Kajian novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo (Pendekatan intertekstual dan nilai pendidikan) TESIS Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Denik Wirawati S840209105
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
KAJIAN NOVEL BEKISAR MERAH KARYA AHMAD TOHARI DAN WASRIPIN DAN SATINAH KARYA KUNTOWIJOYO (Pendekatan Intertekstual dan Nilai Pendidikan) Disusun oleh: Denik Wirawati S840209105
Telah Disetujui oleh Tim Pembimbing Dewan Pembimbing
Jabatan
Nama
Tanda Tangan
Tanggal
Pembimbing I
Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M. Pd.
____________
_______
NIP 19440315 197804 1 001 Pembimbing II Dr. Nugraheni Eko Wardhani, M. Hum. ____________ NIP 19700716 200212 2 001
Mengetahui Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M. Pd. NIP 19440315 197804 1 001
_______
KAJIAN NOVEL BEKISAR MERAH KARYA AHMAD TOHARI DAN WASRIPIN DAN SATINAH KARYA KUNTOWIJOYO (Pendekatan Intertekstual dan Nilai Pendidikan) Disusun oleh: Denik Wirawati S840209105 Telah Disetujui oleh Tim Penguji Jabatan
Nama
Ketua
Prof. Dr. St. Y. Slamet, M.Pd. NIP 194612081982031001
Sekretaris
Tanggal
__________
_______
__________
_______
__________
______
__________
______
Dr. Andayani, M.Pd. NIP 19601030198610201
Pembimbing I
Tanda Tangan
Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M. Pd. NIP 19440315 197804 1 001
Pembimbing II Dr. Nugraheni Eko Wardhani, M. Hum. NIP 19700716 200212 2 001 Mengetahui Direktur Program Pascasarjana
Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D.
Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M. Pd.
NIP 19570802 198503 1 004
NIP 19440315 197804 1 001
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Denik Wirawati
NIM
: S840209105
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul Kajian Novel Bekisar Merah Karya Ahmad Tohari dan Wasripin dan Satinah Karya Kuntowijoyo (Pendekatan Intertekstual dan Nilai Pendidikan) adalah betul-betul karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar saya yang saya peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, Juli 2010 Yang membuat pernyataan
Denik Wirawati
MOTTO
Maka berimanlah kamu kepada Allah dan RosulNya dan kepada cahaya (Al Quran) yang telah kami turunkan dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (At Tagabun 8).
Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh, akan kami masukkan mereka ke surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya sebagai janji Allah yang sebenarnya. Dan siapakah yang lebih benar perkataanya dari (perkataan) Allah? (An Nisaa 122)
Ibadah, Tawakal, Sabar, dan Memegang Teguh Kawruh Kasongo adalah hakikat hidup untuk meraih syurgaNya yang abadi
PERSEMBAHAN Rasa syukur kupanjatkan kepada Allah Maha Rahman dan Rahim yang melimpahkan segala barokah. Kupersembahkan karyaku ini kepada: 1. Ayah Bundaku, H. Sunoto S.Pd dan Hj. Tini. 2. Saudaraku , Agung Sarwanto, ST, Tri Endaryati Puji Rahayu ,A.Md, Octavia Nuur Haryati, Ratna Fatmawati, Aris Setyono, A. Md, 3. Guru agamaku, Kyai Poniran, dan Jamaah Alif Laam Mim. 4. Letda. Heru Baryanto beserta keluarga 5. Ummi Wiwid Suarmi, S.Pd dan Keluarga Besar PP Al Hikmah 6. Sahabatku, Evi Yuliani, S. Pd, Sunny Narita S.Pd, Destriyana Wiyanti, S.Pd, dan Tri Amalia Lestari, M. Pd. BI 7. Almamaterku tercinta dan teman-teman seperjuangan PBI Universitas Sebelas Maret Surakarta 2009.
KATA PENGANTAR Rasa syukur yang tak terhingga dipanjatkan kepada Allah SWT yang Maha Rahman dan Rahim yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penyusunan penelitian tesis ini dapat diselesaikan. Tesis yang berjudul Kajian Novel Bekisar Merah Karya Ahmad Tohari dan Wasripin dan Satinah Kuntowijoyo (Pendekatan Intertekstual dan Nilai Pendidikan), disusun untuk menenuhi sebagian persyaratan untuk Mencapai Derajat Magister Pendidikan pada Program Studi Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penyusunan tesis ini dapat terselesaikan atas bimbingan dan bantuan berbagai pihak. Untuk itu kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih kepada: 1. Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan studi pada penyusun di Program Pascasarjana. 2. Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana yang senantiasa memberikan semangat dan motivasi sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
3. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M. Pd. selaku Pembimbing I yang telah sabar memberikan arahan, petunjuk, dan bimbingan dalam proses penyusunan tesis ini. 4. Dr. Nugraheni Eko Wardhani, M. Hum selaku Pembimbing II yang telah sabar memberikan arahan, petunjuk, dan bimbingan dalam proses penyusunan tesis ini. 5. Para Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ilmu, motivasi, dan bimbingannya selama menempuh studi. 6. Ayah dan bundaku, H. Sunoto S.Pd, Hj. Tini, kakak dan adikku, Agung Sarwanto, ST, Tri Endaryati Puji Rahayu ,A.Md, Octavia Nuur Haryati, Ratna Fatmawati, Aris Setyono, A. Md, Drs. Budi Nugraha, M. Pd, Guru agamaku Kyai Poniran serta Jamaah Alif Laam Mim. Penyusun berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan pendidikan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Akhirnya penulis ucapkan terimaksih.
Surakarta, 1 Agustus 2010
Denik Wirawati.
DAFTAR ISI Halaman JUDUL……………………………………………………………................
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………………………..
ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI TESIS…………………………………….
iii
PERNYATAAN…………………………………………………………….
iv
MOTTO……………………………………………………………………...
v
PERSEMBAHAN………………………………………………………….. .
vi
KATA PENGANTAR………………………………………………………
vii
DAFTAR ISI………………………………………………………………..
ix
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………..
xiii
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL……………………………………….
xiv
ABSTRAK………………………………………………………………….
xv
ABSTRACT……………………………………………………………….…
xvi
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………..
1
A. Latar Belakang…………………………………………………...
1
B. Rumusan Masalah…………..……………………………….….
6
C. Tujuan Penelitian………………………………………………..
6
D. Manfaat Penelitian………………………………………………
7
BAB II KAJIAN TEORI…………………………………………………..
8
A. Hakikat Sastra……………………………………………..……
8
1. Pengertian Sastra…………………………………………….
8
B. Hakikat Novel…………...……………………………………..
9
1. Pengertian Novel……………………………………………...
9
2. Kajian Novel………………………………………………….
13
C. Pendekatan Strukturalisme……………………………………..
13
1. Pendektan Struktural………………………………………….
13
2. Struktur Pembangun Novel……………………………………
15
a. Hakikat Tema……………………………………………….
19
b. Cerita dan Plot………………………………………………
25
c. Penokohan dan Perawatakan………………………………..
33
d. Latar atau Setting…………………………………………..
37
e. Point of View……………………………………………….
43
3. Pendekatan intertekstual……………………..…….…………
45
D. Nilai Pendidikan Novel…………….………………..…………….
52
1. Hakikat Nilai Pendidikan……………………..……………….
52
2. Nilai Pendidikan Sastra………………………..……………….
54
a. Nilai Pendidikan Sastra……………………..………………
57
b. Nilai Pendidikan Budaya…………………..……………….
59
c. Nilai Pendidikan Religius/Agama……………………………
60
E. Novel Sebagai Sarana Pembelajaran……………...……………….
62
1. Kedudukan Novel dalam Pembelajaran Sastra Berdasarkan KTSP……………………………………………..
62
2. Ruang Lingkup Pembelajaran Sastra…………………………..
63
3. Novel Sebagai Sarana Pembelajaran Sastra…………..……….
63
F. Penelitian yang Relevan…………………………………..……….
65
G. Kerangka Berpikir……………………………………………..…..
66
BAB III METODOLOGI PENELITIAN………………………………….. A. Jenis Penelitian…………………………………………………….
69 69
B. Waktu dan Tempat Penelitian……………………………………..
70
C. Data dan Sumber Data…………………………………………….
70
D. Teknik Pengumpulan Data………………………………………….
71
E. Teknik Validitas Data………………………………………………
71
F. Teknik Analisis Data……………………………………………….
73
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………………..
75
A. Deskripsi dan Analisis Data………………………………………...
75
1. Sinopsis Novel………………………………………………….
75
a. Novel Bekisar Merah Karya Ahmad Tohari……………….
75
b. Novel Wasripin dan Satinah Karya Kuntowijoyo…………
85
2. Analisis Unsur-unsur Struktur Novel…………………………..
85
a. Struktur Novel Bekisar Merah Karya Ahmad Tohari………
85
1). Tema Novel Bekisar Merah………………………………….. 85 2). Alur/Plot Novel Bekisar Merah……………………………… 86
b.
3). Penokohan dan Perwatakan………………………………
93
4).Setting…….…………………………………………….
108
5). Point of View………………………………….………..
114
Struktur Novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijo
116
1). Tema Novel Wasripin dan Satinah……….………….
116
2).Alur/Plot Novel Wasripin dan Satinah………………
117
3).Penokohan dan Perwatakan……………………….…
123
4).Setting……………………………………………….
130
5).Point of View…………………………………...…
133
3. Nilai Pendidikan Novel Bekisar Merah dan Wasripin dan Satinah 135 a. Nilai Pendidikan Sosial……………………………….
135
b.
1). Nilai Pendidikan Sosial Novel Bekisar Merah……..
136
2). Nilai Pendidikan Sosial Novel Wasipin dan Satinah
137
Nilai Pendidikan Budaya…………………………….
139
1).Nilai Pendidikan Budaya Novel Bekisar Merah…
140
2).Nilai Pendidikan Budaya Novel Wasripin dan Satina
142
c. Nilai Pendidikan Agama……………………………
145
1). Nilai Pendidikan Agama Novel Bekisar Merah……..
146
2). Nilai Pendidikan Agama Novel Wasripin dan Satina
154
B. Pembahasan Hasil Temuan Penelitian…………………………
162
1. Unsur Struktur Novel Bekisar Merah dan Wasripin dan Satina
162
a. Tema……………………………………………………
162
b. Alur/Plot………………………………………………..
164
c. Penokohan dan Perwatakan……………………………
167
d. Setting………………………………………………….
170
e. Point of View…………………………………………..
171
2. Interteks Pemikiran Ahamad Tohari dan Kuntowijoyo…...
172
BAB V SIMPULAN DAN SARAN………………………………………
175
A. Simpulan……………………………………………………………
175
B. Implikasi……………………………………………………………
177
C. Saran-saran………………………………………………………….
178
DAFTAR PUSTAKA............................................................................…...
180
LAMPIRAN……………………………………………………………….
184
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran 1. Riwayat Hidup Pengarang…………………………………… a. Sekilas Tentang Ahmad Tohari…………………………………………. b. Sekilas Tentang Kuntowijoyo…………………………………………
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL Gambar 1. Plot Menurut Jones (Burhan Nurgaiyantoro, 2005:150-151)….. Gambar 2. Plot Menurut Kenney (Herman J Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani 2009: 15-16)…………………………………………………... Gambar 3. Kerangka Berpikir Kajian Intertekstual Novel Bekisar Merah dan Wasripin dan Satinah…………………………………………………… Gambar 4. Skema Analisis Interaktif Data, Miles & Huberman, (Soetopo, 2006: 120)……………………………………………………………………… Gambar 5. Skema Plot Novel Bekisar Merah Karya Ahmad Tohari………………… Gambar 6. Skema Plot Novel Wasripin dan Satinah Kuntowijoyo……………… Gambar 7. Penokohan dan Perwatakan Novel Bekisar Merah dan Wasripin dan Satinah………………………………………………………. Tabel 1. Pembagian Tokoh Novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari……….. Tabel 2. Pembagian Tokoh Novel Wasripin dan Satinah Karya Kuntowijoyo……
ABSTRAK DENIK WIRAWATI. S840209105. 2010. Kajian Novel Bekisar Merah Karya Ahmad Tohari dan Wasripin dan Satinah Karya Kuntowijoyo. Tesis. Surakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini bertujuan menjelaskan; (1) kepaduan struktur pembangun novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari; (2) kepaduan struktur pembangun novel Wasripin dan Satinah Karya Kuntowijoyo; (3) persamaan dan perbedaan novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo; (4) nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalam ke dua novel tersebut. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Metode ini digunakan untuk menggali sumber informasi dan data yang berupa teks-teks sastra, sehingga data yang tampil bukan berupa konsep-konsep secara statistik. Teknik pengumpulan data yang digunakan: (1) teknik interaktif dan mencatat dokumen dengan content analysis; (2) teknik simak dan baca catat; (3) teknik riset pustaka. Data yang sudah terkumpul dianalysis dengan model analisis interaktif tiga alur; (1) reduksi data; (2) penyajian data, dan (3) peran kesimpulan atau verifikasi. Hasil temuan penelitian dengan pendekatan intertekstualitas menunjukkan bahwa kedua novel tersebut (1) mempunyai persamaan struktur pembangun sehingga novel Bekisar Merah sebagai hipogram, sedangkan novel Wasripin dan Satinah sebagai teks tranformasi; (2) unsur-unsur struktur pembangun kedua novel tersebut berupa tema, alur, perwatakan, penokohan, setting, dan point of view secara struktural mempunyai persamaan dan perbedaan; (3) kedua novel tersebut mempunyai persamaan tema yaitu penindasan dan pemberontakan kaum wong cilik terhadap kekuasaan pemerintah,. Alur kedua novel mempunyai perbedaan yaitu alur maju dan alur campuran, karakterisasi tokoh, kedua novel menggunakan metode analitik dan dramatik penokohan kedua novel terdiri dari tokoh utama, antagonis, dan titragonis, setting cerita adalah desa Karangsoga untuk novel Bekisar Merah, sedangkan setting novel Wasripin dan Satinah adalah surau dan TPI, sudut pandang atau point of view kedua novel menggunakan sudut pandang persona gaya “dia”; (4) nilai pendidikan yang terkandung di dalam kedua novel tersebut yaitu nilai pendidikan moral, nilai pendidikan budaya, dan nilai pendidikan agama .
ABSTRACT DENIK WIRAWATI. S840209105. 2010. The criticism of the novel entitled Bekisar Merah by Ahmad Tohari and Wasripin dan Satinah by Kuntowijoyo, A Thesis. Surakarta. The Study Program of Indonesian Education, Grauduate Program. Sebelas Maret University. This research aim to describes (1) The Unity of development structure Bekisar Merah novel by Ahmad Tohari (2) the unity of development structure Wasripin dan Satinah by Kuntowijoyo (3) the similarities and differences Bekisar Merah novel by Ahmad Tohari and Wasripin dan Satinah novel by Kuntowijoyo (4) the moralities education include in both of the novel. The qualitative descriptive method was applied in this research. This method then was used to explore the source of information and data which were presented in the form of literary texts; therefore, the data apear in this research are in the form concepts or categories which cannot be statistically counted. The techniques of data collecting applied in this research were: 1) interactive technique and record technique by using content analysis,2) comprehensive and record technique 3) library research technique. The data which had been collected then were analyzed using three catogories of interactive analysis: 1) data reduction, 2) data presentation, and 3) conclusion or verification. The result of the research by intelectual approach showss that both of the novel (1) have si,ilary develop structure in order a novel Bekisar Merah as hypogram, while Wasripin dan Satinah novels as transformation text; (2) subtance of development structure from both of the novel like theme, plot, character, characterisation, setting and point of view structurally have similarities and differences; (3) Both of the novel have the same theme, are suppression and struggle of wong cilik to wand the goverment power, plot of the both of the novel have differences are progressive plot and mix plot. Character of the characterisation, both of the novel using analitic and dramatic method. Both of the novel characterisation consist of main character antagonist, and titragonist. The setting of Bekisar Merah novel is Karangsoga village. While setting of Wasripin and Satinah novel are mosque and finish market. Point of view using in these novel are pronoun “she/he” (4) Education value consist of these novels are morality value, culture education value, and religion education values.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil karya cipta manusia yang mengandung daya imajinasi dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Menurut Wellek dan Warren (1993:14) bahasa adalah bahan baku kesusastraan, seperti batu dan tembaga untuk seni patung, cat lukisan, dan bunyi untuk seni musik, sehingga diperlukan bahasa sebagai media penyampaiannya. Karya sastra merupakan karangan fiksi yang menceritakan berbagai kehidupan manusia yang berada di tengah masyarakat. Jadi, bahasa dan karya sastra serangkaian bentuk yang tidak bisa dipisahkan. Karya sastra harus dipahami dan dinikmati berdasar konvensi sastra, sebab sastra merupakan dunia rekaan yang tercipta melalui proses penghayatan, pemikiran dan penilaian. Karya sastra termasuk jenis karangan fiksi yang menceritakan berbagai kehidupan manusia yang lahir dari masyarakat dan untuk masyarakat. Karya sastra mempunyai kekhususan dibandingkan dengan karangan lain. Ciri kekhususan karya sastra adalah bersifat imajinatif. Maksudnya adalah karya sastra mampu membukakan imaji-imaji tertentu dalam benak penikmatnya. Karya sastra adalah hasil kegiatan kreatif manusia yang berkaitan dengan imajinasi, intuisi, dan abstraksi kehidupan (Culler dalam Tirto Suwondo, 2003: 6). Karya sastra mampu membangkitkan perasaanperasaan seperti senang, sedih, marah, benci, dendam, dan sebagainya. Karya sastra dapat memberikan penghayatan yang mendalam terhadap apa yang diketahui pembaca, apalagi
ditunjang bahwa karya sastra tersebut bermutu. Karya sastra tersebut dihargai karena berhasil menunjukkan segi-segi baru dari kehidupan masyarakat secara langsung diterapkan melalui jalan bercerita yang ada dalam karya sastra tersebut. Karya sastra jika dilihat dari bentuknya dibagi menjadi tiga yaitu, drama, puisi, dan prosa. Menurut Rahmanto (1988: 89-90), drama bukan hanya pemaparan atau diskusi tentang peristiwa kehidupan yang nyata, tetapi drama lebih merupakan penciptaan kembali kehidupan nyata seperti pendapat Aristoteles (dalam Rahmanto,1988: 90) yaitu peniruan gerak yang memanfaatkan unsur-unsur aktivitas nyata. Bentuk karya sastra yang kedua adalah puisi. Puisi adalah pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran bahasa berirama (Altenbernd dalam Rahmad Djoko Pradopo, 2005: 5-6). Kepuitisan sebuah puisi dapat dicapai dengan bermacam-macam cara, misalnya dengan bentuk visual: tipografi, susunan bait dengan bunyi: persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, dan lambang rasa (Rahmad Djoko Pradopo, 2005: 13). Selain drama dan puisi, karya sastra yang lain adalah prosa. Menurut Burhan Nurgiyantoro (1994: 2) prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text) atau wacana naratif (narrative discouce). Karya fiksi menyaran pada suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh sehingga perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata. Istilah fiksi sering dipergunakan dalam pertentangannya dengan realitas yang terjadi di dunia nyata sehingga kebenarannyapun dapat dibuktikan dengan data empiris. Ada tidaknya, atau dapat tidaknya sesuatu yang dikemukakan dalam karya sastra dibuktikan
secara empiris antara lain yang membedakan karya fiksi dengan karya nonfiksi. Tokoh, peristiwa, dan tempat yang bersifat imajinatif, sedang pada karya nonfiksi bersifat faktual. Mengkaji karya sastra tersebut diperlukan pendekatan untuk menafsirkan makna yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Sehingga pembaca dan peneliti memperoleh hasil yang diinginkan. Salah satu model pendekatan karya sastra adalah model sastra Abrams (Burhan Nurgiyantoro,1 994: 2). Model analisis sastra yang dikemukakan Abrams terdiri
atas empat, yaitu (1)
pendekatan yang menitikberatkan karya itu sendiri, pendekatan ini bersifat objektif, (2) pendekatan yang menitikberatkan pada penulis, yang biasa disebut dengan pendekatan ekspresif, (3) pendekatan yang menitikberatkan semesta, yang disebut pendekatan mimetik, dan (4) pendekatan yang menitikberatkan pada pembaca, disebut pragmatik. Aliran strukturalisme dengan pendekatan objektif, menurut Teew (1984: 139-140) mempunyai empat kekurangan. Pertama, analisis karya sastra yang hanya menitik beratkan otonomi karya sastra saja belum merupakan teori sastra. Kedua, karya sastra tidak dapat ditelaah secara terasing dari masyarakat. Ketiga, adanya struktur yang objektif, karya sastra makin diasingkan; peran pembaca selaku pemberi makna dalam interpretasi karya sastra makin ditonjolkan dengan segala konsekuensi untuk analisis struktural. Keempat, analisis yang menekankan otonomi karya sastra juga menghilangkan konteks dan fungsinya, sehingga karya sastra kehilangan relevansi sosialnya. Dari kekurangan pendekatan objektif dan pendekatan struktural, muncullah pendekatan pascastrukturalisme. Salah satu pendekatan yang muncul adalah pendekatan
intertekstualitas. Pendekatan ini pertama-tama dikembangkan oleh peneliti Prancis, Julia Kristeva. Karya sastra, apa pun jenisnya atau genre-nya, yang lahir dari tangan kreatif pengarang, pada dasarnya selalu berada di tengah-tengah konteks atau tradisi kebudayaan. Atau dengan kata lain, bagaimanapun karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya (Teeuw dalam Tirto Suwondo, 2003: 136). Untuk itu, diperlukan pendekatan intertekstual dengan cara mensejajarkan dengan teks sebelumnya. Menurut Julia Kristeva (1994: 54) bahwa intertekstual mempunyai prinsip. Prinsip ini berarti bahwa setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain; tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan, kerangka; tidak dalam arti bahwa teks baru hanya meneladan teks lain atau mematuhi kerangka yang telah diberikan terlebih dahulu; tetapi dalam arti bahwa dalam penyimpangan dan transformasi pun model teks yang sudah ada memainkan peranan yang penting; pemberontakan atau penyimpangan mengandalkan adanya sesuatu yang dapat diberontaki dan disimpangi. Pemahaman teks baru memerlukan latar belakang pengetahuan tentang teks-teks yang mendahuluinnya (Teeuw, 1984: 144) Prinsip intertekstual yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya-karya yang lain. Intertekstual lebih dari sekedar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan bagaimana kita memperoleh makna sebuah karya secara penuh
dalam kontrasnya dengan karya lain yang menjadi hipogramnnya (Burhan Nurgiyantoro, 1994: 54). Novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo merupakan dua novel yang menggambarkan fenomena kehidupan kaum bawah. Kedua novel ini menggambarkan gejala-gejala alam termasuk segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakatnya khususnya kehidupan rakyat kalangan bawah. Tidak hanya menampilkan fenomena alam dan gejala masyarakat baik berupa tingkat sosial ekonomi, kedudukan, jabatan, tetapi kedua novel ini memiliki nilai-nilai religius. Ahmad Tohari menuangkan nilai-nilai religius dalam Bekisar Merah secara halus, bagaimana kehidupan kaum bawah yang ikhlas menjalankan kehidupan ini. Sedangkan Kuntowijoyo dalam menceritakan novel Wasripin dan Satinah lebih menonjolkan pada sisi kehidupan manusia yang tidak bisa lepas hubungannya dengan Tuhan dan makhluk sosial yang tidak bisa lepas hubungannya dari masyarakat. Penulis tertarik mengkaji novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo dengan pendekatan intertekstualitas. Pengkajian terhadap kedua novel tersebut dengan menganalisis struktur yang ada dalam kedua novel tersebut kemudian menemukan benang merah berupa hubungan persamaan dan perbedaan dari novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo serta mencari nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam kedua novel tersebut. Sehingga akan memberikan jawaban permasalahan dan mempermudah dalam memahami novel
Bekisar Merah karya Ahmad Tohari dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo. Sebagai salah satu bentuk suatu apresiasi terhadap karya sastra. A. Rumusan Masalah Bardasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana kepaduan struktur pembangun novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari? b. Bagaimana kepaduan struktur pembangun novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo? c. Bagaimana persamaan dan perbedaan novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo? d. Nilai-nilai pendidikan apakah yang terkandung di dalam novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo. B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian menyangkut masalah teoritis dan pratis. Jadi, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa hal, yaitu:
a. Menjelaskan kepaduan struktur pembangun novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari b. Menjelaskan kepaduan struktur pembangun novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo.
c. Menjelaskan persamaan dan perbedaan novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo. d. Menjelaskan nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalam novel Bekisar Merah karya Ahmad Thohari dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo. C.
Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini ada dua manfaat yang dapat diperoleh yaitu teoritis dan praktis. 1. Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan teori sastra kususnya novel. Mengenai penerapan salah satu bentuk kajian yaitu penelitian sastra yang menggunakan pendekatan intertekstual, selain itu hasil penelitian dapat digunakan sebagai salah satu contoh kajian dalam rangka peningkatan apresiasi sastra. 2. Manfaat Praktis Manfaat lain hasil penelitian ini adalah untuk menjembatani dan mempermudah pembaca dalam pemahaman terhadap novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari dan novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo serta dapat mengungkapkan nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam kedua novel tersebut.
BAB II KAJIAN TEORI A. Hakikat Sastra 1. Pengertian Sastra Kata sastra dalam bahasa indonesia berasal dari bahasa Sansekerta; akar kata sas-, dalam kata turunan berarti ‘mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau intruksi’. Akhiran –tra biasanya menunjukkan alat, sarana. Maka dari itu sastra dapat berarti ‘alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku intruksi atau pengajaran (Teew, 1984: 23). Sedangkan sastra menurut Rene Wellek dan Austin Warren (1993: 3) adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Karya sastra merupakan bagian dari kebudayaan, kelahirannya di tengah-tengah masyarakat tiada luput dari pengaruh sosial dan budaya. Pengaruh tersebut bersifat timbal balik, artinya karya sastra dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh masyarakat, hal ini dikutip dalam sebuah artikel (Gemasastra Nusantara, 2009:1). Seperti diungkapkan di atas, Sapardi Djoko Damono (Gemasastra Nusantara, 2009:1) menegaskan bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan itu sebagai suatu kenyataan sosial yang menyangkut hubungan masyarakat dengan orang perorang, antara manusia dan antara peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Bagaimanapun juga peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat.
Zainuddin Fananie (2000: 6) merumuskan pengertian sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik baik yang didasarkan aspek kebahasaan maupun aspek makna. Estetik bahasa biasanya diungkapkan melalui aspek puitik atau poetic function (Surface Structure) sedang estetik makna dapat terungkap melalui aspek deep structure. Secara mendasar, suatu teks satra setidaknya harus mengandung tiga aspek utama yaitu, decore (memberikan sesuatu kepada pembaca), delectare (memberikan kenikmatan melalui unsur estetika), dan movere (mampu menggerakkan kreativitas pembaca). Kriteria itu masih harus dijabarkan lebih lanjut pada bagian-bagian yang lebih khusus. Karena mendefinisikan sastra tidak hanya sekedar mengurai maknanya secara harfiah. Perkembangan sastra yang bersifat historis pun masih perlu dipertimbangkan (Zainuddin Fananie: 2000: 5). Dari uraian tersebut dapat disimpulkan dari beberapa pengertian sastra diatas bahwa, sastra merupakan alat yang menampilkan gambaran kehidupan sebagai suatu kenyataan sosial yang menyangkut hubungan masyarakat dengan orang perorang. B. Hakikat Novel
1. Pengertian Novel Berbicara tentang novel kita tidak bisa terlepas dari fiksi. Karena novel sebagai karya sastra yang berbentuk prosa. Prosa mengacu pada fiksi. Fiksi menurut Abrams (1971: 59). Fiction in the inclusive sense is any narrative which is feighnned or invented rather than historically or factually true. In most present-day discussion,
however, the term fiction is applied primarily to prose narratives (the novel and the short story), and is sometimes used simply as a synonym for novel.
Dari hal yang dikemukakan oleh Abrams di atas maka disimpulkan bahwa novel merupakan bentuk karya sastra yang sekaligus sering disebut fiksi. Dipertegas oleh pendapat Burhan Nurgiyantoro (2005:9) bahkan dalam perkembangannya yang kemudian, pengertian fiksi seperti dikemukan di atas, juga berlaku untuk novel. Sebutan novel dalam bahasa Inggris inilah yang kemudian masuk ke Indonesia.
The term novel is now applied to a great variety of writings that have is common only the attribute of being extended works of prose fiction. As and extended narrative, the novel is distinguished from the short story and from the work of the middle lenght called the “novelette”.
Hal yang dikemukakan oleh Abrams di atas kemudian dijelaskan oleh Burhan Nurgiyantoro (2005:9-10). Istilah novel berasal dari bahasa Italia novella (yang dalam bahasa jerman: novelle). Secara harfiah novella berarti “sebuah barang yang kecil” dan kemudian diartikan sebagai
“cerita pendek dalam bentuk prosa”.
Istilah novella dan novelle
mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelet (Inggris: Novelette), yang berarti sebuah karya sastra prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, juga tidak terlalu pendek.
Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa secara tersusun. Namun, jalan ceritanya dapat menjadi suatu pengalaman hidup yang nyata, dan lebih dalam lagi novel mempunyai tugas mendidik pengalaman batin pembaca atau pengalaman manusia, hal ini sesuai dengan kutipan pada sebuah artikel (Gemasastra Nusantara, 2009:02). Prosa fiksi terdiri dari tiga yaitu, novel, cerpen, novelet. Ditinjau dari segi “panjangnya”, cerpen relatif lebih pendek daripada novel. Secara spesifik, istilah cerpen biasanya diterapkan pada prosa fiksi yang panjangnya antara seribu sampai lima ribu kata, sedangkan novel umumnya berisi empat puluh Lima ribu kata atau lebih. Sedangkan novella atau novelette berkisar antara lima belas ribu hingga empat puluh lima ribu kata (Suminto A. Sayuti, 2000: 7-8). Novel lahir dan berkembang dengan sendirinya sebagai sebuah genre pada cerita atau menceritakan sejarah dan fenomena sosial. Karya sastra termasuk novel mempunyai fungsi dulce et utile yang artinya menyenangkan dan bermanfaat bagi pembaca melalui penggambaran kehidupan nyata. Sebagai karya cerita fiksi, novel sarat akan pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan. Oleh karena itu, novel harus tetap merupakan cerita menarik yang mempunyai bangunan struktur yang koheren dan tetap mempunyai tujuan estetik. Dengan adanya unsur-unsur estetik, baik unsur bahasa maupun unsur makna, dunia fiksi lebih banyak memuat berbagai kemungkinan dibandingkan dengan yang ada di dunia nyata. Semakin tinggi nilai estetik sebuah karya fiksi, secara otomatis akan mempengaruhi pikiran dan perasaan pembaca (Gemasastra Nusantara, 2009: 02).
Dari beberapa pengertian novel di atas dapat disimpulkan bahwa novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang di dalamnya memuat nilai-nilai estetika dan nilai-nilai pengetahuan serta nilai-nilai kehidupan. Dengan demikian, sastra sebagai teks harus dilihat pula dalam kontek Menurut Suminto A. Sayuti (2000: 10-11), novel mempunyai ciri-ciri; (1) Tidak akan selesai dibaca dalam sekali duduk. Karena panjangnnya, sebuah novel secara khusus memiliki peluang yang cukup untuk mempermasalahkan karakter tokoh dalam sebuah perjalanan waktu dan kronologi, (2) novel memungkinkan adanya penyajian secara panjang lebar mengenai (ruang) tertentu. Novel adalah media penuangan pikiran, perasaan, dan gagasan penulis dalam merespon kehidupan disekitarnya. Ketika di dalam kehidupan muncul permasalahan baru, nurani penulis novel akan terpanggil untuk segera menciptakan sebuah cerita. Ditunjang oleh kemajuan bidang lain seperti periklanan, menjadikan novel dapat dipadukan dengan kegiatan lain, misalnya usaha bisnis (Nursisto, 2001:168) Novel memiliki peranan penting dalam masyarakat, hal ini dijelaskan oleh Nursisto (2001:167) novel mempunyai peluang lebih banyak untuk mengetengahkan ide, lengkap dengan uraian dan jabarannya, menjadikan jenis karya ini tidak ubahnya menyajikan kehidupan yang utuh. Persoalan aktual yang terjadi di tengah masyarakat bisa diangkat ke dalam kisah novel, baik mencakup seluruh kehidupan tokoh atau sengaja mengambil bagian yang penting saja. Sebagai bentuk karya sastra prosa tengah-bukan cerpen atau romannovel sangat ideal untuk mengangkat peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan. Pada
umumnya, wujud novel berupa suatu kosentrasi kehidupan manusia dalam suatu kondisi kritis menentukan. Berbagai ketegangan muncul dengan bermacam persoalan yang menuntut pemecahan. 2. Kajian Novel Kata “kajian” dapat berarti (1) pelajaran; (2) penyelidikan. Berawal dari pengertian tersebut, kata ‘kajian’ mempunyai makna meluas, yaitu proses, cara, perbuatan megkaji, penyelidikan (pelajaran yang mendalam) dan ‘penelaah’. Kemudian dalam arti ‘pelajaran yang mendalam’ (penyelidikan), kata 'kajian’ bisa memiliki kaitan makna dengan kata ‘penelitian’ dalam arti ‘kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data yang dilakukan secara sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu teori untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum’ (Sudarman, 2007:11). Dari uraian mengenai makna kajian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kajian novel adalah proses, atau perbuatan mengkaji, menelaah, menyelidiki objek material yang bernama novel. C. Pendekatan Strukturalisme Sebelum penulis menentukan pendekatan kajian novel yang digunakan untuk menelaah novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo, berikut ini disampaikan beberapa pendekatan kajian sastra. Hal ini didukung maksud sebagai dasar kajian perlu mengetahui asumsi karya sastra sesuai dengan yang digunakan dalam pengkajian karya sastra. 1. Pendekatan Struktural
Pendekatan struktural atau pendekatan objektif atau pendekatan formal berasumsi bahwa karya kreatif memiliki otonomi penuh yang harus dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri terlepas dari hal-hal lain yang berada di luar karya sastra itu sendiri. Telaah sastra secara struktural yang dikaji adalah unsur-unsur yang membangun karya tersebut, seperti; tema, plot, alur, latar, penokohan, sudut penceritaan serta hubungan harmonis antarunsur yang membangun menjadi sebuah karya sastra. Pendekatan struktural atau objektif adalah pendekatan kajian sastra yang paling populer diantara pendekatan kajian satra yang lain. Pendekatan struktural juga merupakan dasar dari analisis sebuah karya sastra. Menurut Teeuw (1984: 139) bahwa peran pendekatan struktural tidak dapat disangkal, menghasilkan kemajuan yang sangat besar, baik dalam memajukan minat untuk studi sastra demi sastra itu sendiri, maupun untuk memperbaiki pemahaman karya individual sebagai ciptaan artistik. Tidak terhitung yang diterbitkan di mana-mana, pendekatan struktural terhadap karya sastra merupakan perolehan ilmu sastra yang langgeng. Konsep dasar dari pendekatan struktural menurut Atar Semi (1990: 67) adalah; (1) Karya sastra dipandang dan diperlakukan sebagai sebuah sosok yang berdiri sendiri, yang mempunyai dunianya sendiri, mempunyai rangka dan bentuknya sendiri; (2) memberikan penilaian terhadap keserasian atau keharmonisan semua komponen membentuk keseluruhan struktur. Mutu karya sastra ditentukan oleh kemampuan penulis menjalin hubungan antarkomponen tersebut sehingga menjadi suatu keseluruhan yang dan bernilai estetik; (3) memberikan penilaian terhadap
keberhasilan penulis menjalin hubungan-hubungan harmonis antara isi dan bentuk, karena jalinan isi dan bentuk merupakan hal yang amat penting dalam menentukan mutu sebuah karya sastra; (4) walaupun memberikan perhatian istimewa terhadap jalinan hubungan antara isi dan bentuk, namun pendekatan ini menghendaki adanya analisis yang objektif sehingga perlu dikaji atau diteliti setiap unsur yang terdapat dalam karya sastra tersebut; (5) pendekatan struktural berusaha berlaku adil terhadap karya sastra dengan jalan hanya menganalisis karya satra tanpa mengikutsertakan hal-hal yang berada diluar karya sastra; (6) yang dimaksud isi dalam kajian struktural adalah persoalan, pemikiran, falsafah cerita, pusat pengisahan, tema. Sedangkan yang dimaksud bentuk adalah alur (plot), bahwa sistem penulisan, dan perangkat perwajahan sebagai kaya tulis; (7) peneliti boleh melakukan analisis komponen yang diinginkan. Pendekatan struktural meruapakan pendekatan dasar dan pendekatan yang paling populer dan banyak digunakan para peneliti. Kelebihannya adalah memberikan peluang untuk melakukan telaah atau kajian lebih rinci dan juga lebih mendalam. Pendekatan ini mencoba melihat karya sastra sebagai sebuah karya sastra dengan hanya mempersoalkan apa yang ada dalam dirinya. Penulis setuju bahwa analisis struktural ini merupakan dasar dan langkah awal dalam meneliti sebuah karya sastra. Namun, pendekatan ini seharusnya dikaitkan dengan pendekatan yang lain.
2. Struktur Pembangun Novel
Analisis struktural merupakan salah satu kajian kesusastraan yang menitikberatkan pada hubungan antarunsur pembangun karya sastra. Struktur yang membentuk karya sastra tersebut: penokohan, alur, pusat pengisahan, latar, tema, dan sebagainya. Struktur novel yang hadir di hadapan pembaca merupakan sebuah totalitas. Novel yang dibangun dari sejumlah unsur akan saling berhubungan secara saling menentukan sehingga menyebabkan novel tersebut menjadi sebuah karya yang bermakna hidup. Adapun struktur pembangun karya sastra yang dimaksud dan akan diteliti meliputi: penokohan, alur, latar, tema, dan amanat, diambil dari kutipan artikel (Gemasastra Nusantara, 2009: 01). Pendekatan ini membatasi diri pada penelaah karya sastra itu sendiri, terlepas dari soal pengarang dan pembaca. Dalam hal ini kritikus memandang karya sastra sebagai suatu kebulatan makna, akibat perpaduan isi dan dengan memanfaatkan bahasa sebagai alatnya. Dengan kata lain, pendekatan ini memandang dan menelaah sastra dari segi intrinsik yang membangun suatu karya sastra, yaitu tema, alur, latar, penokohan , dan gaya bahasa. Perpaduan yang harmonis antara bentuk dan isi merupakan kemungkinan kuat untuk menghasilkan sastra yang bermutu. Penelaah sastra melalui pendekatan struktural ini menjadi panutan para kritikus aliran strukturalis, di Indonesia tercermin pada kelompok Rawamangun (Atar Semi, 1989: 44-45) Menurut Teeuw (1984: 135) analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua analisis dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Empat kelemahan strukturalisme khususnya New Critism yaitu, a) New Critism secara
khusus, dan analisis struktur karya sastra secara umum belum merupakan teori sastra, malahan tidak berdasarkan teori sastra yang tepat dan lengkap, bahkan ternyata merupakan bahaya untuk mengembangkan teori sastra yang sangat perlu, b) karya sastra tidak dapat diteliti secara terasing tetapi harus dipahami dalam rangka system sastra dengan latar belakang sejarah, c) adanya struktur yang objektif pada karya sastra makin disangsikan, peranan pembaca selaku pemberi makna dalam interpretasi karya sastra makin ditonjolkan dengan segala konsekuensinya untuk analisis struktural, d) analisis yang menekankan otonomi karya sastra juga menghilangkan konteks dan fungsinya, sehingga karya itu dimenara gadingkan dan kehilangan relevansi sosialnya. Kelemahan strukturalisme adalah karya sastra hanya ditinjau dari karya itu sendiri (otonomi) sedangkan untuk penelitian karya sastra hendaknya ada pendekatan untuk menindak lanjuti. Maka diperlukan pendekatan lain untuk mengkaji suatu karya sastra. Pendekatan yang mengatasi kelemahan strukturalisme adalah pendekatan intertekstualisme karya sastra. Sebuah karya sastra, fiksi atau puisi, adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya (Burhan Nurgiyantoro, 2005:36). Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 36) menambahkan disatu pihak, struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kabulatan yang indah. Secara tradisional unsur-unsur novel dibagi menjadi dua yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Kedua unsur inilah yang sering banyak disebut para kritikus dalam rangka
mengkaji dan atau membicarakan novel atau karya sastra pada umumnya (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 23) Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik (intrinsic) antara lain; peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, dan bahasa atau gaya bahasa. Unsur ekstrinsik (extrinsic) antara lain adalah keadaan subjektifitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, psikologi pengarang, pandangan hidup, dan keadaan di lingkungan pengarang yang meliputi; ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Unsur ekstrinsik (extrinsic) adalah unsur-unsur yang berada diluar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Atau secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada diluar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organism karya sastra. Sepertihalnya unsur intrinsik, secara ekstrinsik juga terdiri dari beberapa unsur. Unsur-unsur yang dimaksud (Wellek&Warren, 1962: 76-135) antara lain; (1) unsur biografi pengarang, (2) unsur psikologi, (3) ekonomi, (4) sosial budaya, dan (5) pandangan hidup suatu bangsa, dan sebagainnya.
Menurut Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro 2005: 25-29) membedakan unsur pembangun sebuah novel ke dalam tiga bagian: fakta, tema, dan sarana pengucapan (sastra). Fakta (facts) dalam sebuah cerita meliputi karakter (tokoh cerita), plot, dan setting. Ketiganya merupakan unsur fiksi yang secara faktual dapat dibayangkan peristiwanya, eksistensinya, dalam sebuah novel. Oleh karena itu, ketiganya dapat pula disebut sebagai struktur faktual (factual structure) atau derajat faktual (factual level) sebuah cerita. Ketiga unsur tersebut harus dipandang sebagai satu kesatuan dalam rangka keseluruhan cerita, bukan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah satu dengan yang lainnya. Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, maut, religius, dan sebagainya. Dalam hal tertentu, sering tema, dapat disinonimkan dengan ide atau tujuan utama cerita. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsurunsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang bersifat faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Menurut Suminto A. Sayuti (2000:29) elemen-elemen pembangun prosa fiksi pada dasarnya dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu fakta cerita, sarana cerita, dan tema. Fakta cerita merupakan hal-hal yang akan diceritakan di dalam sebuah karya fiksi. Fakta cerita meliputi plot, tokoh, dan latar.
a. Hakikat Tema Menurut Stanton dan Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 67) tema (theme) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Selanjutnya menurut Stanton tema
kurang lebih dapat bersinonim dengan ide utama (Central Idea) dan tujuan utama (Central Purpose). Maka dapat disimpulkan bahwa tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel. Tema berperan penting dalam novel seperti yang dikemukakan oleh Bustami Subhan (2003:18). A good novel always has a theme because the write wants to convey a massage through his writing directly or on directly. Jadi menurut Bustami sesuai yang dikemukakan di atas adalah, novel yang bagus selalu mempunyai mempunyai sebuah tema. Sebab, penulis ingin menyampaikan pesan melalui tulisannya secara langsung maupun tidak langsung.
Tema adalah makna yang dilepaskan oleh suatu cerita atau makna yang ditemukan oleh dan dalam suatu cerita. Ia merupakan implikasi yang penting bagi suatu cerita yang secara keseluruhan, bukan sebagian dari suatu cerita yang dapat dipisahkan. Dalam kaitannya dengan pengalaman pengarang, tema adalah sesuatu yang diciptakan oleh pengarang sehubungan dengan pengalaman yang dinyatakannya (Suminto A. Sayuti 2000:191). Zainuddin Fananie (2000: 84-85) mendefinisikan tema sebagai ide, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra. Karena sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat, maka tema yang diungkapkan dalam karya sastra itu bisa sangat beragam. Tema bisa berupa persoalan moral, etika, agama, sosial budaya, teknologi, dan
tradisi yang berkait erat dengan masalah kehidupan. Namun, tema bisa berupa pandangan pengarang, ide, atau keinginan pengarang dalam menyiasati persoalan yang muncul. Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan pengertian tema yaitu makna yang muncul dari ide pengarang yang terkandung dalam sebuah karya sastra. Tema dalam sebuah karya sastra fiksi, hanyalah merupakan salah satu dari penjumlahan unsur pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah kemenyeluruhan. Bahkan eksistensi tema itu sendiri amat bergantung dari berbagai unsur yang lain. Hal itu disebabkan tema, yang notabene hanya berupa makna atau gagasan dasar umum suatu cerita, tak mungkin hadir tanpa unsur bentuk yang menampungnya. Dengan demikian, sebuah tema baru akan menjadi makna cerita jika ada keterkaitannya dengan unsur-unsur cerita lainnya (Burhan Nurgiyantoro, 1994: 74) Usaha dalam menentukan tema sebuah novel dijelaskan oleh Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 86-87) yaitu dengan beberapa kriteria antara lain: a) Menafsirkan tema sebuah novel hendaknya mempertimbangkan tiap detail cerita yang menonjol, b) Penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detil cerita, c) Penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tak langsung dalam novel yang bersangkutan. Fungsi tema menurut Suminto A. Sayuti (2000: 192-193) yaitu, a) memberikan kontribusi bagi elemen struktural lain seperti, plot, tokoh, dan latar, b) menjadi elemen penyatu terakhir bagi keseluruhan fiksi, artinya pengarang menciptakan dan membentuk
plot, membawa tokohnya menjadi ada, baik secara sadar maupun tidak, eksplisit maupun inplisit, pada dasarnya merupakan perilaku responsinya terhadap tema yang telah dipilih dan telah mengarahkannya, c) melayani visi, visi di sini ialah response total sang pengarang terhadap pengalaman dan hubungan totalnya dengan jagat raya. Klasifikasi jenis tema menurut Suminto A. Sayuti (2000: 193-194), a) tema jasmaniah merupakan tema yang cenderung berkaitan dengan keadaan jasmani seorang manusia. Tema jenis ini terfokus pada kenyataan diri manusia sebagai molekul, zat, dan jasad, b) tema sosial meliputi hal-hal yang berada diluar masalah pribadi, misalnya masalah politik, pendidikan, dan propaganda, c) tema organik diterjemahkan sebagai tema tentang ‘moral’ karena kelompok tema ini mencakup hal-hal yang berhubungan dengan moral manusia yang wujudnya tentang hubungan antarmanusia, antarpria-wanita, d) tema egoikmerupakan tema yang menyangkut reaksi-reaksi pribadi yang pada umumnya menentang pengaruh sosial, e) tema ketuhanan merupakan tema yang berkaitan dengan kondisi dan situasi manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Menurut Burhan Nurgiyantoro (1995:82-83), tema dapat digolongkan dari tingkat keutamaanya, yaitu: (a) Tema pokok (mayor). Tema mayor yaitu makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu. (b) Tema minor. Tema minor ini bersifat mendukung dan atau mencerminkan makna utama keseluruhan cerita. Kemudian Stanton dalam Suminto A. Sayuti (2000: 195-196) mengungkapkan upaya menemukan dan menafsirkan tema karya fiksi, terdapat sejumlah kriteria, yang sifatnya tentatif, yang dapat dipakai sebagai pegangan, antara lain:
(a) Penafsiran
pertama
dan
utama,
Penafsiran
itu
hendaknya
mempertimbangkan tiap detail cerita yang tampak terkedepankan. Jadi, tugas pertama yang harus dilakukan pembaca dalam rangka mengenali tema prosa fiksi adalah menentukan atau menemukan pengedepanan atau tonjolan itu. (b) Penafsiran tema suatu karya fiksi hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan detail cerita. Fiksi pada hakikatnya merupakan sebuah sarana yang dipakai pengarang untuk mengungkapkan keyakinan, kebenaran gagasan, sikap, dan pandangan hidup. (c) Penafsiran tema hendaknya tidak mendasarkan dari pada bukti-bukti yang tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam karya fiksi yang bersangkutan. Tema cerita tidak dapat ditafsirkan hanya berdasarkan perkiraan, sesuatu yang dibayangkan ada dalam cerita, atau informasi yang kurang dapat dipercaya. (d) Penafsiran tema heruslah mendasarkan diri bukti yang secara langsung ada atau yang diisyaratkan dalam cerita. Menurut Burhan Nurgiyantoro (1994: 77-83) tema dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori yang berbeda tergantung dari segi mana penggolongan itu dilakukan. Pengkategorian tema berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu penggolongan dikotonis yang bersifat tradisional dan nontradisional, penggolongan dilihat dari tingkat pengalaman jiwa menurut Shipley, dan penggolongan dari tingkat keutamaannya.
Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk pada tema yang hanya “itu-itu” saja, dalam arti ia telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita, termasuk cerita lama. Tema nontradisional biasanya tidak sesuai dengan harapan pembaca, bersifat melawan arus, mengejutkan, bahkan boleh jadi mengesalkan, mengecewakan, atau berbagai reaksi afektif lain. Shipley (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1994:80) mengartikan tema sebagai subjek wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan ke dalam cerita. Shipley membagi tingkatan tema menjadi lima yaitu. Pertama, tema tingkat fisik, manusia sebagai (atau dalam tingkat kejiawaan) molekul, man as molecul. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan atau ditunjuk oleh banyaknya aktifitas fisik daripada kejiwaan. Kedua, tema tingkat organik, manusia sebagai (atau; dalam tingkat kejiwaan) protoplasma, man as protoplasma. Tema karya pada tingkat ini lebih banyak menyangkut dan atau mempersoalkan masalah seksualitas. Ketiga, tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk social. Man as socious. Keempat, tema tingkat egoik, manusia sebagai individu , man as individualism. Kelima, tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi, yang belum tentu setiap manusia mengalami dan atau mencapainnya.
b. Cerita dan Plot Cerita dan plot adalah unsur karya sastra yang berkaitan erat. Keduanya sama-sama mendasarkan pada rangkaian peristiwa, namun plot lebih bersifat lebih kompleks daripada cerita.
Menurut Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro 2005: 113) plot adalah cerita yang berisi tentang urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa satu dengan yang lainnya. Selanjutnya Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005:113) mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang bersifat tidak sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat. Sedangkan menurut Foster (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 113) adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas. Definisi plot atau alur menurut Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani (2009: 14) jalinan cerita yang disusun dalam urutan waktu yang menunjukkan hubungan sebab dan akibat dan memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan datang. Aristoteles dalam Raman Selden (1985: 11) mengemukakan definisi plot sebagai berikut.
Aristoteles defines ‘plot’ (mythos) as the arrangement of the incidents. A ‘plot’ is clearly distinguished from a story upon which a plot based. A plot is the artful disposition of the incidents which make up a story. Raman Selden mengemukakan kembali definisi plot menurut Aristoteles sebagai susunan secara urut. Plot secara jelas dibedakan dari sebuah cerita yang mendasar. Sebuah plot memiliki nilai keindahan yang dapat membuat keindahan dalam cerita.
Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 113) plot adalah sebuah karya fiksi yang merupakan struktur peristiwa-peristiwa, yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu.
Bustami Subhan (2003:23) mendeskripsikan plot sebagai berikut. Plot is transled into alur or alur cerita in Indonesian language. Plot can be defined as the necessary chosen order of a fiction. This definition is based on the fact that the story in a novel consist of many events that should be arranged in such a way that the story becomes coherent, meaningful, and interesting.
Bustami menjelaskan mengenai definisi plot ke dalam bahasa indonesia. Plot memiliki arti alur atau alur cerita. Plot bisa didefinisikan sebagai keperluan untuk menyusun sebuah novel atau fiksi. Definisi ini didasarkan pada kenyataan (fact) bahwa cerita di dalam sebuah novel terdiri dari banyak peristiwa atau banyak kejadian yang harus disusun sebagaimana mestinya sebuah cerita agar menjadi koheren memiliki makna dan menarik.
Zainuddin Fananie (200: 93) menjelaskan bahwa salah satu elemen terpenting dalam membentuk sebuah karya fiksi adalah plot cerita. Dalam analisis cerita, plot sering sering pula disebut dengan istilah alur. Dalam pengertian yang paling umum, plot atau alur sering diartikan sebagai sebuah keseluruhan rangkaian peristiwa yang terdapat dalam cerita.
Luxemburg dalam Zainuddin Fananie (2000: 93) menyebut alur atau plot adalah kontruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logis dan kronologis saling berkaitan dan diakibatkan atau dialami oleh para pelaku. Lukman Ali (1978; 120) menyatakan bahwa plot adalah sambung sinambung peristiwa berdasarkan hokum sebab akibat yang tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi yang lebih penting adalah mengapa hal itu terjadi. Wellek (1968: 217) menyebutkan bahwa plot sebagai struktur penceritaan. Peristiwa-peristiwa cerita (dan atau plot) dimanifestasikan lewat perbuatan, tingkah laku dan sikap tokoh-tokoh utama cerita. Bahkan pada umumnya peristiwa yang ditampilkan dalam cerita tak lain dari perbuatan dan tingkah laku para tokoh, baik yang bersifat verbal maupun nonverbal, baik yang bersifat fisik maupun batin. Plot merupakan cerminan bahkan berupa perjalanan tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berpikir, berasa, bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan. Namun, tidak dengan sendirinya semua tingkah laku kehidupan manusia boleh disebut (mengandung) plot, tidak semua kejadian yang dialami manusia bersifat plot (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 114). Menurut Propp dalam Zainudin Fananie (2000: 94) fungsi plot adalah aktivitas dramatik tokoh (Act Dramatic Persona) yang didasarkan atas signifikansi sudut pandang dari sejumlah peristiwa yang membangun cerita secara keseluruhan. Keharmonisan atau kesejajaran antara struktur dan fungsi inilah yang diantaranya diindikasikan sebagai nuansa estetik cerita.
Berdasarkan fungsi plot dalam membangun nilai estetik cerita, maka identifikasi dan penilaian terhadap keberadaan plot menjadi sangat beragam. Keberagaman tersebut paling tidak dapat dilihat dari tiga prinsip utama analisis plot yang meliputi, a) plot of action, yaitu analisis proses perubahan peristiwa secara lengkap, baik yang muncul secara bertahap maupun tiba-tiba pada situasi yang dihadapi tokoh utama, dan sejauh mana urutan peristiwa yang dianggap sudah tertulis itu berpengaruh terhadap perilaku dan pemikiran tokoh bersangkutan dalam menghadapi situasi tersebut b) plot of character, yaitu proses perubahan perilaku atau moralitas secara lengkap dari tokoh utama kaitannya dengan tindakan emosi atau perasaan, dan c) plot of thought, yaitu proses perubahan secara lengkap
kaitannya
dengan
perubahan
pemikiran
tokoh
utama
dengan
segala
konsekuensinya berdasarkan kondisi yang secara langsung dihadapi. Tasrif (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 149) membedakan tahapan plot menjadi lima bagian yaitu: a) Tahap situation, tahap yang merupakan pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh. Tahap ini tahap pembukaan cerita pemberian informasi awal, b) Tahap generating circumstances yaitu tahap pemunculan konflik, c) Tahap rising action yaitu tahap peningkatan konflik, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya, d) Tahap climax, koflik dan pertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita sampai kepada titik intensitas puncak, e) tahap denouement adalah tahap penyelesaian.
Tahap-tahap pemplotan seperti di atas dapat juga digambarkan dalam bentuk gambar diagram. Diagram yang digambarkan oleh Jones (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 150-151) seperti ditunjukkan seperti di bawah ini.
Klimaks inciting forces + )
*)
Pemecahan
**)
Awal ____________tengah______________________
akhir
Keterangan : *) konflik dimunculkan dan semakin ditingkatkan *) konflik dan ketegangan dikendorkan +) inciting forces menyaran pada hal-hal yang semakin meningkatkan konflik sehingga akhirnya mencapai klimaks
Gambar 1: Diagram Plot Menurut Jones, (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 150-151) Menurut Tennyson dalam Bustami Subhan (2003: 24) membagi struktur plot menjadi 5 yaitu. Most critics say that the plot has a structure. The structure of the plot usually contains five parts; (1) exposition, (2) rising action, (3) crisis, (4) falling action, and (5) catastroph.
Selanjutnya,
Bustami
menjelaskan
pembagian struktur
plot
sesuai
yang
dikemukakan oleh Tennyson. Kebanyakan kritikus mengatakan bahwa plot mempunyai sebuah susunan. Susunan plot biasanya berisi 5 bagian; (1) eksposisi; (2) munculnya masalah; (3) penggawatan masalah; (4) penurunan masalah (penyelesaian); (5) akhir. Dalam pembentukan alur cerita seorang pengarang biasanya atau dapat harapkan mengikuti kaidah-kaidah pengaluran (plotting) tertentu. Kaidah-kaidah plot menurut Suminto A. sayuti (2000: 46-47) adalah; (1) kemasukakalan, (2) Kejutan, (3) Suspense, (4) Keutuhan. Plausibilitas (kemasukakalan) merupakan satu di antara kaidah-kaidah yang penting yang mengatur alur dalam fiksi. Tentu saja kemasukakalan dalam kaitan ini merupakan kemasukakalan yang dimiliki atau dibatasi dalam dan oleh cerita itu. Suatu cerita dikatakan masuk akal apabila cerita itu memiliki kebenaran, yakni benar bagi diri cerita itu sendiri. Surprise (kejutan) disamping masuk akal, cerita seharusnya juga memberikan kejutan tertentu. Kejutan itu sendiri dalam keseluruhan cerita dapat berfungsi bermacammacam misalnya untuk memperlambat tercapainya klimaks, atau sebaliknya. Suspense yakni ketidaktentuan harapan terhadap outcome ‘hasil’ suatu cerita. Suspense yang sebenarnya lebih banyak daripada masalah ketidaktahuan bagaimana segala sesuatunya menjadi sampai atau selesai. Dalam kaitan ini, suspense melibatkan kesadaran terhadap kemungkinan-kemungkinan dan idealnya masalah yang berkenaan dengan kemungkinan tersebut.
Suspense yang disebut oleh Kenney sebagai “an expectant uncertainty as to the outcome of the story. True suspense is more than a matter of not knowing how things will turn out. “Pembaca mungkin telah membaca ratusan cerita yang menarik hati. Daya tarik utama cerita itu adalah karena adanya suspense. Suspense merangsang pembaca untuk mengikuti jalan cerita berikutnya karena daya tarik yang diciptakan pengarang. Pembaca merasa geregetan agar segera mengetahui apa lanjutan cerita yang dibaca itu (Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani: 2009: 23) Disamping ketiga hal yang sudah disebutkan di atas, salah satu tuntutan yang penting dalam plot adalah Unity (keutuhan). Masalah spesifik yang berkenaan dengan keutuhan suatu plot cerita biasanya timbul dalam suatu karya fiksi yang relative panjang. Menurut Kenney dalam Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani plot juga harus memenuhi aturan tentang adanya kesatuan. Rangkaian kejadian yang disusun harus membentuk kesatuan yang padu. “it should be clear by now that a plot that fits the description must inevitably have unity. The beginning, middle, and the end that follow the laws of plausibility, surprise, and suspense must have unity”. Rangkaian unsur-unsur cerita dinyatakan sebagai unsur dinamik (Robert Scholes dalam Herman J Waluyo dan Nugraheni Eko Wardhani, 2009: 15-16) Rangkaian itu meliputi: (1) Eksposisi, (2) inciting moment, (3) rising action, (4) complication, (5) climax, (6) Falling action, (7) denoument (penyelesaian).
Kejadian yang menjalin plot di atas dapat digambarkan sebagai berikut Climax
Complication Rising action Inciting Moment Exposition
Falling action
Denoumen
Gambar 2: Plot menurut Kenney (Herman J.W dan Nugraheni E.W, 2009: 15-16).
Eksposisi artinya paparan awal cerita. Pengarang memperkenalkan tokoh-tokoh cerita, wataknya, tempat kejadiannya, dan hal-hal yang melatarbelakangi tokoh itu sehingga akan mempermudah pembaca mengetahui jalinan ceritanya sesudahnya. Inciting Moment artinya mulainya problem cerita itu muncul. Dalam tahap ini ada yang disebut “The Element of Insability” yang menyebabkan adanya konflik dan juga menyebabkan konflik itu meningkat terus sampai ke klimaks cerita. Rising Action artinya konflik dalam cerita meningkat. Dalam Siti Nurbaya, misalnya perpisahan dua kekasih itu ternyata mengakibatkan si wanita dicintai oleh seorang saudagar kaya yang tidak lain adalah kakek-kakek yang sudah tua, yaitu Datuk Maringgih. Problem itu dimulai dengan jatuhnya perusahaan Baginda Sulaiman, Ayah Siti Nurbaya. Mungkin ini awal menanjaknya cerita ini, sehingga terus menanjak, dan akhirnya Datuk Maringgih memperoleh kemenangan, dan sang gadis pun dapat dipersunting oleh Datuk Maringgih.
Complication menunjukkan konflik yang semakin ruwet. Dan yang selanjutnya adalah Climax atau puncak cerita atau puncak penggawatan, yaitu puncak dari kejadiankejadian dan merupakan jawaban dari semua problem atau konflik yang tidak mungkin dapat meningkat atau dapat lebih ruwet lagi. Bagian akhir yaitu Falling Action dan Denoument yaitu berupa penyelesaian cerita-cerita. c. Penokohan dan Perwatakan Penokohan dan perwatakan tokoh mempunyai kaitan yang erat. Tokoh-tokoh yang memiliki watak akan menyebabkan terjadinya konflik, yang kemudian konflik tersebut akan menghasilkan sebuah cerita. Pengertian “tokoh” menunjukkan orangnya, pelaku cerita (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 165). Tokoh cerita menurut Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005:165) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa antara seseorang tokoh dengan kualitas pribadinya erat kaitannya dalam penerimaan pembaca. Walaupun tokoh cerita hanya merupakan tokoh ciptaan pengarang, ia haruslah, merupakan seorang tokoh yang hidup secara wajar, sewajar sebagaimana kehidupan manusia yang terdiri dari darah dan daging, yang mempunyai pikiran dan perasaan. Kehidupan tokoh cerita adalah kehidupan dalam dunia fiksi, maka ia harus bertindak sesuai dengan tuntutan cerita dengan perwatakan yang disandangnya.
Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 167). Artinya tokoh cerita hanyalah alat penyampai pesan atau bahkan merupakan refleksi pikiran, sikap, pendirian, dan keinginan-keinginan pengarang. Burhan Nurgiyantoro mengemukakan (2005: 166) bahwa istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan perwatakan sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, dan bagaimana pelukisannya dalam cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Burhan Nurgiyantoro menambahkan penokohan sekaligus menunjuk pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita. Tokoh, watak dan segala emosi yang dikandungnya itu adalah aspek isi, sedangkan teknik perwujudannya dalam karya fiksi adalah bentuk. Jadi, dalam istilah penokohan itu sekaligus terkandung dua aspek yaitu isi dan bentuk. Masalah penokohan dalam sebuah karya sastra tidak hanya semata-mata berhubungan dengan masalah pemilihan jenis dan perwatakan para tokoh cerita saja, melainkan bagaiman melukiskan kehadiran dan penghadirannya secara tepat sehingga mampu menciptakan dan mendukung tujuan artistik karya yang bersangkutan (Burhan Nurgiyantoro, 2005:194). Tokoh mempunyai sifat dan karakteristik yang dapat dirumuskan ke dalam beberapa dimensional antara lain. (a) Dimensi fisiologis, ialah ciri-ciri lahir. Misalnya: usia (tingkat kedewasaan), jenis kelamin, keadaan tubuhnya, ciri-ciri muka, dan ciri-ciri badani
yang lain. (b) Dimensi sosiologis, ialah ciri-ciri kehidupan masyarakat.Misalnya: status sosial, jabatan, pekerjaan, peranan dalam masyarakat, tingkat pendidikan, kehidupan pribadi, pandangan hidup, agama, kepercayaan ideologi, aktifitas sosial, organisasi, hobby, bangsa, suku, keturunan. (c) Dimensi psikologis, ialah latar belakang kejiwaan. Misalnya, mentalitas, ukuran moral/membedakan antara yang baik dan tidak baik; antara yang indah dan tidak indah; antara yang benar dan salah, temperamen, keinginan dan perasaan pribadi, sikap dan perilaku, IQ/Intellegence Quotient, tingkat kecerdasan keahlian khusus dalam bidang tertentu (Gemasastranusantara, 2009: 03). Secara garis besar teknik pelukisan tokoh dalam suatu karya sastra menurut Burhan Nurgiyantoro (2005: 195-2007) adalah sebagai berikut, a) teknik ekspositoris, b) teknik dramatik. teknik dramatiki dibagi lagi menjadi beberapa antara lain; teknik cakapan, teknik tingkah laku, teknik pikiran dan perasaan tokoh, teknik arus kesadaran, teknik reaksi tokoh, teknik reaksi tokoh lain, teknik pelukisan latar, dan teknik pelukisan fisik. Secara garis besar, tokoh yang menyebabkan konflik disebut tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang mendukung jalannya cerita sebagai tokoh yang mendatangkan simpati atau tokoh baik. Tokoh antagonis merupakan kebalikan dari tokoh protagonis adalah tokoh yang menentang arus cerita atau yang menimbulkan perasaan antipasti atau benci pada diri pembaca. Konflik antara kedua tokoh ini berkembang terus. Karena itu, kedua jenis tokoh ini menguasai (mendominasi) keseluruhan cerita. Kedua jenis tokoh ini dapat diklasifikasikan sebagai tokoh sentral yang berarti tokoh-
tokoh yang dipentingkan atau ditonjolkan atau menjadi pusat penceritaan (Herman J. waluyo dan Nugraheni Eko Wardani, 2009: 28-29). Klasifikasi tokoh lainnya dikemukakan oleh Shanon Ahmad dalam Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko wardani (2009: 29-30) yang membagi jenis tokoh atau watak menjadi dua, yaitu tokoh (watak) bulat (round character) dan tokoh (watak) pipih (flat character). Tokoh bulat adalah tokoh yang berwatak unik dan tidak bersifat hitam putih. Watak tokoh jenis ini tidak segera dapat ditafsirkan oleh pembaca karena pelukisan watak tidak sederhana. Tokoh pipih adalah tokoh yang wataknya sederhana. Bustami Subhan (2003: 16-17) menjelaskan tentang tokoh bulat sebagai berikut. A round character can also be indentifield through the ambiguity of the characterization. The character possesses two different characteristics or double personalities; in some cases the character is good but in other cases the character is bad.
Dalam penjelasan tersebut, Bustami menyatakan round character dapat diidentifikasikan seperti karakter atau sifat ganda. Dapat dijelaskn dalam beberapa kasus misalnya karakter baik tetapi sisi lain juga memiliki karakter jahat. Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani (2009: 30-32) dalam menggambarkan watak tokoh, pengarang mempertimbangkan tiga dimensi watak, yaitu dimensi psikis (kejiwaan), dimensi fisik (jasmaniah), dan dimensi sosiologis (latar belakang kekayaan, pangkat, dan jabatan). Watak dari segi psikis dapat dilukiskan dengan cerita (deskripsi narasi), dapat juga diperhidup dengan dialog atau tingkah laku dan tindak-tanduk.
Watak dari segi fisiologis dapat dikaitkan dengan umur, ciri fisik, penyakit, keadaan diri dan sebagainya. Watak dari segi sosiologis melukiskan suku, jenis kelamin, kekayaan, klas sosial, pangkat/kedudukan, dan profesi atau pekerjaan. Ada beberapa cara pengarang untuk menggambarkan watak tokoh-tokohnya, antara lain dengan; (1) penggambaran secara langsung, (2) secara langsung dengan diperindah, (3) melalui pernyataan melalui tokohnya sendiri, (4) melalui dramatisasi, (5) melalui pelukisan terhadap keadaan sekitar pelaku, (6) melalui analisis psikis pelaku, dan (7) melalui dialog-dialog pelakunya (Herman J. waluyo dan Nugraheni Eko Wardani, 2009: 32). Menurut Kenney dalam Herman J. Waluyo dalam Nugraheni Eko Wardhani, (2009: 32) menyebutkan adanya 5 teknik penampilan watak tokoh cerita, yaitu: (1) secara dirkursif artinya pengarang menyebutkan watak tokoh-tokohnya satu demi satu, (2) secara dramatik artinya penampilan watak melalui dialog dan tingkah laku (acting), (3) melalui tokoh lain, (4) secara kontekstual artinya penampilan watak tokoh dari konteks atau lingkungan atau dunia yang dipilih oleh tokoh tersebut, dan (5) dengan metode campuran (mixing methods) adalah metode
penampilan
watak
melalui
pencampuran
teknik-teknik
yang
sudah
dikemukakanterdahulu.
d. Latar atau Setting Menurut Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani pengertian seting adalah tempat kejadian cerita. Tempat kejadian cerita dapat berkaitan dengan aspek fisik, aspek sosiologis, dan aspek psikis. Namun setting juga dapat dikaitkan dengan tempat dan waktu.
Latar atau setting yang disebut juga landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 216). Berhadapan dengan karya fiksi, pada hakikatnya berhadapan dengan sebuah dunia, dunia dalam kemungkinan, dunia yang sudah dilengkapi dengan tokoh penghuni dan permasalahannya. Hal tersebut kurang lengkap sebab tokoh dengan berbagai pengalaman kehidupannya itu memerlukan ruang lingkup, tempat dan waktu sebagaimana halnya kehidupan manusia di dunia nyata dengan kata lain fiksi sebagai kehidupan dunia, disamping membutuhkan tokoh, cerita dan plot juga perlu latar (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 216). Pada umumnya, tahap awal suatu karya sastra berupa pengenalan, pelukisan atau penunjukkan latar (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 217). Namun, hal itu tidak berarti bahwa pelukisan dan penunjukkan latar hanya dilakukan pada tahap awal cerita. Ia dapat saja berada pada berbagai tahap lain, pada berbagai suasana dan adegan dan bersifat koherensif dengan unsur-unsur struktural isi yang lain. Latar memberikan pijakan secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolaholah sungguh-sungguh ada dan terjadi. dipihak lain jika belum mengenal latar itu sebelumnnya, pembaca akan mendapatkan informasi baru yang berguna dan menambah pengalaman hidup.
Menurut Herman J. waluyo dan Nugraheni Eko Wardani (2009: 35) setting berkaitan dengan pengadegan, latar belakang, waktu cerita, dan waktu penceritaan. Pengadeganan artinya penyusunan adegan-adegan di dalam cerita. Tidak semua kejadian dalam kehidupan sang tokoh dilukiskan di dalam adegan-adegan. Adegan dipilih yang benar-benar mewakili cerita. Adegan bisa di dalam rumah dan dapat juga di luar rumah. Burhan Nurgiyantoro (2005: 227) membedakan unsur latar ke dalam tiga unsur pokok. Ketiga unsur itu walaupun menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Ketiga unsur tersebut antara lain:
1) Latar tempat Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu. Tempat-tempat yang bernama misalnya; Magelang, Yogyakarta, Jawa Timur, dan lain-lain. Tempat dengan inisial tertentu biasanya berupa huruf awal kapital nama suatu tempat, misalnya kampong T, desa B, dan sebagaimnnya. Sedangkan latar tempat tanpa nama jelas biasanya hanya berupa penyebutan jenis dan sifat umum tempat tertentu, misalnya, jalan, sungai, hutan, desa, dan sebagainnya. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan atau paling tidak tak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Untuk dapat mendeskripsikan sesuatu tempat secara meyakinkan, pengarang
perlu menguasai Medan. Akhirnya perlu dikemukakan bahwa latar tempat pada sebuah novel biasanya meliputi berbagai lokasi ia akan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sejalan dengan perkembangan plot dan tokoh. Fungsi setting adalah untuk (1) mempertegas watak pelaku, (2) memberikan tekanan pada tema cerita, (3) memperjelas tema yang disampaikan, (4) metafora bagi situasi psikis pelaku, (5) sebagai pemberi atmosfir (kesan), dan (6) memperkuat posisi plot (Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani, 2009:34-35).
2) Latar Waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Masalah waktu dalam karya naratif, menurut Genette dapat bermakna ganda, di satu pihak menunjuk pada waktu penceritaan, waktu penulisan cerita, dan di pihak lain menunjuk pada waktu dan urutan waktu yang terjadi dan dikisahkan dalam cerita. Kejelasan waktu yang diceritakan amat penting dilihat dari segi waktu penceritaannya. Latar waktu dalam fiksi dapat menjadi dominan dan fungsional jika digarap secara teliti, terutama jika dihubungkan dengan waktu sejarah. Pengangkatan waktu sejarah ke dalam karya fiksi akan menyebabkan waktu yang diceritakan menjadi sifat khas, dan dapat menjadi fungsional, sehingga tidak dapat diganti dengan waktu yang lain tanpa mempengaruhi perkembangan cerita.
Latar waktu juga harus dikaitkan dengan latar tempat, sebab pada kenyataanya memang saling berkaitan. Keadaan suatu yang diceritakan mau tidak mau harus mengacu pada waktu tertentu karena tempat itu akan berubah sejalan dengan perubahan waktu.
3) Latar Sosial Latar sosial menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup beberapa masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan sikap, dan lain sebagainya. Disamping itu, latar sosial juga berhubungan dengan sosial status tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas. Latar sosial memang dapat secara meyakinkan menggambarkan suasana kedaerahan, warna setempat daerah tertentu melalui kehidupan sosial masyarakat. Namun penggunaan kata saja tanpa didukung oleh tingkah laku dan sikap tokoh, belum merupakan jaminan bahwa karya sastra yang bersangkutan menjadi dominan latar sosial. Disamping penggunaan bahasa daerah, masalah penamaan tokoh dalam banyak hal juga berhubungan dengan latar social. Misalnya Nama Srintil, Pariyem mengacu pada orang Jawa. Namun Nama Wayan, Made, I Gusti lebih mengacu pada nama orang Bali juga. Berbeda lagi jika tokoh itu menunjuk pada status social atau kedudukan orang yang bersangkutan. Misalnya Priyem, Suta, Prapto yang akan berbeda status sosialnya dengan penyandang nama Martokusumo, Hendradiningrat. Kelompok pertama adalah nama-nama untuk golongan berstatus sosial rendah sedang kedua berstatus sosial tinggi.
Akhirnya perlu sekali ditegaskan bahwa latar sosial merupakan bagian latar secara keseluruhan. Ia berada dalam kepaduannya dengan unsur latar yang lain, yaitu unsur tempat dan waktu. Ketiga unsur tersebut barada dalam suatu kepaduan yang jelas akan menunjuk pada makna yang lebih khas dan meyakinkan daripada sendiri-sendiri. Ketepatan latar sebagai salah satu unsur fiksi tak dilihat secara terpisah dari
kepaduan dan
koherensinnya dari keseluruhan. Status sosial tokoh merupakan salah satu hal yang perlu diperhitungkan dalam pemilihan latar. Ada sejumlah novel yang membangun konflik berdasarkan kesenjangan sosial tokoh-tokohnya, misalnya dalam novel Dian yang Tak Kunjung Padam. Setting berkaitan dengan pengadeganan, latarbelakang, waktu cerita, dan watak penceritaan. Pengadeganan artinya penyusunan adegan-adegan di dalam cerita. Tidak semua kejadian dalam kehidupan sang tokoh dilukiskan di dalam adegan-adegan. Adegan dipilih yang benar-benar mewakili cerita. Adegan bisa di dalam rumah dan dapat juga diluar rumah. Latar belakang (background) dalam menampilkan setting dapat berupa latar belakang social, budaya, psikis, dan fisik yang kira-kira dapat memperhidup cerita itu. Waktu cerita adalah lamanya waktu penceritaan tokoh utama dari awal hingga akhir cerita. Waktu cerita dapat dikatakan sebagai waktu pembacaan (Herman J Waluyo dan Nugraheni Eko Wardhani, 2009: 35).
e. Point of View (Sudut Pandang Pengarang) Point of view dinyatakan sebagai sudut pandang pengarang, yaitu teknik yang digunakan oleh pengarang untuk berperan dalam cerita itu. Apakah ia sebagi orang pertama
(juru cerita) ataukah sebagai orang ketiga (menyebut pelaku sebagai dia). Yang pertama dikatakan sebagai bergaya akuan, sedangkan yang kedua dinyatakan sebagai bergaya diaan. Sebagai orang pertama pengarang juga dapat dinyatakan bagaimana ia berperan sebagai orang pertama. Demikian juga jika berperan sebagai orang ketiga, bagaimanakah ia berperan sebagai orang ke tiga (Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko wardani, 2009: 37). Sedangkan Suminto A. Sayuti (2000:158) berpendapat bahwa sudut pandang atau pusat pengisahan (point of view) dipergunakan untuk menentukan arah pandang pengarang terhadap peristiwa-peristiwa di dalam cerita sehingga tercipta suatu kesatuan cerita yang utuh. Oleh karena itu, sudut pandang pada dasarnya adalah visi pengarang, dalam arti bahwa ia merupakan sudut pandangan yang diambil oleh pengarang untuk melihat peristiwa dan kejadian dalam cerita. Shipley dalam Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani (2009:37) menyebutkan adanya 2 jenis point of view, yaitu internal point of view dan external point of view. Internal point of view ada empat macam, yaitu; (1) tokoh yang bercerita; (2) penceritaan menjadi salah seorang pelaku; (3) sudut pandang akuan; dan (4) penceritaan sebagai tokoh sampingan dan bukan tokoh hero. Sementara untuk gaya eksternal, dikemukakan ada 2 jenis, yaitu: (1) gaya diaan, dan (2) penampilan gagasan dari luar tokoh – tokohnya. Lazimnya, sudut pandang yang umum dipergunakan oleh para pengarang dibagi menjadi empat jenis menurut Suminto A. Sayuti (2000: 159) yaitu:
(a) Sudut pandang first person-central akuan sertaan. Di dalam sudut pandang akuan sertaan, tokoh sentral cerita adalah pengarang yang secara langsung terlibat dalam cerita. (b) Sudut pandang first person peripheral atau akuantaksertaan. Dalam akuantaksertaan, tokoh “aku” biasanya hanya menjadi pembantu atau pengantar tokoh lain yang lebih penting. Penceritaan pada umumnya hanya muncul di awal atau di akhir cerita. (c) Sudut pandang third-person-omniscient atau diaan – mahatahu. Di dalam sudut pandang diaan-mahatahu, pengarang berada diluar cerita, dan biasanya pengarang hanya menjadi seorang pengamat yang maha tahu, bahkan hanya mampu berdialog langsung dengan pembaca. (d) Sudut pandang third-person-limited atau diaan terbatas. Dalam diaan – terbatas, pengarang mempergunakan orang ketiga sebagai pencerita yang terbatas hak berceritanya. Di sini pengarang hanya menceritakan apa yang dialami oleh tokoh yang dijadikan tumpu cerita. (e) Sudut pandang campuran, dalam sebuah fiksi dijumpai lebih dari sebuh sudut pandang.
3. Pendekatan Intertekstualitas Menurut Teeuw (1984: 145-146) setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain. Tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-
teks lain sebagai contoh, teladan, kerangka; tidak dalam arti bahwa teks baru hanya meneladan teks lain atau mematuhi kerangka yang telah diberikan terlebih dahulu; tetapi dalam arti bahwa dalam penyimpangan dan transformasi pun model teks yang ada memainkan peranan yang penting. Pemberontakan atau penyimpangan mengandalkan adanya sesuatu yang dapat memberontaki ataupun disimpangi. Pemahaman teks baru memerlukan latar belakang pengetahuan tentang teks-teks yang mendahuluinya. Menurut Worton and Still dalam sebuah jurnal internasional juga ditegaskan mengenai studi intertekstual. Intertextuality is the human phenomenon of making conection between text. Historycally, the concept of intertextuality has woven a complex path through many academic disciplines (Worton & Still, 1990). Literary critism, however, is the home of intertextuality (http// www accesmylibrary.com. 1990, page 01) diakses tanggal 1 November 2009
Menegaskan bahwa intertekstual menggambarkan fenomena kemanusiaan dalam membuat hubungan antar teks. Jadi jelas bahwa ada jalinan antara satu teks dengan teks yang diperbandingkan. Kemudian definisi intertekstual dalam jurnal internasional yang diungkapkan oleh Cairney adalah: Intertextuality can be simply definited as ‘the process of interpreting one text by means of a previously composed text’ . (Accessmylibrary, 2009: 02).
Menurut Cairney Intertekstualitas bisa didefinisikan secara sederhana sebagai sebuah proses interpretasi sebuah teks menjadi sebuah teks yang berkelanjutan atau berkesinambungan. Lebih dijelaskan definisi intertekstualitas dalam A Concise Glosary of Contenporary Literary Theory (1994:99). Intertekstuality A relation between two or more texts which has an effect upon the way in which the intertext (that is, the text within which other texts reside or echo their PRESENCE) is read. Sometimes the term transtextuality is reserved for more over relation between specific texts, or between two particular texts, while intertextuality is reserved to indicate a more diffuse penetration of the individual text by memories, echoes, transformation, of other texts.
Dijelaskan bahwa intertekstualitas adalah sebuah hubungan antara dua teks atau lebih yang mempunyai sebuah pengaruh terhadap cara interteks tersebut dibaca (yaitu bahwa teks diantara teks satu dengan teks yang lain memberikan pengaruh terhadap keberadaannya). Terkadang istilah transtextualitas menjelaskan lebih banyak hubungan antara teks-teks yang spesifik atau antara dua teks tertentu, sedangkan intertekstualitas mengindikasikan lebih banyak penetrasi teks individu dengan memori, transformasi, dari teks-teks yang lain.
Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapanpun karya ditulis ia tidak lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya termasuk semua konvensi dan tradisi
dimasyarakat dalam wujudnya yang kusus berupa teks-teks kesusastraan yang
ditulis
sebelumnnya (Burhan Nurgiyantoro, 1994: 50 ). Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (lengkapnya teks kesusastraan), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan unsurunsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan (gaya) bahasa dan lain-lain, di antara teks-teks yang dikaji. Secara lebih kusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul lebih kemudian. Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara penuh terhadap karya tersebut. Penulisan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur
kesejajarannya sehingga pemberian
makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu (Teeuw dalam Burhan Nurgiyantoro 1994: 50). Untuk itu, diperlukan pendekatan intertekstual dengan cara mensejajarkan dengan teks sebelumnya. Penelitian disebut bersifat intertekstualitas jika pembaca mempelajari unsur-unsur dalam teks itu, yang dilihat dalam hubungannya dengan unsur-unsur yang ada dalam teks itu sendiri. Karena setiap unsur akan membuat suatu jaringan hubungan. Arti suatu unsur dianggap akan dapat diterangkan dengan menghubungkannya dengan unsur-unsur lain dalam teks itu (Umar Junus, 1988: 86). Intertekstual atau sastra bandingan adalah terjemahan dari bahasa Inggris, Comparative Literature, atau dari bahasa Perancis La Litterature Comparee. Menurut sejarahnya, sastra bandingan sebagai ilmu, mempunyai dua aliran. Pertama, Aliran Perancis.
Aliran ini juga disebut Aliran Lama. Dinamakan demikian karena sastra bandingan itu kelahirnya dinegara perancis dan dipelopori oleh para pemikir Perancis. Aliran ini disebut juga aliran Aliran Baru. Dinamakan Aliran Baru karena aliran ini mengembangkan Aliran Perancis. Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri secara etimologis (textus, bahasa latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks, yaitu melalui proses aposisi, permutasi dan transformasi. Penelitian dilakukan dengan cara menemukan hubungan-hubungan bermakna diantar dua teks atau lebih. Teksteks yang dikerangkakan sebagai interteks tidak dibatasi sebagai persamaan genre, interteks memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan hypogram (Nyoman Kutha Ratna, 2006: 172-173). Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi karya yang lain kemudian disebut sebagai hipogram (hypogram). Istilah hipogram, dapat di Indonesiakan menjadi latar, yaitu dasar, walau mungkin tak tampak secara eksplisit, bagi penulisan karya yang lain.Wujud hipogram mungkin berupa penerusan konvensi, sesuatu yang telah bereksistensi, penyimpangan dan pemberontakan konvensi, pemutar balikan esensi dan amanat teks-teks sebelumnya (Teeuw dalam BurhanNurgiyantoro, 1994: 5). Hypogram adalah “unsur cerita (baik berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa, dan lain-lain) yang terdapat di dalam suatu teks sastra terdahulu yang kemudian dijadikan model, acuan atau latar teks yang kemudian menurut Riffaterre, hypogram itu dapat berupa
ekspansi, yakni perluasan atau pengembangan hypogram; konversi; berupa pemutar balikan hypogram atau metriknya. Ada lagi jenis hypogram lain, yakni modifikasi dan ekserp (Suripan Sadi Hutomo, 1993:14). Beberapa hal yang dapat dilakukan studi bandingan dalam kaitannya sastra nasional Menurut Suripan Sadi Hutomo (1993:9-10) sebagai berikut. (1) Membandingkan dua karya sastra dari dua Negara yang bahasanya benarbenar berbeda. (2) Dapat membandingkan dua karya sastra dari dua Negara yang berbeda dalam bahasa yang sama, baik dalam situasi benar-benar sama atau dalam dialek yang berbeda. Misalnya perbandingan novel Salina (bahasa Melayu dialek Malaysia) karangan A. Samad Said dari Negara Malaysia dengan novel Puncak Pertama (bahasa melayu dialek Brunai) karangan Muslim Burmat dari Negara Brunei. (3) Dapat membandingkan karya sastra Arena Wati, pengarang Malaysia asal Indonesia, dengan karya salah seorang pengarang dari Indonesia, misalnya kita membandingkan novel Lingkaran karya Arena wati dengan novel Jalan Tak ada Ujung karya Mochtar Lubis. (4) Dapat membandingkan karya awal seorang pengarang di Negara asalnya dengan karya pengarang setelah menjadi warga suatu Negara. Misalnya kita dapat membandingkan novel Hati yang Damai karya N.H. Dini (sewaktu
menjadi warga Negara Indonesia) dengan novel Pada Sebuah Kapal karya N.H. Dini (sewaktu menjadi warga Negara Perancis) (5) Dapat membandingkan karya seorang pengarang yang telah menjadi warga suatu Negara tertentu dengan karya seorang pengarang dengan Negara lain (bukan tanah asal pengarang yang dibandingkan). Misalnya, karya Arena Wati (warga Malaysia asal Indonesia) dengan karya pengarang dari salah satu negara Eropa maupun Afrika. (6) Dapat membandingkan karya seorang pengarang Indonesia dalam bahasa daerah dan dalam bahasa Indonesia. Misalnya, kita dapat membandingkan sajak-sajak penyair Ajip Rosidi dalam bahasa Sunda dengan sajak-sajak Ajip Rosidi dalam bahasa Indonesia. (7) Dapat membandingkan dua karya sastra dari dua orang pengarang kewarganegaraan Indonesia yang menulis dalam bahasa asing yang berbeda. Kemudian Suripan Sadi Hutomo (1993: 11) menjelaskan bahwa pada umumnya, jika kita melihat praktek sastra bandingan, baik dinegara Barat maupun dinegara Timur, studi sastra bandingan itu melandaskan diri pada afinitas, tradisi dan pengaruh. Kata afinitas itu baerasal dari bahasa Latin ad (artinya dekat) dan Finis (artinya, batas). Ilmu antropologi kata afinitas diberi makna “hubungan kekerabatan yang berwujud karena adanya perkawinan”; dalam ilmu bahasa diartikan” unsur-unsur sama pada dua atau beberapa bahasa karena bahasa-bahasa itu diturunkan dari suatu bahasa leluhur yang sama” dan dalam ilmu biologi
mengandung makna “hubungan antara jenis-jenis atau kelompok-kelompok lebih tinggi yang didasarkan kemiripan dalam seluruh rencana strukturnya dan mengacu ke kesamaan asal-usulnya”. Makna kekerabatan, kesamaan unsur dan hubungan antara jenis, dalam ilmu sastra bandingan, adalah keterkaitan unsur-unsur intrinsik (unsur dalamnya) karya sastra, misalnya, unsur struktur, gaya, tema (ide), mood (suasana yang terkandung dalam karya sastra), dan lain- lain yang dijadikan bahan penulisan karya sastra (Suripan Sadi Hutomo, 1993: 145). Menurut pendapat Nyoman Kutha Ratna (2004: 174-175) teori interteks, pembacan yang berhasil justru apabila didasarkan atas pemahaman terhadap dalam karya terdahulu. Aktivitas interteks terjadi melalui dua cara yaitu, a) membaca dua teks atau lebih secara berdampingan pada saat yang sama, b) hanya membaca sebuah teks tetapi dilatarbelakangi oleh teks-teks yang lain yang sudah pernah dibaca sebelumnya Sebenarnya hubungan interteks tidak sederhana seperti yang dibayangkan. Kompleksitas hubungan dengan sendirinya tergantung dari kompleksitas pembaca, sesuai dengan hakikat postrukturalisme, makin kaya pemahaman seseorang pembaca maka makin kaya pula hubungan-hubungan yang dihasilkan. (Nyoman Kutha Ratna, 2004: 175). Menurut Julia Kristeva dalam Suripan Sadi Hutomo (1993: 13-14) teori intertekstualitas itu mempunyai kaidah dan prinsip tertentu. Kaidah dan prinsip itu adalah: (1) Pada hakekatnya sebuah teks itu mengandung berbagai teks, (2) Studi intertekstualitas itu adalah menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik teks, (3) Studi intertekstualitas itu
mempelajari keseimbangan antara unsur intrinsik dan ekstrinsik teks yang disesuaikan dengan fungsi teks dimasyarakat, (4) Dalam kaitannya proses kreatif pengarang, kehadiran sebuah teks itu, sebenarnya, merupakan hasil yang diperoleh dari teks-teks lain; Dalam kaitan studi intertekstualitas, pengertian teks (sastra) janganlah ditafsirkan terbatas pada bahan sastra, tetapi harus mencakup seluruh unsur teks, termasuk bahasa.
f. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel 1. Hakikat Nilai Pendidikan Sebagai bentuk karya sastra, novel selain memberi hiburan juga memberikan manfaat. Wellek (1993: 25) bahwa sastra berfungsi antara dulce et utile, sweet and usefull, atau indah dan berguna. Mengenai manfaat sastra, Dharma (1995: 105) menegaskan bahwa. karya sastra (termasuk novel) diharapkan dapat mengajak para pembaca untuk menjunjung tinggi norma sosial maupun religi. Diungkapkan juga bahwa sastra, filsafat, dan agama dianggap sebagai sarana untuk menumbuhkan jiwa humanist, yaitu jiwa yang halus, manusiawi, dan berbudaya dengan cara yang berlainan. Oleh karena ini, karya sastra yang baik adalah karya sastra yang mengandung nilai-nilai.
Menurut Bertens (1997:139) nilai merupakan sesuatu yang di iakan atau di aminkan. Nilai selalu mempunyai konotasi positif. Kemudian Hans Johs (dalam Bertens, 1997:139) menyatakan nilai adalah The Addressee bof a yes, sesuatu yang ditujukan dengan kata “ya”.
Ada beberapa nilai dalam karya sastra antara lain, nilai pendidikan kemanusiaan, nilai pendidikan sosial budaya, nilai pendidikan religius, dan nilai moral. Nilai-nilai tersebut berfungsi untuk menyampaikan pesan yang ada dalam karya sastra kepada masyarakat kususnya pembaca sehingga bermanfaat. Nilai bersifat objektif dan subjektif, tergantung dari sudut pandang yang memberikan penilaian. Nilai bersifat objektif jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai juga dapat bersifat subjektif jika eksistensi, makna, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian (Rieseri Frondizi: 2001:20). Menurut Max Scheler (2004:51) Nilai merupakan suatu kualitas yang tidak tergantung pada pembawannya, merupakan kualitas apriori (yang telah dapat dirasakan manusia tanpa melalui pengalaman indrawi terlebih dahulu).
Max Scheler (2004: 56) membagi nilai-nilai sebagai berikut. 1. Nilai baik adalah nilai yang melekat pada tindakan mewujudkan nilai positif, sebagai yang berlawanan dengan nilai negatif, yang melekat pada tindakan yang mewujudkan nilai dalam tingkatan yang lebih tinggi atau tertinggi dalam susunan nilai.
2. Nilai jahat adalah nilai yang melekat pada tindakan yang mewujudkan suatu nilai negatif, yang melekat pada tindakan yang mewujudkan nilai dalam tingkatan yang lebih rendah atau terendah dalam susunan nilai. 3. Nilai positif merupakan nilai yang memang seharusnya ada dalam realitas indrawi ini; dengan demikian, keberadaannya di dunia indrawi ini merupakan kewajiban. 4. Nilai negatif merupakan nilai yang seharusnya tidak ada dalam realitas indrawi ini; dengan demikian, keberadaannya di dunia indrawi ini wajib tidak ada. Pendidikan menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memilih kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Usaha tersebut bertujuan membentuk manusia yang cerdas dan mempunyai akhlak mulia. Pendidikan nilai dalam proses dinamika budaya menjadi salah satu unsur yang perlu diperhatikan. Nilai dimaksudkan sebagai yang dipandang berharga hingga layak digenggami untuk acuan, mulai dari yang fisik kulit sampai yang bernilai tujuan. Dalam proses dinamika budaya terdapat pergeseran nilai, karena perekat nilai masyarakat yang menghormati kemajemukan, keadaban, dan keterbukaan mulai diperjuangkan. Di samping itu di masa sekarang terdapat krisis perekat nilai persatuan dan kesatuan karena sesuatu diukur dengan
nilai materi dan uang. Sehingga nilai humanis dan religius terkikis oleh nilai materi atau uang (Muji Sutrisno, 1999:62-62). 2. Nilai Pendidikan Sastra Karya sastra yang menganut paham apa pun, pertama-tama harus memenuhi hakikat seni sastra; menyenangkan dan berguna atau dulce et utile (Horatius dalam Teeuw 1984: 51). Bila karya tidak memenuhi hakikat fungsi Dulce et utile, karya sastra itu kurang bermutu atau tidak bermutu. Sebaliknya karya sastra yang bermutu tinggi adalah karya sastra yang di dalamnya mempunyai hakikat dan fungsi karya sastra, dulce et utile (Sudarman, 2007: 45). Rachmat Djoko Pradopo (2003:49) menyebutkan tiga paham tentang penilaian karya
sastra,
yaitu:
penilaian
relativisme,
penilaian
obsulitisme,
dan
penilaian
perspektivisme. Penilaian relativisme adalah paham penilaian yang menghendaki “tidak adanya penilaian lagi” atau penilaian yang dihubungkan dengan tempat dan zaman terbitnya karya sastra. Bila suatu karya sastra sianggap bernilai oleh suatu masyarakat pada suatu tempat dan zaman tertentu, maka karya sastra haruslah dianggap bernilai pula pada zaman dan tempat lain. Jadi karya sastra itu tidak menghendaki adanya penilaian lagi. Penilaian absolutivisme adalah paham penilaian yang menilai karya sastra berdasarkan paham, aliran-aliran politik, moral ataupun berdasar pada norma-norma tertentu yang sifatnya dogmatis dan berdasarkan pandangan yang sempit. Dengan demikian sifat penialainnya tidak berdasarkan pada metode literer, tidak berdasarkan pada hakikat
dan fungsi karya sastra. Paham-paham, aliran-aliran, dan kepentingan politik yang seharusnya dinomorduakan, justru menjadi lebih diutamakan. Paham penilaian yang ketiga adalah penilaian perspektif, yang menilai karya sastra dari berbagai perspektif, dari berbagai sudut pandangan, yaitu dengan jalan menunjukkan nilai karya sastra pada waktu terbitnya dan nilai-nilai karya sastra itu pada masa berikutnya. Padahal karya sastra bersifat abadi dan historis. Bersifat abadi artinya memelihara suatu ciri tertentu, misalnya karya sastra Balai Pustaka akan menunjukkan ciri-ciri pertentangan adat kawin paksa dengan pandangan baru. Bersifat historis artinya telah melampaui suatu proses yang dapat dirunut jejaknya, misalnya pada masa kesusastraan romantik, realism, dan sebagainya. Penilaian perpektivisme mengaku adanya satu karya saastra yang dapat dibandingkan sepanjang masa, mungkin berkembang, berubah, itu semua bias dimungkinkan, karena struktur karya sastra itu dinamis melalui para penafsirnya sepanjang masa. Jadi meniali karya sastra dengan penilaian perspektivisme adalah menilai karya sastra pada waktu terbit, menurut zaman-zaman yang telah dilalui dan penilaian pada zaman sekarang. Suatu karya sastra yang hanya dinilai berdasarkan penilaian sekarang, misalnya Mahabarata dan Ramayana menurut penilaian sekarang mungkin kurang bernilai, karena masyarakat zaman sekarang tidak mengakui dunia khayal, hubungan manusia dengan dewadewa. Penilaian perspektivisme tidak hanya melihat karya sastra dari satu sisi, dalam pandangan di atas dunia khayal. Dilihat dari filosofi, pandangan hidup dan renungan-
renungan lainnya. Diakui bahwa Mahabarata dan Ramayana adalah karya sastra yang besar. Cerita Khayal hanyalah cirri suatu zaman. Pertimbangan moral dan nilai-nilai kemanusiaan sifatnya lebih abadi, seperti pembunuh orang tanpa sebab adalah suatu perbuatan yang jahat, merampas milik orang lain adalah bentuk kejahatan, yang sampai sekarang masih abadi. a). Nilai Pendidikan Sosial Nilai pendidikan sosial yang diambil dari sebuah cerita, dalam hal ini adalah novel yang bisa dari hal-hal yang bersifat positif ataupun negatif. Kedua hal tersebut perlu disampaikan agar kita dapat memperoleh banyak teladan yang bermanfaat. Sosial dapat diartikan hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat atau kepentingan umum. Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. M. Zaini Hasan dan Salladin (1996: 83) menyatakan bahwa nilai sosial adalah aspekaspek budaya yang diupayakan oleh kelompok untuk memperoleh makna dan penghargaan yang tinggi. Sementara itu menurut Arifin L. Bertrand (dalam M. Munandar Soelaeman, 1998: 9) nilai sosial adalah kesadaran dan emosi yang relatif lestari terhadap suatu objek, gagasan, atau orang. Karya sastra dapat berfungsi sebagai daya penggoncangan nilai-nilai sosial yang sudah mapan. Dasar dari pendidikan sosial bahwa manusia itu merupakan kawan sosial bagi manusia lain (Suyitno, 1986: 31).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidikan sosial dalam diri manusia khususnya masyarakat akan menjadikan manusia sadar akan pentingnya kehidupan kelompok dalam ikatan kekeluargaan antara individu satu dengan yang lain. Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Sebagai contoh, orang menganggap menolong memiliki nilai baik, sedangkan mencuri bernilai buruk. Woods mendefinisikan nilai sosial sebagai petunjuk umum yang telah berlangsung lama, yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Tak heran apabila antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata nilai. Contoh, masyarakat yang tinggal di perkotaan lebih menyukai persaingan karena dalam persaingan akan muncul pembaharuan-pembaharuan. Sementara pada masyarakat tradisional lebih cenderung menghindari persaingan karena dalam persaingan akan mengganggu keharmonisan dan tradisi yang turun-temurun.
b. Nilai Pendidikan Budaya
Karya sastra lahir tidak dalam kekosongan sejarah. Sastra dicipta berdasarkan situasi dan kondisi sosial budaya setempat. Sastra tidak akan terasing dari masyarakat karena sastra akan mengungkap nilai-nilai kemanusiaan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Dalam budaya Jawa dikenal beberapa tokoh wanita dan tokoh pria dalam cerita wayang. Ada tokoh Srikandi, Subadra, Sinta, Sarpakenaka, Banuwati, Bathari Durga, dan lain-lain sebagai tokoh wanita yang cukup dikenal. Beberapa tokoh pewayangan pria yang cukup dikenal, yaitu: Dewa Brata, Begawan Abiyasa, Batara Guru, Rahwana, Bima, Arjuna, Kresna dan lain-lain. Dan tidak jarang bahwa orang Jawa mengidentikkan dirinya dengan tokoh-tokoh wayang tersebut. Koentjaraningrat (1985: 18) mengemukakan bahwa sistem nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Nilai–nilai budaya yang terkandung didalam cerita dapat diketahui melalui penelaahan terhadap karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh dalam cerita. Secara terperinci F. Kluckhohn (dalam Koentjaraningrat, 1994: 435) secara universal nilai-nilai budaya dari semua negara di dunia ke dalam lima kategori berdasarkan lima masalah terpenting di dalam kehidupan semua manusia, yaitu: (1) masalah universal mengenai hakikat hidup; (2) masalah universal mengenai hakikat dari kerja serta usaha manusia; (3) masalah universal mengenai hubungan antara manusia dan alam; (4) persepsi
manusia tentang waktu; dan (5) masalah universal mengenai hubungan antara manusia dan sesamanya.
Bowditch (2007: 140) memiliki pandangan yang berbeda tentang budaya. Ia mengatakan bahwa: Underlying all rituals is an ultimate danger, lurking beneath the smallest and largest of them, the more banal and the most ambitious – the possibility that we will encounter ourselves making up our conceptions of the world, society, our very selves. We may slip in that fatal perspective of recognizing culture as our construct, arbitrary, conventional, invented by mortals. (http://www.rtjournal.org/vol_6/no_2/bowditch.html).
Berdasarkan pendapat di atas dapat dipahami bahwa semua ritual adalah segala sesuatu konsep-konsep yang berasal dari ambisi yang terjadi dari alam bawah sadar. Tersususun konsep-konsep tentang masyarakat, dunia, dan diri sendiri. Memungkinkan terjadi adanya perspektif yang fatal mengenai kebudayaan sebagai sebuah kontruksi, kesewenang-wenangan, dan konvensional yang ditemukan oleh manusia. Nilai Pendidikan Religius/Agama Agama adalah risalah yang disampaikan Allah kepada Nabi sebagai petunjuk bagi manusia dalam menyelenggarakan tata cara hidup yang nyata serta mengatur hubungan dan tanggung jawab kepada Allah, dirinya sebagai hamba Allah, manusia dan masyarakat serta alam sekitarnya. Agama dan pandangan hidup kebanyakan orang menekankan kepada ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan serta sikap menerima terhadap apa yang terjadi.
Pandangan hidup yang demikian jelas memperhatikan bahwa apa yang dicari adalah kebahagiaan jiwa, sebab agama adalah pakaian hati, batin atau jiwa. Mangunwijaya (1982: 11) dalam bukunya Sastra dan Religiositas mengatakan bahwa: Agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada “Dunia Atas” dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukumhukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir alkitab dan sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan. Religiositas lebih melihat aspek yang ”di dalam lubuk hati”, riak getaran hati nurani pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa “du coeur” dalam arti Pascal, yakni cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) ke dalaman si pribadi manusia.
Nilai religius dapat dikatakan nilai dasar kemanusiaan yang berkaitan dengan ketuhanan secara umum dan diakui oleh semua pemeluk agama. Dicontohkan lagu “Tuhan” karya Bimbo, semua pemeluk agama mengatakan bahwa lagu itu mempunyai nilai religius. Dan Mangunwijaya mengatakan bahwa karya sastra yang baik itu religius.
Terkait dengan eksistensi agama Donnalee Dox (2009: 20) mengatakan bahwa: The project is to consider the effect participants’ assumptions about religious meaning have on the formation of a mode of performance, development of performance aesthetics, and establishment of a performance practice. The method here decouples the semiotics of the imagery from the mode of performance as understood within a religious tradition. (http://www.rtjournal.org/vol_8/no_1/dox.html).
Berdasarkan pendapat di atas dapat dipahami bahwa adanya anggapan untuk mempertimbangkan efek beserta asumsi tentang makna agama terhadap pembentukan suatu cara kinerja, pengembangan kinerja estetika, dan pembentukan sebuah praktek kinerja. Metode sini decouples semiotika pemetaan dari modus kinerja sebagaimana yang dipahami dalam tradisi keagamaan. Nilai dasar kemanusiaan yang religius, semua pemeluk agama mengakuinya seperti: (1) membantu, membela kaum yang lemah; (2) mengakui persamaan derajat manusia (hak azasi manusia); (3) memperjuangkan keadilan, kebenaran, kejujuran, kemerdekaan, perdamaian; (4) menentang adanya penindasan sesama manusia, dan lain sebagainya. E. Novel sebagai Sarana Pembelajaran 1). Kedudukan Novel dalam Pembelajaran Sastra Berdasarkan KTSP Pembelajaran sastra pada dasarnya bertujuan agar siswa mimiliki rasa peka terhadap karya sastra yang berharga sehinga merasa terdorong dan tertarik untuk membacanya (Semi, 1990: 152). Dengan membaca karya sastra diharapkan para siswa memperoleh pengertian yang baik tentang manusia dan kemanusiaan, mengenai nilai-nilai dan mendapatkan ide-ide baru. Pembelajaran sastra yakni novel sebagai genre serta mempunyai fungsi yang dapat menumbuhkan rasa kepedulian terhadap karya-karya yang dihasilkan oleh para pengarang. Novel memungkinkan seorang siswa dengan kemampuan membacanya, hanyut dalam keasyikan (Rahmantoro, 1988: 65). Novel jelas dapat membantu dan menunjang sebagai sarana pendukung untuk memperkaya bacaan siswa di samping novel-novel tertentu yang dijadikan bahan pembelajaran oleh guru sastra. Adanya
novel dalam KTSP membuka pencerahan baru agar siswa dapat lebih aktif dan konstruktif terhadap gejala atau situasi yang terjadi saat ini. 2). Ruang Lingkup Pembelajaran Sastra Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA dan MA terdiri atas dua aspek, yaitu aspek kemampuan berbahasa dan bersastra. Masing-masing terdiri atas sub aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Pertama, mendengarkan dimaknai, memahami, dan mengapresiasikan ragam karya sastra (puisi, prosa, drama) baik karya asli maupun saduran/terjemahan sesuai dengan tingkat kemampuan siswa. Kedua, berbicara juga dimaknai membahas dan mendiskusikan ragam karya sastra di atas sesuai dengan isi dan konteks lingkungan dan dan budaya. Ketiga, membaca dimaknai untuk memahami berbagai jenis dan ragam karya sastra serta mampu melakukan apresiasi secara tepat. Keempat menulis dimaknai untuk mengapresiasikan karya sastra yang diminati (puisi, prosa, drama) dalam bentuk karya tulis yang kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai sastra berdasarkan ragam sastra yang sudah dibaca. 3). Novel sebagai Sarana Pembelajaran Sastra Masalah pembelajaran sastra di sekolah/madrasah khususnya di SMA dewasa ini banyak mendapat sorotan dari kalangan pakar, khususnya pakar di bidang sastra, termasuk kalangan sastrawan. Taufik Ismail (Kompas: 12 Februari 2002) misalnya, merasa prihatin dengan realitas sastra dan pengajarannya di sekolah. Diungkapkannya bahwa pelajaran sastra dan mengarang di sekolah-sekolah di Indonesia sangat ketinggalan. Memang, pada kenyataannya hampir 50 tahun, siswa-siswa di Indonesia tidak diberikan pelajaran sastra,
dan kalaupun diberikan, hal itu hanya terbatas pada pengetahuan sastranya saja, dan bukan pada apresiasinya. Akibatnya siswa kurang bahkan tidak berminat membaca karya-karya sastra. Padahal dengan membaca karya sastra, siswa dapat menggali nilai-nilai sosial, kebudayaan, agama, moral dan nilai-nilai kemanusiaan yang dapat mengantarkan siswa menuju kearifan dan kebijaksanaan (wisdom) hidup. Selain itu dengan membaca karya sastra, siswa dapat mengembangkan daya nalarnya. Menurut Tarigan (1995: 11), sastra merupakan salah satu sarana untuk merangsang serta menunjang perkembangan kognitif atau penalaran anak-anak. Hal ini juga diakui oleh Sumardjo (1995: 31), dinyatakan bahwa pembelajaran sastra (apresiasi) adalah salah satu sarana pengembangan intelektual siswa. Bahasa (sebagai medium sastra) berkorelasi positif dengan penalaran dan pikiran anak-anak. Tentang hubungan bahasa dan pikiran ini memang telah banyak diteliti oleh para pakar, salah satunya adalah yang dilakukan oleh Sapir dan Whorf, yang kemudian terkenal dengan hipotesis Sapir-Whorf, yaitu bahwa bahasa menentukan pikiran. Jelaslah bahwa perkembangan kognitif atau daya nalar siswa dapat ditumbuhkembangkan melalui pembelajaran sastra. Persoalannya adalah model atau disain pembelajaran
sastra
yang
bagaimana
yang
dapat
mengantarkan
siswa
untuk
mengembangkan daya nalarnya? Apakah pembelajaran sastra selama ini sudah merepresentasikan tujuan pengembangan daya nalar siswa yang dimaksud? Pertanyaanpertanyaan seperti inilah yang hendaknya selalu direfleksikan oleh guru (bahasa dan sastra) atau pihak-pihak yang terkait dan concern dengan pendidikan (pengajaran) sastra. F. Penelitian Yang Relevan
Tirto Suwondo. 2003, “Hubungan Antara Novel Olenka, Sajak-sajak Chairil Anwar dan Pemikiran Sartre Tentang Eksistensialisme”. Dijelaskan dalam novel Olenka ditemukan beberapa teks sajak, baik sajak asing maupun Indonesia salah satunya adalah “Dera-Derai Cemara”, sedangkan di sini Sartre ditunjukkan dengan novel La Nausee. Bertitik tolak dari pemikiran Teew bahwa tidak ada karya sastra yang lahir dari kekosongan budaya. Pemikiran Sartre bermuara pada konsep kebebasan. Kebebasan itulah yang memang sedang dijalani Fanton di dalam novel Olenka. Sehingga dapat dijelaskan bahwa Olenka ditulis dalam rangka menanggapi pemikiran Chairil Anwar dan konsep filsafat Sartre. Dalam hal ini sajak Chairil Anwar dan konsep Sartre menjadi hipogram dari Olenka. Sebagai teks atau karya transformatif, Olenka tidak hanya sekedar meniru, meneruskan, atau menegaskan, tetapi juga menyangkal beberapa pemikiran yang ada di dalam sajak-sajak Chairil Anwar dan pemikiran Sartre. Rachmat Djoko Pradopo. 1985. Hubungan Intertekstual dalam Sastra Indonesia. Pada tulisan tersebut ditunjukkan ada hubungan intertekstual antara sajak Amir Hamzah sebagai hipogram dari sajak Chairil anwar. Sajak Chairil Anwar merupakan transformasi sajak Amir Hamzah. Selain itu, ditunjukkan pula adanaya hubungan intertekstualitas antara novel-novel tiga periode, yaitu antara novel Di Bawah Lindungan Ka’bah (DLK) karya Hamka sebagai Hipogram novel Atheis karya Acdhiat Kartamihardja dan novel Gairah Untuk Hidup dan Gairah Untuk Mati (GHGM) karya Nansjah Djamin. Novel GHGM dan Atheis keduanya menyerap dan mentransformasikan struktur novel DLK karya Hamka.
Rachmat Djoko Pradopo. 1995. “Hubungan Intertekstual Roman-roman Balai Pustaka dan Roman Pujangga Baru”. Dijelaskan bahwa roman Azab dan Sengsara karya Merari Siregar merupakan hipogram atau model dari roman-roman yang terbit sesudahnya, seperti Sitti Nurbaya karya Marah Rusli , Kalau Tak Untung karya Selasih, roman Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka. Roman Azab dan Sengsara sendiri menurut Subagio Sastrawardojo (1983: 34-35) Racmad Djoko Pradopo, 2005: 180) berhipogram dengan cerita-cerita zaman Hindia Belanda, seperti cerita Nyai Sarikem dan cerita Siti Aisyah karya H. Komer, maupun max Havelaar karya Multatuli. Roman-roman yang terbit setelah Azab dan Sengsara memasalahkan adat, terutama yang berhubungan dengan adat kawin paksa. Hubungan antarteks tersebut bukan hanya mengenai pikiran-pikiran yang dikemukakan, melainkan juga mengenai struktur penceritaan atau alurnya. Selain itu Racmat Djoko Pradopo juga mengupas masalah intertekstualitas antara roman Sitti Nurbaya, Layar Terkembang karya Sutan Takdir Ali Syahbana, dan Belenggu karya Armijn Pane. Dan ketiga roman tersebut dibahas emansipasi wanita dalam Sitti Nurbaya, Layar Terkembang, dan Belenggu. G. Kerangka Berpikir Novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari dan novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo merupakan dua novel yang memiliki unsur pembangun karya sastra sendirisendiri. Namun kedua novel tersebut dapat dipertautkan dengan pendekatan intertekstualitas. Hubungan intertektualitas kedua novel tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut;
1.
Novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari dan novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo memiliki kepaduan struktur pembangun karya sastra masing-masing yang berdiri sendiri.
2.
Jika ditinjau dengan pendekatan intertekstual, novel Bekisar Merah karya Ahmad Thohari dan novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo memiliki persamaan dan perbedaan struktur pembangun karya sastra.
3.
Novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo terkandung nilai-nilai pendidikan karya sastra.
Kajian Intertekstual
4. Novel Bekisar Merah
Novel Wasripin dan Satinah
5.
Karya Ahmad Tohari
Struktur Novel a. b. c. d. e.
Struktur Novel
Tema 6. Alur / plot Penokohan7.dan perwatakan 8. Setting Point of view 9.
a. b. c. d. e.
Tema Alur / plot Penokohan dan perwatakan Setting Point of view
Persamaan dan perbedaan
Nilai-nilai Pendidikan Novel
Gambar 3: Kerangka Berpikir Kajian Intertekstual Novel Bekisar Merah dan Wasripin dan Satinah
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Kajian sastra dengan pendekatan intertekstual merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini menekankan catatan dengan deskripsi kalimat yang rinci, lengkap, dan mendalam, yang menggambarkan situasi sebenarmya guna mendukung penyajian data. Data yang dikumpulkan terutama berupa kata-kata, kalimat atau gambar yang memiliki arti lebih bermakna dan mampu memacu timbulnya pemahaman yang lebih nyata daripada sekadar sajian angka dan frekuensi. Kajian sastra dengan pendekatan intertekstualitas merupakan kajian sastra sebagai kelanjutan dari kajian sastra dengan pendekatan strukturalisme. Kajian sastra yang mengaitkan analisis struktur karya sastra yang menghubungkan teori sastra dengan pengetahuan yang lebih luas, seperti : psikologi, ilmu sosial, filsafat sejarah, dan lain-lain termasuk kajian sastra pasca strukturalisme (Teeuw, 1984: 144).
Berdasarkan uraian di atas, kajian novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari dan novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo dengan pendekatan intertekstual dalam penelitian kualitatif di sini berarti mengkaji struktur pembangun karya sastra yaitu novel, mencari persamaan dan perbedaan struktur pembangun karya sastra ke dua novel tersebut, dan niali-nilai pendidikan karya sastra yang terkandung dalam kedua novel tersebut.
B. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2010 sampai dengan bulan April 2010. Tempat pelaksanaan di UPT perpustakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Adapun rincian waktu dan pelaksanaan jenis kegiatan dalam penelitian ini dapat dijelaskan dengan tabel di bawah ini:
Kegiatan Penelitian N o 1.
Konsultasi Judul atau Praproposal
2.
Penyusunan Proposal
3.
Seminar Proposal
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
2010
2010
2010
2010
2010
2010
2010
1
2
3
4
x
x
x
x
1
2
3
4
x
x
x
x
1 2
3 4 1 2 3 4
x
x
x
x
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
4.
Mencari Data
x
x
x x
5.
Pengumpulan Data
x
x
x x
6.
Analisis Data
x
x
x x
7.
Penyusunan Laporan
8.
Laporan Penelitian
9.
Ujian Tesis
x
x x
x
x x
x
x
x
x
x
x
1 0.
Revisi Laporan x
C. Data dan Sumber Data
Sumber data berupa dokumen dari novel Bekisar Merah dan novel Wasripin dan Satinah. Data dalam penelitian ini berupa hasil catatan telaah dokumen novel Bekisar Merah karya Ahmad Thohari dan novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo. Catatan lapangan (fieldnote) yang terdiri dari dua bagian, yaitu begian deskripsi dan bagian refleksi. Bagian deskripsi merupakan usaha untuk merumuskan objek yang sedang diteliti, sedangkan bagian refleksi merupakan renungan pada saat penelaahan. Catatan lapangan yang dibuat antara lain; struktur pembangaun karya sastra kedua novel tersebut, persamaan dan perbedaan struktur pembangu karya sastra novel Bekisar Merah dan Wasripin dan Satinah. D. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data penelitian ini dengan mengkaji dokumen dan arsip (content analysis).
Dokumen tertulis dan arsip merupakan sumber data yang sering
memiliki proposi penting dalam penelitian kualitatif. Dokumen bisa memiliki beragam bentuk, dari yang tertulis sederhana sampai yang lebih lengkap dan kompleks (Sutopo, 2006:80). Cara menganalisis dengan mencatat isi-isi penting yang terdapat dalam dokumen. Menganalisis isi tersurat dokumen saja kurang mendetail, maka perlu adanya analisis makna tersirat yang terkandung di dalam dokumen tersebut. Analisis ini menggunakan sikap kritis dan teliti untuk menemukan makna yang tersirat dalam dokumen. Setelah itu untuk mendapatkan penelitian yang valid maka digunakan dokumen lain sebagai pembanding. E. Validitas Data
Data yang telah berhasil digali, dikumpulkan, dan dicatat dalam kegiatan penelitian harus diusahakan kemantapan dan kebenarannya. Oleh karena itu peneliti memilih dan menentukan cara-cara yang tepat untuk mengembangkan validitas data yang diperoleh. Guna menjamin dan mengembangkan validitas data yang dikumpulkan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik triangulasi, Sutopo (1996:70) Trianggulasi adalah proses pengumpulan data secara representatif. Data dikatakan representatif apabila sudah tidak lagi menemukan fenomena baru dalam pengumpulan data. Triangulasi data dapat dibedakan menjadi beberapa jenis , yaitu : a. Triangulasi data (data triangulation), peneliti menggunakan beberapa data untuk mengumpulkan data yang sama. b. Triangulasi peneliti (investor triangulation) yaitu pengecekan keabsahan data dengan memanfaatkan peneliti lain. c. Triangulasi metode (methodological triangulation) yaitu pengecekan keabsahan data dengan beberapa teknik pengumpulan data yang berbeda atau pengecekan beberapa sumber data dengan metode yang sama. d.
Triangulasi teori (theoretical triangulation) yaitu mengecek data dengan menggunakan beberapa perspektif teori yang berbeda. Dari keempat macam teknik triangulasi, peneliti menggunakan triangulasi data
untuk mengumpulkan data yang sama. Artinya data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber data yang berbeda. Dengan
demikian apa yang diperoleh dari sumber yang satu bisa lebih teruji bilamana dibandingkan dengan data sejenis yang diperoleh dari sumber lain yang berbeda Melalui triangulasi metode peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda untuk mendapatkan data yang sejenis ,yaitu dengan wawancara dan analisis dokumen. Triangulasi teori peneliti gunakan untuk mengecek data dengan menggunakan beberapa perspektif teori yang berbeda. Sutopo (1996 : 71). F. Teknik Analisis Data Teknik analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersama-sama, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Teknik analisisnya menggunakan model analisis interaktif dan berupa kegiatan yang bergerak terus pada ketiga alur kegiatan proses penelitian. Kegiatan analisis interaktif dapat digambarkan sebagai berikut:
Pengumpulan data Reduksi Sajian data
Data
Penarikan kesimpulan
Gambar 4: Skema analisis interaktif data, Miles& Huberman, (Soetopo, 2006:120) Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa pada waktu pengumpulan data, peneliti membuat reduksi data. Reduksi data berupa catatan lapangan yang terdiri dari bagian deskripsi yaitu data yang telah digali dan dicatat. Dari data tersebut, peneliti menyusun rumusan pengertiannya secara singkat, berupa pokok-pokok temuan penting dalam arti inti pemahaman segala peristiwa yang dikaji. Setelah reduksi data maka dilakukan penyusunan sajian data yang berupa sajian data yang berupa kriteria sistematis dan logis dengan suntingan penelitiannya supaya makna peristiwanya menjadi lebih jelas dipahami. Dari sajian data tersebut dilakukan penarikan simpulan.
Apabila simpulan dirasa masih kurang mantap karena kurangnya rumusan data dalam reduksi maupun sajian datanya, maka peneliti dapat kembali ke siklus sebelumnya.
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi dan Analisis Data
2. Sinopsis Novel a. Novel Bekisar Merah Karya Ahmad Tohari Karangsoga adalah sebuah desa di kaki pegunungan vulkanik. Keindahan bentangan alam dengan Kalirong yang terletak di sebelah utara Karangsoga yang merupakan nadinya. Darsa menatap bentangan keindahan alam Karangsoga. Hujan semakin deras diikuti guntur dan angin yang kencang semakin membuat Darsa semakin berkecamuk hatinya. Sebagai seorang penderas dia tidak mungkin menyadap nira dengan cuaca seperti itu. Begitu juga bagi para penderas nira yang lain, mereka harus merelakan pongkor yang penuh nira menjadi masam terlambat diangkat karena hujan yang terus turun. Semangat sejati Darsa kembali muncul ketika melihat cuaca diluar mulai berubah, hujan benar-benar berhenti, bahkan matahari kemerahan muncul dari balik awan hitam. Sementara itu, Lasi mempersiapkan perkakas suaminya; arit penyadap, pongkor-pongkor, dan pikulannya, serta caping bambu. Namun hari itu bukan keberuntungan bagi Darsa, dia terjatuh dari pohon nira yang penduduk Karangsoga menyebutnya sebagai “kodok lompat”. Akibat dari jatuh itu Darsa mengalami lemah pucuk. Akibat jatuhnya Darsa dari pohon kelapa membuat munculnya berbagai masalah. Darsa suka marah-marah terhadap Lasi. Melihat keadaan Lasi yang selalu dimarahi dan merawat Darsa yang lumpuh itu, mbok Wiryaji tidak tega. Mbok Wiryaji memiliki niat supaya Lasi dan Darsa berpisah. Tetapi Mbok Wiryaji mengurungkan niatnya, ketika mendapat nasihat dari Eyang Mus.
Berbagai upaya dilakukan Lasi supaya Darsa sembuh. Perekonomian yang membuat Lasi akhirnya tidak membawa Darsa ke rumah sakit yang lebih besar, dia memilih untuk membawa Darsa kepada Bunek. Bunek adalah dukun bayi yang sering mengurut. Setelah beberapa bulan Bunek mengurut dan mengobati Darsa, akhirnya Darsa sembuh. Darsa bisa melakukan pekerjaan seperti biasanya dan tetap semangat dalam menyadap nira. Kebahagiaan itu ternyata diikuti suatu masalah karena Bunek menuntut Darsa untuk menikahi Sipah anaknya yang telah mengandung. Berita tuntutan itu telah sampai di telinga Lasi. Lasi tidak tahan mendengar perbuatan suaminya dan perguncingan masyarakat, maka dia meninggalkan Karangsoga. Lasi meninggalkan Karangsoga dengan ikut mobil pengangkut gula menuju Jakarta. Pardi dan Sapon mengijinkan Lasi untuk ikut mereka ke Jakarta, tapi sebelumnya Pardi memberikan pesan rahasia bahwa Lasi telah ikut mereka ke Jakarta supaya penduduk Karangsoga tidak merasa khawatir. Dalam perjalanan menuju Jakarta mereka singgah pada beberapa warung. Di warung itulah Lasi berkenalan dengan Bu Koneng, Si Anting Besar, dan Si Betis Kering. Sementara itu Karangsoga ribut membicarakan kepergian Lasi dari desa itu. Darsa hanya mampu meratapi keadaan dan kesalahannya karena telah menyakiti Lasi dengan perbuatannya bersama Sipah anak Bunek. Darsa meminta nasihat kepada Eyang Mus atas semua permasalahan yang dihadapi. Lasi mulai menikmati kehidupan barunya bersama Bu Lanting di kota. Dia tidak menyadari bahwa Bu Lanting ternyata menawarkan dirinya kepada Pak Handarbeni, seorang
overste purnawira. Pak Handarbeni berhasil merebut jabatan terpenting pada PT bagi-bagi niaga, bekas sebuah perusahaan asing yang dinasionalisasi. Lasi sudah berdandan dan bersiap menerima tamu Bu Lanting yang tidak lain adalah Pak Han. Bel rumah berbunyi, ternyata yang datang adalah Kanjat, dia berusaha mengajak pulang Lasi ke Karangsoga, tetapi niatnya itu ditolak Lasi. Bagi Lasi hidup bersama Bu Lanting lebih baik daripada bersama suaminya. Lasi tidak mau dimaru bareng sabumi, dimadu dalam satu kampung. Setelah berpikir semalaman, akhirnya Lasi menerima tawaran Bu Lanting yang menjodohkan dia dengan Pak Han. Tetapi sebelumnya Lasi mengajukan keinginan untuk pulang ke kampung halamannya di Karangsoga menemui orangtuanya. Kedatangan Lasi dengan mengendarai sedan dan berpenampilan menawan itu membuat gempar desa Karangsoga. Selain ingin menemui orangtuanya juga mengurus surat perceraian dengan Darsa. Dengan membawa Surat Sakti dari seorang overste purnawira di Jakarta yang ditujukan kepada kepala desa Karangsoga dan kepala kantor urusan agama maka talak Darsa pun jatuh. Berita Lasi menjadi janda sampai kepada Kanjat. Dia menemui Lasi untuk mengutarakan perasaannya. Namun, Lasi menolak maksud Kanjat yang ingin menikahinya dengan alasan dia sudah mempunyai rencana menikah dengan overste muda Pak Handarbeni yang sudah banyak memberinya harta. Lasi akhirnya melaksanakan pernikahan dengan Pak Han di Slipi. Di hari pernikahannya Lasi merasa tidak bahagia karena tidak ada satu pun kerabat yang datang.
Pelaksanaan pernikahan itupun sederhana, seperti main-main, bahkan bagi dia lebih menarik pernikahan main-mainnya waktu kecil. Pada malam pertamanya dia harus menerima kenyataan bahwa suaminya impoten. Lasi merasa kecewa namun dia harus menerima kenyataan itu. Sebagai seorang wanita Karangsoga, ia masih menyisakan sedikit keyakinan bahwa seorang istri harus narima. Lasi hanya dijadikan Pak Handarbeni sebagai bekisar merah, simbol kejantanan Handarbeni di depan teman-temannya. Lasi yang merasa tertekan dengan keadaan pernikahannya akhirnya bercerita kepada Bu Koneng. Mendengar itu, Bu Koneng berniat menyuruh Lasi meminta cerai dan akan mencarikan suami baru yang lebih kaya. Namun, Lasi masih merasa kasihan terhadap keadaan Pak Han, bagaimanapun Pak Han telah banyak memberikannya kebahagiaan harta. Karena tekanan batin, Lasi akhirnya meminta izin untuk sementara waktu pulang ke Karangsoga menemui emaknya. Lasi menikmati suasana di Karangsoga, bahkan dia sangat menikmati udara, suasana hujan. Malam itu Lasi merasa terusik karena atap kamarnya bocor. Baru dia sadar bahwa ia harus segera memperbaiki rumah orangtuanya yang sudah hampir lapuk. Beberapa hari di Karangsoga Lasi baru ingat kepada Eyang Mus. Ia kemudian menemui Eyang Mus yang kondisinya semakin tua dan tinggal sendiri karena istrinya telah meninggal. Kedatangan Lasi hendak memugar surau mendapat penolakan Eyang Mus. Eyang Mus mengatakan bahwa yang membutuh kan bantuan dana adalah Kanjat. Kanjat memiliki rencana membuat percobaan pengolahan nira besar-besaran.
Hari itu Lasi dan Kanjat bertemu, Lasi menceritakan semua keadaan pernikahnya kepada Kanjat. Ia juga menceritakan rencana perceraiannya. Lasi meminta kepada kanjat untuk menikahinya ketika ia sudah bercerai dengan Pak Han. Tidak hanya masalah pernikahan yang mereka bicarakan, tetapi juga keadaan yang terjadi di Karangsoga. Kepedihan kehidupan Karangsoga semakin bertambah ketika listrik masuk desa itu. Sebagian pohon kelapa harus segera dirobohkan supaya aliran-aliran listrik lancar. Selain itu banyak penyadap yang tersengat listrik. Lasi dan Kanjat menemui Darsa yang mengalami kepedihan karena sepuluh dari dua belas pohon kelapanya harus ditebang akibat terkena listrik. Lasi hanya bisa membantu uang untuk kebutuhan Darsa selama satu tahun. Lasi dan Kanjat pulang, mereka masingmasing berpisah dipersimpangan jalan. b. Novel Wasripin dan Satinah Karya Kuntowijoyo Pagi-pagi sekali Wasripin naik Bus dari sebuah jalan tol di Jakarta. Ia hendak ke pantai utara Jawa Tengah sebelah barat untuk menemui ibunya. Walaupun dia tidak tahu di mana persis keberadaan ibunya, ia tetap bertekat mencari ibunya itu. Sejak berumur tiga tahun, sampai umur enam belas tahun ia tinggal bersama Emaknya. Umur enam belas tahun Wasripin diajari Emaknya untuk melayani perempuanperempuan. Semua dilakukan Wasripin untuk membalas budi Emak angkatnya. Pekerjaan itu dilakukan Wasripin selama empat tahun. Kemudian timbul perasaannya untuk berhenti dari pekerjaan itu.
Wasripin meninggalkan Emaknya. Ia pergi ke pantai utara Jawa Tengah sebelah barat untuk mencari ibunya. Sehabis lohor dia sampai di suatu tempat. Wasripin beristirahat di sebuah surau. Tanpa ia sadari ternyata ia sudah tertidur sangat lama. Ketika ia dibangunkan oleh orang-orang, ia tetap saja terlelap. Tingkah anehnya itulah yang membuat orang disekitarnya beranggapan Wasripin memiliki kelebihan. Mereka menganggap Wasripin cucu Kumbakarna, orang sakti, petapa, bahkan pencuri. Wasripin sadar dari tidurnya, ia kaget karena banyak sekali orang yang mengelilinginya. Pak Modin yang baik hati memberikannya ia makan dan minum serta mengajak Wasripin ke rumahnya. Namun, Wasripin menolak dan pamit jalan-jalan di sekitar surau. Di warung soto Wasripin bertemu dengan Satinah. Wasripin seperti menemukan sebuah kebebasan baru di lingkungan pasar itu. Dia sangat menikmati lingkungan pasar. Hari itu juga Wasripin pergi mandi di sungai mencoba menikmati air sungai yang baru dia kenal. Tiba-tiba Satinah dan pamannya datang. Satinah mengajak bergurau dengan menyembunyikan baju Wasripin. Satinah mengajak bermain Joko Tarub dan Nawang Wulan. Di situ Wasripin pun menceritakan semuanya kepada Satinah, siapa dirinya dan asalusulnya, serta masa lalunya. Wasripin kaget, pulang dari sungai tanpa diduganya banyak orang yang telah menunggu kedatangannya. Beberapa partai membujuk Wasripin untuk mau diangkat mewakili partai. Tetapi Wasripin tidak memilih tawaran Partai Randu maupun Partai Langit Maju. Saat terjadi perebutan itu tiba-tiba seorang wanita berteriak-teriak memanggil
Wasripin, ia adalah Satinah. Satinah datang untuk memberikan bungkusan berisi pakaian dan uang, kemudian ia pergi begitu saja. Satinah adalah perempuan yang dulunya bernama Waliyem tetapi karena terus sial dan sakit-sakitan nama Waliyem diganti Satiyem. Satinah memang tumbuh menjadi wanita yang cantik. Ia tidak bersekolah, tetapi ikut bersama rombongan pamannya sebagai penghibur. Suatu hari terjadi tragedi, Satinah diperkosa oleh pamannya. Pamannya sangat menyesal, untuk menebus kesalahannya, pamanya mencungkil kedua bola matanya dengan sendok. Sejak saat itu dia selalu main siter dan mohon ampun atas perbuatan yang ia lakukan kepada Satinah. Wabah muntaber yang menyerang membuat orang tua Satiyem meninggal. Hak asuh Satiyem jatuh di tangan pamannya. Dengan bermain siter dan bernyanyi serta menganyam dan menjahit mereka melanjutkan hidup. Di perbatasan desa, penduduk mengantar kepergian Satiyem dan pamannya. Suatu hari Satiyem mengisi acara Partai Randu.
Ia menggatikan grup yang
kecelakaan. Usai menyanyi, ketua Partai Randu, atas kesepakatan bersama-sama mengganti nama Satiyem menjadi Satinah. Sejak saat itu namanya dikenal dengan panggilan Satinah. Satinah dan pamannya terus berjalan sampai menemukan sebuah koplakan. Malam itu Satinah akan diperkosa oleh anak pemilik koplakan, tetapi pamannya datang menolong. Pemuda yang berusaha memperkosanya itu pun lumpuh hanya dengan perkataan paman Satinah.
Hari pertama Wasripin menjadi satpam TPI, dia begitu menikmati pekerjaan dan suasana di TPI. Beberapa kejadian dialami Wasripin saat menjadi satpam. Dia bertemu maling, jin perempuan, sampai Wasripin mendapat ancaman. Dari kejadian-kejadian di TPI itu, akhirnya berita Wasripin bisa melihat makhluk halus menyebar. Orang-orang gila berteriak kepanasan dan minta Wasripin diusir. Namun justru Wasripin menyembuhkan orang-orang gila tersebut. Sejak itu pula Wasripin sibuk menolong orang. Pemilu diadakan, Pak Modin diangkat menjadi Sakadis, namun pemerintah tidak mengakui. Rakyat berontak atas ketidakadilan pemerintah. Mereka mengangkat pak Modin sebagai warak (wakil rakyat). Pak Modin ditahan di Serang namun kemudian dilepaskan. Pak Modin yang dijanjikan untuk dilantik secepatnya ternyata hanya janji-janji saja. Dengan alasan tidak memenuhi persyaratan sehingga Pak Modin tidak jadi diangkat. Wasripin memutuskan untuk melaut. Ternyata terjadi keajaiban, muntahan dari Wasripin itu menjadi rebutan ikan-ikan. Nelayan-nelayan hari itu menjadi untung besar karena mendapat ikan besar. Sejak saat itu Wasripin menjadi rebutan, ia memutuskan diri berhenti melaut. Mereka mengganti kehadiran Wasripin dengan foto-foto Wasripin yang dipasang kapal mereka dengan kepercayaan keberuntungan. Sehingga dari situ muncul fitnah adanya aliran sesat yang diajarkan Wasripin. Desa semakin rusuh dengan munculnya GPL (Gerakan Pemuda Liar) yang selalu mengganggu di malam hari. Pemerintah sudah berupaya mengatasinya, namun gagal. Malam itu saat Satinah dan pamannya lewat, mereka dihadang tiga GPL. Namun, hanya dengan kata-kata paman Satinah, GPL berhasil dilumpuhkan GPL.
Dukun-dukun terbunuh, mereka menuduh Wasripin sebagai pembunuhnya. Sesuai dengan ramalan Paman Satinah bahwa Wasripin akan mendapat fitnah. Kerusuhan semakin memuncak ketika adanya tragedi seorang pemuda dikeroyok. Pemogokan pun terjadi ketika adanya tawuran dua partai. Terjadi beberapa kerusuhan yang beruntun, dan Wasripin menjadi sasarannya serta Pak Modin dianggap sebagai golput. Pak Modin pun diciduk dengan alasan mengikuti ajaran Rifai’yah. Mereka menunjukkan bukti-bukti. Lima puluhan nelayan berdemo ke Pak Modin. Pak Modin dilepaskan sementara sebagai kelicikandari aparat kodim. Namun pada akirnya, Pak Modin kembali ditangkap. Setelah melalui proses pengadilan yang panjang, akhirnya Pak Modin dibebaskan dengan posisi tahanan luar selama enam bulan. Namun, Legiun Veteran tidak tinggal diam melihat Pak Modin diperlakukan seperti itu. Mereka langsung mengurus surat yang langsung ditujukan kepada presiden Sudarto. Surat tersebut akhirnya mendapat balasan yang menyatakan bahwa Pak Modin bersih tidak bersalah. Adanya surat kuasa itu ternyata menjadi sorotan media pers. Gugatan surat sakti presiden membawa dampak, sidang kabinet berlangsung. Pemerintah semakin ribut dan memperbesar masalah sepele. Sementara itu, Wasripin menjalani hidup biasa. Menolong orang-orang yang sakit dengan media air putih. Permasalahan kembali muncul ketika Wasripin kembali difitnah. Dia dianggap orang yang memelihara tuyul. Namun dia kembali dibebaskan. Lagi-lagi tuduhan kembali diberikan kepada Wasripin yang telah dianggap telah memperkosa wanita. Untuk membuktikannya diadakan sumpah pocong.
Partai Randu mulai menjadi adanya perpecahan simbol runtuhnya kekuasaan. Kekacauan terjadi di tempat lain ketika dua kapal Pukat Harimau yang terbakar. Kebakaran juga terjadi di teluk. Kayu-kayu yang dibakar itu ternyata kayu ilegal yang sengaja dibakar untuk menghilangkan jejak. Pemerintah hanya berdalih bahwa ini akan segera diselidiki. Wasripin diciduk oleh anggota gang, dia dibawa ke kapal, namun dibebaskan. Wasripin menemui Satinah di rumah sewaannya dengan niat untuk melamarnya. Satinah berniat berhenti menjadi penyanyi keliling. Paman Satinah pun nembang Megatruh Selamat Tinggal sebagai tanda perpisahan. Malam itu paman Satinah nembang Megatruh Selamat Tinggal sambil main siter. Ternyata paginya diketahui paman Satinah meninggal dunia. Satinah pun menyampaikan pesan terakhir pamannya untuk memutar tembang Megatruh Selamat Tinggal. Persiapan pernikahan Wasripin dan Satinah telah selesai. Menjelang fajar, seorang berseragam hijau memborgol Wasripin dan membawanya pergi. Wasripin dituduh menyembunyikan granat di bawah tempat tidurnya. Kabar menyebutkan bahwa Wasripin meninggal karena ditembak. Satinah pun menghilang dan hanya meninggalkan sebuah surat permohonan maaf dan pamit. Sejak berita kematian Wasripin, tentara pun semakin berkuasa. TPI, nelayan, dan pasar sepi. Bahkan tidak ada pasokan ikan ke Jawa Barat karena adanya pemogokan kerja para nelayan. Sehingga harga ikan semakin melambung tinggi.
Nelayan kembali pada aktifitasnya melaut. Tersiar kabar bahwa keberadaan Wasripin, di masjid Demak, Mekah, dan mereka mempercayai bahwa Wasripin belum mati. Kabar itu semakin gempar ketika ada orang sakit dia teriak nama Wasripin, orang itu sembuh. Sehingga ketika mereka sakit mereka mempercayai dengan menyebut nama Wasripin dan baca doa pada air putih orang itu akan sembuh ketika meminumnnya. Air putih adalah media Wasripin saat mengobati dulu. Akibat kekejaman tentara tidak hanya berdampak kepada Wasripin dan Satinah, namun juga pada masyararakat. Nelayan pun perekonomiannya kacau, pasokan dan harga ikan melambung, rakyatlah yang menjadi korban. Pak Modin imam surau juga menjadi korban, dia ditangkap kemudian setelah bebas, Pak Modin mengalami gangguan kejiwaan. 3. Analisis Unsur-unsur Struktur Novel a. Struktur Novel Bekisar Merah Karya Ahmad Tohari 1) Tema Novel Bekisar Merah Menurut Stanton dan Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 67) tema (theme) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Selanjutnya menurut Staton bahwa tema kurang lebih dapat bersinonim dengan ide utama (Central Idea) dan tujuan utama (Central Purpose). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel Tema dalam sebuah karya sastra, fiksi, hanyalah merupakan salah satu dari penjumlahan unsur pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah kemenyeluruhan. Bahkan eksistensi tema itu sendiri amat bergantung dari berbagai unsur
yang lain. Hal itu disebabkan tema, yang notabene hanya berupa makna atau gagasan dasar umum suatu cerita, tak mungkin hadir tanpa unsur bentuk yanbg menampungnya. Dengan demikian, sebuah tema baru akan menjadi makna cerita jika ada keterkaitannya dengan unsur-unsur cerita lainnya (Burhan Nurgiyantoro, 1994: 74) Secara umum dalam novel ini, pengarang ingin mengungkapkan masalah sosial kususnya Penindasan kaum wong cilik dalam pembangunan. Dengan kata lain, tema sentral dalam novel ini cenderung ingin menyuarakan hak wong cilik yang tidak berdaya dalam kemiskinan dan penindasan politik ekonomi. Ahmad Tohari mengungkapkan bagaimana kepasrahan kaum wong cilik dalam menghadapi kemiskinan. Serta memasukkan nilai dakwah agama dan keyakinan disela-sela konflik dalam masyarakat kaum bawah. 2) Alur/Plot Novel Bekisar Merah Menurut Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro 2005: 113) plot adalah cerita yang berisi tentang urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa satu dengan yang lainnya. Berdasarkan kronologis atau urutan waktu, alur novel Bekisar Merah ini menggunakan alur maju, yang terjalin melalui alur maju yang semakin menguatkan dan kejelasan cerita. Artinya jalinan cerita yang tersusun dalam bentuk cerita melalui peristiwaperistiwa yang secara kronologis dapat dipahami secara utuh dari awal sampai akhir. Terkait dengan kriteria kepadatan, alur Bekisar Merah dikategorikan dengan alur yang padat. Dengan kata lain, alur dalam novel ini tersusun secara jelas dalam rangkaian ceritanya urut dan utuh.
Menurut Kenney dalam Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani plot harus memenuhi aturan tentang adanya kesatuan. Rangkaian kejadian yang disusun harus membentuk kesatuan yang padu. Rangkaian unsur-unsur cerita dinyatakan sebagai unsur dinamik yang meliputi: (1) Eksposisi, (2) inciting moment, (3) rising action, (4) complication, (5) climax, (6) Falling action, (7) denoument (Robert Scholes dalam Herman J Waluyo dan Nugraheni Eko Wardhani, 2009: 15-16). Urutan peristiwa yang terjalin menjadi plot novel Bekisar Merah sebagai berikut: a) Tahap Paparan (Eksposisi) Tahap paparan atau eksposisi novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari ini adalah tahap pengarang mulai memperkenalkan tempat kejadian cerita, waktu, tokoh-tokoh cerita dan permasalahan sebagai sumber konflik di antara tokoh-tokoh yang bertikai. Awal mula diceritakan tentang kehidupan penderas kelapa di Karangsoga. Pengarang menceritakan secara detail bentangan alam Karangsoga, masyarakatnya dari rakyat miskin sampai tokoh Pak Tir yang menguasai penjualan kelapa di desa Karangsoga. Salah satu penderas kelapa yang memiliki keperuntungan hidup adalah Darsa yang mendapat istri cantik yang memiliki fisik berbeda dengan wanita di desa itu. Ahmad Tohari mulai memperkenalkan satu persatu fisik tokohnya beserta perwatakannya melalui pelukisan watak tokoh langsung dan tidak langsung.
Walaupun hidup kekurangan bersama Darsa, Lasi tetap bersyukur tidak pernah mengeluh dengan keadaan pas-pasan. Gambaran kaum miskin atau kaum wong cilik yang selalu pasrah dan nrimo dengan keadaan yang diberikan Tuhan kepadanya. b) Tahap Rangsangan (Inciting Moment) Tahap rangsangan adalah peristiwa mulai adanya problem-problem yang ditampilkan pengarang untuk kemudian ditingkatkan mengarah pada peningkatan konflik. Konflik ini bermula ketika Darsa kecelakaan jatuh dari pohon kelapa yang disadapnya. Konflik pertama ketika Darsa mengalami kondisi yang parah karena jatuh dari pohon kelapa sehingga dia harus dirawat di rumah sakit yang lebih lengkap peralatannya. Lemah pucuk serta keadaan Darsa yang selalu ngompol itu membuatnya harus lebih ekstra dalam penanganan. Darsa pun mengalami psikologi yang semakin parah karena tekanan batin atas keadaan yang menimpanya. Sehingga Lasi selalu menjadi pelampiasan kekesalan dan amarahnya. c) Tahap Penggawatan (Rising Action) Konflik cerita semakin meningkat ketika kemiskinan dan kekurangan sehingga Lasi tidak mampu membayar biaya perawatan Darsa. Lasi mengambil keputusan sesuai saran orang-orang untuk membawa ke Bunek seorang dukun bayi. Keputusan itu membawa hasil yang baik karena lambat laun Darsa semakin membaik keadaannya. Darsa akhirnya sembuh dari penyakit lemah pucuk. Keperkasaan Darsa pun segera diuji oleh Bunek. Darsa berhubungan dengan anak Bunek yang bernama Sipah.
Hubungan ini justru menjadi pemicu konflik semakin meningkat karena Sipah anak Bunek yang pincang itu hamil. Bunek pun menuntut Darsa untuk menikahi Sipah anaknya. d) Complication (Menunjukkan konflik yang semakin ruwet) Konflik semakin ruwet ketika berita Sipah hamil dan Bunek menuntut Darsa untuk mengawini anaknya itu sampai kepada Lasi. Lasi marah dan tidak bisa menerima kelakuan suaminya itu. Lasi minggat dari Karangsoga dengan menumpang truk yang mengantarkan gula ke kota. Konflik semakin ruwet dan meningkat ketika Lasi tidak mau lagi kembali ke Karangsoga. Dia lebih nyaman tinggal bersama Bu Koneng di warung makan itu. Konflik terus memuncak lagi ketika dia diperkenakan kepada Bu Lanting. Lasi tidak sadar bahwa niat Bu Lanting adalah untuk menjualnya, karena Lasi merupakan aset kekayaan baginya. e) Climax ( puncak cerita atau puncak penggawatan) Climax yaitu puncak dari kejadian-kejadian dan merupakan jawaban dari semua problem atau konflik yang tidak mungkin dapat meningkat atau dapat lebih ruwet lagi. Puncak problematika pada novel Bekisar Merah ini ketika Lasi menerima tawaran dari Bu Lanting untuk menikah dengan seorang Ovester bernama Pak Handarbeni yang umurnya jauh lebih tua dan layak sebagai bapaknya. Konflik batin terjadi ketika Kanjat datang menemuinya ke kota. Lasi menaruh harapan besar Kanjat mampu membawanya pergi dari rumah itu dan menikahinya. Namun, Kanjat hanya diam dan tidak bisa memperjuangkan Lasi karena Kanjat merasa dirinya tidak
pantas mendapatkan Lasi. Sehingga hari berikutnya setelah pertemuannya dengan Kanjat itu dia memutuskan bersedia menikah dengan Pak Handarbeni. Pernikahannya muncul banyak konflik salah satunya adalah Pak Handarbeni ternyata sudah impoten. Sehingga Lasi merasa bahwa pernikahan yang dia jalani tidak lebih sebuah mainan saja. Seperti permainanya ketika masih kecil di desa Karangsoga bersama teman-temannya. f)
Tahap Peleraian (falling Action)
Lasiyah merasa penat sebagai seorang yang hanya tak ubahnya Bekisar Merah simpanan Pak Handarbeni yang kaya raya itu. Dia merasa ternyata kekayaan tidaklah selalu memberikan segalanya, terutama kebahagiaannya. Lasi memutuskan untuk pulang sejenak ke desa Karangsoga. Dia merindukan kedamaian dan suasana alam Karangsoga. Di desa itu Lasi menemukan sejenak ketenangan. Lamunannya kembali pada masa kecil, masa dia menjadi istri Darsa. Di desa Karangsoga Lasi membangun rumah emaknya yang semakin rapuh itu. Di sana ia juga menemui Eyang Mus. Dia berniat untuk membangun surau. Namun Eyang Mus tidak mengizinkannya dengan berbagai pertimbangan dan nasihat. Eyang Mus juga memberi nasihat kepada Lasi jika ingin memberikan bantuan yang paling berhak dibantu adalah Kanjat. Akhirnya Lasi menemui kanjat untuk membicarakan banyak hal. g) Denouement ( Tahap Penyelesaian )
Pertemuan Lasi dan Kanjat tidak hanya membicarakan tentang rencana Kanjat yang ingin membantu rakyat Karangsoga. Justru Lasi menggunakan kesempatan itu kepada Kanjat untuk meminta menikahinya ketika nanti dia sudah menjadi janda. Namun Kanjat tidak menjawab apapun karena ia tahu posisi Lasi masih istri seorang ovester yang memiliki kekuasaan dan kekayaan. Mereka akhirnya memutuskan berpisah dipersimpangan jalan. Perpisahan itu masih menyisakan banyak pertanyaan apakah mereka akan bersatu atau tidak akan bersatu selamanya. Dalam hati Lasi juga masih menyisakan keraguan apakah harapannya untuk menikah dengan Kanjat akan terwujud.
Kejadian yang menjalin plot di atas dapat digambarkan sebagai berikut.
Climax (e) Complication (d) Rising action (c) Inciting Moment (b)
Exposition (a)
Falling action (f)
Denoumen (g)
Gambar 5: Skema Plot Novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari
Keterangan : (a). Perkenalan tokoh dan kehidupan masyarakat Karangsoga (b). Kanjat terjatuh dari pohon kelapa saat menyadap nira (c). Kondisi Darsa parah sedangkan ekonomi tidak mendukung sehingga Darsa harus dirawat Bunek (d). Sipah hamil, Lasi kabur ke kota meninggalkan Karangsoga, tinggal bersama Bu Koneng (e). Lasi menikah, Pernikahan yang tidak bahagia karena Pak Handarbeni impoten, dan perasaan cintanya kepada Kanjat. (f). Kepulangan Lasi ke desa untuk menenangkan diri. (g). Tidak adanya kepastian hubungan Lasi dan Kanjat.
3) Penokohan dan Perwatakan Tokoh dan watak tokoh mempunyai kaitan yang erat. Tokoh-tokoh yang memiliki watak akan menyebabkan terjadinya konflik, yang kemudian konflik tersebut akan menghasilkan sebuah cerita.
Tokoh cerita menurut Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005:165) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 167). Artinya tokoh cerita hanyalah alat penyampai pesan atau bahkan merupakan refleksi pikiran, sikap, pendirian, dan keinginan-keinginan pengarang. Secara garis besar, tokoh yang menyebabkan konflik disebut tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang mendukung jalannya cerita sebagai tokoh yang mendatangkan simpati atau tokoh baik. Tokoh antagonis merupakan kebalikan dari tokoh protagonis adalah tokoh yang menentang arus cerita atau yang menimbulkan perasaan anti atau benci pada diri pembaca. Konflik antara kedua tokoh ini berkembang terus. Karena itu, kedua jenis tokoh ini menguasai (mendominasi) keseluruhan cerita. Kedua jenis tokoh ini dapat diklasifikasikan sebagai tokoh sentral yang berarti tokoh-tokoh yang dipentingkan atau ditonjolkan atau menjadi pusat penceritaan (Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani, 2009: 28-29). Novel Bekisar Merah selain didukung tokoh antagonis, protagonis, tritagonis dan tokoh tambahan. Pengarang dalam melukiskan tokoh dan watak tokohnya
menggunakan pelukisan langsung, tak langsung dan deskripsi melalui pelukisan tokoh lainnya. Untuk mempermudah menganalisis tokoh maka dibuat tabel pembagian tokoh. Tabel pembagian tokoh dalam novel Bekisar Merah dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.
Tabel 1: Pembagian Tokoh Novel Bekisar Merah Karya Ahmad Tohari No
Pembagian Tokoh Protagonis
1 2
Lasiyah (Lasi)
Antagonis
Tritagonis
Tambahan
Darsa
Kanjat
Mbok Wiryaji
Pak Handarbeni
Eyang Mus
Wiryaji
3
Pak Tir
4
Bunek
5
Mukri
6
Pardi
7
Bu Koneng
8
Bu Lanting
9
Si Anting Besar
10
Si Betis Kering
11
Sapon
Beberapa deskripsi karakteristik tokoh novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari dari tabel di atas akan di jelaskan secara terperinci sebagai berikut: a). Lasiyah (Lasi) Lasiyah adalah tokoh utama sekaligus tokoh protagonis dalam novel Bekisar Merah. Tokoh ini adalah tokoh yang sering kali muncul dan mendominasi cerita. Pengarang menggunakan teknik dramatik dalam pelukisan tokoh. Lasi memiliki ciri-ciri fisik; memiliki bola mata hitam pekat, berkelopak tebal tanpa garis lipatan, kulitnya bersih, rambut hitam lurus lebat, dan memiliki badan yang indah. Kutipan yang menjelaskan ciri fisik Lasiyah, dilukiskan atau digambarkan oleh tokoh lain yaitu tokoh Darsa dan Mbok Wiryaji: Darsa selalu berdebar bila menatap bola mata istrinya yang hitam pekat. Seperti kulitnya, mata Lasi juga khas; berkelopak tebal, tanpa garis lipatan. Orang kampung mengatakan mata Lasi kaput. Alisnya kuat dan agak naik pada kedua ujungnya. Seperti cina (Ahmad Tohari, 2005:11)
Dengan mata yang sayu dipandanginya anaknya yang tetap membisu. Dalam hati mbok Wiryaji bangga akan anaknya; kulitnya bersih dengan
rambut hitam lurus yang sangat lebat dan badannya lebih besar dari anak-anak sebayanya. Tungkainnya lurus dan berisi (Ahmad Tohari, 2005: 37)
Tokoh Lasi dalam Bekisar Merah memiliki watak baik hati, istri yang berbakti. Tetapi Lasi memiliki watak negatif, yaitu watak Lasi tidak mudah memaafkan dan melupakan sakit hati. Kutipan yang menunjukkan watak baik hati Lasi adalah ketika ia harus menerima lamaran Pak Han karena dia merasa harus membalas budi atas kebaikan Bu Lanting selama ini. Dua pilihan? Oh, tidak. Hanya satu pilihan! Tiba-tiba Lasi sadar dirinya bahwa dia berhadapan dengan hanya satu pilihan. Lasi hampir mustahil bilang “tidak”. Lasi merinding ketika menyadari dirinya telah termakan oleh sekian banyak pemberian; penampungan oleh Bu Lanting, segala pakaian, bahkan juga makan dan minum. Uang dan perhiasan. Belum lagi hadiah-haiah dari Pak Han. Lasi merasa terkepung dan terkurung oleh segala pemberian itu. Lasi terkejut dan merasa dikejar oleh aturan yang selama ini diyakini kebenarannya. Bahwa tak ada pemberian tanpa menuntut imbalan. Dan siapa mau menerima harus mau pula memberi. “ ya ampun, ternyata diriku sudah tertimbun rapat oleh utang kabecikan, utang, utang budi, atau apalah namanya. Bila aku masih punya muka, aku harus menuruti kemauan Bu Lanting untuk membayar lagi utang itu. Aku tak mungkin menampik Pak Han. Tak mungkin?” (Ahmad Tohari, 2005: 203).
Watak negatif tokoh Lasi adalah tidak mudah memaafkan dan pendendam dilukiskan dengan cerita atau secara deskripsi narasi. Kutipan yang menjelaskan watak negatif tokoh Lasi sebagai berikut.
Dalam kamarnya Lasi duduk dengan pandangan mata kosong. Lasi masih tercekam oleh pengalaman digoda anak-anak sebayanya. Meskipun godaan anak nakal hampir terjadi setiap hari, Lasi tak pernah mudah melupakannya. Bahkan ada pertanyaan yang mengembang dalam hati; mengapa anak-anak perempuan lain tidak mengalami hal sama? Mengapa namanya selalu dilencengkan menjadi Lasipang? Dan apa orang jepang? (Ahmad Tohari, 2005: 34).
Selain itu watak Lasi yang negatif adalah mudah mengeluh, kutipan yang menunjukkan watak Lasi sebagai berikut. Di rumah, Lasi menyiapkan tungku dan kawah untuk mengolah nira yang sedang diambil suaminya. Senja mulai meremang. Setumpuk kayu bakar diambilnya dari tempat penyimpanan di belakang tungku. Sebuah ayakan bambu disiapkan untuk menyaring nira. Pada musim hujan Lasi sering mengeluh karena jarang tersedia kayu bakar yang benar-benar kering. Mengolah nira dengan kayu setengah basah sungguh menyiksa. Bahkan bila tak untung, gula tak bisa dicetak karena pengolahan yang tak sempurna (Ahmad Tohari, 2005: 16-17).
b). Darsa Tokoh Darsa adalah tokoh antagonis karena tokoh ini yang menyebabkan konflik dalam batin tokoh utama (Lasi). Tokoh ini yang pada mulanya memunculkan konflik dalam cerita. Sisi positif watak Tokoh Darsa memiliki semangat bekerja yang tinggi. Kutipan yang menunjukkan psikis dari Darsa yang memiliki semangat yang tinggi dalam bekerja sebagai berikut. Meski punya pengalaman pahit terbanting dari ketinggian puncak kelapa, semangat Darsa tetap tinggi, tak terlihat kesan khawatir akan
jatuh buat kali kedua. Di Karangsoga belum pernah terdengar cerita seorang penyadap jera karena jatuh…. (Ahmad Tohari, 2005: 68).
Dari kutipan di atas jelas bahwa Darsa tetap semangat dalam keadaan sakit. Bahkan pada akhir cerita dilukiskan kembali watak Darsa yang memliki jiwa semangat. Kemiskinan yang dilami, bahkan saat listrik-listrik masuk desa Karangsoga dan hampir seluruh pohonpohon kelapa Darsa terkena aliran listrik dan harus ditebang. Dia tetap memperlihatkan semangatnya sebagai seorang penderas kelapa, walaupun hanya tinggal tiga pohon saja. c). Pak Handarbeni Tokoh Pak Handarbeni atau sering disebut Pak Han ini merupakan tokoh antagonis juga, karena tokoh ini menyebabkan konflik batin pada diri tokoh utama (Lasi). Tokoh ini yang kemudian membuat tokoh utama mengalami konflik batin. Keegoisan sifat dari Pak Han ini yang mendominasi penyebab konflik batin antara Lasi dan Pak Handarbeni. Tokoh Pak Han dijelaskan dimensi fisik dan psikisnya. Ciri fisiknya adalah tubuhnya bundar, wajahnya gemuk, tengkuk, dagunya tebal, dan hidungnya gemuk. Kutipan yang menunjukkan ciri fisik Pak Han dilukiskan melalui deskripsi sebagai berikut. ……Hal pertama yang tekesan oleh Lasi adalah cincin emas besar dengan batu yang berwarna biru melingkar dijarinya. Jam tangannya pun kuning emas. Lalu tubuhnya yang bundar tampa pinggang dan perutnya yang menjorok ke depan. Wajahnya yang gemuk hampir membentuk bulatan. Tengkuk dan dagunya tebal. Hidungnya gemuk dan berminyak. Lasi juga mencium wewangian yang dikenakan tamu itu (Ahmad Tohari, 2005: 181).
d). Kanjat Tokoh Kanjat merupakan tokoh tritagonis, kedudukan tokoh Kanjat ini sebagai penengah konflik. Tokoh Kanjat sebagai pelerai konflik yang terjadi pada tokoh utama yaitu Lasi. Kanjat sejak kecil dilukiskan sebagai orang yang memiliki watak yang baik dan selalu membela Lasi, bahkan menjadi teman ketika Lasi diasingkan oleh anak-anak yang lain. Tokoh Kanjat saat dewasa dilukiskan sebagai tokoh yang tetap mencintai Lasi walaupun dia seorang janda. Kehadiran tokoh Kanjat sanagat berperan penting ketika terjadi adanya konflik pada tokoh utama. Tokoh Kanjat dari kecil hingga dewasa dilukiskan memiliki watak yang baik, suka menolong, dan kepedulian tinggi kepada sesama. Kutipan yang menunujukkan watak tokoh Kanjat sebagai berikut. “Las, aku tidak ikut nakal, “ujar Kanjat yang tubuhnya lebih kecil karena usianya dua tahun lebih muda. “Kamu tidak marah padaku, bukan?” (Ahmad Tohari, 2005: 33) Semua kenyataan yang ditemukan Kanjat dalam penelitian mengangkat laten keprihatinan terhadap kehidupan para penyadap ke permukaan kesadarannya. Keprihatinan bahkan keterpihakan. Dengan demikian Kanjat sesungguhnya menyadari penyusunan skripsi yang dilakukannya mempunyai kesadaran subjektivitas, setidaknya pada tingkat motivasinya… (Ahmad Tohari, 2005: 125). e). Mbok Wiryaji
Tokoh Mbok Wiryaji merupakan tokoh tambahan yang fungsinya sebagai pendukung tokoh utama. Tokoh Mbok Wiryaji adalah ibu Lasiyah yang digambarkan sebagai sosok yang sabar dan ikhlas dalam menghadapi kehidupan. Kutipan yang menunjukkan watak sabar dari tokoh Mbok Wiryaji sebagai berikut. Sesungguhnya Mbok Wiryaji sudah bertekad menanggung sendiri kesusahan itu. Tak perlu orang lain, apalagi Lasi, ikut menderita. Namun orang Karangsoga gemar bergunjing sehingga Lasi mendengar rahasia yang ingin disembunyikannya… (Ahmad Tohari, 2005: 36).
Kutipan di atas membuktikan bahwa tokoh Mbok Wiryaji ikhlas dan sabar mengahadapi hujatan orang desa yang memiliki pandangan bahwa perkawinan campuran menurut orang Jawa merupakan perbuatan yang tercela. Kesabaran semakin ditunjukkan tokoh Mbok Wiryaji ini yang selalu diam dan tidak banyak menceritakan masa lalunya kepada anaknya. Sedangkan watak tokoh yang menunjukkan watak ikhlas ditunjukkan dalam kutipan di bawah ini.
“Las, mereka tahu apa dan siapa kamu sebenarnya. Tetapi aku tak tahu mengapa mereka lebih suka cerita palsu, barangkali untuk menyakiti aku dan kamu. Sudahlah, Las, biarkan mereka. Kita sebaiknya nrima saja. Kata orang, nrima ngalah luhur wekasane, orang yang mengalah akan dihormati pada akhirnya” (Ahmad Tohari, 2005: 40).
f). Wiryaji
Tokoh Wiryaji merupakan tokoh tambahan yang fungsinya sebagai pendukung tokoh utama. Tokoh Wiryaji memiliki watak sabar dan pasrah. Kutipan yang menunjukkan psikis Wiyaji sebagai berikut. “Rasanya kami sudah berusaha semampu kami,” ujar Wiryaji mencairkan kebisuan. “utang sudah kami gali dan tentu tak akan mudah bagi kami mengembalikannya. Bila usaha kami ternyata tak cukup untuk menyembuhkan Darsa, kami sudah tak bisa berbuat apaapa lagi. Kami tinggal pasrah” (Ahmad Tohari, 2005: 52).
g). Eyang Mus Tokoh Eyang Mus sebagai tokoh tritagonis sebagai pelerai dan peredam konflik yang terjadi dalam cerita Bekisar Merah. Tokoh Eyang Mus memiliki fungsi penengah konflik yang terjadi. Melalui tokoh Eyang Mus ini juga, pengarang berusaha menyampaikan nilainilai pendidikan kususnya nilai pendidikan agama dan budaya. Watak yang dimiliki oleh Eyang Mus antara lain; penyabar, bijaksana, berhati-hati dalam mengambil sebuah keputusan, serta percaya akan kuasa Tuhan dan takdir hidup. Kutipan yang menunjukkan watak dari tokoh Eyang Mus yang sabar dan berhati-hati dalam mengambil keputusan ditunjukkan melalui dialog tokohnya sebagai berikut. “Sabar. Dari dulu aku selalu ikut menanggung kesulitan yang kalian hadapi. Sekarang aku juga ikut menyalahkan Darsa. Memang, wong lanang punya wenang. Tetapi sesekali tak boleh sewenang-wenang. Jelas Darsa salah. Namun aku minta jangan dulu bicara soal perceraian” (Ahmad Tohari, 2005: 76).
Kutipan di atas membuktikan watak Eyang Mus yang penyabar ternyata bermanfaat sebagai pelerai konflik yang terjadi. Kemunculan tokoh Eyang Mus sebagai penasehat ketika terjadi konflik di Karangsoga. Kutipan di atas juga menjenegaskan bawa, tokoh tritagonis ini memiliki fungsi penting penyampaian amanat pengarang tentang nasihat kehidupan. Watak tokoh Eyang Mus yang percaya akan kuasa Tuhan dan takdir hidup ada ditangan Tuhan. Kutipan yang menunjukkan watak tersebut sebagai berikut ini.
“Bila kamu percaya segala kebaikan datang dari Gusti dan yang sulitsulit datang dari dirimu sendiri, hanya kepada Gusti pula kamu harus meminta pertolongan untuk mendapat jalan keluar. Jadi, lakukan pertobatan lalu berdoa dan berdoa. Bila masih ada jodoh, takkan Lasi lepas dari tanganmu. Percayalah” (Ahmad Tohari, 2005: 118).
Kutipan di atas menunjukkan menunjukkan watak Eyang Mus sebagai tokoh tritagonis penengah konflik. Watak tersebut juga menguatkan bukti bahwa pengarang, melalui tokoh Eyang Mus ingin menyampaikan pesan tentang nilai-nilai pendidikan, kususnya nilai-nilai pendidikan agama. Watak itu juga menunjukkan fungsi tokoh tritagonis sebagai penengah konflik yang terjadi pada tokoh-tokoh yang lain, baik tokoh utama maupun tokoh tambahan. h). Pak Tir Tokoh Pak Tir merupakan tokoh tambahan. Tokoh Pak Tir memiliki ciri fisik; gemuk, kepala bulat. Pelukisan ciri fisik tokoh Pak Tir secara dramatik melalui pelukisan langsung. Sedangkan dimensi psikis tokoh Pak Tir adalah orang yang mudah tersinggung dan memiliki
ambisi besar untuk meraih harta. Kutipan yang menunjukkan dimensi fisik dan psikis sebagai berikut. Pak Tir sendiri sibuk dengan batang timbangan. Lelaki gemuk dengan kepala bulat yang mulai botak itu bekerja cepat dan mekanis. Tangannya selalu tangkas dalam memainkan batang timbangan, menangkapnya pada saat yang tepat, yaitu ketika batang kuningan itu mulai bergerak naik. Keterampilan seperti itu akan memberikan keuntungan persekian ons gula sekali timbang. Maka Pak Tir kadang tersinggung apabila ada orang yang terlalu saksama memperhatikan caranya menimbang gula. Pembayaran gula pun dilakukan Pak Tir dengan gampang dan dingin (Ahmad Tohari, 2005: 70). i). Bunek Tokoh Bunek merupakan tokoh tambahan yang mendukung tokoh utama. Tokoh ini mempengaruhi konflik yang muncul dalam cerita. Tokoh Bunek dijelaskan ciri fisik dan psikisnya. Ciri fisiknya tinggi, wajah bulat panjang, kulitnya lembut, dan rambutnya lebat. Pelukisan ciri Bunek melalui pelukisan langsung. Kutipan yang menunjukkan fisik tokoh Bunek sebagai berikut. Orang bilang ciri paling nyata pada diri Bunek adalah cara jalannya jalannya yang cepat. Cekat-ceket. Langkahnya panjang dan ayunan tangannya jauh, mungkin karena Bunek biasa tergesa bila berjalan memenuhi panggilan perempuan yang sedang menunggu detik kelahiran bayinnya... namun ciri yang lainnya pun tak kalah mencolok. Bunek selalu kelihatan paling tinggi bila berada di antara perempuanperempuan lain. Tawanya mudah ruah, juga latahnya. Pada saat latah, ucapan yang paling cabul sekalipun dengan mudah meluncur dari mulutnya. Namun dalam keadaan biasa pun Bunek biasa berkata mesum seringan ia menyebut sirih yang selalu dikunyahnya. Wajah Bunek bulat panjang dan semua orang percaya ia cantik ketika masih muda. Kulitnya malah masih lembut meskipun Bunek sudah punya
beberapa cucu. Rambutnya yang paling lebat mulai beruban tetapi Bunek rajin menyisirnya sehingga menambah kesannya yang rapi dan singset. Ia selalu ingin bergerak cepat (Ahmad Tohari, 2005: 62).
Sedangkan watak Bunek dijelaskan bahwa dia tokoh yang licik, menghalalkan segala cara untuk mencapai sebuah tujuan hidupnya. Watak yang demikina membuat munculnya konflik dalam cerita. Watak licik tokoh ini ditunjukkan melalui dialog tokoh. Kutipan yang menunjukkan watak Bunek sebagai berikut. Darsa sesudah kutolong mengembalikan kelelakiannya. Sebagai imbalan aku balik minta tolong. Permintaanku sangat sederhana, enak pula melaksanakannya; kawini Sipah. Kalian tahu, menunggu sampai orang melamarnya, repot. Apa kalian mau mengawini anakku yang pincang itu? He-he-he” (Ahmad Tohari, 2005: 79).
Kutipan di atas menjelaskan watak licik Bunek. Dia menghalalkan segala cara supaya Sipah mendapatkan jodoh. Bunek sadar bahwa anaknya yang cacat itu susah sekali mendapatkan suami. Maka, dengan cara licik ia memanfaatkan kelemahan Darsa. Kelicikan dan perbuatan Bunek inilah yang kemudian membuat konflik semakin ruwet. j). Mukri Tokoh Mukri merupakan tokoh tambahan. Watak Mukri; penolong, pekerja keras. Kutipan yang menunjukkan psikis Mukri yang suka menolong dan pekerja keras sebagai berikut. “Aku tidak lupa apa yang semestinya kulakukan. Melihat ada kodok lompat. Aku kemudian melepas celana yang kupakai sampai telanjang
bulat. Aku menari menirukan monyet sambil mengelilingi kodok lompat itu” (Ahmad Tohari, 2005: 21-22).
Selain itu, Mukri juga memiliki watak yang gigih bekerja. Sebagai seorang pemuda desa ia menunjukkan kegigihannya dalam bekerja. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut. “Ya. Tetapi aku harus pergi dulu. Pekerjaanku belum selesai.” “Sudah malam begini kamu mau meneruskan pekerjaanmu?” Pertanyaan itu berlalu berlalu tanpa jawab. Mukri lenyap dalam kegelapan meski langkahnya masih terdengar untuk beberapa saat. Kini perhatian semua orang sepenuhnya tertuju kepada Darsa (Ahmad Tohari, 2005:22). k). Pardi Tokoh Pardi merupakan tokoh tambahan. Tokoh yang berfungsi mendukung tokoh utama. Tokoh Pardi dalam novel ini digambarkan memiliki psikis yang suka menolong dan bertanggung jawab. Kutipan yang menunjukkan watak dari tokoh Pardi sebagai berikut. …..Tetapi kesempatan itu digunakannya juga untuk titip pesan bagi orangtua Lasi kepada pemilik warung. Bagaimana juga Pardi ingin membersihkan diri sebab sebentar lagi pasti ada geger; Lasi raib dari Karangsoga (Ahmad Tohari, 2005: 82-83).
Watak Pardi selain bertanggung jawab, dia juga suka menolong, sikap tersebut ditunjukkan ketika dia menolong Lasi. Kebaikan yang ditunjukkan oleh Pardi benar-benar
tulus untuk menolong Lasi yang sedang dalam kesusahan. Pardi tidak sama sekali meminta imbalan kepada Pardi. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut. “Terima kasih, Mas Pardi, aku memang tidak memegang uang. Dan uang ini aku terima sebagai pinjaman. Kapan-kapan aku akan mengembalikannya padamu “. “Jangan begitu, Las. Kita sama-sama di rantau, jauh dari kampung. Kita harus saling tolong” (Ahmad Tohari, 2005: 93). l). Bu Koneng Tokoh Bu Koneng merupakan tokoh tambahan. Tokoh Bu Koneng adalah tokoh yang memiliki watak licik dan mau melakukan segala hal untuk meraih kepentingannya. Tokoh Bu Koneng ini dituangkan secara baik. Cara yang digunakan Bu Koneng yaitu dengan memberikan tempat tinggal, pakaian, makanan, dan sikap keibuan. Namun, dibalik sikap itu sebenrnya terkandung niat yang ingin mendapatkan keuntungan demi dirinya sendiri. Kutipan yang menunjukkan watak dari tokoh Bu Koneng sebagai berikut. Seorang teman yang mau mengerti dan bisa menjadi bejana tempat menuangkan perasaan telah ditemukan Lasi. Degan anggukan kepala dan senyum penuh pengertian Bu Koneng, dengan cara yang sangat diperhitungkan, menjadikan dirinya sandaran bagi hati Lasi yang kena badai…. (Ahmad Tohari, 2005: 97). m). Bu Lanting Tokoh Bu Lanting merupakan tokoh tambahan. Tokoh Bu Lanting memiliki watak licik, kebaikan yang dia berikan tidak tulus dan cenderung mementingkan keinginannya sendiri atau egois.
Kutipan yang menunjukkan spikis Bu Lanting sebagai berikut. Dua pilihan? Oh, tidak. Hanya satu pilihan! Tiba-tiba Lasi sadar dirinya bahwa dia berhadapan dengan hanya satu pilihan. Lasi hampir mustahil bilang “tidak”. Lasi merinding ketika menyadari dirinya telah termakan oleh sekian banyak pemberian; penampungan oleh Bu Lanting, segala pakaian, bahkan juga makan dan minum. Uang dan perhiasan. Belum lagi hadiah-haiah dari Pak Han. Lasi merasa terkepung dan terkurung oleh segala pemberian itu. Lasi terkejut dan merasa dikejar oleh aturan yang selama ini diyakini kebenarannya. Bahwa tak ada pemberian tanpa menuntut imbalan. Dan siapa mau menerima harus mau pula memberi. “ ya ampun, ternyata diriku sudah tertimbun rapat oleh utang kabecikan, utang, utang budi, atau apalah namanya. Bila aku masih punya muka, aku harus menuruti kemauan Bu Lanting untuk membayar lagi utang itu. Aku tak mungkin menampik Pak Han. Tak mungkin?” (Ahmad Tohari, 2005: 203).
n). Si Anting Besar Tokoh ini memiliki watak yang iri. Watak yang demikian ditunjukkannya ketika Lasi datang ke warung bu Koneng, dia merasa bahwa Lasi akan menjadi saingannya. Kutipan yang menunjukkan watak tokoh Si Anting Besar sebagai berikut.
Selesai mandi Lasi keluar dengan kain sarung dan kebaya biru terang. Kesan lusuh berubah menjadi segar. Kulitnya menjadi lebih terang karena warna baju yang dipakainnya. Rambut disisir dan dikonde seadanya, asal rapi. Bu Koneng mengajaknya makan pagi, bukan diruang warung melainkan di ruang dalam. Lasi tak enak karena merasa terlalu diperhatikan, tetapi tak mampu menampik kebaikan Bu Koneng. Si Betis Kering dan Si Anting Besar selalu mencuri-curi pandang. Tiga perempuan muda yang tergolek berimpitan pun sudah lama terbangun. Mereka juga selalu mentap Lasi dengan pandangan mata seorang pesaing (Ahmad Tohari, 2005: 94).
o). Si Betis Kering Tokoh ini juga memiliki watak yang iri sama seperti tokoh Si Anting Besar. Watak yang demikian ditunjukkan ketika Lasi datang ke warung bu Koneng, dia merasa bahwa Lasi akan menjadi saingannya.
Kutipan yang menunjukkan watak tokoh sebagai berikut. Selesai mandi Lasi keluar dengan kain sarung dan kebaya biru terang. Kesan lusuh berubah menjadi segar. Kulitnya menjadi lebih terang karena warna baju yang dipakainnya. Rambut disisir dan dikonde seadanya, asal rapi. Bu Koneng mengajaknya makan pagi, bukan diruang warung melainkan di ruang dalam. Lasi tak enak karena merasa terlalu diperhatikan, tetapi tak mampu menampik kebaikan Bu Koneng. Si Betis Kering dan Si Anting Besar selalu mencuri-curi pandang. Tiga perempuan muda yang tergolek berimpitan pun sudah lama terbangun. Mereka juga selalu mentap Lasi dengan pandangan mata seorang pesaing (Ahmad Tohari, 2005: 94). p). Sapon Tokoh Sapon pada novel Bekisar merah adalah orang desa pengangkut gula ke kota. Tokoh ini merupakan tokoh tambahan. Dia memiliki watak tanggung jawab. Watak itu terlihat ketika Sapon membujuk Lasi untuk kembali ke Karangsoga bersamanya dan Pardi. Kutipan yang menunjukkan watak Sapon sebagai berikut.
“Jangan, Las. Kamu jangan merepotkan kami. Kamu harus pulang. Bila tidak, aku dan Mas Pardi bisa mendapat kesulitan. Kami bisa menjadi sasaran segala macam pertanyaan” (Ahmad Tohari 2005: 98).
Sapon merasa bertanggung jawab terhadap Lasi karena ia yang mengijinkan Lasi ikut bersamnya. Sapon juga bertanggug jawab kepada penduduk dan masih menjunjung tinggi adat sopan santun. 4) Setting Menurut Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani (2009: 35) setting berkaitan dengan pengadegan, latar belakang, waktu cerita, dan waktu penceritaan. Pengadeganan artinya penyusunan adegan-adegan di dalam cerita. Tidak semua kejadian dalam kehidupan sang tokoh dilukiskan di dalam adegan-adegan. Adegan dipilih yang benarbenar mewakili cerita. Adegan bisa di dalam rumah dan dapat juga di luar rumah. a) Setting Waktu Novel Bekisar Merah telah banyak menampakkan waktu yang jelas dan spesifik. Setting pedesaan yang digambarkan dalam Bekisar Merah adalah setting tahun 1970-an yang mulai sibuk dengan pembangunan. Novel Bekisar Merah merupakan karya Ahmad Tohari yang dapat digolongkan sebagai novel berwarna korupsi. Sedangkan setting yang terkait dengan waktu terlihat pada kutipan berikut ini: Dalam novel Bekisar Merah yang menunjukkan setting waktu adalah menyebutkan hitungan tahun. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut.
“Oalah, Las, Emak tidak bohong. Dengarlah. Kamu lahir tiga tahun sesudah peristiwa cabul yang amat kubenci itu. Entah bagaimana setelah tiga tahun menghilang orang jepang itu muncul lagi di Karangsoga. Kedatangannya yang ke dua tidak lagi bersama bala tentara Jepang melainkan bersama para pemuda gerilya. Tampaknya ayahmu menjadi pelatih para pemuda. Dan mereka, para pemuda itu, juga Eyang Mus meminta aku memaafkan ayahmu, bahkan aku diminta juga menerima lamarannya” (Ahmad Tohari, 2005: 39). Dalam novel Bekisar Merah selain menunjukkan hitungan tahun, juga menunjukkan setting waktu berupa hari. Situasi pagi, siang, sore, dan malam. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut. Pagi ini lasi berangkat hendak menjenguk Darsa di rumah sakit kecil di kota kewedahan itu…. (Ahmad Tohari, 2005:45).
Selain itu, setting waktu ditunjukkan dengan angka jam. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut
Jam tujuh malam Handarbeni muncul di rumah Bu Lanting. Necis dengan baju kaus kuning muda dan celana hijau tua. Wajahnya cerah dengan senyum renyah dan sorot mata penuh kegembiraan. Rambutnya, meskipun sudah menipis, tersisir rapi dan hitam oleh semir baru. Handarbeni sudah tahu bekisar itu mau, atau setidaknya tidak menolak menjadi miliknya dari pembicaraan telepon dengan Bu Lanting tadi siang. Kini Handarbeni datangkarena ingin berbicara sendiri dengan bekisarnya (Ahmad Tohari, 2005: 212).
b) Setting Tempat
Setting tempat adalah tempat cerita. Setting cerita dalam novel Bekisar Merah ini lebih banyak di daerah pedesaan, warung, pasar, dan kota. Ahmad Tohari dalam Novel Bekisar Merah ini lebih banyak atau dominan melukiskan latar tempat yang dilukiskan secara indah. Hal itu terlihat pada kutipan berikut: Karangsoga adalah sebuah desa di kaki pegunungan vulkanik. Sisa-sisa kegiatan gunung api masih tampak pada ciri desa itu berupa bukit-bukit berlereng curam, lembah-lembah atau jurang-jurang dalam yang tertutup berbagai jenis pakis dan paku-pakuan. Tanahnya yang hitam dan berhumus tebal mampu menyimpan air sehinggasungai-sungai kecil berbatu-batuan dan parit-parit alam gemercik sepanjang tahun…. (Ahmad Tohari, 2005: 25). Tidak hanya tempat berupa desa, namun novel ini juga menjelaskan secara jelas kehidupan kota, cerita ketika Lasi pergi dari Karangsoga menuju kota Jakarta. Kutipan yang menunjukkan setting tempat sebagai berikut. Sapon membawa Lasi masuk warung makan yang cukup besar itu dan langsung ke bagian belakang. Lampu pompa belum dipadamkan, padahal hari sudah terang benderang…. (Ahmad Tohari, 2005: 90).
Setting tempat sebuah kota juga ditunjukkan oleh novel ini. Tempat-tempat ini menunjukkan kehidupan kota dan aktivitas orang-orangnya. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut. Bu Lanting makin sering mengajak Lasi keluar makan-makan di lestoran, belanja dipasarnya, atau berajangsana ke rumah teman. Atau menghadiri resepsi perkawinan di gedung pertemuan yang megah (Ahmad Tohari, 2005: 166).
Setting tempat berupa sebuah kota Jakarta dijelaskan di sini, kutipan yang menunjukkan sebagai berikut.
Lasi datang dari Jakarta membawa sedan, itulah celoteh terbaru yang segera merambat ke semua sudut Karangsoga. Dan cerita pun menuruti kebiasaan di sana, berkembang tak terkendali ke segala arah… (Ahmad Tohari, 2005: 241). c). Setting Sosial Latar
sosial
menunjukkan
perilaku
kehidupan
sosial.
Latar
sosial
juga
menggambarkan suasana kedaerahan. Dalam novel Bekisar Merah Ahmad Tohari menunjukkan latar sosial masyarakat Karangsoga yang memiliki mata pencahariaan sebagai penyadap. Kutipan yang menunjukkan setting sosial kehidupan masyarakat Karangsoga sebagai berikut. Bagi siap saja di Karangsoga berita tentang orang dirawat karena jatuh dari pohon kelapa sungguh bukan hal luar biasa. Sudah puluhan penderas mengalami nasib yang jauh lebih buruk dari para musibah yang menimpa Darsa dan kebanyakan mereka meninggal dunia. Si itu patah leher ketika jatuh dan arit yang terselip dipinggang langsung membelah perut. Si ini jatuh terduduk dan menghujam tepat pada tonggak bamboo sehingga diperlukan tenaga beberapa orang untuk menarik tubuhnya yang sudah menjadi mayat. Si pulan bahkan tersambar geledek ketika ketika masih duduk di atas pelepah kelapa dan mayatnya terlempar jatuh ke tengah rumpun pandan. Mereka, orang-orang karangsoga, sudah terbiasa dengan peristiwa seperti itu sehingga mereka mudah melupakannya (Ahmad Tohari, 2005: 29).
Setting sosial kehidupan Karangsoga yang sederhana dan nrimo sebagai seorang penyadap digambarkan dalam novel ini. Kepasrahan dan kecintaan kehidupan seorang penyadap. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut. Kehidupan di Karangsoga tetap mengalir seperti air di sungai-sungai kecil yang berbatu-batu. Manusianya hanyut, terbentur-bentur, kadang tenggelam atau bahkan membusuk di dasarnya. Tak ada yang mengeluh, tak ada yang punya gereget, misalnya mencari kemungkinan memperoleh mata pencarian lain karena menyadap nira punya risiko sangat tinggi dengan hasil sangat rendah. Atau menggalang persatuan agar mereka bisa bertahan dari kekejaman pasar bebas yang sangat leluasa memainkan harga gula (Ahmad Tohari, 2005: 54).
Ahmad Tohari dalam menuangkan cerita selalu menngunakan bahasa yang sederhana juga bercirikan bentangan alam. Pelukisan kehidupan kaum miskin, tertindas dan ketidakadilan merupakan salah satu misi Ahmad Tohari untuk menyuarakan suara rakyat terhadap ketidak adilan pemerintah.
Latar sosial sebuah novel juga bisa berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan sikap, dan lain sebagainya. Kehidupan masyarakat di Karangsoga memiliki keyakinan yang kuat. Masyarakat yang memiliki tingkat sosial rendah/miskin ini sangat meyakini adanya Tuhan. Kutipan yang menunjukkan latar sosial masyarakat Karangsoga tentang keyakinan yang dianut sebagai berikut. Jarang terjadi bulan puasa jatuh pada musim kemarau. Tetapi hal yang jarang itu selalu dinanti oleh para penyadap, karena sudah menjadi kebiasaan pada saat seperti itu harga gula akan naik dan bisa mencapai titik tertinggi. Para penderas sendiri tidak mengerti mengapa harga gula
naik pada bulan puasa, terutama sejak sepuluh hari menjelang Lebaran. Mereka hanya tau dari pengalaman sejak lama bahwa harga dagangan mereka membaik bahkan melonjak menjelang akhir bulan itu. Tetapi para tengkulak seperti Pak Tir bisa mengatakan bahwa kenaikan harga gula disebabkan oleh melonjaknya tingkat konsumsi di kota besar. “Pada bulan puasa banyak orang membuat makanan manis, terutama di kota” (Ahmad Tohari, 2005: 231).
Kehidupan Ahmad Tohari sebagai seorang santri yang pernah hidup dikalangan pondok pesantren merupakan salah satu latar belakang munculnya keyakinan yang dituangkan dalam novel ini. Kepasrahan rakyat miskin yang dilandasi kepercayaan akan Tuhan dituangkan Ahmad Tohari melalui tokoh rakyat yang ikhlas mendapatkan uang seberapapun, dan menganggap itu adalah rizki yang patut disyukuri. Kepercayaan tentang adanya Tuhan diperkuat dengan penjelasan di bawah ini beserta kutipannya. Setting sosial kehidupan masyarakat Karangsoga yang rajin bekerja, nrimo dengan keadaan sebagai seorang penderas yang serba pas-pasan. Setting sosial yang kuat ditunjukkan bahwa orang Karangsoga memiliki kepercayaan agama. Nilai kepasrahan diperoleh dari keyakinan bahwa mereka memiliki Tuhan yang Maha Pengasih. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut.
Makin dekat dengan lebaran, suarau Eyang Mus makin ramai. Lepas saat berbuka puasa jemaah lelaki dan perempuan mulai berdatangan. Mbok Wiryaji dan suaminya pun sudah berangkat meninggalkan Lasi seorang diri di rumah. Semula Lasi hendak ikut serta, tetapi kemudian mengurungkan niat begitu menyadari dirinya baru sehari menjadi janda. Lasi merasa belum sanggup hadir di tengah orang banyak; tak sanggup menahan tatapan mata mereka (Ahmad Tohari, 2005: 254).
Sikap percaya religius yang dituangkan Ahmad Tohari melalui cerita ini yaitu tentang kepercayaan yang dianut oleh tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Bahkan kemudian ditegaskan melalui perbuatan tokohnya yang melaksanakan ibadah sebagai bentuk percaya kepada Tuhannya.
5) Point of View Point of View atau sudut pandang cerita mengacu pada cara sebuah cerita dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan tokoh, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam karya fiksi kepada pembaca. Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih oleh pengarang untuk mengemukakan gagasan ceritanya. Sudut pandang yang digunakan pada novel Bekisar Merah yaitu pesona atau gaya “dia”, pengarang atau narator berada di luar cerita. Pengarang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya. Nama tokoh, dan tokoh utama selalu disebut termasuk variasi kata gantinya. Sudut pandang yang paling menonjol dalam novel Bekisar Merah, menggunakan cara ini. Berikut ini kutipan yang menunjukkan sudut pandang tersebut. Lasi tak meneruskan kata-katanya karena tiba-tiba suasana berubah. Darsa memandang Lasi dengan mata berkilat. Keduanya beradu senyum lagi. Darsa selalu berdebar bila menatap bola mata istrinya yang hitam pekat. Seperti kulitnya, mata Lasi juga khas; berkelopak
tebal, tanpa garis lipatan. Orang bilang mata Lasi kaput…….. (Ahmad Tohari, 2005: 11). Ahmad Tohari dalam menggunakan sudut pandang yaitu pesona “dia” dengan menyebut nama tokohnya misalnya Lasi atau menggunakan –nya. Di sini pesona “dia” jadi posisi pengarang diluar tetapi serba tahu. Pengarang mengetahui persis perasan batin tokoh satu dengan tokoh satunya. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut. Lasi tetap tertunduk. Ingatannya melayang pada suatu malam ketika ia dalam kamar bersama Handarbeni. Malam yang menjengkelkan. Handarbeni benar-benar kehilangan kelelakiannya meski obat-obatan telah diminumnya. Untuk menutup kekecewaan Lasi akibat kegagalan semacam biasanya Handarbeni mengobral janji membelikan ini itu dan keesokan harinya semuanya akan ternyata bernas. Tetapi malam itu Handarbeni tak memberi janji apa pun melainkan sebuah tawaran yang membuat Lasi merasa sangat terpojok, bahkan terhina (Ahmad Tohari, 2005: 267).
Sudut pandang (Point of View) pesona “dia” ini banyak menyebutkan tokoh utama yang mengemukakan gagasan utama cerita melalui tokoh Lasi, pengarang menuangkan kehidupan masyarakat Karangsoga sebagai seorang penderas nira. Perasaan batin kehidupan orang miskin terhadap penindasan. Hal ini banyak dituangkan melalui tokoh Lasi. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut.
Lasi masih berdiri disamping mobil sambil memandang sekeliling, memandang Karangsoga yang kuyup. Teringat olehnya betapa sukar mengolah nira di kala hari hujan namun hasilnya tak cukup untuk sekilo beras. Namun Lasi merasa hanyut oleh kenangan masa lalu ketika hidungnya mancium bau nira yang hampir masak. Dalam rongga
matanya terlihat tengguli bergelegak dan uap yang menggumpal dan naik menembus atap. Dan putaran kenangan itu mendadak putus ketika bayangan Darsa muncul. Lasi memejamkan mata lalu bergerak menyusul Mbok Wiryaji dan Pak Min yang mendahului masuk rumah dengan barang-barang bawaan (Ahmad Tohari, 2005: 272).
b. Struktur Novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo 1). Tema Novel Wasripin dan Satinah Karya Kuntowijoyo Menurut Stanton dan Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 67) tema (theme) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Selanjutnya menurut Staton bahwa tema kurang lebih dapat bersinonim dengan ide utama (Central Idea) dan tujuan utama (Central Purpose). Maka dapat disimpulkan bahwa tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel Tema dalam sebuah karya sastra, fiksi, hanyalah merupakan salah satu dari penjumlahan unsur pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah kemenyeluruhan. Bahkan eksistensi tema itu sendiri amat bergantung dari berbagai unsur yang lain. Hal itu disebabkan tema, yang notabene hanya berupa makna atau gagasan dasar umum suatu cerita, tak mungkin hadir tanpa unsur bentuk yanbg menampungnya. Dengan demikian, sebuah tema baru akan menjadi makna cerita jika ada keterkaitannya dengan unsur-unsur cerita lainnya (Burhan Nurgiyantoro, 1994: 74) Secara umum dalam novel ini, pengarang ingin mengungkapkan masalah sosial kususnya Penindasan dan pemberontakan kaum wong cilik dalam kekuasaan birokrasi pemerintahan. Dengan kata lain, tema sentral dalam novel ini cenderung ingin
menyuarakan hak wong cilik yang tidak berdaya dan penindasan politik ekonomi serta bentuk pemberontakan kepada pemerintah. Kutowijoyo mengungkapkan bagaimana bentuk sikap pemberontakan kaum wong cilik terhadap kekuasaan pemerintahan yang semena-mena yang selalu saja menjadikan kaum wong cilik sasaran dan kambing hitam. Serta memasukkan nilai dakwah agama dan keyakinan disela-sela konflik dalam masyarakat dan pemerintahan tersebut. 2). Alur/Plot Novel Wasripin dan Satinah Karya Kuntowijoyo Menurut Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro 2005: 113) plot adalah cerita yang berisi tentang urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa satu dengan yang lainnya. Berdasarkan kronologis atau urutan waktu, alur novel Wasripin dan Satinah ini menggunakan alur campuran, yang terjalin melalui alur maju kemudian mundur dan kemudian maju yang semakin menguatkan dan kejelasan cerita. Artinya jalinan cerita yang tersusun dalam bentuk cerita melalui peristiwa-peristiwa yang secara kronologis dapat dipahami secara utuh dari awal sampai akhir. Terkait dengan kriteria kepadatan, alur Wasripin dan Satinah dikategorikan dengan alur yang padat. Dengan kata lain, alur dalam novel ini tersusun secara jelas dalam rangakaian ceritanya urut dan utuh. Menurut Kenney dalam Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani plot harus memenuhi aturan tentang adanya kesatuan. Rangkaian kejadian yang disusun harus
membentuk kesatuan yang padu. Rangkaian unsur-unsur cerita dinyatakan sebagai unsur dinamik yang meliputi: (1) Eksposisi, (2) inciting moment, (3) rising action, (4) complication, (5) climax, (6) Falling action, (7) denoument (Robert Scholes dalam Herman J Waluyo dan Nugraheni Eko Wardhani, 2009: 15-16). Urutan peristiwa yang terjalin menjadi plot novel Bekisar Merah sebagai berikut a) Tahap Paparan (Eksposisi) Pada tahap perkenalan, Kuntowijoyo lebih memperkenalkan seorang tokoh utama bernama Wasripin. Diceritakan tokoh Wasripin sejak kecil sudah dipungut anak angkat emak dan dia tidak mengetahui siapa orang tuanya. Wasripin asal-usul yang tidak jelas. Dari perkenalan masa lalunya yang tidak jelas menghantarkan pada konflik-konflik yang bermunculan hingga climax sampai denoument. Wasripin mencari tahu masa lalunya dengan kabur dari emaknya yang menjadikannya laki-laki pemuas nafsu. Sampailah Wasripin pada sebuah surau luar kota. Dari sini mulailah dia berkenalan dengan tokoh Satinah, Pak Modin penjaga surau dan muncul konflik-konflik kecil. Pada tahap perkenalan ini ada alur mundur ketika diceritakan masa lalu Wasripin dan pekerjaannya itu. b) Tahap Rangsangan (Inciting Moment) Tahap rangsangan adalah peristiwa mulai adanya problem-problem yang ditampilkan pengarang untuk kemudian ditingkatkan mengarah pada peningkatan konflik. Konflik ini bermula ketika Wasripin tertidur lama di surau sehingga orang-orang menganggap bahwa Wasripin adalah orang sakti.
Wasripin pertama kali memijat dan dapat menyembuhkan tukang cat yang bisu yang bekerja di rumah Pak Modin. Di sini awal mula munculnya konflik. Tidak hanya itu, Wasripin dianggap penyebab orang gila yang berteriak-teriak kepanasan. Wasripin dianggap sakti yang mengusik keberadaan syetan dan jin. Wasripin juga dianggap penyebar ajaran sesat oleh pemerintahan. c) Tahap Penggawatan (Rising Action) Konflik ruwet ketika terbunuhnya dukun-dukun tanpa diketahui penyebabnya. Sehingga Wasripin yang dituduh membunuh dukun-dukun secara magic. Konflik- konflik kecil pun beruntut datang. Konflik bertambah lagi ketika ada kasus pengeroyokan pemuda, pertikaian dua partai, Wasripin mendapat sasaran penangkapan. Masyarakat semakin marah ketika Pak Modin imam surau ditangkap sebagai tuduhan menganut golput, dan dianggap aliran rifa’iyah. Akhirnya Pak Modin diciduk kodim dengan dalih mengajarkan aliran sesat yang mengancam masyarakat. d) Complication (Menunjukkan konflik yang semakin ruwet). Pak Modin dibebaskan dari tahanan dan menjadi tahanan luar selama enam bulan. Tetapi Konflik semakin ruwet ketika para Legiun Veteran tidak terima dan mengajukan surat kepada presiden Sudarto. Konflik sedikit mereda ketika presiden membalas surat dari Legiun Veteran tersebut dan menyatakan bahwa Pak Modin bebas dan bersih. Namun ini ternyata bukan penyelesain dan justru konflik menjadi memuncak. e) Climax ( puncak cerita atau puncak penggawatan)
Climax yaitu puncak dari kejadian-kejadian dan merupakan jawaban dari semua problem atau konflik yang tidak mungkin dapat meningkat atau dapat lebih ruwet lagi. Puncak problematika pada novel Wasripin dan Satinah ini ketika Surat Sakti dari presiden ternyata cabinet mulai memperkarakannya. Kabinet mulai memperkarakan Surat Sakti tersebut, adanya pers yang menggugat. Bahkan birokrasi kampus yang diwakili mahasiswa ternyata juga turun tangan. Mereka memperkarakan, sebenarnya Negara milik rakyat ataukah milik perseorangan. Selain Pak Modin yang mendapat sasaran, Wasripin pun juga ditangkap komplotan gang. Namun kemudian Wasripin dibebaskan dan komplotan sipil bersenjata itu telah ditangkap. Pemerintah semakin meributkan dan memperbesar masalah sepele. f) Tahap Peleraian (falling Action) Tahap peleraian ini dimulai dengan kekuasaan partai-partai semakin runtuh. Para partai mulai menghormati Wasripin sejak Wasripin dibebaskan dari penculikan gang. Wasripin melamar Satinah, dengan rasa senang Satinah menerima lamaran Wasripin. Satinahpun memutuskan untuk berhenti menjadi penyanyi keliling beserta paman Satinah. Paman Satinah nembang Megatruh Selamat Tinggal. Masyarakat mempersiapkan upacara pernikahan Wasripin dan Satinah. g) Denouement ( Tahap Penyelesaian ) Tahap penyelesaian dalam cerita novel ini adalah tokoh utama meninggal dunia. Kuntowijoyo dalam menceritakan akhir dari novel ini masih menyisakan pertanyaan dan membiarkan pembaca untuk menyimpulkan endingnya.
Dimulai dari tokoh Paman Satinah yang meninggal dunia. Kemudian Wasripin diciduk dan ditembak mati. Keberadaan Satinahpun menghilang ketika terdengar kabar Wasripin meninggal dunia. Kematian Wasripin berdampak pada sikap masyarakat sekitar TPI. Sejak meninggalnya Wasripin masyarakat masih menganggap bahwa Wasripin masih hidup karena sebagian orang pernah melihat Wasripin di masjid Demak dan Mekah. Mereka mempunyai keyakinan Wasripin sebenarnya masih hidup dan berada di manamana. Bahkan karena keyakinan itu setiap yang sakit kemudian menyebutkan nama Wasripin dia sembuh. Meninggalnya Wasripin ternyata berdampak pada perekonomian rakyat. Tentara semakin berkuasa sedangkan rakyat mogok melaut, sehingga harga ikan melambung terutama di Jawa Barat. Karena pasokan ikan semakin sedikit pemerintah memaksa nelayan melaut, kekuasaan tentara semakin terlihat. Ternyata meninggalnya tokoh utama ini bukan menyelesaikan konflik namun justru meninggalkan beberapa pertanyaan yang membuka peluang pembaca untuk menafsirkan sendiri. Tokoh yang terakhir mengalami ending yang menyedihkan adalah tokoh Pak Modin yang menjadi hilang ingatan ketika sudah dilepaskan dari tahanan tentara. Kuntowijoyo dalam mengakhiri cerita pada novel ini adalah secara terbuka sehingga pembaca diberikan kesempatan untuk menduga-duga dan menafsirka bagaimana nasib tokoh dan keberadaan tokoh. Tokoh Wasripin yang sebenarnya meninggal atau tidak, karena jasadnya tidak ditemukan. Tokoh Satinah yang tiba-tiba menghilang tanpa diketahui
keberadaannya. Nasib tokoh Pak Modin yang hilang ingatan. Dan yang terakhir adalah tibatiba munculnya tokoh Emak yang mencari Wasripin. Tetapi dia menyesal ketika mendengar Wasripin dan Paman Satinah meninggal dunia. Kejadian yang menjalin plot di atas dapat digambarkan sebagai berikut.
Climax (e) Complication (d) Rising action (c) Inciting Moment (b)
Falling action (f)
Exposition (a)
Denoumen (g)
Gambar 6: Skema Plot Novel Wasripin dan Satinah Karya Kuntowijoyo Keterangan : (a). Perkenalan tokoh Wasripin (b).Wasripin dapat menyembuhkan orang-orang yang sakit dan dia dianggap sakti. (c). Wasripin dan Pak Modin dianggap memiliki ajaran yang sesat (d). Adanya Surat Sakti dari presiden Sudarto (e). Munculnya beberapa kontroversi dan kerusuhan karena adanya Surat Sakti, Kabinet, Pers, dan kampus turun tangan. (f). Kekuasaan partai semakin runtuh, Wasripin dan Satinah berencana menikah.
(g). Meninggalnya tokoh utama yaitu Wasripin, menghilangnya tokoh Satinah, Paman Satinah meninggal, Pak Modin hilang ingatan, dan Emak yang tiba-tiba muncul memiliki niat bertobat namun terlambat sudah tidak bisa bertemu Wasripin 3. Penokohan dan Perwatakan Tokoh dan watak tokoh mempunyai kaitan yang erat. Tokoh-tokoh yang memiliki watak akan menyebabkan terjadinya konflik, yang kemudian konflik tersebut akan menghasilkan sebuah cerita. Tokoh cerita menurut Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005:165) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 167). Artinya tokoh cerita hanyalah alat penyampai pesan atau bahkan merupakan refleksi pikiran, sikap, pendirian, dan keinginan-keinginan pengarang. Secara garis besar, tokoh yang menyebabkan konflik disebut tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang mendukung jalannya cerita sebagai tokoh yang mendatangkan simpati atau tokoh baik. Tokoh antagonis merupakan kebalikan dari tokoh protagonis adalah tokoh yang menentang arus cerita atau yang menimbulkan perasaan antipasti atau benci pada diri pembaca. Konflik antara kedua tokoh ini
berkembang terus. Karena itu, kedua jenis tokoh ini menguasai (mendominasi) keseluruhan cerita. Kedua jenis tokoh ini dapat diklasifikasikan sebagai tokoh sentral yang berarti tokohtokoh yang dipentingkan atau ditonjolkan atau menjadi pusat penceritaan (Herman J. waluyo dan Nugraheni Eko Wardani, 2009: 28-29). Novel Wasripin dan Satinah selain didukung tokoh antagonis dan protagonis juga adanya tokoh tritagonis. Pengarang dalam melukiskan tokoh dan watak tokohnya menggunakan pelukisan langsung, tak langsung dan deskripsi melalui pelukisan tokoh lainnya. Untuk mempermudah menganalisis tokoh maka dibuat tabel pembagian tokoh. Tabel pembagian tokoh dalam novel Wasripin dan Satinah dapat dilihat dalam tabel dibawah ini. Tabel 2: Pembagian Tokoh Novel Wasripin dan Satinah Karya Kuntowijoyo
NO
Pembagian Tokoh Protagonis
1
2
Wasripin
Antagonis
Tritagonis
Emak
Satinah
Partai Randu
Paman Satinah
Tambahan Pak Modin
Partai Randu
Beberapa deskripsi karakteristik tokoh
novel Wasripin dan Satinah
karya
Kuntowijoyo dari tabel di atas akan di jelaskan secara terperinci sebagai berikut: a). Wasripin (Ripin) Wasripin adalah tokoh utama sekaligus tokoh protagonis dalam novel Wasripin dan Satinah. Pengarang menggunakan teknik dramatik dalam pelukisan tokoh. Wasripin memiliki watak tokoh ikhlas dalam menerima nasibnya, pasrah, mengerti membalas budi, baik hati, dan suka menolong. Melalui tokoh utama ini, Kuntowijoyo menuangkan contoh sikap dan watak yang baik. Pelukisan watak tokoh pun dituangkan dengan baik pula, walaupun pada awalnya tokoh Wasripin memiliki pekerjaan yang tidak baik. Kemudian pada kelanjutan cerita, pengarang menuangkan amanat bahwa seseorang yang memiliki masa lalu yang buruk bisa berubah. Dibalik pekerjaan Wasripin yang tercela sebenarnya perbuatan itu dilakukan sebagai wujud dia berbakti kepada orang tuanya. Kutipan yang menunjukkan watak Wasripin yang baik hati dan mengerti membalas budi ditunjukkan melalui deskripsi cerita sebagai berikut. Ia senang dengan pujian itu. Ia juga senang karena dapat membalas budi emak angkatnya, sebab ia lihat para perempuan yang butuh tenaganya selalu mengulurkan sejumlah uang pada emak angkatnya. Ia terbiasa dengan isyarat emak angkatnya dan penyekat itu. Hanya kalau emak angkatnya sendiri yang butuh tenaganya, perintah itu akan didengarnya. Penyekat-penyekat menguntungkannya, sebab saat itu ia mendapat makanan terbaik diperkampungan; telur, daging, dan nasi yang masih panas. Keberuntungan itu berjalan emapat tahunan. Pada
tahun kelima ia harus menghentikan semua kegiatannya membantu para perempuan dengan tenaganya (Kuntowijoyo, 2003: 5) Watak Wasripin juga langsung dilukiskan oleh pengarang melalui deskripsi tokoh. Kutipan yang menunjukkan watak Wasripin sebagai berikut. Tidak usah diceritakan bahwa Danramil sembuh setelah berobat ke Wasripin sekali saja. Tapi akibatnya Danramil sangat malu dengan diri sendiri. Ternyata Wasripin sangat jauh dari gambarannya. Semula gambarannya tentang Wasripin adalah garang, tinggi hati, dan mata duitan. Ternyata, dia ramah, rendah hati mendekati rendah diri, ikhlas, dan menyiratkan wajah yang bersih. Ia malu dengan dirinya sendiri, mengajukan surat pindah (Kuntowijoyo, 2003: 98).
b). Satinah Tokoh Satinah adalah tokoh tritagonis sebagai penengah tokoh utama yaitu sebagai kekasih Wasripin. Tokoh ini digambarkan sebagai tokoh orang desa yang masih menjunjung tinggi budaya Jawa. Salah satu bentuknya adalah cara berpakaian Satinah. Di sini Satinah juga disebutkan ciri-ciri fisiknya sebagai berikut. .....Satinah dengan gelung, bunga kantil di rambut, kain batik kebaya merah, dan selendang ada di tengah kerumunan itu.... (Kuntowijoyo, 2003:11)
Tokoh Satinah memiliki watak baik hati, teliti dan jeli . Watak tokoh Satinah adalah baik hati ditunjukkan dalam kutipan ketika Satinah kasihan terhadap Wasripin, berikut kutipannya.
“ini!” kata Satinah sambil melempar bungkusan itu. “Ini apa?” “Pakailah! Ada uang di dalamnya.” Satinah pergi dan menghilang bersama motornya, sementara Wasripin memegangi bungkusan, tidak tahu apa yang dikerjakan. Sementara itu para nelayan yang khawatir ia kabur mengelilinginya (Kuntowijoyo, 2003: 32-33). Selain watak Satinah yang baik hati, Satinah juga merupakan wanita yang jeli dan teliti. Pelukisan watak Satinah yang jeli diungkapkan oleh dialog tokoh Wasripin. Kutipan yang menyatakan dimensi psikis Satinah sebagai berikut. “Kok tahu?” “Seseorang dari desaku yang kembali dari Jakarta juga berpakaian, berbahasa, dan gaya seperti itu. “ “ Kau kok jeli.” “Jenat ibu saya bilang bahwa perempuan harus jeli supaya tidak ditipu laki-laki, dan supaya telaten dalam bekerja. O, ya. Kenalkan saya Satinah. Ini paman saya (Kuntowijoyo, 2003: 14-15). c). Emak Tokoh emak adalah tokoh antagonis, karena kehadiran tokoh ini membuat gejolak batin tokoh utama. Tokoh ini memiliki watak egois. Demi ambisinya, dia tidak menghiraukan perasaan Wasripin. Tokoh ini bertentangan dengan batin tokoh Wasripin. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut.
Suatu sore emak angkatnya, “Yu Mijah butuh tenagamu. “ Adegan penyekat di dipan pun terjadi, sementara emak angkatnya dengan enak gantian tidur di dipan Wasripin. Ia menguras tenaganya. Sore yang lain emak angkatnya akan berkata, “Tumiyem butuh tenaganu.” Dan penyekat pun dipasang, tidak disadarinya entah berapa perempuan sudah minta tenaganya perempuan-perempuan yang ditemaninya tidur selalu mengacungkan jempol pada emak angkatnya, dan emak angkatnya dengan bangga akan berkata padanya, “kata semua orang, engkau laki-laki jempol” (Kuntowijoyo, 2003: 4-5). d). Paman Satinah Tokoh paman Satinah adalah tokoh tritagonis, yaitu sebagai penengah tokoh utama. Tokoh ini memiliki ciri fisik sebagai berikut. Mereka yang berkerumun bubar. Mereka kembali ketenda-tenda. Satinah kembali ke pamannya “Kasihan dia, Lik” katanya pada paman yang buta bersarung, bersurjan, berikat kepala dengan bundar. Bundar dibelakang (Kuntowijoyo, 2003: 14). Tokoh ini sangat berperan penting dalam mendukung tokoh utama sekaligus sebagai penengah konflik. Tokoh Paman Satinah adalah tokoh yang banyak menyampaikan amanat-amat. Tokoh ini memiliki watak sabar, bertanggung jawab, mau mengakui kesalahannya. Kutipan yang menunjukkan dimensi watak tokoh Paman Satinah sebagai berikut. “ Aku bersumpah demi Tuhan, Mas-Mbakyu! Saksikan, bahwa seumur hidup aku tidak akan menyentuh perempuan lagi! Dan Pamannya akan menjawab, “Maaf, Satiyem. Saya khilaf” “Aku bersedia jadi budakmu, Yem. Untuk menebus dosaku kepadamu.”
Paman tinggal di rumah Mas-Mbakyunya, menganyam bambu jadi kap lampu, keranjang kertas, hiasan dinding dan hiasan meja. Dan semuanya berjalan dengan baik. Diwaktu senggangnya ia meratapi kesalahannya sambil main siter, “Duh Gusti, kulo nyuwun pangapunten… (saya mohon ampun) (Kuntowijoyo 2003: 48). e). Pak Modin Tokoh Pak Modin merupakan tokoh tambahan yang memiliki peran penting dalam mendukung tokoh protagonis dan tokoh tritagonis. Tokoh ini memiliki dimensi psikis yaitu, baik hati, selalu berpikiran positif terhadap orang lain, sabar dalam menghadapi masalah, taat beribadah (keyakinan terhadap Tuhan sangat tinggi), bahasanya halus ketika bertutur kata. Kutipan yang menunjukkan dimensi psikis tersebut sebagai berikut. “Orang-orang mencurigakan, akan kami bawa ke Kodim, “kata salah satunya pada Lurah. Pak Modin yang selalu menjaganya menyela, “Jangan, Bapak-bapak. Saya menjamin dia orang baik-baik (Kuntowijoyo, 2003: 11).
“Jangan khawatir apa-apa. Saya punya firasat kau bermaksud baik. Di sisi surau ada kamar, kau bisa tinggal di sana. Syaratnya kau bersihkan surau. Sumur sudah ada listrik, jadi tinggal menekan tombol. Tidak usah repot-repot (Kuntowijoyo, 2003: 13).
Kutipan di atas menunjukkan watak tokoh Pak Modin yang positif terhadap orang lain. Selain itu Pak Modin memiliki watak yang baik hati dan suka menolong. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut.
Pak Modin yang rumahnya dekat surau datang. Membawa semangkuk bubur dan segelas air teh manis. “Minum dulu, Nak. Lalu makan yang halus-halus.” “Engkau siapa, Pak.” “Saya imam surau.” Wasripin mendongak. Belum pernah ia mendengar kata-kata sehalus itu, bahkan dari para perempuan yang minta tenaganya…… (Kuntowijoyo, 2003: 12).
Pak Modin juga digambarkan sebagai tokoh yang memiliki watak yang sangat percaya pada Tuhan dan taat beribadah. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut.
“Bapak-bapak, sudah waktu sembahyang Ashar. Bagaimana kalau pertemuan ditutup?” Kata Pak Modin (Kuntowijoyo, 2003: 33). f). Partai Randu Tokoh ini merupakan simbol sebuah kelompok. Tokoh Partai Randu disimbolkan sebagai tokoh yang memiliki dimensi psikis, bijaksana, dan menjunjung sebuah demokrasi. Kutipan yang menyatakannya sebagai berikut. “ Ya sudah kalau tak mau maju. Kami takkan memaksakan kehendak. Itulah inti demokrasi. Tapi jangan golput (Kuntowijoyo, 2003: 31). “ Ya itulah hakikat demokrasi. Itulah inti dari musyawarah untuk mufakat. Di gunung yang sudah modern kau akan dipanggil Mbak Sat, di desa Mbak Tinah, di kota Mbak Tin.” “ Saya dipanggil Satinah saja, Pak.”
Demokrasi yang diperjuangkan Partai Randu menghormati hak-hak individu, karena itu kau berhak dipanggil satinah. Setuju?” (Kuntowijoyo, 2003: 51). 4). Setting Menurut Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani (2009: 35) setting berkaitan dengan pengadegan, latar belakang, waktu cerita, dan waktu penceritaan. Pengadeganan artinya penyusunan adegan-adegan di dalam cerita. Tidak semua kejadian dalam kehidupan sang tokoh dilukiskan di dalam adeganadegan. Adegan dipilih yang benar-benar mewakili cerita. Adegan bisa di dalam rumah dan dapat juga di luar rumah. a). Setting Waktu Novel Wasripin dan Satinah telah banyak menampakkan waktu yang jelas dan spesifik. Hal itu nampak sekali bahwa setting yang terkait dengan waktu ini terlihat pada kutipan berikut ini: Sejak ibunya meninggal ketika wasripin masih berumur tiga tahun ia dipungut anak oleh emak angkatnya yang berjualan tahu ketoprak, berpindah-pindah tergantung adanya proyek… (Kuntowijoyo, 2003: 3). ….keberuntungan itu berjalan empat tahunan. Pada tahun kelima ia merasa harus menghentikan semua kegiatannya membantu para perempuan dengan tenaganya (Kuntowijoyo, 2003:5).
Setting waktu pada novel ini tidak hanya ditunjukkan dengan angka tahun, tetapi juga ditunjukkan dengan suasana pagi, siang, sore, dan malam. Pelukisan itu dihubungkan dengan aktivitas ibadah, misalnya sehabis lohor, sehabis subuh, sehabis asar, dan sehabis isya. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut. Sehabis subuh orang mencoba membangunkannya kembali, tetapi tetap saja ia tidur. Sampai pagi, sampai TPI itu sibuk, sampai para juragan, membawa pulang ikan-ikan untuk dikeringkan atau dipindang, dan sebuah truk menjemput perolehan ikan siang itu. Para nelayan yang pulang melaut dan selesai dengan TPI ikut berkerumun (Kuntowijoyo, 2003: 9).
b). Setting Tempat Setting tempat adalah tempat cerita. Setting cerita dalam novel Wasripin dan Satinah ini lebih banyak di Surau dan pasar kemudian yang lainnya di TPI, jalan tol, dan sungai. Kutipan yang menunjukkan setting tempat sebagai berikut.
Wasripin naik bus dari sebuah jalan tol di Jakarta pagi-pagi sekali. Ia tidak bodoh, ia juga makan sekolah. Sudah lama dipelajarinya bahwa pertama-tama ia harus mengambil jurusan Jakarta-Cirebon (Kuntowijoyo, 2003:1). “Nama saya Wasripin. Dari Jakarta” (Kuntowijoyo, 2003: 7). Sebagian besar, setting tempat yang digunakan dalam novel ini adalah setting tempat di surau. Kejadian demi kejadian dituangkan pengarang di surau. Hal ini berkaitan dengan profil Kuntowijoyo yang kehidupannya dulu sebagai seorang santri.
“Itu, tapi hanya surau, “ia menunjuk kebangunan yang terpisah dari laut. Wasripin tidak pandai sembahyang, tapi tau di situ ia dapat menampung mandi dan berak. Pekerjaan itu sudah dua hari ditinggalkannya, jadi ia ingin betul ke sana (Kuntowijoyo, 2003: 7). Setting tempat yang ke dua adalah pasar. Dalam karya-karyanya Kuntowijoyo banyak menggunakan setting tempat berupa pasar. Dalam novel ini Kuntowijoyo memasukkan setting tempat pasar, mengangkat kegiatan orang-orang di pasar. Kejadian demi kejadian terjalin di pasar ini. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut.
Lapangan itu sudah berubah menjadi pasar. Para pedagang memasang tenda-tenda sendiri yang dengan mudah mereka bongkar. Orang dari desa-desa sekitar datang. Mereka menawar dengan suara keras, berlomba dengan orang lain, dan dengan mobil van yang menawarkan jamu dengan pengeras suara yang lantang. Petugas dari kecamatan dengan tas dipinggang mendekati para pedagang dan menarik pajak. Hari ini bukan hari pasar biasa, tapi Hari Pasar. Itulah sebabnya Satinah dan pamannya datang. Pasar akan segera selesai (Kuntowijoyo, 2003: 16). Sebagai tambahan, setting tempat di sungai dimasukkan dalam cerita, setting alam ini memberi warna cerita tersendiri. Di sini dituangkan cerita percintaan Wasripin dengan Satinah. Memasukkan perasaan batin tokoh Wasripin yang sangat merindukan suasana alam yang sudah lama tidak dia rasakan. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut.
Sudah beberapa hari Wasripin tidak melihat sungai. Mandi di kamar mandi surau tidak memuaskannya. Ia tidak tahu berapa lama ia tidur. Karenanya, setelah bertanya tempat sungai ia ingin segera sampai ke sana. Keinginan itu melupakan janjinya pada Pak Modin untuk segera kembali setelah jalan-jalan sungai itu panjang, berkelok-kelok, bermuara diteluk, dan mengairi sawah yang luas. Sungai yang pada ujungnya akan bermuara di teluk TPI. Sungai itu di sebelah sana masih bening, tidak asin, jauh dari pantai… (Kuntowijoyo, 2003:23).
Salah satu konflik yang muncul dalam cerita pada novel ini terjadi di TPI. Kuntowijoyo memasukkan kehidupan nelayan. Dengan pelukisan cerita di TPI. Kutipan yang menyatakan sebagai berikut.
Wasripin jadi satpam di TPI. Dia dapat shift malam hari untuk minggu pertama. Selain seragam, dia dibekali sebuah radio transistor dan baterai. Dia senang dengan pengalaman barunya. Di malam hari suarasuara laut lebih terdengar, byarrr kricik-kricik. Teman-temannya selalu menghindar untuk menjaga di TPI dan memilih berjaga di emperan suara sambil bercanda dengan orang-orang siskamling. TPI menyediakan radio itu dengan maksud supaya satpam yang jaga malam betah melek, tetapi mereka selalu menghindari berjaga di TPI. c). Setting Sosial Latar
sosial
menunjukkan
perilaku
kehidupan
sosial.
Latar
sosial
juga
menggambarkan suasana kedaerahan. Dalam novel Wasripin dan Satinah Kuntowijoyo menunjukkan latar sosial masyarakat yang memiliki mata pencahariaan sebagai nelayan dan masyarakat pedagang. Masyarakat nelayan ini pada akhirnya akan berkumpul di pasar untuk menjual hasil tangkapannya. Sehingga Kuntowijoyo menngunakan Hari Pasar sebagai latar sosialnya. Kebanyakan karya Kuntowijoyo menggunakan seting sosial Pasar dalam karyakaryanya. Dilihat dari latar belakang Kuntowijoyo sebagai seorang yang hidup di kultur Jawa, jadi pengarang mengenal istilah Hari Pasar. Kutipan yang menunjukkan setting sosial kehidupan masyarakat sebagai berikut.
Hari Pasar di pasar TPI. Hari Pasar yang dulu seekor sapi hilang. Tidak ada protes dari orang banyak, sebab pemiliknya memang
dikenal pelit pada tetangga. Dan hari itu seekor sapi lagi, padahal pemiliknya terkenal sebagai pemurah. Maka, para belantik menolak untuk membayar pajak. Mereka marah kepada pasar TPI. Ketika petugas penarik pajak datang, mereka menuding-nudingnya (Kuntowijoyo, 2003: 110) 5). Point of View Point of View atau sudut pandang cerita mengacu pada cara sebuah cerita dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan tokoh, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam karya fiksi kepada pembaca. Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih oleh pengarang untuk mengemukakan gagasan ceritanya. Sudut pandang yang digunakan pada novel Wasripin dan Satinah yaitu pesona atau gaya “dia”, pengarang atau narator berada di luar cerita. Pengarang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya. Nama tokoh, dan tokoh utama selalu disebut termasuk variasi kata gantinya. Sudut pandang yang paling menonjol dalam novel Wasripin dan Satinah, menggunakan cara ini. Berikut ini kutipan yang menunjukkan sudut pandang tersebut.
Wasripin naik bus dari sebuah jalan tol di Jakarta pagi-pagi sekali. Ia tidak bodoh, ia juga makan sekolahan. Sudah lama dipelajarinya bahwa pertama-tama ia harus mengambil jurusan Jakarta-Cirebon … (Kuntowijoyo, 2003:1).
Kuntowijoyo menggunakan sudut pandan Pesona “dia” dalam melukiskan tokoh-tokohnya, selain menyebutkan nama langsung, Kuntowijoyo menyebutkan tokohnya dengan kata “dia”. Kutipan sebagai berikut.
Wasripin jadi satpam TPI. Dia dapat shift malam hari untuk minggu pertama. Selain seragam, dia dibekali sebuah radio transistor dan baterai. Dia senang dengan pengalaman barunya. Di malam hari suara-suara laut lebih terdengar, byrr. Kricikkricik. Teman-temannya selalu menghindar untuk berjaga di TPI dan memilih berjaga di emperan surau sambil bercanda dengan orang-orang siskamling. TPI menyediakan radio itu dengan maksud supaya satpam yang jaga malam betah melek, tetapi mereka selalu menghindari berjaga di TPI. Sebab, kata teman-temannya, kerja di malam hari banyak godaannya. Ada godaan yang kasar, ada godaan yang halus. Ada godaan yang menawarkan racun, ada godaan yang menawarkan madu. Sebagai orang baru Wasripin mempunyai disiplin tinggi. Ia benar-benar berjaga di TPI. Melek, tidak tidur (Kuntowijoyo, 2003: 61-62). 4. Nilai Pendidikan Novel Bekisar Merah dan Wasripin dan Satinah Karya sastra yang menganut paham apa pun, pertama-tama harus memenuhi hakikat seni sastra; menyenangkan dan berguna atau dulce et utile (Horatius dalam Teeuw 1984: 51). Bila karya tidak memenuhi hakikat fungsi Dulce et utile, karya sastra itu kurang bermutu atau tidak bermutu. Sebaliknya karya sastra yang bermutu tinggi adalah karya sastra yang di dalamnya mempunyai hakikat dan fungsi karya sastra, dulce et utile (Sudarman, 2007: 45). Ada beberapa nilai dalam karya sastra antara lain, nilai pendidikan kemanusiaan, nilai pendidikan sosial budaya, nilai pendidikan religius, dan nilai
moral. Nilai-nilai tersebut berfungsi untuk menyampaikan pesan yang ada dalam karya sastra kapada masyarakat kususnya pembaca sehingga bermanfaat. a. Nilai Pendidikan Sosial Nilai pendidikan sosial yang diambil dari sebuah cerita, dalam hal ini adalah novel yang bisa dari hal-hal yang bersifat positif ataupun negatif. Kedua hal tersebut perlu disampaikan agar kita dapat memperoleh banyak teladan yang bermanfaat. Sosial dapat diartikan hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat atau kepentingan umum. Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Dalam novel Bekisar Merah dan Wasripin dan Satinah telah digambarkan dengan jelas bahwa kehidupan sosial adalah denyut dan nadi kehidupan manusia. Maka dalam novel ini tergambar bagaimana tokoh utama sebagaimana makhluk invidu dan juga sosial. 1). Nilai Pendidikan Sosial Novel Bekisar Merah Kehidupan masyarakat Karangsoga masih menjunjung tinggi kebersamaan dan tolong menolong. Kehidupan kaum wong cilik yang selalu bahu membahu dalam keadaan sulit. Kehidupan ini bisa dilihat ketika Darsa jatuh dari pohon kelapa dan masyarakat ikut andil memberikan pertolongan pertama. Kutipan yang menunjukkan pendidikan sosial sebagai berikut.
Orang-orang perempuan mengurus Darsa dan Lasi. Celana pendek Darsa yang basah dilepas dengan hati-hati. Ada yang memaksa
Darsa menenggak telur ayam mentah. Mereka lega setelah menemukan tubuh Darsa nyaris tanpa cedera kecuali beberapa luka goresan pada tangan dan punggung......(Ahmad Tohari, 2005: 21). Nilai pendidikan sosial ditunjukkan dari kutipan diatas. Orang-orang yang mengurus Darsa merupakan salah satu sikap positif dari perihal sosial yang ditunjukkan masyarakat Karangsoga sebagai bentuk kepedulian sosial. Nilai pendidikan sosial itu ditegaskan memelalui salah satu tokoh yang menolong langsung saat kejadian Darsa jatuh dari pohon kelapa. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut.
Wiryaji terus mengangguk-angguk untuk memberikan tekanan pada nasihatnya. ”untunglah kamu yang ada di dekatnya waktu itu. Bila orang lain yang ada di sana, mungkin ia berteriak-teriak dan mengambil langkah yang keliru. Mukri, terima kasih atas pertolonganmu yang jitu.” (Ahmad Tohari, 2005: 22). 2). Nilai Pendidikan Sosial Novel Wasripin dan Satinah Novel Wasripin dan Satinah ini merupakan cerita yang syarat akan nilai-nilai pendidikan sosial yang tinggi. Pada awal cerita banyak nilai-nilai pendidikan yang diajarkan oleh tokoh emak Wasripin, walaupun pada kehidupan yang dijalaninya banyak melenceng dari norma sosial. Emak Wasripin banyak memberikan nasihat tentang kehidupan, antar lain sikap untuk saling menolong, berbuat kebaikan kepada sesama, dan mensyukuri atas apa yang Tuhan berikan pada diri sendiri. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut.
Wasripin melangkah pasti. Makan dan tidur tidak jadi persoalan. Ia tahu tempat yang murah untuk makan, ia bisa tidur di mana
saja. Ia bisa mandi dan berak di sungai. Induk semangnya mengajari untuk tidak mencuri, memperkosa, mengemis, dan menyakiti orang. Tentang keyakinan, kata emak angakatnya, ”Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah, ” dan tentang rezeki jangan lihat ke atas, lihatlah ke bawah. Katakan pada dirimu bahwa kau beruntung. Begitulah cara berterimakasih pada Gusti Allah” (Kuntowijoyo, 2003: 6-7). Nasehat emaknya itu ternyata diterapkan dalam kehidupan Wasripin. Wasripin menolong seorang pencuri. Dia memberikan sebagian uangnya untuk pencuri yang hendak mencuri di TPI. Dan memberikan nasihat supaya pencuri itu berhenti dari pekerjaannya mencuri. Kutipan yang menunjukkan nilai pendidikan sosial itu sebagai berikut.
”Ini uang untuk anak-anakmu. Tapi jangan lagi mencuri. Tambahkan pada uang suap”. Sambil melongo pencuri itu menerima uang Wasripin. Dia berlari dengan linggisnya. Pencuri itu mencium tangan yang pernah diterimannya. Pelan-pelan pencuri menjauh, makin lama makin cepat. Kemudian dia menoleh (Kuntowijoyo, 2003: 63)
Sikap untuk ikhlas dalam kehidupan dan menyadari akan takdir serta nasib juga diajarkan oleh Emak Wasripin. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut.
Wasripin masih terheran-heran dengan apa yang terjadi. Di Jakarta ia menjadi sampah, di sini orang menghargainnya. Pernah ia dan emak angkatnya berlari-lari ambil mendorong dagangannya hanya untuk menghindari petugas ketertiban. Di sini, lurah, Partai Randu, dan Partai Langit malah melamarnya untuk memberi pekerjaan. Benar kata emak angkatnya, ”Hidup itu berputar, sekali engkau boleh di bawah. Tapi percayalah suatu kali engkau akan naik”. Tahu-tahu Pak Modin sudah menjemputnya. Sore hari itu dia duduk lagi diemperan surau (Kuntowijoyo, 2003: 35).
Emak Wasripin tidak hanya mengajari untuk bertanggung jawab terhadap orang lain, tetapi juga terhadap dirinya sendiri. Mengajari untuk hidup berhati-hati dan tidak licik terhadap orang lain. Kutipan yang menunjukkan nilai pendidikan tersebut sebagai berikut.
”Mencuci gelas dan mangkuk, ”mencuci piring-piring dan gelas adalah keharusan (kata emak angkatnya ”Hanya kucing yang tidak pernah mencuci”) (Kuntowijoyo, 2003: 12). Nilai pendidikan sosial yang lain adalah ketika kita berperilaku hendaknya berpikir dahulu, apakah perbuatan itu merugikan diri sendiri atau juga merugikan orang lain. Nilai pendidikan ditunjukkan tidak hanya berupa nilai dari segi positif namun juga dari segi negatif, yang berguna sebagai pelajaran hidup. Nilai negatif yang tidak baik dan perlu dihindari adalah sikap licik terhadap orang lain karena akan merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal ini sesuai dengan pepatah ”sepandai-pandainya tupai melompat sekali akan gagal juga”. Sesuai dengan kutipan di bawah ini.
Namun, seperti kata pepatah, ”sepandai-pandai tupai melompat sekali akan gagal juga”. Satgas partai Randu yang bertugas menjaga kelancaran pertunjukkan menemukan selebaran-selebaran yang mendeskreditkan partai. ”Partai Randu sarang korupsi”, Partai Randu melindungi Maling Kakap”, Maling teriak Maling,” dan Partai Randu anti Pembangunan”. Ketika ketua partai melihat selebaran itu rasanya dada mau meledak. Tapi dasar sedang pentas kesenian dia harus bisa menunjukkan muka cerah dan bibir tersenyum (Kuntowijoyo, 2003:172).
b. Nilai Pendidikan Budaya
Koentjaraningrat (1985: 18) mengemukakan bahwa sistem nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Nilai–nilai budaya yang terkandung didalam cerita dapat diketahui melalui penelaahan terhadap karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh dalam cerita. Novel Bekisar Merah dan novel Wasripin dan Satinah sama-sama masih menjunjung budaya, kedua novel ini kental akan budaya Jawa. Budaya yang diterapkan dalam masyarakat, baik itu budaya yang disisipkan pada nasihat tokohtokohnya ataupun sebutan nama bahkan cerita pewayangan pun ikut dimasukkan sebagai warna lokal budaya Jawa. 1). Nilai Pendidikan Budaya Novel Bekisar Merah Pendidikan budaya pada novel Bekisar Merah ini dirunjukkan melalui nasihat-nasihat yang berupa bahasa Jawa. Memiliki makna mendalam tentang hakikat kehidupan dan tanggung jawab terhadap kehidupan tersebut. Menuangkan bagaimana sikap seorang manusia yang hidup dengan kebudayaan orang Jawa. Kutipan yang menyatakan nilai-nilai pendidikan budaya sebagai berikut.
” Andai aku jadi kamu aku akan mengambil sikap nrima salah, bersikap taat atas asas sebagai orang yang bersalah. Inilah cara yang paling baik untuk mengurangi beban jiwa dan mempermudah penemuan jalan keluar...(Ahmad Tohari, 2005: 116).
Kutipan di atas merupakan nilai pendidikan budaya Jawa karena saat Eyang Mus menasehati Darsa, menggunakan istilah Jawa yaitu ”Nrimo salah” . Nilai pendidikan di atas menjelaskan bahwa, dalam kehidupan hendaknya bersikap mau menerima kesalahan. Dengan rasa ikhlas menerima kenyataan maka hati akan tenang sehingga dapat menemukan jalan keluar.
”Ya. Kamu tak mungkin menghindar dari keputusan para pamong desa dan itu juga wohing pakarti, buah perbuatan yang harus kamu petik. Lagi pula, suweng ireng digadekna, wis kadung meteng dikapakno. Kamu tahu? (Ahmad Tohari, 2005:117). Nilai pendidikan budaya juga ditunjukkan melalui kutipan kalimat jawa ”wohing pakarti” di atas. Melalui tokoh Eyang Mus, ingin disampaikan nilai pendidikan bahwa dalam bersikap hendaknya hati-hati dan berpikir terlebih dahulu, karena segala perbuatan pasti akan ada akibat dibelakangnya. Apa yang kita kerjakan maka hasil akan diraih setelahnya.
”Las, mereka tahu apa dan siapa kamu sebenarnya. Tetapi aku tak tahu mengapa mereka lebih suka cerita palsu, barangkali untuk menyakiti aku dan kamu. Sudahlah, Las, biarkan mereka. Kita sebaiknya nrima saja. Kata orang, nrima ngalah luhur wekasane, orang yang mengalah akan dihormati pada akhirnya” (Ahmad Tohari, 2005: 40). Melalui tokoh Mbok Wiryaji juga dituangkan nilai-nilai pendidikan budaya Jawa. Kembali ditegaskan makna kata nrimo yang ternyata membuahkan hasil bahwa dengan menerima keadaan pada akhirnya hidupnya akan dihormati.
”Mbakyu lupa kita orang Jawa? Di istana sudah ada Naoko Nemoto. Nah bila aku juga membawa gadis jepang seperti Haruko, itu namanya ngembari srengenge, mengembari matahari. Kita orang Jawa pantang melakukan sesuatu yang merupakan prestise pribadi Pemimpin Besar. Mau kualat apa?” (Ahmad Tohari, 2005: 161).
2). Nilai Pendidikan Budaya Novel Wasripin dan Satinah Novel Wasripin dan Satinah lebih banyak menuangkan nilai pendidikan budaya kususnya budaya Jawa. Budaya ini dituangkan melalui simbol karakter pewayangan dan kisah cerita pada masa lalu (legenda). Bahkan novel ini juga masih menunjukkan budaya kesenian Jawa yang dilukiskan melalui tokoh Paman Satinah dan Satinah yang masih nguri-nguri budaya Jawa. Melalui Tokoh Satinah dan Paman Satinah juga menonjolkan bagaimana budaya Jawa masih dipelihara dengan menunjukkan identitas berupa pakaian yang mereka kenakan. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut.
”Ini pasti cucu Kumbakarna. ”Kumbakarna adalah adik Rahwana yang sepanjang hidupnya lebih suka tertidur, barangkali sebagai protes atas kejahatan kakaknya (Ahmad Tohari, 2003: 9). Nilai pendidikan budaya tidak hanya ditunjukkan melalui kutipan-kutipan dengan bahasa jawa namun juga salah satunya memasukkan unsur budaya Jawa berupa pewayangan. Melalui sikap tokoh-tokoh pewayangan, Kuntowijoyo memasukkan amanat pendidikan budaya. Seperti yang dijelaskan dalam kutipan di atas melalui tokoh Kumbakarna.
Wasripin ingat kata-kata emak angkatnya setiap kali ada perempuan pakai kebaya berkain batik, ”itu lho, Pin. Yang namanya wanita cantik. ” Di Jakarta hanya pada Hari Kartini ditemukan gadis-gadis demikian, dekat sekolahan. Dan sekarang Satinah berdandan seperti itu (Ahmad Tohari, 2003: 16). Kuntowijoyo dalam menuangkan cerita ini juga memasukkan nilai pendidikan budaya Jawa, yaitu berupa pakaian yang dikenakan oleh Satinah. Pakaian kebaya adat Jawa yang pada jaman sekarang sudah tidak lagi dikenakan karena pergeseran budaya. Seperti kutipan kalimat di atas.
Pada waktu itu Satinah cekikikan sendiri. Ia punya ide bagus, bermain Joko Tarub-Nawang Wulan. Ia ingin jadi Nawang Wulan dan Wasripin adalah Joko Tarub. Mestinya Satinah yang ada di dalam air. Kebalik tak apa, pikirnya (Kuntowijoyo, 2003: 25). Nilai pendidikan budaya yang selanjutnya adalah menuangkan cerita Legenda yang pernah terjadi di tanah Jawa. Legenda ini menceritakan tentang asmara yang terjadi antara Joko Tarub dan Nawang Wulan yang kemudian diaplikasikan melalui cerita tokoh Wasripin dan Satinah saat berada di sungai. Kutipan nilai pendidikan budaya di atas juga dikuatkan dengan kutipan dibawah ini yang menjelaskan bahwa sejak kecil ternyata Wasripin telah ditanamkan tentang nilai budaya Jawa oleh Emak yang dari kecil mengenalkan cerita Toko Tarub dan Nawang Wulan. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut.
Ia ingat, emak angkatnya memang pernah bercerita tentang Joko Tarub dan Nawang Wulan waktu dia kecil. ” Ada tujuh bidadari sedang mandi di sendang yang tercantik namanya Nawang Wulan.
Joko Tarub yang mengintip ingin memperistri bidadari tercantik itu. Maka ia pun menyembunyikan pakaiannya. Ketika selesai mandi, bidadari lain mencari pakaian masing-masing dan terbang. Tinggalah Nawang Wulan yang kehilangan pakaian, dan tak dapat terbang. Maka ia bersumpah bahwa siapa saja yang dapat menemukan pakaiannya kalau perempuan akan dijadikan saudara perempuan, kalau laki-laki akan dijadikan suami. Pada waktu itu muncullah Joko Tarub. ”Waktu itu dia berpikir bahwa laki-laki desa itu amat beruntung. Dan pernah terbersit dalam pikirannya untuk jadi Joko Tarub (Kuntowijoyo, 2003: 25-26). Nilai pendidikan budaya Jawa dijelaskan juga ketika penduduk masih mempercayai ritual ruwatan. Ritual ruwatan ini dimasukkan ke dalam cerita ketika Satiyem diganti namanya. Bahkan juga dijelaskan bahwa ritual ruwatan nama ini sama seperti cerita pewayangan Ruwatan Murwokolo. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut.
Selain pengajian, Satiyem juga diikutkan dalam acara ruwatan yang diselenggarakan sebuah paguyuban aliran kepercayaan. Ayahnya berpendapat bahwa orang bisa beragama apa saja, IslamKristen-Buddha, tetapi jangan lupa Jawanya. Jowo berarti tahu makna hidup. Maka dalam upacara ruwatan Satiyem diguyur dengan bunga mawar. Kemudian ada wayang dengan cerita Ruwatan Murwokolo. Seorang Sukerto (kotor) harus diruwat, sebab kalau tidak diruwat dia akan dimakan Batara Kala....(Kuntowijoyo, 2003: 45). Nilai pendidikan budaya Jawa juga ditunjukkan dengan budaya kesenian alat musik yang dimainkan oleh Paman Satinah yaitu dengan alat musik siter. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut.
Paman mulai dengan siternya disambung seruling. Permainan seruling itu mendayu-dayu, mengiris-iris hati, membuat para
nelayan yang tiap hari menghadapi gempuran ombak itu termenung. Ketika seruling memainkan ‘Megatruh Selamat Tinggal’ mereka membayangkan kegagalan, keputusasaan, dan kematian. Sebagian orang mulai berdiri, meninggalkan lingkaran. “Kami datang untuk bersenang-senang, bukan utuk bersedihsedih, “pikir mereka sambil meninggalkan tempat itu (Kuntowijoyo, 2003: 206). Melalui tokoh Srikandi, diibaratkan pada cerita ini adalah Satinah. Satinah saat bernyanyi berdialog seolah-olah dirinya adalah Srikandi yang sedang dirayu. Ditunjukkan dalam dialog di bwah ini.
Seorang laki-laki meloncat ke tengah. Orang itu sempoyongan. Dari mulutnya keluar bau alkohol. Beberapa laki-laki melangkah ke depan, mereka ingin melindungi Satinah. Tapi Satinah mencegah mereka dengan isyarat tangan. Dengan gaya Dursosono laki-laki itu bilang, “Ayo, wong ayu Jeng Sri eh Srikandi. Melu aku. Tak Mukteke ana ngastino!’ (Ikut aku. Aku muliakan di Astina). Satinah yang berpura-pura jadi Srikandi bilang, “Nanti dulu, to Kakangmas. Mbok ya minum teh poci dulu!” sementara itu lelaki yang mabuk menari-nari, dan terjatuh” beberapa orang menggotongnya ke luar arena (Kuntowijoyo, 2003: 77). c. Nilai Pendidikan Agama Agama dan pandangan hidup kebanyakan orang menekankan kepada ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan serta sikap menerima terhadap apa yang terjadi. Pandangan hidup yang demikian jelas memperhatikan bahwa apa yang dicari adalah kebahagiaan jiwa, sebab agama adalah pakaian hati, batin atau jiwa. Mangunwijaya (1982: 11) dalam bukunya Sastra dan Religiositas mengatakan bahwa:
Agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada “Dunia Atas” dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir alkitab dan sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan. Religiositas lebih melihat aspek yang ”didalam lubuk hati”, riak getaran hati nurani pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa “du coeur” dalam arti Pascal, yakni cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman si pribadi manusia.
Nilai religius dapat dikatakan nilai dasar kemanusiaan yang berkaitan dengan ketuhanan secara umum dan diakui oleh semua pemeluk agama. Dicontohkan lagu “Tuhan” karya Bimbo, semua pemeluk agama mengatakan bahwa lagu itu mempunyai nilai religius. Dan Mangunwijaya mengatakan bahwa karya sastra yang baik itu religius. Novel Bekisar Merah dan Wasripin dan Satinah memiliki nilai-nilai pendidikan agama yang kuat. Setiap perilaku tokoh terutama tokoh Eyang Mus dan Paman Satinah menuangkan nilai pendidikan agama. Nilai pendidikan agama yang dituangkan lebihmenuju kepada ketentraman batin tokoh. Sikap dan perilaku yang dituangkan beberapa tokoh dalam ke dua novel ini jika dipandang dari pandangan peneliti lebih mengacu pada kitab Al Quran. Setiap agama memiliki pandangan dan pedoman sesuai dengan agama masing-masing. 1). Nilai Pendidikan Agama Novel Bekisar Merah
Dalam novel Bekisar Merah tokoh yang banyak menuangkan nilai-nilai pendidikan agama adalah tokoh Eyang Mus yaitu penjaga surau sekaligus imam surau. Orang paling dihormati oleh penduduk Karangsoga. Mereka selalu banyak meminta nasihat. Salah satunya ketika Mbok Wiryaji mendapat nasihat oleh Eyang Mus bahwa Tuhan itu tidak tidur dan janganlah berputus asa dalam menghadapi ujian kehidupan. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut.
” Ya. Ikhtiar harus tetap di jalankan. Juga doa. Dulu kamu sendiri bilang, bila hendak memberikan welas-asih, Gusti Allah tidak kurang cara. Tetapi mengapa sekarang kamu jadi berputus asa? Kamu tak lagi percaya bahwa Gusti Allah ora sare, tetap jaga untuk menerima segala doa?” (Ahmad Tohari, 2005: 60). Nilai pendidikan agama yang menjelaskan bahwa tuhan itu sebenarnya tidak tidur sebagai berikut.
Lasi terus bekerja mengendalikan api. Nira dalam kawah menggelegak seperti mengimbangi semangat yang tiba-tiba mengembang di hati Lasi. Asap mengepul dan bergulung naik ke udara. Bau nira yang mulai memerah tercium lebih harum. Oh, betul Gusti Allah ora sare, bisik Lasi untuk diri sendiri. Akhirnya Kang Darsa sembuh karena welas asihNya. Orang yang senang menyebutku radha magel, janda kepalang tanggung, boleh menutup mulut, emak yang selalu menyebut-nyebut nama Pak Sambeng juga boleh menutup mulut. Lasi mengembuskan napas lega. Air matanya menggenang (Ahmad Tohari, 2005: 67-68). Nilai pendidikan agama berupa keikhlasan juga dijelaskan dalam novel Bekisar Merah ini. Nilai pendidikan agama berupa keikhlasan dituangkan ketika keluarga Lasi mengalami ujian hidup. Penduduk Karangsoga menguatkan hati dan
menasehati keluarga Lasi yang mendapat musibah. Kutipan yang menunjukkan nilai pendidikan agama berupa keikhlasan sebagai berikut.
Beberapa tetangga, lelaki dan perempuan, ikut bicara. Mereka bersama-sama berusaha menenangkan mbok Wiryaji. Seseorang mengingatkan Mbok Wiryaji akan keyakinan orang Karangsoga bahwa segala hal sudah ada yang mengatur, ” Manusia mung saderma nglakoni, ”katanya. Lasi meski terkesan seperti petasan siap meledak, tetap diam. Lenggang, meski kaku dan tegang. Eyang Mus yang semula bermaksud memanggil darsa mengurungkan niatnya. Mempertemukan Darsa dengan Lasi dan Mbok Wiryaji. Ketika suasana masih panas sama dengan mengumpankan kucing ke depan anjing yang sedang amok (Ahmad Tohari, 2005: 77). Novel Bekisar Merah juga terdapat nilai pendidikan agama berupa rasa syukur kepada Tuhan atas kenikmatan yang diberikan Tuhan kepada umatnya. Suatu pelajaran hidup berharga yaitu ketika kita mensyukuri nikmat Tuhan maka Tuhan akan menambah nikmat itu. Nilai pendidikan agama mensyukuri nikmat sesuai dengan yang dijelaskan dalam Al Quran Surat Ibrahim ayat 7 yang berbunyi.
Waidz taadzna rabbukum lain syakartum la azidannakum, wainkafartum inna adzabi lasyadiid (Nazrin Adlany, 2001: 476). Artinya, ”Dan ingatlah tatkala Tuhanmu memalumkan ’sesungguhnya jika kamu bersyukur niscaya Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan bila kamu kufur sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. ” (Nazrin Adlany, 2001: 476).
Pada novel Bekisar Merah ini nilai pendidikan agama mensyukuri nikmat yang berlandaskan Al Quran Surat Ibrahim ayat 7, ditunjukkan pada kutipan di bawah ini.
Lasi dan Darsa berpandangan. Lasi tersengat dan ada gelombang kejut menyentak jantungnya. Pipinya merona. Namun Lasi segera menundukkan kepala. ”Nanti kita bikin selamatan, ya, Kang. Kita syukuran.” ”Ya, bila aku sudah benar-benar pulih asal, kembali seperti sediakala.” ”Ya, Kang.” (Ahmad Tohari, 2005: 67). Rasa syukur merupakan nilai pendidikan agama. Agama mengajarkan syukur yang benar ditentukan oleh tiga hal yaitu; 1) mengakui nikmat itu secara batin, 2) menyebut-nyebut nikmat tersebut secara lisan, 3) menggunakan nikmat tersebut demi ketaatan terhadap Allah SWT. Dalam novel Bekisar Merah rasa syukur itu digambarkan memalui masyarakat Karangsoga yang memiliki latar sosial seorang penyadap.
Makin dekat lebaran orang KarangSoga makin banyak senyum karena harga gula kelapa terus naik.Pada puncaknya nanti mungkin harga sekilo gula bisa sepadan dengan satu setengah atau bahkan dua kilo beras. Apabila keadaan ini tercapai,meskipun tidak lima tahun sekali dan mungkin hanya berlangsung beberapa hari,orang Karangsoga merasa beruntung justru karena mereka adalah penyadap nira.Setelah tersedia beberapa kilo beras dan sedikit uang untuk menyambut lebaran,mereka merasa bahwa hidup adalah kenikmatan yang pantas disyukuri. Dalam rasa beruntung seperti ini mereka pergi menyadap,menembus kabut pagi yang dingin dengan hati yang ringan.Mereka berbagi kegembiraan bila saling berpapasan di jalan dengan tertawa atau bersenandung bahkan ketika mereka sedang berada di ketinggian pohon kelapa.Memang,mereka sangat sadar bahwa harga gula yang pantas tidak pernah berlangsung lama.namun kesadaran itu pula yang mengharuskan para penderes Karangsoga menikmati hari-hari yang langka dan sangat berharga itu.Tertawalah
selagi ada peluang,meski Tohari,2005:237).
hanya
sejenak
(Ahmad
Kutipan di atas juga menegaskan bahwa mereka orang miskin yang hidup di Karangsoga juga percaya akan adanya Tuhan, sehingga mereka menerima apapun yang diberikan Tuhan dengan rasa syukur. Seperti yang tertuang dalam Al Quran Surat Al-An’am ayat 53 yang berbunyi:
Wa Kadza lika fatannaa ba’dhohum biba’dhin liyaqu lu aha uulaa i manna allahu a’laihim min baininaa alaisa allahu bia’lama bissyakirin (Nazrin Adlany, 2001: 242). Artinya; ”Dan demikianlah kami menguji sebagian di antara mereka (orang kaya) dengan sebagian yang lain (orang miskin), supaya (orang kaya berkata), ’orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi karunia oleh Allah?’ bukankah Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur’ (Nazrin Adlany, 2001: 242). Eyang Mus sebagai tokoh yang dituakan di desa Karangsoga merupakan tokoh yang berperan menyampaikan dakwah dan nasehat. Di sini Eyang Mus menjadi nasehat ketika ada kebimbangan ibadah puasa bagi penderas kelapa. Novel ini menyampaikan nilai pendidikan agama karena menuangkan dakwah tentang anjuran berpuasa. Anjuran berpuasa yang dituangkan dalam nilai pendidikan agama novel Bekisar Merah, sesuai dengan tuntunan dalam Al Quran Surat Al Baqoroh (Sapi Betina) ayat 183 yang berbunyi.
Yaa ayyuhal ladziina aamanuu kutiba ’alaikummush shiyaamu kamaa kutiba ’alal ladziina min qablikum la’alallakum tattaquun (Nazrin Adlany, 2001: 50).
Artinya: Hai sekalian orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang yang terdahulu dari kamu supaya kamu bertaqwa (Nazrin Adlany, 2001: 50).
Ajaran puasa yang tidak hanya sekedar untuk menahan diri dari makan dan minum tapi ajaran puasa yang sesungguhnya untuk menahan nafsu. Dan ajaran puasa sebenarnya tidak memaksakan, dilakukan bagi mereka yang mampu. Tetapi ajaran ini dianjurkan. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut. ” Oh, aku belum menjawab pertanyaanmu? Dengarlah anak muda, sebenarnya orang diberi kekuatan oleh Gusti Allah untuk menepis semua hasrat atau dororngan yang sudah diketahui akibat buruknya. Orang juga sudah diberi ati wening., kebeningan hati yang selalu mengajak eling. Ketika kamu melanggar suara kebeningan hatimu sendiri, kamu dibilang ora eling, lupa akan kesejatian yang selalu menganjurkan kebaikan bagi dirimu sendiri. Karena lupa akan kebaikan, kamu mendapat kebalikannya, keburukan. Mudah dinalar? (Ahmad Tohari, 2005: 115).
” Nanti dulu, aku belum selesai bicara. Meski kalian bisa memperoleh kemudahan, jangan lupa bahwa dalam bulan Puasa seperti sekarang ini kalian tetap diminta berlatih mengendalikan nafsu, perasaan, dan keinginan. Karena, itulahinti ajaran puasa” (Ahmad Tohari, 2005: 235).
Nilai pendidikan agama untuk berpuasa dituangkan dalam novel ini. Ahmad Tohari memiliki latar belakang agama yang bagus karena latar belakang pesantren.
Ahmad Tohari memasukkan nilai dakwah agama tentang berpuasa. Seperti dalam kutipan di atas, bahwa puasa merupakan anjuran, tapi tidak memaksa, hanya bagi orang-orang yang beriman puasa itu dirasakan bukan sebagai sebuah paksaan tapi sebagai kewajiban. Karena puasa memiliki banyak manfaat, antara lain mengendalikan nafsu.
” Ah, kalian tak pernah bosan mengajukan pertanyaan ini. Begini, anakanak. Dhawuh berpuasa hanya untuk mereka yang percaya, dan dasarnya adalah ketulusan dan kejujuran. Intinya adalah pelajaran tentang pengendalian dorongan rasa. Mukri, bila kamu kuat melaksanakan puasa meski pekerjaanmu berat, dhawuh itu sebaiknya kamu laksanakan” (Ahmad Tohari, 2005: 234-235).
Kutipan nilai pendidikan agama di atas sesuai dengan anjuran dalam kitab Al Quran Surat Al Baqoroh ayat 184 yang berbunyi, Ayyaamam ma’duudaatin fa man kaana minkum mariidhan au ’alaa safarin fa ’idatum min aayamin ukhara wa ’alaal ladziina yuthiiquunahu fidyatun tha ’aamu miskiinnin fa man tatahawwa’a khairan fa huwa kairul lahuu wa an tashuumuun khairul lakum in kumtum ta’ lamuun (Nazrin Adlany, 2001: 50).
Artinya: (yaitu) beberapa hari yang sudah ditentukan. 95) maka barang siapa diantara kamu sakit atau dalam perjalanan, maka (puasakanlah) bilangan (yang tidak dipuasakan itu) pada hari-hari yang lain. Dan terhadap orang-orang yang sangat berat baginya mengerjakan puasa, 96) wajib membayar fidyah (yaitu) memberi makanan seorang miskin; dan barang siapa yang dengan sukarela mengerjakan kebaikan, maka itulah yang lebih
baik baginya, dan puasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui (Nazrin Adlany, 2001: 50).
Tokoh Eyang Mus juga memberikan nilai-nilai pendidikan Agama mengenai kepercayaan bahwa Tuhan itu selalu memberikan yang baik-baik kepada umatnya. Sesungguhnya jika ada kesulitan itu sebenarnya datangnya dari diri manusia itu sendiri. Memberikan dakwah bahwa hanya Tuhan yang mampu menolong diri kita. Maka, selalu berdoa dan memohonlah kepada Tuhan serta taat beribadah. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut. ”Bila kamu percaya segala kebaikan datang dari Gusti dan yang sulit-sulit datang dari dirimu sendiri, hanya kepada Gusti pula kamu harus meminta pertolongan untuk mendapat jalan keluar. Jadi, lakukan pertobatan lalu berdoa dan berdoa. Bila saja masih jodoh, takkan Lasi lepas dari tanganmu. Percayalah” (Ahmad Tohari, 2005: 118)
Nilai pendidikan agama yang dituangkan Ahmad Tohari adalah dengan nembang, dengan nembang seseorang akan mencapai tingkat ketentraman batin dan kedamaian. Ternyata tembang juga termasuk salah satu nilai dakwah, karena di dalam tembang-tembang banyak mengandung nilai. Dengan nembang orang merasa bahagia, kebahagiaan itu akan membuat seseorang kusyu dalam menjalankan ibadah. Seni tembang dalam budaya Jawa mengandung unsur estetis, etis, dan historis. Untuk unsur estetis atau keindahan seni tembang sesuai dengan prinsipprinsip dasar kesenian pada umumnya, yaitu dulce et utile yang berarti
menyenangkan dan berguna. Nilai rekreatif tembang mampu mengihibur hati yang sedang sedih, pikiran yang kalut dan suasana yang tegang, sehingga suasana terasa ayem tentrem (Purwadi, 2006: 1). Kutipan yang menyatakan sebagai berikut. Mereka untuk sementara cukup makan dan mungkin bisa menyisihkan sedikit uang untuk mengganti baju anak-anak. Dan karena hati terasa ringan, sering terdengar mereka berdendang ketika mereka membelah kayu atau bahkan ketika mereka sedang bersiur-siur pada ketinggian pohon kelapa. Anak-anak mereka pun berubah. Pipi mereka menjadi montok dan betis mereka jadi berisi. Mereka bergembira dan sering bertembang ramairamai di bawah sinar bulan. Ada sebuah tembang yang mereka sangat sukai, tembang tentang harapan di bulan puasa bagi anak-anak yang sehari-hari tak cukup sandang dan pangan (Ahmad Tohari, 2005:232).
Dina Bakda uwis leren anggone pasa Padha ariaya seneng-seneng ati raga Nyandhang anyar sarta ngepung sega punar Bingar-bingar mangan enak nganti meklar Dihari lebaran sudah kita purnakan puasa Kita berhari raya, bersenang jiwa dan raga Berbusana baru, menyantap nasi pulen Riang gembira santap enak hingga perut Kenyang benar (Ahmad Tohari, 2005: 232).
Dalam suluk atau tembang mengandung banyak nasihat. Salah satunya adalah suluk ajaran Sunan Bonang. Suluk ini ditembangkan oleh Eyang Mus ketika dimintai pendapat, dan dia harus menasehati dan menjawab pertanyaan tersebut. Pan Karsa manira iki Sampurnane ing pangeran Kaliputan sak lawase Tan ana ing solahiro Pan ora darbe sedya Wuta tuli bisu suwung Salah tingkah saking Allah Menurutku, kesempurnaan Tuhan meliputi segalanya. Manusia tak punya tingkah atau maksud. Manusia tuli, bisu, dan hampa. Segala tingkah berasal dari Allah (Ahmad Tohari, 2005: 115).
2). Nilai Pendidikan Agama Novel Wasripin dan Satinah Novel Wasripin dan Satinah memiliki nilai pendidikan agama, mengajarkan arti keikhlasan dalam menjalani kehidupan. Melalui dialog tokoh ataupun melalui deskripsi tingkah laku dan deskripsi pengarang, nilai pendidikan agama disampaikan oleh Kuntowijoyo dalam novel ini. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut. ….Ia akan dibesarkan oleh ayah ibunya. Tapi itu hanya andaikata. Ia juga belajar untuk menerima nasib. “Nasibmu ialah jalan hidupmu. Jangan
ditolak, jangan disesali, jangan di maki. Terima sajalah. Hidup ini seperti banjir Sungai Ciliwung. Kita hanyut. Usaha kita adalah agar kita tidak tenggelam. Itu saja, “Kata emak angkatnya suatu kali ketika ia tampak berkeringat mendorong-dorong dagangan, dan berusaha menghapus keringat (Kuntowijoyo, 2003: 17).
Nilai pendidikan memafkan sesama dan menghindari diri dari dendam di tuangkan dalam novel ini. Melalui pelukisan karakter tokoh Wasripin, Kuntowijoyo menuangkan nilai pendidikan agama. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut. Lalu Wasripin bercerita tentang masa kecilnya, emak angkatnya, penyekat, dan para perempuan yang membutuhkan tenaganya. Ia merasa lega, beban berat jatuh dari pundaknya. “Orang tua itu meminta supaya saya memaafkan mereka dan berdoa supaya mereka dan saya sendiri dapat ampunan Tuhan. Dendam adalah beban, “ia menutup kisahnya (Kuntowijoyo, 2003: 27).
Nilai pendidikan agama untuk memamaafkan pada kutipan di atas sesuai dengan Al Quran Surat Al Baqoroh ayat 284 yang menyatakan bahwa Allah Maha Pengampun. Dalam ayat tersebut Allah saja memiliki ampunan kepada hambaNya yang mau bertobat, sehingga manusia harus memaafkan manusia yang lain. Kutipan diatas sesuai dengan Al Quran Surat Al Baqoroh ayat 284 yang berbunyi. Lillahi maa fis samaawaati wa maa filardhi wa in tubduu maa fii anfusikum au tukhfuuhu yuhasibkuum bihillaha fayagfiruu li may yasyaa-u wa yu’adzibu may yasyaa-u wallahu’aala kulli syai-in qadiir (Nazrin Adlany, 2001: 87).
Artinya: kepunyaan Allah segala apa yang di langit dan di bumi. Dan jika kamu nyatakan apa yang ada dalam hatimu 169) atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah membuat perhitungan kepadamu. Maka Allah mengampuni orang di kehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (Nazrin Adlany, 2001: 87).
Nilai pendidikan agama ajaran beribadah ditunjukkan melalui tokoh Pak Modin imam surau. Pak Modin mengajak Wasripin untuk melaksanakan sholat. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut. Sementara itu Pak Modin datang. Mereka bubar. “Nak Wasripin, saya ajari mengambil air Wudhu. Kita akan sembahyang. Pakailah sarung dan peci” (Kuntowijoyo, 2003: 40).
Kutipan nilai pendidikan agama di atas menjelaskan pentingnya beribadah. Beribadah dapat menolong seseorang untuk mencegah dari perbuatan yang mungkar. Dan dapat mendekatkan diri dengan ke abaran. Sesuai dengan Al Quran Surat Al Baqoroh ayat 153 yang berbunyi. Yaa ayyuhak ladziina aamanus ta’ iinun bish shabri was shalati innallaha ma’ash shaabirin (Nazrin Adlany, 2001: 42).
Artinya: Hai sekalian orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orangorang yang sabar (Nazrin Adlany, 2001: 42).
Kuntowijoyo dalam menuangkan nilai pendidikan agama lebih detail, bahkan makna sebuah nama pun dicantumkan dalam dialog tokoh. Makna nama bagi Kuntowijoyo merupakan sebuah doa. Penamaan tokoh Satinah berlandaskan keyakinan bahwa sebuah nama merupakan doa. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut. “ Apa nama bayi kita?” “Bagaimana aku tahu pikiranmu!” “Kalau laki-laki namanya Walino, kalau perempuan namanya Waliyem.” “Nah, itu baru bagus!” “Wali artinya orang suci, penyebar agama islam di tanah Jawa.” “apa tidak terlalu bagus untuk anak orang gunung seperti kita?” “Nama itu lebih bagus lebih baik. Nama itu doa.” “Ya kalau begitu aku setuju-setuju saja” Pekerjaan paling sulit, memilih nama itu pun selesai. Ketika anak itu lahir perempuan, lima hari sebelum kenduri, kepada setiap orang mereka sudah bisa bilang “Anak kami namanya Waliyem” (Kuntowijoyo, 2003: 42).
Kuntowijoyo memasukkan nilai pendidikan tentang judi yang dilarang agama. Dalam dialog Kuntowijoyo memasukkan aktifitas kehidupan santri. Karena
Kuntowijoyo memiliki latar belakang kehidupan agama yang bagus. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut. …Maka empat puluh santri dari sebuah pondok diundang untuk mengaji di rumahnya. Mereka datang dan mengaji ruangan depan. Sementara para santri mengaji, diruangan belakang seperti biasanya, orang berjudi untuk menjaga jangan sampai mengantuk. Kiai yang memimpin pengajian sudah berpesan supaya perjudian ditiadakan sebab terlarang untuk mencampurkan perbuatan yang benar dengan perbuatan yang keliru. Tetapi para tetangga tidak bisa dicegah. Dan tuan rumah hanya berkewajiban untuk menyediakan tempat dan kue-kue, akan mendapat bagian dari setiap giliran permainan. Dengan pikiran bahwa “apa boleh buta” dan asal mereka sendiri tidak berjudi, maka pengajian dan perjudian berjalan lancar (Kuntowijoyo, 2003: 44).
Menjadi manusia yang berguna bagi orang lain dan saling menolong juga tersampaikan dalam novel ini. Kuntowijoyo banyak menuangkan nilai pendidikan agama tidak hanya hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan manusia dengan manusia. Sesuai degan ajaran dalam Al Quran Hablu Minallah Hablu minanas. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut. “Sebaik-baik orang ialah yang bermanfaat bagi orang lain, “kata ibu. “Meskipun kau sendiri rugi?” “Ya begitulah ajaran nabi.” (Kuntowijoyo, 2003: 53). Ajaran untuk mensyukuri nikmat kebahagiaan yang diberikan Tuhan juga dituangkan dalam novel ini. Melalui tingkah laku tokohnya, Kuntowijoyo
menyisipkan makna dari mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut. Akhirnya segalanya diserahkan Modin. Modin tahu bahwa ia terlalu tua untuk angin sepeda motor, tapi dengan niat menuruti pelayan, sambil mengenang petualangan masa muda, ia pun memutuskan untuk membonceng sepeda motor. Walhasil, surau mendapatkan kembali imannya. Mereka sujud syukur (Kuntowijoyo, 2003:147).
Mensyukuri nikmat ditegaskan lagi dalam kejadian saat Wasripin telah selamat dari musibah. Kuntowijoyo menekankan pula nilai pendidikan agama bahwa musibah itu sebernarnya merupakan rahmat dari Tuhan.
Kutipan yang
menunjukkan sebagai berikut. Tempat kedua yang disinggahi Wasripin ialah surau. Segera ia bergabung dengan jamaah magrib. Mereka semua senang melihat Wasripin kembali. Pak modin mengajak semua sujud syukur; Wasripin telah selamat dari musibah. Kata Pak Modin, “Itu bukan musibah. Tapi rahmat” (Kuntowijoyo, 2003: 186).
Dari rasa syukur, ikhlas dalam menghadapi ujian dan musibah, Kuntowijoyo menambahkan dakwah bahwa Tuhan akan menambah nikmat seseorang ketika kita bersyukur. Di sini kuntowijoyo menuangkan nilai pendidikan agama mengenai hikmah bersyukur melalui tokoh yang bernama Pak Modin penjaga surau. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut. Kata Pak Modin memulai, “Bersyukurlah banyak-banyak, karena kedua orang tua kalian jelas. Bagaimana andaikata kalian lahir ke dunia tapi tidak
tahu siapa bapak dan siapa ibu, nama mereka, dan alamat mereka tidak jelas. Juga tidak ada kekayaan apa pun diwariskan. Nah, kalian kami undang kemari, pertama-tama, untuk bersama bersyukur, sebab siapa yang pandai mensyukuri nikmat Tuhan akan menambah kenikmatan itu. Kedua, untuk memberitahukan kesepakatan kami berdua. Seperti diketahui, karena kebijaksanaan Allah kami tidak mempunyai keturunan. Maka kami bermaksud untuk memberikan kekayaan kami pada keponakan-keponakan dan kepada orang di luar keluarga yang membutuhkan. Kalian masing-masin akan dapat satu hektar sawah kami, dan rumah ini akan saya berikan kepada Wasripin, yatim piatu itu yang jadi merbot surau itu. Saya akan mengurusnya ke kelurahan dan ke agraria” (Kuntowijoyo, 2003: 199-200).
Sikap tidak boleh semena-mena terhadap sesama dan menghargai hidup manusia lain merupakan salah satu ajaran dalam agama. Ajaran ini juga disisipkan oleh Kuntowijoyo. Sesuai dengan ajaran yang dicantumkan dalam Al Quran. Kutipan yang menunjukka kutipan sebagai berikut. “Polisi bukan tentara! Qur’an mengatakan, barang siapa membunuh seorang manusia tanpa dosa, maka dia telah membunuh seluruh ras manusia. Artinya, siapa menyakiti seorang tak bersalah, ia menyakiti seluruh manusia” (Kuntowijoyo, 2003: 230).
Nilai-nilai tentang pendidikan agama tidak hanya disisipkan Kuntowijoyo melalui dialog tokoh, perilaku tokoh, tetapi juga melalui makna sebuah tembang. Tembang yang ditembangkan oleh paman Satinah sebelum meninggal dunia. Disitu disebutkan bahwa Paman Satinah menguasai ilmu mati.
Kata Satinah lagi, “Karena paklik juga akan meninggalkan kalian, ia sudah mengubah lagu ‘Maskumambang Selamat Berpisah’ dan “ Megatruh Selamat Tinggal’. ‘Maskumambang artinya emas yang mengapung di air. Sebuah keajaiban, dan ‘Megatruh’ artinya pisahnya roh dari badan, tanda bahwa perpisahan ini ibaratnya kematian. Silakan, paklik”. Satinah memasukkan kaset, merekam tembang pamannya (Kuntowijoyo, 2003: 206).
Paman Satinah menguasai ilmu mati, sebelum meninggal paman Satinah nembang Megatruh. Megatruh yang berasal dari kata, megat ruh yang berarti memisahkan roh atau pemikiran yang tidak baik atau menahan hawa nafsu. Ajaran islam pada pokoknya membawakan keimanan untuk menjalankan ibadat menjauhkan hawa nafsu, berbuat baik dengan mentaati perintah Allah dan menjauhi kejahatan serta menghindari larangan Allah dan menjauhi ajaran iblis. Megat ruh melambangkan bahwa manusia telah usai melaksanakan tugas-tugas di dunia dan kembali pulang ke alam baka (Seni Tembang, 2006: 238-239). Maskumambang: mas= perhiasan, kumambang= kelihatan, melambangkan perkembangan seorang anak yang sudah akil balik terlihat berkilauan bagaikan perhiasan emas. Maskumambang berarti emas yang terapung, maknananya karena ajaran islam itu indah dan baik-baik betul, sekalipun berat, asa lada jiwa mengabdi kepada Allah (ibadat), maka semua itu menjadi ringan. Emas adalah logam yang paling berat dan paling berat (Seni Tembang, 2006: 227).
….Ia masih akan menerangkan bahwa pamannya menguasai Kawruh bab pejah, ilmu tentang kematian, tapi matanya berkunang-kunang, badannya lemas, dan jatuh pingsan. Beberapa wanita membawanya ke dalam rumah. Modin desa mengisyaratkn untuk mulai mengusung jenazah. “Laa illaaha illaa Allaah Muhammadun rosulullah, la ilaaha illaa Allah Muhammadun rosulullah”, katanya keras. Disambut dengan ucapan sama oleh semua yang hadir, lalu jenazah diberangkatkan (Kuntowijoyo, 2003:214).
Kuntowijoyo juga menyisipkan dakwah mengenai kematian melalui tembang megatruh. Kuntowijoyo pun menerangkan bahwa ruh orang-orang yang gugur dijalan Allah sebenarnya dia hidup disekitar kita. Tetapi jangan menjadikan orang itu sebagai sesuatu yang harus disembah. Karena hanya kepada Tuhanlah kita bergantung dan menyembah. Sesuai dengan Al-Quran yang menyatakan dakwah tersebut. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut. “Saya ke masjid Demak. Saya melihat dengan mata kepala sendiri Wasripin shalat di sana!” “Saya dapat surat dari sepupu saya yang sedang umrah di Mekah. Dia melihat Wasripin sedang berdoa di Multazam!” (Kuntowijoyo, 2003: 242).
Para nelayan dan orang pasar menyebarkan berita itu ke seluruh desa ke seluruh kecamatan. “Sebutlah nama Wasripin, Tuhan akan mengabulkan doamu, “Kata mereka. Wasripin telah menjadi Washilah (perantara) terkabulnya permohonan. Pak Modin prihatin (Kuntowijoyo, 2003: 243).
Salah satu tembang megatruh sebagai berikut.
MEGATRUH WULUH GADING
Mbok purawan songga Wang dhunkiteng kalbu Jaka lodang nebda malih Nanginga na marma nipun Karsaning ywang wus pinasthi Esthinen murih kelakon
Kutipan-kutipan di atas menjelaskan bahwa sebenarnya orang-orang yang beriman itu memperoleh kedudukan yang baik di sisi Allh dan mereka sebenarnya hidup di sekitar kita. Hal ini sesuai dengan ayat Al Quran Surat Al Baqoroh ayat 154 yang berbunyi. Wa laa taquuluu li may yuqtalu fii sabiilillahi amwatum bal ahyaa-uw waalakil laa tasy’uruun (Nazrin Adlany, 2001: 42).
Artinya: dan jangan kamu katakana terhadap orang-orang yang terbunuh pada jalan Allah (bahwa mereka) itu mati, bahkan mereka itu hidup, 88) tetapi kamu tidak menyadari (Nazrin Adlany, 2001: 42).
Tetapi di sini Kuntowijoyo kembali memberikan penjelasan bahwa jangan sampai kepercayaan terhadap orang-orang yang beriman yang hidup di sekitar kita itu sebagai sesuatu yang didewakan atau di sembah. Karena akan membuat hati dan kepercayaan pada Yang Maha Esa semakin berkurang. Yang perlu diingat dan yang
hendak di sampaikan penulis novel adalah, bahwa orang-orang yang meninggal itu hendaknya dijadikan tauladan. Kutipan yang menunjukkan sebagai berikut. “Orang-orang syahid tidak mati, tapi diangkat Tuhan ke sisi-Nya “Kata Pak Modin. “Dan Wasripin telah syahid. Negara menzalimi anaknya sendiri yang seharusnya dilindungi. Jangan menjadikan dia sebagai Washilah. Itu syirik” (Kuntowijoyo, 2003:245-246).
B. Pembahasan Hasil Temuan Penelitian 1. Unsur Struktural Novel Bekisar Merah dan Wasripin dan Satinah
a. Tema Secara umum dalam novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari, pengarang ingin mengungkapkan masalah sosial khususnya Penindasan terhadap kaum wong cilik dalam pembangunan. Dengan kata lain, tema sentral dalam novel ini cenderung ingin menyuarakan hak wong cilik yang tidak berdaya dalam kemiskinan dan penindasan politik ekonomi. Ahmad Tohari mengungkapkan bagaimana kepasrahan kaum wong cilik dalam menghadapi kemiskinan. Serta memasukkan nilai dakwah agama dan keyakinan disela-sela konflik dalam masyarakat kaum bawah. Secara umum dalam novel Wasripin dan Satinah Karya Kuntowijoyo, pengarang ingin mengungkapkan masalah sosial khususnya Penindasan dan pemberontakan kaum wong cilik dalam kekuasaan birokrasi pemerintahan. Dengan kata lain, tema sentral dalam novel ini cenderung ingin menyuarakan hak wong cilik yang tidak berdaya dan penindasan politik ekonomi serta bentuk pemberontakan kepada pemerintah. Kuntowijoyo mengungkapkan bagaimana bentuk sikap pemberontakan kaum wong cilik terhadap
kekuasaan pemerintahan yang sewenang-wenang yang selalu saja menjadikan kaum wong cilik sasaran dan kambing hitam. Serta memasukkan nilai dakwah agama dan keyakinan disela-sela konflik dalam masyarakat dan pemerintahan tersebut. Secara Intertekstual novel Bekisar Merah dan Wasripin dan Satinah memiliki persamaan tema. Kedua novel ini sama-sama memiliki tema penindasan dan pemberontakan kaum wong cilik terhadap kekuasaan pemerintah. Ahmad Tohari pada novel Bekisar Merah menuangkan bagaimana penindasan kaum wong cilik oleh pemerintah, dan kepasrahan mereka terhadap kekuasaan itu. Cara mengungkapkannya dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Sedangkan tema pada novel Wasripin dan Satinah lebih mendalam pembahasan bagaimana pemerintah menindas kaum wong cilik. Novel Wasripin dan Satinah dalam membahas penindasan itu lebih mendalam dengan menekankan pemberontakan dari kaum wong cilik terhadap kesewenang-wenangan birokrasi pemerintahan. Kuntowijoyo dalam menuangkan tema ini dalam sebuah cerita lebih menggunakan bahasa yang lebih rumit.
b. Alur/Plot Novel Bekisar Merah dan Wasripin dan Satinah Alur kedua novel ini secara intertekstual memiliki perbedaan. Novel Bekisar Merah memiliki alur yang maju dan jelas serta padat sedangkan pada novel Wasripin dan Satinah memiliki plot campuran. Adapun rincian intertekstual tahapan plot dijelaskan sebagai berikut. Novel Bekisar Merah dimulai dari tahap paparan yang menjelaskan perkenalan tempat, cerita, waktu, konflik, serta sumber konflik dan kehidupan suatu masyarakat
pedesaan. Sedangkan pada novel Wasripin dan Satinah pada tahap perkenalan yang digambarkan hanya tokoh utama (Wasripin), konfliknya bermacam-macam sehingga menjadi kompleks. Tahap perkenalan/problematika kedua juga memiliki persamaan. Novel Bekisar Merah dijelaskan satu konflik yang memicu problematika yaitu saat Darsa terjatuh dari pohon kelapa. Sedangkan pada novel Wasripin dan Satinah satu konflik ketika Wasripin pergi dari rumah meninggalkan emak angkatnya. Tahap Rising Action antara kedua novel ini memiliki perbedaan. Pada novel Bekisar Merah jelas karena konflik yang menyebabkan adalah kemiskinan yang dialami oleh Lasi sehingga tidak sanggup membayar uang perawatan Darsa yang jatuh dari pohon, jadi masih mengarah pada pemicu problem. Sedangkan pada Wasripin dan Satinah lebih banyak problem-problem yang muncul, antara lain terbunuhnya dukun-dukun, Wasripin dituduh membunuh, pengeroyokan seorang pemuda, pertikaian dua partai, dan Wasripin yang menjadi sasaran penangkapan. Tahap complication kedua novel ini juga mengalami perbedaan. Pada novel Bekisar Merah diawali berita Darsa menghamili Sipah anak Bunek, sehingga Lasi ”minggat” ke Jakarta. Pada novel Wasripin dan Satinah tahap complication tidak mengarah pada tahap ricing action . di sini lebih dijelaskan pak Modin yang dibebaskan dari tahanan dan menjadi tahanan luar. Masalah pak Modin terdengar oleh Legian Veteran sehingga mereka tidak terima dan mengajukan protes kepada Presiden Sudarto. Presiden membalas dan memberikan Surat Sakti.
Tahap climax
pada novel Bekisar Merah masih mengarah pada satu konflik
sebelumnya yaitu karena kekecewaan masa lalu Lasi yang dikhianati oleh Darsa,sehingga dia menerima lamaran Pak Handarbeni. Semakin memuncak masalah ternyata Pak Handarbeni hanya menjadikan dia sebagai hiasan saja atau bekisar merah. Sedangkan pada novel Wasripin dan Satinah muncul dua konflik yaitu munculnya Surat Sakti ternyata dipermasalahkan oleh kabinet, birokrasi kampus, dan wartawan. Dari rentetan masalah yang terjadi pada Pak Modin ternyata kembali Wasripin yang menjadi sasaran penangkapan, sehingga semakin memuncak permasalahan. Namun inti dari masalah pada novel Wasripin dan Satinah adalah rakyat kecil selalu tidak mengerti apa-apa menjadi sasaran untuk menghilangkan masalah yang sesungguhnya. Tahap peleraian (Falling Action) kedua novel ini juga berbeda. Pada novel Bekisar Merah peleraian mengacu pada satu pokok masalah. Tahap peleraian yaitu ketika Lasi memutuskan pulang kekampung halaman karena mengalami kepenatan. Di Karangsoga Lasi bertemu cinta lamanya yaitu Kanjat, dan mantan suaminya, Darsa. Sedangkan pada novel Wasripin dan Satinah pada tahap ini dilukiskan kekuasaan partai semakin runtuh, wasripin melamar Satinah, dan Satinah berhenti menjadi penyanyi keliling. Tahap Denoment novel Bekisar Merah membuka pertanyaan bagi pembaca bagaimana kelanjutan pernikahan Lasi, bagaiman kelanjutan cerita cinta Lasi dan Kanjat. Sedangkan pada novel Wasripin dan Satinah, Kuntowijoyo membuat tokoh Wasripin meninggal dunia namun keberadaannya tidak jelas, Satinah juga menghilang, sedangkan tokoh Paman Satinah meninggal dunia, dan Pak Modin gila. Namun tetap saja dalam novel
Wasripin dan Satinah membuka pertanyaan kepada pembaca, apakah sebenarnya Wasripin sudah meninggal atau belum, dimana keberadaan Satinah, dan apa yang menyebabkan Pak Modin gila, semua tidak dijelaskan. Dan kedua novel ini pada tahap denomen membuka peluang pembaca untuk menyimpulkan sendiri. Novel Bekisar Merah menggunakan plot yang mudah dipahami, karena penuangannya lebih sederhana, dan apa adanya. Kuntowijoyo dalam novel Wasripin dan Satinah lebih pada plot yang rumit. Ada bagian cerita yang menceritakan masa lalu. Kemudian pada bagian-bagian tertentu plot cenderung menampilkan konflik lebih dari satu sehingga konflik menjadi kompleks. Jadi, keduanya memiliki perbedaan dalam segi plot.
c. Penokohan dan Perwatakan Novel
-------------------------------------------- Novel Wasripin dan Satinah
Bekisar Merah Lasiyah (Lasi)
Protagonis
Wasripin
Emak
Darsa
Antagonis Handarbeni
Partai Randu
Kanjat Satinah
Eyang Mus
Titragonis
Wiryaji Mbok Wiryaji
Pak Tir
Paman Satinah
Tambahan
Pak Modin
Bunek
Mukri Partai Randu Pardi
Bu Koneng Bu Lanting Anting besar
Sapon
Gambar 7: Tokoh dan Perwatakan Novel Bekisar Merah dan Wasripin dan Satinah
Dari bagan penokohan dan perwatakan dapat dijelaskan intertekstual novel Bekisar Merah dan Wasripin dan Satinah sebagai berikut. Tokoh protagonis pada novel Bekisar Merah adalah Lasiyah (Lasi) dan Wasripin dalam novel Wasripin dan Satinah memiliki persamaan dan perbedaan watak tokoh. Persamaan watak tokoh ditunjukkan kedua tokoh ini memiliki watak yang baik hati dan berbakti kepada orang tua. Sedangkan perbedaan kedua tokoh protagonis ini adalah, Lasi memiliki watak yang tidak mudah memafkan orang lain dan pendendam sedangkan Wasripin bijaksana dalam menghadapi masalah, ikhlas dan sabar sehingga mudah memaafkan orang lain sehingga tidak ada dendam yang tersimpan. Kedua tokoh ini memiliki dimensi psikis yang sangat berbeda. Tokoh Lasi secara spiritual pun jauh sehingga belum bisa bersabar dalam menghadapi masalah, sedangkan tokoh Wasripin sudah mencapai tingkat kesabaran yang tinggi. Ke dua tokoh ini seolah-olah bertolak belakang. Penggambaran tokoh Lasi pengarang banyak melukiskan watak Lasi yang positif tapi juga negatif, sedangkang Wasripin dilukiskan sebagai seorang yang dulunya memliki masa lalu buruk namun, dari masa lalu itu dia berubah menjadi pribadi yang baik. Wasripin juga memiliki spiritual yang tinggi karena tingkat kesabaran yang dicapainya. Tokoh antagonis dalam kedua novel ini yaitu Pak Handarbeni dan Darsa (Bekisar Merah) dan Emak (Wasripin dan Satinah). Persamaan tokoh ini adalah mereka sama-sama
menyebabkan konflik pada tokoh utama yaitu tokoh protagonis Lasi (Bekisar Merah) dan tokoh Wasripin (Wasripin dan Satinah). Tokoh antagonis Darsa, Pak Handarbeni, serta tokoh emak sama-sama memiliki watak yang sama yaitu egois. Tokoh tritagonis pada kedua novel ini adalah Eyang Mus (Bekisar Merah), dan Paman Satinah (Wasripin dan Satinah). Tokoh-tokoh ini memiliki persamaan watak. Tokoh Eyang Mus (Bekisar Merah) dilukiskan watak yang sabar, bijaksana, berhati-hati dalam mengambil sebuah keputusan, percaya akan adanya Tuhan. Dan Paman Satinah (Wasripin dan Satinah) digambarkan dengan dimensi psikis yang sabar, tanggung jawab, mau mengakui kesalahan, dan hati-hati dalam mengambil keputusan. Kedua tokoh titragonis ini memiliki persamaan dimensi psikis yaitu sabar, berhati-hati dalam mengambil keputusan, serta memiliki jiwa spiritual yang tinggi. Perbedaan tokoh tritagonis ini terletak pada tokoh Eyang Mus (Bekisar Merah) dan tokoh Paman Satinah (Wasripin dan Satinah). Tokoh Eyang Mus mencapai watak yang sabar karena memang dari dulu Eyang Mus digambarkan sebagai orang yang baik-baik, sehingga banyak orang minta nasihat kepadanya. Sedangkan watak sabar yang dicapai oleh tokoh Paman Satinah karena berasal dari masa lalunya yang dulu buruk, dan ia bertobat ingin hidup yang lebih baik. Namun tokoh-tokoh tritagonis ini memiliki fungsi yang sama sebagai penengah dalam konflik. Bahkan ke dua tokoh ini memiliki fungsi sebagai penyampaian amanat atau nilai-nilai pendidikan pada novel.
Tokoh tambahan kedua novel tersebut adalah Wiryaji (Bekisar Merah ) dan Pak modin (Wasripin dan Satinah). Tokoh Pak Modin (Wasripin dan Satinah) digambarkan dengan watak yang sabar, baik hati, berpikiran positif, taat beribadah, dan memiliki keyakinan agama yang tinggi. Sedangkan tokoh Wiryaji memiliki watak sabar dan pasrah. Kedua novel ini memiliki watak yang hamper sama. Fungsi ke dua tokoh ini sebagai pendukung jalannya cerita. d. Setting Novel Bekisar Merah dan Wasripin dan Satinah memiliki seting waktu, tempat, dan sosial yang jelas. Dapat diuraikan penjelasannya sebagai berikut. Setting waktu novel Bekisar Merah dan Wasripin dan Satinah memiliki persamaan yaitu jelas menggunakan waktu, yaitu menunjuk tahun, bulan, hari, dan keadaan siang dan malam. Namun setting ke dua novel ini memiliki segi perbedaan yaitu pada novel Wasripin dan Satinah lebih banyak menggunakan waktu ibadah, dengan menyebutkan lima waktu ibadah, misalnya waktu shalat subuh, setelah magrib, dan setelah asar. Setting tempat novel Bekisar Merah dan Wasripin dan Satinah memiliki persmaan dan perbedaan. Perbedaan kedua novel ini adalah, pada novel Bekisar Merah lebih banyak menggunakan latar tempat di pedesaan yaitu di Karangsoga, sedangkan pada novel Wasripin dan Satinah yaitu di surau dan di TPI. Namun perbedaan itu ternyata memiliki titik temu yaitu berupa persamaan setting tempat ke dua novel ini sama-sama menggunakan setting tempat di pasar.
Latar sosial kedua novel ini memiliki perbedaan dan persamaan. Perbedaanya adalah; pada novel Bekisar Merah menjelaskan latar sosial kehidupan seorang penyadap nira pohon kelapa, sedangkan pada novel Wasripin dan Satinah yaitu latar sosial yang menggambarkan masyarakat nelayan dan pedagang. Persamaan ke dua novel ini adalah sama-sama masyarakat yang memiliki keyakinan agama yang kuat dan percaya akan adanya tuhan. Sehingga kehidupan masyarakatnya bisa mencapai kepasrahan yang tinggi atas penindasan yang terjadi dalam kehidupannya. Dalam novel Bekisar Merah digambarkan keikhlasan masyarakat yang miskin dengan penghidupan sebagai seorang penderas kelapa. Sedangkan pada novel wasripin dan Satinah sikap ikhlas yang ditunjukkan Wasripin dan tokoh Pak Modin ketika selalu menjadi sasaran penangkapan yang dilakukan aparat pemerintah. e. Point of View Sudut pandang yang digunakan pada nove Bekisar Merah yaitu pesona atau gaya “dia”, pengarang atau narator berada di luar cerita. Pengarang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya. Nama tokoh, dan tokoh utama selalu disebut termasuk variasi kata gantinya. Sudut pandang yang paling menonjol dalam novel Bekisar Merah, menggunakan cara ini. Berikut ini kutipan yang menunjukkan sudut pandang tersebut.
Lasi tak meneruskan kata-katanya karena tiba-tiba suasana berubah. Darsa memandang Lasi dengan mata berkilat. Keduanya beradu senyum lagi. Darsa selalu berdebar bila menatap bola mata istrinya yang hitam pekat. Seperti kulitnya, mata Lasi juga khas; berkelopak
tebal, tanpa garis lipatan. Orang bilang mata Lasi kaput…….. (Bekisar Merah, 2005: 11). Sudut pandang yang digunakan pada novel Wasripin dan Satinah yaitu pesona atau gaya “dia”, pengarang atau narator berada di luar cerita. Pengarang menampilkan tokohtokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya. Nama tokoh, dan tokoh utama selalu disebut termasuk variasi kata gantinya. Sudut pandang yang paling menonjol dalam novel Wasripin dan Satinah, menggunakan cara ini. Berikut ini kutipan yang menunjukkan sudut pandang tersebut.
Wasripin naik bus dari sebuah jalan tol di Jakarta pagi-pagi sekali. Ia tidak bodoh, ia juga makan sekolahan. Sudah lama dipelajarinya bahwa pertama-tama ia harus mengambil jurusan Jakarta-Cirebon … (Wasripin dan Satinah, 2003:1). Intertekstual novel Bekisar Merah dan Wasripin dan Satinah memiliki persamaan dalam menggunakan sudut pandang pesona gaya “dia” pengarang atau narator berada di luar cerita tetapi serba tahu/maha tahu. Pengarang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya. Nama tokoh, dan tokoh utama selalu disebut termasuk variasi kata gantinya.
2. Interteks pemikiran antara Ahmad Tohari dan Kuntowijoyo Interteks Ahmad Tohari dan Kuntowijoyo dalam hal tema adalah tentang penindasan kaum Wong cilik dalam pembangunan. Adapun tehnik ungkap kedua pengarang tersebut berlainan sudut pandang. Hal ini dikarenakan perbedaan latar belakang pendidikan dan sosial budaya pengarang.
Ahmad Tohari yang berlatar belakang Islam pesantren – dalam hal ini adalah Pesantren Nahdlatul Ulama – lebih cenderung mendeskripsikan pikiran masyarakat kelas bawah yang apatis, nrima, dan tidak ada kemauan yang kuat untuk merubah nasib dirinya sendiri. Sebagaimana yang rata-rata terjadi di kalangan masyarakat Islam Nahdlatul Ulama. Adapun Kuntowijoyo yang mempunyai latar belakang akademis sekaligus pemeluk Islam Muhammadiyah lebih cenderung melihat gejala sosial dalam tingkat pendidikan yang lebih tinggi
sebagaimana
rata-rata
pemeluk
Islam
yang
menjadi
anggota
organisasi
Muhammadiyah lebih cenderung menggunakan pemikiran dalam menghadapi sesuatu. Tidak sebatas pada menerima nasib atau nrima ing pandhum. Hipogram antara dua karya tersebut Kuntowijoyo meneruskan tema yang ditawarkan oleh pemikiran Ahmad Tohari. Dalam karya Ahmad Tohari orang-orang yang tertindas lebih cenderung untuk diam dan apatis, tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk membuat kehidupan para tokohnya menjadi lebih baik. konsep nrima ing pandhum merupakan sesuatu yang harus dipegang teguh oleh para tokoh dalam karya Tohari tersebut. Adapun dalam karya Kuntowijoya berbeda. Kuntowijoyo membuat para tokoh yang tertindas mampu menyuarakan suaranya. Adanya tokoh mahasiswa dan wartawan dalam karya tersebut berfungsi sebagai pemberi suara, sehingga dinamika penyuaraan hak atas pribadi dalam Kuntowijoyo lebih kepada perjuangan kaum miskin untuk merubah nasib mereka sendiri.
Meskipun dalam kedua karya novel tersebut mempunyai ending yang menggantung. Akhir cerita diserahkan kepada pembaca untuk mengakhirinya jalinan cerita sesuai selera masing-masing.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan Bagian ini merupakan penyimpulan dari bab pembahasan terhadap temuan penelitian serta menjawab tujuan penelitian. Adapun penyimpulannya sebagai berikut. Pertama, struktur novel Bekisar Merah dan Wasripin dan Satinah mempunyai hubungan yang sangat kuat meskipun dilihat secara teks kedua novel tersebut berdiri sendiri-sendiri. Keeratan struktur kedua novel tersebut karena disatukan dalam tema yang sama yaitu masalah penindasan dan pemberontakan kaum wong cilik terhadap kekuasaan pemerintah. Kedua, alur yang terdapat dalam Bekisar Merah karya Ahmad Tohari dengan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo terdapat perbedaan. Pada novel Bekisar Merah memiliki alur maju (progresif). Sedangkan pada novel Wasripin dan Satinah memiliki alur campuran. Ketiga, penokohan dan perwatakan yang terdapat dalam novel Bekisar Merah dengan Wasripin dan Satinah terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya perwatakan pada tokoh protagonis kedua novel tersebut adalah baik hati dan berbakti kepada orang tua. Sedangkan perbedaannya adalah tokoh Lasi (Bekisar Merah) memiliki
watak kurang sabar dan bijaksana sedangkan tokoh Wasripin (Wasripin dan Satinah) lebih bijaksana dan ikhlas dalam menghadapi kehidupan.
Keempat, setting novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari dengan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaan ke dua novel ini sama-sama menggunakan penunjuk waktu tahun, bulan, hari, serta keadaan siang dan malam. Namun terdapat perbedaan yaitu pada novel Bekisar Merah menggunakan setting pedesaan dan kehidupannya sebagai seorang penderas kelapa sedangkan novel Wasripin dan Satinah menggunakan setting di TPI dengan kehidupannya sebagai seorang nelayan. Kelima, point of view atau sudut pandang yang digunakan dalam novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari dengan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo adalah pesona atau gaya “dia” pengarang berada diluar cerita namun mahatahu. Keenam, dari segi kepengarangannya, kedua novel ini memiliki perbedaan. Ahmad Tohari memiliki pemikiran Nadhatul Ulama yang cerderung pemikiran yang apatis, sedangkan Kuntowijoyo memiliki pemikiran Muhammadiyah. Sehingga, dalam penuangan tema, tokoh, dan penceritaanya sangat berbeda. Walaupun pada akhirnya memiliki tema yang sama yaitu menyuarakan kehidupan kaum wong cilik. Ketujuh, setelah mengetahui persamaan dan perbedaan antara novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari dengan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo dari unsur strukturnya dan dari segi kepengarangannya, maka dapat diketahui bahwa novel Bekisar Merah
memberikan pengaruh terhadap terciptanya novel Wasripin dan Satinah. Dengan demikian, novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari merupakan hipogram novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo. Dengan kata lain novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo merupakan teks transformasi dari novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari.
B. Implikasi Implikasi secara teoretis, bahwa dengan pesatnya ilmu penelitian sastra dengan berbagai pendekatannya, kajian sastra dengan pendekatan intertekstualisme ini dapat memperkaya telaah sastra. Model kajian secara struktural yang dilanjutkan dengan interteks menjadi acuan pengkajian sastra dengan pendekatan yang berbeda. Telaah novel dengan pendekatan intertekstual dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi kajian sastra. Implikasi secara praktis, diharapkan penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai rujukan telaah sastra dalam rangka memperbaiki pembelajaran apresiasi sastra di sekolah-sekolah. Kajian novel dengan pendekatan intertekstualitas ini merupakan salah satu kajian novel yang menggunakan dua pendekatan dalam menelaah dan mengapresiasi dua karya novel atau lebih. Dua pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan strukturalisme dan dilanjutkan dengan pendekatan interteks. Dalam dunia pendidikan, pendekatan interteks ini dapat dilakukan untuk pembelajaran apresiasi sastra di Sekolah Menengah Atas yang dapat diawali dengan melakukan kajian dua cerpen atau lebih, dan juga dua karya puisi atau lebih untuk dicari persamaan, perbedaan, karya yang menjadi hipogram dan karya transformasinya.
Pembelajaran telaah novel dapat mengembangkan aspek kognitif dan aspek kepribadian peserta didik. Aspek kognitif yang dapat diperoleh dari pembelajaran kajian sastra adalah pengetahuan sastra dan pengetahuan mengatasi berbagai konflik yang terjadi. Aspek kepribadian yang dapat diperoleh dari kegiatan mengkaji novel adalah nilai pendidikan yang termuat di dalam novel yang ditelaah.
C. Saran-saran Saran-saran ini ditujukan kepada pendidik dan tenaga kependidikan, para peneliti sastra, penulis buku dan sastrawan untuk dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengabdikan tugas-tugas mereka.
1.
Untuk Pendidik a. Novel Bekisar Merah dan Wasripin dan Satinah sangat baik digunakan sebagai bahan pelajaran sastra, karena masing-masing novel mempunyai struktur naratif yang disatukan oleh tema cerita yang hampir sama. Di samping itu, dapat digunakan sebagai bahan untuk membandingkan unsur-unsur struktur novel untuk dapat ditemukan persamaan dan perbedaannya. b. Nilai pendidikan yang terkandung dalam Bekisar Merah dan Wasripin dan Satinah sangat baik untuk nilai pendidikan bagi siswa SMA dan generasi muda umumnya. Pendidikan nilai moral dan pendidikan nilai budaya serta pendidikan agama sangat baik ditanamkan kepada generasi muda.
2.
Penyusun buku pelajaran
a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan penyusunan materi buku ajar. b. Selain itu, hasil penelitian ini juga bias digunakan sebagai tambahan materi ajar kususnya kajian sastra perbandingan. Bukan hanya perbandingan novel dengan novel, namun juga karya sastra lain, misalnya cerpen dengan cerpen. 3. Pembaca a. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca. Khususnya mengenai pembahasan tokoh dan perwatakannya. b. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca mengenai nilai-nilai pendidikan yang ada di dalamnya. 4. Peneliti berikutnya Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk penelitian berikutnya ketika menganalisis karya sastra kususnya penelitain dengan pendekatan intertekstual.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H. 1979. The Mirror and Lamp: Romantic heory and The Critical Tradition. New York: Oxford Univercity Press.
____________.1971. Glosarry of Literary Terms. New York Chicago San Fransisco. Holt Rinehart and Winston Inc.
Alfaro, María Jesús Martínez. 1997: “Narration-parody-intertextualy: rewriting the past in Charles Palliser's "The Quincunx". Miscelánea: A journal of English and American Studies, ISSN 1137-6368, Nº 18, 1997. (http://dialnet.unirioja.es/servlet/articulo?codigo=193771). p. 193-212.
Andre Hardjana. 1981. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Jakarta.
Atar Semi. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
_________1990. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.
Bassnett, Susan. 1993. Comparative Literature. Cambridge USA. Blackwell Publishers Ltd.
Bertens, K. 1997. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Burhan Nurgiyantoro. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada Press.
Bustami Subhan. 2003. A Guide To Literary Critism. Yogyakarta: Debus Press.
Dox, Donnale. 2009. “The Willing Sustenance of Belief: Religiosity and Mode of Performance”. Journal Bome This Issue Table of Contents. Vol. 8, No. 1, Fall 2009. (http://www.rtjournal.org/vol_8/no_1/dox.html). p. 20.
Frondiz Risieri. 2007. Filsafat Nilai. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hasan Alwi. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Hart, Thomas R. “The Modern Language Review: is the official quarterly journal of the Modern Humanities Research Association”. Renaissance Dialogue and Narative Fiction: The Viaje De Turqula. Januari 2000, Vol. 95, Part 1, p. 107-108. Maney Publishing for the Modern Humanities Research Association.
Hawtorm, Jeremy. 1994. A Concise Glossary of Contenporary Literary Theory. London. British Library Catloguing In Publicatin Data.
H.B. Sutopo. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif (Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian). Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Jakob Sumardjo.1984. Memahami Kesusastraan. Bandung: Alumni.
Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
H.G. Tarigan. 1995. Dasar-dasar Psikosastra. Bandung Angkasa.
Herman J Waluyo, Nugraheni E.W. 2009. Pengkajian Prosa Fiksi. Surakarta: Universitas sebelas Maret.
Jan Van Luxemburg, Mieke Bal, Willem G. Weststeijin. 1984. Pengantar Ilmu Sastra (Edisi Terjemahan oleh Dick Hartoko). Jakarta: Gramedia.
Jacobmeyer, Hannah (dalam Graham Swift, Ever After: a Study Intertextuality) (http://webdoc.gwdg.de/edoc/ia/eese/artic98/jacobm/88_98.html) Diakses tanggal 20 Januari 2010.
Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
_____________.1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Made Sukada. 1993. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa.
Manuaba, Ida Bagus Putra dalam tulisannya, ”Pandangan Dunia Humanisme dalam Novelnovel Y. B. Mangunwijaya: Sebuah Tinjauan Resepsi Sastra” yang dikutip dari: http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=jiptunai-gdl-res-2004-manuabaiayang diakses tanggal 16 Oktober 2009.
Melani Budianta. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mochtar Lubis.1981. Teknik Mengarang. Jakarta: Kurnia Esa.
Moody, H. L. B. 1971. The Teaching of Literature. London: Longman.
Mudji Sutrisno. 1999. Kisi-Kisi Estetika. Yogyakarta: Kanisius.
Murphy, Katharine. “The Modern Language Review: is the official quarterly journal of the Modern Humanities Research Association”. Intertext in the city: Edwardian London in Pio barojas La Ciudad De La Niebla and Six English Novels. Januari 2002, Vol. 97, Part 1, p. 148-149. Maney Publishing for the Modern Humanities Research Association.
Nazri Adlany. 2005. Al Qur’an Terjemahan Indonesia. Jakarta: Sari Agung.
Nenden Sri Lengkanawati. 2006. Bahasa dan Sastra. Bandung: Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Indonesia.
Nyoman Kutha Ratna. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian sastra. Yogyakarta: Pusataka Pelajar.
Nursisto. 2000. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Paulus Wahana. 2004. Nilai Etika Aksiologis Max Scheler. Yogyakarta: Kanisius Purwadi. 2006. Seni Tembang. Jogjakarta: Tanah Air.
Rachmad Djoko Pradopo. 1985. Hubungan intertektual dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Sarjana Wiyata Tamansiswa.
___________________ 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.
___________________.2003. Prisip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gajah Mada Univercity Press.
___________________. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
__________________.2008. Beberapa Teori sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Retno Winarni. 2009. Kajian Sastra. Salatiga: Widya Sari Press.
Saifuddin Anwar. 2004. Prosedur Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Selden, Raman. 1985. A Reader’s Guide to Contenporary Literary Theory. Bringhton: The Harvester Press Limited.
Stanton, Robert.2007. Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudarma. 2007. Kajian Novel Roro Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri Telaah Sastra dengan Pendekatan Intertekstual. Tesis. Program Pascasarjana. UNS.
Suminto A. Sayuti. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media.
Suripan Sadi Hutomo. 1993. Merambah Matahari, Sastra dalam Perbandingan. Surabaya: Gaya Masa.
Tirto Suwondo. 2003. Studi Sastra Beberapa Alternatif. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
________1894. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
T.S.
Eliot yang dikutip dari Hamdan dalam ”Sastra dan Agama” http://www.cybersastra.net/modules.php?name= News&file= article &sid =4201 yang diakses tanggal 20 Nopember 2009.
Umar Junus. 1988. Karya Sebagai Sumber Makna Pengantar Strukturalisme. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.
Wellek, Rene & Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Zainuddin Fananie. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.