KAJIAN RASIONALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DALAM TERAPI DEMAM TYPHOID PADA PASIEN ANAK RAWAT INAP DI RSUD Dr. M.M DUNDA LIMBOTO Siti Nurmanti Badu, Teti Sutriyati Tuloli, Nurain Thomas*) Jurusan Farmasi, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan Universitas Negeri Gorontalo
*)
Email :
[email protected]
ABSTRAK Demam typhoid merupakan salah satu penyakit infeksi endemik di negara berkembang termasuk Indonesia. Salah satu pengobatan pada demam typhoid yang digunakan adalah antibiotik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rasionalitas penggunaan antibiotik pada penyakit demam typhoid pasien anak rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. M.M Dunda Limboto. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif non eksperimental dengan pendekatan retrospektif. Data sekunder diambil dari catatan rekam medik pasien demam typhoid anak selama bulan September sampai November 2014 secara purposive sampling. Data tersebut kemudian dikategorikan menggunakan kriteria gyssens. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasionalitas penggunaan antibiotik secara kualitas yang memenuhi kriteria gyssens 0 (rasional) adalah sebesar 53,19% dengan antibiotik paling banyak digunakan adalah vicillin (ampicillin) dan penggunaan antibiotik yang tidak rasional sebesar 46,82% dengan rincian untuk kategori II A (tidak rasional karena pemberian antibiotik yang tidak tepat dosis) sebesar 6,38%, untuk kategori III A (tidak rasional karena pemberian yang terlalu lama) sebesar 1,06%, untuk kategori III B (tidak rasional karena pemberian yang terlalu singkat) sebesar 24,47%, untuk kategori IV A (tidak rasional karena ada antibiotik lain yang lebih efektif) sebesar 2,13% dan untuk kategori IV D (tidak rasioanal karena ada antibiotik lain yang lebih spesifik) sebesar 12,76%. Kata Kunci: Rasionalitas, Antibiotik, Demam Typhoid
*) Dr. Teti Sutriyati Tuloli, M.Si., Apt, Nurain Thomas, M.Si., Apt
PENDAHULUAN Demam typhoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut pada usus halus yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi) yang memiliki gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Soedarmo, 2002). Penyakit ini termasuk dalam penyakit menular yang dapat menyerang banyak orang dan Penyakit ini juga masih sering dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang terutama yang terletak di daerah tropis dan subtropik (Pawitro dkk, 2002, Kidgell dkk, 2002). Tingkat kejadian tertinggi penyakit demam typhoid ini terdapat pada anakanak, Dilaporkan umur penderita yang terkena di indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus yang ada di Indonesia (Pawitro dkk, 2002). Menurut badan penelitian dan pengembangan kesehatan (Balitbangkes) Provinsi Gorontalo mengungkapkan bahwa tahun 2014, pasien anak yang menderita demam typhoid sebanyak 1172. Untuk pengobatan penyakit demam typhoid yang digunakan adalah pemberian antibiotik. Antibiotik sendiri merupakan zat kimiawi yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme lain (Santoso, 2009). Obat standar yang digunakan saat ini untuk pengobatan demam typhoid adalah kloramfenikol, ampisilin atau amoksilin,
kotrimoksasol (pengobatan lini pertama). Antibiotik alternatif lain yang digunakan untuk pengobatan demam typhoid yaitu golongan sefalosporin generasi ketiga (seftriakson dan sefotaksim secara intravena, cefixim secara oral), dan golongan fluoro-kuinolon (Nelwan, 1999). Rasionalitas antibiotik merupakan penggunaan antibiotik berdasarkan atas tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, tepat dosis, serta waspada terhadap efek samping yang mungkin timbul dari pemberian antibiotik tersebut. Untuk penggunaan antibiotik yang tidak rasional dengan indikasi yang tidak jelas, dosis atau lama pemakaian yang tidak sesuai, cara pemakaian yang kurang tepat, status obat yang tidak jelas, serta pemakaian antibiotik secara berlebihan dapat menyebabkan resistensi bakteri terhadap antibiotik yang digunakan. Selain itu, penggunaan yang tidak bijak dapat meningkatkan toksisitas, efek samping obat serta biaya rumah sakit yang semakin meningkat (Santoso, 2009). Berdasarkan uraian diatas maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang Kajian Rasionalitas Terapi Demam Typhoid pada Pasien Anak Rawat Inap di RSUD. Dr. M.M. Dunda Limboto. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Medical Record di Rumah Sakit Umum Daerah. Dr. M.M Dunda
2
Limboto. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2015
Hasil dan Pembahasan
Desain Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif non eksperimental dengan pendekatan retrospektif Sampel dan Teknik Sampling pasien anak demam typhoid umur 1-12 tahun yang dirawat inap yang menerima antibiotik selama bulan September – November 2014. Tehnik sampling yang digunakan dalam penelitian ini yaitu non probability sampling dimana tehnik tersebut mencakup tehnik purposive sampling. Analisis Data Analisis data dilakukan secara analisa deskriptif dan analisa kualitatif. Analisa deskriptif dilakukan dengan menguraikan data – data yang didapatkan dari catatan rekam medik antara lain nama antibiotik, indikasi, dosis, frekuensi, lama pemberian, cara pemberian, jenis penggunaan, data demografi (umur, jenis kelamin). Sedangkan untuk analisa kualitatif penggunaan antibiotik dianalisa dengan menggunakan kategori Gyssens (2001) yang hasilnya akan disajikan dalam bentuk tabel berupa persentase ketepatan atau tidaknya pemberian antibiotik.
Gambar 4.1 Persentase distribusi penggunaan antibiotik berdasarkan jenis kelamin
Berdasarkan Gambar 4.1 diketahui bahwa pasien anak laki-laki yang menderita penyakit demam typhoid lebih banyak dengan jumlah pasien sebanyak 34 dengan persentase sebesar 52% dibandingkan pasien anak perempuan dengan jumlah pasien sebanyak 31 dengan persentase sebesar 48%. penelitian ini didukung oleh teori dari Hook (2001) yang menyatakan bahwa anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah seperti kebiasaan bermain dan jajan makanan di luar rumah yang tingkat kebersihan dari makanan tersebut tidak terjamin sehingga kemungkinan besar makanan tersebut sudah terkontaminasi bakteri hal ini memungkinkan anak laki-laki mendapatkan resiko lebih besar terkena penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan.
3
Gambar 4.2 Persentase distribusi penggunaan antibiotik berdasarkan usia
Berdasarkan gambar 4.2. diketahui bahwa untuk usia kelompok pasien anak yang paling banyak menderita penyakit demam typhoid paling banyak terjadi pada usia 1-4 tahun dengan jumlah pasien anak sebanyak 31 dengan persentase 48% kemudian disusul oleh usia 4-10 tahun dengan jumlah pasien sebanyak 23 dengan jumlah persentase sebesar 35%, dan terakhir adalah usia 10-14 tahun dengan jumlah pasien sebanyak 11 dengan persentase sebesar 17%. hasil penelitian ini didukung oleh teori Saha dkk (2001) dalam penelitian Pramitasari (2013), bahwa age-specific attack rates demam tifoid mencerminkan paparan organisme dan perkembangannya dari respon imun protektif. Di daerah yang angka kejadian demam typhoid tinggi, anakanak antara usia 1 dan 5 tahun berada pada resiko tertinggi perkembangan infeksi Salmonella typhi karena memudarnya antibodi pasif yang diperoleh dari ibu dan berkurangnya imunitas yang diperoleh.
Gambar 4.3 Jenis penggunaan antibiotik yang digunakan
Berdasarkan gambar 4.3 diketahui bahwa jenis antibiotik yang paling banyak digunakan yaitu antibiotik vicillin sebanyak 43 dengan persentase 58% yang diikuti dengan jenis antibiotik lain seperti sefotaksim sebanyak 34 (36%), sefiksim sebanyak 2 (2%), seftriakson sebanyak 3 obat (3%) serta sefadroksil sebanyak 1 obat (1%). hasil penelitian ini di dukung dengan adanya Keputusan Menteri Kesehatan RI No 364 tahun 2006 tentang pedoman pengendalian demam tifoid yang menyatakan bahwa vicillin (ampicilin) merupakan antibiotik lini pertama yang diberikan kepada pasien demam typhoid selain antibiotik seperti klorampenikol, amoxicillin, dan kotrimoksazol, Pemberian antibiotik vicillin terhadap anak karena antibiotik vicillin merupakan pengobatan lini pertama pada penyakit demam typhoid selain itu anak-anak cenderung sensitif terhadap pemberian antibiotik tertentu karena anak-anak bisa mengalami reaksi hipersensitifitas atau reaksi alergi akibat dari efek samping obat yang ditimbulkan dari pemakaian obat terutama antibiotik. 4
Anak-anak memiliki resiko mendapatkan efek yang merugikan karena beberapa faktor yaitu karena sistem imunitas anak yang belum berfungsi secara sempurna, anak cenderung lebih beresiko terpapar bakteri karena pola tingkah laku anak yang lebih aktif, serta beberapa antibiotik yang cocok pada dewasa belum tentu tepat jika diberikan kepada anak karena absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat pada anak berbeda dengan dewasa dan tingkat maturasi organ yang berbeda sehingga dapat terjadi perbedaan respon terapeutik (Febiana, 2012).
Gambar 4.4 Variasi antibiotik yang digunakan
Berdasarkan gambar 4.4 variasi penggunaan antibiotik pada penyakit demam typhoid yang terjadi pada anak-anak menunjukkan bahwa pemberian antibiotik tunggal lebih banyak diberikan kepada pasien dengan persentase 55% dibandingkan dengan pemberian antibiotik lebih dari satu pada setiap pasien anak dengan persentase sebanyak 45%.
Tabel 4.5 Kualitas Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Kategori Gyssens No.
Kategori Gyssens
Jumlah N
%
1
0 = Rasional
50
53,19%
2
I = waktu tidak tepat
0
0%
3
II A = tidak tepat dosis
6
6,38%
4
II B = tidak tepat interval
0
0%
5
II C = tidak tepat cara pemberian
0
0%
6
III A = pemberian yang terlalu lama
1
1,06%
7
III B = pemberian yang terlalu singkat
23
24,47%
8
IV A = ada antibiotik lain yang lebih
2
2,13%
0
0%
efektif 9
IV B = ada antibiotik lain yang lebih
5
toksik 10
IV C = ada antibiotik lain yang lebiih murah
11
IV D = ada antibiotik lain yang lebih spesifik
12
0
0%
12
12,76%
V = Antibiotik tanpa indikasi
0%
Total
94
100%
(Sumber : data sekunder yang diperoleh dari rekam medik RSUD Dr.MM Dunda)
Tabel 4.6 Kualitas penggunaan tiap jenis antibiotik berdasarkan kategori gyssens Antibiotik
Kategori Gyssens
Total
0
I
II
III
IV
V
Vicillin
29
0
4
15
6
0
54
Ceftriakson
2
0
0
1
0
0
3
Cefixime
0
0
1
0
1
0
2
Cefotaxime
18
0
1
8
7
0
34
Cefadroxil
1
0
0
0
0
0
1
(Sumber : data sekunder yang diperoleh dari rekam medik RSUD Dr.MM Dunda)
Berdasarkan Tabel 4.5 diatas menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik secara kualitas menurut kriteria Gyssens yaitu 0-VI kategori dan dinyatakan dalam bentuk persentase. Berdasarkan tabel 4.5 dan tabel 4.6 didapatkan hasil yang memenuhi kriteria Gyssens 0 (rasional) sebanyak 53,19% dengan antibiotik yang paling banyak memenuhi kriteria Gyssens 0 adalah vicillin (ampicillin). Kriteria rasional merupakan antibiotika diberikan dengan indikasi yang jelas, pilihan antibiotika tepat dan sesuai dengan kebutuhan pasien (baik di lihat dari
nilai efikasi, keamanan, kesesuaian, serta biaya yang dibutuhkan untuk terapi), serta dosis, interval, durasi, dan rute pemberian yang tepat (Puspita, 2012). Hasil penelitian ini didukung oleh dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Febiana tahun 2012 bahwa hasil penelitian menunjukkan bahwa antibiotik ampicillin merupakan antibiotik yang paling banyak digunakan dan memenuhi kriteria Gyssens 0.
6
KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasionalitas penggunaan antibiotik secara kualitas yang memenuhi kriteria gyssens 0 (rasional) adalah sebesar 53,19% dengan antibiotik paling banyak digunakan adalah vicillin (ampicillin). DAFTAR PUSTAKA Soedarmo SS, Garna H, Hardinegoro SR. 2002. Buku Ajar Infeksi Penyakit dan Pediatri Tropis Edisi Ke-2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. Pawitro, U. E, Noorvitry, M, Darmowandowo, W. 2002. Ilmu Penyakit Anak Edisi 1. Salemba Medika. Jakarta. Kidgell C, Reichard U, Wain J. 2002. Salmonella typhi, the causative agent of typhoid fever, is approximately 50.000 years old. Infect Genet Evol.; 2:39-45. PubMed.gov. United State. Santoso, H. 2009. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Pada Kasus Demam Tifoid Yang Dirawat Pada Bangsal Penyakit Dalam Di Rsup Dr.Kariadi Semarang Tahun 2008. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang. Nelwan, R.H. 1999. Alternatif Baru Pengobatan Demam Tifoid yang Resisten. Cermin Dunia Kedokteran. 124: 9-10.
Hook, EW. Baqui Ah, Hanif M. 2001. Typhoid fever in Bangladesh: Implications for vaccination policy. Pediatr Infect Dis J 20(5):521–524. Journal. Bangladesh. Pramitasari, OP. 2013. Faktor Risiko Kejadian Penyakit Demam Tifoid Pada Penderita Yang Dirawat Di Rumah Sakit Umum Daerah Ungaran. Jurnal .Volume 2, Nomor 1. Semarang. Saha SK, Baqui Ah, Hanif M. 2001. Typhoid fever in Bangladesh: Implications for vaccination policy. Pediatr Infect Dis J 20(5):521–524. Journal. Bangladesh. Peraturan Menteri Kesehatan RI. 2006. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 364/MenKes/SK/V/2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Depkes RI. jakarta Febiana T. 2012. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Di Bangsal Anak Rsup Dr. Kariadi Semarang Periode AgustusDesember 2011. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang. Gyssens IC. 2001. Quality measures of antimicrobial drug use. International Journal of Antimicrobial Agents. 17(1):9– 19. Netherlands
7
Puspita, A. 2012. Profil Pemberian Antibiotika Rasional Pada Pasien Demam Tifoid Anak Di Bangsal Rawat Inap Rsud Tangerang Tahun 2010-2011. Skripsi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
8
9