Jakarta Kota Jajan Kelahiran Ulang Jakarta Meskipun secara resmi dikatakan berusia lebih dari 4 abad, Jakarta yang kita kenal seperti sekarang, barulah berusia kurang lebih 47 tahun. Karena sebagai suatu wilayah administratif, Propinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI Jakarta) baru resmi dibentuk tahun 1964. Inilah tonggak sesungguhnya dari Ibukota modern yang kita benci dan cintai ini. Tidak lama kemudian, Jakarta terkena serangan demam tinggi, yakni demam pembangunan. Periode 1970 dan seterusnya menjadi saksi bagaimana ibukota “lepas landas” menuju kota yang kosmopolit dan menjelma sebagi ladang gula bagi semut dari seluruh pelosok Indonesia. Orang-orang menyebut tahun 1967 dan 1968 sebagai masa penting masuknya orang ketika tanah kosong diisi bangunanbangunan1. Pesatnya laju pembangunan Jakarta pada saat tersebut memang sangat menggairahkan, mengingat perannya sebagai pusat pemerintahan dan sentra perekonomian nasional yang mulai terbuka bagi investasi asing. Sejak
periode
1970,
Jakarta
berhasil
menampilkan
wajahnya
sebagai
kota
metropolitan, sebuah citra yang dibangun oleh Gubernur Ali Sadikin antara 1966 hingga 1977,2 dan berhasil melipatgandakan jumlah penduduk dari 2,9 juta jiwa pada 1950 menjadi 6,5 juta pada tahun 1981. Namun, dalam hal kerasnya hidup, Jakarta tidak pernah pandang bulu dan jenis kelamin. Imaji bahwa Jakarta adalah sumber rezeki yang seolah tiada habisnya berhasil menarik ribuan pendatang dari wilayah pedesaan yang hijrah dengan modal nekat. Di Jakarta mereka tinggal di daerah-daerah sekitar stasiun kereta api Senen,Manggarai, Gambir, Tanah Abang, Kota, Krekot dan Tanjung Priok3. Merekalah yang kemudian mengisi sektor informal Jakarta. Ribuan pekerja sektor informal ini juga mencakup para pekerja perempuan. Menurut sensus DKI Jakarta 1971,
22,3 persen perempuan yang bekerja adalah
pedagang. Jumlah ini terus membengkak, karena Jakarta dianggap sebagai daerah yang luas dan berlimpah dibandingkan dengan pedesaan di Jawa. Selain itu, merupakan hal yang lazim bagi penduduk desa yang buta huruf atau setengah buta
1
Dalam Alison J Murray,No Money No Honey, a study of street traders and prostitutes in Jakarta Tempo, 29 Januari 1972, dalam Alison J Murray,No Money No Honey, a study of street traders and prostitutes in Jakarta 3 Lamijo, PROSTITUSI DI JAKARTA DALAM TIGA KEKUASAAN, 1930 – 1959. Sejarah dan Perkembangannya 2
huruf untuk tinggal berdekatan dengan orang dari daerah yang sama dan mengikuti jenis pekerjaan yang sama; menjaga warteg, bawa becak, atau menjadi pelacur 4.
Jakarta Kota Jajan Sisi gelap kota Jakarta adalah selimut bagi sebagian orang yang membantu untuk melewati malam demi dapat bangun di pagi hari. Pelacuran adalah salah satu bentuknya. Kegiatan ini kerap bersembunyi di bayang-bayang pencakar langit dan lorong-lorong gelap perkampungan. Sementara mereka yang mampu membeli “kenikmatan duniawi” yang satu ini dengan uang lebih banyak, menemukan pilihannya di hotel dan klub eksklusif ibukota, yang baru muncul pada periode 1970. Benih-benih prostitusi di Jakarta mulai muncul awal tahun 1950an, di mana sudah terlihat gejala ledakan penduduk di Jakarta akibat arus urbanisasi. Terbatasnya kesempatan
dan
lapangan
pekerjaan
dibandingkan
dengan
jumlah
pekerja
berakibat pada meningkatnya angka pengangguran, sehingga kondisi demikian menjadi salah satu faktor tumbuhnya praktek-praktek prostitusi kelas rendah di seantero Jakarta, seperti di sekitar Bendungan Hilir, Bongkaran, Kali Malang, dan stasiun Senen5. Pelacuran kelas bawah juga terdapat di sekitar kota seperti Ancol, Pasar Rebo, Kali Jodoh dan Jatinegara yang senantiasa merupakan sasaran razia polisi6. Stasiun Senen Pada pertengahan tahun 1950, pelacuran kelas bawah terjadi di gerbong-gerbong kereta api atau di rumah-rumah dari kotak kardus di sekitar stasiun Senen. Konsumen dan penawar jasa seks bergerombol di sekitar tanah gundukan. Orang menyebutnya ‘planet’, sehingga kemudian ‘planet Senen’ terkenal ke mana-mana sebagai nama kompleks lokalisasi kelas bawah. Saat itu kawasan Senen seolah menjelma menjadi ‘surga’ bagi orang-orang yang suka dengan hiburan malam, namun sekaligus menjadi salah satu sarang berbagai tindak kriminalitas, di antaranya pencopet. Pada dasawarsa 1950an kawasan Senen terkenal sebagai tempat kedudukan atau pusat organisasi copet di bawah pimpinan Pi’i.
4
Ibid.,
Lamijo, PROSTITUSI DI JAKARTA DALAM TIGA KEKUASAAN, 1930 – 1959.
5
Sejarah
dan
Perkembangannya 6
Kram at Tunggak Pada tahun-tahun akhir 1960, tidak ada lokalisasi secara khusus yang tersedia di Jakarta. Terlebih, aktifitas ini secara resmi dilarang 1969. Baru pada tahun 1972, terdapat sebuah lokalisasi resmi di Jakarta, yaitu di Kramat Tunggak yang terletak dekat pelabuhan Tanjung Priok. Kramat Tunggak ditetapkan sebagai lokalisasi prostitusi dengan SK Gubernur Ali Sadikin, yaitu tentang lokalisasi dan resosialiasi pelacur. Sebelum Kramat Tunggak dijadikan lokalisasi, pada tahun 1969 tercatat ada 1668 pelacur dan 348 germo di Jakarta. Pada saat Kramat Tunggak diresmikan sebagai lokalisasi, tercatat ada 300 pelacur dan 76 orang germo.7 Sejak saat itu, tercatatlah sebuah sejarah baru. Lokalisasi Kramat Tunggak memiliki 1.615 pekerja seks komersial dan bahkan disebut-sebut sebagai lokalisasi terbesar kedua di Asia Tenggara8. Sebenarnya, ”Kramtung” sudah ada sejak tahun 1950an meski belum begitu dikenal. Saat itu, lokasi praktek prostitusi di Kramat Tunggak masih bercampur dengan rumah-rumah penduduk—tidak berbeda dengan kondisi prostitusi di Bongkaran yang juga bercampur dengan rumah-rumah penduduk. Kramat Tunggak bukan satu-satunya lokasi prostitusi di wilayah Jakarta Utara. Tempat prostitusi lainnya tersebar antara lain di kelurahan Cilincing, Kalibaru, Koja Utara, Pejagalan, Pademangan, dan Penjaringan.9 Informasi tentang dana yang tersimpan dan beredar di lokalisai Kramat Tunggak menyebutkan bahwa setiap hari diperkirakan sedikitnya 500 tamu masuk ke lokalisasi tersebut. Diperkirakan setiap tamu harus mengeluarkan uang minimal Rp 25.000 sehingga pemasukan setiap hari hingga malam itu tidak kurang dari Rp 12,5 juta. Dan jika dihitung hingga setahun berarti uang yang beredar dalam setahun Rp 4,5 milyar.10
7
Jones, W. Gavin, Endang Sedyaningsih., dan Terence H. Hull, Prostitution in Indonesia, 1995. http://news.fajar.co.id/read/82762/127/kramat-tunggak-dulu-lokalisasi-pelacuran-kini-pusatkeagamaan-1) 9 Endang R. Sedyaningsih-Mamahit, Perempuan-Perempuan Kramat Tunggak, Jakarta: Pustaka Siar Harapan bekerjasama dengan Ford Foundation, 1999, hal. 32 10 Merdeka, Berapa Dana Yang Mereka Simpan, 16 Februari 1989. Dari skripsi Agustina Bandarsari. 8
Di Kramat Tunggak, tahun 1978 terdapat 1767 orang pelacur dan 231 orang germo. 63 berasal dari Jawa Barat dan 65 persen buta huruf, sementara tahun 1980 menjadi lebih dari 2000 perempuan11. Pada tanggal 31 Desember 1999, dengan tingginya desakan ormas Islam dan masyarakat sekitar, Gubernur DKI Sutiyoso secara resmi menutup lokalisasi Kramat Tunggak.
Seiring dengan penutupan Kramat Tunggak, bermunculan lokasi prostitusi tidak resmi seperti di Rawa Malang, Boker, dan Kali Jodo. Seperti halnya Kramat Tunggak, Kali Jodo juga sudah ada sejak tahun 1950an. Hingga saat ini lokasi Kali Jodo masih tetap eksis walaupun telah ada upaya untuk menutup lokasi itu digantikan dengan kegiatan keagamaan seperti halnya yang telah terealisasi di kawasan Kramat Tunggak.12 Antara M anggarai dan Blok M dengan Perem puan Eksperim en Manggarai dan Blok M adalah dua lokasi lain yang menyimpan kisah soal pemuasan seksual, khususnya kaum lelaki. Sementara Manggarai lebih banyak berperan sebagai permukiman para perempuan pekerja seks komersil danpada tahun 1980an, Blok M adalah etalase bagi gadis-gadis ”Bintang”. Gadis Bintang adalah istilah untuk perempuan pekerja di bar-bar blok m yang mencari laki-laki bule. Blok M era 1980 juga termasyhur dengan Hotel Paradise, yaitu satu-satunya tempat di Blok M yang diizinkan buka terus menerus sepanjang malam, karena kekuasaan pemiliknya.13 Hotel ini menjadi ladang bagi perempuan-perempuan yang mengincar dollar para bule. Pada periode 1980 muncul pula istilah Perempuan Eksperimen, yang singkatannya mungkin lebih familiar di kuping kita. Periode 1980 memang menyaksikan bagaimana praktik prostitusi berkembang seiring dengan perubahan di masyarakat, dengan munculnya jajanan baru bagi kelas menengah di dalam hotel, dan juga kebutuhan pelayanan seks yang bervariasi, sehingga lahir istilah ”perempuan eksperimen”. Prum pung 14 Salah satu lokasi pelacuran yang bertambah jumlah pelacurnya setelah Kramat Tunggak ditutup adalah kawasan Prumpung, Jatinegara, Jakarta Timur. Prumpung
11
Ibid.,
http://news.fajar.co.id/read/82762/127/kramat-tunggak-dulu-lokalisasi-pelacuran-kini-pusatkeagamaan-1) 13
Ibid.,
Hal
129
14 Melati. 2007. Jaringan Sosial Pelacuran di Prumpung, Jatinegara. Skripsi Mahasiswi Sosiologi FISIP UI. Tidak diterbitkan.
12
merupakan salah satu kawasan lokalisasi tertua di Jakarta yang sudah beroperasi secara illegal sejak tahun 1950an dan bertahan hingga kini. Kawasan Prumpung merupakan kawasan pelacuran bagi kelas ekonomi menengah ke bawah dari seluruh kawasan Jatinegara dan Cipinang. Berdasarkan data resmi tahun 2006 dari Dinas Bina Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial DKI Jakarta, wilayah Prumpung diperkirakan sebagai tempat beroperasinya 175 pekerja seks. Di sebelah utara Prumpung, tepatnya di kawasan Pisangan, lokasi prostitusi berada di sepanjang rel kereta, kolong jembatan layang Jatinegara, dan hotel-hotel murah di dekat Pasar Induk Cipinang. Di kawasan ini, praktik pelacuran sering kali berkedok sebagai kesenian daerah seperti Jaipongan ataupun penjajaan jasa seks secara terbuka di jalanan. Di sisi timur, tepatnya di sepanjang jalan Bekasi Timur Raya yang berseberangan dengan kantor imigrasi Jakarta Timur dan Lembaga Permasyarakatan Cipinang, terdapat lokasi pelacuran yang disebut dengan kawasan LP Cipinang. Pekerja Seks Komersil (PSK)di kawasan ini banyak yang bertempat tinggal di kawasan Prumpung, namun berusaha mendapatkan pelanggan di depan LP Cipinang karena lokasi tersebut dianggap cukup aman dari jangkauan razia polisi serta memiliki rute-rute alternatif seperti celah-celah dinding pembatas jalur rel kereta yang memudahkan mereka untuk melarikan diri Lalu kurang lebih 1,5 kilometer menyusuri rel kereta ke arah Manggarai, terdapat lokasi pelacuran lain yang dinamakan Gunung Antang. Kedai-kedai minuman yang bercahaya temaram bermunculan disana pada malam hari. Prostitusi yang menggunakan warung minum sebagai kedok memang modus yang umum ditemukan di Jakarta, meski hanya diketahui oleh mereka yang membutuhkan jasanya. Berdasarkan data LSM Bandungwangi, sejak bulan Desember 2006 terdapat kurang lebih 1010 pekerja seks yang bertempat tinggal di kawasan Jatinegara yang meliputi wilayah Prumpung, Matraman, dan Jatinegara. Di wilayah Prumpung terdapat 25 germo dengan masing-masing germo memiliki minimal 5 pekerja seks, sehingga dapat diperkirakan terdapat kurang lebih 125 pekerja seks yang bertempat tinggal di Prumpung.
Referensi: Bandarsari, Agustina. 1996. Kebijaksanaan Pemda DKI Jakarta Tentang Lokalisasi/Resosialisasi WTS (Studi Kasus: Lokalisasi WTS Kramat Tunggak. Skripsi Jurusan Ilmu Politik FISIP UI, Tidak diterbitkan. Jones, Gavin W., Endang Sedyaningsih., dan Terence H. Hull, Prostitution in Indonesia, Working Paper in Demography, Research School of Sosial Sciences no. 52, Canberra: The Australian National University, 1995. Alison J Murray,No Money No Honey, a study of street traders and prostitutes in Jakarta. LP3ES Lamijo, Prostitusi di Jakarta dalam Tiga Kekuasaan, 1930-1959: Sejarah dan Perkembangannya. Penulis adalah peneliti pada Pusat Penelitian Sumberdaya Regional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PSDR-LIPI), Jakarta Sedyaningsih-Mamahit, Endang R. Perempuan-Perempuan Kramat Tunggak, Jakarta: Pustaka Siar Harapan bekerjasama dengan Ford Foundation, 1999, hal. 32.