Potensi Pengembangan Ekowisata Terumbu Karang di Pulau Ketapang, Kabupaten Belitung Timur Fery Kurniawan1,2, Destilawaty3, Robba Fahrisy Darus4, Dedi4, Surya Gentha Akmal3, Jimmy Margomgom Tambunan7 1
Sekolah Pascasarjana, Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB 2 Marine Science and Technology Diving School (MSTDS), Institut Pertanian Bogor Bogor, 16680, Indonesia Email:
[email protected] 3 Manajemen Sumberdaya Perikanan (MSPi), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor Bogor, 16680, Indonesia Email:
[email protected] Email:
[email protected] 4 Sekolah Pascasarjana, lmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor Bogor, 16680, Indonesia Email:
[email protected] Email:
[email protected] 5 Dinas Kelautan dan Perikanan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Pangkal Pinang, 33135, Indonesia Email:
[email protected]
Abstract - Belitung Island is well known by the beauty of the rockysand beach. As one of the famous tourist destination in Indonesia, only several people know the magnitude of the potential of coral reef ecosystems on the island. On the other hand, small-scale fishermen who live in small islands, such as on Ketapang Island highly depend on the fisheries sector, where, the influence of the seasonal and the market is still very high, and if this livelihood is disrupted, then local community has no other alternative. This paper aims to assess the condition of coral reef ecosystems and to assess potential development for ecotourism on Ketapang Island, East Belitung Regency. Condition of coral reef ecosystems ware assessed by using manta tow, Line Intercept Transect (LIT) and Underwater Visual Census (UVC), which includes the genus of coral, coral coverage, number of reef fish species and reef fish abundance, while the assessment of the potential of tourism development was assessed by using ecotourism suitability index. Coral reef ecosystem on Ketapang Island classified in good condition, It has a coverage of living hard coral ranging from 4087% at a depth of 2-6 m, which consists of 19 genus and has an abundance of reef fish ranging from 139-450 individuals/250 m2, which consists of 26 species. Based on the conditions, Ketapang Island has the potential for coral reef-based ecotourism development with activities like scuba diving that has suitable categories (ranging from 57.14 to 82.14%) and snorkelling that has suitable categories (ranging from 64.29 to 82.14%). Hopefully, ecotourism will be able to grow the new economics and to increase social welfare and public awareness to the function of coral reef ecosystems.
Abstrak - Pulau Belitung sampai saat ini sangat dikenal dengan keindahan pantai pasir berbatu. Sebagai salah satu destinasi wisata ternama di Indonesia, tidak banyak orang mengenal besarnya potensi ekosistem terumbu karang di pulau tersebut. Di sisi lain, nelayan skala kecil yang tinggal di pulau-pulau kecil, seperti di Pulau Ketapang sangat tergantung pada sektor perikanan tangkap, di mana pengaruh musim dan pasar masih sangat tinggi, dan jika sumber penghidupan ini terganggu, maka masyarakat tidak memiliki alternatif lain. Makalah ini bertujuan untuk mengkaji kondisi ekosistem terumbu karang di Pulau Ketapang, Kabupaten Belitung Timur dan potensi pengembangannya untuk ekowisata. Penilaian kondisi ekosistem terumbu karang meliputi jenis, tutupan karang dan kelimpahan ikan terumbu menggunakan metode manta tow, Line Intercept Transect (LIT) dan Underwater Visual Cencus (UVC), yang kemudian menjadi dasar penilaian potensi pengembangan ekowisata menggunakan indeks kesesuaian ekowisata. Kondisi ekosistem terumbu karang di Pulau Ketapang tergolong baik memiliki tutupan karang keras hidup berkisar antara 40-87% pada kedalaman 2-6 m, yang terdiri dari 19 genus dan memiliki kelimpahan ikan terumbu berkisar antara 139-450 individu/250 m2 yang terdiri dari 26 jenis. Berdasarkan kondisi tersebut, Pulau Ketapang memiliki potensi untuk pengembangan ekowisata berbasis terumbu karang dengan aktivitas-aktivitas wisata seperti diving, snorkelling, dan lain-lain. Dengan adanya ekowisata diharapkan akan dapat menumbuhkan ekonomiekonomi baru dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kesadaran masyarakat terhadap fungsi ekosistem terumbu karang.
Keywords: Small island, Ketapang Island, East Belitung, Coral reef ecosystem, Ecotourism, Social welfare and public awareness.
Kata kunci: Pulau Ketapang, Belitung Timur, ekosistem terumbu karang, ekowisata, kesejahteraan dan kesadaran masyarakat
Seminar Nasional Perikanan dan Ilmu Kelautan V Universitas Brawijaya Malang 2015 432 | I l m u K e l a u t a n – B I o l o g I L a u t ( I K – B – 4 ) F e r y K u r n i a w a n, D k k
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Wisata merupakan pilar dan aset ekonomi penting yang mampu menumbuhkan industri kelautan di banyak negara (khususnya negara berkembang) [1, 2]. Wilayah pesisir dan laut dipilih untuk pengembangan wisata karena memiliki keindahan, eksotis, nilai estetika, habitat-habitat alami yang beranekaragam (seperti, terumbu karang, pantai berpasir dan bukit pasir), panas, bersih dan perairan yang menarik [1]. Pada sektor pariwisata, Belitung sangat terkenal dengan wisata pantainya, tepatnya saat film Laskar Pelangi diputar dan populer. Keindahan pantai berbatu ini mampu menarik perhatian baik untuk wisatawan domestik maupun wisatawan
asing. Berdasarkan pada jumlah kunjungan wisatawan di Provinsi Bangka Belitung pada tahun 2014, terlihat bahwa jumlah kunjungan wisata cukup tinggi, yaitu berkisar antara 14.125-23.705 orang untuk wisatawan domestik dan 89-308 orsng untuk wisatawan asing (Gambar 1). Hal ini menjadi potensi tersendiri untuk pengembangan sektor wisata, terutama ekowisata di pulau-pulau kecil, salah satunya Pulau Ketapang. Makalah ini bertujuan untuk mengkaji kondisi ekosistem terumbu karang dan potensi pengembangan ekowista di Pulau Ketapang, Kabupaten Belitung Timur. Selain itu, makalah ini mencoba mengurai ancaman wisata terhadap terumbu karang dan alternatif solusi yang dapat dilaksanakan di dalam upaya pengelolaan wisata yang berkelanjutan.
a.
b.
Gambar 1. Jumlah kunjungan wisata di Provinsi Bangka Belitung; a. wisatawan domestik dan b. wisatawan asing (BPS 2014)
Gambar 2. Area studi
Seminar Nasional Perikanan dan Ilmu Kelautan V Universitas Brawijaya Malang 2015 433 | I l m u K e l a u t a n – B I o l o g I L a u t ( I K – B – 4 ) F e r y K u r n i a w a n, D k k
B. Area Studi Pulau Ketapang merupakan pulau kecil dengan morfogenesis pulau koral. Secara administrasi, Pulau Ketapang masuk ke dalam wilayah Desa Tanjung Klumpang, Kecamatan Simpang Pesak, Kabupaten Belitung Timur. Pulau dengan luas ±6 ha terletak di antara 3º24’57,59”–3º24’36,94” LS dan 107º57’28,79”–107º57’43,2” BT, dan berbatasan dengan Pulau Belitung di sebelah Utara, Laut Jawa di sebelah Timur, Pulau Batu di sebelah Selatan dan Pulau Dua di sebelah Barat (Gambar 2). Untuk menuju Pulau Ketapang dapat ditempuh melalui jalur laut dari dermaga di Desa Tanjung Klumpang yang berada di daratan utama Belitung Timur. Waktu tempuh yang dibutuhkan untuk menuju pulau mencapai ±2 jam dalam kondisi normal. Penduduk Pulau Ketapang 100% bermata pencaharaian sebagai nelayan dan nelayan campuran, yaitu merangkap sebagai petani kebun dan pedagang. Mata pencaharian nelayan campuran ini erat kaitannya dengan musim, di mana para nelayan hanya bisa melaut saat musim air tenang dan ikan saja, sehingga di luar musim tersebut penduduk melakukan kegiatan lainnya. Ketergantungan penduduk di Pulau Ketapang terhadap laut sangat tinggi, sehingga sangat bergantung pada musim. Sayangnya, pemanfaatan sumber daya laut sekitar pulau tidak dimanfaatkan secara optimal, meskipun memiliki ekosistem terumbu karang yang bagus. Penduduk hanya memanfaatkan area terumbu karang untuk menangkap cumi, kerang dan ikan terumbu pada saat musim penangkapan ikan utama tidak mendukung. II.
METODE PENELITIAN
A. Pengumpulan Data Terumbu Karang Pengambilan data terumbu karang menggunakan metode LIT dengan pengamatan karang pada bentuk pertumbuhan (lifeform) [3]. Pemasangan LIT dilakukan sejajar dengan garis pantai mengikuti dasar perairan sepanjang 50 m. Pengambilan data terumbu karang ini dilakukan pada empat stasiun berdasarkan arah mata angin. Pengambilan data karang untuk mengetahui persentase tutupan karang hidup, karang mati, dan kelimpahan genus karang. Ikan Terumbu Pengambilan data ikan juga menggunakan metode LIT yang dikombinasikan dengan metode transek sabuk (Belt Transect) [3]. Panjang transek yang digunakan mengikuti transek karang, yaitu sepanjang 50 m dengan lebar 2,5 m kanan maupun kiri, sehingga luas transek 2.500 m2. Pengambilan data ikan ini untuk mengetahui kelimpahan, famili, dan genus ikan. Parameter Lingkungan Pengambilan data parameter lingkungan bertujuan untuk mengetahui faktor fisik pendukung dalam menentukan
kesesuaian ekowisata dan pertumbuhan karang maupun ikan. Parameter fisik yang diukur yaitu kecerahan, kedalaman, dan kecepatan arus. Pengambilan data ini dilakukan secara insitu di lapang. B. Analisis Data Analisis Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Analisis tutupan karang menggunakan rumus di bawah ini: % 𝑻𝒖𝒕𝒖𝒑𝒂𝒏 =
𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝑷𝒂𝒏𝒋𝒂𝒏𝒈 𝑺𝒆𝒎𝒖𝒂 𝑲𝒂𝒕𝒆𝒈𝒐𝒓𝒊 𝒙 𝟏𝟎𝟎 % 𝑷𝒂𝒏𝒋𝒂𝒏𝒈 𝑻𝒓𝒂𝒏𝒔𝒆𝒌
Data kondisi penutupan karang dari hasil analisis akan dikategorikan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2001 tentang kriteria baku kerusakan terumbu karang sebagai berikut: Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang (%) Rusak Buruk 0 - 2,49 Sedang 25 - 49,9 Baik Baik 50 - 74,9 Baik Sekali 75 – 100
Sedangkan untuk analisis kelimpahan ikan karang menggunakan rumus di bawah ini 𝑲𝒆𝒍𝒊𝒎𝒑𝒂𝒉𝒂𝒏 =
𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝑰𝒏𝒅𝒊𝒗𝒊𝒅𝒖 𝑰𝒌𝒂𝒏 𝑺𝒑𝒆𝒔𝒊𝒆𝒔 𝒌𝒆 − 𝒊 𝑳𝒖𝒂𝒔 𝑨𝒓𝒆𝒂 𝑺𝒆𝒏𝒔𝒖𝒔 𝑰𝒌𝒂𝒏
Analisis Kesesuaian Kegiatan wisata mempunyai persyaratan sumberdaya dan lingkungan yang sesuai dengan objek wisata yang akan dikembangkan. Untuk menghitung kesesuaian wisata digunakan rumus berikut [4]: 𝑵𝒊 𝑰𝑲𝑾 = ∑ [ ] 𝒙 𝟏𝟎𝟎% 𝑵𝒎𝒂𝒌𝒔
di mana, IKW adalah Indkes Kesesuaian Wisata; Ni : Nilai parameter ke-i (bobot x skor); dan Nmaks adalah nilai maksimum dari suatu kategori wisata. Menurut Yulianda, Fachrudin, Hutabarat, Harteti, Kusharjani and Kang [4] kesesuaian wisata bahari pada kategori snorkelling mempertimbangkan tujuh parameter kesesuaian (Tabel 1) dan selam enam parameter kesesuaian (Tabel 2), sedangkan kelas kesesuaian dikelompokkan dalam empat klasifikasi. Penentuan kesesuaian didapatkan dari hasil perkalian antara skor dan bobot yang diperoleh dari setiap parameter kesesuaian (Tabel 2), sedangkan kelas kesesuaian dikelompokkan dalam empat klasifikasi. Penentuan kesesuaian didapatkan dari hasil perkalian antara skor dan bobot yang diperoleh dari setiap parameter. Kesesuaian wisata dilihat dari interval kesesuaian yang diperoleh dari penjumlahan nilai seluruh skor parameter setiap jenis aktifitas wisata. Persen interval yang didapatkan dari perhitungan indeks dikategorikan menjadi empat, yaitu kategori Tidak Sesuai (TS) yaitu <37,5%, Sesuai Bersyarat (SB) yaitu 37,5% - <62,5%, Sesuai (S) yaitu 62,5% - <87,5%, dan Sangat Sesuai (SS) yaitu 87,5% - 100%.
Seminar Nasional Perikanan dan Ilmu Kelautan V Universitas Brawijaya Malang 2015 434 | I l m u K e l a u t a n – B I o l o g I L a u t ( I K – B – 4 ) F e r y K u r n i a w a n, D k k
Tabel 1. Matriks kesesuaian lahan ekowisata bahari kategori wisata snorkelling No
Parameter
Bobot
Tutupan Karang (%) 1, 2) Jenis Lifeform 3) Jenis Ikan Karang 3) Kecerahan Perairan (%) 3) Kecepatan Arus (cm/det) 3) Kedalaman (m) 3) Lebar Hamparan Datar Karang 1)
1 2 3 4 5 6 7
3 3 2 2 2 1 1
SS Kelas >75-100 >12 >50 100 <10 1-3 >100
Skor 4 4 4 4 4 4 4
S Kelas >50-75 8-12 26-50 80-<100 >10-30 >3-5 50-100
Skor 3 3 3 3 3 3 3
SB Kelas >25-50 4-7 10-25 >25-80 >30-50 >5-10 20-50
Skor 2 2 2 2 2 2 2
TS Kelas <25 <4 <10 <25 >50 >10 dan <1 <20
Skor 1 1 1 1 1 1 1
Skor 2 2 2 2 2 2
TS Kelas <25 <4 <20 <20 >50 >3 dan <3
Skor 1 1 1 1 1 1
Sumber: dimodifikasi dari 1) Yulianda (2007); 2) Kepmen LH nomor 4 Tahun 2001; 3) Yulianda et al. (2010) Keterangan: Nilai maksimum: 56
Tabel 2. Matriks kesesuaian lahan untuk ekowisata bahari kategori wisata selam No
Parameter
Bobot
1 2 3 4 5 6
Tutupan Karang (%) 1,2) Jenis Lifeform 3) Jenis Ikan Karang 3) Kecerahan Perairan (%) 3) Kecepatan Arus (cm/det) 3) Kedalaman (m) 3)
3 3 2 2 2 1
SS Kelas >75-100 >12 >100 >80 0-15 5-15
Skor 4 4 4 4 4 4
S Kelas >50-75 8-12 50-100 50-80 >15-30 >15-20 dan 3-<5
Skor 3 3 3 3 3 3
SB Kelas >25-50 4-7 20-49 >20-49 >30-50 >20-30
Sumber: dimodifikasi dari 1) Yulianda (2007); 2) Kepmen LH nomor 4 Tahun 2001; 3) Yulianda et al. (2010) Keterangan: Nilai maksimun: 52
Gambar 3. Stasiun pengamatan
Seminar Nasional Perikanan dan Ilmu Kelautan V Universitas Brawijaya Malang 2015 435 | I l m u K e l a u t a n – B I o l o g I L a u t ( I K – B – 4 ) F e r y K u r n i a w a n, D k k
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Terumbu Karang Berdasarkan hasil pengamatan lapang, Pulau Ketapang memiliki hamparan terumbu karang dengan tipe fringing reef. Kondisi terumbu karang di pulau ini masih dalam keadaan baik yang terdiri dari delapan genus dan 16 jenis lifeform (Tabel 3). Keberadaan ekosistem terumbu karang di Pulau Ketapang dapat dijumpai pada kedalaman 3-5 m dengan bentuk dasar datar (flat). Kecerahan dari semua stasiun pengamatan cukup bagus sekitar 80-100%. Kondisi stasiun pengamatan di bagian utara dan barat terlindung dari gelombang dibandingkan pada bagian tenggara dan timur laut. Gelombang dan arus yang kuat terjadi pada saat pengamatan dilakukan. Pengamatan persentase tutupan karang dengan metode LIT pada semua stasiun menunjukkan bahwa komponen karang hidup dalam kategori baik. Secara umum, kondisi dari semua stasiun pada kategori persentase penutupan karang hidup 39,60-87,14%, karang mati 0-32,24%, abiotik 7,12-29,70%, dan biotik 0-1,30%. Persentase tutupan karang terbesar ditemukan pada stasiun 2 (87,14%), sedangkan terendah pada stasiun 3 (39,60%) (Gambar 4). Hal ini dikarenakan kondisi lingkungan di stasiun 2 lebih terlindung dibandingkan stasiun 3, yaitu dari arus dan gelombang yang kuat. Muhlis [5] menunjukkan hasil yang berbeda bahwa persentase tutupan karang di zona windward lebih tinggi (34,32%) dibandingkan zona terilindung (leeward) yaitu 23,72%. Hal ini disebabkan karena perbedaan kondisi pulau dan oseanografi. Souhoka [6] menyimpulkan bahwa persentase tutupan karang di wilayah terbuka lebih rendah dibandingkan wilayah tertutup, hal ini dikarenakan dipengaruhi oleh pola arus. Sebaran terumbu karang pada Stasiun 1 ditemukan pada kedalaman 2-6 m pada saat surut dengan kecerahan hampir 100% dan kecepatan arus sebesar 15 cm/det. Substrat pasir berkarang lebih dominan ditemukan pada lokasi pengamatan ini. Nilai persentase penutupan substrat karang keras hidup (KKH) cukup tinggi sebesar 70,30% dan abiotik 29,70%.
Kategori karang mati dan biotik tidak ditemukan pada lokasi ini. Penutupan substrat abiotik didominasi oleh patahan karang (Rubble/R) 7,78%, batu (Rock/RCK) 18,38%, dan pasir (Sand/S) 3,54%. Bentuk pertumbuhan karang yang dominan di lokasi ini adalah karang meja (Acropora Tabulate/ACT) dan karang massif (Coral Massive/CM). Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian dari Siringoringo and Hadi [7] yang menyimpulkan bahwa perairan Pulau Bangka didominansi oleh karang masif. Stasiun 2 terletak di bagian barat pulau, di mana lebih terlindung dibandingkan stasiun lainnya. Terumbu karang pada lokasi ini ditemukan pada kedalaman 5 m, dengan kecerahan berkisar 80-100%. Penutupan KKH sangat tinggi mencapai 87,14% dan karang mati penutupan sebesar 5,24%, hal ini dikarenekan lokasi ini memiliki kondisi yang tenang dan terlindung dengan kecepatan arus 10 cm/det. Bentuk pertumbuhan karang didominasi oleh karang kerak (Coral Encrusting/CE) dan karang meja (Acropora Tabulate/ACT). Genus karang yang banyak ditemukan adalah Goniopora dan Montipora. Kategori biotik memperlihatkan nilai penutupan yang rendah sebesar 0,50% dengan komposisi dominan oleh karang lunak (Soft Coral/SC), sedangkan untuk penutupan kategori abiotik sebesar 7,12% dengan komposisi dominan patahan karang (Rubble/R). Stasiun 3 terletak di bagian tenggara Pulau Ketapang dengan kondisi arus dan gelombang cukup kuat, karena arah arus dan angin datang dari bagian timur pulau. Kecerahan berada pada 60% dengan kecepatan arus 30 cm/det. Sehingga kondisi ini mempersulit saat pengamatan, karena terjadi pengadukan sedimen. Terumbu karang di lokasi ini dijumpai pada kedalaman 3-5 m, dengan dominan bentuk pertumbuhan karang kerak (Coral Encrusting/CE) dan pasir (Sand/S). Jenis karang yang banyak ditemukan adalah Acropora dan Montipora. Penutupan KKH di lokasi ini sebesar 39,60% dan karang mati sebesar 32,24%, hal ini dikarenakan kondisi arus dan gelombang yang kuat. Kategori biotik memperlihatkan nilai penutupan yang rendah sebesar 1,30% dengan komposisi dominan oleh karang lunak (Soft Coral/SC). Sedangkan penutupan kategori abiotik sebesar 26,86% dengan komposisi dominan patahan karang 17,28% (Rubble/R).
Gambar 4. Persentase tutupan karang
Seminar Nasional Perikanan dan Ilmu Kelautan V Universitas Brawijaya Malang 2015 436 | I l m u K e l a u t a n – B I o l o g I L a u t ( I K – B – 4 ) F e r y K u r n i a w a n, D k k
Tabel 3. Karang keras hidup yang ditemukan pada setiap lokasi pengamatan
Acropora
Stasiun 1 (Utara) 03°24’37,61” S 107°57’28,30” E +
Stasiun 2 (Barat) 03°24’48,14” S 107°57’29,12” E +
Stasiun 3 (Tenggara) 03°24’40,5” S 107°57’47,5” E +
Stasiun 4 (Timur Laut) 03°24’38,5” S 107°57’39,8” E +
Montipora
+
+
+
+
Pachyseris
-
-
-
-
Pavona
+
-
+
+
Dendrophylliidae
Turbinaria
+
-
-
+
Fungidae
Ctenactis
-
-
-
-
Echinopora
-
-
-
-
Diploastrea
-
-
-
-
Favia
-
-
-
-
Favites
+
-
+
+
Goniastrea
-
-
+
-
Platygyra
-
-
-
-
Merulinidae
Merulina
-
-
-
-
Oculinidae
Galaxea
-
-
-
-
Pectiniidae
Pectinia
-
-
-
-
Pocilloporidae
Pocillopora
-
-
-
-
Goniopora
-
+
+
-
Porites
+
+
-
+
Millepora
-
-
-
-
Famili
Acroporidae
Agariciidae
Faviidae
Poritidae Milleporidae
Genus
Keterangan: + = ditemukan; - = tidak ditemukan
Stasiun 4 memiliki kondisi yang hampir sama dengan stasiun 3 berada di timur laut. Terumbu karang di lokasi ini ditemukan pada kedalaman 3-5 m dengan kecerahan 85% dan kecepatan arus 15 cm/det. Nilai penutupan KKH cukup tinggi sebesar 68,34% dan penutupan karang mati 7,88%. Jenis bentuk pertumbuhan karang yang dominan adalah karang kerak (Coral Encrusting/CE) dan karang masif (Coral Massive/CM), sedangkan genus karang dominan yang ditemukan adalah Acropora dan Montipora. Persentase penutupan abiotik didominasi oleh pasir (Sand/S) 16,92%, dan patahan karang (Rubble/R) 6,68%. Berdasarkan Gambar 4, status ekosistem terumbu karang di Pulau Ketapang berada pada kondisi baik berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 04 Tahun 2001. Stasiun 1 dan 2 memiliki status ekosistem terumbu karang baik dengan kondisi baik sekali (87,14% dan 70,30%). Stasiun 4 memiliki status ekosistem terumbu karang baik dengan kondisi baik (68,34%). Berbeda halnya dengan stasiun 3 memiliki status ekosistem terumbu karang rusak dengan kondisi sedang (39,60%). Ikan Karang Berdasarkan hasil pengamatan, kelimpahan tertinggi ikan karang terdapat pada stasiun 2 (450 individu/250 m2) dan kelimpahan terendah terdapat pada stasiun 3 (139 individu/250 m2) (Gambar 5 dan Gambar 6). Marschiavelli [8]
mengemukakan daerah yang memiliki kekayaan makanan yang tinggi ikan terumbu akan cenderung berkelompok dan menghindari pecahan ombak, serta akan menepati pada perairan yang lebih dalam. Pada pengamatan juga ditemukan sebanyak 26 jenis ikan terumbu dari sembilan famili yang terdapat pada transek pengamatan (Tabel 4 dan Gambar 6). Spesies ikan terumbu yang ditemukan pada transek pengamatan antara lain: Casio cuning, Chaetodontoplus mesoleucus, Chetodon octofasciatus, Chelmon rostatus, Caridion crhysozonus, Labroides dimidiatus, Helichocres leucurus, Halichoeres melanurus, Hemigymnus melapterus, Choerodon anchargo, Ampripirion frecula, Ampripirion ocellaris, Chormis viridis, Ablygpydodon curocao, Ablygpydodon sexfaciatus, Pamoncentrus Alexandrea, Pamoncentrus molucencis, Pamoncentrus bracnchialis, Neopamoncenturs filamentosus, Neoglyphidodon nigroris, Neoglyphidodon bonang, Pamoncentrus samsiang, Lutjanus kasmir, Carangiodes orthogrammus, Platax teira, dan Scolarpsis lineata. Kelimpahan jenis ikan terumbu yang banyak ditemukan yaitu dari famili Pamocentridae sebanyak 12 spesies (Tabel 4). Ada dua spesies ikan yang ditemukan di luar transek pengamatan, yaitu ikan terumbu dari famili Pamocanthidae, seperti Holacanthus semicirculatus dan Pomacanthus annularis. Ikan ini biasanya hidup soliter dan mendiami perairan yang lebih dalam.
Seminar Nasional Perikanan dan Ilmu Kelautan V Universitas Brawijaya Malang 2015 437 | I l m u K e l a u t a n – B I o l o g I L a u t ( I K – B – 4 ) F e r y K u r n i a w a n, D k k
Berdasarkan hasil pengamatan di lapang dan analisis data, stasiun 1 dan 2 kelimpahan ikan tertinggi yaitu ikan jenis Casio cuning pada famili Casionidae (119 dan 201 individu/250 m2), sedangkan terendah di stasiun 1, yaitu pada jenis Platax teira dari famili Ephippidae (1 individu/250 m2), dan stasiun 2 terendah jenis Labroides dimidiatus dan Pamocentrus samsiang dengan kelimpahan masing-masing (1 individu/250 m2). Stasiun 3, kelimpahan ikan tertinggi pada jenis Neoglyphidodon boning (54 individu/250 m2) dari famili Pamocentridae, sedangkan terendah jenis Chaetodontoplus mesoleucus, Pamoncentrus samsiang, dan Lutjanus kasmira dengan masing-masing kelimpahan 2 individu/250 m2. Stasiun 4, kelimpahan jenis ikan tertinggi pada jenis Ablygpydodon curocao dari famili Pomacentrida yaitu 58 individu/250 m2, sedangkan terendah jenis ikan Hemigymnus melapterus,dan Lutjanus kasmira dengan kelimpahan masing-masing 2 individu/250 m2. Kelimpahan ikan karang tertinggi yang terdapat pada Pulau Ketapang Belitung Timur berdasarkan famili adalah famili Pamocentridae, hal ini dikarenakan ikan famili Pamoncentridae merupakan ikan yang sangat mudah dijumpai di daerah terumbu karang dalam jumlah yang cukup besar. ikan dari famili Pomancentridae merupakan ikan yang
memiliki jumlah jenis terbanyak serta merupakan kelompok ikan yang dominan dijumpai di perairan terumbu karang [9, 10]. Selain ikan dari Famili Pomacentridae yang berlimpah, ikan terumbu dari famili Caesionidae dan Chaetodontidae juga banyak ditemukan pada lokasi pengamatan. Kelimpahan ikan Caesionidae (ekor kuning) cukup tinggi, hal ini diasumsikan bahwa perairan tersebut memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan pasokan nutrien. Hal ini sesuai dengan hasil peneilitian dari Djen [11] bahwa kelimpahan ikan Caesionidae cukup melimpah dikarenakan pada Pulau Padaidori dan Yeri berkisar 0,34-3,39 µg/l dan 0,44-0,178 µg/l dengan kisaran nilai tersebut kadar nutrien diasumsikan cukup tinggi. Ikan dari famili Chaetodontidae merupakan ikan indikator kesehatan karang dengan kebiasaan memakan polip karang sebagai sumber makanan. Ikan terumbu dari famili Chaetodontidae juga banyak ditemukan pada saat pengamatan, terdapat tiga jenis ikan dari famili Chaetodontidae, yaitu Chaetodon octofasciatus, Chelmon rostatus dan Caridion crhysozonus. Tingginya kelimpahan ikan Chaetodontidae dapat memberikan gambar tentang kesehatan terumbu karang dan kualitas perairan tersebut.
Gambar 5. Kelimpahan ikan karang
Gambar 6. Kelimpahan ikan karang berdasarkan famili di Pulau Ketapang
Seminar Nasional Perikanan dan Ilmu Kelautan V Universitas Brawijaya Malang 2015 438 | I l m u K e l a u t a n – B I o l o g I L a u t ( I K – B – 4 ) F e r y K u r n i a w a n, D k k
Tabel 4. Distribusi dan kelimpahan ikan terumbu pada lokasi pengamatan
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Family Casionidae Pamocanthidae Chaetodontidae
Labridae
Pamocentridae
Lutjanidae Carangidae Ephippidae Nemipteridae
Spesies
1 119 2 20 2 4 3 34 31 30 26 20 90 10 4 30 1 426
Casio cuning Chaetodontoplus mesoleucus Chetodon octofasciatus Chelmon rostatus Caridion crhysozonus Labroides dimidiatus Helichocres leucurus Halichoeres melanurus Hemigymnus melapterus Choerodon anchargo Ampripirion frecula Ampripirion ocellaris Chormis viridis Ablygpydodon curocao Ablygpydodon sexfaciatus Pamoncentrus alexandrae Pamoncentrus molucencis Pamoncentrus bracnchialis Neopamoncenturs filamentosus Neoglyphidodon nigroris Neoglyphidodon bonang Pamoncentrus samsiang Lutjanus kasmira Carangiodes orthogrammus Platax teira Scolarpsis lineata Jumlah
Stasiun 2 3 201 2 33 16 6 3 2 1 8 5 14 19 20 34 26 29 14 22 6 50 12 54 1 2 3 2 4 450 139
Jumlah
4 9 14 16 4 2 9 12 58 27 26 14 16 2 209
320 13 83 25 2 3 4 4 2 13 3 42 32 126 84 30 95 62 152 26 54 3 11 30 1 4 1.224
Keterangan : Angka : ditemukan : tidak ditemukan Tabel 5. Nilai indeks kesesuaian wisata snorkelling
Parameter Tutupan Karang (%) Jenis Lifeform Jenis Ikan Karang Kecerahan Perairan (%) Kecepatan Arus (cm/det) Kedalaman (m) Lebar Hamparan Datar Karang Jumlah Nilai Kesesuaian (%) Kategori IKW
Bobot 3 3 2 2 2 1 1
Stasiun 1 Bobot x Skor Skor 3 9 3 9 3 6 3 6 3 6 3 3 4
4 43 76,79 S
Stasiun 2 Bobot x Skor Skor 4 12 3 9 3 6 2 4 4 8 3 3 4
4 46 82,14 S
Stasiun 3 Bobot x Skor Skor 2 6 3 9 2 4 2 4 3 6 3 3 4
4 36 64,29 S
Stasiun 4 Bobot x Skor Skor 3 9 3 9 2 4 3 6 3 6 3 3 4
4 41 73,21 S
Seminar Nasional Perikanan dan Ilmu Kelautan V Universitas Brawijaya Malang 2015 439 | I l m u K e l a u t a n – B I o l o g I L a u t ( I K – B – 4 ) F e r y K u r n i a w a n, D k k
Tabel 6. Nilai indeks kesesuaian wisata selam
Parameter
Bobot
Tutupan Karang (%) Jenis Lifeform Jenis Ikan Karang Kecerahan Perairan (%) Kecepatan Arus (cm/det) Kedalaman (m) Jumlah Nilai Kesesuaian (%) Kategori IKW
3 3 2 2 2 1
Gambar 7.
Stasiun 1 Bobot x Skor Skor 4 12 4 12 1 2 4 8 4 8 4 4 46 82,14 S
Stasiun 2 Bobot x Skor Skor 4 12 3 9 1 2 4 8 4 8 4 4 43 76,79 S
Stasiun 3 Bobot x Skor Skor 2 6 3 9 1 2 3 6 3 6 3 3 32 57,14 SB
Stasiun 4 Bobot x Skor Skor 4 12 3 9 1 2 4 8 4 8 3 3 42 75,00 S
Kondisi terumbu karang (a, b, c, d, e, f, g, h) dan ikan karang (i, j, k, l, m, n, o, p) yang beranekaragam di Pulau Ketapang: a. bentuk pertumbuhan ACT di kedalaman 3 m; b. dominanasi koloni ACT di kedalaman 5 m; c. bentuk pertumbuhan CM di kedalaman 3 m; d. simbiosisis karang ACT dengan CF; e. bentuk pertumbuhan CB di kedalaman 3 m; f. koloni baru bermunculan pada karang ACT di kedalaman 4 m; g. karang daun (CF) juga mendominasi di kedalaman 5 m; h. bentuk pertumbuhan CB di kedalaman 4 m; i. jenis ikan Ablygpydodon sexfaciatus; j. jenis ikan badut (Ampripion ocellaris); k. jenis ikan Pomacentrus brachialis; l. jenis ikan Chelmon Rostatus; m. jenis ikan Caridion crhysozonus; n. jenis ikan Chaetodon octofasciatus; o. jenis ikan Pamoncentrus molucencis; p. jenis ikan Ablygpydodon curocao
Seminar Nasional Perikanan dan Ilmu Kelautan V Universitas Brawijaya Malang 2015 440 | I l m u K e l a u t a n – B I o l o g I L a u t ( I K – B – 4 ) F e r y K u r n i a w a n, D k k
Kelimpahan dari famili Chaetodontiidae sangat melimpah pada jenis Chaetodon octofasciatus, yaitu 83 individu. Tingginya kelimpahan ikan Chaetodon octofasciatus yang ditemukan mengindikasikan bahwa perairan tersebut memiliki tingkat kecerahan yang rendah. Ikan jenis Chaetodon octofasciatus jumlahnya akan meningkat pada perairan yang agak keruh serta kondisi karang yang kurang baik dengan kelimpahan ikan Chaetodontidae yang lain sangat rendah [12]. B. Potensi Pengembangan Terumbu Karang Berdasarkan hasil analisis kesesuaian untuk wisata snorkelling, semua stasiun (1, 2, 3, dan 4) termasuk dalam kategori sesuai (S) dengan nilai IKW berkisar dari 64,2982,14% (Tabel 5). Nilai IKW tertinggi terdapat pada stasiun 2, yaitu 82,14%, sedangkan terendah pada stasiun 3 sebesar 64,29%. Beberapa yang menjadi faktor pembatas kesesuaian wisata snorkelling adalah persentase penutupan karang, keberadaan jenis ikan dan kecerahan perairan. Selain wisata snorkelling, berdasarkan hasil analisis kesesuaian, terumbu karang di Pulau Ketapang juga sesuai untuk wisata selam dengan kategori sesuai bersyarat sampai sesuai (Tabel 6). Stasiun pengamatan yang memiliki kategori sesuai (S) adalah stasiun 1, 2, dan 4 dengan nilai IKW berkisar dari 75-82,14%, sedangkan untuk stasiun 3 masuk ke dalam kategori Sesuai Bersyarat (SB) dengan nilai IKW sebesar 57,14%. Kategori SB pada stasiun 3 dikarenakan rendahnya jumlah jenis ikan karang dan persentase tutupan karang. C. Ancaman terhadap Terumbu Karang dan Alternatif Solusi Pemanfaatan wisata selam dan snorkelling merupakan aktivitas wisata yang banyak merusak sumberdaya terumbu karang [13-15]. Hind et al. [16] percaya bahwa 73% wisata menyelam merupakan ancaman serius untuk masa depan perikanan, karena kerusakan yang ditimbulkan akan mencegah pemijahan dan menakuti ikan oleh gelembung penyelam dan flash kamera. Barker et al. [15] menyatakan 73,9% dari 353 penyelam membuat setidaknya sekali kontak terhadap terumbu karang, baik itu karena fins, sentuhan dan pegangan tangan, lutut, dan tendangan. Tercatat kejadiankejadian tersebut menyebabkan kerusakan minor sebesar 79,8%, moderat 49,0% dan mayor 4,1% (patahan). Umumnya kontak terjadi karena tidak sengaja dan disebabkan lemahnya teknik berenang, ketidak tepatan beban dan ketidaktahuan. Untuk itu, di dalam upaya pemanfaatan wisata yang berkelanjutan perlu dipahami tingkat perubahan yang bisa ditoleransi, seperti konsep daya dukung (carrying capacity concept/CCC) dan batas sistem perubahan yang diterima (limit of acceptable change system/LAC). Wisata berkelanjutan adalah ketetapan dan berprinsip pada keuntungan-keuntungan ekonomi jangka panjang, sensitif untuk kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi masyarakat setempat, skala yang mengikuti karakter dari kawasan, pengakuan nilai intrinsik dari lingkungan, dan keseimbangan antara aspek-aspek ekologi dan ekonomi [17]. Pemanfaatan
untuk wisata beresiko menjadi tidak berkelanjutan jika ekologi lokal dan kapasitas kultur sosial tidak dihargai (lokalitas) [2, 18]. Masyarakat lokal juga bisa berproses dalam inisiasi [19], dilibatkan dalam perencanaan wisata dan pembangunan dengan otoritas pengelola kawasan [20, 21]. Perencanaan dan pengelolaan wisata dapat berdasarkan pada karakteristik kondisi biofisik, kondisi musim dan oseanografi, distribusi dan sumberdaya air, pengelolaan limbah, keterampilan (terutama untuk snorkelling dan selam dilihat dari frekuensi dan pengalaman), motivasi untuk menikmati objek, pengaturan nelayan/penangkapan, dan zonasi [14, 18]. Di tataran implementasi, selama ini, beberapa hal yang dilakukan untuk mengurangi dampak wisata adalah dengan membatasi jalur, perjalanan, jalan, tempat pemandangan, tempat camp permanen dan penyediaan akomodasi [22] serta menentukan jenis aktivitas wisata yang sesuai [23] dan membatasi jumlah wisatawan [22]. IV. KESIMPULAN Kondisi ekosistem terumbu karang di Pulau Ketapang tergolong dalam kategori baik, memiliki tutupan karang keras hidup berkisar antara 40-87% pada kedalaman 2-6 m, yang terdiri dari 16 genus dan memiliki kelimpahan ikan terumbu berkisar antara 139-450 individu/250 m2 yang terdiri dari 26 jenis. Beberapa genus karang yang banyak ditemukan di antaranya, Acropora, Montipora, Porites, Pavona, dan lainlain, sedangkan ikan karang yang banyak ditemukan, di antaranya, Caetodon octofasciatus, Pamocentrus molucencis, Neopamoncentrus filamentosus, Lutjanus kasmira, dan lainlain. Pulau Ketapang memiliki potensi untuk pengembangan ekowisata berbasis terumbu karang. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian, kondisi terumbu karang sesuai untuk ekowisata scuba selam dengan kisaran nilai 57,14-82,14% dan snorkelling dengan kisaran nilai 64,29-82,14%. Pengembangan ekowisata diharapkan dapat menumbuhkan ekonomi-ekonomi baru dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kesadaran masyarakat terhadap fungsi ekosistem terumbu karang. TERIMA KASIH Terima kasih diucapkan kepada Dinas Kelautan dan Perikanan, Provinsi Bangka Belitung atas semua dukungan yang telah diberikan. DAFTAR PUSTAKA [1] D. Daby, “ Effects of Seagrass Bed Removal for Tourism Purposes in A Mauritian Bay,” Environmental Pollution, vol. 125, pp. 313-324, 2003. [2] J. Eligh, E. Welford, and B. Ytterhus, “The Production of Sustainable Tourism: Concepts and Example From Norway,” Sustainable Development vol. 10, pp. 223-234, 2002. [3] S. English, C. Wilkinson, and V. Baker, Survey Manual For Tropical Marine Resources, Townsville Australia (AUS): Australian Institute of Marine Science, 1997. [4] F. Yulianda, A. Fachrudin, A. Hutabarat et al., Pengelolaan Pesisir dan Laut secara Terpadu, Bogor: Pusdiklat Kehutanan Departemen
Seminar Nasional Perikanan dan Ilmu Kelautan V Universitas Brawijaya Malang 2015 441 | I l m u K e l a u t a n – B I o l o g I L a u t ( I K – B – 4 ) F e r y K u r n i a w a n, D k k
Kehutanan RI – SECEM-Korea International Cooperation Agency, 2010. [5] Muhlis, “Ekosistem terumbu karang dan kondisi oseanografi perairan kawasan wisata bahari lombok,” Berk. Penel. Hayati, vol. 16, pp. 111–118, 2011. [6] J. Souhoka, “Kondisi dan keanekaragaman jenis karang batu di Pulau Nusalaut, Maluku Tengah,” Jurnal Perikanan, vol. XI, no. 1, pp. 54-65, 2009. [7] R. M. Siringoringo, and T. A. Hadi, “Kondisi dan distribusi karang batu Scleractinia corals) Di Perairan Bangka,” Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, vol. 5, no. 2, pp. 273-285, 2013. [8] M. I. C. Marschiavelli, “Analisa Struktur Dan Komunitas Ikan Karang Pada Ekosistem Terumbu Karang Di Perairan Pesisir Utara Pulau Nusapenida, Bali,” Skripsi, Institut Pertanian Bogor, Bogor (ID), 2001. [9] L. Green, “Spatial, temporal, and ontogenic patterns of habitat use coral reef fishes (Family Labridae),” Mar. Ecol. Prog. Ser., vol. 133, pp. 1-11, 1996. [10] M. G. Meekan, A. Steven, and M. J. Fortin, “Spatial patterns in the distribution of damselfihes on a fringing coral reef,” Coral Reefs, vol. 14, pp. 151-161, 1995. [11] M. Djen, “Keanekaragaman Jenis Ikan Karang Di Perairan Pesisir Biak Timur, Papua,” Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, vol. 36, no. 1, pp. 63-84, 2010. [12] Y. Bouchon-Navaro, “Quantitative distribution of the Chaetodontidae on a reef of Moorea Island (French Polynesia),” Journal of Experimental Marine Biology and Ecology, vol. 55, no. 2, pp. 145157, 1981. [13] L. Burke, E. Selig, and M. Spalding, Reefs at risk in southeast Asia World Resources Institute, 2002. [14] J. S. Hannak, S. Kompatscher, M. Stachowitsch et al., “Snorkelling and Trampling in Shallow-Water Fringing Reefs: Risk Assessment and
Proposed Management strategy,” Journal of Environmental Management vol. 92 pp. 2723-2733, 2011. [15] N. H. LBarker, and C. M. Roberts, “Scuba Diver Behaviour and The Management of Diving Impacts on Coral Reefs,” Biological Conservation, vol. 120, pp. 481-489, 2004. [16] E. J. Hind, M. C. Hiponia, and T. S. Gray, “From Community-Based to Centralised for The Governance of Marine Protected Area in Apo Island, Philippines? ,” Marine Policy vol. 34 pp. 54-62, 2010. [17] E. Owen, S. Witt, and S. Gammon, “Sustainable Tourism Development in Wales: From Theory to Practice,” Tourism Management, vol. 14, no. 6, pp. 463-474, 1993. [18] L. Teh, and A. S. Cabanban, “Planning for Sustainable Tourism in Southern Pulau Banggi: An Assessment of Biophysical Conditions and Their Implications for Future Tourism Development,” Journal of Environmental Management, vol. 85, pp. 999-1008, 2007. [19] U. R. Sumaili, S. Guénette, J. Alder et al., “Addressing Ecosystem Effects of Using Marine Protected Areas,” ICES Journal of Marine Science, vol. 57, pp. 752-760, 2000. [20] P. Björk, “Ecotourism from A Conceptual Perspective: An Extended Defnition of A Unique Tourism Form,” International Journal of Tourism Research, vol. 2, pp. 189-202, 2000. [21] N. U. Sekhar, “Local People’s Attitudes Towards Conservation and Wildlife Tourism Around Sariska Tiger Reserve, India ” Journal of Environmental Management, vol. 69, pp. 339-347, 2000. [22] C. M. Pickering, and W. Hill, “Impact of Recreation and Tourism on Plant Biodiversity and Vegetation in Protected Areas in Australia,” Journal of Environmental Management, vol. 85, pp. 791-800, 2007. [23] M. S. Landry, and C. T. Taggart, ““Turtle Watching” Conservation Guideline: Green Turtle (Chelonia mydas) Tourism in Nearshore Coastal Environments,” Biodiversity Conservation vol. 19, pp. 305-312, 2010.
Seminar Nasional Perikanan dan Ilmu Kelautan V Universitas Brawijaya Malang 2015 442 | I l m u K e l a u t a n – B I o l o g I L a u t ( I K – B – 4 ) F e r y K u r n i a w a n, D k k