Hansisi Huilelot Uitao Otan Bokonusan Letbaun Batuinan Jumlah Total Keterangan: L = Laki-laki P = Perempuan Sumber: BPS Kabupaten Kupang (2009)
Usia 16-60 tahun (orang) L P 29 31 33 31 37 170 25 24 19 12 295 259 9 13 84 72 531 612
Usia 61 tahun ke atas (orang) L P 340 336 262 426 188 152 155 152 135 95 471 412 87 87 42 41 1680 1701 6.725
32 Data ini menunjukan bahwa pada umumnya penduduk Kecamatan Semau berada pada usia produktif dan angkatan kerja dibandingkan yang lainnya. Secara umum mata pencaharian utama dari masyarakat Kecamatan Semau adalah petani ladang atau kebun dan nelayan. Berdasarkan data BPS Kabupaten Kupang (2009) pertumbuhan ekonomi Kecamatan Semau mengalami peningkatan sebesar 6,12% dibandingkan tiga tahun sebelumnya karena adanya peningkatan usaha di bidang perikanan dengan pendapatan per kapita sebesar Rp.1.700.066 per tahun. Pendapatan penduduk Kecamatan Semau. Secara umum persentase mata pencaharian penduduk Kecamatan Semau yang tinggi adalah sebagai petani (Tabel 16). Tabel 16 Persentase mata pencaharian penduduk Kecamatan Semau. No. 1. 2. 3. 4.
Jenis mata pencaharian Petani Nelayan Pegawai negeri sipil Swasta/Jasa
Persentase (%) 86.51 9.49 3.46 0.54
Jumlah penduduk (orang) 5.818 638 233 36
Sumber: BPS Kabupaten Kupang (2009)
4.1.3 Perumahan Penduduk Kecamatan Semau pada tahun 2009 dari 2.338 rumah tangga sekitar 86% keluarga telah memiliki rumah sendiri dan sisanya masih menumpang di rumah orang lain dan menyewa atau mengontrak rumah orang. Kondisi bangunan rumah penduduk di Kecamatan Semau tahun 2009 (BPS Kabupaten Kupang 2009) sebagai berikut: permanen 572 buah (34%), semi permanen 559 buah (33%), dan darurat 558 buah (33%). Dibandingkan dengan data pada tahun 2001 maka ada indikasi peningkatan jumlah rumah permanen sebesar 6% yaitu dari 27% menjadi 33%. Hal tersebut menunjukan bahwa adanya peningkatan jumlah status dari darurat menjadi semi permanen lebih tinggi dibandingkan semi permanen menjadi permanen.
33 4.1.4 Fasilitas Umum Fasilitas umum yang terdapat Kecamatan Semau yang menunjang kelangsungan masyarakat setempat yakni: a.
Pendidikan Jumlah Sekolah Dasar (SD) sebanyak 12 buah, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sebanyak 2 buah dan Sekolah Menengah Umum (SMU) hanya 1 buah di Desa Otan.
b.
Kesehatan Puskesmas 1 buah, Puskesmas Pembantu 8 buah dan Balai Pengobatan sebanyak 2 buah.
c.
Peribadatan Gereja Kristen Protestan sebanyak 37 buah, Gereja Kristen Katolik sebanyak 2 buah, dan Mesjid sebanyak 2 buah.
d. Air bersih Tersedianya air bersih wilayah ini berasal dari mata air sebanyak 4 buah yaitu di Desa Uiasa, Huilelot, Uitao dan Otan serta embung sebanyak 10 buah yang sebagian besar airnya berasal dari tadah hujan. Sedangkan pemenuhan kebutuhan air bersih yang lainnya berasal dari sumur gali. e. Ekonomi Usaha skala kecil berupa kios sebanyak 214 buah dan penginapan sebanyak 2 buah yang kurang terawat milik Hotel Flobamor di Desa Uiasa. f.
Listrik Sebagian besar rumah tangga yang ada di Kecamatan Semau menggunakan penerangan lampu sebagai alat penerang pada malam hari (70.49%). Penduduk yang menggunakan penerangan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang hanya beroperasi pada malam hari kecuali pada hari minggu sebesar 28.94% dan 0.56% menggunakan penerangan listrik non PLN.
g.
Transportasi - Fasilitas jalan ±40 km yang sebagian besarnya masih dalam keadaan pengerasan sedangkan yang sudah diaspal baru mencapai 12 km.
34 - Jumlah kendaraan roda dua sebanyak 60 unit yang sering digunakan sebagai ojek atau sarana transportasi darat satu-satunya. Juga terdapat pick up sebanyak 6 unit dan truk sebanyak 10 unit. - Perahu yang melayani transportasi laut dari Kupang sebagai ibukota Kabupaten Kupang dan Provinsi NTT ke Semau sebanyak: 18 unit yang bertenaga mesin rata-rata 15 PK dan kapasitas muat 20 orang dengan lama perjalanan ±30 menit, tarif Rp. 5.000,- per orang dan Rp. 15.000,- per kendaraan roda dua. Rutenya dari Tenau ke Semau berlangsung setiap hari dari pagi hingga malam hari. - Pelabuhan labuh perahu: 1 buah tradisional di Kauan (Desa Hansisi), 1 buah semi permanen (Desa Hansisi) yang tidak bisa difungsikan secara optimal karena posisinya lebih tinggi dari perahu yang berlabuh dan 1 buah permanen (Desa Hansisi) sebagai pelabuhan feri dalam keadaan rusak berat sedangkan pelabuhan khusus sebagai tempat pendaratan ikan tidak ada. 4.1.5 Kegiatan Perikanan Berdasarkan hasil pengumpulan data maka disajikan beberapa hal yang berhubungan dengan kegiatan kelautan dan perikanan yang dilakukan oleh masyarakat yang ada di Kecamatan Semau tersaji pada Lampiran 3, 4, dan 5. Beberapa kegiatan perikanan yang telah dilaksanakan oleh masyarakat di Kecamatan Semau sesuai hasil wawancara adalah : 1.
Telah dilakukan transplantasi terumbu karang di Perairan Desa Uiasa dan Hansisi oleh Universitas Nusa Cendana dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT tahun 2006 tetapi tidak berhasil secara menyeluruh karena tingginya kekeruhan dan aktifitas pelayaran di wilayah ini cukup tinggi.
2.
Adanya kegiatan perlindungan laut (zona perlindungan atau bank ikan) di dusun Oesenu-Desa Hansisi sejak tahun 2006 sehingga setiap orang yang melakukan penangkapan ikan di wilayah tersebut di denda Rp. 25.000,-
3.
Petani nelayan, khususnya di desa Letbaun semua penduduknya merupakan petani pembudidaya rumput laut.
4.
Telah dilaksanakan rapat khusus di Kantor Camat Semau pada tanggal 3 Juni 2010 dengan kesepakatan bahwa pada bulan Oktober 2010 dengan
35 diwakili
10
orang
dari
tiap
Kelompok
Masyarakat
Pengawas
(POKMASWAS) berkumpul di pinggir pantai Hansisi. Kemudian dilakukan sumpah yang dipimpin oleh pendeta dan imam sehingga setiap orang yang melakukan tindak pidana di laut akan mendapatkan kutukan atau hukuman langsung dari TUHAN. 5.
Kegiatan pemancingan sering dilaksanakan di perairan Pulau Kambing.
6.
Telah terbentuk POKMASWAS di 8 desa yaitu: Bokonusan, Otan, Uitao, Huilelot, Uiasa, Hansisi, Batuinan, dan Letbaun sejak tahun 2000.
7.
Lokasi penangkapan cumi terdapat di Perairan Bokonusan dan Otan yang dilakukan dari bulan April–Agustus. Biasanya pada bulan purnama terjadi peningkatan jumlah penangkapan secara drastis selama ± 4 hari.
8.
Telah terbentuk 5 kelompok penangkap cumi di Desa Batuinan.
9.
Adanya bantuan dari FAO (Food and Agricuture Organization) bagi nelayan di Desa Huilelot, Otan, Batuinan, dan Letbaun untuk pembibitan, pelatihan budidaya, dan penyediaan rak (para-para) untuk penjemuran rumput laut. Berdasarkan informasi tersebut disimpulkan bahwa sebagian masyarakat di
Kecamatan Semau melaksanakan kegiatannya di wilayah pesisir dan laut dengan tingkat kesadaran yang cukup tinggi untuk melakukan kegiatan perikanan yang ramah lingkungan. Pendapat sebagian besar tokoh masyarakat dan tokoh agama yang telah diwawancarai menyatakan bahwa pada umumnya nelayan yang sering melakukan kegiatan penangkapan dan biota laut lainnya dengan menggunakan bom dan potassium (destructive fishing) adalah nelayan yang berasal dari luar Kecamatan Semau. 4.2 Kondisi Lingkungan Perairan Parameter kondisi perairan di 6 lokasi penelitian yang mencakup perairan Pulau Kambing (A1), Hansisi (A2), Tanjung Uikaluit (A3), Uiasa (A4 dan A5), dan Otan (A6) pada bulan Mei tahun 2010, umumnya merata dan tidak ada perbedaan mencolok karena semua stasiun pengamatan masih dalam satu kawasan (Tabel 17).
36 Tabel 17 Parameter kualitas air di lokasi penelitian. No.
1. 2. 3. 4. 5.
Parameter kualitas air
Suhu (0C) Salinitas (‰) Kecepatan arus (cm/detik) Kecerahan (%) Kedalaman perairan (m)
A1 28 32.5 16 100 8
A2 28 32.5 14 80 7
Stasiun A3 A4 29 28 32.3 32.5 25 27 100 100 7 5
A5 29 32.3 29 100 5
A6 29 32.3 47 100 5
Berdasarkan nilai dari setiap parameter yang diukur selama penelitian menunjukkan bahwa kondisi perairan di lokasi penelitian masih tergolong normal untuk kehidupan biota laut khususnya karang dan ternyata sangat mendukung bagi wisatawan yang ingin melakukan aktifitas ekowisata bahari khususnya wisata selam dan snorkeling. Menurut Nybakken (1992) kisaran suhu untuk pertumbuhan karang antara 20-300C. Organisme karang dan organisme laut lainnya hidup dengan baik pada salinitas 32-350/00 (Thamrin 2006 dan Wolff 2009). Perlu adanya kecepatan arus yang relatif tenang agar karang mampu hidup dengan baik karena semakin kuat kecepatan arus, maka akan mengganggu penempelan planula sebagai juvenil koral dan ketersediaan nutrient (Birkeland 1997). Menurut Nybakken (1997) pertumbuhan terumbu karang tidak baik pada kecerahan di bawah 20%. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 51 (2004) menetapkan bahwa baku mutu air laut khususnya kecerahan adalah
>3 m
untuk perikanan, >5 m untuk koral, dan >6 m untuk pariwisata. Menurut Wolff (2009) pertumbuhan terumbu karang baik berada pada kedalaman perairan antara 3-10 m. 4.3 Kondisi dan Potensi Sumberdaya Alam Suatu daerah yang direncanakan pengembangannya untuk menjadi kawasan ekowisata perlu didukung oleh potensi sumberdaya alam sebagai daya tarik bagi wisatawan. Perairan Kecamatan Semau ternyata memiliki daya tarik tersendiri antara lain memiliki pemandangan alam pantai yang masih alami, keberagaman ekosistem terumbu karang, ikan dan biota lainnya yang terdapat di sekeliling perairannya. Kondisi inilah yang menjadi unsur supply dalam pengembangan ekowisata di perairan Kecamatan Semau.
37 4.3.1 Kondisi Terumbu Karang Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat kompleks dan produktif dengan keanekaragaman jenis biota yang sangat tinggi. Berdasarkan pengamatan terhadap kondisi ekosistem terumbu karang di perairan Kecamatan Semau dengan metode transect kuadrat, tipe terumbu pada kawasan ini merupakan tipe terumbu tepi (fringing reef) yang berada dekat dan sejajar dengan garis pantai. Berdasarkan Tabel 18 diketahui bahwa karang di lokasi penelitian tersebar di sepanjang pantai Kecamatan Semau bagian timur, barat, selatan dan utara. Lebar hamparan karang berdasarkan lokasi pengamatan disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Lebar hamparan karang di lokasi penelitian. Nama stasiun A1 A2 A3 A4 A5 A6
Lebar hamparan (meter) 133.70 134.78 118.63 232.02 252.16 158.46
Secara umum persentase kondisi terumbu karang di bagian timur dari perairan Kecamatan Semau tergolong baik jika dibandingkan dengan bagian barat, selatan dan utara. Persentase penutupan lifeform di tiap stasiun pengamatan disajikan pada Gambar 4.
Tutupan karang dan biota lainnya
100% 90%
25
80% 70%
40 3 12
60%
2 34
37
30%
24
1
3 13
28 16
13
16
29
29
43 Abiotic 3 10
26
14
Alga Biota lain
19 43
20% 10%
8
25
18
50% 40%
33
Dead coral Hard coral
25
8
0% A1
A2
A3 A4 Stasiun
A5
A6
Gambar 4 Persentase penutupan lifeform di perairan Kecamatan Semau.
38 Berdasarkan penilaian kategori penutupan karang menurut Gomes dan Yap (1988) maka kondisi karang di stasiun A1, A3, A4, A5 dan A6 termasuk kategori sedang, sedangkan stasiun A2 termasuk kategori buruk. Hal tersebut disebabkan karena posisi perairan Kecamatan Semau khususnya bagian utara dan timur terbuka sehingga pada saat musim timur terjadi gelombang yang sangat besar yang mempengaruhi ekosistem terumbu karang. Selain itu, hal tersebut diakibatkan
karena
rendahnya
kesadaran
masyarakat
dalam
melakukan
penangkapan ikan dengan menggunakan potassium dan bom (destructive fishing) sehingga sebagian besar lokasi penelitian ditemukan persentase patahan karang atau rubble akibat bom yang cukup tinggi. Stasiun A2 yang memiliki persentase tutupan karang hidup rendah (8%) diduga karena lokasi tersebut sering dijadikan sebagai tempat berlabuh sementara kapal barang yang menunggu giliran bongkar muat barang di Pelabuhan Tenau, jalur transportasi laut yang cukup ramai, tempat mencari ikan oleh masyarakat sekitarnya pada saat surut atau dikenal dengan istilah makan meting dalam bahasa Kupang, dan tempat berlindung bagi kapal pada saat badai. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Ninef et al. (2002) bahwa persentase kondisi terumbu karang di sebagian besar kawasan Teluk Kupang, termasuk di Perairan Semau sangat memprihatinkan karena 71% kondisinya dalam keadaan rusak berat. Kerusakan ini terutama disebabkan oleh pemboman ikan, sedimentasi, jangkar perahu, penambangan karang, dan penangkapan ikan dengan alat-alat tangkap yang destruktif sehingga secara ekologis sumberdaya laut dan pesisir mendapat tekanan sebagai akibat dari pemanfaatannya yang kurang memperhatikan kelestarian lingkungan. Hasil penelitian Risamasu (2006) menemukan bahwa telah terjadi kerusakan yang sangat parah pada terumbu karang di perairan Pulau Semau di kedalaman 5-10 m. Kerusakan tersebut ditandai dengan banyaknya terumbu karang yang hancur terutama Acropora branching, Acropora massive, dan Acropora tabulate. Karang keras yang ditemukan di lokasi penelitian terdiri dari acropora dan non-acropora. Karang jenis non-acropora memiliki rerata tutupan tertinggi dibandingkan dengan acropora (Tabel 19). Komposisi hard coral pada masingmasing stasiun pengamatan disajikan pada Lampiran 6.
39 Tabel 19 Jenis lifeform hard coral pada masing-masing lokasi penelitian. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Jumlah
A1 ACB ACE ACS ACD CB CE CF CM CMR 9
A2 CB CF CM CS CMR 5
Stasiun A3 ACB ACE ACD ACT CB CE CF CM CS CMR 10
A4 ACB ACE ACS ACT CB CE CF CM CS CMR CME 11
A5 ACB ACS ACT CB CE CM CS CMR 8
A6 ACB ACS ACD ACT CB CE CF CM CS CMR CHL 11
Berdasarkan Tabel 19 menunjukkan bahwa ekosistem terumbu karang yang ada di perairan Kecamatan Semau layak dijadikan sebagai lokasi ekowisata bahari. Beragamnya jumlah lifeform karang di lokasi penelitian menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk menikmati sumberdaya terumbu karang yang ada di perairan Kecamatan Semau. Menurut Griffiths dan Southey (1994) kegiatan wisata bahari sangat tergantung pada kondisi lingkungan pesisir, kenyamanan, keindahan dan keunikan lingkungan pantai serta keberagaman biota yang ada di dalamnya. 4.3.2 Ikan Karang Sale (1980) menyatakan bahwa struktur fisik dari karang batu Scleractinia dapat berfungsi sebagai habitat dan tempat berlindung bagi biota karang lainnya. Ikan dan biota laut lainnya yang selalu berasosiasi dengan terumbu karang menjadikannya sebagai tempat berlindung, berkembang biak, dan mencari makan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa stasiun yang memiliki terumbu karang dengan kondisi yang baik cenderung terdapat ikan karang dengan jumlah dan jenis yang banyak dan beragam. Hal ini terlihat dengan jelas di stasiun A1, A3, A4, A5, dan A6. Jenis ikan karang yang dominan terlihat adalah ikan hias berwarna-warni dengan berbagai ukuran dan bentuk yang beranekaragam serta selalu bergerombol membentuk schooling fish. Jenis-jenis ikan karang yang ditemukan pada tiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Lampiran 7.
40 Jenis ikan yang ditemukan adalah 187 spesies dari 53 suku dan 25 famili. Spesies ikan yang paling banyak di stasiun A2 yaitu 83 spesies sedangkan yang paling sedikit di stasiun A2 yaitu 40 spesies. Hal ini sangat mendukung adanya kegiatan wisata bahari karena wisatawan sangat menyukai wilayah perairan yang memiliki jenis ikan yang banyak. Menurut hasil penelitian Buckley (2004) menunjukan bahwa sebagian besar wisatawan yang melakukan kegiatan ekowisata bahari di National Park Australia menyukai ekosistem terumbu karang yang memiliki jenis ikan yang beragam dan bentuk tubuhnya yang unik. Kelimpahan individu ikan di masing-masing stasiun penelitian berdasarkan kelompok utama disajikan pada Lampiran 7. Individu ikan yang ditemukan sebanyak 1.363 individu dengan rerata kelimpahan 1.514 individu/ha. Kehadiran ikan mayor merupakan kelompok ikan dengan kelimpahan individu tertinggi disusul dengan kelompok ikan target dan ikan indikator. Ketiga kelompok ikan tersebut masing-masing memiliki nilai perbandingan 12:4:1 artinya dari jumlah 17 individu ikan, kemungkinan ikan mayor ditemukan sebanyak 12 ekor, ikan target sebanyak 4 ekor, dan 1 ekor ikan indikator. Kelimpahan individu ikan berdasarkan kelompok utama dari masing-masing stasiun dapat dilihat pada Gambar 5. Berdasarkan Gambar 5 menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kelimpahan individu ikan dengan kondisi tutupan karang. Stasiun yang memiliki kondisi karang yang baik, kelimpahan individu ikannya tinggi atau sebaliknya. Pendapat tersebut sesuai dengan Carpenter et al. (1982) yang menyatakan bahwa tutupan karang hidup mempunyai
Kelimpahan individu (indiv./m2)
pengaruh positif terhadap kelimpahan inidividu ikan karang. 1.60 1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00
1.34
0.86 0.58
A1
A2
0.97
1.01
A5
A6
0.69
A3 A4 Stasiun
Gambar 5 Kelimpahan individu ikan di lokasi penelitian.
41 Berdasarkan analisa kelimpahan spesies, ikan mayor mempunyai nilai yang tertinggi dibandingkan yang lainnya (Gambar 6). Hal tersebut menunjukan bahwa spesies yang ada di perairan ini cukup beragam yang menunjukan bahwa tingkat kesuburan ekosistem perairan di perairan Kecamatan Semau cukup mendukung untuk kelangsungan hidup terumbu karang dan biota lainnya. Kegiatan ekowisata bahari di kawasan ini membantu mencegah kerusakan terumbu karang akibat kegiatan manusia. Menurut Amar et al. (1995) spesies ikan yang banyak atau beragam dalam suatu perairan dapat menjadi indikator bahwa perairan tersebut cukup baik sebagai habitat bagi organisme yang ada di dalamnya. Pengelolaan lingkungan dengan sistem konservasi dapat mencegah kerusakan lingkungan
Kelimpahan spesies ikan (m2)
akibat eksploitasi manusia yang tidak ramah lingkungan (Murray et al. 1999). 0.20
0.20
0.17
0.15
0.13
0.12 0.10
0.10
0.10 0.05
0.04
0.16
0.06
0.06
0.01
0.01
0.03 0.01
0.09 0.04 0.02
0.02
A5
A6
Ikan target Ikan indikator Ikan mayor
0.00 A1
A2
A3 A4 Stasiun
Gambar 6 Kelimpahan spesies ikan berdasarkan kelompok utama di lokasi penelitian. Berdasarkan hasil analisis indeks keragaman (H') ikan karang pada seluruh stasiun pengamatan nilainya berada pada kisaran 3.26-4.03. Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Indeks keragaman ikan karang di lokasi penelitian. Uraian Jumlah individu Jumlah famili jumlah suku Jumlah jenis Kelimpahan individu Indeks (H')
A1 335 25 53 83 1.340 3.82
A2 146 13 28 40 0.584 3.26
Stasiun A3 A4 172 215 12 18 32 33 49 43 0.688 0.860 3.52 3.36
A5 242 18 36 58 0.968 3.73
A6 253 18 36 70 1.012 4.03
42 Berdasarkan Tabel 20 menunjukan bahwa ikan karang di seluruh stasiun penelitian memiliki indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H') yang hampir sama. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang di lokasi penelitian layak sebagai habitat bagi ikan dan biota lain yang ada di dalamnya. Kesimpulan tersebut sesuai dengan Chabanet et al. (1997) yang menyatakan bahwa jika kondisi terumbu karang baik maka keragaman spesies ikan pun banyak. 4.4 Kesesuaian Kawasan untuk Lokasi Ekowisata Bahari Berdasarkan pengamatan secara visual, kondisi perairan Kecamatan Semau sesuai untuk dilakukannya berbagai aktifitas wisata. Kegiatan ekowisata bahari sangat dipengaruhi oleh lingkungan, kondisi biofisik kawasan, dan jenis wisata apa yang akan dilakukan (Xiao 2009). Setiap kegiatan wisata mempunyai persyaratan sumberdaya dan lingkungan yang berbeda-beda. Parameter-parameter tertentu menjadi pembatas, tetapi ada pula yang memberikan nilai tambah (added value) dalam penentuan kawasan yang sesuai. Penelitian ini menggunakan analisis kesesuaian untuk ekowisata bahari dalam dua kategori yaitu selam dan snorkeling. Wisata bahari merupakan wisata yang dilakukan di perairan laut dengan obyek dan daya tariknya bersumber dari potensi sumberdaya yang terdapat pada bentang laut (sea space) antara lain: selam, snorkeling, berselancar (surfing), memancing, berperahu (boating) dan berlayar (sailing). Harriott (1995) berdasarkan hasil penelitiannya melaporkan bahwa ekowisata bahari yang dilakukan di Great Barrier Reef Marine Park Australia antara lain: selam (diving), snorkeling, berperahu (boating), dan berlayar (sailing). 4.4.1 Selam Kawasan yang memiliki potensi sebagai lokasi wisata bahari jenis selam yang dianalisis memiliki kedalaman lebih dari 5 m. Secara umum tujuan wisata selam adalah wisatawan dapat melihat keindahan bawah laut dari dalam perairan dengam peralatan SCUBA (Jameson et al. 1999). Hasil analisis menunjukan bahwa dari 6 stasiun penelitian, ternyata berdasarkan kedalaman areal terumbu karang hanya ada 3 stasiun yang berada pada kedalaman lebih dari 6 meter yang cocok untuk wisata selam yakni stasiun A1, A2, dan A3. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Barker dan Roberts
43 (2003) serta Davis dan Tisdell (1995) sebaiknya aktifitas penyelaman (diving) yang dilakukan di ekosistem terumbu karang dilakukan pada kedalaman lebih dari 5 m supaya menghindari kontak secara langsung antara penyelam dengan karang. Secara umum setiap penyelam yang melakukan penyelaman sering menggunakan kamera atau video untuk mengambil gambar karang dan biota laut yang menarik sehingga dapat merusak karang jika pengambilan gambar tersebut tidak dilakukan dengan cara yang benar atau ramah lingkungan. Tabel 21 Nilai IKW untuk wisata selam pada lokasi penelitian. Lokasi Pulau Kambing Hansisi Tanjung Uikalui
Stasiun A1 A2 A3
Jumlah N 35 25 36
Jumlah N max 54 54 54
IKW 64.81 46.30 66.67
Kelas kesesuaian Sesuai (S2) Tidak sesuai (N) Sesuai (S2)
Hasil perhitungan menunjukan bahwa berdasarkan Indeks Kesesuaian Wisata (IKW) maka lokasi penelitian termasuk dalam kelas sesuai (S2) karena memiliki nilai kesesuaian berkisar antara 64.81% - 66.67% yakni pada stasiun A1 dan A3 (Tabel 21). Hasil perhitungan matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisata selam dengan ditampilkan pada Tabel 22. Tabel 22 Hasil perhitungan matriks IKW kategori wisata selam untuk lokasi penelitian. Parameter Kecerahan Perairan (%) Tutupan komunitas karang (%) Jumlah jenis lifeform karang Jenis ikan karang Kecepatan arus (cm/detik) Kedalaman terumbu karang (m)
A1 100 27 9 83 16 8
Stasiun A2 80 8 5 40 14 7
A3 100 29 10 48 25 7
4.4.2 Snorkeling Berdasarkan hasil analisis kesesuaian ada 3 stasiun yang memiliki IKW pada kelas sesuai (S2) untuk jenis wisata snorkeling yaitu stasiun A4, A5, dan A6 dengan nilainya berkisar antara 64.91-70.18% (Tabel 23). IKW dimaksud sangat dipengaruhi oleh lebarnya hamparan datar ekosistem karang. Pernyataan dimaksud sesuai dengan pendapat Salm (1986) dan Che (2004) bahwa wisata
44 snorkeling lebih mempertimbangkan luas hamparan datar ekosistem karang karena wisata ini dilakukan oleh penyelam untuk menikmati keindahan karang dari atas permukaan air dan mempunyai kecerahan yang tinggi. Hasil perhitungan matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisata snorkeling berdasarkan parameter yang telah ditentukan dapat disajikan pada Tabel 24. Tabel 23 Nilai IKW untuk wisata snorkeling pada lokasi penelitian. Lokasi Uiasa 2 Uiasa 1 Otan
Stasiun A4 A5 A6
Jumlah N 37 40 39
Jumlah N max 57 57 57
IKW 64.91 70.18 68.42
Kelas kesesuaian Sesuai (S2) Sesuai (S2) Sesuai (S2)
Tabel 24 Hasil perhitungan matriks IKW kategori wisata snorkeling untuk lokasi penelitian. No 1 2 3 4 5 6 7
Parameter Kecerahan Perairan (%) Tutupan komunitas karang (%) Jumlah jenis lifeform karang Jenis ikan karang Kecepatan arus (cm/detik) Kedalaman terumbu karang (m) Lebar hamparan datar karang (m)
A4 100 29 11 43 27 5 232.02
Stasiun A5 100 43 8 58 29 5 252.16
A6 100 25 11 70 47 5 158.46
4.5 Rencana Zonasi Pengembangan Kawasan Wisata Selam dan Snorkeling Penyusunan rencana zonasi pengembangan kawasan dilakukan setelah analisis kesesuaian kawasan untuk ekowisata bahari kategori selam dan snorkeling. Penzonasian dimaksud dilakukan dengan pendekatan analisis keruangan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan software ArGis 9.3. Menurut Edinger dan Risk (2000) dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang perlu adanya zonasi yang bisa mengatur secara tepat kawasan yang akan dijadikan sebagai zona pemanfaatan sehingga pengelolaan tetap mempertahankan kelestarian sumberdaya yang ada didalamnya dengan prinsip konservasi atau kelestarian. SIG sangat membantu pekerjaan yang erat kaitannya dalam bidang spasial dan geo-informasi karena menjadi alat bantu dalam perencanaan tata ruang wilayah termasuk tata ruang pesisir (Yousman 2004). SIG digunakan untuk membuat zonasi lokasi pemanfaatan kawasan ekosistem terumbu karang untuk ekowisata bahari kategori wisata selam dan snorkeling berdasarkan hasil analisis
45 kesesuaian kawasan. Penzonasian ini diharapkan menjadi arahan atau rekomendasi dalam penetapan kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut di perairan Kecamatan Semau. Penetapan zonasi dimaksud juga mempertimbangkan aturan yang berlaku dan tata ruang yang telah ditetapkan oleh pemerintah setempat. Peraturan dan tata ruang yang berlaku di wilayah ini antara lain: -
Keputusan Menteri Kehutanan nomor 18/Kpts-II/1993 tanggal 28 Januari 1993 tentang Penetapan Teluk Kupang sebagai Taman Wisata Laut (TWL) (Peta TWL di sajikan pada Lampiran 8).
-
Rencana Tata Ruang Kabupaten Kupang 2003-2013 yang menetapkan kawasan perairan Pulau Semau bagian Timur (Desa Uiasa) sebagai wilayah pantai wisata. Sedangkan kawasan lain merupakan kawasan pemanfaatan terbatas untuk keperluan budidaya mutiara dan rumput laut (BAPPEDA Kabupaten Kupang 2008) (Lampiran 9).
-
Perairan Kecamatan Semau khususnya Perairan Uiasa dan Hansisi ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kupang sebagai Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM) pada tahun 2006. Hasil analisa dalam bentuk titik atau plot kawasan berupa koordinat untuk
luas dan lebar hamparan karang selanjutnya dianalisis dengan SIG dan software ArcGis 9.3 untuk menetapkan zonasi. Berdasarkan hasil analisis disusunlah zonasi untuk pengembangan ekowisata bahari. Kawasan pengembangan ekowisata bahari di perairan Kecamatan Semau untuk wisata selam terdapat di Pulau Kambing (A1) dan Tanjung Uikalui (A3). Selanjutnya wisata snorkeling terdapat di Uiasa 2 (A4), Uiasa 1 (A5), dan Otan (A6) sedangkan kawasan Hansisi (A2) tidak sesuai untuk ke 2 jenis ekowisata bahari dimaksud. Bagian selatan dari perairan Kecamatan Semau, hamparan karangnya lebih didominasi oleh rubble (patahan karang) dan pasir sehingga tidak cocok untuk wisata selam dan snorkeling. Lokasi dimaksud juga merupakan jalur pelayaran kapal penumpang dan barang, lokasi budidaya rumput laut dan mutiara. Berdasarkan pertimbangan ekologis, nilai indeks kesesuaian wisata, kepentingan masyarakat, dan aturan yang berlaku dilakukan pengkajian penetapan zonasi terumbu karang. Zonasi dimaksud seperti ditampilkan pada Gambar 7.
46
Gambar 7 Peta zonasi kesesuaian ekowisata bahari kategori wisata selam dan snorkeling di perairan Kecamatan Semau. 4.6 Estimasi Nilai Visual Ekosistem Terumbu Karang Penilaian kualitas visual seascape (pemandangan) dan suatu obyek yang berkaitan dengan pengembangan ekowisata bahari menggunakan metode penilaian kualitas melalui scenic beauty estimation (SBE). Menurut Ribe (2005) banyak penelitian yang menggunaan metode SBE dalam perhitungan nilai visualnya karena prosedur SBE lebih efektif dan dapat dipercaya untuk menilai ketertarikan orang terhadap suatu obyek visual. Penilaian kualitas visual ini dilakukan pada 50 orang responden dengan memberikan skor untuk masing-masing foto. Foto yang digunakan dalam penelitian ini terdapat 48 foto, yang mewakili 6 stasiun pada lokasi penelitian yakni 18 foto seascape (pemandangan) dari stasiun penelitian diwakili yang oleh 3 buah foto (Lampiran 10), jenis-jenis ikan karang 18 foto (Lampiran 11), dan fauna bentic 12 foto (Lampiran 12). Setiap foto tersebut dinilai oleh responden dimana terdapat wisatawan asing 5 orang (10%), wisatawan lokal dan pelaku
47 wisata 10 orang (20%), peneliti dan penyelam 10 orang (20%), pelajar dan mahasiswa 15 orang (30%), serta aparatur di bidang kelautan dan perikanan dan pariwisata 10 orang (20%). Dari 50 orang responden ini, terdapat 20 orang yang bisa menyelam dan yang memiliki sertifikat menyelam 8 orang (40%) sedangkan 30 orang tidak bisa menyelam dan tidak memiliki sertifikat menyelam (60%). Hasil penilaian dari responden ini dijumlahkan kemudian dimasukkan dalam rumus SBE. Keseluruhan nilai visual untuk masing-masing foto dengan skor tertinggi (nilai SBE tertinggi) menunjukkan bahwa seascape/obyek (gambar) tersebut paling banyak dipilih sebagai seascape/obyek yang indah (disukai), sedangkan skor terendah menggambarkan seascape/obyek (gambar) yang jelek (kurang disukai). a. Seascape (pemandangan) Hasil analisis dengan menggunakan rumus SBE pada masing-masing seascape dari setiap stasiun penelitian dapat dilihat hasilnya pada Lampiran 13. Penyusunan nilai SBE dimaksud, ditampilkan dalam bentuk diagram yang tersaji pada Gambar 8. 160.00
150.22 136.67
140.00
126.22
Nilai SBE
120.00 100.00 80.00
117.78
106.44 85.44 79.00
74.56
60.89
60.56
60.00
74.00
70.11
35.44
31.78 31.67 24.22
40.00
16.67
20.00
0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Foto
Gambar 8 Nilai SBE foto seascape dari lokasi penelitian. Berdasarkan Gambar 8 terlihat adanya hubungan antara nilai SBE dengan persentase tutupan lifeform karang. Nilai SBE yang tertinggi di perairan Pulau Kambing dengan persentase tutupan lifeform yang tinggi dan yang terendah di
48
perairan Hansisi dengan persentase tutupan lifeform karang yang rendah. Hal ini menunjukan bahwa responden cenderung lebih tertarik pada kondisi yang baik, tutupan lifeform, dan beragamnya biota karang yang ada di dalamnya. Sebaran nilai SBE ini kemudian diklasifikasi menjadi 3 kelompok yaitu nilai SBE tertinggi, sedang, dan rendah yang menggunakan jenjang sederhana dengan perhitungan sebagai berikut: –
=
.
– .
= 50.07
Kemudian pengelompokan nilai SBE sesuai dengan formula tersebut di atas dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25 Pengelompokan nilai SBE dari foto seascape berdasarkan kategori tinggi, sedang, dan rendah. Nilai SBE 0.00 – 50.06 50.07 – 100.14 100.15 – 150.22
Kategori Rendah Sedang Tinggi
Berdasarkan klasifikasi dengan jenjang sederhana, maka masing-masing seascape dengan nilai SBE yang menunjukkan kondisi tutupan, struktur terumbu karang, dan karakter masing-masing lokasi disajikan pada Tabel 26. Table 26 menunjukan bahwa tingkat ketertarikan responden pada kelompok tinggi, cukup banyak yaitu 5 seascape/foto (28%), kelompok sedang sebanyak 7 seascape/foto (39%) dan kelompok rendah sebanyak 6 seascape/foto (33%). Berdasarkan hasil analisis ternyata sebagian besar responden memiliki ketertarikan yang cukup untuk melihat seascape (pemandangan) tersebut secara langsung di perairan Kecamatan Semau. Hasil tersebut ternyata memiliki hubungan yang signifikan dengan perhitungan IKW yang menunjukan bahwa ekositem terumbu karang cukup menarik dan bisa menjadi objek yang mendukung upaya pengembangan ekowisata di perairan Kecamatan Semau. Berdasarkan nilai IKW untuk ekowisata bahari disimpulkan bahwa lokasi penelitian dengan kelas sesuai untuk wisata selam dan snorkeling memiliki nilai SBE yang tinggi.
49 Tabel 26 Nilai SBE berdasarkan kelas SBE pada setiap karakteristik ekosistem terumbu karang. No
Kelas SBE
Nilai SBE
Kualitas dari seascape (foto)
1.
150.22
2. 3.
136.67 126.22
Tinggi
4.
117.78
5.
106.44
6.
85.44
7.
79.00
8.
74.56
9.
Sedang
74.00
10.
70.11
11.
60.89
12.
60.56
13. 14. 15.
35.44 31.78 31.67
16.
Rendah
24.22
17.
16.67
18.
-
Lokasi
didominasi hard coral dan terdapat ikan karang didominasi hard coral didominasi hard coral terdapat hard coral, soft coral dan ikan karang
A5 / Uiasa 1 A5 / Uiasa 1
terdapat hard coral dan soft coral
A1 / Pulau Kambing
didominasi soft coral dan terdapat ikan karang didominasi soft coral dan terdapat ikan karang didominasi soft coral didominasi soft coral dan terdapat ikan karang coral reef dan terdapat schooling ikan karang coral reef dan terdapat ikan karang didominasi soft coral dan terdapat ikan karang didominasi soft coral dan pasir didominasi soft coral coral reef dan terdapat ikan karang didominasi soft coral, rubble (patahan karang) dan pasir didominasi soft coral dan terdapat ikan karang dominasi dead coral dan terdapat ikan karang
A5 / Uiasa 1
A4 / Uiasa 2
A4 / Uiasa 2 A4 / Uiasa 2 A3 / Tanjung Uikalui A3 / Tanjung Uikalui A1 / Pulau Kambing A1 / Pulau Kambing A3 / Tanjung Uikalui A6 / Otan A6 / Otan A6 / Otan A2 / Hansisi A2 / Hansisi A2 / Hansisi
b. Ikan Hasil analisis yang perhitunganya menggunakan rumus SBE pada masing-masing foto ikan dari setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Lampiran 14. Penyusunan nilai SBE dimaksud, ditampilkan dalam bentuk diagram disajikan pada Gambar 9.
50 200.00 173.56
180.00 151.11
Nilai SBE
160.00 140.00
132.11 126.33
120.00
109.44
145.11 129.78 120.22 114.56
108.11
100.00
98.00
81.44
80.00 40.00
64.67
55.67
60.00 35.33
16.22
20.00
4.44
0.00
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Foto
Gambar 9 Nilai SBE foto ikan dari lokasi penelitian. Gambar 9 menunjukan bahwa adanya hubungan antara nilai SBE dengan warna dan bentuk tubuh ikan yang beragam dan unik. Nilai SBE yang tertinggi pada foto ikan nomor 18 yang memiliki warna dan bentuk tubuhnya beragam dan unik dan nilai SBE yang terrendah pada foto ikan nomor 2 yang memiliki warna tubuh hanya 1 warna saja (warna perak) dan bentuk tubuhnya tidak unik. Hal ini menunjukan bahwa responden cenderung tertarik pada ikan yang memiliki warna dan bentuk tubuh yang beragam dan unik. Sebaran nilai SBE kemudian diklasifikasi menjadi 3 kelompok yaitu nilai SBE tertinggi, sedang, dan rendah yang menggunakan jenjang sederhana dengan perhitungan sebagai berikut: –
=
.
– .
= 57.83
Pengelompokan nilai SBE sesuai dengan formula tersebut di atas dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 Pengelompokan nilai SBE dari foto ikan berdasarkan kategori tinggi, sedang, dan rendah. Nilai SBE 0.00 – 57.84 57.85 – 115.70 115.71 – 173.56
Kategori Rendah Sedang Tinggi
51
Tabel 28 menunjukan bahwa sebagian besar responden tertarik pada ikan yang ada di perairan Kecamatan Semau. Hal ini menunjukan bahwa ikan yang ada di ekositem terumbu karang tersebut cukup menarik dan bisa menjadi obyek yang mendukung upaya pengembangan ekowisata bahari di perairan Kecamatan Semau. Tabel 28 Nilai SBE berdasarkan kelas SBE pada masing-masing foto ikan. No.
Kelas SBE
Nomor foto
Nilai SBE
Nama ikan (foto)
1
12
173.56
Amphiprion percula
2 3 4 5
6 18 3 11
151.11 145.11 132.11 129.78
Pseudocheilinus hexataenia Chromileptes altivalis Pictichromis paccagnellae Acanthurus lineatus
6 7
5 10
126.33 120.22
Pomacanthus imperator Centropyge bicolor
8 9 10 11 12 13
13 4 7 16 8 15
114.56 109.44 108.11 98.00 81.44 64.67
9
55.67
Meiacanthus grammistes
1 17 14 2
35.33 16.22 4.44 -
Ctenochaetus binotatus Neoglyphidodon boning Pomacentrus moluccensis Pomacentrus alexanderae
Tinggi
Sedang
14 15 16 17 18
Rendah
Chaetodon klennii Chaetodon baronesa Chrysiptera hemicyanea Amphiprion clarkia Parapercis hexophthalma Dischistodus prosopotaenia
c. Fauna Bentic Berdasarkan hasil analisis dengan perhitungan yang menggunakan rumus SBE pada masing-masing foto fauna bentic dari setiap stasiun penelitian dapat diketahui hasilnya pada Lampiran 15. Penyusunan nilai SBE dimaksud, ditampilkan dalam bentuk diagram yang tersaji pada Gambar 10.
52 160.00
148.78
140.00
Nilai SBE
120.00
109.56
102.44
100.00
82.56
80.00
58.78
60.00 36.44
40.00
42.11 18.11 18.56 17.89
20.00
8.00
0.00
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Foto
Gambar 10 Nilai SBE foto fauna bentic dari lokasi penelitian. Gambar 10 menunjukkan bahwa adanya hubungan antara nilai SBE dengan warna dan bentuk tubuh fauna bentic yang beragam dan unik, bersifat sebagai hama, dan dapat menimbulkan bahaya bagi penyelam. Nilai SBE yang tertinggi pada foto nomor 7 yang memiliki warna dan bentuk tubuhnya beragam dan unik sedangkan nilai SBE yang terendah pada foto nomor 3 yang memiliki warna tubuh hanya 1 warna saja (warna kuning), bentuk tubuhnya tidak unik, bersifat sebagai hama dan menimbulkan bahaya bagi penyelam. Hal ini menunjukan bahwa responden cenderung lebih tertarik pada fauna bentic yang memiliki warna dan bentuk tubuh yang beragam dan unik, tidak bersifat sebagai hama, dan tidak menimbulkan bahaya bagi penyelam. Sebaran nilai SBE ini kemudian diklasifikasi menjadi 3 kelompok yaitu nilai SBE tertinggi, sedang, dan rendah yang menggunakan jenjang sederhana dengan perhitungan sebagai berikut:
=
.
– .
= 49.59
Pengelompokan nilai SBE sesuai dengan formula tersebut di atas dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29 Pengelompokan nilai SBE dari foto fauna bentic berdasarkan kategori tinggi, sedang, dan rendah. Nilai SBE 0.00 – 49.58 49.59 – 99.19 99.20 – 148.78
Kategori Rendah Sedang Tinggi
53 Berdasarkan klasiflkasi dengan jenjang sederhana, maka masing-masing foto fauna bentic dengan nilai SBE tersaji pada Tabel 30. Hasil analisis ini menunjukan bahwa sebagian besar responden memiliki kecenderungan lebih tertarik pada fauna bentic yang ada di ekosistem terumbu karang di perairan Kecamatan Semau. Hal ini menunjukan bahwa fauna bentic yang ada di ekositem terumbu karang cukup menarik dan bisa menjadi obyek yang mendukung upaya pengembangan ekowisata bahari kategori selam dan snorkeling di perairan Kecamatan Semau. Pernyataan tersebut di atas sesuai dengan hasil penelitian Khakim (2009) yang menunjukan bahwa nilai SBE suatu fauna bentic sangat dipengaruhi oleh penampakan visual dan memiliki keunikan tertentu. Tabel 30 Nilai SBE berdasarkan kelas SBE pada masing-masing foto fauna bentic. No.
Kelas SBE
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tinggi Sedang
Rendah
Nomor foto 7 6 2 1 12 5 4 10 9 11 8 3
Nilai SBE 148.78 109.56 102.44 82.56 58.78 42.11 36.44 18.56 18.11 17.89 8.00 -
Nama fauna bentic (foto) Chromodoris Trochus maculates Malacostrata decapoda Linkia laevigata Tridacna derasa Tridacna squamosa Pseudoceros imitates Synaptula Echinothrix diadema Holothuria edulis Ophiothrix Acanthaster planci
4.7 Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat 4.7.1 Umur Salah satu karakteristik internal individu seseorang adalah umur yang sangat dipengaruhi oleh fungsi biologis dan psikologis individu tersebut. Hasil wawancara menunjukan bahwa tingkat umur responden di daerah penelitian berkisar antara 16-62 tahun. Tingkat umur respon disajikan pada Gambar 11.
54
Usia (tahun)
>61
8
46-60
18
25-45
64
<24
10 -
20
40
60
80
Responden (%)
Gambar 11 Tingkat umur responden. Gambar 11 menunjukkan bahwa sebagian besar usia masyarakat Kecamatan Semau termasuk dalam kategori usia sangat produktif. Pernyatan tersebut sesuai seperti dikemukakan oleh Kamaludin (2003) bahwa ketegori usia sangat produktif (25-45 tahun), produktif (46-60 tahun), non produktif (<24 tahun), dan non produktif (>60 tahun). Hal tersebut menjamin bahwa ketersediaan sumberdaya manusia yang mendukung dan berpartisipasi dalam aktivitas pembangunan dan pemanfataan
sumberdaya
khususnya
pengembangan
ekowisata
yang
di
Kecamatan Semau cukup banyak. 4.7.2 Pendidikan Pendidikan merupakan gambaran tingkat pemahaman seseorang dalam menguasai ilmu pengetahuan dan penerapannya yang dapat terlihat dari perilakunya dalam hidup bermasyarakat. Pendidikan formal responden dalam
Tingkat pendidikan
penelitian ini cukup bervariasi mulai dari tingkat SD hingga sarjana. Sarjana
16
SLTA
42
SLTP
36
SD
6 -
10
20
30
Responden (%) Gambar 12 Tingkat pendidikan responden.
40
50
55 Gambar 12 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden tergolong cukup baik, dimana jumlah responden terbanyak adalah masyarakat yang berpendidikan SLTA. Hal ini menunjukan bahwa secara umum tingkat pendidikan masyarakat di Kecamatan Semau masih tergolong rendah. Kelompok tingkat pendidikan tersebut yang banyak berinteraksi langsung dengan lingkungan. Faktor ekonomi dan biaya pendidikan yang tinggi menjadi kendala bagi masyarakat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Partisipasi masyarakat dalam mengembangkan ekowisata melalui sumberdaya terumbu karang sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan pola berpikir dan tindakan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya yang ada menjadi terbatas. Hal tersebut dapat menjadi kendala dalam pengembangan ekowisata yang berkelanjutan. Oleh karena itu diharapkan perlu adanya pendidikan atau pelatihan bagi masyarakat secara intensif sebelum kegiatan ekowisata tersebut dilaksanakan. Pendidikan atau pelatihan dimaksud diharapkan dapat membantu pemanfaatan sumberdaya terumbu karang yang di perairan Kecamatan Semau lebih efektif karena didukung oleh sumberdaya manusia yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai dan lebih terlatih. Menurut Boyd dan Butler (1996), dalam kegiatan ekowisata sangat membutuhkan sumberdaya manusia yang memahami tentang kelestarian alam sehingga setiap aktivitasnya dapat membantu mengawasi dan melindungi alam dari kerusakan yang diakibatkan oleh wisatawan. 4.7.3 Mata Pencaharian Secara umum mata pencaharian suatu wilayah sangat tergantung pada sumberdaya yang ada. Masyarakat di Kecamatan Semau sebagian besar bermata pencaharian sebagai pertanian dan nelayan (Tabel 16). Selain padi dan tanaman palawija, sektor pertanian yang paling banyak diusahakan adalah berkebun untuk penanaman sayur mayur dan buah-buahan. Nelayan yang bekerja di sektor perikanan hanya merupakan pekerjaan sampingan karena pada saat kegiatan di sektor pertanian berkurang maka masyarakat tersebut mengalihkan mata pencariannya ke sektor perikanan.
56 Kegiatan perikanan yang lebih diminati adalah budidaya rumput laut karena berdasarkan hasil wawancara ternyata
hasil produksinya
mendatangkan
keuntungan yang besar mencapai lebih dari Rp. 2.000.000,- per bulan. Mata pencaharian penduduk Desa Letbaun semuanya adalah sebagai pembudidaya rumput laut. Produksi hasil perikanan juga diperoleh dari hasil tangkapan ikan seperti tuna, cumi dan ikan karang sebagai komoditi unggulan. Umumnya alat tangkap yang digunakan nelayan masih sangat sederhana, dimana jukung dan perahu kecil terlihat mendominasi (Lampiran 5).
Mata pencaharian
Swasta/jasa
8
PNS
14
Nelayan
28
Petani
50 -
20
40
60
Responden (%) Gambar 13 Persentase mata pencaharian responden. Gambar 13 menunjukkan bahwa mata pencaharian responden dalam penelitian ini cukup bervariasi tapi lebih banyak berorientasi di wilayah pesisir. Mata pencaharian tersebut sangat menentukan tingkat partisipasi masyarakat di dalam pengelolaan sumberdaya yang ada. Masyarakat nelayan pada umumnya mau terlibat secara aktif dalam melestarikan ekosistem terumbu karang jika mereka punya interaksi langsung dengan sumberdaya tersebut, demikian pula dalam kegiatan kepariwisataan seperti pengembangan ekowisata bahari. Masyarakat yang bergerak di sektor lain dan wilayah kegiatannya tidak berada di sekitar wilayah pesisir akan sulit terlibat karena tidak punya kepentingan secara langsung. Pemerintah daerah setempat dan LSM sedang berupaya memberikan bantuan investasi dalam rangka percepatan pembangunan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut dilakukan dengan konsep pembangunan
57 ekonomi kerakyatan dengan memberikan modal usaha dan dana simpan pinjam. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kupang sejak tahun 2007 memberikan modal usaha bagi setiap kelompok masyarakat melalui kegiatan dana Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) secara bergulir sebesar Rp. 15.000.000,- per kelompok. Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Kabupaten Kupang sejak tahun 2006 memberikan bantuan melalui dana simpan pinjam sebesar Rp. 25.000.000,- per desa. Kegiatan perguliran bantuan modal dan simpan pinjam tersebut masih berjalan baik walaupun ada beberapa kelompok yang tidak melakukan pengembalian pinjaman sesuai aturan yang berlaku. Hal tersebut diakibatkan karena kurangnya pemahaman masyarakat setempat tentang manajemen pengelolaan keuangan yang baik dan adanya kesulitan dalam pemasaran hasil panen. Selain di sektor pertanian, lapangan usaha yang cukup dominan adalah jasa transportasi angkutan laut (perahu) antar pulau dan ojek. 4.7.4 Pendapatan Tingkat pendapatan sangat berkaitan dengan mata pencaharian seseorang. Masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani maupun nelayan mempunyai pendapatan yang bersifat tidak menetap, tergantung dari hasil panen, musim atau cuaca dan jumlah tangkapan ikan yang diperoleh. Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden ternyata tingkat pendapatan yang bervariasi
Pendapatan (Rp,- / bulan)
seperti disajikan pada Gambar 16. >4.000.000
8
3.000.000-4.000.000
8
2.000.000-3.000.000
14
1.000.000-2.000.000
18
500.000-1.000.000
42
<500.000
10 -
Gambar 14 Tingkat pendapatan responden.
20 40 Responden (%)
60
58 Gambar 16 menunjukkan bahwa tingkat pendapatan responden pada umumnya masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan yang memiliki pendapatan Rp. 500.000-1.000.000 per bulan lebih tinggi persentasenya. Hal tersebut diduga disebabkan pemanfaatan sumberdaya alam yang ada kurang optimal, rendahnya tingkat pendidikan, kurangnya modal usaha, kesadaran hukum yang kurang sehingga sering terjadinya destructive fishing, penegakan hukum yang tidak adil, dan sarana prasarana pengawasan yang kurang memadai. 4.8 Persepsi masyarakat Wawancara terhadap 50 orang responden (Tabel 31). Wawancara bertujuan untuk memperoleh informasi lebih lanjut tentang persepsi masyarakat dalam pengembangan perairan Kecamatan Semau menjadi wilayah ekowisata bahari. Responden ini dianggap merupakan pihak yang turut berperan serta dalam pengembangan kegiatan wisata dimaksud. Tabel 31 Jenis dan jumlah responden yang diwawancara. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis responden Pemerintah Masyarakat (nelayan) Pengelola wisata Wisatawan Perguruan tinggi Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Total
Jumlah responden (orang) 9 25 2 3 7 4 50
Persepsi masyarakat dan pemerintah setempat terhadap pengembangan ekowisata bahari di perairan Kecamatan Semau ditunjukan pada Gambar 13. Sebagian besar responden (91%) setuju dengan beberapa alasan cukup mendasar yaitu bahwa kondisi ekosistem terumbu karang masih cukup bagus dan keadaan alam yang orisinil sehingga kegiatan ini mampu melindungi sumberdaya yang ada dari kegiatan yang tidak ramah lingkungan. Kegiatan ekowisata bahari juga dapat memperkenalkan daerah ini dalam bidang pariwisata sebagaimana rencana pemerintah daerah untuk menjadikan kawasan perairan khususnya di Desa Uiasa sebagai pariwisata pantai. Kegiatan tersebut juga merupakan salah satu strategi dalam mempercepat laju pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut karena berdasarkan data dari BPS Kabupaten Kupang bahwa pertumbuhan per kapita per
59 tahun Kecamatan Semau sangat rendah yaitu hanya Rp. 1.700.066. Masyarakat yang tidak menjawab sebanyak 4% sedangkan yang tidak setuju terhadap pengembangan ekowisata di kawasan perairan Kecamatan Semau adalah berjumlah 9%. Ketidaksetujuan ini atas dasar keprihatinan terhadap ekosistem terumbu karang yang belum pulih secara keseluruhan. Menurut Hvenegaard dan Dearden (1998) kegiatan ekowisata yang dilaksanakan di Taman Nasional, Thailand ternyata mampu memberikan kontribusi yang positif terhadap upaya konservasi yang dilaksanakan oleh pemerintah setempat. Pemasukan yang diterima sebagian digunakan untuk kegiatan konservasi. Kegiatan tersebut juga mampu meningkatkan ekonomi masyarakat setempat karena rumah masyarakat dijadikan sebagai tempat penginapan oleh wisatawan. Bentangan pesisir pantai dan keindahan dasar laut berupa terumbu karang dan jenis ikan karang merupakan daya tarik utama wisata bahari di perairan Kecamatan Semau. Harapan dan pemahaman responden terhadap pengembangan potensi wisata bahari ini sangat besar khususnya untuk wisata selam dan snorkeling. Wisata alam lainnya seperti rekreasi pantai, berperahu, dan berjemur juga berpotensi untuk dikembangkan (Gambar 15).
4%
12%
selam dan snorkeling
setuju
9%
berenang
13%
tidak setuju tidak jawab
pancing 15% 60%
lain-lain
87%
Gambar 15 Persepsi masyarakat terhadap pengembangan ekowisata bahari.
60 4.9 Strategi Pengembangan Kawasan Wisata Bahari yang Berkelanjutan Pengembangan kawasan ekowisata bahari di perairan Kecamatan Semau yang berkelanjutan memerlukan arahan dan dukungan yang dijabarkan ke dalam bentuk kebijakan. Penentuan kebijakan pengembangan ini dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat). Analisis SWOT secara prinsip akan memberikan arahan, dukungan, dan kebijakan yang baik melalui hubungan yang sinergi antara faktor internal dan eksternal bagi institusi yang berwewenang mengelola atau pemerintah (Holden 2000). Masyarakat yang menjadi responden analisis SWOT adalah masyarakat Kecamatan Semau dan sekitarnya. Jumlah responden sebanyak 50 orang yang terdiri dari 11 orang perempuan dan 39 orang laki-laki. Secara keseluruhan, responden sebagaian besar berasal dari berbagai kalangan maupun profesi. Analisis SWOT perlu dilakukan sebelum pengembangan sumberdaya ekosistem terumbu karang untuk ekowisata bahari di perairan Kecamatan Semau agar tidak menimbulkan dampak yang negatif bagi pihak yang terlibat. Hal tersebut merupakan rumusan hasil diskusi dengan pejabat dan staf dari Dinas Kelautan dan Perikanan; Dinas Pariwisata dan Seni Budaya, Badan Perencana Pembangunan Daerah, Dinas Perhubungan, Badan Pusat Statistik, Badan Lingkungan Hidup Daerah, Kantor Camat Semau, aparatur desa, tokoh masyarakat, dan masyarakat setempat. Menurut Fandeli (1995) dalam usaha ekowisata di suatu tempat perlu dilakukan analisis SWOT terlebih dahulu. Masing-masing faktor internal dan ekstern dilakukan pembobotan seperti pada Lampiran 16 dan 17. Hasil analisis dimaksud disajikan pada Tabel 32 dan 33. Berdasarkan Tabel 32 dan 33 disimpulkan bahwa faktor internal dan eksternal berada pada kondisi yang kuat karena total skor masing-masing faktor diatas 2,5. Analisis ini dilanjutkan dengan penyusunan matriks SWOT untuk memadukan antara faktor internal dan eksternal guna mendapatkan strategi (Lampiran 18). Kemudian strategi-strategi tersebut diurutkan menurut rangking berdasarkan jumlah skor unsur penyusunnya (Tabel 34). Penyusunan rangking strategi-strategi Analsis SWOT tersebut menghasilkan strategi prioritas seperti yang tersaji pada Tabel 35.
61 Tabel 32 Matriks internal factor evaluation (IFE). Kode Uraian internal S Kekuatan (Strength) S1 1. Potensi ekosistem terumbu karang yang cukup baik S2 2. Sumberdaya terumbu karang sesuai untuk kegiatan ekowisata bahari S3 3. Nilai visual ekosistem terumbu karang cukup tinggi S4 4. Dukungan masyarakat dan pemerintah cukup tinggi W Kelemahan (Weakness) W1 1. Pemanfaatan potensi wisata bahari yang tidak optimal W2 2. Belum adanya zonasi pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang tepat W3 3. Penegakan hukum di bidang lingkungan yang tidak adil W4 4. Sarana dan prasarana pengawasan yang kurang memadai Total
Bobot
Rating
Skor
0.10
4
0.39
0.11
4
0.46
0.09
4
0.36
0.16
4
0.62
0.09
1
0.09
0.18
1
0.18
0.16
1
0.16
0.11
1
0.11
1.00
2.38
Tabel 33 Matriks eksternal factor evaluation (EFE). Kode Uraian eksternal O Peluang (Oppurtunity) O1 1. Pemulihan ekosistem terumbu karang O2 2. Adanya kepedulian pemerintah dan LSM terhadap upaya pelestarian sumberdaya terumbu karang O3 3. Peningkatan laju pertumbuhan ekonomi masyarakat dan pemerintah setempat O4 4. Matapencaharian alternatif bagi masyarakat di bidang pariwisata T Ancaman (Treaths) T1 1. Destructive fishing T2 2. Pencemaran Total
Bobot
Rating
Skor
0.14
4
0.56
0.15
4
0.60
0.14
4
0.56
0.15
4
0.60
0.22 0.20 1.00
1 2
0.22 0.40 2.94
62 Tabel 34 Penyusunan rangking strategi untuk analisis SWOT. Unsur
Peluang (O)
Ancaman (T)
Kekuatan (S)
Kelemahan (W)
Strategi SO 1. S1, S2, S3, S4, P1, P2, P3, P4 2. S1, S2, S4, P1, P2, P3, P4
Strategi WO W1, W3, W2, W4, P1, P2, P3, P4
Strategi ST
Strategi WT
S1, S2, S3, S4, T1, T2
1. W1, W2, W3, W4, TI 2. W1, W2, W3, W4, T1, T2 3. W2, W3, W4, T1, T2
Tabel 35 Strategi-strategi prioritas dalam upaya pengembangan ekowisata bahari di perairan Kecamatan Semau. Strategi
Strategi 1
Strategi 2 Strategi 3 Strategi 4 Strategi 5 Strategi 6 Strategi 7
Unsur SWOT Pelaksanaan kegiatan ekowisata bahari khususnya wisata selam dan snorkeling secara lestari dan peningkatan ekonomi masyarakat melalui mata pencaharian alternatif. Pelatihan secara khusus bagi masyarakat yang terlibat dalam kegiatan ekowisata bahari khususnya wisata selam dan snorkeling. Legalitas tata ruang pesisir dan laut yang bisa memudahkan penetapan zonasi khususnya bagi kegiatan ekowisata bahari khususnya wisata selam dan snorkeling. Penyadaran masyarakat tentang dampak dari destructive fishing dan pencemaran terhadap sumberdaya terumbu karang. Penegakan hukum yang adil, pengakuan atas kearifan lokal dan peningkatan kinerja POKMASWAS. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi secara rutin. Peningkatan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana pengawasan yang mampu mengontrol destructive fishing.
Keterkaitan S1, S2, S3, S4, P1, P2, P3, P4
Skor
Rangking
4.24
1
S1, S2, S4, P1, P2, P3, P4
3.88
2
W1, W3, W2, W4, P1, P2, P3, P4
2.94
3
S1, S2, S3, S4, T1, T2
2.44
4
W1, W2, W3, W4, T1, T2 W2, W3, W4, T1, T2 W1, W2, W3, W4, TI
1.14
5
1.05
6
0.74
7
Hasil perangkingan pada Tabel 35 menunjukan bahwa terdapat 7 strategi prioritas yang perlu dilakukan untuk pengembangan ekowisata bahari khususnya wisata selam dan snorkeling di perairan Kecamatan Semau. Rangking tersebut menjadi urutan prioritas dalam pelaksanaan strategi. Perangkingan strategi-strategi tersebut diharapkan merupakan suatu keputusan yang didesain dan sepakati bersama antara masyarakat dan pemerintah. Keputusan tersebut
63 perlu diterjemahkan ke dalam keputusan teknis yang legal guna merealisasikan strategi tersebut dalam jangka menengah dan panjang. Pengembangan strategi ekowisata bahari untuk selam dan snorkeling diarahkan berdasarkan potensi biofisik kawasan berupa kondisi ekosistem terumbu karang, keindahan panorama bawah laut, adanya terumbu karang serta biota laut lainnya. Potensi pariwisata bahari di Perairan Kecamatan Semau ini harus dikelola secara seimbang, antara tujuan ekonomis dan ekologis yang menjamin keberlanjutan kegiatan ekowisata sehingga mampu meningkatkan pendapatan masyarakat sekitarnya yang masih sangat rendah karena sebagian besar mata pencahariannya sebagai petani. Peningkatan pendapatan masyarakat dimaksud menjadi mata pencaharian alternatif karena bisa memasarkan hasil pekerjaan mereka ke wisatawan. Masyarakat dapat menyewa rumah mereka sebagai tempat tinggal, menjual hasil ketrampilan atau seni, dan sebagai guide. Menurut Grünewald (2002) kegiatan tourisme sangat mendukung keberlangsungan ekonomi masyarakat setempat karena bisa menjadi mata pencaharian alternatif. Peningkatan laju perekonomian masyarakat dan pemerintah setempat melalui aktifitas pariwisata berdampak positif terhadap upaya pengembangan ekowisata bahari di perairan Kecamatan Semau. Kegiatan ekowisata dimaksud bisa melibatkan masyarakat sebagai pemandu, dive guide, penyediaan tempat penginapan, penjualan produk lokal, dan pekerjaan lainnya. Hal tersebut perlu diperhatikan pelaksanaannya karena tingkat pendidikan masyarakat yang ada di Kecamatan Semau masih rendah. Oleh karena itu, masyarakat yang aktif dalam kegiatan ekowisata bahari perlu dilatih sehingga mampu memberikan pelayanan yang optimal bagi wisatawan. Menurut Ross dan Wall (1999), dalam pengelolaan ekowisata perlu adanya keseimbangan antara konservasi, pembangunan, ilmu pengetahuan, dan promosi karena mempunyai hubungan yang sinergi antara areal alami, masyarakat lokal, sumberdaya manusia yang mengelola, dan wisatawan. Hubungan dimaksud dapat membantu keberlangsungan kegiatan ekowisata di suatu wilayah karena dapat mengawasi wisatawan dari tindakan yang dapat merusak sumberdaya alam yang ada. Penzonasian kawasan yang sesuai untuk aktivitas wisata selam dan snorkeling perlu dilakukan untuk penataan kawasan yang lebih baik. Hal
64 tersebut perlu dilakukan di perairan Kecamatan Semau untuk menghindari konflik kepentingan dan melindungi sumberdaya pesisir dan laut dari kegiatan yang tidak ramah lingkungan dan over eksploitasi atau berlebihan. Wilayah perairan Kecamatan Semau sebagiannya merupakan lokasi budidaya rumput laut dan mutiara, penangkapan ikan dan jalur pelayaran. Menurut Christine (2008), kegiatan ekotourisme hutan mangrove di Pulau Martinique-Karibia ternyata mengakibatkan kerusakan mencapai 62% karena terjadinya tumpang tindih penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Sebagian besar wilayah pantai yakni 85% digunakan untuk pembangunan hotel sehingga terjadi erosi dan kematian mangrove akibat sampah dari kegiatan ekowisata tersebut. Penyadaran masyarakat tentang dampak kegiatan di bidang perikanan pun perlu dilakukan agar sumberdaya alam yang ada tetap lestari sehingga menjamin keberlangsungan kegiatan dimaksud. Hal tersebut perlu dilakukan di wilayah Kecamatan Semau bagi masyarakat yang hidup di sekitar wilayah pesisir karena pemahaman masyarakat tentang manfaat ekosistem terumbu karang dan dampak dari kegiatan perikanan yang tidak ramah lingkungan sangat rendah. Penyadaran dimaksud, dilakukan untuk menginformasikan tentang dampak tindakan destructive fishing dan pencemaran yang sangat mempengaruhi keberadaan ekosistem terumbu karang yang menjadi obyek kegiatan ekosistem bahari. Upaya penyadaran tersebut dapat dilakukan melalui penyuluhan dan media masa yang memerlukan kerja sama antar pemerintah, tokoh agama dan tokoh masyarakat sehingga tingkat pemahaman masyarakat tersebut lebih efektif. Menurut Gurung dan Seeland (2008), sesuai hasil penelitiannya di Bhutan tentang manfaat kegiatan ekotourisme terhadap kehidupan masyarakat masyarakat lokal ternyata sangat berhubungan dengan pemahaman masyarakat terhadap manfaat sumberdaya alam dan dampak dari kegiatan manusia yang ada di sekitarnya. Masyarakat yang telah memahami hal dimaksud bahkan membantu dalam hal promosi dan pengawasan. Pemberdayaan masyarakat setempat dengan melibatan mereka dalam pengelolaan, pengawasan dan pemanfaatan sumberdaya terumbu karang yang ada perlu dilakukan. Hal tersebut dimaksudkan agar masyarakat merasakan adanya tanggung jawab bersama dalam melestarikan sumber daya yang ada di sekitar lingkungan mereka. Peningkatan peran POKMASWAS merupakan bentuk
65 partisipasi aktif masyarakat dan pengakuan atas kearifan lokal yang ada. Pengawasan tersebut telah didukung oleh pemerintah dengan kehadiran Direktorat Kepolisian Perairan (Polair) dari Kepolisian Daerah NTT sejak tahun 2000. Pengawasan Polair dilengkapi dengan 3 buah kapal pengawasan dan personilnya dilengkapi dengan senjata namun belum berfungsi secara optimal karena kurangnya biaya operasional. Pernyataan tersebut sesuai dengan Moore (2004) yang menyatakan bahwa kegiatan ekowisata berlangsung secara berkelanjutan jika kegiatan pengawasannya dilaksanakan secara rutin yang dilengkapi oleh sarana dan prasarana serta dana yang memadai. Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut khususnya terumbu karang oleh masyarakat jarang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan sekitarnya. Hal tersebut diduga akibat terbatasnya pengetahuan masyarakat tentang fungsi dan manfaat terumbu karang serta kurangnya kesadaran masyarakat terhadap hukum yang berlaku akibat penegakan hukum yang tidak adil. Akibat dari pola pemanfaatannya yang kurang bijaksana ini akan membawa dampak negatif terhadap terumbu karang dan biota-biota penghuninya baik secara langsung maupun tidak langsung.
Secara umum
masyarakat Kecamatan Semau
mengharapkan agar pelaku tindak pidana di bidang perikanan perlu ditindak secara tegas sesuai aturan yang berlaku sehingga menimbulkan efek jera. Perlu diperhatikan bahwa dalam mengelola suatu sumberdaya dibutuhkan monitoring dan evaluasi secara rutin dan berkala sehingga pemanfatannya tidak melebihi kapasitas dan menimbulkan dampak yang merugikan salah satu pihak. Upaya pengembangan ekowisata bahari di perairan Kecamatan Semau kedepan sangat memerlukan monitoring dan evaluasi secara rutin dan berkala yang dilakukan antara pihak pemerintah, pengelola pariwisata bahari, dan masyarakat setempat. Pernyataan tersebut sesuai dengan Moberg dan Folke (1999) serta de Vantier dan Turak (2004) yang menyatakan kerusakan yang terjadi dalam ekosistem terumbu karang lebih banyak diakibatkan oleh aktifitas manusia yang bekerja secara rutin di sekitar ekosistem tersebut sehingga perlu dilakukan monitoring dan evaluasi secara berkala dan rutin.
66 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa: 1.
Sumberdaya terumbu karang di Perairan Kecamatan Semau layak dikembangkan untuk 2 jenis ekowisata bahari yaitu: - Wisata selam di perairan Pulau Kambing dan Tanjung Uikalui dengan kategori sesuai. - Wisata snorkeling di perairan Uiasa dan Otan dengan kategori sesuai.
2.
Nilai visual pemandangan dan biota-biota dari sumberdaya terumbu karang di perairan Kecamatan Semau cukup tinggi sehingga dapat dijadikan sebagai obyek yang dukung pengembangan ekowisata bahari.
3.
Sebagian besar masyarakat dan pemerintah setempat sangat mendukung agar sumberdaya terumbu karang yang ada perairan Kecamatan Semau dikembangkan sebagai lokasi ekowisata bahari.
4.
Strategi yang menjadi prioritas dalam upaya pengembangan ekowisata bahari yang berkelanjutan di perairan Kecamatan Semau adalah: - Pelaksanaan kegiatan ekowisata bahari khususnya wisata selam dan snorkeling secara lestari dan peningkatan ekonomi masyarakat melalui mata pencaharian alternatif. - Pelatihan secara khusus bagi masyarakat yang terlibat dalam kegiatan ekowisata bahari khususnya wisata selam dan snorkeling - Penyadaran masyarat tentang dampak dari destructive fishing dan pencemaran terhadap sumberdaya terumbu karang - Penegakan hukum yang adil, pengakuan atas kearifan lokal dan peningkatan kinerja Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS).
5.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan agar perlu adanya kajian lebih lanjut tentang daya dukung lingkungan terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang ada di perairan Kecamatan Semau khususnya untuk kegiatan ekowisata bahari.
67
DAFTAR PUSTAKA
Amar EC, Cheong RMT, Cheong MVT. 1995. Small-scale fisheries of coral reefs and the need for community-based resource management in Malalison Island, Philippines. Fisheries Research 25: 265-277. Arifin T, Bengen DG, Pariwono JI. 2002. Evaluasi kesesuaian kawasan pesisir Teluk Palu bagi pengembangannya pariwisata bahari. Jurnal Pesisir dan Lautan 4: 25-35. Arifin T. 2008. Akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan terumbu karang di Selat Lembeh. Kota Bitung. [Disertasi]. Bogor. Sekolah Pascasarjana IPB. Aoyama G. 2000. Pengembangan eko-tourism kawasan konservasi di Indonesia. Jakarta. JICA Expert/RAKATA. Barker NHL, Roberts CM. 2003. Scuba diver behaviour and the management of diving impacts on coral reefs. Biological Conservation. 120: 481-489. Birkeland C (editor). 1997. Life and death of coral reefs. New York. Daniel TC, Boster RS. 1976. Measuring landscape esthetics: The scenic beauty estimation method. USDA. Forest Service. Boyd SW, Butler RW. 1996. Managing ecotourism: an opportunity spectrum approach. Tourism Management 17: 557-566. BPS Kabupaten Kupang. 2009. Buku Laporan Statistik Kabupaten Kupang Kupang. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kupang. Buckley R. 2004. Tourism in parks: Australian initatives, international centre for ecotourism research. Tourism Management 28: 328–329. Carpenter KE, Miclat RI, Albaladejo VD, Corpuz VT. 1982. The influence of substrate structure on the local abundance and diversity of Philippine reef fishes. Coral Reef 2: 497-502. Chabanet P, Ralambondrainy H, Amanieu M, Faure G, Galzin R. 1997. Relationships between coral reef substrata and fish. Coral Reefs 16: 93-102. Christine S. 2008. Evaluation of coastal squeeze and its consequences for the Caribbean Island, Martinique. Ocean and Coastal Management 51: 383-390. Che D. 2004. Developing ecotourism in First World, resource-dependent areas. Geo forum 37: 212-226. Damanik, Janianton, Weber FH. 2006. Perencanaan ekowisata; dari teori ke aplikasi. Yogyakarta. Aneka Ilmu. Davis D, Tisdell C. 1996. Economic management of recreational SCUBA diving and the environment. Journal of Environmental Management 48: 229-248. David FR. 2002. Manajemen strategis: konsep alih bahasa. Jakarta. Gramedia.
68 de Vantier L, Turak E. 2004. Managing marine tourism in Bunaken National Park and adjacent waters. Technical Report was Prepared by the Natural Resources Management (NRM III). Programs Protected Areas and Agriculture Team. North Sulawesi. Indonesia. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2009. Buku Laporan Statistis Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kupang. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT. Edinger EN, Risk MJ. 2000. Reef classification by coral morphology predicts coral reef conservation value. Biol Cons 92: 1-13. English SC, Wilkinson V, Baker. 1997. Survey manual for tropical marine resources. ASEAN-Australia Marine Science Project: Living Coastal Resources, Australian Institut of Marine Science. Fandeli C. 1995. Dasar-dasar manajemen kepariwisataan alam. Yogyakarta. Liberty. Fandeli C, Mukhlison (editor). 2000. Pengusahaan ekowisata. Fakultas Kehutanan UGM Kerjasama dengan Unit KSDA Daerah Istimewa Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset. Gomes ED, Yap HT. 1988. Monitoring reefs condition in coral reefs management hand book. Second edition. Jakarta. Unesco regional office for science and technology for South East Asia. Griffiths MN, Southey C. 1994. The opportunity costs of biodiversity conservation in Kenya. Ecological Economics 12: 125-139. Grünewald RDA. 2002. Tourism and cultural revival. Annals of Tourism Research 29: 1004–1021. Gurung DB, Seeland K. 2008. Ecotourism in Bhutan: Extending its benefits to rural communities. Annals of Tourism Research 35: 489–508. Harriott VJ. 1995. Marine tourism impacts and their management on the Great Barrier Reef. CRC Reef Research Centre 46:134-141. Heemstra PC, Randall JE. 1993. FAO species catalogue. Vol. 16. Grouper of the World (Family Serranidae, Sub Family Epinephelidae). Holden A. 2000. Environment and tourism. New York. Routledge. Hvenegaard GT, Dearden P. 1998. Ecotourism versus tourism in a Thai National Park. Annals of Tourism Research 25: 700-720. Jameson SC, Ammar MSA, Saadalla E, Mostafa HM, Riegl B. 1999. A coral damage index and its application to diving sites in the Egyptian Red Sea. Coral Reefs 18: 333-339. Fandeli C. 2001. Dasar-dasar manajemen kepariwisataan alam. Yogyakarta. Editor Liberty. Kamaluddin LM. 2003. Analisis dan evaluasi mengenai kebijakan penentuan sumberdaya kelautan di wilayah perbatasan negara tetangga. Jurnal Universitas Paramadina 2: 264-273.
69 Khakim N. 2009. Kajian tipologi fisik pesisir Daerah Istimewa Yogyakarta untuk mendukung pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir. [disertasi]. Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Kinsman DJJ. 1964. Reef Coral Tolerance of High Temperatures and Salinities. Nature 202: 1280-1282. Krebs CJ. 1972. Ecology: The experimental analysis of distribution and abundance. Ed-2. London. Harper and Row. Kuiter RH. 1992. Tropical reef-fishes of the Western Pacific, Indonesia and adjacent waters. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. Kusumastanto T, Adrianto L, Damar A. 2006. Pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Jakarta. Penerbit Universitas Terbuka. Lisobada CM. 1998. Ecotourism in the Philippines. Philippines. Bookmark. Inc. 264-A PablonOcampo Sr. Ave. Makati City. Matsuda AK, Amoka C, Uyeno T, Yoshiro T. 1984. The fishes of the Japanese Archipelago. Jepang. Tokai University Press. Moberg F, Folke C. 1999. Analisis: Ecological goods and services of coral reef ecosystems. Ecological Economics 29: 215–233. Moore SA. 2004. Ecotourism policy and planning. Annals of Tourism Research 31: 736–737. Murray SN, Ambrose RF, Bohnsack JA, Botsford LW, Carr MH, Davis GE, Dayton PK, Gotshall D, Gunderson DR, Hixon MA, Lubchenco J, Mangel M, MacCall A, McArdle DA, Ogden JC, Roughgarden J, Starr RM, Tegner MJ, Yoklavich MM. 1999. No-take reserve networks: Sustaining fishery populations and marine ecosystems. Fisheries Management-Perspective 24: 11-25. Ninef J, Angwarmase I, Blegur J. 2002. Monitoring dan evaluasi kondisi terumbu karang di perairan Teluk Kupang, Nusa Tenggara Timur. Kupang. CRITC Nusa Tenggara Timur. Nurisyah. 2001. Rencana pengembangan fisik kawasan wisata bahari di wilayah pesisir Indonesia. Buletin Taman dan Lanskap Indonesia. Perencanaan, Perancangan dan Pengelolaan 3:23-29. Nybakken JW. 1992. Marine biology and ecologycal approach. Diterjemahkan oleh : M. Eidman, D. G. Bengen, Malikusworo, Sukristiono. Jakarta. PT. Gramedia. Odum EP. 1971. Fundamentals of ecology. Diterjemahkan oleh: Samingan T, Srigandono B). Yogyakarta. Gajah Mada University Press. Randall JE, Heemstra PC. 1991. Indo-Pacific fishes. revision of Indo-Pacific grouper (Perciformes: Serranidae: Epinepheliae), with description of five new species. Rangkuti F. 1997. Analisis SWOT : Teknik membedah kasus bisnis-reorientasi konsep perencanaan strategi untuk menghadapi abad 21. Cet ke-10. Jakarta. Gramedia Pustaka Umum.
70 Ribe RG. 2005. Comparing changes in scenic beauty produced by green-tree retention harvests, thinnings and clear cuts: evidence from three Pacific Northwest experiments. Environmental Management 13: 55-74. Risamasu F. 2000. Pendekatan terpadu dalam konservasi terumbu karang melalui transformasi partisipatif eksternal dalam implementasi lokal dan program berbasis masyarakat. Tahap I. Pilot Project di Desa Uiasa. Kupang. Jurusan Perikanan dan Kelautan, Faperta Undana, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ross S, Wall G. 1999. Ecotourism: towards congruence between theory and practice. Pergamon. Tourism Management 20: 123-132. Sale PF. 2006. Coral reef fishers: Dynamics and diversity in a complex ecosystem. Canada. Salm RV. 1986. Coral reefs and tourist carrying capacities: the Indian Ocean experience. UNEP Ind. Environ. 9: 11-14. Soeharsono. 1996. Jenis-jenis karang di Indonesia. Jakarta. Pusat Penelitian Osenografi-LIPI. Sunardi. 2006. Skenario kebijakan daerah dalam pengembangan ekowisata (Studi kasus di Kabupaten Indramayu). Bogor. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Supriharyono. 2007. Pengelolaan ekosistem terumbu karang. Jakarta. Penerbit Djambatan. Thamrin. 2006. Karang: Biologi reproduksi dan ekologi. Pekanbaru. Mina Mandiri Pres. Westmacott S, Teleki K, Wells S, West J. 2000. Management of bleached and severely damaged coral reefs. New Seland. IUCN: Gland. Wiharyanto D. 2007. Kajian pengembangan ekowisata mangrove di kawasan konservasi Pelabuhan Tengkayu II Kota Tarakan Provinsi Kalimantan Timur [Tesis]. Bogor. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB Bogor. Wolff M. 2009. Tropical waters an their living : Ecology, assessment and management. Bremen. Germany. Verlag HM. Hausschild GmBh. Xiao H. 2009. Nature-based tourism, environment, and land management. Annals of Tourism Research 36: 540–541. Yoety OA. 1997. Pengantar ilmu pariwisata. Bandung. Penerbit Angkasa. Yousman Y. 2004. Sistem informasi geografis dengan maple profesional. Yogyakarta. Penerbit ANDI. Yulianda F. 2007. Ekowisata bahari sebagai alternatif pemanfaatan sumberdaya pesisir berbasis konservasi. Seminar Sains Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB Bogor. Zakai D, Chadwick-Furman NE. 2002. Impacts of intensive recreational diving on reef corals at Eiliat, northern Red Sea. Biol Cons 105: 179-187.
71
LAMPIRAN
72 Lampiran 1 Lokasi Penelitian. Pulau Kambing (A1)
Hansisi (A2)
Tanjung Uikalui (A3)
73 Lampiran 1 (Lanjutan). Uiasa 2 (A4)
Uiasa 1 (A5)
Otan (A6)
74 Lampiran 2 Kuisioner untuk analisis sosial, ekonomi, budaya, dan persepsi masyarakat. Kuisioner untuk persepsi masyarakat a. Petunjuk Pengisian Berilah tanda silang (X) pada pilihan jawaban a, b, c, d, e, f, dan jika disediakan
titik-titik
(.............)
mohon
diisi
sesuai
keadaan
yang
Bapak/Ibu/Saudara/Saudari alami atau yang diketahui.
b. Data Responden 1. Nama responden : ......................... 2. Berapa umur anda saat ini ?………(tahun) 3. Jenis kelamin ? a. Laki-laki
b. Perempuan
4. Status perkawinan anda ? a. Belum kawin
b. Kawin
c. Duda/janda
5. Pendidikan formal terakhir anda ? a. SD/Sederajat
c. SLTA/sederajat
b. SLTP/sederajat d. Diploma/Sarmud
e. Sarjana f. Pascasarjana
6. Apa Jabatan atau pekerjaan anda saat ini ? a. Nelayan
c. Wiraswasta
e. Guru
b. Petani
d. PNS
f. Pedagang
g. .....
7. Pendapatan rumah tangga/bulan : a. Kurang dari Rp. 500.000
d. Rp. 2.000.000-3.000.000
b. Rp. 500.000-1.000.000
e. Rp. 3.000.000-4.000.000
c. Rp. 1.000.000-2.000.000
f. Lebih dari Rp. 4.000.000
c. Persepsi terhadap terumbu karang (kondisi perairan Kecamatan Semau) 8. Tahu tentang terumbu karang dan manfaatnya ? a. Ya
b. Tidak
9. Apa manfaat terumbu karang ? a. Rumah ikan dan biota laut lainnya
c. Bahan obat-obatan dan kosmetik
b. Pelindung pantai dan pulau
d. Tempat wisata
10. Bagaimana penilaian anda tentang kondisi terumbu saat ini ? a. Baik
b. Sedang c. Buruk
75 Lampiran 2 (Lanjutan).
11. Penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang di perairan Kecamatan Semau ? (pilihan jawaban boleh lebih dari satu) a. Pemboman dan racun ikan b. Pencemaran lingkungan dari daratan c. Pembuangan Jangkar kapal sembarangan d ........................ 12. Setujukah saudara jika terumbu karang di lindungi atau konservasi ? a. Ya
b. Tidak
Alasannya ? ................................ 13. Jika ada orang lain mengambil atau merusak terumbu karang dengan cara apapun, bagaimana sikap Saudara ? a. Melarang
b. Membiarkan
c. .............................
d. Persepsi terhadap pengembangan ekowisata di perairan Kecamatan Semau 14. Setujukan saudara daerah terumbu karang di perairan Kecamatan Semau di jadikan sebagai kawasan wisata bahari ? a. Ya
b. Tidak
Apa alasannya ? ........................... 15. Bagaimana prospek perairan Kecamatan Semau ini sebagai daerah wisata jika dilihat dari potensi sumberdaya yang ada, seperti keberadaan ekosistem terumbu karang, posisi geografis pulau, dan ketersediaan sumberdaya manusia ? a. Mendukung
b. Tidak mendukung,
Apa alasannya ?.... 16. Apakah ada kebijakan daerah yang menetapkan perairan Kecamatan Semau sebagai kawasan wisata ? a. Ada
b. Tidak ada
c. Tidak tahu
17. Jika jawabanya a, manifestasi dari kebijakan tersebut dalam bentuk apa ?........
76 Lampiran 2 (Lanjutan).
18. Manfaat apa yang telah diperoleh masyarakat dalam pengelolaan pulau putih sebagai objek wisata ? a. Pendapatan masyarakat meningkat
c. Tidak ada manfaat sama sekali
b. Tercipta lapangan kerja yang baru
d. ............................
19. Menurut anda, bagaimana bentuk keterlibatan masyarakat dalam mendukung kegiatan wisata di perairan Kecamatan Semau ? a. Kesempatan membuka usaha di kawasan wisata b. Kesempatan lowongan kerja
c. ..............................................
20. Jenis wisata apa yang sesuai dikembangkan di perairan Kecamatan Semau ? (pilihan jawaban boleh lebih dari satu) a. Wisata selam
c. Wisata pancing
e. Pemandangan alam
b. Wisata snorkling
d. Wisata pantai
f. Camping
21. Potensi sumberdaya terbesar yang dimiliki oleh perairan Kecamatan Semau ? (pilihan jawaban boleh lebih dari satu) a. Terumbu karang
c. Keterisoliran
e. Pemandangan alam
b. Pasir putih
d. Potensi perikanan
f. .........................
22. Apa prioritas yang perlu dibenahi dalam mengembangkan perairan Kecamatan Semau sebagai kawasan ekowisata ? (jawaban boleh lebih dari satu) a. Sarana dan prasarana fisik
b. Fasilitas penyelaman
c. Sumberdaya manusia
d. Pemulihan /rehabilitasi sumberdaya alam
e. Promosi
f. Transportasi laut
g. Restoran
h. ...........................................
77 Lampiran 3 Jumlah nelayan di Kecamatan Semau. Desa Bokonusan Otan Uitao Huilelot Uiasa Hansisi Batuinan Letbaun Jumlah
Penuh 33 28 27 37 39 68 29 21 282
Jenis nelayan Sambilan penuh Sambilan tambahan 18 21 27 23 13 12 16 25 26 16 43 31 15 14 11 17 169 159
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur (2009)
Jumlah 72 78 52 78 81 142 58 49 610
78 Lampiran 4 Jenis alat tangkap ikan di Kecamatan Semau. Desa Bokonusan Otan Uitao Huilelot Uiasa Hansisi Batuinan Letbaun
Bagan
Gillnet
Jumlah
18 132 16 22 16 79 11 23 317
Jenis alat tangkap Jala Soro Pukat lompo lidi nilon 22 5 11 14 35 78 9 22 47 21 14 43 14 21 18 31 34 53 13 15 11 5 11 23 129 157 284
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur (2009)
Pancing lainnya -
79 Lampiran 5 Jumlah perahu di Kecamatan Semau. Jenis perahu Desa Perahu Perahu Jukung kecil sedang Bokonusan 23 18 4 Otan 18 7 3 Uitao 6 11 6 Huilelot 9 4 2 Uiasa 6 2 3 Hansisi 18 23 17 Batuinan 15 9 2 Letbaun 11 6 Jumlah 106 80 37
Motor tempel
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur (2009)
Kapal motor
4 2 2 35 1 1 45
-
80 Lampiran 6 Hasil analisis lifeform pada masing-masing stasiun penelitian dengan metode transek kuadrat. Stasiun penelitian Lifeform (%) Kode A1 A2 A3 A4 A5 A6 HARD CORAL : Acropora 0.09 0.00 0.10 0.07 0.19 0.08 Branching ACB 0.03 0.00 0.02 0.02 0.13 0.04 Encrusting ACE 0.01 0.00 0.01 0.01 0.00 0.00 Submassive ACS 0.03 0.00 0.00 0.02 0.04 0.02 Digitate ACD 0.02 0.00 0.05 0.00 0.00 0.01 Tabular ACT 0.00 0.00 0.02 0.03 0.02 0.01 Non acropora 0.17 0.08 0.18 0.22 0.25 0.17 Branching CB 0.04 0.01 0.05 0.01 0.09 0.02 Encrusting CE 0.01 0.00 0.03 0.01 0.02 0.03 Foliose CF 0.02 0.01 0.01 0.01 0.00 0.02 Massive CM 0.10 0.03 0.07 0.09 0.04 0.04 Submassive CS 0.00 0.01 0.01 0.07 0.08 0.03 Mushroom CMR 0.00 0.02 0.01 0.01 0.02 0.02 Heliopora CHL 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 Milleopora CME 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 Tubipora CTU 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Dead sclerectina 0.34 0.14 0.13 0.16 0.16 0.19 Dead Coral DC 0.00 0.05 0.04 0.04 0.05 0.07 Dead coral with Algae DCA 0.34 0.09 0.08 0.12 0.11 0.12 OTHER FAUNA : Algae 0.04 0.02 0.08 0.01 0.03 0.03 Algae Assemblage AA 0.01 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 Corraline Algae CA 0.02 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 Halimeda HA 0.00 0.00 0.03 0.00 0.00 0.00 Macroalgae MA 0.01 0.02 0.02 0.01 0.02 0.00 Turf Algae TA 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.03 Other 0.12 0.37 0.18 0.28 0.13 0.10 Soft Coral SC 0.08 0.36 0.12 0.24 0.11 0.07 Sponges SP 0.04 0.00 0.04 0.02 0.00 0.00 Zoanthids ZO 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Others OT 0.00 0.01 0.01 0.02 0.02 0.03 Abiotic 0.24 0.39 0.33 0.25 0.24 0.43 Sand S 0.07 0.15 0.11 0.08 0.07 0.20 Rubble R 0.17 0.24 0.23 0.18 0.17 0.23 Silt SI 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Water WA 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Rock RCK 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
81 Lampiran 7 Jenis dan kelimpahan individu ikan karang pada masing-masing stasiun penelitian. No
Spesies
Family
A1
1.
Chelmon rostratus
2.
Chaetodon vagabundus
3.
Chaetodon decussates
4.
Chaetodon baronesa
5.
Chaetodon melannotus
6.
Chaetodon triangulum
7.
Chaetodon lunulatus
8.
Chaetodon unimaculatus
9.
Chaetodon lunula
2
10.
Chaetodon klennii
3
11.
Chaetodon ornatissinus
12.
Chaetodon speculum
13.
Chaetodon selene
14.
Chaetodontidae
A2
A3
A4
A5
A6
To tal
2
13
2
4
9
60
2
2
13
6
40
3
20
2 3 2
4 3 2
Abundance/ha
3
2
7
47
4
5
9
60
2
2
13
2
13
7
19
47
2
2
13
2
2
13
2
2
13
Coradion melanopus
1
1
7
15.
Honiochus acuminatus
4
16.
Heniochus varius
17.
Heniochus monoceros
18.
Heniochus chrysostomus
19.
Centropyge bicolor
2
20.
Centropyge tibicen
1
21.
Centropyge vroliki Chaetodontoplus melanosoma
2
22. 23. 24. 25. 26.
3
3
3
4
27
8
53
1
1
7
1
1
7
3
20
1
2
13
2
6
40
1
4
27
1
2
13
1
7
1
3
1 2
3
Pomacanthus imperator Pomacanthus semicirculatus
4
1 1
Pomacanthus sextriatus Chaetodontoplus mesoleucus
1
1
7
2
13
6
40
2
13
4
4
27
3
3
20
6
6
40
6
12
80
3
20
5
33
7
47
3
20
13
87
2
27.
Pygoplites diacanthus
1
28.
Platax pinnatus
29.
Acanthurus olivaceus
30.
Acanthurus blochi
31.
Acanthurus leucocheilus
32.
Acanthurus pyroferus
33.
Acanthurus lineatus
34.
Acanthurus auranticavus
3
35.
Acanthurus nigrofuscus
5
36.
Paracanthurus hepatus
37.
Zebrasoma scopas
1
2
2
2 Acanthuridae
3
3 2
1 2 2 3
4
3
6
82 Lampiran 7 (Lanjutan). No
Spesies
Family
38.
Ctenochaetus striatus
39.
Ctenochaetus cyanocheilus
40.
Ctenochaetus binotatus
41.
Acanthurus nigricans
42.
Zanclus cornutus
Zanclidae
43.
Siganus doliatus Amblyglyphidodon curacao Ambliglyphidodon leucogaster
Siganidae
44. 45.
A1
A2
A3
A4
4
3
3
Pomacentridae
4
3
4 4
21
9
9
47.
Amphiprion clarkii
48.
Premnas biaculeatus
49.
Neoglyphidodon crossi
2
50.
Neoglyphidodon nigroris
4
4
51.
Neoglyphidodon bonang
2
1
52.
Neoglyphidodon melas Neoglyphidodon thoracotaeniatus
6
54.
Plectroglyphidodon dickii Plectroglyphidodon lacrymatus
1
12
2
5
3
2
6
5
4
2
33
4
27
15
100
3
20
2
13
12
80
3
20
2
5
167
2
4
27
2
2
4
13
87
6
60.
Dascyllus aruanus
9
8
61.
Dascyllus reticulatus
5
15
62.
Dascyllus melanurus
63.
Dascyllus trimaculatus
64.
Chromis ternatensis
65.
Chromis amboinensis Dischistodus prosopotaenia
6
6
40
21
140
4
42
280
17
113
7
27
180
6
40
6 16
5
5
33
21
37
247
4
27
2
13
2
13
6
40
2
2 2 1
1
6
Pomacentrus lepidogenys
Chromis actipectoralis
5
5
8
75.
433
13
16
74.
65
180
8
Pomacentrus brachialis Neopomacentrus violascens
27
2
Pomacentrus moluccensis
Chrysiptera talboti
113
4
27
59.
73.
17
9
6
72.
2
5
5
Pomacentrus philippinus
33
4
3
71.
93
5
3
7
Pomacentrus alexanderae
14
5
2 6
Chromis weberi
69. 70.
4
4
Chrysiptera hemicyanea
Pomacentrus reidi
73 13
5
58.
68.
11 2
3
57.
Dischistodus perspicillatus
4 2
4
Chrysiptera rex
67.
Abundance/ha
14
56.
66.
To tal
3
2
Amphiprion percula
55.
3
A6
4
46.
53.
3
A5
8
4
5 7
8
12
4
5
7 4
12 44
80 293
2
4
6
40
13
87
2
13
3
20
13
87
5 2
3 13
83 Lampiran 7 (Lanjutan). No
Spesies
Family
A1
76.
Pomacentrus littoralis
77.
Pomacentrus coelestis
78.
Pomacentrus chrysurus
79. 80.
Pomacentrus polyspinus Pomacentrus amboinensis
1
81. 82.
Pomacentrus javanicus
4
83.
Chromis atripes
84.
Chromis margaritifer
85.
Chromis lepodolepis
86.
Pomacentrus armillatus
87.
Lutjanus biguttatus
88.
Lutjanus decussatus
89.
Lutjanus bohar
90.
Lethrinus harak
91.
Monataxis heterodon
92.
Scolopsis bilineatus
93.
Scolopsis ciliatus
94.
Pentapodus trivittatus
95.
Pentapodus bifasciatus
96.
Caranx ignobilis
97.
Caranx melampygus
98.
A3
A4
A5
To tal
Abundance/ha
4
27
6
6
40
3
20
4
3 23
20 153
6
7 9
47 60
4
27
4
6
40
12
12
80
3
13
87
4
27
1
7
4
27
1
7
A6
4
3 7
5
3 6 3
3
Pomacentrus bankanensis 4
2
2 Lutjanidae
2
4
1
2
2
1 1 1
Lethrinidae
3
1 1
Nemipteridae
3
2
2
5
33
1
3
7
47
1
7
3
20
2
13
1
7
1 1
2 2
Carangidae
1
Rastrelliger kanagurta
Scombridae
17
99.
Caesio cuning
Caesionidae
100.
Pterocaesiao marri
101.
Pseudanthias hutchi
102.
Aethaloperca roga
103.
Cephalopolis urodeta
104. 105.
Chromileptes altivalis Ephinephelus fuscoguttatus
106.
Ephinephelus merra
107.
Ephinephelus ongus Plectorhinchus chaetodonoides
108.
A2
1
1
7
30
200
50
50
333
23
23
153
12
80
1
7
6
40
1 3
7 20
1
3
20
1
1
7
1
2
13
2
13
2
13
1
7
4
27
4
27
6
Serranidae
7
1 2
2
2
1 1
1
1
2
Haemullidae
1
109.
Plectorhinchus vittatus
1
110.
Plectorhinchus lineatus
1
1
111.
Diagrama melanacrum
1
112.
Chlorurus sordidus
113.
Scarus russelli
2
114.
Scarus tricolor
2
2
13
115.
Scarus rivulatus
2
2
13
1
Scaridae
4 2
84 Lampiran 7 (Lanjutan). No
Spesies
116.
Scarus dimidiatus
117.
Cheilinus trilobatus
118.
Cheilinus fasciatus
119.
Choerodon anchorago
120. 121.
Gomphosus varius
122.
Halichoeres pedostigma
123.
Halichoeres prosopion
124.
Halichoeres hortulanus
125.
Halichoeres scapularis
126.
Halichoeres chloropterus
127.
Halichoeres melanurus
128.
Halichoeres nebulosus
129.
Halichoeres leucurus
130.
Oxycheilinus celebicus Oxycheilinus rhodochorous
131.
Family
A1
A2
A4
A5
A6
5 Labridae
1 1
1
1
2
1 4
7 27
2
13
3
20
1
7
7
47
5
5
33
1
11
73
2
2
13
4
27
1
3
20
2
4
6
40
4
5
20
133
6
4 2
Thalassoma hardwicke
2
134. 135.
Thalassoma jansenii
3
1
Thalassoma amblicepalum Pseudocheilinus hexataenia
1
137.
Bodianus diana
1
138.
Bodianus mesothorax
1
139.
Labroides pectoralis
140.
Labroides bicolor
2
141.
Labroides dimidiatus
3
142.
Cheilio inermis
143.
Epibulus insidiator
144.
Cirrhilabrus solorensis
4
2
1
4
2
4
27
2 9
3 9
20 60
2
13
87
1
7
4
27
2
13
5
33
11
73
2
1
1 3
2
3
3 2
2
13
1
7
4
78
520
3
20
1
2
13
3
3
20
4
4
27
12
80
1 12
19
7
12
145.
Neoniphon sammara Sargocentron spiniferum
147.
Apogon multilineatus
148.
Apogon aureus
149.
Cheilodipterus isostigmus
150.
Sphaeramia nematoptera
21
21
140
151.
Archamia zosterophora
50
50
333
6
6
40
Pictichromis paccagnellae
2
24
146.
152.
Holocentridae
13
2
4
133.
2
13
7
4
33
13
2
4
5
2
1
Thalassoma lunare
Abundance/ha
2
2 1
To tal
2 1
Hemigymnus melanopterus
132.
136.
A3
1
1 Apogonidae
12
Pseudochromi dae
153.
Manonichthys splendens
1
1
7
154.
Pseudochromis paranox
1
1
7
85 Lampiran 7 (Lanjutan). No
Spesies
Family
155.
Parapercis hexophthalma
156.
Parapercis sp.
157.
Parapercis millipunctata
158.
Parapercis cylindrica
159.
Synodus dermatogenys
Synodontidae
160.
Koumansetta rainfordi
Gobiidae
161.
Eviota sebreei
162. 163.
Valenciennea strigata
164.
Meiacanthus grammistes
165.
Meiacanthus crinitus
166.
Ecsenius yaeyamaensis
167.
Ecsenius stigmatura
168.
Escenius bandanus Atrosalarias fuscus holomelas
169. 170. 171.
A2
A3
A4
A5
Pinguipedidae 6
A6
To tal
Abundance/ha
2
2
13
1
7
47
3
20
2
2
13
4
27
3
20
11
73
3 5
20 33
2
13
3 4 3 11 3 5
Coryphopterus signipinnis
Cirripectes filamentosus Mulloidichthys venicolonsis
A1
Blenniidae
2 2 8 5 4
Mullidae
2
13
8
53
5
33
4
27
4
4
27
2
2
13
2
2
13
2 6
13 40
5
33
172. 173.
Parupeneus crassilabris Parupeneus barberinoides
2
174.
Parupeneus multifasciatus
175.
Parupeneus barberinus
176.
Upeneus tragula
177.
Aulostomus chinensis
Aulostomidae
178.
Balitoides viridescens
Balistidae
179.
Balistapus undulatus
180.
Sufflamen chrysopterus
181.
Acreichthys radiatus
Monacanthidae
182.
Arothron mappa
Tetraodontidae
183.
Arothron nigropunctatus
2
184.
Canthigaster benneti
1
1
7
185.
Canthigaster valentini
2
2
13
186.
Diodon liturosus
Diodontidae
187.
Taeniura lymma
Desyatidae
4
2 2
3 3 2
1
2
1
1
1 2 2 2
1
1
1 1
1 1
Total Total Family
25
13
12
18
18
18
Total Genus
53
28
32
33
36
36
Total Spesies
83
40
48
43
58
70
Total Individu
335
146
172
215
242
253
Total Area transek
250
250
250
250
250
250
Kelimpahan individu/m2
1.3
0.6
0.7
0.9
1.0
1.0
3
20
4
27
3
20
1
7
2
13
2
13
3
20
2
13
3
20
1
7
1
7
86 Lampiran 8 Peta rencana zonasi taman wisata alam laut Teluk Kupang.
87 Lampiran 9 Peta rencana detail tata ruang Pulau Semau tahun 2003-2013.
88 Lampiran 10 Foto seascape (pemandangan) dari lokasi penelitian. No
Hamparan terumbu karang 1
1
2
3
4
5
6
2
Nilai ketertarikan visual Skor responden 3 4 5 6 7 8 9
10
89 Lampiran 10 (Lanjutan). No
Hamparan terumbu karang 1
7
8
Ui
9
10
11
2
Nilai ketertarikan visual Skor responden 3 4 5 6 7 8 9
10
90 Lampiran 10 (Lanjutan). No
Hamparan terumbu karang 1
12
13.
14.
15.
16.
17.
18.
2
Nilai ketertarikan visual Skor responden 3 4 5 6 7 8 9
10
91
92 Lampiran 11 Foto ikan dari lokasi penelitian. No
Jenis Ikan Karang 1
1
Ctenochaetus binotatus
2.
Pomacentrus alexanderae
3.
Pictichromis paccagnellae 4.
Chaetodon baronesa
5.
Pomacanthus imperator
6.
Pseudocheilinus hexataenia
2
Nilai Ketertarikan Visual Skor Responden 3 4 5 6 7 8 9
10
93 Lampiran 11 (Lanjutan). No
Hamparan Terumbu Karang 1
7. Chrysiptera hemicyanea
8.
Parapercis hexophthalma
9.
Meiacanthus grammistes
10.
Centropyge bicolor
11.
Acanthurus lineatus
12.
Amphiprion percula
2
Nilai Ketertarikan Visual Skor Responden 3 4 5 6 7 8
9
10
94 Lampiran 11 (Lanjutan). No
Hamparan Terumbu Karang 1
13.
Chaetodon klennii
14.
Pomacentrus moluccensis
15.
Dischistodus prosopotaenia
16.
Amphiprion clarkii
17.
Neoglyphidodon bonang
18.
Chromileptes altivalis
2
Nilai Ketertarikan Visual Skor Responden 3 4 5 6 7 8
9
10
95 Lampiran 12 Foto fauna bentic dari lokasi penelitian. No
Jenis fauna bentic 1
1. Linkia laevigata
2. Malacostrata decapoda
3. Acanthaster planci
4. Pseudoceros imitates
5. Tridacna squamosa
6.
Trochus maculates
2
Nilai ketertarikan visual Skor responden 3 4 5 6 7 8
9
10
96 Lampiran 12 (Lanjutan). No
Jenis fauna bentic 1
7.
Chromodoris
8. Ophiothrix
9. Echinothrix diadema
10. Synaptula
11. Holothuria edulis
12. Tridacna derasa
2
Nilai ketertarikan visual Skor responden 3 4 5 6 7 8
9
10
97
Lampiran 13 Nilai SBE dari masing-masing foto seascape (pemandangan).
1.
Nomor foto 8
Nilai SBE 150.22
2. 3. 4.
18 16 17
136.67 126.22 117.78
5.
11
106.44
6.
1
85.44
7.
2
79.00
8.
4
74.56
9.
15
74.00
10.
9
70.11
11.
10
60.89
12.
3
60.56
13.
14
35.44
14. 15.
5 7
31.78 31.67
16.
6
24.22
17.
13
16.67
18.
12
-
No
Kualitas dari seascape (foto) didominasi hard coral dan terdapat ikan karang didominasi hard coral didominasi hard coral terdapat hard coral, soft coral dan ikan karang terdapat hard coral dan soft coral didominasi soft coral dan terdapat ikan karang didominasi soft coral dan terdapat ikan karang didominasi soft coral didominasi soft coral dan terdapat ikan karang coral reef dan terdapat shcooling ikan karang coral reef dan terdapat ikan karang didominasi soft coral dan terdapat ikan karang didominasi soft coral dan pasir didominasi soft coral coral reef dan terdapat ikan karang didominasi soft coral, rubble (patahan karang) dan pasir didominasi soft coral dan terdapat ikan karang dominasi dead coral dan terdapat ikan karang
Lokasi A5 / Uiasa 1 A5 / Uiasa 1 A5 / Uiasa 1 A4 / Uiasa 2 A1 / Pulau Kambing A4 / Uiasa 2 A4 / Uiasa 2 A3 / Tanjung Uikalui A3 / Tanjung Uikalui A1 / Pulau Kambing A1 / Pulau Kambing A3 / Tanjung Uikalui A6 / Otan A6 / Otan A6 / Otan A2 / Hansisi A2 / Hansisi A2 / Hansisi
98 Lampiran 14 Nilai SBE dari masing-masing foto ikan. No. Nomor foto Nilai SBE Nama ikan (foto) 1 12 173.56 Amphiprion percula 2 6 151.11 Pseudocheilinus hexataenia 3 18 145.11 Chromileptes altivalis 4 3 132.11 Pictichromis paccagnellae 5 11 129.78 Acanthurus lineatus 6 5 126.33 Pomacanthus imperator 7 10 120.22 Centropyge bicolor 8 13 114.56 Chaetodon klennii 9 4 109.44 Chaetodon baronesa 10 7 108.11 Chrysiptera hemicyanea 11 16 98.00 Amphiprion clarkii 12 8 81.44 Parapercis hexophthalma 13 15 64.67 Dischistodus prosopotaenia 14 9 55.67 Meiacanthus grammistes 15 1 35.33 Ctenochaetus binotatus 16 17 16.22 Neoglyphidodon bonang 17 14 4.44 Pomacentrus moluccensis 18 2 Pomacentrus alexanderae
99
Lampiran 15 Nilai SBE dari masing-masing foto fauna bentic. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nomor foto 7 6 2 1 12 5 4 10 9 11 8 3
Nilai SBE 148.78 109.56 102.44 82.56 58.78 42.11 36.44 18.56 18.11 17.89 8.00 -
Nama fauna bentic (foto) Chromodoris Trochus maculates Malacostrata decapoda Linkia laevigata Tridacna derasa Tridacna squamosa Pseudoceros imitates Synaptula Echinothrix diadema Holothuria edulis Ophiothrix Acanthaster planci
100
101 Lampiran 16 Penilaian bobot internal factor evaluation (IFE). Faktor IFE S1 S2 S3 S4 W1 W2 W3 W4
S1 2 2 3 2 2 4 2
S2 2 2 2 2 2 2 2
S3 2 2 4 2 4 4 2
S4 W1 W2 W3 2 3 1 1 2 2 2 2 2 2 1 1 2 2 2 2 1 1 2 4 4 2 4 2 2 2 1 2
W4 Total Rataan 1 12 0.10 2 14 0.11 1 11 0.09 4 19 0.16 1 11 0.09 4 22 0.18 2 20 0.16 13 0.11 Total 122 1.00
102 Lampiran 17 Penilaian bobot eksternal factor evaluation (EFE). Faktor EFE
O1
O2
O1
O3 2
O4
T1
T2
Total
Rataan
4
4
2
2
14
0.20
4
4
2
2
14
0.20
O2
2
O3
2
2
O4
2
1
2
TI
2
2
3
3
T2
2
2
4
4
1
1
1
7
0.10
1
1
7
0.10
4
14
0.20
14
0.20
70
1.00
2 Total
103 Lampiran 18
Strategi pengembagan ekowisata bahari untuk wisata selam dan snorkeling dalam model matriks SWOT.
IFE
EFE
Kekuatan (Strength) 1. Potensi ekosistem terumbu karang yang cukup baik. 2. Sumberdaya terumbu karang sesuai untuk kegiatan ekowisata bahari. 3. Nilai visual ekosistem terumbu karang cukup tinggi. 4. Dukungan masyarakat dan pemerintah cukup tinggi.
Kelemahan (Weakness) 1. Pemanfaatan potensi wisata bahari yang tidak optimal. 2. Belum adanya zonasi pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang tepat. 3. Penegakan hukum di bidang lingkungan yang tidak adil. 4. Sarana dan prasarana pengawasan yang kurang memadai.
Peluang (Oppurtunity) 1. Pelaksanaan kegiatan 1. Legalitas tata ruang 1. Pemulihan ekosistem terumbu karang. ekowisata bahari pesisir dan laut yang bisa 2. Adanya kepedulian khususnya wisata selam memudahkan penetapan pemerintah dan LSM dan snorkeling secara zonasi khususnya bagi lestari dan peningkatan kegiatan ekowisata terhadap upaya pelestarian sumberdaya ekonomi masyarakat bahari khususnya wisatan terumbu karang. melalui mata selam dan snorkeling. pencaharian alternatif. WO 3. Peningkatan laju pertumbuhan ekonomi 2. Pelatihan secara khusus bagi masyarakat yang masyarakat dan pemerintah setempat. terlibat dalam kegiatan 4. Mata pencaharian ekowisata bahari khususnya wisata selam alternatif bagi masyarakat dan snorkeling. di bidang pariwisata. SO Ancaman (Treath) 1. Destructive fishing. 1. Penyadaran masyarakat 1. Peningkatan kualitas dan 2. Pencemaran. tentang dampak dari kuantitas sarana dan destructive fishing dan prasarana pengawasan pencemaran terhadap yang mampu mengontrol sumberdaya terumbu destructive fishing. karang. 2. Penegakan hukum yang ST adil, pengakuan atas kearifan lokal dan peningkatan kinerja POKMASWAS. 3. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi secara rutin. WT