BAB II KAJIAN PUSTAKA
1.1
Lansia Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-
angsur mengakibatkan perubahan yang kumulatif, dimana terjadi proses penurunan daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan baik dari dalam maupun luar tubuh yang berakhir dengan kematian. Batasan umur lansia dari waktu ke waktu berbeda. Menurut Undang-Undang No. 13 tahun (1998), lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas. Menurut World Health Organization (WHO) lansia dikelompokan menjadi 4 kelompok yaitu: 1) middle age usia 45-59 tahun, 2) elderly usia 60-74 tahun, 3) old usia 75-90 tahun dan 4) very old usia lebih dari 90 tahun (Sutikno. 2011). Beberapa ahli menyimpulkan bahwa yang disebut lansia adalah orang yang berumur 60 tahun keatas. 1.2
Fisiologi Tidur Normal Rata-rata orang dewasa membutuhkan waktu 8 jam untuk tidur setiap hari,
walaupun ada beberapa orang yang membutuhkan tidur lebih atau kurang. Kebutuhan fisiologis tidur dipengaruhi oleh dua faktor yaitu, kuantitas tidur dan siklus sirkadian bangun-tidur. Kebutuhan tidur dan polanya berubah seiring dengan waktu meskipun demikian, gangguan tidur pada lansia bukan merupakan bagian dari proses penuaan normal. Masih menjadi bahan perdebatan apakah lansia memerlukan tidur lebih singkat atau lebih lama untuk dapat memenuhi kebutuhan tidur mereka. Standar baku
untuk menilai kecukupan tidur juga belum ada, sehingga lebih bergantung kepada persepsi lansia dan pengaruhnya terhadap status fungsional (Montgomery, 2002). Tidur merupakan proses aktif, repetitif, dan reversibel yang dibutuhkan oleh berbagai fungsi seperti misalnya untuk perbaikan dan pertumbuhan, konsolidasi memori, dan proses restoratif. Proses tingkah laku (behavioral), fisiologi, dan neurokognitif terlibat dalam tidur (Curcio & Ferrera., 2006). Pada saat tidur terdapat pergeseran antara keseimbangan sintesis dan degradasi protein, yang lebih bergeser ke arah proses sintesis. Protein otak, asam nukleat, dan Adenosin Triphosphate (ATP) mencapai proses sintesis yang lebih tinggi pada saat tidur. Mitosis sel aktif, termasuk ginjal, usus, dan kulit terjadi secara aktif saat tidur. Hormon anabolik (hormon pertumbuhan, kortikosteroid, gonadotropin) lebih banyak dijumpai saat tidur (Lumbantobing, 2008). Fisiologi tidur dapat dilihat melalui gambaran elektrofisiologi sel-sel otak selama tidur. Polisomnografi merupakan alat yang dapat mendeteksi aktivitas otak selama tidur. Pemeriksaan polisomnografi sering dilakukan saat tidur malam hari. Alat tersebut dapat mencatat aktivitas elektroensefalografi (EEG), elektrookulografi (EOG), dan elektromiografi (EMG). Untuk menilai gerakan abnormal saat tidur memerlukan EMG perifer. Stadium tidur - diukur dengan polisomnografi - terdiri dari tidur Rapid Eye Movement (REM) dan tidur Non-Rapid Eye Movement (NREM) (Lumbantobing, 2008; Chokroverty, 2010). Tidur REM disebut juga tidur paradoks karena EEG tampak aktif selama fase ini, sedangkan tidur NREM disebut juga tidur ortodoks atau tidur gelombang lambat.
Kedua stadium ini bergantian dalam satu siklus yang berlangsung antara 70-120 menit. Secara umum ada 4-6 siklus NREM-REM yang terjadi setiap malam. Periode tidur REM I berlangsung antara 5-10 menit. Makin larut malam, periode REM makin panjang (Printz & Vittelo 2013). Pada orang dewasa sepertiga bagian awal tidur didominasi oleh tidur gelombang lambat atau Slow Wave Sleep (SWS) sedangkan sepertiga bagian akhir tidur didominasi oleh tidur REM. Waktu tidur NREM berlangsung sekitar 75%-80% dari setiap waktu tidur pada orang dewasa sedangkan waktu tidur REM berkisar antara 20%-25%. Petanda spesifik tidur REM adalah adanya gerakan mata cepat ke segala arah dan ketiadaan aktivitas otot yang dapat direkam oleh EMG (Chokroverty, 2010). Pada tabel 2.2 berikut ini menunjukkan kriteria spesifik tingkah laku dan fisiologi yang terjadi sepanjang fase bangun, tidur NREM, dan tidur REM. Tabel 2.2 Kriteria tingkah laku dan fisiologi fase bangun tidur (Chokroverty, 2010) Kriteria Fase bangun Tidur NREM Tidur REM Berdiri, duduk Berbaring Berbaring Postur Normal Postural shift, Immobile, Mobilitas immobile myoclonic jerks Normal Menurun Menurun, bahkan Respon terhadap tidak berespon stimulasi Waspada Tidak sadar tapi Tidak sadar tapi Tingkat reversibel reversibel kewaspadaan Terbuka Tertutup Tertutup Kelopak mata Waking eye Slow rolling eye Rapid eye Gerakan mata movement movement movement Gelombang alfa, Sinkronisasi Thetha, saw tooth EEG desinkronisasi wave Normal Sedikit menurun Desinkronisasi EMG (tonus otot) Waking eye Slow rolling eye Menurun bahkan EOG movement movement tidak ada
Tidur NREM dibagi menjadi 4 stadium, yaitu stadium 1-4 menurut kriteria manual skoring tradisional Rechtschaffen dan Kales (R-K). Sedangkan berdasarkan rekaman EEG, stadium tidur dibagi menjadi 3, yaitu N1, N2 dan N3. (Chokroverty, 2010). 1.2.1 Kronobiologi dan irama sirkadian Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, memiliki mekanisme jam biologis. Irama biologis tidak hanya meliputi waktu istirahat dan waktu beraktifitas makhluk hidup tersebut, namun kehidupan itu sendiri merupakan proses fisiologis dan ritme biologis memainkan peranan penting dalam proses tersebut (Bohm, 2012). Kronobiologi menjelaskan mengenai ritme biologis yang meliputi irama atau siklus tahunan, siklus lunar (29,5 hari), siklus harian, ataupun siklus berulang di bawah 24 jam. Tubuh manusia memiliki kemampuan internal mengukur waktu dalam tubuh. Sistem sirkadian ini terorganisasi secara pola hirarki dan pacemaker sentral yang mensinkronisasi osilator sirkadian seluler pada badan-badan sel paling perifer. Jam biologis ini meliputi pengaturan irama fungsi-fungsi tubuh seperti tekanan darah, kadar hormonal, temperatur tubuh, dan siklus bangun tidur (Bohm, 2012). Osilator sirkadian terdiri dari kurang lebih 20.000 neuron-neuron jam biologis/clock neurons yang terletak di suprachiasmatic nucleus (SCN) daerah ventrolateral. Nukleus ini merupakan master clock dalam tubuh manusia yang berlokasi secara bilateral di bagian anterior hipotalamus, di atas kiasma optikum. Bila terjadi kerusakan pada SCN maka irama sirkadian bangun tidur menjadi tidak teratur lagi (Mahdi, dkk., 2011; Bohm, 2012).
Gangguan kronobiologi pada manusia dibagi menjadi dua, yaitu: gangguan eksternal misalnya gaya hidup misalnya pekerja shift, sindroma jet lag dan gangguan internal misalnya depresi, kelelahan kronik, fibromialgia dan migren (Peres, 2005). Fungsi sistem waktu sirkadian adalah untuk mengkoordinasikan mekanisme humoral, fisiologis, dan siklus tidur-bangun. Regulasi ini dimodulasi oleh 2 faktor yang saling bertolak belakang, yaitu: faktor drive homeostatik yang meningkatkan kecenderungan untuk mengantuk dan faktor irama sirkadian yang meningkatkan status terjaga (wakefulness). Pada pagi hari setelah bangun tidur, drive homeostatik menjadi sangat rendah bahkan nol. Drive homeostatik secara gradual meningkat sepanjang hari dan peningkatannya dihambat oleh meningkatnya output SCN. Saat pagi, drive homeostatik yang mulai menurun dibatasi oleh pengaruh circadian arousal yang menyebabkan kita terbangun. Terdapat dua periode yang sangat rentan untuk mengantuk yaitu jam 2 hingga jam 6 pagi dan jam 14 hingga jam 18 sore hari. Periode yang pertama jauh lebih kuat daripada yang kedua (Chokroverty, 2010). 1.2.2 Arsitektur tidur pada lansia Arsitektur tidur adalah proses tidur yang dialami seseorang sepanjang malam, yang ditampilkan dalam bentuk histogram atau hipnogram tidur (Feinsilver, 2003). Arsitektur tidur dibagi 2 fase yaitu tidur ringan (stadium 1 dan 2) dan tidur dalam (stadium 3 dan 4) yang dikelompokkan menjadi tidur NREM, serta tidur REM. Sebagian tidur NREM terjadi pada separuh awal malam dan tidur REM pada separuh malam menjelang pagi. Tidur REM dan NREM berbeda dalam hal dimensi psikologis dan fisiologis. Tidur REM dikaitkan dengan mimpi-mimpi, sedangkan tidur NREM
dengan pikiran abstrak. Fungsi otonom bervariasi pada tidur REM tetapi lambat atau menetap pada tidur NREM. Jadi tidur dimulai pada stadium 1, masuk ke stadium 2, 3, dan 4. Kemudian kembali ke stadium 2 dan akhirnya masuk ke periode REM 1, bisaanya berlangsung 70-90 menit setelah onset. Pergantian siklus dari NREM ke siklus REM bisaanya berlangsung 90 menit. Durasi periode REM meningkat menjelang pagi (Printz & Vittelo 2013). Arsitektur tidur pada lansia berubah secara signifikan. Inisiasi tidur menjadi lebih sulit, waktu tidur total dan efisiensi tidur berkurang, gelombang delta menurun, dan fragmentasi tidur meningkat. Perubahan fisiologis alami pada siklus sirkadian menyebabkan kebanyakan orang tua tidur lebih awal dan bangun lebih pagi. Hal ini dapat memperburuk kualitas dan kuantitas tidur. Dengan penuaan, durasi tidur REM menetap sedangkan latensi tidur menurun secara signifikan, sehingga lansia lebih cenderung mengantuk (Suzanne & Steven, 2009). Gambaran tidur pada berbagai usia dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 1 Gambaran tidur anak, dewasa muda & lansia (Suzanne & Steven, 2009)
1.3
Gangguan Tidur pada Lansia Ganguan tidur merupakan salah satu keluhan yang paling sering ditemukan
pada lansia. Gangguan tidur dapat dialami oleh semua lapisan masyarakat dan paling sering ditemukan pada lansia. Established Populations for Epidemiologic Studies of the Elderly (EPESE) mendapatkan dari 9000 responden, sekitar 29% responden berusia di atas 65 tahun mengalami keluhan gangguan tidur (Marcel dkk, 2009). Masalah tidur yang sering dikeluhkan oleh lansia adalah sering terjaga pada malam hari, terbangun pada dini hari, sulit untuk tertidur, dan perasaan yang amat lelah pada siang hari (Davison, dkk., 2006). Lansia dengan depresi, stroke, penyakit jantung, penyakit paru, diabetes, artritis, hipertensi serta penyakit kronis lainya sering melaporkan bahwa kualitas tidurnya buruk dan kuantitas tidurnya kurang bila dibandingkan dengan lansia yang sehat (Marcel, dkk., 2009). 1.3.1
Prevalensi dan insedensi gangguan tidur pada lansia Prevalensi gangguan tidur pada lansia setiap tahun cenderung meningkat, hal
ini disebabkan oleh makin meningkatnya usia disertai dengan berbagai penyebab lain yang mendasarinya. Kurang lebih 40-50% dari populasi lansia menderita gangguan tidur dan sebanyak 10-15% gangguan tidur kronik disebabkan oleh gangguan psikiatri, ketergantungan obat dan alkohol. Tingkat penghasilan dan pendidikan yang rendah juga meningkatkan risiko lansia mengalami gangguan tidur. Pada layanan kesehatan primer, hanya satu dari delapan kasus gangguan tidur yang berhasil didiagnosis oleh
dokter, hal ini terkait dengan pendapat bahwa gangguan tidur pada lansia merupakan bagian normal dari proses penuaan (Sadock & Sadock, 2015). Menurut Prayitno (2002) gangguan pola tidur pada kelompok lansia cukup tinggi. Lansia yang berusia 65 tahun yang tinggal di rumah, setengahnya diperkirakan mengalami gangguan tidur dan dua pertiga dari lansia yang tinggal di tempat perawatan lansia juga mengalami gangguan pola tidur. Insomnia merupakan salah satu gangguan tidur yang paling sering dikeluhkan di dunia praktik kedokteran. Insomnia didefinisikan sebagai kesulitan dalam memulai tidur, mempertahankan tidur, bangun terlalu pagi, serta mengantuk di siang hari. Gangguan tidur dapat mengenai semua golongan usia. Beberapa artikel mengatakan bahwa angka kejadian insomnia akan meningkat seiring bertambahnya usia. Dengan kata lain, gejala insomnia sering terjadi pada lansia bahkan hampir setengah dari jumlah lansia dilaporkan mengalami kesulitan memulai tidur dan mempertahankan tidurnya. Insomnia dan gangguan tidur lainnya dapat dianggap sebagai bentuk paling ringan dari gangguan mental (Lumbantobing, 2008). 1.3.2
Pengaruh gangguan tidur terhadap lansia Gangguan tidur dapat meningkatkan biaya pengobatan secara keseluruhan.
Gangguan tidur juga dikenal sebagai penyebab morbiditas yang signifikan. Beberapa dampak serius gangguan tidur pada lansia misalnya terjadi gangguan perhatian dan memori, perasaan sedih, sering terjatuh, penggunaan obat hipnotik yang tidak semestinya, dan penurunan kualitas hidup. Pada penderita sakit jantung dan kanker dijumpai peningkatan angka kematian pada orang yang lama tidurnya lebih dari 9 jam
atau kurang dari 6 jam per hari bila dibandingkan dengan orang yang lama tidurnya antara 7-8 jam per hari (Marcel, dkk., 2009). Gejala
gangguan
tidur
pada
lansia
adalah
kesulitan
memulai
dan
mempertahankan tidur, terbangun lebih awal, dan tidur siang yang berlebihan. Penderita gangguan tidur dapat merasa letih, cemas dan mudah tersinggung. Mendekati waktu tidur, penderita gangguan tidur akan semakin tegang, cemas, dan khawatir terhadap masalah kesehatan, pekerjaan, hal yang bersifat pribadi, bahkan takut akan kematian (Sadock & Sadock, 2015). Gangguan tidur akan menimbulkan pengaruh buruk terhadap kesehatan karena meningkatkan risiko kecelakaan dan kelelahan kronis. Penurunan kualitas tidur berkaitan dengan penurunan daya ingat dan konsentrasi, serta penurunan kemampuan psikomotor (Kamel & Gammack, 2006). Penelitian menunjukkan bahwa tidur yang kurang akan meningkatkan kadar leptin dan ghrelin dalam darah sehingga dapat meningkatkan tekanan darah (Ogawa dkk., 2003) dan konsentrasi C-reactive protein dalam darah (Meier-Ewert, dkk., 2004) yang merupakan prediktor mortalitas pada penyakit kardiovaskular. Waktu tidur yang kurang juga berkaitan dengan peningkatan prevalensi diabetes dan penurunan toleransi glukosa (Gottlieb, dkk., 2005). 1.4
Depresi pada Lansia Depresi merupakan salah satu gangguan mental yang sering dijumpai pada
lansia sebagai akibat proses penuaan. Gangguan depresi pada lansia memiliki gejala klinis dan pengaruh yang khusus dibanding gangguan depresi pada populasi pasien yang lebih muda. Diperkirakan dimasa mendatang (2020) pola penyakit negara-negara
berkembang akan berubah, dimana gangguan depresi akan menggantikan penyakitpenyakit saluran pernafasan sebagai urutan teratas (Amir, 2005). Kriteria diagnostik DSM-V untuk depresi mayor adalah sama untuk semua kelompok usia. Kecenderungan lansia dengan depresi untuk melaporkan lebih banyak gejala somatik dan kognitif dibanding gejala afektif telah lama membuat kebingungan klinisi dalam mendiagnosis depresi pada lansia. Banyak lansia menjadi mudah marah dan menarik diri secara sosial tanpa keluhan subjektif, sebenarnya sedang mengalami depresi. Mengenali variasi gejala klinis depresi pada lansia sangat penting, karena keluhan perasaan tidak berdaya, kesedihan yang tidak begitu jelas, berhubungan kuat dengan ide bunuh diri (Cohen-Zion & Ancoli-Israel, 2009). Kriteria diagnosis gangguan depresi menurut DSM-V dapat kita lihat pada table 2.2 dibawah ini. Tabel 2.2 Kriteria Diagnostik Mayor menurut DSM-V (APA, 2013) A
Terdapat 5 (atau lebih) gejala dibawah ini dalam waktu 2 minggu. 1. Mood depresi. 2. Menurunnya minat atau rasa senang terhadap semua hal. 3. Berat badan meningkat atau menurun. 4. Insomnia atau hypersomnia. 5. Agitasi atau retardasi psikomotor. 6. Letih atau tidak adanya tenaga. 7. Perasaa tak berharga. 8. Kemampuan berpikir atau konsentrasi menurun, ragu-ragu. 9. Pikiran berulang tentang kematian atau ide bunuh diri.
B C D
Gejala-gejala meyebabkan penderitaan atau hendaya yang bermakna. Tidak disebabkan oleh efek fisiologi zat atau kondisi medik lain. Tidak memenuhi kriteria gangguan skizoafektif, skizofrenia, skizofreniform, gangguan waham, spektrum skizofrenia tidak spesifik atau spesifik lainnya dan gangguan psikotik lain.
Depresi dapat menyebabkan hendaya pada semua usia. Hal lain yang perlu diperhatikan pada lansia mengalami gejala depresi adalah masalah perawatan diri, mengelola rumah tangga, pemahaman komunikasi, partisipasi di masyarakat, dan pergaulan dengan orang lain. Perubahan pada status fungsional dan tanda-tanda gangguan fungsional lannya dapat menjadi indikator penting lansia sedang mengalami depresi. Ketika depresi dan gangguan fungsi sehari-hari terjadi bersamaan, sering sulit untuk mengetahui komponen mana dari hendaya yang disebabkan oleh gangguan mood dan yang disebabkan oleh gangguan kognitif, kelemahan umum, dan penyakit medis (Cohen-Zion & Ancoli-Israel, 2009). Depresi pada lansia disamping menimbulkan beban yang besar bagi individu dan keluarga juga memiliki konsekuensi medis, sosial, dan ekonomis yang luas misalnya: meningkatnya biaya kesehatan yang harus dikeluarkan, defisit fungsional, hilangnya kualitas hidup serta dihubungkan dengan peningkatan resiko kematian baik akibat bunuh diri maupun penyakit medis (Cohen-Zion & Ancoli-Israel, 2009). 1.4.1
Faktor resiko terjadinya depresi Penyebab depresi pada lansia adalah multifaktoral dan belum sepenuhnya
dimengerti. Amir (2015), dalam kuliahnya tanggal 20 Januari 2015 di RSUP Sanglah Denpasar menyebutkan beberapa faktor sebagai penyebab depresi adalah: stres kehidupan, genetik-lingkungan, Hypothalamus-Pituitary-Adrenal Axis (HPA-Axis), defisiensi monoamine, neuroplastisitas dan gangguan ritmik sirkadian (gangguan siklus tidur bangun). Disamping itu, faktor resiko yang lain seperti: jenis kelamin,
usia, status perkawinan, demografi, kepribadian, dukungan sosial dan status pekerjaan, juga mempengaruhi depresi pada lansia. Depresi lebih sering terjadi pada wanita, hal ini disebabkan wanita lebih sering terpapar dengan stresor lingkungan dan ambang terhadap stresor yang lebih rendah dibandingkan pria. Ketidakseimbangan hormon pada wanita juga menambah tingginya prevalensi depresi. Dukungan keluarga juga sangat besar pengaruhnya terhadap terjadinya depresi selain dukungan sosial. Pada kepribadian pencemas, hipersensitif, dan dependen pada orang lain lebih rentan mengalami depresi (Amir, 2005). Status kesehatan merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terjadinya depresi pada lansia. Penyakit kronis, kerusakan fungsi kognitif, penurunan fungsi sensoris dan kerusakan fungsi tubuh lainnya dapat memicu terjadinya depresi. Kondisi penyakit kronis seperti: sakit jantung, stroke, fraktur, gangguan penglihatan, kencing manis, penyakit otot dan sendi juga pada keadaan kehilangan salah satu anggota tubuh (amputasi) merupakan kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya depresi pada lansia (Duckworth, 2009). Pada proses menua, baik yang alami maupun yang tidak, lansia senantiasa akan mengalami penurunan kemampuan Activity Daily Living (ADL). Aktivitas harian merupakan aktivitas rutin yang dilakukan oleh manusia. Aktivitas yang digolongkan dalam ADL adalah mandi, berpakaian, buang air besar, pindah, buang air kecil, dan makan. Australia Heart Foundation menyebutkan bahwa keterbatasan dalam melakukan aktivitas harian merupakan faktor yang dapat mengakibatkan depresi (Shelkey & Wallace, 2012).
1.4.2
Prevalensi depresi pada lansia Berdasarkan data yang diperoleh di Canada, lansia yang hidup dalam
komunitas sebanyak 5-10% mengalami depresi, sedangkan yang hidup dalam lingkungan institusi 30-40% mengalami depresi. Menurut hasil survei WHO, setiap tahunnya terdapat sekitar 100 juta kasus depresi (Fernandez, dkk., 2006). Penelitian mengenai depresi pada lansia dilaporkan Wulandari (2011), yang membandingkan kejadian dan tingkat depresi pada lansia, antara kelompok Panti Wreda yaitu lansia yang tinggal di Unit Rehabilitasi Sosial Pucang Gading Semarang dengan kelompok komunitas yaitu lansia yang tinggal di Kelurahan Bandarharjo, Semarang, menyimpulkan proporsi depresi pada lansia di komunitas 60%, lebih besar daripada proporsi depresi pada lansia di panti wreda 38,5%. Sedangkan penelitian Suardana (2011), tentang tingkat depresi pada lansia di Puskesmas Karangasem I, melaporkan dari 163 orang sampel yang diteliti sebanyak 41,7% lansia menderita depresi dan terdapat hubungan antara depresi pada lansia dengan riwayat depresi sebelumnya, penyakit kronis, dukungan sosial dan tingkat pendidikan. 1.4.3
Prevalensi gangguan tidur pada lansia dengan depresi Gangguan tidur begitu sering dikaitkan dengan keluhan depresi, apabila tidak
adanya keluhan tidur, diagnosis depresi harus ditegakkan dengan hati-hati. Insomnia, khususnya, dapat terjadi pada 60%-80% dari pasien depresi. Gejala depresi merupakan faktor risiko penting untuk insomnia dan depresi dianggap komorbiditas pada pasien dengan insomnia kronis oleh karena sebab apapun. Selain itu, beberapa obat yang biasa diresepkan untuk pengobatan depresi dapat memperburuk insomnia dan
mengganggu pemulihan dari penyakit. Luca, dkk. (2013), menyampaikan laporan kasus seorang wanita Kaukasia 65 tahun menderita insomnia terkait dengan depresi yang berhasil diobati dengan manipulasi ritme tidur-bangun. Penelitian tentang hubungan antara depresi dan insomnia juga pernah dilakukan di Indonesia. Beberapa penelitian tersebut melaporkan terdapat hubungan yang signifikan antara keduanya. Tarbiyati, dkk. (2004), meneliti 61 orang lansia di Kecamatan Mergangsan mendapatkan 36,1% lansia mengalami depresi dan 44,26% lansia mengalami insomnia. Penelitian ini menyimpulkan terdapat pengaruh terjadinya depresi pada lansia dengan insomnia, disamping jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Penelitian non eksperimen dengan rancangan cross sectional. Data primer diambil melalui wawancara langsung dengan responden. Instrument penelitian berupa kuesioner data pribadi, Geriatric Depression Scale (GDS) dan Insomnia Rating Scale yang dikembangkan Kelompok Studi Psikiatri Biologik Jakarta (KSPBJ) untuk menilai skor insomnia. Menurut penelitian yang pernah dilakukan oleh Indriati, dkk. (2012), meneliti tentang hubungan antara depresi dengan kejadian insomnia yang berada di Panti Wredha Harapan Ibu Semarang, mendapatkan hasil bahwa lansia yang mengalami depresi dengan kategori ringan sampai sedang sebanyak 51,5%, kategori berat sebanyak 18,2%. Kejadian insomnia didapatkan sebanyak 57,6% dengan kategori akut dan 21,2% dengan kategori kronis. Penelitian ini menyimpulkan terdapat hubungan antara depresi dengan kejadian insomnia pada lansia di Panti Wreda Harapan Ibu Semarang.
1.4.4
Dampak depresi pada lansia Depresi yang terjadi pada lansia baik yang berdiri sendiri maupun yang
komorbid dengan penyakit lain hendaknya ditangani dengan serius karena bila tidak ditangani secara baik dapat memperburuk perjalanan penyakit dan memperburuk prognosis. Depresi yang tidak tertangani dapat berlangsung lama dan mengakibatkan kualitas hidup yang buruk, kesulitan dalam fungsi sosial serta fisik, ketidakpatuhan terhadap terapi, meningkatnya angka kesakitan dan meningkatnya angka kematian akibat bunuh diri. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa depresi pada lansia menyebabkan peningkatan rawat inap dan rawat jalan di rumah sakit (Blazer, 2005). Lansia membutuhkan waktu yang lebih lama untuk pulih dari depresi dan kambuh kembali yang lebih cepat dari pada orang yang lebih muda sehingga penanganan depresi pada lansia harus dilakukan sebaik mungkin (Martono, 2009). 1.5
Hubungan Gangguan Tidur dengan Depresi Gangguan tidur dan depresi telah lama mendapatkan perhatian. Hubungan
keduanya telah menjadi perhatian para dokter selama bertahun-tahun. Gangguan tidur dan depresi saling berhubungan secara resiprokal. Gangguan tidur dapat terjadi karena seseorang menderita depresi sedangkan depresi dapat timbul karena pola tidur seseorang yang tidak sehat. Sebelumnya diperkirakan bahwa gangguan tidur merupakan gejala depresi, namun beberapa penelitian menjelaskan bahwa gangguan tidur tidak hanya merupakan bagian dari gejala depresi tetapi dapat pula menjadi faktor risiko untuk memulai episode depresi atau menyebabkan terjadinya episode depresi berulang. Seseorang yang sebelumnya menderita gangguan tidur tanpa
gangguan depresi selanjutnya dapat berkembang menjadi gangguan depresi di kemudian hari (Manber, dkk., 2009). Lansia dengan insomnia yang menetap memiliki resiko terbesar untuk berkembang menjadi depresi (Perlis, dkk., 2006) Tidur merupakan salah satu kebutuhan fisiologis bagi manusia. Tidur yang tidak cukup dan berkualitas buruk dapat menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan fisiologis dan psikologis. Dampak fisiologis dan psikologis yang muncul akibat buruknya kualitas tidur meliputi penurunan aktivitas sehari-hari, kelelahan, respon motorik terganggu, penurunan daya tahan tubuh, stres, depresi dan cemas (Moldolfsky, 2001). Depresi yang sebelumnya didahului oleh gangguan tidur sering kali terjadi pada masyarakat maju. Keadaan ini terkait dengan gaya hidup yang dilakukan saat seseorang berusia dewasa muda yang dengan sengaja membatasi waktu yang tersedia untuk tidur. Ganguan tidur yang berlangsung lama pada akhirnya dapat menimbulkan perasaan depresi dikemudian hari. Jadi gangguan tidur tidak hanya merupakan faktor resiko untuk terjadinya depresi, tetapi pada akhirnya dapat pula menjadi gangguan dalam jangka panjang. Pasien yang mengalami gangguan tidur dan tidak diobati secara dini dapat berkembang menjadi ganguan depresi pada saat lansia (Pigeon, dkk., 2008). Beberapa peneliti melaporkan bahwa meskipun insomnia dan depresi dapat terjadi secara bersamaan, sangat penting untuk memahami alasan keadaan ini. Sampai saat ini depresi dianggap sebagai penyebab insomnia namun, penelitian menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus dimana pasien mengalami depresi dan insomnia ketika
hanya diberi terapi farmakologi untuk gangguan depresinya, gejala depresi dapat membaik tetapi gejala insomnianya tidak mengalami perbaikan (Melville, 2005). 1.5.1
Peranan SCN dan melatonin pada patofisiologi depresi Konvergensi antara gangguan tidur dan depresi secara umum memiliki dasar
struktur neuroanatomi
dan mekanisme neurofisiologi
yang sama, meliputi
hipotalamus, serotonin dan melatonin. Aktivasi Ascending Reticular Activating system (ARAS) di batang otak menyebabkan kita terjaga. Pengaruh neurotransmiter kortikal seperti epinefrin, dopamin, asetilkolin mempertahankan kewaspadaan selama terjaga. Tidur fase NREM dikontrol oleh neuron-neuron Gama Amino Buteric Acid (GABA) di basal otak depan. Generator fase REM terletak di daerah tegmentum pontin dorsolateral. Fase REM diawali oleh pelepasan asetilkolin yang diaktivasi oleh neuron pontin tersebut. Serotonin yang berasal dari nukleus di daerah rafe dorsalis telah diketahui memegang peranan pada depresi (Alberti, 2006). Faktor sirkadian diduga berperan penting dalam etiologi depresi. Gangguan irama sirkadian yang disebabkan kondisi pencahayaan dan gaya hidup merupakan predisposisi
terjadinya
berbagai
gangguan
mood,
termasuk
impulsif,
mania dan depresi. Pada saat depresi, terjadi penurunan irama sirkadian dari fungsi endokrin dan metabolisme. Hubungan antara jam biologi dan depresi begitu dekat namun, hubungan yang kompleks antara keduanya perlu pemahaman yang lebih jauh. Efisiensi waktu perawatan berdasarkan chronotherapy (misalnya, pengobatan yang ringan, mengurangi waktu tidur, dan pemberian obat yang terjadwal) pada pasien
depresi menunjukkan bahwa sistem sirkadian merupakan target dalam terapi (SalgadoDelgado, dkk., 2011). SCN berfungsi sebagai pengatur fungsi fisiologis dan berperanan penting dalam mensinkronisasi tubuh dengan waktu eksternal dengan memberikan respon terhadap “zeitgeber” utama, yaitu matahari. Setiap manusia memiliki waktu tersendiri dimana waktu sirkadian endogen mengalami sinkronisasi dengan waktu harian selama 24 jam. Hal ini disebut sebagai kronotipe dan keadaan ini dipengaruhi oleh faktor genetik serta keadaan karakteristik individu, misalnya usia dan jenis kelamin. Penting untuk diketahui bahwa kronotipe masing-masing individu menentukan durasi tidur seseorang, sehingga sering didapati orang dengan waktu tidur lama ataupun sebaliknya. Siklus gelap terang, irama biologis tubuh, dan lingkungan sangat juga berpengaruh terhadap kronotipe seseorang (Bohm, 2012). Cahaya mempengaruhi tubuh untuk memproduksi berbagai substansi yang erat kaitannya dengan pola sirkadian tubuh seperti: misalnya kortisol, serotonin, dan terutama melatonin. Kortisol adalah hormon penanda stres yang produksinya mengikuti irama sirkadian. Perubahan fungsi HPA aksis juga berpengaruh terhadap produksi kortisol. Kortisol meningkat saat pagi hari dan menurun di malam hari. Kadar kortisol mengalami perubahan saat terjadi sleep deprivation (SD) (Mahdi, dkk., 2011). Melatonin adalah molekul yang bertanggung jawab terhadap sinkronisasi internal tubuh dengan lingkungan. Melatonin berperanan dalam terjadinya Cortical Spreading Depression (CSD) yang akan mempengaruhi sistem oksida nitrit, GABA,
dan glutamatergik. Begitu juga keterlibatan melatonin dalam gangguan psikiatri melalui sistem serotonergik dan dopaminergik (Peres, 2005). Produksi melatonin bisaanya terjadi di malam hari. Produksi melatonin mengaktivasi hipotalamus yang menyebabkan penurunan histamin dan oreksin, dua substansi yang meningkatkan kewaspadaan. Melatonin merupakan mediator antara stimulus cahaya eksternal dengan adaptasi fisilogis tubuh sepanjang siang dan malam, memfasilitasi kecenderungan untuk tidur yang meningkat saat malam dan menurun di siang hari (Mahdi, dkk., 2011). Perubahan relatif metabolisme glukosa pada daerah otak dari terjaga ke tidur NREM berbeda antara individu yang sehat dengan yang sedang mengalami depresi. Secara khusus, transisi dari terjaga ke tidur NREM ditandai dengan aktivitas metabolik yang tinggi di daerah frontoparietal dan thalamus pada pasien depresi dibandingkan dengan individu yang sehat. Temuan ini menunjukkan bahwa fungsi abnormal dari talamokortikal mendasari gangguan tidur dan keluhan tidur pada pasien depresi (Germain, dkk., 2004).