LAJU KECEPATAN PENYERANGAN ICE-ICE PADA RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii DI PERAIRAN BLUTO SUMENEP MADURA Abdul Qadir Jailani, Indah Wahyuni Abida, Haryo Triajie Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Korespondensi: Jl. Raya Telang PO BOX 2 Kamal-Bangkalan
ABSTRAK Fluktuasi cuaca berpengaruh pada faktor fisika kimia perairan yang berakibat pada daya tahan rumput laut. Rumput laut yang lemah akan mudah terserang bakteri patogen penyebab utama penyakit ice-ice, sehingga hasil produksi rumput laut akan menurun. Untuk itu penelitian ini diharapkan mampu memberi informasi tentang laju kecepatan serangan ice-ice pada rumput laut E.cottonii yang di budidaya di Perairan Bluto Kab. Sumenep. Sampel diambil dari 5 titik transek pada 1 rakit. Pengamatan dilakuan setiap 12 jam yang meliputi: pengamatan visual, nilai persen penutupan dan parameter kualitas air. Serangan ice-ice banyak terjadi pada siang hari (05.00-17.00 WIB) dengan nilai persen penyerangan tertinggi 2,5168% pada titik transek 1, posisi rumput laut yang muncul kepermukaan menjadi faktor utama dari tingginya nilai tersebut. Intensitas sinar matahari pada titik transek 1 berpengaruh terhadap daya tahan rumput laut sehingga menyebabkan tingkat penyerangan ice-ice lebih tinggi. Kata kunci: Ice-ice, Eucheuma cottonii PENDAHULUAN Kabupaten Sumenep merupakan salah satu sentra perikanan di Propinsi Jawa Timur. dengan luas perairan laut sekitar 50.000 km², wilayah pantai yang landai, ekosistem terumbu karang dan perairan laut yang relatif tenang memacu perkembangan usaha budidaya rumput laut, dan hasilnya dengan luas areal budidaya 5.795 ha dapat menghasilkan 3.224,70 ton rumput laut per tahun. Salah satu jenis rumput laut yang dibudidayakan di Sumenep adalah E. cottonii yang mempunyai produksi pada tahun 2002 mencapai 218.703506 ton dengan jumlah petani 3400 orang dan jumlah rakit mencapai 14.895 unit. Menurut data potensi unggulan Kabupaten Sumenep tahun 2003, usaha agribisnis rumput laut tersebar di 6 kecamatan yaitu Bluto (14.835,252 ton/bulan), Talango (24.403,365 ton /bulan), Saronggi (3.073,058 ton /bulan), Ra’as (0,650 ton /bulan), Gili Genting (1.346,833 ton / bulan) dan Dungkek (186,175 ton/bulan) (Pusat Studi Kelautan dan DKP Sumenep, 2008). Keberhasilan budidaya rumput laut selain tergantung dari kesesuaian lahan dan penguasaan teknologi budidaya juga sangat tergantung dengan musim. Penyediaan benih dan hasil budidaya yang tidak kontinu, khususnya pada masa pertumbuhan rumput laut tidak baik dan kondisi lingkungan yang tidak mendukung pada bulan-bulan tertentu, merupakan masalah yang sering dihadapi oleh pembudidaya rumput laut. Perubahan lingkungan yaitu arus, suhu, dan kecerahan di lokasi budidaya dapat memicu terjadinya penyakit ice-ice. Tingkat penyerangannya terjadi dalam waktu yang cukup lama. Hal ini sesuai dengan pendapat Largo et al. (1995), bahwa penyebab ice-ice ini adalah terjadinya perubahan lingkungan yang tidak sesuai untuk pertumbuhan sehingga menyebabkan menurunnya daya tahan rumput laut tersebut. Masalah yang ditemukan dalam pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia adalah banyaknya gangguan hama dan penyakit rumput laut terutama ice-ice, serta keterbatasan informasi teknik pengendaliannya (Nurdjana, 2007). Ice-ice merupakan penyakit yang banyak menyerang rumput laut. Penyakit ini ditandai dengan timbulnya bintik/bercak-bercak merah pada sebagian thallus yang lama kelamaan menjadi kuning pucat dan akhirnya berangsur-angsur menjadi putih. Thallus menjadi rapuh dan mudah putus. Gejala yang diperlihatkan adalah pertumbuhan yang lambat, terjadinya perubahan warna menjadi pucat dan pada beberapa cabang menjadi dan membusuk (Largo et al. 1995). Stress yang diakibatkan perubahan kondisi lingkungan yang mendadak yaitu perubahan salinitas, suhu air dan intensitas cahaya, merupakan faktor utama yang memacu timbulnya penyakit 1 Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo 20 Oktober 2011
ice-ice. Ketika rumput laut mengalami stress akan memudahkan infeksi patogen. Pada keadaan stress, rumput laut (misalnya: Gracilaria, Eucheuma atau Kappaphycus) akan membebaskan substansi organik yang menyebabkan thallus berlendir dan merangsang bakteri tumbuh melimpah. Kejadian penyakit ice-ice bersifat musiman dan menular (Largo et al. 1995). Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui laju kecepatan penyerangan ice-ice pada rumput laut E. cottonii. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bluto, Kecamatan Bluto, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur. Waktu penelitian dilaksanakan bulan November sampai Desember 2010. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumput laut jenis Eucheuma cottonii yang diperoleh dari hasil pembibitan kelompok tani nelayan di Kecamatan Bluto. Budidaya rumput laut menggunakan metode rakit apung yang terbuat dari bambu berukuran 9 m x 12 m. Jumlah rakit yang digunakan dalam penelitian ini ada 1 unit. Sistem pengikatan menggunakan tali polyetilene (PE) dan pemberat menggunakan kotak beton dengan berat 50 kg. Rakit budidaya ditempatkan sekitar 1 km dari tepi pantai. Selain itu kamera sebagai identifikasi secara visual untuk mengetahui laju serangan ice-ice. Pengamatan lingkungan perairan dilakukan pada pagi hari pukul (05.00) dan sore pukul (17.00) selama 7 hari. Parameter lingkungan perairan yang diamati meliputi parameter fisika dan kimia. Parameter fisika yang diamati adalah suhu, arus, kecerahan yang diukur langsung di lapangan. Suhu diukur dengan menggunakan thermometer, kecerahan diukur dengan menggunakan Secchidisc. Parameter kimia yang diamati adalah salinitas, oksigen terlarut (DO) dan pH. Salinitas diukur dengan menggunakan hand refraktometer, DO diukur dengan menggunakan DO meter, dan pH diukur dengan menggunakan pH meter. Pengamatan diawali dengan menentukan 5 titik transek. Setelah itu menimbang berat rumpun/bibit sebagai sampel (Wt0). Untuk mengetahui besar persentase infeksi penyakit ice-ice dilakukan perhitungan penutupan rumput laut dengan transek kuadrat 50x50 cm, dan dilakukan pengamatan untuk penentuan kelas sebagai persen penutupan dan mid pointnya. Laju infeksi ice-ice juga dianalisa secara visual dengan menggunakan kamera per hari. Kemudian pada hari ke 7 dilakukan penimbangan rumput laut sebagai data (Wt1), sehingga dapat diketahui pertumbuhan rumput laut yang terserang atau terinfeksi penyakit ice-ice. Pengamatan persen penutupan. Cara perhitungan persentase menurut Saito dan Atobe (1970); dapat dilakukan dengan penentuan kelas secara visual yang selanjutnya diketahui % penutupan dan mid pointnya. Tabel 1. Persen penutupan (C). Kelas % penutupan Mid point (M) 0 0 0 1 <6.25 3.13 2 6.25-12.5 9.38 3 12.5-25 18.75 4 25-50 37.5 5 50-100 75 Berdasarkan Tabel 1. pengelompokan data di atas dapat dihitung dengan rumus dibawah ini:
C : Persen penutupan oleh ice ice Mi : nilai mid point Fi : frekuensi Σf : jumlah frekuensi Pertumbuhan rumput laut (Amiluddin 2007).
a. Pertumbuhan mutlak = Wt1– Wt0 b. Pertumbuhan relatif Wt0 = Pertumbuhan pada waktu awal
HASIL DAN PEMBAHASAN SERANGAN ice-ice. Hasil penelitian selama 7 hari yang dilaksanakan di Desa Lobuk diperoleh data pengukuran persen penutupan pada tiap transek dengan ukuran 50x50 cm yang diamati per 12 jam. Hasil pengamatan diperoleh bahwa serangan ice-ice banyak terjadi saat siang hari, dan mengalami peningkatan saat intensitas sinar matahari maksimum, hal ini ditunjukkan dengan hasil nilai dari persen penutupan (C) yang mengalami peningkatan pada pengukuran sore hari atau saat jam 17.00. Pengamatan 12 jam pertama yaitu pukul 05.00-17.00 dan 12 jam kedua pukul 17.00-05.00 pagi, pengamatan pada pagi hari mewakili proses pengamatan malam, dan pengamatan sore hari mewakili proses pengamatan siang. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Gambar 1 yang menunjukkan pola serangan ice-ice antara pagi dan sore.
Gambar 1. Grafik rata-rata persen penutupan (C) Hasil rata-rata pengamatan dari setiap titik transek diperoleh kesimpulan bahwa serangan ice-ice banyak terjadi pada siang hari yaitu 05.00-17.00, hal ini diduga karena intensitas cahaya matahari berpengaruh terhadap serangan atau infeksi ice-ice. Jenis rumput laut Eucheuma alvarezii dapat tumbuh optimum pada kisaran intensitas cahaya sebesar 6500 sampai 7500 Lux (Willem 2005). Kemudian menurut Abida (2007), intensitas sinar matahari yang diukur di perairan madura dari kedalaman 20 cm sebesar 34562,876 lux pada pagi hari jam 09.00 WIB dan 9617,071 Lux pada sore hari. Nilai ini menunjukkan nilai yang lebih tinggi yang diterima oleh thallus rumput laut. Intensitas sinar yang diterima secara sempurna oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses fotosintesis, tetapi sebaliknya adanya cahaya matahari yang berlebihan mengakibatkan tanaman menjadi putih, karena hilangnya protein (Indriani dan Sumiarsih 2003). Dengan kondisi mendung maka intensitas cahaya akan berkurang begitu juga sebaliknya, jika kondisi panas maka intensitas cahaya akan meningkat. Untuk mengetahui secara detail mengenai laju kecepatan serangan ice-ice selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 2.
3 Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo 20 Oktober 2011
Gambar 2. Grafik persen penutupan (C)/12 jam Dari Gambar 2. menunjukkan bahwa pada 24 jam hari pertama laju infeksi ice-ice tidak mengalami perubahan, hal ini diduga kondisi cuaca dilokasi normal atau sesuai dengan syarat hidup rumput laut yang ditunjang dengan data kualitas air. Hari kedua sampai hari keempat mulai menunjukkan adanya serangan ice-ice, diduga adanya perubahan dari parameter kualitas perairan yang ekstrim seperti kecepatan arus, suhu, salintas dan kecerahan sebagai indikator utama penyebab serangan ice-ice. Menurut Largo et al. (1995) selain serangan hama, rumput laut dapat stress dikarenakan perubahan kondisi lingkungan yang mendadak yaitu perubahan salinitas, suhu air, kecepatan arus dan intensitas cahaya, dapat menjadi faktor utama yang memacu timbulnya penyakit ice-ice. Untuk hari kelima laju infeksi ice-ice tidak begitu tinggi dikarenakan kondisi perairan yang tidak begitu fluktuatif dari sebelumnya. Selanjutnya pada hari keenam dan ketujuh mengalami peningkatan seperti pada hari kedua dan keempat, diduga faktor perubahan lingkungan secara mendadak atau ekstrim yang berpengaruh terhadap daya tahan rumput laut, rumput laut yang lemah akan mudah terinfeksi atau terserang bakteri pathogen penyebab ice-ice. Ketika rumput laut mengalami stress akan memudahkan infeksi patogen. Pada keadaan stress, rumput laut misalnya: Gracilaria, Eucheuma atau Kappaphycus akan membebaskan substansi organik yang menyebabkan thallus berlendir dan merangsang bakteri tumbuh melimpah. Kejadian penyakit ice-ice bersifat musiman dan menular (Largo et al. 1995). Selain faktor lingkungan faktor sekunder atau hama juga berpengaruh terhadap infeksi iceice, dilokasi jenis hama yang ditemukan yaitu ikan baronang, tiram yang tumbuh besar pada tali dan bambu sehingga dapat melukai rumput laut yang berujung pada penyakit ice-ice, selain itu juga ada ubur-ubur yang gatal sehingga membuat petani malas untuk mengontrol rumput laut.
Gambar 3. Grafik Laju kecepatan ice-ice pada setiap titik transek selama 7 hari. Grafik menunjukkan bahwa laju infeksi ice-ice cenderung mengalami peningkatan setiap 1224 jam pada setiap titik transek, tetapi ada juga tren yang menunjukkan laju infeksi ice-ice mendatar atau tetap seperti pada titik transek 1,2,3 dan 4 pada sekitar hari ke 5 sampai ke 6. Hal ini diduga adanya perbedaan daya tahan terhadap perubahan lingkungan dari masing-masing individu rumput laut yang terserang ice-ice. Hal ini sesuai dengan pendapat Largo et al. (1995), bahwa penyebab Iceice ini adalah perubahan lingkungan yang tidak sesuai untuk pertumbuhan yang menyebabkan menurunnya daya tahan rumput laut tersebut. Hasil perhitungan perubahan tingkat persen penutupan berdasarkan data Gambar 3 yaitu untuk titik transek 1 mengalami peningkatan sebesar 1,008%, kemudian titik transek 2 sebesar 0,6252%, titik transek 3 sebesar 0.7504%, dan titik transek 4 dan 5 mengalami peningkatan yang sama yaitu sebesar 0,7508%. Dapat disimpulkan juga bahwa serangan ice-ice terbesar ada pada titik transek 1 yang mengalami peningkatan sebesar 1,008%. Perbedaan nilai dari serangan ice-ice ini diduga karena lokasi titik transek 1 yang berada di pojok rakit arah pesisir pantai, kemudian tali pengikat atau tali ris yang terlalu pendek mengakibatkan thallus muncul ke permukaan. Intensitas tinggi yang diterima oleh thallus rumput laut di titik transek ini menyebabkan thallus mudah layu dan patah yang kemudiaan berakibat pada serangan ice-ice. Hubungan Parameter Kualitas Air Terhadap serangan penyakit ice-ice. Penyakit ice ice pada tanaman rumput laut terjadi karena infeksi mikroba pada saat daya tahan rumput laut menurun, kondisi ini disebabkan karena adanya perubahan lingkungan yang ekstrim dan tidak dapat ditolerir, sehingga tanaman menjadi lemah (tidak sehat). Dari data kualitas air terutama suhu, arus dan oksigen terlarut diperoleh korelasi yaitu besar intensitas cahaya yang masuk dalam perairan akan mempengaruhi suhu dalam kolom air, kemudian cahaya matahari dapat dimanfaatkan rumput laut juga fitoplankton dalam proses fotosintesis sehingga ada peningkatan oksigen terlarut. Dari ketiga parameter diduga dapat menunjang kelangsungan atau perkembangbiakan bakteri-bakteri patogen penyebab penyakit ice-ice dilokasi. Kemudian pada arus diduga berpengaruh terhadap pola penyebaran bakteri dalam perairan. Hal ini di perkuat dengan pendapat Amiluddin (2007) dari nilai masing-masing suhu (±28,1 °C), arus (±4,24 cm/det) dan oksigen (±5,59 mg/l) memberikan indikasi bahwa ketiga faktor lingkungan tersebut secara langsung berperan terhadap intensitas perkembangan bakteri ice ice dalam pengrusakan biomassa rumput laut. Kecepatan arus berperan terhadap lama waktu penempelan dan penyebaran yang mengkontaminasi keseluruhan biomassa rumput laut. Suhu dan oksigen terlarut berperan terhadap perkembangan populasi bakteri penyebab ice ice dalam mendegradasi biomassa rumput laut. Hal ini didukung oleh Sulistijo (1994) bahwa penyakit ice ice timbul pada musim laut tenang dan arus lemah diikuti dengan suhu perairan yang tinggi. Tingkat degradasi biomassa rumput laut mencerminkan tingkat perkembangan populasi dan intensitas pengkroposan. 5 Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo 20 Oktober 2011
Saat penelitian ini dilaksanakan pada akhir November 2010, petani rumput laut di Desa Lobuk Kecamatan Bluto dihadapi pada permasalahan teritip yang tumbuh besar pada tali dan bambu, sehingga secara tidak langsung dapat melukai thallus dari rumput laut yang berujung pada penyakit ice-ice. Dari keterangan diatas diketahui serangan bakteri penyebab ice-ice dipengaruhi faktor primer dan sekunder, perubahan lingkungan secara ekstrim juga serangan hama. Hama yang ditemukan dilokasi antara lain: (1) ikan baronang yang menjadikan rumput laut sebagai makanannya sehingga dari bekas gigitannya bisa terinfeksi bakteri, (2) ubur-ubur, secara tidak langsung dapat mengganggu kegiatan kontrol dari para petani rumput laut, (3) tiram yang menempel pada tali ris dan bambu dari rakit merupakan hama yang paling mengganggu dari kegiatan budidaya rumput laut di Desa Lobuk, permukaan cangkang dari tiram yang tajam secara langsung dapat melukai thallus dari rumput laut yang sedang bergerak terbawa arus yang kemudian luka pada thallus akan berujung pada terjangkitnya bakteri patogen penyebab penyakit ice-ice. (4) jenis kompetitor selanjutnya adalah alga yang menempel pada thallus dimana pengaruhnya dapat menyebabkan kematian secara perlahan-lahan karena dapat menghalangi rumput laut untuk memperoleh makanan atau cahaya matahari untuk melakukan kegiatan fotosintesis. Karena menempel erat pada thallus sehingga saat dibersihkan banyak thallus yang patah atau terluka. KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian mengenai laju kecepatan serangan ice-ice pada rumput laut Eucheuma cottonii di Desa Lobuk Kecamatan Bluto Kabupaten Sumenep, diperoleh kesimpulan : 1. Laju kecepatan serangan ice-ice pada rumput laut Echeuma cottonii dipengaruhi banyak faktor, antara lain: musim, perubahan cuaca yang mendadak, perubahan kualitas air yang ekstrim dilokasi (suhu, DO, kecepatan arus dan kecerahan), hama dan kompetitor. 2. Nilai persen penutupan tertinggi sebesar 2,5168% yang terdapat pada titik transek 1, akibat dari intensitas cahaya matahari yang diterima terlalu tinggi. 3. Hasil pengukuran persen penutupan ice-ice menunjukkan bahwa serangan ice-ice banyak terjadi pada siang hari atau 12 jam pertama (05.00-17.00). 4. Untuk data pertumbuhan yang diperoleh selama 7 hari adalah pertumbuhan mutlak diperoleh bobot 7 gr dan perhitungan pertumbuhan relatif sebesar 41,17%. DAFTAR PUSTAKA Abida IW. 2008. Produktivitas Primer Fitoplankton dan Keterkaitannya Dengan Intensitas Cahaya dan Ketersediaan Nutrien Diperairan Pantai Selat Madura Kabupaten Bangkalan.IPB BOGOR. Amiluddin N, Masita. 2007. Kajian pertumbuhan dan kandungan karaginan rumput laut Kappaphycus alvarezii yang terkena penyakit ice ice di perairan pulau pari kepulauan seribu. IPB BOGOR. Willem E. 2005. Kajian Pertumbuhan, pigmen (klorofil a, Phycobilin) dan karaginan pada rumput laut Eucheuma Alvarezzi varietas coklat dan hijau. Program Pascasarjana Universitas Brawijaya. Indriani H, E Sumiarsih. 2003. Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Rumput Laut (cetakan 7), Penebar Swadaya. Jakarta. Largo DB, K Fukami,and T Nishijima. 1995. Occasional pathogenic bacteria promoting ice-ice disease in the carrageenan-producing red algae Kappaphycus alvarezii and Eucheuma denticulatum (Solieriaceae, Gigartinales, Rhodophyta). Journal of Applied Phyciology 7: 545554. Nurdjana ML. 2007. Revitalisasi Budidaya dan Ekspor Rumput Laut. Makalah disampaikan pada Workshop rumput laut dan budidaya kepiting lunak. Macasar, 15 Mei 2007, 54 pp. Parenrengi A, E Suryati, R Syah. 2007. Penyediaan Benih dalam Menunjang Kebun Bibit dan Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii. Makalah Simposium Nasional Riset Kelautan dan Perikanan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 12 hal.
Parenrengi A, MI Madeali, dan NA Rangka, 2007. Penyediaan benih dalam menunjang pengembangan budidaya rumput laut. Makalah disampaikan pada Workshop Rumput Laut, Sangiaseri Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan, Makassar, 23 pp. Pusat studi kelautan dan DKP Sumenep, 2008. Pengembangan Sentra Budidaya Dan Agribisnis Rumput Laut. Madura. Saito Y. and S Atobe 1970. Phytosociological Study of Intertidal Marine Algae. Sulistijo 1994. The Harfest Quality of alvarezzi Culture by Floating Method inPari Island North Jakarta. Research and Development Center for Oceanology Indonesia Institut of Science. Jakarta.
7 Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo 20 Oktober 2011