ISSN 2442-3475
Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)
DINAMIKA KEBAHASAAN PADA MASYARAKAT NUSA PENIDA, KABUPATEN KLUNGKUNG, BALI I Ketut Darma Laksana Universitas Udayana
[email protected] Abstrak Makalah ini mencoba mengkaji pengaruh bahasa Bali sebagai bahasa baku/umum terhadap keberadaan bahasa di Pulau Nusa Penida. Seperti diketahui, bahasa Bali dianggap sebagai induk, sedangkan bahasa di Pulau Nusa Penida dianggap sebagai sebuah dialek, yang dinamakan Dialek Nusa Penida. Dalam perjalanan waktu selama lebih kurang setengah abad, dinamika kebahasaan apa yang dapat dilihat dari kedekatan hubungan antara bahasa Bali dan dialek Nusa Penida. Melalui pengamatan yang dilakukan atas kontak bahasa yang terjadi, yang diperlihatkan oleh perilaku bahasa penutur, yang dianggap sebagai sebuah ―teks‖, dapat dikemukakan bahwa pada masyarakat Nusa Penida telah terjadi dinamika kebahasaan berdasarkan tiga dimensi, yaitu dimensi sosial, dimensi budaya, dan dimensi lingkungan. Dilihat dari pandangan Strukturalis dan juga Sosiolinguis, khususnya dari dimensi sosial, kedua bahasa hanya berupa ―kontras‖, antara bahasa baku dan non-baku. Sebaliknya, dilihat dari pandangan Pos-Strukturalis, khususnya dimensi lingkungan, dinamika kebahasaan tidak sampai menggoyah apa yang disebut ―kekhasan linguistik‖ pada dialek Nusa Penida. Sementara itu, Struktural Konstruktif, yang menyintesiskan pandangan Strukturalis dan Pos-Strukturalis, melihat dinamika kebahasaan itu pada dimensi sosial dan budaya sebagai ―pasar bahasa‖, pasar yang spesifik, yang keberadaannya terkait dengan ―aturan formasi bahasa‖, yakni nilai produksi bahasa dalam pasar bahasa yang membuat perbedaan-perbedaan dan status/posisi sosial pengguna bahasa itu. Jadi, dalam dinamika kebahasaan pada masyarakat Nusa Penida terjadi pengaruh bahasa Bali atas dialek yang bersangkutan. Kata kunci: dinamika, kontras, status, kekhasan bahasa
PENDAHULUAN Dinamika kebahasaan di Pulau Nusa Penida seluas 180 km2 dengan jumlah penduduk sekitar 30.000 jiwa itu menarik untuk dikaji, baik dilihat dari dimensi sosial, dimensi budaya, maupun dimensi lingkungan. Bahasa yang dituturkan di pulau itu oleh peneliti lokal digolongkan sebagai sebuah dialek dengan nama Dialek Nusa Penida, dan termasuk ke dalam salah satu dialek Baliaga (Darma Laksana, 1977; Bawa dan Jendra, 1981:2). Orang awam, baik yang berasal dari Kabupaten Klungkung maupun orang Nusa Penida sendiri, menamakan dialek bahasa itu basa Nusa. Dalam sistem fonemnya, kedua bahasa tersebut menunjukkan persamaan. Akan tetapi, sejarah perkembangan keduanya menjadikannya berbeda, dalam beberapa hal, satu dari yang lain. Bahasa Bali yang menjadi bahasa umum dalam masyarakat Bali kena pengaruh bahasa Jawa Pertengahan seperti yang digunakan dalam kitab Pararaton. Sebagai contoh, kata huwus dalam bahasa Jawa Kuna menjadi wus dalam bahasa Jawa Pertengahan dan juga dalam bahasa Bali. Fonem /h/ dalam bahasa Jawa Kuna lesap dalam kedua bahasa yang menjadi pewarisnya. Tampaknya, invansi Majapahit dengan sejumlah laskarnya di bawah pimpinan Gajah Mada, setelah upacara pengangkatannya sebagai ―Patih Amangkubhumi Majapahit‖ pada tahun Saka 1258 (1336 M), yang berhasil menaklukkan kerajaan Bali, termasuk ―kerajaan‖ Nusa Penida (yang disebut Gurun dalam Sumpah Palapa Gajah Mada), memengaruhi kedua bahasa di daerah taklukannya. Menurut Zoetmulder, laskar Majapahit yang membanggakan diri sebagai bangsawan Jawa tidak ingin kembali ke Majapahit. Sementara itu, kemungkinan sebagian laskar Majapahit, diduga setelah menaklukkan Nusa Penida, juga tidak ingin kembali ke
80
ISSN 2442-3475
Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)
Majapahit, mereka merasa nyaman berdiam di pulau yang terpencil. Kemungkinan laskar Majapahit yang bukan bangsawan, yang masih mempertahankan bahasa Jawa Kuna-nya, yang ditandai oleh fonem /h/ pada awal kata dalam sebagian kosakatanya, sebagaimana temuat dalam Kamus Jawa Kuna – Indonesia karangan Zoetmulder (2006) dan Kamus Kawi – Indonesia karangan Wojowasito (1997), telah memengaruhi bahasa di Pulau Nusa Penida (periksa Darma Laksana, 2016). Sehubungan dengan itu, di bawah ini disajikan beberapa contoh fonem /h/, baik pada awal maupun tengah kata, dalam dialek Nusa Penida, dan diperbandingkan dengan bahasa Bali. (a) Fonem /h/ pada posisi awal kata Dialek Nusa Penida Bahasa Bali Bahasa Indonsia hala /halә/ kewala /kewalә/ ‗hanya‘ has /has / aas /aas/ ‗rontok‘ hebes /hәbɛs/ ebes /әbɛs/ ‗robek‘ hoba /hobә/ suba /subә/ ‗sudah‘ homah /hɔmah/ umah /umah/ ‗rumah‘ hong /hɔng/ oong /oong/ ‗cendawan‘ honya /honyә/ onya /onyә / ‗semua‘ (b) Fonem /h/ pada posisi tengah kata ahid /ahɪd/ aid /aɪd/ ‗sapu‘ ahud /ahʊd/ aud /aʊd/ ‗tarik‘ behas /bәhas/ baas /baas/ ‗beras‘ behat /bәhat/ baat /baat/ ‗berat‘ pohun /pohʊn/ puwun /puwʊn/ ‗terbakar‘ tehing /tәhɪng/ tiing /tiyɪng/ ‗bambu‘ tehung /tәhʊng/ tuwung /tuwʊng/ ‗terung‘ (Catatan: tanda /ә/ dipakai untuk menggantikan huruf e; /ng/ untuk ng; dan /ny/ untuk ny) Sebagai sebuah dialek atau bukan bahasa baku, dialek Nusa Penida tidak diajarkan di sekolah, dari sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama dan menengah atas, dan posisinya digantikan oleh bahasa Bali. Dengan demikian, sesungguhnya, bahasa Bali sudah diajarkan di sekolah dasar sekitar tahun 1950-an ketika mulai berdirinya pertama kali di Sampalan, ibu kota Kecamatan Nusa Penida (hal ini baru diketahui belakangan dari cerita saudara/ kerabat yang bersekolah di sana). Selain perbedaan fonem /h/ pada kedua posisi tersebut, terdapat pula perbedaan yang tipis antara dialek Nusa Penida dan bahasa Bali, yaitu pelafalan fonem /i/ dan fonem /u/pada posisi awal kata (mengenai fonem /h/, /i/, dan /u/ ini telah disinggung dalam skripsi sarjana muda penulis ini (1977) secara sepintas tanpa contoh). (a) Fonem /i/ dalam bahasa Bali dilafalkan [e] dalam dialek Nusa Penida. Contoh: Dialek Nusa Penida Bahasa Bali Bahasa Indonesia edup/edʊp/ idup /idʊp/ ‗hidup‘ edih /edɪh/ idih /idɪh/ ‗pinta‘ eleg /elәg/ ileg /ilәg/ ‗geleng‘ eleh /elәh/ ileh /ilәh/ ‗keliling‘ enget /engәt/ inget /ingәt/ ‗ingat‘ epuh /epʊh/ ipuh /ipʊh/ ‗seruduk‘ eseng /esәng/ iseng /isәng/ ‗iseng‘ (b) Fonem /u/ dalam bahasa Bali dilafalkan [o] dalam dialek Nusa Penida. Contoh: Dialek Nusa Penida Bahasa Bali Bahasa Indonesia obad /obad/ ubad /ubad/ ‗obat‘
81
ISSN 2442-3475
obuh /obʊh/ okud /okʊd/ okur /okʊr/ olig /olɪg/ omad /omad/ osud /osʊd/
Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)
ubuh /ubʊh/ ukud /ukʊd/ ukur /ukʊr/ ulig /ulɪg/ umad /umad/ usud /usʊd/
‗pelihara‘ ‗bilangan (ekor)‘ ‗ukur‘ ‗giling‘ ‗tarik‘ ‗raba‘
Terdapat perbedaan yang mencolok di antara kedua bahasa, yaitu adanya perbedaan bentuk ―alus-kasar‖ dan perbedaan sebagian bentuk kosakata. Yang pertama, dialek Nusa Penida tidak mengenal bentuk ―alus-kasar‖ karena masyarakatnya tidak mengenal sistem stratifikasi/kelas ―tinggi dan rendah‖, seperti orang Bali yang mengenal sistem kasta. Contoh: Dialek Nusa Penida Bahasa Bali Bahasa Indonesia (―kasar‖) (―halus‖) aba /abә/ bakta /baktә/ ‗bawa‘ ada /adә/ wenten /wɛntәn/ ‗ada‘ daar /daar/ ajeng /ajәng/ ‗makan‘ dadong /dadɔng/ nini /nini/ ‗nenek‘ medem /mәdәm/ sirep /sirәp/ ‗tidur‘ negak /nәgak/ melinggih /mәlinggɪh/ ‗duduk‘ tua /tuwә/ lingsir /lingsɪr/ ‗tua‘ Yang kedua, perbedaan sebagian kosakata kedua bahasa menyebabkan sering terjadi salah pengertian antarpenutur. Oleh karena itu, sering terjadi alih kode semampunya pada orang Nusa Penida. Berikut adalah perbedaan sejumlah kata yang ditunjukkan kedua bahasa. Contoh: Dialek Nusa Penida Bahasa Bali Bahasa Indonesia bering /berɪng/ gedeg /gәdәg/ ‗marah‘ beteg /bәtәg/ tengil /tәngɪl/ ‗nakal‘ boheng /bohәng/ uyut /uyʊt/ ‗ribut‘ endek /әndәk/ tusing /tusɪng/ ‗tidak kahet /kahәt/ gugut /gugʊt/ ‗gigit‘ kola /kolә/ raga /ragә/ ‗aku, diri‘ sandag /sandag/ kemaruk /kәmarʊk/ ‗rakus‘ Dengan demikian, semua ciri kebahasaan yang dimiliki dialek Nusa Penida senantiasa menjadi bahan ―olok-olokan‖ (bully) yang dipertontonkan oleh orang Bali terutama yang bermukim di daerah Kusamba dan sekitarnya, yang kebetulan menjadi pangkalan tempat naik-turunnya penumpang dari jukung atau speed boat (alat transportasi saat ini) yang berasal dari Nusa Penida. Jadi, lengkaplah sudah jika dialek bahasa itu dan pemakainya menjadi bulan-bulanan yang disebut olok-olokan itu. Memang menjadi kebiasaan orang Nusa Penida yang bepergian ke Bali (sebutan untuk sebuah tujuan pergi ke luar pulau, khususnya ke Kota Klungkung atau Denpasar), kemudian turun dari jukung atau speed boat, mampir di warung milik penduduk setempat untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke Kota Klungkung atau Denpasar. Terdapat beberapa kata yang khas yang digunakan sebagai olok-olokan, seperti pronomina persona pertama: kola /kolә/ ‗saya; aku‘, pronomina persona kedua: eda /edә/ ‗engkau; kamu‘, dan kata-kata tertentu lainnya, seperti ke jaha ‗ke mana‘, seperti dalam kalimat: Eda ke jaha jani ‗Kamu ke mana sekarang?‘ Respon nonverbal yang tampak dari orang Nusa Penida yang ―disapa‖ itu berupa air muka yang memperlihatkan rasa malu.
82
ISSN 2442-3475
Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)
Kegembiraan sebagian orang Nusa Penida mendengar warganya mampu berbahasa Bali dapat dilihat saat berlangsung pertunjukan ―drama gong‖ pada tahun 1970-an di Banjar Tanahbias, Desa Ped. Terdapat satu adegan ―Perburuan‖ dalam pentas drama itu, dan ada dialog antara Raja Muda dan punakawannya, seperti di bawah ini. Raja Muda : (Bertanya kepada punakawannya untuk diberitahu ke mana larinya binatang buruan) ―Paman, kija melaib buronanne‖ /paman, kijә melaib buronane/‗Paman, ke mana larinya binatang itu‘ Punakawan : (Jawaban atas pertanyaan Raja Muda) ―Melahib nyohung‖/mәlahɪb nyohʊng/‗Lari ke bawah‘ Dari dialog di atas diketahui bahwa Sang Raja sudah menggunakan bahasa Bali, namun sang punakawan menggunakan dialek Nusa Penida. Kemungkinan maksudnya untuk melucu, tetapi apa respon penonton setelah mendengarkan dialog tersebut. Penonton tertentu yang mendengar penggunaan dialek Nusa Penida oleh punakawan itu secara spontan berseru, ―Ngoda henta /ngodә hәntә/!‖ (Kenapa begitu!). Maksudnya, kenapa dialek Nusa Penida yang digunakan, mengapa bukan bahasa Bali. Seruan yang berbunyi seperti itu sebagai pertanda bahwa penikmat seni (penonton) berharap bahwa pelaku seni (pemain drama dan sejenisnya) wajib menguasai bahasa Bali (hal ini akan disinggung lebih lanjut pada bagian di bawah nanti). Berdasarkan uraian yang cukup panjang di atas maka pertanyaan yang harus dicari jawabannya adalah sebagai berikut: (1) Sejak kapan dinamika kebahasaan pada masyarakat Nusa Penida berlangsung? (2) Bagaimanakah proses dinamika kebahasaan itu berlangsung? (3) Siapa agen/aktor dalam dinamika kebahasaan itu? (4) Apa makna di balik dinamika kebahasaan itu? Jawaban atas pertanyaan tersebut tidak mudah karena harus dilakukan, yang dalam ilmu ―Sejarah Studi Bahasa‖ (Historiografi Linguistik), dinamakan ―Retrospeksi‖, yaitu melihat/menulis kembali apa yang dilakukan oleh para ahli sebelumnya. Misalnya, mengenai metode, konsep, ataupun peristilahan yang digunakan para ahli pada zamannya‘‘, dalam hal ini, pemikiran para ahli bahasa tentang sejarah kelas kata dalam bahasa. Persoalannya sama dengan masalah yang dihadapi penulis seperti sekarang. Jalan yang dapat ditempuh ialah melakukan introspeksi bukan retrosspeksi, menggunakan intuisi sendiri apa yang telah diketahuinya atas peristiwa bahasa yang terjadi sekitar setengah abad yang lalu. Melakukan penelitian dengan ―metode filologis‖ dan ―metode penelitian sosial yang konvensoinal‖ yang ditawarkan dalam penelitian tentang kesejarahan itu, sulit dilakukan di sini. DATA PENELITIAN Data penelitian ini berupa ―rekaman masa lampau‖ penulis yang berasal dari pengamatan yang mulai dilakukannya sekitar setengah abad yang lalu. Pengamatan yang dilakukannya bersifat tidak sengaja atau sistematis—apalagi ketika ia masih berumur sekitar 13 tahun, tidak tahu apa arti sebuah penelitian-tetapi tertarik pada tuturan interlokutor, yang berisi ―olok-olokan‖ orang Bali terhadap dialek bahasa yang digunakan oleh orang Nusa Penida sendiri. Belakangan, ternyata hal itu penting dalam penelitian bahasa yang dikenal dengan istilah observer‘s paradox dari Labov, seperti yang dikutip oleh Senft (dalam Verschueren et al., 1995:579). Apa yang dikemukakan di atas tampaknya tidak masuk akal, mana mungkin seorang peneliti memerlukan waktu sekian lama untuk menulis makalah seperti ini. Sehubungan dengan itu, dapat dikemukakan alasan yang berikut. Pertama, penulis berasal dari daerah penelitian ini, yang secara periodik pulang-pergi, Nusa Penida-Bali, dari sejak
83
ISSN 2442-3475
Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)
bersekolah pada tingkat sekolah menengah pertama dan atas sampai kuliah di Denpasar sampai dengan sekarang setelah menjadi dosen di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana. Jadi, apa yang dilakukan oleh penulis ialah semacam retrospeksi, namun tetap mengandalkan intuisi untuk melihat/ menuliskan kembali apa yang pernah terjadi dan dialami selama kurun waktu yang panjang itu. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk merangkum jawaban atas keempat pertanyaan yang dikemukakan di atas. Lebih dari itu, tanpa menyadari jauh sebelumnya, penulis kemudian menganggap apabila data yang berupa rekaman masa lalu itu ternyata merupakan topik yang menarik untuk dibahas dalam forum ini karena sesuai dengan pokok bahasan/ subtema yang disodorkan oleh panitia simposium internasional ini. Kedua, data yang berupa rekaman masa lalu itu masih ―tersimpan‖ dengan baik dalam benak penulis, sebagai pengetahuan dan diperlakukan sebagai sebuah TEKS, yang secara kronologis dapat diungkap dan ditafsirkan kembali sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan untuk penulisaan makalah ini, yang permasalahannya cukup kompleks. Dengan demikian, secara sosiolinguistis, data perilaku bahasa yang dihasilkan melalui ―kontak bahasa‖ (Holmes, 1992), yang berhasil menciptakan dinamika kebahasaan itu, dapat dianalisis sebagaimana mestinya. TEORI DAN METODE PENELITIAN TEORI PENELITIAN Data penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teori yang berkembang menurut paradigmanya masing-masing, yakni Strukturalisme, Sosiolinguistik/Linguistik Antropolgi/Etnografi Bahasa, Pos-Strukturalisme, dan Struktural Konstruktif. Teori Struktural (Saussure) digunakan untuk mengkaji perbedaan yang diperlihatkan dialek Nusa Penida dan bahasa Bali. Berdasarkan teori ini, perbedaan antara keduanya hanya dalam bentuk apa yang disebut ―kontras‖. Pandangan ini tidak jauh berbeda dari pandangan yang dianut dalam Teori Sosiolinguistik (Trudgill, 1974) yang membedakan apa yang dinamakan bahasa ―baku‖ dan ―non-baku‖. Teori yang bersifat interdisipliner, yakni Teori Linguistik Antropologi (Duranti, 1997; Foley, 1997), lebih memperhatikan ihwal ―sosialisasi bahasa‖ dalam konteks dinamika kebahasaan, khususnya dalam pemerolehan bahasa Bali, seperti yang terjadi pada masyarakat Nusa Penida. Demikian pula, Teori Etnografi Bahasa (Hymes, 1972; Bagus, 1977) melihat ihwal pemakaian bahasa, sebagaimana yang terjadi pada masyarakat Nusa Penida, bahwa bahasa Bali ―alus‖ menjadi wajib dipahami oleh anggota masyarakat yang berkepentingan. Teori Pos-Struktural, juga dikenal dengan sebutan ―DEKONSTRUKSI/ POSMODERNISME‖ (Derrida dan Barry) digunakan untuk mengkaji perbedaan yang diperlihatkan dialek Nusa Penida dan bahasa Bali, yang menurut teori ini, perbedaan itu bukan sebuah ―kontras‖, melainkan apa yang disebut sebagai ―kekhasan linguistik‖. Sementara itu, teori Struktural Konstruktif (Bourdieu), teori yang menyintesiskan kedua paradigma sebelumnya, memperkenalkan apa yang dinamakan ―pasar bahasa‖, yang termasuk pasar yang spesifik, yang keberadaannya terkait dengan ―aturan formasi bahasa‖, yakni nilai produksi bahasa dalam pasar bahasa yang membuat perbedaanperbedaan dan status/posisi sosial pengguna bahasa itu. Selain ketiga teori ini, untuk memaknai perilaku bahasa penutur dialek Nusa Penida yang dapat dilihat, baik dari dimensi sosial, dimensi budaya, maupun dimensi lingkungan, perlu diterapkan pula Teori Posmodernisme lainnya, yakni Teori Genealogi dan Kuasa Wacana (Foucoult) yang menyatakan bahwa tiap-tiap era, di sini dimensi, memiliki ―episteme‖nya masing-masing (selain Teori Sosiolinguistik/Linguistik Antropologi/Etnografi Bahasa, semua teori yang
84
ISSN 2442-3475
Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)
tergolong paradigma Dekonstruksi serta Teori Struktural yang dipertentangkan dengannya, dikutip berdasarkan tulisan Yusuf Lubis, 2014). METODE PENELITIAN Seperti yang telah disinggung sebelumnya, penulis adalah penutur dialek Nusa Penida sehingga data penelitian yang diperoleh mau tidak mau sebagian besar harus dilakukan dengan menggunakan metode intuisi (bdk. Kridalaksana, 1988). Dalam kaitannya dengan dinamika kebahasaan yang terjadi pada masyarakat Nusa Penida, untuk melihat pemaknaannya, diperlukan pengelompokan ―kurun waktu‖ terjadinya kontak bahasa untuk menunjang pandangan Foucoult tersebut di atas. Caranya ialah dengan mengambil perbandingan pada usia manusia yang baru dikategorikan dewasa jika telah memasuki umur 16 tahun. Kemudian, batas waktu paling bawah yang digunakan adalah tahun 1965, sebagai penanda waktu awal terjadinya kontak bahasa antara dialek Nusa Penida dan bahasa Bali yang dapat diamati. Perlu dikemukakan bahwa pada tahun 1965 penulis sudah berusia 13 tahun, lahir tahun 1952, sehingga sudah memahami apa yang dinamakan kontak bahasa itu. Sehubungan dengan itu, sampai dengan tahun 2015, sebagai batas akhir rekaman masa lalu, sebagaimana yang dikemukakan di atas, dapat dibuat periodisasi dinamika kebahasaan itu, sebagai berikut: Periode I : 1965 sampai dengan 1981; Periode II : 1982 sampai dengan 1998; Periode III : 1999 sampai dengan 2015; Kontak bahasa yang terjadi ibarat gelombang laut yang makin lama makin tinggi dan akhirnya permukaan laut menjadi rata/tenang. Demikian pula halnya dengan kontak bahasa yang makin lama makin stabil (berjalan alami). Seperti akan tampak pada uraian di bawah nanti, pada awal terjadinya kontak bahasa, para pelaku jumlahnya tidak begitu banyak. Namun, dalam kurun waktu 16 tahun berikutnya para pelaku kontak bahasa jumlahnya bertambah seiring dengan dinamika sosial yang ada. Demikian seterusnya sampai dengan 16 tahun terakhir (tahun 2015), para pelaku kontak bahasa jumlahnya makin berlipat. Dinamika Kebahasaan pada Masyarakat Nusa Penida Dinamika kebahasaan tidak dapat dipisahkan dari dinamika sosial, yakni gerak masyarakat secara terus-menerus yang menimbulkan perubahan dalam tata hidup masyarakat yang bersangkutan. Dalam dinamika kebahasaan dapat dilihat pula intensitas perubahan pemakaian bahasa yang berlangsung dari periode yang satu ke periode berikutnya. Berikut adalah uraian tentang dinamika kebahasaan pada masyarakat Nusa Penida berdasarkan ketiga dimensi seperti yang telah dikemukakan di atas. Dimensi Sosial Dimensi sosial adalah ruang tempat sekelompok individu beraktivitas dalam keseharian mereka berdasarkan pranata tertentu. Aktivitas dari kelompok individu (atau kolektiva) itulah yang bertindak sebagai ―agen/aktor‖ adanya dinamika kebahasaan. Periode 1965--1981 Pada periode pertama, dalam kurun waktu 16 tahun, dari tahun 1965 sampai dengan 1981, dapat dilihat sejumlah anak berusia sekitar 12 tahun, yang baru tamat sekolah dasar, bersekolah ke luar daerah khususnya di kota kabupaten (Klungkung) meskipun di Sampalan (kota Kecamatan Nusa Penida) sudah ada sekolah menengah pertama yang berstatus swasta. Setelah tamat sekolah menengah pertama, baik yang bersekolah di Sampalan maupun di Klungkung, otomatis anak-anak itu melanjutkan
85
ISSN 2442-3475
Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)
sekolah mereka ke sekolah menengah atas di Klungkung ataupun di kota-kota lainnya di Bali. Mereka yang melanjutkan kuliah di perguruan tinggi tentu bisa memilih tempat di Denpasar atau Singaraja, namun beberapa ada yang ke luar Bali. Selama kurun waktu 16 tahun pertama itu, sejumlah guru sekolah dasar yang berasal dari Bali bertugas di Nusa Penida, dan mereka sedikit banyak memperkenalkan bahasa Bali umum kepada anak-anak dan juga orang dewasa tempat mereka bertugas. Selain itu, petugas medis yang berasal dari Bali juga berperan atas terjadinya kontak bahasa. Tidak kalah pentingnya adalah para pedagang sembako, pakaian dan sejenisnya, saudagar ayam, babi, dan sapi, secara periodik mereka pulang-pergi, Nusa Penida-Bali, untuk melakukan transaksi. Jika dibandingkan dengan kaum pedagang/saudagar, yang hanya secara periodik, kaum pelajar/mahasiswa lebih intens menirukan dan menghafal bahasa Bali yang mereka dengar. Seperti diketahui, dalam pengajaran bahasa (bahasa kedua, bukan bahasa ibu), cara pemerolehan bahasa seperti itu dikenal dengan metode ―mim-mem‖ (mimicry and memorize). Pemerolehan bahasa seperti ini disebabkan oleh mereka yang umumnya tinggal atau indekos di rumah-rumah orang Bali. Akan tetapi, makna kontak bahasa tersebut belum menuju ke arah yang bersifat permanen‖. Artinya, belum ada tindakan berpola secara massal yang mendorong ―penguasaan‖ bahasa Bali. belum ada ―kuasa‖ (power) pihak yang berkepentingan (pemerintah daerah) mendorong penutur untuk menguasai bahasa Bali, dengan kata lain, proses itu terjadi atas dasar kesadaran sendiri. Periode 1982—1998 Pada periode kedua, dalam kurun waktu 16 tahun, dari tahun 1982 sampai dengan 1998, makin banyak pelajar/mahasiwa yang berasal dari Nusa Penida tinggal di Bali. Mereka melakukan kontak bahasa dengan pelajar/mahasiswa yang kebanyakan dari mereka adalah orang Bali. Selain itu, perekonomian masyarakat tumbuh dan berkembang dengan pesat sehingga peningkatan transaksi dagang juga berperan atas terjadinya dinamika kebahasaan. Berdasarkan kenyataan tersebut, pada periode kedua yang ditandai oleh kontak bahasa yang semakin intens, dapat dikatakan bahwa kontak bahasa yang menghasilkan dinamika kebahasaan itu mengandung makna bahwa penguasaan bahasa Bali itu penting sebagai alat komunikasi umum. Hal ini disebabkan tidak dipahaminya secara baik dialek Nusa Penida oleh orang Bali. Periode 1999—2015 Pada periode ketiga, 16 tahun terakhir, dari tahun 1989 sampai dengan tahun 2015, terutama warga masyarakat kalangan ―atas‖ memandang kemampuan berbahasa Bali mereka sebagai sebuah ―prestise‖, dapat mengangkat posisi sosial mereka. Hal ini sesuai dengan paradigma Struktural Konstruktif, seperti yang telah dikemukakan di atas. Dengan demikian, makna dinamika kebahasaan di sini, yang ditandai oleh penguasaan bahasa Bali dengan baik dan benar, adalah sebuah kebutuhan. Peran surat kabar, seperti harian Bali Post, yang secara rutin memuat ―rubrik‖ berbahasa Bali, ikut berpartisipasi dalam pemasyarakatan bahasa Bali. Harian ini tersebar pemasarannya sampai ke Nusa Penida. Dimensi Budaya Dimensi budaya adalah ruang tempat sekelompok individu beraktivitas dalam kaitannya dengan budaya. Bali, termasuk Nusa Penida, memiliki sejumlah pranata budaya sebagai tempat individu berkiprah untuk memajukan kebudayaan Bali pada umumnya. Periode 1965--1981
86
ISSN 2442-3475
Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)
Pada periode pertama, dalam kurun waktu 16 tahun, dari tahun 1965 sampai dengan 1981, dapat dilihat dinamika kebahasaan yang terjadi masih terbatas pada orangorang tertentu. Pemimpin upacara (pemangku) di pura keluarga ataupun pura umum (pura puseh, penataran agung, pura dalem ) wajib menggunakan bahasa Bali (halus). Manteramantera yang dilantunkan dengan bahasa Bali bercampur bahasa Jawa Kuna (Kawi) diyakini lebih mustajab daripada dalam dialek Nusa Penida. Periode 1982--1998 Pada periode kedua, dalam kurun waktu 16 tahun berikutnya, dari tahun 1982 sampai dengan tahun 1998, pemerintah daerah Bali mulai memasyaratkan kegiatan, seperti lomba mabebasan, pidato bahasa Bali, pesantian, dan makekidungan. Para pelaku seni pertunjukan, seperti arja, drama gong, wayang kulit, dan babondresan wajib pula menguasai bahasa Bali umum. Pernah terjadi sebuah kasus, pertunjukan drama gong di Banjar Tanahbias, Desa Ped, sekitar tahun 1970-an, seperti yang telah disinggung di atas, bahwa umumnya warga masyarakat Nusa Penida ―bangga‖ jika orang-orang tertentu dalam kelompok mereka mampu menggunakan bahasa Bali, terutama secara lisan, meskipun mereka sendiri tidak mampu. Dengan demikian, makna yang tersirat dari dinamika kebahasaan pada periode 16 tahun kedua ialah mulainya intensitas pembelajaran bahasa Bali untuk tujuan yang berkaitan dengan budaya. Kenyataan ini pula yang mendorong penguatan terhadap dinamika kebahasaan pada masyarakat Nusa Penida. Periode 1999--2015 Pada periode ketiga, dalam kurun waktu 16 tahun terakhir, dari tahun 1999 sampai dengan 2015, dinamika kebahasaan yang terjadi tampaknya sudah stabil. Para siswa tampak bergairah mengikuti lomba-lomba, seperti lomba pidato bahasa Bali, lomba lagu daerah Bali, lomba masatwa (bercerita) dalam bahasa Bali, dan lomba menulis cerpen dalam bahasa Bali. Pergelaran Pesta Kesenian Bali (PKB) yang diselenggarakan tiap tahun menjadi ajang unjuk kemampuan berbahasa Bali, yang dalam waktu-waktu tertentu dilakukan siaran ulang oleh stasiun televise setempat. Selain itu, kebijakan bahasa nasional kita mengisyaratkan bahwa bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada tingkat sekolah dasar sampai dengan kelas tiga. Hal ini berarti bahwa tidak ada keragu-raguan lagi bahwa dalam dinamika kebahasaan pada masyarakat Nusa Penida itu terjadi pengaruh bahasa Bali atas dialek bahasa yang bersangkutan. Akan tetapi, dinamika kebahasaan itu jangan sampai menghilangkan ―kekhasan linguistik‖ pada dialek bahasa yang bersangkutan, sebagaimana yang diinginkan dalam paradigma PosStrukturalisme. Dimensi Lingkungan Dimensi lingkungan adalah ruang tempat sekelompok individu beraktivitas untuk memenuhi kehidupan mereka sehari-hari. Lingkungan di sini dikaitkan dengan keadaan fisik/geografi Pulau Nusa Penida. Seperti yang tampak dalam Peta Pulau Bali (lihat Lampiran: Peta Pulau Bali), Pulau Nusa Penida terletak di sebelah tenggara pulau tersebut, dengan jarak tempuh laut sekitar 40.000 mil (Belanda: 1 mil=1000 meter). Dari 13 desa yang ada, dan termasuk dalam satu kecamatan, hanya empat desa yang terletak di sepanjang pantai pesisir utara, yaitu Desa Ped, Desa Kutampi, Desa Batununggul, dan Desa Suana, ini pun hanya beberapa banjar yang terletak dipantai. Sementara itu, satu desa, yaitu Desa Toyapakeh, notabene bukan penduduk asli, kemungkinan warga desa (akrab disebut kampung)-nya berasal dari luar Nusa Penida. Dua desa lainnya, yakni
87
ISSN 2442-3475
Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)
Desa Lembongan dan Desa Jungutbatu, terletak di Pulau Nusa Lembongan dan sebagian warga Desa Lembongan menghuni Pulau Nusa Ceningan, yang terletak di sebelah barat Pulau Nusa Penida. Seperti juga kedua dimensi yang telah dikemukakan di atas, lingkungan (fisik) Pulau Nusa Penida juga mengalami perubahan. Selama sekitar setengah abad, perubahan yang terlihat juga bertahap/bergelombang menurut periodisasi , seperti yang telah digambarkan di atas. Periode 1965--1981 Sebagian besar penduduk Nusa Penida mendiami daerah perbukitan dan batas paling selatan, barat dan timur berupa batu karang yang terjal. Sebelumnya, jalan-jalan dalam pulau yang menghubungkan desa-desa tidak bisa dilalui sepeda/sepeda motor apalagi mobil. Warga pegunungan memerlukan waktu sekitar dua jam dengan berjalan kaki jika mereka ingin pergi ke Pasar Mentigi (letaknya di timur) dab Pasar Toyepakeh (letaknya di Barat). Karena kondisi lingkungan yang seperti itu, mobilitas masyarakat sangat terbatas. Kecuali para saudagar, pedagang pasar, dan pemilik toko yang jumlahnya hanya beberapa, umumnya warga masyarakat hampir tidak pernah meninggalkan desanya pergi ke luar pulau. Namun, sejumlah anak sekolah menengah pertama dan atas dan dua-tiga mahasiswa secara periodik pulang-pergi Nusa Penida-Bali. Selain itu, guru-guru sekolah dasar yang berasal dari Bali, kecuali terpaksa karena aturan, akan berpikir ulang untuk bertugas di Nusa Penida. Hal ini kemungkinan disebabkan transportasi laut yang belum bagus, atau, ada pemikiran lain seperti ―rasa takut‖ akan kena santet karena Nusa Penida dikenal sebagai daerah yang ―angker‖, atau, tidak mau ditempatkan di daerah pegunungan. Para petugas medis yang berasal dari Bali juga seperti itu. Dengan demikian, dinamika kebahasaan yang terjadi belum tampak intensitasnya sehingga dapat dikatakan bahwa pengaruh bahasa Bali atas dialek Nusa Penida belum begitu kelihatan dengan jelas. Hal ini membuat kebijakan pemerintah daerah dalam rangka pemasyarakatan bahasa Bali juga tidak berjalan dengan lancar. Periode 1982—1998 Baru sekitar tahun 1980-an dilakukan pengaspalan jalan dan baru bisa dilalui kendaraan. Demikian pula transportasi laut makin baik dengan adanya speed boat dengan jumlah yang memadai. Dengan kondisi seperti itu, orang lebih sering pulang-pergi Nusa Penida-Bali. Selain pelajar dan mahasiswa yang secara periodik pulang-pergi, warga yang paling sering pulang-pergi ialah mereka yang menekuni bisnis, seperti saudagar sapi, babi, dan ayam, pedagang pasar atau toko yang membeli barang dagangannya ke Kota Klungkung atau Badung/Denpasar. Mereka ini berusaha menyesuaikan diri dengan ber―alih kode‖ seadanya. Sebaliknya, penduduk yang sebagian besar menekuni pekerjaan bertani lahan kering/ladang, dan sekarang ada yang bertani rumput laut di pantai utara, hampir tidak pernah pergi ke luar pulau. Kondisi seperti itu memungkinkan penutur dialek Nusa Penida tetap menggunakan dialek bahasanya sebagai alat komunikasi sehari-hari. Jadi, penutur yang sebagian besar tergolong kaum ―primordial‖ inilah yang berperan menjaga ―kekhasan linguistik‖ yang dimiliki dialek Nusa Penida, sebagaimana yang dianut oleh kaum Pos-Strukturalis. Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, warga masyarakat bangga mendengar jika warganya mampu berbahasa Bali, namun kebanggaan itu tidak disertai oleh sebagian besar warga untuk menguasai bahasa Bali. Hal ini menjadi penting bagi kelangsungan hidup dialek yang bersangkutan agar ―kekhasan linguistik‖ yang dimasudkan di atas tetap bertahan.
88
ISSN 2442-3475
Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)
Periode 1999-2015 Keadaan masyarakat Nusa Penida makin hari makin baik seiring dengan perubahan lingkungan. Jalan-jalan dalam pulau makin bagus. Pada penghujung tahun 2006, pelabuhan laut di panatai Mentigi, dekat kota kecamatan, telah selesai dibangun dan segera diresmikan pengoperasiaannya, dari dan ke pelabuhan laut Padangbai di Kabupaten Karangasem. Hal ini menambah dinamika sosial yang terjadi semakin intens. Pada tahun 2015 dan memasuki tahun 2016, di pantai Gunaksa, Kabupaten Klungkung, telah selesai dibangun pelabuhan laut yang beroperasi dari dan ke pelabuhan Mentigi, Nusa Penida. Perubahan yang besar terjadi di Pulau Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan. Sekitar tahun 2000-an, pariwisata telah mengubah wajah pulau yang kering itu, namun pantai utara dan timurnya dipenuhi pohon bakau (mangrove). Hotel, bungalow, penginapan menghiasi pulau itu, dan pelayanan berlangsung dengan menggunakan bahasa asing (terutama bahasa Inggris). Namun, karyawan yang berasal dari Bali akan berbahasa Bali dengan orang Nusa Penida. Perubahan lainnya ditandai oleh sarana pendidikan yang makin baik. Sekolah menengah pertama dan atas bertambah jumlahnya, dan sejumlah guru dari Bali bertugas di sekolah-sekolah yang bersangkutan. Puskesmas sekarang ada di setiap desa, dan sejumlah para medis yang berasal dari bersedia ditempatkan di Nusa Penida. Hal ini semuanya mendorong terjadinya dinamika bahasa pada masyarakat Nusa Penida. Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, orang Nusa Penida merasa bangga melihat sebagian dari warganya dapat berbahasa Bali. Akan tetapi, pada umumnya mereka tidak tersentuh oleh kontak bahasa. Dengan demikian, mereka ikut ―berjasa‖ dalam menjaga kekhasan linguistik dialek yang hidup di Pulau Nusa Penida. SIMPULAN Situasi kebahasaan pada masyarakat Nusa Penida memperlihatkan keunikan tersendiri. Di dalamnya terjadi ―pertarungan‖ antara dua golongan yang berbeda. Golongan elite, untuk ukuran masyarakat di sana, merasa perlu menguasai bahasa Bali. Sebaliknya, golongan primordial tetap mempertahankan norma yang dimiliki walaupun karena hal itu mereka harus mengorbankan perasaan. Bahasa mereka sering menjadi olok-olokan, dan mereka merasa malu. Golongan elite berusaha terus menguasai bahasa Bali, sedangkan golongan primordial tetap bergeming, meskipun mereka bangga melihat sebagian warganya mampu berbahasa Bali. Teori Sosiolinguistik dan Linguistik Struktural melihat dinamika kebahasaan pada masyarakat Nusa Penida itu sebagai ―kontras‖ antara bahasa baku dan non-baku. Sebaliknya, Teori Pos-Struktural melihat dinamika kebahasaan pada masyarakat yang bersangkutan bukan ―kontras‖, melainkan ―kekhasan linguistik‖. Sementara itu, Teori Struktural Konstruktif melihat perebutan posisi/status sosial yang terjadi atas penguasaan bahasa Bali sebagai ―pasar bahasa‖ dengan aturan formasi bahasa, yang dilirik oleh golongan elite. Dinamika kebahasaan telah terjadi pada masyarakat Nusa Penida karena ada kepentingan tertentu. Golongan elite berusaha menguasai bahasa Bali karena didorong oleh prestise/status sosial dalam masyarakat, sebaliknya olongan primordial tidak mengharapkan hal ini. Hal ini berpengaruh positif pada kebijakan kebahasaan seluruh dunia agar bahasa-bahasa daerah tetap dijaga kelestariannya. DAFTAR PUSTAKA Bagus, I G.N. 1979. ―Pemakaian Bentuk Hormat dalam Bahasa Bali: Sebuah Pendekatan Etnografi Berbahasa‖ (disertasi). Jakarta: Universitas Indonesia.
89
ISSN 2442-3475
Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)
Bawa, I W. dan I W. Jendra. 1981. Struktur Bahasa Bali. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Darma Laksana, I K. 2006. ―Ciri Migrasi Fonem /h/ Bahasa Jawa Kuna pada Dialek Nusa Penida‖. Makalah yang disampaikan dalam Seminar Internasional Migrasi Bahasa Ausstronesia, tanggal 14—16 September, Hotel Mercure Ancol, Jakarta, diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan. Darma Laksana, I K. 1977. ―Morfologi Dialek Nusa Penida‖ (skripsi sarjana muda). Denpasar: Universitas Udayana. Duranti, A. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press. Foley, W.A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. Oxford: Blackwell Publishers. Holmes, J. 1992. An Introduction to Sociolinguitics. London: Longman. Hymes, D. 1972. ―Toward Ethnographics of Communication: The Alalysis Communicative Events‖. Dalam: Giglioli, P., ed. Language in Social Context. Harmondsworth: Penguin. Kridalaksana, H. 1988. Beberapa Perpaduan Leksem dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Trudgill, P. ed. 1983. Sociolinguistics. Second edition. Harmondsworth: Penguin. Verschueren, J.J. et al. 199. Handbook of Pragmatics. Amsterdam: John Benjamin. Yusuf Lubis, A. 2014. Postmodernisme: Teori dan Metode. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
90