ISSN 2442-3475
Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)
TRADISI LISAN DAN PROSES PELISANAN BEBERAPA CUPLIKAN CERITA BERTEMAKAN GEDENEKALAHANG CERIK DI BALI I Nyoman Darsana Program Studi Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana
[email protected]
Abstrak Masyarakat Bali mengenal tradisi lisan dari dulu sampai saat ini. Keberlangsungan tradisi lisan di Bali walaupun masyarakat telah melek huruf tetap saja berjalan terutama melalui satua (cerita/dongeng). Hal ini terjadi karena satua masih dirasakan berfungsi sebagai alat pendidikan karakter anak-anak maupun orang dewasa, sesuai dengan fungsi salah satu tradisi lisan yang dirumuskan oleh Bascom (1965), Dananjaya (1991), dan Sudikin (1993). Beberapa dongeng setema Gedene Kalahang Cerik sering dilisankan ketika ada momen yang tepat untuk menasehati anak-anak maupun orang dewasa bahwa, yang besar tidak selalu akan menang, tetapi banyak hal justru yang besar itu akan dikalahkan oleh yang kecil. Intinya, yang besar jangan sombong. Dongeng ini bagi si pencerita, banyak yang tidak mengetahui kelengkapan cerita maupun sumber cerita. Mungkin itu tidak penting, yang lebih penting sesungguhnya pengembangan cerita yang seanalogi dengan dongeng itu. Demikian proses pelisanan beberapa tradisi lisan di Bali. Kata kunci: satua, pelisanan, momentum, pengembangan.
PENDAHULUAN Pada zaman dahulu manusia belum mengenal sekolah tempat belajar secara formal. Mereka para orang tua umumnya belajar untuk mengisi diri menuju ke akhlak yang lebih baik, baik untuk diri sendiri, untuk keluarga, maupun untuk orang lain di sekelilingnya, banyak belajar dari prilaku binatang. Kenapa binatang? Binatang merupakan mahluk hidup yang paling dekat dengan kehidupan manusia. Dari binatang liar kemudian diternakkan menjadilah hewan piaraan. Prilaku hewan ini tanpa disadari menyadarkan manusia bahwa ada prilaku yang dapat dipakai mengontrol prilaku manusia menuju ke ahlak yang lebih baik. Di dalam bahasa Bali ada pribahasa, ―jelema cara celeng, ngamah teken medem dogen gaene‖ artinya: ―orang seperti babi, kerjanya hanya makan dan tidur saja‖. Pribahasa ini bisa tersusun seperti itu karena pengalaman manusia memelihara babi dan setiap saat dari perilakunya diketahui seperti itu. Ketika melihat anak-anak yang hidup sengsara dan tidak ada tempat untuk mengadu karena ditinggal kawin ibunya, sedangkan bapaknya telah meninggal, orang lain akan berkata, ―Pedalem ninggalin pakeriak cara pitik ilang inane‖. Ungkapan ini berarti, ―sangat kasihan melihat (anak-anak itu) resah seperti anak ayam kehilangan induknya‖. Pribahasa yang pertama ditujukan kepada anak-anak atau orang yang sudah dewasa malas bekerja. Pekerjaannya hanya makan dengan memberati orang tua, kemudian sudah kenyang, tidur lagi. Jika demikian, orang tua yang mana tidak akan kesal terhadap anak seperti ini. Karena sering dikatai oleh orang tua seperti itu, biasanya si anak akan malu dan mulailah sadar hidup ini perlu makan dan agar bisa makan kita harus bekerja. Pribahasa yang kedua mengandung makna yang cukup dalam ditujukan kepada ibu dari anak-anak yang resah dan gelisah itu. Sampai tega meninggalkan anak-anak yang masih kecil belum bisa mencari makan sendiri, hanya untuk menikah. Binatang memang memiliki tingkah laku bermacam-macam. Ada yang lucu, ada yang menjengkelkan, dan tidak sedikit ada yang dapat membantu kehidupan manusia. Seperi sapi, kerbau, dan kuda dipakai alat transportasi atau membantu pekerjaan para 31
ISSN 2442-3475
Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)
petani.Di samping itu juga sebagai sumber kehidupan berupa komoditi. Cerita tentang binatang selalu menarik baik untuk anak-anak maupun untuk orang dewasa. Di dalam khasanah sastra Bali Tradisional ada karya sastra yang banyak menceritakan tentang binatang, yakni Diah Tantri. Cerita Diah Tantri cukup terkenal di Bali. Awalnya kitab Pancatantra India dibawa masuk ke tanah Melayu, kemudian pada era Hindu di Jawa terjadi jawanisasi. Artinya kitab Pancatantra India disadur menjadi Tantricarita, Tantriwakya, atau Tantri Kamandaka (Hooykaas, 1929). Cerita Tantri Kamandaka Jawa Kuno sesampainya di Bali, oleh para pengawi Bali direspon sehingga muncul cerita Tantri dalam berbagai genre. Ada Kakawin Kamandaka Tantri, Tantri Carita, Kidung Tantri Nandakaharana, Kidung Tantri Mandukaprakarana, Kidung Tantri Pisacarana, Kidung Tantri Pitrayadnya, Geguritan Tantri Kamandaka, Geguritan Pancapuspita, Geguritan Cangak, dan buku kumpulan dongeng Tantri Kamandaka atau Ni Diah Tantri (Suarka, 2007: 33). Di samping itu masih ada lagi yang disebut Tantri Bali oleh I Ketut Ginarsa (1959) yaitu cerita I Gunawati (Agastia, 2006:17). Dilihat dari kreativitas orang Bali dalam berkarya seni khususnya seni sastra dapat dikatakan cukup menggembirakan. Hal ini dibuktikan dari transformasi atau pembalian karya sastra Jawa Kuno seperti Tantri Kamandaka menjadi beberapa genre sastra. Peranan para pelaku pesantian (kelompok apresiator sastra tradisional) sangat penting di dalam menyebarluaskan cerita Tantri beserta makna yang terkandung di dalamnya. Cerita Tantri (kakawin, kidung, geguritan) sering dipakai materi di dalam mabebasan. Mabebasan artinya kegiatan mengapresiasi karya sastra secara berkelompok (Medera, 1997: 24). Walaupun demikian, apabila dilihat secara umum masyarakat Bali terlihat belum semuanya mengetahui cerita Tantri secara keseluruhan. Masih lebih banyak masyarakat Bali yang mengetahui cerita Tantri hanya sepenggal-sepenggal saja. Mengapa demikian? Bagaimanakah sesungguhnya proses pelisanan yang sudah mentradisi di Bali? Hal ini belum pernah dibicarakan para peneliti. Untuk itu dalam kesempatan ini dikaji untuk mendapatkan gambaran penyebab munculnya masalah seperti itu. PEMBAHASAN Tradisi lisan telah menarik hati para peneliti terlebih lagi di Indonesia eksistensi tradisi lisan jauh lebih banyak dari tradisi nonlisan (tulis). Masing-masing suku memiliki tradisi lisan terutama suku bangsa yang tergolong niraksara. Satu dari sekian banyak kekayaan sastra Indonesia yang terhampar di semua kepulauan nusantara ini adalah bentuk sastra tradisi lisan. Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) telah memetakan seluruh tradisi lisan yang ada di bumi pertiwi ini (Anwar dan Shafwan Hadi Umry, 2014:561). Masyarakat memiliki kebiasaan-kebiasaan yang diwarisi dari leluhurnya, yang sampai saat ini masih dipakai atau dijalankan karena ada nilai yang dipakai pedoman dalam kehidupan. Berbagai difinisi tradisi lisan telah dicoba diberikan oleh para peneliti. Endraswara (2008:151) mencoba merangkum pengertian tradisi lisan sebagaikarya yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke mulut secara turun temurun yang maempunyai ciri-ciri sebagai berikut. 1) Lahir dari masyarakat yang polos, belum melek huruf, dan bersifat tradisional. 2) Menggambarkan budaya milik kolektif tertentu, yang tidak jelas siapa penciptanya. 3) Lebih menekankan aspek khayalan, ada sindiran, jenaka, dan pesan mendidik 4) Sering melukiskan tradisi kolektif tertentu. 5) Tradisi lisan banyak mengungkapkan kata-kata atau ungkapan-ungkapan klise. 6) Tradisi lisan sering bersifat menggurui. 32
ISSN 2442-3475
Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)
Tradisi lisan secara antropologis yang dikembangkan oleh Andrew Lang bahwa bentuk (tradisi lisan) seperti cerita-cerita sejenis legenda, kisah naratif yang membuat orang ingin tahu apa selanjutnya berawal dari suatu periode cerita yang nampaknya tidak rasional. Jikalau dinilai berdasarkan sifat keprimitifannya, namun sudah dapat dimengerti, kemudian cerita itupun diwariskan/diturunkan dari generasi ke generasi (Finnegan, 1992:29). Sebuah karya sastra ketika ada yang menceritakan (pencerita) dan ada yang mendengarkan, maka proses pelisanan telah terjadi. Proses ini di Bali dikenal dengan nama masatua. Kata masatua berasal dari kata dasar satua ‗cerita‘. Masatua artinya bercerita ((Anom, dkk. 2008: 627). Dahulu para orangtua di pedesaan mendidik anakanak dengan sering mengajak anak-anak masatua. Satua untuk anak-anak biasanya seputar cerita binatang yang konon sumbernya ada di cerita Tantri. Para orang tua sengaja meluangkan waktu pada saat beristirahat malam setelah seharian bekerja di sawah atau ladang. Tidak sedikit anak-anak tetangga juga ikut mendengarkan satua dan bahkan sampai menginap. Sedikit banyaknya anak-anak yang berkumpul mendengarkan satua di suatu tempat, sangat tergantung pada si pencerita.Jikaalau si pencerita (orang tua) polos, suka melucu di dalam masa tua, pasti disenangi anak-anak. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh orangtua ketika anak-anak selesai belajar. Ketika si pencerita ditanyai sumber cerita atau kelengkapan cerita itu, banyak yang tidak tahu karena orang tua itu pun memperolehnya dari ayahnya dahulu hanya itu saja. Artinya ada proses pelisanan seperti itu. Satua sesungguhnya pengejawantahan dari tattwa ‗filsafat‖. Untuk anak-anak sudah dapat dipastikan belum kuat untuk mengerti masalah filosofi kehidupan. Untuk itulah para leluhur kita memudahkan tattwa itu disesuaikan dengan tingkat usia dengan membuat satua. Nilai pendidikan dan pembentukan moral pada anak diselipkan pada satua tersebut. Hal ini sesuai dengan fungsi tradisi lisan yaitu, a) sebagai sebuah bentuk hiburan (as a form of amusment); b) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan (it plays in validating culture, in justivying its rituals and institution to those who perform and abserve them); c)sebagai alat pendidikan anak-anak (it plays education as pedagogical device); dan d) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya (Bascom. 1965: 3-10; Dananjaya, 1991: 19; Sudikan, 1993: 162). Ada satu hal yang belum pernah dicermati mengenai bentuk proses pelisanan yang lain. Mereka tidak masatua pada malam hari secara berkelanjutan, tetapi memakai momentum. Salah satu cerita yang sering dilisankan oleh orangtua adalah cerita binatang yang bertemakan Gedene Kalahang Cenik artinya, yang besar itu tidak akan selalu menang, sering yang besar itu justru dikalahkan oleh yang kecil. Berikut ada empat cerita yang temanya sama. Cerita 1, Gajah Kalahang Bikul Cerita pertama berjudul Gajah Kalahang Bikul yang berarti Seekor Gajah dikalahkan oleh seekor tikus. Ada seekor gajah yang selalu berkeliaran di pasar. Walaupun demikian, orang-orang tidak pernah kaget melihat gajah tersebut karena sudah biasa. Suatu hari gajah tersebut bertemu dengan seekor tikus besar malah terbesar untuk ukuran tikus normal. Si gajah menghina si tikus ―hai kau tikus kotor, walaupun kau merasa sebagai tkus terbesar di dunia, bagiku tak ada apa-apanya. Akulah binatang terbesar di dunia‖. Si tikus merasa dihina, akhirnya mengajak si gajah taruhan. ―Baik,
33
ISSN 2442-3475
Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)
kalau kau merasa paling besar di dunia, belum tentu. Ayo besok pagi kita jalan-jalan di pasar, siapa yang paling banyak dielu-elukan orang, dialah pemenangnya‖. Kesepakatan telah terjadi, akhirnya esok harinya mereka jalan-jalan di pasar. Si tikus naik di atas punggung si gajah. Pertama-tama orang yang berpapasan dengan si gajah berkata ―ait gajah‖. Orang kedua yang berpapasan dengan si gajah berkata ―ait gajah, dasar gajah liar tidak tahu pasar, masak di pasar jalan-jalan‖. Demikian gumamnya dengan nada kesal. Orang ketiga yang berpapasan dengan gajah tersebut, kebetulan sambil menengadah dan melihat ada tikus besar sebesar kucing. Ia kaget dan berteriak ―Ada tikus besar sekaliiii!‖. Karena teriakan itu akhirnya seisi pasar jadi kaget dan heran atas kebesaran tikus tersebut. Semua berteriak, ―Ada tikus besar sekaliii!‖. Di sinilah si gajah yang merasa dirinya paling besar dikalahkan oleh si tikus. Tidak satu pun orang di pasar yang kaget dan heran atas kebesaran gajah. Berbeda dengan si tikus, seisi pasar menjadi kaget dan heran kok ada tikus sebesar kucing. Akhirnya si tikus menang taruhan. Si tikus sangat senang dan bahagia. Berbeda sekali engan si gajah yang kecewa, sedih, dan akhirnya berlalu tanpa ada orang yang peduli. Cerita 2. Kancil Kalahang Kakul Kancil adalah binatang yang cerdik dan memiliki kecepatan lari yang luar biasa. Suatu hari ia bertemu dengan siput (kakul). Si kakul dihina, ―hai batu! Ayo bermain‖. Kata si kancil mau mengajak si kakul bermain, tetapi kenyataannya diinjak, ditendang, dan dilempar. Si kakul menjadi sedih dan marah diperlakukan seperti itu. Ia kemudian berkata, ―Hai kancil, walaupun kau lebih besar dari aku dan memiliki kecepatan berlari, ayo kita berlomba berlari. Siapa yang duluan sampai di ujung sana (ada pohon besar di sisi sungai sebagai tanda) ialah yang menang. Taruhannya seribu rupiah‖. ―Oke siapa takut‖ kata si kancil. Lomba disepakati tiga hari lagi. Si kakul mengatur strategi dengan mengumpulkan seratus kakul. Setelah kumpul, disampaikanlah maksud kumpul dan strategi yang akan dipakai untuk mengalahkan si kancil. ―Kita akan berlomba dengan si kancil untuk mencapai pohon besar itu. Kancil akan berlari, sementara kita akan melawannya dari dalam air. Setiap sepuluh meter ada kakul diam di sana. Jadi secara estafet ada kakul yang berjaga. Nanti kalau si kancil memanggil, yang menyahut harus si kakul yang posisinya di arah depan si kancil. Demikian seterusnya. Pokoknya ikuti arahanku, oke?‖ Pagi hari pada waktu yang disepakati si kancil dan si kakul sudah berada di tempat. ―Hai kancil, aku akan memberi aba-aba, begitu aku tepuk tangan, berarti lomba dimulai. Aku akan menceburkan diri di sungai sementara kau mulai berlari‖. Aba-aba telah dibunyikan, si kancil berlari kencang, sementara si kakul menceburkan diri ke sungai sambil tenang-tenang di tempat saja. Si Kancil selalu ngecek si kakul sudah sampai di mana agar bisa mengatur kecepatan larinya. ―Kakuuul, kau sudah di mana?‖. Setiap si kakul dipanggil, selalu ada jawaban ―kik, aku di sini?‖ yang posisinya selalu berada di depan arah larinya si Kancil. Demikian seterusnya sampai si Kancil terengah-engah kehabisan nafas dan akhirnya mati. Uang taruhan sebelumnya memang sudah di pegang si Kakul. Akhirnya si Kakul berpesta ria dengan teman-temannya. Cerita 3. Celeng Kalahang Legu Arti dari judul cerita ini adalah babi dikalahkan oleh nyamuk. Ada seekor nyamuk yang selalu mencari makan di kandang seekor babi. Babi itu sering merasa tidak nyaman, karena darahnya diisap oleh si nyamuk dan juga mengganggu telinganya akibat suara nyamuk ketika terbang di dekat telinganya. Babi menjadi marah besar pada si nyamuk dan berkata, ―rasakan sekarang kau nyamuk kurang ajar, kini kau harus mati‖. Demikian kata si babi. Si babi telah
34
ISSN 2442-3475
Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)
menungggu kehadiran si nyamuk di dekat batu di dalam kandangnya. Begitu si nyamuk terdengar bersuara di dekat telinga si babi, langsung si babi menghantamkan kepalanya ke batu dengan harapan si nyamuk akan mati terjepit antara telinga si babi dengan batu. Nyamuk adalah binatang kecil dan pintar, begitu kepala babi bergerak, ia cepat terbang menghindar. Kemudian datang lagi mendekati telinga si babi, si babi bertambah marahdan menghantamkan kepalanyanya lebih keras lagi. Tetap saja si nyamuk dapat menghindar. Dalam hal ini justru si babi mati akibat kepalanya pecah terhantamkan di batu. Si nyamuk tertawa terbahak-bahak dan bangga dapat mengalahkan si babi. Keberhasilannya ini dikabarkan kesana-kemari. Saking terlalu bangganya, tidak diketahui ada jaring laba-laba terbentang di pohon dan matilah nyamuk itu dimakan oleh si labalaba. Cerita 4. Macan Mati Baan Lelasan Arti dari judul cerita ini adalah si harimau mati oleh si kadal. Suatu hari di hutan yang sangat lebat ada seekor harimau sedang lapar. Sudah tiga hari ia berkeliling mencari binatang untuk disantap, namun tidak satupun binatang menampakkan diri. Sambil bengong menahan perut lapar ia bergumam, ―Pokoknya binatang apa pun yang lewat hari ini harus mati kumakan‖. Selesai bergumam demikian, ada suara ‗kresek‘ di tumpukan dedaunan kering. Sumber bunyi itu dikejar oleh si harimau. Merasa diri si kadal dikejar harimau, ia pun lari mau mencari tempat persembunyian. Singkat cerita, di sana ada berdiri beberapa pangkal bambu yang merupakan sisa daritebangan orang. Bentuk pangkal bambu itu semuanya runcing. Di situlah si kadal dilihat oleh si harimau masuk ke salah satu pangkal bambu tersebut. Akhirnya pada saat si kadal masuk ke lubang bambu, saat itu pula diterkam oleh si harimau. Si harimau mati mengenaskan. Mulut sampai tembus ke kepalanya tertusuk pangkal bambu yang bentuknya seperti bambu runcing. Keempat cerita di atas sering dipakai materi cerita oleh para orang tua dalam momentum seperti berikut. 1) Suatu ketika ada anak kecil menangis, ketika ditanya mengapa menangis, anak itu menjawab, ―Ddipukul oleh temannya yang jauh lebih besar‖. Pada saat itu si orangtua menyuruh diam. ―Nah siepang awake De, nak sing dadi lagute gedenan satata nguyak timpal ane cenikan. Tawang ento i Gajah, amonto gedene sakewala i bikul ia ngalahang‖. ―Ngudiang bisa keto pa, i Gede ngaluwedang. ―Nah ne lamun De apang dot nawang, ne ada satua I Gajah Kalahang i Bikul.” Terjemahannya: ―Nah, berhenti menangis De. Tidak boleh baru merasa besaran selalu mengerjai teman yang lebih kecil. Tahu si Gajah, begitu besarnya namun ia dikalahkan oleh si tikus‖. ―Kok bisa begitu pak‖ si Gede penasaran. ―Ya, kalau kamu penasaran ingin tahu, ini ada cerita I Gajah Kalahang i Bikul. Namanya anak-anak ketika diberikan cerita apalagi si pencerita pintar atau cerita dibumbui dengan lawakan (bebanyolan), pasti anak-anak akan sangat senang. Kesenangan anak ini tidak sedikit berimbas pada teman-temannya yang lain. Ia akan bercerita bahwa si bapak pernah bercerita tentang bahwa yang besar itu tidak selalu kuat dan selalu menang. Buktinya Gajah saja dikalahkan oleh si tikus. Dengan demikian maka anak-anak yang lain itu pun akan mendatangi si bapak (pencerita) minta didongengin juga. Ketika situasinya sudah seperti ini, tinggal si bapak mengatur waktu dan menyiapkan cerita yang lain. Tentu pesan dalam cerita akan disampaikan sebagai nasehat kepada anak-anak.
35
ISSN 2442-3475
Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)
2). Ketika ada seorang karyawan, buruh, atau pegawai mengeluh tentang situasi di tempatnya bekerja. Ia mengatakan dirinya selalu disalahkan, dicela, dimaki berlebihan jika ada kesalahan dalam bekerja. Ia merasa dengan diri menjadi orang susah, menjadi bawahan, akhirnya sering merenungi nasib. Kondisi ini diceritakan pada seseorang yang kebetulan orang itu banyak memiliki bekal ‗sastra‘. ―Nah Yan, nak mula keto dadi anak lacur, dadi anak betenan, satata dadi pajekjekan. Sakewala Wayan apang satata tabah, inget ken Widhi. Lagute dadi panggede sing patut masolah buka keto. Ne ada satua Gedene Kalahang Cenik.”“Satua apa ento Beli Man, tegarang satwaang apang cang nawang,” keto I Wayan ngaluwedang. Terjemahannya: ―Nah Yan, memang demikian menjadi orang tak mampu, menjadi bawahan, selalu menjadi injak-injakan. Namun Wayan harus tabah dan ingat pada Hyang Widhi. Baru menjadi orang besar, atasan, atau kaya, tidak cocok berperilaku seperti itu. Ini ada cerita Gedene Kalahang Cenik ‗yang besar akan dikalahkan oleh yang kecil.‖ ―Cerita apa itu kak Nyoman, coba ceritakan agar saya tahu dan paham,‖ Demikian I Wayan penasaran. Setelah si bapak (pencerita) selesai bercerita tentang Macan Mati Baan Lelasan, I Celeng Mati Baan i Legu, Kancil Kalahang I Kakul, dan atau I Gajah Kalahang I Bikul, maka dijelaskan makna yang dapat dipetik dan dipakai acuan dalam kehidupan ini. ―Nah Wayan, liu anake dadi anak sugih, dadi bos, dadi penggede, tusing bisa ngundukang dewek, satata duleg teken anak lacur, anak matongos betenan, makelo-kelo bisa ya gelibegang Widhi. Liu jalan lacure, makejang bisa magelibeg dadi anak lacur, umpamannyane merasa dadi bos, anak sugih, pejabat, lantas nyemak gegaen mamotoh, ngelua, korupsi, lan ane lenan. Suba mabukti, anak buahne dadi bos, bosne jani dadi anak buah. Sangkalanga lagute gede eda satata ngenjek ane cenik.” Terjemahannya: ―Nah Wayan, banyak orang kaya, bos, pejabat, tidak tahu diri, selalu merendahkan orang miskin, orang yang menjadi bawahan, lama-lama bisa saja ia dibalikkan nasib. Banyak jalan kesengsaraan, semua bisa terbalik menjadi orang miskin, umpamanya merasa menjadi bos, orang kaya, lalu mengambil pekerjaan berjudi, main perempuan, karupsi, dan yang lainnya. Sudah banyak buktinya, anak buahnya dahulu kini menjadi bos, bos dahulu kini menjadi anak buah. Makanya baru menjadi orang besar janganlah selalu menistakan orang kecil (miskin). Orangtua bercerita tidak mengenal ruang dan waktu, tetapi lebih memilih momentum yang tepat. Hal ini dilakukan orangtua karena tujuan utama para orang tua bercerita (masatua) sekalian menekankan makna dari satua itu. Harapan para pencerita agar makna satua itu langsung direnungkan dan dapat megubah sikap menuju kedamaian. Para orangtua yang bercerita dengan tema Gedene Kalahang Cenik itu kebanyakan tidak mengetahui sumber ceritanya. Mereka bisa menceritakan kembali atas dasar pengalaman mereka pernah diceritai oleh orangtuanya, kakeknya, atau orang lain. Orang yang diceritai kemudian itupun akan menceritakan kembali kepada orang yang diperkirakan tepat untuk diberikan nasehat sesuai dengan makna dari cerita itu. Inilah sejatinya model atau proses pelisanan tradisi lisan di Bali dari dahulu hingga sekarang. Memang dalam perkembangannya ada model pelisanan melalui media, seperti tahun 70-an di Stasiun RRI Singaraja yang terkenal di Buleleng dengan naratornya Bapak Bontoan. Di samping itu, usaha pemerintah untuk menggali dan melestarikan satua karena dilihat memuat nilai edukasi untuk anak-anak, kini dilombakan melalui berbagai kesempatan.
36
ISSN 2442-3475
Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)
Apapun usaha pemerintah untuk menggali dan melestarikan satua tersebut, model pelisanan yang tidak mengenal ruang dan waktu serta sumber cerita tersebut, tetap berjalan sampai saat ini. Model pelisanan ini cukup efektif dalam mempertahankan tradisi lisan walau terkesan bagi narator tidak ada persiapan akan bercerita dan lebih terkesan secara spontan. Dari segi fungsi tradisi lisan itu langsung dirasakan sebagai nasihat untuk menyadarkan bagi yang diajak bercerita (audiens). Orang bijak sering berkata bahwa apa yang sifatnya tidak terduga dan tanpa ada persiapan terkadang dapat mencapai hasil yang memuaskan. PENUTUP Masa kanak-kanak adalah masa ego yang cukup tinggi dan terkadang liar. Hal itu memang secara alami dapat kita terima. Tetapi ego itu masih dapat diarahkan ke arah yang lebih baik atau positif. Umumnya yang merasa lebih tua atau lebih besar dari segi fisik, sering berlaku sebagai raja bagi adik-adiknya atau teman yang lebih kecil sering diolok-olok dan dikasari. Di sinilah peran orangtua membentuk karakter anak melalui mendongeng. Dongeng yang tepat dalam konteks ini adalah cerita yang bertemakan Gedene Kalahang Cenik seperti di atas. Tidak perlu bercerita secara utuh atau lengkap seperti dalam teks cerita Tantri. Walaupun demikian, kalau bisa alangkah baiknya para orang tua sebagai pewaris tradisi lisan khususnya sastra agar mengetahui dan dapat melisankan kembali sastra-sastra tersebut. Tidak dapat dipungkiri lagi dengan pendalaman sastra manusia akan lebih melihat jalan yang harus dilalui menuju kesempurnaan hidup. DAFTAR PUSTAKA Agastia, IBG. 2006. Tri Tantri dalam Kesusasteraan Bali. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra. Anom, I Gusti Ketut. dkk. 2008. Kamus Bali-Indonesia Beraksra Bali dan Latin. Denpasar: Dinas Kebudayaan Kota Denpasar dan Badan Pembina Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali Provinsi Bali. Ansari, Khairil dan Shafwan Hadi Umry. 2014. ―Revitalisasi Tradisi Lisan Berahoi dalam Masyarakat Melayu Langkat untuk Pengembangan Industri Kreatif: Upaya Menjawab Tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015‖.Prosiding. Dinamika Budaya Indonesia dalam Pusaran Pasar Global.Yogyakarta: Ombak, Hlm. 560571. Bascom, William R. 1965. ―The Form of Folklore: Prose Naratives.‖ Journal American Folklore, 78, The Hague: Moution, p.3-20. Dananjaya, James. 1984. Folklore Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta: Gramedia. Endraswara, Suwardi. 2008. ―Metodologi Kajian Tradisi Lisan‖ Dalam Pudentia (ed.). Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan. Finnegan, Ruth. 1992. Oral Tradition and The Verbal Art: A Guide to Research Practice. USA and Canada: Routledge. Hooykaas, C. 1929. Tantri de Middlejavaansche Pancatantra Bewerking. Leiden: A Vros. Medera, I Nengah. 1997. Kakawin dan Mabebasan di Bali. Denpasar: Upada Sastra. Suarka, I Nyoman. 2007. Kidung Tantri Psacarana. Denpasar: Pustaka Larasan. Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan.Surabaya: Citra Wacana.
37