KAJIAN PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN KARAGINAN RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii YANG TERKENA PENYAKIT ICE ICE DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU
NUR MASITA AMILUDDIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Kajian Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii yang Terkena Penyaki Ice Ice di Perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu” adalah karya sendiri dan belum diajukkan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka pada bagian akhir.
Bogor, Januari 2007
(Nur Masita Amiluddin) NRP C151030221
ABSTRAK NUR MASITA AMILUDDIN : Kajian Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii yang Terkena Penyakit Ice Ice di Perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu di Bawah Bimbingan : FREDINAN YULIANDA (Ketua) dan ENAN M.ADIWILAGA (Anggota). Komoditas rumput laut K. alvarezii mempunyai prospek yang cerah dalam perdagangan untuk kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri. Peningkatan permintaan pasar dunia terhadap jenis ini memacu perkembangan budidaya. Rumput laut K. alvarezii dewasa ini sedang giat dikembangkan oleh pemerintah melalui usaha budidaya karena selain dapat meningkatkan pendapatan nelayan juga menjadi sumber devisa negara. Rumput laut yang dibudidayakan di pulau Pari pada tahun 2000 mulai memperlihatkan adanya kecenderungan penurunan hasil panen baik kuantitas maupun kualitas dan menjadi permasalahan sampai sekarang. Penurunan hasil panen baik kuantitas maupun kualitas ini disebabkan karena terkena penyakit ice ice (bercak putih). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kualitas lingkungan, pertumbuhan dan kandungan karaginan rumput laut K. alvarezii yang terkena penyakit ice ice di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari. Hasil penelitian diperoleh bahwa di lokasi budidaya sebelah barat dari minggu pertama sampai minggu keempat kualitas air masih memenuhi kriteria untuk budidaya rumput laut, sehingga ada peningkatan pertumbuhan dan kandungan karaginan. Minggu kelima sampai minggu kedelapan kualitas air memburuk dan tanaman uji terinfeksi bakteri penyebab penyakit ice ice, sehingga pertumbuhan dan kandungan karaginan menurun. Sementara lokasi budidaya sebelah utara sudah terkena penyakit ice ice selama masa pemeliharaan. Untuk mencegah Agar penyakit ice ice tidak meluas atau berkembang, maka kegiatan budidaya dihentikan selama kualitas air memburuk dan dilakukan penanaman bila kondisi perairan kembali normal.. Kata kunci : K. alvarezii, Pertumbuhan, Karaginan , Ice ice.
Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun baik cetak, foto copy, mikrofilm dan sebagainya
KAJIAN PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN KARAGINAN RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii YANG TERKENA PENYAKIT ICE ICE DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU
NUR MASITA AMILUDDIN
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sain pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Tesis
: Kajian Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii yang Terkena Penyaki Ice Ice di Perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu Nama : Nur Masita Amiluddin NRP : C 151030221 Program Studi : Ilmu Perairan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Fredinan Yulianda M.Sc Ketua
Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Enang Harris
Prof. Dr. Khairil Anwar Notodiputro
Tanggal Ujian : 28 Desember 2006
Tanggal Lulus:
PRAKATA Alhamdulilllah Puji Syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmatnya. Berkat bantuan banyak pihak tesis dengan judul Kajian Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii yang Terkena Penyaki Ice ice di Perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu dapat diselesaikan. Tesis ini sekaligus sebagai tugas akhir akademis dalam pendidikan di program studi Ilmu Perairan, program Pascasarjana IPB. Melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1
Bapak Dr.Ir.Fredinan Yulianda M.Sc. dan Dr.Ir.Enan M.Adiwilaga sebagai Ketua dan anggota yang dengan tulus dan sabar membimbing saya.
2
Seluruh jajaran Program Pascasarjana IPB yang telah membantu kelancaran selama mengikuti studi.
3
Bapak Prof.Enang Harris selaku ketua Program Studi Ilmu Perairan beserta seluruh staf pengajar.
4
Bapak Prof.Dr.Hamadi B.Husein selaku Ketua Sekolah Tinggi Perikanan Hatta Syahrir Banda Naira atas ijin belajar untuk menempuh pendidikan pascasarjana.
5
Bapak Dirjen Pendidikan Tinggi sebagai penyumbang dana pendidikan.
6
Bapak Dr.Ir.Kardio Praptokardiyo M.Sc.sebagai penguji luar komisi atas kesediaan membantu mengarahkan penulis dalam penyelesaian tesis ini.
7 Bapak Satir beserta petani rumput laut kelurahan pulau Pari Kab.Administrasi Kepulauan. Seribu yang telah banyak membantu. 8
Teman-teman P2O LIPI Jakarta yang telah memberikan motivasinya.
9
Ayah tercinta (almarhum), Ibu tersayang yang telah banyak berjasa dengan bantuan moriil, matriil dan selalu mendoakan dalam segala studi penulis.
10 Suami dan anak-anak tercinta : Nurulvadini, Moh.Safrul, Nurulsavira dan Moh. Nasrullah Zidan yang selalu memberikan semangat dan pengorbanan selama pendidikan. 11 Kakak dan adik-adikku tersayang : Nyong, Lela, Rusli, Ci dan Aini (Onco) yang selalu mendorong dan mendoakan penulis. 12 Semua pihak yang telah membantu penulis yang tak dapat penulis tuliskan dalam ruang yang terbatas ini.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu saran dan kritik demi penyempurnaan sangatlah diharapkan. Akhirnya semoga tulisan ini ada manfaatnya bagi pembaca dan yang membutuhkan.
Bogor, Januari 2007 Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 20 April 1967 merupakan anak kedua dari lima bersaudara dari ayahanda Anas Amiluddin dan ibunda Arafia M.Saleh.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada SD INPRES Wailela
Ambon tahun 1979, pendidikan menengah pertama pada SMP Negeri 7 Ambon tahun 1982 dan pendidikan menengah atas pada SMA Negeri 3 Ambon tahun 1985. Pada tahun 1991 menyelesaikan pendidikan sarjana pada program studi menejemen sumberdaya perairan jur usan penangkapan Universitas Pattimura dengan skripsi berjudul Pengaruh Jenis Umpan Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Demersal dengan Bottom Long Line di perairan Ambon. Pada tahun 2003 penulis mendapat kesempatan melajutkan pendidikan Pascasarja pada Program Studi Ilmu Perairan Sekolah Pascasarja Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperole h dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Sekolah Tinggi Perikanan Hatta Sjahrir Banda Naira sejak tahun 2001 sampai sekarang.
i
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
vi
PENDAHULUAN ......................................................................................
1
Latar Belakang ..................................................................................
1
Perumusan Masalah ..........................................................................
2
Tujuan dan Manfaat ..........................................................................
3
Hipotesis ............................................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
5
Rumput Laut K. alvarezii. ..................................................................
5
Jenis dan habitat ...........................................................................
5
Komposisi kimia ..........................................................................
6
Budidaya K. alvareezii .......................................................................
7
Metode budidaya ..........................................................................
9
Penyediaan bibit dan pemeliharaan ..............................................
10
Pasca panen ..................................................................................
11
Penyakit Pada Tanaman Rumput Laut ...............................................
12
Penyakit tumbuhan .......................................................................
12
Penyakit Ice ice ............................................................................
13
Karaginan Rumput Laut .....................................................................
15
Mutu dan penggunaan karaginan .................................................
15
Struktur kimia dan sifat-sifat karaginan .......................................
16
Kekentalan dan pembentukan gel ...................................
17
METODE PENELITIAN .........................................................................
18
Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................
18
Metode Pemeliharaan .........................................................................
19
Disain rakit ..................................................................................
19
Penanaman benih ..........................................................................
19
ii
Pengamatan Lingkungan Perairan ......................................................
20
Teknik Pengamatan ............................................................................
21
Kualitas Rumput Laut .........................................................................
22
Analisis Data ......................................................................................
24
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................
26
Keadaan Umum Wilayah Penelitian .................................................
26
Kondisi Lingkungan Perairan ............................................................
28
Faktor fisika ..............................................................................
28
Faktor kimia ..............................................................................
32
Faktor biologi ...........................................................................
36
Analisa Komponen Utama .................................................................
39
Pertumbuhan Rumput Laut ................................................................
39
Pertumbuhan biomassa...............................................................
39
Pertubuhan parsial .....................................................................
45
Hubungan laju pertumbuhan dengan unsur hara........................
46
Hubungan laju degradasi dengan suhu, arus dan oksigen terlarut ...................................................................
47
Produksi Bobot Kering .......................................................................
48
Kandungan Karaginan........................................................................
49
Kadar Air ............................................................................................
50
Kadar Abu .........................................................................................
51
Hubungan Karaginan dengan Unsur Hara .........................................
52
Hubunga n Karaginan dengan Waktu Pengamatan .............................
54
SIMPULAN dan SARAN .........................................................................
56
Simpulan .............................................................................................
56
Saran ..................................................................................................
56
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
57
iii
DAFTAR TABEL Halaman 1 Komposisi kimia rumput laut K. alvarezii. .............................................
6
2 Klasifikasi kriteria lokasi budidaya rumput laut K. alvarezii ..................
8
3 Parameter, alat dan satuan pengukuran ...................................................
21
4 Rata-rata parameter kualitas air di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari.........................................................................
28
5 Perbandingan kualitas perairan di pulau Pari tahun 1997 dan 2002 ........
38
6 Pertumbuhan mutlak, relatif dan sesaat rump ut laut di sebelah barat dan utara pulau Pari..................................................................................
46
7 Bobot dan penyusutan K. alvarezii di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari..................................................................................
48
iv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Alur pikir pendekatan masalah ..............................................................
4
2
Peta lokasi penelitian pulau Pari Kepulauan Seribu ..............................
18
3
Disain rakit dan pemasangan bibit rumput laut .....................................
20
4
Bagan alir analisis karaginan .................................................................
23
5
Rata-rata kecepatan arus di lokasi budidaya sebelah barat dan utara Pulau Pari ..............................................................................................
29
Rata-rata kecerahan di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari ..............................................................................................
30
Rata-rata suhu perairan di lokasi sebelah barat dan utara pulau Pari ........................................................................................................
31
8
Rata-rata pH di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari ....
32
9
Rata-rata kandungan oksigen terlarut di lokasi budidaya sebelah barat dan utara.pulau Pari ......................................................................
33
10 Rata-rata nitrat, nitrit dan amonia di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari.......................................................................
35
11 Rata-rata kandungan total pospat dan ortho pospat di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau pari .........................................
36
12 Luka bekas gigitan ikan pada tanaman uji ..........................................
37
13 Kotoran dan algae penempel pada tanaman uji yang menghalangi Penyerapan ............................................................................................
37
14 Sampah dan tumbuhan pengganggu di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari ......................................................................
38
15 Pertumbuhan rumput laut minggu 1-4 dan minggu ke5-8 dilokasi budidaya barat pulau Pari .....................................................................
40
17 Laju pengeroposan rumput laut tahap pertama (a) dan kedua (b) di lokasi budidaya sebelah utara pulau Pari ..........................................
41
18 Permukaan thallus rumput laut yang kasar ...........................................
43
19 Rumput laut yang terkena penyakit di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari ......................................................................
43
20 Beberapa cara terinfeksi bakteri penyebab penyakit ice ice ..................
44
21 Pertumbuhan rumput laut normal di lokasi budidaya Halmahera (Kusdi 2005) ..........................................................................................
45
22 Rata-rata kandungan karaginan di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari ...............................................................................
50
6 7
v
23 Rata-rata kadar air di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari ..............................................................................................
51
24 Rata-rata kadar abu di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari ......................................................................................
52
25 Hubungan kand ungan karaginan dengan waktu pengamatan di lokasi Budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari ..........................
54
26 Hubungan kandungan karaginan dengan waktu pengamatan di lokasi budidaya sebelah utara pulau Pari ...........................................
55
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Hasil pengukuran parameter kualitas air di lokasi budidaya sebelah barat pulau Pari .........................................................................
64
Hasil Pengukuran Kualitas Air di Lokasi Budidaya Sebelah Utara Pulau Pari ..............................................................................................
65
Hasil uji t terhadap parameter kualitas air di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari periode April sampai Mei 2005 ....
66
Hasil pengukuran bobot basah K. alvarezii di lokasi budidaya sebelah barat .........................................................................................
67
Hasil pengukuran bobot Basah K. alvarezii di lokasi budidaya sebelah utarab .........................................................................................
68
Hasil uji t terhadap pertumbuhan, kandungan karaginan, kadar abu dan kadar air di lokasi sebelah barat dan utara pulau Pari periode April sampai Mei 2005 ..........................................................................
69
Laju pertumbuhan harian K. alvarezii di lokasi budidaya sebelah barat (a) dan utara (b) pulau Pari ...........................................................
70
Kandungan karaginan, kadar air dan kadar abu di lokasi sebelah barat (a) dan utara (b) pulau Pari ..............................................
71
Hasil analisis komponen utama di lokasi budidaya sebelah barat Pulau Pari ..............................................................................................
72
10 Hasil analisis komponen utama di lokasi budidaya sebelah utara pulau Pari ...............................................................................................
73
11 Analysis of Variance hubungan pertumbuhan dan unsur hara di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari .........................
74
12 Analysis of Variance hubungan karaginan dan Unsur hara di lokasi budidaya barat dan utara pulau Pari .......................................
75
2
3
4
5
6
7
8
9
PENDAHULUAN
Latar Belakang Rumput laut atau algae merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia yang diandalkan untuk pemasukkan devisa negara. Komoditas ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi sebagai bahan makanan dan keperluan industri. Produksi rumput laut untuk kebutuhan ekspor umumnya berasal dari algae merah (Rhodophyceae). Salah satu jenis rumput laut yang mempunyai potensi untuk dibudidayakan di Indonesia adalah Kappaphycus alvarezii yang dulu dikenal sebagai Eucheuma cottonii. Masyarakat pulau pari mengenal dan menyebut jenis rumput laut ini dengan nama Eucheuma. Jenis ini menjadi komoditas ekspor karena permintaan pasar sekitar 8 kali lebih banyak dari jenis lainnya (Sulistijo 2002). Bahkan menurut Doty (1973) kebutuhan rumput laut jenis K. alvarezii adalah 10 kali lipat dari persediaan alami di dunia.
K. alvarezii adalah jenis rumput laut yang
diperlukan untuk usaha industri karena kandungan kappa karaginannya sangat diperlukan sebagai bahan stabilisator, bahan pengental, pembentuk jel, dan pengemulsi (Winarno 1996). Komoditas rumput laut K. alvarezii mempunyai prospek yang cerah dalam perdagangan untuk kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri. Peningkatan permintaan pasar dunia terhadap jenis ini memacu perkembangan budidaya. Negara Filipina merupakan negara pertama yang dapat meningkatkan produksi K. alvarezii melalui budidaya.
Perkembangan budidaya di Indonesia mulai
tampak dapat memenuhi permintaan pasar sejak tahun 1980 setelah keberhasilan budidaya di perairan Selatan Bali (Nusa Penida) dan terus meluas hampir keseluruh perairan Indonesia termasuk pulau Pari. Rumput laut K. alvarezii dewasa ini sedang giat dikembangkan oleh pemerintah melalui usaha budidaya karena selain dapat meningkatkan pendapatan nelayan juga menjadi sumber devisa negara. Rumput laut yang dibudidayakan bertujuan untuk meningkatkan hasil dalam jumlah yang cukup besar dan kontinyu dengan kualitas yang baik terutama untuk kebutuhan ekspor.
Namun usaha
budidaya tersebut jika tidak ada pengelolaan yang baik dan tidak memperhatikan
2
kelestarian serta daya dukung lingkungan, maka dapat menurunkan kuantitas dan kualitas hasil yang diperoleh. Rumput laut yang dibudidayakan pada tahun 2000 mulai memperlihatkan adanya kecenderungan penurunan hasil panen baik kuantitas maupun kualitas dan
menjadi
permasalahan
sampai
sekarang.
Masalah
serius
yang
menimbulkan kerugian cukup besar dalam budidaya rumput laut di pulau Pari adalah penyakit ice ice (bercak putih). Penyakit ice ice merupakan penyakit yang timbul pada musim laut tenang dan arus lemah dan berlangsung selama 1-2 bulan, setelah itu areal dapat ditanami kembali bila kondisi lingkungan sudah normal (Sulistijo 2002).
Namun apabila lahan ditanami terus tanpa
memperhatikan kondisi lingkungan, maka akan terjadi kerugian yang berkelanjutan. Hal seperti ini terlihat di pulau Pari yakni para pembudidaya terus menerus menggantikan tanaman yang rusak tanpa memperhatikan kerugian dan kondisi kualitas lingkungan budidaya. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pertumbuhan dan kandungan karaginan pada saat rumput laut terkena penyakit ice ice.
Perumusan Masalah Musim barat tahun 2005 usaha budidaya rumput laut K. alvarezii di pulau Pari menghadapi masalah penurunan produksi dan kualitas yang tidak dapat diterima oleh pasar. Permasalahan tersebut terjadi karena kekeroposan thallus rumput laut. Proses kekeroposan thallus yang merupakan ciri dari penyakit ice ice sangat cepat, sehingga sebagian besar produk tidak dapat dipanen. Sumber penyebab timbulnya penyakit ice ice yaitu penurunan kualitas lingkungan perairan. Munurunnya kualitas lingkungan perairan di pulau Pari menyebabkan penurunan produksi, namun diperkirakan beberapa lokasi masih mampu menunjang perkembangan budidaya rumput laut tersebut. Sehubungan dengan permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan pengkajian usaha budidaya rumput laut di lokasi budidaya sebelah barat yang merupakan perairan terbuka (luar gobah) dan utara yang merupakan perairan
3
tertutup (gobah), apakah masih mampu menghasilkan produksi yang diharapkan. Alur pikir pendekatan masalah disajikan pada gambar 1.
Tujuan dan Manfaat Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji pertumbuhan dan kandungan karaginan dari rumput laut K. alvarezii pada kondisi terkena penyakit ice ice di lokasi budidaya sebelah barat yang merupakan perairan terbuka (luar gobah) dan utara yang merupakan perairan tertutup (gobah) pulau Pari. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai informasi dasar dalam upaya penanggulangan penyakit ice ice untuk pengembangan budidaya rumput laut K. alvarezii di masa yang akan datang.
Hipotesis Produksi dan kualitas hasil budidaya rumput laut K. Alvarezii yang dibudidayakan akan lebih baik di lokasi budidaya sebelah barat (luar gobah) daripada di sebelah utara (gobah) pulau Pari walaupun terkena penyakit ice ice.
Unsur Hara
Intensitas
Produksi Primer
Unsur Hara
Laju Pertumbuhan Rumput Laut
Suhu Keropos Z
Rumput Laut Oksigen Intensitas Serangan Arus
Tingkat perkembangan bakteri
Biomassa
Bakteri Ice ice
Gambar 1 Alur pikir pendekatan masalah.
Produksi Rumput Laut
TINJAUAN PUSTAKA
Rumput Laut K. alvarezii Jenis dan habitat Rumput laut K. alvarezii bila diklasifikasikan berdasarkan pigmentasi termasuk jenis alga merah (Rhodophyceae). Ganggang merah yang hidup di laut dan tergolong dalam Thallophyta ini tidak memperlihatkan perbedaan akar, batang dan daun seperti tanaman tingkat tinggi. Keseluruhan tanaman merupakan batang yang dikenal sebagai thallus. Berdasarkan pada bentuk dan anatomi serta karakter biokimia, dimana derivat kappa carageenan yang lebih dominan dari pada iota dan beta carageenan yang ditemukan oleh seorang ahli dari Filipina bernama alvarez, maka nama ilmiah dari E. cottonii berubah menjadi K. alvareezii (Atmadja et al. 1996 & Silva et al. 1996). Kappaphycus merupakan jenis rumput laut yang banyak dicari untuk kepentingan industri makanan, obat - obatan dan kosmetika di dunia karena mengandung zat karaginan yang merupakan bahan campuran (additives).
Kadar karaginan dalam setiap species Kappaphycus
berkisar anatara 54%-73% sedangkan di Indonesia berkisar antara 61,5%-67,5%. Sistimatika klasifikasi botani menurut Dawes (1981), Bold dan Wynne (1985), Lewis et al. (1987) & Kadi dan Atmadja (1988) adalah sebagai berikut : Devisi : Rhodophyta Kelas
: Rhodophyceae
Ordo
: Gigartinales
Family Genus
: Solieriaceae : Kappaphycus
Species : Kappaphycus alvarezii Ciri umum dari genus Kappaphycus : thallus atau kerangka tubuh bulat silindris, berduri tidak teratur dan melingkari thalus, duri-duri pada thallus runcing memanjang dan agak jarang, permukaan thallus licin, warna hijau kekuningan, abu-abu dan merah. Tinggi tanaman dapat mencapai 40 cm, cabang tidak beraturan tumbuh di bagian yang muda maupun yang tua dan diameter thallus kearah ujung sedikit lebih kecil dibandingkan dengan pangkalnya (Doty, 1973).
6
Kappaphycus tumbuh pada daerah yang selalu terendam air (subtidal) atau pada daerah surut (intertidal). Jenis ini sangat baik tumbuh pada daerah terumbu karang (coral reef), sebab pada daerah inilah terdapat beberapa syarat untuk pertumbuhan yaitu kedalaman perairan, cahaya, subsrat dan pergerakan air. Selanjutnya Lobban dan Harison (1994) mengatakan bahwa alga tersebut tumbuh dengan baik pada perairan terbuka dengan tingkat pergerakan arus yang tinggi. Di alam bebas Kappaphycus tumbuh dan berkembang dengan baik pada salinitas yang tinggi.
Komposisi kimia Komposisi kimia rumput laut sebagian besar terdiri dari karbohidrat, juga mengandung protein, lemak dan mineral (Hansen et al. 1981).
Karbohidrat
merupakan komponen terbesar, terutama sebagai dinding sel dan sebagai jaringan intraseluler. Menurut Kuntoro (1985) dalam Suryaningrum (1988) rumput laut mengandung air 12,95-27,50%, protein 1,60-10,00%, karbohidrat 32,25-63,2%, lemak 4,50-11,00%, serat kasar 3,00-11,40% dan abu 11,50-23%. Komposisi kimia menurut Soegiarto dan Sulistijo (1985) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi kimia rumput laut K. alvareezii. Komponen Kadar air (%) Protein (%) Karbohidrat (%) Lemak (%) Serat kasar (%) Abu (%) Mineral Ca (ppm) Mineral Fe (ppm) Mineral Pb (ppm) Thiamin (mg/100g) Riboflavin (mg/100g) Vitamin C (mg/100g) Karaginan (%)
Kandungan (% berat kering) 13,90 2,67 0,27 5,70 0,90 17,09 29,92 0,12 0,04 0,14 2,70 12,00 61,52
Team Rumput Laut BPPT dan Pusat Pengembangan Teknologi Pangan IPB (Soegiarto dan Sulistijo, 1985).
Kandungan kimiawi rumput laut umumnya yang tertinggi adalah karbohidrat sekitar 60-80%, mineral 10-14%, sedangkan lemak dan proteinnya
7
rendah hanya 1-2% saja. Selanjutnya dilaporkan juga kandungan vitamin seperti vitamin A, B1, B2, B6, B12 dan C serta mengandung mineral seperti kalium, kalsium, pospat, natrium, zat besi dan iodium (Araksi et al. 1984 dalam Anggadireja et al. 1996). Rumput laut merupakan sumber koloid untuk agar-agar, karaginan, algin, laminarin, fukoidin dll. Durant and Sanford (1970) membagi koloid menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang bernilai ekonomis tinggi yaitu agar-agar, karaginan, algin dan ekonomis rendah yaitu laminarin, fukoidin dan lainnya. Menurut Wei and Chin (1983) secara kimia karaginan mirip dengan agar-agar, hanya karaginan mempunyai kandungan abu tinggi dan memerlukan konsentrasi tinggi untuk membentuk larutan kental. Selajutnya menurut Food chemical codex USA (1974) dalam Suryaningrum (1988) membedakan agar-agar dan karaginan berdasarkan kandungan sulfatnya dimana karaginan minimal mengandung 18% sedangkan agar-agar hanya mengandung sulfat sekitar 3-4%.
Budidaya K. alvarezii Usaha budidaya terhadap beberapa jenis rumput laut telah berhasil dikembangkan di beberapa negara.
Di Indonesia baru jenis Eucheuma dan
Gracilaria saja yang dapat dibudidayakan. Percobaan budidaya rumput laut di Indonesia pertama kali dilakukan oleh Soerjodinoto (1968) dari LON-LIPI terhadap rumput laut jenis Eucheuma di perairan gugusan pulau Pari Kepulauan Seribu (pulau Tikus) dengan menggunakan rakit dan substrat batu karang. Kemudian sejak tahun 1974 LON-LIPI melanjutkan percobaan budidaya rumput laut jenis Eucheuma di pulau Pari dengan mengikat bibit rumput laut pada tali nilon dikerangka rakit bambu dan kerangka lepas dasar seperti yang telah dilakukan di Philipina (Sulistijo 2002). Kajian kriteria lokasi budidaya rumput laut dari segi kondisi tata letak dan kualitas perairan sangat berperan dalam pencapaian hasil usaha budidaya rumput laut. Indriani dan Sumiarsih (1999) mengatakan untuk memperoleh hasil yang memuaskan dari usaha budidaya rumput laut hendaknya dipilih lokasi yang sesuai dengan ekobiologi (persyaratan tumbuh) rumput laut sebagai berikut, (1) lokasi budidaya harus bebas dari pengaruh angin topan, (2) tidak mengalami fluktuasi salinitas yang besar, (3) mengandung makanan untuk pertumbuhan, (4) perairan
8
harus bebas dari predator dan pencemaran industri maupun rumah tangga, (5) lokasi harus mudah dijangkau. Secara rinci Atmadja et al.(1996) mengadakan klasifikasi penilaian lokasi untuk budidaya hayati rumput laut K. alvareezii dengan kriteria baik dan cukup baik (Tabel 2). Tabel 2 Klasifikasi kriteria lokasi budidaya rumput laut K. alvareezii Parameter Keterlindungan Arus (gerakan air) Dasar perairan pH Kecerahan Salinitas Cemaran Hewan herbivora Kemudahan Tenaga kerja
Kriteria baik Terlindung 20 - 30 cm/detik Pasir berbatu 7-9 Lebih dari 5 m 32 - 34 permil Tidak ada Tidak ada Mudah dijangkau Banyak
Kriteria cukup baik Agak terlindung 30 - 40 cm/detik Pasir berlumpur 6-9 3-5m 28 - 32 permil Ada sedikit Ikan dan bulu babi Cukup mudah Cukup
Sumber : Atmadja et al. (1996)
Selanjutnya dikatakan Sulistijo (1996) kondisi ekologis yang meliputi parameter lingkungan fisika, kimia dan biologi sangat menentukan keberhasilan usaha budidaya. Parameter fisika antara lain : sarana budidaya dan tanaman terhindar dari angin, dasar terdiri dari potongan karang mati bercampur dengan karang pasir, kedalaman pada sistim tali rawe sekitar 200 cm, suhu berkisaran 27-30 oC, kenaikan temptatur membuat rumput laut menjadi pucat kekuningan dan tidak sehat, kondisi air jernih dengan tingkat transparansi sekitar 1,5 meter termasuk cukup baik dan kecepatan arus yang baik adalah sekitar 20-30 cm/detik. Parameter kimia antara lain : Salinitas berkisar antara 28-34 o/oo dengan nilai optimum 32 o/oo, pH berkisar antara 6-9 dengan kisaran optimum adalah 7,5 8,0, sedangkan pH untuk Kappaphycus adalah 7 - 9 dengan kisaran optimum 7,3 8,2, kisaran nitrat 1,0 - 3,2 mg/l dan pospat antara 0,021 - 0,10 mg/l (Zatnika & Angkasa 1994). Sementara hasil penelitian Ngangi et al. (1998) mendapatkan pertumbuhan yang baik di desa Serey, Minahasa mempunyai kisaran nitrat 1,2 1,3 mg/l dan pospat 0,03 - 0,06 mg/l.
9
Parameter biologi antara lain rumput laut atau algae yang dibudidayakan tidak terlepas dari pengaruh biologi perairan seperti hama dan penyakit. Salah satu fungsi ekologi dari rumput laut dimana areal komonitas rumput laut dijadikan spowning area dan nursery area oleh organisme laut yang dapat menjadi hama. Hama rumput laut umumnya adalah organisme laut yang memangsa rumput laut sehingga akan menimbulkan kerusakkan fisik terhadap thallus, dimana thallus akan mudah terkelupas, patah ataupun habis dimakan hama. Hama penyerang rumput laut dibagi menjadi dua menurut ukuran hama, yaitu hama mikro merupakan organisme laut yang umumnya mempunyai panjang kurang dari 2 cm dan hama makro yang terdapat dilokasi budidaya dan sudah dalam bentuk ukuran besar atau dewasa. Hama mikro hidup menumpang pada thallus rumput laut, misalnya larva bulu babi (Tripneustes sp.) yang bersifat planktonik, melayang-layang di dalam air dan kemudian menempel pada tanaman rumput laut. Beberapa hama makro yang sering dijumpai pada budidaya rumput laut adalah ikan Beronang (Siganus sp.) bintang laut (Protoreaster nodosus), bulu babi (Diademasetosum sp.), bulu babi duri pendek (Tripneustes sp.), Penyu Hijau (Chelonia mydas), dan ikan Kerapu (Epinephellus sp.) (Ditjen Perikanan 2004). Tumbuhan penempel dalam koloni yang cukup besar akan mengganggu pertumbuhan rumput laut. Tumbuhan penempel tersebut antara lain adalah Hipnea, Dictyota, Acanthopora, Laurensia, Padina, Amphiroa dan filamen seperti Chaetomorpha, Lyngbya dan symploca (Atmadja dan Sulistijo 1977).
Metode budidaya Metode yang akan digunakan tergantung pada kondisi lingkungan (lahan) yang kita gunakan. Metode budidaya rumput laut dapat dilakukan dengan tiga macam metode berdasarkan posisi tanaman terhadap dasar perairan yaitu : (1) lepas dasar, (2) lepas dasar dan (3) metode rakit apung. Dari ketiga metode tersebut yang sudah direkomendasikan oleh Direktorat Jenderal Perikanan (1997) adalah metode lepas dasar dan metode rakit apung. Selanjutnya dikatakan metode budidaya rumput laut jenis Eucheuma sp yang sudah memasyarakat di Indonesia adalah :
10
1. Metode lepas dasar (off bottom method) K. alvarezii yang ditanam dengan menggunakan metode lepas dasar biasanya untuk dasar perairan karang berpasir tidak berlumpur tujuannya untuk menancapkan patok atau pancang. Kedalaman air sekitar 30-50 cm pada waktu surut terendah dan arus yang cukup baik. Bila ditinjau dari segi biaya lebih murah dan kualitas rumput laut yang dihasilkan relatif baik tetapi pertumbuhan tanaman lebih kecil. 2. Metode rakit apung Metode ini menggunakan sebuah rakit apung dan agar rakit tidak hanyut terbawa arus digunakan jangkar di dasar perairan. Secara teknis metode rakit apung ini dianggap lebih aman, terutma dari ancaman kekeringan karena pasang surut air laut. Soegiarto et al. (1978) mengatakan dengan metode rakit apung tanaman cepat tumbuh dan akan menjadi sepuluh kali lipat dari berat semula dalam waktu 4-6 minggu.
Di wilayah Kepulauan Seribu metode
apung dimodifikasi dengan menggunakan tali nylon sebagai pengganti bambu sehingga dapat menghemat biaya untuk pembuatan kerangka rakit bambu.
Penyediaan bibit dan pemeliharaan Hasil panenan budidaya rumput laut baik kualitas maupun kuantitas ditentukan dari bibit yang digunakan, sehingga kegiatan penyediaan bibit dari alam maupun dari hasil budidaya perlu direncanakan. Dalam penyediaan bibit perlu diperhatikan sumber perolehan, cara penyimpanan dan pengangkutan bibit serta mutu yang baik dan tersedia dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan petani. Aslan (1998) mengatakan untuk keberhasilan budidaya Eucheuma perlu diperhatikan kesehatan dari bibit tersebut dengan ciri-ciri bila dipegang terasa elastis, bercabang yang banyak dengan ujungnya berwarna kuning kemerahmerahan dan mempunyai batang yang tebal. Dijelaskan lagi oleh Sulistijo (2002) bahwa rumpun yang baik adalah yang bercabang banyak dan rimbun, tidak terdapat penyakit bercak putih dan mulus tanpa ada cacat terkelupas.
Bibit
rumput laut yang terpilih tidak lebih dari 24 jam penyimpanan di tempat kering dan harus terlindung dari sinar matahari juga cemaran (terutama minyak), tidak boleh direndam air laut dalam wadah, penyimpanan yang baik adalah di laut
11
dalam jaring agar sirkulasi air terjaga sementara. Bibit yang diperoleh adalah bagian ujung tanaman (jaringan muda) umumnya memberikan pertumbuhan yang baik dan hasil panenan mengandung karaginan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bibit dari sisa hasil panen atau tanaman tua (Indriani dan Sumiarsih 1999). Saat yang baik untuk penebaran maupun penanaman bibit adalah pada saat cuaca teduh (tidak mendung) dan yang paling baik adalah pagi hari atau sore hari menjelang malam (Aslan 1998). Penanaman dengan sistem rakit ukuran 5 x 2 m dengan jarak tanam 25 cm dibutuhkan bibit 8 kg sedangkan sistem tali rawe tiap 100 m tali rentang dengan jarak tanam 50 cm diperlukan bibit minimal 20 kg (Sulistijo 2002). Selanjutnya dijelaskan bibit yang baik dan sehat pada lokasi yang sesuai akan memberikan pertumbuhan yang baik, yang dapat diukur dengan laju pertumbuhan. Laju pertumbuhan 3-5% per hari selama waktu penanaman memberikan indikasi pertumbuhan rumput laut yang baik.
Seminggu setelah
penanaman, bibit yang ditanam harus diperiksa dan dipelihara dengan baik melalui pengawasan yang teratur dan kontinyu. Bila kondisi perairan kurang baik, seperti ombak yang keras, angin serta suasana perairan yang dipengaruhi musim hujan atau kemarau, maka perlu pengawasan 2-3 hari sekali, sedangkan hal lain yang penting diperhatikan adalah menghadapi serangan predator dan penyakit (Aslan 1998).
Masa pemeliharaan rumput laut sampai saat panen apabila
menggunakan metode lepas dasar berkisar antara 1,5-2,0 bulan dan bahwa pemanenan dilakukan bila rumput laut telah nencapai sekitar 4 kali berat awal (Kolang et al. 1996).
Pasca panen Rumput laut dapat dipanen dengan dua cara yaitu secara parsial dan total. Pemanenan rumput laut secara parsial dilakukan dengan cara memisahkan cabang-cabang dari tanaman induknya dan selanjutnya digunakan kembali untuk penanaman berikutnya. Sedangkan pemanenan secara total dengan cara mengangkat semua rumpun tanaman secara keseluruhan dan kemudian tanaman yang muda (thallus bagian ujung) dipilih kembali untuk dijadikan bibit dan bagian pangkalnya dikeringan (Anonymous 1990). Selanjutnya dikatakan bahwa cara pertama lebih mudah, tetapi kecepatan tumbuh bibit yang berasal dari tanaman
12
induk lebih rendah dibandingkan dengan tanaman muda seperti pada pemanenan total, kelebihan cara kedua selain kecepatan tumbuh bibit lebih tinggi juga karaginan yang dikandungnya lebih tinggi. Penanganan hasil panen yang tepat sangat penting karena pengaruh langsung terhadap mutu dan harga penjualan di pasaran. Beberapa langkah yang perlu dilakukan dalam proses pengeringan hasil panen adalah : (1) setelah penimbangan berat basah kemudian ditebar untuk dikeringkan diatas para-para, (2) setelah 2-3 hari rumput laut yang sudah cukup kering kemudian dicuci, (3) pencucian dilakukan dengan air laut selama 5 menit, (4) dijemur kembali selama 0,5-1 hari, (5) selalu ditutupi pada malam hari atau pada saat hujan (6) Setelah benar-benar kering dimasukkan ke dalam karung dan ditimbang, siap untuk dipasarkan.
Penyakit Pada Tanaman Rumput Laut Penyakit tumbuhan Semangun (1996) menjelaskan penyakit tumbuhan bila ditinjau dari sudut biologi adalah sebagai penyimpangan dari sifat normal yang menyebabkan bagian tubuh tidak dapat melakukan kegiatan fisiologi yang biasa, sementara dari sudut ekonomi penyakit adalah ketidak mampuan tumbuhan untuk memberikan hasil yang cukup, baik kuantitas maupun kualitas.
Jasad renik (mikroba) tidak
langsung menjadi penyebab suatu penyakit, tapi keadaan luar telah melemahkan tumbuhan lebih dulu, sehingga jasad dapat masuk atau juga oleh penyebabpenyebab yang bekerja terus menerus dalam waktu yang lama. Penyakit hanya akan terjadi jika terdapat tumbuhan yang rentan, patogen yang virulen, dan lingkungan yang sesuai. Penyakit tidak akan terjadi jika patogen yang virulen bertemu dengn bagian tubuh yang rentan, tetapi lingkungan tidak mendukung. Lingkungan seperti kelembaban, suhu, sinar matahari dan unsur hara sangat mempengaruhi proses tersebut. Pada kondisi yang mendukung, penyebab penyakit akan berkembang dan mengadakan penetrasi masuk ke dalam jaringan membentuk toksin yang merusak sel-sel tumbuhan.
Kondisi ini menyebabkan interaksi antara parasit dengan
tumbuhan inang yang disebut infeksi, tetapi sebaliknya jika parasit mengadakan
13
penetrasi pada badan tumbuhan yang tidak rentan, maka infeksi tidak akan terjadi. Interaksi antara parasit dan tumbuhan inang terlihat dengan adanya gejala penyakit dan biasanya gejala penyakit akan segera tampak setelah terjadinya infeksi.
Penyakit ice ice Penyakit pada tanaman rumput laut pertama kali diketahui pada thun 1974 di Filipina dengan gejala yang dilaporkan adanya bercak pada thallus yang terinfeksi selanjutnya berwarna putih dan mati kemudian hancur. Penyakit ini menyerang Eucheuma spp. terutama disebabkan oleh adanya perubahan lingkungan arus, suhu, kecerahan, dll. di lokasi budidaya dan berjalan dalam waktu yang cukup lama. Penyakit pada rumput laut ini terjadi di daerah-daerah dengan kecerahan tinggi dan dikenal sebagai ice ice dengan gejala timbulnya bercak-bercak pada sebagian thallus, lama kelamaan akan kehilangan warna sampai menjadi putih dan terputus (Anonymous 2004). Bila dikaitkan dengan penyakit tumbuhan, maka penyakit ice ice pada tanaman rumput laut terjadi karena infeksi mikroba pada saat tanaman menjadi rentan. Kondisi ini disebabkan karena adanya perubahan lingkungan yang ekstrim dan tidak dapat ditolirir, sehingga tanaman menjadi lemah (tidak sehat).
Rumput laut yang terkena
penyakit ice ice ini sebelumnya memperlihatkan adanya gejala pertumbuhan yang lambat, permukaan thallus menjadi kasar dan pucat. Sebagaimana tentang
"Aging effect" pada rumput laut yang ditandai
dengan penurunan pertumbuhan per satuan waktu. Tanda - tanda ini nampak sebulan atau beberapa waktu setelah penanaman yang ditandai dengan cabang– cabang tanaman sedikit, keseluruhan tanaman menjadi pucat dan permukaan thallus menjadi kasar.
Bila keadaan ini terus berlanjut, maka akan terjadi
kekeroposan thallus sebagai ciri dari penyakit ice ice yang mengakibatkan kegagalan panen. Bercak putih (ice ice) merupakan penyakit yang timbul pada musim laut tenang dan arus lemah diikuti dengan musim panas yang dapat merusak areal tanaman sampai mencapi 60-80% dan lamanya 1-2 bulan (Sulistijo 2002).
14
Infeksi mikroba penyebab penyakit ice ice sudah menjalar pada lokasi perairan budidaya di pulau Pari, sehingga semua tanaman rumput laut yang dibudidayakan di pulau Pari terkena penyakit ice ice dan menurunkan harga dipasaran. Terjadinya penyakit dipengaruhi oleh berkembangnya jenis rumput laut lain yang menempel atau epifit, ini didahului dengan rendahnya unsur hara diperairan karena dengan berkembangnya rumput laut jenis lain akan mengakibatkan penurunan unsur hara yang diperlukan oleh pertumbuhan Kappaphycus (Direktorat Jederal Perikanan 1992). Sampai saat ini belum ada metoda yang dapat diterapkan untuk mengendalikan penyakit ice ice tetapi untuk mengurangi kerugian, maka tanaman harus dipanen sesegera mungkin kalau penyakit telah berjangkit.
Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan
memonitor adanya perubahan-perubahan lingkungan, terutama pada saat terjadinya perubahan lingkungan disamping itu dilakukan penurunan posisi tanaman lebih dalam untuk mengurangi penetrasi cahaya sinar matahari (Direktorat Jenderal Perikanan 2004). Penelitian terhadap bakteri yang menyebabkan penyakit pada K. alvarezii ini pernah dilakukan oleh Laboratorium mikrobiologi P2O - LIPI dan hasilnya diduga ada 8 jenis bakteri yang menimbulkan penyakit ice ice, namun patogenitas bakteri tersebut belum diketahui. Kemudian dilanjutkan dengan penelitian uji patogenitas dari 8 jenis bakteri tersebut yang hasilnya menunjukkan hanya 5 bakteri yang dapat menimbulkan penyakit ice ice. Lima bakteri tersebut adalah Pseudomonas nigricaciens, Pseudomonas fluorescens. Vibrio granii, Bacillus cereus dan Vibrio agarliquefaciens. Sementara bakteri Pseudomonas gelatica,
Pseudomonas icthyodermis dan Bacillus megaterium
tidak memiliki patogenitas, sehingga tidak menyebabkan gejala penyakit ice ice. Hasil uji patogenitas terhadap kelima bakteri tersebut dilanjutkan dan ditemukan bakteri yang memiliki daya patogenitas tertinggi adalah Vibrio agarliquefaciens (Nasution 2005). Sampai sekarang belum ditemukan cara untuk membasmi penyakit ice-ice, namun upaya yang dilakukan adalah berhenti menanam pada saat musim penyakit, sehingga dalam budidaya perlu pemantauan lingkungan perairan dan memperhatikan musim dimana budidaya harus dihentikan untuk sementara.
15
Karaginan Rumput Laut Mutu rumput laut erat kaitannya dalam menentukan tingkat harga di pasaran. Menurut Doty (1987) kualitas rumput laut di Indonesia masih rendah, sehingga jumlah produksi yang dapat diterima masih terbatas karena rendahnya kualitas rumput laut tersebut. Selanjutnya membagi kualitas rumput laut menjadi 2 golongan yaitu kualitas standar dan rendah. Kualitas standar apabila mempunyai berat kering bersih 70% dan penyusutan karaginan rumput laut bersih 40% serta kekuatan gelnya 1,00, sedangkan kualitas rendah apabila berat kering bersih hanya 60%, penyusutan karaginan bersih 30% dan kekuatan gel 0,60. Pengolahan Kappaphycus menjadi karaginan dalam skala besar, sampai sekarang baru bisa ditangani oleh Amerika Serikat, Denmark dan Perancis sedangkan skala kecil oleh Jepang, Spanyol, Korea, India dan Filipina Chapman and Chapman (1980). Kandungan karaginan rumput laut jenis Eucheuma sp berkisar antara 54,0-72,8% di Tanzania dan di Indonesia berkisar antara 61,5-67,5. Karaginan pertama kali diekstrasi dari Chondrus crispus pada tahun 1844 oleh Schmidt, tetapi produk secara komersial baru dimulai tahun 1973.
Mutu dan penggunaan karaginan Standar mutu karaginan yang diakui, telah dikeluarkan oleh Fao (Food Agriculture Organication), FCC (Food Chemical Codex) dan EEC (European Economic Community) (Sanderson 1981). Karaginan merupakan hidrokoloid dari rumput laut yang paling penting dalam produk pangan karena sifat karaginan yang dapat berfungsi sebagai stabilisator, pengental, pembentuk gel, pengemulsi, pengikat, pencegah kristalisassi dan penggumpal (Glickman 1983). Pada industri pangan karaginan digunakan dalam industri susu, minuman , roti, kembang gula, pengalengan, makanan diet, makanan bayi (Chapman and Chapman 1980). Di luar bidang pangan karaginan banyak digunakan sebagai bahan pembantu dalam industri kosmetik, pasta gigi, obat-obatan, keramik, tekstil, cat, penyegar ruangan dan lain-lain (Guiseley et al. 1980).
16
Strutur kimia dan sifat-sifat karaginan Menurut Reen (1986) kappa- karaginan dihasilkan oleh rumput laut jenis E u c h e u m a c o t t o n i i , sedangkan iota-karaginan dihasilkan oleh E u c h e u m a s p i n o s u m G u i s e l e y et al. (1980) membedakan struktur kappa dan
lambda-karaginan
berdasarkan
kandungan
3,6-anhydrogalaktosa
dan
kandungan sulfat. Lebih lanjut Zabik and Aldrich (1968) menyatakan bahwa lambda-karaginan mengandung sedikit 3,6-anhydrogalaktosa dan banyak sulfat. Identifikasi jenis karaginan dilakukan dengan menggunakan sinar infra merah untuk mengetahui gugus fungsional.
Identifikasi dilakukan dengan sidik jari
(finger print) yaitu dibandingkan dengan spektrum standar yang dibuat pada kondisi yang sama dan identifikasi gugus fungsional dan mencocokkan dengan tabel. Doty (1987) membedakan Kappa
dan iota-karaginan berdasarkan
kandungan sulfatnya pada kappa mengandung sulfat kurang dari 28%, sedangkan pada iota lebih dari 30%. Sifat-sifat karaginan meliputi kelarutan, viscositas, pembentukan gel, dan reaksi karaginan dengan protein.
kelarutan karaginan di dalam air
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu, adanya ion, tipe ion yang berhubungan dengan polimer, adanya senyawa organik yang larut dalam air, garam dan tipe ion (Tawle 1973).
Kappa-karaginan larut dalam larutan
garam natrium, iota-karaginan larut dalam air panas dan lambda-karaginan larut dalam air dingin tanpa dipengaruhi adanya ion (Glickman 1964). Menurut Smith et al. (1955) kelarutan karaginan dipengaruhi oleh adanya gugus 3,6 anhydrogalaktosa dan gugus ester sulfat. Lambda karaginan tidak mempunyai gugus 3,6-anhydrogalaktosa, sehingga larut dalam air dingin, sedangkan kappa sebaliknya.
Semua karaginan larut dalam susu panas,
sedangkan dalam susu dingin lambda-karaginan mempunyai kelarutan yang tinggi. Kelarutan pada susu ini disebabkan karena ketidak pekaan terhadap ion kalium dan kalsium serta tingginya kandungan sulfat (Glickman 1969). Gula-gula seperti misalnya sukrosa atau dektrose pada konsentrasi jenuh menghambat kelarutan karaginan.
Kappa- dan lambda-karaginan larut
dalam larutan gula jenuh dalam keadaan panas, sedangkan iota-karaginan
17
sukar larut jika dibandingkan dengan kedua karaginan tersebut di atas (Tawle 1973).
Kekentalan dan pembentukan gel Larutan karaginan bersifat kental dan kekentalannya dipengaruhi oleh konsentrasi, temperatur, tipe karaginan, berat molekul dan ion logam yang ikut terlarut (Towle 1973). Selanjutnya dikatakan kekentalan karaginan naik secara logaritmik jika konsentrasi larutan karaginan meningkat,
sebaliknya
dengan
bertambahnya
temperatur
kekentalan
karaginan semakin berkurang dan perubahan ini bersifat eksponensial. Perubahan tersebut akan bersifat reversible apabila pemanasan dilakukan pada kondosi optimum kestabilan karaginan yaitu pH 9 dengan pemanasan tidak terlalu lama.
Karaginan dapat membentuk gel secara reversible,
artinya membentuk gel pada saat pendinginan dan mencair kembali jika dipanaskan. Menurut Rees (1969) pembentukan gel pada karaginan disebabkan terjadinya perubahan susunan molekul yaitu perubahan bentuk molekul koloid karaginan yang lurus menjadi bentuk tiga dimensi. Kondisi gel pada karaginan dapat bervariasi dari keras, rapuh, lunak dan elastis. Tekstur ini tergantung beberapa variabel antara lain sifat karaginan, konsentrasi, tipe ion yang ada, adanya larutan lain dan adanya hidrokoloid lain yang tidak membeku (Towle 1973).
Menurut Sharma (1981) pembentukan gel pada
karaginan dipengaruhi oleh adanya ion logam. Kappa dan iota- karaginan tidak membentuk gel dengan ion Na, tetapi dengan ion kalium, calsium dan amonium. Kappa-karaginan dengan ion kalium membentuk gel yang kaku, sedangkan ion-karaginan membentuk gel yang elastis dengan adanya ion calsium (Guiseley et al. 1980).
18
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kawasan budidaya pulau Pari Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi DKI Jakarta (Gambar 2).
Lokasi
penelitian yang dipakai untuk penanaman rumput laut K. alvarezii yaitu lokasi budidaya barat (luar gobah) dan lokasi budidaya utara (gobah) pulau Pari. Penelitian mulai dari minggu pertama bulan Mei sampai dengan akhir bulan Juni 2005 untuk pengumpulan data lapangan dan dilanjutkan dengan analisis laboratorium selama 1 bulan.
Gambar 2 Peta lokasi penelitian pulau Pari Kepulauan Seribu.
19
Metode Pemeliharaan Metode yang digunakan adalah metode rakit apung. Metode rakit apung adalah penanaman yang dilakukan di permukaan air dengan menggunakan rakit yang mengikuti gerakan naik turunnya air. Metode ini digunakan pada dasar perairan yang keras, karena sukar untuk menancapkan pancang. Keuntungan dari metode ini adalah pemangsaan oleh biota dasar dapat dikurangi karena tanaman berada di atas jangkauan predator dan pencahayaan yang diterima lebih besar untuk proses metabolisme dan pertumbuhan tanaman lebih baik.
Disain rakit Penelitian ini menggunakan 10 buah rakit, berukuran masing - masing 120 x 120 cm dari bahan bambu sebagai kerangka tempat penanaman rumput laut. Penghubung antar bambu digunakan tali nilon Polyethylen (P.E). Bahan-bahan yang digunakan adalah potongan bambu berdiameter 10 cm yang dirangkai dengan menggunakan tali nilon berdiameter 8 mm. Tali nilon berdiameter 4 mm dianyam (tali ris) pada rakit dengan jarak anyam 30 cm. Pelampung botol plastik dipasang pada ke empat sudut rakit sebagai penahan di permukaan, jerigen atau gabus dengan bendera sebagai pelampung induk dipasang pada saat penebaran dan pemberat (jangkar) dipasang pada tiap rakit dengan menggunakan tali nilon berdiameter 9 mm (Gambar 3). Rumput laut yang dijadikan benih adalah bagian ujung tallus (yang masih muda) dari lokasi budidaya pulau Tikus yang ditimbang dengan bobot masingmasing ikatan 125 g dan diikat pada anyaman tali ris dengan bantuan tali rafia. Tiap rakit diperlukan 16 ikatan bibit rumput laut (2 kg), sehingga total bobot bibit yang diperlukan untuk penanaman pada 10 buah rakit adalah 20 kg rumput laut K. alvareezii. Disain rakit dan pengikatan benih rumput laut dilakukan di darat.
Penanaman benih Sepuluh buah rakit ditebar pada kedalaman 30 cm di bawah permukaan air yaitu 5 buah rakit di lokasi budidaya sebelah barat dan 5 buah rakit di lokasi budidaya sebelah utara pada kedalaman laut 4 - 6 meter. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat diketahui parameter yang mempengaruhi pertumbuhan dan
20
kandungan karaginan dari dua lokasi yang berbeda saat rumput laut terkena penyakit ice ice sebagai imformasi untuk pengembangan budidaya rumput laut K. alvarezii selanjutnya.
Gambar 3 Disain rakit dan pemasangan bibit rumput laut. Pengamatan Lingkungan Perairan Pengamatan lingkungan perairan dilakukan setiap minggu pada siang hari pukul 11.30 WIB bersamaan dengan pengamatan tanaman uji.
Pengamatan
dilakukan sebanyak 8 kali selama penelitian. Parameter lingkungan perairan yang diamati meliputi parameter fisika, kimia dan biologi.
Parameter fisika yang
diamati adalah suhu, arus, kecerahan yang diukur langsung di lapangan (in situ). Suhu
diukur
dengan
menggunakan
thermometer,
arus
diukur
dengan
menggunakan ״stopwacth ״gabus dan tali, kecerahan diukur dengan menggunakan Secchidisc. Parameter kimia yang diamati adalah salinitas oksigen terlarut (DO), pH, nitrat, nitrit, amonia, total pospat dan ortho pospat. Salinitas diukur dengan menggunakan hand refraktometer, DO diukur dengan menggunakan titrasi (in situ), pH diukur dengan menggunakan pH meter dan, nitrat, nitrit, amonia, total pospat dan ortho pospat diukur dengan menggunakan Spektrofotometer.
21
Pengambilan air contoh untuk pengamatan pH, nitrat, nitrit, amonia, total pospat dan ortho pospat dengan menggunakan botol plastik berwarna putih berukuran 250 ml. Sebelum dianalisis air contoh terlebih dulu disimpan pada suhu rendah dalam peti es. Selajutnya air contoh di bawa ke laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan (ProLing) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Waktu perjalanan dari lokasi penelitian ke laboratorium Proling kurang lebih 7 jam. Parameter biologi berupa biota pengganggu dan sampah diamati secara visual. Pengukuran parameter lingkungan fisika, kimia dan biologi dirincikan pada Tebel 3. Tabel 3 Parameter, alat dan satuan pengukuran Parameter FISIKA Suhu Kecepatan arus Kecerahan KIMIA Oksigen terlarut Salinitas pH NO2-N NH3-N Total pospat Ortho pospat BIOLOGI Biota pengganggu Sampah
Alat
Satuan
Termometer Tali benda terapung dan stopwatch Secchi disc, dan tali
°C
Botol BOD Hand refraktometer pH meter Spektrofotometer Spektrofotometer Spektrofotometer Spektrofotometer
mg/l 0 /00
cm/detik M
mg/l mg/l mg/l mg/l
(visual) (visual)
Teknik Pengamatan Karakteristik pertumbuhan diamati dengan penimbangan bobot tanaman satu ikatan untuk mengetahui pertambahan bobot. Pengamatan terhadap tanaman dilakukan sekali setiap minggu pada kedua lokasi budidaya bersamaan dengan pengukuran parameter lingkungan sampai minggu kedelapan (hari tanam kelima puluh enam). Air contoh diambil pada kedua lokasi budidaya masing-masing 5 titik sampel di permukaan air dekat rakit rumput laut. Pengukuran bobot tanaman menggunakan alat timbangan plastik 2 kg dengan ketelitian 0,1 g. Setiap rakit
22
diambil sampel sebanyak 2 ikat secara acak, sehingga tiap lokasi penanaman diambil 10 ikatan rumput laut untuk pemantauan pertumbuhan. Pengambilan sampel dengan memanen total yaitu mengangkat dua ikatan tanaman pada masing-masing rakit dan ditimbang sebagai data bobot basah kemudian dilakukan penjemuran + 3 hari. Agar hasilnya berkualitas tinggi rumput laut dijemur di atas para-para dan tidak boleh ditumpuk. Rumput laut yang akan diambil karaginannya tidak boleh terkena air tawar (dapat merusaknya) karena air tawar akan melarutkan karaginan.
Rumput laut yang telah kering ditimbang dengan menggunakan
timbangan digital untuk mendapatkan data bobot kering (bobot kering angin).
Kualitas Rumput Laut Kualitas rumput laut yang diamati meliputi kandungan karaginan, kadar air dan abu. Sampel rumput laut yang telah dikeringkan dengan penjemuran pada sinar matahari di bawah ke Laboratorium untuk dianalisis. Pada penelitian ini sampel dianalisis di Laboratorium Kimia Pusat Pengembangan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor. Penentuan konsentrasi karaginan rumput laut dinyatakan dalam persentase bobot karaginan terhadap bobot kering rumput laut mengikuti metode Ainswort dan Blanshard (1980) dan Furia (1981). Prosedur analisis sebagai berikut : Algae K. alvareezii dicuci dan dibersihkan dari pasir, kotoran dan bahanbahan asing lainnya. Algae dikeringkan dalam oven pada suhu 100 °C selama 2 jam, setelah kering diblender hingga halus kemudian diayak untuk memisahkan bagian yang kasar dan yang halus (Gambar 4). Tepung yang dihasilkan diambil 1 g untuk direbus (diekstraksi) dengan air panas (85 - 95 °C) dalam suasana agak basa dengan pH 8 - 9 selama 4 jam. Ekstrasi alga kemudian disaring melalui penyaring selulosa dalam kertas saring berlipat. Hasil yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan cara pemanasan menjadi 50 ml. Isopropanol ditambahkan (± 15 ml) dan dibiarkan semalam. Hasil ekstrak ini kemudian disaring dengan kain putih tipis lalu tambahkan isopropanol 96% (± 15 ml) kemudian dimasukkan kedalam wadah kecil yang telah ditimbang sebelumnya. Selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 100 ºC selama 2 jam, lalu ditimbang dengan menggunakan
23
timbangan analitik. Berat hasil penimbangan dikurangi dengan berat wadah pada waktu kosong, maka di peroleh berat karaginan bersih (g).
Gambar 4 Bagan alir analisis karaginan. Berat kering angin adalah bobot produk rumput laut setelah dikeringkan dengan penjemuran pada sinar matahari. Kadar air dari rumput laut kering angin dianalisis untuk penentuan kadar air yang dilakukan dengan pengeringan dalam oven selama 12 jam dengan suhu 100 °C. Penentuan kadar abu dilakukan dengan proses pembakaran dari rumput laut kering angin dengan menggunakan alat oven pada suhu 600 °C selama 1 hari.
24
Analisis Data 1 Analisis pertumbuhan akan dilihat secara partumbuhan parsial yaitu pertumbuhan yang dilihat antar waktu yang dinyatakan menurut (Affandi et al. 2002) dengan rumus sebagai berikut : a. Pertumbuhan mutlak = Wt1 – Wt0 b. Pertumbuhan relatif
=
Wt 1 − Wt 0 x 100% Wt 0
Dimana : Wt = Pertumbuhan pada waktu t Wt0 = Pertumbuhan pada waktu awal 2 Analisis kualitas rumput laut meliputi kandungan karaginan, kadar air dan kadar abu. Untuk mendapatkan persentase karaginan dihitung menurut (Ainsworth and Blanshard 1980) dengan rumus sebagai berikut : berat karaginan x 100% berat sampel algae
Karaginan =
Untuk mendapatkan presentase kadar air dan kadar abu dihitung menurut (Patadjai 1993) dengan rumus sebagai berikut:
Kadar air =
kehilangan bobot x 100% berat contoh
Kadar abu =
Bobot abu x 100% berat contoh
Hasil olahan data disajikan dalam bentuk gambar dan tabel. 3 Untuk melihat perbedaan parameter di lokasi budidaya sebelah barat dan utara dilakukan uji beda dengan menggunakan uji t student (Bengen 2000). Hipotesis Ho = tidak terdapat perbedaan nyata antara lokasi barat dan utara H1 = terdapat perbedaan nyata antara lokasi barat dan utara Rumus t - hitung sebagai berikut :
dimana, x 1 = rata-rata contoh 1, x 2 = rata-rata contoh 2, s1 = simpangan baku contoh 1, s2 = simpangan baku contoh 2
25
Kaidah keputusan : t hit < ttab (α = 0,05), n1+ n2-2, terima Ho t hit > ttab (α = 0,05), n1+ n2-2, tolak Ho 4 Untuk melihat karakterisrik kedua lokasi budidaya digunakan analisis PCA dengan menggunakan sover EXTAT versi 06. 5
Untuk analisis hubungan pertumbuhan dan karaginan dengan unsur hara menggunakan analisis regresi ganda. Hasil analisis diuji dengan analisis ragam (Anova) untuk melihat beda nyata pada taraf (P<0,05) dengan bantuan program komputer Statistical Software Minitab versi 13.
6
Untuk analisis hubungan kandungan karaginan dengan waktu pengamatan digunakan regresi kuadratik dan linear.
26
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Wilayah Penelitian Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu merupakan daerah tingkat II di Propinsi DKI Jakarta yang baru dibentuk melalui UU No. 34 tahun1999 dan PP No. 55 tahun 2001. Wilayah kepulauan Seribu adalah sebuah kecamatan yang ditingkatkan statusnya menjadi Kabupaten Administratif dengan 2 kecamatan dan 6 kelurahan. Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau-pulau kecil di perairan laut sebelah utara DKI Jakarta. Luas Kepulauan Seribu (daratan dan perairan) 6 997,50 km2 sekitar 10 kali luas daratan Propinsi DKI Jakarta dengan luas 864,59 ha dan jumlah pulau sebanyak 110 buah. Keadaan angin di Kepulauan Seribu terbagi menjadi angin musim barat (Desember-Maret) dan angin musim timur (Juni-September). Musim pancaroba terjadi pada April-Mei dan Oktober-Nopember. Kecepatan angin pada musim barat bervariasi antara 7-20 knot bertiup dari barat laut dan musim timur kecepatan angin berkisar antara 7-15 knot bertiup dari timur laut. Musim hujan biasanya terjadi antara bulan Nopember - April dengan hari hujan rata-rata 20 hari/bulan dan curah hujan terbesar terjadi pada bulan Januari. Musim kemarau berlangsung antara bulan Mei-Oktober yang kadang-kadang masih terdapat hujan antara 4-10 hari per bulan dan curah hujan terkecil terjadi pada bulan Agustus. Laju pertambahan penduduk rata-rata 2,92% per tahun dengan laju pertumbuhan pada periode 1998-1999 cukup tinggi yaitu 5,65%.
Pertambahan penduduk
dibeberapa pulau diantaranya pulau Pari cukup tinggi karena didorong oleh aktivitas perekonomian (Bapeda DKI 2001). Dalam pembagian kelurahan, pulau Pari termasuk kecamatan Kepulauan Seribu selatan yang terdiri dari 10 buah pulau. Lokasi penelitian berada pada pulau Pari sekitar 35 km (± 3,5-5 jam ) dari Jakarta. Transportasi laut yang terdekat adalah melalui Rawasaban (Tangerang) ± 1,5-2 jam perjalanan menggunakan kapal motor.
Pada musim barat dan musim timur terjadi
pergerakan arus dari timur ke barat, sehingga membawa banyak kotoran (sampahsampah) dari darat yang membahayakan kelangsungan organisme perairan. Penelitian tentang karang diperoleh hasil bahwa sebagian karang mengalami stress
27
akibat kondisi perairan yang kurang mendukung bersamaan dengan kematian masal algae laut yang menjadi sumber penghasilan utama nelayan pulau Pari (Johan 2001). Perairan yang bersifat open access terjadi dalam penentuan lokasi budidaya rumput laut yang dilakukan dengan cara mematok sendiri oleh petani. Kondisi ini mengakibatkan semakin padat lahan budidaya, sehingga banyak sampah yang masuk dan tertahan pada lahan maupun tanaman budidaya. Akibat dari padatnya lokasi perairan dengan tanaman rumput laut, sehingga jalur transportasi keluar masuk pulau Pari pun mengalami kesulitan. Jumlah pembudidaya dan produksi pada tahun 1997 berjumlah 164 orang dengan produksi 642 ton, sedangkan tahun 1998 jumlah pembudidaya 876 orang dengan produksi 3.432 ton. Beberapa tahun ini rumput laut K. alvarezii merupakan sumber penghasilan utama dari masyarakat kepulauan Seribu mulai memperlihatkan infeksi penyakit yang cukup serius terutama di pulau Pari, sehingga kegiatan budidaya mulai terhenti. Kondisi ini perlu diperhatikan untuk pengembangan budidaya rumput laut dimasa yang akan datang, sehingga budidaya rumput laut K. Alvarezii di pulau Pari dapat berkesinambungan.
dilakukan secara
28
Kondisi Lingkungan Perairan Kehidupan rumput laut atau algae dalam kehidupannya tidak terlepas dari pengaruh faktor dalam maupun faktor dari luar. Gambaran tentang biofisik air laut penting diketahui karena dapat mempengaruhi perkembangan rumput laut. Faktor luar yang mempengaruhi perkembangan rumput laut adalah faktor fisika, kimia dan biologi perairan. Hasil pengukuran dan pemantauan parameter kualitas air di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari selama penelitian dan parameter ideal dirincikan pada Tabel 4 dan Lampiran 1 & 2. Tabel 4 Perbandingan parameter kualitas air di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari dengan parameter ideal.
Parameter
Satuan
Barat
Utara
Ideal
Sumber Pustaka
Arus
cm/dtk
2,50-5,56
1,62-2,14
20 - 30
Kecerahan
m
2,25-2,52
2,15-2,25
1,5 - 5
Suhu
ºC
27-30
30-31
27 - 29
-
8,0-8,4
7,1-7,4
7-9
Salinitas
ppm
31,2-32,8
31,3-32,5
32 – 34
Oksigen terlarut Nitrat
mg/l
3,96-6,96
3,90-4,86
4,8 - 6,2
Atmadja et al. (1996) Direktorat Jenderal Perikanan (1997) Mubarak dan Wahyuni (1981) Zatnika (1988) Atmadja et al. (1996) Zatnika (1988)
mg/l mg/l
0,1097 0,1114 0,00410,0054
1,0 - 3,2
Orthopospat
0,152 0,272 0,0060 0,0080
pH
0,021 0,10
Zatnika & Angkasa, 1994) Zatnika & Angkasa (1994)
Faktor fisika Arus Kecepatan arus merupakan faktor penentu lama waktu keberadaan substansi gas, unsur hara terlarut dan padatan partikel berada pada suatu habitat dan kolom air. Kecepatan arus secara tidak langsung menjadi penentu suplai unsur hara, pembersih / pengangkut padatan partikel yang dapat menempel pada rumput laut dan mengatasi kenaikan tempratur air laut yang tajam.
29
Kecepatan arus di lokasi barat berkisar antara 2,50-5,56 cm/det dengan ratarata 4,5 cm/det dan standar deviasi 1,20, sedangkan lokasi budidaya utara kecepatan arus berkisar antara 1,62-2,14 cm/det dengan rata-rata 1,88 cm/det dan standar deviasi 0,179. kecepatan arus di lokasi barat mulai minggu kesatu sampai minggu keempat hampir sama dengan kecepatan arus + 5 cm/det kemudian menurun sampai minggu kedelapan. Kecepatan arus di lokasi utara dari minggu kesatu sampai minggu kedelapan terus terjadi penurunan yaitu dari 2,10 cm/det
Kec Arus (cm/det)
menjadi 1,66 cm/det (Gambar 5 Lampiran 1 & 2).
Barat Utara
7 6 5 4 3 2 1 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Waktu pengamatan (minggu)
Gambar 5 Rata-rata kecepatan arus di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari. Secara statistik kecepatan arus di kedua lokasi berbeda sangat nyata. (Lampiran 3). Kondisi arus di kedua lokasi budidaya selama pemeliharaan tidak memenuhi kriteria budidaya, sehingga kondisi rumput laut berada pada kondisi tidak sehat. Menurut Admadja et al. (1996) kecepatan arus yang baik untuk budidaya K. alvarezii adalah 20-30 cm/det. Kondisi arus di kedua lokasi tidak memenuhi kriteria lahan budidaya, namun lokasi budidaya di sebelah barat lebih baik dari lokasi budidaya sebelah utara.
Kecerahan Kecerahan perairan merupakan salah satu faktor penting untuk pertumbuhan algae, sebab rendahnya kecerahan mengakibatkan cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan berkurang. Intensitas sinar yang diterima secara sempurna oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses fotosintesis, tetapi
30
sebaliknya adanya cahaya matahari yang berlebihan mengakibatkan tanaman menjadi putih, karena hilangnya protein. Kecerahan di lokasi budidaya barat berkisar antara 2,25-2,52 m dengan rata-rata 2,34 m dan standar deviasi 0,102, sedangkan di lokasi budidaya utara berkisar antara 2,15-2,25 m dengan rata-rata 2,23 m dan standar deviasi 0,035 (Gambar 6 Lampiran 1 & 2).
barat Utara
Kecerahan (m)
3
2
1 0
1
2
3
4
5
6
7
8
w aktu pengamatan (minggu)
Gambar 6 Rata-rata kecerahan di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari Kecerahan perairan di lokasi barat dan utara secara statistik berbeda sangat nyata (Lampiran 3), dimana kecerahan tertinggi di lokasi budidaya barat. Kecerahan pada lokasi barat dari minggu kesatu sampai minggu kelima berfluktuasi kemudian stabil.
Kecerahan di lokasi utara dari minggu kesatu
sampai minggu kedelapan dapat dikatakan stabil. Tingkat kecerahan di kedua lokasi masih di atas 1,5 m dan bila dibandingkan dengan kriteria kesesuaian lahan budidaya, maka tergolong cukup baik. Berdasarkan pemantauan, lokasi budidaya barat tergolong lebih baik dari lokasi utara karena masih terdapat kondisi air yang jernih. Hal ini didukung oleh Direktorat Jenderal Perikanan (1997) bahwa kondisi air yang jernih dengan tingkat transparansi sekitar 1,5 m cukup baik bagi pertumbuhan rumput laut dan yang terbaik adalah 5 m ke atas.
Suhu Rumput laut mempunyai kisaran suhu yang spesifik karena adanya enzim pada rumput laut yang tidak dapat berfungsi pada suhu yang terlalu dingin maupun terlalu panas Dawes (1981). Suhu perairan mempengaruhi laju
31
fotosintesis dan dapat merusak enzim serta membran sel yang bersifat labil terhadap suhu yang tinggi. Pada suhu yang rendah, membran protein dan lemak dapat mengalami kerusakan sebagai akibat terbentuknya kristal didalam sel, sehingga mempengaruhi kehidupan rumput laut, seperti kehilangan hidup, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, fotosintesis dan respieasi (Laning, 1990). Kisaran suhu di lokasi budidaya sebelah barat berkisar antara 27-30 °C dengan rata-rata 28,6 °C dan standar deviasi 1,59, sedangkan suhu di lokasi utara berkisar antara 30-31 °C dengan rata-rata 30,2 °C dan standar deviasi 0,67 (Gambar 7 Lampiran 1 & 2).
Barat utara
34
Suhu ( oC)
33 32 31 30 29 28 27 26 0
1
2 3 4 5 6 7 Waktu pengamatan (minggu)
8
Gambar 7 Rata-rata suhu perairan di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari Secara statistik suhu di kedua lokasi budidaya berbeda sangat nyata (Lampiran 3). Suhu di lokasi barat pada minggu kesatu sampai minggu kelima berkisar antara 27 - 28 °C dan meningkat pada minggu keenam sampai minggu kedelapan menjadi 30 °C. Suhu di lokasi utara pada minggu kesatu sampai minggu kedelapan mempunyai kisaran suhu yang tinggi yaitu 30 - 31 °C. Kisaran suhu di lokasi barat masih cukup baik bagi peruntukan budidaya Eucheuma dengan kisaran. Hal ini didukung oleh Mubarak dan Wahyuni (1981) bahwa kisaran suhu antara 27-29 °C memberikan laju pertumbuhan Eucheuma, rata-rata di atas 5%. Kisaran suhu di lokasi utara yang cukup tinggi antara 30-31 °C sangat berpengaruh terhadap perkembangan tanaman uji.
Perbedaan suhu di kedua
lokasi diduga karena letak lokasi dimana lokasi barat agak terbuka yaitu
32
berhadapan dengan laut lepas. Sementara di lokasi utara (gobah) agak tertutup karena terhalang oleh pulau, sehingga lokasi barat lebih baik daripada lokasi utara. Hal ini didukung oleh Nontji (1993) bahwa di gobah (lagoon) yang terperangkap dijumpai suhu yang panas dan apabila air surut pada siang hari kadang-kadang bisa mencapai 35 °C. Suhu perairan yang tinggi akan mengakibatkan thallus rumput laut pucat kekuning- kuningan yang menyebabkan rumput laut tidak sehat dan inilah salah satu kondisi bisa terinfeksi bakteri ice ice (Sulistijo 1996).
Faktor kimia pH pH merupakan faktor penting dalam kehidupan rumput laut diantara faktor-faktor lingkungan lainnya. Setiap organisme mempunyai toleransi tertentu terhadap pH, sama halnya dengan rumput laut yang memerlukan kondisi pH perairan yang khas untuk kehidupannya. Nilai pH di lokasi barat berkisar antara 8,0-8,4 dengan rata-rata 8,2, dan standar deviasi 0,1455, sedangkan di lokasi utara berkisar antara 7,1-7,4 dengan rata-rata 7,3 dan standar deviasi 0,0807 (Gambar 8 Lampiran 1 & 2). Kadar pH selama masa pemeliharaan di kedua lokasi budidaya tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman uji. Menurut Chapman (1962) hampir seluruh algae menyukai kisaran pH 6,8-9,6, sehingga pH bukanlah masalah bagi pertumbuhannya. pH yang baik bagi kehidupan dan pertumbuhan Eucheuma sp. berkisar antara 7-9 dengan kisaran optimum 7,3-8,2. (Zatnika 1988). Barat utara
9
pH
8 7 6 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Waktu pengamatan (minggu)
Gambar 8 Rata-rata pH di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari.
33
Oksigen terlarut Oksigen dihasillkan dari tanaman rumput laut dan menjadi kelanjutan kehidupan biota perairan karena dibutuhkan oleh hewan dan tanaman air, termasuk bakteri untuk respirasi. Fitoplankton juga membantu menambah jumlah kadar oksigen terlarut pada lapisan permukaan diwaktu siang hari sebagai hasil dari proses fotosintesis. Proses pertukaran oksigen antara udara dan laut dipengaruhi oleh difusi, pergantian air yang ada
di permukaan
dan oleh
gelembung udara yang terjadi pada saat turbulensi (Sijabat 1973 in Kusdi 2005). Kandungan oksigen terlarut di lokasi budidaya barat berkisar antara 3,966,96 mg/l dengan rata-rata 5,59 mg/l dan standar deviasi 0,10, sedangkan di lokasi budidaya sebelah utara kisaran oksigen terlarut antara 3,90-4,86 mg/l dengan ratarata 4,63 mg/l dan standar deviasi 0,03 (Gambar 9 Lampiran 1 & 2). Perbedaan kandungan oksigen kedua lokasi tersebut secara statistik berbeda nyata. Oksigen terlarut di lokasi barat dari minggu kesatu sampai minggu keempat berkisar antara 6,52-6,78 mg/l kemudian menurun pada minggu kelima sampai minggu kedelapan dengan kisaran 3,96-4,5 mg/l. Kandungan oksigen terlarut di lokasi utara pada minggu kesatu sampai minggu kedelapan tidak ada perbedaan yang menyolok dari rata-rata 4,6 mg/l. Perbedaan oksigen pada kedua lokasi budidaya ini diduga karena gerakan air di lokasi utara sangat rendah, sehingga lokasi budidaya barat masih lebih baik. Hal ini diacu dengan pernyataan Zatnika (1988) bahwa oksigen terlarut untuk lahan budidaya berkisar antara 4,8 - 6,2 mg/l (Tabel 4).
Barat Utara
O ksigen terlarut (mg/l)
8 7 6 5 4 3 2 1 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Waktu pengamatan (minggu)
Gambar 9 Rata-rata kandungan oksigen terlarut di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari.
34
Peranan unsur hara Unsur hara (N dan P) diperlukan diperlukan rumput laut untuk pertmbuhan, reproduksi dan pembentukan cadangan makanan berupa kandungan zat-zat organik seperti karbohidrat, protein dan lemak. Masuknya unsur hara ke dalam jaringan tubuh rumput laut melalui proses difusi pada seluruh bagian permukaan tubuh rumput laut. Bila difusi makin banyak akan mempercepat proses metabolisme, sehingga akan meningkatkan laju pertumbuhan. Apabila perairan mengalami kekurangan unsur hara, maka akan mengakibatkan pertumbuhan rumput laut lambat dan tidak sehat.
Hal ini sangat nampak pada kegiatan
budidaya di perairan pulau Pari.
Nitrogen NO3-, NO2- dan NH3 Konsentrasi nitrat, nitrit dan amonia di lokasi budidaya barat berturut-turut berkisar antara 0,152-0,272 mg/l dengan rata-rata 0,1998, nitrit 0,0102-0,0113 mg/l dengan rata - rata 0,0105 dan amonia 0,1706-0,1821 mg/l dengan rata-rata 0,1772 mg/l, sedangkan lokasi budidaya utara berkisar antara 0,1097-0,1114 mg/l dengan rata-rata 0,1105 mg/l, nitrit 0,0108-0,0110 mg/l dengan rata-rata 0,0109, dan amonia 0,1714-0,1814 mg/l dengan rata-rata 0,1802. Konsentarasi nitrat di lokasi budidaya barat berfluktuasi dan tertinggi pada minggu ketiga yaitu 0,27 mg/l kemudian menurun sampai minggu kedelapan yaitu 0,170, sedangkan konsentrasi nitrat di lokasi budidaya utara selama masa pemeliharaan dari minggu kesatu sampai minggu kedelapan lebih rendah dan relatif sama (Gambar 10 Lampiran 1 dan 2). Rata - rata konsentrasi nitrat di kedua lokasi budidaya rendah sekali bila dibandingkan dengan konsentrasi yang ideal 1,0 - 3,2 (Tabel 4), namun lokasi budidaya sebelah barat masih lebih baik daripada lokasi budidaya sebelah utara.
35
Barat Utara
Barat Utara
0.3
0.2
N itr it ( m g /l)
N itrat (m g/l)
0.25
0.15 0.1 0.05
0.014 0.011 0.008 0.005 0
0 0
1
2 3 4 5 6 7 w aktu pengamatan (minggu)
8
1
2
3
5
6
7
8
Barat Utara
0.195 Amonia (mg/l)
4
Waktu pengamatan (minggu)
0.185 0.175 0.165 0.155 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Waktu pengamatan (mg/l)
Gambar 10 Rata-rata nitrat, nitrit dan amonia di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari.
Pospat Total pospat dan ortho pospat Pospat merupakan unsur penting bagi semua aspek kehidupan terutama berfungsi dalam transformasi energi metabolik yang perannya tidak dapat digantikan oleh unsur lain (Kuhl 1974). Unsur P di perairan terdapat dalam senyawaan pospat dalam bentuk organik dan anorganik, namun hanya ortho pospat yang terlarut dalam air dan dapat langsung digunakan oleh organisme nabati (Haryadi et al. 1992). Kandungan total pospat di lokasi budidaya sebelah barat berkisar antara 0,116-0,136 mg/l dengan rata- rata 0,1225 dan lokasi budidaya sebelah utara berkisar antara 0,0056-0,0062 mg/l dengan rata-rata 0,0060. Ortho pospat di lokasi budidaya barat berkisar antara 0,0060-0,0080 mg/l dengan rata-rata 0,0074 dan lokasi utara 0,0041-0,0054 mg/l
dengan rata-rata 0,0049 (Gambar 11
Lampiran 1 dan 2). Secara statistik kandungan orhto pospat di kedua lokasi budidaya berbeda nyata. Kandungan orhto pospat berada pada konsentrasi sangat rendah bila dibandingkan dengan konsentrasi ortho pospat yang ideal (Tabel 4). namun di lokasi budidaya barat masih lebih baik daripada lokasi budidaya sebelah utara.
36
Kekurangan pospat akan lebih kritis bagi tanaman akuatik termasuk tanaman algae dibandingkan dengan kekurangan nitrogen di perairan karena walaupun ketersediaan pospat sering melimpah dalam bentuk berbagai senyawa pospat namun hanya dalam bentuk ortho pospat (PO4) yang dapat dimanfaatkan langsung oleh tanaman akuatik.
Gambar 11 Rata-rata kandungan total pospat dan ortho pospat di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari.
Faktor biologi Algae yang dibudidayakan tidak terlepas dari pengaruh biologi perairan seperti predator, pencemaran dan penyakit. Fungsi ekologis dari rumput laut sebagai pendukung kehidupan akuatik di laut yaitu sebagai makanan dan pelindung binatang akuatik selalu mempengaruhi persporaan rumput laut. Binatang-binatang ini pada awalnya hanya memakan tumbuhan penempel di sekitar tanaman tetapi kemudian memakan Kappaphycus.
Saat pengamatan
dilakukan, banyak ditemukan benih ikan baronang dan algae penempel di kedua lokasi penelitian barat dan utara hal ini diduga sedang terjadi musim pemijahan ikan baronang di perairan pulau Pari. kepulauan Seribu pada bulan Mei dan Oktober-Nopember merupakan musim ikan baronang dalam jumlah besar yang dapat merugikan nelayan rumput laut ( Sulistijo 2002). Selain predator ikan, ada juga tumbuhan yang menjadi pesaing bagi pertumbuhan K. alvarezii dan tumbuh pada rakit penelitian.
Di samping itu
tumbuhan penempel seperti tunikata yang menutupi thallus rumput laut akan menyerap nutrisi dan menghalangi proses fotosintesis. Gangguan ini dapat mengakibatkan tanaman menjadi tidak sehat dan dengan mudah terinfeksi bakteri penyebab ice ice pada bagian yang tertutup total oleh koloni tunikata.
37
Tumbuhan penempel di lokasi barat mulai kelihatan pada minggu ketiga, sedangkan ikan baronang yang memakan thallus mulai menyerang pada minggu kelima. Kondisi tanaman uji menunjukkan adanya serbuk putih pada luka bekas gigitan ikan dan mulai menjalar ke bagian thallus sekitar bekas gigitan karena infeksi bakteri ice ice (Gambar 12).
Gambar 12 Luka bekas gigitan ikan pada tanaman uji. Sementara di lokasi utara mulai dari minggu kedua sudah banyak terdapat tumbuhan penempel dan luka bekas gigitan ikan pada tanaman uji serta sampah disekitar rakit (Gambar 13).
Gambar 13 Kotoran dan algae penempel pada tanaman uji Perbedaan tingkat keberhasilan di kedua lokasi budidaya diduga karena pengaruh dari kondisi kualitas lingkungan budidaya, sehingga tanaman di lokasi barat masih ada pernambahan bobot sedangkan pada lokasi utara tidak ada pernambahan bobot. Tumbuhan pengganggu dan sampah di kedua lokasi berupa limbah rumah tangga seperti plastik, dedaunan dan ranting yang menyangkut pada rakit penelitian di lokasi budidaya ( gambar 14).
38
Gambar 14 Sampah dan tumbuhan pengganggu di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari Secara historis lahan budidaya rumput laut di pulau Pari lebih efisien dibanding lahan budidaya di gugusan pulau Pari.
Namun dari parameter-
parameter kualitas lingkungan yang diamati selama masa pemeliharaan diacu dengan hasil pengukuran biofisik kualitas perairan dari penelitian IPB (1997) menunjukkan kualitas lingkungan perairan semakin menurun hampir tidak sesuai untuk lahan budidaya (Tabel 4). Tabel 5 Perbandingan kualitas perairan di pulau Pari tahun 1997 dan 2002
Parameter
Satuan
Tahun 1997
Tahun 2002
Fisika a. Arus b. Suhu
cm/det °C
10 29
< 10 30-32
Kimia a. pH b. Salinitas c. Nitrat d.Phosphat e.Timah hitam (Tb)
‰ mg/l mg/l mg/l
7 32 0.003 0.007 0.005
8-8.03 30 0.001-0.002 0.001-0.006 0.012-0.027
banyak sedang
sedang banyak
tidak ada
ada/tinggi
Biologi a. Komunitas makro alga b. Hewan-herbivor Lingkungan c.Pencemaran Sumber: Besweni (2002)
39
Analisis Komponen Utama Analisis komponen utama dilakukan untuk menggambarkan korelasi karakteristik fisika - kimia perairan pada setiap stasiun pengamatan. Terlihat bahwa informasi penting terpusat pada tiga sumbu utama (Fl, F2 dan F3) baik di lokasi budidaya sebelah barat maupun utara. Di lokasi budidaya sebelah barat masing-masing sumbu mempunyai kontribusi sebesar 56,34%, 16,12% dan 12,91% dari total ragam sebesar 85% (Lampiran 9B). Sedangkan di lokasi budidaya sebelah utara masing-masing sumbu (F1, F2 dan F3) mempunyai kontribusi sebesar 44,87%, 20,80% dan 14,62% dari total ragam sebesar 80,28%, (Lampiran 10B). Korelasi antar variabel terlihat bahwa di lokasi budidaya sebelah barat variabel berperan utama membentuk sumbu F1 adalah oksigen terlarut dan arus dengan kontribusi sebesar 14,03% dan 13,50%, variabel ortho-pospat berperan utama dalam membentuk sumbu F2 dengan kontribusi sebesar 39,63% dan variabel kecerahan dan total fosfat berperan utama dalam membentuk sumbu F3 (Lampiran 9C). Hasil korelasi antar variabel terlihat bahwa di lokasi budidaya sebelah utara variabel berperan utama dalam membentuk sumbu F1 adalah suhu dengan kontribusi sebesar 15,24%, dan F2 adalah total pospat, nitrat dan kecerahan dengan kontribusi sebesar 29,4%, 23,20% dan 20,27%. (Lampiran 10C). Uraian di atas dapat dinyatakan bahwa kualitas lingkungan fisika kimia di sebelah barat dicirikan oleh arus dan oksigen. Lokasi budidaya utara dicirikan oleh suhu, kecerahan, nitrat dan total pospat.
Pertumbuhan Rumput Laut Perkembangan biomassa Pertumbuhan rumput laut seperti halnya pertumbuhan algae akan mengikuti pola pertumbuhan logistik (ekperimen maksimal) yaitu pada mulanya meningkat linear sampai tingkat maksimal mendekati plateau. Pertumbuhan rumput laut K. alvarezii yang diamati selama 8 minggu di kedua lokasi budidaya barat dan utara pulau Pari memperlihatkan dua tahap pembentukan biomassa yaitu tahap pertama (minggu 1-4) dan tahap kedua (minggu 5-8). Pertumbuhan rumput
40
laut ditentukan oleh faktor kecerahan, temperatur, unsur hara (N dan P) dan keadaan biomassa. Bobot basah yang dihasilkan merupakan suatu produksi pembentukan biomassa yang ditentukan oleh laju pertumbuhan (G) x bobot −
biomassa ( B ). Apabila keadaan biomassa rumput laut mengalalami tekanan
lingkungan, maka kondisi biomassa dalam keadaan rentang terhadap penyakit. Kondisi seperti ini mengakibatkan rumput laut terkena penyakit ice ice (pengkroposan), sehingga produksi rumput laut ditentukan oleh laju pertumbuhan −
(G) x laju pengkroposan (z) dan ( B ). Pada tahap awal G > z (minggu 1 - 4), sehingga masih terdapat pertumbuhan biomassa. Apabila pengkroposan meningkat maka G < z (minggu 5 - 8) mengakibatkan pembentukan biomassa menurun. Sehubungan dengan proses laju pertumbuhan, maka penanaman rumput laut dengan bobot awal yang sama di kedua lokasi budidaya (125 g) menunjukkan karakter pertumbuhan yang tidak normal. Lokasi budidaya barat masih terlihat adanya pertambahan bobot, namun pertumbuhan yang semestinya dalam keadaan pesat mendadak menurun setelah mencapai puncak pada minggu keempat Lokasi budidaya barat pertumbuhan biomassa dari minggu kesatu sampai minggu keempat meningkat dari 125 ke 206,3g dan mengikuti pola hubungan linear yaitu Y = 28,15x + 91,3 ; R2 = 0,88 (gambar 15). Laju pertumbuhan dari minggu pertama sampai minggu keempat sebesar 28,15 g/minggu. y = -20.64x + 291.66 R2 = 0.9708
250
R2 = 0.8823 Bobot basah (g)
Bobot basah (g)
y = 28.15x + 91.3
250 200 150 100 50
200 150 100 50
0 1
2
3
4
Waktu pengamatan (minggu)
0 5
6
7
8
Waktu pengamatan (m inggu)
Gambar 15 Pertubuhan rumput laut minggu ke 1- 4 dan minggu ke 5-8 di lokasi budidaya barat pulau Pari. Selanjutnya dari minggu kelima sampai minggu kedelapan terjadi penurunan biomassa dari 206,3 ke130,6g serta mengikuti pola hubungan linear
41
yaitu Y = - 20,64x + 291,66 ; R2 = 0,97 (Gambar 15). Laju pengkroposan mulai dari minggu kelima sampai minggu kedelapan sebesar -20,64g / minggu. Pembentukan biomassa setelah minggu kelima lebih didominasi oleh penurunan bobot basah karena meningkatnya infeksi bakteri penyebab penyakit
ice ice, sehingga faktor produksi, kecerahan, tempratur dan unsur hara menjadi tereliminir. Pembentukan biomassa pada tahap pertama sampai tahap kedua memberikan indikasi laju pertumbuhan lebih kecil dari laju pengkroposan, sehingga terjadi penurunan biomassa (biomassa mengalami pengkroposan). Pada tahap pertama (minggu ke1-4) terjadi penurunan yang mendatar dari 125 ke 89,97g dan mengikuti pola hubungan linear yaitu Y = -9.8x + 127,7 ; R2 = 0,93 (gambar17). Pada tahap kedua (minggu ke5-8) terus mengalami penurunan yang tajam dari 71,5 ke 31,3g dan mengikuti pola hubungan linear Y = -14,48x +
y = -9.8x + 127.7 R2 = 0.9288
140 120 100 80 60 40 20 1
2
3
Waktu pengam atan (m inggu)
4
Bobot basah (g)
Bobot basah (g)
153,52 ; R2 = 0,99 (gambar 17). y = -14.48x + 153.52 R2 = 0.9934
90 70 50 30 10 5
6
7
8
Waktu pengam atan (m inggu)
Gambar 17 Laju pengkroposan rumput laut tahap pertama (a) dan kedua (b) di lokasi budidaya sebelah utara pulau Pari. Persamaan tersebut memberikan indikasi bahwa laju pengkroposan semakin meningkat yaitu pada minggu pertama sampai minggu keempat -9,8g / minggu meningkat pada minggu kelima sampai kedelapan menjadi -14,48g / minggu. Keadaan tersebut diperkirakan karena meningkatnya aktivitas bakteri penyebab penyakit ice ice. Keterkaitan hubungan pembentukan biomassa dengan unsur hara dan atau pengkroposan dengan faktor lingkungan akan dibahas pada hubungan laju pertumbuhan dengan unsur hara dan laju degradasi dengan kualitas lingkungan perairan.
42
Kondisi rumput laut di lokasi budidaya sebelah barat maupun utara dari hasil pemantauan memberikan indikasi bahwa rumput laut mengalami stress. Bila dikaitkan dengan ilmu pemyakit tumbuhan, maka tanaman uji dalam kondisi lemah / rentan terhadap penyakit. Hal ini dipermudah dengan keadaan lingkungan yang mendukung patogen, sehingga tanaman dengan cepat terinfeksi bakteri penyebab penyakit ice ice. Secara biologi tanaman tidak mampu melakukan kegiatan fisiologinya secara normal, sehingga tidak mampu berkembang dan secara ekonomi tanaman tidak mampu memberikan hasil yang cukup, baik kuantitas maupun kualitasnya. Secara umum bobot basah rumput laut pada kondisi yang normal dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan dan secara nyata dimulai pada minggu kedua sampai minggu ketuju bersamaan dengan meningkatnya kandungan karaginan. Hal ini didukung oleh Salisbury dan Ross (1992) bahwa pada jaringan muda rumput laut, aktivitas sel diarahkan untuk pertumbuhan yaitu melakukan pembelahan dan pembesaran sel. Perbedaan tingkat keberhasilan ini diduga karena posisi kedua lokasi budidaya, dimana lokasi budidaya barat yang merupakan perairan terbuka (berada diluar gobah buka) yang masih mendapat gerakan air, sedangkan di lokasi budidaya utara yang merupakan perairan tertutup (berada di gobah) yang kurang mendapat gerakan air, sehingga pasokan nutrien yang diperlukan tidak terpenuhi. Pada musim barat 2005 terjadinya gagal panen, akibat sebagian besar hasil budidaya terkena penyakit ice ice diikuti kualitas produk yang tidak dapat diterima oleh pasaran. Dapat dijelaskan tentang permsalahan tersebut bahwa akibat pengaruh musim yang mempengaruhi faktor-faktor ekologis seperti intensitas cahaya, suhu air, unsur hara, sehingga mempengaruhi hasil panen. Diantara pengaruh yang ditimbulkan adalah "Aging effect" yang ditandai dengan perubahan morfologi yaitu tanaman menjadi kurus, percabangan sedikit, permukaan thallus menjadi kasar (Gambar 18). Kondisi ini dapat pulih apabila tidak ada komplikasi yang berkelanjutan, jika keadaan ini terus berlanjut maka terjadi pertumbuhan yang lambat karena sel-sel tanaman tidak dapat berfungsi dengan baik (DirJen. Perikanan 1997). Kondisi ini diperburuk dengan adanya
43
gigitan ikan yang membuat jalan masuk bakteri ke bagian jaringan dalam, sehingga infeksi bakteri penyebab ice ice lebih cepat.
Gambar 18 Permukaan thallus rumput laut yang kasar. Penyakit rumput laut muncul karena adanya substansi pelindung intraseluler pada saat rumput laut mengalami tekanan lingkungan, sehingga menyebabkan kegagalan panen. Penyakit ice ice terjadi oleh pengaruh beberapa jenis rumput laut lain yang menempel, rendahnya unsur hara di perairan dan oleh biota air starfish (Trono 1992, Lobban dan Harison 1994). Penyakit yang timbul pada musim panas dan arus lemah ini ditandai dengan warna pucat pada tanaman secara keseluruhan kemudian hilang warna pada cabang-cabang dan akhirnya menjadi keputih-putihan. Jaringan tanaman pada bagian yang terkena penyakit menjadi lunak dan hancur, sedangkan bagian cabang yang terinfeksi akan retak dan putus jatuh ke laut, sehingga mengakibatkan kehilangan bobot tanaman (Gambar 19).
Gambar 19 Rumput laut yang terkena penyakit di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari (a) Bagian ujung tanaman K. alvarezii yang terkena penyakit (b) bagian cabang tanaman yang terkena penyakit
44
Tanaman budidaya akan lebih cepat terinfeksi apabila terdapat banyak bekas luka karena akan menjadi jalan masuk bagi bakteri patogen. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan infeksi bakteri penyebab penyakit ice ice pada thallus dapat terjadi melalui beberapa cara yaitu terinfeksi pada luka bekas pemotongan (stek untuk bibit), luka akibat gigitan ikan, luka akibat ikatan bibit terlalu erat dan masuk melalui pori-pori thallus (Gambar 20).
d c Gambar 20 beberapa cara terinfeksi bakteri penyebab penyakit ice ice. :
(a) bekas pemotongan (stek untuk bibit) (b) luka akibat gigitan ikan (c) luka karena ikatan bibit terlalu erat (d) masuk melalui pori-pori thallus
45
Pertumbuhan parsial Pertumbuhan parsial rumput laut adalah pertubuhan yang terjadi antar waktu tertentu dan dinyatakan dalam bentuk pertumbuhan mutlak, relatif dan sesaat (tabel 6). Tabel 6 Pertumbuhan mutlak, relatif dan sesaat rumput laut di sebelah barat dan utara pulau Pari
Minggu
Barat
Utara
Mutlak (g)
Relatif (%)
Mutlak (g)
Relatif (%)
1
1,84
1.472
-11
-9.040
2
8,21
6.473
-2
-2.111
3
21,15
15.661
-12
-8.805
4
50,10
32.074
-12
-11.626
5
-15,60
-7.562
-18
-20.290
6
-10,20
-5.349
-13
-18.321
7
-30,30
-16.787
-14
-24.486
8
-19,60
-13.049
-12
-29.025
Pertumbuhan parsial rumput laut di lokasi budidaya barat dari minggu pertama sampai minggu keempat semakin meningkat dengan pertumbuhan mutlaknya 1,84 – 50,10g, relatifnya 1.472 – 32,074%. Pada minggu pertama sampai minggu keempat masih terdapat pertumbuhan parsial yang didukung oleh kecerahan, suhu, unsur hara dan kondisi biomassa. Pertumbuhan rumput laut tersebut ternyata tidak berlanjut mengikuti pola pertumbuhan logistik (normal) seperti hasil penelitian Kusdi (2005) (Gambar 21).
Gambar 21 Pertumbuhan rumput laut normal di lokasi budidaya Halmahera (Kusdi 2005).
46
Sementara mulai minggu kelima sampai minggu kedelapan kondisi biomass mengalami pengkroposan karena telah terinfeksi bakteri penyebab penyakit ice ice. Laju pengkroposan biomassa melampaui laju pertumbuhan rumput laut, sehingga pertumbuhan parsial berubah menjadi menurun. Penurunan/pengkroposan mutlak rumput laut berkisar antara -10,20 – -30,30g, relatif -7,562 – -16,787%. Pertumbuhan parsial yang bersifat negatif (terjadi pengkroposan), maka total biomassa rumput laut cenderung semakin menurun. Pertumbuhan parsial di lokasi budidaya utara dari minggu pertama sampai minggu keempat cenderung negatif dengan pertumbuhan mutlak berkisar antara -2 – -12g, relatif -09,040 – -11,626%. Pertumbuhan negatif terus berlanjut dari minggu kelima sapai kedelapan.
Pertumbuhan parsial mutlak berkisar antara
-12 – -18g, relatif -18,321 – -29,025%. Degradasi biomassa rumput laut tersebut terindikasi dari warna thallus yang pucat secara keseluruhan kemudian hilang warna dan akhirnya menjadi keputih-putihan. Jaringan tanaman pada bagian yang terkena penyakit menjadi lunak dan hancur. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan rumput laut pada akhirnya merupakan perpaduan antara laju pembentukan biomassa dan laju pengkroposan. Biomassa rumput laut di lokasi budidaya barat dari minggu pertama sampai keempat laju pertumbuhannya masih lebih besar dari laju pengkroposan. Sebaliknya minggu kelima sampai minggu kedelapan di lokasi barat dan atau lokasi utara memperlihatkan laju pengkroposan lebih besar dari laju pembentukan biomassa. Hal ini terjadi sebagai akibat infeksi bakteri ice ice
semakin meningkat.
Hubungan antara laju pertumbuhan dengan unsur hara(nitrat, ortho pospat) serta laju pengkroposan dengan suhu, arus dan tempratur akan dibahas pada topik selanjutnya.
Hubungan laju pertumbuhan dengan unsur hara Untuk melihat hubungan laju pertumbuhan rumput laut dengan unsur hara dilakukan analisis regresi berganda. Hasil analisis regresi berganda terhadap laju pertumbuhan dengan unsur hara di lokasi budidaya sebelah barat pulau Pari pada minggu pertama sampai minggu keempat ternyata memenuhi persamaan regresi ganda y = -281 + 1551 nitrat + 14596 ortho pospat dengan nilai koefisien
47
determinasi R = 83%. Hasil uji variance diperoleh P-value lebih kecil dari (0,05) berati regresi tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan variabel-variabel terikat yang berpengaruh terhadap variabel bebas atau dapat dikatakan nitrat dan ortho pospat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan. Nilai koefisien masingmasing variabel menunjukkan bahwa variabel x yang berpengaruh terhadap y adalah nitrat sebesar 0,001 (P<0,05) dan ortho pospat 0,001 ((P<0,05) (Lampiran 11). Dengan demikian disimpulkan bahwa hasil analisis tersebut terindikasi bahwa ketersediaan unsur hara (nitrat dan ortho pospat) secara interaksi bersama menentukan laju pertumbuhan.
Hubungan degradasi dengan suhu,arus dan oksigen terlarut Seperti telah dijelaskan diatas, maka di lokasi budidaya barat dan utara telah terjadi pengkriposan biomassa yaitu di lokasi barat di minggu ke5 sampai ke8 dan lokasi barat di minggu ke1 sampai minggu ke8. Hubungan degradasi / pengkroposan biomassa dengan suhu, arus dan oksigen terlarut ternyata memenuhi persamaan regresi ganda. Persamaan regresinya sebagai berikut : Lokasi budidaya barat minggu ke5-ke8 y = 1852-10 oksigen-7,79 arus – 34,7 suhu dengan R = 98,9%, lokasi budidaya utara minggu ke1-ke4 y = -981 + 19,3 suhu + 4,74 arus +8,52 oksigen dengan R = 98,2%, dan minggu ke5-ke8 y = 1489 + 45,1 suhu + 25,3 arus – 6,14 oksigen dengan R = 99%. Hasil uji variance (Lampiran 12) dapat digunakan untuk menjelaskan bahwa ketiga variabel yaitu suhu, arus dan oksigen terlarut berpengaruh terhadap laju pengkroposan biomassa. Dari nilai koefisien masing-masing suhu, arus dan oksigen memberikan indikasi bahwa ketiga faktor lingkungan tersebut secara langsung berperan terhadap intensitas perkembangan bakteri ice ice dalam pengrusakan biomassa rumput laut. Kecepatan arus berperan terhadap lama waktu penempelan dan penyebaran yang mengkontaminasi keseluruhan biomassa rumput laut. Suhu dan oksigen terlarut berperan terhadap perkembangan populasi bakteri penyebab ice ice dalam mendegradasi biomassa rumput laut.
Hal ini didukung oleh Sulistijo (2002)
bahwa penyakit ice ice timbul pada musim laut tenang dan arus lemah diikuti dengan suhu perairan yang tinggi.
Tingkat degradasi biomassa rumput laut
mencerminkan tingkat perkembangan populasi dan intensitas pengkroposan
48
rumput laut.
Dari uraian tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa laju
pertumbuhan biomassa rumput laut di lokasi budidaya barat dari minggu ke1-ke4 ditentukan oleh keberadaan nitrat dan ortho pospat, sedangkan laju degradasi / pengkroposan di lokasi budidaya barat minggu ke5-k8 dan di utara minggu ke1-k8 ditentukan oleh faktor suhu,arus dan oksigen terlarut memicu perkembangan populasi bakteri dalam menginfeksi dan mendegradasi biomassa rumput laut.
Produksi Bobot Kering Bobot kering rumput laut didapat dari pengeringan terhadap rumput laut basah dengan cara penjemuran pada sinar matahari. Pengeringan ini bertujuan untuk menurunkan kadar air rumput laut basah + 90% menjadi rumput laut kering dengan kadar air + 20% ( Suryaningrum 1988). Menurut Noor (1991) kadar air rumput laut segar berkisar antara 85 - 90%. Lokasi budidaya barat dari minggu kesatu sampai minggu keempat penyusutan berkurang dari 95,20% sampai dengan 93,34%, sedangkan pada minggu kelima sampai kedelapan penyusutannya tetap yaitu 91% ( Tabel 7). Lokasi budidaya utara dari minggu pertama sampai minggu kedelapan nilai penyusutan terus berkurang. Kondisi ini terjadi di lokasi budidaya utara karena hilangnya bagian-bagian rumput laut dan diganti dengan tunas baru. Tabel 7 Bobot dan penyusutan K. alvarezii di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari.
Pengamatan (munggu)
Bobot (g)
0 1
126,8
113,7
6,1
5,88
95,28
94,83
2
135,1
111,3
7,1
5,89
95,19
94,71
3
156,2
101,5
10,4
5,9
94,74
94,19
4
206,3
89,7
17,3
5,91
93,34
93,41
5
190,7
71,5
16
5,92
91,61
91,72
6
178,5
58,4
14,6
5,93
91,61
89,85
7
150,2
44,1
11,2
5,94
91,82
86,53
8
130,6
31,3
9,2
5,95
92,54
80,99
Sumber : Hasil penelitian yang diolah
kering Barat Utara 5,9 6,15
Penyusutan (%)
Basah Barat Utara 125 125
Barat 95,20
Utara 95,08
49
Tanaman uji yang terkena penyakit akan hancur dan putus juga ujungujung thallus yang dimakan ikan, sehingga akan tumbuh tunas yang baru. Mengacu dari kondisi tanaman uji, maka bobot kering tanaman yang diperoleh tidak dipengaruhi oleh lama penanaman karena tanaman selalu berada pada kondisi tanaman muda. Menurut Dawes (1974) berat kering tumbuhan muda lebih rendah daripada tumbuhan tua. Jaringan rumput laut yang lebih tua dapat mengakumulasi deposit garam-garam yang menyebabkan unsur keringnya semakin tinggi (Simpson et al. 1978). .
Kandungan Karaginan Proses panen baik berdasarkan waktu atau bobot tidak menjamin mutu rumput laut, tetapi mutu rumput laut ditentukan oleh mutu bibit dan kualitas perairan. Satari (1998) melalui penelitiannya dengan variasi waktu pemeliharaan
K. alvarezii dari minggu kesatu sampai minggu keenam tidak mendapatkan perbedaan yang berarti terhadap kandungan karaginan.
Rahardjo (2000)
mendapatkan panen yang baik dengan biomassa dan kandungan karaginan tertinggi pada waktu pemeliharaan selama 6 minggu di lokasi pulau Tidung Kepulauan Seribu. Kandungan karaginan K. alvarezii di lokasi budidya sebelah barat pulau Pari mengalami peningkatan sampai minggu keempat.
Pada minggu kesatu
kandungan karaginan 9,46% terus meningkat dan mencapai puncak di minggu keempat dengan persentase 16,77% kemudian menurun di minggu kelima seterusnya sampai minggu kedelapan hingga mencapai kandungan karaginan terendah 4,51%. Kandungan karaginan di lokasi budidaya sebelah utara mulai minggu kesatu sampai minggu kedelapan tidak ada peningkatan kandungan karaginan, tetapi sebaliknya terus mengalami penurunan hingga mencapai kandungan karaginan terendah sebesar 1,23% (Gambar 22 dan Lampiran 8). Pola kandungan karaginan yang diperoleh pada penelitian di kedua lokasi budidaya barat dan utara tidak sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya. Kandungan karaginan K. Alvarezii cenderung mengalami peningkatan menurut lama penanaman dan kualitas terbaik kandungan karaginan maximum dicapai pada usia 35 hari atau minggu kelima (Kusdi 2004). Selanjutnya Sulistijo (1994)
50
menyatakan waktu pemeliharaan 45 hari kandungan karaginan mencapai maximum yaitu 52.70% dan kadar air 24.42%. Kandungan karaginan di kedua lokasi budidaya secara statistik berbeda sangat nyata (Lampiran 6), namun perbedaan ini tidak memperlihatkan kualitas yang baik sesuai standar kualitas K. Alvarezii untuk diterima pasaran dalam maupun luar negeri. Menurut Soegiarto et al. (1978) bahwa standar kualitas
Eucheuma untuk dipasarkan dalam dan luar negeri kandungan karaginan 25%. Kandungan karaginan dari tanaman uji di kedua lokasi sangat rendah disebabkan karena penyakit ice ice. Thallus rumput laut yang sudah terkena penyakit akan keropos dan hancur kemudian akan digantikan dengan tunas-tunas yang baru, sehingga lama pemeliharaan tidak berpengaruh terhadap kandungan karaginan. Perbedaan kandungan keraginan pada kedua lokasi tersebut diduga karena perbedaan kualitas lingkungan masing-masing. Mukti (1987) menyatakan persentase kandungan karaginan dalam rumput laut karaginofit berkaitan langsung dengan kondisi lingkungan yaitu lingkungan fisika, kimiawi dan biologi juga kondisi lingkungan tempat tumbuhnya karaginofit tersebut. Barat utara
Karaginan (% )
20 15 10 5 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Waktu pengamatan(minggu)
Gambar 22 Rata-rata kandungan karaginan di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari.
Kadar Air Kadar air pada rumput laut merupakan komponen kimia penting yang berhubungan dengan mutu rumput laut. Kadar air yang dimaksud adalah besarnya persentase kadar air persatuan bobot kering angin produk rumput laut. Kadar air yang cukup tinggi akan menyebabkan menurunnya kualitas karaginan yang dihasilkan.
Dalam perdagangan, kadar air rumput laut kering untuk industri
51
pangan dan farmasi yang memenuhi syarat mutu dari Departemen Perdagangan adalah maximum 32% (Soegiarto et al. 1978). Secara statistik kadar air di lokasi budidaya berbeda nyata (Lampiran 6). Kadar air rata-rata di lokasi budidaya sebelah barat sebesar 20,70%, maksimum 22,83% dan minimum19,10%, Sedangkan kadar air rata-rata di lokasi budidaya utara sebesar 21,76%, maksimum 23,82% dan minimum 20,08%. Namun kadar air setelah pengeringan di laboratorium dengan vacum dryer di peroleh nilai persentase yang masih memenuhi standar pemasaran (Gambar 23). barat
Kadar air (%)
30
utara
25 20 15 10 5 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Waktu (minggu)
Gambar 23 Rata-rata kadar air di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari
Kadar Abu Kualitas hasil panen rumput laut ditentukan pula oleh persentase kadar abu karena kadar abu yang relatif tinggi akan menyebabkan rendahnya kualitas hasil panen.
Nilai kadar abu diperoleh setelah dilakukan proses pembakaran atau
pengabuan dalam alat pembakaran (tanur). Bagian jaringan rumput laut berupa serat dan bahan-bahan yang mengandung karbon serta beberapa mineral tersisa menjadi abu setelah proses pembakaran, sedangkan bahan lainnya habis menguap saat pembakaran. Kadar abu dalam tanaman rumput laut ditentukan oleh bahan penyusun jaringan dimana semakin tinggi bahan serat dan senyawa-senyawa yang mengandung karbon dalam jaringan, maka semakin tinggi pula kadar abu yang dihasilkan saat pembakaran. Menurut Hirao (1971) bahwa kadar abu pada rumput laut berkisar antara 15 - 40%. Kadar abu di kedua lokasi budidaya cukup tinggi yaitu di lokasi budidya sebelah barat pulau Pari kadar abu rata-rata sebesar 20,30%, maksimum
52
22,3% dan minimum 16,9%. Sementara di lokasi budidaya sebelah utara kadar abu rata-rata sebesar 22,78%, maksimum 26,23% dan minimum 10,64%. Kadar abu di kedua lokasi budidaya sebelah barat dan utara secara statistik berbeda nyata (Lampiran 6). Kadar abu berbeda dikedua lokasi disebabkan karena tanaman uji yang dibudidayakan di kedua lokasi budidaya banyak terdapat alga penempel dan kotoran-kotoran. Persentase kadar abu yang cukup tinggi ini juga menunjukkan besarnya kandungan mineral pada rumput laut yang tidak terbakar selama pengabuan. Kadar abu terutama terdiri dari garam natrium yang berasal dari air laut yang menempel pada thallus rumput laut yang terjadi pada proses pengeringan. Kadar abu rumput laut bersih dari Eucheuma cottonii yang dilaporkan oleh BPPT adalah 17,09%. Sementara kadar abu yang diperoleh di lokasi budidaya sebelah barat adalah 20,30% dan kadar abu di lokasi budidaya sebelah utara adalah 22,78%. Kadar abu yang diperoleh pada penelitian ini bila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh BPPT sebasar 17,09%, maka selisihnya adalah garam dan kontaminan lain yaitu pada lokasi barat 3,21% dan lokasi utara 5,69%. (Gambar 24). barat
Kadar abu (%)
30
utara
25 20 15 10 5 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Waktu (minggu)
Gambar 24 Rata-rata kadar abu di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari.
Hubungan Karaginan dengan Unsur Hara Hasil regresi ganda menunjukkan adanya hubungan antara karaginan dengan unsur hara di lokasi budidaya sebelah barat yang dijelaskan dengan nilai determinasi sebesar 84,6% dan sangat nyata (p<0,05) dengan (Fhit. sebesar 9,17> F
tab.
sebesar 5,48). Data hasil analisis regresi berganda kandungan karaginan
53
dengan unsur hara di lokasi budidaya sebelah barat pulau Pari diperoleh persamaan sebagai berikut Karaginan = 21,7+39,2 nitrat +4321 ortho pospat -276 amonia. Persamaan tersebut menggambarkan bahwa terdapat satu atau lebih parameter yang berpengaruh terhadap peningkatan dan penurunan karaginan. Variabel unsur hara yang berpengaruh terhadap karaginan adalah nitrat, ortho-pospat dan amonia. Koefisien variasi masing-masing variabel menunjukkan bahwa variabel x yang berpengaruh terhadap nilai Y adalah ortho pospat yang dapat dijelaskan dengan 0,020 (P<0,5), sedangkan nitrat dan amonia masing-masing 0,130 dan 0,801 (P>0.05). Tabel nilai koefisien menunjukkan bahwa nitrat dan amonia tidak nyata (p>0,05) yang berarti bahwa nitrat dan amonia bukan merupakan faktor pembatas terhadap peningkatan kandungan karaginan (lampiran 12). Hasil regresi ganda menunjukkan adanya hubungan karaginan dengan unsur hara di lokasi budidaya sebelah utara yang dijelaskan dengan nilai determinasi sebesar 79,6% dan sangat nyata (p<0,05) dengan ( Fhit. sebesar 6,52 > Ftab. sebesar 5,48). Data hasil analisis regresi berganda kandungan karaginan dengan unsur hara diperoleh persamaan sebagai berikut : Karaginan = -149+252 Nitrat +6049 ortho pospat +527 amonia. Persamaan tersebut menunjukkan terdapat satu atau lebih parameter yang berpengaruh terhadap peningkatan karaginan. Koefisien variasi masing-masing variabel menunjukkan bahwa variabel x yang berpengaruh terhadap nilai Y adalah ortho pospat yang dapat dijelaskan dengan 0,007 (P<0,5), sedangkan nitrat dan amonia masing-masing 0,780 dan 0,943 (P>0.05). Tabel nilai koefisien menunjukkan bahwa nitrat dan amonia tidak nyata (p>0,05) yang berarti bahwa nitrat dan amonia bukan merupakan faktor pembatas terhadap peningkatan kandungan karaginan (lampiran 13). Dengan demikian disimpulkan bahwa variabel yang sangat berpengaruh terhadap kandungan karaginan rumput laut di kedua lokasi budidaya adalah ortho pospat. Kisaran ortho-pospat yang diperoleh di kedua lokasi budidaya sangat rendah, namun lokasi budidaya sebelah barat lebih baik, sehingga masih terjadi penambahan peningkatan kandungan karaginan.
54
Hubungan Karaginan dengan Waktu Pengamatan Analisis
regresi
hubungan
kandungan
karaginan
dengan
waktu
pengamatan pada lokasi budidaya sebelah barat menunjukkan pola hubungan kuadratik (Gambar 25), dengan persamaan sebagai berikut : Y = 0.5268 x2+4.1581 x+6.1873, R2 = 0.7587. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan waktu pengamatan diikuti dengan peningkatan kandungan karaginan sampai batas tertentu kemudian cenderung menurun seiring dengan bertambahnya waktu. Penurunan kandungan karaginan ini disebebkan karena perubahan kondisi perairan yang terlihat mulai dari minggu ke lima pada masa pengamatan. Hal ini sesuai dengan Kusdi (2004) bahwa hubungan waktu pengamatan dengan kandungan karaginan di semua perlakuan interaksi asal thallus dan bobot bibit berbentuk pola hubungan kuadratik. Semakin lama waktu pengamatan maka semakin tinggi kandungan karaginan sampai batas tertentu.
Karaginan (%)
2
y = -0.5268x + 4.1581x + 6.1873
18 16 14
2
R = 0.7587
12 10 8 6 4 2 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Waktu pengamatan (minggu)
Gambar 25 Hubungan karaginan dengan waktu pengamatan di lokasi budidaya sebelah barat pulau Pari. Hasil penelitian pada minggu keempat merupakan batas terjadinya penambahan kandungan karaginan sedangkan pada minggu selajutnya terjadi penurunan kandungan karaginan yang disebabkan kondisi lingkungan perairan yang tidak mendukung. Terjadinya penurunan kandungan karaginan pada minggu kelima sampai minggu kedelapan ini akibat terkena penyakit ice ice yang merusak struktur jaringan dalam dimana terdapat kadungan karaginan.
55
y = -1.0615x + 8.9238
10
2
Karaginan (%)
R = 0.948 8 6 4 2 0 0
2
4
6
8
10
Waktu pengamatan (minggu)
Gambar 26 Hubungan kandungan keraginan dengan waktu pengamatan di lokasi budidaya sebelah utara pulau Pari. Analisis regresi hubungan kandungan karaginan pada lokasi budidaya sebelah utara memberikan gambaran pola hubungan linier (Gambar 26), dengan persamaan sebagai berikut : Y = 8.9238–0.5268x, r = 0.948%. Hal ini menunjukan bahwa bertambahnya waktu pengamatan diikuti penurunan kandungan karaginan.
56
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 1
Kualitas air di lokasi budidaya rumput laut K. alvarezii sebelah barat yang merupakan perairan terbuka di minggu pertama sampai minggu keempat masih memenuhi kreteria untuk budidaya rumput laut. dan menurun pada minggu kelima sampai minggu kedelapan. Sedangkan di lokasi sebelah utara pulau Pari yang merupakan perairan tertutup, kualitas air buruk dari minggu pertama sampai minggu kedelapan.
2
Pertumbuhan Rumput laut K. alvarezii di lokasi budidaya sebelah barat (luar gobah) dan utara (gobah) pulau Pari tidak memenuhi pola pertumbuhan logistik normal mencapai biomassa maksimal.
3
Lokasi budidaya sebelah barat dari minggu ke1-ke4 masih mengalami pertumbuhan yang dipengaruhi oleh nitrat dan ortho pospat, Selanjutnya mulai minggu ke5-ke8 mengalami pengkroposan, sementara lokasi budidaya sebelah utara dari minggu k1-k8 biomassa rumput laut langsung mengalami pengkroposan.
Pengkroposan biomassa rumput laut di lokasi budidaya
sebelah barat dan utara pulau Pari dipengruhi oleh suhu, arus dan oksigen terlarut. 4
Karaginan sebagai indikasi kualitas rumput laut sebagai produk akhir di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari selalu mengalami penurunan.
Saran 1
Perlu adanya penelitian terhadap karakteristik biofisik perairan selama beberapa tahun untuk mendapatkan data yang lebih akurat terhadap budidaya rumput laut K. alvarezii di pulau Pari.
2
Agar penyakit ice ice tidak meluas atau berkembang, maka kegiatan budidaya dihentikan selama kualitas air memburuk dan dilakukan penanaman bila kondisi perairan kembali mendukung usaha budidaya.
57
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto dan Liviawaty. 1993. Budidaya Rumput Pengelolaannya.Penerbit Bharatara, Jakarta.
Laut
dan
Cara
Ainsworth PA. and Blanshard JMV. 1980. Effect of Thermal Processing on Structure and Rheological of Carrageenan/Carob Gum Gels. Journal of Texture Studies 11 (149). Anggadiredja J, S Irawati, dan Kusmiyati. 1996. Potensi dan Manfaat Rumput Laut Indonesia dalam Bidang Farmasi. Seminar Nasional Industri Rumput Laut. Jakarta. p. 49-62. Anggoro S. 1994. Petunjuk Teknis Budidaya Laut. Direktorat Bina Sumber Hayati. Departemen Pertanian, Jakarta. Anonimous. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Puslitbang Perikanan. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jakarta. Aslan LM. 1998. Budidaya Rumput Laut. Penerbit Kanisius, Jakarta. Atmadja WS, A Kadi, Sulistijo dan Rachmaniar. 1996. Pengenalan Jenis-Jenis Rumput Laut Indonesia. Puslitbang Oseanologi – LIPI, Jakarta. Atmadja WS dan Sulistijo. 1977. Usaha Pemanfaatan Bibit Stek Alga Laut Euchema spinosum (L) J. AGRADH di Pulau-pulau Seribu Untuk Dibudidayakan. Dalam: Teluk Jakarta, Sumberdaya, Sifat-sifat Oseanologis Serta Permasalahannya. Editor: M. Hutomo, K Romimohtarto dan Burhanudin. LON LIPI, Jakarta: hal 433-449. Bapeda Propinsi DKI Jakarta 2001. Pengelolaan Laut Lestari. Lembaga Penelitian ITB. Jakarta. Bengen DG. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisa Data Biofisika Sumberdaya Pesisir. PKSPL –IPB Bogor. Besweni. 2002. Kajian Ekologi Ekonomi Pengembangan Budidaya Rumput Laut DI Kepulauan Seribu (STUDI KASUS DI GUGUSAN P. Pari). Thesis IPB. Bogor. Bold HC, and MJ Wynne. 1985. Introduction to Alggae Structure and Reproduction. 2nd ed. Englewood Cliffs NJ: Prentice-Hal, 706 pp. Chapman VJ. 1962. The Algae. Mc McMillan and Co Ltd. London. 383-411. Chapman V J. and DJ Chapman. 1980. Seaweeds and Their Uses. Third Edition. Chapman and Hall, London. N.Y.
58
-----------1987. The Production And Use of Eucheuma In Case Studies of Seven Commercial Seaweed Resources. M.S. Doty. J.F. Coddy and B.Santelices (Eds). FAO Fisheries Technical Paper 281. Dawes C J, A C Matheieson and D. P. Chenney, 1974. Ecological Studies of Floridean Eucheuma (Rhodophyta, Gigartinales. I. Seasonal Growth and Reproduction. Bull. Mar. Sci., 24 : 235 – 273. Dawes CJ. 1981. Marine Botany. John Wiley and Sons University of South Florida. New York. 268 p. Direktorat Jenderal Perikanan. 1992. Suatu Tinjauan Tentang Teknologi Produksi Jenis Rumput Laut Tropis yang Bernilai Ekonomis. 43 hal. Direktorat Jenderal Perikanan. 1997. Pedoman Teknis Pemilihan Lokasi Budidaya Rumput Laut. Ditjen Perikanan. Jakarta. 20 hal. Direktorat Jenderal Perikanan. 2004. Hama dan Penyakit Rumput Laut. Doty MS. 1971. Measurement of Water Movement in References to Benthic Algae Growth. Bot Mar. XIV; 32-35. ------------- 1973. Eucheuma Farming for Carrageenan. Univ. Hawai Sea Grant Report. UNIHI SEAGRANT-AR 73-02: 21. Durant NW and FR Sanford. 1970. Fhycocoloids. Berau of Commercial Fisheries Div. of Publ. Washington. Eidman HM. 1991. Studi Efektivitas Bibit Algae Laut (Rumput Laut), Salah Satu Upaya peningkatan Produksi Budidaya Algae Laut (Eucheuma sp). Laporan Penelitian. Fakultas Perikanan. IPB. Emor DW. 1993. Peranan Unsur N dan P Bagi Pertumbuhan Rumput Laut di Perairan Pantai. Karya llmiah. Fakultas Perikanan-Universitas Sam Ratulangi, Manado. Furia TE. 1964. Food Hydrocollooids. Vol 1. CRS Press Inc. Boca Raton Florida. _______ 1981. Hand Book of Food Addives. 2nd. ed. Vol 1. CRC Pres. Florida. 308. Glickman M. 1969. Gum Technology in the Food Industry. Academic Press, New York. Guiseley KB, NF Stanley and F.M. Whitehouse. 1980. Carrageenan. Hand Book of Water Soluble Gums and Resins. R.L. Davids on (ed). Mc Grow Hill Book Company.N. Y. Toronto, London.
59
Hansen JE, FE Fackard and WT Doyle. 1981. Marine Culture of Red Seaweeds. A. California Sea Grant. College Program Publ. Haryadi S, INN Suryadiputra dan Widigdo. 1992. Limnologi. Penuntun Praktikum dan Analisa Kualitas Air. Fakultas Perikanan IPB, Bogor Hirao S. 1971. Seaweed in Untilization of Marine Products. In Okada, M., S. Hirao, E, Naguchi, T, T. Suzuki and M. Yokoseki (Eds). Overseas Tecnical Cooperation Agency Govermment of Japang. Tokyo. Hunter WD. 1970 Aquatic Productivity. MacMillan Publ. Co. Inc. New York. 320 p. Hutabarat J. 1995. Workshop Budidaya Laut: Evaluasi Kondisi Bio Hydrography dalam Penentuan Lokasi Budidaya Laut, Jepara. Ilahude AG dan Liasaputra. 1980. Sebaran Normal Parameter Hidrologi di Teluk Jakarta, Pengkajian Fisika, Kimia dan Geologi Tahun 1975 – 1979. LON LIPI Jakarta. Indriani H dan E Sumiarsih. 1999. Budidaya, Pengelolaan dan Pemasaran Rumput Laut. PT. Penebar Swadaya, Depok. IPB (1997). Ismail A. 1982. Penelitian Adaptif Peningkatan Mutu Rumput Karagenopit dengan Pencucian Alkali. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Jakarta. 14 hal.Laut. Johan O. 2001. Tingkat Keberhasilan Transplantasi Karang Batu pada Lokasi yang berbeda di Gugus Pulau Pari Kabupaten Pulau Seribu. Tesis Program Studi Ilmu Kelautan. Program Pascasarjana IPB. Bogor Kadi A dan WS Atmadja. 1988. Rumput Laut (Algae) Jenis, Reproduksi, Produksi, Budidaya dan Pasca Panen. PPPO LIPI Jakarta. Kastoro. 1977. Hasil-Hasil pengamatan hidrologi di perairan sekitar Pulau Lancang. Jakarta. Kolang M, X Lalu, dan H Korah. 1996. Panduan Budidaya dan Pengolahan Rumput Laut. Dinas Perikanan Sulawesi Utara, Manado. Kuhl A. 1974. Phosphorus. L1 W. D. P. Stewart (Ed.). Algae Physiology and Biochemstry. Botanical Monographs. Vol. 10. Blackwell Scientific Publications, Oxford, London, Edinburgh, Melbourne. p:G36-654. Kusdi HIK. 2004. Kajian Pertumbuhan, Produksi Rumput Laut Eucheuma cotoni dan Kandungan Karaginan di Perairan Maluku Utara. Tesis Program Studi Ilmu Perairan. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
60
Lewis SM, JN Norris and RB Searles 1987. The Regulation of Morphological Plasticity on Tropical Reef Algae by Herbivor, Ecology 68 pp. Lobban CS, PJ Harison. 1994. Seaweed Ecology and Physiology. Cambridge Univ. Press New York. Luning
K. 1990. Seaweed; Their Environment, Biogeography and Ecophysiology. A Wiley Interscience Publication. John Wiley and Sons. Inc. New York.
Moore AB. 1958. Marine Ecology. John Wiley and Sons, Inc. NY, 493p. Morris I. 1974. Nitrogen Asimilation and Protein Synthetis. P:583-609. In W.D.P. Stewart (Ed). Algal Physiologi and biochemisty. Botanical Monographs. Vol 10. Blackwell Scientific Publication. Oxford, London, Edinburgh. Melboume. Mubarak H dan I Wahyuni. 1981. Percobaan Budidaya Rumput Laut di Perairan Lorok, Pacitan dan Kemungkinan Pengembangannya. Bull. Pen. Perikanan, I(2) : 157-166. Mukti ED.1987. Ekstraksi Analisa Sifat Fisika Kimia Karaginan dari Rumput Laut Laut Jenis Eucheuma cottonii. Fateta IPB Bogor. Nasution MH 2005. Patogenitas Beberapa Isolat Bakteri Terhadap Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Asal Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakrata. Jakarta. Ngangi ELA. 2001. Kajian Intensifikasi dan Analisis Finansial Usaha Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii di Desa Bentenan-Tumbak Kecamatan Belang Propinsi Sulawesi Utara. . Tesis Program Studi Ilmu Kelautan. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Ngangi ELA, Jusuf dan JD Kusen. 1998. Faktor Lingkungan Budidaya Rumput Laut di Desa Serey Kecamatan Likupang Minahasa. Laporan Penelitian Fakultas Perikanan Universitas Sam Ratulangi. Manado. Nontji 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. Noor DZ 1991. Pengaruh Senyawa Hidroksida dan Usia Tanam Terhadap Kualitas Bahan Baku Rumput Laut. Prosesing Temu Karya Ilmiah Pasca Panen Rumput Laut. Lembaga Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jakarta. Patadjai RS. 1993. Pengaruh Pupuk TSP Pertumbuhan dan Kualitas Rumput Laut Gracilaria gigas Harv. Tesis Program Studi Ilmu Perairan. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
61
Rahardjo A. 2000. Semarak Rumput Laut di Pulau Tidung. Trubus No. 364. Ed. Maret 200. Thn XXX. Yayasan Sosial Tani Membangun. Jakarta. Rees DA.1969. Structure Confirmation and Mechanism in the Formation of Polysaccharide Gels and Net Works. In Advance Carbohydrat Chemistry. Biochemistry, Edinburg Scottl and 24: 279-282 Reen DW. 1986. Uses of Marine Algae in Biotechnology and Industry. Workshop on Marine Algae Biotechnology. Summary Report. National Academic Press, Washington D.C. Salisbury FB dan CW Ross. 1992. Fisiologi Tumbuhan. Terjemahan Diah, RL dan Sumaryono. Penerbit ITB. Bandung: 584 hal. Sanderson GR. 1981. Phylosaccharides in Foods. Food Technology 35 (7) : 50. Satari R. 1998. Kandungan Karaginan Eucheuma pada Berbagai Usia Panen. Peranan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Budidya Sumberdaya Perikanan Sebagai Perwujudan Konsep Benua Maritim Indonesia. Prosiding Simposium Perikanan Indonesia II. Desember 1997. Ujung Pandang. Sediadi dan Budihardjo U. 2000. Rumput Laut: Komoditas Unggulan. PT. Gramedia Indonesia. Jakarta. Semangun H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. 754 hal. Sharma SC. 1981. Gum and Hidrocolloids in Oil Water Emultions. Food Technology. 5 (1) : 59. Silva PC. 1979. The Binthic Algae Flora of Central San Francisco Bay. In San Francisco Bay. The Urbanized Estuary (pp 287-345). San Francisco Academy of Sceincer. Silva PC, Basson PW and Moe RL. 1996. Cataloque of the Benthic Marine Algae of the India Ocean. Univ. Of California Press. Simpson FJ, AC Neish, PF Shacklock and DR Robon. 1978. The Cultivation of Chondrus Crispus Effect of pH and Growth and Production of Carrageenan. Botanica Marina 21:229-235. Smith DF, AN Hiiel and AS Fenin. 1955. Studies on Heterogenity of Carrageenan. Can. J. Chem. 30 . 1352 – 1260. Soegiarto A dan Sulistio 1985. Produksi dan Budidaya Rumput Laut di Indonesia. LON-LIPI Jakarta.
62
Soegiarto A., WS Atmadja, Sulistijo dan H. Mubarak. 1978. Rumput Laut (Algae): Manfaat, Potensi dan Usaha Budidayanya. LON-LIPI, Jakarta. Soerjodinoto. 1968. Masalah Kultivasi Eucheuma di Pseudo Atol pulau Pari. Dit. Hidral. Jakarta. Strickland dan Parson 1968. A Practical Handbook of Seawater Analysis. 2nd ed. Fish . Res. Bd . Canada Bull. 167, 310 pp [4.7.1,5.2,6.3]. Suharsono. 1986. Permasalahan dan Pengelolaan Trumbu Karang di Indonesia. Jurnalisti. Program Rehabilitasi dan Pengelaan Trumbu Karang. Jakarta. Sulistijo. 1994. The Harfest Quality of alvarezzi Culture by Floating Method in Pari Island North Jakarta. Research and Development Center for Oceanology Indonesia Institut of Science. Jakarta. --------- 1996. Perkembangan Budidaya Rumput Laut di Indonesia. Dalam. Pengenalan Jenis-Jensi Runput Laut. Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta. Hal 120-151. --------- 2002. Penelitian Budidaya Rumput Laut (Algae Makro/Seaweed) di Indonesia. Pidato Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Akuakultur Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Supit SD. 1989. Karakteristik Pertumbuhan dan Kadungan Keragenan Rumput Laut Eucheuma alvarezii yang Berwarna Abu-abu, Coklat dan Hijau yang Ditanam di goba Labangan Pasir P. Pari. Skripsi Fakultas Pertanian IPB. Bogor. 100 hal. Suryaningrum TD. 1988. Kajian Sifat - Sifat Mutu Komoditi Rumput Laut Budidaya Jenis Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum. Thesis IPB. Bogor. Syret PJ. 1962. Nitrogen assimilation in: R. A. Levin and Phisiology and Biochemisty of Alge. Academik Press, New York, N. Y. 171 188. Towle GA. 1973. Carrageenan In Industrial Gums. R.L. Wistler and Be. Miller. S.N. (eds) Academic Press. London. Trono GC. 1992. Suatu Tinjauan Tentang Tehnologi Produksi Jenis Rumput Laut Tropis yang Bernilai Ekonomis. Dirjen Perikanan Jakarta. Trono GC, Trorino dan F.G. Fortes 1988. Philippine Seaweeds. National Book Stone Inc. Manila.
63
Uyenco F, LS Sanmiel and GS Jacinto. 1981. The “Ice ice” Problem in Seaweed Farming. Proc. International Seaweed Syimposium 10 : 625-630. Wei FL and WY Chin. 1983. Seaweed of Singapore. Singapore University. Press National. University of Singapore. Winarno F G. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Zabil ME and J Ridrich. 1968. Gel Strenght of Kappa-Carrageenan as Affected by Cation. J. Food Sci : 12 : 91 - 97. Zatnika A. 1988. Prospek Pengembangan Rumput Laut di Indonesia Dalam Seminar Laut Nasional II. Kantor Menteri Negara KLH, Laboratorium Ilmu-ilmu Kelautan UI IPB dan Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI). Zatnika A dan Angkasa WI. 1994. Teknologi Budidaya Rumput Laut. Makalah pada Seminar Pekan Akuakultur V.tim Rumput Laut BPP Teknologi Jakarta. Jakarta.
65
Lampiran 1 Hasil pengukuran parameter kualitas air di lokasi budidaya sebelah barat pulau Pari Parameter kualitas air Suhu (°C) Salinitas (‰) Arus (cm/dtk) Oksigen terlarut (mg/l) Kecerahan (m) pH Nitrat (mg/l) Nitrit (mg/l) Amonia (mg/l) Total-P (mg/l) Ortho-P (mg/l)
0 27,4 31,2 5,18 6,96 2,3 8,0 0,172 0,0102 0,1706 0,126 0,0070
1 27,6 31,6 5,38 6,76 2,52 8,0 0,208 0,0106 0,1726 0,116 0,0060
Nilai parameter kualitas air pada minggu ke… 2 3 4 5 6 27,2 27 29 29,2 30 31,6 31,8 31,8 31,4 32 5,2 5,56 5,14 2,5 2,88 6,74 6,8 6,52 4,5 4,02 2,3 2,3 2,25 2,52 2,25 8,1 8,3 8,1 8,2 8,3 0,194 0,272 0,240 0,208 0,182 0,01032 0,0097 0,0094 0,0112 0,01098 0,1721 0,1736 0,1803 0,1803 0,1821 0,121 0,122 0,125 0,136 0,1193 0,0080 0,0070 0,0090 0,0080 0,0070
7 30 31,6 3,24 4,08 2,3 8,4 0,152 0,01118 0,1811 0,118 0,0080
8 31 32,8 3,1 3,96 2,3 8,2 0,170 0,0113 0,1821 0,1190 0,0070
Rata-rata 28,71 31,76 4,24 5,59 2,34 8,18 0,1998 0,0105 0,1772 0,1225 0,0074
66
Lampiran 2 Hasil pengukuran parameter kualitas air di lokasi budidaya sebelah utara pulau Pari
Parameter kualitas air
0
1
Nilai parameter kualitas air pada minggu ke… 2 3 4 5 6
Rata-rata 7
8
Suhu (°C)
30,0
30,2
30,4
30,4
30,4
30,2
31,2
31,2
31,0
30,56
Salinitas (‰) Arus (cm/dtk) Oksigen terlarut (mg/l) Kecerahan (m)
31,3 1,96 4,70 2,15
31,4 2,10 4,86 2,25
31,4 2,14 4,80 2,24
31,9 1,94 4,82 2,21
31,9 1,90 4,74 2,25
31,6 1,94 4,58 2,21
31,9 1,74 4,68 2,25
31,8 1,62 4,58 2,25
32,5 1,66 3,90 2,25
31,74 1,89 4,63 2,23
pH Nitrat (mg/l) Nitrit (mg/l) Amonia (mg/l)
7,3 0,1104 0,0108 0,1714
7,4 0,1114 0,0108 0,1814
7,3 0,1113 0,0109 0,1812
7,3 0,1097 0,0108 0,1813
7,1 0,1098 0,0110 0,1812
7,2 0,1099 0,0109 0,1814
7,2 0,1109 0,0110 0,1813
7,2 0,1099 0,0108 0,1814
7,3 0,1111 0,0108 0,1813
7,3 0,1105 0,0109 0,1802
Total-P (mg/l) Ortho-P (mg/l)
0,0059 0,0053
0,0062 0,0054
0,0061 0,0053
0,0056 0,0052
0,0059 0,0049
0,0059 0,0046
0,0061 0,0048
0,0061 0,0047
0,0059 0,0041
0,0060 0,0049
67
Lampiran 3 Hasil uji t terhadap parameter kualitas air di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari periode Mei sampai Juni 2005. Parameter Arus Kecerahan Suhu pH Salinitas DO Nitrat Ortho-P Amonia Nitrit Total-P Ket
t-hit 44,7051 3,9675 4,5900 17,5856 11,5742 31,4133 0,1212 20,3814 3,1229 0,0004 0,1938
** = sangat nyata tn = tidak nyata
Hasil Uji t-tab 95% 1,7500 1,7500 1,7500 1,7500 1,7500 1,7500 1,7500 1,7500 1,7500 1,7500 1,7500
99% 2,9200 2,9200 2,9200 2,9200 2,9200 2,9200 2,9200 2,9200 2,9200 2,9200 2,9200
Simpulan ** ** ** ** ** ** tn ** ** tn tn
68
Lmpiran 4 Hasil pengukuran bobot basah K. alvarezii di lokasi budidaya sebelah barat pulau Pari Ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jumlah Rata-rata
0 1 125 127,4 125 126,3 125 125,5 125 126,5 125 125,8 125 127 125 126,5 125 126,8 125 130,3 125 126,3 1250 1268,4 125 126,84
Pengamatan (minggu) 2 3 4 5 135,5 155,5 206,3 192,5 134,5 154,3 204,9 190,4 132,5 152,9 200 185,3 133,5 155,9 208,5 195 132,5 146,9 186,4 159,8 138,9 163,5 220,5 208,9 137,8 157,6 209 196,4 133,5 153,5 203,7 188,6 137,9 162,6 215,9 196,5 133,9 159,3 207,8 193,6 1350,5 1562 2063 1907 135,05 156,2 206,3 190,7
6 184,5 182,3 174,3 185,2 139,7 197,6 187,5 178,4 189,5 186 1805 180,5
7 153,5 146,8 143,7 154,5 105,8 176,8 157,6 151,8 157,6 153,9 1502 150,2
8 134,5 127,2 126,7 138,1 130,6 128,6 128,8 132,2 127,7 131,6 1306 130,6
69
Lampiran 5 Hasil pengukuran bobot basah K. alvarezii setiap minggu di lokasi budidaya sebelah utara pulau Pari. Ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Total Rata-rata
0 125 125 125 125 125 125 125 125 125 125 1250 125
1 115,7 116,4 114,7 114,5 115,5 114,7 111,0 103,5 114,6 116,4 1137 113,7
Pengamatan (minggu) 2 3 4 5 114,6 108,7 99,9 82,5 114,9 109,0 100,0 85,5 112,9 100,9 87,8 68,3 112,7 102,5 91,5 74,5 113,5 104,5 93,9 76,5 111,7 100,7 85,7 71,0 105,5 97,6 77,5 48,0 98,8 78,8 65,8 46,7 113,6 105,7 96,7 80,2 114,8 106,6 98,2 81,8 1113 1015 897 715 111,3 101,5 89,7 71,5
6 69,5 74,5 50,5 60,4 61,7 53,9 39,3 35,5 68,7 70,0 584 58,4
7 53,9 56,4 39,9 47,9 49,0 43,5 22,5 20,3 50,8 56,8 441 44,1
8 41,7 43,9 26,9 32,5 35,5 28,7 12,9 10,5 37,9 42,5 313 31,3
70
Lampiran 6 Hasil uji t terhadap bobot basah, Kandungan karaginan, kadar air dan kadar abu di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari periode Mei sampai Juni 2005. Bobot basah (Minguan) 1 2 3 4 5 6 7 8 Ket
99% 2,55 2,55 2,55 2,55 2,55 2,55 2,55 2,55
Simpulan ** ** ** ** ** ** ** *
** = sangat nyata * = nyata
Parameter Karaginan Kadar abu Kadar air Ket
t-hit 6,54 7,13 7,27 8,18 6,36 5,42 4,52 2,30
JHasil Uji t-tab 95% 2,10 2,10 2,10 2,10 2,10 2,10 2,10 2,10
t-hit 26,28 63,96 120,42
** = sangat nyata
Hasil Uji t-tab 95% 1,75 1,75 1,75
99% 2,92 2,92 2,92
Simpulan ** ** **
71
Lampiran 8 Kandungan karaginan, kadar air dan kadar abu di lokasi budidaya sebelah barat (a) dan utara (b) pulau Pari (a) Pengamatan (minggu) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Rata-rata (b) Pengamatan (minggu) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Rata-rata
125,0 126,8 135,1 156,2 206,3 190,7 180,5 150,2 130,6 155,7
Kandungan Karaginan (%) 8,5 8,6 9,2 13,2 16,8 13,8 13,7 9,6 4,5 10,9
Kadar Air (%) 20,2 22,6 22,8 20,8 19,1 19,9 20,6 21,2 21,4 21,0
Kadar Abu (%) 17,8 16,9 19,8 20,2 21,2 21,2 22,3 21,5 21,6 20,3
Bobot basah (g) 125 113,7 111,3 101,5 89,7 71,5 58,4 44,1 31,3 82,94
Kandungan Karaginan (%) 8,52 7,99 7,25 6,9 3,9 3,1 1,89 1,32 1,23 4,68
Kadar Air (%) 20,1 23,82 23,78 20,88 22,26 23,24 23,24 21,12 20,08 22,06
Kadar Abu (%) 16,99 20,23 20,1 21,21 23 25,54 25,55 26,23 26,21 22,78
Bobot basah (g)
72
Lampiran 9 Hasil analisis komponen utama lokasi budidaya sebelah barat pulau Pari A. Korelasi antara variabel dengan sumbu utama F1 Suhu (°C) Salinitas (‰) Arus (cm/dtk) Oksigen terlarut (mg/l) Kecerahan (m) pH Nitrat (mg/l) Nitrit (mg/l) Amonia (mg/l) Total-P (mg/l) Ortho-P (mg/l)
F2 -0,954 -0,923 0,955 0,974 0,096 -0,702 0,513 -0,768 -0,915 0,006 -0,194
F3 0,105 0,153 0,193 0,126 -0,441 0,199 0,482 -0,568 0,276 0,437 0,875
-0,091 0,264 -0,083 -0,055 0,808 -0,255 0,215 0,188 0,030 0,803 0,068
B. Akar ciri representasi ragam pada sumbu utama Nilai 1 2 3 4 5 6 7 8
Akar Ciri 6,76 1,93 1,55 0,92 0,45 0,27 0,07 0,05
%Total ragam 56,34 16,12 12,91 7,66 3,74 2,22 0,57 0,45
Kumulatif % 56 72 85 93 97 99 100 100
C. Kontribusi antara variabel pada sumbu utama Variabel Suhu (°C) Salinitas (‰) Arus (cm/dtk) Oksigen terlarut (mg/l) Kecerahan (m) pH Nitrat (mg/l) Nitrit (mg/l) Amonia (mg/l) Total-P (mg/l) Ortho-P (mg/l) .
F1 13,47 12,60 13,50 14,03 0,14 7,28 3,89 8,73 12,38 0,00 0,55
F2 0,57 1,20 1,92 0,82 10,06 2,04 12,03 16,66 3,94 9,89 39,63
F3 0,53 4,51 0,44 0,20 42,16 4,19 2,98 2,28 0,06 41,61 0,30
73
D. Sebaran kualitas air (F1 x F2) dan Korelasi antara Variabel (F1 x F3) di lokasi budidaya sebelah barat pulau Pari
Variables (axis F1 and F2: 71 %) 1,5
-- axis F2 (17 %) -->
1
Ortho-P
0,5
Total-P
Amoniak
Nitrat
(mg/l) Salinitas pH Suhu
Arus DO
0 Kec
-0,5
Nitrit
-1
-1,5 -1,5
-1
-0,5
0
0,5
1
1,5
-- axis F1 (53 %) -->
Variables (axis F1 and F3: 67 %) 1,5
1
-- axis F3 (14 %) -->
Kec Total-P 0,5 Salinitas Nitrit Amoniak (mg/l) Suhu pH
0
Nitrat Ortho-P
DO Arus
-0,5
-1
-1,5 -1,5
-1
-0,5
0
0,5
-- axis F1 (53 %) -->
1
1,5
74
Lampiran 10
Hasil analisis komponen utama lokasi budidaya sebelah utara pulau Par i
A. Korelasi antara variabel dengan sumbu utama Parameter Suhu (°C) Salinitas (‰) Arus (cm/dtk) Oksigen terlarut (mg/l) Kecerahan (m) pH Nitrat (mg/l) Nitrit (mg/l) Amonia (mg/l) Total-P (mg/l) Ortho-P (mg/l)
F1 0,906 -0,526 -0,855 -0,673 0,603 -0,718 -0,122 0,234 0,629 -0,023 -0,887
F2 0,328 0,191 0,230 0,224 0,711 0,372 0,761 0,205 0,451 0,857 0,208
F3 -0,099 0,343 0,083 0,564 0,186 -0,555 -0,540 0,720 0,324 -0,037 0,201
B Akar ciri representasi ragam pada sumbu utama Nilai 1 2 3 4 5 6 7 8
%Total Ragam 44,87 20,80 14,62 8,22 6,07 4,53 0,71 0,19
Kumulatif % 44,87 65,66 80,28 88,50 94,57 99,10 99,81 100,00
C Kontribusi antara variabel pada sumbu utama Parameter Suhu (°C) Salinitas (‰) Arus (cm/dtk) Oksigen terlarut (mg/l) Kecerahan (m) pH Nitrat (mg/l) Nitrit (mg/l) Amonia (mg/l) Total-P (mg/l) Ortho-P (mg/l)
F1 15,240 5,142 13,562 8,406 6,758 9,570 0,275 1,018 7,360 0,010 14,622
F2 4,313 1,466 2,115 2,018 20,273 5,544 23,209 1,681 8,149 29,406 1,737
F3 0,557 6,693 0,393 18,140 1,969 17,547 16,603 29,576 5,987 0,079 2,307
75
D. Sebaran kua litas air (F1 x F2) dan (F1 x F3) di lokasi budidaya sebelah utara pulau Pari.
Variables (axis F1 and F2: 66 %) 1,5
1
-- axis F2 (21 %) -->
Total-P Nitrat
Kec Amoniak (mg/l) Suhu
0,5 pH ArusDOSalinitas Ortho-P
Nitrit
0
-0,5
-1
-1,5 -1,5
-1
-0,5
0
0,5
1
1,5
-- axis F1 (45 %) -->
Variables (axis F1 and F3: 59 %) 1,5
1
-- axis F3 (15 %) -->
Nitrit DO
0,5
Amoniak (mg/l) Kec
Salinitas Ortho-P Arus
0
Total-P
-0,5
Suhu
Nitrat
pH
-1
-1,5 -1,5
-1
-0,5
0
0,5
-- axis F1 (45 %) -->
1
1,5
76
Lampiran 12 Analysis of Variance hubungan pertumbuhan dengan unsur hara (nitrat, ortho pospat) minggu ke1-ke4, dengan suhu, arus dan oksigen terlarut minggu ke5-ke8 di lokasi budidaya sebelah barat pulau Pari (minggu ke1-ke4) Source DF Regression 2 Residual 5 Total 7 R-Sq = 83% Predictor Constant Nitrat Ortho-P
Coef -281,23 1550,9 14596
SS 7194,6 5 311,1 7505,6
SE Coef 48,44 233,0 2179
MS 3597,3 62,2
T -5,81 6,66 6,70
F 57,82
P 0,000
P 0,002 0,001 0,001
Persamaan Regresi : BB = - 281 + 1551 nitrat + 14596 ortho-P
(minggu ke5-ke8) Source Regression Residual Total R-Sq = 98,9% Predictor Constant Suhu Oksigen Arus
DF 3 4 7
Coef 1852,3 -34,691 -10,019 -7,7888
SS 4839,2 55,7 4894,9
SE Coef 166,7 3,800 1,477 0,8601
MS 1613,1 13,9
T 11,11 -9,13 -6,78 -9,06
Persamaan Regresi : BB = 1852 - 10 Oksigen - 7,79 Arus - 34,7 Suhu
F 115,89
P 0,000 0,001 0,002 0,001
P 0,000
77
Lampiran 12 Analysis of Variance hubungan pertumbuhan dengan suhu, arus dan oksigen di lokasi budidaya sebelah utara pulau Pari (minggu ke1-ke4) dan (minggu ke5-ke8)
(Minggu 1 - 4) Source Regression Residual Total R-Sq = 98,2% Predictor Constant Suhu Arus Oksigen
DF 3 4 7
Coef -980,7 19,279 4,7419 8,524
SS 317,30 5,94 323,24
MS 105,77 1,48
SE Coef 318,2 8,329 0,5211 1,733
T -3,08 2,31 9,10 4,92
F 71,27
P 0,001
P 0,037 0,042 0,001 0,008
Persamaan Regresi : BB = -981 + 19,3 suhu + 4,74 arus + 8,52 oksigen
(Minggu 5 - 8) Source Regression Residual Total R-Sq = 99% Predictor Constant Suhu Oksigen Arus
DF 3 4 7
Coef -1489,2 45,10 -6,143 25,335
SS 1786,84 18,49 1805,33
MS 595,61 4,62
SE Coef 307 10,63 1,993 3,938
T -4,85 4,24 -3,08 6,43
Persamaan Regresi : BB = -1489 + 45,1 suhu + 25,3 arus - 6,14 oksigen
F 128,83
P 0,008 0,013 0,037 0,003
P 0,000
78
Lampiran 13 Analysis of Variance hubungan karaginan dengan unsur hara di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari Barat Source Regression Residual Error Total R-Sq = 84.6% Predictor Constant Nitrat Ortho-P Amonia
Utara Source Regression Residual Error Total R-Sq = 79.6% Predictor Constant Nitrat Ortho-P Amonia
DF 3 5 8
Coef 21.67 39.22 4321 -276.1
DF 3 5 8
Coef -149 252.5 6049 527
SS 103.055 18.731 121.786
MS 34.352 3.746
SE Coef 32.60 21.64 1283 204.1
SS 53.581 13.696 67.277
SE Coef 1293 856.1 1391 7060
F 9.17
T 0.66 1.81 3.37 -1.35
MS 17.860 2.739
T -0.11 0.29 4.35 0.07
P 0.018
P 0.536 0.130 0.020 0.234
F 6.52
P 0.035
P 0.913 0.780 0.007 0.943