KAJIAN BIOLOGI DAN AGRONOMI KARABENGUK (Mucuna pruriens (L.) DC.) SEBAGAI TANAMAN PANGAN DAN PENUTUP TANAH
Oleh: Supriyono
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
2007
KAJIAN BIOLOGI DAN AGRONOMI KARABENGUK (Mucuna pruriens (L.) DC.) SEBAGAI TANAMAN PANGAN DAN PENUTUP TANAH
Disertasi untuk memperoleh derajat Doktor dalam Ilmu Pertanian pada Universitas Gadjah Mada
Dipertahankan di hadapan Penguji Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Pada tanggal : 4 Agustus 2007
Oleh
Supriyono Lahir di Sleman Indonesia
ii
PRAKATA
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa, yang atas perkenanNya penulisan disertasi yang berjudul KAJIAN BIOLOGI DAN AGRONOMI KARABENGUK (Mucuna pruriens (L.) DC.) SEBAGAI TANAMAN PANGAN DAN PENUTUP TANAH telah dapat diselesaikan. Dengan ini penulis menyatakan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak sebagai tersebut berikut. 1. Rektor Universitas Gadjah Mada beserta Staf, yang atas perkenannya penulis
dapat mengikuti studi pada Program Pendidikan Doktor ( S3 ), 2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada beserta Staf, yang telah memberikan fasilitas untuk berlangsungnya proses studi,
3. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada beserta Staf, yang telah mengijinkan penggunaan fasilitas yang dimiliki, 4. Rektor dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin pada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Doktor, 5. Ditjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional beserta Staf DUE-Like Universitas
Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan dana karya siswa, 6. Prof. Dr. Ir. Tohari, M.Sc. sebagai Promotor yang telah banyak memberikan saran kepada penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini, 7. Dr. Ir. Abdul Syukur, S.U. sebagai Ko-promotor yang juga banyak memberikan
arahan, 8. Prof. Dr. Ir. Didik Indradewa sebagai Ko-promotor yang banyak memberikan
semangat kepada penulis, 9. Prof. Dr. Ir. Sumantri Sastrosudarjo (Almarhum) yang telah memberikan saran kepada penulis mulai penyusunan rencana penelitian hingga awal penelitian,
v
10. Dr. Ir. Djoko Muljanto, M.Sc. (Almarhum) yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis melalui berbagai mata kuliah dan penyusunan rencana penelitian, 11. Ketua dan Segenap Anggota Tim Penilai yang banyak memberikan koreksi akhir draf disertasi, 12. Ketua dan Segenap Anggota Tim penguji yang banyak membantu demi perbaikan naskah disertasi, 13. Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Gunungkidul beserta Staf dan Penyuluh Pertanian Lapangan Kecamatan Ngawen, 14. Kepala Desa Tancep dan warga di lokasi penelitian lapangan yang banyak membantu selama penelitian lapangan berlangsung, 15. Ayah Partowihardjo (Almarhum) dan Ibu yang mendorong penulis untuk mengikuti Program Doktor serta Ayah Asmopawiro (Almarhum) dan Ibu (Almarhumah) yang banyak memberikan bekal sewaktu mengasuh penulis, 16. Istri Elang Mujiyati beserta anak Arief Priyadi, Nurlaila Handayani dan Yuniar Suryo Pratomo atas segala pengorbanannya, 17. Semua pihak yang membantu yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan masyarakat petani khususnya di lahan kering. Akhir kata, penulis menyadari akibat keterbatasan dana, tenaga dan waktu, tulisan ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu saran membangun diterima dengan tangan terbuka untuk perbaikan di masa yang akan datang. Yogyakarta, 3 Agustus 2007 Penulis
vi
DAFTAR ISI Hal. HALAMAN JUDUL ..................…………………………………………. HALAMAN PERSETUJUAN ………………….………………………… PERNYATAAN PROMOVENDUS ……………………………………… PRAKATA ………………………………………………………………… DAFTAR ISI ……………………………………………………………… DAFTAR TABEL ……………………………………………………… DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… DAFTAR LAMPIRAN ……………………….…………………………… INTISARI …………………………………..……………………………… ABSTRACT ……………………………………………………………… I.
PENGANTAR A. Latar Belakang 1. Manfaat biji dan tanaman karabenguk (Mucuna pruriens (L.) DC.) 2. Struktur anatomi daun, pertumbuhan bintil dan forma pada karabenguk ……………………………………………………… 3. Pemenuhan kebutuhan hara …………………………………….. 4. Peran rangka penjalar pada tanaman karabenguk …………….. 5. Peran karabenguk sebagai tanaman penutup tanah …………… 6. Penelitian terdahulu dan keaslian penelitian ………................... B. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan penelitian ......................................................................... 2. Kegunaan penelitian …………………………………………….
i ii iv v vii x xiii xiv xix xxi
1 2 3 3 4 4 5 6
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Asal dan ekologi ………………………………………………… 2. Budidaya karabenguk …………………………………………… 3. Kandungan kimiawi biji karabenguk .................……………….. 4. Struktur anatomi daun C3 dan C4 …………………………… 5. Bintil akar dan fiksasi nitrogen. ………………………………… 6. Morfologi tanaman ……………………………………………… 7. Pemenuhan kebutuhan hara pada karabenguk ............................... 8. Rangka penjalar pada karabenguk ................................................. 9. Karabenguk sebagai tanaman penutup tanah ............................. B. Landasan Teori ……………………………………………………… C. Hipotesis …………………………………………………………….
7 8 10 11 11 14 15 16 17 19 21
III. METODE PENELITIAN A. Persiapan dan Kerangka Penelitian ......................................................
22
vii
B. Pelaksanaan Percobaan 1. Percobaan I Kajian Biologi dan Hasil Karabenguk a. Rancangan percobaan ……………………………………………... 24 b. Pengumpulan data ............................................................................. 24 c. Analisis data ...................................................................................... 27 2. Percobaan II Pemupukan pada 2 kultivar Karabenguk a. Rancangan percobaan ……………………………………………… 28 b. Pengumpulan data. ............................................................................. 30 c. Analisis data. ...................................................................................... 31 3. Percobaan III Rangka Penjalar pada 2 musim tanam dan 2 kultivar Karabenguk a. Rancangan percobaan ……………………………………………… 31 b. Pengumpulan data …………………………………………………. 33 c. Analisis data ……………………………………………………….. 33 4. Percobaan IV Dua kultivar Karabenguk sebagai Tanaman Penutup Tanah a. Rancangan percobaan ……………………………………………… 34 b. Pengumpulan data ………………………………………………….. 35 c. Analisis data ……………………………………………………….. 35 C. Pengumpulan Data 1. Variabel vegetatif dan pertumbuhan tanaman .………………………. 36 2 Variabel hasil tanaman ………………………………………………. 40 3. Variabel tanah ………………………………………………………... 42 4. Variabel pada analisis vegetasi .....................……….………………… 44 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kajian Biologi, Karakter Agronomi dan Forma Karabenguk 1. Kajian biologi ………… …………………………………..……….. 45 2. Karakter agronomi dan forma karabenguk budidaya ......…………… 50 B. Hasil analisis tanah dan Perubah Statistik Pemupukan 2 Kultivar Karabenguk 1. Hasil analisis tanah ………………………………….. ……………. 62 2. Hasil dan analisis hasil pemupukan karabenguk …………………….. 63 C. Penggunaan Rangka Penjalar pada 2 kultivar Karabenguk musim hujan dan kemarau 1. Komponen vegetatif dan hasil karabenguk ......... …………………… 77 2. Komponen bagian vegetatif dan hasil rata-rata per hari karabenguk . 88 3. Komponen bagian vegetatif dan hasil jagung ……………………….. 93 4. Komponen tumpangsari dan keharaan tanah ……………….....……… 97 5. Penjalar tanaman tahunan sebagai pembanding …………………........ 102 6. Kecepatan pertumbuhan ……………………………………………… 107 7. Pembahasan 2 kultivar karabenguk pada 2 musim tanam dan berbagai Penjalar ................................................................................................. 113
viii
D. Karabenguk Sebagai Tanaman Penutup Tanah pada Musim Hujan dan Kemarau 1. Serapan hara dan bagian vegetatif tanaman ……….……………….. 2. Pertumbuhan tanaman penutup tanah……………………………….. 3. Hasil tanaman ……………………………………………………… 4. Keharaan tanah setelah perlakuan ...………………………………. 5. Peran tanaman terhadap kondisi tanah …… ………………………. 6. Persentase penutupan lahan dan tebal tajuk tanaman penutup tanah .. 7. Peran karabenguk pada pengendalian gulma …………………. 8. Pembahasan peran 2 kultivar karabenguk sebagai penutup tanah pada 2 musim tanam ........................................................................
122 125 129 131 134 136 138 143
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ………………………………………………………. B. Saran ………………………………………………………………....
147 148
VI. RINGKASAN ………………………………………………………… DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… LAMPIRAN ..................................................................................................
149 181 186
ix
DAFTAR TABEL Hal. Tabel 1. Perbedaan struktur anatomi daun C3, C4 dan karabenguk .............…. Tabel 2. Panjang, diameter dan berat kering akar primer dan skunder, jumlah, bentuk dan berat kering bintil enam kultivar karabenguk ....................... Tabel 3. Panjang, diameter dan berat kering dan panjang ruas batang primer dan skunder enam kultivar karabenguk .........................……………….. Tabel 4. Letak dan berat kering daun, sudut, panjang dan diameter tangkai daun, panjang, lebar dan kandungan klorofil helaian daun, panjang, diameter dan jumlah trichoma enam kultivar karabenguk ……………. Tabel 5. Jumlah bunga per tandan dan berat kering , warna, panjang, tebal/lebar dan bentuk tangkai, kelopak dan mahkota bunga, warna, jumlah benagsari dan putik, panjang benangsari dan bentuk putik enam kultivar karabenguk ………………...................................................................... Tabel 6. Warna, panjang, lebar, tebal dan bentuk polong dan biji, jumlah dan berat kering polong dan jumlah biji enam kultivar karabenguk …….... Tabel 7. Panjang tandan, panjang tangkai dan warna mahkota bunga, panjang polong dan jumlah bulu gatal enam kultivar karabenguk .....… Tabel 8. Indeks luas daun umur lima minggu, panjang akar, nisbah akar tajuk, berat kering brangkasan, indeks panen, hasil biji, bobot 100 biji, protein dan HCN enam kultivar karabenguk ..............................…...... Tabel 9. Indeks luas daun umur lima minggu, panjang akar, nisbah akar tajuk, berat kering brangkasan, indeks panen, hasil biji, bobot 100 biji, protein dan HCN dua forma karabenguk ........................…................... Tabel 10. Hasil analisis tanah ................................................................................. Tabel 11. Nilai C, N dan C/N sebelum dan setelah pertanaman karabenguk ......... Tabel 12. Indeks panen dan hasil biji berbagai pemupukan dan kultivar karabenguk yang berbeda pada percobaan dipot ..……………………. Tabel 13. Jumlah bintil, bk brangkasan atas dan tajuk dan akar/tajuk antar kultivar pada percobaan di pot .................................................…........ Tabel 14. Serapan NPK, bk akar, bintil, brangkasan atas dan tajuk jumlah bintil/tan dan akar tajuk antar pemupukan pada percobaan di pot....... Tabel 15. Peningkatan klorofil daun, indeks luas daun dan diameter batang pada percobaan di pot ......................................................................... Tabel 16. Bagian vegetatif dan hasil antar kultivar pada percobaan pemupukan di lapangan ............................................................................................. Tabel 17. Laju pertumbuhan tanaman bulan pertama pada berbagai perlakuan pemupukan dan kultivar pada percobaan pemupukan di lapangan ......................................................................... ....................... Tabel 18. Keasaman atau pH tanah antar perlakuan pemupukan ............................ Tabel 19. Lengas tanah antar perlakuan pemupukan .............................................
x
45 50 51 52
53 54 55 58 58 62 63 64 65 65 66 68 68 71 72
Tabel 20. Kadar HCN tanah disekitar biji saat berkecambah ............................... 74 Tabel 21. Hasil, kadar air dan HCN biji dua musim tanam dan 2 kultivar karabenguk pada berbagai rangka penjalar …………………………. 77 Tabel 22. Serapan K indeks panen, berat biji/polong, hasil biji, bobot 100 biji dan kadar protein dua musim tanam pada dua kultivar karabenguk .... 79 Tabel 23. Bobot100 biji (g) dua kultivar pada berbagai rangka penjalar …….... 81 Tabel 24. Serapan NPK, diameter batang, beratkering brangkasan, indeks panen, hasil biji/tanaman, bobot 100 biji dan kadar protein dua musim tanam karabenguk pada berbagai rangka penjalar …………… 82 Tabel 25. Kadar klorofil daun, indeks luas daun dan beratkering brangkasan karabenguk pada 2 musim tanam berbeda ..................................…. 84 Tabel 26. Serapan N dua kultivar karabenguk ..........................................….......... 85 Tabel 27. Berat kering brangkasan karabenguk pada rangka penjalar berbeda ..... 85 Tabel 28. Serapan NPK, berat kering brangkasan dan hasil biji pada dua musim tanam dan berbagai rangka penjalar ......…………………………….. 89 Tabel 29. Serapan P dan hasil biji rata-rata harian pada dua musim tanam dan kultivar berbeda ............……………………………………………….. 91 Tabel 30. Serapan N dan K, beratkering brangkasan dan hasil biji per tanaman rata-rata harian antar musim, kultivar dan penjalar ........................... .... 92 Tabel 31. Bobot 100 biji jagung pada interaksi musim tanam dan kultivar karabenguk pada berbagai rangka penjalar …………………… ……… 94 Tabel 32. Berat brangkasan dan hasil jagung pada 2 musim tanam berbeda … 95 Tabel 33. Berat brangkasan dan hasil jagung pada kultivar karabenguk dan saat tanam berbeda ................................................................................ 96 Tabel 34. Serapan NPK dan kandungan unsur P dan K tanah pada dua musim tanam dan kultivar karabenguk pada berbagai rangka penjalar ……………….. 98 Tabel 35. Ater, bahan organik tanah dan C/N pada musim tanam berbeda ........... 100 Tabel 36. Ater pada 2 kultivar karabenguk dan berbagai rangka penjalar ............... 101 Tabel 37. Serapan K, hasil biji, kadar air, protein dan HCN pada interaksi musim tanam dan kultivar karabenguk dengan berbagai rangka penjalar dengan pembanding tanaman tahunan ................................................... 103 Tabel 38. Serapan N dan P dua kultivar karabenguk .............................................. 105 Tabel 39. Serapan N, P dan %Bj-Plng karabenguk pada rangka penjalar berbeda 106 Tabel 40. Koefisien regresi klorofil total daun (g/m2 lahan) antar musim pada 2 kultivar karabenguk dengan berbagai rangka penjalar ...…………….... 108 Tabel 41. Koefisien regresi indeks luas daun pada 2 musim tanam dan kultivar karabenguk dengan berbagai rangka penjalar .............. ……………..... 109 Tabel 42. Koefisien regresi diameter batang pada 2 musim tanam dan kultivar karabenguk dengan berbagai rangka penjalar .............................……… 111 Tabel 43. Serapan hara, ILD dan berat kering brangkasan pada 2 musim tanam dengan berbagai macam penutup tanah ......... …………. …………. 122 Tabel 44. Diameter batang tanaman penutup tanah pada musim tanam berbeda .. 124 Tabel 45. Diameter batang tanaman pada berbagai penutup tanah ..................…. 124 Tabel 46. Koefisien regresi klorofil total daun pada berbagai perlakuan tanaman penutup tanah ........... ...............................................…………………. 126 xi
Tabel 47. Koefisien regresi indeks luas daun pada berbagai perlakuan tanaman penutup tanah .…................................................................................... Tabel 48. Koefisien regresi diameter batang pada berbagai perlakuan tanaman penutup tanah ....................................................................................... Tabel 49. Indeks panen, biji/polong, bobot 100 biji, kadar protein dan HCN karabenguk pada 2 musim tanam dan berbagai penutup tanah ........... Tabel 50. Hasil dan kadar air biji tanaman penutup tanah pada musim tanam berbeda .................................................................................................. Tabel 51. Hasil dan kadar air biji antar macam tanaman penutup tanah ...……… Tabel 52. Unsur N dan K total tanah pada musim tanam dan macam penutup tanah yang berbeda ..............................................................…. Tabel 53. Kandungan P total tanah pada musim tanam berbeda .................. …. Tabel 54. Kandungan P total tanah pada macam tanaman penutup tanah berbeda Tabel 55. Bahan organik, persentase agregat, berat volume dan distribusi pori tanah antar musim tanam ........................................... ….............…... Tabel 56. Persentase agregat, berat volume dan distribusi pori tanah pada macam penutup tanah yang berbeda .................................................. Tabel 57. Peningkatan persentase penutupan dan tebal tajuk tanaman penutup tanah ………............................................................................ Tabel 58. Nilai NDP masing-masing gulma dan perlakuan pada pengamatan umur 1, 2 dan 3 bulan, C terhadap lahan terbuka dan jumlah NDP gulma tahunan ........…………………………………….
xii
127 128 129 130 131 132 133 133 134 136 137 139
DAFTAR GAMBAR Hal. Gambar 1. Diagram alir kerangka kegiatan penelitian …………………………. Gambar 2. Anatomi daun karabenguk dibandingkan dengan kedelai dan bayam pada perbesaran 10 x 10 ……………………………………. Gambar 3. Irisan membujur bintil akar karabenguk ……………………………. Gambar 4. Perkembangan anatomi bintil karabenguk …………………………. Gambar 5. Dinamika pH tanah selama pertumbuhan tanaman antar perlakuan pemupukan ......................................................................................... Gambar 6. Dinamika lengas tanah selama pertumbuhan tanaman antar perlakuan pemupukan ........................................................................ Gambar 7. Klorofil total karabenguk berdasarkan bulan pengamatan pada 2 musim berbeda …………………. . .......................................... Gambar 8. Indeks luas daun pertanaman jagung, karabenguk dan tumpangsari keduanya berdasarkan umur tanaman pada musim penghujan dan kemarau ............................................................................................. Gambar 9. Diameter batang karabenguk berdasarkan bulan pengamatan pada 2 musim berbeda .……………................................................... Gambar 10. Curah hujan selama musim tanam di lapangan ................................. Gambar 11. Kadar lengas tanah di lapangan berdasarkan bulan pengamatan ..... Gambar 12. Suhu udara di lokasi penelitian berdasarkan jam pengamatan .......... Gambar 13. Klorofil total daun tanaman penutup tanah berdasarkan umur tanaman ................……………………………………………….. Gambar 14. Indeks luas daun tanaman penutup tanah berdasarkan umur tanaman ............................................................................................. Gambar 15. Diameter batang tanaman penutup tanah berdasarkan umur tanaman
xiii
23 46 48 49 71 73 108 110 112 117 118 119 141 142 142
DAFTAR LAMPIRAN Hal. LAMPIRAN 1. Sidik Sidik ragam perbandingan diameter seludang berkas pengangkutan dan tebal daun tanaman karabenguk, bayam dan kedelai ................................................ …………… … LAMPIRAN 2. Sidik ragam perbandingan diameter seludang berkas pengangkutan dan tebal daun antar Kultivar Karabenguk ... LAMPIRAN 3 . Sidik ragam panjang akar primer …………………............ LAMPIRAN 4 . Sidik ragam diameter akar primer …………………............ LAMPIRAN 5 . Sidik ragam berat kering akar primer ..……………….. LAMPIRAN 6 . Sidik ragam panjang akar sekunder ………………………. LAMPIRAN 7 . Sidik ragam diameter akar sekunder ............………………. LAMPIRAN 8 . Sidik ragam berat kering akar sekunder ………….………… LAMPIRAN 9 . Sidik ragam jumlah bintil akar primer …………………. LAMPIRAN 10 . Sidik ragam jumlah bintil akar sekunder ............…………. LAMPIRAN 11 . Sidik ragam berat kering bintil akar ………………………. LAMPIRAN 12 . Sidik ragam panjang batang primer .......... ………………. LAMPIRAN 13 . Sidik ragam diameter batang primer …………………. LAMPIRAN 14 . Sidik ragam berat kering batang primer ...........…………. LAMPIRAN 15 . Sidik ragam panjang ruas panjang ........... ………………… LAMPIRAN 16 . Sidik ragam panjang ruas pendek ..........………………….. LAMPIRAN 17 . Sidik ragam panjang batang sekunder ..........……………… LAMPIRAN 18 . Sidik ragam diameter batang sekunder ….........…………… LAMPIRAN 19 . Sidik ragam berat kering batang sekunder …..........……….. LAMPIRAN 20 . Sidik ragam panjang ruas batang sekunder ...........………… LAMPIRAN 21 . Sidik ragam berat kering daun …………….........………… LAMPIRAN 22 . Sidik ragam panjang tangkai daun …….......…………..….. LAMPIRAN 23 . Sidik ragam diameter tangkai daun ...........……………….. LAMPIRAN 24 . Sidik ragam panjang daun .........………………………….. LAMPIRAN 25 . Sidik ragam lebar daun ..........……………………………. LAMPIRAN 26 . Sidik ragam klorofil ........………………………………… LAMPIRAN 27 . Sidik ragam pnjang tichoma .......................................... LAMPIRAN 28 . Sidik ragam dameter tichoma .......................................... LAMPIRAN 29 . Sidik ragam jml trichoma /100 m ......………………….. LAMPIRAN 30 . Sidik ragam jumlah bunga/tandan …………………….......... LAMPIRAN 31 . Sidik ragam berat kering bunga …..........……….……….... LAMPIRAN 32 . Sidik ragam panjang tangkai ..........………………………. LAMPIRAN 33 . Sidik ragam tebal tangkai ............………………………… LAMPIRAN 34 . Sidik ragam panjang kelopak ...........………………………. LAMPIRAN 35 . Sidik ragam lebar kelopak ............…………………………. LAMPIRAN 36 . Sidik ragam panjang mahkota ...........………………………. LAMPIRAN 37 . Sidik ragam lebar mahkota …............………………………. xiv
186 186 187 187 187 187 188 188 188 188 188 189 189 189 189 189 190 190 190 190 190 191 191 191 191 191 192 192 192 192 192 192 192 193 193 193 193
LAMPIRAN 38 . Sidik ragam panjang benangsari ……...........………………. LAMPIRAN 39 . Sidik ragam jumlah polong / tandan ……...........…………… LAMPIRAN 40 . Sidik ragam panjang polong …….........…………………… LAMPIRAN 41 . Sidik ragam lebar polong ...........………………………….. LAMPIRAN 42 . Sidik ragam tebal polong ...........…………………………… LAMPIRAN 43 . Sidik ragam berat kering polong .........……………………. LAMPIRAN 44 . Sidik ragam jumlah biji / polong ……...........……………….. LAMPIRAN 45 . Sidik ragam panjang biji …..........…………………………… LAMPIRAN 46 . Sidik ragam lebar biji …............…………………………..... LAMPIRAN 47 . Sidik ragam tebal biji ……..………………………………. LAMPIRAN 48. Sidik ragam indeks luas daun umur 5minggu ………………. LAMPIRAN 49. Sidik ragam panjang akar ………………………………… LAMPIRAN 50. Sidik ragam nisbah akar tajuk .......………………………… LAMPIRAN 51. Sidik ragam berat kering brangkasan ..............…………….. LAMPIRAN 52. Sidik ragam indeks panen (Transformasi Vx+0.5) ...…….. LAMPIRAN 53. Sidik ragam hasil biji (Transformasi Vx+0.5) .......………... LAMPIRAN 54. Sidik ragam bobot 100 biji ………………………………… LAMPIRAN 55 . Sidik ragam protein ………………………………………… LAMPIRAN 56 . Sidik ragam HCN …………………………………………... LAMPIRAN 57 . Sidik ragam indeks luas daun umur 5minggu ..…………….. LAMPIRAN 58 . Sidik ragam panjang akar …….…………………………….. LAMPIRAN 59 . Sidik ragam nisbah akar tajuk .……………………………… LAMPIRAN 60 . Sidik ragam berat kering brangkasan .……………………… LAMPIRAN 61 . Sidik ragam indeks panen (Transformasi Vx+0,5) ..……….. LAMPIRAN 62 . Sidik ragam hasil biji (Transformasi Vx+0,5) ..……………. LAMPIRAN 63 . Sidik ragam bobot 100 biji ………..…………………………. LAMPIRAN 64 . Sidik ragam kandungan protein ...………………………….. LAMPIRAN 65 . Sidik ragam kandungan HCN ..………………………………. LAMPIRAN 66 . Sidik ragam serapan N .....…………………………………. LAMPIRAN 67 . Sidik ragam serapanP ......………………………………….. LAMPIRAN 68 . Sidik ragam serapan K ….…………………………………. LAMPIRAN 69 . Sidik ragam berat kering akar ......………………………….. LAMPIRAN 70 . Sidik ragam jumlah bintil ..……………………………….. LAMPIRAN 71 . Sidik ragam berat kering bintil ....………………………… LAMPIRAN 72 . Sidik ragam berat kering brangkasan atas .......…………….. LAMPIRAN 73 . Sidik ragam berat kering tajuk ........……………………….. LAMPIRAN 74 . Sidik ragam akar/tajuk ........………………………………... LAMPIRAN 75 . Sidik ragam indeks panen …..……………………………… LAMPIRAN 76 . Sidik ragam hasil biji ……………………………………….. LAMPIRAN 77 .Sidik ragam serapan N ......…………………………………. LAMPIRAN 78 .Sidik ragam serapan P .......…………………………………. LAMPIRAN 79 .Sidik ragam serapan K .....………………………………….. LAMPIRAN 80. Sidik ragam berat kering akar ... ........……………………….. LAMPIRAN 81 .Sidik ragam jumlah bintil ......……………………………….. LAMPIRAN 82 .Sidik ragam berat kering bintil ........………………………… xv
193 194 194 194 195 195 195 195 195 196 196 196 196 196 197 197 197 197 197 198 198 198 198 198 199 199 199 199 200 200 200 200 201 201 201 201 202 202 202 202 203 203 203 203 204
LAMPIRAN 83 .Sidik ragam berat kering brangkasan atas ........…………….. LAMPIRAN 84 .Sidik ragam berat kering tajuk ..........……………………….. LAMPIRAN 85.Sidik ragam nisbah akar tajuk .......... ……………………….. LAMPIRAN 86 .Sidik ragam indeks panen ........…………………………….. LAMPIRAN 87.Sidik ragam berat biji .......………………………………….. LAMPIRAN 88 . Sidik ragam klorofil total …………………………………… LAMPIRAN 89 . Sidik ragam indeks luas daun .……………………………… LAMPIRAN 90 . Sidik ragam diameter batang ……………………………….. LAMPIRAN 91. Sidik ragam panjang batang primer ..........………………….. LAMPIRAN 92. Sidik ragam diameter batang primer ...........…………………. LAMPIRAN 93. Sidik ragam panjang batang sekunder ............……………….. LAMPIRAN 94. Sidik ragam diameter batang sekunder .............……………… LAMPIRAN 95. Sidik ragam indeks luas daun ……….……………………… LAMPIRAN 96. Sidik ragam nisbah luas daun .………………………………. LAMPIRAN 97. Sidik ragam laju pertumbuhan tanaman umur 1 bulan x 1000. .. LAMPIRAN 98. Sidik ragam laju pertumbuhan tanaman umur 1-2 bulan x 1000 LAMPIRAN 99. Sidik ragam laju pertumbuhan tanaman umur 2-3 bulan x 1000 LAMPIRAN 100. Sidik ragam serapan N karabenguk ..................…………….. LAMPIRAN 101. Sidik ragam serapan P karabenguk ...............………………. LAMPIRAN 102. Sidik ragam serapan K karabenguk ..............………………. LAMPIRAN 103. Sidik ragam klorofil / cm2 .............……………………….. LAMPIRAN 104. Sidik ragam indeks luas daun umur 3 bulan ........................... LAMPIRAN 105. Sidik ragam diameter batang saat panen ..............………….. LAMPIRAN 106. Sidik ragam berat kering oven brangkasan/tanaman …….. LAMPIRAN 107. Sidik ragam berat kering brangkasan ……………………… LAMPIRAN 108. Sidik ragam indeks panen ……….………………………….. LAMPIRAN 109. Sidik ragam % biji/polong …………..………………………. LAMPIRAN 110. Sidik ragam hasil biji/tanaman ...............…………………… LAMPIRAN 111. Sidik ragam hasil biji total ………………………………….. LAMPIRAN 112. Sidik ragam bobot 100 biji …………..……………………… LAMPIRAN 113. Sidik ragam kadar air biji % …………..…………………… LAMPIRAN 114. Sidik ragam % protein ............……………………………… LAMPIRAN 115. Sidik ragam % HCN ……………………………….……... LAMPIRAN 116. Sidik ragam serapan N rata-rata harian ……………............ LAMPIRAN 117. Sidik ragam serapan Px100 rata-rata harian ………............. LAMPIRAN 118. Sidik ragam serapan K rata-rata harian ……………............. LAMPIRAN 119. Sidik ragam berat kering brangkasan/tanaman ratarata harian ……...................................................................... LAMPIRAN 120. Sidik ragam berat kering brangkasan rata-rata harian ……… LAMPIRAN 121. Sidik ragam hasil biji / tan rata-rata harian ...........………… LAMPIRAN 122. Sidik ragam hasil biji rata-rata harian ............……………… LAMPIRAN 123. Sidik ragam bobot kering brangkasan jagung ...............……. LAMPIRAN 124. Sidik ragam bobot biji / tanaman jagung ...…………………. LAMPIRAN 125. Sidik ragam hasil biji jagung ……………………………… LAMPIRAN 126. Sidik ragam bobot 100 biji ……..………………………….. xvi
204 204 204 205 205 205 205 206 206 206 206 207 207 207 207 208 208 209 209 210 210 210 211 211 211 212 212 212 213 213 213 214 214 214 215 215 215 216 216 216 217 217 217 217
LAMPIRAN 127. Sidik ragam ATER …………………………………………. LAMPIRAN 128. Sidik ragam serapan N g/m2 ..........………………………… LAMPIRAN 129. Sidik ragam serapan P g/m2 .........…………………………. LAMPIRAN 130. Sidik ragam serapan K g/m2 …….…………………………. LAMPIRAN 131. Sidik ragam bahan organik tanah .............………………….. LAMPIRAN 132. Sidik ragam N total tanah ……….………………………….. LAMPIRAN 133. Sidik ragam C/N …….. ……………………………………... LAMPIRAN 134. Sidik ragam P total tanah …………………………………… LAMPIRAN 135. Sidik ragam K total tanah ………………………………….. LAMPIRAN 136. Sidik ragam serapan N ……..……………………………….. LAMPIRAN 137. Sidik ragam serapan P …… ………………………………. LAMPIRAN 138. Sidik ragam serapan K ……. ………………………………. LAMPIRAN 139. Sidik ragam % bij i/ polong ………………………………… LAMPIRAN 140. Sidik ragam hasil biji / tanaman .......... ……………………. LAMPIRAN 141. Sidik ragam hasil biji total …………………………………. LAMPIRAN 142. Sidik ragam bobot 100 biji ……….…………………………. LAMPIRAN 143. Sidik ragam kadar air biji % .............. ……………………… LAMPIRAN 144. Sidik ragam protein …………………………………………. LAMPIRAN 145. Sidik ragam HCN % ……….………………………………. LAMPIRAN 146. Sidik ragam klorofil total …………………………………. LAMPIRAN 147. Sidik ragam indeks luas daun ……………………………… LAMPIRAN 148. Sidik ragam diameter batang ……….……………………… LAMPIRAN 149. Sidik ragam serapan N ..........………………………………. LAMPIRAN 150. Sidik ragam serapan P ...........……………………………… LAMPIRAN 151. Sidik ragam serapan K ..........……………………………… LAMPIRAN 152. Sidik ragam klorofil total ..............…………………………. LAMPIRAN 153. Sidik ragam indeks luas daun bulan ke 3 …………………… LAMPIRAN 154. Sidik ragam diameter batang ...........………………………… LAMPIRAN 155. Sidik ragam berat kering brangkasan .....……………………. LAMPIRAN 156. Sidik ragam kandungan klorofil …………………………… LAMPIRAN 157. Sidik ragam indeks luas daun …..…………………………. LAMPIRAN 158. Sidik ragam diameter batang ..…………………………….. LAMPIRAN 159. Sidik ragam indeks panen .........………………………….. LAMPIRAN 160. Sidik ragam % bij / polong ……..………………………… LAMPIRAN 161. Sidik ragam hasil biji ……….…………………………….. LAMPIRAN 162. Sidik ragam bobot 100 biji ………………………………… LAMPIRAN 163. Sidik ragam kadar air biji % ...........……………………… LAMPIRAN 164. Sidik ragam protein % ……. ……………………………… LAMPIRAN 165. Sidik ragam HCN % ……………………………………… LAMPIRAN 166. Sidik ragam bahan organik tanah .............…………………. LAMPIRAN 167. Sidik ragam N total ……………………………………….. LAMPIRAN 168. Sidik ragam C/N ……..……………………………………. LAMPIRAN 169. Sidik ragam P total …….…………………………………. LAMPIRAN 170. Sidik ragam K total …….. ………………………………… LAMPIRAN 171. Sidik ragam bahan organik ..……………………………… xvii
218 218 218 218 219 219 219 219 220 220 220 220 221 221 221 221 222 222 222 222 223 223 224 224 224 224 225 225 225 225 226 226 226 226 227 227 227 227 228 228 228 228 229 229 229
LAMPIRAN 172. Sidik ragam agregat ………………………………………. LAMPIRAN 173. Sidik ragam pori tak tergunakan ............…………………. LAMPIRAN 174. Sidik ragam pori menahan lengas ………………………… LAMPIRAN 175. Sidik ragam pori drainase …………………………………. LAMPIRAN 176. Sidik ragam berat volume …………………………………. LAMPIRAN 177. Sidik ragam % porositas ............. …………………………. LAMPIRAN 178. Koefisien korelasi antar masing-masing variabel …………… LAMPIRAN 179. Koefisien korelasi antar berbagai variabel pada Percobaan Pemupukan …………………………………………………. LAMPIRAN 180. Koefisien korelasi antar komponen karabenguk …………… LAMPIRAN 181. Koefisien korelasi antar hasil tanaman jagung …………….. LAMPIRAN 182. Koefisien korelasi antar komponen Tumpangsari …………. LAMPIRAN 183. Koefisien korelasi antar komponen pertumbuhan dan hasil tanaman penutup tanah ……………………………………. LAMPIRAN 184. Koefisien korelasi antar komponen pertumbuhan dan tanah pada tanaman penutup tanah ………………………………. LAMPIRAN 185. Daun trifoliate karabenguk .............................................. LAMPIRAN 185b. Daun jagung ...................................................................... LAMPIRAN 185c. Daun kalopogonium .......................................................... LAMPIRAN 185d. Daun sentrosema .................. ............................................. LAMPIRAN 186. Penyetaraan hasil klorofil meter ke berat klorofil per cm2 daun karabenguk ......................................................... LAMPIRAN 187. Hubungan hasil ukur soil tester dan kadar lengas tanah ..... LAMPIRAN 188. Data kadar lengas tanah di lapangan berdasarkan bulan pengamatan ..........................................................................
xviii
229 230 230 230 230 231 232 232 233 233 233 234 234 235 235 235 236 236 236 237
INTISARI Karabenguk merupakan tanaman pangan yang dapat digunakan sebagai tanaman penutup tanah. Bijinya biasa digunakan untuk membuat tempe, dan ini penting untuk mencukupi kebutuhan protein masyarakat di lahan marginal. Percobaan 1 bertujuan menentukan tanaman karabenguk berdasar struktur anatomi termasuk tanaman C3 atau C4, menentukan pola pertumbuhan bintil karabenguk dan menentukan forma dari kultivar dan asal tanaman yang berbeda. Tujuan Percobaan 2 ialah mengetahui pengaruh macam dan takaran pupuk pada pertumbuhan dan hasil 2 kultivar karabenguk. Percobaan 3 bertujuan mengetahui peranan rangka penjalar terhadap pertumbuhan dan hasil 2 kultivar karabenguk sebagai individu maupun sebagai pertanaman tumpangsari serta keharaan tanah baik pada musim kemarau maupun penghujan. Tujuan Percobaan 4 ialah menentukan peran penutup tanah 2 kultivar karabenguk dibanding tanaman penutup tanah konvensional terhadap kecepatan tumbuh, pengendalian gulma dan perbaikan sifat-sifat tanah pada musim hujan dan kemarau. Percobaan 1 dan 2 dilakukan di rumahkaca Fakultas pertanian UNS dengan suhu maksimum harian 39 C dan dilanjutkan di lapangan. Percobaan 1 dengan Rancangan Acak Kelompok lengkap (RAKL) 6 perlakuan kultivar, diulang 3 kali. Enam perlakuan dimaksud adalah kultivar Hitam Gunungkidul, Luthung, Putih Gunungkidul, Putih Kedungombo, Putih Kulonprogo dan Rase. Percobaan 2 dengan RAKL-faktorial. Faktor pertama kultivar terdiri 2 macam yaitu Rase dan Putih Gunungkidul. Faktor ke dua pupuk terdiri 5 tingkat yaitu tanpa pupuk, pupuk organik dosis sedang /fine compost 125 g/tanaman, pupuk organik dosis tinggi / 250 g/tanaman, NPK dosis sedang / mutiara 1616-16 30 g/tanaman dan NPK dosis tinggi 60 g/tanaman. Percobaan 3 dan 4 dilaksanakan di Desa Tancep Ngawen Gunungkidul 170 m dpl pada musim hujan dan kemarau. Pada Percobaan 3, disamping musim sebagai faktor pertama, faktor ke dua adalah kultivar yaitu Rase dan Putih Gunungkidul. Faktor ke tiga adalah macam penjalar terdiri 5 macam yaitu jagung bersamaan tanam dengan karabenguk, jagung umur 2 minggu, jagung umur 4 minggu, penjalar bambu dan tanpa penjalar; pada musim penghujan ditambah penjalar mangga dan penjalar singkong. Pada Percobaan 4 disamping musim dan kultivar sebagai faktor pertama, faktor ke dua adalah macam penutup tanah terdiri atas 7 tingkat yaitu Rase, Putih Gunungkidul, Kalopoginium, Sentrosema, Rase dengan pupuk organik dosis sedang, Putih Gunungkidul dengan pupuk organik dosis sedang ditambah tanpa penutup tanah. Berdasarkan struktur anatomi daun, karabenguk termasuk tanaman C3. Berdasarkan struktur anatomi bintil, karabenguk mengikuti pola pertumbuhan bintil yang indeterminate. Forma utilis meliputi kultivar Luthung, Hitam Gunungkidul dan Putih Rase, Putih Kulonprogo, sedangkan forma cochinchinensis meliputi kultivar Gunungkidul dan Putih Kedungombo. Hasil biji dan indeks panen kultivar Putih Gunungkidul dan Rase lebih tinggi dibanding kultivar lain, kandungan proteinnya lebih rendah dibanding Putih Kulonprogo dan kadar HCN lebih tinggi bila dibanding Luthung. Berat hasil panen biji forma cochinchinensis lebih tinggi dibanding forma utilis karena didukung jumlah biji per polong yang lebih banyak, mahkota bunga yang lebih besar, tangkai daun yang lebih pendek dengan berat batang sekunder yang lebih rendah meskipun kadar klorofil daun juga lebih rendah.
xix
Pada percobaan di pot dengan sekali pemupukan, jumlah bintil, dan nisbah akar tajuk lebih tinggi pada kultivar Rase dibanding Putih Gunungkidul. Pupuk organik dengan dosis tinggi (fine compost 250g/tanaman) dan sedang ( 125g/tanaman) menghasilkan jum;ah bintil per tanaman lebih tinggi dibanding NPK (mutiara 16-16-16) dosis tinggi (60g/tanaman), NPK dosis sedang (30g/tanaman) dan kontrol. Percobaan di lapangan dengan 2 kali pemupukan menghasilkan panenan biji kultivar Rase lebih tinggi di banding kultivar Hitam Gunungkidul. Pada penanaman musim penghujan, kultivar Rase dengan penjalar bambu dan jagung umur 4 minggu mampu memberikan pertumbuhan dan hasil yang lebih baik. Pada pertanaman musim kemarau, kultivar Rase dengan penjalar bambu dan jagung bersamaan tanam memberikan pertumbuhan dan hasil yang lebih tinggi. Penanaman musim hujan mengakibatkan pertumbuhan dan berat hasil biji yang lebih baik dibanding musim kemarau. Berbagai komponen pertumbuhan dan hasil karabenguk dengan penjalar bambu dan jagung umur 4 minggu per satuan luas dapat menyamai penjalar tanaman keras. Pertumbuhan penutup tanah karabenguk lebih baik dibanding kalopogonium dan sentrosema bila ditanam pada musim penghujan dan tidak berbeda nyata bila ditanam pada musim kemarau. Semua tanaman penutup tanah yang dicobakan mampu menekan gulma yang didominasi lamuran. Karabenguk mampu mengendalikan gulma lebih baik dibanding tanaman penutup tanah konvensional untuk jangka waktu selama musim tanam, namun untuk jangka waktu menahun, ada kecenderungan lebih baik tanaman penutup tanah konvensional. Beberapa sifat tanah tidak menunjukkan perbedaan antar tanaman penutup tanah sehingga kemampuan menahan erosi lebih ditentukan oleh bobot brangkasan kering tanaman. Kata kunci : biologi, agronomi, tanaman pangan, penutup tanah
xx
ABSTRACT Velvet bean is a food crop for cover crop utilization. Its seed yield is usually used for preparing tempeh (fermented soybean cake). That is important for fulfilling the public’s protein needs in marginal areas. The aim of the first experiment is to determine C3 or C4 of velvet bean plant based on its anatomy structure, to determine the velvet bean’s nodule growth pattern and to determine the cultivar form and the different plant origin. The objective of experiment 2 is to find out the effect of fertilizer dose on the 2 velvet bean cultivar growth and yield. Experiment 3 aims to find out the creeping-pole role on the 2 velvet bean cultivar growth and yield as both individual and intercropping plant as well as the soil’s mineral content either in dry or wet season. The objective of experiment 4 is to determine the role of velvet bean in the 2 velvet bean cultivars compared with the conventional cover crop on the growth rate, weed control and soil indicator in wet and dry seasons. Experiment 1 and 2 was conducted in the greenhouse of Agricultural Faculty of UNS with daily maximum temperature 39oC and continued in the field. Experiment 1 was conducted with Randomized Completely Block Design (RCBD) with 6 cultivar treatments, and repeated for 3 times. The six treatments are cultivar Hitam Gunungkidul, Luthung, Putih Gunungkidul, ,Putih Kedungombo, Putih Kulonprogo and Rase. Experiment 2 employed factorial-RCBD. In the first factor, cultivar consisted of 2 types, i.e. Rase and Putih Gunungkidul. In the second factor, fertilizer consisted of 5 levels, namely without fertilizer, medium dose of organic fertilizer /fine compost 125 g/plant, high dose of organic fertilizer/ 250g/plant, medium dose of NPK / mutiara 16-16-16 30g/plant and high-dose of NPK 60g/plant. Experiment 3 and 4 was in the field that was conducted in Village Tancep Ngawen Gunungkidul 170 m usl in wet and dry seasons. In Experiment 3, in addition to seasons as the first factor, the second one was cultivars, namely Rase and Putih Gunungkidul. The third factor was the type of creeping pole consisting of 5, namely corn that was planted simultaneously with velvet bean, 2 weeks-corn, 4 weeks corn, bamboo pole and without pole; in wet season, those was added with mango plant creeper and cassava creeper. In Experiment 4, in addition to seasons and cultivars as the first factor, the second one was the type of cover crop consisted of 7 levels, namely Rase, Putih Gunungkidul, Calopogonium muconoides, Centrosema pubescen, Rase with medium dose of organic fertilizer, Putih Gunungkidul with medium dose of organic fertilizer supplemented without cover crop. The result of experiment shows that, considering the leaves anatomy structure, the velvet bean has C3 photosynthesis path. Based on the nodule anatomy structure, the bean follows indeterminate nodule growth pattern. The utilis forma includes cultivar Luthung, Hitam Gunungkidul and Putih Kulonprogo, while forma cochinchinenensis includes cultivar Rase, Putih Gunungkidul and Putih Kedungombo. The seed yield and harvest index of cultivar Putih Gunungkidul and Rase are higher than other’s ones, their protein contents are only lower than that of Putih Kulonprogo and HCN content is only higher than that of Luthung. The seed yield of forma cochinchinensis is higher than forma utilis because it is supported by the number of higher seed per pod, the flower crown is larger,
xxi
the leaves stalk is shorter and secondary stalk weight is lower but the chlorophyll content of leaves is lower. With one time fertilizing on pot, the nodule number, as well as root-shoot ratio are higher in cultivar Rase compared with those of Putih Gunungkidul. The high (fine compost 250g/plant) and medium (125g/plant) doses of organic fertilizer results in the higher nodules number per plant compared with high dose of NPK (60g/plant), medium dose of NPK (30g/plant) and the control. With two times fertilizer on the field, the seed yield of cultivar Rase is higher than that of cultivar Hitam Gunungkidul. In wet season planting, cultivar Rase with bamboo creeper and 4-weeks corn can produce the best growth and yield. In dry season, cultivar Rase with bamboo creeper and simultaneously planted-corn provides the highest growth and yield. Likewise, cultivar Rase has higher crop potential than that of Putih Gunungkidul. Various component of velvet bean’s growth and yield with bamboo creeper and 4-weeks-corn is same than perennials plant creepers per unit width. The growth of velvet bean cover crop is better than that of Calopogonium muconoides and Centrosema pubescen if planted in wet season and is not significantly different if planted in dry season. All cover crops examined can suppress the weeds better than conventional cover crop for planting season period, but for years period the conventional tends better. Several soil indicators no difference across cover crops so that the capability of restraining erosion is determined better by the plant’s gross dried weight. Key words : biology, agronomy, food crop, cover crop
xxii
I. PENGANTAR
A. Latar Belakang
Kesuburan tanah ditentukan oleh tekstur, struktur dan porositas, kandungan hara dan
pH
serta
keberadaan
organisme
menguntungkan
dalam
tanah.
Untuk
mempertahankan kesuburan tanah dibutuhkan tanaman penutup tanah. Disamping sebagai tanaman pangan, karabenguk ( Mucuna pruriens (L.) DC. ) dapat digunakan sebagai tanaman penutup tanah. Penelitian tentang karabenguk masih jarang dilakukan. Beberapa karakter biologi terkait agronominya perlu dipelajari, demikian pula tanggap tanaman terhadap tambahan hara, cara meningkatkan hasil dan peran sebagai penutup tanah perlu diteliti baik pada musim hujan maupun kemarau.
1.
Manfaat biji dan tanaman karabenguk (Mucuna pruriens (L.) DC.) Tanaman karabenguk bermanfaat karena bijinya dapat digunakan sebagai bahan pangan ( Josephine dan Janardhanan, 1991 ), sebagai tanaman penutup tanah
dan pakan ternak ( Carmen et al., 1999 ), serta digunakan sebagai tanaman perintis pada lahan-lahan tandus ( Duke, 1981 ). Biji dapat digunakan sebagai bahan obat karena mengandung L-Dopa ( Chattopadhyay et al., 1994 ). Sebagai tanaman kacang-kacangan, karabenguk juga mampu menambat N2 bebas dari udara akibat bersimbiosis dengan rhizobium pada bintil akarnya ( Sanginga et al., 1996 ). Sebagai bahan pangan, biji karabenguk dapat dibuat tempe serta berbagai hasil olahan yang lain. Protein yang terkandung penting untuk mencukupi kebutuhan bagi masyarakat di lahan kering. Senyawa racun termasuk HCN yang terkandung
1
2
hilang dengan perebusan dan perendaman selama 3 hari dengan penggantian air tiap hari ( Josephine dan Janardhanan, 1991; Handajani et al., 1996 ). Zat-zat yang merugikan kesehatan seperti alkaloida, saponin, sianoglukosida dan asam-asam amino tertentu, sebagian besar rusak oleh pemanasan dan sebagian lagi larut dalam air ( Handajani, 2002). Hijauan atau brangkasan tanaman dapat digunakan sebagai pakan ataupun pupuk hijau.
2.
Struktur anatomi daun, pertumbuhan bintil dan forma pada karabenguk Karbohidrat merupakan sumber energi bintil akar yang berasal dari tanaman inang. Jumlah karbohidrat yang diterima bintil tergantung laju fotosintesis tanaman inang. Tanaman dengan tipe fotosintesis C3 mempunyai laju fotosintesis lebih rendah dibanding tanaman C4 ( Muljanto, 1991 ). Tumbuhan C4 memiliki ikatan pembuluh besar-besar dan banyak mengandung kloroplas, ruang antar sel kecil-kecil dan vena rapat, sedangkan ikatan pembuluh pada tumbuhan C3 kecil-kecil dan kloroplas hanya ada pada sel mesofil ( Loveless, 1983 ). Bintil alfalfa (Medicago sativa) yang mengalami penuaan baik secara alamiah atau karena daun dirompes, sakit, stres, kekurangan hara, hormon dan fotosintat, bakteroid terlihat pecah namun bintil tetap utuh tidak terlepas dari akar cabang. Bagian bintil yang dekat cabang akar tetap baik, sedangkan di ujung bintil yang jauh dari cabang akar akan mengempis ( Vance et al., 1980 ). Alfalfa termasuk tumbuhan iklim sedang yang mengikuti pola pertumbuhan bintil indeterminate, bintil dapat memberikan hara ke zone perakaran setelah tanaman mati. Pada bintil Phaseolus vulgaris yang menua, membran sel akan pecah dan bakteroid mengalami
3
penghancuran ( Pladys and Rigaud, 1988 ). Hal ini menyebabkan bintil pada pola pertumbuhan determinate mampu memberikan hara ke zone perakaran saat tanaman masih hidup. Pola pertumbuhan bintil pada tanaman karabenguk, secara pasti belum diketahui. Duke ( 1981 ) menyebutkan bahwa karabenguk termasuk tanaman tropik atau sub tropik. Namun tentu tidak secara otomatis pola pertumbuhan bintil mengikuti pola tribus phaseolae yang determinate. Untuk itu perlu pengkajian lebih mendalam dalam kaitan kegunaan untuk penanganan sebagai tanaman pupuk hijau. Faktor genetis sangat menentukan hasil tanaman. Karabenguk yang dibudidayakan meliputi 2 forma, utilis dan cochinchinensis. Kultivar Hitam Gunungkidul, Luthung, Putih Gunungkidul, Putih Kedungombo, Putih Kulonprogo dan Rase termasuk forma utilis ataukah cochinchinensis dan kaitan dengan potensi
hasil perlu diketahui.
3.
Pemenuhan kebutuhan hara Setiap kultivar memiliki daya tanggap terhadap tambahan hara yang berbedabeda. Tanaman mengambil hara dari tanah melalui absorbsi oleh akar cabang. Pemupukan akan meningkatkan serapan hara sehingga pertumbuhan dan hasil tanaman meningkat. Karabenguk termasuk keluarga tanaman kacang-kacangan yang dapat bersimbiosis dengan rhizobium untuk mengubah nitrogen bebas menjadi nitrogen yang tersedia bagi tanaman ( Marschner, 1986 ).
4.
Peran rangka penjalar pada tanaman karabenguk Hasil penelitian Handajani et al. ( 1996 ) menyimpulkan bahwa penggunaan tanaman tahunan sebagai penjalar pada karabenguk memberikan hasil lebih tinggi
4
dibanding penjalar bambu. Rangka penjalar penting untuk meningkatkan distribusi sinar matahari, sehingga cahaya yang dapat diserap tanaman lebih banyak. Namun demikian, penggunaan tanaman tahunan sebagai penjalar memerlukan pengorbanan tinggi karena saat panen
karabenguk, cabang tanaman penjalar ikut dipangkas.
Untuk itu perlu dicoba penggunaan rangka penjalar tanaman semusim secara
tumpangsari dengan karabenguk.
5.
Peran karabenguk sebagai tanaman penutup tanah Tanaman penutup tanah yang baik memiliki pertumbuhan yang cepat, tidak mengambil hara tanah dalam jumlah besar, menghasilkan banyak serasah, memiliki nilai penutupan tanah yang tinggi, mampu memperbaiki sifat tanah dan mampu mengendalikan gulma ( Versteeg et al., 1998 ). Kemampuan karabenguk untuk memenuhi persyaratan tersebut akan terpenuhi melalui hasil penelitian ini.
6.
Penelitian terdahulu dan keaslian penelitian Beberapa penelitian pada karabenguk yang pernah dilakukan adalah sistem pertanaman yaitu : tumpangsari dengan jagung ( Coultas et al, 1996 ), alley cropping atau budidaya lorong bersama tanaman lain ( Versteeg et al., 1998 ), respon terhadap pemberian kapur dan fosfat ( Kang et al., 1995 ), perubahan kandungan C dan N tanah bila digunakan sebagai pupuk hijau ( Mc Kaig et al., 1940 ), sebagai penutup tanah di tanah masam ( Hairiah et al., 1991 ), manfaat tanaman karabenguk untuk menurunkan populasi nematoda Meloidogyne dan Heterodera glycines pada kedelai ( Weaver et al., 1998 ) dan macam bintil akar ( Sanginga et al., 1996 ). Sebagai bahan pangan telah diteliti kemungkinan untuk ditepungkan (Ahenkora et al., 1999 ),
5
analisis kandungan L-Dopa ( Chattopadhyay et al., 1994 ), kandungan aflatoksin akibat perbedaan suhu simpan ( Roy and Chourasia, 1989 ), kandungan gizi dan senyawa racun ( Josephine dan Janardhanan, 1991 ),
dan sistem perbiakan mikro
( Chattopadhyay et al., 1995 ). Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa penurunan
persentase sinar matahari hingga tinggal 25% dan penggunaan mulsa hingga 20 t/ha tidak mengubah hasil tanaman karabenguk menjalar di tanah dengan jarak 0,5m x 0,75m ( Handajani et al., 1995 ). Penelitian yang dilakukan tidak sama dengan penelitian yang sudah ada. Penelitian untuk menentukan tipe fotosintesis karabenguk melalui struktur anatomi, menentukan pola pertumbuhan bintil dan menentukan forma dari kultivar yang ada di Jawa Tengah dan DIY belum pernah dilakukan. Penelitian tumpangsari karabenguk dengan jagung memang pernah dilakukan, namun untuk dibandingkan dengan penjalar tidak hidup dan penjalar tanaman tahunan pada 2 musim berbeda belum ada. Sebagai penutup tanah, penelitian karabenguk untuk mengendalikan alangalang atau gulma lain juga pernah dilakukan, namun penelitian yang secara terpadu melihat peran karabenguk sebagai penutup tanah dalam berbagai aspek juga belum ada. B. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan penelitian a.
1) Melihat struktur anatomi daun dan nisbah seludang berkas pengangkutan per tebal daun untuk menentukan karabenguk termasuk tanaman C3 atau C4,
6
2) Menentukan pola pertumbuhan bintil apakah mengikuti pola tribus Phaseolae (determinate/tumbuhan tropis-subtropis) ataukah mengikuti pola tribus Viciae-Trifoliae (indeterminate / tumbuhan iklim sedang), 3) Menentukan forma kultivar lokal karabenguk berdasarkan karakter biologi. b. Menentukan peran pupuk terhadap pertumbuhan dan hasil kultivar karabenguk yang berbeda. c. Menentukan peranan rangka penjalar terhadap pertumbuhan dan hasil biji karabenguk pada musim kemarau dan penghujan. d. Menentukan
peran penutup tanah karabenguk dibandingkan dengan penutup
tanah konvensional dalam pertumbuhan, perbaikan sifat tanah dan pengendalian gulma.
2. Kegunaan penelitian a. Diperoleh identifikasi tanaman karabenguk termasuk C3 atau C4, forma utilis atau cochinchinensis dan pola pertumbuhan bintil yang dapat digunakan pemulia tanaman untuk pengembangan tanaman karabenguk lebih lanjut, b. Meningkatkan pengetahuan tentang budidaya karabenguk dan perbendaharaan dalam ilmu pengetahuan, c. Memperoleh alasan dan kesesuaian penggunaan tanaman karabenguk sebagai tanaman penutup tanah pada lahan kering marginal, d. Menambah pendapatan petani dan ketersediaan karabenguk sebagai salah satu alternatif sumber protein nasional terutama pada kawasan lahan marginal.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka 1. Asal dan ekologi Karabenguk berasal dari Asia Selatan dan Tenggara. Tanaman ini diintroduksi ke Florida pada tahun 1876, kemudian direintroduksi ke daerah tropik dan sub tropik. Di Hawaii, Australia, Philippina, dan Malaysia, karabenguk dikembangkan sebagai tanaman penutup tanah ( Vissoh et al., 1998; Duke, 1981). Di Afrika Barat, sekarang karabenguk banyak dikembangkan pada tanah tidak subur dan rentan erosi. Budidaya tersebut menggunakan pupuk dosis rendah ( Vissoh et al., 1998 ). Karabenguk tersebar meluas di luar Amerika Serikat sebagai tanaman penutup tanah ( Carmen et al., 1999 ). Kultivar karabenguk yang ada umumnya tahan kekeringan, ditanam pada lahan tandus dan digunakan sebagai penghasil biji ( Duke, 1981 ). Karabenguk tumbuh subur pada tanah geluh pasiran (sandy loam) hingga geluh lempungan dengan pengatusan yang baik. Umumnya karabenguk menyerbuk sendiri. Tanaman ini sensitif pada suhu rendah dan memerlukan keadaan bebas suhu rendah pada periode pembungaan hingga pengisian biji. Suhu dibawah 5 C selama 24 hingga 36 hari dapat merusak karabenguk kultivar Florida ( Duke, 1981 ). Selama musim pertumbuhan, suhu 20 hingga 30 C dianjurkan, suhu 21 C pada malam hari dikatakan memacu pembungaan. Karabenguk merupakan tanaman hari pendek ( Aiming et al., 1999). Karabenguk tumbuh subur pada curah hujan 380 hingga 3150 mm per tahun, rata-rata suhu tahunan 7
8
antara 18,7 hingga 27,1 C dengan pH 4,5 hingga 7,7. Hasil maksimum dicapai antara pH 5 hingga 6,5 pada tanah geluh pasiran ringan ( Duke, 1981 ).
2. Budidaya karabenguk Penanaman karabenguk dilakukan pada bedengan dengan jarak tanam dalam baris 15 hingga 90 cm dan jarak antar baris 90 hingga 180 cm. Penanaman dengan penebaran benih membutuhkan 45 hingga 90 kg benih / ha ( Duke, 1981 ). Handajani ( 1995 ) melakukan penelitian pada karabenguk dengan jarak tanam 50cm x 75cm. Tumpangsari dengan jagung berjarak dalam baris 90 hingga 120 cm membutuhkan 4 hingga 15 kg benih / ha. Di Amerika, kultivar Florida ditanam bulan Maret hingga April sedang kultivar Hawaii bulan Februari ( Duke, 1981 ).
Di Amerika Serikat bagian Selatan, tergantung kultivar, biji karabenguk akan mulai tua pada umur 3 ½ bulan. Di beberapa daerah yang lain, biji akan menua lebih dari 5 bulan dan di daerah tropik mencapai 7 hingga 9 bulan. Karabenguk dipanen secara manual, termasuk untuk memisahkan dengan batang dan daun. Bila ditumbuhkan bersama jagung, pemanenan dilakukan menjelang penuaan dan dibantu dengan alat pemanen. Polong tua dan kering mudah pecah. Setelah kering, biji dapat digiling dengan alat hasil modifikasi. Di Australia, digunakan penggilas jagung sedangkan di Afrika digunakan pemukul. Biji yang disimpan ditempat dingin dapat tetap viabel hingga 2 tahun atau lebih. Hijauan karabenguk untuk pakan dipanen pada umur 90 hingga 120 hari namun terkendala
batang menjalar sulit ditangani ( Duke, 1981 ).
9
Pada lahan subur hasil biji di Amerika Serikat dapat mencapai 1.000 hingga 2.000 kg/ha dan di Hawaii 900 hingga 1.500 kg/ha. Hasil biji di India 240 hingga 1.120 kg/ha dan brangkasan 900 hingga 3.600 kg/ha. Hasil hijauan pakan yang dipangkas adalah 3 hingga 6 MT(metrik ton) / ha selama 90 hingga 100 hari dan 18 MT/ha selama musim tanam. Di New Delhi, tumpangsari jagungkarabenguk memberikan 50% hijauan pakan lebih banyak dibanding jagungkacangtunggak. Hasil tanaman pupuk hijau diperkirakan 18 hingga 19 MT/ha. Produksi biji karabenguk diestimasi 895.000 MT/tahun. Fortifikasi atau pengayaan
makanan dengan L-Dopa (Levodopa) hingga 4,8% telah pernah
dilakukan ( Duke, 1981 ). Levodopa adalah senyawa ber rumus kimia 3 ( 3,4dihydroxyphenil ) –L-alanin ( Vissoh et al., 1998 ). Karabenguk jarang mendapat masalah oleh insekta, di duga karena kandungan L-Dopa. Levodopa ( L-Dopa ) pada biji merupakan pelindung dari serangan insekta dan mamalia kecil. Karabenguk tahan beberapa penyakit termasuk yang disebabkan fusarium, tetapi di Rhodesia Selatan tidak tahan terhadap penyakit "Vine-rot". Beberapa fungi khususnya Cercospora dan Phytophtora dapat menyerang araengu. Demikian pula bakteri menyerang karabenguk melalui penyakit becak daun bakteri. Daun karabenguk yang menguning disebabkan defisiensi Zink. Mosaik virus juga dapat menyerang karabenguk. Karabenguk tidak memiliki kekebalan terhadap beberapa nematoda
(Duke, 1981).
10
3. Kandungan kimiawi biji karabenguk Levodopa
dapat diekstrak dari biji karabenguk dan digunakan untuk
mengendalikan gejala penyakit parkinson. Levodopa juga dapat digunakan sebagai penolak insekta. Spesies karabenguk juga diketahui sebagai penghasil zat perangsang, obat pembuat muntah dan senyawa racun ( Duke, 1981 ). Tiga jenis biji karabenguk dari 3 daerah di India yang diuji, mengandung protein dan lemak kasar lebih tinggi dibanding spesies karabenguk yang lain. Albumin dan globulin mendominasi ketiganya. Kecuali L-dopa, semua anti nutrisi yang terdeteksi bersifat labil dan hilang karena perebusan ( Josephine dan Janardanan, 1991 ). Ahenkora et al. ( 1999 ) telah mencoba membuat tepung dari biji karabenguk, mengingat tepung cukup potensial untuk pengembangan produksi pangan. Sebagaimana kacang-kacangan, karabenguk juga dapat mengandung
aflatoksin hasil dari jamur Aspergilus flavus. Tingkat aflatoksin B1 tertinggi ada pada penyimpanan 3 minggu pada suhu 25 C sebesar 1,75 µg (micro gram), terendah ada pada suhu simpan 15 C sebesar 0,1 hingga 0,29 µg ( Roy and Chourasia, 1989 ). Bila biji sebagai pakan mengandung senyawa racun yang tinggi, biji dapat menyebabkan muntah dan diare. Senyawa racun yang terkandung dilaporkan sebagai dihidroksi fenilalanin. Biji juga mengandung inhibitor tripsin dan kimotripsin. Biji karabenguk juga dilaporkan menghasilkan dopamin, nikotin, fisostigmin dan serotonin. Dari 11 jenis karabenguk yang dianalisis, kandungan
L-dopa antara 3,1 - 6,7% ( Duke, 1981 ).
11
4. Struktur anatomi daun C3 dan C4 Karabenguk termasuk tanaman kacang-kacangan, namun belum ditemukan pustaka yang secara tegas menyatakan tanaman karabenguk termasuk C3 atau C4. Tumbuhan C4 memiliki sel-sel berkloroplas pada ikatan pembuluh yang besar-besar dan sel mesofil di sekitar ikatan pembuluh. Tumbuhan C3 memiliki kloroplas pada semua sel mesofil ( Loveless, 1983 ). Pada tumbuhan dengan jalur fotosintesis C3, seludang berkas ( bundle sheath ) terlihat tersamar, sedangkan pada tumbuhan C4 seludang berkas berdinding tebal dan memiliki banyak kloroplas, mitokhondria serta organel yang lain. Vakuola pusat berukuran lebih kecil ( Laetsch, 1974 cit. Salisbury and Ross, 1992 ). Kedelai termasuk tumbuhan C3 sehingga mengalami fotorespirasi dan proses metabolisme karbon kurang efisien ( Wigham, 1983 ). Pada tumbuhan C3, seludang berkas kecil-kecil sedangkan pada C4 berukuran besar dan membentuk kranz ( Salisbury and Ross, 1992 ). Bayam termasuk tumbuhan C4 dengan efisiensi penggunaan air per gram bahan kering diproduksi sebesar 300 g air transpirasi. Nilai tersebut jauh lebih rendah dibanding kacang-kacangan yang termasuk tanaman C3 dengan efisiensi per gram bahan kering diproduksi sebesar 700 g air transpirasi ( Hipkins, 1984 ).
5. Bintil akar dan fiksasi nitrogen Bintil akar tribus Phaseoleae sub famili Papilionoideae berbeda dengan tribus Vicieae dan Trifolieae secara morfologi dan anatomi. Bintil akar pada tribus Phaseoleae memiliki pertumbuhan determinate, jalur stele akar yang masuk ke
12
bintil tertutup ( Sprent, 1980 ). Bintil pada tribus Phaseoleae juga disebut tipe bulat yang melaksanakan fiksasi nitrogen pada awal pertumbuhan selama 3 hingga 5 minggu ( Muljanto, 1991 ). Bintil pada tribus Vicieae dan Trifolieae memiliki meristem apikal, pertumbuhan indeterminate, satu cabang dari stele akar atau lebih masuk dan bercabang di antara bintil. Elemen baru terdeferensiasi dalam hubungannya dengan pertumbuhan bintil dan percabangan bebas pada ujung apikal bintil. Bintil Vicieae dan Trifolieae memiliki sel-sel vaskuler transfer, sel-sel bervakuola terinfeksi dan bakteroid rhizobium bermacam bentuk ( Sprent, 1980 ). Bintil Vicieae dan Trifolieae juga disebut tipe memanjang. Fiksasi nitrogen terus berkembang ke daerah meristem baru selama kehidupan tanaman ( Muljanto, 1991 ). Produk yang diekspor dari bintil sewaktu fiksasi nitrogen pada Phaseoleae adalah ureida allantoin dan asam allantoik, sedang pada Vicieae dan Trifolieae adalah amida dan asam amino, khususnya glutamin dan asparagin. Ekspor produk tersebut berhubungan dengan anatomi vaskuler bintil tanaman asal tropis / sub tropis pada Phaseoleae dan daerah sedang pada Vicieae dan Trifolieae ( Sprent, 1980 ). Fiksasi N2 secara biologis di alam dilakukan oleh bakteri dan Cyanophyceae. Sistem simbiosis memiliki kapabilitas fiksasi yang besar. Tanaman inang mensuplai simbion berupa karbohidrat sebagai sumber energi untuk fiksasi N2. Bintil kacang-kacangan bersimbiosis dengan rhizobium ( Marschner, 1986 ). Nitrogen hasil fiksasi
85% terakumulasi pada bagian
vegetatif di atas tanah sedang 15% ada di perakaran ( Hoefsloot et al., 1993 cit. Vissoh et al., 1998 ).
13
Nitrogenase sebagai enzim pengkatalisis aktivitas fiksasi terdiri dari 2 komponen protein. Protein Mo-Fe memiliki sisi aktif enzim 2 Mo, 32 Fe dan 32 asam labil S per molekul. Ketika mengalami desosiasi Mo-Fe terpecah kedalam 4 sub unit. Komponen kedua Fe-Protein yaitu di nitrogenase reduktase ( Layzell, 1990 ). Tanaman inang mengirim sukrose lewat floem ke bintil sebagai energi substrat. Leghemoglobin mengatur transport O2 dari luar ke dalam bakteroid dalam bintil agar konsentrasi O2 di permukaan bakteroid rendah. Produksi fiksasi N2 yaitu NH3 dilepas ke sitoplasma tempat amida, asam amino dan ureida disintesis. Senyawa ini dikeluarkan sel, dikirim ke xilem akar dan ditransport ke pucuk atas. Enzim untuk asimilasi NH3 di sitoplasma bintil adalah glutamin sintetase dan glutamat sintetase. Enzim yang sama juga responsibel untuk asimilasi NH3 di akar dan pucuk tanaman inang. Nitrogenase dihambat oleh produk akhir : konsentrasi NH3 tinggi, glutamin, glutamat dan juga gen penambat N2. Hal tersebut memiliki implikasi penting pada pemupukan nitrogen kacang-kacangan dan sistem fiksasi nitrogen yang lain. Konsentrasi leghemoglobin, enzim warna merah dengan pusat atom Fe dalam cincin forfirin melengkapi tetapi tidak berhubungan linear dengan kapasitas fiksasi N2 dalam bintil akar. Sintesis leghemoglobin membutuhkan Co dan Fe sebagai komponen metal dari enzim. Unsur Co berhubungan dengan kandungan
vitamin B12 dalam sintesis leghemoglobin ( Marschner, 1986 ).
14
Senyawa NH4+ merupakan suatu produk nitrogenase yang stabil, yang dapat melakukan feed back. Senyawa tersebut dapat menyebabkan kehilangan aktivitas nitrogenase secara in-vivo. Pada simbiosis, NO3- dan NH4+ menurunkan aktivitas nitrogenase dan pembentukan serta perkembangan bintil (Layzell, 1990).
6. Morfologi tanaman Batang karabenguk menjalar atau merambat dengan panjang 3 hingga 18 m. Daun terdiri dari 3 helaian besar, oval dan lebih pendek dibanding tangkai. Bunga tumbuh dalam 2 atau 3 rantai tandan, warna bervariasi dari putih hingga ungu gelap dengan panjang bunga 2,5 hingga 3,2 cm. Polong berambut, memiliki panjang dapat lebih dari 15 cm dan memiliki 3 hingga 6 biji per polong. Biji sering belang-belang, kadang berwarna homogen
putih, coklat atau hitam.
Panjang akar 7 hingga 10 m dengan bintil berlebih didekat permukaan tanah (Duke, 1981). Di dalam buku Flora of Java ( Backer and Van Den Brink, 1963 ) disebutkan bahwa karabenguk utilis memiliki panjang tandan ( recemus ) lebih dari 32 cm, tangkai ( rachis ) 4-10 mm, mahkota ( corolla ) berwarna ungu gelap, panjang polong ( pod ) 10-13 cm, tidak berbulu gatal dan biasa dibudidayakan. Forma cochinchinensis dicirikan oleh panjang tandan 4-5 cm, tangkai 5-7 mm, mahkota berwarna putih kehijauan, panjang polong 10-12 cm, tidak berbulu gatal. Karabenguk cochinchinensis dibudidayakan sebagai hasil introduksi.
15
7.
Pemenuhan kebutuhan hara pada karabenguk Di Amerika Serikat, walaupun dosis rekomendasi pupuk superfosfat sebanyak 50 hingga 225 kg / ha digunakan, namun hasil biji karabenguk tidak meningkat. Pengapuran dapat meningkatkan hasil biji. Pemberian inokulan dapat dilakukan pada tanah tropis, namun biasanya tidak digunakan di daerah sedang. Inokulasi pada karabenguk dapat dilakukan menggunakan inokulan yang biasa digunakan pada limabean ( kacang tunggak ) dan lespedeza. Pada pertanaman karabenguk dapat di lakukan pergiliran tanaman dengan jagung atau kapas
( Duke, 1981 ). Kondisi lahan yang tergenang dan tanah masam dengan pH< 4,5 tidak cocok untuk karabenguk ( Hairiah et al., 1993 ). Mikroorganisme penambat N2 hidup secara bersimbiosis dalam bintil akar kacang-kacangan atau non kacang-kacangan. Karbohidrat sebagai sumber energi disuplai oleh tanaman inang. Kacang-kacangan bersimbiosis dengan rhizobium mampu mengubah N2 menjadi NH3 ( Marschner, 1986 ). Bila kadar NH3 hasil penyerapan akar dan kerja enzim nitrat reduktase tinggi, maka aktivitas rhizobium dan bintil akar akan berkurang. Karabenguk dinyatakan sebagai tanaman perintis pada lahan tandus yang tahan kekeringan ( Duke, 1981 ). Dalam kaitan dengan posisinya sebagai tanaman kacang-kacangan, kandungan hara nitrogen tanah yang tinggi akan menghambat
aktivitas bintil.
16
8.
Rangka penjalar pada karabenguk Tanaman karabenguk biasa ditanam di pekarangan kawasan pedesaan dengan dirambatkan pada tanaman tahunan. Namun demikian beberapa petani di negara barat menggunakan karabenguk sebagai tanaman penutup tanah untuk meningkatkan kesuburan tanah (Duke, 1981). Hasil penelitian Handajani et al. (1995) menunjukkan bahwa penggunaan rangka penjalar mempengaruhi hasil tanaman karabenguk. Pada pemanenan pertama, setiap tanaman karabenguk menghasilkan 66 g/tanaman polong kering tanpa rangka penjalar, 134 g/tanaman dengan rangka penjalar ujung bambu setinggi 2 m, 600 g/tanaman dengan rangka penjalar tanaman lamtoro hidup dan 1006 g/tanaman dengan rangka penjalar pohon jambu biji hidup. Dengan rangka penjalar tanaman hidup, karabenguk mampu hidup lebih lama. Rangka penjalar hidup diperkirakan mampu memberikan kelembaban lingkungan yang lebih terhadap karabenguk, sehingga tetap mampu bertahan di masa kering. Tanaman rangka penjalar jambu biji menghasilkan polong karabenguk lebih banyak karena percabangan yang lebih melebar sehingga distribusi sinar lebih baik. Kelemahan tanaman keras sebagai penjalar adalah sulitnya pemanenan, hingga saat panen tanaman penjalar harus dipangkas (Handajani et al., 1995). Untuk itu perlu dicari cara dengan rangka penjalar tanaman semusim agar tanaman karabenguk mampu menghasilkan biji untuk bahan pangan yang tidak jauh berbeda dibanding potensi hasilnya sebagai tanaman yang merambat pada rangka penjalar tanaman tahunan.
17
9.
Karabenguk sebagai tanaman penutup tanah Teknologi mengembalikan kesuburan tanah telah dicoba menggunakan alley cropping atau tanaman lorong dengan Leucaena leucocephala (lamtoro
gung) dan Gliricidae sepium (gliriside), Mucuna pruriens (karabenguk) dan Acacia auriculiformis (akasia). Selain itu karabenguk juga digunakan untuk mengendalikan alang-alang ( Versteeg et al., 1998 ). Karabenguk merupakan legum atau kacang-kacangan yang tumbuh cepat sebagai tanaman penutup tanah di daerah tropika basah, namun berakar dangkal di tanah masam ( Hairiah et al., 1991 ). Tanaman ini merupakan tanaman tropik atau sub tropik. Pada lahan yang subur, hasil biji dapat mencapai satu hingga 2 ton / ha. Penanaman 2 hingga 3 kali akan mampu mengendalikan gulma ( Duke, 1981 ). Karabenguk dapat lebih
menekan alang-alang (Imperata cylindrica) dibanding Psopocarpus dan Centrosema ( Vissoh et al., 1998 ). Ada 2 pola tanam yang dikembangkan di Afrika Barat yaitu karabenguk sebagai tanaman penutup tanah untuk menekan kerusakan tanah dan yang lain tumpangsari antara karabenguk dan jagung. Sebagai tanaman penutup tanah, karabenguk ditanam dengan jarak tanam 0,8m x 0,4m dengan 2 benih per lobang tanam atau menggunakan benih sekitar 30 kg/ha. Pada tumpangsari dengan jagung, jarak tanam jagung 0,8m x 0,4m dengan 2 benih per lobang tanam, sedang jarak tanam karabenguk 0,8m x 0,8m ( Vissoh et al., 1998 ). Karabenguk yang ditanam sebagai pupuk hijau atau tanaman penutup tanah, 2 hingga 3 kali penanaman mampu mengendalikan gulma setelah tanaman
18
menjalar, namun hanya menghasilkan biji sedikit. Tanaman yang ditumbuhkan untuk biji atau pakan, biasanya di tanam secara tumpangsari dengan jagung atau tanaman lain yang tahan terhadap rambatan. Bunga karabenguk membutuhkan sirkulasi udara terbuka saat penyerbukan dan pembentukan biji. Cara budidaya karabenguk yang biasanya sama dengan jagung dan sorghum telah dilakukan di Australia ( Duke, 1981 ). Untuk mengurangi kerusakan tanah secara luas, digunakan tanaman penutup tanah yang antara lain karabenguk disamping Stylosanthes guianensis, Pueraria phaseoloides dan Centrosema pubescens ( Vissoh et al., 1998 ). Karabenguk merupakan tanaman perintis, penyubur tanah dan pengendali gulma misalnya terhadap rumput bermuda. Karabenguk juga digunakan sebagai tanaman penutup tanah, tanaman pupuk hijau dan tanaman penghasil pakan. Di Amerika Serikat Selatan, karabenguk sering ditumbuhkan sebagai ornamen tumbuhan merambat. Di Georgia Selatan dan Florida Utara pada musim dingin karabenguk ditumbuhkan untuk pakan ternak. Di Brazil, pati dari biji dipelajari untuk perekat makanan. Biji yang berasal dari polong masak digunakan sebagai bahan pangan setelah direndam, direbus, dipanggang atau difermentasi agar senyawa racun hilang. Polong atau daun muda dapat dimasak sebagai sayur ( Duke, 1981 ). Karabenguk sering digunakan sebagai penutup tanah untuk menekan erosi. Salah satu faktor yang mempengaruhi erosi adalah pengolahan tanah dan penutupan lahan. Tingkat erosi padang rumput sangat rendah dan meningkat 10 kali ketika dibajak kasar dan meningkat 5 ½ kali lagi ketika dipersiapkan untuk
19
tanaman jagung. Seresah menurunkan erosi hingga tinggal setengahnya dibanding pertanaman jagung ( Kent Mitchell and Bubenzer, 1980 ).
B. Landasan Teori Pertumbuhan dan hasil tanaman dipengaruhi oleh faktor genetis dan lingkungan. Identifikasi beberapa faktor genetis dilakukan, dengan hasil diharapkan dapat digunakan oleh pemulia untuk pengembangkan tanaman lebih lanjut. Kajian biologi meliputi struktur daun karabenguk termasuk tipe C3 atau C4, pola pertumbuhan bintil dan letak kultivar pada forma karabenguk. Karabenguk merupakan tanaman kacang-kacangan yang umumnya merupakan tanaman dengan jalur fotosintesis C3. Struktur anatomi daun berhubungan erat dengan jalur fotosintesis C3 atau C4. Dengan melihat struktur anatomi daun, dapat ditentukan apakah tanaman termasuk C3 atau C4. Terkait pola pertumbuhan bintil, terdapat 2 pola yaitu pertama indeterminate, bintil tumbuh terus dan baru mengalami kerusakan menjelang tanaman mati. Pola ke dua yaitu determinate, bintil tumbuh sampai batas tertentu kemudian rusak termasuk saat tanaman masih dalam periode vegetatif. Bila bintil rusak sebelum tanaman menua berarti pertumbuhan bintil determinate dan bila bintil rusak menjelang penuaan berarti pertumbuhan bintil indeterminate. Klasifikasi dibawah spesies berbagai kultivar karabenguk yang ada di lapangan belum diketahui posisi pada taksonomi tumbuhan. Pengetahuan tentang hal tersebut kiranya akan sangat diperlukan dalam pengembangan pengetahuan tentang karabenguk. Suatu kultivar termasuk forma utilis bila memiliki warna mahkota bunga
20
ungu kehitaman dan termasuk forma cochinchinensis bila warna mahkota bunga putih kehijauan. Pupuk merupakan salah satu komponen untuk meningkatkan hasil. Uji macam dan dosis pupuk diperlukan untuk mengetahui pengaruhnya pada pertumbuhan dan hasil tanaman. Sebagai tanaman kacang-kacangan, peran bintil dalam pengikatan N2 udara juga diperlukan. Peran kombinasi antara N dari tanah dan pupuk dengan N2 bebas yang diproses melalui bintil terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman perlu diketahui. Tanaman kacang-kacangan pada umumnya membutuhkan pupuk setara 250 g / tanaman untuk berproduksi maksimal.
Penggunaan pupuk akan meningkatkan
pertumbuhan tanaman bila bagian-bagian vegetatif memiliki berat dan ukuran lebih besar dan meningkatkan hasil bila berat dan ukuran komponen hasil lebih tinggi. Tanaman karabenguk biasa ditumbuhkan di pekaranan, menjalar pada tanaman keras atau tanaman tahunan dengan hasil berat biji yang tinggi. Di sisi lain, jagung juga dapat ditanam secara tumpangsari dengan karabenguk. Kecepatan tumbuh karabenguk lebih tinggi sehingga jagung perlu ditanam lebih awal. Rangka penjalar yang mampu membuat karabenguk memiliki pertumbuhan dan hasil tinggi merupakan rangka penjalar yang baik. Pertumbuhan yang tinggi tercermin pada komponen vegetatif dengan berat dan ukuran yang lebih besar. Hasil yang tinggi tercermin pada berat dan ukuran komponen hasil. Di samping tanaman penutup tanah konvensional yang antara lain kalopogonium dan sentrosema, tanaman karabenguk juga digunakan sebagai tanaman penutup tanah. Sebagai penutup tanah, karabenguk dapat berfungsi sebagai pengendali gulma, memberikan seresah, menambah keharaan tanah, dan cepat tumbuh. Sebagai
21
tanaman pangan, penggunaan pupuk organik dan perbedaan varietas kiranya mempengaruhi kualitas serta kuantitas hasil. Tanaman penutup tanah baik bila mampu mengendalikan gulma dan memperbaiki sifat-sifat tanah.
C. Hipotesis 1.
a. Struktur anatomi daun dan nisbah seludang berkas pengangkutan terhadap tebal daun menunjukkan karabenguk termasuk tanaman C3 b.
Pola pertumbuhan bintil akar karabenguk seperti pola pada tribus Phaseolae yang bersifat determinate,
c.
Forma kultivar lokal karabenguk dapat ditentukan berdasarkan ciri-ciri morfologi tanaman,
2.
Pupuk organik dosis 250 g/tanaman meningkatkan pertumbuhan tanaman dan hasil panen biji karabenguk,
3.
a. Karabenguk dengan rangka penjalar jagung mampu menghasilkan biji per tanaman lebih tinggi dibanding karabenguk dengan penjalar bambu akibat distribusi sinar yang lebih baik, b. Penjalar jagung untuk karabenguk lebih menguntungkan dibanding penjalar tanaman keras karena penanganannya mudah namun tidak menurunkan hasil karabenguk,
4.
Karabenguk memiliki pertumbuhan, kemampuan memperbaiki sifat tanah dan mengendalikan gulma lebih tinggi dibanding tanaman penutup tanah
konvensional.
III. METODE PENELITIAN A. Persiapan dan Kerangka Penelitian Untuk mendapatkan biji dengan warna dan nama daerah yang berbeda, penelitian didahului dengan survai ke daerah sentra produksi karabenguk di Jawa Tengah dan DIY yaitu Sragen, Kulonprogo dan Gunungkidul. Berdasarkan hasil survai tersebut ditentukan lokasi penelitian dan pengambilan tanah untuk penelitian di rumahkaca. Penentuan ini didasarkan pada jenis tanah yang biasa digunakan untuk budidaya karabenguk, kondisi lingkungan yang aman untuk penelitian serta banyaknya jenis / kultivar karabenguk yang ditemukan. Lokasi tersebut adalah di tegal Ngreco, Desa Tancep, Kecamatan Ngawen, Gunungkidul. Lokasi memiliki kemiringan lahan 9-10 , tebal solum 5-17cm, jenis tanah litosol, klas tekstur geluh pasiran, kedalaman air tanah sekitar 8m dan tinggi tempat 170 m dpl. Penelitian terbagi atas 4 percobaan, 2 percobaan di rumah kaca dan yang lain di lapangan. Percobaan yang dimaksud adalah : 1). kajian biologi karabenguk yang dilakukan di rumah kaca dan diteruskan di lapangan, 2). pemupukan pada 2 kultivar karabenguk yang dilaksanakan di rumah kaca, diteruskan di lapangan 3). penggunaan rangka penjalar pada 2 musim tanam dan 2 kultivar karabenguk yang dilakukan di lapangan dan 4). dua kultivar karabenguk sebagai penutup tanah yang dilaksanakan di lapangan. Adapun diagram alir kegiatan penelitian disajikan pada gambar 1.
22
23
PERCOBAAN I KAJIAN BIOLOGI KARABENGUK
- tipe fotosintesis karabenguk C3 atau C4 - bintil karabenguk determinate atau indeterminate - kultivar yang termasuk forma cochinchinensis & kultivar yang terma suk forma utilis
Kultivar Hasil Tinggi
PERCOBAAN II PEMUPUKAN 2 KULTIVAR
Macam dan Dosis Pupuk optimum
PERCOBAAN III RANGKA PENJALAR KARABENGUK PADA 2 KULTIVAR & 2 MUSIM TANAM
Dosis pupuk untuk tanaman penutup tanah
PERCOBAAN IV DUA KULTIVAR KARABENGUK SEBAGAI TANAMAN PENUTUP TANAH
- pertumbuhan & hasil terbaik antar penjalar, musim dan kultivar karabenguk - hasil jagung terbaik antar penjalar, musim dan kultivar karabenguk - komponen tumpangsari dan keharaan tanah terbaik antar perlakuan penjalar, musim dan kultivar karabenguk - keunggulan jagung dibanding penjalar tanaman menahun pada karabenguk = arah informasi
= macam percobaan atau hasil
- pertumbuhan karabenguk dibanding penutup tanah konvensional - kemampuan karabenguk dalam mengendalikan gulma - kemampuan karabenguk meningkatkan sifat-sifat tanah
= informasi antara
Gambar 1 : Bagan alir kerangka kegiatan penelitian
24
B. Pelaksanaan Percobaan 1. Percobaan I Kajian biologi dan Hasil Karabenguk a.
Rancangan percobaan Percobaan dilakukan di Rumahkaca Fakultas Pertanian UNS Surakarta dengan ketinggian tempat 98 m dpl dimulai bulan Juli dan berakhir bulan Oktober 2002 dan dilanjutkan di lapangan akhir Juni 2005 hingga Oktober 2005. Percobaan di Rumahkaca diatur dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap dengan 3 ulangan
yaitu a) Hitam Gunungkidul, b) Luthung, c) Putih
Gunungkidul, d) Putih Kedungombo e) Putih Kulonprogo dan f) Rase,. Tiap pot (polibag) diisi dengan tanah 10 kg. Hal tersebut didasarkan pada kondisi pertanaman di lapangan, jarak tanam dikalikan kedalaman lapis olah dan berat volume tanah adalah sekitar 10 kg. Masing-masing tanaman dalam pot diberi penjalar bambu tegak setinggi 1,75 m. Lima tanaman tiap perlakuan digunakan untuk pengamatan yang diperlakukan destruktif setiap bulan sekali. Pemberian air dilakukan 2 hari sekali sejumlah air yang hilang sepanjang umur tanaman dan tanpa diberikan pupuk. Percobaan lanjutan di lapangan sama dengan di Rumah kaca, namun penanaman dilakukan tidak dalam pot.
b.
Pengumpulan data 1). Pengamatan anatomi Pengamatan anatomi dilakukan dengan menggunakan mikroskop setelah sediaan dipersiapkan. Pembuatan sediaan diawali dengan fiksasi
25
menggunakan FAA selama 24 jam, dehidrasi dengan alkohol mulai 70% hingga 100%, dealkoholisasi dengan campuran alkohol dan xilol dengan perbandingan 3/1, 1/1 dan xilol saja, kemudian infiltrasi dengan xilol-parafin 1/9, embeding dengan parafin murni dan dibuat blok. Tahap ke 2 dilakukan pengirisan dengan mikrotom putar dengan tebal
12 m dan dilakukan
penempelan pada obyek gelas yang sebelumnya sudah diolesi dengan campuran gliserin - albumin 1/1 dan ditambah akuades. Tahap ke 3 dilakukan pewarnaan dengan safranin 1% dalam alkohol 70% dan fast green 1% dalam alkohol 90%, kemudian dilakukan mounting dengan kanada balsam. Sediaan tersebut kemudian diamati dengan menggunakan mikroskop dan dilakukan pemotretan ( Johansen, 1940 ). Pengamatan pertama dilakukan terhadap anatomi daun karabenguk pada ke 6 kultivar yang digunakan, kemudian dibandingkan dengan anatomi daun kedelai ( C3 ) dan daun bayam ( C4 ). Berdasar Kranz anatomi seludang buluh pengangkutan ( bundle sheath ) ditentukan tipe fotosintesis tanaman karabenguk. Pengamatan ke dua dilakukan terhadap anatomi bintil karabenguk pada 6 kultivar dan 3 macam umur tanaman.
2). Pengamatan morfologi, variabel vegetatif dan hasil Pengamatan dilakukan terhadap morfologi tanaman baik akar, batang, daun, bunga, polong dan biji. Pengamatan pada variabel akar dilakukan baik terhadap akar primer maupun sekunder meliputi panjang, diameter maupun berat keringnya. Jumlah bintil akar, bentuk serta berat keringnya diamati pada
26
akar primer dan sekunder. Pengamatan batang dilakukan terhadap batang primer dan skunder baik terhadap panjang total, panjang ruas pendek di pangkal batang, panjang ruas panjang di bagian ujung, diameter serta berat keringnya. Pengamatan daun tanaman dilakukan terhadap tangkai baik sudut terhadap posisi batang tempat tangkai melekat, panjang tangkai serta diameter.
Helaian daun diamati panjang, lebar dan kandungan klorofil per cm². Rambut daun atau trikoma diukur dengan menggunakan mikroskop dengan skala pada lensa okuler mengenai panjang dan densitasnya. Bagian bunga karabenguk yang diamati adalah tangkai, kelopak, mahkota, benangsari dan putik. Tangkai bunga, kelopak dan mahkota diamati warna, panjang, tebal dan bentuknya. Benangsari dan putik per bunga juga diamati warna dan jumlah. Selain itu juga diamati panjang benangsari dan bentuk putik. Polong dan biji diamati warna, panjang, lebar, tebal, bentuk dan berat kering. Demikian pula diamati jumlah polong per tandan dan jumlah biji per polong serta kandungan protein dan HCN. Untuk penentuan forma, bunga sebagai organ sentral diamati panjang tandan, tangkai bunga dan polong, warna mahkota dan trikomata. Pertumbuhan tanaman diukur pada panjang dan lebar daun untuk menentukan indek luas daun (ILD) pada umur 5 minggu, bobot kering brangkasan, panjang akar dan nisbah akar tajuk pada saat panen. Pengamatan pertumbuhan secara berkala dilakukan terhadap diameter batang, kandungan klorofil total daun dan lengas
27
tanah menjelang pengairan. Hasil biji, indeks panen, kadar protein total dan HCN diamati terhadap hasil setelah panen berlangsung.
c. Analisis data Data pengamatan mikroskopis 6 kultivar karabenguk dibandingkan dengan kedelai sebagai wakil tanaman C3 dan bayam sebagai wakil tanaman C4. Tanaman C4 dicirikan dengan seludang berkas pengangkutan yang membentuk kranz ( Salisbury dan Ross, 1992 ). Komponen yang diamati adalah struktur aatomi daun dan diameter seludang berkas pengangkutan dibagi tebal daun. Hasil pengamatan mikroskopis dari bintil akar dilakukan pada umur tanaman 1,5 bulan, 2,5 bulan dan 3,5 bulan. Pengamatan terhadap bintil dilakukan dengan mikroskop binokuler berskala. Fokus pengamatan dilakukan terhadap adanya jaringan meristematis untuk pembentukan benjolan bintil yang baru. Perkembangan bintil dari waktu ke waktu dilihat untuk menentukan tipe pertumbuhannya determinate yang mengalami lisis selama pertanaman tumbuh ataukah indeterminate yang lisis hanya terjadi setelah tanaman mengalami penuaan dan menjelang mati. Hasil pengamatan morfologi, khususnya bunga yang meliputi panjang tandan, tangkai bunga dan polong, warna mahkota dan trikomata dicocokkan dengan buku determinasi untuk menentukan forma dari 6 kultivar yang dicobakan. Seperti diketahui bahwa menurut Backer dan Van Den Brink (1963) ada 2 forma karabenguk yang dibudidayakan, yaitu utilis dengan warna bunga ungu gelap dan cochinchinensis yang berwarna bunga putih kehijauan.
28
Data kuantitatif hasil pengamatan pada periode vegetatif dan hasil dianalisis dengan Rancangan Acak Kelompok Lengkap dan bila ada beda nyata diteruskan dengan uji beda DMRT 5%.
2.
Percobaan II Pemupukan pada 2 Kultivar Karabenguk a.
Rancangan percobaan Percobaan pemupukan yang pertama dilakukan di rumahkaca Fakultas Pertanian UNS Surakarta dengan dosis pupuk diberikan sekali. Lokasi tersebut memiliki ketinggian tempat 98 m dpl dan percobaan dilakukan antara bulan Nopember 2002 hingga Mei 2003 dengan suhu udara maksimum harian 39 C. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan lingkungan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL / RCBD) dan rancangan perlakuan Faktorial. Faktor I kultivar, terdiri 2 macam yaitu Putih Gunungkidul dan Rase. Faktor II, pemupukan terdiri 5 tingkat yaitu kontrol tanpa pupuk, diberikan pupuk organik
(Fine Compost) dosis sedang / Org.1 (125 g/tanaman), pupuk organik (Fine Compost) dosis tinggi / Org.2 (250 g/tanaman), NPK (Mutiara 16-16-16) dosis sedang / NPK 1 (30 g/tanaman) dan NPK (Mutiara 16-16-16) dosis tinggi / NPK 2 (60 g/tanaman). Penentuan dosis berdasarkan pedoman pemupukan yang dikeluarkan produsen pupuk untuk tanaman kacang-kacangan. Setiap kombinasi perlakuan diulang 3 kali dalam polibag dengan berat tanah 10 kg/polibag. Setiap tanaman dalam pot diberi penjalar bambu tegak setinggi 1,75 m seminggu setelah penanaman. Untuk penanaman di pot, pemberian air dilakukan 2 hari sekali sejak penanaman hingga panen (umur 3½ bulan).
29
Pupuk organik Fine Compost berdasarkan analisis produsen memiliki kandungan N total 1,81%, C total 40,9%, C/N 22,3%, P2O5 1,89%, K2O 1,96%, KPK 75me / 100g, CaO 2,96% dan pH 6,5-7,5. Pupuk NPK yang digunakan yaitu Mutiara dengan kandungan N 16%, P2O5 16%, K20 16%, MgO 0,5% dan CaO 6%. Percobaan diawali dengan menghancurkan bongkah tanah dan dikeringanginkan hingga 1 minggu. Tanah dimasukkan dalam pot berupa polibag masing-masing pot 10 kg. Bagi pot untuk perlakuan pemupukan, pupuk dicampur dengan tanah hingga rata dan diairi hingga kapasitas lapangan. Penanaman dilakukan pada hari berikutnya. Pemberian air dilakukan tiap 2 hari, jumlahnya sesuai pengurangan berat pot.
Panen dilakukan setelah polong
menua dan mengering. Panen dilakukan terhadap polong, kemudian brangkasan atas dipisahkan dengan penjalar dan perakaran dipisahkan dari tanah. Percobaan ke dua dilakukan di lapangan dengan dosis tetap namun pupuk diberikan 2 kali pada minggu pertama dan ke tiga. Berbeda dengan percobaan pertama, pada percobaan ini ditambah kultivar Hitam Gunungkidul. Percobaan ini dilakukan mulai akhir Juni 2005 hingga awal Oktober 2005. Rancangan penelitian yang digunakan juga RCBD dan rancangan perlakuan Faktorial. Faktor I kultivar, terdiri 3 macam yaitu Hitam Gunungkidul, Putih Gunungkidul dan Rase. Faktor II, terdiri 5 tingkat, kontrol (tanpa pupuk), diberikan pupuk organik (Fine Compost) dosis sedang / Org.1 (125 g/tanaman), pupuk organik (Fine Compost) dosis tinggi / Org.2 (250 g/tanaman), NPK (Mutiara 16-16-16) dosis sedang / NPK 1 (30 g/tanaman) dan NPK (Mutiara 16-16-16) dosis tinggi /
30
NPK 2 (60 g/tanaman). Masing-masing kombinasi perlakuan diulang 3 kali. Masing-masing tanaman juga diberi penjalar bambu tegak setinggi 1,75 m saat tanaman berumur 1 minggu.
Percobaan diawali dengan membuat bedengan 2mX2m untuk masingmasing perlakuan dan ulangan. Jarak antar bedengan 30 cm. Bedengan diratakan dan pupuk dicampur tanah sesuai dosis perlakuan (sama dengan dosis pada percobaan di rumahkaca). Jarak tanam karabenguk 50cmx50cm sehingga tiap bedeng berisi 16 tanaman. Benih ditaruh pada lobang tanam yang dibuat dengan menggunakan tugal. Lobang tanam dikocor air menjelang penanaman mengingat kadar lengas yang sangat rendah. Setelah benih tumbuh, rangka penjalar dipasang 5 cm dari lobang tanam. Pengairan tidak dilakukan, tambahan lengas semata-mata bila ada berasal dari curah hujan. Panen dilakukan setelah polong tua yang dicirikan telah mengering dengan cara mengambil polong dari pertanaman.
b.
Pengumpulan data Pengamatan dilakukan terhadap bintil akar, pertumbuhan dan hasil tanaman setelah panen. Pengamatan bintil dilakukan terhadap jumlah dan berat kering. Pertumbuhan tanaman diukur pada bobot kering brangkasan, nisbah akar tajuk dan serapan NPK pada saat panen. Pengamatan tanah secara berkala dilakukan terhadap pH dan lengas tanah menjelang pengairan. Pertumbuhan tanaman diketahui melalui indeks luas daun, laju pertumbuhan tanaman,
31
diameter batang dan kandungan klorofil total daun. Terhadap hasil, diamati berat hasil biji dan indeks panen.
c.
Analisis data Analisis varians dua arah atau faktorial 2 faktor dilakukan dengan rancangan lingkungan RCBD. Sesuai rancangan semula di lapangan, analisis dilakukan sesuai rancangan perlakuan faktorial. Bila ada data berupa angka 0, data pada variabel yang bersangkutan di transformasi dengan Vx+0,5 dengan tampilan hasil akhirnya di retransformasi. Bila perlakuan berbeda nyata diteruskan dengan uji beda DMRT 5% antar perlakuan.
3.
Percobaan III Rangka Penjalar pada 2 Musim Tanam dan 2 Kultivar Karabenguk a.
Rancangan percobaan Penelitian lapangan ada 3 faktor dengan ulangan 3 kali. Faktor pertama musim, terdiri dari 2 musim tanam yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Faktor ke 2 macam kultivar terdiri 2 macam yaitu : a) Kultivar Rase dan b) Kultivar Putih Gunungkidul. Faktor ke 3 macam rangka penjalar terdiri 5 macam : a) jagung ditanam bersamaan dengan karabenguk, b) jagung ditanam 2 minggu sebelum karabenguk, c) jagung ditanam 4 minggu sebelum karabenguk, d) rangka penjalar bambu setinggi 1,75m, e) tanpa rangka penjalar atau kontrol. Penelitian 3 faktor tersebut diulang 3 kali. Setiap musim tanam memiliki 10 kombinasi perlakuan dalam satu blok atau ulangan. Jarak antar petak dan antar blok 30 cm. Jarak tanam 0,5m x 0,5m, baik untuk jagung maupun karabenguk
32
monokultur. Pada tumpangsari jagung karabenguk, jagung ditanam berseling dengan karabenguk satu baris tanaman jagung dan satu baris tanaman karabenguk. Dengan demikian untuk tumpangsari setiap tanaman berjarak 1m x 0,5m. Ukuran petak adalah 5mx3m dengan petak contoh tengah berukuran 3mx1m dan jarak antar petak 30 cm. Semua individu tanaman dipupuk dengan pupuk organik dosis sedang (Fine Compost 125 g/tanaman) dilakukan bersamaan tanam ke dalam lobang tugal berjarak 10cm dari lobang tanam. Percobaan diawali dengan membuat bedengan untuk masing-masing perlakuan dan ulangan. Benih ditaruh di dalam lobang tanam yang dibuat menggunakan tugal. Lobang tanam penanaman musim kemarau dikocor air karena lengas tanah rendah. Lengas tanah penanaman musim hujan sangat tinggi, sehingga kadang perlu penyulaman akibat benih mati karena terendam air. Setelah benih tumbuh, bagi bedengan untuk rangka penjalar bambu dipasang 5 cm dari lobang tanam. Kebutuhan air dicukupi semata-mata dari curah hujan dan tidak dilakukan pengairan. Penanaman musim penghujan untuk 2 faktor yaitu kultivar dan penjalar, dibuat blok dan ditentukan jenis perlakuan pada setiap petak. Saat pengolahan tanah, pupuk organik dan air pengairan diberikan hingga kapasitas lapangan. Untuk penanaman pada musim kemarau dilakukan hal yang sama pada petak
yang berada disebelah sisi atas.
33
b.
Pengumpulan data Tanaman yang berumur satu bulan diamati beberapa komponen pertumbuhannya secara berkala tiap bulan yaitu jumlah daun, panjang dan lebar daun, diameter batang dan kandungan klorofil total daun. Pengamatan suhu dilakukan secara acak satu meter di atas tanah dengan termometer yang tidak terkena sinar matahari langsung. Pengamatan pertumbuhan dan hasil yang lain adalah jumlah dan berat bintil, produksi biomas (berat segar dan kering tanaman) dan hasil biji (berat biji, jumlah biji per polong, jumlah polong per tanaman) serta kandungan protein dan HCN biji. Di sisi lain diamati pH dan lengas tanah. Serapan NPK dilihat untuk karabenguk, jagung dan serapan per satuan luas. Kandungan klorofil daun, jumlah dan berat bintil diamati saat vegetatif maksimum pada 3 tanaman yang tidak digunakan sebagai sampel hasil. Berat segar brangkasan saat vegetatif maksimum juga diamati, termasuk kandungan hara. Pada saat panen diamati biomasa, hasil biji dan kandungan protein dan HCN nya. Untuk variabel yang diamati berkala, dilihat perkembangan dari waktu ke waktu.
c.
Analisis data Data dianalisis dengan rancangan acak kelompok lengkap faktorial, bila perlakuan berbeda nyata diteruskan uji beda DMRT 5% antar perlakuan.
34
4.
Percobaan IV Dua Kultivar Karabenguk sebagai Tanaman Penutup Tanah a. Rancangan percobaan Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2002 hingga Agustus 2003. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan lingkungan Rancangan Acak Kelompok Lengkap dengan 5 perlakuan tanaman penutup tanah yang termasuk juga lahan tanpa tanaman sebagai kontrol, masing-masing diulang 3 kali. Kecuali karabenguk yang dipupuk organik, secara umum tidak dilakukan pemupukan pada percobaan ini. Perlakuan yang dimaksud adalah karabenguk Putih Gunungkidul dan karabenguk Rase, satu tanaman per lobang tanam
sebagai wakil tanaman karabenguk serta Cm (Calopogonium mucunoides / kalopogonium) dan Cp (Centrosema pubescens / sentrosema) yang ditanam 10 tanaman per lobang tanam sebagai wakil tanaman penutup tanah konvensional. Penelitian lapangan ini merupakan penelitian 2 faktor yang diulang 3 kali. Faktor pertama berupa musim tanam yang terdiri dari musim penghujan dan musim kemarau. Faktor ke dua terdiri dari 7 macam yaitu : a) tanaman karabenguk kultivar Rase, b) tanaman karabenguk Putih Gunungkidul,
c)
kalopogonium, d) sentrosema e) karabenguk Rase yang dipupuk organik f) karabenguk Putih Gunungkidul yang dipupuk organik. Sebagai kontrol ditambah lahan terbuka dengan luas petak sama. Dua perlakuan pada 2 kultivar karabenguk dan tanaman penutup tanah kalopogonium dan sentrosema tidak dipupuk. Jumlah tanaman kalopogonium dan sentrosema per lobang 10 kali
35
jumlah tanaman karabenguk diarahkan untuk membuat penutupan lahan hampir sama mengingat ukuran tanaman yang jauh lebih kecil. Lokasi penelitian adalah di tegal Ngreco, Desa Tancep, Ngawen, Gunungkidul. Jarak tanam berukuran 0,5 m x 0,5 m pada petak berukuran 5 m x 3 m. Penanaman dilakukan pada lobang tanam yang dibuat dengan tugal. Bagi tanaman karabenguk yang dipupuk organik, pemupukan dilakukan bersamaan tanam didalam lobang tugal berjarak sekitar 10cm dari lobang tanam. Pada percobaan ini, semua perlakuan dibiarkan menjalar di tanah tanpa rangka penjalar.
b. Pengumpulan data Lahan dibagi dalam 3 blok dan ditentukan jenis perlakuan pada masingmasing blok. Tujuh perlakuan penutup tanah yang dicobakan diletakkan pada setiap petak secara acak. Setelah tanam, diamati setiap bulan beberapa variabel pertumbuhan yaitu jumlah daun, panjang dan lebar daun, kandungan klorofil dan diameter batang. Pengamatan hasil berupa produksi biomas dan berat hasil biji. Di sisi lain diamati biomas setiap jenis gulma, serapan NPK karabenguk, pH dan lengas tanah serta variabel sifat-sifat tanah yang meliputi persentase agregat, distribusi pori, berat volume dan porositas.
c.
Analisis data Untuk
variabel
bagian
vegetatif,
hasil,
komponen
tanah
dan
pertumbuhan, data dianalisis menggunakan rancangan acak kelompok lengkap
36
faktorial dan bila perlakuan ada beda nyata diteruskan uji beda Duncan 5% antar perlakuan. Untuk gulma, analisis dilakukan dengan analisis vegetasi. Analisis vegetasi dilakukan dengan metode kuadrat diamati pada petak contoh secara acak berukuran 1m x 1m dalam petak perlakuan 3mx3m. Pengamatan dilakukan terhadap persentase densitas melalui jumlah individu setiap jenis gulma per petak contoh dibagi seluruh individu, persentase dominansi dengan melihat area penutupan/m² dan persentase frekuensi dengan melihat jumlah pemunculan/3 kali ulangan. Nilai NDP/SDR atau nisbah dominansi penjumlahan adalah merupakan rerata ketiga nilai tersebut. Nilai C atau indeks kesamaan komunitas diperoleh dengan menjumlahkan nilai rendah masing-masing gulma dari 2 perlakuan dikali 2 dan dibagi penjumlahan total 2 perlakuan yang dibandingkan (Tjitrosoedirdjo et al., 1984).
C. Pengumpulan Data
1. Variabel vegetatif dan pertumbuhan tanaman a. Diameter batang. Pengukuran diameter batang dilakukan dengan mikrometer, 1cm di atas permukaan tanah mulai umur 1,5 bulan dan dilakukan sebulan sekali. b. Indeks luas daun (ILD). Indeks luas daun dihitung dengan Persamaan (1) : ILD = LDT / LL ..................................................................................... (1) ILD = Indeks luas daun LDT = Luas daun total per tanaman (cm²), dihitung dengan Persamaan (2) LL = luas tegakan, didekati dengan luas lahan (50 cm x 50 cm)
37
LDT = LDR x JDT .................................................................................. (2) LDT = Luas daun total per tanaman (cm²) LDR = luas daun rata-rata (cm²) ditentukan melalui penimbangan pola kertas (Persamaan 3) yang hasilnya disajikan pada Lampiran 185. JDT = jumlah daun total per tanaman
LDR = Bkd x 10000 cm2 / 70 g ………………………………………... (3) LDR = luas daun rata-rata (cm) Bkd = berat kertas pola daun (g) 70 g = berat kertas seluas 10.000 cm²
Luas daun rata-rata taksiran dikembangkan menurut model Persamaan (4) mengggunakan data dalam Lampiran 185 bagi tiap jenis tanaman. Hasil luas daun rata-rata taksiran bagi karabenguk, jagung, kalopogonium dan sentrosema msing-masing disajikan dalam persamaan (5), (6), (7) dan (8). Y = bX .................................................................................................. (4) Y = luas daun rata-rata taksiran (cm²) X = perkalian panjang dan lebar daun Daun Karabenguk Y = 2,1356 X R² = 0,924 Y = luas daun X = panjang x lebar daun R² = koefisien determinasi ... (5) Daun Jagung Y = 0,8264 X R² = 0,999 Y = luas daun X = panjang x lebar daun R² = koefisien determinasi .. (6) Daun Cm (Calopogonium muconoides) Y = 1,7715 X R² = 0,996 Y = luas daun X = panjang x lebar daun R² = koefisien determinasi .. (7) Daun Cp (Centrosema pubescent) Y = 1,6267 X R² = 0,986 Y = luas daun X = panjang x lebar daun R² = koefisien determinasi ... (8)
38
c. Laju pertumbuhan tanaman (LPT). Laju pertumbuhan tanaman dihitung dengan membagi selisih beratkering dengan luas lahan dan lama waktu tumbuh.
Bk 2 Bk1 1 X kg/m 2 /bln LL T 2 T1
LPT
(Duncan et al., 1978 cit. Gardner et al., 1985). LPT = Laju pertumbuhan tanaman LL=luas lahan Bk= berat kering total T= waktu
…………………….. (9)
d. Nisbah luas daun (NLD). Nisbah luas daun dihitung dengan membagi luas daun dengan berat kering total.
LD 2 cm /g Bk ( Hunt, 1978 cit. Gardner et al., 1985)
NLD
NLD= Nisbah Luas Daun LD= Luas Daun Bk= berat kering total ... (10) e. Klorofil. Kandungan klorofil total ditentukan menggunakan klorofilmeter berdasarkan model Persamaan (11) yang dikembangkan menggunakan data dalam Lampiran 186 dan hasilnya bagi karabenguk Persamaan (12) dan jagung Persamaan (13) : Y = a + bX. .................................................................................... (11) Y = kandungan klorofil total (mg/cm²) X = hasil klorofilmeter
a = nilai Y sewaktu X bernilai 0 b = slop / arah kemiringan
Hubungan pengukuran pada klorofilmeter dengan berat klorofil per cm² daun adalah : Daun karabenguk Y = -0,512 + 0,0468 X R² = 0,937 ………………. (12) Y = klorofil mg/cm² X= hasil ukur klorofilmeter R²= koefisien determinasi
39
Daun Jagung Y = 0,422 + 0,0615 X R² = 0,855 ……………….... (13) Y = klorofil mg/cm² X= hasil ukur klorofilmeter R²= koefisien determinasi Kandungan klorofil total sebenarnya ditentukan dengan Spectronic 21D (Harbourne, 1987) berdasarkan Persamaan (14) : Klorofil total = 17,3 A645 + 7,18 A663 mg/cm² luas daun. A645 dan A 663= hasil pengukuran pada spectronic ……………. ..
(14)
Jumlah klorofil tanaman / m² luas lahan = klorofil mg/cm² x luas daun x jumlah tanaman/m² ………………… (15) f. Akar. Pengukuran akar dilakukan terhadap panjang dan berat kering akar. 1) . Pengukuran panjang akar pada percobaan di rumah kaca dilakukan dengan menyobek polibag dan tanah disekitar akar dibersihkan dengan semprotan air setelah panen. 2). Penimbangan berat kering akar dilakukan setelah panen, akar dikeringkan dengan oven hingga kering oven ( 60°C hingga bobotnya konstan ). g.
Berat kering brangkasan ( BkBrk ).
Penimbangan berat kering brangkasan
dilakukan terhadap brangkasan tanaman kering oven. Brangkasan merupakan tanaman yang dikurangi hasil polong. Brangkasan atas adalah brangkasan yang dikurangi perakaran. Berat kering keduanya ditimbang setelah kering oven. Penimbangan dilakukan setelah panen. h.
Berat kering tajuk. Penimbangan tajuk dilakukan setelah panen terhadap bagian tanaman diatas tanah termasuk hasil polong setelah dikeringkan dengan oven.
i.
Nisbah akar tajuk. Penghitungan akar/tajuk dilakukan dengan membagi bobot akar kering oven dengan bobot tajuk kering oven.
40
j.
Bintil akar. Penghitungan dan penimbangan dilakukan mulai umur 1,5 bulan dengan selang waktu 1 bulan. 1). Berat kering bintil. Segera setelah tanah disingkirkan, bintil dimasukkan kedalam oven dan dengan metode penimbangan ditentukan berat kering bintil. Penimbangan dilakukan setelah tanaman dipanen. 2). Jumlah bintil dihitung terhadap bintil yang menempel pada akar primer dan akar cabang. Penghitungan juga dilakukan setelah panen.
k.
Trikoma. Prosedur pengamatan trikoma atau rambut daun sebagai berikut. Pertama, sampel daun dipotong-potong sekitar 4 mm x 4 mm sebanyak 5 buah per perlakuan. Kedua, menimbang 250 mg Cloral Hidrat dan dilarutkan ke dalam 100 ml. air. Cairan tersebut dibagi kedalam 6 tabung reaksi kecil. Ketiga, setiap sampel perlakuan dimasukkan ke dalam setiap tabung reaksi. Keempat, tabung reaksi dipanaskan di atas lampu spiritus hingga warna daun larut dan daun menjadi transparan. Kelima, sampel daun diletakkan pada satu objek gelas dan gelas penutup untuk 1 perlakuan. Keenam, dilakukan pengamatan dibawah mikroskop, dengan mikrometer terhadap panjang trikoma dan densitas trikoma atau jumlah trikoma per satuan luas ( Berlyn and Miksche, 1976 ).
2.
Variabel hasil tanaman a. Hasil biji. Hasil biji ditimbang dan dinyatakan dalam satuan g/tanaman, g/m2 atau g/petak contoh dengan luasan 3m² pada biji kering panen. b. Nisbah biji polong. Penghitungan biji/polong dilakukan dengan membagi berat
kering biji dengan berat kering polong dikalikan 100%.
41
c. Indeks panen. Penghitungan indeks panen dilakukan dengan membagi bobot biji kering (biomas ekonomi) dengan biomas keseluruhan yaitu brangkasan kering ditambah biji kering (Donald dan Hamblin, 1976 cit. Gardner et al., 1985). d. Bobot 100 biji. Penimbangan bobot 100 biji dilakukan terhadap 100 biji yang secara acak diambil dari hasil panen. e. Protein dan HCN biji. Persentase protein dan HCN per 100 g biji diamati dengan metode Mikro Kjeldahl ( Apriantono, 1989 ). f. Kadar air biji. Kadar air biji ditentukan dengan metode penimbangan setelah biji dikeringkan dalam oven hingga beratnya konstan dan dihitung berdasarkan persamaan Y = (a-b)/b x 100% ............................................................................... (16) Y = kadar air biji (%) a = berat biji kering (g) b = berat kering biji (g)
g. ATER (nisbah kesetaraan lahan dan waktu) . (Li.ti+ Lj.tj) ATER = -----------------T Yij Li = -------Yii
........................................................................ (17) Yji Lj = -------Yjj
Li = nisbah kesetaraan lahan partial karabenguk ti = lama tanaman karabenguk Yij = hasil karabenguk ditumpangsari jagung tj = lama tanaman jagung Yii = hasil karabenguk monokultur T = lama tanaman total Lj = nisbah kesetaraan lahan partial jagung Yji = hasil jagung ditumpangsari karabenguk Yjj = hasil jagung monokultur ( Hiebsch, 1980 cit. Nugroho, 1990 ).
42
3.
Variabel tanah a. Pengukuran pH tanah dilakukan dengan soil tester Demetra yang dapat menera pH dan kandungan lengas tanah. Dengan memasukkan ujung alat ke dalam tanah dan menekan tombol, jarum penunjuk pH tanah akan berfungsi secara otomatis. b. Kandungan lengas tanah ditentukan menggunakan soil tester berdasarkan persamaan Y = 5,8096 + 0,0651 X R² = 0,778 ……………………………….. (18) Y = persentase lengas X=soil tester terukur R=koefisien determinasi Persamaan (18)
dikembangkan menggunakan data Y = kandungan lengas
tanah ( %) yang ditentukan secara gravimetri dan X= kandungan lengas tanah yang diukur dengan soil tester sebagai disajikan dalam Lampiran 187. c. Serapan N, P dan K. Serapan hara dihitung masing-masing berdasarkan persamaan : Y = (a x kadar hara biji) + (b + c) x kadar hara brangkasan dan seresah Y = serapan suatu unsur hara a = berat kering biji (g) b = berat kering brangkasan (g) c = berat kering seresah (g) ................................................................ (19)
Penghitungan serapan N, P dan K dilakukan dengan menimbang baik hasil biji, brangkasan maupun seresah dalam kondisi kering oven, yang kemudian dilakukan distruksi dan distilasi. Untuk mengetahui kadar N digunakan metode Kjeldahl, kadar P dengan Spektrofotometer dan kadar K dengan AAS.
43
d. Kandungan N, P, dan K tanah total. Persentase ini dilihat pada awal dan akhir percobaan. Untuk mengetahui kadar N digunakan metode Kjeldahl, kadar P dengan Spektrofotometer dan kadar K dengan Flamefotometer. e. Persentase agregasi. Persentase agregasi dihitung dengan membagi berat volume tanah yang teragregasi dengan berat tanah total. f. Berat volume (g/cm3). Berat volume ditentukan dengan membagi berat tanah kering oven dengan volume tanah ( dalam ring sample ). g. Distribusi pori. Pori tak tergunakan dihitung pada persentase lengas pF 4,2 kemudian dikalikan berat volume. Pori menahan lengas diketahui dengan mengurangkan persentase lengas pF 2,54 dengan pF 4,2 kemudian dikalikan berat volume. Pori drainase dihitung dengan mengurangkan persentase lengas pada pF 0 dengan pF 2,54 kemudian dikalikan berat volume.
Adapun penghitungannya sebagai berikut :
PT = PL (pF 4,2) x BV PM = PL (pF 2,54 – pF 4,2) x BV PD = PL (pF 0 – pF 2,54) x BV PT = Pori tak tergunakan, PM = Pori menahan lengas, PD = Pori Drainase, PL = Persentase lengas tanah, BV = Berat Volume Tanah ………………… (20) Porositas total tanah merupakan perkalian berat volume dengan kadar lengas
jenuh (pF 0 ).
44
4.
Variabel pada analisis vegetasi Menurut Tjitrosoedirdjo et al. (1984), vegetasi dapat dibandingkan dengan Indeks kesamaan komunitas (C). C = 2 W x 100% ............................................................................. (21) (a+b) C = indeks kesamaan komunitas atau koefisien komunitas W= jumlah nilai NDP terendah dari masing-masing jenis pada 2 komunitas yang dibandingkan a = jumlah nilai NDP pada komunitas pertama b = jumlah nilai NDP pada komunitas ke dua
Nilai NDP diperoleh dengan menghitung densitas, dominansi, dan frekuensi. a. Nisbah dominansi penjumlahan (NDP) atau Summed dominance ratio (SDR). NDP = ( % densitas + % dominansi + % frekuensi ) / 3 b. Densitas. Persentase densitas diperoleh dengan membagi jumlah individu gulma tertentu per m² terhadap jumlah keseluruhan individu pada luasan tersebut. Densitas merupakan rerata dari 3 ulangan yang ada. b. Dominansi. Persentase dominansi diperoleh dengan menghitung jumlah kisi pada kuadrant 1m2 yang tertutup oleh suatu jenis tumbuhan tertentu. Dominansi merupakan rerata dari 3 ulangan yang ada. c. Frekuensi. Persentase frekuensi diketahui dengan menghitung jumlah ulangan yang dihuni oleh suatu jenis tumbuhan tertentu dibagi jumlah ulangan dikalikan 100%. d. Dua komunitas sama bila nilai C lebih dari 75%.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kajian Biologi, Karakter Agronomi dan Forma Karabenguk 1. Kajian Biologi a. Anatomi daun karabenguk Hasil pengamatan secara mikroskopik terhadap struktur anatomi daun terhadap 6 kultivar karabenguk yang ditanam di rumah kaca dibandingkan dengan kedelai yang termasuk tanaman C3 (Wigham, 1983) dan bayam yang termasuk tanaman C4 ( Hipkins, 1984 ) disajikan pada Gambar 2. Dari Gambar 2 dapat dilihat pada daun bayam ( C4 ) berkas pengangkutan diselubungi seludang dan hal ini merupakan tipe Kranz dengan dinding tebal ( 10 hingga 20 µm ). Pada kedelai (C3 ) ukuran berkas pengangkutan kecil dengan dinding tipis ( kurang dari 14 µm ). Adapun sidik ragam ukuran berkas pengangkutan terhadap tebal daun disajikan pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. Perbedaan anatomi daun antara tanaman C3 dan C4 serta anatomi daun karabenguk disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Perbedaan anatomi daun C3, C4 dan karabenguk No Anatomi daun tanaman Kedelai C3 *) Bayam C4*) 1. Sel ikatan pembuluh Sel ikatan pembuluh berukuran kecil dan berukuran besar dan bertidak berkloroplas kloroplas 2 Dinding ikatan sel Dinding ikatan sel pembuluh pembuluh tipis tebal 3. Kloroplas ada pada sel Kloroplas ada pada sel mesomesofil fil dan ikatan sel pembuluh 4. Ruang antar sel pada Ruang antar sel pada jaringan jaringan palisade dan spons mesofil kecil - kecil spons mesofil besarbesar *) Loveless, 1983; Salisbury & Ross, 1992
45
karabenguk Sel ikatan pembuluh berukuran kecil dan tidak berkloroplas Dinding ikatan sel pembuluh tipis Kloroplas ada pada sel mesofil Ruang antar sel pada jaringan palisade dan spons mesofil besar – besar
46
A.
B.
C.
D.
a b c d E.
F. 400 µm f
g
G.
H.
a. b. c. d. e. f.
epidermis atas palisade ikatan pembuluh spons mesofil epidermis bawah seludang ikatan pembuluh g. kloroplast
95 µm Gambar 2. Anatomi daun karabenguk dibandingkan dengan kedelai ( C3) dan bayam ( C4 )
Keterangan : A. Hitam Gunungkidul B. Luthung C. Putih Gunungkidul D. Putih Kedungombo E. Putih Kulonprogo F. Rase G. Kedelai (C3) H. Bayam (C4)
e
47
Tabel 1. dan Gambar 2. memperlihatkan bahwa pada tanaman C3 yang pada Gambar 2. diwakili kedelai, sel-sel ikatan pembuluh kecil dengan dinding tipis dan tidak berkloroplas, ruang antar sel-sel palisade dan spons mesofil besarbesar dan kloroplas ada pada sel-sel mesofil. Pada tanaman C4, sel ikatan pembuluh besar dengan dinding tebal dan berkloroplas, ruang antar sel spons mesofil kecil – kecil, dan kloroplas ada pada ikatan sel-sel pembuluh dan sel-sel mesofil. Tanaman karabenguk memiliki sel-sel ikatan pembuluh kecil dengan dinding tipis dan tidak ber kloroplas, ruang antar sel-sel palisade dan sepons mesofil besar-besar dan kloroplas ada pada sel mesofil. Dengan demikian karabenguk termasuk tanaman C3. Ikatan sel pembuluh tanaman C3 kecil dan C4 besar. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan nisbah diameter ikatan sel pembuluh terhadap tebal daun. Pada karabenguk nisbah tersebut 0,22 tidak berbeda nyata dengan kedelai (0,29) yang merupakan tanaman C3 namun berbeda nyata dengan bayam (0,55) sebagai wakil tanaman C4.
b. Anatomi bintil karabenguk Pada pengamatan sewaktu tanaman berumur 1,5 , 2,5 dan 3,5 bulan, terlihat bahwa bintil dari 6 kultivar yang dicobakan sama-sama memiliki bentuk tidak beraturan ( Gambar 3. ). Berdasar hal tersebut, dalam Gambar 4. disajikan penampang bintil karabenguk secara umum pada umur tersebut dan juga anatomi bintil pada saat panen atau umur 3,5 bulan dari kultivar Rase sebagai wakil dari 3 kultivar yang telah mengalami kerusakan sel (lisis) yaitu Rase, Luthung dan
48
kultivar Putih Gunungkidul dan Hitam Gunungkidul sebagai wakil dari 3 kultivar yang belum mengalami kerusakan yaitu Hitam Gunungkidul, Putih Kulonprogo dan Putih Kedungombo. Adapun irisan
bintil untuk masing-masing kultivar disajikan pada
Gambar 3.
A. B.
1 cm
C. D. E. F. 1,5 bulan
2,5 bulan
3,5 bulan
Gambar 3. Irisan membujur bintil akar karabenguk Keterangan : A s.d F pada 3 kali umur pengamatan merupakan irisan bintil, A. Hitam Gunungkidul B. Luthung C. Putih Gunungkidul D. Putih Kedungombo E. Putih Kulonprogo F. Rase Gambar 3 memperlihatkan bahwa bentuk bintil karabenguk tidak beraturan. Penambahan tonjolan baru terjadi ke berbagai arah. Menurut Muljanto ( 1991 ), bentuk bintil ada 2 macam yaitu tipe bulat dan tipe memanjang. Bintil tipe bulat terjadi antara lain pada kedelai dan kacang panjang dan sering disebut sebagai tipe phaseolae yang bersifat determinate. Bintil pada awal pertumbuhan berisi sel meristem dan aktif selama 3 hingga 5 minggu yang kemudian menua. Fiksasi N2 terjadi pada jaringan bintil akar yang baru terbentuk.
49
f e A.
C. d 400 µm
1000 µm c b a
B.
D.
a = sel terinfeksi bakteroid b = meristem c = cabang stele akar d = korteks e = epidermis f = sel –sel lisis
400 µm 1000 µm Gambar 4. Perkembangan Anatomi bintil karabenguk Keterangan : A. Rase 1,5 bulan B. Rase 2,5 bulan C. Rase 3,5 bulan D. Hitam Gunung Kidul 3,5 bl
Bintil dengan tipe memanjang terjadi pada Trifolium sp., Pisum sp. dan Vicia sp. Bintil tipe ini memiliki meristem apikal dan mampu tumbuh memanjang. Daerah fiksasi N2 terus berkembang ke daerah meristem baru. Daerah yang lebih dewasa menjadi daerah jaringan tua. Tipe ini disebut juga tipe Vicia-trifolia yang bersifat indeterminate ( Muljanto, 1991 ). Pada Gambar 3. terlihat bahwa bintil juga berkembang ke segala arah dengan membentuk tonjolan-tonjolan baru. Tonjolan berasal dari sel meristematis dengan ukuran sel yang kecil-kecil (Gambar 4B.). Bintil juga mengalami kerusakan menjelang tanaman mati (Gambar 4C.). Dengan demikian, pola pertumbuhan bintil karabenguk termasuk tipe Vicia-trifolia yang indeterminate.
50
2. Karakter agronomi dan forma karabenguk budidaya Hasil analisis varian pada forma dan hasil karabenguk disajikan pada Lampiran 3. hingga Lampiran 47. Hasil rerata pengamatan pada morfologi tanaman disajikan pada Tabel 2. hingga Tabel 7. Rerata komponen akar antar kultivar disajikan pada Tabel 2. Tabel 2.
Organ
Panjang(cm), diameter(mm) dan berat kering(g/tanaman) akar primer dan sekunder, jumlah, bentuk dan berat kering(g/tanaman) bintil enam kultivar karabenguk Parameter
Kultivar HGk Luthung PGk PKo PKp Rase Akar Panjang 17,50a 25,50a 23,50a 17,50a 19,50a 18,50a Primer Diameter 1,10a 1,25a 1,50a 1,45a 1,20a 0,55a Berat kering 0,19a 0,35a 0,27a 0,28a 0,12a 0,15a Akar Panjang 18,00a 15,00a 7,50a 15,50a 14,50a 17,50a Sekunder Diameter 0,15a 0,15a 0,10a 0,15a 0,10a 0,15a Berat kering 0,11a 0,17a 0,13a 0,08a 0,06a 0,08a Bintil Akar Primer 2,50a 2,00a 2,00a 1,50a 1,50a 1,50a Akar Skunder 0,50a 0,50a 0,50a 0,50a 0,50a 1,50a Bentuk Bintil Tb Tb Tb Tb Tb Tb Berat kering 0,03a 0,35a 0,02a 0,04a 0,08a 0,06a Dalam baris, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. HGk=Hitam Gunungkidul PGk=Putih Gunungkidul PKo=Putih Kedungombo PKp=Putih Kulonprogo Tb=Tidak beraturan Komponen perakaran tidak menunjukkan perbedaan nyata antar kultivar. Kultivar yang berbeda masih menunjukkan kedekatan hubungan kekeluargaan. Bentuk bintil untuk semua kultivar adalah tidak beraturan. Rerata komponen batang antar kultivar disajikan pada Tabel 3.
51
Tabel 3. Panjang(cm), diameter(mm) dan berat kering(g/tanaman) dan panjang ruas(cm) batang primer dan sekunder enam kultivar karabenguk Batang Primer
Parameter HGk
Luthung
48,00a 3,45ab 0,65b
105,50a 3,75a 1,75a
Kultivar PGk PKo 116,50a 3,40abc 1,70a
70,00a 3,25c 0,80b
PKp
Rase
65,00a 3,35bc 0,75b
70,50a 3,55ab 1,00b
Panjang Diameter Berat kering Panjang ruas : 10,00a 26,00a 19,50a 14,50a 13,00a 13,00a -panjang 2,50b 4,50a 2,00b 2,50b 2,55b 2,00b -pendek 9,50a 8,50a 5,50b 6,00b 5,00b 0,80c Sekunder Panjang 1,85a 1,25a 1,75a 1,80a 1,35a 1,15a Diameter 0,20a 0,60a 0,30a 0,40a 0,60a 0,40a Berat kering 1,50a 3,00a 3,10a 3,00a 2,30a 0,80a Panjang ruas Dalam baris, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. HGk=Hitam Gunungkidul PGk=Putih Gunungkidul PKo=Putih Kedungombo PKp=Putih Kulonprogo Sebagian besar komponen pada batang tidak menunjukkan perbedaan antar kultivar. Kultivar Luthung menghasilkan ruas pendek pada batang primer dan ruas panjang batang sekunder lebih panjang dibanding kultivar lain. Kultivar tersebut memiliki diameter batang primer yang lebih besar dibanding kultivar Putih Kulonprogo dan kultivar Putih Kedungombo serta bersama kultivar Putih Gunungkidul memiliki berat kering batang primer yang lebih besar dibanding kultivar lain. Rerata komponen daun antar kultivar disajikan pada Tabel 4.
52
Tabel 4. Letak dan berat kering daun (g/tanaman), sudut, panjang (cm) dan diameter (mm) tangkai daun, panjang (cm), lebar (cm) dan kandungan klorofil (mg/cm²) helaian daun, panjang(µm), diameter (µm) dan jumlah trikoma(buah/100µm enam kultivar karabenguk Bagian Parameter Kultivar Daun HGk Luthung PGk PKo PKp Rase berseling berseling berseling Berseling berseling berseling Daun Letak 2,80a 6,30a 4,80a 4,10a 3,20a 2,30a Berat kering Tgt pss Tgt pss Tgt pss Tgt pss Tgt pss Tgt pss Tangkai Sudut 26,33a 28,00a 21,00ab 25,00a 26,67a 13,67b Panjang 2,80b 2,37b 2,37b 3,23ab 2,53b 4,03a Diameter 12,30a 13,00a 14,70a 13,30a 13,30a 12,70a Helaian Panjang 7,30a 7,00a 8,00a 7,30a 8,00a 7,30a Umur Lebar 42,40ab 44,90a 38,10c 42,40ab 43,40ab 41,10b 7miggu Klorofil 39,67a 57,00a 42,00a 59,33a 36,67a 37,00a Bulu/ Panjang 5,33b 10,00a 9,33a 5,00b 6,33b 5,67b trikoma Jumlah Dalam baris, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. HGk=Hitam Gunungkidul PGk=Putih Gunungkidul PKo=Putih Kedungombo PKp=Putih Kulonprogo Tgt pss=tergantung posisi terhadap sumbu tegak Seperti halnya pada batang, beberapa komponen daun tidak berbeda antar kultivar. Letak daun berseling, daun selalu mengarah ke sudut sekitar 45° terhadap posisi tegak dan tidak tergantung arah batang penyangga. Tangkai daun untuk kultivar Luthung, Hitam Gunungkidul, Putih Kulonprogo dan Putih Kedungombo lebih panjang dibanding kultivar Rase, namun kultivar Rase memiliki diameter tangkai daun yang lebih besar dibanding kultivar lain kecuali Kultivar Putih Kedungombo. Kandungan klorofil kultivar Luthung juga lebih tinggi dibanding kultivar Rase dan Putih Gunungkidul. Densitas trikoma kultivar Luthung dan Putih Gunungkidul lebih besar dibanding kultivar lain. Rerata komponen bunga antar kultivar disajikan pada Tabel 5.
53
Tabel 5. Jumlah bunga per tandan (buah) dan berat kering (g/buah), warna, panjang (mm), tebal/lebar(mm) dan bentuk tangkai, kelopak dan mahkota bunga, warna, jumlah (buah/bunga) benangsari dan putik, panjang benangsari (mm) dan bentuk putik enam kultivar karabenguk Bunga
Tangkai
Kelopak
Mahkota
Benangsari
Parameter /tandan Brt Kering Warna Panjang Tebal Bentuk Warna Panjang Lebar Bentuk Warna Panjang Lebar Bentuk Warna
HGk
Luthung
14.00a 0.08b Pth Hju 4,7a 1,9a Bulat Pth Hju 13,53a 8,03b V4k3b1 UHt 33,00c 9,33b Kp-kp Kng Hju
12,33a 0,05d Pth Hju 3,5a 1,9a Bulat Pth Hju 13,23a 7,90b V4k3b1 UHt 37,33b 9,33b Kp-kp Kng Hju
Kultivar PGk PKo
PKp
Rase
18,00a 0,09a Pth Hju 4,0a 2,0a Bulat Pth Hju 13,40a 10,00a V4k3b1 PHju 42,67a 11,67a Kp-kp Kng Hju 5 7,10a Pth Hju 5 Kepala
19.00a 0.06c Pth Hju 3,7a 1,7a Bulat Pth Hju 12,47a 7,73b V4k3b1 UHt 37,33b 9,33b Kp-kp Kng Hju 5 7,70a Pth Hju 5 Kepala
12,33a 0,09a Pth Hju 4,3a 1,8a Bulat Pth Hju 12,93a 8,13b V4k3b1 PHju 40,34ab 12,00a Kp-kp Kng Hju 5 7,97a Pth Hju 5 Kepala
14,33a 0,08b Pth Hju 4,2a 1,6a Bulat Pth Hju 13,23a 7,50b V4k3b1 PHju 38,00b 7,00c Kp-kp Kng Hju 5 6,67a Pth Hju 5 Kepala
5 5 /bunga 7,10a 8,00a Panjang Pth Hju Pth Hju Putik Warna 5 5 /bunga Kepala Kepala Bentuk Dalam baris, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Batang yang menghasilkan bunga dan polong hanya batang primer. PGk=Putih Gunungkidul HGk=Hitam Gunungkidul PKp=Putih Kulonprogo PKo=Putih Kedungombo Pth=putih Hju=hijau Kng=kuning U=ungu Ht=hitam Kp-kp=kupu kupu V= jumlah ujung kelopak berbentuk V, k = jumlah ujung kelopak kecil dan b = jumlah ujung kelopak besar
Berat kering bunga kultivar Rase dan Putih Gunungkidul lebih tinggi dibanding kultivar lain. Untuk semua kultivar bentuk tangkai bunga bulat, bentuk kelopak berupa rangkaian 4 huruf V terdiri 1 besar dan 3 kecil, bentuk mahkota kupu-kupu, benangsari berwarna kuning kehijauan dan putik berwarna putih kehijauan. Kultivar Putih Gunungkidul memiliki lebar kelopak yang lebih besar dibanding kultivar lain. Lebar
54
mahkota kultivar Rase dan Putih Gunungkidul lebih besar dibanding kultivar lain. Demikian pula panjang mahkota, kultivar Putih Gunungkidul terpanjang dan tidak berbeda nyata dengan kultivar Rase. Rerata komponen polong dan biji antar kultivar disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Warna, panjang (cm), lebar (cm), tebal (cm) dan bentuk polong dan biji, jumlah (buah/tandan) dan berat kering (g/tanaman) polong dan jumlah (buah/polong) biji enam kultivar karabenguk. Komponen
Kultivar HGk Luthung PGk PKo PKp Rase Polong Warna H-Cm HHi-Hi H-Cm H-Cm H-Cm H-Cm Jumlah 10,67a 4,67b 11,67a 8,67ab 10,67ab 6,00ab Panjang 9,50ab 9,10b 9,67a 9,50ab 9,83a 9,67a Lebar 1,77a 1,47b 1,67ab 1,53ab 1,53ab 1,67ab Tebal 1,23a 1,07a 1,10a 1,10a 1,23a 1,23a Bentuk Sigmoid Sigmoid Sigmoid Sigmoid Sigmoid Sigmoid Berat Kering 4,60b 5,92ab 6,66ab 5,10ab 5,53ab 7,22a Biji Warna Hitam Belang Putih Putih Putih Belang Jumlah 4,67b 4,67b 6,00a 5,67a 5,67a 5,67a Panjang 1,50ab 1,40b 1,60a 1,40b 1,50ab 1,27c Lebar 1,03a 1,10a 1,13a 1,13a 1,10a 0,97a Tebal 0,77b 0,97a 0,63c 0,63c 0,73bc 0,67bc Bentuk pipih bulat pipih Pipih Pipih Pipih Dalam baris, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. H=Hijau, Cm=Coklat Muda, Hi=Hitam, PGk=Putih Gunungkidul, HGk=Hitam Gunungkidul, PKp=Putih Kulonprogo, PKo=Putih Kedungombo Warna polong kultivar Luthung hijau kehitaman sewaktu segar dan berubah menjadi hitam sewaktu kering, sedangkan kultivar lain memiliki warna polong hijau sewaktu segar dan ketika kering berubah menjadi coklat muda. Kultivar Putih Gunungkidul dan Hitam Gunungkidul memiliki jumlah polong per tandan lebih banyak dibanding Luthung. Demikian pula panjang polong, Luthung lebih pendek dibanding
55
Rase, Putih Gunungkidul dan Putih Kulonprogo, sedangkan lebar polong untuk Luthung lebih kecil dibanding Hitam Gunungkidul. Jumlah biji per polong pada kultivar Hitam Gunungkidul dan Luthung lebih sedikit dibanding kultivar lain. Kultivar Putih Gunungkidul memiliki polong yang lebih panjang dibanding Putih Kedungombo, Luthung dan Rase. Biji Luthung lebih tebal dibanding kultivar lain yang disebabkan pula karena bentuknya yang bulat, sedang kultivar lain pipih. Bobot kering biji kultivar Rase dan Putih Kedungombo lebih rendah dibanding Putih Kulonprogo. Penentuan forma dari kultivar yang ada dilakukan berdasarkan morfologi bunga dan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7.
Panjang tandan (cm), panjang tangkai (mm) dan warna mahkota bunga, panjang polong (cm) dan ada/tidaknya bulu gatal enam kultivar karabenguk
Kultivar
Bunga Panjang
Polong Warna
Panjang Bulu Gatal
Tandan Tangkai Hitam Gunungkidul Luthung Putih Gunungkidul Putih Kedungombo Putih Kulonprogo Rase
7 -12 2 -19 4 -14 7 -15 5 -17 4 –10
4-8 4-7 5-7 5-7 6-8 5-6
ungu gelap ungu gelap putih kehijauan putih kehijauan ungu gelap putih kehijauan
9-11 6-12 9-12 9-12 9-12 8-11
tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada
Menurut Backer dan Van Den Brink (1963), panjang tandan bunga untuk forma utilis adalah lebih dari 32 cm sedangkan panjang tandan bunga forma cochinchinensis yaitu 4 - 15 cm. Dengan demikian baik batas atas atau batas bawah yang memenuhi kriteria forma cochinchinensis ialah kultivar Rase, Putih
56
Gunungkidul dan Putih Kedungombo. Berdasarkan panjang tandan, kultivar Hitam Gunungkidul seharusnya juga termasuk forma cochinchinensis, namun ternyata komponen-komponen lain tidak mendukung. Dua kultivar lain tidak termasuk forma cochinchinensis, dengan batas bawah ataupun batas atas yang lebih tinggi. Kultivar Luthung dan Putih Kulonprogo tidak termasuk cochinchinensis namun berdasarkan panjang tandan juga tidak memenuhi syarat masuk forma utilis. Dua kultivar terakhir Luthung dan Putih Kulonprogo ditambah Hitam Gunungkidul berdasarkan panjang tandan tidak termasuk forma utilis disebabkan perbedaan kebiasaan hidup yang merambat pada tanaman keras, ruang gerak lebih luas sehingga tandan dapat panjang, sedang pada percobaan ini ruang lebih terbatas karena hanya dengan penjalar bambu. Panjang tangkai forma utilis adalah 4 – 10 mm, sedangkan untuk forma cochinchinensis 5 – 7 mm. Berdasarkan panjang tangkai, kultivar yang termasuk forma cochinchinensis adalah Rase, Putih Gunungkidul dan Putih Kedungombo. Ke tiga kultivar yang lain memiliki batas bawah yang lebih rendah atau batas atas yang lebih tinggi dibanding forma cochinchinensis dan termasuk forma utilis. Warna mahkota bunga untuk forma Utilis adalah ungu gelap, sedangkan untuk forma cochinchinensis adalah putih kehijauan. Dengan demikian berdasar warna mahkota bunga, kultivar Luthung, Hitam Gunungkidul dan Putih Kulonprogo termasuk forma utilis sedangkan Rase, Putih Gunungkidul dan Putih Kedungombo termasuk forma cochinchinensis. Panjang polong untuk forma utilis 10 – 13 cm, sedangkan untuk forma cochinchinensis 10 - 12 cm. Batas bawah semua kultivar yang dicobakan lebih rendah
57
dari panjang polong untuk forma utilis dan cochinchinensis sehingga variabel ini tidak dapat digunakan untuk menentukan macam forma. Hal tersebut juga disebabkan perbedaan kebiasaan hidup sehingga karabenguk tidak mampu mengekspresikan potensinya. Kedua forma dan juga semua kultivar yang diuji tidak memiliki bulu gatal. Kriteria ini penting dalam rangka memastikan bahwa kultivar yang diuji bukan termasuk forma pruriens dan hirsuta sehingga sudah pasti termasuk forma utilis atau cochinchinensis. Di antara beberapa kriteria yang membedakan antara forma utilis dan cochinchinensis, warna mahkota bunga merupakan kriteria sentral. Mahkota bunga forma utilis berwarna ungu gelap dan untuk cochinchinensis berwarna putih kehijauan. Berdasarkan atas beberapa variabel tersebut terutama kesesuaian warna mahkota bunga maka yang termasuk forma utilis (mahkota bunga ungu gelap) adalah kultivar Luthung, Hitam Gunungkidul dan Putih Kulonprogo, sedangkan termasuk forma cochinchinensis (mahkota bunga putih kehijauan) adalah kultivar Rase, Putih Gunungkidul, Putih Kedungombo. Sidik ragam variabel vegetatif dan hasil tanaman antar forma disajikan pada Lampiran 48 sampai 56. Sidik ragam (analisis varian) dengan rancangan acak kelompok lengkap tersebut setelah diteruskan dengan uji beda Duncan 5%, hasilnya disajikan pada Tabel 8.
59
Pada umur 5 minggu indeks luas daun antar kultivar berbeda nyata. Tabel 8. memperlihatkan Indeks luas daun tertinggi kultivar Putih Gunungkidul dan tidak berbeda nyata dengan kultivar Putih Kulonprogo dan Putih Kedungombo. Antar kultivar tidak berbeda nyata pada panjang akar. Berdasar data pada Tabel 8., kultivar Putih Gunungkidul memiliki indeks luas daun tertinggi dan ternyata meskipun tidak berbeda nyata memiliki akar terpendek. Variabel nisbah akar tajuk juga menunjukkan bahwa antar kultivar tidak berbeda nyata. Tabel 8. memperlihatkan nilai terendah dimiliki oleh kultivar Putih Gunungkidul diikuti oleh kultivar Luthung dan Rase. Antar kultivar juga tidak berbeda nyata pada bobot kering oven brangkasan. Tabel 8 memperlihatkan nilai bobot kering oven brangkasan terendah dimiliki oleh kultivar Putih Gunungkidul diikuti oleh Rase dan Hitam Gunungkidul. Indeks panen menunjukkan bahwa antar kultivar berbeda nyata. Tabel 8. memperlihatkan bahwa indeks panen tertinggi dicapai oleh kultivar Putih Gunungkidul dan tidak berbeda nyata dengan kultivar Rase. Hasil biji antar kultivar menunjukkan perbedaan yang nyata. Tabel 8. memperlihatkan hasil tertinggi dicapai oleh kultivar Putih Gunungkidul dan tidak berbeda nyata dengan kultivar Rase. Perbedaan kultivar menyebabkan bobot 100 biji berbeda nyata. Bobot tertinggi pada Tabel 8. dicapai oleh Putih Kulonprogo dan tidak berbeda nyata dengan kultivar Luthung, Putih Gunungkidul dan Hitam Gunungkidul. Antar kultivar juga mempunyai perbedaan nyata pada kandungan protein biji. Tabel 8. memperlihatkan protein tertinggi dicapai oleh kultivar Putih Kulonprogo diikuti Rase dan Putih Kedungombo, Luthung dan terakhir Putih Gunungkidul dan Hitam Gunungkidul. Antar kultivar juga berbeda nyata pada kandungan HCN bijinya.
60
Tabel 8. memperlihatkan HCN terendah diperoleh pada kultivar Luthung diikuti oleh Rase dan Putih Gunungkidul. Kultivar Putih Gunungkidul dan Rase memiliki hasil biji yang lebih tinggi. Hal tersebut dimungkinkan karena indeks luas daun dan indeks panen yang lebih tinggi dibanding kultivar lain terutama untuk kultivar Putih Gunungkidul. Panjang akar, nisbah akar tajuk dan bobot brangkas relatif rendah pada ke dua kultivar tersebut dibanding 4 kultivar yang lain. Kuantitas hasil yang tinggi tersebut ternyata juga didukung oleh kualitas hasil berupa kandungan protein relatif tinggi dan kadar HCN relatif rendah terutama untuk kultivar Rase. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kultivar Rase dan Putih Gunungkidul memiliki hasil dan beberapa variabel vegetatif yang lebih tinggi dibanding kultivar lain. Untuk melihat keterkaitan antar komponen, disajikan hubungan antar variabel yang diamati pada Percobaan Karakter agronomi dan forma karabenguk budidaya pada Lampiran 178. Hasil biji dan bobot brangkasan berhubungan dengan indeks panen, sedangkan antar variabel lain yang diamati tidak menunjukkan korelasi yang nyata. Hal ini memperkuat pernyataan bahwa hasil biji yang tinggi disebabkan karena indeks panen yang tinggi. Apabila variabel bagian vegetatif dan hasil tersebut dianalisis dengan dikelompokkan ke dalam masing-masing forma menggunakan sidik ragam (analisis varian) dengan rancangan acak kelompok lengkap, hasilnya disajikan pada Lampiran 57. sampai 65. dan Tabel 9. Perbedaan forma mengubah hasil biji secara nyata. Data pada Tabel 9. memperlihatkan bahwa forma cochinchinensis memiliki hasil biji yang lebih tinggi dibanding forma utilis. Hal tersebut disebabkan oleh hasil tinggi pada 2 anggota
61
forma cochinchinensis yaitu kultivar Rase dan kultivar Putih Gunungkidul (Tabel 8) dan berat kering bunga yang lebih tinggi (Tabel 5). Kultivar Rase ternyata memiliki berat batang sekunder yang paling rendah. Kultivar Putih Gunungkidul juga memiliki berat batang sekunder lebih rendah dibanding 2 anggota Kultivar utilis yaitu Luthung dan Hitam Gunungkidul (Tabel 3). Kultivar Rase memiliki tangkai daun yang lebih pendek dibanding kultivar lain namun tidak berbeda nyata dengan kultivar Putih Gunungkidul. Pada Tabel 4. juga terlihat bahwa kandungan klorofil daun Kultivar Putih Gunungkidul terendah diikuti lebih tinggi pada Kultivar Rase. Panjang dan lebar mahkota bunga kultivar Rase dan Putih Gunungkidul lebih tinggi dibanding kultivar lain (Tabel 5). Jumlah biji per polong untuk kultivar Rase dan Putih Gunungkidul ( cochinchinensis ) lebih tinggi dibanding kultivar Luthung dan Hitam Gunungkidul (utilis ). Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa hasil yang tinggi pada forma cochinchinensis terutama pada kultivar Rase dan Putih Gunungkidul disebabkan karena jumlah biji per polong yang lebih banyak, mahkota bunga yang lebih besar, tangkai daun yang lebih pendek meskipun kandungan klorofil daun yang lebih rendah, dan berat batang sekunder yang lebih rendah.
62
B. Hasil Analisis Tanah dan Peubah Statistik Pemupukan 2 Kultivar Karabenguk 1. Hasil analisis tanah Tanah yang digunakan untuk penelitian merupakan tanah dengan kedalaman efektif atau solum tidak lebih dari 17 cm pada kemiringan tanah 20-22,5% dan jenis tanah litosol. Hasil analisis beberapa sifat fisika dan kimia tanah tersebut disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Beberapa sifat fisika dan kimia tanah pada lokasi penelitian lapangan Parameter
Sampel 2 29,28 27,52 20,31 16,31 6,98 1,46 10,19 13,62 18,94 42,75 26,81 5,84 0,71 0,41 0,08 5,13 15,17 1,98 24,30 6,44 69,29
Rerata Harkat
1 3 pF 0 % 28,09 32,61 29,99 pF1 % 26,12 28,03 27,22 pF2 % 18,81 20,28 19,80 pF2,54 % 16,18 16,19 16,22 pF4,2 % 6,44 7,52 6,98 BV g/cm3 1,58 1,58 1,54 Pori Tak tergunakan (%) 10,18 11,88 10,75 Penahan lengas (%) 15,39 13,70 14,24 Drainase (%) 18,82 25,94 21,23 Total (%) 44,38 51,52 46,22 KPK me/100g 16,94 21,89 21,88 Sd pH H20 6,08 6,51 6,14 AM BO% 1,12 0,96 0,93 R C (%) 0,65 0,56 0,54 SR N Tot % 0,09 0,09 0,09 SR C/N 7,22 6,22 6,19 R P tsd ppm (Bray) 6,15 7,38 9,58 SR K tsd me/100g 1,27 1,69 1,64 ST Lempung(%) 13,61 13,65 17 Debu (%) 23,26 11,12 14 Pasir(%) 64,13 75,23 70 Kelas Tekstur Geluh Pasiran AM=agak masam SR=sangat rendah R=rendah Sd=sedang ST=sangat tinggi (Staf Pusat Penelitian Tanah, 1983 cit. Hardjowigeno, 1987 ) Harkat KPK dan K tersedia yang relatif tinggi disebabkan kemungkinan tanah pada lokasi penelitian dulunya merupakan tanah vertisol berwarna hitam kemudian
63
tererosi. Pecahnya batuan membentuk tekstur pasiran yang tercampur tanah awal sehingga KPK dan K tersedia relatif tinggi. Hal tersebut didukung pula oleh kandungan lempung yang tinggi pada Sampel 2. Dengan memperhatikan bahwa lapis olah kurang dari 20 cm, pH agak masam, kandungan bahan organik rendah, kandungan N total rendah, kandungan P tersedia sangat rendah dan tekstur geluh pasiran maka tanah tersebut dapat dikategorikan tidak subur dan memerlukan perlakuan khusus seperti penambahan hara tanah terutama N, P dan bahan organik mengingat ketebalan lapis olah yang rendah merupakan faktor penghambat pertumbuhan. Pada percobaan pemupukan di pot, setelah tanah ditanami karabenguk ternyata nilai C dan N meningkat dapat dilihat pada Tabel 11. Sampel tanah sebelum dan setelah panen diambil dari 3 pot yang sama tanpa perlakuan pemupukan. Tabel 11. Nilai C, N dan nisbah C/N sebelum dan setelah pertanaman karabenguk di pot Sampel sebelum tanam setelah panen C (%) N Tot C/N C (%) N Tot C/N % % 1 0,65 0,09 7,22 2,48 0,27 2 0,41 0,08 5,13 2,67 0,27 3 0,56 0,09 6,22 2,27 0,26 Rerata 0,54 0,09 6,19 2,47 0,27 Nilai SR SR R Sd Sd SR=sangat rendah R=rendah Sd=sedang ( Staf Pusat Penelitian Hardjowigeno, 1987)
9,33 9,93 8,73 9,33 R Tanah, 1983 cit.
Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa tanah sebelum ditanami, jumlah bahan organik ( C ) dan nitrogen total sangat rendah namun setelah panen karabenguk kandungan C dan N meningkat. Hal ini disebabkan sebagian seresah terdekomposisi
64
dan tercampur tanah sehingga kandungan C dan N meningkat. Tetap rendahnya C/N menggamarkan laju dekomposisi sebanding dengan tambahan serasah segar dengan kandungan C tinggi dan N rendah. Dalam penelitian ini pengamatan hanya dilakukan terhadap C dan N tanah karena tujuan terfokus pada peran bahan organik.
2. Hasil dan analisis hasil pemupukan karabenguk a. Percobaan di pot Percobaan pemupukan dengan dosis diberikan sekali yang dilaksanakan di pot dan dilakukan pengamatan terhadap 11 variabel. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 66 sampai 76. Setelah dilakukan uji beda Duncan 5% pada faktor yang berpengaruh nyata, komponen antar kultivar dan pupuk yang berinteraksi disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Indeks panen dan hasil biji kultivar Rase dan Putih Gunungkidul berbagai pemupukan pada percobaan di pot Variabel Kultivar Pupuk Kontrol Org.1 Org.2 NPK 1 NPK 2 Indeks Panen Rase 0,12 a 0,00 b 0,03 b 0,00 b 0,00 b Putih Gk 0,00 b 0,01 b 0,01 b 0,00 b 0,00 b Berat Hasil Biji Rase 10,90 a 0,00 b 1,88 b 0,00 b 0,00 b (g/tan) Putih Gk 0,00 b 1,88 b 1,42 b 0,00 b 0,00 b Angka yang diikuti huruf sama pada indeks panen atau berat hasil biji menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT taraf 5%. Putih Gk=Putih Gunungkidul, Kontrol=tanpa pupuk, Org.1 = pupuk organik dosis sedang, Org.2 = pupuk organik dosis tinggi, NPK1 = pupuk NPK dosis sedang, NPK2 = pupuk NPK dosis tinggi. Data 0,00 disebabkan tanaman tidak menghasilkan biji atau tanaman mati. Pemupukan dengan perlakuan NPK dosis tinggi menyebabkan kematian tanaman karabenguk pada saat pertumbuhan awal. Pemupukan dengan perlakuan NPK 1 tidak mematikan, namun tanaman tidak menghasilkan biji. Demikian pula beberapa perlakuan pupuk organik dan kontrol. Nilai hasil yang sangat rendah
65
disebabkan dari 3 ulangan hanya 1 atau 2 yang menghasilkan biji sehingga rerata sangat kecil. Kematian tanaman pada perlakuan NPK dosis tinggi disebabkan plasmolisis sebagaimana dijelaskan pada Tabel 20. Hasil yang rendah disebabkan musim tanam yang tidak tepat, tidak melewati bulan juni mengingat karabenguk merupakan tanaman hari pendek yang musm erbunga pada bulan tersebut. Untuk itu dilakukan penelitian klarifikasi yang dilakukan di lapangan dengan dosis pupuk diberikan 2 kali dan ditambah 1 kultivar wakil dari Utilis yang belum diujikan pada penelitian di pot. Pada kultivar Rase, pemupukan menyebabkan indeks panen dan hasil biji rendah. Pada kultivar Putih Gunungkidul, pemupukan tidak meningkatkan hasil biji secara nyata. Pada kontrol indeks panen dan hasil biji kultivar Rase lebih tinggi dibanding Putih Gunungkidul. Pemupukan menyebabkan tidak tampak perberbedaan nyata terhadap indeks panen dan hasil biji antar kultivar Rase dan Putih Gunungkidul. Antara kultivar Putih Gunungkidul dan Rase berbeda nyata pada beberapa variabel bagian vegetatif dan disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Jumlah bintil/tanaman, beratkering brangkasan atas dan tajuk (g/tan) dan akar/tajuk antar kultivar pada percobaan di pot Bagian vegetatif Kultivar Putih Gunungkidul Rase Jumlah Bintil per tanaman 4,13 b 6,20 a Beratkering Brangkasan Atas (g/tan) 69,16 a 49,87 b Beratkering Tajuk (g/tan) 69,83 a 52,71 b Akar/Tajuk 0,17 b 0,39 a Dalam baris, angka yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT taraf 5%.
66
Kultivar Rase memiliki brangkasan atas dan tajuk yang lebih rendah serta nisbah akar tajuk dan jumlah bintil yang lebih tinggi dibanding kultivar Putih Gunungkidul. Perubahan ukuran berbagai bagian vegetatif akibat perlakuan pemupukan dengan dosis yang diberikan sekali pada percobaan di pot disajikan pada Tabel 14. Serapan hara yang dimaksud pada tabel berikut adalah jumlah unsur hara pada seluruh bagian tanaman. Tabel 14. Serapan NPK, bk akar, bintil, brangkasan atas dan tajuk (g/tan) jumlah bintil/tan dan akar tajuk antar pemupukan pada percobaan di pot Serapan dan bagian Pupuk vegetatif per tanaman Kontrol Org.1 Org.2 NPK1 NPK2 Serapan N (g/tan) 2,41 ab 1,94 ab 2,54 a 1,37 b 0,00 c Serapan P (g/tan) 0,25 ab 0,22 ab 0,30 a 0,16 b 0,00 c Serapan K (g/tan) 1,54 a 1,15 ab 1,52 a 0,80 b 0,00 c Beratkering Akar (g/tan) 32,68 a 13,64 ab 22,77 ab 9,64 b 0,00 c Jumlah Bintil per tanaman 4,33 c 7,50 ab 9,17 a 4,83 bc 0,00 d Beratkering Bintil (g/tan) 0,36 ab 0,61 a 0,78 a 0,60 a 0,00 b Beratkering Brk Atas (g/tan) 64,81 ab 59,25 ab 71,78 a 42,23 b 0,00 c Beratkering Tajuk (g/tan) 69,65 ab 59,95 ab 73,25 a 42,23 b 0,00 c Akar/Tajuk 0,48 a 0,27 a 0,31 a 0,34 a 0,00 b Dalam baris, angka yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT taraf 5%. Brk=brangkasan, Kontrol=tanpa pupuk, Org.1 = pupuk organik dosis sedang, Org.2 = pupuk organik dosis tinggi, NPK1 = pupuk NPK dosis sedang, NPK2 = pupuk NPK dosis tinggi menghasilkan data 0,00 karena tanaman mati.
Tabel 14. memperlihatkan bahwa pada percobaan di pot dengan dosis pemupukan diberikan 1 kali menggunakan pupuk organik 2 (dosis 250 g/tanaman) menyebabkan jumlah bintil lebih tinggi tetapi tidak berbeda nyata dengan pupuk organik 1 (dosis 125 g/tanaman), serapan hara dan berat kering brangkasan serta tajuk
67
lebih tinggi dibanding pupuk NPK.
Data 0 pada pemupukan NPK 2 (dosis 60
g/tanaman) disebabkan tanaman mati pada saat pertumbuhan awal akibat plasmolisis sebagaimana dibahas pada Tabel 20. Berdasarkan pada pengamatan setiap 2 minggu, indeks luas daun, diameter batang dan kandungan klorofil daun dianalisis berdasarkan regresi linear Y = a + bX. Nilai slop (b) dibandingkan menggunakan anova, hasilnya disajikan pada Lampiran 88 hingga Lampiran 90. Seharusnya pertumbuhan tanaman mengikuti kurve sigmoid. Pendekatan dengan regresi linear sederhana mengingat pengamatan berada pada fase eksponensial dan pada umumnya nilai R² nya lebih dari 0,8. Adapun anova setelah diteruskan uji beda Duncan, hasilnya disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Koefisien regresi klorofil daun, indeks luas daun dan diameter batang pada percobaan di pot Pemupukan Koefisien regresi ( nilai b dari Y= a+bX ) Klrf Daun ILD Dmt Bt Kontrol 26698 a 0,21a 0,23 b Org.1 25716 a 0,23a 0,23 b Org.2 35124 a 0,20a 0,23 b NPK 1 39685 a 0,24a 0,29 a NPK 2 858 b (-) 0,01b (-)0,12 c Dalam kolom, angka yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT taraf 5%. Hasil pengamatan pada Tabel 14 merupakan data yang diperoleh saat tanaman dipanen. Pada perlakuan NPK dosis tinggi ternyata tanaman mati akibat plasmolisis. Data klorofil, indeks luas daun dan diameter batang pada Tabel 15 diperoleh saat awal pertumbuhan tanaman ketika tanaman masih hidup. Nilai negatif dapat terjadi karena angka yang disajikan merupakan nilai slop atau koefisien regresi.
68
Antar perlakuan macam dan dosis pupuk menyebabkan perbedaan yang nyata pada koefisien regresi klorofil daun. Koefisien regresi klorofil daun pada perlakuan pemupukan NPK dosis tinggi, lebih rendah dibanding perlakuan NPK dosis sedang, pupuk organik dan kontrol. Hal ini disebabkan tanaman tumbuh pada awal pertumbuhan sehingga memiliki klorofil namun pertumbuhan sangat lambat dan akhirnya tanaman mati. Perlakuan pupuk menyebabkan koefisien regresi indeks luas daun berbeda nyata. Tabel 15 memperlihatkan bahwa pemupukan dengan NPK dosis tinggi menurunkan koefisien regresi indeks luas daun. Hal ini disebabkan karena perlakuan pemupukan NPK dosis tinggi menyebabkan karabenguk mati di awal pertumbuhan sehingga saat panen luas daun nol. Perlakuan pemupukan juga menyebabkan koefisien regresi diameter batang berbeda nyata. Pemupukan dengan NPK dosis sedang mampu meningkatkan koefisien regresi diameter batang. Penggunaan NPK dosis tinggi menurunkan koefisien regresi
diameter batang, karena tanaman di awal pertumbuhan mati
sehingga saat panen diameter batang nol. Peningkatan koefisien regresi diameter yang relatif tinggi pada pemupukan dengan NPK dosis sedang, ternyata tidak sejalan dengan komponen yang lain baik serapan hara, tajuk, bintil, maupun akar. Hal tersebut menunjukkan bahwa karabenguk sesuai sebagai tanaman perintis dan kurang responsif terhadap penambahan hara. Karabenguk yang dipupuk dengan NPK dosis tinggi sewaktu hidup menghasilkan koefisien regresi klorofil, indeks luas daun dan diameter batang yang lebih rendah dibanding perlakuan lain. Pemupukan NPK dosis sedang menghasilkan koefisien regresi diameter batang yang paling tinggi, namun ternyata tidak sejalan
dengan kandungan klorofil dan indeks luas daun. .
69
b. Percobaan di lapangan Sidik ragam pada percobaan pupuk yang diberikan 2 kali di lapangan, disajikan pada Lampiran 77 sampai 87. Pada percobaan ini ditambahkan pula kultivar Hitam Gunungkidul sebagai wakil dari forma utilis. Setelah dilakukan uji beda Duncan 5% pada faktor yang berbeda nyata, bagian vegetatif dan hasil antar kultivar yang diuji disajikan pada Tabel 16. Tabel 16.
Bagian vegetatif dan hasil antar kultivar pada percobaan pemupukan di lapangan Parameter Kultivar Hitam Gk Putih Gk Rase Jml Bintil 1,90b 2,40ab 3,50a Indeks Panen 0,18b 0,21b 0,47a Berat Hasil Biji (g/tan) 2,76b 5,59b 14,56a Dalam baris, angka yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT taraf 5%. Hitam Gk=Hitam Gunungkidul, Putih Gk=Putih Gunungkidul Tabel 16. memperlihatkan bahwa pada pemupukan di lapangan yang diberikan 2 kali, hasil biji kultivar Rase lebih tinggi dibanding kultivar Putih Gunungkidul dan Hitam Gunungkidul. Rendahnya jumlah bintil terutama pada kultivar Hitam Gunungkidul merupakan penyebab rendahnya hasil mengingat bintil merupakan alat mengikat N2 dari udara. Dari berbagai komponen vegetatif pada percobaan 2 kali pemupukan, terjadi interaksi antara pupuk dan kultivar pada laju pertumbuhan tanaman (Crop growth rate) bulan pertama (LPT 01). Hal tersebut disajikan pada Tabel 17. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 97.
70
Tabel 17. Rerata laju pertumbuhan tanaman bulan ke 1 pada berbagai perlakuan pemupukan dan kultivar pada percobaan pemupukan di lapangan (kg/m²/bln) Kultivar Pupuk Kontrol Org. 1 Org. 2 NPK 1 NPK 2 Hitam Gunungkidul 2,46bc 1,59c 1,46c 1,94c 3,79ab Putih Gunungkidul 1,55c 2,05c 2,65bc 2,47bc 1,35c Rase 1,56c 2,47bc 2,10c 4,85a 2,27c Angka yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT taraf 5%. Kontrol=tanpa pupuk, Org.1 = pupuk organik dosis sedang, Org.2 = pupuk organik dosis tinggi, NPK1 = pupuk NPK dosis sedang, NPK2 = pupuk NPK dosis tinggi. Pada pemupukan NPK dosis sedang / NPK 1, kultivar Rase memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dibanding kultivar Hitam Gunungkidul dan Putih Gunungkidul sedangkan pada pemupukan NPK dosis tinggi / NPK 2, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh kultivar Hitam Gunungkidul. Pada kultivar Putih Gunungkidul, pupuk tidak berpengaruh nyata namun pada kultivar Hitam Gunungkidul pupuk NPK dosis tinggi meningkatkan pertumbuhan pada bulan pertama sedang hal sama terjadi pada kultivar Rase dengan pupuk NPK dosis sedang. Meskipun tidak berbeda nyata dengan Putih Gunungkidul, kultivar Hitam Gunungkidul yang memiliki hasil paling rendah, ternyata memiliki pertumbuhan pada kontrol dan pemupukan organik (Org. 1 dan 2 ) yang tidak berbeda nyata dengan kultivar lain. Pada percobaan di lapangan dengan pemupukan 2 kali, ternyata antar perlakuan juga tidak menunjukkan perbedaan pada komponen pertumbuhan. Hal tersebut disajikan pada Lampiran 91 hingga 97. Antara kultivar dan pupuk berinteraksi pada LPT bulan pertama. Antar komponen pertumbuhan yang lain, ternyata pemberian pupuk tidak meningkatkan pertumbuhan secara nyata.
71
3. Pembahasan pemupukan karabenguk Pada percobaan di pot pupuk diberikan sekali terhadap kultivar Rase, pemupukan justru menurunkan indeks panen dan hasil biji ( Tabel 12 ) namun hal tersebut tidak terjadi pada kultivar Putih Gunungkidul yang memiliki jumlah bintil dan nisbah akar tajuk lebih rendah (Tabel 13).
Pemberian pupuk organik tidak
mengubah secara nyata serapan hara dan bagian vegetatif tanaman namun meningkatkan jumlah bintil dibanding kontrol, Pemberian pupuk NPK dosis sedang (30 g/tan) menurunkan serapan K dan berat kering akar. Pemberian NPK dosis tinggi (60 g/tan) menurunkan semua variabel pengamatan karena tanaman mati di awal pertumbuhan akibat pecahnya dinding sel benih dicirikan keluarnya HCN yang berwarna biru (Tabel 14).. Pemberian pupuk NPK dosis tinggi (60 g/tan) juga menurunkan ke 3 komponen pertumbuhan yang diamati. Pemberian pupuk NPK 30 g/tan memperlihatkan peningkatan diameter batang tanaman ( Tabel 15). Hasil turun pada percobaan di pot tersebut dipertanyakan karena suhu yang relatif tinggi di rumah kaca yang maksimum 39 C (40, 38,5 dan 38,5 C), sedangkan di luar rumah kaca maksimum 37 C ( 37,5; 36,5 dan 37 C ). Hal ini menunjukkan adanya indikasi bahwa karabenguk Rase tanpa pupuk lebih mampu menghadapi cekaman suhu tinggi. Antar komponen bagian vegetatif dan hasil panen pada pemupukan sekali yang diamati, setelah dilakukan uji korelasi disajikan pada Lampiran 178. Antara serapan N, P, K dan variabel bintil yang berupa jumlah dan berat kering serta berat kering akar, berat kering brangkasan atas dan tajuk ternyata berhubungan erat (Lampiran 179). Serapan berhubungan erat dengan pertumbuhan tanaman. Tingginya
72
serapan akan meningkatkan bahan yang terakumulasi sebagai bagian vegetatif tanaman. Hasil biji tidak berhubungan dengan sebagian besar variabel vegetatif dan hasil tanaman mungkin akibat cekaman suhu tinggi. Dinamika pH tanah menjelang pemberian air disajikan pada Gambar 5 dan dinamika lengas tanah pada Gambar 6. Tabel 18. Keasaman atau pH tanah antar perlakuan pemupukan Minggu Kontrol Org. 1 Org. 2 NPK 1 NPK 2 2 êòçé êòèí êòéé éòðð êòçð 4 êòêé êòêè êòéé ëòéð ëòìí 6 êòìð êòìë êòîë ëòèë ìòîð 8 êòêí êòêð êòêî êòðî ëòïé 10 êòèð êòêè êòèð êòîè ëòïé 12 êòçé êòçé êòçí êòêð ëòïé 14 êòìð êòêé êòèð êòëí ëòïé 16 êòéð êòéé êòèð êòéë ëòïé 18 êòëè êòêë êòéð êòìë ëòïé 20 êòëí êòêí êòêé êòëé ëòîè 22 êòéí êòëî êòêð êòìð ëòìí 24 êòèð êòéð êòíè êòéí ëòíé 2 hit terhadap kontrol ðòðí ns ðòðé ns ðòíí ns íòèë ns 2tab(.05-11) 19.70 19.70 19.70 19.70 Kontrol=tanpa pupuk, Organik 1 = pupuk organik dosis sedang, Organik 2 = pupuk organik dosis tinggi, NPK1 = pupuk NPK dosis sedang, NPK2 = pupuk NPK dosis tinggi. Tanda ns menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar uji Chi -Square 5%. è
Õ±²¬®±´
ê
Ñ®¹ò ï
ì
Ñ®¹ò î
î
ÒÐÕ ï ÒÐÕ î
ð ð î ì
ê è ïð ïî ïì ïê ïè îð îî îì Um ur Tanaman (m g)
Gambar 5. Dinamika pH tanah selama pertumbuhan tanaman antar perlakuan pemupukan Keterangan : Kontrol=tanpa pupuk, Org.1 = pupuk organik dosis sedang, Org.2 = pupuk organik dosis tinggi, NPK1= pupuk NPK dosis sedang, NPK2 = pupuk NPK dosis tinggi
73
Pada Tabel 18. diketahui bahwa dinamika pH tanah antar perlakuan tidak berbeda nyata dengan perlakuan lain. Berdasarkan Gambar 5 terlihat bahwa pada perlakuan NPK 2 (dosis tinggi), pH tanah lebih rendah dibanding kontrol hampir sepanjang waktu, namun hasil uji Chi-square sama. Hal tersebut memberikan indikasi bahwa meskipun pemberian pupuk NPK 2 menurunkan pH tanah namun pola dinamika tidak berubah secara nyata. Tabel 19. Lengas tanah antar perlakuan pemupukan Minggu ke Kontrol Org. 1 Org. 2 NPK 1 NPK 2 2 ïðòðì ïïòêé ïïòéè çòéî ïïòîí 4 ïðòðì ïðòíï çòèî ïïòèç ïïòêï 6 ïðòðì ïðòîð çòéé ïîòïð ïîòíî 8 çòêï çòéé çòíç ïîòïð ïîòíî 10 çòéî ïðòðì çòïé ïîòïð ïîòíî 12 çòçç ïðòìî ïðòïë ïïòçç ïîòíî 14 ïïòîí ïðòëè ïðòîê ïïòêï ïîòíî 16 ïðòëè ïðòðì çòêï ïðòíï ïîòíî 18 ïðòïð çòêê çòìî ïðòîê ïîòíî 20 ïðòíé çòéî çòíç ïðòðì ïîòíî 22 ïðòìî çòçç çòèè ïðòêì ïîòíî 24 ïðòêç ïðòíï ïðòêì ïïòîí ïîòíî ns ns ns ns 2 hit terhadap kontrol ðòìê ðòêç îòìè ìòéê 2tab(.05-11) 19.70 19.70 19.70 19.70 Kontrol=tanpa pupuk, Organik1 = pupuk organik dosis sedang, Organik 2 = pupuk organik dosis tinggi, NPK1 = pupuk NPK dosis sedang, NPK2 = pupuk NPK dosis tinggi. Tanda ns menunjukkan berbeda nyata berdasar uji Chi-square 5%. ïì ïî ïð è ê ì î ð
Õ±²¬®±´ Ñ®¹ò ï Ñ®¹ò î ÒÐÕ ï ÒÐÕ î ð
î
ì
ê
è
ïð
ïî
ïì
ïê
ïè
îð
îî
îì
Umur Tanaman (mg)
Gambar 6. Dinamika lengas tanah selama pertumbuhan tanaman antar perlakuan pemupukan Keterangan : Kontrol=tanpa pupuk, Org.1 = pupuk organik dosis sedang, Org.2 = pupuk organik dosis tinggi, NPK1= pupuk NPK dosis sedang, NPK2 = pupuk NPK dosis tinggi
74
Berdasarkan data pada Tabel 19. dan Gambar 11., lengas tanah masih berada diantara titik layu permanen (7,72%) dan kapasitas lapangan (17,16%). Dinamika lengas tanah yang tidak berbeda nyata pada NPK 2 namun pada gambar telihat lebih rendah berindikasi pH tanah yang lebih rendah dibanding 3 perlakuan non NPK (Gambar 5). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemberian pupuk NPK dosis tinggi ( 60 g/tan ) menyebabkan lengas tanah kurang terserap tanaman dan tanah menjadi semakin masam. Lengas tanah paling rendah atau penyerapan terbaik terjadi pada pupuk organik 2 (dosis 250 g/tan), pupuk organik 1 (dosis 125 g/tan) dan kontrol. Dibanding tanpa pupuk (kontrol), penggunaan pupuk NPK2 (NPK dosis tinggi) ternyata menurunkan semua variabel yang diuji. Pupuk NPK dosis tinggi menyebabkan hara beserta air sebagai pelarutnya sulit diabsorbsi sehingga menyebabkan pembusukan dan air dari sel akar keluar bersama HCN dari biji saat berkecambah. Tanah disekitar biji menjadi berwarna biru. Hasil uji HCN pada tanah tersebut disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Kadar HCN tanah disekitar biji saat berkecambah Tanah sekitar Biji bekecambah Tanah Normal Tanah Biru
Ulangan 1 4,90 16,39
Kadar HCN ( mg/100g ) Ulangan 2 5,40 19,57
Rerata 5,15 17,98
Tanah yang berwarna biru disekitar biji ternyata mengandung HCN 17,98 mg/100g jauh lebih tinggi dibanding tanah dengan warna normal yang juga disekitar biji dengan kandungan HCN 5,15 mg/100g tanah. Hal tersebut disebabkan terlalu pekatnya cairan tanah akibat pupuk sehingga sel-sel mengalami plasmolisis, cairan
75
keluar dari sel termasuk HCN yang terkandung sehingga pertumbuhan terhambat bahkan mati. Pada perlakuan sekali pemupukan, penggunaan pupuk NPK2 (mutiara 60 g/tan) ternyata menyebabkan semua variabel yang diuji lebih rendah dibanding tanpa pupuk (kontrol),. Pemberian pupuk NPK 2 menyebabkan kematian tanaman karabenguk di awal pertumbuhan. Hal ini disebabkan adanya indikasi plasmolisis sel yang dibuktikan dengan keluarnya HCN pada Tabel 14. Pupuk NPK1 (mutiara 30 g/tan) ternyata menurunkan berat kering akar dan serapan K. Penggunaan pupuk organik baik Org.2 (fine compost 250 g/tan) maupun Org.1 (fine compost 125 g/tan) meningkatkan jumlah bintil dan meskipun tidak nyata meningkatkan berat kering bintil, berat kering akar, serapan N, P dan K. Hal tersebut disebabkan karena pupuk organik memiliki kandungan hara yang relatif lengkap. Dapat dikatakan pula bahwa pemberian pupuk organik meningkatkan pertumbuhan karabenguk.
Kontrol atau
tanpa pupuk menyebabkan variabel indeks panen dan hasil biji lebih tinggi dibanding perlakuan lain. Hal ini memberikan indikasi bahwa tanpa pupuk tanaman karabenguk akan lebih tahan terhadap gangguan terutama suhu tinggi akibat percobaan yang dilaksanakan di rumah kaca. Pada percobaan lapangan dengan dosis pupuk diberikan 2 kali, hasil kultivar Rase lebih tinggi dibanding kultivar Putih Gunungkidul dan Hitam Gunungkidul (Tabel 16). Pemberian pupuk NPK dosis sedang pada kultivar Rase, dibanding kontrol meningkatkan laju pertumbuhan tanaman bulan pertama (Tabel 17). Percobaan pemupukan pada 2 kultivar karabenguk memperlihatkan bahwa pemupukan tidak meningkatkan hasil. Percobaan lanjutan dilaksanakan di lapangan
76
dengan dosis pupuk diberikan 2 kali pada minggu pertama dan ke tiga. Dibanding pemupukan yang diberikan sekali pada pertanaman di rumah kaca, pemupukan 2 kali pada pertanaman di lapangan beserta lingkungan yang berbeda menyebabkan rerata hasil biji lebih tinggi (Tabel 12 dan Tabel 16). Hal tersebut didukung oleh tingginya indeks panen. Sebagai pembanding pada kacang tanah, produksi biji kering tertinggi 1,6 t/ha tercapai pada pemupukan 60 kg N, 75 kg P2O5 dan 60 kg K2O ( Sudjatna, 1993 ). Pemberian pupuk NPK pada tanaman kapri meningkatkan tinggi tanaman, jumlah cabang per tanaman, jumlah polong per tanaman, berat kering biji per tanaman dan produksi polong muda ( Ripiani et al., 1992 ). Pemberian NPK meningkatkan tinggi tanaman buncis tegak, berat kering brangkasan dan jumlah polong per tanaman pada tanah alfisol yang masam, BO, N, P dan KPK rendah ( Minardi, 2002 ). Pupuk N 100 dan 150 kg/ha meningkatkan diameter batang, nisbah akar tajuk, jumlah polong dan berat biji kering (Mahrita, 2003). Hal tersebut tidak terjadi pada karabenguk, pemupukan dengan pupuk organik maupun pupuk NPK tidak mampu meningkatkan bobot hasil biji (Tabel 12). Menurunnya fiksasi nitrogen yang diindikasikan oleh rendahnya berat bintil serta rusaknya sel sehingga HCN keluar biji yang sedang berkecambah menunjukkan adanya dampak negatif pemupukan.
77
C. Penggunaan Rangka Penjalar pada 2 Kultivar Karabenguk Musim Hujan dan Kemarau 1. Komponen vegetatif dan hasil karabenguk Pada percobaan rangka penjalar 2 kultivar karabenguk dan 2 musim tanam, untuk komponen bagian vegetatif dan hasil karabenguk diamati berbagai komponennya yang sidik ragamnya disajikan pada Lampiran 100 sampai 107 dan 108 sampai 115. Dari berbagai komponen tersebut tiga variabel berinteraksi antara musim, kultivar dan penjalar yaitu hasil biji kering, kadar air biji dan kadar HCN. Hasil tersebut disajikan pada Tabel 21. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 111, 113 dan 115. Tabel 21. Hasil, kadar air dan HCN biji dua musim tanam dan dua kultivar karabenguk pada berbagai rangka penjalar Ó«-·³
Õ«´¬·ª¿®
л²¶¿´¿®
Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿«
Ьٵ Ьٵ Ьٵ Ьٵ Ьٵ ο-» ο-» ο-» ο-» ο-» Ьٵ Ьٵ Ьٵ Ьٵ Ьٵ ο-» ο-» ο-» ο-» ο-»
Ì Ð¶´ Ö¿¹«²¹ Ñ Ö¿¹«²¹ î Ö¿¹«²¹ ì Þ¿³¾« Ì Ð¶´ Ö¿¹«²¹ Ñ Ö¿¹«²¹ î Ö¿¹«²¹ ì Þ¿³¾« Ì Ð¶´ Ö¿¹«²¹ Ñ Ö¿¹«²¹ î Ö¿¹«²¹ ì Þ¿³¾« Ì Ð¶´ Ö¿¹«²¹ Ñ Ö¿¹«²¹ î Ö¿¹«²¹ ì Þ¿³¾«
Þ»®¿¬ ¸¿-·´ Þ·¶· µ»®·²¹ ¹ ñí³îò ïðíôéè ½¼»º îðêôçç ¾½¼ éçôìð ¼»º ïëêôíé ¾½¼»º ïïðôêí ½¼»º ïéêôêì ¾½¼» ïììôçí ¾½¼»º îìèôðì ¾½ îêéôîé ¾ íçëôèð ¿ ïïðôêé ½¼»º èìôêé ¼»º íéôêé »º ïíôíí º ïçìôíí ¾½¼ çêôíí ¼»º ïîîôêé ¾½¼»º ëèôðð ¼»º îðôêé º ïéíôíí ¾½¼»
Õ¿¼¿® ß·® û ¾¾¶µ ïìôìç ½¼ ïíôîê ¸· ïíôëî ¹ ïíôëê ¹ ïìôïî »º ïíôêë ¹ ïíôìç ¹¸ ïìôî𠻺 ïìôðî º ïíôêí ¹ ïîôîì µ ïíôéï ¹ ïîôèí ¶ ïíôïð × ïíôìç ¹¸ ïìôîç ¼» ïìôçí ¾ ïëôïç ¿ ïìôîè ¼» ïìôëí ½
ØÝÒ û ¾¾¶µ íôíï ¶ íôçì ¼»º¹ ìôðì ½¼» íôèî ¹¸ ìôðð ½¼»º íôêí × íôéç ¹¸ íôëì × íôîè ¶ íôéé ¸ ìôìë ¿ ìôðî ½¼» íôèç »º¹¸ íôëé × ìôïï ¾½ íôè𠹸 íôèê º¹¸ ìôðï ½¼» ìôðé ½¼ ìôîì ¾
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Bbjk=berat biji kering, PtGk = Putih Gunungkidul, T Pjl = tanpa penjalar.
78
Tabel 21 menunjukkan bahwa karabenguk kultivar Putih Gunungkidul yang ditanam pada musim hujan, berat biji kering yang dihasilkan tidak berbeda nyata antar perlakuan rangka penjalar. Pada
kultivar Rase musim hujan, penjalar bambu
menghasilkan biji total dengan berat tertinggi. Pada karabenguk kultivar Rase yang ditanam pada musim kemarau, penjalar bambu menghasilkan biji lebih tinggi dibanding penjalar jagung 4 minggu, namun tidak berbeda nyata dengan penjalar yang lain. Pada kultivar Putih Gunungkidul, penjalar bambu juga menghasilkan biji dengan berat tertinggi, tidak berbeda nyata dengan tanpa penjalar dan berpenjalar jagung bersamaan tanam. Tabel 21 juga menunjukkan bahwa karabenguk kultivar Putih Gunungkidul yang ditanam pada musim hujan dan kemarau, penjalar menurunkan kadar air biji. Demikian pula pada kultivar Rase yang ditanam pada musim kemarau kecuali dengan penjalar jagung umur 4 minggu. Pada kultivar Rase yang ditanam pada musim hujan, penjalar tidak menurunkan kadar air biji. Kadar air yang tinggi akan menurunkan kualitas hasil karabenguk. Pada kultivar Rase yang ditanam musim hujan, penjalar jagung 4 minggu memiliki kadar HCN terendah. Tingkat berikutnya adalah penjalar jagung 2 minggu dan tanpa penjalar. Kadar HCN tertinggi terjadi pada penjalar bersamaan tanam dan bambu. Pada kultivar Putih Gunungkidul yang ditanam musim hujan, juga ada beda nyata antar perlakuan rangka penjalar. Tanpa penjalar menghasilkan kadar HCN terendah diikuti jagung umur 4 minggu yang tidak berbeda nyata dengan bersamaan
79
tanam. HCN tertinggi terjadi pada perlakuan jagung umur 2 minggu dan penjalar bambu. Untuk komponen variabel bagian vegetatif dan hasil tanaman, musim dan kultivar berinteraksi pada serapan K, berat biji per tanaman, bobot 100 biji, indeks panen, persentase berat biji per polong kering atau nisbah biji-polong dan kandungan protein biji. Hal tersebut disajikan pada Tabel 22. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 102, 108-110, 112, 114.
Tabel 22. Serapan K, indeks panen, berat biji/polong, hasil biji, bobot 100 biji dan kadar protein dua kultivar karabenguk pada dua musim tanam Ó«-·³
Õ«´¬·ª¿®
Ø«¶¿² Ø«¶¿² Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿«
Ьٵ ο-» Ьٵ ο-»
Í»®¿°¿² Õ ¹ ñ¬¿² íôïè ¾ ìôïð ¿ ðôîì ½ ðôíì ½
ײ¼»µÐ¿²»² ðôðê ¾ ðôïï ¾ ðôìí ¿ ðôíë ¿
Þ·¶·ñб´±²¹ û ¾»®¿¬ ëïôëí ¾½ ëìôïê ¾ ìçòëê ½ ëçôçí ¿
Þ Þ¶ñÌ¿² ¹ ïèôíí ¾ íïôëë ¿ çôêï ¾ ïïôîð ¾
Þ ïð𾶠¹ ¾¾¶µ èëôêè ¿ èíôîí ¿ êéôìé ¾ èìôîç ¿
Ю±¬»·² û ¾¾¶µ îèôíð ¾ îèôèí ¿ îéôïé ½ îèôîï ¾
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. PtGk = Putih Gunungkidul, H Bj/Tan= berat biji per tanaman, B 100 bj=bobot 100 biji, Bbjk=berat biji kering.
Tabel 22. menunjukkan bahwa pada musim hujan, kultivar Rase memiliki serapan K yang lebih tinggi secara nyata dibanding kultivar Putih Gunungkidul. Pada musim kemarau, serapan kultivar Rase tidak berbeda nyata dengan kultivar Putih Gunungkidul. Baik pada kultivar Rase maupun Putih Gunungkidul, serapan K pada musim kemarau lebih rendah dibanding musim hujan. Pada musim hujan dan kemarau, kultivar Rase memiliki indeks panen yang
tidak berbeda nyata dibanding kultivar Putih Gunungkidul. Baik pada kultivar Rase
80
maupun Putih Gunungkidul, musim kemarau menghasilkan indeks panen yang lebih tinggi dibanding musim hujan. Perlakuan musim tanam dan macam kultivar juga berinteraksi pada nisbah biji-polong. Tabel 22. menunjukkan bahwa pada pertanaman musim hujan, tidak terjadi beda nyata antar nisbah biji-polong. Pada musim kemarau, perbedaan kultivar menyebabkan beda nyata pada nisbah biji-polong karabenguk. Kultivar Rase secara nyata menghasilkan nisbah biji-polong yang lebih besar disbanding kultivar Putih Gunungkidul. Antar musim dan kultivar juga berbeda nyata pada variabel berat biji per tanaman. Tabel 22. menunjukkan bahwa pada musim hujan, kultivar Rase memiliki berat biji per tanaman yang lebih tinggi secara nyata dibanding kultivar Putih Gunungkidul. Pada musim kemarau, kultivar Rase memiliki berat biji per tanaman yang tidak berbeda nyata dengan kultivar Putih Gunungkidul. Sidik ragam bobot 100 biji juga menunjukkan adanya interaksi antara perlakuan musim tanam dan macam kultivar. Tabel 22. menunjukkan bahwa pada pertanaman musim hujan, tidak terjadi beda nyata antar bobot 100 biji. Pada musim kemarau, perbedaan kultivar menyebabkan beda nyata pada bobot 100 biji karabenguk. Kultivar Rase memiliki bobot 100 biji, salah satu komponen kualitas hasil yang secara nyata lebih tinggi dibanding Kultivar Putih Gunungkidul. Tabel 22. menunjukkan bahwa baik pada musim hujan maupun kemarau, persentase protein Kultivar Rase lebih tinggi dibanding Kultivar Putih Gunung kidul. Pada musim hujan, serapan K, hasil biji per tanaman dan kandungan protein lebih tinggi pada Kultivar Rase dibanding Putih Gunungkidul. Pada musim kemarau,
81
persentase biji per polong, berat 100 biji dan kandungan protein biji lebih tinggi pada Kultivar Rase. Pada komponen variabel bagian vegetatif dan hasil tanaman, antara kultivar dan penjalar berinteraksi pada bobot 100 biji. Kombinasi hal tersebut disajikan pada Tabel 23. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 112. Tabel 23. Bobot 100 biji (g) dua kultivar karabenguk pada berbagai rangka penjalar Penjalar
Kultivar Putih Gunungkidul
Tanpa Penjalar Jagung 0 Jagung 2 Jagung 4 Bambu
éêôîè ¾ èìôðì ¿¾ éíôïì ¾ éîôïê ¾ ééôîé ¾
Rase ïðîôèð ¿ èïôðç ¾ éëôíê ¾ éîôíì ¾ èèôêç ¿¾
Angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%
Tabel 23. menyatakan bahwa pada kultivar Rase, penggunaan penjalar jagung menyebabkan penurunan bobot 100 biji sedangkan penjalar bambu tidak menyebabkan penurunan yang nyata. Pada kultivar Putih Gunungkidul penggunaan penjalar tidak mempengaruhi bobot 100 biji. Kultivar Rase menghasilkan bobot 100 biji lebih tinggi hanya pada perlakuan tanpa penjalar sedangkan pada perlakuan lain tidak berbeda nyata. Pada variabel bagian vegetatif
dan hasil, antara musim dan penjalar
berinteraksi pada beberapa komponen yang disajikan pada Tabel 24. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 100-103, 105, 107, 108,110, 112 dan 114.
82
Tabel 24. Serapan NPK, diameter batang, beratkering brangkasan, indeks panen, hasil biji/tanaman, bobot 100 biji dan kadar protein dua musim tanam karabenguk pada berbagai rangka penjalar Ó«-·³
л²¶¿´¿®
Komponen vegetatif dan hasil karabenguk
Í»®¿°¿² ܳ¬ Þ¬ Þµ Þ®µ Ò ¹ñ¬¿² Ð ¹ñ¬¿² Õ ¹ñ¬¿² ³³ ¹ñ¬¿² Ø«¶¿² Ì¿²°¿Ð¶´ íôèë ¾ ðôìð ¾ îôïð ¾ ïìôêë¿ ïîêôðì ¾ Ø«¶¿² Ö¹Ñ èôêí ¿ ðôçç ¿ ìôêï ¿ ïêôîí¿ îèðôïî ¿ Ø«¶¿² Ö¹ î éôéë ¿ ðôèé ¿ ìôðé ¿ ïìôéî¿ îìêôìî ¿ Ø«¶¿² Ö¹ì èôèé ¿ ðôçé ¿ ìôéð ¿ ïìôçð¿ îéìôçï ¿ Ø«¶¿² Þ¿³¾« ëôðï ¾ ðôëì ¾ îôêë ¾ ïëôëí¿ ïëìôïð ¾ Õ»³¿®¿« Ì¿²°¿Ð¶´ ðôèè ½ ðôðé ½ ðôíê ½ èôîí ¾ ïçôíí ½ Õ»³¿®¿« Ö¹Ñ ïôïë ½ ðôðê ½ ðôíè ½ éôìé ¾ ïìôèð ½ Õ»³¿®¿« Ö¹ î ðôêð ½ ðôðì ½ ðôîï ½ ëôìë ½ çôïé ½ Õ»³¿®¿« Ö ¹ ì ðôíë ½ ðôðí ½ ðôïê ½ ìôðî ½ çôïç ½ Õ»³¿®¿« Þ¿³¾« ïôðï ½ ðôðë ½ ðôíì ½ èôïè ¾ ïîôçé ½
ײ¼»µÐ¿²»² ðôðêè ½ ðôðèë ½ ðôðèë ½ ðôðçè ½ ðôïðð ½ ðôîçð ¾ ðôìçí ¿ ðôìîð ¿ ðôîíé ¾ ðôëïî ¿
Þ ¾¶ñ¬¿² ø¹÷ ïïôêé ½¼ îçôíí ¿¾ îéôîç ¿¾ íëôíð ¿ îïôïð ¿¾½ èôêí ½¼ ïéôîè ¾½¼ éôçé ½¼ îôèí ¼ ïëôíî ¾½¼
Þïð𠾶 ø¹÷ èîôçë¿ èéôðé¿ èìôïé¿ èêôìé¿ èíôïï¿ çêôïí¿ éèôð꿾 êìôíí¾½ ëèôðí½ èîôèë¿
Ю±¬»·² û¾¾¶µ îèôê꿾 îèôîï¾ îèôê鿾 îèôçï¿ îèôìð¾ îéôìð½ îèôïè¾ îéôêí½ îéôêð½ îéôêì½
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Tanpa Pjl=tanpa penjalar, Jg=jagung, Dmt Bt=diameter batang. B bj/tan= berat biji per tanaman, B 100 bj= bobot 100 biji, BkBrk= Berat kering brangkasan.
Tabel 24. memperlihatkan bahwa serapan N, P dan K karabenguk yang ditanam pada musim hujan dengan penjalar jagung lebih tinggi dibanding penjalar bambu dan tanpa penjalar. Pada musim kemarau tidak terjadi beda nyata antar penjalar dan musim tanam. Tidak ada beda nyata antar penjalar pada diameter batang baik pada musim hujan maupun kemarau. Pada setiap penjalar, diameter batang musim hujan lebih besar dibanding musim kemarau. Sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi terjadi antar perlakuan musim tanam dan macam rangka penjalar pada variabel berat kering brangkasan per tanaman. Tabel 24. juga menunjukkan bahwa berat kering brangkasan per tanaman pada musim hujan, penjalar jagung meningkatkan berat kering brangkasan
83
karabenguk sedang hal tersebut tidak terjadi pada penjalar bambu. Pada musim kemarau, penjalar tidak meningkatkan berat kering brangkasan. Tabel 24. juga memperlihatkan bahwa indeks panen pada musim hujan tidak berbeda nyata antar penjalar. Pada musim kemarau, kecuali penjalar jagung 4 minggu, semua penjalar meningkatkan indeks panen. Musim tanam dan penjalar juga berinteraksi pada variabel hasil per tanaman. Tabel 24. memperlihatkan bahwa pada musim hujan, penjalar yang dicobakan meningkatkan hasil per tanaman. Pada musim kemarau, perbedaan rangka penjalar tidak menyebabkan beda nyata antar hasil per tanaman. Sidik ragam bobot 100 biji juga menunjukkan adanya interaksi antara perlakuan musim tanam dan rangka penjalar. Tabel 24. menunjukkan bahwa pada pertanaman musim hujan, tidak terjadi beda nyata antar bobot 100 biji. Pada musim kemarau, penjalar yang dicobakan tidak meningkatkan bobot 100 biji karabenguk. Pada musim hujan, penjalar jagung 4 minggu meningkatkan kadar protein biji karabenguk dibanding bersamaan tanam sedangkan pada musim kemarau, penjalar jagung bersamaan tanam mampu meningkatkan persentase protein biji. Indeks panen musim hujan lebih rendah dibanding musim kemarau. Hasil per tanaman tertinggi terjadi pada musim hujan pada penjalar jagung umur 4 minggu dan tidak berbeda nyata dengan penjalar jagung yang lain dan juga penjalar bambu. Bobot 100 biji pada pertanaman musim hujan dan musim kemarau dengan penjalar jagung bersamaan tanam lebih tinggi dibanding perlakuan lain. Pada musim hujan kandungan protein karabenguk dengan penjalar jagung 4 minggu tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan jagung 2 minggu dan tanpa penjalar. Dengan demikian dapat
84
disebutkan bahwa pada pertanaman musim hujan dengan penjalar jagung 4 minggu menghasilkan biji dengan kuantitas dan kualitas yang relative baik dicirikan protein yang tinggi, kadar air dan HCN yang rendah. Pada pertanaman musim kemarau, hasil per tanaman tidak berbeda nyata antar perlakuan. Bobot 100 biji lebih tinggi pada karabenguk dengan penjalar bambu dan tanpa penjalar, namun tidak berbeda nyata dengan penjalar karabenguk bersamaan tanam. Indeks panen lebih tinggi terjadi pada karabenguk dengan penjalar jagung bersamaan tanam dan umur 2 minggu serta penjalar bambu. Kandungan protein tertinggi terjadi pada karabenguk dengan penjalar jagung bersamaan tanam. Dengan demikian pada musim kemarau, pertanaman karabenguk yang ditanam bersamaan dengan jagung serta dengan penjalar bambu mampu menghasilkan biji dengan kualitas kandungan protein yang lebih baik. Rerata komponen yang tidak berinteraksi antara musim, kultivar dan atau penjalar, antar musim tanam disajikan pada Tabel 25. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 103-104 dan 106. Tabel 25. Ó«-·³ Ø«¶¿² Õ»³¿®¿«
Kadar klorofil daun, indeks luas daun dan beratkering brangkasan karabenguk pada 2 musim tanam berbeda Õ´±®±º·´ ³¹ñ½³î ïôìî ¿ ïôîê ¾
×ÔÜ ¬¿²¿³¿² «³«® í¾«´¿² êôìð ¿ ïôéë ¾
ÞµÞ®µ ¹ñ¬¿² îïêôíî ¿ ïíôðç ¾
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. ILD=indeks luas daun, BkBrk=berat kering brangkasan. Perbedaan musim tanam menyebabkan beda nyata pada kandungan klorofil, indeks luas daun dan berat kering brangkasan. Tabel 25. memperlihatkan bahwa nilai
85
ke 3 komponen vegetatif tersebut pada musim hujan lebih tinggi dibanding musim kemarau. Air yang cukup pada musim hujan menyebabkan kebutuhan tanaman akan air dan hara tercukupi dan pertumbuhan vegetatif lebih baik. Rerata komponen yang tidak berinteraksi antara musim, kultivar dan atau penjalar,
antar kultivar disajikan pada Tabel 26. Sidik ragam disajikan pada
Lampiran 100-101 dan 103-107. Tabel 26. Serapan N dua kultivar karabenguk Õ«´¬·ª¿® Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ο-»
Í»®¿°¿² Òø¹ñ¬¿²÷ íôìê ¾ ìôïê ¿
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5% Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan kultivar menyebabkan beda nyata pada variabel serapan N. Tabel 26. memperlihatkan bahwa serapan N pada kultivar Rase lebih tinggi dibanding kultivar Putih Gunungkidul. Rerata komponen yang tidak berinteraksi antara musim, kultivar dan atau penjalar, antar rangka penjalar disajikan pada Tabel 27. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 103-104, 106 dan 109. Tabel 27. Berat kering brangkasan karabenguk pada berbagai rangka penjalar ο²¹µ¿ л²¶¿´¿® Ì¿²°¿ л²¶¿´¿® Ö¿¹«²¹ ð Ö¿¹«²¹ î Ö¿¹«²¹ ì Þ¿³¾«
Þ»®¿¬µ»®·²¹ Þ®¿²¹µ¿-¿² ¹ñ¬¿² éîôêç ¾ ïìéôìê ¿ ïîéôéç ¿ ïìîôðë ¿ èíôëì ¾
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%.
86
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan macam rangka penjalar menyebabkan beda nyata pada variabel berat kering brangkasan per tanaman. Tabel 27. menunjukkan bahwa berat kering brangkasan per tanaman pada rangka penjalar jagung lebih tinggi dibanding penjalar bambu dan tanpa rangka penjalar.
Hubungan antar komponen vegetatif dan hasil karabenguk. Pada Tabel 21, kultivar Rase pada musim hujan dengan penjalar bambu menghasilkan berat biji total tertinggi diikuti perlakuan lain. Hal ini berhubungan dengan kerapatan karabenguk yang tinggi 2 kali lipat dibanding perlakuan dengan penjalar jagung akibat penggantian tanaman jagung dengan karabenguk. Bila dilihat hasil per tanaman pada Tabel 22, perlakuan musim hujan dan kultivar Rase memberikan berat biji paling tinggi. Tabel 24 memperlihatkan bahwa berat biji per tanaman pada musim hujan tertinggi dengan penjalar jagung 4 minggu dan tidak berbeda nyata dengan penjalar jagung yang lain dan penjalar bambu. Kultivar Putih Gunungkidul pada musim kemarau dengan penjalar bambu menghasilkan berat hasil biji total tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan kultivar Rase dengan penjalar bambu dan jagung bersamaan tanam. Seperti halnya pada musim hujan hal ini berhubungan dengan kerapatan karabenguk yang tinggi 2 kali lipat dibanding perlakuan dengan penjalar jagung. Pada musim kemarau, hasil per tanaman tertinggi dicapai oleh penjalar jagung bersamaan tanam yang tidak berbeda nyata dengan penjalar bambu. Tingginya hasil kultivar Rase
menggunakan penjalar bambu (Tabel 21.)
didukung oleh bobot 100 biji yang tinggi (Tabel 23., Lampiran 180). Hasil per
87
tanaman yang tinggi pada kultivar Rase musim hujan (Tabel 22.) juga didukung oleh serapan K yang lebih tinggi dibanding perlakuan lain (Lampiran 183). Hasil per tanaman yang tinggi pada musim hujan dengan penjalar jagung terutama 4 minggu juga didukung oleh tingginya serapan NPK dan berat kering brangkasan (Tabel 24., Lampiran 183.). Hasil karabenguk yang tingginya pada musim penghujan juga disebabkan oleh pertumbuhan vegetatif yang tercermin pada ILD, kandungan klorofil dan berat kering brangkasan yang lebih tinggi (Tabel 25., Lampiran 180.). Hasil yang tinggi pada kultivar Rase berhubungan erat dengan tingginya serapan N dan P (Lampiran 183.). Hasil per tanaman yang tinggi pada penjalar jagung juga berhubungan dengan tingginya berat brangkasan per tanaman (Lampiran 181). Untuk melihat kualitas hasil, diamati kandungan protein (Tabel 22.), kadar air biji saat panen dan kadar HCN ( Tabel 21 ). Pada musim kemarau, baik untuk kultivar Rase maupun Putih Gunungkidul, penggunaan penjalar meningkatkan kadar air biji. Peningkatan kadar air biji pada musim hujan terjadi kecuali pada kultivar Rase dengan penjalar bambu dan jagung bersamaan tanam sedangkan pada kultivar Putih Gunungkidul penggunaan semua penjalar menurunkan kadar air biji. Kadar HCN terendah kultivar Rase dan Putih Gunungkidul pada musim hujan adalah pada penjalar jagung 4 minggu. Pada kultivar Rase musim kemarau, penggunaan penjalar meningkatkan kadar HCN kecuali jagung bersamaan tanam
sedang pada kultivar Putih Gunungkidul semua penjalar meningkatkan kadar HCN.
88
Kadar Protein tertinggi adalah kultivar Rase pada musim hujan. Pada musim hujan kadar protein tinggi diperoleh pada tanaman dengan penjalar jagung 4 minggu sedang pada musim kemarau pada tanaman dengan penjalar jagung bersamaan tanam. Untuk mengetahui hubungan antar komponen pengamatan, Lampiran 180 menyajikan koefisien korelasi antar komponen. Hasil biji ternyata berhubungan erat dengan berbagai komponen yang diamati kecuali indeks panen, kandungan HCN dan kadar air biji. Indeks panen tidak berhubungan erat dengan hasil biji menunjukkan bahwa daya tarik tempat simpan antar tanaman cukup bervariasi. Kandungan HCN dan kadar air biji merupakan parameter kualitas hasil, sedangkan hasil biji merupakan parameter kuantitas. Dengan demikian ada indikasi bahwa meningkatnya kuantitas hasil tidak selalu diiringi dengan meningkatnya kualitas hasil biji.
2. Komponen bagian vegetatif dan hasil rata-rata per hari karabenguk Komponen bagian vegetatif dan hasil rata-rata harian karabenguk diperoleh dengan membagi masing-masing komponen dengan umur tanaman di lapangan, untuk musim hujan 212 hari dan musim kemarau 106 hari. Anova disajikan pada Lampiran 116 sampai 122. Musim yang berinteraksi dengan penjalar dari masing-masing komponen tersebut disajikan pada Tabel 28. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 116 – 119 dan
121- 122.
89
Tabel 28. Serapan NPK, berat kering brangkasan dan hasil biji rata-rata per hari pada dua musim tanam pada berbagai rangka penjalar Ó«-·³
л²¶¿´¿®
Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿«
Ì¿²°¿ ж´ Ö¿¹«²¹ Ñ Ö¿¹«²¹ î Ö¿¹«²¹ ì Þ¿³¾« Ì¿²°¿ ж´ Ö¿¹«²¹ Ñ Ö¿¹«²¹ î Ö¿¹«²¹ ì Þ¿³¾«
Ò ¹ñ¬¿² ðôðïèî ½¼ ðôðìðé ¿¾ ðôðíêë ¾ ðôðìïç ¿ ðôðîíê ½ ðôððèí ½¼ ðôðïðè ½ ðôððëê ¼» ðôððíí » ðôððçë ½¼
Í»®¿°¿² ø¹÷ Ð ¹ñ¬¿² Õ ¹ñ¬¿² ðôïçç ¾½ ðôðïðî ¾½ ðôìíë ¿ ðôðîîì ¿ ðôíçç ¿ ðôðîðë ¿ ðôìëï ¿ ðôðîíï ¿ ðôîëê ¾ ðôðïíï ¿¾ ðôðèí ½¼ ðôððìî ½¼ ðôðçì ¼ ðôððìè ½¼ ðôðëï ¼ ðôððîê ½¼ ðôðíë ¼ ðôððïè ¼ ðôðèî ¼ ðôððîî ¼
Þµ Þ®µ ¹ñ¬¿² ðôëçë ¾½ ïôíîï ¿ ïôïêî ¿ ïôîçé ¿ ðôéîé ¾ ðôïèî ½¼ ðôïìð ¼ ðôðèê ¼ ðôðèé ¼ ðôïîî ¼
Þ Þ¶ ¹ ñ¬¿² ðôðëë ½ ðôïíè ¾½ ðôïîç ¾½ ðôïêê ¾ ðôðçç ¾½ ðôðèï ¾½ ðôïêí ¿ ðôðéë ¾½ ðôðîé ¾½ ðôïìë ¿
Ø-´Þ¶ ¹ ñí³î ðôêêï ¿ ðôèîç ¿ ðôééî ¿ ðôççç ¿ ïôïçì ¿ ðôçéê ¾ ðôçéè ½ ðôìëï ½ ðôïêð ½ ïôéíì ¾½
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. BkBrk= berat kering brangkasan, B Bj=berat biji, HslBj=berat hasil biji, Pjl=penjalar
Antara musim tanam dan penjalar berinteraksi pada variabel hasil biji per tanaman rata-rata / hari. Tabel 28. memperlihatkan bahwa pada musim hujan terjadi beda nyata antar perlakuan penjalar. Berat biji per tanaman rata-rata / hari pada penjalar jagung umur 4 minggu tertinggi, lebih tinggi dibanding tanpa penjalar, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lain. Pada musim kemarau, perbedaan rangka penjalar juga menyebabkan beda nyata antar hasil per tanaman rata-rata harian. Penjalar jagung bersamaan tanam tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan penjalar bambu namun memberikan hasil per tanaman rata-rata per hari lebih tinggi dibanding tanpa penjalar, penjalar jagung umur 2 minggu dan penjalar jagung umur 4 minggu. Hasil rata-rata / hari pada musim hujan tidak terjadi beda nyata antar perlakuan penjalar. Pada musim kemarau, perbedaan rangka penjalar menyebabkan beda nyata antar hasil biji / tanaman. Penjalar bambu memberikan hasil rata-rata
90
harian tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan jagung bersamaan tanam dan tanpa rangka penjalar diikuti penjalar jagung umur 2 minggu dan penjalar jagung umur 4 minggu. Sidik ragam juga menunjukkan bahwa interaksi terjadi antar perlakuan musim tanam dan macam rangka penjalar pada variabel berat kering brangkasan per tanaman rata-rata harian. Tabel 28. juga menunjukkan bahwa penjalar jagung meningkatkan berat kering brangkasan per tanaman rata-rata harian pada musim hujan. Pada musim kemarau, antar perlakuan penjalar tidak berbeda nyata. Sidik ragam menunjukkan bahwa ada interaksi antar musim tanam dan penjalar pada variabel serapan N, P dan K rata-rata harian. Tabel 28 memperlihatkan bahwa penjalar jagung meningkatkan serapan N, P dan K pada musim hujan, tertinggi pada penjalar jagung 4 minggu tidak berbeda nyata dengan penjalar jagung bersamaan tanam. Pada musim kemarau, serapan tertinggi terjadi pada jagung bersamaan tanam meskipun tidak berbeda nyata dengan sebagian perlakuan lain. Pada musim hujan, penjalar meningkatkan hasil biji per tanaman, berat kering brangkasan kecuali penjalar bambu dan serapan NPK. Hasil biji per tanaman harian tertinggi dicapai pada musim kemarau dengan penjalar jagung bersamaan tanam dan bambu. Bobot kering brangkasan tertinggi dicapai pada karabenguk dengan penjalar jagung. Untuk serapan N tertinggi pada karabenguk dengan penjalar jagung umur 4 minggu yang tidak berbeda nyata dengan jagung bersamaan tanam. Serapan K tertinggi adalah karabenguk dengan penjalar jagung, dan tidak berbeda nyata dengan
karabenguk berpenjalar bambu.
91
Adapun variabel bagian vegetatif dan hasil rata-rata harian yang berinteraksi antara musim dan kultivar adalah hasil biji dan serapan P. Kombinasi hal tersebut disajikan pada Tabel 29. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 117. dan 122.
Tabel 29. Serapan P dan hasil biji rata-rata / hari pada 2 musim tanam dan kultivar berbeda Ó«-·³ Ø«¶¿² Ø«¶¿² Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿«
Õ«´¬·ª¿® Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ο-» Ы¬·¸Ù«²«²¹µ·¼«´ ο-»
Í»®¿°¿² Ð îôèç ìôðé ðôìç ðôèç
ø³¹ñ¬¿²÷ ¾ ¿ ¾ ¾
Þ»®¿¬ Ø¿-·´ Þ·¶· ø¹ñí³n÷ ðôêîð ¾ ïôïêí ¿ ðôèíï ¾ ðôèèç ¾
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%
Tabel 29. menunjukkan bahwa pada musim hujan, kultivar Rase memiliki hasil biji rata-rata / hari yang lebih tinggi secara nyata dibanding kultivar Putih Gunungkidul. Pada musim kemarau, kultivar Rase juga memiliki hasil biji per tanaman yang lebih tinggi namun tidak berbeda nyata.
Kultivar Rase memiliki
serapan P yang cenderung lebih tinggi dibanding kultivar Putih Gunungkidul. Demikian juga pada musim kemarau. Rerata komponen hasil rata-rata harian yang tidak berinteraksi antara musim, kultivar dan atau penjalar, antar musim tanam, kultivar dan penjalar disajikan pada
Tabel 30. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 116, 118-120 dan 122.
92
Tabel 30. Serapan N dan K, beratkering brangkasan dan hasil biji per tanaman ratarata / hari antar musim, kultivar dan penjalar a. Berat kering brangkasan rata-rata per hari pada musim hujan dan kemarau Þ»®¿¬ µ»®·²¹ Þ®¿²¹µ¿-¿² rata-rata per hari ¹ ñí³î л®´¿µ«¿² Ó«-·³
Ø«¶¿² Õ»³¿®¿«
éôéðè ¿ ïôïðé ¾
Angka diikuti huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasar DMRT 5% b. Serapan N dan K, dan hasil biji per tanaman rata-rata / hari kultivar Rase dan Putih Gunungkidul л®´¿µ«¿² Õ«´¬·ª¿® Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ο-»
Í»®¿°¿² Ò ¹ñ¬¿² ðôðïè ¾ ðôðîî ¿
Õ ¹ñ¬¿² ðôððç ¾ ðôðïî ¿
Þ»®¿¬ Ø¿-·´ Þ·¶· ¹ ñÌ¿²¿³¿² ðôðèç ¾ ðôïîé ¿
Dalam kolom, angka diikuti huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasar DMRT 5% c. beratkering brangkasan per petak rata-rata / hari antar penjalar Perlakuan Berat kering Brangkasan g /3m2 Tanpa Penjalar 4,662 a Penjalar Jagung O 4,383 ab Jagung 2 3,746 b Jagung 4 4,150 ab Bambu 5,095 a Angka diikuti huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasar DMRT 5%
Sidik ragam juga menunjukkan bahwa terjadi beda nyata antar perlakuan musim tanam pada variabel berat kering brangkasan per petak. Tabel 30a juga menunjukkan bahwa berat kering brangkasan rata-rata / hari pada musim hujan lebih tinggi dibanding musim kemarau. Perbedaan kultivar menyebabkan beda nyata pada variabel serapan N dan K. Tabel 30b memperlihatkan bahwa serapan N dan K pada Kultivar Rase lebih tinggi dibanding Kultivar Putih Gunungkidul. Hasil biji per tanaman rata-rata / hari pada kultivar Rase lebih tinggi dibanding kultivar Putih Gunungkidul.
93
Sidik ragam menunjukkkan bahwa terjadi beda nyata antar perlakuan rangka penjalar pada variabel berat kering brangkasan rata-rata / hari. Tabel 30c
juga
menunjukkan bahwa berat kering brangkasan pada rangka penjalar jagung 2 minggu lebih rendah dibanding penjalar bambu dan tanpa rangka penjalar. Rendanya berat kering brangkasan dengan penjalar jagung disebaban kerapatan karabenguk hanya separoh dibanding tanpa penjalar dan penjalar bambu. Hubungan antar komponen vegetatif dan hasil rata-rata harian. Berat biji per tanaman pada musim hujan dengan penjalar jagung 4 minggu lebih tinggi dibanding tanpa penjalar. Hal tersebut didukung oleh tingginya berat kering brangkasan per tanaman dan serapan N, P dan K. Pada musim kemarau, hasil per tanaman tertinggi dicapai dengan penjalar jagung bersamaan tanam dan tidak berbeda nyata dengan penjalar bambu dan kontrol. Hal tersebut juga didukung oleh tingginya serapan N ( Tabel 28 ). Kultivar Rase pada musim hujan menghasilkan biji per petak lebih tinggi dibanding kultivar Putih Gunungkidul, sedang pada musim kemarau hal tersebut tidak berbeda nyata. Hal tersebut juga didukung oleh serapan P ( Tabel 29 ). Berat brangkasan per petak pada musim hujan juga lebih tinggi dibanding musim kemarau ( Tabel 30a ). Hasil biji kultivar Rase lebih tinggi dibanding kultivar Putih Gunungkidul. Hal ini juga didukung oleh serapan N dan K ( Tabel 30b ). Berat brangkasan per petak pada kontrol dan penjalar bambu lebih tinggi
dibanding penjalar jagung 2 minggu ( Tabel 30c ).
94
3. Komponen bagian Vegetatif dan Hasil Jagung
Ada 4 variabel yang diamati untuk melihat komponen bagian vegetatif dan hasil jagung yaitu berat kering brangkasan jagung, hasil biji, bobot 100 biji dan hasil biji per tanaman. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 123 hingga 127. Dari 4 variabel tersebut yang berinteraksi antar musim dan kultivar penjalar adalah bobot 100 biji jagung. Hal tersebut disajikan pada Tabel 31. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 126. Tabel 31. Bobot 100 biji jagung pada interaksi musim tanam dan kultivar karabenguk pada berbagai rangka penjalar Ó«-·³ Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿«
Õ«´¬·ª¿® µ¿®¿¾»²¹«µ ŠÖ¿¹«²¹ Ö¿¹«²¹ Õ«´¬·ª¿® Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ó Ö¿¹«²¹ ð Õ«´¬·ª¿® Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ó Ö¿¹«²¹ î Õ«´¬·ª¿® Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ó Ö¿¹«²¹ ì Õ«´¬·ª¿® ο-» ó Ö¿¹«²¹ ð Õ«´¬·ª¿® ο-» ó Ö¿¹«²¹ î Õ«´¬·ª¿® ο-» ó Ö¿¹«²¹ ì Ö¿¹«²¹ Õ«´¬·ª¿® Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ó Ö¿¹«²¹ ð Õ«´¬·ª¿® Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ó Ö¿¹«²¹ î Õ«´¬·ª¿® Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ó Ö¿¹«²¹ ì Õ«´¬·ª¿® ο-» ó Ö¿¹«²¹ ð Õ«´¬·ª¿® ο-» ó Ö¿¹«²¹ î Õ«´¬·ª¿® ο-» ó Ö¿¹«²¹ ì
Þ±¾±¬ ïðð¾·¶· ø ¹ ÷ ïëôìê ¹¸ ïîôêè ¸ îïôîé ½¼» îèôðé ¿ ïêôïí º¹¸ îìôéí ¿¾½ îëôçï ¿¾ ïêôèí »º¹¸ îïôíï ½¼» ïçôçì ¼»º¹ îðôïç ½¼»º ïçôîï ¼»º¹ ïçôëë ¼»º¹ îîôèì ¾½¼
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%
Antara musim dan gabungan kultivar penjalar berinteraksi pada variabel bobot 100 biji. Tabel 31. memperlihatkan bahwa pada musim hujan, bobot 100 biji tertinggi jagung 4 minggu pada kultivar karabenguk Putih Gunungkidul, tidak berbeda nyata dengan jagung 4 minggu dan 2 minggu pada kultivar Rase. Perlakuan lain
95
menghasilkan bobot 100 biji yang rendah, termasuk kontrol yang berupa tanaman monokultur. Pada musim kemarau, bobot 100 biji tertinggi jagung umur 4 minggu pada kultivar Putih Gunungkidul, tidak berbeda nyata dengan perlakuan lain namun lebih tinggi secara nyata dibanding kontrol yang berupa jagung monokultur. Hal ini menunjukkan interaksi positif, pertanaman karabenguk mampu meningkatkan bobot 100 biji jagung sebagai penjalarnya. Pada komponen bagian vegetatif dan hasil jagung, tidak ada beda nyata antar hasil jagung. Hal tersebut disajikan pada Tabel 32. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 124 dan 125.
Tabel 32. Berat hasil jagung pada 2 musim tanam berbeda Ó«-·³ Ø«¶¿² Õ»³¿®¿«
Þ»®¿¬ Ø¿-·´ Þ·¶· Ö¿¹«²¹ ¹ ñ í³î îìêôèð ¿ íðèôðé ¿
¹ ñ ¬¿² íéôèð ¿ ìéôìë ¿
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Brangkasan jagung 0 karena tidak dapat dipanen, menyatu dengan brangkasan karabenguk.
Perbedaan musim tanam tidak mengubah secara nyata hasil per petak dan hasil per tanaman jagung. Tabel 32. memperlihatkan bahwa hasil jagung musim kemarau lebih tinggi dibanding musim hujan meskipun tidak berbeda nyata. .Dari
variabel yang diamati, terjadi perbedaan nyata antar perlakuan
gabungan kultivar penjalar pada variabel hasil biji, dan berat brangkasan per petak. Hal tersebut disajikan pada Tabel 33. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 123
sampai 125.
96
Tabel 33. Berat brangkasan dan hasil jagung 2 kultivar karabenguk pada saat tanam berbeda л®´¿µ«¿² Ö¿¹«²¹ Ь¹µóÖ¹ ð Ь¹µóÖ¹ î Ь¹µóÖ¹ ì Î-óÖ¹ ð Î-óÖ¹ î Î-óÖ¹ ì
Þ»®¿¬ µ»®·²¹ Þ®¿²¹µ¿ó -¿² Ö¿¹«²¹ ¹ ñ í³î ïéêôèì ¿ ïîìôèî ¿ ïëçôíë ¿ ïììôçð ¿ çìôéï ¿ ïìèôëê ¿ ïêçôçé ¿
Þ»®¿¬ Ø¿-·´ Þ·¶· Ö¿¹«²¹ ¹ ñ í ³î ¹ñ¬¿² íïêôïî ¿¾ îêôêð ¾½ ïèîôðê ¾½ íïôïê ¾½ îéðôçé ¿¾½ ìëôïê ¾ íèçôêç ¿ êìôçë ¿ ïìèôìç ½ îìôéí ½ îëìôîê ¿¾½ ìîôíè ¾½ íèðôìé ¿ êíôìï¿
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Jg = jagung, PtGk= Putih Gunungkidul, Rs=Rase
Perbedaan kultivar karabenguk dan saat tanam penjalar mengubah secara nyata hasil jagung per petak dan per tanaman. Tabel 33. memperlihatkan bahwa baik pada kultivar Rase maupun Putih Gunungkidul, hasil jagung tertinggi adalah pada saat tanam 4 minggu, tidak berbeda nyata dengan saat tanam 2 minggu dan kontrol jagung monokultur. Berat jagung per tanaman lebih tinggi pada saat tanam 4 minggu diikuti saat tanam 2 minggu yang tidak berbeda nyata dengan kontrol monokultur dan bersamaan tanam pada kultivar Putih Gunungkidul, kemudian kultivar Rase dengan jagung bersamaan tanam. Hal tersebut menunjukkan adanya kerjasama yang baik pertanaman karabenguk terhadap jagung, terutama bila jagung ditanam 4 minggu sebelum karabenguk. Perbedaan kultivar karabenguk dan saat tanam tidak mengubah berat kering brangkasan jagung secara nyata. Tabel 33. menunjukkan bahwa berat kering brangkasan jagung monokultur tertinggi diikuti kultivar Rase dengan jagung 4 minggu, kultivar Putih Gunungkidul dengan jagung umur 2 minggu, kultivar Rase dengan jagung umur 2 minggu, kultivar Putih Gunungkidul dengan jagung 4 minggu,
97
kultivar Putih Gunungkidul dengan jagung bersamaan tanam dan kultivar Rase dengan jagung bersamaan tanam.
Hubungan antar komponen hasil jagung. Hasil jagung musim kemarau lebih tinggi dibanding musim hujan namun tidak berbeda nyata ( Tabel 32 ). Hasil jagung per petak tertinggi adalah pada saat tanam 4 minggu, tidak berbeda nyata dengan saat tanam 2 minggu dan kontrol jagung monokultur ( Tabel 33 ). Hubungan antar komponen hasil jagung disajikan pada Lampiran 181. Antar komponen hasil jagung ternyata berhubungan erat. Antara hasil, bobot brangkasan, bobot 100 biji dan hasil per tanaman saling mempengaruhi. Bobot brangkasan yang semakin tinggi mencerminkan pertumbuhan yang leih baik diikuti meningkatnya bobot 100 biji, hasil per tanaman dan akhirnya hasil per satuan luas.
4. Komponen tumpangsari dan keharaan tanah
Pada komponen ini diamati 9 variabel yaitu ATER ( area time equivalent ratio / nisbah kesetaraan lahan dan waktu ), serapan N, serapan P, serapan K, bahan organik tanah setelah pertanaman, nisbah C/N, N total, P total dan K total tanah. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 127 sampai 135. Adapun variabel yang berinteraksi antara musim dan gabungan kultivar penjalar ada 5 komponen yaitu serapan N, serapan P dan serapan K, persentase unsur hara tanah yang berupa P total dan K total. Hal tersebut disajikan pada Tabel 34. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 128 sampai 130, 134 dan 135.
98
Tabel 34.
Serapan NPK dan kandungan unsur P dan K tanah pada 2 musim tanam dan kultivar karabenguk pada berbagai rangka penjalar
Ó«-·³
Õ«´¬·ª¿® ó л²¶¿´¿® Ö¹ Ьٵ Ì Ð¶´ Ьٵ Ö¹ð Ьٵ Ö¹î Ьٵ Ö¹ì Ьٵ Þ¾ Î- Ì Ð¶´ Î- Ö¹ð Î- Ö¹î Î- Ö¹ì Î- Þ¾ Ö¹ Ьٵ Ì Ð¶´ Ьٵ Ö¹ð Ьٵ Ö¹î Ьٵ Ö¹ì Ьٵ Þ¾ Î- Ì Ð¶´ Î- Ö¹ð Î- Ö¹î Î- Ö¹ì Î- Þ¾
Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿«
Ò ïíôéð ¼» ïìôðè » îïôíî ¿¾½¼ ïèôðç ¾½¼ îêôðê ¿¾½ ïêôíê ¾½¼ ïêôéï ¾½¼ ïèôðí ¾½¼ îìôðë ¿¾½¼ îçôçç ¿ îíôéí ¿¾½¼ ïëôîè ½¼ îôëé º îïôêí ¿¾½¼ îëôïç ¿¾½ îíôêí ¿¾½¼ íôëç º ìôìê »º ïêôîð ¾½¼ îîôíè ¿¾½¼ îêôìì ¿¾ ìôìë »º
Í»®¿°¿² ¹ñ³î Ð Õ ðôðê ½ íôèì ¼» ïôéë ¿¾ éôîï ½¼ îôíð ¿¾ ïðôïê ¿¾½ ïôêè ¿¾ èôïì ½ ïôçî ¿¾ ïðôéï ¿¾½ îôðë ¿¾ èôìï ½ ïôèï ¿¾ çôëè ¿¾½ ïôêè ¿¾ çôìð ¿¾½ ïôèè ¿¾ ïïôîí ¿¾½ îôðç ¿¾ ïíôïï ¿ îôíî ¿¾ ïîôèð ¿¾ ðôðé ½ ìôîè ¼» ðôîð ½ ïôïî » îôðð ¿¾ îôëí » îôìê ¿ îôìð » îôîé ¿¾ îôìê » ðôïé ½ ïôîì » ðôíê ½ ïôéí » ïôíî ¾ èôèé ¾½ ïôçé ¿¾ ïïôðì ¿¾½ îôîî ¿¾ ïðôêì ¿¾½ ðôîí ½ ïôìé »
˲-«® ¸¿®¿ ¬¿²¿¸ û Р̱¬ Õ Ì±¬ ïïôêð ¿¾ ðôîì ¾½¼» ïíôèè ¿ ðôíì ¿ çôïï ½¼» ðôîé ¾ éôíè »º¹ ðôîï ¾½¼»º¹ èôîï »º¹ ðôîé ¾ ïðôéç ¾½¼ ðôîí ¾½¼»º ïîôíì ¿¾ ðôîë ¾½¼ èôëé ¼»º ðôîì ¾½¼» çôïé ½¼» ðôîî ¾½¼»º¹ èôìì ¼»º¹ ðôîé ¾ ïïôíî ¾½ ðôîê ¾½ êôð𠺹 ðôîï ¾½¼»º¹ éôëì »º¹ ðôïè »º¹ éôèè »º¹ ðôïè »º¹ éôïì »º¹ ðôîð ½¼»º¹ èôëè ¼»º ðôðè »º¹ èôèè ½¼» ðôïê º¹ êôëî »º¹ ðôïç ¼»º¹ êôéè »º¹ ðôîï ¾½¼»º¹ ëôçï ¹ ðôïê ¹ êôèç »º¹ ðôîð ¼»º¹ èôïè »º¹ ðôïç ¼»º¹
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Jg = jagung, PtGk= Putih Gunungkidul, Rs = Rase, T Pjl=tanpa penjalar, Bb=bambu
Serapan N, P dan K berinteraksi antara musim dan gabungan kultivar penjalar. Tabel 34. menunjukkan bahwa pada musim hujan, kultivar Rase dengan penjalar jagung 4 minggu menghasilkan serapan N tertinggi. Hal tersebut tidak berbeda nyata dengan kultivar Rase berpenjalar jagung 2 minggu, penjalar bambu, kultivar Putih Gunungkidul bersamaan tanam dan umur 4 minggu. Jagung monokultur dan kultivar Putih Gunungkidul tanpa penjalar memiliki serapan N terrendah. Pada musim kemarau, kultivar Rase dengan penjalar jagung umur 2 dan 4 minggu serta kultivar
99
Putih Gunungkidul pada semua pertanaman dengan penjalar jagung memiliki Serapan N tertinggi. Serapan N terrendah terjadi pada kontrol tanpa penjalar dan penjalar bambu. Pada musim hujan tidak terjadi beda nyata antar serapan P, namun serapan P karabenguk monokultur dan tumpangsari lebih tinggi dibanding jagung monokultur. Pada musim kemarau, tumpangsari menyebabkan serapan P lebih tinggi dibanding monokultur baik jagung maupun karabenguk. Meskipun tidak berbeda nyata, kultivar Rase menyerap hara K lebih tinggi baik pada musim kemarau maupun hujan, terutama pada tanaman jagung sebagai tumpangsari. Kandungan hara tanah setelah percobaan menghasilkan interaksi antara musim tanam dengan kultivar penjalar. Tabel 34 memperlihatkan bahwa pada musim hujan,
P tanah tertinggi terjadi pada Kultivar Rase tanpa penjalar dan jagung
monokultur. Pada musim kemarau, hara P tertinggi terjadi pada Kultivar Putih Gunungkidul dengan penjalar bambu dan tidak berbeda nyata dengan penjalar jagung 4 minggu. Kultivar Putih Gunungkidul tanpa penjalar memberikan K total tanah paling tinggi dibanding perlakuan lain. Pada musim kemarau, tidak ada beda nyata antar semua perlakuan. Pada komponen tumpang sari dan tanah ini, variabel yang tidak berinteraksi antar musim tanam dan gabungan kultivar penjalar adalah ATER, bahan organik tanah, %N total dan nisbah C/N. Hal tersebut disajikan pada Tabel 35. Sidik ragam
disajikan pada Lampiran 127, 131-133.
100
Tabel 35. ATER, bahan organik tanah dan nisbah C/N pada musim tanam berbeda. Ó«-·³ Ø«¶¿² Õ»³¿®¿«
ßÌÛÎ ïôéë ¿ ïôìî ¿
¾¿¸¿² ±®¹¿²·µ ¬¿²¿¸ øû÷ ðôçé ¿ ðôêë ¾
ÝñÒ êôèç ¿ ëôïí ¾
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. ATER=nisbah kesetaraan lahan dan waktu, BO=bahan organik. Perbedaan musim tanam menyebabkan perbedaan kadar bahan organik tanah. Tabel 39 menunjukkan bahwa kadar bahan organik tanah pada musim hujan lebih tinggi dibanding musim kemarau. Hal ini disebabkan karena perbedaan umur tanaman. Umur tanaman karabenguk musim hujan 2 kali karabenguk musim kemarau sehingga menghasilkan bahan organik yang lebih banyak, akhirnya menghasilkan serasah yang lebih banyak, dan bahan organik mentah yang masuk ke tanah juga menjadi lebih banyak. Antar musim menyebabkan perbedaan nyata pada nisbah C/N. Tabel 35 juga memperlihatkan bahwa nisbah C/N musim hujan lebih tinggi dibanding musim kemarau. Hal ini disebabkan banyaknya hancuran serasah di permukaan tanah, menyebabkan jumlah bahan organik mentah belum terdekomposisis yang masuk ke tanah lebih tinggi sehingga nisbah C/N pada pertanaman musim hujan juga lebih tinggi. Perlakuan yang tidak berinteraksi antara musim dan kultivar penjalar namun berbeda nyata antar kultivar-penjalar adalah ATER. Hal tersebut disajikan pada Tabel
36. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 127, 131-133.
101
Tabel 36. ATER pada 2 kultivar karabenguk dengan berbagai rangka penjalar Õ«´¬·ª¿® л²¶¿´¿®
ßÌÛÎ
Ö¿¹«²¹ Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ŠÖ¿¹«²¹ ð Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ó Ö¿¹«²¹ î Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ó Ö¿¹«²¹ ì Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ óÞ¿³¾« Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´óÌ¿²°¿ л²¶¿´¿® ο-» ó Ö¿¹«²¹ ð ο-» ó Ö¿¹«²¹ î ο-» ó Ö¿¹«²¹ ì ο-» óÞ¿³¾« ο-» ŠÌ¿²°¿ л²¶¿´¿®
ðôéë ½ îôîç ¿¾ ïôëê ¿¾½ îôðç ¿¾ ïôðð ¾½ ïôðð ¾½ ïôçê ¿¾½ îôîé ¿¾ îôëï ¿ ïôðð ¾½ ïôðð ¾½
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. ATER=nisbah kesetaraan lahan dan waktu.
Macam kultivar karabenguk dan perbedaan penjalar menyebabkan perbedaan ATER. Tabel 36. menunjukkan bahwa kultivar Rase dengan penjalar jagung 4 minggu menghasilkan ATER tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan penjalar jagung umur 2 minggu dan bersamaan tanan. Pada kultivar Putih Gunungkidul, penjalar jagung bersamaan tanam, umur 4 minggu dan 2 minggu lebih tinggi secara nyata dibanding penjalar bambu dan tanaman monokultur. Baik kultivar Rase maupun Putih Gunungkidul, ATER tertinggi terjadi pada penjalar jagung umur 4 minggu, penjalar bambu, tanpa penjalar dan penjalar jagung bersamaan tanam khusus untuk kultivar Putih Gunungkidul. Dengan demikian
penjalar jagung umur 4 minggu, sangat sesuai untuk karabenguk.
102
Hubungan antar komponen tumpangsari dan keharaan tanah Nisbah kesetaraan lahan dan waktu pada musim hujan lebih tinggi namun tidak berbeda nyata dibanding musim kemarau ( Tabel 35 ). Hal tersebut berhubungan dengan tingginya hasil dan umur tanaman musim hujan. Umur karabenguk musim hujan yang panjang dengan produksi bahan organik yang tinggi akan menambah hara belum terdekomposisi ke tanah dalam jumlah yang lebih besar. Pada kultivar Rase maupun Putih Gunungkidul, penjalar jagung meningkatkan ATER. Hal tersebut disebabkan hasil jagung yang lebih tinggi pada perlakuan tersebut. Baik pada musim hujan maupun kemarau, kultivar Rase maupun Putih Gunungkidul, penjalar jagung 4 minggu menggunakan N dan K dengan serapan tertinggi. Memang P total dan K total tanah tersisa tertinggi pada musim hujan tanpa penjalar (Tabel 34). Hubungan antar ATER, serapan N, P dan K disajikan pada Lampiran 182. Ternyata antar komponen pada Tabel tidak saling mempengaruhi. Tidak ada hubungan nyata antara ATER, serapan N, P dan K.
5. Penjalar tanaman tahunan sebagai pembanding Dari berbagai percobaan sebelumnya diketahui bahwa pada musim hujan penjalar jagung 4 minggu dan bambu memberikan hasil lebih baik. Untuk melihat hasil pada kedua perlakuan tersebut apakah mampu menyamai hasil karabenguk dengan penjalar tanaman menahun, pembandingan karabenguk dengan penjalar tanaman semusim dan tanaman keras dilakukan. Variabel yang digunakan meliputi hasil biji, hasil biji per tanaman, persentase biji per polong, bobot 100 biji, serapan
103
N, serapan P, serapan K, kadar air biji, kandungan protein dan HCN. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 136 sampai 145. Antara kultivar dan penjalar berinteraksi pada 6 variabel. Kombinasi hal tersebut disajikan pada Tabel 37. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 138, 140141, 143-145.
Tabel 37.
Õ«´¬·ª¿® ο-» ο-» ο-» ο-» Ьٵ Ьٵ Ьٵ Ьٵ
Serapan K, hasil biji, kadar air, kandungan protein dan HCN pada interaksi musim tanam dan kultivar karabenguk berbagai rangka penjalar dengan pembanding tanaman tahunan л²¶¿´¿®
Í®° Õ ø¹ñ¬¿²÷ ֹ쳹 ðôéè ¾½ Þ¿³¾« ðôëè ¾½¼ Í·²¹µ±²¹ ïôêê ¿ Ó¿²¹¹¿ ðôîí ½¼ ֹ쳹 ðôíê ½¼ Þ¿³¾« ðôïí ¼ Í·²¹µ±²¹ ðôçî ¾ Ó¿²¹¹¿ ðôëë ¾½¼
Ø-´ Þ·¶· ø¹ñ¬¿²÷ ììôëë¿ íîôç翾½ ìíôðê¿ ïíôíç¾½ îêôð꿾½ çôîî½ îìôè翾½ ìðôï￾
Ø-´ Þ·¶· ø¹ñ°»¬¿µ÷ îêéôîé ¿¾ íçëôèð ¿ îëèôíí ¿¾½ èðôíí ½ ïëêôíé ¾½ ïïðôêí ¾½ ïìçôíí ¾½ îìðôêé ¿¾½
Õßû ¾¾¶µ ïìôðî ¿ ïíôêí ¾ ïîôèì ¼ ïíôðð ½ ïíôëê ¾ ïìôðî ¿ ïîôêï » ïîôçì ½¼
Ю±¬»·² û ¾¾¶µ îçôîë ¾ îèôíì ½¼ îçôïì ¾½ îèôïì ¼ îèôëè ¾½¼ îèôìë ¾½¼ íðôíé ¿ îçôðî ¾½
ØÝÒ û ¾¾¶µ íôîè ¼ íôéé ¾ íôëî ½ íôîè ¼ íôèî ¾ ìôðð ¿ íôêç ¾ íôíç ½¼
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Hsl Biji=berat hasil biji, bbjk=berat biji karabenguk kering. PtGk=Putih Gunungkidul
Tabel 37 menunjukkan bahwa hasil biji kultivar Rase per tanaman pada penjalar jagung 4 minggu tertinggi, tidak berbeda nyata dengan penjalar singkong dan penjalar bambu. Pada kultivar Putih Gunungkidul tidak ada beda nyata antar perlakuan penjalar pada hasil biji per tanaman. Hasil biji per petak pada kultivar Rase dengan penjalar jagung 4 minggu juga lebih tinggi dibanding penjalar tanaman mangga, namun tidak berbeda nyata dengan penjalar singkong dan bambu. Pada kultivar Putih Gunungkidul juga tidak ada beda
104
nyata antar perlakuan pada hasil biji per petak. Satu hal yang penting dari hasil ini adalah penggunaan jagung umur 4 minggu sebagai penjalar ternyata menghasilkan biji dengan kuantitas hasil biji per tanaman dan per petak yang tidak lebih rendah dibanding penjalar tanaman keras. Kultivar Rase dengan penjalar singkong menyebabkan serapan K lebih tinggi dibanding perlakuan lain. Pada Kultivar Putih Gunungkidul, serapan K tertinggi pada penjalar singkong, tidak berbeda nyata dengan penjalar mangga, diikuti penjalar jagung 4 minggu yang tidak berbeda nyata dengan penjalar bambu. Pada Kultivar Rase, kadar air pada penjalar jagung 4 minggu tertinggi, diikuti penjalar bambu, penjalar mangga dan terakhir penjalar singkong. Pada Kultivar Putih Gunungkidul, kadar air tertinggi pada penjalar bambu, diikuti penjalar jagung 4 minggu, penjalar mangga dan terakhir penjalar singkong. Tabel 37. menunjukkan bahwa pada Kultivar Rase,
persentase protein
karabenguk pada penjalar jagung 4 minggu lebih tinggi, dan tidak berbeda nyata dengan penjalar singkong, diikuti penjalar bambu yang tidak berbeda nyata dengan penjalar mangga. Pada Kultivar Putih Gunungkidul, persentase biji protein lebih tinggi dibanding perlakuan lain. Tabel 37. juga menunjukkan bahwa pada Kultivar Rase, persentase HCN pada penjalar jagung 4 minggu dan mangga terendah diikuti penjalar singkong dan tertinggi penjalar bambu. Pada kultivar Putih Gunungkidul, terendah penjalar mangga diikuti penjalar jagung 4 minggu dan penjalar singkong dan penjalar bambu tertinggi.
105
Komponen variabel bagian vegetatif dan hasil yang tidak berinteraksi pada percobaan pembanding rangka penjalar tanaman keras namun berbeda nyata antar kultivar adalah serapan N dan P. Hal tersebut disajikan pada Tabel 38. Sidik ragamnya disajikan pada lampiran 136 –137, 139 dan 142.
Tabel 38. Serapan N dan P dua kultivar karabenguk Õ«´¬·ª¿® Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ο-»
Í»®¿°¿² ø¹ñ¬¿²÷ Ò ðôìç ¾ ïôðé ¿
Ð ðôïð ¾ ðôïê ¿
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%.
Tabel 38. memperlihatkan bahwa serapan N pada kultivar Rase lebih tinggi dibanding kultivar Putih Gunungkidul. Hal ini mendukung penelitian yang lebih awal (Penelitian I dan II), yang menunjukkan bahwa kultivar Rase memiliki hasil yang lebih tinggi. Serapan P kultivar Rase juga lebih tinggi dibanding kultivar Putih Gunungkidul. Hal ini juga sejalan dengan serapan N, dan mendukung hasil Penelitian I dan Penelitian II yang menunjukkan bahwa kultivar Rase memiliki kelebihan. Adapun komponen pertumbuhan dan hasil yang tidak berinteraksi pada penjalar adalah serapan N dan P, persentase biji / polong dan bobot 100 biji namun bobot 100 biji tidak berbeda nyata antar penjalar. Hal tersebut disajikan pada Tabel
39. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 136-137, 139 dan 142.
106
Tabel 39. Serapan N, P dan %Bj-Plng karabenguk pada rangka penjalar berbeda. л²¶¿´¿®
Í»®¿°¿² ø¹ñ¬¿²÷ Ò Ð ðôçì ¾ ðôïî ¾ ðôëé ¾½ ðôðé ¾ ïôêð ¿ ðôîì ¿ ðôìð½ ðôðè ¾
Ö¿¹«²¹ ì Þ¿³¾« Í·²¹µ±²¹ Ó¿²¹¹¿
û Þ»®¿¬ Þ·¶· ñб´±²¹ ëëôçí ¿¾ ëðôçé ½ ëíôèí ¾½ ëèôìï ¿
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%.
Tabel 39 memperlihatkan bahwa penjalar mangga
menghasilkan biji per
polong lebih tinggi dan tidak berbeda nyata dengan jagung 4 minggu, diikuti penjalar singkong dan terakhir penjalar bambu. Sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan macam penjalar menyebabkan beda nyata pada variabel serapan N dan P. Tabel 39 memperlihatkan bahwa serapan N pada penjalar singkong tertinggi diikuti penjalar jagung 4 minggu yang tidak berbeda nyata dengan penjalar bambu dan terakhir adalah penjalar mangga. Serapan P pada penjalar singkong juga lebih tinggi dibanding perlakuan penjalar yang lain.
Hubungan
antar
komponen
hasil
penjalar
tanaman
tahunan
sebagai
pembanding
Hasil biji per petak tertinggi tetap ada pada kultivar Rase dengan penjalar bambu dan tidak berbeda nyata dengan Rase berpenjalar jagung umur 4 minggu dan Rase dengan penjalar singkong dan Putih Gunungkidul dengan penjalar mangga (Tabel 37). Rase berpenjalar jagung 4 minggu memberikan hasil per tanaman tertinggi meskipun tidak berbeda nyata dengan Rase berpenjalar bambu dan singkong serta Putih Gunungkidul berpenjalar mangga, singkong dan jagung 4 minggu.
107
Untuk serapan K tertinggi pada Rase dengan penjalar singkong, HCN terendah pada Rase dengan penjalar jagung umur 4 minggu dan penjalar mangga, tidak berbeda nyata dengan Putih Gunungkidul dengan penjalar mangga. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Rase dengan penjalar jagung berumur 4 minggu menghasilkan biji dengan kualitas dan kuantitas hasil yang baik dicirikan dengan hasil biji per tanaman dan per petak yang tinggi, kandungan protein yang relative tinggi serta HCN yang relative rendah meskipun kadar air tinggi. Tingginya kadar air saat panen dapat diatasi dengan penjemuran setelah panen. Persentase serapan N dan P untuk kultivar Rase lebih tinggi dibanding Putih Gunungkidul. Hal ini mencerminkan bahwa kultivar Rase lebih unggul dibanding Putih Gunungkidul, dicirikan lebih mampu menyerap hara dalam jumlah lebih besar.
6. Kecepatan pertumbuhan Untuk melihat pertumbuhan tanaman, diamati koefisien regresi 3 variabel yaitu kandungan klorofil total, indeks luas daun dan diameter batang. Pengamatan dilakukan sebulan sekali selama 3 bulan. Hasilnya untuk tiap perlakuan dan ulangan dianalisis dengan regresi linear sederhana : Y = a+bX. Nilai slop untuk masingmasing perlakuan dan ulangan kemudian dianalisis dengan analisis varian 2 faktor. Anova disajikan pada Lampiran 146 hingga 148. Hasilnya disajikan pada Tabel 40 sampai 42. Koefisien regresi klorofil daun disajikan pada Tabel 40. Sidik ragam disajikan
pada Lampiran 146.
108
Tabel 40. Koefisien regresi klorofil total daun (g/m2 lahan) antar musim pada 2 kultivar karabenguk dengan berbagai rangka penjalar Ó«-·³
Õ«´¬·ª¿®
Ö¿¹«²¹ ö÷ Õ±²¬®±´ Ø«¶¿² ο-» ïíëï ¿ Ы¬·¸ Ùµ îïç ¼ èëï ¿¾ Õ»³¿®¿« ο-» ïìï ¼ Ы¬·¸ Ùµ éë ¼ îðê ¼
л²¶¿´¿® Ö¿¹«²¹ ð Ö¿¹«²¹ î Ö¿¹«²¹ ì Þ¿³¾« ïîêë ¿¾ ïðïè ¿¾ îëê ¼ ïíëé ¿ ïððê ¿¾ éíç¾ ½ íéð ½¼ ïîìð ¿¾ íî ¼ ëì ¼ íì ¼ ïïé ¼ î¼ ïëí ¼ èï ¼ çé ¼
Angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Putih Gk=Putih Gunungkidul, ö÷ = jagung monokultur, Kontrol=tanpa penjalar
Pada musim kemarau, perbedaan penjalar dan kultivar karabenguk tidak menyebabkan perbedaan koefisien regresi klorofil daun. Pada musim penghujan, penjalar bambu dan tanpa penjalar manghasilkan koefisien regresi klorofil lebih tinggi dibanding jagung 4 minggu dan jagung monokultur. Koefisien regresi klorofil musim hujan juga lebih tinggi dibanding musim kemarau. Hal tersebut disajikan pada Gambar 7. ïòê ïòì ïòî ï ðòè ðòê ðòì ðòî ð
Ì¿²¿³¿² Ó«-·³ Ø«¶¿² Ì¿²¿³¿² Ó«-·³ Õ»³¿®¿« ï î í ì ë ê é Bulan ke
Gambar 7. Klorofil total karabenguk berdasarkan bulan pengamatan pada 2 musim berbeda. Keterangan : tanaman musim hujan bulan ke 1 s.d 7, tanaman musim kemarau bulan ke 5 s.d 7
109
Klorofil total daun karabenguk hingga bulan ke dua ( bulan ke 6 untuk tanaman musim hujan ) masih sama antara musim hujan dengan musim kemarau. Pada bulan ke tiga ( bulan ke 7 untuk tanaman musim hujan ), klorofil daun pada pertanaman musim kemarau telah menurun drastik seiring masuknya ke periode pertumbuhan generatif dan menuanya tanaman. Pada pertanaman musim hujan, hal tersebut terus meningkat cepat hingga bulan ke empat. Pada musim kemarau, perbedaan kultivar dan penjalar tidak menyebabkan perbedaan nyata antar peningkatan klorofil daun. Hal ini disebabkan karena melimpahnya sinar matahari. Pada musim hujan dan kultivar Rase, karabenguk dengan jagung 4 minggu dan jagung monokultur memiliki pertumbuhan klorofil yang lebih lambat. Demikian pula pada musim hujan, perlakuan jagung 2 minggu dan 4 minggu serta jagung monokultur lebih rendah dibanding perlakuan lain. Hal tersebut disebabkan karena dedaun lebih banyak dan mengumpul sehingga banyak daun yang kekurangan cahaya dan menyebabkan kandungan klorofilnya rendah. Adapun koefisien regresi indeks luas daun disajikan pada Tabel 41. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 147.
Tabel 41. Koefisien regresi indeks luas daun pada 2 musim tanam dan kultivar karabenguk dengan berbagai rangka penjalar Ó«-·³
Õ«´¬·ª¿®
Ö¿¹«²¹ ö÷ Õ±²¬®±´ Ø«¶¿² ο-» íôíç ¿ Ы¬·¸ Ùµ ïôîè ¾½¼ îôîè ¿¾ Õ»³¿®¿« ο-» ðôìï ¼» Ы¬·¸ Ùµ ðôêì ¼» ðôêí ¼»
л²¶¿´¿® Ö¿¹«²¹ ð Ö¿¹«²¹ î íôîí¿ îôéì¿ îôçì¿ îôî꿾½ ðôîç» ðôìì¼» ðôîì» ðôêí¼»
Ö¿¹«²¹ ì ïôðé ½¼» ïôíì ¾½¼ ðôíì ¼» ðôìì ¼»
Þ¿³¾« íôìê ¿ íôðë ¿ ðôíê » ðôíï »
Angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5% Putih Gk=Putih Gunungkidul, ö÷ = jagung monokultur, Kontrol=tanpa penjalar
110
Seperti halnya koefisien regresi klorofil, pada musim kemarau tidak ada beda nyata antar perlakuan penjalar pada koefisien regresi indeks luas daun. Pada musim hujan dan kultivar rase, penjalar bambu dan tanpa penjalar menghasilkan koefisien regresi indeks luas daun lebih tinggi dibanding jagung monokultur dan jagung 4 minggu sedang pada kultivar putih gunungkidul, hanya penjalar bambu saja yang lebih tinggi. Tabel 41 memperlihatkan bahwa antar musim terjadi beda nyata. Sebagai tanaman tumpangsari ternyata pertumbuhan jagung-karabenguk dan karabenguk saja selama musim hujan lebih cepat dibanding musim kemarau. Hal tersebut disajikan pada Gambar 8. é ê ë Ö¹óÕ¾
ì
Õ¾
í
Ö¹
î
ï
ï
ï
î
í
Umur Tanaman (bulan)
Tanaman musim hujan
Õ¾
í
î
ð
Ö¹óÕ¾
ì
Ö¹
ð ï
î
í
Umur Tanaman (bulan)
Tanaman musim kemarau
Gambar 8. Indeks luas daun pertanaman jagung ( jg ), karabenguk ( kb ) dan tumpangsari keduanya ( jg-kb ) berdasarkan umur tanaman pada Musim Hujan dan Kemarau.
Seperti halnya parameter yang lain, indeks luas daun (ILD) tanaman baik jagung, karabenguk maupun tumpangsarinya pada musim kemarau lebih rendah dibanding musim hujan. Hanya saja memang untuk karabenguk pada bulan ke dua lebih tinggi pada pertanaman musim kemarau. Hal tersebut disebabkan karena
111
pertanaman karabenguk musim kemarau mencapai pertumbuhan maksimumnya yaitu menjelang tanaman memasuki periode generatif. Pada musim kemarau, antar kultivar penjalar tidak berbeda nyata. Pada musim hujan, rangka penjalar jagung 4 minggu menyebabkan ILD lebih rendah dibanding perlakuan lain. Karena tekanan tanaman rangka penjalarnya, terjadi penaungan pada karabenguk sehingga pertumbuhan ILDnya lambat, namun ternyata hasil biji lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena peneduhan yang juga menyebabkan lingkungan yang lebih baiik bagi pertumbuhan tanaman karabenguk. Koefisien regresi diameter batang disajikan pada Tabel 42. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 148.
Tabel 42. Ó«-·³
Koefisien regresi diameter batang pada 2 musim tanam dan kultivar karabenguk dengan berbagai rangka penjalar Õ«´¬·ª¿®
Ø«¶¿² Õ»³¿®¿«
ο-» Ы¬·¸ Ùµ ο-» Ы¬·¸ Ùµ
Õ±²¬®±´ íôçí ìôìé ïôíë îôîî
Ö¿¹«²¹ ð íôçè ëôïé ïôîè îôðé
л²¶¿´¿® Ö¿¹«²¹ î Ö¿¹«²¹ ì ìôíë ìôíð ìôîè ìôêî ðôèè ðôéé ïôëð ðôèí
λ®¿¬¿ Þ¿³¾« ëôðî íôíè ïôèî îôðè
ìôíë ¿ ïôìè ¾
Dalam kolom, angka diikuti huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Putih Gk=Putih Gunungkidul, Kontrol = tanpa penjalar
Pada variabel koefisien regresi diameter batang, antar kultivar dan penjalar tidak menunjukkan beda nyata, antar musim berbeda nyata dan ke dua faktor tersebut tidak berinteraksi. Tabel 42 memperlihatkan bahwa koefisien regresi diameter batang pada musim hujan lebih cepat dibanding musim kemarau. Hal tersebut disajikan pada
Gambar 9.
112
îð Ì¿²¿³¿² Ó«-·³ Ø«¶¿²
ïë ïð
Ì¿²¿³¿² Ó«-·³ Õ»³¿®¿«
ë ð ï î í ì ë ê é Bulan ke
Gambar 9. Diameter batang karabenguk berdasarkan bulan pengamatan pada 2 musim berbeda Keterangan : Tanaman musim hujan bulan ke 1 s.d 7, tanaman musim kemarau bulan ke 5 s.d 7
Diameter batang tanaman pada musim hujan umur 3 bulan dapat hampir 2 kali lipat diameter batang pada musim kemarau. Akibat pertumbuhan vegetatif yang sangat kuat pada musim hujan mempengaruhi peralihan ke fase generatif yang tertunda sangat lama. Fase generatif terjadi setelah musim kemarau tiba, dan bersamaan dengan tanaman yang ditanam pada awal musim kemarau (marengan). Hubungan antar komponen pertumbuhan Pertumbuhan klorofil, indeks luas daun dan diameter batang musim hujan lebih tinggi dibanding musim kemarau. Pada musim hujan, peningkatan klorofil dan indeks luas daun pada penjalar bambu lebih tinggi dibanding jagung 4 minggu. Pada musim hujan peningkatan klorofil dan indeks luas daun antar penjalar tidak berbeda
nyata.
113
7. Pembahasan 2 kultivar karabenguk pada 2 musim tanam dan berbagai penjalar Komponen vegetatif dan hasil Perlakuan pada musim hujan dengan kultivar Rase menggunakan penjalar bambu menghasilkan berat biji total per petak tertinggi. Perlakuan penjalar bambu belum tentu terbaik disebabkan populasi yang per petak tinggi 2 kali lipat dibanding perlakuan dengan penjalar jagung ( Tabel 21 ). Bila dilihat hasil per tanaman, perlakuan musim hujan dan kultivar Rase memberikan hasil paling tinggi ( Tabel 22 ). Hasil per tanaman pada musim hujan tertinggi dengan penjalar jagung 4 minggu. Hal tersebut juga didukung kualitas biji yang lebih baik tercermin pada kandungan protein yang lebih tinggi (Tabel 24). Hasil kultivar Rase musim hujan dengan penjalar bambu adalah 1.318,01 kg/ha sedang dengan penjalar jagung 4 minggu dengan populasi karabenguk separohnya adalah sebesar 890,01
kg/ha. Dengan
adanya tambahan hasil jagung sebagai penjalar umur 4 minggu memungkinkan penjalar jagung umur 4 minggu merupakan penjalar yang terbaik pada musim hujan. Pada musim kemarau, kultivar Putih Gunungkidul menggunakan penjalar bambu menghasilkan berat biji total tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan kultivar Rase dengan penjalar bambu dan jagung bersamaan tanam (Tabel 21). Seperti halnya pada musim hujan hal ini berhubungan dengan populasi yang tinggi 2 kali lipat dibanding perlakuan dengan penjalar jagung. Pada musim kemarau, hasil per tanaman tertinggi dicapai oleh penjalar jagung bersamaan tanam yang tidak berbeda nyata dengan penjalar bambu. Pada musim kemarau kandungan protein tertinggi juga diperoleh pada penjalar jagung bersamaan tanam (Tabel 24). Hasil kultivar Rase musim kemarau dengan penjalar bambu adalah 577,19 kg/ha sedang dengan penjalar
114
jagung bersamaan tanam dengan populasi karabenguk separohnya adalah sebesar 408,49
kg/ha. Dengan adanya tambahan hasil jagung bersamaan tanam sebagai
penjalar memungkinkan penjalar jagung bersamaan tanam merupakan penjalar yang terbaik pada musim kemarau. Hasil biji per tanaman yang tinggi pada musim hujan dengan penjalar jagung terutama 4 minggu juga didukung oleh tingginya persentase serapan NPK dan berat kering brangkasan ( Tabel 24 ). Tingginya hasil pada musim penghujan juga disebabkan oleh ILD, kandungan klorofil dan berat kering brangkasan yang lebih tinggi ( Tabel 25 ). Hasil rata-rata per hari Hasil biji per tanaman pada musim hujan dengan penjalar jagung 4 minggu lebih tinggi dibanding tanpa penjalar. Hal tersebut didukung oleh tingginya berat kering brangkasan per tanaman dan serapan N, P dan K ( Lampiran 183 ). Pada musim kemarau, hasil per tanaman tertinggi dicapai dengan penjalar jagung bersamaan tanam dan tidak berbeda nyata dengan penjalar bambu dan kontrol. Hal tersebut juga didukung oleh tingginya serapan N ( Tabel 28 ). Kultivar Rase pada musim hujan menghasilkan biji per petak lebih tinggi dibanding kultivar Putih Gunungkidul, sedang pada musim kemarau hal tersebut tidak berbeda nyata. Hal tersebut juga didukung oleh serapan P. Berat brangkasan per petak pada musim hujan juga lebih tinggi dibanding musim kemarau ( Tabel 29 ). Hasil biji kultivar Rase lebih tinggi dibanding kultivar Putih Gunungkidul. Hal ini juga didukung oleh serapan N dan K. Berat brangkasan per petak pada kontrol dan penjalar bambu lebih tinggi
dibanding penjalar jagung 2 minggu ( Tabel 30 ).
115
Hasil jagung Hasil jagung musim kemarau tidak berbeda nyata dibanding musim hujan. Hasil jagung per petak tertinggi adalah pada karabenguk kultivar Rase saat tanam 4 minggu, tidak berbeda nyata dengan saat tanam 2 minggu dan kontrol jagung monokultur (Tabel 33). Komponen tumpangsari ATER pada musim hujan lebih tinggi namun tidak berbeda nyata dibanding musim kemarau ( Tabel 35 ). Pada kultivar Rase umur 4 minggu dan Putih Gunungkidul bersamaan tanam, ATER tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan penjalar jagung yang lain. Baik pada musim hujan maupun kemarau, kultivar Rase maupun Putih Gunungkidul, penjalar jagung 4 minggu menggunakan N dan K dengan serapan peringkat tertinggi ( Tabel 34 ). Tanaman tahunan sebagai rangka penjalar pembanding pada musim hujan Hasil tertinggi tetap ada pada kultivar Rase dengan penjalar bambu dan tidak berbeda nyata dengan Rase berpenjalar jagung umur 4 minggu, Rase dengan penjalar singkong dan Putih Gunungkidul dengan penjalar mangga Demikian pula halnya dengan hasil per tanaman. HCN terendah pada Rase dengan penjalar jagung umur 4 minggu dan penjalar mangga, tidak berbeda nyata dengan Putih Gunungkidul dengan penjalar mangga (Tabel 37).. Persentase biji per polong tertinggi pada penjalar mangga namun tidak berbeda nyata dengan penjalar jagung umur 4 minggu. Serapan N dan P untuk Kultivar Rase lebih tinggi dibanding Putih Gunungkidul (Tabel 39). Hal ini mencerminkan bahwa Kultivar Rase lebih unggul dibanding Putih Gunungkidul, dicirikan lebih mampu menyerap hara dalam jumlah lebih besar.
116
Pertumbuhan tanaman Koefisien regresi klorofil, ILD dan diameter batang musim hujan lebih tinggi dibanding musim kemarau. Pada musim hujan klorofil dan ILD antar penjalar tidak berbeda nyata (Tabel 40, 41, 42 dan Gambar 7, 8, 9). Bahasan hasil percobaan penjalar, musim tanam dan kultivar Penjalar karabenguk sebagai tanaman pangan. Ke 4 macam mikrobia Aspergilus oryzae, Aspergilus. sojae, Rhizopus. oligosporus dan Rhizopus oryzae memiliki aktivitas enzimatis menurunkan kandungan glukosidase sianogenic (Wedhastri, 1993). Cara mudah yang lain untuk menghilangkan racun karabenguk adalah dengan merendam 3 hari dengan tidap hari diganti airnya ( Handajani et al., 1996 ). Cara-cara tersebut penting dalam rangka mempopulerkan karabenguk sebagai penghasil protein alternatif pada wilayah dengan lahan yang tidak subur. Rangka penjalar mampu meningkatkan hasil ubi jalar (Mitoyat dan Widodo, 1978 ). Menurut Handajani et al.( 1996 ), rangka penjalar tanaman keras mampu meningkatkan hasil karabenguk. Apabila diperhitungkan dengan luas lahan, dapat dibuktikan ternyata penjalar jagung untuk karabenguk cukup meningkatkan hasil dibanding tanaman keras. Hasil total tertinggi dicapai pada kultivar rase dengan penjalar jagung 4 minggu pada musim hujan dan bersamaan tanam pada musim kemarau. Sebagai pupuk hijau, karabenguk meningkatkan hasil jagung dan keseimbangan nitrogen tanah lebih baik ketika hasil fiksasi nitrogen dirubah sebagai biomas tanaman ( Okito et al., 2004 ). Pada musim hujan penjalar jagung 4 minggu menghasilkan biji tertinggi, disebabkan pertumbuhan karabenguk yang cepat sehingga saat menjalar sudah ada
117
rambatan. Pada musim kemarau jagung bersamaan tanam terbaik disebabkan pertumbuhan karabenguk yang relatif lambat dan dampak penaungan minimal. Hasil rata-rata karabenguk dengan penjalar bambu 727,67 kg/ha, jagung bersamaan tanam 465,57 kg/ha, tanpa penjalar 405,79 kg/ha, penjalar jagung 4 minggu 380,98 kg/ha dan penjalar jagung 2 minggu 352,25 kg/ha. Musim tanam kemarau dan penghujan. Penelitian di lapangan terdiri dari penggunaan rangka penjalar dan karabenguk sebagai tanaman penutup tanah, keduanya dilakukan pada musim hujan dan musim kemarau. Adapun curah hujan selama musim tanam di lapangan tersebut disajikan pada Gambar 10. Penelitian pada musim penghujan dilakukan pada 3 bulan pertama dengan curah hujan 888 mm atau 296 mm/bulan, dan total curah hujan selama pertanaman atau 7 bulan ( akhir bulan Desember 2002 hingga awal bulan Agustus 2003 ) adalah 1186 mm atau 169 mm/bulan. Penelitian pada musim kemarau dilakukan pada curah hujan 235 mm selama pertanaman atau 3,5 bulan ( akhir bulan April 2003 hingga awal bulan Agustus ) atau rata-rata 67 mm/bulan. Faktor curah hujan sangat berpengaruh pada keberadaan lengas tanah. Adapun kandungan lengas tanah akhir musim penghujan hingga musim kemarau disajikan
pada Gambar 11. Data disajikan pada Lampiran 200.
118
ëðð
ìïé
ìðð íðð îíç îðð
îêë ïèé
ïíì íé
íë
ïðð ð ïî
ï
î
í
ì
ë
ê
ð
ð
é
è
Bulan
óóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóóÌ¿²¿³¿² Ó«-·³ Ø«¶¿² óóóóóóóóóóóóóóóóÌ¿²¿³¿² Ó«-·³ Õ»³¿®¿«
Gambar 10. Curah hujan selama musim tanam di lapangan îð ïë
Ô»²¹¿¬¿²¿¸ øû÷
ïð
Õ¿°¿-·¬¿´¿°¿²¹¿²
ë
Ì·¬·µ Ô¿§« л®³¿²»²
ð
í
ì
ë
ê
é
è
Bulan
Gambar 11. Kadar lengas tanah di lapangan berdasarkan bulan pengamatan Keterangan : Pengamatan Kapasitas Lapangan dan Titik Layu Permanen diamati sekali pada awal penelitian ( bulan ke 3 )
Pada saat tanam, lengas tanah berada pada kapasitas lapangan. Gambar 11 menunjukkan bahwa pada musim kemarau lengas tanah terus menurun. Penurunan tersebut berhubungan erat dengan menurunnya curah hujan pada Gambar 10. Lengas tanah yang dapat dimanfaatkan tanaman mulai kapasitas lapangan (pF 2,54 =17,16%)
119
hingga titik layu permanen (pF 4,2 = 7,72%). Penurunan lengas hingga tidak dapat dimanfaatkan tanaman terjadi menjelang bulan Agustus. Pada bulan tersebut, baik tanaman musim hujan maupun kemarau telah menyelesaikan hidupnya dengan telah menghasilkan biji dan merontokkan seluruh daunnya. Jumlah curah hujan pada musim hujan berbeda dengan musim kemarau. Hal tersebut tentu berpengaruh pada suhu udara di sekitar pertanaman. Suhu udara yang tercatat di lokasi penelitian lapangan pada bulan Maret 2003 (musim hujan) dan Juli 2003 (musim kemarau) yang diambil secara acak sebanyak 3 kali untuk masingmasing waktu pengamatan disajikan pada Gambar 12.
ìð íë íð îë Í«¸« Þ«´¿² Ó¿®»¬ Í«¸« Þ«´¿² Ö«´·
îð ïë ïð ë ð ë
é
ç
ïî
ïì
ïé
Pukul
Gambar 12. Suhu udara di lokasi penelitian berdasarkan jam pengamatan
Pada musim hujan, suhu siang hari terlihat lebih rendah dibanding musim kemarau sedang menjelang pagi sebaliknya. Hal ini memberikan indikasi bahwa suhu
120
maksimum harian lebih tinggi dan suhu minimum lebih rendah pada musim kemarau. Hal tersebut tentu akan berpengaruh pada proses fisiologis tanaman. Pada karabenguk, pembungaan dipengaruhi oleh hari pendek dan dipacu oleh
suhu malam yang tinggi (21 C). Tanaman memerlukan waktu 2-3 bl untuk berbunga hingga polong masak dan tanaman mati 45-60 hari setelah membentuk biji (Aiming et al.; 1999). Umur tanaman yang panjang pada musim hujan disebabkan menunggu hari pendek untuk berbunga dan hal tersebut terjadi saat musim kemarau. Kanopi sedang hingga lebat menyebabkan tanaman berbunga pada umur 74 -154 hari dan penuaan 142 -189 hari sedang pada kanopi tidak lebat menyebabkan tanaman berbunga pada umur 49 hari dan penuaan umur 118 hari ( Bennett-Lartey, 1998). Kanopi lebat terjadi akibat pertumbuhan cepat karena air tersedia cukup dan hal tersebut terjadi pada penanaman musim penghujan. Hasil penelitian membuktikan bahwa tanaman musim hujan dan kemarau mengalami pembungaan dan panen bersamaan akibat dipengaruhi hari pendek untuk berbunga. Kacang tanah musim hujan memiliki pertumbuhan lebih baik. Pemberian pupuk TSP 200 kg/ha pada musim hujan meningkatkan hasil hingga 12%, namun pemberian 300 kg/ha pada musim kemarau tidak meningkatkan hasil ( Darmiyati et al., 1989). Hal tersebut memberikan gambaran bahwa pada musim penghujan, akibat cukupnya air maka hara menjadi lebih tersedia. Perbedaan bulan tanam pada kacang tanah tidak mempengaruhi umur berbunga secara nyata ( Mardjuki, 1984 ). Hal ini menunjukkan perbedaan antara karabenguk yang untuk berbunga memerlukan hari pendek (Aiming et al., 1999) dan hal itu tidak terjadi pada kacang tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur
121
tanaman karabenguk bervariasi tergantung saat tanam. Semakin dekat saat tanam dengan terjadinya hari pendek, umur semakin pendek. Hasil rata-rata musim hujan adalah 629,93 kg/ha sedang pada musim kemarau 303,9 kg/ha.
Kultivar Rase dan Putih Gunungkidul Kecuali indeks panen ternyata semua variabel hasil untuk kultivar Rase lebih tinggi secara nyata disbanding kultivar Putih Gunungkidul. Hal tersebut didukung oleh serapan N dan P yang lebih tinggi secara nyata. Demikian pula untuk serapan N, P dan K harian juga lebih tinggi. Namun hal tersebut tidak disertai lebih tingginya variabel bagian vegetatif tanaman. Karabenguk merupakan tanaman yang menyerbuk sendiri (Capo-chichi et al., 2001). Karabenguk tumbuh cepat sebagai penghasil pangan, pakan dan rehabilitasi lahan. Terlihat variabilitas pada karakter kualitatif seperti warna bunga, pigmentasi dan warna biji ( Bennett-Lartey, 1998). Kultivar Rase dan Putih Gunungkidul berbeda pada warna mahkota bunga disamping juga pada warna biji. Hasil rata-rata Kultivar Rase ialah 834,80 kg/ha sedang kultivar Putih Gunungkidul 547,50 kg/ha.
122
D. Karabenguk sebagai Tanaman PenutupTanah pada Musim Hujan dan Kemarau
1. Serapan hara dan bagian vegetatif tanaman Untuk serapan hara dan bagian vegetatif
tanaman
karabenguk pada
percobaan karabenguk sebagai tanaman penutup tanah, komponen yang diamati adalah serapan N, serapan P dan serapan K, klorofil total, diameter batang, indek luas daun dan bobot kering brangkasan. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 149 sampai 155. Dari berbagai komponen tersebut, 5 variabel diantaranya terjadi interaksi antara musim dan macam penutup tanah. Hasilnya disajikan pada Tabel 43. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 149-151, 153, 155. Tabel 43. Serapan hara, ILD dan berat kering brangkasan pada 2 musim tanam dengan berbagai macam penutup tanah Ó«-·³
л²«¬«° Ì¿²¿¸
Í»®¿°¿² Òø¹ñ¬¿²÷ Ðø¹ñ¬¿²÷ Ø«¶¿² ݳ ðôðð ½ ðôðð ½ Ø«¶¿² Ý° ðôðð ½ ðôðð ½ Ø«¶¿² Ы¬·¸ Ùµ íôêì ¿ ðôìð ¿ Ø«¶¿² ο-» íôçê ¿ ðôíë ¿ Ø«¶¿² Ы¬·¸ Ùµ ¼·°«°«µ íôëð ¿ ðôíí ¿ Ø«¶¿² ο-» ¼·°«°«µ ìôïë ¿ ðôìî ¿ Õ»³¿®¿« ݳ ðôëð ¾ ðôðì ¾½ Õ»³¿®¿« Ý° ðôìï ¾½ ðôðë ¾½ Õ»³¿®¿« Ы¬·¸ Ùµ ðôêë ¾ ðôðë ¾½ Õ»³¿®¿« ο-» ðôìë ¾½ ðôðí ¾½ Õ»³¿®¿« Ы¬·¸ Ùµ ¼·°«°«µ ðôêî ¾ ðôðë ¾½ Õ»³¿®¿« ο-» ¼·°«°«µ ðôçè ¾ ðôðç ¾
×ÔÜ Õø¹ñ¬¿²÷ ðôðð ¼ ðôðð ¼ ïôèç ¿ ïôéè ¿ ïôíì ¾ ïôèî ¿ ðôíî ½ ðôíï ½ ðôîë ½¼ ðôîï ½¼ ðôîí ½¼ ðôìï ½
ðôèê ¼» ðôéê » îôíé ¿¾ îôïé ¾ îôíî ¿¾ îôéì ¿ ïôíï ½ ïôëë ½ ïôîð ½¼ ïôïì ½¼» ïôëé ½ ïôìì ½
ÞµÞ®µ ¹ñí³î ðôðð ¼ ðôðð ¼ ïìíðôèí ¿ ïëçîôíð ¿ ïìèïôéë ¿ ïëíîôîî ¿ îëïôïí ¾ îëéôêì ¾ èëôìí ½ ïíîôéì ¾½ ïêðôèê ¾½ îçêôðî ¾
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. ILD= Indeks luas daun, BkBrk = Berat kering brangkasan, Putih Gk = Putih Gunungkidul. ILD dihitung saat masa pertumbuhan sedangkan BkBrk dan serapan dihitung saat panen.
123
Pada penanaman Cm dan Cp musim hujan, serapan NPK nol dan berat brangkasan nol karena data diambil saat panen, dan tanaman telah mati setelah pertumbuhan awal. Data indeks luas daun diambil saat pertumbuhan awal sewaktu tanaman masih hidup. Sidik ragam menunjukkan bahwa antara musim tanam dan macam penutup tanah berinteraksi pada variabel serapan N, P dan K. Tabel 43. memperlihatkan bahwa pada musim hujan, serapan N karabenguk baik dengan pemupukan maupun tidak lebih tinggi dibanding Cm dan Cp. Pada musim kemarau tidak ada beda nyata antar perlakuan. Pada musim hujan, serapan P karabenguk juga lebih tinggi dibanding Cm dan Cp. Pada musim kemarau tidak ada perbedaan serapan P antar perlakuan. Penutup tanah karabenguk pada pertanaman musim hujan memiliki serapan K yang lebih tinggi dibanding Cm dan Cp. Pada karabenguk dengan pemupukan, Rase memiliki serapan K yang lebih tinggi dibanding kulivar Putih Gunungkidul. Pada musim kemarau, tidak terjadi perbedaan nyata antar kombinasi perlakuan. Sidik ragam menunjukkan bahwa indeks luas daun antar musim dan macam penutup tanah berinteraksi. Tabel 43. memperlihatkan bahwa pada musim hujan, indeks luas daun karabenguk lebih tinggi dibanding Cm dan Cp sedangkan pada musim kemarau tidak terjadi perbedaan nyata. Sidik ragam variabel berat kering brangkasanpun ternyata antar perlakuan musim tanam dan macam penutup tanah juga berinteraksi. Tabel 43. juga menunjukkan bahwa pada musim hujan, berat kering brangkasan karabenguk lebih
tinggi dibanding Cm dan Cp. Pada musim kemarau kulivar Rase memiliki berat
124
brangkasan yang lebih tinggi dibanding Putih Gunungkidul tetapi tidak berbeda nyata. Diameter batang yang diamati berbeda nyata antar musim tanam. Perbedaan antara musim penghujan dan kemarau disajikan pada Tabel 44. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 154. Tabel 44. Rerata diameter batang tanaman penutup tanah pada musim tanam berbeda Ó«-·³ Ø«¶¿² Õ»³¿®¿«
Ü·¿³»¬»® ¾¿¬¿²¹ ³³ ïîôîë ¿ êôíî ¾
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5% Sidik ragam variabel klorofil karabenguk menunjukkan tidak adanya beda nyata antar musim tanam. Kondisi berbeda ditunjukkan oleh variabel diameter batang. Tabel 44 memperlihatkan perbedaan nyata antar musim tanam pada diameter batang. Diameter batang karabenguk musim penghujan lebih tinggi dibanding musim kemarau. Tidak berbeda dengan pengaruh musim, perbedaan macam penutup tanah juga menyebabkan perbedaan diameter batang. Hal tersebut disajikan pada Tabel 45. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 154.
125
Tabel 45. Rerata diameter batang berbagai tanaman penutup tanah л²«¬«° Ì¿²¿¸ ݳ Ý° Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ο-» Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ¼»²¹¿² °»³«°«µ¿² ο-» ¼»²¹¿² °»³«°«µ¿²
Ü·¿³»¬»® ¾¿¬¿²¹ ³³ ìôéé ¾ ëôïí ¾ ïïôèí ¿ ïïôïð ¿ ïïôçë ¿ ïðôçí ¿
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5% Sidik ragam variabel klorofil karabenguk menunjukkan tidak adanya beda nyata antar macam penutup tanah. Tabel 45. memperlihatkan perbedaan nyata antar macam penjalar pada diameter batang. Seperti halnya variabel yang lain, baik dengan pemupukan maupun tidak, karabenguk memiliki diameter batang lebih tinggi dibanding Cm dan Cp. Hubungan antar komponen vegetatif tanaman penutup tanah. Karabenguk musim hujan memiliki serapan hara N, P dan K lebih tinggi dibanding Cm dan Cp. Hal ini disebabkan karena ILD nya yang tinggi, berat kering brangkasan tinggi (Tabel 43.) dan juga diameter batangnya lebih besar ( Tabel 45 ). Lebih tingginya lengas tanah karena curah hujan akan melarutkan hara sehingga lebih terserap tanaman. Pada musim kemarau serapan NPK antar penutup tanah tidak berbeda nyata. Hal tersebut berhubungan dengan tidak berbeda nyatanya indeks luas daun. Diameter batang musim hujan lebih tinggi dibanding kemarau.
2. Pertumbuhan tanaman penutup tanah Untuk melihat pertumbuhan tanaman, diamati koefisien regresi 3 variabel yaitu diameter batang, indek luas daun dan kandungan klorofil total. Pengamatan dilakukan
126
sebulan sekali selama 3 bulan. Hasilnya untuk tiap perlakuan dan ulangan dianalisis dengan regresi linear sederhana : Y = a+bX. Regresi linear digunakan mengingat pertumbuhan merupakan pertambahan berat dan volume. Sebenarnya pertumbuhan tanaman mengikuti kurve sigmoid. Pendekatan dengan regresi linear sederhana dilakukan mengingat pengamatan berada di bagian tengah pertumbuhan tanaman atau pada fase eksponensial dan pada umumnya nilai R² nya lebih dari 80%. Nilai b untuk masing-masing perlakuan dan ulangan kemudian dianalisis dengan sidik ragam 2 faktor. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 156 sampai 158. Hasilnya disajikan pada Tabel 46, 47 dan 48. Adapun koefisien regresi klorofil total daun antar musim dan macam tanaman penutup tanah disajikan pada Tabel 46. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 156. Tabel 46. Koefisien regresi klorofil total daun pada berbagai perlakuan tanaman penutup tanah Penutup Tanah Cm Cp Putih Gunungkidul Rase Putih Gunungkidul dengan pemupukan Rase dengan pemupukan
Musim Hujan 112,16 d 105,66 d 474,52 a 453,72 a 483,92 a 563,42 a
Kemarau 176,13 cd 297,71 b 148,69 cd 129,39 cd 246,54 bc 203,92 bcd
Angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5% Pada Tabel 43, Cm dan Cp pada musim hujan tidak menghasilkan brangkasan, akibat data brangkasan diambil saat panen namun pada Tabel 46 menghasilkan koefisien regresi mengingat data diambil saat pertumbuhan vegetatif awal.
127
Musim tanam dan macam penutup tanah berinteraksi pada koefisien regresi klorofil daun. Tabel 46 memperlihatkan kecuali Cm dan Cp, koefisien regresi klorofil daun musim hujan lebih tinggi dibanding musim kemarau. Pada musim hujan, karabenguk memiliki koefisien regresi klorofil yang lebih tinggi dibanding Cm dan Cp namun pada musim kemarau berbeda. Pada musim kemarau,
Cp memiliki
koefisien regresi klorofil tinggi dan tidak berbeda nyata dengan karabenguk dengan pemupukan, lebih tinggi dibanding koefisien regresi klorofil Cm dan karabenguk tidak dengan pemupukan. koefisien regresi klorofil pada tanaman penutup tanah konvensional yaitu Cm dan Cp lebih rendah dibanding karabenguk dengan pemupukan namun tidak berbedanyata dengan karabenguk tanpa pupuk. Pada musim hujan, koefisien regresi klorofil total karabenguk lebih tinggi dibanding tanaman penutup tanah konvensional, sedang pada musim kemarau Cp memiliki koefisien regresi klorofil yang lebih tinggi dibanding karabenguk tidak dengan pemupukan. Seperti halnya klorofil, pada indek luas daun terjadi interaksi antara musim dan macam penutup tanah. Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 47. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 157.
128
Tabel 47. Koefisien regresi indeks luas daun pada berbagai perlakuan tanaman penutup tanah л²«¬«° Ì¿²¿¸ ݳ Ý° Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ο-» Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ¼»²¹¿² °»³«°«µ¿² ο-» ¼»²¹¿² °»³«°«µ¿²
Ó«-·³ Ø«¶¿² ðôéí ¼» ðôéï » ïôéð ¿¾ ïôëè ¾ ïôêë ¿¾ ïôçë ¿
Õ»³¿®¿« ðôéç ½¼» ïôðë ½¼ ðôèí ½¼» ðôéé ½¼» ïôðê ½ ðôçë ½¼»
Angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5% Musim tanam dan macam penutup tanah berinteraksi pada variabel koefisien regresi indeks luas daun. Tabel 47. memperlihatkan koefisien regresi indeks luas daun karabenguk musim hujan lebih tinggi dibanding musim kemarau. Karabenguk memiliki koefisien regresi indeks luas daun yang lebih tinggi dibanding Cm dan Cp pada musim hujan, sedangkan pada musim kemarau hal tersebut tidak berbeda nyata. Pada musim hujan, pemupukan pada kultivar rase meningkatkan koefisien regresi indeks luas daun. Berbeda dengan klorofil dan indeks luas daun, antara musim dan macam penutup tanah tidak berinteraksi pada diameter batang. Rerata disajikan pada Tabel 48. Tabel 48.
Koefisien regresi diameter batang pada berbagai perlakuan tanaman penutup tanah
л²«¬«° Ì¿²¿¸ ݳ Ý° Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ο-» Ы¬·¸ Ù«²«²¹µ·¼«´ ¼»²¹¿² °»³«°«µ¿² ο-» ¼»²¹¿² °»³«°«µ¿²
Diameter Batang ðôéè ¾ ðôëï ¾ îôìí ¿ ðôçí ¾ ïôìí ¿¾ ðôçì ¾
Angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%
129
Tabel 48. memperlihatkan kulivar Rase tanpa pemupukan memiliki batang dengan koefisien regresi yang lebih kecil dibanding Putih Gunungkidul, sedangkan setelah dilakukan pemupukan kedua kultivar tidak menunjukkan beda nyata pada koefisien regresi diameter batang. Hubungan antar komponen pertumbuhan. Pada musim hujan, koefisien regresi klorofil karabenguk lebih tinggi dibanding tanaman penutup tanah konvensional yaitu Cm dan Cp (Tabel 46) namun pada musim kemarau tidak berbeda nyata. Demikian pula halnya dengan ILD (Tabel 47). Biji Cm dan Cp tidak tahan terhadap tumpat air sehingga tidak mampu tumbuh pada penanaman musim hujan (Tabel 43).
Pemupukan pada kultivar Rase
meningkatkan diameter batang sedang pada kultivar Putih Gunungkidul diameter batang tidak bertambah ukurannya (Tabel 48), hal ini menunjukkan bahwa kultivar Rase lebih responsif terhadap tambahan hara.
3. Hasil Tanaman Pada percobaan ini, fungsi karabenguk sebagai tanaman penutup tanah diamati berbagai komponen yaitu hasil biji, bobot 100 biji, indeks panen, persentase berat biji terhadap berat polong, kadar air biji, kandungan protein dan kandungan HCN. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 159 sampai 165. Faktor musim dan macam penutup tanah berinteraksi pada komponen bobot 100 biji, indek panen, persentase berat biji terhadap polong, kandungan protein dan kadar HCN biji ( Tabel 49 ). Sidik ragam disajikan pada Lampiran 159-160, 162,
164-165.
130
Tabel 49. Indeks panen, biji/polong, bobot 100 biji, kadar protein dan kadar HCN pada 2 musim tanam dan berbagai penutup tanah karabenguk Ó«-·³
л®´¿µ«¿²
Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿«
ײ¼»µÐ¿²»² Ы¬·¸ Ùµ ðôðëð ¼ Î¿-» ðôðìí ¼ Ы¬·¸ Ùµó °«°«µ ðôðìé ¼ ο-»ó °«°«µ ðôðìé ¼ Ы¬·¸ Ùµ ðôëíí ¿ ο-» ðôíìé ¾½ Ы¬·¸ Ùµó°«°«µ ðôíéí ¾ ο-» ó °«°«µ ðôîðé ½
Þ¶ñд Þïðð¾ û ¹ ëêôðç ¾½ èêôéè ¾ ëçôíè ¿¾½ éèôêí ¾ ììôìì ¾½ çèôèç ¾ ëîôéé ½¼ èéôðð ¾ ìéôèç ¼ êïôïï ½ êîôçí ¿ ëèôíí ½ ìéôéç ¼ éíôêê ¾½ ëçôèê ¿¾ ïïèôêð ¿
Ю±¬»·² û¾¾¶µ îçôëë ¿ îéôçð ¿ îèôðç ¿ îçôîî ¿ îêôêè ¿ îéôîï ¿ îêôèï ¿ îðôìï ¾
ØÝÒ û¾¾¶µ íôîé ½¼ íôìë ¾½¼ íôëê ¾½ íôêí ¾½ íôëê ¾½ ìôïð ¿¾ ìôìë ¿ îôèì ¼
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Putih Gk = Putih Gunungkidul, Bbjk=berat biji kering. Musim tanam dan macam penutup tanah berinteraksi pada beberapa variabel. Tabel 49 memperlihatkan bahwa indeks panen, persentase biji/polong, berat 100 biji, kandungan protein dan HCN pada musim hujan tidak berbeda nyata antar macam penutup tanah. Pada musim kemarau baik dengan pemupukan maupun tidak menggunakan pupuk, indeks panen kultivar Putih Gunungkidul lebih tinggi dibanding kultivar Rase, namun persentase biji/polong lebih tinggi kultivar Rase. Berat 100 biji kultivar Rase meningkat akibat pupuk. Persentase protein dan HCN kultivar Rase justru menurun akibat pemupukan sedang HCN kultivar Putih Gunungkidul justru meningkat akibat pupuk. Hal tersebut menunjukkan bahwa kultivar Rase lebih responsive terhadap
tambahan hara pada kuantitas pertumbuhannya.
131
Komponen hasil tanaman yang tidak berinteraksi antara musim dan penutup tanah pada musim tanam berbeda disajikan pada Tabel 50. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 161 dan 163. Tabel 50.
Hasil dan kadar air biji tanaman penutup tanah karabenguk pada musim tanam berbeda
Ó«-·³ Ø«¶¿² Õ»³¿®¿«
Ø¿-·´ ¾·¶· ¹ñí³î ïèíôëî ¿ ïðíôçî ¿
Õ¿¼¿® ¿·® û¾¾¶µ ïíôëç ¿ ïîôêí ¿
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Bbjk = bobot biji kering Tabel 50 memperlihatkan bahwa perbedaan musim tanam tidak menyebabkan beda nyata pada variabel hasil biji. Kondisi yang sama juga ditunjukkan oleh variabel persentase kadar air biji. Adapun antar macam komponen hasil tanaman yang tidak berinteraksi antara musim dan penutup tanah
pada penutup tanah yang berbeda, hasil analisisnya
disajikan pada Tabel 51. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 161 dan 163. Tabel 51. Hasil dan kadar air biji antar tanaman penutup tanah в¬Ì¿²¿¸ Ы¬·¸ Ùµ ο-» Ы¬·¸ Ùµ ó °«°«µ ο-» ó °«°«µ
Ø¿-·´ ¾·¶· ¹ ñ°»¬¿µ ïëèôêé ¿ ïéîôëð ¿ ïðéôîî ¿ ïíêôìç ¿
Õ¿¼¿® ¿·® ¾·¶· û¾¾¶µ ïíôéì ¿ ïíôïï ¿ ïíôíé ¿ ïîôîî ¿
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Putih Gk=Putih Gunungkidul, Bbjk=berat biji kering. Pupuk= pupuk organik 30 g/tan.
132
Tabel 51. memperlihatkan bahwa perbedaan tanaman penutup tanah tidak menyebabkan beda nyata pada variabel hasil biji dan kadar air biji. Hubungan antar komponen hasil tanaman penutup tanah Baik pada musim hujan maupun kemarau dan baik kulivar Rase maupun Putih Gunungkidul ternyata pemberian pupuk organik 125 g/tan tidak meningkatkan hasil (Tabel 51).
4. Keharaan Tanah setelah Perlakuan Pada pertanaman menjelang panen diamati contoh tanah untuk berbagai komponen yaitu kandungan bahan organik, kandungan N total, nisbah C/N , P total dan K total. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 166 sampai 170. Interaksi antara musim dan penutup tanah terjadi pada komponen N total tanah dan K total tanah. Kombinasi hal tersebut tersaji pada Tabel 52. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 167 dan 170.
133
Tabel 52. Unsur N dan K total tanah setelah pertanaman pada musim tanam dan macam penutup tanah yang berbeda Ó«-·³ Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Ø«¶¿² Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿« Õ»³¿®¿«
л²«¬«° Ì¿²¿¸ Ì¿²°¿ ݳ Ý° Ы¬·¸ Ùµ ο-» Ы¬·¸ Ùµ ¼»²¹¿² °»³«°«µ¿² ο-» ¼»²¹¿² °»³«°«µ¿² Ì¿²°¿ ݳ Ý° Ы¬·¸ Ùµ ο-» Ы¬·¸ Ùµ ¼»²¹¿² °»³«°«µ¿² ο-» ¼»²¹¿² °»³«°«µ¿²
Ò Ì±¬ û ðôðçé ¾ ðôîïé ¿ ðôðçð ¾ ðôðèé ¾ ðôðçí ¾ ðôðéí ¾ ðôðéé ¾ ðôðèí ¾ ðôðèð ¾ ðôðèð ¾ ðôðèð ¾ ðôðéé ¾ ðôðèð ¾ ðôðéé ¾
Õ¬±¬ û ðôðçí ¼ ðôðèð ¼ ðôðèð ¼ ðôðèð ¼ ðôðçí ¼ ðôíìð ¿ ðôîëí ¾ ðôðïì » ðôðïï » ðôðïï » ðôðïï » ðôðïí » ðôïèð ½ ðôïçð ½
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Putih Gk= Putih Gunungkidul. Musim tanam dan macam penutup tanah berinteraksi terhadap kandungan N dan K tanah setelah pertanaman. Tabel 52. memperlihatkan bahwa kandungan N tanah pada musim hujan setelah perlakuan lebih tinggi pada Cm dibanding perlakuan lain, sedang pada musim kemarau tidak berbeda nyata. Kandungan K tanah pada karabenguk dengan pemupukan lebih tinggi dibanding perlakuan lain. Komponen kandungan P total tanah
pada musim tanam berbeda tidak
berinteraksi antara musim dan penutup tanah. Perbedaan P total tanah antar musim tanam disajikan pada Tabel 53. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 169. Tabel 53. Kandungan P total tanah pada musim tanam berbeda Ó«-·³ Ø«¶¿² Õ»³¿®¿«
Ь±¬ û ðôïð ¿ ðôðë ¾
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%
134
Perbedaan musim tanam tidak mengubah bahan organik tanah dan nisbah C/N setelah perlakuan secara nyata (Lampiran 166, 168). Perbedaan musim tanam mengubah kandungan P tanah setelah perlakuan secara nyata. Tabel 53 menampilkan data bahwa kandungan P tanah setelah perlakuan lebih tinggi pada musim hujan dibanding musim kemarau. Sidik ragam keharaan tanah yang tidak berinteraksi antara musim dan penutup tanah disajikan pada Lampiran 166, 168-169. Kandungan P total tanah pada macam tanaman penutup tanah yang berbeda disajikan pada Tabel 54. Tabel 54.
Kandungan P total tanah pada macam tanaman penutup tanah yang berbeda
л²«¬«° Ì¿²¿¸ Ì¿²°¿ °»²«¬«° ¬¿²¿¸ ݳ Ý° Õ¿®¿¾»²¹«µ Ы¬·¸ Ùµ Õ¿®¿¾»²¹«µ ο-» Õ¿®¿¾»²¹«µ Ы¬·¸ Ùµ ¼»²¹¿² °»³«°«µ¿² Õ¿®¿¾»²¹«µ ο-» ¼»²¹¿² °»³«°«µ¿²
Ь±¬û ðôðêè ¾ ðôðêí ¾ ðôðêé ¾ ðôðêë ¾ ðôðêð ¾ ðôïðé ¿ ðôðçí ¿
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Putih Gk= Putih Gunungkidul Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa perbedaan macam penutup tanah mengubah kandungan P tanah setelah perlakuan secara nyata. Tabel 54 menampilkan data bahwa kandungan P tanah setelah perlakuan lebih tinggi pada karabenguk dengan pemupukan dibanding perlakuan lain. Hubungan antar komponen hara tanah setelah tanaman dipanen Komponen hara tanah yang dimaksud meliputi kandungan bahan organik, C/N dan kandungan N, P dan K tanah. Pemupukan dengan pupuk organik 30g/tan
135
meningkatkan kadar K tanah setelah tanaman dipanen (Tabel 52). Pupuk organik 30g/tan tersebut juga meningkatkan kadar P (Tabel 54). Kadar P musim hujan setelah panen lebih tinggi dibanding musim kemarau (Tabel 53).
5. Peran tanaman terhadap kondisi tanah Kondisi tanah yang dimaksud dilihat melalui persentase agregasi tanah, kandungan bahan organik didalam tanah, berat volume dan distribusi pori antara pori tak tergunakan, pori menahan lengas, pori drainase dan persentase porositas total. Antara musim tanam dan macam penutup tanah tidak berinteraksi pada komponen tersebut. Komponen kondisi tanah antar musim penghujan dan kemarau disajikan pada Tabel 55. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 171 sampai 177. Tabel 55. Bahan organik, persentase agregat, berat volume dan distribusi pori tanah antar musim tanam. Musim
Ø«¶¿² Õ»³¿®¿«
BO
Agregat
%
%
ïôðð ¿ ðôèê ¿
îíôéí ¾ íìôîî ¿
Õ±²¼·-· ¬¿²¿¸ Pori tidak PoriPenahan Pori tergunakan Lengas drainase % % % ïîôç ¿ çôð ¾
ïíôç ¿ ïîôë ¿
ìèôé ¿ íïôí ¾
BV g/ cm3 ïôëï ¿ ïôîç ¾
б®±-·¬¿û éëôëð ¿ ëîôèï ¾
Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. BO=bahan organik, BV=berat volume. Antar musim tanam tidak menyebabkan beda nyata terhadap bahan organik tanah. Tabel 55. memperlihatkan bahwa pertanaman musim hujan menghasilkan bahan organik tanah dalam jumlah yang lebih besar meskipun tidak berbeda nyata. Persentase agregat lebih tinggi pada musim kemarau dibanding musim hujan. Hal
136
tersebut disebabkan karena pada musim kemarau kandungan lengas rendah secara terus menerus. Antar musim menyebabkan beda nyata pada variabel pori tidak tergunakan, pori drainase dan persentase porositas. Tabel 55 memperlihatkan bahwa pori tidak tergunakan, pori drainase dan persentase porositas pada musim hujan lebih tinggi dibanding musim kemarau. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa antar musim tidak menyebabkan beda nyata pada variabel pori penahan lengas. Tabel 55 memperlihatkan bahwa pori penahan lengas pada musim hujan lebih tinggi dibanding musim kemarau meskipun tidak berbeda nyata. Antar musim tanam menyebabkan beda nyata pada variabel berat volume tanah. Tabel 55 memperlihatkan bahwa pertanaman musim hujan menyebabkan berat volume tanah lebih tinggi. Antar penutup tanah, semua komponen yang diamati tidak saling berbeda nyata. Rerata hal tersebut disajikan pada Tabel 56. Sidik ragam disajikan pada Lampiran 171 sampai 177. Tabel 56. Persentase agregat, berat volume dan distribusi pori tanah pada macam penutup tanah yang berbeda Penutup Tanah Agregat
Õ±²¬®±´ ݳ Ý° Ы¬·¸ Ùµ ο-»
%
Pori tidak tergunakan %
îèôìí íðôëî îçôëë îéôíï îçôðé
ïïôé ïïôð ïðôï ïïôë ïðôì
Õ±²¼·-· ¬¿²¿¸ PoriPenahan Pori BV Lengas drainase % % g/ cm3 ïîôê ïìôï ïíôë ïíôí ïîôë
íçôé ìïôì ìïôð ìïôð íéôð
ïôìð ïôìê ïôíç ïôìì ïôíî
б®±-·¬¿û êìòðï êêòëç êìòëê êëòéî ëçòèç
ÞÑ û ðòçìí ïòðíè ðòççð ðòèéí ðòèðí
Dalam kolom, angka tidak diikuti huruf menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Putih Gk=Putih Gunungkidul, BV=berat volume.
137
Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa antar macam penutup tanah tidak terjadi beda nyata pada semua variabel. Idealnya penanaman karabenguk, Cm dan Cp meningkatkan bahan organik di dalam tanah sehingga meningkatkan pori penahan lengas, menurunkan pori drainase, dan kemampuan tanah mengikat air meningkat. Hal tersebut belum terlihat mungkin disebabkan karena variasi kandungan bahan organik tanah awal sangat tinggi. Kandungan bahan organik pada Putih Gunungkidul paling rendah. Hal tersebut menyebabkan pori drainase dan pori penahan lengas juga paling rendah. Ternyata antar macam penutup tanah tidak menghasilkan perbedaan nyata pada sifat-sifat tanah. Hal ini menunjukkan bukti bahwa tanaman karabenguk sebagai penutup tanah tidak lebih jelek dibanding dengan tanaman penutup tanah konvensional. 6. Persentase penutupan lahan dan tebal tajuk tanaman penutup tanah Peran tanaman penutup tanah erat kaitannya dengan besarnya penutupan lahan dan tebal tajuk tanaman penutup tanah. Sidik ragam penutupan lahan dan tebal tajuk disajikan pada Lampiran 182 a sampai Lampiran 183c. Rerata besarnya penutupan lahan dan tebal tajuk disajikan pada Tabel 57. Tabel 57. Peningkatan persentase penutupan dan tebal tajuk tanaman penutup tanah Penutup Tanah
% Penutupan Tebal Tajuk ( cm) 1 bl 2 bl 3 bl 1 bl 2 bl 3 bl Cm 15,00b 26,67b 63,33a 18,33c 16,67c 16,67c Cp 11,67b 20,00b 48,33b 12,33d 17,33c 17,33c Karabenguk Putih Gk 58,33a 60,00a 46,67b 33,33b 36,67a 36,67a Karabenguk Rase 61,67a 70,00a 43,33b 39,00a 32,67b 32,67b Dalam kolom, angka diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT 5%. Putih Gk=Putih Gunungkidul.
138
Sidik ragam memperlihatkan besarnya persentase penutupan antar tanaman penutup tanah saling berbeda nyata baik pada umur 1 bulan, 2 bulan dan 3 bulan. Tabel 57. menunjukkan bahwa pada umur 1 bulan, karabenguk kultivar Rase memiliki persentase penutupan tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan karabenguk kultivar Putih Gunungkidul, diikuti Cm yang lebih tinggi namun tidak berbeda nyata dengan Cp. Pada tanaman umur 2 bulan, persentase penutupan untuk semua tanaman penutup tanah meningkat namun urutan masih sama persis dengan penutup tanah pada umur 1 bulan. Pada umur 3 bulan terlihat penutupan karabenguk sudah menurun sedangkan Cm dan Cp tetap meningkat. Akibatnya, persentase penutupan tanah Cm tertinggi diikuti dengan Cp yang tidak berbeda nyata dengan karabenguk kultivar Putih gunungkidul dan Rase. Seperti halnya persentase penutupan, antar perlakuan penutup tanah juga berbeda nyata pada variabel tebal tajuk. Tabel 57 memperlihatkan bahwa pada umur 1 bulan, tebal tajuk tertinggi karabenguk kultivar Rase diikuti karabenguk kultivar Putih Gunungkidul, Cm dan terendah Cp. Pada umur 2 bulan, tebal tajuk kultivar Rase sudah menurun sedangkan kultivar Putih Gunungkidul masih meningkat, Cm relatif tetap sedang Cp masih meningkat. Dengan demikian tebal tajuk tertinggi kultivar Putih Gunungkidul diikuti kultivar Rase dan terakhir Cp yang tidak berbeda nyata dengan Cm. Dari umur 2 bulan menjadi 3 bulan kondisi tersebut hampir tidak berubah. Hubungan tebal tajuk dan penutupan antar tanaman penutup tanah Tebal tajuk karabenguk dari waktu ke waktu lebih tinggi dibanding tanaman penutup tanah konvensional yaitu Cm dan Cp. Persentase penutupan karabenguk
139
musim kemarau juga lebih tinggi pada bulan ke 1 dan 2 namun pada bulan ke 3 sama atau lebih tinggi tanaman penutup tanah konvensional.
7. Peran karabenguk pada pengendalian gulma Hasil pengamatan menunjukkan ada 5 jenis gulma yang selalu muncul pada 3
kali pengamatan yaitu : 1) Tamanan / Cemondelan ( Tridax procumbens L.), 2) Lamuran (Polytrias amaura (Buese ) OK., 3) Meniran (Phyllanthus niruri L.), 4) Batang Merah (Allmania nodiflora (L..) R. Br. Ex Wight), 5) Teki (Cyperus rotundus L.) dan 6) Lampesan / Leng-lengan ( Leucas lavandulaefolia JE Smith). Pada bulan ke 1 pengamatan ada Patungan (Murdannia nudiflora L. Brenan) sedang pada bulan ke 2 dan 3 pengamatan ada Kremah ( Altthernanthera sessilis (L) DC dan Wedusan ( Ageratum conyzoides ). Hasil pengamatan pada gulma menunjukkan nilai nisbi nisbah dominansi penjumlahan (NDP/SDR) sebagai tersaji pada Tabel 58.
140
Tabel 58. Nilai NDP masing-masing gulma dan perlakuan pada pengamatan umur 1, 2 dan 3 bulan, indeks kesamaan komunitas terhadap lahan terbuka dan jumlah NDP gulma tahunan. Umur Gulma Nilai NDP pada perlakuan Tanaman Rase Putih Gk Cm Cp Terbuka 1bulan Polytrias amaura 50.77 55.62 59.42 59.11 64.05 Phyllanthus niruri 20.44 8.04 8.67 6.20 7.40 Leucas lavandulaefolia 6.22 5.56 15.04 16.91 19.53 11.94 16.78 9.39 5.92 5.97 Allmania nodiflora 10.63 4.17 7.48 11.86 3.05 Tridax procumbens 0.00 5.66 0.00 0.00 0.00 Cyperus rotundus Murdannia nudiflora 0.00 4.17 0.00 0.00 0.00 Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 C terhadap lahan terbuka 73.41 77.60 90.88 91.19 NDP Gulma Tahunan 50.77 61.28 59.42 59.11 64.05 2 bulan Polytrias amaura 37.57 47.52 41.70 40.43 54.66 Phyllanthus niruri 19.78 11.76 12.66 18.01 5.91 Leucas lavandulaefolia 17.00 9.92 20.13 12.64 10.69 13.54 8.59 6.18 8.55 3.53 Tridax procumbens Altthernanthera sessilis 6.59 16.98 3.87 8.48 16.81 Allmania nodiflora 5.52 5.22 11.60 7.86 3.35 Ageratum conyzoides 0.00 0.00 0.00 4.03 5.04 Cyperus rotundus 0.00 0.00 3.87 0.00 0.00 Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 C terhadap lahan terbuka 67.65 87.05 69.05 90.66 NDP Gulma Tahunan 37.57 47.52 45.57 40.43 54.66 3 bulan Polytrias amaura 32.72 47.77 44.08 36.68 49.23 22.27 11.60 16.34 20.17 9.74 Leucas lavandulaefolia 14.09 14.21 14.60 13.31 5.03 Phyllanthus niruri 10.10 20.79 13.39 10.78 17.71 Altthernanthera sessilis 7.89 0.00 4.53 10.03 5.70 Allmania nodiflora Ageratum conyzoides 0.00 0.00 3.39 4.89 9.42 Tridax procumbens 12.94 5.64 3.68 4.14 3.17 Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 C terhadap lahan terbuka 66.46 83.42 83.32 75.98 NDP Gulma Tahunan 32.72 47.77 44.08 36.68 49.23 NDP= nisbah dominansi penjumlahan, terbuka adalah lahan tanpa tanaman, Cp = Centrosema pubescens dan Cm = Calopogonium mucunoides, C= indeks kesamaan komunitas Tabel 58. memperlihatkan bahwa saat tanaman umur 1 bulan, karabenguk kultivar Rase menyebabkan komunitas gulma berbeda dibanding lahan terbuka. Ternyata jumlah NDP gulma tahunan lebih rendah dibanding lahan terbuka.
141
Perlakuan lain juga menunjukkan nilai angka lebih rendah namun ternyata hasil analisis vegetasi tidak menunjukkan komunitas gulma yang berbeda nyata. Tanaman berumur 2 bulan juga menyebabkan jumlah NDP gulma tahunan lebih rendah dibanding lahan terbuka. Hasil analisis vegetasi gulma menunjukkan bahwa kultivar Rase dan Cm yang secara nyata menyebabkan komunitas berbeda. Saat tanaman berumur 3 bulan, jumlah NDP gulma tahunan juga lebih rendah dibanding lahan terbuka. Seperti halnya saat tanaman berumur satu bulan, ternyata hanya karabenguk kultivar Rase yang mampu memperlihatkan komunitas gulma yang berbeda nyata. Untuk mengetahui pertumbuhan tanaman penutup tanah, disajikan hal tersebut pada Gambar 13, Gambar 14. dan Gambar 15. ïòêð ïòìð ïòîð ïòðð
Õ®¾»²¹«µ
ðòèð
ÌЬձ²ªò
ðòêð ðòìð ðòîð ðòðð ï
î
í
Umur (bulan)
Gambar 13. Klorofil total daun tanaman penutup tanah berdasarkan umur tanaman Keterangan : TPt Konv=tanaman penutup tanah konvensional
142
íòðð îòëð îòðð
Õ®Þ»²¹«µ
ïòëð
ÌЬձ²ª
ïòðð ðòëð ðòðð ï
î
í
Umur (bulan)
èòðð éòðð êòðð ëòðð ìòðð íòðð îòðð ïòðð ðòðð
Õ®¾»²¹«µ ÌЬձ²ª
ï
î
í
Umur (bulan)
Gambar 14. Indeks luas daun (ILD) tanaman penutup tanah berdasarkan umur tanaman
Gambar 15. Diameter batang tanaman penutup tanah berdasarkan umur tanaman
Keterangan : TPtKonv=tanaman penutup tanah konvensional
Keterangan : TPtKonv=tanaman penutup tanah konvensional
Pada Gambar 13. diketahui bahwa pada umur 1 bulan klorofil karabenguk lebih banyak namun pada perkembangan selanjutnya lebih baik tanaman penutup tanah konvensional. Dari Gambar 14. diketahui bahwa indeks luas daun 1 tanaman karabenguk pada umur 2 bulan memang dapat melampaui 10 tanaman penutup tanah konvensional dalam 1 lobang tanam, namun pada perkembangan berikutnya, indeks luas daun lebih baik pada tanaman penutup tanah konvensional. Dari Gambar 15. diketahui memang diameter batang karabenguk lebih besar dibanding tanaman penutup tanah konvensional. Karabenguk mampu mengendalikan gulma lebih baik dibanding tanaman penutup tanah konvensional untuk jangka waktu selama musim tanam, namun untuk jangka waktu menahun, ada kecenderungan lebih baik tanaman penutup tanah
konvensional.
143
8. Pembahasan peran 2 kulivar karabenguk sebagai penutup tanah pada 2 musim tanam Setelah dilakukan analisis korelasi, hubungan antar vaiabel pengamatan pada percobaan tanaman penutup tanah ini disajikan pada Lampiran 183. Kecuali klorofil total daun dan indeks panen hampir keseluruhan variabel variabel vegetatif dan hasil tanaman berhubungan. Diantara variabel yang berhubungan,
komponen yang
berhubungan erat (>0,8) adalah : 1) berat 100 biji dengan persentase protein, kadar air dan biji/polong; 2) persentase biji per polong dengan HCN, protein dan kadar air, 3) kadar air dengan HCN dan Protein, 4) protein dengan HCN, 5) berat kering brangkasan dengan serapan N, P dan K, 6) antar serapan N, P dan K, dan 7) antar ILD dengan berat kering brangkasan, serapan N, P dan K. Kandungan klorofil daun berhubungan dengan bahan organik tanah. Diameter batang berhubungan dengan pori tak tergunakan dan bobot kering brangkasan. Ke tiga macam pori berhubungan dengan P dan K total tanah, sedangkan pori menahan lengas juga berhubungan dengan N total dan pori drainase. N total berhubungan dengan C/N dan P total berhubungan dengan K total.
Hubungan antar komponen vegetatif tanaman penutup tanah Karabenguk musim hujan memiliki serapan hara N, P dan K lebih tinggi dibanding Cm dan Cp. Hal ini disebabkan karena lebih tingginya ILD, berat kering brangkasan dan juga diameter batang. Pada musim kemarau serapan NPK antar penutup tanah tidak berbeda nyata. Hal tersebut berhubungan dengan tidak berbeda
144
nyatanya indeks luas daun ( Tabel 43 ). Diameter batang musim hujan lebih tinggi dibanding kemarau ( Tabel 44 ). Hubungan antar komponen pertumbuhan Pada musim hujan, pertumbuhan klorofil karabenguk lebih cepat dibanding TptKonv, namun pada musim kemarau tidak berbeda nyata ( Tabel 46 ). Demikian pula halnya dengan ILD ( Tabel 47 ). Pertumbuhan batang karabenguk Putih Gunungkidul lebih tinggi dibanding perlakuan lain kecuali Putih Gunungkidul dengan pemupukan ( Tabel 48 ). Hubungan antar komponen hasil tanaman penutup tanah Baik pada musim hujan maupun kemarau dan kulivar Rase maupun Putih Gunungkidul ternyata pemberian pupuk organik 125 g/tan tidak meningkatkan hasil ( Tabel 51 ). Hubungan antar komponen hara tanah setelah tanaman dipanen Pemupukan dengan pupuk organik 30g/tan meningkatkan kadar K tanah setelah tanaman dipanen ( Tabel 52.). Pemupukan tersebut juga meningkatkan kadar P ( Tabel 54 ). Kadar P musim hujan setelah panen lebih tinggi dibanding musim kemarau ( Tabel 53.). Hubungan antar komponen penutupan Tebal tajuk karabenguk dari waktu ke waktu lebih tinggi dibanding tanaman penutup tanah konvensional. Persentase penutupan karabenguk musim kemarau juga lebih tinggi pada bulan ke 1 dan 2 namun pada bulan ke 3 sama atau lebih tinggi tanaman penutup tanah konvensional. Dengan demikian karabenguk sebagai penutup
145
tanah lebih baik disbanding tanaman penutup tanah konvensional selama tanaman hidup di lapangan. Kemampuan karabenguk mengendalikan gulma. Karabenguk mampu mengendalikan gulma yang didominasi lamuran lebih baik dibanding tanaman penutup tanah konvensional untuk jangka waktu selama musim tanam, namun untuk jangka waktu menahun, ada kecenderungan lebih baik tanaman penutup tanah konvensional. Karabenguk kultivar Rase mampu menurunkan dominansi lamuran sebagai gulma tahunan. Pembahasan karabenguk sebagai tanaman penutup tanah Pada musim hujan, serapan N, P dan K karabenguk lebih tinggi dibanding Cm dan Cp (Tabel 43 ). Hal tersebut menyebabkan pertumbuhan vegetatif yang lebih cepat sehingga seresah yang diperoleh juga lebih banyak (Tabel 46. – 48.) . Pupuk organik 30g/tan tidak meningkatkan hasil (Tabel 51.) namun menyebabkan P (Tabel 54.) dan K (Tabel 52.) pada tanah setelah panen lebih tinggi. Tebal tajuk karabenguk lebih tinggi dibanding Cm dan Cp namun persentase penutupan lebih tinggi hanya pada bulan pertama dan ke 2 (Tabel 57). Karabenguk mampu mengendalikan gulma selama tanaman hidup (Tabel 58., Gambar 13). Dibawah naungan karabenguk, tidak dijumpai gulma yang hidup. Tanaman karabenguk mampu memberikan N ke tanah dan menyebabkan tanah menjadi gembur, warna lebih gelap dan kandungan bahan organik meningkat ( Budianta, 1997 ). Hasil analisis vegetasi juga menunjukkan bahwa karabenguk mampu mengendalikan gulma selama pertumbuhan tanaman, namun untuk periode yang lama
akan lebih tahan Cm dan Cp. Karabenguk mampu mengendalikan gulma karena juga
146
memiliki kandungan L-dopa. Sebagai asam amino, L-Dopa tidak biasa ada pada tanaman namun berperan penting sebagai allelokimia pengendali gulma ( Fujii et al., 2003 ). Hasil rata-rata karabenguk pada musim hujan adalah 610 kg/ha sedangkan pada musim kemarau 346,40 kg/ha (Tabel 50). Hasil rata-rata pada kulivar Rase adalah 575 kg/ha sedangkan untuk Putih Gunungkidul 528,90 kg/ha (Tabel 51).
147
Dari Tabel 58 diketahui bahwa Lamuran mendominasi pada setiap perlakuan, terlebih pada pengamatan umur 1 bulan, namun pada pengamatan umur 2 dan 3 bulan terlihat gulma yang lain bertambah dominansinya meskipun tidak dapat melebihi lamuran. Berdasar pada nilai NDP, diperoleh nilai indeks kesamaan komunitas ( C ) yang disajikan pada Tabel 59. Tabel 59. Nilai C antar masing-masing perlakuan dan umur tanaman Umur Tanaman Nilai C Gulma pada perlakuan Tanaman penutup tanah Rase Putih Gk Kosong Cp Cm 1 Cm 42,06 36,95 45,68 45,64 bulan oCp 37,73 35,49 41,62 Kosong 45,57 36,82 Putih Gk 39,20 Rase 2 Cm 41,00 36,86 37,16 41,71 bulan Cp 43,50 41,59 42,87 Kosong 41,46 43,41 Putih Gk 43,22 Rase 3 Cm 40,09 39,14 41,85 45,15 bulan Cp 41,77 37,67 40,53 Kosong 38,13 35,44 Putih Gk 39,56 Rase C= indeks similaritas komunitas, Cm dan Cp = tanaman penutup tanah konvensional, kosong adalah lahan tanpa tanaman, Rase dan Putih Gk ( Putih Gunungkidul ) = kulivar karabenguk. Terlihat bahwa tidak ada nilai C yang melebihi 50%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa antar perlakuan tidak ada komunitas gulma yang sama. Masing-
masing perlakuan menghasilkan komunitas gulma yang berbeda.
148
Apabila disatukan antara karabenguk Rase dengan putih sebagai karabenguk dan Cm dan Cp sebagai tanaman penutup tanah konvensional (TptKonv) diperoleh hubungan umur tanaman dan NDP sebagai disajikan pada gambar 13. îëð îðð Õ¿®¿¾»²¹«µ
ïëð
Ì¿²°¿ ÌЬò ïðð
ÌЬձ²ªò
ëð ð ï
î
í
Umur (bulan)
Gambar 13. Nisbah dominansi penjumlahan ( NDP ) Gulma pada umur tanaman yang berbeda. Keterangan : Tanpa TPt = tanpa tanaman penutup tanah, TPt konv = tanaman penutup tanah konvensional Pada Gambar 13. terlihat bahwa tanpa tanaman penutup tanah NDP gulma cukup tinggi dan terus ada tren meningkat. Hingga umur 3 bulan karabenguk dapat menekan gulma, namun tetap ada tren meningkat. Pada tanaman penutup tanah konvensional, hingga umur 2 bulan belum terlihat mampu mengendalikan gulma, namun pada umur berikutnya tren untuk mengendalikan gulma sangat kuat.
V. KESIMPULAN
A. Kesimpulan
1. Karabenguk termasuk tanaman C3 yang memiliki pertumbuhan bintil yang indeterminate. Forma utilis meliputi kultivar Luthung, Hitam Gunungkidul dan Putih Kulonprogo, sedangkan forma cochinchinensis meliputi kultivar
Rase,
Putih Gunungkidul dan Putih Kedungombo. Hasil biji forma cochinchinensis umumnya lebih tinggi dibanding forma utilis, disebabkan ukuran beberapa komponen organ generatif yang lebih besar dan organ vegetatif yang lebih kecil. 2.
Pemupukan belum mampu meningkatkan hasil karabenguk, meskipun pupuk organik (fine compost) dosis 125g/tanaman dan 250g/tanaman meningkatkan jumlah bintil.
3. Pada penanaman musim hujan, kultivar Rase dengan penjalar jagung umur 4 minggu mampu memberikan hasil karabenguk dan jagung terbaik. Hasil terbaik pada pertanaman musim kemarau adalah kultivar Rase dengan penjalar jagung bersamaan tanam. Hasil tersebut ternyata per satuan luas mampu menyamai hasil karabenguk pada penjalar tanaman keras 4. Pertumbuhan awal dan ketebalan tajuk karabenguk lebih tinggi dibanding tanaman penutup tanah konvensional. Tanaman penutup tanah belum terlihat mampu memperbaiki sifat tanah. .Semua tanaman penutup tanah yang dicobakan mampu menekan gulma yang didominasi lamuran. Karabenguk mampu mengendalikan gulma lebih baik untuk jangka waktu selama musim tanam, namun untuk jangka
147
148 waktu menahun, ada kecenderungan lebih baik tanaman penutup tanah konvensional.
B. Saran 1. Hasil identifikasi karabenguk yang termasuk tanaman C3, forma utilis atau cochinchinensis dan pertumbuhan bintil yang indeterminate kiranya dapat digunakan agronom dan pemulia tanaman
untuk pengembangan ilmu
lebih
lanjut, 2. a. Kultivar Rase disarankan dipilih karena berpotensi hasil yang lebih tinggi. b. Karabenguk dapat digunakan sebagai tanaman pangan dengan masukan rendah, termasuk tanpa pupuk ataupun hanya dengan pupuk organik dosis sedang (setara fine compost 125 g/tanaman) untuk digunakan sebagai tanaman penghasil protein pada kawasan kering marginal. 3. Pada musim penghujan, kultivar Rase dengan penjalar jagung umur 4 minggu dan pada musim kemarau dengan penjalar jagung bersamaan tanam dapat disarankan. Di pulau Jawa, penanaman harus dirancang melalui bulan Juni karena saat itulah karabenguk berbunga. 4. Karabenguk dapat disarankan sebagai tanaman penutup tanah yang menghasilkan
bahan pangan untuk jangka waktu yang relatif pendek.
VI. RINGKASAN Latar Belakang
Salah satu cara untuk mempertahankan kesuburan tanah adalah dengan tanaman penutup tanah. Tanaman karabenguk bermanfaat karena bijinya dapat digunakan sebagai bahan pangan ( Josephine dan Janardhanan, 1991 ), sebagai tanaman penutup tanah dan pakan ( Carmen et al, 1999 ), serta digunakan sebagai tanaman perintis pada lahan-lahan tandus ( Duke, 1981 ). Bijinya mengandung L-Dopa ( Chattopadhyay et al., 1994 ) sebagai bahan obat. Beberapa senyawa racun juga terkandung dapat hilang karena pemanasan dan perendaman ( Handajani et al., 1996 ). Jumlah karbohidrat yang diterima bintil akan tergantung laju fotosintesis tanaman inang. Pemanfaatan cahaya oleh tanaman C4 lebih efisien dibanding C3. Untuk itu perlu diketahui karabenguk termasuk C3 ataukah C4. Bakteroid pada bintil alfalfa (Medicago sativa) yang indeterminate mengalami penuaan pecah namun bintil tetap utuh tidak terlepas dari akar cabang ( Vance et al., 1980 ). Bila bintil Phaseolus vulgaris yang determinate menua, membran sel akan pecah dan bakteroid mengalami penghancuran ( Pladys and Rigaud, 1988 ) disertai hancurnya bintil. Pola pertumbuhan bintil pada tanaman karabenguk perlu diketahui, bila determinate kiranya pecahnya bintil dari waktu ke waktu akan memberi hara pada tanaman tumpangsari. Kultivar erat hubungannya dengan letak tumbuhan pada taksonomi. Karabenguk yang dibudidayakan meliputi 2 forma, utilis dan cochinchinensis. Kultivar yang ada
149
150
termasuk forma yang mana dan juga bagaimana kaitan dengan potensi hasil perlu diketahui. Tanaman mengambil hara dari tanah melalui absorbsi pada akar rambut. Disamping hal tersebut, khususnya untuk tanaman kacang-kacangan termasuk di dalamnya karabenguk bersimbiosis dengan rhizobium untuk mengubah nitrogen bebas menjadi nitrogen yang tersedia bagi tanaman. Apakah dengan adanya ke dua proses tersebut menyebabkan karabenguk tidak memerlukan pemupukan
nitrogen, perlu
penelitian lebih lanjut. Hasil penelitian Handajani et al. ( 1996 ) menunjukkan bahwa penggunaan penjalar tanaman tahunan pada karabenguk memberikan hasil lebih tinggi dibanding penjalar bambu. Di sisi lain, penggunaan tanaman tahunan sebagai penjalar membutuhkan korbanan yang tinggi karena saat panen karabenguk, cabang tanaman penjalar ikut dipangkas. Untuk itu perlu dicoba penggunaan rangka penjalar tanaman semusim yang ditumpangsari dengan karabenguk. Sebagai tanaman penutup tanah, idealnya karabenguk memiliki pertumbuhan yang cepat, memiliki nilai penutupan tanah yang tinggi dan mampu mengendalikan gulma. Berbagai peran sebagai penutup tanah tersebut apakah mampu dipenuhi oleh karabenguk, akan terjawab melalui hasil penelitian ini. Tujuan Penelitian antara lain :
1.a).
Berdasarkan anatomi daun dan nisbah
seludang berkas pengangkutan per tebal daun, menentukan tanaman karabenguk C3 atau C4, b). Menentukan pola pertumbuhan bintil determinate ataukah indeterminate, c). Menentukan forma dari kultivar dan asal tanaman karabenguk yang berbeda, 2).
Mengetahui pengaruh macam dan takaran pupuk pada 2 kultivar karabenguk 3).
151
Mengetahui peranan rangka penjalar pada 2 kultivar dan 2 musim tanam terhadap pertumbuhan dan hasil dan 4). Mengetahui peran penutup tanah karabenguk dibandingkan dengan penutup tanah konvensional yang lain baik pada laju pertumbuhannya, persentase penutupan, pengendalian gulma dan perbaikan sifat tanah. Tinjauan Pustaka 1. Kajian Biologi Karabenguk Pada tumbuhan dengan daur fotosintesis C3, sel ikatan pembuluh berukuran kecil, sedangkan pada tumbuhan C4 ikatan pembuluh berdinding tebal dan memiliki banyak kloroplas ( Laetsch, 1974 cit. Salisbury and Ross, 1992 ). Tumbuhan C4 memiliki 2 macam kloroplas. Kloroplas pada sel mesofil dan kloroplas pada seludang berkas pengangkutan ( Black et al., cit. Salisbury and Ross, 1992 ). Pada tumbuhan C3, seludang berkas berukuran kecil-kecil sedangkan pada C4 mengumpul dan membentuk kranz ( Salisbury and Ross, 1992 ). Tribe Phaseoleae pada sub famili Papilionoideae pada Leguminosa terlihat berbeda dari tribe Vicieae dan Trifolieae dalam morfologi dan anatomi bintil. Bintil Phaseoleae memiliki pertumbuhan determinate, saat menua, lembaran vaskuler melebur pada bentuk ujung, efektif, menutup jalur dari stele akar. Bintil dari Vicieae dan Trifolieae memiliki meristem apikal, pertumbuhan indeterminate, satu atau lebih cabang dari stele akar masuk dan bercabang diantara bintil, elemen baru terdeferensiasi dalam hubungannya dengan pertumbuhan bintil dan percabangan bebas pada ujung apikal bintil. Bintil Vicieae dan Trifolieae memiliki sel-sel vaskuler transfer dan sel-sel bervacuola terinfeksi dan bakteroid rhizobium bermacam bentuk. Produk yang diekspor dari fiksasi nitrogen bintil pada Phaseoleae adalah ureida allantoin dan asam allantoik, sedang pada
152
Vicieae dan Trifolieae adalah amida dan asam amino, khususnya glutamin dan asparagin. Eksport produk tersebut berhubungan dengan anatomi vaskuler bintil tanaman asal tropis/sub tropis pada Phaseoleae dan pada daerah sedang Vicieae dan Trifolieae ( Sprent, 1980 ). Mucuna pruriens varietas utilis memiliki biji berwarna hitam, sedang Mucuna pruriens varietas cochinchinensis memiliki biji berwarna putih ( Vissoh et al., 1998 ). Di dalam buku Flora of Java ( Backer and Van Den Brink, 1963 ). disebutkan bahwa karabenguk utilis memiliki panjang tandan lebih dari 32cm, tangkai 4-10 mm, mahkota berwarna ungu gelap, panjang polong 10-13cm, tidak berbulu gatal dan biasa dibudidayakan. Forma cochinchinensis dicirikan oleh panjang tandan 4-5cm, tangkai 5-7 mm, mahkota berwarna putih kehijauan, panjang polong 10-12cm, tidak berbulu gatal. Karabenguk cochinchinensis dibudidayakan sebagai hasil introduksi.
2. Pemupukan pada 2 kultivar karabenguk Di Amerika Serikat, superfosfat 50 - 225 kg/ha direkomendasi, namun pemupukan jarang meningkatkan hasil biji. Kapur kadang meningkatkan hasil biji. Inokulasi kadang dilakukan pada tanah tropis, namun biasanya tidak digunakan di daerah sedang. Strain yang digunakan untuk inokulasi limabean kacang tunggak dan lespedeza dapat digunakan untuk karabenguk. Karabenguk dapat dirotasi dengan jagung atau kapas ( Duke, 1981 ). Kondisi lahan yang terendam air, sangat tidak subur, tanah masam dengan pH< 4,5 tidak cocok untuk karabenguk ( Hairiah et al., 1993 ). Pada tanaman tingkat tinggi, mikro organisme penambat N2 hidup secara
bersimbiosis, dalam kacang-kacangan atau bintil non kacang-kacangan. Karbohidrat
153
sebagai sumber energi disuplai oleh inang. Kacang-kacangan bersimbiosis dengan Rhizobium dan mampu mengubah N2 menjadi NH3 ( Marschner, 1986 ). Bila kadar NH3 hasil penyerapan akar dan kerja enzim nitrat reduktase tinggi, maka aktivitas rhizobium dan bintil akar akan berkurang. Karabenguk dinyatakan sebagai tanaman perintis pada lahan tandus yang tahan kering ( Duke, 1981 ). Dalam kaitan dengan posisinya sebagai tanaman kacang-kacangan, tentu kandungan hara nitrogen tanah yang tinggi akan menghambat aktivitas bintil. Bila hal tersebut terbukti, maka penambahan nitrogen tidak akan meningkatkan pertumbuhan tanaman secara nyata.
3. Rangka Penjalar Karabenguk pada 2 Kultivar dan 2 Musim Tanam Pada tingkat petani, tanaman karabenguk biasa ditanam di pekarangan dengan dirambatkan pada tanaman tahunan. Sementara beberapa pihak menggunakan karabenguk sebagai penutup tanah sekaligus meningkatkan kesuburan tanah ( Duke, 1981 ). Hasil penelitian Handajani et al. ( 1995 ) menunjukkan bahwa rangka penjalar mempengaruhi hasil tanaman karabenguk. Pada pemanenan pertama, setiap tanaman karabenguk menghasilkan 66 g polong kering untuk tanpa rangka penjalar, 134 g untuk rangka penjalar ujung bambu setinggi 2 m, 600 g untuk rangka penjalar tanaman lamtoro hidup dan 1006 g untuk rangka penjalar pohon jambu biji hidup. Dengan rangka penjalar tanaman hidup, karabenguk mampu hidup lebih lama. Rangka penjalar hidup diperkirakan mampu memberikan kelembaban lingkungan yang lebih terhadap karabenguk, sehingga tetap mampu bertahan di masa kering. Tanaman rangka penjalar jambu biji menghasilkan polong karabenguk lebih banyak karena percabangan yang lebih
154
melebar sehingga penangkapan sinar lebih banyak. Kelemahan tanaman keras sebagai penjalar adalah sulitnya pemanenan, hingga saat panen tanaman penjalar harus dipangkas. Untuk itu perlu dicari cara dengan rangka penjalar tanaman semusim agar tanaman karabenguk mampu menghasilkan biji untuk bahan pangan yang tidak jauh berbeda dibanding potensi hasilnya sebagai tanaman yang merambat pada rangka penjalar tanaman tahunan.
4. Tanaman Penutup Tanah Karabenguk pada 2 Kultivar dan 2 Musim Tanam Teknologi mengembalikan kesuburan tanah telah dicoba menggunakan alley cropping atau tanaman lorong dengan Leucaena leucocephala dan Gliricidae sepium, Mucuna pruriens (karabenguk) dan Acacia auriculiformis. Mukuna atau karabenguk juga digunakan untuk mengendalikan imperata atau alang-alang ( Versteeg et al., 1998 ). Karabenguk merupakan legum atau kacang-kacangan yang tumbuh cepat sebagai tanaman penutup tanah di daerah tropika basah, namun berakar dangkal di tanah masam ( Hairiah et al., 1991 ). Karabenguk sering digunakan sebagai penutup tanah untuk menekan erosi. Salah satu faktor yang mempengaruhi erosi adalah faktor pengelolaan tanaman yang mempengaruhi penutupan lahan (C). Semakin tinggi nilai C, tingkat erosi akan semakin tinggi. Nilai C untuk padang rumput 0,0004, tanah yang dibajak kasar 0,004, tanah yang dipersiapkan untuk tanaman jagung 0,022, jagung dengan kanopi 10-50% 0,0247, kanopi 50-75% 0,0238, kanopi 75% hingga panen 0,04 dan seresah 0,0112 (Kent Mitchell and
Bubenzer, 1980).
155
Landasan Teori Dalam kaitan dengan energi yang digunakan dalam fiksasi N dan berbagai kepentingan lain, karabenguk termasuk tanaman C3 atau C4 perlu diketahui. Anatomi daun berhubungan erat dengan jalur fotosintesis. Untuk melihat peran bintil sebagai pengubah N2 bebas menjadi tersedia bagi tanaman perlu diketahui pola pertumbuhan bintil. Ada 2 pola pertumbuhan bintil yaitu pertama indeterminate, bintil tumbuh terus dan baru mengalami lisis menjelang tanaman mati. Pola ke dua yaitu determinate, bintil tumbuh sampai batas tertentu kemudian lisis termasuk saat tanaman masih dalam periode vegetatif. Pada tanaman pola determinate akan sangat membantu tanaman tumpangsarinya mengingat bintil dapat memberikan N tersedia bagi tanaman ke dalam tanah hampir sepanjang masa pertumbuhan tanaman. Bila bintil rusak sebelum tanaman menua maka pertumbuhan bintil determinate dan bila bintil rusak menjelang penuaan maka pertumbuhan bintil indeterminate. Berbagai kultivar karabenguk yang ada di lapangan belum diketahui posisinya terhadap taksonomi tumbuhan. Tentu hal tersebut perlu diketahui sekaligus dapat menghubungkannya dengan potensi pertumbuhan dan hasilnya. Suatu kultivar termasuk forma utilis bila memiliki warna mahkota bunga ungu kehitaman dan forma cochinchinensis bila warna mahkota bunga putih kehijauan. Sebagai tanaman pangan, pupuk merupakan salah satu komponen untuk meningkatkan hasil. Uji pemberian pupuk diperlukan untuk mengetahui responnya pada pertumbuhan dan hasil tanaman. Sebagai tanaman kacang-kacangan, peran bintil dalam pengikatan N2 udara juga diperlukan. Peran kombinasi antara N dari tanah dan pupuk
dengan N2 bebas yang diproses melalui bintil terhadap pertumbuhan dan hasiil tanaman
156
perlu diketahui. Penggunaan pupuk akan meningkatkan pertumbuhan tanaman bila bagian-bagian vegetatif memiliki berat dan ukuran lebih besar dan meningkatkan hasil bila berat dan ukuran komponen hasil lebih tinggi. Tanaman karabenguk memiliki kebiasaan tumbuh menjalar pada tanaman lain. Hasil penelitian Handajani, et al. ( 1995 ) memberikan gambaran bahwa penjalar tanaman menahun menyebabkan hasil karabenguk yang lebih baik. Jagung merupakan salahsatu tanaman yang sering ditumpangsari dengan karabenguk. Rangka penjalar yang mampu membuat karabenguk memiliki pertumbuhan dan hasil tinggi merupakan rangka penjalar yang baik. Pertumbuhan yang tinggi tercermin pada komponen vegetatif dengan berat dan ukuran yang lebih besar. Hasil yang tinggi tercermin pada berat dan ukuran komponen hasil. Tanaman karabenguk sering dinyatakan sebagai tanaman penutup tanah disamping tanaman penutup tanah konvensional. Tanaman penutup tanah baik bila memiliki tingkat penutupan yang tinggi, mampu mengendalikan gulma dan memperbaiki sifat-sifat tanah. Berdasarkan uraian terdahulu, dapat diberikan hipotesis sebagai berikut : a). struktur anatomi dan nisbah seludang berkas pengangkutan per tebal daun karabenguk menunjukkan bahwa jalur fotosintesisnya mengikuti pola C3 b). Pola pertumbuhan bintil karabenguk mengikuti pola pada tribe Phaseolae yang bersifat determinate, c). Diketahui macam forma dari karabenguk dengan kultivar dan asal tanaman yang berbeda, d). Diperoleh takaran untuk pemupukan karabenguk sebagai tanaman pangan, e). Dengan rangka penjalar jagung umur 2 minggu, karabenguk mampu menghasilkan biji dengan
kualitas dan kuantitas yang baik, f). Karabenguk pada penjalar tanaman keras memiliki
157
hasil per satuan luas yang tidak lebih tinggi dibanding penjalar tanaman semusim (jagung), dan g). Karabenguk akan mampu berperan sebagai tanaman penutup tanah.
Cara Penelitian Penelitian dilakukan di rumahkaca dan lapangan pada tanah litosol yang sama. Penelitian kajian biologi dan pemupukan dilakukan di rumahkaca Fakultas Pertanian UNS pada ketinggian tempat 98m di atas permukaan laut (dpl) dan suhu maksimum harian 39 C dan dilanjutkan di lapangan. Penelitian I, Kajian Biologi Karabenguk Penelitian kajian biologi menggunakan rancangan acak kelompok lengkap 6 perlakuan kultivar, diulang 8 kali dalam polibag termasuk 5 kali ulangan disediakan untuk pengamatan secara destruktif dan 3 kali ulangan digunakan untuk pengamatan hingga panen. Enam perlakuan dimaksud adalah Hitam Gunungkidul, Luthung, Putih Gunungkidul, Putih Kedungombo, Putih Kulonprogo dan Rase. Penelitian II, Pemupukan pada 2 Kultivar Karabenguk Penelitian pemupukan menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap dengan rancangan perlakuan Faktorial 2 faktor. Faktor pertama kultivar terdiri 2 tingkat yaitu Rase dan Putih Gunungkidul. Faktor ke dua pupuk terdiri 5 tingkat yaitu tanpa pupuk, pupuk organik dosis sedang /fine compost 125 g/tanaman, pupuk organik dosis tinggi / 250 g/tanaman, NPK dosis sedang / mutiara 16-16-16 30 g/tanaman dan NPK dosis tinggi / 60 g/tanaman. Perlakuan pemupukan yang diberikan sekali tersebut kemudian dilanjutkan di lapangan dengan pemupukan terbagi 2 kali pada 3 kultivar
karabenguk.
158
Penelitian III, Rangka Penjalar 2 Kultivar Karabenguk pada 2 Musim Tanam Penelitian penggunaan rangka penjalar dilaksanakan 2 tahap, musim hujan dan musim kemarau . Disamping musim sebagai faktor pertama, faktor ke dua adalah kultivar dengan Rase dan Putih Gunungkidul. Faktor ke tiga adalah macam penjalar terdiri 5 tingkat yaitu jagung bersamaan tanam dengan karabenguk, jagung umur 2 minggu, jagung umur 4 minggu, penjalar bambu dan tanpa penjalar; pada musim hujan ditambah penjalar mangga dan penjalar singkong. Penelitian IV, Dua Kultivar Penutup Tanah Karabenguk pada 2 Musim Tanam Penelitian karabenguk sebagai penutup tanah juga dilaksanakan 2 tahap yaitu pada musim hujan dan musim kemarau. Disamping musim sebagai faktor pertama, faktor ke dua adalah macam penutup tanah terdiri atas 7 tingkat yaitu Rase, Putih Gunungkidul, kalopoginium, sentrosema, Rase dengan pupuk organik dosis sedang , Putih Gunungkidul dengan pupuk organik dosis sedang ditambah tanpa penutup tanah sebagai kontrol. Hasil Penelitian 1. Kajian Biologi Karabenguk a. Anatomi daun karabenguk Pada bayam (C4) ikatan pembuluh membentuk kranz, berkloroplas dan berdinding tebal. Pada kedelai (C3) ikatan pembuluh kecil-kecil, tidak berkloroplas dan tidak berdinding tebal. Pada karabenguk seperti halnya pada kedelai, seludang berkas kecil-kecil, tidak berkloroplas dan tidak berdinding tebal. Dengan demikian berdasar kriteria tersebut karabenguk masuk kedalam tanaman C3.
159
b. Pertumbuhan bintil Hasil pengamatan umur 1,5 dan 2,5 bulan, terlihat bahwa anatomi bintil dari 6 kultivar yang dicobakan juga tidak berbeda nyata. Pada umur 3,5 bulan sebagian bintil telah mengalami lisis. Sebelum masa panen, bintil belum mengalami. Bintil juga berkembang kesegala arah dengan membentuk benjolan-benjolan baru yang berasal dari sel meristematis sebagai terlihat jelas pada Rase umur 2,5 bulan. Dengan demikian, pola pertumbuhan bintil karabenguk indeterminate, mengalami lisis setelah tanaman menjelang mati.
c. Forma pada Karabenguk yang dibudidayakan Forma utilis memiliki panjang tandan lebih dari 32cm, tangkai 4-10 mm, mahkota berwarna ungu gelap, panjang polong 10-13cm, tidak berbulu gatal dan biasa dibudidayakan. Forma cochinchinensis mempunyai panjang tandan 4-5cm, tangkai 5-7 mm, mahkota berwarna putih kehijauan, panjang polong 10-12cm, tidak berbulu gatal dan dibudidayakan sebagai hasil introduksi ( Backer and Van Den Brink, 1963 ). Berdasar hal tersebut maka yang termasuk forma utilis (mahkota bunga ungu) adalah kultivar Luthung, Hitam Gunungkidul dan
Putih Kulonprogo, sedangkan
forma cochinchinensis (mahkota bunga putih) adalah kultivar
Rase, Putih
Gunungkidul, Putih Kedungombo. Hasil biji tertinggi dicapai oleh kultivar Putih Gunungkidul dan Rase, untuk Rase tidak berbeda nyata dengan kultivar luthung. Indeks panen tertinggi terjadi pada
160
kultivar Putih Gunungkidul dan tidak berbeda nyata dengan Rase. Forma cochinchinensis ternyata menghasilkan biji dengan bobot yang lebih besar. Forma cochinchinensis memiliki hasil biji yang lebih tinggi dibanding forma utilis, hal tersebut karena didukung oleh jumlah biji per polong yang lebih tinggi, mahkota bunga yang lebih besar, tangkai daun yang lebih pendek dengan klorofil daun yang lebih rendah serta berat batang sekunder yang lebih rendah. 2. Pemupukan 2 kultivar Karabenguk Dibanding tanpa pupuk (kontrol), pemupukan sekali menggunakan pupuk NPK dosis tinggi ternyata menurunkan semua variabel yang diuji. Pupuk NPK dosis sedang ternyata menurunkan berat kering akar dan serapan K. Penggunaan pupuk organik baik dosis sedang maupun dosis tinggi mampu meningkatkan jumlah bintil tanpa mengubah variabel lain secara nyata. Dengan dosis pupuk dierikan 2 kali ternyata pemupukan tidak mengubah secara nyata semua variabel pengamatan. Kultivar Rase tanpa pupuk menghasilkan biji dengan bobot yang lebih tinggi dibanding perlakuan lain. Demikian pula dengan indeks panennya. Hal tersebut memberikan indikasi bahwa tanpa pupuk buatan, tanaman akan lebih tahan lungkungan suhu tinggi. Terkait pH tanah, pH tanah yang rendah pada NPK dosis sedang berindikasi kadar lengas tanah yang lebih tinggi dibanding 3 perlakuan non NPK. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa batas waktu tertentu pemberian pupuk NPK dosis sedang menyebabkan lengas tanah kurang terserap tanaman dan tanah menjadi semakin asam. Lengas tanah paling rendah atau penyerapan terbaik terjadi pada pupuk organik dosis tinggi diikuti pupuk organik dosis sedang.
161
3. Penggunaan Rangka Penjalar pada 2 Kultivar Karabenguk dan 2 musim tanam Serapan hara karabenguk dengan penjalar jagung lebih tinggi dibanding kontrol dan penjalar bambu akibat separoh karabenguk dan separoh tanaman jagung. Indeks luas daun dan klorofil tidak berbeda nyata menunjukkan perbedaan kompetisi intra spesifik dan antar spesies berdasar variabel ini tidak nyata. Diameter batang karabenguk menurun akibat berkompetisi dengan jagung yang ditanam lebih awal namun berat kering brangkasan pertanaman lebih tinggi pada karabenguk dengan penjalar jagung. Hal tersebut disebabkan karena berat kering brangkasan per satuan luas tetap meskipun jumlah tanaman hanya separohnya. Penjalar jagung bersamaan tanam meningkatkan hasil per tanaman sedangkan penjalar bambu meningkatkan hasil biji per satuan luas, keduanya disebabkan indeks panen yang lebih tinggi. Baik tanpa maupun dengan penjalar, karabenguk musim hujan menghasilkan serapan N, P dan K, diameter batang dan berat kering brangkasan per tanaman yang lebih tinggi dibanding musim kemarau. Pada musim hujan, penjalar jagung meningkatkan serapan N, P dan K serta berat kering brangkasan per tanaman. Indeks panen pada musim hujan memang lebih rendah dibanding musim kemarau, namun hasil per tanaman karabenguk dengan penjalar jagung memang lebih tinggi. Pada kultivar rase, penjalar jagung menurunkan berat 100 biji namun hal tersebut tidak terjadi pada kultivar Putih Gunungkidul. Hasil biji tertinggi dicapai pada kultivar Rase yang ditanam musim hujan dengan penjalar bambu diikuti perlakuan penjalar
jagung dan tanpa penjalar pada kultivar Rase, kultivar Putih Gunungkidul untuk
162
tanaman musim hujan dengan penjalar jagung bersamaan tanam, kultivar Rase untuk musim kemarau dengan penjalar jagung bersamaan tanam dan bambu serta kultivar Putih Gunungkidul musim kemarau dengan penjalar bambu. Menurut Handajani et al.( 1996 ), rangka penjalar tanaman keras mampu meninkatkan hasil karabenguk. Apabila diperhitungkan dengan luas lahan, dapat dibuktikan ternyata penjalar jagung untuk karabenguk tidak menurunkan hasil dibanding tanaman keras. Hasil total tertinggi dicapai pada kultivar Rase dengan penjalar bambu, tidak berbeda nyata dengan penjalar jagung umur 4 minggu dan singkong serta kultivar Putih Gunungkidul dengan penjalar tanaman mangga. Hasil jagung yang ditanam 2 dan 4 minggu sebelum karabenguk ternyata hasil tidak menurun dibanding monokultur. Dengan demikian perlakuan ini dapat dianjurkan untuk musim hujan sedang untuk musim kemarau, anjuran diberikan untuk jagung bersamaan tanam dengan karabenguk. Pada karabenguk, pembungaan dipengaruhi oleh hari pendek dan dipacu oleh suhu malam yang tinggi (21 C). Tanaman memerlukan waktu 2-3 bl untuk berbunga hingga polong masak dan tanaman mati 45-60 hari setelah membentuk biji (Aiming et al.; 1999). Umur tanaman yang panjang pada musim hujan disebabkan menunggu hari pendek untuk berbunga dan hal tersebut terjadi saat musim kemarau. Kanopi sedang hingga lebat menyebabkan tanaman berbunga pada umur 74 -154 hari dan penuaan 142 -189 hari sedang pada kanopi tidak lebat menyebabkan tanaman berbunga pada umur 49 hari dan penuaan umur 118 hari ( Bennett-Lartey, 1998 ). Kanopi lebat terjadi akibat pertumbuhan cepat karena air tersedia cukup dan hal
163
tersebut terjadi pada penanaman musim hujan. Hasil rata-rata karabenguk pada Penelitian III musim hujan 629,93 kg/ha, musim kemarau 303,9 kg/ha.
4. Dua kultivar Karabenguk sebagai tanaman penutup tanah pada 2 musim tanam Serapan N, P dan K karabenguk baik dipupuk maupun tidak dipupuk ternyata pada musim hujan lebih tinggi dibanding tanaman penutup tanah konvensional yaitu kalopogonium dan sentrosema. Hal tersebut menyebabkan indeks luas daun, diameter batang dan berat kering brangkasan yang lebih tinggi namun hal tersebut tidak terjadi pada pertanaman musim kemarau yang antar tanaman penutup tanah tidak menghasilkan beda nyata. Pemupukan ternyata juga tidak menambah hasil biji. Hingga bulan ke 2, persentase penutupan dan tebal tajuk karabenguk lebih besar dibanding kalopogonium dan sentrosema namun pada bulan ke 3 penutupan sentrosema dapat menyamai bahkan kalopogonium memiliki penutupan yang lebih tinggi. Dibawah naungan karabenguk, tidak dijumpai gulma yang hidup. Tanaman karabenguk mampu memberikan N ke tanah dan menyebabkan tanah menjadi gembur, warna lebih gelap dan kandungan bahan organik meningkat ( Budianta, 1997 ). Hasil analisis vegetasi juga menunjukkan bahwa karabenguk mampu mengendalikan gulma selama pertumbuhan tanaman, namun untuk periode yang lama akan lebih tahan kalopogonium dan sentrosema. Karabenguk mampu mengendalikan gulma karena juga memiliki kandungan L-dopa. Sebagai asam amino, L-Dopa tidak biasa ada pada tanaman namun berperan penting sebagai allelokimia pengendali gulma ( Fujii et al., 2003 ). Sebagai pupuk hijau, karabenguk meningkatkan hasil
164
jagung dan keseimbangan nitrogen tanah lebih baik ketika hasil fiksasi nitrogen dirubah sebagai biomas tanaman ( Ambate Okito et al., 2004 ). Hasil biji karabenguk rata-rata pada Percobaan IV musim hujan 610 kg/ha dan musim kemarau 346,40 kg/ha. Kesimpulan 1. Berdasarkan anatomi daun, karabenguk merupakan tanaman C3. Berdasarkan anatomi
bintil,
karabenguk
mengikuti
pola
pertumbuhan
bintil
yang
indeterminate. Forma utilis meliputi kultivar Luthung, Hitam Gunungkidul dan Putih Kulonprogo, sedangkan forma cochinchinensis meliputi kultivar
Rase,
Putih Gunungkidul, Putih Kedungombo. Hasil biji forma cochinchinensis terutama kultivar Rase dan Putih Gunungkidul lebih tinggi dibanding Forma utilis. 2. Pemupukan yang dilakukan belum meningkatkan hasil. Pupuk organik dengan dosis tinggi (fine compost 250g/tanaman) dan sedang ( 125g/tanaman) menghasilkan jumlah bintil yang lebih banyak dibanding NPK (mutiara 16-16-16) dosis tinggi (60g/tanaman), NPK dosis sedang (30g/tanaman) dan kontrol. 3. Pada penanaman musim hujan pada kultivar Rase dengan penjalar bambu dan jagung umur 4 minggu mampu memberikan pertumbuhan dan hasil terbaik. Pada pertanaman musim kemarau hal tersebut terjadi pada kultivar Rase dengan penjalar bambu dan jagung bersamaan tanam. Berbagai komponen pertumbuhan dan hasil karabenguk dengan penjalar bambu dan jagung umur 4 minggu ternyata
per satuan luas dapat menyamai tanaman dengan penjalar tanaman keras.
165
4. Ketebalan tajuk penutup tanah karabenguk lebih tinggi dibanding tanaman penutup tanah konvensional. Di awal pertumbuhan karabenguk, persentase penutupannya lebih tinggi namun menjelang panen lebih tinggi pada persentase penutupan kalopogonium. Pertumbuhan penutup tanah karabenguk lebih baik dibanding kalopogonium dan sentrosema bila ditanam pada musim hujan dan tidak berbeda nyata bila ditanam pada musim kemarau. Tanaman penutup tanah baik yang konvensional maupun karabenguk mampu menekan gulma yang didominasi lamuran. Karabenguk mampu mengendalikan gulma lebih baik dibanding tanaman penutup tanah konvensional untuk jangka waktu selama musim tanam, namun untuk jangka waktu menahun, ada kecenderungan lebih
baik tanaman penutup tanah konvensional.
SUMMARY Background
One of the ways for maintaining soil fertility is cover crop utilization. Velvet bean was food produce, but the later using to cover crop. How the role of velvet bean as cover crop and how to increase the crops are, should be scrutinized in both wet and dry seasons. Velvet bean plant is very useful for its seeds and leaves can be used as food ( Josephine and Janardhanan, 1991 ), as cover crop and feed ( Carmen et al, 1999 ), as well as can be used as pioneer plant in infertile land ( Duke, 1981 ). The seed contains LDopa ( Chattopadhyay et al., 1994 ) as medicine substance. Several poisonous compounds are also presented within it and they will disappear by heating and soaking ( Handajani et al., 1996 ). The carbohydrate receive by nodules depends on the host’s photosynthetic rate. The photosynthetic rate were affected on C3 or C4 photosynthesis type. Therefore, it should be identified whether the bean belongs to C3 or C4. Bacteroid on nodule alfalfa (Medicago sativa) encountering maturation is broken but the nodule remains intact and not separated from the branch root ( Vance et al., 1980 ). Alfalfa belongs to medium-climate planting category that is following indeterminategrowth nodule pattern. On nodule maturation-Phaseolus vulgaris, the cellular membrane will be broken and bacteroid will encounter destruction ( Pladys and Rigaud, 1988 ) followed by the nodule destruction on nodule with determinate growth pattern in the tropical plant. The nodule growth pattern in velvet bean has not been known definitely. Hence, it is necessary to conduct an investigation concerning the usage for handling it as intercropping plant and green fertilizer.
166
167
Genetic factor is closely related to the plant position in the taxonomy and cultivar types. Cultivated velvet bean includes 2 forma: utilis and cochinchinensis. Which forma contains the existing cultivar and how its relationship with the yield potential, should be found out. The plant takes up mineral from the soil through absorption on the hair follicle. In addition, particularly for the legume plant including velvet bean conduct symbiosis with rhizobium for altering free nitrogen into nitrogen provided for the plant. It should be investigated further about whether the two processes makes the velvet bean does not need nitrogen fertilizing. Handajani et al.( 1996 ) show that the usage of annual plant creeping-pole on velvet bean provides the higher yield than bamboo pole. On the other hand, the usage of annual plant as creeping pole needs a high sacrifice since during the harvest time the creeping-plant’s branch will also be cut off. Thus, it is necessary to attempt to use annual creeping-plant pole that is intercropped with the velvet bean. As a cover crop, velvet bean ideally has rapid growth, has a high soil closure value and can control the weeds. Could such role as soil cover be fulfilled by velvet bean, will be answered through the result of this research. The research objectives include :
1. a).
To determine the velvet bean’s
photosyntesis type C3 or C4 based on anatomy structure and ratio bundle sheath diameter per leave thick b). To determine determinate or indeterminate nodule growth patern, c). To determine the forma of cultivar and the different velvet bean plant origin, 2). To find out the effect of fertilizer types and doses on velvet legume 2 cultivars, 3). To find out the role of the creeping-pole in 2 cultivars and 2 planting seasons on the growth and crops and 4).
168
To find out the role of velvet bean soil cover compared with other conventional soil cover for either the growth rate, closure percentage, and weed controlling.
Literature Review
1. Biological Examination of Velvet Bean
In vegetation with C3 photosynthesis type, the bundle sheath cell seems to be vague, while in vegetation C4, the bundle sheath cell has thick wall and much chloroplast ( Laetsch, 1974 cit. Salisbury and Ross, 1992 ). Vegetation C4 has 2 type of chloroplast. The first chloroplast in mesofile cell and theother one in bundle sheath cell ( Black et al., cit. Salisbury and Ross, 1992 ). In vegetation C3, the bundle sheath cell spreads while in C4 it assembles and creates cranz ( Salisbury and Ross, 1992 ). Tribus Phaseoleae in sub family Papilionoideae in Leguminosa seems to be different from tribe Vicieae and Trifolieae in the term of nodule morphology and anatomy. Nodule Phaseoleae has a determinate growth pattern; during maturation period the vascular membrane melts on the end form, and effectively covers the root stele. Nodules of Vicieae and Trifolieae have apical meristem, indeterminate growth, one branch or more of input root stele and branches off between the nodule, new differentiated element in relation to the nodule growth and free branching on the nodule apical end. Nodules Vicieae and Trifolieae have transfer-vascular cells and cells with infected vacuole and various types of bacteroid rhizobium. The products that exported from nodule of nitrogen fixation in Phaseoleae are ureida allantoin and allantoic acid, while in Vicieae and Trifolieae are amide and amino acid, particularly glutamine and asparagine. The product export relates
169
to the nodule vascular anatomy in tropical/subtropical origin plant in Phaseoleae and in medium area in Vicieae and Trifolieae (Sprent, 1980). According to Backer and Van Den Brink ( 1963 ), it is mentioned that velvet bean utilis has bunch length that is more than 32cm, stalk of 4-10 mm, dark purple crown, pod length of 10-13cm, no itchy hair and is usually cultivated. Forma cochinchinensis is characterized by the bunch length of 4-5cm, stalk of 5-7 mm, greenish white crown, pod length of 10-12cm, and not itchy hair. Velvet bean cochinchinensis is cultivated as an introductory result .
2. Fertilizing Velvet Bean 2 Cultivars In United Stated, super-phosphate 50 - 225 kg/ha is recommended, but fertilizing rarely increases the seeds yield. Sometimes, calcium increases the seeds yield. Inoculation is sometime conducted on tropical land, but it is not usually used in medium area. Strain used for inoculation, limabean and lespedeza can be used for velvet bean. Velvet bean can be rotated with corn or cotton plant ( Duke, 1981 ). The land condition that is soaked by water, infertile, sour soil with pH< 4,5 is not appropriate for velvet bean ( Hairiah et al., 1993 ). In high-level plant, N2-bonding microorganism live symbiotically within legume or nodules non-legume. Carbohydrate as energy source is supplied by the host. Legume conducts symbiosis with Rhizobium and is able to change N2 into NH3 ( Marschner, 1986 ). If NH3 - content resulting from root absorption and work of reductase nitrate enzyme high, then the activity of rhizobium and root nodule will diminish. Velvet bean is stated as a pioneer plant in infertile and dry-resistant land ( Duke, 1981 ). Relating to its position as legume plant, the high content of nitrogen mineral on the
170
soil will of course hamper the nodule activity. If it does so, the nitrogen addition will not significantly increase the plant growth.
3. Velvet bean-creeping pole in 2 cultivars and 2 planting seasons In farmers level, velvet bean is usually planted in yard by creeping it on the annual plant. Meanwhile, some people uses velvet bean as soil cover and to increase the land fertility all at once ( Duke, 1981 ). Handajani et al. ( 1995 ) shows that the creeping pole affects the velvet bean crops. In the first harvest, each velvet bean produces 66 g dried pod for without creeping pole, 134 g for creeping-pole of bamboo top as high as 2 m, 600 g for creeping pole of alive Leucaena glauca plant and 1006 g for creeping pole of alive guava plant. With living plants as the creeping pole, the velvet bean lives longer. The living creeping pole is presumed to be able to provide the higher environment to velvet bean, so that it can survive during dry period. Creeping pole of guava plant results in the greater number of velvet bean’s pod since the branching more widen so that the light capture is bigger. The short lifespan of hard plant as creeping pole is the harvesting difficulty, so that during the harvest the creeping plant should be cut off. Therefore, it should be found one way that is with seasonal plant creeping pole in order that velvet bean is able to produce seeds for food with the yield potential that is not so different from the plant creeping on annual planting creeping pole.
4. Cover crop, Velvet bean in 2 Cultivars and 2 Planting Season
Technology of recovering land fertility has been attempted using alley cropping or trail plant with Leucaena leucocephala and Gliricidae sepium, Mucuna pruriens (velvet
171
bean) and Acacia auriculiformis. Mucuna or velvet bean is also used for controlling imperata or coarse grass ( Versteeg et al., 1998 ). Velvet bean constitutes legume or beans that grows rapidly as cover crop in wet tropical area, but has shallow root in sour land ( Hairiah et al., 1991 ). Velvet bean is often used as soil cover for suppressing erosion. One of factors affecting erosion is plant management factor influencing land closure (C). The higher the C value, the higher the erosion rate. C value for savannah is 0,0004, for rough-plowed land is 0,004, for land that is prepared for corn plant is 0,022, for corn with canopy 1050% is 0,0247, with canopy 50-75% is 0,0238, with canopy 75% through harvesting is 0,04 and seresah is 0,0112 ( Kent Mitchell and Bubenzer., 1980 ).
Theoretical Review
In the term of energy that is used in N fixation and other various interests, the photosynthesis path of velvet beans should also be found out. The knowledge about the photosynthesis path, of course, is very useful for velvet bean cultivation being developed. Leaf anatomy related with photosynthetic cycle. For seeing the nodule role as changing agent of free-N2 into the one provided for plant, it should be found out the nodule growth pattern. There is 2 nodule growth patterns, they are: firstly, indeterminate in which the nodule grows continuously and just encounters lyses when the plant almost dies, and secondly, determinate in which the nodule grows until certain limit and then lyses including during the vegetative period. The plant in the second pattern will really help its intercropping plant recalling that the nodule can give N available to plant inside the soil throughout the plant growth period. When nodules lyses
172
before plant maturity, nodules growth was determinate but when nodules lyses after plant mature, nodules growth was indeterminate. Various cultivars of velvet bean existing in the field had not been known in the term of their position in vegetation taxonomy. Of course, it should be known and related to the growth and crop potential. One cultivar included cochinchinensis forma while they have greenish white flower crown and utilis forma while they have blackish violet flower crown. As food plant, fertilizer is one of components for increasing the yield. Fertilizer administration test is necessary for finding out the response on plant’s growth and crop. As legume, the nodule role in fixating weather-N2 is also necessary. It should be found out the combined role between N from soil and the fertilizer with free-N2 processed through the nodule on the plant’s growth and crop. Fertilizing utilization increasing growth and yield when increasing there component. Velvet bean plant has habit of growing by creeping on other plant. The Handayani et al. ( 1995 ) research result gives an overview that perennial creeping plant results in a better velvet bean crop. Corn is one of plants often intercropped with velvet bean. Recalling different growth rate and growth pattern, it is assumed that corn should be planted earlier compared with velvet bean. In addition to quantity, the quality of result is also necessary as a measuring rod in current research. The high growth show that high vegetative component and weight. The high yield show that high there component. As the soil cover, the role of course should be known, particularly, as weed controller, seresah provider and adding the land mineral, make soil rehabilitation and
173
grows quickly. As food plant producing food substance, it is also necessary to find out the quality and quantity of crops cross potential varieties and organic fertilizer usage. Considering the previous explanation, it can be hypothesized that: a). Anatomy structure and ratio of bundle sheath diameter per leave thick of velvet bean indicates that it photosynthesis type follows pattern C3 b). The nodule growth pattern of velvet bean follows the pattern in tribe Phaseolae that is determinate in nature, c). It is found out the forma types of velvet bean with different cultivars and plant origins, d). It is obtained a dose for velvet bean fertilizing as food crops. e). Using creeping pole of 2-weeks corn, velvet bean is able to produce seeds with good quality and quantity. f). Velvet bean on perennial creeping plant has the yield per unit width that is not higher than corn creeping plant g). Velvet bean will be able to play the role as cover crop.
Research Methodology The research was conducted in greenhouse and field with the same litosol soil. The biological examination research and fertilizing was conducted in greenhouse in Agricultural Faculty of UNS in altitude of 98 m up sea level and daily maximum temperature 39oC and was continued in the field. Research I, Biological Examination on Velvet bean This examination employed Randomized Completely Block Design (RCBD) with 6 cultivar treatments, and repeated for 8 times within the polybag including 5 repetitions provided for destructively observation and 3 repetitions for observation through harvesting.
The six treatments mentioned are Hitam Gunungkidul, Luthung, Putih
Gunungkidul, Putih Kedungombo, Putih Kulonprogo. and Rase. Research II, Fertilizing on Velvet bean 2 Cultivars
174
The fertilizing research used Completely Group Random Design with factorial treatment design. In the first factor, cultivar consisted of 2 types, i.e. Rase and Putih Gunungkidul. In the second factor, fertilizer consisted of 5 levels, namely without fertilizer, medium dose of organic fertilizer /fine compost 125 g/plant, high dose of organic fertilizer/ 250g/plant, medium dose of NPK / Mutiara 16-16-16 30g/plant and high-dose of NPK 60g/plant. The fertilizing treatment administered once then was continued in the field with the fertilizing that is subdivided into 2 times on 3 cultivars velvet bean. Research III, Creeping Pole of 2 cultivars velvet bean on 2 planting season The research on creeping pole was conducted in two stages: rainy season and dry season. In addition to season as the first factor, the second one was cultivars, namely Rase and Putih Gunungkidul. The third factor was the type of creeping pole consisting of 5, namely corn that was planted simultaneously with velvet bean, 2 weeks-corn , 4 weeks corn, bamboo pole and without pole; in wet season, those was added with mango creeping pole and cassava creeping pole. Research IV, Velvet bean cover crop with 2 cultivars and 2 planting seasons Research on velvet bean as cover crop was also conducted in two stages, they are: in rainy season and dry season. In addition to seasons and cultivars as the first factor, the second one was the type of cover crop consisted of 7 levels, namely Rase, Putih Gunungkidul, Calopogonium muconoides), Centrosema pubescen, Rase with medium dose of organic fertilizer, Putih Gunungkidul with medium dose of organic fertilizer supplemented without cover crop.
175
Result of this research
1. Biological Examination of Velvet Bean a. Anatomy of velvet bean leaves In spinach (C4) the bundle sheath cell creates kranz and has thick wall. In soybean (C3) the bundle sheath cell seems to be apparent and to assemble but with no thick wall. Similarly, in velvet bean, the bundle sheath cell seems to assemble, but has no thick wall. Thus, considering the criteria above, velvet beans belongs to vegetation C3. b. Nodule Growth The observation result in lifespan 1.5 months and 2.5 months, it can be seen that the nodule anatomy of 6 cultivars examined has no significant differences. In 3.5 months old most of nodule has encountered lyses. Before harvest period, the nodule has not encountered lyses. The nodule develops to any direction and creates several new protrusions resulting from meristematic cell as obviously seen in Rase with 2.5 months lifespan. Thus, the nodule growth pattern of velvet bean is indeterminate, and encounters lyses after the plant almost dies. c. Forma in cultivated velvet bean Forma utilis has bunch length that is more than 32cm, stalk of 4-10 mm, dark purple crown, pod length of 10-13cm, no itchy hair and is usually cultivated. Forma cochinchinensis has the bunch length of 4-5cm, stalk of 5-7 mm, greenish white crown,
176
pod length of 10-12cm, and not itchy hair. Velvet bean cochinchinensis is cultivated as an introductory result ( Backer and Van Den Brink, 1963 ). Considering the facts above, the cultivars belonging to forma utilis (with darkpurple-flower crown) are cultivar Luthung, Hitam Gunungkidul and Putih Kulonprogo, while the ones belonging to forma cochinchinensis (with greenish white-flower crown) are cultivar Rase, Putih Gunungkidul, Putih Kedungombo. The highest seed yield is obtained by cultivars Putih Gunungkidul and Rase, and that of Rase is not significantly different from that of cultivar Luthung. The highest harvest index occurs in cultivar putih gunungkidul and is not significantly different from that of Rase. In fact, forma cochinchinensis produces seeds with greater weight. Forma cochinchinensis has the higher seed yield than forma utilis, that can be supported by the higher number of seed per pod, greater flower crown, shorter leaves stalk with lower leave chlorophyll as well as lower secondary stalk weight. 2. Fertilizing on velvet bean 2 cultivars Compared with without fertilizer, one-time fertilizing using high-dose NPK in fact decreases all variables examined. NPK medium dose in fact decreases root’s dried weight and K absorption. The usage of organic fertilizer both Organic medium dose and Organic high dose can increase the nodule number without changing other variables significantly. In two-times fertilizing, in fact, it does not change the observation variable significantly. Cultivar Rase without any fertilizer results in seeds with higher weight compared with other treatments. It is similar with the harvest index.. This provides indication that without artificial fertilizer, the plant have high temperature enclosure.
177
Related to the soil-pH, the lower soil-pH in NPK medium dose indicates that soil’s humidity is higher than the 3 non-NPK treatments. Thus it can be said that specific time limit of medium-dose NPK fertilizer results in the soil’s humidity absorbed inadequately and the soil is getting sourer. The lowest humidity or the best absorption occurs in organic high dose fertilizer followed by organic medium dose fertilizer.
3. The usage of Creeping Pole in 2 Cultivars of Velvet bean and 2 Planting Season Velvet bean’s mineral absorption corn-creeping pole is higher than the control and bamboo-creeping pole because the density of velvet bean is a half and maize a half any more. The leaves area index and chlorophyll that are not significantly different indicates that intra-specific and cross-species competition differences base on this variable is not significant. The stalk diameter of velvet bean decreases because it competes with the corn that is planted earlier but the gross dried weight per plant is higher in velvet bean with corn-creeping pole. This is because the gross dried weight per unit width is constant although the plant number is just a half. Corn-creeping pole planted simultaneously increase the yield per plant while bamboo-creeping pole increase the yield per unit width, both of them results from the high harvest index. Either without or with creeping-pole, velvet bean in rainy season results in N, P and K absorption, stalk diameter and gross dried weight per plant that is higher than that in dry season. In rainy season, corn-creeping pole increase N, P and K absorption as well as gross dried weight per plant. Harvest index in rainy season is lower than it in dry season, but the yield of velvet bean with corn-creeping pole, per plant, is higher.
178
In cultivar rase, corn-creeping pole decreases 100 seeds weight but this does not occur in cultivar Putih Gunungkidul. The highest result is obtained in Cultivar Rase planted in rainy season with bamboo-creeping pole followed by corn-creeping pole treatment and without creeping pole in cultivar rase, Cultivar Putih Gunungkidul for rainy season plant with simultaneously planted-corn creeping, Cultivar Rase for dry season with simultaneously planted-corn creeping and bamboo-creeping pole as well as Cultivar Putih Gunungkidul in dry season bamboo-creeping pole. Handajani et al. ( 1996 ) states that the hard plant creeping–pole can increase the velvet bean yield. If the land width is accounted for, it can be proven that in fact corn-creeping pole for velvet bean increases the yield not less than the hard plant. The highest total yield is obtained in cultivar rase with bamboo-creeping pole, that is not significantly different from with 4 weeks corn- and cassava-creeping pole as well as Cultivar Putih Gunungkidul with mango-creeping pole. The corn yield planted 2 and 4 weeks before velvet bean in fact does not diminish compared with monoculture. Thus this treatment is recommended for the rainy season while for the dry season, it is recommended to use the corn planted simultaneously with velvet bean. In Experiment 3, the average result of Cultivar Rase is 834,80 kg/ha while Cultivar Putih Gunungkidul is 547,50 kg/ha, whereas in Experiment 4 for Rase is 575 kg/ha and for Putih Gunungkidul is 528,90 kg/ha. In velvet bean, flowering is affected by the short day and is triggered by the high night temperature (21 C). Plant needs 2-3 months for blooming until the pod mature and it dies 45-60 days after creating seeds (Aiming et al.; 1999). The plant’s
179
longer lifespan in rainy season is because it is waiting for short day for blooming and that occurs during the dry season. Medium to dense canopy makes the plant blooming in 74 -154 days and maturation 142 -189 days while thin canopy makes the plant blooming in 49 days and maturation in 118 days ( Bennett-Lartey, 1998 ). The dense canopy occurs due to the rapid growth because of an adequate water reserve and this occurs in rainy season planting.. Velvet bean’s yield in Experiment 3 in rainy season is 629,93 kg/ha, in dry season is 303,9 kg/ha. 4. Two cultivars of Velvet bean as cover crop in 2 planting seasons Nitrogen, P and K absorption of velvet bean both fertilized or not, in fact, in rainy season is higher than conventional soil covering plant i.e. Calopogonium muconoides and Centrosema pubescent. This results in higher leaves area index, stalk diameter and gross dried weight but it does not occur in dry season planting in which there is no significantly different result cross-cover crops. In fact, fertilizing does not increase the seed yield too. Through month 2, closure percentage and velvet bean’s crown thickness is greater than that of Calopogonium muconoides and Centrosema pubescent but in month 3 the closure of Centrosema pubescent equal to it and even Calopogonium muconoides closure is higher than it. Under velvet bean shelter, there is no weed alive. Velvet bean plant is able to provide N to the soil and makes the soil fertile, the color getting darker and organic substance content increase ( Budianta, 1997 ). The result of vegetation analysis also shows that velvet bean is able to control the weed during plant growth period, but for long period Calopogonium muconoides and Centrosema pubescent will be more
180
durable. Velvet bean is able to control weed since it also has L-dopa content. As amino acid, L-Dopa does not usually exist in plant but plays an important role weedscontrolling allelokimia ( Fujii et al., 2003 ). As green fertilizer, velvet bean increase the corn yield and the soil nitrogen balance is better when nitrogen fixation result is changed into plant biomass ( Abate-Kato et al., 2004 ). In Experiment 4, seed yield in rainy season is 610 kg/ha and in dry season is 346,40 kg/ha. Conclusion
1. Based on the leaves anatomy, velvet bean has photosynthesis path C3. Based on nodule anatomy, velvet bean follows an indeterminate nodule growth pattern. Forma Utilis includes cultivar Luthung, Hitam Gunungkidul and Putih Kulonprogo, while Forma Cochinchinensis includes cultivar
Rase, Putih
Gunungkidul, Putih Kedungombo. The seeds of forma cochinchinensis, particularly cultivar Rase and Putih Gunungkidul, is higher yield than that of forma utilis. 2. With fertilizer treatment, velvet bean would seed yield increased not yet. Organic fertilizer with high (fine compost 250g/plant) and medium doses (125g/plant) results in the higher value in the number of nodule compared with high-dose NPK (Mutiara 16-16-16) (60g/plant), medium-dose NPK (30g/plant) and control. 3.
In rainy season planting, Cultivar Rase with bamboo-creeping pole and 4-weeks corn is able to provide the best growth and yield. In dry season planting, Cultivar Rase with bamboo-creeping pole and simultaneously planted-corn exactly provides the best growth and yield. Various components of velvet bean’s growth and yield with bamboo-creeping pole and 4-weeks-corn per unit width, in fact, is same than it with perennial creeping-plant.
181
4. The crown thickness of velvet bean cover crop is higher than that of conventional cover crop. In initial growth of velvet bean, the closure percentage is higher but approaching the harvest the closure percentage of Calopogonium muconoides is higher. The growth of velvet bean cover crop is better than that of Calopogonium muconoides and Centrosema pubescen if it is planted in rainy season and is not significantly different from planted in dry season. The soil covering plant both conventional and velvet bean is able to control weeds. Velvet bean is able to control weeds better than the conventional cover crop during the planting season, but for for long period, there is a predisposition that conventional cover crop is better.
DAFTAR PUSTAKA Ahenkora K., M. Dadzie, and P. Osei Bonzu, 1999. Composition and fuctional properties of raw and heat processed Velvet bean flours. Int.J-food-Sci Technol,.34 (2) : 131-135. Aiming Q.I., R.H. Ellis, J.D.H.Keatinge, T.R. Wheeler, S.A.Tarawali, and R.J. Summerfield, 1999. Differences in the effects of temperature and photoperiod on progress to flowering among diverse Mucuna spp. Crop Science, 182 : 249– 258. Ann Oaks, - . Nitrat Reductase in Roots and its Regulation. McMaster Univ., Canada. Apriantono, A; 1989. Analisis Zat Gizi. IPB, Bogor. Backer and Van Den Brink, 1963. Flora of Java Vol. 1. Groningen, Noordhoff. Bennett-Lartey, SO; 1998. Characterization and preliminary evaluation of some accessions of local germplasm of velvet bean (Mucuna pruriens DCvar. utilis Wall) of Ghana. Ghana J Agric. Sci. .31 (1) : 131-135 Berlyn GP and Miksche JP; 1976. Botanical microtechnique and cytochemistry. The Iowa Univ Press, Ames Iowa. Budianta, D; 1997. Pengendalian Alang-alang dengan Mucunisasi. Ekstensia 6 (10) : 60-65 Capo-Chichi, L.J.A., D.B.Weaver, and C..M. Morton, 2001. AFLP assessment of genetic variability among velvetbean (Mucuna sp.) accessions. Theoretical and Applied Genetics, 103 : 1180–1188. Carmen J del, A.G. Gernat, R. Myhrman, and L.B. Carew, 1999. Evaluation of raw and heated Velvet bean as feed in gredients for broilers. Poultry Sci. 78 (6) : 866-872 Chattopadhyay S., S.K. Datta, and S.B. Mahato, 1994. Production of L-dopa from cell suspension culture of Mucuna pruriens f. Pruriens. Plant Cell Rep. 13 (.9) : 519-522 Chattopadhyay S., S.K. Datta, and S.B. Mahato, 1995. Rapid micro propagation for Mucuna pruriens f. Pruriens. Plant cell rep . 15 (3/4) : 271-273. Coultas CL, TJ Post, JB Jones Jr, and YP Hsieh, 1996. Use of Velvetbean to improve soil fertility and weed control in corn production in Northern Belize. Commun Soil Sci Plant anal . 27 (9/10) : 2171-2196. Darmiyati, S; Sumarno dan F Muhadjir, 1989. Pengaruh Musim Tanam, ZPT dan P terhadap Pertumbuhand an Hasil Kacangtanah di Lahan Sawah. Penel. Pert. .9 (4) : 170 – 182. Duke, JA. 1981. Hand book of Legumes of World Economic Importance. Plenum Press, NewYork. Fujii Y., 2003. Allelopathy in the natural and agricultural ecosystems and isolation of potent allelochemicals from Velvet bean (Mucuna pruriens) and Hairy vetch (Vicia villosa). Biol Sci 17 (1) : 6-13. Gardner FP, RB Pearce and RL Richell, 1985. Phisiology of Crop Plant. Iowa State Univ. Press.
182
183
Hairiah K, M Van Noordwijk, dan S Setijono, 1991. Tolerance to acid soil condition of Velvet beans Mucuna pruriens var. utilis and deeringiana. Dev Plant Soil Sci 45 : 227-237. Handajani, Sri; 2002. Potensi Koro sebagai Sumber Gizi dan Makanan Fungsional. Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Pertanian Univ. Sebelas Maret Surakarta. Handajani, Sri; Supriyono, Eddy Triharyanto, Sri Marwanti, Ismi Dwiastuti dan Bambang Puji Asmanto, 1995. Pengembangan budidaya dan pengolahan hasil kacang-kacangan sebagai usaha produktif wanita di lahan kering daerah tangkapan hujan Waduk Kedungombo. Lap. Pen. HB II/2. Handajani, Sri; Supriyono, Eddy Triharyanto, Sri Marwanti, Ismi Dwiastuti dan Bambang Puji Asmanto, 1996. Pengembangan budidaya dan pengolahan hasil kacang-kacangan sebagai usaha produktif wanita di lahan kering daerah tangkapan hujan Waduk Kedungombo. Lap. Pen. HB II/3. Hardjowigeno, 1987. Ilmu Tanah. Mediatama Sarana Perkasa, Jakarta. Hasbourne, 1987. Metode Fitokimia. Terjemahan Kosasih P dan Iwang S, ITB, Bandung Hipkins, MF; 1984. Photosynthesis on Advanced Plant Physiology. MB Wilkins (Ed). Pitmann London. Johansen,DA; 1940. Plant Microtechnique. Tata Mc Graw Hill, New York. Josephine RM and K Janardhanan, 1991. Studies on chemical composition and anti nutritional factors in 3 germ plasm seed materials of the tribel pulse Mucuna pruriens (L). DC. Food Chem 43 (1) : 13-18. Kaig N Jr, WA Carns, and AB Bowen, 1940. Soil organic matter and nitrogen as influenced by green manure crop management on Norfolk Coarce sand. J Am Soc Agron 32 (11) : 842-852. Kang BT, DO Ladipo, and O Ofeimu, 1995. Phosphorus and liming effect on early growth of selected plant species grown on an ultisol. Commun Soil Sci Plant anal .26 (9/10) : 1659-1673. Kent Mitchell J and GD Bubenzer, 1980. Soil Loss Estimation on Soil Erosion. Ed. Kirkby MJ and Morgan RDC. John Wiley and Sons, Chichester. Kyei-Boahen, Slinkard and Walley, 2002. Evaluation of Rhizobial Inoculation AE Methode for Chickpea FL. Agron J. 94 (4) : 851-859. Layzell, DB; 1990. N2 Fixation, NO3- reduction and NH4+ assimilation on Plant Physiology, Biochemistry and Molecular Biology, Dennis DT and Turpin DH (ed). Longman, UK. Loveless, AR; 1983. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropik. Terjemahan K Kartawinata, S Danimiharja dan U Sutisna, Gramedia jakarta, 1987. Macdonald, FD and BB Buchanan; 1990. The Reductive Pentosa Phosphate Pathway and its Regulation on Plant Physiology, Biochemistry and Molecular Biology. Dennis DT and Turpin DH (ed), Longman, England.
184
Mahrita, 2003. Pengaruh pemberian N dan Waktu Pemangkasan pucuk terhadap pertumbuhan dan hasil Kacang Nagara (Vigna sp.). Agroscientiae 10 (2) : 7077. Mardjuki, A; 1984. Tanggapan beberapa Varietas Kedelai terhadap Bulan Tanam. Ilmu Pert. .3 (6) : 263 – 271. Marschner, H; 1986. Mineral Nitrition of Higher Plants. Acad. Press, London. Mc Kaig N Jr, WA Carns, and AB Bowen, 1940. Soil organic matter and nitrogen as influenced by green manure crop management on Norfolk Coarce sand. J Am Soc Agron 32 (11) : 842-852. Minardi S, 2002. Kajian komposisi pupuk NPK terhadap hasil beberapa varietas tanaman buncis tegak (Phaseolus vulgaris ) di tanah alfisol. Sains Tanah 2 (1) : 18-24. Mitoyat E dan Widodo, 1978. Pengaruh Pemupukan N dan Pemakaian Rangka Penjalar (frame) terhadap Produksi Ubijalar. PPPT UGM 1977/78 No. 17. Muljanto, Djoko; 1991. Effect of Defolination and Water Stress on the Root Growth , the Biological and Histological aspect of the nodules in White Clover (Trifolium repens L.). Institute National Polytechnique de Lorraine. Nugroho, WH., 1990. Statistical Analysis and Interpretation of Intercropping Research. Agricultural Faculty, UNIBRAW, Malang. Okito, Ambate; Bruno José Rodrigues Alves, Segundo Urquiaga and Robert Michael Boddey, 2004. Nitrogen fixation by groundnut and velvet bean and residual benefit to a subsequent maize crop. Pesq. agropec. bras., Brasília, 39 (12) : 1183-1190, dez. 2004. Pladys D and Rigaud, 1988. Lysis Bacteroid in vitro and during the senescence in Phaseolus vulgaris nodules. Plant Physiol. Biochem. 26 (2) : 179 – 186. Rahayu, Hesti; 2002. Pengaruh penambahan dosis Bahan Organik dan Dolomit terhadap ketersediaan dan serapan P dengan indicator tanaman kacang tanah pada tanah latosol. Sains Tanah 2 (1) : 25-34. Ripiani, Desti; AH Bakrie dan S Yusnaini, 1992. Pengaruh Pemberian Kompos Sampah Kota dan Pupuk NPK pada berbagai Taraf Dosis terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kacang Kapri (Pisum sativum). J Penel FP Unila 5 (5) : 2585 – 2598. Roy AK and HK Chourasia, 1989. Effect of temperature on aflatoksin production in Mucuna pruriens seeds. Appl Environ Microbiol 55 (2) : 531-532. Salisbury & Ross, 1992. Plant Physiology. 4th ed. Terjemahan Diah R Lukman & Sumaryono Jilid 2. ITB Bandung. Sanginga N, LE Wirkom, A Okogun, IO Akobundo, RJ Carsky, and G Tian, 1996. Nodulation and Estimation of Simbiotic nitrogen fixation by herbaceous and shrubs legumes in Guinea savanna in Nigeria. Biol fertil Soils. 23 (4) : 441-448. Soerjani, M; Kostermans and G Tjitrosoepomo.; 1987. Weeds of Rice in Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta. Sprent JI, 1980. Root Nodule anatomy, type of export product and evolutionary origin in some Leguminosae. Plant, Cell and Environment 3 : 35-43.
185
Sudjadna, D, 1993. Pengaruh pemupukan Urea, TSP dan KCl terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kacang Tanah di Profi-Manokwari. Irja Agro 1 (3) : 56-65. Tjitrosoedirdjo S; IH Utomo dan J Wiroatmodjo, 1984. Pengelolaan Gulma di perkebunan. Gramedia, Jakarta Vance,CP; LEB Johnson; AM Halvorsen; GH Heichel and DK Barnes; 1980. Histological and Ultra structural observation of Medicago sativa root nodule senescence after foliage removal. Can J Bot. 58 : 259-309. Versteeg MN, F Amadji, A Eteka, A Gogan, and V Koudokpon, 1998. Farmers adaptability of Mucuna fallowing and agroforestry technologies in the Coastal Savanna of Benin. Agric Syst 56 (3) : 269-287. Vissoh P, VM Manyong, JR Carsky, P Osei Bonzu and M Galiba, 1998. Experiences with Mucuna in West Afrika. IDRC, Ottawa. Weaver DB, R Rodriguez Kabana, and EL Garden, 1998. Velvet bean and bahiagrass as rotation crops for management of Meloydogyne and Heterodera glicines in soybean. J.Nematol 30 (4) : 563-568. Wedhastri, Sri; 1993. Penurunan Kadar Glukosa Sianogenik Biji Koro Benguk oleh Aktivitas Fermentasi Aspergilus oryzae, Aspergilus sojae, Rhizopus oligosporus dan Rhizopus oryzae. Ilmu Pert. 5 (2) : 593 – 602. Wigham DK, 1983. Soybean on Petential Productivity of Field Crops Under Different Environment. IRRI p. 205-225. Wood M; JE Cooper and AJ Holding; 1983. Method to Asses the Effect of Soil Acidity factors on Legume-Rhizobium Symbioses. Soil Biol.Biochem 15 (1) : 123-124.
186
Muljanto, Djoko, 1991. Effet de la coupe des parties aeriennes et du deficit hydrique sur la dynamique racinaire, la biologie et i’histologie des nodosites du trefle blanc (Trifolium repens). Institute National Polytechnique de Lorraine. Muljanto, Djoko; 1992. Ultrastruktur Mikroskopis Bintil Akar. Makalah Seminar Rutin PS UGM 4 Maret 1992. Nugroho, WH., 1990. Statistical Analysis and Interpretation of Intercropping Research. Agricultural Faculty, UNIBRAW, Malang. 269 p.
186
LAMPIRAN SIDIK RAGAM PERCOBAAN I Anatomi daun karabenguk LAMPIRAN 1. Sidik ragam perbandingan diameter seludang berkas pengangkutan dan tebal daun tanaman karabenguk, bayam dan kedelai Sumber DB JK KT Fhit Ftab.05 ns Ulangan 2 0,001789 0,000895 0,28 6,94 Tanaman 2 0,180363 0,090182 28,52* 6,94 Galad 4 0,012646 0,003162 Total 8 0,194799 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata LAMPIRAN 2. Sidik ragam perbandingan diameter seludang berkas pengangkutan dan tebal daun antar Kultivar Karabenguk Sumber Db JK KT Fhit Ftab.05 Ulangan 2 0,001230 0,000615 0,48ns 3,33 ns Kultivar 5 0,015190 0,003038 2,39 4,10 Galad 10 0,012689 0,001269 Total 17 0,029108 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
187
Morfologi dan Hasil enam Kultivar Karabenguk Akar Primer LAMPIRAN 3. Sidik ragam panjang akar primer Sumber DB JK KT Ulangan 1 12,00 12,00 Kultivar 5 113,67 22,73 Galad 5 159,00 31,80 Total 11 284,67 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 0,38ns 0,71ns
LAMPIRAN 4. Sidik ragam diameter akar primer Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 0,2408 0,2408 2,34ns Kultivar 5 1,1675 0,2335 2,27ns Galad 5 0,5142 0,1028 Total 11 1,9225 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 5. Sidik ragam berat kering akar primer Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 0,000133 0,000133 0,03ns Kultivar 5 0,078867 0,015773 3,00ns Galad 5 0,026267 0,005253 Total 11 0,105267 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata Akar Sekunder LAMPIRAN 6. Sidik ragam panjang akar sekunder Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 3,000 3,000 1,00ns Kultivar 5 22,667 4,533 1,51ns Galad 5 15,000 3,000 Total 11 40,667 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Ftab.05 6,61 5,05
188
LAMPIRAN 7. Sidik ragam diameter akar sekunder Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 0,003333 0,003333 1,00ns Kultivar 5 0,006667 0,001333 0,40ns Galad 5 0,016667 0,003333 Total 11 0,026667 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 8. Sidik ragam berat kering akar sekunder Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 0,0001333 0,0001333 0,32ns Kultivar 5 0,0063667 0,0012733 3,08ns Galad 5 0,0020667 0,0004133 Total 11 0,0085667 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata Bintil Akar LAMPIRAN 9. Sidik ragam jumlah bintil akar primer Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 1,3333 1,3333 2,50ns Kultivar 5 1,6667 0,3333 0,62ns Galad 5 2,6667 0,5333 Total 11 5,6667 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 10. Sidik ragam jumlah bintil akar sekunder Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 1,3333 1,3333 4,00ns Kultivar 5 1,6667 0,3333 1,00ns Galad 5 1,6667 0,3333 Total 11 4,6667 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 11. Sidik ragam berat kering bintil akar Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 0,0002083 0,0002083 0,91ns Kultivar 5 0,0052750 0,0010550 4,62ns Galad 5 0,0011417 0,0002283 Total 11 0,0066250 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
189
Batang LAMPIRAN 12. Sidik ragam panjang batang primer Sumber DB Ulangan 1 Kultivar 5 Galad 5 Total 11 * = berbeda nyata ns
JK KT 154,1 154,1 6836,7 1367,3 2943,4 588,7 9934,3 = tidak berbedanyata
Fhit 0,26ns 2,32ns
LAMPIRAN 13. Sidik ragam diameter batang primer Sumber DB Ulangan 1 Kultivar 5 Galad 5 Total 11 * = berbeda nyata ns
JK KT 0,00750 0,00750 0,40417 0,08083 0,07750 0,01550 0,48917 = tidak berbedanyata
Fhit 0,48 ns 5,22*
LAMPIRAN 14. Sidik ragam berat kering batang primer Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 0,00083 0,00083 0,01ns Kultivar 5 2,41417 0,48283 7,22* Galad 5 0,33417 0,06683 Total 11 2,74917 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 15. Sidik ragam panjang ruas panjang Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 5,33 5,33 0,17ns Kultivar 5 337,00 67,40 2,19ns Galad 5 153,67 30,73 Total 11 496,00 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 16. Sidik ragam panjang ruas pendek Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 8,3333 8,3333 25,00* Kultivar 5 8,6667 1,7333 5,20* Galad 5 1,6667 0,3333 Total 11 18,6667 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
190
LAMPIRAN 17. Sidik ragam panjang batang sekunder Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 77,52 77,52 2,25ns Kultivar 5 94,44 18,89 0,55ns Galad 5 172,10 34,42 Total 11 344,06 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 18. Sidik ragam diameter batang sekunder Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 0,5208 0,5208 1,17ns Kultivar 5 0,9575 0,1915 0,43ns Galad 5 2,2242 0,4448 Total 11 3,7025 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 19. Sidik ragam berat kering batang sekunder Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 0,08333 0,08333 3,91ns Kultivar 5 0,25667 0,05133 2,41ns Galad 5 0,10667 0,02133 Total 11 0,44667 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 20. Sidik ragam panjang ruas batang sekunder Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 1 16,567 16,567 9,88* Kultivar 5 9,154 1,831 1,09ns Galad 5 8,387 1,678 Total 11 34,109 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata Daun LAMPIRAN 21. Sidik ragam berat kering daun Sumber DB JK KT Ulangan 1 2,2533 2,2533 Kultivar 5 21,7367 4,3473 Galad 5 4,5067 0,9013 Total 11 28,4967 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 2,50ns 4,82ns
191
LAMPIRAN 22. Sidik ragam panjang tangkai daun Sumber Db JK KT Fhit Ulangan 2 15,444 7,722 1,16ns Kultivar 5 430,444 86,089 12,93* Galad 10 66,556 6,656 Total 17 512,444 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata LAMPIRAN 23. Sidik ragam diameter tangkai daun Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 0,8133 0,4067 0,63ns Kultivar 5 0,5250 0,1050 0,16ns Galad 10 6,4267 0,6427 Total 17 7,7650 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 24. Sidik ragam panjang daun Sumber DB JK KT Ulangan 2 2,1111 1,0556 Kultivar 5 9,7778 1,9556 Galad 10 5,2222 0,5222 Total 17 17,1111 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 25. Sidik ragam lebar daun Sumber DB JK KT Ulangan 2 3,0000 1,5000 Kultivar 5 2,5000 0,5000 Galad 10 3,0000 0,3000 Total 17 8,5000 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 26. Sidik ragam klorofil Sumber DB JK KT Ulangan 2 0,023244 0,011622 Kultivar 5 0,173161 0,034632 Galad 10 0,048822 0,004882 Total 17 0,245228 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 2,02ns 3,74*
Fhit 5,00* 1,67ns
Fhit 2,38ns 7,09*
Ftab.05 4,10 3,33
192
Trikoma LAMPIRAN 27. Sidik ragam panjang trikoma Sumber DB JK KT Ulangan 2 70,78 35,39 Kultivar 5 1559,61 311,92 Galad 10 957,22 5,72 Total 17 2587,61 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 28. Sidik ragam diameter trikoma Sumber DB JK KT Ulangan 2 0,05333 0,02667 Kultivar 5 0,59333 0,11867 Galad 10 0,29333 0,02933 Total 17 0,94000 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 0,37ns 3,26ns
Fhit 0,91ns 4,05*
LAMPIRAN 29. Sidik ragam jumlah trikoma /100 m Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 10,778 5,389 5,45* Kultivar 5 70,278 14,056 14,21* Galad 10 9,889 0,989 Total 17 90,944 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata Bunga LAMPIRAN 30. Sidik ragam jumlah bunga/tandan Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 174,33 87,17 3,33ns Kultivar 5 122,00 24,40 0,93ns Galad 10 261,67 26,17 Total 17 558,00 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 31. Sidik ragam beratkering bunga Sumber DB JK KT Ulangan 2 0,00007500 0,00003750 Kultivar 5 0,00431250 0,00086250 Galad 10 0,00002500 0,00000250 Total 17 0,00441250 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 15,00* 345,00*
193
LAMPIRAN 32. Sidik ragam panjang tangkai Sumber DB JK KT Ulangan 2 0,001944 0,000972 Kultivar 5 0,027778 0,005556 Galad 10 0,049722 0,004972 Total 17 0,079444 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 33. Sidik ragam tebal tangkai Sumber DB JK KT Ulangan 2 0,0006778 0,0003389 Kultivar 5 0,0036444 0,0007289 Galad 10 0,0023889 0,0002389 Total 17 0,0067111 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 34. Sidik ragam panjang kelopak Sumber DB JK KT Ulangan 2 0,3433 0,1717 Kultivar 5 2,2067 0,4413 Galad 10 9,5500 0,9550 Total 17 12,1000 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 35. Sidik ragam lebar kelopak Sumber DB JK KT Ulangan 2 4,1233 2,0617 Kultivar 5 12,2050 2,4410 Galad 10 6,5967 0,6597 Total 17 22,9250 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 36. Sidik ragam panjang mahkota Sumber DB JK KT Ulangan 2 2,778 1,389 Kultivar 5 159,111 31,822 Galad 10 31,889 3,189 Total 17 193,778 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 0,20ns 1,12ns
Fhit 1,42ns 3,05ns
Fhit 0,18ns 0,46ns
Fhit 3,13ns 3,70*
Fhit 0,44ns 9,98*
194
LAMPIRAN 37. Sidik ragam lebar mahkota Sumber DB Ulangan 2 Kultivar 5 Galad 10 Total 17 * = berbeda nyata ns
JK KT 0,7778 0,3889 50,4444 10,0889 9,8889 0,9889 61,1111 = tidak berbedanyata
LAMPIRAN 38. Sidik ragam panjang benangsari Sumber DB JK KT Ulangan 2 0,6878 0,3439 Kultivar 5 2,4244 0,4849 Galad 10 3,4856 0,3486 Total 17 6,5978 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 0,39ns 10,20*
Fhit 0,99ns 1,39ns
Polong dan Biji LAMPIRAN 39. Sidik ragam jumlah polong / tandan Sumber Db JK KT Fhit Ulangan 2 4,778 2,389 5,24* Kultivar 5 120,278 24,056 52,80* Galad 10 4,556 0,456 Total 17 129,611 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 40. Sidik ragam panjang polong Sumber DB JK KT Ulangan 2 0,6711 0,3356 Kultivar 5 8,6444 1,7289 Galad 10 0,8889 0,0889 Total 17 10,2044 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 41. Sidik ragam lebar polong Sumber Db JK KT Ulangan 2 0,001111 0,000556 Kultivar 5 0,189444 0,037889 Galad 10 0,038889 0,003889 Total 17 0,229444 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 3,78ns 19,45*
Fhit 0,14ns 9,74*
195
LAMPIRAN 42. Sidik ragam tebal polong Sumber DB JK KT Ulangan 2 0,017778 0,008889 Kultivar 5 0,096111 0,019222 Galad 10 0,088889 0,008889 Total 17 0,202778 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 43. Sidik ragam berat kering polong Sumber DB JK KT Ulangan 2 1,9895 0,9948 Kultivar 5 14,2710 2,8542 Galad 10 1,0799 0,1080 Total 17 17,3404 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 1,00ns 2,16ns
Fhit 9,21* 26,43*
LAMPIRAN 44. Sidik ragam jumlah biji / polong Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 4,7778 2,3889 43,00* Kultivar 5 4,9444 0,9889 17,80* Galad 10 0,5556 0,0556 Total 17 10,2778 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata LAMPIRAN 45. Sidik ragam panjang biji Sumber DB JK KT Ulangan 2 0,067778 0,033889 Kultivar 5 0,197778 0,039556 Galad 10 0,038889 0,003889 Total 17 0,304445 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 46. Sidik ragam lebar biji Sumber DB JK KT Ulangan 2 0,001111 0,000556 Kultivar 5 0,064444 0,012889 Galad 10 0,065556 0,006556 Total 17 0,131111 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 8,71* 10,17*
Fhit 0,08ns 1,97ns
196
LAMPIRAN 47. Sidik ragam tebal biji Sumber DB JK KT Ulangan 2 0,010000 0,005000 Kultivar 5 0,240000 0,048000 Galad 10 0,030000 0,003000 Total 17 0,280000 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 1,67ns 16,00*
Komponen bagian vegetatif dan hasil enam kultivar karabenguk LAMPIRAN 48. Sidik ragam indeks luas daun umur 5 minggu Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 0,0079 0,0039 0,04 ns Kultivar 5 2,4434 0,4887 4,41* Galad 10 1,1075 0,1108 Total 17 3,5588 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata LAMPIRAN 49. Sidik ragam panjang akar Sumber DB JK KT Ulangan 2 100,5 50,2 Kultivar 5 1347,3 269,5 Galad 10 1000,7 100,1 Total 17 2448,5 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 50. Sidik ragam nisbah akar tajuk Sumber DB JK KT Ulangan 2 0,91534 0,45767 Kultivar 5 0,57950 0,11590 Galad 10 0,62984 0,06298 Total 17 2,12468 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 0,50ns 2,69ns
Fhit 7,27* 1,84ns
LAMPIRAN 51. Sidik ragam berat kering brangkasan Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 1014,1 507,1 3,69ns Kultivar 5 1473,2 294,6 2,14ns Galad 10 1375,2 137,5 Total 17 3862,5 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
197
LAMPIRAN 52. Sidik ragam indeks panen (Transformasi Vx+0,5) Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 0,005402 0,002701 0,37ns Kultivar 5 0,159533 0,031907 4,32* Galad 10 0,073942 0,007394 Total 17 0,238877 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata LAMPIRAN 53. Sidik ragam hasil biji (Transformasi Vx+0,5) Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 2 0,1617 0,0808 0,11ns Kultivar 5 16,0919 3,2184 4,50* Galad 10 7,1575 0,7157 Total 17 23,4110 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 54. Sidik ragam bobot 100 biji Sumber DB JK KT Ulangan 2 926,2 463,1 Perlakua 5 9599,8 1920,0 Galad 10 7521,5 752,1 Total 17 18047,4 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 55. Sidik ragam kandungan protein Sumber DB JK KT Ulangan 1 0,030 0,030 Perl 5 100,484 20,097 Galad 5 0,748 0,150 Total 11 101,261 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 56. Sidik ragam kandungan HCN Sumber DB JK KT Ulangan 1 0,001633 0,001633 Perl 5 0,216567 0,043313 Galad 5 0,003867 0,000773 Total 11 0,222067 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 0,62ns 2,55ns
Fhit 0,20ns 134,43*
Fhit 2,11ns 56,01*
Ftab.05 6,61 5,05
198
Komponen bagian vegetatif dan hasil dua forma karabenguk LAMPIRAN 57. Sidik ragam indeks luas daun umur 5 minggu Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 8 1,6109 0,2014 1,05ns Forma 1 0,4144 0,4144 2,16ns Galad 8 1,5336 0,1917 Total 17 3,5588 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 58. Sidik ragam panjang akar Sumber DB JK KT Ulangan 8 854,5 106,8 Forma 1 309,2 309,2 Galad 8 1 284,8 160,6 Total 17 2448,5 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 59. Sidik ragam nisbah akar tajuk Sumber DB JK KT Ulangan 8 1,45384 0,18173 Forma 1 0,01622 0,01622 Galad 8 0,65462 0,08183 Total 17 2,12468 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 0,67ns 1,93ns
Fhit 2,22ns 0,20ns
LAMPIRAN 60. Sidik ragam berat kering brangkasan Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 8 2574,3 321,8 2,25ns Forma 1 145,4 145,4 1,02ns Galad 8 1142,8 142,8 Total 17 3862,5 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 61. Sidik ragam indeks panen (Trans Vx+0,5) Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 8 0,08998 0,01125 1,00ns Forma 1 0,05917 0,05917 5,28ns Galad 8 0,08972 0,01122 Total 17 0,23888 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Ftab.05 3,44 5,32
199
LAMPIRAN 62. Sidik ragam hasil biji(Trans Vx+0,5) Sumber DB JK KT Fhit Ulangan 8 9,9485 1,2436 1,35ns Forma 1 6,1109 6,1109 6,65* Galad 8 7,3516 0,9189 Total 17 23,4110 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata LAMPIRAN 63. Sidik ragam bobot 100 biji Sumber DB JK KT Ulangan 8 5412 677 Forma 1 4019 4019 Galad 8 8616 1077 Total 17 18047 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 0,63ns 3,73ns
LAMPIRAN 64. Sidik ragam kandungan protein
Sumber DB JK KT Ulangan 8 115,445 14,431 Forma 1 0,016 0,016 Galad 8 33,936 4,242 Total 17 149,398 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 65. Sidik ragam kandungan HCN Sumber DB JK KT Ulangan 8 0,296800 0,037100 Forma 1 0,001250 0,001250 Galad 8 0,032400 0,004050 Total 17 0,330450 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 3,40 0,00
ns ns
Fhit 9,16* 0,31ns
200
LAMPIRAN 1. Sidik ragam jumlah seludang berkas pengangkutan tanaman karabenguk, bayam dan kedelai Sumber DB JK KT Fhit Ftab.05 Ulangan 2 8,2222 4,1111 37,00* 6,94 Tanaman 2 20,2222 10,1111 91,00* 6,94 Galad 4 0,4444 0,1111 Total 8 28,8889 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata LAMPIRAN 1b. Sidik ragam jumlah seludang berkas pengangkutan antar kultivar karabenguk Sumber Db JK KT Fhit Ftab.05 ns Ulangan 2 0,3333 0,1667 0,22 3,33 Kultivar 5 2,0000 0,4000 0,52ns 4,10 Galad 10 7,6667 0,7667 Total 17 10,0000 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata
200
LAMPIRAN SIDIK RAGAM PERCOBAAN II Variabel bagian vegetatif dan hasil tanaman pada Percobaan 1 kali Pemupukan LAMPIRAN 66. Sidik ragam serapan N Sumber DB JK Blok 2 0,85808 Kultivar 1 0,01497 Pupuk 4 4,13540 Kultivar*Pupuk 4 0,08422 Galad 18 0,79045 Total 29 5,88312 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 67. Sidik ragam serapan P Sumber DB JK Blok 2 0,034404 Kultivar 1 0,000723 Pupuk 4 0,122803 Kultivar*Pupuk 4 0,006569 Galad 18 0,031975 Total 29 0,196474 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 68. Sidik ragam serapan K Sumber DB JK Blok 2 0,46220 Kultivar 1 0,00267 Pupuk 4 2,03889 Kultivar*Pupuk 4 0,05502 Galad 18 0,43053 Total 29 2,98932 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata
KT 0,42904 0,01497 1,03385 0,02105 0,04391
Fhit 9,77* 0,34ns 23,54* 0,48ns
KT 0,017202 0,000723 0,030701 0,001642 0,001776
Fhit 9,68* 0,41ns 17,28* 0,92ns
KT 0,23110 0,00267 0,50972 0,01376 0,02392
Fhit 9,66* 0,11ns 21,31* 0,58ns
LAMPIRAN 69. Sidik ragam beratkering akar Sumber DB JK KT Blok 2 29,957 14,978 Kultivar 1 6,044 6,044 Pupuk 4 72,452 18,113 Kultivar*Pupuk 4 4,699 1,175 Galad 18 33,315 1,851 Total 29 146,466 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 8,09* 3,27ns 9,79* 0,63ns
Ftab.05 3,55 4,41 2,93 2,93
201 LAMPIRAN 70. Sidik ragam jumlah bintil Sumber DB JK Blok 2 0,6790 Kultivar 1 1,1211 Pupuk 4 19,9484 Kultivar*Pupuk 4 0,9331 Galad 18 2,7457 Total 29 25,4273 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata
KT 0,3395 1,1211 4,9871 0,2333 0,1525
LAMPIRAN 71. Sidik ragam berat kering bintil Sumber DB JK KT Blok 2 0,23320 0,11660 Kultivar 1 0,08082 0,08082 Pupuk 4 0,58471 0,14618 Kultivar*Pupuk 4 0,03674 0,00918 Galad 18 0,75123 0,04173 Total 29 1,68669 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 72. Sidik ragam berat kering brangkasan atas Sumber DB JK KT Blok 2 24,971 12,485 Kultivar 1 9,530 9,530 Pupuk 4 238,207 59,552 Kultivar*Pupuk 4 7,462 1,865 Galad 18 30,874 1,715 Total 29 311,043 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 73. Sidik ragam berat kering tajuk Sumber DB JK KT Blok 2 23,839 11,919 Kultivar 1 7,392 7,392 Pupuk 4 248,917 62,229 Kultivar*Pupuk 4 6,061 1,515 Galad 18 31,232 1,735 Total 29 317,441 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata
Fhit 2,23ns 7,35* 32,69* 1,53n s
Fhit 2,79ns 1,94ns 3,50* 0,22ns
Fhit 7,28* 5,56* 34,72* 1,09ns
Fhit 6,87* 4,26* 35,86* 0,87ns
202 LAMPIRAN 74. Sidik ragam akar/tajuk Sumber DB JK Blok 2 0,07316 Kultivar 1 0,10152 Pupuk 4 0,23776 Kultivar*Pupuk 4 0,05143 Galad 18 0,23126 Total 29 0,69513 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 75. Sidik ragam indeks panen Sumber DB JK Blok 2 0,0011490 Kultivar 1 0,0018677 Pupuk 4 0,0064618 Kultivar*Pupuk 4 0,0075638 Galad 18 0,0042079 Total 29 0,0212503 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 76. Sidik ragam hasil biji Sumber DB JK Blok 2 0,2736 Kultivar 1 1,4787 Pupuk 4 7,2543 Kultivar*Pupuk 4 9,4720 Galad 18 5,3799 Total 29 23,8585 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
KT 0,03658 0,10152 0,05944 0,01286 0,01285
Fhit 2,85ns 7,90* 4,63* 1,00ns
KT 0,0005745 0,0018677 0,0016155 0,0018910 0,0002338
Fhit 2,46ns 7,99* 6,91* 8,09*
KT 0,1368 1,4787 1,8136 2,3680 0,2989
Fhit 0,46ns 4,95* 6,07* 7,92*
Variabel bagian vegetatif dan hasil tanaman pada Percobaan 2 kali Pemupukan LAMPIRAN 77.Sidik ragam serapan N Sumber DB JK Blok 1 0,7267 Pupuk 4 0,9636 Kultivar 2 1,2978 Pupuk*Kultivar 8 2,8463 Galad 14 7,0296 Total 29 12,8640 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
KT 0,7267 0,2409 0,6489 0,3558 0,5021
Fhit 1,45ns 0,48ns 1,29ns 0,71ns
Ftab.05 4,60 3,11 3,74 2,70
203
LAMPIRAN 78.Sidik ragam serapan P Sumber DB JK Blok 1 0,013526 Pupuk 4 0,027197 Kultivar 2 0,023842 Pupuk*Kultivar 8 0,055466 Galad 14 0,084380 Total 29 0,204411 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata LAMPIRAN 79.Sidik ragam serapan K Sumber DB JK Blok 1 0,3367 Pupuk 4 0,5032 Kultivar 2 0,4622 Pupuk*Kultivar 8 1,2669 Galad 14 2,2895 Total 29 4,8585 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata
KT 0,013526 0,006799 0,011921 0,006933 0,006027
Fhit 2,24ns 1,13ns 1,98ns 1,15ns
KT 0,3367 0,1258 0,2311 0,1584 0,1635
Fhit 2,06ns 0,77ns 1,41ns 0,97ns
LAMPIRAN 80. Sidik ragam untuk beratkering akar Sumber DB JK KT Blok 1 7,008 7,008 Pupuk 4 11,429 2,857 Kultivar 2 3,493 1,746 Pupuk*Kultivar 8 16,997 2,125 Galad 14 22,267 1,590 Total 29 61,194 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 81.Sidik ragam jumlah bintil Sumber DB JK Blok 1 6,533 Pupuk 4 5,867 Kultivar 2 13,400 Pupuk*Kultivar 8 22,933 Galad 14 18,467 Total 29 67,200 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata
KT 6,533 1,467 6,700 2,867 1,319
Fhit 4,41ns 1,80ns 1,10ns 1,34ns
Fhit 4,95* 1,11ns 5,08* 2,17ns
204
LAMPIRAN 82.Sidik ragam beratkering bintil Sumber DB JK KT Blok 1 0,002083 0,002083 Pupuk 4 0,007820 0,001955 Kultivar 2 0,002327 0,001163 Pupuk*Kultivar 8 0,015840 0,001980 Galad 14 0,018467 0,001319 Total 29 0,046537 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata LAMPIRAN 83.Sidik ragam berat brangkasan atas Sumber DB JK KT Blok 1 1090,8 1090,8 Pupuk 4 1770,2 442,5 Kultivar 2 1401,0 700,5 Pupuk*Kultivar 8 4051,0 506,4 Galad 14 6183,5 441,7 Total 29 14496,6 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata LAMPIRAN 84.Sidik ragam berat tajuk Sumber DB JK Blok 1 990,7 Pupuk 4 1232,4 Kultivar 2 1394,4 Pupuk*Kultivar 8 3307,0 Galad 14 7609,9 Total 29 14534,4 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
KT 990,7 308,1 697,2 413,4 543,6
LAMPIRAN 85.Sidik ragam nisbah akar tajuk Sumber DB JK KT Blok 1 0,000108 0,000108 Pupuk 4 0,014147 0,003537 Kultivar 2 0,001141 0,000571 Pupuk*Kultivar 8 0,009968 0,001246 Galad 14 0,024724 0,001766 Total 29 0,050089 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata
Fhit 1,58ns 1,48ns 0,88ns 1,50ns
Fhit 2,47ns 1,00ns 1,59ns 1,15ns
Fhit 1,82ns 0,57ns 1,28ns 0,76ns
Fhit 0,06ns 2,00ns 0,32ns 0,71ns
205
LAMPIRAN 86.Sidik ragam indeks panen Sumber DB JK Blok 1 0,2980 Pupuk 4 1,5340 Kultivar 2 3,8756 Pupuk*Kultivar 8 2,1047 Galad 14 3,9545 Total 29 11,7669 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata
KT 0,2980 0,3835 1,9378 0,2631 0,2825
LAMPIRAN 87. Sidik ragam berat biji Sumber DB JK KT Blok 1 2,41 2,41 Pupuk 4 176,94 44,24 Kultivar 2 759,03 379,52 Pupuk*Kultivar 8 119,54 14,94 Galad 14 958,29 68,45 Total 29 2016,21 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata
Fhit 1,05ns 1,36ns 6,86* 0,93ns
Fhit 0,04ns 0,65ns 5,54* 0,22ns
Komponen pertumbuhan tanaman pada Percobaan Sekali Pemupukan LAMPIRAN 88. Sidik ragam klorofil total Sumber DB JK KT Blok 2 180 90 Kultivar 1 2272 2272 Pupuk 4 68673 17168 Kultivar*Pupuk 4 746 187 Galad 18 19501 1083 Total 29 91372 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata LAMPIRAN 89. Sidik ragam indeks luas daun Sumber DB JK KT Blok 2 0,006457 0,003228 Kultivar 1 0,005561 0,005561 Pupuk 4 0,106916 0,026729 Kultivar*Pupuk 4 0,007923 0,001981 Galad 18 0,050886 0,002827 Total 29 0,177743 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 0,08ns 2,10ns 15,85* 0,17ns
Fhit 1,14ns 1,97ns 9,45* 0,70ns
Ftab.05 4,60 3,11 3,74 2,70
206
LAMPIRAN 90. Sidik ragam diameter batang Sumber DB JK KT Blok 2 0,001299 0,000650 Kultivar 1 0,000088 0,000088 Pupuk 4 0,301403 0,075351 Kultivar*Pupuk 4 0,005656 0,001414 Galad 18 0,008893 0,000494 Total 29 0,317339 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata
Fhit 1,31ns 0,18ns 152,52* 2,86ns
Komponen biologi dan pertumbuhan tanaman pada Percobaan Dua kali Pemupukan LAMPIRAN 91. Sidik ragam panjang batang primer Sumber DB JK KT Blok 1 3 3 Pupuk 4 3345 836 Kultivar 2 18441 9221 Pupuk*Kultivar 8 78067 9758 Galad 14 78039 5574 Total 29 177895 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata LAMPIRAN 92. Sidik ragam diameter batang primer Sumber DB JK KT Blok 1 0,04332 0,04332 Pupuk 4 0,04965 0,01241 Kultivar 2 0,07525 0,03762 Pupuk*Kultivar 8 0,17845 0,02231 Galad 14 0,21508 0,01536 Total 29 0,56175 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata LAMPIRAN 93. Sidik ragam panjang batang skunder Sumber DB JK KT Blok 1 45008 45008 Pupuk 4 62639 15660 Kultivar 2 110019 55009 Pupuk*Kultivar 8 130031 16254 Galad 14 391875 27991 Total 29 739572 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 0,00ns 0,15ns 1,65ns 1,75ns
Fhit 2,82ns 0,81ns 2,45ns 1,45ns
Fhit 1,61ns 0,56ns 1,97ns 0,58ns
Ftab.05 4,60 3,11 3,74 2,70
207
LAMPIRAN 94. Sidik ragam diameter batang skunder Sumber DB JK KT Blok 1 0,08321 0,08321 Pupuk 4 0,19037 0,04759 Kultivar 2 0,11666 0,05833 Pupuk*Kultivar 8 0,31247 0,03906 Galad 14 0,67889 0,04849 Total 29 1,38160 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata LAMPIRAN 95. Sidik ragam indeks luas daun Sumber DB JK KT Blok 1 0,0250 0,0250 Pupuk 4 1,1482 0,2870 Kultivar 2 0,6962 0,3481 Pupuk*Kultivar 8 1,6302 0,2038 Galad 14 3,7726 0,2695 Total 29 7,2722 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 96. Sidik ragam nisbah luas daun Sumber DB JK KT Blok 1 16004 16004 Pupuk 4 32723 8181 Kultivar 2 31928 15964 Pupuk*Kultivar 8 27881 3485 Galad 14 90994 6500 Total 29 199531 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 1,72ns 0,98ns 1,20ns 0,81ns
Fhit 0,09ns 1,07ns 1,29ns 0,76ns
Fhit 2,46ns 1,26ns 2,46ns 0,54ns
LAMPIRAN 97. Sidik ragam laju pertumbuhan tanaman umur 1bulan x1000 Sumber DB JK KT Fhit Blok 1 2,6832 2,6832 6,99* Pupuk 4 5,8252 1,4563 3,80* Kultivar 2 2,0640 1,0320 2,69ns Pupuk*Kultivar 8 16,8595 2,1074 5,49* Galad 14 5,3712 0,3837 Total 29 32,8031 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata
208
LAMPIRAN 98.Sidik ragam laju pertumbuhan tanaman umur 1-2 bulan x1000 Sumber DB JK KT Fhit Blok 1 0,188 0,188 0,03ns Pupuk 4 21,921 5,480 0,87ns Kultivar 2 1,928 0,964 0,15ns Pupuk*Kultivar 8 34,051 4,256 0,68ns Galad 14 88,100 6,293 Total 29 146,187 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 99. Sidik ragam laju pertumbuhan tanaman umur 2-3 bulan Sumber DB JK KT Fhit Blok 1 0,00006880 0,00006880 1,97ns Pupuk 4 0,00008689 0,00002172 0,62ns Kultivar 2 0,00011059 0,00005530 1,58ns Pupuk*Kultivar 8 0,00024613 0,00003077 0,88ns Galad 14 0,00048942 0,00003496 Total 29 0,00100183 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
209 LAMPIRAN 98. Chi-square Dinamika pH tanah Chi-square Kontrol vs NPK2
Chi-square Perlakuan Non NPK2
DB 2 2 1
DB 6 6 1
X²hit X² pearson 6,50* Nisbah Kesetaraan 8,46* Hubungan Linear-linear 4,60ns N 22 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata
X²tab. 5,99 5,99 3,84
X²hit X²tab. 8,19 ns 12,60 7,87 ns 12,60 0,01 ns 3,84 44
LAMPIRAN 99. Chi-square Dinamika Lengas tanah Chi-square Kontrol vs NPK2
Chi-square Perlakuan Non NPK2
DB 2 2 1
DB 6 6 1
X²hit X²tab. X² pearson 9,46* 5,99 Nisbah Kesetaraan 11,07* 5,99 Hubungan Linear-linear 6,21ns 3,84 N 22 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata LAMPIRAN 98. Sidik ragam pH tanah Sumber DB JK KT Ulangan 11 3.2067 0.2915 Perlakuan 4 17.0868 4.2717 Galad 44 3.3364 0.0758 Total 59 23.6298 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 3.84* 56.33*
Ftab. 1,96 2,53
LAMPIRAN 99. Sidik ragam lengas tanah Sumber Ulangan Perlakuan Galad Total * = berbeda nyata
ns
DB JK KT 11 3.6915 0.3356 4 40.6140 10.1535 44 17.9762 0.4085 59 62.2817 = tidak berbedanyata
Fhit 0.82 ns 24.85*
LAMPIRAN 26 , Sidik ragam untuk Berat Segar Bintil Sumber Blok Kultivar Pupuk Kultivar*Pupuk Galad Total
DB 2 1 4 4 18 29
JK 1,8805 1,2368 11,2915 0,5152 8,7296 23,6537
KT 0,9402 1,2368 2,8229 0,1288 0,4850
Fhit P 1,94 0,173 ns 2,55 0,128 ns 5,82 0,003* 0,27 0,896 ns
X²hit X²tab. 6,40 ns 12,60 7,99 ns 12,60 0,69 ns 3,84 44
210
209
LAMPIRAN SIDIK RAGAM PERCOBAAN III Variabel bagian vegetatif karabenguk LAMPIRAN 100. Sidik ragam serapan N karabenguk Sumber DB JK KT Blok 2 0,984 0,492 Musim 1 544,931 544,931 Kultivar 1 7,266 7,266 Penjalar 4 56,036 14,009 Musim*Kultivar 1 1,620 1,620 Musim*Penjalar 4 69,193 17,298 Kultivar*Penjalar 4 9,836 2,459 Musim*Kultivar*Penjalar 4 12,452 3,113 Galad 38 56,557 1,488 Total 59 758,876 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 101. Sidik ragam serapan P karabenguk Sumber DB JK KT Blok 2 0,04626 0,02313 Musim 1 7,64694 7,64694 Kultivar 1 0,00081 0,00081 Penjalar 4 0,70997 0,17749 Musim*Kultivar 1 0,00193 0,00193 Musim*Penjalar 4 0,83469 0,20867 Kultivar*Penjalar 4 0,09293 0,02323 Musim*Kultivar*Penjalar 4 0,08754 0,02189 Galad 38 0,77900 0,02050 Total 59 10,20007 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 0,33ns 366,13* 4,88* 9,41* 1,09ns 11,62* 1,65ns 2,09ns
Fhit 1,13ns 373,02* 0,04ns 8,66* 0,09ns 10,18* 1,13ns 1,07ns
Ftab.05 3,23 4,08 4,08 2,61 4,08 2,61 2,61 2,61
210
LAMPIRAN 102. Sidik ragam serapan K karabenguk Sumber DB JK KT Blok 2 0,611 0,306 Musim 1 168,874 168,874 Kultivar 1 3,841 3,841 Penjalar 4 15,735 3,934 Musim*Kultivar 1 2,563 2,563 Musim*Penjalar 4 18,611 4,653 Kultivar*Penjalar 4 2,172 0,543 Musim*Kultivar*Penjalar 4 2,381 0,595 Galad 38 16,088 0,423 Total 59 230,876 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 103. Sidik ragam klorofil / cm2 Sumber DB JK KT Blok 2 0,13201 0,06600 Musim 1 0,38721 0,38721 Kultivar 1 0,00417 0,00417 Penjalar 4 0,04692 0,01173 Musim*Kultivar 1 0,15201 0,15201 Musim*Penjalar 4 0,06918 0,01729 Kultivar*Penjalar 4 0,02765 0,00691 Musim*Kultivar*Penjalar 4 0,06868 0,01717 Galad 38 0,82352 0,02167 Total 59 1,71134 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 0,72ns 398,88* 9,07* 9,29* 6,05* 10,99* 1,28ns 1,41ns
Fhit 3,05ns 17,87* 0,19ns 0,54ns 7,01* 0,80ns 0,32ns 0,79ns
LAMPIRAN 104. Sidik ragam indeks luas daun umur 3 bulan Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 4,959 2,480 1,18ns Musim 1 289,652 289,652 137,32* Kultivar 1 2,072 2,072 0,98ns Penjalar 4 8,840 2,210 1,05ns Musim*Kultivar 1 2,617 2,617 1,24ns Musim*Penjalar 4 7,425 1,856 0,88ns Kultivar*Penjalar 4 2,678 0,670 0,32ns Musim*Kultivar*Penjalar 4 3,610 0,902 0,43ns Galad 38 80,151 2,109 Total 59 402,005 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
211
LAMPIRAN 105. Sidik ragam diameter batang saat panen Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 7,264 3,632 1,57ns Musim 1 1093,120 1093,120 473,56* Kultivar 1 1,442 1,442 0,62ns Penjalar 4 58,228 14,557 6,31* Musim*Kultivar 1 0,104 0,104 0,05ns Musim*Penjalar 4 35,986 8,996 3,90* Kultivar*Penjalar 4 3,391 0,848 0,37ns Musim*Kultivar*Penjalar 4 1,792 0,448 0,19ns Galad 38 87,716 2,308 Total 59 1289,042 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 106. Sidik ragam berat kering brangkasan/tanaman Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 3709 1855 1,12ns Musim 1 619498 619498 373,31* Kultivar 1 31 31 0,02ns Penjalar 4 56741 14185 8,55* Musim*Kultivar 1 200 200 0,12ns Musim*Penjalar 4 66268 16567 9,98* Kultivar*Penjalar 4 7395 1849 1,11ns Musim*Kultivar*Penjalar 4 6843 1711 1,03ns Galad 38 63061 1659 Total 59 823745 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 107. Sidik ragam berat kering brangkasan Sumber DB JK KT Blok 2 286658 143329 Musim 1 34507488 34507488 Kultivar 1 14054 14054 Penjalar 4 342843 85711 Musim*Kultivar 1 5590 5590 Musim*Penjalar 4 322189 80547 Kultivar*Penjalar 4 309767 77442 Musim*Kultivar*Penjalar 4 265154 66288 Galad 38 3530680 92913 Total 59 39584424 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 1,54ns 371,40* 0,15ns 0,92 ns 0,06ns 0,87ns 0,83ns 0,71ns
212
Variabel hasil tanaman karabenguk LAMPIRAN 108. Sidik ragam indeks panen Sumber DB JK Blok 2 0,00236 Musim 1 1,37714 Kultivar 1 0,00280 Penjalar 4 0,19029 Musim*Kultivar 1 0,05704 Musim*Penjalar 4 0,17297 Kultivar*Penjalar 4 0,01324 Musim*Kultivar*Penjalar 4 0,03653 Galad 38 0,38184 Total 59 2,23422 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
KT 0,00118 1,37714 0,00280 0,04757 0,05704 0,04324 0,00331 0,00913 0,01005
LAMPIRAN 109. Sidik ragam %biji/polong Sumber DB JK KT Blok 2 32,09 16,04 Musim 1 53,98 53,98 Kultivar 1 634,60 634,60 Penjalar 4 8,60 2,15 Musim*Kultivar 1 224,69 224,69 Musim*Penjalar 4 162,44 40,61 Kultivar*Penjalar 4 37,98 9,50 Musim*Kultivar*Penjalar 4 97,08 24,27 Galad 38 639,20 16,82 Total 59 1890,65 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 110. Sidik ragam hasilbiji/tanaman Sumber DB JK KT Blok 2 263,0 131,5 Musim 1 3169,3 3169,3 Kultivar 1 823,1 823,1 Penjalar 4 1085,3 271,3 Musim*Kultivar 1 506,2 506,2 Musim*Penjalar 4 1676,7 419,2 Kultivar*Penjalar 4 605,5 151,4 Musim*Kultivar*Penjalar 4 912,3 228,1 Galad 38 4132,3 108,7 Total 59 13173,6 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 0,12ns 137,05* 0,28ns 4,73* 5,68* 4,30* 0,33ns 0,91ns
Fhit 0,95ns 3,21ns 37,73* 0,13ns 13,36* 2,41ns 0,56ns 1,44ns
Fhit 1,21ns 29,14* 7,57* 2,50ns 4,65* 3,85* 1,39ns 2,10ns
213
LAMPIRAN 111. Sidik ragam hasil biji total Sumber DB JK KT Blok 2 14426 7213 Musim 1 143523 143523 Kultivar 1 55058 55058 Penjalar 4 99857 24964 Musim*Kultivar 1 44583 44583 Musim*Penjalar 4 44791 11198 Kultivar*Penjalar 4 37553 9388 Musim*Kultivar*Penjalar 4 63474 15868 Galad 38 219899 5787 Total 59 723164 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 112. Sidik ragam bobot100 biji Sumber DB JK KT Blok 2 56,1 28,1 Musim 1 1181,0 1181,0 Kultivar 1 838,4 838,4 Penjalar 4 2388,3 597,1 Musim*Kultivar 1 1307,4 1307,4 Musim*Penjalar 4 3192,6 798,1 Kultivar*Penjalar 4 1704,1 426,0 Musim*Kultivar*Penjalar 4 878,4 219,6 Galad 38 5816,0 153,1 Total 59 17362,3 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 113. Sidik ragam kadar air biji % Sumber DB JK KT Blok 2 0,0941 0,0471 Musim 1 0,0621 0,0621 Kultivar 1 9,3220 9,3220 Penjalar 4 0,7010 0,1753 Musim*Kultivar 1 9,1494 9,1494 Musim*Penjalar 4 4,6899 1,1725 Kultivar*Penjalar 4 2,5319 0,6330 Musim*Kultivar*Penjalar 4 2,1131 0,5283 Galad 38 0,6676 0,0176 Total 59 29,3312 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 1,25ns 24,80* 9,51* 4,31* 7,70* 1,94ns 1,62ns 2,74*
Fhit 0,18ns 7,72* 5,48* 3,90* 8,54* 5,21* 2,78* 1,43ns
Fhit 2,68ns 3,53ns 530,59* 9,98* 520,76* 66,73* 36,03* 30,07*
214
LAMPIRAN 114. Sidik ragam % protein Sumber DB JK Blok 2 0,2528 Musim 1 11,5808 Kultivar 1 9,1885 Penjalar 4 0,5325 Musim*Kultivar 1 0,9526 Musim*Penjalar 4 3,2702 Kultivar*Penjalar 4 1,1559 Musim*Kultivar*Penjalar 4 0,8271 Galad 38 5,7233 Total 59 33,4837 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 115. Sidik ragam % HCN Sumber DB JK Blok 2 0,00157 Musim 1 1,26440 Kultivar 1 0,19837 Penjalar 4 0,78497 Musim*Kultivar 1 0,16328 Musim*Penjalar 4 0,58811 Kultivar*Penjalar 4 0,06920 Musim*Kultivar*Penjalar 4 1,74286 Galad 38 0,26376 Total 59 5,07653 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
KT 0,1264 11,5808 9,1885 0,1331 0,9526 0,8176 0,2890 0,2068 0,1506
Fhit 0,84ns 76,89* 61,01* 0,88ns 6,32* 5,43* 1,92ns 1,37ns
KT Fhit 0,00078 0,11ns 1,26440 182,16* 0,19837 28,58* 0,19624 28,27* 0,16328 23,52* 0,14703 21,18* 0,01730 2,49ns 0,43572 62,77* 0,00694
Variabel hasil tanaman karabenguk harian LAMPIRAN 116. Sidik ragam serapan N rata-rata per hari Sumber DB JK KT Blok 2 0,00004515 0,00002258 Musim 1 0,00914147 0,00914147 Kultivar 1 0,00025875 0,00025875 Penjalar 4 0,00118273 0,00029568 Musim*Kultivar 1 0,00000721 0,00000721 Musim*Penjalar 4 0,00177350 0,00044337 Kultivar*Penjalar 4 0,00019423 0,00004856 Musim*Kultivar*Penjalar 4 0,00031088 0,00007772 Galad 38 0,00137551 0,00003620 Total 59 0,01428943 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 0,62ns 252,54* 7,15* 8,17* 0,20ns 12,25* 1,34ns 2,15ns
215
LAMPIRAN 117. Sidik ragam serapanPx100 rata-rata per hari Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,006368 0,003184 0,79ns Musim 1 1,169485 1,169485 288,33* Kultivar 1 0,092913 0,092913 22,91* Penjalar 4 0,128784 0,032196 7,94* Musim*Kultivar 1 0,023447 0,023447 5,78* Musim*Penjalar 4 0,194318 0,048580 11,98* Kultivar*Penjalar 4 0,018085 0,004521 1,11ns Musim*Kultivar*Penjalar 4 0,029922 0,007480 1,84ns Galad 38 0,154129 0,004056 Total 59 1,817451 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 118. Sidik ragam serapanK rata-rata per hari Sumber DB JK KT Blok 2 0,00001628 0,00000814 Musim 1 0,00308167 0,00308167 Kultivar 1 0,00017476 0,00017476 Penjalar 4 0,00034255 0,00008564 Musim*Kultivar 1 0,00003872 0,00003872 Musim*Penjalar 4 0,00051258 0,00012814 Kultivar*Penjalar 4 0,00004916 0,00001229 Musim*Kultivar*Penjalar 4 0,00007638 0,00001910 Galad 38 0,00040727 0,00001072 Total 59 0,00469937 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 0,76ns 287,53* 16,31* 7,99* 3,61ns 11,96* 1,15ns 1,78ns
LAMPIRAN 119. Sidik ragam berat kering brangkasan/tanaman rata-rata per hari Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,08013 0,04007 1,05ns Musim 1 12,06510 12,06510 317,13* Kultivar 1 0,00524 0,00524 0,14ns Penjalar 4 1,17106 0,29276 7,70* Musim*Kultivar 1 0,01278 0,01278 0,34ns Musim*Penjalar 4 1,59486 0,39871 10,48* Kultivar*Penjalar 4 0,17412 0,04353 1,14ns Musim*Kultivar*Penjalar 4 0,14962 0,03740 0,98ns Galad 38 1,44570 0,03804 Total 59 16,69862 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
216
LAMPIRAN 120. Sidik ragam berat kering brangkasan rata-rata per hari Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 5,908 2,954 1,36ns Musim 1 653,609 653,609 301,49* Kultivar 1 1,030 1,030 0,48ns Penjalar 4 12,501 3,125 1,44ns Musim*Kultivar 1 0,654 0,654 0,30ns Musim*Penjalar 4 11,581 2,895 1,34ns Kultivar*Penjalar 4 7,956 1,989 0,92ns Musim*Kultivar*Penjalar 4 5,971 1,493 0,69ns Galad 38 82,382 2,168 Total 59 781,592 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 121. Sidik ragam hasilbiji/tan rata-rata per hari Sumber DB JK KT Blok 2 0,010525 0,005263 Musim 1 0,005688 0,005688 Kultivar 1 0,022504 0,022504 Penjalar 4 0,045157 0,011289 Musim*Kultivar 1 0,008378 0,008378 Musim*Penjalar 4 0,071482 0,017871 Kultivar*Penjalar 4 0,012308 0,003077 Musim*Kultivar*Penjalar 4 0,025943 0,006486 Galad 38 0,124420 0,003274 Total 59 0,326406 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 122. Sidik ragam hasilbiji rata-rata per hari Sumber DB JK KT Blok 2 0,7463 0,3731 Musim 1 0,0148 0,0148 Kultivar 1 1,3508 1,3508 Penjalar 4 6,0932 1,5233 Musim*Kultivar 1 0,8847 0,8847 Musim*Penjalar 4 3,6428 0,9107 Kultivar*Penjalar 4 0,6659 0,1665 Musim*Kultivar*Penjalar 4 1,8195 0,4549 Galad 38 7,0407 0,1853 Total 59 22,2587 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 1,61ns 1,74ns 6,87* 3,45* 2,56ns 5,46* 0,94ns 1,98ns
Fhit 2,01ns 0,08ns 7,29* 8,22* 4,77* 4,92* 0,90ns 2,46ns
217 Variabel bagian vegetatif dan hasil jagung LAMPIRAN 123. Sidik ragam bobot kering brangkasan jagung Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 0,11 0,06 0,01ns Musim 1 2720,42 2720,42 491,55* Jg/Kult 6 25,21 4,20 0,76ns Musim*Jg/Kult 6 25,21 4,20 0,76ns Galad 26 143,89 5,53 Total 41 2914,85 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 124. Sidik ragam bobot biji/tan jagung Sumber DB JK KT Blok 2 177,1 88,5 Musim 1 977,2 977,2 Jg/Kult 6 9871,4 1645,2 Musim*Jg/Kult 6 2268,5 378,1 Galad 26 5565,7 214,1 Total 41 18859,8 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 125. Sidik ragam hasil biji jagung Sumber DB JK KT Blok 2 20297 10148 Musim 1 39417 39417 Jg/Kult 6 306095 51016 Musim*Jg/Kult 6 84318 14053 Galad 26 290956 11191 Total 41 741083 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 126. Sidik ragam bobot 100 biji Sumber DB JK KT Blok 2 3,658 1,829 Musim 1 4,142 4,142 Jg/Kult 6 419,103 69,850 Musim*Jg/Kult 6 274,580 45,763 Galad 26 155,759 5,991 Total 41 857,243 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 0,41ns 4,56* 7,69* 1,77ns
Fhit 0,91ns 3,52ns 4,56* 1,26ns
Fhit 0,31ns 0,69ns 11,66* 7,64*
Ftab.05 3,37 4,23 2,47 2,47
218 Variabel tumpangsari dan keharaan tanah LAMPIRAN 127. Sidik ragam ATER Sumber DB JK Blok 2 5.5053 Musim 1 0.0425 Klt/Pjl 10 9.2047 Musim*Klt/Pjl 10 5.0391 Error 42 17.9075 Total 65 37.6991 * = berbeda nyata
ns
KT 2.7527 0.0425 0.9205 0.5039 0.4264
Fhit 6.46* 0.10 ns 2.16* 1.18 ns
= tidak berbedanyata
LAMPIRAN 128. Sidik ragam serapanNg/m2 Sumber DB JK KT Blok 2 27,95 13,97 Musim 1 432,23 432,23 Klt/Pjl 10 2661,06 266,11 Musim*Klt/Pjl 10 910,31 91,03 Galad 42 1264,33 30,10 Total 65 5295,87 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata LAMPIRAN 129. Sidik ragam serapanPg/m2 Sumber DB JK KT Blok 2 0,1850 0,0925 Musim 1 5,3381 5,3381 Klt/Pjl 10 26,6049 2,6605 Musim*Klt/Pjl 10 14,7324 1,4732 Galad 42 11,0856 0,2639 Total 65 57,9460 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 130. Sidik ragam serapanKg/m2 Sumber DB JK KT Blok 2 6,397 3,198 Musim 1 440,097 440,097 Klt/Pjl 10 433,103 43,310 Musim*Klt/Pjl 10 226,261 22,626 Galad 42 180,824 4,305 Total 65 1286,681 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 0,46ns 14,36* 8,84* 3,02*
Fhit 0,35ns 20,22* 10,08* 5,58*
Fhit 0,74ns 102,22* 10,06* 5,26*
Ftab.05 3,23 4,08 2,08 2,08
219
LAMPIRAN 131. Sidik ragam bahan organik tanah Sumber DB JK KT Blok 2 0,42415 0,21208 Musim 1 1,69601 1,69601 Klt/Pjl 10 1,33651 0,13365 Musim*Klt/Pjl 10 0,81996 0,08200 Galad 42 3,64491 0,08678 Total 65 7,92155 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata LAMPIRAN 132. Sidik ragam N total tanah Sumber DB JK KT Blok 2 0,0014818 0,0007409 Musim 1 0,0005470 0,0005470 Klt/Pjl 10 0,0033091 0,0003309 Musim*Klt/Pjl 10 0,0014364 0,0001436 Galad 42 0,0107848 0,0002568 Total 65 0,0175591 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata LAMPIRAN 133. Sidik ragam C/N Sumber DB JK KT Blok 2 5,069 2,534 Musim 1 51,339 51,339 Klt/Pjl 10 38,728 3,873 Musim*Klt/Pjl 10 33,050 3,305 Galad 42 198,110 4,717 Total 65 326,296 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 134. Sidik ragam P total tanah Sumber DB JK KT Blok 2 16,386 8,193 Musim 1 126,852 126,852 Klt/Pjl 10 75,878 7,588 Musim*Klt/Pjl 10 78,366 7,837 Galad 42 75,574 1,799 Total 65 373,057 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 2,44ns 19,54* 1,54ns 0,94ns
Fhit 2,89ns 2,13ns 1,29ns 0,56ns
Fhit 0,54ns 10,88* 0,82ns 0,70ns
Fhit 4,55* 70,50* 4,22* 4,36*
220
LAMPIRAN 135. Sidik ragam K total tanah Sumber DB JK KT Blok 2 0,002130 0,001065 Musim 1 0,074673 0,074673 Klt/Pjl 10 0,020870 0,002087 Musim*Klt/Pjl 10 0,022627 0,002263 Galad 42 0,044403 0,001057 Total 65 0,164703 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 1,01ns 70,63* 1,97ns 2,14*
Penjalar Tanaman Keras sebagai Pembanding LAMPIRAN 136. Sidik ragam serapan N Sumber DB JK Blok 2 0,4868 Kultivar 1 1,9508 Penjalar 3 8,0384 Kultivar*Penjalar 3 0,8926 Galad 14 4,0492 Total 23 15,4177 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 137. Sidik ragam serapan P Sumber DB JK Blok 2 0,001225 Kultivar 1 0,019832 Penjalar 3 0,114688 Kultivar*Penjalar 3 0,030982 Galad 14 0,043544 Total 23 0,210272 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 138.Sidik ragam serapan K Sumber DB JK Blok 2 0,02988 Kultivar 1 0,62562 Penjalar 3 3,45451 Kultivar*Penjalar 3 0,91896 Galad 14 1,18555 Total 23 6,21451 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
KT 0,2434 1,9508 2,6795 0,2975 0,2892
Fhit 0,84ns 6,74* 9,26* 1,03ns
KT 0,000613 0,019832 0,038229 0,010327 0,003110
Fhit 0,20ns 6,38* 12,29* 3,32ns
KT 0,01494 0,62562 1,15150 0,30632 0,08468
Fhit 0,18ns 7,39* 13,60* 3,62*
Ftab.05 3,74 4,60 3,34 3,34
221
LAMPIRAN 139. Sidik ragam %biji/polong Sumber DB JK KT Blok 2 21,41 10,70 Kultivar 1 47,86 47,86 Penjalar 3 179,49 59,83 Kultivar*Penjalar 3 66,98 22,33 Galad 14 149,46 10,68 Total 23 465,19 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata LAMPIRAN 140. Sidik ragam hasil biji/tanaman Sumber DB JK KT Blok 2 137,9 68,9 Kultivar 1 425,9 425,9 Penjalar 3 789,4 263,1 Kultivar*Penjalar 3 2500,0 833,3 Galad 14 2785,9 199,0 Total 23 6639,1 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata LAMPIRAN 141. Sidik ragam hasil biji total Sumber DB JK KT Blok 2 11420 5710 Kultivar 1 44568 44568 Penjalar 3 25985 8662 Kultivar*Penjalar 3 152247 50749 Galad 14 119586 8542 Total 23 353806 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 142. Sidik ragam bobot 100biji Sumber DB JK KT Blok 2 233,2 116,6 Kultivar 1 151,3 151,3 Penjalar 3 97,9 32,6 Kultivar*Penjalar 3 277,8 92,6 Galad 14 1442,7 103,0 Total 23 2202,8 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 1,00ns 4,48ns 5,60* 2,09ns
Fhit 0,35ns 2,14ns 1,32ns 4,19*
Fhit 0,67ns 5,22* 1,01ns 5,94*
Fhit 1,13ns 1,47ns 0,32ns 0,90ns
222
LAMPIRAN 143. Sidik ragam kadarair biji % Sumber DB JK KT Blok 2 0,03516 0,01758 Kultivar 1 0,02470 0,02470 Penjalar 3 6,04698 2,01566 Kultivar*Penjalar 3 0,75208 0,25069 Galad 14 0,05318 0,00380 Total 23 6,91210 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata LAMPIRAN 144. Sidik ragam protein Sumber DB JK Blok 2 0,0182 Kultivar 1 0,8932 Penjalar 3 6,5458 Kultivar*Penjalar 3 3,2084 Galad 14 2,6542 Total 23 13,3199 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata LAMPIRAN 145. Sidik ragam HCN % Sumber DB JK Blok 2 0,00123 Kultivar 1 0,41344 Penjalar 3 0,93385 Kultivar*Penjalar 3 0,16481 Galad 14 0,08584 Total 23 1,59916 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
KT 0,0091 0,8932 2,1819 1,0695 0,1896
KT 0,00061 0,41344 0,31128 0,05494 0,00613
Fhit 4,63* 6,50* 530,68* 66,00*
Fhit 0,05ns 4,71* 11,51* 5,64*
Fhit 0,10ns 67,43* 50,77* 8,96*
Pertumbuhan Tanaman (nilai b dari Y=a+bX) LAMPIRAN 146. Sidik ragam klorofil total Sumber DB JK KT Blok 2 16,55 8,28 Musim 1 2465,01 2465,01 Kult-Pjl 10 614,01 61,40 Musim*Kult-Pjl 10 556,67 55,67 Galad 42 631,75 15,04 Total 65 4283,99 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 0,55ns 163,88* 4,08* 3,70*
Ftab.05 3,23 4,08 2,08 2,08
223
LAMPIRAN 147. Sidik ragam indeks luas daun Sumber DB JK KT Blok 2 0,04209 0,02105 Musim 1 8,83538 8,83538 Kult-Pjl 10 0,88033 0,08803 Musim*Kult-Pjl 10 1,47120 0,14712 Galad 42 2,01788 0,04804 Total 65 13,24688 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 148. Sidik ragam diameter batang Sumber DB JK KT Blok 2 3,9452 1,9726 Musim 1 123,5535 123,5535 Kult-Pjl 9 8,3065 0,9229 Musim*Kult-Pjl 9 7,1398 0,7933 Galad 38 30,8564 0,8120 Total 59 173,8015 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 0,44ns 183,90* 1,83ns 3,06*
Fhit 2,43ns 152,16* 1,14ns 0,98ns
Ftab.05 3,23 4,08 2,12 2,12
224
LAMPIRAN SIDIK RAGAM PERCOBAAN IV Variabel bagian vegetatif LAMPIRAN 149. Sidik ragam serapan N Sumber DB JK Blok 2 0,06462 Musim 1 2,94694 Penutup Tanah 5 4,41897 Musim*PenutupTanah 5 3,23546 Galad 22 0,48512 Total 35 11,15110 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 150. Sidik ragam serapan P Sumber DB JK Blok 2 0,002639 Musim 1 0,119025 Penutup Tanah 5 0,113947 Musim*Penutup Tanah 5 0,102458 Galad 22 0,018628 Total 35 0,356697 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 151. Sidik ragam serapan K Sumber DB JK Blok 2 0,02417 Musim 1 1,02684 Penutup Tanah 5 1,18412 Musim*Penutup Tanah 5 1,30926 Galad 22 0,17243 Total 35 3,71682 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 152. Sidik ragam klorofil total Sumber DB JK Blok 2 0,01282 Musim 1 0,00284 Penutup Tanah 5 0,03780 Musim*Penutup Tanah 5 0,09916 Galad 22 0,38918 Total 35 0,54180 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata
KT 0,03231 2,94694 0,88379 0,64709 0,02205
Fhit 1,47ns 133,64* 40,08* 29,35*
KT 0,001319 0,119025 0,022789 0,020492 0,000847
Fhit 1,56ns 140,57* 26,92* 24,20*
KT 0,01209 1,02684 0,23682 0,26185 0,00784
Fhit 1,54ns 131,01* 30,22* 33,41*
KT 0,00641 0,00284 0,00756 0,01983 0,01769
Fhit 0,36ns 0,16ns 0,43ns 1,12ns
Ftab.05 3,44 4,30 3,66 3,66
225
LAMPIRAN 153. Sidik ragam indeks luas daun bulan ke 3 Sumber DB JK KT Blok 2 0,1221 0,0610 Musim 1 2,2550 2,2550 Penutup Tanah 5 5,1399 1,0280 Musim*Penutup Tanah 5 6,0078 1,2016 Galad 22 1,2513 0,0569 Total 35 14,7761 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 154. Sidik ragam diameter batang Sumber DB JK KT Blok 2 0,1596 0,0798 Musim 1 7,9618 7,9618 Penutup Tanah 5 10,4133 2,0827 Musim*PenutupTanah 5 0,2852 0,0570 Galad 22 2,0039 0,0911 Total 35 20,8239 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 1,07ns 39,65* 18,07* 21,13*
Fhit 0,88ns 87,41* 22,86* 0,63ns
LAMPIRAN 155. Sidik ragam berat kering brangkasan Sumber DB JK KT Fhit Blok 2 39,23 19,62 2,09ns Musim 1 1374,43 1374,43 146,56* Penutup Tanah 5 2494,82 498,96 53,21* Musim*Penutup Tanah 5 3474,13 694,83 74,09* Galad 22 206,32 9,38 Total 35 7588,94 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata Pertumbuhan Tanaman (nilai b dari Y=a+bX) pada Percobaan 4 LAMPIRAN 156. Sidik ragam kandungan klorofil Sumber DB JK KT Blok 2 6345 3173 Musim 1 245530 245530 Penutup Tanah 5 262085 52417 Musim*Penutup Tanah 5 411351 82270 Galad 22 91839 4175 Total 35 1017150 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 0,76ns 58,82* 12,56* 19,71*
226
LAMPIRAN 157. Sidik ragam indeks luas daun Sumber DB JK KT Blok 2 0,02420 0,01210 Musim 1 2,08102 2,08102 Penutup Tanah 5 2,23279 0,44656 Musim*Penutup Tanah 5 2,26535 0,45307 Galad 22 0,65584 0,02981 Total 35 7,25920 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 158. Sidik ragam diameter batang Sumber DB JK KT Blok 2 3,6485 1,8242 Musim 1 0,5878 0,5878 Penutup Tanah 5 14,0781 2,8156 Musim*Penutup Tanah 5 4,5139 0,9028 Galad 22 16,8732 0,7670 Total 35 39,7014 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 0,41ns 69,81* 14,98* 15,20*
Fhit 2,38ns 0,77ns 3,67* 1,18ns
Variabel hasil LAMPIRAN 159. Sidik ragam indeks panen Sumber DB JK KT Blok 2 0,010233 0,005117 Musim 1 0,214704 0,214704 Penutup Tanah 3 0,024546 0,008182 Musim*PenutupTanah 3 0,022746 0,007582 Galad 14 0,025767 0,001840 Total 23 0,297996 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 160. Sidik ragam % biji/polong Sumber DB JK KT Blok 2 0,07630 0,03815 Musim 1 0,04084 0,04084 Penutup Tanah 3 1,70908 0,56969 Musim*Penutup Tanah 3 1,17955 0,39318 Galad 14 0,79810 0,05701 Total 23 3,80386 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 2,78ns 116,66* 4,45* 4,12*
Fhit 0,67ns 0,72ns 9,99* 6,90*
Ftab.05 3,74 4,66 3,34 3,34
227
LAMPIRAN 161. Sidik ragam hasil biji Sumber DB JK Blok 2 12,49 Musim 1 54,93 Penutup Tanah 3 18,42 Musim*Penutup Tanah 3 48,57 Galad 14 172,33 Total 23 306,75 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata
KT 6,25 54,93 6,14 16,19 12,31
LAMPIRAN 162. Sidik ragam bobot 100biji Sumber DB JK KT Blok 2 0,8097 0,4049 Musim 1 0,8214 0,8214 Penutup Tanah 3 11,8696 3,9565 Musim*Penutup Tanah 3 8,4786 2,8262 Galad 14 2,5860 0,1847 Total 23 24,5654 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 163. Sidik ragam kadar air biji Sumber DB JK Blok 2 0,05666 Musim 1 0,11760 Penutup Tanah 3 0,17157 Musim*Penutup Tanah 3 0,36583 Galad 14 0,54087 Total 23 1,25253 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 164. Sidik ragam protein % Sumber DB JK Blok 2 0,18953 Musim 1 0,71415 Penutup Tanah 3 0,46610 Musim*Penutup Tanah 3 0,70228 Galad 14 0,95174 Total 23 3,02380 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
% KT 0,02833 0,11760 0,05719 0,12194 0,03863
KT 0,09476 0,71415 0,15537 0,23409 0,06798
Fhit 0,51ns 4,46ns 0,50ns 1,32ns
Fhit 2,19ns 4,45ns 21,42* 15,30*
Fhit 0,73ns 3,04ns 1,48ns 3,16ns
Fhit 1,39ns 10,51* 2,29ns 3,44*
228
LAMPIRAN 165. Sidik ragam HCN % Sumber DB JK Blok 2 0,013358 Musim 1 0,033750 Penutup Tanah 3 0,106750 Musim*Penutup Tanah 3 0,196550 Galad 14 0,132775 Total 23 0,483183 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata
KT 0,006679 0,033750 0,035583 0,065517 0,009484
Fhit 0,70ns 3,56ns 3,75* 6,91*
Variabel Tanah LAMPIRAN 166. Sidik ragam bahan organik tanah Sumber DB JK KT Blok 2 0,20882 0,10441 Musim 1 0,01449 0,01449 Penutup Tanah 6 0,12950 0,02158 Musim*Penutup Tanah 6 0,05191 0,00865 Galad 26 0,36485 0,01403 Total 41 0,76956 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 167. Sidik ragam N total Sumber DB JK Blok 2 0,0031048 Musim 1 0,0024381 Penutup Tanah 6 0,0080286 Musim*PenutupTanah 6 0,0084286 Galad 26 0,0125619 Total 41 0,0345619 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 168. Sidik ragam C/N Sumber DB JK Blok 2 0,6309 Musim 1 0,0878 Penutup Tanah 6 2,1336 Musim*Penutup Tanah 6 1,3492 Galad 26 4,2301 Total 41 8,4316 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 7,44* 1,03ns 1,54ns 0,62ns
KT 0,0015524 0,0024381 0,0013381 0,0014048 0,0004832
Fhit 3,21ns 5,05* 2,77* 2,91*
KT 0,3154 0,0878 0,3556 0,2249 0,1627
Fhit 1,94ns 0,54ns 2,19ns 1,38ns
Ftab.05 3,37 4,23 2,47 2,47
229
LAMPIRAN 169. Sidik ragam P total% Sumber DB JK Blok 2 0,0007190 Musim 1 0,0309429 Penutup Tanah 6 0,0114810 Musim*Penutup Tanah 6 0,0008238 Galad 26 0,0038810 Total 41 0,0478476 ns * = berbeda nyata = tidak berbedanyata LAMPIRAN 170. Sidik ragam K total % Sumber DB JK Blok 2 0,003047 Musim 1 0,073836 Penutup Tanah 6 0,323881 Musim*Penutup Tanah 6 0,010580 Galad 26 0,008155 Total 41 0,419499 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
KT 0,0003595 0,0309429 0,0019135 0,0001373 0,0001493
Fhit 2,41ns 207,30* 12,82* 0,92ns
KT 0,001523 0,073836 0,053980 0,001763 0,000314
Fhit 4,86* 235,40* 172,10* 5,62*
Kondisi tanah saat perlakuan LAMPIRAN 171. Sidik ragam bahan organik Sumber DB JK KT Blok 2 0,8967 0,4484 Musim 1 0,1294 0,1294 Penutup Tanah 4 0,2086 0,0522 Musim*Penutup Tanah 4 0,3332 0,0833 Galad 18 1,8344 0,1019 Total 29 3,4023 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 172. Sidik ragam agregat Sumber DB JK KT Blok 2 40,443 20,222 Musim 1 824,776 824,776 Penutup Tanah 4 34,676 8,669 Musim*Penutup Tanah 4 77,529 19,382 Galad 18 168,058 9,337 Total 29 1145,483 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 4,40* 1,27ns 0,51ns 0,82ns
Fhit 2,17ns 88,34* 0,93ns 2,08ns
Ftab.05 3,55 4,41 2,93 2,93
230
LAMPIRAN 173. Sidik ragam pori tak tergunakan Sumber DB JK KT Blok 2 0,0014341 0,0007170 Musim 1 0,0115248 0,0115248 Penutup Tanah 4 0,0011273 0,0002818 Musim*Penutup Tanah 4 0,0005185 0,0001296 Galad 18 0,0063759 0,0003542 Total 29 0,0209807 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 174. Sidik ragam pori menahan lengas Sumber DB JK KT Blok 2 0,036645 0,018322 Musim 1 0,001347 0,001347 Penutup Tanah 4 0,001018 0,000254 Musim*Penutup Tanah 4 0,003814 0,000953 Galad 18 0,021855 0,001214 Total 29 0,064678 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 175. Sidik ragam pori drainase Sumber DB JK KT Blok 2 0,012914 0,006457 Musim 1 0,228290 0,228290 Penutup Tanah 4 0,007903 0,001976 Musim*Penutup Tanah 4 0,002706 0,000676 Galad 18 0,041668 0,002315 Total 29 0,293481 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata LAMPIRAN 176. Sidik ragam berat volume Sumber DB JK KT Blok 2 0,04067 0,02033 Musim 1 0,34133 0,34133 Penutup Tanah 4 0,07319 0,01830 Musim*Penutup Tanah 4 0,04453 0,01113 Galad 18 0,29407 0,01634 Total 29 0,79379 * = berbeda nyata ns = tidak berbedanyata
Fhit 2,02 ns 32,54* 0,80 ns 0,37 ns
Fhit 15,09* 1,11 ns 0,21 ns 0,79 ns
Fhit 2,79 ns 98,62* 0,85 ns 0,29 ns
Fhit 1,24ns 20,89* 1,12ns 0,68ns
231
LAMPIRAN 177. Sidik ragam % porositas Sumber DB JK KT Blok 2 147,05 73,52 Musim 1 3859,91 3859,91 Penutup Tanah 4 160,74 40,18 Musim*Penutup Tanah 4 8,31 2,08 Galad 18 914,27 50,79 Total 29 5090,27 ns = tidak berbedanyata * = berbeda nyata
Fhit 1,45ns 75,99* 0,79ns 0,04ns
232
LAMPIRAN 177, Sidik ragam Sumbangan N Sumber
DB
Blok 2 Musim 1 Penutup Tanah Musim*Penutup Tanah Galad 18 Total 29
JK
KT
Fhit
P
0,0011126 0,0005563 0,76 0,480 ns 0,0034669 0,0034669 4,76 0,043* 4 0,0072579 0,0018145 2,49 0,080 ns 4 0,0073780 0,0018445 2,53 0,076 ns 0,0131112 0,0007284 0,0323267
232 LAMPIRAN KOEFISIEN KORELASI ANTAR VARIABEL
Lampiran 178. Koefisien korelasi antar masing-masing variabel Ø-´ Þ·¶· Þ¾¬ Þ®µ ï ns ðôêëë ï ns ns ðôðïé ðôððï ðôçððö ðôèìê ö ns ns ðôðîë ðôïèð ns ns ðôíèî ðôëïç ns ns ðôìîê ðôììë ns ns ðôïðç ðôìéë ns ns ðôîðï ðôðëç ns = tidak nyata öã ²§¿¬¿
Þïð𾶠ײ¼ п²»² ×ÔÜ ë ³¹ ßµ¿®ñ¬¿¶«µ п²¶ ßµ¿® Ю±¬»·² ØÝÒ
Ø-´ Þ·¶· Þ¾¬ Þ®µ Þïð𾶠ײ¼ п²»² ×ÔÜ ë ³¹ ßµ¿®ñ¬¿¶«µ п²¶ ßµ¿® Ю±¬»·² ØÝÒ
ï ns ðôððé ns ðôððð ns ðôðçð ns ðôðíí ns ðôðëê ns ðôððç
ï ns ðôïèé ns ðôìêç ns ðôëïé ns ðôïçé ns ðôðêç
ï ns ðôïðì ns ðôïíì ns ðôðíç ns ðôîëé
ï ns ðôððï ns ðôíëì ns ðôííë
ï ns ðôðïé ï ns ns ðôðèç ðôïèî
Lampiran 179. Koefisien korelasi antar berbagai variabel pada Percobaan Pemupukan Hasil Biji Hasil Biji
Jml Bintil
BKB Atas
BK Tajuk
Indeks Akar/tajuk Panen Srp N
BK Bintil 0,006
ns
1 0,925 *
0,562 * 0,318
ns
1 0,256 ns
1
BKB Atas 0,016 ns 0,399 ns 0,309 ns 0,326 ns BK Tajuk 0,050
ns
0,398
ns
0,307
ns
1
0,404 * 0,990 *
1
Akar/tajuk 0,435 * 0,352 ns 0,422 * 0,735 * 0,122 ns 0,067 ns IndekPnen 0,992 * 0,016
ns
0,013
ns
0,591 * 0,019
ns
0,055
ns
SerapanN 0,203 ns 0,500 * 0,404 * 0,698 * 0,849 * 0,903 * SerapanP
Srp P Srp K
1
Jml Bintil 0,010 ns
BK Akar
BK BK Bintil Akar
0,075
ns
0,681 * 0,581 * 0,566 * 0,825 * 0,846 *
SerapanK 0,191 ns 0,532 * 0,437 * 0,730 * 0,801 * 0,652 * ns = tidak nyata öã ²§¿¬¿
1 0,449 *
1
0,399 ns 0,221 ns 0,351
ns
0,095
ns
1 0,924 *
1
0,444 * 0,215 ns 0,984 * 0,951*
1
ï
233
Lampiran 180. Koefisien korelasi antar komponen karabenguk Õ®Þ»²¹«µ Ø-´ Þ¶ Þ±Þ®²¹µ ×ÔÜ Ü³¬ Õ´±® ̬´ Ø-´ñÌ¿² Þïðð¾ ×Ð ûÞ¶ñд²¹ Õß Ð®±¬ ØÝÒ
Ø-´ Þ¶ Þ±Þ®²¹µ ×ÔÜ Ü³¬ Õ´±® ̬´ Ø-´ñÌ¿² Þïðð¾ ×Ð ûÞ¶ñд²¹ Õß Ð®±¬ ØÝÒ ï ðôìêî ö ï ðôìîç ö ðôèçì ö ï ðôëïí ö ðôèëë ö ðôèéð ö ï ðôîêì ö ðôîíç ö ðôíèë ö ðôëðì ö ï ðôéíî ö ðôìèí ö ðôìïë ö ðôëîï ö ðôîêè ö ï ðôíïê ö ðôïèî ö ðôîìð ö ðôìîç ö ðôêíé ö ðôîêë ö ï ns ns ns ns ns ðôððï ðôíéì ö ðôîíç ö ðôïïð ðôðìç ðôðïî ðôðëí ï ns ns ns ðôïèé ö ðôðéî ðôïìê ðôîèï ö ðôéçç ö ðôïèç ö ðôéèì ö ðôïéî ï ns ns ns ns ðôïéë ðôðçé ðôïçì ö ðôííð ö ðôèéì ö ðôïêí ðôéíç ö ðôïìë ðôçéï ö ï ns ns ðôîðè ö ðôïíé ðôîëî ö ðôíçé ö ðôçíí ö ðôìçè ö ðôéìì ö ðôïïê ðôçìï ö ðôçðî ö ï ns ns ns ns ðôïîé ðôðìí ðôïíï ðôîëé ö ðôèïî ö ðôðçì ðôêìè ö ðôîîç ö ðôèëê ö ðôçèð ö ðôçîð ö ï ns = tidak nyata öã ²§¿¬¿
Lampiran 181. Koefisien korelasi antar hasil tanaman jagung ÞµÞ®µ ï ðôèçë ö ðôèìð ö ðôçèï ö ns = tidak nyata öã ²§¿¬¿
Þµ Þ®²¹µ Þïð𠾶 Ø-´ñ¬¿² Ø-´ Ö¿¹«²¹ñ°»¬¿µ
Þïð𠾶
Ø-´ Öñ¬¿²
Ø-´ Ö¿¹«²¹ñ°»¬¿µ
ï ðôèêí ö ðôèìí ö
ï ðôçïê ö
ï
Lampiran 182. Koefisien korelasi antar komponen Tumpangsari ßÌÛÎ ï ns ðôðîë ns ðôðìë ns ðôððí ns = tidak nyata öã ²§¿¬¿
ßÌÛÎ Í®° Ò Í®° Ð Í®° Õ
Í®° Ò
Í®° Ð
Í®° Õ
ï ns ðôéï ns ðôìêë
ï ns ðôíçð
ï
234
Lampiran 183. Koefisien korelasi antar komponen pertumbuhan dan hasil tanaman penutup tanah Ø-Þ·¶· Þïðð Ø-´ Þ·¶· Þ¾¬ ïð𾶠ײ¼ п² ûÞ¶ñд²¹ Õß û Ю±¬»·² û ØÝÒ û ÞÑ Þ®µ Í®° Ò Í®° Ð Í®° Õ Õ´® ̱¬ Ü ×ÔÜ ¾´ í ܳ¬ ¾¬ ns
×Ð
ûÞñд Õß û Ю±¬û ØÝÒû ÞµÞ®µ Í®° Ò Í®° Ð Í®° Õ Õ´® ̬ ×Ôܾ´í ܳ¬ ¾¬
ï ðôêêö ï ðôðè ns ðôîðns
ï ðôíïns ï ðôíëns ðôçêö ðôíïns ðôçëö ðôììö ðôçîö ðôðêns ðôíêö ðôðîns ðôìíö ðôðíns ðôìïö ðôðíns ðôíçö ðôðïns ðôðé ns ðôëêö ðôìîö ðôðîns ðôíéö ðôéìö ðôëèö ðôðïns ðôëçö
ðôéïö ðôéíö ðôéêö ðôêêö ðôêíö ðôéïö ðôêéö ðôéðö ðôðê ns
ðôçðö ðôèíö ðôèíö ðôéçö ðôíéö ðôìëö ðôêêö ðôìïö ðôðèns
ï ðôçêö ðôçëö ðôíèö ðôìéö ðôìíö ðôìïö ðôðé ns
ï ðôçêö ðôìîö ðôëðö ðôìèö ðôìêö ðôðé ns
ï ðôîê ns ðôíìö ðôíïö ðôîçö ðôðé ns
ï ðôççö ï ðôçéö ðôççö ï ðôçéö ðôçèö ðôççö ï ðôðï ns ðôðç ns ðôðç ns ðôðç ns
ï ðôìîö ðôìéö ðôííö ðôçðö ðôçîö ðôçìö ðôçðö ðôïìns ï ns ðôîè ðôêìö ðôêéö ðôëíö ðôéìö ðôéçö ðôéêö ðôéëö ðôéðö
= tidak nyata öã ²§¿¬¿
Lampiran 184. Koefisien korelasi antar komponen pertumbuhan dan tanah pada tanaman penutup tanah
ÝñÒ ÞÑ̲¸ Õ¬±¬ Ь±¬ Ò¬±¬ ÐÜ ÐÓ ÐÌ ÞµÞ®¿²¹µ ܳ¬ Õ´±®±º·´ ns
ÝñÒ ï ²ðôîð ²ðôîë ²ðôîí ðôêèö ðôîé ²ðôêêö ²ðôîé ðôðê ²²ðôðí ²ðôîî
ÞÑ̲¸ Õ¬±¬ ï ²ðôðî ²ðôðì ðôðï ²ðôðï ²ðôðï ²²ðôðí ðôïî ²²ðôîè ðôëêö
ï ðôçéö ðôîç ²ðôçéö ðôéíö ðôèêö ðôîï ²²ðôíç ²ðôðï
= tidak nyata öã ²§¿¬¿
Ь±¬
ï ðôíí ²ðôçèö ðôéíö ðôéçö ðôïë ²²ðôíì ²ðôðî
Ò¬±¬
ï ðôíð ²ðôêëö ²ðôíì ðôðí ²²ðôðð ²ðôðï
ÐÜ
ÐÓ
ÐÌ
ÞµÞ®¹µ ܳ¬
ï ðôéëö ðôèðö ðôïë ²²ðôîç ²ðôðì
ï ðôéìö ï ðôðì ²- ðôíì ²ï ²ðôðç ðôëíö ðôéìö ï ²²²²ðôïï ðôðð ðôðé ðôîç
Õ´±®±º·´
ï
ï
235 LAMPIRAN PENYETARAAN UNTUK MENGETAHUI LUAS DAUN, KLOROFIL DAN LENGAS TANAH
LAMPIRAN 185 Daun trifoliate karabenguk
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Panjang ( p ) (cm) 5,50 7,75 9,00 9,00 10,00 9,25 9,50 9,50 11,00 10,50
Lebar ( l ) (cm) 3,25 4,25 4,75 5,25 5,50 6,00 6,00 6,50 6,25 6,75
Pxl (cm²) 17,8750 32,9375 42,7500 47,2500 55,0000 55,5000 57,0000 61,7500 68,7500 70,8750
Berat kertas (g)
Lebar ( l ) (cm) 9 4,5 3
Pxl (cm²) 702 288 111
Berat kertas (g)
Lebar ( l ) (cm) 3 2,3 1,4
Pxl (cm²) 12 7,36 2,52
Berat kertas (g)
0,312 0,593 0,736 0,690 0,832 0,849 0,858 0,885 0,977 1,009
Luas Daun Rata-rata (cm²) 44,5714 84,7143 105,1429 98,5714 118,8571 121,2857 122,5714 126,4286 139,5714 144,1429
LAMPIRAN 185b Daun jagung
No. 1 2 3
Panjang ( p ) (cm) 78 64 37
4,074 1,663 0,562
Luas Daun Rata-rata (cm²) 582 238 80
LAMPIRAN 185c Daun kalopogonium
No. 1 2 3
Panjang ( p ) (cm) 4 3,2 1,8
0,148 0,092 0,036
Luas Daun Rata-rata (cm²) 21,1429 13,1429 5,1429
236
LAMPIRAN 185d Daun sentrosema No.
Panjang ( p ) (cm) 5,5 4,6 3,5
1 2 3
Lebar ( l ) (cm) 3 2,5 1,5
Pxl (cm²) 16,5 11,5 5,25
Berat kertas (g) 0,182 0,137 0,065
Luas Daun Ratarata (cm²) 26,0000 19,5714 9,2857
LAMPIRAN 186 Penyetaraan hasil klorofil meter ke berat klorofil per cm2 daun Karabenguk Klr Meter 16,9 28,9 30,4 34,9 39,1
A 645 0,050 0,206 0,254 0,270 0,290
A 663 0,108 0,476 0,562 0,618 0,638
Klr Tot g/l 1,6404 6,9815 8,4294 9,1082 9,5978
KTot mg/cm2 0,2051 0,8727 1,0537 1,1385 1,1997
LAMPIRAN 187 Hubungan hasil ukur soil tester dan kadar lengas tanah No.
Hasil ukur (X)
Kadar Lengas (Y) dalam %
1 2 3
47,5 52,5 100
7,95 10,28 12,22
237 LAMPIRAN DATA LENGAS TANAH LAMPIRAN 188 Data kadar lengas tanah ( % ) di lapangan berdasarkan bulan pengamatan Bulan Ke 3 4 5 6 7 8
Lengas Tanah 12,15 7,65 12,32 9,22 7,89 5,81
Kapasitas Lapangan 17,16
Titik Layu Permanen 7,72