Enin – Kado – Nadi - halaman 1
Kado: Keriangan, Kejutan dan Refleksi Diri Ini memang ajakan untuk memikirkan soal kado dan ulang tahun. Sekarang ini sudah jamak kalau ulang tahun ditandai dengan keramaian pesta, makan-minum, keriangan yang menyebar ke semua kerabat dan rekan. Apakah sebenarnya yang sedang dirayakan? Bertambahnya usia? Sesederhana itukah? Perayaan ulang tahun bisa saja sederhana, tetapi kiranya kita bisa pastikan bahwa yang sedang kita rayakan tidaklah sederhana: Kehidupan. Lahir, tumbuh dan berkembang, dengan segala harapan yang ingin diraih dikeluasan cakrawala masa depan; kiranya inilah sumber kegembiraan dalam setiap perayaan ulang tahun itu. Dalam tradisi perayaan ulang tahun sering juga tersisip kebiasaan ini: memberi bingkisan, hadiah atau kado kepada yang berulangtahun. Kado, tak soal ukurannya besar atau kecil, tipis atau tebal, pastilah bisa menyimpan cerita tentang hubungan si pemberi dan si penerima. Perlu buru-buru ditambahkan disini, bahwa ini adalah kado yang hadir sebagai hiasan-hiasan yang memperindah hubungan antar pribadi agar tetap hangat, riang, juga saling menghormati. Ini bukan upeti yang diwajibkan seorang penguasa pada kawulanya, bukan pula gula-gula pemanis hubungan serba korup yang jadi ciri khas perilaku pejabat publik di negeri ini. Jadi, bayangkanlah, kado dipilih-pilih, dikemas, dihias, karena ingin dijadikan perwujudan sikap si pemberi terhadap si penerima: rasa cinta dan sayang, rasa hormat, harapan, atau bahkan sikap canda dan iseng sebagai bagian dari persahabatan yang tulus dan penuh keriangan. Karena itulah, kado sebenarnya selalu bisa jadi hal penting bagi si penerima. Kado menghimpun pandangan orang-orang di sekitar kita, sikap sejati karib dan kerabat tentang diri kita. Maka, kado, apapun wujudnya, dengan segala keriangan dan kejutan yang seringkali tersimpan didalamnya, bisa menjadi sebingkai cermin tempat refleksi diri. Dengan sepenggal renungan di ataslah, Galeri Nadi kemudian mengajak sejumlah perupa untuk ikut dalam pameran bersama dengan tema : Kado (Ulang Tahun) kali ini. Pameran ini sekaligus menandai acara peringatan Ulang Tahun Galeri Nadi yang ke-3, pada tanggal 15 September 2003. *** Seperti juga kado, yang bisa menjadi penanda hubungan orang yang memberi dan menerimanya, maka nama-nama rekan perupa yang ikut dalam pameran kali ini juga menunjukkan hubungan yang telah berhasil dirajut oleh Galeri Nadi dengan rekan-rekan perupa selama 3 tahun ini. Para perupa yang ikut kali ini, adalah mereka pernah berpameran tunggal di Galeri Nadi. Atau, seniman yang pernah pameran bersama yang bersifat terbatas, 2-3 seniman dengan ‘kedekatan’ corak tertentu dalam karyanya. Dengan cara lain, bisa dikatakan bahwa para perupa inilah, terutama melalui
Enin – Kado – Nadi - halaman 2
pencapaian kreatif dalam karya-karya mereka, yang telah memberi bobot dan arti penting kehadiran Galeri Nadi di tengah dinamika kegiatan seni rupa Indonesia, setidaknya dalam 3 tahun terakhir ini. Berikut ini adalah nama-nama mereka yang pernah berpameran di Galeri Nadi selama ini (sampai September 2003): -
Heri Dono (September - Oktober 2000 dan Juni-Juli 2002)
-
I G A K Murniasih (Oktober 2000)
-
Erica Hestu Wahyuni (November - Desember 2000)
-
Agus Suwage (Februari 2001 dan September - Oktober 2002, dan terakhir, Nadi Gallery menyelenggarakannya di Galeri Nasional, Agustus 2003)
-
Entang Wiharso (Mei 2001 di Nadi Gallery dan Galeri Nasional Indonesia)
-
Katirin (Juni - Juli 2001)
-
Nurkholis (Juni - Juli 2001)
-
Anusapati (Juli - Agustus 2001)
-
Nasirun (Oktober - November 2001)
-
S. Teddy D (November 2001)
-
Ugo Untoro (November 2001 dan Februari 2002)
-
Yani Halim (November 2001)
-
I Gusti Ngurah Udiantara (April 2002)
-
Galam Zulkifli (Juni 2002)
-
Rudi Mantofani (Maret 2002)
-
Haryadi Suadi (Oktober - November 2002)
-
T. Sutanto (Oktober - November 2002)
-
Dolorosa Sinaga (April - Mei 2003)
Dengan mudah terlihat bahwa nama-nama di atas didominasi oleh perupa Indonesia generasi paling mutakhir dengan pencapaian kreatif masing-masing yang serba unik yang telah memperkaya ‘topografi’ peta seni rupa Indonesia masa kini. Ini, tentu saja juga menunjukkan bahwa Biantoro Santoso, pemilik dan sekaligus pengelola Galeri Nadi, memiliki kepekaan dan nyali cukup kuat untuk mendorong karya-karya bernuansa baru atau bahkan ‘lain’, untuk diperkenalkan ke hadapan publik pencinta seni rupa di Indonesia, khususnya Jakarta. Memang benar bahwa beberapa dari nama di atas sebenarnya telah jelas reputasinya di tingkat regional ataupun internasional bahkan sebelum karya-karya mereka dipamerkan di Galeri Nadi. Tapi, itu tetap tak mengubah kenyataan bahwa Galeri Nadi tetap berusaha peka dan teliti melihat berbagai gejala dan pencapaian baru dalam praksis seni rupa Indonesia. Juga benar bahwa ada satu-dua nama perupa senior yang pernah diajak Galeri Nadi. Inipun tetap dengan tekanan pada pencapaian kreatif yang ‘lain’ itu. Haryadi Suadi dan T. Sutanto, misalnya, adalah
Enin – Kado – Nadi - halaman 3
dua nama besar dalam seni grafis, jenis seni rupa yang –sampai hari ini– jarang dapat perhatian dan tempat penting dalam gebyar pasar seni rupa kita. Demikian juga halnya dengan Dolorosa Sinaga –dengan sosok patung-patungnya yang berukuran relatif kecil tapi berkarakter kuat, dengan ruh perjuangan kaum perempuan dan kritik sosial di dalamnya– juga menegaskan pilihan untuk menampilkan perupa dan karya yang ‘lain’ yang telah dengan sengaja ditempuh oleh Galeri Nadi. Dengan itu semua, disadari atau tidak, Binatoro Santoso sebenarnya sedang membangun citra yang jelas bagi Galeri Nadi: sebuah galeri seni rupa yang berani menampilkan yang ‘lain’. Berani menampilkan yang ‘lain’ itu, tentu saja juga punya risiko. Risiko pertama, pastilah respon pasar seni rupa. Katakanlah dari kalangan art dealer dan kolektor yang memang tidak berniat menempuh risiko menyimpan hal-hal yang ‘baru’ dan ‘lain’ karena belum jelas harga pasar dan nilai investasinya. Tapi, Galeri Nadi, dengan caranya sendiri, rupanya telah berhasil merangkai jaringan komunitas pencinta seni yang ‘lain’ juga disekitarnya. Rifky Effendy, kurator Cemara 6 Galeri, menganggap bahwa Galeri Nadi adalah “satu-satunya galeri seni di Indonesia yang bisa menyatukan aspek perkembangan wacana dan sisi bisnis dengan suatu sikap yang elegan.” Demikian pendapat yang disampaikannya melalui e-mail ketika diminta memberi kesan untuk acara ultah ke-3 Galeri Nadi kali ini. Mungkinkah Galeri Nadi mengambil peran penting dalam proses terbentuknya infrastruktur yang dapat jadi penunjang berlangsungnya praksis seni rupa Indonesia yang sehat, yang mampu terus tumbuh, berkembang, dengan berbagai pencapaian kreatif yang tak putus-putus? Saat ini memang agak terlalu dini untuk menerka, apalagi memastikan jawabannya. Tapi, setidaknya hal itu bukanlah harapan yang berlebihan. Harapan serupa pernah juga dikemukakan oleh almarhum Sanento Yuliman, kritikus seni rupa yang sungguh kritis itu, dalam salah satu esainya. Ia menulis: “Penyelamat seni jaman sekarang bukanlah maecenas, seperti angan-angan berbau feodal yang dinikmati sejumlah cendekiawan kita. Melainkan, mereka adalah para businessmen yang punya apresiasi seni dan terjun dalam bisnis seni.” (Sanento Yuliman: Seni Lukis Modern Indonesia, dalam Sanento Yuliman & Kritik Seni, Darga Gallery, 2000) *** Kini, baiklah kita kembali ke perkara pameran kali ini dan karya-karya yang ditampilkan.
Enin – Kado – Nadi - halaman 4
Pada awalnya, seperti telah dikemukakan di bagian awal pengantar ini, saya memang mengusulkan gagasan agar para perupa yang selama ini telah jadi kerabat kerja Galeri Nadi diajak untuk merespon sebuah tema: Kado (Ulang Tahun). Dengan tema seperti itu, sejak awal pula telah ada keinginan untuk menjadikan acara ulang tahun kali ini bernuansa reflektif: kesempatan untuk bercermindiri, menimbang dan menilai perjalanan hidup yang pernah ditempuh. Gagasan dan keinginan ini mendapat respon yang baik dari rekan-rekan perupa. Hampir semua menyatakan kesediaan untuk ikut serta. Tapi, seperti biasa, menjelang hari pameran, sejumlah rekan perupa masih belum mengirimkan karya mereka. Sejumlah yang lain mengirim karya yang sepenuhnya tidak merespon tema tersebut. Apa yang bisa dikatakan tentang hal ini? Bagaimana menjelaskan keragaman karya yang hadir dalam pameran kali ini? Bagaimana mengurai tema yang tiba-tiba jadi longgar dan lepas seperti ini? Di saat-saat akhir persiapan pameran ini, saya dan Biantoro Santoso memutuskan untuk memajang semua –atau setidaknya hampir semua– karya-karya yang dikirimkan untuk ikut serta dalam pameran ini. Pertimbangannya sederhana saja: inilah beragam jenis kado kiriman rekan-rekan perupa kepada Galeri Nadi untuk ulang tahunnya yang ke-3. Adakah alasan untuk menolaknya? *** Mempertegas keinginan untuk menjadikan acara ulang tahun kali ini sebagai sebuah kesempatan untuk refleksi diri, saya mengajukan usul kepada Biantoro Santoso untuk melengkapi booklet pameran kali ini dengan esai yang secara jelas dan kritis berusaha mengurai dan menilai dinamika pasar seni rupa di Indonesia termasuk, tentu saja, peran galeri seni rupa didalamnya. Setelah secara agak terburu-buru memeriksa sejumlah bahan rujukan, akhirnya saya menemukan kembali sebuah esai yang saya anggap bisa memenuhi keinginan tadi. Esai, atau lebih tepatnya reportase, ini ditulis oleh seorang jurnalis senior yang juga tekun mengamati perkembangan seni rupa Indonesia: Bambang Bujono. Tulisan yang menarik ini pernah dimuat dalam buku katalog pameran Bienniale Seni Rupa Jakarta IX, yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki Jakarta dari akhir tahun 1993 hingga awal 1994. Pada saat itu, orang belum lagi secara sungguh-sungguh melihat dan mempertimbangkan pentingnya peran galeri-galeri dalam penciptaan pasar karya seni rupa Indonesia. Esai yang runut dan rinci ini merupakan sepenggal catatan penting tentang perjalanan perkembangan galeri seni rupa di berbagai kota di Indonesia di paruh awal 90-an. Tentu saja, terhitung sejak tulisan ini disiarkan secara terbatas dalam katalog itu, sudah banyak perubahan yang terjadi dalam praksis seni rupa Indonesia. Dalam kaitannya dengan harga lukisan,
Enin – Kado – Nadi - halaman 5
misalnya, kini lukisan dari beberapa perupa bisa mencapai ratusan juta rupiah. Lebih menarik lagi, harga tinggi itu kini tampaknya tidak begitu mengejutkan banyak pihak. Meskipun ada saja yang masih mengajukan pertanyaan berkaitan dengan kenyataan praksis seni rupa kita yang –meminjam istilah almarhum Sanento Yuliman– masih ‘tuna acuan’, harga karya lukis dari beberapa perupa terus bergerak naik. Bersamaan dengan itu, galeri seni rupa terus bermunculan. Tak hanya di Jakarta, tapi juga di Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar, Semarang. Beberapa nama galeri yang diulas dalam esai di bawah ini ada yang masih aktif, tapi tidak sedikit pula yang sudah surut aktivitasnya atau bahkan bubar. Di luar pasang surut pertumbuhan galeri, muncul juga sejumlah gejala yang membuat dunia seni rupa kita makin dinamis dan punya banyak wajah. Misalnya saja komunitas, kelompok, atau forum seniman yang dengan tekun dan giat terus mencoba mengembangkan media atau bahkan strategi baru dalam praktek seni rupa yang makin berciri multimedia. Cobalah ikuti aktivitas kesenian dari komunitas Ruang Rupa di Jakarta, juga Bio-Sampler di Bandung, atau Apotik Komik, Kelompok Jendela, serta Taring Padi di Yogyakarta. Dengan mudah kita akan dikejutkan dan sekaligus gembira dengan kekayaan dan keluasan wilayah kesenian yang ingin dijelajahi para seniman muda ini. Sementara itu, balai lelang yang secara khusus memperdagangkan karya seni rupa –yang sama sekali belum marak di awal 90-an sehingga belum tersorot dalam esai ini– kini sudah berlangsung ajeg setiap tahun dan penuh peminat. Balai lelang ini diam-diam telah menjadi semacam acuan harga dan ikut menentukan arah dinamika pasar seni rupa. Demikianlah, dalam 10 tahun terakhir ini –di tengah Indonesia yang krisis dan bergolak– seni rupa Indonesia terus bergerak dinamis. Berbagai aktivitas seni rupa terus digagas dan diselenggarakan. Philip Morris Award sudah bukan ajang festival dan penghargaan seni rupa satu-satunya di Indonesia. Indofood, kelompok usaha swasta yang terkenal dengan produk mie instan-nya itu, juga menyelenggarakan acara sejenis. Bentara Budaya Jakarta menyelenggarakan Trienal Seni Grafis. Kota Yogyakakarta terus menghidupkan Bienal Seni Rupa dan juga Festival Kesenian Yogya. Bandung bergerak dengan ‘New Media Art’ dan ‘Bandung Art Event’. Dan yang terbaru ‘Open Biennale’, acara seni rupa berskala besar yang akan segera digelar di Jakarta oleh CP Foundation, sebuah lembaga yang disponsori dan dikelola pengusaha Indonesia yang punya jaringan hingga ke Washington, AS. Belum lagi berbagai pameran tunggal atau pameran bersama, baik di galeri, lembaga kebudayaan asing, atau hingga ke ruang hotel mewah, juga terus berlangsung. Di Jakarta akhir-akhir ini, hampir di setiap akhir minggu, begitu banyak acara kesenian dan kebudayaan –termasuk pembukaan pameran seni rupa– yang berlangsung di berbagai tempat. Sampaisampai ada yang –entah sinis, entah berkelakar– berujar: “Jakarta sudah seperti New York saja!”
Enin – Kado – Nadi - halaman 6
Di tengah suasana yang serba meriah dan marak itu, semoga saja esai ini bisa jadi pengingat bagi banyak pihak, termasuk pemilik/pengelola Galeri Nadi: bahwa ada banyak harapan yang disandarkan kepada galeri-galeri di negeri ini untuk ikut memajukan kehidupan seni rupa yang sehat dan bermutu. Tak lupa, terima kasih kepada Bambang Bujono untuk ijin penerbitan kembali esai yang berharga ini. Selamat Ulang Tahun Galeri Nadi! Enin Supriyanto Serpong, 1 September 2003