KAJIAN HUKUMAN MATI DALAM HUKUM PIDANA ADAT DI INDONESIA
Nelvitia Purba, SH, M.Hum1 Abstrak Sebelum KUHPid di berlakukan di Indonesia oleh Pemerintah Belanda Pidana Mati telah dikenal diseluruh Indonesia dari Aceh sampai ke Papua. Juga di kenal pada zaman Majapahit, Kerajaan Goa, Aceh dan lain-lain. Pidana mati yang dikenal oleh adat budaya bangsa sebelum kedatangan penjajah, hendaknya menjadi dasar untuk penyusunan KUHP mendatang, di sesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sekarang. Pidana mati yang disorot dari Segi Hukum Pidana Adat merupakan hasil galian dari bumi Indonesia yang tidak bisa di lepaskan dari adat budaya serta agama yang di anut di Indonesia. Di Aceh seorang istri yang melakukan zinah dibunuh. Di Batak jika pembunuh tidak dapat membayar wang salah, dan keluarga dari yang terbunuh menyerahkan untuk dihukum mati, maka hukum mati segera dilaksanakan Di Pulau Bonerate pencuru-pencuri dihukum mati dengan jalan tidak diberi makan, pencuri itu diikat kaki tangannya kemudian ditidurkan di matahari hingga mati Potong kepala yang selalu terdapat di Tanah Toraja, jarang sekali terjadi pada orang Bugis Makassar. Yang biasa dipakai ialah menusuk dengan tombak, mencekik, dimana yang bersalah kepalanya dibalik kebelakang kemudian ditarik dengan tali dari samping. Tapi yang umumnya ialah membunuh dengan keris Di Timor tiap-tiap kerugian dari kesehatan atau milik orang harus dibayar atau dibalaskan. Balasan itu dapat berupa: hukuman mati, menyakiti, disamping dipenjara sementara waktu, pembuangan, denda dan lain-lain. Cara melaksanakan hukuman mati ditetapkan sendiri oleh keluarga yang terbunuh. Mungkin dlemaskan didalam air, ditombak, diperangi atau dengan pentung. Hukuman mati juga dijalankan terhadap tukang sihir, demikian juga keluarganya. Orang sedang kedapatan melakukan zina, dapat dibunuh oleh suaminya. Dan jika kejahatan zina itu baru kemudian diketahui maka yang dikenakan hukuman mati ialah si laki-laki yang dianggap paling bersalah. Ditinjau dari hukum adat Aceh sampai Irian ini menunjukkan kepada kita bahawa hukuman mati dikenal oleh semua suku. Dari sana juga dapat ditarik suatu kesimpulan bahawa jauh sebelum penjajah datang ke Indonesia, hukuman mati telah ada di Indonesia. Bukanlah Belanda dengan W.v.S. (Undang undang hukum jenayah) yang mulai memperkenalkan hukuman mati itu kepada bangsa Indonesia. I Pendahuluan Tujuan hukum adalah untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat pada umumnya. Agar di dalam hidup bersama terwujud suatu ketentraman, maka di ciptakan norma-norma yang juga dikatakan kaedah patokan atau ukuran atau pun pedoman untuk berprilaku atau bersikap dalam hidup. Sedangkan yang dimaksud dalam hukum adalah seluruh ketentuan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur tata tertib dalam masyarakat dan apabila hukum itu di langgar di kenakan sanksi yaitu ancaman hukuman. A.Z.Abidin menulis, bahwa Hukum Pidana itu merupakan cermin suatu masyarakat yang merefleksi nilai-nilai yang menjadi dasar masyarakat itu. Bila mana nilai-nilai itu berubah, hukum pidana juga berubah. 1
Dosen Yayasan UMN Al Washliyah Medan
Hukum pidana secara tepat di sebut sebagai One of the most faithful mirros of a given civilization, reflecting the pundamental values on which latter erst. Penjatuhan pidana adalah merupakan suatu nestapa kepada pelanggar yang merupakan obat terakhir (Ultimum Remedium) yang hanya di jalankan jika usaha lain seperti pencegahan sudah tidak bisa berjalan. Salah satu bentuk sanksi yang paling berat adalah Hukuman Mati Hukuman mati (death penalty) dalam praktek penghukuman masih mengundang perdebatan. Jika kriminalitas di Indonesia sudah sedemikian meningkatnya maka menurut penulis Hukuman Mati masih perlu dicantumkan dalam KUH Pidana Mendatang khususnya terhadap kejahatan-kejahatan yang berat yang sangat menyinggung asas-asas kemanusiaan yang adil dan beradab. Menurut ahli Kriminologi Lombrosso dan Garofalo, hukuman mati adalah alat yang mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan pelaku-pelaku kejahatan yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi, dengan adanya hukuman mati maka hilanglah pula kewajiban untuk memelihara mereka dalam penjara yang sedemikian besar biayanya. Begitu pula hilanglah ketakutan-ketakutan para pelaku-pelaku kejahatan tersebut melarikan diri dari penjara dan membikin kejahatan lagi didalam masyarakat. Sebelum WvS di berlakukan di Indonesia oleh Pemerintah Belanda Pidana Mati telah dikenal diseluruh Indonesia dari Aceh sampai ke Papua. Juga di kenal pada zaman Majapahit, Kerajaan Goa, Aceh dan lain-lain. Pidana mati yang dikenal oleh adat budaya bangsa sebelum kedatangan penjajah, hendaknya menjadi dasar untuk penyusunan KUHP menadatang, di sesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sekarang. Pidana mati yang disorot dari Segi Hukum Pidana Adat merupakan hasil galian dari bumi Indonesia yang tidak bisa di lepaskan dari adat budaya serta agama yang di anut di Indonesia. II. Hukuman Mati Dalam Hukum Adat Hukuman mati merupakan bahagian dari hukuman adat, maka harus meninjau secara tentang kedudukan Hukuman Adat dalam Hukum Positif. Menurut plakat tertanggal 22 April 1808, Mahkamah diperkenankan menjatuhkan hukuman dengan jenisnya iaitu : 1. Dibakar hidup pada suatu tiang 2. Dimatikan dengan menggunakan keris 3. Dicap bakar 4. Dipukul 5. Kerja paksa pada pekerjaan umum. Oleh Louwes dikatakan bahawa Daendels hanya bermaksud menyesuaikan sistem penghukuman dalam hukum jenayah tertulis dengan sistem penghukuman dalam hukum adat. Ternyata hukum adat dahulu, mengenal hukuman mati , dengan amalan yang kejam seperti Aceh, seorang istri yang berzinah dibunuh. Ketika Sultan berkuasa disana, dapat dijatuhkan lima macam hukuman yang utama:
1. Tangan dipotong (pencuri) 2. Dibunuh dengan lembing 3. Dipalang dipohon 4. Dipotong daging dari badan penjenayah (sajab) 5. Ditumbuk kepala penjenayah di lesung. Di Sulawesi Selatan ketika Aru Palaka berkuasa (sekutu VOC yang mengalahkan Sultan Hasanuddin), penjenayah yang menurut pandangan Aru Palaka membahayakan kekuasaannya seperti La Sunni (seorang raja setempat), di pancung kepalanya, kemudian kepala itu diletakkan diatas baki dan di perhadapkan kapada Aru Pelaka sebagai telah dilaksanakan. Sistem penghukuman tersebut dalam plakat masih berlangsung hingga tahun 1848 dengan keluarnya peraturan hukum jenayah yang terkenal dengan nama Intermaire strafbepalingen LNHB 1848 Nr. 6 pasal 1 dari peraturan ini meneruskan keadaan hukum jenayah yang sudah ada sebelum tahun 1848, terkecuali beberapa perubahan dalam hukum penjara, yang penting antaranya ialah hukuman mati tidak lagi dilaksanakan dengan cara yang ganas seperti menurut plakat 22 April 1808 itu, tetapi dengan hukuman gantung. Dan setelah Undang-Undang Hukum Jenayah 1915 dikenakan, maka hakim jenayah pada Mahkamah negara tidak dapat memakai hukum jenayah adat dan istiadat sebagai strabaar (dapat dihukum), tetapi strafmaat (ukuran jenayah) boleh kerana ia terikat oleh pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Hukum Jenayah. Akan tetapi, Undang-undang Hukum Jenayah seperti yang kita kenal sekarang ini oleh kerananya sangat dirasa perlu untuk mengadakan kodifikasi yang baru dilapangan hukum jenayah dengan mendasarkan pada hukum adat. Demi suksesnya usaha pengkodifikasian itu, alangkah baiknya kalau mengemukakan suatu bahagian kecil daripada hukum jenayah adat, iaitu tentang hukuman mati di beberapa daerah. Di Aceh seorang istri yang melakukan zinah dibunuh. Pada zaman dahulu Sang Sultan berkuasa menjatuhkan lima bentuk hukuman yang istimewa: pencuri dipotong tangannya, dibunuh dengan lembing badan yang dihukum, menumbuk kepala yang penjenayah dalam lesung. Di Gayo hukuman penjara menggantikan hukuman mati. Kalau seseorang dengan sengaja membakar desa, maka semua langit semua miliknya termasuk istri dan anak-anaknya) dibalas supaya jangan lagi melakukan hal itu. Pencuri, penculik-penculik, pembunuh-pembunuh dan penghianat dimana-mana mereka diketemukan dapat saja ditembak mati, sekalipun dia di pesta. Di sana juga dulu dikenal pembalasan terhadap pembunuh. Di Batak jika pembunuh tidak dapat membayar wang salah, dan keluarga dari yang terbunuh menyerahkan untuk dihukum mati, maka hukum mati segera dilaksanakan.
Tetapi, kejahatan-kejahatan terhadap negara atau terhadap orang-orang yang memerintah, demikian juga berzinah dengan seorang istri raja, maka tiada dibicarakan denda, atau ganti rugi, tetapi terhadap kejahatankejahatan itu hukuman mati diamalkan. Sistem perkahwinan di Batak adalah eksogami dan hal ini sangat ditaati. Dahulu kala orang yang melanggar perintah ini dihukum mati. Kalau di Minangkabau menurut pendapat konservatif dari Datuk Ketemanggungan di kenal hukum balas membalas, siapa yang pernah mencurahkan darahnya. Kalau ”bangun” (pembeli darah) itu tidak dapat dibayar oleh famili atau suku dari si penjenayah itu maka penjenayah itu dapat dibunuh. Hukuman dilaksanakan di muka umum pada suatu tempat di negeri itu dan seluruh penduduk harus datang melihat. Kepala dibalut seperti haji kemudian di ikat pada tiang, yang harus melaksanakan ialah ”mamak” atau salah seorang keluarga dari yang dibunuh, tapi tak boleh begitu saja terjadi, si pendendam harus menarik ”tandak” dengan keris terhunus di muka penjahat itu dan kadang-kadang memberi tusukan kepada si penjahat itu. Dan kalau jiwa si pendendam sudah panas, maka barulah ia boleh memberikan tikaman yang menentukan pada bagian batang leher sebelah kiri. Kalau keluarganya tidak melaksanakan hal tersebut, maka ”Dubalang” yang menjalankan tugas tersebut, ini dinamakan talio. Seperti kejahatan-kejahatan lainnya juga untuk pembunuhan dikenakan sistem solidaritas, ini berarti keluarga dan atau dari yang berulang berkewajiban membayar jika tidak berakibat sipesalah mati. Peraturan-peraturan hukum berbunyi djoko basmehiduiq djoko tak basme mati artinya jika orang tak punya emas harus mati. Tetapi, jika kelurga si terbunuh tak menuntut hukuman mati maka hukuman badan diterapkan dengan kata lain si pesalah dijadikan budak atau digadaikan pada keluarga si terbunuh. Di sini ternyata bahawa banyak sekali hukuman itu mempunyai watak perdata. Jawa (Tengah, Timur, dan Madura) Penculik-penculik atau perompak wanita apakah penduduk asli atau asing yang menculik atau menggadaikan pada orang Cirebon, ini dianggap kejahatan yang dapat dihukum mati, kalau penculikan itu terjadi di luar Cirebon, sebab di luar batas-batas Cirebon, bukanlah kejahatan yang dapat dihukum mati tetapi disiksa berat. Zaman Yaya Prasiyaga yang dapat dihukum mati hanyalah jika dengan sengaja melukai sampai mati. Undang-undang Djawa Nawolo Pradoto. Di situ dikenal aluning Surjono sebagai kejahatan yang tak terampun. Termasuk kategori kejahatan ini adalah perkahwinan sumbang terhadap kejahatan ini selalu hukuman mati dan bukan denda. Di Bali perkahwinan sumbang yang dulu dihukum mati sekarang diganti dengan pembuangan 10 tahun.
Perkahwinan sumbang iaitu bersetubuh dengan istri dari pendeta rumah, kakak atau adik perempuan dari pendeta itu istri dari gurunya, saudara perempuan bapaknya, saudara perempuan ibunya, istri pamannya atau dari pihak bapaknya atau pihak ibu baik lebih tua maupun lebih muda dari orang itu, saudara perempuan dari nenek atau dari kakeknya baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu istrinya/menentunya, mertuanya perempuan atau laki-laki anak cucunya dari saudara laki-laki atau perempuan. Hal ini menyebabkan celaka atas marga dari orang yang membuat ini, mereka itu harus dihukum mati dengan dilemaskan di dalam laut, kerana mereka tidak boleh dikuburkan secara mulia. Umumnya hukuman jenayah amat keras, apakah perkawinan sumbang kejahatan terhadap kaisar dan seterusnya terus dihukum mati. Yang bersalah itu dibunuh dengan keris atau kaki diikat kemudian dibuang ke laut. Terutama perkawinan sumbang yang sering terdapat di Bali, hukumannya sangat keras. Pernah anak seorang raja dihukum mati dengan cara dilemaskan. Pada pencurian juga dapat dihukum mati, umpamanya kalau barang curian pusaka dari raja . Hukuman-hukuman yang kejam telah diganti misalnya hukuman mati dengan jalan dilemaskan, dibakar, ditikam dengan keris. Biasanya dalam keputusan ditetapkan bagaimana hukuman mati akan dilaksanakan. Dan cara pelaksanaan itu tergantung dari kemauan dewa yang telah dihinakan, kerana dia harus dipuaskan dengan suatu mangsa. Kalau kejahatan itu dilakukan terhadap Brahma Batara Baruna (Dewa Laut), maka hukuman mati dilaksanakan dengan dilemaskan dilaut, (mararung, mapulang kapasih, labuh batu, , lima bahakem ring telenging samudera). Dan kalau seorang wanita lupa kastanya kerana kesalahan, maka ia akan dikutuk dari cendana dan dulu dia dikurbankan kepada Brahma dengan kata lain dibakar. Di kalangan suku dari Tenggara Kalimantan, orang yang bersumpah palsu dihukum mati dengan jalan dilemaskan didalam air. Di Sulawesi Tengah seorang wanita iaitu seorang bangsawan yang berhubungan dengan seorang pria betua iaitu budak, maka tanpa melihat proses dihukum mati. Di Sulawesi Selatan pemberontakkan terhadap pemerintah, kalau yang salah tidak mau pergi ke tempat pembuangannya maka ia boleh di bunuh oleh setiap orang. Untuk semua kejahatan berat yang dilakukan terhadap raja dan adat, harus dihukum mati. Di daerah Bugis Makassar bentuk-bentuk pelaksanaan hukuman. Umpamanya hukuman mati, orang yang dihukum mati itu dikuburkan setengah badan hidup-hidup disamping sebuah mesjid, kemudian dilempari batu sampai mati. Hukuman dilakukan kepada orang yang melakukan zina dan cara yang demikian sekarang tak ada lagi di Sulawesi Selatan.
Di Pulau Bonerate pencuru-pencuri dihukum mati dengan jalan tidak diberi makan, pencuri itu diikat kaki tangannya kemudian ditidurkan di matahari hingga mati. Matthes menceritakan bagaimana kejamnya hukuman mati dijalankan, pada suatu waktu seorang ratu di pedalaman menyuruh menginjak-nginjak dayang-dayangnya sampai mati karena terlalu dekat pada suaminya. Potong kepala yang selalu terdapat di Tanah Toraja, jarang sekali terjadi pada orang Bugis Makassar. Yang biasa dipakai ialah menusuk dengan tombak, mencekik, dimana yang bersalah kepalanya dibalik kebelakang kemudian ditarik dengan tali dari samping. Tapi yang umumnya ialah membunuh dengan keris. Hukuman mati yang dilaksanakan dengan melemaskankan didalam air biasanya pada mukah dan perkawinan sumbang. Sekarang pelaksanaan hukuman mati itu sesuai dengan kemauan masing-masing. Jika budak yang membunuh, ia harus dibunuh tetapi seorang membunuh budak, ia cuma di denda. Menurut Undang-undang Amanna Gappa: Kalau seorang merdeka membunuh seorang raja diatas kapal tetapi anak koda yang mengadilinya tidak memberikan putusan hukuman mati (yang seharusnya dijatuhkan) dan hanya manjatuhkan hukuman denda saja, maka anak koda tidak dapat dipidana karena hal itu. Menurut Matthes ( yang melihatnya sendiri kejadian itu) ini merupakan pengecualian satu-satunya, karena raja sangat berkuasa kalau didarat apalagi di istana. Didaerah Wajo juga Matthes pernah melihat seorang raja iaitu Aru Padali dari Tempe menjatuhkan hukuman mati terhadap orang yang mencuri sarung Matthes dengan jalan menikamnya dengan keris. Mungkin hal ini dijalankan oleh Aru Padali, karena pencurian yang dilakukan dimuka seorang raja sangat memalukan raja. Menurut Latoa 11 hal sehingga seorang dapat dijatuhi hukuman mati. 1. Lejja sutappere artinya memasuki kamar tidur seorang wanita sedang suaminya bepergian 2. Gegok paso artinya menggoyangkan tiang negara, ialah membunuh terhadap raja dan pembantupembantu adat. 3. Poppo gamaru artinya mengacau rapat adat 4. Suloi liang artinya menerangi gua, ialah menunjukkan tempat persembunyian raja (berkhianat) 5. Mappolo lila artinya mematahkan lidah, ialah dengan sengaja melanggar perintah-perintah raja. 6. Melakukan zina dengan ratu 7. Sapa tanah artinya mengotori tanah, ialah berbuat cabul. 8. Lewu sepe artinya, menutup jalan air, ialah merusakkan pendapatan raja 9. Mapaiboko artinya membelakangi, ialah menyalahgunakan nama raja untuk melakukan kejahatan yang sama sekali bertentangan dengan maksud raja. 10. Pelo weloi arajang artinya mencoba untuk mendapatkan keuntungan sendiri dari penguasa raja.
11. Makkai resaliwengeng arunge enrenge tanah naonroie artinya: makkai menggali, risaliwengeng: diluar, arung: raja, enrenge: dan, tanah naonroie: tanah tempat tinggalnya, ialah bekerjasama dengan musuh di luar negeri terhadap raja didalam negeri. Pada Raja Bugis Bone, jika orang menjatuhkan seorang raja menyebabkan hukuman mati. Di Nias hukuman mati dijalankan oleh orang yang tunduk dan bukan oleh orang yang hendak membalas dendam. Seorang (si pendendam) akan membunuh si pembunuh dimana saja dia bertemu. Hal ini adalah agak aneh dalam hubungan-hubungan politik, tetapi biasa dipakai dalam hubungan/peraturan-peraturan adat. Pada hal-hal tertentu adat itu juga mengenal hukuman mati tetapi sekarang banyak dipakai pendirianpendirian yang agak lunak, sehingga dipakai saja penuntutan sipil. Pada orang Nias sesudah jatuh putusan diberikan tiga hari tempo kepada keluarga terhukum, untuk mengumpul wang sebagai harga darah. Jika mereka tidak membayarnya dalam tempo tiga hari itu, maka hukuman mati diamalkan. Dia bukan lagi keluarga yang mengatur tetapi dengan perantaraan campur tangan kekuasaan umum. Di Kei ternyata bahawa telah terjadi sihir, iaitu kalu peristiwa-peristiwa sudah membuktikan dengan God oordeel bahawa seseorang membunuh diri karena sihir, maka hukuman mati atau pembuangan segera dijalankan dan tidak ada harapan untuk mendapat pengampunan. Di Timor tiap-tiap kerugian dari kesehatan atau milik orang harus dibayar atau dibalaskan. Balasan itu dapat berupa: hukuman mati, menyakiti, disamping dipenjara sementara waktu, pembuangan, denda dan lainlain. Cara melaksanakan hukuman mati ditetapkan sendiri oleh keluarga yang terbunuh. Mungkin dlemaskan didalam air, ditombak, diperangi atau dengan pentung. Hukuman mati juga dijalankan terhadap tukang sihir, demikian juga keluarganya. Orang sedang kedapatan melakukan zina, dapat dibunuh oleh suaminya. Dan jika kejahatan zina itu baru kemudian diketahui maka yang dikenakan hukuman mati ialah si laki-laki yang dianggap paling bersalah. Pembunuhan dibalaskan dengan hukuman mati, tetapi dibolehkan bahawa yang bersalah hanya membayar denda yang banyak. Hal ini di jelaskan oleh Wijngaarden bahawa hukuman mati hanya dapat diganti dengan denda kalau keluarga yang terbunuh menerimanya. Menurut Ten Kate bahawa hukuman mati sekarang jarang dilaksanakan pada bangsa Timor dari Amarasi, tetapi terhadap tukang sihir tetap dijalankan. Hukuman mati dijalankan kepada orang yang melakukan pembunuhan, percobaan pembunuhan, pencurian dalam rumah raja dan pelanggaran kesusilaan dalam kraton. Hukuman mati dilaksanakan dengan jalan menikam dengan keris, dirajam atau dilemaskan didalam air.
Mennes juga menerangkan bahwa hukuman mati amat jarang dijalankan. Yang dihukum mati ialah orang yang sudah melakukan kejahatan dan ia harus dihukum mati, karena orang takut kepadanya. Di ambon dan Maluku dalam hukum adat hampir semua jenayah dapat dibayar dengan denda. Hanya kejahatan yang amat berat pernah ada yang dihukum mati. Tetapi karena kepala-kepala kurang bebas maka hukuman-hukuman yang sudah diputuskan biasanya tak dapat dilaksanakan. Di kepulauan Aru orang yang membawa dengan senjata, zinah kalau ia dapat membayar denda ia di hukum mati. Pembunuh harus di bunuh oleh keluarga terbunuh. Tetapi apabila sanggup membayar ganti rugi berupa piring emas, rantai yang berharga sama dengan piring emas, mutiara sama dengan 50 souverings dan lola atau gigi gading harga sama dengan 3 piring emas, papan putar dari tembaga harga sama dengan souverings dan lola atau gigi gading harga sama dengan 40 atu 50 Souverings dia dapat dibebaskan. Di kisar ada tiga tingkatan yaitu: 1. Marus adalah bangsawan 2. Orang Bur adalah rakyat 3. Budak Perikatan antar seorang wanita dari golongan tinggi dan pria golongan rendah dapat dihukum mati, tetapi kalau laki-laki harus kawin dengan wanita bur tak apa-apa. Di Ternate keputusan hukuman mati dapat diganti dengan denda uang, denda itu separuhnya dibagi antara orang yang hadir disidang. Hilman Hadikusuma menyebut beberapa jenayah adat di Lampung yang dapat dijatuhi hukuman mati. Jenayah-jenayah tersebut sebagai berikut: 1. Jika kerabat si terbunuh mendakwa, maka terlebih dahulu diperiksa pangkat kedudukan siterbunuh dan si pembunuh untuk dapat menghitung tepung bangunnya (hukuman terhadap pembunuh). Jika pembunuh ternyata tidak dapat memenuhi tepung bangun si terbunuh, maka pembunuh harus di bunuh sampai mati. Tetapi hukuman tersebut dapat dibatalkan jika ada para pihak yang berkeberatan karena sayang pada pembunuh, apabila demikian maka pelaku pembunuhan itu diserahkan kepada kerabat si terbunuh untuk penyelesaiannya dengan maksud tercapai perdamaian diantara kerabat dua pihak dengan saling memaafkan dunia dan akhirat (pasal 69 KRN). 2. Jenayah, perbuatan zina yang dilakukan antara bapak atau ibu dengan anaknya atau antara mertua dengan manantu atau sebaliknya. Hukuman selain pepadun tengkurap, dibunuh atau dibuang (pasal 94 KRN). 3. Berzina dengan istri orang lain, jika perbuatan itu terjadi kerana si wanita tidak mau tetapi kerana dipaksa, maka semua denda dibayar oleh si pria. Dan jika si pria tidak mau membayar dendanya, maka ia harus dibunuh sampai mati (pasal 100 KRN).
Menurut Hilman Hadikusuma jenayah-jenayah dimana sipelaku jenayah tersebut dapat dibunuh tanpa melalui proses dan orang yang membunuh si pelaku tersebut tidak dapat dihukum. Jenayah-jenayah tersebut adalah: 1. Jika pembunuhan dilakukan terhadap orang yang rompak di dalam pekarangan rumah atau di dalam pekarangan rumah atau masih dalam jarak tiga depan dari sisi rumah, maka si pembunuh tidak dapat dihukum (Pasal 170 KRN) 2. Jika seseoramg membunuh penjahat yang sedang berada dalam rumah, maka tiada dikenakan (Pasal 40 Bab V h. 30 Simbur Tjahaja). 3. Jika seseorang lelaki masuk kedalam rumah orang lain, dengan maksud yang nyata hendak berbuat jahat dengan istri atau anak gadis yang empunya rumah (kerap gawe namanya), dan tertangkap dalam rumah itu lalu dibunuh, maka tiada dijadikan perkara Dalam perundang-undangan Majapahit pun hukuman mati telah dikenal. Selamat Mulyana menulis bahawa dalam perundang-undangan Majapahit tidak dikenal hukuman penjara dan kurungan. A. Hukuman Pokok 1. Hukuman mati 2. Hukumanpotong anggota badan yang bersalah 3. Hukuman denda 4. Ganti kerugian atau panglicawa atau patukucawa B. Hukuman Tambahan 1. Tebusan 2. Penyitaan 3. Patibajampi (pembeli obat) Yang dijatuhi hukuman mati ialah: pembunuhan, menghalangi terbunuhnya orang yang bersalah kepada raja, perbuatan-perbutan perusuh, yaitu pencurian, membegal, menculik, berkahwin wanita larangan, meracuni dan menenung. Ditinjau dari hukum adat Aceh sampai Irian ini menunjukkan kepada kita bahawa hukuman mati dikenal oleh semua suku. Dari sana juga dapat ditarik suatu kesimpulan bahawa jauh sebelum penjajah datang ke Indonesia, hukuman mati telah ada di Indonesia. Bukanlah Belanda dengan W.v.S. (Undang undang hukum jenayah) yang mulai memperkenalkan hukuman mati itu kepada bangsa Indonesia. Daftar Pustaka Adam Chazawi, 2001, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Andi Hamzah, 1993, Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasarkan Teori dan Jakarta.
Praktek, Rineka Cipta,
Andi Hamzah, 1987, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi, Pradya Paramita, Jakarta. Andi Hamzah, 1985, Pidana Mati Di Masa Lalu, Kini dan Masa Depan, Ghalia, Indonesia.
Adhi, (2007), Hukuman Mati di Tengah Perdebatan, http:// pitoyoadhi.wordpress.com/ 2007/01/03/hukuman-mati-pro-atau-kontra/. Diakses pada tanggal, 9 Juli 2009. Bambang Sunggono, (1998), Metodologi Penelitin Hukum, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, Bambang Waluyo, (1996) Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta Sinar Grafika, Gayus
Lumbuun,
(2008),
Hentikan Pidana Mati. http://www2.kompas.com/kompas cetak/0302/28/OPINI/152606.htm. Diakses pada tanggal, 7 Juli 2009
Joko Prakoso, 1987, Masalah Pidana Mati (soal tanya jawab), Bina Aksara,
Jakarta.
Joko Prakoso, 1984, Masalah Pemberian Pidana Dalam Teori Dan Praktek Peradilan, Bina Aksara, Jakarta. Koeswadji Hadiati Hermien, 1995, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung. Lamintangm 1984, Hukum Penentensir Indonesia, Armico, Bandung. Lili Rasjidi, (1999), Hukuman Mati dalam Tinjauan Filsafat, Cetakan Pertama, Bandung, Masyhur Effendi, 1994, Dimensi Dinamika HAM Dalam Hukum Nasional dan Internasional, Ghalia, Indonesia. Mangasa Sidabutar, 1995, Hak Terdakwa Terpidana Penuntut Umum Menempuh Upaya Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Nurwahchi, 1994, Pidana Mati dala Hukum Pidana Islam, Al-Ikhlas, Surabaya. Nurwahchi, 1985, Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia, Ghalia, Indonesia. Moleong, 1989, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Karya, Bandung.
Pensra, Dalam tesis berjudul, Pidana Mati Ditinjau Dari Sudut Pandang HAM, Posman Hutapea, (2001), Mempersoalkan Pelaksanaan Hukuman Mati, Edisi Kedua, Bandung, Paskalis Pieter, (2007), Hukuman Mati dan Hak Asasi Manusia, Cetakan I, Jakarta, PT. Grafindo Persada
Rahmad A. Ghani, (2007), Makna Yuridis Pelaksanaan Hukuman Mati, Semarang, UNDIP Ronny Hanitijo, (1982) Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, Roger Hood, The Death Penalty; A Worldwide perspective (Oxford University Press,(2002). www.amnesty.org
Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Implementasiny, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Track
Sistem
dan
SR. Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta.
Tibor R. Machan dengan penerjemah Masri Maris, (2006), Kebebasan dan Kebudayaan,Jakarta Yayasan Obor Indonesia
Waluyo Bambang, 2000, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta. Yahya AZ, 2007, Problematika Penerapan Pidana Mati dalam Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM), PUSHAM UII, Yogyakarta. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen. Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentak Tindak Pidana Psikotropika. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Tindak Pidana Narkotika. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2002, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman HAM RI. Putusan Mahkamah Konstusi terhadap Yudicial Review Undang-Undang No. 22 Tentang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Narkotika