525
i
JURNAL ILMU BUDAYA ISSN 2354-7294 Volume 3, Nomor 2, Desember 2015, hlm 525 - 617
DAFTAR ISI Unsur Serapan Asing Pada Judul-Judul Berita Di Harian Kompas, Prasuri Kuswarini, Jurusan Sastra Prancis-Universitas Hasanuddin
525 – 539
The West Domination Towards The East In Lifebuoy Clini-Shield 10 Advertisement: Orientalism Study Mirza Fathima Jauhar Kamalia, Faculty of Humanities, Airlangga University, Surabaya
540 – 547
Perselingkuhan Dan Kesetiaan Dalam Sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖ (Suatu Studi Analisis Komunikasi Keluarga Dalam Perspektif Semiotika) Dwi Ratnasari, Jurusan Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Hafied Cangara, Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, Muhammad Hasyim, Jurusan Sastra Perancis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin
548 – 567
Reality Show Inspektur Igun: Mata-Mata Kekuasaan Dan Normalisasi Tubuh Modern Andi Faisal, Mahasiswa S3 Kajian Budaya dan Media, Universitas Gadjah Mada Dan Dosen Jurusan Sastra Perancis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin
568 – 578
Format Produksi Desain Baju Kaos Aco Di Makassar Absri, Program Studi Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin Stanislaus Sandarupa, Jurusan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Gusnawaty, Jurusan Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin
579 – 584
Petualangan Tokoh Baldassare Dalam Roman Le Périple De Baldassare Karya Amin Maalouf (Suatu Kajian Struktur Aktansial) Sitti Mutmainnah, Jurusan Sastra Perancis Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin, Prasuri Kuswarini, Jurusan Sastra Perancis Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin
585 – 596
Analisis Struktur Aktansial Dan Fungsional Dalam Voyage Au Centre De La Terre Karya Jules Verne
597 – 608
ii
Nirwan, Mahasiswa S1 Jurusan Sastra Prancis Fakultas Imu Budaya Universtas Hasanuddin, Ade Yolanda Latjub, Jurusan Sastra Prancis Fakultas Imu Budaya Universtas Hasanuddin, Mardi Adi Armin, Jurusan Sastra Prancis Fakultas Imu Budaya Universtas Hasanuddin Teacher‘s Role In Teaching English As A Foreign Language Dr. Suhartina. R, M.Hum, STKIP YAPIM Maros
609 – 617
525 |
JURNAL IMU BUDAYA
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
UNSUR SERAPAN ASING PADA JUDUL-JUDUL BERITA DI HARIAN KOMPAS Prasuri Kuswarini Jurusan Sastra Prancis-Universitas Hasanuddin prasurikuswarini@gmail .com Abstract This article reviews the results of a small study of how often the absorption of foreign language used in the headlines of the newspaper KOMPAS, and whether the use of the the absorption in accordance with the rules of bahasa Indonesia, as well as needed or not. The method used in this study is qualitative. Data in the form of headlines were collected from KOMPAS, edition of March 2010. The analysis is based on the rules of the absorption of foreign language in bahasa Indonesia, and based on objective assessment whether the use of absorbed foreign words can meet or even exceed the limits of reasonableness. The results showed: the frequency of the use of absorbed words at the headlines of KOMPAS is very high, but still in accordance with the spelling rules of bahasa Indonesia. Keywords: headline, news, absorption elements, rules, fairness
A. PENDAHULUAN I. Latar Belakang Harian KOMPAS adalah surat kabar nasional yang cukup berpengaruh, baik secara ideologis maupun kebahasaan. Cara harian ini menyajikan berita, menampilkan pendapat para pakar tentang keadaan atau gejala-gejala terbaru yang muncul di masyarakat, dan menanggapinya dengan memberikan kesan tidak memihak kelompok atau tokoh tertentu, misalnya dalam ruang Tajuk Rencana. Penggunaan kaidah bahasa Indonesia yang benar, menjadikan KOMPAS harian yang berwibawa. Dengan capaian seperti itu, selain berwibawa, KOMPAS juga menjadi acuan, baik untuk cara penyampaian berita, maupun bagi ketertiban penggunaan kaidah bahasa Indonesia. Namun, apakah semua yang disajikan harian tersebut dapat dinikmati oleh pembaca dari berbagai kalangan? Mari kita perhatikan beberapa judul berita di harian KOMPAS berikut:
a.
Tips menghindari Bullying (Kolom Muda, hal. 37, 19 Maret 2010) b. Tidak ada Mutasi Gen di Tanaman Transgenik (Bisnis & Keuangan, hal. 17, 24 Maret 2010) c. Demografi Menjadi Isu Serius (Internasional, hal. 11, 26 Maret 2010) Contoh di atas memperlihatkan pada kita betapa kuatnya unsur serapan, terutama yang berasal dari bahasa Inggris, mendesak kosa kata bahasa Indonesia. Adjat Sakri, mantan kepala penerbit ITB, Bandung, dalam buku Ilmuwan dan Bahasa Indonesia: Menyambut 60 Tahun Sumpah Pemuda (1993:4) mengutip penjelasan dari sebuah buku tentang bahasa Indonesia yang berbunyi: Simulfiks adalah afiks yang dimanifestasikan dengan ciri-ciri segmental yang dileburkan pada bentuk dasar. Dalam bahasa Indonesia simulfiks dimanifestasikan dengan nasalisasi dari fonem pertama suatu bentuk dasar dan fungsinya ialah memverbalkan nomina, ajektiva, atau kelas kata lain.
526 |
JURNAL IMU BUDAYA
Kutipan tersebut berisi barisan kata-kata serapan yang penggunaannya dapat saja dilandasi alasan ilmiah, yaitu karena itu adalah pernyataan keilmuan yang khas, yang menuntut penggunaan peristilahan yang berlaku secara internasional. Namun, apakah seluruh serapan asing yang ada dalam kutipan tersebut tidak dapat digantikan dengan kata-kata yang berasal dari kosa kata bahasa Indonesia, mengingat itu adalah pernyataan yang berkaitan dengan bahasa Indonesia? Bila kalimat dalam kutipan di atas dianggap tidak akan menimbulkan masalah, karena pembacanya berasal dari suatu kelompok kecil tertentu, lalu bagaimana dengan contoh judul-judul yang ada pada harian KOMPAS, yang pembacanya berasal dari kalangan yang lebih beragam? Apakah semua pembaca harian ini dapat memahami semua serapan asing yang digunakan? Bahasa asing yang akhir-akhir ini sangat berpengaruh pada perkembangan bahasa Indonesia adalah bahasa Inggris. Hal tersebut kemungkinan besar terjadi, karena penutur bahasa Inggris keluar sebagai pemenang perang dunia kedua dan menjadi bangsa yang paling berpengaruh dalam percaturan politik dan teknologi. Selain itu, bahasa Inggris juga merupakan bahasa asing yang diutamakan sebagai sumber pengembangan bahasa Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan pengembangan tata istilah keilmuan (Alwi & Sugono, ed. 2003:7). Namun pengaruh bahasa Inggris ini dirasakan semakin lama semakin mengkhawatirkan, karena penggunaannya yang cenderung berlebihan dan seringkali tidak tepat. Smithies, seorang peneliti bahasa Indonesia, pada tahun 1982 menuliskan kekhawatirannya tentang perkembangan bahasa Indonesia sebagai berikut: Kecenderungan untuk menggunakan kata Inggris, yang sebetulnya ada padanannya dalam bahasa Indonesia, menunjukkan
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
tanda semakin meningkat ketimbang sebaliknya. Orang jadi bertanya-tanya tidakkah nanti bahasa Indonesia jadi sederet akar kata benda dan kata kerja bahasa Inggris yang dirangkai sesamanya dengan kata depan dan kata hubung bahasa Indonesia, dan diperkaya dengan beberapa imbuhan bahasa Indonesia? Untunglah keadaan sepaling (extreme) seperti itu sangat mustahil. Namun ada kemungkinan bahwa bentuk bahasa Indonesia yang menginggris ini akan menjadi bahasa lingkungan terbatas golongan atas, yang menggunakan bahasa Indonesia biasa jika berbicara dengan golongan bawah. Jika hal ini sampai terjadi, salah satu alasan utama memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, sampai mengalahkan bahasa Jawa yang banyak penuturnya, telah dikesampingkan. ( di dalam Sakri, 1996: 7) Kekhawatiran Smithies yang tampak pada kutipan itu telah terjadi saat ini. Bahasa Indonesia, yang pada 1928 diikrarkan sebagai bahasa persatuan kemungkinan dalam perkembangannya nanti tidak lagi dapat menjadi pemersatu. Smithies juga mendapati kenyataan, bahwa pembaca beberapa surat kabar dan majalah seperti KOMPAS, PRISMA dan TEMPO hanyalah golongan menengah atas, seperti pejabat, pengusaha, pendidik berida (senior), dan militer yang paham bahasa Indonesia yang menginggris. Bila kosa kata asing terus menerus mendesak dan menguasai bahasa surat kabar dan jenis media lainnya, tidak mustahil, akan terbentuk kelompok-kelompok pengguna bahasa Indonesia yang bercita rasa asing dan pengguna bahasa Indonesia bercita rasa nasional, bahkan daerah, dan di antara mereka tidak terjalin rasa saling memahami yang baik. Yang bercita rasa asing akan menghamburkan misalnya nomina-nomina yang dibentuk dari kata
527 |
JURNAL IMU BUDAYA
serapan dengan akhiran yang juga berasal dari unsur serapan, seperti: revitalisasi, globalisasi, privatisasi, sosialisasi, dan berratus-ratus –isasi yang lain. Sedangkan kelompok yang kurang faham bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, akan terpana dan secara kejiwaan akan merasa rendah diri. Tanpa disadari para remaja berbahasa Indonesia yang berbeda dari bahasa Indonesia orang tuanya. Rubrik yang diperuntukkan bagi remaja di hampir semua surat kabar di Indonesia menjejali remaja Indonesia dengan kosa kata asing demi membangun citra kemajuan. Apa yang diperlihatkan oleh judul-judul berita di harian KOMPAS menjadi bukti perkembangan gejala yang telah digambarkan di atas. Gejala kebahasaan tersebut menarik untuk diteliti. Penulis berusaha mengangkat masalah penggunaan serapan asing pada judul-judul berita harian KOMPAS untuk mengetahui seberapa banyak unsur serapan asing mengambil tempat pada judul-judul berita; apakah penggunaan unsur serapan asing tersebut memang tidak dapat dihindari, dan apakah gejala seperti ini tidak akan mengancam keberadaan dan martabat bahasa Indonesia. 2. Tujuan Penelitian Penelitian kecil ini bertujuan melihat seberapa kerap unsur serapan asing digunakan pada judul-judul berita di surat kabar KOMPAS. Selain itu akan ditelaah juga, bagaimana penggunaan unsur serapan asing tersebut, apakah sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, dan apakah sesuai kebutuhan atau tidak. 3. Manfaat Penelitian Maanfaat praktis penelitian sederhana ini berwujud saran untuk menilai penggunaan kata-kata serapan dalam surat kabar, khususnya yang berasal dari bahasa Inggris. Manfaat ilmiahnya kemungkinan adalah menjadikan tulisan ini sebagai titik tolak untuk melakukan penelitian ilmiah yang lebih mendalam untuk kemudian
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
memberikan sumbangan yang berarti bagi pengembangan bahasa Indonesia yang kita cintai agar tampil lebih bermartabat. 4. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kualitatif, meskipun datanya dikuantifikasi secara sederhana. Data-data yang berupa unsur serapan asing pada judul-judul berita dikumpulkan dari harian Kompas edisi Maret 2010. Jumlah eksemplar yang terkumpul diperkirakan menghasilkan jumlah judul yang mengandung unsur serapan, terutama yang berasal dari bahasa Inggris, yang layak untuk diteliti. Data primer yang berupa kata-kata serapan yang sudah terkumpul pertama-tama dikelompokkan sesuai dengan cara penyesuaiannya dengan ejaan bahasa Indonesia. Pada tahap berikutnya dikaji, seberapa jauh data-data tersebut memenuhi kaidah bahasa Indonesia. Analisis pada tahap pertama dan kedua akan didasarkan pada teori mengenai penggunaan unsur serapan asing yang diatur oleh kaidah bahasa Indonesia. Pada tahap terakhir akan dinilai dari berbagai sudut pandang, apakah penggunaan kata-kata serapan tersebut dapat memenuhi kebutuhan atau bahkan telah melampaui batas kewajaran. Kajian pada tahap terakhir ini akan dilakukan mengacu pada teori mengenai sebab-sebab terjadinya penyerapan kosa kata asing. B. LANDASAN TEORI Badudu dalam bukunya yang berjudul ―Pelik-pelik Bahasa Indonesia‖ (1981: 1315) menjelaskan, bahwa pengaruh bahasa asing terhadap bahasa Indonesia besar sekali. Pengaruh itu meliputi penyerapan kata-kata, struktur, baik struktur morfologi maupun sintaktis. Menurutnya, penyerapan dilakukan untuk memperkaya kosa kata bahasa Melayu yang kurang sanggup menjelaskan suatu keadaan yang bersifat ilmiah, merumuskan pendapat, maupun melukiskan perasaan. Bahasa-bahasa yang
528 |
JURNAL IMU BUDAYA
memperkaya bahasa Indonesia adalah Sanskerta, Arab, Portugis, Belanda, Inggris, dll. Pada masa setelah penjajahan, unsur serapan yang menonjol berasal dari bahasa Belanda, dan bertahan hingga sekarang pada bidang-bidang tertentu, seperti bidang hukum dan sejarah. Naskah-naskah hukum Indonesia masih berdasarkan naskah hukum yang dibuat pada masa penjajahan Belanda, begitu pula dengan kajian sejarah Indonesia yang pada awalnya banyak ditulis dalam bahasa Belanda. Seiring dengan perkembangan zaman, unsur serapan yang memperkaya kosa kata bahasa Indonesia beralih, dari bahasa Belanda ke bahasa Inggris. Adjat Sakri memperkirakan pengaruh bahasa Inggris ini antara lain karena bahasa Inggris adalah bahasa negaranegara pemenang perang dunia kedua. Selain itu kemajuan teknologi dalam berbagai bidang serta keadaan ekonomi negara-negara tersebut yang sangat mapan, sehingga dapat digunakan untuk memengaruhi secara politis negara-negara yang dibantunya, termasuk Indonesia, juga menjadi penyebab membesarnya pengaruh bahasa Inggris pada perkembangan bahasa Indonesia. Pada awalnya penyerapan kata-kata bahasa Inggris ke dalam kosa kata bahasa Indonesia kemungkinan karena kebutuhan atau untuk mengisi kekosongan dalam bahasa Indonesia yang diakibatkan oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun lama kelamaan alasan dilakukannya penyerapan semakin beragam, seperti yang dikemukakan oleh Yugianingrum dalam makalahnya yang berjudul Unsur Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia Dan Masalahnya , yaitu: 1. bila diperlukan untuk melambangkan benda atau konsep yang baru, seperti manusia transgender/ transjender (?) 2. rendahnya kekerapan penggunaan katakata asli, dan lebih seringnya didengar kata-
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
kata asing, contohnya: mangkus dan sangkil digantikan oleh efektif dan efisien 3. untuk membedakan kata-kata yang homonim, misalnya:kata baju dibedakan dengan rok, blus, hem,dll. 4. memperhalus ungkapan, seperti vagina, faeces, dll. 5. untuk mengungkapkan hal-hal dalam budaya asing, seperti opera, pasta, balet, dll. 6. untuk alasan nilai sosial: tren, opini, aksesori, dll 7. karena malas mencari padanannya dalam bahasa Indonesia Yugianingrum juga memaparkan bagaimana kata-kata hasil serapan digolongkan, sesuai dengan yang diatur oleh kaidah bahasa Indonesia: 1. Loanwords (kata serapan) = hasil importasi morfemis tanpa substitusi morfemis, namun dengan atau tanpa substitusi fonemis: oksigen < oxygen 2. Loanblends (campuran serapan) = gabungan substitusi dan importasi morfemis, namun strukturnya disesuaikan dengan modelnya (kata asing yang diserap): nonbaku < nonstandard 3. Hybrids (hibrida) = campuran serapan yang strukturnya tidak sesuai dengan modelnya: berambisi < ambitious 4. Loanshifts (geseran serapan) = hasil substitusi morfemis tanpa importasi dan mencakup loan translation (terjemahan serapan): umpan balik< feedback; suku cadang < spare parts Penyesuaian Ejaan Dalam penerapannya, penggunaan serapan asing harus menggunakan ejaan yang disesuaikan agar mudah dilafalkan dalam bahasa Indonesia: 1. bentuk serapan seperti : ekspor, energi, komputer (lihat loanwords) 2. bentuk serapan seperti: manajer, marjinal, klaster (berdasarkan bunyi yang didengar)
529 |
JURNAL IMU BUDAYA
3. bentuk serapan seperti: operator, manual, normal, dll (ejaan tetap menurut model, namun pelafalan disesuaikan). (Yugianingrum, :287-293) Dalam buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (1987: 5558) dijelaskan bahwa, penggunaan kosa kata asing dilakukan, jika dalam bahasa Indonesia atau bahasa serumpun tidak ditemukan istilah yang tepat. Istilah baru dapat dibentuk dengan jalan menerjemahkan, menyerap, dan menyerap sekaligus menerjemahkan istilah asing. Dalam buku ini juga disampaikan bahwa, alasan penyerapan istilah asing adalah demi kemudahan pengalihan antarbahasa dan keperluan masa depan. Pemasukan istilah asing, yang bersifat internasional, melalui proses penyerapan dapat dipertimbangkan berdasarkan syaratsyarat yang meliputi: 1. Istilah serapan yang dipilih cocok karena konotasinya. 2. Istilah serapan yang dipilih lebih singkat jika dibandingkan dengan terjemahan bahasa Indonesianya. 3. Istilah serapan yang dipilih dapat mempermudah tercapainya kesepakatan, jika istilah Indonesia terlalu banyak sinonimnya. Macam dan Sumber Bentuk Serapan seperti yang dijelaskan buku ini adalah istilah-istilah asing yang berupa bentuk dasar atau turunan. Pada prinsipnya dipilih bentuk tunggal, kecuali jika konteksnya condong pada bentuk jamak. Pemilihan bentuk dilakukan dengan mempertimbangkan (1) konteks situasi dan ikatan kalimat, (2) kemudahan belajar bahasa, dan (3) kepraktisan. Demi keseragaman istilah Inggris dijadikan sumber rujukan utama, karena
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
pemakaiannya sudah internasional. Penulisan istilah serapan sedapat mungkin dilakukan dengan mengutamakan ejaannya dalam bahasa sumber tanpa mengabaikan segi lafal. Namun ada istilah asing yang sudah diserap dan lazim digunakan sebagai istilah Indonesia, meskipun bertentangan dengan salah satu kaidah pembentukan istilah, contohnya: dommekracht (Belanda) dongkrak Elektriciteit (Belanda); electricity (Inggris) listrik Ada beberapa istilah asing yang bersifat internasional ejaannya tetap dalam bahasa sumbernya, namun bila digunakan dalam bahasa Indonesia harus diberi garis bawah atau dicetak miring, seperti: status quo (keadaan yang sekarang); esprit de corps (semangat setia kawan), dll. C. PEMBAHASAN 1. Kekerapan Penggunaan Unsur Serapan Seberapa seringkah kata-kata serapan muncul pada judul-judul berita harian KOMPAS? Bagaimana dengan kalimat: Penetrasi Kartu Kredit Rendah?. Judul tersebut terdiri dari empat kata, dan hanya satu kata, yaitu „rendah―, yang berasal dari bahasa Indonesia asli. Begitu juga dengan judul: Perbaiki Iklim Investasi; Generasi Platinum Pahami „Gadget“; Konstruksi Optimistis. Nampaknya kata serapan semakin mendesak kosa kata asli bahasa Indonesia, ataukah kosa kata bahasa Indonesia tidak dapat menggambarkan atau menyampaikan pesan sebaik yang dapat disampaikan oleh kata-kata serapan itu? Harian KOMPAS yang terbit dari hari Senin sampai Kamis biasanya terdiri dari dua kelompok besar berita, yaitu kelompok berita utama dan berita umum lainnya, serta kelompok berita ekonomi. Hari Jumat, Sabtu dan Minggu jumlah halaman lebih banyak, karena ada tambahan rubrik, seperti rubrik
530 |
JURNAL IMU BUDAYA
khusus bagi kaum muda, perempuan anakanak, hobi, resensi buku, inspiratorial, dll. Edisi yang dijadikan sampel penelitian ini adalah KOMPAS edisi bulan Maret 2010. Seluruh judul yang mengandung unsur serapan dari edisi bulan Maret ini didata, lalu dihitung jumlah keseluruhannya, kemudian dibuat reratanya. Dari rentang jumlah judul berita yang mengandung unsur serapan antara 46 – 60 dalam satu kelompok, misalnya kelompok berita umum dan kelompok berita ekonomi, didapatkan reratanya adalah 53. Dari jumlah rata-rata tersebut hadir kurang lebih 12 judul yang mengandung unsur serapan asing, sehingga perbandingannya adalah 1:4,5. Judul-judul yang dikumpulkan biasanya mengandung lebih dari satu unsur serapan. Namun dari jumlah 284 judul berita yang terdata, lebih dari separuhnya berisi unsur serapan yang sangat sering digunakan, seperti kata-kata: target, infrastruktur, subsidi, kondisi, legal, ilegal, global, globalisasi, turnamen, atlet, dll. Oleh karena itu, data yang dianalisis dibatasi, tidak meliputi seluruh judul yang sudah dikumpulkan, melainkan hanya sebagian yang berisi unsur-unsur serapan yang beragam. Perbandingan 1:4,5 memperlihatkan, bahwa kehadiran unsur serapan dalam kepala berita menunjukkan kekerapan yang cukup tinggi. Gejala ini dapat saja dilihat sebagai besarnya sumbangan bahasa asing terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Namun, bila kita mau menilainya secara kritis, akan muncul pertanyaan dalam benak kita, sebegitu miskinkah kosa kata bahasa Indonesia, sehingga KOMPAS nampaknya tidak punya pilihan selain menggunakan unsur serapan dalam jumlah yang cukup banyak untuk kepala-kepala beritanya? Atau, mungkin ada alasan-alasan lain yang lebih bersifat komersial atau bahkan ideologis?
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
Dari seluruh judul yang menggunakan unsur serapan, kelompok berita Bisnis dan Keuangan menempati urutan pertama kelompok berita yang paling banyak menggunakan unsur serapan, diikuti oleh kelompok berita Politik dan Hukum. Rubrik Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) sangat kerap menggunakan unsur-unsur serapan, yang tampaknya memang sulit didapatkan padanannya dalam bahasa Indonesia. Namun yang cukup mengkhawatirkan adalah penggunaan unsur serapan dalam rubrik Muda, yaitu rubrik yang ditujukan bagi kaum muda. Rubrik ini hadir setiap hari jumat, dengan jumlah halaman hanya dua sampai maksimal empat halaman. Dalam rubrik ini kosa kata dari bahasa asing, utamanya bahasa Inggris, seringkali digunakan tanpa melalui proses penyesuaian dengan kaidah bahasa Indonesia. Sebagai contoh judul berikut: „Tips Menghindari Bullying― (19 Maret, hal 37); „ Muda creativity 3rd Annversary Bangga Indonesia― (25 Maret, hal 37). Katakata asing tersebut bercampur dengan kosa kata bahasa Indonesia secara sembarangan, kemungkinan untuk menarik kaum muda yang biasanya bersifat dan berpikiran bebas. Namun keadaan itu dapat menjadi sebuah proses pembiasaan yang tidak baik, yang dapat menodai kebanggaan terhadap bahasa Indonesia. Lambat laun, bahkan sekarangpun telah terlihat nyata, betapa kaum muda lebih merasa harga dirinya terangkat bila berbicara menggunakan bahasa Inggris, atau bahasa Indonesia yang diselipi banyak kosa kata bahasa Inggris. 2. Unsur Serapan dan Kaidah Bahasa Indonesia Kebanyakan unsur serapan dituliskan menggunakan ejaan yang disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia , contohnya: Tabel 1 No Kata Kata asal Arti/ . serapan Padanan 1 trik trick Akal,
531 |
JURNAL IMU BUDAYA
2
investasi
investatio n
3
paviliun
Pavillon (Prancis)
4
revitalisas vitalizatio i n
5
integrasi
6
sektor
integratio n sector
7
kredit
credit
muslihat, seluk beluk, cara (tdk ada dlm KBBI) Penanaman uang atau modal Bangunan tambahan disamping rumah induk Menjadikan vital, menghidupka n kembali Pembauran, perpaduan Bagian daerah pertempuran atau pertahanan, lingkungan suatu usaha, tembereng
Beberapa dari kata serapan dalam tabel di atas, selain memenuhi unsur penyesuaian dengan ejaan bahasa Indonesia, juga memenuhi pola substitusi fonem, seperti: trik, sektor, dan kredit. Kata-kata serapan di atas sebagian besar berasal dari bahasa Inggris. Pola serapan yang dapat dilihat di sini adalah: bila kata asal yang berasal dari bahasa Inggris berakhir dengan –ion, maka bentuk serapannya adalah –si; bila –ty, maka bentuk serapannya menjadi –tas. Kata-kata seperti energy, credit, contract dan trick bentuk penyerapannya dilakukan dengan menggantikan beberapa konsonan, disesuaikan dengan konsonan yang berterima dengan ejaan bahasa Indonesia. Cara penyerapan lainnya adalah selain dengan penyesuaian ejaan yang mudah diucapkan dalam bahasa Indonesia, juga
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
dengan tetap mempertahankan bunyi bahasa aslinya, seperti yang diperlihatkan tabel di bawah ini Penyerapan berdasarkan penyesuaian ejaan dan bunyi : Tabel 2 No. Kata Kata asal Arti/ Serapan Padanan 1 sistem system Perangkat atau unsur yang saling berkaitan 2 frekuensi frequency kekerapan 3 militeristik militaristic Bersifat seperti militer/ tentara 4 trik trick Cara, muslihat, seluk beluk 5 tim team kelompok Pada penyerapan berdasarkan bunyi, selain ejaan yang disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia, tampak pada kata desain, tim dan trik. Dari segi ejaan KOMPAS tampak cukup hati-hati dan patuh pada kaidah. Bentuk serapan lainnya adalah serapan utuh, seperti yang diperlihatkan oleh beberapa contoh dalam tabel 3: Tabel 3 Penyerapan utuh No. Kata Kata Arti/ Padanan Serapan asal 1. gas gas Zat ringan yang sifatnya seperti udara 2. target target sasaran 3. detail detail Bagian yang kecil-kecil 4. start start memulai, berangkat 5. art art Seni, 6. District district Bagian dari
532 |
JURNAL IMU BUDAYA (distrik, KBBI)
7.
Land mark
Land mark
8.
stroke
stroke
suatu daerah yang dibagi, spt kewedanaan, kabupaten,dll Penanda suatu tempat atau kota Pukulan, tembakan, serangan, kelumpuhan otak
Penyerapan secara utuh diperlihatkan oleh contoh-contoh dalam tabel di atas. Namun kata-kata yang dicetak miring belum ada bentuk bakunya, sehingga KOMPAS masih mencetaknya dalam tanda kutip. Kata District sebenarnya telah diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan penyesuaian ejaan menjadi distrik, tetapi judul yang berbunyi „Art District: Menjaga Gairah Pasar dalam rubrik Seni dibiarkan dalam bentuk aslinya, begitu juga dengan kata Art. Hal ini dapat membingungkan pembaca yang kurang faham bahasa Inggris, yang bisa saja menganggap judul tersebut mewakili isi beritanya yang berhubungan dunia dagang, bukan seni, karena ada frasa Gairah Pasar di belakang kedua kata bahasa Inggris tersebut. Bentuk serapan lainnya adalah bentuk yang tampaknya tak berpola, seperti yang juga dijelaskan dalam buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah (hal. 58). Bentuk bentuk tersebut dapat dilihat pada tabel 4 berikut: Tabel 4 Penyerapan Tak Berpola No Kata Kata Asal Arti/ . Serapa Padanan n 1 listrik Electricity Daya yang
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
(Inggr), elektriciteit (Bld)/Elektrizi tät (Jer) 2
iklim
3
Arsip
4
pabrik
Climate (Inggr), klimaat (Bld)/Klima (Jer) Archive (Inggr), Archiv (Jer) Fabric (Inggr), Fabrik (Jer)
dihasilkan dari pergesekan atau proses kimia cuaca
Dokumen tertulis Bangunan dengan perlengkap an mesinmesin untuk membuat sesuatu
Ada beberapa kata serapan yang ternyata cara penulisan ejaannya tidak sesuai dengan tiga kategori cara penyerapan yang telah diuraikan sebelumnya. Kata listrik yang berasal dari bahasa Inggris electricity atau elektriciteit (Bld)/ elektrizität dalam bahasa Jerman, bentuk serapannya tidak memperlihatkan pola tertentu. Kemungkinan bentuk serapan itu mengikuti pelafalan yang salah karena sulitnya kata electricity atau elektriciteit untuk diucapkan oleh lidah orang Indonesia, sehingga menjadi listrik. Kasus yang sama juga kemungkinan besar terjadi pada kata iklim, yang berasal dari kata climate (Inggr), klimaat (Bld)/ Klima (Jer). Namun kasus yang terjadi pada kata arsip yang berasal dari kata archive (Inggr), atau Archiv (Jer) dan pabrik yang berasal dari kata fabric (Inggr) atau Fabrik (Jer), mungkin dapat dibandingkan dengan kata serapan intensif atau fokus, yang berasal dari bahasa Inggris intensive dan focuse. Mengapa tidak menjadi arsif atau fabrik, seperti intensif
533 |
JURNAL IMU BUDAYA
atau fokus, atau mungkin bahkan sebaiknya intensip dan pokus ? Bentuk serapan di atas telah diterima menjadi anggota kosa kata bahasa Indonesia, dan KOMPAS tentu saja tidak melakukan kesalahan dalam hal ini. Namun cara penyerapan seperti yang terjadi pada katakata di atas untuk masa yang akan datang sebaiknya dihindari, karena akan menciptakan pengecualian-pengecualian yang membingungkan orang asing yang mempelajari bahasa Indonesia. Dan ini adalah tugas para pakar bahasa Indonesia. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap cara penulisan atau ejaan unsur-unsur serapan yang digunakan KOMPAS pada judul-judul beritanya, dapat disimpulkan, bahwa KOMPAS pada dasarnya tertib dan patuh mengikuti kaidah bahasa Indonesia. Namun pada rubrik-rubrik atau artikelartikel tertentu, sering muncul kata-kata asing yang belum disesuaikan penulisannya dengan ejaan bahasa Indonesia, seperti: Bukit Siguntang ― Landmark‖ Kota Sriwijaya (11 Maret, hal. 1); Persija Terancam Hukuman „Walk Out― (Olah Raga, 11 Maret, hal.31); „Tips menghindari Bullying― (MUDA, 19 Maret, hal 37). Untuk kasus walk out dan land mark, penulisannya diberi tanda petik, yang mengisyaratkan, bahwa kata-kata tersebut belum menjadi anggota kosa kata bahasa Indonesia. Namun kata bullying dituliskan tanpa tanda petik, yang menandakan, bahwa kata itu sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Kenyataannya KBBI 1996 belum memuat kata tersebut. Berdasarkan temuan itu, timbul pertanyaan, apakah KOMPAS sedang berusaha memasyarakatkan kata itu tanpa berusaha dulu mencari padanannya dalam bahasa Indonesia? 3. Unsur Serapan dan Kebutuhan Seperti telah dijelaskan pada Bab II, bahasa Indonesia membutuhkan kosa kata dari bahasa-bahasa lain, baik dari bahasa daerah, maupun bahasa asing untuk
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
mengembangkan diri, agar mampu menjadi bahasa ilmu pengetahuan. Unsur-unsur serapan, khususnya yang berasal dari bahasa asing, terutama bahasa Inggris, yang memperkaya bahasa Indonesia dapat dengan jelas dilihat keberadaannya di harian KOMPAS. KOMPAS sebagai surat kabar nasional yang keberadaannya belum dapat disaingi oleh surat kabar nasional lainnya, dapat memberi pengaruh yang besar bagi penggunaan bahasa Indonesia di masyarakat. Berdasarkan hasil pengamatan dan penelitian beberapa pakar, dan pengamat bahasa (lihat Bab. I/ Pendahuluan) kelompok masyarakat yang masuk dalam jangkauan pengaruh surat kabar ini adalah kelompok masyarakat terdidik, karena KOMPAS banyak menggunakan unsur serapan dari bahasa Inggris. Berikut ini akan diuraikan, sejauh mana kebutuhan akan unsur serapan tersebut untuk menyampaikan suatu gagasan dan menggambarkan suatu keadaan dalam bentuk judul atau kepala berita. Berdasarkan hasil analisis data yang terkumpul, yang berupa judul-judul berita, ditemukan empat kategori unsur serapan, dilihat dari aspek kebutuhan penggunaannya. Keempat kategori tersebut adalah: a. Diperlukan karena mengisi kekosongan Contoh unsur serapan yang dibutuhkan untuk mengisi kekosongan kosa kata dalam bahasa Indonesia yang dapat menjelaskan suatu keadaan, gejala, alat, istilah-istilah dalam bidang ilmu tertentu, yang khas: 1. „Tidak ada Mutasi Gen di Tanaman Transgenik― (24 Maret, hal 17) 2. „Malapraktik: Bayi Hidrosefalus Terlunta― (27 Maret, hal 13) 3. „Terios Menusuk Pasar dengan Persneling Otomatik― (27 Maret, hal 36) Kata mutasi berasal dari bahasa Inggris mutation yang artinya perubahan atau
534 |
JURNAL IMU BUDAYA
perpindahan, bisa dalam lingkungan birokrasi, juga dalam bidang biologi (KBBI, 1996: 677; Langenscheidt, 1992:339). Istilah transgenik pun adalah istilah khusus biologi. Unsur serapan pada judul 1 di atas dapat disimpulkan sebagai kata serapan yang memang dibutuhkan untuk menjelaskan suatu gejala khas, dan istilah tersebut sifatnya internasional, sehingga penyerapan dengan bentuk yang disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia tanpa menghilangkan model aslinya, adalah cara yang tepat. Kata Malapraktik berasal dari istilah bahasa Inggris malpractice yang artinya salah mengobati atau melakukan prosedur kedokteran yang menyalahi kode etik (KBBI, 1996: 621). Begitu pula dengan istilah hidrosefalus yang berada pada lingkungan kedokteran. Pada judul nomor 3 ada istilah persneling otomatik yang merupakan gabungan dari asal kata bahasa belanda versnelling dan otomatic dari bahasa Inggris. Kata-kata serapan tersebut adalah istilah khas milik bidang tertentu yang sulit dicarikan padanannya yang setara dalam bahasa Indonesia. Dari data yang terkumpul, setelah dikaji, ada beberapa kata serapan yang dapat digolongkan ke dalam kategori ini. Berikut adalah tabel yang berisi kata-kata serapan tersebut: Tabel 5 Unsur Serapan yang Mengisi Kekosongan No. Kata Serapan Rubrik 1 liga Olah Raga 2 ekspedisi (pendakian gunung) 3 klub 4 turnamen 5 Suporter * 6 Asuransi * Bisnis dan Keuangan 7 obligasi 8 Properti * 9 kredit
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
transaksi BI (Bank Indonesia) Rate tender audit ritel industri stigma Politik dan Hukum terorisme Legislatif/ legislasi konstitusional demokrasi partai radikalisme liberalisme fundamentalisme Kontrasepsi * teknologi Gen, transgenik, mutasi gen virus Konferensi (gay dan Nusantara lesbian) Komitmen daerah Situs (purbakala) parkir Otopsi korban... modernitas Prestasi * Moderasi islam opini Informasi...
Tabel 5 berisi kata-kata serapan yang memiliki kandungan makna khusus, seperti kosa kata dalam bidang ekonomi (audit, transaksi, kredit), dll, yang memerlukan penjelasan panjang bila diuraikan dalam bahasa Indonesia. Namun ada kata-kata yang diberi tanda *, yang dapat ditinjau ulang untuk dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia, yang mencakup bukan hanya kesepadanan makna, namun juga kesepadanan keringkasannya. Kata prestasi sudah sering dipadankan dengan kata
535 |
JURNAL IMU BUDAYA
capaian; kontrasepsi dengan pencegah kehamilan; properti dengan kepemilikan, dll. b. Diperlukan untuk menambah kesinoniman Kategori berikutnya adalah unsur serapan yang diperlukan untuk memperkaya Kesinoniman. Kata-kata serapan yang masuk dalam kategori ini memiliki padanan istilah dalam bahasa Indonesia, namun kadang-kadang mengandung makna semantis yang lebih luas atau sebaliknya, lebih khusus. Contohnya adalah kata-kata: bisnis, zona, konsumsi, kalkulasi, sponsor, dll. Kata-kata tersebut memiliki padanan dalam bahasa Indonesia, seperti: dagang, daerah, penggunaan/ pemakaian, penghitungan, dukungan/ bantuan. Namun tidak dapat dimungkiri, bahwa kata-kata serapan itu memberikan nuansa yang khas, yang pada saat-saat tertentu tidak dapat digantikan dengan padanannya dalam bahasa Indonesia. Kata bisnis misalnya, yang berarti usaha atau dagang (KBBI, 1996:138) bermakna lebih luas, karena menggambarkan kegiatan berdagang atau berusaha secara lebih modern daripada dagang yang terkesan bersifat tradisional. Contoh lainnya adalah kata tarif yang berarti ongkos atau biaya. Pada beberapa kesempatan, kedua kata tersebut bisa saja digunakan tanpa menghasilkan perbedaan makna, namun, seperti juga kata bisnis, kata tarif selain bermakna lebih luas, ia juga bersifat lebih lentur, karena dapat dibentuk menjadi kata penarifan, yang artinya adalah proses menetapkan tarif/ongkos (KBBI, 1996: 1011), sedangkan kata ongkos tidak dapat dibentuk menjadi pengongkosan. berikut adalah tabel yang berisi kata-kata serapan yang diambil dari data yang terkumpul: Tabel 6 Kata Serapan yang Menambah Kesinoniman No Kata serapan Padanan dalam
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
1 2 3 4 6 7
bisnis tarif opsi defisit Volume Stop
8 9 10 11
Konflik Serius Lokasi Mediasi
12 13 14 15
Kategori Dominasi Kondisi Konsumsi
16 17 18 19 20
Kasus Variasi Kalkulasi Memori Ekspansi
21
Transisi
22 23
Internal Sponsor
24 25 26 27
Investasi Inspiratif Logika Kompensasi
28 29
Partisipasi Revisi
30 31 32
Subsidi Ekstrem evaluasi
33 34
Target Profil
35
efek
bahasa Indonesia Dagang, usaha Ongkos, biaya pilihan kekurangan isi Berhenti, menghentikan Pertikaian Sungguh-sungguh Tempat, daerah Ditengahi, penengah kelompok kekuasaan keadaan Pemakaian, penggunaan masalah Ragam, macam penghitungan kenangan Perluasan, pelebaran Perpindahan, peralihan Di dalam Penyokong, pendukung Penanaman modal mengilhami nalar Penggantian, pengalihan Ikut serta Memperrbaiki, memperbaharui bantuan sepaling Penilaian, pengujian sasaran Sosok (orang), bentuk (benda) Akibat, dampak
536 |
JURNAL IMU BUDAYA
c. Cara Pinjam Terjemah Kategori ketiga adalah unsur serapan yang dibentuk dengan cara pinjam terjemah. Cara ini digunakan untuk menyerap istilah asing, khususnya yang berasal dari bahasa Inggris, yang bentuk aslinya biasanya berupa frasa atau ungkapan yang terdiri dari beberapa kata. Sebagai contoh adalah katakata atau frasa-frasa berikut : Uji kelayakan = fit and proper test suku cadang = spare parts pasar gelap = black market Penjualan manusia = human trafficking Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) = domestic violence Nota kesepahaman = Notes of Understanding Jembatan layang = fly over Piala dunia = World cup Jaringan = network Hak Azasi Manusia (HAM) = Human rights Putus sekolah = school drop out Unjuk rasa = demonstration. Kearifan lokal = local wisdom (pinjam terjemah sebagian) Contoh di atas memperlihatkan, bahwa cara pinjam terjemah berhasil menyerap istilah-istilah atau ungkapan-ungkapan asing secara lebih kreatif dan bermartabat. Sebenarnya, cara seperti ini diharapkan lebih dikembangkan, agar bahasa Indonesia modern tetap bercita rasa Indonesia. Cara ini pun dapat dicobakan pada unsur serapan kategori 1, misalnya terhadap kata-kata yang tidak berhubungan terlalu erat dengan suatu bidang ilmu tertentu. Tugas para pakar bahasalah untuk mengupayakan hal ini, agar bahasa Indonesia tetap memiliki jati diri yang jelas, tidak tenggelam oleh membanjirnya kosa kata bahasa asing. d. Penyerapan di Luar Kebutuhan
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
Gejala penginggrisan dengan cara menyerap, menyesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia, nampaknya semakin menjadi-jadi. Kaidah bahasa Indonesia yang bersifat terbuka memungkinkan dilakukannya penyerapan kata-kata asing tanpa batas, meskipun hal itu telah diatur dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. KOMPAS kelihatannya terjebak dalam gejala ini, atau hal itu memang merupakan kebijakan KOMPAS sendiri untuk lebih menginternasional. Berikut adalah contohcontoh kepala berita yang mengandung unsur serapan di luar kebutuhan: „ Kultur Pesantren Kekuatan NU― (19 Maret, hal 48) „ Tips Menghindari Bullying― (19 Maret, hal 37) „ Pedagang dan Petugas ‚Kucingkucingan‗, Sebagian Jalan Diokupasi (24 Maret, hal 17) „Parkir Ilegal Berkeliaran― (28 Maret, 23) „ Demografi Menjadi Isu Serius― (26 Maret, hal 11) „ Momentum Kebangkitan Ulama (25 Maret, hal 7) „ Mengglobalkan Islam Indonesia― (25 Maret, hal 5) Mari kita coba mengganti kata-kata serapan yang ada pada judul-judul di atas yang dicetak miring dan berwarna merah, dengan kosa kata bahasa Indonesia:
―Budaya Pesantren NU‖ ―Kiat-kiat menghindari aksi kekerasan di sekolah‖ „ Pedagang dan Petugas ‚Kucingkucingan‗, Sebagian Jalan dikuasai/ diduduki― „Parkir gelap Berkeliaran―; ―Parkir tak Resmi Berkeliaran‖ „ Kependudukan Menjadi Isu Serius―
537 |
JURNAL IMU BUDAYA „ Saat Tepat Kebangkitan Ulama‖ „ Menyemestakan Islam Indonesia―
Judul-judul yang menggunakan katakata bahasa Indonesia tetap terasa berwibawa dan pesan serta makna yang dikandungnyapun tidak berkurang atau melenceng dari yang diharapkan. Selain terasa lebih bercita rasa Indonesia, juduljudul itupun dapat dimengerti oleh lebih banyak lagi pembaca dari kalangan yang lebih luas, dan tetap memenuhi prinsip keringkasan yang dituntut oleh bahasa media. Contoh yang dipaparkan di atas merupakan penilaian kritis terhadap penggunaan unsur serapan asing yang terkesan mulai berlebihan. KOMPAS dalam hal ini bahkan tampak menjadi pendukung bagi penginggrisan bahasa Indonesia. Keadaan ini tentu saja tidak boleh dibiarkan, karena sebagai surat kabar nasional yang cukup berpengaruh, KOMPAS akan menjadi acuan, contoh bagi penggunaan bahasa Indonesia di masyarakat umum. Tabel berikut memuat unsur serapan yang sebenarnya bisa dihindari penggunaannya, karena telah tersedia dalam bahasa Indonesia padanan yang setara, baik dari makna, maupun dari segi keringkasan. Tabel 7 Unsur Serapan yang Dapat Diabaikan No. Kata Serapan Padanan dalam bahasa Indonesia 1 tips Kiat, cara 2 Variatif Beragam, bermacam-macam 3 Transportasi angkutan 4 Independen Bebas, tak terikat, tak berpihak 5 Publik Umum, masyarakat 6 Demonstrasi Peragaan, unjuk rasa 7 Ilegal Liar, gelap, tidak
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
8
Legal
9
Trik
10
Global, globalisasi, mengglobalkan
11
memori
12
mengokupasi
13 14 15 16 17
Konsisten Praktisi Makelar Respons Intervensi
18
Partisipasi, partisipan Momentum Kultur
19 20
resmi, tak berijin Resmi, sah, berijin Siasat, cara, muslihat Mendunia, menyemesta, kese-mestaan, menyemestakan Kenangan (akan seseorang atau suatu peristiwa); daya simpan (untuk komputer) Menduduki, menguasai, menempati Taat azas Pelaku, pekerja perantara tanggapan Campur tangan, ikut campur Keikutsertaan, peserta Saat tepat Budaya
Kata-kata padanan dalam bahasa Indonesia yang dicetak miring sekarang ini digunakan dalam bidang-bidang yang beragam, seperti kata memori. Kata ini dapat berarti kenangan akan seseorang atau suatu peristiwa, namun kata inipun digunakan dalam bidang komputer, yang berarti daya simpan data. Selain itu kata memori juga menjadi anggota kosa kata bahasa hukum: memori banding. Menyikapi hal ini, diusulkan pada para pakar bahasa, bekerja sama dengan pakar ilmu-ilmu lain, untuk membentuk istilah khusus, misalnya dengan cara pinjam terjemah (diusulkan: daya simpan untuk memori komputer). Selanjutnya, penggunaan kata memori yang berarti kenangan dapat dengan bangga kita abaikan, karena kita memiliki kata kenangan
538 |
JURNAL IMU BUDAYA
yang bermakna setara dengan memori, kata itu bahkan telah sejak lama kita miliki, sebelum kita kenal kata memori. Kata perantara yang menjadi padanan kata serapan makelar yang berasal dari bahasa Belanda, saat ini dapat digunakan secara bermartabat dalam konteks-konteks yang sesuai, biasanya dalam bidang jasa, karena kata makelar sekarang sudah menjadi kosa kata bahasa kejahatan (mis.: makelar kasus). D. KESIMPULAN DAN SARAN Dari seluruh pembahasan yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Kekerapan penggunaan unsur serapan pada judul-judul harian KOMPAS tergolong tinggi (1 : 4,5). Meskipun demikian, penulisannya sesuai kaidah bahasa Indonesia. Unsur serapan yang digunakan terhitung berlebihan, karena banyak kata-kata asing diserap begitu saja, padahal perbendaharaan kata bahasa Indonesia dapat memenuhinya.
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
dalam memberi teladan. Bila pemerintah melalui Pusat Bahasa tidak berdaya menumbuhkan kecintaan pada bahasa Indonesia, KOMPAS yang hadir setiap hari di tengah-tengah masyarakat memiliki kekuatan dan kemampuan untuk itu. Yang dibutuhkan sekarang adalah kemauaan dan niat baik yang tulus. Sebagai saran, berikut adalah tindakan yang dapat dilakukan untuk mengembangkan bahasa Indonesia secara lebih bermartabat: • Gunakan unsur serapan sesuai kebutuhan. • Cara pinjam terjemah sangat baik diupayakan, karena menggunakan kosa kata bahasa Indonesia. • Bangkitkan kebanggaan berbahasa Indonesia melalui wibawa dan pengaruh KOMPAS sebagai harian nasional yang terbesar. • Naikkan nilai bahasa Indonesia melalui penggunaan yang tidak berlebihan dalam penulisan karya-karya ilmiah. DAFTAR PUSTAKA
Kesimpulan ringkas tersebut dapat memberi gambaran pada kita, ke arah mana bahasa Indonesia yang kita cintai ini berkembang. Kaum muda dijejali istilahistilah asing, terutama dari bahasa Inggris, oleh berbagai pihak, seperti badan pendidikan, media (termasuk KOMPAS), ambisi orang tua, dll. Pejabat, ilmuwan, pengusaha dan banyak pihak lainnya, tidak memberi teladan dalam berbahasa. Institusi kebahasaan seperti sedang tidur, perguruanperguruan tinggi juga tidak menunjukkan kepedulian pada pengembangan dan penggunaan bahasa Indonesia yang lebih bermartabat. Keadaan ini mengikis kebanggaan terhadap bahasa Indonesia Sebagai surat kabar nasional terkemuka di Indonesia, dengan pengaruh, wibawa dan reputasi yang telah sekian lama teruji, KOMPAS seharusnya berada di garis depan
Abdullah, Taufik. 1998. Beberapa Gagasan Ke Arah Perumusan Kembali „Politik Bahasa“ (Kongres bahasa Indonesia VII, Jakarta, 26-30 Oktober 1998). Jakarta: Departemen Pendidikan Dan kebudayaan. Alwi, Hasan dan Dendy Sugono. 2003. Politik Bahasa: Rumusan Seminar Politik Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan nasional. Alwi, Hasan, dkk. 1999. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (edisi 3). Jakarta: Balai Pustaka. Badudu, J.S. 1981. Pelik-Pelik Bahasa Indonesia. Bandung: Pustaka Prima. Echols, John.M. dan Hassan Shadily. 1987. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia.
539 |
JURNAL IMU BUDAYA
Sugono, Dendy (ed.).2003. Buku Praktis Bahasa Indonesia 1. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Sakri, Adjat. 1993. Ilmuwan Dan Bahasa Indonesia: Menyambut 60 Tahun Sumpah Pemuda. Bandung: Penerbit ITB. Yugianingrum. ....... Unsur Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia Dan Masalahnya. (Makalah). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 1987. Pedoman Umum Ejaan bahasa Indonesia Yang Disempurnakan Dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Bandung: Pustaka Setia.
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
540 |
JURNAL IMU BUDAYA
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
THE WEST DOMINATION TOWARDS THE EAST IN LIFEBUOY CLINI-SHIELD 10 ADVERTISEMENT: ORIENTALISM STUDY Mirza Fathima Jauhar Kamalia Faculty of Humanities, Airlangga University, Surabaya, Indonesia Email:
[email protected] Abstract Lifebuoy Clini-Shield 10 soap claims that its product kills the bacteria and protects the skin ten times better than any other famous anti bacterial soaps. The advertisement chooses to use the West researcher as the model who finds the new technology called as Activ Naturol Shield in order to attract and convince the buyers and use the East people as the object of the research. Furthermore, Lifebuoy Clini-Shield 10 is shown as the result of product by the West researcher and as the solution for the health problem. This study aims to explain the image of the West domination depicted in Lifebuoy Clini-Shield 10. This study will use the theory of Orientalism by Edward Said to answer the problem above. This study uses qualitative method supported with the data of the advertisement video, as the main source of the data, and some information from the website of the Lifebuoy Indonesia. The results of the study show that the West is depicted as the leader, the source of the knowledge and the inventor of the technology through the West researcher. As the effect, people will internalize the hegemony that the West is the most superior nation among the other nations whose people born to lead the world and the East will consider themselves as the inferior nation and must depend on to the West to solve every problem that they have. Keywords: Domination, Orientalism, Superior, Advertisement. I.
Introduction
Lifebuoy is one of the famous brands of soap that has the vision which is bringing health and cleanness for one billion people. Based on the vision, Lifebuoy works with some world health experts to create an anti bacterial soap that effectively eradicates bacteria reputed as the danger for health. Then, the soap named as Lifebuoy CliniShield 10 is claimed ten times better than any other soaps to protect the skin from bacteria because of the new technology, Activ Naturol Shield. There are two variants of Lifebuoy Clini-Shield 10 which are ―complete‖, the red one, and ―fresh‖ colored green. Lifebuoy Clini-Shield 10 is not only in the form of bar soap, but also in the form of liquid soap for bathing and washing the hands. This soap considered the right soap
for Indonesian people, especially the children, who are easily infected the sickness. Because there are many children have diarrhea, dysentery and typhus in Indonesia, it makes the anti bacterial soap becomes the medium for both prevention and protection. As the consequence, people give more attention to the anti bacterial soap especially the soap contains Activ Naturol Shield considered as the best solution for the health problem that usually occurs in Indonesia by remembering the claim that it is ten times better to kill the bacteria and protect the skin that can attract the buyers. The writer chooses to analyze the advertisement of Lifebuoy Clini-Shield 10 soap since the advertisement chooses to use the model of a West researcher, the main researcher in
541 |
JURNAL IMU BUDAYA
advertisement, who finds the new technology and chooses the East as the object of the research. Furthermore, Lifebuoy Clini-Shield 10 is shown as the product created by the West researcher and as the solution for the health problem. Based on the problem above, this advertisement not only delivers the message to the consumer, but also delivers the hegemony about the position of the West who are higher than the East. Edward Said appeared with his theory, Orientalism, which is the persuasive way of thinking to believe and accept that there is the fundamental difference between the West and the East. These differences have done by creating the contrast image, personality, idea and experience between the East and the West. Furthermore, the West looks and assumes that the East as the Other whose existence must be regulated, controlled and determined by the West (Said, 2003:1-2). This study aims to explain the image of the West domination depicted in Lifebuoy Clini-Shield 10. II. Theoretical Framework Orientalism is a Western style for dominating, restructuring, and having authority over the Orient. The West is called as the ―Occident‖ and the East is called as the ―Orient‖. The term Occident for the West and the Other or Orient for the East does not naturally happen but it is a manmade or hegemony from the West towards the East for spreading and maintaining the power (Said, 2003:3). The Orient has helped to define Europe (or the West) as its contrasting image, idea, personality, experience possessed by the East. In other words, there are binary oppositions defining the West and the East that refers to the identity stereotype between the West and the East. When the West is rational, virtuous, mature and ―normal‖, then the East is irrational, depraved, childlike and ―different‖. Based on those binary
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
oppositions, there are the terms ―other‖ for the East and ―self‖ for the West as the subject. Because the West considered as the subject, it makes the East positioned as the object in every field (Said, 2003:1-2). ‖ All of those characterizations and terms do not naturally happen as the result of the East‘s own effort but rather the whole complex series of knowledgeable manipulation by which the East was identified by the West (Said, 2003:40). The knowledge about the East is shaped and designed by the West to perpetuate the hegemony that the West is the superior and the East is inferior. The feeling of inferior that is deeply rooting in the East mind is used by the West to make the East fully depend on the West as like the East really needs the West. In this case, the East will think that they need the West to eradicate their ignorance and backwardness and also bring them to the civilization because the East is considered as a place isolated from the mainstream of European progress in the many fields especially science (Said, 2003:206). In other words, there is a strong relation between the knowledge and the power that can be separated from one another. The knowledge here functions to control, spread and perpetuate the power. III. Method This study use the qualitative method supported by Edward Said‘s Orientalism in analyzing the object. The source of the data is the object itself which is the video of the television advertisement of Lifebuoy CliniShield 10aired in Indonesia. It is supported with the relevant books which are suitable with the study, both printed and electronic book, some academic articles and journals related with theory used in this study. The technique of data collection and analysis will be explained below. a. The Technique of Data Collection
542 |
JURNAL IMU BUDAYA
The data collection is done by finding and downloading the video of the advertisement for analyzing it. After that, the writer writes the narration of the advertisement down as the supporting data. Then, it is continued with finding some information of the product through official web of Lifebuoy Indonesia. It is completed with reading some books, either printed or electronic book, about the theory used in this study. b. The Technique of Data Analysis The writer looks Lifebuoy Clini-Shield 10 as the text consists of the voice and the picture that will be analyzed in this study. The steps in analyzing the data are observing the advertisement including the narration, the movement, the action and the position of the models shown in the advertisement. After that, the writer captures every part of the advertisement in order to make them easier to be analyzed. Then, the writer analyses every part of the advertisement by using Edward Said‘s Orientalism. IV. Analysis a. The Description of the Advertisement The advertisement begins with showing the forest that will be visited by the researchers and the reporter by the helicopter. Then, it is shown that the West researcher sits on the front seat and says ―the problem of health is more difficult to stop because the bacteria are getting strong‖ while bringing the tablet in his left hand that shows the picture of an Asian girl who is sick. After that he says, ―because of it, we create Lifebuoy Clini-Shield 10, ten times better protection from any other famous anti bacterial soaps.‖ He shows the red and green soaps in the suitcase to the woman reporter next to him. After the helicopter landed, the West researcher comes out from it followed by the other two Asian researchers and the reporter behind him and walk to the forest. Then, the reporter accompanied by the
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
cameraman asks to the West researcher, ―why it is better?‖ When they arrive in front of the tree containing Activ Naturol Shield, the West researcher who stands in front of the other two Asian researchers answers, ―Because of Activ Naturol Shield. The same secret used to protect the tree for hundred years.‖ Then, he shows the yellow liquid called as Activ Naturol Shield that comes out from the tree. The yellow liquid visualized to blend in the soap and turns into the red Lifebuoy Clini-Shield 10 soap bar which lies on the West researcher‘s hand. He explains to the reporter beside him, ―Protect the skin ten times better than any other famous anti bacterial soaps.‖ Suddenly, the location turns into a big meeting room attended by many researchers. The West researcher stands in front of the big screen and continues, ―and ten times better in treating your skin. The new one, Lifebuoy Clini-Shield 10.‖ At the time, the picture of the Asian girl who is washing her hands appears in the wide screen followed by the emergence of the Lifebuoy soaps both liquid and bar. After that, the cameraman shoot the two West researchers who sits in front seat gives the applause followed by the rest of the audience. b. The analysis of Lifebuoy Clini-Shield 10 Advertisement 1. The West as a Leader
Picture 1
543 |
JURNAL IMU BUDAYA
Picture 2
Picture 3
Picture 4 The leadership of the West can be seen from the sitting and standing position of the researchers in the advertisement. Picture one shows the West researcher sits on the front seat of the helicopter which is flying to the forest. Picture two depicts the Asian-faced researcher sits on the back seat of the helicopter. From the sitting position depicted in this advertisement, it indicates that the West is more superior than the East.
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
Further, it also indicates that the West takes a step forward better than the East. The Asian researcher seems like the assistant of the West researcher who shows his invention—Lifebuoy Clini-Shield 10 soap— in the suitcase to the reporter who sits next to him that can be seen in the picture three. The Asian researcher helps his leader to bring anything needed. Being assistant means he has no power for himself to do something and must wait to be ordered by his leader. In other words, being assistant is regulated, ordered and determined his leader. It indicates that the West researcher depicted as the leader who has the power towards his assistant to regulate, order and determinate his assistant‘s action. It is strengthened in the picture four that shows the standing position of the West researcher who stands in front of the other two Asian researchers. It can be seen from the picture four that the other two Asian researchers are the ―weak‖ partners for the West researcher. It is the same like what Said (2003) has said in his book—Orientalism--that the relationship between Occident and Orient is a relationship of power, of domination, of varying degrees of a complex hegemony (4). Ashcroft and Kadhim (2001) also added that ―it refers to, but does not document, the material effects on the colonized of those techniques which construct them as inferior, dehumanized, infantilized‖ (97). From the quotation above, it can be said that the past colonization affects the Asian researchers until they think that they are inferior and backward, in other side, they think the West researcher is more superior and has the higher position than them. When the feeling of inferiority has been constructed and internalized in the mind, the hegemony which said that the West is the supreme human and born being the leader to lead or take control over other people in the world appear like what Said (2003) said,
544 |
JURNAL IMU BUDAYA
―Orientalism is never far from what Denys Hay has called the idea of Europe, a collective notion identifying ―us‖ Europeans as against all ―those‖ non-Europeans, and indeed it can be argued that the major component in European culture is precisely what made the culture hegemonic both in and outside Europe: the idea of Europe identity as a superior one in comparison with all the non-European people and cultures (7).‖ From the quotation above, the term superior has labeled for the West especially Europe, not only the identity but also the culture compared to the other nations.
2. The West as the Source of the Knowledge
Picture 5
Picture 6
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
Picture 7
Picture 8 Beside the depiction of the West as the leader, the advertisement also depicts the West as the source of the knowledge. Picture five shows the West researcher is the only researcher interviewed by the reporter. Picture five also shows that there are also the other two Asian researchers behind the West researcher but the reporter prefers to interview the West researcher than them. It indicates that the scientific reference of the knowledge comes from the West so it does not need any other reference. Since the West becomes the only reference of the knowledge, it can be said that the West is more rational, more logic and has the higher intellectuality compared to the East. Picture eight shows the audience of the meeting attended by the two West researchers. It is emphasized that the West is the source of the knowledge because the West has so many competent researchers. In this case, people will internalize the hegemony that the West is the producer of the knowledge that has the competent experts in various fields who can be the primary source and reference of the research. The East
545 |
JURNAL IMU BUDAYA
researcher must depend on it so that their research can be called as the academic research and the result can be verified. It can be seen from here that there is the relationship between the power and the knowledge since when the East do not use the West as their reference, their research cannot be claimed or called as the accurate and academic research. Those two West researchers give applause in the end of presentation about the two Asian girls and the Lifebuoy Clini-Shield 10 soap. It means that those two West researchers think that the East should have been viewed in the frame like in the classroom, seminar and meeting. Moreover, it also shows that the East depend on the West to be disciplined and directed to keep their health as Said (2003) said, ―an assumption had been made that the Orient and everything in it was, if not patently inferior to, then in need of corrective study by the West. The Orient was viewed as if framed by classroom, the criminal court, the prison, the illustrated manual…is knowledge of the Orient that places things in Oriental in class, court, prison, or manual for scrutiny, study, judgement, discipline, or governing (41).‖ From the quotation above, it can be seen which side can be considered as the subject or the object. Since the West researcher becomes the only one source of the knowledge, he can be called as the subject. It can be seen from the picture six and seven that shows two Asian girls, the one who is sick and the one who uses Lifebuoy Clini-Shield 10 soap through the wide screen in the large meeting. It means that the West researcher acts as the subject of the research while the two Asian girls act as the object of the research. They are regarded as the thing to be observed, learned, and researched as what Said (2003) said ―the Oriental is depicted as
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
something one judges (as in a court of law), something one studies (as in a curriculum), something one disciplines (as in a school or prison), something one illustrates (as in zoological manual) (41).‖ ―The Orient is taught, researched, administered, and pronounced upon in certain discrete ways (2003:202).‖ From the quotation above, it can be said that the position of the East is only ―something‖ need to be studied, researched and disciplined by the West. The West does not treat the East as the living thing or human but only treat the East as the inanimate thing. In this case, the West researcher depicted as the one who observe the East (the two Asian girls) who cannot protect themselves from the bacteria. The West researcher acts like the one who teaches and disciplines the East who does not know how to wash the hand appropriately in order to be avoided from the bacteria which cause the disease. 3. The West as the Inventor of the New Technology
Picture 9
Picture 10
546 |
JURNAL IMU BUDAYA
Picture 11 Another image shown in this advertisement is the West as the inventor of the new technology. It can be seen in picture nine that shows the invention of the new technology called as active naturol shield that has protected the tree for some hundred years. It means that it can also protect the human from the bacteria ten times better than the rest of the other anti-bacteria soaps. This new technology then shaped into the soap that can be seen in picture ten. The soap is on the hand of the major West researcher that emphasizes the soap is his invention. Moreover, it also shows that the West is the independent people that can invent the best quality soap to protect the skin from the bacteria. In the other hand, it indicates that the East can do nothing to solve their problem but depend on it to the West. The East is in the position of dependency towards the West as Said (1989) said in the term of ―fixed in zones of dependency and peripherality (207)”. Besides, the independent West who invent the new technology through the exploration and take the benefit from the nature strengthens their position as the inventor by the statement in the narration of the advertisement, ―because of it, we create Lifebuoy Clini-Shield 10, ten times better protection from any other famous anti bacterial soaps.‖ From the statement said by the West researcher above, it indicates that he is stronger than the East who is weak and needs help from the West like what has been said by Said (2003), “…the Orient was
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
weaker than the West, which elided the Orient‘s difference with its weakness (204).” In this case, the East is also positioned as the consumer of the technologies that have been invented by the West. It is strengthened with the statement in the official web of Lifebuoy that said Activ Naturol Shield technology has been patented by the West as their invention so that the other people cannot claim the technology as their invention. The West‘s decision to patent it affects the East becomes the real consumer of their technologies. In other words, there is a commoditization to make the technology has the exchange value or economic value. From the explanation above, hegemony that appears in this advertisement is the common belief that the West is the centre of the civilization since the civilization is related to the invention of the new technologies. Because there is the difference of the development of the technology, then there is a classification which state has already developed and which state has not developed yet. From the explanation above, it is inferred that the image about West depicted in Lifebuoy Clini-Shield 10 shows the superiority of the West towards the East. It can be categorized as racist and ethnocentric. It is because the depiction of particular race—Europe or West—is always depicted as the best race that has some supremacy compared with the other races as Said (2003) said ―…every European was consequently a racist, an imperialist, an ethnocentric (204).‖ In other words, this advertisement perpetuates the belief that the best people in the world comes from the West and, as the effect, the East will adore more everything about the West including their physical, behavior and invention. Besides, the feeling of inferiority will grow stronger for the East as the result of their past history—the West‘s imperialism towards the
547 |
JURNAL IMU BUDAYA
East especially third world countries (Said, 1993:xii). Here, this not only support this assumption and belief, but also spread them in order to perpetuate it advertisement in elegant (not aggressive and controversial) ways that can be accepted by the people. V. Conclusion Advertisement is the right medium to strengthen the ideological construction to the audience‘s mind. Lifebuoy Clini-Shield 10 advertisement tries to strengthen the depiction of the West that has more power and higher position than the East. The advertisement shows that the West is depicted as the leader, the source of the knowledge and the inventor of the technology through the West researcher. As the effect, people will internalize the hegemony that the West is the most superior nation among the other nations whose people born to lead the world. In this case, the West depicted as the superior in the academic field which shows the West as the producer of the knowledge having many the experts in any field who become the primary reference in the research. In other words, the West turns into the subject that treats the East as the object or inanimate living.
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
Besides, the West also depicted as the centre of the civilization considering that the civilization is linked to the production the new inventions. As the effect, the East will consider themselves as the inferior nation and must depend on to the West to solve every problem that the East has. All of these things will refer to racist and ethnocentric for the West. References Ashcroft, Bill and Husein Kadhim. 2001. Edward Said and The Post-Colonial. New York: Nova Science Publisers Inc. Murti, Ghanesya Hari. 2010. American‟s Perspective of a Geisha in Arthur Golden‟s Memoirs of a Geisha. Said, Edward W. 1989. Representing the Colonized Anthropology‟s Interlocutors. Critical Inquiry:205-225. ____________. 1993. Cultural Imperialism. New York: Knopf. ____________. 2003. Orientalism. London: a Division of Random House Inc. Widyaresmi, Sistha. 2012. Timur yang menjadi Barat: Orientalisme dalam Ranah Diskursif. www.lifebuoy.co.id/
548 |
JURNAL IMU BUDAYA
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
PERSELINGKUHAN DAN KESETIAAN DALAM SINETRON “CATATAN HATI SEORANG ISTRI” (SUATU STUDI ANALISIS KOMUNIKASI KELUARGA DALAM PERSPEKTIF SEMIOTIKA) Dwi Ratnasari, Hafied Cangara, Muhammad Hasyim Jurusan Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Jurusan Sastra Perancis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin
[email protected],
[email protected],
[email protected] ABSTRACT
This research aimed to investigate the representations of infidelity and loyalty, and its effects of the actor of the infidelity and loyalty on the communication of an Islamic family as presented in the soap opera ―Catatan Hati Seorang Istri‖. The method used in analyzing the soap opera ―Catatan Hati Seorang Istri‖ was descriptive-qualitative with the approach of semiotic theory by Roland Barthes. In semiotic approach, the message communication process experienced two layers of meaning, namely he first layer (denotation or the illustration of the infidelity and loyalty in the opera soap ―Catatan Hati Seorang Istri‖) and the second layer (connotation or the concept of infidelity and loyalty). The research results revealed that there were 86 pictures representing the infidelity, 10 pictures representing the loyalty, and 20 pictures representing the effect of the infidelity actor, and 2 pictures representing the effect of the loyalty actor on the family communication in the islamic perspective as represented in the opera soap ―Catatan Hati Seorang Istri‖. Besides, in the opera soap ―Catatan Hati Seorang Istri‖ semiotically, the signs for lying were used to represent infidelity, while the signs of the shalehah women were used to represent loyalty. In the opera soap ―Catatan Hati Seorang Istri‖, infidelity and loyalty effects had significant effects on the communication of islamic families. Keyword: infidelity, loyalty, the soap opera, family communication
A. Pendahuluan Sinetron adalah sebuah sinema elektronik tentang sebuah cerita yang di dalamnya membawa misi tertentu kepada pemirsa. Misi ini dapat berbentuk pesan moral untuk pemirsa atau realitas moral yang ada di kehidupan masyarakat seharihari (Kuswandi, 2008: 120). Beragam jenis sinetron telah menghiasi layar kaca televisi, misalnya, sinetron religi (agama), komedi, horor, dewasa, remaja, dan anak. Agar penyajian sinetron lebih menarik, maka production house mengemas sinetron dengan berbagai konflik. Namun satu hal yang sangat menarik karena sinetron
selalu diwarnai dengan konflik keluarga, baik itu konflik konflik antara anak dengan orang tuanya maupun antara suami dengan istri. Menurut Koerner, sebenarnya ada tradisi yang sudah berlangsung lama dan menjadi minat yang kuat terhadap penelitian ilmiah tentang pernikahan dan keluarga di Amerika Serikat baik dari sudut pandang sosiologis (makro) maupun psikologis (mikro) (Berger, dkk, 2014: 675). Komunikasi memiliki peran penting dalam menciptakan keharmonisan dan keutuhan sebuah rumah tangga. Dengan komunikasi, suami maupun istri mampu
549 |
JURNAL IMU BUDAYA
mengekspresikan apa yang mereka rasakan atau yang mereka pikirkan. Dengan komunikasi sebuah pasangan akan saling memahami sudut pandang pasangannya, ikut merasakan kesedihan ataupun kegembiraan pasangannya, serta saling bertukar informasi. Namun di sisi lain, kehidupan rumah tangga juga sering mengalami misscommunication, yang pada akhirnya malah mengancam keharmonisan keluarga tersebut, misalnya adanya pihak ketiga antara suami atau istri yang dikenal sebagai selingkuhan. Inilah bentuk ujian yang dihadapi dalam kehidupan rumah tangga Hana yang digambarkan dalam sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖. Hana diuji ketika menemukan sosok bernama ―Hello Kitty‖ yang selalu mengirim SMS mesra pada suaminya. Namun sebagai seorang istri, Hana tetap setia mendampingi suaminya yang berselingkuh. Selingkuh adalah suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri; tidak berterus terang; tidak jujur; curang; serong; suka menyeleweng (Kamus Bahasa Indonesia, 2015). Sementara perselingkuhan adalah melakukan tindakan selingkuh. Jadi perselingkuhan dalam keluarga (hubungan suami-istri) adalah suami/istri menyeleweng dengan orang lain yang bukan pasangan sahnya (bukan suami/istrinya). Adapun pengertiaan kesetiaan adalah keteguhan hati; ketaatan (dalam persahabatan, perhambaan, dan sebagainya); kepatuhan (Kamus Bahasa Indonesia, 2015). Dengan kata lain, kesetiaan dalam keluarga adalah keteguhan hati suami/istri untuk tetap hidup bersama membangun keluarga sakinah dalam suka maupun duka. Dengan demikian, dibutuhkan kajian semiotika untuk mengetahui bentuk tanda perselingkuhan dan kesetiaan yang direpresentasikan dalam sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖. Penelitian ini ingin mengkaji lebih masalah dalam keluarga
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
yang secara signifikan mempengaruhi komunikasi keluarga ditinjau dari perspektif islam. B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang ada, maka peneliti merumuskan beberapa masalah yang akan dijawab pada hasil penelitian: 1. Bagaimana bentuk tanda perselingkuhan yang direpresentasikan dalam sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖? 2. Bagaimana bentuk tanda kesetiaan yang direpresentasikan dalam sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖ saat menghadapi pasangan yang berselingkuh? 3. Bagaimana pengaruh yang ditimbulkan oleh pemeran perselingkuhan dan kesetiaan terhadap komunikasi keluarga ditinjau dari perspektif islam yang direpresentasikan dalam sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖? C. Kajian Konsep dan Teori a. Sinetron sebagai Studi Media Perkembangan sinetron televisi di Indonesia saat ini sangat pesat. Banyaknya paket sinetron serial maupun lepas di televisi swasta, secara langsung mencerminkan prospek cerah bagi Production House (Rumah Produksi) maupun biro periklanan yang berperan sebagai salah satu pemasok dana untuk mensponsori pembuatan dan penayangan sinetron televisi (Kuswandi, 2008: 74). Menurut Mulyadi (2010) yang ditulis dalam blognya, www.asaltahu.com bahwa di dalam film-film barat dan kartun barat, sering sekali kita mendengarkan kata ―opera sabun‖ atau dalam bahasa inggrisnya soap opera adalah sebuah episode fiksi yang sering ditayangkan sebagai sandiwara radio, poster, atau siaran televisi yang selalu ada lanjutannya (to be continued). Dalam pengertian Indonesia, opera sabun sering diartikan sebagai sinetron atau telenovela, yaitu tayangan televisi bersambung yang
550 |
JURNAL IMU BUDAYA
episode berikutnya akan ditayangkan pada waktu tertentu.Di Indonesia istilah sinetron dikenalkan pertama kali oleh Bapak Soemardjono, salah satu pendiri Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Sinetron sendiri berasal dariSinema Elektronik yaitu sebuah tayangan sinema (film) berseri yang ditonton melalui media elektronik (televisi) (www.sinetron-indonesiamuhammadyasin.com). Sinetron religi kemudian melejit meramaikan televisi nasional berbarengan dengan sinetron lainnya pada era millenium. Namun sayangnya sinetron religi pada masa itu jauh dari label keislaman sebagaimana yang diajarkan dalam Islam. Aroma mistik muncul menghisasi sinetron seperti Taubat, Rahasia Ilahi, Takdir Ilahi, Kuasa Ilahi, Misteri Ilahi, dan insyaf. Mistik tampak bagaimana siksa kubur yang diderita si mayat dipertontonkan kepada masyarakat (www.sinetron-indonesiamuhammadyasin.com). Sinetron hendaknya mewakili kondisi pemirsa yang heterogen. Meskipun kehadiran sinetron cenderung dianggap gagal untuk mengubah perilaku masyarakat menjadi lebih positif, namun setidaknya pemirsa diajak untuk merenungkan isi pesan yang disampaikan dalam sinetron. Intinya, para production house harus lebih selektif lagi dalam mengemas sinetron yang akan dibuatnya karena bagaimanapun pemirsa membutuhkan tayangan sinetron yang berkualitas bukan hanya sekedar memberikan hiburan semata. Kehadiran sinetron bergenre drama dengan bernafaskan religi memberikan warna yang berbeda dalam dunia hiburan di tanah air, misalnya sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖. Untuk genre dari sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖ adalah drama dengan format sinetron yang diproduksi oleh SinemArt yang disutradarai Maruli Ara sedangkan Hilman Wirajaya adalah penulis dari naskah
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
sinetron ini. Sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖ diperankan oleh Dewi Sandra sebagai Hana, Yasmine Wildblood sebagai Vina, Intan Nuraini sebagai Anisa, Cut Meyriska sebagai Karin/Hello Kitty, Ashraf Sinclair sebagai Bram, Baim Wong sebagai Helmi, Oka Antara sebagai Rudolf, Alexandra Gottardo sebagai Sofie, dan beberapa artis pendukung lainnya. Sinetron ini pertama kali ditayangkan pada tanggal 9 Juni 2014. Adapun periode siarannya adalah 9 Juni – 29 Desember 2014 dengan total 274 episode. Kisah sinetron ini diadaptasi dari novel laris berjudul sama karangan Asma Nadia. b. Komunikasi Keluarga Komunikasi dianggap sebagai salah satu aktivitas yang sangat fundamental dalam kehidupan umat manusia. Sifat manusia untuk menyampaikan keinginannya dan untuk mengetahui hasrat orang lain merupakan awal keterampilan manusia berkomunikasi secara otomatis melalui lambang-lambang isyarat, kemudian disusul dengan kemampuan untuk memberi arti setiap lambang-lambang itu dalam bentuk bahasa verbal (Cangara, 2012: 4). Begitupun halnya dengan kehidupan keluarga. Komunikasi menjadi hal yang sangat mendasar dalam menjalin hubungan dengan anggota keluarga lainnya. Baik itu dilakukan dengan komunikasi verbal maunpun nonverbal atau kode/isyarat yang disepakati dalam keluarga tersebut. Menurut Kurniadi, keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia dimana ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial, dalam interaksi dengan kelompoknya. Sementara menurut Murdock, menjelaskan bahwa dalam keluarga yang sesungguhnya, komunikasi merupakan sesuatu yang harus dibina, sehingga anggota keluarga merasakan ikatan yang dalam serta saling membutuhkan. Keluarga merupakan kelompok primer paling penting dalam masyarakat, yang
551 |
JURNAL IMU BUDAYA
terbentuk dari hubungan laki-laki dan perempuan, perhubungan ini yang paling sedikit berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-anak. Keluarga dalam bentuk yang murni merupakan kesatuan sosial yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak (sumber: www.all-abouttheory.blogspot.com). Penelitian komunikasi keluarga secara signifikan lebih langka daripada penelitian tentang komunikasi pernikahan, terutama karena para peneliti di luar disiplin ilmu komunikasi lebih cenderung mengabaikan komunikasi sebagai variabel yang menarik. Satu pengecualian dari kecenderungan ini adalah model sirkumpleks Olson tentang fungsi keluarga. Model ini bukan hanya menjadikan komunikasi sebagai konsep sentral di dalam fungsi keluarga, melainkan juga mengkonseptualisasikan komunikasi keluarga dalam peristilahan yang relatif canggih (Berger, dkk. 2014: 688). Menurut Koerner, sebenarnya ada tradisi yang sudah berlangsung lama dan menjadi minat yang kuat terhadap penelitian ilmiah tentang pernikahan dan keluarga di Amerika Serikat baik dari sudut pandang sosiologis (makro) maupun psikologis (mikro) (Berger, dkk, 2014: 675). Olson berargumen bahwa sistem keluarga paling bagus digambarkan dan fungsi mereka paling baik dipahami dengan mempertimbangkan dua atribut fundamental keluarga: kohesi dan adaptasi. Komunikasi keluarga didefinisikan oleh Olson sebagai dimensi yang berlaku untuk memfasilitasi. Artinya, adalah komunikasi keluarga yang menentukan ke mana keluarga akan tergolong menuruti dua dimensi dasar kohesi dan adaptasi. Komunikasi juga memungkinkan keluarga untuk mengubah lokasi mereka menuruti dimensi yang amat penting untuk penerapan model sirkumpleks terapi keluarga. Olson mengidentifikasi bahwa keterampilan komunikasi spesifik yang memfasilitasi peralihan tersebut
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
meliputi keterampilan seperti berbicara untuk diri dan menghindari berbicara untuk orang lain, keterampilan mendengarkan seperti kegiatan mendengarkan secara aktif dan empati (Berger, dkk. 2014: 688). Komunikasi yang terjadi dalam keluarga merupakan komunikasi yang unik. Komunikasi yang terjadi dalam keluarga melibatkan paling sedikit dua orang yang mempunyai sifat, nilai-nilai, pendapat, sikap, pikiran dan perilaku yang khas dan berbeda-beda. Komunikasi keluarga tidak sama dengan komunikasi antar anggota kelompok biasa. Komunikasi yang terjadi dalam suatu keluarga tidak sama dengan komunikasi keluarga yang lain. Setiap keluarga mempunyai pola komunikasi tersendiri. Relasi antara suami dan istri menunjukkan adanya keragaman yang luas. Komunikasi keluarga adalah proses penyampaian gagasan, harapan dan pesan yang disampaikan melalui lambang tertentu yang mengandung arti. Komunikasi keluarga ini dilakukan oleh penyampai pesan (sumber atau komunikator) yang ditujukan kepada penerima pesan (komunikan). Orang yang menjadi komunikator dalam interaksi keluarga, antara lain ayah, ibu, anak, suami, isteri, mertua, kakek, nenek. Selain sebagai komunikator, mereka juga bisa menjadi komunikan dimana pesan yang disampaikan dapat berupa informasi, nasehat, petunjuk, pengarahan, maupun meminta bantuan. c. Perselingkuhan dan Kesetiaan Rumah tangga sakinah mawadda warahmah adalah impian semua orang. Rumah tangga bahagia dilandasi oleh sikap saling percaya terhadap pasangan yang direalisasikan dalam kesetiaan suatu hubungan. Namun pada kenyataannya, banyak kasus perselingkuhan yang dialami oleh sebuah keluarga. Perselingkuhan ini tidak hanya dilakukan oleh suami tapi istri juga kerap terlibat perselingkuhan dengan laki-laki lain.
552 |
JURNAL IMU BUDAYA
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, selingkuh adalah suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri; tidak berterus terang; tidak jujur; curang; serong; suka menyeleweng. Sementara perselingkuhan adalah melakukan tindakan selingkuh. (sumber: http://kamusbahasaindonesia.org/ perselingkuhan) Jadi perselingkuhan dalam keluarga (hubungan suami-istri) adalah suami/istri menyeleweng dengan orang lain yang bukan pasangan sahnya (bukan suami/istrinya). Perselingkuhan sudah semakin akrab dengan kehidupan manusia. Bahkan boleh jadi para pelakunya berada di sekitar lingkungan kita sehari-hari. Adapun pengertiaan kesetiaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keteguhan hati; ketaatan (dalam persahabatan, perhambaan, dan sebagainya); kepatuhan (sumber: http://kamusbahasaindonesia.org/ kesetiaan). Dengan kata lain, kesetiaan dalam keluarga adalah keteguhan hati suami/istri untuk tetap hidup bersama membangun keluarga sakinah dalam suka maupun duka. d. Semiotika Menurut Komaruddin Hidayat, bidang kajian semiotika adalah mempelajari fungsi tanda dalam teks, yaitu bagaimana memahami sistem tanda yang ada dalam teks yang berperan membimbing pembacanya agar bisa menangkap pesan yang terkandung di dalamnya (Vera, 2014: 9). Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci dari analisisnya. Primary sign adalah denotative sedangkan secondary sign adalah satu dari connotative semiotics. Konsep connotative inilah yang menjadi kunci penting dari model semiotika Roland Barthers (Wibowo, 2011: 16). Fiske menyebut model ini sebagai signifikasi dua tahap (two order of
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
significations). Lewat model ini Barthers menjelaskan bahwa signifikasi pertama merupakan hubungan antara signifier (ekspresi) dan signified (content) di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Itu yang disebut Barthers sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda (sign) (Wibowo, 2011: 16-17). Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthers untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya (Wibowo, 2011: 17). Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya (Wibowo, 2011: 17). Dalam pandangan Umar Yunus, mitos tidak dibentuk melalui penyelidikan, tetapi melalui annggapan berdasarkan observasi kasar yang digeneralisasikan oleh karenanya lebih banyak hidup dalam masyarakat. Ia mungkin hidup dalam ‗gosip‘ kemudian ia mungkin dibuktikan dengan tindakan nyata. Sikap kita terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos yang ada dalam diri kita. Mitos ini menyebabkan kita mempunyai prasangka tertentu terhadap suatu hal yang dinyatakan dalam mitos (Wibowo, 2011: 17-18). Dalam perspektif ini, ideologi mempunyai beberapa implikasi penting: 1. Ideologi secara inheren bersifat sosial, tidak personal atau individual: ia membutuhkan ‗share‘ di antara anggota kelompok organisasi atau kreativitas dengan orang lainnya. 2. Ideologi meskipun bersifat sosial, ia digunakan secara internal di antara anggota kelompok atau komunitas. Oleh karena itu ideologi tidak hanya menyediakan fungsi koordinatif dan
553 |
JURNAL IMU BUDAYA
kohesi, tetapi juga membentuk identitas diri kelompok, membedakannya dengan kelompok lain (Wibowo, 2011: 18). e. Teori Interaksi Simbolik George Herbert Mead yang dikenal sebagai pencetus awal teori interaksi simbolik sangat mengagumi kemampuan manusia untuk menggunakan simbol; dia menyatakan bahwa orang bertindak berdasarkan makna simbolik yang muncul di dalam sebuah situasi tertentu. (West & Turner, 2011: 96). Interaksi simbolik didasarkan pada ideide mengenai diri dan hubungannya dengan masyarakat. Karena ide ini dapat diinterpretasikan secara luas. Ralph LaRossa dan Donald C. Reitzes (1993) telah mempelajari teori interaksi simbolik yang berhubungan dengan kajian mengenai keluarga. Mereka mengatakan bahwa tujuh asumsi mendasari interaksi simbolik. Namun, adapun tema yang berkaitan dengan penelitian ini adalah pentingnya makna bagi perilaku manusia dan pentingnya konsep mengenai diri. (West & Turner, 2011: 98). Teori interaksi simbolik berpegang bahwa individu membentuk makna melalui proses komunikasi karena makna tidak bersifat intrinsik terhadap apa pun. f. Teori Kebohongan Interpersonal Menurut Buller dan Burgoon, orang sering kali menghadapi situasi dimana mereka harus menyatakan sesuatu yang tidak sepenuhnya jujur dengan maksud untuk…‖ avoid hurting or offending another person, to emphasize their best qualities, to avoid getting into a conflict, or to speed up or slow down relationship (menghindarkan diri dari menyakiti atau menyinggung orang lain, untuk menekankan kehebatan diri, menghindari konflk, atau mempercepat atau memperlambat hubungan). (Morissan, 2010: 141). Buller dan Burgoon melihat kebohongan dan menelitinya sebagai bagian dari interaksi yang terus berlanjut
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
antarpelaku komunikasi yang menggunakan proses maju mundur. Kebohongan melibatkan manipulasi informasi, perilaku, dan citra yang dilakukan dengan sengaja untuk membuat orang lain memercayai kesimpulan atau keyakinan yang palsu. C. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Makassar pada April – Juni 2015. Objek penelitian ini adalah kumpulan sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖ yang berjumlah 274 episode. Adapun pengambilan sampelnya, yakni episode yang berhubungan dengan adegan perselingkuhan dan kesetiaan dalam sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖. Dalam hal ini, pemilihan episode yang dilakukan oleh peneliti berdasarkan kode yang lazim beroperasi dalam suatu teks menurut Barthes, yakni kode simbolik dimana tema merupakan sesuatu yang bersifat tidak stabil dan tema ini dapat ditentukan dan beragam bentuknya sesuai dengan pendekatan sudut pandang (perpekstif) pendekatan yang dipergunakan Vera, 2014: 30-31). Tipe penelitian yang digunakan adalah analisis isi dengan pendekatan semiotika. Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh pengetahuan tentang tanda perselingkuhan, kesetiaan, dan pengaruh yang ditimbulkan oleh pemeran perselingkuhan dan kesetiaan terhadap komunikasi keluarga dilihat dari perspektif islam yang direpresentasikan dalam sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖. Analisis semiotika yang digunakan bertujuan membongkar makna konotatif yang tersembunyi dalam teks media secara menyeluruh. Metode semiotika menganalisis data auditif, teks, audiovisual yang berbentuk verbal dan nonverbal, sehingga dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif. Namun untuk penelitian ini, data audiovisual berupa nonverbal hanya digunakan sebagai pendukung data-data
554 |
JURNAL IMU BUDAYA
verbal. Jadi, penelitian ini lebih menekankan pada verbal. Teknik penelitian yang digunakan adalah teknik analisis semiotika Barthes yakni sintagma atau biasa juga dikenal signifikansi dua tahap. Teknik ini berusaha melihat tata kerja tanda-tanda yang terdapat pada gambar. Penggunaan analisis ini sebagai perangkat analisis yang sengaja digunakan karena dianggap tepat untuk menguraikan fenomena budaya kontemporer masyarakat, sebagai sebuah pola hubungan tanda atau sistem komunikasi (penandaan/ pemaknaan) tahap kedua. Barthes lebih menekankan semiotika pada nilai makna pada tanda-tanda yang dihasilkan dalam penyajian gambaran perselingkuhan dan kesetiaan sehingga diperoleh makna denotasi dan konotasi dalam sinetron tersebut untuk mengetahui pengaruh perselingkuhan dan kesetiaan terhadap komunikasi keluarga. Semiotika memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan tanda. Analisis semiotika mengasumsikan pesan media tersusun atas seperangkat tanda yang tersusun untuk menghasilkan makna tertentu, yakni: 1. Deskripsi makna denotatif, yakni menguraikan dan memahami makna denotatif yang disampaikan oleh sesuatu yang tampak secara nyata atau materil dari tanda. Di sini sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖ dideskripsikan dengan melakukan identifikasi simbol perselingkuhan dan kesetiaan serta pengaruhnya terhadap komunikasi keluarga islam yang muncul. 2. Sebuah film menciptakan mitologi atau ideologi sebagai sistem konotasi. Apabila dalam denotasi teks mengekspresikan primary atau natural meaning, maka dalam level konotasi mereka menunjukkan ideological atau secondary meaning. Semiotika berusaha menganalisis teks film sebagai
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
keseluruhan struktur dan memahami makna yang konotatif dan tersembunyi. D. Hasil dan Pembahasan 1. Sinopsis Sinetron “Catatan Hati Seorang Istri” Dalam sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖, digambarkan bahwa Hana dan Bram sebagai tokoh utama merupakan sebuah keluarga yang harmonis. Banyak keluarga yang mencurahkan masalah rumah tangganya kepada Hana lewat email karena Hana diperankan sebagai penulis web ―Catatan Hati Seorang Istri.‖ Namun, prahara yang muncul dalam rumah tangga Hana adalah ketika Hana harus menerima kenyataan bahwa suaminya berselingkuh dengan adik sahabatnya sendiri (Karin). Perselingkuhan inilah yang memicu rumah tangga Hana dan Bram selama delapan tahun berakhir dengan perceraian. Akibat perselingkuhan Bram, Hana mengalami keguguran. Sementara perceraian Hana dengan Bram, membuat anak pertamanya menjadi trauma. Tapi pada akhirnya anak tersebut hidup bahagia dengan ibunya. Hana memutuskan menikah dengan duda beranak satu dimana pernikahan Hana & suami keduanya berakhir dgn kebahagiaan. Sebaliknya, perkawinan Bram dengan Karin (selingkuhannya), berakhir dengan kesengsaraan. Namun di akhir kisah, suami kedua hana meninggal dunia sehingga ada kekhawatiran bagi istri kedua Bram jika Bram rujuk dengan mantan istrinya (Hana). Tapi Bram sadar kalau Hana tidak akan mungkin kembali padanya sehingga Hana dan Bram memilih untuk hidup masingmasing. 2. Representasi Perselingkuhan Sangat penting diketahui bahwa seorang suami/istri yang tidak menemukan perubahan pada sikap dan perilaku seharihari pasangannya, akan sulit mendeteksi perselingkuhan yang dilakukan oleh pasangannya. Seperti yang direpresentasikan
555 |
JURNAL IMU BUDAYA
dalam sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖, dimana Hana pada awalnya hanya merasa curiga kalau suaminya selingkuh, namun seiring berjalannya waktu, perselingkuhan suaminya pun akhirnya terungkap dengan pengakuan Bram sendiri. Awal perselingkuhan Bram terungkap ketika Hana menemukan banyak SMS mesra dari Hello Kitty untuk Bram (Gambar 1). Selain itu, Bram sering terlambat pulang ke rumah dengan banyak alasan dan saat pulang ke rumah, Hana mencium wangi parfum perempuan lain di tangan Bram (Gambar 2). Dalam beberapa kasus perselingkuhan, seorang suami/istri yang berselingkuh tentu menjalani suatu proses bersama selingkuhannya hingga mereka akhirnya melakukan tindakan selingkuh, seperti yang direpresentasikan dalam sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖ dimana Karin menceritakan bagaimana proses perselingkuhannya dengan Bram kepada Hana yang diawali dengan kekaguman Karin kepada seorang pria dewasa yang telah memiliki istri (Bram). Kemudian hubungan Bram dan Karin semakin akrab dengan saling memberikan perhatian. Selain itu, Bram juga telah berani mengizinkan Karin masuk ke kamar hotelnya. Dari keakraban tersebut muncul perasaan saling menyukai sehingga berlanjut pada tahap perselingkuhan, yakni pada hubungan intim. Adapun beberapa aktivitas perselingkuhan yang direpresentasikan dalam sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖ adalah Bram dan Karin saling mengirimkan SMS mesra, menghubungi lewat telepon, makan siang, menyewa apartemen, dan kebersamaan di kamar hotel (Gambar 3). Setiap perbuatan, baik itu perbuatan terpuji maupun tercela memiliki konsekuensi yang berbeda. Akibat yang diperoleh bagi suami yang berselingkuh yang direpresentasikan dalam sinetron
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
―Catatan Hati Seorang istri‖ adalah munculnya kekhawatiran bagi pelaku perselingkuhannya karena sering diancaman oleh selingkuhannya yang ingin bunuh diri jika tidak dinikahi. Selain itu, pelaku perselingkuhan akan mendapatkan image/citra diri yang buruk, baik di keluarganya maupun di lingkungannya sekelilingnya. Sementara akibat yang diperoleh bagi wanita selingkuhan yang direpresentasikan dalam sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖ adalah image/citra diri yang buruk bagi wanita selingkuhan di mata masyarakat, hamil di luar nikah, melahirkan tanpa menyandang status sebagai istri karena pelaku perselingkuhan cenderung menolak bertanggung jawab atas kehamilan selingkuhannya. Selain itu, wanita selingkuhan cenderung depresi atas permasalahan yang dihadapiny. Sedangkan bagi istri yang diselingkuhi merasa kecewa terhadap pasangannya yang berselingkuh. Namun buah dari kesabarannya, Hana mendapat pasangan yang lebih baik. Meskipun kebersamaan mereka hanya sesaat karena suami kedua Hana (Wisnu) meninggal dunia karena sakit, tapi Hana lebih damai menjalani hidupnya daripada hidup bersama Bram. Ada akibat, ada pula penyebab perselingkuhan. Dalam sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖, penyebab perselingkuhan adalah kehadiran sosok wanita (Karin) yang agresif menggoda Bram (Gambar 3), iman Bram yang tidak kuat sehingga mudah tergoda, alasan rumah tangga yang hancur untuk mendekati selingkuhannya, dan pelaku perselingkuhan mencintai selingkuhannya. Berikut gambar representasi perselingkuhan dalam sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖
Tabel 1. Representasi Perselingkuhan
556 |
JURNAL IMU BUDAYA Visual
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
Dialog/Suara/Teks Bunyi SMS masuk… Hana: ―Pasti dari klien penting. Pasti mas Bram kebingungan deh HPnya ketinggalan. Tapi kalau kliennya penting gimana? Kalau urusannya penting gimana?‖ (Membaca SMS Bram dari Hello Kitty)
Gambar 1. Hello Kitty mengirim SMS mesra untuk Bram (Episode 1) Penanda Hana membaca SMS suaminya Visual
Isi SMS dari Hello Kitty: Sayang, kita makan siang dimana? Hana: ―Hello kitty? Siapa? Nggak. Ini mungkin teman kantornya doang.‖ (Mengecek SMS di HP Bram) ―MasyaAllah, SMS dari Hello Kitty kok banyak sekali?‖ Pertanda Bram menerima SMS mesra dari Hello Kitty Dialog/Suara/Teks Bram: ―Assalamu Alaikum‖ Hana: ―Waalaikum Salam.‖ (Mencium tangan Bram sambil bergumam dalam hati) ‖Ya, Allah kok tangan mas Bram wangi parfum perempuan?‖
Gambar 2. Hana mencium tangan Bram yang wangi parfum wanita saat pulang kantor (Episode 2-3) Penanda Pertanda Hana mencium tangan Bram Hana curiga pada Bram yang pulang dengan bau parfum wanita di tangannya Visual Dialog/Suara/Teks Karin memegang handphone Bram Bram: ―Kok dimatiin? Kamu tahu itu telepon dari siapa?‖
Gambar 3. Bram bersama Karin di kamar hotel (Episode 4-5)
Karin: ―Iya, Mas Bram. Karena aku tahu ini dari siapa makanya aku matiin. Lagian ngapain sih dia gangguganggu kita lagi pacaran ya?‖ Bram: ―Karin, kamu udah kelewatan. Istri aku punya hak untuk telepon aku. Aku udah janji sama dia, aku akan pulang cepat tapi kamu nahan aku terus di sini.‖ Karin: ―Jadi menurut kamu lebih penting istri sama anak
557 |
JURNAL IMU BUDAYA
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
kamu ketimbang aku, Mas? Aku benar-benar nggak nyangka. Kamu tega ngomong gitu ke aku. Mas, aku udah nggak penting lagi ya, buat kamu?‖ Bram: ―Karin, bukan begitu maksud aku. Kita harus sama-sama tahu kondisi. Kamu dari dulu tahu kalau aku punya keluarga dan aku nggak bisa ngabisin semua waktu aku sama kamu. Anak, istri aku juga berhak atas waktu aku.‖ Karin: ―Makanya, Mas kamu harus didik istri kamu supaya dia nggak cerewet nanyain kamu dimana lagi. Sekarang aja dia nyari-nyariin kamu, nanya-nanya kamu dimana. Gimana nanti kalau kita punya apartemen? Kamu nggak pulang dikit, dicariin kemana-mana.‖ Pertanda Bram menghabiskan waktu bersama Karin di kamar hotel
Penanda Karin bersama Bram di kamar hotel Sumber: Hasil Olahan Data Primer, 2015
3. Representasi Kesetiaan Dalam sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖, kesetiaan yang ditunjukkan oleh seorang istri (Hana) dalam menghadapi suaminya yang berselingkuh adalah dengan tetap menghormati suaminya sebagai kepala keluarga dengan mencium tangan suaminya, meminta izin saat akan keluar rumah, menceritakan kebaikan suaminya (Gambar 4), menjaga kehormatan diri dan keluarga dengan memberikan ketegasan terhadap pria asing yang mencoba mengusik rumah tangganya dengan menelepon di malam hari
(Gambar 5), bersikap baik kepada suami dengan menjaga suaminya saat sedang sakit dan membutuhkan dukungan moril (Hana tetap mendampingin Bram saat akan mengumandangkan azan di telinga anak Bram dengan selingkuhannya), dan mengikuti perintah suami, yakni ketika Bram meminta Hana untuk keluar dari pekerjaannya, maka Hana lebih memilih untuk patuh dan taat pada suaminya. Berikut tabel representasi kesetiaan dalam sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖
Tabel 2. Representasi Kesetiaan Dialog/Suara/Teks Sofie: ―Terpesona sama suamimu? Enggaklah. Enggak mungkin. Ayo duduk. Kamu beruntung banget ya punya suami yang baik, yang pengertian, dan kelihatannya dia jujur deh. Iya, kan? Wow, udah berapa lama kalian nikah?‖ Hana: ―Alhamdulillah aku dan mas Bram udah menikah 8 tahun.‖ Sofie: (Dalam hati) ―Gimana kalau sampai 8 tahun Gambar 4. Hana membahas pernikahan Hana hancur hanya gara-gara adik aku?‖ kepribadian Bram kepada Sofie Hana: ―Terus, terus, nyonya cantik, kamu kapan akan (Episode 2-3) Visual
558 |
JURNAL IMU BUDAYA
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
nyusul? Kamu harus ingat umur dong, iya, kan. Waktu terus berjalan. Kamu kapan bakalan ikut nyusul menikah?‖ Sofie: ―Tapi dia laki-laki yang baik kan?‖ Hana: Sof, kamu gimana sih jawabannya nggak nyambung gitu deh. Sof, udah deh kamu jangan cari alasan mau cari suami yang sama kayak suami aku. Ingat ya, di dunia ini tidak ada dua manusia yang punya dua karakter kepribadian yang sama dan Allah itu Maha Besar. Dia mampu menciptakan hamba-hambaNya dengan segala kekurangan dan kelebihan. Jadi pasti tidak ada dua manusia yang sama. Tapi ya Alhamdulillah mas Bram itu suami dan ayah yang baik dan dia sayang sama aku sama Rossi. Ya, family man gitu deh. Bram: ―Ya, Allah Hana masih memuji aku padahal dia udah baca semua SMS aku ke Karin.‖ Penanda Pertanda Sofie bertanya soal Bram kepada Sofie yang tahu kalau Bram adalah berselingkuh dengan Hana. Gerakan tangan Sofie adiknya (Karin) mencoba menanyakan kepribadian menunjukkan dia bertanya Bram sebagai sosok suami di mata Hana dan Bram tidak menyangka kalau Hana tetap memuji diri padahal jelasjelas Hana telah membaca SMS dari Hello Kitty Visual Dialog/Suara/Teks Tristan: ―Hana, mestinya suami kamu baca postingan blog terbaru kamu. Maaf, baru diledekin sedikit aja, udah kayak kebakaran jenggot gimana ya kira-kira kalau ternyata saya itu beneran jatuh cinta sama kamu. Nggak kebayang pasti kantor kita langsung dipasagin bom kali ya sama dia.‖ Hana: ―Tolong, ya kalo bukan urusan kerjaan, tidak Gambar 5. Hana yang merasa usah telepon saya.‖ (Langsung mematikan handphonetidak senang saat Tristan nya) (atasannya) menelepon di malam hari (Episode 67-68) Pertanda Penanda Hana menelepon dengan Hana bersikap tegas tidak mempedulikan Tristan jika ekspresi tidak senang bukan urusan kantor Sumber: Hasil Olahan Data Primer, 2015 4. Pengaruh yang Ditimbulkan oleh Pemeran Perselingkuhan dan Kesetiaan Terhadap Komunikasi Keluarga Ditinjau dari Perpektif Islam
Perselingkuhan dalam rumah tangga, akan memberikan pengaruh terhadap psikologi pelaku karena kebohongan yang selalu diciptakannya, akan terus membayanginya (Gambar 6). Selalu ada kekhawatiran dalam dirinya jika
559 |
JURNAL IMU BUDAYA
kebohongannnya terungkap. Hal ini juga akan mempengaruhi komunikasi keluarganya. Seseorang yang terbukti selingkuh oleh pasangannya, menghasilkan image atau citra diri yang buruk terhadap pelakunya. Pasangan yang diselingkuhi, mempunyai cara yang berbeda-beda dalam menghadapi perselingkuhan pasangannya. Seseorang yang menjunjung kesetiaan dalam rumah tangganya, akhirnya memilih untuk memaafkan suaminya (Gambar 8) sehingga dalam sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri, direpresentasikan bahwa kesetiaan akan menjadikan hidup seseorang tenang, damai, dan bahagia (Gambar 9). Namun ketika maaf tidak ada gunanya lagi dan pelaku perselingkuhan mengulangi kesalahannya, maka perceraian menjadi jalan keluar terakhir (Gambar 7). Dalam hasil penelitian ini, peneliti menyajikan pengaruh perselingkuhan dan kesetiaan terhadap komunikasi keluarga dengan konsep islam. Hal ini dapat dilihat dari tendensi konten sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖ yang dikemas dalam nuansa Islam. Adapun penggambaran ideologi islam yang dimaksud antara lain: 1. Seluruh pemain dalam sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖ adalah muslim. 2. Pemeran dalam sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖ selalu mengucapkan salam “Assalamu Alaikum” saat mau masuk ke rumah, ketika bertemu pemeran yang lain, atau akan berpisah dengan pemeran lain dalam sinetron tersebut. 3. Hana sebagai pemeran utama dalam sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖ ditonjolkan sebagai wanita muslimah sejati yang dalam kesehariannya mengenakan busana muslimah. 4. Pemeran sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖ mengerjakan sholat, baik sholat sendiri maupun shalat berjamaah.
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
Apalagi ketika pemeran dalam sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖ membutuhkan tempat untuk mengaduh dan membutuhkan pertolongan Allah SWT. Manusia adalah selemahlemahnya makhluk dan Yang Maha Berkuasa atas segalanya hanyalah Allah SWT karena tidak ada tempat yang paling indah untuk mengaduh selain kepada Allah SWT. Selain itu, pemeran sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖ berdzikir dalam kesehariannya. 5. Pemeran sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖ ditampilkan sedang membaca ayat suci Al-Qur‘an. 6. Sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖ dikemas dalam nuansa bulan suci Ramadhan. 7. Salah satu pasangan dalam sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖ digambarkan melakukan ibadah umrah. 8. Dalam sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖ digambarkan ketika menyambut kelahiran bayi, maka ayah sebagai pemimpin keluarg mengumandangkan suara adzan di telinga kanan bayi yang baru lahir. 9. Acara pernikahan dilaksanakan dengan cara islam. 10. Digambarkan ketika salah satu pemeran dalam sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖ menceraikan istrinya, menggunakan istilah talak yang telah diatur dalam agama Islam. 11. Ditampilkan seorang ustadz memberikan ceramah di mesjid. 12. Ketika ada kematian, jenazah dimakamkan di pekuburan islam. 13. Web ―Catatan Hati Seorang Istri‖ adalah Web yang berlandaskan aqidah Islam. Segala saran yang diberikan penulis blog kepada pembacanya sesuai dengan syariat Islam. Berikut adalah gambar pengaruh perselingkuhan dan kesetiaan dalam sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖ terhadap
560 |
JURNAL IMU BUDAYA
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
komunikasi keluarga ditinjau dari perpektif islam: Tabel 3. Pengaruh yang ditimbulkan oleh pemeran perselingkuhan dan kesetiaan dalam sinetron “Catatan Hati Seorang Istri” Pengaruh yang ditimbulkan oleh pemeran perselingkuhan terhadap komunikasi keluarga Visual Dialog/Suara/Teks Hana: (Menulis curahan hatinya di blog) ―Ya, Allah, Ya Robbi, mungkinkah hati ini bisa kuat tanpa harus pernah luka lebih dulu? Mungkinkah bisa pulih kembali setelah kepercayaan pecah berkeping-keping? Bagaimana aku bisa tinggalkan cemburu? Bagaimana aku bisa menghanyutkan duka bila sungai-sungai surga di hati suamiku telah tercemar? Bagaimana aku bisa menghapus air mataku yang mengalir? Ya, Allah berilah Gambar 6. Gambar Bram kabar baik ke dalam hati kami lewat angin gerimis pagi, sedang membaca curahan hati lewat suara-suara dalam hati yang selalu menyayatHana tentang perselingkuhan di nyayat di tiap ingatan nama itu. Ya, Allah, dalam web-nya tahajjud dan sujud panjangku aku bertanya apakah (Episode 2-3) setiap suami selalu pernah menodai cintanya pada istri? Apa yang terjadi pada para istri sahabatku, mungkinkah terjadi pada diri kami?‖ Bram: (Bergegas ke toilet setelah membaca curhat Hana di blognya) ―Ya, Allah, apa yang telah aku lakukan. Bagaimana aku bisa mengkhianati cinta suci Hana? Padahal selama ini, Hana tidak melakukan kesalahan apapun yang membuatku pantas berpaling pada perempuan lain.‖ Hana: (Dalam hati) ―Ya, Allah, aku ketiduran.‖ (Mengecek komputernya dan tetap bergumam dalam hati) ―Eh, pasti mas Bram yang udah matiin komputer aku tapi kalau gitu berarti mas Bram sudah membaca postingan blogku tadi dong?‖ Bram: (Keluar kamar menemui Hana) ―Bunda udah bangun? Ayah nggak tega bangunin tadi.‖ (Mendekati Hana) ―Kayaknya capek banget.‖ Hana: (Mulai menghindari Bram) ―Iya tadi aku kecapean banget. Ya, udah aku tidur duluan, ya.‖ (Masuk ke kamar) Bram: ―Ya, Allah Hana beneran menghindar. Itu berarti..‖ Penanda Pertanda Bram berdiri depan di komputer Bram mulai merasa bersalah pada Hana karena telah mengkhianati pernikahan mereka dan mulai menyadari kalau sikap Hana mulai menghindarinya
561 |
JURNAL IMU BUDAYA Visual
Gambar 7. Gambar Hana yang akhirnya harus rela bercerai dengan Bram (Episode 192)
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
Dialog/Suara/Teks Bram: ―Maafin semua kesalahanku. Maafin semua kebodohanku. Maafin semuanya. Aku menyesal telah melakukan semua kebodohan ini. Aku selalu menyakitimu. Aku menyesal soal Karin. Aku menyesal karena aku telah ngebohongi kamu soal hasil tes DNA. Aku mohon sama kamu, tolong maafin semua kesalahanku. Aku mohon sama kamu.‖ Hana: ―Mas, aku mau memaafkan kamu supaya aku bisa tenang. Aku mau melupakan semuanya supaya aku bisa hidup damai dan tersenyum kembali lagi. Aku udah nggak punya tenaga lagi untuk berdebat sama kamu, Mas. Aku akan selalu memaafkan kamu meskipun di luar sana menganggap aku wanita bodoh karena aku selalu memberi kamu kesempatan demi kesempatan untuk membuktikan diri kamu, Mas tapi aku percaya kamu adalah laki-laki baik, Mas. Mas, kamu adalah laki-laki yang aku pilih untuk menjadi imam dan kepala rumah tangga aku dan aku memilih kamu bukan karena harta kamu, bukan karena ketampanan kamu, Mas. Aku memilih kamu karena kamu adalah.. Aku percaya karena kamu adalah imam yang baik. Aku memilih kamu karena iman kamu dan hati kamu yang baik. Itu alasan kenapa aku memilih kamu, Mas. Itu alasannya.‖ Bram: ―Harusnya aku bisa membuahkan kesabaran kamu menjadi kebahagiaan. Harusnya aku memberikan kamu kebahagiaan.‖ Hana: ―Kamu adalah laki-laki yang sangat baik tapi yang namanya manusia, kita tidak pernah luput dari khilaf, dosa. Kita bukan malaikat, Mas dan akupun memiliki banyak kesalahan tapi aku nggak bisa seperti ini terus, Mas. Tapi bagaimanapun Rossi tetap memiliki seorang ayah yang dia sayang dan yang bisa dia banggakan karena kebaikannya. Karena di mata anak kita, cuma kamu satu-satunya lelaki yang paling hebat. Cuman kamu, Mas tapi kamu harus mengambil keputusan. Kamu harus melakukannya. Aku tidak akan memaksa kamu.‖ Bram: ―Maafin aku. Tapi aku mohon jangan bilang semuanya harus berakhir.‖ Hana: ―Aku akan selalu memiliki maaf untuk kamu, Mas karena kamu adalah satu-satunya lelaki yang pernah aku mencintai dengan seluruh hati aku. Cuman kalau kamu ingin aku dan Rossi hidup dengan damai, kamu harus melepaskan kita. Tidak ada cara lain, Mas. Kamu harus menikahi Karin. Ini adalah harga yang
562 |
JURNAL IMU BUDAYA
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
sangat mahal dan ini adalah tanggung jawab kamu.‖ Penanda Pertanda Bram berlutut di depan Hana Bram sangat tidak ingin bercerai dengan Hana Pengaruh yang ditimbulkan oleh pemeran kesetiaan terhadap komunikasi keluarga Visual Dialog/Suara/Teks Hana: (Menyerahkan sebuah kunci pada Bram) Bram: (Mengambil kunci yang ditaruh Hana di atas meja) ―Bunda, ini kunci buat apa?‖ Hana: ―Aku mau kamu pulang. Aku mau kita bicara masalah rumah tangga kita baik-baik, tanpa emosi, dan aku mau apapun keputusan yang kita ambil itu benarbenar keputusan kita berdua dengan kepala dingin.‖ Gambar 8. Gambar Hana (Menghindari Bram saat akan memegang tangannya) menyerahkan kunci rumah pada ―Kita pelan-pelan aja, ya.‖ Bram (Episode 24-26) Penanda Pertanda Hana menyerahkan sebuah kunci Sebagai istri, Hana berusaha untuk memaafkan rumah kepada Bram suaminya Visual
Gambar 9. Gambar Hana memperhatikan Bram yang sedang terlelap (Episode 61-62)
Penanda Bram masih terbaring di tempat tidur
Dialog/Suara/Teks Hana: (Memandangi wajah Bram yang tidur dengan lelap) ―Alhamdulillah, ya Allah, Engkau memberikan laki-laki ini sebagai suami hamba, imam hamba yang benar-benar mencinta hamba setelah masalah besar yang kami alami, akhirnya laki-laki yang hamba cintai ini, kembali lagi ke rumah ini.‖ Bram: (Langsung terbangun) ―Aduh, ngapain Bunda ngelihat-lihat aku begitu pagi-pagi begini. Ada apa Bunda?‖ Hana: ―Ayah, masih ngantuk, nggak?‖ Bram: ―Ngantuk.‖ Hana: ―Ayah, ternyata aku masih sangat sayang sama kamu, Yah. Meskipun kemarin kita sudah melewati dan berada dalam badai yang begitu besar tapi rasa cinta aku ke kamu sama sekali tidak luntur sedikitpun.‖ Bram: ―Kamu bikin aku bangga menjadi pendampingmu.‖ Pertanda Kecintaan Hana kepada suaminya membuktikan betapa dia menjunjung tinggi nilai kesetiaan menjadi seorang istri yang baik
Sumber: Hasil Olahan Data Primer, 2015 Penelitian ini menunjukkan bahwa keluarga menempati posisi sangat penting
dalam membangun peradaban sebuah bangsa. Kejayaan sebuah negara takkan
563 |
JURNAL IMU BUDAYA
mungkin terwujud tanpa dilandasi dengan kuatnya pondasi keluarga dalam masyarakat. Ibarat sebuah bangunan, keluarga adalah pondasi yang akan menentukan kokoh dan tidaknya bangunan itu. (Bastoni, 2011: 1). Ada sebuah kutipan yang menarik bahwa ada seorang suami berkata, ―Walaupun istriku tidak memiliki kaidah dalam berkomunikasi, akan tetapi dia masih bisa untuk diajak bicara dan berkomunikasi!‖ (Asy-Syadzili, 2010: 72). Pernikahan adalah gerbang bagi suami istri menuju kehidupan baru yang penuh kebahagiaan atas kehendak mereka berdua, atau menuju kesengsaraan atas kehendak salah satunya atau kedua-duanya (Shalih, 2010: 36). 1. Representasi Perselingkuhan Setiap masalah pasti ada jalan keluar penyelesaiannya. Demikian pula dengan krisis keluarga yang merupakan masalah keluarga yang amat rumit. Karena harus dicari akar masalahnya, lalu ditemukan solusinya. Akar masalah dari krisis keluarga bersumber pada: 1) suami, 2) isteri, 3) anakanak (ibu, bapak, mertua, atau orang lain). Jika persoalan keluarga bersumber dari internal (ayah, ibu, anak), mungkin penyelesaiannya akan lebih jelas dan agak mudah. Akan tetapi jika sumber persoalan ada pada pihak eksternal (orang luar), maka persoalan ini makin sulit untuk dipecahkan dan mencari solusinya. Sebagai contoh, adanya pihak ketiga antara suami atau isteri yaitu orang yang mencintai suami/isteri, yang dikenal dengan selingkuh. Hal ini sulit untuk dibicarakan dengan selingkuhannya itu, karena dapat dipastikan akan mengelak atau menghilang. Jika dia terus terang, maka akan berbahaya bagi dirinya alias terancam sebagai pengacau rumah tangga. (Willis, 2013: Hal. 20-21). Pernikahan adalah wadah bagi pasangan suami istri untuk menciptakan kebahagiaan dalam hidupnya. Namun tak dapat dipungkiri bahwa masalah yang terjadi
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
dalam rumah tangga, bisa jadi perekat hubungan keluarga atau malah menjadi malapetaka, tergantung dari cara pasangan suami-istri tersebut menyikapi masalah mereka. Misalnya, suami/istri terjerat dalam masalah perselingkuhan, maka pasangan yang diselingkuhi akan merasa sangat kecewa. Pasangan yang diselingkuhi memiliki cara yang berbeda-beda dalam menangani kasus perselingkuhan. Ada yang dengan berbesar hati memaafkan kesalahan pasangannya, ada yang menjaga jarak, bahkan ada yang langsung meminta cerai. Ketika seorang istri membaca SMS mesra untuk suaminya dari perempuan lain, maka istri akan cenderung mencurigai suaminya sehingga suami yang berselingkuh cenderung untuk berbohong menutupi perselingkuhannya, misalnya dengan memberikan pujian pada istrinya. Hal ini merupakan strategi suami untuk menutupi kenakalannya di depan istrinya. Pria zaman sekarang tahu benar kelemahan perempuan yang mudah luluh oleh pembicaraanpembicaraan mengarah pada pekerjaan yang membuat si istri merasa kasihan pada suaminya yang telah berusaha keras mencari nafkah. Dalam hal ini, teori kebohongan interpersonal berlaku. Menurut Buller dan Burgoon, kebohongan adalah suatu pesan yang dikirim secara sadar oleh pengirim untuk menciptakan kepercayaan atau simpulan yang salah pada diri penerima. Maksudnya, seseorang yang berselingkuh, akan berbohong untuk memberikan jawaban atas pertanyaan pasangannya dengan memanipulasi informasi sehingga perselingkuhannya tetap aman (Morissan, 2012). Orang yang berselingkuh akan sangat berhati-hati dalam menjalin hubungan dengan selingkuhannya. Hubungan perselingkuhan cenderung awet jika kedua belah pihak dapat menutupi perselingkuhannya dengan sangat rapi.
564 |
JURNAL IMU BUDAYA
Namun, sepandai-pandainya seseorang menutupi kebohongannya, maka akan terungkap juga. Suatu pengakuan merupakan puncak terbongkarnya perselingkuhan. Para pelaku perselingkuhan harus menerima segala konsekuensi dari akibat perbuatannya dan mereka akhirnya dipaksa memilih antara keluarga atau selingkuhan. Penyebab perselingkuhan pun beragam. Kehadiran sosok wanita yang agresif untuk menggoda pasangan orang lain sangat sulit untuk dihindari. Apalagi jika wanita selingkuhan tersebut lebih cantik dan lebih muda dari istrinya sehingga cenderung melemahkan iman para suami dan sangat mudah jatuh dalam kasus perselingkuhan. Seperti kata pepatah, „kucing mana yang dikasih ikan akan menolak?‟, artinya lakilaki mana yang jika digoda oleh seorang wanita cantik dan lebih muda dari istrinya, bisa bertahan untuk setia kepada istrinya di rumah? Sehingga perselingkuhan sulit untuk dihindarkan dan yang terabaikan akhirnya adalah para istri di rumah. Selanjutnya, adalah memberikan alasan rumah tangga yang hancur untuk mendekati selingkuhannya. Dalam hal ini, para pelaku perselingkuhan telah menyiapkan cara jitu agar perselingkuhannya tetap aman, yaitu mengaku kepada selingkuhannya kalau dia sudah punya istri yang sebagian akan mengatakan kalau hubungan rumah tangganya bermasalah untuk menarik calon selingkuhannya. Bagi pria, jujur di awal membuat perselingkuhan lebih mudah dijalani karena dengan begitu, selingkuhannya ini tahu resiko dan konsekuensi. Namun, perselingkuhan cenderung sulit untuk dihindari ketika pelaku perselingkuhan mencintai selingkuhannya. Perselingkuhan apapun bentuknya merupakan kezaliman terhadap pasangan. Jika seorang suami/istri berselingkuh, berarti dia telah berbuat zalim kepada pasangannya.
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika pasangan yang berselingkuh kembali diingatkan agar dapat merenungkan perbuatannya untuk kemudian kembali ke jalan yang benar, jalan yang telah dibina melalui perjanjian yang suci (Ghoffar, 2010: 58). Jika seorang suami tertarik pada wanita lain selain pasangannya merupakan hal yang wajar. Namun, seorang istri tidak perlu menyikapinya dengan penuh kecurigaan dan kecemburuan yang membabi buta, sementara si suami sama sekali tidak melakukan tindakan yang lebih jauh, maka hal tersebut akan membuat hubungan rumah tangga semakin tegang. Hal yang penting untuk dilakukan adalah tetap mengendalikan diri (Ghoffar, 2010: 58). Hal yang paling penting adalah dari kasus perselingkuhan tersebut para pelaku dan pasangan yang menjadi korban perselingkuhan akan menjadikannya sebagai bahan intropeksi diri sehingga khalayak dapat merenungkan akibat dari perselingkuhan tersebut. 2. Representasi Kesetiaan Dalam kehidupan keluarga (hubungan suami-istri), kesetiaan merupakan bekal yang sangat fundamental. Seperti kata orang bijak bahwa kesetiaan seorang wanita terhadap pasangannya diuji pada saat pria pada titik terendah dalam kehidupannya dan kesetiaan seorang pria terhadap pasangannya, diuji pada saat pria berada di titik tertinggi dalam kehidupannya. Kata bijak tersebut mengingatkan bahwa kesetiaan itu sangat mahal. Wanita cenderung merasa tidak puas jika dalam kehidupan rumah tangganya selalu susah, khususnya dalam hal perekonomian. Bahkan ada yang rela meninggalkan pasangannya demi orang lain yang mampu membahagiakannya dari segi materi. Sebaliknya, laki-laki yang telah memiliki kehidupan yang layak (baik dari segi ekonomi maupun jabatan) cenderung
565 |
JURNAL IMU BUDAYA
memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengkhianati istrinya di rumah. Kesetiaan dalam keluarga (hubungan suami istri) merupakan bentuk bakti istri kepada suaminya yang tidak menuntut pengorbanan besar. Berbakti adalah perbuatan-perbuatan kecil yang menunjukkan komitmen cinta terhadap seseorang (Bastoni, 2011: 24). Kesetian itu sifat dasar yang melekat pada manusia. Setiap individu berbeda-beda kadar kesetiaan yang dimilikinya. Kesetiaan itu tidak bisa dipaksakan, dibuat-buat atau ditampakkan dalam kepura-puraan. Jika seseorang menampakkan kesetiaannya dalam kepura-puraan, maka sepandai apa pun ia bermain peran, suatu saat akan ketahuan juga. Jadi, watak setia itu dapat diketahui jika seorang istri bertahan dan sabar dalam menghadapi permasalahan rumah tangga. Setia itu tidak menyakiti, tidak mendzalimi, dan tidak mencaci-maki. Jika suaminya berbuat salah, maka istri akan melupakan kesalahan itu, lalu memaafkan dan memperingatkan dengan memberi nasehat yang baik demi kebaikan suami dan keluarga (Ahmad, 2014: 52). Kesetiaan seorang istri kepada suami bukan sekedar untuk mendapatkan cinta suami, tapi untuk meraih ridha Allah SWT. Kesetiaan akan berbuah manis, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh sebab itu, jadilah suami/istri yang selalu setia mendampingi suami. Istri yang setia akan diangkat derajatnya oleh Allah dan diberi pahala yang besar (Ahmad, 2014: 53). Mempertahankan kesetiaan memang tidak mudah tapi dapat dilakukan oleh siapa saja yang punya iman di dalam hatinya. Namun, perselingkuhan dan kesetiaan berpengaruh signifikan terhadap komunikasi keluarga. Dalam hal ini, teori interaksi simbolik (Mead) berlaku dimana seseorang akan memberikan pemaknaan yang negatif terhadap pelaku perselingkuhan dan positif bagi seseorang yang menjaga kesetiaan
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
dalam rumah tangganya. (West dan Lynn, 2008). 3. Representasi Pengaruh yang ditimbulkan oleh pemeran perselingkuhan dan kesetiaan ditinjau dari perspektif islam Orang berselingkuh umumnya disebabkan oleh pernikahan yang tidak bahagia dan untuk mencari kebahagiaan yang tidak didapatnya dalam pernikahan, orang akan mencarinya di luar pernikahan. Bentuk perselingkuhan juga beragam, dari sekedar curhat sampai pada hubungan intim. Semuanya adalah penyelewengan yang populer disebut selingkuh. Pemicunya juga beragam. Tapi semuanya bermuara pada ketidak-harmonisan hubungan suami istri, salah satunya adalah komunikasi yang kurang efektif, istri cerewet, banyaknya tuntutan dari pasangan, kurangnya perhatian, atau bisa juga karena urusan ranjang yang tidak memuaskan. Masing-masing peselingkuh memiliki motivasi dan alasan sendiri (Ghoffar, 2010: 55). Selingkuh adalah perkara serius karena menyangkut pengkhianatan akan komitmen suci pernikahan (Bastoni, 2011: 42). Dalam kasus perselingkuhan kaitannya dengan komunikasi keluarga yang direpresentasikan dalam sinetron ―Catatan Hati Seorang istri‖, dapat dilhat bagaimana seorang istri berbagi curahan hatinya lewat media sosial untuk mengungkapkan masalah keluarganya dengan harapan bisa menemukan kelegaan dalam hati dan pikirannya. Namun akibat yang paling berpengaruh adalah sikap dingin atau menghindari pasangannya yang berselingkuh yang ditunjukkan oleh seorang istri. Seorang istri yang tahu kalau suaminya berselingkuh akan lebih posesif dan selalu curiga kepada suaminya. Selain itu, seorang istri akan selalu mencari kebenaran pada suaminya. Ini dilakukan karena dalam komunikasi keluarga, islam menganjurkkan untuk tidak
566 |
JURNAL IMU BUDAYA
terlalu mencurigai pasangan sekalipun telah terdapat bukti kalau dia berselingkuh karena ketika pikiran hanya dipenuhi sesuatu yang negatif, keharmonisan tidak akan tercipta. Agar konflik rumah tangga dapat diminimalisir, hendaknya suami-istri mendahulukan kewajiban terlebih dahulu daripada menuntut hak (Ahmad, 2011: 234). Inilah yang tidak terdapat dalam rumah tangga Bram dengan Karin dimana keduanya sama-sama egois sehingga konflik berkepanjangan sering melanda rumah tangga mereka. Kesetiaan dalam keluarga (hubungan suami istri) merupakan bentuk bakti istri kepada suaminya yang tidak menuntut pengorbanan besar. Berbakti adalah perbuatan-perbuatan kecil yang menunjukkan komitmen cinta terhadap seseorang (Bastani, 2011: 24). Kesetian itu sifat dasar yang melekat pada manusia. Setiap individu berbeda-beda kadar kesetiaan yang dimilikinya. Kesetiaan itu tidak bisa dipaksakan, dibuat-buat atau ditampakkan dalam kepura-puraan. Jika seseorang menampakkan kesetiaannya dalam kepura-puraan, maka sepandai apa pun ia bermain peran, suatu saat akan ketahuan juga. Jadi, watak setia itu dapat diketahui jika seorang istri bertahan dan sabar dalam menghadapi permasalahan rumah tangga. Setia itu tidak menyakiti, tidak mendzalimi, dan tidak mencaci-maki. Jika suaminya berbuat salah, maka istri akan melupakan kesalahan itu, lalu memaafkan dan memperingatkan dengan memberi nasehat yang baik demi kebaikan suami dan keluarga (Ahmad, 2014: 52). Kesimpulan 1. Tanda-tanda perselingkuhan dalam sinetron ―Catatan Hati Seorang Istri‖ direpresentasikan melalui tanda berbohong, simbol nama samaran hello kitty, parfum yang menimbulkan bau harum, pulang terlambat, makan di luar
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
& pengakuan telah melakukan hubungan intim. 2. Tanda-tanda kesetiaan direpresentasikan melalui kepatuhan & ketaantan seorang istri kepada suaminya, menjaga kehormatan diri & keluarganya. 3. Perselingkuhan memberikan dampak yang buruk dalam komunikasi keluarga islam dimana kehidupan pelaku perselingkuhan akan selalu diliputi rasa bersalah sehingga hidupnya menjadi tidak tenang. Berbeda dengan orang yang memegang nilai kesetiaan dalam prinsip kehidupannya akan selalu damai menjalani hidupnya. Daftar Pustaka Ahmad, Zakiyah. 2014. 10 Karakter Suami yang Setia Terhadap Pasangannya. Wacana Nusantara. _____________ 2011. Suami Istri Calon Penghuni Surga. Wacana Nusantara. _____________ 2014. Menjadi istri idaman dan Dibanggakan Suami. Wacana Nusantara. Asy-Syadzili, Karim. 2010. Mencintaimu Setulus Hati: Menikah adalah Awal Menyemai Cinta, bukan Akhir Perjalanan Cinta. Insan Kamil: Surakarta. Bastoni, Andi. 2011. Buku Pintar: SuamiIstri Mempesona. Belanoor: Jakarta. Berger, Charles, Michael E. Roloff, dan David R. Roskos-Ewoldsen. 2014. Handbook Ilmu Komunikasi. Nusa Media: Bandung. Cangara, Hafied. 2012. Pengantar Ilmu Komunikasi. Rajawali Pers: Jakarta. Ghoffar, Muhammad Abdul. 2010. Menyikapi Tingkah Laku Suami: Solusi Islami Untuk Para istri Cet. Ke-3. Almahira: Jakarta. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI): Kamus versi online/daring (dalam jaringan) http://kbbi.web.id/setia diakses
567 |
JURNAL IMU BUDAYA
pada tanggal 7 Februari 2015 pukul 19:00 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI): Kamus versi online/daring (dalam jaringan) http://kbbi.web.id/selingkuh diakses pada tanggal 15 Februari 2015 pukul 19:00 Kuswandi, Wawan. 2008. Komunikasi Massa: Analisis Interaktif Budaya Massa. Rineka Cipta: Jakarta. Morissan. 2012. Psikologi Komunikasi. Ghalia Indonesia: Bogor. Vera, Nawiroh. 2014. Semiotika dalam Riset Komunikasi. Ghalia Indonesia: Bogor. West, Richard dan Lynn H. Turner. 2008. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Edisi 3. Buku 2. Salemba Humanika: Jakarta. Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. 2011. Semiotika Komunikasi: Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. Mitra Wacana Media: Jakarta. Willis, Sofyan S. 2013. Konseling Keluarga (Family Counseling): Suatu Upaya Membantu Anggota Keluarga Memecahkan Masalah Komunikasi di Dalam Sistem Keluarga. Alfabeta: Bandung. Yasin, Muhammad. Sejarah Sinetron. www.muhammadyasin.com. Diakeses pada tanggal 25 Juli 2015 pukul 22:10.
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
568 |
JURNAL IMU BUDAYA
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
REALITY SHOW INSPEKTUR IGUN: MATA-MATA KEKUASAAN DAN NORMALISASI TUBUH MODERN Andi Faisal Mahasiswa S3 Kajian Budaya dan Media, Universitas Gadjah Mada Dosen Universitas Hasanuddin, Makassar Email:
[email protected]
Abstract Nowadays, the television programs in the form of reality show begin to emerge in our national television. By visualizing everyday life of ordinary people as ―real‖ in camera, reality show gained attention of its spectator. One of the interesting reality shows in Indonesia is Inspektur Igun. Inspector Igun, conducting as a fashion police, get directly into ―the reality‖ of people, such in mall, in market, in store-house, and so on, and perform inspection to the fashion style of people. Due to some supervised and disciplinary practices, the inspector change the uncivilized individu into the modern and civilized one in clothing. Using the panopticon of Foucauldian approach, this article aims to deconstruct the practices of discourse which tends to form the individu, to become obedient to ruling discourse. Through fashion, reality show becomes a panoptic mechanism in supervising and controlling activity of clothing in society in order to bear the identity of modern individu, an identity which become both marker of modernity and religiousity, which is constructed through fashion. Keywords: Reality Show, Fashion, Panopticon, Normalization, Identity
A. PENDAHULUAN Kehadiran Reality Show pada stasiunstasiun televisi nasional cukup semarak belakangan ini. Rating yang tinggi dengan biaya produksi relatif murah mendorong menjamurnya kemunculan reality show. Ditambah lagi adanya konsep realisme yang diusung dalam reality show, membuat reality show semakin menjadi alternatif acara yang digemari oleh penontonnya. Reality show atau sering pula disebut dengan istilah reality TV adalah perluasan jenis tayangan televisi yang mencoba ―menghibur‖ audiens dengan menayangkan ―kenyataan‖ keseharian masyarakat dalam berbagai bentuknya. Karena sifatnya yang sering dianggap sebagai hiburan, maka eksistensi reality TV seringkali diasumsikan berada diantara percampuran tayangan informasi dan hiburan, atau tayangan dokumenter dan drama (Hill, 2005).
Beragam bentuk dan tayangan reality show bermunculan mewarnai wajah pertelevisian nasional. Mulai dari persoalan hati (percintaan) dan kompleksitasnya hingga persoalan tubuh (penampilan). Salah tema tayangan reality show yang cukup menyita perhatian adalah persoalan berpenampilan (wacana tubuh), yaitu bagaimana berpakaian dengan baik dan benar, cantik, up to date dan tetap memperhatikan nilai-nilai masyarakat yang ada (sopan). Dalam wacana pascamodern, peralihan dari relasi-relasi produksi (Marx, 1982) ke relasi-relasi konsumsi (Baudrillard, 1996; 1998) di era kapitalisme kontemporer telah melahirkan perubahan mendasar dalam memaknai tubuh. Tubuh tidak lagi dimaknai dalam kerangka kerja, melainkan tubuh sebagai tanda. Tubuh sebagai penanda identitas tertentu. Persoalan ―ketubuhan‖ ini secara ideologis berimplikasi terhadap
569 |
JURNAL IMU BUDAYA
bagaimana menjinakkan tubuh (docile bodies) (Foucault, 1991) Tubuh yang jinak adalah tubuh yang telah dinormalisasi dan didisiplinkan. Salah satu wacana penjinakan tubuh adalah melalui fashion (mode). Fashion menjadi modus operandi dalam praktik normalisasi tubuh. Melalui fashion, muncul kategori-kategori tubuh ideologis, seperti tubuh yang fashionable versus tubuh yang kampungan, tubuh yang moral-etis versus tubuh yang amoral, atau dengan kata lain, tubuh yang diinginkan dan tubuh yang ditolak. Inspektur Igun merupakan salah satu reality show yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi nasional (Trans TV), yang mengangkat fashion sebagai tema tayangannya. Program reality show tersebut (media) menjadi ―mesin panoptikon‖ dalam memata-matai (mengawasi) setiap gerakgerik masyarakat dalam berpenampilan. Sebagaimana yang tercantum dalam petikan acara program TV tersebut, sebagai berikut: ―Program ini akan dipandu oleh Ivan Gunawan atau Igun, seorang designer ternama yang akan berperan sebagai Fashion Police. Dia akan berjalan-jalan ke setiap lokasi dan akan mengkritisasi pakaian yang orang-orang gunakan, apakah tepat digunakan di daerah tersebut. Dia akan menarik orang yang berpakaian buruk dan mengkritiknya. Selain itu juga Igun akan memberikan tips-tips untuk fashion yang benar dan sesuai bentuk tubuhnya‖. Panoptikon sebenarnya adalah suatu model arsitektur penjara yang dirancang oleh Jeremy Bentham (1748-1832) yang berbentuk bangunan melingkar dengan banyak kamar di sepanjang tepi lingkarannya dan ditengah-tengahnya terdapat menara pengawas (Bentham, 1995; Foucault, 1980). Setiap kamar sel memiliki dua jendela, satu menghadap ke pusat menara yang memungkinkan berlangsungnya pemantauan langsung dari
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
menara, dan satu lagi menghadap ke luar bangunan agar dapat menerima sinar matahari, yang berfungsi sebagai penerus cahaya dari sel yang satu ke sel yang lain. Untuk memantau setiap individu dipakai teknik sinar balik yang berasal dari sel-sel mereka yang mengarah ke bangunan pusat, sehingga dari bayangan yang dihasilkan sinar tersebut, sang pengawas dapat memantau segala gerak-gerik individu di dalam sel. Melalui mekanisme panoptikon, si pengawas dapat secara terus menerus memantau individu yang berada di dalam sel tanpa pernah dapat dilihat oleh mereka yang diawasi. Individu-individu penghuni sel-sel panoptikon senantiasa dipantau tanpa pernah dapat mengetahui siapa yang memantau (Foucault, 1991: 200). Efek utama dari sistem panoptikon adalah bahwa kuasa berfungsi secara otomatis. Dalam mekanisme panoptikon, individu-individu yang tinggal di dalam sel senantiasa menjadi sadar bahwa dirinya terus menerus diawasi, sehingga ia akan selalu berusaha menjaga sikap dan prilakunya agar tetap dalam kondisi yang ―normal‖ dan ―teratur‖. Strategi panoptikon memiliki prinsip bahwa kuasa seharusnya tetap visible, yakni bahwa sang individu akan senantiasa diposisikan dalam pemantauan permanen, dan unverifiable, yakni bahwa individu tidak pernah mengetahui apakah ia sedang diawasi, kapan diawasi, dan yang pasti, ia harus meyakinkan dirinya bahwa ia selalu diawasi. Panoptikon merupakan mesin kuasa yang didesain untuk melakukan prosedur pengintaian dalam rangka mengubah perilaku dan ―mengoreksi‖ sang individu. Bagi Foucault, ―normalisasi‖ masyarakat merupakan hal yang sangat penting dalam menjamin keberlangsungan ―peradaban‖, ―budaya‖, ―nilai-nilai‖ yang dianut masyarakat. Hal tersebut dilakukan dalam rangka menjamin praktik kuasa dalam masyarakat.
570 |
JURNAL IMU BUDAYA
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
Proses-proses disipliner (disciplines) tersebut merupakan upaya untuk membentuk individu-individu (subjek) yang terkontrol. Fungsi praktik disipliner adalah untuk mengindividualisasi, menormalisasi, dan menghirarkikan subjek-subjek agar mudah terkontrol. Dalam praktik-praktik disipliner, subjek-subjek dipelajari, diawasi, dan dikontrol yang menghasilkan pengetahuan (knowledge) mengenai seluk-beluk subjek (discourse) dalam rangka menguasai (power) subjek agar menjadi subjek yang disiplin dan normal. Relasi kesatuan kuasa/pengetahuan (power/knowledge) pada akhirnya akan menjadi wacana (discourse) membentuk dan melahirkan subjek modern (Mansfield, 2000: 61). Tulisan ini akan menelisik lebih jauh persoalan praktik diskursif dalam Inspektur Igun yang ditayangkan oleh salah satu televisi nasional (Trans TV). Pembacaan reality show Inspektur Igun ini akan berfokus pada persoalan praktik wacana dalam dunia fashion dalam melahirkan subjektivitas baru (identitas baru). Untuk mendekati reality show tersebut, akan digunakan pendekatan analisis kuasa
panoptisme ala Foucauldian untuk menyorot dan membongkar segala praktik regulatif dan diskursif dalam Inspektur Igun. Selain itu, akan disorot pula persoalan konstruksi identitas yang turut melandasi jalinan diskursif tersebut lewat fashion dan gaya hidup. B. PEMBAHASAN Inspektur Igun: Mata-mata Kekuasaan dan Laboratorium Individu Modern Hampir dalam setiap tayangannya, Inspektur Igun muncul dengan berpakaian ala detektif. Sang Inspektur akan berjalanjalan ke setiap lokasi misalnya di mall, di pasar, di kantor, dan sebagainya, dan di sana, ia akan mengeritik cara berpakaian orang-orang, apakah tepat atau tidak digunakan di daerah tersebut, atau sesuai dengan nilai-nilai budaya atau nilai-nilai agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Ia akan menarik orang yang dianggap berpenampilan buruk, mengeritiknya, lalu mendandaninya dengan hiasan dan pakaian agar ia tampak lebih menarik (modis) dan etis dari penampilan sebelumnya.
Dalam tayangan program reality show tersebut, selain mengadakan ―sidak‖ (Inspeksi Mendadak) terhadap cara berpakaian orang yang dijumpai dan disasarnya, Inspektur Igun sesekali mengajak para selebriti, yang biasanya para artis-artis ternama Indonesia, untuk
mengunjungi tempat-tempat tertentu, seperti salon, tempat spa, galeri seni, dan lain-lain, untuk melihat beragam praktik ber ―fashion‖ sekaligus memperkenalkan beragam bahasa dan praktik fashion yang telah menjadi gaya hidup tersebut kepada khalayak luas, misalnya tato tubuh, tato aura, waxing,
571 |
JURNAL IMU BUDAYA
sauna, pedicure dan manicure, dan sebagainya. Selain itu juga, sang Inspektur akan memberikan tips-tips seputar fashion yang benar dan sesuai bentuk tubuh seseorang. Program reality show Inspektur Igun ini merupakan tayangan yang mencoba mengangkat persoalan ―faktual‖ berpakaian masyarakat yang seringkali dianggap ―buruk‖ dan ―menyimpang‖, yang tidak sesuai nilai-nilai budaya atau agama yang sedang berlaku. Dengan pengecekan dan pemeriksaan langsung ke lapangan, yaitu ke tempat kejadian perkara (TKP), misalnya di pasar, di mall, di warung, di jalanan, dan sebagainya, Inspektur Igun menginspeksi, mengeritik, mengoreksi, dan melakukan perubahan total (make over) pada setiap penampilan individu, dari sebelum (before) dan sesudah (after) di rombak, yang tentu saja dengan bahasa kategoris mengenai fashion yang up to date (modis) tapi tetap memperhatikan nilai-nilai etika dalam berpakaian (sopan). Setiap orang yang akan di make over, terlebih dahulu akan diperlihatkan bagaimana penampilan faktualnya (before), dan kemudian setelah di make over akan ditampilkan pula kondisi penampilan ―faktualnya‖ pada saat setelah di ―permak‖ (after). Konsepsi before dan after menjadi konsepsi yang urgen dalam rangka melihat ―perubahan‖ (penampilan) sebagai sesuatu yang mutlak dilakukan dalam rangka melahirkan individu (identitas baru) yang normal dan terkontrol. Sebagai sebuah strategi kontrol dan normalisasi masyarakat, fashion menjadi ―mesin‖ yang menjamin berlangsungnya kuasa melalui mekanisme pemantauan dan pengaturan, yang menghasilkan relasi kuasa yang menguasai individu, maka acara reality show Inspektur Igun tersebut merupakan suatu bentuk mekanisme kuasa panoptikon terhadap gerak-gerik masyarakat dalam ―memata-matai‖ dan mengontrol aktivitas bermode (fashion) masyarakat. Kehadiran
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
Inspektur Igun (media) di tengah-tengah masyarakat, baik itu di wilayah privat maupun di wilayah publik menjadi the eyes of power (mata-mata kekuasaan) yang mengawasi, mengontrol, mengoreksi, dan membentuk masyarakat yang disipliner dan normal, yang senantiasa ―taat dan patuh‖ dalam memperhatikan setiap gerak tubuhnya, gerak perilakunya, dan gerak gaya hidupnya dalam mengenakan pakaian, yang sesuai dengan nilai-nilai yang sedang berlaku. Dalam berlangsungnya panoptisme, sejumlah praktik teknis dilaksanakan agar praktik-praktik kuasa tetap berjalan, Foucault menyebutnya sebagai discipline, yang menjadi prosedur rasional yang paling efektif dalam pelaksanaan kuasa terhadap individu (McHoul A dan W. Grace, 1993: 68). Kehadiran discipline merupakan ―seni‖ dalam penjinakan diri menjadi subjek yang normal‖ dan patuh. Praktek-praktek teknis kekuasaan tersebut (discipline) ini bekerja dalam beragam cara, seperti penyebaran individu secara spasial dengan cara tertentu, kontrol terhadap aktivitas, pengaturan segmen atau tingkatan latihan, dan koordinasi dari setiap elemen-elemen dasar (Foucault, 1991: 140-169). Mekanisme kuasa normalisasi panoptisme dalam Inspektur Igun berlangsung melalui sejumlah teknik yang disebut dengan teknik disipliner yang menekankan pada prosedur-prosedur rasional sebagai cara yang paling efektif dalam menguasai individu. Dalam konteks ini, topik fashion dalam reality show Inspektur Igun merupakan suatu ―seni‖ menata diri. Proses melokalisir, memantau, mengeritik, mengoreksi, dan mengubah (make over) peserta yang disasar dalam Inspektur Igun adalah proses-proses disipliner untuk menghasilkan individu yang taat dan normal dalam berpakaian yang sesuai dengan nilai-nilai masyarakat yang sedang berlaku.
572 |
JURNAL IMU BUDAYA
Proses menormalisasi dan mengontrol individu dalam Inspektur Igun berlangsung melalui tahap-tahap berikut ini. Pertama, proses melokalisir peserta yang akan diubah penampilannya lewat cara berpakaian yang fashionable dan etis, dan memisahkan peserta tersebut dari kelompok, massa, atau teman-temannya, dan kemudian ―mengurungnya‖ dalam ruang tertentu. Proses ini menurut Foucault (1991: 141148) disebut sebagai proses distribusi individu secara spasial. Penyebaran individu secara spasial biasanya dilakukan dengan cara pemisahan atau pengurungan individu sebagai batas antara satu dengan yang lain, dalam suatu ruang tertentu. Hal tersebut dilakukan agar dapat memudahkan pengawasan dan memaksimalkan pemanfaatannya. Strategi spasial tersebut sesungguhnya juga merupakan politik atas ruang, sebagai suatu praktek ruang (spatial practices), sebab semua praktek sosial (praktek kekuasaan) selalu membutuhkan ―ruang‖ sebagai ranah bekerjanya praktekpraktek kekuasaan, agar proses kontrol dan dominasi tetap terjaga (Lefebvre, 1991; 2009). Proses distribusi spasial dalam reality show Inspektur Igun bertujuan untuk memudahkan pemantauan dan pengawasan, dan sekaligus mengarahkan peserta yang telah disasar untuk ―menyadari‖ dirinya sebagai fokus proses tindak normalisasi dan disipliner. Pada tahap ini, pemisahan dan ―isolasi‖ individu disertai dengan pengalokasian waktu, sehingga seseorang dapat memahami waktu pengorganisasian waktu secara efektif. Berapa waktu yang digunakan untuk berpakaian, berdandan, mengenakan hiasan, dan seterusnya merupakan strategi kuasa dalam mendisiplinkan individu sehingga efektifitas dan efesiensi waktu menjadi kontrol baru yang dapat meningkatkan dan memusatkan pemanfaatan terhadap individu.
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
Proses kedua berlangsung melalui kontrol gerak-gerik (aktivitas). Bagi Foucault (1991: 149-156), kontrol aktivitas dilakukan melalui pengaturan waktu, pembentukan ketepatan antara waktu dengan tindakan, penciptaan sikap tubuh yang efisien, penciptaan relasi yang efisien antara tubuh dan alat-alat, dan pengefektifan waktu yang meningkat terus menerus. Kontrol aktivitas dalam Inspektur Igun berlangsung ketika Sang Inspektur mengeritik prilaku berpenampilan (bertutur, berpakaian, pemakaian asesoris, dan sebagainya) dan melihat cara berpakaian peserta reality show yang dianggap tidak sesuai dengan kondisi ―ruang dan waktu‖ nilai-nilai budaya yang sedang berlaku. Jenis pakaian dan waktu dikenakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada saat dipakai, misalnya pakaian tidur dikenakan pada saat akan tidur, pakaian diwaktu santai, pakaian untuk bekerja atau aktivitas lain, disesuaikan dengan waktu pemanfaatannya dan nilainilai budaya setempat. Selain itu, penyesuaian berpakaian seseorang yang sesuai dengan bentuk dan ritme tubuhnya juga merupakan bagian dari kontrol aktivitas. Proses pengontrolan aktivitas yang dijalankan oleh Inspektur Igun baik dalam bentuk kritik maupun penyampaian tips-tips dalam berpakaian, kemudian menjadi basis pengetahuan (knowledge) seseorang terhadap berlangsungnya kuasa (power) norma-norma yang dianggap ―benar‖ atau ―salah‖ dalam berpakaian. Dalam konteks ini, relasi kuasa/pengetahuan (power/knowledge) dalam fashion menjadi relevan, yang mana pengetahuan (knowledge) akan fashion melanggengkan kuasa (power) dalam menormalisasi semua praktik-praktik fashioning, dan sebaliknya, kuasa (power) terhadap praktik-praktik fashioning akan menjamin muncul dan berkembangnya pengetahuan-pengetahuan (knowledge) baru akan fashion (discourse)..
573 |
JURNAL IMU BUDAYA
Ketiga, praktik disipliner pada acara reality show tersebut berhubungan juga dengan proses pengorganisasian segmen atau tingkatan tindakan disipliner. Segmen atau tingkatan dalam Inspektur Igun dalam hal ini adalah proses perombakan total (make over) cara berpenampilan seseorang dari sebelum ditransformasi (before) hingga pasca transformasi (after) penampilan yang fashionable. Konsepsi ―sebelum/sesudah‖ (before/after) merupakan salah satu rangkaian proses disipliner untuk melihat sejauhmana perubahan perkembangan diri seseorang dalam menata dirinya agar ia siap menjadi individu yang teratur, taat, dan normal sesuai dengan nilai-nilai yang sedang dipraktikkan oleh masyarakat pada umumnya (dominan). Pada tahap ini, kuasa disipliner mengembangkan kode umum untuk perubahan (transisi) dari tingkatan yang lebih rendah (pemula) ke tingkatan yang lebih tinggi (master), dengan memberikan beragam praktik pembelajaran. Hal tersebut dilakukan dengan mengkodifikasi segmen dalam kerangka hirarkis, yang mana setiap tingkatan proses pembelajaran menjadi lebih sulit daripada yang sebelumnya (Foucault, 1991: 156-162). Dengan demikian, pengaturan segmen tersebut berguna dalam pengawasan perkembangan kemampuan individu yang belum berpengalaman, yang sekaligus membedakan atau mengindividualisasikannya agar lebih mudah terkontrol. Disiplin yang keempat menyangkut ―kerjasama‖ dan keteraturan, dan koordinasi dari semua elemen-elemen yang terlibat. Menurut Foucault (1991: 162-169), koordinasi semua elemen merupakan praktik kombinasi yang mengindikasikan bahwa prosedur disipliner diarahkan pada tubuh yang terintegrasi secara umum. Kuasa disipliner mengkombinasikan semua bagian, dan pemanfaatan teknik-teknik dan mauver-
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
manuver tertentu untuk menjamin implementasi disiplin. Dalam proses ini, kehadiran setiap individu menjadi sangat berguna dan mendukung. Kehadiran Inspektur Igun sebagai pengawas, para asisten Inspektur Igun, para`penonton ataupun massa di tempat kejadian perkara (TKP), crew televisi (media), atau elemen-elemen lainnya, akan membentuk kombinasi dan konfigurasi dalam meningkatkan efisiensi dan efektifitas tindakan disipliner peserta, yang diibaratkan sebagai bagian-bagian dari sebuah mesin yang bekerja sama secara kompak dan terkoordinasi. Bahkan sorotan lampu, sorotan kamera, kehadiran dan tepukan penonton dalam reality show Inspektur Igun, seakan-akan menjadi ―matamata‖ yang senantiasa mengawasi tindaktanduk dan gerak-gerik seseorang dalam menjalankan perannya sebagai objek fashion, dan hal tersebut akan menjadi bagian yang fungsional dalam membentuk individu yang taat dan etis dalam berpakaian. Di sinilah peran penting media massa sebagai aparat-aparat ideologis (Althusser, 2014) melalui tayangan reality show dalam mengonstruksi ―taktik-taktik‖ disipliner terhadap masyarakat agar dapat menghasilkan kuasa terhadap prilakuprilaku masyarakat, dalam hal ini adalah prilaku berpakaian dimasyarakat, yang pada akhirnya akan membentuk wacana tentang fashion yang baik dan benar menurut nilainilai budaya yang sedang berlaku. Penerapan sejumlah praktik disipliner dalam fashion sebagaimana yang diperlihatkan dalam tayangan reality show Inspektur Igun merupakan proses berlangsungnya praktik-praktik kuasa panoptisme, yang pada akhirnya akan melahirkan individu-individu baru (subjek) yang ―patuh dan taat‖. Tayangan fashion police dalam reality show Inspektur Igun menjadi kuasa laboratorium pengawasan yang dapat digunakan sebagai ―bengkel‖
574 |
JURNAL IMU BUDAYA
untuk melaksanakan percobaan, mengubah tingkah laku, melatih, mengoreksi, dan menghasilkan subjektivitas baru. Lewat tayangan reality show fashion, identitas baru dibentuk dan diciptakan. Penciptaan identitas baru yang normal dan modern sangat dominan dalam tayangan-tayangan Inspektur Igun. Gaya Hidup, Selebriti, dan Identitas Indvidu Modern Fashion, atau sering pula disebut mode, saat ini adalah sebuah istilah umum untuk menggambarkan gaya atau praktik populer terutama dalam berpakaian, mengggunakan asesoris, riasan, tindik tubuh, atau furnitur. Fashion sering pula mengacu kepada kecenderungan (trend) seseorang dalam menampilkan gaya dan prilaku berpakaiannya. Secara etimologis, kata fashion berasal dari bahasa latin, factio atau facere, yang artinya membuat atau melakukan. Oleh karena itu, makna kata fashion mengacu pada suatu kegiatan; sebagai sesuatu yang dilakukan orang. Dari kata fashion pula, lahir gagasan tentang fetish atau objek fetish, yang mengungkapkan butir-butir fashion sebagai komoditas yang difetishkan, yang diproduksi dan dikonsumsi dalam masyarakat kapitalis (Barnard, 2011: 11-12). Lambat laun, kata fashion kemudiaan diidentikan dengan kata gaya, pakaian, dan busana. Pada kenyataan sehar-hari, fashion, gaya, pakaian, oleh sebahagian orang dianggap sebagai elemen penting dalam menampilkan identitas dirinya. Sebagai fenomena budaya, fashion sesungguhnya dapat menyampaikan banyak hal tentang identitas pemakainya. Di dalam budaya konsumen (consumer culture), tubuh dinyatakan sebagai sarana kenikmatan dan ekspresi diri (Featherstone, 1991; 2007). Budaya konsumen memungkinkan tanpa rasa malu memajang tubuh manusia. Fashion pada pakaian dirancang untuk
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
merayakan tubuh manusia yang ―alami‖, suatu hal yang sangat berbeda dengan abad ke 19 ketika pakaian dirancang untuk menyembunyikan tubuh (Ibrahim, 2007: 242; Synnott, 2007: 11-57). Di dalam budaya konsumen, tayangan televisi dan iklan, menyajikan perkembangbiakan citra tubuh. Fashion adalah arena yang tempat bekerjanya hasrat konsumen untuk membeli karena para penonton berhasrat untuk tampak seperti para artis (selebritis) yang fashionable yang terlihat dilayar kaca. Dengan membeli fashion tertentu, hasrat ―meng-ada (being)‖ konsumen akan terstimulasi dan (diharapkan) terpenuhi melalui figur-figur yang dicitrakan. Kehadiran bintang tamu yaitu para ―bintang‖ (star) dari dunia layar kaca di dalam Inspektur Igun menjadi penentu trend setter yang memainkan model peran (role model) bagi khalayak. Mereka adalah ikon tempat berpusarnya daur ulang gaya hidup dan fashion. Citra tentang kecantikan dan keindahan, popularitas, waktu luang, display pakaian, kekayaan, menekankan pentingnya penampilan dan ―pandangan‖. Pada konteks ini, kehadiran para selebritis dalam reality show Inspektur Igun merupakan formasi sosial budaya yang dikonstruksi untuk memuaskan beragam harapan dan minat penonton. Keberadaan para selebriti di layar kaca bak menjadi ―bintang‖ yang seringkali merepresentasikan posisi subjek tertentu yang ingin diadopsi atau diadaptasi oleh penonton dalam pembentukan identitas sosial mereka, dan hal tersebut menjadi konstruksi fungsi sosial budaya dari para selebriti di layar kaca. Lacan (1977) mensinyalir bahwa selebriti dan fashion menjadi media pemenuhan diri seseorang atas kondisi kekurangan (void) yang dialami ketika hasrat mencari identitas mulai muncul. Lewat citra selebriti yang fashionable, proses identifikasi individu terbentuk menjadi ―aku‖ yang fashionable bak selebriti yang ada dilayar kaca.
575 |
JURNAL IMU BUDAYA
Kehadiran selebriti dalam media adalah sebagai salah satu mekanisme fundamental untuk mengonstruksi dan mempertahankan relasi-relasi diskursif antara budaya media, kapitalisme consumer (komodifikasi), demokrasi, dan individualisme (Turner, 2004: 24; Nayar, 2009: 146-172; Rojek, 2001: 9-17). Relasi-relasi diskursif (wacana) fashion membentuk subjektivitas/individualitas, melalui kehadiran selebriti. Kehadiran selebriti dalam reality show Inspektur Igun menjadi salah satu ―medium‖ bekerjanya praktikpraktik wacana dalam membentuk identitas. Pada pandangan ini, fashion kemudian menjadi gaya hidup individu-individu modern melalui agen-agennya yaitu para selebriti, yang menggiring masyarakat pada konstruksi identitas manusia modern yang fashionable layaknya para bintang-bintang layar kaca. Di samping hal tersebut, fashion dianggap sebagai unsur pokok identitas seseorang yang membantu menentukan bagaimana seseorang dipahami dan diterima dalam masyarakat. Fashion menawarkan pilihan pakaian, gaya hidup dan citra. Melalui pakaian, gaya hidup dan citra ini, seseorang dapat menghasilkan identitas individualnya yang baru. Fashion merupakan ciri penting modernitas yang ditafsirkan sebagai suatu era sejarah yang ditandai inovasi yang terus menerus, dengan penghancuran yang lama, dan penciptaan yang baru, dengan beragam kepentingan dan pendekatan (Lynch dan Strauss, 2007: 81101). Fashion sendiri didasarkan atas produksi berbagai cita rasa, gaya, dan praktik yang baru. Bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, trend fashion ―hijab/jilbab‖ bagi kaum muslimah tidak hanya menjadi penanda identitas kemusliman seseorang, melainkan juga menjadi ungkapan kemoderenan sikap dan gaya hidup sebagai muslimah yang trendy dan selalu mengikuti perkembangan
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
fashion. Fashion dapat dipandang menawarkan model dan materi untuk terus menerus mengonstruksi secara baru identitas seseorang. Pada salah episode reality show Inspektur Igun, sang Inspektur berjalan-jalan ke suatu mall, dan di antara kerumunan orang banyak, sang Inspektur menghampiri seorang ibu yang berpakaian muslimah (berjilbab), yang menurut si Igun, cara berpakaian ibu tersebut tidak sesuai dengan ―standard‖ berpakaian muslimah yang baik. Dengan melontarkan kritikan dengan bahasa yang bercanda (lucu), Sang ibu ditarik dan dipisahkan dari kerumunan, lalu dikoreksi cara berpakaiannya oleh sang Inspektur. Ibarat seorang pasien di rumah sakit, sang ―pasien‖ kemudian didiagnosa masalahmasalah ―kebertubuhannya‖ (berpakaian) yang dianggap ―tidak normal‖ (sakit), dan lalu diputuskan untuk ―disembuhkan‖ (dinormalisasi) lewat praktik-praktik disipliner (praktik pengobatan) fashion. Pada momen tersebut lah dilakukan transformasi diri, berupa teknik disipliner make over, dari diri yang ―sakit‖ (old fashioned-self, uncivilized self) menjadi diri yang ―sembuh‖ (new fashioned-self, civilized self) dalam kacamata fashion ala Inspektur Igun. Sebelum diubah (make over), sang ―pasien‖, tersebut terlebih dahulu akan diperlihatkan bagaimana penampilan faktualnya pada saat itu (before), dan kemudian setelah diubah (make over) akan ditampilkan pula kondisi penampilan ―faktualnya‖ pada saat setelah di ―permak‖ (after). Konsepsi before dan after ini menjadi konsepsi yang penting dalam melihat perubahan (penampilan) sebagai sesuatu yang mutlak dilakukan dalam rangka melahirkan individu (identitas baru) yang normal dan terkontrol (modern). Dengan menjadi ―aku yang baru‖ (after), maka lahirlah ―aku yang modern‖ yang mengikuti perkembangan jaman, namun
576 |
JURNAL IMU BUDAYA
tetap menjadi ―aku yang normal‖ dan ―terkontrol‖ sesuai dengan konstruksi budaya/nilai-nilai dominan yang ada di masyarakat. Fashion dan modernitas berjalan beriringan untuk menghasilkan pribadipribadi modern yang secara konstan mencari identitas mereka dalam pakaian, penampilan, sikap, dan gaya hidup yang trendy, dan merasa cemas jika mereka ketinggalan jaman atau tidak bisa mengikuti mode (fashionable) (Kellner, 1995: 264; Lehmann, 2000: xi-xiii). Namun fashion dalam konteks ini, dibatasi oleh kode-kode gender, realitas ekonomi, dan kekuatan konformisme sosial yang terus menerus mendiktekan apa yang bisa dipakai dan tidak bisa dipakai seseorang di ruang-ruang tertentu. Pada tataran ini, keberadaan fashion tidak saja menjadi medium komunikasi identitas tertentu (fashion as communication) (Barnard, 2007), namun juga menjadi medium legitimasi kepentingan-kepentingan ideologis tertentu (fashion as ideology) (Kawamura, 2005: 5). Dalam kasus moslem fashion, booming busana muslimah atau muslim dengan jenis pakaian tertentu tidaklah hadir dalam ruang hampa tertentu. Busana muslim bisa menjadi cermin bagaimana nilai-nilai dan ideologi saling bertarung mendefinisikan makna berpakaian bagi kehidupan seorang muslim, baik itu ideologi agama, maupun ideologi konsumsi, baik itu nilai-nilai yang didasarkan pada keyakinan keagamaan maupun nilai-nilai sekular lokal dan global. Di sini terlihat bagaimana pergeseran selera dan gaya hidup beragama dan berpakaian dinegosiasikan dalam ruang publik lewat pemilihan fashion dan gaya busana tertentu. Dalam konteks ini, agama dan budaya konsumsi tidak dipertentangkan tetapi dimaknai sebagai suatu hal saling memperkaya antara identitas agama dan gaya penampilan, antara kesadaran agama dan pemenuhan diri akan gaya. Maka di
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
dalam reality show Inspektur Igun, ekspresi ―ketakwaan‖ seseorang akan didaur ulang dipentas media massa menjadi ekspresi gaya berpakaian, dan demikianlah dunia kontemporer memperlihatkan bagaimana makna menjadi muslim yang trendy, dan tampaknya ―agama‖isasi (komoditas) dunia fashion, dan komoditas keindahan yang sepenuhnya fenomena sekular, telah bertemu dengan kapitalisasi selera dan gaya hidup muslim dalam berpakaian. Di sinilah reality show Inspektur Igun mampu hadir dalam mengonstruksi hasrat masyarakat kontemporer untuk menjadi ―‘aku yang baru‘ (after), yakni pribadi yang saleh/salehah, dan sekaligus pribadi yang modern (up to date). Nilai-nilai keagamaan yang ilahiah lewat busana muslimah, dan nilai-nilai modernitas yang sekuler (duniawi) lewat gaya yang fashionable, kemudian menyatu dalam dunia fashion. Lewat konstruksi media massa yaitu lewat reality show Inspektur Igun, dua dunia yang ―dahulunya‖ dapat dianggap saling berseberangan bahkan bertentangan tersebut, kemudian kini saling mengisi dan menyatu menjadi suatu komoditas dunia fashion, yang diterima secara global. Negosiasi dua dunia, yakni dunia langit (nilai agama) dan dunia bumi (nilai modernitas), mengalami komodifikasi menjadi satu dunia, yaitu lewat dunia fashion. Lewat keberadaan ―Sang Mata-mata‖ Inspektur Igun, fashion telah menjelma menjadi Sang ―penjinak tubuh‖ yang beroperasi sangat halus melalui konstruksi diri di era konsumsi pascamodern. C. KESIMPULAN Kehadiran acara televisi yang berjenis reality TV atau yang sering disebut dengan reality show yang bertema fashion pada stasiun-stasiun televisi nasional telah mengonstruksi cara pandang masyarakat tentang tubuh dan identitas dirinya. Diri yang up to date, modern, beradab, sekaligus saleh/ah menjadi penanda konstruksi diri
577 |
JURNAL IMU BUDAYA
yang ditawarkan. Salah satu reality show bertema fashion yang cukup menarik adalah reality show Inspektur Igun yang ditampilkan di Trans TV. Diperankan oleh Ivan Gunawan, salah seorang desainer ternama Indonesia, Sang Inspektur Igun, yang bertindak sebagai polisi fashion, secara langsung turun ke lapangan melakukan ―inspeksi mendadak‖ untuk memata-matai, dan mengubah gaya fashion masyarakat. Gaya ber-fashion masyarakat menjadi ―ruang‖ bagi sang Inspektur untuk ―mengadili‖ masyarakat agar menjadi manusia-manusia yang ―patuh‖ dan ―normal‖ dalam berpakaian. Dengan mempraktikkan sejumlah praktik disipliner dan normalisasi, sang Inspektur mengubah (make over) individuindividu yang ―bermasalah‖ menjadi individu yang ―modern‖, namun tetap ―beradab‖ dalam berpakaian, sehingga lahirlah individu yang baru yang ―normal‖ dan ―beradab‖, dan sekaligus menjadi manusia-manusia yang up to date (modern). Dua dunia yang berbeda, menjadi satu dalam dunia Inspektur Igun, yakni dunia fashion. Fashion menjadi penanda kesalehan sekaligus kemoderenan, yang mengubah gaya hidup dan ―identitas diri‖ masyarakat kontemporer. Di satu sisi fashion mengkomunikasikan identitas tertentu, namun di sisi yang lain, fashion menjadi ruang ideologis bagi bertemunya beragam kepentingan lewat konstruksi media massa. Melalui ―sang Mata-mata‖, Inspektur Igun, fashion telah menjelma menjadi media ―penjinak tubuh‖ yang bekerja melalui wacana konstruksi diri (gaya hidup) di era kapitalisme kontemporer saat ini. DAFTAR PUSTAKA Althusser, L. 2014. On the Reproduction of Capitalism: Ideology and Ideological State Apparatuses. London and New York: Verso Barnard, M. 2011. Fashion sebagai Komunikasi: Cara Mengomunikasikan
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
Identitas Sosial, Seksual, Kelas, dan Gender. Yogyakarta: Jalasutra Baudrillard, J. 1996. The System of Objects. London: Verso Books ___________. 1998. The Consumer Society: Myths and Structures. London: Sage Bentham, J. 1995. Jeremy Bentham: The Panopticon Writings. Diedit oleh Miran Bosovic. London dan New York: Verso Featherstone, M. 1991. ―The Body in Consumer Culture‖ in Feathersone, M, Hepworth M, Turner, B. S. (Eds). The Body: Social Process and Cultural Theory. London, California, New Delhi: Sage Publications _____________. 2007. Consumer Culture and Postmodernism. Los Angeles, London, New Delhi, Singapore: Sage Publications Foucault, M. 1980. ―The Eye of Power‖ dalam Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 19721977. New York: Pantheon Books. _______ .1991. Discipline and Punish. London: Penguin Books Hill, A. 2005. Reality TV: Factual Entertaintment and Televison Audiences. London: Routledge Ibrahim, I.S. 2007. Budaya Populer sebagai Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra Kawamura, Y. 2005. Fashion-ology: An Introduction to Fashion Studies. Oxford and New York: Berg Kellner, D. 1995. Media Culture: Cultural Studies, Identity and Politics between the Modern and the Postmodern. London and New York: Routledge Lacan, J. 1977. Ecrits: A Selection. London: Tavistock Publications Lefebvre, H. 1991. The Production of Space. Oxford: Basic Blackwell ____________ (2009) State, Space, World: Selected Essays. Minneapolis and London: University of Minnesota Press
578 |
JURNAL IMU BUDAYA
Lehmann, U. 2000. ―Introduction‖ in Tigersprung: Fashion in Modernity. Cambridge and London: MIT Press Lynch, A Strauss, M. D. 2007. Changing Fashion: A Critical Introduction to Trend Analysis and Meaning. Oxford and New York: Berg Mansfield, N. 2000. Subjectivity: Theories of the Self from Freud to Haraway. London: Allen & Unwin Marx, K. 1982. Capital: A Critique of Political Economy, Vol. I. New York: International Publishers
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
McHoul, A dan W. Grace.1993. A Foucault Primer: Discourse, Power and the Subject. Routledge: London Nayar, P. K. 2009. Seeing Stars: Spectacle, Society, and Celebrity Culture. New Delhi, California, London, Singapore: Sage Publications Rojek, C. 2001. Celebrity. London: Reaktion Books Synnott, A. 2007. Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat. Yogyakarta: Jalasutra. Turner, G. 2004. Understanding Celebrity. London: Sage
579 |
JURNAL IMU BUDAYA
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
FORMAT PRODUKSI DESAIN BAJU KAOS ACO DI MAKASSAR Absri, Stanislaus Sandarupa, Gusnawaty Program Studi Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin
[email protected] Abstract The proliferation of creative industries in the field of shirt is a container aspiration of the people in expressing social symbols. This study aims to determine the shape and design of the message and format of production in the manufacture of shirts Aco Makassar. This research is conducted in Makassar precisely in store of Aco as a manufacturer shirt. The population of the study is all Aco T-shirt designs that have been produced. Purposively selected sample are 25 T-shirt designs. The data are collected by using the techniques of observation, interviews and documentation. Data are analyzed descriptively using Pierce semiotic approach and the theory of Goffman footing. Results of this study found that the shape of a T-shirt design in Makassar Aco visually and verbally consists of icons, indexes and symbols. Another finding in this study is that there are five meaning of the messages to be conveyed in the design of a T-shirt Aco Makassar, namely (1) socialization of Makassar to the world, (2) introduced Bugis-Makassar, (3) introduced the culture of Bugis-Makassar, (4) introduced typical culinary of Makassar, and (5) introduced attractions in Makassar. In general the design is in Makassar Aco shirt intends to raise and introduce the culture in South Sulawesi, especially culture BugisMakassar. Keywords: Semiotic, T-shirt, Makassar.
A. PENDAHULUAN Kehadiran kaos di Indonesia sendiri baru menampakan perkembangan singnifikan sehingga merambah ke segenap pelosok pedesaan sekitar awal tahun 1970, ketika itu wujudnya masih konvesional. Makassar sebagai salah satu kota besar di Indonesia Timur, tak mau kalah dengan kota-kota lain yang telah mempunyai ikon produk kaos lokal seperti Joger dari Bali, Dagadu dari Jogja, dan Dadung dari Bandung, kini juga mulai menjamur di Makassar. Salah satunya adalah kaos dengan merek Aco Makassar. Produsen baju untuk anak muda atau biasa dikenal dengan istilah distro ini, cukup mudah ditemui di Makassar. Dalam rangka peningkatan penjualan baju kaos melalui kreativitasnya para desainer membuat baju kaos dengan pendekatan budaya yang berhasil mengangkat ikon-ikon, tokoh atau pahlawan
yang mempunyai sejarah bagi kota itu, bahasa lokal, makanan khas, fenomenafenomena sosial serta objek wisata sebagai label bisnisnya. Desain baju kaos memakai sejumlah tanda-tanda yang sangat menarik. Keunikan sekaligus kekuatan produk ini, selalu memberi bingkai estetika pada hal-hal yang bersifat keseharian, dan menekankan kesederhanaan yang terkadang sudah dilupakan orang. Secara teknis visual ia senantiasa menekankan aspek desain grafis yang spesifik dengan menggabungkan unsur lokal, kedaerahan, humor, plesetan yang diramu dalam konteks seni dan budaya agar tercipta daya tarik pembeli sebagai titik jual produk. Selain kalimat-kalimatnya yang lucu, karikaturnya pun tak kalah menarik karena sarat dengan kearifan lokal budaya Bugis Makassar. Desainnya pun sengaja dirancang sedemikian rupa agar disenangi oleh kalangan remaja maupun orang dewasa.
580 |
JURNAL IMU BUDAYA
Nama Aco pun sebenarnya sengaja dipilih karena ungkapan nama tersebut tak asing ditelinga warga Sulawesi Selatan (Sulsel). Digunakannya tulisan sebagai daya tarik utama dengan ciri khas kalimat budaya Bugis-Makassar. Komposisi warna dan gambar yang meramaikan desain kaos Aco Makassar, setidaknya dapat menjadi magnet bagi siapa saja untuk sejenak melihat dan tak jarang pula ada yang tertarik untuk membelinya. Sehingga disini, tulisan dan gambar yang ada di kaos merupakan salah satu media komunikasi yang bersifat individual sekaligus sosial. Berkaitan dengan desain pada baju kaos Aco tidak terlepas dari ide-ide dari kelompok-kelompok yang berada di belakang pembuatan baju kaos. Namun dalam penelitian ini peneliti memberikan batasan karena belum sampai melihat pada ideologi-ideologi dari kelompok-kelompok tersebut. Ada pesan-pesan yang dibuat oleh kelompok-kelompok orang yang berbedabeda karena itu penelitian ini akan memusatkan perhatian pada kelompokkelompok yang berbeda-beda tadi yang berada di belakang pembuatan desain baju kaos tersebut. Dalam komunikasi massa, media massa menjadi otoritas tunggal yang menyeleksi, memproduksi pesan, dan menyampaikannya pada khalayak (Prianka, 2013). Adapun penelitian yang relevan dengan penelitian ini antara lain; Jurnal Sumbo Tinarbuko (2003), yang meneliti Tanda Pada Karya Desain Komunikasi Visual. Dalam hasil penelitiannya dikatakan bahwa pesan yang terdapat pada berbagai karya desain komunikasi visual adalah pesan yang disampaikan kepada khalayak sasaran dalam bentuk tanda. Penelitian Sumbo Tinarbuko (2006), meneliti Desain Oblong Dagadu Djokdja. Dalam hasil penelitian ini tanda yang dimaksud di sini adalah unsur dasar dalam semiotika dan komunikasi, yaitu
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
segala sesuatu yang mengandung makna. Penelitian Haryanto (2014), meneliti Logo Dengan karakter Visual Jawa. Penelitian ini membahas logo dengan karakter visual Jawa yang masih dipertahankan oleh beberapa perusahaan atau lembaga di tengah gencarnya penggunaan logo yang cenderung mengarah pada karakter visual modern. Penelitian di atas, pada umumnya menggunakan pendekatan semiotika. Proses semiosis sering juga disebut signifikasi, proses ini menghasilkan hubungan yang tak berkesudahan (Triandjojo, 2008). Namun Saussure tidak mengaitkan sebuah nama dengan sebuah benda, tetapi menurutnya tanda bahasa (sign of linguistique) memiliki sebuah concept (konsep) dan image acoustique (citra akustik/citra bunyi). Le signe linguistique unit non une chose et un nom, mais un concept et une image acoustique (tanda bahasa tidak disatukan melalui benda dan namanya, tetapi oleh sebuah konsep dan citra akustik) (Saussure, 1995). Dalam definisi dasar bahasa, penanda adalah citra tentang bunyi-bunyi, citra bunyi ini berkembang menjadi tulisan yang berbentuk huruf-huruf, kata-kata, sekumpulan kalimat atau bahkan gambar atau ikon (Hoed, 2003). Berdasarkan komponen-komponen tanda, Peirce membagi tanda ke dalam tiga trikotomi. Trikotomi pertama adalah tanda dalam dirinya sendiri dan dibagi ke dalam qualisign, sinsign dan legisign. Trikotomi kedua membagi tanda ke dalam ikon, indeks dan simbol. Akhirnya, trikotomi yang ketiga membagi tanda ke dalam rema, decisign dan argument (Sandarupa, 2014). Penelitian ini bertujuan mengetahui bentuk desain yang ada dalam baju kaos Aco, mengetahui pesan yang ada dalam baju kaos Aco, dan menganalisis format produksi dalam pembuatan baju kaos Aco di Makassar. B. METODE PENELITIAN
581 |
JURNAL IMU BUDAYA
Lokasi dan Desain Penelitian Penelitian ini dilakukan di distro Aco sebagai produsen baju kaos Aco yang berlokasi di Makassar yang terletak di Jalan Faisal 12 No. 5B. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif-interpretatif (interpretation). Populasi dan Sampel Populasi dari penelitian ini adalah keseluruhan desain baju kaos Aco yang berada di Makassar, adapun sampel dari penelitian ini sebanyak 25 desain yang diambil sesuai kebutuhan peneliti (purposive sampling). Prosedur Pengumpulan Data Menurut Sugiyono (2010), dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting),dan primer, dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada observasi berperan serta (participant observation), wawancara (interview) dan dokumentasi. Wawancara adalah percakapan yang dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan (Moleong, 2012). Proses pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan tiga cara yakni, observasi, wawancara, dan dokumentasi. Observasi dilakukan untuk mengamati apa yang dikerjakan orang, mendengarkan apa yang diucapkan dan berpartisipasi dalam aktivitas yang diteliti. Selain itu, penulis juga melakukan observasi lapangan dan mengumpulkan data dalam bentuk catatan tentang situasi dan kejadian di lapangan. Wawancara dilakukan untuk menggali informasi secara mendalam dari informan mengenai desain-desain yang ada di dalam baju kaos Aco Makassar. Dokumentasi dilakukan berupa rekaman video dan foto sebagai penyedia data untuk keperluan penelitian.
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
C. ANALISIS DATA Data-data yang telah diperoleh dianalisis menggunakan metode interpretatif yang dikembangkan dari semiotika. Adapun langkah-langkah dalam analisis data tersebut, sebagai berikut: (1) Mengelompokkan data desain baju kaos Aco. (2) Mengidentifikasi tanda-tanda yang terdapat pada desain baju kaos Aco, baik itu tanda verbal atau non verbal dengan pendekatan semiotika Peirce. (3) Menginterpretasi makna setiap tanda yang terdapat dalam baju kaos Aco. (4) Menganalisis hubungan antartanda yang terjadi dalam setiap desain baju kaos Aco. (5) Menganalisis pesan-pesan berdasarkan format produksi. D. HASIL Bentuk Desain Tanda-tanda dalam desain baju Narkoba Yes…!! Nasi Konro Bayao Pada desain baju Narkoba Yess..!!Nasi Konro Bayao ini hanya terdapat tanda-tanda verbal yaitu: Narkoba, teks ini merupakan simbol dari suatu zat yang bisa menimbulkan pengaruh bagi yang menggunakannya dengan cara memasukkan ke dalam tubuh.Yess..!!, teks ini merupakan simbol ajakan kepada kita. Nasi Konro, teks ini merupakan simbol dari makanan khas orang Makassar. Bayao, teks ini merupakan bahasa Makassar yang berarti telur. Tanda-tanda dalam desain baju Thank You Cappo! Pada desain baju Thank You Cappo ini hanya terdapat tanda-tanda verbal yaitu: Thank you teks ini merupakan simbol dari ucapan terima kasih. Cappo teks ini berarti sapaan yang biasa digunakan kepada teman yang akrab atau keluarga. Tanda-tanda dalam desain baju Jangang Ketawa. Pada desain baju Jangang ketawaini terdapat tanda verbal dan tanda nonverbal. Tanda nonverbal tersebut adalah ikon dari seekor ayam jantan yang sedang ketawa.
582 |
JURNAL IMU BUDAYA
Selanjutnya tanda verbal dari desain ini, yaitu: Jangang teks ini merupakan ikon dari seekor ayam. Ketawa teks ini merupakan ungkapan rasa gembira, senang, dan geli dengan mengeluarkan suara. Tanda-tanda dalam desain baju What do you cini-cini... Pada desain baju what do you cinicini..? terdapat tanda verbal dan tanda nonverbal. Tanda nonverbal tersebut adalah ikon dari ekspresi wajah seseorang yang sangat marah. Selanjutnya tanda verbal dari desain ini, yaitu: What do you Cini-cini teks ini merupakan gabungan bahasa Inggris dan bahasa Makassar yang berarti apa lihat-lihat. Tanda-tanda dalam desain baju Pa‟boya Pada desain baju Pa‘boya ini terdapat tanda verbal dan tanda nonverbal. Tanda nonverbal tersebut adalah potongan kepala kelinci yang memakai dasi yang melambangkan lelaki playboy. Selanjutnya tanda verbal dari desain ini, yaitu: Pa‘boya teks yang berasal dari kata boya dalam bahasa Makassar itu berarti cari. Prefiks {pa-} jika diletakkan pada bentuk dasar dalam bahasa Makassar akan mengalami perubahan bentuk. Prefiks {pa-} dalam pembentukannya mempunyai makna pelaku. Pa‘boya berarti pencari. Tanda-tanda dalam desain baju Pajokka Pada desain baju Pajokka ini terdapat tanda verbal dan tanda nonverbal. Tanda nonverbal tersebut adalah seorang yang sedang berjalan mengelilingi kota. Selanjutnya tanda verbal dari desain ini, yaitu: Pajokka teks yang berasal dari kata jokka dalam bahasa Bugis itu berarti jalan. Prefiks {pa-} jika diletakkan pada bentuk dasar dalam bahasa Bugis akan mengalami perubahan bentuk. Prefiks {pa-} dalam pembentukannya mempunyai makna pelaku. Pajokka berarti pejalan. Tanda-tanda dalam desain baju Monumen Mandala Pada desain baju Monumen Mandala ini terdapat tanda verbal dan tanda nonverbal.
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
Tanda nonverbal adalah monumen mandala yang merupakan ikon kota Makassar yang tingginya 62 meter merupakan simbol tahun 1962, tahun terjadinya perjuangan pembebasan Irian Barat. Selanjutnya tanda verbal dari desain ini, yaitu: Monumen Mandala yang berarti bangunan atau tempat yang mempunyai nilai sejarah yang penting dan karena itu dipelihara dan dilindungi Negara. Tanda-tanda dalam desain baju Mati Kiri Pada desain baju Mati Kiri ini terdapat tanda verbal dan tanda nonverbal. Tanda nonverbal tersebut adanya ikon seorang lakilaki dengan ikon seorang perempuan. Posisi ikon dari perempuan sedang berdiri tepat di samping kirinya ikon seorang laki-laki dengan posisi sedang sujud. Selanjutnya tanda verbal dari desain ini, yaitu: Mati kiri merupakan istilah ini dibentuk dari kata Mati dan Kiri, namun maknanya sudah berbeda dari kata-kata pembentuknya. Istilah ini memiliki makna yang cukup mendalam oleh masyarakat Sulawesi Selatan, biasa digunakan untuk menunjukkan sikap diskriminatif yang berlebihan dalam masalah gender, khususnya sikap seorang laki-laki yang memperlakukan berbeda antara lawan jenisnya dan sesama jenisnya. E. PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa, pada desain Narkoba Yes..!!! Nasi Konro Bayao desainer berperan sebagai animator sekaligus principal. Sebagai animator desainer ingin menyampaikan bahwa kata Narkoba pada desain tersebut tidak mengacu kepada obatobatan terlarang, namun merupakan salah satu makanan favoritnya yakni Nasi Konro Bayao, hal tersebut diperjelas dengan adanya kata Yes…!! Yang bermakna dia sangat menyukai makanan tersebut sekaligus secara tersirat, melarang untuk menggunakan narkoba atau obat-obatan
583 |
JURNAL IMU BUDAYA
terlarang. Hal di atas sekaligus menunjukkan peran desainer sebagai principal. Pada desain Thank You Cappo..! desainer berperan sebagai author, animator sekaligus principal. Pada gambar ini desainer mencoba mengkombinasikan antara bahasa Inggris dan bahasa daerah Bugis Makassar, hal tersebut dilakukan oleh desainer karena dia mencoba untuk bersikap akrab dan ramah terhadap orang lain, hal ini juga didukung dengan adanya kata cappo yang digunakan sebagai sapaan terhadap orang yang sudah sangat dekat atau akrab dengan kita serta diartikan sebagai sepupu atau saudara dekat. Melalui gambar ini pula desainer ingin menyampaikan pesan bahwa hendaknya kita bersikap ramah pada orang lain. Pada desain Jagang Ketawa desainer berperan sebagai animator. Sebagai animator desainer ingin memberikan informasi kepada masyarakat luas tentang adanya suatu kegiatan masyarakat Sulawesi Selatan yang sering mengadakan konteks ayam ketawa. Ayam ketawa merupakan jenis ayam yang ketika berkokok suaranya seperti orang ketawa. Suara ayam tersebut biasanya diadu dalam suatu konteks ayam ketawa. Ayam yang menang dalam konteks tersebut akan memiliki nilai jual yang sangat mahal. Konteks ini juga menjadi salah satu tradisi yang sering dilakukan di Makassar. Melalui desain baju tersebut, desainer ingin memperkenalkan kepada orang banyak mengenai ayam ketawa yang ada di Makassar. Pada desain What Do You Cini-Cini desainer berperan sebagai author, animator sekaligus principal. Pada gambar ini desainer mencoba menggabungkan antara bahasa Inggris dengan bahasa Makassar. Melalui gambar tersebut desainer ingin menyampaikan bahwa dirinya tidak suka dilihati, dia akan marah ketika dipandangi atau dilihati, hal ini didukung dengan
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
gambar muka yang memperlihatkan ekspresi marah. Pada desain Pa‘boya desainer memplesetkan kata Playboy hal ini diperkuat atau didukung dengan adanya gambar kelinci yang memakai dasi yang merupakan simbol dari Playboy itu sendiri. Melalui gambar ini juga desainer ingin menyampaikan bahwa orang yang menggunakan atau memakai baju ini memiliki kebanggaan tersendiri atas perilaku atau kelakuannya yang suka ganti-ganti pacar. Dalam bahasa Makassar Paboya berarti pencari. Pencari di sini yang dimaksud adalah mencari wanitawanita.Pada gambar di atas desainer berperan sebagai animator dan principal. Pada desain Pajokka desainer berperan sebagai animator dan principal. Pada gambar ini memperlihatkan gambar orang yang suka jalan. Dalam hal ini ditunjukkan dengan adanya tulisan dalam bahasa Bugis-Makassar Pajokka yang berarti orang yang suka jalan atau bepergian. Melalui desain ini juga desainer ingin menyampaikan bahwa orang yang memakai atau menggunakan baju ini menandakan bahwa dia orangnya suka jalan atau tukang jalan. Hal tersebut juga didukung dengan adanya latar bangunan yang berada di belakang orang pada gambar tersebut. Pada desain Monumen Mandala desainer berperan sebagai animator. Desainer ingin memberikan informasi kepada masyarakat luas khusus warga Makassar bahwa Monumen Mandala ini merupakan ikon bahwa pada tahun 1962 telah terjadi perjuangan pembebasan Irian Barat. Monumen Mandala merupakan penghargaan dan kenangan masyarakat Sulawesi Selatan terhadap perjuangan Soeharto dan Komando Mandala untuk pembebasan Irian Barat. Gambar ini juga menunjukkan bahwa di Makassar telah terjadi perjuangan atau sejarah perjuangan
584 |
JURNAL IMU BUDAYA
yang sangat besar yakni pembebasan Irian Barat dari tangan penjajah Belanda. Pada desain Mati Kiri desainer berperan sebagai animator. Pada gambar ini desainer mencoba memperlihatkan betapa takutnya seorang cowok terdapat ceweknya sampaisampai mau bersujud pada wanita tersebut. Istilah mati kiri umumnya digunakan oleh masyarakat Makassar pada laki-laki yang gampang digoda oleh wanita atau terlalu tunduk dan takut pada wanita. F. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan hasil analisis yang dilakukan, disimpulkan bahwa bahwa desain pada baju Aco Makassar umumnya dapat dilihat dalam dua bentuk yakni, bentuk verbal dan non verbal. Tanda verbal dapat dilihat pada penggunaan gaya bahasa, ragam bahasa, ragam penulisan, tema dan dan pengertian yang ditemukan, sedangkan dalam bentuk non verbal dapat dilihat dari penggunaan ikon dan simbol. Selain itu format produksi yang digunakan pada desain baju Aco umumnya mengikuti atau sesuai dengan teori footing Goffman dimana pada desain baju tersebut desainer berperan sebagai author, animator, dan principal. Secara umum desain maupun format produksi pada baju Aco Makassar tersebut bermaksud untuk mengangkat maupun memperkenalkan budaya Makassar, hal tersebut dapat dilihat pada penggunaan kata maupun gambar yang banyak menggunakan kata-kata atau gambar yang berkaitan dengan Sulawesi Selatan, khususnya kota Makasaar. Adapun saran yang dapat diberikan oleh penulis, antara lain: Agar penelitian serupa dapat kembali dilakukan dengan pengkajiaan yang lebih mendalam, baik menggunakan analisis semiotika maupun mengkajinya dari sudut pandang lain. Diharapkan akan ada penelitian lanjutan karena penelitian ini belum melihat ideologi yang digunakan para desainer dalam membuat desain baju.
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
DAFTAR PUSTAKA Haryanto. (2014). Kajian Semiotika Pada Logo Dengan Karakter Visual Jawa. (Tesis) Magister pada Pascasarjana Institut Seni Indonesia .Yogyakarta: tidak diterbitkan. Hoed. (2003). Bahasa Negara Versus Bahasa Gerakan Mahasiswa: Kajian Semiotika atas Teks-Teks Pidato Presiden Soeharto dan Selebaran Gerakan Mahasiswa. Jakarta: LIPI Press. Moleong. (2012). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Prianka. (2013). Theory of communication: Jurnal Ilmu Komunikasi, Agustus: 2013 Sandarupa. (2014). Membangun Kesadaran Metabahasa Tentang Kearifan Lokal Toraja dan Kontribusinya Pada Pembangunan Karakter Bangsa. 42 halaman Saussure, Ferdinand. 1995. Cours de Linguistique Generale (Pangantar Linguistik Umum). Paris: Edition Payot & Rivages. Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif & RND. Bandung: Alfabeta. Tinarbuko. (2003). Semiotika Analisis Tanda Pada Karya Desain Komunikasi Visual: Nirmana [online], vol 5 no.1, 17 halaman. Tersedia http://puslit.petra.ac.id/journals/design/. pdf (5 Januari 2015). Tinarbuko. (2006). Semiotika desain Oblong Dagadu Djokdja: Jurnal Ilmu Komunikasi, vol 3 no 1, Juni 2006:7994, 20 halaman. Tersedia http:// puslit2.petra.ac.id/gudangpaper/files/22 35.pdf (5 Januari 2015). Triandjojo. (2008). Semiotika Iklan Mobil Di Media Cetak Indonesia. (Tesis) Magister pada Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang: tidak diterbitkan.
585 |
JURNAL IMU BUDAYA
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
PETUALANGAN TOKOH BALDASSARE DALAM ROMAN LE PÉRIPLE DE BALDASSARE KARYA AMIN MAALOUF (SUATU KAJIAN STRUKTUR AKTANSIAL) Sitti Mutmainnah, Prasuri Kuswarini, Muhammad Hasyim
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstrak
Judul skripsi ini adalah Petualangan Tokoh Baldassare dalam Roman Le Pèriple de Baldassare Karya Amin Maalouf dengan menggunakan Struktur Aktansial dari Greimas. Penulis menggunakan teori ini untuk menggambarkan petualangan-petualangan yang dilakukan oleh Baldassare dari awal hingga akhir. Penelitian ini menggunakan teori dari Algirdas Julian Greimas yaitu struktur aktansial dan struktur fungsional. Pada struktur aktansial terdapat 6 aktan yang dibuat dalam bentuk skema, yaitu Pengirim, Penerima, Subjek, Objek, Penolong dan Penghalang. Adapun pada struktur fungsional terdapat 3 tahap yang dibuat dalam bentuk tabel, yaitu Situasi Awal, Tahap Transformasi yang dibagi 3 menjadi Tahap Uji Kecakapan, Tahap Utama, Tahap Kegemilangan, serta Situasi Akhir. Hasil dari penelitian yang dilakukan adalah berhasilnya Baldassare mendapatkan apa yang diinginkannya dengan sebuah perjuangan dan usaha keras, dengan membuat tujuh skema struktur aktansial dan struktur fungsional. Selain itu, dapat juga disimpulkan bahwa tema yang didapatkan dari hasil penelitian ini adalah tema kegigihan. Kata Kunci:
A. LATAR BELAKANG Petualangan merupakan sesuatu pengalaman yang menarik, suatu perbuatan yang berani dan beresiko, perjalanan yang menantang, sesuatu yang tidak biasa, sesuatu yang berbahaya, sesuatu yang hebat, sesuatu yang mengejutkan dan diluar perkiraan, perubahan dalam kehidupan atau suatu hal baru yang tidak terjadi setiap hari. Selain persiapan pribadi, dalam melakukan petualangan juga tentunya diperlukan adanya kerjasama tim, karena bagaimanapun, kita akan selalu saling membutuhkan. Berpetualang bukan sekedar untuk mencapai suatu tujuan akhir misalnya sampai diatas puncak gunung, ujung goa atau berhasil memanjat tebing, dan lain-lain. Tetapi lebih ke sesuatu yang bisa kita rasakan ketika melakukan petualangan itu, bahkan sebelum mencapai tujuan akhir. Suatu rasa yang luar biasa yang tak tergambarkan, yang hanya dapat kita
rasakan. Jadi, petualangan sesingkat apapun atau semudah apapun tidak akan pernah tidak berarti. Melihat dari sisi petualangan yang dilakukan oleh Baldassare, terdapat banyak manfaat yang bisa diambil dari hal tersebut. Betapa pentingnya kita menanamkan sikap saling toleransi antar agama yang satu dengan agama yang lainnya. Perlunya bersikap tenang dalam menghadapi setiap masalah yang datang tanpa harus menggunakan emosi sesaat serta adanya kontak fisik yang akan merugikan diri sendiri maupun orang lain. Dengan demikian, seseorang akan lebih mudah mendapatkan begitu banyak teman dibanding mendapatkan seorang musuh. Dari kisah ini, kita diajarkan untuk tidak takut melakukan hal-hal baru dari kebiasaan kita sebelumnya, yaitu dengan melakukan sebuah petualangan yang mungkin saja akan membawa perubahan besar dalam kehidupan
586 |
JURNAL IMU BUDAYA
kita. Sebuah petualangan akan mengubah pandangan seseorang mengenai hal-hal yang sangat tidak mungkin menjadi sesuatu yang begitu menarik untuk diketahui lebih mendalam. Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya, petualangan yang dilakukan oleh Baldassare akan menjadi sebuah acuan bagi siapapun yang selalu merasa puas dengan apa yang dijalaninya sekarang ini. Tanpa adanya keberanian untuk keluar dari zona nyaman yang telah dijalani, maka kita tidak akan pernah tahu betapa kehidupan di luar sana sangat penuh dengan sebuah pembelajaran hidup yang mungkin akan mengubah seseorang menjadi pribadi yang lebih matang. Maka berdasarkan latar belakang di atas yang menggambarkan suatu teknik penceritaan, maka penulis mengangkat topik tentang Petualangan Tokoh Baldassare dalam roman Le Périple De Baldassare karya Amin Maalouf dengan menggunakan Suatu Kajian Struktur Aktansial. B. RUMUSAN MASALAH 1. Mengapa Baldassare melakukan petualangan dalam roman Le Périple De Baldassare ? 2. Bagaimana Baldassare melakukan petualangannya dalam roman Le Périple De Baldassare ? 3. Apa pesan dari kisah petualangan yang dilakukan Baldassare dalam roman Le Périple De Baldassare ? C. LANDASAN TEORI Sebelum memasuki bagian analisis , terlebih dahulu penulis akan mengemukakan beberapa teori yang digunakan dalam penelitian. 1. TEORI STRUKTURAL A. J. GREIMAS Mengenai teori struktural dalam penelitian karya sastra, Pradopo (dalam Jabrohim, 2003:54) mengemukakan bahwa satu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural adalah adanya anggapan
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
bahwa didalam dirinya sendiri karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalinan. Oleh karena itu, untuk memahami maknanya, karya sastra harus dikaji berdasarkan strukturnya sendiri, lepas dari latar belakang sejarah, lepas dari diri dan niat penulis, dan lepas pula dari efeknya pada para pembaca. Ada banyak jenis pendekatan strukturalisme yang dikembangkan oleh para ahli di bidang sastra. Dan dari beberapa jenis pendekatan strukturalisme tersebut, pada penelitian ini pendekatan strukturalisme yang digunakan adalah strukturalisme naratologi yang dikembangkan oleh Algirdas Julien Greimas. A. J. Greimas sendiri merupakan penganut paham struktural dari Prancis. Ia mengembangkan teori Propp. Sebelumnya Propp memperkenalkan unsur naratif terkecil yang sifatnya tetap dalam sebuah karya sastra sebagai fungsi. Jadi, teori Propp ini menitiberatkan pada fungsi dan peran. Berdasarkan teori Propp inilah, Greimas mengembangkan teori aktan. Menurut Greimas, aktan adalah sesuatu yang abstrak, tentang cinta, kebebasan, atau sekelompok tokoh. Menurutnya juga, aktan adalah satuan naratif terkecil. Dikaitkan dengan satuan sintaksis naratif, aktan berarti unsur sintaksis yang memiliki fungsi-fungsi tertentu. Sedangkan fungsi adalah satuan dasar cerita yang menerangkan tindakan logis dan bermakna yang berbentuk narasi. Dengan kata lain, skema aktan tetap mementingkan alur cerita energi terpenting yang menggerakkan cerita sehingga menjadi penceritaan, dengan episode terpenting yang terdiri atas permulaan, komplikasi, dan penyelesaian. 1) Struktur Aktansial Teori Aktan yang dikembangkan oleh A. J. Greimas merupakan model pendekatan alur. Teori model A. J. Greimas
587 |
JURNAL IMU BUDAYA
digunakan untuk meneliti tindakan-tindakan tokoh yang dianggap sentral dalam cerita, berikut obsesi dan motivasinya, yang mewakili peristiwa-peristiwa utama di dalam alur cerita. Istilah aktan dalam konsepsi Greimas artinya adalah pelaku tindakan. Pelaku tindakan tidak dapat digeneralisir sebagai tokoh. Oleh karena itu, pengertian tentang aktan tidak sama dengan pengertian tentang tokoh. Aktan ditinjau dari segi tata cerita yang menunjukkan hubungan yang berbeda-beda. Maksudnya, dalam suatu skema aktan, suatu fungsi dapat menduduki beberapa peran, dan dari karakter peran, kriteria tokoh dapat diamati. Menurut Greimas, seorang tokoh dapat menduduki beberapa fungsi dan peran di dalam suatu skema aktan. Greimas mengemukakan bahwa aktan adalah sesuatu yang abstrak, seperti cinta, kebebasan, atau sekelompok tokoh serta satuan naratif terkecil. Pengertian aktan dikaitkan dengan satuan sintaksis naratif, yaitu unsur sintaksis yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu. Fungsi adalah satuan dasar cerita yang menerangkan kepada tindakan yang bermakana yang membentuk narasi. Setiap tindakan mengikuti sebuah perurutan yang masuk akal. Menurut Rimmon-Kenan, aktan ataupun acteurs dapat berarti suatu tindakan, tetapi tidak selalu harus merupakan manusia, melainkan juga nonmanusia. Di dalam model aktan, suatu tindakan dapat dipecah menjadi enam komponen atau
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
aktan. Enam komponen tersebut antara lain adalah Pengirim (Destinateur), Penerima (Destinataire), Subjek (Sujet), Objek (Objet), Penolong (Adjuvant), serta Penentang/Penghalang (Opposant). Enam komponen aktan sebagaimana disebut di atas digolong-golongkan menjadi tiga oposisi yang masing-masing membentuk sebuah sumbu deskripsi aktan sebagai berikut : a. Sumbu Hasrat (Axe du Vouloir / Désir) : (1) Sujet / (2) Objet. Sujet diarahkan untuk selalu mencapai objet. Hubungan antara sujet dan objet disebut Junction. b. Sumbu Kekuatan (Axe du Pouvoir) : (3) Adjuvant / (4) Opposant. Adjuvant membantu untuk mencapai apa yang diinginkan subjek oleh objek. Sedangkan opposant akan selalu menghalangi sujet untuk mencapai objet. c. Sumbu Transmisi (Axe de la Transmission / Axe du Savoir) : (5) Destinateur / (6) Destinataire. Destinateur disebut sebagai pendiri hubungan antara sujet dan objet. Adapun destinataire menandakan bahwa pencarian telah selesai. Dalam hal ini, destinataire sebagai aktan yang akan mendapatkan keuntungan dari realisasi hubungan antara sujet dan objet
588 |
JURNAL IMU BUDAYA
Fungsi dan kedudukan yang selanjutnya dari masing-masing aktan adalah sebagai berikut: a. Pengirim (destinateur) adalah seseorang atau sesuatu yang menjadi sumber ide dan berfungsi sebagai penggerak cerita. Destinateur ini menimbulkan keinginan bagi sujet untuk mendapatkan objet. b. Penerima (destinataire) adalah sesuatu atau seseorang yang menerima objet hasil perjuangan sujet. c. Sujet adalah seseorang atau sesuatu yang ditugasi oleh destinateur untuk mendapatkan objet yang diinginkannya. d. Objet adalah seseorang atau sesuatu yang diinginkan atau dicari oleh sujet. e. Penolong (adjuvant) adalah seseorang atau sesuatu yang membantu memudahkan usaha sujet dalam mendapatkan objet sebagai keinginannya. f. Penghalang (opposant) adalah seseorang atau sesuatu yang menghalangi usaha atau perjuangan sujet dalam mendapatkan objet. g. Tanda panah dari destinateur yang mengarah pada objet mengandung arti bahwa destinateur ada keinginan untuk mendapatkan objet. Tanda panah dari objet ke destinataire mengandung arti bahwa sesuatu yang menjadi objet yang dicari oleh sujet atas keinginan destinateur diberikan pada destinataire. h. Tanda panah dari adjuvant ke sujet mengandung arti bahwa adjuvant memberikan bantuan kepada sujet dalam rangka menunaikan tugas yang dibebankan oleh destinateur. Tanda panah dari opposant ke sujet mengandung arti mempunyai kedudukan sebagai penentang dari kerja sujet. Opposant mengganggu, menghalangi, menentang dan merusak usaha sujet. i. Tanda panah sujet ke objet mengandung arti sujet bertugas menemukan objet yang dibebankan oleh destinateur.
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
Dengan demikian, berkaitan dengan hal tersebut, diantara destinateur dan destinataire terdapat suatu komunikasi, diantara destinateur dan objet terdapat tujuan, diantara destinateur dan subjet terdapat perjanjian, diantara sujet dan objet terdapat usaha, dan diantara adjuvant atau opposant terdapat bantuan atau tantangan. Bergantung pada siapa yang menduduki fungsi sujet, maka suatu aktan dalam struktur tertentu dapat menduduki fungsi aktan yang lain, atau suatu aktan dapat berfungsi ganda. Fungsi destinateur dapat menjadi fungsi sebagai destinateur sendiri, juga dapat menjadi fungsi sujet. Sujet dapat menjadi fungsi destinateur, fungsi destinataire dapat menduduki fungsi destinataire sendiri, fungsi sujet, atau fungsi destinateur. Demikianlah semua fungsi dapat menduduki peran fungsi yang lain, sehingga tokoh dalam suatu cerita dapat menduduki fungsi aktan yang berbeda. 2) Struktur Fungsional Selain menunjukkan model aktan, Greimas juga menunjukan model cerita yang tetap sebagai alur. Model itu terbangun oleh berbagai tindakan yang disebut fungsi. Model yang kemudian disebutnya sebagai model fungsional itu, menurutnya memiliki cara kerja yang tetap karena memang sebuah cerita selalu bergerak dari situasi awal ke situasi akhir. Greimas menyebut model fungsional sebagai suatu jalan cerita yang tidak berubah-ubah. Model fungsional mempunyai tugas untuk menguraikan peran sujet dalam rangka melaksanakan tugas dari destinateur yang terdapat dalam aktan. Model fungsional terbangun oleh berbagai tindakan, dan fungsi-fungsinya dapat dinyatakan dalam kata benda seperti keberangkatan, kedatangan, hukuman, kematian, dan sebagainya. Model fungsional dibagi menjadi tiga bagian, yaitu situasi awal, transformasi, dan situasi akhir. Situasi transformasi dibagi menjadi tiga tahapan,
589 |
JURNAL IMU BUDAYA
tahap uji kecakapan, tahap utama, dan tahap membawa kegemilangan. Adapun operasi fungsionalnya terbagi dalam tiga bagian. Bagian pertama merupakan situasi awal. Bagian kedua merupakan tahap transformasi. Tahap ini terbagi atas tiga tahapan, yaitu tahap kecakapan, tahap utama, dan tahap kegemilangan. Bagian ketiga merupakan situasi akhir. Jika dibuat dalam bentuk bagan, maka bentuk bagian dan tahapan tersebut adalah sebagai berikut: I II III Tahap Transformasi Situa Tah Tahap Taha si ap Tahap Uji p Awa Akh Kegemilan Kecaka Uta l ir gan pan ma (http://fantasyworldastia.blogspot.co.id/2 015/09/teori-aktansial-algirdas-juliangreimas.html) a. Tahap (situasi) Awal cerita, cerita diawali oleh adanya karsa atau keinginan untuk mendapatkan sesuatu, untuk mencapai sesuatu, untuk menghasilkan sesuatu. Dalam situasi ini, yang paling dominan perannya adalah destinateur dalam menginginkan sesuatu. Dalam situasi ini, ada panggilan, perintah, dan persetujuan. Panggilan berupa suatu keinginan dari destinateur. Perintah adalah perintah dari destinateur kepada sujet untuk mencari objet. Persetujuan adalah persetujuan dari destinateur kepada sujet. b. Tahap Transformasi: 1) Tahap uji kecakapan, tahap ini menceritakan awal mulainya usaha sujet dalam mencari objet. Sujet yang membawa amanat dari destinateur mulai bergerak mengawali usahanya. Jika harus melakukan perjalanan, sujet baru dalam tahap mengenali objet. Tahap ini menceritakan keadaan sujet yang baru dalam tahap uji coba kemampuan: apakah sujet
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
mendapatkan rintangan atau tidak dalam rangka mencari objet, jika ada rintangan bagaimana sujet menghadapi rintangan tersebut, apakah sujet mampu menyingkirkan rintangan-rintangan tersebut, dan bagaimana sikap sujet menghadapi rintangan itu serta bagaimana sujet meyingkirkan rintangan-rintangan. Selain itu, dalam tahap ini muncul adjuvant dan opposant. Opposant muncul untuk tidak menyetujui atau menggagalkan usaha sujet. Di lain pihak, adjuvant datang untuk membantu usaha sujet. Disinilah dapat dilihat apakah sujet mampu mengawali usahanya dengan baik atau tidak. Jadi inti tahap ini hanyalah menunjukkan kemampuan sujet dalam mencari objet pada awal usahanya. 2) Tahap utama, tahap ini menceritakan hasil usaha sujet mendapatkan objet. Sujet berhasil memenangkan perlawanannya terhadap opposant, berhasil mendapatkan objet. Segala rintangan telah berhasil disingkirkan oleh sujet. Namun sujet masih akan mendapatkan tantangan, yaitu objet akan diambil orang lain atau opposant. 3) Tahap kegemilangan, tahap utama telah dilalui oleh sujet, namun masih harus menyerahkan objet pada destinataire. Sujet masih menghadapi tantangan dari opposant, setelah sujet dapat mengatasi opposant, baru keberadaannya diakui. c. Tahap Akhir, semua konflik telah berakhir. Situasi telah kembali ke keadaan semula. Keinginan terhadap sesuatu telah berakhir, keseimbangan telah terjadi. Objet telah diperoleh dan diterima oleh destinataire, dan disinilah cerita berakhir.
590 |
JURNAL IMU BUDAYA
Perlu diketahui bahwa, struktur aktan dan model fungsional memiliki hubungan kausalitas karena hubungan antaraktan itu ditentukan oleh fungsi-fungsinya dalam membangun struktur cerita. Jadi antara aktan dan fungsi bersama-sama berhubungan untuk membentuk struktur cerita, yaitu cerita utama atau struktur cerita pusat. 5. TINJAUAN PUSTAKA Berikut ini merupakan penelitian karya sastra yang berhubungan dengan pembahasan yang dengan penulis bahas mengenai Struktur Aktansial dan Struktur Fungsional antara lain: Skripsi : Struktural Skema Aktan dan Model Fungsional Greimas Pada Cerpen Yabu No Naka Karya Akutagawa Ryuunosuke oleh Renda Ika Arisya (2012) mahasiswa Universitas Dian Nuswantoro Semarang. Penelitian ini membahas skema aktan dan model fungsional Greimas yang diterapkan pada cerpen Yabu No Naka. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis tindakan-tindakan tokoh dalam cerpen dengan menggunakan teori aktan Greimas. Skripsi : Tema Kebahagiaan dalam Novel Le Chercheur d‟Or Karya J.M.G Le Clézio oleh Ichwal Setiawan (2014) mahasiswa Universitas Hasanuddin. Penelitian ini menganalisis mengenai tema kebahagiaan yang dideskripsikan ke dalam teori struktur aktansial dan fungsional kemudian memilih isotopi yang merefleksikan tema. Skripsi : Struktur Aktansial dan Fungsional dalam Voyage Au Centre de La Terre karya Jules Verne oleh Nirwana (2015) mahasiswa Universitas Hasanuddin. Penelitian ini menggambarkan secara detail mengenai pemikiran Jules Verne terhadap ilmu pengetahuan yang berbasis sience fiction dengan menggunakan tema semangat eksplorasi yang dianalisis dengan menggunakan struktur aktansial dan fungsional Greimas.
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
Berbeda dengan ketiga penelitian di atas, pada penelitian kali ini penulis akan menganalisis mengenai petualangan Baldassare dalam roman Le Périple De Baldassare karya Amin Maalouf yang menggambarkan sebuah perjalanan yang dilakukan oleh Baldassare untuk mencari sebuah buku terkutuk yang menurut sebagian orang mampu menghindarkan siapapun yang memilikinya dari Hari Kiamat. Menggambarkan bagaimana perjuangan Baldassare sehingga ia berhasil mendapatkan buku tersebut walaupun dengan mengalami beberapa kali kegagalan. Dengan menggunakan struktur aktansial dan fungsional Greimas yang kemudian disimpulkan dengan didapatkannya tema kegigihan yang ditunjukkan oleh tokoh utama dalam novel Le Périple De Baldassare karya Amin Maalouf. 6. ANALISIS Skema berikut ini merupakan gambaran perjalanan Baldassare dari awal melakukan petualangan sampai ia mendapatkan tujuan utamanya, yaitu Le Centième Nom. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada skema sebelumnya bahwa hal utama yang menjadi tujuan Baldassare melakukan petualangan adalah rasa bersalahnya kepada si tua Idriss dan adanya desas desus mengenai akan datangnya hari kiamat beberapa bulan lagi. Maka hal tersebut merupakan Destinateur yang mendorong Baldassare selaku Sujet untuk melakukan suatu perjalanan besar dalam hidupnya yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya demi mendapatkan kembali Le Centième Nom yang ditempatkan sebagai Objet. Selama dalam perjalanan, Baldassare didampingi oleh kedua keponakannya yaitu Habib dan Jaber beserta pegawainya yang setia, Hatem. Selain mereka bertiga, kehadiran Marta yang tidak disangka-sangka oleh Baldassare menjadi sebuah semangat tersendiri bagi Baldassare dalam melakukan perjalanannya. Dalam usahanya mencari Le Centième Nom,
591 |
JURNAL IMU BUDAYA
selain dari orang-orang terdekatnya, ia juga banyak mendapatkan bantuan dari orangorang yang baru saja ia kenal. Seperti pangeran Mircea dari istana Walachia yang merupakan seorang kolektor buku-buku antik. Menurut informasi yang didapatkan oleh keponakannya, pangeran Mircea adalah salah satu orang yang memiliki buku yang selama ini dicari-cari oleh Baldassare. Disanalah, salah satu tempat yang dikunjungi oleh Baldassare untuk mencari kebenaran atas keberadaan yang sebenarnya dari Le Centième Nom. Selain di istana tersebut, Baldassare juga mengunjungi London dengan maksud bertemu dengan temannya yang bernama Wheeler yang rumahnya ia tinggali saat di Smyrna. Namun sesampainya disana, Baldassare hanya menemui ayah Wheeler yang bersedia memberitahunya dimana keberadaan buku tersebut. Setelah mendapatkan informasi yang pasti, akhirnya Baldassare menuju ke rumah seorang pendeta yang telah membeli Le Centième Nom dari toko buku ayah Wheeler. Di London inilah, perjalanan Baldassare untuk mencari buku yang selama ini ia inginkan berakhir karena ia telah
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
berhasil mendapatkannya. Dengan kata lain, semua tokoh yang telah membantu Baldassare dalam usahanya mendapatkan buku tersebut penulis tempatkan pada aktan Adjuvant. Namun dibalik keberhasilan yang telah dicapai oleh Baldassare tidak dapat dipungkiri bahwa banyaknya rintangan serta masalah-masalah yang ia alami selama melakukan perjalanan. Seperti yang ia alami pada saat di Konstantinopel yaitu berita mengenai kematian Chevalier de Marmontel yang menggagalkannya mendapatkan buku tersebut. Setelah itu, ia juga gagal mendapatkan Le Centième Nom karena peristiwa kebakaran yang menimpa istana pangeran Mircea pada saat di Smyrna. Serta kejadian aneh yang ia alami di rumah sang pendeta ketika ia mecoba untuk membaca buku tersebut. Kejadian-kejadian inilah yang menjadi Opposant bagi Baldassare selaku Destinataire dalam usahanya untuk mendapatkan Le Centième Nom. Berikut merupakan skema struktur aktansial dari petualangan Baldassare untuk mendapatkan Le Centième Nom.
592 |
JURNAL IMU BUDAYA
a. Struktur Fungsional Situasi Awal : Karena rasa bersalahnya kepada si tua Idriss disertai dengan maraknya desas desus mengenai akan datangnya hari Kiamat beberapa bulan lagi, akhirnya Baldassare pun memutuskan untuk melakukan perjalanan demi mendapatkan kembali Le Centième Nom yang telah ia jual kepada sang Chevalier de Marmontel dengan bayaran yang sangat tinggi. Sehubungan karena sang Chevalier yang akan melakukan perjalanan ke Konstantinopel, maka Baldassare juga akan melakukan perjalanan ke kota tersebut dengan di dampingi oleh kedua keponakan beserta pegawainya yang setia. Setelah rombongan Baldassare tiba di Konstantinopel, ia langsung mencari tahu dimana keberadaan sang Chevalier, namun apa yang ia dapatkan malah membuatnya sangat terkejut. Ternyata orang yang diikutinya selama ini telah meninggal dunia akibat tenggelamnya kapal yang ia tumpangi ketika sedang berlayar menuju Konstantinopel. Dengan kata lain, buku yang dicarinya juga ikut tenggelam bersama dengan sang Chevalier. Hal ini membuat Baldassare sangat menyesali keputusannya yang telah membuang-buang waktunya untuk melakukan sebuah perjalanan selama hampir dua bulan hanya demi mengejar sebuah buku yang tidak akan pernah ia dapatkan kembali. "Je dois avouer qu‟après m‟être apitoyé sur mon sort, et m‟être lamenté pour avoir encouru tant de peines pour rien, je me misà m‟interroger sur le sens que pouvait avoir cet événement, et sur les enseignements que je devais en tirer. Après la mort du vieil Idriss, la disparition de Marmontel et du Centième Nom, ne devrais-je pas renoncer à ce livre et rentrer sagement à Gibelet?" (Le Périple De Bladassare : 301) "Harus kuakui bahwa setelah menyesali diri dan meratapi kenyataan bahwa aku
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
mengalami begitu banyak kesulitan hanya untuk kesia-siaan, aku mulai merenungi apa makna semua ini dan apa yang seharusnya ku pelajari darinya. Setelah kematian si tua Idriss, dan kini lenyapnya Marmontel sekaligus Nama yang Keseratus, apakah sebaiknya aku menyerah dalam mencari buku itu dan kembali dengan diam-diam ke Gibelet?" Tahap Uji Kecakapan : Walaupun Baldassare telah menyesali akan perjalanan yang ia lakukan sebelumnya, namun karena adanya dorongan dari orang-orang terdekatnya, maka Baldassare membangun kembali keinginannya untuk mendapatkan Le Centième Nom. Kali ini, Baldassare melanjutkan pencariannya di istana seorang pangeran yang bernama pangeran Mircea, ia adalah seorang kolektor buku dan kabarnya mempunyai buku yang dicari-cari oleh Baldassare. Sesampainya disana, tanpa disangka-sangka Baldassare disambut dengan hangat oleh orang-orang yang berada di istana tersebut, termasuk oleh sang pangeran. Setelah berbincang-bincang cukup lama, ternyata sang pangeran memang mempunyai buku tersebut dan mengijinkan Baldassare untuk melihat bahkan menyalinnya. Akan tetapi sebelum beranjak untuk mengambil buku tersebut, sang pangeran mengajukan syarat kepada Baldassare. Dengan senang hati Baldassare pun menyetujui persyaratan tersebut. Namun kegembiraan Baldassare tidak berlangsung lama, hal tersebut dikarenakan oleh peristiwa kebakaran yang menimpa istana pangeran Mircea. Dan lebih parahnya lagi, akibat peristiwa kebakaran tersebut, istana dan seluruh isinya telah hangus terbakar dan rata oleh tanah. Karena peristiwa inilah, Baldassare kembali gagal untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. "Les cris s‟éloignèrent du cabinet, puis, au bout d‟une minute, se rapprochèrent à nouveau, accompagnés de coups violents qui faisaient trembler les murs
593 |
JURNAL IMU BUDAYA
de la pièce. Et d‟une odeur inquiétante. N‟y tenant plus, j‟en trouvris la porte, et hurlai à mon tour. Les murs et les tapis étaient en feu, une épaisse fumée emplissait la maison. Des hommes et des femmes couraient en portant des seaux d‟eau, et en hurlant dans tous les sens." (Le Périple De Bladassare : 389) "Suara jeritan itu mengabur di kejauhan, lalu setelah beberapa saat terdengar mendekati ruang ini lagi, disertai bunyi keras benturan yang membuat dinding bergoyang. Lalu tercium aroma yang mangganggu. Pada saat ini aku membuka pintu sedikit dan menambahkan suaraku pada jeritan itu. Dinding dan permadani terbakar dan rumah itu dipenuhi asap tebal. Para lelaki dan perempuan berlari lintangpukang ke segala arah membawa berember-ember air, seraya saling berteriak." Tahap Utama : Meskipun peristiwa kebakaran yang terjadi di istana pangeran Mircea sempat membuat Baldassare sedikit terkejut dan trauma, namun semua itu tidak membuatnya menyerah untuk tetap mencari dimana keberadaan Le Centième Nom. Karena keinginannya yang sangat kuat, Baldassare bahkan sampai melakukan perjalanan hingga ke London demi buku tersebut. Hal ini dikarenakan oleh informasi yang ia dapatkan bahwa buku tersebut berada di tangan seorang saudagar Inggris yang bernama Cornelius Wheeler dan tidak lain merupakan teman barunya yang bahkan rumahnya ia tempati selama berada di Smyrna. Sesampainya di London, ternyata Baldassare tidak menemui Wheeler karena sedang menyelesaikan urusannya. Yang ia temui hanyalah ayah Wheeler dan menurut pengakuannya, buku tersebut memang pernah ia miliki namun telah ia jual kepada seorang pendeta yang juga merupakan penduduk di kota London. Dengan bantuan ayah Wheeler, ia memerintahkan
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
pegawainya untuk mengantarkan Baldassare ke rumah sang pendeta. Setibanya di rumah sang pendeta, Baldassare menceritakan maksud dan tujuannya datang ke tempat tersebut. Dan ternyata buku tersebut memang dimiliki oleh sang pendeta, dan ia pun dengan senang hati memberikannya kepada Baldassare bahkan sebagai miliknya, namun dengan sebuah syarat. Setelah Baldassare menyetujui syarat dari sang pendeta, akhirnya ia mulai menjalankan tugasnya yang diberikan oleh sang pendeta, yaitu menerjemahkan isi dari Le Centième Nom di hadapan sang pendeta dengan anak buahnya. Namun pada saat Baldassare membuka buku tersebut, penglihatannya tiba-tiba menjadi gelap dan anehnya hanya dirinya sendiri yang merasakan keanehan tersebut. Demi melaksanakan kepercayaan yang diberikan dari sang pendeta, maka Baldassare menjelaskan isi buku tersebut hanya berdasarkan pengalaman dan penjelasan dari orang-orang yang pernah ia temui selama melakukan petualangan. "Une fois assis à ma table, je plaçai Le Centième Nom devant moi, ouvert en son milieu mais face contre terre, et me mis à feuilleter plutôt ce cahier, où je fus heureux de retrouver, à la journée du 20 Mai, le compte rendu que j‟avais fait des propos de mon ami persan. Me basant sur ce qu‟il m‟avait dit du débat sur le nom supreme et de l‟opinion de Mazandarani, je rédigeai ce que demain je prétendrai être une traduction de ce que ce dernier a écrit, m‟étant également inspiré, pour imiter le style, du peu que j‟avais pu lire au début du livre maudit…" (Le Périple De Bladassare : 1106) "Begitu aku duduk di bangkuku sendiri, aku membuka Nama yang Keseratus di bagian tengahnya, dan meletakkannya tepat dihadapanku. Kemudian aku meraih jurnalku ini dan membuka-buka kembaran kertasnya sampai aku
594 |
JURNAL IMU BUDAYA
menemukan tulisan tertanggal 20 Mei, cerita sahabat Persiaku tentang perdebatan nama Tuhan yang tersembunyi dan pandangan-pandangan Mazandarani mengenai masalah tersebut. Dengan menggunakan jurnalku ini sebagai landasan isinya, aku menuliskan apa yang akan kuberikan besog sebagai terjemahan buku Mazandarani. Untuk menambahkan gaya, aku menggunakan judul-judul yang kuingat ketika aku sempat membaca awalan buku terkutuk itu." Tahap Kegemilangan : Pada saat itu, London sedang dilanda oleh peristiwa kebakaran besar yang telah menghanguskan sebagian kota. Dengan panik, Baldassare ingin segera meninggalkan kota tersebut dan tidak lupa untuk memohon ijin kepada sang pendeta untuk membawa serta Le Centième Nom. Karena sang pendeta merasa puas dengan penjelasan dari Baldassare, maka sebagai ucapan terima kasih dengan senang hati ia pun memberikan buku tersebut kepada Baldassare untuk ia miliki seutuhnya. Hal ini membuat Baldassare merasa sangat senang dan berterima kasih kepada sang pendeta. Dengan kata lain, tahap kegemilangan pada skema ini tercapai
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
karena berhasilnya Baldassare mendapatkan apa yang ia inginkan selama ini. "Je le remerciai avec des mot sémus, et lui donnai l‟accolade. Puis nous nous sommes promis, sans trop y croire, que nous nous reverrions, si non dans ce monde du moins dans l‟autre. “Ce qui ne saurait plus tarder, en ce qui me concerne”, dit-il. “Et de nous tous!” poursuivis-je, en désignant d‟un geste eloquent ce qui se passait autour de nous." (Le Périple De Bladassare : 1144) "Aku tersentuh. Aku berterima kasih padanya, dan memeluknya. Kemudian kami saling berjanji, tanpa terlalu memastikan, bahwa kami akan berjumpa lagi, jika tidak di dunia ini maka di dunia berikutnya. "Dan kurasa itu akan segera terjadi," ujarnya. "Sejauh yang kita semua rasakan!" sahutku, membahasakan semua yang terjadi di sekeliling kami." Situasi Akhir : Cerita ini diakhiri dengan keberhasilan Baldassare dalam mencapai keinginannya. Setelah memegang Le Centième Nom di tangannya, akhirnya Baldassare segera bergegas untuk meninggalkan London dan melanjutkan perjalanannya.
Tabel Struktur Fungsional Baldassare Tabel 7. (Petualangan Baldassare untuk Mendapatkan Le Centième Nom) Tahap Transformasi Situasi Awal Uji Kegemilanga Situasi Akhir Utama Kecakapan n Rasa bersalah Karena Akibat Walaupun Keberhasilan Baldassare gagalnya peristiwa sempat Baldassare kepada si tua menemui kebakaran di mengalami mendapatkan Idriss disertai Chevalier de istana kejadian aneh, Le Centième dengan desas Marmontel, pangeran Baldassare Nom yang desus maka Mircea, tetap berhasil selama ini ia mengenai akan Baldassare Baldasssare mendapatkan cari selama datangnya hari melanjutkan kembali apa yang ia kurang lebih Kiamat. Awal pencarian di melanjutkan inginkan yaitu dua tahun. dari istana pencarian di Le Centième
595 |
JURNAL IMU BUDAYA petualangan yang dilakukan Baldassare di Konstantinopel .
pangeran Mircea yang merupakan seorang kolektor bukubuku antik.
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
London.
Setelah banyak peristiwa dan masalahmasalah yang ia alami selama melakukan perjalanan kurang lebih 2 tahun, akhirnya Baldassare berhasil mendapatkan apa yang ia inginkan selama ini. Karena petualangan yang ia lakukan tanpa disangka-sangka oleh Baldassare, ternyata membuat perubahan besar dalam hidupnya dan akan menjadi suatu kebahagiaan tersendiri baginya di sisasisa hidupnya kelak. Tahun terkutuk pun telah dilewati, dan Le Centième Nom yang selama ini telah membuat hidupnya mengalami banyak perubahan telah ia tutup rapat-rapat dan ia simpan di deretan bukubuku antik miliknya. 7. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dilakukan, maka kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut: 1. Dalam menganalisis roman Le Périple De Baldassare, penulis menemukan gambaran mengenai kecemasan dan ketakutan sebagian umat manusia mengenai akan terjadinya Hari Kiamat bagi mereka yang mempercayainya, dengan menggunakan kepercayaan dari agama masing-masing yang dianut oleh pengikutnya. Dari sini dapat dijelaskan bahwa dengan semakin ramainya pemberitaan mengenai desas desus akan datangnya kehancuran dunia, maka semakin hancur pulalah perilaku sebagian umat manusia yang ditunjukkan dengan tidak adanya lagi kegiatan sehari-hari yang semestinya dilakukan kecuali hanya untuk menyembah dan mengagung-agungkan keberadaan seorang manusia yang
Nom.
mengakui dirinya sebagai sang juru selamat. 2. Dengan menganalisis menggunakan struktur aktansial dan fungsional, dapat disimpulkan karakter dari tokoh Baldassare yaitu seseorang yang akan selalu bersikap tenang dalam menghadapi setiap masalah yang datang tanpa harus mencari musuh di setiap perjalanan yang ia lakukan. Terbukti dari setiap analisis skema aktansial bahwa yang menjadi penghalang dari hampir setiap perjalanan Baldassare yaitu berasal dari adanya fenomena alam yang terjadi di luar dugaan manusia. 3. Walaupun selalu mengalami kegagalan dalam setiap usaha yang ia lakukan, namun Baldassare tidak akan pernah menyerah untuk mendapatkan apa yang menjadi tujuan utamanya dalam melakukan petualangan ini. Meskipun selalu mengalami hal-hal yang membuat dirinya terpuruk, Baldassare akan terus bangkit demi tercapainya apa yang ia inginkan. Karena hal inilah, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa tema yang didapat dari hasil perjuangan yang dilakukan oleh Baldassare ialah tema kegigihan. DAFTAR PUSTAKA Arisya, Renda Ika. 2012. Skripsi : Struktural Skema Aktan dan Model Fungsional Greimas pada Cerpen Yabu No Naka Karya Akutagawa Ryuunosuke. Universitas Dian Nuswantoro Semarang.
596 |
JURNAL IMU BUDAYA
Jabrohim. E.D. 2003. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta : Hanindita Graha Widya. Maalouf, Amin. 2000. Le Périple de Baldassare. Paris : Grasset & Fasquelle. Maalouf, Amin. 2003. Balthasar‟s Odyssey (Perjalanan Baldassare). Jakarta : Serambi. Nirwana. 2015. Skripsi : Struktur Aktansial dan Fungsional dalam Voyage Au Centre de La Terre Karya Jules Verne. Universitas Hasanuddin. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Schmitt, M.P dan Viala, A. 1982. Savoir Lire : Précis de Lecture Critique. Paris : Didier. Setiawan, Ichwal. 2014. Skripsi : Tema Kebahagiaan dalam Novel Le Chercheur d‟Or Karya J.M.G. Le Clézio. Universitas Hasanuddin. Referensi Internet http://agusmaumaulidin.blogspot.co.id/2013/ 11/pengertian-adventurebertualang.html diakses pada tanggal 23 Oktober 2015 http://eprints.uny.ac.id/9250/3/bab%20208203241031.pdf diakses pada tanggal 01 November 2015
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
http://rcadventurer.blogspot.co.id/2013/02/p engertian-petualangan-adventure.html diakses pada tanggal 23 Oktober 2015 (https://id.wikipedia.org/wiki/Petualangan diakses pada tanggal 23 Oktober 2015 (http://www.signosemio.com/greimas/model e-actantiel.asp diakses pada tanggal 15 November 2015 (http://lib.unnes.ac.id/5210/1/7671.pdf diakses pada tanggal 01 November 2015 (http://fantasyworldastia.blogspot.co.id/2015 /09/teori-aktansial-algirdas-juliangreimas.html diakses pada tanggal 15 November 2015 (http://www.versodio.com/literature/analisis -struktural/ diakses pada tanggal 21 Januari 2016 (http://www.babelio.com/livres/Maalouf-LePeriple-de-Baldassare/5548/critiques diakses pada tanggal 15 Januari 2016 (http://www.critiqueslibres.com/i.php/vcrit/4 0 diakses pada tanggal 15 Januari 2016) (http://www.amazon.fr/productreviews/2253041939 diakses pada tanggal 15 Januari 2016 (http://moveshoopp.blogspot.com/ diakses pada tanggal 10 Februari 2016
597 |
JURNAL IMU BUDAYA
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
ANALISIS STRUKTUR AKTANSIAL DAN FUNGSIONAL DALAM VOYAGE AU CENTRE DE LA TERRE KARYA JULES VERNE Nirwan, Ade Yolanda Latjub, Mardi Adi Armin Mahasiswa S1 Jurusan Sastra Prancis Fakultas Imu Budaya Universtas Hasanuddin Jurusan Sastra Prancis Fakultas Imu Budaya Universtas Hasanuddin Jurusan Sastra Prancis Fakultas Imu Budaya Universtas Hasanuddin
[email protected] Abstract
This paper entitled "Structur actantial and functional analysis in the Voyage au center de la terre of a work of Jules Verne" which is one part of the thesis of the same title. The work of Verne is a science fiction novel that tells about the journey of a geologist Professor Lidenbrock with his nephew, Axel and a hunter whose they hired, Hans Bjelke, to look for the center of the earth. In this study, the selected theory is from a structuralism of Algidras Julien Greimas which used as a theoretical basis. A.J.Greimas use actantial structural analysis and functional as the basic concept of his working steps. According to Greimas, actant is the smallest unit of narrative in the literary. Actants and personages are not same; an actant may not manifest as a personage, but an abstract concept, a figure not lifeless, heirloom weapons or the like. In actantial structure, there are some buildings elements such as subject, object, sender, recipient, opponents, and helpers. Meanwhile, the functional structure is the simplification of the functions in the story. Those functions comprised the initial situation, transformation, and the final situation. Transformation is divided into three stages, namely the proficiency test phase, the main phase, and the phase of glories. From actantial structure which arranged well, can then be determined a theme of this work. The results of the analysis, obtained five actantial structural and functional patterns. The five kinds of patterns starts from Prof. Lidenbrock began his journey looking for the center of the earth, until find the center of the earth; one of the patterns actantial structure and its functional is presented in this paper. And of the five patterns it is also successfully determined the main theme of the novel, namely the spirit of exploration.. Key words : Actansial, Functional, Science-Fiction, Structuralism, A.J. Greimas
A.PENDAHULUAN Dalam penelitian ini, berhasil dibentuk lima pola aktansial dan fungsional. Akan tetapi penulis hanya akan melampirkan satu pola aktansial dan fungsional sebagai contoh. Strukturalisme adalah cara berfikir tentang dunia yang terutama berkaitan dengan persepsi dan deskripsi struktur (Hawkes dalam Jabrohim, 1996:9). Tentang strukturalisme dalam penelitian sastra, Pradopo (melalui Jabrohim, 2003:71) mengemukakan bahwa satu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori strukturalisme adalah adanya anggapan bahwa di dalam
dirinya sendiri, karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalinan. Oleh karena itu, untuk memahami maknanya, karya sastra harus dikaji berdasarkan strukturnya sendiri, lepas dari latar belakang sejarah, lepas dari diri dan niat penulis, dan lepas pula efeknya pada pembaca. Strukturalisme model A.J. Greimas dianggap memiliki kelebihan dalam menyajikan secara terperinci tindakan tokoh dalam cerita dari awal sampai akhir. Dalam strukturalisme yang dikembangkan oleh A.J.
598 |
JURNAL IMU BUDAYA
Greimas, yang lebih diperhatikan adalah aksi dibandingkan pelaku.Subjek yang terdapat dalam wacana naratif merupakan manusia semu yang dibentuk oleh tindakan yang disebut actants dan acteurs. Menurut Rimon-Kenan, baik actants maupun acteurs dapat berupa suatu tindakan, tetapi tidak selalu harus merupakan manusia, melainkan bisa juga non-manusia (Ratna, 2004:138). Kemudian menurut Jabrohim (1996:21) teori struktural naratif dipergunakan untuk menganalisis karya prosa fiksi berdasarkan struktur cerita.Analisis struktur actant dan fungsional merupakan konsep dasar langkah kerja yang dikemukakan oleh Greimas. Konsep inilah yang sangat tepat untuk menerangkan roman Voyage au centre de la terre karya Jules Verne dalam penelitian ini. Karya-karya Jules Verne berbeda dari karya-karya sastra pada umumnya. Jules Verne banyak mengungkap cerita tentang alam dan petualangan yang sifatnya mengarah ke masa depan, misalnya salah satu karyanya yang berjudul Voyage au centre de la terre merupakan roman fiksi ilmiah yang bercerita tentang sebuah perjalanan luar biasa menuju pusat bumi. Dalam Voyage au centre de la terre diceritakan tentang professor Lidenbrock bersama keponakannya Axel serta pemburu yang mereka sewa yang bernama Hans Bjelke melakukan perjalanan menuju pusat bumi.Dalam perjalanan yang memakan waktu beberapa bulan itu, mereka menemui banyak hal yang menarik yang tak pernah ada di benak mereka sebelumnya.Karya sastra ini menjadi menarik karena selain memperlihatkan latar yang unik, juga watak para tokoh yang berbeda serta alur maju yang membuat cerita penuh ketegangan. Dalam Voyage au centre de la terre, akan dicermati struktur aktansial dan fungsional karya tersebut. Untuk itu pertanyaan penelitian yang akan dijawab adalah sebagai berikut:
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
Bagaimana struktur aktansial dalam roman Voyage au centre de la terre ? Bagaimana struktur fungsional dalam roman Voyage au centre de la terre ? Bagaimana struktur aktansial dan fungsional membentuk tema dalam roman Voyage au centre de la terre? B. TINJAUAN TEORITIS Menurut definisinya, strukturalisme berarti paham atau pandangan yang menghubungkan unsur-unsur dari struktur itu sendiri di satu pihak, di lain pihak menghubungkan antara unsur-unsur itu dengan totalitasnya. Hubungan tersebut tidak semata-mata bersifat positif, seperti keselarasan, kesesuaian, dan kepahaman , tetapi juga negatif, seperti konflik dan pertentangan (Ratna,2004:91). Dalam konteks kajian sastra, banyak terdapat model teori struktural yang dapat digunakan, misalnya strukturalisme model Claude Lévi-Strauss, Lucien Goldmann, Shlomith Rimmon-Kenan, Tzvetan Todorov, Vladimir Propp, dan sebagainya. Adapun jenis analisis struktural yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah strukturalisme yang dikembangkan oleh Algidras Julien Greimas. Penulis memilih model ini karena strukturalisme model A.J.Greimas menggunakan analisis struktur actant dan struktur fungsional sebagai konsep dasar langkah kerjanya. Struktur Aktansial Algirdas Julien Greimas adalah seorang ahli sastra yang berasal dari Perancis. Sebagai seorang penganut teori struktural, ia telah berhasil mengembangkan teori strukturalisme menjadi strukturalisme naratif dan memperkenalkan konsep satuan naratif terkecil dalam karya sastra yang disebut actant. Teori model actant yang dilahirkan oleh Greimas pada dasarnya merupakan pengembangan dari hasil penelitian Vladimir Propp dalam bukunya Morfology of the Folktale. Vladimir Propp telah membuat analogi tentang struktur
599 |
JURNAL IMU BUDAYA
cerita seperti dalam sintaksis yang memiliki subjek dan predikat. Dari dua bentuk subjek dan predikat ini, Vladimir Propp telah menemukan bentuk-bentuk fungsi yang berjumlah 31 dari 100 korpus cerita dongeng magis Rusia. Fungsi yang berjumlah 31 buah itu dipandang sebagai satu kesatuan bahasa yang memberikan tindakan dan makna dalam struktur cerita. Greimas kemudian melakukan penyederhanaan terhadap teori Vladimir Propp itu dengan mendasarkan diri pada relasi-relasi antar kesatuan dalam cerita. Model actant ini merupakan satu bentuk penyederhanaan dari struktur sintaksis. Actant ini menekankan pada peran dan posisi tokoh yang menjiwai dan membangun unsur cerita. Actant sendiri ditentukan oleh hubungan dan fungsi yang diperankan oleh tokoh cerita dalam membangun konfigurasi struktur cerita. Sebagai satu bentuk fungsi dari sintaksis, actant memiliki fungsi seperti pada kalimat dasar cerita. Dalam struktur actant, terdapat beberapa unsur yang membangun atau berhubungan dengannya, yakni subjek
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
sebagai pelaku, objek, pengirim, penerima, penentang atau oposisi, dan pembantu (dalam Susanto, 2012 :127) Actant dan tokoh tidaklah sama. Actant adalah pelaku dari suatu tindakan. Actant sendiri hanya menjadi salah satu unsur dari sintaksis naratif dalam sebuah cerita. Tokoh sendiri pada hakikatnya dapat memegang beberapa peran actant dalam suatu sintaksis naratif. Satu peran actant itu juga dapat diisi atau dilakukan oleh beberapa tokoh sekaligus. Karena actant sebagai penggerak satu tindakan, actant juga bisa berwujud bukan tokoh, melainkan satu konsep yang abstrak, tokoh yang tidak bernyawa, senjata pusaka, dan sejenis yang terdapat dalam sebuah cerita naratif. Bila dalam sebuah cerita berbingkai atau ganda, dapat memiliki peran yang bermacam-macam, misalnya dia juga dapat menjadi subjek dari actant ataupun objek dari actant. Artinya dia memiliki peran yang berbeda-beda (dalam Susanto, 2012 : 127). Skema 1: Struktur Aktansial (Viala, 1982:74)
600 |
JURNAL IMU BUDAYA
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
Fungsi dan kedudukan masing-masing actant adalah sebagai berikut: 1. Pengirim (Destinateur) adalah seseorang atau sesuatu yang menjadi sumber ide dan penggerak cerita. Pengirim memberikan karsa kepada subjek untuk mencapai objek. 2. Objek (Objet) adalah seseorang atau sesuatu yang diinginkan subjek. 3. Subjek (Sujet) adalah sesuatu atau seseorang yang ditugasi pengirim untuk mendapatkan objek. 4. Pembantu (Adjuvant) adalah sesuatu atau seseorang yang membantu atau mempermudah mendapatkan objek. 5. Penentang (Opposant) adalah seseorang atau sesuatu yang menghalangi usaha subjek dalam mencapai objek. 6. Penerima (Destinataire) adalah sesuatu atau seseorang yang menerima objek yang diusahakan oleh subjek. Skema aktansial dalam struktur tertentu dapat menduduki fungsi actant yang lain, atau suatu actant dapat berfungsi ganda, bergantung siapa yang menduduki subjek. Fungsi Pengirim (Destinateur) dapat menjadi fungsi sebagai penerima (Destinataire), juga dapat menjadi fungsi subjek. Subjek dapat menjadi fungsi pengirim (Destinateur), fungsi penerima (Destinataire). Jadi dapat disimpulkan bahwa semua fungsi dapat menduduki peran tertentu tergantung cerita.
Struktur Fungsional Selain menunjukkan struktur aktansial, Greimas juga menunjukkan struktur fungsional. Model fungsional ini memberikan satu formula atau hukumhukum cerita.Formula itu dipandang sebagai rumus peristiwa-peristiwa yang disebut dengan fungsi.Greimas dalam tataran sintaksis naratif berusaha membuat penyederhanaan fungsi-fungsi dalam cerita.Fungsi-fungsi tersebut adalah situasi awal, kemudian transformasi, dan situasi akhir.Transformasi dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahap uji kecakapan, tahap utama, dan tahap kegemilangan. Greimas mengemukakan model cerita yang tetap sebagai alur yang dibangun oleh berbagai tindakan yang disebut fungsi (Zaimar dikutip Suwondo, 2003: 54). Model fungsional memiliki cara kerja yang tetap karena memang sebuah cerita selalu bergerak dari situasi awal ke situasi akhir. Struktur aktansial dan model fungsional memiliki hubungan kausalitas karena hubungan antar actant ini ditentukan oleh fungsi-fungsinya dalam membangun struktur cerita (Suwondo, 2003:55). Adapun operasi fungsionalnya dibagi menjadi tiga tahap sebagaimana skema berikut : 1) Situasi awal 2) Transformasi : tahap kecakapan, tahap utama, dan tahap kegemilangan 3) Situasi akhir
Skema 2: Struktur Fungsional (Suwondo, 2003:55) II
III
Transformation
État Finale
I État Initiale Complication
Dynamique
Resolution
(Tahap Uji kecakapan)
(Tahap Utama)
(Tahap Kegemilangan)
(Situasi Awal)
(Situasi Akhir)
601 |
JURNAL IMU BUDAYA
Situasi awal merupakan cerita yang diawali adanya karsa atau keinginan untuk mendapatkan sesuatu atau cita-cita yang ingin diraihnya, mencari dan menemukan jalan bagaimana cara mewujudkan citacitanya, dan memberikan tugas kepada subjek untuk memperoleh hal yang diinginkan, yaitu objek. Dalam situasi awal peran yang paling dominan adalah pengirim. (Jabrohim, 1996:17) Tahap tranformasi meliputi tiga tahap.Pertama, tahap kecakapan merupakan tahap penceritaan awal mulainya usaha subjek dalam mencari objek. Dalam tahap ini muncul penolong dan penentang. Penentang muncul untuk tidak menyetujui atau menggagalkan usaha subjek.Sedangkan Penolong datang untuk membantu usaha subjek.Jadi inti tahap ini yaitu menunjukkan kemampuan subjek dalam mencari objek pada awal usahanya.Kedua, tahap utama merupakan tahap menceritakan hasil usaha subjek mencari objek.Subjek berhasil memenangkan perlawanannya terhadap Penentang dan berhasil mendapatkan objek. Namun dalam perjalanan kembali, subjek mendapat gangguan lagi atau mendapati objek diambil oleh orang lain yang kelak akan menjadi subjek imitasi. Ketiga, tahap kegemilangan merupakan tahap kedatangan subjek yang eksis sebagai subjek asli dan terbongkarnya tabir subjek palsu, kemudian subjek palsu mendapat hukuman dan jasa bagi subjek asli. Situasi akhir merupakan situasi yang menceritakan akhir semua konflik.Situasi kembali ke keadaan yang semula.Keinginan terhadap sesuatu telah berakhir, keseimbangan telah terjadi.Objek telah
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
diperoleh dan diterima oleh penerima, dan di sinilah cerita berakhir. C. ANALISIS Berikut adalah kajian struktur aktansial roman Voyage au centre de la terre berdasarkan konsep Greimas : Struktur Aktansial : Memecahkan tekateki dalam perkamen misterius Pada pola ini, cerita bermula ketika Prof. Lidenbrock mendapatkan sebuah buku tua karya Snorre Tarleson. Buku itu ternyata sebuah manuskrip yang disebut sebagai Heims-Kringla karya Snorre Tarleson, seorang penulis terkenal di Abad Dua Belas dari Islandia. Manuskrip itu berupa tulisan dalam bahasa Runic, bahasa kaum Islandia yang konon diciptakan sendiri oleh Odin, yang berisi tentang para raja dan pangeran penguasa Norwegia yang bertahta di Islandia. Namun kegairahan serta antusias untuk membaca buku itu berpindah dengan cepat, ketika tanpa sengaja Prof. Lidenbrock dan keponakannya, Axel menemukan sebuah perkamen yang di dalamnya tedapat tulisan-tulisan yang ditulis dengan kode rahasia. Sang profesor segera mencari tahu apa arti dari tulisan dalam perkamen tersebut dan Ia juga memerintahkan Axel untuk membantunya. Karena begitu lelahnya, tanpa disengaja, Axel mengipasi dirinya dengan perkamen tersebut, dan betapa kagetnnya ia ketika membaca tulisan dalam perkamen tersebut dari belakang. Akhirnya ia menemukan apa sebenarnya pesan yang dibuat dalam wujud tulisan-tulisan yang harus dibaca terbalik itu, yaitu petunjuk mengenai perjalanan ke pusat bumi seperti yang telah Arne Saknussemm lakukan, dan itu membuat Prof. Lidenbrock sangat bahagia dan ingin melakukan perjalanan tersebut.
602 |
JURNAL IMU BUDAYA
Berikut adalah penjelasannya : (1). Pengirim (Destinateur) Yang berperan sebagai Pengirim (Destinateur) pada pola ini adalah adanya keinginan untuk mengetahui isi dari sebuah buku tua karya Snorre Turleson. Prof. Lidenbrock sangat senang membaca bukubuku lawas edisi awal, buku-buku yang tebal dan karya-karya yang unik. Karena rasa ingin tahunya yang besar terhadap buku tersebut, ia sangat bersemangat membolakbalik buku tersebut, yang tanpa ia duga ternyata ada sebuah perkamen yang terselip di antara lembaran buku tersebut. Kehadiran perkamen itu membuat Prof. Lidenbrock berusaha keras untuk mengetahui isi dari perkamen misterius yang ditemukan dalam buku tua tersebut. Hal ini bisa dilihat dari kutipan berikut : “Cet ouvrage !répondit mon oncle en s'animant, c‟est l‟Heims-Kringla de Snorre Turleson, le fameux auteur islandais du XIIe siècle ! C‟est la Chronique des princes norvégiens qui régnèrent en Islande !” (Verne,1991 : 16)
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
―Ini Buku! jawab pamanku dengan antusias, ini adalah Heims-Kringla karya Snorre Turleson, penulis Islandia terkenal dari abad kedua belas! Ini adalah catatan yang asli tentang pangeran-pangeran Norwegia yang memerintah di Islandia!‖ (2). Objek (Objet) Yang menjadi objek dalam pola ini adalah mencari arti dari sebuah perkamen misterius yang ditemukan dalam buku tua karya Snorre Tarlesson. Prof.Lidenbrock sangat ingin mengetahui apa arti dari tulisan dalam perkamen misterius yang ia temukan dalam buku tua karya Snorre Tarlesson itu. Walau pada awalnya ia hanya ingin membaca buku tua tersebut karena merupakan karya asli Snorre Tarlesson yang berisi cerita raja-raja Islandia, akan tetapi, keinginannya yang menggebu-gebu untuk membaca buku tersebut berpindah ke perkamen misterius itu, ketika ia menemukan nama Arne saknussemm tertulis di salah satu lembaran buku tersebut. Ia semakin percaya bahwa tulisan dalam perkamen tersebut benar-benar memiliki arti, ia yakin bahwa Arne Saknussemmlah pemilik buku itu, sekaligus yang menulis
603 |
JURNAL IMU BUDAYA
dalam perkamen misterius tersebut, karena Arne Saknussemm merupakan ilmuan hebat yang berasal dari Islandia. “Ce fut l‟apparition d‟un parchemin crasseux qui glissa du bouquin et tomba à terre. Mon oncle se précipita sur ce brimborion avec une avidité facile à comprendra. Un vieux document, enfermé depuis un temps immémorial dans un vieux livre, ne pouvait manquer d‟avoir un haut prix à ses yeux. Et, en même temps, il déployait soigneusement sur sa table un morceau de parchemin long de cinq pouces, large de trois, et sur lequel s‟allongeaient, en lignes transversales, des caractères de grimoire.” (Verne,1991 :17) ―Sebuah perkamen yang usang terjatuh dari dalam buku. Pamanku dengan buru-buru mengambilnya. Sebuah dokumen lama, tersembunyi dalam waktu yang lama di dalam sebuah buku tua, menurutnya itu sebuah perkamen penting. Danpada saat yang sama,iadengan hatihati meletakkan perkamen itu di atas meja, besarnya sekitar 5kali 3 inci,dan dipenuhi dengan coretan-coretan.‖ (3). Subjek (Sujet) Subjek dalam pola ini adalah Prof. Lidenbrock. Dia adalah seorang yang membeli buku tua tersebut, sekaligus dialah yang menemukan perkamen misterius tersebut.Dia dikategorikan sebagai subjek karena dia sangat yakin kalau perkamen misterius itu bukan sekedar perkamen yang berisi tulisan tidak jelas, melainkan memiliki arti yang sangat penting.Oleh karena itu, dia berusaha keras untuk mencari tahu arti dari perkamen misterius tersebut. “« Eh bien !me dit-il, tu ne vois donc pas ? Mais c‟est un trésor inestimable que j‟ai rencontré ce matin en furetant dans la boutique du Juif Hevelius.
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
– Magnifique ! » répondis-je avec un enthousiasme de commande. En effet, à quoi bon ce fracas pour un vieil in-quarto dont le dos et les plats semblaient faits d‟un veau grossier, un bouquin jaunâtre auquel pendait un signet décoloré ? Cependant les interjections admiratives du professeur ne discontinuaient pas. « Vois, disait-il, en se faisant à lui-même demandes et réponses ; est-ce assez beau ? Oui, c‟est admirable ! Et quelle reliure ! Ce livre s‟ouvre-t-il facilement ? Oui, car il reste ouvert à n‟importe quelle page ! Mais se ferme-t-il bien ? Oui, car la couverture et les feuilles forment un tout bien uni, sans se séparer ni bâiller en aucun endroit. Et ce dos qui n‟offre pas une seule brisure après sept cents ans d‟existence !Ah !voilà une reliure dont Bozerian, Closs ou Purgold eussent été fiers ! »” (Verne,1991 :15-16) "Yah! katanya, kamu tidak lihat? ini adalah harta yang berharga yang saya dapatkan pagi ini dengan mencari di dalam toko Yahudi Hevelius. -Bagus sekali ! "Saya menjawab dengan antusias yang dipaksakan. Jadi, apa gunanya ribut-ribut hanya karena buku tua tebal dengan lembaran yang sudah kuning dan tulisan halaman yang sudah pudar ? Namun kata-kata pujian tak hentihentinya diucapkan Professor. "Lihat, katanya, dengan menjawab sendiri pertanyaannya; apakah itu cukup indah? Ya, itu sangat mengagumkan! Dan penjilidannya ! Buku ini membuka di sana dengan mudah? Ya, karena setiap lembarannya begitu mudah terbuka! Tetapi bisa tertutup dengan baik? Ya, karena sampul dan lembaranlembarannnya masih utuh, tanpa terpisah apapun. Dan tidak robek setelah tujuh ratus tahun keberadaannya! Ah! ini
604 |
JURNAL IMU BUDAYA
sampul Bozerian, Closs atau Purgold yang membanggakan!‖ (4). Pembantu (Adjuvant) Yang berperan sebagai pembantu subjek pada pola ini adalah Axel.Dialah yang membantu Prof. Lidenbrock untuk mengetahui isi dari perkamen tersebut, seperti mengelompokkan huruf-huruf dalam perkamen itu menjadi beberapa bagian dan Prof.Lidenbrock mencoba membacanya dengan berbagai bahasa di dunia, namun tetap tidak membuahkan hasil. Akan tetapi, karena ketidaksengajaan Axel yang mengipasi dirinya dengan perkamen tersebut, ia berhasil memecahkan teka-teki dalam perkamen tersebut. “J‟étais en proie à une sorte d‟hallucination ; j‟étouffais ; il me fallait de l‟air. Machinalement, je m‟éventai avec la feuille de papier, dont le verso et le recto se présentèrent successivement à mes regards. Quelle fut ma surprise, quand, dans l‟une de ces voltes rapides, au moment où le verso se tournait vers moi, je crus voir apparaître des mots parfaitement lisibles, des mots latins, entre autres « craterem » et « terrestre » ! Soudain une lueur se fit dans mon esprit ; ces seuls indices me firent entrevoir la vérité ; j‟avais découvert la loi du chiffre. Pour lire ce document, il n‟était pas même nécessaire de le lire à travers la feuille retournée !Non. Tel il était, tel il m‟avait été dicté, tel il pouvait être épelé couramment. Toutes les ingénieuses combinaisons du professeur se réalisaient ; il avait eu raison pour la disposition des lettres, raison pour la langue du document ! Il s‟en était fallu de « rien » qu‟il pût lire d‟un bout à l‟autre cette phrase latine, et ce « rien », le hasard venait de me le donner !” (Verne,1991 : 32-33) ―Aku dicekam oleh semacam halusinasi; Aku tersedak; Aku butuh udara.Tanpa
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
sengaja, aku mengipasi diriku dengan perkamen itu, yang kini kulihat bagian belakangnya lalu bagian depannya. Betapa terkejutnya aku, ketika perkamen itu dibalik, aku melihat kembali bagian belakangnya, akumelihat kata-kata yang bisa terbaca dengan sempurna, katakata dalam bahasa Latin, antara lain "kawah" dan "bumi"! Itu terjadi begitu saja pada diriku, petunjuk ini memberiku kebenaran,aku telah mendapatkan petunjuknya. Untuk mengerti dokumen itu, yang harus dilakukan hanyalah membacanya terbalik dari belakang ke depan! Tidak. Seperti itu, dia telah mendiktekan hal yang benar kepadaku, karena itu bisa dibilang dengan mudah. Semua ide cerdik Profesor terwujud,sangat tepat untuk susunan-susunan hurufnya, sesuai dengan yang tertulis dalam perkamen itu! Dia telah melakukan hal yang benar, Cuma karena faktor kebetulan belaka aku bisa menemukan apa yang begitu diinginkannya.‖ (5). Penentang (Opposant) Penentang pada pola ini adalah penulisan terbalik, karena Prof.Lidenbrock sulit mengetahui apa isi dari perkamen misterius tersebut disebabkan karena perkamen misterius tersebut tidak ditulis dengan penulisan yang biasa, melainkan ditulis terbalik, sehingga harus dibaca dari belakang ke depan. “Le professeur considéra pendant quelques instants cette série de caractères ; puis il dit en relevant ses lunettes : « C‟est du runique ; ces types sont absolument identiques à ceux du manuscrit de Snorre Turleson ! Mais... qu‟est-ce que cela peut signifier ? »
605 |
JURNAL IMU BUDAYA
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
Comme le runique me paraissait être tertulis dalam perkamen misterius tersebut, une invention de savants pour mystifier yaitu mencari pusat bumi. Walau pada le pauvre monde, je ne fus pas fâché de awalnya Axel tidak setuju dengan apa yang voir que mon oncle n‟y comprenait rien. akan dilakukan oleh pamannya, yaitu Du moins, cela me sembla ainsi au mencari pusat bumi, namun pada akhirnya ia mouvement de ses doigts qui menyetujuinya. Selain tidak tega melihat commençaient à s‟agiter terriblement.” pamannya melakukan perjalanan penuh (Verne,1991 :18) rintangan itu sendirian, ia juga penasaran ―Profesor itu tampak mengamati akan kebenaran tulisan perkamen tersebut. kesamaan karakter dalam perkamen itu, “Mon oncle ne le saura pas ! Il ne kemudian dia berkata dengan manquerait plus qu‟il vint à connaître un mengangkat kacamatanya : semblable voyage ! Il voudrait en goûter "Ini adalah tulisan Runic,huruf-hurufnya aussi ! Rien ne pourrait l‟arrêter ! Un serupa dengan naskah Snorre Turleson! géologue si déterminé ! Il partirait Tapi…. apa artinya ? quand même, malgré tout, en dépit de Kalau huruf Runic itu memang sengaja tout ! Et il m‟emmènerait avec lui, et dibuat untuk membingungkan orang nous n‟en reviendrions pas !” malang saja, aku senang sekali begitu (Verne,1991 :33) tahu kalau pamanku juga tidak mengerti ―Pamanku tidak boleh tahu! Dia pasti tentang hal itu. Paling tidak, jemarinya akan mau melakukan perjalanan yang yang bergerak-gerak gemetaran serupa! Dia ingin mencobanya juga! membuatku berpikir demikian.‖ Tidak ada yang bisa menghentikannya! (6). Penerima (Destinataire) Seorang ahli geologi pun tidak dapat Yang menerima objek pada pola ini memastikan hal itu ! Dia pasti akan adalah Prof. Lidenbrock dan Axel, serta rasa menyuruhku menemaninya, dan kami penasaran mereka. Mereka dikategorikan pun akan lenyap untuk selama-lamanya sebagai penerima objek karena merekalah !‖ yang akan menjalankan perjalanan yang B. Struktur Fungsional : Memecahkan teka-teki dalam perkamen misterius Berikut adalah skema fungsional dan penjelasannya : I État Initiale (Situasi Awal)
Dibelinya sebuah buku tua karya Snorre Tarleson.
II Transformation
III État Finale (Situasi Akhir)
Complication (Tahap Uji kecakapan)
Dynamique (Tahap Utama)
Resolution (Tahap Kegemilangan)
Ditemukannya perkamen misterius yang penuh tekateki dalam sebuah buku tua tersebut
Perkamen misterius itu sangat sulit diketahui maknanya karena penulisan hurufnya yang aneh, kemudian diteliti perkamen itu oleh Prof. Lidenbrock dan keponakannya Axel
Dengan tidak sengaja, akhirnya Axel berhasil menemukan arti dari tulisantulisan yang terdapat dalam perkamen
Prof. Lidenbrock sangat bahagia dengan isi dari perkamen misterius tersebut dan memutuskan
606 |
JURNAL IMU BUDAYA
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
misterius tersebut.
a. État Initiale (Situasi Awal) Di salah satu rumah di Jerman, tinggallah seorang Professor yang sangat cerdas bersama keponakannya Axel. Professor itu bernama Prof. Lidenbrock. Suatu ketika ia membeli sebuah buku tua karya Snorre Tarleson. Ia memang salah satu kolektor buku-buku tua. b.Transformation (1).Complication (Tahap Uji kecakapan) Ketika memeriksa buku tua yang baru saja dibelinya, tanpa disengaja ia menemukan sebuah perkamen misterius yang ia percaya memiliki arti karena ditulis dengan cara yang berbeda. (2).Dynamique(Tahap Utama) Dalam mencari arti dari isi perkamen yang ditemukan dalam buku tersebut, Prof. Lidenbrock sangat kebingungan, untunglah ada Axel, keponakan yang membantu mencari tahu arti dari tulisan yang terdapat dalam perkamen misterius tersebut. (3).Resolution (Tahap Kegemilangan) Secara tidak sengaja, Axel berhasil menemukan arti dari tulisan yang terdapat dalam perkamen misterius tersebut. Akan tetapi ia takut memberitahu pamannya. Ia khawatir kalau saja ia menceritakan isi perkamen itu, pamannya akan mengikuti isi dari perkamen tersebut. c.État Finale (Situasi Akhir) Axel tidak tega melihat pamannya yang berusaha keras hingga tidak makan dan tidur demi mencari tahu apa arti dari tulisan dalam perkamen misterius tersebut.
untuk melakukan perjalanan seperti yang tertulis dalam perkamen.
Akhirnya Axel memutuskan untuk memberitahu pamannya bahwa dia telah berhasil memecahkan tulisan-tulisan unik dalam perkamen misterius tersebut. Alangkah senangnya Prof. Lidenbrock.Ia memutuskan akan melakukan perjalanan sesuai dengan apa yang tertulis dalam perkamen misterius yang ia temukan dalam sebuah buku tua karya Snorre Tarleson tersebut. C. Tema dari roman Voyage au centre de la terre Pada umumnya, tema tidak diungkapkan secara eksplisit. Akan tetapi dapat diketahui dengan memahami keseluruhan cerita. Untuk mendapatkan tema dalam sebuah cerita, terlebih dahulu harus dicari motif-motifnya yang merupakan unsur pembentuk tema itu. Motif sendiri merupakan kesatuan-kesatuan makna yang lebih kecil. Oleh karena itu, untuk mencari tema dari roman Voyage au centre de la terre, penulis telah memecah cerita tersebut menjadi lima bentuk struktur aktansial dan fungsional. Dari kelima bagian itulah, penulis akan mencari motif-motif yang akan mengungkapkan tema utama dari roman Voyage au centre de la terre. Berdasarkan kelima bentuk struktur aktansial dan fungsional (yang tidak seluruhnya ditampilkan dalam tulisan ini), diperoleh beberapa kalimat yang mengalami beberapa kali pengulangan dan hampir bermakna sama.
607 |
JURNAL IMU BUDAYA
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
Berikut pengelompokannya : 1) Keinginan untuk tahu mencari arti rasa penasaran (pola 1). 2) Rasa penasaran mencari informasi tambahan informasi keraguan akan kebenaran petunjuk mendapatkan informasi tambahan (pola 2). 3) Petunjuk dan tambahan informasi mencari jalan keinginan untuk melanjutkan perjalanan (pola 3). 4) Keinginan untuk melanjutkan perjalanan menemukan pusat bumi mencari jalan pulang (pola 4). 5) Mencari jalan pulang menemukan bagian terdalam bumi jalan pulang gagal (pola 5). Rasa ingin tahu, penasaran, mencari dan menemukan Semangat eksplorasi Berdasarkan beberapa pengelompokkan kalimat di atas, didapatkan pemahaman bahwa dengan adanya keinginan disertai rasa penasaran tokoh prof.Lidenbrock dan Axel untuk mencari tahu arti dari petunjuk yang tak sengaja mereka dapatkan, mereka mencari dan mengumpulkan informasi untuk memudahkan perjalanan mereka nantinya. Dengan semangat dan kerja keras, mereka berangkat menuju pusat bumi dan akhirnya berhasil menemukan pusat bumi setelah mereka melakukan perjalanan di bawah permukaan tanah selama kurang lebih tiga bulan.Walau mereka gagal menemukan bagian terdalam bumi, namun mereka berhasil kembali ke permukaan bumi setelah mereka melewati banyak rintangan dan melihat hal-hal yang luar biasa. D. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Roman Voyage au centre de la terre menceritakan tentang Prof.Lidenbrock, Axel, dan Hans Bjelke melakukan perjalanan luar biasa menuju pusat bumi berdasarkan petunjuk dari Arne Saknussemm yang Axel dan si Professor dapatkan secara tidak sengaja terselip di dalam sebuah buku tua karya Snorre Tarlesson. 2. Prof.Lidenbrock, Axel dan Hans Bjelke memulai perjalanan mereka menuju pusat
bumi dengan cara menuruni gunung berapi Sneffels di Islandia yang sudah lama tidak beraksi, dan setelah mereka menemukan pusat bumi, mereka akhirnya keluar melalui gunung berapi yang sedang beraksi di Italia. Gunung berapi tersebut adalah gunung Etna. Mereka berada kurang lebih dua bulan di bawah permukaan tanah untuk mencari pusat bumi. 3. Terdapat lima struktur aktansial dan fungsional yang dibagi berdasarkan urutan peristiwa yang terdapat dalam roman Voyage au centre de la terre. Struktur pertama yaitu ketika ditemukan sebuah petunjuk menuju pusat bumi, struktur kedua yaitu ketika menuju Islandia untuk mencari tambahan informasi, struktur ketiga yaitu ketika menuju gunung Sneffels untuk mencari jalan utama menuju pusat bumi, struktur keempat yaitu ketika menemukan pusat bumi, dan struktur kelima adalah ketika kembali ke permukaan bumi. 4. Berdasarkan kelima bentuk struktur aktansial dan fungsional, penulis mengelompokkan kalimat-kalimat yang paling sering berulang. Sehingga didapatkan tema utama dalam roman Voyage au centre de la terre adalah semangat eksplorasi.
608 |
JURNAL IMU BUDAYA
5. Jules Verne dalam menentukan tema dalam karya-karyanya banyak mendapat pengaruh dari sejarah Prancis dan juga lingkungan sekitarnya. 6. Pada roman Voyage au centre de la terre, banyak diceritakan mengenai keindahan dan kekayaan yang ada di bawah permukaan tanah, bahkan diceritakan juga mengenai manusia raksasa dan hewan raksasa yang telah punah di atas permukaan tanah. Jules Verne juga banyak mengungkap mengenai ilmu geologi dalam roman tersebut. 7. Jules Verne dalam menulis karyakaryanya, sangat memperhatikan penggambaran detail terhadap keadaan sekitar dan hitungan pasti dengan dasar ilmu pengetahuan. DAFTAR PUSTAKA Delima, Prisca.2009. Perjalanan ke Pusat Bumi.Jakarta: PT.Elex Media Komputindo. Jabrohim. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta : Hanindita Graha Widya. Jabrohim 1996. Pasar dalam Perspektif Greimas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
Susanto, Dwi.2012. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta : CAPS Suwondo, Tirto. 2003. Studi sastra, beberapa alternatif. Yogyakarta : PT.Hanindita Graha Widya. Verne, Jules. 1991. Voyage au centre de la terre. Paris : Éditions Gallimard. Viala, A dan M.P.schmitt. 1982. SavoirLire. Paris : Didier. Sumber-sumber lain : http://bangpekkuliahsastra.blogspot.com/2013/07/impl ementasi-struktur-naratif-aj.html diakses pada tanggal 19 Mei 2014 jam 16.30 wita. http://dwiichiko.blogspot.com/2010/05/anali sis-struktur-aktan-dan-model.html diakses pada tanggal 19 Mei 2014 jam 13.00 wita). http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/ 68393/potongan/S1-2014-299642chapter1.pdf diakses pada tanggal 13 Juli 2015 jam 19.20 wita. (http://phianz1989.blogspot.com/2011/03/str ukturalisme-aj-greimas.html diakses pada tanggal 27 Maret jam 13.20 wita). Keterangan : 1.Penulis 2.Pembimbing Pertama 3.Pembimbing Kedua
609 |
JURNAL IMU BUDAYA
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
TEACHER’S ROLE IN TEACHING ENGLISH AS A FOREIGN LANGUAGE Dr. Suhartina. R, M.Hum STKIP YAPIM Maros
[email protected] Abstract The teaching of English as a foreign language in Indonesia aims at providing learners with adequate knowledge to use the language for communicative purposes, both oral and written form. Although student-centered learning has been the dominant activities in the classroom during this decade, the roles of English teachers in managing the class, in applying teaching and learning methods, as well as in preparing the learning materialsare still of crucial parts especially in cunducting multidirectional communication between teacher and students and among the students themselves. In term of teaching, teachers are not only requested to transfer knowledge from their brain to their students‘, but also prepare them with adeqateskills and valuable social norms for the use of conducting good relationship in social life. This article attempts to investigate the roles teachers that should be performed at class and then give some advice of affective strategies in English teaching as a foreign language. Keywords: English Foreign Language, Teachers‘ role, Communicatice competence
INRODUCTION Everyone of us adopt and play numerous as well as different 'roles' in everyday situations. The roles themselves change with the situation from time to time and/or from place to place. In the morning, for example, one may serve as a house wife in her own family. At school she plays her role as an educator, a facilitator, a model, and so on. The role of a teacher in society is both significant and valuable.Students are deeply affected by the teachers‘love and affection, their character, theircompetence, and theirmoralcommitment. A popular teacher becomes a model for her/his students. The students try to follow their teacher in hermanners, costumes, etiquette, and style of conversation. In short, a teacher is students, ideal. When we think of our first day in school, we would definitely remember the excitement we had joining a new school. Undoubtedly, we all remember our first teacher; this teacher became our first point of contact in our new world. Their care and concern defined our stay in school and our love for learning. Teachers are the
foundation upon which a child's character, skills, and social norms are built.A teacher should not only be restricted to teaching which is written in the textbook but should try to come up to the students' expectations for which education should not be confined to merely delivering lectures, because it is another name for mental growth. A teacher should teach the students to respect people, regardless of the social status—it is respect which returns you respect. The purpose of the teacher is not to cram the student's head with facts but to prepare them for a life of purity and sincerity. When we speak of good teachers, it means that a teacher must be a model of faith and piety and should have a fairly good knowledge. A teacher should consider it his duty to educate and train his students and should feel responsible for it. He should feel that his students have been entrusted to him and he should avoid any breach of the trust the society has reposed in him. He should be a sociable person with his roots in the society. People should take him as their well-wisher and a sincere friend who cares for their children. It should be ascertained at
610 |
JURNAL IMU BUDAYA
all cost that a candidate for this profession has a natural acumen and aptitude for teaching. Teacher’s Role in English Learning Regarding the role of the teacher in a foreign language classroom as it is in Indonesia, it is believedthat a teacher who is the center of attention at all times—leading each activity, calling onstudents one-by-one to respond, and talking for nearly the whole class time (whetherinthe students‘ native language or the target language)—will feel burdened and overwhelmed. Lee and VanPatten (2003) call this type of role, in which the teacher is ―the authority, the expert, the central figure in the classroom who transmits knowledge to the students‖ the Atlas complex. In case of atlas complex, studentsdo not reach their full potential because teacher himself did not give them enough opportunities to use the language in a meaningful way. To avoid the atlas complex in the teaching a foreign language, teacher should play the role of an architect (Lee & VanPatten, 2003) in her/his teaching. Just as anarchitect leads a group of builders to construct a building, it is believe a teacher should leadhis/her students toward a communicative goal by giving them the tools (Vygotsky, 1978)(e.g., a certain grammar principle or a cultural norm for apologizing in the target culture)to complete meaningful, real-life activities. This process allows students to learn andgrow in their language proficiency as they use the tools to communicate (rather than recite) in the target language. The way in which a teacher can provide his/her students with tools is through input, which can come in many forms, including writing, video, pictures, verbal communication, and so on. As Lee and VanPatten (2003) explain, input, like
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
petroleum, can come in various forms and levels of quality. Often, the higher the quality of the refined petroleum (such as high-octane gasoline), the better a vehicle will run. In the same way, Krashen (1982, 1985) teaches that not just any input leads to language acquisition, but rather, input at a slightly more advanced level than what the students can currently understand, or comprehensible input. To make the input comprehensible for students, Long‘s (1996)counsel could be a good model that is by slowing down and simplifying teacher‘s speech, using gestures and other visualaids, and by linking ideas to students‘ background knowledge. Lee and VanPatten (2003) claim that ―features of language … can onlymake their way into the learner‘s mental representation of the language system if theyhave been linked to some kind of real-world meaning‖. It is completelyimportant to use the target language as much as possible in the classroom, even forbeginner-level students (Lee & VanPatten, 2003). Teacher-talk time should be limited to less than 50% of the class, leaving the rest of the time forstudents to use the language as they communicate with each other to complete taskbasedactivities. Task-based activities (TBA) (e.g., Ballman et al., 2001; Ellis, 2003) play a key role in CLT methodology. One important characteristic of TBA is their focus on acommunicative goal (Ballman et al., 2001) rather than simply mastering a specificgrammar skill. To further explain TBA, Lee‘s (2000) definition of ‗task‘ consists of:(1) a classroom activity or exercise that has (a) an objective attainable only by theinteraction among participants, (b) a mechanism for structuring and sequencinginteraction, and (c) a focus on meaning exchange; and (2) a language
611 |
JURNAL IMU BUDAYA
learningendeavor that requires learners to comprehend, manipulate, and/or produce thetarget language as they perform some set of workplans (p. 32). One might notice Lee‘s use of the words ‗interaction‘, ‗participants‘, ‗learners‘, and ‗perform‘, implying that TBA are learner-centered rather than teachercentered. Relating back to the architect metaphor mentioned earlier, though thearchitect (i.e., the teacher) directs the work, it is the group of builders (i.e., students) whocomplete the construction of the building. As students focus on the task at hand (ratherthan the ‗correct‘ way to use a hammer), they become much more effective, and not onlyaccomplish the task but improve their construction (language) skills and abilities. The teacher would not need to teach all of the various verb forms and conjugations at this time. This same activity can also be adapted for ESL and EFL students. As demonstrated in the afore mentioned example of TBA, it is absolutely believed that grammarinstruction should be focused on communication rather than on form (Ballman et al., 2001; Lee & VanPatten, 2003). In other words, effective language teachers focus on helping students communicate with native speakers of the target language rather than on saying and writing everything with no grammatical errors. Traditionally, there are two types of second language teaching methods that are located on opposite ends of the spectrum for teaching grammar (Ballman et al., 2001). On one end, there is the ―grammar for grammar‘s sake‖ type, and on the other end the ―no grammar instruction‖ type.
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
The Communicative Language Teaching (CLT) Approach The main concept of CLT in this discussion mainly refers to Jack C. Richard as the first founder of the approach. Communicative language teaching as stated by Richard (2006) can be understood as a set of principles about the goals of language teaching, how learners learn a language, the kinds of classroom activities that best facilitate learning, and the roles of teachers and learners in the classroom. Communicative language teaching sets as its goal the teaching of communicative competence as the opponent of grammatical competence. Grammaticalcompetence refers to the knowledge we have of a language that accounts forour ability to produce sentences in a language. It refers to knowledge of thebuilding blocks of sentences (e.g., parts of speech, tenses, phrases, clauses, sentence patterns) and how sentences are formed. Grammatical competence is thefocus of many grammar practice books, which typically present a rule of grammar on one page, and provide exercises to practice using the rule on the otherpage. The unit of analysis and practice is typically the sentence. While grammatical competence is an important dimension of language learning, it is clearlynot all that is involved in learning a language since one can master the rules ofsentence formation in a language and still not be very successful at being able touse the language for meaningful communication. It is the latter capacity whichis understood by the term communicative competence. Communicative competence includes the following aspects of language knowledge: Knowing how to use language for a range of different purposesand functions. Knowing how to vary our use of language according to the setting and the participants (e.g., knowing when
612 |
JURNAL IMU BUDAYA
to use formal andinformal speech or when to use language appropriately for writtenas opposed to spoken communication). Knowing how to produce and understand different types of texts(e.g., narratives, reports, interviews, conversations). Knowing how to maintain communication despite havinglimitations in one‘s language knowledge (e.g., through usingdifferent kinds of communication strategies). CLT as a learning method strongly stresses on the implementation of pair and group work interaction. Through completing activities in this way, it is argued, learners will obtain several benefits: They can learn from hearing the language used by other members of the group. hey will produce a greater amount of language than they would use in teacherfronted activities. Their motivational level is likely to increase. They will have the chance to develop fluency. Teaching and classroom materials today consequently make use of a wide variety of small-group activities. The Roles of EFL Teachers Given the current roles of EFL teachers and the shifts in instruction that must take placefor English Learners (Els) to achieve within the foreign language teaching framework, teachers‘ role must be redefined as experts, advocates, and consultants, and that the roles ofprincipals and administrators also need to shift to support the English Foreign Language (EFL) teachers‘ newresponsibilities. It is strongly suggested that implementing the CC requires the role of EFL teachers toevolve. EFL teachers should be recognized as experts, consultants, and trainers well versed inteaching rigorous academic content to ELs.Often overlooked
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
is EFL teachers‘ expertise in understanding and teaching academiclanguage. When implementing the CC, content-area teachers will need to know how tocreate language objectives as well as—or integrated with— their content objectives. Withoutproper training, however, content teachers will not have the necessary knowledge base to setacademic language goals in their classrooms and help students achieve them. EFL teacherscan play a critical role in helping content teachers analyze the academic language demands oftheir content areas, design lessons that teach academic language and content simultaneously,and implement CC-based instruction for ELs. It is advisable that EFL teachers are best positioned to understand anddescribe how content-area teachers can use ELs‘ first language and culture most effectivelyduring CC-based instruction. In addition to helping content teachers with academiclanguage, EFL teachers could, for example, help design a plan for how to draw on ELs‘ firstlanguage and culture during CC-based instruction.Although the role of the EFL teacher must evolve, time and staffing of EFL teachers remains achallenge because of the wide variety of ways in which EFL teachers serve their schools. Forexample, some EFL teachers are itinerant, with a caseload of two to three schools (or more)per EFL teacher. This situation creates the need for a more consultative model, in which theEFL teacher not only teaches EFL at the school but also works with contentarea teachers onhow to support ELs through CC-based lessons. The Roles of Teacher in Teaching the Four Language Skills It is undeniable fact that teacher holds important roles in assisting his students comprehend the aspects related to the four language skills (listening, speaking, reading, and writing) as well as the teaching of vocabulary as the main essence in learning
613 |
JURNAL IMU BUDAYA
any languages. In case of teaching listening, EFL teachers as suggested by Badi (2012) should know that students listening comprehension influences by the level of proficiency in learning L2. This what Robin Wills and Naizhao Guo established in this quotation" Language knowledge is the foundation of learning English. If students‘ knowledge of pronunciation, grammar, and vocabulary is insufficient, it is probable that their English listening comprehension will be negatively affected by lack of language knowledge. EFL teachers should use a simple language which is fully ofexplanation and clarification to help students to understand the given input in the correct way. The main purpose of teaching listening skill is to enhance this skill to help students being skillful and proficient in L2. So, the role of EFL teachers is to give students the opportunity to listen to talk which includes grammar, vocabulary and pronunciation and then produce those aspects. That aims to highlight the importance of teachers' talk in increasing the interaction in the classroom because asking for clarification and giving it is an interaction itself. EFL teacher should organize the classroom mainly by encouraging the most important aspects language learning processes which are exclusively comprehensible input and 'social interaction. In relation to the teaching of speaking as the second skill to mastery in learning any languages, Talley and Hui Ling (2014) state thatspeaking is an important part of teaching of any foreign language, and it requires a communicative approachintegrative of both implicit and explicit teaching methods in order to achieve successful integration into the EFLcurriculum. Communicative Language Teaching (CLT) is comprised of an approach to teaching a languagethrough a syllabus designed for instruction, materials, classroom techniques, teachers, and learners.
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
The teachingof spoken English in the EFL classroom requires students to learn English in their own cultural setting withoutusing their target language in a real situation. English speaking is a modified communicative activity that involves English spoken language to achieve aparticular goal or objective in the English language medium. In the case of any international college (i.e. a significant enrollment of foreign students), this cultural facet oflanguage learning is not present. The EFL classroom environment represents the cultural boundaries of the hostculture with full language immersion, ready access to English-language media, and the presence of westernteachers. EFL students are fully expected to accept their portion of the ―communicative burden‖ Lee, &VanPatten (2003). This communication ―burden‖ implies that students are expected to be responsible forinitiating, responding, managing, and negotiating their part of the oral exchange. On the other hand, Rao (2000)suggested that teachers adapt their teaching to the way that learners from a particular community. This means thatteaching styles and learning styles should be matched accordingly. In a classroom discussion involving teacher and students, the communicative duty is shared among all classroom participants. However, in an oral testsituation, the burden falls clearly upon the individual student to speak rather than a collective effort commonlyfound in group discussion. Either way, spoken communication (i.e., interpretation, expression, and / ornegotiation of meaning) will be expected by the teacher or of the students in order to determine learning-levelprogression or for evaluative purposes.The goal of this approach is to develop learners‘ communicative competence and performance (Richards, &Rodgers, 2001).
614 |
JURNAL IMU BUDAYA
In CLT, Richards and Rodgers (2001) suggested teachers and students to speak for communication. Rao (2000) stated, ―Only by reconciling communicative activities with non-communicativeactivities (i.e. explicit learning) in English classrooms can students in non-English-speaking countries benefitfrom CLT‖ (p. 85). Wong (2005) pinpointed that the CLT approach had grown largely out of a realization thatpatterned practice and explicit grammar knowledge do not afford learners with the practical capability ofspeaking their L2s in a communicative fashion. CLT was considered to have the potential to encourage bothpractice and participation in authentic speaking situations. According to Chambers (1997), CLT promotes the useof authentic, spontaneous, and functional language in an effort to build students‘ spoken fluency. Students in theEFL classroom are encouraged to deal with unrehearsed situations under the guidance, but not the control, oftheir teachers. In a communicative classroom, learners are regularly placed in situational transactions and roleplay exercises (Crookall, & Oxford, 1991) that will involve selecting, sequencing, and arranging words,sentences, and utterances to achieve unified spoken discourse. Students are expected to demonstrate theircomprehension in response to the task type and then to express themselves through some form of meaningfullanguage output, verbally or in writing. Spoken interaction is necessary for language learning to occur, but its simple occurrence is insufficient by, and of,itself. In an interactive linguistic environment, such as with the EFL classroom, the right amount and the rightkind of verbal interaction must occur simultaneously for learning to take place. Long (1990) proposed threefeatures of verbal interaction, including (a) input, (b) production, and (c) feedback‖ When
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
interpreting a languageby native speakers offered to the language learner (or by other learners) of a target language. Production (oroutput) is the language spoken by the language learners themselves. Feedback is the reaction offered by theconversational partners to the production of the language learner.In classroom communication interaction, EFL students may achieve higher levels of speaking competencethrough appropriate strategies. Richard-Amato (1996) proposed four strategies for students to learn spokenEnglish: 1. Think of what you are going to say. 2. Think about the structures you are using but do not let them interfere with what you want to say. 3. Do not be afraid to make mistakes (mistakes are normal as you are learning a language). 4. When you are not understood, use repetition, gestures, synonyms, definitions, acting out, whatevercomes naturally as you begin to feel more proficient in the language. Reading is the third level in the hierarchy of the four language skills. In conjunction to the teaching of reading Blair and Rupley state that teacher plays amajor role in determining the effectiveness of areading instructional program. DuffyHester(1999) perhaps stated it best when she noted therole the teacher played in helping children learn toread: ―I am convinced that the teacher is moreimportant and has a greater impact than any single, fixed reading program, method, or approach‖. Recognition of the significant role of theteacher is not new. Early studies on effective teaching, however, yielded little specific informationabout exactly what teachers do in the classroomand how what they do makes them effective. In line with the concept of reading, Archer (2004) puts forward an effective
615 |
JURNAL IMU BUDAYA
reading theory. He states that effective reading teachers lead each and every student in the classroom to become proficient and successful readers. Effective teachers do not use only one specific method or technique, but implement many strategies and skills to accommodate the needs and learning styles for each individual student in the classroom. Slavin (2000) notes that, ―effective instruction is not a simple matter of one person with more knowledge transmitting knowledge to another. Rather, effective instruction demands the use of many strategies‖. Successful reading teachers are cognizant of the fact that reading can be taught using a variety of methods. Richard Allington (2002) notes that ―effective teachers manage to produce better achievement regardless of which curriculum materials, pedagogical approach, or reading program they use‖. Walls, Nardi, von Minden, and Hoffman (2002) defined effective teachers as: appearing to have better developed schemata for classroom teaching with strong links between subject matter and ways to teach it; to be more effective lesson planners and implementers, and yet be more flexible and reflective in meeting student needs and facilitating student social and academic growth. Mohr (1998) adds that an effective teacher ―establishes literacy communities and encourages students to participate as responsible, contributing citizens‖. As there is not one universal definition that is accepted among researchers as to what constitutes effective teaching, there seems to be certain themes that are established throughout research, such as encouragement, academic growth, and a variety of skills and strategies. Writing is the last skill to master in the process of learning any languages. As a productive skill like reading, writing is regarded to be the most difficult item to comprehend, so that certain strategy,
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
approach, method, and learning model should be accomodate by any teachers in that students could promote their skill in any types of writing. Hyland, K (2003) states that the role of the teacher in writing classes does not go beyond providing guidance and assistance to students. Here, suggesting a fixed role for the teacher could be tricky as the focus of the writing concept, for our writing classes, changes from a guided fashion to the process writing. In the former one, the teacher focuses on enabling the learners to execute fixed patterns and imitating model texts. When the latter one takes the lead, the teacher helps students develop strategies for generating, drafting, and refining ideas. Raimes (1992) refers some ways to how a teacher should handle with these strategies: ―This is achieved through setting pre-writing activities to generate ideas about content and structure, and encouraging brainstorming and outlining, requiring multiple drafts, giving extensive feedback, seeking text level revisions, facilitating peer responses, and delaying surface corrections until the final editing‖. The process writing, recursive and interactive, allows us to go back and forth and revise what has been written. Thus, what counts are the stages that the learner goes through, not the product. There are actually two main levels we focus when giving feedback. First one is at surface level. At this level we have been using color codes, which inform the students about the location and type of their errors, if any. This enables readers to question his/her weakness in a particular language use and search for a way for treatment rather than a spoon-fed correction. As for the latter, it is the ―content‖ rather than ―form‖ that takes the initial seat. Thus, generating, drafting, and refining ideas are of crucial importance at this level. Here there may arise some misunderstandings regarding the concept of
616 |
JURNAL IMU BUDAYA
―content‖. A particular student might be frightened to take a certain stance as it would clash with that of his/her teacher. However, here progression of ideas is more important than the ideas themselves. Conclusion As a foreign language in Indonesia, the model of teaching and learning English has shifted from teacher-centered to studentcentered. It is intended to accelerate learners‘ understanding about the English language in that communicative competencies as the primary objective of the teaching and learning process could be well accomodated by every learner. Although student-centered model of learning is given higher priority than that of teacher-centered, the roles of teachers, especially in designing learning materials and in managing classroom activities are still so crucial that without them the learners‘ communicative competencies will not optimally be achieved. REFERENCES Allington, R.L. (1983). The reading instruction provided readers of differing reading abilities. The Elementary SchoolJournal, 83, 548– 559. Archer, E. (2010). They made me an invitation I couldn‘t refuse: Teaching refusal strategies for invitations. In D. H. Tatsuki & N. R. Houck (Eds.), Pragmatics:Teaching speech acts (pp. 181–194). Mattoon, IL: United Graphics, Inc. Asher, J. J. (1969). The Total Physical Response approach to second language learning. The Modern Language Journal, 53, 3-17. doi:10.1111/j.15404781.1969.tb04552.x Ballman, T. L., Liskin-Gasparro, J. E., & Mandell, P. B. (2001). The communicative
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
classroom. (Vol. 3). Boston, MA: Heinle & Heinle Thomas Learning. Blair, T.R. (2003). What research on teaching tells us about reading teacher competencies. In A. Pandian, G.Chakravarthy, & S. Che Lah (Eds.), English language teaching and literacy: Research and reflections, Serdang, Malaysia: Universiti Putra Malaysia Press. Blair, T.R., & Rupley, W.H. (2000, May). Assessing instructional emphases in a balanced reading program. Duffy-Hester, A.M. (1999). Teaching struggling readers in elementary school classrooms: A review of classroomreading programs and principles for instruction. The Reading Teacher. Duff, P., Wong, P., & Early, M. (2000). Learning language for work and life: The linguistic socialization of immigrant Canadians seeking careers in healthcare. Canadian Modern Language Review. Ellis, R. (2003). Task-based language learning and teaching. Oxford: Oxford University Press. Han, H. (2009). Institutionalized inclusion: A case study on support for immigrants in English learning. TESOL Quarterly, 43(4), 643–668. doi:10.1002/j.15457249.2009.tb00190. Hyland, K. 2003. Second Language Writing. New York: Cambridge University Press. Krashen, S. D. (1982). Principles and practices in second language acquisition. New York: Pergamon. [electronic version accessed 24 April 2013 at http://www.sdkrashen.com/Principle s_and_Practice/Principles_and_Pract ice.pdf Lee, J. F., & VanPatten, B. (2003). Making communicative language teaching
617 |
JURNAL IMU BUDAYA
happen (2nd ed.). New York, NY: McGraw-Hill. Long, M. H. (1996). The role of the linguistic environment in second language acquisition. Handbook of second language acquisition. Richards, Jack C., and Theodore Rodgers(2001). Approaches and Methods in Language Teaching. Second Edition. New York: Cambridge University Press. Richards, Jack C., and Charles Sandy(1998). Passages. New York: Cambridge University Press. Slavin, R. (1999). Cooperative Learning, theory, research, and practice. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617
Swain,
M. (1985). Communicative competence: Some roles of comprehensible input and comprehensible output in its development. In S. Gass & C. Madden (Eds.), Input in second language acquisition. Rowley, MA: Newbury House. Swain, VanPatten, B. (1988). How juries get hung: Problems with the evidence for a focus on form in teaching. Language Learning. Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes. M. Cole, V. John-Steiner, S. Scribner, E. Souberman (Eds.). Cambridge, MA: Harvard University Press.
618 |
JURNAL IMU BUDAYA
VOL 3 NO 2, Hlm. 525- 617