KAJIAN PATOLOGI UJI KHASIAT BUAH MERAH (Pandanus conoideus) SEBAGAI HEPATOPROTEKTOR
RHISKA IRDYNA RIANTAMA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
ABSTRAK RHISKA IRDYNA RIANTAMA. Kajian Patologi Uji Khasiat Buah Merah (Pandanus conoideus) sebagai Hepatoprotektor. Dibimbing oleh DEWI RATIH AGUNGPRIYONO dan SRI ESTUNINGSIH. Penelitian tentang khasiat buah merah (Pandanus conoideus) saat ini sedang digalakkan di Indonesia. Khasiat buah merah (Pandanus conoideus) seperti mengatasi berbagai penyakit degeneratif yaitu kanker, jantung koroner, stroke, diabetes, gangguan kolesterol, osteoporosis, hepatitis, gangguan asam urat bahkan HIV/AIDS telah diteliti. Penelitian ini bertujuan menguji kemampuan sari buah merah dalam meningkatkan fungsi hepatosit untuk menghambat kerusakan hati. Penelitian menggunakan mencit jantan sebagai hewan coba dan parasetamol dosis normal optimum sebagai agen toksik perusak sel hati. Lima belas ekor mencit jantan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kontrol negatif yang hanya diberi pakan standar, kontrol positif yang diberi parasetamol dosis 10 mg/Kg BB selama 6 minggu, perlakuan yang diberi sari buah merah dosis 0,1 ml/mencit selama 2 minggu dan kemudian diberi parasetamol dosis 10 mg/Kg BB selama 4 minggu. Pengamatan yang dilakukan dengan melihat perubahan histopatologis organ hati mencit jantan terhadap adanya degenerasi dan kematian sel. Data histopatologi yang didapatkan dianalisis secara deskriptif dengan menghitung persentase sel hati yang mengalami degenerasi dan kematian sel yang kemudian dianalisis dengan uji ANOVA, dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sari buah merah dapat menghambat degenerasi hidropis dan kematian sel atau melakukan fungsi hepatoprotektor.
ABSTRACT RHISKA IRDYNA RIANTAMA. Pathological Study of Papua Red Fruit (Pandanus conoideus) Effectivity as Hepatoprotector. Under supervisor of DEWI RATIH AGUNGPRIYONO and SRI ESTUNINGSIH. This research was aimed to examined the extract of Papua Red Fruit to increase the hepatosit function to inhibit the lesion of liver. This research was used mice (Mus musculus) and paracetamol with optimum normal dosage as toxic agent to damage hepatocyte. A total 15 male mice were divided into 3 groups : negative control group was given standard feed, positive control group was given 10 mg/kg BW paracetamol for 6 weeks and treatment group was given 0,1 ml/mice Papua Red Fruit extract for 2 weeks and then continued with 10 mg/kg BW paracetamol for 4 weeks. The study was done by examining the changing of hepatocyte under light microscope. The histopathologic parameters were count the degeneration and death of hepatocyte. The percentage of hepatocytes degeneration and cell death were analyzed by ANOVA test and continued with Duncan test. The result of this research showed that Papua Red Fruit extract is able to decreased level of degeneration and cell death of hepatocytes. Papua Red Fruit extract is proven to have hepatoprotector ability.
KAJIAN PATOLOGI UJI KHASIAT BUAH MERAH (Pandanus conoideus) SEBAGAI HEPATOPROTEKTOR
RHISKA IRDYNA RIANTAMA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Skripsi
: Kajian Patologi Uji Khasiat Buah Merah (Pandanus conoideus) Sebagai Hepatoprotektor
Nama
: Rhiska Irdyna Riantama
NIM
: B04103123
Menyetujui, Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD Nip. 131 760 839
Dr.Drh.Sri Estuningsih, M.Si Nip. 131 878 929
Mengetahui, Wakil Dekan FKH IPB
Dr. Nastiti Kusumorini Nip. 131 669 942
Tanggal lulus : Jumat, 29 Februari 2008
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 7 Maret 1985 di Ngawi, Jawa Timur. Penulis adalah anak pertama dari dua saudara, dari pasangan H. Drs. Harnu Sutomo, MM dan Hj. Iriana Lilis Purwanti, MPd. Pendidikan formal dimulai dari pendidikan dasar yang diselesaikan pada tahun 1997 di SDN Margomulyo I Ngawi. Kemudian pendidikan lanjutan tingkat pertama diselesaikan pada tahun 2000 di SLTPN 2 Ngawi. Dan pendidikan menengah umum diselesaikan pada tahun 2003 di SMUN 2 Ngawi. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada Fakultas Kedokteran Hewan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2003. Selama perkuliahan penulis aktif sebagai pengurus dalam Himpunan Minat dan Profesi Ornithologi dan Unggas selama dua periode (20042005 dan 2005-2006), pengurus Forum Ilmiah Mahasiswa FKH IPB selama dua periode (2004-2005 dan 2005-2006), anggota Himpunan Minat dan Profesi Satwa Liar (2005-2006).
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi tentang Kajian Patologi Uji Khasiat Buah Merah (Pandanus conoideus) Sebagai Hepatoprotektor. Dengan selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Keluarga Tercinta (Papa ‘H. Drs. Harnu Sutomo, MM’, mama ‘Hj. Iriana Lilis Purwanti, MPd’, adek ‘Rena Ayudana Riantama’) atas segala kasih sayang, doa, semangat serta dukungan yang telah diberikan. 2. Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD selaku dosen pembimbing I atas segala bimbingan, kesabaran dan saran serta segala kemudahan yang diperoleh penulis selama penelitian dan penulisan skripsi. 3. Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi selaku dosen pembimbing II atas segala bimbingan, kesabaran dan saran serta segala kemudahan yang diperoleh penulis selama penelitian dan penulisan skripsi. 4. Drh. Hernomoadi Huminto, MVS selaku dosen penguji. 5. Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS selaku dosen pembimbing akademik atas segala bimbingan, semangat dan kesabaran selama masa perkuliahan. 6. Seluruh staf dan teknisi di Bagian Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang membantu penulis selama penelitian. 7. Keluarga besar di Ngawi, Madiun (Yange dan Tonge), Jakarta dan Bandung atas semangat dan doanya. 8. Agustin Zaharia Paderi, SKH dan Heirmayani, SKH atas kerjasama, bantuan, semangat dan saran dalam penelitian serta penulisan skripsi. 9. Sahabat-sahabat karibku “Anonimus” (Rikki Yuningsih, SKH; Agustin Zaharia, SKH; Reny Agustin, SKH; Indah Riski Pulungan, SKH dan Eka Sulistyaningsih, SKH) atas arti sebuah sahabat. 10. Anak-anak RULITA (Intan Tolistyawati, SKH; Aisyah Zulia T; Elpita Br Tarigan, SKH; Aprilina Listya Dewi, SKH) atas motivasi dan kebersamaan selama ini serta telah menjadi keluarga keduaku.
11. Reza Helmi S, SKH; Metha Pardede, SKH; Indra Nur R, SKH; Bayu Aji W, SKH; Akhmad Rizaldi, SKH; M. Irvan, SKH; Triono Basuki, SKH; Angga Yuka Alta N, SKH dan teman-teman Gymnolaemata ‘40 atas kenangan manis selama empat tahun ini. 12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan. Bogor, Februari 2008
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL …………………………….……........................... DAFTAR GAMBAR ……………………………………………….. DAFTAR LAMPIRAN …………………………….…...................... PENDAHULUAN …………………………………………………... Latar Belakang ……………….……………..…............................... Tujuan Penelitian ……………………..……………………………. Hipotesa Penelitian ………………………………………………… Manfaat Penelitian …………………………………………………. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………….. Buah Merah (Pandanus conoideus) ................................................... Mencit (Mus musculus) ……………………………………………. Tinjauan tentang Hati Mencit ........................................................ Anatomi Hati …………………………………………………. Histologi Hati ............................................................................ Fungsi Hati ................................................................................ Intoksikasi Hati .......................................................................... Perubahan Regresif pada Hati ………………………………… Hepatitis ……………….…………………………………………… Parasetamol ………………………………………………………… METODOLOGI ………………………………………….................. Waktu dan Tempat Penelitian ………….……………....................... Bahan dan Materi Penelitian ……...…………….………………….. Metode Penelitian ……….……...………………………………….. Pembuatan Preparat Histopatologi .................................................... Pemeriksaan Preparat Histopatologi .................................................. Analisis Data ...................................................................................... HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………… Gambaran Patologi Anatomi Organ Hati Mencit ….………………. Gambaran Histopatologi Organ Hati Mencit ………………………. KESIMPULAN DAN SARAN …………….……………………….. Kesimpulan …………..……………..……………………………… Saran ………….……………………………………………………. DAFTAR PUSTAKA ……...………………………………..……… LAMPIRAN……………..…………………………………….............
vii viii ix 1 1 2 2 2 3 3 7 8 8 9 10 12 13 15 17 19 19 19 20 21 22 22 23 23 23 38 38 38 39 42
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4 5
Kandungan Gizi Buah Merah tiap 100 gram Buah Merah Segar ...... 5 Kandungan Senyawa Aktif pada Buah Merah dalam 100 gram Buah Merah Segar ...................................................................................... 6 Hasil perhitungan jumlah sel radang sekitar vena porta dan vena sentralis ……………………………………………………………. 26 Hasil perhitungan lesio hepatosit …………………………………… 28 Persentase lesio hepatosit daerah vena sentralis dan vena porta ....... 36
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3 4 5A 5B 5C 6 7A 7B 8 9 10 11 12 13
Buah Merah dengan bentuk lonjong dan memanjang ....................... Buah Merah yang telah diproses menjadi minyak ............................ Mencit (Mus musculus) sebagai hewan laboratorium ....................... Gambaran mikroskopik hati mencit .................................................. Gambar patologi anatomi hati mencit pada kelompok kontrol Negatif ………….………………………………………………….. Gambar patologi anatomi hati mencit pada kelompok kontrol Positif ……………………………………………………………… Gambar patologi anatomi hati mencit pada kelompok Perlakuan ...………………………………………………………… Perubahan pada bagian interstisium hati berupa kongesti dan perluasan sinusoid ….……………………………………………... Fokus-fokus peradangan sekitar vena porta (A) ............................... Fokus-fokus peradangan sekitar vena sentralis (B) .......................... Diagram perbandingan jumlah sel radang sekitar vena porta dan vena sentralis ….……………………………………………............ Diagram perbandingan persentase kerusakan hepatosit pada mencit jantan …...………………………………………………………….. Gambaran histopatologi jaringan hati kelompok kontrol negatif ……..…...………………………………………………….. Gambaran histopatologi jaringan hati kelompok kontrol positif ….. Gambaran histopatologi jaringan hati kelompok perlakuan ………. Diagram perbandingan persentase kerusakan hepatosit sekitar vena porta dan vena sentralis ……...……………………………………..
4 7 8 10 23 23 23 24 25 25 27 29 34 34 35 36
LAMPIRAN Halaman 1
Analisa data hasil perhitungan jumlah sel radang daerah vena porta pada kontrol negatif, kontrol positif dan perlakuan .………………. 2 Analisa data hasil perhitungan jumlah sel radang daerah vena sentralis pada kontrol negatif, kontrol positif dan perlakuan …….... 3 Analisa data hasil perhitungan jumlah hepatosit normal pada kontrol negatif, kontrol positif dan perlakuan ……………………………... 4 Analisa data hasil perhitungan jumlah degenerasi hidropis pada kontrol negatif, kontrol positif dan perlakuan ……………………... 5 Analisa data hasil perhitungan jumlah degenerasi lemak pada kontrol negatif, kontrol positif dan perlakuan ……………………... 6 Analisa data hasil perhitungan jumlah kematian sel hepatosit pada kontrol negatif, kontrol positif dan perlakuan ……………………... 7 Analisa data hasil perhitungan jumlah hepatosit normal sekitar vena porta dan vena sentralis pada kontrol negatif, kontrol positif dan perlakuan …………………………………………………………... 8 Analisa data hasil perhitungan jumlah degenerasi hidropis sekitar vena porta dan vena sentralis pada kontrol negatif, kontrol positif dan perlakuan ……………………………………………………… 9 Analisa data hasil perhitungan jumlah degenerasi lemak sekitar vena porta dan vena sentralis pada kontrol negatif, kontrol positif dan perlakuan …………………………………………………………... 10 Analisa data hasil perhitungan jumlah kematian sel hepatosit sekitar vena porta dan vena sentralis pada kontrol negatif, kontrol positif dan perlakuan ………………………………………………………
43 43 43 43 44 44 44 44
45 45
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki potensi kekayaan alam yang melimpah tetapi belum termanfaatkan secara optimum. Salah satu kekayaan alam di bidang pengobatan herbal adalah buah merah (Pandanus conoideus) asal Papua. Penelitian tentang khasiat berbagai jenis tanaman lokal juga sedang digalakkan. Sebelumnya buah merah (Pandanus conoideus) tidak lebih dari sekedar bahan pangan masyarakat Papua, harganya sangat murah dan hampir tidak bernilai ekonomis. Kemampuan buah merah sebagai tanaman obat terungkap pertama kali pada tahun 2001, setelah dilakukan penelitian kandungan senyawa aktif dan zat gizi buah merah (Pandanus conoideus) oleh I Made Budi. Penelitian I Made Budi dilatarbelakangi oleh fakta bahwa masyarakat Papua yang mengkonsumsi buah merah (Pandanus conoideus) jarang ditemukan mengidap penyakit degeneratif, bahkan dari data statistik setempat, mereka memiliki angka harapan hidup cukup tinggi (Yahya dan Wiryanta 2005). Kandungan senyawa aktif buah merah (Pandanus conoideus) diantaranya adalah betakaroten, tokoferol, karotenoid dan asam lemak esensial (oleat, linoleat, linolenat dan dekanoat) yang merupakan senyawa antioksidan yang dapat menangkal radikal bebas dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Selain antioksidan, buah merah (Pandanus conoideus) juga mengandung berbagai zat gizi seperti vitamin C, vitamin B1, niasin, fosfor, besi, kalsium dan lain-lain (Paimin 2005). Obat-obatan yang mengandung parasetamol dosis tinggi telah bebas dijual dan beredar di masyarakat, sehingga perlu diketahui bahaya dan cara penggunaan yang tepat agar efektif. Kurang pedulinya masyarakat terhadap konsumsi dan aturan pakai obat-obatan seperti parasetamol dapat meningkatkan kejadian penyakit hepatitis non-infeksius. Penyakit hepatitis termasuk penyakit yang sulit disembuhkan dan dapat menimbulkan kematian. Penggunaan obat-obatan seperti parasetamol dalam dosis yang tinggi dan dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan terjadinya kerusakan hati.
Kerusakan hati akibat parasetamol dijadikan model kerusakan hati untuk menguji khasiat sari buah merah sebagai hepatoprotektor. Ketersediaan buah merah (Pandanus conoideus) yang sangat berlimpah di Indonesia dan penelitian tentang buah merah (Pandanus conoideus) yang sedang digalakkan menjadi pertimbangan untuk mengetahui khasiat sari buah merah sebagai pencegahan penyakit hepatitis akibat konsumsi parasetamol.
Tujuan Penelitian Menguji efektifitas pemberian sari buah merah sebagai alternatif pencegahan kerusakan hati secara ilmiah dengan pengamatan secara patologi anatomi dan histopatologi pada hati mencit (Mus musculus).
Hipotesa Penelitian HO
: Sari buah merah dapat mencegah terjadinya degenerasi dan kematian sel hati pada mencit akibat pemberian parasetamol.
HI
: Sari buah merah tidak dapat mencegah terjadinya degenerasi dan kematian sel hati pada mencit akibat pemberian parasetamol.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang khasiat sari buah merah (Pandanus conoideus) sebagai hepatoprotektor dan dapat digunakan masyarakat untuk pencegahan kerusakan hati.
TINJAUAN PUSTAKA Buah Merah (Pandanus conoideus) Buah merah termasuk jenis tanaman pandan-pandanan (Pandanaseae) yang tumbuh secara endemik di wilayah Papua. Diperkirakan ada sekitar 600 jenis tanaman yang tergolong dalam genus Pandanus, salah satunya adalah buah merah. Secara umum taksonomi buah merah dijelaskan sebagai berikut (Budi 2005) divisi
: Spermatophyta
kelas
: Angiospermae
subkelas
: Monocotyledonae
ordo
: Pandanales
famili
: Pandanaseae
genus
: Pandanus
spesies
: Pandanus conoideus
Secara tradisional, buah merah dikonsumsi dalam bentuk pasta sebagai suplemen atau menu makanan sehari-sehari dan dipercaya memiliki khasiat untuk menjaga stamina dan kesehatan. Buah merah ini sehari-hari digunakan oleh masyarakat sebagai makanan yang dikaitkan dengan kesehatan dan upacara adat seperti perkawinan, perkenalan, kelahiran dan telah digunakan sebagai tanaman obat seperti penyembuhan penyakit kulit, mata dan untuk meningkatkan stamina (Anonimus 2006c). Buah merah (Pandanus conoideus) berdasarkan hasil klasifikasi digolongkan menjadi 3 jenis yaitu: merah pendek, merah cokelat dan kuning. Yang paling populer di kalangan masyarakat sebagai kebutuhan pangan dan kesehatan adalah merah pendek. Morfologi tanaman buah merah (Pandanus conoideus) dicirikan sebagai berikut (Yahya dan Wiryanta 2005): Batang dan cabang : Berbentuk bulat dan berkayu seperti silinder dengan panjang 5-10 meter dari permukaan tanah, arah tumbuh tegak lurus ke atas
(erectus) lalu membuat percabangan. Diameter batang berkisar antara 10-15 cm dengan permukaan batang berduri. Akar : Sistem perakaran ialah akar serabut sebesar lengan. Terdapat akar-akar udara atau akar gantung (radix aureus) yang menempel di batang pokok. Akar udara berfungsi untuk menyangga batang tanaman yang tinggi. Daun : Ujung daun berbentuk segitiga lancet, tepi daun dan lapisan bawah pada ibu tulang daun berduri tempel. Daun berwarna hijau dan berlilin bagi daun dewasa, sedangkan daun muda berwarna kuning. Daun berbentuk rapat seperti spiral dengan pangkal memeluk batang, bertulang daun sejajar, pada waktu rontok meninggalkan bekas berbentuk cincin pada batang. Buah : Bentuk buah menyerupai segitiga atau trapesium, terdiri atas dua bagian yaitu tangkai buah (di bagian tengah, tempat melekatnya buah) dan bunga (di bagian luar), tampak berwarna merah dengan sebuah titik di bagian tengah atau puncaknya. Ukuran buah bervariasi antara 35-80 cm, panjang tangkai buah bervariasi 29-76,5 cm. Ukuran tangkai makin ke arah ujung makin kecil, letak buah pada setiap daun dan terbungkus oleh enam helai daun, tiga helai di antaranya berwarna kuning dan terdapat di bagian dalam, sedangkan tiga helai lainnya memanjang melindungi buah menurut ketiga sisi buah, warna daun hijau. Buah yang siap dipanen biasanya ditandai dengan berubahnya warna buah dari merah muda menjadi merah tua, kemudian akan diikuti dengan bekas retak pada buah. Apabila dibiarkan maka terjadi pengguguran bulir.
Gambar 1 Buah merah dengan bentuk lonjong dan memanjang (Sumber: Trubus 2005)
Drs. I Made Budi MS (2005) telah melakukan serangkaian penelitian pada buah merah (Pandanus conoideus) ini. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa buah merah (Pandanus conoideus) mengandung banyak antioksidan, betakaroten, omega 3 dan omega 9. Dengan tingginya kadar antioksidan dan kandungan senyawa aktif maka buah merah (Pandanus conoideus) dipercaya dapat mengobati berbagai penyakit berat (degeneratif) dan kronis seperti HIV/AIDS, kanker, jantung, dan penyakit berat lainnya. Serta dapat memperbaiki fungsi organ tubuh dan meningkatkan stamina. Dalam beberapa penelitian terbatas yang dilakukan I Made Budi dengan metode pengobatan langsung dengan sari buah merah, peneliti mengungkapkan keberhasilan yang amat tinggi dalam upaya pengobatan yang dilaksanakan terhadap penyakit yaitu: tumor otak, tumor kandungan, tumor payudara, kanker hati, bahkan juga HIV/AIDS yang sebagian besar kasus penyembuhan terjadi atas pasien-pasien di Papua maupun penderita penyakit di Pulau Jawa. Tabel 1 Kandungan Gizi Buah Merah tiap 100 gram Buah Merah Segar Zat
Kandungan
Energi
396 kalori
Protein
3.300 mg
Lemak
28.100 mg
Serat
20.900 mg
Kalsium
54.000 mg
Fosfor
30 mg
Besi
2,44 mg
Vitamin B1
0,90 mg
Vitamin C
25,70 mg
Niasin
1,8 mg
Air
34,90 mg
(Sumber: Trubus 2005) Dari tabel diatas tampak bahwa kandungan gizi yang cukup tinggi pada buah merah (Pandanus conoideus) adalah energi, protein, lemak, kalsium dan besi. Sedangkan senyawa aktif yang dikandung buah merah (Pandanus conoideus) dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2 Kandungan Senyawa Aktif pada Buah Merah dalam 100 gram Buah Merah Segar Zat Kandungan Total karotenoid
12.000 ppm
Total tokoferol
11.000 ppm
Betakaroten
700 ppm
Alfa tokoferol
500 ppm
Asam oleat
58 %
Asam linoleat
8,8 %
Asam linolenat
7,8 %
Dekanoat
2,0 %
(Sumber: Trubus 2005) Dari tabel diatas, beberapa senyawa kimia yang paling berperan adalah tokoferol atau vitamin E. Tokoferol mempunyai peran sebagai antioksidan yang bisa membantu penyembuhan beberapa penyakit. Fungsinya adalah memperkuat sistem kekebalan tubuh dan menangkal radikal bebas (Yahya dan Wiryanta 2005). Dalam keadaan normal, konsentrasi tokoferol tertinggi terdapat pada plasma, hati dan jaringan lemak. Bersama dengan sel limfosit, tokoferol memperbaiki sistem imun tubuh sehingga mengurangi morbiditas dan mortalitas sel tubuh. Tokoferol juga membantu pembentukan sel-sel baru untuk mengganti sel-sel yang telah rusak (Clarke 2006). Selain itu, betakaroten juga mempunyai peran sebagai antioksidan dan berfungsi mencegah pembiakan sel-sel kanker (Yahya dan Wiryanta 2005). Antioksidan (tokoferol dan betakaroten) adalah zat yang membantu memperlambat atau mencegah proses oksidasi (Arafah 2005). Mekanisme kerja antioksidan dapat melalui beberapa cara, diantaranya: (1) menghambat terbentuknya radikal bebas, (2) menjadi perantara dalam netralisasi radikal bebas yang telah terbentuk, (3) menurunkan kemampuan radikal bebas dalam reaksi oksidasi, dan (4) menghambat enzim oksidatif, misalnya sitokrom P450. Penghambatan dari radikal bebas akan melindungi hepatosit normal dari kerusakan dan mengoptimalkan lingkungan bagi sel-sel hati untuk beregenerasi (Gitawati 1995).
Gambar 2 Buah Merah yang telah diproses menjadi minyak (Sumber: Trubus 2005)
Mencit (Mus musculus) Mencit adalah hewan pengerat (rodensia) yang cepat berbiak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak dan variasi genetiknya cukup besar serta sifat anatomis dan fisiologisnya terkarakteristik dengan baik. Mencit juga mempunyai sifat biologis yang mirip dengan manusia dan mudah dikendalikan karena ukurannya kecil. Sistem taksonomi mencit adalah sebagai berikut (Besselsen 2004): kingdom
: Animalia
filum
: Chordata
subfilum
: Vertebrata
kelas
: Mamalia
subkelas
: Theria
ordo
: Rodensia
suborder
: Sciurognathi
family
: Muridae
subfamily
: Murinae
genus
: Mus
spesies
: Mus musculus
Mencit laboratorium adalah hewan yang semarga dengan mencit liar atau mencit rumah (domestik). Semua galur mencit labolatorium yang ada pada waktu ini merupakan turunan dari mencit liar sesudah melalui peternakan selektif. Mencit dimasukkan dalam ordo rodensia karena memiliki sepasang gigi insisivus yang berbentuk seperti pahat dan dapat menajam dengan sendirinya. Mencit
adalah hewan crepuscular dimana akan lebih aktif pada senja dan malam hari. Umur mencit sekitar satu hingga dua tahun, bahkan beberapa bisa mencapai usia tiga tahun dengan lama produksi ekonomisnya adalah sembilan bulan. Mencit mencapai usia dewasa pada 35 hari dimana setelah usia delapan minggu sudah dapat dikawinkan. Lama kebuntingan mencit adalah 19-21 hari dengan jumlah anak rata-rata enam ekor. Bobot mencit jantan dewasa adalah 20-40 gram dan mencit betina adalah 18-35 gram (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).
Gambar 3 Mencit (Mus musculus) sebagai hewan laboratorium (Sumber: www.wikipedia.org/wiki/housemouse)
Tinjauan tentang Hati Mencit Hati merupakan kelenjar terbesar dan terberat di dalam tubuh dan hati mempunyai konsistensi yang lunak (Lesson et al. 1995). Hati terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan zat toksik yang masuk ke dalam tubuh. Oleh karena itu gangguan metabolisme pada penyakit hati sangat khas dan mungkin membantu dalam mendiagnosa penyakit.
Anatomi Hati Hati tergantung pada diafragma dengan perantaraan beberapa ligamentum, yaitu ligamentum coronarium hepatis, ligamentum triangulare dextrum dan sinistrum serta ligamentum falciforme hepatis, ligamentum hepatorenale menghubungkan hati dengan ginjal kanan dan sekum (Ressang 1984). Hati terdiri dari beberapa lobus, tergantung pada spesiesnya. Pada mencit, terdapat empat lobus (lobus medial, lobus lateral kiri, lobus lateral kanan dan lobus kaudal kanan) (Maronpot 1999). Hati tersusun oleh tiga jaringan yaitu saluran empedu, susunan pembuluh darah dan sel parenkim (Lu 1995).
Pada keadaan segar hati berwarna merah tua atau merah coklat, warna ini disebabkan adanya darah yang amat banyak (Leeson et al. 1995). Hati menerima darah sekitar 30% dari arteri hepatika dan menerima suplai darah sekitar 70% dari vena porta (Jungueira dan Carneiro 1989). Vena porta membawa darah yang mengandung zat makanan yang diabsorbsi dari usus dan organ tertentu menuju ke hati, sedangkan arteri hepatika memberi darah pada hati dengan darah bersih yang mengandung oksigen (Stinson dan Calhoun 1992).
Histologi Hati Setiap lobus hati dibagi menjadi struktur yang dinamakan lobulus yang merupakan unit mikroskopik dan fungsional organ. Setiap lobulus berbentuk heksagonal yang terdiri atas lempeng-lempeng kubus sel hati yang tersusun radier mengelilingi vena sentralis. Antara lobulus hati yang satu dengan yang lainnya tidak terpisah secara tegas (Craigmyle 1994). Dibawah peritonium pars viseralis yang menyelubungi hati terdapat jaringan penyambung padat yang dinamakan Kapsula Glisson yang menyelubungi seluruh permukaan hati (Wilson dan Lester 1995). Lobulus hati atau sering disebut dengan lobulus klasik merupakan unit fungsional dasar hati yang berbentuk heksagonal pada sayatan melintang dengan vena sentralis di bagian tengah dan kanal portal di bagian tepi pada sudut-sudutnya (Lesson et al. 1995; Guyton dan Hall 1997). Unsur struktural utama hati adalah sel hati (hepatosit). Morfologi sel hati adalah polihedral dengan 6 permukaan atau lebih, mempunyai garis tengah kirakira 20-30 μm dengan membran sel yang jelas. Sel hati mempunyai inti bulat yang terletak di tengah, anak inti berjumlah satu atau lebih dengan kromatin menyebar. Sitoplasma sel agak berbutir dan didalamnya mengandung mitokondria dengan jumlah banyak, lisosom, ribosom, endoplasma retikum serta aparatus golgi yang biasanya terletak dekat inti, di tepi sel atau dekat kanalikuli empedu (Stinson dan Calhoun 1992; Lesson et al. 1995). Diantara lempengan sel hati terdapat kapiler-kapiler yang dinamakan sinusoid, yang merupakan cabang vena porta dan arteria hepatika (Wilson dan Lester 1995). Sinusoid merupakan pembuluh yang membawa darah dari arteri
dan vena sentralis. Sinusoid melebar tidak teratur dan hanya terdiri dari satu lapisan sel yang tidak kontinyu. Sinusoid kapiler hati mempunyai pembatas yang tidak sempurna dan memungkinkan pengaliran makromolekul dengan mudah dari lumen ke sel-sel hati dan sebaliknya. Sinusoid dikelilingi dan disokong oleh serabut retikuler halus yang penting untuk mempertahankan bentuk sinusoid hati (Junqueira dan Carneiro 1989). Sinusoid tidak seperti kapiler lain, dibatasi oleh sel fagositik atau sel kupffer dan sel endotel. Sel endotel mempunyai inti kecil berwarna gelap dengan sitoplasma yang sangat tipis. Sel kupffer mempunyai inti yang lebih besar dan pucat, sitoplasma lebih banyak dengan cabang-cabang yang meluas atau melintang di dalam sinusoid hati (Lesson et al. 1995). Sel kupffer merupakan sistem retikuloendotel dengan fungsi utama menelan bakteri dan benda asing lain dalam darah. Hanya sumsum tulang yang mempunyai masa sel retikuloendotel yang lebih banyak daripada yang terdapat dalam hati, jadi hati merupakan salah satu organ utama sebagai pertahanan terhadap invasi bakteri dan agen toksik. Ruang diantara sel endotel sinusoid dan hepatosit disebut ruang disse (Wilson dan Lester 1995).
Gambar 4 Gambaran mikroskopik hati mencit (Sumber: www.biomedcentral.com)
Fungsi Hati Hati merupakan organ parenkim yang ukurannya terbesar dan mempunyai fungsi yang paling banyak dan kompleks. Hati penting untuk mempertahankan hidup dan berperan pada hampir setiap fungsi metabolisme tubuh. Hati mempunyai kapasitas cadangan yang besar dan hanya memerlukan 10-20% fungsi jaringan untuk mempertahankan hidup. Destruksi total atau pembuangan hati mengakibatkan kematian dalam 10 jam. Hati mempunyai kemampuan regenerasi, pembuangan sebagian hati, pada kebanyakan kasus sel yang mati atau sakit akan diganti dengan jaringan hati yang baru (Wilson dan Lester 1995). Hati merupakan alat tubuh yang sering mengalami kerusakan. Menurut Ressang (1984) daya regenerasi hati besar. Pada hati yang normal diketahui bahwa lobektomi sebanyak 70 % pada hati mengakibatkan proliferasi sel-sel hati, sehingga dalam jangka waktu 2-3 minggu bagian hati yang hilang dapat diganti kembali. Pada nekrosa lokal atau meluas pada hati juga banyak sel-sel yang menghilang, namun kira-kira dalam waktu 2 minggu sel-sel yang hilang dapat diganti kembali bila penyebab kerusakan telah dapat disingkirkan. Biasanya terlihat proliferasi pada sel-sel sehat diantara sel yang mati. Sehingga hal ini menyebabkan terjadinya benjolan (noduli) proliferasi yang menonjol di atas permukaan hati. Multifungsi kompleks hati diantaranya adalah: (1) pembentukan garam empedu, (2) detoksikasi dan inaktivasi, (3) fungsi proteksi, (4) fungsi metabolisme, (5) penyimpanan metabolit dan vitamin, (6) penyimpanan besi dan (7) fungsi hematologis. Garam empedu disintesis di dalam sel hati. Sebagai bahan baku pembentukan garam empedu adalah kolesterol, baik yang disuplai dalam diet atau yang disintesis di dalam sel-sel hati selama metabolisme lemak berlangsung (Guyton dan Hall 1997). Unsur utama empedu adalah air (97%), elektrolit, garam empedu, fosfolipid (terutama lesitin), kolesterol dan pigmen empedu (terutama bilirubin terkonjugasi). Garam empedu penting untuk pencernaan dan absorbsi lemak dalam usus halus (Wilson dan Lester 1995). Hati berfungsi sebagai alat pertahanan tubuh karena pada hati terdapat sel kupffer yang mempunyai kemampuan memfagositosis sel-sel tua, partikel atau benda asing, sel tumor, bakteri, virus dan parasit di dalam hati (Sherlock 1995).
Fungsi metabolisme hati tampak pada hepatosit yang juga bertanggung jawab akan perubahan lipid dan asam-asam amino menjadi glukosa dengan proses enzimatik kompleks yang dinamakan glukoneogenesis dan merupakan tempat utama deaminasi asam amino, menghasilkan pembentukan urea. Senyawa ini ditranspor oleh darah ke ginjal dan diekskresikan oleh organ tersebut (Fall 1984). Hati memegang peranan penting pada metabolisme tiga bahan makanan yang dikirimkan oleh vena porta setelah diabsorbsi di usus. Ketiga bahan makanan tersebut adalah karbohidrat, protein, dan lemak (Wilson dan Lester 1995). Hati berfungsi dalam penyimpanan metabolit dan vitamin. Lipid dan karbohidrat disimpan pada hati dalam bentuk lemak dan glikogen. Kemampuan menyimpan metabolit-metabolit energitik ini penting sebab hati mensuplai tubuh akan energi antara selang waktu makan. Hati juga berperan sebagai tempat penyimpanan vitamin-vitamin (Price and Wilson 1989). Vitamin yang banyak disimpan di dalam hati adalah vitamin A, vitamin D dan vitamin B12 (Guyton dan Hall 1997). Fungsi hati dalam penyimpanan besi dijelaskan oleh Guyton dan Hall (1997). Sebagian besar besi di dalam tubuh biasanya disimpan dalam bentuk feritin kecuali besi dalam hemoglobin. Pada fungsi hematologis, hati berfungsi memproduksi sel-sel darah merah, terutama pada saat kehidupan embrio berumur 3-4 bulan kehamilan (Guyton dan Hall 1997). Di dalam hati juga dibentuk heparin, fibrinogen, dan protrombin (Ressang 1984).
Intoksikasi Hati Hati merupakan organ paling sering mengalami kerusakan. Ada dua alasan yang menyebabkan hati mudah terkena racun. Pertama, hati menerima 80% suplai darah dari vena porta yang mengalirkan darah dari sistem gastrointestinal. Substansi zat-zat toksik termasuk tumbuhan, fungi dan produk bakteri juga logam, mineral dan zat-zat kimia lain yang diserap ke darah portal ditransportasikan ke hati. Kedua, hati menghasilkan enzim-enzim yang punya kemampuan biotranformasi pada berbagai macam zat eksogen dan endogen untuk dieliminasi
oleh tubuh. Proses ini mungkin juga mengaktifkan beberapa zat menjadi bentuk lebih toksik dan dapat menyebabkan terjadinya perlukaan hati (Carlton 1995) Sebagian
besar
bahan
toksik
memasuki
tubuh
melalui
sistem
gastrointestinal. Setelah melalui proses penyerapan, bahan toksik tersebut dibawa oleh vena porta ke hati. Darah dipasok melalui vena porta dan arteri hepatika serta disalurkan melalui vena sentralis kemudian vena hepatika, hingga akhirnya ke dalam vena cava (Lu 1995). Aliran darah yang membawa obat atau senyawa organik asing melewati sel-sel hati secara perlahan-lahan (Siswandono 1995). Bahan toksik dapat menyebabkan beberapa perubahan regresif pada hati.
Perubahan Regresif pada Hati Hepatosit seringkali mengalami cedera tetapi tidak mati, maka sering menunjukkan perubahan-perubahan morfologis yang dapat dikenali. Perubahanperubahan subletal ini bersifat reversible atau dapat pulih. Jika rangsangan yang menimbulkan cedera dapat dihentikan, maka sel kembali ke keadaan semula. Sebaliknya, perubahan-perubahan ini dapat menuju ke arah kematian sel jika pengaruh yang berbahaya ini tidak dapat dihentikan. Perubahan-perubahan subletal ini dinamakan degenerasi atau perubahan degeneratif. Umumnya yang sering menunjukkan perubahan ini adalah sel-sel yang secara metabolik aktif seperti pada ginjal, hati, dan jantung. Degenerasi merupakan akibat dari gangguan metabolisme. Degenerasi melibatkan sitoplasma sel, sedangkan nukleus mempertahankan integritas selama sel tidak mengalami cedera yang parah (Price dan Wilson 1989). Apabila perubahan-perubahan degenerasi berlangsung lama dan derajatnya berlebih mengakibatkan kematian sel yang disebut nekrosis. Pada nekrosis bersifat irreversible atau tidak dapat pulih (Soekojo 1973). Secara makroskopik hati yang mengalami degenerasi hidropis terlihat membesar dan pinggir membulat. Konsistensi hati mudah rapuh sedangkan bidang sayatannya berwarna belang. Butir-butir hialin kadang-kadang terlihat pada sel hati. Pada degenerasi hialin, jaringan ikat akan terlihat saat proses radang yang telah terjadi menahun. Degenerasi hidropis atau butir-butir hialin kadang-kadang terlihat pada sel hati akibat racun seperti kloroform (Ressang 1984). Mikroskopik degenerasi hidropis tampak sebagai vakuol-vakuol yang jernih tersebar dalam
sitoplasma. Kadang-kadang vakuol kecil-kecil bersatu membentuk vakuol lebih besar sehingga inti sel terdesak ke pinggir (Soekojo 1973). Penimbunan lipid intra sel sering dijumpai pada organ ginjal, jantung, dan khususnya hati. Kerusakan hati tidak bersifat reversible bila terjadi kerusakan pada inti dan bila ukuran butir-butir lemak besar, maka hal ini menunjukkan kejadian yang telah berlangsung lama (Ressang 1984). Secara mikroskopik, sitoplasma dari sel-sel yang terkena tampak bervakuola terlihat seperti pada degenerasi hidropik tetapi isi vakuola itu adalah lipid sedangkan degenerasi hidropis berisi air. Menurut Price dan Wilson (1989) pada hati karena banyaknya lipid yang tertimbun di dalam sel sehingga inti sel akan terdesak ke pinggir sedangkan sitoplasma terdapat vakuola yang berisi lipid. Jenis perubahan ini akan mengalami pembengkakan jaringan, peningkatan berat organ dan berwarna kuning cerah pada jaringan karena mengandung lipid dan saat palpasi terasa berlemak. Jenis perubahan ini disebut degenerasi lemak atau infiltrasi lemak. Bila sebuah sel atau jaringan dalam hewan yang hidup diketahui mengalami kematian maka sel tersebut dinamakan nekrosis. Nekrosis merupakan kematian sel lokal. Jika terjadi kerusakan sel yang parah atau berlangsung lama, sel akan mencapai suatu titik dimana sel tidak dapat lagi mengkompensasi kerusakan sel dan tidak dapat melangsungkan metabolisme. Perubahan sel nekrosis bersifat irreversible. Saat kematian, hati akan mengeluarkan enzim dan akan melarutkan berbagai unsur sel. Kematian sel mengakibatkan lingkungan kimiawi berubah, dan menyebabkan dikirimkannya leukosit ke hati yang rusak (chemotaxis) (Price dan Wilson 1989). Menurut Ressang (1984) kausa nekrosis hati dapat dibagi dalam kausa toksopatik dan kausa trofopatik. Kerusakan toksopatik disebabkan oleh pengaruh langsung agen yang bersifat toksik (zat-zat kimiawi atau toksin kuman-kuman). Kerusakan trofopatik disebabkan oleh kekurangan langsung atau tidak langsung faktor-faktor yang penting untuk penghidupan sel-sel yakni seperti: oksigen atau zat-zat makanan. Pada nekrosis toksopatik (keracunan) sel-sel parenkim membengkak dan mempersulit sirkulasi darah di dalam sinusoid-sinusoid, sehingga dapat menyebabkan nekrosis. Perubahan-perubahan lisis yang terjadi dalam jaringan nekrosis melibatkan perubahan sitoplasma dan inti menuju kematian sel. Biasanya inti sel yang mati
menyusut, batas tidak teratur dan berwarna gelap, proses ini disebut piknosis. Inti dapat hancur dan meninggalkan pecahan-pecahan kromatin yang tersebar didalam sel, proses ini disebut karyoreksis. Inti sel yang mati kehilangan kemampuan untuk diwarnai dan menghilang, proses ini disebut karyolisis (Price dan Wilson 1989). Terdapat dua Mekanisme kematian sel selain nekrosis yaitu apoptosis. Apoptosis merupakan bentuk kematian sel yang terprogram. Kematian sel pada apoptosis biasanya terjadi pada satu sel atau sekelompok sel. Apoptosis terlihat sebagai penambahan warna eosinofilia pada sitoplasma, pemadatan kromatin inti dan ukuran sel yang mengecil yang disebut badan apoptosis. Apoptosis tidak melibatkan sel radang tetapi badan apoptosis akan difagosit oleh makrofag sedangkan nekrosis akan melibatkan sel radang. Apoptosis dapat terjadi pada kondisi normal (fisiologis) atau abnormal (patologis). Apoptosis fisiologis terjadi pada proses pertumbuhan dan involusi organ pada pertumbuhan embrional, proses hormonal pada organ reproduksi betina dan sentra germinal dari folikel limfoit. Apoptosis patologis terjadi pada kerusakan akibat agen infeksius dan toksin (Spector dan Spector 1988).
Hepatitis Hepatitis adalah respon hati terhadap perangsangan dari luar yang bersifat merusak dan berbentuk degenerasi dan peradangan yang bisa berlanjut ke nekrosis. Hepatitis menurut etiologinya dibagi menjadi dua yaitu hepatitis infeksius dan hepatitis non-infeksius atau hepatitis toksik (Nabib 1987). Hepatitis infeksius dapat disebabkan oleh virus hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D dan lainnya. Sedangkan hepatitis toksik dapat disebabkan oleh bakteri, parasit, obat-obatan, alkohol, kegemukan dan lainnya (Afifah 2006). Salah satu fungsi utama hati adalah detoksifikasi. Dalam proses ini senyawa toksik dan obat diangkut dan disimpan dalam hati. Beberapa senyawa toksik dan obat-obatan yaitu parasetamol dapat menyebabkan nekrosis dan peradangan hati. Hal ini semakin meningkatkan resiko rusaknya hati oleh senyawa tersebut. Penderita hepatitis yang disebabkan senyawa toksik dan obat-obatan ini
memiliki tanda-tanda yang mirip dengan tanda-tanda penyakit hepatitis lainnya (Anderson 1989). Sebab-sebab dari hepatitis toksik ialah karena berbagai macam bahanbahan toksik yang dapat merusak sel hati. Menurut Nabib (1987) penyebab hepatitis toksik dibagi menjadi empat golongan: (1) Racun-racun kimia seperti: tembaga, arsen, obat-obatan yang mengandung arsen, fosfor, merkuri, kloroform, asam tanin, cincophen, tetrachlorethanol, trinitrotuluene, tetrachlorethylene dan carbontetrachlorida. Menurut penelitian Susana (1987) obat yang mengandung parasetamol dapat juga termasuk salah satu obat yang dapat menyebabkan hepatitis, (2) Racun tanaman, seperti: jenis-jenis Sereci, Aminskia, Phyllanthum, sejumlah leguminosa, dan sebagainya, (3) Racun dari mikroorganisme yang dapat memproduksi eksotoksin dan endotoksin dan (4) Racun metabolik. Hepatitis toksik akut akibat parasetamol ditandai dengan kematian sel-sel hati serta perubahan-perubahan yang mengawali kematian seperti degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan nekrosis. Secara mikroskopik sifat nekrosis adalah koagulatif yang ditandai oleh piknosis atau karyoreksis atau karyolisis dan sitoplasma
yang
asidofilik
yang
dilanjutkan
dengan
penguraian
dan
menghilangnya sel-sel. Umumnya pada hepatitis toksik ini hati membengkak, pucat dan belang sedangkan gambaran lobular terlihat jelas. Ukuran hati cenderung untuk mengecil karena jumlah sel parenkimnya menghilang akibat nekrosis walaupun pembendungan oleh darah dan penimbunan lemak cenderung untuk memperbesar volumenya. Oleh sebab itu tidak dapat memberikan gambaran mengenai besarnya hati. Atrofi kuning yang akut merupakan proses hepatitis toksik akut dimana hati menjadi kuning karena degenerasi lemak serta nekrosis dan hati menjadi kecil karena kehilangan sejumlah selnya. Atrofi merah yang akut juga merupakan proses hepatitis akut yaitu hati berubah menjadi merah karena pembendungan yang hebat telah meliputi warna kuning oleh degenerasi lemak (Nabib 1987). Kasus-kasus yang akut dan parah dapat menimbulkan kematian dalam waktu beberapa hari dimana keadaan sel-sel parenkim hati nekrosis dan menghilang. Keadaan inilah yang memberikan gambaran klasik tentang atrofi kuning yang akut. Dalam keadaan yang tidak gawat, pasien dapat disembuhkan
setelah bahan-bahan toksik dilenyapkan sehingga epitel hati dapat beregenerasi penuh. Konsumsi obat-obatan seperti parasetamol dosis tinggi secara terusmenerus dapat berubah menjadi bentuk hepatitis toksik yang kronis disebut cirrhosis (Nabib 1987). Toksin dan obat yang
dapat menyebabkan hepatitis
seperti: (1) Amatoksin didapat dari jamur, (2) Phosphorus, yang didapatkan dari hasil industri, (3) Parasetamol dapat menyebabkan hepatitis bila dosisnya berlebih dan (4) Carbon tetrachloride, chloroform, trichloroethylene dan semua jenis chlorinated hydrocarbons (Anonimus 2006a).
Parasetamol (Asetaminofen) Parasetamol (Inggris) atau asetaminofen (Amerika Serikat) merupakan analgetik-antipiretik yang populer dan banyak digunakan di Indonesia, dalam bentuk sediaan tunggal maupun kombinasi. Kata asetaminofen dan parasetamol berasal dari singkatan nama kimia bahan berikut (Anonimus 2006b): Amerika
: N-asetil-para-aminofenol
asetominofen
Inggris
: para-asetil-amino-fenol
parasetamol
Parasetamol salah satu obat yang bersifat hepatotoksik. Parasetamol merupakan turunan fenisitin yang berbentuk serbuk putih, tidak berbau dan rasanya sedikit pahit. Over dosis akut parasetamol dapat menyebabkan kerusakan hati yang fatal (Sumioka et al. 2004). Parasetamol dimetabolisme terutama oleh enzim-enzim mikrosomal sel hati. Di dalam saluran pencernaan, parasetamol dengan cepat diserap dan dalam waktu 30 menit akan mencapai konsentrasi puncak dalam plasma. Pada dosis yang menyebabkan toksisitas akut, ikatan parasetamol terhadap protein plasma bervariasi dari 20-50%. Pada dosis normal, 90-100% dari senyawa obat ini mungkin akan dikeluarkan melalui urin. Pengeluaran senyawa obat ini terjadi setelah melewati fase konjugasi dengan asam glukoronat (sekitar 60%), asam sulfat (35%) dan sistein (3%) serta sejumlah kecil metabolit dalam bentuk terhidroksilasi dan terdeasetilasi (Anonimus 2006b). Parasetamol akan dikonversikan menjadi inaktif melalui metabolisme fase II yang dikonjugasikan dengan sulfat dan glukoronida, yang akan beroksidasi dalam jumlah kecil melalui sistem enzim sitokrom P-450. Sitokrom P-450 akan
mengkonversikan parasetamol menjadi metabolit reaktif yang tinggi, N-acetyl-pbenzo-quinone imine (NAPQI). Dalam kondisi dibawah normal, NAPQI akan didetoksifikasi oleh konjugasi dengan glutation. Pada kasus toksikasi parasetamol, jalur sulfat dan glukoronida menjadi terurai sehingga parasetamol merangsang sistem
sitokrom
P-450
memproduksi
NAPQI
yang
banyak.
Akhirnya
hepatoseluler kekurangan glutation dan NAPQI secara bebas bereaksi dengan membran sel molekul. Hal inilah yang menyebabkan kerusakan dan kematian sel hati, dan menuju akut hepatik nekrosis. Pada kasus-kasus hewan, 70% kekurangan glutation pada sel hati dapat menyebabkan hepatotoksisitas (Anonimus 2006b).
METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Perlakuan hewan percobaan dilaksanakan mulai tanggal 12 Februari sampai 1 Juni 2007.
Bahan dan Materi Penelitian Hewan Coba Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah 15 ekor mencit jantan berumur dua bulan dengan berat badan rata-rata 19-21 gram. Hewan coba dalam keadaan sehat fisik dan tidak pernah dipergunakan untuk penelitian. Bahan Penelitian Bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari: sari buah merah yang berasal dari Wamena Papua hasil ekstrak air; parasetamol; pellet apung sebagai pakan mencit; aqua® sebagai air minum mencit; sekam padi kering untuk alas kandang mencit; eter untuk anestesi; buffer neutral formaline 10% (BNF 10%) untuk menyimpan dan mengawetkan (fiksasi) organ hati mencit serta bahanbahan lainnya yang digunakan untuk membuat preparat histopatologi hati mencit yaitu alkohol 70%, 80%, 90%, alkohol absolut, xylol; zat warna HE (Hematoxylin Eosin); parafin. Alat Penelitian Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari 3 buah kandang plastik berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran panjang 40 cm, lebar 29 cm, tinggi 12 cm dengan tutup yang terbuat dari anyaman kawat untuk tempat pemeliharaan mencit selama penelitian berlangsung; botol yang dilengkapi dengan saluran air untuk tempat minum mencit; timbangan untuk menimbang berat badan mencit; sonde lambung; pot plastik; anaerobic jar dari gelas untuk anestesi; alat-alat bedah (gunting, skalpel, pinset, dan alas bedah); alat-alat untuk membuat preparat histopatologi (alat dehidrasi yaitu automatic tissue processor, mikrotom, hot plate, inkubator, gelas obyek dan penutup); mikroskop cahaya
untuk memeriksa preparat histopatologi hati mencit serta alat fotomikrografi dan kamera untuk alat dokumentasi.
Metode Penelitian Persiapan Hewan Coba Setelah diperiksa kesehatannya secara fisik masing-masing mencit dimasukkan ke kandang. Setiap kandang berisi 5 ekor mencit. Sebelum diberi perlakuan mencit diadaptasikan selama dua minggu agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru dan diberikan obat cacing yang mengandung pirantel pamoat dengan dosis 0,5 ml/kg BB selama dua kali dalam dua minggu dan amphicilin dengan dosis 0,8 ml/kg BB selama enam kali dalam dua minggu sebagai treatment. Selama penelitian berlangsung sekam padi diganti tiga hari sekali dan pemberian makanan dan minuman pada mencit ad libitum. Perlakuan Hewan Coba Setelah diadaptasi selama dua minggu, mencit dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan masing-masing kelompok 5 ekor mencit. Ketiga kelompok perlakuan tersebut adalah: Kontrol Negatif
: mencit diberi makanan dan minuman ad libitum serta dicekok aquades selama 6 minggu.
Kontrol Positif
: mencit diberi perlakuan berupa pemberian parasetamol dengan dosis 10 mg/kg BB, peroral satu kali sehari selama 6 minggu.
Perlakuan
: mencit diberi sari buah merah dengan dosis 0,1 ml/mencit selama 2 minggu, per oral satu kali sehari kemudian dilanjutkan dengan pemberian parasetamol dengan dosis 10 mg/kg BB selama 4 minggu, per oral satu kali sehari.
Sebelum diberi perlakuan, setiap mencit pada kelompok kontrol negatif, kontrol positif dan perlakuan ditimbang dahulu untuk dicatat berat badannya sehingga dapat menentukan jumlah dosis parasetamol. Setelah pemeliharaan selama enam minggu, seluruh mencit dibius dengan eter. Mencit dimasukkan ke wadah tertutup yang berisi kapas yang sudah dibasahi dengan eter. Bila mencit sudah terbius, mencit diletakkan pada sebuah alas bedah
dalam keadaan terlentang. Selanjutnya dilakukan pembedahan pada bagian abdomennya dengan hati-hati untuk melakukan pengambilan organ hati. Patologi anatomi hati mencit diamati. Hati mencit dimasukkan ke dalam pot plastik yang sudah terisi buffer neutral formaline 10% (BNF 10%) dan dibiarkan 24 jam sebelum dibuat preparat histopatologi.
Pembuatan Preparat Histopatologi Potongan hati dengan ketebalan kurang lebih 3 mm dimasukkan ke dalam tissue cassete dan didehidrasi dengan merendam sediaan tersebut secara berturutturut ke dalam alkohol 70%, 80%, 90%, alkohol absolut I, alkohol absolut II, dijernihkan dalam xilol I, xilol II, dan diinfiltrasi oleh parafin I, dan parafin II. Masing-masing proses perendaman pada setiap bahan tersebut dilakukan selama 2 jam secara otomatis dalam mesin automatic Tissue Processor, Sakura TM (Japan). Jaringan dimasukkan ke dalam pencetak berisi parafin cair. Letak jaringan diatur sedemikian rupa agar tetap berada ditengah blok parafin. Setelah mulai membeku, parafin ditambah kembali hingga alat pencetak penuh dan dibiarkan hingga parafin mengeras. Pemotongan jaringan dengan mikrotom dilakukan dengan ketebalan 5 mikron. Hasil pemotongan yang berbentuk pita diletakkan diatas permukaan air hangat bersuhu 450 C dengan tujuan menghilangkan lipatan-lipatan. Sediaan diangkat dari permukaan air dengan gelas objek yang telah diulasi larutan albumin yang berguna untuk merekatkan sediaan. Setelah itu, preparat dikeringkan semalam dalam inkubator bersuhu 600C. Sediaan dimasukkan ke dalam xylol dua kali selama 2 menit. Kemudian sediaan direhidrasi yang dimulai dari alkohol absolut sampai alkohol 80% dengan waktu masing-masing dua menit. Selanjutnya sediaan dicuci dalam air mengalir dan dikeringkan. Sediaan yang sudah kering diberi pewarnaan Mayer’s Hematoksilin selama 8 menit, kemudian dibilas dengan air mengalir dan dicuci dengan lithium karbonat selama 15-30 detik, dibilas dengan air lagi, dan akhirnya diwarnai dengan pewarna Eosin selama dua menit. Untuk menghilangkan warna Eosin yang berlebihan, sediaan dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Kemudian
sediaan dicelupkan ke dalam alkohol 90% sebanyak 10 kali celupan, alkohol absolut I 10 kali celupan, alkohol absolut II selama 2 menit, xylol I selama satu menit, dan xylol II selama dua menit. Sediaan dikeringkan terlebih dahulu sebelum ditetesi dengan perekat permount dan kemudian ditutup dengan penutup dan disimpan beberapa menit hingga zat perekat permount melekat dengan penutup. Setelah itu, preparat siap untuk diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya. Identifikasi dan pengamatan preparat dilakukan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Pemeriksaan Preparat Histopatologi Pengamatan secara mikroskopik preparat histopatologis hati mencit jantan pada penelitian ini menggunakan mikroskop cahaya, dengan pembesaran 100x dilanjutkan dengan 400x. Perubahan histopatologis yang diamati adalah adanya berbagai tipe degenerasi dan kematian sel pada hepatosit. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah sel yang mengalami degenerasi dan kematian sel pada lapang pandang disekitar duapuluh vena sentralis dan duapuluh vena porta dengan luas lapang pandang 176 µm2 setiap hati mencit yang dihitung dengan cara mengalikan panjang dan lebar lapang pandang menggunakan mikrometer. Perubahan jaringan interstitium yang diamati meliputi ada tidaknya sel radang berikut jumlah dan penyebarannya. Perubahan pada sistem sirkulasi meliputi pembuluh darah dan sistem sinusoid.
Analisis Data Data histopatologi yang didapatkan akan dianalisis secara deskriptif dengan menghitung persentase sel yang mengalami degenerasi dan kematian sel yang kemudian dilanjutkan dengan uji ANOVA. Apabila hasilnya nyata maka dilanjutkan dengan uji Duncan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Patologi Anatomi Organ Hati Mencit Hasil pengamatan patologi anatomi hati dari kelompok perlakuan dan kelompok kontrol positif tidak menunjukkan adanya perbedaan makroskopis dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif (Gambar 5). Warna hati yang teramati adalah merah coklat. Ukuran hati dalam keadaan normal, permukaannya rata dan konsistensinya lembut. Tidak adanya perubahan pada struktur makroskopis pada hati dapat berarti hati dalam kondisi sehat, namun dapat juga berarti adanya perubahan dalam tingkat mikroskopis sehingga tidak dapat diamati secara anatomi. Selain itu, tidak teramatinya perubahan secara makroskopis mungkin dikarenakan waktu penelitian yang tergolong singkat sehingga walaupun kerusakan hati sudah tercapai tetapi belum mengakibatkan perubahan struktur hati pada tingkat makroskopis.
Gambar 5 Gambar patologi anatomi hati mencit pada kelompok kontrol negatif (A), kontrol positif (B) dan perlakuan (C)
Gambaran Histopatologi Organ Hati Mencit Dari hasil pengamatan histopatologi jaringan hati ditemukan perubahan baik dalam parenkim maupun interstisium. Perubahan ini terjadi baik pada kelompok kontrol negatif, kelompok kontrol positif maupun pada kelompok perlakuan. Perbedaan antara tiga kelompok ditunjukkan oleh derajat keparahan kerusakan hati. Jaringan interstisium menunjukkan perubahan berupa kongesti dan perluasan sinusoid. Adanya kongesti dan perluasan sinusoid, diduga akibat
pembiusan dengan eter sebelum mencit dinekropsi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ganiswara (1995) yang menyatakan bahwa pada anestesi ringan dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Vasodilatasi yang sering terjadi di daerah perifer akan mengakibatkan penurunan tekanan darah pada saat pembiusan dengan menggunakan eter. Oleh karena itu, perubahan-perubahan tersebut tidak dapat dijadikan sebagai parameter dalam perubahan mikroskopis akibat pemberian parasetamol dan sari buah merah (Gambar 6).
Gambar 6 Perubahan pada bagian interstisium hati berupa kongesti dan perluasan sinusoid (panah hitam). Ruang Disse meluas (panah kuning). Pewarnaan HE. Pembesaran: 400X. Bar: 2µm.
Pada parenkim hati seluruh kelompok ditemukan hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan kematian sel. Kerusakan lain yang juga ditemukan adalah adanya infiltrasi sel radang limfosit dan makrofag sehingga membentuk fokus-fokus peradangan di sekitar vena sentralis maupun vena porta di seluruh jaringan hati (Gambar 7).
Gambar 7 Fokus-fokus peradangan (tanda panah) sekitar vena porta (A) dan sekitar vena sentralis (B). Pewarnaan HE. Pembesaran: 200X. Bar: 2µm.
Pada kondisi peradangan, bahan kausatif radang dan jaringan rusak akan dilokalisasi dan disingkirkan melalui fagositasi oleh leukosit. Lokalisasi bahan kausatif akan membentuk sarang radang. Agen kausatif, respon jaringan sekitar agen serta sel nekrotik di dalam sarang akan menghasilkan berbagai mediator inflamasi. Aktivitas inflamasi yang diselenggarakan oleh mediator inflamasi dimulai dengan hiperemia atau dilatasi pembuluh darah (arteriol, kapiler sampai vena) disekitar penyebab radang dan jaringan yang rusak. Saat dilatasi, darah yang mengalir di daerah radang menjadi banyak dan tergenang karena aliran lamban. Suhu disekitar radang menjadi hangat, dan memiliki warna kemerahan. Daerah hiperemia membentuk kapsul atau pagar yang melokalisasi sarang radang. Stimulus mediator inflamasi juga memicu kontraksi dan retraksi sel-sel endotel dinding kapiler yang menimbulkan celah antar endotel. Dengan demikian terjadi peningkatan permeabilitas vaskula sehingga meningkatkan tekanan hidrostatik di dalam kapiler mendorong cairan plasma darah keluar mencapai ekstravaskuler. Cairan tersebut menggenangi daerah interstisium sebagai edema radang. Bersamaan dengan hiperemia dan pembentukan edema radang, terjadi perubahan pengaliran leukosit di dalam vaskuler daerah radang yang mengalami vasodilatasi kapiler tersebut. Bila dalam kondisi vaskula normal sel-sel darah mengalir ditengah arus, sekarang dalam aliran darah lamban terjadi marginasi pengaliran leukosit. Dilanjutkan pengiriman leukosit dari lumen pembuluh darah ke lokasi kerusakan jaringan. Pengiriman leukosit tersebut melalui marginasi dalam pengaliran darah, mendaratnya leukosit pada dinding endotel vaskula dengan
menggelinding sepanjang endotel (rolling), terhentinya leukosit dengan melekat pada reseptor di permukaan endotel (adhesi), extravasasi (keluar dari vaskula) leukosit dengan cara bergerak amuboid menembus celah dinding endotel dan membran basal kemudian keluar dari vaskula (diapedesis). Migrasi leukosit dari dalam vaskula berlanjut setelah tiba di daerah ekstravaskula, di jaringan interstisium tersebut leukosit mencapai sumber stimulus kemotatik di dalam sarang radang. Kemotatik menuntun perjalanan amuboid leukosit yaitu ke alur datangnya bahan kemotatik mediator inflamasi yaitu ke arah menuju konsentrasi yang lebih pekat. Leukosit yang tiba di daerah interstisium daerah inflamasi bertindak sebagai sel-sel radang. Fungsi sel radang di daerah sarang radang adalah untuk melaksanakan fagositosis dan degradasi terhadap bahan yang merusak dan jaringan yang nekrotik (Spector dan Spector 1988). Mediator inflamasi yang dihasilkan akibat respon inflamasi sistemik adalah Interleukin-1 (IL-1) dan Tumor Nekrotik Faktor (TNF) yang merupakan sitokin produksi leukosit yang akan dilepaskan dalam darah. Dalam hal ini stimulus utamanya adalah agen penyebab inflamasi seperti paparan xenobiotik (Spector dan Spector 1988). Fokus-fokus peradangan tersebut terdiri dari berbagai ukuran dengan jumlah sel limfosit dan makrofag yang bervariasi. Infiltrasi sel radang limfosit dan makrofag hampir terjadi diseluruh kelompok. Adapun tujuan perhitungan sel radang dikarenakan keadaan ditemukannya sel radang selalu terkait dengan keadaan sel nekrosa yang menghasilkan sitokin atau zat kemotatik (Spector dan Spector 1988). Hasil perhitungan jumlah sel radang yang ditemukan di sekitar vena porta dan vena sentralis dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 8. Tabel 3 Hasil perhitungan jumlah sel radang sekitar vena porta dan vena sentralis Kelompok
Jumlah Sel Radang Daerah Vena Porta
Daerah Vena Sentralis
Kontrol Negatif
582,3±464,4a
406,7±308,7 a
Kontrol Positif
463,7±177,6 a
365,0±224,3 a
Perlakuan
317,0±67,9 a
221,7±59,2 a
Keterangan: Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)
Perbandingan jumlah sel radang kelompok kontrol negatif, kontrol positif dan kelompok perlakuan digambarkan dalam diagram berikut (Gambar 8) 1200 1000 800 Jumlah Sel Radang Daerah Vena Sentralis Jumlah Sel Radang Daerah Vena
600 400 200 0 Kontrol Negatif
Kontrol Positif
Perlakuan
Gambar 8 Diagram perbandingan jumlah sel radang sekitar vena porta dan vena sentralis
Hasil perhitungan statistik jumlah sel radang pada perlakuan cenderung sama jumlahnya dengan kontrol negatif dan kontrol positif (p>0,05) (Tabel 3). Dari segi enumerasi jumlah sel radang pada kelompok perlakuan lebih kecil dibandingkan dengan kontrol positif dan negatif. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian sari buah merah dapat mengurangi adanya akumulasi sel radang dalam jaringan. Sedangkan pada kelompok kontrol positif jumlah sel radang lebih kecil dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif (Gambar 8). Hal ini menunjukkan bahwa parasetamol dapat berfungsi sebagai antiinflamasi walaupun kurang signifikan. Keadaan ini sesuai dengan pernyataan Goodman et al. (1980), bahwa aktivitas antiinflamasi parasetamol sangat rendah sehingga jarang digunakan untuk terapi klinik. Jumlah sel radang pada daerah vena porta dan daerah vena sentralis pada seluruh kelompok berdasarkan uji statistik menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05) (Tabel 3). Akan tetapi jumlah sel radang pada daerah vena porta lebih banyak daripada daerah vena sentralis pada seluruh kelompok (Gambar 8). Peradangan akut adalah respon segera tubuh terhadap cedera atau kematian sel. Peradangan adalah suatu reaksi vaskular yang hasilnya merupakan pengiriman
cairan dan darah yang mengandung leukosit, interleukin-1 (IL-1) dan lain-lain yang kemudian bersirkulasi ke dalam jaringan-jaringan interstisial di daerah nekrosis (Abrams 1984). Jumlah sel radang yang lebih banyak ditemukan pada daerah vena porta dibandingkan daerah vena sentralis menunjukkan bahwa kerusakan sel yang mengundang kehadiran sel radang lebih banyak ditemukan pada daerah vena porta, atau dengan kata lain zat-zat yang diserap dari usus lebih bersifat sebagai radikal bebas dibanding zat-zat hasil metabolisme sel hati yang dialirkan melalui vena sentralis. Dalam membandingkan derajat kerusakan hati dari ketiga kelompok perlakuan, maka dilakukan perhitungan persentase hepatosit yang mengalami lesio degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan sel yang mengalami kematian pada tiap lapang pandang. Adapun hasil perhitungan jumlah hepatosit yang mengalami lesio ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil perhitungan lesio hepatosit Persentase Lesio Hepatosit Perlakuan
Normal
Degenerasi
Degenerasi
Hidropis
Lemak
Kematian Sel
Kontrol Negatif
64,10±11,40a
22,90±10,12b
4,60±3,50a
7,10±2,33b
Kontrol Positif
35,60±23,36b
40,30±18,16a
7,10±4,53a
15,80±4,36a
Perlakuan
56,90±19,31a
29,90±15,72ab
9,40±3,47a
7,20±2,82b
Keterangan: Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)
Perbandingan lesio hepatosit kelompok kontrol negatif, kontrol positif dan kelompok perlakuan digambarkan dalam diagram berikut (Gambar 9) 70 60 50 Kontrol Negatif
40
Kontrol Positif 30
Perlakuan
20 10 0 Normal
Degenerasi Hidropis
Degenerasi Kematian Sel Lemak
Gambar 9 Diagram perbandingan persentase kerusakan hepatosit pada mencit jantan
Hasil perhitungan statistik menunjukkan persentase hepatosit normal pada perlakuan cenderung sama jumlahnya dengan kontrol negatif atau tidak berbeda nyata (p>0,05). Persentase hepatosit yang mengalami lesio degenerasi hidropis dan kematian sel pada kelompok perlakuan mengalami penurunan dibandingkan lesio degenerasi hidropis dan kematian sel pada kontrol positif (p<0,05). Dari segi enumerasi, pada kelompok perlakuan persentase degenerasi lemak mengalami peningkatan dibandingkan dengan kelompok kontrol positif (Tabel 4 dan Gambar 9). Peningkatan hepatosit normal pada kelompok perlakuan membuktikan bahwa sari buah merah dapat bersifat hepatoprotektor. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah hepatosit normal kelompok perlakuan cenderung sama dengan kelompok kontrol negatif. Sementara pada kelompok kontrol positif, penurunan hepatosit normal membuktikan bahwa parasetamol toksik terhadap hati. Perubahan hepatosit berupa degenerasi hidropis terjadi pada seluruh kelompok, termasuk kelompok kontrol negatif. Degenerasi dan kematian sel pada kelompok kontrol negatif kemungkinan karena adanya gangguan metabolisme yang tidak spesifik pada organ hati maupun organ yang lainnya. Hal ini mungkin
saja terjadi karena mencit yang digunakan bukan mencit Specific Pathogen Free (SPF) sehingga ditemukan perubahan-perubahan tersebut. Pada kelompok kontrol positif terjadi degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan kematian sel yang lebih tinggi daripada kelompok kontrol negatif. Perbedaan ini diasumsikan akibat pemberian parasetamol. Kontrol positif ini digunakan sebagai model hati mencit yang mengalami kerusakan hati untuk membuktikan sifat hepatoprotektor dari sari buah merah. Pada kontrol positif dan perlakuan terlihat adanya hepatosit yang mengalami kerusakan berupa degenerasi dan kematian sel. Menurut Anonimus (2006b), hal ini karena parasetamol akan diubah menjadi metabolit inaktif melalui jalur metabolisme fase II yang dikonjugasikan dengan sulfat (sulfasi) dan glukoronida (glukoronidasi), kemudian akan beroksidasi dalam jumlah kecil (510%) melalui sistem enzim sitokrom P-450 (fase I). Sitokrom P-450 akan mengkonversikan parasetamol menjadi metabolit reaktif yang tinggi, N-acetyl-pbenzo-quinone imine (NAPQI). Dalam kondisi normal, NAPQI akan berikatan dengan glutation sehingga metabolit ini tidak merusak hati. Akan tetapi pada saat dosis yang dipakai berlebihan, glutation yang mengikat metabolit parasetamol tidak mencukupi jumlahnya maka metabolit yang bebas akan berikatan dengan protein sehingga terjadi kerusakan hepatosit dan akhirnya terjadi sentrolobular hepatik nekrosis (Anonimus 2006b). Glutation (GSH) merupakan antioksidan endogenus yang dihasilkan oleh hati yang dapat mencegah kerusakan hepatosit akibat radikal bebas ataupun akibat toksin lainnya. Konsentrasi normal dari glutation dalam darah sekitar 20-30%, mampu melindungi hepatosit dari kerusakan yang berakhir fatal. Dengan konsentrasi glutation yang semakin rendah maka potensi parasetamol untuk merusak hati semakin meningkat (Rzucidlo et al. 2000). Senyawa radikal (NAPQI) dapat bereaksi dengan molekul penyusun membran sel hati seperti fosfolipid. Oksidasi senyawa ini akan menghasilkan suatu radikal bebas yang dapat mengoksidasi molekul fosfolipid lainnya sehingga terjadi reaksi oksidasi berantai. Reaksi ini dapat menyebabkan berubahnya komposisi membran sel hati (Anonimus 2006b).
Degenerasi hidropis merupakan perubahan yang bersifat sementara (reversible), ditandai dengan kehadiran vakuol-vakuol di sitoplasma yang beraspek keruh dan sitoplasma membengkak. Apabila paparan bahan toksik dalam hal ini adalah parasetamol dihentikan maka sel yang mengalami degenerasi hidropis ini akan kembali normal. Degenerasi hidropis merupakan salah satu tanda awal terjadinya kerusakan hati akibat toksin (Maronpot 1999). Sel membutuhkan ATP-ase untuk mengaktifkan pompa sodium-potasium dalam pengaturan keluar dan masuknya ion. Pada keadaan normal, tiga molekul sodium akan dipompa keluar sel untuk setiap dua molekul potasium yang dipompa ke dalam sel. Kerusakan membran sel akibat parasetamol ini dapat menyebabkan ion sodium banyak tinggal didalam sel. Keadaan ini menyebabkan cairan disekitar sel akan merembes masuk kedalam sel dan menyebabkan kebengkakan sel sehingga mengalami degenerasi hidropis (Cheville 1999). Degenerasi lemak merupakan perubahan morfologi hepatosit dan penurunan fungsi organ hati akibat dari akumulasi lemak sitoplasma dalam hepatosit. Perubahan degenerasi lemak ditandai dengan bulatan yang kosong (jernih) dan bundar di dalam sitoplasma. Degenerasi lemak hepatosit dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti peningkatan pembentukan lemak di dalam sel hati akibat toksin yang dapat merusak jalur metabolisme lemak, terlalu banyak asupan lemak ke dalam hati dan proses enzimatik seluler terganggu. Adanya molekul radikal bebas seperti parasetamol akan menyebabkan reaksi dengan lipid dari membran sel sehingga mengakibatkan terjadinya proses peroksidasi lipid. Parasetamol akan menyebabkan kerusakan sel hati melalui reaksi molekul bebas NAPQI oleh sitokrom P-450. NAPQI ini akan menyebabkan terjadinya proses peroksidasi lipid pada retikulum endoplasmik dan membran plasma. Kerusakan retikulum endoplasmik pada hepatosit akan menyebabkan penurunan sintesa lipoprotein dan menyebabkan akumulasi lemak. Degenerasi lemak
di
dalam
hati
menunjukkan
bahwa
di
dalam
tubuh
terdapat
ketidakseimbangan proses metabolisme sehingga mempengaruhi kadar lemak didalam dan diluar jaringan hati. Dalam kondisi normal, glukosa hati diubah menjadi asam lemak oleh asetil koenzim A. Hati juga mengambil lemak dari usus melalui vena porta. Jalur metabolisme lemak di hati dimulai dengan sintesis
trigliserida di smooth endoplasmic reticulum (SER). Trigliserida akan dibawa dalam vakuol-vakuol globula lemak untuk bergabung dengan apoprotein yang disintesa di rough endoplasmic reticulum (RER) membentuk lipoprotein. Lipoprotein dan low density lipoprotein mengalami hidrolisa menjadi kolesterol, fosfolipid dan kemudian dikeluarkan dalam bentuk very low density lipid (VLDL). Jalur metabolisme lemak menggunakan enzim dalam menjalankan fungsinya. NAPQI akan menghambat kerja enzim tersebut sehingga jalur metabolisme terhambat dan trigliserida tidak mengalami perubahan menjadi lipoprotein (Price dan Wilson 1989). Nekrosa disebabkan oleh terbentuknya ikatan kovalen radikal bebas (NAPQI) dengan DNA dan RNA sebagai unsur penting sel, sehingga fungsi inti sebagai pengendali aktivitas sel terganggu. Hepatosit yang mengalami nekrosa menunjukkan perubahan pada inti dan sitoplasmanya. Inti hepatosit akan mengecil dan berwarna gelap akibat dari penggumpalan kromatin inti. Proses ini disebut piknosis. Inti bisa juga mengalami kehancuran (karyoreksis) dan ada yang menghilang (karyolisis) sedangkan pada sitoplasmanya akan terlihat asidofilik. Kerusakan degeneratif sel secara terus-menerus dapat mencapai suatu titik sehingga terjadi kematian sel. Mekanisme kematian sel terjadi melalui dua proses yaitu apoptosis dan nekrosa. Pada apoptosis terjadi kematian sel yang terprogram yang dipicu oleh fragmentasi DNA dan biasanya terjadi pada satu atau sekelompok sel saja. Berbeda dengan nekrosa, kematian sel ini bersifat menyeluruh. Pada nekrosa biasanya disertai sel radang sedangkan pada apoptosis tidak disertai sel radang. Oleh karena itu jumlah sel radang tidak selalu sebanding dengan jumlah kematian sel (Spector dan Spector 1988). Persentase degenerasi hidropis dan kematian sel pada perlakuan lebih rendah dibandingkan pada kontrol positif. Hal ini membuktikan bahwa kandungan antioksidan buah merah yang cukup tinggi dapat meningkatkan fungsi hepatosit. Salah satu antioksidan yang berperan adalah tokoferol dan betakaroten. Tokoferol dalam buah merah sebesar 11.000 ppm yang dapat menangkap radikal bebas akibat metabolisme parasetamol. Selain itu, kandungan betakaroten yang cukup tinggi sebesar 700 ppm dapat juga berfungsi sebagai antioksidan. Betakaroten merupakan jenis antioksidan yang mempunyai kemampuan tinggi dalam
memproteksi oksidasi yang disebabkan oleh radikal bebas. Betakaroten ini yang akan memproteksi hepatosit dari radikal bebas sehingga dapat mencegah kerusakan hati. Senyawa-senyawa aktif yang dikandung sari buah merah dapat mengikat radikal bebas dan mencegah pembentukan radikal bebas sehingga kerusakan hati lebih lanjut dapat dihindari (Budi 2005). Persentase hepatosit yang mengalami degenerasi lemak pada perlakuan lebih banyak dibandingkan dengan kontrol positif diduga karena kandungan lemak sari buah merah yang cukup tinggi sebesar 28.100 mg per 100 gram buah merah sehingga menyebabkan asupan lemak ke dalam tubuh meningkat. Pada mencit asupan normal lemak adalah 50 mg per gram diet (Anonimus 1995). Pada saat hepatosit mengalami kerusakan atau gangguan yang disebabkan oleh parasetamol, hepatosit tidak dapat secara optimum melakukan metabolisme lemak di hati. Oleh karena itu lemak banyak tertimbun di dalam hepatosit dan menyebabkan timbulnya degenerasi lemak. Selain itu, peningkatan pembentukan lipid di dalam sel hati akibat parasetamol dapat merusak jalur metabolisme lemak sehingga dapat menimbulkan degenerasi lemak (Price dan Wilson 1989). Pemberian sari buah merah selama dua minggu dapat mencegah terjadinya degenerasi hidropis dan kematian sel akibat pemberian parasetamol selama empat minggu. Hal ini menunjukkan bahwa sari buah merah terdeposit dan tetap dirilis dalam hepatosit, sehingga sari buah merah tetap berkhasiat melindungi hepatosit dari kerusakan sampai empat minggu kemudian.
Gambar 10
Gambaran histopatologi jaringan hati kelompok kontrol negatif. Hepatosit normal (panah hitam) dan Kematian sel (panah biru). Pewarnaan: HE. Pembesaran: 400X. Bar: 2 µm.
Gambar 11
Gambaran histopatologi jaringan hati kelompok kontrol positif. Hepatosit normal (panah hitam), degenerasi hidropis (panah hijau) dan degenerasi lemak (panah kuning). Pewarnaan: HE. Pembesaran: 400X. Bar: 2 µm.
Gambar 12
Gambaran histopatologi jaringan hati kelompok perlakuan. Hepatosit normal (panah hitam), kematian sel berupa inti piknosis (panah hijau) dan kematian sel berupa inti karyolisis (panah biru). Pewarnaan: HE. Pembesaran: 400X. Bar: 2 µm.
Kerusakan hepatosit umumnya dimulai dari vena porta yang kemudian meluas pada vena sentralis. Hal ini dikarenakan suplai darah dari usus menuju ke hati melalui vena porta. Apabila darah dari usus mengandung toksin maka kerusakan awal akan ditemukan pada hepatosit di sekitar vena porta. Zat toksin tersebut akan dimetabolisme oleh hati. Hasil metabolisme tersebut akan dibawa oleh aliran darah melewati sinusoid menuju ke vena sentralis. Metabolit toksin tersebut yang akan menyebabkan kerusakan pada hepatosit disekitar vena sentralis (Mac Farlene 2000). Asupan darah yang berasal dari saluran cerna mengandung banyak radikal bebas sehingga terjadi degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan kematian sel pada hepatosit. Dari hasil pengamatan, daerah vena sentralis dan vena porta seluruh kelompok mengalami lesio degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan kematian sel. Dalam membandingkan derajat kerusakan hati pada daerah vena porta dan vena sentralis dari ketiga kelompok perlakuan, maka dilakukan perhitungan persentase hepatosit yang mengalami lesio degenerasi hidropis, degenerasi lemak
dan kematian sel pada vena porta dan vena sentralis. Adapun hasil perhitungan ditampilkan pada Tabel 5. Tabel 5 Persentase lesio hepatosit daerah vena porta dan vena sentralis Kelompok Kontrol Negatif Kontrol Positif Perlakuan
Daerah Vena
Normal
Degenerasi
Degenerasi
Kematian
Hidropis
Lemak
Sel
Porta
67,40± 6,02a 23,60± 7,73a
3,40±2,07a
5,60±0,89a
Sentralis
60,80±15,12a 22,20±13,01a
5,80±4,43a
8,60±2,40a
Porta
38,00±22,86a 38,40±20,90a
6,20±3,56a
14,8±3,83a
Sentralis
33,20±26,28a 42,20±17,21a
8,00±5,61a
16,8±5,07a
Porta
56,40±19,65a 29,20±18,94a
10,2±4,32a
7,00±3,39a
Sentralis
57,40±21,26a 30,60±14,01a
8,60±2,60a
7,40±2,51a
Keterangan: Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)
Perbandingan lesio hepatosit sekitar vena porta dan vena sentralis pada kelompok kontrol negatif, kontrol positif dan kelompok perlakuan digambarkan dalam diagram berikut (Gambar 13) 100%
90%
80%
70%
60%
Kematian Sel Degenerasi Lemak
50%
Degenerasi Hidropis Normal
40%
30%
20%
10%
0% Vena Porta
Vena Sentralis
Kontrol Negatif
Vena Porta
Vena Sentralis
Kontrol Positif
Vena Porta
Vena Sentralis
Perlakuan
Gambar 13 Diagram perbandingan persentase kerusakan hepatosit sekitar vena porta dan vena sentralis
Hasil perbandingan persentase kerusakan hepatosit di sekitar vena porta dan vena sentralis pada seluruh kelompok berdasarkan uji statistik menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05) (Tabel 5). Hal ini membuktikan bahwa zat-zat asal usus sebelum dan sesudah dimetabolisme dalam hati mempunyai toksisitas yang sama. Pada kelompok perlakuan terlihat bahwa degenerasi hidropis lebih banyak terdapat pada daerah vena sentralis dibandingkan pada daerah vena porta (Gambar 13). Hal ini diduga kandungan antioksidan sari buah merah dari usus dapat mengurangi efek radikal bebas yang terdapat dalam usus. Akan tetapi degenerasi lemak lebih banyak terdapat pada vena porta dibandingkan dengan vena sentralis (Gambar 13). Kemungkinan akibat dari sari buah merah yang banyak mengandung asam lemak sehingga menyebabkan akumulasi asam lemak pada hepatosit dan menyebabkan degenerasi lemak di sekitar vena porta. Sama halnya dengan degenerasi hidropis, kematian sel pada kelompok perlakuan banyak terdapat di sekitar vena sentralis daripada vena porta. Hal ini diduga kandungan antioksidan dari sari buah merah dapat meningkatkan fungsi hepatosit disekitar vena porta. Selain itu kematian sel banyak terjadi pada vena sentralis karena parasetamol lebih toksik setelah dimetabolisme pada hati sehingga menurunkan fungsi hepatosit disekitar vena sentralis dan akhirnya terjadi degenerasi dan kematian sel. Pemberian sari buah merah dan parasetamol mempunyai efek pada sel hati dengan karakter yang berbeda. Sari buah merah menghambat terjadinya degenerasi hidropis dan kematian sel karena efek antioksidan. Namun demikian, masih terjadi degenerasi lemak hati akibat tingginya kandungan lemak dalam sari buah merah. Parasetamol dapat menyebabkan kerusakan pada sel hati apabila dikonsumsi secara terus-menerus. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan kematian sel pada hati.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Pemberian sari buah merah selama dua minggu dapat mencegah terjadinya degenerasi
hidropis
dan
kematian
sel
atau
melakukan
fungsi
hepatoprotektor pada hepatosit yang disebabkan oleh parasetamol. Potensi ini masih berlangsung hingga empat minggu setelah konsumsi sari buah merah. 2. Efek samping dari penggunaan sari buah merah dapat meningkatkan kejadian degenerasi lemak. 3. Sari buah merah dapat menurunkan radikal bebas asal usus. Saran 1. Dilakukan penelitian serupa dengan waktu penelitian yang lebih panjang. 2. Dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan zat toksik lain yang dapat menyebabkan kerusakan hati. 3. Membuat formula baru sari buah merah dengan mengurangi lemaknya, kemudian diujikan efektifitasnya.
DAFTAR PUSTAKA Abrams GD. 1984. Pengantar Patologi Umum. Mekanisme Penyakit Dalam: Sylvia Anderson Price and Lorraine M. Wilson. Patofisiologi: Konsep Klinik Proses-proses Penyakit. 2nd Edition. Jakarta: CV EGC Penerbit Buku Kedokteran. P: 33, 37-38, 41, 89. Afifah E. Agustus 2006. Mengatasi Hepatitis dengan Tanaman Obat. Herba: 4-8. Anderson JR. 1989. Text Book of Pathology. 12th edition. Engglish Book Society. Anonimus. 1995. Nutrient Requirements of Laboratory http://books.nap.edu/openbook.php?record_id=4758&page=82. Januari 2008].
Animals. [11
Anonimus. 2006a. Hepatitis. http://en.wikipedi.org/wiki/Hepatitis. [6 Agustus 2006]. Anonimus. 2006b. Paracetamol. http://en.wikipedi.org/wiki/Paracetamol. [6 Agustus 2006]. Anonimus. 2006c. Tentang Buah Merah Raja Papua. http://www.medicastore.com/buahmerah_rajapapua/isi_rajapapua.php?isi_ rajapapua=study. [6 Agustus 2006]. Arafah E. 2005. Perlindungan dan Efek Penyembuhan Sediaan Bangle (Zingiber cassummunar Roxb) terhadap Peradangan Hati Tikus Serta Mekanismenya Pada Sel Makrofag dan Limfosit [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Besselsen DG. 2004. Biology of Laboratory Rodent. http://www.ahsc.arizona.edu/uac/notes/Home/MIC443Index.shtml. [22 Desember 2006]. Budi, I Made. 2005. Kajian Kandungan Zat Gizi dan Sifat Fisiko Kimia Berbagai Jenis Minyak Buah Merah(Pandanus conoideus. Lam) Hasil Ekstrasi Secara Tradisional Di Kabupaten Jayawijaya Propinsi Irian Jaya [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Carlton WW and Mc. Gavin MD. 1995. Special Veterinary Pathology. 2nd Edition. Mosby-Year Book, Inc. St.Louis, Missouri. P: 209-245. Cheville NF. 1999. Introduction to Veterinary Pathology. Ed ke-2. USA: Lowa State University Press. P: 5-25 Clarke
J. 2006. Omega-3 dan Omega 9 Modal untuk http://id.wikipedia.org/wiki/asam-lemak[23 Januari 2006].
Kecerdasan.
Craigmyle MBL. 1994. Atlas Berwarna Histologi. Edisi ke-2. Cetakan ke-4. Terjemahan: Jan Tambajong. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. P: 104. Fall DJ. 1984. Gangguan Saluran Cerna. Dalam: Sylvia Anderson Price and Lorraine M. Wison. Patofisiologi: Konsep Klinik Proses-proses Penyakit. Edisi 2 Bagian 1. Terjemahan: Adji Dharma. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. P: 230-234. Ganiswara SG. 1995. Farmakologi dan Terapi. Ed ke-4. Jakarta: Farmakologi Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. P: 116. Gitawati R. 1995. Radikal Bebas Sifat dan Peran dalam Menimbulkan Kerusakan Sel. Cermin Dunia Kedokteran. P: 33-36, 102. Goodman LS, Gilman A and Gilman AG. 1980. The Pharmacological Basic of Therapeutic sixth Ed. New York: Macmillan co. Inc. P: 682-723. Guyton AC and JE Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-9. Cetakan ke-1. Terjemahan: Irawati Setiawan, LMA ken Ariata Tengadi dan Alex santoso. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. P: 1028,1030,1105-1108. Junqueira, LC and Carneiro J. 1989. Histologi Dasar. Edisi ke-3. Terjemahan Adji Dharma. Jakarta: EGC. P: 342-346, 352-353. Lesson, CR, TS. Leeson and AA. Paparo. 1995. Buku Ajar Histologi. Edisi V. Cetakan V. Terjemahan: S. Koesparti Siswojo, Jan Tambajong, Sugito Wonodirekso, Isnani A, R. Tanzil, R. Soeharto, Soenanto Roewijoko, Isworo Goeritnoko dan M. Martoprawiro. Jakarta: EGC. P: 383, 385-388, 392. Lu FC. 1995. Toksikologi dasar. Edisi 2. Jakarta: UI-Press. P: 206-223. Mac Farlene PS, Reid R and Callander. 2000. Pathology Illustrated. Toronto. Huerchill Livingstone. P: 342-381. Maronpot RR. 1999. Pathology of Mouse. USA: Cache River Press. P: 117-119. Nabib R. 1987. Patologi Khusus Veteriner. Edisi ke-2. Bogor: Laboratorium Patologi Jurusan Parasitologi dan Patologi Fakultas Kedokteran Veteriner IPB. P: 115-117. Paimin FR. 2005. Sirosis Hati, Buah Merah Obatnya. http://www.trubusonline.com, [19 April 2005]
Price SA and Wilson LMc. 1989. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit, 2nd Edition. Jakarta: CV EGC Penerbit Buku Kedokteran. P: 518. Ressang AZ. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Edisi ke-2. Denpasar: Percetakan Bali. P: 45-82. Rzucidlo SJ, Bounous DI, Jones DP & Brackett BG. 2000. Acute Acetaminophen Toxicity in Transgenic with Elevated Hepatic Glutathione. Vet Human Toxicol. 42 (3): 146-150. Soekojo S. 1973. Patologi. Jakarta: UI-Press. P: 1-20. Sherlock S. 1995. Penyakit Hati dan Sistem Saluran Empedu. Cetakan ke-2. Terjemahan: Petrus Adrianto. Penerbit Widya Medika. Jakarta. P: 15. Siswandono dan Soekarjo, B. 1995. Kimia Medisinal. Surabaya: Airlangga University Press. P: 22-23. Smith JB dan Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan dan Penggunaan Hewan Coba di Daerah Tropis. Jakarta: UI.Press. P: 10-12. Spector WG dan TD Spector. 1988. Pengantar Patologi Umum. Edisi ke-3. Cetakan ke-1. Terjemahan: Soetjipto NS, Harsoyo, Amelia Hana dan Pudji Astuti. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. P: 71-91, 112114. Stinson dan Calhoun. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner. Edisi ke-3. Terjemahan R. Hartono. Jakarta: UI-Press. P: 392-394, 399. Sumioka I, Matsura T & Yamada K. 2004. Acetaminophen-Induced Hepatotoxicity: Still an Important Issue. Acta Medica: 47, 17-28. Susana N. 1987. Pengaruh Pemberian Seduhan Rimpang Temulawak terhadap Hepatotoksisitas Parasetamol pada Mencit Jantan [skripsi]. Fakultas Farmasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Yahya HM dan Wiryanta BTW. 2005. Si Emas Merah Dari Papua (Khasiat dan Manfaat Buah merah). Jakarta: Agromedia Pustaka. P: 12-19, 25-28. Wilson LM and LB Lester. 1995. Hati, Saluran Empedu, dan Pankreas. Dalam: SA. Price and LM. Wilson. Patofisiologi, Konsep Klinik Proses-proses Penyakit. Edisi ke-4. Cetakan ke-1. Terjemahan: Peter Anugerah. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. P: 426-427, 429-430.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Analisa data hasil perhitungan jumlah sel radang daerah vena porta pada kontrol negatif, kontrol positif dan perlakuan Source
Df
Sum of Squares
Mean Square
F value
Pr>F
Model
2
105995
52997
0,63
0,564
Error
6
503599
83933
Corrected
8
609594
Total Lampiran 2. Analisa data hasil perhitungan jumlah sel radang daerah vena sentralis pada kontrol negatif, kontrol positif dan perlakuan Source
Df
Sum of Squares
Mean Square
F value
Pr>F
Model
2
56506
28253
0,57
0,594
Error
6
298223
28253
Corrected
8
354729
Total Lampiran 3. Analisa data hasil perhitungan jumlah hepatosit normal pada kontrol negatif, kontrol positif dan perlakuan Source
Df
Sum of Squares
Mean Square
F value
Pr>F
Model
2
4393
2196
6.29
0.006
Error
27
9434
349
Corrected
29
13827
Total Lampiran 4. Analisa data hasil perhitungan jumlah degenerasi hidropis pada kontrol negatif, kontrol positif dan perlakuan Source
Df
Sum of Squares
Mean Square
F value
Pr>F
Model
2
1533
767
3.39
0.049
Error
27
6114
226
Corrected
29
7647
Total
Lampiran 5. Analisa data hasil perhitungan jumlah degenerasi lemak pada kontrol negatif, kontrol positif dan perlakuan Source
Df
Sum of Squares
Mean Square
F value
Pr>F
Model
2
115.3
57.6
3.85
0.034
Error
27
403.7
15.0
Corrected
29
519.0
Total Lampiran 6. Analisa data hasil perhitungan jumlah kematian sel hepatosit pada kontrol negatif, kontrol positif dan perlakuan Source
Df
Sum of Squares
Mean Square
F value
Pr>F
Model
2
498.9
249.4
23.06
0.000
Error
27
292.1
10.8
Corrected
29
791.0
Total Lampiran 7. Analisa data hasil perhitungan jumlah hepatosit normal vena sekitar porta dan vena sentralis pada kontrol negatif, kontrol positif dan perlakuan Source
Df
Sum of Squares
Mean Square
F value
Pr>F
Model
5
4562
912
2.36
0.070
Error
24
9265
386
Corrected
29
13827
Total Lampiran 8. Analisa data hasil perhitungan jumlah degenerasi hidropis sekitar vena porta dan vena sentralis pada kontrol negatif, kontrol positif dan perlakuan Source
Df
Sum of Squares
Mean Square
F value
Pr>F
Model
5
1579
316
1.25
0.318
Error
24
6068
253
Corrected
29
7647
Total
Lampiran 9. Analisa data hasil perhitungan jumlah degenerasi lemak sekitar vena porta dan vena sentralis pada kontrol negatif, kontrol positif dan perlakuan Source
Df
Sum of Squares
Mean Square
F value
Pr>F
Model
5
144.2
28.8
1.85
0.142
Error
24
374.8
15.6
Corrected
29
519.0
Total Lampiran 10. Analisa data hasil perhitungan jumlah kematian sel hepatosit sekitar vena porta dan vena sentralis pada kontrol negatif, kontrol positif dan perlakuan Source
Df
Sum of Squares
Mean Square
F value
Pr>F
Model
5
531.8
106.4
9.85
0.000
Error
24
259.2
10.8
Corrected
29
791.0
Total