ISSN 2442-3475
Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)
PERTENTANGAN KELAS DALAM SI KAMPENG: PENDEKATAN REALISME SOSIALIS I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani Prodi Sastra Indonesia FIB Unud
[email protected] ABSTRAK Sebagaimana diketahui, seni (termasuk seni sastra) merupakan bagian dari ideologi Marxis. Di dalam sastra terdapat aliran realisme sosialis yang menekankan hubungan antara sastra dan kenyataan. Dalam upaya memahami keberadaan ajaran Marxis terutama bentuk-bentuknya di dalam sastra, perlu dicermati karya-karya penganut ajaran ini. Dengan demikian ketakutan yang masih banyak dialami oleh masyarakat terhadap ideologi ini dapat diantisipasi. Salah satu karya yang bisa dipakai sebagai objek penelitian adalah novelet si Kampeng yang ditulis oleh Utuy Tatang Sontani. Kajian realisme sosialis termasuk di dalam pendekatan sosiologi sastra yang menekankan adanya pertentangan kelas antara yang tertindas dan yang menindas. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah ternyata terdapat kaitan yang erat antara latar belakang pengarang dan hasil karyanya. Kata kunci: Marxist, realisme sosialis, konflik, kelas tertindas ABSTRACT Literature, as viewed to be art, is the means to bring Marxism‟s ideology. There, socialist realism focuses to stress the relation between literature and the world of reality. In order to comprehend the existence of Marxism, dealing especially with forms and functions of literature, the idea to investigate its writer‟s works is worth discussing. Through this kind of effort, readers may confront any fears due to the coming of the ideology. One of the works that can be used as an object for this research is a novelet of Si Kampeng by Utuy Tatang Sontani. The study of socialist realism is part of the sociology literature approach which emphasizes the conflict of class between the suppressed and the oppressor. The result of the discussion shows that there is a corelation between the writer‟s backgrounds and the works. Keywords: Marxist, socialist realism, conflict, suppressed
PENDAHULUAN Sepak terjang Partai Komunis Indonesia sampai saat ini masih sangat ditakuti. Situasi ini dapat dibuktikan dengan banyaknya komentar di media sosial yang memperlihatkan kekhawatiran yang kadang tampak berlebihan. Sedikit saja ada penggunaan simbol komunis dengan cepat muncul beragam tafsir. Ketakutan akan datangnya bahaya komunis boleh jadi dilatarbelakangi oleh peristiwa G 30 S/PKI yang pernah menimpa bangsa Indonesia pada tahun yang silam. Akibatnya masyarakat mengalami semacam trauma dengan hal-hal yang berbau komunis. Padahal di negeri asalnya, ideologi komunis sudah lama mati. Sebagaimana diketahui, seni (termasuk seni sastra) merupakan bagian dari ideologi Marxis. Di dalam sastra terdapat aliran realisme sosialis yang menekankan hubungan antara sastra dan kenyataan. Dalam upaya memahami keberadaan ajaran Marxis terutama bentuk-bentuknya di dalam sastra, perlu dicermati karya-karya penganut ajaran ini. Dengan demikian ketakutan yang masih banyak dialami oleh masyarakat dapat diantisipasi. PEMBAHASAN Beberapa peristiwa penting sempat mewarnai perkembangan kebudayaan dan kesusastraan Indonesia pada tahun 1960-an. Keberadaan Lekra (Lembaga Kebudayaan 91
ISSN 2442-3475
Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)
Rakayat) sebagai organisasi kebudayaan yang bernaung di bawah Partai Komunis Indonesia menyebabkan perubahan orientasi dalam berkarya1. Sepak terjang Lekra dalam kancah kesusastraan Indonesia amat ofensif. Mereka menetapkan konsep ―Politik sebagai Panglima‖. Sastrawan-sastrawan yang tergabung dalam Lekra secara eksplisit menjelaskan keberpihakan mereka kepada rakyat jelata. Seni harus mengabdi kepada rakyat. Seni sangat penting sebagai alat untuk menyebarluaskan ideologi partai. Seni yang bertendens seperti ini memang tidak ditolak oleh Frederick Engels2. Ajaran Marxis meyakini bahwa di dalam masyarakat terdapat dua kelas yang saling bertentangan, yaitu kelas kapitalis dan kelas proletar. The social relations between men, in other words, are bound up with the way they produce their material life. Certain ‗productive force‘--say, the organization of labour in the middle ages--involve the social relations of villain to lord we know as feudalism. At later stage, the development of new modes of productive organization is based on a changed set of social relation--this time between the capitalist class who owns those means of production and the proletarian whose labour power the capitalist buy profit (Eagleton, 1976:5). Pertentangan antara dua kelas ini akan melahirkan konflik. Kaum proletar yang umumnya terdiri atas buruh pabrik, petani, dan pekerja rendahan lainnya selalu berhasil memenangkan perjuangan atas kapitalis. Tujuan perjuangan mereka adalah dunia ideal, yakni dunia sama rata sama rasa, seorang Marxis harus memiliki komitmen. Seperti ditegaskan Lenin, peletak dasar Marxis ortodoks: “Literature must become Party Literature…Down with un-partisan litterateurs! Down with the supermen of Literature! Literature must become a part of the general cause of the proletariat, “a small cog and a small screw in the social democratic mechanism…” (Steiner, 1967: 306). Gagasan inilah yang lebih banyak mendominasi karya-karya pengarang Lekra. Pengarang tidak boleh tidak harus berporos pada partai. Konsep penting lainnya yang juga bersumber dari ajaran Marx-Engels adalah materialisme. Bahwa terdapat hubungan sosial antara kelas yang berkuasa dan kelas yang tenaganya dieksploitasi untuk kepentingan penguasa. Marx menyebutnya sebagai struktur ekonomi masyarakat atau dikenal dalam Marxis sebagai ‗basis ekonomi‘ atau infrastruktur. Dari base ini dalam setiap periode akan melahirkan ‗superstruktur‘ yang meliputi kesadaran sosial--agama, politik, etika--yang Marxis tandai sebagai ideologi. Fungsi superstruktur ini untuk melegitimasi kekuasaan dari kelas kapitalis. Oleh karena itu ide-ide dominan suatu masyarakat adalah ide-ide kelas yang berkuasa. Seni menurut kaum Marxis adalah bagian dari superstruktur masyarakat, bagian dari ideologi. Untuk memahami sastra berarti memahami proses sosial secara total, di mana sastra ambil bagian (Eagleton, 1976: 5). Konsep-konsep mengenai perjuangan kelas dan materialisme dapat dijumpai dalam karya-karya bercorak realisme sosialis yang bersumber pada ajaran Marx. Aliran realisme 1
Pada tahun 1950 di Jakarta berdiri Lembaga Kebudayaan Rakyat. ‗Mukadimah‘ Lekra menjadi dasar pendirian dan dasar sikap para anggotanya yang dengan tegas menganut paham seni untuk rakyat dan tak henti-hentinya menghantam golongan yang tak sepaham (Rosidi, 1969: 179). Teror intensif yang mereka lakukan itu telah menyebabkan banyak budayawan, seniman, dan pengarangpengarang lalu menggabungkan diri dengan Lekra. Mereka berpendapat kalau tidak begitu, mereka tidak akan selamat. Dengan berbagai akal dan cara, mereka dipaksa untuk masuk Lekra dan PKI (Op. Cit, 181). ―Walaupun begitu Engels lebih menekankan bahwa semakin tersembunyi gagasan sebuah karya, semakin baik karya tersebut (Steiner, 1967: 305). 2 Meskipun begitu, Engels lebih menekankan bahwa semakin tersembunyi gagasan sebuah karya, semakin baik karya tersebut (Steiner, 1967: 305)
92
ISSN 2442-3475
Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)
sosialis ini mengandung prinsip dialektik antara sastra dan kenyataan. Di satu pihak sastra dianggap menyajikan tafsiran yang tepat mengenai hubungan-hubungan yang terjadi di dalam masyarakat. Di pihak lain sastra juga mempengaruhi kenyataan sehingga mempunyai tugas mendampingi partai Komunis dalam perjuangannya membangun suatu masyarakat yang lebih baik. Realisme Sosialis menuntut para pengarang agar melukiskan kenyataan dalam perkembangan revolusionernya selaras dengan kebenaran dan fakta sejarah. Pelukisan yang artistik itu hendaknya digabungkan dengan tugas mendidik kaum buruh sesuai dengan semangat komunis (Luxemburg, 1985: 26). Pada tahun enam puluhan aliran Realisme Sosialis banyak mendominasi karyakarya Lekra. Hal ini berkaitan dengan situasi dan kondisi masyarakat yang tengah mengalami tekanan yang sangat hebat. Bidang ekonomi sebagai sentra kegiatan menyedot perhatian paling banyak mendapat pukulan dan dampaknya amat luas. Korupsi merajalela. Penguasa dengan seweang-wenang bertindak, sementara rakyat kecil banyak yang menderita (Jassin, 1985). Pengarang-pengarang Lekra menjadikan seni sebagai alat yang ampuh untuk memperjuangkan nasib ‗wong cilik‘. Salah satu karya yang secara tegas dan eksplisit mengungkapkan konsep-konsep di atas adalah novelet Si Kampeng yang ditulis oleh Utuy Tatang Sontani. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai siapa sebenarnya Utuy Tatang Sontani, maka perlu melihat sekilas kisah hidupnya. Sebagaimana dikemukakan Sapardi Djoko Damono (1987) bahwa hal ini perlu dilakukan mengingat adanya pengaruh timbal balik antara pengarang dan karya sastra yang dihasilkannya. Apakah dalam karya-karyanya si pengarang mewakili golongannya? Utuy Tatang Sontani adalah seorang pengarang Lekra yang berasal dari tanah Sunda. Ia lahir pada tahun 1920. Latar belakang kehidupannya tidak banyak diketahui orang. Teeuw dalam Pokok dan Tokoh (1953: 228) menganggap karya-karya Sontani agak menyimpang dari corak yang umum sesudah perang. Ia telah mengarang beberapa karya, antara lain, Bunga Rumah Makan (drama satu babak, 1948), Suling (drama alegoris, 1948), Tambera (roman sejarah, 1949), Orang-orang Sial (kumpulan cerita pendek, 1951), Awal dan Mira (drama satu babak, 1952), Manusia Iseng dan Sangkuriang-Dayang Sumbi (drama satu babak, 1953), Sayang Ada Orang Lain (drama satu babak, 1954), Di Langit Ada Bintang (drama satu babak, 1955), Selamat Jalan Anak Kufur (drama satu babak, 1956), Di Muka Kaca (drama satu babak, 1957), Si Kabayan (komedi dua babak, 1959), Manusia Kota (kumpulan drama, 1961), Si Sapar (novelet, 1963), dan Si Kampeng (novelet, 1963). Dalam karya-karya yang ditulis lebih awal Sontani lebih menitikberatkan pada persoalan manusia pada suatu waktu3. Hal ini berbeda dengan karyanya yang dibuat belakangan, terutama setelah ia bergabung dengan Lekra. Si Kampeng dan Si Sapar secara eksplisit memperlihatkan realisme sosialis seperti yang dikehendaki Lekra/PKI. Konsep realisme sosialis atau Marxisme hanya melihat dua golongan masyarakat yang sedang berkonflik, yakni masyarakat yang tertindas di satu pihak dan masyarakat penindas di pihak lain. Pada zaman Lekra tendensi politik inilah yang dijadikan ukuran bermutu atau tidaknya suatu karya.
3
Dalam suatu wawancara dengan redaksi Kisah (IV/12, Desember 1956), Sontani mengatakan bahwa dasar cerita yang dibuatnya adalah ―tragedi manusia (dalam pengertian ‗t menselijke) di tengah-tengah bukan manusia (‗t ommenselijke)‖. Ia menulis cerita sandiwara dalam satu babak dan tidak beberapa babak karena ia lebih dapat menitikberatkan perhatian pada pesoalan manusia dalam suatu waktu, persoalan manusia dalam waktu tertentu dari hidupnya yang panjang. ―Menyuguhkan persoalan manusia pada suatu waktu adalah pendekatan yang sedekat-dekatnya kepada hidup yang sebenarnya‖ (Jassin, 1985: 148).
93
ISSN 2442-3475
Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)
Atas dasar alasan-alasan di atas maka cerita Si Kampeng ini dipilih untuk ditinjau lebih jauh. Sejauh mana karya ini bisa dikatakan mewakili kaum tertindas (buruh, petani, dan pekerja rendah lainnya) dalam memperjuangkan nasib mereka. Apakah pandangan ideologis pengarang berpengaruh terhadap hasil karya ini? Kisah Si Kampeng diawali dengan sebuah penggambaran mengenai kehidupan tokoh utama Si Kampeng. Deskripsi latar yang sangat eksplisit memperlihatkan dari kelas mana ia berasal. Tempat tinggalnja sadja sudah dirumah rejod. Disuatu kampung dikaki gunung. Ditengah-tengah kaum tani jang sehari-harinja bergumul dengan lumpur. Dengan sendirinja badannja akan sering bau lumpur, kakinja akan sering kotor dan tangannja akan selalu kasar. Bahwa dia buta huruf dan bahwa dia selalu kekurangan sandangpangan (hlm. 5). Pada bagian awal, pembaca belum mendapatkan informasi yang lengkap mengenai asal-usul Kampeng. Dalam benak pembaca baru terdapat gambar sosok Kampeng sebagai ‗wong cilik‘. Bahwa ia tinggal di sebuah gubuk yang reyot. Pekerjaannya bertani. Ia tidak bersekolah karena itu ia buta huruf. Ia adalah orang miskin. Informasi tentang sosok tokoh utama ini penting bagi pembaca untuk mengetahui motifmotf yang menyebabkan ia bertindak dan berpikir di dalam keseluruhan alur cerita tersebut. Selanjutnya pembaca diberikan informasi mengenai latar belakang Kampeng, termasuk asal-usul namanya. Orang-orang sekampungnja tjukup dengan menjebut dia Si Kampeng. Nama sedjelek itu tentunja bukan tidak beralasan. Konon ketika ia dilahirkan, ia muntjul dari rahim ibunja dengan kepala jang kampeng alias pendjol (hlm. 5). Kutipan berikut ini menunjukkan bahwa Kampeng hidup hanya dengan ibunya, sementara ayahnya tidak diketahui. Akibatnya ia sering menerima cacian dan hinaan dari orang-orang di sekitarnya. Tentu ada jang penasaran dan bertanja, mengapa seorang ibu bisa sewenang-wenang memberikan nama. Tidakkah pemberian nama itu biasanja dilakukan oleh seorang bapak? Djustru disinilah pula letak tambahan kesalahannja. Sebab ia lahir kedunia tanpa diketahui siapa bapaknja (hlm. 6) …. ―Inilah gara-gara aku djadi anak haram, gara-gara aku tidak punja bapak!‖ djawabnja. ―Orang-orang semau-maunja sadja menghina aku, semaumaunja sadja menjiksa aku!‖ (hlm. 7). Kutipan berikut ini memperlihatkan gambaran Kampeng sebagai tokoh yang berasal dari kaum tertindas. Ia mengalami penderitaan dan siksaan dari orang-orang desa. ―Ajo pukul kalau dia tidak mau menurut dibawa kekelurahan. Pukul kepalanja, biar remuk!‖ (hlm. 14). Walaupun Kampeng miskin, ia tidak ―mata duitan‖. Sikapnya terlihat jelas ketika Haji Gopur memberinya uang untuk membeli makanan. Uang pemberian itu tidak disentuhnya. ―Tidak kau ambil uang itu?‖ Si Kampeng tidak menjawab. ―Djangan menolak pemberian orang,‖ kata ibunja lagi. ―Ambillah!‖ Tapi Si Kampeng bukan mendjawab… (hlm. 18)
94
ISSN 2442-3475
Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)
Watak Kampeng yang kasar, buta etiket, dan tidak bermoral bertolak belakang dengan sikapnja di atas. Akan tetapi hal ini bisa dipahami dengan menghubungkan keadaan dirinya yang tidak sempat mengenyam bangku sekolah sama sekali. ―Omong kosong bahwa aku anak burak.‖ ―E…rupanja lu sudah kena hasutan anak-anak, ja? Pagi-pagi sudah rewel. ―Aku sudah lama tidak mau pertjaja, tahu?‖ djawab Si Kampeng sambil meludah. Bahwa aku anak burak, sudah lama aku tidak pertjaja.‖ ―Kalau lu tidak mau pertjaja, sudah!‖ Si Kampeng mendelik: ―Djadi mesti dibatjok dulu, ja?‖ ―Kau!‖ (hlm. 12) Urutan peristiwa cerita semakin memuncak ketika muncul masalah, yakni ada peraturan pemerintah bahwa orang tidak boleh memiliki tanah yang berlebihan. Kelebihan tanah harus dikembalikan kepada pemerintah. Haji Gopur sebagai orang terkaya di kampung itu memiliki banyak tanah. Ia tidak bersedia memberikan begitu saja tanahnya kepada pemerintah. Oleh karena itu ia bingung hendak menyerahkan tanahtanahnya kepada siapa. Semua anaknya telah memperoleh bagian, namun masih saja ia kelebihan tanah. Akhirnya ia memutuskan untuk memberikan tanahnya kepada Kampeng. Sebenarnya Kampeng adalah anak hasil hubungan gelap Haji Gopur dengan ibunya. Rahasia yang dipendamnya selama ini terpaksa dibeberkan ibunya karena tidak tahan melihat penderitaan anak sastu-satunya. Walaupun ia baru mengetahui bahwa ia adalah turunan orang kaya, ia tetap harus menjalani penderitaan dulu. Akan tiba saatnya kesempatan memenangkan perjuangan mengangkat harkat kaumnya. Gambaran seperti ini secara tidak langsung mengacu pada konsep Marxis tentang tokoh tipe. Seorang hero yang membela kaumnya yang lemah ditindas dan ditekan oleh kaum penguasa. Menurut Yahaya Ismail (1972: 51) yang mengutip pendapat Rene Wellek. Kritikus Marxis yang baik memahami bahwa seni memerlukan watak, imaji, aksi, dan perasaan. Sorotan atas konsep ―type‖ merupakan jembatan antara realisme dan idealisme. Tipe di sini tidak bermakna sesuatu yang umum atau stereotip, tetapi suatu tipe yang ideal, suatu model atau suatu hero yang harus diteladani pembaca dalam kehidupan yang aktual. Sementara itu Haji Gopur merupakan sosok tuan tanah yang kaya raya. Ia mewakili kelas kapitalis yang menjadi musuh ‗bebuyutan‘ kaum proletar. Pertentangan dua kelas ini secara sengaja dieksploitasi oleh pengarang. Perhatikan kutipan berikut ini. ―Apa lagi jang diributkan orang kaja, kalau bukan perkara kekajaannja? kalau bukan perkara tanah!‖ (hlm. 10). Ia tidak mau mengakui Kampeng sebagai anaknya. Malahan ia membuat semacam rekayasa murahan dengan mengatakan bahwa ia mengangkat Kampeng sebagai anaknya. Hal itu dilakukan sesuai amanat yang diberikan oleh raja siluman yang telah menghamili ibu Kampeng. Amanat tersebut disampaikannya melalui seorang dukun yang telah dibayarnya terlebih dahulu. Oleh karena itu Haji Gopur menjadi sangat marah ketika Kampeng mengungkapkan kenyataan yang selama ini ditutupiya. ―Darimana lu timbul keberanian menuduh aku sebagai bapak lu? Dasar tak tahu berterimakasih! Sudah diberi sedjengkal, mau sedepa. Sudah dipungut anak, mau diakui anak? Memangnja lu mau menuduh aku sudah tidur dengan ibu lu? Ibu lu jang kotor itu? (hlm. 34). Haji Gopur tidak dapat menahan emosinya lagi. Akhirnya ia memerintahkan orangorang untuk membunuh Kampeng yang notabene anaknya sendiri. ―Setan!‖ teriak Hadji Gopur. ―Bunuh dia! Bunuh setan desa ini! Bunuh!‖ (hlm. 35). Melihat seruan di atas, boleh jadi kita lantas teringat dengan slogan ―tujuh setan desa‖. Slogan ini banyak dipakai
95
ISSN 2442-3475
Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)
PKI menjelang Gestapu (lihat Rosidi). Oleh karena kebencian yang mendalam terhadap Haji Gopur menyebabkan Kampeng tega membunuh Haji Gopur, bapaknya sendiri.
PENUTUP Peristiwa tragis tersebut merupakan tujuan akhir yang ingin disampaikan oleh Utuy Tatang Sontani: bahwa Kampeng adalah seorang tokoh hero yang berjuang demi menegakkan kesewenang-wenangan kaum kapitalis dan tuan tanah. Meskipun untuk itu ia harus bersedia membunuh bapaknya sendiri!. Nilai-nilai dan sikap individualis yang cengeng tidak bisa diterapkan dalam kesusastraan yang bercorak realisme sosialis. Golongan buruh, petani, dan pekerja rendah lainnya harus dimenangkan dalam ciptaan realisme sosialis tanpa sedikit pun ada keraguan. Golongan kapitalis, tuan tanah, golongan agama, dan golongan feodal harus digambarkan sejelek-jeleknya karena menurut realisme sosialis golongan-golongan tersebut tidak mempunyai manfaat. Seperti dijelaskan oleh Bakri Siregar (1964: 52) yang menyoroti watak Sjamsulbahri dalam Siti Nurbaya karangan Marah Rusli. Watak Sjamsulbahri bukan merupakan watak hero karena ia memperjuangkan kepentingan politik Belanda. Justru Datuk Maringgih lah yang dianggap hero karena ia telah berani menentang pemerintah Belanda, meskipun Datuk itu seorang yang kaya dan suka memeras. Dalam hal ini sikap antikolonialisme juga diperlihatkan oleh golongan komunis. Berdasarkan analisis terhadap Si Kampeng, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bersifat timbal balik antara Utuy Tatang Sontani sebagai pengarang dan Si Kampeng sebagai hasil ciptaannya. Hubungan ini sah dan dapat dipahami dengan melihat kondisi zaman yang melahirkan karya tersebut. Utuy Tatang Sontani adalah salah seorang anggota Lekra. Sebagai seorang Marxis sejati ia harus memiliki komitmen terhadap partainya, Partai Komunis Indonesia yang berkuasa pada waktu itu. Dalam kedudukannya sebagai corong partai jelas secara sadar ia menciptakan tokoh Kampeng. Melalui tokoh ini ia ingin memberikan contoh/teladan semangat sekaligus mengangkat martabat kaum tertindas. DAFTAR PUSTAKA Damono, Sapardi Djoko. 1987. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Eagleton, Terry. 1976. Marxism and Literary Criticism. London: Methuen & Co Ltd. Ismail, Yahaya. 1972. Pertumbuhan, Perkembangan, dan Kejatuhan Lekra di Indonesia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1972. Jassin, H.B. 1985. Angkatan „66. Prosa dan Puisi 1. Jakarta: Gunung Agung, 1985. Jassin, H.B. 1985. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei II. Jakarta: PT Gramedia. Luxemburg, Jan Van, dkk. 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT Gramedia. Rosidi, Ajip. 1969. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta. Sontani, Utuy Tatang. 1963. Si Kampeng. Jakarta: Yayasan Kebudayaan Sadar. Steiner, George. 1967. ―Marxism and Literary Critic‖ dalam Language and Silence. New York: Atheneum.
96