PJIB PUSTAKA Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya ISSN 0215-9198 Volume XIV, Nomor 1 • Februari 2014
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .....................................................................................
iii
MEMBACA KEMBALI SUTARDJI CALZOUM BACHRI: REKONSTRUKSI TANGGAPAN PEMBACA ATAS “PUISI YANG MANTRA” Jiwa Atmaja ...................................................................................
1 – 20
“KASEPEKANG” DALAM FIKSI SASTRAWAN BALI I Made Sujaya ................................................................................
21 – 31
KETELADANAN TOKOH JARATKARU DALAM CERITA ADIPARWA I Nyoman Duana Sutika ..............................................................
32 – 39
MENGENAL TINGGALAN ARKEOLOGI DARI SUDUT PANDANG KEKINIAN : TINJAUAN KEBERADAAN KOLEKSI MUSEUM MANUSIA PURBA GILIMANUK I Putu Karmana ............................................................................ 40 – 45 FEMINISME MUSIK POP BALI DALAM LAGU ”MUANI BUAYA” Ni Wayan Ardini...........................................................................
46 – 62
KOLABORASI BUDAYA MASYARAKAT TRADISIONAL DENGAN BUDAYA MODEREN DALAM DRAMA TUYULANAKKU KARYA W.S RENDRA I Ketut Sudewa, I Nyoman Kutha Ratna, I Made Suarsa, I GAA Mas Triadnyani, Maria Matildis Banda ........................ 63 – 78
i
PUSTAKA Volume XIV, No. 1 • Februari 2014
AKSARA BALI PADA PAPAN NAMA DI LINGKUNGAN KOTA DENPASAR I Ketut Ngurah Sulibra ................................................................
79 – 93
PENERAPAN S-R PADA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA PESERTA DARMASISWA I Nengah Sudipa ........................................................................... 94 – 103 STRATEGI PENUTURAN TINDAK TUTUR DIREKTIF BERIMPLIKATUR DALAM BAHASA JEPANG DAN BAHASA INDONESIA Maharani Patria Ratna, Nani Sunarni, Jonjon Johana ............. 104 – 116 MAKNA, PESAN DAN IDEOLOGI IKLAN MEDIA CETAK I Wayan Mulyawan ...................................................................... 117 – 124 KIDUNG JAYENDRIA: Studi Estetika Sastra I Wayan Suteja dan I Ketut Ngurah Sulibra ............................ 125 - 141 Pedoman Bagi Penulis Untuk Jurnal Ilmu-ilmu Budaya PUSTAKA.............................................................................................. 142 - 143
ii
KATA PENGANTAR
P
uji syukur patut dipanjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat sinar suci-Nya kita dapat membaca kembali jurnal Pustaka Ilmu-ilmu Budaya, yang sampai ke tangan pembaca ini adalah volume XIV, nomor 1, Februari 2014. Puji syukur seperti itu, juga terekspresi dari kondisi dunia menulis di perguruan tinggi yang belum sesuai dengan harapan kita bersama. Secara kuantitas saja, terasa betapa tidak mudahnya mengumpulkan tulisan, yang dibutuhkan dalam setiap edisinya. Dalam setiap edisi dibutuhkan 11 sampai 13 judul artikel, dan menjelang mahasiswa melakukan registrasi, naskah yang terkumpul sangat minimum. Setelah berusaha mencari, meminta, bahkan agak memaksa, naskah yang dibutuhkan terpenuhi, dan ada kalanya saat itu datang naskah lain, yang terlambat untuk diproses. Kondisi inilah yang cukup merepotkan pengelolaan jurnal ilmiah di perguruan tinggi. Belum lagi, naskah yang datang belakangan oleh penulisnya dipaksakan agar dapat disertakan dalam penerbitan kali ini, antara lain untuk kepentingan naik pangkat. Ada pandangan bahwa sebaiknya pengelola jurnal, para editor tidak menulis dalam jurnal yang dikelolanya, alasannya mungkin untuk memberikan kesempatan kepada penulis lain. Pandangan ini mungkin benar, kalau yang dikelola adalah jurnal yang populer dan diminati banyak penulis yang produktivitas dan kualitas karya tulisnya tidak diragukan lagi. Namun, mempertimbangkan kondisi dunia menulis yang bukan dianggap sebagai bagian dari kegiatan keilmuan, apalagi jadual terbit sebuah jurnal telah ditentukan batas akhirnya, maka sebaiknya pengelola jurnal menulis juga, jika mungkin kualitas tulisannya lebih baik dari tulisan lain. JurnalPustaka yang sampai ke tangan pembaca kali ini, menyajikan 11 judul artikel dengan rincian 5 judul artikel bidang sastra, enam artikel lainnya, masing-masing diwakili sebuah artikel bidang arkeologi, linguistik dan budaya. Sangat jarang sekali redaksi menerima artikel dari jurusan Sastra Inggris yang membahas karya sastra berbahasa Inggris. Umumnya, tulisan yang masuk dari jurusan itu menekankan aspek linguistik, yang agaknya mencerminkan kondisi pragmatis bahwa bahasa Inggris praktis
iii
PUSTAKA Volume XIV, No. 1 • Februari 2014
sedang diminati banyak orang. Demikian juga tulisan-tulisan bidang lain, apakah karena ruang artikel terlalu sempit dan dibatasi oleh kaidahkaidah yang baku, yang kurang memberi ruang untuk mengeksplorasi, atau membuka perspektif baru? Memang, tulisan-tulisan pendek dan bermain di permukaan telah cukup memberi informasi bagi para mahasiswa yang baru mengenal bidang studi yang akan ditekuninya, tetapi haruslah muncul tulisan-tulisan yang segar, memberikan sesuatu yang baru, setidaknya memberi inspirasi kepada pembaca agar timbul keinginan untuk melanjutkan (melakukan) penelitian lebih serius. Barangkali juga kondisi demikian disebabkan oleh konsepsi Tri DharmaPerguruan Tinggi, yang mencantumkan pendidikan di urutan pertama, baru kemudian penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Konsekuensinya, tugas untuk memproduksi ilmu pengetahuan agak diabaikan oleh tugas pendidikan yang diukur oleh jumlah kelulusan. Konsekuensi lain adalah tradisi menjalankan tugas sebagai dosen, bukan sebagai peneliti, padahal apa yang disampaikan kepada mahasiswa haruslah memiliki dimensi aktualitas yang didapatkan dari penelitian, atau membaca penelitian orang lain, atau tulisan artikel orang lain, yang menginspirasi dan membuka cakrawala. Apapun kondisi yang kita hadapi, bersykurlah jurnal ini masih terbit dan kita dapat saling bertukar informasi dan pengetahuan tidak saja sesama kolega pengajar, tetapi juga mahasiswa. Asal masih ada yang mau membaca.
iv
MEMBACA KEMBALI SUTARDJI CALZOUM BACHRI: REKONSTRUKSI TANGGAPAN PEMBACA ATAS “PUISI YANG MANTRA” Jiwa Atmaja Jurusan Sastra Indonesia FBS Universitas Udayana Abstract: Sutardji Calzoum Bachri is one of the outstanding figures in Indonesian literature with significant influence as determined by Team 8 in 2013. Such a status comesfrom responses given by readerscompetent in literature critics toward Sutardji’s poems, credos or statements, and performances in reading poems. Commonly, the responses are regarding the fact that if his poem can be classified into a magic oneor not. This is because he himself argues that he writes his incantation and poem in such a unique way. This study collects and analyses various responses given by his works’ readers and concludes that there is an aesthetic conspiracy in making him “the king of magic poem”. Keywords: readers’ response, magic poem, aesthetic conspiracy.
1.
Pendahuluan
Sutardji Calzoum Bachri adalah satu dari 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh menurut Tim 8 (Rahman, dkk., 2013), tetapi porsi pembicaraan tentang “presiden penyair” Indonesia ini, agaknya kurang memadai untuk menggambarkan pengaruh yang dihasilkannya, dan kualitas respon yang diberikan pembaca atas karya-karya puisinya, maupun kredo, orasi kebudayaan dan pernyataan lain yang disampaikannya. Artikel berjudul “Sutardji Calzoum Bachri: Jalan Baru Estetika Puisi” yang ditulis oleh Ahmad Gaus (dalam Rahman, dkk., 2013: 511—531), telah didahului oleh buku pretensius Raja Mantra Presiden Penyair yang disunting Maman S. Mahayana (2007). Dalam buku ini (Raja Mantra…) ditemukan artikel “Perlawanan Estetik dan Metafisik Sutardji Calzoum Bachri”, yang ditulis Abdul Hadi W.M.;tulisan ini merepresentasikan posisi Sutardji C.B. dalam perkembangan sastra Indonesia, terutama upaya keras sang penyair untuk menemukan bentuk-bentuk puitika baru. Namun, Abdul Hadi W.M. mengakui kelebihan tulisan Dami N. Toda dua dasa warsa yang lalu (“Peta Perpuisian Indonesia 1970-an dalam Sketsa” (majalah Tifa Sastra tahun ke-5, Mei 1977, Fakultas Sastra UI), yang dianggapnya tidak menyisakan celah bagi pembahasan yang lebih belakangan. Menurut Abdul Hadi W.M., sekurangnya terdapat tiga perspektif yang dapat digunakan sebagai pintu masuk untuk melihat dan memahami
1
PUSTAKA Volume XIV, No. 1 • Februari 2014
puisi-puisi Sutardji, yakni pertama, dari perspektif semangat puitik mantra yang dijadikan pijakan Sutardji dalam memulai karier kepenyairan. Kedua, membandingkan perlawanan metafisik Sutardji dengan perlawanan Dyonisus terhadap Apollo sebagaimana dikemukakan Nietzsche dalam The Birth of Tragedy. Ketiga, dalam perkembangan akhir kepenyairannya, tampak pula kecenderungan sufistik yang kuat pada Sutardji (Hadi, dalam Mahayana, 2011: 5). Meskipun mungkin setiap perspektif tidak dapat dibatasi angka tahunnya, yang jelas fase “puisi yang mantra” adalah fase awal (sekitar tahun 1970-an) kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri, menunjuk kumpulan puisi O (1973), Amuk (1977), dan Kapak (1979), ketiga antologi tersebut dikumpulkan menjadi satu dan diterbitkan kembali dengan judul O Amuk Kapak (Sinar Harapan, 1981). Puisipuisi Sutardji yang dimasukkan ke dalam fase religius agaknya belum sempat dikumpulkan dan diterbitkan. Kecuali itu, Sutardji juga menulis kumpulan cerita pendek Hujan Manulis Ayam (Indonesia Tera, 2001), yang dinilai sejumlah kritikus sebagai karya yang mengandung kecerdasan imajinasi pengarangnya. Untuk menghindari pengulangan, dan ingin mencari dimensi lain dari berlimpahnya data tekstual tanggapan kritikus terhadap sosok Sutardji dan karya-karyanya, maka tulisan ini hanya akan memusatkan perhatian pada upaya rekonstruksi berbagai tanggapan kritikus mengenai puisi-puisi Sutardji pada fase “puisi yang mantra”, dan mengabaikan fakta tekstualitas yang lain, meskipun kajian terhadap cerpen “Hujan Menulis Ayam” mungkin lebih menarik dan aktual. Seperti dikatakan sebelumnya, Sutardji Calzoum Bachri adalah tokoh sastra Indonesia yang paling kontroversial, sebagaimana dapat ditemukan dalam berbagai tanggapan pembaca atas karya-karyanya. Tentu saja tanggapan pembaca terhadap karya sastra tidak hanya menyangkut puisi-puisi Sutardji C.B., tetapi juga karya sastra pengarang lain. Dengan kata lain, tanggapan pembaca terhadap karya sastra sudah berlangsung lama dalam kehidupan sastra, baik lisan maupun tertulis. Pengamat sastra pun telah lama menyadari akan fungsi komunikasi sastra. Mukarovsky, misalnya sejak 1930-an telah membicarakan hal itu dalam sistem semiotiknya. Dikatakannya, karya sastra sebagai sistem tanda dibedakan dalam aspek, penanda (signifie) dan petanda (signifiant). Baginya, penanda adalah artefak, struktur mati, yang nilai estetiknya tidak dapat diidentifikasi, kecuali dihubungkan oleh petanda kesusastraan penyambut sehingga menjadi objek estetik (Fokkema, 1977: 81). Sejak mengemukakan pandangan yang demikian itu, Mukarovsky mulai menyadari, kalau karya sastra tidak dapat dipahami dan diteliti, apabila dilepaskan dari konteks sosialnya. Belakangan Zoest (1990) pun
2
Membaca Kembali Sutardji Calzoum Bachri: Rekonstruksi Tanggapan Pembaca atas “Puisi yang Mantra” | Jiwa Atmaja
menyadari, dalam sistem semiotik yang sinkronik sekalipun penanggap karya sastra tidak dapat meninggalkan suatu graund, yang dalam istilah Geertz disebutnya sebagai “lingkungan budaya”, apabila ingin memaknai suatu karya sastra dalam sistem komunikasi, sedangkan Jurij M. Lotman memperingati kita melalui kata-kata “sejarah dan kenyataan budaya yang disebut sebagai karya seni, sebenarnya tidak pernah sempurna di dalam suatu teks sastra” (Lotman, 1977). Jika demikian, pemaknaan penuh suatu karya sastra sepatutnya mempertimbangkan konteksnya. Lebih lanjut dikatakan oleh Lotman bahwa “teks sastra adalah sesuatu yang elemen-elemennya saling berhubungan, dan dalam kenyataannya suatu karya sastra terdiri atas teks (dan sistem hubungan teks), yang berhubungan dengan kejadian yang berada di luarnya, seperti norma-norma kesusastraan, tradisi dan imajinasi (Lotman, 1977). Rincian lebih jauh mengenai kejadian di luar teks sastra adalah teks lain, yang membawa hasil pemaknaan penanggap atas karya sastra tertentu dalam kurun waktu tertentu. Teks-teks diskursif inilah saya kira merupakan resepsi pembaca yang berkompeten. Siegfreid Y. Schmidt memberi arti pada resepsi sebagai proses penciptaan makna melalui pelaksanaan suatu instruksi yang dapat diambil dari ragam verbal teks bersangkutan (Schmidt, 1973: 9). Jika demikian, objek penelitian (resepsi) sastra bukanlah teks itu sendiri, melainkan konkretisasinya. Atau, bukan artefaknya, melainkan objek estetiknya, sebagaimana dikatakan Mukarovsky dalam kutipan sebelumnya. Dalam pandangan ini, karya sastra ditempatkan sebagai ragam realisasi diri seorang subjek terhadap dunia luar, sementara pembaca karya sastra melaksanakan fungsi keseniannya sehingga ada kemungkinan manusia menjadi pusat peristiwa semiotik. Manusia sebagai pusat semiotik sekurangnya dimensi dinamik, tetapi di pihak yang lain, ia adalah variabel ruang dan waktu. Fokkema memandang pernyataan ini sebagai formulasi terpendek mengenai penerimaan teori resepsi yang dasar konsepnya dan bidang penelitiannya dapat diperoleh (Fokkema, 1977: 143). Tentu saja landasan teoretik di atas, sangat pendek dan masih diperlukan penjelasan cara kerjanya. Sayang sekali karena ruang artikel ini sangat terbatas, penjelasan itu tidak dapat diberikan di sini. Namun demikian, pembaca akan dapat mengetahui cara kerja dimaksud ketika secara implisit dapat memahami bagian-bagian berikut tulisan ini.
3
PUSTAKA Volume XIV, No. 1 • Februari 2014
2.
Rekonstruksi “Puisi yang Mantra”
Tanggapan para kritikus terhadap “puisi yang mantra” terjadi dalam dua gelombang, yakni gelombang pertama dua dekade yang lalu, yang melibatkan Umar Yunus, Ayip Rosidi dan H.B. Jassin, dan gelombang kedua pada dekade ketiga (tahun 2000-an). Tanggapan Nurel Javissyargi dalam Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (2011), yang ditulis dalam nada yang agak keras dan terbuka agaknya dipicu oleh orasi budaya Sutardji “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair”, yang kemudian dimuat Republika 9 September 2007. Kalimat Sutardji yang agaknya membuat Javissyarqi menulis gugatannya berbunyi:”Peran penyair menjadi unik, karena—sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atau mimpinya atas imajinasinya – secara ekstrim boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya” (Sutardji, 2011). Untuk melegitimasi pernyataannya itu, Sutardji mengutip Surat ke26, Asy Syu’ara, tetapi tidak mencantumkan ayatnya (ayat 225—227), serta tidak didukung asbabun nuzuk, maka di mata Jasissyarqi (pernyataan) Sutardji tersebut semacam “akal-akalan” sehingga lewat dari pemahaman para ahli tafsir. Akhirnya, Sutardji menutup orasinya dengan mengutip kata mutiara dari Presiden AS John F. Kennedy “jika politik bengkok puisi yang meluruskannya”, dengan titik tekan akhir “tetapi tentu itu hanya berlaku bagi para politikus yang memiliki tanggung jawab dan kepekaan terhadap aspirasi hati nurani bangsanya yang sering tercerminkan pada puisi-puisi yang baik, bernas, dan bermutu dari para penyairnya”. Argumentasi lain yang dikemukakan oleh Javissyarqi untuk menolak sikap Sutardji yang menghindar dari tanggung jawab, adalah upaya memahami kembali dengan cermat keseluruhan Surat Asy Syu’ara, yang akhir ayat-ayatnya menanggapi penyair kafir Musailamah, dan lain-lain. Jika membaca ulang dengan teliti karya-karya Ibnu Arabi sebagai nisbat, yang mengudar 27 nabi pada Fusus Al-Hikam, tentu Sutardji Calzoum Bachri tidak akan mengatakan dalam orasi dengan gegabah serupa para penyair turunan Tuhan: “Manusia sebagai makhluk imajinasi Tuhan pada gilirannya menciptakan pula imajinasi. Para Penyair sebagai makhluk yang profesinya menciptakan imajinasi atau mimpi—meskipun posisinya jauh di bawah Tuhan—memiliki kesejajaran seperti Tuhan. Penyair menciptakan imajinasinya, mimpinya, lewat kata-kata sebagaimana Tuhan menciptakan mimpinya lewat firman” (dalam Javissyarqi, 2011: 8).
4
Membaca Kembali Sutardji Calzoum Bachri: Rekonstruksi Tanggapan Pembaca atas “Puisi yang Mantra” | Jiwa Atmaja
Padahal, kisah para nabi dalam surat tersebut, disebutkan bahwa Tuhan bertanggung jawab di atas kehendak, firman dan perbuatanNya. Pun para nabi memiliki tanggung jawab menjadi pelayan bagi umatnya, serta tidak meminta-minta imbalan (upah) sama sekali atas ajaran-ajarannya. Karena itu, Javissyarqi berulangkali meminta Sutardji untuk mencermati ulang setiap ayatnya, untuk mendapatkan gambaran menyeluruh Surat Asy Syu’ara yang bermakna surat para penyair. Juga melalui kitab-kitab ahli tafsir, sehingga tidak tertipu nalar dengan kemauannya sendiri, yakni nafsu belaka (wallahualam bisawab). Juga, disinggung ketidakcermatan Sutardji memahami kun fayakun melalui Abnu Arabi, yang tidak menyebutkan sumber kitabnya (mungkin berniat menyederhanakan, tetapi gagal), sehingga mudahlah meloloskan diri dari kemungkinan dilacak orang sehingga menyeret para pembacanya ke dalam imajinasi yang gelap sebagaimana tampak pada paragraf awal orasinya:” Ketika Tuhan merindu memimpikan dirinya agar dikenal dan lepas dari kegelapan rahasia-Nya, Ia berfirman Kun fayakun, maka jadilah alam semesta ini”. Dengan penegasan kembali Javissyarqi yang menuduh Sutardji menghindar dari tanggung jawabnya sebagai penyair dan bersembunyi di balik tanggapan sejumlah kritikus sastra yang melegitimasi dirinya sebagai “raja mantra”, atau presiden penyair Indonesia, dengan menyebut puisi-puisi fase awal sebagai “puisi mantra”, maka Sutardji telah menjadi legenda yang hidup. Inikah yang diniatkan Sutardji? Memang, judul buku yang disunting Maman S. Mahayana pun terdengar agak ganjil, karena mengukuhkan Sutardji sebagai Raja Mantra” dan juga “Presiden Penyair” (lihat Mahayana, 2007 Raja Mantra Presiden Penyair), yang membuat Javissyarqi melepas selorohnya “sudah raja presiden lagi”. Sloroh ini membuat beberapa pihak menduga-duga ada apa sebenarnya di balik dunia sastra Indonesia, apakah “konspirasi estetik” masih demikian kuat, bukankah seorang Sutardji Calzoum Bachri sendiri tidak memerlukan lagi “konspirasi” seperti itu? Melihat dari sumber makalah yang terhimpun dalam buku ini, berasal dari Seminar Internasional yang diselenggarakan khusus untuk Sutardji Calzoum Bachri, maka dapat diduga bahwa ada kelompok yang ingin memitoskan Sutardji sebagai “raja mantra”, bukankah sudah cukup kokoh sebagai penyair Indonesia? Terungkap beberapa hal yang tidak rasional terkait aspek ektrinsinalitas puisi-puisi Sutardji sebagaimana dapat ditangkap dari gugutan Javissyarqi, antara lain 1) bahwa puisi-puisi fase awal Sutardji bukanlah mantra yang sebenarnya, karena Sutardji sendiri bukanlah
5
PUSTAKA Volume XIV, No. 1 • Februari 2014
dukun, shaman, atau pedanda (pendeta Hindu), dan formulasi mantra haruslah memiliki kekuatan magis untuk memanggil, mengendalikan dan bahkan memerintahkan kekuatan gaib untuk melakukan sesuatu sesuai niat orang yang memerintahkan. 2) Dalam kredonya, Sutardji mengatakan bahwa menulis puisi adalah membebaskan kata dari penjajahan pengertian, dari beban ide, dan tradisi lapuk yang membelenggu seperti kamus dan penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu. Mungkinkan kata-kata dibebaskan dari beban makna? Jika mungkin, pastilah kata-kata melepaskan arti konotasinya untuk kemudian diberi makna baru, yang lebih bersifat konotatif, metaforik, misalnya. Beberapa kritikus sastra terjebak oleh kredo Sutardji tersebut sehingga menarik kesimpulan bahwa Sutardji telah membebaskan kata dari makna dan dalam menulis puisi ia kembali ke mantra. Jika dicermati kalimat ini, bukankah Sutardji tidak menulis mantera, hanya kembali ke tradisi leluhurnya, yakni mantera. Agaknya, kepuasan kita dalam menganggap kata sebagai tanda diakibatkan oleh kecenderungan, yang barangkali sudah mulai ada dalam budaya lisan tetapi tampak jelas dalam budaya tulis dan jauh lebih nyata lagi dalam budaya cetak dan elektronik, tidak lain untuk mereduksi semua persepsi, dan bahkan seluruh pengalaman manusia menjadi analogi-analogi visual (Ong, 2013: 112). Paradoks ini mengingatkan kita pada Derrida ketika menghadapi Jean Jacques Rousseau, yang menolak keyakinan bahwa tulisan itu hanyalah cabang dari kata yang terucap (Derrida, 1976: 7). Dalam hal puisi yang mantera, bukankah Sutardji hanya mengeksplorasi bunyi untuk mendapatkan bentuk yang berbeda dari penyair terdahulu, bukan membebaskan kata dari makna, bahkan memberi beban makna yang lebih berat dan ambigu pada puisi-puisinya. Tentu saja penyair tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya, dari ambiguitas kata yang dibangunnya. Mungkin lebih rasional mengatakan bahwa pemfungsian potensi bahasa secara esoteris pada puisi-puisi Sutardji Calzum Bachri, ditopang pula oleh teknik modern dalam “penciptaan makna” (creating of meaning), telah menimbulkan banyak tanggapan kontroversial. Di antara tanggapan kontroversial itu, ada kecenderungan kuat untuk sekadar bergaya mistik, magis bahkan religius, sehingga puisi modern pun diposisikan sebagai formula mantra dan/atau sufistik. Padahal, penciptaan makna itu sendiri adalah juga hasil persajakan, bentuk-bentuk visual seperti pemenggalan larik (enjambement), tipografi (tata tulis) dan hamolagues (persajakan bentuk) yang secara metalingual tidak mengandung arti, tetapi menimbulkan makna baru baik dalam puisi itu sendiri maupun dalam benak pembaca yang kompeten. Dalam hubungan ini, tanggapan yang
6
Membaca Kembali Sutardji Calzoum Bachri: Rekonstruksi Tanggapan Pembaca atas “Puisi yang Mantra” | Jiwa Atmaja
muncul menjadi sungguh menarik, bukan saja pada sisi kontroversialnya, tetapi juga sisi ambivalentif sikap penanggapnya. Rekonstruksi ini tentu saja tidak mampu menurunkan seluruh tanggapan yang pernah muncul, kecuali berapa artikel yang mengulas “puisi yang mantera”, yang benar-benar menunjukkan sikap ambivalentif dan polemis. Artikel Umar Junus “Misteri dalam Mantera” (dalam Mitos dan Komunikasi, 1981) yang kemudian memperoleh tanggapan dari Ayip Rosidi, “Mitos-mitos Umar Junus” (Sinar Harapan, 20-8-1981). Akan halnya artikel Ayip ini, bukan tidak mungkin Umar Junus sendiri tidak membacanya. Terbukti, dua tahun kemudian muncul artikel Umar Junus yang membahas bahan yang sama “Puisi yang Mantera di Indonesia: Suatu Interpretasi” (dalam Dari Peristiwa ke Imajinasi, 1983, hlm. 131--145). Artikel ini pun menerima tanggapan balik dari Ayip Rosidi “Mantera dan Puisi yang Mantera” (dalam HB. Jassin 70 Tahun, 1987, suntingan Sapardi Djoko Damono). Makalah Rachmat Djoko Pradopo “Puisi Indonesia Modern Periode 1970--1990” yang dibacakan pada Simpoisum Nasional Kritik Sastra Indonesia Modern di Yogyakarta 1990, juga mengulas subjek “puisi yang mantera” sebagai salah satu corak dari lima corak yang dimiliki puisi Indonesaia periode 1970--1990. Makalah ini agaknya menggunakan terminologi “puisi bergaya mantera” dan merinci berbagai peralatan lingual pada puisi-puisi Sutardji CB. Dalam hal ini, pernyataan bahwa puisi bergaya mantera sebenarnya telah tampak gejalanya pada puisi-puisi Asrul Sani, Ayip Rosidi, Sapardi Djoko Damono dll. Pendapat Rachmat Djoko Pradopo tidak jauh berbeda dengan Umar Junus terutama pada artikelnya yang pertama, tetapi sayang tidak “dilirik” (apalagi diacu) oleh Rachmat Djoko Pradopo, yang demikian kosisten pada analisis semiotiknya. Sementara Umar Junus seperti begitu yakin menemukan “mantera” dalam puisi-puisi Sutardji awal (dalam artikelnya yang pertama), walaupun kemudian ia mengubah istilahnya menjadi “puisi yang mantera” (dalam artikelnya yang kedua). Pengubahan itu dapat ditafsirkan bahwa Umar Junus tidak mengabaikan kritik Ayip Rosidi sebelumnya itu. Dengan menempatkan kritik Sutan Takdir Alisjahbana pada proporsinya; yang menolak kredo Sutardji C.B., yang pada intinya berisi pendalaman penyairnya atas makna bahasa dengan membebaskan kata dari artinya, sementara Sutan Takdir lebih berhasrat mengisi bahasa dengan pikiran, sekurangnya mensejajarkan bahasa dengan pikiran (Jawa Pos, 12-2-1992, hlm.10)-- ini semakin menjelaskan antusiasisme Umar Junus seperti hendak mengangkat Sutardji C.B. sebagai penyair
7
PUSTAKA Volume XIV, No. 1 • Februari 2014
yang lebih hebat dari Rendra (kalimat ini dikutip Umar Junus dari artikel Popo Iskandar “Potret Seorang Penyair Muda dan Karyanya” (Budaya Jaya 1973, hlm. 714--722). Kesan bahwa Umar Junus hendak berlaku seperti itu agaknya tidak mudah ditepis dari pemahaman kita terhadap artikelnya yang pertama itu. Hasrat ini tampaknya menjadi energi pendorong baginya mengapa Umar Junus demikian mempercayai kredo Sutardji, karena tampaknya dipengaruhinya dan kesan ini terasa sekali dalam ulasannya. Umar Junus menulis: “penggunaan mantera pada Sutardji disebabkan kesadarannya bahwa hanya struktur mantera yang dapat memenuhi syarat-syarat penciptaannya berupa puisi tanpa usahanya menyampaikan amanat” (Mitos, hlm. 133). Kalimat ini mau-tidak mau dilihat pertaliannya dengan pemahaman Umar Junus sendiri terhadap kredo Sutardji yang dianggapnya sebagai “kesadaran total”, “essense”, “intisari dan abstraksi”. Apakah Umar Junus terlalu berlebihan dalam menerima suatu kredo kepenyairan. Bagi kalangan kritikus sastra akademis, demikian pula bagi Rachmat Djoko Pradopo, sebuah kredo tidak lebih dari suatu keterangan simbiosis, yang pada sisinya yang lain adalah suatu representasi kesadaran menyair yang sedang dihadapkan pada nuansa ketegangan di dalam tradisi budaya sastra. Oleh karena itu, sebuah kredo mungkin dapat diabaikan, dalam arti ketika berhadapan dengan teks-teks puisi, sebagaimana Rachmat Djoko Pradopo melakukannya. Hal ini berarti tidak tertutup kemungkinan, bahwa kredo adalah keterangan dari kesadaran penyairnya dan dapat merupakan jendela masuk ke dalam dunia puisinya tanpa perlu menempatkannya di atas puisi itu sendiri. Dengan menggunakan batasan mantera adalah misteri, Umar Junus kemudian melacak unsur-unsur mantera pada puisi-puisi Sutardji CB. Umar Junus menemukan beberapa hal, bahwa mantera mempunyai unsur: a) rayuan dan perintah; sesudah dirayu, yang gaib itu diperintah untuk melayani, b) dibentuk secara puitis dengan tidak menggunakan kesatuan kalimat, tetapi suatu expression unit (kesatuan pengucapan) sebagai dalam Kaba yang terdiri atas dua bagian seimbang, dan c) yang dipentingkan ‘keindahan bunyi’ sehingga yang penting di dalamnya adalah unsur bahasa yang konkret, bukan sekadar bunyi. Rumusan ini tidak diturunkannya pada artikelnya yang pertama dan baru muncul dalam artikelnya yang kedua itu. Jika demikian, apakah “puisi yang mantera” menjadi perkara yang mentah setelah Umar Junus menurunkan rumusan tersebut? Pertanyaan ini muncul dengan sendirinya setelah rumusan tersebut
8
Membaca Kembali Sutardji Calzoum Bachri: Rekonstruksi Tanggapan Pembaca atas “Puisi yang Mantra” | Jiwa Atmaja
dihubungkan dengan rumusan serupa di dalam artikelnya yang pertama sebagai berikut. Akan tetapi, Umar Junus sendiri kemudian melarutkan diri ke dalam uraian yang terkesan mendukung keberadaan dunia misteri-- seakan-akan hanya ia yang mampu melakukan komunikasi melalui mantera tersebut. Dalam pada itu, penalaran kita telah mulai dapat menangkap bahwa perubahan ungkapan mantera menjadi “puisi yang mantera” yang dilakukannya itu memberi kesan bahwa Umar Junus sendiri bersurut langkah, yang pada sisinya yang lain dapat ditafsirkan bahwa Junus sendiri sesungguhnya tidak berkomunikasi melalui mantera. Dalam keterangan selanjutnya pun, tidak ditemukan gambaran yang jelas, sejauhmana “bias mantera” telah ditemukannya di dalam puisi-puisi Sutardji CB. Jika puisi Sutardji benar-benar [puisi] mantera, maka perkaranya akan menjadi lain dan jika ia ‘puisi yang mantera’-- ia tidak lebih dari ‘puisi bergaya mantera’ seperti dikatakan Rachmat Djoko Pradopo. Istilah terakhir ini. Ungkapan “puisi yang mantera” dapat dipahami secara metalingual, bahwa unsur misteri yang disebut-sebut sebagai unsur puisi mantera adalah perkara tersendiri dalam kebudayaan kita. Malahan, aspek misteri masih dapat dilihat sebagai buah dari deformasi bunyi (dalam arti menyimpangi kaidah bunyi); suatu proses sejarah kebahasaan yang mendorong dunia kesusastraan menjadi dunia kedua (Lotman, 1977 ). Jika pada tataran demikian deformasi bunyi dapat dianggap sebagai gejala biasa dalam puisi dalam hubungan dengan kemungkinan inovatif, maka kita pun perlu menemukan unsur-unsur lingual lainnya. Sangat disayangkan, kalau Umar Junus sendiri telah menemukan (apa yang disebutnya) permainan bunyi penuh tanpa arti, tetapi tidak ditafsirkannya secara nalar--- kecuali ia hendak membiarkan masalahnya dibungkus misteri. Apa yang kita terima sebagai misteri dalam karya sastra, terutama puisi-puisi Sutardji C.B. adalah sesuatu yang belum dapat dibahasakan secara formatif, karena itu arti (menurut Junus adalah ‘amanat’) menjadi tidak jelas dan tidak terkomunikasikan secara verbal—tetapi demikian masih mungkin dapat dirasakan (sebagaimana diakui oleh Umar Junus sendiri). Ketika misteri tidak dapat dibahasakan, apakah kemudian kita dapat mengatakan seluruh puisi Sutardji C.B. tanpa isi? Perkara ini dijawab oleh Umar Junus melalui “gestalt”; “struktur itu sekaligus amanat”, padahal puisi Sutardji C.B. yang berjudul “Mantera” sekalipun masih mengandung arti yang jelas.
9
PUSTAKA Volume XIV, No. 1 • Februari 2014
Lima puncak mawar Tujuh sayap merpati Sesayat langit perih dicabik puncak gunung sebelas dari sepi dalam dupa rupa tiga menyan luka mengasapi duka puu...aah! kau jadiKAU kasihku Kata kau yang ditulisnya KAU ternyata bukan bunyi esoteris, bahkan dalam keseluruhan puisi itu tidak terbentuk dunia bahasa esoteris. Kata-kata yang digunakan penyairnya masih dapat dianggap jelas artinya, tetapi kemampuan rekatnya memang sangat kuat. Keadaan ini, mengesankan hasil deformasi lingual pada sestiap ruas frasenya. Kalau saja kita mau sedikit bersabar, bukan tidak mungkin menemukan “amanat” pada “kau menjadi KAU” seperti bernafaskan hubungan eksistensial manusia dan Tuhannya. Hal ini juga dikatakannya dalam frase “akan kau kau kau kan kah hidupku” (Sajak “Denyut”, dalam Amuk, hlm. 31). Fakta estetis semacam itu, masih berlanjut pada puisipuisi yang lain, yang jika diakumulasikan akan merupakan bantahan belaka terhadap asumsi Umar Junus tersebut. Pemahaman kita tentang puisi yang ditempatkan di atas sebuah kredo mungkin membuat kita lebih berhati-hati daripada bersikap sebaliknya. Ini berarti, kita harus berhadapan dengan hakikat seni (verbal) yang antikaidah umum. Dalam artikel saya “Substansi Historis dalam Puisi Kontemporer” (dalam Masyarakat Sastra Indonesia, 1988: 68--76), saya cendrung menunjuk hukum “kesemestaan seni” ke dalam istilah substansi historis yang pewujudnya dapat dilihat pada unsurunsur konvensional yang komprehensif dalam beberapa puisi. Keadaan ini mengejewantah menjadi substansi material. Dalam artikel tersebut, saya tidak memberi batasan yang vulgar mengenai kedua istilah itu, tetapi lebih melihat unsur substansi historis sebagai unsur sejarah deformatif-- yang menjadi semakin jelas apabila ditempatkan pada kerangka sistem Cybernetics Edward de Bono (yang juga digunakan Umar Junus untuk menggambarkan alur sejarah puisi Indonesia, yang ditempat lain digunakannya sebagai titik lontar untuk melukiskan apa yang disebutnya arus balik puisi Indonesia pada
10
Membaca Kembali Sutardji Calzoum Bachri: Rekonstruksi Tanggapan Pembaca atas “Puisi yang Mantra” | Jiwa Atmaja
karya-karya puisi Sutardji C.B.). Substansi material ialah gejala-gejala kesastraan yang mapan yang dapat mencuatkan sistem cybernetics, yang dalam bayangan kita lebih merupakan hasil negosiasi penyair (akan kesadaran subjektif) dengan kesadaran kesejarahan. Dalam negosiasi itu, hanya ada dua kemungkinan, yakni menolak (sebagian) konvensi yang mapan (dengan menemukan pembaruan) dan tetap mencipta di atas tradisi kesastraan yang mapan itu. Jika demikian, apa yang ditolak Sutardji, jika ia ingin kembali ke mantra, kecuali menolak sistem pemaknaan kata secara denotatif dengan mengeksplorasi bunyi agar mendapatkan makna baru, yang berbeda dengan arti leksikal atau kamus. Jika demikian, tidak ada seorang penyair pun yang dapat menolak sistem linguistik, kecuali menggunakannya dengan cara berbeda dari orang biasa, yang bukan penyair. Bukankah hal demikian sudah lazim dalam hukum lisensi puitika? Dalam hubungan ini, agak sulit diterima istilah “melompat ke belakang” sebagai digunakan Umar Junus untuk memberi dimensi pada puisi-puisi Sutardji C.B. dalam kotak periodiknya. Dalam melihat proses deformasi itu, Umar Junus pertama-tama berhadapan dengan bahasa esosteris yang dirumuskannya sendiri. Dari sini, apa yang disebutnya struktur diubahnya menjadi “struktur sekaligus amanat”; istilah ini pun kurang menjelaskan apakah pembebasan kata dari maknanya akan membebaskan puisi sebagai seni verbal yang tanpa makna? Bukankah Sutardji sendiri memberi makna pada puisi “Kalian”, yang terdiri atas satu kata pun demikian: Kata-kata “kalian” ini kan semua orang. Kalian pun, pun juga harus ikut. Kenapa “pun” kupakai? Pun itu kan kata yang tidak bisa berdiri sendiri. Pun itu hanya bisa meskipun, walaupun, bagaimanapun, sekalipun. Nah, itu semua menggunakan kata pun. Saya ingin meletakan pun sebagai satu kata yang bisa mandiri. Sesuai dengan kredo saya, bahwa kata-kata bisa menegakkan diri yang tidak ada di kamus yang bisa berdiri sendiri. Dalam tata bahasa tidak ada “pun” berdiri sendiri jadi memang sesuai dengan kredo saya (wawancara Pamelia Fricylia dengan Sutardji C.B. 6 Januari 2012). Manakala Umar Junus melihat seberapa puisi Sutardji C.B. yang melenyapkan pola larik dan bait, karena tipografi puisinya mencolok dan variatif, Umar Junus tampaknya menerjemahkan ke dalam istilah “struktur sekaligus amanat” beralih kepada istilah “struktur an sich”. Ini mempertegas kesan “kepanikan” dalam menilai perkara puisi yang mantera ketika itu. Sebagai pembaca artikel Umar Junus, boleh saja kita berharap andaikata ia menulis tidak berbelit-belit, tentu pembatasan
11
PUSTAKA Volume XIV, No. 1 • Februari 2014
analisisnya pada substansi materialnya sesuai dengan kapasitasnya sebagai strukturalis, akan membawanya tiba pada formalisme bahasa oral (selaku unsur pokok mantera yang diabaikannya) dalam batasan sebagai gaya ucap yang khas dalam hubungan Lord. Isyarat ke arah itu sebenarnya telah tampak ketika Umar Junus menuliskan kalimatnya: “Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya sajak-sajak yang tidak murni berstruktur mantera, seperti (sejak) “Q” dan “Hyang”, meskipun keduanya mengandung misteri” (Mitos... hlm.234). Kalaulah Umar Yunus mencermati lebih banyak lagi puisi Sutardji C.B., maka akan diketahui bahwa hampir sebagian besar puisi Tardji C.B. tidak menggunakan struktur mantera. Kalimat di atas boleh ditafsirkan, bahwa Umar Junus menemukan struktur (puisi) “an sich” yang tidak mungkin lagi diklaimnya sebagai struktur mantera. Apakah karena itu, lalu ia beralih ke konsep misteri, untuk sekadar membenarkan asumsinya mengenai puisi yang mantera. Sajak “Di Pantai” (Sutardji C.B.) yang disebut-sebut Umar Junus sebagai contoh mantera malahan menyorongkan fakta oposisi, meskipun pada sajak itu terdapat kecendrungan struktur mantera yang tidak mempunyai unsur misteri sebagai yang ada dalam sebuah mantera (Junus: Ibid). Bukankah ini mengesankan bahwa ulasannya berlangkah surut? Dalam pernyataan selanjutnya, memang masih tersirat nada raguragu ketika ia mengatakan puisi Sutardji C.B. adalah mantera; di sini tidak terlihat improvisasi sebagai teknik yang khas pada sastra oral, yang bisa diperlihatkan Junus sebagai unsur oral pada mantera sebagaimana dibatasi Lord. Dengan mengatakan bahwa Sutardji mengambil begitu saja dari mantera, sebenarnya mengandung nada merendahkan kemungkinan improvisasi Sutardji C.B. yang demikian hebat. Perkataan itu kemudian dibantahnya sendiri : “Mantera dalam kebudayaan kita adalah sesuatu yang menuju kematian; “ ini berarti Umar Junus sendiri kurang melihat produk mantera, tetapi juga tidak menolak insting improvisasi (sense of improvization) Sutardji yang modern sekaligus tradisional. Semua itu, belum menjelaskan pertanyaan yang muncul: Apakah puisi-puisi Sutardji C.B. adalah mantera, kalau ia harus melihat dari produk modernisme? Dalam menjawab perkara ini, agaknya Ayip Rosidi lebih realistis, “adalah puisi-puisi yang mengandung unsur mantera secara fonemik” (Sinar Harapan, 20-8-1981). Dengan kalimat itu, Ayip mengukuhkan terjadinya perubahan asumsi pengulas. Pergeseran asumsi ini tidak sekadar perubahan frase “puisi mantera” menjadi “puisi yang mantera”--penyisipan kata hubung ‘yang’ boleh ditafsirkan tidak sekadar keterangan subjek yang berubah atau tergeser sebagaimana
12
Membaca Kembali Sutardji Calzoum Bachri: Rekonstruksi Tanggapan Pembaca atas “Puisi yang Mantra” | Jiwa Atmaja
dikatakan Afrizal Malna: “Dalam proses pergeseran itu, aku lirik mengalami tranformasi dari subjek ‘pemberi makna’ menjadi subjek verbal yang kehadirannya tidak pernah berbeda dengan materi-materi verbal lainnya” (Kompas, 3-6-1990, hlm.X). Kutipan ini tampaknya dapat mendukung asumsi sebelumnya mengenai hukum kesemestaan seni itu sendiri. Hukum kesemestaan seni, yang mendorong kita untuk melihat unsur-unsur konvensional dalam “puisi yang mantera”, pada suatu sisi menjelaskan pula ketidakajegan jalannya analisis beberapa pengulas karya-karya Sutardji C.B., yang lebih membiarkan dirinya dibius oleh bunyi kredo penyair ini. Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam kegairahannya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari-nari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mondar-mandir berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri atau sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya. Sebagai penyair, saya hanya menjaga-- sepanjang tidak mengganggu kebebasannya-- agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertian sendiri, bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal. Menulis puisi bagi saya, adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada awal mulanya- adalah Kata. Dan kata pertama adalah Mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada Mantera. 30 Maret 1973 Sutardji Calzum Bachri
Perkataan Sutardji CB.:”Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera” diterima oleh banyak pengamat, terutama Umar Junus bahwa Sutardji C.B. telah menulis mantera; penerimaan ini kemudian diralatnya menjadi “puisi yang mantera” sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, padahal mungkin kredo itu hanyalah representasi kesadaran di luar daerah penciptaan, meskipun tidak tertutup kemungkinan kadar kesadaran itu mencerminkan kapasitas Sutardji C.B. sebagai penyair yang gelisah dalam mencari pembaharuan.
13
PUSTAKA Volume XIV, No. 1 • Februari 2014
Dalam merepresentasikan kesadaran itu, sebuah kredo, tidak dituntut tanggung jawabnya, misalnya dalam kesesuaian antara kesadaran itu dengan formulasi dan isi puisi-puisinya; sekurangnya setelah kesadaran itu dikredokan. Mungkin kita tidak perlu merasa berkewajiban untuk memaksa menemukan bentuk-bentuk pengejawantahan isi kesadaran itu melalui puisi-puisinya. Lebih-lebih mengatakan dengan segera bahwa puisi-puisi Sutardji C.B. adalah mantera sebagaimana Umar Junus melakukannya dalam artikel pertama itu. Kalimat Sutardji C.B. “Kata-kata haruslah bebas dari penjajahan pengertian, dari beban ide” (alinea kedua) diartikan bahwa kata-kata dalam puisi-puisi Sutardji C.B. tidak mengandung pengertian; ini agaknya sisi lain dalam pengertian Umar Junus mengenai mantera yang terformulasi dari kata-kata tanpa arti. Tafsiran Umar Junus yang demikian kemudian menjadi “kata kunci” dan digunakan banyak kritikus sastra yang suka membeo bersamasama menobatkan Sutardji sebagai “raja mantera” sekaligus “presiden penyair”. Dari sisi penikmat, mungkin saja ketidakmengertian pembaca diartikannya sebagai mengukuhkan dunia misteri puisi yang mantera itu.Untuk mengatakan bahwa analisis Umar Junus sebenarnya telah ‘melenceng’ atau ‘keliru’ tentu terlalu tergesa-gesa, tetapi kesan demikian sangat sukar untuk ditepis. Sebagaimana dikatakan oleh Ayip Rosidi bahwa kekeliruan itu disebabkan oleh terlalu jauhnya penafsiran Umar Junus terhadap kalimat-kalimat kredo Sutardji CB. yang sebenarnya sederhana, namun demikian saya cenderung berpikir general sebagai dikatakan J.A. Russo: “Peneliti masa kini mengalami banyak kesulitan dalam melacak formulasi (formula oral) dalam puisi-puisi modern” (Oral Literature and Formula, 1976). Ayip Rosidi mendekati kebenaran nalar kita kalau ia mengatakan “puisi yang mantera” itu lebih berformulasi kelisanan (oral). Bantahan ini memperjelas posisi hipotesis Umar Junus yang pada awalnya memandang puisi-puisi Sutardji C.B. adalah mantera, tetapi tanpa kesediaan melirik formulaik kelisanan, jika mantera adalah dunia kelisanan itu sendiri. Penempatan suatu hipotesis yang proporsional pada saatnya menghendaki suatu tolok ukur yang distal, apabila dilanjutkan ke dalam analisis teks. Formula kelisanan pada mantera misalnya, seharusnya bertolak dari tradisi yang panjang- yang sewaktu-waktu mengalami masa kegelapan jika dilihat dari sudut pandang tanpa persepektif. Manakala perpanjangan unsur tradisi oral tidak berhasil ditemukannya, maka dengan mudahnya dikatakan bahwa puisi-puisi Sutardji yang mantera itu penuh dengan improvisasi dan pada seberapa puisi yang lain dikatakannya tanpa improvisasi.
14
Membaca Kembali Sutardji Calzoum Bachri: Rekonstruksi Tanggapan Pembaca atas “Puisi yang Mantra” | Jiwa Atmaja
Akankah kita mengatakan bahwa pekerjaan melacak formula kelisanan adalah pekerjaan sia-sia pada masa sekarang ini? Pertanyaan ini secara tersirat membenarkan kemungkinan diabaikannya hakikat kelisanan pada mantera yang justru mengukuhkan berdirinya dunia misteri. Jika demikian, apakah mungkin menganggap “puisi yang mantera” terukur dari unsur misterinya tanpa melibatkan pelacakan unsur kelisanan? Bagaimanapun corak dan nuansa oralitas “puisi yang mantera” boleh merupakan tolak ukur yang menentukan hakikat misterinya. Jika pemahaman ini dapat diterima, muncullah pertanyaan “dari manakah diperoleh pengertian bahwa mantera tidak dimengerti oleh manusia dan atau hanya sebagian kecil manusia yang dapat mengerti mantera?” Jika tidak dari nuansa fonemiknya yang misterius? Mungkin tidak berlebihan kalau Ayip Rosidi mengatakan kekeliruan analisis Umar Junus mengenai puisi yang mantera disebabkan oleh perhatiannya yang berlebihan terhadap masalah-masalahn sosiologis (farafrase dari saya-pen.) karenanya agak kurang bersedia mendalami masalah-masalah bunyi yang cenderung paradoksal pada pengucapan Sutardji C.B. Bagaimanapun harus diakui kalau kritikus itu sedang berhadapan dengan “puisi yang mantera”, yang meskipun dalam tangkapan kita tidak lebih merupakan puisi tipografis, tanpa modern, yakni rumusan bunyi yang tidak lagi monotounous sebagai ditemukan dalam bentuk permainan bunyi pada puisi berjudul “Pot”, “Ah” dan “Biarkan”. Dengan demikian, simpulan yang sempat diturunkan Umar Junus dalam artikelnya yang pertama ( Mitos.... hlm. 232) mungkin dapat dipulangkan kepada seluruh perhatiannya terhadap masalah-masalah sosiologis yang tidak pada tempatnya. Dalam artikel itu, diturunkan sekurangnya tiga butir simpulan, 1) struktur sajak Sutardji bukanlah sesuatu yang diciptakan untuk permainan belaka, tetapi 2) diciptakan melalui suatu pengetahuan yang mendalam terhadap keadaan sosial budaya dan ini diterjemahkan dengan berhasil ke dalam struktur sajaknya, dan 3) selanjutnya pemilihan mantera sebagai bentuk sajaknya, di samping pengembalian terhadap kepuisian puisi, juga berhubungan dengan hakikat dari apa yang ingin disampaikannya. Ketiga simpulan di atas diberinya keterangan lagi : “Semua itu menunjukkan kekuatan sajak-sajak Sutardji yang tidak dipunyai oleh penyair lainnya, yang sekaligus menunjukkan kesanggupannya untuk melepaskan diri dari garis tradisi sehingga penciptaan puisi padanya betul-betul merupakan suatu proses kreasi yang terus berlanjut. “(
15
PUSTAKA Volume XIV, No. 1 • Februari 2014
Mitos... hlm. 232). Ini menyebabkan Sutardji lebih besar dari Rendra, tulis Umar Junus yang rupanya mengutip kalimat Popo Iskandar yang meninjaunya dari segi yang berbeda dan anehnya ini diakui oleh Umar Junus sendiri. Apabila artikel yang kedua (ditulis Umar Junus) dapat dianggap sebagai usaha untuk menyempurnakan artikelnya yang pertama (ia memerlukan waktu kurang lebih tiga tahun untuk itu), maka usaha untuk menyempurnakannya tidak menghasilkan bahasa analitik yang dapat dianggap lebih kuat. Malahan kalimat-kalimat Umar Junus menjadi membingungkan: (...) kehadiran puisi yang mantera pada: masa akhir ini dapat dianggap di luar dugaan. Sesudah suatu gerakan modernisme yang sering diartikan menjauhkan tradisi sehingga modern dan tradisi merupakan dua entity yang terpisah, malahan dianggap lebih primitif-- mantera dianggap lebih primitif dari pantun dan syair (Dari Peristiwa..., hlm. 136). Pada kutipan di atas, tidak jelas apakah “puisi yang mantera” itu yang dianggap lebih primitif dari pantun dan syair (?). Ataukah, mantera itu sendiri yang lebih primitif dari kedua bentuk puisi itu? Jika diingat bahwa Umar Junus sedang membicarakan “puisi yang mantera”, boleh jadi yang dimaksud lebih primitif dari pantun dan syair adalah puisi-puisi Sutardji C.B. Kesan ini bertambah kuat kalau dihubungkan dengan kalimatnya “kehadiran puisi yang mantera pada masa akhir ini dapat dianggap di luar dugaan” -- kalimat ini pun kontradiktif jika dihubungkan lagi dengan pernyataannya yang menyebutkan bahwa struktur “puisi yang mantera” (Sutardji) diciptakan melalui suatu pengetahuan yang mendalam terhadap keadaan sosial budaya (butir dua dan tiga, simpulannya). Observasi kita melihat garis tradisi yang membentang pada Sutardji, bukan mendadak sontak muncul. Namun, perkara itu diingkarinya lagi, kesanggupan (Sutardji) untuk melepaskan diri dari garis tradisi sehingga penciptaan puisinya betul-betul merupakan suatu proses kreasi yang terus berlanjut” (Mitos..., hlm. 232), kemudian dapat diperhatikan kalimat “tiba-tiba kembali ke tradisi, malahan dianggap lebih primitif, maka dianggap lebih primitif dari pantun dan syair” (Dari Peristiwa..., hlm. 136). Jalan pemikiran Umar Junus yang berputar-putar ini mengensakan bahwa dia masih bingung dan belum memiliki pegangan untuk mengklaim bahwa puisi-puisi mantera, dan iornisnya pandangan yang belum tegak ini kelak dijadikan sumber acuan oleh banyak pihak yang ingin menobatkan Sutardji C.B. sebagai “raja mantera”, sekali lagi
16
Membaca Kembali Sutardji Calzoum Bachri: Rekonstruksi Tanggapan Pembaca atas “Puisi yang Mantra” | Jiwa Atmaja
tidak cukup menjadi penyair terkemuka di Indonesia. Malahan keterangan yang menguntit simpulan yang terakhir tersebut menjadi tidak mungkin diterima nalar. Apa yang dimaksud dengan frase “kembali ke tradisi” diaktualisasikannya dari terminologi arus balik Norbert Wiener yang dalam penerimaan Umar Junus demikian: “Lompatan yang jauh ke belakang” dan hakikat sintesis Wiener demikian memang terlihat pada bagian kehidupan kita, akan tetapi perkara ini masih merupakan pertanyaan tersendiri dalam konteks perkara puisi yang mantera. Pertanyaan ini justru dikedepankan oleh ketidaklugasan bahasa analitik Umar Junus itu. Kedua tulisan Junus tersebut masih menyisakan pertanyaan “benarkah puisi-puisi Sutardji adalah mantera? Jika bahasa analitiknya itu kurang dapat menyakinkan kita, maka masih perlu diragukan kebenaran ungkapan “bahwa Sutardji telah melompat ke belakang, ke tradisi primitif itu”. Dengan mengabaikan kemungkinan buah dari proses defamiliarisasi (istilah Victor Shklovsky, 1965), atau proses deformasi (Peter V. Zima, 1978) yang berlaku pada puisi yang mantera-- simpulansimpulan Junus itu benar dengan sendirinya. Padahal, Umar Junus sendiri tidak pernah lupa mengutip kedua istilah itu dalam berbagai kesempatan. Kecuali itu, sangat kita hargai usaha Umar Junus dalam mendeskripsikan “sejarah” puisi Indonesia dengan menempatkan antagonisme Sutardji ke dalam kotak yang diisinya dengan ciri “struktur sekaligus arti, yang kali ini digantinya dengan unsur “bunyi dan arti”. Apabila kotak-kotak “sejarah” itu disejajarkannya berikut garis pembatas yang tebal dan tegas, maka kotak-kotak itu seperti mengatakan “bahwa setiap penyair berbeda dengan penyair lainnya, meskipun perbedaannya tidak radikal”. Kotak-kotak “sejarah” itu pun hendak menunjukkan perbedaan yang radikal, meskipun istilah ini tidak digunakan untuk antagonisme Sutardji. Umar Junus lebih menyukai istilah “melompat jauh ke belakang” dalam makna yang kurang lugas. Akan tetapi, di tempat yang lain digunakannya terminologi radikalisasi dengan maksud mengedepankan unsur pembaruan puisi-puisi Sutardji sebagaimana dapat dibaca pada kotak sejarah” ini. Sebelum Chairil Anwar
Chairil Anwar dan sesudahnya
Sutardji C.B.
BUNYI ARTI
bunyi ARTI
BUNYI arti
17
PUSTAKA Volume XIV, No. 1 • Februari 2014
Barangkali karena tidak mudah membahasakan “pengetahuan yang tidak terungkap”, kemudian Umar Junus menyarankan kepada pembaca untuk melihat kembali artikelnya yang pertama mengenai puisi mantera, yang nota bene ia sendiri telah meninggalkannya, setidaknya merevisinya menjadi ulasan “puisi yang mantera”. Kata “Bunyi”--BUNYI-bunyi mungkin dimaksudkan untuk menggambarkan dominasi tataran bunyi dan/ atau arti pada setiap periode sejarah perpusian Indonesia. Dalam perubahan sujbek itu, diaksentuasikan pula pengecualian tataran bunyi dan/ atau arti yang bersifat deformatif, karena itu mungkin ia tidak bersifat ahistoris, meskipun mungkin tumpuan teks “puisi yang mantera” lebih terlihat deformatif; tanpa sejarah. Ini kembali menyadarkan kita bahwa kredo hanyalah abstraksi kesadaran kepenyairan sebagai diartikan pengkredonya sendiri; Sutardji sendiri menganggap kredo sebagai hukum survial of the fittest, karena baginya menyair adalah saat konsentratif. Sutardji sendiri menganggap dunia kepenyairan adalah dunia yang keras dan kejam, karena itu ia harus survival dalam menyair. Aksentuasi dari kesadaran ini, adalah ditempuhnya proses deformasi bahasa, yang dapat dipahami dalam dua perkara. Pertama, keadaan proton dalam neotron hingga konstan pada titik nol mutlak (absolute zero). Kedua, dalam keadaan yang berbeda, ia mungkin akan berubah-ubah. Meskipun demikian misteri dunia penciptaan belum pernah dicerahkan oleh berbagai kesadaran objektif, sekurangnya demikian kesepakatan kita. Namun, timbul kesan bahwa Umar Junus hendak memaksakan temuannya (seakan telah menemukan puisi mantera) pada puisi-puisi Sutardji, melalui keterangan analoginya. Diterangkannya esssence buahbuahan yang mesti dicampur dengan unsur lain yang jumlahnya lebih banyak-- bagian air dalam sirop yang kita minum lebih besar dari bagian essence (Dari Peristiwa..., hlm. 135). Perumpamaannya itu juga mengandaikan bahwa analisisnya berangkat dari essence itu, bukan dari teks puisi yang sedang diulasnya, bahkan ia cenderung berangkat dari proses yang sebenarnya telah menjauhkan essence secara ruang dan waktu. Ini hakikat pendekatan yang sebenarnya tidak pernah dianjurkan Umar Junus yang cenderung strukturalis, kita tidak mengetahui dengan jelas bagaimana proses pelarutan itu terjadi, karena itu selaku analis adalah tidak mungkin menjelaskan perkara itu, apalagi kita sedang berhadapan begitu kita berminat menikmatinya. Kita mungkin menerangkan asal- usul sebuah teks bukan dari sudut pandang pelarutan zat-zat melainkan melalui pendekatan yang memungkinkan kita menghubungkan sebagian kecil
18
Membaca Kembali Sutardji Calzoum Bachri: Rekonstruksi Tanggapan Pembaca atas “Puisi yang Mantra” | Jiwa Atmaja
zat-zat yang dapat diketahui melalui formulasi tekstual. Kalau akhirnya Umar Junus berlangkah surut, “puisi-puisi Sutardji bukan mantera tetapi puisi yang mantera”, mungkin karena sudut pandang proses “pelarutan” itu tidak dapat mengidentifikasi zat-zat pelarut itu sehingga ia harus mengatakan “puisi yang mantera hanya mungkin dikesankan, sementara essence larutan itu hanya dapat dirasakan. Demikian Umar Junus menulis, “ia hanya mungkin dikesan lagi melalui penyaringan proses laboratorium” (Dari Peristiwa..., hlm. 135). Mungkin kita tidak terlalu sulit untuk mengartikan kalimat ini menjadi bahwa kesan kemanteraan tidak dapat ditemui dengan mata telanjang dan segera pada puisi-puisi Sutardji; ini suatu discourse penopengan keadaan sesungguhnya. Dalam menafsirkan discourse itu, tentu tidak baik menyampaikan kesan “seakan-akan proses penyulingan kesan kemanteraan hanya dapat dilakukan di laboratorium milik Umar Junus di Malaysia dan hanya mungkin dilakukannya sendiri”, kecuali harus menunggu hasil penelitiannya yang lebih serius, sementara boleh berkesan bahwa perkara puisi yang mantera masih menyisakan pekerjaan rumah tidak untuk Umar Junus sendiri, malahan bagi siapa pun yang mampu berkata jujur dan konsisten. Sayang sekali, hingga waktunya Umar Junus menghadap Sang Khalik, hasil laboratoriumnya itu belum tampak. 3.
Simpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa hal penting, antara lain 1) ketokohan seorang sastrawan selain ditentukan oleh eksperimentasi dan inovasi yang dilakukan dalam karya-karyanya, juga ditentukan oleh kuantitas dan kualitas tanggapan pembaca. 2) Tanggapan pembaca mengenai puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri ternyata mengandung berbagai tafsiran, yang berlebihan dan kurang objektif, karena mengandung niat untuk menobatkan Sutardji C.B. sebagai raja mantera, padahal unsur dan substansi puisi-puisinya bukan mantera, melainkan hanya hasil eksplorasi bunyi, yang menimbulkan makna baru, atau makna tersirat yang harus dianalisis secara mendalam dan dibutuhkan kesabaran. 3) Ditemukan adanya kecenderungan konspirasi estetik dalam teks-teks tanggapan pembaca yang justru berkompeten sebagai kritikus sastra. Kecenderungan ini disebabkan adanya kinginan untuk mendapatkan tokoh sastra Indonesia dalam setiap periode.
19
PUSTAKA Volume XIV, No. 1 • Februari 2014
Daftar Pustaka
Atmaja, Jiwa. 1988. Masyarakat Sastra Indonesia. Surabaya: Himsa Jaya. Atmaja, Jiwa. 1994. “Teori Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar”. Makalah disampaikan untuk Diskusi Bahasa dan Sastra, Balai Bahasa Denpasar, 31 Januari 1994. Burbank, Jhon & Peter Steiner. 1977. The Word and Verbal Art Structure, Sign, and Function. New Haven and London: Yale University Press. Derrida, Jecques. 1978. Writing and Difference. Trans. Alan Bass. Chicago: University of Chicago Press. Fokkema, D.W. & Elrud Kunne-Ibsch. 1977. Theories of Literature in the Twentieth Century. London: C. Hurt & Company. Javissayargi, Nurel. 2011. Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri. Yogyakarta: Pustaka Pujangga dan Sastranesia. Junus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan. Junus, Umar. 1983. Dari Peristiwa ke Imajinasi. Jakarta: Sinar Harapan. Lotman, Jurij. 1977. The Structure of the Artistic Text. Trans. Ronal Vroom. Michigen: University of Muchigen. Ong, Walter J. 1977. “Text as Interpretation: Mark and After”, dalam John Miles Foley (ed) Oral Tradition Literary Interpretation in Context. Columbia: University of Missouri Press. Ong, Walter J. 2013. Kelisanan dan Keaksaraan. Diindonesiakan dari Orality and Literacy oleh Rika Iffati. Yoyakarta: Gading Publishing. Rahman, Jamal D.,dkk. 2013. 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Jakarta: Kepustakaan Populer Indonesia (KPG). Rosidi, Ajip. 1987. “Mantera dan Puisi yang Mantera”, dalam Sapardi Djoko Damono (ed) H.B. Jassin 70 Tahun: Kumpulan Karangan. Jakarta” Gramedia. Sutardji, Calzoum Bachri. 1981. O Amuk Kapak. Jakarta: Sinar Harapan. Sutardji, Calzoum Bachri. 2011. Hujan Menulis Ayam. Magelang: Indonesiatera. Sutardji, Calzoum Bachri. 2007. “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair”,. Jakarta: Republika 9 September. Toda, Dami N. 1977. “Peta Perpuisian Indonesia 1970-an dalam Sketsa”. Majalah Tifa Sastra tahun ke-5, Mei, Fakultas Sastra UI. Zima, Peter. 1979. Kritik der Literatursosooloies. Frakpurt: Suharkomp. Zoest, Aart van. 1990. “Semiotics and Communication”, makalah Lokakarya Semiotik UI, Depok.
20