ISSN 2087-636X JURNAL DIALOG PENANGGULANGAN BENCANA
JURNAL DIALOG PENANGGULANGAN BENCANA
Volume 5, Nomor 2, Tahun 2014
ISSN 2087-636X
Volume 5, Nomor 2, Tahun 2014
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana
Vol. 5
No. 2
Hal. 65 - 140
Jakarta Oktober 2014
ISSN 2087-636X
ISSN 2087-636X
JURNAL DIALOG PENANGGULANGAN BENCANA Volume 5, Nomor 2, Tahun 2014
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana
Vol. 5
No. 2
Hal. 65 - 140
Jakarta Oktober 2014
ISSN 2087-636X
JURNAL DIALOG PENANGGULANGAN BENCANA
Terbit 2 Kali setahun, mulai Oktober 2010 ISSN: 2087-636X Volume 5, Nomor 2, Oktober 2014 Pembina: Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Penasihat: Sekretaris Utama BNPB Pemimpin/Penanggung Jawab Redaksi: Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Ketua Dewan Penyunting: DR. Sutopo Purwo Nugroho, M.Si, APU Hidrologi dan Pengurangan Risiko Bencana Anggota Dewan Penyunting: DR. Sugimin Pranoto, M. Eng / Teknik Sipil dan Lingkungan Ir. Sugeng Tri Utomo, DESS / Pengurangan Risiko Bencana DR. Rudy Pramono / Sosiologi Bencana Ir. B. Wisnu Widjaja, M.Sc / Geologi dan Kesiapsiagaan Bencana DR. Ir. Agus Wibowo / Database & GIS Ir. Neulis Zuliasri, M.Si / Teknologi Informasi Mitra Bestari: Prof. DR. Zainuddin Maliki, MSi Prof. DR. Sudibyakto Pelaksana Redaksi: Teguh Harjito, Dian Oktiari, Linda Lestari, Ario Akbar Lomban, Suprapto, Sri Dewanto Edi P., Nurul Maulidhini, Ratih Nurmasari, Theopilus Yanuarto, Andri Cipto Utomo, Ignatius Toto Satrio Alamat Redaksi: Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Jln. Ir. H. Juanda, Nomor 36 Jakarta 10120 Indonesia Telp. 021-3458400; Fax. 021-34558500, Email :
[email protected]
Foto Cover : Panen Erupsi - Ferdy Siregar (Finalis Lomba Fotografi Tahun 2014)
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya, sehingga penerbitan Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Volume 5 Nomor 2 pada bulan Oktober 2014 ini dapat diselesaikan. Upaya penanggulangan bencana terus berkembang seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan peradaban manusia. Ilmu pengetahuan senantiasa memberikan pemahaman dan wawasan kepada masyarakat akan pentingnya kesadaran dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Melalui jurnal ilmiah ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat Indonesia menuju bangsa yang tanggap, tangkas dan tangguh menghadapi bencana. Materi jurnal dalam edisi ini, menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan seluruh fase kebencanaan. Pengaruh Alterasi Hidrotermal Terhadap Kestabilan Lereng dan Mekanisme Gerakan Tanah Daerah Patuhawati, Provinsi Jawa Barat mengawali materi dalam jurnal ini. Materi berikutnya menyampaikan hal mengenai Socio-Economic Impacts of Natural Disaster on The Education Sector : A Case Study of Indonesia diikuti materi Tingkat Kerentanan Bencana Banjir Sungai Citarum Kecamatan Batujaya Kabupaten Karawang. Masalah Kepemerintahan Bencana dibahas dalam Kepemerintahan Bencana di Sumatera Barat, sehingga diharapkan dapat menjadi salah satu solusi dalam pengambilan kebijakan secara bijak bagi masyarakat yang terimbas bencana. Pada jurnal edisi kali ini juga menyajikan Penerapan Teknologi Modifikasi Cuaca untuk Mengatasi Kabut Asap Akibat Kebakaran Lahan dan Hutan di Provinsi Kalimantan Selatan Oktober 2012. Dan terakhir membahas tentang Analisis Kerentanan Sosial dan Ekonomi dalam Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Kabupaten Bengkalis di Provinsi Riau. Pada kesempatan ini juga kami atas nama dewan redaksi jurnal dialog penanggulangan bencana mengundang para ahli penanggulangan bencana, akademisi maupun masyarakat untuk berpartisipasi mengisi makalah ilmiah pada penerbitan jurnal edisi selanjutnya. Bagi para tim redaksi jurnal dialog penanggulangan bencana serta pihak yang turut membantu dalam edisi kali ini, kami mengucapkan terima kasih. Tim Penyusun
i
JURNAL DIALOG PENANGGULANGAN BENCANA Volume 5, No. 2, Oktober 2014 DAFTAR ISI Kata Pengantar ................................................................................................................... Daftar Isi ..............................................................................................................................
i ii
Pengaruh Alterasi Hidrotermal Terhadap Kestabilan Lereng dan Mekanisme Gerakan Tanah Daerah Patuhawati, Provinsi Jawa Barat I Putu Krishna Wijaya ........................................................................................................
65-77
Socio-Economic Impacts of Natural Disaster on The Education Sector: A Case Study of Indonesia Aries Setiadi ......................................................................................................................
78-86
Tingkat Kerentanan Bencana Banjir Sungai Citarum di Kecamatan Batujaya Kabupaten Karawang Tri Widodo ..........................................................................................................................
87-103
Kepemerintahan Bencana di Sumatera Barat Anita Afriani Sinulingga, Apriwan, Haiyyu Darman Moenir ........................................... 104-114 Penerapan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) untuk Mengatasi Kabut Asap Akibat Kebakaran Lahan dan Hutan di Provinsi Kalimantan Selatan Oktober 2012 Djazim Syaifullah .............................................................................................................. 115-127 Analisis Kerentanan Sosial dan Ekonomi dalam Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau Eko Ahmad Riyanto .......................................................................................................... 128-140
ii
PENGARUH ALTERASI HIDROTERMAL TERHADAP KESTABILAN LERENG DAN MEKANISME GERAKAN TANAH DAERAH PATUHAWATI, PROVINSI JAWA BARAT I Putu Krishna Wijaya Staf Pengajar Teknik Geofisika, FTSP, ITS, Kampus ITS, Sukolilo, Surabaya, 60111, E-mail:
[email protected] Abstract Landslide disaster that occured in Dewata Tea Plantation has killed 70 people and more than 50 houses buried. This research project located at Patuhawati area which has a high susceptibility and vulnerability hazard. Most of Patuhawati area are covered by volcanic material of Mount Patuha that have been altered by intensive hydrothermal alteration. This research is carried out to explain about the influences of hydrothermal alteration to slope stability and the mechanism of landslide in such geologic condition. Research methods consist of several stages. First step are preparing and collecting all secondary data which relate to the research topic, and the second is collecting the primary data by conducting some detail surface mapping, such as observing and measuring the slope of morphology, litology, landslide point scarp, alteration zone, geological structure and land use. The third stage is conducting several laboratory analysis of soil engineering properties, XRD and petrography. AHP method is used as data analysis. As a semi quantitative method, AHP analysis is conducted by give some variation of weight value on matrix comparison to understand the most influence factor that controlling landslide. The result show that hydrothermal alteration factor is 2,68 times more influential than geological engineering, morphology, and structural geology factor, and 7,03 times more important than landuse factor. Each sub parameter is given score between 1-3 as their influence to landslide. Susceptibility weighted value then multiple by sub parameter score to conduct susceptibility map by using spatial analysis (weighted overlay) in ArcGIS. The verification result show that the most susceptible zone has the highest number of landslide point. The second conclusion is argilic alteration gives more influence than sub propilitic alteration to controlling landslide. It happens because of physical properties of clay mineral of argilic which is decreasing shear strength of slope material. Mechanism of landslide in Cicacing is rotational landslide where high level of rain fall infiltration as a main triggering factor, beside the earthquake. Keywords : Hydrothermal alteration, argilic alteration, landslide mechanism.
1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Salah satu wilayah di Indonesia yang sering mengalami bencana gerakan tanah adalah Provinsi Jawa Barat. Dari data survei Pengaruh Alterasi Hidrotermal ... (I Putu Krishna Wijaya)
yang dilakukan pada tahun 2005 hingga 2007 tercatat telah terjadi bencana longsor sebanyak 44 kali pada tahun 2005, 98 kali pada tahun 2006 dan 77 kali pada tahun 2007. Bencana longsoran yang terjadi di daerah Perkebunan Teh Dewata pada tanggal 23 Februari 2010, berada tidak jauh dari lokasi penelitian 65
dengan susceptibility dan vulnerability hazard yang relatif sama. Berdasarkan data sumber PUSDALOPS BNPB, tercatat sedikitnya 70 orang tewas dan menimbun 50 rumah, begitu juga dengan bangunan pabrik dan fasilitas yang dimiliki. Untuk mencegah terjadinya kerugian sosial ekonomis akibat bencana yang serupa maka penelitian yang berkaitan dengan bencana gerakan tanah sangat penting untuk dilakukan. 1.2. Tujuan Penelitian Maksud dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh alterasi hidrotermal terhadap gangguan kestabilan lereng. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk : 1. Membandingkan pengaruh faktor alterasi hidrotermal dengan keempat faktor pengontrol gerakan tanah yang lain (kelerengan, geologi teknik, struktur geologi, dan tata guna lahan) terhadap terjadinya gerakan tanah dengan menggunakan metode AHP. 2. Mengetahui tipe alterasi hidrotermal yang berpengaruh terhadap perubahan sifat keteknikan pada lereng di daerah penelitian. 3. Memprediksi mekanisme gerakan tanah akibat proses alterasi hidrotermal. 2.
Metodologi
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Laporan Penelitian 3.1.1. Kondisi Morfologi Daerah Penelitian
Tahapan penelitian meliputi pra-lapangan, lapangan dan pasca lapangan. Sebelum dilakukan pengamatan lapangan, maka didahului dengan analisis data sekunder yang didapatkan melalui pustaka, jurnal, prosiding dan sumber lain yang terkait dengan judul penelitian. Data dan sampel yang didapatkan dari hasil observasi lapangan kemudian diuji laboratorium berupa analisa geologi teknik untuk mengetahui sifat indeks tanah. Analisa XRD dan analisa petrografi untuk mengetahui komposisi dan litologi penyusun dan tingkat alterasi yang terjadi pada daerah penelitian. Hasil analisa laboratorium dan pengamatan lapangan kemudian dikombinasikan sehingga 66
dihasilkan peta kelerengan, peta geologi, peta struktur geologi, peta geologi teknik, peta zona alterasi hidrotermal, dan peta tata guna lahan. Untuk mengetahui pengaruh alterasi hidrotermal terhadap terjadinya gerakan tanah dibandingkan dengan faktor pengontrol yang lain, maka digunakan analisis AHP. Melalui analisis AHP tersebut maka didapatkan nilai bobot pada tiap-tiap parameter (alterasi hidrotermal, kelerengan, geologi teknik, struktur geologi, dan tata guna lahan). Selanjutnya dilakukan scoring pada setiap sub parameter, kemudian mengalikannya dengan nilai bobot pada tiap parameter sehingga dengan bantuan software ArcGIS, spatial analyst (weighted overlay) dapat dihasilkan peta kerentanan gerakan tanah. Dengan metode-metode ini diharapkan mampu menjawab hipotesa bahwa alterasi hidrotermal sebagai faktor terpenting yang menyebabkan gangguan kestabilan lereng. Hasil analisa kelima faktor pengontrol gerakan tanah tersebut ditambah analisa curah hujan sebagai faktor pemicu terjadinya gerakan tanah diharapkan mampu menjelaskan mekanisme terjadinya gerakan tanah di daerah penelitian.
Pengklasifikasian satuan geomorfologi pada daerah pemetaan didasarkan atas aspek morfometri yang memperhitungkan sudut lereng. Perhitungan kemiringan lereng (morfometri) dilakukan secara langsung di lapangan. Kemiringan lereng juga bervariasi antara kurang dari 10° hingga lebih dari 40° sehingga dapat dibagi menjadi empat satuan morfologi yaitu satuan lereng landai (kemiringan ≤ 10°), lereng agak curam (10° < kemiringan ≤ 20°), curam (20° < kemiringan ≤ 40°), dan lereng sangat curam (kemiringan > 40°) (Gambar 1). Satuan lereng landai memiliki 2 titik longsoran, satuan lereng agak curam 9
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 65-77
titik longsoran, satuan lereng curam 18 titik longsoran dan satuan sangat curam 9 titik longsoran.
Gambar 1. Peta kelerengan daerah penelitian
b. Satuan Lava Andesit Piroksen Satuan lava andesit piroksen tersingkap di sepanjang Sungai Ci Sintok dengan arah tenggara – barat laut. Secara megaskopis andesit piroksen berwarna hitam, tekstur porfiroafanitik, massa dasar berupa mineralmineral mafik dan fenokris berupa piroksen (melimpah) dan plagioklas dengan ukuran sedang - kasar (sedikit melimpah). Secara petrografi berwarna abu-abu kecoklat- coklatan, porfiritik, hipidiomorfik granular, hipokristalin, ukuran kristal <0,03 mm–1,5 mm, komposisinya terdiri dari plagioklas yang melimpah, piroksen agak melimpah dan mineral opak dan gelas vulkanik yang kurang melimpah (Gambar 3).
3.1.2. Kondisi Geologi Daerah Penelitian. Litologi daerah penelitian tersusun atas formasi Qv (pJ), yang terdiri atas lava dan lahar Gunung Api Patuha. a. Satuan Lava Andesit Hornblenda Satuan ini memanjang dengan arah timur-laut barat daya, di sepanjang daerah timur Sukasari–Patuhawati–hingga Curug Cayunan. Lava andesit hornblenda ini juga tersingkap pada beberapa titik di daerah Bedengtilu. Secara megaskopis lava andesit hornblenda berwarna abu-abu kehitaman, memiliki tekstur porfiroafanitik, dengan fenokris berukuran (1 mm – 3 mm) dan massa dasarnya berukuran halus - sangat halus < 0,05 - 0,5 mm bentuk kristalnya subhedra. Fenokrisnya berupa plagioklas, hornblenda dan piroksen, sedangkan massa dasarnya berupa mineral mafik dan pecahan plagioklas (Gambar 2).
Gambar 2. Fenokris hornblenda pada lava andesit hornblenda Pengaruh Alterasi Hidrotermal ... (I Putu Krishna Wijaya)
Gambar 3. Fenokris piroksen pada lava andesit piroksen
c. Breksi Andesit Breksi andesit memiliki pelamparan yang sangat luas hampir melingkupi keseluruhan daerah penelitian yang sebagian besar telah melapuk menjadi tanah dengan ketebalan yang bervariasi antara 5-25 m. Breksi andesit tersebar dalam satuan aliran piroklastik Bedengtilu, satuan aliran piroklastik Patuhawati, satuan aliran piroklastik Alkateri. Terminologi piroklastik merupakan istilah di dalam suatu endapan vulkaniklastik eksplosif. Piroklastik merupakan istilah yang digunakan pada agregate atau sekumpulan partikel yang terbentuk oleh aktivitas vulkanik eksplosif yang kemudian terendapkan oleh proses transportasi segera setelah aktivitas tersebut terjadi (Cas and Wright, 1987).
67
metode analisa, yaitu analisa XRD dan analisa petrografi. Analisa XRD menggunakan dua tipe pengujian yaitu analisa bulk dan analisa lempung (clay analysis). Analisa XRD dilakukan pada tujuh titik pengambilan sampel yang tersebar pada masing – masing satuan litologi. Sedangkan analisa petrografi digunakan untuk mengetahui origin dari sampel yang telah teralterasi.
Gambar 4. Peta geologi daerah penelitian
a. Zona Alterasi Argilik Penciri alterasi argilik berupa terbentuknya mineral lempung dalam batuan akibat proses hidrolisis yang cukup intensif, berupa kaolin (haloisit, kaolinit, dickit) dan ilit, smektit, interlayer illite-smectite, serta asosiasi kumpulan mineral transisi yang terbentuk pada pH rendah–sedang (5-6) dan suhu rendah (kurang dari 200°C hingga 2.500°C). Jumlah titik longsor pada zona alterasi argilik adalah 19 titik longsoran.
Gambar 5. Penampang geologi A-B
3.1.3. Zona Alterasi Daerah Penelitian Aktivitas hidrothermal mengakibatkan terjadinya proses alterasi hidrotermal di sepanjang zona struktur yang telah berkembang sebelumnya melalui bidang kekar dan sesar. Air meteorik yang jatuh dan terinfiltrasi kemudian mengalami pemanasan dari sumber panas geothermal. Air selanjutnya bergerak ke atas kembali, melalui celah yang ada kemudian mengubah komposisi batuan yang ada di atasnya yaitu batuan berumur kuarter hasil material erupsi Gunung Patuha berupa lava andesit hornblenda, lava andesit piroksen, dan breksi piroklastik. Berdasarkan kumpulan mineralnya (mineral assemblage), daerah penelitian terbagi menjadi dua zona alterasi, yaitu argilik dan sub-propilitik. Untuk menentukan tipe alterasi tersebut digunakan dua pendekatan 68
Gambar 6. Singkapan batuan teralterasi argilik di Sungai Ci-Sintok
b. Zona Alterasi Sub-Propilitik Zona alterasi sub-propilitik terdiri atas kelompok mineral klorit hingga zeolit. Alterasi sub - propilitik umumnya berlangsung pada temperatur yang rendah dan pada pH yang asam. Kumpulan mineral yang sering dijumpai pada zona alterasi ini adalah; klorit, klorit/ smektit, silika, kalsedon, kuarsa, actinolite/ albite, karbonat (Ca, Mg,Mn,Fe).
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 65-77
Jumlah titik longsor pada zona alterasi sub - propilitik adalah 13 titik longsoran.
Gambar 7. Peta alterasi hidrotermal daerah penelitian
3.1.5. Kondisi Geologi Teknik Daerah Penelitian Daerah penelitian tersusun atas endapan vulkaniklastik berupa lava andesit hornblenda, lava andesit piroksen, breksi piroklastik yang sebagian besar berada dalam kondisi melapuk dan telah berubah menjadi soil dengan ketebalan yang bervariasi. Berdasarkan ukuran butir tanah dan genesanya, daerah penelitian dibagi menjadi lima satuan, yaitu: 1. Satuan pasir-lempungan residual vulkanik. 2. Satuan pasir-lempungan koluvial. 3. Satuan lempung-pasiran residual vulkanik. 4. Satuan lempung-pasiran koluvial. 5. Satuan bongkah pasiran.
3.1.4. Kondisi Struktur Geologi Daerah Penelitian Struktur geologi merupakan salah satu parameter yang menentukan zona kerentanan gerakan tanah. Data struktur geologi berdasarkan data lapangan sedangkan penentuan kelurusan dibantu oleh citra satelit. Struktur geologi berupa sesar dekstral diperkirakan berada di daerah Patuhawati. Sedangkan pola kelurusan menunjukkan arah Timurlaut - Baratdaya dan Baratlaut - Tenggara. Zona struktur geologi pada daerah penelitian dibagi menjadi dua zona yaitu zona 0 - 300 m, yang merupakan zona yang paling berpengaruh terhadap terjadinya gerakan tanah, dan zona > 300 m yang merupakan zona kurang berpengaruh. Titik gerakan terbanyak terdapat pada zona 0 - 300 m, yaitu sebanyak 27 titik.
Gambar 8. Peta struktur geologi daerah penelitian
Pengaruh Alterasi Hidrotermal ... (I Putu Krishna Wijaya)
Gambar 9. Peta geologi teknik daerah penelitian
3.1.6. Tata Guna Lahan Daerah penelitian memiliki beberapa bentuk penggunaan lahan, yaitu perkebunan, hutan lindung, semak belukar, ladang, dan pemukiman. Masing-masing penggunaan lahan memiliki dampak tersendiri terhadap kondisi kestabilan lereng. a. Perkebunan Perkebunan merupakan penggunaan lahan yang paling dominan di daerah penelitian, dengan luas pelamparan 68,9%. Tercatat terdapat 16 titik gerakan tanah dan 10 titik yang berpotensial untuk terjadinya gerakan tanah. Terdapat 6 buah longsoran bertipe creeping, 5 buah longsoran translasional, dan 6 buah longsoran rotasional. 69
b. Pemukiman Pemukiman hanya tersebar pada beberapa titik dari seluruh daerah penelitian terutama pada daerah satuan morfologi landaiagak curam. Terdapat dua titik longsoran pada satuan pemukiman ini. c. Hutan Lindung dan Semak Belukar Hutan lindung merupakan tata guna lahan yang kurang rentan terhadap terjadinya gerakan tanah. Hal ini didukung oleh tanaman yang berkembang pada satuan hutan lindung lebih banyak berupa tanaman berakar tunggang dan dalam. Hutan lindung memiliki pelamparan yang cukup luas yaitu sekitar 21,1%. Pada masing-masing satuan ini terdapat dua titik longsoran.
Gambar 11. Peta tata guna lahan daerah penelitian
3.2. Artikel Ulasan 3.2.1. Pengaruh Alterasi Hidrotermal Terhadap Terjadinya Gerakan Tanah Dibandingkan Dengan Faktor-faktor Pengontrol Gerakan Tanah Yang Lain. Aktivitas hidrothermal Patuha mengakibatkan terjadinya proses alterasi hidrotermal di sepanjang zona stuktur yang telah berkembang sebelumnya melalui bidang kekar dan sesar. Air meteorik yang jatuh dan terinfiltrasi kemudian mengalami pemanasan dari sumber panas geothermal. Air selanjutnya bergerak ke atas kembali, melalui celah-celah yang terbentuk kemudian mengubah komposisi batuan yang ada di 70
atasnya yaitu batuan berumur kuarter hasil material erupsi Gunung Patuha berupa lava andesit hornblenda, lava andesit piroksen, dan breksi piroklastik. Alterasi hidrotermal yang berlangsung intensif melalui zona patahan dan kekar mampu menghasilkan soil yang tebal. Mineral yang terbentuk sebagai hasil aktivitas hidrotermal ini sebagian besar berupa mineral lempung yang memiliki tingkat swelling index yang tinggi, seperti smektit, dan mixed layer I/S. Kondisi soil yang cukup tebal dan menumpang di atas zona alterasi mineral lempung yang lebih kedap air akan mengakibatkan air yang meresap ke dalam tanah sulit menembus lapisan alas di bawahnya dan hanya terakumulasi dalam tanah yang relatif gembur. Kontak antara lapisan breksi andesit dan lava andesit yang teralterasi menjadi mineral lempung (impermeable) dengan massa tanah di atasnya yang lebih permeable akan menjadi suatu bidang gelincir gerakan tanah. Faktor alterasi hidrotermal bukan satusatunya faktor yang mengontrol terjadinya gerakan tanah di daerah penelitian. Berdasarkan interpretasi dan pengamatan lapangan terdapat beberapa faktor lain yang turut mengontrol terjadinya gerakan tanah, diantaranya faktor kelerengan, geologi teknik, struktur geologi dan tata guna lahan. Faktor litologi tidak disertakan dalam analisis faktor pengontrol yang paling berpengaruh terhadap terjadinya gerakan tanah, karena sebagian besar batuan di daerah penelitian berada pada kondisi lapuk-sangat lapuk. Sehingga faktor geologi teknik dianggap lebih tepat digunakan untuk menggambarkan kondisi sesungguhnya di lapangan. Untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap terjadinya gerakan tanah diperlukan analisis AHP, karena level of importance-nya bersifat hipotetis atau subyektif. Langkah awal yang harus diakukan adalah melakukan variasi pemberian nilai pada tahap pertama (matriks perbandingan berpasangan), sehingga didapatkan beberapa alternatif nilai bobot peta parameter. Selanjutnya dilakukan analisis rasio
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 65-77
konsistensi yang berfungsi untuk memeriksa konsistensi dalam penentuan pembobotan. Analisis konsistensi bertujuan mencari nilai rasio konsistensi (Consistency Ratio/CR). Nilai CR dapat dikoreksi melebihi 10%. Jika nilai CR lebih dari 0,10, maka perlu dilakukan pertimbangan kembali terhadap pemberian skala pada matriks. Untuk mendapatkan nilai CR terkecil, maka dilakukan beberapa variasi pemberian nilai matriks perbandingan berpasangan. Semakin kecil nilai CR, maka akan semakin meningkatkan nilai konsistensi. Sesuai
pengamatan lapangan dan interpretasi, maka nilai parameter alterasi hidrotermal dan struktur geologi diberikan nilai tertinggi secara bergantian dan diberikan nilai yang sama. Variasi yang lain adalah memberikan nilai yang sama kepada faktor struktur geologi, alterasi hidrotermal, geologi teknik, kelerengan atau memberikan nilai lebih pada salah satunya dan memberikan nilai terkecil pada faktor tata guna lahan. Tabel di bawah ini memperlihatkan beberapa alternatif nilai bobot peta parameter.
Tabel 1. Matriks Timbal Balik dan Normalisasi Parameter
Alterasi Hidrotermal
Struktur Geologi
Geologi Teknik
Kelerengan
Tata Guna Lahan
Alterasi Hidrotermal
1.00
3.00
3.00
3.00
5.00
15.00
Struktur Geologi
0.33
1.00
1.00
1.00
3.00
6.33
Geologi Teknik
0.33
1.00
1.00
1.00
3.00
6.33
Kelerengan
0.33
1.00
1.00
1.00
3.00
6.33
Tata Guna Lahan
0.20
0.33
0.33
0.33
1.00
2.19
Jumlah
2.19
6.33
6.33
6.33
15.00
36.18
Jumlah
Matriks Ternormalisasi Parameter
Alterasi hidrotermal
Struktur Geologi
Geologi Teknik
Kelerengan
Tata Guna Lahan
Jumlah
Nilai Prioritas
Alterasi Hidrotermal
0.46
0.47
0.47
0.47
0.33
2.21
44.24%
Struktur Geologi
0.15
0.16
0.16
0.16
0.20
0.82
16.49%
Geologi Teknik
0.15
0.16
0.16
0.16
0.20
0.82
16.49%
Kelerengan
0.15
0.16
0.16
0.16
0.20
0.82
16.49%
Tata Guna Lahan
0.09
0.05
0.05
0.05
0.07
0.31
6.29%
Jumlah
1.00
1.00
1.00
1.00
1.00
5.00
100.0%
lambda max 5.0438 consistency index (CI) 1.10% consistency ratio (CR) 0.98%
Pengaruh Alterasi Hidrotermal ... (I Putu Krishna Wijaya)
71
Berdasarkan tabel-tabel matriks timbal-balik dan ternormalisasi di atas nilai CR terkecil atau yang memiliki rasio nilai konsistensi terbaik adalah pada Tabel 1, dengan nilai CR < 1%, yaitu 0.98 %. Pada tabel 1, masing-masing nilai parameter diberi skala terhadap parameter lainnya. Parameter alterasi hidrotermal mendapat skala sedikit lebih penting (3) terhadap parameter struktur geologi, geologi teknik, kelerengan dan skala lebih penting (5) terhadap parameter tata guna lahan. Karena nilai CR (0.98%) maka nilai rasio konsistensi ini masuk kedalam batasan toleransi nilai rasio konsistensi yang maksimal 10%, oleh karena itu hasilnya dapat diterima. Berdasarkan normalisasi bobot parameter pada tabel 1, diketahui bahwa parameter alterasi hidrotermal 2,68 kali lebih berpengaruh terhadap terjadinya gerakan tanah dibandingkan faktor struktur geologi, geologi teknik dan kelerengan, dan 7,03 kali lebih penting dibandingkan parameter tataguna lahan. Tabel 2. Perbandingan bobot parameter ternormalisasi pada alterasi hidrotermal terhadap keempat parameter yang lain alterasi hidrotermal : struktur geologi, geologi teknik, dan kelerengan
2,68
alterasi hidrotermal : tata guna lahan
7,03
3.2.2. Pembuatan Peta Kerentanan Gerakan Tanah Parameter yang mempengaruhi penilaian zona kerentanan gerakan tanah berdasarkan tinggi rendahnya bobot parameter pada tabel 1 adalah (alterasi hidrotermal 44,24%, struktur geologi, geologi teknik, kelerengan 16,49% dan tata guna lahan 6,29%. Kemudian dilakukan penentuan nilai-nilai (pembobotan) masingmasing kelas pada tiap parameter. Penentuan nilai dilakukan secara subyektif didukung oleh masukan dari data sekunder dan sebaran titik gerakan massa yang ditampalkan pada setiap peta parameter. Nilai yang diberikan 72
menunjukkan seberapa besar pengaruh parameter tersebut terhadap pergerakan tanah. Nilai skor yang digunakan mulai dari 1 (satu) sampai 3 (tiga), sesuai dengan ketentuan penilaian/skoring pada peraturan menteri pekerjaan umum No. 22/PRT/M/2007. Semakin tinggi nilai skor akan semakin tinggi pula pengaruh parameter tersebut terhadap kerentanan gerakan tanah. 3.2.2.1.Penentuan Nilai Kelas-kelas pada Masing- masing Parameter A.
Alterasi Hidrotermal.
Gerakan tanah terbanyak terjadi pada zona alterasi argilik dan zona alterasi subpropilitik. Zona alterasi argilik memiliki jumlah titik longsoran yang lebih tinggi dibandingkan zona alterasi sub-propilitik. Hal ini mempengaruhi skor masing-masing kelas di dalam parameter alterasi hidrotermal. Sehingga zona alterasi argilik memiliki skor 3, sub propilitik 2, dan non alterasi 1. B.
Struktur Geologi.
Gerakan tanah cenderung terjadi pada zonastruktur geologi 0 - 300 m. Hal ini terlihat dari jumlah titik longsoran. terbanyak terdapat pada satuan ini, yaitu sebanyak 27 titik longsoran, sedangkan zona > 300 m hanya memiliki 11 titik longsoran. Pembuatan zona-zona tersebut menjelaskan bahwa semakin ke bagian tengah zona struktur, maka akan semakin banyak retakan yang terjadi. Semakin banyak retakan maka akan menghasilkan zona lemah yang lebih rentan terhadap terjadinya gerakan tanah. Sehingga nilai skoring pada zona 0 - 300 m (3) sedangkan > 300 m (1). C.
Geologi Teknik
Pemilihan penggunaan parameter geologi teknik dibandingkan parameter geologi, karena sebagian besar litologi di daerah penelitian berada dalam kondisi melapuk, sehingga material yang bergerak didominasi oleh material tanah. Jenis satuan geologi teknik yang paling berpotensi terhadap terjadinya
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 65-77
gerakan tanah adalah satuan lempung pasiran residual vulkanik dan satuan pasir lempungan residual vulkanik, sehingga mendapatkan skor 3. Satuan pasir lempungan koluvial mendapatkan skor 2, sedangkan satuan lempung pasiran koluvial dan satuan bongkah pasiran mendapatkan skor 2. D.
Kelerengan
Gerakan tanah cenderung terjadi pada kelas lereng 10° < kelerengan ≤ 20° dan 20° < kelerengan ≤ 40°. Hal ini mempengaruhi skor masing-masing kelas di dalam parameter kelerengan. Kelas lereng landai mendapatkan skor 1. Kelas lereng agak curam mendapatkan skor 2. Kelas lereng curam mendapatkan skor 3 sedangkan satuan lereng sangat curam mendapatkan skor 2. E.
Tata Guna Lahan
Berdasarkan jumlah persebaran longsor dapat diketahui bahwa kecenderungan terjadinya gerakan tanah pada satu jenis tata guna lahan, yaitu perkebunan. Sub parameter perkebunan memiliki jumlah titik longsoran tertinggi dibandingkan sub parameter yang lain. Hal ini mempengaruhi skor masing-masing kelas di dalam parameter tata guna lahan. Sehingga sub parameter perkebunan mendapatkan skor 3, hutan lindung 2, pemukiman dan semak belukar masing- masing 1. Nilai skor pada masing-masing sub parameter kemudian dikalikan dengan nilai bobot parameter, dalam analisa spasial (weighted overlay) dengan software ArcGIS.
Gambar 11. Peta keretanan daerah penelitian
Pengaruh Alterasi Hidrotermal ... (I Putu Krishna Wijaya)
3.2.3. Verifikasi Proses verivikasi dilakukan dengan menampalkan peta kerentanan gerakan tanah yang telah dibuat terhadap sebaran titik gerakan tanah (Gambar 11). Zona kerentanan sangat tinggi memiliki sebaran titik longsor yang paling banyak. Kemudian zona kerentanan tinggi dengan 28 titik longsoran dan zona kerentanan tingkat sedang memiliki 5 titik longsoran. Hal ini sesuai dengan dasar teori bahwa semakin tinggi tingkat kerentanan suatu daerah maka akan semakin rentan untuk terjadinya longsor. 3.2.4. Jenis Alterasi yang Lebih Berpengaruh Terhadap Terjadinya Gerakan Tanah. Seperti dijelaskan sebelumnya pada bab pengutaraan data, jenis alterasi hidrotermal terbagi menjadi dua jenis, yaitu tipe alterasi argilik dan tipe alterasi sub propilitik. Pengklasifikasian ini berdasarkan kumpulan mineralnya (mineral assemblage), menggunakan analisa XRD dan analisa petrografi. Analisa XRD menggunakan dua tipe pengujian yaitu analisa bulk dan analisa lempung (clay analysis). Zona alterasi argilik di daerah penelitian terdiri atas mineral smektit, interlayer illitesmectite, kaolinit, haloisit, kristobalit dan kuarsa. Mineral smektit termasuk ke dalam kelompok mineral montmorilonit, umumnya berukuran sangat halus dan komponen dalam lapisannya tidak terikat kuat. Jika bersentuhan dengan air maka ruang di antara lapisan mineral mengembang sehingga menyebabkan volume tanah berlipat ganda. Mineral haloisit bersifat plastis jika basah dan retak jika kering. Haloisit juga memiliki kemampuan mengembang bila terkena air. Karakteristik mineral-mineral lempung penciri alterasi argilik tersebut menyebabkan penurunan kuat geser pada lereng sehingga lebih rentan untuk terjadinya gerakan tanah. Hal ini terlihat dari jumlah titik longsor yang lebih banyak daripada jumlah titik longsor di zona alterasi sub propilitik, yaitu sebanyak 19 titik longsoran berbanding 13 titik longsor. Zona sub propilitik di daerah penelitian 73
terdiri atas mineral mixed layer C/S, mixed layer I/S, mordenit, kristobalit, dan kuarsa. Mineral klorit dibentuk oleh satu lembaran aluminium oktahedral yang terikat di antara dua lembaran silika tetrahedron. Lapisan tersebut bersifat menerus dan membentuk tiga susunan, dimana satu lapisan dasar mempunyai tebal 14Å, sehingga air susah menembus lapisan ini. Ilit terbentuk oleh satu lembaran aluminium oktahedral yang terikat di antara dua lembaran silika tetrahedron. Lembaran aluminium dan silika terikat oleh ikatan lemah ion kalium. Ikatan dengan ion kalium (K+) lebih lemah daripada ikatan hidrogen pada kaolinit, tetapi lebih kuat daripada ikatan ion pada montmorilonit, sehingga ilit lebih sukar mengembang dibandingkan kaolinit. Berdasarkan karakteristik mineral-mineral lempung tersebut maka penurunan kuat geser pada zona alterasi sub propilitik yang lebih rendah dibandingkan alterasi argilik. Hal ini juga terlihat dari jumlah titik longsor pada zona alterasi sub propilitik yang berjumlah 13 titik longsor, sedangkan zona alterasi argilik berjumlah 19 titik longsor. 3.2.5. Mekanisme Terjadinya Gerakan Tanah di Daerah Cicacing Longsor yang terjadi di daerah Cicacing merupakan integrasi dari faktor alterasi hidrotermal, struktur geologi, geologi teknik, kelerengan dan tata guna lahan. Sesuai dengan hasil analisis AHP pada matriks perbandingan, faktor alterasi hidrotermal merupakan faktor yang lebih berperan dibandingkan empat pengontrol gerakan tanah yang lain. Daerah Cicacing terletak pada zona alterasi argilik yang kaya akan mineral lempung berjenis haloisit dan kaolinit. Haloisit merupakan mineral yang terbentuk dari alterasi hidrotermal atau pelapukan dari mineral alumino silikat seperti feldspar yang sering dijumpai pada batuan vulkanik. Haloisit memiliki bentuk elongate atau fibrous sehingga permeabilitasnya lebih tinggi dibandingkan mineral lempung lain yang memiliki bentuk platy. Haloisit dibedakan dari kaolinit (2SiO2.Al2O3.2H2O) dari sifatnya yang mengembang bila menyerap air. Haloisit 74
bersifat plastis jika basah dan retak-retak pada saat kering. Karakteristik dari haloisit yang memiliki permeabilitas yang tinggi serta bersifat mengembang bila terkena air akan menjadi bidang gelincir saat terjadinya gerakan tanah. Daerah Cicacing berada pada zona struktur 0 - 300 m, dan berada pada zona sesar geser dekstral sehingga dihasilkan banyak kekar-kekar gerus yang justru akan melemahkan kekuatan geser tanah maupun batuan. Selain itu, zona kekar dan retakan ini merupakan jalur masuk air ke dalam lereng. Apabila semakin banyak air masuk melewati retakan atau kekar tersebut, maka tekanan air juga akan semakin meningkat sehingga dengan mudah tekanan air ini akan menggerakkan lereng melalui jalur tersebut. Kondisi kelerengan daerah Cicacing berada pada kemiringan lereng 34° yang termasuk kedalam satuan lereng curam. Semakin curam sudut lereng (α), maka akan semakin meningkatkan tenaga penggerak dari suatu lereng (driving mass). Ketika tenaga penggerak ( W sin α) > tenaga penahan (W cos α) maka Fs (factor of safety) akan < 1, sehingga kestabilan lereng terganggu. Kondisi kemiringan lereng ini mengakibatkan terbentuknya longsoran bertipe luncuran rotasional di bagian atas dan berkembang menjadi longsoran tipe aliran di bagian bawah yang memiliki kemiringan lereng lebih landai. Kondisi geologi teknik darah Cicacing berupa tanah residual vulkanik hasil pelapukan lava dan breksi andesit dengan ketebalan mencapai 25 m dan berukuran pasir lempungan. Tanah tersebut memiliki koefisien kohesi sebesar 0,02 kg/cm2 dan sudut gesek dalam sebesar 27,02°. Faktor-faktor pengontrol tersebut menyebabkan lereng menjadi rentan untuk bergerak dan ketika faktor pemicu berupa infiltrasi air hujan hadir dalam intensitas yang tinggi pada bulan februari 2010 mencapai 944,5 mm dalam 25 hari, sehingga membuat lereng berada pada kondisi kritis dan pada saat terlampaui (Fs < 1) akhirnya akan terjadi gerakan tanah. Infiltrasi air hujan ke dalam lereng merupakan faktor pemicu utama terjadinya gerakan tanah pada daerah Cicacing.
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 65-77
Faktor pemicu kedua yang kemungkinan besar mempengaruhi terjadinya gerakan tanah pada titik tersebut adalah getaran akibat adanya gempabumi. Titik longsoran yang berada pada zona struktur 0 - 300 m akan menerima getaran yang hebat pada saat terjadinya gempabumi, getaran tersebut akan menyebabkan butiranbutiran pada tanah saling menekan dan kandungan airnya akan mempunyai tekanan yang besar terhadap lapisan di atasnya. Meningkatnya tekanan air pori ini menyebabkan gaya kontak (contact forces) di antara butiranbutiran penyusun tanah berkurang. Akibat peristiwa tersebut, lapisan di atasnya akan seperti mengambang dan tidak mempunyai kekuatan sehingga dapat mengakibatkan perpindahan massa dengan cepat.
melengkung (longsoran rotasional), (Gambar 12 dan 13).
Gambar 13. Kondisi lereng di daerah Cicacing setelah terjadinya longsoran.
4.
Gambar 12. Longsoran masa lampau daerah Cicacing
Sehingga dari uraian di atas dapat diinterpretasikan bahwa pada saat awal, sebelum terdapatnya faktor pemicu tersebut, integrasi dari beberapa faktor pengontrol gerakan tanah akan membentuk potential surface failure. Ketika intensitas hujan mulai meningkat, terjadi peningkatkan tekanan air pori dalam tanah, peningkatkan berat isi tanah (peningkatan beban massa tanah), pengurangan atau penghilangan tegangan suction (tegangan hisap) di zona tidak jenuh air, yang pada akhirnya mengakibatkan pengurangan kuat geser tanah pada lereng sehingga potential surface failure tersebut mulai bergerak karena gaya penggerak lebih besar dibandingkan gaya penahannya dan membentuk surface of rupture dengan bentuk Pengaruh Alterasi Hidrotermal ... (I Putu Krishna Wijaya)
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil integrasi antara pengutaraan data dan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: Faktor alterasi hidrotermal lebih penting dibandingkan empat pengontrol gerakan tanah yang lain dalam menyebabkan terjadinya gerakan tanah di daerah penelitian. Faktor alterasi hidrotermal 2,68 kali lebih penting dibandingkan faktor struktur geologi, geologi teknik, kelerengan dan 7,03 kali lebih penting dari faktor tata guna lahan. Jenis alterasi argilik lebih berpengaruh terhadap terjadinya gerakan tanah dibandingkan jenis alterasi sub propilitik, karena karakteristik mineral penciri alterasi argilik (smektit, interlayer illite-smectite, haloisit, dan kaolinit) memiliki kemampuan yang lebih dalam mengurangi kuat geser tanah pada lereng, dibandingkan mineral penciri alterasi sub propilitik (mixed layer C/S, mixed layer I/S, kristobalit, dan kuarsa). Mekanisme gerakan tanah di daerah penelitian terbentuk dari integrasi faktor alterasi hidrotermal, struktur geologi, geologi teknik,
75
kelerengan dan tata guna lahan. Faktor pemicu longsoran berupa intensitas hujan yang tinggi saat bulan februari 2010 (944,5 mm), aktifitas manusia dan getaran. Tipe longsoran yang terjadi bertipe luncuran (slide) dan berkembang menjadi aliran (flow) di bagian bawah lereng. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih ditujukan kepada Prof. Dwikorita Karnawati, M.Sc., PhD dan Dr. Doni Prakasa Eka Putra yang banyak memberikan bantuan dan saran dalam penyelesaian penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Abbott, L.P., 2004, Natural Disasters, San Diego University, United States of America. Alhamid, I.,1989, The Resources Potential of The G. Patuha Geothermal Area, West Java, Proceedings Indonesian Petroleum Association,89-14.01. Ayalew, L., Yamagishi, H., Marui, H., and Kanno, T., 2005, Landslides In Sado Island Of Japan: Part II. GISBased Susceptibility Mapping With Comparisons Of Results From Two Methods and Verification: Elsevier, Engineering Geology 81: 432-445. Bell, F.G.,1999, Geological Hazard, Taylor & Frincise Library, New York. Bell, F.G., 2007, Engineering Geology, Elsevier, Great Britain. Bronto,S.,2006, Stratigrafi Gunung Api Daerah Bandung Selatan, Jawa Barat ,Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 2 Juni 2006: 89-101. Cas, R.A.F., dan Wright, JV., 1987, Volcanic Succession Modern and Ancient, Allen Unwin, London. Corbett dan Leach, 1998, SW Pacific Rim Au/Cu Systems; Structure, Alteration and Mineralization. Crozier, M.J.,dan Glade, T., 2004, Landslide Hazard and Risk: Issues, Concepts and 76
Approach, John Wiley and Sons, West Sussex. Gillot, J.E., 1968, Clay in Engineering Geology, Elsevier Publishing Company, Amsterdam. Hakim, M.R., dan Laya,K.P., 2006, Bandung Basins Tectonics, Stratigraphy and Geothermal Prospects Based on Water Geochemistry Analysis. Proceedings, Jakarta 2006 International Geosciences Conference And Exhibition Jakarta, SOT-09. Hardiyatmo, H.C., 2002, Mekanika Tanah I, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Highland, L.M., dan Bobrowsky, P., 2008, The Landslide Handbook-A Guide to Understanding Landslides, USGS, Virginia Jones, D.K., dan Lee, E.M., 2004, Landslide Risk Assesment, Thomas Telford, London. Karnawati, D., 2005, Bencana Alam Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Koesmono, M., Kusnama, Suwarna, N., 1972, Peta Geologi Lembar Sindangbarang & Bandarwaru, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. McPhie, J.,Doyle , M., dan Allen, R.J., 1993, Volcanic Textures, Centre of Deposit & Exploration Studies, University of Tazmania, Tazmania. Moore, D., N., dan Reynolds, R., C., 1997, X-Ray Diffraction and Identification and Analysis of Clay Minerals, Oxford University Press, Oxford. Morisson, K. 1996. Magmatic-Realated Hydrothermal System: The Basic Model. Short Course Manual. Australia. Nicholson, K., 1993, Geothermal Fluids, Chemistry and Exploration Techniques, Springer Verlag, Inc, Berlin. Pulunggono, A., dan Martodjojo, S., 1994, Perubahan tektonik Paleogen – Neogen merupakan peristiwa tektonik terpenting di Jawa, Proceeding Geologi dan Geotektonik Pulau Jawa, Nafiri,
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 65-77
Yogyakarta. Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2009, Wilayah Potensi Gerakan Tanah di Provinsi Jawa Barat bulan September 2009. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. Risyad, R. B., 2010, Pemetaan Zona tingkat Kerentanan Gerakan Tanah di Desa Girimukti Kecamatan Campaka dan Desa Cibokor Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat, Skripsi Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. (Tidak dipublikasikan). Schmincke, H-U, 2004, Volcanism, SpringerVerlag, Berlin Heidenberg, Germany Turner, Keith A., dan Schuster, Robert L., 1996, Landslide Hazard and Mitigation, National Academy of Sciences, USA. Tim KKN PPM UGM 2010 Unit 107 (Ciwidey), 2010, Modul Penanggulangan Bencana Longsor di RW 07, Desa Sugihmukti, Kecamatan Pasir Jambu, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Van Bemmelen, R.W.,1949, The Geology of Indonesia vol 1A: The Haque, General Geology Martinus Nijhof. Velde, B., 1995, Origin and Mineralogy of Clays, Springer, Berlin Heidelberg. Yalcin, A., 2007, the Effect of Clay on Landslide, Aksaray University, Turkey. Pusat
Pengaruh Alterasi Hidrotermal ... (I Putu Krishna Wijaya)
77
SOCIO-ECONOMIC IMPACTS OF NATURAL DISASTERS ON THE EDUCATION SECTOR: A CASE STUDY OF INDONESIA Aries Setiadi Master of Public Administration in Development Practice, Class of 2014 School of International and Public Affairs, Columbia University Email:
[email protected] Abstract Indonesia merupakan negara yang berada di area rawan bencana alam. Berbagai bencana alam berdampak negatif terhadap kondisi sosial dan perekonomian masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bagi sektor pendidikan, bencana memiliki dampak ganda. Seringkali sektor pendidikan bukan menjadi prioritas dalam penanganan awal bencana. Di sisi lain, fasilitas pendukung sektor pendidikan seringkali justru dimanfaatkan sebagai pendukung penanganan bencana, misalnya penggunaan sekolah sebagai tempat berlindung bagi para pengungsi. Upaya preventif mengurangi dampak bencana lebih lanjut sudah selayaknya menjadi prioritas untuk mengurangi dampak negatif sosial dan ekonomi yang lebih tinggi. Dalam sektor pendidikan, upaya preventif tersebut meliputi pengetahuan tentang risiko bencana, penyediaan area aman bagi anak, dukungan psikologis bagi guru, penyediaan area alternatif untuk tempat berlidung di luar area sekolah, dan penyediaan fasilitas pendukung pendidikan. Keywords : Dampak bencana, sosial ekonomi, pendidikan, preventif.
1.
CONTEXTUAL ANALYSIS “We cannot eliminate disasters, but we can mitigate risk. We can reduce damage and we can save more lives.”
The United Nations Secretary-General, Ban Ki Moon, states the abovementioned quote during the launch of the 2011 Global Assessment Report on Disaster Risk Reduction. Ensuring better preparedness plan undeniably reduces the costs and minimizes the unfavorable effects of natural disasters. The United Nations Development Program states that every single dollar spent on preventing and mitigating disasters saves an average of seven dollars in humanitarian disaster response (UNDP, 2012). This paper will examine the impacts of natural disasters on education sector, both its infrastructure and its system. Furthermore, the 78
paper will generate recommendations in order to reduce socio-economic impacts of natural disasters on education sector. A few case studies on the impact of natural disasters on education sector in Indonesia will be taken into account as example. Considering limited data availability, this paper uses some proximate indication on the trends and quantities in predisaster and post-disaster spending. This paper is also based on literature study of journals, working papers, and news related to the topic. Indonesia as an archipelago country comprises approximately 17,508 islands. The country’s geographic location within the boundaries of the Pacific, Eurasian, and Australian tectonic plates makes Indonesia as a site with frequent volcano eruptions and earthquakes. In addition, tsunamis, landslides, floods, and various natural disasters make Indonesia as a natural-disaster prone country. A major earthquake resulting tsunami hit Nanggroe
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 78-86
Aceh Darussalam province on December 2004. It caused over 230,000 dead or missing to date and over 500,000 displaced. Other major natural disasters in Indonesia include Yogyakarta earthquake in 2006, Pangandaran earthquake and tsunami in 2006, West Sumatra and Jambi earthquake in 2009, and Merapi volcano eruptions in 2010. Indonesia’s disaster prone areas cover 11.5 percent of the country with 67.4 percent of population could be potentially affected and in terms of socio-economic, disasters affect 62.3 percent of Indonesia’s Gross Domestic Product (GDP) at risk (de la Fuente, 2010). Taking the Aceh tsunami case as an example, total estimation of destruction and losses reached USD 4.45 billion or in equivalent of Rp 41.4 trillion (Masyrafah & McKeon, 2008). Education sector is inevitably affected by disasters. Many school infrastructures have been either deteriorated or have been destroyed by natural calamities. Furthermore, transportation systems, accessibility to schools, educational supplies, and learning processes are also hindered due to natural hazards. In the case of the 2004 Aceh tsunami, over 44,000 students as well as 2,500 teachers and education personnel were killed while 2,135 schools were damaged, including kindergartens, primary, junior and senior high schools as well as universities, and 150,000 students lost their access to proper education facilities (Brooks, 2005). On the other hand, education sector is generally not recognized as a priority in the emergency setting. No other sector consistently ranks as the least-funded sector or has a smaller share of humanitarian appeals funded (The Global Partnership for Education, 2012). In addition, the international community spends only one percent of aid on disaster preparedness, despite it is an essential investment against natural hazard impacts (UNDP, 2012). However, based on the Section 31, Article (4) of the 1945 Constitution, the Indonesian government obliges the government to allocate at least 20 percent of the state budget to the education sector. Through the Minister of Socio-Economic Impacts ... (Aries Setiadi)
Finance Decree number 238/PMK.05/2010, the government also has accommodated the concept of school rehabilitation and reconstruction due to natural disaster funded by the Education Reserve Fund (Dana Cadangan Pendidikan). The fund is a part of the 20 percent education budget, which its utilization is dedicated to provide scholarships and endowment fund for natural disaster impacts on education. Therefore, there is opportunity to tie the education in emergencies into a comprehensive policy in order to reduce the socio-economic impact of natural disasters on education sector. 2.
STAKEHOLDER ANALYSIS
The government of Indonesia has issued the Law number 24 year 2007 concerning Natural Disaster Management which emphasizes the importance of disaster risk management. Under the coordination of Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) or National Disaster Management Agency, the government also issued the National Disaster Management Plan 2010-2014 which includes policies, strategies, program priorities, and focuses of disaster management and disaster risk reduction within a five year time frame. Referring to the methodology designed by the UN Economic Commission for Latin America and the Caribbean (ECLAC) standards, there are three main aspects in assessment of a natural disaster impacts (BNPB, 2009): • Damage (direct impact) refer to the impact on assets, stock which includes final goods, goods in production, raw materials and spare parts, and property which is valued at agreed replacement unit prices. The assessment considers the level of damage whether an asset can be rehabilitated or repaired, or has been completely destroyed. • Losses (indirect impact) refer to flows that will be affected, such as production decline, reduced incomes, increased expenditures, etc., over the time period until the economy and assets are recovered. All those losses are quantified at present value as the 79
definition of the time period is critical. If a recovery process takes longer than it is expected, then losses might increase significantly. • Economic and social effects include macroeconomic and fiscal impacts; livelihood, employment and incomes; and social impacts. The analysis aims to measure the impact of the disaster on economic growth, unemployment, and poverty at national and sub-national levels. These three assessments are eventually used for the analysis on this paper. These assessments are also linked to the coordination among the stakeholders in terms of education in emergencies and risk reduction plans. Stakeholders involved in the emergency disaster include: BNPB, Parliament, The Ministry of National Planning, The Ministry of Education, The Ministry of Religion Affairs (which responsible for the Quranic schools), The Ministry of Finance, NonGovernment Organizations (NGOs), Palang Merah Indonesia (PMI), and External Donors. All of these stakeholders are interconnected and interact within the system to implement disaster management and to provide solutions to disaster problems. 3. SOCIO - ECONOMIC IMPACTS OF DISASTERS: CASE STUDIES Visible impacts of natural hazards are loss of lives, massive displacement, destruction of houses and public facility buildings, contaminated water and sanitation, food supply shortage, and disrupted road access. The indirect effects of the disasters are increased disease patterns and stress symptoms, loss of income sources, increased unemployment, and increased poverty rate. Table I depicts the matrix of socio-economic impacts of natural disaster within various sectors. In terms of education sector, the direct impacts of natural disasters are damaged class rooms and damaged school facilities. Furthermore, the indirect impacts of the 80
disaster to education sectors are loss of school information or records, closed or delayed schools, absenteeism of students and teachers, disruptions of the curricula, compromised quality of education, low enrolment rates, increased drop-outs, and even the usage of schools as shelters. School infrastructures such as classrooms, libraries, and laboratories are severely affected due to the natural disasters. In the 2006 Yogyakarta earthquake, 2,155 educational facilities were damaged or destroyed, and specifically in Bantul district, which was the most severely affected district, 949 buildings, or over 90 percent of educational infrastructures, were damaged or destroyed (BAPPENAS, 2006). This condition forced the students to delay their study. Natural disasters also affect education supplies and supporting facilities damages. During the 2009 West Sumatra earthquake, UNICEF had to provide 348 school tents that benefitted 27,840 children and provide 62 boxes of ‘School in a Box’ consisting of learning materials for 2,480 children and teaching materials for 124 teachers to support the Back-to-School Campaign. A total of 39 Early Childhood Development Kits were distributed benefitting 1,560 children in affected areas as well as 328 boxes of recreation materials that benefitted 13,120 children (UNICEF, 2010). Delays in restoring normal operations on the education sector in a post-disaster situation can have significant effects on affected students and the educational curricula. During an earthquake, on average 1.5 week of classes are suspended, while during or after a hurricane, it could reach on average 4 weeks of suspended classes (Topinka, 2005). Even though, it depends on the level of the disaster and the place where a disaster hit, but in general thousands of students and teachers can be affected with many weeks of suspended classes. Taking an example within Indonesia context, during the 2010 Merapi volcano eruption, schools were reported closed for almost two weeks (Widhiarto, 2010). It is also a common situation for public spaces and buildings to be used as emergency
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 78-86
Table 1. Matrix of Socio-economic Impacts of Natural Hazards Impacts
Monetary Direct
Nonmonetary Indirect
Direct
Indirect
Number of death. Number of injured.
Increase of diseases. Stress symptoms.
Social Households Economic Private sector : Household
Private sector : Business, Industry, Agriculture
Public service : Government service, Education, Health, Transportation, Water and Sanitation, Energy and Electricity.
Housing damaged.
Loss of income sources. Decreasing purchasing power.
Increasing poverty rate.
Infrastructures Loss of damaged: production. offices, factories, machinery, crops, etc.
Increasing unemployment.
Increasing poverty rate.
Infrastructures Loss of public damaged: class services. rooms, hospitals, buildings, roads, machinery, etc.
Increasing absenteeism in schools, increasing infectious diseases.
Increasing poverty rate.
Source: various, edited
shelters for local community until the situation safe enough to return home. Schools are often deliberately chosen to serve as shelter because they provide safe and spacious area and have water and sanitation facilities. While hosting displaced people in existing schools may appear to be an adequate solution for evacuation needs, it can have negative short-term and long-term impacts on education systems and educational continuity. Thus, school buildings play an important role in responding to and recovering from natural disasters. Relate to the economic sector, a natural disaster influences the economy in a multi-dimension way. A natural disaster damages infrastructures: buildings, factories, and machinery. It halts the economic cycle and generates loss of production. A disaster may also lead to changes in the sector’s Socio-Economic Impacts ... (Aries Setiadi)
employment rate by rendering personnel who work in the affected institutions unemployed for relatively long time periods. Eventually, it will also affect poverty rate within the impacted region. Unemployment and poverty hikes would affect the education as some parents might put education less priority when their income decreases. Inflation is also affected by the natural disaster. Limited access of supply and high demand would push the prices higher in the disaster area. For instance, due to an increase in raw materials and transport costs, the unit price of housing rises significantly from Rp 30 million to Rp 60 million at the end of the first year of reconstruction in Aceh (Masyrafah & McKeon, 2008). The government had to double its budget per new house. NGOs then faced the difficult choice of either increasing their 81
committed funds, or decreasing the number of units that they could produce. In the subsequent years, many NGOs failed to deliver on their promised units. In general context, natural disasters halt socio-economic developments. The EM-DAT of the International Disaster Database shows that various natural disasters in Indonesia within the last decade cost almost USD12.0 billion (See Table II). In 2004, 2006, and 2009, the Aceh earthquake and tsunami, Yogyakarta earthquake, and the West Sumatra earthquake consecutively generated tremendous economic loss. The Aceh tsunami losses reached USD 4.5 billion in the region. The number is equivalent to about 80 percent of Aceh’s regional gross domestic product (Masyrafah and McKeon 2008). The assessment of the pre-disaster prevention spending and post-disaster recovery expenses shows that prevention investment is beneficial. Pre-disaster spending
includes expenditures on identifying risks (risk mapping and hazard assessments), risk reduction (physical/structural works to withstand damage), risk transfer (insurance), and disaster preparedness (early warning systems and public training and awareness about risks and prevention). Post-disaster spending includes expenditures on emergency response (search and rescue operations, relief), rehabilitation, and reconstruction (repairing and reconstructing houses, commercial establishments, and public buildings). Alejandro de la Fuente (2010) found two main tendencies of disaster-related expenditures: First, total post-disaster expenditures on average exceed pre-disaster expenditures. Secondly, predisaster investments remain constant over time or display an increasing trend whereas post disaster investments are highly responsive to the occurrence of major disasters every year and thus volatile. Figure I suggests that the disaster management in Indonesia was still reactive
Table 2. Economic Impacts of Natural Disasters in Indonesia, 2004–2014 (in million USD) Disaster Type Earthquake Flood
2004
2005
2006
4,519.6
-
3,155.0
700.0
-
60.0
-
107.3
971.0
1.7
-
Mass movement wet
2007
2008
2009 2,381.0
3.5
5.0
37.9
-
-
-
Storm
-
-
-
-
-
-
Volcano
-
-
-
-
-
-
Wildfire Total
-
-
14.0
-
-
-
4,583.1
5.0
3,314.2
1,671.0
1.7
2004
2005
2006
2007
2008
-
5.9
-
130.0
78.0
-
-
3,000.0
Mass movement wet
-
-
-
-
-
46.4
Storm
-
-
1.0
-
-
-
Volcano
-
-
116.0
-
14.0
-
Disaster Type Earthquake Flood
Wildfire Total
-
-
78.0
5.9
117.0
3,130.0
399.0
413.0
2,381.0 2009 10,755.6 1,140.0
14.0
11,956.1
Source: EM-DAT : The OFDA/CRED International Data Base
82
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 78-86
Figure 1. Indonesia Pre-and Post-disaster Government Spending Source: de La Fuente, 2010
than preventive. This conclusion is drawn to the fact that post-disaster expenditures in 2006 and 2007, as the aftermath of Aceh Tsunami and Yogyakarta earthquake, were higher than the pre-disaster investment. Major natural disasters also potentially terminate economic growth. While the annual economic impact of natural disasters is estimated at 0.3 percent of GDP over the last decade, rigorous statistics exercises show that a major earthquake which occur once every 250 years could cause losses in excess of US$30 billion, that is, 3 percent of GDP of Indonesia (Mahul & Gunawan, 2011). Therefore, these finding suggest a shift in disaster management from response and recovery towards prevention. 4. EMERGENCY PREPAREDNESS: RECOMMENDATION It is critical to consider the emergency prevention as a national strategy dealing with natural disasters, than stay reactive once the hazards affect the economy. Echoing the United Nations Development Program, every one dollar of preventing and mitigating disasters Socio-Economic Impacts ... (Aries Setiadi)
saves an average of seven dollars in disaster response (UNDP, 2012). Therefore, it is very important to put a priority in disaster prevention. Measuring prevention of socio-economic impact of natural disasters on education sector in Indonesia requires a lot of effort and considerable judgment to identify spending categories across sectors and levels of government. The more advance method of the measurement and the analysis need to be implemented. In the future, the measurements of the natural disasters impacts which are critical to be taken into account include: • Assessment of the conditions before the disaster occurred; • Identification of potential effects of disaster; • Quantification of direct damage; • Valuation of direct damage; • Identification of indirect losses; • Estimation of indirect losses; • Valuation of indirect losses; • Assessment of macro-economic effects (inflation, unemployment, poverty, and economic growth). The cost-benefit analysis in this area is a comprehensive and ideal approach to monetize the socio-economic impacts. 83
Specifically in the education sector, the Minimum Standards for Education of the InterAgency Network for Education in Emergencies (INEE) provides a guideline on subjects to be covered, tools, and trainings in order to contextualize and operationalize the Standards in the field. For example, in the aftermath of the 2004 tsunami in Aceh, the International Rescue Committee and the Consortium for Assistance and Recovery towards Development in Indonesia used the INEE Minimum Standards to conduct a rapid and holistic needs assessment for emergency education and to plan a response to fill identified gaps (Anderson, Martone, Robinson, Rognerud, & Sullivan-Owomoyela, 2006). In the practical level, a budget system should consider more strategic budget allocation on education in emergencies, specifically in the prevention perspective. According to the Indonesia’s Rencana Penanggulangan Bencana Nasional (National Disaster Management Plan) 2010-2014, the government allocate Rp 368.5 billion (or in equivalent of roughly USD 33.0 million) for the research, education, and training program. The budget is only 0.6 percent of the total budget allocation of Rp 64,475.1 billion (or in equivalent of roughly USD 6.0 billion). These funds are dedicated to fund 3000 researches at 33 universities in Indonesia, implementation of technology for 14 different disasters (including the development of early warning systems), public education to increase public awareness in 33 provinces and 275 districts/cities, training of 4000 teachers, establishment of disaster preparedness for schools in 275 districts/cities, and five annual workshops on community-based disaster risk reduction (BNPB, 2010). The Education Reserve Fund exist on the educational budget should also be allocated into a prevention effort to reduce post-natural disasters impacts. For instance, the budget could be allocated into renovation of the existing school buildings which have not yet earthquake resistance. According to the Minister of Finance Decree number 238/PMK.05/2010 verse 7 point (4), it is stated that the use of reserve fund needs approval of the committee/council/ 84
national education team. It would definitely take time if the government needs such an approval and would not be able to act immediately after the disasters. Other practical programs that could be prepared to prevent education from negative effects of disasters are: 1. Risk Awareness Teaching school communities the skills and competencies of natural disaster risks would equip the teachers and the students with the knowledge of risk reduction and response preparedness of the hazards. Education of disaster management will contribute to an individual’s ability to engage in society as well as contribute to the stability of the society in which the individual lives during or post-disaster. 2. Provision of Safe Spaces The ideal educational system provides students affected by natural disasters with psychosocial support and recreational activities. One ideal example of the system is the Child Safety Spaces (CFS) program by Plan Haiti during the 2010 Haiti earthquake. Plan Haiti anticipated that children attending the CFS could benefit from non-formal education activities. Two types of non-formal education activities implemented were Early Childhood Care and Development program which provided age-appropriate pre-school and recreational activities for children three to five, and After School Program that served children grade one to six (Rivera, 2010). According to the INEE Minimum Standards, in acute crises, CFS or safe spaces are often first response while formal education is being reestablished or reactivated. 3. Teacher and Psychological Support Teachers who are often victims and are traumatized also need support. Preparing the teachers with psychological knowledge of disaster and stress management not only would help the teachers themselves but also would leverage their capability to provide psychological support to their students. 4. Provision of Alternative Spaces when School Buildings Used as Shelters Students affected by the natural hazards need safe spaces to study and play. Avoid
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 78-86
using a school as temporary shelters through national disaster management policy and comprehensive school safety in advance of a disaster. If a school is used as temporary shelter, ensure educational continuity in a safe environment through the dual use of the school facility for shelter and education or the use of a temporary learning space. 5. Provision of Supporting Facilities Supporting facilities are needed by the students affected by the natural disasters. General food distribution for communities and nutritious meals for students and teachers in school would help the students concentrate with their study. Water trucking for immediate response would provide hygiene latrines. Temporary school bus for transportation accessibility would help the students to reach the schools if there is no public transportation or no fuel sold in the gas station. In the future, the challenge of the natural disasters is increasing as it is further complicated by climate change. With expected temperatures rise and possible precipitation rate changes, floods and drought are likely to increase in intensity. It is predicted that some rice-growing areas will experience a monthlong delay in the onset of monsoon rains by 2050, and that late summer rainfall could drop by 25 percent on average (France-Presse, 2012). Therefore, prevention is critical to be taken into account in the socio-economic measurement of natural disaster. Budgeting for disasters preparedness has the potential to reduce the exposure to risk and promoting mitigation prior to a loss. In terms of education, the prevention budgeting is the investment for the future. REFERENCES Anderson, A., Martone, G., Robinson, J. P., Rognerud, E., & Sullivan-Owomoyela, J. (2006). Standards Put to the Test: Implementing the INEE Minimum Standards for Education in Emergencies, Chronic Crisis and Early Reconstruction. Socio-Economic Impacts ... (Aries Setiadi)
Retrieved from http://www.ineesite.org/ uploads/files/resources/doc_1_83_ networkpaper005.pdf BAPPENAS. (2006). Preliminary Damage and Loss Assessment: Yogyakarta and Central Java Natural Disaster. Retrieved from http://siteresources. worldbank.org/INTINDONESIA/ Resources/226271-1150196584718/ PackageJune13_HIRES_FINAL.pdf BNPB. (2009, October). West Sumatra and Jambi Natural Disasters: Damage, Loss and Preliminary Needs Assessment. Retrieved from http://www.gfdrr.org/ sites/gfdrr.org/files/documents/GFDRR_ Indonesia_DLNA.2009.EN_.pdf BNPB. (2010, January). Rencana Penanggulangan Bencana Nasional (National Disaster Management Plan) 2010-2014. Retrieved from http://www. bnpb.go.id/uploads/pubs/468.pdf Brooks, D. (2005). Case Study on the Utilization of the INEE Minimum Standards: Participatory assessment and teacher training in the aftermath of the Tsunami. Retrieved from InterAgency Network for Education in Emergencies: http://www.ineesite. org/uploads/files/resources/doc_1_ INEECaseStudyTsunamiAssessmt.pdf de la Fuente, A. (2010). Government Expenditures in Pre and Post-Disaster Risk Management. Retrieved from https://www.gfdrr.org/sites/gfdrr.org/ files/New%20Folder/Country%20 Disaster%20Expenditures%20Note.pdf France-Presse, A. (2012, May 01). Climate Change Threatens Indonesian Rice Farmers. Retrieved March 22, 2013, from http://www.terradaily.com/ reports/Climate_Change_Threatens_ Indonesian_Rice_Farmers_999.html Mahul, O., & Gunawan, I. (2011). Advancing a National Disaster Risk Financing Strategy – Options for Consideration. Retrieved from https://www.gfdrr. org/sites/gfdrr.org/files/publication/ Indonesia_DRFI_Report_FINALOct11. pdf 85
Masyrafah, H., & McKeon, J. M. (2008). PostTsunami Aid Effectiveness in Aceh: Proliferation and Coordination in Reconstruction. Retrieved from http:// www.brookings.edu/~/media/research/ files/papers/2008/11/aceh%20aid%20 masyrafah/11_aceh_aid_masyrafah Rivera, C. (2010). INEE Minimum Standards Case Study: Non-formal Education in Haiti. Retrieved from http://www.ineesite. org/uploads/files/resources/Case_ study_haiti_PlanInt.pdf The Global Partnership for Education. (2012, September 24). Education Cannot Wait: Protecting Children and Youth’s Right to a Quality Education in Humanitarian Emergencies and Conflict Situations. Retrieved from The Global Partnership for Education: http://www. globalpartnership.org/news/364/762/ Education-Cannot-Wait-ProtectingChildren-and-Youth-s-Right-to-aQuality-Education-in-HumanitarianEmergencies-and-Conflict-Situations/ Topinka, H. (2005, July). The impact of natural disasters on education sectors of LAC region between years 1976-2005. UNDP. (2012, July 02). Act Now, Save Later: new UN social media campaign launched. Retrieved March 15, 2013, from http:// www.undp.org/content/undp/en/home/ presscenter/articles/2012/07/02/actnow-save-later-new-un-social-mediacampaign-launched-/ UNICEF. (2010). West Sumatra Earthquake One Year on Fact Sheet. Retrieved from http://www.unicef.org/indonesia/id/ West_Sumatra_earthquake_one_year_ on_Fact_Sheet.pdf Widhiarto, H. (2010, Novermber 06). Merapi eruption halts social, economic activities in Kebumen. Retrieved March 21, 2013, from http://www.thejakartapost. com/news/2010/11/06/merapi-eruptionhalts-social-economic-activitieskebumen.html
86
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 78-86
TINGKAT KERENTANAN BENCANA BANJIR SUNGAI CITARUM DI KECAMATAN BATUJAYA KABUPATEN KARAWANG Tri Widodo Departemen Pendidikan Geografi, FPIPS UPI Jl. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung 40381 e-mail :
[email protected] Abstract District Batujaya is located by the region at hilir Citarum River, is the area with the threat level high against flood particularly caused by the Citarum River, flood so often in the region in every year. This research purposes to determine index loss, index inhabitant of exposed, and produces maps level vulnerability flood Citarum River in sub-district Batujaya. Methods used in this research is a method of descriptive with the approach of space. This research using a single variable consisting of the population exposed and the Citarum River flood losses Batujaya sub-district. Population in this research are divided into two population of sub-districts Batujaya. Samples used in this research is samples saturates. The data used data is secondary and primary (data from the observation) by using index of engineering analysis of data analysis. The result of this research is an area Batujaya sub-district index loss high about 0,4 – 0,6 susceptibility to levels flood of the citarum river flood and more than 67 % of the value of assets held the region will suffer losses. Index class population exposed nine to ten villages in high-class and one belong to the class being. Vulnerability map flood citarum river in a high grade is settlements on administrative regions that have value and high population exposed in the region with a height of less than two meters above sea level. Keywords : flood, vulnerability. 1. PENDAHULUAN 1.1 .
Latar Belakang
Bencana banjir berdasarkan data perbandingan jumlah kejadian bencana di Indonesia sejak tahun 1815–2013 yang dipublikasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berada pada urutan tertinggi dari seluruh jenis bencana yang terdapat di Indonesia. Data bencana banjir tersebut meliputi banjir yang disebabkan oleh peran manusia baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Berdasarkan data perbandingan jumlah kejadian bencana banjir pada setiap provinsi di seluruh Indonesia sejak tahun 1815–2013, Provinsi Jawa Barat berada pada urutan ke Tingkat Kerentanan Bencana ... (Tri Widodo)
tiga dari 34 provinsi di Indonesia. Kemudian berdasarkan data perbandingan jumlah kejadian bencana banjir pada setiap kabupaten/ kota di seluruh Provinsi Jawa Barat sejak tahun 1815–2013, Kabupaten Karawang berada pada urutan ke tiga dari seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Masalah banjir hingga saat ini belum dapat diselesaikan secara tuntas, bahkan masalah tersebut justru diindikasikan semakin meningkat, baik dari sisi intensitas, frekuensi maupun sebarannya. Akibatnya dampak yang ditimbulkan juga semakin meningkat, faktor curah hujan yang tinggi merupakan salah satu indikator utama penyebab banjir. Salah satu wilayah di Indonesia yang sering dilanda banjir adalah daerah Jawa Barat terutama bagian utara karena memiliki kondisi geomorfologi 87
dataran rendah yang relatif luas dengan dilalui oleh banyak sungai yang bermuara di Laut Jawa. Berdasarkan data Indeks Rawan Bencana Indonesia yang dikeluarkan oleh BNPB pada tahun 2011, Kabupaten Karawang berada pada urutan ke - 8 (delapan) rangking nasional kabupaten/kota rawan bencana banjir. Salah satu kecamatan di Kabupaten Karawang yang memiliki tingkat kelas indeks ancaman bencana banjir tinggi adalah Kecamatan Batujaya, berdasarkan laporan harian Pusdalops BNPB, Kecamatan Batujaya dalam empat tahun terakhir sudah mengalami dua kejadian bencana banjir Ci Tarum, yaitu pada tahun 2010 dan tahun 2013. Penanggulangan Bencana Banjir Ci Tarum di Kecamatan Batujaya Kabupaten Karawang yang dilakukan selama ini belum didasarkan pada langkah-langkah yang sistematis dan terencana, sehingga seringkali terjadi kesalahan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana banjir di Kecamatan Batujaya membutuhkan data dasar yang kuat dalam pelaksanaannya yaitu berupa kajian risiko bencana. Kajian risiko bencana dapat dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan sebagai berikut : Kerentanan
Risiko Bencana = Ancaman x
Kapasitas
Pendekatan ini digunakan untuk memperlihatkan hubungan antara ancaman, kerentanan dan kapasitas yang membangun perspektif tingkat risiko bencana suatu kawasan. Berdasarkan pendekatan tersebut, terlihat bahwa tingkat risiko bencana amat bergantung pada : a. Tingkat ancaman kawasan; b. Tingkat kerentanan kawasan yang terancam; c. Tingkat kapasitas kawasan yang terancam. Pada penelitian ini, penulis mencoba memberikan kontribusi dalam penyusunan kajian tingkat kerentanan bencana banjir Ci Tarum Kecamatan Batujaya Kabupaten Karawang yang akan digunakan sebagai 88
pedoman umum pengkajian risiko bencana banjir, dengan mengetahui kemungkinan besarnya dampak yang akan dihasilkan dari bencana banjir Ci Tarum di Kecamatan Batujaya. Berdasarkan UU RI No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pedoman dan standarisasi penyelenggaraan penangulangan bencana berdasarkan pada ketetapan BNPB. Termasuk di dalamnya mengenai indikator kerentanan bencana banjir yang sudah dirumuskan dalam peraturan kepala BNPB No. 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Berdasarkan klasifikasi jenis bencana menurut UU RI No. 24 Tahun 2007 Bencana banjir termasuk ke dalam jenis bencana alam. Banjir dalam Peraturan Kepala BNPB No. 8 tahun 2011 tentang Standarisasi Data Kebencanaan adalah “peristiwa atau keadaan dimana terendamnya suatu daerah atau daratan karena volume air yang meningkat”. Rahayu. dkk (2009 : 3) menyatakan bahwa banjir didefinisikan sebagai “tergenangnya suatu tempat akibat meluapnya air yang melebihi kapasitas pembuangan air di suatu wilayah dan menimbulkan kerugian fisik, sosial dan ekonomi”. Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (2008 : 29) menyatakan bahwa “banjir adalah meluapnya air dari saluran dan menggenangi kawasan sekitarnya”. Berdasarkan pengertian dari beberapa sumber dapat disimpulkan bahwa bencana banjir adalah tergenangnya suatu daratan oleh air yang asalnya merupakan daerah kering dan mengakibatkan timbulnya dampak, yang berupa korban jiwa ataupun berupa kerugian. Kajian kerentanan bencana dapat dibagi ke dalam dua fokus kajian yaitu: a. Indeks Penduduk Terpapar Indikator yang digunakan untuk indeks penduduk terpapar (kerentanan sosial) adalah kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin, rasio kemiskinan, rasio orang cacat dan rasio kelompok umur. Indeks penduduk terpapar diperoleh dari rata-rata bobot kepadatan penduduk (60%) dan kelompok rentan (40%),
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 87-103
yang terdiri dari rasio jenis kelamin (10%), rasio kemiskinan (10%), rasio orang cacat (10%) dan rasio kelompok umur (10%). b. Indeks Kerugian Indikator yang digunakan dalam menentukan indeks kerugian terdiri dari tiga paremeter kerentanan yaitu : 1. Kerentanan Ekonomi Kerentanan ekonomi adalah luas lahan produktif dalam rupiah (sawah, perkebunan, lahan pertanian dan tambak) dan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Luas lahan produktif dapat diperoleh dari peta guna lahan dan buku kabupaten atau kecamatan dalam angka dan dikonversi kedalam rupiah, sedangkan PDRB dapat diperoleh dari laporan sektor atau kabupaten dalam angka. Indeks kerentanan ekonomi diperoleh dari rata-rata bobot luas lahan produktif (60%) dan PDRB (40%). 2. Kerentanan Fisik Indikator yang digunakan untuk kerentanan fisik adalah kepadatan rumah (permanen, semi permanen dan non-permanen), ketersediaan bangunan/fasilitas umum dan ketersediaan fasilitas kritis. Kepadatan rumah diperoleh dengan membagi mereka atas area terbangun atau luas desa dan dibagi berdasarkan wilayah (dalam Ha) dan dikalikan dengan harga satuan dari masingmasing parameter. Indeks kerentanan fisik diperoleh dari rata-rata bobot kepadatan rumah (40%), ketersediaan fasilitas umum (30%) dan ketersediaan fasilitas kritis (30%). 3. Kerentanan Lingkungan Indikator yang digunakan untuk kerentanan lingkungan adalah penutupan lahan (hutan lindung, hutan alam, hutan bakau/ mangrove, rawa dan semak belukar). Indeks kerentanan lingkungan diperoleh dari ratarata bobot hutan lindung (30%), hutan alam (30%), hutan bakau/mangrove (10%), rawa (10%) dan semak belukar (10%). Untuk analisis tingkat kerentanan bencana banjir pengukuran indikator kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin, rasio Tingkat Kerentanan Bencana ... (Tri Widodo)
kemiskinan, rasio penyandang cacat (orang cacat), dan rasio kelompok umur (anak-anak dan lanjut usia) tidak termasuk kedalam indeks kerugian hal ini dikarenakan jiwa manusia tidak dapat dinilai dengan rupiah sehingga dalam analisis tingkat kerentanan, lima indikator tersebut membentuk indeks sendiri yaitu indeks penduduk terpapar. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan dan kemudian didukung dengan teori kerentanan bencana banjir dirasa perlu dilakukan sebuah penelitian yang ditujukan untuk pengkajian risiko bencana banjir, dengan mengetahui kemungkinan besarnya dampak yang akan dihasilkan dari bencana banjir Ci Tarum di Kecamatan Batujaya. Peneliti bermaksud melakukan sebuah penelitian yang berjudul “Tingkat Kerentanan Bencana Banjir Sungai Citarum Di Kecamatan Batujaya Kabupaten karawang”. 1.2 .
Tujuan
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, tujuan dari penelitian ini dimaksudkan untuk : a. Menentukan indeks kerugian bencana banjir Sungai Citarum di Kecamatan Batujaya. b. Menentukan indeks penduduk terpapar bencana banjir Sungai Citarum di Kecamatan Batujaya. c. Menghasilkan peta tingkat kerentanan bencana banjir Sungai Citarum di Kecamatan Batujaya. 2. METODOLOGI 2.1. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian berlokasi diwilayah administratif Kecamatan Batujaya Kabupaten Karawang. Adapun batas wilayah administratif Kecamatan Batujaya yaitu: Sebelah Timur : Kecamatan Tirtajaya Sebelah Selatan : Kabupeten Bekasi Sebelah Barat : Kecamatan Pakisjaya Sebelah Utara : Laut Jawa 89
Kecamatan Batujaya berjarak ± 30 Km dari pusat administarif Kabupaten Karawang. Kecamatan Batujaya berdasarkan letak astronomis berada pada koordinat 107°08′35″ BT – 107°15′13″ BT dan 5°59′17″ LS – 6°6′33″ LS. Secara lokasi relatif Kecamatan Batujaya berada pada wilayah hilir Daerah Aliran Sungai Citarum. Lokasi penelitian ini mencakup 10 desa yang terdapat di Kecamatan Batujaya. Waktu penelitian dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 2014 sampai 30 Mei 2014. 2.2. Sampling dan Analisis Sample Sampling yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: a. Sampel Penduduk Sampel Penduduk yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh penduduk di Kecamatan Batujaya. b. Sampel Wilayah Sampel wilayah yang digunakan dalam penelitian ini adalah beberapa jenis penggunaan lahan di Kecamatan Batujaya, meliputi penggunaan lahan yang berhubungan dengan variabel penelitian di antaranya yaitu: 1. Penggunaan lahan produktif meliputi sawah, perkebunan, lahan pertanian dan tambak. 2. Penggunaan lahan Permukiman. 3. Penggunaan lahan Fasilitas Umum. 4. Penggunaan lahan Fasilitas Kritis. 5. Penggunaan lahan Hutan Lindung. 6. Penggunaan lahan Hutan Alam 7. Penggunaan lahan Hutan Bakau/ Mangrove. 8. Penggunaan lahan Semak Belukar. 9. Penggunaan lahan Rawa. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel jenuh. Sampel jenuh sering digunakan bila jumlah pupulasi relatif kecil, kurang dari 30 orang, atau openelitian yang ingin membuat generalisasi dengan kesalahan yang sangat kecil. Istilah lain sampel jenuh adalah sensus, dimana semua anggota populasi dijadikan sampel. 90
Data yang digunakan dalam penelitian ini sebagian besar menggunakan data skunder yang diperoleh dari beberapa instansi, kemudian untuk memastikan apakah data tersebut sesuai dengan keadaan sebenarnya di lapangan maka diperlukan sebuah uji validitas data. Jenis data sekunder yang diuji validitasnya yaitu meliputi : 1. Rasio Jenis Kelamin 2. Rasio Kemiskinan 3. Rasio Orang Cacat 4. Rasio Kelompok Umur 5. Hasil Produksi Luas Lahan Produktif 6. Keberadaan Hutan Lindung 7. Keberadaan Hutan Alam 8. Keberadaan Hutan Bakau atau Mangrove 9. Keberadaan Semak Belukar 10. Keberadaan Rawa Perhitungan jumlah sampel yang digunakan untuk pengujian validitas data dalam penelitian akan dijelaskan sebagai berikut: Penentuan jumlah sampel dalam pengukuran rasio jenis kelamin, rasio kemiskinan, rasio orang cacat, rasio kelompok umur dan hasil produksi luas lahan produktif menggunakan rumus Slovin. Populasi yang digunakan dalam menentukan ukuran sampel pada metode Slovin adalah jumlah keluarga yaitu sebanyak 25.386 untuk polpulasi pengukuran sampel rasio jenis kelamin, rasio kemiskinan, rasio orang cacat dan rasio kelompok umur. Kemudian untuk pupulasi pengukuran sampel hasil produksi luas lahan produktif adalah jumlah petani yaitu sebanyak 15.217 untuk sektor tanaman bahan makanan dan 250 untuk sektor perikanan. Slovin mengemukakan bahwa rumus jumlah pengambilan sampel adalah:
N n = 1 + N.e² Keterangan : n : ukuran sampel N : ukuran populasi e : tingkat kesalahan pengambilan sampel yang masih bisa ditolelir
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 87-103
Jumlah sampel dalam pengukuran rasio jenis kelamin, rasio kemiskinan, rasio orang cacat dan rasio kelompok umur adalah sebagai berikut : Jumlah populasi parameter tersebut berjumlah 25.386 dengan tingkat kesalahan sebesar 10% maka dengan rumus diatas diperoleh sampel sebesar : 25.386
n = = 99,60 1 + 25.386 (0,1)2 99,60 dibulatkan menjadi 100 keluarga Berdasarkan hasil perhitungan jumlah sampel dengan menggunakan metode Slovin dalam pengukuran validitas data skunder untuk parameter rasio jenis kelamin, rasio kemiskinan, rasio orang cacat dan rasio kelompok umur. Maka jumlah keluarga yang dijadikan sampel di masing-masing desa adalah sebagai berikut : 4.153 1. Batujaya = × 100 = 17 keluarga 25.386 1.862 2. Baturaden = × 100 = 77 keluarga 25.386 2.371 3. Karyabakti = × 100 = 9 keluarga 25.386 1.636 4. Karyamakmur = × 100 = 8 keluarga 25.386 3.386 5. Karyamulya = × 100 = 13 keluarga 25.386 2.825 6. Kutaampel = × 100 = 11 keluarga 25.386 2.600 7. Segaran = × 100 = 10 keluarga 25.386 1.900 8. Segarjaya = × 100 = 8 keluarga 25.386 4.153 9. Telukambulu = × 100 = 6 keluarga 25.386 2.618 10. Telukbango = × 100 = 10 keluarga 25.386
Jumlah sampel petani dalam pengukuran validitas hasil produksi luas lahan produktif
Tingkat Kerentanan Bencana ... (Tri Widodo)
untuk sektor tanaman bahan makanan di masing-masing desa adalah sebagai berikut : Jumlah populasi parameter tersebut berjumlah 15.217 petani dengan tingkat kesalahan sebesar 15% maka dengan menggunakan rumus slovin diperoleh sampel sebesar :
n=
15.217 1 + 15.217 (0,15)2
= 44,31
44,31 dibulatkan menjadi 44 petani 1.815 1. Batujaya = × 44 = 5 petani 15.217 1.598 2. Baturaden = × 44 = 5 petani 15.217 2.004 3. Karyabakti = × 44 = 6 petani 15.217 829 4. Karyamakmur = × 44 = 2 petani 15.217 1.535 5. Karyamulya = × 44 = 4 petani 15.217 1.567 6. Kutaampel = × 44 = 5 petani 15.217 2.732 7. Segaran = × 44 = 8 petani 15.217 1.428 8. Segarjaya = × 44 = 4 petani 15.217 893 9. Telukambulu = × 44 = 3 petani 15.217 816 10. Telukbango = × 44 = 2 petani 15.217
Jumlah sampel petani dalam pengukuran validitas hasil produksi luas lahan produktif untuk sektor perikanan di masing-masing desa adalah sebagai berikut : Jumlah populasi parameter tersebut berjumlah 250 petani tambak yang tersebar di Desa Baturaden, Desa Karyabakti dan Desa Segarjaya dengan tingkat kesalahan sebesar 20% maka dengan menggunakan rumus Slovin diperoleh sampel sebesar : 91
250 n = = 22,73 1 + 250 (0,2)2 dibulatkan menjadi 23 petani tambak 55 1. Baturaden = × 23 = 5 petani 250 77 2. Karyabakti = × 23 = 7 petani 250 118 3. Segarjaya = × 23 = 11 petani 250
Kemudian untuk pengujian validitas data paramter kerentanan lingkungan yang meliputi luas Hutan Lindung, luas Hutan Alam, luas Hutan Bakau atau Mangrove, luas Semak Belukar dan luas Rawa. Pengujian validitas data yang digunakan adalah dengan observasi lapangan berupa pengamatan secara visual. Untuk data kepadatan penduduk dan PDRB dirasa sudah cukup sesuai sehingga tidak perlu dilakukan uji validitas data. Kemudian untuk data kerentanan fisik yaitu meliputi biaya pembangunan rumah, biaya pembangunan fasilitas umum, dan biaya pembangunan fasilitas kritis diperoleh melalui hasil observasi lapangan. Penjelasan mengenai bentuk observasi lapangan untuk data kerentanan fisik dapat dilihat pada sub bab teknik pengumpulan dan analisis data. 2.3.
Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
a. Teknik Pengumpulan Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu variabel penelitian yang telah ditetapkan sebagai indikator analisis tingkat kerentanan Bencana Banjir Sungai Citarum di Kecamatan Batujaya Kabupaten Karawang. Data tersebut diperoleh melalui: 1. Observasi Observasi dilakukan yaitu untuk mengetahui beberapa komponen yang menjadi indikator dalam penelitian ini, di antaranya adalah indikator :
92
Data Nilai Harga Biaya Pembangunan Rumah di Kecamatan Batujaya. Teknik observasi yang dilakukan dalam menentukan nilai harga biaya pembangunan rumah di Kecamatan Batujaya yaitu dengan pengukuran biaya pembangunan sebuah rumah. Metode observasi yang dilakukan dalam pengukuran biaya pembangunan sebuah rumah yaitu menggunakan sampel acak sistematis. Cara penggunaan metode sampel acak sistematis menurut Tika (2005:2) adalah “membagi peta wilayah penelitian menjadi beberapa kotak, pada kotak yang sempurna atau mendekati sempurna dalam wilayah penelitian diambil satu sampel, dengan memberi nomor plot observasi, sedangkan kotakkotak yang tidak sempurna tidak diambil sebagai lokasi observasi”. Berdasarkan data tingkat perkembangan desa dan kelurahan tahun 2013 diperoleh informasi bahwa jumlah rumah di Kecamatan Batujaya yaitu 20.059 buah. Rincian jumlah rumah untuk setiap desa dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Jumlah Rumah di Kecamatan Batujaya No
Desa
Jumlah Rumah
1.
Batujaya
2.925
2.
Baturaden
1.230
3.
Karyabakti
1.874
4.
Karyamakmur
1.636
5.
Karyamulya
2.234
6.
Kutaampel
2.740
7.
Segaran
2.363
8.
Segarjaya
1.879
9.
Telukambulu
1.283
10.
Telukbango
1.895
Jumlah
20.059
Sumber : Tingkat Perkembangan Desa dan Kelurahan, 2013
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 87-103
Wilayah di Kecamatan Batujaya dengan jumlah rumah terbanyak, berdasarkan informasi yang tersajikan dalam tabel 1 terdapat pada wilayah administratif Desa Batujaya. Berdasarkan teknik observasi dengan menggunakan metode sampel acak sistematis maka dari jumlah populasi rumah tersebut harus diambil beberapa sampel. Penentuan jumlah sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus Slovin, dari jumlah populasi tersebut dan tingkat kesalahan sebesar 10% maka dengan rumus Slovin diatas diperoleh sampel sebesar :
20.059 n = = 99,50 1 + 20.059 (0,1)2
metode Slovin maka diperoleh hasil sebagai berikut dan jumlah sampel ini merupakan jumlah plot observasi di masing-masing desa. Informasi spasial mengenai lokasi plot tersebut dapat dilihat pada gambar 1.
2.925 = × 100 = 15 rumah 20.059
1.230 = × 100 = 6 rumah 20.059
1.874 = × 100 = 9 rumah 20.059
1. Batujaya 2. Baturaden 3. Karyabakti
1.636 4. Karyamakmur = × 100 = 8 rumah 20.059
2.234 5. Karyamulya = × 100 = 11 rumah 20.059
99,50 dibulatkan menjadi 100 rumah
2.740 6. Kutaampel = × 100 = 14 rumah 20.059
Berdasarkan hasil perhitungan jumlah sampel dengan menggunakan
2.363 7. Segaran = × 100 = 12 rumah 20.059
Gambar 1. Peta Pembagian Lokasi Plot Observasi
Tingkat Kerentanan Bencana ... (Tri Widodo)
93
1.879 8. Segarjaya = × 100 = 9 rumah 20.059 1.283 9. Telukambulu = × 100 = 6 rumah 20.059 1.895 10. Telukbango = × 100 = 10 rumah 20.059 Tabel 2. Jumlah Plot Observasi Kondisi Rumah di Kecamatan Batujaya No
Jumlah Plot
Desa
1
Batujaya
15
2
Baturaden
6
3
Karyabakti
9
4
Karyamakmur
8
5
Karyamulya
11
6
Kutaampel
14
7
Segaran
12
8
Segarjaya
9
9
Telukambulu
6
10
Telukbango
10
Jumlah
100
Sumber : Hasil Penelitian, 2014
Rumus untuk mengukur indikator kepadatan rumah dalam kerentanan fisik atau harga biaya pembangunan rumah di daerah penelitian adalah sebagai berikut :
( m2 × Rp1 ) × n μ = N Keterangan: μ = Kepadatan Rumah (Rp) m2 = Luas rumah Rp1 = Biaya harga pembangunan rumah (Rp) untuk setiap meter persegi (m2) terhadap masingmasing tipe jenis rumah. n = Jumlah sampel rumah N = Jumlah populasi rumah
94
Data Ketersediaan Bangunan/Fasilitas Umum di Kecamatan Batujaya. Teknik observasi yang dilakukan dalam menentukan nilai harga biaya pembangunan fasilitas umum di Kecamatan Batujaya yaitu dengan pengukuran biaya pembangunan sebuah fasilitas. Berdasarkan data Kecamatan Batujaya Dalam Angka tahun 2013 diperoleh informasi bahwa jumlah fasilitas umum di Kecamatan Batujaya yaitu 379 buah. Berdasarkan data jumlah fasilitas umum yang tidak proporsional antara satu fasilitas dengan fasilitas yang lain, sehingga metode observasi yang dilakukan dalam pengukuran biaya pembangunan sebuah fasilitas yaitu menggunakan teknik sampling disproportionate stratified random sampling. Sugiyono (2011:64) mengemukakan bahwa disproportionate stratified random sampling merupakan “teknik yang digunakan untuk menentukan jumlah sampel, bila populasi berstrata tetapi kurang proporsional”. Berdasarkan teknik observasi dengan menggunakan metode disproportionate stratified random sampling maka dari jumlah populasi fasilitas umum tersebut harus di ambil beberapa sampel. Penentuan jumlah sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus Slovin, dari jumlah populasi tersebut dan tingkat kesalahan sebesar 10 % maka untuk menentukan jumlah sampel dengan menggunakan rumus Slovin diperoleh sampel sebesar :
379 n = = 79,12 1 + 379 (0,1)2 79,12 dibulatkan menjadi 80 fasilitas umum. Berdasarkan teknik dengan menggunakan disproportionate stratified
sampling metode random
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 87-103
sampling maka jumlah sampel dalam observasi yang dilakukan untuk menentukan nilai harga biaya pembangunan fasilitas umum pada masing-masing jenis fasilitas umum yang terdapat di Kecamatan Batujaya adalah sebagai berikut, yang dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Jumlah Sampel Observasi Fasilitas Umum
Jenis Fasilitas Umum
No
Jumlah Sampel
1.
TK
2
2.
SD
13
3.
SMP
4
4.
MI
2
5.
MTS
1
6.
SMA/SMK
1
7.
Pondok Pesantren
3
8.
Masjid
9
9.
Mushola
27
10.
Poli Klinik
2
11.
Puskesmas
2
12.
Puskesmas Pembantu
2
13.
Posyandu
8
14.
Kantor Desa
2
15.
Kantor Kecamatan
1
16.
Kantor Polisi
1
17.
Koramil
1
18.
Kantor UPTD
1
19.
Kantor KUA
1
11.
Puskesmas
2
Jumlah
80
Sumber : Hasil Penelitian, 2014
Data Ketersediaan Bangunan/Fasilitas Kritis di Kecamatan Batujaya. Teknik observasi yang dilakukan dalam menentukan nilai harga biaya pembangunan fasilitas kritis di Kecamatan Batujaya yaitu dengan pengukuran biaya pembangunan sebuah fasilitas.
Tingkat Kerentanan Bencana ... (Tri Widodo)
2. Pengumpulan data skunder Pengumpulan data skunder yang akan dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan mengumpulkan data sekunder dari buku, karya ilmiah (hasil penelitian), dokumen, serta publikasi yang diterbitkan oleh instansi terkait seperti Dinas Pertanian Kabupaten Karawang, Bappeda Kabupaten Karawang dan Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Karawang, Badan Informasi Geospasial BNPB, dan instansi tingkat kelurahan di Kecamatan Batujaya. Pengumpulan data sekunder dilakukan yaitu untuk mengetahui beberapa komponen yang menjadi indikator dalam penelitian ini, di antaranya adalah indikator : • Data kepadatan penduduk Kecamatan Batujaya. • Data jenis kelamin penduduk Kecamatan Batujaya. • Data kemiskinan penduduk Kecamatan Batujaya. • Data orang cacat penduduk Kecamatan Batujaya. • Data kelompok umur penduduk Kecamatan Batujaya. • Kontribusi PDRB per sektor Kecamatan Batujaya. • Data nilai harga produktifitas pada lahan produktif Kecamatan Batujaya • Data Luas Hutan Lindung, Hutan Alam, Hutan Bakau/Mangrove, Semak Belukar dan Rawa Kecamatan Batujaya. b. Teknik Analisis Data Analisis data yang akan digunakan untuk pengujian validitas data skunder yaitu menggunakan Chi Kuadrat (X2). Kemudian analisis data yang akan digunakan untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini dengan cara analisis kuantitatif dan analisis indeks. Berikut ini akan dibahas satu-persatu dari tiga analisis data tersebut. 1. Analisis Chi Kuadrat (X) Sugiyono (2011 : 107) mengemukakan 95
bahwa “Chi Kuadrat (X2) satu sampel adalah teknik statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis bila dalam populasi datanya berbentuk nominal dan sampelnya besar”. Rumus Chi Kuadrat (X2) adalah sebagai berikut : k (fo – fi)² χ²= fi i=1
( ≥ ) harga tabel maka Ho ditolak. Derajat kebebasan (dk) dalam penelitian ini adalah 1 (satu) dan taraf kesalahan yang ditetapkan adalah 5 (lima) % maka Chi kuadrat tabel adalah 3,841. Apabila Chi kuadrat hitung (X2) lebih kecil dari Chi kuadrat tabel (3,841) maka Ho (data skunder) diterima dan bisa digunakan. Kemudian apabila Chi kuadrat hitung (X2) lebih besar dari Chi kuadrat tabel (3,841) maka Ho (data skunder) ditolak dan tidak bisa digunakan.
∑
Dimana: X2 : Chi Kuadrat fo : Frekuensi yang diobservasi fi : Frekuensi yang diharapkan Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah data skunder yang diperoleh dari berbagai instansi, dengan penjelasan sebagai berikut : Ho : Data skunder dan hasil observasi sama Ha : Data skunder dan hasil observasi berbeda Untuk dapat membuat keputusan tentang hipotesis yang diajukan diterima atau ditolak, maka Chi kuadrat hitung perlu dibandingkan dengan Chi kuadrat tabel dengan derajat kebebasan (dk) dan taraf kesalahan tertentu. Dalam hal ini berlaku ketentuan bila Chi kuadrat hitung lebih kecil dari tabel, maka Ho diterima, dan pabila lebih besar atau sama dengan
2. Analisis Indeks Analisis indeks yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu skor yang diperoleh dari hasil analisis secara kuantitatif dimasukan ke dalam salah satu dari tiga kelas indeks yaitu kelas indeks rendah, kelas indeks sedang dan kelas indeks tinggi. Penjelasan Analisis indeks dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4 sampai pada tabel 8. Tabel 4. Bobot indeks Kerentanan Banjir Kerentanan
Bobot
Sosial Budaya
40 %
Ekonomi
25 %
Fisik
25 %
Lingkungan
10 %
Sumber: BNPB, 2012
Tabel 5. Kelas Indeks Parameter Kerentanan Sosial Budaya Parameter Kerentanan Sosial Budaya
Kelas Indeks dan Skor Rendah
Sedang
Tinggi
Bobot
0,33
0,67
1
Kepadatan Penduduk
< 500 jiwa/km2
500 – 1.000 jiwa/km2
> 1.000 jiwa/km2
60 %
Rasio Jenis Kelamin
< 20 %
20 – 40%
> 40%
10 %
Rasio Kemiskinan
< 20 %
20 – 40%
> 40%
10 %
Rasio Orang Cacat
< 20 %
20 – 40%
> 40%
10 %
Rasio Kelompok Umur
< 20 %
20 – 40%
> 40%
10 %
Sumber: BNPB, 2012
96
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 87-103
Tabel 6. Kelas Indeks Parameter Kerentanan Ekonomi Kelas Indeks dan Skor
Parameter Kerentanan Ekonomi
Rendah
Sedang
Tinggi
0,33
0,67
1
Bobot
Luas Lahan Produktif
< Rp 50 Juta
Rp 50 Juta – 200 Juta
> Rp 200 Juta
60 %
Kontribusi PDRB per sektor
< Rp 100 Juta
Rp 100 Juta – 300 Juta
> Rp 300 Juta
40 %
Sumber: BNPB, 2012
Tabel 7. Kelas Indeks Parameter Kerentanan Fisik Parameter Kerentanan Fisik
Kelas Indeks dan Skor Rendah
Sedang
Tinggi
0,33
0,67
1
Bobot
Rumah
< Rp 400 Juta
Rp 400 Juta – 800 Juta
> Rp 800 Juta
40 %
Fasilitas Umum
< Rp 500 Juta
Rp 500 Juta – 1 Milyar
> Rp 1 Milyar
30 %
Fasilitas Kritis
< Rp 500 Juta
Rp 500 Juta – 1 Milyar
> Rp 1 Milyar
30 %
Sumber: BNPB, 2012
Tabel 8. Kelas Indeks Parameter Kerentanan Lingkungan Kelas Indeks dan Skor
Parameter Kerentanan Lingkungan
Rendah
Sedang
Tinggi
0,33
0,67
1
Hutan Lindung
< 20 ha
20 – 50 ha
> 50 ha
30 %
Hutan Alam
< 25 ha
25 – 75 ha
> 75 ha
30 %
Hutan Bakau/Mangrove
< 10 ha
10 – 30 ha
> 30 ha
10 %
Semak Belukar
< 20 ha
10 – 30 ha
> 30 ha
10 %
Rawa
< 5 ha
5 – 20 ha
> 20 ha
20 %
Bobot
Sumber: BNPB, 2012
Selanjutnya nilai skor tersebut dikalikan dengan bobot dari masing-masing parameter agar bisa menghasilkan sebuah nilai indeks penduduk terpapar (indeks kerentanan sosial) dan indeks kerugian (kerentanan ekonomi, kerentanan fisik dan kerentanan
Tingkat Kerentanan Bencana ... (Tri Widodo)
lingkungan). Analisis indeks untuk menjawab tujuan penelitian yang pertama yaitu dalam menentukan indeks kerugian bencana banjir Sungai Citarum di Kecamatan Batujaya dapat dilihat pada tabel 9.
97
Tabel 9. Indeks Kerugian Indeks Kerugian
(nilai jumlah skor parameter kerentanan ekonomi × bobot kerentanan ekonomi) + (nilai jumlah skor parameter kerentanan fisik × bobot kerentanan fisik) + (nilai jumlah skor parameter kerentanan lingkungan × bobot kerentanan lingkungan)
Kelas Indeks dan Skor Rendah
Sedang
Tinggi
< 0,200
0,200 – 0,400
0,400 – 0,600
Sumber: BNPB, 2012
Tabel 10. Indeks Penduduk Terpapar Indeks Penduduk Terpapar
nilai jumlah skor parameter kerentanan sosial × bobot kerentanan sosial budaya
Kelas Indeks dan Skor Rendah
Sedang
Tinggi
< 0,13
0,13 – 0,26
0,26 – 0,4
Sumber: BNPB, 2012
Tabel 11. Indeks Tingkat Kerentanan Bencana Indeks Kerugian
(Nilai Jumlah Skor × Bobot Kerentanan Sosial Budaya) + (Nilai Jumlah Skor × Bobot Kerentanan Ekonomi) + (Nilai Jumlah Skor × Bobot Kerentanan Fisik) + (Nilai Jumlah Skor × Bobot Kerentanan Lingkungan)
Kelas Indeks dan Skor Rendah
Sedang
Tinggi
< 0,333
0,333 – 0,667
0,667 – 1
Sumber: BNPB, 2012
Analisis indeks untuk menjawab tujuan penelitian yang kedua yaitu dalam menentukan indeks penduduk terpapar bencana banjir Sungai Citarum di Kecamatan Batujaya dapat dilihat pada tabel 10. Analisis indeks untuk menjawab tujuan penelitian yang ketiga yaitu dalam membuat peta tingkat kerentanan bencana banjir Sungai Citarum di Kecamatan Batujaya dapat dilihat pada tabel 11. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Laporan Penelitian
Indeks kerugian merupakan nilai kerugian apabila terjadi sebuah bencana dalam 98
suatu wilayah. Indeks Kerugian diperoleh dari pengukuran komponen ekonomi, fisik dan lingkungan pada sebuah wilayah. Data yang diperoleh dari pengukuran tiga komponen parameter tersebut kemudian dibagi dalam tiga kelas ancaman, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Selain menghasilkan kelas indeks kerugian, pengukuran komponen-komponen ini juga akan menghasilkan potensi kerugian daerah dalam satuan rupiah khususnya dari hasil pengukuran parameter kerentanan ekonomi dan kerentanan kondisi fisik. Hasil penelitian nilai indeks kerugian Kecamatan Batujaya dalam kerentanan bencana banjir dapat dilihat pada tabel 12. Analisis tingkat kerentanan bencana banjir pengukuran indikator kepadatan
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 87-103
penduduk, rasio jenis kelamin, rasio kemiskinan, rasio penyandang cacat (orang cacat), dan rasio kelompok umur (anak-anak dan lanjut usia) tidak termasuk ke dalam indeks kerugian hal ini dikarenakan jiwa manusia tidak dapat dinilai dengan rupiah sehingga dalam analisis tingkat
kerentanan, lima indikator tersebut membentuk indeks sendiri yaitu indeks penduduk terpapar. Hasil penelitian nilai indeks penduduk terpapar Kecamatan Batujaya dalam kerentanan bencana banjir dapat dilihat pada tabel 12.
Tabel 12. Hasil Analisis Indeks Kerugian Kecamatan Batujaya Kelas Indeks dan Skor Desa
Nilai Indeks
Rendah
Sedang
Tinggi
< 0,2
0,2 – 0,4
0,4 – 0,6
Batujaya
0,483
–
–
√
Baturaden
0,483
–
–
√
Karyabakti
0,483
–
–
√
Karyamakmur
0,483
–
–
√
Karyamulya
0,483
–
–
√
Kutaampel
0,483
–
–
√
Segaran
0,483
–
–
√
Segarjaya
0,506
–
–
√
Telukambulu
0,508
–
–
√
Telukbango
0,483
–
–
√
–
–
10
Jumlah Sumber: Hasil Penelitian, 2014
Tabel 13. Hasil Analisis Indeks Penduduk Terpapar Kecamatan Batujaya Kelas Indeks dan Skor Desa
Nilai Indeks
Rendah
Sedang
Tinggi
< 0,133
0,133 – 0,267
0,267 – 0,4
Batujaya
0,346
–
–
√
Baturaden
0.293
–
–
√
Karyabakti
0.280
–
–
√
Karyamakmur
0.373
–
–
√
Karyamulya
0.360
–
–
√
Kutaampel
0.373
–
–
√
Segaran
0.360
–
–
√
Segarjaya
0.186
–
√
–
Telukambulu
0.293
–
–
√
Telukbango
0.360
–
–
√
–
1
9
Jumlah Sumber: Hasil Penelitian, 2014
Tingkat Kerentanan Bencana ... (Tri Widodo)
99
Tabel 14. Nilai Skor Parameter Peta Tingkat Kerentanan Nilai Indeks
Penduduk Terpapar
Kerugian
Kerentanan
Sosial
Bobot
40
Parameter
Skor
Desa Batujaya
34,80
Desa Baturaden
29,20
Desa Karyabakti
28,00
Desa Karyamakmur
37,20
Desa Karyamulya
36,00
Desa Kutaampel
37,20
Desa Segaran
36,00
Desa Segarjaya
18,80
Desa Telukambulu
29,20
Desa Telukbango
36,00
Nilai Produktifitas Sawah
3,60
Ekonomi
15
Nilai Produktifitas Tambak
11,40
Fisik
25
Area Terbangun
25,00
Lingkungan
1
Hutan Mangrove
1,00
Sumber: Hasil Penelitian, 2014
Gambar 2. Peta Tingkat Kerentanan Bencana Banjir Sungai Citarum di Kecamatan Batujaya
100
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 87-103
Nilai skor dari parameter yang digunakan untuk pembuatan peta tingkat kerentanan Bencana Banjir Sungai Citarum di Kecamatan Batujaya dapat dilihat pada tabel 14 dan peta tingkat kerentanan Bencana Banjir Sungai Citarum di Kecamatan Batujaya dapat dilihat pada gambar 2 yang terbagi menjadi tiga kelas kerentanan yaitu kelas rendah, sedang dan tinggi. 3.2. Artikel Ulasan Hasil penelitian, nilai indeks kerugian Kecamatan Batujaya yang terdapat dalam tabel 12. Kelas indeks kerugian seluruh desa di daerah penelitian apabila terjadi Bencana Banjir Sungai Citarum termasuk kedalam kelas tinggi. Desa yang memiliki nilai indeks kerugian tertinggi apabila terjadi bencana banjir yaitu desa Telukambulu dengan nilai indeks 0,508. Berdasarkan hasil penelitian, nilai indeks penduduk terpapar Kecamatan Batujaya yang terdapat dalam tabel 13. Kelas indeks penduduk terpapar di daerah penelitian apabila terjadi Bencana Bajir Sungai Citarum pada 10 desa di Kecamatan Batujaya, sembilan desa termasuk ke dalam kelas tinggi dan satu desa masuk ke dalam kelas sedang yaitu desa Segarjaya dengan nilai indeks 0,186. Zonasi peta kerentanan bencana banjir Sungai Citarum di Kecamatan Batujaya berdasarkan hasil overlay antara nilai parameter kerentanan dengan nilai ancaman menghasilkan tiga zonasi kelas kerentanan. Secara umum, informasi spasial yang digambarkan dalam peta kerentanan bencana banjir Sungai Citarum di Kecamatan Batujaya menunjukan bahwa daerah yang memiliki kelas kerentanan tinggi tersebar pada seluruh desa yang berada di Kecamatan Batujaya. Analisis lebih lanjut mengenai zonasi kelas kerentanan peta kerentanan bencana banjir Sungai Citarum di Kecamatan Batujaya adalah berikut : a. Kelas Kerentanan Tinggi Daerah kelas kerentanan tinggi merupakan kawasan pemukiman pada wilayah administratif yang memiliki nilai indeks kelas Tingkat Kerentanan Bencana ... (Tri Widodo)
penduduk terpapar tinggi dan berada di wilayah dengan ketinggian kurang dari dua meter di atas permukaan laut. b. Kelas Kerentanan Sedang Daerah kelas kerentanan sedang merupakan area persawahan dan tambak pada wilayah administratif yang memiliki nilai indeks kelas penduduk terpapar tinggi yang berada pada wilayah dengan ketinggian kurang dari dua meter di atas permukaan laut dan kawasan pemukiman pada wilayah administratif yang memiliki nilai indeks kelas penduduk terpapar sedang yang berada pada wilayah dengan ketinggian lebih dari empat meter di atas permukaan laut. c. Kelas Kerentanan Rendah Daerah kelas kerentanan rendah merupakan area persawahan dan tambak pada wilayah administratif yang memiliki nilai indeks kelas penduduk terpapar tinggi yang berada pada wilayah dengan ketinggian lebih dari dua meter di atas permukaan laut. 4.
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa hal dalam penelitian ini diantaranya yaitu : 1. Kecamatan Batujaya merupakan wilayah yang memiliki indeks kerugian tinggi terhadap tingkat kerentanan Bencana Banjir Sungai Citarum ditandai dengan besarnya nilai indeks yaitu antara 0,4 – 0,6 pada seluruh desa di wilayah Kecamatan Batujaya. Maksud dari Kecamatan Batujaya merupakan wilayah yang memiliki indeks kerugian tinggi terhadap tingkat kerentanan Bencana Banjir Sungai Citarum yaitu apabila terjadi banjir di Kecamatan Batujaya maka lebih dari 67% nilai aset yang dimiliki Kecamatan Batujaya akan mengalami kerusakan. 2. Indeks penduduk terpapar di Kecamatan Batujaya pada seluruh desa apabila terjadi Bencana Banjir Sungai Citarum sembilan 101
diantaranya masuk kedalam kelas tinggi yaitu Desa Batujaya, Desa Baturaden, Desa Karyabakti, Desa Karyamakmur, Desa Karyamulya, Desa Kutaampel, Desa Segaran, Desa Telukambulu, Desa Telukbango dan satu desa masuk ke dalam kelas sedang yaitu Desa Segarjaya. Sembilan desa di Kecamatan Batujaya masuk kedalam kelas tinggi indeks penduduk terpapar memberikan pernyataan bahwa lebih dari 67% jumlah penduduk di desa tersebut akan menjadi korban apabila terjadi banjir Sungai Citarum di Kecamatan Batujaya. Kemudian satu desa di Kecamatan Batujaya masuk kedalam kelas sedang indeks penduduk terpapar memberikan pernyataan bahwa 33–67% jumlah penduduk di desa tersebut akan menjadi korban apabila terjadi banjir Sungai Citarum di Kecamatan Batujaya. 3. Peta tingkat kerentanan Bencana Banjir Sungai Citarum di Kecamatan Batujaya yang dibuat pada penelitian ini menghasilkan informasi bahwa wilayah yang memiliki tingkat kerentanan tinggi merupakan kawasan pemukiman pada wilayah administratif yang memiliki nilai indeks kelas penduduk terpapar tinggi dan berada di wilayah dengan ketinggian kurang dari dua meter diatas permukaan laut. Peta tingkat kerentanan Bencana Banjir Sungai Citarum di Kecamatan Batujaya dapat dilihat pada Gambar 2. 4.2. Saran Adapun beberapa rekomendasi yang dapat penulis sampaikan pada bab ini setelah melakukakan penelitian tingkat kerentanan Bencana Banjir Sungai Citarum di Kecamatan Batujaya yaitu meliputi: a. Kecamatan Batujaya berdasarkan tingkat kerentanan termasuk ke dalam kelas tinggi, sehingga harus meningkatkan kapasitas terhadap ancaman Bencana Banjir Sungai Citarum agar dapat mengurangi risiko bencana. b. Daerah penelitian yaitu Kecamatan Batujaya 102
merupakan wilayah dataran banjir, dan hal ini sudah diketahui oleh penduduk di daerah tersebut berdasarkan hasil penelitian pada indeks penduduk terpapar sembilan desa di antaranya masuk kedalam kelas tinggi dan satu desa masuk ke dalam kelas sedang, hal ini akan membahayakan keselamatan penduduk apabila terjadi bencana Banjir Sungai Citarum. Rekomendasi untuk peneliti selanjutnya yaitu diadakan kajian mengenai respon penduduk di Kecamatan Batujaya terhadap Bencana Banjir Sungai Citarum. c. Bagi instansi terkait yang berhubungan dengan kajian kebencanaan diharapkan dapat memberikan pendidikan kebencanaan kepada penduduk di daerah Kecamatan Batujaya, sehingga apabila terjadi Bencana Banjir Sungai Citarum penduduk di wilayah tersebut lebih siap lagi dalam menghadapi bencana. UCAPAN TERIMAKASIH Penelitian ini dapat terselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak yang senantiasa selalu memberikan kemudahan dan kelancaran sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Oleh karena itu, penulis dalam kesempatan ini ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Karawang. 2. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kabupaten Karawang. 3. Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang. 4. Penduduk Kecamatan Batujaya. DAFTAR PUSTAKA Anonim. (2008). Memahami Bencana. Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. BNPB. (2010). Laporan Pusdalops. Jakarta : BNPB BNPB. (2011). Indeks Rawan Bencana Indonesia. Jakarta : BNPB.
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 87-103
BNPB. (2013). Laporan Pusdalops. Jakarta : BNPB BPS Kabupaten Karawang. (2011). Potensi Desa Tahun 2011 BPS Kabupaten Karawang. (2012). PDRB Kabupaten Karawang Menurut Lapangan Usaha BPS Kabupaten Karawang. (2013). Kecamatan Batujaya Dalam Angka Peraturan Kepala BNPB No. 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Peraturan Kepala BNPB No. 8 Tahun 2011 tentang Standarisasi Data Kebencanaan. Rahayu. Dkk. (2009). Banjir dan Upaya Penanggulangannya. Bandung : Pusat Mitigasi Bencana (PMB-ITB) Sugiyono. (2011). Statistika Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta. Suryana. (2010). Metodologi Penelitian. Bandung: UPI PRESS. Undang-Undang RI No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Tingkat Kerentanan Bencana ... (Tri Widodo)
103
KEPEMERINTAHAN BENCANA DI SUMATERA BARAT Anita Afriani Sinulingga, Apriwan, Haiyyu Darman Moenir Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Andalas Abstract If Indonesia is called with the methapor of “Laboratory and Hypermarket of world’s disaster”, West Sumatera is entitled with “the Supermarket of Disaster”. The humanitarian aids in every disaster in West Sumatera involving the role of multi-actors, such as states and non states actors, varied from national to international level. This article aims to describe the formation of disaster management in West Sumatera which employ Disaster Governance as its concept. Disaster Governance is a concept that explains the complexity of decision making process toward disaster management which engages various form of interaction in humanitarian network. To summarize, this concept describes the partnertship among stakeholders, including societies that coloring with the coordination among actors in their actions. Keywords : Disaster in West Sumatera, humanitarian action, disaster governance.
1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Berdasarkan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Sumatera Barat Tahun 20082012, Provinsi Sumatera Barat memiliki potensi bencana alam yaitu gempabumi, tsunami, banjir, badai/puting beliung, gelombang pasang, kekeringan, longsor, letusan gunungapi, kebakaran hutan dan lahan, abrasi pantai. Bencana yang menimulkan dampak luas dan potensi kerusakan yang besar disebabkan oleh bencana seperti gempabumi, tsunami, banjir, longsor, letusan gunungapi dan kebakaran. Kondisi demikian menyebabkan Sumatera Barat kemudian dikenal sebagai daerah “supermarket bencana”. Setelah Gempa Aceh terjadi pada akhir tahun 2004 yang diikuti dengan tsunami, perhatian terhadap bencana gempabumi dan tsunami menjadi perhatian utama di provinsi ini. Rentetan gempa yang terjadi berikutnya: M8.5 SR di Nias pada bulan Maret 2005, M6,9 SR di sekitar laut Mentawai pada bulan April 2005, M6,3 SR di sekitar danau Singkarak 104
pada bulan Maret 2007, M8,4 SR dan M7,9 SR di sekitar perairan Bengkulu dan Sumatra Barat pada 12 dan 13 September 2007 dan terakhir gempabumi 30 September 2009 dengan M7,6 SR yang terjadi di lepas Pantai Sumatera dan berjarak sekitar 50 km barat laut Kota Padang (wikipedia.org) telah menimbulkan trauma di tengah masyarakat Sumatera Barat. Terlebih lagi dengan perkiraan para ahli seismologi akan terjadinya gempa raksasa berikutnya (giant earthquake) di sekitar Mentawai. Kata “bencana” sendiri merupakan kata kunci bagi keterlibatan berbagai pihak dalam penanganannya. Dalam kondisi seperti ini, dibutuhkan kesiapan berbagai pihak dalam penanggulangan pasca bencana. Berdasarkan Hukum Humaniter Internasional, pemerintah nasional mempunyai tanggungjawab utama dalam penanggulangan bencana alam. Namun selain negara, di tataran global, masalah aksi kemanusiaan diwarnai dengan kemunculan para aktor yang terdiri atas institusi negara, militer, keamanan, Non Government Organization (NGO) baik di tingkat lokal maupun yang mengusung agama tertentu, hingga organisasi profesi
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 104-114
(dokter) yang menjalankan misi kemanusiaan ke seluruh dunia. Selanjutnya, bagaimana bencana akan dikelola, khususnya aktor yang terlibat (negara, IGO dan NGO lokal dan internasional) serta bentuk kemitraanya dalam aksi kemanusiaan akan dijelaskan melalui konsep Kepemerintahan Bencana (Disaster Governance). Srikandini (2004) menggambarkan disaster governance approaches dalam upaya untuk mengurangi penderitaan dari para korban letusan Gunung Merapi pada tahun 2010. Indonesia melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Daerah Bencana (BPDB) telah ditunjuk sebagai bentuk institusi kemanusiaan yang berwenang sebagai pusat koordinasi penanggulangan bencana. Koordinasi dalam konteks ini mencakup ruang lingkup yang lebih besar mulai dari aktor yang akan terlibat (pemerintah, NGO lokal dan internasional). Tata kelola bencana dikembangkan oleh Indonesia melalui kasus letusan gunung Merapi pada tahun 2010, melibatkan berbagai macam aktor untuk menyusun bentuk dari regulasi, partisipasi dari aktor non-pemerintah, serta perluasan jaringan dengan pendekatan multi-centric dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam kasus bencana Gunung Merapi, Forum Penanggulangan Risiko Bencana (FPRB) memberikan peran yang signifikan dalam masalah tata kelola bencana. Melalui sistem pengelompokan (clustering system) yang telah dibangun, forum ini telah berhasil menyokong bentuk dari tata kelola dalam merespon akibat buruk dari sebuah bencana. Selain itu, forum ini juga merupakan sebuah wadah untuk berkomunikasi antara aktor pemerintahan dan non-pemerintah. Dalam hal ini, Srikandini menjelaskan bahwa keterlibatan dari berbagai macam agensi kemanusiaan menjadi sebuah cerminan dari tata kelola bencana (disaster governance). Lebih lanjut, Kapucu (2009) menjelaskan bahwa dalam masalah kebencanaan dibutuhkannya kemampuan yang tinggi dalam koordinasi antar-aktor untuk memecahkan permasalahan kebencanaan. Dalam respon
bencana, tata kelola antar sektor merupakan partnership yang melibatkan pemerintah, sektor swasta/ bisnis, komunitas dan organisasi non-profit, sebagai satu kesatuan. Tata kelola bencana diharapkan dapat efektif dan efisien dalam pengurangan risiko bencana dengan prinsip berbagi atau sharing kasus yang baik dari sektor yang berbeda, dilengkapi dengan berbagi peranan antar aktor, dimana hal ini akan membuat ruang komunikasi antar aktor secara efektif yang dapat merespon bencana dengan tepat. PRB memerlukan peran antarsektor, serta peran utama yang diasumsikan dilakukan oleh pemerintah. Kerjasama yang baik antara administrator publik, lembaga lokal/ internasional, serta pemerintahan dalam negeri akan membentuk sebuah sistem yang mendukung peranan antar-sektor dalam respon terhadap bencana dan pemulihannya. Selain pelibatan multi-aktor, kepemerintahan bencana juga melibatkan multi-sektor serta adanya koordinasi dalam kemitraannya dalam kerja kemanusiaan. Sementara itu, Span dkk (2012) memberikan tekanan pada pelibatan peran masyarakat lokal dalam sebuah jaringan (network) dalam tata kelola bencana. Span dkk menjelaskan peran tata kelola pada dasarnya adalah untuk mengatur sektor masyarakat lokal, dimana hal ini melibatkan jaringan untuk mendukung peranan tersebut. Jaringan dalam pembangunan sektor masyarakat lokal akan membentuk sebuah mekanisme khusus dalam masing-masing sektor masyarakat lokal tersebut. Masyarakat lokal memiliki posisi yang strategis dalam membangun tata kelola setiap negara, didukung oleh jaringan yang luas akan meningkatkan mekanisme hasil yang berpengaruh terhadap karakteristik dan kinerja dari organisasi. Lebih jauh, Span dkk menemukan bahwa bentuk dari tata kelola lokal akan meningkatkan public agent yang lebih efektif dan terorganisir dengan baik. 1.2. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan bentuk kepemerintahan bencana
Kepemerintahan Bencana ... (Anita Afriani Sinulingga, Apriwan, Haiyyu Darman Moenir)
105
di Sumatera Barat. Berangkat dari konsep tersebut, bentuk kepemerintahan bencana akan tergambar dengan menurunkan karakteristik dari konsep Kepemerintahan Bencana. Bentuk kepemerintahan bencana yang diterapkan menjelaskan tata kelola bencana di Sumatera Barat serta kesiapan Sumatera Barat dalam menghadapi risiko bencana. 1.3. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Provinsi Sumatera Barat. Adapun waktu pengambilan data dilakukan selama sekitar satu bulan, yakni pada bulan Oktober 2013. 2.
METODOLOGI
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan didisain berupa penelitian deskriptif. Moleong (2010) menjelaskan desain riset seperti ini bermanfaat untuk mempelajari fenomena sosial dengan tujuan menjelaskan dan menganalisa perilaku manusia dan kelompok, dari sudut pandang yang sama sebagai objek yang diteliti melihat masalah tersebut. Penelitian ini lebih mengutamakan kualitas data yang diperoleh karena yang akan diteliti merupakan data analisis dari penyampaian informan terkait dengan masalah ini dan data-data yang diperoleh melalui media sekunder. Lebih lanjut, jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yaitu data yang diperoleh dari wawancara langsung dari subyek atau informan; dan data sekunder yang diperoleh dari arsiparsip atau dokumentasi yang relevan dengan permasalahan penelitian. Pemilihan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Dengan demikian informan dalam penelitian ini adalah pihak yang terkait dan terlibat langsung terkait dengan permasalahan penelitian seperti pemerintahan provinsi melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sumatera Barat, 106
organisasi-organisasi masyarakat atau LSM yang terkait dengan isu bencana. Dalam penelitian, pengumpulan data menggunakan 3 (tiga) teknik sebagai berikut. Pertama, Wawancara mendalam (indepth interview) dilakukan untuk mendapatkan data primer yang sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan analisis data. Untuk memfokuskan pencarian data sesuai dengan permasalahan maka wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara dengan pertanyaan terstruktur yang telah dipersiapkan. Kedua, studi literatur merupakan metode yang penting dilakukan dalam penelitian ini dimana untuk mendapatkan pemikiran dan data-data tentang kepemerintahan bencana, khususnya di Sumatera Barat. Ketiga, studi dokumentasi dilakukan terhadap dokumen resmi, fotofoto, dan arsip-arsip lain yang terkait dengan masalah penelitian. Selanjutnya, untuk memperoleh keabsahan data secara maksimal peneliti menggunakan teknik triangulasi sumber (informasi). Moleong menjelaskan triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Triangulasi sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif, yang dapat dicapai dengan membandingkan pendapat antara satu sumber infomasi dengan sumber informasi lainnya. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 . Kepemerintahan Bencana di Sumatera Barat Dalam upaya memahami konsep Kepemerintahan Bencana, maka sebelumnya penting untuk memahami konsep Kepemerintahan (Governance). The Commisision of Global Governance (1995) mendefinisikan Kepemerintahan sebagai suatu kumpulan dari individu dan institusi,
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 104-114
publik atau swasta yang mengurusi hubungan yang menjadi persamaan dalam hubungan mereka. Rhodes (1996) menjelaskan konsep Kepemerintahan menawarkan pendekatan non-tradisional untuk menganalisis kompleksitas dari proses pengambilan kebijakan. Kolerasi Kepemerintahan pada penetrasi dari aktor non-pemerintah bukan hanya sebagai aktor dalam penyusunan kebijakan, tetapi juga bagian dari sebuah jaringan. Karena itu, konsep Kepemerintahan dipertimbangkan sebagai self organizing dan adanya ruang yang leluasa dari kewenangan pemerintah untuk dapat mengembangkan kebijakan mereka sendiri dan melahirkan lingkungan mereka sendiri. Negara bukan lagi menjadi elemen pusat, tetapi interaksi antar aktor diatur oleh aturan melalui serangkaian negosiasi dan persetujuan dari jaringan yang terlibat. Lassa (2010) menjelaskan bahwa konsep kepemerintahan dalam konteks pengurangan risiko bencana merupakan sebuah alternatif dalam bentuk pendekatan kebijakan dan regulasi yang berbeda dari bentuk pembuatan kebijakan tradisional dari hierarki aktivitas pemerintah dimana bentuk kebijakan seperti ini bersifat inklusif dan berusaha memanfaatkan peran dari berbagai sektor. Kepemerintahan bencana berusaha untuk menjelaskan kompleksitas dari proses pembuatan keputusan dalam manajemen bencana termasuk beragam interaksi yang terlibat dalam jaringan kemanusiaan. Jika manajemen pengurangan risiko bencana hanya mengutamakan pendekatan administratif, maka kepemerintahan bencana melengkapinya dengan pendekatan institusi yang heterogen dengan pendekatan yang lebih beraneka ragam, multi-level, multi-stakeholder disertai dengan keterlibatan institusi formal (hukum, regulasi dan kebijakan) dan informal (norma, budaya, kebiasaan) serta tingkatan aktor atau agensi (lokal, nasional, global). Srikandini (2004) menjelaskan Kepemerintah Bencana dapat ditandai paling tidak dengan 5 (lima) karakteristik, antara lain Serangkaian Regulasi, Partisipasi Masyarakat (Keterlibatan Non-Pemerintah), Jaringan,
Pendekatan Plurisentris didalam proses pembuatan keputusan, Kepemerintahan tanpa Memerintah. Selanjutnya, bagaimana gambaran bentuk Kepemerintahan Bencana di Sumatera barat akan dijelaskan dengan menggunakan kelima indikator tersebut. 3.1.1. Serangkaian Regulasi Untuk dapat menggambarkan kepemerintahan bencana di Sumatera Barat, maka sebelumnya perlu untuk menguraikan serangkaian regulasi yang terkait dengan manajemen bencana. Kohler-Koch (2005) menjelaskan konsep kepemerintahan sendiri yang terbangun dilandasi serangkaian norma, proses nilai dan institusi yang digunakan untuk mengatur pembangunan dan penanganan konflik dari bencana. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa mempelopori upaya pengurangan risiko bencana dengan menyerukan ke seluruh dunia untuk lebih memprioritaskan upaya pengurangan risiko bencana sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam pembangunan berkelanjutan. Perhatian PBB terhadap masalah pengurangan risiko bencana (PRB) dimulai dengan dikeluarkannya resolusi dalam sidang Majelis Umum ke-2018 mengenai Bantuan dalam Situasi Bencana Alam dan Bencana Lainnya pada tanggal 14 Desember 1971. Resolusi ini kemudian ditindaklanjuti dengan Resolusi No. 46/182 Tahun 1991 mengenai Penguatan Koordinasi Bantuan Kemanusiaan PBB dalam Hal Bencana. Pada tanggal 30 Juli 1999, Dewan Ekonomi dan Sosial PBB mengeluarkan Resolusi No. 63 Tahun 1999 tentang Dekade Pengurangan Risiko Bencana Internasional. Dalam resolusi ini, Dewan Ekonomi dan Sosial mengharapkan agar PBB memfokuskan tindakan kepada pelaksanaan Strategi Internasional untuk Pengurangan Risiko Bencana (International Strategy for Disaster Reduction/ ISDR). Strategi ini merupakan landasan dari kegiatankegiatan PBB dalam PRB, yang sekaligus memberikan arahan kelembagaan melalui pembentukan kelompok kerja lintas instansi/
Kepemerintahan Bencana ... (Anita Afriani Sinulingga, Apriwan, Haiyyu Darman Moenir)
107
lembaga/ organisasi. Strategi PRB mencakup kegiatan-kegiatan jangka menengah hingga jangka panjang, yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Resolusi No. 63 tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Majelis Umum dengan mengeluarkan Resolusi No. 56/195 tanggal 21 Desember 2001, yang menetapkan peringatan Hari Pengurangan Risiko Bencana Internasional dalam usaha mendorong agar upaya-upaya berkelanjutan PRB menjadi agenda tahunan negara-negara peratifikasi. Agenda PRB juga dilanjutkan dengan Konferensi Sedunia tentang Pengurangan Risiko Bencana (World Conference on Disaster Reduction) diselenggarakan tanggal 18-22 Januari 2005 di Kobe, Hyogo, Jepang dan berhasil mengadopsi Kerangka Kerja Aksi 2005-2015: Membangun Ketahanan Bangsa dan Komunitas terhadap Bencana (Framework for Action 2005-2015: Building the Resilience of Nations and Communities to Disasters). Konferensi tersebut memberikan suatu kesempatan unik untuk menggalakkan suatu pendekatan yang strategis dan sistematis dalam meredam kerentanan (vulnerability) dan risiko terhadap bahaya (hazard). Konferensi tersebut menekankan perlunya mengidentifikasi cara-cara untuk membangun ketahanan bangsa dan komunitas terhadap bencana. Adapun Prioritas Aksi 2005-2015 meliputi lima prioritas yaitu : 1. Memastikan bahwa pengurangan risiko bencana merupakan sebuah prioritas nasional dan lokal dengan dasar kelembagaan yang kuat untuk pelaksanaannya. 2. Mengidentifikasi, mengkaji dan memonitor risiko-risiko bencana dan meningkatkan peringatan dini. 3. Menggunakan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun sebuah budaya keselamatan dan ketahanan di semua tingkat. 4. Meredam faktor-faktor risiko yang mendasari. 5. Memperkuat kesiapsiagaan bencana untuk respon yang efektif di semua tingkat (Warta PSBA, 2009). 108
Di level nasional, masalah bencana dikelola oleh BNPB dengan mengacu kepada Rencana Aksi Nasional tentang Pengurangan Risiko Bencana (RAN-PRB) tahun 2007. Rencana aksi nasional tersebut disusun sebagai bentuk komitmen dari Pemerintah Indonesia terhadap resolusi PPB No. 63 Tahun 1999 yang ditindaklanjuti dengan Kerangka Kerja Hyogo dan Aksi Beijing. Sejalan dengan amanat UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 35 bahwa salah satu penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah pengurangan risiko bencana. Pengurangan risiko bencana adalah upaya sistematis untuk mengembangkan dan menerapkan kebijakan, strategi dan tindakan yang dapat mengurangi kerentanan dan risiko bencana yang dihadapi masyarakat, guna menghindari dan membatasi dampak negatif dari bencana. Lebih lanjut, melalui PP No. 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dinyatakan bahwa rencana aksi pengurangan risiko bencana terdiri dari rencana aksi nasional pengurangan risiko bencana (RAN PRB) dan rencana aksi daerah pengurangan risiko bencana. RAD PRB merupakan dokumen daerah yang disusun melalui proses koordinasi dan partisipasi stakeholder yang memuat landasan, prioritas, rencana aksi serta mekanisme pelaksanaan dan kelembagaannya bagi terlaksananya pengurangan Risiko bencana di daerah. RAD PRB berisi prioritas dan strategi pemerintah daerah untuk mengurangi risiko bencana dalam rangka membangun kesiapsiagaan dan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana. RAD PRB disusun secara menyeluruh dan terpadu dalam suatu forum yang meliputi unsur dari pemerintah daerah, non-pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha di daerah yang bersangkutan yang dikoordinasikan oleh BPBD. Sejauh ini, Provinsi Sumatera Barat telah memiliki beberapa aturan terkait masalah kebencanaan yaitu Perda Sumbar No. 5 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Daerah Sumatera Barat No. 9 Tahun 2009 tentang Pembentukan BPBD Sumbar,
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 104-114
sementara itu RAD PRB provinsi masih dalam tahap penyusunan. Meskipun pada level provinsi rencana aksi tersebut belum terealisasi namun pemerintah kota Padang telah memiliki RAD PRB kota dan Protap Penanggulangan Bencana, yang saat ini telah diuji dalam evacuation drill (Bapennas). 3.1.2. Partisipasi Masyarakat (Keterlibatan Aktor Non-Pemerintah) Keterlibatan masyarakat telah memperlihatkan pentingnya partisipasi masyarakat dalam kepemerintahan bencana. Kohler-Koch (2005) menyatakan bahwa esensi kepemerintahan adalah tentang cara dan alat dimana perbedaan preferensi-preferensi masyarakat diterjemahkan menjadi pilihan kebijakan yang efektif, tentang bagaimana pluraritas kepentingan–kepentingan masyarakat ditranformasikan menjadi aksi bersama (uniter) dan kepatuhan aktor-aktor sosial dicapai. Masyarakat di dalam bencana menjadi penggerak dalam program-program kemanusiaan. Masyarakat memainkan sebuah peran penting untuk berpartisipasi dan menginisiasi implementasi dari programprogram tersebut. Dalam upaya pengurangan risiko bencana, ketangguhan masyarakat menjadi hal yang sangat penting untuk disiapkan. Upaya untuk menyatukan berbagai komponen masyarakat salah satunya adalah melalui Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Provinsi Sumatera Barat. Sejak dikukuhkan oleh Gubernur Sumatera Barat pada 30 September 2010, Forum Pengurangan Risiko Bencana Provinsi Sumatera Barat telah menjadi wadah untuk saling berbagi pembelajaran antar anggotanya yang berasal dari berbagai komponen masyarakat. Sejauh ini, lebih dari 100 (seratus) organisasi terlibat dalam inisiasi pembentukan forum ini. Berbagai diskusi digelar melalui forum “cofee morning” untuk mendapatkan berbagai ide dan aspirasi anggota untuk kemudian dijadikan agenda bersama. Upaya tersebut mendapatkan kendala ketika sulitnya melibatkan SKPD
terkait dan masalah mutasi dari anggota. Forum PRB juga berfungsi membantu advokasi tentang masalah penanggulangan bencana, termasuk yang masih terus dilakukan hingga saat ini adalah agar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat bisa memasukkan pengurangan risiko bencana dalam kurikulum sekolah. Pelibatan masyarakat dalam usaha pengurangan risiko juga diinisiasi oleh BPBD Kabupaten Agam yang berupaya menggalang partisipasi masyarakat untuk terlibat aktif melalui kegiatan sosialisasi yang dilakukan di berbagai tempat, mulai dari warung kopi, kelompok pengajian, acara kesenian, perkumpulan olahraga hingga menjalin kerjasama dengan banyak ormas termasuk berkolaborasi dengan para jurnalis dengan membentuk Komunitas wartawan Siaga Bencana Kabupaten Agam agar informasi pengurangan risiko bencana bisa menyebar luas. Kondisi tersebut terlihat di Nagari Canduang Koto Laweh Kabupaten Agam. Sementara itu di Kabupaten Padang Pariaman, upaya PRB oleh BPBD kabupaten banyak melibatkan tokoh adat sebagai pintu masuknya melalui pertemuan-pertemuan informal dengan masyarakat. Untuk mendapat masukan dan menjalin koordinasi, setiap hari Rabu, BPBD Kabupaten Padang Pariaman mengadakan pertemuan rutin dengan LSM, serta komunikasi dengan kelompok siaga bencana juga rutin dilakukan melalui media radio komunikasi. Khususnya di Nagari Dusun Olo Desa Sunur, Kecamatan Nan Sabaris Kabupaten Padang Pariaman, kelompok siaga bencana menjadi garda depan dalam kegiatan pengurangan risiko bencana. Lebih jauh tentang kelompok siaga bencana Dusun Olo Desa Sunur, Kecamatan Nan Sabaris Kabupaten Padang Pariaman memperlihatkan ketangguhannya ketika terjadi bencana gempabumi 2009. Kesulitan untuk mendapatkan makanan dan obatobatan ketika bencana terjadi mendorong inisiatif kelompok tersebut untuk membuat kebun ketahanan pangan dan apotik hidup. Hasil dari kebun tersebut juga digunakan untuk membiayai keberlanjutan program dari
Kepemerintahan Bencana ... (Anita Afriani Sinulingga, Apriwan, Haiyyu Darman Moenir)
109
kelompok siaga bencana. Pada level sekolah, upaya pengurangan risiko bencana juga sudah mulai dilakukan seperti yang dilakukan di SD Negeri 08 Nan Sabaris Kabupaten Padang Pariaman. Di sekolah tersebut, baik guru dan murid, sudah dilatih tentang upaya pengurangan risiko bencana termasuk kesiapsiagaan sektor air bersih, sanitasi, dan promosi kesehatan (Oxfam Indonesia). 3.1.3. Jaringan Cadribo menjelaskan kompleksitas proses pembuatan keputusan sama halnya dengan interaksi dalam kepemerintahan jaringan kerja terdapat di dalam dua level kebijakan. Tingkat pertama berada di tingkat pusat yang bertanggung jawab terhadap perencanaan kebijakan, koordinasi dan kerangka kerja institusional, dan dalam proses legislasi. Tingkat lokal selanjutnya mendesentralisasikan struktur dimana memberikan peluang untuk partisipasi. BNPB merupakan aktor sentral yang mengkoordinasikan respon pemerintah bersama BPBD, pada level yang berbeda. Bencana Gempabumi tanggal 30 September 2009 mengundang banyak perhatian dunia internasional, baik negara maupun non negara. Selain negara, dalam hal ini BNPB dan BPBD, terdapat agensi kemanusiaan yang berperan dalam aksi kemanusiaan tersebut. Seperti yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing nonPemerintah dalam Penanggulangan Bencana, lembaga internasional dan lembaga asing non-pemerintah dapat turut serta membantu pemerintah dan masyarakat Indonesia dalam upaya-upaya penanggulangan bencana. Pranoto, dkk (2011) menjelaskan bahwa keterlibatan lembaga internasional dan lembaga asing non-pemerintah dalam masa tanggap darurat dikoordinasikan oleh kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa 110
untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (UN Office for the Coordination of Humanitarian Affairs–UN OCHA). UN OCHA melanjutkan fasilitas koordinasi dalam masa pemulihan dini dan pelaksanaan awal rehabilitasi dan rekonstruksi pada bulan Januari - April 2010, kemudian dilanjutkan oleh Kantor PBB untuk Koordinator Residen/Koordinator Urusan Kemanusiaan (UNR/HC–United Nations Office the Humanitarian/Resident Coordinator) dari bulan Mei 2010 sampai Maret 2011. Selanjutnya, dalam masa pasca bencana, melalui Pendekatan IASC (Intergency Standing Committee–Komite Tetap Antar Badan) yang dikoordinasikan olen UN-OCHA terhitung sejak 1 Oktober 2009, aksi kemanusiaan diorganisir melalui pendekatan klaster-klaster yang disesuaikan dengan kebutuhan Sumatera Barat pasca gempabumi 2009 seperti berikut ini: 1. Cluster Early Recovery (Pemulihan dini) 2. Cluster Shelter (Hunian) 3. Cluster Agriculture and Livelihood (Pertanian dan Mata Pencaharian) 4. Cluster Food and Nutrition (Pangan dan Gizi) 5. Cluster Health (Kesehatan) 6. Cluster Protection (Perlindungan) 7. Cluster Education (Pendidikan) 8. Cluster Logistics (Logistik) 9. Cluster WASH/Water and Sanitation and Hygiene (Air,Sanitasi, dan Higienis) 10. Cluster Emergency Telecommunication (Komunikasi untuk Tanggap Darurat) Interaksi aktor-aktor kemanusiaan didalam sebuah jaringan bertumpu pada pentingnya untuk pertukaran sumberdaya seperti informasi dan pendanaan. Pola ini diasosiasikan dengan salah satu bentuk kepemerintahan yang disebut “self-organizing netwoks” dimana jaringan ini disusun sebagai organisasi untuk pertukaran sumber daya untuk mencapai tujuan mereka, untuk memaksimalkan pengaruh mereka, dan untuk mencegah ketergantungan pada aktor lain dalam permainan tersebut. Kepemerintahan tersebut terlihat dalam kolaborasi kerja antara pemerintah dan berbagai lembaga
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 104-114
Tabel 1. Kolaborasi kerja antara pemerintah dan berbagai lembaga kemanusiaan internasional No
Nama Klaster
Koordinator Klaster
1
Pemulihan dini
UNDP bersama Bappeda Provinsi
2
Hunian
IFRC
3
Pertanian dan Mata Pencaharian
FAO dan UNDP
4
Pangan dan Gizi
WFP dan UNICEF
5
Kesehatan
WHO dan Dinas Kesehatan Provinsi
6
Perlindungan
UNFPA bersama dengan Dinas Sosial
7
Pendidikan
UNICEF, Save the Children, dan Dinas Pendidikan Provinsi
8
Logistik
WFP dan IOM serta IMC (International Medical Corps), dan ACF (Action Contre la Faim)
9
Air, Sanitasi, dan Higienis
UNICEF
10
Komunikasi untuk Tanggap Darurat
WFP dan TSF (Telecom Sans Frontieres)
Sumber : Diolah dari Pranoto, Sugimin, dkk, Lessons learned : pembelajaran rehab rekon pasca gempa di Sumatera Barat, 30 September 2009: Building Back Better, Tim Pendukung Teknis Rehabilitasi dan Rekonstruksi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Padang, 2011
kemanusiaan internasional, seperti tergambar pada Tabel 2. 3.1.4. Pendekatan Pluri-sentris di Dalam Proses Pembuatan Keputusan Jon Kooiman dalam Rhodes (1996) menyatakan bahwa kepemerintahan dapat dilihat sebagai pola atau struktur yang hadir dalam sebuah sistem sosial politik sebagai sebuah keputusan “bersama” atau hasil dari usaha-usaha intervensi interaktif dari seluruh aktor yang terlibat. Pasca bencana gempabumi Sumatera barat 2009, proses rehabilitasi dan rekonstruksi dilaksanakan meliputi empat sektor yaitu sektor perumahan, infrastruktur, sosial dan ekonomi produktif. Sektor perumahan merupakan sektor dengan lingkup kegiatan yang luas dan pendanaan yang relatif besar. Berdasarkan hasil rapat kabinet terbatas antara Presiden bersama Kemenko Kesra, Kemenko Perekonominan, Kementerian
Keuangan, Bappenas, BNPB dan Gubernur Sumatera Barat pada tanggal 05 Oktober 2009, maka untuk kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi perlu dibentuk Tim Task Force, yaitu Tim Pendukung Tim Teknis Rehabilitasi dan Rekonstruksi (TPT RR) Sumatera Barat. TPT RR merupakan perpanjangan tangan dari BNPB di provinsi. Adapun keanggotaan TPT RR tersebut adalah Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD), International Agency dan lembaga internasional nonpemerintah. Sebagai pelaksanan kegiatan fisiknya merupakan tanggung jawab dari pemerintah provinsi melalui SKPD terkait yaitu Dinas Prasarana Jalan dan Tata Ruang dan Pemukiman (Prasjaltarkim). Seiring dengan lahirnya Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) pada tahun 2010, muncul masalah terkait koordinasi dan pembagian kewenangan antara TPT RR dan BPBD provinsi. Namun dengan arahan dari BNPB kepada BPBD provinsi, maka TPT RR dalam menjalankan kegiatan sesuai dengan bidang tugasnya.
Kepemerintahan Bencana ... (Anita Afriani Sinulingga, Apriwan, Haiyyu Darman Moenir)
111
Lebih lanjut, unit tugas tersebut juga sangat efektif dalam mendukung pemerintah provinsi dalam mempersiapkan suatu sistem dan strategi pelaksanaan serta mengkoordinasikan berbagai institusi/ lembaga dalam menangani rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa (Pranoto dkk, 2011). Keterlibatan berbagai organisasi kemanusiaan menjadi sebuah gambaran kepemerintahan bencana. 3.1.5. Kepemerintahan Tanpa Pemerintahan Konsep Kepemerintahan tanpa Pemerintahan berkaitan dengan karakteristik Kepemerintahan, yang menekankan pentingnya aktor non-pemerintah dalam proses pembuatan keputusan. Pada Desember akhir tahun 2009, berbagai aktivitas kemanusiaan di Sumatera Barat berangsur-angsur menurun. Hal ini ditandai dengan banyaknya kegiatan kemanusiaan internasional dan lembaga asing non-pemerintah, dan berhentinya sebagian besar klaster yang aktif di Provinsi Sumatera Barat. Para pelaku kegiatan kemanusiaan secara bertahap melakukan transisi dari kegiatan tanggap darurat menjadi pemulihan dini. Kantor Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) menjalankan fungsi fasilitas koordinasi antara pemerintah dan klaster, serta antar klaster yang masih aktif, antara lain Klaster Pemulihan Dini, Hunian, Kesehatan, Pendidikan, Perlindungan untuk Pengarusutamaan Gender serta Air, Sanitasi dan Higienis. Kegiatan transisi masingmasing klaster dan tanggap darurat menjadi pemulihan dini ditandai dengan semakin kuatnya peran advokasi masing-masing klaster dan memberikan masukan-masukan yang mempengaruhi kebijakan dan petunjuk teknis pelaksanaan rencana aksi rehabilitasi dan rekonstruksi oleh Pemerintah Indonesia. Advokasi atas isu-isu lintas sektor seperti isu gender, lingkungan, dan pengurangan risiko bencana mewarnai pertemuan-pertemuan koordinasi klaster yang dipimpin secara bersama-sama oleh masing-masing organisasi pemimpin klaster 112
dan pemerintah dari berbagai instansi yang terkait. Proses transisi ini ditandai pula dengan meningkatnya peran aktif pemerintah yang diwakili oleh Tim Pendukung Teknis (TPT) Rehabilitasi dan Rekonstruksi dari BNPB. TPT RR secara perlahan-lahan mengambil alih fungsi koordinasi pemulihan sesuai dengan mandat pemerintah dalam penanggulangan bencana. Pertemuan koordinasi umum yang dihadiri oleh seluruh anggota klaster-klaster yang masih aktif dipimpin secara bersamasama oleh TPT RR dan OCHA selama periode Januari-April 2010. Selama periode Januari-April 2010, masing-masing organisasi pemimpin klaster bertanggung jawab atas operasional, efektifitas dan efisiensi klaster yang dipimpinnya. OCHA sebagai koordinator antar-klaster bertanggung jawab memastikan keselarasan dan harmonisasi antar-klaster agar kebutuhan dan kesenjangan lintas sektor dapat terpenuhi melalui koordinasi, kerja sama dan kolaborasi sumber daya antar klaster. Untuk memudahkan koordinasi, setiap lembaga internasional dan lembaga asing non-pemerintah harus mendaftarkan keikutsertaannya dalam kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dengan memberikan proposal program kerja dan kegiatan selama tinggal di Sumatera Barat. Dengan berakhirnya masa pemulihan dan dimulainya tahap rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempabumi 2009 dan banyaknya lembaga serta LSM baik lokal maupun internasional yang sudah mengakhiri misinya di Sumatera Barat, koordinasi dengan pendekatan in-country cluster (cluster dalam negeri) berlanjut dengan pendekatan Working Group (Kelompok Kerja). Pendekatan ini dikoordinasikan oleh UN RC/HC melalui Early Recovery Network/ERN (Jaringan Pemulihan Awal) dengan memfasilitasi pembentukan 2 (dua) kelompok kerja baru yaitu Disaster Risk Reduction (Pengurangan Risiko Bencana (DPR) dan IDP/Internally Displaced Persons and Relocations (Pengungsi dan Relokasi), bersama ketujuh klaster yang masih aktif. Kelompok kerja tersebut dibentuk untuk membangun kemampuan lokal dalam hal PRB, membantu perumusan kerangka rencana
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 104-114
kerja untuk menangani kebutuhan pengungsi di Kabupaten Agam (Kecamatan Raya dan Malalak) dan Kabupaten Padang Pariaman. 4. KESIMPULAN Kepemerintahan Bencana mempromosikan gagasan dimana melibatkan banyak aktor dengan berbagai arena, sebagai pusat kerjasamanya adalah sebuah otoritas untuk proses pembuatan dan tanggung jawab dari kebijakan pengurangan risiko bencana. Melalui lima karakteristik konsep Kepemerintahan Bencana tergambar bentuk kepemerintahan serta tata kelola bencana yang diterapkan di Sumatera Barat. Kepemerintahan Bencana Sumatera Barat ditandai dengan adanya serangkaian regulasi, keterlibatan masyarakat (aktor nonpemerintahan), jaringan, pendekatan plurisentris di dalam proses pembuatan keputusan, dan kepemerintahan tanpa pemerintahan. Sejauh ini, pemerintah Sumatera Barat masih dalam tahap penyusunan Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana. Keterlibatan berbagai aktor berperan dalam upaya tata kelola bencana mulai dari aktor negara (BNPB, BPBD dan SKPD terkait) hingga aktor non negara (organisasi pemerintah dan NGO lokal dan internasional) serta masyarakat membentuk jaringan kerja kemanusiaan dengan pendekatan pluri-sentris. Koordinasi dalam kemitraan di antara seluruh aktor kemanusiaan dalam penanganan bencana menggambarkan sebuah kepemerintahan. Jika kembali kepada konsep kepemerintahan, masyarakat seharusnya mempunyai peranan yang signifikan dalam penanggulangan bencana. Peranan masyarakat di Sumatera Barat dalam isu kebencanaan relatif masih kecil, tidak massif, dan kurang memadai untuk menciptakan masyarakat tangguh terhadap bencana. Dalam konteks ini, masyarakat tidak dipandang hanya sebagai penerima manfaat (beneficiaries) atau pelaksana dari program-program yang disusun oleh pemerintah dan lembaga internasional. Masyarakat menjadi inisiator dari program-
program dalam aksi penanggulangan bencana serta dilibatkan dalam perumusan setiap regulasi, kebijakan dan program-program kemanusiaan tersebut. Sejalan dengan tren Pengurangan Risiko Bencana berbasis komunitas, maka penguatan kapasitas masyarakat menjadi sebuah keharusan. Jika kepemerintahan bencana lebih jauh dapat digunakan untuk menganalisis kesiapan Sumatera Barat dalam menghadapi bencana maka dapat dikatakan bahwa kesiapan tersebut sangat dipengaruhi oleh keberadaan lembaga-lembaga non-pemerintah, terutama lembaga internasional. Meskipun “bencana” sendiri menuntut keterlibatan multi-aktor dan multi-sektor, namun penguatan kapasitas nasional terutama ketangguhan masyarakat merupakan prasyarat menuju masyarakat dan negara tangguh terhadap bencana. DAFTAR PUSTAKA Bencana Ditinjau dari Aspek Pengetahuan dan Praktis, diakses dari http://politik.lipi. go.id/in/kegiatan/tahun-2010/342-focusgroup-discussion-bencana-ditinjau-dariaspek-pengetahuan-dan-praktis.html Berbagi Pengalaman untuk Kesiapsiagaan, Oxfam in Indonesia, http://www. oxfamblogs.org/indonesia BPBD Provinsi Sumatera Barat, Rencana Kontinjensi Menghadapi Bencana Tsunami Provinsi Sumatera Barat Cadribo, F., Disaster Risk Reduction and Disaster Governance http://www.unisrd. org Commision on Global Governance. (1995). Our Global Neighbourhood, Oxford University Press. New York. Crisis Management on National and International Disaster Response diakses dari http://politik.lipi.go.id/in/kolom/aksikemanusiaan/52-crisis-managementon-national-and-international-disasterresponse-.html ISDR. (2005). Hyogo Framework for Action 2005-2015: Building The Resilience of Nations and Communities to Disaster,
Kepemerintahan Bencana ... (Anita Afriani Sinulingga, Apriwan, Haiyyu Darman Moenir)
113
International Strategy for Disaster Reduction. Kapucu, N. (2009). Public Administrator and Cross-Sectoral Governance in Response to and Recovery from Disaster, Administration and Society. Sage. Kohler-Koch, B. (2005). European Governance & System Integration. European Governance Paper. Lassa, J. (2010). Institutional Vulnerability and the Governance of Disaster risk Reduction: Macro, Meso and Micro Analysis, United Nations University, Instutute of Environmental and Human Security. Moleong, L. (2010). Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosda Karya. Bandung. Pranoto, S., dkk. (2011) Lessons learned: Pembelajaran Rehab Rekon Pasca Gempa di Sumatera Barat, 30 September 2009: Building Back Better, Tim Pendukung Teknis Rehabilitasi dan Rekonstruksi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Padang, Rhodes, R. A. W. 1996). The New Governance: Governing Without Governance. Political Studies. XLIV. Span, K. C. L., K. G. Luijkx, J. M. G. A. Schols, and R. Schalk. (2012). The Relationship Between Governance and Performance in Local Public, Interorganizational Networks: A Conceptual Analysis. The American Review of Public Administration. 42 (2). Srikandini, A. G. (2004). Humanitarianism and Disaster Governance in Indonesia: Case Study: Merapi Eruption. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 15 (3). Warta PSBA. (2009). Pusat Studi Bencana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 15 (1).
114
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 104-114
PENERAPAN TEKNOLOGI MODIFIKASI CUACA (TMC) UNTUK MENGATASI KABUT ASAP AKIBAT KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN OKTOBER 2012 Djazim Syaifullah
Abstract The implementation of Weather Modification Technologies to cope with the disaster and smoke from forest fires in South Kalimantan has been done on 10 to 28 October 2012. The operation was supported by 1 (one) unit of CASA 212-200 aircraft and has a flight seeding for 18 times. The weather was influenced by synoptic and local factors. The weak phase on El Nino was occure until the end October, the existence of tropical cyclone resulting in the difficulty of potential cloud formations in target area. During the activites, rainfall occured almost every day at various places in the province of South Kalimantan with varying intensity. At the end of the activity the air condition tend to start to improve and the visibilityhas already reached approximately 8 kilometres from morning until noon. Ilustrasi Pelaksanaan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) untuk mengatasi bencana asap akibat kebakaran lahan dan hutan di Provinsi Kalimantan Selatan telah dilakukan pada tanggal 10 sampai 28 Oktober 2012. Pelaksanaan operasi ini didukung oleh 1 (satu) unit pesawat CASA 212200 dan telah melakukan penerbangan penyemaian selama 18 kali. Kondisi cuaca di Provinsi Kalimantan Selatan dipengaruhi oleh faktor global dan lokal. Elnino lemah berlangsung sepanjang awal hingga akhir bulan Oktober. Munculnya siklon tropis mengakibatkan sulitnya terbentuknya awan potensial di daerah target. Namun demikian selama kegiatan TMC, hujan terjadi hampir setiap hari di berbagai tempat di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan dengan intensitas yang bervariasi, sehingga dapat digunakan untuk pembasahan tanah untuk mengurangi jumlah hotspot. Pada akhir kegiatan kondisi udara cenderung mulai membaik dilihat dari visibility sudah mencapai kurang lebih 8 kilometer dari pagi sampai siang hari. Keywords : Bencana asap, Kebakaran lahan dan hutan, TMC.
1. PENDAHULUAN Ancaman El-Nino tahun 2012 telah diperkirakan oleh Badan Meteorologi Dunia (WMO) dalam press release-nya, bahwa El Nino kemungkinan terjadi selama periode bulan Juli sampai dengan September tahun 2012. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Penerapan Teknologi ... (Djazim Syaifullah)
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), bahwa bulan Juli 2012 wilayah Indonesia sudah dalam fase El Nino lemah dan diprediksi akan meningkat sampai fase moderat hingga akhir tahun. Kondisi ini dapat menimbulkan ancaman kekeringan di sejumlah daerah. Dampak El Nino di Indonesia sudah mulai dirasakan di wilayah 115
Sumatera, Jawa dan Kalimantan sejak bulan Juli 2012, ditandai dengan munculnya titik panas (hotspot) dengan jumlah yang cukup tinggi. Berdasarkan pemantauan hotspot dari data satelit National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), terhitung sejak tanggal 1 Januari 2012 sampai dengan tanggal akhir Agustus 2012 di wilayah Indonesia terpantau hotspot mencapai sekitar 21 ribu titik yang sebarannya terkonsentrasi di wilayah Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Dengan memperhatikan pola historis kejadian hotspot di wilayah Kalimantan, yang biasanya mencapai puncaknya pada periode bulan Agustus, September dan Oktober, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bekerjasama dengan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Hujan Buatan – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengambil langkah antisipasi dengan melakukan operasi pemadaman kebakaran lahan dan hutan dari udara melalui pelaksanaan operasi penerapan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) atau yang sering dikenal dengan istilah hujan buatan. Kerjasama ini tertuang dalam Nota Kesepahaman antara BNPB dengan BPPT Nomor: MoU.20A/SU/BNPB/VIII/2012 tentang Pemanfaatan Teknologi Modifiaksi Cuaca (Hujan Buatan). Secara regulasi, peranan TMC untuk mitigasi bencana kebakaran lahan dan hutan telah tertuang dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Lahan dan hutan, dimana Presiden RI memberikan instruksi kepada Menteri Riset dan Teknologi untuk melakukan koordinasi dalam pemberian bantuan penanganan kebakaran lahan dan hutan dengan menggunakan teknologi pembuatan hujan buatan. Tulisan ini memberikan kajian hasil pelaksanaan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) untuk mengatasi asap akibat kebakaran lahan dan hutan di Provinsi Kalimantan Selatan yang dilaksanakan pada bulan Oktober 2012, selain kajian hotspot dan jarak pandang (visibility). 116
1.1. Konsep Teknologi Modifikasi Cuaca untuk Kebakaran Hutan Teknologi Modifikasi Cuaca telah dikembangkan di Indonesia sejak tahun 1977 dan saat ini peranannya semakin dibutuhkan dalam mengatasi bencana yang disebabkan oleh iklim dan cuaca, seperti bencana kekeringan, banjir, dan kabut asap/kebakaran lahan dan hutan. Penerapan TMC untuk mengatasi kabut asap dan kebakaran lahan dan hutan sudah beberapa kali diterapkan di Indonesia seperti pada tahun 1997, 2001, 2003, 2005, 2006, 2009 dan 2011. Secara regulasi, peranan TMC untuk mitigasi bencana kebakaran lahan dan hutan telah tertuang dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Lahan dan hutan, dimana Presiden RI memberikan instruksi kepada Menteri Riset dan Teknologi untuk melakukan koordinasi dalam pemberian bantuan penanganan kebakaran lahan dan hutan dengan menggunakan teknologi pembuatan hujan buatan. Teknologi Modifikasi Cuaca merupakan intervensi manusia pada proses pembentukan hujan di dalam awan. Dengan intervensi ini, proses di dalam awan akan menjadi lebih efisien daripada proses berjalan secara alami. Ini diperoleh melalui proses yang dikenal dengan tumbukan dan penggabungan antara tetes awan dengan partikel bahan semai yang telah berubah dari padatan menjadi cairan. Intervensi dilakukan dengan menginjeksikan bahan yang disebut bahan semai (seeding agent) ke dalam awan. TMC memodifikasi proses tumbukan dan penggabungan butir air di dalam awan sehingga proses tumbukan dan penggabungan dapat dipercepat dengan menambahkan CCN (Cloud Condensation Nuclei) dalam bentuk garam halus (superfine) ke dalam awan yang akhirnya dapat meningkatkan intensitas curah hujan. Hujan yang turun di lokasi kebakaran dan sekitarnya diharapkan dapat membantu memadamkan sejumlah hotspot dan menipiskan kabut asap sehingga meningkatkan visibility (jarak pandang) yang sering mengganggu kesehatan
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 115-127
dan aktivitas penerbangan udara. Pada lapisan tinggi, uap air pada udara yang lembab mengembun pada intikondensasi menjadi tetes awan yang sangat kecil dan kumpulannya terlihat sebagai bentuk awan. Secara alami, inti-kondensasi banyak terdapat di atmosfer. Melalui proses di dalam awan dan didukung oleh entrainment uap air yang terus menerus dari lingkungan di bawah dasar awan, maka awan berkembang menjadi besar membentuk awan hujan dan kemudian menghasilkan hujan. Ketika berlangsung kebakaran lahan/ hutan, atmosfer sangat sedikit mengandung uap air (RH rendah). Selain itu, terbakarnya biomassa menyebabkan populasi atau jumlah inti-kondensasi di atmosfer meningkat lebih dari 300% (NCAR, 2000). Ini menimbulkan kompetisi (persaingan) memperebutkan uap air yang saat itu jumlahnya tidak besar. Keadaan ini menyebabkan sangat sulit terbentuk awan. Kalaupun ada awan, awan ini tidak dapat berkembang besar. Namun demikian kondisi atmosfer selalu berubah. Peluang munculnya awan hujan di dekat atau di atas daerah kebakaran hutan tetap ada, dan ini hanya bisa diketahui melalui pemantauan terus menerus kondisi atmosfer di sekitar target (sasaran). Bila di atas suatu daerah kebakaran, atmosfernya berubah
menjadi mendukung (favorable) yaitu dengan masuknya massa udara lembab, awan-awan di daerah ini akan tumbuh dan berkembang. Pada kondisi seperti inilah peran TMC sangat efektif, yaitu meningkatkan intensitas hujan, meluaskan daerah hujan, memperpanjang durasi (lama) hujan. Selama periode pelaksanaan TMC, setiap harinya dilakukan pemantauan atmosfer untuk mengetahui kondisi keawanan di daerah target yaitu Kalimantan Selatan, serta kondisi atmosfer di sekitarnya sebelum dilakukan penyemaian awan. Selain itu, dilakukan juga pemantauan titik panas (hotspot) untuk mengetahui distribusi spasial gambaran kondisi kebakaran yang terjadi. Dengan diketahuinya kondisi awan dan distribusi spasial titik panas maka akan ditentukan prioritas lokasi penyemaian awan yaitu daerah yang mempunyai titik panas terbanyak dengan kondisi awan yang masih memungkinkan untuk dilakukan penyemaian. 1.2. Daerah Kerja Daerah sasaran (target operasi) adalah seluruh wilayah Provinsi Kalimantan Selatan, seperti yang tergambarkan dalam Gambar 1 berikut ini.
Gambar 1. Peta Wilayah Kerja Penerapan TMC untuk menanggulangi asap akibat kebakaran lahan dan hutan di Provinsi Kalimantan Selatan Penerapan Teknologi ... (Djazim Syaifullah)
117
1.3. Kondisi Cuaca Daerah Target Kondisi cuaca global/regional yang dominan pengaruhnya selama periode kegiatan adalah adanya pengaruh IOD (Indian Ocean Dipole) positif yang berakibat kurangnya massa udara yang masuk ke wilayah Kalimantan Selatan. Massa udara dari Tenggara berasosiasi dengan minimnya pembentukan awan hujan di wilayah Kalimantan Selatan. Sedangkan massa udara yang datang dari dari Laut China Selatan dan Samudara Hindia berasosiasi dengan banyaknya pembentukan awan hujan di wilayah Kalimantan Selatan. Faktor lain yang berpengaruh terhadap pembentukan awan hujan di wilayah Kalimantan selatan adalah fenomena ENSO (El Nino Southern Oscilation) dan MJO (Madden Julian Oscillation) serta gangguan tropis berupa depresi tropis (tropical depression) hingga siklon tropis (tropical cyclon) yang terjadi di Pasifik bagian Barat hingga Laut Cina Selatan maupun di Samudera Hindia sebelah barat Sumatera. Sirkulasi monsun Asia-Australia, Daerah Pertemuan Angin Antar Tropis atau Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ) yang merupakan daerah pertumbuhan awan, serta kondisi suhu permukaan laut di sekitar wilayah Indonesia juga berpengaruh terhadap cuaca dan iklim di wilayah Sumatera Selatan. Suhu muka laut pada bulan Oktober 2012 ditunjukkan pada Gambar 2. Suhu muka laut di wilayah Indonesia selama periode kegiatan TMC di Kalimantan selatan bervariasi antara 25°C hingga 32°C. Perairan Indonesia sekitar equator umumnya lebih hangat dibandingkan dengan di perairan sebelah selatan Jawa dan Nusa Tenggara. Suhu muka laut di Pasifik equator bagian tengah selama bulan September lebih tinggi daripada rata-ratanya. Di daerah NINO 3.4 anomali temperatur muka laut berkisar antara +0.5°C hingga +1°C. Kondisi ini menunjukkan bahwa selama bulan Oktober 2012 masih terjadi fenomena El Nino dengan intensitas lemah. Perairan di sebelah Selatan Jawa hingga Tenggara Sumatera mengalami pendinginan dibandingkan dengan nilai rata-ratanya. Anomali negatif suhu muka laut di perairan 118
tersebut dijumpai selama bulan Oktober 2012 (Gambar 2 bawah), yang menyebabkan kurangnya aktivitas konveksi di wilayah Kalimantan selatan.
Gambar 2. Suhu muka laut (atas) dan anomali suhu muka laut (bawah) pada bulan Oktober 2012
Sementara fenomena MJO tidak menunjukan adanya aktivitas konveksi di wilayah target. Pada Gambar 3. memperlihatkan plot bujur-waktu nilai Outgoing Longwave Radiation (OLR) rata-rata 7,5 LS° - 7,5 LU° yang terjadi selama kegiatan TMC berlangsung. Pada Gambar 3, anomali positif (warna biru) diasosiasikan dengan kondisi kering yang kurang menunjang presipitasi, sementara anomali negatif (warna kuning) diasosiasikan dengan sangat mendukung pembentukan presipitasi. Pada awal hingga akhir Oktober 2012 menunjukkan terjadinya fase kering di daerah. Fase basah mulai terlihat pada awal bulan November 2012. Kondisi regional yang cukup mengganggu adalah munculnya tekanan rendah seperti depresi tropis, badai tropis atau siklon tropis di sekitar wilayah Fillipina, Samudera Pasifik Barat Laut dan Laut Cina Selatan. Selama kegiatan berlangsung tercatat beberapa kejadian gangguan tropis yang berpengaruh terhadap supplai massa udara di wilayah target. Munculnya Siklon tropis
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 115-127
Gambar 3. Plot bujur-waktu OLR rata-rata 7,50 LS - 7,50 LU
PRAPIROON/NINA (08 – 17 Oktober 2012) di sebelah Timur Laut Philipina di awal kegiatan juga mengurangi aktifitas keawanan di daerah target akibat tertariknya massa udara ke pusat siklon. Di akhir kegiatan TMC gangguan tropis masih ada dengan kemunculan Siklon tropis SON-THIN (24–26 Oktober 2012). Faktor topografi daerah target yang merupakan daerah yang relatif datar juga menyebabkan sulitnya dalam menghadang masa udara dan memaksanya naik ke level yang lebih tinggi. Gambar 4 berikut adalah salah satu contoh track typhoon dan prediksi beberapa hari ke depan. Hingga akhir September 2012, posisi ITCZ masih berada di sekitar utara ekuator dan cenderung bergerak ke arah selatan mengikuti pergerakan tahunannya. Sedangkan kondisi suhu permukaan laut di sekitar Samudera Hindia sebelah barat Sumatra bagian Selatan hingga Selatan Jawa dengan anomali suhu berkisar -0.5°C s/d -2°C, berada di bawah nilai ratarata atau normalnya. Sehingga pembentukan
Gambar 4. Track Siklon tropis PRAPIROON (NINA) yang terekam pada tanggal 14 Oktober 2012 dan prediksi ke depan, Nampak siklon tropis masih menguat sampai dengan akhir 17 Oktober Penerapan Teknologi ... (Djazim Syaifullah)
119
awan penghujan di Kalimantan selatan dengan kondisi ini umumnya sulit terbentuk. Setelah memasuki bulan Oktober 2012, kondisi menjadi berubah dimana suhu permukaan laut di sekitar Samudera Hindia sebelah barat Sumatera Bagian Selatan hingga Selatan Jawa anomali suhunya mulai menghangat bahkan ada yang mencapai +1°C. Kondisi ini terus berfluktuatif sehingga memudahkan untuk terjadinya pembentukan awan-awan di Kalimantan Selatan secara lokal seiring hilangnya gangguan tropis. 2.
PELAKSANAAN KEGIATAN
Selama pelaksanaan kegiatan TMC, Pos Komando (Posko) ditempatkan di Lanud Syamsudin Noor - Banjarbaru. Kegiatan mulai dilaksanakan sejak tanggal 10 Oktober 2012 dan berakhir pada tanggal 28 Oktober 2012. Secara umum kegiatan di posko adalah untuk mengkoordinasikan seluruh sarana dan prasarana kegiatan pendukung operasional TMC. Secara rinci kegiatan di Posko meliputi: penerimaan data, pengolahan dan analisis data, briefing, loading dan unloading, flight plan dan manifest, boarding, kegiatan penerbangan (perencanaan, realisasi dan
penentuan daerah target) dan pencucian pesawat. Mengingat pertumbuhan awan di wilayah daerah target relatif lambat akibat adanya kabut asap, maka penerbangan pertama dilaksanakan sekitar jam 12.30 - 14.30 WITA. Penerbangan sorti kedua (jika ada) direncanakan sekitar jam 15.30 17.00 WITA. Penerbangan direncanakan 2 (dua) sorti setiap hari, namun realisasinya tergantung kondisi cuaca yang setiap saat selalu berubah. Daerah penyemaian dan lintasan pesawat saat melakukan penyemaian selalu direkam menggunakan alat navigasi GPS (Global Positioning System) yang dibawa oleh Flight Scientist. Pengoperasian GPS dimaksudkan untuk melihat tracking pesawat mulai onboard, saat melakukan penyemaian hingga pesawat kembali ke Posko, sehingga route dan manuver pesawat selama terbang terekam dengan baik. Pengoperasian GPS dilakukan oleh Flight Scientist selama penerbangan eksekusi. Pesawat yang digunakan telah dimodifikasi yaitu semula sebagai versi pesawat penumpang (Passenger Version) dirubah menjadi versi pesawat penyemai awan (Rain Maker Version). Pesawat Casa 212 – 200 dengan nomor registrasi PK-TLH
Tabel 1. Rekapitulasi Pelaksanaan TMC untuk Penanggulangan Bencana Kabut Asap Akibat Kebakaran Lahan dan hutan di Provinsi Kalimantan selatan Tahun 2012. Periode Tanggal 10 s.d 28 Oktober 2012 Jumlah Sorti
Daerah Seeding
18
Kab. Pulang Pisau, Kota Baru, Tanah Laut, Banjar, Tarin, Barito Kuala Pangkuh, Kahayan, Sungai Kalih, Sungai Rangas, Mentawai, Bahaur Hilir. Kab. Barito Binuang, Rantau, Negara, Amuntai, Pamingsir dan Dadahup. Banjarmasin, Palingkau, Kanamit, Pulang Pisau dan Daun Bangau. Balatas, Pangalaman, Rantau Kujang, Putting, Banua Rantau, Barat Binuang, Kandangan, Puting Benua, Rantau, Baringin Balatas dan Binuang. Banjarmasin, Sungai Lutut, Martapura, Cempaka, Imban, Mandikapau, Tenggara Kintap, Imban, Kapuas, Mandomai dan Utara Dadahup. Binuang, Tjintapuri, Ebmin, Balangian Imban, Rantau Bujur, Martapura, Mandi, Kapau, Binuang, Imban, Cempaka dan Kintap
120
Total Bahan (Kg)
17.000
Jumlah Hotspot selama kegiatan Tabalong (6), Balangan (10), Hulu Sungai Utara (3), Hulu Sungai Selatan (5), Tapin (6), Baritokoala (11), Tanah bumbu (16), Kotabaru (33), Tanah laut (22), Banjar (5), Banjarbaru (1)
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 115-127
ini telah mendapatkan sertifikat, sehingga tiap pesawat Casa 212-200 BPPT telah memiliki 2 (dua) buah Certified of Airworthiness (C of A), yaitu C of A untuk pesawat penumpang dan C of A untuk pesawat penyemai awan. Selama pelaksanaan kegiatan TMC di Provinsi Kalimantan Selatan, dari Posko Lanud Syamsudin Noor - Banjarbaru telah dilakukan 18 (delapan belas) kali penerbangan menggunakan pesawat Casa 212-200 dengan jumlah bahan semai sebanyak 17.000 kilogram. Realisasi penerbangan penyemaian awan di Provinsi Kalimantan selatan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan route penerbangannya dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Akumulasi rute penyemaian awan di Provinsi Kalimantan Selatan selama pelaksanaan TMC 10 s.d 28 Oktober 2012
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil kegiatan meliputi informasi kondisi titik panas (hotspot), kejadian hujan di daerah target, dan visibility di Kalimantan Selatan yang terjadi selama berlangsungnya kegiatan TMC. Data hotspot yang digunakan bersumber dari Departemen Kehutanan RI, sementara informasi kejadian hujan hanya berdasarkan data kualitatif yang berhasil terkumpul di Posko selama berlangsungnya kegiatan TMC serta dari data TRMM, sedangkan data visibility diperoleh dari stasiun BMKG Bandara Syamsuddin Noor Kalimantan Selatan.
Penerapan Teknologi ... (Djazim Syaifullah)
3.1. Informasi Hotspot (Titik Panas) 3.1.1. Analisis Temporal Hotspot Selama periode pelaksanaan kegiatan TMC sejak 09 sd. 27 Oktober 2012, jumlah total hotspot di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan berfluktuasi dengan jumlah maksimum 29 buah titik pada tanggal 13 Oktober 2012. Distribusi hotspot secara temporal selama periode pelaksanaan kegiatan TMC tersaji dalam Gambar 6. Sebelum kegiatan TMC dimulai, keberadaan hotspot di Provinsi Kalimantan Selatan sudah cukup banyak jumlahnya yang diakibatkan oleh kurangnya curah hujan. Namun secara umum selama kegiatan TMC berlangsung jumlah hotspot berkurang cukup signifikan. Pada tanggal 15 sampai dengan 20 Oktober 2012 jumlah hotspot hampir dikatakan nihil, ini dikarenakan pada selang waktu tersebut curah hujan relatif merata di Provinsi Kalimantan Selatan. Mulai dasarian ketiga bulan Oktober 2012 kualitas udara sudah mulai membaik dilihat dari indikasi kondisi visibility Bandara Syamsudin Noor yang sudah mulai membaik pada pagi sampai siang, hal ini salah satunya disebabkan oleh akumulasi hotspot yang sudah mulai berkurang sejak tanggal 15 Oktober 2012. Secara administratif, sebaran hotspot terjadi pada hampir semua kabupaten di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan. Selama operasi TMC tanggal 09 sd. 27 Oktober 2012, di Kabupaten Kotabaru terdapat hotspot yang paling banyak (33 titik) disusul oleh Kabupaten Tanah Laut (22 titik), Kabupaten Tanah Bumbu (16 titik), Kabupaten Barito Kuala (11 titik), Kabupaten Balangan (10 titik), Kabupaten Tapin dan Tabalong (6 titik), Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Banjar (5 titik), Kabupaten Hulu Sungai Utara (3 titik) dan Kabupaten Banjarbaru (1 titik). Jumlah hotspot per kabupaten di wilayah Kalimantan Selatan selama kegiatan TMC dapat dilihat pada Gambar 7.
121
Gambar 6. Fluktuasi Jumlah Hotspot di Provinsi Kalimantan Selatan periode 01– 28 Oktober 2012
Gambar 7. Total keberadaan hotspot per Kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan, selama kegiatan TMC (09 – 27 Oktober 2012)
122
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 115-127
Kabupaten Tapin, Banjar dan Barito Kuala yang sebagian tanahnya berupa gambut dan posisinya dekat dengan kota Banjarmasin mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kepekatan asap di kota Banjarmasin dan jarak pandang di bandara Syamsuddin Noor Banjarbaru. 3.1.2. Analisis Spasial Hotspot Distribusi spasial hotspot di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan secara umum selama periode kegiatan TMC dapat dilihat pada Gambar 8.
dan Hulu Sungai Tengah yang cukup merata diduga menyebabkan konsentrasi asap di kota Kalimantan Selatan cukup pekat pada saat saat tertentu. Hal ini dikarenakan daerah tersebut didominasi daerah gambut sehingga diperkirakan keberadaan hotspot dalam satu titik bisa bertahan relatif lebih lama. Sedangkan konsentrasi hotspot di Kabupaten Kotabaru dan Tanah Laut di wilayah Timut Provinsi Kalimantan Selatan yang sebagian besar berupa perbukitan, dari pengamatan selama kegiatan TMC tidak berlangsung lama tetapi berpindah tempat. 3.2. Informasi Hujan Pengukuran curah hujan selalu dilakukan pada saat pelaksanaan kegiatan TMC untuk mengetahui hasil pelaksanaan TMC. Selain jumlah hotspot, visibility, data curah hujan merupakan salah satu parameter yang digunakan dalam evaluasi kegiatan Teknologi Modifikasi Cuaca karena dengan adanya kejadian hujan diharapkan terjadi pengurangan kepekatan asap di atmosfer dan terjadi proses pembasahan permukaan tanah sehingga mengurangi potensi kebakaran lahan dan hutan. 3.2.1. Kejadian Hujan Wilayah Kalimantan Selatan
Gambar 7. Akumulasi Sebaran Hotspot di Provinsi Kalimantan Selatan Tanggal 09 sd. 27 Oktober 2012
Dari gambar tersebut terlihat bahwa sebaran hotspot selama kegiatan cukup merata baik di wilayah timur (daerah pegunungan dan pantai) maupun di wilayah barat (daerah gambut). Konsentrasi hotspot di wilayah Tapin, Barito Kuala, Hulu Sungai Selatan Penerapan Teknologi ... (Djazim Syaifullah)
Informasi kejadian hujan selama kegiatan TMC di peroleh dari berbagai sumber. Pada saat dilakukan penerbangan penyemaian awan petugas flight scientis melakukan pengamatan dan pencatatan bila dijumpai adanya kejadian hujan. Selain itu informasi juga diperoleh dari masyarakat. Informasi yang diperoleh dari flight scientis dan masyarakat ini kita sebut sebagai informasi kejadian hujan secara kualitatif. Selain informasi kejadian hujan secara kualitatif, diperoleh juga informasi dari BMKG yang ini lebih akurat karena sudah merupakan hasil pengukuran. Selanjutnya informasi ini kita sebut sebagai kejadian hujan secara kuantitatif. Selama kegiatan dilakukan pencatatan informasi kejadian hujan kuantitatif 123
Gambar 9. Grafik curah hujan wilayah Kalimantan Selatan selama periode TMC (sumber : BMKG, Kalimantan Selatan)
di stasiun penakar yang dikelola oleh stasiun klimatologi BMKG Banjarbaru Provinsi Kalimantan Selatan. Sebanyak 14 (empat belas) stasiun hujan yang tersebar di daerah Provinsi Kalimantan Selatan dan 5 (lima) buah penakar dari Pos Meteorologi (Posmet) dipakai dalam analisis ini. Perhitungan curah hujan dilakukan setiap hari mulai jam 00 UTC atau jam 07.00 pagi hari. Informasi curah hujan selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 9 dan Tabel 2. Dari Gambar 9. dan Tabel 2. dapat dilihat bahwa sejak awal kegiatan (tanggal 09 Oktober 2012) sampai akhir kegiatan (tanggal 27 Oktober 2012) di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan terjadi hujan dengan intensitas bervariasi dari ringan sampai sedang, kecuali pada tanggal 11,12 dan 25 Oktober yang hampir tidak ada kejadian hujan di wilayah target. Rerata curah hujan di Provinsi Kalimantan Selatan selama operasi TMC sebesar 3.2 mm, sementara kejadian hujan tertinggi terjadi pada tanggal 26 Oktober 2012 sebesar 44.2 mm di stasiun Meteorologi 124
Syamsuddin Noor. Kejadian hujan juga terjadi di beberapa tempat lainnya seperti yang dilihat oleh Flight Scientist dari pesawat saat melaksanakan penyemaian awan, namun tidak diperoleh data kuantitatifnya karena keterbatasan stasiun curah hujan yang ada di daerah target. Kecilnya curah hujan rerata di Provinsi Kalimantan Selatan selama pelaksanaan TMC ini selain diakibatkan oleh pekatnya asap yang mengganggu pertumbuhan awan juga dikarenakan terlambat masuknya musim hujan di wilayah tersebut. 3.2.2. Informasi Spasial Curah Hujan Informasi spasial curah hujan digunakan untuk melihat sebaran curah hujan di Provinsi Kalimantan Selatan. Selain dari stasiun klimatologi BMKG Provinsi Kalimantan Selatan, data curah hujan (prisipitasi) dapat diakses dari TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) di situs website. Salah satu kelebihan dari
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 115-127
Tabel 2. Rekapitulasi Curah Hujan Provinsi Kalimantan Selatan selama kegiatan TMC tanggal 01 – 28 Oktober 2012
Sumber : BMKG ProvinsiKalimantan Selatan & BPPT
data TRMM adalah mempunyai nilai pada lokasi-lokasi yang tidak terukur oleh penakar hujan manual. Data TRMM tersedia dan dapat diunduh di situs (NASA) dalam format binary setiap tiga jam sekali, data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data versi terakhir (level 3) yang mempunyai nilai presipitasi secara spasial dan telah tersedia secara archieve bisa diunduh dengan fasilitas file transfer protocol (ftp) di : ftp://disc2.nascom.nasa.gov/data/ TRMM/Gridded/3B42RT. Dengan melihat sebaran spasial dan keberadaan data curah hujan pengamatan yang tidak konsisten pada masing-masing stasiun di wilayah Kalimantan Selatan maka analisis spasial dilakukan menggunakan data TRMM. Peta sebaran curah hujan (isohyet) wilayah Kalimantan Selatan selama pelaksanaan TMC dari data TRMM disajikan pada Gambar 10. Dari gambar di atas terlihat bahwa selama pelaksanaan TMC secara umum curah hujan di wilayah Kalimantan Selatan terkonsentrasi di bagian selatan dan menurun kearah utara. Pengaruh konvektivitas di Laut Jawa menyebabkan pertumbuhan awan di sekitar Kabupaten Tanah Laut lebih banyak dibandingkan di wilayah lain. Di bagian selatan (Kabupaten Tanah Laut dan bagian selatan Kabupaten Kotabaru) curah hujan mencapai 50 – 60 mm, sementara di Kabupaten Tabalong Penerapan Teknologi ... (Djazim Syaifullah)
curah hujan sekitar 10 – 20 mm. Jumlah curah hujan yang relatif kurang di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan ditambah dengan akumulasi hotspot yang banyak menyebabkan kabut asap yang cukup pekat pada hari-hari tertentu yang pengaruhnya sampai di kota Banjarmasin dan Bandara Syamsuddin Noor.
Gambar 10. Distribusi spasial curah hujan Provinsi Kalimantan Selatan dari data TRMM selama periode TMC (09 – 27 Oktober 2012). Titik-titik merah adalah distribusi hotspot untuk periode yang sama.
125
3.2.3. Jarak Pandang (Visibility) Selama kegiatan TMC, pengamatan visibility bandara dilakukan oleh Stasiun Meteorologi Bandara Syamsuddin Noor Kalimantan Selatan. Pengamatan dilakukan setiap jam mulai jam 07.00 sampai dengan 17.00 WITA. Grafik visibility selama kegiatan operasi TMC selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 5.6. Pada gambar 11. garis warna biru menunjukkan rerata visibility antara jam 07.00 sampai dengan jam 10.00 WITA dimana pada pagi hari aktifitas konveksi ataupun dinamika atmosfer belum cukup kuat. Warna merah menunjukkan rerata visibility antara jam 11.00 sampai dengan jam 17.00 WITA dimana aktifitas konveksi sudah cukup kuat. Secara umum dari gambar 5.6. nampak bahwa visibility pada pagi hari umumnya lebih pekat dibandingkan dengan siang hari. Pada awal kegiatan kondisi pagi hari relatif lebih pekat dengan jarak pandang antara 2 sampai 4 kilometer, pada siang harinya jarak pandang mulai membaik antara 8 sampai 10 kilometer.
Dari Gambar di atas juga menunjukkan bahwa setelah tanggal 19 Oktober 2012 (kecuali tanggal 24 Oktober 2012) kondisi udara cenderung mulai membaik dilihat dari visibility sudah mencapai kurang lebih 8 kilometer dari pagi sampai siang hari. 4. KESIMPULAN Kondisi cuaca di Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah dipengaruhi oleh gabungan dari berbagai faktor meteorologi seperti fenomena ENSO, MJO, siklon tropis, dan faktor lokal. El Nino lemah dan penjalaran MJO fase kering yang masuk ke wilayah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah berlangsung sepanjang awal hingga akhir bulan Oktober. Selanjutnya mulai berubah menuju MJO fase basah pada awal bulan November 2012. Munculnya siklon tropis, seperti Jelawat yang berada di Laut China selatan mengakibatkan masa udara di daerah target bergerak menuju lokasi siklon tropis dan mengakibatkan sulitnya terbentuknya awan potensial di daerah target.
Gambar 11. Grafik rekapitulasi visibility di Bandara Syamsudin Noor tanggal 01 s.d. 29 Oktober 2012, warna biru adalah rerata jam 07.00-10.00 WITA; warna merah adalah rerata jam 11.00-17.00 WITA
126
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 115-127
Selama kegiatan TMC, hujan terjadi hampir setiap hari di berbagai tempat di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan dengan intensitas yang bervariasi, sehingga dapat digunakan untuk pembasahan tanah untuk mengurangi jumlah hotspot. Secara umum, kondisi hotspot selama kegiatan TMC mengalami penurunan dibandingkan dengan periode sebelum dilaksanakannya TMC (kecuali pada tanggal 11 dan 13 Oktober 2012). Penurunan ini diakibatkan oleh hujan yang terjadi selama kegiatan TMC di daerah target. Namun demikian fluktuasi jumlah hotspot yang terjadi akibat fluktuasi keberadaan awan dan aktifitas pembakaran lahan. Pada akhir kegiatan kondisi udara cenderung mulai membaik dilihat dari visibility sudah mencapai kurang lebih 8 kilometer dari pagi sampai siang hari. Kerjasama antara UPT Hujan Buatan BPPT dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) maupun Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) untuk penanganan bencana atmosfer (kabut asap) perlu terus ditingkatkan sehingga hasil teknologi modifikasi cuaca dapat lebih dirasakan oleh masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Barnston, A.G., C. F. Ropelewski, 1992: Prediction of ENSO episodes using canonical correlation analysis. J. Climate, 5, 1316-1345. Climate Prediction Center, El Nino – Southern Oscillation (ENSO), Current Condition, diakses : http://www.cpc.ncep.noaa. gov/ products/precip/CWlink/MJO/enso. shtml#current Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan, Direktorat Jenderal PHKA Kementerian Kehutanan, 2012. Informasi Sebaran Hotspot, http://ditpkh-phka.dephut. go.id/ Djuric, D., 1994: Weather Analysis, PrenticeHall Inc., 304 pp.
Penerapan Teknologi ... (Djazim Syaifullah)
Glickman, Todd S., 2000, Glossary of Meteorology, American Meteorologi-cal Society, Cambridge, Massachus-setts. Matthew C. Wheeler and Harry H. Hendon, An All-Season Real-Time Multivariate MJO Index: Development of an Index for Monitoring and Prediction, American Meteorological Society, 2004. Misako K, 2012, Overview of Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMap), Japan Pavilion on 6th World Water Forum. NOAA, 2012, ENSO : Recent Evolution, Current Status and Prediction. Diakses: http://www.cpc.ncep.noaa.gov/ products/analysis_monitoring/lanina/ enso_evolution-status-fcsts-web.pdf National Center for Atnospheric Research (NCAR), 2000 Rogers, R. R., 1979. A Short Course in Cloud Physics, 2nd Edition, Pergamon Press. Salby, Murry L, 1996, Fundamentals of atmospheric physics, Volume 61, Academic Press, San Diego. UPT Hujan Buatan, Laporan Hasil Kegiatan Pemanfaatan Teknologi Modifikasi Cuaca Untuk Menanggulangi Bencana Asap Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2012. Jakarta, 2012. World Meteorological Organization, El Nino/ La Nina Updated, June 2012.
127
ANALISIS KERENTANAN SOSIAL DAN EKONOMI DALAM BENCANA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DI KABUPATEN BENGKALIS PROVINSI RIAU Eko Ahmad Riyanto Mahasiswa S2, Geo-Information for Spatial Planning and Disaster Management, UGM Email:
[email protected] Abstract The purpose of this research is (1) to analysis social and economy vulnerability of forest and peat land fire disaster in Bengkalis Regency; (2) Mapping of social and economy vulnerability of forest and peat land fire disaster in Bengkalis Regency. Research Variables is social and economy vulnerability. The data that used is primary and secondary data with survey method. Analysis method is scoring and weightings. After that classified based on the value of the score to determine the level of vulnerability. The analysis based on the head of National Agency for Disaster Management (Perka BNPB) Number 02. 2012 and literatures study. The results of research show that social vulnerability of forest and peat land fire in Bengkalis Regency is medium vulnerability because it has value of social vulnerability is 0,46663. While economic vulnerability in Bengkalis Regency is low vulnerability because economic vulnerability is 0,3333. Mapping and analysis of social and economy vulnerability of forest and peat land fire disaster need to sustainable because this disaster is dynamic. In addition, required mitigation that is quick and appropriate by governments of Bengkalis Regency and the local community in management of forest and peat land fire disaster. Keywords : Social and economy vulnerability, forest and peat land fire. 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki lahan penutup (landcover) di antaranya berupa hutan tropis dan lahan gambut terbesar di kawasan Asia Tenggara. Hutan tropis Indonesia memiliki peran penting dalam menghasilkan oksigen sebagai paru-paru dunia. Fakta membuktikan beberapa tahun terakhir hutan dan lahan gambut di Indonesia mengalami kerusakan. Kerusakan ini salah satunya disebabkan karena kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran ini dapat terjadi secara alami maupun buatan (manusia). Beberapa kasus kebakaran tersebut disebabkan karena 128
faktor manusia. Fenomena ini jika tidak diatasi dengan cepat dan tepat pastinya akan menyebabkan kerusakan lingkungan. Kebakaran hutan dan lahan menjadi salah satu jenis bencana yang terjadi di Indonesia. Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh faktor alam, non-alam maupun faktor manusia. Peristiwa ini mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Perka BNPB No.2 Tahun 2012). Sedangkan Menurut ISDR (2009:9), bencana merupakan sebuah gangguan serius pada fungsi komunitas atau masyarakat secara luas karena kehilangan dan dampak pada manusia,
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 128-140
material, ekonomi, atau lingkungan, yang mana melampaui kemampuan komunitas atau masyarakat untuk menanggulangi bencana dengan sumber daya yang dimiliki. Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan yang mana saling berinteraksi dan tidak dapat dipisahkan, sedangkan lahan merupakan suatu hamparan ekosistem daratan yang peruntukannya untuk usaha dan/atau kegiatan ladang dan/atau kebun bagi masyarakat (Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 10 Tahun 2010). Lahan gambut merupakan suatu lahan yang mempunyai jenis tanah yang terdiri atas timbunan bahan-bahan organik yang berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang sedang dan/ atau sudah mengalami proses dekomposisi (Adinugroho dkk, 2005). Kebakaran hutan dan lahan merupakan suatu situasi atau keadaan lahan dan hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan lahan dan hutan serta hasilhasilnya dan menimbulkan kerugian (BNPB dan BIG, 2011). Kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan suatu keadaan yang mana hutan dan lahan gambut dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan dan menimbulkan kerugian dari segi ekonomis dan lingkungan. Kebakaran tersebut sering menyebabkan bencana asap yang mengganggu masyarakat sekitar (Kurniawan dkk, 2011:6). Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia bukanlah bencana yang disebabkan faktor alam, karena hampir 99% kejadian kebakaran hutan dan lahan disebabkan oleh faktor manusia, baik karena kesengajaan maupun kelalaian. Kebakaran hutan dan lahan saat ini lebih banyak terjadi di lahan gambut yang menimbulkan dampak pada peningkatan emisi gas rumah kaca (Saharjo dkk, 2013). Keberadaan hutan dan lahan gambut harus dilestarikan. Karena apabila tidak dikelola dengan baik maka akan menyebabkan risiko bencana. Menurut ICCC (Indonesian Climate Change Center) 2012, lahan gambut yang dikelola dengan baik berpotensi untuk memberikan kontribusi besar terhadap Analisis Kerentanan ... (Eko Ahmad Riyanto)
pengurangan emisi gas rumah kaca. Hutan gambut dapat menyimpan karbon jauh lebih besar daripada jenis hutan lainnya. Namun apabila terdegradasi, lahan gambut akan menyumbang emisi lebih besar dibandingkan ekosistem lainnya. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tidak hanya menjadi bencana dalam negeri, tetapi juga menjadi bencana secara global. Fenomena ini terjadi karena bencana kebakaran hutan dan lahan tersebut mengganggu aktifitas sosial dan ekonomi di negara tetangga, yaitu seperti Malaysia dan Singapura. Fakta menunjukan bahwa Provinsi di Indonesia yang paling banyak mengalami bencana kebakaran hutan dan lahan yaitu Provinsi Riau. Dampak dari kebakaran dan lahan di Provinsi Riau sangat mengkhawatirkan bagi masyarakat yaitu seperti gangguan pernapasan, sekolah diliburkan, dan penerbangan diliburkan. Faktor penyebab bencana ini yaitu pembakaran lahan yang digunakan sebagai lahan perkebunan sawit (Putri, 2004). Bencana kebakaran hutan dan lahan ini tidak hanya berdampak negatif dari sisi kesehatan, tetapi juga mengganggu aktivitas sosial dan ekonomi. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, pada tanggal 15 Juni 2013, jumlah titik api di Riau mencapai 78 titik, kemudian 16 Juni meningkat menjadi 115 titik api dan 17 Juni menurun tipis namun tetap masih tinggi 103 titik. Titik api tertingi berada di Pelalawan dengan 26 titik, Rokan Hilir 19 titik, Siak 18 titik, Bengkalis 16 titik, Indragiri Hilir 13 titik, Dumai sembilan titik, Rokan Hulu tiga titik, dan Pekanbaru serta Meranti masing-masing satu titik, bahkan pada tanggal 18 Juni 2013, titik api di Riau jumlahnya bertambah banyak yaitu 148 titik (Irawan, 2013). Pada umumnya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau terjadi di lahan gambut yang disebabkan faktor land clearing untuk perkebunan maupun HTI (Darjono, 2003). Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Riau yang rawan terjadi bencana kebakaran hutan dan lahan, 129
sehingga perlu dilakukan manajemen risiko bencana. Berdasarkan peta hotspot Provinsi Riau (5 Maret 2014, pukul 18.00 WIB) yang di buat oleh BNPB, diketahui hotspot terbanyak kedua terdapat di Kabupaten Bengkalis dengan total 17 hotspot. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1. Peta Hotspot Provinsi Riau
Kabupaten Bengkalis memiliki luas wilayah yaitu 7.773,93 km2, terdiri dari pulau-pulau dan lautan. Tercatat sebanyak 17 pulau utama disamping pulau-pulau kecil lainnya yang berada di wilayah Kabupaten Bengkalis. Kabupaten Bengkalis mempunyai 8 kecamatan, terdiri dari 102 desa/kelurahan. Penduduk Kabupaten Bengkalis pada tahun 2012 tercatat sebanyak 530.191 jiwa yang terdiri 273.640 jiwa laki-laki dan 256.551 jiwa perempuan (BPS Kabupaten Bengkalis, 2013). Jumlah penduduk Kabupaten Bengkalis yang relatif besar mempunyai 130
potensi kerentanan sosial dan ekonomi terhadap bencana kebakaran hutan dan lahan gambut. Pada Tanggal 13 Februari 2014, Kebakaran hutan dan lahan terjadi di sejumlah titik di Kabupaten Bengkalis. Kamis (13 Februari 2014) siang hari, diketahui jumlah titik api yang tersebar di Kabupaten Bengkalis sudah melebihi 60 titik dengan luas lahan terbakar mencapai 2.000 ha. Menurut Kepala Badan BPBD-Damkar Bengkalis yaitu Mohammad Djalal, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) ini terjadi dan meluas di Bantan, Bengkalis, Bukitbatu dan Siak Kecil. Dimana api terus merambat ke bagian dalam yang merupakan lahan gambut tebal. Dipaparkannya, untuk Kecamatan Bantan titik api baru muncul di Desa Selatbaru dekat kantor camat menuju stadion. Kemudian di Desa Kembung Luar, api masih terus menjilati kebun karet masyarakat yang sulit dipadamkan, meski telah diterjunkan personil Satuan Polisi Pamong Praja untuk membantu memadamkan api. Sementara karhutla di Kecamatan Bengkalis terjadi di Desa Kelemantan, dimana api terus membakar kebun-kebun warga yang diperkirakan mencapai 300 ha. Di Kecamatan Bukitbatu, kebakaran mulai terjadi di daerah langganan, seperti Desa Tanjung Leban dan Bukit Kerikil serta Desa Temiang dan Api-api. Bahkan di kawasan hutan lindung cagar biosfer Bukitbatu-Siak Kecil, muncul dua titik api. Sementara di Siak Kecil, karhutla melanda Desa Sumber Jaya (Sumber: http://fokusriau. com/berita-hampir-2000-hektare-hutan-danlahanterbakar.html). Kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi di Kabupaten Bengkalis harus segera diselesaikan dengan mengacu pada manajemen risiko bencana. Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu melakukan pengkajian dan pemetaan. Analisis dan pemetaan kerentanan sosial dan ekonomi dalam kebakaran hutan dan lahan gambut memerlukan pengkajian secara tepat agar dapat dispasialkan dalam bentuk peta yang baik. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan dampak dari bencana
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 128-140
tersebut. Meskipun pada praktiknya hal ini tidak mudah untuk dilakukan, dikarenakan keterbatasan dan kevalidan data yang ada. Maka dari itu perlu dilakukan pengkajian secara menyeluruh, sehingga dari pengkajian tersebut dapat dibuat peta kerentanan sosial dan ekonomi dalam bencana kebakaran hutan dan lahan gambut di Kabupaten Bengkalis. 1.2. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu: a. Menganalisis kerentanan sosial dalam bencana kebakaran hutan dan lahan gambut di Kabupaten Bengkalis. b. Menganalisis kerentanan ekonomi dalam bencana kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Bengkalis. c. Pemetaan kerentanan sosial dan ekonomi dalam bencana kebakaran hutan dan lahan gambut di Kabupaten Bengkalis. 2. METODOLOGI 2.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bengkalis. Penelitian ini dilakukan pada Bulan Agustus-Oktober 2014. Analisis dan pemetaan kerentanan sosial dan ekonomi dalam bencana kebakaran hutan dan lahan gambut perlu dilakukan di Kabupaten Bengkalis, karena kabupaten ini mempunyai
potensi bahaya kebakaran hutan dan lahan gambut. Hal ini dibuktikan dari banyaknya kasus kejadian kebakaran hutan dan lahan gambut di wilayah tersebut. 2.2. Variabel Penelitian Penelitian ini memiliki 2 variabel yaitu kerentanan sosial dan ekonomi. Berikut pada Tabel 2.2 diuraikan mengenai variabel penelitian. 2.3. Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu terdiri dari data primer dan sekunder. Penelitian ini menggunakan metode survei. Survei digunakan untuk mengumpulkan data yang diperoleh dari BNPB, BPBD, BIG, Kabupaten Bengkalis, BPS Kabupaten Bengkalis, Dinas Pertanian, dan Dinas Kehutanan Kabupaten Bengkalis. Data ini berupa Kabupaten Bengkalis dalam angka, produk rencana tata ruang, data kebencanaan Kabupaten Bengkalis, laporan PDRB, kecamatan dalam angka, peta dasar penggunaan lahan, dan lokasi fasilitas umum. 2.4. Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif. Metode
Tabel 2.2. Variabel Penelitian Variabel Sosial
Parameter Kepadatan penduduk Rasio jenis kelamin Rasio kemiskinan Rasio orang cacat
Sumber Data BPS, Kabupaten/ Kecamatan Bengkalis dalam angka. BPBD Kabupaten Bengkalis
Rasio kelompok umur Ekonomi
Lahan produktif PDRB
Analisis Kerentanan ... (Eko Ahmad Riyanto)
Landuse, Laporan Sektor, Kabupaten/ Kecamatan Bengkalis dalam Angka
Analisis Data Pembobotan dan skoring pada parameter. Setelah itu diklasifikasikan berdasarkan nilai skor untuk menentukan tingkat kerentanan. Analisis ini mengacu pada Perka BNPB No.02 tahun 2012.
131
analisis data yaitu dengan cara pembobotan dan skoring masing-masing parameter dari kerentanan sosial dan ekonomi. Kemudian diklasifikasikan berdasarkan nilai skor untuk menentukan kerentanan. Analisis ini mengacu pada Perka BNPB No. 02 Tahun 2012, dan pengkajian literatur yang relevan. Setelah hasil perhitungan kerentanan sosial dan ekonomi diperoleh, selanjutnya dilakukan pemetaan. Pemetaan dalam penelitian ini memanfaatkan software SIG. Pada dasarnya proses dalam SIG terdiri atas input data,
proses, dan output. Berikut dipaparkan metode analisis data masing-masing variabel. 2.4.1. Kerentanan Sosial Parameter yang digunakan untuk kerentanan sosial yaitu kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin, rasio kemiskinan, rasio orang cacat, dan rasio kelompok umur. Indeks kerentanan sosial diperoleh dari ratarata bobot parameter. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.4.1.
Tabel 2.4.1 Parameter Kerentanan Sosial Kelas
Bobot (%)
Parameter Kepadatan penduduk
60
Rendah
Sedang
Tinggi
< 500 jiwa/ km2
500-100 jiwa/ km2
> 1000 jiwa/ km2
Rasio jenis kelamin (10%) Rasio kemiskinan (10%)
40
Rasio orang cacat (10%)
< 20%
Rasio kelompok umur (10%)
=
(
0.6 x
(
log kepadatan penduduk
(
0.01 log
100 0.01
)
)
)
20 – 40%
> 40%
Skor
Kelas/ Nilai Max Kelas
+ (0.1 x rasio jenis kelamin) + (0.1 x rasio kemiskinan)
+ (0.1 x rasio orang cacat) + (0.1 x rasio kelompok umur)
Sumber: Perka BNPB No. 02 Tahun 2012
Tabel 2.4.2. Parameter Kerentanan Ekonomi Parameter
Bobot (%)
Kelas Rendah
Sedang
Tinggi
Lahan produktif
60
< 50 jt
50 – 200 jt
> 200 jt
PDRB
40
< 100 jt
100 – 300 jt
> 300 jt
Skor Kelas/ Nilai Max Kelas
Kerentanan Ekonomi = (0.6 x skor lahan produktif) + (0.4 x skor PDRB) Sumber: Perka BNPB No. 02 Tahun 2012
132
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 128-140
2.4.2.
Kerentanan Ekonomi
Parameter yang digunakan untuk kerentanan ekonomi yaitu PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) dan luas lahan produktif. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.4.2. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Deskripsi Umum Kabupaten Bengkalis Deskripsi Umum Kabupaten Bengkalis Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Riau. Wilayah Kabupaten Bengkalis terletak pada bagian
pesisir timur Pulau Sumatera. Kabupaten Bengkalis secara astronomis berada pada 2°7’37,2” - 0°55’33,6” LU dan 100°57’57,6” 102°30’25,2” BT. Peta administrasi Kabupaten Bengkalis dapat dilihat pada Gambar 3.1. Kabupaten Bengkalis mempunyai luas wilayah 7.773,93 km2, terdiri dari pulau-pulau dan lautan. Kabupaten Bengkalis mempunyai 8 kecamatan dengan luas total wilayah yaitu 7.773,93 Km2, yang terdiri dari 102 desa/ kelurahan. Kecamatan yang memiliki jumlah desa/kelurahan terbanyak yaitu Kecamatan Bengkalis dengan 20 desa/ kelurahan, sedangkan kecamatan dengan jumlah desa/ kelurahan paling sedikit yaitu Kecamatan Rupat Utara dengan 5 desa/kelurahan (BPS Kabupaten Bengkalis, 2013). Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Gambar 3.1. Peta Administrasi Kabupaten Bengkalis Sumber: Hasil Penelitian, 2014
Analisis Kerentanan ... (Eko Ahmad Riyanto)
133
Tabel 3.1. Luas Daerah Kabupaten Bengkalis Menurut Kecamatan No.
Kecamatan
1
Mandau
2 3
Luas Daerah (Km2)
Persentase (%)
937,47
12,06
Pinggir
2.503,00
32,20
Bukit Batu
1.128,00
14,51
4
Siak Kecil
742,21
9,55
5
Rupat
896,35
11,53
6
Rupat Utara
628,50
8,08
7
Bengkalis
514,00
6,61
8
Bantan Bengkalis
424,40 7.773,93
5,46 100
Sumber: BPN Kabupaten Bengkalis dalam BPS Kabupaten Bengkalis, 2013
3.2. Kerentanan Sosial dalam Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Kabupaten Bengkalis Risiko bencana muncul ketika bahaya memengaruhi kerentanan fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan (ISDR, 2005:1). Analisis kerentanan sosial merupakan bagian dari pengkajian risiko bencana. Secara umum kerentanan sosial mempunyai definisi yang berbeda-beda. Menurut Sumekto (2011:31), kerentanan sosial merupakan prediksi tingkat kerentanan terhadap keselamatan jiwa manusia apabila terjadi bencana di suatu wilayah. Kerentanan sosial merupakan potensi dampak dari peristiwa pada kelompok rentan yaitu seperti orang miskin, rumah tangga, orang tua tunggal, perempuan hamil, orang cacat, anak-anak, dan orang tua. Tingkat kerentanan dapat dipertimbangkan dari faktor kesadaran masyarakat terhadap risiko, kemampuan dari kelompok itu untuk menanggulangi bencana, dan status struktur kelembagaan yang dirancang untuk membantu masyarakat menanggulangi bencana (Westen dkk, 2011). Kerentanan sosial dalam bencana kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan suatu kondisi yang menggambarkan tingkat kerentanan masyarakat terhadap keselamatan jiwa apabila terjadi bencana kebakaran hutan dan lahan gambut di suatu wilayah. Analisis kerentanan sosial masyarakat Kabupaten 134
Bengkalis dalam bencana kebakaran hutan dan lahan gambut didasarkan pada beberapa parameter yaitu kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin, rasio kemiskinan, rasio orang cacat, dan rasio kelompok umur (Perka BNPB No. 02 tahun 2012). Berikut diuraikan mengenai parameter kerentanan sosial. a. Kepadatan penduduk, yaitu jumlah penduduk yang bertempat tinggal di suatu wilayah dengan satuan kilometer persegi. Rasio jenis kelamin, yaitu perbandingan jumlah penduduk laki-laki dengan jumlah penduduk perempuan per-100 penduduk perempuan. b. Rasio kemiskinan, yaitu penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan. c. Rasio penduduk cacat, yaitu cacat total dan tetap yang menyebabkan seseorang tidak mampu lagi melakukan pekerjaan yang memberikan penghasilan yang layak diperoleh sesuai dengan pendidikan, keahlian, keterampilan, dan pengalamannya. d. Rasio kelompok umur, yaitu perbandingan antara penduduk yang belum produktif (usia 0-14 tahun) termasuk bayi dan anak (usia 0-4 tahun) dan penduduk yang dianggap kurang produktif (> 65 tahun). Persentase penduduk yang berpotensi sebagai modal dalam pembangunan yaitu penduduk usia produktif.
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 128-140
Parameter kerentanan sosial tersebut sangat terkait dengan aspek manusia. Manusia merupakan salah satu aspek yang sangat rentan terhadap bencana. Pada praktiknya setiap parameter kerentanan sosial tersebut mempunyai bobot dan skor yang berbeda. Parameter kepadatan penduduk diberi bobot tertinggi yaitu 60%, sedangkan parameter lainya diberi bobot masing-masing 10% (lihat Tabel 2.4.1). Menurut Giyarsih dkk (2014: 59), kepadatan penduduk mempunyai bobot tertinggi karena tinggi rendahnya kepadatan penduduk mempengaruhi besar kecilnya dampak risiko bencana yang dialami suatu masyarakat di suatu wilayah. Semakin tinggi kepadatan penduduk, maka tingkat kerentanan masyarakat terhadap bencana semakin tinggi, begitu pula sebaliknya. Nilai kerentanan sosial masing-masing wilayah di Kabupaten Bengkalis dalam bencana kebakaran hutan dan lahan gambut diperoleh dengan cara pemberian skor dan pembobotan masing-masing parameter tersebut. Nilai total kerentanan sosial diperoleh melalui penjumlahan nilai hasil
pemberian skor dan pembobotan. Nilai kelas kerentanan dibedakan menjadi tiga yaitu: (1) Rendah: nilai 0 - 0,333; (2) Sedang: nilai 0,333 - 0,666; dan (3) Tinggi: nilai 0,666 - 1. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 3.2. Berdasarkan hasil perhitungan kerentanan sosial di Kabupaten Bengkalis dalam bencana kebakaran hutan dan lahan gambut, diketahui bahwa kerentanan sosial di Kabupaten Bengkalis termasuk pada kelas sedang karena nilai kerentanan sosialnya yaitu 0,46663. (lihat Tabel 3.2). Dapat diketahui bahwa dari 8 kecamatan yang ada di Kabupaten Bengkalis semuanya termasuk pada kelas kerentanan sedang. Untuk lebih jelasnya mengenai kerentanan sosial Kabupaten Bengkalis dapat dilihat pada Gambar 3.2. Tinggi rendahnya nilai kerentanan sosial di Kabupaten Bengkalis dalam bencana kebakaran hutan dan lahan gambut dipengaruhi oleh faktor kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin, rasio kemiskinan, rasio
Tabel 3.2. Kerentanan Sosial di Kabupaten Bengkalis dalam Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut
No.
Kecamatan
Kepadatan penduduk (Km2)
Rasio jenis kelamin (%)
Rasio Kemiskinan (%)
Rasio penduduk cacat (%)
Rasio kelompok umur (%)
Total Skor
Kelas Kerentanan
1
Mandau
249
108
6,74
0.019
35,44
0.4333
Sedang
2
Pinggir
35
107
6,74
0.074
35,44
0.4333
Sedang
3
Bukit Batu
28
105
6,74
0.539
35,44
0.4333
Sedang
4
Siak Kecil
26
107
6,74
0.740
35,44
0.4333
Sedang
5
Rupat
35
106
6,74
0.318
35,44
0.4333
Sedang
6
Rupat Utara
22
107
6,74
1.259
35,44
0.4333
Sedang
7
Bengkalis
146
104
6,74
0.365
35,44
0.4333
Sedang
8
Bantan
86
104
6,74
0.473
35,44
0.4333
Sedang
68
107
6,74
0.216
35,44
0.4333
Sedang
Kabupaten Bengkalis
Sumber: Hasil Penelitian, 2014
Analisis Kerentanan ... (Eko Ahmad Riyanto)
135
Gambar 3.2. Peta Kerentanan Sosial Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Kabupaten Bengkalis Sumber: Hasil Penelitian, 2014
orang cacat, dan rasio kelompok umur. Jika dikaji berdasarkan hasil pemetaan kerentanan sosial (lihat Gambar 3.2), diketahui semua wilayah di Kabupaten Bengkalis mempunyai kerentanan sedang yang ditandai dengan indeks kerentanan yang berwarna kuning. Selain dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut, tinggi rendahnya nilai kerentanan sosial juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, salah satunya yaitu jenis kelamin. Secara umum penduduk perempuan lebih rentan terhadap bahaya jika dibandingkan dengan penduduk laki-laki, hal ini dikarenakan faktor secara fisik. Zhang dan You (2013), melakukan penelitian tentang kerentanan sosial terhadap banjir di lembah Sungai Huaihe (Cina), hasil penelitian menunjukan kerentanan sebagian besar penduduk tergantung pada jenis kelamin dan kualitas penduduk. 136
3.3. Kerentanan Ekonomi Dalam Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Kabupaten Bengkalis Secara umum kerentanan ekonomi mempunyai definisi yang berbeda-beda. Menurut Sumekto (2011:31), kerentanan ekonomi merupakan suatu kondisi yang menggambarkan atau menimbulkan besarnya kerugian atau rusaknya fasilitas dan kegiatan ekonomi yang terjadi karena bahaya di suatu wilayah. Menurut Westen dkk (2011), kerentanan ekonomi merupakan potensi dampak yang diakibatkan dari bahaya yang berdampak pada asset, proses, dan berbagai sektor ekonomi. Misalnya yaitu gangguan bisnis, efek sekunder seperti peningkatan kemiskinan dan kerugian pekerjaan. Kerentanan ekonomi merupakan
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 128-140
suatu kondisi yang menggambarkan potensi besarnya kerugian, terganggu, rusaknya fasilitas, proses, dan kegiatan ekonomi di suatu wilayah yang terjadi karena bahaya. Parameter yang digunakan untuk menentukan tingkat kerentanan ekonomi yaitu lahan produktif dan PDRB. Berikut dipaparkan parameter kerentanan ekonomi. a. Lahan produktif, yaitu lahan-lahan yang menghasilkan sesuatu bernilai ekonomi yaitu kehutanan (hutan produksi), perikanan, tanaman bahan pangan, tanaman perkebunan, dan pertambangan. b. PDRB, yaitu jumlah nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan dari seluruh kegiatan pekonomian diseluruh daerah dalam tahun tertentu atau perode tertentu dan biasanya satu tahun. Parameter kerentanan ekonomi tersebut sangat terkait dengan aspek perekonomian suatu masyarakat dan wilayah. Setiap parameter kerentanan ekonomi tersebut mempunyai bobot dan skor yang berbeda. Parameter lahan produktif diberi bobot yaitu 60%, sedangkan parameter PDRB diberi bobot 40% (lihat Tabel 2.4.2). Nilai kerentanan ekonomi masingmasing wilayah di Kabupaten Bengkalis dalam bencana kebakaran hutan dan lahan gambut diperoleh dengan cara pemberian skor dan
pembobotan masing-masing parameter. Nilai total kerentanan ekonomi diperoleh melalui penjumlahan nilai hasil pemberian skor dan pembobotan. Untuk lebih jelasnya mengenai hasil perhitungan kerentanan ekonomi dapat dilihat pada Tabel 3.3. Berdasarkan hasil penelitian diketahui nilai PDRB Kabupaten Bengkalis pada tahun 2012, yaitu atas dasar harga berlaku sebesar Rp 107.962.021,80 dan atas dasar harga konstan sebesar Rp 3.963.000.000. Sedangkan nilai lahan produktif di Kabupaten Bengkalis yaitu pertanian sebesar Rp 949.439,45 dan pertambangan dan penggalian sebesar Rp 25,137,917.33. Berdasarkan hasil perhitungan kerentanan ekonomi di Kabupaten Bengkalis dalam bencana kebakaran hutan dan lahan gambut, diketahui bahwa kerentanan ekonomi di Kabupaten Bengkalis termasuk pada kelas rendah karena nilai kerentanan ekonominya yaitu 0,333 (lihat Tabel 3.3). Dapat diketahui bahwa dari 8 kecamatan yang ada di Kabupaten Bengkalis semuanya termasuk pada kelas kerentanan rendah. Untuk lebih jelasnya mengenai kerentanan ekonomi Kabupaten Bengkalis dapat dilihat pada Gambar 3.3. Kabupaten Bengkalis kaitanya dalam bencana kebakaran hutan dan lahan gambut mempunyai nilai kerentanan rendah. Hal ini
Tabel 3.3. Kerentanan Ekonomi di Kabupaten Bengkalis dalam Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut No.
Kecamatan
PDRB (Rp)
Bobot
Skor
Lahan Produktif (Rp)
Bobot
Skor
Total Skor
Kelas
1
Mandau
13.030.833
0,4
0,333
3.145.913.89
0,6
0,333
0,333
Rendah
2
Pinggir
34.791.700
0,4
0,333
8.399.439.41
0,6
0,333
0,333
Rendah
3
Bukit Batu
15.679.200
0,4
0,333
3.785.284.72
0,6
0,333
0,333
Rendah
4
Siak Kecil
10.316.719
0,4
0,333
2.490.670.37
0,6
0,333
0,333
Rendah
5
Rupat
12.459.265
0,4
0,333
3.007.925.50
0,6
0,333
0,333
Rendah
6
Rupat Utara
8.736.150
0,4
0,333
2.109.088.16
0,6
0,333
0,333
Rendah
7
Bengkalis
7.144.600
0,4
0,333
1.724.854.92
0,6
0,333
0,333
Rendah
8
Bantan
5.899.160
0,4
0,333
1.424.179.82
0,6
0,333
0,333
Rendah
Kabupaten Bengkalis
107.962.021
26.087.356.78
Rendah
Sumber: Hasil Penelitian 2014
Analisis Kerentanan ... (Eko Ahmad Riyanto)
137
Gambar 3.3. Peta Kerentanan Ekonomi Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Kabupaten Bengkalis Sumber: Hasil Penelitian, 2014.
menunjukkan bahwa secara ekonomi wilayah ini mempunyai kerentanan ekonomi yang rendah jika terjadi bencana kebakaran hutan dan lahan gambut. Tinggi rendahnya nilai kerentanan ekonomi di Kabupaten Bengkalis dipengaruhi oleh faktor lahan produktif dan PDRB. Jika dikaji berdasarkan hasil pemetaan kerentanan ekonomi (lihat Gambar 3.3), diketahui semua wilayah di Kabupaten Bengkalis mempunyai kerentanan rendah yang ditandai dengan indeks kerentanan yang berwarna hijau. Suatu wilayah yang memiliki banyak penduduk miskin akan lebih rentan terhadap suatu bahaya. Hal ini dikarenakan penduduk tersebut dinilai tidak mempunyai kemampuan secara finansial yang memadai untuk
138
melakukan upaya pencegahan atau mitigasi bencana (BNPB, 2010: 28). Suatu wilayah yang memiliki banyak penduduk miskin secara ekonomi akan lebih rentan terhadap suatu bahaya, jika dibandingkan dengan penduduk yang kaya. Hal ini diasumsikan penduduk miskin secara ekonomi mempunyai kemampuan yang lemah secara finansial dalam rangka melakukan mitigasi bencana. Tingkat kerentanan sosial ekonomi masyarakat tinggi menyebabkan masyarakat tersebut menjadi rentan. Semakin rendah tingkat kerentanan sosial dan ekonomi suatu masyarakat berarti masyarakat tersebut dinilai lebih mampu untuk menghadapi suatu bencana dan dapat melangsungkan kehidupannya.
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 128-140
4.
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan a. Kerentanan sosial dalam kebakaran hutan dan lahan gambut di Kabupaten Bengkalis termasuk pada kelas kerentanan sedang karena mempunyai nilai kerentanan sosial yaitu 0,46663. b. Kerentanan ekonomi dalam kebakaran hutan dan lahan gambut di Kabupaten Bengkalis termasuk pada kelas kerentanan rendah karena mempunyai nilai kerentanan ekonomi yaitu 0,3333. 4.2. Saran Informasi dan mitigasi tentang bencana kebakaran hutan dan lahan gambut sangat penting disampaikan kepada masyarakat Kabupaten Bengkalis. Hal ini bertujuan untuk mengurangi risiko bencana tersebut. Penelitian lebih lanjut tentang analisis kerentanan sosial ekonomi dan kebakaran hutan dan lahan gambut sangat penting untuk dilakukan dan dikembangkan dengan penambahan indikator dan pendetailan pada unit analisis kajian. Pemetaan dan analisis kerentanan sosial dan ekonomi dalam bencana kebakaran hutan dan lahan gambut perlu diperbarui secara berkelanjutan karena bencana ini bersifat dinamis. Diperlukan upaya mitigasi yang cepat dan tepat oleh Pemerintah Kabupaten Bengkalis dan masyarakat setempat dalam rangka menghadapi kebakaran hutan dan lahan gambut. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: a. Program magang IPN (Indonesia Peatland Network), yang diprakarsai oleh ICCC (Indonesian Climate Change Center) dan CIFOR (Center for International Forestry Analisis Kerentanan ... (Eko Ahmad Riyanto)
Research). b. Prof. Dr. H. A. Sudibyakto, M. S. selaku ketua program minat studi Geo Information for Spatial Planning and Disaster Risk Management, Sekolah Pascasarjana, UGM. c. Prof. Daniel Murdiarso, selaku Principal Scientist, Forest, and Environment, CIFOR. DAFTAR PUSTAKA Adinugroho, W. C., I N.N. Suryadiputra, Bambang Hero Saharjo dan Labueni Siboro. 2005. Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia. BNPB. 2010. Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014. Jakarta: Direktorat Mitigasi BNPB. BNPB dan BIG. 2012. Atlas Kebencanaan Indonesia 2011. Badan Nasional Penanggulangan Bencana & Badan Informasi Geospasial. BPS Kabupaten Bengkalis. 2013. Kabupaten Bengkalis dalam Angka 2013. Bengkalis: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bengkalis. ICCC. 2012. Lembar Fakta. November 2012. www. iccc-network.net. Darjono. 2003. Pengalaman Penegakan Hukum yang Berkaitan dengan Kebakaran di Areal Perkebunan dan HTI Rawa Gambut. Dalam Prosiding Semiloka. Editor: Suyanto. Chokkalingan, U., Wibowo, P. Diterbitkan: CIFOR. Giyarsih, S.R., Listyaningsih, U., Budiani, S.R. 2014. Aspek Sosial Banjir Lahar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Irawan, F. 2013. Rencana Kontinjensi Nasional Menghadapi Ancaman Bencana Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan. Jakarta: BNPB. ISDR. 2005. Hyogo Framework for Action 2005-2015: Building the Resilience of 139
Nations and Communities to Disasters. World Conference on Disaster Reduction 18-22 January 2005, Kobe, Hyogo, Japan. ISDR. 2009. UNISDR Terminology Disaster Risk Reduction. Genewa, Switzerland: UNISDR. Kurniawan, L., Yunus, R., Amri, MR. Pramudiarta, N. 2011. Indeks Rawan Bencana Indonesia. Jakarta: BNPB. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 10 Tahun 2010, tentang mekanisme pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan. Perka (Peraturan Kepala) BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) Nomor 02 Tahun 2012, Tentang: Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Putri, R. 2004. Bencana Tahunan Kabut Asap Riau dalam Pandangan Politik Hijau. Jurnal Phobia, Journal Issue: vol. 1/ No.03/ 20 March 2014. Saharjo, B.H., Syaufina, L., Putra, E.I., Bahruni., Sunarti, E., Nurhayati A.D. 2013. Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Riset Kebencanaan, Mataram, 8-10 Oktober 2013. Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi: Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana. 2011. Pengurangan Risiko Bencana melalui Analisis Kerentanan dan Kapasitas Masyarakat dalam Menghadapi Bencana. Sumekto, D.R. Yogyakarta: UII. Westen, C.J. Van.., Alkema, D., Damen, M.C.J., Kerle, N., Kingma, N.C. 2011. Multi Hazard Risk Assessment. United Nation University-ITC School on Disaster Geoinformation Management (UNU-ITC DGIM). Zhang, YL dan You, W.J. 2013. Social Vulnerability to Foods: a Case Study of Huaihe River Basin. Journal: 140
Nat Hazards (2014) 71:2113–2125. DOI 10.1007/s 11069-013-0996-0. Received: 1 October 2013/ Accepted: 7 December 2013/ Published online: 19 December 2013. http://fokusriau.com/berita-hampir-2000hektare-hutan-dan-lahanterbakar.html (diunduh pada hari Senin, 18 Agustus 2014, jam 15:13 WIB).
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 5, No. 2 Tahun 2014 Hal. 128-140
FORMAT PENULISAN UNTUK JURNAL DIALOG PENANGGULANGAN BENCANA Judul (UPPERCASE, CENTER, BOLD FONT ARIAL 12) Nama Lengkap Penulis
}
Huruf dll lay out hal berikut
ABSTRACT: Tuliskan tujuan dari kesimpulan artikel anda secara jelas dan singkat; dalam BAHASA INGGRIS maksimal 250 kata. Abstrak ditulis 4 cm dari sisi kiri dan sisi kanan dengan sentence, Justify, Italic, Font Arial 10. Keywords : bahasa Inggris paling banyak 10 kata (Sentence case, justify, regular, Arial 10).
1.
PENDAHULUAN (UPPERCASE, LEFT, BOLD, FONT ARIAL 10) Jurnal ini hanya memuat artikel yang disusun dengan isi dan format yang sesuai dengan ketentuan pada halaman ini dan contoh LAY OUT di halaman berikutnya. 1.1 Latar Belakang (Tinjauan Pustaka). (Titlecase, left, Bold, font Arial 10). Uraian tentang substansi penelitian atau tinjauan yang dilakukan penulis dengan dasar publikasi mutakhir. 1. 2 Tujuan (huruf seperti 1.1) Menjelaskan dengan singkatan tujuan penelitian ataupun tujuan yang akan dilakukan. 2. Metodologi Pada BAB ini penulis bisa membagi 2 atau 3 sub bab. 2.1 Tempat dan waktu penelitian ; menjelaskan dimana dan kapan penelitian dilakukan; 2.2 Sampling dan analisis sample; y a n g menjelaskan bagaimana mengambil sample dan dianalisis dimana dengan metode apa. 2.3 ............... (jika perlu) 3. HASIL DAN PEMBAHASAN (huruf seperti 1.) Pada BAB ini penulis dapat membagi 2 sub bab atau lebih. 3.1 Laporan Penelitian (huruf seperti 1.1) Penulis harus menyampaikan data/ hasil pengamatannya. Hubungkan dan diskusikan dengan referensi hasil/hasil
penelitian lain. Jelaskan mengapa hasil penelitian anda berbeda atau sama dengan referensi yang ada, kemudian ambil kesimpulannya. 3.2 Artikel Ulasan (Huruf seperti 1.1) Penulis menyampaikan “teori, pandangan dan hasil penelitian” peneliti lain tentang sebuah substansi/isu yang menarik. Diskusikan/kupas perbedaan dan persamaan referensi yang anda sampaikan tersebut. Ambil kesimpulan; yang akan lebih baik jika penulis mampu mensinergikan referensi yang ada menjadi sebuah pandangan baru. 4. KESIMPULAN DAN SARAN Penulis bisa membagi 2 sub bab: 4.1 kesimpulan yang berisi kesimpulan pada pembahasan dan 4.2. Saran diberikan jika ada hasil penelitian yang perlu ditindak lanjuti. UCAPAN TERIMAKASIH Berisikan ucapan terima kasih penulis pada pihak yang membantu (kalau perlu saja). DAFTAR PUSTAKA Berisi referensi yang diacu yang dalam artikel ditulis dengan superscript dan ditulis dengan cara berikut: 1. Author, tahun Judul paper, jurnal/prosidang/ buku, Vol (no), hal/jumlah hal. (perhatikan cara menaruh singkatan nama sebagai author ke-1: Garno, Y.S. dan nama ke-2: Y.S. Garno pada contoh penulisan daftar pustaka di bawah ini)
LAY OUT PENULISAN 18.5 cm
Judul KARYA ILMIAH (UPPERCASE, CENTER, BOLD, FONT ARIAL 12)
Penulis (Tittlecase, center, Bold, Font Arial 10) Nama Unit Kerja (Tittlecase, Center, Reg, Arial 10)
ABSTRACT: sentence case, justify, italic, font Arial 10 Kata kunci: maksimal 5 kata; ditulis Sentence case, justify with last line aligned left, regular, Arial 10
Awal paragraph menjorok ke dalam 1,25 cm semua kalimat artikel selain judul bab dan subbab dutulis dengan MS Word, 1 spasi, sentence case, justify, regular, font Arial 10
2.5 cm
1.5 cm
Footer 1.5 cm
0.5 cm
2 cm
Format penulisan jurnal ini terdiri dari 2 kolom dengan jarak antara kolom 0,5 cm dengan : Paper Size : Custom Size Width : 19,1 cm High : 26 cm Header : 1,25 cm Footer : 1 cm Top : 2,5 cm Bottom : 2,5 cm Left : 3 cm Right : 2,5 cm