JURNAL APLIKASI FISIKA
VOLUME 7 NOMOR 2
AGUSTUS 2011
Kajian Akifer Pantai Pulau Ternate Ramdani Salam Jurusan Fisika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Khairun Ternate Jl. Bandara Babullah , Ternate 97721 E-mail:
[email protected] Abstrak Akifer pantai merupakan lapisan di pantai yang dapat menyimpan dan mengalirkan fluida. Penelitian ini dilakukan untuk menyelidiki kondisi akifer pantai di daerah selatan pulau Ternate, di mulai dari kelurahan Bastiong sampai Kelurahan Kastela, dengan menggunakan metode geolistrik tahanan jenis konfigurasi Wenner Alpha. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program komputer Res2diV untuk mengetahui gambaran bawah permukaan yang menujukkan kondisi akifer pantai di daerah selatan pulau Ternate. Dari hasil pengolahan data, menunjukkan bahwa sebagian besar dari daerah penelitian tidak terindikasi intrusi air laut atau dapat dikatakan kondisi akifer di daerah selatan pulau Ternate cukup baik, dengan nilai resistivitas berkisar antara 12,7 sampai 115 m . Kata Kunci : Akifer, Metode Geolistrik, Resistivitas
diantisipasi kejadiannya agar dapat dimanfaatkan seluruhnya. Pada penelitian ini metode geofisika yang digunakan untuk menyelidiki Akifer Pantai Pulau Ternate bagian Selatan, yang berlokasi di pantai Bantiong, Kayu Merah, Sasa dan Kastela, adalah metode geolistrik dengan konfigurasi Wenner Alpha,
1. Pendahuluan Air merupakan unsur utama pembentuk kehidupan di muka bumi. Air juga merupakan bagian penting dari sumber daya alam yang mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan sumber daya alam lainnya. Semua organisme yang hidup sangat membutuhkan air, sehingga ketersediaan air harus dapat dijaga dengan baik, terutama kualitasnya. Selain itu kebutuhan akan air tanah tidak hanya dari segi kuantitasnya saja, tetapi juga kualitasnya. Perubahan kualitas air tawar di daerah pantai disebabkan terjadinya perubahan negatif dari keseimbangan alam di daerah tersebut. Salah satu fenomena pencemaran air tanah terutama di daerah pantai adalah terjadinya penyusupan air laut atas lapisan akifer (lapisan pembawa air) tawar. Penyusupan air laut di daerah pantai dapat terjadi secara alami seperti adanya proses resapan dan pasang surut air laut ataupun terjadi karena aktivitas manusia yang mengeksploitasi air tanah di daerah pantai secara besar-besaran dan melebihi potensi yang ada. Oleh karena itu penyusupan air laut (saline water intrusion) harus dihindari dan
2. Pulau Ternate Menurut Freeze dan Cherry [3] daerah tangkapan didefinisikan sebagai bagian dari suatu daerah aliran (catchment area) di mana aliran air tanah menjauhi muka air tanah. Sedangkan daerah buangan didefinisikan sebagai bagian dari suatu daerah aliran (catchment area) di mana aliran air tanah menuju muka air tanah. Air bawah tanah mengalir dari daerah tangkapan yang letaknya lebih tinggi menuju ke daerah yang lebih rendah dan akhirnya mencapai laut. Daerah tangkapan air bawah tanah (recharge area) biasanya berupa daerah pegunungan atau perbukitan, sedangkan daerah buangan (dicharge area) umumnya terdapat pada daerah lembah dan daerah pantai. Muka air bawah tanah pada daerah tangkapan umumnya terletak lebih dalam
51
52
JAF, Vol. 7 No. 2 (2011), 51-55
sedangkan pada daerah buangan lebih mendekati permukaan tanah. Tubuh Gunung Gamalama atau Pulau Ternate secara keseluruhan adalah merupakan daerah tangkapan (recharge area) sedangkan yang tergolong dalam daerah buangan (discharge area) adalah muncul sebagai mata air. Sedangkan pada bagian lereng hingga kaki gunung api merupakan potensi akifer hasil pelapukan dan potensi akifer endapan vulkanik [4].
2.1. Hubungan Air Tawar dan Air Asin Dalam keadaan statis, air tawar akan mengapung di atas air asin di daerah pantai karena air asin mempunyai densitas yang lebih tinggi dari air tawar. Hal ini memenuhi persamaan hidrostatis fluida dengan persamaan (1) sgz = f g(z+h) dimana : f = densitas air tawar (gr/cm) s = densitas air asin (gr/cm) g = percepatan gravitasi (cm/det2) z = kedalaman interface air tawar – air asin dari mean sea level h = ketinggian muka air tanah dari mean sea level maka akan didapatkan bahwa : z = 40 h (2)
Gambar 1 Kondisi interface antara air tawar – air asin [7]
Ini berarti bahwa kedalaman batas (interface) air tawar dan air asin adalah sekitar 40 kali ketinggian muka air tanah dari muka air laut. Kedalaman bidang temu ini tergantung pada kedudukan paras air tanah tawar yang dihitung dari muka laut. Apabila paras air tanah ini berkurang (karena dipompa airnya),
maka akan mengakibatkan kedalaman bidang temu berkurang. Air tawar didorong air asin, sehingga yang semula airnya tawar telah menjadi air asin [1]. 2.2. Survey Geolistrik Tahanan Jenis Metode pemetaan geolistrik telah banyak digunakan dalam lingkungan dan penyelidikan geoteknik untuk pemetaan struktur geologi yang kompleks (Griffiths dan Barker 1993) [6] karena dapat memberikan gambaran distribusi resistivitas struktur tersebut. Survei pencitraan geolistrik bertujuan untuk menentukan sifat-sifat fisik pada suatu tempat digambarkan dengan menginjesikan arus dengan panjang bentangan yang berbeda dan pengukuran tegangan. Prinsip metoda geolistrik adalah pengukuran respon terhadap arus listrik yang diinjeksikan ke dalam bumi. Respon berupa potensial dapat mencerminkan distribusi sifat fisis (resistivitas) bawah-permukaan. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan dua pasang elektroda yang masing-masing berfungsi sebagai elektroda arus (A dan B) dan elektroda potensial (M dan N). Pencitraan survei geolistrik yang biasanya dilakukan dengan sistem resistivitas multi-elektroda (Gambar 2). Survei tersebut menggunakan sejumlah elektroda (25 atau lebih) yang diletakkan dalam satu garis lurus pada interval yang sama, dan tegak lurus terhadap target di bawah permukaan. Sebuah sistem komputer yang dikontrol, kemudian digunakan untuk memilih elektroda aktif untuk setiap elektroda diset-up secara otomatis. Data yang dikumpulkan dalam survei ini diinterpretasikan secara kuantitatif dengan menggunakan inversi algoritma (Loke dan Barker, 1996) [6] untuk memberikan hasil inverse yang mendekati nilai resistivitas struktur bawah permukaan yang sebenarnya. Pemetaan batas-batas antara air tawar dan air asin merupakan sebuah aplikasi yang ideal untuk survei resistivitas permukaan karena konduktivitas listrik air laut yang tinggi dan kontras dengan air tawar [2].
Kajian Akifer Pantai Pulau Ternate ... (Ramdani Salam.)
53
pada gambar 3 yang berjarak spasi 5 meter (jarak antara elektroda), panjang lintasan atau bentangan 115 meter, 24 elektroda, dan target kedalaman hingga 19,8 meter.
Gambar 2. Skema Diagram urutan pengukuran digunakan untuk membangun sebuah pseudosection resistivitas 2D yang dibuat oleh sistem Wenner dikendalikan komputer multi-elektroda.
3. Metode Penelitian Cakupan daerah yang dijadikan tempat pengamatan adalah bagian Selatan pulau Ternate dimulai dari kelurahan Bastiong sampai pada kelurahan Kastela terlihat pada Gambar 3
Gambar 3. Susunan Peralatan
4. Hasil dan Pembahasan Data hasil pengukuran di lapangan dengan nilai resistivitas semu setelah diolah dengan menggunakan program komputer Res2Dinv akan terlihat nilai resistivitas dalam sebaran warna dengan harga tertentu. Secara lengkap hasil pengukuran pada beberapa tempat di daerah selatan pulau Ternate dapat dilihat pada gambar 5, 6, 7 dan 8 sebagai berikut : Gambar 5 merupakan penampang resistivitas hasil pengambilan data yang berlokasi di kelurahan Bastiong, dengan harga m sampai 101 sebaran resistivitas 19,8
m. Gambar 6 merupakan penampang resistivitas hasil pengambilan data yang berlokasi di kelurahan Kayu Merah, dengan m sampai harga sebaran resistivitas 1,32 409 m. Gambar 7 merupakan penampang resistivitas hasil pengambilan data yang berlokasi di kelurahan Sasa, dengan harga m sampai 41,0 sebaran resistivitas 5,25 Gambar 3. Lokasi Penelitian
. Keterangan pada gambar 3: No 1 : Kelurahan Bastiong No 2 : Kelurahan Kayu Merah No 3 : Kelurahan Sasa No 4 : Kelurahan Kastela
Dalam Penelitian digunakan metode geolistrik dengan konfigurasi Wenner Alpha 2D secara otomatis diseting oleh alat resistivitimeter multi elektroda ARES dari GF Instruments, dengan susunan peralatan terlihat
m. Gambar 8 merupakan penampang resistivitas hasil pengambilan data yang berlokasi di kelurahan Kastela, dengan harga m sampai 115 sebaran resistivitas 2,44
m. Perbedaan warna diindikasikan sebagai perbedaan nilai resistivitas yang merupakan gambar stuktur bawah permukaan yang terukur sebagai dampak dari adanya porositas dan tingkat kekompakan material.
54
JAF, Vol. 7 No. 2 (2011), 51-55
Perbedaan nilai resistivitas dapat menunjukkan lapisan dan struktur tanah yang menunjukkan
kondisi akifer pantai yang telah terdeteksi oleh resistivitymeter.
Gambar 5. Tampilan inversi 2D untuk akifer pada kelurahan Bastiong
Gambar 6. Tampilan inversi 2D untuk akifer pada kelurahan Kayu Merah
Gambar 7. Tampilan inversi 2D untuk akifer pada kelurahan Sasa
Gambar 8. Tampilan inversi 2D untuk akifer pada kelurahan Kastela
Kajian Akifer Pantai Pulau Ternate ... (Ramdani Salam.)
Perbedaan warna diindikasikan sebagai perbedaan nilai resistivitas yang merupakan gambar stuktur bawah permukaan yang terukur sebagai dampak dari adanya porositas dan tingkat kekompakan material. Perbedaan nilai resistivitas dapat menunjukkan lapisan dan struktur tanah yang menunjukkan kondisi akifer pantai yang telah terdeteksi oleh resistivitymeter. Pada gambar 5 lokasi pengambilan data di kelurahan Bastiong, penelitian dilakukan dengan jarak 10 meter dari garis pantai. Ternyata secara keseluruhan masih terlihat air tawar dalam lapisan alluvial, lempung pasiran, dan kerikil serta pasir yang basah karena tersaturasi oleh air dengan nilai resistivitas 19,8 m sampai 101 m pada kedalaman 0,750 sampai 7,46 meter. Pada gambar 6 pengambilan data yang berlokasi di kelurahan Kayu Merah, pada kedalaman 13 sampai 16 meter terdapat indikasi air laut yang mempunyai nilai m sampai 2,99 resistivitas 1,32 m. Penyebab terdapatnya indikasi air laut karena pengukuran dilakukan sangat berdekatan dengan garis pantai yaitu sekitar 1 m. Pada gambar 7 pengambilan data yang berlokasi di kelurahan Sasa, terlihat adanya genangan air laut pada kedalaman 1 sampai 2 m. meter dengan nilai resistivitas 5,25 Sedangkan pada kedalaman 3 sampai 15,8 meter diduga sebagai air tawar dan lempung pasiran yang mempunyai nilai resistivitas 12,7 m sampai 41 m. Pada gambar 8 pengambilan data yang berlokasi di kelurahan Kastela, terlihat adanya indikasi air laut yang terletak pada kedalaman 17 sampai 19,8 meter dengan nilai m sampai 4,23 resistivitas 2,44 m. Sedangkan pada kedalaman 1,25 sampai 16 meter terdapat lempung pasiran, dan air tawar dengan nilai resistivitas 12,7 m sampai 115
m.
55
Dari seluruh lokasi penelitian mulai dari kelurahan Bastiong sampai kelurahan Kastela maka didapat informasi bahwa pada daerah selatan pulau Ternate kondisi akifernya cukup bagus atau dapat dikatakan kondisi akifernya masih jauh dari indikasi intrusi air laut. 5. Kesimpulan Dari hasil penelitian tentang kondisi akifer pantai daerah selatan pulau Ternate dapat disimpulkan bahwa, akifer pantai bagian selatan pulau Ternate masih dalam keadaan bagus dan masih jauh dari indikasi intrusi air laut. Ini dikarenakan daerah tangkapan hidrologi (recharge area) pulau Ternate masih terjaga. Daftar Pustaka [1]
[2]
[3]
[4] [5]
[6]
[7] [8]
Alma'ruf, 1995. Aplikasi Metode Tahanan Jenis Dan Pengukuran Konduktivitas Untuk Mendeteksi Intrusi Air Laut Terhadap Lapisan Air Tanah Di Daerah Pantai Kuta Kabupaten Lombok Tengah. Tesis. ITB, Bandung. Gemail, Samir, Chr. Oelsner, S.E.Mousa and Sh. Ibrahim, (2004), Study of saltwater intrusion using 1D, 2D and 3D resistivity surveys in the coastal depressions at the eastern part of Matruh area, Egypt, Geophysical Prospecting, Kodoatie, J. Robert dan Sjarief Roestam. 2005. Pengelolaan Sumder Daya Air Terpadu. Andi, Yogyakarta. Latief, Abd Abujan. 2005. Kajian Air Tanah Pulau Ternate. Tesis. ITB, Bandung. Latif D. Busranto, (2008), Menelusuri AsalUsul dan Jejak Sejarah Orang Ternate, http://ternate.wordpress.com/2008 Nassir, M.H. Loke,C.Y. Lee, and M.N.M. Nawawi, (2000), Salt-water intrusion mapping by geoelectrical imaging surveys, Geophysical Prospecting, European Association of Geoscientists & Engineers Tood, D.K., (1980), Groundwater Hydrology, John Wiley and Sons, New York UU RI No.27/2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
JURNAL APLIKASI FISIKA
VOLUME 7 NOMOR 2
AGUSTUS 2011
Pemetaan Tingkat Ancaman Bencana Gempa Bumi di Kecamatan Kolaka, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara Masri, Firdaus, Deniyatno Laboratorium Geofisika, Jurusan Fisika, Fakultas MIPA Universitas Haluoleo
Abstrak Telah dilakukan penentuan tingkat ancaman bencana gempa bumi dan pembuatan peta tematik untuk mengetahui sebaran daerah rawan bencana gempa di kecamatan Kolaka, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Tingkat ancaman ditentukan berdasarkan akumulasi perkalian bobot dan skor parameter fisis yang mempengaruhi bencana gempa bumi. Teknik pembobotan dan skorsing menggunakan skala borgadus, sedangkan penentuan kelas interval tingkat ancaman menggunakan metode aritmatik. Informasi tingkat ancaman disajikan dalam peta tematik yang dibuat dengan menggunakan software ArcView 3.3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ancaman gempabumi hanya dalam tingkat menengah yang tersebar hampir di seluruh kelurahan sepanjang zona patahan, Kata Kunci : Gempa Bumi, Bencana alam, Kolaka, Peta tematik
Pemetaan ancaman meliputi identifikasi jenis ancaman, pengumpulan data dasar dan data lapangan, analisis dan zonasi intensitas ancaman, dan diakhiri dengan validasi hasil zonasi. Tujuannya adalah memberikan informasi distribusi spasial daerah yang terancam oleh suatu jenis bencana beserta informasi magnitudo pada setiap zona yang terancam. [1][2] Sistem Informasi Geografis (SIG) digunakan dalam memetakan keberagaman informasi karakteristik area baik dalam ruang dan waktu. Informasi spasial dapat menyediakan informasi lingkungan yang sangat berguna dari area dengan skala bervariasi dari keseluruhan benua sampai area yang sangat kecil. Pada fase mitigasi, SIG digunakan untuk mengelola data berukuran besar yang dibutuhkan untuk memperkirakan adanya resiko atau bahaya yang dapat berpotensi menjadi bencana. [8] Berdasarkan hal tersebut, maka perlu adanya upaya identifikasi tingkat ancaman bencana gempa bumi di Kecamatan Kolaka. Selanjutnya disajikan dalam informasi spasial berupa peta tematik daerah rawan bencana gempa berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG).
1. Pendahuluan Kecamatan Kolaka terletak di sebelah tenggara jazirah Sulawesi. Daerah ini tersusun atas wilayah perbukitan dan endapan alluvium di daerah pesisir. Tingkat intensitas hujan yang tinggi (2000mm/tahun) sangat memungkinkan terjadinya banjir dan tanah longsor. Struktur geologi wilayahnya juga tersusun dari sesar aktif Kolaka, pemekaran teluk Bone, serta berhadapan langsung dengan lempeng tektonik aktif di Laut Flores yang dapat memicu gempabumi dan tsunami. Secara historis, gempabumi pernah terjadi pada tanggal 27 Desember 2006 dari aktivitas patahan di Teluk Bone yang dirasakan hampir di seluruh Kabupaten Kolaka. Perkembangan pemahaman dan pengetahuan kebencanaan di Inodenesia telah memunculkan paradigma baru penanggulangan bencana, yaitu paradigma pengurangan risiko bencana. Dalam paradigma ini, bencana dibagi menjadi tiga aspek, yaitu ancaman (hazard), kerentanan (vulnerability) dan kemampuan /kapasitas (capacity). Salah satu implementasi kegiatan pengurangan resiko bencana adalah pemetaan ancaman bencana.
56
Pemetaan Tingkat Ancaman Bencana Gempa Bumi di Kecamatan Kolaka... (Masri, dkk.)
2. Geologi Lokasi Penelitian Daerah Kecamatan Kolaka terletak di jazirah Tenggara pulau Sulawesi. Memanjang dari utara ke selatan pada bagian barat Propinsi Sulawesi Tenggara. Secara geografis, Kecamatan Kolaka terletak pada koordinat 3,968o LS – 4,089o LS dan 121,596o BT – 121,743o BT. Keadaan morfologi wilayah Kecamatan Kolaka pada umumnya tediri dari perbukitan yang memanjang dari utara ke selatan. Diantara gunung dan bukit terbentang dataran-dataran rendah di daerah pesisir pantai di sebelah barat yang merupakan wilayah perairan laut Bone.
Gambar 1. Peta Geologi Daerah Penelitian
2.1. Stratigrafi Berdasarkan peta geologi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Propinsi Sulawesi Tenggara pada gambar 1 dan peta geologi lembar Kolaka oleh Simandjuntak, stratigrafi Kecamatan Kolaka dapat dibagi dalam tiga formasi batuan berikut : a. Kompleks Mekongga (Pzm) Kompleks Mekongga (Pzm) pada Lembar Lasusua – Kendari disebut batuan malihan Paleooikum. Pada peta geologi yang dibuat oleh Dinas pertambangan dan Energi Sultra (2005) menyebutnya (Pcm) Kompleks batuan ini terdiri atas batuan metamorf berupa sekis, geneis dan kuarsit. Sebaran batuan ini sangat luas (55%)di bagian barat, tengah dan utara Kab. Kolaka yang membentang di arah utara pegunungan Mekongga hingga selatan
57
Raterate. Kedua lembar peta menyebutkan bahwa batuan ini berumur Karbon – Permian. b. Kompleks Pompangea (MTpn) Jenis batuan penyusun formasi ini adalah sekis, pualam, dan batu gamping. Jenis batuan sekis sangat mudah mengalami pelapukan. Batuan ini mempunyai kontak struktur geser dengan batuan yang lebih tua di bagian utara yaitu Kompleks Mekongga (Pzm). Berdasarkan penarikan umur oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (1993), Kompleks Pompangeo mempunyai umur Kapur Akhir–Paleosen bagian bawah sedangkan umur oleh Dinas Pertambangan dan Energi Sulawesi Tenggara adalah Karbon Akhir–Permian atau sama dengan Kompleks Mekongga (Pzm). Sebaran batuan ini relatif sempit, terdapat di bagian selatan daerah penelitian. c. Endapan Aluvium (Qa) Aluvial (Qa) adalah endapan termuda dan hingga kini masih berlanjut. Material penyusunnya berupa kerikil, pasir, kerakal, lempung dan unsur organik yang terendapkan bersama. Sebarannya sangat terbatas di beberapa muara sungai dan pantai. Luas sebarannya tidak lebih dari 2,5% dari luas wilayah Kab. Kolaka. Satuan ini berasal dari endapan sungai, rawa dan pantai sebagai endapan permukaan. Satuan aluvium ini diperkirakan Holosen. Endapan Aluvium dapat ditemui di sepanjang pesisir pantai Kecamatan Kolaka. [9] 2.2. Struktur Geologi Struktur geologi di daerah penelitian sebagian besar berbentuk kelurusan-kelurusan yang diakibatkan oleh pengaruh pembentukan pegunungan, perlipatan secara intensif dan sesar naik pada lengan tenggara pulau Sulawesi. Terdapat beberapa sungai besar seperti sungai Balandete dan Kolaka yang memanjang ke arah timur laut yang mengalir diantara perbukitan. Wilayah ini tersusun umumnya oleh batuan-batuan ultramafik dan metamorf yang berumur tua (Paleozoikum). Batuan-batuan berumur tua yang muncul ke permukaan ini menandakan bahwa wilayah
58
JAF, Vol. 7 No. 2 (2011), 56-61
Sulawesi Tenggara pada umumnya terbentuk oleh tektonik yang kuat dan intensif. Berdasarkan peta geologi oleh Dinas Pertambangan dan Energi Sultra (2005), maka di daerah penelitian terdapat satu patahan mayor yang dideskripsi sebagai patahan geser menganan dan berarah utara barat laut – tenggara dan mulai melewati Kolaka Kota hingga ke Selat Tiworo di selatan. Patahan ini memotong seri batuan yang tua seperti Kompleks Mekongga dan Kompleks Pompangeo, namun tidak memotong batuan muda seperti Formasi Langkowa di selatan. Berdasarkan fenomena tersebut maka patahan mayor tersebut terjadi sebelum formasi Langkowa terbentuk pada Miosen Tengah. Beberapa patahan minor juga dijumpai di wilayah studi yang umumnya patahan turun. Patahan minor ini umumnya berarah tegak lurus dengan arah kedua patahan mayor di atas. Berdasarkan teori mekanisme pergerakan lempeng dan pensesaran, jika patahan minor ini terjadi dalam suatu seri waktu, maka patahan minor ini merupakan patahan ikutan dari patahan mayor.[9] 3. Gempabumi Gempa bumi pada hakikatnya adalah pergeseran tiba-tiba dari lapisan tanah di bawah permukaan bumi yang disebabkan oleh energi yang dihasilkan oleh pergerakan batuan-batuan penyusun bumi. Pada saat mengalami gerakan yang tiba-tiba akibat pergeseran batuan, energi stress yang tersimpan akan dilepaskan dalam bentuk getaran yang kita kenal sebagai gempa bumi.[10] Energi getaran gempabumi dirambatkan ke seluruh bagian bumi. Di permukaan bumi, getaran tersebut dapat mengakibatkan kerusakan dan keruntuhan bangunan serta dapat menimbulkan korban jiwa. Getaran gempa ini juga dapat memicu terjadinya tanah longsor, runtuhan batuan dan kerusakan tanah lainnya yang merusakkan permukiman disekitarnya. [5][7]
Besarnya intensitas gempabumi di suatu tempat tidak tergantung dari besarnya kekuatan gempabumi (magnitude) saja namun juga tergantung dari besarnya jarak tempat tersebut ke sumber gempabumi dan kondisi geologi setempat.[3] Penentuan tingkat ancaman gempabumi didasarkan pada tiga komponen, yaitu jalur patahan, keberadaan sungai dan tingkat kerusakan infrastruktur. Potensi gempabumi ditentukan berdasarkan jaraknya dari lokasi patahan (sebagai pemicu gempa) serta keberadaan sungai–sungai besar yang terbentuk akibat patahan dan mengalir pada jalur patahan.[2] Jarak aman untuk kestabilan wilayah pemukiman dari areal sesar/patahan adalah lebih dari seribu meter (>1000m), sedangkan jarak pemukiman 100-1000m merupakan jarak yang rentan apabila terjadi gempa dengan magnitudo yang cukup tinggi, sedangkan jarak kurang dari seratus meter (<100 m) adalah daerah pemukiman yang sangat rawan mengalami kerusakan akibat gempa.
Gambar 2. Peta kondisi Seismotektonik Pulau Sulawesi Tahun 1973-2007
4. Metode Penelitian Sistematika penelitian ini mulai dari obsevasi daerah penelitian, pengambilan data hingga pada pembuatan peta tematik tingkat ancaman bencana gempabumi di Kecamatan Kolaka Kabupaten Kolaka, secara lengkap disajikan dalam diagram alir berikut :
Pemetaan Tingkat Ancaman Bencana Gempa Bumi di Kecamatan Kolaka... (Masri, dkk.)
59
parameter yang memiliki kelas interval yang sama. Tingkat ancaman dinyatakan dalam tiga indikator warna yang berbeda sesuai dengan banyaknya kelas. Proses pengolahan data hingga pembuatan peta tematik masing-masing bencana disajikan pada gambar 4.
Gambar 3. Diagram alir penelitian
Gambar 4. Diagram alir pembuatan peta tematik gempabumi
Pembuatan peta tingkat ancaman menggunakan software ArcView GIS 3.3. Peta daerah penelitian dibagi menjadi beberapa daerah yang menggambarkan areal dengan tingkat ancaman yang berbeda. Areal dibuat dengan menghubungkan titik-titik data
5. Hasil dan Pembahasan Pada studi ancaman bencana gempabumi di daerah penelitian tidak mengkaji aktivitas tektonik pada wilayah patahan. Parameter bencana yang digunakan adalah jarak dari patahan, jarak dari sungai, susunan formasi geologi, serta kepadatan dan kekuatan infrastruktur. Jarak titik data dari patahan dan sungai diperoleh melalui grid titik pada software ArcView dan penampakan citra melalui aplikasi google earth. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa beberapa wilayah pemukiman terletak di sekitar patahan mayor dan muara sungai. Sedangkan patahan minor memotong perbukitan dari arah tenggara-timur laut sejajar aliran sungai Balandete Gelombang seismik gempa bumi yang berasal dari episenter akan menjalar ke segala arah menuju permukaan bumi. Gelombang ini memiliki amplitudo yang tinggi di daerah episenter dan semakin melemah jika menjalar manjauhi episenter. Atas dasar ini maka jarak dari patahan menjadi parameter paling dominan dalam penentuan ancaman gempa bumi. Titik data parameter yang terletak di zona sesar (<100m) memiliki skor yang tinggi dibanding titik data yang terletak jauh dari zona sesar (>1000m). Demikian halnya pemberian skor untuk titik data yang dekat ataupun jauh dari badan sungai. [3] Selain itu, beberapa jenis formasi geologi memiliki struktur geologi yang dapat menimbulkan efek penguatan (amplifikasi) gelombang permukaan sehingga dapat merusak, seperti endapan muda alluvial yang cukup tebal. Sedangkan efek destruktif dapat terjadi pada gelombang permukaan jika melalui struktur geologi yang stabil dan kokoh seperti batuan beku ultra basa, sehingga, formasi geologi juga menjadi parameter bencana namun tidak diberikan bobot yang besar seperti kedua parameter sebelumnya,
60
JAF, Vol. 7 No. 2 (2011), 56-61
mengingat dominasi pengaruhnya yang cukup rendah. Pada formasi geologi, lahan alluvium diberikan skor terbesar dan formasi yang memiliki struktur batuan yang kompak dan padat diberikan skor terkecil seperti formasi Mekongga dan Boeara.[4]
Klasifikasi tingkat selanjutnya dilakukan
ancaman dengan
mengakumulasikan perkalian skor dan bobot menjadi total skor kemudian dihitung interval kelas dengan metode aritmatik. Interval nilai 100-203 tergolong dalam kategori tingkat ancaman rendah, interval nilai 204-307 tergolong dalam kategori menengah, sedangkan interval nilai 308-410 tergolong dalam kategori tinggi.
PE T A T I N G K A T A N C A M A N G E M PA B U M I KECA M A TA N KO LAK A
34 2 0 0 0
34 5 0 0 0
34 8 0 0 0
35 1 0 0 0
35 4 0 0 0
35 7 0 0 0
36 0 0 0 0
K e c. 95 5 8 0 0 0
M
95 5 8 0 0 0
o w e w e
K e c . L a ta m b a g a
95 5 5 0 0 0
95 5 5 0 0 0
W# a tu lia n d u S
L a lo h a e
L a m o k a to
# S
# S
95 5 2 0 0 0
95 5 2 0 0 0
T e lu
L a lo m b a a
k
# S
B o n
# S
e
Taho a # S
K e c . W u n d u la k o
B a la n d e te # S
S a b ila m b o 95 4 9 0 0 0
95 4 9 0 0 0
34 2 0 0 0
34 5 0 0 0
Le ge nd a T in g k a t A n c a m a n R en da h M e ne ng ah T in g g i # S K e lu ra h a n #
34 8 0 0 0
35 1 0 0 0
35 4 0 0 0
36 0 0 0 0
0
K e te ra n g a n D a tu m S is tem G rid S um be r D a ta
35 7 0 0 0
: W G S 84 : U TM : O b s erva s i K om pil as i P e ta T em atik C itra G oo gle E a rt h 4.2 p ro
2
4 Km
N
W
E
B a ta s K e c a m a ta n
S
B a ta s K e lu ra h a n S u n g a i B e sa r
S ka la 1 : 1 0 0 .0 0 0
Ja la n P ro v in s i S e sa r/F a u lt
D ib ua t O leh S ta m bu k W ak tu P em bu ata n
: M a s ri : F 1B 1 0 6 0 04 : A gu st us 20 10
P ro gra m S tu di F is ika Fa k ulta s M ate m a tik a d an Ilm u P e ng e tah ua n A la m U nive rs ita s H a luo leo
Gambar 5. Peta tematik tingkat ancaman gempabumi Kecamatan Kolaka
Pemetaan Tingkat Ancaman Bencana Gempa Bumi di Kecamatan Kolaka... (Masri, dkk.)
Terlihat bahwa 12% wilayah Kecamatan Kolaka merupakan daerah dengan ancaman gempa bumi yang menengah. Sisanya, merupakan daerah dengan tingkat ancaman rendah yang sebagian besar adalah daerah yang jauh dari patahan dan badan sungai. Daerah dengan tingkat ancaman gempa bumi yang menengah terdapat hampir di seluruh kelurahan,kecuali Kelurahan Tahoa dengan tingkat ancaman rendah. Patahan mayor yang berarah utara barat laut – tenggara melewati daerah penelitian memotong seri batuan tua kompleks Pompangea di daerah tenggara dan kompleks mekongga di daerah lereng bukit hingga perbukitan. Patahan minor berarah tegak lurus dengan arah patahan mayor juga membujur sepanjang Kelurahan Sabilambo. Daerah pemukiman dengan berbagai infrastruktur terletak di zona sesar, susunan formasi daerah yang didominasi oleh alluvium dan kedekatan dengan badan sungai menghasilkan akumulasi bobot pada kelas menengah. Daerah dengan tingkat ancaman ini tersebar searah dengan arah orientasi patahan. Beberapa wilayah pesisir dan kelurahan Tahoa tergolong aman, disebabkan oleh minimnya infrastruktur yang terdapat pada daerah tersebut. Berdasar peta seismotektonik Sulawesi (gambar 2), terdapat beberapa titik aktivitas seismotektonik pada kedalaman dangkal di sekitar Kecamatan Kolaka. Data historis sebaran kejadian gempabumi yang diperoleh melalui stasiun geofisika klas IV Badan Metereologi dan Geofisika Kendari menunjukkan sebaran gempabumi di wilayah Kolaka Utara dan sekitarnya dalam kurun waktu 1998 – 2007 memiliki magnitudo ratarata sebesar 4,9 SR dengan kedalaman episenter yang dangkal. Dapat disimpulkan selama kurang lebih satu dekade, tidak terdapat aktivitas seismik dengan magnitudo yang tinggi di Kecamatan Kolaka. Hal ini perlu menjadi pertimbangan mengingat peta tingkat ancaman yang dibuat berdasarkan asumsi gempabumi dengan magnitudo menengah (6-6,5 SR)
61
Daftar Pustaka [1]. _________, 2008, Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana. Badan Nasional Penaggulangan Bencana : Jakarta. [2]. _________, 2008. Buku Metode Pemetaan Bencana Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta. [3]. Gunawan, Ibrahim dan Subardjo, 2004. Pengetahuan Seismologi. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Jakarta. [4]. Haifani, Akhmad Muktaf. 2008. Pemetaan Kecepatan Gelombang Shear (Vs) Berkaitan Dengan Potensi Kerusakan Akibat Gempa Bumi (Seminar Nasional SDM Teknologi Nuklir). Bapeten : Yogyakarta. [5]. Harjadi, Prih. ARatag, Mezak, Karnawati, Dwikorita (UGM), Rizal, Syamsul, Surono, Sutardi, Triwibowo, Hermono Sigit (KLH), AtikWasiati, Yusharmen, Pariatmono (Ristek) Triutomo, Sugeng, DESS (Lakhar BAKORNASPB), WisnuWidjaja, 2007. Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia. BAKORNAS PB : Jakarta. [6]. Prasetya, Tiar. 2006. Gempa Bumi dan cara penanggulangannya. Gita Negeri : Jakarta. [7]. Sadisun I. A., 2008. Pemahaman Karateristik Bencana : Aspek Fundamental dalam Upaya Mitigasi Dan Penanganan Tanggap Darurat Bencana. Pusat Mitigasi Bencana. Institut Teknologi Bandung(ITB), Bandung. [8]. Sembiring, Kristantus, 2007. Aplikasi Sistem Informasi Penanggulangan Bencana di Indonesia. Karya Tulis Ilmiah Jurusan Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung : Bandung. [9]. Simandjuntak, T.O., Surono, dan Sukido, 1994. Geologi Lembar Kolaka, Sulawesi Skala 1 : 250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi : Bandung. [10]. .Suryani, Thesa Adi. 2007. Analisis Komparatif Nilai Parameter Sismotektonik Dari Hubungan Magnitudo-Kumulatif dan Nonkumulatif untuk Jawa Timur Menggunakan Metode Kuadrat Terkecil dan Metode Maksimum Likelihood dari Data BMG dan USGS Tahun 1973 - 2003. Skripsi S1 Jurusan Matematika Universitas Negeri Semarang : Semarang.
JURNAL APLIKASI FISIKA
VOLUME 7 NOMOR 2
AGUSTUS 2011
Analisa Struktur Tektonik Mikro pada Batuan Ultrabasa Menggunakan Software Windrose Pro. 2.3 dan Kaitannya dengan Struktur Tektonik di Pulau Wawonii L.O. Ngkoimani Jurusan Fisika Universitas Haluoleo, Kendari - Indonesia Email :
[email protected]
Abstrak Telah dilakukan analisa mikrostruktur pada batuan ultrabasa dari Pulau Wawonii dengan tujuan membandingkan pola struktur sayatan tipis dengan geodinamika Pulau Wawonii. Analisis dilakukan dengan menggunakan Software yang dikenal dengan nama Windrose Pro. 2.3.20. Sampel batuan yang digunakan dalam studi ini diambil dari 6 (enam) lokasi di Desa Mosolo, Pulau Wawonii yakni Lokasi #1 (4012' 21,9" LS dan 1230 9'55,5" BT ), Lokasi #2 (40 6 '11,6" LS dan 1230 13'14,5" BT), Lokasi #3 (4010'30,5" LS dan 1230 12'24" BT), Lokasi #4 (40 11'35,0" LS dan 1230 9' 23,3" BT), Lokasi #5 (40 11' 27,5" LS dan 1230 9' 24,7 BT), dan Lokasi #6 (4013'29,6" LS dan 1230 9' 20,9" BT). Kecenderungan arah struktur pada sayatan tipis Lokasi #1, #2, #3, #4, dan #6 adalah dominan berarah E-SE / W-NW. Sampel sayatan tipis batuan pada Lokasi #5 didominasi patahan mikro berarah E/W. Setelah semua data patahan mikro dari semua lokasi digabungkan terlihat sesuai dengan arah patahan dominan pada arah W-NW/E-SE dan sebagian kecil menyebar pada arah antara SW-NW/NE-SE serta N/S. Hasil ini mengindikasikan bahwa metode interpretasi struktur mikro pada sayatan tipis batuan menggunakan software WindRose Pro 2.3 dapat digunakan sebagai alternatif metode interpretasi tektonik. Kata kunci : sayatan tipis batuan ultrabasa, software Windrose Pro 2.3, pola struktur, Pulau Wawonii,
Abstract Microstructure analyses of Ultrabasic rocks from Wawonii Island, comparing between the structure trend from thin section of rock and geodynamical trend have been done. The analyses run by using the Software namely Windrose Pro. 2.3.20. The rocks sample that use for this study taken from six locations in Mosolo vilage of Wawonii Island i.e.Location #1 (4012' 21,9" S and 1230 9'55,5" E ), Location #2 (40 6 '11,6" S and 123013'14,5" E), Location #3 (4010'30,5" S and 1230 12'24"E), Location #4 (4011'35,0" S and 12309'23,3"E), Location #5 (4011'27,5" S and 12309'24,7E), and Location #6 (4013'29,6"S and 1230 9'20,9" E). The results anayses show that the thin section samples from Locations of #1, #2, #3,# 4, and #6 are dominantly E-SE / W-NW in direction. Meanwihle, the thin section samples from Location #5 dominantly to E/W direction. Based on the compilation of all samples from all location show that the diminantly direction of micro stucture tend to be W-NW/E-SE and several structure distributed on SW-NW/NE-SE and N/S. The result of study indicated that the interpretation method of micro structure on rock thin section using the WindRose Pro 2.3 software can be use as alternatif method for tectonic interpretaion. Key words : thin section, ultrabasic rock, Windrose Pro 2.3 software, structure trend, Wawonii Island.
Maluku sebelah selatan merupakan tempat bertumbuknya Lempeng Eurasia dan IndoAustralia. Antara lempeng Indo-Australia dan Pasifik terjadi tumbukan di sekitar Pulau Papua. Oleh karena itu, kepulauan Indonesia berada pada daerah yang mempunyai aktivitas gempa bumi cukup tinggi. Sementara
1. Pendahuluan Indonesia terletak pada perbenturan tiga lempeng dunia, diantaranya lempeng Indo Australia, lempeng Eurasia dan lempeng Pasifik. Di lepas pantai barat Pulau Sumatera, pantai selatan Pulau Jawa, pantai Selatan kepulauan Nusa Tenggara dan perairan
62
Analisa Struktur Tektonik Mikro pada Batuan Ultrabasa........ (L.O. Ngkoimani)
pertemuan antara ketiga lempeng itu terjadi di sekitar Sulawesi. Oleh karena itu, di pulaupulau sekitar pertemuan tiga lempeng inilah yang akan sering mengalami gempa bumi. Pulau Wawonii memiliki gejala geodinamika yang sangat kompleks karena merupakan pertemuan dari mikro-kontinen Buton di bagian Timur dan Sulawesi di bagian Barat. Sulawesi memiliki sejarah tektonik yang kompleks termasuk subduksi dan tumbukan [1], yang berimplikasi pada terjadinya beberapa sesar. Sesar utama di Pulau Sulawesi yaitu sesar Palu Koro di Sulawesi Tengah menerus ke Sulawesi Tenggara (sesar Lasolo) juga menurus ke Pulau Wawonii, merupakan sesar yang aktif dan menjadi sumber utama gempa di daerah ini [2], yang berumur Kapur Awal [3]. Kajian geologi untuk mempelajari struktur geologi pada umumnya dilakukan dengan melihat singkapan sesar yang ada di lokasi suatu daerah. Sesar diindikasikan dengan adanya sungai, air terjun, atau patahanpatahan pada batuan. Metode ini terkadang selalu menimbulkan masalah ketika di daerah itu tidak ada singkapan sesar ataupun tidak terlihat adanya indikasi sesar. Misalnya saja tumbuh pepohonan yang lebat, maka tidak dapat terlihat apakah di lokasi tersebut terdapat sesar atau tidak sehingga sesar tidak dapat ditentukan pada lokasi tersebut. Oleh karena itu perlu dicari alternatif lainnya, yaitu dengan penggunaan metode sayatan tipis. Pada lokasi yang tidak menunjukkan indikasi sesar, tidak menjamin bahwa pada lokasi itu tidak terdapat sesar meskipun patahannya memiliki ukuran kecil. Metode sayatan tipis bekerja pada skala yang mikro, oleh karena itu daya jangkau yang dihasilkan juga kecil. Hal ini merupakan kekurangan pada metode ini, namun secara eksak menurut konsep fisika metode ini jauh lebih akurat. Sebuah patahan besar selalu diawali dari patahan kecil. Tidak akan ada sebuah patahan besar jika tidak dimulai dari patahan kecil. Perubahan yang terjadi secara alamiah selalu perlahan-lahan, tidak dalam sekejap terbentuk sebuah patahan besar. Kecuali adanya bencana yang melanda suatu
63
lokasi, baik berupa gempa bumi, tanah longsor, maupun gunung meletus. Dalam penelitian ini akan dilakukan analisa struktur mikro batuan melalui analisa sesar pada sayatan tipis batuan dari Pulau Wawonii. Analisa dilakukan dengan menggunakan Software WindRose Pro 2.3, dan hasilnya dibandingkan dengan geodinamika Pulau Wawonii. 2. Geologi Lokasi Penelitian Pulau Wawonii merupakan salah satu pulau pembentuk Mandala Sulawesi Timur yang menyebar di bagian timur utara Lengan Sulawesi. Batuannya terdiri dari dunit, harzburgit, lherzolit, pyroksinit, serpentinit dan mikro gabro serta basalt. Batuan tersebut ditindih oleh batugamping dan rijang laut berwarna merah. Umur dari ofiolit di Sulawesi Tenggara ini Kapur Akhir - Oligosen. Batuan asal samudera, yang seperti ini sering juga disebut sebagai ofiolit, terbentuk karena pemekaran dasar samudera [4]. Berdasarkan peta geologi Pulau Wawonii (gambar 1), terlihat bahwa struktur penyusunnya terdiri dari aluvium, batugamping, formasi lenselowo, formasi meluhu dan kompleks ultramafik (harzburgit, dunit dan serpentinit). Sebaran batuan kompleks ini dijumpai di Pegunungan Waworete, dimana pada pegunungan tersebut terlihat adanya pegunungan dengan relief datar dan pegunungan dengan relief terjal. 3. Metode Penelitian Sampel batuan yang digunakan adalah batuan Ultrabasa yang diambil dari Desa Mosolo, Pulau Wawonii. Lokasi pengambilan sampel (gambar 1) dilakukan pada enam lokasi yaitu : Lokasi #1 (4012' 21,9" LS dan 1230 9'55,5" BT ), Lokasi #2 (40 6 '11,6" LS dan 1230 13'14,5" BT), Lokasi #3 (40 10'30,5" LS dan 1230 12'24" BT), Lokasi #4 (40 11'35,0" LS dan 1230 9' 23,3" BT), Lokasi #5 (40 11' 27,5" LS dan 1230 9' 24,7 BT), serta Lokasi #6 (4013' 29,6" LS dan 12309' 20,9" BT). Jumlah keseluruhan sampel yang diambil dalam bentuk sampel setangan (hand sample) diperoleh 20 hand sample dan dari setiap hand sample bisa dihasilkan 1 sampai 11 core.
64
JAF, Vol. 7 No. 2 (2011), 62-68
Selanjutnya dari core sampel yang dihasilkan, dilakukan hal-hal sebagai berikut : (1) pembuatan sayatan tipis batuan (thin section), (3) mengambil gambar foto pada setiap hasil sayatan dengan menggunakan mikroskop polarisasi, (4) mengukur panjang setiap patahan yang terdapat pada sayatan menggunakan software CorelDraw12.0.0.458,
(5) pembuatan plot stereonet orientasi struktur menggunakan software WindRose Pro 2.3.20, (6) interpretasi pola struktur berdasarkan data sayatan tipis, (7) membandingkan pola struktur sayatan tipis dengan geodinamika Pulau Wawonii.
#1 #2 #4 #5 #3 #6
Gambar 1. Peta geologi Pulau Wawonii [5].
4. Hasil dan Pembahasan Dari rangkaian tahap preparasi sampel diperoleh hasil sayatan tipis, mikrofoto dan plot stereonet berdasarkan orientasi struktur patahan pada sayatan tipis batuan. Pada pengamatan sayatan tipis menggunakan mikroskop polarisasi diperoleh hasil mikrofoto sayatan tipis batuan (gambar 2) dan komposisi mineral yang terkandung di dalamnya.
Komposisi mineral yang terdapat dalam sampel di antaranya : olivin, pirit, piroksin, dan serpentin. Untuk pembuatan plot stereonet digunakan software WindRose Pro 2.3.20. Data input yang digunakan adalah arah dan panjang setiap patahan yang terdapat pada sayatan. Arah dalam hal ini adalah derajat kemiringan patahan dan panjangnya dalam
Analisa Struktur Tektonik Mikro pada Batuan Ultrabasa........ (L.O. Ngkoimani)
satuan milimeter (mm). Sementara patahan yang dimaksud adalah rekahan atau retakan yang terdapat pada mikrofoto. WindRose Pro 2.3.20 menggunakan 16 arah pengukuran, yaitu pada 0°; 22,5°; 45°; 67,5°; 90°; 112,5°; 135°; 157,5°; 180°; 202,5°; 225°; 247,5°; 270°; 292,5°; 315° dan 337,5°. Variabel kedua, yaitu panjang patahan terbagi menjadi tujuh interval. Mulai dari 0-40 mm; 40-80 mm; 80120 mm; 120-160 mm; 160-200 mm; 200-240 mm; dan 240-500 mm. Untuk menentukan arah dan mengukur panjang setiap patahan yang ada pada mikrofoto, digunakan software CorelDraw12.0.0.458.
65
Pada gambar 3 diperlihatkan sebuah contoh hasil penentuan arah dan panjang patahan sampel batuan untuk Lokasi #1.
Gambar 3. Penentuan arah dan panjang patahan sampel batuan Lokasi #1.
(a)
(b) Gambar 2. Mikrofoto sayatan tipis sampel batuan Lokasi #1. (a) Mikrofoto dengan Kedudukan Lensa Nikol Sejajar, (b) Mikrofoto dengan Kedudukan Lensa Nikol Bersilang.
Dari plot stereonet orientasi struktur untuk Lokasi #1 (gambar 4.a) dengan sebanyak 261 data (arah dan panjang patahan) diperoleh bahwa banyaknya patahan yang mendominasi adalah pada arah 112,5° (11,87%); 180° (8,046%); 247,5° (9,579%); dan 292,5° (10,728%). Patahan yang paling pendek adalah 19,66 mm dan terpanjang adalah 266,02 mm. Sedangkan dilihat dari panjang patahan yang terbanyak berada diinterval 40-80 mm (62,069%) dan 80-120 mm (23,372%). Pada plot stereonet Lokasi #2 (gambar 4.b) dengan sebanyak 210 data, diperoleh banyaknya patahan yang mendominasi adalah pada arah 112,5° (13,810%) dan 292,5° (16,667%). Sedangkan dilihat dari panjang patahan, yang terbanyak berada diinterval 4080 (55,238%) dan 80-120 (24,762%), dimana patahan terpendek adalah 20,39 mm dan terpanjang adalah 268,08 mm.
66
JAF, Vol. 7 No. 2 (2011), 62-68
(a)
(c)
(d)
(b)
(d)
(e)
Gambar 4. Plot stereonet orientasi struktur pada : (a) Lokasi #1, (b) Lokasi #2, (c) Lokasi #3, (d) Lokasi #4, (e) Lokasi #5, dan (f) Lokasi #6.
Analisa Struktur Tektonik Mikro pada Batuan Ultrabasa........ (L.O. Ngkoimani)
Pada plot stereonet Lokasi #3 (gambar 4.c) dengan sebanyak 253 data, diperoleh bahwa banyaknya patahan hampir tersebar merata di delapan arah, yaitu : arah 90° (7,510%); 112,5° (10,277%); 135° (9,091%); 180° (7,115%); 202,5° (7,905%); 247,5° (8,696%); 292,5° (11,462%) dan 315° (8,696%). Namun yang paling mendominasi pada arah 112,5° dan 292,5°. Sedangkan dilihat dari panjang patahan yang terbanyak berada di interval 40-80 mm (51,779%) dan 80-120 mm (29,249%), dimana patahan yang paling terpendek adalah 27,66 mm dan yang terpanjang adalah 299,80 mm. Plot stereonet Lokasi #4 (gambar 4.d) dengan sebanyak 150 data, diperoleh bahwa banyaknya patahan yang mendominasi adalah pada arah 112,5° (16,667%) dan 292,5° (14,667%). Sedangkan dilihat dari panjang patahan yang terbanyak berada diinterval 4080 mm (51,333%) dan 80-120 mm (25,333%), dimana patahan yang paling terpendek adalah 4,61 mm dan yang terpanjang adalah 171,95 mm.
67
(56,410%) yaitu mencapai 651 data dan 80120 mm (24,786%) mencapai 336 data. Sisanya berada diinterval 0-40 mm (7.940%); 120-160 mm (7.196%); 160-200 mm (1.406%); 200-240 mm (1.158%) dan 240-500 mm (0.662%). Berdasarkan hasil interpretasi kecenderungan arah patahan mikro pada sayatan tipis batuan sebagaimana pada Gambar 4a s/d 4f terlihat bahwa sampel dari Lokasi #1, Lokasi #2, Lokasi #3, Lokasi #4, dan Lokasi #6 didominasi oleh patahan mikro berarah ESE / W-NW serta beberapa patahan mikro berarah W-SW, S-SW, dan S/N. Sampel sayatan tipis batuan pada Lokasi #5 didominasi patahan mikro berarah E/W. Setelah semua data patahan mikro dari semua lokasi digabungkan (Gambar 5) terlihat bahwa arah patahan dominan pada arah W-NW/E-SE dan sebagian kecil menyebar pada arah antara SWNW/NE-SE serta N/S.
Gambar 6. Plot Stereonet Peta Geologi Pulau Wawonii. Gambar 5. Plot Stereonet orientasi struktur data gabungan semua sampel
Data pengukuran pada keenam lokasi digabungkan seperti pada Gambar 5. Pada plot terhadap 1209 data struktur, diperoleh kecenderungan arah struktur terbesar berada di 112,5° (10.753%) dan 292,5° (11.249%). Sedangkan diarah-arah lainnya hampir tersebar merata. Dilihat dari variasi panjang patahan, yang terbanyak berada diinterval 40-80 mm
Untuk melihat korelasinya antara hasil interpretasi arah struktur mikro pada sayatan tipis batuan dengan geodinamika Pulau Wawonii maka dibuat plot stereonet Peta Geologi Pulau Wawonii (gambar 6). Pada plot stereonet peta geologi Wawonii dengan sebanyak 15 data diperoleh bahwa banyaknya patahan yang paling mendominasi adalah pada arah 135° (20%) dan 292,5° (20%), dimana nilai patahan yang paling terpendek adalah
68
JAF, Vol. 7 No. 2 (2011), 62-68
24,11 mm dan yang terpanjang adalah 243,68 mm. Sedangkan dilihat dari panjang patahan yang terbanyak berada diinterval 40-80 mm (46,67%) dan 80-120 mm (13,33%). Berdasarkan plot stereonet yang ada terlihat bahwa struktur geologi Pulau Wawonii dominan berarah W-NW / E-SE. Kecenderungan arah dominan struktur mikro pada sayatan tipis sesuai dengan arah strutur geologi Pulau Wawoni. Hasil ini mengindikasikan bahwa metode interpretasi struktur mikro pada sayatan tipis batuan menggunakan software WindRose Pro 2.3 dapat digunakan sebagai alternatif metode interpretasi tektonik. 5. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kecenderungan arah struktur pada sayatan tipis Lokasi #1, #2, #3, #4, dan #6 adalah dominan berarah E-SE / WNW serta beberapa patahan mikro berarah WSW, S-SW, dan S/N. Sampel sayatan tipis batuan pada Lokasi #5 didominasi patahan mikro berarah E/W. Hasil penggabungan patahan mikro dari semua lokasi menunjukkan arah patahan dominan pada arah W-NW/E-SE dan sebagian kecil menyebar pada arah antara SW-NW/NE-SE serta N/S. Hasil ini mengindikasikan bahwa metode interpretasi struktur mikro pada sayatan tipis batuan menggunakan software WindRose Pro 2.3 dapat digunakan sebagai alternatif metode interpretasi tektonik.
Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada Reza Wisnu Wardana, atas keterlibatannya dalam penelitian ini. Terima kasih juga disampaikan kepada bapak Jahidin atas partisipasinya dalam kegiatan penelitian ini dan kepada bapak Andi Makkawaru atas bantuan data-data geologi yang berkaitan dengan penelitian ini, serta Laboratorium Pusat Survei Geologi-Bandung yang telah membantu dalam memperoleh data mikrofoto sayatan tipis batuan
Daftar Pustaka [1]. Soeria-Atmadja, R., Maury, R.C., Bellon, H., Pringgoprawiro, H., and Polve, M., Tertiary Magmatic Belts in Java, Journal of Southeast Asian Earth Sciences, Vol. 9, No. 12, (1994). [2]. Koswara, A., Sukarna, D., 1994, Geologi Lembar Tukangbesi, Sulawesi - Skala 1 : 250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. [3]. Simadjuntak, TO., Surono, Hadiwijoyo, S., 1993, Geologi Lembar Kolaka, Sulawesi Skala 1 : 250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. [4]. Surono, 2008, Geologi Regional Indonesia dalam : Fisik dan Lingkungan Alam-Atlas Nasional Indonesia, Badan Koordinasi Pemetaan Nasional Indonesia. [5]. Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sultra, 2009, Peta Geologi dan Potensi Bahan Tambang Sulawesi Tenggara.
JURNAL APLIKASI FISIKA
VOLUME 7 NOMOR 2
AGUSTUS 2011
Identifikasi Zona Bidang Gelincir Tanah Longsor Dengan Metode Georadar Deniyatno Jurusan Fisika F.MIPA Universitas Haluoleo Kampus Bumi Tri Dharma Anduonohu, Kendari, Sulawesi Tenggara E-mail :
[email protected] Abstrak Metode georadar telah digunakan pada penelitian ini untuk menentukan zona bidang gelincir tanah longsor berdaarkan penampang radargram yang dihasilkan dari proses perekaman dilapangan. Survei Georadar dilakukan dengan metode Radar Reflection Profiling(antenna bistatic mode) dengan membawa antena radar (tansmitter dan receiver) bergerak bersamaan pada permukaan tanah pada spasi pengambilan data 1 meter dengan jarak antena 0,1 m dengan frekuensi kerja yang digunakan adalah 100 MHz. Pengolahan serta interpretasi data georadar pada penelitian ini menggunakan piranti lunak pengolah data GPR Reflexw. Pada pemrosesan data kali ini kami gunakan beberapa jenis antara lain gaining, dewow, DC-shift, koreksi statik, bandpass filter (butterworth), background removal, fk migration (Stolt). Hasil penelitian menujukkan kemenerusan pada bidang dengan kontras kecepatan tersebut sebagai bidang kontak antara batupasir kering (v=±0,15 m/ns) dan batulempung (v=±0,06 m/ns) yang diinterpretasikan sebagai kontak batuan yang potensial sebagai zona bidang gelincir dari longsoran, hal ini berkaitan dengan sifat fisis batupasir kering dan batulempung, dimana batulempung lebih mudah menggelincirkan material massif di atasnya. Kata Kunci : Georadar, Tanah Longsor, Bidang gelincir, Reflexw
material (mengikuti persamaan gelombang), sehingga dalam penggunaan sumber gelombang harus dipertimbangkan kedalaman dari objek amatnya. Berdasarkan uraian tersebut, dalam penelitian ini kami memanfaatkan keunggulan metode georadar untuk melihat kontras antara bidang gelincir tanah longsor dengan material longsoran yang ada diatas bidang gelincir dengan mengamati parameter kecepatan gelombang elektromagnetik dalam suatu medium.
1. Pendahuluan Perkembangan piranti dan teknologi elektronika dalam beberapa tahun ini, telah melahirkan suatu metode yang relatif baru dalam dunia eksplorasi geofisika, yaitu ground penetrating radar (GPR). Perkembangan piranti elektronika juga mempengaruhi perkembangan piranti radar yang digunakan dalam eksplorasi. Karakterisitik antara radiasi gelombang elektromagnetik pada medium /struktur bumi (diteruskan, dihamburkan, dan dipantulkan) ditentukan oleh kontras parameter fisika, yaitu : permeabilitas magnetik, permitivitas listrik, serta konduktivitas. Pulsa radar diteruskan, dipantulkan dan dihamburkan oleh struktur bawah permukaan dan oleh adanya anomali bawah permukaan. Keunggulan yang dimiliki metode Georadar ini antara lain adalah keakuratannya dalam mendeteksi/memetakan struktur bawah permukaan seperti pecarian pipa, air tanah, fosil arkeologi purbakala, eksplorasi bahan mineral dan sebagainya. Frekuensi gelombang berbanding terbalik dengan daya tembus
2. Dasar Teori Metode Georadar didasarkan atas persamaan Maxwell yang merupakan perumusan matematis untuk hukum-hukum fisika yang mendasari semua fenomena elektromagnetik. Persamaan Maxwell terdiri dari empat persamaan medan, masing-masing dapat dipandang sebagai hubungan antara medan distribusi sumber (muatan atau arus) yang bersangkutan. Persamaan Maxwell yang pertama adalah persamaan yang
69
70
JAF, Vol. 7 No. 2 (2011), 69-76
menghubungkan medan listrik Ē dengan rapat muatan listrik ρ : · Ē = ρ/Є0
(1)
dimana Є0 adalah permitivitas listrik untuk ruang hampa (Є0 = 8,854 x 10-12 C2/N-m2). Persamaan ini juga dikenal sebagai persamaan Gauss dan merupakan turunan dari hukum Coulomb. Persamaan Maxwell yang kedua berasal dari hukkum Biot-Savart-Ampere mengenai interaksi magnetostatis yang dinyatakan oleh : ·B=0
(2)
Dalam persamaan 2 menujukkan tidak adanya muatan sumber medan yang berupa medan magnetis B (x). Persamaan Maxwell yang ketiga adalah : xĒ=0
(3)
Persamaan ini menyatakan sifat konservatif medan elektrostatis.
B t
E
B D
0
Persamaan yang keempat adalah : xB=μЈ
(4)
Dimana : Ē = Medan listrik (volt/m), B = Medan magnet (ohm.meter), μ = Permeabilitas maagnetik (H), Ј = Rapat arus (ampere/m2) Persamaan yang menghubungkan sifat fisik medium dengan medan yang timbul pada medium tersebut dapat dinyatakan dengan : B=μH D=ЄE J = σ E = E/ρ
Dimana : H = Intensitas medan magnet (Ampere/m), D = Perpindahan listrik (Coulomb/m2) Є = Permitivitas listrik (Farad/m) σ = Konduktivitas (Ohm- 1/m) Untuk menyederhanakan masalah, sifat fisik medium diasumsikan tidak bervariasi terhadap waktu dan posisi (homogen isotropis). Maka persamaan Maxwell dapat ditulis sebagai berikut : xĒ=-μ
H t
xH=σĒ+Є
E t
(5)
·Ē=0 ·H=0 Persamaan Maxwell ini merupakan landasan berpikir dari perambatan gelombang elektromagnet. Pada material dielektrik murni suseptibilitas magnetik (μ) dan permitivitas listrik (Є) adalah konstan dan tidak terdapat atenuasi dalam perambatan gelombang. Tidak sama halnya jika kita berhadapan dengan material dielektrik yang ada.[3][4] Sifat-sifat dari material bumi bergantung dari komposisi dan kandungan air mineral tersebut. Keduanya ini mempengaruhi cepat rambat perambatan gelombang dan atenuasi gelombang elektromagnet. 2.1. Energi Yang Hilang dan Atenuasi Refleksi atau transmisi di sekitar batas lapisan menyebabkan energi hilang. Jika kemudian ditemukan benda yang memiliki dimensi yang sama dengan panjang gelombang dari sinyal gelombang elektromagnet maka benda ini menyebabkan penyebaran energi secara acak. Absorbsi ( mengubah energi elektromagnet menjadi energi panas ) dapat menyebabkan energi hilang. Penyebab yang paling utama hilangnya energi karena atenuasi fungsi kompleks dari sifat listrik dan dielektrika media yang dilalui sinyal radar. Atenuasi tergantung dari konduktifitas, permeabilitas magnetik, dan permitivity dari media yang dilalui oleh sinyal dan frekuensi dari sinyal itu sendiri. Sifat bulk dari material
Identifikasi Zona Bidang Gelincir Tanah Longsor dengan Metode ........... (Deniyatno.)
ditentukan oleh sifat fisik dari unsur pokok yang ada dan komposisinya. 2.2. Skins Depth Skin depth adalah kedalaman sinyal yang telah berkurang menjadi 1/e (37%) dari nilai awal dan berbanding terbalik dengan faktor atenuasi. Definisi matematik dari faktor atenuasi dan skin depth seperti dibawah ini :
Eo Ex
exp
x (6)
Eo adalah puncak medan listrik saat transmisi dan pada jarak x dari titik awal berkurang menjadi Ex, persamaan tersebut merupakan perbandingan dari kedua amplitudo ini. 2
e 2
1
L
2 2
1
' i " j
1
1 2
2
, pada saat tan D <<1
r
/ , dalam mS/m
2.3. Sifat Dielektrik Material Bumi Sifat dielektrik diberikan oleh persamaan komplek permitivitas dari material non-konduktif :
' i" Jika material memiliki konduktifitas, maka :
' i "
s
V1 V2 V1 V2
R
R Dimana : V1
1
Keterangan : = koefisien atenuasi L = loss factor = skin depth
/
o
o
2.4. Koefisien Refleksi dan Transmisi Keberhasilan dari metoda Georadar bergantung pada variasi bawah permukaan yang dapat menyebabkan gelombang tertransmisikan. Perbandingan energi yang direfleksikan disebut koefisien refleksi (R) yang ditentukan oleh perbedaan cepat rambat gelombang elektromagnet dan lebih mendasar lagi adalah perbedaan dari konstanta dielektrik relatif dari media yang berdekatan. Hal ini dapat terlihat pada persamaan berikut :
V2
tan D
5,31
Persamaan komplek konduktivitas diberikan oleh persamaan :
1 2
1 2
71
dan
2
(7)
2
1
2
1
(8)
= cepat rambat geombang elektromagnet pada lapisan 1 = cepat rambat gelombang elektromagnet pd lapisan 2 dan V1 < V2 = konstanta dielektrik relatif lapisan 1 dan lapisan 2
Dalam semua kasus, besarnya R terletak antara -1 dan 1. bagian dari energi yang ditransmisikan sama dengan 1-R. Persamaan diatas daplikasikan untuk keadaan normal pada permukaan bidang datar. Dengan asumsi tidak ada sinyal yang hilang sehubungan dengan amplitudo sinyal. Jejak yang terdapat pada rekaman georadar merupakan konvolusi dari koefisien refleksi dan impulse georadar ditunjukkan oleh persamaan :
A(t)
r(t) F(t) n(t)
Dimana : r(t) = koefisien refleksi A(t) = amplitudo rekaman georadar F(t) = impulse radar n(t) = noise radar
(9)
72
JAF, Vol. 7 No. 2 (2011), 69-76
Besar amplitudo rekaman georadar r(t) akan tampak pada penampang rekaman georadar berupa variasi warna.[2] 3. Metode Penelitian Pada survei dengan metode GPR dilakukan dengan metode Radar Reflection Profiling (antenna bistatic mode). Cara ini dilakukan dengan membawa antena radar (tansmitter dan receiver) bergerak bersamaan di atas permukaan tanah dengan jarak pengambilan sampel 1 meter, dimana. Mode antena bistatik merupakan seting untuk kedua antena dengan jarak pemisah tertentu, dalam survey kali ini seting antena memiliki jarak pemisah 0, 1 m. Frekuensi kerja yang digunakan adalah 100 MHz
cara memasukkan data topografi pengukuran ke dalam 3 bentuk koordinat x, y, z, di mana koordinat x merupakan trace pengukuran, y (kita nol-kan saja karena tidak terdapat dalam radargram/non 3D), sedangkan koordinat z adalah kedalaman penetrasi pada radargram (dalam hal ini adalah disesuaikan dengan elevasi). Sehingga dengan memasukkan koreksi ini, hasil pemrosesan radargram lebih mendekati keadaan sebenarnya, walalupun tidak sama benar. Penguatan (gain) Pada pengambilan data ini terjadi pelemahan energi sinyal pada batuan ataupun lapisan tanah karena frekuensi tinggi diserap lebih cepat dibandingkan dengan frekuensi rendah dan terjadi juga spherical divergensi yaitu energi gelombang yang menjalar berkurang berbanding terbalik dengan kuadrat dari sumber dan hal ini sejalan dengan jarak dan waktu, maka untuk menghilangkannya dilakukan penguatan kembali amplitudo yang hilang sehingga seolah-olah di setiap titik energinya sama. Penguatan sesuai dengan persamaan :
GAin dB Gambar 1. Seperangkat peralatan Georadar
Pengolahan serta interpretasi data georadar menggunakan piranti lunak pengolah data GPR Reflexw. Pada pemrosesan ini menggunakan beberapa jenis, antara lain gaining, dewow, DC-shift, koreksi statik, bandpass filter (butterworth), background removal, fk migration (Stolt). Hal ini karena data radargram yang diperoleh dari lapangan memiliki data amplitudo yang kecil sehingga akan membuat perbesaran amplitudo noise ketika dilakukan filtering. Parameter filter yang dilakukan dalam pengolahan data georadar kali ini secara rinci sebagai berikut: Koreksi Topografi (Trace interpolation) Koreksi ini adalah untuk meminimalkan efek topografi disesuaikan dengan elevasi pengukuran daerah setempat. Dalam koreksi topografi ini dilakukan dengan
A t
B 20 log f
C
Keterangan : t = waktu (second) A = faktor atenuasi B = faktor spherical divergence C = faktor konstanta gain Fungsi ini dicari dengan metoda RMS yaitu amplitudo dari masing-masing contoh dikuadratkan kemudian dihitung nilai RMS-nya pada jendela tertentu. Pada pemrosesan kali ini, dengan filosofi penguatan dari persamaan di atas berupa persamaan linier, maka kami menggunakan penguatan (gaining) data dengan linear gain 15 db dalam arah y. Dewowing (substract-mean) Wow merupakan salah satu noise frekunesi rendah yang terekam oleh sistem radar. Hal ini terjadi karena instrumen elektronik tersaturasi oleh nilai amplitudo besar dari
Identifikasi Zona Bidang Gelincir Tanah Longsor dengan Metode ........... (Deniyatno.)
di
gelombang langsung dan gelombang udara. Pada pemrosesan digunakan proses dewow dengan nilai time window yang digunakan adalah pada 15 ns. DC-Shift DC-shift disebut juga zero mean atau pengurangan dari keberadaan waktu konstan yang bergeser. Di dalam waktu ini mencakup rata-rata dihitung untuk masingmasing trace, sesudah itu dikurangi dari semua contoh trace masing-masing. Oleh karena itu, harus dijamin bahwa rata-rata nilai bersesuaian dalam rentang waktu konstan tersebut harus dimasukkan dalam pergeseran. Koreksi statik Koreksi digunakan untuk tiap trace, yaitu sebagai koreksi waktu independen untuk tiap trace pada arah domain waktu. Pada proses kali ini ditujukan untuk menginversi/mengubah kemungkinan nilai delay time sebenarnya dengan cara menggeser/shifting. Sehingga pada Reflexw digunakan jenis koreksi statik move to negative time untuk tujuan di atas. Bandpass filter (butterworth) Jenis filter bandpass ini merupakan jenis filter yang mudah diaplikasikan karena hanya memasukkan 2 nilai frekuensi saja, yaitu frekuensi rendah dan frekuensi tinggi. Untuk pemerosesan kali ini dimasukkan nilai frekuensi rendah 25 MHz dan frekuensi tinggi 400 MHz. Background removal Filter ini diterapkan terhadap semua trace. Prinsip filter ini adalah pengurangan dari suatu trace yang dirata-ratakan dari rentang waktu yang dipilih. Filter dapat mengurangi efek noise karena first arrival yang superposisi dengan shallow diffractor dan efek elektronik dari alat. f-k migration (Stolt) Sebuah gabungan fk filter dan migrasi yang dilakukan cepat untuk profil 2D setelah Stolt atas dasar kecepatan konstan yang ada. Migrasi ini bertujuan untuk menelusur balik energi difraksi dan refleksi pada sumber sumbernya. Setelah dilakukan penapisan (filtering) atas, selanjutnya dibuat model lapisan 2D
73
dengan Reflexw juga. Model dibuat berdasarkan hasil picking pada radargram yang telah melalui filtering. Proses picking dibuat dalam 2 jenis, yaitu phase follower picking dan continous picking. Phase follower picking adalah jenis picking yang dilakukan otomatis mengikuti phase gelombang yang kita pilih pada awal pick, selanjutnya komputer akan mengikuti jenis fase gelombang yang sama. Sedangkan continous picking adalah jenis picking yang dilakukan secara kontinyu dengan menarik garis sesuai yang kita inginkan, tentu saja berdasarkan pola difraksi atau refleksi yang terjadi dan sesuai intuisi kita. Kedua jenis picking tersebut masingmasing memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk phase follower, mudah diterapkan pada radargram yang memiliki phase gelombang yang seragam, tetapi memungkinkan untuk membelokkan hasil pick pada phase berbeda untuk radargram dengan phase gelombang beragam. Sedangkan continous pick memiliki kelebihan dan kekurangan sebaliknya dari phase follower. 4. Hasil dan Pembahasan Hasil pemrosesan di atas dengan panjang lintasan georadar 140 meter Spasi trigger rekaman tiap 1 meter. Hasil radargram setelah pemrosesan pada gambar 4.
Berdasarkan pemrosesan data yang telah dibuat, maka kami melakukan interpretasi sehingga menghasilkan model lapisan 2D di atas. Model tersebut didasarkan atas adanya kontras kecepatan pada radargram. Kontras kecepatan hasil picking pada masing-masing lapisan menandakan adanya perubahan jenis batuan dilihat juga dari kontras amplitude picking (karena kecepatan berbanding lurus dengan amplitudo gelombang). Pada prnrlitian ini mengambil model 3 lapisan (gambar 6) karena adanya kontras amplitudo dilihat dari warna yang mencolok sekali pada radargram.
74
JAF, Vol. 7 No. 2 (2011), 69-76
Gambar 4. Penampang radargram setelah pemrosesan dalam tampilan pointmode
Gambar 5. Penampang radargram setelah pemrosesan dalam tampilan wigglemode
Dari data radargram pada menujukkan kemenerusan garis serta dari intensitas warna pada tampilan penampang merupakan citra dari kuat lemahnya amplitudo. Semakin kuat intensitas warna semakin kuat amplitudonya, dan sebaliknya. Hal ini menunjukkan suatu kontak litologi Dengan asumsi yang dipakai
bahwa kecepatan gelombang EM nya adalah 0.13 m/ns, maka dapat ditentukan kedalaman batas antar lapisan tersebut yaitu sekitar 3,5 m cenderung ke arah bagian utara lintasan. Tafsiran kedalaman pada radargram ini, didasarkan atas adanya beda kecepatan pada kemenerusan garis biru, dimana pada garis
Identifikasi Zona Bidang Gelincir Tanah Longsor dengan Metode ........... (Deniyatno.)
biru (lapisan ke-2) ke arah bagian atas dominan warna gelap/tua (biru-ungu) yang menunjukkan amplitudo tinggi. Sedangkan daerah di bawah garis picking biru dominan warna muda yang menunujukkan warna muda (hijau-kuning). Pada garis biru inilah terdapat kontras kecepatan yang diperoleh dari dua kali
75
jarak dibagi two-way time. Pada bagian biru, memiliki kecepatan berkisar 0,18 m/ns, sedangkan di bawah garis biru yang dominan warna muda memiliki kecepatan sekitar 0,08m/ns.
Gambar 6. Model perlapisan
76
JAF, Vol. 7 No. 2 (2011), 69-76
Maka, berdasarkan referensi ditafsirkan kemenerusan pada bidang dengan kontras kecepatan tersebut sebagai bidang kontak antara batupasir kering (v=±0,15 m/ns) dan batulempung (v=±0,06 m/ns). Sehingga pada bagian berwarna gelap diinterpretasikan sebagai batupasir yang merupakan lapisan yang memiliki konduktivitas lebih rendah dibandingkan dengan konduktivitas pada radargram berwarna muda (hijau), dalam hal ini adalah batulempung. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang merupakan kontak batuan yang potensial sebagai zona bidang gelincir dari longsoran ini dikaitkan dengan sifat fisis adalah batupasir kering dan batulempung, dimana batulempung lebih mudah menggelincirkan material massif di atasnya.
Daftar Pustaka [1]. Asikin, Sukendar, dkk ,1976, Geologi Lembar Kebumen [2]. Annan, A.P., 1992. Ground Penetrating Radar, Workshop Notes, Sensors & Software Inc. [3]. Blakely, R. J.,1996, Potential theory in gravity and magnetic applications, Cambidge University press, USA. [4]. Grant, F.S.,West, 1965, Interpretation Theory in Applied Geophysics, McGraw Hill Corporation. [5]. Sanmeier, K.J, 1998, Manual Reflexw v.4.5 program for the processing of seismic, acoustic or electromagnetic reflection,refraction and transmission data, Karisruhe, Germany [6]. Soebowo, eko , dkk,, Panduan Ekskursi Gerakan Tanah di Kabupaten Kebumen, LIPI.
JURNAL APLIKASI FISIKA
VOLUME 7 NOMOR 2
AGUSTUS 2011
Analisis Priksimasi dan Nilai Kalor Bioarang Sekam Padi sebagai Bahan Baku Briket Hybrid M. Jahiding1), L.O. Ngkoimani2), E. S. Hasan3), Hasria4) dan S. Maymanah5) 1,3,5)
Laboratirum Fisika Material dan Energi Fakultas MIPA Universitas Haluoleo Tlp/Fax : 0401-3193929/0401-3190496, E-mail :
[email protected] 2,4,5) Laboratorium Fisika Bumi Fakultas MIPA Universitas Haluoleo Tlp/Fax : 0401-3193929/0401-3190496
Abstrak Telah dilakukan penelitian tentang analisis proksimasi dan nilai kalor bioarang sekam padi sebagai bahan baku briket hybrid. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan karakter dan nilai kalor bioarang sekam padi menggunakan metode proximate. Bahan baku berupa ampas sekam padi dikarbonasui pada tanur listrik dengan temperatur 3000 C, kemudian digerus dan diayak untuk memperoleh ukuran butiran sebesar 0,15 mm, 0,18 mm dan 0,21 mm. Karbon aktif sekam padi kemudian diaktivasi pada chamber bertekanan vakum dengan temperatur 4000 C, 5000 C, 6000 C dan 7000 C sambil mengalirkan gas argon ke dalam Chamber. Karbon aktif hasil aktivasi lalu dibuat briket menggunakan perekat kanji dengan perbandingan 9:1, 8:2 dan 7:3. Selanjutnya ditentukan kadar air, kadar abu, volatile matter, fixed karbon dan nilai kalor menggunakan metode proximate. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biobriket sekam padi memiliki kadar air 3,33 %, kadar abu 5 %, volatile matter 18,33 %, fixed karbon 73,34 %, dan nilai kalori sebesar 4678,678 kkal/kg. Karakteristik tersebut menunjukkan bahwa biobriket sekam padi sangat baik dipadukan dengan briket batubara sebagai bahan baku briket hybrid. Kata Kunci: Bioarang sekam padi , analisis proximate. nilai kalor
dengan produksi 423.317 ton gabah kering giling. Limbah pertanian yang merupakan biomassa tersebut merupakan sumber energi alternatif yang melimpah, dengan kandungan energi yang relatif besar. Selain sekam padi potensi batubara di Sulawesi Tenggara juga sangat besar yaitu 9.000.000 juta ton yang tersebar di daerah pulau Wawonii, Kabupaten Konawe dan Kabupaten Kolaka Utara[2]. Dalam penelitian ini dikembangkan salah satu jenis bahan bakar alternatif yang merupakan paduan pemanfaatan sampah pertanian dengan sumber daya alam berupa batubara yang cadangannya sangat besar dan hampir ditemukan di semua daerah. Bahan bakar yang dimaksud adalah briket hybrid yang merupakan perpaduan biobriket dari limbah pertanian dengan briket batubara. Kedua jenis briket ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga diharapkan dengan perpaduan kedua jenis briket ini melahirkan briket hybrid dengan kualitas yang handal dibandingkan dengan briket yang sudah ada selama ini.
1. Pendahuluan Peningkatan harga bahan bakar minyak dunia yang cukup pesat akhir-akhir ini sangat berdampak pada meningkatnya harga jual bahan bakar minyak termasuk minyak tanah dan gas bumi di Indonesia. Saat ini, pemerintah Indonesia mensubsidi bahan bakar minyak tanah sekitar 49 triliun rupiah per tahun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar 10 juta kilo liter per tahun. Pemerintah mengurangi beban subsidi tersebut dengan cara mengalihkan subsidi yang ada menjadi subsidi langsung kepada masyarakat miskin. Untuk mengantisipasi kenaikan harga bahan bakar minyak diperlukan bahan bakar alternatif yang murah dan mudah diperoleh. Salah satu sumber energi alternatif yang bisa dikembangkan sebagai bahan bakar alternatif adalah energi biomassa dan batubara muda. Indonesia sebagai negara agraris banyak menghasilkan limbah pertanian yang kurang termanfaatkan. Data statistik menunjukkan bahwa luas lahan pertanian yang menghasilkan sampah sekam padi khususnya di Sulawesi Tenggara tahun 2007 adalah 110.498 ha
77
78
JAF, Vol. 7 No. 2 (2011), 77-83
1.2 Limbah Sekam Padi Sekam padi merupakan lapisan keras yang meliputi kariopsis yang terdiri dari dua belahan yang disebut lemma dan palea yang saling bertautan. Pada proses penggilingan beras sekam akan terpisah dari butir beras dan menjadi bahan sisa atau limbah penggilingan. Sekam dikategorikan sebagai biomassa yang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti bahan baku industri, pakan ternak dan energi atau bahan bakar. Dari proses penggilingan padi biasanya diperoleh sekam sekitar 20-30% dari bobot gabah, dedak antara 8-12% dan beras giling antara 50-63,5% data bobot awal gabah. Sekam (kulit padi) merupakan hasil samping dari produksi pertanian yang keberadaannya cukup melimpah di indonesia. Sekam padi adalah bagian terluar dari padi yang merupakan hasil samping pada saat proses penggilingan[5]. Sekam padi sebagian besar terdiri dari serat kasar yang berguna untuk menutupi kariopsis. Sebagian besar sekam terdiri dari solulosa sehingga dapat digunakan sebagai bahan bakar yang merata dan stabil[1]. Sekam padi bila telah dibakar salah satu bagiannya merupakan mineral zeolit. Mineral ini mampu menyerap bau ataupun asap. Ditinjau dari data komposisi kimiawi, sekam mengandung beberapa unsur kimia penting. Komposisi kimia sekam padi mengandung kadar air sebesar 9,02%, protein kasar sebasar 3,03%, lemak sebesar 1,18%, serat kasar sebesar 35,68%, kadar abu sebesar 17,17% dan karbohidrat dasar sebesar 33,71%. Sedangkan menurut DTC–IPB, komposisi kimia sekam padi mengandung karbon (zat arang) sebesar 1,33%, hidrogen sebesar 1,54%, oksigen sebesar 33,64% dan silika sebesar 16,98%. Salah satu manfaat dari arang padi adalah pembuatan biobriket, dimana kualitas dari biobriket sekam padi (bioarang) ini tidak kalah dengan batu bara atau bahan bakar jenis arang lainnya. Briquetting terhadap suatu material merupakan cara mendapatkan bentuk dan ukuran yang dikehendaki agar dapat dipergunakan untuk keperluan tertentu. (josep dan Hislop, 1981). Kualitas biobriket (bioarang) ditentukan oleh bahan pembuat/
penyusunnya, sehingga mempengaruhi kualitas nilai kalor, kadar air, kadar abu, kadar bahan menguap, dan kadar karbon terikat pada biobriket tersebut. 1.3 Batubara Muda Batubara adalah bahan bakar yang terbentuk dari fosil yang sudah dikenal dimana-mana, yaitu dari tanaman yang telah membusuk dan kemudian tertekan ke bawah oleh pertumbuhan lapisan-lapisan baru dan tanah yang terbentuk diatasnya. Batubara terbentuk dengan cara yang sangat komplek dan memerlukan waktu yang lama mencapai puluhan sampai ratusan juta tahun dibawah pengaruh fisika, kimia ataupun keadaan geologi[10]. Batubara merupakan salah satu batuan sedimen organik yang dapat terbakar karena berasal dari sisa-sisa kehidupan dan menjadi padat setelah tertimbun oleh lapisan diatasnya[6]. Lapisan batubara terletak di bawah permukaan tanah, pasir, padas, cadas dan lempung biru. Ada kalanya beberapa meter bahkan mencapai lebih dari sepuluh meter di bawah permukaan bumi. Batubara terdapat berlapis-lapis di dalam tanah. Lapisan yang teratas merupakan tanah yang terdiri dari berbagai campuran. Sedangkan di bawahnya terdapat lapisan batubara dengan ketebalan lapisan teratas batubara sekitar 3 sampai 12 meter. Di bawah lapisan batubara tersebut terdapat lagi lapisan tanah bercampur pasir, kerikil, lempung biru, tanah liat dan sisa-sisa letusan gunung berapi, kemudian di bawahnya terdapat lagi lapisan batubara, dan seterusnya hingga 6 lapisan. Bagian paling atas tertutup tanah dan diantara lapisan-lapisan batubara tersebut terdapat lapisan tanah bercampur pasir yang membatu. Jadi, lapisan batubara itu diapit oleh lapisan batuan sedimen bercampur batuan amorf dalam bentuk pasir, lempung dan tanah yang membatu. Batubara pada dasarnya adalah karbon (C) yang didapat dari tambang dengan kualitas berbeda-beda karena tercampur dengan bahanbahan lain yang tergantung pada kondisi tambangnya. Hal-hal yang menentukan mutu
Analisis Priksimasi dan Nilai Kalor Bioarang Sekam Padi........... (M. Jahiding, dkk )
batubara antara lain adalah nilai kalorinya. Karena batubara berasal dari fosil tumbuhan yang tertimbun di dalam tanah, maka semakin tua umurnya semakin tinggi nilai kalorinya[11]. Secara umum batubara digolongkan menjadi 5 tingkatan (dari tingkatan tertinggi hingga tingkatan terendah) berdasarkan kandungan relatif antara unsur karbon (C) dan air (H2O) yang terdapat dalam batubara, yaitu : antrasit, bituminous, sub bituminous, lignit dan gambut (peat). Pada antrasit, kandungan C relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan H2O. Sedangkan pada bituminous dan gambut kandungan C relatif lebih rendah dibandingkan dengan kandungan H2O. Pada bituminous kandungan unsur C relatif lebih rendah dibandingkan dengan kandungan unsur C pada antrasit, dan sebaliknya kandungan H2O pada bituminous relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan H2O pada antrasit[10]. Batubara lignit merupakan batubara yang paling lunak dan kepadatannya masih dalam tingkat pertama. Dari pandangan geologi, lignit merupakan batubara termuda karena tersusun dari bahan yang mudah menguap dan kandungan air dengan kadar fixed carbon yang rendah. Batubara bituminous juga merupakan batubara muda yang biasanya dipakai di rumah-rumah dan pabrik karena mempunyai kandungan volatile matter yang cukup, tetapi nilai kalorinya relatif tinggi sehingga dapat menghasilkan suhu nyala yang lebih tinggi (Sukandarrumidi, 1995). Sedangkan antrasit, merupakan batubara yang paling keras dan tidak berasap jika dibakar. Salah satu ciri dari batubara antrasit adalah memiliki kadar hidrokarbon yang rendah. Batubara jenis antrasit ini merupakan batubara tertua jika dilihat dari sudut pandang geologi karena merupakan batubara keras, tersusun dari komponen utama karbon dengan sedikit kandungan bahan yang mudah menguap dan hampir tidak berkadar air[11]. Batubara bersifat heterogen, baik ditinjau dari komposisi kimia dan sifat fisiknya. Sifat fisik batubara termasuk nilai panas, kadar air, bahan mudah menguap dan abu. Sifat kimia batubara tergantung dari kandungan berbagai bahan kimia seperti
79
karbon, hidrogen, oksigen, dan sulfur. Nilai kalor batubara beraneka ragam dari tambang batubara yang satu ke yang lainnya. 2. Metode Penelitian 2.1 Pembuatan Biobriket Pembuatan biobriket sekam padi dilakukan dengan beberapa tahapan yang diuraikan sebagai berikut: 2.1.1 Pembuatan Arang/Karbon Aktif Sekam Padi Proses pembuatan arang briket dari sekam padi diawali dengan pengeringan sekam padi yang kemudian dikarbonisasi pada tanur listrik selama 2 jam dengan temperatur 3000 C. Selanjutnya karbon aktif sekam padi digerus dan diayak dengan ukuran butiran 0,15 mm, 0,18 mm dan 0,21 mm. Setiap sampel kemudian diaktivasi pada cahmber bertekanan vakum dengan temperatur 4000 C, 5000 C, 6000 C dan 7000 C sambil mengalirkan gas argon ke dalam chamber. Karbon aktif yang sudah diaktivasi, kemudian dicampur dengan bahan perekat (kanji) menggunakan homogenizer dengan perbandingan 9:1, 8:2 dan 7:3. Kabron aktif sekam padi siap dicetak menjadi biobriket sekam padi. 2.1.2 Mencetak Biobriket Membuat cetakan briket dalam bentuk silinder berlubang dan kubus berlubang untuk mencetah briket seperti Gambar 1 berikut ini.
Gambar 1. Desain Briket Hybrid
2.2 Analisis Biobriket Sekam Padi 2.2.1 Kadar Air Kadar air biobriket/bioarang dari ampas sekam padi ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut :
JAF, Vol. 7 No. 2 (2011), 77-83
80
Kadar Air (%)
2.2.4 Fixed Carbon (Karbon Terikat) Kadar karbon terikat (fixed karbon) biobriket/bioarang dari ampas sekam padi dapat ditentukan dengan rumusan FC = 100 (Ka + Vm + Abu) dimana Ka adalah kadar air, Vm volatile matter dan abu adalah kadar abu.
2.2.2 Kadar Abu Kadar abu biobriket/bioarang dari ampas sekam padi ditentukan menggunakan tanur pemanasan yang memiliki suhu sampai 60000 C dan desikator pendingin. Prosentase kadar abu dihitung penggunakan rumusan W1/W2 x (100 %), dimana W1 berat abu dan W2 berat sampel yang dikeringkan.
2.2.5 Nilai Kalor Nilai kalor biobriket/bioarang dari ampas sekam padi dianalisis menggunakan Kalorimeter Bomb. Kalibrasi pembakaran alat dilakukan dengan menggunakan asam benzoat sebagai standar untuk memperoleh Tara Energi (W). Untuk memperoleh nilai kalor biobriket/bioarang dari ampas sekam padi digunakan rumusan sebagai berikut :
2.2.3 Volatile Matter Kandungan volatile matter biobriket/bioarang dari ampas sekam padi dapat ditentukan menggunakan persamaan :
dimana M berat massa benzoat, Δt suhu asam benzoat, W tara energi, E nilai kalor pembakaran dan 6320 nilai kalor/1 gr asam benzoat. Tabel 1. Analisis proksimasi biobriket sekam padi
No
1
2
3
Ukuran butiran (mm)
0,21
0,18
0,15
Analisis proksimasi (% berat) Komposisi (arang : perekat)
Kalori (kal/gr)
Kadar air
Volatile matter
Kadar abu
Fix carbon
9:1
2,00
16,67
8,33
73,00
4595,912
8:2
2,67
16,67
7,33
73,33
4645,770
7:3
3,33
18,33
5,00
73,34
4678,678
9:1
2,33
14,33
12,33
71,01
3256,963
8:2
2,67
18,00
8,33
71,00
3925,938
7:3
3,00
18,33
7,67
71,00
4291,680
9:1
2,33
14,33
14,00
69,34
3405,276
8:2
3,00
16,00
11,67
69,33
3162,727
7:3
3,00
18,33
9,67
69,00
3445,044
Analisis Priksimasi dan Nilai Kalor Bioarang Sekam Padi........... (M. Jahiding, dkk )
Kadar air (%)
4 3 2 1 0 0.21
0.18
0.15 Ukuran partikel Sekam padi (mm) 9 arang :1 perekat
8 arang : 2 perekat
7 arang : 3 perekat
Gambar 2. Kadar Air Biobriket Sekam Padi
Gambar 2, menunjukkan bahwa kadar air terendah yaitu pada briket dengan ukuran butiran arang 0,21 mm dan perekat 10 %. Persentase perekat yang semakin tinggi dalam komposisi briket merupakan faktor yang menentukan tingginya kadar air briket, sedangkan ukuran butiran arang sekam padi tidak memperlihatkan perbedaan berarti. Hal ini dikarenakan persentase penggunaan air yang sama dalam pencampurannya untuk variasi ukuran butiran arang sekam padi. 3.2 Analisis Kadar Abu Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa persentase kadar abu dari setiap sampel
berkisar antara 5 - 14 %. Hubungan antara ukuran butiran arang sekam padi terhadap kadar abu untuk tiap komposisi briket ditunjukkan pada Gambar 3.2.
Kadar Abu (%)
15 10 5 0 0.21
0.18
0.15 Ukuran butiran arang sekam padi (mm) 9 arang : 1 perekat
8 arang : 2 perekat
7 arang : 3 perekat
Gambar 3. Kadar Abu Biobriket Sekam Padi
Gambar 3. menunjukkan bahwa ukuran butiran sangat mempengaruhi tingginya kadar abu. Untuk briket dengan ukuran butiran 0,15 mm dan perekat 10% memiliki kadar abu lebih tinggi dibandingkan dengan komposisi yang lain. Ukuran butiran arang dan persentase jumlah perekat menunjukkan korelasi yang nyata terhadap kadar abu, dimana ukuran butiran dan persentase penambahan perekat berbanding terbalik terhadap kadar abu briket. Hal ini dikarenakan semakin kecil ukuran butiran arang akan lebih cepat menjadi abu pada proses pengeringan. Kadar Volatile matter (%)
3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Analisis Kadar Air Biobriket sekam padi yang dihasilkan, kemudian dilakukan karakterisasi kadar abu, kadar air, volatile matter, fixed carbon dan nilai kalori. Hasil analisis proksimasi ditunjukkan pada Tabel 1. Hasil analisis proximate menunjukkan bahwa kadar air setelah proses pressing dan pengeringan kurang dari 5 %. Hal ini menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh cukup baik karena memenuhi standar kadar air yang terkandung dalam bahan bakar briket arang. Kadar air yang terkandung dalam briket mempengaruhi nilai kalor briket, dengan korelasi yang berbanding terbalik. Hubungan antara ukuran butiran arang sekam padi terhadap kadar air untuk tiap komposisi briket ditunjukkan pada Gambar 2.
81
20 15 10 5 0 0.21
0.18
0.15 Ukuran butiran arang sekam padi (mm) 9 arang : 1 perekat
8 arang : 2 perekat
7 arang : 3 perekat
Gambar 4. Volatile Matter Biobriket Sekam Padi
JAF, Vol. 7 No. 2 (2011), 77-83
3.3 Analisis Volatile Matter Dari hasil pengujian kadar volatile matter biobriket yang telah dilakukan didapatkan bahwa kadar volatile matter dari setiap sampel berkisar antara 14,33 – 18,33 %. Hubungan antara ukuran butiran arang sekam padi terhadap kadar volatile matter untuk tiap komposisi briket ditunjukkan pada Gambar 4. Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa kandungan volatile metter tertinggi diperoleh pada briket dengan komposisi 70 % arang sekam padi dan 30 % perekat. Hal ini disebabkan oleh banyaknya persentase perekat yang membuat semakin tingginya kadar volatile matter briket. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa kadar volatile matter perekat lebih tinggi dari pada arang sekam padi yang telah dikarbonasi. Pada proses karbonisasi sekam padi, fixed karbon akan meningkat, sedangkan untuk kandungan volatile matter menurun. Untuk variasi ukuran butiran arang sekam padi tidak menunjukkan perbedaan yang berarti terhadap besarnya kadar volatile metter.
Kadar Fix Carbon (%)
3.4 Analisis Kadar Fixed Karbon Dari hasil pengujian kadar fixed karbonn biobriket didapat persentase karbon terikat dalam briket berkisar antara 69,0 – 73,34 %. Hubungan antara ukuran butiran arang sekam padi terhadap kadar karbon terikat untuk tiap komposisi briket ditunjukkan pada Gambar 5. 74 72 70 68 66 64 62 60 0.21
0.18 0.15 Ukuran butiran arang sekam padi (mm) 9 arang : 1 perekat
8 arang : 2 perekat
7 arang : 3 perekat
Gambar 5. Fixed Karbon Biobriket Sekam Padi
Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa kadar fix karbon yang dimiliki briket arang sekam padi untuk ukuran butiran 0,21 mm lebih tinggi di banding yang lainnya. Hal
ini dipengaruhi oleh kadar abu yang semakin rendah dengan semakin besarnya ukuran butiran arang sehingga menyisakan kadar fixed karbon yang lebih tinggi. Variasi persentase perekat tidak memperlihatkan perbedaan yang cukup berarti terhadap kadar fixed karbon. Keadaan ini mengindikasikan kandungan karbon dari arang sekam padi yang sebanding dengan perekat pati ubi. 3.5 Analisis Nilai Kalor Hasil pengujian nilai kalor biobriket yang telah dilakukan didapat nilai kalor per unit massa dari setiap sampel berkisar antara 3162,727 – 4678,678 kkal/kg. Hubungan antara ukuran butiran arang sekam padi terhadap kalori pembakaran untuk tiap komposisi briket ditunjukkan pada Gambar 3.5. 5000 Kalor Bakar (K.Kal/Kg)
82
4000 3000 2000 1000 0 0.21
0.18
0.15 Ukuran butiran arang sekam padi (mm)
9 arang : 1 perekat
8 arang : 2 perekat
7 arang : 3 perekat
Gambar 6. Nilai Kalor Biobriket Sekam Padi
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai kalor tertinggi didapat pada briket dengan persentase perekat 30 %. Dari ketiga ukuran butiran arang sekam padi yang digunakan, nilai kalor tertinggi didapat pada briket dengan ukuran butiran arang 0,21 mm. Briket dengan ukuran butiran arang 0,21 mm dan perekat 30 % menghasilkan nilai kalor maksimal sebesar 4678,678 kkal/kg, apabila dibandingkan dengan briket dengan persentase perekat 10 - 20 % yang mempunyai karbon terikat yang hampir sama, namun menghasilkan kalori yang lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh pengaruh persentase volatile matter dalam briket[5]. Untuk komposisi briket dengan ukuran butiran arang 0,15 mm dan 20 % perekat
Analisis Priksimasi dan Nilai Kalor Bioarang Sekam Padi........... (M. Jahiding, dkk )
menghasilkan kalor bakar paling rendah, hal ini dikarenakan kerapatan briket juga berpengaruh terhadap nilai kalor. Jika semakin tinggi kerapatan maka cenderung akan meningkatkan kalor karena ikatan antar partikel yang lebih kuat sehingga akan menghasilkan panas yang lebih baik. Akan tetapi apabila kerapatannya terlalu tinggi maka akan menyulitkan proses pembakaran sehingga nilai kalor menurun[9]. 4. Kesimpulan Melalui tahap pembuatan briket arang sekam padi didapatkan komposisi briket yang paling optimal pada ukuran butiran arang 0,18 mm dan persentase perekat 10 % sehingga nilai susut massanya paling rendah yaitu sebesar 8,67 %. Melaui tahap pengujian proximate briket arang sekam padi didapatkan komposisi briket yang paling optimal pada ukuran butiran arang 0,21 mm dan persentase perekat 30 % . Hasil yang diperoleh yaitu 3,33 % kadar air , 18,33 % kadar volatile metter, 5 % kadar abu, 73,34 % kadar fixed karbon menghasilkan kalori pembakaran paling tinggi sebesar 4678,678 kkal/kg . Nilai kalor briket ditentukan oleh kandungan volatile matter dan fixed karbon, semakin tinggi volatile matter briket nilai kalornya semakin tinggi untuk nilai fixed karbon yang sama. Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional atas bantuan dana dalam penelitian ini melalui DIPA Unhalu pada program Voucher Multi Tahun (Hibah Bersaing) tahun 2011.
Daftar Pustaka [1]. Aripin, M. Jahiding, Nur Untoro, 2008, “Pelatihan Pemanfaatan Briket sebagai Bahan Bakar Alternatif Pengganti Minyak Tanah dan Gas Untuk Rumah Tangga di Kecamatan Ranomeeto Kabupaten Konawe Selatan”. Laporan Pengabdian Masyarakat yang dibiayai oleh The Development and
83
Upgrading of Haluoleo University Project. Lembaga Pengabdian pada Masyarakat Unhalu, [2]. Arnold, Guy. 1987. Batubara. PT Pradnya Paramita. Jakarta [3]. Badan Pusat Statistika Provinsi Sultra, 2004. Produksi Tanaman Padi, Palawija, Sayuran dan Buah-Buahan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari. [4]. Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Sulawesi Tenggara, 2007. Laporan Penyelidikan Batubara Kec. Ngapa Kab. Kolaka Utara Provinsi Sulawesi Tenggara. Sulawesi Tenggara [5]. Hara, et.al, 1986. Utilization of Agrowastes for Building Materials. J. Ilmu Dasar. Vol. 3 No. 2, 2002: 98-102. International Research and Development Cooperation Division. AIST. MITI. Japan. [6]. Husada, TI. 2008. Laporan Penelitian/Artikel Ilmiah Program Penelitian Inovasi Mahasiswa Provinsi Jawa Tengah “Arang briket tongkol jagung sebagai Energi Alternatif”. Universitas Negeri Semarang. Semarang. [7]. Karona, dkk. 1981. Industri Batu Alam. PN Balai Pustaka. Jakarta [8]. Kulshrestha, S.K. 1989. Termodinamika Terpakai, Teknik Uap dan Panas. Universitas Indonesia UI-Press. Jakarta [9]. Marsudi, Djiteng. 2005. Pembangkit Energi Listrik. Erlangga. Jakarta [10]. Pebriadi, B. dan Mastur. 2008. Pemanfaatan Sekam Sebagai Energi Alternatif di Rumah Tangga Perdesaan. Balai Pengkajian Taknologi Pertanian Kalimantan Timur. Samarinda. [11]. Sukandarrumidi. 2006. Batubara dan Pemanfaatannya. Gajah Mada University Press. Yogyakarta [12]. Sule, D. dan Sinaga, P., 1998. Pembuatan Briket Tanpa Asap dan Tak Berbau dari Batubara Halus dengan Sekam Padi dan Molase. WEC. Jakarta.
JURNAL APLIKASI FISIKA
VOLUME 7 NOMOR 2
AGUSTUS 2011
Penumbuhan Lapisan Tipis CdO dengan Teknik Imersi Kimia Untuk Aplikasi Sel Surya Amiruddin1), Ida Usman2), dan Muliati Dula2) 1) Jurusan Kimia FMIPA Universitas Haluoleo 2) Jurusan Fisika FMIPA Universitas Haluoleo Kampus Bumi Tridharma, Anduonohu, Kendari E-mail:
[email protected];
[email protected]
Abstrak Telah dilakukan penelitian penumbuhan lapisan tipis CdO dengan teknik imersi kimia. Proses penumbuhan dilakukan dengan mengimersi substrat gelas secara bergantian ke dalam larutan cadmium acetate dihydrate (Cd(CH3COOH)2.2H2O) dan larutan natrium hydroxide (NaOH). Konsentrasi larutan dibuat bervariasi untuk melihat pengaruh rasio konsentrasi kedua larutan terhadap karakteristik lapisan CdO yang dihasilkan. Untuk memperkuat ikatan antar atom dan melepaskan kandungan air yang tersisa, lapisan CdO kering dipanaskan pada temperatur 225 oC. Dari hasil pengukuran SEM-EDX terlihat bahwa prosentasi massa Cd dalam lapisan secara kuantitatif sangat bergantung pada konsentrasi larutan cadmium acetate dihydrate. Demikian halnya dengan hasil penentuan celah pita optiknya bahwa peningkatan rasio kandungan Cd terhadap kandungan O dalam lapisan CdO memperlihatkan kecenderungan hubungan yang linier terhadap penyempitan celah pita optiknya. Dari hasil pengukuran konduktivitas, semua lapisan CdO yang diperoleh dapat dikategorikan sebagai material semikonduktor dengan nilai konduktivitas tertinggi diperoleh dari lapisan yang dibuat sebanyak 10 kali imersi dengan pasangan larutan cadmium acetate dihydrate dan natrium hydroxide pada konsentrasi 0.2M:0.2M. Kata kunci: lapisan tipis CdO, teknik imersi kimia
untuk mengkaji lebih jauh material ini sehingga limbahnya dapat menjadi lebih ramah lingkungan. Oksida cadmium (CdO) misalnya sudah lebih ramah lingkungan karena dihasilkan dari proses oksidasi Cd seperti pembakaran. Selain melalui proses pembakaran, material CdO dapat disintesa di laboratorium menggunakan larutan-larutan kimia atau metode-metode tertentu seperti teknik chemical bath deposition [2] ataupun teknik evaporasi reaktif teraktivasi [3,4]. Dalam penelitian ini, material CdO akan ditumbuhkan menggunakan teknik imersi kimia atau yang lazim dikenal sebagai chemical deposition menggunakan larutan cadmium acetate (Cd(CH3COO)2) dan sodium hydroxide (NaOH). Teknik imersi kimia merupakan teknik yang sangat sederhana karena penumbuhan material dengan teknik ini mudah dilakukan dan tidak memerlukan ruangan khusus sebagaimana yang digunakan dalam teknik penumbuhan lainnya.
1. Pendahuluan Cadmium (Cd) merupakan jenis material yang memiliki cakupan aplikasi penggunaan yang cukup luas, baik dalam bidang elektronika, industri, maupun kesehatan. Oleh karena itu, kajian tentang pengaplikasian material ini masih menarik perhatian banyak peneliti di seluruh dunia, baik kajian secara teori maupun kajian secara eksperimen. Kajian tentang material paduan CdS/CdTe untuk aplikasi sel surya misalnya secara teori dapat dihasilkan sel surya dengan efisiensi >28%, namun secara eksperimen baru mencapai efisiensi ~16% menggunakan teknik spray pyrolisis dan elektrokimia [1]. Meskipun efisiensi konversi sel surya berbasis CdS/CdTe pada dasarnya lebih baik dibanding sel surya berbasis silikon, namun penggunaan CdS saat ini sudah mulai dibatasi karena efek negatif terhadap lingkungan mirip dengan efek yang ditimbulkan oleh merkuri. Oleh karena itu, sejumlah peneliti tertarik
84
Penumbuhan Lapisan Tipis CdO dengan Teknik Imersi Kimia........ (Amiruddin,dkk)
2. Eksperimen Dalam penelitian ini, lapisan CdO ditumbuhkan dengan mengimersi substrat gelas secara bergantian ke dalam larutan cadmium acetate dihydrate (Cd(CH3COOH)2.2H2O) dan larutan natrium hydroxide (NaOH). Konsentrasi larutan dibuat bervariasi untuk melihat pengaruh rasio konsentrasi kedua larutan terhadap karakteristik lapisan CdO yang dihasilkan. Larutan cadmium acetate dihydrate dibuat dengan konsentrasi 0,05M, 0,1M, dan 0,2M sedangkan larutan natrium hydroxide dibuat dengan konsentrasi 0,1M, 0,2M, dan 0,3M. Proses imersi dilakukan dengan terlebihdahulu memilih pasangan larutan dengan variasi konsentrasi yang diinginkan. Untuk memperkuat ikatan antar atom dan melepaskan kandungan air yang tersisa, lapisan CdO kering dipanaskan pada temperatur 225 oC. Sifat-sifat lapisan CdO yang dihasilkan kemudian dipelajari melalui hasil pengukuran SEM-EDX (Scanning Electron Microscope – Energy Dispersive X-ray) untuk analisa struktur, pengukuran UV-Vis (Ultraviolet Visible) untuk analisa sifat optik, dan pengukuran konduktivitas untuk analisa sifat listrik. Selain variasi konsentrasi larutan, sifat CdO juga dipelajari melalui ketebalannya, yang ditentukan sesuai frekuensi proses imersi masing-masing sampel yaitu sebanyak 5 kali, 10 kali, dan 15 kali imersi.
3. Hasil dan Pembahasan Teknik imersi atau teknik pencelupan merupakan salah satu metode pembuatan lapisan tipis dengan menggunakan bahan kimia cair/larutan. Pasangan larutan cadmium acetate dihydrate dan natrium hydroxide yang dipilih masing-masing adalah (0,05M:0,1M), (0,05M:0,2M), (0,05M:0,3M), (0,1M:0,1M), (0,1M:0,2M), (0,1M:0,3M), (0,2M:0,1M), (0,2M:0,2M), dan (0,2M:0,3M). Proses imersi dilakukan secara bergantian ke dalam masingmasing larutan dengan variasi 5 kali, 10 kali, dan 15 kali imersi. Melalui mekanisme reaksi reduksi-oksidasi, proses reaksi yang terjadi pada cadmium acetate dihydrate adalah:
Cd (CH 3COO ) 2
H 2O
Cd 2
85
CH 3COO
H 2O
(1) dan proses reaksi yang terjadi pada natrium hidroksida adalah: NaOH
H 2O
Na
OH
H 2O
(2)
Saat proses imersi bergantian dalam kedua larutan, terjadi reaksi: Cd 2
2OH
Cd(OH)2
Cd (OH ) 2
CdO H 2O
(3a) (3b)
Dengan proses pemanasan temperatur 225 oC, H2O akan menguap sehingga pada substrat tertinggal lapisan CdO. (a)
(b)
Gambar 1. (a) Proses pembuatan larutan, (b) Lapisan CdO yang dihasilkan
Gambar 2 memperlihatkan hasil pengukuran SEM-EDX lapisan CdO yang dihasilkan. Terlihat bahwa struktur CdO terbentuk dengan baik, dengan prosentasi massa Cd mencapai ~58% pada Gambar 2(a) dan ~70% pada Gambar 2(b). Dapat dimaklumi bahwa perbedaan tersebut akibat konsentrasi larutan cadmium acetate dihydrate lebih tinggi pada sampel Gambar 2(b) dibanding Gambar 2(a). Tabel 1 memperlihatkan hasil penentuan celah pita optik (optical bandgap) lapisan CdO untuk masing-masing variasi konsentrasi dan frekuensi imersi dengan metoda Tauc plot dari data pengukuran UV-Vis. Terlihat bahwa celah pita optik yang diperoleh masing-masing sampel berbeda-beda. Berdasarkan nilai celah pita optik, kecenderungannya adalah bahwa semakin besar kosentrasi atom Cd dalam
86
JAF, Vol. 7 No. 2 (2011), 84-87
lapisan CdO maka celah pita optiknya semakin sempit, bertentangan dengan konsentrasi atom O dalam lapisan CdO.
Tabel 2 memperlihatkan hasil pengukuran konduktivitas gelap dan fotokonduktivitas lapisan CdO yang dihasilkan. Terlihat bahwa sampel nilai konduktivitas hampir semua yang dihasilkan meningkat seiring dengan meningkatnya kosentrasi Cd(CH3COO). Meskipun demikian, beberapa sampel yang walaupun kosentrasi Cd(CH3COO) besar namun memiliki nilai konduktivitas yang kecil. Hal ini karena jumlah atom O yang terikat dalam lapisan masih lebih tinggi dibanding atom Cd. Tabel 2. Hasil pengukuran konduktivitas lapisan CdO (dalam Ω-1m-1)
Gambar 2. Hasil pengukuran SEM-EDX lapisan CdO yang diperoleh selama 15 kali imersi dengan rasio konsentrasi Cd(CH3COO)2.2H2O) terhadap NaOH: (a) 0,05M:0,1M, (b) 0,1M:0,1M Tabel 1. Hasil penentuan celah pita optik CdO (dalam eV)
0,05M:0,1M 0,05M:0,2M 0,05M:0,3M 0,1M:0,1M 0,1M:0,2M 0,1M:0,3M 0,2M:0,1M 0,2M:0,2M 0,2M:0,3M
5 kali imersi 1,05 1,19 0,72 1,12 0,8 1,1 1,1 0,8 0,78
10 kali imersi 0,26 0,16 0,15 1,04 0,8 1,1 1,11 1,1 0,84
15 kali imersi 0,2 0,15 0,07 0,84 0,5 1,1 0,73 1,1 0,57
Dapat dilihat pula bahwa beberapa sampel dimana kosentrasi larutan cadmium acetate dihydrate yang digunakan lebih tinggi dari yang lainnya, namun celah pita optiknya justru lebih lebar. Hal ini diduga akibat jumlah atom O yang terikat dalam lapisan lebih banyak dibanding atom Cd pada kosentrasi tersebut.
0,05M:0,1M 0,05M:0,2M 0,05M:0,3M 0,1M:0,1M 0,1M:0,2M 0,1M:0,3M 0,2M:0,1M 0,2M:0,2M 0,2M:0,3M
5 kali imersi
10 kali imersi
15 kali imersi
1,2x10-3 1,2x10-5 2,7x10-2 1,1 x10-2 1,1x10-1 1,3x10-3 6,1 x10-3 9,4x10-2 5,6x10-3
1,2x10-3 4,6x10-6 1,1x10-5 1,4x10-6 2,4x10-3 2,9x10-2 1,2x10-6
1,4x10-6 4,6x10-6 1,2x10-5 2,4x10-3 7,1x10-4 4,2x10-2 2,5x10-3 4,2x10-4 1,9x10-3
6,7x10-1 8,9x10-4
Seperti diketahui bahwa Cd merupakan unsur logam golongan IIB. Berdasarkan nilai konduktivitasnya dapat dilihat bahwa semakin tinggi kandungan Cd dalam lapisan CdO maka konduktivitasnya akan semakin besar pula.
4. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa lapisan CdO dapat ditumbuhkan dengan baik melalui teknik imersi kimia. Dapat dilihat dari hasil pengukuran SEM-EDX bahwa struktur lapisan terbentuk baik dengan prosentasi massa Cd dalam lapisan secara kuantitatif bergantung pada konsentrasi larutan cadmium acetate dihydrate yang digunakan. Demikian halnya dengan hasil penentuan celah pita optiknya bahwa peningkatan rasio kandungan Cd terhadap kandungan O dalam lapisan CdO memperlihatkan mempengaruhi penyempitan celah pita optiknya. Berdasarkan hasil
Penumbuhan Lapisan Tipis CdO dengan Teknik Imersi Kimia........ (Amiruddin,dkk)
pengukuran konduktivitas, semua lapisan CdO yang diperoleh dapat dikategorikan sebagai material semikonduktor dengan nilai konduktivitas tertinggi diperoleh dari lapisan yang dibuat sebanyak 10 kali imersi dengan pasangan larutan cadmium acetate dihydrate dan natrium hydroxide pada konsentrasi 0,2M:0,2M. Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada DP2M Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Republik Indonesia atas bantuan dana pelaksanaan penelitian ini melalui Program Hibah Bersaing Tahun 2011.
87
Referensi [1] R.K. Sharma, K. Jain, dan A.C. Rastogi, Growth of CdS and CdTe Thin Films for the Fabrication of n-CdS/p-CdTe Solar Cell, Current Applied Physics, 3 (2003), 199. [2] M. Ocampo, A.M. Fernandez, dan P.J. Sebastian, Transparent Conducting CdO Films Formed by Chemical Bath Deposition, Semiconductor Science Technology, 8 (1993), 750. [3] G. Phata dan R. Lal, Structural and Electrical Properties of Cadmium Oxide Films Deposited by the Activated Reactive Evaporation, Thin Solid Films, 209 (1992), 240. [4] C. Sravani, K.T.R. Reddy, dan P.J. Reddy, Influence of Oxygen Partial Pressure on the Physical Behaviour of CdO Films Prepared by Activated Reactive Evaporation, Material Letter, 15 (1993), 356.
JURNAL APLIKASI FISIKA
VOLUME 7 NOMOR 2
AGUSTUS 2011
Optimasi Komposisi Bahan, Ukuran Partikel dan Tekanan dalam Pembuatan Briket Arang Tongkol Jagung Lina Lestari, Muliati Dula, La Agusu, Zainudin, Ahmad Maskur, Muh Harun Al Rasyid Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Haluoleo Kampus Bumi Tridharma Anduonohu, Kendari, Sulawesi Tenggara
Abstrak Telah dilakukan penelitian untuk mempelajari parameter yang optimum untuk pembuatan briket arang tongkol jagung. Parameter pembuatan briket adalah komposisi bahan perekat sagu, komposisi lempung, ukuran partikel dan tekanan. Kualitas briket ditentukan dari kadar air, kadar abu, kerapatan dan nilai kalor. Tongkol jagung mempunyai kandungan selulosa yang cukup besar yakni sekitar 43% dan kandungan lignin 23,3% sehingga memungkinkan dijadikan briket arang sebagai energi alternatif. Sulawesi Tenggara merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi jagung dan sagu yang cukup luas. Pembuatan briket dengan bahan arang tongkol jagung dan sagu, diperoleh nilai kalor 7607,4707kal/gr, kadar abu 5.3042%, kadar air 2,2492% dan kerapatan 0,7419gr/cm3 pada ukuran partikel 80 mesh, tekanan 94,22kg/cm2 dan komposisi bobot arang:sagu adalah 9:1. Pembuatan briket dengan bahan arang tongkol jagung dan lempung, diperoleh nilai kalor 7473 kal/gr, kadar air 0.8345% dan kerapatan 1,0450gr/cm3 pada ukuran partikel arang 80 mesh, tekanan 94,22kg/cm2, komposisi bobot arang:lempung yaitu 4:6. Kata Kunci: briket, tongkol jagung, tekanan, ukuran partikel, kadar air, kadar abu, nilai kalor
bekerja dengan baik. Penggunaan perekat juga dapat meningkatkan nilai kalor briket dan briket tidak mudah pecah [2]. Perekat organik menghasilkan abu yang relatif sedikit setelah pembakaran briket dan umumnya merupakan bahan perekat yang efektif,misalnya sagu. Sagu (Metroxylon sp) merupakan tanaman yang sangat produktif sebagai penghasil pati.Secara kimia, pati sagu mengandung 28% amilosa dan 72% amilopektin sehingga dapat digunakan untuk perekat [3]. Sagu cukup potensial untuk digunakan sebagai perekat. Sulawesi Tenggara merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi sagu yang cukup luas. Selain sagu, lempung juga dapat digunakan untuk pencampur bahan briket arang. Hal ini dimaksudkan untuk menambah kerapatan briket. Dalam penelitian ini, bahan pembuatan briket adalah arang dari tongkol jagung (Zea mays L) dan sagu, serta arang tongkol jagung dan lempung. Agar dihasilkan kualitas briket yang baik perlu optimasi parameter ukuran partikel, tekanan, dan komposisi bahan. Kualitas briket ditentukan dari kadar air, kadar abu, kerapatan dan nilai kalor.
1. Pendahuluan Tongkol jagung merupakan salah satu limbah bagian tanaman yang belum banyak dimanfaatkan. Cara yang paling mudah yang dilakukan petani untuk menangani limbah tersebut adalah dengan membakarnya. Tentu saja ini akan menjadi masalah baru bagi lingkungan, terutama karena pembakaran itu akan menimbulkan polusi. Tongkol jagung memiliki kandungan serat kasar yang cukup tinggi, yakni 33% [1] . Kandungan selulosa sekitar 44,9% dan kandungan lignin 33,3% memungkinkan tongkol jagung dijadikan briket arang sebagai energi alternatif. Briket arang adalah arang yang dirubah bentuk, ukuran, dan kerapatannya dengan cara mengepres campuran serbuk arang dengan bahan perekat. Penggunaan bahan perekat dimaksudkan agar ikatan antar partikel akan semakin kuat. Kriteria untuk menilai ketepatan komposisi bahan pengikat dalam briket adalah meratanya campuran, campuran dapat digumpalkan, air tidak merembes keluar pada saat pencetakan, dan peregangan kembali briket tidak terlalu besar setelah proses pengeringan. Peregangan yang terlalu besar mengindikasikan perekat tidak
88
Optimasi Komposisi Bahan, Ukuran Partikel dan Tekanan........... (Lina Lestari,dkk)
89
2. Metode Penelitian
3. Hasil dan Pembahasan
Bahan tongkol jagung dijemur di bawah sinar matahari selama dua hari. Kemudian dilakukan proses karbonasi dengan menggunakan kaleng yang diberi satu lubang pada penutup kaleng di atas tungku selama 80 menit. Setelah menjadi arang, dipotong-potong menjadi bagian yang kecil. Potongan-potongan arang kemudian digerus menjadi serbuk, lalu dilakukan pengayakan dengan variasi ukuran partikel. Selanjutnya pembuatan briket dilakukan dengan 2 jenis bahan yang berbeda, yaitu campuran arang dengan perekat sagu, dan campuran arang dengan lempung. Serbuk arang tongkol jagung dicampur perekat dengan komposisi 9:1 sehingga dapat dibentuk briket [4]. Briket dengan bahan arang tongkol jagung dan lempung dibuat dengan variasi tekanan dan variasi komposisi bahan. Cetakan briket berbentuk silinder berdiameter 1,8cm dan berlubang dengan diameter 0,5cm. Pengeringan briket dengan menggunakan oven dengan suhu 60oC selama 48 jam. Pengujian briket meliputi uji kadar air, uji kadar abu, kerapatan, uji nilai kalor dengan
Ukuran partikel arang tongkol jagung yang memungkinkan untuk pembuatan briket dengan tekanan 70,74kg/cm2, 94,22kg/cm2, 117,78kg/cm2 adalah 35 mesh, 50 mesh, 70 mesh, 80 mesh dan 100 mesh. Berikut adalah kadar air, kadar abu dan kerapatan masingmasing briket yang dibuat dari arang tongkol jagung dengan perekat sagu yang berkomposisi massa arang:sagu kering yaitu 9:1. Terlihat bahwa semua briket tersebut memiliki kadar air sesuai standar briket, yaitu < 8% [4]. Briket dengan tekanan 117,78 kg/cm2 dan arangnya yang diayak dengan 100 mesh memiliki kerapatan > 0,7gr/cm3, namun memiliki kadar abu > 8%. Hanya briket yang arangnya diayak dengan 80 mesh bertekanan 70,74kg/cm2 dan 94,22kg/cm2 yang memiliki kerapatan > 0,7gr/cm3 dan kadar abu < 8%. Pada tekanan 117,78kg/cm2 memiliki kerapatan tertinggi, walaupun kadar abunya > 8% . Selanjutnya uji nilai kalor dilakukan terhadap briket tersebut, termasuk yang arangnya diayak dengan ayakan 70 mesh karena masih memiliki kerapatan yang mendekati 0,7gr/cm3.
bomb calorimeter.
Tabel 1. Hasil Pengukuran Kadar Air, Kadar Abu dan Kerapatan Briket dengan Komposisi Massa Arang:Sagu yaitu 9:1
No.
Tekanan (kg/cm2)
Ukuran Partikel (mesh)
Kadar Air (%)
Kadar Abu(%)
Kerapatan (gr/cm3)
1 2
117,78 94,22 70,74 117,78 94,22 70,74 117,78 94,22 70,74 117,78 94,22 70,74 117,78 94,22 70,74
100 100 100 80 80 80 70 70 70 50 50 50 35 35 35
2,0041 2,2746 2,3095 2,0627 2,2492 1,9703 2,3276 1,7733 2,3150 3,3872 2,1059 2,3459 1,8045 2,0642 2,1672
8,9910 8.9805 5.3042 6.5684 -
0,7608 0,6982 0,6456 0,7695 0,7419 0,7560 0,6650 0,6205 0,6041 0,5756 0,5499 0,5863 0,6223 0,5993 0,5683
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
90
JAF, Vol. 7 No. 2 (2011), 88-91
Berikut adalah nilai kalor briket yang dibuat dari arang tongkol jagung dan perekat sagu dengan perbandingan bobot kering 9:1 bertekanan 94,22kg/cm2.
8000 7607.4707
Nilai Kalor (kal/gr)
7500 7000 6500 6000 5500 5000
4687.765
4500
4581.943
4000
70
80
100
Ukuran Partikel (Mesh)
Gambar 1. Pengaruh ukuran partikel terhadap nilai kalor briket yang dibuat dengan komposisi massa 9:1
Nampak bahwa briket dari arang yang diayak 80 mesh mempunyai nilai kalor > 6000kal/gr. Briket dengan nilai kalor 7607,4707kal/gr tersebut mempunyai kadar abu dan kadar air yang memenuhi standar briket. Sedangkan pada 70 mesh dan 100 mesh mempunyai nilai kalor di bawah standar kualitas briket, yaitu < 6000kal/gr [5].
7800 7607.4707 Nilai Kalor (kal/gr)
7600 7400 7200
Uji nilai kalor briket yang dibuat dari arang tongkol jagung yang diayak 80 mesh dan perekat sagu dengan perbandingan bobot kering 9:1 dengan variasi tekanan ditunjukkan pada gambar 2 Nampak bahwa pada tekanan 94,22kg/cm2 memberikan nilai kalor tertinggi 7607,4707kal/gr, walaupun ketiganya memberikan nilai kalor yang memenuhi standar kualitas briket. Dengan demikian pembuatan briket dengan bahan arang dan perekat sagu akan optimal dengan ayakan arang 80 mesh, tekanan 94,22kg/cm2, serta komposisi bobot arang:sagu adalah 9:1. Berikutnya, briket dibuat dari bahan arang tongkol jagung dan lempung. Kadar air, dan kerapatannya ditampilkan pada tabel berikut Tabel 2. Kadar Air dan Kerapatan Briket yang Dibuat dengan Arang dan Lempung Bertekanan 94,22 kg/cm2 Komposisi Massa Arang: Lempung 4:6 5:5 6:4 4:6 5:5 6:4 4:6 5:5 6:4 4:6 5:5 6:4 4:6 5:5 6:4
Ukuran Partikel (Mesh) 35 35 35 50 50 50 70 70 70 80 80 80 100 100 100
Kadar Air (%)
Kerapatan (gr/cm3)
0.7171 0.8892 1.0718 1.0206 1.0494 1.0086 0.6344 0.9463 1.1095 0,8345 1,2632 1,2091 0.9583 1.5261 1.3484
0.9613 0.8109 0.8067 1.0108 0.8304 0.8262 1.0347 0.8865 0.8783 1,0450 0.8939 0,8795 1.0529 0.9248 0.8898
7000 6800 6536.7669
6600
6535.7577
6400 70.73
94.22 Tekanan
117.78
(kg/cm2)
Gambar 2. Pengaruh tekanan terhadap nilai kalor briket dari arang 80 mesh dengan komposisi arang:perekat yaitu 9:1
Briket dengan bahan arang dan lempung dengan ukuran ayakan 35 mesh, 50 mesh, 70 mesh dan 100 mesh mempunyai kadar air dan kerapatan yang memenuhi standar kualitas briket [5]. Namun pengukuran nilai kalor difokuskan pada ukuran ayakan 80 mesh, karena berikutnya akan dibuat briket dengan bahan arang, sagu dan lempung, dimana nilai kalor tertinggi dicapai pada pembuatan briket dengan ukuran ayakan 80 mesh. Berikut nilai kalor briket yang dibuat
Optimasi Komposisi Bahan, Ukuran Partikel dan Tekanan........... (Lina Lestari,dkk)
dengan tekanan 94,22kg/cm2 komposisinya divariasikan.
yang
ukuran ayakan 80 arang:lempung adalah 94,22kg/cm2.
91
mesh, komposisi 4:6 dan tekanan
8500 Nilai Kalor (kal/gr)
7500
7473.95
6500
5387.2309
5500 4500 3500
3092.7993
2500 1500 4:6
5:5
6:4
Komposisi Bobot Arang:Lempung
Gambar 3. Pengaruh komposisi massa arang dan lempung terhadap nilai kalor briket dengan tekanan 94,22kg/cm2 dan ukuran partikel 80 mesh
Komposisi arang:lempung yang memberikan nilai kalor tertinggi dan memenuhi standar kualitas briket adalah 4:6, dimana briket ini yang memiliki kerapatan tertinggi. Selanjutnya dengan komposisi tersebut, tekanan divariasikan.
4. Kesimpulan Briket dengan bahan arang tongkol jagung dan perekat sagu dapat dibuat dengan dengan kondisi optimum ukuran partikel 80 mesh, tekanan 94,22kg/cm2, komposisi bobot arang:sagu yaitu 9:1. Briket yang dihasilkan mempunyai nilai kalor 7607,4707kal/gr, kadar abu 5.3042%, kadar air 2,2492% dan kerapatan 0,7419gr/cm3. Briket dengan bahan arang tongkol jagung dan lempung dapat dibuat pada kondisi optimum ukuran partikel arang 80 mesh, tekanan 94,22kg/cm2, komposisi bobot arang:lempung yaitu 4:6. Briket tersebut mempunyai nilai kalor 7473 kal/gr, kadar air 0.8345% dan kerapatan 1,0450gr/cm3. Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada DP2M Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Republik Indonesia atas bantuan dana pelaksanaan penelitian ini melalui Program Hibah Bersaing Tahun 2011.
8000 7473.95 Nilai Kalor (kal/gr)
7000 6000 5969.717
5000 4000 3000 2000
2375.628 70.33
94.22
117.78
Tekanan (kg/cm2)
Gambar 4. Pengaruh tekanan terhadap nilai kalor briket dengan ukuran partikel 80 mesh dan komposisi arang:lempung 4:6
Dengan demikian pembuatan briket dengan bahan arang dan lempung akan memberikan nilai kalor tertinggi serta memenuhi standar kualitas briket dengan
Daftar Pustaka [1].Fera, N., Upaya Pemanfaatan Tongkol Jagung Sebagai Serat dan Pelet Ransum Komplit Untuk Domba, Skripsi, Fakultas Peternakan Institut Teknologi Bogor, (2004), 10. [2].Schuchart dkk, Pedoman Teknis Pembuatan Briket Bioarang, Medan, (1996). [3].Anonimous, Penelitian Pemanfaatan Sagu sebagai Bahan Perekat, Hasil Penelitian Industri DEPERWUA, Medan (1989) [4].Lina Lestari, Aripin, Yanti, Zainudin, Sukmawati, Marliani, Analisis Kualitas Briket Anggunakan Bahan Perekat Sagu dan Kanji, Jurnal Aplikasi Fisika Vol.6 No.2 (2010), 93-96 [5].Sudrajat, R., Pengaruh Bahan Baku, Jenis Perekat dan Tekanan Kempa Terhadap Kualitas Briket Arang, Laboratorium PPPHH 165 (1983), 7-17.
JURNAL APLIKASI FISIKA
VOLUME 7 NOMOR 2
AGUSTUS 2011
Segmentasi Jaringan Otak Putih, Jaringan Otak Abu-Abu, dan Cairan Otak dari Citra MRI Menggunakan Teknik K-Means Clustering Nurhasanah Jurusan Fisika F.MIPA Universitas Tanjungpura email :
[email protected] Abstrak Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah teknik pencitraan medis yang digunakan dalam radiologi untuk memvisualisasi struktur internal secara rinci. Segmentasi jaringan otak putih, jaringan otak abu-abu dan cairan otak penting dilakukan untuk meningkatkan pemahaman tentang pathophysiology beberapa gangguan neurologis. Oleh karena itu, dibutuhkan teknik segmentasi citra untuk mensegmentasi citra jaringan otak lebih akurat dan efisien. Penelitian ini mendesain dan mengembangkan program berdasarkan algoritma KMeans clustering dengan menggunakan informasi yang saling melengkapi yang tersedia pada citra T1, T2 dan PD dari MRI. Algoritma K-means clustering dipilih karena sederhana, mudah diimplementasikan, dan mampu menangani data outlier. Gabungan dari ketiga citra MRI tersebut akan disegmentasi menjadi jaringan otak putih, jaringan otak abu-abu dan cairan otak secara otomatis setelah melalui pre-processing. Waktu segmentasi juga dihitung. Dihasilkan program segmentasi citra MRI menggunakan teknik K-means clustering yang mudah diimplementasikan dan metodenya bekerja secara efektif untuk mengklasifikasi jaringan otak putih, jaringan otak abu-abu dan cairan otak. Kata kunci : Magnetic Resonance Imaging, K-Means clustering, jaringan otak
melengkapi yang tersedia pada citra T1, T2 dan PD dari MRI. Gabungan dari ketiga citra tersebut akan disegmentasi menjadi jaringan otak putih, jaringan otak abu-abu dan cairan otak (CSF) secara otomatis setelah melalui pre-processing.
1. Pendahuluan Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah teknik pencitraan medis yang digunakan dalam radiologi untuk memvisualisasikan struktur internal secara rinci. Alat ini menghasilkan kontras yang baik sehingga berguna pada pencitraan otak, otot, jantung, dan kanker dibandingkan dengan teknik pencitraan medis yang lain seperti computed tomography (CT) atau sinar-X.[1] Segmentasi jaringan otak pada citra Magnetic Resonance (MR) merupakan isu penting dalam analisis beberapa penyakit otak (gangguan neurologis), seperti multiple sclerosis atau penyakit Alzheimer. Segmentasi jaringan otak putih, jaringan otak abu-abu dan cairan otak dilakukan untuk meningkatkan pemahaman tentang pathophysiology beberapa gangguan neurologis.[2] Hal ini penting untuk mendefinisikan batas-batas organ secara jelas, karena ini digunakan untuk perhitungan dosis dari setiap treatment.[3] Penelitian ini mendesain dan mengembangkan program segmentasi berdasarkan algoritma K-Means clustering dengan menggunakan informasi yang saling
2. Dasar Teori Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah suatu alat kedokteran di bidang pemeriksaan diagnostic radiologi, yang menghasilkan rekaman gambar potongan penampang tubuh/organ manusia dengan menggunakan medan magnet berkekuatan antara 0,064 – 1,5 tesla (1 tesla = 1000 Gauss) dan resonansi getaran terhadap inti atom hidrogen.[4] Citra MRI konvensional memberikan informasi morfologi berupa citra T1, T2 dan PD-weighted. Ketiga citra tersebut memberikan informasi tentang sifat fisik air pada jaringan. T1, spin-lattice relaxation time, berbanding terbalik dengan jumlah gerakan molekul dalam jaringan pada frekuensi resonansi. T2, spin-spin relaxation time, berbanding terbalik dengan jumlah gerakan dalam jaringan pada frekuensi di bawah dan sama dengan frekuensi resonansi. Selanjutnya
92
Segmentasi Jaringan Otak Putih, Jaringan Otak Abu-Abu,........... (Nurhasanah)
PD (proton density) menyediakan gambar kepadatan proton. Ketiga citra tersebut memberikan informasi yang berbeda dan saling melengkapi. Ketiga pengukuran berbeda ini memberikan perbedaan tingkat kontras dari berbagai jenis jaringan lunak pada otak manusia. 2.1 Pre-processing Pre-processing merupakan proses yang digunakan untuk meningkatkan kualitas tampilan citra agar memiliki format yang lebih baik sehingga citra tersebut menjadi lebih mudah diolah lebih lanjut. Perbaikan kualitas citra (image enhancement) adalah proses memperjelas dan mempertajam fitur tertentu dari citra agar citra lebih mudah dipersepsi atau dianalisis lebih teliti. Secara matematis, image enhancement dapat diartikan sebagai proses mengubah citra f(x,y) menjadi f’(x,y) sehingga ciri-ciri yang terlihat pada f(x,y) lebih ditonjolkan. Image enhancement tidak meningkatkan kandungan informasi, melainkan jangkauan dinamis dari ciri agar bisa dideteksi lebih mudah dan tepat. 2.2 Segmentasi Segmentasi citra merupakan pusat (a central preoccupation) dalam analisis citra. Proses segmentasi membagi citra menjadi bagian-bagian dimana bagian-bagian tersebut dapat dipandang sebagai objek-objek mandiri yang dapat dianalisa. Segmentasi citra merupakan teknik untuk membagi suatu citra menjadi beberapa daerah (region) dimana setiap daerah memiliki kemiripan atribut.[5] Atribut yang paling dasar untuk segmentasi adalah amplitudo pencahayaan (luminance) citra untuk gambar monokrom dan komponen warna untuk gambar berwarna. Tepi gambar dan tekstur juga merupakan atribut berguna untuk segmentasi. Segmentasi hanya membagi gambar, tetapi tidak berusaha untuk mengenali segmen satu per satu atau hubungan mereka satu sama lain. Segmentasi yang akan di bahas di sini yang berdasarkan clustering. Segmentasi ini menggunakan data multidimensi untuk mengelompokkan pixel citra ke dalam
93
beberapa cluster. Pada umumnya pixel dicluster berdasarkan kedekatan jarak antarpixel. Keberhasilan dari proses segmentasi berbasis cluster ditentukan oleh keberhasilan dalam mengelompokkan fitur-fitur yang berdekatan ke dalam satu cluster. 2.3 K-Means Clustering K-Means merupakan salah satu metode data clustering non hirarki yang berusaha mempartisi data yang ada ke dalam satu atau lebih cluster/kelompok. Metode ini mempartisi data ke dalam cluster/kelompok sehingga data yang memiliki karakteristik yang sama dikelompokkan ke dalam satu cluster yang sama dan data yang mempunyai karakteristik yang berbeda dikelompokkan ke dalam kelompok yang lain.[6] K-means mengelompokkan objek menjadi K cluster. Metode ini akan mencari pusat cluster dan batas-batas cluster melalui proses perulangan (iterative). Kedekatan atau kemiripan (similarity) suatu objek dengan objek lain atau dengan pusat cluster dihitung dengan menggunakan fungsi jarak. Pada umumnya K-means menggunakan jarak Euclidean untuk menghitung kemiripan tersebut. K-Means mampu meminimalkan ratarata jarak setiap data ke claster-nya. Metode ini dikembangkan oleh J. MacQueen pada tahun 1967. Algoritma K-means dipengaruhi jumlah pusat cluster, pemilihan inisial pusat cluster, bagaimana sampel diambil, dan sifat geometri dari data. Proses clustering menggunakan metode K-Means ini dilakukan dengan algoritma dasar sebagai berikut :[7] 1. Menentukan jumlah cluster. 2. Mengalokasikan data ke dalam cluster secara random 3. Menghitung centroid/rata-rata dari data yang ada di masing-masing cluster 4. Mengalokasikan masing-masing data ke centroid/rata-rata terdekat Kembali ke langkah 3, apabila masih ada data yang berpindah cluster atau apabila perubahan nilai centroid, ada yang di atas nilai threshold yang ditentukan atau apabila perubahan nilai pada objective function yang
94
JAF, Vol. 7 No. 2 (2011), 90-95
digunakan di atas nilai ditentukan.
threshold yang
3. Metode Penelitian 3.1 Desain Program Pengolahan citra di sini dilakukan melalui tahap pre-processing, proses clustering dan pemisahan objek. Secara garis besar rancangan program ditunjukkan pada Gambar 1. Pre-processing merupakan proses yang digunakan untuk meningkatkan kualitas citra agar dapat menghasilkan segmentasi yang terbaik. Program ini akan melakukan preprocessing yang menggunakan thresholding (pengambangan), erosion, dilation dan histogram equalization. Proses thresholding adalah proses untuk mengubah gambar yang memiliki tingkat warna abu-abu menjadi gambar biner berdasarkan suatu nilai tertentu yang menjadi tolok ukurnya. Proses pengambangan citra grayscale untuk menghasilkan citra biner adalah sebagai berikut. g(x,y)=
intensitas dari histogram awal. Histogram puncak dan lembah hasil ekualisasi akan digeser atau lebih disebarkan (spreading). Nilai piksel baru n(g) dinyatakan sebagai berikut,
(3)
dimana, N menyatakan banyaknya pixel pada citra, g menyatakan nilai gray level awal yang nilainya dari 1…L-1(L adalah nilai gray level maksimum), dan c(g) menyatakan banyaknya pixel yang memiliki nilai sama dengan g atau kurang. Secara matemtis dinyatakan sebagai (4) dengan h(i) menyatakan histogram awal.
(1)
Dengan g(x,y) adalah citra biner dari citra grayscale f(x,y), dan T menyatakan nilai ambang. Nilai T pada gambar tersebut menunjukkan batas yang menjadi tolok ukur pengubahan nilai tiap pixel, apakah menjadi 0 (hitam) atau 255 (putih). Selanjutnya kombinasi dari operasi erosi (erosion) dan operasi dilasi (dilation) dilakukan. Proses ini disebut proses opening yang secara matematis dapat dinyatakan dengan : 0(A,B) = AoB = D(E(A,B),B)
(2)
Algoritma histogram equalization, mulai dari pengambilan nilai untuk histogram, kemudian perhitungan histogram menjadi histogram yang ter-equalize, hingga pengubahan pada tiap pixel pada gambar agar histogram dari gambar tersebut menjadi histogram yang ter-equalize. Teknik ini melakukan distribusi ulang terhadap distribusi
Gambar 1 Bagan Aplikasi Secara Garis Besar
Proses clustering di sini dilakukan dengan mengklasifikasi karakteristik citra berdasarkan K-Means clustering. Jumlah klas dalam klasifikasi ini terdiri dari 4 klas, yaitu klas 1 untuk latar belakang, klas 2 untuk cairan otak (CSF), klas 3 untuk jaringan otak abuabu, dan klas 4 untuk jaringan otak putih. Secara garis besar proses clustering menggunakan metode K-Means ditunjukkan pada gambar 2. Proses pemisahan citra dilakukan dengan thresholding (pengambangan). Seperti pada persamaan (1).
Segmentasi Jaringan Otak Putih, Jaringan Otak Abu-Abu,........... (Nurhasanah)
Proses ini clustering.
dilakukan
berdasarkan
hasil
Gambar 2 Flowchart K-Means Clustering
3.2 Pengujian Program Pengujian program dilakukan dengan meng-input-kan file citra MRI kepala yang terdiri dari PD, T1 dan T2 ke dalam program yang telah dibuat. Citra yang diinput ke dalam program seperti yang terlihat pada gambar 3.
(a)
95
4. Hasil dan Pembahasan 4.1. Pengujian Pre-Processing Pre-processing merupakan kumpulan dari proses yang digunakan untuk dapat menghasilkan segmentasi yang terbaik. Program ini akan digunakan pre-processing yang menggunakan thresholding, erosion, dilation dan histogram equalization. Untuk menghindari misclassification, citra selain jaringan otak harus dihilangkan. Proses thresholding dan opening dilakukan untuk menghilangkan citra tulang dan citra selain otak lainnya. Operasi erosi berguna dalam menghilangkan objek-objek kecil yang terdapat pada citra sedangkan operasi dilasi memperbesar batas dari objek yang ada sehingga objek terlihat semakin besar. Proses ini disebut proses opening yang bertujuan mencegah penurunan ukuran objek secara keseluruhan. Proses opening secara matematis dapat dinyatakan dengan : 0(A,B) = AoB = D(E(A,B),B) Hasil penghilangan citra tulang dapat dilihat pada gambar 4a. Kemudian citra otak dipertegas dengan peningkatan kontras menggunakan algoritma histogram equalization. Teknik ini melakukan distribusi ulang terhadap distribusi intensitas dari histogram awal. Hasil perbaikan citra pada tahap ini dapat dilihat pada gambar 4b.
(b)
(a)
(b)
Gambar 4 (a) Hasil Penghilangan Citra Tulang (b) Hasil Perbaikan Kualitas Citra
4.2. Pengujian Proses clustering (c) Gambar 3 Citra MRI: (a) PD (b) T1 (c) T2
Proses clustering dilakukan dengan mengklasifikasi intensitas citra berdasarkan KMeans cluster. Metode ini mengalokasikan data items ke masing-masing cluster secara
96
JAF, Vol. 7 No. 2 (2011), 90-95
unsupervised dan menentukan jumlah cluster yang paling sesuai dengan data yang dianalisa secara supervised. Setiap piksel citra dalam proses clustering ditandai menjadi 4 klas, yaitu klas 1 untuk latar belakang, klas 2 untuk cairan otak (CSF), klas 3 untuk jaringan otak abu-abu, dan klas 4 untuk jaringan otak putih.[8] Hasil pengujian proses clustering pada program segmentasi ini dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 5 Hasil clustering berdasarkan K-means clustering
4.3. Pengujian Proses Pemisahan Proses pemisahan citra dilakukan dengan thresholding (pengambangan). Proses pengambangan dilakukan terhadap citra menggunakan nilai ambang tertentu berdasarkan hasil clustering. Proses ini akan menghasilkan citra biner, yaitu citra yang memiliki dua nilai tingkat keabuan yaitu hitam dan putih. Proses ini bertujuan untuk menampilkan tiap-tiap klas yang telah dibuat. Hasil pengujian proses pemisahan dapat dilihat pada gambar 6. Selain menguji program segmentasi apakah sesuai dengan algoritma yang telah dibuat juga dilakukan perhitungan waktu yang dibutuhkan mulai dari pre-processing hingga selesainya segmentasi. Perhitungan waktu ini dilakukan untuk mengetahui apakah proses segmentasi berdasarkan K-means clustering efektif untuk dilakukan. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proses segmentasi hanya sekitar 10,94 detik. Oleh karena itu program segmentasi yang telah dibuat cukup efektif karena secara qualitative, hasil segmentasi lebih teliti dibandingkan dengan metode Minimum Distance Classifier dan Maximum Distance Classifier karena tiap data dikelompokkan menjadi k kelompok dengan cara memindah-
mindahkan data dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain sehingga tercapai komponen kesalahan yang minimum. Selain itu, metode yang biasa digunakan oleh para ahli adalah metode manual yang membutuhkan waktu paling sedikit 3 jam[9] dan menghasilkan pengukuran volume tumor yang tidak dapat dipercaya dan sensitif error (error sensitive).[10] Sedangkan program ini hanya membutuhkan sekitar 10,94 detik untuk tiap citra.
(a)
(b)
(c) Gambar 6 (a) Otak Putih; (b) Otak abu-abu; (c) Cairan Otak
5. Kesimpulan Dari penelitian ini dapat diperlihatkan bahwa program segmentasi citra MRI menggunakan algoritma K-Means clustering berhasil membagi irisan citra MRI kepala menjadi 4 klas, yaitu klas 1 untuk latar belakang, klas 2 untuk cairan otak (CSF), klas 3 untuk jaringan otak abu-abu, dan klas 4 untuk jaringan otak putih. Keuntungan program segmentasi dengan algoritma KMeans clustering mudah diimplementasikan, cepat, dan memiliki kemampuan untuk menangani data outlier serta kompleksitas waktunya linear. Hasil klasifikasi berdasarkan K-Means clustering dipengaruhi oleh besarnya kontras citra, penentuan jumlah cluster yang paling cocok dan besarnya pixel citra yang digunakan.
Segmentasi Jaringan Otak Putih, Jaringan Otak Abu-Abu,........... (Nurhasanah)
Daftar pustaka [1]. http://en.wikipedia.org/wiki/Magnetic_resona nce_imaging, November 2010 [2]. Cercignani, M., Inglese, M., Zajdel, M. Z., dan Filippi, M. (2001). Segmenting Brain White Matter, Gray Matter and Cerebro-spinal Fluid Using Diffusion tensor-MRI Derived Indices. Magnetic Resonance Imaging, 19, 1167-1172. [3]. Kalet, I. J., and Seymour, M. M. A. (1997) : The Use of Medical Images in Planning and Delivery of Radiation Therapy, Journal of The American Medical Informatics Association, 4, 327-339. [4]. Stark, David D. (1988) : Magnetic Resonance Imaging, The CV Mosby Company, Toronto. [5]. Putra, D. (2010) : Pengolahan Citra Digital, Penerbit Andi, Yogyakarta. [6]. Agusta, Y. (2007) : K-Means – Penerapan, Permasalahan dan Metode Terkait. Jurnal Sistem dan Informatika, 3, 47-60. [7]. MacQueen, J. B. (1967) : Some Methods for classification and Analysis of Multivariate Observations, Proceedings of 5-th Berkeley Symposium on Mathematical Statistics and Probability, Berkeley, University of California Press, 1, 281-297. [8]. Bartlett, T., Vannier, M., Keel, D.Mc., Gado, M., Hildebolt, C., dan Walkup, R. (1994). Interactive Segmentation of Cerebral Gray Matter, White Matter, and CSF : Photographic and MR Images. Comp. Med. Graphics, 18, 449-460.
97
[9]. Mancas, M., Gosselin, B., dan Macq, B. (2005) : Segmentation Using a Region Growing Thresholding, Proc. Of the Electronic Imaging Conference of the International Society for Optical Imaging (SPIE/EI 2005), San Jose (California, USA). [10]. Dai, D., Condon, B., Hadley, D., Rampling, R., Teasdale, G. (1993). Intracranial deformation caused by brain tumors : assessment of 3-D surface by magnetic resonance imaging. IEEE Transactions on Medical Imaging, 12, 693 – 702. [11]. Ardisasmita, M.S. Metoda Segmentasi Citra Resonansi Magnetik Otak Menggunakan Sistem Pengkodean Neurofuzzy. Pusat Pengembangan Teknologi Informatika dan Komputasi, BATAN. [12]. Gonzalez, R.C., Woods, R.E. (2002) : Digital Image Processing Second Edition, Prentice Hall, New Jersey. [13]. Sakas, G., dan Pommert, A. (2006) : Processing and Segmentation of 3D Images, 17-25 dalam Schlegel, W., Bortfeld, T., dan Grosu, A.-L. New Technologies in Radiation Oncology, Springer, Germany. [14]. Wijaya, M.C., dan Prijono, A. (2007) : Pengolahan Citra Digital menggunakan Matlab, Penerbit Informatika, Bandung. [15]. Tanabe, J. L., Amend, D., Scuff, N., DiSclafani, V., Ezekiel, F., Norman, D., Fein, G., dan Weiner, M.W. (1997). Tissue Segmentation of The Brain in Alzheimer Disease. Am. J. Neuroradiol, 18, pp. 115-123.