L
Jurnal Kajian Sosial Interdisipliner
BINADARMA • Diterbitkan oleh Yayasan Bina Darma dan Fakultas llmu Sosial dan Politik (FISIPOL) Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), sebagai Media pencerah dan pemberdaya masyarakat atas dasar kasih dan perdamaian.Terbit pada bulan Januari, Mei, dan September. • Bina Darma menerima sumbangan tulisan (karangan) dari siapa saja yang bersedia menyumbangkan gagasan pemberdaya masyarakat secara bebas dan kreatif. Naskah karangan yang dimuat akan diberi imbalan.dan bagi karangan yang diminta secara khusus akan disediakan honorarium. • Naskah tulisan diketik dalam MS Word dengan jarak satu setengah spasi di kertas A4 sebanyak-banyaknya 15 halaman dan sekurang-kurangnya 8 halaman. Diserahkan dalam bentuk cetak dan disket atau CD. • Catatan penjelas dan atau sumber kutipan ditulis dalam endnote. • Setiap tulisan, disertai Abstrak dan Kata Kunci. • Seluruh sumber yang digunakan mohon diinformasikan dalam Daftar Pustaka. • Mohon berkenan menyertakan CV (maksimal 5 kalimat), Bank account, alamat rumah atau alamat (nomor) kontak paling mudah, • Redaksi berhak menyingkat dan memperbaiki karangan yang akan dimuat tanpa mengubah maksud isinya. • Tulisan dalam Jurnal Kajian Sosial Interdisipliner Bina Darma tidak selalu selaras atau mencerminkan pendapat Yayasan Bina Darma dan FISIPOL UKSW.
Pemimpin Umum/Penanggung Jawab: Semuel S. Lusi John Lahade Dewan Redaksi; Ketua: Izak Y.M. Lattu Anggota: Mianto N. Agung, Pamerdi Giriwiloso, Neil S. Rupidara, Rini Darmastuti, Sri Suwartiningsih Dewan Redaksi Tamu: June Salvatore Lalisang (St Seholastica College, Philipiness) Puspa Joseph (Madrash University, India) Nico Schulte-Nordholt (University Of Twente, Ensehede) Liek Wilardjo (Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga) Kutut Suwondo (Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga) Redaktur Pelaksana: Mianto Nugroho Agung Artistik dan Lay out: Sukrisna Administrasi: Sirkulasi: Liliek E. Missy Keuangan: Purwatiningsih Alamat Redaksi: Yayasan Bina Darma, Ds. Sawo, Bugel, Kec. Sidorejo, Salatiga, JATENG PO Box 155 Salatiga 50701 Telp./Fax.: (0298) 321875, 322082 E-mail:
[email protected] atau
[email protected] Rekening: BNI 46 Salatiga No. 137.000583812.901
BINA DARMA
Vol. XXV 74, September 2007 Vol. XXV,
BINA DARMA
,
ISSN: ISSN; 0215-5052
PENGANTAR 01. Dari Redaksi 02. Topik: Menegaskan Jati Diri Perempuan Indonesia
154 155
KAJIAN TEMA 03. Putnawati, Perempuan Indonesia di Wilayah Domestik: antara Mitos dan Realitas Realitas 04. Farsijana -Risakotta, Jati diri Perempuan dalam Wilayah Publik Farsijana Adene\ Adeney-Risakotta, 05. Agnes Widanti, Jatidiri Gerakan Perempuan Indonesia 06. Rini Rim Darmastuti, Media dan Penegasan Jati Diri Perempuan Indonesia 07. Siti Musdah Mulia, Posisi dan Kedudukan Perempuan dalam Islam 08. Mariska Lauterboom, Pelacuran Suci (Konsep Pelacuran menurut Kisah Perempuan Bemama Bernama Rahab dalam Yosua 2:1-24 sebagai bagian Sejarah Deuteronomis) 09. Irene Ludji, Ideologi Gender dalam Perspektif Teologi Feminis dan 09.Irene Sosialisasinya dalam Keluarga dalam PerspektifChodorow
158 167 177 185 193 209
111 227
PEMBICARAAN BUKU GustiMenoh Perempuan Indonesia dan Sejarah 11. Roubrenda Ralahallo & GustiMenoh,
240
Penulis Nomor Nomor Ini Ini Penulis
246
,
Ilustrasi Cover oleh Mianto Nugroho Agung sendiri di tengahKeterangan cover, cover perempuan kadang berada dalam situasi 'sendiri' tengah hiruk-pikuk eksistensi dan entitas lain termasuk ketika hams harus menjadi korban. '
'
,
153 153
Juraal Kajian Sosial Interdisipliner BINA DARMA, Vol. XXV No. 74, September 2007
Dari Redaksi
Salam jumpa pembaca yang budiman. Carut marut kehidupan perempuan di Indonesia sebagai akibat budaya laki-laki dominan terus saja mengakibatkan korban bertumbangan. Undang-undang PKDRT temyata tidak terlalu atau belum?-memberi efek jera apalagi takut pada para penganiaya perempuan. Padahal, peijuangan penegakkn penyadaran gender dan gender equity semakin galak dilakukan segenap komponen masyarakat yang peduli terhadap masa depan kehidupan ini. Belum lagi pelaku, skala keluasannya, daya dobraknya, instrumen hukumnya, maupun hal-hal yang mendukung proses perjuangan itu juga meningkat. Namun, korban terus saja berjatuhan. Terakhir bahkan terjadi kekerasan terhadap pramugari oleh pilotnya sendiri di mess mereka (Kompas, 27.9). Kekerasan yang diklaim Kristina dilakukan suaminya yang anggota DPR juga belum tuntas. Sementara itu grassroot, kekerasan terhadap perempuan terus saja meningkat. Sepertinya 'kekuatan' gerakan perempuan dan peningkatan kekerasan terhadap perempuan berjalan limer. Ada apa dengan ini semua? Pertanyaan itu merupakan pintu masuk pergumulan Jumal Bina Darma kali ini. Sebenamya tema ini hendak kami angkat pada April atau Desember. Namun
154
nampaknya pada momentum Aprilan dan Desemberan telah dan bahkan akan lebih banyak diisi dengan aktivitas keperempuanan. Hampir bisa dipastikan, baik media massa, aktivitas lembaga, maupun respon masyarakat berkisar pada keperempuanan ini pada bulan April dan Desember itu. Sementara, di sisi lain, pada bulan-bulan lain perhatian ke bidang ini mengendor signivikan. Karena itu ada baiknya kita memasuki topik ini dengan kesadaran bahwa pusat perhatian terhadap peijuangan pnyadaran gender mesti harus ditegakkan setiap waktu di setiap tempat entaholeh siapapin. Respon positif apalagi tertulus untuk memasuki wacana berpolemik sungguh sangat kami harapkan. Biarlah dengan demikian budaya akademis (hanya yang ini dalam format populer) tetap hidup dan kita hidup-hidupkan. Perhatian semacam itu akan menjadikan kehadiran kita lebih bermakna. Sebab, dengan demikian tanggung jawab intelektual kita untuk mengembangkan bidang ilmu kita terjaga bahkan terproses dengan lebih kompetitif dan mudah-mudahan berdampak signifikan terhadap kemajuan kinerja kita sendiri-sendiri. Jika semua itu berpadanan dengan segenap pembaca, terima kasih, itu artinya salah satu tujuan kami tercapai. Selamat membaca.
Topik: Menegaskan Jati Diri Perempuan Indonesia,
Menegaskan Jati Diri Perempuan Indonesia
Sebagian besar perempuan-awam tidak pemah menyebut 'Ibu Rumah Tangga' sebagai sebuah pekerjaan. Padahal lingkup pekerjaan domestik itu telah diakui sebagai begitu beratnya. Meski begitu, karena telanjur dianggap bukan jenis pekeijaan, maka tidak pernah diperhitungkan kontraprestasinya. Jadilah perempuan berkalang aneka beban: isteri, ibu, pekeija rumah tangga, konselor keluarga, suster/perawat keluarga, humas keluarga, pramuwisma, dan lain-lain dengan jam kerja minimal 15 jam sehari tanpa libur atau cuti. Jangankan hak, bahkan setiap hari mereka mengalami atau terancam KDRT hingga tingkat paling buruk. Bagaimana masalah ini hendak diluruskan? Siapa para aktor atau pemangku kepentingan {stake holder) yang perlu 'digarap'? Apa hakekat jati diri perempuan di wilayah domestik? Perlukah peijuangan konstitusional (perlindungan dan pengakuan atas jenis pekerjaan tersebut setara dengan pekerjaan yang lain, misalnya)? Apa yang harus dilakukan terhadap masyarakat yang notabene adalah 'pemilik' dan 'pelaku aktif budaya menafikan pekerjaan domestik ini? Meski makin meningkat jumlah perempuan yang berkarya di wilayah publik namun belum diikuti dengan meningkatnya kualitas dan keragaman karya. Bahkan secara anekdotis kehadiran perempuan diakomodasi dengan 'watnn
wedok' (Jw, asal perempuan) yang jelasjelas melecehkan. Wilayah publik pun tidak sepenuhnya diikhlaskan masyarakat atau bisa direbut perempuan. Seringkali kehadiran perempuan dianggap pesaing dan perusak sistem rekrutmen sehingga sikap perlawanan masyarakat khususnya laki-laki meningkat. Ini tentu merupakan salah satu masalah bagi perempuan terutama ketika jati diri mereka sedang dibangun agar bisa eksis dan bersinergi dengan potensi lainnya. Seperti apa jati diri perempuan Indonesia di wilayah publik ini? Siapa lawan dan kawan perempuan? Bagaimana mendudukkan secara proporsional {win-win solution) agar kehadiran perempuan bemilai positif? Wilayah-wilayah publik mana saja yang ramah (sekaligus juga yang rawan) dimasuki perempuan? Bagaimana perempuan harus melangkah memasuki wilayah publik ini (berjaringan, berorganisasi, belajar formal, berpartai, berterima, atau ...)? Mahfum kita ketahui bahwa sejak perjuangan pra kemerdekaan digalang hingga di era ini, kiprah dan karya perempuan turut berperan. Terutama pula jika ditilik adanya organisasi-organisasi perempuan dari zaman ke zaman hingga zaman ini. Fatayat NU, PWKI, IWAPI, Dharma Wanita, Persit, Wanitatama, Lasykar Wanita, WKRI, Warn, PRW, WSII, Wanita Taman Siswa, WPI, dan lain-lain. 155
JurnalKajianSosiallnterdisipliner BINA DARMA, Vo!. XX\( No. 74, September 2007 Bahkan 'mendiang' Gerwani pernah menjadi sangat fenomenal. Kini kita kenal Bhineka Tunggal Ika, KPP1, Merah Putih, dan lain-lain yang memberikan wama dinamika 'pembangunan' Indonesia, (harap dicatat, selain organisasi perempuan1 juga ada organisasi untuk perempuan , organisasi untuk kesetaraan gender'). Sehingga, harus diakui bahwa kehadiran perempuan dan organisasinya mampu memberikan kontribusi positif bagi arah perjalanan berbangsa dan bemegara. Mereka juga pendekar HAM yang gigih berjuang. Meski demikian, laju perbaikan nasib perempuan masih lambat. Ada dua kemungkinan (dugaan) besar, pertama, perjuangan perempuan dilakukan sporadis, sepihak, dan tidak bersinergi di antara organisasi-organisasi perempuan sendiri maupun dengan masyarakat terutama lelaki. Kedua, kokohnya 'tembok' patriarkhal dan daya resistensi masyarakat terutama laki-laki, Jika keduanya tidak, maka menjadi pertanyaan besar; apa itu? Lalu, hendak ke mana perjuangan gerakan organisasi perempuan? Apa visi, misi, tujuan, sasaran, dan program utama mereka? Bagaimana kiprahnya? Harus diakui, penegasan jati diri perempuan harus diperkenalkan, disosialisasikan, dipasarkan, dan diawasi sedemikian rupa agar gerak kemajuannya bisa dipercepat dan masih dalam rel yang diinginkan. Penegasan yang demikian akan jauh lebih efektif ketika media massa apapun- bisa digunakan. Secara internal, syaratnya, konsolidasi demi soliditas sudah seharusnya lebih mantap. Sehingga, perjuangan penegasan jati diri perempuan bisa dicitrakan secara positif oleh media massa. Ini memerlukan kecakapan tersendiri. Nah, kecakapan-kecakapan apakah itu? Bagaimana sebenamya filosofi 156
kemassmediaan di Indonesia ini khususnya jika harus disangkut-pautkan dengan kepentingan penegasan jati diri perempuan Indonesia? Dimensi-dimensi komunikasi, pu-rel (humas), iklan, publisitas, dan marketing seperti apa yang perlu dipahami agar perjuangan penegasan lebih efektif lagi? Kebudayaan yang menjadi seting hidup perempuan di Indonesia tak pelak lagi adalah Kebudayaan-Lelaki-Dominan. Sehingga kebudayaan seperti itulah yang harus dikritisi karena jelas sangat merugikan tidak saja perempuan tetapi juga kemanusiaan pada umumnya. Sepertinya terdapat beraneka faktor yang menyebabkan kebudayaan demikian masih bisa hidup di Indonesia. Apakah itu? Jika dicermati, unsur penting yang memperlemah kinerja kiprah, dan karya perempuan Indonesia yang dirugikan oleh kebudayaan ini adalah pendidikan. Pendidikan perempuan secara rata-rata tertinggal dibanding rata-rata pendidikan lelaki. Itulah sebabnya perempuan juga tertinggal. Ditambah lagi terdapat agamawan yang secara keliru menafsir ayat-ayat kitab agama, sehingga sangat merugikan perempuan. Nah, strategi kebudayaan (bdk. Van Puersen) seperti apa yang ramah gender itu? Bagaimana mencelikkan mata masyarakat agar tahu bahwa perempuan itu juga manusia sehingga perlu diakui hak-haknya? Elemen-elemen kebudayaan seperti apa yang rentan dan tahan di dalam memasuki wacana (diskursus) ini? Bagaimana prospek perempuan untuk bisa memasuki budaya yang merugikan ini sehingga jati dirinya diakui? Lambatnya kiprah perempuan sebagian juga disebabkan adanya ajaranajaran agama yang keliru diperkenalkan
Topik: Menegaskan Jati Diri Perempuan Indonesia, kcpada mereka oleh para ulama. Apalagi jika perempuan tidak pemah memiliki kesempatan mendapatkan informasi nilainilai agama yang benar. Perempuan dihadapkankeduapilihandilematis:harus aktif di wilayah domestik atari publik. Sebab, sangat sedikit peluang untuk berkiprah di dua wilayah itu secara bersamaan, seimbang, dan berprestasi. Perempuan di persimpangan jalan: melawan atau berkawan, melaju atau berhenti, tersubordinasi atau bebas, dan lain-lain. Status ini sangat kontraproduktif dan karena itu perlu dilawan. Setidaknya diciptakan argumentasi yang manusiawi untuk memihak salah satu pilihan. Jika harus di wilayah domestik atau publik pun tetap sah dan benar sepanjang ada kesempatan dan kebebasan bagi perempuan untuk memilih. Masalahnya, dengan cara apa argumentasi manusiawi itu didapat ketika budaya patriarkhal demikian kuat? Bagaimana keadaan itu bisa diubah? Apa alat perlengkapan untuk perubahan itu? Apa resiko, keuntungan,
dan masa depan perempuan? Siapa kawan seiring yang loyal, sabar, kuat, dan ikhlas untukdiajakberjuang? Apa dasar teologisnya ketika pejuang perempuan membutuhkannya untuk menegaskan jati diri perempuan? Bagaimana proses subordinasi perempuan yang menggunakan ayat-ayat kitab suci? Bagian-bagian mana saja dari kitab suci yang sering digunakan untuk meminggirkan perempuan? Dengan cara apa hingga peminggiran itu terjadi? Apa yang telah dilakukan para teolog untuk memperbaiki keadaan itu? Seberapa besar kemungkinan terjadi revolusi paradigmatis atas tafsir ayat-ayat yang telah diselewengkan itu? Apa yang harus dilakukan agar masa depan yang akan dimasuki bersama lelaki dan perempuantidak lagi bias gender? Apa kontribusi paling signifikan dari landasan teologis ini bagi penegasan jati diri ini? Adakah landasan lain yang turutandil menghambat atau mendorong upaya ini(MNA)
Endnote 1. Didirikan, diurus, beranggotakan perempuan, dan programnya untuk perempuan anggotanya. 2. Didirikan siapapun, diurus oleh kebanyakan perempuan, beranggotakan bebas, programnya kebanyakan untuk perempuan. 3. Didirkan dan diurus siapapun, beranggotakan bebas atau tanpa ikatan keanggotaan, programnya ditujukan kepada laki-laki dan perempuan untuk menghilangkan bias gender.
157