JURNAL BPPK ISSN 2085-3785 Volume 9 Nomor 1, 2016, halaman 1-108 Jurnal BPPK merupakan publikasi ilmiah yang berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian, pengembangan, kajian, dan pemikiran di bidang ekonomi dan keuangan negara. Terbit pertama kali tahun 2010 dengan masa terbit sekali setahun kemudian menambah masa terbit pada tahun 2011 diterbitkan dua kali setahun hingga saat ini, pada bulan Juni dan Desember. Artikel yang diterbitkan dalam Jurnal BPPK telah melalui proses evaluasi dan penyuntingan oleh Dewan Redaksi, Mitra Bestari dan Anggota Staf Editorial. Jurnal BPPK terbuka untuk umum, praktisi, peneliti, pegawai, dan pemerhati masalah ekonomi dan keuangan negara.
STAF EDITORIAL Penanggung Jawab Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Ketua Dewan Redaksi Sekretaris Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Dewan Redaksi Dr. Roberto Akyuwen, S.T.P., S.E., M.Si. Yoopi Abimanyu, S.E., M.A., Ph.D Dr. Agung Budi Laksono, S.E., M.M. Mitra Bestari . Prof. Dr. Abdul Halim, M.B.A., Akt. Prof. Dr. Samsubar Saleh, M.Soc.Sc. Dr. Ir. Tanti Novianti, M.Si Prof. Ir. Noer Azam Achsani. M.Sc., Ph.D. Dr. Akhmad Makhfatih, M.A. Heru Subiyantoro, Ph.D. Zaafri Ananto Husodo, Ph.D.
Redaktur Rahmadi Murwanto, Ak., MAcc., M.B.A., Ph.D. Editor Ahli Bey Arifianto Widodo Editor Pelaksana Nur Etaruni Phesona Elok Brillyananda Toruan Toto Agung Basuki
Sekretariat Adhitya Wira Witantra Najjahul Imtihan Pambudi Gawe Bangun Canggih Wicara Putra Albert Trisija Srie Mutmaenah B.W.
ALAMAT SEKRETARIAT JURNAL BPPK: Bagian Organisasi dan Tata Laksana, Sekretariat Badan Pendidikan dan
Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia Gedung B Soegito Sastromidjojo, Lantai 4, Jl. Purnawarman Nomor 99 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110; Telp. (021) 7394666 ext.253, 7204131; Faksimili (021) 7261775, 7244328; webpage: www.bppk.depkeu.go.id; e-mail:
[email protected].
JURNAL BPPK
Volume 9, Nomor 1, 2016
DAFTAR ISI ANALISIS FAKTOR FUNDAMENTAL DAN IMBAL HASIL SAHAM PERUSAHAAN ASURANSI DI BURSA EFEK INDONESIA
1-20
DEVELOPING EASTERN INDONESIA: INDONESIAN CUSTOMS PRE-INSPECTION FACILITY IN DARWIN, A FAILED STORY?
21-32
Muhammad Agusalim
Arfiansyah Darwin
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OPINI AUDIT DENGAN TINGKAT PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN KEMENTERIAN/LEMBAGA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING
33-44
INFLASI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN : ANALISIS HUBUNGAN DINAMIS INFLASI KOMODITAS BARANG/JASA Azwar
45-64
MACROECONOMIC LINKAGE OF CONSUMER CONFIDENCE IN INDONESIA
65-86
Adelia Pramita Sari
Jagat Prirayani
PENGARUH EKONOMI MAKRO DALAM PERGERAKAN NILAI TUKAR RUPIAH Pihri Buhaerah
87-98
PENGARUH STRUKTUR KEPEMILIKAN PERUSAHAAN TERHADAP TINDAKAN PAJAK AGRESIF
99-108
Listyo Cahyo Purnomo
ii
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016, Halaman 1-20 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
ANALISIS FAKTOR FUNDAMENTAL DAN IMBAL HASIL SAHAM PERUSAHAAN ASURANSI DI BURSA EFEK INDONESIA Muhammad Agusalim
Universitas Terbuka; email:
[email protected] INFO ARTIKEL
ABSTRAK
SEJARAH ARTIKEL Diterima Pertama 21 Januari 2016
Performance of insurance companies listed on the Indonesia Stock Exchange are shown in the financial statements of the company, will show the fundamentals of the company that will assist investors in making an investment decision. The purpose of this study was to determine and analyze: (1). Conditions of fundamental factors and stock returns of insurance companies in the Indonesia Stock Exchange, (2). The fundamental factor that could determine the movement of the stock returns of insurance companies in the Indonesia Stock Exchange. This study was conducted over 6 months, conducted in the Indonesia Stock Exchange. The study population by 10 insurance companies listed on the Indonesia Stock Exchange. Samples are 9 companies. This research is a quantitative research. Source of data is secondary data. The method of analysis is descriptive analysis and regression analysis to test classic assumptions. The results showed that: Coefficient of earnings per share (EPS) of 0.335 with sig. 0.020 <0.05. The first hypothesis of the part one (H1.a) which reads earnings per Shere can be a deciding factor in the movement of the stock returns of insurance companies in Indonesia Stock Exchange accepted. Current ratio coefficient of 0.075 with sig. 0.026 <0.05. The first hypothesis of the part two (H1.b) which reads the current ratio can be a deciding factor in the movement of the stock returns of insurance companies in Indonesia Stock Exchange accepted. The coefficient of return on assets amounted to 0.093 with sig. 0.019 <0.05. The first hypothesis of the part three (H1.c) which reads return on assets may be the deciding factor in the movement of the stock returns of insurance companies in Indonesia Stock Exchange accepted. Coefficient book value of 0.135 with sig. 0.353> 0.05. The first hypothesis of the part four(H1.d) which reads the book value can be a deciding factor in the movement of the stock returns of insurance companies in Indonesia Stock Exchange rejected. Price earnings ratio coefficient of 0,003 with sig. 0.362> 0.05. The first hypothesis of the part five (H1.e) which reads price earnings ratio can be a deciding factor in the movement of the stock returns of insurance companies in Indonesia Stock Exchange rejected. Debt equity ratio coefficient of 0.224 with sig. 0,010 <0,05. The first hypothesis the part six (H1.f) which reads debt equity ratio can be a deciding factor in the movement of the stock returns of insurance companies in Indonesia Stock Exchange accepted. Size coefficient of 0.285 with sig. 0.186> 0.05. The first hypothesis of the part seven (H1.g) which reads size can be a deciding factor in the movement of the stock returns of insurance companies in Indonesia Stock Exchange rejected. The conclusions of this study are: The average debt-equity ratio of insurance companies in the Indonesia Stock Exchange is greatest in 2013 and the smallest was in 2009. The average size of insurance companies in the Indonesia Stock Exchange is greatest in 2014 and most little was in 2009. The average return of the stock of insurance companies in Indonesia Stock Exchange is greatest in 2009 and the smallest was in 2011. Earnings per share, the current ratio, return on assets and debt equity ratio can be the deciding factor the movement of the stock return. can be a deciding factor stock return movement. Book value, price-earnings ratio and size can not be a decisive factor stock return movement of insurance companies in the Indonesia Stock Exchange.
Dinyatakan Dapat Dimuat 30 Mei 2016 KATA KUNCI: Faktor Fundamental Return Saham
Kinerja perusahaan asuransi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia yang terlihat pada laporan keuangan perusahaan, akan memperlihatkan kondisi fundamental dari perusahaan yang akan membantu investor dalam melakukan pengambilan keputusan investasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis: (1). Kondisi faktor fundamental dan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia. (2). Faktor fundamental yang dapat menjadi penentu pada pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan, dilakukan di Bursa Efek Indonesia. Populasi penelitian sebanyak 10 perusahaan asuransi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Teknik penarikan sampel adalah proposive sampling yaitu penarikan sampel dengan pertimbangan
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
1
ANALISIS FAKTOR FUNDAMENTAL DAN IMBAL HASIL SAHAM PERUSAHAAN ASURANSI DI BURSA EFEK INDONESIA Muhammad Agusalim
tertentu. Adapun kriteria penarikan sampel adalah perusahaan terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode penelitian dan melaporkan laporan keuangan secara terus menerus. Sampel penelitian sebanyak 9 perusahaan. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Sumber data adalah data sekunder. Metode analisis adalah analisis deskriptif dan analisis regresi dengan uji Asumsi Klasik. Hasil olah data pada penelitian ini menunjukkan bahwa: Koefisien laba per lembar saham (EPS) sebesar 0,335 dengan nilai sig. 0,020 < 0,05. Hipotesis pertama bagian pertama (H1.a) yang berbunyi earning per shere dapat menjadi faktor penentu pada pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia diterima. Koefisien current ratio sebesar 0,075 dengan nilai sig. 0,026 < 0,05. Hipotesis pertama bagian kedua (H1.b) yang berbunyi current ratio dapat menjadi faktor penentu pada pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia diterima. Koefisien return on assets sebesar 0,093 dengan nilai sig. 0,019 < 0,05. Hipotesis pertama bagian ketiga (H1.c) yang berbunyi return on assets dapat menjadi faktor penentu pada pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia diterima. Koefisien book value sebesar 0,135 dengan nilai sig. 0,353 > 0,05. Hipotesis pertama bagian ketiga (H1.d) yang berbunyi book value dapat menjadi faktor penentu pada pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia ditolak. Koefisien price earning ratio sebesar 0,003 dengan nilai sig. 0,362 > 0,05. Hipotesis pertama bagian kelima (H1.e) yang berbunyi price earning ratio dapat menjadi faktor penentu pada pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia ditolak. Koefisien debt equity ratio sebesar 0,224 dengan nilai sig. 0,010 < 0,05. Hipotesis pertama bagian keenam (H1.f) yang berbunyi debt equity ratio dapat menjadi faktor penentu pada pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia diterima. Koefisien size sebesar 0,285 dengan nilai sig. 0,186 > 0,05. Hipotesis pertama bagian ketujuh (H1.g) yang berbunyi size dapat menjadi faktor penentu pada pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia ditolak. Simpulan penelitian ini adalah: Rata-rata debt equity ratio perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia yang paling besar adalah tahun 2013 dan paling kecil adalah pada tahun 2009. Rata-rata size perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia yang paling besar adalah tahun 2014 dan yang paling kecil adalah pada tahun 2009. Rata-rata return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia yang paling besar adalah tahun 2009 dan paling kecil adalah pada tahun 2011. Laba per lembar saham, current ratio, return on assets dan debt equity ratio dapat menjadi faktor penentu pergerakan return saham. dapat menjadi faktor penentu pergerakan return saham. Book value, price earning ratio dan size tidak dapat menjadi faktor penentu pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia.
1. PENDAHULUAN
2.1. Latar Belakang Return dan risiko adalah dua hal penting bagi sebuah investasi. Return adalah imbal hasil atau tingkat pengembalian dari sebuah investasi, sedangkan risiko menunjukkan penyimpangan antara pendapatan yang diterima dengan pendapatan yang diharapkan dari investasi. Kinerja perusahaan dalam satu periode akan dapat membantu investor dalam mengambil keputusan investasi. Kinerja perusahaan yang terlihat pada laporan keuangan perusahaan dapat menjadi informasi bagi investor mengenai kondisi perusahaan. Laporan keuangan perusahaan yang memperlihatkan hasil yang positif akan memberikan dampak pada pergerakan harga saham perusahaan di Bursa Efek Indonesia. Tingkat pengembalian saham dari investasi investor pada saham disebut dengan return saham. Menurut Elton & Gruber (1995), saham menunjukkan hak kepemilikan pada keuntungan dan aset dari suatu perusahaan. Secara sederhana, saham dapat didefinisikan sebagai surat berharga yang menjadi bukti penyertaan atau kepemilikan individu maupun industri dalam suatu perusahaan Return saham merupakan keuntungan investor dari aktivitas penjulan saham yang lebih besar dari 2
harga beli saham tersebut. Menurut Usman (2004), komponen return terdiri dari dua jenis: current income (pendapatan lancar), dan Capital Gain (keuntungan selisih harga). Menurut Jogiyanto (2001), penjumlahan dari deviden yield ditambah capital gain merupakan total return Untuk melakukan analisis tentang return saham tersebut diperlukan adanya informasi yang bersifat fundamental dan teknikal. Analisis fundamental didasarkan pada informasi-informasi yang diterbitkan oleh emiten maupun administrator bursa efek. Analisis ini dimulai dari siklus perusahaan secara umum, selanjutnya ke sektor industrinya, akhirnya dilakukan evaluasi terhadap harga saham yang diterbitkan. Sedangkan analisis teknikal didasarkan pada data (perubahan) harga saham di masa lalu sebagai upaya untuk memperkirakan harga saham di masa mendatang (Halim, 2005). Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya lembaga jasa perlindungan baik jiwa, kendaraan, pendidikan, kesehatan dan properti menjadi faktor yang mendukung perkembangan dunia asuransi di Indonesia. Berkembangnya perusahaan asuransi di Indonesia sebagai salah satu lembaga keuangan non bank, menjadi salah satu pilihan bagi para pemodal untuk berinvestasi. Investor harus
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
ANALISIS FAKTOR FUNDAMENTAL DAN IMBAL HASIL SAHAM PERUSAHAAN ASURANSI DI BURSA EFEK INDONESIA Muhammad Agusalim
memiliki pemahaman lebih dalam tentang kinerja keuangan perusahaan asuransi. Kinerja perusahaan asuransi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia akan memberikan informasi kepada investor dalam melakukan transaksi jual beli saham perusahaan tersebut. Kinerja perusahaan yang terlihat pada laporan keuangan perusahaan, akan memperlihatkan kondisi fundamental dari perusahaan. Kodisi ini dapat dilihat dari asset perusahaan, likuiditas, tingkat keuntungan, dan seterusnya. Informasi tersebut dapat dilihat oleh investor pada laporan keuangan perusahaan. Informasi tersebut akan membantu investor dalam melakukan pengambilan keputusan investasi khususnya investasi pada perusahaan asuransi. Hardiyan (dalam Bisnis.com, 2014) menyebutkan bahwa pertumbuhan total aset industri asuransi jiwa di Indonesia pada 2013 mencapai angka terendah dibandingkan dengan kurun 5 tahun terakhir sejak 2008 hingga 2012. Data kinerja industri asuransi jiwa yang disampaikan oleh Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), total aset asuransi jiwa mencapai Rp289,7 triliun pada 2013, naik 8,3% dibandingkan dengan Rp267,56 triliun pada 2012. Angka tersebut tercatat lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan total aset asuransi jiwa pada 2012 hingga 2008 yang terekam dalam buku Statistik 2012: Industri Keuangan Non Bank Perasuransian yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Berdasarkan buku tersebut, pertumbuhan aset asuransi jiwa pada 2012 mencapai 17,67%, pada 2011 (21,4%), 2010 (33,04%) dan 2009 (38,83%). Dalam neraca asuransi jiwa, aset mencakup aset investasi dan bukan investasi. Data AAJI (dalam Bisnis.com, 2014), jumlah investasi sepanjang 2013 mencapai Rp251,5 triliun atau tumbuh 10,8% dibandingkan dengan Rp227,07 triliun pada 2012. Pertumbuhan jumlah investasi pada 2012 mencapai 18,12%, 2011 (21,04%), 2010 (30,7%) dan 2009 (41,45%). Sementara itu, total premi lanjutan mencapai Rp42,2 triliun pada 2013 atau tumbuh 29% dibandingkan dengan Rp32,72 triliun pada 2012. Dalam kondisi pasar yang bergejolak pada kuartal III dan kuartal IV tahun lalu, ada kecenderungan untuk menahan atau tidak membeli produk single premi. Beritasatu (2014) pertumbuhan premi neto ratarata 5 tahun (2009-2013), pertumbuhan hasil underwriting rata-rata 5 tahun (2009-2013), pertumbuhan hasil investasi rata-rata 5 tahun (20092013), pertumbuhan laba bersih rata-rata 5 tahun (2009-2013), pangsa pasar premi neto tahun 2013, rasio underwriting terhadap premi neto 2013, TATO (Total Aset Turn Over) 2013, ROA (return on assets) 2013, ROE (return on equity) 2013, dan RBC (risk based capital) 2013. Infobanknews (2010) Pangsa aset industri asuransi menunjukkan tren meningkat. Dengan asumsi pertumbuhan premi 30% per tahun, aset industri asuransi jiwa ditargetkan mencapai Rp500 triliun pada 2015. Berdasarkan uraian diatas, maka faktor fundamental akan memberikan informasi yang lebih
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
penting pada pergerakan harga saham perusahaan. Pergerakan harga saham ke arah positif akan menghasilkan return yang lebih baik bagi investor. Oleh karena itu, peneltian ini berjudul analisis faktor fundamental dan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana kondisi faktor fundamental dan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia 2. Apakah faktor fundamental dapat menjadi penentu pada pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis: 1. Kondisi faktor fundamental dan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia 2. Faktor fundamental yang dapat menjadi penentu pada pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia
2. KERANGKA TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1. Return Saham Investasi merupakan kegiatan menanamkan modal di sebuah perusahaan maupun aset tertentu, secara langsung ataupun tidak langsung, dengan harapan di masa depan, pemilik modal akan mendapatkan sejumlah keuntungan dari hasil penanaman modal tersebut. Setiawan, dkk. (2010), Pelaporan keuangan merupakan pengarah dalam menentukan pedoman atau standar pelaporan keuangan, investor dan kreditor merupakan pihak yang dianggap dominan dan dijadikan sasaran pelaporan keuangan. Karena itu sumber informasi investor yang paling penting adalah laporan keuangan, baik laporan laba rugi, neraca, perubahan modal, ataupun arus kas yang akan berguna bagi investor untuk pengambilan keputusan investasinya. Market Price merupakan harga pada pasar riil, dan merupakan harga yang paling mudah ditentukan karena merupakan harga dari suatu saham pada pasar yang sedang berlangsung atau jika pasar sudah tutup, maka harga pasar adalah harga penutupannya atau closing price (Anoraga dan Pakarti dalam Tasrim, 2012). Harga ini terjadi setelah saham tersebut dicatatkan di bursa, baik bursa utama maupun over the counter market (OTC). Transaksi di sini sudah tidak lagi melibatkan emiten dan penjamin emisi. Harga pasar ini merupakan harga jual dari investor yang satu dengan investor yang lain, dan disebut sebagai harga di pasar sekunder. Harga pasar inilah yang menyatakan naik-turunnya suatu saham dan setiap hari diumumkan di surat-surat kabar atau mediamedia lainnya, (Tasrim, 2012). Informasi dari rasio keuangan yeng mengindikasikan profitabilitas dan tingkat risiko perusahaan akan direspon oleh investor, baik secara positif maupun negatif, sehingga mempengaruhi permintaan dan penawaran saham perusahaan. Hal ini tentunya akan mempengaruhi harga saham perusahaan di pasar bursa.
3
ANALISIS FAKTOR FUNDAMENTAL DAN IMBAL HASIL SAHAM PERUSAHAAN ASURANSI DI BURSA EFEK INDONESIA Muhammad Agusalim
Halim (2005:12) menyatakan bahwa harga saham adalah ringkasan dari pengaruh simultan dan kompleks dari berbagai macam variabel yang berpengaruh, terutama tentang kejadian-kejadian ekonomi bahkan kejadian politik, sosial dan keamanan karena saham merupakan bukti kepemilikan perusahaan yang berupa surat berharga atau efek yang diterbitkan oleh perusahaan yang terdaftar di bursa (go public). Fluktuasi harga saham ditentukan oleh kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba, apabila laba yang diperoleh perusahaan relatif tinggi maka akan berpengaruh positif terhadap harga saham di bursa yang berakibat langsung pada permintaan dan diikuti oleh harga saham yang meningkat. Investor dalam melakukan investasi mengharapkan pengembalian dari investasinya. Begitu juga dengan investor yang melakukan transaksi jual beli saham di Bursa Efek, akan mengharapkan pengembalian yang dari investasi. Elton & Gruber (1995) saham adalah menunjukkan hak kepemiilikan pada keuntungan dan aset dari suatu perusahaan. Secara sederhana, saham dapat didefinisikan sebagai surat berharga yang menjadi bukti penyertaan atau kepemilikan individu maupun industri dalam suatu perusahaan. Halim (2005), return realisasi merupakan return yang telah terjadi dan dapat dihitung dengan data historis Komponen suatu return terdiri dari jua jenis yaitu current income (pendapatan lancar) dan capital gain (keuntungan selisih harga). Current income (pendapatan lancar adalah keuntungan yang diperoleh melalui pembayaran yang bersifat periodik seperti pembayaran bunga deposito, obligasi, deviden, dan sebagainya. Sedangkan capital gain adalah keuntungan yang diterima karena selisih antara harga jual dengan harga beli saham dari suatu instrumen investasi. Capital gain sangat bergantung dari harga pasar instrumen investasi yang bersangkutan, yang berarti bahwa instrumenen investasi tersebut harus diperdagangkan dipasar. Karena dengan adanya perdagangan akan timbul perubahan nilai suatu instrumen investasi. Instrumen yang dapat memberikan capital gain seperti obligasi dan saham, (Ang, 1997). Menurut Usman (2004), komponen return terdiri dari dua jenis: current income (pendapatan lancar), dan Capital Gain (keuntungan selisih harga). Menurut Jogiyanto (2001), penjumlahan dari deviden yield ditambah capital gain merupakan total return. 2.2. Faktor Fundamental Faktor fundamental merupakan faktor dasar dari perusahaan yang akan memberikan informasi kepada investor dalam mengambil keputusan investasi. Faktor fundamental yang memuat kondisi keuangan dan kondisi pasar dari sebuah perusahaan. Menurut Kothari (2001), penelitian tentang pasar modal dengan analisa fundamental telah menjadi sangat populer dalam beberapa tahun terakhir, sebagian karena banyak bukti dalam literatur ekonomi keuangan terhadap efisien pasar hipotesis. Analisis fundamental
4
melibatkan penggunaan laporan keuangan saat ini dan masa lalu dalam hubungannya dengan industri serta data ekonomi untuk menentukan nilai intrinsik perusahaan dan mengidentifikasi mispriced securities. Analisis fundamental melibatkan nilai ekuitas suatu perusahaan berdasarkan analisis laporan keuangan yang dipublikasikan dan informasi lainnya tanpa mengacu pada harga di mana sekuritas perusahaan perdagangan di pasar modal (Bauman, 1996). Menurut Venkates, et al., (2012) analisis fundamental adalah metode untuk mencari tahu harga masa depan saham yang investor ingin membeli. Hal ini terkait dengan pemeriksaan nilai intrinsik dari suatu perusahaan untuk mengetahui apakah harga pasar saat ini adil atau tidak, apakah itu mahal atau di bawah harga. Perkiraan nilai sebenarnya dari saham dibuat dengan mempertimbangkan potensi penghasilan perusahaan yang tergantung pada iklim investasi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan industri tertentu, daya saing, kualitas manajemen, efisiensi operasional, profitabilitas, struktur modal dan kebijakan dividen. Analisis fundamental adalah analisis yang didasarkan atas pemikiran dimana setiap sekuritas mempunyai nilai instrinsik yang dapat diestimasi oleh investor (Jones, 2002). Yunanto dan Medyawati (2009) menyebutkan bahwa investor akan dihadapkan pada dua macam risiko, yaitu risiko fundamental dan risiko pasar. Risiko fundamental dapat diketahui dengan melihat kebijakan keuangan emiten yaitu leverage keuangan. Menurut Husnan (2004), untuk memahami dampak leverage keuangan atau debt to equity ratio atas risiko perusahaan, terlebih dahulu harus dipahami dampaknya terhadap tingkat fluktuasi profitabilitas. Leverage yang semakin besar akan memperbesar perubahan arus laba bersih perusahaan. Greenblatt (2005) menjelaskan dua rasio untuk yang digunakan untuk mengkur fundamental dari suatu perusahaan yaitu Return on Capital dan Earnings Yield. Return on Capital merupakan perbandingan antara EBIT dan Net Working Capital ditambah dengan Net Fixed Assets. Earnings Yield merupakan perbandingan antara EBIT dan Enterprise Value. Peña et al., (2010) mengukur faktor fundamental perusahaan dengan rasio return on assets (ROA), return on equity (ROE), return on capital, dan earnings yield. Fama dan French (1992, 1993) yang biasa disebut model FF menunjukkan bahwa size dan book market (BM) karakteristik yang dominan memainkan peran dalam mengetahui pergerakan return saham dan menyarankan untuk memperluas cakupan Single Factor Model dari Capital Asset Pricing Model (CAPM) dengan dua faktor tambahan yaitu small minus big (SMB) zero cost portfolio, yang berdasarkan pada firm size, dan a high minus low zero-cost portfolio yang berdasarkan pada book market value dari saham. Fama dan French (1993) menunjukkan bahwa model tiga faktor (selanjutnya model FF) dapat menjelaskan pengembalian rata-rata saham AS lebih baik dari CAPM. CAPM menjelaskan keseimbangan pasar antara
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
ANALISIS FAKTOR FUNDAMENTAL DAN IMBAL HASIL SAHAM PERUSAHAAN ASURANSI DI BURSA EFEK INDONESIA Muhammad Agusalim
tingkat risiko yang sistematis dan tingkat keuntungan yang disyaratkan sekuritas portofolio. Dengan kata lain tujuan utama penggunaan CAPM adalah untuk menentukan tingkat keuntungan minimum yang disyaratkan dari suatu investasi. Sejak pertama kali diperkenalkan sampai saat ini, pengujian terhadap CAPM terus dilakukan. Kinerja yang baik dari model ini telah dikonfirmasi dalam karya-karya berikutnya (Fama dan French, 1996; Lawrence et al, 2007). Dukungan empiris dari model FF mengalahkan CAPM. Model FF telah menjadi sangat populer di kalangan akademisi dan praktisi dalam rangka membuat perkiraan yang akurat dari expected returns. Forner dan Marhuenda (2006) dan Forner, Sanabria, dan Marhuenda (2009) menggunakan model FF untuk mengestimasi abnormal returns strategi harga dan pendapatan. Matallín (2005) menggunakan model FF untuk mengukur timbal balik kinerja dana. Matallín (2005) kesesuaian menggunakan faktor atau benchmark untuk mengukur kinerja portofolio dianalisis. Factor Fama and French yang dibangun dari indeks saham Russell AS dan kemudian langsung dimanfaatkan sebagai tolok ukur. Interpretasi faktor sebagai tolok ukur nol-investasi membuatnya sulit untuk menjelaskan pengukuran kinerja sebagai perbandingan aktif dibandingkan manajemen pasif, mengingat pembatasan short selling sering diterapkan untuk reksa dana. Haque dan Faruquee (2013) informasi fundamental kinerja perusahaan, yang meliputi earning per share (EPS), dividen per saham (DPS), return on equity (ROE), return on asset (ROA), dan rasio aset tetap untuk total aset (FA/TA). Zadeh et al., (2013) Return saham biasanya dianggap dipengaruhi oleh rasio keuangan perusahaan serta variabel ekonomi. Metode mendasar mengasumsikan bahwa return saham tidak sematamata berkaitan dengan pasar saham. Sebagian hasil berasal dari kondisi perusahaan, situasi industri dan ekonomi secara keseluruhan. Variabel fundamental adalah debt-equity ratio, working capital to total asset, current ratio, net profit margin, operating cycle, market share, inflation rate of medicinal products prices, total asset, and exchange rate. Variabel fundamental yang dapat memberikan dampak pada return saham pada Tabel 2.1: Hatta dan Dwiyanto (2012) mengukur faktor fundamental dengan EPS, PER, Debt to Equity Ratio (DER), Current Ratio (CR), NPM, DPR, dan ROA terhadap harga saham di Bursa Efek Indonesia. Tingkat Beta (β) berlaku pengukuran risiko sistematis pada menjelaskan varians dari harga sekuritas. Pasaribu (2008) menyebutkan lima faktor fundamental (pertumbuhan, profitabilitas, leverage, likuiditas, dan efisiensi) dan dua rasio pasar (earning ratio, dan rasio harga laba). Peña et al., (2010) mengukur faktor fundamental perusahaan dengan rasio return on assets (ROA), return on equity (ROE), return on capital, dan earnings yield. Manurung dan Supriyono (2006) melalukan pengujian pengaruh variabel fundamental yang
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
Table 2.1 Variabel Fundamental dan Dampaknya terhadap Return Saham
Sumber: Zadeh et al., (2013) tertuang didalam prospektus awal, yaitu berupa total asset perusahaan terakhir, lamanya berdiri (umur) perusahaan, persentase saham yang ditawarkan dari keseluruhan, pendapatan kotor yang diperoleh dari IPO, rasio harga yang ditawarkan dengan laba per saham perusahaan terakhir, rencana penggunaan dana yang diterima apakah digunakan untuk investasi, pembayaran hutang perusahaan terdahulu, peningkatan modal kerja perusahaan, atau bahwa IPO tersebut merupakan penjualan saham oleh pemilik lama yang hasilnya tidak masuk dalam kas perusahaan, rasio tingkat hutang terhadap laba perusahaan, serta melihat apakah program IPO ini merupakan bagian dari program privatisasi perusahaan milik pemerintah atau bukan, terhadap imbal hasil periode jangka pendek maupun imbal hasil periode jangka panjang Gitman (2003), untuk menganalisis kinerja perusahaan dapat digunakan rasio keuangan yang terbagi dalam empat kelompok, yaitu rasio likuiditas, aktivitas, hutang, dan profitabilitas. Anastasia, dkk., (2003) faktor-faktor fundamental yang diteliti adalah nilai intrinsik, nilai pasar, Return On Total Assets (ROA), Return On Investment (ROI), Return On Equity (ROE), Book Value (BV), Debt Equity Ratio (DER), Deviden Earning, Price Earning Ratio (PER), Deviden Payout Ratio (DPR), Deviden Yield, dan likuiditas saham. Bodie, et al., (2005), mengatakan bahwa analisis fundamental selalu memulai penilaian harga saham dengan melihat kepada pembelajaran atas laba historis dan pengujian atas laporan neraca/keuangan suatu perusahaan. Berdasarkan uraian di atas, maka variabel fundamental dalam penelitian ini adalah earning per
5
ANALISIS FAKTOR FUNDAMENTAL DAN IMBAL HASIL SAHAM PERUSAHAAN ASURANSI DI BURSA EFEK INDONESIA Muhammad Agusalim
shere, current ratio, return on total assets, book value, price earning ratio, debt equity ratio, dan size. 2.3. Penelitian Terdahulu Yunanto dan Medyawati (2009) menemukan bahwa ROA, DER dan BVS sebagai faktor fundamental secara bersama-sama dengan faktor teknikal (risiko saham) tidak berpengaruh terhadap return saham. DER. ROA, DER dan BVS serta risiko saham sebagai faktor teknikal secara parsial tidak berpengaruh terhadap return saham. Hubungan yang signifikan secara parsial adalah DER dan Risk terhadap return saham. Asmalidar (2011) faktor fundamental yang terdiri dari total asset, rasio hutang terhadap jumlah kepemilikan, jumlah saham yang ditawarkan, pendapatan kotor IPO, umur perusahaan dan rasio harga penawaran terhadap laba per lembar saham, memiliki pengaruh negatif terhadap return jangka pendek saham IPO. Faktor fundamental baik secara langsung maupun tidak langsung memiliki pengaruh positif terhadap return jangka panjang saham IPO. Dan indikator yang dominan mempengaruhi adalah total asset. Haque dan Faruquee (2013) penelitian ini menganggap bahwa nilai aktiva bersih sebagai nilai ideal saham. Studi ini menggambarkan bahwa harga pasar sangat sensitif terhadap fundamental perusahaan dan harga pasar saat ini sangat dinilai terlalu tinggi dibandingkan dengan nilai ideal saham, yang memperkuat fakta bahwa dampak dari informasi yang tidak sah memiliki pengaruh besar dalam menentukan harga saham pada perusahan farmasi dan kimia di Dhaka Stock Exchange Hatta dan Dwiyanto (2012) menemukan bahwa EPS, PER, dan variabel HSM memiliki efek positif dan signifikan terhadap harga saham, sedangkan DER dan variabel NPM memiliki efek negatif dan signifikan. EPS merupakan variabel yang dominan dengan hubungan yang kuat dengan harga saham. Pasaribu (2008) menemukan bahwa faktor fundamental dan semua rasio pasar memiliki pengaruh yang signifikan secara simultan dan parsial di semua industri. Earning per saham variabel pengaruh yang dominan dalam enam industri, di mana faktor profitabilitas dalam industri pertanian dan faktor likuiditas di properti dan real estate industri. Semua proxy memiliki koefisien determinasi kisaran 21,98% - 85,41%. Haryanto dan Sugiharto (2003) meneliti pengaruh rasio profitabilitas (ROA dan NPM) terhadap harga saham industri makanan dan minuman periode 2000-2001. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ROA dan NPM secara simultan dan parsial, dan tidak berpengaruh signifikan terhadap harga saham. Piotroski (2000) hasil penelitian menunjukkan bahwa Book to Market yang dapat yang tinggi dapat memberikan peningkatan pengembalian rata-rata diterima oleh kepada investor minimal 7,5% per tahun melalui pemilihan Book to Market yang kuat secara finansial untuk pasar perusahaan. Venkates, et al., (202) menyimpulkan bahwa semua sinyal akuntansi
6
memiliki korelasi positif dengan return saham masa depan. Hal ini membutuhkan identifikasi yang sinyal individu berkontribusi dalam mendefinisikan sukses strategies. Korelasi positif antara sinyal fundamental keseluruhan dan mengidentifikasi perusahaan skor tinggi sebagai pemenang portofolio memiliki realisasi pendapatan mendekati 300%. 2.4. Kerangka Konseptual Teori singnaling menyebutkan bahwa sinyal yang diberikan perusahaan akan memberikan dampak pada pergerakan harga saham suatu perusahaan. Sinyal ini berupa hasil kinerja perusahaan selama satu periode tertentu yang publikasikan dalam bentuk laporan keuangan setiap periode. Brigham dan Houston (2001), pengumuman emisi saham oleh suatu perusahaan umumnya merupakan suatu isyarat (signal) bahwa manajemen memandang prospek peusahaan tersebut suram. Apabila suatu perusahaan menawarkan penjualan saham baru, lebih sering dari biasanya, maka harga sahamnya akan menurun karena menerbitkan saham baru berarti memberikan isyarat negatif yang kemudian dapat menekan harga saham sekalupin prospek perusahaan cerah. Venkates, et al., (202) menyimpulkan bahwa semua sinyal akuntansi memiliki korelasi positif dengan return saham masa depan. Piotroski (2000) hasil penelitian menunjukkan bahwa Book to Market yang dapat yang tinggi dapat memberikan peningkatan pengembalian rata-rata diterima oleh kepada investor. Pasaribu (2008) menemukan bahwa faktor fundamental dan semua rasio pasar memiliki pengaruh yang signifikan secara simultan dan parsial terhadap pergerakan saham di semua industri. Earning per saham variabel pengaruh yang dominan dalam enam industri, di mana faktor profitabilitas dalam industri pertanian dan faktor likuiditas di properti dan real estate industri. Al-Dini et al. (2011), hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara earning per share (EPS) dan harga saham perusahaan. Namun, ada hubungan negatif dan signifikan antara Dividen per Saham (DPS) dan price to earning ratio (P/E) dari perusahaan tersebut. Hatta dan Dwiyanto (2012) menemukan bahwa EPS, PER, dan variabel HSM memiliki efek positif dan signifikan terhadap harga saham, sedangkan DER dan variabel NPM memiliki efek negatif dan signifikan. EPS merupakan variabel yang dominan dengan hubungan yang kuat dengan harga saham. Zadeh et al., (2013) mnemukan bahwa debt-equity ratio, working capital to total asset, current ratio, net profit margin, operating cycle, market share, inflation rate of medicinal products prices, total asset, and exchange rate berpengaruh signifikan terhadap return saham. Haryanto dan Sugiharto (2003), hasil penelitian menunjukkan bahwa ROA dan NPM secara simultan dan parsial, dan tidak berpengaruh signifikan terhadap harga saham. Chowdhury & Chowdhury (2010), studi ini menemukan hubungan yang kuat antara current ratio, leverage operasi, EPS, dividend
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
ANALISIS FAKTOR FUNDAMENTAL DAN IMBAL HASIL SAHAM PERUSAHAAN ASURANSI DI BURSA EFEK INDONESIA Muhammad Agusalim
payout ratio, share capital dan stock price dan dengan mengubah parameter ini (current ratio, leverage operasi, EPS, dividend payout ratio, share capital dan stock price), perusahaan dapat meningkatkan nilainya di pasar. Berdasarkan uraian dari teori dan hasil penelitian sebelumnya, maka kerangka konseptual penelitian sebagai berikut:
3. Faktor Fundamental 4. 1. Earning per shere 5. (EPS), 6. 2. Current ratio (CR), 7. 3. Return on total 8. assets (ROA), 9. 4. Book value (BV), 10. 5. Price earning ratio 11. (PER), 12. 6. Debt equity ratio (DER), Gambar 2.1 Kerangka konseptual 7. Size
Return Saham
2.1. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka konseptual penelitian dan uraian dari penelitian sebelumnya serta mengacu pada permasahan dalam penelitan ini, maka hipotesis penelitian sebagai berikut. H1a : Faktor earning per shere dapat menjadi penentu pada pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia H1b : Faktor current ratio dapat menjadi penentu pada pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia H1c : Faktor return on total assets dapat menjadi penentu pada pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia H1d : Faktor book value dapat menjadi penentu pada pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia H1e : Faktor price earning ratio dapat menjadi penentu pada pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia H1f : Faktor debt equity ratio dapat menjadi penentu pada pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia H1g : Faktor size dapat menjadi penentu pada pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan dari bulan Mei sampai bulan Nopember 2015. Penelitian dilakukan di Bursa Efek Indonesia. 3.2. Populasi dan sampel Penelitian Populasi penelitian sebanyak 10 perusahaan asuransi di Indonesia yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Teknik penarikan sampel adalah proposive
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
sampling yaitu penarikan sampel dengan pertimbangan tertentu. Adapun kriteria penarikan sampel adalah perusahaan terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode penelitian dan melaporkan laporan keuangan secara terus menerus. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 9 asuransi di Indonesia yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. 3.3. Jenis dan Sumber Data Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Sumber data adalah data sekunder yaitu data yang dari statistik tahunan IDX dan data laporan keuangan yang diperoleh dari laporan publikasi perusahaan pada Bursa Efek Indonesia selama 6 tahun dari tahun 2009 sampai 2014. Data dalam penelitian ini menggunakan data panel. 5.1. Variabel Penelitian 3.4.1 Variabel Dependen Variabel dependen atau biasa disebut variabel tidak bebas adalah return saham. Return saham merupakan tingkat pengembalian dari saham investor. Return saham diperoleh selisih harga saham penutupan tahun ini (Pt) dengan harga saham periode tahun sebelumnya (Pt-1) dibagi dengan harga saham periode tahun sebelumnya (Pt-1). Return saham dapat dihitung sebagai berikut.
3.4.2 Variabel independen Variabel independen dalam penelitian ini adalah foktor fundamental persuahaan. Faktor fundamental diproyeksikan dengan earning per shere (EPS), current ratio (CR), return on total assets (ROA), book value (BV), price earning ratio (PER), debt equity ratio (DER), dan size a. EPS merupakan natural logarithm dari laba per lembar saham. Rasio ini diukur dengan rumus:
b. CR merupakan perbandingan antara aktiva lancer dengan hutang lancer. Rasio ini diukur dengan rumus:
c. ROA merupakan perbandingan antara laba setelah pajak dengan rata-rata aset perusahaan. Rasio ini diukur dengan rumus:
d. BV merupakan natural logarithm dari Base Price dikali dengan Number of Shares. Rasio ini diukur dengan rumus:
7
ANALISIS FAKTOR FUNDAMENTAL DAN IMBAL HASIL SAHAM PERUSAHAAN ASURANSI DI BURSA EFEK INDONESIA Muhammad Agusalim
e. PER merupakan perbandingan antara harga saham penutupan dengan laba per lembar saham. Rasio ini diukur dengan rumus:
f. DER merupakan perbandingan antara total hutang dengan modal sendiri perusahaan. Rasio ini diukur dengan rumus:
g. Size merupakan natural logarithm dari total asset perusahaan. Rasio ini diukur dengan rumus:
5.2. Teknik Analisis Data 3.2.1. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui gambaran return saham, faktor fundamental perusahaan asuransi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Analisis ini akan memberikan bantuan untuk mengetahui return saham investor dan kondisi fundamental perusahaan asuransi. 3.2.2. Analisis Regresi Analisis regeresi digunakan untuk mengetahui faktor penentu dari variabel fundamental terhadap return saham perusahaan asuransi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Model analisis regresi sebagai berikut: Y = β0 + β1EPSit + β2CRit + β3ROAit + β4BVit + β5PERit + β6DERit + β7Sizeit + μit Dimana: Y EPS CR ROA BV PER DER Size β0 β1, s/d β7, μit
= Return saham = Earning per Share = Current ratio = Return on Assets = Book Value = Price earning ratio = Debt equity ratio = Total asset = Konstanta = Parameter yang akan ditaksir = Standar error
3.2.3. Uji Asumsi Klasik Sebelum melakukan analisis regresi akan dilakukan uji penyimpangan asumsi klasik sebagai berikut:
8
3.2.3.1. Uji Multikolinieritas Uji multikolinieritas dilakukan untuk menguji apakah pada model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel independen. Jika terjadi kolerasi, maka dinamakan terdapat problem multikolinieritas. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel independen. Uji multikolinieritas pada penelitian dilakukan dengan matriks kolerasi. Pengujian ada tidaknya gejala multikolinearitas dilakukan dengan memperhatikan nilai matriks kolerasi yang dihasilkan pada saat pengolahan data serta nilai VIF (variance inflation factor) dan tolerancenya. Apabila nilai matriks korelasi tidak ada yang lebih besar dari 0,05, maka dapat dikatakan data yang akan dianalisis terlepas dari gejala multikolinearitas. Kemudian apabila nilai VIF berada dibawah 10 dan nilai tolerance mendekati 1, maka diambil kesimpulan bahwa model regresi tersebut tidak terdapat problem multikolineritas (Gozali, 2004). 3.2.3.2. Uji Normalitas Data Variabel independen dan dependen dalam penelitian harus berdistribusi normal atau mendekati normal (Gozali, 2004). Untuk menguji apakah datadata yang dikumpulkan berdistribusi normal dengan melakukan uji statistik sederhana yang sering digunakan untuk menguji asumsi normalitas adalah dengan menggunakan uji normalitas dari Kolmogorov Smirnov. Metode pengujian normal tidaknya distribusi data dilakukan dengan melihat nilai signifikansi variabel, jika signifikan lebih besar dari alpha 5%, maka menunjukkan distribusi data normal. 3.2.3.3. Uji Heterokedastisitas Uji heterokedastisitas dilakukan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi, terjadi ketidaksamaan varians dari residual dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varians dari residul dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap, maka disebut Homokedastisitas. Dan jika varians berbeda, disebut Heterokedastisitas. Model regresi yang baik adalah tidak terjadi heteroskedastisitas (Gozali, 2004). Jika titik yang berkumpul atau membentuk suatu pola tertentu, maka terjadi heterokodastisitas. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Deskripsi Variabel Penelitian 4.1.1. Laba Per Lembar Saham (EPS) Berdasarkan hasil analisis deskriptif data penelitian diperoleh hasil analisis deskriptif variabel laba per lembar saham pada tabel 4.1.
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
ANALISIS FAKTOR FUNDAMENTAL DAN IMBAL HASIL SAHAM PERUSAHAAN ASURANSI DI BURSA EFEK INDONESIA Muhammad Agusalim
Tabel 4.1 Deskripsi Variabel Laba Per Lembar Saham NO
Tahun (Rp)
Nama Perusahaan
2009
2010
2011
2012
2013
2014
1
Asuransi Bina Dana Arta Tbk
219
206
202
435
247
244
2
17
57
110
134
126
168
3
Asuransi Dayin Mitra Tbk Asuransi Harta Aman Pratama Tbk
18
11
18
20
25
25
4
Asuransi Jasa Tania Tbk
47
55
103
48,98
18
65
5
Asuransi Multi Artha Guna Tbk
50
39
37
64
42
37
6
Asuransi Ramayana Tbk
282
158
196
133
167
223
7
Lippo General Insurance Tbk
129
317
21
3.498
456
526
8
Maskapai Reasuransi Ind. Tbk
70
111
88
188
123
216
9
Panin Insurance Tbk
94
30
22
41
176
235
Minimal Terendah
17
11
18
20
18
25
Nilai Tertinggi
282
317
202
3.498
456
526
102,89
109,33
88,56
506,89
153,33
193,22
Rata-rata Sumber: Data penelitian diolah (2015)
Berdasarkan tabel 4.1. ditunjukkan bahwa perusahaan asuransi dengan laba perlembar saham yang paling kecil pada tahun 2009 adalah PT Asuransi Dayin Mitra Tbk sebesar Rp 17, tahun 2010 sampai tahun 12 dan tahun 2014 adalah PT Asuransi Harta Aman Pratama Tbk sebesar Rp 11, Rp 18, Rp 20 dan Rp 25, sedangkan tahun 2013 adalah PT Asuransi Jasa Tania Tbk sebesar Rp 18. Laba per lembar saham tertinggi pada tahun 2009 adalah PT Asuransi Ramayana Tbk sebesar Rp 282, tahun 2010 adalah PT Lippo General Insurance Tbk sebesar Rp 317, tahun 2011 adalah PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk sebesar Rp 202, tahun 2012 sampai tahun 2014 adalah PT Lippo General Insurance Tbk masing-masing sebesar Rp 3.498, Rp 456, Rp 526. Rata-rata lapa perlembar saham perusahaan asuransi
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2009 sebesar Rp 102, 89; tahun 2010 sebesar Rp 109,33; tahun 2011 sebesar Rp 88,56; tahun 2012 sebesar Rp 506,89; tahun 2013 sebesar Rp 153,33; dan tahun 2014 sebesar Rp 193,22. 4.1.2. Current Ratio Berdasarkan hasil analisis deskriptif data penelitian diperoleh hasil analisis deskriptif variabel current ratio pada tabel 4.2. Dari tabel tabel 4.2 ditunjukkan bahwa current ratio yang paling kecil pada tahun 2009 dan tahun 2010 adalah PT Asuransi Multi Artha Guna Tbk sebesar 0,12 dan 0,09; tahun 2011 dan tahun 2012 adalah PT Lippo General Insurance Tbk sebesar 1,48 dan 1,68; tahun 2013 adalah PT Asuransi Multi Artha
Tabel 4.2 Deskripsi Variabel Current Ratio NO
Nama Perusahaan
Tahun 2009
2010
2011
2012
2013
2014
1
Asuransi Bina Dana Arta Tbk
0,69
0,16
11,33
13,16
10,94
0,97
2
1,35
1,31
6,77
3,51
5,53
1,18
3
Asuransi Dayin Mitra Tbk Asuransi Harta Aman Pratama Tbk
1,46
1,75
3,70
3,55
4,77
1,42
4
Asuransi Jasa Tania Tbk
1,96
1,86
1,79
1,77
1,98
1,54
5
Asuransi Multi Artha Guna Tbk
0,12
0,09
11,72
9,10
1,77
2,35
6
Asuransi Ramayana Tbk
1,55
1,65
2,29
2,60
2,29
1,08
7
Lippo General Insurance Tbk
0,89
1,22
1,48
1,68
3,68
2,01
8
Maskapai Reasuransi Ind. Tbk
2,76
3,39
4,44
1,80
2,39
1,29
9
Panin Insurance Tbk
4,94
5,77
14,45
8,16
6,56
3,86
Minimal Terendah
0,12
0,09
1,48
1,68
1,77
0,97
Nilai Tertinggi
4,94
5,77
14,45
13,16
10,94
3,86
1,75
1,91
6,44
5,04
4,43
1,74
Rata-rata Sumber: Data penelitian diolah (2015) Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
9
ANALISIS FAKTOR FUNDAMENTAL DAN IMBAL HASIL SAHAM PERUSAHAAN ASURANSI DI BURSA EFEK INDONESIA Muhammad Agusalim
Tabel 4.3 Deskripsi Variabel Return On Assets NO
Nama Perusahaan
Tahun (%) 2009
2010
2011
2012
2013
2014
Asuransi Bina Dana Arta Tbk
5,99
5,36
7,92
6,61
68,2
6,42
Asuransi Dayin Mitra Tbk
3,20
4,59
6,58
2,87
2,99
2,79
3
Asuransi Harta Aman Pratama Tbk
7,26
7,44
9,95
6,56
7,27
6,07
4
Asuransi Jasa Tania Tbk
5,53
6,58
7,5
6,59
2,8
5,57
5
Asuransi Multi Artha Guna Tbk
10,84
9,07
9,08
10,9
10,33
8,47
6
Asuransi Ramayana Tbk
8,87
5,33
6,1
3,05
2,89
4,21
7
Lippo General Insurance Tbk
3,99
6,12
4,70
2,28
4,62
5,84
8
Maskapai Reasuransi Ind. Tbk
11,57
10,34
10,96
12,40
10,58
9,27
9
Panin Insurance Tbk
7,58
9,41
9,28
6,44
7,49
7,70
Minimal Terendah
3,20
4,59
4,70
2,28
2,80
2,79
11,57
10,34
10,96
12,40
68,20
9,27
7,20
7,14
8,01
6,41
13,02
6,26
1 2
Nilai Tertinggi Rata-rata Sumber: Data penelitian diolah (2015)
Guna Tbk sebesar 1,77 dan tahun 2014 adalah PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk sebesar 0,97. Current ratio yang paling besar pada tahun 2009 sampai tahun 2011 adalah PT Panin Insurance Tbk masing-masing sebesar 4,94; 5,77; 14,45; tahun 2012 dan tahun 2013 adalah PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk masing-masing sebesar 13,16 dan 10,94; tahun 2014 adalah PT Panin Insurance Tbk sebesar 3,86. Rata-rata current ratio perusahaan asuransi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2009 sebesar 1,75 tahun 2010 sebesar 1,91; tahun 2011 sebesar 6,44; tahun 2012 sebesar 5,04; tahun 2013 sebesar 4,43 dan tahun 2014 sebesar 1,74. 4.1.3. Return on Assets Berdasarkan hasil analisis deskriptif data penelitian diperoleh hasil analisis deskriptif variabel
return on assets pada tabel 4.3.. Dari tabel 4.3. ditunjukkan bahwa return on assets paling rendah pada tahun 2009 dan tahun 2010 adalah PT Asuransi Dayin Mitra Tbk masing –masing sebesar 3,20% dan 4,59%; tahun 2011 adalah PT Lippo General Insurance Tbk sebesar 4,70; tahun 2012 PT Lippo General Insurance Tbk sebesar 2,28; tahun 2013 adalah PT Asuransi Jasa Tania Tbk sebesar 2,80; dan tahun 2014 adalah PT Asuransi Dayin Mitra Tbk sebesar 2,79. Return on assets yang paling besar pada tahun 2009 sampai tahun 2012 adalah PT Maskapai Reasuransi Ind. Tbk masing-masing sebesar 11,57%; 10,34%; 10,96%; 12,40%; tahun 2013 adalah PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk sebesar 68,20%; dan tahun 2014 adalah PT Maskapai Reasuransi Ind. Tbk sebesar 9,27%. Rata-rata return on assets perusahaan
Tabel 4.4 Deskripsi Variabel Book Value NO
Tahun (Rp) Nama Perusahaan
2010
2011
2012
2013
2014
1
Asuransi Bina Dana Arta Tbk
524
646
608
948
1.285
1.851
2
Asuransi Dayin Mitra Tbk
561
645
696
812
955
1.101
3
Asuransi Harta Aman Pratama Tbk
106
106
121
150
176
221
4
Asuransi Jasa Tania Tbk
334
350
375
299
284
335
5
Asuransi Multi Artha Guna Tbk
221
220
136
259
280
278
6
Asuransi Ramayana Tbk
1.531
1.219
909
844
823
970
7
Lippo General Insurance Tbk
3.841
3.691
4.528
6.529
7.935
8.442
8
Maskapai Reasuransi Ind. Tbk
329
435
488
718
877
1.17
9
Panin Insurance Tbk
758
232
209
287
2.529
3.776
Minimal Terendah Nilai Tertinggi Rata-rata Sumber: Data penelitian diolah (2015)
10
2009
106
106
121
150
176
221
3.841
3.691
4.528
6.529
7.935
8.442
911,67
838,22
896,67
1.205,11
1.682,67
2.016
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
ANALISIS FAKTOR FUNDAMENTAL DAN IMBAL HASIL SAHAM PERUSAHAAN ASURANSI DI BURSA EFEK INDONESIA Muhammad Agusalim
Tabel 4.5 Deskripsi Variabel Price Earning Ratio NO
Nama Perusahaan
Tahun 2009
2010
2011
2012
2013
2014
1
Asuransi Bina Dana Arta Tbk
1,37
2,52
3,67
4,2
17,21
25,59
2
Asuransi Dayin Mitra Tbk Asuransi Harta Aman Pratama Tbk
13,8
10,49
5,25
5,51
5,25
6,83
6,5
11,64
10,75
9,27
6,79
9,48
4
Asuransi Jasa Tania Tbk
8,98
7,66
4,09
-160,95
21,7
4,53
5
Asuransi Multi Artha Guna Tbk
1,88
3,71
4,45
3,6
4,66
6,32
6
Asuransi Ramayana Tbk
9,12
6,59
8,16
7,35
5,74
5,76
7
Lippo General Insurance Tbk
4,41
3,65
77,97
0,57
7,18
9,12
8
Maskapai Reasuransi Ind. Tbk
4,06
4,96
8,8
9,08
21,06
19,59
9
Panin Insurance Tbk
2,71
6,9
6,72
3,31
3,81
3,17
Minimal Terendah
1,37
2,52
3,67
-160,95
3,81
3,17
13,80
11,64
77,97
9,27
21,70
25,59
5,87
6,46
14,43
-13,12
10,38
10,04
3
Nilai Tertinggi Rata-rata Sumber: Data penelitian diolah (2015)
asuransi di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2009 sebesar 7,20; tahun 2010 sebesar 7,14%; tahun 2011 sebesar 8,01%; tahun 2012 sebesar 6,41%; tahun 2013 sebesar 13,02%; dan tahun 2014 sebesar 6,26%. 4.1.4. Book Value Berdasarkan hasil analisis deskriptif data penelitian diperoleh hasil analisis deskriptif variabel book value pada tabel 4.4 Dari tabel 4.4. ditunjukkan bahwa book value yang paling kecil pada tahun 2009 sampai tahun 2014 adalah PT Asuransi Harta Aman Pratama Tbk masingmasing sebesar Rp 106, Rp 106, Rp 121, Rp 150, Rp 176, Rp 221. Nilai book value yang paling besar dari tahun 2009 sampai tahun 2014 adalah PT Lippo General Insurance Tbk masing-masing sebesar Rp 3.841, Rp 3.691, Rp 4.528, Rp 6.529, Rp 7.935, dan Rp 8.442. Rata-rata nilai book value perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2009 sebesar Rp 911,67; tahun 2010 sebesar Rp 838,22; tahun 2011 sebesar 896,67; tahun 2012 sebesar 1.205,11; tahun 2013 sebesar Rp 1.682,67 dan tahun 2014 sebesar Rp 2.016. 4.1.5. Price earning ratio Berdasarkan hasil analisis deskriptif data penelitian diperoleh hasil analisis deskriptif variabel price earning ratio pada tabel 4.5.. Dari tabel 4.5. ditunjukkan bahwa price earning ratio yang paling kecil pada tahun 2009 tahun 2011 sampai adalah PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk masing-masing sebesar 1,37; 2,52; 3,67; tahun 2012 PT Asuransi Jasa Tania Tbk sebesar -160,95; tahun 2013 dan tahun 2014 adalah PT Panin Insurance Tbk masing-masing sebesar 3,81 dan 3,17. Nilai price earning ratio yang paling besar pada tahun 2009
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
adalah PT Asuransi Dayin Mitra Tbk sebesar 13,8; tahun 2010 dan tahun 2012 adalah PT Asuransi Harta Aman Pratama Tbk sebesar 11,64 dan 9,27; tahun 2011 adalah PT Lippo General Insurance Tbk sebesar 77,97; tahun 2013 PT Asuransi Jasa Tania Tbk sebesar 21,70; tahun 2014 adalah PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk sebesar 25,59. Rata-rata nilai price earning ratio perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2009 sebesar 5,87; 2010 sebesar tahun 6,46; tahun 2011 sebesar 14,43; tahun 2012 sebesar -13,12; tahun 2013 sebesar 10,38; dan tahun 2014 sebesar 10,04. 4.1.6. Debt Equity Ratio Berdasarkan hasil analisis deskriptif data penelitian diperoleh hasil analisis deskriptif variabel debt equity ratio pada tabel 4.6. Dari tabel 4.6 ditunjukkan bahwa nilai debt equity ratio yang paling kecil pada tahun 2009 sampai tahun 2013 adalah PT Lippo General Insurance Tbk masing masing sebesar 0,26; 0,34; 0,34; 0,38; 0,43 dan tahun 2014 adalah PT Panin Insurance Tbk sebesar 0,28. Nilai debt equity ratio yang paling besar pada tahun 2009 dan tahun 2010 adalah PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk masing-masing sebesar 2,32 dan 3,53; tahun 2011 sampai tahun 2014 adalah PT Asuransi Ramayana Tbk masing-masing sebesar 2,52; 4,85; 5,56; 5,96. Rata-rata debt equity ratio perusahaan asuransi di Bursa efek Indonesia pada tahun 2009 sebesar 1,10; tahun 2010 sebesar 1,35; tahun 2011 sebesar 1,21; tahun 2012 sebesar 1,59; tahun 2013 sebesar 2,08; dan tahun 2014 sebesar 2,04. 4.1.7. Size Berdasarkan hasil analisis deskriptif data penelitian diperoleh hasil analisis deskriptif variabel size pada tabel 4.7. 11
ANALISIS FAKTOR FUNDAMENTAL DAN IMBAL HASIL SAHAM PERUSAHAAN ASURANSI DI BURSA EFEK INDONESIA Muhammad Agusalim
Tabel 4.6 Deskripsi Variabel Debt Equity Ratio NO
Tahun
Nama Perusahaan
2009
2010
2011
2012
2013
2014
1
Asuransi Bina Dana Arta Tbk
2,32
3,53
1,86
1,43
1,77
1,32
2
Asuransi Dayin Mitra Tbk
1,26
1,38
1,18
1,67
4,41
4,8
3
Asuransi Harta Aman Pratama Tbk
0,8
1,1
1,1
1,82
1,83
1,8
4
Asuransi Jasa Tania Tbk
0,78
0,79
0,83
1,53
1,55
1,64
5
Asuransi Multi Artha Guna Tbk
0,76
0,87
0,92
0,78
0,77
0,67
6
Asuransi Ramayana Tbk
1,59
2,41
2,52
4,85
5,56
5,96
7
Lippo General Insurance Tbk
0,26
0,34
0,34
0,38
0,43
0,58
8
Maskapai Reasuransi Ind. Tbk
1,35
1,31
1,62
1,44
1,65
1,34
9
Panin Insurance Tbk
0,76
0,41
0,54
0,39
0,72
0,28
Minimal Terendah
0,26
0,34
0,34
0,38
0,43
0,28
Nilai Tertinggi
2,32
3,53
2,52
4,85
5,56
5,96
1,10
1,35
1,21
1,59
2,08
2,04
Rata-rata Sumber: Data penelitian diolah (2015)
Dari tabel 4.7 ditunjukkan bahwa nilai size yang paling kecil pada tahun 2009 dan tahun 2012 sampai tahun 2014 adalah PT Asuransi Jasa Tania Tbk sebesar 5,25; dan 5,28; 5,31; 5,50; tahun 2010 dan tahun 2011 adalah PT Asuransi Harta Aman Pratama Tbk sebesar 5,10; dan 5,16. Nilai size yang paling besar pada tahun 2009 sampai tahun 2012 adalah PT Panin Insurance Tbk masing-masing sebesar 6,91; 6,97; 7,06; 7,12; 7,25; 7,33. Rata-rata nilai size perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2009 adalah sebesar 5,73; tahun 2010 sebesar 5,76; tahun 2011 sebesar 5,83; tahun 2012 sebesar 6,03; tahun 2013 sebesar 6,10; tahun 2014 sebesar 6,19.
4.1.8. Return saham Berdasarkan hasil analisis deskriptif data penelitian diperoleh hasil analisis deskriptif variabel return saham tabel 4.8.. Dari tabel 4.8. ditunjukkan bahwa nilai retun saham yang paling kecil pada tahun 2009 dan tahun 2012 adalah PT Asuransi Harta Aman Pratama Tbk sebesar 0,33 dan -0,05; tahun 2010 dan tahun 2014 adalah PT Asuransi Jasa Tania Tbk sebesar -0,57 dan 0,55; tahun 2011 adalah PT Asuransi Ramayana Tbk sebesar -0,21; tahun 2013 adalah PT Asuransi Dayin Mitra Tbk Asuransi Dayin Mitra Tbk sebesar -0,73. Nilai return saham yang paling besar pada tahun 2009 adalah PT Asuransi Jasa Tania Tbk sebesar 1,35; tahun 2010 adalah PT Asuransi Dayin Mitra Tbk sebesar
Tabel 4.7 Deskripsi Variabel Size NO
Nama Perusahaan
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Asuransi Bina Dana Arta Tbk
5,71
5,93
6,04
6,25
6,33
6,43
Asuransi Dayin Mitra Tbk Asuransi Harta Aman Pratama Tbk
5,42
5,49
5,52
6,00
6,04
6,13
5,70
5,10
5,16
5,40
5,47
5,56
4
Asuransi Jasa Tania Tbk
5,25
5,26
5,21
5,28
5,31
5,50
5
Asuransi Multi Artha Guna Tbk
5,70
5,82
6,02
6,13
6,17
6,22
6
Asuransi Ramayana Tbk
5,56
5,66
5,78
6,03
6,07
6,14
7
Lippo General Insurance Tbk
5,79
5,95
5,95
6,16
6,23
6,34
8
Maskapai Reasuransi Ind. Tbk
5,53
5,65
5,75
5,89
5,99
6,10
9
Panin Insurance Tbk
6,91
6,97
7,06
7,12
7,25
7,33
Minimal Terendah
5,25
5,10
5,16
5,28
5,31
5,50
Nilai Tertinggi
6,91
6,97
7,06
7,12
7,25
7,33
5,73
5,76
5,83
6,03
6,10
6,19
1 2 3
Rata-rata Sumber: Data penelitian diolah (2015)
12
Tahun (log10)
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
ANALISIS FAKTOR FUNDAMENTAL DAN IMBAL HASIL SAHAM PERUSAHAAN ASURANSI DI BURSA EFEK INDONESIA Muhammad Agusalim
Tabel 4.8 Deskripsi Variabel Return Saham NO
Nama Perusahaan
Tahun 2009
2010
2011
2012
2013
2014
1
Asuransi Bina Dana Arta Tbk
0,58
0,73
0,48
1,38
1,32
0,47
2
Asuransi Dayin Mitra Tbk
0,90
1,50
-0,17
0,48
-0,73
4,81
3
Asuransi Harta Aman Pratama Tbk
0,33
0,10
0,60
-0,05
1,55
-0,51
4
Asuransi Jasa Tania Tbk
1,36
-0,57
-0,01
0,10
0,43
-0,55
5
Asuransi Multi Artha Guna Tbk
0,90
0,52
0,02
0,56
0,74
-0,42
6
Asuransi Ramayana Tbk
0,62
0,05
-0,21
0,20
-0,02
0,34
7
Lippo General Insurance Tbk
0,54
1,04
0,46
0,18
0,65
0,47
8
Maskapai Reasuransi Ind. Tbk
0,64
0,93
0,38
1,25
0,52
0,63
9
Panin Insurance Tbk
0,71
-0,18
0,98
0,25
0,29
0,11
Minimal Terendah
0,33
-0,57
-0,21
-0,05
-0,73
-0,55
Nilai Tertinggi
1,36
1,50
0,98
1,38
1,55
4,81
0,73
0,46
0,28
0,48
0,53
0,59
Rata-rata Sumber: Data penelitian diolah (2015)
1,50; tahun 2011 adalah PT Panin Insurance Tbk sebesar 0,98; tahun 2012 adalah PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk sebesar 1,38; tahun 2013 adalah PT Asuransi Harta Aman Pratama Tbk sebesar 1,55; dan tahun 2014 adalah PT Asuransi Dayin Mitra Tbk sebesar 4,81. Rata-rata return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2009 sebesar 0,73; tahun 2010 sebesar 0,46; tahun 2011 sebesar 0,28; tahun 2012 sebesar 0,48; tahun 2013 sebesar 0,53; dan tahun 2014 sebesar 0,59. 5.2. Uji Asumsi Klasik 4.2.1. Uji Multikolonieritas Berdasarkan uji Multikolonieritas pada lampiran 3 diperoleh hasil uji Multikolonieritas variabel penelitian sebagaimana tabel berikut. Tabel 4.9 Uji Multikolonieritas Variabel Penelitian Collinearity Statistics Tolerance VIF EPS ,844 1,185 BV ,860 1,163 PER ,960 1,041 1 DER ,904 1,107 CR ,740 1,351 ROA ,920 1,087 Size ,640 1,564 Sumber: Data peneltiian diolah (2015) Berdasarkan tabel diatas ditunjukkan bahwa nilai VIF dibawah 10, maka variabel penelitian terbebas dari Multikolonieritas. Model
Tabel 5.10 Uji Normalitas Variabel Penelitian Variabel Penelitian
Nilai sig.
Keterangan
0,102 > 0,05
Normal
EPS
0,450 > 0,05
Normal
BV
0,205 > 0,05
Normal
PER
0,101 > 0,05
Normal
DER
0,111 > 0,05
Normal
CR
0,204 > 0,05
Normal
ROA
0,953 > 0,05
Normal
Return saham
Size
0,501 > 0,05 Sumber: Data penelitian diolah (2015)
Normal
Berdasarkan tabel diatas ditunjukkan bahwa nilai sig. > 0,05, maka variabel penelitian berdistribusi normal. 4.2.3. Uji Heterokedastisitas Berdasarkan uji heterokedastisitas pada lampiran 3 diperoleh hasil uji heterokedastisitas variabel penelitian sebagaimana gambar 5.9. Berdasarkan gambar 5.9. tersebut ditunjukkan bahwa titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y tanpa membentuk pola tertentu maka tidak terjadi heteroskedastisitas.
4.2.2. Uji Normalitas Berdasarkan uji normalitas pada lampiran 3 diperoleh hasil uji normalitas variabel penelitian sebagaimana tabel berikut ini:
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
13
ANALISIS FAKTOR FUNDAMENTAL DAN IMBAL HASIL SAHAM PERUSAHAAN ASURANSI DI BURSA EFEK INDONESIA Muhammad Agusalim
c.
d. Gambar 5.9. Heterokedasititas 5.3. Analisis Regresi 4.3.1. Model regresi Berdasarkan analisis data penelitian diperoleh hasil analisis regresi faktor penenentu pergerakan retun saham perusahaan asuransi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia sebagai berikut. Y = 0,054 + 0,335EPSit + 0,075CRit + 0,093ROAit + 0,135BVit + 0,003PERit + 0,224DERit + 0,285Sizeit + c
e.
4.3.2. Uji hipotesis Berdasarkan uji t diperoleh hasil uji hipotesis faktor fundamental yang dapat menjadi penentu pergerakan retun harga saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia seperti pada tabel berikut. Tabel 4.11 Hasil Uji Hipotesis Variabel dependen Koefisien sig. EPS 0,335 0,020 CR 0,075 0,026 ROA 0,093 0,019 BV 0,135 0,353 PER 0,003 0,362 DER 0,224 0,010 Size 0,285 0,186 Sumber: Data penelitian diolah (2015) Variabel independen
Keterangan
Penentu Penentu Penentu Tidak Tidak Penentu Tidak
a. Berdasarkan tabel 4.9 ditunjukkan bahwa koefisien laba per lembar saham (EPS) sebesar 0,335 dengan nilai sig. 0,020 < 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa laba per lembar saham dapat menjadi faktor penentu pergerakan return saham peruashaan asuransi di Bursa Efek Indonesia. Jadi, hipotesis pertama bagian pertama (H1.a) yang berbunyi earning per shere dapat menjadi faktor penentu pada pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia diterima b. Berdasarkan tabel 4.9 di atas ditunjukkan bahwa koefisien current ratio sebesar 0,075 dengan nilai sig. 0,026 < 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa current ratio dapat menjadi faktor penentu pergerakan return saham peruashaan asuransi di Bursa Efek Indonesia. Jadi, hipotesis pertama 14
f.
g.
bagian kedua (H1.b) yang berbunyi current ratio dapat menjadi faktor penentu pada pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia diterima Berdasarkan tabel 4.9 di atas ditunjukkan bahwa koefisien return on assets sebesar 0,093 dengan nilai sig. 0,019 < 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa return on assets dapat menjadi faktor penentu pergerakan return saham peruashaan asuransi di Bursa Efek Indonesia. Jadi, hipotesis pertama bagian ketiga (H1.c) yang berbunyi return on assets dapat menjadi faktor penentu pada pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia diterima Berdasarkan tabel 4.9 di atas ditunjukkan bahwa koefisien book value sebesar 0,135 dengan nilai sig. 0,353 > 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa book value tidak dapat menjadi faktor penentu pergerakan return saham peruashaan asuransi di Bursa Efek Indonesia. Jadi, hipotesis pertama bagian ketiga (H1.d) yang berbunyi book value dapat menjadi faktor penentu pada pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia ditolak Berdasarkan tabel 4.9 di atas ditunjukkan bahwa koefisien price earning ratio sebesar 0,003 dengan nilai sig. 0,362 > 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa price earning ratio tidak dapat menjadi faktor penentu pergerakan return saham peruashaan asuransi di Bursa Efek Indonesia. Jadi, hipotesis pertama bagian kelima (H1.e) yang berbunyi price earning ratio dapat menjadi faktor penentu pada pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia ditolak Berdasarkan tabel 4.9 di atas ditunjukkan bahwa koefisien debt equity ratio sebesar 0,224 dengan nilai sig. 0,010 < 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa debt equity ratio dapat menjadi faktor penentu pergerakan return saham peruashaan asuransi di Bursa Efek Indonesia. Jadi, hipotesis pertama bagian keenam (H1.f) yang berbunyi debt equity ratio dapat menjadi faktor penentu pada pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia diterima Berdasarkan tabel 4.9 di atas ditunjukkan bahwa koefisien size sebesar 0,285 dengan nilai sig. 0,186 > 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa size tidak dapat menjadi faktor penentu pergerakan return saham peruashaan asuransi di Bursa Efek Indonesia. Jadi, hipotesis pertama bagian ketujuh (H1.g) yang berbunyi size dapat menjadi faktor penentu pada pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia ditolak.
5. PEMBAHASAN 5.1. Laba per lembar saham terhadap return saham Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa laba per lembar saham dapat menjadi penentu pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
ANALISIS FAKTOR FUNDAMENTAL DAN IMBAL HASIL SAHAM PERUSAHAAN ASURANSI DI BURSA EFEK INDONESIA Muhammad Agusalim
investor akan memperhatikan pergerakan laba per lembar saham sebelum memutuskan untuk melakukan investasi. Secara umum alasan investor membeli saham adalah untuk mendapatkan pembagian deviden pada akhir tahun. Oleh karena itu, besar kecilnya laba perlembar saham akan memengaruh kepusan investor dalam mengambil keputusan untuk melakukan investasi. Bird in hand teory menyebutkan bahwa investor akan lebih memilih burung yang telah ada di tangan ketimbang burung yang masih terlepas di anggkasa. Ini menunjukkan bahwa investor akan memilih dividen ketimbang menunggu capital gain yang belum jelas. Penelitian ini sejalan dengan penelitan yang dilakukan oleh Chowdhury & Chowdhury (2010) current ratio, leverage operasi, EPS, dividend payout ratio, share capital dan stock price perusahaan dapat meningkatkan nilainya di pasar. Seetharaman dan Raj (2011) ada korelasi positif yang sangat kuat antara EPS Public Bank pada harga saham dan ada dampak signifikan dari pengumuman laba terhadap harga saham Public Bank Berhad. Solechan (2009) faktorfaktor yang berpengaruh positif terhadap return saham pada model pertama yaitu EPS dan persistensi laba. Al-Dini et al. (2011) ada hubungan yang positif dan signifikan antara Earning per Share (EPS) dan harga saham perusahaan. Hatta dan Dwiyanto (2012) EPS, PER, dan variabel HSM memiliki efek positif dan signifikan terhadap harga saham. EPS merupakan variabel yang dominan dengan hubungan yang kuat dengan harga saham. Pasaribu (2008) menemukan bahwa faktor fundamental dan semua rasio pasar memiliki pengaruh yang signifikan secara simultan dan parsial di terhadap harga saham pada semua industri. Venkates, et al., (202) menyimpulkan bahwa semua sinyal akuntansi memiliki korelasi positif dengan return saham masa depan. Sia dan Tjun (2011) earnings Per Share (secara parsial mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Harga Saham. Sipayung (2013) earning per share, price to book value, kurs, dan inflasi yang berpengaruh signifikan terhadap return saham. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Purnamasari et al., (2014) return on equity dan earning per share tidak berpengaruh terhadap return saham pada perusahaan property and real estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2009-2011. 5.2. Current ratio terhadap return saham Bardasarkan hasil analisis data diketahui bahwa current ratio dapat menjadi faktor penentu terhadap pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia. Hal ini menujukkan bahwa kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban yang akan jatuh tempo merupakan faktor yang akan menjadi perhatian investor sebelum memutusakan untuk melakukan investasi. Kemampuan perusahaan ini menunjukkan bahwa perusahaan dalam kondisi
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
yang baik, sehingga investor akan selalu memperhatikan current ratio sebelum melakukan pembelian saham. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Seng dan Hancock (2012) menunjukkan bahwa sinyal fundamental secara signifikan dapat memprediksi perubahan laba masa depan baik jangka pendek dan jangka panjang. Chowdhury & Chowdhury (2010) current ratio, leverage operasi, EPS, dividend payout ratio, share capital dan stock price, perusahaan dapat meningkatkan nilainya di pasar. Venkates, et al., (202) menyimpulkan bahwa semua sinyal akuntansi memiliki korelasi positif dengan return saham masa depan Zadeh et al., (2013) mnemukan bahwa debt-equity ratio, working capital to total asset, current ratio, net profit margin, operating cycle, market share, inflation rate of medicinal products prices, total asset, and exchange rate berpengaruh signifikan terhadap return saham. Faktor-faktor ini dapat digunakan dalam pengambilan keputusan dalam industri farmasi pada Tehran Stock Exchange. Pasaribu (2008) faktor fundamental dan semua rasio pasar memiliki pengaruh yang signifikan secara simultan dan parsial terhadap harga saham di semua industri. Purnamasari et al., (2014) current ratio, debt to equity ratio, dan price eraning ratio berpengaruh terhadap return saham pada perusahaan property and real estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2009-2011. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sia dan Tjun (2011) Current Ratio secara parsial tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Harga Saham. Ayuningtyas (2014) CR berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap Return Saham. Miraza (2013) CR dan DER tidak berpengaruh signifikan terhadap harga saham. ROA yang berpengaruh signifikan terhadap harga saham. Sipayung (2013) current ratio, return on equity dan debt to equity ratio tidak berpengaruh signifikan terhadap return saham Real Estate and Property periode 2007-2011 5.3. Return on assets terhadap return saham Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa return on assets dapat menjadi penentu pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan perusahaan dalam menghasikan keuntungan dengan menggunakan aktiva yang dimiliki oleh perusahaan menjadi salah satu faktor yang akan mendapat perhatian oleh investor dalam melakukan investasi. Return on assets yang besar menunjukkan bahwa perusahaan memunyai kinerja yang baik. Mahrinasari (2003) Semakin besar nilai rasio ini menunjukkan tingkat rentabilitas usaha bank semakin baik atau sehat. Pasaribu (2008) menemukan bahwa faktor fundamental dan semua rasio pasar memiliki pengaruh yang signifikan secara simultan dan parsial terhadap pergerakan saham di semua industri
15
ANALISIS FAKTOR FUNDAMENTAL DAN IMBAL HASIL SAHAM PERUSAHAAN ASURANSI DI BURSA EFEK INDONESIA Muhammad Agusalim
Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Anastasia, dkk., (2003) menemukan bahwa faktor fundamental (ROA,ROE,BV,DER,r) dan risiko sistematik (beta) secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap harga saham perusahaan properti. Venkates, et al., (202) menyimpulkan bahwa semua sinyal akuntansi memiliki korelasi positif dengan return saham masa depan. Ayuningtyas (2014) ROA, DER, dan Size berpengaruh positif dan signifikan terhadap Return Saham dan Return Saham berpengaruh positif dan signifikan terhadap PBV. Miraza (2013) ROA yang berpengaruh signifikan terhadap harga saham. Adiesti (2013) ROA, NPM, dan PBV berpengaruh positif terhadap returnsaham. Penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Anastasia, dkk., (2003) variabel book value secara parsial mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap harga saham perusahaan property. Sedangkan ROA, ROE, DER, r tidak. Yunanto dan Medyawati (2009) ROA, DER dan BVS sebagai faktor fundamental secara bersama-sama dengan faktor teknikal (risiko saham) tidak berpengaruh terhadap return saham. DER. ROA, DER dan BVS serta risiko saham sebagai faktor teknikal secara parsial tidak berpengaruh terhadap return saham. Hubungan yang signifikan secara parsial adalah DER dan Risk terhadap return saham. Haryanto dan Sugiharto (2003) meneliti pengaruh rasio profitabilitas (ROA dan NPM) terhadap harga saham industri makanan dan minuman periode 2000-2001. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ROA dan NPM secara simultan dan parsial, dan tidak berpengaruh signifikan terhadap harga saham. Sipayung (2013) current ratio, return on equity dan debt to equity ratio tidak berpengaruh signifikan terhadap return saham Real Estate and Property periode 2007-2011. Purnamasari et al., (2014) return on equity dan earning per share tidak berpengaruh terhadap return saham pada perusahaan property and real estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2009-2011. 5.4. Book value terhadap return saham Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa book value tidak dapat menjadi faktor penentu pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa harga dasar dan jumlah saham yang beredar belum menjadi perhatian utama investor dalam menentukan keputusan investasi. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bramantyo (2006) tidak ada hubungan yang positif dan signifikan antara debt to equity ratio, price per book value, dan devidend payout ratio terhadap Return Saham”. Sehingga DER, PBV dan DPR tidak dapat digunakan sebagai prediktor untuk menentukan tingkat return saham. Yunanto dan Medyawati (2009) menemukan bahwa ROA, DER dan BVS sebagai faktor fundamental secara bersama-sama dengan faktor teknikal (risiko saham) tidak berpengaruh terhadap return saham
16
Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Piotroski (2000) book to market
yang tinggi dapat memberikan peningkatan pengembalian rata-rata diterima oleh kepada investor. Pasaribu (2008) menemukan bahwa faktor fundamental dan semua rasio pasar memiliki pengaruh yang signifikan secara simultan dan parsial di semua industri. Anastasia, dkk., (2003) book value secara parsial mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap harga saham perusahaan property. Susanto (2011) loan to deposit rasio, return on equity, dan price to book value berpengaruh terhadap return saham. Price to book value adalah variabel paling dominan dan berpengaruh positif terhadap Return saham. Sipayung (2013) earning per share, price to book value, kurs, dan inflasi yang berpengaruh signifikan terhadap return saham. Adiesti (2013) ROA, NPM, dan PBV berpengaruh positif terhadap returnsaham. 5.5. Price earning ratio terhadap return saham Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa price earning ratio tidak dapat menjadi faktor penentu pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa investor belum rasio harga dari laba perusahaan. Investor hanya memfokuskan diri pada berapa keuntungan yang diperoleh dari investasi yang lakukan. Oleh karena itu laba perlembar saham menjadi faktor yang memnentukan kebijakan investasi bukan price earning ratio. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Susanto (2011) debt equity ratio dan price earning rasio tidak berpengaruh terhadap return saham. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sia dan Tjun (2011) price earnings ratio secara parsial mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Harga Saham. Purnamasari et al., (2014) current ratio, debt to equity ratio, dan price eraning ratio berpengaruh terhadap return saham pada perusahaan property and real estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2009-2011. Hatta dan Dwiyanto (2012) menemukan bahwa EPS, PER, dan variabel HSM memiliki efek positif dan signifikan terhadap harga saham 5.6. Debt equity ratio terhadap return saham Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa debt equity ratio dapat menjadi faktor penentu pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa radio hutang dengan modal sendiri perusahaan merupakan faktor yang menjadi perhatian perusahaan dalam melakukan investasi. Besar kecilnya rasio hutang dengan modal sendiri perusahaan akan berdampak pada pergerakan harga saham perusahaan di Bursa Efek Indonesia khususnya perusahaan asuransi. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ayuningtyas (2014) ROA, DER, dan Size berpengaruh positif dan signifikan terhadap Return
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
ANALISIS FAKTOR FUNDAMENTAL DAN IMBAL HASIL SAHAM PERUSAHAAN ASURANSI DI BURSA EFEK INDONESIA Muhammad Agusalim
Saham dan Return Saham berpengaruh positif dan signifikan terhadap PBV. Purnamasari et al., (2014) current ratio, debt to equity ratio, dan price eraning ratio berpengaruh terhadap return saham pada perusahaan property and real estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2009-2011. Seng dan Hancock (2012) menunjukkan bahwa sinyal fundamental secara signifikan dapat memprediksi perubahan laba masa depan baik jangka pendek dan jangka panjang. Adiesti (2013) DER tidak berpengaruh terhadap return saham. Zadeh et al., (2013) menemukan bahwa debtequity ratio, working capital to total asset, current ratio, net profit margin, operating cycle, market share, inflation rate of medicinal products prices, total asset, and exchange rate berpengaruh signifikan terhadap return saham. Pasaribu (2008) menemukan bahwa faktor fundamental dan semua rasio pasar memiliki pengaruh yang signifikan secara simultan dan parsial terhadap harga saham di semua industri. Venkates, et al., (202) menyimpulkan bahwa semua sinyal akuntansi memiliki korelasi positif dengan return saham masa depan. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Miraza (2013) CR dan DER tidak berpengaruh signifikan terhadap harga saham. Bramantyo (2006) tidak ada hubungan yang positif dan signifikan antara debt to equity ratio, price per book value, dan devidend payout ratio terhadap Return Saham”. Sehingga DER, PBV dan DPR tidak dapat digunakan sebagai prediktor untuk menentukan tingkat return saham. Susanto (2011) debt equity ratio dan price earning rasio tidak berpengaruh terhadap return saham. Sipayung (2013) current ratio, return on equity dan debt to equity ratio tidak berpengaruh signifikan terhadap return saham Real Estate and Property periode 2007-2011. Anastasia, dkk., (2003) variabel book value secara parsial mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap harga saham perusahaan property. Sedangkan ROA, ROE, DER, r tidak berpengaruh terhadap harga saham perusahaan property. Yunanto dan Medyawati (2009) menemukan bahwa ROA, DER dan BVS sebagai faktor fundamental dan faktor teknikal (risiko saham) secara bersama-sama dan parsial tidak berpengaruh terhadap return saham. Solechan (2009) faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap return saham pada model pertama yaitu EPS dan persistensi laba. Variabel lainnya (IOS, Rasio Hutang, Size, Beta, dan Kelompok Industri) tidak berpengaruh terhadap return saham. 5.7. Size terhadap return saham Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa size tidak dapat menjadi faktor penentu pergerakan return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa size belum dapat menjadi perhatian investor dalam menentukan keputusan investasi. Pergerakan saham kearah yang lebih baik akan menghasilkan return bagi investor sehingga tidak adanya efek size terhadap return saham
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
menunjukkan bahwa investor belum memberikan perhatian pada pergerakan size. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Adiwiratama (2012) arus kas dari investasi, labaakuntansi, arus kas dari operasi, arus kas dari investasi dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh pada return saham perusahaan. Akan tetapi, arus kas aktivitas keuangan berpengaruh terhadap return saham. Solechan (2009) faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap return saham pada model pertama yaitu EPS dan persistensi laba. Variabel lainnya (IOS, Rasio Hutang, Size, Beta, dan Kelompok Industri) tidak berpengaruh terhadap return saham. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ayuningtyas (2014) ROA, DER, dan Size berpengaruh positif dan signifikan terhadap Return Saham dan Return Saham berpengaruh positif dan signifikan terhadap PBV. Haque dan Faruquee (2013) penelitian ini menganggap bahwa nilai aktiva bersih sebagai nilai ideal saham. Asmalidar (2011) faktor fundamental baik secara langsung maupun tidak langsung memiliki pengaruh positif terhadap return jangka panjang saham IPO. Dan indikator yang dominan mempengaruhi adalah total asset. Seng dan Hancock (2012) menunjukkan bahwa sinyal fundamental secara signifikan dapat memprediksi perubahan laba masa depan baik jangka pendek dan jangka panjang. Haque dan Faruquee (2013) penelitian ini menganggap bahwa nilai aktiva bersih sebagai nilai ideal saham. Daniati dan Suhairi (2006) size perusahaan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap expected return saham 6.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitan diperoleh simpulan hasil penelitian sebagai berikut. 1. Rata-rata laba per lembar saham yang paling besar adalah pada tahun 2012 dan paling kecil terjadi pada tahun 2011. rata-rata current ratio yang paling besar adalah pada tahun 2011 dan paling kecil terjadi pada tahun 2014. Rata-rata return on assets perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia yang paling besar adalah tahun 2013 dan paling kecil adalah pada tahun 2014. Rata-rata book value perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia yang paling besar adalah tahun 2014 dan paling kecil adalah pada tahun 2010. Rata-rata price earning ratio perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia yang paling besar adalah tahun 2011 dan paling kecil adalah pada tahun 2012. Rata-rata debt equity ratio perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia yang paling besar adalah tahun 2013 dan paling kecil adalah pada tahun 2009. Rata-rata size perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia yang paling besar adalah tahun 2014 dan yang paling kecil adalah pada tahun 2009. Rata-rata return saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia yang paling besar adalah tahun 2009 dan paling kecil adalah pada tahun 2011
17
ANALISIS FAKTOR FUNDAMENTAL DAN IMBAL HASIL SAHAM PERUSAHAAN ASURANSI DI BURSA EFEK INDONESIA Muhammad Agusalim
2.
Laba per lembar saham, current ratio, return on assets dan debt equity ratio dapat menjadi faktor penentu pergerakan return saham. dapat menjadi faktor penentu pergerakan return saham. Book value, price earning ratio dan size tidak dapat menjadi faktor penentu pergerakan return saham peruashaan asuransi di Bursa Efek Indonesia.
7.
IMPLIKASI DAN KETERBATASAN
Berdasarakan simpulan penelitian di atas, maka saran yang diajukan oleh peneliti sebagai berikut. 1. Kepada perusahaan perusahaan asuransi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia agar lebih memperhatikan laba perlembar saham, current ratio, return on assets dan debt equity ratio tanpa mengabaikan book value, price earning ratio dan size dalam mendukung pergeakan saham di Bursa Efek Indonesia 2. Kepada pihak investor agar lebih memperhatikan pergerakan faktor fundamental dalam pengambilan keputusan investasi 3. Penelitian ini hanya dilakukan pada perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia. Jadi, disarankan kepada peneliti selanjutnya hendaknya memperluas cakupan populasi dan variabel penelitian Penghargaan Terima Kasih kami ucapkan kepada Saudara Tasrim dan Ansrijayanti, atas bantuannya dalam pengolahan data. Penelitian yang dilakukan dalam artikel ini dibiayai oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Terbuka melalui skema Fundamental UT Madya sesuai surat perjanijian penugasan melaksanakan penelitian universitas terbuka tahun anggaran 2015 nomor: 12876/UN31.2/PG2015. DAFTAR PUSTAKA Adiesti, Laurensia Vanida. 2013. Pengaruh FaktorFaktor Fundamental Terhadap Return Saham. Jurnal Ilmiah Universitas Bakrie. Vol. 1 No. 3 Ang, Robert. 1997. Buku Pintar Pasar Modal Indonesia. Edisi Pertama, Rineka Cipta, Jakarta. Adiwiratama, Jundan. 2012. Pengaruh Informasi Laba, Arus Kas Dansize Perusahaanterhadap Return Saham (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEI). Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Humanika, Vol. 2 No. 1 Desember 2012 Asmalidar. 2009. Analisis Faktor Fundamental terhadap Return Jangka Pendek dan Jangka Panjang Sahap Initial Public Offering di Pasar Sekunder Bursa Efek Indonesia. Jurnal Ekonom, Vol 14, No 4, September 2011 Ayuningtyas, Nindy. 2014. Pengaruh ROA, DER, Current Ratio, Dan Size terhadap Return Saham dan PBV. Tesis, Universitas Stikubank Bramantyo, Roy. 2006. Pengaruh Debt to Equity Ratio (DER), Price to Book Value (PBV), dan devidend Payout Ratio Terhadap Return Saham (studi
18
pada saham LQ 45 di Bursa Efek Jakarta. Tesis, Universitas Negeri Semarang. Bauman, M.P. (1996). A Review of Fundamental Analysis Research in Accounting. Journal of Accounting Literature, Vol. 15, 1-33. Beritasatu. 2014. Daftar Asuransi Terbaik 2014 Versi Majalah Investor. http://www.beritasatu.com/asuransi/194256 . Diakses 29 Januari 2015 Bisnis.com. 2014. Aset Asuransi Jiwa 2013 Tumbuh Terendah Dalam 5 Tahun. http://finansial.bisnis.com/read/20140314/2 15/210696. Diakses 29 Januari 2015 Bodie, Zvi, Kane, Alex and Marcus, Alan J. 2005. Investments, Sixth Edition, McGraw-Hill International Edition Daniati, Ninna dan Suhairi. 2006. Pengaruh Kandungan Informasi Komponen Laporan Arus Kas, Laba Kotor, dan Size Perusahaan terhadap Expected Return Saham (Survey Pada Industri Textile dan Automotive yang Terdaftar Di BEJ). Simposium Nasional Akuntansi 9 PADANG Elton, Edwin J., Gruber & Cristopher R. Blake. 1995. Fundamental Economic Variables, Expected Return and Bond Fund Performance. Journal of Finance, Vol 1, No. 4, September. Fama EF, French K. 1992. The cross-section of expected stock returns. Journal of Finance, 47: 427-465. Fama EF, French K. 1993. Common Risk Factors in the Returns on Stocks and Bonds. Journal of Financial Economics, 33:3–56. Forner C, Marhuenda J. 2006. Análisis del origen de los beneficios del momentum en el Mercado de valores español. Investigaciones Económicas, 30(3):401–439. Forner C, Sanabria S, Marhuenda J (2009): Postearnings announcement drift: Spanish evidence. Spanish Economic Review, 11(3):207–241. Gitman, Lawrence J. 2003. Principles of Managerial Finance, 10th ed., International Editions Financial Series, Boston: Addison-Wesley. Ghozali, Imam. 2004. Aplikasi Analisis Multivariate dengan program SPSS. Badan Penerbit UNDIP: Semarang Greenblatt J. 2005. The little book that beats the market. John Wiley & Sons Inc. Halim, Abdul. 2005. Analisis Investasi. Salemba Empat, Jakarta. Haque, Samina dan Faruquee, Murtaza. 2013. Impact of Fundamental Factors on Stock Price: A Case Based Approach on Pharmaceutical Companies Listed with Dhaka Stock Exchange. International Journal of Business and Management Invention. Volume 2 Issue 9 September. 2013 PP.34-41 Haryanto, dan Toto Sugiharto. 2003. Pengaruh Rasio Profitabilitas Terhadap Harga Saham Pada Perusahaan Industri Di Bursa Efek Jakarta.
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
ANALISIS FAKTOR FUNDAMENTAL DAN IMBAL HASIL SAHAM PERUSAHAAN ASURANSI DI BURSA EFEK INDONESIA Muhammad Agusalim
Jurnal Ekonomi dan Bisnis, No. 3, Jilid 8, Tahun 2003; 141-154 Hatta, Atika Jauharia dan Dwiyanto, Bambang Sugeng. 2012. The Company Fundamental Factors and Systematic Risk in Increasing Stock Price. Journal of Economics, Business, and Accountancy Ventura. Volume 15, No. 2, August 2012, pages 245 – 256 Infobanknes. 2010. Pangsa Aset Industri Asuransi Mengalami Peningkatan. http://www.infobanknews.com /2010/01. Diakses 29 Januari 2015 Jogiyanto. 2000. Teori Portofolio dan Analisis Investasi. Edisi Kedua, BPFE, Yogyakarta Jones, Charles P. 2002. Investment: Analysis and Management, Eight Ed, New York: John Willey & Sons Kothari, S.P. 2001. Capital Market Research in Accounting. Journal of Accounting and Economics, Vol. 31, 105-231. http://dx.doi.org/10.1016/S0165-4101 (01)00030-1 Lawrencea E, Geppertb J, Prakasha A. 2007. Asset pricing models: a comparison. Applied Financial Economics, 17:933–940. Pasaribu, Rowland Bismark Fernando. 2008. The Influence of Corporate Fundamental to its Stock Price in Indonesian Public Companies. Journal of Economics and Business Vol 2, No. 2, July 2008 (101-113) Peña, Francisco J. De. Forner, Carlos dan Espinosa, Germán López. 2010. Fundamentals and the Origin of Fama-French Factors: The Case of the Spanish Market. Journal of Economics and Finance, 60, 2010, no. 5 Piotroski, J. D. (2000). Value Investing: The Use of Historical Financial Statement Information to Separate Winners from Losers. Journal of Accounting Research, Vol. 38, 1-41. http://dx.doi.org/10.2307/2672906 Purnamasari, Khairani; Emrinaldi Nur DP dan Raja Adri Satriawan S. 2014. Pengaruh Current Ratio, Debt To Equity Ratio, Return On Equity, Price Earning Ratio, dan Earning Per Share terhadap Return Saham Pada Perusahaan Property dan Real Estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2009-2011. Jom FEKON Vol. 1 No. 2 Oktober 2014 Manurung, Adler Haymans dan Gatot Soepriyono, 2006. Hubungan Antara Imbal Hasil IPO dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja IPO di BEJ. Manajemen dan Usahawan Indonesia, Vol. 35, pp. 14-26. Matallín JC (2005): Portfolio Performance: Factors or Benchmarks? Available at SSRN: http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abst ract_id=760204 (dikases 29 Januari 2015) Miraza, Zuwina. 2013. Pengaruh Dividen terhadap Hubungan Antara Return On Assets, Debt to equity ratio dan current ratio dengan harga saham perusahaan pertambangan yang
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Jurnal emaksi Harapan Vol. 1, No. 1, Februari 2013 Setiawan, Alvin dan Tjun Tjun, Lauw. 2010. Pengaruh Earnings Per Share, Loan To Deposit Ratio, dan Arus Kas Operasi terhadap Harga Saham Emiten Sektor Perbankan di Bursa Efek Indonesia. Jurnal Akuntansi Vol.2 No.2 November 2010: 162-180 Sia, Vice Law Ren dan Tjun, Lauw Tjun. 2011. Pengaruh Current Ratio, Earnings per Share, dan Price Earnings Ratio Terhadap Harga Saham. Jurnal Akuntansi Vol.3 No.2 November 2011: 136 – 158 Solechan, Achmad. 2009. Pengaruh Manajemen Laba dan Earning terhadap Return Saham (Studi Empiris pada Perusahaan yang Go Public di Bursa Efek Indonesia). Tesis. Universitas Diponegoro Susanto. 2011. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Return Saham Industri Perbankan di Bursa Efek Jakarta. Tesis. Universitas Terbuka Tasrim. 2012. Analisis Pengaruh Non Performing Loan, Net Interest Margin, dan Loan to Deposit Ratio terhadap Harga Saham Melalui Return on Asset Bank yang Tercatat di Bursa Efek Indonesia. Tesis. Universitas Hasanuddin Makassar Usman, Yulianty. 2004. Analisis Pengaruh EVA, MVA, dan Kinerja Keuangan Konvensional terhadap Return Saham di Bursa Efek Jakarta. Tesis. Universitas Diponegoro Semarang Venkates CK., Tyagi, Madhu dan Ganesh L. 2012. Fundamental analysis and stock returns: An Indian evidence. Journal of Economics, Accounting and Finance Vol. 1(2) pp. 033-039, December, 2012 Yunanto, Muhammad dan Medyawati, Henny. 2009. Studi Empiris terhadap Faktor Fundamental dan Teknikal yang Mempengaruhi Return Saham pada Bursa Efek Jakarta. Jurnal Ekonomi Bisnis No. 1 Vol 14, April 2009
19
Halaman ini sengaja dikosongkan This page intentionally left blank
20
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016, Halaman 21-32 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
DEVELOPING EASTERN INDONESIA: INDONESIAN CUSTOMS PREINSPECTION FACILITY IN DARWIN, A FAILED STORY? Arfiansyah Darwin
KPU Bea dan Cukai Tipe A Tanjung Priok, Jl. Pabean No. 1, Tanjung Priok, Jakarta Utara; email:
[email protected] INFO ARTIKEL
ABSTRAK
SEJARAH ARTIKEL Diterima Pertama 23 Februari 2016
This study will describe the background of Indonesian Customs Pre-Inspection Facility in Darwin (ICPIF), the implementation of the tasks carried out by the officials from time to time and try to identify the causes resulted in the ICPIF break-off. The research conducted by field research and literature study. The objective of ICPIF was to facilitate preinspection on goods to be exported from port or airport at Darwin to any port in Indonesia except those located in islands of Java and Sumatera. Customs officials had carried this facility since August 2002. Since then, it is recorded that the exporters and exportations utilize the facility is up and down. After the deferral period, which lasted more than one year (October 2013 until December 2014), the facility is now no longer established. The shut-up happened due to slackening the used of the facility. The study recommend the Ministry of Finance and Directorate General of Customs and Excise to further study the possibility of commencing preinspection cooperation with neighboring countries to expedite the flow of import goods in the port of destination. This activity will also reduce the dwell time of import goods.
Dinyatakan Dapat Dimuat 30 Mei 2016 KEYWORDS: AIDA, Customs preinspection, Economic cooperation, Developing eastern Indonesia, Pemeriksaan Pendahuluan
1.
Penelitian ini mencoba untuk menggambarkan latar belakang dari Indonesian Customs PreInspection Facility di Darwin (ICPIF), pelaksanaan tugas para Pejabat Bea dan Cukai, dan mencoba untuk mengidentifikasi alasan terhentinya ICPIF. Penelitian dilaksanakan dengan metode penelitian lapangan dan studi literatur. Tujuan dari ICPIF adalah untuk memfasilitasi pelaksanaan pemeriksaan pendahuluan atas barang yang akan diekspor dari Darwin ke pelabuhan di Indonesia, selain yang berlokasi di Jawa dan Sumatera. Pejabat Bea dan Cukai telah melaksanakan tugas ini sejak Agustus 2002. Semenjak itu jumlah eksportir dan eksportasi yang menggunakan fasilitas ini telah naik dan turun. Setelah masa penundaan selama lebih dari setahun (dari Oktober 2013 sampai dengan Desember 2014) akhirnya fasilitas ini dihentikan. Penghentian diakibatkan oleh semakin sedikitnya pemanfaatan atas fasilitas ini. Penelitian merekomendasikan kepada Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang kemungkinan kerja sama pemeriksaan pendahuluan dengan negara-negara tetangga untuk memperlancar arus barang impor di pelabuhan tujuan. Aktivitas ini juga dapat digunakan untuk mengurangi waktu tunggu kontainer di pelabuhan tujuan.
INTRODUCTION
1.1. Background of Study Developing Eastern Indonesia has always been the sexiest political commodity in every general election. Each and every political party and presidential candidate always gives promise to develop Eastern Indonesia, once they are given the mandate to rule. Even current President, Joko Widodo, symbolicly began his presidency campaign from Papua. Nevertheless, there is no significance change to raise the economic development of the mentioned area. Data from Biro Pusat Statistik (BPS) figures out the distribution of gross regional domestic products, on the basis of current prices, during 2000 until 2013 is not significantly change.
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
Whereas during those periods, Indonesia had undergone four turns of the government, which are the government of Abdurrahman Wahid-Megawati Soekarnoputri (1999-2001), Megawati SoekarnoputriHamzah Haz (2001-2004), Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (2004-2009), and Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono (2009-2014). Below is the table of Gross Regional Domestic Products (GRDP) on The Basis of Current Prices per Province, on the year of government changing, during the period of 2000 until 2013 (in billion rupiahs).
21
DEVELOPING EASTERN INDONESIA: INDONESIAN CUSTOMS PRE-INSPECTION FACILITY IN DARWIN, A FAILED STORY? Arfiansyah Darwin
Province DKI Jakarta Jawa Timur Jawa Barat Jawa Tengah Riau Kalimantan Timur Sumatera Utara Banten Sumatera Selatan Sulawesi Selatan Lampung Sumatera Barat Aceh Kepulauan Riau Bali Papua Jambi Kalimantan Barat Kalimantan Selatan DI Yogyakarta Kalimantan Tengah Sulawesi Tengah Nusa Tenggara Barat Sulawesi Utara Papua Barat Sulawesi Tenggara Nusa Tenggara Timur Kep. Bangka Belitung Bengkulu Sulawesi Barat Maluku Gorontalo Maluku Utara
Total 33 Provinces
2000
2001
2009
2013
227861.24
263691.92
375561.52
757696.59
1255925.78
203236.96
235829.75
342706.06
686847.56
1136326.87
195943.00
218525.22
305703.40
689841.31
1070177.14
114701.30
133227.56
193435.26
397903.94
623749.62
69576.97
79979.08
114246.37
297173.03
522241.43
82447.05
91890.40
133704.07
285590.82
425429.38
69154.11
79331.34
118100.51
236353.62
403933.05
52927.54
60871.67
84824.75
152556.22
244548.14
41317.80
47100.29
64319.38
137331.85
231683.04
28258.97
31936.14
44744.53
99954.59
184783.06
23245.98
25739.79
36015.54
88934.86
164393.43
22889.61
26154.13
37358.65
76752.94
127099.95
39501.35
37654.64
50357.26
71986.95
103045.56
--
--
36736.62
63892.94
100310.42
17969.82
20998.66
30121.47
60292.24
94555.77
18409.76
21590.32
24842.90
76886.68
93136.60
9569.24
11531.78
18487.94
44127.01
85558.31
19378.78
21359.19
29750.23
54281.17
84956.23
18706.95
20858.42
28028.04
51460.18
83361.79
13480.60
15228.67
22023.88
41407.05
63690.32
11039.68
12436.87
18299.98
37161.80
63515.47
8824.46
10590.60
14956.04
32461.33
58641.18
12192.58
15238.26
22145.67
44014.62
56277.97
10655.73
11918.03
16143.45
33033.61
53401.10
--
--
6576.54
18144.49
50908.73
5774.65
6864.34
10267.96
25655.94
40773.20
7873.14
9188.86
13004.16
24179.41
40465.30
6451.09
7513.98
11796.55
22997.90
38934.84
4868.10
5508.26
8104.89
16385.36
27388.25
--
--
--
9403.38
16184.01
2769.26
3006.47
4048.28
7069.64
13245.35
1473.27
1822.82
2801.54
7069.05
11752.20
1879.63
1952.87
2368.87
4691.16
7725.42
1374048.62
1564471.65
2225418.05
4653539.25
7578118.87
Meanwhile, if we subsume the GRDP to Western and Eastern Indonesia, based on the grouping used in Australia Indonesia Development Area (AIDA) cooperation, where the provinces in the islands of Java and Sumatera categorized as Western Indonesia and the provinces in the islands of Kalimantan, Sulawesi,
22
2004
Papua, Maluku, and Nusa Tenggara and Bali categorized as Eastern Indonesia, the Eastern Indonesia GRDP is amounted only more or less 18% of total GRDP, not significantly changed during the period of 2000 until 2013, as shown in below table:
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
DEVELOPING EASTERN INDONESIA: INDONESIAN CUSTOMS PRE-INSPECTION FACILITY IN DARWIN, A FAILED STORY? Arfiansyah Darwin
Province
2000
2001
2004
2009
2013
DKI Jakarta
16.58
16.86
16.88
16.28
16.57
Jawa Timur
14.79
15.07
15.40
14.76
14.99
Jawa Barat
14.26
13.97
13.74
14.82
14.12
Jawa Tengah
8.35
8.52
8.69
8.55
8.23
Riau
5.06
5.11
5.13
6.39
6.89
Sumatera Utara
5.03
5.07
5.31
5.08
5.33
Banten
3.85
3.89
3.81
3.28
3.23
Sumatera Selatan
3.01
3.01
2.89
2.95
3.06
Lampung
1.69
1.65
1.62
1.91
2.17
Sumatera Barat
1.67
1.67
1.68
1.65
1.68
Aceh
2.87
2.41
2.26
1.55
1.36
--
--
1.65
1.37
1.32
Jambi
0.70
0.74
0.83
0.95
1.13
DI Yogyakarta
0.98
0.97
0.99
0.89
0.84
Kep. Bangka Belitung
0.47
0.48
0.53
0.49
0.51
Kepulauan Riau
Bengkulu
Java cumulatively seize the portion of GRDP as much as 58.81% (2000), 59.28% (2001), 59.51% (2004), 58.58% (2009), and 57.98% (2013) respectively. Although Java is only 6.37% of Indonesia in term of geographic area. Nevertheless, since the study in this paper specialized on Eastern Indonesia, so we have to ruled Sumatera out. To be able to catched up with the Western Indonesia, Eastern Indonesia needs a much higher economic growth compare to the Western. Presume that the growth of Western Indonesia is 5% per annum, with 2013 baseline, Eastern Indonesia will surpass the GRDP of Western Indonesia in 33 years time, on condition that the growth of Eastern Indonesia is doubled than the Western, which is 10% per annum. However it is not an easy job to heave the growth to 10% per annum. A very hard and smart work from all stakeholders, including the government, private sectors, and all people will be necessary. Data gathered by BPS shows the average of GRDP growth of Eastern Indonesia during 2000 to 2013 is 6.0588% compare to 5.1150% reached by the Western. Newly established provinces, such as Papua Barat, Gorontalo, and Sulawesi Barat became the engine of growth in the Eastern, as shown in table below.
0.35
0.35
0.36
0.35
0.36
79.66
79.76
81.77
81.28
81.80
Kalimantan Timur
6.00
5.87
6.01
6.14
5.61
Sulawesi Selatan
2.06
2.04
2.01
2.15
2.44
Bali
1.31
1.34
1.35
1.30
1.25
Jambi
Papua
1.34
1.38
1.12
1.65
1.23
Kepulauan Riau
Kalimantan Barat
1.41
1.37
1.34
1.17
1.12
DKI Jakarta
Kalimantan Selatan
1.36
1.33
1.26
1.11
1.10
Jawa Timur
Kalimantan Tengah
0.80
0.79
0.82
0.80
0.84
Bengkulu
Sulawesi Tengah
0.64
0.68
0.67
0.70
0.77
Nusa Tenggara Barat
0.89
0.97
1.00
0.95
0.74
Sulawesi Utara
0.78
0.76
0.73
0.71
0.70
Kep. Bangka Belitung
--
--
0.30
0.39
0.67
Sulawesi Tenggara
0.42
0.44
0.46
0.55
Nusa Tenggara Timur
0.57
0.59
0.58
--
--
--
Total, Western
Papua Barat
Sulawesi Barat
Province
Growth
Papua Barat
6.38
Sulawesi Barat
8.85
5.85
Sulawesi Tengah
7.65
5.74
Sulawesi Tenggara
7.65
5.74
Gorontalo
7.22
Sumatera Utara
5.72
Sulawesi Selatan
6.53
Sumatera Barat
5.63
Sulawesi Utara
6.08
5.5
12.34
Kalimantan Tengah
5.81
Banten
5.48
Maluku Utara
5.26
0.54
Lampung
5.42
Bali
5.22
0.52
0.53
Jawa Barat
5.38
Kalimantan Selatan
5.21
0.20
0.21
Jawa Tengah
5.25
Nusa Tenggara Timur
4.95
Kalimantan Barat Maluku
Maluku
0.20
0.19
0.18
0.15
0.17
Sumatera Selatan
Gorontalo
0.11
0.12
0.13
0.15
0.16
DI Yogyakarta
4.73
Maluku Utara
0.14
0.12
0.11
0.10
0.10
Riau
18.03 97.69
18.00 97.76
18.06 99.83
18.72 100.0
18.20 100.0
Aceh
(the total is less than 100% in 2000, 2001, and 2004 due to numbers round off)
The issue of equitable economic development, which always be expressed on every election, meets its meaning when we face the data on above table. Four governments who received the mandate to govern this country during 2000 until 2013 had failed to address this issue. The real issue in this matter is the disparity between Java and outer Java, so it’s actually unfair to include Sumatera in the same group as Java, because the portion of Sumatera provinces in total GRDP is not better than other outer-Java provinces. Provinces in
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
Growth
6.61
4.85
Total, Eastern Total
Province
3.53 0.03
Nusa Tenggara Barat Papua Kalimantan Timur
Average, West
5.1150
Average, East
4.9 4.84 4.11 3.31 3.07
6.0588
If the condition of growth continues as it shown during 2000 until 2013, the Eastern needs 159 years to catch up with Western Indonesia!! 1.2. Objective of Study Based on the description in previous chapter, effort to boost economic growth in Eastern Indonesia is very essential. Various efforts should be delivered in order to reach economic growth twice faster than the West,
23
DEVELOPING EASTERN INDONESIA: INDONESIAN CUSTOMS PRE-INSPECTION FACILITY IN DARWIN, A FAILED STORY? Arfiansyah Darwin
so that in 33 years time equitable development will become reality. Directorate General of Customs and Excise of the Ministry of Finance of the Republic of Indonesia, a government institution responsible for controlling international trade flow, determined to support the acceleration of economic growth in Eastern Indonesia through the memorandum of cooperation with the Northern Territory Government of Australia on establishment of Indonesian Customs Pre-Inspection Facility in Darwin, aimed to expedite the flow of import goods in the East. The facility, rolled out for the first time in 2002, was broke off in 2013. This study will describe the background of Indonesian Customs Pre-Inspection Facility in Darwin (ICPIF), the implementation of the tasks carried out by the officials from time to time and try to identify the causes resulted in the ICPIF breakoff.
2. LITERATURE REVIEW AND HYPOTHESIS International trade is inextricably linked to development. Most fast growing economies also have a dynamic trade sector. Trade involving developing countries has grown at a comparatively fast pace in the current decade. This has provided significant impulses for global growth and has led to measurable improvements in the current accounts of this group of countries. The whole trade expansion has contributed to economic growth, increased employment and poverty alleviation. (United Nations, 2008). Customs administrations possess a very important role in international trade. The expedite of import and export goods’ flow, in most cases, is associated with the ability of customs administration to perform its roles and functions. On the other hand, in many developing countries, the revenues from import become one of budget’s main source. To this end, the role of customs, an institution responsible for import duties and taxes collection, become prominent. Customs central role in international trade becomes more significant when adding its role of supervising import goods. Customs is mandated by other governmental agencies to oversee the entrance of prohibited and restricted goods, to protect stakeholders from the distribution of harmful goods. Harmful, in such terminology, not only harmful to individual, but also cover a more extensive meaning, such as endanger the sustainability of domestic industries. Such roles trigger temptation to some customs officials to commit an offense and betray the trust delegated to him. These actions mostly happen in less developed and developing countries. The developed countries, equipped with good and prudent systems and procedures, will be able to avoid such misconducts. The condition, subsequently brings out an alternative to ordinary customs inspection, which is an
24
inspection conducted in the exporting countries territory by a private agencies. Practice known as preshipment inspection. First introduced in Zaire in 1963 and adopted since then by over fifty countries worldwide, PreShipment Inspection (PSI) requires imports to be inspected by a private surveillance company at embarkation ports or airports or in the exporter firms’ premises, instead of just by the importing country’s customs. The idea is for PSI companies to provide a parallel information system enabling client governments to control the tax collection functions of their own bureaucracies. Originally, PSI was intended to fight the use of over-invoiced imports to evade capital controls. As capital controls were progressively phased out, the attention of governments shifted to import-tariff evasion and, starting with Indonesia’s program in 1985, the mission assigned to PSI accordingly changed to curbing underinvoicing. (see Anson, Cadot, Olarreaga (2006), p.1) World Trade Organization (WTO) adopted the practice as one of the common practices in international trade. To provide a common understanding among member countries, WTO included the regulation of pre-shipment inspection into Annex 1A on Agreement Establishing the WTO. Based on Agreement on Preshipment Inspection, Pre-shipment activities are all activities relating to the verification of the quality, the quantity, the price, including currency exchange rate and financial terms, and/or the customs classification of goods to be exported to the territory of the User Member. User member means a member (country) of which the government or any government body contracts for or mandates the use of pre-shipment inspection activities. The agreement regulates the obligations of user members, obligations of exporter members, and independent review procedures, beside the administration provisions. According to the WTO document number G/PSI/N/1/Rev 2 dated 9 October 2014, there are 8 members putting the agreement on PSI into force, which are Argentina, Brazil, Ecuador, European Union, Liechtenstein, Republic of Moldove, Switzerland, and Uruguay. Whereas countries such as Angola, Chad, Burkina Faso, Cambodia, Mauritania, Bangladesh, Benin, Democratic Republic of Congo, Congo, Central African Republic, Iran, Niger, and Uzbekistan obliged the goods to be imported to those countries to undergo a PSI in the exporting countries. Meanwhile many other countries in Africa hire PSI companies to support customs services, in the form of destination inspection and/or selective PSI. In practice, the procedure of PSI is roughly describe as follows. The trader operating in the port of shipment must first provide the PSI company’s local agent with a detailed description of the shipment, which will be inspected. Upon inspection, the PSI company issues a Report of Findings, which falls into two categories: a Clean Report of Finding (CRF) when the PSI company confirms the trader’s declaration, or a
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
DEVELOPING EASTERN INDONESIA: INDONESIAN CUSTOMS PRE-INSPECTION FACILITY IN DARWIN, A FAILED STORY? Arfiansyah Darwin
Discrepancy Report (DR) when it uplifts the trader’s declared value. Either CRF or DR serves as the basis for the determination of applicable import-tax regime (tariff line, special regimes, exemptions etc.) and is sent to the destination port’s customs and PSI company agent. In addition, it is also sent for reconciliation purposes to the client government’s Ministry of Finance; the extent of reconciliation between customs data and the CRF/DR by the Ministry of Finance varies across countries, but reconciliation rates tend to be low. At the destination port, the importer or a registered commissioner forwards one copy of the report to the appropriate customs office, together with a set of official customs documents on the basis of which duties payable are assessed. On the basis of these two set of documents (CRF/DR and customs documents) the PSI company calculates all taxes and duties, which are paid by the importer or commissioner to a designated bank account, from which they are transferred to the Customs’ account at the Central Bank and then finally to the Treasury. To these duties, the PSI company adds a fee paid by the importer, typically about 1%, with a minimum amount. (Anson, Cadot, and Olarreaga, 2006) PSI industry dominated by a tight-knit group of five global ‘competitors’ that generates more than $800 millions a year of revenue and $150 to $200 millions in profit annually from inspection contracts with more than 40 poor countries. The leading companies in this industry are Société Générale de Surveillance (SGS), Bureau Veritas (BIVAC), Cotecna, Intertek, and BSI Inspectorate. The growth of PSI industry was backed by the World Bank and the IMF, whom in the early of 1980s started to insist that developing countries that received their financial assistance to hire outside PSI company, like SGS. PSI programs, which are implemented in many developing countries to fight corruption, has had many other harmful side-effects, in addition to all its direct costs. After forty years, development specialists are finally realizing that PSI has probably actually discouraged bureaucratic reform, boosted trade barriers, and encouraged even more corruption than it has prevented. They have also recently been convicted of bribing senior Third World officials to secure PSI contracts. For example, in the case of Pakistan, a recent Swiss magistrate's decision in a long-fought court case indicates that SGS and Cotecna Inspection SA really did bribe Benazir Bhutto, the former Prime Minister of Pakistan and leading members of her family throughout the 1990s, with the help of major Swiss, American, UK, and French banks and a coterie of Swiss lawyers. (James S. Henry, 2003) A study by Dequiedt, Geourjon, and Greziosi (2009) concluded that entering a PSI program is not optimal for all countries. In particular, when the level of corruption in the customs administration is too high, it may be preferable to simply let underinvoicing
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
occur. For those countries with high level of corruption, PSI programs are not the solution and it may be preferable to tackle the customs corruption problem more directly. By contrast, under a critical level of corruption and above a customs’ cost of control, the PSI programs are optimal and then justified. However, Dequiedt, Geourjon, and Greziosi have also established that the customs’ modernization and corruption control are conflicting objectives and must not be assigned to the same private firm. An improvement for future programs concerning customs in developing countries would be to distinguish these two objectives and address them with two different contracts. Meanwhile, study by Anson, et al. (2006) found an interesting result. The recommendation to use PSI services in some low-income countries grew largely out of frustration in the face of slow and ineffective customs reforms, on the expectation that efficient surveillance companies would do a better job than poorly trained and motivated customs administrations. However, the study’s empirical results, based on a comparison of import values for three PSI-using countries at a highly disaggregated level, confirm that the effect of PSI was at best unspectacular and at worst perverse. PSI raised fraud in Argentina and Indonesia, and reduced it only –and not significantly– in The Philippines. The customs pre-inspection conducted by Indonesian Customs in Darwin on the other hand is, by far, the only practice conducted by customs administration in the world. Pre-inspection in ICPIF is different significantly to PSI. In ICPIF, the preinspection is conducted by the importing countries’ customs administration officers. The practice takes the goodnesses of PSI and minimizes the harmful side effects, such as high cost economies (PSI obliged importers to pay some percentage of import goods value for the operation). Of course, to realize the activity, it needs a memorandum of cooperation between parties involved. It is uncommon for one’s government institution to conduct its duties in the other country’s territory. Meanwhile, the cooperation between United States and Canada through Beyond the Border Initiative, is solely about pre-inspection of passengers and their luggages. Through this initiative, the US Customs and Border Protection (CBP) officers make passenger admissibility decisions abroad. The inspection of accompanying goods, baggages, and/or passenger vehicles takes place upon arrival in the United States. CBP Officers currently conduct pre-clearance operations at eight Canadian airports: Calgary, Edmonton, Halifax, Montreal, Ottawa, Toronto, Vancouver, and Winnipeg. The same operation has also taken place in Aruba, the Bahamas, Bermuda, Ireland, and United Arab Emirates. The pre-inspection on import cargo, under the same initiative conducted by USCBP in Canada and Mexico, is still in the piloting phase. The U.S. and
25
DEVELOPING EASTERN INDONESIA: INDONESIAN CUSTOMS PRE-INSPECTION FACILITY IN DARWIN, A FAILED STORY? Arfiansyah Darwin
Mexico are implementing cargo pre-inspection pilots at three locations, each of which will last 180 days and feature U.S. and Mexican officials working side-by-side. The first has begun in late August 2015 at Laredo International Airport and involved pre-inspection of air cargo from the automotive, electronics and aerospace industries destined to eight Mexican airports. The second, as scheduled, has begun in midSeptember at Mesa de Otay, Baja California, Mexico, just across from the Otay Mesa port of entry in California. The third pilot is set to be launched in mid2016 at the FOXCONN facility in Chihuahua, Mexico, near Santa Teresa, N.M. (Sandler, Travis & Rosenberg, 2015) The piloting of cooperation on pre-inspection on import cargo between the US and Canada had concluded its two phases. CBP began Phase I of a truck cargo pre-inspection pilot on June 17, 2013 at the Pacific Highway crossing between Blaine, Wash., and Surrey, British Columbia. Phase I of the pilot was designed as a "proof of concept" to determine the viability of assigning CBP officers to Canadian border crossings to pre-inspect southbound trucks, drivers and cargo prior to arrival into the United States. Only trusted traders participating in CBP's Free and Secure Trade (FAST) program will be eligible to use the dedicated CBP pre-inspection commercial primary booth located on the Canadian side of the border. Participation is not mandatory. Pre-inspection in Canada will include radiation screening and basic primary processing. Secondary inspections, when required, will continue in the U.S. port of entry. Phase II of the piloting began on February 24, 2014 at the Peace Bridge crossing in Buffalo, NY, opposite Fort Erie, Ontario. Phase II tested the impact of pre-inspection in Canada on wait times, border congestion and trade facilitation. The Buffalo-Fort Erie pilot continued for up to one year. The piloting deemed to be successful according to the USCBP and followed by the agreement between the parties. In March 2015 the governments of Canada and of the United States announced the signature of the Agreement on Land, Rail, Marine and Air Transport Preclearance, which would formalize placement of customs inspectors from one country into the other's territory to facilitate the flow of goods and people. Eventhough, the agreement hasn’t been implemented yet, because the domestic’s legislative process in both countries is still on process.
3.
METHODOLOGY AND DATA
Methodology deals with process and method used by the researchers to acquire knowledge about the world (Creswell, 2007; Edwards and Skinner 2009; Punch, 1998) which probably will be advantageous to answer the research questions and objectives. Research methodology helps researchers to acquire data from different resources. Based on the objective of the research, which is to identify the causes resulted in the ICPIF break-off, the researcher determine to use qualitative research
26
method. Qualitative research, through in-depth interview, was utilized to discover the perceptions of stakeholders using the facility. The open-ended format of researcher’s questions allows participants to expand upon their experiences. (Edwards and Skinner, 2009) The researcher plays a very important role in qualitative-phenomenological research. The researcher acts as the human instrument in data collection and must maintain ‘empathic neutrality’ throughout all process (Patton, 1990). In phenomenology, the researcher’s bias is essential to consider since it is the researcher that seeks to comprehend the human condition as much as the lived experience of the phenomena itself and attempts to uncover the meaning of the lived experience from the subjective perspectives of the persons who participate (Edwards and Skinner, 2009). Research for this paper conducted during researcher’s assignment as Customs Officer at ICPIF for the period of April until October 2013 (the last period of ICPIF before its deferral period). In this case, researcher’s bias must be taken into consideration. The researcher entered the research as a customs officer carrying out the facility with preconception that the facility was useful and worthy. But the researcher managed to limit such prior judgements and approached the research without considerable presuppositions on the issue. Data of utilization of the facility, used in this study, compiled from monthly reports made by customs officers in ICPIF since its first implementation on 2002. The data is then, tabulated and simply analyzed to describe fluctuations of the utilization of this facility. Data from the interviews was used to strengthen the interpretation of data of utilization of the facility.
4.
RESULTS AND DISCUSSIONS
To accelerate economic growth and development in Eastern Indonesia, The Government of Indonesia, together with Australia Government initiated an economic cooperation in the frame of AustraliaIndonesia Development Area (AIDA). AIDA officially launched at Ministerial Meeting on 23-24 April 1997 took place in Ambon, Maluku. Indonesian delegation led by Coordinating Minister for Production and Distribution, Dr Hartarto, and Australian counterpart led by Minister for Foreign Affairs, Mr Alexander Downer. The two Ministers agreed that the objective of AIDA was to develop closer economic relations between Australia and the Indonesian provinces of West Kalimantan, Central Kalimantan, East Kalimantan, South Kalimantan, Bali, North Sulawesi, Central Sulawesi, South Sulawesi, Southeast Sulawesi, West Nusatenggara, East Nusatenggara, East Timor, Maluku and Irian Jaya. They noted that Australia was already one of the major investors in AIDA and agreed that there were mutual benefits to be gained by expanding and further deepening the level of economic cooperation within the AIDA region. They agreed that the central aim of AIDA is to improve the enabling environment for private sector trade and investment
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
DEVELOPING EASTERN INDONESIA: INDONESIAN CUSTOMS PRE-INSPECTION FACILITY IN DARWIN, A FAILED STORY? Arfiansyah Darwin
between Australia and the above-mentioned provinces of Indonesia. They noted that the AIDA region needed to become as attractive to business activity as elsewhere in order to achieve long term results. (Joint Press Statement on The Launch of The AIDA, Ambon, Indonesia, 24 April 1997)
Australia-Indonesia Development Area The Australian Government had pinpointed two key industries in AIDA regions, which were mining and tourism and determined to assist local governments to develop those industries. To assist further activities under AIDA, Australia (through AusAID) would be funding a major study of Eastern Indonesia. This study would focused on identifying the opportunities and challenges to trade and investment in the AIDA area. Australia would also initiated a technical and vocational education development assistance. The Indonesia Government, in the other side, undertook to increase air services between Indonesia and Australia and, in particular, within AIDA and to explore the development of new air routes by airlines of Indonesia and Australia. Indonesia also welcomed Australian investors to take advantage of the fiscal incentives available for investment in Growth Node Areas (Kapet) located throughout the Provinces which are member areas of AIDA and had given its approval in principle to provide computerised customs services at certain AIDA ports which experience heavy international trade loads in order to improve efficiency of service. Indonesia had also decided to allow greater market access for commercially driven education and training activities. Furthermore, six sectoral Working Groups had been established – in agriculture, fisheries and animal husbandry; education and training; mining and energy; tourism; transport; and trade and industry – in order to evaluate more specialized cooperation and development prospects. However, a study by Dennis Rumley (2001) presumed that Indonesia’s aims for pursuing the AIDA agreement was undoubtly political; that was, to reinforce support for GOLKAR (then, Indonesia’s ruling party) in Indonesia’s vast underdeveloped eastern region, Dr. Hartarto was also in charge of GOLKAR’s election campaign. From an Australian perspective, on the other hand, AIDA was especially significant since it represented its first sub-regional economic arrangement with the Asia-Pacific region. In addition,
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
AIDA was the fourth of a set of agreement connecting Indonesia more closely with Australia. The others were the Agreement on Maintaining Security, the Timor Gap Treaty, and the Agreement on Maritime Boundaries. In contrary to Mr. Rumley statement, Manning and van Diermen (2000) concluded that The AIDA initiative would bring the business communities of each country together once Indonesia was on the path of economic recovery (after 1998 economic crisis). Until the onset of the crisis, bilateral trade and investment had been growing steadily. Potential areas of economic cooperation that had been already been identified, included agribusiness, mining and natural resources, tourism, infrastructure, education and health services, information technology, telecommunications, and financial and management services. In Eastern Indonesia there were additional areas of cooperation, such as fisheries, oil and gas, timber and rattan, and shipbuilding. Long before the launch of AIDA, the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Northern Territory of Australia (known as the outback of Australia) had agreed to sign a memorandum of understanding on economic development cooperation on 21st of January 1992. The MoU acknowledged the strong cultural and social ties established between the Eastern Part of Indonesia and the Northern Territory of Australia and recognized the strategic and commercial importance of increasing economic cooperation between the two regions for mutually beneficial development and growth. The key areas of the cooperation were: 1. Manufacturing and processing industry; 2. Trade and trading infrastructure; 3. Transport services; 4. Physical infrastructure development; 5. Professional services, including health and education; 6. Technical and advisory expertise and technology transfer; 7. Primary and tertiary industry, including minerals and energy developments, rural sectors and the tourism industry. Both governments recognized the importance of strong involvement from their respective private sectors and endorsed and supported private enterprise initiatives which will lead to the fulfillment of common economic development objectives. Both AIDA and MoU on economic development cooperation need a strong government initiatives as well as the involvement of private sectors. Lack of participation from one of the entities will send the cooperation to failure. After the launch of AIDA, the cooperation under this MoU became an integral part of AIDA. Directorate General of Customs and Excise of the Ministry of Finance of the Republic of Indonesia (DGCE), as the government institution responsible to facilitate import and export, determined to support the goals of AIDA. In order to do so, DGCE agreed to sign a memorandum of cooperation with the Department of
27
DEVELOPING EASTERN INDONESIA: INDONESIAN CUSTOMS PRE-INSPECTION FACILITY IN DARWIN, A FAILED STORY? Arfiansyah Darwin
The Chief Minister of the Northern Territory of Australia concerning a customs preinspection facility in Darwin for goods shipped to Indonesian ports other than in Java and Sumatera on 8th of June 2001. Both parties should promote the existence of the facility to business community as well as local governments in both countries to ensure its optimal use. According to the memorandum, the DGCE would assign two officers, on six months period basis, to run the office of Indonesian Pre-Inspection Facility in Darwin. The researcher was fortunate to be able to assign for the facility for the period of April until October 2013. ICPIF officers’ duty at Darwin, according to the Memorandum of Cooperation between the Directorate General of Customs and Excise and the Department of The Chief Minister of the Northern Territory of Australia, the Minister of Finance of the Republic of Indonesia Decree Number 118/PMK.04/2013 (that replaces the previous decrees), and the Director General of Customs and Excise Decree, were to facilitate preinspection on goods to be exported from port or airport at Darwin to any port in Indonesia except those located in islands of Java and Sumatera. In the researcher’s opinion, this facility provided certain benefits, as the following: 1. Expediting the flow of the goods in the port of destination because the imported goods were not requiring any physical inspection; 2. The physical inspection can be conducted more optimum and freely, because it conducted before loading the goods into containers; 3. The inspector receives a more comphrehensive and reliable information concerning the goods from the producer (the producer knowledge about their produced goods must be very much better than the informations possessed by the importer/forwarding agent in the port of destination); 4. Related to point 2 and 3 above, the classification and customs value determination by the officer will be more accurate accordingly; 5. Furthermore, with the full support from the regional government (through the simplification of business permit’s procedures and massive socialization of business opportunities), the facility can help to improve the investment in Eastern Indonesia, because this facility provide convenience and certainty in investment costs; and 6. For the NTG, this facility is beneficial because it provides the ease of access for their industrial and agricultural products to penetrate Eastern Indonesian’s market. Customs officials had carried this facility since August 2002. Since then, it is recorded that the exporters and exportations utilize the facility is up and down, as shown in below chart:
28
Meanwhile, based on the export values, the data is shown below : Term Exportation Value Jul-Dec 2002 USD 4,200.00 Jan-Jun 2003 USD 136,740.00 Jul-Dec 2003 USD 141,570.00 Jan-Jun 2004 USD 18,470.00 Jul-Dec 2004 USD 1,216,440.00 Jan-Jun 2005 USD 37,580.00 Jul-Dec 2005 USD 908,780.00 Jan-Jun 2006 USD 940.00
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
DEVELOPING EASTERN INDONESIA: INDONESIAN CUSTOMS PRE-INSPECTION FACILITY IN DARWIN, A FAILED STORY? Arfiansyah Darwin
Jul-Dec 2006 Jan-Jun 2007 Jul-Dec 2007 Jan-Jun 2009 Jul-Dec 2009 Jan-Jun 2010 Jul-Dec 2010 Jan-Jun 2011 Jul-Dec 2011 Jan-Jun 2012 May-Oct 2013
USD USD USD USD AUD AUD AUD AUD AUD AUD AUD
7,230.00 96,440.00 0.00 123,884.10 519,253.80 131.50 0.00 640,000.00 1,838,949.00 0.00 6,265.00
In the beginning of the facility, as shown above, the number of exportation was numerous but in term of value, it was not big, mostly the exportations used air transpotation (there was a chartered-flight served Darwin-Timika route in the early stages of this facility and until April 22nd, 2009, Garuda Indonesia flew from Denpasar to Darwin). After Darwin-Timika charteredflight and Garuda Indonesia closed theirs route, automatically the exporters could only used marine transportation to export their goods and the situation resulted in slackening the used of the facility. Indonesia AirAsia’s decision to fly Denpasar-Darwin starting July 2013 was expected to be able to provide shipping alternative modas to the business community in Darwin. Therefrom, export’s passion from Darwin to Eastern Indonesia would grow. Related to the circumstances, communication and socialization continually carried out by Customs officials in Darwin to the business community so they could seize the opportunity to start exporting and utilize the facility. As saying, only few big companies utilized the facility because no regular shipping lane served the route from Darwin directly to Eastern Indonesia. Exporter must chartered a ship to do export. The latest two big exportations carried out by GOS Drilling (March 2011) and Blackwoods (September 2011) were big scale exportations and involved a very big value as well. Both were sent on ship to Balikpapan. No shipping carrier dares to start a lane from Darwin to any port in Eastern Indonesia directly because the demand for import is unformed. This problem is unsolved until this very day. Which party should start the cycle to generate the economic development? Indonesian National Government in Jakarta, local/regional government in Eastern Indonesia, business community/investor, the Federal Government of Australia or the Northern Territory Government of Australia (NTG). In the cycle below, researcher tries to describe the situation. In the surface, the main problem identified is there’s no shipping lane serve the route, in a word the problem is transportation, so less companies utilize this facility. This is because the importation from Darwin to Eastern Indonesia can be counted with fingers. Why is it happen? Because no demand for goods, neither consumer goods nor capital goods. The income per capita in Eastern Indonesia is not as high as those in Java or Sumatera. And the income per
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
capita is low because the transportation problem, consequently, the area is remoted. So it forms a cycle similar to Ragnar Nurkse’s Vicious Circle of Poverty.
The only solution is Investment. Eastern Indonesia needs massive investment in every area and field to accelerate its economic growth and development. The Master Plan for The Acceleration and Expansion of Indonesia’s Economic Development (MP3EI) announced by the previous government (Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono) on May 2011 could be seen as an effort from the Indonesian government to break the cycle. Nevertheless, Strategic Asia on its paper ‘Implementing Indonesia’s Economic Master Plan (MP3EI): Challenges, Limitations, and Corridor Specific Diffrences’ indicates nine major barriers to the implementation of the MP3EI, which are: 1. a lack of socialisation and awareness; 2. unclear synergy with the RPJMN (Indonesia’s long term development plan); 3. needs for both regulatory and institutional reform; 4. underdeveloped infrastructure; 5. regional disparities; 6. a need for human resource development; 7. a lack of available national financing: 8. disincentives to private investment: 9. a perceived clash with committing to environmental sustainability. So, it’s clear that Indonesia needs to boost investment for Eastern Indonesia. The basic/priority fields, in researcher’s opinion, are investment in infrastructure (to support connectivity) and at the same time, human resource development. In fact, the MP3EI has dedicated the first phase of the implementation process from 2011 to 2015 as solely in infrastructure investment. In the case related with the Indonesian Customs Pre-Inspection Facility in Darwin, if the development in Eastern Indonesia attract the investors from Australian’s business community, it will be a good news. It has become a public knowledge that investors have a preference on using products produced by their own country. So if Australians decide to invest in Eastern Indonesia, more or less, products exported from Australia in general and especially from Darwin will increase. Australia has lots of high quality capital goods to offer. But it seems that the infrastructure
29
DEVELOPING EASTERN INDONESIA: INDONESIAN CUSTOMS PRE-INSPECTION FACILITY IN DARWIN, A FAILED STORY? Arfiansyah Darwin
development phase draw no attention from Australians. The fact is that the Northern Territory itself still need investment, with enormous opportunities in not less than 50 oil, gas, and mining fields awaiting further exploration and/or exploitation. As I mentioned earlier, NT is outback Australia. The latest Liquid Natural Gas (LNG) projects in NT draw an investment worth USD 34 billion from Japan energy giant INPEX. And the local government still expect another investment from China, US, France, and other countries. The latest news confirmed that INPEX had also won the oil field exploration project of Blok Masela in Maluku. It is widely expected that this move by INPEX would generate export of capital goods from Darwin to Maluku. Unfortunately, the regulation from SKK Migas prevents it from happening. It is said that the capital goods mustn’t be supplied from overseas. However, in the long terms, if the development in Eastern Indonesia grows, the demand will follow and the facility will enlive. In the end, there will be no problem with the transportation, once the shipping companies see an opportunity, they will invest on this route and a lane will be established. To enliven the facility, the Northern Territory Government of Australia at several times proposes short cuts, such as expanding the facility to cover both Java and Sumatera and furthermore allowing the exported goods to undergo a transhipment outside Indonesia (Singapore or Dili). The researcher finds that such proposal should be rejected because deviated from the main goal of the existence of the facility, which are to develop Eastern Indonesian’s economy and initiate direct transportation (especially shipment) from Darwin to Eastern Indonesia. The goal which, until today, hasn’t been implemented. In addition to ICPIF officer main function to facilitate a pre-inspection on goods to be exported to Eastern Indonesia, the officer also administered the request for information and consultation, not only from the community in NT, but from all over Australia. Informations related with import and export procedures and prohibited and restricted goods were frequently being asked by the community. The request was sent via email, telephones, or simply by stopby ICPIF’s office at Level 2, 8 McMinn Street, Harbour View Plaza, Darwin. From the researcher’s view, the DGCE has also received benefits from the existence of the facility. At least, the facility provided some of the DGCE officials a working experience in international environment. This is important for capacity building and not every government institutions have similar opportunity. Few days before researcher’s assignment ended, a letter sent from NTG to the DGCE. The NTG propose a deferral of the facility until December 31 st, 2014. The main reason of this proposal was the lack of preinspection activity in the last 2 years. Meanwhile, they still had to spend certain amount of budget to maintain the facility.
30
The deferral period proposed by the NTG had came to an end. No further negotiation held between the parties and the researcher assumes, unfortunately, that the facility has met its end. The researcher hopes, in the future the cooperation will once again be established. Therefore, many companies can get benefit from the facility, considering that the opportunities of doing business in the Eastern Indonesia are wide open. Instead of re-commencing ICPIF, the NTG initiated a growth triangle cooperation with Timor Leste and the local government of Nusa Tenggara Timur on 2014. The cooperation will be focused on the opening of transportation moda connecting Kupang-Dili-Darwin and the distribution of economic resources and productions among the parties. Transportation, has once again, became the main focus of the cooperation, and will become the main problem, if the parties fail to address it.
5.
CONCLUSION
6.
RECOMMENDATION
Indonesian Customs Pre-Inspection Facility in Darwin had been carried out by customs officials since August 2002. Since then, it is recorded that the exporters and exportations utilize the facility is up and down. After the deferral period, which lasted more than one year (October 2013 until December 2014), the facility is now no longer established. The shut-up happened due to slackening the used of the facility. In the surface, the main problem identified is there’s no shipping lane serve the route, in a word the problem is transportation, so less company utilize this facility. This is because the importation from Darwin to Eastern Indonesia can be counted with fingers. Why is it happen? Because no demand for goods, neither consumer goods nor capital goods. The income per capita in Eastern Indonesia is not as high as those in Java or Sumatera. And the income per capita is low because the transportation problem, consequently, the area is remoted. Due to that, the ultimate goal of the facility which is to develop Eastern Indonesian’s economy, through the acceleration of import handling, couldn’t be achieved.
Pre-Inspection by importing country’s customs officers in the territory of exporter’s country has now seen as one of the solutions to expedite the flow of import goods in the port of destination. The United States has started the piloting of this activity with Mexico and has concluded the piloting phase with Canada. The piloting deemed to be successful according to the USCBP and followed by the agreement between the parties. The study recommend the Ministry of Finance and Directorate General of Customs and Excise to further study the possibility of commencing preinspection cooperation with neighboring countries to reduce the burden of destination port in Indonesia. This activity will also reduce the dwell time of import goods.
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
DEVELOPING EASTERN INDONESIA: INDONESIAN CUSTOMS PRE-INSPECTION FACILITY IN DARWIN, A FAILED STORY? Arfiansyah Darwin
REFERENCES Books and Journal Creswell, J. W. 2007. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing among Five Traditions (2nd edition). Thousand Oaks, CA: Sage Dequiedt, Vianney, Anne-Marie Geourjon, and Gregoire Rota Greziosi. 2009. Mutual Supervision on Preshipment Inspection Programs. ClermontFerrand: CERDI-CNRS Universite d’Auvergne Edwards, A and Skinner, J. 2009. Qualitative Research in Sport Management. Burlington, MA: Butterworth-Heinemann Henry, James S. 2003. SGS, Pakistan and Pre Shipment Inspection Racket Transnational Criminals Part 4. Submerging Market Journal Manning, Chris and Peter van Diermen. 2000. Indonesia in Transition, Social Aspects of Reformasi and Crisis. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies Patton, M. Q. 1990. Qualitative Evaluation and Research Methods (2nd edition). Thousand Oaks Cdalifornia: Sage Punch, K. F. 1998. Introduction to Social Research: Quantitative and Qualitative Approaches (1st edition). London, Thousand Oaks California, New Delhi: Sage Rumley, Dennis. 2001. The Geopolitics of Australia’s Regional Relations. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers United Nations. 2008. International trade as an engine for development. President’s of General Assembly Summary Financing for Development Review, Session on Chapter III of the Monterrey Consensus. New York: United Nations
pre-inspection-pilot-concludes pada tanggal 28 October 2015 ---- Cargo Pre-Inspection Pilot Launches Phase II. Diakses dari http://www.cbp.gov/newsroom/spotlights/2014-0305-000000/cargo-pre-inspection-pilot-launchesphase-ii# pada tanggal 28 October 2015
References from Internet Anonymous. U.S. customs determines that preinspection pilot project was a success. Diakses dari www.omnitrans.com/news_article/3303.asp pada tanggal 30 October 2015 Australian Ministry for Foreign Affairs Media Release. Joint Press Statement on The Launch of The AIDA, Ambon, Indonesia, 24 April 1997. Diakses dari foreignminister.gov.au/releases/1997/ambon_ 97.html tanggal 21 September 2015 Sandler, Travis & Rosenberg Trade Report. Cargo Preinspection Pilots Among Customs Cooperation Efforts with Mexico. Diakses dari http://www.strtrade.com/news-publicationscargo-pre-inspection-supply-chain-securityMexico-062315.html pada tanggal 28 October 2015 United States Customs and Border Protection release. Phase I of Cargo Pre-inspection Pilot concluded. Diakses dari http://www.cbp.gov/newsroom/local-mediarelease/2014-01-02-000000/phase-i-cargo-
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
31
Halaman ini sengaja dikosongkan This page intentionally left blank
32
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016, Halaman 33-46 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OPINI AUDIT DENGAN TINGKAT PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN KEMENTERIAN/LEMBAGA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING Adelia Pramita Sari
Kopertis Wilayah X, e-mail:
[email protected] INFO ARTIKEL
ABSTRAK
SEJARAH ARTIKEL Diterima Pertama 11 Maret 2016
The purpose of this research to analyze the effect audit findings, the follow up of examination result, and quality of human resources on the audit opinion with disclosure level of financial statements of the Ministries/Institutions as intervening variable. The quality of human resources variable consist of the capacity of the operator's financial statement and the educational background of the leadership Ministries/Institutions. In addition, this study also analyzes trends disclosure level of financial statements during 2010-2013. The samples of this research were 74 Ministries/Institutions. Analysis data technical that used in this research is lag effect with ordinary least square for model 1 and ordered logistic for model 2. The results showed that the audit findings, the follow-up of examination result, the capacity of the operator's financial statement have positive and significant effect on audit opinion through the disclosure level of financial statements. However, the educational background of the leadership Ministries/Institutions are proved to have no effect on the audit opinion with the disclosure level of financial statements as intervening variable.
Dinyatakan Dapat Dimuat 30 Mei 2016 KATA KUNCI: Temuan Audit Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Kualitas Sumber Daya Manusia Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan Opini Audit
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh temuan audit, tindak lanjut hasil pemeriksaan, dan kualitas sumber daya manusia terhadap opini audit melalui tingkat pengungkapan laporan keuangan Kementerian/Lembaga. Variabel kualitas sumber daya manusia terdiri dari kapasitas operator pengelola keuangan dan latar belakang pendidikan pimpinan Kementerian/Lembaga. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis tren pengungkapan laporan keuangan dari tahun 2010-2013. Total sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 74 Kementerian/Lembaga. Metode analisis data yang digunakan menggunakan lag effect dengan model 1 menggunakan ordinary least square (OLS) dan model 2 menggunakan ordered logistic. Hasil penelitian menunjukkan bahwa temuan audit, tindak lanjut hasil pemeriksaan, kapasitas operator pengelola keuangan berpengaruh positif signifikan terhadap opini audit melalui tingkat pengungkapan laporan keuangan. Namun, latar belakang pendidikan pimpinan Kementerian/Lembaga terbukti tidak mempunyai pengaruh terhadap opini audit melalui tingkat pengungkapan laporan keuangan.
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyelenggaraan tatakelola yang baik dalam organisasi sektor publik merupakan faktor penentu dalam keberhasilan kegiatan pemerintah. Hal ini sejalan dengan Pasal 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Desain Reformasi Birokrasi yang menjadi acuan bagi Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah melakukan reformasi birokrasi dalam mewujudkan tata kelola yang baik tahun 2010-2025. Dengan tata kelola yang baik maka akan menciptakan transparansi dan akuntabilitas publik sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat yang besar dalam pengelolaan keuangan negara (Suhardjanto dan Rena, 2011). Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyebutkan bahwa pimpinan unit organisasi K/L bertanggung jawab menyusun laporan keuangan yang terdiri dari Laporan Realisasi
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas dan Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK). Laporan keuangan juga menjadi mekanisme utama dalam menciptakan akuntabilitas publik (Rutherford, 2000). Akuntabilitas publik merupakan pemberian informasi dan pengungkapan atas aktivitas dan kinerja keuangan pemerintah kepada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap laporan keuangan (Mardiasmo, 2005:25). Dalam menjamin kualitas laporan keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai satu badan yang bebas dan mandiri berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23E ayat 1 akan memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara terhadap laporan keuangan yang disajikan Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat. Salah satu indikator dalam mewujudkan laporan keuangan yang berkualitas adalah dengan mendorong K/L untuk memperoleh opini audit wajar tanpa pengecualian (WTP) setiap tahunnya (Djalil, 2014:134). Pada tahun 2010 K/L yang
33
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OPINI AUDIT DENGAN TINGKAT PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING Adelia Pramita Sari
memperoleh opini WTP sebesar 63%, tahun 2011 sebesar 77%, tahun 2012 sebesar 74% dan tahun 2013 sebesar 74% (IHPS, 2013). Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi opini audit secara langsung telah dilakukan oleh peneliti terdahulu. Hasil penelitian Wicaksono (2012) menemukan bahwa umur administratif Pemda dan dukungan Pimpinan Pemda berpengaruh positif terhadap opini audit. Sementara itu, press visibility, pengalaman ketua tim audit dan pendampingan BPKP berpengaruh negatif terhadap opini audit serta berpengaruh positif terhadap temuan audit. Hasil penelitian Winanti (2014) menemukan bahwa temuan kelemahan sistem pengendalian internal dan temuan ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan berpengaruh negatif terhadap opini audit. Winanti (2014) juga menemukan tindak lanjut pemerintah daerah atas jumlah rekomendasi dan tingkat kemenangan kepala daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap opini audit. Hasil penelitian Setyaningrum (2015) menemukan bahwa tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan berpengaruh positif terhadap opini audit. Berdasarkan ketidakkonsistenan hasil penelitian terdahulu maka penelitian ini mencoba untuk menguji pengaruh temuan audit, tindak lanjut hasil pemeriksaan dan kualitas sumber daya manusia (SDM) terhadap opini audit melalui tingkat pengungkapan laporan keuangan sebagai variabel intervening. Tingkat pengungkapan laporan keuangan dijadikan sebagai variabel intervening yang akan memediasi pengaruh temuan audit, tindak lanjut hasil pemeriksaan dan kualitas SDM terhadap opini audit. Kualitas laporan keuangan yang baik tercermin dari semakin tingginya tingkat pengungkapan laporan keuangan. Jika tingkat pengungkapan tinggi maka probabilitas opini audit yang diperoleh Kementerian/Lembaga (K/L) menjadi semakin baik. Hal ini sesuai dengan Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Pemberian opini didasarkan pada kriteria yaitu kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, kecukupan pengungkapan (adequate disclosure), kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian internal. Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan laporan keuangan pemerintah. Hasil penelitian Ingram (1984) menemukan coalition of voters, administrative selection process dan management incentive memiliki pengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan. Robbins dan Austin (1986) menemukan administrative power, management incentives dan city government form berpengaruh positif terhadap kualitas pengungkapan laporan keuangan. Giroux (1989) menemukan tingkat rata-rata pajak, simplicity index, dan opini audit berpengaruh positif terhadap indeks pengungkapan. Vermeer et al. (2009) menemukan monitoring yang dilakukan melalui program sertifikasi GFOA, hutang, badan pengawas, dan pejabat yang ditunjuk
34
berpengaruh terhadap kecenderungan pemerintah untuk memenuhi persyaratan pengungkapan berdasarkan Governmental Accounting Standards Board Statement (GASBS). Berbeda dengan penelitian terdahulu yang lebih banyak meneliti tentang kualitas laporan keuangan pada Pemerintah Kabupaten/Kota maupun Pemerintah Provinsi (Ingram, 1984; Robbin dan Austin, 1986; Giroux, 1989; Martani dan Liestiani, 2008; Hilmi dan Martani, 2012; Setyaningrum et al., 2012a; Setyaningrum dan Syafitri., 2012b). Penelitian ini akan mencoba melihat tingkat pengungkapan laporan keuangan yang dilakukan oleh K/L. Kontribusi penelitian ini adalah penggunaan tingkat pengungkapan laporan keuangan sebagai variabel intervening yang memediasi pengaruh temuan audit, tindak lanjut, dan kualitas SDM terhadap opini audit. Adanya perbaikan terhadap temuan audit tahun lalu oleh K/L akan mendorong K/L meningkatkan pengungkapan laporan keuangan dalam CaLK sesuai dengan Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor PER65/PB/2010 tentang Pedoman Penyusunan Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga yang telah diubah menjadi PER-55/PB/2012. Jika pengungkapan tinggi maka akan berpengaruh terhadap probabilitas opini yang diperoleh K/L. Tindak lanjut rekomendasi yang dilakukan oleh K/L akan meningkatkan kualitas laporan keuangan sehingga opini menjadi semakin baik. Kualitas SDM yang baik akan mendorong tingkat pengungkapan laporan keuangan yang semakin tinggi dan probabilitas opini WTP dapat diperoleh.
2. KERANGKA TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1. Teori Keagenan (Agency Theory) Bergman & Lane (1990) menyatakan bahwa kerangka hubungan prinsipal agen merupakan suatu pendekatan yang sangat penting untuk menganalisis komitmen-komitmen kebijakan publik. Penerapan kebijakan publik berkaitan dengan masalah-masalah kontraktual, yakni informasi yang tidak simetris (asymmetric information), moral hazard, dan adverse selection. Andvig et al. (2001) menyatakan bahwa prinsipal bisa bertindak tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat, tetapi mengutamakan kepentingannya yang sifatnya lebih sempit. Masalah keagenan dapat terjadi dalam organisasi sektor swasta maupun organisasi sektor publik (Zimmerman, 1977). Dalam konteks pemerintahan, rakyat bertindak sebagai prinsipal yang mendelegasikan wewenangnya kepada agen baik itu legislatif maupun eksekutif dalam mengelola urusan publik. Menurut teori agensi, pemerintah memiliki akses langsung terhadap informasi dibandingkan rakyat sehingga timbul asimetri informasi. Hal ini yang terkadang dapat memicu tindakan korupsi oleh agen. Oleh sebab itu, pemerintah harus dapat meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam upaya mengurangi asimetri informasi (Setiawan, 2012; Agusti 2014).
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OPINI AUDIT DENGAN TINGKAT PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING Adelia Pramita Sari
Streim (1994) menjelaskan tiga jenis hubungan keagenan dalam konteks pemerintahan, yaitu: 1. Hubungan Electorate-Legislature Hubungan antara electorate dan legislature dapat dikatakan sebagai hubungan keagenan dimana electorate (voter/taxpayer) sebagai prinsipal dan legislature sebagai agen. Terdapat dua masalah keagenan yang muncul dalam hubungan antara electorate dan legislature yaitu moral hazard dan adverse selection. Moral hazard timbul karena electorate tidak dapat mengawasi secara langsung tindakan legislatur yang dipilihnya. Legislatur memiliki kepentingan sendiri yang tidak selaras dengan kepentingan electorate. Adverse selection juga bisa timbul terkait ketidakpastian janji politik yang direalisasikan legislatur setelah memenangkan pemilu. 2. Hubungan Legislature-Government Hubungan antara legislature dan government dikatakan sebagai hubungan keagenan dimana legislatur sebagai prinsipal dan pemerintah sebagai agen. Pemerintah bertanggung jawab kepada lembaga legislatif yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam menjalankan roda pemerintahan untuk kinerja yang efisien dari berbagai program yang telah disetujui oleh DPR. Legislatur tidak dapat mengawasi tindakan dari pemerintah sehingga untuk mengontrol bahwa anggaran telah dibelanjakan dengan benar maka pemerintah bertanggungjawab dalam menyajikan laporan keuangan. 3. Hubungan Government-Bureaucracy Hubungan antara pemerintah dan birokrat dikatakan sebagai hubungan keagenan dimana pemerintah sebagai prinsipal dan birokrat sebagai agen. Dalam hal ini pemerintah adalah Presiden dan Menteri sedangkan birokrat adalah pejabat yang ditunjuk oleh menteri dalam menjalankan roda pemerintahan. Masalah moral hazard terjadi karena pemerintah tidak dapat secara langsung mengamati tindakan birokrat. Birokrat memiliki informasi yang lebih banyak atas penyelenggaraan pemerintahan. Oleh sebab itu aktivitas pengawasan melalui audit anggaran diperlukan untuk mengawasi tindakan birokrat. 2.2. Teori Signalling Evan dan Patton (1987) mengatakan bahwa pemerintah berusaha untuk memberikan sinyal yang baik kepada rakyat. Sinyal yang baik bertujuan agar rakyat dapat mendukung pemerintahan yang sedang berjalan sehingga pemerintahan dapat berjalan dengan baik. Pemerintah akan memberikan sinyal kepada masyarakat dengan cara memberikan laporan keuangan yang berkualitas, peningkatan sistem pengendalian intern dan pengungkapan yang lengkap (Arifin dan Fitriasari, 2014). Informasi yang berhubungan dengan pengelolaan keuangan negara wajib diungkapkan sehingga dapat memenuhi keinginan rakyat untuk transparansi dan akuntabilitas
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
dalam laporan keuangan dan mengurangi asimetri informasi (Setyaningrum, 2015). Kualitas laporan keuangan dapat dilihat dari sinyal informasi yang diungkapkan oleh pemerintah. Selain itu, kinerja pemerintahan yang baik perlu diinformasikan kepada rakyat baik sebagai bentuk pertanggungjawaban maupun sebagai bentuk promosi untuk tujuan politik (Hilmi dan Martani, 2012). Semakin andal laporan keuangan maka semakin baik opini yang diperoleh dan implementasi sistem pengendalian intern dalam pengelolaan keuangan menjadi baik merupakan bentuk sinyal pemerintah kepada stakeholder (Agusti, 2014). 2.3. Temuan Audit Hasil penelitian Liu dan Lin (2012) menemukan semakin banyak pelanggaran regulasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah di Cina menyebabkan tingkat korupsi menjadi meningkat sehingga kualitas laporan keuangan menjadi rendah. Martani dan Liestiani (2008) memberikan bukti bahwa temuan audit berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat pengungkapan laporan keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota. Dengan temuan audit yang banyak, pemerintah daerah memenuhi rekomendasi BPK RI dalam melakukan koreksi sehingga akan berupaya untuk meningkatkan pengungkapan laporan keuangan. Berbeda dengan hasil penelitian Arifin dan Fitriasari (2014) yang menemukan bahwa jumlah temuan audit pada tahun lalu dan pada periode yang sama tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan. Hal ini disebabkan K/L tidak maksimal dalam menindak lanjuti rekomendasi dari BPK RI atas temuan audit (Arifin dan Fitriasari, 2014). Hasil penelitian Agusti (2014), Winanti (2014) dan Setyaningrum (2015) membuktikan bahwa temuan audit berpengaruh negatif terhadap opini audit artinya semakin besar temuan audit maka peluang dalam memperoleh opini wajar tanpa pengecualian menjadi semakin kecil. Hal ini disebabkan karena temuan yang material akan berpengaruh langsung terhadap laporan keuangan yang menyebabkan salah saji sehingga opini menjadi semakin buruk (Setyaningrum, 2015). Berdasarkan ketidakkonsistenan hasil penelitian sebelumnya dan Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor PER-65/PB/2010 yang telah diperbarui menjadi PER-55/PB/2012 menyatakan bahwa temuan audit harus diungkapkan dalam CaLK. Oleh sebab itu, pengujian temuan audit terhadap opini melalui tingkat pengungkapan laporan keuangan dilakukan. Jika temuan audit pada periode lalu cukup besar, maka pada periode selanjutnya diharapkan adanya upaya dari K/L untuk mengurangi temuan audit sehingga pengungkapan tahun ini menjadi tinggi. Jika pengungkapan semakin tinggi maka probabilitas opini yang diperoleh menjadi semakin baik. Dengan demikian, hipotesis pertama dalam penelitian ini adalah:
35
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OPINI AUDIT DENGAN TINGKAT PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING Adelia Pramita Sari
H1: Temuan audit pada periode lalu berpengaruh positif terhadap opini audit melalui tingkat pengungkapan laporan keuangan K/L. 2.4. Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Laporan tindak lanjut hasil temuan dan rekomendasi dalam laporan pemeriksaan menunjukkan kualitas dari laporan hasil pemeriksaan dan menjadi efektif jika rekomendasi tersebut dilaksanakan oleh organisasi yang diperiksa (Dwiputrianti, 2008). Pihak pengambil keputusan dapat menghentikan dan mencegah terulangnya kembali kesalahan, penyimpangan, penyelewengan serta pemborosan dengan adanya masukan dari auditor (Umar, 2012). Pembetulan setelah proses audit merupakan suatu bentuk tanggung jawab dari K/L atas kesalahan dalam pertanggungjawaban keuangan publik. Sehingga dengan adanya pembetulan tersebut maka temuan audit dapat bermanfaat untuk menciptakan akuntabilitas dalam proses audit pemerintahan demi terciptanya akuntabilitas (Liu dan Lin, 2012). Hasil penelitian Masyitoh (2014) menunjukkan bahwa semakin besar tindak lanjut hasil pemeriksaan yang dilakukan pemerintah daerah akan menurunkan persepsi korupsi. Agusti (2014) menemukan bahwa tindak lanjut hasil pemeriksaan tidak berpengaruh terhadap opini audit. Berbeda dengan penelitian Winanti (2014) dan Setyaningrum (2015) yang menemukan bahwa tindak lanjut hasil pemeriksaan berpengaruh positif terhadap opini audit. Semakin banyak tindak lanjut pemeriksaan yang dilakukan maka pengelolaan keuangan yang dilakukan pemda menjadi semakin baik sehingga opini yang diperoleh pada periode selanjutnya semakin baik (Setyaningrum, 2015). Penelitian ini mencoba melakukan pengujian dengan menggunakan variabel intervening yaitu tingkat pengungkapan yang memediasi hubungan antara tindak lanjut hasil pemeriksaan dengan opini audit. Tindak lanjut hasil pemeriksaan periode lalu yang diukur dengan semakin banyak rekomendasi yang dilakukan oleh pemerintah diharapkan dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan yang direpresentasikan pada tingkat pengungkapan menjadi semakin tinggi sehingga probabilitas opini yang diperoleh K/L menjadi semakin baik. Oleh karena itu, hipotesis kedua dalam penelitian ini adalah: H2 : Tindak lanjut hasil pemeriksaan pada periode lalu berpengaruh positif terhadap opini audit melalui tingkat pengungkapan laporan keuangan K/L. 2.5. Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) Penelitian Winidyaningrum dan Rahmawaty (2010) menemukan bahwa SDM berpengaruh positif terhadap keandalan pelaporan keuangan, sedangkan pemanfaatan teknologi informasi berpengaruh positif terhadap keandalan dan ketepatan waktu pelaporan keuangan. Misra (2008) menyimpulkan bahwa pelatihan keuangan berpengaruh positif terhadap kenaikan
36
indeks transparansi pemerintah daerah dalam laporan keuangan sehingga akan meningkatkan kualitas laporan keuangan. Kesadaran dari Pemerintah Daerah dalam meningkatkan kemampuan staf akuntansi disebabkan masih terbatasnya staf bagian akuntansi dengan latar belakang pendidikan akuntansi (Misra, 2008). Penelitian Boner dan Walker (1994) menyatakan bahwa peningkatan pengetahuan seseorang yang muncul dari pelatihan formal sama baiknya dengan yang diperoleh pada pelatihan khusus. Pelatihan program percepatan akuntabilitas keuangan pemerintah (PPAKP) merupakan pelatihan dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan keterampilan teknis petugas akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pelatihan PPAKP ditujukan bagi operator pengelola keuangan yang bertanggungjawab dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu diduga bahwa semakin banyak peserta yang lulus PPAKP akan memudahkan dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan yang berkualitas yeng tercermin pada tingkat pengungkapan menjadi semakin tinggi. Tingkat pengungkapan yang tinggi akan berpengaruh terhadap probabilitas opini audit WTP yang diperoleh K/L. Oleh karena itu, hipotesis ketiga dalam penelitian ini adalah: H3 : Kapasitas operator pengelola keuangan berpengaruh positif terhadap opini audit melalui tingkat pengungkapan laporan keuangan K/L. 2.6. Latar Belakang Pendidikan Pimpinan K/L Hambrick dan Mason (1984) menyatakan bahwa pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki oleh eksekutif direpresentasikan dari latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh eksekutif. McLelland dan Giroux (2000) menyatakan bahwa kompetensi manajer kota diukur dari sertifikat akuntansi yang dimiliki oleh manajer kota tersebut sehingga akan berpengaruh terhadap ketepatwaktuan dalam penyampaian laporan keuangan. Shield (1995) berpendapat bahwa komitmen pemimpin terhadap inovasi sangat penting untuk kesuksesan implementasi sistem pengukuran kinerja. Penelitian Wicaksono (2012) menyatakan bahwa pemerintah daerah yang memiliki kepala daerah dengan latar belakang akuntansi akan mendorong pemerintah daerah untuk dapat menyajikan laporan keuangan yang berkualitas sehingga meningkatkan opini audit. Hasil penelitian Seeba et al. (2009) menyatakan bahwa karakteristik kepala daerah berpengaruh positif terhadap strategi dan kinerja pemerintah daerah di Dubai. Seeba et al. (2009) menggunakan umur kepala daerah, tingkat pendidikan dan tenure sebagai karakteristik kepala daerah. Berdasarkan penelitian terdahulu diduga Menteri/Pimpinan lembaga yang memiliki latar belakang pendidikan ekonomi atau akuntansi memiliki komitmen yang tinggi agar laporan keuangan menjadi berkualitas. Dengan adanya komitmen yang tinggi
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OPINI AUDIT DENGAN TINGKAT PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING Adelia Pramita Sari
tersebut diharapkan K/L menyajikan laporan keuangan yang berkualitas yang tercermin dalam tingkat pengungkapan laporan keuangan yang tinggi. Jika tingkat pengungkapan baik kemungkinan akan mendorong kementerian/lembaga memperoleh opini yang semakin baik. Berdasarkan penelitian terdahulu, maka hipotesis keempat dalam penelitian ini adalah: H4 : Latar belakang pendidikan pimpinan K/L berpengaruh positif terhadap opini audit melalui tingkat pengungkapan laporan keuangan K/L.
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Pemilihan Sampel Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan data panel yaitu dengan menggabungkan data time series dan cross section (Gujarati, 2010). Objek penelitian adalah K/L yang diperiksa oleh BPK. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling yaitu populasi yang akan dijadikan sampel penelitian ini harus memenuhi kriteria berdasarkan pertimbangan sesuai dengan tujuan penelitian. Kriteria pemilihan sampel yang akan diteliti adalah sebagai berikut: 1. K/L menyajikan laporan keuangan yang telah diaudit oleh BPK secara berturut-turut tahun 20102013. 2. K/L yang telah berdiri sejak tahun 2010. 3. K/L memiliki data opini audit, temuan audit dan tindak lanjut hasil pemeriksaan dari tahun 20102013. Data sekunder digunakan dalam penelitian ini yaitu Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga (LKKL), Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) audit BPK RI atas laporan keuangan yang diperoleh dari Pusat Informasi dan Komunikasi (PIK) BPK RI, data peserta yang lulus Program Percepatan Akuntabilitas Keuangan Pemerintah (PPAKP) yang berasal dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan, data sebaran satuan kerja, data terkait latar belakang pendidikan Pimpinan K/L diambil dari laman website. Periode penelitian dilakukan selama empat tahun penelitian yaitu tahun 2010-2013. 3.2. Model Penelitian Model dalam penelitian ini adalah model yang digunakan untuk membuktikan hipotesis utama mengenai pengaruh temuan audit, tindak lanjut hasil pemeriksaan, kualitas SDM K/L terhadap opini audit melalui tingkat pengungkapan laporan keuangan. Model penelitian ini mengacu pada penelitian Setyaningrum (2015). Temuan audit dan tindak lanjut hasil pemeriksaan menggunakan Lag Effect untuk melihat upaya dan perbaikan yang dilakukan oleh K/L dalam mengurangi temuan audit dan peningkatan tindak lanjut hasil pemeriksaan periode berikutnya. Model (1) dalam penelitian ini adalah model ordinary least square (OLS) sedangkan model (2) adalah model ordered logistic (Gujarati, 2010).
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
Keterangan: DISCit : Tingkat pengungkapan laporan keuangan TEMUANit-1 : Temuan audit periode sebelumnya. TLit-1 : Tindak lanjut hasil pemeriksaan periode sebelumnya. OPit : Kapasitas operator pengelola keuangan. EDUCit : Latar belakang pendidikan Pimpinan K/L. SATKERit : Jumlah Satuan Kerja SIZEit : Logaritma Natural Total Aset AGEit : Umur Organisasi ε : error Dalam pengujian hipotesis disebutkan bahwa tingkat pengungkapan dijadikan variabel intervening sehingga menggunakan persamaan simultan dengan metode indirect least square (ILS) dengan menggunankan software E-views 6.0. Pada saat pengolahan data, model (1) di-run terlebih dahulu lalu hasil run dari model (1) diambil fitted valuenya dan digunakan pada model 2. Sehingga model empiris yang digunakan adalah:
Keterangan: OPINIit : Opini Audit DISC^it : Fitted value dari Model 1 SATKERit : Jumlah Satuan Kerja SIZEit : Logaritma Natural Total Aset AGEit : Umur Organisasi ε : error 3.3. Operasionalisasi Variabel 3.3.1. Opini Audit Opini audit diukur dengan menggunakan skala ordinal dengan mengurutkan peringkat dari opini yang tertinggi sampai peringkat terendah karena peringkat yang tertinggi dianggap opini yang paling baik. Opini audit yang diurut sesuai dengan peringkat terdiri dari: 4 untuk opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), 3 untuk opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP), 2 untuk opini Tidak Wajar (TW), dan 1 untuk opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP). Pengukuran opini audit yang mengacu pada penelitian Wicaksono (2012), Agusti (2014), dan Setyaningrum (2015). 3.3.2. Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan Variabel intervening dalam penelitian ini adalah tingkat pengungkapan laporan keuangan K/L dengan menggunakan perbandingan antara pengungkapan yang telah disajikan dalam CaLK berdasarkan ceklis sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) (Martani dan Liestiani, 2008; Setyaningrum et al, 2012a; Setyaningrum dan Syafitri, 2012b; Hilmi dan Martani, 2012; Amin, 2013; Arifin dan Fitriasari, 2014).
37
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OPINI AUDIT DENGAN TINGKAT PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING Adelia Pramita Sari
3.4. Variabel Independen Variabel Independen dalam penelitian ini adalah temuan audit, tindak lanjut hasil pemeriksaan, kapasitas operator pengelola keuangan dan latar belakang pendidikan pimpinan K/L. Penjelasan mengenai pengukuran variabel independen disajikan pada tabel 1.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan penelitian data panel yaitu penelitian yang menggabungkan data time series dan cross section (Gujarati, 2010). Dalam pemilihan sampel terdapat 296 observasi yang disajikan secara berturut-turut dari tahun 2010-2013 pada tabel 2. 4.1. Statistik Deskriptif Statistik Deskriptif dapat dilihat pada tabel 3. Variabel intervening yaitu rata-rata tingkat pengungkapan laporan keuangan K/L dari tahun 20102013 adalah 0.4539 (45.39%) yang menunjukkan bahwa kualitas tingkat pengungkapan laporan keuangan K/L masih tergolong rendah yaitu dibawah 50%. Rata-rata nilai nominal temuan audit K/L dari tahun 2010-2013 sebesar Rp 92.6 triliyun. Rata-rata tindak lanjut hasil pemeriksaan K/L dari tahun 20102013 adalah 0.6159 (61.59%) yang berarti bahwa ratarata jumlah nominal rekomendasi dari hasil pemeriksaan BPK RI yang telah ditindaklanjuti sesuai dengan rekomendasi dibagi total nominal rekomendasi BPK RI sebesar 61.59%. Rata-rata jumlah peserta yang lulus program pelatihan akuntabilitas keuangan pemerintah (PPAKP) dibagi dengan satuan kerja adalah 0.2246 (22.46%). Rata-rata pimpinan K/L dengan latar belakang pendidikan akuntansi atau ekonomi (EDUC) adalah 0.2635 (26.35%) sehingga pimpinan K/L sebagian besar berlatar belakang pendidikan selain akuntansi atau ekonomi. 4.2. Hasil Pengujian Regresi Tabel 4 dan 5 menyajikan hasil pengujian empiris regresi berdasarkan hipotesis penelitian yang menunjukkan pengaruh temuan audit, tindak lanjut hasil pemeriksaan dan kualitas sumber daya manusia terhadap opini audit melalui tingkat pengungkapan laporan keuangan. Berdasarkan tabel 4 model 1 Adjusted R-Squared sebesar 0.6364. Hasil ini menunjukkan bahwa variabel independen kemungkinan mempengaruhi variabel dependen sebesar 63.64%. Sedangkan sisanya sebesar 36.36% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Tabel 5 model 2 ditemukan psedeo RSquared sebesar 0.0463. Hasil ini menunjukkan bahwa variabel independen kemungkinan mempengaruhi variabel dependen sebesar 4.63%. Sedangkan sisanya sebesar 95.37% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Hasil pengujian secara parsial menujukkan terdapat pengaruh positif dan signifikan temuan audit,
38
tindak lanjut hasil pemeriksaan dan kapasitas operator pengelola keuangan terhadap opini audit melalui tingkat pengungkapan laporan keuangan (H1, H2, dan H3 diterima). Variabel latar belakang pendidikan pimpinanl K/L tidak berpengaruh terhadap opini audit melalui tingkat pengungkapan laporan keuangan. 4.3. Temuan Audit Hasil pengujian pada tabel 4 untuk model regresi pertama menunjukkan bahwa temuan audit berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat pengungkapan laporan keuangan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Martani dan Liestiani (2008) yang menyatakan bahwa temuan audit memiliki pengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan laporan keuangan dimana adanya upaya perbaikan yang dilakukan K/L atas temuan audit tahun lalu agar tidak terjadi lagi pada periode berikutnya sehingga tingkat pengungkapan laporan keuangan menjadi tinggi. Hasil pengujian pada tabel 5 untuk model regresi kedua menunjukkan bahwa temuan audit berpengaruh positif terhadap opini audit melalui tingkat pengungkapan laporan keuangan. Temuan audit pada periode lalu akan mendorong K/L untuk menindaklanjuti temuan tersebut sehingga terjadi perubahan yang lebih baik untuk mengurangi temuan audit pada periode selanjutnya yang berdampak pada tingkat pengungkapan yang semakin baik sesuai dengan Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor PER-65/PB/2010 yang telah diperbarui menjadi PER-55/PB/2010. Tingkat pengungkapan laporan keuangan K/L berperan sebagai variabel intervening yang memediasi hubungan antara temuan audit terhadap opini audit. Hal ini berimplikasi pada tingkat pengungkapan laporan keuangan yang semakin tinggi meningkatkan probabilitas K/L memperoleh opini WTP. 4.4. Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Hasil pengujian menunjukkan adanya pengaruh tidak langsung dan positif signifikan tindak lanjut hasil pemeriksaan terhadap opini audit melalui tingkat pengungkapan laporan keuangan sehingga hipotesis kedua diterima. Hasil ini dapat dilihat pada tabel 4 dan 5 menunjukkan bahwa tindak lanjut hasil pemeriksaan pada periode lalu berpengaruh positif terhadap opini audit melalui tingkat pengungkapan laporan keuangan. Hasil pengujian memberikan bukti empiris adanya pengaruh tidak langsung dan positif signifikan tindak lanjut hasil pemeriksaan terhadap opini audit melalui tingkat pengungkapan laporan keuangan K/L sehingga hasil pengujian ini mendukung hipotesis kedua. Semakin banyak rekomendasi BPK yang ditindaklanjuti sesuai rekomendasi akan meningkatkan kualitas laporan keuangan K/L yang direpresentasikan dari tingkat pengungkapan yang tinggi. Hal ini berimplikasi pada semakin tinggi tingkat pengungkapan laporan keuangan akan berpengaruh terhadap peluang opini yang diperoleh K/L menjadi semakin baik.
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OPINI AUDIT DENGAN TINGKAT PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING Adelia Pramita Sari
4.5. Kapasitas Operator Pengelola Keuangan Hasil pengujian menunjukkan adanya pengaruh tidak langsung dan positif signifikan kapasitas operator pengelola keuangan terhadap opini audit melalui tingkat pengungkapan laporan keuangan sehingga hipotesis keempat diterima. Pengujian ini memberikan bukti empiris yang mendukung penelitian Misra (2008) dan Winidyaningrum dan Rahmawaty (2010) yang menyatakan bahwa kapasitas sumber daya manusia mempengaruhi keandalan laporan keuangan. Hasil ini memberikan bukti empiris bahwa tingkat pengungkapan laporan keuangan dijadikan variabel intervening yang memediasi hubungan kapasitas operator pengelola keuangan dengan opini audit sehingga hasil pengujian ini mendukung hipotesis ketiga. Pelatihan PPAK bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan teknis operator pengelola keuangan dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan sehingga laporan keuangan menjadi berkualitas. Hal ini berimplikasi pada laporan keuangan yang berkualitas tercermin dari tingkat pengungkapan laporan keuangan semakin tinggi dan selanjutnya berdampak pada probabilitas opini WTP yang diperoleh K/L. 4.6. Latar Belakang Pendidikan Pimpinan K/L Pengujian hipotesis menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan pimpinan K/L tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan laporan keuangan, sehingga hasil pengujian ini tidak mendukung hipotesis keempat. Hasil pengujian ini kemungkinan disebabkan karena sebagian besar latar belakang pendidikan Pimpinan K/L adalah bukan ekonomi atau akuntansi. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Cohen dan leventis (2013) dan Setyaningrum (2015) yang menyatakan bahwa kepala daerah berasal dari jabatan politik dan sangat sedikit yang berasal dari orang professional yang tidak selalu memiliki latar belakang pendidikan ekonomi atau akuntansi. Sama seperti halnya Menteri/Pimpinan K/L merupakan jabatan politik karena jabatan tersebut dipilih dan diangkat langsung oleh Presiden yang berasal dari professional atau kalangan akademisi yang latar belakang pendidikannya tidak selalu ekonomi atau akuntansi. 4.7. Variabel Kontrol Variabel kontrol untuk model regresi pertama menunjukkan bahwa variabel satuan kerja dan umur organisasi pemerintah berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan laporan keuangan. Jumlah satuan kerja berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan laporan keuangan dan mendukung penelitian Martani dan Liestiani (2008). Umur organisasi berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan laporan keuangan dan mendukung penelitian Lesmana (2010) dan Wicaksono (2012). Variabel ukuran organisasi tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan laporan keuangan K/L yang ditunjukkan melalui probabilitas > 10% dan mendukung penelitian Laswad (2005); Setyaningrum dan Syafitri (2012b).
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
Variabel kontrol untuk model regresi kedua menunjukkan bahwa variabel satuan kerja dan umur organisasi berpengaruh negatif terhadap opini audit. Jumlah satuan kerja berpengaruh negatif terhadap opini audit dan mendukung penelitian Agusti (2014). Umur organisasi berpengaruh negatif terhadap opini audit dimana semakin lama organisasi berdiri maka kemungkinan organisasi tersebut mengalami kesulitan dalam menyajikan laporan keuangan karena tidak dapat mengimplementasikan peraturan terbaru dalam penyajian laporan keuangan dengan baik sehingga opini menjadi buruk. Sedangkan variabel ukuran organisasi tidak berpengaruh terhadap opini audit. 4.8. Pengujian Tambahan Dalam penelitian ini, dilakukan pengujian tambahan untuk memberikan bukti empiris bahwa tidak ada pengaruh antara temuan audit, tindak lanjut hasil pemeriksaan dan kualitas SDM terhadap opini audit melalui tingkat pengungkapan laporan keuangan (lihat tabel 6). Hasil pengujian tambahan menunjukkan variabel tingkat pengungkapan (DISC) berpengaruh positif terhadap opini audit. Hasil pengujian ini memberikan bukti empiris bahwa tingkat pengungkapan merupakan salah satu kriteria dalam pemberian opini audit sesuai dengan Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No 15 Tahun 2004 sehingga semakin tinggi tingkat pengungkapan laporan keuangan K/L maka peluang untuk memperoleh opini yang semakin baik. Variabel temuan audit memiliki pengaruh negatif terhadap opini audit dan mendukung penelitian Agusti (2014), Winanti (2014) dan Setyaningrum (2015). Hasil pengujian ini berarti bahwa semakin banyak temuan audit periode lalu menunjukkan kualitas laporan keuangan yang masih rendah karena K/L tidak dapat mengurangi temuan audit tersebut agar tidak terulang pada periode selanjutnya sehingga peluang untuk memperoleh opini WTP semakin kecil. Namun, variabel independen lainnya menunjukkan bahwa tindak lanjut hasil pemeriksaan, kapasitas operator pengelola keuangan dan latar belakang pendidikan pimpinan K/L tidak berpengaruh terhadap opini audit. Dari hasil pengujian tambahan ini memberikan bukti bahwa pengaruh temuan audit, tindak lanjut hasil pemeriksaan dan kualitas SDM terhadap opini melalui tingkat pengungkapan laporan keuangan yang dilakukan pada pengujian utama. 4.9. Pengujian Sensitivitas Pengujian sensitivitas dilakukan pada pengujian utama dengan mengganti ukuran opini audit. Ukuran opini audit yang sebelumnya menggunakan skala ordinal yaitu 4 untuk opini wajar tanpa pengecualian (WTP), 3 untuk opini wajar dengan pengecualian (WDP), 2 untuk opini tidak wajar (TW) dan 1 untuk opini tidak memberikan pendapat (TMP) diganti menggunakan variabel dummy dimana 1 jika opini audit wajar tanpa pengecualian (WTP) dan 0 jika lainnya. Pengukuran untuk pengujian sensitivitas mengacu pada penelitian Setyaningrum (2015).
39
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OPINI AUDIT DENGAN TINGKAT PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING Adelia Pramita Sari
Berdasarkan hasil pengujian sensitivitas menunjukkan hasil yang robust dengan pengujian utama yaitu temuan audit, tindak lanjut hasil pemeriksaan dan kapasitas operator pengelola keuangan memiliki pengaruh tidak langsung terhadap opini audit melalui tingkat pengungkapan laporan. Latar belakang pimpinan K/L tidak berpengaruh terhadap opini melalui tingkat pengungkapan.
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengujian secara empiris membuktikan bahwa adanya pengaruh tidak langsung temuan audit, tindak lanjut hasil pemeriksaan, kapasitas operator pengelola keuangan terhadap opini audit melalui tingkat pengungkapan laporan keuangan sebagai variabel intervening adalah positif dan signifikan. Temuan audit yang besar pada periode lalu akan mendorong K/L untuk menindaklanjuti temuan audit sehingga mengurangi temuan audit pada periode selanjutnya yang berdampak pada tingkat pengungkapan yang tinggi dan probabilitas perolehan opini audit WTP meningkat. Semakin banyak rekomendasi BPK yang ditindaklanjuti sesuai rekomendasi akan meningkatkan kualitas laporan keuangan K/L yang tercermin dari tingkat pengungkapan yang tinggi sehingga peluang opini yang diperoleh K/L semakin baik sesuai Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004. Peserta yang lulus pelatihan PPAKP kemungkinan memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menyajikan laporan keuangan yang menyebabkan tingkat pengungkapan menjadi tinggi dan perolehan opini semakin baik. Latar belakang pendidikan Pimpinan K/L tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan sehingga dapat disimpulkan bahwa latar belakang pendidikan Pimpinan K/L tidak berpengaruh terhadap opini audit melalui tingkat pengungkapan.
6. IMPLIKASI DAN KETERBATASAN
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yaitu pertama, penelitian ini secara keseluruhan menggunakan data sekunder. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggabungkan data sekunder dan data primer yang dapat dilakukan melalui wawancara untuk memperkuat analisis penelitian mengenai faktor-faktor yang mendorong K/L untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan, peningkatan tindak lanjut hasil pemeriksaan dan upaya K/L dalam mengurangi temuan audit. Kedua, penelitian ini baru dilakukan pada Kementerian/Lembaga untuk melihat pengaruh tidak langsung temuan audit, tindak lanjut hasil pemeriksaan, dan kualitas SDM terhadap tingkat pengungkapan laporan keuangan. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan pada Pemerintah Daerah. Ketiga, proksi latar belakang pendidikan pimpinan K/L tidak berpengaruh terhadap opini melalui tingkat pengungkapan laporan keuangan. Hal ini kemungkinan disebabkan proksi pengukuran yang digunakan belum tepat. Penelitian berikutnya dapat mempertimbangkan proksi lain seperti kualitas auditor internal dengan
40
membuat indeks berdasarkan lama penugasan, pelatihan yang diikuti dan latar belakang pendidikan yang ditempuh. Keempat, temuan audit dalam penelitian ini menggunakan data yang diperoleh dari ikhtisar hasil pemeriksaan semesteran dengan menggabungkan temuan terkait kelemahan sistem pengendalian internal dan temuan terkait ketidakpatuhan terhadap peraturan perundangundangan. Penelitian selanjutnya dapat membagi temuan audit berdasarkan jenis temuan dan tingkat materialitas temuan untuk analisis yang lebih mendalam.
Penghargaan Terima Kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dwi Martani dan Ibu Dyah Setyaningrum selaku pembimbing pertama dan kedua di Universitas Indonesia atas bantuan dan bimbingan beliau dalam penulisan tesis. Penelitian yang dilakukan dalam artikel ini dibiayai oleh Beasiswa BPP-DN Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Adzani, A. H. 2015. Determinan Akuntabilitas Pemerintah Daerah di Indonesia. Tesis. Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia. Agusti, A. F. 2014. Faktor Determinan Akuntabilitas dan Transparansi Kementerian/Lembaga. Tesis Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia. Amin, P. D. 2013. Analisis Kepatuhan Pengungkapan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten di Indonesia terhadap PP 24 Tahun 2005 untuk Tahun Anggaran 2006-2010. Skripsi Akuntansi FE UI. Depok. Andvig, J.C et al., 2001. Corruption: A Review of Contemporary Research. Chr. Michelsen Institute Development Studies and Human Rights Report R Web: http//www.cmi.no. Arifin, I., dan Fitriasari, D. 2014. Pengungkapan Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga, Karakteristik Organisasi dan Hasil Audit BPK. Simposium Nasional Akuntansi XVII. Mataram. Bergman, M., and Lane, J. E. 1990. Public Policy in a Principal-Agent Framework. Journal of Theoretical Politics 2(3): 339-352. Boner, S. E., dan Walker, P. L. 1994. The Effect of Instruction and Experience on the Acquisition of Auditing Knowledge. The Accounting Review 69. pp. 156-178. Djalil, Rizal. 2014. Akuntabilitas Keuangan Daerah, Implementasi Pasca Reformasi. Edisi 1. Jakarta: Semesta Rakyat Merdeka. Dwiputrianti, S. 2008. Efektivitas laporan hasil temuan pemeriksaan dalam mewujudkan reformasi transparansi fiskal dan akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Jurnal Ilmu Administrasi, Vol.V, No. 4. pp. 12- 30. Evans, J., dan Patton, J. 1987. Signalling and Monitoring in Public Sector Accounting. Journal of Accounting Research 25, pp. 130–158.
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OPINI AUDIT DENGAN TINGKAT PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING Adelia Pramita Sari
Giroux, G. 1989. Political Interest and Governmental Accounting Disclosure. Journal of Accounting and Public Policy. Vol.6, 169-83. Hambrick, D. C., and Mason. P. A. 1984. Upper Echelon: The Organization as a reflection of its top manager. Academy of Management Review 9, pp. 193-202. Hilmi, A. Z., dan Martani, D. 2012. Analisis FaktorFaktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi. Simposium Nasional Akuntansi XV. Banjarmasin. Ingram, R. W. 1984. Economics Incentives and the Choice of State Government Accounting Practices. Journal of Accounting Research. Vol. 22. No. 1. pp 126-144. Laswad, F., Fisher, R., dan Oyelere, P. 2005. Determinants of Voluntary Internet Financial Reporting by Local Government Authorities. Journal of Accounting and Public Policy. pp. 101121. Lesmana, S. I. 2010. Pengaruh Karakteristik Pemerintah Daerah terhadap Tingkat Pengungkapan Wajib di Indonesia. Tesis Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Liu, J., and Lin, B. 2012. Government Auditing and Corruption Control: Evidence from China’s Provincial Panel Data. China Journal of Accounting Research, vol. 5, pp. 163-186. Martani D., dan Liestiani, A. 2012. Disclosure in Local Government Financial Statement: the Case of Indonesia. Global Review of Accounting & Finance, Vol 3. No.1. Mardiasmo. 2005. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Penerbit Andi. Masyitoh, R. D. 2014. Pengaruh Opini, Temuan Audit, dan Tindak Lanjut Audit terhadap Persepsi Korupsi pada Pemerintah Daerah Tingkat II Periode 2008-2010. Tesis FE UI. Universitas Indonesia. McLelland, A. J., and Giroux, G. 2000. An Empirical Analysis of Auditor Report Timing by Large Municipalities. Journal of Accounting and Public Policy 19, pp. 263-281. Misra, F. 2008. Investigasi dan Analisis Empiris Praktik Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah (Studi pada Kota dan Kabupaten Di Provinsi DIY dan Jawa Tengah). Tesis. Universitas Gajah Mada. Mustikarini, W. A., dan Fitriasari, D. 2012. Pengaruh Karakteristik Pemerintah Daerah dan Temuan Audit BPK terhadap Kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun Anggaran 2007. Simposium Nasional Akuntansi XV. Banjarmasin. Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor PER65/PB/2010 yang diubah dengan Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor PER55/PB/2012 tentang Pedoman Penyusunan Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2005 yang diubah dengan Peraturan
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Desain Reformasi Birokrasi. Robbins, W., dan Austin. K. R 1986. Disclosure Quality in Governmental Financial Reports: An Assessment of the Appropriateness of a Compound Measure. Journal of Accounting Research. Vol. 24 No. 2 Rutherford, B. A. 2000, The Construction and Presentation of Performance Indicators in Executive Agency External Reports. Financial Accountability & Management, Vol. 16 No. 3, pp. 225-49. Seeba, et al. 2009. Managerial characteristic, strategy, and performance in local government. Measuring Business Excellence. Vol. 13 No.4 Shield, M. 1995. An Empirical Analysis of Firm’s Implementation Experience with Activity-Based Costing. Journal of Management Accounting Research 7. pp. 1-28 Setiawan, W. 2012. Pengaruh Akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) terhadap Tingkat Korupsi Pemerintah Daerah di Indonesia. Skripsi Universitas Diponegoro. Setyaningrum, D., Andriani, E., dan Fitriasari, D. 2012a. The effects of audit opinions and audit findings on the level of disclosure of local government financial statements. Asia Pasific Journal of Accounting and Finance. Vol. 2(2). Setyaningrum, D., dan Syafitri, F. 2012b. Analisis Pengaruh Karakteristik Pemerintah Daerah terhadap Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia. Vol. 9. No. 2. Setyaningrum, D. 2015. Kualitas Auditor, Pengawasan Legislatif dan Pemanfaatan Hasil Audit dalam Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah. Disertasi FE UI. Depok. Suhardjanto, D., dan Yulianingtyas. R. R. 2011. Pengaruh Karakteristik Pemerintah Daerah terhadap Kepatuhan Pengungkapan Wajib dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Jurnal Akuntansi dan Auditing. Vol. 8. No.1. Umar, H. 2012. Pengawasan untuk Pemberantasan Korupsi. Jurnal Akuntansi dan Auditing, Vol. 8, No. 2, 95-189. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Vermeer, T. E., Styles, A. K dan Patton, T. K. 2009. Do Local Governments Present Required Disclosures for Defined Benefit Pension Plans ? Journal of Accounting and Public Policy, Vol. 31. pp. 44-68. Wicaksono, P. T. 2012. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Opini dan Temuan Audit BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
41
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OPINI AUDIT DENGAN TINGKAT PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING Adelia Pramita Sari
Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 2008-2009. Skripsi Akuntansi FE UI Depok. Winanti, B. A. 2014. Analisis Pengaruh Temuan dan Tindak Lanjut Pemeriksaan BPK, Legitimasi Kepala Daerah serta Pengawasan Pemerintahan terhadap Opini Audit LKPD 2010-2011. Skripsi Akuntansi FE UI Depok. Winidyaningrum, C dan Rahmawati. 2010. Pengaruh Sumber Daya Manusia dan Pemanfaatan Teknologi Informasi terhadap Keterandalan dan Ketepatwaktuan Pelaporan Keuangan Pemerintah Daerah dengan Variabel Intervening Pengendalian Intern Akuntansi. Simposium Nasional Akuntansi XIII. Purwokerto. Zimmerman, J. 1977. The Municipal Accounting Maze: An Analysis of Political Incentives. Journal of Accounting Research, vol. 15, pp. 107-155.
42
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OPINI AUDIT DENGAN TINGKAT PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING Adelia Pramita Sari
LAMPIRAN Tabel 1. Pengukuran Variabel Variabel
Pengukuran
Temuan kelemahan sistem pengendalian internal (SPI)
Logaritma natural jumlah nilai nominal temuan sistem kelemahan pengendalian internal ditambah temuan ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK atas LKKL.
Tindak lanjut hasil pemeriksaan
Jumlah nominal rekomendasi BPK yang ditindaklanjuti sesuai dengan rekomendasi ditambah rekomendasi yang tidak dapat ditindaklanjuti dibagi dengan jumlah total nominal rekomendasi.
Kapasitas operator pengelola keuangan
Jumlah peserta kelas reguler Program Percepatan Akuntabilitas Keuangan Pemerintah (PPAKP) yang telah lulus dibagi dengan jumlah satuan kerja
Latar belakang pendidikan Pimpinan K/L
1 jika latar belakang pendidikan Pimpinan K/L adalah ekonomi/akuntansi dan 0 jika lainnya
Tabel 2. Pemilihan Sampel SAMPEL 2010
2011
2012
2013
Populasi K/L
75
78
81
81
K/L dengan tidak menyajikan L/K audited secara berturut-turut
(1)
(1)
(1)
(1)
K/L baru berdiri tahun 2011
-
(3)
(3)
(3)
K/L baru berdiri tahun 2012
-
-
(3)
(3)
74
74
74
74
Total Sampel
Tabel 3. Statistik Deskriptif Variabel OPINI DISC TEMUAN TL OP EDUC SATKER AGE SIZE
n 296 296 296 296 296 296 296 296 296
Mean 3.7331 0.4539 92.6000 0.6159 0.2246 0.2635 209.5541 39.4358 28.2666
Median 4.0000 0.4304 830.0000 0.7933 0.0860 0.0000 34.0000 44.0000 34.0000
Std Dev 0.5642 0.0864 547.0000 0.3977 0.3238 0.4413 348.7260 22.8742 745.2339
Min 1.0000 0.3132 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 1.0000 1.0000 21.4525
Max 4.0000 0.6957 6860.0000 1.0000 1.0000 1.0000 1326.0000 71.0000 38.2215
Keterangan Tabel: Tabel ini merepresentasikan statistik deskriptif masing-masing variabel yang digunakan dalam pengujian hipotesis. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah OPINI, variabel intervening adalah DISC: tingkat pengungkapan laporan keuangan K/L, variabel independen terdiri dari TEMUAN: nilai nominal temuan audit (dalam milyar rupiah), TL: tindak lanjut hasil pemeriksaan, OP: jumlah pelatihan program percepatan akuntabilitas keuangan pemerintah dibagi dengan jumlah satuan kerja, EDUC: pimpinan K/L menggunakan variabel dummy dimana 1 untuk latar belakang pendidikan akuntansi atau ekonomi dan 0 untuk lainnya, dan variabel kontrol terdiri dari SATKER: jumlah satuan kerja K/L, AGE: umur organisasi, SIZE: ukuran organisasi menggunakan logaritma dari total aset.
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
43
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OPINI AUDIT DENGAN TINGKAT PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING Adelia Pramita Sari
Tabel 4. Hasil Pengujian Hipotesis Model Regresi 1 Model Regresi 1 DISCit= α0 + α1TEMUANit-1 + α2TLit-1+ α3OPit+ α4EDUCit + α5SATKERit + α6SIZEit + α7AGEit+ε Variabel Prediksi Coefficient Prob. C
-1.2656
0.0017
TEMUANit-1
+
0.0006
0.0272**
TLit-1
+
0.0125
0.0309**
OPit
+
0.0161
0.0069***
EDUCit
+
-0.0243
0.1436
SATKERit
+
0.0001
0.0000***
SIZEit
+
0.0013
0.2962
AGEit
+
0.0418
0.0004***
R-squared
0.7350 0.6364 7.4568 2.1614 0.0000***
Adjusted R-squared F-statistic Durbin-Watson Stat Prob (F-statistic)
Variabel Dependen: DISC= Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan; Variabel Independen: TEMUAN= Nilai nominal temuan audit; TL= Tindak lanjut hasil pemeriksaan; OP= Kapasitas operator pengelola keuangan; EDUC= Latar belakang pendidikan Pimpinan K/L menggunakan variabel dummy dimana 1 jika latar belakang pendidikan adalah akuntansi/ekonomi dan 0 jika lainnya ; Variabel Kontrol: SATKER; Jumlah Satuan Kerja K/L; SIZE: Logaritma Natural dari Total Aset; AGE= Umur Organisasi; Level Signifikansi: *** sig pada level 1%, ** sig pada level 5%, dan * sig pada level 10%.
Tabel 5. Hasil Pengujian Hipotesis Model Regresi 2 Model Regresi 2 OPINIit= β0 + β1DISC^it + β2SATKERit+ β3SIZEit + β4AGEit + ε Variabel
Prediksi
Coefficient
Prob.
DISC^it
+
4.2408
0.0069***
SATKERit
+
-0.0127
0.0660*
SIZEit
+
-0.0747
0.1043
AGEit
+
-0.0007
0.0594*
Pseudo R-squared LR Statistik Prob (F-statistic)
0.0463 16.5604 0.0023***
Variabel Dependen: : OPINI= Opini Audit; Variabel Independen: DISC^= Fitted value dari model regresi 1. Variabel Kontrol: SATKER; Jumlah Satuan Kerja K/L; SIZE: Logaritma Natural dari Total Aset; AGE= Umur Organisasi; Level Signifikansi: *** sig pada level 1%, ** sig pada level 5%, dan * sig pada level 10%.
44
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OPINI AUDIT DENGAN TINGKAT PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING Adelia Pramita Sari
Tabel 6. Hasil Pengujian Tambahan Model Regresi OPINIit= α0 +α1DISCit +α1TEMUANit-1 + α2TLit-1 + α3OPit + α4EDUCit + α5SATKERit + α6SIZEit + α7AGEit+ε
Variabel
Prediksi
Coefficient
Prob.
DISC
+
3.1930
TEMUAN
+
-0.0900
TL
+
0.3921
0.1419
OP
+
-0.2297
0.3193
EDUC
+
-0.1528
0.3177
SATKER
+
-0.0003
0.1994
SIZE
+
-0.0394
0.2604
AGE
+
-0.0129
0.0491**
0.0586* 0.0057***
Pseudo R-squared
0.0801
LR Statistik
28.6051
Prob(LR-statistic)
0.0003***
Variabel Dependen: OPINI= Opini Audit; Variabel Independen: DISC= Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan; TEMUAN= Temuan audit; TL= Tindak lanjut hasil pemeriksaan; OP= Kapasitas operator pengelola keuangan; EDUC= Latar belakang pendidikan Pimpinan K/L menggunakan variabel dummy dimana 1 jika latar belakang pendidikan adalah akuntansi/ekonomi dan 0 jika lainnya ; Variabel Kontrol: SATKER; Jumlah Satuan Kerja K/L; SIZE: Logaritma Natural dari Total Aset; AGE= Umur Organisasi; Level Signifikansi: *** sig pada level 1%, ** sig pada level 5%, dan * sig pada level 10%.
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
45
Halaman ini sengaja dikosongkan This page intentionally left blank
46
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016, Halaman 47-66 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
INFLASI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN : ANALISIS HUBUNGAN DINAMIS INFLASI KOMODITAS BARANG/JASA Azwar Balai Diklat Keuangan Makassar, Indonesia, email :
[email protected] ARTICLE INFORMATION
ABSTRACT
SEJARAH ARTIKEL Diterima Pertama 2 Maret 2016
This study is aimed at analyzing the interaction and dynamic correlation among inflation of commodity groups of goods and service by observing their pattern of inflation rate in South Sulawesi. Using quarterly data from Bank Indonesia from 2006.I to 2015.III, this study is conducted to make estimation by applying Vector Auto Regression (VAR) with test of Impulse Response Function (IRF) and Variance Decomposition (VD). The result of the study shows that inflation rate of commodity groups of goods and service in South Sulawesi has some interaction and dynamic correlation affecting each other. The change of inflation rate of groups of prepared food, beverages, cigarette and tobacco is dominantly affected by the change within these groups and other groups such as groups of food ingredient, clothing, transportation, and monetary service.
Dinyatakan Dapat Dimuat 30 Mei 2016 KATA KUNCI: inflation, VAR, impulse response, variance decomposition
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterkaitan dan hubungan dinamis antarinflasi kelompok-kelompok komoditas barang/jasa dengan melihat pola pergerakan inflasi pada masing-masing kelompok komoditas barang/jasa tersebut di Provinsi Sulawesi Selatan. Dengan menggunakan data time series triwulanan tahun 2006.I s.d. 2015.III yang bersumber dari publikasi Bank Indonesia, penelitian ini mencoba mengestimasi dengan pendekatan model Vector Auto Regression (VAR) melalui pengujian Impulse Response Function (IRF) dan Variance Decomposition (VD). Penelitian ini membuktikan bahwa tingkat inflasi pada kelompok-kelompok komoditas barang/jasa di Sulawesi Selatan memiliki keterkaitan dan hubungan dinamis antara satu sama lain. Pergerakan inflasi pada kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau dominan dipengaruhi oleh kelompok komoditas itu sendiri, juga tidak terlepas dari pengaruh inflasi kelompok bahan makanan sebagai bahan baku kelompok komoditas tersebut, kelompok sandang dan kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan.
1. PENDAHULUAN 2.1. Latar Belakang Inflasi sebagai salah satu masalah makroekonomi selalu menjadi perhatian, khususnya dalam pengambilan kebijakan ekonomi nasional dan regional. Nopirin (1994) mendefinisikan inflasi sebagai proses kenaikan harga umum barang-barang secara terus menerus selama periode tertentu. Berdasarkan Survei Biaya Hidup (SBH) tahun 2002 dan 2007 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), perhitungan inflasi dibentuk dari sejumlah komoditas atau kelompok barang/jasa yang dikelompokkan secara umum menjadi beberapa kelompok yaitu kelompok bahan makanan (BAMA) ; kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau (MAJADI); kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar (PERUM); kelompok sandang (SAND); kelompok kesehatan (KES); kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga (PENDIDI); kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan (TRANS). Pembentukkan harga suatu komoditas dalam suatu perekonomian dipengaruhi oleh harga komoditas lainnya karena dalam proses produksi
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
suatu komoditas pola penetapan harganya akan dipengaruhi oleh input-input yang berperan dalam proses produksi output tersebut. Input-input tersebut pada umumnya merupakan output pada kelompok komoditas yang lain, sehingga antar kelompok komoditas pasti mempunyai keterkaitan (linkage) dan hubungan dinamis satu sama lain. Kajian dan penelitian tentang inflasi banyak difokuskan pada skala nasional. Sementara kajian pada skala regional atau daerah belum banyak dilakukan. Padahal, inflasi nasional terbentuk dari inflasi daerah. Penelitian tentang inflasi daerah perlu dilakukan dengan pertimbangan bahwa masing-masing daerah memiliki karakteristik yang berbeda sehingga membutuhkan kebijakan pengendalian inflasi yang berbeda pula. Wimanda (2006) menyatakan bahwa antara inflasi-inflasi daerah dengan inflasi nasional tidak menunjukkan adanya konvergensi sehingga pola pergerakannya seringkali berbeda dari pergerakan inflasi nasional. Hal inilah yang dapat mengakibatkan kebijakan moneter tidak sepenuhnya efektif dalam menekan laju inflasi di daerah. Sehingga inflasi daerah perlu dikaji secara khusus. Begitu pula, Carlino dan Defina (1998) menyatakan bahwa secara teoritis kebijakan moneter merupakan kebijakan yang bersifat 47
INFLASI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN : ANALISIS HUBUNGAN DINAMIS INFLASI KOMODITAS BARANG/JASA Azwar
skala nasional, namun dalam realitasnya, terjadi divergensi daerah dalam merespon shocks dari variabel agregat ekonomi tersebut. Mengingat bahwa inflasi nasional juga merupakan rata-rata tertimbang dari inflasi daerah di Indonesia, maka dirasa perlu untuk mempelajari perilaku inflasi di tingkat daerah, di antaranya dengan menganalisis pola pergerakan inflasi pada masing-masing kelompok komoditas barang/jasa antara satu kelompok komoditas dengan kelompok komoditas lainnya, karena bagaimanapun juga, pembentukkan harga dan tingkat inflasi suatu komoditas dalam suatu perekonomian tentunya dipengaruhi oleh harga dan tingkat inflasi komoditas lainnya. Dengan demikian, ketika menganalisis pengendalian inflasi daerah tentu saja tidak dapat menitikberatkan pada komoditas tertentu yang dianggap penyumbang terbesar inflasi daerah, namun perlu dilakukan pengendalian harga dan inflasi secara simultan terhadap sektor lain. Shock harga dan inflasi yang terjadi pada suatu komoditas bisa diakibatkan oleh shock yang terjadi pada komoditas lainnya. Kajian inflasi regional ini akan difokuskan pada Provinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan Provinsi Sulawesi Selatan didasarkan pada alasan bahwa provinsi ini merupakan salah satu representasi utama perekonomian Indonesia bagian timur dan mencatat tingkat inflasi dan Indeks Harga Konsumen (IHK) yang relatif dinamis di kawasan Sulawesi, Maluku dan Papua dibandingkan dengan provinsi lainnya di kawasan tersebut, bahkan untuk seluruh komoditas atau kelompok barang/jasa. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis dan menjawab pertanyaan yang mengemuka : (i) apakah terjadi keterkaitan dan hubungan dinamis antarinflasi kelompok-kelompok komoditas barang/jasa dengan melihat pola pergerakan inflasi pada masing-masing kelompok komoditas barang/jasa tersebut di Provinsi Sulawesi Selatan?; (ii) bagaimana tingkat inflasi masing-masing kelompok komoditas barang/jasa bergerak secara acak dalam hubungan dinamis dan berperan sebagai variabel-variabel endogen yang membuka pengaruh pembentukan inflasinya oleh harga/inflasi pada kelompok komoditas barang/jasa lainnya, sehingga dapat dilihat bagaimana fenomena ekonomi yang terjadi di balik pola keterkaitan inflasi pada berbagai kelompok komoditas pembentuk inflasi tersebut di Provinsi Sulawesi Selatan?
meningkat secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan) kepada barang lainnya. Ackley dalam Iswardono (1997) mendefinisikan inflasi sebagai suatu kenaikan harga yang terus menerus dari barang-barang dan jasa secara umum (bukan satu macam barang saja dan sesaat). Menurut definisi ini kenaikan harga yang sporadis bukan dikatakan sebagai inflasi. Menurut Manurung (2004), ada tiga komponen yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan telah terjadi inflasi, yaitu: a. Kenaikan harga, dimana harga suatu komoditas dikatakan naik jika menjadi lebih tinggi dari pada harga periode sebelumnya; b. Bersifat umum, dimana kenaikan harga suatu komoditas belum dapat dikatakan inflasi jika kenaikan tersebut tidak menyebabkan hargaharga secara umum naik; c. Berlangsung terus-menerus, dimana kenaikan harga yang bersifat umum juga belum akan memunculkan inflasi, jika terjadinya hanya sesaat. Karena itu perhitungan inflasi dilakukan dalam rentang waktu minimal bulanan. Sebab dalam sebulan akan terlihat apakah kenaikan harga bersifat umum dan terus-menerus. Rentang waktu yang lebih panjang adalah triwulanan dan tahunan Secara ekonomi, perubahan harga dapat disebabkan oleh jumlah penawaran (supply) dan permintaan (demand). Inflasi dari sisi permintaan (demand pull inflation) terjadi karena kenaikan permintaan total (agregat demand) yang berlebihan sementara produksi (supply) telah berada pada keadan kesempatan kerja yang penuh dan tidak mungkin meningkat lagi sehingga penambahan permintaan hanya akan menyebabkan terjadinya perubahan peningkatan harga, seperti yang terlihat dalam kurva sebagai berikut:
2. KERANGKA TEORITIS
2.1. Teori Inflasi Terdapat berbagai macam definisi atau pengertian mengenai inflasi. Namun pada dasarnya semua pengertian mengenai inflasi mengacu pada kecenderungan harga barang-barang untuk naik secara umum dan terus-menerus. Samuelson dan Nordhaus (2004) mendefinisikan inflasi dengan cukup sederhana yaitu kenaikan tingkat harga umum. Bank Indonesia (2015) mendefinisikan inflasi dengan kecenderungan dari harga-harga untuk
48
Gambar 1. Kurva Demand Pull Inflation dimana: P1 : Harga harga awal P2 : Harga setelah ada perubahan Q1 : Jumlah produksi awal Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
INFLASI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN : ANALISIS HUBUNGAN DINAMIS INFLASI KOMODITAS BARANG/JASA Azwar
Q2 : Jumlah produksi setelah ada perubahan E1 : Keseimbangan awal E2 : Keseimbangan setelah ada perubahan Perubahan Q1 ke Q2 menyebabkan harga ikut naik dari P1 ke P2 dan tingkat keseimbangan naik dari E1 ke E2. Ini terjadi akibat perubahan permintaan terhadap barang dan jasa, sedangkan faktor-faktor produksi tetap, akibatnya harga barang dan jasa meningkat, produksi barang dan jasa juga meningkat, dan titik keseimbangan berubah dari E1 ke E2 (Gambar 1). Inflasi karena desakan biaya (cost push inflation) terjadi akibat meningkatnya biaya produksi (input) sehingga mengakibatkan harga produk-produk (output) yang dihasilkan ikut naik. Biaya per unit yang lebih tinggi untuk produksi menyebabkan jumlah barang yang ditawarkan berkurang sehingga terjadi pergeseran kurva penawaran ke kiri, seperti di jelaskan pada Gambar 2 sebagai berikut:
Gambar 2. Kurva Cost Push Inflation dimana: P1 : Harga harga awal P2 : Harga setelah ada perubahan P3 : Harga setelah ada perubahan Q1 : Jumlah produksi awal Q2 : Jumlah peoduksi setelah ada perubahan Q3 : Jumlah produksi setelah ada perubahan E1 : Keseimbangan awal E2 : Keseimbangan setelah ada perubahan E3 : Keseimbangan setelah ada perubahan Perubahan titik keseimbangan dari E1 ke E2 kemudian E3 ini akibat besarnya biaya produksi dan produsen menurunkan jumlah produksi dari titik Q1 ke Q2 dan ke Q3, perubahan jumlah produksi itu menyebabkan harga naik sebesar P1, P2 dan P3 (Gambar 2). Jika terjadi kenaikan harga secara umum hanya berkaitan dengan beberapa barang tertentu secara kontinyu disebut inflasi tertutup (closed inflation) dan apabila kenaikan harga terjadi secara keseluruhan disebut inflasi terbuka (open inflation). Sedangkan jika serangan inflasi demikian hebatnya Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
dan setiap saat harga-harga terus berubah dan meningkat sehingga orang tidak dapat menahan uang lebih lama disebabkan nilai uang terus merosot disebut inflasi yang tidak terkendali (hiperinflasi). 2.2. Keterkaitan Antarsektor atau Kelompok Komoditas Ada berbagai teori yang menjelaskan bagaimana keterkaitan antarsektor atau kelompok komoditas dapat mempengaruhi perekonomian suatu negara. Keterkaitan ke belakang (backward linkages) dan keterkaitan ke depan (forward linkages) merupakan alat analisis yang digunakan untuk mengetahui tingkat keterkaitan suatu sektor dengan sektor lain dalam perekonomian. Keterkaitan ke belakang menunjukkan hubungan keterkaitan antarsektor dalam pembelian terhadap total pembelian input yang digunakan untuk proses produksi, sedangkan keterkaitan ke depan menunjukkan hubungan keterkaitan antar sektor dalam penjualan terhadap total penjualan output yang dihasilkannya (Sahara, 2006). Keterkaitan antarsektor atau kelompok komoditas dapat terjadi paling tidak melalui empat media, yaitu : (1) keterkaitan produk, merupakan keterkaitan yang terjadi melalui penggunaan produk suatu sektor atau kelompok komoditas sebagai bahan baku bagi sektor lain; (2) keterkaitan konsumsi, yaitu keterkaitan yang tercipta karena suatu sektor atau kelompok komoditas dapat menemukan nilai tambah suatu produk dari sektor atau kelompok komoditas lain sehingga produk tersebut dikonsumsi oleh rumah tangga ; (3) keterkaitan investasi, yaitu keterkaitan ini tercipta karena nilai tambah dari suatu sektor dipergunakan untuk membeli barang-barang modal dalam rangka meningkatan produksi berbagai sektor; (4) keterkaitan fiskal, merupakan keterkaitan yang tercipta karena pajak yang ditarik dari suatu sektor dipergunakan untuk membiayai investasi dan pelayanan pemerintah yang berperan dalam meningkatkan produksi sektor-sektor atau kelompokkelompok komoditas lainnya. Ramadhan (2009) menyebutkan bahwa dari keterkaitan ini maka pembentukkan harga suatu komoditas dalam suatu perekonomian dipengaruhi oleh harga komoditas lainnya, karena dalam proses produksi suatu komoditas pola penetapan harganya akan dipengaruhi oleh input-input yang berperan dalam proses produksi output tersebut. Input-input tersebut pada umumnya merupakan output pada kelompok komoditas yang lain, sehingga antar kelompok komoditas pasti mempunyai keterkaitan (linkage) dan hubungan dinamis satu sama lain. 2.2. Penelitian Terdahulu Berbagai studi pernah dilakukan untuk melihat gejala dan pola pergerakan inflasi dan harga komoditi barang/jasa, khususnya pada kajian inflasi daerah atau regional. Clements dan Izan (1987) melakukan estimasi pada komoditas pembentuk indeks harga konsumen secara bersamaan untuk melihat bagaimana pola
49
INFLASI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN : ANALISIS HUBUNGAN DINAMIS INFLASI KOMODITAS BARANG/JASA Azwar
pergerakan dan keterkaitannya. Hasilnya menunjukkan bagaimana fenomena ekonomi yang terjadi di balik pola keterkaitan antarharga pada berbagai kelompok komoditas pembentuk inflasi tersebut. Stock dan Watson (2005) menggunakan data harga indeks kelompok barang pembentuk indeks harga konsumen untuk memperkaya analisis keterkaitan antar variabel ekonomi secara dinamis. Dengan menggunakan model Vector Auto-Regression (VAR), Stock dan Watson (2005) memasukkan sejumlah time series tersebut untuk melihat keterkaitan bukan hanya antarkelompok komoditas tersebut namun juga dengan sejumlah variabel makroekonomi lainnya. Studi ini tidak hanya menggunakan variabel kelompok-kelompok komoditas pada IHK, namun juga pada Indeks Produksi Industri (Industrial Production Indeks) dan Indeks Harga Perdagangan Besar (Producer Price Index). Wimanda (2006) dalam studinya mengenai inflasi regional di Indonesia mengemukakan bahwa setelah krisis ekonomi, tingkat volatilitas inflasi di daerah menjadi lebih tinggi. Inflasi pada kelompok transportasi memberikan kontribusi besar dalam pembentuk inflasi di daerah, hal ini juga tidak terlepas dari pengaruh harga bahan bakar. Kemudian, peningkatan harga pada kelompok komoditas tersebut berdampak pada inflasi di kelompok bahan makanan, makanan jadi, dan perumahan. Brodjonegoro, Felianty, dan Gitaharie (2005) melakukan studi mengenai inflasi daerah dengan menggunakan Analisis Variance Decomposition melalui metode VAR mencoba melihat determinan inflasi di daerah apakah didominasi oleh faktor-faktor moneter atau non-moneter. Hasil estimasi secara keseluruhan menunjukkan bahwa mayoritas tingkat inflasi di daerah lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor non-moneter. Selain itu, dalam studi tersebut juga melakukan beberapa analisis di mana menyimpulkan bahwa kondisi infrastruktur, tingkat efisiensi perdagangan, dan kebijakan atau regulasi pemerintah daerah menjadi faktor yang juga turut mempengaruhi inflasi daerah. Perkembangan harga-harga yang ditentukan oleh pemerintah (adminitered prices) seperti Bahan Bakar Minyak (BBM), tentu memiliki dampak tersendiri terhadap harga pada sektor transportasi. Kemudian, hal ini akan berimbas pada komoditi lain yang menggunakan bahan bakar minyak dalam proses produksi maupun distribusinya. Majardi (2002), menyebutkan bahwa perkembangan harga BBM yang merupakan salah satu komponen administered prices seringkali merupakan penyebab utama tingginya perkembangan harga barang administered tersebut dan perkembangan inflasi dan IHK pada umumnya. Dari segi barang hasil komoditas pertanian, tentu saja banyak faktor yang mempengaruhi penentuan harganya, mulai dari faktor musim, cuaca, hingga
50
kelancaran jalur distribusi dan pasokan. Shock harga yang terjadi pada komoditas ini yang masuk di dalam kelompok bahan makanan, akan secara langsung dirasakan pada kelompok komoditas lain yang menggunakan hasil komoditas pertanian atau kelompok bahan makanan tersebut sebagai bahan bakunya (Ramadhan, 2009). Mustikasari (2012) dalam studinya terkait inflasi perdesaan di Indonesia, mendapati bahwa secara umum tingkat inflasi masing-masing kelompok komoditas berfluktuatif dengan tingkat inflasi tertinggi pada saat terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Terdapat keterkaitan harga antar kelompok komoditas pembentuk inflasi perdesaan. Secara umum pengaruh peningkatan harga pada suatu kelompok komoditas tertentu terhadap pergerakan harga di kelompok komoditas lainnya bersifat permanen (belum bisa mencapai convergen) atau dengan kata lain pengaruhnya masih terasa sampai jangka waktu yang relatif panjang.
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Data dan Variabel Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa Data Inflasi berbentuk time series triwulanan periode tahun 2006.I s.d. 2015.III pada tujuh kelompok komoditas pembentuk inflasi yang bersumber dari Publikasi Bank Indonesia. Penelitian ini memasukkan variabel endogen dalam model, yaitu tujuh kelompok komoditas barang/jasa pembentuk inflasi yaitu kelompok bahan makanan (BAMA) ; kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau (MAJADI); kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar (PERUM); kelompok sandang (SAND); kelompok kesehatan (KES); kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga (PENDIDI); kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan (TRANS). 3.2. Metode Analisis Penelitian ini menggunakan metode analisis kuantitatif dengan model Vector Auto Regression (VAR). Model VAR yang digunakan dalam penelitian ini dapat dispesifikasikan dalam persamaan umum berikut: yt = c +
(III.1)
di mana : yt (yt1, yt2, …, ynt) adalah vector n x 1 dari variabelvariabel endogen yt-i adalah variabel lag dengan ordo i adalah matriks n x n koefisien autoregressive dari vektor yt-i untuk i = 1, 2, 3, …, p dan c (c1, c2, …, cn) adalah n x 1 vektor intersep dari model VAR t ( t1, t2, …, tn) adalah n x 1 vektor dari disturbance.
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
INFLASI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN : ANALISIS HUBUNGAN DINAMIS INFLASI KOMODITAS BARANG/JASA Azwar
Atau dengan model persamaan-persamaan pada setiap variabel sebagaimana pada Persamaan Model VAR di bawah ini: BAMA t
=
α1 +
BAMA t-1 + SAND t-1 +
MAJADI t
=
α1 +
BAMA t-1 + SAND t-1 +
PERUM t
=
α1 +
BAMA t-1 + SAND t-1 +
SAND t
=
α1 +
BAMA t-1 + SAND t-1 +
KES t
=
α1 +
BAMA t-1 + SAND t-1 +
PENDIDI t
=
α1 +
BAMA t-1 + SAND t-1 +
TRANS t
=
α1 +
BAMA t-1 + SAND t-1 +
MAJADI t-1 + KES t-1 +
MAJADI t-1 + KES t-1 +
MAJADI t-1 + KES t-1 +
MAJADI t-1 + KES t-1 +
MAJADI t-1 + KES t-1 + MAJADI t-1 + KES t-1 +
MAJADI t-1 + KES t-1 +
besar dari nilai kritis distribusi statistik MacKinnon (test critical values), dalam hal ini nilai Prob. lebih kecil dari alpha atau 0.05, maka H0 ditolak yang berarti (III.2)
PERUM t-1 + PENDIDI t-1 +
TRANS t-1 + μ1t (III.3)
PERUM t-1 + PENDIDI t-1 +
TRANS t-1 + μ1t (III.4)
PERUM t-1 + PENDIDI t-1 +
TRANS t-1 + μ1t (III.5)
PERUM t-1 + PENDIDI t-1 +
TRANS t-1 + μ1t (III.6)
PERUM t-1 + PENDIDI t-1 +
TRANS t-1 + μ1t (III.7)
PERUM t-1 + PENDIDI t-1 +
TRANS t-1 + μ1t (III.8)
PERUM t-1 + PENDIDI t-1 +
TRANS t-1 + μ1t
Persamaan Model VAR yang diadaptasi dari model Ramadhan (2009) dimana: BAMAt MAJADIt PERUMt SANDt KESt PENDIDIt TRANSt
= = = = = = = =
μ1t k
=
inflasi kelompok bahan makanan inflasi kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau inflasi kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar inflasi kelompok sandang inflasi kelompok kesehatan inflasi kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga inflasi kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan stochastic error terms atau impulse atau inovasi atau shock dalam VAR lag length
Model analisis dalam kerangka VAR di atas dilakukan dengan beberapa tahapan pengujian, yaitu: 1. Uji stasioneritas (uji akar unit). Uji ini untuk membuktikan stabilitas (normalitas) pola masingmasing variabel, agar regresi yang dihasilkan tidak lancung (palsu) sehingga tidak menghasilkan interpretasi yang keliru. Penelitian ini menggunakan Augmented Dickey-Fuller (ADF) test dengan kriteria pengujian jika nilai absolut statistik ADF test lebih
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
bahwa data time series yang diamati telah stationer. Dan sebaliknya, jika nilai absolut statistik ADF test lebih kecil dari nilai kritis distribusi statistik MacKinnon (test critical values), dalam hal ini nilai Prob. lebih besar dari alpha atau 0.05, maka H0 diterima, yang berarti data time series tidak stationer. Jika ternyata hasil pengujian menunjukkan seluruh variabel stasioner pada difference yang sama (first difference) maka untuk menguji apakah model yang akan digunakan adalah VAR atau Vector Error Correction Model (VECM), harus dilakukan uji kointegrasi terlebih dahulu. Jika tidak memiliki hubungan kointegrasi, maka estimasi VAR dapat dilakukan dalam bentuk VAR in difference. Namun jika pada data terdapat hubungan kointegrasi maka estimasi yang digunakan adalah VECM. Pendekatan kointegrasi berkaitan erat dengan pengujian terhadap kemungkinan adanya hubungan keseimbangan jangka panjang antara variabel-variabel ekonomi seperti yang disyaratkan oleh teori ekonomi. Pendekatan kointegrasi dapat pula dipandang sebagai uji teori dan merupakan bagian yang penting dalam perumusan dan estimasi suatu model dinamis (Gujarati, 2009). Namun, jika hasil pengujian menunjukkan variabel stasioner pada difference yang berbeda, misalnya satu variabel stasioner pada level dan yang
51
INFLASI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN : ANALISIS HUBUNGAN DINAMIS INFLASI KOMODITAS BARANG/JASA Azwar
lainnya stasioner pada first difference maka uji kointegrasi tidak perlu dilakukan. Uji kointegrasi yang akan digunakan (jika harus dilakukan) dalam penelitian ini adalah uji kointegrasi yang dikembangkan oleh Johansen. Uji Johansen menggunakan analisis trace statistic dan nilai kritis pada tingkat kepercayaan = 5 %. Hipotesis nolnya apabila nilai trace statistic lebih besar dari nilai kritis pada tingkat kepercayaan = 5 % atau nilai probabilitas (nilai-p) lebih kecil dari = 5 % maka terindikasi kointegrasi (Enders, 2004); 2. Uji penentuan panjang lag optimal. Uji ini digunakan untuk mengetahui lamanya periode suatu variabel dipengaruhi oleh variabel masa lalunya dan variabel endogen lainnya. Model VAR sangat sensitif terhadap jumlah lag data yang digunakan. Apabila lag ditentukan terlalu panjang maka degree of freedom akan berkurang sehingga menghilangkan informasi yang diperlukan, sedangkan apabila jumlah lag ditentukan terlalu pendek maka pemodelan yang dihasilkan bisa keliru (misspecification model), yang ditandai dengan tingginya angka standar error. Secara umum terdapat beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menentukan panjang lag yang optimal, antara lain Likelihood Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SC) dan Hannan Quinn (HQ). Penentuan panjang lag yang optimal didapat dari persamaan VAR dengan nilai AIC, SC atau LR yang terkecil (Enders, 2004). 3. Innovation Accounting. Pada dasarnya uji ini digunakan untuk menguji struktur dinamis dari sistem variabel dalam model yang diamati, yang dicerminkan oleh variabel inovasi (innovation variable). Dengan kata lain uji ini merupakan uji terhadap variabel inovasi (innovation variable). Uji ini terdiri dari: (i) pengujian Impulse Response Function (IRF); dan (ii) Variance Decomposition (VD). IRF adalah salah satu metode pada VAR yang digunakan untuk melihat respon variabel endogen terhadap pengaruh inovasi (shock) variabel endogen lain yang ada dalam model. Analisis IRF mampu melacak respon dari variabel endogen dalam model VAR akibat adanya suatu shock atau perubahan di dalam variabel gangguan (e), yang selanjutnya dapat melihat lamanya pengaruh dari shock suatu variabel terhadap variabel lain hingga pengaruhnya hilang dan kembali konvergen. Fungsi impulse response didapat melalui model VAR yang diubah menjadi vektor ratarata bergerak (vector moving average) dimana koefisien merupakan respon terhadap adanya inovasi (Enders, 2004). Sedangkan VD atau dikenal sebagai Forecast Error Variance Decomposition merupakan alat analisis pada model VAR yang akan memberikan informasi mengenai proporsi dari pergerakan pengaruh shock pada satu variabel terhadap variabel lainnya pada saat ini dan periode ke depannya. VD menggambarkan
52
relatif pentingnya setiap variabel dalam model VAR karena adanya shock atau seberapa kuat komposisi dari peranan variabel tertentu terhadap variabel lainnya. Berbeda dengan IRF, VD berguna untuk memprediksi kontribusi prosentase varian setiap variabel karena adanya perubahan variabel tertentu, sedangkan IRF digunakan untuk melacak dampak shock dari satu variabel endogen terhadap variabel lainnya dalam model VAR (Enders, 2004).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Sekilas Inflasi di Sulawesi Selatan Perhitungan inflasi secara nasional merupakan hasil dari kompilasi perhitungan inflasi seluruh daerah yang telah dilakukan pembobotan. Inflasi Provinsi Sulawesi Selatan pada Triwulan III Tahun 2015 secara umum tercatat 8,36% (yoy), meningkat dari Triwulan II 2015 yang tercatat 8,06% (yoy). Faktor utama penyebab kenaikan inflasi adalah kenaikan harga pada kelompok bahan makanan menjelang hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, dari 15,01% (yoy) pada triwulan II 2015 menjadi 16,11% (yoy) pada triwulan III 2015. Selain itu, bila dilihat per kelompok komoditas, dari 7 kelompok komoditas, 4 diantaranya mengalami peningkatan dari triwulan sebelumnya. Selain bahan makanan, kelompok komoditas yang mengalami kenaikan tekanan inflasi yaitu kelompok sandang, pendidikan dan transportasi. Pada triwulan III 2015, ketiga kelompok tersebut mengalami inflasi masing-masing 6,95% (yoy), 2,63% (yoy) dan 7,20% (yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan II 2015 masing-masing 4,86% (yoy), 2,35% (yoy) dan 6,00% (yoy). Inflasi tahunan Sulawesi Selatan pada triwulan III 2015 (8,36%, yoy), lebih tinggi dari laju inflasi tahunan nasional yang tercatat 6,83% (yoy) (Grafik 1). Dilihat secara triwulanan, inflasi Sulsel pada triwulan III 2015 tercatat 3,57% (qtq).
Sumber: Bank Indonesia, 2015 Grafik 1. Perkembangan Inflasi Provinsi Sulawesi Selatan Secara spasial, peningkatan tekanan inflasi Sulawesi Selatan triwulan III 2015 disebabkan oleh kenaikan inflasi di seluruh kota/kabupaten di Sulawesi Selatan. Peningkatan inflasi tertinggi terjadi di Kota Makassar, diikuti Kota Palopo dan Kota Parepare, yang secara berurutan tercatat masing-masing 8,95% (yoy), 7,19% (yoy), dan 7,02% (yoy). Pada triwulan sebelumnya, laju inflasi di 3 kota tersebut masingJurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
INFLASI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN : ANALISIS HUBUNGAN DINAMIS INFLASI KOMODITAS BARANG/JASA Azwar
masing 8,61% (yoy), 6,89% (yoy) dan 6,98% (yoy). Sementara itu, 2 daerah lain di Sulawesi Selatan yang menjadi sampel IHK, yaitu Kabupaten Watampone dan Kabupaten Bulukumba, mencatat laju inflasi yang lebih rendah dari 3 kota tersebut, yaitu masing-masing 4,33% (yoy) dan 6,63% (yoy). Tekanan inflasi yang tinggi di daerah perkotaan (Makassar, Palopo, dan Parepare) mencerminkan karakteristik daerah perkotaan yang memiliki permintaan tinggi, namun produksi relatif rendah, khususnya untuk komoditas pangan. Oleh karena itu, daerah perkotaan harus dipasok dari daerah lain, dengan jalur distribusi yang relatif panjang.
meningkat pada triwulan III 2015 seiring meningkatnya kegiatan dan permintaan masyarakat terhadap bahan pangan. Inflasi komponen volatile food di triwulan III 2015 mencapai 17,55% (yoy), meningkat dibandingkan periode sebelumnya 16,30% (yoy).
Sumber: Bank Indonesia, 2015 Sumber: Bank Indonesia, 2015 Grafik 2. Inflasi Sulawesi Selatan Menurut Kota Tingginya aktivitas masyarakat pada musim perayaan hari raya keagamaan mendorong peningkatan permintaan dan menjadi penyebab utama kenaikan inflasi di beberapa kota. Faktor lain yang menjadi pendorong inflasi adalah tariff adjustment Tarif Tenaga Listrik (TTL) dan bahan bakar rumah tangga. Apabila dilihat secara sebaran Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan, sumbangan inflasi tertinggi adalah Kota Makassar yaitu dari 6,73% (yoy) pada triwulan II 2015 menjadi 6,99% (yoy). Hal ini wajar mengingat berdasarkan Survei Biaya Hidup (SBH) yang dilakukan BPS pada tahun 2012, Kota Makassar memberikan bobot terbesar (78,12%) terhadap IHK Sulawesi Selatan. Sementara itu, Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Watampone mencatat peningkatan sumbangan inflasi yang relatif stabil, masing-masing dari 0,17% (yoy) dan 0,25% (yoy) pada triwulan II 2015 menjadi 0,23% (yoy) dan 0,25% (yoy). Meningkatnya tekanan inflasi di Sulawesi Selatan pada triwulan III 2015 terutama bersumber dari komponen volatile food dan administered prices. Komponen volatile food menjadi faktor utama yang mendorong peningkatan inflasi. Pada triwulan III 2015 laju inflasi dari komponen volatile food tercatat 17,55% (yoy), meningkat dibandingkan periode sebelumnya yang tercatat 16,30% (yoy). Peningkatan inflasi volatile food terkait dengan meningkatnya permintaan bahan pangan pada momen perayaan hari raya keagamaan. Sementara dari administered price, komponen pendorong peningkatan tekanan inflasi pada periode laporan adalah tariff adjustment Tarif Tenaga Listrik (TTL) dan harga bahan bakar rumah tangga. Inflasi kelompok administered price meningkat dari 10,63% (yoy) pada sebelumnya menjadi 9,30% (yoy) pada triwulan III 2015. Inflasi volatile food Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
Grafik 3. Perkembangan Harga BBM Jenis Premium dan Solar Selain efek meningkatnya permintaan masyarakat karena perayaan hari raya keagamaan, peningkatan di komponen volatile food juga diakibatkan oleh intensitas El Nino yang meningkat dari tingkat sedang ke tinggi, sehingga terdapat potensi puso atau gagal panen di sejumlah daerah. Faktor penahan inflasi kelompok ini adalah menurunnya intensitas hujan yang mempengaruhi kelancaran distribusi barang. Curah hujan dan gelombang laut yang tidak setinggi akhir triwulan sebelumnya, dan terus berangsur membaik hingga akhir periode laporan mendukung kegiatan penangkapan ikan laut, sehingga pasokan ikan segar meningkat.
Sumber: Bank Indonesia, 2015 Grafik 4. Inflasi Sulawesi Selatan Menurut Komponen 4.2. Hasil Analisis Hasil analisis data dalam penilitian dibagi ke dalam beberapa bagian yaitu : (i) hasil analisis statistik deskriptif; (ii) hasil pengujian statistik sebelum estimasi yang meliputi uji stasioneritas data dan panjang lag optimal dan (iii) estimasi model VAR
53
INFLASI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN : ANALISIS HUBUNGAN DINAMIS INFLASI KOMODITAS BARANG/JASA Azwar
dalam kerangka pengujian Impulse Response Function (IRF) dan Variance Decomposition (VD). Hasil Statistik Deskriptif Hasil uji statistik deskriptif (Tabel 1) pada seluruh variabel menunjukkan bahwa rata-rata tingkat inflasi pada kelompok BAMA menunjukkan rata-rata inflasi yang paling tinggi dibandingkan kelompok komoditas barang/jasa lainnya, yaitu sebesar 10.807 selama periode penelitian. Kemudian rata-rata tingkat inflasi tertinggi setelah kelompok BAMA berturutturut diikuti oleh kelompok SAND dan kelompok MAJADI dengan nilai rata-rata inflasi sebesar 6.914 dan 6.654. Rata-rata tingkat inflasi terendah selama periode penelitian pada kelompok pendidikan. Yang menarik adalah bahwa meskipun kelompok BAMA memiliki rata-rata tertinggi selama periode, namun titik tertinggi (maksimal) inflasi justru pada kelompok pendidikan. Artinya, dalam waktu atau triwulan tertentu, inflasi di Sulawesi Selatan pernah mencapai titik tertinggi yaitu pada kelompok pendidikan. Hal menarik lainnya adalah bahwa deflasi juga terjadi pada kelompok kesehatan dan transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan yang ditunjukkan oleh titik minimal (terendah) selama periode penelitian. 4.2.1.
bahwa hanya satu variabel (TRANS) yang stasioner atau memiliki unit root pada level dan lima variabel lainnya (BAMA, MAJADI, PERUM, SAND, PENDIDI dan KES) tidak stasioner pada level. Oleh karena itu harus dilakukan pengujian stasioneritas pada first difference. Pengujian pada first differences dengan menggunakan ADF test menunjukkan bahwa kelima variabel telah stasioner pada tingkat signifikansi 5% (Tabel 2). Berdasarkan hasil uji stasioner tersebut dapat dikatakan bahwa data telah memenuhi syarat stasioneritas. Oleh karena terdapat satu variabel yang telah stasioner pada level dan lima variabel stasioner pada difference yang sama (first difference) atau dengan kata lain bahwa tidak semua variabel stasioner pada difference, maka uji kointegrasi tidak perlu dilakukan lagi. Model yang telah dispesifikasikan sebelumnya dengan model VAR dapat diestimasi lebih lanjut. 4.2.3.
Hasil Uji Panjang Lag Optimal Penentuan lag dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Likelihood Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SC) dan Hannan Quinn (HQ). Hasil penentuan panjang lag secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3 lag optimal menurut kriteria LR,
Tabel 1 Statistik Deskriptif Mean Median Max. Min. SD
BAMA 10.807 11.270 21.450 0.2300 6.1320
MAJADI 6.654 5.720 14.510 3.280 3.025
PERUM 5.468 4.160 11.91 2.450 2.667
SAND 6.914 6.990 12.420 2.160 2.793
KES 4.909 1.750 29.990 -5.010 8.276
PENDIDI 4.900 3.460 13.49 1.330 3.585
TRANS 4.909 1.750 29.99 -5.010 8.276
Sumber: Hasil pengolahan data Tabel 2 Hasil Uji Stasioner
LogBAMA LogMAJADI LogPERUM LogSAND LogKES LogPENDIDI logTRANS
Augmented Dickey-Fuller (ADF) Test Level First Difference critical values t-statistic Prob.* critical values t-statistic -1.949 -1.203 0.205 -1.951 -6.607 -1.949 -1.352 0.160 -1.951 -4.649 -1.950 -1.656 0.091 -1.951 -4.050 -1.949 -0.869 0.332 -1.950 -7.117 -1.952 -0.282 0.575 -1.952 -5.402 -1.950 -1.552 0.111 -1.950 -4.612 -1.949 -3.512 0.000* Sumber: Hasil pengolahan data; *) data signifikan pada α = 5%.
Prob.* 0.000* 0.000* 0.000* 0.000* 0.000* 0.000*
Tabel 3 Hasil Uji Panjang Lag Optimal Lag 0 1 2
4.2.2.
LogL LR FPE AIC SC -595.2364 NA 323925.8 32.55332 32.85809 -458.0625 215.0293* 2894.482* 27.78716 30.22531* -406.5582 61.24833 3402.919 27.65180* 32.22332 Sumber: Hasil pengolahan data; *) indicates lag order selected by the criterion.
Hasil Uji Stasioneritas Berdasarkan hasil uji akar unit (unit root test) dengan menggunakan metode ADF test diperoleh
54
HQ 32.66076 28.64672* 29.26347
FPE, AIC, SC dan HQ yang nilainya terkecil dan paling banyak ditunjuk adalah lag 1 sebagaimana ditunjukkan dengan tanda (*). Oleh karena itu, dalam proses
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
INFLASI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN : ANALISIS HUBUNGAN DINAMIS INFLASI KOMODITAS BARANG/JASA Azwar
selanjutnya untuk mengestimasi model persamaan VAR dengan perangkat impulse response dan variance decomposition-nya akan digunakan lag ke-1. 4.2.4.
Impulse Response Function (IRF) dan Variance Decomposition (VD) 4.2.4.1. IRF Kelompok Bahan Makanan Hasil analisis Impulse Response menggambarkan bahwa pada triwulan pertama ke depan, jika terjadi shock positif sebesar satu standar deviasi (1 S.D.) pada inflasi kelompok BAMA maka hal tersebut akan mengakibatkan peningkatan harga kelompok BAMA itu sendiri sebesar 3,63%. Namun dampaknya mulai menurun memasuki triwulan ke-2 hingga mendekati keseimbangan tingkat inflasi semula di antara triwulan ke-4 dan ke-5. Jadi, apabila terjadi shock yang berasal dari kelompok BAMA itu sendiri misalnya akibat dari pengaruh cuaca, musim, atau gagal panen yang mengakibatkan pasokan BAMA berupa subkelompok padi-padian, umbi-umbian, daging, ikan segar, telur, susu kacang-kacangan, buah-buahan dan lainnya tersendat sehingga terjadi peningkatan harga dan berujung pada peningkatan inflasi maka penyesuaian tingkat inflasinya menuju ke tingkat semula membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 12-15 bulan. Tabel 4 IRF Kelompok BAMA Per.
BAMA
MAJADI
PERUM
SAND
KES
PENDIDI
TRANS
1
3.632287 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
2
1.811636 1.592284 1.030916 0.414099
3
1.862095 1.019459 0.890318
4
0.243612 0.972589
5 6 7 8
0.167256 0.859273 0.789775 0.192647 0.611513 0.277513 0.048156 0.117678
0.091111 0.188801 0.778629 0.543154 0.172878
9
0.538713 0.198696 0.095376
10
0.575516 0.406663 0.339827
0.061408 0.326701 1.724809 0.257992 0.305161 0.238140 1.588150 0.493939 0.660612 0.804372 0.537229 0.176822 1.347279 0.826104 0.249859 0.274995 1.429157 1.232109 0.422519 1.130994 1.400504 0.322404 0.053354 0.007810 0.553789 0.765378 0.141254 0.021629 0.088419 0.086180 0.116869 0.046706 0.092525 0.203256 0.301367
Sumber: Hasil pengolahan data
komoditas kelompok MAJADI karena produsen tidak mau rugi. Penurunan jumlah produk komoditas MAJADI yang diproduksi akan berdampak pada penurunan permintaan bahan bakunya yang sebagian besar berasal dari kelompok BAMA. Sehingga kelompok BAMA pun akan mengalami penurunan harga seiring menurunnya permintaan kelompok MAJADI. Shock positif sebesar 1 S.D. pada kelompok KES pada triwulan ke-1 tidak membawa dampak apa-apa terhadap inflasi pada kelompok BAMA. Namun memasuki triwulan ke-2, shock tersebut berakibat terjadinya deflasi sebesar -0,06%. Dampak deflasi pada triwulan ke-2 ini juga disebabkan oleh shock yang terjadi pada kelompok PENDIDI. Temuan menarik dari hasil Impulse Response ini yaitu bahwa kenaikan bahan bakar yang direspon oleh peningkatan harga dan inflasi pada kelompok TRANS yang didalamnya masuk sub-kelompok transportasi yang menunjang proses distribusi bahan makanan, justru mengakibatkan terjadinya deflasi pada kelompok BAMA. Dampak ini berlangsung hingga memasuki awal triwulan ke-5. Artinya bahwa kenaikan BBM sebagai bahan bakar alat transportasi untuk keperluan produksi dan distribusi tidak mengakibatkan peningkatan harga pada kelompok BAMA paling tidak hingga 12 bulan ke depan. Adapun dampak berupa deflasi pada kelompok BAMA yang berasal dari shock kelompok PERUM yang juga didalamnya terdapat sub-kelompok bahan bakar dan kelompok SAND, baru akan terjadi saat memasuki triwulan ke-4. Response to Cholesky One S.D. Innovations ± 2 S.E. Response of BAMA to BAMA
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
Response of BAMA to PERUM
8
8
4
4
4
0
0
0
-4
-4
-4
-8
-8 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
-8 1
2
Response of BAMA to SAND
3
4
5
6
7
8
9
10
1
8
8
4
4
0
0
0
-4
-4
-4
-8
-8 3
4
5
6
7
8
9
10
9
10
3
4
5
6
7
8
9
10
9
10
Response of BAMA to PENDIDI
4
2
2
Response of BAMA to KES
8
1
Apabila terjadi shock positif sebesar 1 S.D. pada kelompok MAJADI, maka hal ini akan berdampak pada peningkatan harga dan inflasi kelompok BAMA pada triwulan ke-2 dengan rata-rata sebesar 1,59%, kemudian langsung menurun sejak memasuki periode triwulan ke-3. Inflasi kelompok BAMA terus menurun karena dampak shock kelompok MAJADI hingga memasuki triwulan ke-5 dan bahkan terjadi deflasi sebesar -0,19% memasuki triwulan ke-6. Hal ini berarti bahwa shock positif pada kelompok MAJADI hampir selalu direspon negatif oleh kelompok BAMA (penurunan harga). Hal ini dimungkinkan karena salah satu fungsi kelompok BAMA yaitu sebagai bahan baku bagi kelompok MAJADI. Secara teori, ketika kelompok MAJADI mengalami kenaikan harga, maka permintaan terhadap komoditas ini pun akan menurun. Hal ini tentu akan menurunkan jumlah produksi dari
Response of BAMA to MAJADI
8
-8 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
Response of BAMA to TRANS 8
4
0
-4
-8 1
2
3
4
5
6
7
8
Sumber: Hasil pengolahan data Grafik 5. IRF Kelompok BAMA Grafik 5 menunjukkan bahwa selama 10 periode (triwulan) respon kelompok BAMA rata-rata positif di awal periode, kemudian negatif lalu kembali positif di akhir periode terhadap shock pada kelompok komoditas BAMA itu sendiri, kelompok MAJADI, kelompok SAND dan kelompok PERUM. Sedangkan terhadap shock kelompok KES, kelompok PENDIDI dan kelompok TRANS, respon kelompok BAMA secara ratarata adalah negatif di awal periode kemudian positif
55
INFLASI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN : ANALISIS HUBUNGAN DINAMIS INFLASI KOMODITAS BARANG/JASA Azwar
hingga akhir periode. Pergerakan respon inflasi kelompok BAMA akibat shock atau perubahan variabel dalam jangka panjang terlihat menuju keseimbangan atau mendekati nol (convergence) hanya pada pengaruh shock dari kelompok sandang dan kesehatan. Artinya, shock atau perubahan variabel-variabel tersebut akan tetap direspon oleh kelompok BAMA meskipun efeknya tidak permanen. Sedangkan variabel-variabel selain keduanya, memberikan efek yang permanen dan jangka panjang. 4.2.4.2. VD Kelompok Bahan Makanan Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa kontribusi masing-masing shock variabel endogen terhadap fluktuasi harga kelompok BAMA. Data pada triwulan pertama menunjukkan kenaikan harga kelompok BAMA lebih disebabkan oleh harga kelompok BAMA itu sendiri (100%). Artinya bahwa faktor yang banyak menyebabkan peningkatan harga pada kelompok BAMA adalah dari dirinya sendiri, hal ini mengkonfirmasi bahwa faktor yang sifatnya struktural dan geografis seperti musim, cuaca, hingga kegagalan panen pada sub-sub kelompok di dalamnya yang banyak terdiri dari hasil produksi di sektor primer seperti pertanian sangat dominan mempengaruhi fluktuasi harga pada kelompok komoditasnya. Memasuki periode triwulan 2 shock fluktuasi harga terbesar kelompok BAMA ini selain dipengaruhi oleh dirinya sendiri (70.61%) juga dipengaruhi oleh harga kelompok TRANS (12.75%), di mana kelompok ini mempunyai peran masuk dalam struktur biaya dalam rangka distribusi pasokan baik dari petani produsen langsung kemudian ke pedagang pengumpul hingga ke pedagang retail. Komposisi kontribusi shock ini terus berlangsung hingga akhir triwulan ke-10, dimana kelompok TRANS memberikan kontribusi terhadap pembentukan harga dan inflasi kelompok BAMA hingga sebesar 21.85%.
4
1.226532
2.505062
1.380728
17.01796
5
5.263759
2.862815
1.258651
17.29873
6
7.809906
4.252974
1.108536
18.80320
7
9.019618
4.932868
1.017114
21.36240
8
9.320326
5.044796
1.006757
22.16415
9
9.254441
5.006950
1.055888
22.01010
10
9.128833
5.013303
1.142457
21.85522
Sumber: Hasil pengolahan data Hingga periode triwulan ke-10 kontribusi shock fluktuasi harga terbesar setelah kelompok BAMA itu sendiri dan kelompok TRANS, tersebar pada tiga kelompok yaitu kelompok MAJADI, kelompok KES dan kelompok PERUM, dengan konstribusi masing-masing sebesar 8.94%, 7.94%, dan 5.01%. Kelompok PERUM masuk dalam kontribusi terbesar salah satunya berasal dari sub-kelompok bahan bakar, yang juga bagian dari biaya input dalam transportasi untuk distribusi kelompok BAMA. 4.2.4.3. IRF Kelompok Makanan Jadi, Minuman, Rokok, dan Tembakau Pada awal periode, shock positif sebesar 1 S.D. yang terjadi pada harga atau inflasi kelompok BAMA akan mengakibatkan peningkatan harga kelompok MAJADI sebesar 0.2 persen. Respon positif ini terus meningkat hingga triwulan ke-3. Meskipun pada triwulan-triwulan berikutnya responnya relatif menurun hingga triwulan ke-7 menuju pada titik keseimbangan, namun terus meningkat lagi hingga triwulan -trulan berikutnya, dengan nilai yang tidak terlalu berbeda yaitu sekitar 0,1 persen-an. Hal tersebut wajar, karena bahan makanan merupakan input dalam proses produksi makanan jadi. Sehingga kenaikan harga kelompok BAMA akan berimbas pada kenaikan harga kelompok MAJADI. Tabel 6 IRF Kelompok MAJADI Per.
Tabel 5 VD Kelompok BAMA
BAMA
MAJADI
PERUM
SAND
KES
PENDIDI
TRANS
1
0.207397 1.091725 0.000000 0.000000 0.623565 0.000000 0.000000 0.601718 0.841412 0.444727 0.576266 0.696066 -0.712860 -0.434734
Per.
S.E.
BAMA
KES
MAJADI
2
1
3.632287
100.0000
0.000000
0.000000
3
0.805618 0.679180 0.021239 0.277075 0.920814 -0.693199 -0.677080 0.285645 0.389161 0.005224 0.495660 0.607785 -0.284156 -0.442813
2
4.830180
70.61758
7.429906
7.836926
4
3
5.600769
63.57606
7.093563
9.254210
5
0.153154 0.062609 -0.262666 0.557749 0.435955 0.086521 -0.320538
4
5.830798
58.83333
7.006443
12.02994
6
-0.051124 -0.099262 -0.434823 0.306289 0.171893 0.386142 -0.022915 -0.122984 -0.182008 -0.352796 0.311590 -0.060754 0.530171 0.150224
5
6.114857
55.46886
6.763858
11.08333
7
6
6.517156
50.30068
7.965231
9.759481
8
0.016383 -0.121576 -0.293146 0.165124 -0.105842 0.480785 0.119855 0.100438 0.004092 -0.132938 0.049787 -0.119800 0.365936 0.078183
7
6.823977
46.68216
7.930655
9.055190
9
8
6.893853
45.74549
7.783509
8.934977
10 0.181816 0.117669 -0.000400 0.013994 -0.053048 0.236521 -0.018069
9
6.920504
45.99979
7.779133
8.893701
10
6.974835
45.96678
7.943693
8.949711
Per.
PENDIDI
PERUM
SAND
TRANS
1
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
2
0.004993
1.276249
0.083018
12.75133
3
0.004688
2.482164
0.064827
17.52448
56
Sumber: Hasil pengolahan data Jika terjadi shock positif sebesar 1 S.D. pada harga kelompok MAJADI maka akan mengakibatkan peningkatan harga pada kelompok MAJADI itu sendiri sebesar 1.09 persen pada triwulan pertama. Akan tetapi mulai periode triwulan ke-2 dan seterusnya respon kelompok MAJADI terhadap kelompok dirinya sendiri menurun, hingga menuju titik keseimbangan Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
INFLASI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN : ANALISIS HUBUNGAN DINAMIS INFLASI KOMODITAS BARANG/JASA Azwar
pada akhir triwulan ke-5. Respon positif pada awal periode ini menandakan bahwa antarkomoditas pada kelompok MAJADI ini beperan sebagai barang substitusi. Ketika salah satu komoditas mengalami peningkatan harga, maka permintaan terhadap komoditas tersebut akan menurun dan akan meningkatkan permintaan harga pada komoditas lain yang berperan sebagai barang substitusinya. Sehingga komoditas lain pada kelompok MAJADI ini pun akan meningkat. Sedangkan untuk periode-periode berikutnya, responnya menurun akibat adanya penyesuaian-penyesuaian, seperti penyesuaian yang terjadi ketika kelompok komoditas MAJADI berperan sebagai input untuk proses produksi komoditas MAJADI lainnya ataupun adanya subtitusi dengan kelompok bahan makanan (BAMA). Sama halnya pada kelompok BAMA di atas, shock yang terjadi pada kelompok TRANS yang di antaranya disebabkan oleh kenaikan BMM sebagai administred price, ternyata tidak memberi dampak berupa peningkatan inflasi pada kelompok MAJADI. Justru yang terjadi adalah deflasi yang berlangsung sangat lama hingga memasuki awal triwulan ke-7. Response to Cholesky One S.D. Innovations ± 2 S.E. Response of MAJADI to BAMA
Response of MAJADI to MAJADI
Response of MAJADI to PERUM
3
3
3
2
2
2
1
1
1
0
0
0
-1
-1
-1
-2
-2
-2
-3
-3 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
bulan pertama didominasi oleh variabel dirinya sendiri (97.35%), dan kemudian disusul oleh harga kelompok BAMA (2.64%). Kontribusi kelompok BAMA ini terus ada dengan kecenderungan yang relatif besar hingga akhir periode. Hal ini menunjukkan betapa sangat bergantungnya produksi kelompok MAJADI terhadap input yang berasal dari kelompok BAMA, sehingga peningkatan harga pada kelompok BAMA langsung berkontribusi cukup besar pada peningkatan harga di kelompok MAJADI pada triwulan pertama ke depan. Memasuki triwulan ke-2 dan seterusnya, kontribusi shock dari kelompok MAJADI itu sendiri juga mulai menurun menjadi 62.15% seiring dengan penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh masyarkat terutama dengan pemilihan barang substitusi tertentu menyikapi kenaikan harga pada suatu barang di kelompok ini. Kelompok PERUM dan TRANS mulai berkontribusi cukup besar pada shock harga dari kelompok MAJADI mulai triwulan ke-7 dan ke-8 dengan kontribusi sebesar 9-10 persen-an. Kontribusi dari harga kelompok TRANS semakin ini terkait dengan distribusi dan pemasaran yang terus dilakukan pada kelompok MAJADI sehingga kontribusi harga pada kelompok TRANS semakin besar. Hingga akhir periode triwulan ke-10 penyumbang terbesar shock dari inflasi pada kelompok MAJADI adalah dirinya sendiri dan kelompok SAND (13.99%) serta kelompok PERUM (10.80%).
-3 1
2
Response of MAJADI to SAND
3
4
5
6
7
8
9
10
1
Response of MAJADI to KES
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Tabel 7 VD Kelompok MAJADI
Response of MAJADI to PENDIDI
3
3
3
2
2
2
1
1
1
Per.
S.E.
BAMA
KES
MAJADI
1
3.632287
2.649099
0.000000
97.35090
2
4.830180
9.195272
2.799380
62.15651
3
5.600769
14.28380
2.079647
51.94325
4
5.830798
13.35376
1.816852
49.87900
5
6.114857
12.58248
1.992594
46.84182
6
Sumber: Hasil pengolahan data Grafik 6. IRF Kelompok MAJADI
6.517156
11.99309
2.588652
44.54721
7
6.823977
11.46608
2.558522
42.38734
8
6.893853
11.05409
2.530568
41.08961
Grafik 6 menunjukkan bahwa selama 10 periode (triwulan) respon kelompok MAJADI rata-rata positif terhadap shock pada kelompok SAND, kelompok KES dan kelompok BAMA. Sedangkan terhadap shock kelompok PENDIDI, kelompok PERUM dan kelompok TRANS, respon kelompok MAJADI secara rata-rata adalah negatif. Pergerakan respon inflasi kelompok MAJADI akibat shock atau perubahan seluruh variabel dalam jangka panjang terlihat menuju keseimbangan atau mendekati nol (convergence). Artinya, shock atau perubahan seluruh variabel akan tetap direspon oleh kelompok MAJADI meskipun efeknya tidak permanen.
9
6.920504
10.95882
2.488310
40.41816
10
6.974835
11.15463
2.501356
40.07848
Per.
PENDIDI
PERUM
SAND
TRANS
1
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
2
7.661624
9.434538
4.462524
4.290150
3
10.65818
7.975068
4.286886
8.773163
4
10.26789
7.580563
7.183668
9.918267
5
9.483731
7.061423
11.76636
10.27159
6
9.556560
8.117925
13.42272
9.773838
7
10.49598
9.326443
14.32151
9.444126
8
11.37851
10.37256
14.33704
9.237610
9
12.06513
10.79889
14.13408
9.136603
10
12.41197
10.80575
13.99691
9.050907
0
0
0
-1
-1
-1
-2
-2
-2
-3
-3 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
-3 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Response of MAJADI to T RANS 3 2 1 0 -1 -2 -3 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
4.2.4.4. VD Kelompok Makanan Jadi, Minuman, Rokok, dan Tembakau Berdasarkan Tabel 7, terlihat bahwa kontribusi shock pada harga kelompok MAJADI pada
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
Sumber: Hasil pengolahan data
57
INFLASI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN : ANALISIS HUBUNGAN DINAMIS INFLASI KOMODITAS BARANG/JASA Azwar
4.2.4.5. IRF Kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar Berdasarkan hasil analisis Impulse Response pada kelompok PERUM, jika terjadi shock positif sebesar satu standar deviasi (1 S.D.) pada harga kelompok BAMA maka akan mengakibatkan peningkatan harga kelompok PERUM sebesar 0.54%. Kemudian pada tiga triwulan berikutnya, responnya terlihat fluktuatif kemudian mulai menurun menuju titik keseimbangan sampai berada pada respon negatif (deflasi). Pada triwulan ke-9, respon kelompok ini kembali positif. Tabel 8 IRF Kelompok PERUM
pengeluaran untuk kebutuhan pangan pun meningkat sehingga proporsi dari pendapatan masyarakat untuk kebutuhan yang lain menurun termasuk komoditas perumahan ini. Hal ini akan mengakibatkan menurunnya permintaan terhadap komoditas perumahan, seiring dengan penurunan permintaan maka harganya pun menyesuaikan (mengalami penurunan). Response to Cholesky One S.D. Innovations ± 2 S.E. Response of PERUM to BAMA
Response of PERUM to MAJADI 4
4
3
3
3
2
2
2
1
1
0
0
0
-1
-1
-1
-2
-2
-2
-3
2
BAMA
0.815981
3
0.577824
4
0.187167
5 6 7 8
MAJADI
PERUM
SAND
KES
PENDIDI
0.234045 0.833555 0.433301 0.960979 0.017863 0.765046 0.487675 0.380103 0.119590 0.592165 0.700363 0.191698 0.027723 0.250538 0.378128 0.306104 0.158935 0.093913 0.094190 0.123803 0.238874 0.135561 0.367476 0.295181 0.342688 0.133443 0.076482 0.401801 0.311493 0.309806 0.238876 0.013224 0.276805 0.192559 0.166594 0.248517 0.005716 0.094170 0.029134 0.013281 0.178447 0.108463 0.113038 0.045656 0.064862 0.049669
0.540206 0.599720 0.772653 0.000000 0.849623
0.168962 0.361270 0.293035 0.117001
9
0.067114
10
0.172885
TRANS 0.000000 0.631706 0.435728 0.350302 0.003272 0.253909
2
3
4
5
6
7
8
9
10
-4 1
2
Response of PERUM to SAND
3
4
5
6
7
8
9
10
1
4
4
3
3
3
2
2
2
1
1
0
0
0
-1
-1
-1
-2
-2
-2
-3
3
4
5
6
7
8
9
10
9
10
5
6
7
8
9
10
-3
-4 2
4
1
-3
-4
3
Response of PERUM to PENDIDI
4
1
2
Response of PERUM to KES
-4 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Response of PERUM to T RANS 4 3 2 1 0 -1 -2
0.316544
-3 -4 1
2
3
4
5
6
7
8
0.224931 0.048117 0.103882
Sumber: Hasil pengolahan data Pada triwulan pertama, respon kelompok PERUM terhadap shock yang terjadi pada kelompok MAJADI yaitu sekitar 0,59 persen. Kemudian pada tiga triwulan berikutnya, responnya terlihat fluktuatif kemudian mulai menurun menuju titik keseimbangan sampai berada pada respon negatif (deflasi). Respon negatif ini berlangsung hingga triwulan ke-9. Memasuki triwulan ke-10, respon kelompok ini terhadap MAJADI menjadi positif meskipun dengan posi yang relative kecil yaitu sekitar 0.10%. Sehingga berdasarkan kenyataan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa kelompok PERUM cukup merespon shock yang terjadi pada kelompok MAJADI dengan responnya yang negatif dan relatif lama. Berdasarkan hasil respon dapat dilihat bahwa respon kelompok PERUM terhadap kenaikan harga yang terjadi pada kelompok BAMA dan MAJADI mempunyai pola yang sama. Respon positif pada awal periode untuk kelompok PERUM ini hanya berlaku bagi komoditas perumahan, karena harga komoditaskomoditas lainnya sebagian besar diatur oleh pemerintah. Ketika harga pangan mengalami kenaikan, pada umumnya memang diikuti oleh kenaikan komoditas yang lain karena pengeluaran akan meningkat dan biasanya diikuti dengan tuntutan kenaikan upah/gaji dari pekerja, sehingga akan meningkatkan harga (sesuai dengan teori inflasi desakan biaya). Sedangkan untuk periode-periode selanjutnya, meskipun harga pangan meningkat, akan tetapi masyarakat akan tetap memprioritaskan konsumsi pangan. Secara otomatis proporsi 58
-3
-4 1
1
1
-3
-4
Per.
Response of PERUM to PERUM
4
Sumber: Hasil pengolahan data Grafik 7. IRF Kelompok PERUM
Grafik 7 menunjukkan bahwa selama 10 periode (triwulan) respon kelompok PERUM rata-rata positif di awal periode lalu negatif, kemudian positif kembali terhadap shock seluruh kelompok komoditi, kecuali kelompok TRANS dan PENDIDI yang langsung menunjukkan respon negative di awal-awal periode. Pergerakan respon inflasi kelompok PERUM akibat shock atau perubahan seluruh variabel dalam jangka panjang terlihat menuju keseimbangan atau mendekati nol (convergence). Artinya, shock atau perubahan seluruh variabel akan tetap direspon oleh kelompok PERUM meskipun efeknya tidak permanen. 4.2.4.6. VD Kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar Berdasarkan Tabel 9, kontribusi shock pada fluktuasi inflasi kelompok PERUM tidak didominasi oleh variabel itu sendiri melainkan oleh kelompok MAJADI, dimana pada triwulan ke-1 kelompok ini memberikan kontribusi terhadap pembentukan inflasi kelompok PERUM sebesar 43.8%. Kontribusi ini terus berlangsung dengan kecenderungan menurun hingga akhir periode mencapai 35.2%. Adapun kontribusi dari kelompok PERUM sendiri pada triwulan ke-1 hanya sebesar 41.7%, kemudian cenderung terus menurun hingga tersisa 23.8% di akhir periode.
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
INFLASI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN : ANALISIS HUBUNGAN DINAMIS INFLASI KOMODITAS BARANG/JASA Azwar
Tabel 9 VD Kelompok PERUM
Tabel 10 IRF Kelompok SAND Per.
BAMA
MAJADI
Per.
S.E.
BAMA
KES
MAJADI
1
3.632287
14.41019
0.000000
43.83182
2
0.732222
2
4.830180
17.47005
0.113001
42.48116
3
0.629308
3
5.600769
17.83099
0.147819
39.25070
4
0.605976
4
5.830798
17.14372
0.158607
38.36078
5
0.469391
5
6.114857
17.19293
0.483429
37.70752
6
0.256216
6
6.517156
17.57604
0.729896
36.39172
7
6.823977
17.35309
0.793263
35.63740
7
0.107581
8
6.893853
17.00173
0.770511
35.51918
9
6.920504
16.96164
0.871893
35.47322
10
6.974835
17.14522
1.024472
35.23611
Per.
PENDIDI
PERUM
SAND
TRANS
1
0.000000
41.75799
0.000000
0.000000
2
6.676535
25.97428
0.005181
7.279793
3
9.464647
25.10254
0.072722
8.130582
4
9.998627
24.08338
1.058274
9.196617
5
9.818245
23.95336
1.815677
9.028849
6
9.867619
23.92794
2.324893
9.181885
7
10.14274
23.99515
2.401843
9.676516
8
10.35062
24.07674
2.339867
9.941356
9
10.38791
24.03164
2.359171
9.914520
10
10.30821
23.87533
2.459550
9.951112
Sumber: Hasil pengolahan data Selain kedua kelompok tersebut, kelompok BAMA juga terlihat memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pembentukan inflasi kelompok PERUM yaitu berkisar 14-17% selama periode penelitian. Fenomena ini menunjukkan bahwa selain administered prices berdasarkan kebijakan pemerintah terutama pada sub-kelompok bahan bakar, penerangan, dan air, tingkat inflasi pada kelompok PERUM ini lebih banyak dipengaruhi oleh kelompok makanan jadi dan bahan makanan sebagai bahan bakunya. Hal ini mengonfirmasi hasil impulse response sebagaimana yang disebutkan sebelumnya. 4.2.4.7. IRF Kelompok Sandang Hasil Impulse Response menunjukkan bahwa pada triwulan pertama ke depan, jika terjadi shock positif sebesar 1 S.D. pada harga kelompok BAMA maka akan mengakibatkan peningkatan harga kelompok SAND sebesar 0.79%. Kemudian pada triwulan ke-2 dan seterusnya, responnya terus menurun hingga berada dibawah garis keseimbangan. Respon positif pada awal periode dari kelompok SAND terhadap BAMA terjadi dikarenakan pada umumnya kenaikan harga pada komoditas bahan makanan akan memicu kenaikan harga-harga di komoditas-komoditas kelompok lain.
1
0.790567 0.235835 0.150260 0.319305 0.271833 0.196323 0.104496 0.034999
PERUM
SAND
0.890364 0.616155 0.377226 0.324156 0.244425 0.156640 0.129859 0.086789 0.035225
KES
PENDIDI
TRANS
1.538950 0.444630 0.348794 0.000000 0.229399 0.003183 0.084190 0.111789 0.248936 0.387640 0.401827 0.315273 0.528248 0.171455
0.632491 0.474557 0.815858 0.345798 0.697090 0.201396
0.045616 0.191957 0.569460 0.009573 0.196380 0.545118 0.189114 0.149204 0.443035 0.269246 0.069125
0.381070 0.182097
0.044983 0.023411 0.015766 0.185960 0.062334 0.037093 0.215118 0.007991 0.099523 0.005171 0.006576 0.296114 0.256682 0.212731
8 9 10
Sumber: Hasil pengolahan data Hampir sama responnya terhadap kelompok BAMA, pada awal periode kelompok SAND ini merespon positif kelompok MAJADI. Akan tetapi mulai triwulan ke-2, respon kelompok SAND terhadap kelompok MAJADI menjadi negatif. Hal ini terus berlanjut hingga triwulan ke-7 yang mencapai –0.03%. Berdasarkan kenyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kelompok SAND cukup merespon shock yang terjadi pada kelompok MAJADI dengan responnya yang negatif dengan seterusnya jauh berada dibawah titik keseimbangan dan tidak sama sekali mendekati convergen (responnya bersifat permanen). Pada awal periode sampai periode ke-50, kelompok SAND selalu merespon negatif shock yang terjadi pada kelompok PERUM. Nilai responya cenderung menurun (menuju positif) namun dalam waktu yang sangat lama yaitu hingga akhir triwulan ke-9. Pada periode pertama belum ada respon dari kelompok SAND terhadap shock kelompok TRANS. Pada periode (triwulan) ke-2 hingga triwulan ke-6 responnya negatif. Akan tetapi pada periode berikutnya, responnya meningkat dan sampai pada akhir periode selalu berada pada nilai respon positif dengan rata-rata responnya sekitar 0,25 persen-an. Response to Cholesky One S.D. Innovations ± 2 S.E. Response of SAND to BAMA
Response of SAND to MAJADI
Response of SAND to PERUM
4
4
4
3
3
3
2
2
2
1
1
0
0
0
-1
-1
-1
-2
-2
-2
-3
1
-3
-4
-3
-4 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
-4 1
2
Response of SAND to SAND
3
4
5
6
7
8
9
10
1
4
4
3
3
3
2
2
2
1
1
0
0
0
-1
-1
-1
-2
-2
-2
-3
3
4
5
6
7
8
9
10
9
10
5
6
7
8
9
10
9
10
-3
-4 2
4
1
-3
-4
3
Response of SAND to PENDIDI
4
1
2
Response of SAND to KES
-4 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
Response of SAND to T RANS 4 3 2 1 0 -1 -2 -3 -4 1
2
3
4
5
6
7
8
Sumber: Hasil pengolahan data Grafik 8. IRF Kelompok SAND
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
59
INFLASI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN : ANALISIS HUBUNGAN DINAMIS INFLASI KOMODITAS BARANG/JASA Azwar
Grafik 8 menunjukkan bahwa selama 10 periode (triwulan) respon kelompok SAND rata-rata positif di awal periode lalu negatif, kemudian positif kembali terhadap shock kelompok MAJADI, kelompok KES, kelompok PNDIDI dan kelompok TRANS. Adapun terhadap shock kelompok PERUM, respon kelompok SAND langsung menunjukkan respon negatif di awalawal periode hingga akhir periode. Sedangkan terhadap shock kelompok BAMA dan kelompok SAND itu sendiri, kelompok SAND memberikan respon yang rat-rata positif. Pergerakan respon inflasi kelompok SAND akibat shock atau perubahan variabel kelompok BAMA kelompok MAJADI, kelompok KES dan kelompok PERUM dalam jangka panjang terlihat menuju keseimbangan atau mendekati nol (convergence). Artinya, shock atau perubahan variabelvariabel tersebut akan tetap direspon oleh kelompok SAND dengan efeknya tidak permanen. Adapun varaibel kelompok lainnya, efeknya terus menerus dan jangka panjang. 4.2.4.8. VD Kelompok Sandang Berdasarkan hasil VD pada Tabel 11 menunjukkan bahwa kontribusi shock pada perubahan harga kelompok SAND di triwulan pertama ke depan banyak dipengaruhi oleh variabel dirinya sendiri sebesar 68.58%. Kontribusi shock kelompok SAND terhadap dirinya sendiri masih mendominasi hingga akhir periode. Tabel 11 VD Kelompok SAND Per.
S.E.
BAMA
KES
MAJADI
1
3.632287
15.02003
0.000000
4.347128
2
4.830180
20.09827
2.332679
3.321415
3
5.600769
21.56030
2.431008
2.811727
4
5.830798
22.62030
2.252212
2.604969
5
6.114857
23.22599
2.089697
2.803746
6
6.517156
22.75517
2.005980
3.021270
7
6.823977
21.98130
1.929075
3.064874
8
6.893853
21.15079
1.888450
2.976164
9
6.920504
20.52634
1.887379
2.890143
10
6.974835
20.13864
1.912218
2.908313
Per.
PENDIDI
PERUM
SAND
TRANS
1
0.000000
12.04673
68.58611
0.000000
2
3.182076
9.563178
61.50221
0.000175
3
2.611000
7.845091
62.56770
0.173169
4
2.358493
7.073129
61.17758
1.913312
5
3.112817
7.365352
58.56326
2.839137
6
5.049871
8.062855
56.10324
3.001608
7
7.415344
8.808385
53.91569
2.885331
8
9.562522
9.216876
52.08879
3.116409
9
10.93298
9.258234
50.81319
3.691741
10
11.51435
9.159628
50.14824
4.218616
Sumber: Hasil pengolahan data
60
Kontribusi shock terbesar kedua berasal dari kelompok BAMA dengan rata-rata kontribusi sebesar 20 persen-an. Hal ini menunjukkan bahwa fluktuasi inflasi pada kelompok SAND dalam beberapa bulan kedepannya banyak dipengaruhi oleh harga BAMA. Sifat penentuan inflasi dari SAND berdasarkan hasil VD ini memperlihatkan bahwa kelompok SAND lebih adaptif terhadap harga kelompok dirinya sendiri dan kelompok BAMA dibandingkan kelompok lainnya. 4.2.4.9. IRF Kelompok Kesehatan Jika terjadi shock positif sebesar 1 S.D. pada inflasi kelompok BAMA maka akan mengakibatkan peningkatan standar deviasi pada harga kelompok KES sebesar 0.31%. Kemudian pada periode (triwulan) kedua sampai periode keenam, responnya masih positif. Pada periode ke-7 dampaknya mulai menurun menuju pada titik keseimbangan dan menjadi negatif pada periode ke-8 dan seterusnya responnya berada dibawah garis keseimbangan. Tabel 12 IRF Kelompok KES Per.
BAMA
MAJADI
PERUM
SAND
KES
PENDIDI
TRANS
1
0.317663
0.000000
0.000000
0.000000
1.067989
0.000000
0.000000
2
0.461579
0.063356
0.056933
0.274409
1.117260 -0.126457 -0.103268
3
0.725533 -0.019755 0.083117
0.508376
0.789993 -0.269450 -0.325396
4
0.679508 -0.043459 -0.011006 0.395041
0.370027 -0.212242 -0.446464
5
0.373706 -0.119970 -0.038858 0.303390 -0.033585 0.022455 -0.340356
6
0.071286 -0.179820 -0.145428 0.106296 -0.233216 0.281888 -0.137267
7
-0.186389 -0.203236 -0.188206 -0.085808 -0.319983 0.461453
0.144844
8
-0.264493 -0.179613 -0.154488 -0.166331 -0.295334 0.482424
0.316609
9
-0.179989 -0.098785 -0.079033 -0.208795 -0.202026 0.352553
0.333014
10
-0.040486 0.005427
0.234764
0.032967 -0.186841 -0.102542 0.156200
Sumber: Hasil pengolahan data Hal yang menarik pada respon dari kelompok kesehatan ini yaitu nilai responnya terhadap shock yang terjadi pada kelompok MAJADI yang hampir selalu berada pada respon negatif dari periode ketiga sampai periode ke-9. Kita dapat menyimpulkan bahwa kelompok KES sangat merespon shock yang terjadi pada kelompok MAJADI dengan responnya yang negatif. Hal ini menandakan bahwa masyarakat lebih memprioritaskan konsumsi pangan atau makanan jadi. Grafik 9 menunjukkan bahwa selama 10 periode (triwulan) respon kelompok KES rata-rata positif di awal periode, lalu negatif, kemudian positif kembali terhadap shock kelompok MAJADI, kelompok KES, kelompok PNDIDI dan kelompok TRANS. Adapun terhadap shock kelompok PERUM, respon kelompok SAND langsung menunjukkan respon negatif di awalawal periode hingga akhir periode. Sedangkan terhadap shock kelompok BAMA dan kelompok SAND itu sendiri, kelompok SAND memberikan respon yang rat-rata positif. Pergerakan respon inflasi kelompok SAND akibat shock atau perubahan variabel kelompok BAMA kelompok MAJADI, kelompok KES dan kelompok PERUM dalam jangka panjang terlihat menuju keseimbangan atau mendekati nol (convergence). Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
INFLASI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN : ANALISIS HUBUNGAN DINAMIS INFLASI KOMODITAS BARANG/JASA Azwar
9
10.59943
1.331929
9.087123
9.234666
10
10.74389
1.323765
9.397033
9.810738
Response to Cholesky One S.D. Innovations ± 2 S.E. Response of KES to BAMA
Response of KES to MAJADI
Response of KES to PERUM
3
3
3
2
2
2
1
1
1
0
0
0
-1
-1
-1
-2
-2
-3
-2
-3 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
-3 1
2
Response of KES to SAND
3
4
5
6
7
8
9
10
1
3
3
2
2
2
1
1 0
0
-1
-1
-2
-2
-2
-3 2
3
4
5
6
7
8
9
10
9
10
4
5
6
7
8
9
10
9
10
1
0 -1
-3
3
Response of KES to PENDIDI
3
1
2
Response of KES to KES
-3 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
Response of KES to T RANS 3 2 1 0 -1 -2 -3 1
2
3
4
5
6
7
8
Sumber: Hasil pengolahan data Grafik 9. IRF Kelompok KES 4.2.4.10. VD Kelompok Kesehatan Berdasarkan hasil VD pada Tabel 13 menunjukkan bahwa pada triwulan pertama ke depan kontribusi terbesar pada perubahan inflasi di kelompok KES adalah variabel dirinya sendiri sebesar 91.87%. Memasuki triwulan-triwulan berikutnya, perubahan inflasi kelompok KES tetap didominasi oleh perubahan kelompok itu sendiri. Kontribusi terbesar kedua berasal dari keolmpok BAMA. Sejak memasuk triwulan ke-3 dan seterusnya, kelompok terus memberikan kontrusi yang cukup besar hingga 20 persena-an. Kontribusi ini tentu saja beralasan karena tingkat kebutuhan bahan makanan masyarakat untuk menunjang gizi dan kesehatannya. Inflasi kelompok TRANS juga turut memberikan kontribusi pada pergerakan inflasi kelompok KES ini dengan rata-rata sekitar 5% - 10% setelah 3 triwulan ke depan. Tabel 13 VD Kelompok KES Per.
S.E.
BAMA
KES
MAJADI
1
3.632287
8.127986
91.87201
0.000000
2
4.830180
11.16501
84.95130
0.142742
3
5.600769
19.06984
68.37124
0.099942
4
5.830798
24.07780
58.24633
0.116366
5
6.114857
24.97428
54.58239
0.358321
6
6.517156
24.13198
53.46343
0.884344
7
6.823977
22.96786
51.27848
1.462271
8
6.893853
22.08715
48.33042
1.802051
Sumber: Hasil pengolahan data 4.2.4.11. IRF Kelompok Pendidikan, Rekreasi, dan Olahraga Shock positif sebesar 1 S.D. pada triwulan pertama ke depan dari setiap variabel yang menyebabkan peningkatan inflasi tertinggi pada kelompok PENDIDI adalah kelompok PENDIDI itu sendiri sebesar 1.25%, kisaran di atas 1% ini hanya berlangsung hingga memasuki awal triwulan ke-3 ke depan. Peningkatan terbesar pada triwulan berikutnya, berasal dari shock pada harga kelompok MAJADI bahkan hingga triwulan ke-5 dengan rata-rata peningkatan sebesar 0,83%. Hal ini tentu saja terkait dengan kebutuhan para pelajar dan mahasiswa dengan makanan jadi sebagai kebutuhan primer mereka. Tabel 6 IRF Kelompok PENDIDI Per.
BAMA
MAJADI
0.301248 0.362046 0.202353 0.034357
1
PERUM
9
6.920504
21.42587
46.47664
1.844347
6.974835
21.08386
45.82729
1.813422
KES
0.000000 0.215907 0.283750 0.288310 0.100332 0.527073 0.024936 0.220000 0.193771 0.501837 0.053492 0.109482 0.210898 0.428175 0.036580 0.027906 0.167322 0.325900 0.012042 0.039358 0.103317 0.218582 0.071691 0.068487 0.045234 0.131265 0.112533 0.071143
2 3 4 5 6 7 8 9 10
0.230201 0.000000 0.504191 0.278087 0.453509 0.130638 0.531597 0.086669
PENDIDI
TRANS
0.406184 1.259402 0.000000 0.131914 1.260600 0.127721 0.089547 0.969537 0.482723 0.042901 0.658280 0.406029 0.173126 0.377274 0.305141 0.292151 0.195740 0.141145 0.322735 0.111908 0.043185 0.284720 0.115931 0.008575 0.210519 0.163445 0.022963 0.126361 0.216192 0.059646
Sumber: Hasil pengolahan data Grafik 10 menunjukkan bahwa terhadap shock kelompok BAMA, kelompok MAJADI dan kelompok KES, kelompok PENDIDI memberikan respon inflasi dalam jangka panjang menuju keseimbangan atau mendekati nol (convergence). Sedangkan terhadap shock kelompok lainnya, kelompok PENDIDI memberikan respon yang permanen yang menjauhi titik keseimbangan. Response to Cholesky One S.D. Innovations ± 2 S.E. Response of PENDIDI to BAMA
Response of PENDIDI to MAJADI
Response of PENDIDI to PERUM
3
3
3
2
2
2
1
10
SAND
1
1
0
0
0
-1
-1
-1
-2
-2
-2
-3
-3 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
-3 1
2
Response of PENDIDI to SAND
3
4
5
6
7
8
9
10
1
Response of PENDIDI to KES 3
3
2
2
2
1
1
1
0
0
0
Per.
PENDIDI
PERUM
SAND
TRANS
1
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
-1
-1
-1
-2
-2
-2
2
0.568675
0.115266
2.677772
0.379238
-3
-3 2
3
4
5
6
7
8
9
10
9
10
3
4
5
6
7
8
9
10
Response of PENDIDI to PENDIDI
3
1
2
-3 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Response of PENDIDI to T RANS
3
2.010424
0.230321
7.573510
2.644720
4
2.471240
0.189924
9.057263
5.841070
1
5
2.323695
0.204069
10.07892
7.478320
-1
6
3.562776
0.549245
9.893234
7.514992
-3
7
6.612449
1.059606
9.309341
7.309992
8
9.385298
1.312788
8.942565
8.139731
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
3 2
0
-2
1
2
3
4
5
6
7
8
Sumber: Hasil pengolahan data Grafik 10. IRF Kelompok PENDIDI
61
INFLASI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN : ANALISIS HUBUNGAN DINAMIS INFLASI KOMODITAS BARANG/JASA Azwar
4.2.4.12. VD Kelompok Pendidikan, Rekreasi, dan Olahraga Hasil VD juga mengkonfirmasi analisis pada hasil Impulse Response dimana pada triwulan pertama kontribusi terbesar penyumbang gejolak tingkat inflasi pada kelompok PENDIDI adalah variabel dirinya sendiri. Selain itu juga kontribusi yang cukup besar berasal dari kelompok MAJADI dengan range setelah triwulan ke-1 antara 9%-23%, dari kelompok PERUM dengan rata-rata setelah triwulan ke-1 sebesar 10% dan dari dari kelompok TRANS dengan rata-rata setelah triwulan ke-1 sebesar 6%. Semua ini menunjukkan bahwa pelaksanaan operasional pendidikan banyak juga membutuhkan input dari kelompok komoditas-komoditas ini. Tabel 12 VD Kelompok PENDIDI Per.
S.E.
BAMA
KES
MAJADI
1
3.632287
4.789372
5.614392
8.501073
2
4.830180
5.508665
3.990664
10.28897
3
5.600769
4.732861
2.914304
9.661084
4
5.830798
4.044311
2.509078
11.79138
5
6.114857
3.843818
2.310635
14.93940
6
6.517156
4.112190
2.203232
18.50648
7
6.823977
4.492599
2.155312
21.26218
8
6.893853
4.708915
2.154425
22.86774
9
6.920504
4.758210
2.194185
23.52573
Tabel 13 IRF Kelompok TRANS Per.
BAMA
MAJADI
PERUM
1
1.663405 1.276318 1.979781
2
0.839108 2.216958 0.834335
3
0.654990 0.605440 0.858628 0.588313 1.188612 1.179538 0.856399 0.249314
4 5 6 7 8 9
0.061913 0.422504 0.247044 0.542771 0.528275 0.458619 0.268388 0.018544 0.175404 0.283990
0.185537 0.126837 0.267454
10 0.331164 0.292542 0.390503
SAND
KES
1.354288 1.010093 0.758147 0.572154 0.302661 0.343366 0.228642 0.089196 0.061791
0.115973 1.138632 0.677550 0.250226 1.306717 0.384172 0.380286 0.384995 0.229345 0.886667 0.715005 0.480588 0.935892 0.644709 0.293164 0.835870 0.619162 0.316167 0.378309 0.127395 0.130685 0.507442 0.171735 0.027369 0.073961 0.662638 0.477229 0.850557
Response to Cholesky One S.D. Innovations ± 2 S.E. Response of T RANS to MAJADI
Response of T RANS to PERUM
6
6
6
4
4
4
10
6.974835
4.724069
2.238697
23.60804
Per.
PENDIDI
PERUM
SAND
TRANS
1
76.48668
2.246494
2.361991
0.000000
2
67.98620
10.58374
1.236667
0.405096
6
6
6
3
63.99250
12.20522
2.003231
4.490795
4
4
4
2
2
2
0
0
0
-2
-2
-2
2
2
12.24667
2.766247
6.346276
5
57.21302
11.44271
3.134222
7.116195
0
0
-2
-2
-4
-6
54.40231
10.76647
3.050791
6.958526
7
52.18870
10.30830
2.916826
6.676087
8
50.85004
10.01701
2.913542
6.488320
-4
-6 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
-6 1
2
Response of T RANS to SAND
3
4
5
6
7
8
9
10
4
5
6
7
8
9
10
9
10
3
4
5
6
7
8
9
10
9
10
-4
-6 3
2
Response of T RANS to PENDIDI
-4
-6 2
1
Response of T RANS to KES
-4
1
6
2
0 -2 -4
60.29604
TRANS
Jika dilihat dari nilai Impulse Response kelompok TRANS terhadap seluruh kelompok yang ada, yang menyebabkan peningkatan inflasi tertinggi pada inflasi kelompok TRANS adalah kelompok TRANS itu sendiri dan kelompok PERUM. Hal ini menunjukkan pengaruh harga kelompok PERUM terutama dari sub-kelompok bahan bakar sangat besar pada harga kelompok TRANS yaitu memberikan shock dengan kisaran lebih dari 1 persen berlangsung pada triwulan pertama ke depan. Untuk periode berikutnya, nilai respon kelompok ini terhadap PERUM berfluktuatif. Response of TRANS to BAMA
4
PENDIDI
1.414652 0.666625 2.795029
-6 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
Response of T RANS to T RANS 6 4 2 0 -2
9
50.20324
9.901001
3.032334
6.385299
10
49.93242
9.974983
3.172647
6.349149
-4 -6
Sumber: Hasil pengolahan data 4.2.4.13. IRF Kelompok Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan Selama 10 periode (tiwulan) respon kelompok TRANS rata-rata positif di 3-4 triwulan pertama ke depan, kemudian negatif untuk periode-periode selanjutnya, lalu kembali positif di akhir-akhir periode terhadap shock kelompok BAMA, kelompok MAJADI dan kelompok PERUM. Sedangkan terhadap shock kelompok SAND dan kelompok PENDIDI, respon kelompok TRANS secara rata-rata negatif di 2-3 triwulan awal.
62
1
2
3
4
5
6
7
8
Sumber: Hasil pengolahan data Grafik 11. IRF Kelompok TRANS Grafik 11 menunjukkan bahwa terhadap shock kelompok SAND dan kelompok KES, kelompok TRANS memberikan respon inflasi dalam jangka panjang menuju keseimbangan atau mendekati nol (convergence). Sedangkan terhadap shock kelompok lainnya, kelompok TRANS memberikan respon yang permanen.
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
INFLASI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN : ANALISIS HUBUNGAN DINAMIS INFLASI KOMODITAS BARANG/JASA Azwar
4.2.4.14. VD Kelompok Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan Hasil VD mengkonfirmasi hasil Impulse Response dimana komposisi penyumbang perubahan harga pada kelompok TRANS terbesar adalah kelompok BAMA, kelompok MAJADI dan kelompok PERUM, setelah kelompok TRANS itu sendiri. Kontribusi kelompok BAMA dan kelompok MAJADI hingga 10 triwulan ke depan berada pada range 10% - 20%. Sedangkan kelompok PERUM memberikan kontribusi 12% - 19%. Dengan demikian melalui tabel di atas menunjukkan bahwa inflasi kelompok TRANS tidak hanya secara besar dipengaruhi oleh harga kelompok PERUM yang didalamnya termasuk sub-kelompok bahan bakar, namun juga harga kelompok BAMA dan MAJADI.
c.
Tabel 14 VD Kelompok TRANS Per.
S.E.
BAMA
KES
MAJADI
1
3.632287
13.55843
9.806469
7.982352
2
4.830180
11.65705
9.150574
21.97696
3
5.600769
11.43271
8.170803
20.25756
4
5.830798
12.02488
8.303055
19.79846
5
6.114857
14.73480
8.965307
18.66829
6
6.517156
16.78205
9.185288
17.76741
7
6.823977
17.59153
9.587520
17.34488
8
6.893853
17.58869
9.830870
17.27367
9
6.920504
17.49722
9.774945
17.14449
10
6.974835
17.34753
9.570176
16.95032
Per.
PENDIDI
PERUM
SAND
TRANS
1
2.177591
19.20648
8.987428
38.28125
2
5.846529
15.50117
9.586145
26.28157
3
10.10872
15.69168
10.05241
24.28613
4
10.18540
15.16999
10.63832
23.87988
5
9.501821
14.10680
10.01981
24.00316
6
9.236143
13.56044
9.440545
24.02812
7
8.963627
13.03795
9.081609
24.39289
8
8.927563
12.93334
9.026043
24.41983
9
9.414084
12.96870
8.948357
24.25220
10
10.15878
13.01236
8.751658
24.20917
Sumber: Hasil pengolahan data
d.
e.
f.
g.
5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis, penelitian ini memberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut: a. Tingkat inflasi pada satu kelompok komoditas barang/jasa di Sulawesi Selatan terbukti memiliki keterkaitan dan hubungan dinamis terhadap tingkat inflasi kelompok-kelompok komoditas barang/jasa lainnya; b. Pergerakan inflasi pada kelompok bahan makanan dominan dipengaruhi oleh pergerakan inflasi di kelompok bahan makanan itu sendiri. Hal ini terkait dengan komposisi kelompok ini yang banyak terdiri komoditas hasil pertanian yang Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
h.
rentan produksinya dipengaruhi oleh faktor cuaca dan sifatnya yang musiman. Peningkatan harga di kelompok ini berlangsung persisten, mencapai 1215 bulan ke depan. Selain itu, kelompok ini juga cukup besar dipengaruhi oleh harga kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan, terutama dari sisi sub-kelompok transportasi yang mempengaruhi struktur biaya kelompok bahan makanan dalam proses pendistribusiannya; Pergerakan inflasi pada kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau dominan dipengaruhi oleh kelompok komoditas itu sendiri, serta tidak terlepas dari pengaruh kelompok bahan makanan sebagai bahan baku kelompok komoditas tersebut. Selain itu, inflasi kelompok sandang dan kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan-dalam hal ini khususnya sub-kelompok transportasi- juga turut mempengaruhi kelompok komoditas tersebut; Pergerakan inflasi pada kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar secara umum, selain dipengaruhi oleh pergerakan harga dirinya sendiri, juga banyak dipengaruhi oleh kelompok makanan jadi dan bahan makan sebagai bahan bakunya. Artinya, selain karena administered prices berdasarkan kebijakan pemerintah terutama pada sub-kelompok bahan bakar, penerangan dan air, tingkat inflasi pada kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar ini lebih banyak dipengaruhi oleh inflasi atau kenaikan harga kelompok makanan jadi dan bahan makanan. Ketika harga pangan dan olahannya meningkat, masyarakat akan tetap memprioritaskan konsumsi pangan sehingga porsi pengeluaran untuk perumahan juga terpengaruh; Pergerakan inflasi pada kelompok sandang dipengaruhi dominan oleh dirinya sendiri hanya pada triwulan pertama ke depan hingga akhir periode. Untuk beberapa bulan selanjutnya juga banyak dipengaruhi oleh harga kelompok bahan makanan dengan rata-rata kontribusi sebesar 20 persen-an; Pergerakan harga pada kelompok kesehatan secara dominan dipengaruhi oleh dirinya sendiri. Selain itu juga kelompok bahan makanan mempengaruhi cukup besar kelompok komoditas tersebut; Pergerakan inflasi pada kelompok pendidikan juga secara dominan dipengaruhi oleh dirinya sendiri. Inflasi kelompok makanan jadi, kelompok perumahan, listrik, air, gas, dan bahan bakar, dan kelompok transportasi juga memberikan kontribusi yang cukup besar pada kelompok komoditas ini. Hal tersebut dapat terjadi karena operasional kelompok pendidikan tidak dapat terlepas dari kebutuhan pada kelompok komoditaskomoditas ini; Pergerakan inflasi pada kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan dipengaruhi oleh inflasi pada kelompok BAMA, kelompok MAJADI dan kelompok PERUM, setelah kelompok TRANS itu sendiri. Hal ini terkait dengan sub-kelompok
63
INFLASI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN : ANALISIS HUBUNGAN DINAMIS INFLASI KOMODITAS BARANG/JASA Azwar
transportasi yang tidak dapat dipisahkan pada kebutuhan di subkelompok bahan bakar. Begitu pula, kelompok komoditas tersebut berdasarkan hasil estimasi juga dipengaruhi oleh harga kelompok bahan makanan.
6. IMPLIKASI KEBIJAKAN a. Pengendalian inflasi di daerah tidak cukup hanya dengan melalui kebijakan moneter yang bersifat skala nasional. Permasalahan inflasi di daerah banyak yang sifatnya non-moneter atau butuh koordinasi yang baik dengan Pemerintah Daerah terkait pengendaliannya. Oleh karena itu, selain mengandalkan kebijakan ekonomi secara nasional, diperlukan pula kebijakan dari pemerintah daerah dalam pengendalian inflasi di daerah, sehingga peran dan fungsi Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) yang telah dibentuk menjadi teramat penting dan krusial dalam merumuskan kebijakan dan rekomendasi terkait penanganan inflasi daerah; b. Pengendalian inflasi di daerah tidak cukup hanya melakukan pengendalian secara parsial yang fokus pada kelompok komoditas tertentu yang dianggap memberikan kontribusi besar dalam pembentuk inflasi daerah, tetapi juga hendaknya melihat seluruh kelompok komoditas secara simultan. Hal ini karena sifat keterkaitan yang dimiliki antarharga kelompok komoditas pembentuk inflasi yang memiliki kontribusi pada peningkatan inflasi di kelompok komoditas lainnya; c. Upaya pengendalian inflasi daerah terutama pada pengendalian harga kelompok bahan makanan memerlukan kebijakan yang sifatnya structural, yaitu (terutama) dalam mendorong terjadinya perbaikan dalam pola distribusi pasokan serta dukungan infrastruktur yang memperlancar transportasi dan distribusi barang. Salah satunya dengan pembentukan perusahaan daerah sebagai badan penyangga pangan yang berperan dalam manajemen distribusi dan pasokan di kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Selatan; d. Kebijakan pemerintah dalam penetapan harga (administered price) berbagai komoditas seperti banyak terdapat pada kelompok perumahan, listrik, air, gas, dan bahan bakar, menjadi keputusan yang sangat krusial. Shock harga yang terjadi akan cukup lama untuk menyesuaikan kembali ke tingkat keseimbangannya menuju ke harga semula. Dengan demikian, sebaiknya dilakukan penetapan harga (administered price) secara bertahap dan terukur dengan mempertimbangkan dampak yang terjadi pada inflasi dan harga di kelompok komoditas lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Brodjonegoro, Bambang P.S., Telissa Falianty, dan Beta Y. Gitaharie (2005). Determinant Factors of Regional Inflation in Decentralized Indonesia.
64
Journal of Economics and Finance in Indonesia, Vol. 53 (1), pp. 1-31. Carlino, Gerald dan Robert Defina (1998). The Differential Regional Effects of Monetary Policy. The Review of Economics and Statistics, Vol. 80, No.4, November 1998. Pp.572-587. Clements, Kenneth W. dan H.Y. Izan (1997). The Measurement of Inflation: A Stochastic Approach. Journal of Business and Economic Statistics, Vol. 5, No. 3, 1987, pp. 339-350. Damodar, N. Gujarati and Dawn C Porter (2009). Basic Econometrics, Fifth Edition. New York: McGrawHill Irwin. Enders, Walter, 2004, Applied Econometric Time Series. 2nd Edition, New York: John Wiley and Sons, Inc Gujarati, Damodar (2004). Basic Econometrics, FourthEdition. New York: The McGraw-Hill Companies. Iswardono (1997). Kebijakan Moneter di Indonesia (Indonesian Monetary Policy). Journal of Economics, FE UII, No. 2, Vol. 3, 1997. Bank Indonesia (2008). Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Selatan Triwulan IV 2008. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sulawesi Selatan Bank Indonesia (2011). Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Selatan Triwulan IV 2011. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sulawesi Selatan Bank Indonesia (2015). Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Selatan Triwulan III 2015. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sulawesi Selatan Madjardi, Fadjar (2002). Administered Price dan Pola Penetapan Harga BBM. Catatan Riset, Direktorat Kebijakan Moneter, Bank Indonesia, Juli 2002. Manurung, Mandala dan Prathama Rahardja. (2004). Uang, Perbankan, dan Ekonomi Moneter. Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Mustikasari, Riska, Neli Agustina (2012). Keterkaitan Harga Antar Kelompok Komoditas Pembentuk Inflasi Perdesaan di Indonesia 2006- 2012. Jurnal Aplikasi Statistika & Komputasi Statistik Tahun 4, Volume 1, Juni 2012. Unit Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (UPPM-STIS). Nopirin (1994). Pengantar Ilmu Ekonomi Makro dan Mikro (Edisi Pertama). Yogyakarta: BPFE. Ramadhan, Gaffari (2009). Analisis Keterkaitan Harga Antar Kelompok Komoditas Pembentuk Inflasi di Sumatera Barat. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia Working Paper, Volume 11, Nomor 3, Januari 2009. Sahara dan D.S. Priyarsono. 2006. Modul MK Ekonomi Regional. Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB. Samuelson, PA, dan Nordhaus WD (2004). Ilmu Makroekonomi. Edisi Tujuh Belas, Diterjemahkan oleh Gretta, Theresa Tanoto, Bosco Carvallo, dan Anna Elly. PT. Media Global Edukasi, Jakarta. Stock, James H. dan Mark W. Watson, (2005). Implications of Dynamic Factor Models for VAR
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
INFLASI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN : ANALISIS HUBUNGAN DINAMIS INFLASI KOMODITAS BARANG/JASA Azwar
Analysis, Working Paper 11467. National Bureau of Economic Research, Juni 2005. Wimanda, Rizki E (2006). Regional Inflation in Indonesia: Characteristic, Convergence, and Determinants. Bank Indonesia Working Paper, No.13, Oktober 2006.
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
65
Halaman ini sengaja dikosongkan This page intentionally left blank
66
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016, Halaman 67-88 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
MACROECONOMIC LINKAGE OF CONSUMER CONFIDENCE IN INDONESIA Jagat Prirayani
University of Illinois at Urbana Champaign; email:
[email protected] INFO ARTIKEL
ABSTRAK
SEJARAH ARTIKEL Diterima Pertama 11 Maret 2016
This study investigated macroeconomic linkage of consumer confidence in Indonesia, whether consumer confidence index in Indonesia can be explained by macroeconomic indicators in the past and owns predictive power of future state of Indonesian economy. The study used macroeconomic variables including Consumer Confidence Index (CCI), Inflation, GDP growth, Currency rate, Policy rate and Stock Price in monthly period during January 2001 – December 2015. The model was constructed by Vector Autoregression (VAR) approach. The result shows that without holding other variables constant, CCI is co-integrated with inflation and stock price. Accordingly, it was found that CCI causes inflation, policy rate and stock price. However, when all variables interact together in one single equation, only causality from CCI at lag two against policy rate remain exists. The model result shows that consumer confidence index is unable to be explained by macroeconomic variables in the past but has predictive power toward future change of policy rate. However, although the index owns predictive power, but its magnitude of contribution to policy rate dynamics is only modest.
Dinyatakan Dapat Dimuat 30 Mei 2016 KATA KUNCI: consumer confidence policy rate macroeconomics
Studi ini meneliti mengenai hubungan makroekonomi kepercayaan konsumen di Indonesia, yaitu untuk mengetahui apakah kepercayaan konsumen dapat dijelaskan oleh variabel makroekonomi di masa lalu serta memiliki kemampuan prediksi terhadap kondisi ekonomi Indonesia di masa depan. Studi ini dilakukan dengan menggunakan variabel makroekonomi meliputi Indeks kepercayaan konsumen (CCI), inflasi, pertumbuhan GDP, nilai tukar, BI rate, dan harga saham gabungan dengan periode bulanan selama Januari 2001 – Desember 2015. Data diolah dengan menggunakan metode Vector Autoregression (VAR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanpa menganggap variabel lain konstan, CCI terkointegrasi dengan inflasi dan harga saham. Hasil juga menunjukkan adanya hubungan kausalitas CCI terhadap inflasi, BI rate dan harga saham. Namun saat seluruh variabel berinteraksi bersama-sama, hanya hubungan kausalitas CCI pada lag 2 terhadap BI rate yang tetap bertahan. Model menunjukkan bahwa kepercayaan konsumen di Indonesia tidak mampu dijelaskan oleh variabel makroekonomi di masa lalu namun memiliki kemampuan prediksi terhadap perubahan BI rate di masa depan. Akan tetapi besarnya kontribusi indeks kepercayaan konsumen terhadap dinamika dari BI rate tidak begitu besar.
1. INTRODUCTION It is no doubt that global economy is getting challenging nowadays, especially for a developing country like Indonesia. Amid slowdown and rebalancing economy of China, IMF predicts global economy outlook 2016 to increase only 0.2%, from 3.2% in 2015 to 3.4% in 2016 while economic risks are shifting to emerging market countries as the consequence of the recovery in advanced economic countries (IMF, 2016). One of the signs is when the United States shifts up its policy rate from zero lower bound as its exit policy from global financial crisis 2008. This situation is a bad news for emerging market countries, as foreign investors may be more interested to draw their money and invest to advanced countries’ financial assets than to emerging market countries. In addition, China’s economy slowdown also contributes significantly to the contraction of global growth. The slowdown has forced this world’s second largest Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
economy to change its currency regime from fix pegged against US dollar to float regime that determined by global financial markets. This volatility of China’s currency is most likely affecting other emerging market countries holding business with China. Many ways are conducted by emerging market countries, including Indonesia, to retain its confidence in the global economy. Expanding bank credit, lowering policy rate, tax reform and foreign exchange intervention are some examples of the efforts. However, above of all, none of policy will be effective if households lost their confidence, especially for Indonesia, where consumption contributes the biggest part of its GDP. Simple example is what happens in Greece, no investors were attracted to step in no matter its bond interest rate was increased since their confidence has been devastated. On the other hand, expanding bank credit to push growth through
67
MACROECONOMIC LINKAGE OF CONSUMER CONFIDENCE IN INDONESIA Jagat Prirayani
consumptions and services is also vulnerable in the sense that it accumulates non-performing loan risk in the future. Therefore, growth will keep sustainably growing only if economic agents still own strong confidence toward future economy of their country. Consumer confidence is a crucial indicator to represent market confidence, particularly from the perspective of household. In Indonesia, Consumer Confidence Index (CCI) measures consumer confidence. The index is based on a survey of around 4600 middle class households in major cities that constitute 78% of GDP. Widely studies have focused on the use of CCI either as explanatory variable of the economy in the past or as predictive variable to estimate future economy condition. Most studies assert that CCI has predictive ability toward future consumer expenditures (Grenier at al, 1999; ECB, 2012). Achieving positive confidence amid this global economic slowdown is crucial for Indonesia. Thus, it is also crucial for Indonesia to understand its consumer behavior such that policy formulation can be more efficacious to stimulate output growth. This research is interested to investigate the role of consumer confidence in Indonesia in the framework of macroeconomic perspective. This study is curious to comprehend the behavior of consumer confidence in Indonesia. That is, to investigate if consumer confidence in Indonesia can be explained by macroeconomic variables in the past and owns predictive power toward future state of economic condition. The result of this research will be very useful for market agents, analysts and policy makers in generating economic decision and formulating economic policies.
2. THEORETICAL FRAMEWORK 2.1. Consumer Confidence Theory Consumer sentiment, or widely known as consumer confidence, is one of macroeconomic variables that tracked by policymakers. This variable explains consumer psychological perspective about past, current and future economic condition. Consumer confidence is defined as the degree of optimism of the state of the economy that consumers are expressing through their activities of saving and spending (McWhinney, 2016, p.1-2). Federal Reserve (2012) explains that consumer confidence is important because this variable reflects economic condition particularly reflects consumers’ behavior in spending their income. Confidence is a psychological concept that describes agents’ perception toward current and future economic situation about a particular country. Since this is a judgment variable from consumers, it is hard to measure confidence indicators and very vulnerable to bias. However, confidence indicator has become an important variable to estimate future economic condition nowadays. Studies show that consumer confidence has a stronger predictive power and align 68
more closely with consumer expenditures when the economy is weak. Besides for policymakers, consumer confidence also receives full attention from business agents and companies. Firms traded goods generally exhibit more concern that trends in economic variables and changes in government policies may affect them. There are two primary perspectives regarding the model of confidence. The first is called as information model, which explains that confidence indicator contains useful information about future state of economy. The second one is called animal spirit view, which explains that confidence indicator has the ability to change the direct of business cycle. On another view, some other even suggest that confidence indicator has no role in macroeconomics. Fuhrer (1993) proposed some theories about sentiment behavior based on various shocks occur in the economy. He explained consumer sentiment as a fundamental driving force in the economy. That is, when consumers are confident, the economy is boom, but when consumers are not confident, the economy is getting weaker. Sentiment is critical for economic recovery. That is, the economy will not be successfully recovered until there is a permanent positive confidence improved in the society. Furthermore, Fuhrer (1993, p.34-35) reveals five important behaviors of consumer sentiment. First, sentiment independently causes economic fluctuations. Second, sentiment accurately forecasts economic fluctuations. Third, sentiment captures consumers’ forecast of economic fluctuations. Fourth, sentiment reflects current, response-specific economic conditions. Lastly, sentiment reflects only current, widely known economic conditions. The degree accuracy of sentiment is primarily statistical rather than economic significant. However, sentiment is not the only economic variable solely determines economic condition. Other variables such as commodity prices, interest rate, stock prices, also influence the economy and its data are produced continually. The role of confidence in macroeconomics has been subject to debate either in academics or policymakers. The statement that confidence influences business cycle invites critical question about the mechanism of translating the sentiment into economic action. One way of confidence can influence business cycle is when actions of economic agents are influenced by rumors, or the way of other people do. One clear example how confidence dictates the outcome of the economy is a bank runs, when a rumor that one bank is insolvent, one agent will think to withdraw their money before other people do the same thing which eventually causes all people to do the same think and drives the bank to be actually insolvent. If this situation occurs to many banks, then general loss of confidence in the financial sector occurs. Such a crisis of confidence can break up the banking system, degrade economic growth as a whole Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
MACROECONOMIC LINKAGE OF CONSUMER CONFIDENCE IN INDONESIA Jagat Prirayani
and fluctuate business cycles. Thus, the economy settles in a bad equilibrium. Wickens (2012) explains that the economy may experience multiple equilibriums to back to its saddle path. Economists use to call this as multiple equilibriums model, where the economy can settle in different resting points. The level of confidence can be one good variable to determine which one of these points the economy settles in. 2.2. Consumer Confidence Index Consumer confidence is measured by Consumer Confidence Index (CCI). The CCI was first calculated in 1985. In that year, benchmark of confidence was set to 100. The CCI is adjusted monthly and prepared by conference board based on the survey toward consumers’ expectation and perception about past, current and future economic condition. The conference board defines the CCI based on monthly report representing consumer attitudes and buying behavior, with data classification by age, income and region. If the economic expectation is healthy, consumers are willing to increase their spending. On the other hand, if the expectation does not seem promising, consumers are going to save more than consume. Based on the structure of the survey and its questions, the current condition is accounted for 40% of the Index, while the expectation is accounted for 60% of the index. The CCI is crucial variable to monitor by policymakers, government and business sector. The CCI represents changes of consumers’ willingness to pay and hence aggregate demand of consumers. The consensus states that change of less than 5% is considered inconsequential, while the change more than 5% represents considerable changes. McWhinney (2016, p.1) explains that decreasing trends of CCI suggests negative outlook of consumers toward future economy and hence their pessimism to gain secure occupancy. Amid this situation, various economic decisions may follow such as manufacturers can delay their investment decision until the economy is recovering, banks needs to be more cautious or even decrease in lending their money, central bank can lower policy rate to stimulate growth and government can impose expansionary fiscal policy to prevent further contraction. On the other hand, if the opposite holds i.e. if the CCI increases, opposite economic decisions may occur. One important property of the CCI is that the CCI is a lagging indicator, meaning that this indicator only responds after the overall economy has already changed. In other words, the variable is actually incapable of informing what is going to happen but what has happened and what can be expected to continue. This property also implies that consumers require lag time to absorb and comprehend changes in the economy and to construct expectation about future prospect of the economy. Thus, an increase in spending today may reflect impact of the economy few months ago and a decrease in spending today may
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
confirm an ongoing recession. However, the CCI is very important since it may contain the information about shocks whose its effects cannot be directly estimated from past experiences of data. Another property of the CCI is timeliness that is this indicator has no rigid time boundary. The CCI includes past, present and future economics expectation of consumers since it is based on forward-looking questions. Thus, the CCI may contain valuable information that other economic variables cannot provide. The CCI is one of the most accurate economic indicators. In Indonesia, the CCI measures consumer’s expectation about current income and job availability 6 months ago, appropriate time to buy durable goods, general economic conditions and job availability expectation in the next 6 months. The index is based on a survey of around 4600 middle class households in major cities that constitutes 78% of GDP. Data is collected through phone interviews and direct visit. The two main components of the index are current economic index and consumer expectation index. The CCI is computed as a net balanced obtained from the difference between percentages on ‘increase’ answer and ‘decrease’ answer. An index above 100 indicates an improving outlook and below 100 indicates deteriorating outlook. (Trading economics, 2016). 2.3. Consumer Confidence and Consumption Behavior As mentioned above, the CCI is considered as an important variable since it is believed to have predictive power toward future consumption spending behavior. The question whether confidence indicator has predictive power toward future consumption expenditure has been studied through many literatures. Although the results are mixed, most authors found significant statistical relationship between consumer confidence and some current and future economic variables. The results show that consumer confidence has strong relationship with some economic variables that can affect consumption such as income. Various studies investigate the role of confidence indicator in terms of its relationship with consumption expenditure. The modern theories of consumption suggest that the statement explaining that consumer confidence explains future consumption only holds in the state of frictionless capital market. With frictions in capital market, an increase in confidence corresponds to higher expectation of future income but not necessarily higher consumption today as borrowing constraint hampers consumer to consume more today. In case of actual future income does actually occur, then confidence indicator has a predictive power toward future increase in consumption. Moreover, the other theory of confidence called animal spirit explains that information received by consumers can change their current consumption decisions. Having information that their future income will raise, consumers will adjust to increase their
69
MACROECONOMIC LINKAGE OF CONSUMER CONFIDENCE IN INDONESIA Jagat Prirayani
current consumption behavior. That is, if positive confidence regarding future economic situation holds then consumers will increase their current consumption expenditures. European Central Bank (2013, p.51-52) estimates that in Euro area, consumer confidence shows co-movement with households’ consumption expenditures. A simple regression shows positive relationship between changes in consumption and lagged changes in consumer confidence in Euro area, without holding other factors constant. However, the relationship becomes less significant when some additional control variables such as income, unemployment, stock prices and interest rate were added into the model. Furthermore, ECB also assessed empirically the link between consumer sentiment and consumption expenditures for the United States and the Euro Area. The results show that the CCI is a good predictor of consumption in situation when it has large volatility such as recession or crisis. During this situation, predictive power of the CCI increases. The result also shows international transmission of shock as U.S. CCI affects the CCI in Euro area. Abb and Taylor (1999) study about indicators linked to GDP and business cycle by using underutilized data set on consumer and business confidence indicator in the United Kingdom, France, Italy and the Netherlands. The result shows that in general consumer and business indicators are leading indicators of business cycle. There are also some evidences about causality between the indicators and GDP. The study also concludes that confidence indicators have good predictive power toward business cycle. Lahiri, Monokroussos and Zhao (2012) study the role of survey of consumer sentiment to forecast real consumption expenditure. The study models consumption and consumer confidence by using quarterly and monthly data in real time. The study also conducts forecasting of consumer expenditure with and without consumer confidence. The result shows that consumer confidence improves the accuracy of consumption forecast. Garret, Hernandez-Murillo and Owyang (2004) studies the power of consumer confidence indicator to predict retail expenditure at state level. The result shows that there is a significant relationship between consumer confidence and sales growth, but the predictive power is very modest. The result concludes that consumer confidence has limited power to forecast at state level, but has better predictive power in predicting retail sales growth. Beery and Davey (2013, p.282) study that consumer confidence shows co-movement with annual real consumption expenditure over the past 30 years in the United Kingdom. Also, consumer confidence shows predictive power to forecast future
70
consumption in the UK. The study found that income, wealth and interest rate are major determinants of comovement between consumer confidence and consumption expenditure. There is also unexplained component that represents the potential incremental information for consumption in the consumer confidence indicator. The result also shows that consumer confidence only has modest ability to explain past consumption series, but unable to be harnessed as a predictive indicator since it can be misleading. 2.4. Consumer confidence and Business Cycle The idea that macroeconomic activity might be driven in part by changes in sentiment and expectation is not new in economics. Mendicino and Punzi (2013) study the role of sentiment indicator toward business cycle in the Portuguese economy. Using Vector Autoregression, the study involves some variables in addition to the data of survey including inflation, nominal interest rate, industrial production and unemployment rate. The result shows that unexpected increase in consumer confidence increases industrial production and increase inflation. Beside its role in predicting future consumption, various studies also stress on the importance of confidence indicator toward business cycles. Beveridgein European Central Bank (2013, p.47) explains that any change in expectation can change agents’ economic behavior to production and consumption such that affecting business cycle in the end. Furthermore, another study from Clark in European Central Bank (2013, p.47) explains that any factor that influences consumer demand can also create changes in business cycle. Pigouin European Central Bank (2013, p.47) explained that optimism and pessimism influence economic agents to create errors in forming their future expectation about future profit and hence generate business cycles. The relationship between confidence and economic activity is not direct depending on current economic situation faced. Amid normal economic activity, confidence indicators may have less predictive power as it can reflect agents’ misperception toward future economic state. However, confidence indicators may have strong predictive power during crisis or recession state as its fluctuation reflects significant changes of agents’ behavior. Beside its relationship with consumption related variables, some authors also emphasize that confidence indicators have stronger predictive power in special economic situation such as recession, crisis or recoveries. During such periods, confidence indicators usually experience high volatility. For example, large swings in consumer confidence could be very useful in explaining consumption behavior during economic recession. Beaudry and Portier (2013) study the economic impact of news toward productivity growth. The result
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
MACROECONOMIC LINKAGE OF CONSUMER CONFIDENCE IN INDONESIA Jagat Prirayani
shows that positive sentiment affect substantial impact toward future productivity growth. Positive sentiment of higher productivity stimulates current consumptions, investment, stock market prices and real GDP. Moreover, it is also found that news influence business cycle fluctuation accounting for more than 40% of changes in consumption, investment and work hours. Another study by Beaudry and Portier (2006) shows that business cycle in the data are primarily driven by changes of expectation about future technological growth. Jaimovich and rebelo (2006) study the business cycle implications of expectation shocks, optimism and overconfidence. The result of study shows that both optimistic agents and overconfidence create biased from optimal outcome. The result also shows that optimism is not a useful source of volatility in the model. Both expectations shocks and overconfidence are in support of business cycle. European Central Bank (2013, p.53) explains that the relationship between confidence and uncertainty has often led persistent weakness in economic activity. Household tends to increase precautionary savings and reduce their consumption expenditure when facing high uncertainty. Low confidence can induce economic recessions and changes in sentiment can drive large part of economic development. Moreover, high uncertainty and low confidence have some impact on business cycle fluctuation. Low confidence can pull down output growth due to higher uncertainty causing firms to suspend their investment. Finally, it is also concluded that higher uncertainty affects government policy to be less effective in the short run. 2.5. Variables affecting consumer confidence Leduc (2010) study the impact of unemployment rate expectations, inflation and three-month treasury bill rate toward current economic fluctuations. The result shows that unemployment rate expectation affects significantly to current economic fluctuations. Moreover, Barsky and Sims (2011) study determinants affecting future economic conditions including GDP, real consumption and survey data. The result shows that confidence indicator affect significantly toward future economic activity. Fuhrer (1993) asserts that market specific information on future economy is one of primary data harnessed by financial markets. Hence, updated information about economic situation is represented by the movement in short and long term interest rates and other financial asset yields. Therefore, financial data has strong relevancy with consumer sentiment. European Central Bank (2013, p.50) study factors influencing confidence in Euro area. The result shows that most volatility of confidence is driven by change in unemployment expectation during 19902008. The correlation between unemployment rate and confidence index is highly positive. Other variables
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
are savings and financial situation only contribute less to the index. The study also finds rather high positive correlation between confidence index and stock market price. However, compared to unemployment rate, the correlation between confidence index and stock price is less important. However, during financial crisis, the correlation between confidence index and stock market is higher, reflecting that stock market becomes a leading indicator during financial distress. Toussaint-Comeau and DiFranco (2009, p.2) indicates that consumer ability to pay strongly predicts consumer expenditure. The measures of income in the study include some macroeconomic indicators such as unemployment rate, changes in stock market and inflation. The results show that an increase in unemployment rate or recession period is likely to generate an increase of uncertainty. Stock market index may affect consumer confidence in two ways. That is, an increase in stock market price may increase wealth and rise up consumer confidence. Raising stock market also function as an indicator of higher labor income expectation. Moreover, the results shows that an increase in inflation lower the confidence index Sergeant, Lugay and Dookie (2011) examines the causal link between consumer confidence and GDP in Jamaica and Trinidad and Tobago by using Vector Autoregression methodology. The model includes interest rate and exchange rate as control variables. The result shows that consumer confidence index is useful in economic forecasting, policymaking and business planning in Jamaica, Trinidad and Tobago. Hence, the study concludes that consumer confidence index affect macroeconomic variables. Jansen and Nahuis (2002) study the short run relationship between stock market development and consumer sentiment in eleven European countries. The result shows that stock returns and changes in consumer sentiment are positively correlated in nine countries, except for Germany. Moreover, the result also shows that stock returns reveals causalities toward consumer confidence at very short period from two weeks to one months, but not vice versa. The result also shows that change in consumer sentiment significantly affects stock market price. The study suggests that sentiment is not part of conventional wealth effect, but a separate transmission channel. Christiano, Motto and Rostagno (2006) study the relationship between consumer confidence and inflation. The result shows that central banks that focus heavily on inflation may end up stoking confidence-driven booms. The result confirms that inflation tends to fall if nominal wages adjust slowly. In other words, the study shows that inflation is a significant determinant of consumer sentiment. Oloweofeso and Doguwa (2013) study the relationship between consumer confidence and selected macroeconomic variables in Nigeria. Macroeconomic variables involved in the model include consumer confidence index, short-term 71
MACROECONOMIC LINKAGE OF CONSUMER CONFIDENCE IN INDONESIA Jagat Prirayani
interest rate, and monetary policy rate. The result shows that consumer sentiment is useful to forecast some macroeconomic variables that are useful for monetary policy formulation.
c.
Inflation rate In Indonesia, the consumer price index is based on a survey conducted in 66 cities. The indicator consists of 774 commodities classified into seven major groups: Housing, water, electricity, gas and fuel account for 25.5% of total weight; food stuff accounts for 19.5% percent and transportation, communication and financial services account for 19%; prepared food, beverage, cigarette and tobacco account for 16.5%; education, recreation and sports account for 8%; clothing accounts for 7% and medical care accounts for 4.5%. The source of data is Indonesian national statistic agency (Biro Pusat Statistik).
d.
Policy rate Policy rate is interest rate set by the central bank of Indonesia called Bank of Indonesia rate (BI rate) since the implementation of Inflation Targeting Framework (ITF) monetary policy regime in July 2005. The interest rate is used as an anchor in overnight money market among banks in Indonesia as well as indirectly influence as government bonds rate and rate of central bank’s certificate. BI rate is announced by Board of Governor in Central Bank of Indonesia every month through board of governor’s meetings and implemented in monetary operation through liquidity management. BI rate is remained until newer update is officially released through board of governor’s meeting. Considering ITF has been implemented since July 2005, thus the number of observation is automatically reduced from 180 (Jan 2001 – Des 2015) to 126 (July 2005 – December 2015) observations when policy rate is included in the model. Data of BI rate is monthly and taken from the Central Bank of Indonesia.
e.
Currency Rate Exchange rate used in this study is the currency rate between Indonesian Rupiah and US dollar. The value of IDR/USD of particular month is calculated by averaging of end day closing currency rate of whole days in a month. The data of exchange rate is gathered from the Central Bank of Indonesia.
f.
Stock Price Variable stock price in this study represents adjusted closed price of Jakarta stock exchange market (JKSE). The data is gathered from Yahoo finance. In this study every term of stock price refers market capitalization i.e. the product between stock price and its volume.
Lachowska (2011) study whether consumer sentiment is useful in stimulating economic behavior. The result shows that expenditures respond significantly toward consumer sentiment. The shocks results in displacement of spending that last for about 30 days, which is consistent with consumers acting on precautionary saving motive. The result also shows that spending reacts strongly and positively to a shock of stock market prices.
3. RESEARCH METHODOLOGY 3.1. Data The data in this study are monthly secondary data from period January 2001– December 2015 (15 years). Thus, total observation used in the study is 180 observations. The variables include Consumer Confidence Index (CCI), GDP growth, Inflation, Currency rate, Policy rate and Stock price. a.
b.
72
Consumer Confidence Index (CCI) CCI measures consumer’s expectation about current income and job availability against those 6 months ago, appropriate time to buy durable goods, and general economic conditions and job availability expectation in the next 6 months. This indicator is measured by the Central Bank of Indonesia. The index is based on a survey of around 4600 middle class households in major cities that constitute 78% of GDP. Data is collected through phone interviews and direct visits. The two main components of the index are the current economic condition index and the consumer expectation index. The CCI is computed as a net balanced obtained from the difference between percentages on ‘increase’ answer and percentage on ‘decrease’ answer. An index above 100 indicates an improving outlook and below 100 a deteriorating outlook. The data available for this variable is monthly data. Source of data is from the Central Bank of Indonesia. GDP growth Output growth is defined as GDP growth (yoy,%) that measures the quarterly change of GDP based on expenditures including private and public consumption, gross domestic investment, fixed investment, export of goods and non-factor service receipts, import of goods and non-factor service payments. The data are basically in the form of quarter data. In consumer confidence model, the data is transformed from quarter into monthly by taking same values for three months in a row constituting a quarter. This adjustment is conducted by the assumption that consumer confidence index at time t corresponds to the last officially released GDP growth. The data was taken from Asian Development Bank.
3.2. Methodology We are interested to develop the model of consumer confidence in the framework of macroeconomic variables. The model that is used in the study includes Vector autoregression model (VAR) and Vector Error Correction Model (VECM). 3.2.1 Vector Autoregression
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
MACROECONOMIC LINKAGE OF CONSUMER CONFIDENCE IN INDONESIA Jagat Prirayani
In an N-variable vector autoregression of order p, of VAR(p), we estimate N equations. In each equation, we regress the relevant hand-side variable on p lags of itself and p lags of every other variables. Trends, seasonal and other exogenous variables may also be included, as long as they’re all included in every equation. The key point is that, in contrast to the univariate case, VAR allows for cross-variable dynamics. Each variable is related not only to its own past but also to the past of all other variables in the system (Diebold, 2003). In case of two variables and one lag, we derive equations as follows:
degrees of freedom more harshly. It is used to select among competing forecasting models (Diebold, 2006, p.28). The formula is:
The Schwartz Information Criterion (SIC) is an alternative to the SIC with the same interpretation but a still harsher degrees-of-freedom penalty (Diebold, 2006, p.28). The formula is:
As SIC penalizes the model more harshly, we use the lowest SIC value as the criteria to select the best fitted model. 3.2.4 Classical statistical assumption Cov(ε1,ε2)=σ12 Each variable depends on one lag of the other variable in addition to one lag of itself. That is one obvious source of multivariate interaction captured by the VAR that maybe useful for forecasting. In addition, the disturbances may be correlated, so that when one equation is shocked, the other will typically be shocked as well (Diebold, 2006, p. 283). VAR is also used when the variables in the study hare not sure being placed as dependent or independent variable. In that case, we should make all variables as endogenous variables. 3.2.2 Vector Error Correction Model VECM is a restricted VAR and this model is used when cointegration among variables are found or there is long run equilibrium between the variables. The cointegration can be tested by Johansen cointegration test. The general VECM with deterministic trend is:
Where the value of that is:
and ⍺ depends on the scenario,
≠ 0 deterministic trend in Yt ⍺≠ 0 Quadratic trends in Yt The intuition of this expression is that a change in Yt can come from the time trend, of the error correction part of the expression. The last part of the expression with a summation from i=1 to p-1 of lagged values of the differenced dependent variables is used to eliminate serial correlation (Thomsen et al, 2013). 3.2.3 Model Criteria Two the most famous models criteria in selecting the best fitted model are used, namely Akaike Information Criterion and Schwartz Information Criterion. Akaike Information Criterion (AIC) is effectively an estimate of the out-of-sample forecast error variance, like standard error, but it penalizes Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
We use three classical assumptions to investigate the optimality of the model that must be satisfied including normality, autocorrelation and heteroskedasticity. Autocorrelation is the condition where residuals in the model are serially correlated. We investigate serial correlation by using BreuschGodfrey LM test, Ljung Box Q statistics and residuals plot. Moreover, Heteroskedasticity is the condition where the model suffers from non-constant variance on its residuals. We investigate heterokedasticity by Bresuch-Pagan-Godfrey Heteroskedasticity test. Finally, we investigate residuals normality by Jarque Berra test.
4. RESULTS AND ANALYSIS 4.1. Current situation Economic situation in Indonesia dynamically fluctuates, tumbled in some periods and reached peak points in some others as shown in figure 12 in the appendix. During 2005 and 2006, oil shocks and early negative sentiment of global financial crisis pulled down output growth. Furthermore, period of 20072009 is the darkest period in global financial system, when subprime financial crisis in the US hit some countries including Indonesia. Indonesia’s output growth as well as Jakarta’s stock market in this period declined significantly. Indonesia experienced recovery from financial crisis as output growth rebounded in 2009. Moreover, Indonesia experienced strong growth and experienced positive sentiment during 2010 – 2011, also considered as one of safe havens among other countries experiencing growth contraction and considered as one of biggest economy as it’s included in G20. Indonesian economy was considerably solid during that period although its output declined significantly during 2012 – 2013. During this period, Indonesia’s rating was categorized as safe investment grade. During the crisis and its recovery in the period 2009 – 2013, Indonesia‘s monetary policy reduced policy rate (BI rate) to stimulate growth. However, period 2014-2015 challenges Indonesian economy 73
MACROECONOMIC LINKAGE OF CONSUMER CONFIDENCE IN INDONESIA Jagat Prirayani
quite a bit. Global economic slowdown, particularly driven by China’s economic rebalancing, and economic recovery in some industrial countries including the United States, challenged Indonesia with capital outflow, deep currency depreciation, tumbled stock price and hence declined output growth. Although world’s crude oil price experienced decreasing rate, but the cut-off of oil subsidy in Indonesia prevented oil price to decrease. 4.2 Co-Movement Analysis We firstly analyze the behavior of consumer confidence index with each macroeconomic variable. That is, how the relationship between consumer confidence index and one single macroeconomic indicator, without holding other variables constant.
lag two also exhibits more fitted inverted comovement between these two variables. Figure 2 shows this co-movement. That is, when CCI and CCI at lag two increases, policy rate tends to decrease and vice versa. The degree of co-movement between CCI and policy rate is also considerably high. The correlation between the two achieves 70.29%. Moreover, the correlation between CCI at lag two and policy rate reveals higher value by 83%. However, although the correlation is high, but Johansen cointegration test up to lag 2 doesn’t reveal any cointegration in any test scenario. Hence, no long run equilibrium is formed between these two variables. 130 120 110 100 90
4.2.1. CCI and Inflation
14
80
20
12
70
16
10
12
8
8
6
4
4
130 120
05
06
07
09
10
11
POLICY_RATE
100
12
CCI
13
14
15
CCI(-2)
Figure 2Comovement between CCI and Policy Rate Table 2 Granger Causality lag 2 test:CCI and Policy Rate
90 80 70 05
06
07
08
09 CCI
10
11
12
13
14
15
INFLATION
Figure 1Comovement between CCI and Inflation
The relationship between CCI and Inflation, without adding other variables, exhibits inverted comovement. As shown in figure 1, CCI tends to increase when inflation decreases and vice versa. Although the co-movement seems doesn’t hold during 2015, the correlation between these two variables is relatively high by 68,11%. Moreover, we also conduct cointegration test by Johansen test to investigate whether or not the cointegration between these two variables exists. The result shows that up to lag 2, there exists 1 cointegration between CCI and inflation. That is, there exists long run equilibrium between these two variables. Table 1 Granger Causality lag 2 test: CCI and Inflation
Null Hypothesis
p-values
CCI doesn’t Granger cause Inflation Inflation doesn’t Granger cause CCI
0.240 0.648
However, Granger causalities test between these two variables up to lag 2 results in no causality effect from CCI to Inflation and vice versa, at 5% significance level. This implies that when households only rely on inflation in constructing their confidence, there will exist co-movement between the two variables. Given these two variables are cointegrated, any shock occurs in one of these variable will shift back the co-movement back to its equilibrium. 4.2.2. CCI and Policy rate The relationship between CCI and policy rate also exhibit inverted co-movement. In addition, CCI at
74
08
0
110
Null Hypothesis
p-values
CCI doesn’t Granger cause Policy rate Policy rate doesn’t Granger cause CCI
0.085 0.265
Granger causality between CCI and policy rate up to lag 2 exhibits one directional causality at 10% significance level. That is, with p value 0.085, null hypothesis that CCI doesn’t Granger cause Policy rate is rejected at 10% significance level, but not vice versa. This causality relationship indicates that given the policy rate alone, CCI is able to influence the policy rate. 4.2.3. CCI and GDP growth 8 7 6 5
130 120
4
110 100 90 80 70 05
06
07
08
09 CCI
10
11
12
13
14
15
GDP_GROWTH
Figure 3 Comovement between CCI and GDP growth
The relationship between CCI and GDP growth also exhibits inverted co-movement. Figure 3 shows that GDP growth tends to increase when CCI decreases and vice versa, but the dynamics doesn’t hold in some periods such as in period 2005. The correlation between these two variables is relatively low, only 20%.
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
MACROECONOMIC LINKAGE OF CONSUMER CONFIDENCE IN INDONESIA Jagat Prirayani
Table 3 Granger Causality lag 2 test: CCI and GDP
Null Hypothesis
p-values
CCI doesn’t Granger cause GDP growth GDP growth doesn’t Granger cause CCI
0.719 0.120
Also, Granger causality test exhibits no causality between these two variables at 5% significance level. Moreover, Johansen cointegration test exhibits no cointegration exists between these two variables. Based on these tests, given only GDP growth as solely information, households’ confidence index neither causes nor caused by the information of GDP growth. 4.2.4. CCI and Currency The relationship between CCI and currency also exhibits inverted co-movement. In addition, the comovement between CCI at lag two and inflation also exhibits more fitted inverted co-movement. That is, currency tends to increase when CCI or CCI at lag two decreases and vice versa. 16,000 14,000 12,000 10,000
130 120
8,000 110 100 90 80 70 05
06
07
08
09
CCI
10
11
CCI(-2)
12
13
14
15
CURRENCY
Figure 4Comovement between CCI and Currency
The correlation between CCI and currency is relatively low, only 30%. On the contrary, the correlation between CCI at lag two or two months ago and currency is much higher by 83.43%. However, although the correlation of the latter is considerably high, Johansen test reveals no cointegration between the two variables. Thus, no long run equilibrium exists between CCI and currency rate. Furthermore, there is also no Granger causality between these two variables at 5% significance level. Table 4 Granger Causality lag 2 test: CCI and Currency
Null Hypothesis
p-values
CCI doesn’t Granger cause Currency Currency doesn’t Granger cause CCI
0.506 0.365
4.2.5. CCI and Stock Price 6,000 5,000 4,000 130
3,000
120
2,000
110
1,000
100
0
90 80 70 05
06
07
08
09 CCI
10
11
12
13
14
15
STOCK_PRICE
Figure 5 Comovement between CCI and Stock price
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
The relationship between CCI and stock price exhibits positive co-movement. As shown in figure 5, CCI tends to increase when stock price increases and vice versa. The correlation between these two variables is relatively high by 76.7%. Also, Johansen cointegration test reveals 1 cointegration exists between the two variables, meaning that there is long run equilibrium between CCI and stock price. Furthermore, Granger causality test reveals bidirectional causality between these two variables. That is, null hypothesis that CCI doesn’t Granger cause Stock price is rejected at 5% significance level, while null hypothesis that stock price doesn’t Granger cause CCI is also rejected at 10% significance level. Table 5 Granger Causality lag 2 test: CCI and Stock Price
Null Hypothesis
p-values
CCI doesn’t Granger cause Stock Price Stock Price doesn’t Granger cause CCI
0.023 0.057
The economic insight of these causalities is that households are rational in harnessing stock price trends to construct their confidence. On the other hand, stock market participants also incorporate households’ confidence in constructing their market decision. In conclusion, without adding other variables, CCI exhibits co-movement with each single macroeconomic variable in various levels of correlation. Specifically, cointegration is established between CCI and inflation, and CCI and stock price. Meaning that any economic shock will bring these two relationships back to its equilibriums depending on speed of adjustment. Moreover, Granger causality test also shows that CCI reveals causal effect on inflation and policy rate. Also, CCI granger causes inflation and vice versa. The summary of each relationship is given in table 6. Table 6 Relationship of Consumer Confidence Relationship Corr. Coint. Causality CCI and Inflation 68.11% Yes No CCI and Policy rate 83% No 1 direction CCI and GDP growth 20% No No CCI and Currency 83.43% No No CCI and Stock Price 76.7% Yes 2 directions
4.3. Trend and Intercept fits Table 7 Trend and Intercept Regression Variable p-values Intercept Trends Trends2 Adj.R2 CCI 0.000 0.000 0.000 65.1% Inflation 0.000 0.000 0.000 45.7% Policy rate 0.000 0.000 0.000 78.4% GDP 0.000 0.013 0.000 22.9% growth Currency 0.000 0.000 0.000 69.5% Stock Price 0.000 0.000 0.855 89.7%
We conduct regression by using intercept and trend to each variable to have the most fitted dynamics. We test intercept and linear trend by ordinary least squared method. The result shows that intercept and trends are significant at 5% significance 75
MACROECONOMIC LINKAGE OF CONSUMER CONFIDENCE IN INDONESIA Jagat Prirayani
level in all variables. Intercepts and trends together are able to explain quite high variance of each variable, except for GDP growth with relatively low adjusted R2 by 22.9%. Thus, the scenarios chosen to test data stationary are primarily considering intercept and trend, except for currency and oil price that have low goodness of fit. 4.4. Data Stationary We conduct Augmented Dickey Fuller (ADF) test to investigate stationary (and hence, unit root) in each variable. Investigating unit root is important to check stationary of the dynamics. ADF test is conducted to all variables with scenarios following table 7 by following hypotheses: Ho : Variable has unit root H1: Variable has no unit root The result of ADF test indicates that all variables, except consumer confidence index, have pvalue that larger than 0.05 on data level, which means that we fail to reject null hypothesis and conclude that dynamics of those variables contain unit root or not stationer at 5% significance level. Table 8 Augmented Dickey Fuller Test Results Variable Intercept Unit Unit Trend root root level diff Level 1st Diff CCI 0.000 0.000 No No Inflation 0.109 0.000 Yes No Policy rate 0.256 0.003 Yes No GDP growth 0.368 0.000 Yes No Currency 0.936 0.000 Yes No Stock Price 0.718 0.000 Yes No
On the other side, p-values of all variables in first differenced form are lower than 0.05, which means that we have sufficient evidence to reject null hypothesis that variable has unit root and conclude that variables do not contain unit root or have been stationer at 5% significance level. To avoid unit root in the model, we construct the model in the form of first differenced. For the sake of convenience, we use notation d(variable name) to reflect the first differenced of the variable.
lag length criteria generated through unrestricted VAR, the result shows lag 2 is preferred as most criteria suggest to use this lag. 4.6. Cointegration Given not all variables are stationary in data level but all are stationer in first differenced, we are interested to investigate cointegration among variables. Cointegration test is conducted by Johansen cointegration test. The test sticks on the scenario of involving intercept and trend in the dynamics. The result shows differently between based on trace and on maximum Eigen value. Table 10 Johansen Cointegration Test Result Lag Number of Cointegration Trace Max. Eigen 2 1 0
Given the calculation from trace and maximum Eigen value derives different result, it is inconclusive to say that neither there is a cointegration among the variables nor none. Thus, we conduct both VAR in differenced and VECM approach to build the model. 4.7. Consumer Confidence in VAR 4.7.1. The Model The VAR model is developed by using lag 2. Various combination of VAR results in using policy rate as dependent variable as the best model. DV CCI Currency Inflation
Table 11 VAR summary models SIC A* B* 5.89 No Yes 14.76 No Yes 3.47 No Yes -0.65 Yes Yes
C* Yes No Yes Yes
Policy rate GDP growth 0.99 No Yes Yes Stock price 13.4 No Yes Yes DV : Dependent Variable *A :residuals are normally distributed, B : Residuals are serially not correlated, C : Residuals are homoscedastic.
4.5. Lag Length Criteria Lag 0 1 2 3 4 5 6 7 8
LR NA 1714 65* 47.3 46.7 41.9 24.3 50.1 42.2
Table 9 Lag Length Criteria FPE AIC SC 1.52E+14 55141688 5449293* 62924999 71673329 84544211 1.22E+08 1.24E+08 1.39E+08
49.7 34.9 34.8* 35.0 35.1 35.2 35.5 35.5 35.5
49.8 35.8* 36.7 37.6 38.6 39.6 40.7 41.5 42.4
HQ 49.7 35.2* 35.6 36.1 36.5 37.0 37.6 37.9 38.3
Table 12 Chosen Model Regression Summary Lag LR R-squared Adjusted R-squared F-statistic Prob(F-statistic) Akaike info criterion Schwarz criterion Durbin-Watson stat
0.692 0.659 20.664 0.000 -0.951 -0.654 2.174
Considering that variable of consumer confidence index has no unit root on data level, and all variables are stationer at first differenced, Vector Autoregression is eligible to be implemented. Based on 76
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
MACROECONOMIC LINKAGE OF CONSUMER CONFIDENCE IN INDONESIA Jagat Prirayani
where: Param. C a1 a2 a3 a4 a5 a6 a7 a8 a9 a10 a11 a12
Table 13 Parameter Statistical Values Coeff. -0.020 -0.004 -0.010 0.000 0.000 -0.001 0.029 0.037 -0.011 0.561 0.089 0.000 0.000
Std. Error 0.013 0.004 0.004 0.000 0.000 0.043 0.042 0.013 0.013 0.079 0.076 0.000 0.000
t-Stat -1.469 -1.136 -2.531 0.374 0.424 -0.014 0.701 2.913 -0.869 7.090 1.169 1.561 1.286
Prob. 0.144 0.258 0.013 0.709 0.672 0.989 0.485 0.004 0.387 0.000 0.245 0.121 0.201
The result shows that only a2, a7 and a9 that are significant at 5% significance level. These parameters correspond to d (CCI(-2)) or change in consumer confidence index 2 months ago, d(Inflation(-1)) or change in inflation one month ago and d(Policy rate(1)) or change in policy rate one month ago, respectively. This result shows that there is negative relationship between consumer confidences two months ago with change in policy rate this month. That is, holding other variables constant, 1 point increase in the confidence index corresponds to 1% decrease of policy rate (or 1 basis point).
4.7.3. Impulse Response Function Impulse response function is generated to comprehend the response of change in policy rate due to positive shock in consumer confidence index by one standard deviation. Figure 2 shows the function. The function reveals that positive shock by one standard deviation in the confidence index decreases the policy rate up to three months ahead. This adjustment can be interpreted from economic perspective as positive shock of consumer confidence by 1 standard deviation influence the central bank to reduce its policy rate for three months ahead. After three months, the policy rate rebounds and start to increase. This rebound can be interpreted economically as the period of economic heating. That is, it is the period when the Central Bank considers the economy runs very fast above its potential. As shown in figure 6, shock in the confidence index remains up to month 12. That is, it is required 12 months until shock in the confidence does not further affect policy rate. Beyond month 12 and afterwards, policy rate is stabilized and the impact of shock is no longer exist. Response of D_POLICY_RATE to Cholesky One S.D. D_CCI Innovation .02 .00 -.02 -.04 -.06
Moreover, there also exists positive relationship between changes in inflation last month with change in policy rate this month. That is, 1% increase in inflation last month corresponds to 3.7 basis point increase of policy rate. This result is nice to know since we are interested in the behavior of CCI. Finally, change in policy rate one month ago turns out positively corresponds to change in policy rate this month. That is, 1 basis point increase in policy rate one month ago positively corresponds to 56 basis point increase in policy rate this month. However, although this value is significant, the central bank is practically rare in making its policy rate too dynamics. Hence, we decide not paying attention to the relationship between policy rate and its lagged values. 4.7.2. Granger Causality The test of VAR Granger causality shows that there is causality relationship among the variables. That is, change in consumer confidence index has causality impact to change in policy rate at 5% significance level, but not vice versa. Moreover, change in inflation and change in policy rate exhibit bidirectional causalities at 5% significance level. Table 14 VAR Granger Causalities Test Result Null Hypothesis d(CCI) doesn’t cause d(Policy rate) d(Policy rate) doesn’t cause d(CCI) d(Policy rate) doesn’t cause d(Inflation) d(Inflation) doesn’t cause d(Policy rate) Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
p-values 0.023 0.135 0.000 0.006
-.08 -.10 -.12 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Figure 6 Impulse Response Function change of Policy rate due to Change in CCI
4.7.4. Variance Decomposition Variance decomposition is given to reveal the magnitudes of response due to positive shock in the consumer confidence. Table 15 Variance Decomposition Month 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
d(CCI) 1.046 6.365 14.369 15.348 15.778 16.138 16.275 16.317 16.331 16.336
d(Inflation) 9.325 17.887 15.652 14.712 14.310 14.134 14.073 14.049 14.041 14.038
d(Policy rate) 87.721 72.787 65.603 64.467 63.947 63.569 63.426 63.382 63.366 63.361
The result of decomposition shows that consumer confidence only contributes small part of variance in change of policy rate compared to other two significant variables, change in inflation and change in policy rate itself. However, although it contributes the smallest among the three, but the CCI has greater contribution to the dynamics of policy rate
77
MACROECONOMIC LINKAGE OF CONSUMER CONFIDENCE IN INDONESIA Jagat Prirayani
rather than other independent variables such as GDP growth, currency and stock price.
H1 : Residuals are not white noise
In the first month, consumer confidence only contributes 1.045% of policy rate dynamics due to one positive shock in the residual by one standard deviation. The contribution then increases to 6.364%, 14.369% and 15.348% in the second, third and fourth month, respectively. Finally, the contribution of the index converges to 16.3% afterwards, surpasses the impact of change in inflation. The decomposition table shows that the dynamics of policy rate is mostly contributed by itself. For example, in the first month change in policy rate contributes 87.721% to its own but then gradually decreases and converge to 63% afterwards. 4.7.5. Normality Jarque-berra test is implemented to investigate the residuals distribution in the model, We test the hypothesis as follows: H0 : Residuals are normally distributed H1 : Residuals are not normally distributed
Figure 8 Residual Correlogram
20
16
12
8
4
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
1.35e-18 -0.000506 0.459926 -0.335617 0.135823 0.248852 3.730600
Jarque-Bera Probability
4.005112 0.134990
0 -0.3
-0.2
-0.1
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
Figure 7 Histogram and Normality Test of Residuals
The result shows that residuals in the model have been normally distributed with 0.24 and 3.73 on its skewness and kurtosis, respectively. The JB test has value of 4.005 with p-value 0.130 such that we fail to reject null hypothesis and conclude that residuals in the model are normally distributed at 5% significance level. Histogram of the residuals is given below. 4.7.6. Serial Correlation Breusch-Godfrey serial correlation LM test is implemented to investigate whether residuals in the model are serially correlated. We test the hypotheses as follows: H0 : Residuals are not serially correlated
The result shows that all p-values of Q-stat in the correlogram up to lag 36 are higher than 0.05 meaning that we conclude that residuals in the model have been white noise at 5% significance level. Hence, we conclude that there is no serial correlation in the residuals. The plot of correlogram is given in the appendix. The plot between residual and itself at lag 1 also depict no typical pattern. .5 .4 .3 .2 RESIDUAL
Series: Residuals Sample 2005M10 2015M12 Observations 123
.1 .0 -.1 -.2 -.3 -.4 -.4
-.3
-.2
-.1
.0
.1
.2
.3
.4
.5
RESIDUAL(-1)
Figure 9 Scatter Plot Residuals with its own lag
H1 : Residuals are serially correlated
4.7.7. Heteroskedasticity
The result shows that both p-value based on F statistic and Chi-quared values 0.163 and 0.131, respectively. Thus, we fail to reject null hypothesis and conclude that residuals in the model are not serially correlated at 5% significance level.
Breusch-Pagan-Godfrey heteroskedasticity test is implemented to check error variance in the model, That is, to check whether residuals in the model have constant variance, we use the hypotheses as follows:
Moreover, the investigation of serial correlation is also conducted through p-values of Q-stat on its residuals autocorrelation and partial autocorrelation function. We test the hypotheses as follows:
H1: Residuals are heteroskedastic
H0 : Residuals are white noise 78
H0 : Residuals are homoskedastic The result shows that p-values based on F statistic and Chi-Square value by 0.091 and 0.097, respectively. That is, we fail to reject null hypothesis
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
MACROECONOMIC LINKAGE OF CONSUMER CONFIDENCE IN INDONESIA Jagat Prirayani
and conclude that residuals in the model have been homoskedastic at 5% significance level. Residuals’ homoskedasticity are also reflected from the unforecastability of its residuals graph as depicted in the appendix. RESIDUAL .5 .4 .3 .2 .1
on variables affecting consumer sentiment, i.e. do not have similar reference model, hence validity is required to ensure the model has derived preferred result. Validity is defined as how useful the model in estimating real values of variable. We refer to Sinaga and Hendranata (2003, p.8) that using Theil’s U statistic to see mode validity with criteria that the lower Theil’s U inequality reflects that model is better than guessing.
.0 -.1 -.2 -.3 -.4 05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
Figure 10 Residual Plot
4.7.8. Recursive Estimate Recursive estimate is conducted to investigate the stability of the model. That is, whether the stability of the model is guaranteed in case of shocks exist. We derived recursive residuals and cumulative sum test (CUSUM) to comprehend the stability as given in figure 3. .6
Theil Inequality Coeff Theilcoeff Bias proportion Variance proportion Covariance proportion
.4
.2
.0
-.2
-.4
-.6 2006 2007
2008
2009
2010
2011
Recursive Residuals
2012
2013
2014
2015
± 2 S.E.
40 30 20
p-values 0.384 0.000 0.253 0.746
As shown above, Theil’U statistic from the model is relatively far from 1 and closer to zero. This implies that the model offers stronger method in predicting dependent variable than guessing. In other words, the model has been valid as a prediction instrument. 4.8. Consumer Confidence in VECM
10 0 -10 -20 -30 -40 2006 2007
Figure 12 Model Evaluation Table 16 Theil's U Statistics
2008
2009
2010
2011
CUSUM
2012
2013
2014
2015
5% Significance
Figure 11 Recursive Residual and CUSUM test
The outcome shows that most recursive residuals are withink2 standard deviations, except shocks occur in some particular months. However, these shocks in fact do not affect the stability of the model as CUSUM test shows that the model is stable in all sample period at 5% significance level. Thus, the model derived has been satisfactorily shows stability. 4.7.9. Validity of the Model Validity of the model is a crucial part to guarantee the credibility of mathematical model developed. Considering that this model is constructed primarily based on various literature studies focusing
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
Using optimal lag derived from VAR and 1 cointegration derived by Trace, VECM approach fails to construct the optimum models. That is, all models derived by VECM suffer from serial correlation as its pvalue in LM test is less than 0.05 such that we reject null hypothesis and accept the alternative hypothesis that residuals are serially correlated. The detail of best lowest SIC model with VECM estimation is given in the appendix. Hence, it is not conclusive to derive more analysis from VECM and we claim that there are no cointegration exists among the variables.
5. ANALYSIS 5.1. General Analysis The study derives interesting results. As we have seen, without putting all variables altogether in one equation, consumer confidence exhibits comovement with some macroeconomic variables. That is, CCI reveals co-movement with inflation and stock price. However, different result occurs when all variables are put together in the same model. When 79
MACROECONOMIC LINKAGE OF CONSUMER CONFIDENCE IN INDONESIA Jagat Prirayani
households are constrained by all macroeconomic variables at the same time, the result shows that no cointegration exists, meaning that no long run equilibrium occurs once all variables interact together. Furthermore, once all variables interact in one equation, the interaction only derives an optimal model when policy rate acts as dependent variable as it’s given by the lowest SIC value. The interesting result is that VAR Granger causality test only retain one direction causal effect from CCI to Policy rate that remain exists, while the causality between CCI toward inflation and stock price are disappeared. This condition implies how monetary policy regime has been successfully working to incorporate household future expectation about future state of economy. That is, the causality from CCI to policy rate remain exists because policy rate has been sufficient enough to take over the expectation toward future inflation and stock price. As shown, model estimation derives negative significant relationship between change of CCI two months ago and change of policy rate at 5% significance level. This analysis part focuses on the relationship between these two variables. The result is consistent with co-movement analysis showing how these two variables are negatively moving together. Figure 11 depicts the co-movement between policy rate and CCI at lag 2. The figure clearly shows how inverted co-movement between these two variables exists. That is, when CCI two months ago increases, policy rate tends to decrease and vice versa. The relationship between these two variables is also considerably high by 72.42%. 130 120 110 100 90 14
80
12
70
10 8
way to do this is by selling bonds or Indonesian central bank certificate. Also, in supporting the economy with sufficient money supply, the Central Bank must inject more money in the economy by reducing policy rate. Thus, lower policy rate will higher yield for existing bonds and hence increase money supply in the society. Since it requires lag for the money market operation to shape the policy rate in the market, then the impact of policy rate is statistically formed in the following two months. The ability of consumer confidence in the past to affect policy rate in the future is in accordance with Inflation Targeting Framework, monetary policy regime that the Central Bank applies in Indonesia. It is very important to note that the ITF uses inflation as nominal anchor to direct public‘s expectation toward future economy. Recall that co-movement analysis shows that, without holding other variables constant, CCI and inflation are co-integrated in the long run. Moreover, the model shows positive significant relationship between change of inflation at lag 1 and change of policy rate. These findings indicate how the central bank is able to formulate policy rate by incorporating information of inflation and consumer confidence in the past. Although policy rate incorporates past consumer confidence, but the opposite relationship doesn’t hold. VAR shows that consumer confidence is unable to be explained by past macroeconomic variables. This index has stronger role to predict future change in policy rate rather than explaining past economic condition. This result may be conflictive with the property of CCI that supposed to be constructed by both past economic perception and future economic expectation. One insight triggering the result would be about quality of the survey, the ability of consumers to recall past economic situation or the quality of answer the respondents gave. Moreover, although own predictive power, but the contribution of CCI toward the dynamics of future policy rate is only small, it only accounts for 16% variance of future policy rate.
6
5.2. Policy Recommendation
4 05
06
07
08
09
10
POLICY_RATE
11 CCI
12
13
14
15
CCI(-2)
Figure 13 Policy rate CCI at lag two
Recall that the result of Granger causality shows that CCI Granger causes policy rate at 10% significance level. This causality means that Policy rate has incorporated the information about consumer confidence in previous months. That is, when consumer confidence two months ago decreases, policy rate tends to increase. The economic insight behind this behavior is that when consumer confidence increases, household’s money demand increases as well. This is due to high economic activity that must be supported by high money supply. In doing so, bank must guarantee to provide sufficient liquidity to support the demand. One
80
The result of this study shows how macroeconomic variables are unable to explain consumer confidence when consumers analyze variables together. On the other hand, when single variable is assessed individually, the result shows how co-movement exists between consumer confidence and each macroeconomic variable. This result implies some policy implication. The inability of macroeconomic variables together in explaining consumer confidence implies how not all macroeconomic variables are efficacious in affecting consumer confidence. In other words, consumers only harness some macroeconomic variables in constructing their sentiment toward future state of economy. Given the model shows significant relationship between policy rate and consumer confidence, and how inflation alone granger Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
MACROECONOMIC LINKAGE OF CONSUMER CONFIDENCE IN INDONESIA Jagat Prirayani
causes future consumer confidence, hence the credibility of Indonesian Central Bank in implementing Inflation Targeting Framework is very crucial. Therefore, it is recommended for the policy rate to be more accurately in incorporating past consumer sentiments, for instance incorporating more past lags of sentiment instead of only two months. Other efforts can be conducted to treat policy rate more credibly. For example, given policy rate in Indonesia today (BI rate) roles as an anchor for interbank lending rate, the possibility to use policy rate as government bonds rate like the Fed implements could be furthered research such that consumers are more certain that rely on single interest rate will have greater impacts to their economic decisions. Coherence and policy harmonization between government and the central bank is must also guaranteed to derive stable and credible inflation as well as policy rate. This is because when government and the central bank policies are conflictive, this will trigger bias between consumer expectation and the true state of future economy, which finally decrease the credibility of policy rate and hence erode consumer confidence and the economy itself.
6. CONCLUSION Consumer confidence index in Indonesia is unable to be explained by macroeconomic dynamics in the past in terms of GDP growth, inflation, policy rate, currency and stock price. None model can be derived to extract the Index’s macroeconomic determinants either by VAR or VECM model. However, this variable has predictive power toward policy rate in the future. That is, based on VAR model, the change of index at lag two significantly and negatively corresponds to the change in policy rate this month. In other words, the increase of the index by 1 point this month corresponds to the decrease of policy rate by 1 basis point two months later. Moreover, there also exists causality between change in consumer confidence index and change in policy rate. That is, change in consumer confidence index Granger causes the change in policy rate at 5% significance level, but not vice versa. Moreover, there is no cointegration exists among the variables as VECM fails to derive free statistical error models. Positive shock in consumer confidence by 1 standard deviation affects policy rate as policy rate will adjust to decrease during first three months and rebounds to increase since then up to month 12. Beyond a year, the shock in consumer confidence has been disappeared and policy rate is back to its equilibrium. However, although own predictive role toward future change of policy rate, the contribution of this variable is relatively small. The contribution of this index converges to 16.33% of policy rate dynamics after one semester. Most dynamics of policy rate due to shock is caused by itself in the past, which is variance contribution converges to 63% after one semester.
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
The result of study also shows that only causality from consumer confidence to future policy rate that remain exists although all variables are interacting in the same equation. Furthermore, once all variables interact altogether, the cointegration between the confidence index and inflation, and also between the indexes with stock price, are disappeared. In effect, no cointegration exists in the chosen model. In conclusion, the result of this study implies that consumer confidence index in Indonesia only has predictive power toward future policy rate but its ability is also modest. Also, the result has been in support of the monetary policy regime that Indonesia implements, which is Inflation Targeting Framework, in the sense that household have been able to rationally influence future policy rate and the Central Bank is also able to incorporate confidence dynamics within its policy rate.
7. IMPLICATION AND LIMITATION This study has some areas that can be improved particularly due to data availability. Not all variables as many literatures suggest can be accommodated by this study such as unemployment rate or monthly GDP growth. Should monthly data of these variables are available and incorporated in the model, it is expected that better models can be derived. Also, it is more interesting to add the study with the relationship between the index real consumption expenditure and the index. Again, due to limitation of data availability about monthly consumption expenditure, this linkage cannot be generated in this study. This can create opportunity for separate research studying specifically about the role of consumer confidence index toward future consumption expenditure. Moreover, the implication of this model may be opposite with the nature of the variable of consumer confidence index itself. As described in the data section, the index is defined as the perception of household toward last 6 months economic condition and expectation toward future 6 months of economic conditions. As the result of this study reveals, the index only exhibits predictive power without deriving macroeconomic determinants in the past. Hence, it should become a big opportunity for consumer confidence index survey to make sure that the respondents answer the survey accurately and comprehensively such that the usage of this variable is widened in the future and can be harnessed effectively to predict more Indonesian macroeconomic variables in the future.
REFERENCES Abb, Bob CN and Taylor, Karl. 1999. Business Cycles and the Role of Confidence: Evidence from Europe. Cardiff Bysiness School, Cardiff. Barsky, Robert and Sims, Eric. 2011. New Shocks and Business Cycles. University of Michigan.
81
MACROECONOMIC LINKAGE OF CONSUMER CONFIDENCE IN INDONESIA Jagat Prirayani
Beaudry, Paul and Portier, Frank. 2013. Stock Prices, News, and Economic Fluctuations. The American Economic Review, Vol. 96, No. 4 (Sep.2006), pp. 1293 – 1307.
Sinaga, Bonar M. and Hendranata, Anton. 2003. The Impact of Budget Allocation of Development Expenditure on Indonesian Economy: A Policy Simulation Analysis. Bogor Institute of Agriculture.
Beery, Stuart and Davey, Melissa. 2013. How should we think about consumer confidence?. Bank of England Quarterly Bulletin, Autumn 2004.
International Monetary Fund. 2016. 2016 World Economic Outlook. IMF: 2016.
Brand, Türknur Hamsici. 2012. On the Performance of Consumer Confidence Measurement. Survey Research Methods JSM, Turkey.
Jamovich, Nir and Rebelo, Sergio. 2006. Behavioral Theories of the Business Cycle. Standford University.
Candemyr, Baturalp and Baha Karabudak. 1994. The Search for Business and/or Investment Confidence Index in Turkey. Discussion Paper No.9405: Research Department of The Central Bank of The Republic of Turkey.
Jansen, W. Jos and Niek J. Nahuis. 2002. The Stock Market and Consumer Confidence: European Evidence. Monetary and Economic Policy Department: De Nederlandsche Bank.
Christiano, Lawrence, Motto, Roberto and Rostagno, Massimo. 2006. Monetary Policy and Stock Market Boom-Bust Cycles. Northwestern University and National Bureau of Economic Research. Dées, Stephane and Pedro Soares Brinca. 2011. Consumer Confidence as a Predictor of Consumption Spending: Evidence for the United States and The Euro Area. Working Paper series No.1349/June 2011: European Central Bank. Duch, Raymond M and Paul M. Kellstedt. 2009. A Contextual Theory of the Origins of Consumer Confidence. Annual meeting of the Midwest Political Science, Chicago. Diebold, Francis X. 2006. Elements of Forecasting: fourth edition. University of Pensylvania: Thompson Wouth western, Ohio. European Central Bank. 2013. Confidence Indicators and Economic Development. Monthly Bulletin, January 2013, European Central Bank. Fuhrer, Jeffrey C. 1993.What Role Does Consumer Sentiment Play in the U.S. Macroeconomy. New England Economic Review. Garrett, Thomas A, Rubén Hernández-Murillo, and Micahel T. Owyang. 2004. Does Consumer Sentiment Predict Regional Consumption?. Federal Reserve Bank of St. Louis Review, March/April 2004, 87(2. Part 1) pp.123-35. Greiner, Louise, Andrew and Oliver. 1999. Competition and Business Confidence in Manufacturing Enterprises in Tanzania. Centre of Research in Economic Development and International Trade research paper No. 99/2: University of Nottingham, the United Kingdom.
82
Kellstedt, Paul M, Suzanna Linn and Lee Hannah.2013.The Usefulness of Consumer Sentiment: Assessing Construct and Measurement. Texas A&M University. Koppl, Roger. 2014. From Crisis to Confidence: Macroeconomics after the crash. The Institute of Economic Affairs: London. Lachowska, Marta. 2011. What Do Indexes of Consumer Confidence Tell Us?. Employment Research Newsletter Vol. 18 No. 3 Article 1: Upjohn Institute Employment Research. Lahiri, Kajal, Monokroussos, George and Zhao, Yongchen. 2012. Forecasting Consumption in Real Time: The Role of Consumer Confidence Surveys. Department of Economics University of Albany, New York. Leduc, Sylvain. 2010. Confidence and the Business Cycle. FRBSF Economic Letter 2010: The Federal Reserve Bank of San Francisco. McWhinney, James E. 2016. Understanding The Consumer Confidence Index. Available from:
[29 February 2016] Mendicino, Caterina and Maria Teresa Punzi. 2013. Confidence and Economic Activity: The Case of Portugal. Economic Bulletin, Bance of Portugal. Olowofeso, Olorunsola E. and Sani Doguwa. 2013. Consumer Sentiment and Confidence Indices in Nigeria: A Panel Data Analysis. Central Bank of Nigeria. Potter, Simon M. 1999.Fluctuation in Confidence and Asymmetric Business Cycles. Federal Reserve Bank of New York.
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
MACROECONOMIC LINKAGE OF CONSUMER CONFIDENCE IN INDONESIA Jagat Prirayani
Sergeant, Kelvin A, Beverly Lugay and Michele Dookie. 2011. Consumer Confidence and Economic Growth: Case Studies of Jamaica and Trinidad and Tobago. Project Document: Economic Commission for Latin America and the Caribbean (ECLAC). Toussaint-Comeau, Maude and DiFranco, Daniel. 2009. Trends in Consumer Sentiment and Spending. Chicago Fed Letter May 2009 No.262: The Federal Reserve of Chicago. Wickens, Michael. 2012. General Macroeconomic theory: A Dynamic General Equilibrium Approach, second edition. Princeton University Press.
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
83
MACROECONOMIC LINKAGE OF CONSUMER CONFIDENCE IN INDONESIA Jagat Prirayani
APPENDIX CCI
CURRENCY
140
13,000
120 12,000 100 80
11,000
60
10,000
40 9,000 20 0
8,000 2002
2004
2006
2008
2010
2012
2014
2002
2004
2006
GDP
2008
2010
2012
2014
2010
2012
2014
2010
2012
2014
INFLATION
10
20
8
16
6
12
4
8
2
4
0
0 2002
2004
2006
2008
2010
2012
2014
2002
2004
2006
OIL_PRICE
2008
BI_RATE
140
14
120 12 100 80
10
60
8
40 6 20 0
4 2002
2004
2006
2008
2010
2012
2014
2002
2004
2006
2008
Figure 14 Macroeconomic Dynamics
1.5 1.0 0.5 .6
0.0
.4
-0.5
.2
-1.0
.0 -.2 -.4 2005 2006
2007
2008
2009 Residual
2010
2011 Actual
2012
2013
2014
2015
Fitted
Figure 15 Actual, Fitted and Residuals Graph of Chosen Model
84
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
MACROECONOMIC LINKAGE OF CONSUMER CONFIDENCE IN INDONESIA Jagat Prirayani Response to Cholesky One S.D. Innovations ± 2 S.E. Response of D_POLICY_RATE to D_CCI
Response of D_POLICY_RATE to D_CURRENCY
.16
.16
.12
.12
.08
.08
.04
.04
.00
.00
-.04
-.04
-.08
-.08
-.12
-.12 2
4
6
8
10
12
2
14
Response of D_POLICY_RATE to D_GDP_GROWTH
6
8
10
12
14
Res ponse of D_POLICY_RATE to D_INFLATION
.16
.16
.12
.12
.08
.08
.04
.04
.00
.00
-.04
-.04
-.08
-.08
-.12
4
-.12 2
4
6
8
10
12
2
14
Res ponse of D_POLICY_RATE to D_POLICY_RATE
6
8
10
12
14
Response of D_POLICY_RATE to D_STOCK_PRICE
.16
.16
.12
.12
.08
.08
.04
.04
.00
.00
-.04
-.04
-.08
-.08
-.12
4
-.12 2
4
6
8
10
12
2
14
4
6
8
10
12
14
Figure 16 Complete Impulse Response FUnction of Chosen Model
Variance Decomposition Percent D_POLICY _RA TE variance due to D_CCI
Percent D_POLICY _RA TE variance due to D_CURRENCY
100
100
80
80
60
60
40
40
20
20
0
0 2
4
6
8
10
12
14
Perc ent D_POLICY _RA TE variance due to D_GDP_GROWTH
2
6
8
10
12
14
Percent D_POLICY _RA TE variance due to D_INFLA TION
100
100
80
80
60
60
40
40
20
20
0
4
0 2
4
6
8
10
12
14
Perc ent D_POLICY _RA TE varianc e due to D_POLICY _RA TE
2
6
8
10
12
14
Perc ent D_POLICY _RA TE v arianc e due to D_STOCK_PRICE
100
100
80
80
60
60
40
40
20
20
0
4
0 2
4
6
8
10
12
14
2
4
6
8
10
12
14
Figure 17 Complete Variance Decomposition of Chosen Model
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
85
MACROECONOMIC LINKAGE OF CONSUMER CONFIDENCE IN INDONESIA Jagat Prirayani
COMPLETE BEST VAR MODEL Dependent Variable: D_POLICY_RATE Method: Least Squares Date: 03/10/16 Time: 17:01 Sample (adjusted): 2005M10 2015M12 Included observations: 123 after adjustments D_POLICY_RATE = C(53)*D_CCI(-1) + C(54)*D_CCI(-2) + C(55) *D_CURRENCY(-1) + C(56)*D_CURRENCY(-2) + C(57) *D_GDP_GROWTH(-1) + C(58)*D_GDP_GROWTH(-2) + C(59) *D_INFLATION(-1) + C(60)*D_INFLATION(-2) + C(61) *D_POLICY_RATE(-1) + C(62)*D_POLICY_RATE(-2) + C(63) *D_STOCK_PRICE(-1) + C(64)*D_STOCK_PRICE(-2) + C(65)
C(53) C(54) C(55) C(56) C(57) C(58) C(59) C(60) C(61) C(62) C(63) C(64) C(65) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
86
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
-0.004327 -0.009724 1.62E-05 2.05E-05 -0.000598 0.029304 0.037301 -0.011249 0.560571 0.089206 0.000140 0.000108 -0.020256
0.003807 0.003842 4.33E-05 4.82E-05 0.042703 0.041801 0.012806 0.012947 0.079063 0.076290 8.96E-05 8.38E-05 0.013784
-1.136491 -2.530985 0.374452 0.424114 -0.014015 0.701039 2.912775 -0.868851 7.090197 1.169299 1.560803 1.286247 -1.469488
0.2582 0.0128 0.7088 0.6723 0.9888 0.4848 0.0043 0.3868 0.0000 0.2448 0.1214 0.2011 0.1446
0.692712 0.659190 0.143039 2.250631 71.53044 20.66425 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-0.020325 0.245019 -0.951714 -0.654492 -0.830983 2.174358
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
MACROECONOMIC LINKAGE OF CONSUMER CONFIDENCE IN INDONESIA Jagat Prirayani
COMPLETE BEST VECM MODEL Dependent Variable: D(POLICY_RATE) Method: Least Squares Date: 03/10/16 Time: 18:51 Sample (adjusted): 2005M10 2015M12 Included observations: 123 after adjustments D(POLICY_RATE) = C(65)*( CCI(-1) - 33.8354151064*INFLATION(-1) + 42.3163268633*POLICY_RATE(-1) - 0.0585830582867 *STOCK_PRICE(-1) - 0.745716345681 ) + C(66)*( CURRENCY(-1) + 2604.58306363*INFLATION(-1) - 3667.17435313*POLICY_RATE(-1) + 0.712030202442*STOCK_PRICE(-1) - 2719.69347684 ) + C(67)*( GDP_GROWTH(-1) + 5.51978518854*INFLATION(-1) - 6.45802415485 *POLICY_RATE(-1) + 0.00956555270022*STOCK_PRICE(-1) 26.1892860417 ) + C(68)*D(CCI(-1)) + C(69)*D(CCI(-2)) + C(70) *D(CURRENCY(-1)) + C(71)*D(CURRENCY(-2)) + C(72) *D(GDP_GROWTH(-1)) + C(73)*D(GDP_GROWTH(-2)) + C(74) *D(INFLATION(-1)) + C(75)*D(INFLATION(-2)) + C(76) *D(POLICY_RATE(-1)) + C(77)*D(POLICY_RATE(-2)) + C(78) *D(STOCK_PRICE(-1)) + C(79)*D(STOCK_PRICE(-2)) + C(80)
C(65) C(66) C(67) C(68) C(69) C(70) C(71) C(72) C(73) C(74) C(75) C(76) C(77) C(78) C(79) C(80) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
-0.005819 -1.59E-05 -0.028721 -0.000727 -0.006596 1.46E-05 2.63E-05 0.014156 0.039812 0.038500 -0.011346 0.545306 0.082901 0.000123 0.000104 -0.019957
0.003085 7.84E-06 0.016819 0.004199 0.004120 4.44E-05 4.88E-05 0.043050 0.042523 0.013042 0.013203 0.078206 0.078724 9.09E-05 8.58E-05 0.013645
-1.886163 -2.030569 -1.707608 -0.173190 -1.600851 0.328391 0.539252 0.328824 0.936255 2.951981 -0.859325 6.972699 1.053050 1.349909 1.211021 -1.462625
0.0620 0.0448 0.0906 0.8628 0.1124 0.7433 0.5908 0.7429 0.3513 0.0039 0.3921 0.0000 0.2947 0.1799 0.2286 0.1465
0.711485 0.671039 0.140531 2.113139 75.40715 17.59095 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-0.020325 0.245019 -0.965970 -0.600157 -0.817378 2.291633
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared
5.547213 Prob. F(2,105) 11.75435 Prob. Chi-Square(2)
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
0.0051 0.0028
87
Halaman ini sengaja dikosongkan This page intentionally left blank
88
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016, Halaman 89-98 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
PENGARUH EKONOMI MAKRO DALAM PERGERAKAN NILAI TUKAR RUPIAH Pihri Buhaerah
Jakarta Institute for Financial Policy (JIFP), email: [email protected] INFO ARTIKEL
ABSTRAK
SEJARAH ARTIKEL Diterima Pertama 12 Februari 2016
This paper examines empirically the impact of key macroeconomic variables on exchange rate fluctuation in Indonesia for the period 2000Q1-2015Q2 by using error correction model (ECM). To achieve the objective of this study, data was collected from secondary sources and various econometric analysis such as unit root test, Engle and Granger cointegration test, Error Correction Model (ECM) were employed. Engle and Granger conitegration test shows that there is a long run relationship cointegrated between certain key macroeconomic variables and nominal exchange rate. Error correction model shows that share prices index and external debt have significant effect on nominal exchange rate in the short-run. Interestingly, official reserve assets and oil price as well as share prices index have negative relationship with nominal exchange rate. In contrast, external debt and trade deficit affect Rupiah against US Dollar positively. Therefore, Indonesian fiscal, monetary, and financial authorities should be more focused on increasing share prices index and reducing external debt in the short-run rather than focusing on improving trade balances or increasing official reserve assets.
Dinyatakan Dapat Dimuat 30 Mei 2016 KEYWORDS: exchange rate, stationarity, cointegration, error correction model
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nilai tukar harus diakui memainkan pengaruh yang vital dalam percaturan perekonomian global yang kian terbuka seperti saat ini. Nilai tukar penting karena mempengaruhi harga relatif barang-barang domestik dan asing yang pada gilirannya akan mempengaruhi keuntungan dan kesejahteraan konsumen. Dengan kata lain, volatilitas nilai tukar akan berdampak pada volume barang yang diperdagangkan secara internasional karena membuat harga dan keuntungan menjadi tidak menentu. Oleh karenanya, nilai tukar diatur sedemikian rupa di negara industri maju dan negara berkembang supaya goncangan pada nilai tukar tidak sampai mengganggu roda perekonomian domestik baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dampak negatif dari gejolak nilai tukar terhadap perekonomian nasional telah terdokumentasi dengan baik dalam sejumlah penelitian. Misalnya saja, kenaikan volatilitas nilai tukar memberikan dampak negatif terhadap sektor perdagangan (McKenzie (1999), Chou (2000), Cheong (2004), Ozturl (2006), Hayakawa dan Kimura (2008), dan Coric dan Pugh (2006)). Sebagai ilustrasi, Hayakawa dan Kimura (2008) menemukan bahwa volatilitas nilai tukar menyebabkan perdagangan intra Asia Timur menjadi kawasan perdagangan yang mengalami koreksi paling tajam dibanding kawasan lainnya. Temuan menarik lainnya, efek negatif volatilitas nilai tukar di Asia Timur ternyata lebih besar daripada efek negatif karena pengenaan tarif. Tidaklah mengherankan jika pergerakan nilai tukar merupakan salah satu variabel makroekonomi yang paling sering diamati dan Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
dianalisis. Bahkan, beberapa negara melakukan kontrol yang cukup ketat terhadap pergerakan nilai tukarnya karena fluktuasi nilai tukar memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat perdagangan dan investasi. Di sisi yang lain, faktor-faktor penentu yang mempengaruhi nilai tukar dan volatilitasnya tetap masih menjadi perdebatan di kalangan pakar ekonomi makro. Meski demikian, sejumlah peneliti mencoba mengindetifikasi kondisi yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar. Beberapa hasil penelitian yang berusaha menganalisis faktor-faktor yang menentukan nilai tukar antara lain Benita dan Lauterbach (2007), Kularatne dan Havemann (2008), Ho dan Ariff (2011), Ramasany dan Akbar (2015), dan lain-lain. Misalnya saja, Benita dan Lauterbach (2007) meneliti volatilitas harian nilai tukar antara Dolar AS (USD) dan 43 mata uang negara lainnya dalam periode 1990-2001. Dalam penelitian ini, Benita dan Lauterbach (2007) mencoba membandingkan hasil analisis antara data panel dengan data lintas waktu. Hasilnya, Benita dan Lauterbach (2007) menemukan bahwa terdapat korelasi yang positif antara volatilitas nilai tukar, tingkat suku bunga riil, dan intensitas intervensi bank sentral jika unit analisisnya menggunakan data panel. Sebaliknya, jika hanya menggunakan data lintas waktu seperti Israel, maka tingkat suku bunga riil dan intervensi bank sentral justru berkorelasi negatif dengan volatilitas nilai tukar. Senada dengan Benita dan Lauterbach (2007), hasil studi Kularatne dan Havemann (2008) menemukan bahwa variabel ekonomi makro terutama variabel cadangan devisa memainkan pengaruh yang cukup signifikan terhadap nilai tukar. Kularatne dan Havemann (2008) menemukan bahwa kepemilikan 89
PENGARUH EKONOMI MAKRO DALAM PERGERAKAN NILAI TUKAR RUPIAH Pihri Buhaerah
cadangan devisa yang tinggi terbukti mengurangi risiko volatilitas nilai tukar. Bahkan, Kularatne & Havemann (2008) merekomendasikan rasio cadangan devisa terhadap impor yang tepat guna mengurangi risiko nilai tukar yakni minimal mampu mencukupi kebutuhan 4,5 bulan impor. Selain itu, karena tingkat volatilitas kian meningkat seiring peningkatan ketidakpastian dan kebijakan fiskal yang longgar, maka kebijakan ekonomi makro yang penuh kehatianhatian (macroprudential policy) sangat dibutuhkan guna mengurangi risiko gejolak nilai tukar di negaranegara berpenghasilan menengah (Kularatne & Havemann, 2008). Terkait dengan hal itu, hasil penelitian Ho dan Ariff (2011) menemukan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi, cadangan devisa, aliran dana keluar dan keterbukaan perdagangan merupakan faktor-faktor yang menentukan nilai tukar untuk negara-negara G10. Sementara itu, untuk negara-negara berkembang di Kawasan Amerika Latin, Ho dan Ariff (2011) menemukan bahwa faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi nilai tukar antara lain cadangan devisa, neraca perdagangan, utang luar negeri dan aliran modal. Hasil penelitian Ramasamy dan Akbar (2015) juga menemukan bahwa hampir semua varibael ekonomi makro terkecuali variabel pekerjaan (employment) dan defisit anggaran (budget deficit) mempengaruhi nilai tukar secara signifikan di Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Australia. Meski signifikan, kebanyakan variabel ekonomi makro yang digunakan dalam penelitian tersebut menunjukkan hubungan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Alhasil, Ramasamy dan Akbar (2015) menyimpulkan bahwa faktor-faktor psikologis seperti kepercayaan investor lebih dominan atas variabel ekonomi dalam mempengaruhi fluktuasi nilai tukar. Sejalan dengan penelitian di atas, pergerakan nilai tukar negara-negara ASEAN terutama rupiah dan ringgit akhir-akhir ini juga cukup mengkhawatirkan. Betapa tidak, nilai tukar rupiah dan ringgit sampai jatuh ke level 8,8 persen dan 9,8 persen terhadap dollar dimana angka tersebut lebih buruk dibandingkan Baht Thailand yang hanya turun sebesar 6,4 persen dan Peso Filipina sebesar 2,2 persen (Economist, 8th August 2015). Jatuhnya kedua nilai tukar tersebut terhadap dollar ditengarai terkena imbas dari turunnya harga komoditas, perlambatan ekonomi Cina, dan kemungkinan naiknya tingkat suku bunga di Amerika Serikat. Khusus untuk Indonesia, beberapa variabel makroekonomi seperti defisit neraca transaksi berjalan dan utang luar negeri yang kian meningkat juga memainkan peran yang cukup signifikan dalam pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Mengkhawatirkannya lagi, utang luar negeri Indonesia tersebut pada sebagian besar berdenominasi dollar yang mengindikasikan bahwa depresiasi nilai rupiah yang cukup dalam jelas akan meningkatkan biaya pelunasan utang tersebut. Dengan demikian, studi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar
90
merupakan salah satu aspek yang penting untuk dianalisis lebih mendalam terlebih ketika situasi ekonomi kian sulit diprediksi. Selain itu, analisis dampak variabel ekonomi makro terhadap volatilitas nilai tukar juga masih merupakan isu yang menarik untuk ditelaah karena implikasi ekonomi dari fluktuasi nilai tukar yang seringkali meluas dan melintasi batas negara. Menariknya, kendati sudah banyak penelitian yang mengupas pengaruh variabel ekonomi makro terhadap volatilitas nilai tukar, hingga saat ini belum ada konsensus diantara para ahli ekonomi makro terkait variabel ekonomi makro yang terbukti secara meyakinkan mempengaruhi pergerakan nilai tukar (Twarowska & Kakol, 2014). Pada titik inilah maka penelitian pengaruh variabel ekonomi makro terhadap pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menjadi penting untuk perlu dilakukan. Studi ini juga bertujuan mengupas faktor-faktor kunci yang mempengaruhi nilai tukar nominal rupiah di Indonesia dengan menggunakan data kuartalan periode 2000Q1 – 2015Q2. Secara umum, penelitianpenelitian yang diuraikan di atas menggunakan data panel dalam menguji variabel-variabel ekonomi makro yang menentukan nilai tukar nominal. Adapun penelitian ini hanya menggunakan data satu negara (Indonesia) guna menguji konsistensi sejumlah variabel kunci ekonomi makro Indonesia yang mempengaruhi nilai tukar nominal Rupiah. Studi ini juga dimaksudkan untuk menganalisis apakah terdapat kesamaan dengan penelitian sebelumnya yang menyimpulkan adanya peran variabel ekonomi makro yang signifikan mempengaruhi nilai tukar nominal rupiah baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka struktur penulisan penelitian ini akan disusun sebagai berikut. Bagian pertama mengulas secara singkat literatur penelitian tentang hubungan antara variabel-variabel ekonomi makro. Bagian kedua membahas kerangka konseptual faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan nilai tukar nominal. Bagian ketiga menguraikan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian beserta operasionalisasi variabelvariabelnya. Bagian kelima menyajikan hasil analisis keterkaitan dampak variabel ekonomi makro terhadap nilai tukar nominal rupiah. Bagian terakhir menyajikan simpulan dan beberapa implikasi kebijakan dari hasil penelitian ini.
2. KERANGKA KONSEPTUAL Nilai tukar adalah harga relatif ketika melakukan pertukaran atau perdagangan dengan negara lain di pasar valuta asing yang berlaku pada waktu tertentu. Ekonom membagi nilai tukar ke dalam dua kelompok, yaitu nilai tukar nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal (nominal exchange rate) merujuk pada harga relatif dari mata uang dua negara. Sedangkan nilai tukar riil (real exchange rate) adalah harga relatif dari barang dua negara dan nilai tukar rill biasa juga disebut sebagai terms of trade (ToT). Nilai tukar
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
PENGARUH EKONOMI MAKRO DALAM PERGERAKAN NILAI TUKAR RUPIAH Pihri Buhaerah
berfluktuasi karena frekuensi nilainya yang bisa naik dan turun secara tajam. Nilai tukar dikatakan mengalami apresiasi ketika nilai tukarnya naik. Sebaliknya, ketika nilainya turun dinamakan terdepriasi. Pendekatan fundamental dalam penentuan nilai tukar mengelompokkan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar ke dalam lima kategori. Pertama, persaingan internasional. Kedua, keseimbangan ekonomi makro. Ketiga, tarif dan kuota. Keempat, preferensi atas barang dalam negeri atas luar negeri. Kelima, produktivitas. Menurut Kettel (2002), untuk memahami bagaimana nilai tukar ditentukan dimulai dari pemahamanan akan hukum satu harga (the law of one price). Hukum ini menyatakan bahwa jika dua negara memproduksi dua barang yang sejenis, maka harga kedua barang tersebut seharusnya sama dimana pun barang-barang tersebut diproduksi. Sehubungan dengan hal itu, Kettel (2002) menyebutkan persaingan internasional sebagai faktor kunci yang menentukan pergerakan nilai tukar. Faktor ini biasa juga disebut sebagai Purchasing Power Parity (PPP). Analisis dengan PPP merupakan salah aplikasi dari hukum satu harga dan lebih difokuskan pada nilai tukar riil. Dalam kerangka PPP, dalam jangka panjang, kenaikan tingkat harga suatu negara (relatif terhadap tingkat harga negara lain) akan menyebabkan nilai mata uangnya menjadi terdepresiasi. Sebaliknya, jika tingkat harga relatif suatu negara menurun, maka nilai mata uangnya akan mengalami apresiasi. Sayangnya, asumsi yang mendasari PPP tentang barang yang identik (identical goods) kurang masuk akal. Sebagai gambaran, kenaikan harga mobil merk Toyota relatif terhadap Chevys tidak berarti bahwa yen harus terdepriasi sebesar kenaikan harga relatif Toyota atas Chevys (Mishkin & Eakins, 1998). Dengan demikian, hukum satu harga tidak bisa diberlakukan untuk semua barang. Selain itu, teori PPP juga belum memperhitungkan barang-barang yang tidak diperdagangankan lintas negara seperti rumah, tanah, jasa (Mishkin & Eakins, 1998). Karenanya, kendati harga barang dan jasa tersebut naik dan memicu kenaikan harga relatif barang dan jasa tersebut terhadap negara lain, namun pengaruhnya secara langsung terhadap nilai tukar tidak terlalu signifikan (Mishkin & Eakins, 1998). Selanjutnya, faktor keseimbangan ekonomi makro juga disebutkan Kettel (2002) sebagai salah satu faktor penting dalam penentuan nilai tukar. Menurut Kettel (2002), keberlanjutan dalam neraca makroekonomi merupakan pusat analisis dalam pendekatan ini. Keseimbangan dalam makroekonomi dibagi ke dalam dua hal yakni keseimbangan internal (internal balance) dan keseimbangan eksternal (external balance). Keseimbangan internal merujuk pada konsep potensi produktif (potential productive) dan tingkat pengangguran alamiah (natural rate of unemployment). Suatu perekonomian dikatakan mengalami keseimbangan internal jika penurunan tingkat pengangguran tidak menyebabkan kenaikan
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
tingkat inflasi dalam jangka menengah. Adapun keseimbangan eksternal didefinisikan sebagai aliran bersih dari pergerakan modal internasional yang berhubungan dengan tingkat keseimbangan tabungan nasional dan investasi dalam jangka waktu yang lebih panjang (Kettel, 2002). Karenanya, keseimbangan eksternal sangat bergantung pada level utang yang sekarang dan tingkat pengembalian ekonomi domestik relatif terhadap luar negeri (Kettel, 2002). Faktor lainnya adalah pengenaan hambatan perdagangan seperti tarif dan kuota. Tarif dan kuota juga memainkan peranan yang penting dalam penentuan nilai tukar. Jika suatu negara menerapkan hambatan perdagangan dalam bentuk tarif (pajak atas barang-barang yang diimpor) dan kuota (pembatasan jumlah barang-barang yang diimpor) akan menyebabkan nilai mata uangnya mengalami apresiasi dalam jangka panjang karena memacu kenaikan permintaan domestik atas barang-barang substitusi impor. Senada dengan hal itu, kenaikan preferensi atas barang-barang impor atas barang-barang domestik akan menyebabkan nilai mata uang mengalami depresiasi dalam jangka panjang. Terakhir, perbedaan tingkat produktivitas juga memberikan pengaruh dalam penentuan nilai tukar. Menurut Kettel (2002), kenaikan produktifitas suatu negara relatif atas negara yang lain akan menyebabkan nilai tukar mata uang negara tersebut mengalami apresiasi. Kettel (2002) menguraikan bahwa dengan tingkat produktifitas yang lebih tinggi akan menurunkan harga relatif barang-barang dalam negeri atas luar negeri tanpa menggerus tingkat keuntungan perusahaan. Akibatnya, permintaan akan barangbarang dalam negeri cenderung mengalami kenaikan yang pada akhirnya akan menyebakan nilai tukar mata uang dalam negeri atas asing mengalami apresiasi dalam jangka panjang. Tabel 1. Ringkasan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar dalam Jangka Panjang Reaksi Perubahan Faktor Nilai dalam Faktor Tukar Level harga domestik Hambatan perdagangan Permintaan impor Permintaan ekspor Produktivitas Sumber: Miskin & Eakins. Financial Markets and Institutions, Addison Wesley, 1998 Sementara itu, didasarkan pada kerja Bozyk (2008), Janton-Drodzdowska (2009), dan Syczewska 91
PENGARUH EKONOMI MAKRO DALAM PERGERAKAN NILAI TUKAR RUPIAH Pihri Buhaerah
(2007), Twarowska & Kakol (2014) membagi faktorfaktor yang mempengaruhi nilai tukar ke dalam dua kelompok yaitu faktor ekonomi dan nonekonomi. Faktor ekonomi selanjutnya dibagi menjadi dua yakni jangka panjang dan jangka pendek. Faktor ekonomi yang bersifat jangka pendek antara lain tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, perbedaan tingkat suku bunga dalam dan luar negeri, neraca transaksi berjalan, neraca modal, dan spekulasi. Adapun faktor ekonomi yang bersifat jangka panjang meliputi tingkat kemajuan pembangunan ekonomi, tingkat daya saing, pengembangan teknis dan teknologi, besarnya utang luar negeri, defisit anggaran, harga relatif dalam dan luar negeri, dan aliran modal. Sementara untuk faktor nonekonomi antara lain risiko politik, bencana alam, pendekatan kebijakan, dan faktor-faktor psikologis. Tabel 2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volatilisa Nilai Tukar Faktor Ekonomi Jangka a. Tingkat pertumbuhan ekonomi Pendek b. Tingkat inflasi c. Tingkat suku bunga dalam dan luar negeri d. Neranca transaksi berjalan e. Neraca modal f. Spekulasi mata uang Jangka a. Tingkat kemajuan pembangunan Panjang ekonomi b. Tingkat daya saing c. Pengembangan teknis dan teknologi d. Besaran utang luar negeri e. Defisit anggaran f. Harga relatif dalam dan luar negeri g. Aliran modal Faktor Nonekonomi a. Risiko politik b. Bencana alam c. Pendekatan kebijakan d. Faktor-faktor psikologis Sumber: Twarowska & Kakol (2014)
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui pengumpulan data sekunder dengan jenis data lintas waktu. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari International Financial Statistics/IFS - International Monetary Fund, Statistik Ekonomi dan Keuangan- Bank Indonesia, Database OECD, dan Database UKP4. 3.2 Spesifikasi Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai tukar nominal Rupiah terhadap Dolar AS (RPUSD), utang luar negeri/external debt (ED), rasio cadangan devisa terhadap impor/official reserve asset to import (ORAM), tingkat harga minyak dunia (OIL), 92
Indeks harga Saham Gabungan/Share Price Index (SPI), dan Neraca Perdagangan/Trade Balance (TB). Periode penelitian yang dipilih adalah tahun 2000Q1-2015Q2. Pemilihan periode ini didasarkan pada ketersediaan data dan sekaligus untuk melihat pengaruh variabel ekonomi makro terhadap pergerakan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS. 3.3 Metode Analisis Penelitian ini menggunakan metode analisis kuantitatif. Untuk analisis kuantitatif, digunakan alat bantu ekonometrika yaitu Software Stata 12.0. Pendekatan yang digunakan dalam analisis ini adalah pendekatan kointegrasi dan Error Correction Model (ECM). ECM atau biasa dinamakan sebagai model koreksi kesalahan merupakan salah satu bentuk model dinamik dalam analisis runtun waktu yang digunakan untuk melihat mekanisme menyeimbangkan hubungan ekonomi jangka pendek dari variabel-variabel yang terkointegrasi. Secara umum, ECM adalah sebuah model yang digunakan untuk melihat pengaruh jangka panjang dan jangka pendek dari variabel bebas terhadap variabel terikatnya. Dengan kata lain, ECM merupakan mekanisme untuk mengoreksi ketidakseimbangan jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang, yang dikenalkan oleh Sargan namun dipopulerkan oleh Engle dan Granger (Nachrowi & Usman, 2006). Karena bertujuan untuk melihat dampak variabel ekonomi makro terhadap pergerakan nilai tujar, maka penelitian ini lebih cocok menggunakan ECM daripada model regresi runtun waktu lainnya seperti Vector Autorregression (VAR) atau Vector Error-Correction Model (VECM). Variabel ekonomi makro yang dilibatkan dalam model mengacu pada teori atau konsep ekonomi tertentu sebagaimana telah diuraikan bagian sebelumnya, maka model VAR/VEC kurang cocok untuk diadopsi dalam penelitian ini. Dengan mengacu pada teori ekonomi, beberapa variabel ekonomi makro yang dilibatkan dalam penelitian ini telah ditentukan sebelumnya mana yang menjadi variabel endogen dan mana yang menjadi variabel eksogen. Model VAR/VECM juga kurang relevan untuk melakukan analisis kebijakan karena model VAR/VECM lebih cocok untuk penelitian yang ditujukan untuk melakukan peramalan. Disamping itu, penelitian ini tidak difokuskan untuk melihat hubungan yang saling menyebabkan atau hubungan kausalitas diantara variabel ekonomi makro. Oleh karenanya, penggunaan teknik ECM dipandang lebih cocok daripada menggunakan VAR/VECM. 3.4 Model Ekonometrik Model ekonometrik yang digunakan dalam penelitian ini adalah log-log linear. Bentuk fungsi logaritma alamiah (natural logarithm) digunakan untuk menunjukkan adanya parameter yang linier sehingga dari model tersebut tercermin perubahan relatif dari setiap variabel eksogen terhadap perubahan relatif dari variabel endogen atau
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
PENGARUH EKONOMI MAKRO DALAM PERGERAKAN NILAI TUKAR RUPIAH Pihri Buhaerah
mencerminkan nilai elastisitasnya. Karenanya, model ekonometrik OLS yang akan diestimasi dengan menggunakan pendekatan kointegrasi dan ECM adalah sebagai berikut:
Di mana: RPUSD
:
ED ORAM
: :
SPI
:
OIL TB μ
: : :
Nilai tukar nominal Rp/USD Jumlah utang luar negeri Rasio jumlah cadangan devisa terhadap impor Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Harga minyak dunia Neraca perdagangan Error/disturbance term
Model di atas diadaptasi dari model Ho dan Ariff (2011). Namun, untuk menyesuaikan dengan tujuan penelitian dan kondisi perekonomian Indonesia, maka model tersebut dilakukan beberapa perubahan variabel ekonomi makro yang dilibatkan dalam model. Misalnya, aliran modal/investasi, pertumbuhan ekonomi, uang beredar, tingkat suku bunga, tingkat inflasi, dan rezim nilai tukar tidak dimasukkan ke dalam model penelitian ini. Kesemua variabel tersebut tidak dimasukkan ke dalam model dan diganti dengan variabel harga komoditas seperti harga minya dunia karena mempertimbangkan hasil temuan Ho dan Ariff (2011) yang menyimpulkan bahwa faktor-faktor nonparitas lebih signifikan dalam mempengaruhi pergerakan nilai tukar negara-negara berkembang daripada faktor paritas. 3.5 Pengujian Statistik a) Uji Stasioneritas Salah satu permasalahan utama dalam analisis runtun waktu adalah masalah otokorelasi. Bahkan, bisa dikatakan otokorelasi merupakan penyebab utama data menjadi tidak stasioner. Artinya, dengan menjadikan data stasioner maka masalah otokorelasi terselesaikan dengan sendirinya. Selain masalah otokorelasi, data yang tidak stasioner juga menggambarkan adanya masalah heteroskedastisitas. Dengan demikian, data yang tidak stasioner menyebabkan model yang diestimasi menjadi kurang baik karena mengindikasikan adanya masalah otokorelasi dan heteroskedastisitas pada model. Data dikatakan stasioner jika nilai rata-rata dan variannya tidak mengalami perubahan secara sistematis sepanjang waktu (Nachrowi & Usman, 2006). Data yang stasioner adalah data yang menunjukkan mean, variance dan autocovariance (pada variasi lag) tetap sama pada waktu kapan saja data itu dibentuk atau dipakai. Singkat kata, data yang stasioner memiliki atribut utama yakni nilai rata-rata dan varian yang konstan. Dengan demikian, jika data
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
yang digunakan sudah stasioner, maka model runtun waktu bisa dikatakan lebih stabil. Pengujian stasioneritas penting karena jika data lintas waktu yang diteliti bersifat non-stasioner seperti kebanyakan data ekonomi, maka hasil regresi yang berkaitan dengan data time-series ini akan mengandung R2 yang relatif tinggi dan Durbin-Watson stat yang rendah seperti yang dibuktikan oleh Granger dan Newbold (1974, 1977). Dengan perkataan lain, kita menghadapi masalah apa yang disebut spurious regression seperti yang dikemukakan oleh Phillips (1985, 1998). Untuk menguji apakah data sudah stasoner atau belum umumnya menggunakan uji akar unit seperti uji Augmented Dickey-Fuller, Philips Perron, atau Dickey Fuller - Generalized Least Squares (DF-GLS). Selain uji akar unit, uji stasioneritas data dapat juga dilakukan dengan menggunakan pendekatan korelogram dan analisis grafis. b)
Uji Kointegrasi Kointegrasi adalah suatu keadaan dimana kombinasi linier terjadi dari variabel-variabel yang tidak stasioner (random walk). Pola data dari variabelvariabel yang terkointegrasi biasanya memiliki arah pergerakan yang sama atau beriringan yang mengindikasikan bahawa masing-masing variabel tidak stasioner. Jika variabel saling terkointegrasi berarti antara peubah bebas dan peubah terikatnya memiliki hubungan atau keseimbangan jangka panjang. Dengan demikian, jika diantara variabel dalam model berkointegrasi, maka model regresi yang dihasilkan tidak akan menjadi spurious regression (regresi palsu). Karena itu, uji kointegrasi bertujuan untuk melihat hubungan jangka panjang diantara variabelvariabel yang tidak stasioner karena mengandung tren. Artinya, uji ini hanya bisa dijalankan apabila data yang digunakan dalam model estimasi berintegrasi pada derajat atau orde yang sama. Dengan kata lain, apabila satu atau lebih variabel memiliki derajat integrasi yang berbeda, maka variabel tersebut tidak dapat berkointegrasi. Pengujian kointegrasi umumnya dilakukan dengan menggunakan metode uji EngleGranger atau uji Augmented Engle-Granger dan uji Durbin-Watson. Namun, pada penelitian ini hanya akan menggunakan metode uji Engle-Granger. c)
Deteksi Multikolinieritas (Multicollinearity Test) Salah satu asumsi yang penting dalam model regresi majemuk adalah bahwa variabel independen tidak bersifat multicollinear. Dalam konteks ini, satu varibel dependen tidak seharusnya menjadi fungsi linier buat variabel yang lainnya. Dengan kata lain, multikolinieritas adalah suatu kondisi dimana terjadi hubungan linier diantara variabel bebas. Artinya, variabel bebas yang baik adalah variabel bebas yang mempengaruhi variabel terikatnya namun pada saat yang sama tidak memiliki hubungan linier sesama variabel bebas lainnya. Ketika terjadi multikolinieritas, maka nilai standar error cenderung akan menjadi lebih
93
PENGARUH EKONOMI MAKRO DALAM PERGERAKAN NILAI TUKAR RUPIAH Pihri Buhaerah
tinggi dari yang seharusnya. Ada banyak uji formal yang dapat digunakan, tetapi dalam penelitian hanya memakai uji Variance Inflation Factor (VIF). d)
Deteksi Normalitas (Normality Test) Dalam statistik, uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah set data yang digunakan dalam pemodelan ekonomi sudah terdistribusi secara normal atau tidak. Tes ini juga digunakan untuk menghitung seberapa besar kemungkinan sebuah variabel acak mendasari suatu set data terdistribusi secara normal. Kondisi data yang terdistribusi secara normal merupakan suatu keharusan dan merupakan syarat mutlak yang harus terpenuhi. Alasannya, uji normalitas merupakan salah satu persyaratan dalam uji asumsi klasik dan juga indikasi data yang digunakan sudah baik. Uji normalitas model dapat dilakukan dengan memanfaatkan beberapa uji statistik seperti uji skewness dan kurtosis, kernel density, shapiro-walk dan lain-lain. Namun, penelitian ini hanya akan menggunakan uji skewness dan kurtosis dalam mendeteksi masalah normalitas pada model.
Tabel 2. Hasil Uji Dickey Fuller – Generalized Least Squares (DF-GLS) 1st Variabel Level Lag Lag Difference Dengan tren lusrp -2.295* 1 -3.995** 1 led -0.338* 1 -5.047** 1 loram -2.249* 1 -5.944** 2 lspi -2.686* 2 -3.879** 1 loil -1.860* 2 -6.173** 1 tb -3.0364* 2 -5.618** 1 Tanpa tren 1st Variabel Level Lag Lag Difference lusrp 0.668* 2 -2.491** 1 led 1.306* 1 -3.363** 1 loram -1.572* 1 -5.823** 1 lspi -0.233* 1 -2.608** 1 loil -0.652* 2 -6.182** 1 tb
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Uji Stasioneritas Dalam regresi deret waktu (time series regressions) dibutuhkan sifat data yang stasioner (stationary data). Stasioneritas data sangatlah penting karena berkaitan dengan prosedur dalam analisis ekonometrik runtun waktu guna menghasilkan atribut-atribut statistik yang tepat. Data dikatakan stasioner apabila nilai rata-rata (means), varians (variances), dan kovarians (covariances) tidak bergantung pada periode waktu observasi. Sebaliknya, ketika data runtun waktu yang digunakan dalam model ternyata tidak stasioner, maka hasil regresi mungkin saja terlihat signifikan padahal kenyataannya tidak bisa diandalkan atau regresi palsu (spurious regression). Untuk mengecek apakah data runtut waktu yang digunakan sudah stasioner atau tidak maka salah satu tes yang lazim digunakan adalah uji Dickey Fuller – Generalized Least Squares (DF-GLS). Hasil penelitian Elliott, Rothenberg, dan Stock (1996) dan studi-studi terbaru lainnya menunjukkan bahwa tes ini memiliki keunggulan yang lebih besar secara signifikan daripada uji Augmented Dickey-Fuller (ADF). Akibatnya, hasil tes ini bukan tidak biasa menolak hipotesis nol yaitu non-stasioner ketika hasil uji ADF biasanya tidak.
-0.431* 1 -3.044** 1 Catatan: * tidak stasioner pada level signifikansi 5%, ** stasioner pada level signifikansi 5% 4.2 Uji Kointegrasi Variabel dikatakan terkointegrasi jika mempunyai tren stokastik yang sama dan mempunyai arah pergerakan yang sama dalam jangka panjang. Untuk menguji ada tidaknya kointegrasi, penelitian ini melibatkan analisis grafis dan uji Engle dan Granger. Deteksi kointegrasi dengan analisis grafis dilakukan dengan melakukan plot data baik pada level maupun pada pembedaan pertama. Hasilnya, semua variabel terlihat mengikuti pola tertentu (saling beriringan) pada level yang mengindikasikan bahwa kendati tidak stasioner tetapi menhasilkan kombinasi linier yang saling terkointegrasi (mempunyai hubungan jangka panjang).
Tabel 2 menunjukkan bahwa semua variabel tidak ada yang stasioner pada level namun stasioner pada pembedaan pertama (1st Difference). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semua variabel yang digunakan dalam penelitiain ini terintergrasi pada orde 1 (I(1).
94
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
PENGARUH EKONOMI MAKRO DALAM PERGERAKAN NILAI TUKAR RUPIAH Pihri Buhaerah
0
2
4
6
8
10
Grafik 1. Hasil Deteksi Kointegrasi secara Grafis
2000q1
2005q1
2010q1
2015q1
kuartal lrusd loram loil
Guna memastikan ada tidaknya kointegrasi, maka perlu juga memanfaatkan uji formal kointegrasi seperti uji Engle Granger. Proses pengujian kointegrasi dengan menggunakan uji Engle dan Granger melalui dua tahap. Tahap pertama, mengestimasi model regresi OLS. Setelah itu, tahap selanjutnya adalah menguji stasioneritas residual hasil regresi dengan menggunakan uji akar unit ADF. Ujian ini seringkali dinamakan uji Engle Granger-Augmented Dickey Fuller (EG-ADF). Hasil uji kointegrasi dengan menggunakan uji EG-ADF menunjukkan bahwa variabel-variabel yang dilibatkan dalam model saling terkointegasi (lihat tabel 3). Tabel 3. Hasil Uji Kointegrasi EG-ADF Lag Tanpa Dengan Dengan Keterangan Intersep Tren Drift 1 -3,658* -3,619* -3,633* Terkointegrasi 4 -3,309* -3,278* Terkointegrasi 3,246** Keterangan: * terkointgerasi pada nilai kritis 5% ** terkointegrasi pada nilai krisis 10% 4.3 Mekanisme Koreksi Kesalahan (ECM) Adanya kointegrasi mengindikasikan terdapat hubungan jangka panjang diantara variabel. Atau, karena seluruh variabel ternyata tidak ada yang stasioner pada level tetapi semuanya justru stasioner pada differens yang yang sama yaitu differens 1 (pertama). Karenanya, teknik estimasi ECM bisa diterapkan dalam kasus ini untuk melihat sejauh mana atribut jangka pendek dari serial yang berkointegrasi. Adapun hasil estimasinya adalah sebagai berikut.
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
lspi led TB
Source
SS
df
MS
Model Residual
.138211835 .037357958
6 54
.023035306 .000691814
Total
.175569793
60
.002926163
Number of obs F( 6, 54) Prob > F R-squared Adj R-squared Root MSE
= = = = = =
61 33.30 0.0000 0.7872 0.7636 .0263
D.lrusd
Coef.
lspi D1.
-.1522033
.0366291
-4.16
0.000
-.2256402
-.0787664
loram D1.
-.0608042
.043414
-1.40
0.167
-.1478441
.0262356
led D1.
.4698336
.0758578
6.19
0.000
.3177479
.6219192
loil D1.
-.017353
.0344422
-0.50
0.616
-.0864055
.0516994
TB D1.
.3549638
.2234267
1.59
0.118
-.0929798
.8029075
e L1.
-.121811
.0524048
-2.32
0.024
-.2268762
-.0167458
_cons
.0217693
.003631
6.00
0.000
.0144895
.0290491
Std. Err.
t
P>|t|
[95% Conf. Interval]
Model regresi di atas dapat dituliskan sebagai berikut.
Dari hasil regresi di atas terlihat bahwa dalam jangka pendek, variabel indeks harga saham gabungan dan uang luar negeri signifikan mempengaruhi nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS. Adapun variabel rasio cadangan devisa terhadap impor, harga minyak dunia, 95
PENGARUH EKONOMI MAKRO DALAM PERGERAKAN NILAI TUKAR RUPIAH Pihri Buhaerah
dan neraca perdagangan tidak cukup signifikan mempengaruhi nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS dalam jangka pendek. Selain itu, secara statistik koefisien e signifikan dengan nilai koefisien sebesar 12,18 persen. Koefisien e merupakan indikator kecepatan koreksi perubahan variabel nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS menuju keseimbangan pada periode selanjutnya. Dengan demikian, kesalahan keseimbangan dapat dikatakan mempengaruhi pergerakan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS saat ini menyesuaikan pada periode berikutnya menuju keseimbangan jangka panjang. Dari tabel 4 di atas juga terlihat bahwa setiap kenaikan indeks harga saham gabungan sebesar 10 persen akan menurunkan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS sebesar 1, 522 persen. Artinya, kenaikan nilai IHSG akan memperbaiki nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS (apresiasi). Selanjutnya, setiap kenaikan rasio cadangan devisa terhadap impor sebesar 10 persen akan menurunkan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS sebesar 0.608 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya perbaikan dalam variabel ini akan mengapresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS. Kemudian, setiap kenaikan utang luar negeri sebesar 10 persen akan menaikkan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS sebesar 4,698 persen. Adapun setiap kenaikan harga minyak dunia sebesar 10 persen maka akan menaikkan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS sebesar 0,173 persen. Sementara itu, setiap kenaikan defisit neraca perdagangan sebesar 10 persen akan menaikkan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS sebesar 3,550 persen. 4.4 Pengujian Normalitas Diantara sekian banyak uji yang bisa digunakan untuk mengecek apakah model yang diestimasi memenuhi asumsi bahwa error dalam model terdistribusi secara normal adalah uji skewness dan kurtosis. Tes ini berusaha mengukur apakah hipotesis awal (H0) yang menyatakan bahwa error dalam model yang sedang diestimasi terdistribusi secara normal atau tidak. Hasilnya, model yang sedang diestimasi menunjukkan bahwa hipotesis awal dimana error terdistribusi secara normal (H0) tidak dapat ditolak atau H0 diterima. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa model ECM yang diestimasi memiliki nilai error yang terdistribusi secara normal. Skewness/Kurtosis tests for Normality Variable
Obs
Pr(Skewness)
ehat
61
0.6634
4.5
Pr(Kurtosis) adj chi2(2) 0.3822
0.98
joint Prob>chi2 0.6113
Pengujian Multikolinieritas Untuk mendeteksi ada tidaknya masalah multikolinieritas dalam model, penelitian ini akan menggunakan nilai VIF. Menurut Nachrowi (2006), multikoliniertias dianggap menjadi masalah jika nilai VIF > 5. Sedangkan, menurur Torres-Reyna (2007), 96
multikolinieritas menjadi masalah jika VIF > 10 atau 1/VIF < 0,10. Hasilnya, tidak ada variabel yang memiliki nilai VIF > 5 atau 1/VIF < 0,10. Hal ini mengindikasikan bahwa model yang diestimasi lolos dari masalah multikolinieritas (lihat tabel 4). Tabel 4. Uji Multikolinieritas Variabel VIF 1/VIF 2,54 0,394 LOIL 2,05 0,489 LED 1,87 0,535 LORAM 1,70 0,588 LSPI 1,53 0,653 TB Et-1 1,46 0,685
5. KESIMPULAN Tujuan dari studi ini adalah untuk mengkaji pengaruh sejumlah variabel ekonomi makro terhadap nilai tukar nominal Rupiah. Karenanya, data makroekonomi yang digunakan berupa data runtun waktu periode 2000Q1-2015Q2. Hasilnya, dalam jangka panjang, uji kointegrasi Engle Granger dan uji akar-akar unit yang dilakukan membuktikan bahwa kelima indikator ekonomi makro yang dipilih telah terintegrasi dengan baik dan memenuhi syarat stasionaritas. Dalam jangka pendek, bisa disimpulkan bahwa peningkatan nilai IHSG, cadangan devisa, dan harga minyak dunia akan akan mengapresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS dalam jangka pendek. Sedangkan penurunan dalam utang luar negeri dan defisit neraca perdagangan akan mengangkat nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS dalam jangka pendek. Sayangnya, dalam jangka pendek, hanya nilai IHSG dan utang luar negeri yang berdampak positif mengangkat (mengapresiasi) nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS. Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan nilai IHSG dan penurunan tingkat utang luar negeri memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pergerakan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS dalam jangka pendek. Adapun variabel ekonomi makro lainnya seperti harga minyak dunia, cadangan devisa, dan defisit neraca perdagangan tidak signifikan mempengaruhi pergerakan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS.
6. IMPLIKASI KEBIJAKAN Dari keseluruhan uraian di muka, terlihat bahwa ruang kebijakan yang bisa ditempuh dalam jangka pendek untuk menguatkan nilai tukar nominal Rupiah terhadap Dolar AS adalah pengurangan utang luar negeri. Dalam hal ini, pemerintah perlu melihat kembali ke dalam struktur APBN dan mulai membatasi pos-pos yang memicu peningkatan utang luar negeri seperti pembiayaan pembangunan infrastruktur skala besar seperti pelabuhan, bandar udara, dan kereta api, dan lain-lain yang berasal dari luar negeri. Bersamaan dengan itu, penerimaan negara dari pajak harus juga harus digenjot guna meningkatkan kemampuan pembiayaan pembangunan tanpa perlu meningkatkan stok utang luar negeri. Implikasi lainnya, dalam jangka Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
PENGARUH EKONOMI MAKRO DALAM PERGERAKAN NILAI TUKAR RUPIAH Pihri Buhaerah
pendek, porsi utang luar negeri yang berdenominasi valas perlu diturunkan guna mengurangi tekanan terhadap Rupiah di pasar. Terakhir, Otoritas Jasa Keunagan (OJK) juga perlu terus didorong guna meningkatkan peran pasar modal dalam pembiayaan pembangunan nasional disamping terus mengedukasi masyarakat supaya lebih banyak lagi yang berinvestasi di pasar modal.
DAFTAR PUSTAKA Bank Indonesia, (2015). Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI). Diakses pada September 2015, www.bi.go.id/id/statistik/seki/terkini/moneter/Cont ents/Default.aspx Benita, G dan Lauterbach, B., (2007). Policy Factors and Exchange Rate Volatility: Panel Data versus a Country Specific Analysis. International Research Journal of Finance and Economics. Issue 7. Cheong, C., (2004). Does the Risk of Exchange Rate Fluctuations really Affect International Trade Flows between Countries?. Economics Bulletin Vol.6(4), 1-8. Chou, WL., (2000). Exchange Rate Variability and China’s Exports. Journal of Comparative Economics, 2000, 28(1): 61-79. Coric, B., and Pugh, G., (2006). The Effects of Exchange Rate Variablitiy on International Trade: a Meta Regression Analysis. Working Papers: Centre for Research on Emerging Economies No.01-2006. Elliot, G., Rothenberg, TJ., dan Stock, JH., (1996). Efficient Test for an Autoregressive Unit Root. Econometrica, Vol.64, No.4 (July, 1996), 813-836. Hayakawa, K, and Kimura, F., (2008). The Effect of Exchange Rate Volatility on International Trade in East Asia. ERIA Discussion Paper Series No. ERIA-DP-200803. Ho, C., dan Ariff, M., (2011). Re-examination of Exchange Rate Determinants using Non-Parity Factors. Dowload from www.academyfinancial.org/wpcontent/uploads/2013/10/E1-Ho-Ariff.pdf International Monetary Fund, (2015). International Financial Statistics (IFS). Diakses pada September 2015, www.data.imf.org/?sk=5DABAFF2-C5AD-4D27A175-1253419C02D1. Ivanov, V., dan Killian, L., (2005). A Practitioner’s Guide to Lag Order Selection for VAR Impulse Response Analysis. Econometrics, Vol.9, Issue 1. Johansen, S dan Juselius, K., (1990). Maxiumum Likelihood Estimation and Inference on Cointegration with Applications to the Demand for Money. Oxford Bulletin of Economics and Statistics, Vol.52, No.2, 169210. Kettel, B., (2002). Economics for Financial Markets. Butterworth-Heinemann Finance, Jordan Hill, Oxford. Kularatne, C, dan Havemann, R., (2008). Why Exchange Rate more Volatile than Others? Evidences from Transition Economies. Diakses pada November 2015, www.tipz.org.za/files/Kalaratne_Havemann_Volatile_C urrency_24_Oct_2008_pdf.
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
McKenzie, MD., (1999). The Impact of Exchange Rate Volatility on International Trade Flows. Journal of Economic Surveys 13 (1), 71-106. Mishkin, FS., dan Eakins, SG., (2012). Financial Markets and Institutions: Seventh Edition. Prentice Hall. Nachrowi, ND., (2006). Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Organization for Economic Co-operation and Development, (2015). OECD Database Access. Diakses pada September 2015, www.stats.oecd.org Ozturl, I., (2006). Exchange Rate Volatility and Trade: A Literature Survey. International Journal of Applied Econometrics and Quantitative Studies Vol.3(1). Phillips, PCB., (1998). New Tools for Understanding Spurious Regressions. Econometrica, Vol. 66, No.6 (November, 1998), 1299-1325 Phillips, PCB, (1995). Undersatanding Spurious Regressions in Econometrics. Cowless Foundation Discussion Paper No. 757. Ramasamy, R dan Akbar, SK., (2015). Journal of Economics, Business, and Management Vol.3 No.2, February 2015. Torres-Reyna, O., (2007). Linear Regression using STATA. Data & Statistical Services Princeton University. Twarowska, K dan Kakol, M., (2014). Analysis of Factors Affecting Fluctuations in the Exchange Rate of Polish Zloty Against Euro. Internationa Conference on Management, Knowledge and Learning, 25-27 June 2014, Portoroz, Slovenia. Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan Pengendalian Pembangunan (UKP4), (2015). Portal Data Indonesia. Diakses pada September 2015, www.data.go.id/group/ekonomi-dankeuangan.
97
Halaman ini sengaja dikosongkan This page intentionally left blank
98
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016, Halaman 99-108 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
PENGARUH STRUKTUR KEPEMILIKAN PERUSAHAAN TERHADAP TINDAKAN PAJAK AGRESIF Listyo Cahyo Purnomo Direktorat Jenderal Pajak, email: [email protected] INFO ARTIKEL
ABSTRAK
SEJARAH ARTIKEL Diterima Pertama 11 Maret 2016
Based on APBNP-2015, tax contributes about 70 percent of states revenue. In the other side, tax is a significant cost of business. Based on this, many companies are trying to reduce the cost of the tax through tax planning. This study aims to determine the effect of corporate ownership and tax aggressiveness, based on sample of LQ45 firms in IDX from 2010 to 2014. This study use Effective Tax Rate (ETR) as measurement of tax aggressiveness. The result of this study show: (1) a negative significant relationship between tax aggressiveness and family ownership; (2) a positive significant relationship between tax aggressiveness and government ownership; (3) and no significant relationship in foreign ownership. Negative sign of ETR indicates that the family ownership are more aggressiveness in tax planning.
Dinyatakan Dapat Dimuat 30 Mei 2016 KATA KUNCI: corporate ownership, tax aggressiveness, Effective Tax Rate
Berdasarkan APBNP-2015 pajak menyumbang sekitar 70 persen dari pendapatan negara. Di sisi lain, pajak merupakan biaya yang signifikan dari bisnis. Berdasarkan ini, banyak perusahaan yang berusaha untuk mengurangi biaya pajak melalui perencanaan pajak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kepemilikan perusahaan terhadap tindakan pajak agresif, berdasarkan sampel perusahaan LQ45 di Bursa Efek Indonesia dari tahun 2010 ke 2014. Penelitian ini menggunakan Effective Tax Rate (ETR) sebagai pengukuran tindakan pajak agresif. Penelitian ini menemukan : (1) hubungan negatif yang signifikan antara tindakan pajak agresif dengan kepemilikan keluarga; (2) hubungan positif signifikan antara kepemilikan pemerintah dengan tindakan pajak agresif; (3) tidak ada hubungan yang signifikan dalam kepemilikan asing. Tanda negatif dari ETR menunjukkan bahwa kepemilikan keluarga lebih agresif.
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Salah satu penopang pendapatan nasional yaitu berasal dari penerimaan pajak. Berdasarkan APBN-P 2015, pajak menyumbang sekitar 70 % dari seluruh penerimaan negara. Pajak memiliki peran yang sangat vital dalam sebuah negara, tanpa pajak kehidupan negara tidak akan bisa berjalan dengan baik. Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena penerimaan pajak yang tidak mencapai target sering kita lihat. Banyak berita mengenai penerimaan pajak yang tidak mencapai target, meskipun berbagai upaya telah dilakukan pihak pemerintah. Kepatuhan wajib pajak menjadi perhatian yang tengah ditangani dengan serius oleh DJP. Masalah ini adalah akar dari segala permasalahan yang timbul selama ini. Pajak merupakan faktor pendorong di banyak keputusan perusahaan. Bukti terbaru yang termuat di media antara lain kasus Enron, Dynegy, GlaxoSmith-Kline menunjukkan bahwa tindakan manajerial yang dirancang semata-mata untuk meminimalkan pajak perusahaan melalui tindakan pajak agresif menjadi fitur yang semakin umum dari perusahaan di banyak negara di seluruh dunia (Lanis dan Richardson, 2012 : 87). Isu penghindaran pajak telah menjadi masalah sejak awal peraturan
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
perundang-undangan pajak dan hal ini lazim terjadi dalam setiap masyarakat di mana pajak dipungut (Andreoni, Erard & Feinstein, 1998: 818). Bagi perusahaan dan pemegang saham, pajak merupakan komponen biaya yang signifikan, sehingga muncul keinginan untuk mengurangi beban pajak yang dibayarkan (Hanlon & Slemrod, 2009: 126). Fakta bahwa pajak mengambil proporsi yang besar dari laba sebelum pajak perusahaan sehingga mengurangi keuntungan yang dapat didistribusikan kepada pemegang saham, menjadi alasan untuk penghindaran pajak perusahaan (Annuar et.al, 2014: 151). Chen et al. (2010) mempelajari implikasi dari tax aggresiveness dan konflik keagenan khusus yang ada dalam perusahaan keluarga, yang didefinisikan sebagai orang-orang di mana anggota keluarga pendiri terus memegang posisi manajemen senior, kursi di dewan direksi atau saham yang relevan sebagai pengendali. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Chen et al. (2010) menunjukkan bahwa perusahaan keluarga kurang agresif dalam melakukan penghindaran pajak. Martinez dan Ramalho (2014) melakukan penelitian mengenai hubungan kepemilikan keluarga terhadap tindakan pajak agresif perusahaan pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Brazil. Hasil penelitian Martinez dan Ramalho (2014) menunjukkan bahwa
99
PENGARUH STRUKTUR KEPEMILIKAN PERUSAHAAN TERHADAP TINDAKAN PAJAK AGRESIF Listyo Cahyo Purnomo
kepemilikan keluarga berpengaruh negatif terhadap tindakan pajak agresif perusahaan. Hal ini berarti kepemilikan keluarga lebih agresif dalam melakukan perencanaan pajak. Chan et al. (2013) dan Wu et al. (2012) meneliti hubungan antara kepemilikan pemerintah dan penghindaran pajak perusahaan di Cina dan menunjukkan hubungan negatif. Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Adhikari, et.al (2006), yang menemukan bahwa perusahaan yang memiliki koneksi politik akan cenderung lebih agresif dalam melakukan penghindaran pajak. Pajak mempengaruhi keputusan investasi asing salah satunya adalah desain kebijakan pajak untuk kegiatan di seluruh dunia. Hal ini penting untuk dicatat bahwa meskipun banyak perusahaan sekarang berpikir secara global, peraturan pajak dan peraturan lainnya masih ditentukan secara nasional. Jika sebagian besar saham perusahaan dipegang oleh pemegang saham asing, hal ini merupakan sinyal bahwa pemegang saham asing memiliki keyakinan dalam perusahaan tersebut. Kepemilikan asing di saham telah dikaitkan dengan profitabilitas yang tinggi dan efisiensi (Smith, Cin & Vodopivve, 1997). Namun, kehadiran investor asing dikaitkan dengan praktik agresif pajak (Christensen & Murphy, 2004: 43). Terdapat bukti empiris dari penelitian Kinney dan Lawrence (2000) bahwa perusahaan multinasional di Amerika membayar pajak lebih rendah. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah kepemilikan keluarga berpengaruh terhadap tindakan pajak agresif? 2. Apakah kepemilikan pemerintah berpengaruh terhadap tindakan pajak agresif? 3. Apakah kepemilikan asing berpengaruh terhadap tindakan pajak agresif? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis: 1. Untuk menganalisis pengaruh antara kepemilikan keluarga terhadap tindakan pajak agresif. 2. Untuk menganalisis pengaruh antara kepemilikan pemerintah terhadap tindakan pajak agresif. 3. Untuk menganalisis pengaruh antara kepemilikan asing terhadap tindakan pajak agresif.
2. KERANGKA TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Teori Agensi Manajemen dalam menjalankan perusahaan harus mengutamakan kepentingan pemilik dengan cara meningkatkan kemakmuran pemilik. Akan tetapi, manajemen seringkali memiliki kepentingan yang berbeda dengan kepentingan pemegang saham sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara manajer dengan pemegang saham selaku pemilik perusahaan.
100
Masalah agensi tidak hanya terjadi antara prinsipal dan manajemen, tetapi juga dapat terjadi antara pemegang saham besar (mayoritas) dan pemegang saham minoritas. Jika ada kepemilikan saham minoritas dalam perusahaan, maka akan timbul masalah agensi baru, yaitu adanya konflik antara pemilik saham mayoritas dengan pemilik saham minoritas. Menurut Fama dan Jensen (1983 : 303), masalah keagenan di perusahaan publik muncul karena sifat terbatas dari klaim residual saham biasa, yang dapat menyebabkan perbedaan dalam kepentingan manajer profesional dengan kepentingan para pemegang saham korporasi. Jika perbedaan tersebut dibiarkan berkembang dan bertahan dalam perusahaan publik, maka manajer akan memiliki kesempatan untuk mengambil alih kekayaan pemegang saham untuk diri mereka sendiri (Jensen dan Meckling, 1976; Fama dan Jensen, 1983). Secara khusus, teori keagenan berfokus pada hubungan antara manajer dan pemegang saham, sementara tanggung jawab sosial perusahaan berfokus pada hubungan antara perusahaan dan para pemangku kepentingan lainnya dalam masyarakat seperti badan pemerintah (misalnya, otoritas pajak), kelompok politik, serikat buruh, masyarakat, karyawan, dan pelanggan. 2.2. Teori Legitimasi Suchman (1995: 574) menjelaskan bahwa legitimasi adalah persepsi umum atau asumsi bahwa tindakan entitas yang diinginkan sudah tepat, atau sesuai dalam beberapa sistem sosial dibangun norma, nilai-nilai, keyakinan, dan definisi. Legitimasi adalah umum dalam hal ini merupakan evaluasi perlindungan itu sampai batas tertentu, melampaui tindakan yang merugikan tertentu atau kejadian; dengan demikian, legitimasi adalah penyesuaian terhadap peristiwa tertentu. Legitimasi adalah persepsi atau asumsi yang mengambarkan reaksi dari pengamat organisasi karena mereka melihatnya; dengan demikian, legitimasi yang dimiliki secara objektif, namun dibuat secara subyektif. Sebuah organisasi dapat berbeda secara dramatis dari norma social. Legitimasi dibangun secara sosial dalam hal itu mencerminkan keselarasan antara perilaku dari entitas yang sah dan bersama (atau diduga bersama) keyakinan dari beberapa kelompok sosial; dengan demikian, legitimasi tergantung pada kolektiftifitas. 2.3. Tindakan Pajak Agresif Pajak merupakan salah satu biaya yang paling signifikan yang dikeluarkan oleh perusahaan, dan memiliki dampak langsung pada profitabilitas dan nilai pemegang saham. Mengingat tujuan utama memaksimalkan nilai pemegang saham, perusahaan memiliki insentif keuangan untuk mengadopsi strategi pajak yang memungkinkan mereka untuk meminimalkan pajak mereka. Namun, tindakan pajak agresif dapat berdampak buruk reputasi perusahaan, aset yang tak ternilai. Perencanaan pajak agresif tidak selalu memaksimalkan nilai perusahaan, karena dapat mengakibatkan pengeluaran besar (setelah
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
PENGARUH STRUKTUR KEPEMILIKAN PERUSAHAAN TERHADAP TINDAKAN PAJAK AGRESIF Listyo Cahyo Purnomo
pemeriksaan pajak), dan itu dapat merusak reputasi perusahaan. Chen et al (2010 : 42) mendefinisikan tindakan pajak agresif sebagai penggunaan perencanaan pajak untuk membuat penghasilan kena pajak menjadi rendah. Sedangkan Frank et al (2009 : 468) menjelaskan bahwa tindakan pajak agresif merupakan suatu perencanaan yang ditujukan untuk menurunkan laba kena pajak melalui perencanaan pajak baik memakai cara yang termasuk penghindaran pajak (tax avoidance) atau tidak (tax evasion) Penggelapan pajak (tax evasion) merupakan usaha yang dilakukan oleh wajib pajak untuk mengurangi beban pajaknya dengan caracara yang tidak mematuhi peraturan perpajakan. Terdapat beberapa keuntungan dan kerugian tindakan pajak agresif. Keuntungan tindakan pajak agresif diantaranya: 1. Penghematan pajak, akibatnya bagian kas untuk pemegang saham menjadi lebih besar. 2. Kompensasi bagi manajer yang berasal dari pemegang saham atas tindakan pajak agresif yang dilakukan manajer tersebut. 3. Kesempatan bagi manajer untuk melakukan rent extraction, yang merupakan suatu tindakan manajer yang tidak memaksimalkan kepentingan pemilik. Meskipun tindakan pajak agresif memiliki beberapa keuntungan, namun adapula kerugian dari tindakan pajak agresif perusahaan. Salah satu kerugiannya adalah adanya hukuman yang memberatkan apabila perusahaan terbukti melakukan tindakan pajak agresif yang merugikan negara. Ketika menentukan agresivitas pajak, pengambil keputusan melakukan trade off manfaat dan biaya. Manfaat yang paling jelas dari agresivitas pajak yaitu berupa penghematan pajak yang lebih besar. Sementara hal tersebut terhutang kepada pemegang saham, manajer juga mendapatkan keuntungan melalui kompensasi mereka langsung atau tidak langsung, oleh pemegang saham atas upaya mereka dalam manajemen pajak. Ada beberapa metode untuk mengukur tindakan pajak agresif diantaranya adalah Effective Tax Rate (ETR), Book Tax Different (BTD), Marginal Tax Rate, and Tax Shelter Activity (Hanlon dan Heitzman, 2010). ETR memberikan ringkasan statistik yang tepat tentang efek kumulatif dari perubahan insentif pajak dan tarif pajak perusahaan. ETR menyediakan ringkasan statistik dasar yang menggambarkan kinerja pajak oleh jumlah pajak yang dibayar oleh perusahaan relatif terhadap laba kotor. Langkah ini mencerminkan perencanaan pajak agresif melalui perbedaan bukupajak permanen. Contoh perencanaan pajak tersebut adalah investasi di negara dengan tarif pajak yang lebih rendah (Chen, 2010). 2.4. Kepemilikan keluarga dan penghindaran pajak Martinez dan Ramalho (2014) melakukan penelitian mengenai hubungan kepemilikan keluarga terhadap tindakan pajak agresif perusahaan pada
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Brazil. Hasil penelitian Martinez dan Ramalho (2014) menunjukkan bahwa kepemilikan keluarga berpengaruh negatif terhadap tindakan pajak agresif perusahaan. Hal ini berarti kepemilikan keluarga lebih agresif dalam melakukan perencanaan pajak. Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh Chen et al (2010) yang menemukan bahwa perusahaan keluarga kurang agresif terhadap tindakan perencanaan pajak. Hasil yang berbeda pula ditemukan oleh Hidayanti dan Laksito (2013) yang menemukan bahwa kepemilikan keluarga tidak berpengaruh terhadap tindakan pajak agresif perusahaan. 2.5. Kepemilikan pemerintah dan penghindaran pajak Pemerintah memiliki peran penting, terutama dalam perekonomian negara. Pemerintah memiliki otoritas atas industri yang terkait dengan kesejahteraan mayoritas. Pemerintah atau badanbadan mereka masih mempertahankan kontrol dari sejumlah besar perusahaan terutama di industri utama (Chan et al., 2013 : 1032). Ada temuan yang berbeda dalam studi sebelumnya mengenai kepemilikan pemerintah terhadap agresivitas pajak. Kehadiran kepemilikan pemerintah di perusahaan ditandai dari adanya perusahaan seperti Government linked Companies (GLCs) atau di Indonesia disebut sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) (Lau & Tong, 2008). Untuk negara berkembang, keterlibatan pemerintah dalam kegiatan usaha tidak dapat dikesampingkan (Adhikari et al, 2006). Zeng (2010) mempelajari kepemilikan pemerintah dan agresivitas pajak di perusahaan China yang terdaftar selama periode 1998-2008 dan menemukan bahwa kepemilikan pemerintah kurang agresif dalam melakukan tindakan perencanaan pajak (atau menghindari agresivitas pajak). Penelitian lain dengan menggunakan semua perusahaan kecuali lembaga keuangan di Bursa Efek Shanghai dan Shenzhen antara tahun 2003 dan 2009 dilakukan oleh Chan et al. (2013) dan menemukan bahwa manajer perusahaan yang dikendalikan pemerintah memiliki tujuan politik untuk melindungi pendapatan pemerintah, dan mereka mendorong perusahaan mereka untuk menghindari mengejar perencanaan pajak agresif. Bukti mereka berarti bahwa perusahaan yang dikendalikan pemerintah mengejar strategi pajak kurang agresif dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan non-dikendalikanpemerintah. Sejak kepemilikan negara merupakan salah satu bentuk koneksi politik, ditemukan Adhikari et al. (2006) bahwa perusahaan dengan koneksi politik akan lebih agresif dalam perencanaan pajak. Wu et al. (2012) menyelidiki efek yang berbeda dari koneksi politik pada kinerja perusahaan dari perusahaan milik negara (BUMN) dan perusahaan swasta di Cina. Mereka menemukan bahwa perusahaan-perusahaan swasta dengan manajer terhubung secara politik memiliki ETR yang lebih rendah daripada mereka yang tidak manajer koneksi
101
PENGARUH STRUKTUR KEPEMILIKAN PERUSAHAAN TERHADAP TINDAKAN PAJAK AGRESIF Listyo Cahyo Purnomo
politik. Namun, apakah BUMN lokal dan BUMN pusat memiliki manajer yang terhubung secara politik atau tidak, tidak mempengaruhi ETR mereka. 2.6. Kepemilikan Asing dan Penghindaran Pajak Pembayaran pajak merupakan salah satu sarana penting dimana suatu perusahaan memenuhi tanggung jawab kewarganegaraan kepada masyarakat di mana ia beroperasi. D'souza, Megginson & Nash (2001) menemukan bahwa kepemilikan asing saham berhubungan positif dengan profitabilitas yang tinggi dan efisiensi. Hasil yang serupa juga ditunjukkan oleh penelitian dari Smith, Cin & Vodopivve (1997) yang menunjukkan bahwa ada hubungan positif kepemilikan saham oleh asing terhadap profitabilitas dan efisiensi perusahaan, semakin besar porsi kepemilikan asing di perusahaan, semakin efisien dan profitable perusahaan tersebut. Namun, kehadiran investor asing telah dikaitkan dengan tindakan pajak agresif (Christensen & Murphy, 2004). Secara empiris, perusahaan multinasional US ditemukan membayar pajak rendah di negara-negara tuan rumah mereka meskipun tingkat profitabilitas tinggi. Huizinga dan Nicodeme (2006) menyelidiki hubungan antara kepemilikan asing dan tarif pajak penghasilan badan di antara beberapa negara Eropa. Studi ini menemukan bahwa negara-negara dengan tingkat yang lebih tinggi dari kepemilikan asing, memiliki tarif pajak yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan hubungan yang saling melengkapi antara kepemilikan asing dan tarif pajak penghasilan badan. Demirguc-Kunt dan Huizinza (2001) menguji hubungan antara kepemilikan asing dan penghindaran pajak antara beberapa bank di 80 negara di seluruh dunia. Dengan periode delapan tahun, analisis global menunjukkan bahwa bank-bank asing membayar pajak lebih sedikit dibandingkan dengan bank-bank domestik di negara-negara asal. Hal ini juga menemukan bahwa bank-bank tersebut menggunakan strategi pergeseran laba untuk menghindari pembayaran pajak. Salihu (2015) menemukan hubungan positif yang signifikan antara kepentingan investor asing dan langkah-langkah penghindaran pajak perusahaan antara perusahaan Malaysia yang besar. Hasil ini menunjukkan kemungkinan perusahaan multinasional memanfaatkan skala internasional operasi mereka untuk menghindari pajak di kedua negara domisili maupun di negara tempat induk perusahaan. Di Indonesia, Rusydi dan Martani (2014) tidak menemukan hubungan antara kepemilikan asing dan agresivitas pajak. 2.7. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka teoritis dan beberapa penelitian terdahulu di atas, hipotesis penelitian yang akan dibuktikan dalam penelitian ini adalah: H1
102
:
Kepemilikan keluarga berpengaruh negatif terhadap tindakan pajak agresif
H2
:
H3
:
perusahaan. Kepemilikan pemerintah berpengaruh negatif terhadap tindakan pajak agresif perusahaan. Kepemilikan pemerintah berpengaruh negatif terhadap tindakan pajak agresif perusahaan.
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Data, Populasi, dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan LQ45 yang terdaftar selama jangka waktu penelitian di Bursa Efek Indonesia. Penentuan sampel yang digunakan adalah dengan metode purposive sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan kesesuaian dengan karakteristik sampel dengan kriteria pemilihan sampel yang telah ditentukan. Kriteria tersebut adalah: a. Perusahaan LQ45 yang terdaftar di bursa efek Indonesia tahun 2010-2014. b. Perusahaan melaporkan data keuangan yang lengkap dan diaudit oleh akuntan publik. c. Tersedianya informasi lengkap untuk pengukuran variabel yang diteliti. d. Perusahaan tidak mengalami kerugian operasional diantara periode penelitian, hal ini sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia bahwa kerugian dapat dikompensasikan pada tahun berikutnya (Adhikari et al, 2006 : 580). e. Perusahaan dengan ETR lebih besar dari 1. Karena ETR lebih besar dari 1 dapat dikarenakan adanya konsolidasi antara anak perusahaan yang mengalami keuntungan bersih dengan yang mengalami kerugian bersih. Atau dapat juga disebabkan karena beban pajak untuk asset yang dijual pada tahun sebelumnya yang menimbulkan keuntungan diakui pada periode berikutnya (Adhikari et al, 2006 : 580). 3.2. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel 3.2.1. Variabel Dependen Variabel dependen dalam penelitian ini adalah tindakan pajak agresif. Penelitian ini mendefinisikan tindakan pajak agresif adalah suatu tindakan yang ditujukan untuk menurunkan laba kena pajak melalui perencanaan pajak baik menggunakan cara yang tergolong legal maupun tidak legal. Penelitian ini menggunakan Effective Tax Rate (ETR) untuk mengukur tingkat tindakan pajak agresif seperti dalam penelitian Adhikari, et.al (2006). ETR merupakan refleksi dari perbedaan perhitungan laba buku dengan laba fiskal. Ada beberapa metode untuk mengukur nilai Effective Tax Rate, namun dalam penelitian ini, akan digunakan metode yang digunakan seperti dalam penelitian Adhikari, et al (2006). Rumus untuk mengukur ETR adalah sebagai berikut: ETR =
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
PENGARUH STRUKTUR KEPEMILIKAN PERUSAHAAN TERHADAP TINDAKAN PAJAK AGRESIF Listyo Cahyo Purnomo
Tabel 1. Statistik Deskriptif
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev.
ETR 25.03 24 75.77 2.85 9.24
FAMZ 20.17 2.84 76.47 0 25.7
GOV 18.59 0 75 0 28.21
FOR 31.22 24.75 94.71 0 29.06
ROA 14.3 11.82 54.36 -1.72 11.36
LEV 48.12 45.05 91.78 10.86 22.47
CAPINT 43.96 44.42 92.68 0.39 27.71
SIZE 31.24 30.76 43.24 27.94 1.8
N
178
178
178
178
178
178
178
178
Catatan: ETR = (tax expenses – deffered tax expenses)/pre-tax income; FAMZ = prosentase kepemilikan saham oleh keluarga; GOV = prosentase kepemilikan saham oleh pemerintah; FOR = prosentase kepemilikan saham oleh asing; ROA = laba usaha/total asset; LEV = total hutang/total asset; CAPINT = total asset tetap/total asset; SIZE = logaritma natural total asset.
Dimana: ETR Total Tax Expense Deffered Tax Pre tax income
: :
Effective tax rate Total beban pajak
: :
Nilai pajak tangguhan Laba sebelum pajak
3.2.2. Variabel Independen Variabel independen dalam penelitian ini adalah struktur kepemilikan perusahaan yang terdiri dari kepemilikan keluarga, kepemilikan pemerintah dan kepemilikan asing. Masing-masing struktur kepemilikan perusahaan diukur dalam bentuk prosentase. 3.2.2.1. Kepemilikan keluarga FAMZ menunjukkan kepemilikan keluarga. Definisi perusahaan keluarga oleh Laporta, et al (1999) adalah kepemilikan saham oleh semua individu dan perusahaan tertutup yang kepemilikannya tercatat (di Indonesia, kepemilikan > 5% wajib dicatat). Berdasarkan pengertian di atas, maka perusahaan publik, BUMN atau kepemilikan oleh pemerintah, institusi keuangan (seperti: lembaga investasi, reksa dana, asuransi, dana pensiun, bank, koperasi) dan publik (individu atau lembaga yang kepemilikannya tidak wajib dicatat) tidak dianggap sebagai bagian dari kepemilikan keluarga. Akan tetapi untuk perusahaan public yang memiliki saham di dalam sebuah perusahaan public, akan diketahui presentase kepemilikan saham yang dimiliki oleh keluarga. Dari pengertian kepemilikan keluarga oleh Laporta, et al (1999) di atas, maka kepemilikan keluarga dalam penelitian ini diukur sebagai jumlah total persentase kepemilikan saham yang tercatat di perusahaan oleh selain yang dimiliki oleh negara, institusi keuangan, dan individu publik. Data kepemilikan saham diperoleh dari laporan tahunan perusahaan. 3.2.2.2. Kepemilikan pemerintah GOV menunjukkan kepemilikan pemerintah dan diukur sebagai persentase saham yang dimiliki oleh lembaga pemerintah untuk total kepemilikan saham dari perusahaan (Ghazali & Weetman, 2006).
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
3.2.2.3. Kepemilikan Asing FOR menunjukkan kepemilikan asing. Jika sebagian besar saham perusahaan yang sedang dipegang oleh pemegang saham asing, kemungkinan hal ini menunjukkan sinyal bahwa pemegang saham asing memiliki keyakinan dalam perusahaan tersebut. Hal ini pada gilirannya dapat menyebabkan naiknya nilai perusahaan. Kepemilikan asing dalam penelitian ini diukur sebagai proporsi saham perusahaan yang dimiliki oleh investor asing baik individu maupun perusahaan (Ghazali, 2010). 3.2.3. Variabel Kontrol Penelitian ini menggunakan empat variabel kontrol sesuai dengan penelitian Annuar et al (2014) untuk mengendalikan faktor-faktor lain yang mempengaruhi terjadinya tindakan pajak agresif. Variabel kontrol yang digunakan adalah ROA, LEV, Capital Intensity dan SIZE. 1. ROA adalah Return on Assets untuk perusahaan. Diukur dengan membagi operating income dengan total aset. Lin et al (2014) menemukan bahwa perusahaan-perusahaan besar atau perusahaan lebih menguntungkan menunjukkan efek substitusi lebih sensitif antara agresivitas pajak perusahaan dan kebijakan utang perusahaan 2. LEV adalah Leverage untuk perusahaan diukur dengan membagi total utang dengan total aset. Lin et al (2014) menemukan model tradeoff dari struktur modal yang memungkinkan leverage untuk menjadi bagian dari pilihan perusahaan melakukan agresivitas pajak. Penggunaan utang berbanding terbalik dengan agresi pajak perusahaan untuk sebagian besar perusahaan 3. Capital Intensity adalah Nilai asset tetap untuk perusahaan dibagi dengan nilai total aset. 4. SIZE adalah Nilai logaritma natural total aset untuk perusahaan pada awal tahun.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia sebagai anggoa LQ45 dari tahun 2010 hingga tahun 2014 total perusahaan tersebut ada 76 perusahaan. Adapun sampel yang dipakai dalam penelitian ini hanya berjumlah 54 perusahaan. 103
PENGARUH STRUKTUR KEPEMILIKAN PERUSAHAAN TERHADAP TINDAKAN PAJAK AGRESIF Listyo Cahyo Purnomo
4.1. Analisis deskriptif Tabel 1 menunjukkan statistik deskriptif sampel dalam penelitian ini. Dengan jumlah sampel sebanyak 178, nilai rata-rata untuk variabel ETR (Effective Tax Rate) adalah sebesar 25,03 dengan standar deviasi 9,24. Nilai maksimum dari ETR adalah 75,77 sedangkan nilai minimumnya adalah 2,85. Dari nilai rata-rata sampel penelitian ini, terlihat bahwa ETR mendekati tariff normal yang berlaku umum pada tahun 2015 yaitu sebesar 25%Untuk variabel struktur kepemilikan yang terdiri dari kepemilikan keluarga, kepemilikan pemerintah, dan kepemilikan asing diketahui bahwa nilai rata-rata untuk kepemilikan keluarga adalah sebesar 20,17 dengan standar deviasi sebesar 25,70. Kepemilikan pemerintah memiliki nilai rata-rata sebesar 18,59 dan standar deviasi sebesar 28,21. Dan untuk kepemilikan asing, nilai rata-rata kepemilikan asing adalah sebesar 31,22 dengan standar deviasi sebesar 29,06. Untuk variabel kontrol, ROA memiliki nilai standar deviasi sebesar 11,36 dan rata-ratanya sebesar 14,30. Variabel kontrol untuk leverage memiliki nilai rata-rata sebesar 48,12 dengan standar deviasi sebesar 22,47. Variabel capital intensity memiliki nilai rata-rata sebesar 43,96 dengan standar deviasi 27,71. Dan yang terakhir adalah variabel ukuran perusahaan, memiliki nilai rata-rata 31,23 dan standar deviasinya sebesar 1,80. 4.2. Uji hipotesis 4.2.1. Pemilihan Model Dari ketiga model regresi data panel yang telah diestimasi akan dipilih model mana yang paling tepat/sesuai dengan tujuan penelitian. Ada tiga uji (test) yang dapat dijadikan alat dalam memilih model regresi data panel (Common Effect (CE), Fixed Effect (FE) atau Random Effect (RE)) berdasarkan karakteristik data yang dimiliki, yaitu: F Test (Chow Test), Hausman Test dan Langrangge Multiplier (LM) Test. 4.2.1.1. F Test (Chow Test) Dilakukan untuk membandingkan atau memilih model mana yang terbaik antara Common Effect dan Fixed Effect. Tabel 2 berikut menunjukan hasil Chow test: Tabel 2 Hasil Uji Chow Effects Test Statistic Cross-section F 7.154904 Cross-section Chi-square 257.178871 Sumber: data diolah (2015)
d.f. (53,117)
Prob. 0.0000
53
0.0000
Pada tabel di atas terlihat bahwa nilai Prob. Cross-section F sebesar 0,0000 yang nilainya < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa model FE lebih tepat dibandingkan dengan model CE.
104
4.2.1.2. Hausman Test Dilakukan untuk membandingkan/memilih model mana yang terbaik antara Fixed Effect dan Random Effect. Tabel 3 berikut menunjukan hasil Hausman test: Tabel 3. Hasil Uji Hausman Test Summary
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Cross-section random 18.923 Sumber: data diolah (2015)
Prob.
7
0.0084
Pada tabel di atas terlihat bahwa nilai Prob. Cross-section random sebesar 0,0084 yang nilainya < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa model FE lebih tepat dibandingkan dengan model RE. Dari dua uji pemilihan model dapat disimpulkan bahwa untuk penelitian ini, model FE (Fixed Effect) lebih baik daripada model CE (Common Effect) dan RE (Random Effect), tanpa harus dilakukan uji selanjutnya (LM Test). Berdasarkan hasil pengujian untuk pemilihan model regresi data panel, maka model terbaik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Fixed Effect Model (FEM). Tabel 4 berikut ini adalah hasil regresi data panel dengan Fixed Effect Model (FEM). Tabel 4. Hasil Regresi Fixed Efffect Model (FE) variable P.sign FAMZ GOV FOR ROA LEV CAPINT SIZE Coefficient Adjusted Rsquared F-statistic
coeficient -0.5389 1.1375 0.3174 -0.220 0.2456 -0.1883 0.4433
t -2.080 2.264 1.435 -1.922 1.843 -1.912 0.850
sign 0.0397 0.0254 0.1540 0.0571 0.0679 0.0583 0.3973 -9.406084 0.659277 6.708062 0.000000
Catatan: ETR = (tax expenses – deffered tax expenses)/pre-tax income; FAMZ = prosentase kepemilikan saham oleh keluarga; GOV = prosentase kepemilikan saham oleh pemerintah; FOR = prosentase kepemilikan saham oleh asing; ROA = laba usaha/total asset; LEV = total hutang/total asset; CAPINT = total asset tetap/total asset; SIZE = logaritma natural total asset.
4.2.2. Uji Autokorelasi Uji autokorelasi dalam penelitian ini menggunakan uji Durbin-Watson. Dalam uji DW, setelah diperoleh nilai DW, maka nilai hasil hitung DW dibandingkan dengan nilai tabel durbin-watson. Tabel 5.Hasil Uji Durbin Watson Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson F-statistic 6.708 stat Sumber: data diolah (2015) Log likelihood -515.26
6.9171 2.1742
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
PENGARUH STRUKTUR KEPEMILIKAN PERUSAHAAN TERHADAP TINDAKAN PAJAK AGRESIF Listyo Cahyo Purnomo
Dari tabel 5, diketahui nilai dw sebesar 2,17424. Tabel durbin-watson untuk sampel sebanyak 178 dan nilai k sebesar 7 diperoleh nilai du sebesar 1,82482. Sehingga diketahui bahwa nilai dw hitung berada di antara 1,82482 < 2,17424 < 2,1752. Karena nilai dw terletak diantara du dan 4-du, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat autokorelasi. 4.2.3. Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari satu residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Untuk mengetahui model regresi dalam penelitian ini terjadi heteroskedastisitas atau tidak, digunakan Uji White. Tabel 7 Hasil Uji White Model
R
R Square
.621
Adjusted R Square
.385
.296
Sumber: data diolah (2015) Dari tabel di atas, nilai R2 adalah 0,385. Sehingga diperoleh nilai c2 adalah 0,385x 178 yaitu 68,53. Sedangkan nilai c2 tabel adalah 210,13. Karena c2 hitung < c2 tabel, maka dalam model ini, tidak terdapat heteroskedastisitas. 4.2.4. Uji Multikolinieritas Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi antar variabel independen. Tabel 6. Hasil Uji Multikolinieritas FAMZ FAMZ GOV FOR ROA LEV CAPINT SIZE
GOV
FOR
ROA
LEV
CAPINT SIZE
1.00 -0.50 1.00 -0.57 -0.15 1.00 -0.12 -0.11 0.36 1.00 -0.142 0.28 -0.06 -0.49 1.00 -0.002 -0.19 0.17 0.30 -0.48 1.00 -0.18 0.19 0.09 -0.31 0.47 -0.37 1.00
ETR = (tax expenses – deffered tax expenses)/pre-tax income; FAMZ = prosentase kepemilikan saham oleh keluarga; GOV = prosentase kepemilikan saham oleh pemerintah; FOR = prosentase kepemilikan saham oleh asing; ROA = laba usaha/total asset; LEV = total hutang/total asset; CAPINT = total asset tetap/total asset; SIZE = logaritma natural total asset.
Dari tabel di atas, terlihat bahwa tidak ada korelasi antar variabel independen yang nilainya lebih dari 0,9. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antar variabel independen, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinieritas. Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
4.2.5. Koefisien determinasi (Adjusted R2) Koefisien determinasi pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai Adjusted R2 adalah di antara 0 dan 1. Semakin tinggi nilainya atau mendekati 1, menunjukkan variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen. Nilai koefisien determinasi dalam penelitian ini ditunjukkan Tabel 4. Dari tabel di atas, diketahui bahwa nilai Adjusted R2 adalah sebesar 65,93%. Artinya bahwa variabel independen dalam penelitian ini yaitu kepemilikan perusahaan, ROA, PPE, Leverage dan Ukuran Perusahaan hanya mampu menjelaskan 65,93% variabel dependen dalam hal ini adalah tax aggresive yang diukur dengan menggunakan ETR. Sebesar 34,07% tax aggressive dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak disebutkan dalam penelitian ini. 4.2.6. Uji Signifikansi Simultan (Uji F) Uji F menunjukkan apakah semua variabel independen yang dimasukkan dalam model regresi memiliki pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel independen. Dari uji ANOVA atau F test, diperoleh nilai F hitung sebesar 6,7081 dengan signifikansi < 0,05. Hal ini berarti bahwa variabel independen dalam penelitian ini yaitu kepemilikan perusahaan, ROA, Capital Intensity, Leverage dan Ukuran Perusahaan secara simultan berpengaruh terhadap variabel independen tax aggresiveness yang diukur dengan menggunakan ETR. 4.2.7. Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji t) Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel independen secara individual dalam menenrangkan variasi variabel dependen. Dari tabel 4, terlihat bahwa variabel independen kepemilikan perusahaan yang terdiri dari kepemilikan keluarga, pemerintah dan asing, hanya kepemilikan asing yang tidak signifikan mempengaruhi tax aggresiveness. Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansinya yaitu 0,154 atau di atas 0,05. Kepemilikan keluarga memiliki nilai koefisien sebesar -0,5389 dengan signifikansi 0,0397 atau lebih kecil dari 0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa kepemilikan keluarga berpengaruh terhadap tindakan pajak agresif perusahaan. Tanda negatif menunjukkan bahwa perusahaan dengan kepemilikan keluarga memiliki kecenderungan untuk lebih agresif dalam melakukan perencanaan penghindaran pajak. Untuk kepemilikan pemerintah, diketahui bahwa koefisien untuk variabel kepemilikan pemerintah adalah sebesar 1,1375 dengan signifikansi sebesar 0,0254 atau kurang dari 0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa kepemilikan pemerintah mempengaruhi tindakan pajak agresif perusahaan. Tanda positif menunjukkan bahwa perusahaan dengan kepemilikan pemerintah memiliki kecenderungan untuk kurang
105
PENGARUH STRUKTUR KEPEMILIKAN PERUSAHAAN TERHADAP TINDAKAN PAJAK AGRESIF Listyo Cahyo Purnomo
agresif dalam melakukan perencanaan penghindaran pajak. Dalam arti bahwa kepemilikan pemerintah justru cenderung untuk membantu pemerintah dalam upaya pemenuhan target perpajakan. Pada variabel kepemilikan asing, diketahui bahwa koefisien untuk variabel kepemilikan asing adalah sebesar 0,3174 dengan signifikansi sebesar 0,1540 atau lebih besar dari 0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa kepemilikan asing tidak mempengaruhi tindakan pajak agresif perusahaan. Untuk variabel ROA memiliki nilai koefisien sebesar -0,2199. Sedangkan untuk variabel leverage memiliki nilai koefisien sebesar 0,2456. Untuk variabel Capital Intensity dan ukuran perusahaan masing-masing memiliki nilai koefisien sebesar -0,1882 dan 0,4433. Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa hipotesis 1 yang menyatakan bahwa kepemilikan keluarga berpengaruh negatif terhadap tindakan pajak agresif perusahaan diterima. Hal ini berarti bahwa kepemilikan keluarga berpengaruh terhadap tindakan pajak agresif perusahaan. Kepemilikan keluarga memiliki kecenderungan untuk melakukan penghindaran pajak. Hal ini juga dapat dilihat dari banyak pengusaha di Indonesia memiliki grup atau perusahaan di luar negeri dengan tariff pajak yang lebih rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Martinez & Ramalho (2014) yang menguji pengaruh kepemilikan keluarga terhadap tindakan pajak agresif di Brazil dan menemukan bahwa perusahaan keluarga lebih agresif dalam penghindaran pajak. Namun berbeda dengan hasil penelitian dari Hidayanti dan Laksito (2013) dan Chen et al (2010) yang tidak menemukan pengaruh kepemilikan keluarga terhadap tindakan pajak agresif perusahaan. Hasil penelitian ini disebabkan karena perusahaan keluarga beranggapan bahwa manfaat yang diperoleh akibat dari penghindaran pajak tidak lebih besar daripada ancaman hukumannya. Berbeda dengan di Indonesia, dari hasil penelitian ini justru tampak bahwa perusahaan keluarga lebih agresif dalam upaya melakukan tindakan penghindaran pajak. Hal ini dapat disebabkan berbagai hal antara lain permasalahan ketegasan hukum, sosial politik, budaya di Indonesia yang berbeda dengan di China. Namun hal tersebut masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Hipotesis 2 yang menyatakan bahwa kepemilikan pemerintah berpengaruh negatif terhadap tindakan pajak agresif perusahaan ditolak. Hal ini dikarenakan kepemilikan pemerintah justru berpengaruh positif terhadap tindakan pajak perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa kepemilikan pemerintah mendukung pemerintah dalam pencapaian target penerimaan pajak. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Chan et al (2013), Zeng (2010) dan Wu et al (2012) yang menemukan bahwa kepemilikan pemerintah kurang agresif tindakan pengurangan pajak perusahaan. Akan tetapi, hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Adhikari, et.al (2006), yang menemukan bahwa perusahaan yang memiliki koneksi politik akan
106
memiliki ETR lebih rendah dibandingkan perusahaan yang tidak terhubung secara politik. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin besar kepemilikan pemerintah, maka akan semakin kurang agresif dalam upaya penghindaran pajak. Hal ini berarti baik baik penerimaan negara apabila pemerintah bertindak sebagai mayoritas pemilik saham di sebuah perusahaan. Sedangkan untuk hipotesis 3 yang menyatakan bahwa kepemilikan asing berpengaruh negatif terhadap tindakan pajak agresif perusahaan ditolak. Hal ini disebabkan karena tanda positif pada koefisien untuk kepemilikan asing memiliki arti bahwa perusahaan kurang agresif dalam melakukan pengurangan pajak dan hasil uji t juga dinyatakan bahwa hubungan antara kepemilikan asing dengan tindakan pajak agresif perusahaan tidak signifikan. Hasil ini berbeda dengan temuan Demirguc-Kunt & Huizinza (2001) di perbankan 80 negara di dunia dan penelitian yang dilakukan di Malaysia oleh Salihu et al (2015) yang menemukan bahwa perusahaan dimana asing memiliki keterlibatan, memberikan dampak positif signifikan terhadap tindakan pajak agresif perusahaan. Sedangkan penelitian Egger et al (2010) menemukan bahwa kepemilikan asing mempengaruhi tindakan pajak agresif perusahaan pada negara dengan kriteria high tax country dan hubungan negatif pada Negara dengan kriteria low tax country. Sedangkan Huizinga (2006) menemukan bahwa kepemilikan asing berpengaruh positif terhadap beban pajak, terutama di negara kecil dan berkembang. Semakin tinggi kepemilikan asing akan cenderung berfungsi untuk mengurangi distorsi dalam pajak internasional (Huizinga, 2006). Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Rusydi dan Martani (2014) yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh kepemilikan asing terhadap tindakan pajak agresif perusahaan. Hal ini disebabkan oleh adanya implikasi bahwa perusahaan yang dimiliki oleh asing akan lebih patuh terhadap aturan yang berlaku di tempat perusahaan tersebut beroperasi sesuai dengan anggapan internasional bahwa perusahaan asing patuh terhadap peraturan yang berlaku.
5. KESIMPULAN
Struktur kepemilikan perusahaan yang terbagi menjadi tiga kepemilikan antara lain kepemilikan oleh keluarga, pemerintah, dan asing masing-masing memiliki hasil yang berbeda pengaruhnya terhadap tindakan pajak agresif perusahaan. Kepemilikan keluarga berpengaruh negatif terhadap tindakan pajak agresif perusahaan, yang berarti bahwa kepemilikan keluarga cenderung lebih agresif dalam melakukan upaya penghindaran pajak. Kepemilikan pemerintah berpengaruh positif terhadap tindakan pajak agresif perusahaan, tanda positif menunjukkan bahwa perusahaan cenderung kurang agresif dalam melakukan upaya penghindaran pajak. Sedangkan untuk kepemilikan asing menunjukkan tidak ada
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
PENGARUH STRUKTUR KEPEMILIKAN PERUSAHAAN TERHADAP TINDAKAN PAJAK AGRESIF Listyo Cahyo Purnomo
pengaruh antara kepemilikan asing terhadap tindakan pajak agresif perusahaan. Hasil ini menunjukkan bahwa kepemilikan oleh keluarga cenderung lebih melakukan upaya penghindaran pajak. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kepemilikan perusahaan di negara Tax Haven Country yang dimiliki oleh keluarga konglomerat.
6. IMPLIKASI DAN KETERBATASAN
Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa perusahaan yang kepemilikannya oleh keluarga, akan cenderung semakin agresif dalam melakukan upaya penghindaran pajak. Hal ini membawa implikasi bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk lebih memberikan perhatian lebih terhadap pembayaran pajak untuk perusahaan dengan porsi kepemilikan keluarga yang besar. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang mungkin dapat menimbulkan gangguan terhadap hasil penelitian, diantaranya adalah: 1. Penelitian ini menggunakan effective tax rate (ETR) sebagai proksi dari tindakan pajak agresif. Akan tetapi ETR sendiri kurang menjelaskan jenis pajak atau bagian mana perusahaan melakukan tindakan perencanaan pajak. Saran untuk penelitian selanjutnya yaitu menambahkan proksi lain antara lain Book to Different dan 2. Nilai Adjusted R square sebesar 65,93% menunjukkan bahwa besarnya pengaruh yang diberikan variabel independen dalam hal ini adalah kepemilikan perusahaan, ROA, leverage, Property Plant Equipment dan ukuran perusahaan relatif kecil.
DAFTAR PUSTAKA Adhikari, A., Derashid, C., Zhang, H., 2006. Public policy, political connections, and effective rate rates: longitudinal evidence from Malaysia. Journal Account. Public Policy 25: 54–595. Andreoni, J., Erard, B., dan Feinstein, J. 1998. Tax compliance. Journal of Economic Literature 36: 818-860. Annuar, H. A., Salihu, I. A., dan S.N.S. Obid. 2014. Corporate ownership, governance and tax avoidance: An interactive effects. Procedia Social Behavioral Sciences 164: 150-160. Chan, K. H., Mo, P. L. L. dan Zhou, A. Y. 2013. Government ownership, corporate governance and tax aggressiveness: evidence from China. Accounting dan Finance, 53, 1029-1051. Chen, S., Chen, X., Cheng, Q. dan Shevlin, T. 2010. Are family firms more tax aggressive than nonfamily firms? Journal of Financial Economics, 95, 41-61. Christensen, J. dan Murphy, R. 2004. The social irresponsibility of corporate tax avoidance: taking CSR to the bottom line. Development 47: 37-44. D’souza, J., Megginson, W. & Nash, R. 2001. Determinants of performance, improvements in privatized firms: the role of restructuring and
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
corporate governance. working paper. available on www.ssrn.com Demirguc-Kunt, A. & Huizinza, H. 2001. The taxation of domestic and foreign banking. Journal of Public Economics 793: 429-453. Desai, M. A. & Dharmapala, D. 2009. Corporate tax avoidance and firm value. The Review of Economics and Statistics 913: 537-546. Desai, M. A. dan Dharmapala, D. 2006. Corporate tax avoidance and high-powered incentives. Journal of Financial Economics 79: 145-179. Faccio, M., Masulis, R. dan McConnell, J. J. 2006. Political connections and corporate bailouts. Journal of Finance 61, 2597-2635. Fama, E. F. dan Jensen, M. C. 1983. Separation of Ownership and Control. Journal of Law and Economics 26 (2): 301-325. Frank, M. M., Lynch, L. J. & Rego, S. O. 2009. Tax reporting aggressiveness and its relation to aggressive financial reporting. The Accounting Review 84: 467-496. Ghazali, Imam. 2013. Aplikasi analisis multivariate dengan program IBM SPSS 21 edisi 7. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Graham, J.R. dan Tucker, A.L. 2006. Tax shelters and corporate debt policy. Journal of Financial Economics 81: 563-594. Hanlon, M. & Heitzman, S. 2010. A review of tax research. Journal of Accounting and Economics, 50, 127-178. Hanlon, M. & Slemrod, J. 2009. What does tax aggressiveness signal? Evidence from stock price reactions to news about tax shelter involvement. Journal of Public Economics 93: 126-141. Hidayanti, A. N. dan Laksito, H. 2013. Pengaruh antara kepemilikan keluarga dan corporate governance terhadap tindakan pajak agresif. Diponegoro Journal of Accounting 2 (2): 1-12. Huizinga, H. & Nicodeme, G. 2006. Foreign ownership and corporate income taxation: an empirical evaluation. European Economic Review 505: 1223-1244. Jensen, M. C., & Meckling, W. H. 1976. Theory of the firm: managerial behavior, agency costs and ownership structure. Journal of Financial Economics 3: 305–360. Kinney, M. & Lawrence, J. 2000. An analysis of the relative US tax burden of US corporations having substantial foreign ownership. National Tax Journal 53: 9-22. La Porta, R., Florencio,D., dan Andrei,S. 1999. Corporate Ownership Around the World. The Journal of Finance LIV (2) : 471-517. Lanis, R. dan Richardson, G. 2012. Corporate social responsibility and tax aggressiveness: An empirical analysis. Journal Account Public Policy 31 : 86-108. Lau, Y.W. dan Tong, C. Q. 2008. Are Malaysian Government-Linked Companies GLCs Creating
107
PENGARUH STRUKTUR KEPEMILIKAN PERUSAHAAN TERHADAP TINDAKAN PAJAK AGRESIF Listyo Cahyo Purnomo
Value? International Applied Economics and Management Letters 11: 9-12. Lin, S., N. Tong, dan A. L. Tucker. 2014. Corporate tax aggression and debt. Journal of Banking & Finance 40: 227-241. Martinez, A. L. dan Ramalho, G. C. 2014. Family Firms and Tax Aggressiveness in Brazil. International Business Research 7 (3): 129-137. Mohd Ghazali, N. A. & Weetman, P. 2006. Perpetuating traditional influences: voluntary disclosure in Malaysia following the economic crises. Journal of International Accounting, Auditing and Taxation 15: 226-248 Mohd Ghazali, N. A. 2010. Ownership structure, corporate governance and corporate performance in Malaysia. International Journal of Commerce and Management 202: 109-119. Peng, M. W. & Jiang, Y. 2010. Institutions behind family ownership and control in large firms. Journal of management Studies 472: 253- 273. Prakosa, K. B. 2014. Pengaruh profitabilitas, kepemilikan keluarga dan corporate governance terhadap penghindaran pajak di Indonesia. Simposium Nasional Akuntansi 17. Rahayu, S. Aisyah. T. 2012. Modul laboratorium ekonometrika dengan aplikasi eviews. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Rusydi, M. K. dan Dewi, M. 2014. Pengaruh struktur kepemilikan terhadap aggressive tax avoidance. Simposium Nasional Akuntansi 17. Salihu, I. A., H.A. Annuar., dan S. N. S. Obid. 2015. Foreign investors’ interests and corporate tax avoidance: Evidence from an emerging economy. Journal of Contemporary Accounting & Economics 11: 138-147. Scott, William. R. 2012. Financial accounting theory 6th edition. Toronto: Pearson Canada. Smith, S., Cin, B. & Vodopivve, M. 1997. Privatization incidence, ownership forms and firm performance: evidence from Slovenia. Journal of Comparative Economics, 25, 158-179. Stickney, C., McGee, V., 1982. Effective corporate tax rates: the effect of size, capital intensity, leverage and other factors. Journal Account. Public Policy 1: 23–45. Suchman, M. C. 1995. Managing legitimacy: strategic and institutional approaches. Academy of Management Review 20 (3): 571-610. Thillainathan, R. 1999. Corporate governance and restructuring in Malaysia: a review of markets, mechanisms, agents and the legal infrastructure. Paper prepared for the joint World Bank/OECD Survey of Corporate Governance arrangements in a selected number of Asian countries. Wu, L., Wang, Y., dan Gillis, P. 2012. State ownership, tax status and size effect on effective tax rate in China. Accounting and Business Research 42 (2) : 97-114. Young, M. N., Peng, M. W., Ahlstrom, D., Bruton, G. D. & Jiang, Y. 2008. Corporate governance in
108
emerging economies: a review of principalprincipal perspective. Journal of Management Studies 45: 196-220. Zeng, Tao. 2010. Ownership Concentration, State Ownership, and Effective Tax Rates: Evidence from China’s Listed Firms. Accounting Perspectives 9 (4): 271-289.
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
INDEKS SUBJEK JURNAL BPPK
Volume 9 Nomor 1, 2016 agresivitas pajak, 101, 102, 103 AIDA,, 21, 27, 31 akuntabilitas, 33, 34, 35, 36, 38, 40, 43 analisis, 1, 2, 3, 4, 5, 8, 9, 10, 11, 12, 14, 15, 16, 17, 33, 40, 49, 50, 51, 52, 53, 55, 58, 62, 63, 88, 90, 91, 92, 93, 94, 102, 106, 108, 3 APBN, 96, 99 asuransi, 1, 2, 3, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 103 Bank Indonesia, 47, 48, 50, 52, 53, 64, 65, 92, 97 Bursa Efek Indonesia, 1, 2, 3, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 99, 102, 104 cadangan devisa, 88, 90, 92, 93, 96 Capital gain, 4 cargo, 25, 26, 31 Central Bank of Indonesia, 71 Cina, 35, 90, 100, 102 coefficient, 1 cointegration,, 88 consumer confidence, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 75, 76, 77, 79, 80, 81 consumer confidence index, 66, 70, 71, 73, 75, 76, 80, 81 consumer sentiment, 67, 69, 70, 71, 78, 80 consumption, 66, 68, 69, 70, 71, 81 corporate ownership,, 99 Currency Rate, 71 customs, 24, 25, 26, 27, 28, 30, 31 Customs administrations, 24 Customs and Border Protection, 25, 31 customs officials, 24, 30 Customs preinspection,, 21 Darwin, ii, 21, 24, 25, 28, 29, 30 data, 1, 2, 4, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 14, 15, 16, 17, 18, 23, 25, 26, 28, 33, 37, 38, 40, 47, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 67, 68, 69, 70, 71, 75, 81, 88, 90, 92, 93, 94, 96, 97, 102, 104, 105, 3, 7 Debt Equity Ratio, 5, 11 demand, 29, 30, 48, 68, 69, 79 developing countries, 24, 25 Developing eastern Indonesia,, 21 Dividen, 6, 19 Dolar AS, 88, 92, 95, 96 Earning, 5, 6, 8, 15, 19 Eastern Indonesia, 21, 22, 23, 24, 26, 27, 28, 29, 30 Economic cooperation,, 21 economic development, 21, 23, 27, 29, 70 economic fluctuations, 67, 70 economy, 30, 66, 67, 68, 69, 70, 72, 73, 76, 79, 80, 108 Effective Tax Rate, 99, 101, 103, 104, 109 ekonometrik, 92, 94 ekonomi, i emisi saham, 6 Engle Granger, 95, 96 error correction model, 88
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
evaluasi, i exchange rate,, 88 expenditure, 21 Faktor Fundamental, 1, 4, 18, 19 financial market, 66, 70 forecast, 67, 69, 71, 72 future consumption, 68, 69, 81 GDP, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 73, 74, 75, 77, 80, 81, 85, 86 global, 24, 25, 66, 67, 72, 88, 100, 102 Gross Regional Domestic Products, 21 import, 21, 24, 25, 26, 28, 29, 30, 31, 71, 92 impulse response, 47, 52, 55, 59 impulse response,, 47 income, 2, 4, 25, 29, 30, 67, 68, 69, 70, 71, 103, 104, 105, 108 Indonesia, i, 47, 3, 4 Inflasi, 47, 48, 49, 50, 52, 53, 55, 61, 64, 65 inflation,, 47, 66, 69, 74, 80 information, 24, 27, 28, 30, 34, 67, 68, 69, 70, 74, 79, 80 insurance, 1 internasional, 3 International trade, 24, 31 investasi, 1, 2, 3, 4, 5, 15, 16, 17, 18, 49, 88, 91, 93, 100, 101, 103 investment, 1, 27, 28, 29, 30, 68, 70, 71, 73 investor, 1, 2, 3, 4, 6, 7, 8, 15, 16, 17, 18, 29, 90, 100, 102, 103 jasa, 3 job availability, 68, 71 Kenaikan harga, 48 Kepemilikan Asing, 102, 103 kepemilikan keluarga, 99, 100, 101, 103, 104, 106, 107, 108 kepemilikan pemerintah, 99, 100, 101, 103, 104, 106 Keseimbangan, 49, 91 keuangan, i Kinerja, 1, 2, 3, 5, 19, 41 kointegrasi, 51, 52, 54, 92, 93, 94, 95, 96 komoditas, 47, 48, 49, 50, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 62, 63, 64, 90, 93 konsumen, 50, 66, 88 konsumsi, 49, 58, 60, 63 korupsi, 34, 35, 36 kualitas laporan keuangan, 33, 34, 35, 36, 38, 39, 40 Kualitas Sumber Daya Manusia, 33 laba, 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 14, 15, 16, 17, 18, 99, 101, 102, 103, 104, 105 laporan keuangan, 1, 2, 3, 4, 6, 7, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 43 latar belakang pendidikan, 33, 36, 37, 38, 39, 40, 43, 44, 45 legitimasi, 100 macroeconomics, 66, 67 market, 3, 4, 5, 6, 15, 16, 17, 18, 27, 28, 66, 67, 68, 70, 71, 72, 74, 79
108.1
mata uang, 88, 90, 91, 92 moneter, 47, 50, 64, 97 movement, 1, 47, 69, 70, 73, 74, 79, 80 negara, i, 21, 33, 35, 49, 88, 90, 91, 93, 96, 99, 101, 102, 103, 107, 7 neraca, 3, 6, 90, 91, 92, 96 Nilai tukar, 88, 90, 93 Opini Audit, 33, 37, 42, 44, 45 organisasi, 3 organisasi sektor publik, 33, 34 pajak, 7, 34, 49, 91, 96, 99, 100, 101, 102, 103, 106, 107 pelatihan, 36, 38, 40, 43 pemegang saham, 99, 100, 101, 103 Pemeriksaan Pendahuluan, 21 pemerintah daerah, 34, 35, 36, 50, 64 pendapatan, 2, 4, 5, 6, 58, 99, 102 pengelolaan keuangan, 33, 35, 36 pengendalian intern, 34, 35, 40, 43 penghindaran pajak, 99, 100, 101, 102, 106, 107, 108 pengungkapan, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 43 perdagangan, 4, 50, 88, 90, 91, 93, 96 pola pergerakan inflasi, 47, 48, 49 policy rate, 66, 68, 71, 73, 74, 75, 76, 77, 79, 80 portofolio, 5, 6 Pre-Shipment Inspection, 24 price earning ratio, 1, 6, 7, 11, 14, 16, 17, 18 profitabilitas, 3, 4, 5, 6, 16, 100, 101, 102, 108 proses produksi, 47, 49, 50, 56, 57 rasio keuangan, 3, 5 resistensi, 99 Return, 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 10, 12, 13, 15, 16, 17, 18, 19, 103 Return on assets, 10, 15 Rupiah, 71, 88, 90, 92, 95, 96 Saham, 1, 3, 6, 7, 8, 15, 16, 17, 18, 19, 92, 93 satuan kerja, 37, 38, 39, 43 shipping, 29, 30 signifikan, 6, 8, 15, 16, 17, 33, 34, 35, 38, 39, 40, 88, 90, 91, 93, 94, 95, 96, 99, 101, 102, 106, 107 stationarity,, 88 Stock Exchange, 1, 6, 15, 18 stock returns, 1, 18, 19, 70 Struktur kepemilikan perusahaan, 107 suku bunga, 88, 90, 92, 93 Sulawesi Selatan, 22, 23, 47, 48, 52, 53, 54, 63, 64, 65 supply, 31, 48, 79 tax aggressiveness,, 99 Temuan Audit, 33, 35, 38, 41, 42 Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan, 33, 36, 38 tindakan pajak agresif, 99, 100, 101, 102, 103, 106, 107, 108 tingkat inflasi, 47, 48, 50, 54, 55, 59, 62, 63, 91, 92, 93 Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan, 33, 37, 41, 44, 45 transparansi, 33, 34, 35, 36, 40 Uji normalitas, 94 Umur Organisasi, 37, 44, 45 unemployment, 69, 70, 81, 91 utang, 90, 91, 92, 93, 96, 103 VAR,, 47, 75
108.2
variabel, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 15, 16, 17, 18, 34, 36, 37, 38, 39, 40, 43, 44, 45, 48, 50, 51, 52, 54, 56, 57, 58, 60, 61, 62, 66, 88, 90, 92, 93, 94, 95, 96, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 3 variance decomposition, 47, 55 volatilitas, 50, 88, 90
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
PETUNJUK BAGI (CALON) PENULIS JURNAL BPPK 1. Sebagai pra-syarat dalam mengirimkan artikel untuk dapat diterbitkan pada Jurnal BPPK, penulis diwajibkan mengirimkan (calon) artikel Jurnal BPPK yang dilengkapi: Surat pernyataan orisinalitas karya bermaterai cukup (Rp 6.000,-), Lembar Identitas Artikel Jurnal BPPK, Curriculum Vitae. Format terlampir. 2. Artikel yang diajukan diketik dengan program Microsoft Word atau program pengolah kata sejenis dan disimpan dalam format docx menggunakan huruf Cambria, ukuran 10 pts, spasi tunggal, dicetak pada kertas A4 dengan panjang 15 s.d. 30 halaman, dan diserahkan dalam bentuk hardcopy/cetak sebanyak 1 eksemplar beserta softcopy-nya. Pengiriman Artikel softcop yjuga dapat dilakukan melalui e-mail ke alamat: [email protected]. 3. Artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Inggris. Sistematika artikel hasil penelitian adalah a. Judul Penulisan judul tidak lebih dari 14 kata, dicetak dengan huruf kapital, center, Cambria 14. b. Nama Penulis Nama Penulis ditulis tanpa gelar akademik, disertai lembaga asal tempat peneliti melakukan penelitian.Dalam hal artikel ditulis oleh tim, penyunting hanya berhubungan dengan penulis utama atau penulis yang namanya tercantum pada urutan pertama. Penulis utama wajib mencantumkan alamat korespondensi dan/atau e-mail. c. Abstrak disertai kata kunci Abstrak dan kata kunci ditulis dalam dua bahasa, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Panjang masing-masing abstrak tidak lebih dari 150 kata yang disertai dengan 3-5 kata kunci. Abstrak minimal berisi judul, tujuan, metode dan hasil penelitian. Penulisan Abstrak yang berbahasa Inggris mengacu pada kaidah penulisan abtrak karya ilmiah yang berlaku umum secara internasional. Dalam hal penerjemahan abstrak bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris, penulis tidak diperkenankan melakukan copy-paste langsung dari software/aplikasi/web penerjemah bahasa. Untuk keperluan translasi direkomendasikan menggunakan jasa penerjemah tersumpah. Adapun biaya yang muncul atas penggunaan jasa tersebut menjadi tanggung jawab penulis artikel. d. Pendahuluan Bagian ini menjelaskan latar belakang riset, rumusan masalah, pernyataan tujuan dan (jika dipandang perlu) organisasi penulisan artikel. e. Kerangka teoritis dan pengembangan hipotesis Memaparkan kerangka teoritis berdasarkan telaah literatur yang menjadi landasan logis untuk mengembangkan hipotesis atau proporsi riset dan model riset. f.
Metode riset/penelitian Menguraikan metode seleksi dan pengumpulan data, pengukuran dan definisi operasional variabel, dan metode analisis data.
g. Hasil dan pembahasan Menjelaskan analisis data riset dan deskripsi statistik yang diperlukan
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
108.3
h. Kesimpulan Memuat simpulan hasil riset, temuan penelitian yang berupa jawaban atas pertanyaan penelitian atau berupa intisari hasil pembahasan. Simpulan disajikan dalam bentuk paragraf. i.
Implikasi dan keterbatasan Menjelaskan implikasi temuan dan keterbatasan riset, serta jika perlu saran yang dikemukakan peneliti untuk riset yang akan datang.
j.
Daftar Pustaka Memuat sumber-sumber pustaka atau referensi yang dikutip di dalam penulisan artikel. Hanya sumber yang diacu yang dimuat dalam daftar referensi ini. Untuk keseragaman penulisan, Daftar Pustaka ditulis sesuai dengan format American Psychological Association (APA)
k. Lampiran Memuat tabel, gambar dan instrumen riset yang digunakan 4. Tata cara penyajian kutipan, rujukan, tabel, dan gambar mengikuti ketentuan dalam PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL ILMIAH JURNAL BPPK atau merujuk pada tata cara yang digunakan dalam artikel yang telah dimuat. Artikelberbahasa Indonesia menggunakan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan dan istilah-istilah yang telah dibakukan oleh Pusat Bahasa. 5. Semua Artikel ditelaah secara anonim oleh Dewan Editor yang ditunjuk oleh Sekretariat Jurnal BPPK menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan atau revisi artikel atas dasar rekomendasi/saran dari Dewan Editor atau penyunting. Kepastian pemuatan atau penolakan artikel akan diberitahunkan secara tertulis. 6. Segala sesuatu yang menyangkut perijinan pengutipan, penggunaan software/aplikasi komputer untuk pembuatan artikel atau hal lainnya yang terkait dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) yang dilakukan oleh penulis, berikut konsekuensi hokum yang mungkin timbul, menjadi tanggung jawab penuh penulis artikel.
108.4
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS ARTIKEL JURNAL BPPK Yang bertanda tangan di bawah ini, Nama Penulis Artikel
: ................................................................................................................................
NIP/NRM
: ................................................................................................................................
Pangkat / Golongan
: ................................................................................................................................
Jabatan
: ................................................................................................................................
dengan ini menyatakan bahwa artikel yang saya susun dengan judul :
JUDUL ARTIKEL UNTUK JURNAL BPPK (Huruf Tebal) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dan bukan merupakan plagiat dari artikel orang lain. Artikel ini belum pernah dipublikasikan pada jurnal atau media yang lain dan akan diserahkan kepada Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) untuk digandakan, diperbanyak dan/atau disebarluaskan. Apabila kemudian hari pernyataan Saya tidak benar, maka Saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan termasuk sanki pidana. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, untuk dapat dipergunakan bilamana diperlukan.
........................, ............................................. Pembuat Pernyataan Materai Rp6.000,00
...................................................................... NIP
Catatan: Dapat diperbanyak sesuai kebutuhan penulis dan bilamana diperlukan, Softcopy surat pernyataan ini dapat diminta melalui email: [email protected]
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
108.5
FORMULIR CURRICULUM VITAE PENULIS ARTIKEL JURNAL BPPK Nama Lengkap
:
Tempat/Tgl Lahir
:
Jabatan Sekarang
:
Unit Kerja
:
NIP/NRM/Gol.
:
No. Rekeneing
:
NPWP
:
Email
:
No HP
:
Bank …
Cabang …
Riwayat Pendidikan : Jenjang
Gelar
Universitas
Tahun
D1 D3 D4/S1 S2 S3 Riwayat Pekerjaan: Jabatan
Unit Kerja/Organisasi
Periode
Penghargaan/Award/Acknowledged Reward:
Bidang Keilmuan yang Diminati:
Catatan: Dapat diperbanyak sesuai kebutuhan penulis dan bilamana diperlukan, Softcopy Form CV ini dapat diminta melalui email: [email protected]…
108.6
Jurnal BPPK Volume 9 Nomor 1, 2016
LEMBAR IDENTITAS ARTIKEL JURNAL BPPK Judul Artikel
Beri tanda ( ) pada yang telah disediakan sesuai keadaan yang sebenarnya: a. Jenis Artikel
Hasil pemikiran pada ______________________________________ (bulan dan tahun) Hasil penelitian tahun _____________________________________ (bulan dan tahun) b. Hubungan dengan penelitian lain sebelumnya
Penelitian/Pemikiran baru Ringkasan/Short version Skripsi karya sendiridengan judul __________________________________________________ _______________________________________________________________________________________________________________________
Ringkasan/Short version Thesis karya sendiri dengan judul ___________________________________________________ _______________________________________________________________________________________________________________________
Kajian atau karya Ilmiah lain karya sendiri karya sendiri yaitu _______________________________________________ dengan judul _______________________________________________________________________________________________________ ______________________________________________________________________________________________________________________
Lainnya, sebutkan: _________________________________________________________________________________________________ c. Tempat Penulis melakukan Penelitian/Pemikiran pada Artikel ini
Tempat Kerja yaitu ________________________________________________________________________________________________ Sewaktu Pendidikan program_________________________________________________________ (nama program studi dan jenjang) di ___________________________________________________________________________________________(nama universitas dan negara)
Lainnya, yaitu ______________________________________________________________________________________________________ d. Sumber Pembiayaan dalam melakukan Penelitian/Pemikiran pada Artikel ini
Sendiri Lainnnya, yaitu: ____________________________________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________________________________________________ Dengan ini saya menyatakan bahwa data yang saya isi pada formulir ini adalah benar adanya dan tanpa rekayasa. Apabila kemudian hari pernyataan Saya tidak benar, maka Saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan termasuk sangsi pidana. ........................, .................................................... Penulis Artikel,
.............................................................................
Jurnal BPPK, Volume 9 Nomor 1, 2016
108.7