KAJIAN BEBERAPA METODE SISTEM PEMBERIAN AIR IRIGASI PADI SAWAH
Study On Methods In Irrigation Watering System For Paddy Fields Yolly Adriati Jurusan Teknik Sipil Universitas Islam Riau Jl. Kaharuddin Nasution 113 Pekanbaru 28284
[email protected]
Penelitian yang dilaksanakan bertujuan untuk melihat pola hemat air padi sawah selama satu masa tanam yang berbasis pada lima sistem pemberian air yaitu sistem tradisional (TRI dan MTR), sistem pergantian basah kering (AWD), sistem semi kering (SDC) dan sistem basah (SRI). Penelitian ini dilakukan dengan cara mengukur nilai air irigasi, air keluaran perkolasi, mengukur curah hujan, limpasan dan penguapan untuk setiap hari. Nilai itu kemudian diolah untuk menghitung nilai konsumtif dengan cara imbangan air dan menghitung nilai kebutuhan air irigasi, yang selanjutnya digunakan untuk menghitung nilai penghematan kebutuhan air padi sawah pada masing-masing metode sistem pemberian air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode AWD dan SDC merupakan sistem pemberian air yang paling hemat, yaitu terjadi penghematan pemberian air irigasi sebanyak 55,03% untuk metode AWD dan 58,83% untuk metode SDC. Sedangkan untuk kebutuhan air irigasi (KAI) juga terjadi penghematan sebesar 29,87% untuk metode AWD dan 35,18% untuk metode SDC dibandingkan terhadap metode TRI. Hal ini disebabkan karena pemberian air yang terputus, tingginya hujan efektif dan berkurangnya nilai perkolasinya. ABSTRACT The study is conducted to find out the pattern of water saving irrigation for paddy field based on five water allocation methods. These are Traditional Irrigation method (TRI), Modified Traditional method (MTR), Alternate Wetting and Drying method (AWD), Semi Dry Cultivation method (SDC), and System of Rice Intensification method (SRI). The study is conducted by measuring the volume of irrigation water, percolation, rainfall, surface runoff, and evaporation daily. The data are then processed to calculate consumptive value by using water balance method and calculate the need for irrigation water, used to calculate the value of water saving in allocation for paddy field of the five methods. Result of the study indicates that the AWD and SDC methods are the most effective water allocation methods, i.e. the water irrigation saving is 55.03% for the AWD method and 58.83% for the SDC method. While for the need of water irrigation the water saving is 29.87% for the AWD method and 35.18% for the SDC method than TRI method. It is due to the intermittent water allocation, effective rainfall, and reduced percolation. Keywords: Water rrigation method, Water saving, Water balance
PENDAHULUAN Tantangan yang di hadapi dalam bidang pertanian disatu sisi kebutuhan air irigasi meningkat, disisi lain air yang tersedia untuk irigasi justru semakin langka. Jawaban terhadap kelangkaan tersebut adalah peningkatan efisiensi. Untuk meningkatkan efisiensi dibutuhkan perbaikan sistem pemberian air irigasi dalam semua level. Kegiatan pemberian air irigasi kepada areal yang membutuhkan air dapat terlaksana dengan baik jika dibarengi dengan cara atau teknik-teknik tertentu sesuai dengan jamannya, maka saatnya pola sistem irigasi diperbarui sehingga penggunaan air irigasi dapat lebih efisien. TUJUAN Tujuan penelitian ini untuk mengetahui besarnya air yang diberikan pada setiap sistem pemberian air padi sawah dengan lima sistem pemberian air yaitu metode tradisional (Traditional Irrigation/TRI), modifikasi tradisional (Modified of Traditional Irrigation/MTR), pergantian basah dan kering (Alternate Wetting and Drying /AWD), semi kering (Semi Dry Cultivication/SDC) dan sistem basah (System of Rice Intensification/SRI), dan untuk mengetahui seberapa besar penghematan air dengan sistem pemberian AWD,SDC dan SRI terhadap sistem pemberian tradisional (TRI). TINJAUAN PUSTAKA Analisis kebutuhan air irigasi merupakan salah satu tahap penting yang diperlukan dalam perencanaan dan pengelolaan sistem irigasi. Kebutuhan air tanaman didefinisikan sebagai jumlah air yang dibutuhkan oleh tanaman pada suatu periode untuk dapat tumbuh hingga menghasilkan gabah secara normal tanpa diberikan suatu jenis obat tumbuh ataupun berbuah. Ada beberapa penelitian yang meneliti tentang sistem pemberian air irigasi antara lain: Casripin (1998), “Pengelolaan Air Irigasi Didaerah Irigasi Jamblang Kabupaten DT.II Cirebon”. Ada beberapa cara untuk mengatasi kekurangan ait irigasi, dalam penelitian ini mencoba untuk mendapatkan suatu pembagian air yang optimal didaerah irigasi Jamblang Kabupaten Daerah Tingkat II Cirebon, dipandang dari ketersediaan air. Sebagai data dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber air, analisa curah hujan, efisiensi penyaluran air dan efisiensi pemakaian petak tersier dan pola tanam yang berlaku. Dalam penelitian ini memakai metode alternatif sistem pembagian air, yaitu sistem pembagian air dengan pemberian air secara giliran bebas dan sistem pembagian air dengan pemberian secara sistem golongan. Dari hasil penelitian didapat sistem pembagian secara golongan dapat mengurangi kebutuhan air sebesar 1581,20 liter/detik atau 32,76% dari pembagian air secara giliran bebas dan sacara teknis sistem golongan dapat dilaksanakan dan dikendalikan dengan mudah, sehingga pembagian dan pengaturan air keareal irigasi lebih merata dan efisien. Rusdianto (2008), “Produktifitas Air Padi Sawah Dengan Sistem Irigasi Hemat Air”. Dengan angka pemanfaatan air sebesar 80 % untuk pertanian sebagai usaha penyediaan pangan dipandang sebagai pemakai air terbesar, hal tersebut terjadi
karena masih dipertahankannya metode irigasi tradisional dengan genangan menerus. Penelitian ini bertujuan untuk mencoba sistem pemberian air pada lahan pertanian khususnya tanaman padi dengan metode yang disebut irigasi hemat air, yaitu penggabungan antara kondisi basah dan kondisi kering (SWD), kombinasi kondisi basah dan kondisi kering (AWD), penanaman semi kering (SDC), atau kombinasi antara sistem konvensional dengan sistem hemat air (TRI-2). Penelitian ini menghasilkan nilai pemberian air terjadi pengurangan untuk irigasi hemat air dengan nilai efisiensi relatif terhadap metode tradisional, yaitu, sistem pemberian air terputus (TRI-2) sebesar 614,17 mm dengan efisiensi 26,23 %; sistem gabungan basah dan kering (SWD) sebesar 635 mm dengan efisiensi 35,11 %; sistem pergantian basah dan kering (AWD) sebesar 628,33 mm dengan efisiensi 36,54 %; sistem penanaman semi kering (SDC) sebesar 679,67 mm dengan efisiensi 26,23 %. Untuk hasil produksi gabah diperoleh TRI-1 sebesar 6,545 ton/ha; TRI-2 sebesar 7,318 ton/ha; SWD sebesar 5,418 ton/ha; AWD sebesar 7,125 ton/ha; SDC sebesar 4,963 ton/ha. Sedangkan produktivitas air TRI-1 sebesar 0,763 kg/m3; TRI-2 sebesar 1,192 kg/m3; SWD sebesar 0,853 kg/m3; AWD sebesar 1,134 kg/m3; dan SDC sebesar 0,730 kg/m3. Dari hasil penelitian nampak metode dengan genangan menerus memiliki nilai pemberian air untuk lahan lebih besar jika dibandingkan dengan metode hemat air. SISTEM PEMBERIAN AIR PADI SAWAH Untuk mengoptimalkan penggunaan air khususnya padi sawah, dewasa ini telah banyak dikembangkan metode atau sistem pemberian air irigasi, beberapa sistem pemberian air padi sawah yang dapat meningkatkan keberlanjutan produktivitas air diantaranya sebagai berikut (Zhi san Cui, 2001). 1. Metode Konvensional (Traditional Irrigation/ TRI) Metode ini paling umum digunakan di Indonesia yaitu sistem pemberian air secara terus-menerus dari saat tanam hingga menjelang panen. Kedalaman air genangannya dipertahankan sampai 30 mm dan ekstra hingga 80 mm untuk menampung air hujan. 2. Metode Modifikasi Tradisional (Modified Traditional Method/MTR) Metode ini merupakan pengembangan dari metode konvensional. Sistem pemberian air sama halnya dengan metode konvensional yaitu secara terusmenerus dari saat tanam hingga menjelang panen (gabah mulai menguning). Bedanya dengan metode tradisional adalah jumlah bibit dan saat tanam, yaitu setiap titik ditanam 1 bibit pada saat bibit berumur 10 hari semaian. 3. Metode Pergantian Basah dan Kering (Alternate Wetting and Drying/AWD) Metode ini merupakan sistem pemberian air dengan cara terputus yaitu pada mulai tanam sampai 10 HST (hari setelah tanam) digenangi dengan kedalaman maksimum 20 mm dan minimum 0 mm, setalah 11 HST sampai padi mulai menguning diairi maksimum sedalam 20 mm dan minimum 70% SMC (tanah sudah mulai retak) dan ekstra untuk menampung air hujan sampai 80 mm
4. Metode Semi Kering (Semi Dry Cultivation/SDC) Metode ini menggunakan sistem genangan untuk 1-10 HST digenangi sedalam 20 mm dan minimum 0 mm. Selanjutnya pemberian air hanya sebatas permukaan tanah dan diberikan air kembali setelah kondisi tanah 70% SMC. Untuk menampung air hujan eksta sedalam 80 mm. 5. Metode Basah (System of Rice Intensification/SRI) Metode ini menggunakan sistem genangan untuk 1 HST sampai menjelang panen digenangi terus sedalam 20 mm dan minimum 0 mm, dan ektra untuk menampung air hujan sampai 80 mm. ANALISIS IMBANGAN AIR Analisis imbangan air bertujuan untuk mengetahui perimbangan ketersediaan air (masukan) dengan kebutuhan air (keluaran) pada lahan model. Imbangan air disawah dihitung dengan persamaan 1. ∆S = (I + R) – (ETc) – P – L ................................................. (1) dimana : ∆S : perubahan tampungan (storage change) dalam mm/hari, I : air irigasi (irrigation)dalam mm/hari, R : hujan (rainfall) dalam mm/hari, ETc : evapotranpirasi tanaman dalam mm/hari, P : perkolasi (percolation) dalam mm/hari, L : limpasan dalam mm/hari. Perkolasi yaitu proses aliran air dalam tanah secara vertikal akibat gaya berat (Sri Harto, 2000). Laju perkolasi sangat tergantung kepada sifat-sifat tanah. Pada tanah-tanah lempung berat dengan karakteristik pengolahan (puddling) yang baik, laju perkolasi dapat mencapai 1-3 mm/hari. Pada tanah-tanah yang lebih ringan, laju perkolasi bisa lebih tinggi. Hujan efektif dalam penelitian ini didefinisikan sebagai hujan yang secara langsung berpengaruh terhadap perkembangan tanaman. Hujan efektif dihitung sebagai tinggi hujan dikurangi dengan limpasan yang terjadi. Limpasan permukaan (surface runoff) merupakan komponen aliran yang besarnya adalah besaran hujan dikurangi dengan infiltrasi. Dengan andaian besaran hujan tetap, maka besaran limpasan permukaan semata-mata tinggal tergantung dari besaran infiltrasi (Sri Harto, 2000). Limpasan dianggap akan terjadi apabila air genangan pada sawah sudah melebihi tinggi 80 mm. Nilai evapotranspirasi acuan (ETo) dihitung dengan metode Penman Modifikasi dengan persamaan 2 ( Sosrodarsono dan Takeda, 1977). ETo = c.[W . Rn + ( 1 – W ) . f(U). (ea-ed)] …………………
dimana : ETo C W
(2)
: evapotranspirasi acuan (mm/hari), : faktor koreksi terhadap efek dari kondisi cuaca siang dan malam, : faktor beban yang disebabkan oleh suhu,
ea Rn f(U) (ed - ea)
: : : :
tekanan uap air pada suhu rata-rata (mmHg), radiasi netto (mm/hari), fungsi yang berhubungan dengan kecepatan angin, hasil pengurangan dari tekanan uap air jenuh pada titik embun dan tekanan uap air aktual pada suhu rata-rata (mbar).
Penggunaan air komsumtif adalah air yang digunakan oleh tanaman (khususnya jenis padi) dalam masa tumbuh kembang untuk keperluan fotosintesis (Standar Perencanaan Irigasi KP- 01, 1986). ETc = kc. ETo …………………………………………… dimana :
ETC ETO kc
(3)
: evapotranspirasi aktual (mm/hari), : evapotranspirasi acuan (mm/hari), : koefisien tanaman.
Kebutuhan air di sini adalah suatu gambaran besarnya kebutuhan air untuk keperluan tumbuhnya tanaman sampai tanaman (padi) itu siap panen, kebutuhan air irigasi dihitung dengan persamaan 4 (Standar Perencanaan Irigasi KP- 01, 1986). ETc IR RW P ER xA ....................................... KAI (4) IE dimana : KAI : kebutuhan air irigasi (mm³/hari), ETc : evapotranspirasi (mm/hari), IR : kebutuhan air untuk penyiapan lahan (mm/hari), RW : kebutuhan air untuk penggantian lapisan air (mm/hari), P : perkolasi (mm/hari), ER : hujan efektif (mm/hari), IE : efisiensi irigasi, A : luas areal irigasi (m2). Penghematan air irigasi adalah rasio atau perbandingan air irigasi tiap metode sistem pemberian air antara jumlah air yang tersimpan pada masukan air terhadap metode tradisional (Won, et.al. 2005 dalam Joko Sujono, dkk., 2006), misalnya, rasio penghematan air yang tersimpan dari SDC (Water Saving Ratio/WSR) terhadap TRI dapat dihitung dengan persamaan 5 Volume air SDC Volume air TRI WSRSDC (%) 100 % ............ (5) Volume air TRI METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik Penyehatan Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, yang terletak di daerah Kuningan, Yogyakarta.
Model yang digunakan merupakan lysimeter berukuran 2,0 m x 3,0 m dengan ketinggian 80 cm. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi panci evaporasi, alat ukur kelembaban (soil tester), jangka sorong (kaliper), gelas dan tabung ukur, timbangan, pompa air, slang air, kabel, jaring serta peralatan pertanian lainnya. Pengambilan data primer (data irigasi,perkolasi,evaporasi, curah hujan, limpasan) dilakukan setiap hari pada jam 07.00 pagi. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Irigasi Sistem pemberian air irigasi pada tanaman padi di sawah dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pengaturan sistem pemberian air irigasi dilakukan agar penggunaan air irigasi lebih hemat sesuai dengan kebutuhan tanaman. Data hasil pengukuran air irigasi dari masing-masing sistem pemberian air irigasi dapat dilihat pada Gambar 1
Gambar 1. Irigasi komulatif tiap sistem pemberian air. Dari Gambar 1 terlihat bahwa penggunaan air irigasi selama masa tanam dengan metode TRI sebesar 202,5 mm; MTR sebesar 195 mm; AWD sebesar 90,83 mm; SDC sebesar 83,17 mm dan SRI sebesar 318,5 mm. Sistem pemberian air metode SRI lebih besar dari metode tradisional (TRI), hal ini disebabkan karena terjadinya kebocoran pada lysimeter. 2. Hujan Efektif Pengukuran hujan efektif lapangan berdasarkan kepada data curah hujan dikurangi dengan besarnya limpasan pada tiap-tiap sistem pemberian air, dari hasil pengukuran selama satu masa tanam didapatkan besarnya curah hujan efektif untuk setiap metode irigasi disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Kumulatif curah hujan efektif lapangan. 3. Perkolasi Perkolasi adalah air yang keluar dari model lahan petak sawah setiap harinya. Rata-rata laju perkolasi dalam satu musim tanam untuk metode TRI sebesar 2,15 mm/hari; MTR sebesar 2,04 mm/hari; AWD sebesar 1,51 mm/hari; SDC sebesar 1,53 mm/hari dan SRI sebesar 3,76 mm/hari. Jumlah nilai perkolasi selama masa tanam untuk setiap metode irigasi disajikan pada Gambar 3. Nilai perkolasi pada sistem MTR, AWD dan SDC berkurang sebesar 2,97%; 28,15 % dan 27,47% terhadap perkolasi TRI, sedangkan pada metode SRI terjadi peningkatan sebesar 78,98%. Dengan berkurangnya pemberian air irigasi dan kedalaman air lebih dangkal dibandingkan dengan sistem tradisional (TRI), menyebabkan perembesan air kedalam tanah berkurang dan perkolasi pada metode AWD dan SDC akan lebih kecil dari sistem pemberian air lainnya. Pengukuran data membuktikan kondisi tersebut pada beberapa hari setelah 60 HST untuk SDC dan 85 HST untuk AWD nilai perkolasinya mencapai angka 0 (tidak terjadi perkolasi).
4. Limpasan
Gambar 3. Perkolasi harian tiap sistem pemberian air.
Limpasan akan terjadi apabila air genangan pada sawah sudah melebihi tinggi 80 mm dengan asumsi tinggi pematang sawah adalah 80 mm. Besarnya limpasan pada masing-masing metode terlihat pada Gambar 4, dan nilai limpasan disajikan pada Tabel 1.
Gambar 4. Limpasan kumulatif selama masa tanam. Tabel 1. Total limpasan pada tiap sistem pemberian air. Total Hujan
Total Limpasan
Persentasi limpasan
(mm)
(mm)
(%)
TRI
510,54
281,80
55,20
MTR
585,49
366,30
62,56
AWD
585,49
367,43
62,76
SDC
585,49
251.74
43,00
SRI
585,49
279,57
47,75
Metode
Dari Tabel 1 telihat bahwa pada metode SDC mengalami limpasan yang paling kecil yaitu sebesar 43%. Hal ini disebabkan karena sistem pemberian air yang basah kering, maka lahan metode SDC sering tidak ada air (kering), jika terjadi hujan semua air hujan yang masuk kelahan SDC dapat tertampung dan tidak melebihi batas ekstra tampungan (80 mm) sehingga tidak terjadi limpasan. 5. Evapotranspirasi Acuan (ETo) Evapotranspirasi acuan (ETo) dihitung Modifikasi, nilai ETo disajikan pada Gambar 5.
dengan
metode
Penman
Gambar 5. ETo metode Penman modifikasi. 6. Kebutuhan Air Konsumtif Hasil pengukuran laju evapotranspirasi (ETc) yang dihitung dengan menggunakan metode imbangan air, untuk metode MTR relatif hampir sama dengan metode TRI lebih hemat 0,76 %; AWD hemat sebesar 18,99 %; SDC hemat sebesar 21,13 %. Berkurangnya kebutuhan air komsumtif pada metode AWD dan SDC disebabkan karena sistem pemberian airnya yang basah kering, lahan pada AWD dan SDC sering tidak ada air sehingga penyerapan oleh tanaman jadi berkurang. 7. Kebutuhan Air Irigasi Parameter-parameter yang terdapat dalam perhitungan KAI yaitu meliputi evapotranspirasi (ETc), perkolasi (P), hujan efektif (ER), efisiensi irigasi (IE) dan luas lahan irigasi (A). Kebutuhan air irigasi selama satu masa tanam untuk masing-masing sistem pemberian air dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Kebutuhan air irigasi tiap sistem pemberian air.
Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa pada 10 – 40 HST terjadi pemberian air irigasi yang sedikit, ini disebabkan karena tingginya intensitas hujan sehingga semua lahan hampir setiap hari digenangi air. Untuk metode MTR, AWD,dan SDC apabila dibandingkan dengan metode TRI (tradisional) terjadi penghematan penggunaan air irigasi. Kebutuhan air irigasi (KAI) selama masa tanam disajikan pada Tabel 2 Tabel 2. Kebutuhan air irigasi tiap sistem pemberian air. Metode
Total KAI (mm)
Penghematan dibandingkan TRI (%)
TRI MTR AWD SDC SRI
569,71 546,35 399,55 369,27 651,04
-4,10 -29,87 -35,18 12,49
Kebutuhan air irigasi selama satu masa tanam, pemberian air dengan metode AWD hemat sebesar 29,87 %, metode SDC hemat sebesar 35,18 %, metode MTR hemat sebesar 4,1% . Faktor hematnya kebutuhan air irigasi (KAI) dengan menggunakan metode AWD dan SDC, karena AWD dan SDC merupakan sistem basah kering. Pada saat terjadinya hujan, air hujan yang masuk ke petak sawah sistem AWD dan SDC dapat menampung air hujan lebih banyak sehingga nilai hujan efektifnya menjadi lebih tinggi. Akibat hujan efektif yang tinggi kebutuhan air irigasinya akan berkurang. 8. Penghematan Air Irigasi Dalam penelitian yang dilaksanakan diperoleh nilai penghematan air ( Water Save Ratio/WSR) untuk tiap metode sistem pemberian air. Tabel 3. Nilai rasio penghematan air irigasi. Metode Irigasi
No
Uraian
1
2
TRI 3
MTR 4
AWD 5
SDC 6
SRI 7
1 2 3
Pemberian air irigasi (mm) Pemberian air irigasi (mm/hari) Water Save Rate (%)
202 2,02 0,00
195 1,91 -3,47
90,83 0,89 -55,03
83,17 0,82 -58,83
318,5 3,12 -57,67
Untuk metode MTR, AWD,dan SDC apabila dibandingkan dengan metode TRI (tradisional) terjadi penghematan penggunaan air irigasi. Pada metode AWD terjadi penghematan air sebesar 55,03%; metode SDC hemat sebesar 58,83 % dan pada metode MTR hemat sebesar 3,47 %, sedangkan pada metode SRI terjadi irigasi paling besar yaitu meningkat sebesar 57,67%. Peningkatan pemberian air irigasi pada metode SRI disebabkan karena tingginya nilai perkolasi dan kemungkinan terjadinya kebocoran pada lysimeter.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan sebagai berikut ini. 1. Jumlah pemberian air irigasi ( tidak termasuk olah tanah) selama masa tanam yaitu ( 110 hari ): a. metode pemberian air tradisional (TRI) sebesar 202,5 mm, b. metode modifikasi tradisional (MTR) sebesar 195 mm, c. metode pergantian basah kering (AWD) sebesar 90,83 mm, d. metode semi kering (SDC) sebesar 83,17 mm, e. metode basah (SRI )sebesar 318,5 mm. 2. Sistem pemberian air irigasi menunjukkan bahwa dengan menggunakan metode pergantian basah kering (AWD) terjadi penghematan pemberian air irigasi padi sawah sebesar 55,03% dan metode semi kering (SDC) terjadi penghematan sebesar 58,83% terhadap metode tradisional (TRI). Untuk metode MTR pemberian air irigasinya relatif hampir sama dengan metode TRI terjadi sedikit penghematan sebesar 3,47%; sedangkan pada metode basah (SRI) terjadi kelebiha pemberian air irigasi sebesar 57,67%; hal ini disebabkan karena adanya kebocoran pada lahan lysimeter. Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan penelitian selanjutnya : 1. ketelitian dalam pengukuran parameter-parameter yang ada dilapangan supaya lebih ditingkatkan agar hasilnya lebih akurat, 2. sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap karakteristik tanah masing-masing lahan sehingga pengukuran terhadap perkolasi dapat lebih akurat, 3. mencoba menerapkan metode SDC dan AWD dalam pertanian di Indonesia DAFTAR PUSTAKA Casripin (1998), “Pengelolaan Air Irigasi Didaerah Irigasi Jamblang Kabupaten DT.II Cirebon”, Tugas Akhir, JTS FT UGM, Yogyakarta. Direktorat Jenderal Pengairan, 1986, “Standar Perencanaan Irigasi, Kriteria Perencanaan Bagian Jaringan Irigasi, (KP 01)”, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta. Eko Rusdianto (2008), “Produktifitas Air Padi Sawah Dengan Sistem Irigasi Hemat Air”, Tesis, JTS FT UGM, Yogyakarta.
Joko Sujono, Rachmad Jayadi, dan Fatchan Nurrochmad, 2006, Final Report : “Growing More Rice with Less Water”, Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Mao Zhi dan Cui Y.L., 2001. ”Irrigation Techniques of Water-Effisient and Sustainable Humper Yield for Paddy Rice”. Wuhan University 110p. (In Chinese). Sri Harto BR, 2000. ”Hidrologi : Teori, Masalah, Penyelesaian”, Nafiri, Yogyakarta. Suyono Sosrodarsono dan Takeda, 2003. ”Hidrologi Untuk Pengairan” PT. Pradnya Paramita, Jakarta.