VOLUME XIII (I), JANUARI - jUNI 2014
ISSN : 1673-7090
SARWAH
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM
Diterbitkan Oleh : Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri ( STAIN) Malikussaleh Lhokseumawe
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM
Sarwah JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM
PENANGGUNGJAWAB
REDAKTUR
EDITOR/PENYUNTING
DESIGN GRAFIS : MUHAMMAD IKHSAN, MA
: DR HAFIFUDDIN, M.Ag
: DARMADI, M.Si : Drs. MAHDI SYIHAB, MA
SEKRETARIAT : DEWI SAPUTRI, S.Ag
Redaksi Ahli: Drs. Hafifuddin, MAg (STAIN Malikussaleh) Prof. Dr. Rusjdi Ali Muhammad, SH, MA (IAIN Ar-Raniry) Prof Dr. Farid Wajdi, MA (IAIN Ar-Raniry) Prof.Dr Hasan Asari,MA (PPS IAIN Sumatera Utara) Prof.Dr. Hasbi Amiruddin. MA (IAIN Ar-Raniry) Prof. Dr Irwan Abdullah, MA (PPS UGM ) Prof Dr Ahmad Nur Fadil Lubis, MA (IAIN Sumatera Utara) Prof, Dr, Djamaludddin, SH, M,Hum (Unimal-Lhokseumawe) Dr A.Rani Usman, MSi ( IAIN Ar-Raniry) Prof Dr Nur Wajah Ahmad, MA (UIN Gunung Djati) Prof. Dr. Imam Suprayogo, MA (UIN Malang) Dr. Jamaluddin Idris, M. Ed (IAIN Ar-Raniry) Ridwan Hasan, Ph.D (STAIN Malikussaleh)
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM DAFTAR ISI
ISSN:1693 7090
PRINSIP-PRINSIP SYURA’ DALAM HUKUM TATA NEGARA ISLAM (Kajian Kaidah-Kaidah Hukum Islam) Oleh: Dr. Nasrullah, S.Ag, M.Ag........................................................................ 1 NIKAH SIRI DALAM PEMIKIRAN HUKUM ISLAM INDONESIA (Analisis terhadap pelarangan dan sanksi pidana) Oleh : Usammah M.Hum........................................................................................ 17 HUKUMAN MATI DALAM PERPSEKTIF PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Bukhar S.Hi., MH........................................................................................ 29 SEKOLAH ISLAM UNGGULAN: Histories, Konsep, dan Realita Oleh: Almuhajir, MA.............................................................................................. 45 ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA TEKS NASKAH PIDATO MAHASISWA PROGRAM STUDI BAHASA INGGRIS JURUSAN TARBIYAH STAIN MALIKUSSALEH Oleh: Novi Diana, M.Pd.......................................................................................... MENYEMAI NILAI AKHLAK BAGI MAHASISWA DALAM BEROR-GANIASI OLeh: Saiful Bahri, S.Pd.I, MA.............................................................................
59 67
APLIKASI TEORI DIFUSI INOVASI DALAM TEKNOLOGI INSTRUKSIONAL Oleh: Susi Yusrianti, M.Pd..................................................................................... LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM TINGKATKAN SUMBER DAYA MANUSIA Oleh: Syarboini, MA.............................................................................................. PENERAPAN TEORI BELAJAR DIENES DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Lisa, S.Si., M.Pd...............................................................................................
73 81
91
PERBEDAAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS YANG MENERAPKAN MODEL PEMBELAJARAN CTL DAN KONVENSIONAL DI SMPN 2 DEWANTARA KABUPATEN ACEH UTARA Nuraini, S.Si., M.Pd......................................................................................... 103 LEARNING MEDIA USED IN LEARNING VOCABULARY Oleh: Samhudi, M.Pd....................................................................................... 117 VERBAL PROCESS IN KARONESE LANGUAGE Oleh: Jumat Barus,S.S., MS..............................................................................129 SUPERVISI KEPALA SEKOLAH Oleh: Ramlan, S.Ag, M.Pd............................................................................... 139 AN ANALYSIS OF FACTORS EFFECTING STUDENTS’ LEARNING RESULT OF ENGLISH SUBJECT Oleh: Zainuddin Hasibuan, S.S., MS.................................................................... 151 ALAMAT REDAKSI JLN Medan-Banda Aceh Desa Alue Awe TELP (0645) 47267 FAX (0645) 40329 Website: WWW.Stainmal.go.Id
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM PRINSIP-PRINSIP SYURA’ DALAM HUKUM TATA NEGARA ISLAM (Kajian Kaidah-Kaidah Hukum Islam) Dr. Nasrullah, S.Ag, M.Ag
[email protected] Abstract: In Islam, the principle of shura emphasizes moral values , religion, and highly dependent on the culture of the peoples concerned. The Qur’an uses the word shura in three verses; QS. al-Baqarah: 233, QS. Ali Imran: 159 and QS. alSyura: 38. In connection with the modern Islamic constitutional system is not standardized and is only limited by the Shura Council term ‘Ahl al-Hall wa al’Aqd, Wazir and so on, but has evolved into an institution in such a way that also adopted the doctrine kelegislation Western democracy in principle Trias Politica. The rules of Islamic law made the scholars are remarkably important for the next generation and the need to get high appreciation. Rule it is not raw did not develop and even change, but on the contrary. Although the formulation tend to have different opinions, but the rules of Islamic law that can be used as a lawmaking methodology, particularly with regard to the constitutional law of Islam. Keywords: Principle, constitutional, Islamic law A.Pendahuluan Konsep pemerintahan dan negara yang digagas oleh kebanyakan ulama seperti Al-Mawardi, Ibnu Khaldun, dan Ibn Taimiyah menyandarkan sumber kekuasaan adalah Allah Swt, sedangkan manusia berperan sebagai khalifah di muka bumi, sehingga kekuasaan manusia berada dalam tanggungjawab untuk memenuhi kehendak-Nya. Dalam konteks ini, muncul sebuah respon tentang teologi politik Islam versus demokrasi. Diasumsikan teologi politik Islam menempatkan Allah sebagai kekuasaan mutlak (absolut), tetapi dalam praktek seringkali pemahaman ini “bias” karena secara de facto hampir semua negara Muslim menempatkan Khalifah, Sultan, dan Amir sebagai penguasa politik dan sekaligus pemegang otoritas hukum. Menurut mereka, QS. an-Nisa’: 59 menjadi dasar bagi adanya sikap tunduk, taat, dan patuh kepada penguasa (ulil amri) berdasar kepada ketaatan penguasa terhadap hukum Allah (Munawir Sjadzali: 2001: 6). Ulil amri terdiri atas ulama yang berfungsi mengemban tugas menafsirkan hukum syari’at dan merumuskan ketentuan
1
keadilan, dan umara yang bertugas menegakkan berlakunya hukum Allah dan mempertahankan negara Islam. Oleh karena itu, kedaulatan negara dan kedaulatan rakyat tunduk pada supremasi syari’at (kedaulatan hukum Allah). Dalam Islam, kekuasaan mayoritas dapat dibatasi, sehingga kedaulatan rakyat bermakna hak rakyat untuk mengawasi pemerintahan untuk senantiasa berada dalam batasbatas yang digariskan syari’at. Dalam politik Islam, kepemimpinan dimaknai dalam dua istilah, yaitu “pemerintahan” dan “negara”. Pemerintahan merupakan suatu bentuk sistem kekuasaan penyelenggara negara, sedangkan negara adalah sistem terbesar yang di dalamnya mencakup organ-organ pemerintahan. Atas dasar ini dapat dibedakan pengertian antara lembaga negara dan lembaga pemerintahan dengan kepemimpinan politik dalam Islam. Hukum Islam yang bersumber kepada al-Qur’an, Sunnah Nabi Saw. dan Ijtihad ‘Ulama (berupa ijma’ dan qiyas) berdasar dua sumber sebelumnya menjelaskan prinsip-prinsip dasar politik dan
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM ketatanegaraan Islam. Dalam efinstimologi hukum Islam seperti dikemukakan Juhaya S. Praja dalam karyanya Filsafat Hukum Islam menyebutkan bahwa al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam menjelaskan beberapa ayat hukum yang erat kaitannya dengan prinsip-prinsip dan azas-azas hukum Islam yang erat kaitannya dengan konsep syura’ dalam pemisahan kekuasaan (the separation of power). Menurut Juhaya S. Praja (1996) dan Mukhlis Usman (1994) bahwa al-Qur’an banyak memuat aturan tentang kontrak sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tulisan ini akan menjelaskan kerangka teoritis pembentukan prinsipprinsip hukum tata negara Islam yang erat kaitannya dengan konsep syura’ melalui perumusan kaidah-kaidah hukum Islam dari sumbernya, yakni al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad. Paling tidak diperoleh gambaran bagaimana kaidah-kaidah hukum Islam memberikan konstribusi besar dalam hal perumusan konsep pemisahan kekuasaan melalui majelis syura’. B. Gagasan Syura’ dalam Islam Dalam pandangan Ibn Taimiyah dan Yusuf Qardhawi telah menunjukkan secara tegas bahwa daulah Islamiyah bukanlah negara teokrasi (daulah diniyah). Daulah Islamiyah adalah daulah madaniyah (negara sipil) yang berkuasa atas nama Islam, berdasar proses bai’at dan syura’ memilih pemimpin yang kuat (qawiy), dapat dipercaya (amin), dapat diandalkan (hafidz) dan berpengetahuan (‘alim). Ia membedakan teokrasi dan nomokrasi, dengan menunjukkan negara Islam sebagai negara yang nomokrasi berdasar syari’at (daulah syar’iyah dusturiyah), (Ibn Taimiyah: 1966: 138-139). Relevansinya dengan konsep demokrasi yang dibangun di dunia Barat bahwa kekuasaan hendaknya dibangun berdasarkan suara terbanyak (one man one vote). Kendati pun, ini sekilas
mirip dengan membangun kesepakatan politik seperti halnya “consensus”, tetapi pada tataran maksud dan tujuan hukum syara’ ini tidak bisa disejajarkan dengan ijma’ (Abdul Hamid: 2007). Namun seringkali kita terjebak pada pemahaman bulat bahwa konsensus dalam politik setara dengan ijma’ fi al-syar’i, padahal keduanya memiliki substansi yang berbeda. Selain itu, prinsip dasar yang dimiliki seringkali juga merupakan kepada ketundukan hukum positif dari pada hukumhukum moral syari’at. Imran Rosyadi (2000) mensinyalir bahwa pada prakteknya dalam sejarah Islam awal, prinsip dasar politik antara ijma fi al-siyasi dengan ijma fi al-dauly tentunya menjadi dua hal yang sedikit berbeda tetapi tidak terpisah. Hal tersebut, misalnya, menginspirasikan dan mengimplementasikan prinsip-prinsip negara hukum modern yang Islami yang menggaransi prinsip keadilan, kesetaraan di hadapan hukum dan pengadilan, asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), dan prinsip hukum pada tindakan yang nampak ditunjukan pada wilayah politik dan ketatanegaraan. Masyarakat Madinah yang menjadi rujukan konsep negara Islam memiliki gagasan politik yang disebut sebagai syura’ (musyawarah) yaitu ruang terbuka dimana siapapun berhak menyampaikan pendapatnya pada wilayah dimana syari’at tidak membatasi secara ketat (misalnya, wilayah mu’amalah). Syura’ melebihi demokrasi dalam hal ketersediaan syari’at yang membatasi kekuasaan mayoritas yang memungkinkan tumbuhnya otoritarianisme yang berkedok demokrasi. Dalam konteks inilah, konsep syura’ sangat relevan dengan demokrasi terutama pada aspek substansi, semangat penentangan terhadap tirani, dan prinsip mayoritas. Melalui konsep syura’, negara dalam Islam harus membuka ruang interaksi bagi masyarakat sebagai bagian dari mekanisme kontrol dan partisipasi politik
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
2
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM sebagai bagian dari ibadah dan amar ma’ruf nahi munkar. Pada aspek politik ini, sosiolog agama Robert N. Bellah yang menyatakan bahwa Islam terasa unik dibandingkan agama lain bukan semata karena ia tidak memisahkan antara politik dan agama, tetapi karena salah satunya adalah sifatnya “sangat modern” dalam pandangan dan praktek politik kenegaraannya khususnya pada masa Khulafa al-Rasyidin (Robert, N. Bellah: 1991) Negara dalam hubungannya dengan masyarakat memiliki tanggung jawab yang besar meliputi tanggung jawab melindungi kaum mustadh’afiin, buruh yang tidak terupahi dengan baik, kaum wanita dari penindasan, anak-anak sampai dia mandiri, orang-orang tua. Negara juga bertanggung jawab mendistribusikan kemakmuran melalui instrumen-instrumen seperti zakat, shadaqah, dan baitul maal, juga melalui sistem ekonomi tanpa riba dan perlindungan hak-hak konsumen. Dengan itu negara membentuk solidaritas sosial dan menegakkan keadilan dalam masyarakatnya, di mana masyarakat mendukung kuatnya negara untuk melaksanakan tugas etisnya: penegakan hukum Allah di muka bumi. Pola interaksi negara-masyarakat dalam Islam menunjukkan kesatuan yang tak terpisahkan antara negara dan masyarakat dan menunjukkan kedua entitas itu dapat dipertukarkan. Apabila merujuk pada kategorisasi Culla, ia mendekati perspektif kedua yang lebih mudah menjelaskan hubungan integratif negara –civil society yang modern. Masyarakat Madani dengan ciri penjelasan di atas terbukti merupakan masyarakat par exellence yang ‘terlalu maju’ bagi zamannya. Sekurang-kurangnya, menurut al-Jawi adalah melindungi diri dari penukaran istilah civil society menjadi masyarakat madani cenderung dianggap anakronistik.
3
C. Prinsip-prinsip dan Kaidah-kaidah Hukum Islam tentang Syura’ Ijtihad merupakan salah satu instrumen penting untuk menggali sumber dan metode hukum syara’ (ijtihad fi alIstinbath al-Hukm). Dalam konteks ini, seorang mujtahid umumnya melakukan beberapa tahapan dalam proses perumusan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum syara dari sumbernya yakni al-Qur’an dan Hadits. Tahapan yang dimaksud (Rachmat Syafe’i: T.th) antara lain: 1. M a s h a d i r a l - A h k a m , y a i t u mengungkapkan atau menseleksi sifat-sifat yang berpengaruh pada hukum (al-Ta’yin wa al-Hadfu fi Sifat al-Hukm). Yakni, mujtahid menggali dan merumuskan sifat-sifat yang berpengaruh kepada hukum, di mana setiap mukallaf wajib berijtihad disebabkan keberadaan nash masih bersifat universal dan abstrak. Sehingga perlu dicarikan makna operasionalnya agar lebih concrete dan applicable. 2. Ta k h r i j a l - A h k a m , y a i t u mengeluarkan hukum-hukum syara’ dari sumbernya langsung (al-Qur ’an dan Hadits), baik nash yang bersifat pasti (qath’i) maupun dugaan (dzanni), atau lafadz hukum yang bersifat implisit maupun eksplisit. Tahapan kedua ini disebut pula Ijtihad Qiyasi, yakni memindahkan hukum atau menghubungkan furu’ yang tidak ada nash-nya dengan furu’ yang ada nash-nya karena kesamaan illat hukum. Pada tahapan kedua ini, disusun rumusan prinsipprinsip, azas-azas dan kaidahkaidah hukum Islam dalam proses penetapan hukum syara’ tentang lembaga legislatif. Ta t h b i q a l - A h k a m , y a i t u mengaplikasikan prinsip-prinsip, azas-
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM azas dan kaidah-kaidah hukum Islam yang bersifat pasti (qath’i) maupun dugaan (dzanni) ke dalam berbagai bentuk peraturan untuk menyelesaikan kasuskasus hukum. Pada tahapan ini, setiap produk hukum hasil ijtihad tentang konsep lembaga legislatif diimplementasikan dalam sistem hukum ketatanegaraan sesuai tujuan syari’at, tuntutan realitas dan kemaslahatan umum. Dalam konteks ini, para ulama terdahulu cenderung berbeda pendapat dalam merumuskan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum syara’. Upaya-upaya terdahulu dalam membuat metodologi pengambilan hukum sungguh amat penting bagi generasi selanjutnya dan perlu mendapatkan apresiasi yang tinggi. Tetapi apa yang telah dirumuskan oleh pendahulu tadi bukanlah hal baku yang tidak mengalami perkembangan dan bahkan perubahan, tetapi sebaliknya. Pada periode di mana ilmu fikih dan ushul fikih itu tumbuh, setiap ulama memiliki perbedaan dalam mengemukakan teorinya antara satu dengan yang lainnya. Misalnya, ketika Imam Syafi’i yang dianggap sebagai peletak dasar ilmu diatas membatasi sumber hukum pada empat macam; alQur’an, al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas, maka pengikut Hanafiyah menambahkan istihsan sebagai standar dalam Istinbath al-Hukm. Hal yang sama dilakukan oleh Malikiyah dengan teori Maslahah Mursalahnya. 1. Prinsip Keesaan Tuhan (alTauhid) Menurut prinsip ini, manusia memiliki kewajiban tunduk, ta’at dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya, serta dilarang mempersekutukan Allah dengan yang lainnya. Ketentuan ini salah satunya tercantum dalam QS. 4: 36. Azas-azas hukum yang berhubungan dengan prinsip; Pertama, personalitas keislaman (Islamic Personality); Kedua, otoritas keyakinan (Religious Doctrine).
Konstruksi kaidah-kaidah hukum yang relevan dengan prinsip dan azas di atas adalah: a. Kaidah Ushuliyyah, yaitu al-Ashl fi al-Amri li al-Wujub illa Madalla Dalilu ‘ala Tahrimihi (Asal daripada perintah hukumnya wajib kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Berdasarkan kaidah ini, setiap muslim diwajibkan melaksanakan semua perintah Allah dan RasulNya serta menjauhi semua larangan-Nya. b. Kaidah Fiqhiyyah, yaitu Attabi’u Ta b i ’ ( P e n g i k u t h u k u m n y a mengikuti). Berdasarkan kaidah ini, dalam mengikuti perintah dan larangan Allah setiap muslim diwajibkan mengikuti Sunnah Rasul. c. Kaidah Dawabith, yaitu Mâla Yudraku Kulluhu la Yutraku Kulluhu (Apa-apa yang tidak bisa kita diambil seluruhnya, maka jangan ditinggalkan seluruhnya). Berdasarkan kaidah ini, seseorang memiliki otoritas untuk menentukan pilihan dalam melaksanakan hukum-hukum Allah sesuai dengan kemampuannya. d. Kaidah Lawahiq, yaitu Daf ’u al-Mafasid Muqaddamun ‘ala Jalb al-Mashalih (Meninggalkan kemadharatan lebih diutamakan untuk mendapatkan kemaslahatan”). Berdasarkan kaidah ini, dalam mengikuti perintah dan larangan Allah setiap muslim dianjurkan lebih mengutamakan kemaslahatan dan kebaikan dari segi agama daripada kemaslahatan lainnya. 2. Prinsip Keadilan (al-’Adâlah) Menurut prinsip ini, manusia berkewajiban menegakan hukum-hukum Allah dan dilarang menerapkan hukum-
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
4
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM hukum lainnya yang bertentangan dengan hukum Allah itu. Ketentuan ini salah satunya tercantum dalam QS. 5: 48-49. Azas-azas hukum yang berhubungan dengan prinsip ini adalah; Pertama, legalitas (legal); Kedua, kehati-hatian (alIkhtiyat); Ketiga, kepastian hukum (law Enforcement); Keempat, keseimbangan (proportionality); dan Kelima, pemerataan (distribution). Konstruksi kaidah-kaidah hukum yang relevan dengan prinsip dan azas di atas adalah: a. Kaidah Ushuliyyah, yaitu alAshl fi al-Amri Yaqtadi al-Tikrara Muddata al-Amri ma’a al-Imkani (Pada dasarnya perintah itu menghendaki adanya pengulangan sepanjang masa selama hal itu memungkinkan). Berdasarkan kaidah ini, menegakan keadilan bagi setiap muslim berlaku sepanjang masa dan tidak terbatas oleh ruang dan waktu. b. Kaidah Fiqhiyyah, yaitu al-Ashl fi al-Amri Yaqtadi al-Tikrara (Pada dasarnya perintah itu menghendaki kesegeraan). Berdasarkan kaidah ini, menegakan keadilan bagi setiap muslim bersifat primer (alhajiyat). c. K a i d a h D a w a b i t h , y a i t u a l Hududu Tasqutu bi al-Syubhati (Hukuman had gugur apabila masih meragukan). Berdasarkan kaidah ini, dalam memutuskan hukum harus tegas dan pasti. d. Kaidah Lawahiq, yaitu al-Yakini la Yuzalu bi al-Shak (al-Yakini la Yuzalu bi al-Shak (Keyakinan itu tidak bisa dihapuskan oleh sesuatu yang meragukan). Berdasarkan kaidah ini, dalam memutuskan hukum seseorang harus berpegang kepada keyakinannya. 3. Prinsip Kebebasan (al-Hurriyah)
5
Menurut prinsip ini, manusia memiliki hak/kebebasan dalam hal menentukan pilihan hidupnya, tetapi hak/ kebebasan itu tidak bertentangan dengan apa-apa yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ketentuan ini salah satunya tercantum dalam QS. 2: 256. Azasazas hukum yang berhubungan dengan prinsip ini adalah: a. Kesepakatan (al-Ijma’) Menurut azas ini, seseorang yang mengaku dirinya muslim terikat dengan hak dan kewajiban dalam sebuah konsensus. Teori konsensus dikemukakan oleh Al-Mawardi dalam al-Ahkam alSulthoniyah bahwa “hak dan kebebasan seseorang dibatasi oleh hak dan kebebasan orang lain dengan adanya ijma”. b. Membuat pilihan (al-Takhyir) Menurut azas ini, dalam menegakan hukum seseorang diberi kebebasan menentukan pilihan hukum. Teori maqashid al-syari’ah dikemukakan Imam al-Syatibi dalam al-Muwafaqat bahwa “tujuan-tujuan syari’at yang bersifat hajiyat, daruriyat dan tahsiniyat – yang berisikan lima hal: (1) memelihara agama/hifd al-din; (2) memelihara jiwa/hifd alnafs; (3) memelihara ketu-runan/ hifd al-nasl: (4) memelihara akal/ hifd al-aql; dan (5) memelihara harta/hifd al-maal. c. Pertanggungan (al-Takaful) Menurut azas ini, adanya kebebasan hukum dibatasi oleh ketentuan hukum lainnya. Guarantee theory yang dikemukakan oleh Taqiyuddin An-Nabhani dalam al-Nidzamu al-Iqtishadi fi al-Islam bahwa “pemindahan harta dari pihak penjamin kepada pihak yang dijamin adalah untuk menunaikan
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM suatu kewajiban”. Konstruksi kaidah-kaidah hukum yang relevan dengan prinsip dan azas di atas adalah: a. Kaidah Ushuliyyah “Hukum asal sesuatu adalah kebolehan sehingga ada dalil lain yang meng-haramkannya” (al-ashl fi al-Asyai al-Ibahat hatta yadulla al-dalilu ‘ala al-tahrimi). Berdasarkan kaidah ini, setiap muslim memiliki kebebasan untuk melaksa-nakan hukum sesuai dengan beban tanggungjawabnya sepanjang tidak ada larangan. b. Kaidah Fiqhiyyah “Hukum itu berkaitan dengan illat-nya baik adanya maupun ketiadaannya” (al-hukmu yadurru ma’a al-illati wujudan wa adaman). Berdasarkan kaidah ini, kebebasan yang dimiliki oleh setiap muslim dalam melaksanakan hukum tergantung kepada motif dan tujuannya. c. Kaidah Dawabith “Orang yang merdeka tidak masuk dalam belenggu kekuasaan” (alhurru la yadkhulu tahta al-yadi). Berdasarkan kaidah ini, kebebasan seseorang tidak bisa dibatasi oleh suatu kekuasaan melainkan oleh hak dan kewajibannya. d. Kaidah Lawahiq “Keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak orang lain” (alidhtiraru la yubtilu haqq al-ghairi). Berdasarkan kaidah ini, kebebasan hukum seseorang dibatasi hakhaknya oleh hak hukum orang lain. 4. Prinsip Persamaan (al-Musawat) Menurut prinsip ini, fitrah manusia sebagai makhluk Allah yang diciptakan-Nya menjadi berpasang-pasangan, bersukusuku dan berbangsa-bangsa. Kedudukan
manusia sama di mata Allah adalah sama, dan yang paling tinggi derajatnya adalah orang yang bertakwa. Ketentuan ini salah satunya tercantum dalam QS. 49 : 13. Azas-azas hukum yang berhubungan dengan prinsip ini adalah: a. Kehormatan manusia (al-fitrah) Menurut azas ini, secara hakiki (fitrah) setiap orang memiliki hak untuk bebas dalam harkat dan martabat. Teori ini dikemukakan oleh Al-Maududi dalam Human Rights in Islam bahwa “secara fitrah setiap orang terlahir dalam keadaan bebas dan sama dalam harkat dan martabat” (all human beings are born free and equal in dignity and rights). b. Persatuan (al-ittihad) Menurut azas ini, setiap manusia diciptakan Allah berbeda-beda agar saling mengenal dan bersatu, hanya tingkat keimanan dan ketakwaannyalah yang saling membedakan di mata Allah. Pendapat ini dikemukakan AlGhazali dalam Ihya Ulum al-Din bahwa “orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang bertakwa”. Konstruksi kaidah-kaidah hukum yang relevan dengan prinsip dan azas di atas adalah: a. Kaidah Ushuliyyah “Asal daripada perintah hukumnya wajib kecuali ada dalil yang mengharam-kannya” (al-ashl fi alamri li al-wujub illa madalla dalilu ‘ala tahrimihi). Berdasarkan kaidah ini, setiap muslim punya hak dan kewajiban yang sama dalam melaksanakan semua perintah Allah dan RasulNya serta menjauhi semua larangan-Nya. b. Kaidah Fiqhiyyah “ Ti n d a k a n i m a m t e r h a d a p
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
6
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan” (tasharruf alimami ‘ala ro’iyyati manuutun bi al-maslahati). Berdasarkan kaidah ini, setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam hal otoritas hukum tetapi otoritas hukum itu harus ditujukan untuk kemaslahatan umum (maslahat al-ammah). c. Kaidah Dawabith “Perbuatan yang mencakup kepentingan orang lain lebih utama daripada hanya kepentingan sendiri” (al-muta’addi afdholu min al al-qashiri). Berdasarkan kaidah ini, hak dan kewajiban hukum pada seseorang harus mempertimbangkan hak dan kewajiban hukum yang dimiliki orang lain. d. Kaidah Lawahiq “Fardhu itu lebih utama daripada sunnat” (al-fardhu afdholu min al-naqli). Berdasarkan kaidah ini, dalam memilih hak dan kewajiban seseorang harus mengutamakan yang wajib (hajjiyat) daripada yang sunnat (dharuriyat dan tahsiniyat). 5. P r i n s i p M e n y e r u K e p a d a Kebaikan dan Melarang Kemungkaran (Amar Ma’ruf Nahi Munkar) Menurut prinsip ini, manusia memiliki kewajiban untuk tunduk kepada hukum-hukum Allah, menyeru kepada yang baik dan mencegah dari yang munkar. Ketentuan ini salah satunya tercantum dalam QS 3 :114. Azas-azas hukum yang berhubungan dengan prinsip ini adalah: a. Personalitas keislaman (Islamic personality) Menurut azas ini, seseorang yang mengaku dirinya muslim punya hak dan kewajiban yang terikat dengan
7
keislamannya. Ini mudah dilacak dari teori hak dan kewajiban hukum Imam Malik dalam alMuwatha bahwa “seseorang akan terikat kepada hak dan kewajibannya sebagai muslim” (ma’rifat ila haqqihi wa wajibatihi fi al-Islam). b. Otoritas keyakinan (religious doctrine) Menurut azas ini, seseorang yang mengaku dirinya muslim punya kewajiban tunduk kepada hukum agama yang dianutnya. Teori ini dikemukakan oleh H.A.R. Gibb dalam The Modern Trends of Islam bahwa “seseorang harus tunduk kepada hukum agama yang dianutnya” (someone has obligation to obey his religious rules). c. Etika Menurut azas ini, seseorang yang mengaku dirinya muslim punya hak dan kewajiban yang terikat dengan keislamannya. Ini mudah dilacak dari teori etika John Finnis dalam Natural Law and Natural Rights bahwa “ konsep hak dan kewajiban manusia sesunguhnya terkait dengan nilai-nilai etika” (the concept of the rights and obligations is related to the ethical values). Konstruksi kaidah-kaidah hukum yang relevan dengan prinsip dan azas di atas adalah: a. Kaidah Ushuliyyah “Asal daripada perintah hukumnya wajib kecuali ada dalil yang mengharam-kannya” (al-ashl fi al-amri li al-wujub illa madalla dalilu ‘ala tahrimihi). Berdasarkan kaidah di atas, setiap muslim diwajibkan melaksanakan semua perintah Allah dan Rasul-
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Nya serta menjauhi semua larangan-Nya. b. Kaidah Fiqhiyyah “Asal daripada larangan adalah mutlak menghendaki adanya pengulangan sepanjang masa” (alashl fi al-nahyi al-mutlaqu yaqtadi al-tikrara fi al-jami’i al-azminati) Berdasarkan kaidah ini, hukum Allah itu bersifat tetap (mutlak), sedangkan manusia diberikan pilihan untuk mengikuti hukum Allah itu. c. Kaidah Dawabith “Perubahan hukum itu berdasarkan perubahan zaman, tempat dan keadaan” (taghayyar al-ahkam bi taghayyar al-azminati wa alamkinati wa al-ahwali). Berdasarkan kaidah ini, seseorang memiliki otoritas untuk menetapkan hukum-hukum Allah dan keberlakuannya yang disesuaikan dengan situasi, kondisi, waktu dan tempatnya. d. Kaidah Lawahiq “Apa-apa yang tidak bisa kita diambil seluruhnya, maka jangan ditinggalkan seluruhnya” (maala yudraku kulluhu la yutraku kulluhu). Berdasarkan kaidah ini, seseorang memiliki otoritas untuk menentukan pilihan dalam melaksanakan hukum-hukum Allah sesuai dengan kemam-puannya. 6. Prinsip Tolong-menolong (alTa’awun) Menurut prinsip ini, manusia berkewajiban untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan dan dilarang tolongmenolong dalam keburukan. Ketentuan ini salah satunya tercantum dalam QS 5 : 2. Azas-azas hukum yang berhubungan dengan prinsip ini adalah: a. Kehormatan manusia (al-fitrah) Menurut azas ini, secara hakiki
(fitrah) setiap orang memiliki hak untuk bebas dalam harkat dan martabat. Teori ini dikemukakan oleh Al-Maududi dalam Human Rights in Islam bahwa “secara fitrah setiap orang terlahir dalam keadaan bebas dan sama dalam harkat dan martabat” (all human beings are born free and equal in dignity and rights). b. Persatuan (al-ittihad) Menurut azas ini, setiap manusia diciptakan Allah berbeda-beda agar saling mengenal dan bersatu, hanya tingkat keimanan dan ketakwaannyalah yang saling membedakan di mata Allah. Pendapat ini dikemukakan AlGhazali dalam Ihya Ulum al-Din bahwa “orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang bertakwa “. c. Saling menanggung (takaful alijtima’) Menurut azas ini, manusia adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan dan saling bergantung satu sama lain. Teori takaful al-ijtima’ dikemukakan Taqiyyudin an-Nabhani dalam al-Nidzamu al-Iqtishadi fi alIslam ketika menjelaskan konsep pertanggungan resiko (asuransi) dalam ekonomi Islam. d. Sukarela (antaraddin) Menurut azas ini, kewajiban saling tolong-menolong antar sesama manusia hendaknya didasarkan kepada azas saling meridhoi (sukarela). Teori ini terkait dengan azas takaful al-ijtima’ dikemukakan Taqiyyudin an-Nabhani dalam alNidzamu al-Iqtishadi fi al-Islam yang telah menjelaskan konsep pertanggungan resiko (asuransi) dalam ekonomi Islam. Lihat pula teori distribusi dari M.A. Manan
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
8
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM dalam Islamic Economic Doctrines. Konstruksi kaidah-kaidah hukum yang relevan dengan prinsip dan azas di atas adalah: a. Kaidah Ushuliyyah “Asal daripada perintah hukumnya wajib kecuali ada dalil yang mengharam-kannya” (al-ashl fi alamri li al-wujub illa madalla dalilu ‘ala tahrimihi). Berdasarkan kaidah ini, setiap muslim punya kewajiban untuk saling tolong-menolong disebabkan Allah dan Rasul-Nya telah menganjurkan untuk saling tolong-menolong. b. Kaidah Fiqhiyyah “Sesuatu yang wajib tidak boleh ditinggalkan dengan melakukan sesuatu yang sunnat” (ak-wajibu la yutraku lisunnati). Berdasarkan kaidah ini, setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam hal otoritas hukum tetapi otoritas hukum itu harus ditujukan untuk kemaslahatan (maslahat alammah). c. Kaidah Dawabith “Perbuatan yang mencakup kepentingan orang lain lebih utama daripada hanya kepentingan sendiri” (al-muta’addi afdholu min al al-qashiri). Berdasarkan kaidah ini, hak dan kewajiban hukum pada seseorang harus mempertimbangkan hak dan kewajiban hukum yang dimiliki orang lain. d. Kaidah Lawahiq “Seseorang tidak dapat memberikan hak miliknya kepada orang lain tanpa kerelaan” (laisa li ahadin tamliku ghairihi bi la ridhahu). Berdasarkan kaidah ini, melaksanakan kewajiban saling
9
tolong-menolong antar sesama manusia hendaknya didasarkan kepada sikap saling meridhoi (sukarela). 7. Prinsip Hak Allah dan Hak Manusia (Haq al-Allah wa Haq al-Adami) Menurut prinsip ini, manusia diberikan hak/kebebasan untuk melaksanakan hukum Allah pada batasbatas kewajaran yang telah ditentukan oleh Allah. Ketentuan ini salah satunya tercantum dalam QS 2 : 178. Azas-azas hukum yang berhubungan dengan prinsip ini adalah: a. Personalitas keislaman (Islamic personality) Menurut azas ini, seseorang yang mengaku dirinya muslim punya hak dan kewajiban yang terikat dengan keislamannya. Ini mudah dilacak dari teori hak dan kewajiban hukum Imam Malik dalam al-Muwatha bahwa “seseorang akan terikat kepada hak dan kewajibannya sebagai muslim” (ma’rifat ila haqqihi wa wajibatihi fi al-Islam). b. Otoritas keyakinan (religious doctrine) Menurut azas ini, seseorang yang mengaku dirinya muslim punya kewajiban tunduk kepada hukum agama yang dianutnya. Teori ini dikemukakan oleh H.A.R. Gibb dalam The Modern Trends of Islam bahwa “seseorang harus tunduk kepada hukum agama yang dianutnya” (someone has obligation to obey his religious rules). c. Kehormatan manusia (al-Fitrah) Menurut azas ini, secara hakiki (fitrah) setiap orang memiliki hak untuk bebas dalam harkat dan martabat. Teori ini dikemukakan
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM oleh Al-Maududi dalam Human Rights in Islam bahwa “secara fitrah setiap orang terlahir dalam keadaan bebas dan sama dalam harkat dan martabat” (all human beings are born free and equal in dignity and rights). d. Kesepakatan (al-Ijma’) Menurut azas ini, seseorang yang mengaku dirinya muslim terikat dengan hak dan kewajiban dalam sebuah konsensus. Teori konsensus dikemukakan oleh Al-Mawardi dalam al-Ahkam alSulthoniyah bahwa “hak dan kebebasan seseorang dibatasi oleh hak dan kebebasan orang lain dengan adanya ijma”. e. Membuat pilihan (al-Takhyir) Menurut azas ini, dalam menegakan hukum seseorang diberi kebebasan menentukan pilihan hukum. Teori maqashid al-syari’ah dikemukakan Imam al-Syatibi dalam al-Muwafaqat bahwa “tujuan-tujuan syari’at yang bersifat hajiyat, daruriyat dan tahsiniyat – yang berisikan lima hal: (1) memelihara agama/hifd al-din; (2) memelihara jiwa/hifd alnafs; (3) memelihara ketu-runan/ hifd al-nasl: (4) memelihara akal/ hifd al-aql; dan (5) memelihara harta/hifd al-maal. Konstruksi kaidah-kaidah hukum yang relevan dengan prinsip dan azas di atas adalah: a. Kaidah Ushuliyyah, yaitu al-Ashl fi al-Amri li al-Wujub illa Madalla Dalilu ‘ala Tahrimihi (Asal daripada perintah hukumnya wajib kecuali ada dalil yang mengharamkannya). menurut kaidah ini, setiap muslim diwajibkan melaksanakan semua perintah Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi semua larangan-
Nya. b. Kaidah Fiqhiyyah, yaitu Tasharruf alImami ‘ala Ra’iyyati Manûtun bi alMaslahati (Tindakan imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan). Berdasarkan kaidah ini, setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam hal otoritas hukum, tetapi otoritas hukum itu harus ditujukan untuk kemaslahatan (maslahat alammah). c. Kaidah Dawabith, yaitu la Yunza’u Syaiun min Yadi Ahadin illa bi Haqqin Tsâbitin (Sesuatu tidak dapat dicabut dari kekuasaan seseorang kecuali dengan dasar hak yang telah tetap). Berdasarkan kaidah ini, seseorang memiliki otoritas untuk menetapkan hukumhukum Allah dan keberlakuannya tidak dapat dicabut haknya karena alasan suatu sebab yang berlawanan dengan ketentuan hukum yang telah tetap. d. Kaidah Lawahiq, yaitu Mâla Yudraku Kulluhu la Yutraku Kulluhu (Apa-apa yang tidak bisa kita diambil seluruhnya, maka jangan ditinggalkan seluruhnya). Berdasarkan kaidah ini, seseorang memiliki otoritas untuk menentukan pilihan dalam melaksanakan hukum-hukum Allah sesuai dengan kemam-puannya. 8. Prinsip Musyawarah untuk Mufakat (al-Musyawarah) Menurut prinsip ini, manusia berkewajiban untuk saling bermusyawarah untuk mufakat dalam menyelesaikan berbagai urusan. Ketentuan ini salah satunya tercantum dalam QS. 42: 38. Azasazas hukum yang berhubungan dengan prinsip ini adalah: a. Kehormatan manusia (al-Fitrah). Azas ini secara hakiki (fitrah) setiap
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
10
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM
b.
c.
d.
e.
11
orang memiliki hak untuk bebas dalam harkat dan martabat. Teori ini dikemukakan oleh Al-Maududi dalam Human Rights in Islam bahwa “secara fitrah setiap orang terlahir dalam keadaan bebas dan sama dalam harkat dan martabat” (all human beings are born free and equal in dignity and rights). Persatuan (al-Ittihad). Azas ini menunjukkan bahwa setiap manusia diciptakan Allah berbedabeda agar saling mengenal dan bersatu, hanya tingkat keimanan dan ketakwaannyalah yang saling membedakan di mata Allah. Pendapat ini dikemukakan AlGhazali dalam Ihya Ulum al-Din bahwa “orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang bertakwa “. Personalitas keislaman (Islamic Personality). Azas ini menunjukkan bahwa seseorang yang mengaku dirinya muslim punya hak dan kewajiban yang terikat dengan keislamannya. Ini mudah dilacak dari teori hak dan kewajiban hukum Imam Malik dalam al-Muwatha bahwa “seseorang akan terikat kepada hak dan kewajibannya sebagai muslim” (Ma’rifat ila Haqqihi wa Wajibatihi fi al-Islam). Otoritas keyakinan (Religious Doctrine). Azas ini mengindikasikan bahwa seseorang yang mengaku dirinya muslim punya kewajiban tunduk kepada hukum agama yang dianutnya. Teori ini dikemukakan oleh H.A.R. Gibb dalam The Modern Trends of Islam bahwa “seseorang harus tunduk kepada hukum agama yang dianutnya” (someone has obligation to obey his religious rules). Kesepakatan (al-Ijma’). Azas ini menunjukkan bahwa seseorang
yang mengaku dirinya muslim terikat dengan hak dan kewajiban dalam sebuah konsensus. Teori konsensus dikemukakan oleh Al-Mawardi dalam al-Ahkam alSulthaniyah bahwa “hak dan kebebasan seseorang dibatasi oleh hak dan kebebasan orang lain pula dengan adanya kesepakatan/ ijma”. f. Membuat pilihan (al-Takhyir). Azas ini dalam menegakkan hukum, seseorang diberi kebebasan menentukan pilihan hukum. Teori maqashid al-syari’ah dikemukakan Imam al-Syatibi dalam alMuwafaqat bahwa tujuan-tujuan syari’at yang bersifat hajiyat, daruriyat dan tahsiniyat –yang berisikan lima hal: (1) memelihara agama/hifd al-din; (2) memelihara jiwa/hifd al-nafs; (3) memelihara keturunan/hifd al-nasl: (4) memelihara akal/hifd al-aql; dan (5) memelihara harta/hifd al-maal. Konstruksi kaidah-kaidah hukum yang relevan dengan prinsip dan azas di atas adalah: a. Kaidah Ushuliyyah, yaitu al-Ashl fi al-Amri li al-Wujub illa Madalla Dalilu ‘ala Tahrimihi (Asal daripada perintah hukumnya wajib kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Berdasarkan kaidah ini, setiap muslim diwajibkan menyelesaikan urusan umat secara musyawarah sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya. b. Kaidah Fiqhiyyah, yaitu Tasharruf al-Imami ‘ala Ra’iyyati Manûtun bi al-Maslahati (Tindakan imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan). Berdasarkan kaidah ini, setiap orang yang menjadi pemimpin memiliki hak dan kewajiban yang
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM sama dalam hal otoritas hukum, tetapi otoritas hukum itu harus ditujukan untuk kemaslahatan umum (Maslahat al-Ammah). c. K a i d a h D a w a b i t h , y a i t u a l Muta’addi Afdhalu min al al-Qashiri (Perbuatan yang mencakup kepentingan orang lain lebih utama daripada hanya kepentingan sendiri). Berdasarkan kaidah ini, aturan bermusyawarah bukan semata-mata hukum Allah yang bersifat tetap (mutlak), tetapi sudah merupakan tradisi dan kebiasaan dalam masyarakat. d. Kaidah Lawahiq, yaitu Mâla Yudraku Kulluhu la Yutraku Kulluhu (Apa-apa yang tidak bisa kita diambil seluruhnya, maka jangan ditinggalkan seluruhnya). Berdasarkan kaidah ini, setiap proses pengambilan keputusan dalam suatu musyawarah hendaknya dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. 9. Prinsip Toleransi (al-Tasamuh) Menurut prinsip ini, manusia berkewajiban bersikap toleran dalam menghargai perbedaan keyakinan dan agama serta memiliki hak/kebebasan memilihnya berdasarkan keyakinan masing-masing. Ketentuan ini salah satunya tercantum dalam QS. 109: 1-6. Azas-azas hukum yang berhubungan dengan prinsip ini adalah: a. Kehormatan manusia (al-Fitrah). Azas ini secara hakiki (fitrah) bahwa setiap orang memiliki hak untuk bebas dalam harkat dan martabat. Teori ini dikemukakan oleh Al-Maududi dalam Human Rights in Islam bahwa “secara fitrah setiap orang terlahir dalam keadaan bebas dan sama dalam harkat dan martabat” (all Human Beings are Born Free and Equal
in Dignity and Rights). b. Persatuan (al-Ittihad). Azas ini menunjukkan bahwa setiap manusia diciptakan Allah berbedabeda agar saling mengenal dan bersatu, hanya tingkat keimanan dan ketakwaannyalah yang saling membedakan di mata Allah. Pendapat ini dikemukakan Al-Ghazali dalam karya manumentalnya Ihya Ulum al-Din bahwa orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang bertakwa. c. P e r s o n a l i t a s k e i s l a m a n (Islamic Personality). Azas ini mengindikasikan seseorang yang mengaku dirinya muslim punya hak dan kewajiban yang terikat dengan keislamannya. Ini mudah dilacak dari teori hak dan kewajiban hukum Imam Malik dalam al-Muwatha bahwa seseorang akan terikat kepada hak dan kewajibannya sebagai muslim (Ma’rifat ila Haqqihi wa Wajibatihi fi al-Islam). d. Otoritas keyakinan (religious doctrine). Azas ini menunjukkan bahwa seseorang yang mengaku dirinya muslim punya kewajiban tunduk kepada hukum agama yang dianutnya. Teori ini dikemukakan oleh H.A.R. Gibb dalam The Modern Trends of Islam bahwa seseorang harus tunduk kepada hukum agama yang dianutnya (someone has obligation to obey his religious rules). e. Kesepakatan (al-Ijma’). Azas ini menunjukkan bahwa seseorang yang mengaku dirinya muslim terikat dengan hak dan kewajiban dalam sebuah konsensus. Teori konsensus dikemukakan oleh Al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah bahwa hak dan
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
12
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM kebebasan seseorang dibatasi oleh hak dan kebebasan orang lain pula dengan adanya kesepakatan/ ijma. f. Membuat pilihan (al-Takhyir). Azas ini dalam menegakkan hukum, seseorang diberi kebebasan menentukan pilihan hukum. Teori maqashid al-syari’ah dikemukakan Imam al-Syatibi dalam al-Muwafaqat bahwa “tujuan-tujuan syari’at yang bersifat hajiyat, daruriyat dan tahsiniyat –yang berisikan lima hal: (1) memelihara agama/hifd al-din; (2) memelihara jiwa/hifd al-nafs; (3) memelihara keturunan/hifd al-nasl: (4) memelihara akal/hifd al-aql; dan (5) memelihara harta/hifd al-maal. Konstruksi kaidah-kaidah hukum yang relevan dengan prinsip dan azas di atas adalah: a. Kaidah Ushuliyyah, yaitu al-Ashl fi al-Amri li al-Wujub illa Madalla Dalilu ‘ala Tahrimihi (Asal daripada perintah hukumnya wajib kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Berdasarkan kaidah di atas, setiap muslim diwajibkan melaksanakan semua perintah Allah dan RasulNya serta menjauhi semua larangan-Nya. b. Kaidah Fiqhiyyah, yaitu Tasharruf alImami ‘ala Ra’iyyati Manûtun bi alMaslahati (Tindakan imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan). Berdasarkan kaidah ini, setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam hal otoritas hukum, tetapi otoritas hukum itu harus ditujukan untuk kemaslahatan (Maslahat alAmmah). c. Kaidah Dawabith, yaitu la Yunza’u Syaiun min Yadi Ahadin illa bi Haqqin tsâbitin (Sesuatu tidak dapat dicabut dari kekuasaan
13
seseorang kecuali dengan dasar hak yang telah tetap. Berdasarkan kaidah ini, seseorang memiliki otoritas untuk menetapkan hukumhukum Allah tidak dapat mencabut hak orang lain karena alasan suatu sebab yang berlawanan dengan ketentuan hukum yang telah tetap. d. Kaidah Lawahiq, yaitu al-Hurru la Yadkhulu Tahta al-Yadi (Orang yang merdeka tidak masuk dalam belenggu kekuasaan). Berdasarkan kaidah ini, kebebasan menentukan pilihan hukum dikembalikan kepada individu-individu. Berdasarkan prinsip-prinsip, azas-azas dan kaidah-kaidah hukum Islam di atas, maka konsep pemisahan kekuasaan (the separation of power) melalui konsep syura’, hendaknya dapat diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal ini disebabkan, dalam sistem syari’at Islam banyak memuat prinsip-prinsip hukum ketatanegaraan yang bertujuan untuk keadilan, kebaikan dan kemaslahatan bagi manusia. Oleh karena itu, aplikasi prinsipprinsip, azas-azas dan kaidah-kaidah hukum Islam yang berkaitan dengan konsep syura’ dalam sistem hukum tata negara Islam, sesuai dengan situasi dan kondisi modern serta tujuan hukum Islam itu sendiri. D. Penutup Pada bagian akhir ini, penulis menemukan tiga kesimpulan: Pertama, ada relevansi antara konsep syura’ dalam hukum tata negara Islam dan pemisahan kekuasaan (trias politica atau the separation of power) dalam hukum Barat; Kedua, ada perbedaan persepsi di kalangan pemikir Islam dalam memahami antara konsep syura’ dalam hukum tata
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM negara Islam dan pemisahan kekuasaan (trias politica atau the separation of power) dalam Hukum Barat; Ketiga, ada perbedaan sikap dalam menerima atau menolak antara konsep syura’ dalam hukum tata negara Islam dan pemisahan kekuasaan (trias politica atau the separation of power) dalam hukum Barat. DAFTAR PUSTAKA Abdul Halim Uweis, Ibn Hazm al-Andalusia, Cetakan II, Al-Zahra lil I’lam alArabi: 1988 Abdul Hamid, “Memilih Pemimpin Pemerintahan dan Negara Menurut Teori Maslahat al-Mawardi”, makalah Program Doktor PPs UIN Bandung 2007. Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, Beirut: Dar al-Fikr, t.th Deni K. Yusup, “Prinsip-prinsip HAM Dalam Hukum Islam: Kajian Epistimologis Perumususan Kaidah-kaidah Hukum Islam Tentang HAM”, makalah Program Doktor PPs UIN Bandung 2008. Donald Eugene Smith, Religion and Political Development, Boston: Little, Brown and Co., 1978 Fathurrahaman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997 Ibn Hazm, al-Muhalla, Kairo: Dar alMaktab, t.th Ibn Taimiyah, Siyasah al-Syar’iyyah fi al-Ishlah al-Ra’iy wa al-Ra’iyyat, Beirut: Dar al-Kitab al-Arabiyyat, 1966
Imran Rosyadi, Transformasi Masyarakat Madani lihat dikutip dari http:// www. kammi. or.id/lihat.php? d=materi &do=view&id=144. Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Bandung: UNISBA Press, 1996 ————, Intisari Bahan Perkuliahan Filsafat dan Metodologi Hukum Islam Bandung: PPs UIN Bandung, 1999 Mahmud Syaltut, Islam, Aqidah wa Syari’ah, Cairo: Dar al-Maktabah, 1990 Moh. Abid Al-Jabiri, Binyât al’aql al-Araby, Cet VII, Dar Baidla’: Dar Nasyr Al-Maghribiyah, 2000 Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001 Mukhlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyyah dan Fiqhiyyah, Jakarta: Rajawali, 1994 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Ed. V, Jakarta: UI Press, 1993 Rachmat Syafe’i, Ijtihad fi al-Istinbath wa al-Tathbiq mengutip penjelasan Ibnu Hazm, Al-Ihkam fi Ushul alAhkam, Beirut: Dar al-Maktabah al-Misriyyah, t.th Robert N. Bellah, Beyond Belief : Essay on Religion in a Post-Traditionalist World, Berkeley and Los Angeles:
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
14
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM University of California press, 1991 T.M. Hasbi Ash-Shiddiqiey, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1992 W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought, Einburgh: Einburgh University Press, 1960
15
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
16
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM NIKAH SIRI DALAM PEMIKIRAN HUKUM ISLAM INDONESIA (Analisis terhadap pelarangan dan sanksi pidana) Oleh : Usammah, S.HI., MH Abstract Islam has a better system in terms of forming a household through a committed interactions between a man with a woman in the form of marriage. Wedding or marriage is a form of human behavior in interaction that has been handed down by the Apostles Muhammad as Sunnah for mankind. deeds that are pure and have a very noble goal, then legislation Indonesian law, the provisions relating to marriage / marriage has been arranged in the form of legislation which apply to all Indonesian citizens. In some wedding event series, the guardian judge often used as a substitute guardian or if the guardian nasab of the female candidates can not or there are other reasons berhadir thus allowing marriage can not be implemented by the guardian of this nasab.Kondisi nasabnya allows trustees approve the marriage just is not performed on the paint of the institution of marriage is religious affairs office (KUA)
A. Pendahuluan Islam mempunyai sistem yang lebih baik dalam hal membentuk suatu rumah tangga melalui suatu interakasi yang dilakukan antara seorang lakilaki dengan seorang perempuan dalam bentuk pernikahan.Pernikahanatau perkawinanadalah satu bentuk perilaku manusia dalam berinteraksi yang telah diturunkan oleh Rasul Muhammad SAW sebagai sunnah bagi ummat manusia. Dikatakan sunnah karena perbuatan tersebut telah dilakukan oleh Rasul sebagai peletak pondasi segi-segi kehidupan di dunia ini dan juga sebagai keselamatan di akhirat, di samping itu pernikahan merupakan suatu bentuk hukum yang diwahyukan oleh Allah SWT dalam al-quran secara global yang hanya dipahami sebagai bentuk integrasi dua pihak keluarga untukmenyatu dalam satu keluarga yang lebih besar. Dari sisi hukum, bahwa pernikahan sangat dianjurkan oleh agama sebagaimana yang dibawa oleh Rasul SAW sebagai bentuk perilaku yang mulia. Karena dengan melaksanakan pernikahan
17
menusia akan terhindar dari perbuatan zina, agama sangat melarang seseorang melakukan perzinaan, jangankan melakukan mendekati saja tidak boleh. Dengan pernikahan, Islam telah memberi jalan yang terbaik untuk membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Karenanya zina menjadi salah satu bentuk perbuatan yang dimurkai Allah SWT dengan hukuman yang paling berat, jika muksan hukumannya dirajam dan jika ghairu mukhsan di jilid 100 kali jilit dan tidak diterimanya kesaksian. Undang-undang Perkawinan Indonesia telah memberi inspirasi bagi ummat Islam untuk melaksanakan pernikahan berdasarkan hukum Islam, karena pernikahan merupakan tujuan syariat yang dibawa oleh Rasulullah SAW, yaitu sebagai pranata hal ikhwal manusia dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat. di samping itu fiqih menjadi penguat dan penopangdalam penataan kehidupan manusia, hal ini dapat dilihat dari empat garis penataan yang disebutkan yaitu; (1)Rub’al ibdah; yang menata hubungan manusia selaku makhluk dengan khalikNya,
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM (2)Rub’al muamalat; yang menata manusia dalam lalu lintas pergaulannya dengan sesamanya untuk memenuhi hajat hidupnya sehari-hari, (3)Rub’al munakahat; yang menata hubungan manusia dalam lingkungan keluarganya dan (4)rub’al jinayat; yang menata pengamanannya dalam suatu tertib pergaunlan yang menjamin ketentramannya. Tujuan dari pernikahanitu sangat mulia, menurut Zakiyah Darajat, beliau menyebutkan ada lima tujuan dari pernikahan itu; yaitu: (1) mendapatkan dan melangsungkan keturuanan, (2) memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwat dan menumpahkan kasih saying, (3) memenuhi panggilan Agama, memelihara diri dari kajahatan dan kerusakan, (4) menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggungjawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal dan (5) membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat tenteram atas dasar cita dan kasih sayang. Karena pernikahan itu perbuatan yang suci dan mempunyai tujuan yang sangat mulia, maka perundang-undangan hukum Indonesia, yang berkaitan dengan ketentuan perkawinan/pernikahan telah diatur dalam bentuk perundangundangan yang diberlakukan kepada seluruh warga negara Indonesia. Aturan perundang-undangan tentang perkawinan/ pernikahan yang dimaksudkan adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan peraturan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan juga Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang lahir dari hasil musyawarah dan mufakat para alim ulama Indonesia yang dikuatkan dengan Keppres No. 1 Tahun 1991. Undang-undang ini merupakan hukum materiil dari perkawinan dansedangkan hukum formalnya ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989. Dalam Undang-Undang Perkawinan
dinyatakan bahwa perkawinan/ pernikahan baru dianggap sah jika dilaksanakan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanyadalam bagian lain dari UU tersebut dinyatakan bahwa suatu pernikahan yang telah dilaksanakan harus dicatatkan di lembaga Pencatatan Nikah yaitu bagi Agama Islam di KUA dan selain itu di Catatan Sipil. Disamping itu harus menuruti prosedur yang telah diatur oleh UU tersebut. Penegasan tersebut juga dinyatakan oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Buku I Bab II, Pasal 4 yang menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan bunyi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. Karenanya pernikahan yang dilakukan oleh setiap orang harus mengikuti pada ketentutan yang berlaku.Berkaitan dengan rukun perkawinan maka hukum Islam telah menentukan bahwa rukun dari pernikahan itu terdiri dari; seorang wali (wali nasab), dua orang saksi, adanya dua calon mepelai dan dilaksanakannya ijab qabul. Pengaturan terhadap proses perkawinan dimaksudkan untuk menata lebih baik kehidupan ummat manusia dan juga bertujuan memberikan membentuk pola hidup yang sesuai dengan tuntunan agama. Al-Qur‘an menyebutkannya dalam surat Ar-Rum ayat 21, yaitu; Artinya :Diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu menemukan ketenangan padanya dan menjadikan diantaramu rasa cinta dan kasih sayang, sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar menjadi tanda-tanda bagi kamu yang berpikir. Hukum perkawinan Indonesia yang berlangsung kerap terjadinya berbagai penyimpangan dalam pelaksanaannya, penyimpangan yang terjadi karena tidak sesuai dengan pengaturan yang telah ada dalam UU perkawinan maupun KHI.
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
18
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Beberapa hal yang kerap mengganggu dalam suatu ikatan perkawinan, sehingga terganggu pula suatu pemahaman hukum mengenai perkawinan dikalangan masyarakat Islam itu sendiri.Misalnya mengenai masalah perkawinan siri(nikah siri) yang terjadi dikalangan ummat Islam. Fenomena ini muncul karena upaya untuk melangsungkan perkawinan dalam bentuk polygami yang tidak mendapat persetujuan dari isteri pertamanya. Pernikahan siri dilaksanakan dengan cara sembunyisembunyi dan tidak didaftarkan pada Kantor Urusan Agama (KUA). Di dalam UU perkawinan maupun KHI tidak diatur tentang permasalahan nikah siri ini, namun oleh UU perkawinan maupun KHI Indonesia menyebutkan bahwa perkawinan itu sebaiknya dilakukan pencatatan. Nikah siripada dasarnya secara syara’ adalah sah jika memenuhi rukun dan syarat sebagaimana yang telah ditentukan. Namun nikah siri sering disalahgunakan oleh orang-orang tertentu untuk melakukan poligami.Nikah siri sering disebut dengan nikah dibawah tangan artinya tanpa ada pencacatan pada KUA atau lembaga resmi pencatatan nikah.Nikah siri merupakan fenomena dalam perkembangan institusi hukum perkawinan yang diyakini tidak hanya terjadi pada penganut agama Islam semata tetapi juga terjadi pada agama-agama samawi lainnya.Tentu saja persoalan tersebut menarik perhatian masyarakat pada umumnya karena dilakukan tidak sebagaimana yang terjadi dalam tradisi masyarakat Islam bahwa pernikahan tersebut dilakukan secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat banyak. Karenanya pernikahan siri banyak kalangan yang menyatakan tidak setuju dilakukan nikah siri tersebut, disamping itu rancangan Undang-Undang Peradilan Agama akan memberlakukan sanksi terhadap pelaku nikah siri. Majelis Ulama Indonesia (MUI)-pun telah sepakat untuk
19
memberi sanksi pada pelaku nikah siri. Menurut MUI jika konsisten dengan UU No.Nomor 1 tahun 1974 mengenai masalah pernikahan yang tak tercatat itu tidak diakui oleh Negara. B. Seputar Nikah Siri Nikah siri berasal dari bahasa Arab, yaitu sirrun, jamak asrarun, yang berarti rahasia. Melalui kata ini dapat dipahami bahwa nikah siri berarti nikah yang dilakukan dengan rahasia atau dirahasiakan, nikah yang berbeda dengan nikah pada umumnya yang dilakukan oleh masyarakat dengan cara terangterangan. Nikah siri dapat didefinisikan sebagai bentuk pernikahan yang dilakukan hanya berdasarkan agama dan adat istiadatnya tanpa mengikuti prosedur hukum nasional yang berlaku.Bentuk ini adalah pernikahan yang tidak didaftarkan atau tidak dicatatakan pada Kantor Urusan Agama Kecamatan atau tidak tercatat pada Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama bukan Islam. Nikah siri ini terkadang diistilahkan dengan nikah misyar, terkadang juga ada yang menyamakan dengan nikah ‘urfi, yaitu nikah yang didasarkan pada adat istiadat. Kesemua istilah atau pengertian tersebut pada kenyataannya semua mengandung pengertian sebagai bentuk pernikahan yang tidak diumumkan (nikah yang dirahasiakan) dan juga pernikahan yang tidak dilakukan pencatatan pada pejabat yang berwenang untuk itu. Catatan hukum perkawinan Indonesia nikah siri ini telah berkembang sejak tahun 1970-an, pada saat itu pemerintah Indonesia membuka peluang terhadap pengusaha-pengusaha asing yang melakukan investasi di wilayah Kalimantan. Tidak sedikit para pengusaha yang datang ke Indonesia tanpa diikuti keluarganya sehingga kebutuhan akan hasrat manusia menimbulkan gejolak. Sebagai salah satu usaha untuk
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM memenui hasrat tersebut, pengusaha asing melakukan pendekatan dengan perempuan di wilayah tersebut, tidak mudah melaksanakan pernikahan (perkawinan), dimana terikat dengan peraturan, adat istiadat dan agama yang berbeda dengan mereka, yang pada gilirannya mencari jalan lain yang dapat ditempuh untuk dapat melaksanakan pernikahan. Jalan yang paling dapat ditempuh pada saat itu yaitu dengan melaksanakan pernikahan secara siri (di bawah tangan) melalui mediasi sejumlah ulama atau tokoh masyarakat di daerah tersebut yang menfawatkan bahwa pernikahan itu tetap sah karena dilakukan dengan cukup rukun dan syaratnya, meskipuntidak didaftar dan dicatat di Kantor yang berwenang. Di kalangan ulama dan masyarakat muslim, terdapat perbedaan pandangan tentang nikah siri ini, ada yang menghalalkan dan adapula tidak sampai mengharamkan, perbedaan ini sangat wajar terjadi dalam masyarakat tergantung bagaimana memandang pernikahan tersebut. Jawahir Thantawi mengidentifikasi perdebatan mengenai pernikahan siri ini dalam tiga pandangan, yaitu ; a. Kelompok pertama memandang bahwa nikah siri tidak dilarang atau boleh-boleh saja dilakukan, dengan berpegang pada prinsip-prinsip sebagai berikut: i. Nikah siri dimaksudkan sebagai upaya untuk mencegah timbulnya pelanggaran hubungan antara lakilaki dengan perempuan ii. Nikah siri dilakukan dengan mematuhi syarat dan rukun yang digariskan dalam hukum Islam iii. Nikah siri dilakukan dengan mempertimbangkan alasan bahwa Islam mengajarkan agar mempermudah pernikahan, jangan menunda-nunda meskipun masih ada beban ekonomi, selalin didasarkan pada ketentuan hukum
Islam, praktik nikah siri biasanya lebih ditentukan oleh urusan keluarga masing-masing. b. Kelompok kedua memandang bahwa nikah siri dilarang karena mudharatnya lebih banyak, dengan alasan sebagai berikut: i. Hukum yang dianut seharusnya adalah hukum positif, mengingat hukum Islam sudah termasuh didalamnya ii. Dapat menimbulkan dualism dalam penerapan hukum sehingga unifikasi dan kepastian hukum tentang pernikahan dapat hilang. iii. Akan menimbulkan masalah jika terjadi perceraian yang akan menyulitkan kedua belah pihak akibat tidak tercatatnya perkawinan secara resmi iv. Dalam nikah siri, suami tidak mempunyai tanggungjawab yang besar dan mengikat karena kecendrungan yang terjadi bahwa ekonomi keluarga ditanggung masing-masing v. Nikah siri menjadi lahan empuk yang sering dipraktikkan oleh pejabat dan PNS c. Kelompok yang ketiga kecenderungannya berada di tengahtengah, yaitu memperbolehkannya asalkan sesuai dengan ketentuan hukum positif, yaitu mencatatnya secara resmi melalui pejabat yang berwenang meski tanpa harus segera melaksanakan walimah. Pandangan yang ketiga ini berusaha menjembatani kebutuhan pro dan kontra terhadap nikah siri. Selain itu bermuatan kepentingan agar ummat Islam mematuhi dan memiliki kesadaran yang tinggi terhadap hukum yang dianut dalam Negara. Perbedaan pandangan di atas menunjukkan bahwa hukum nikah siri menjadi perdebatan diantara para ulama
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
20
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM dan masyarakat muslim lainnya, mengingat kebolehannya dilakukan pernikahan siri tersebut. Di samping itu perbedaan tentang hukum dari pernikahan siri ini tidak perlu menimbulkan akibat yang besar dan fatal terhadap kehidupan ummat muslim lainnya. Banyak hal dan alasan yang melatar belakangi seseorang melaksanakan nikah siri, diantaranya; alasan kesulitan ekonomi, dapat dimaklumi jika sekiranya alasan ini menjadi sebab melaksanakan nikah siri, besarnya biaya proses pernikahan di KUA telah mengurungkan niat untuk melaksanakan perkawinan sebagai mana yang diatur oleh UU Nomor 1 tahun 1974. Bagi mereka yang dengan alasan ekonomi lemah tidak menjadi penting pencatatan nikah, yang penting adalah nikah yang dilakukan sesuai dengan rukun dan syarat yang ditentukan oleh syariat Islam; alasan kesegeraan dalam pernikahan merupakan hal yang perlu mendapat perhatian agar tidak terjerumus padaperbuatan perzinaan atau terjadi kehamilan di luar nikah yang berakibat pada aborsi atau yang lainnya. Priyo Sembodo, dalam bukunya “Nikah siri dalam tinjauan Psikososial” mengenmukakan sejumlah alasan yaitu; 1. Nikah siri dilakukan karena mereka masih duduk di bangku sekolah menengah ke atas, mereka tidak ingin pihak sekolah mengetahui pernikahan mereka. 2. Nikah siri dilakukan oleh sejumlah pelaku karena terikat oleh perjanjian dengan tempat selama mengikuti pendidikan atau training, atau yang lainnya selama masa itu. 3.Sebagaian pelaku nikah siri melakukannya karena belum bisa menyelesaikan proses administrative perceraian dengan pasangannya yang terdahulu 4. Pernikahan yang ditentang orang tua menjadi alasan sebagian pelaku nikah siri. 5. Ada sebagian masyarakat mempunyai
21
kepercayaan yang tidak berlandaskan pada tuntunan syariat yangterkadang dianggap sebagai penghalang seseorang melakukan nikah seperti umunya. Dari berbagai kondisi sebenarnya akan banyak kita ketemukan alasan-alasan yang dijadikan untuk dapat melakasanakan nikah siri sebagai bentuk realitas dan gejala semakin meningkatnya praktik nikah siri yang efeknya tidak saja bermakna negatif tetapi lebih dari itu juga yang bermakna positif. Kehamilan lebih awal sebelum pernikahan berlangsung menjadi alasan yang tepat untuk melaksanakan nikah siri. Lebih tragis lagi maraknya pernikahan siri ternyata ketidaktahuan masyarakat terhadap dampak yang akan timbul setelah itu, diantaranya; a. Masyarakat miskin hanya berpikir jangka pendek b. Masyarakat mempercayai bahwa menjadi isteri simpanan pengusaha, tokoh masyarakat, pejabat atau yang lainnya dapat mempercepat perolehan status sebagai isteri terpandang dalam masyarakat. c. Pemikiran-pemikiran tersebut di atas diperkuat dengan anggapan bahwa mereka sendiri melihat nikah siri merupakan takdir yang harus diterima. C. Nikah Siri Persepktif Pemikiran Hukum Islam 1. Wali Pernikahan Salah satu rukun pernikahan itu antara lain adalah adanya wali, wali nikah dalam perkawinan menjadi prinsip kesepakatan ulama untuk sahnya perkawinan, seorang wali dapat bertindak atas nama mempelai perempuan dan juga wali dapat bertindak sebagai orang yang dimintai restu terhadap perkawinan anak perempuan. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam hadits dari Aisyah yaitu:
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Artinya “Aisyah berkata: Rasulullah SAW, bersabda; “Siapapun wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya itu batal (diucapkan tiga kali), jika suaminya telah menggaulinya maka mahramnya adalah untuknya (wanita) karena apa yang telah diperoleh darinya. Kemudian apabila mereka bertengkar, maka penguasa menjadi wali bagi orang-orang yang tidak mempunyai wali. Posisi wali dalam pernikahan tidak dapat dipisahkan sehingga kedudukan sahnya perkawinan sangat ditentukan adanya wali. Hadits Nabi juga menyebutkan Artinya: “tidak sah nikah kecuali adanya wali” Pentingnya wali dalam pernikahan sudah menjadi kesepatan jumhur Ulama secara syariat.Maka tidak dapat dilakukan pernikahan oleh seseorang perempuan manakala ketiadaan walinya. Adanya wali perbikahan menunjukkan bahwa anak perempuan yang akan dinikahkan itu adalah anak yang lahir dari seorang ayah dan ibu yang sah dari sebuah perkawinan secara syariat dan juga secara Yuridis Formal. Meskipun demikian tentang wali terhadap calon mempelai wanita ini pernah menjadi perdebatan dikalangan para ulama, beberapa ulama cenderung memperbolehkan mempelai perempuan itu dalam pernikahan tanpa wali, hal ini didasarkan pada keumuman dalil alQur‘an Surat al-Baqarah; ayat 232, yang artinya: “janganlah kami (hai para wali) menghalangi mereka (wanita yang telah bercerai) untuk kawin (lagi) dengan bekas suaminya, jika terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang makruf”. Kalangan ulama Abu Hanifah, Abu Zufar dan Az-Zuhri, cenderung berpendapat bahwa apabila seorang perempuan menikah tanpa adanya wali, pernikahan tersebut tetap dianggap sah selama pasangan tersebut sekufu (setara), mereka berpegang pada keumuman
ayat al-Qur‘an surat al-Baqarah; ayat 234, yang artinya: “Apabila telah habis masa iddahnya (wanita-wanita yang telah meninggal suaminya), maka tiada dosa bagi kami (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut” Jika dilihat lebih lanjut terhadap uraian ayat di atas, maka ketiadaan wali dalam pernikahan terbatas hanya pada janda bukan pada gadis.Qurash Syihab dalam bukunya Membumikan al-Qur‘an; fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, menyarankan agar dalam pernikahan tetap dihadirkannya wali, baik bagi gadis maupun bagi janda, hal tersebut merupakan suatu yang sangat penting dalam perkara yang penting pula (aqad nikah), jika dikemudian hari terjadi hal-hal yang tidak diinginkan akan dapat dijadikan sandaran atau rujukan. Umumnya seorang wali disyaratkan adalah beragama Islam, baligh, berakal sehat, adil dan laki-laki. Dalam aqad pernikahan yang dapat menjadi wali selain dari ayah kandungnya mempelai perempuan, antara lain; a. Kakek seterusnya ke atas dari garis pihak laki-laki b. Saudara laki-laki kandung dari garis ayah atau ibu c. Anak laki-laki dari saudara lakilaki kandung segaris ayah d. Paman dari garis ayah e. Anak laki-laki dari paman yang segaris dengan ayah f. Sultahn (penguasa tertinggi) yang disebut dengan juga wali hakim g. Wali yang diangkat oleh calon suami – isteri yang disebut dengan wali muhakkam Zahri Hamid dalam bukunya Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, menyebutkan bahwa wali nikah ada 4 (empat) macam; 1. Wali Nasab
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
22
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM 2. Wali Mu’tiq 3. Wali Hakim 4. Wali Muhakkam Di samping wali nikah yang disebutkan di atas, ada wali dalam pernikahan yang dapat menikahkan seorang gadis tanpa harus melakukan permintaan izin dari si gadis tersebut, wali inlah yang disebut dengan wali mujbir. Adapun syaratnya antara lain: a. Laki-laki pilihan wali harus sekufu dengan gadis yang akan dinikah kannya b. Tidak ada permusuhan antara wali dengan gadis yang akan dinikahkan c. Tidak ada permusuhan antara sigadis dengan calon laki-lakinya d. Laki-laki pilihan wali akan dapat memenuhi kewajiban terhadap calon isteri dengan baik. Dalam beberapa peristiwa pernikahan siri, wali hakim sering dijadikan sebagai pengganti wali atau jika wali nasab dari si calon perempuan tidak dapat berhadir atau ada alasan lainnya sehingga memungkinkan pernikahan tidak dapat dilaksanakan oleh si wali nasab. Kondisi ini memungkin wali nasabnya menyetujui pernikahan tersebut hanya saja tidak dilakukan pencatan pada lembaga pernikahan yaitu KUA. Dalam pernikahan siri ini wali hakim yang dijadikan sebagai wali bukanlah dari pihak yang berwenang (pemerintah/ KUA) namun orang yang dianggap paham tentang agama atau tokoh agama.Yang perlu diperhatikan bahwa penunjukan wali pengganti tersebut tidak memenuhi syarat dan ketentuan wali karena telah mengabaikan hak wali-wali dalam urutan wali. 2. Saksi dalam pernikahan Menurut jumhur ulama, perkawinan yangtidak dihadiri oleh saksi-saksi tidak sah, jia ketika ijab qabul tak ada saksi yang
23
menyaksikannya sekalipun diumumkan kepada pihak yang ramai denga cara lain, perkawinan tersebut tetap saja tidak sah. Hal tersebut dijadikan sandaran pada hadits dari Aisyah rha, Rasulullah bersabda: Artinya: “Tidak sah pernikahan (perkawinan) kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil” (HR. Daruquthni) Ada beberapa alasan yang digunakan untuk menguatkan tentang saksi dalam pernikahan, diantaranya; a) Berdasarkan kepada Hadits yang diriwayatkan oleh Daruquthni tersebut di atas, b) Kata-kata “tidak” dalam hadits tersebut bermaksud “tidak sah” yang berarti menunjukkan bahwa mempersaksikan terjadinya ijab qabul merupakan syarat dalam perkawinan, c) Bahwa Umar bin Khatthab menerima pengaduan adanya perkawinan yang hanya disaksikan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan, sehingga Umar bin Khatthab menyatakan ini kawin gelap, dan aku tidak membenarkan dan andaikan saat itu aku hadir, tentu akan ku rajam”, d) Karena adanya pihak lain yang turut terlibat di dalam hak kedua belah pihak yang beraqad, yaitu anakanak, karena di dalam aqad disyaratkan adanya saksi agar ayahnya tidak akan mengingkarinya dari keturunannya. Kesaksian dalam pernikahan tidak hanya diperlukan dalam nikah yang diselenggarakan di lembaga nikah namun juga dalam hal pelaksanaan nikah siri tentunya saksi juga diperlukan karena ini berkaitan dengan ketentuan hukum Islamn dan juga menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Pasal 14. 3. Hukum mengumumkan pernikahan Di samping harus memenuhi syarat dan rukun suatu pernikahan yaitu adanya wali, dua orang saksi, calon mempelai baik laki-laki maupun perempuan dan juga sighat ijab qabul, baik juga kalua suatu pernikahan itu dapat diumumkan kepada
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM semua pihak sehingga pernikahan itu tidak dinyatakan rahasia atau tersembunyi dari masyarakat. Aspek pengumuman pernikahan menjadi penting karena isyarat kesepakatan ulama terhadap pernikahan yang dilakukan dengan cara sembunyi atau dirahasiakan, sehingga menjadi terang dalam masyarakat atas kehidupan seorang perempuan dan seorang laki-laki yang telah diikat oleh tali perkawinan. Meskipun demikian aspek mengumumkan pernikahan tidak termasuk dalam syarat ataupun rukun suatu pernikahan dan juga masih terjadi perbebatan pendapat di kalangan para ulama dalam memahami maksud dan tujuan dari mengumumkan pernikahan tersebut. Bagitu pula terhadap nikah siri yang merahasiakan proses pernikahan dengankata lain tidak diumumkan kepada masyarakat, karenanya nikah siri itu bermakna nikah yang dirahasiakan dan tidak berlangsung secara terangterangan. Meski pengumuman pernikahan itu tidak menjadi wajib namun penting untuk diumumkan karena jumhur ulama berpendapat bahwa pernikahan belum bisa dianggap terlaksana kecuali diumumkan secara terang-terangan, meskipun penyiarannya dilakukan dengan sarana yang lain. Mengumumkan pernikahan dapat menghindari suami isteri dari kemudharatan, sebaliknya pernikahan yang dilaksanakan secara rahasia atau tersebunyi akan menggiring masyarakat pada dugaan negatif. 4. Hukum Pencatatann Pernikahan Salah satu ayat al-Qur‘an yang dapat dijadikan sebagai sandaran untuk pencatatan adalah surat al-Baqarah, ayat 282, yang mengharuskan (kewajiban) melakukan pencatatan dalam aspek mu’amalah. Jika dikaji lebih dalam tidak hanya dalam hal mu’amalah semata yang berkaitan dengan perdagangan, hutang-piutang, jual beli atau yang lainnya
akan tetapilebih luas pada aspek hukum perdatanya, karenanya pernikahan merupakan salah aspek yang termasuk dalam kategori perdata. Pencatatan dimaksukkan disini adalah untuk menguatkan kesaksian suatu peristiwa perkawinan yang terbukti secara tertulis dalam suatu dokumen.Dengan adanya bukti yang tertulis maka statusnya lebih adil dan benar disisi Allah, juga disisi masyarakat serta dapat terhindar dari keragu-raguan. Secara ketentuan perundang-undangan, pencatatan nikah termuat dalam UndangUndang Nomor 1 tahun 1974 pada Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundangundangan yang berlaku. Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan kepada hukum, maka segala aktivitas yang bermuara kepada lahirnya akibat hukum harus didasarkan pada peraturan yang berlaku. Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Pasal 5 menyebutkan bahwa supaya peristiwa perkawinan itu menjadi tertib dan terjamin dalam masyarakat sudah seharusnya dilakukan pencatatan oleh pihak yang berwenang (petugas yang telah ditetapkan untuk itu). Suatu pernikahan itu sebaiknya diproyeksikan untuk mencegah mudharat yang terjadi bila pembinaan rumah tangga tidak dikelola dengan baik dan penuh tanggungjawab.Menghindari kerusakan jauh lebih utama dari memenuhi kemaslahatan, ini artinya suatu tindakan hukum tidak semata-mata hanya didsarkan pada usaha-usaha memenuhi kemaslahatan (kepentingan) saja tetapi jauh lebih penting bagaimana dapat terhindar dari danpak negatif perbuatan tersebut. Jika cermati bahwa nikah siri pada kenyataannya banyak menimbulkan kemudharatan sebaiknya dihindari, pernikahan tidaklah cukup hanya telah terjadi aqad secara lisan antara kedua
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
24
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM belah pihak (pihak mempelai laki-laki dan pihak mempelai perempuan)akan tetapi jauh lebih penting adalah mencatatkan aqad pernikahan agar dapat diperolehh bukti tertulis yang sah dan kuat secara hukum. Oleh karenanya pernikahan itu sebaiknya disertai pencatatan, di samping itu bagi ummat Islam diharuskan untuk selala tunduk dan patuh pada hukum yang telah dilahirkan oleh pemimpin yang dipercaya (pemerintah), karena Islam (alQur‘an) telah memerintahkan kita untuk patuh pada Allah, patuh pada Rasul dan juga pada pemimpin. Sejak zaman Rasulullah SAW, praktek pernikahan dalam masyarakat sepenuhnya bersifat “partikelir” tidak dicatatkan sama sekali dalam regitrasi Negara pada saat itu, dalam perjalannya juga hukum Islam memandang bahwa pencatatan itu tidak termasuk dalam syarat dan rukun pernikahan, sebab pencatatan nikah itu termasuk dalam wilayah keduniawian semata. Bagi warga Negara Indonesia aturan pencatatan tersebut telah diatur dalam bentuk peraturan perundangundangan baik UU No. 1 Tahun 1974 maupun KHI melalui Inpres No. 1 tahun 1991. Pada dasarnya tujuan dari pencatatan pernikahan adalah agar memperoleh bukti tertulis sehingga ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga Pancatan nikah (KUA) tentu seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa dijadikan sebagai alat bukti dihadapan Peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan maupun sengketa yang muncul akibat pernikahan. Secara filosofis institusi pencatatan perkawinan adalah untuk mewujudkan ketertiban dalam masyarakat dan memperoleh kepastian hukum.Pencatatan perkawinan merupakan bentuk baru dari pemahaman perintah Nabi SAW agar mengumumnkan nikah meskipun hanya memotong seekor kambing.Perintah
25
tersebut sebetulnya ditujukan kepada masyarakat kesukuan yang kecil dan tertutup dari pendudukan Hijaz tempo dulu, bagi mereka pesta memotong kambing sudah cukup sebagai pengumuman. Wajibnya pencatatan nikah tidak hanya diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan pedoman bagi ummat Islam di indonesia juga memberikan isyarat yang sama. Kedua hukum positif nasional tersebut tidak berbeda dengan hukum agama mengenai nikah yang tidak tercatat, jadi nikah yang tidak dicatatkan, di samping menyalahi aturan positif juga menyalahi hukum agama, sebaiknya pernikahan tersebut dicatatkan. D. Pelarangan Nikah Siri Pelarangan nikah siri ini merupakan rancangan yang diusulkan pemerintah melalui Undang-Undang Peradilan Agama, untuk memenuhi harapan pemerintah supaya lahirnya suatu peraturan yang memberikan ketegasan terhadap praktekpraktek pernikahan yang dilakukan diluar dari ketentuan agama dan UndangUndang.Wacana tentang pelarangan nikah siri yang dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama ternyata mendapat sambutan positif dari salah satu lembaga hukum yaitu Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, bahwa dalam konteks Indonesia saat ini, pernikahan siri itu harus dilarang oleh Undang-Undang untuk menjaga akibat buruk pada korbankorbannya, menurutnya pelarangan itu tidak melanggar agama. Te r k a i t d e n g a n R a n c a n g a n UU Peradilan Agama tersebut terdapat ketentuan pidana bagi pelaku nikah siri yang diancam dengan sanksi penjara maksimal 3 (tiga) bulan dan denda 5 (lima) juta rupiah, tidak hanya sampai disitu saja sanksi penjara tersebut juga dapat dikenakan pada orang yang mengawinkan
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM atau yang dikawinkan secara nikah siri, poligami maupun kawin kontrak (mut’ah). Ketentuan tersebut juga berlaku bagi penghulu atau bagi pegawai pencatat nikah yang mensahkan pernikahan siri tersebut, bagi mereka sanksi hukumannya adalah denda 6 (enam) juta dan penjara 1 (satu) tahun. Te n t a n g p e m b e r i a n s a n k s i terhadap pelaku nikah siri, beberapa elemena masyarakat yang mengemukan mengemukanperbedaan pendapatnya. Kalangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jakarta menyatakan perlu adanya sanksi pidana untuk pelaku nikah siri sehingga tidak ada pihak-pihak yang dirugikan karena perbuatan tersebut.Ma’ruf Amin sebagai Ketua MUI Jakarta menyebutkan bahwa jika Undang-Undang melarang nikah siri, maka kita wajib ikut dan taat melaksanakannya, beliau menambahkan alasan pelarangan nikah siri adalah hukum perkawinan sah jika cukup syarat dan rukunnya, tetapi bisa haram kalau menimbulkan pihak-pihak yang dirugikan ibu atau anak, maka dia haram, sah tetapi haram, tegasnya. Di dalam kitab-kitab Fikih tidak dikenal istilah nikah siri.Istilah ini hanya dikenal dan lebih popular secara lokal dalam hukum perkawinan Indonesia. Oleh karena itu tidak ditemukan definisi yang pasti dan disepakati oleh para ulama secar syar’i, dengan demikian tidak ada juga status hukumnya yang baku dan disepakati. Karena dalam kitab fikih dikatakan “hukum itu kepada yang diberi nama bukan kepada namanya”.Dalam konteks perkawinan, haram dan halalnya atau sah dan batalnya suatu perkawinan bukan karena namanya tetapi kepada tatacara dan praktek dari perkawinannya itu sendiri. Dalam konteks masyarakat Indonesia nikah siri sering dimaksudkan dalam tiga pengertian; Pertama: Perkawinan yang dilaksankan dengan sembunyi-
sembunyi, tanpa mengundang orang luar selain dari kedua keluarga mempelai, kemudian tidak mendaftarkannya pada Kantor Urusan Agama sehingga perkawinan mereka tidak mempunyai legalitas formal dalam perundang-undangan. Kedua: Perkawinan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh sepasang lakilaki dan perempuan tanpa diketahui kedua pihak keluarganya dengan kata lain tanpa adanya wali, boleh jadi pihak wali tidak setuju atau hanya karena menganggap abash pernikahan tanpa awali.Ketiga: pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri atau karena pertimbangan yang rumit sehingga memaksa seseorang untuk dirahasiakan. Sekalipun dalam rancangan Undang-Undang Peradilan Agama yang akan dilakukan revisi dengan memasukkan sanksi pidana bagi pelaku pernikahan siri, akan tetapi tidak dapat dihindari juga perbedaan pendapat dalam memahami pelaksanaan nikah siri tersebut. Bagi yang menyatakan bahwa nikah siri tetap sah secara syariat, mereka melihat dari aspek pernikahannya yang memenuhi syaratnya dan pelakunya tidak dapat dianggap telah melakukan tindak kemaksiatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia maupun di akhirat, ketika perbuatan tersebut dikategorikan “mengerjakan yang haram” atau “meninggalkan yang wajib” Ada hal yang positif dalam RUU Peradilan Agama ketika memasukkan sanksi pidana atau pelarangan pernikahan siri tersebut, yaitu dapat menghalangi orang untuk melakukan tindak perkawinan yang mengancam seseorang perempuan tidak mempunyai hak hukum dari suaminya. Misalnya hak waris dikemudian hari, jika keduanya terjadi perceraian baik secara hidup maupun cerai mati.Di samping itu RUU Peradilan Agama itu juga melindungi
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
26
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM anak terhadap kepastian hukum dari pernikahan orang tuanya. Dalam Peraturan Peraundangundangan Indonesia tidak dikenal dengan dengan nama nikah Siri, namun oleh UU menyebutkan nikah siri dalam pengertian bahwa nikah yang tidak didaftarkan atau nikahyang tidak ditatatkan di lembaga pencatatan nikah. Bagi orang yang melangsungkan pernikahannya dalam agama Islam maka pencatatan nikahnya dilakukan di KUA, sedangkan bagi orang yang melangsungkan nikahnya bukan dalam agama Islam maka pencatatan nikahnya dilakukan di Kantor Catatan Sipil. Dengannikah yang tidak tercatat teersebut oleh Peraturan Perundang-undangan Nasional memandang bahwa hal tersebut suatu pelanggaran yang patut diberikan sanksi pidana sebagai mana ditetapkan dalam Pasal 45, PP No. 9 Tahun 1975, yaitu: ayat (1), Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka : a. Barangsiapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat (3), 40Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah); b. Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selamalamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah). ayat (2), tindak pidana yang dimaksudkan dalam ayat (1)di atas merupakan pelanggaran. E. Kesimpulan 1. Nikah Siri adalah pernikahan yang
27
dilakukan oleh pihak wali perempuan dengan seorang laki-laki dan disaksikan oleh saksi yang dimintakan untuk itu. Nikah Siri dalam Peraturan Perundang-undangan tidak dikenal, hanya saja nikah siri dipahami dan dikenal di kalangan masyarakat Indonesia di abad ke 20 sekarang ini, oleh PP No. 9 Tahun 1975, pernikahan tersebut disebut dengan pernikahan tidak dilaporkan atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang bergama Islam atau Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama non muslim, karenanya nikah siri adalah nikah secara sembunyi-sembunyi atau nikah secara diam-diam, nikah seperti ini dapat diarti-samakan dengan nikah “di bawah tangan”. 2. Pelarang nikah siri tersebut secara syar’i (hukum agama) tidak dapat dilakukan karena nikah siri tersebut dapat terpenuhinya rukun dan syarat secara syara’, lagipula pelaksanaan nikah siri tersebut bukan perbuatan kemaksiatan atau criminal sehingga tidak dapat dipidanakan, akan tetapi pelarangan nikah siri dapat dilakukan melalui perundang-undangan sebagai mana yang telah ditetapkan dalam PP No. 9 Tahun 1975 pada Pasal 45 tentang Ketentuan Pidana dan juga melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menitikberatkan pada pencatatan nikah di lembaga/Kantor Urusan Agama. 3. Dalam Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama, oleh Pemerintah melalui Departemen Agama telah memasukkan unsur pidana penjara selama 3 bulan dan denda sebesar 5 juta, bagi yang melakukan nikah siri atau orang-orang yang terkait dengan pelaksanaan nikah siri tersebut, namun Rancangan Undang-Undang tersebut telah menimbulkan pro dan kontra terhadap unsur pidana
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM yang akan diberlakukan. Beberapa kalangan menilai bahwa tidak tepat memasukkan unsur pidana dalam RUU Peradilan Agama tersebut dengan alasan bahwa pelaksanaan nikah “siri” tersebut memungkinkan terpenuhi rukun dan syarat sesuai dengan syara’. Di samping itu pelaksanaan nikah siri bukan kriminalitas yang harus dipidanakan orangnnya. 4. Dalam pemikiran Hukum Islam Indonesia pelarangan nikah siri tersebut dimaksudkan agar terpelihara ketertiban administrasi dan legalitas dari segi peraturan perundangundangan yang berlaku. Di samping itu dapat menjaga kesewenang-wenang yang akan terjadi bagi perempuan dalam memperoleh hak-hanya dan hak anak-anaknya dari perkawinan jika kemudian terjadi perceraian. DAFTAR PUSTAKA Al-Qur‘an dan Terjemahan, Departemen Agama RI, Tahun 2000 Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, Cet. Ke 3, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2008
Cet. 1, Jakarta: Visimedia, 2007. R.B. Priyo Sembodo, Nikah Siri dalam tinjauan Psikososial, makalah disampaikan dalam seminar Nikah sirii dalam tinjauan Hukum Syar’i, Psikososial dan Hukum Positif, Yogyakarta, 2003. Ti h a m i d a n S o h a r i S a h r a n i , F i k i h Munakahat; Kajian Fikih Nikah lengkap, Cet. 1 Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009 Sayyid Sabiq, alih bahasa Mohd. Thalib, Fikih Sunnah, Jilid 6, Bandung: al-Ma’arif Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh al-Asratul Muslimah;Fikih Keluarga, terjemah M. Abdul Ghoffar, cet. 1, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001. Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah,pengantar Hasan al-Banna, Cet. 1, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Abdurrahman Partosantono, Qamus Dars al-Lughah al-‘Arabiyyah li al-Mudarisi al-‘aliyah, Jakarta: Dharma Bakti, 1982. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Cet. 1, Jakarta: Prenada Media, 2006 Eko Mardiono, Peraturan Nikah Siri akan kembali ke belakang, http// google.com/nikah siri/diakses pada tanggal 14 Oktober 2010
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
Happy Santoso, Nikah Siri Apa Untungnya,
28
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM HUKUMAN MATI DALAM PERPSEKTIF PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Bukhari, SH,I., MH Email:
[email protected] Abstract Capital punishment in fact for the kemaslahatan of people and for the shake of upholding justice. However, if analysed by a sound Section 28 A, and Section 28 I, UUD 1945, as cited by Luluk Widyawan sounding “ rights to live the, rights in order not to tortured by is human right which cannot be lessened in a state of any. hence capital punishment of it self in fact less precisely because inhuman and have impinged the human life rights. capital punishment represent the penalization form by eliminating somebody soul of because have been proven validly and assure to impinge the doing an injustice rule. Its target is to uphold the norm punish and intimidate the people in order not to do/conduct the collision which have been specified and become the fearful example of for every people to do/conduct the same collision. Capital punishment of according to criminal law for example making an opening for murder perpetrator to change, to improve;repairing attitude and behavioral and give a break to become the good human being. Applying conception the capital punishment aim to to give the effect discourage and make the others fear to do/conduct the activity which illegal later;then cause until to capital punishment. Keyword: Capital Punishment And legislation A. Latar Belakang Masalah Hampir semua referensi dalam pengertian hukum, hukuman mati merupakan salah satu bentuk sanksi pidana yang mengandung keseluruhan ketentuan dan larangan sekaligus memaksa si terhukum (Luluk Widyawan, 2005, 2) Berdasarkan kutipan ini dapat dipahami bahwa hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang diberlakukan kepada seseorang dengan membunuhnya karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana tertentu. Di negara-negara tertentu, hukuman mati masih diberlakukan untuk menumpas kejahatan dan salah satunya adalah di Indonesia. Hukuman mati bagi pelaku kejahatan tertentu tertuang di dalam Kitab Undang-undang dan Hukum Pidana (KUHP) yang terdapat dalam beberapa pasal sesuai dengan bentuk pidananya. Tindak pidana yang diancam hukuman mati menurut KUHP adalah: 1. Makar yang dilakukan untuk membunuh Kepala Negara, Pasal 104. 2. Mengajak negara asing guna
29
menyerang Indonesia, Pasal 111, ayat 2. 3. Memberi pertolongan kepada musuh sewaktu Indonesia dalam perang, Pasal 124, ayat 3. 4. M e m b u n u h K e p a l a N e g a r a sahabat, Pasal 140, ayat 4. 5. Pembunuhan berencana, Pasal 140, ayat 3 dan Pasal 340. 6. Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih yang menyebabkan adanya orang terluka berat atau mati, Pasal 365, ayat 4. 7. Pembajakan di laut, di pesisir, di pantai atau di kali yang menyebabkan ada orang mati, Pasal 444. 8. Dalam waktu perang menganjurkan huru-hara, pemberontakan dan sebagainya, Pasal 124 bis. 9. Dalam waktu perang, menipu menyampaikan keperluan angkatan perang, Pasal 127 dan 129. 10. Pemerasan dengan pemberatan,
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Pasal 358, ayat 2 R Soesilo, 1990, 36 ) Dapat diketahui bahwa barang orang yang melanggar salah satu pasal tersebut berarti telah melakukan tindak pidana, pelakunya akan dikenai ancaman hukuman mati. Hukuman mati terhadap pelaku kejahatan di atas dilakukan dengan cara ditembak sampai mati di suatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama. Ketentuan pelaksanaan hukuman mati ini sesuai dengan Perpres No. 2/1964 sebagai pengganti Pasal 11 KUHP. Hukuman mati bagi pelaku tindak pidana bukan hanya terdapat dalam hukum pidana, tetapi juga dalam hukum Islam yang dikenal dengan hukum jinayah. Ini artinya, Islam juga memberlakukan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana tertentu. Tindak pidana yang diancam hukuman mati dalam hukum jinayah adalah: perzinahan yang dilakukan orang yang sudah menikah ( Djazuli, 1996, 43 ) pemberontakan. murtad, dan pembunuhan dengan sengaja. Dari pemahaman di atas dapat diketahui bahwa tindak pidana yang dikenai ancaman hukuman mati dalam hukum jinayah ada empat yakni perzinahan yang dilakukan oleh orang yang telah menikah, pemberontakan terhadap negara yang adil, murtad atau keluar dari agama Islam dam pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja. Tatacara melaksanakan hukuman mati dalam hukum jinayah ini tergantung pada jenis pidana yang dilakukannya. Bagi pelaku perzinahan maka dihukum mati dengan cara dirajam, bagi pelaku pemberontakan dihukum mati oleh penguasa dengan cara yang berlaku dalam negara tersebut, bagi orang yang murtad dihukum mati dengan cara dipenggal, sedangkan bagi orang yang melakukan pembunuhan dengan sengaja maka dihukum mati dengan cara diqishah. Jika diperhatikan secara seksama
tentang hukuman mati antara hukum pidana dan hukum jinayah di atas, maka ditemui bahwa antara kedua terdapat persamaan dan juga perbedaan. Persamaan antara keduanya terletak pada ketentuan hukum mati bagi pelaku tindak pidana makar, pemberontakan, dan pembunuhan. Sedangkan perbedaannya terletak pada cakupan dari tindak pidana yang dikenai hukuman mati, menurut hukum jinayah zinah muhsan dan murtad tergolong sebagai tindak pidana yang akan dikenai ancaman, sedangkan menurut hukum pidana kedua hal tersebut tidak termasuk tindak pidana sehingga tidak dikenai ancaman. Hukuman mati baik menurut hukum pidana maupun hukum jinayah sebenarnya memiliki tujuan yang hakiki, yakni sebagai penghapusan dosa yang dilatarbelakangi pandangan religius, untuk menghapus kesalahan dengan penderitaan setimpal, untuk membuat jera pelaku kejahatan lain dan juga untuk melindungi kepentingan umum dan memperbaiki penjahat yang akan melakukan kejahatan. Muhammad Riza menambahkan bahwa tujuan dari hukuman mati adalah untuk melindungi masyarakat dari bahaya kejahatan, serta menciptakan keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat (Luluk Widyawan, 2005, 2 ) Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, maka dapat dipahami bahwa tujuan dari hukuman mati sebenarnya untuk kemaslahatan umat dan demi menegakkan keadilan. Akan tetapi, jika dianalisis bunyi Pasal 28 A, dan Pasal 28 I, UUD 1945, sebagaimana yang dikutip oleh Luluk Widyawan yang berbunyi “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”, (Luluk Widyawan, 2005, 2 ) maka hukuman mati itu sendiri sebenarnya kurang tepat karena tidak manusiawi dan telah melanggar hak hidup manusia.
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
30
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Mengingat setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa, maka pembatalan tuntutan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana khususnya pidana pembunuhan atas dasar pemaafan dari pihak penuntut menjadi solusi yang tepat. Sebab pemaafan dari penuntut telah menghafus kesalahan pelaku yang menyebabkan dirinya memperoleh kembali hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa. Akan tetapi yang menjadi persoalan, adakah konsep pemaafan bagi terdakwa dalam hukum pidana dan hukum Islam, jika ada bagaimana konsep pemaafan atas pelaku pembunuhan tersebut. Atas dasar persolan di atas maka penulis membahas mendalam guna mengetahui lebih jauh tentang ancaman hukuman mati baik menurut hukum pidana. Tulisan ini dilakukan melalui penelaahan terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana . Hasil tulisan ini dibuat dengan rangkuman judul “Hukuman Mati dalam perspektif perundang-undangan” B. Pertanyaan Jurnal Agar penulisan jurnal ini terbuat secara terarah, maka terlebih dahulu akan dirumuskan ke dalam pertanyaan Bagaimana konsep hukuman mati pandangan kitab undang-undang hukum pidana dengan tujuan penulisan jurnal ini adalah konsep hukuman mati dalam pandangan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Kegunaannya adalah memperkaya khazanah keilmuan dalam bidang hukum khususnya yang berkaitan dengan konsep pelaksanaan hukuman mati juga diharapkan berguna sebagai bahan masukan bagi penegak hukum di Indonesia dalam menegakkan hukum guna menghindari penghilangan nyawa seseorang. C. Aspek Teoritis Hukuman mati atau capital punishment berasal dari kata caput (bahasa
31
Latin). Kata ini dipakai orang Romawi untuk mengartikan kepala, hidup, hak masyarakat atau hak individu. Hukuman mati diartikan sebagai hukuman yang dijalankan dengan membunuh orang yang bersalah. Dalam pengertian hukum, hukuman mati merupakan salah satu bentuk sanksi pidana yang mengandung keseluruhan ketentuan dan larangan sekaligus memaksa si terhukum (Luluk Widyawan, 2005, 3 ) Istilah “Hukuman mati” terdiri dari dua suku kata, yaitu “Hukuman” dan “Mati”. Hukuman diartikan dengan siksa dan sebagainya yang diletakkan kepada orang yang melanggar Undang-undang dan sebagainya. Menurut Yan Pramadya Puspa, Hukuman adalah suatu keputusan yang dijatuhkan oleh Hakim pada akhir sidang Pengadilan dengan vonis kepada siapapun yang melanggar hukum pidana hukum tersebut oleh si pelanggarnya sebagai perasaan tidak enak. Lebih tegas R.Soesilo menyebutkan bahwa hukuman adalah suatu perasaan tidak enak (sensara) yang di jatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar Undang-undang pidana (Riza, 2009, 4 ) Dalam pengertian hukum, diketahui bahwa hukuman mati merupakan salah satu bentuk sanksi pidana yang mengandung keseluruhan ketentuanketentuan dan larangan-larangan sekaligus memaksa si terhukum. Sanksi ini bertujuan menegakkan norma hukum dan secara preventif akan membuat orang takut melakukan pelanggaran yang telah ditetapkan. Si terhukum pun menjadi contoh yang menakutkan bagi setiap orang untuk melakukan pelanggaran ( Naya, 2007, 41 ) Dalam Islam, salah satu bentuk hukuman mati dikenal dengan istilah rajam. Rajam adalah hukuman mati dengan cara dilempari batu. Cara menghukum seperti ini tidak dilakukan kecuali dalam
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM kasus yang sangat tercela dan hanya bila penerima hukuman benar-benar terbukti dengan meyakinkan melakukan sebuah larangan yang berat. Selain rajam, dikenal juga istilah qishash yang maksudnya memberlakukan orang sebagaimana orang tersebut memberlakukan orang lain ( Ahmat Sarwat, 2007, 12 ) Berdasarkan keterangan yang terdapat di dalam Ensiklopedi Hukum Islam, jinayah qishash adalah tindak pidana yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap jiwa atau anggota tubuh seseorang, yaitu membunuh atau melukai seseorang. Lebih jauh dijelaskan bahwa hukuman terhadap tindak pidana ini adalah qishash, yakni memberikan perlakuan yang sama kepada terpidana sesuai dengan tindak pidana yang dilakukannya. Dalam hukum Pidana, hukuman mati berlaku pada tindak pidana tertentu seperti makar yang dilakukan untuk membunuh Kepala Negara (Pasal 104), mengajak negara asing guna menyerang Indonesia (Pasal 111 ayat 2), memberi pertolongan kepada musuh sewaktu dalam perang (Pasal 124 ayat 3), membunuh Kepala Negara sahabat (Pasal 140 ayat 4), pembunuhan berencana (Pasal 140 ayat 3 dan Pasal 340), pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih yang menyebabkan adanya orang terluka berat atau mati (Pasal 365 ayat 4), pembajakan di laut, di pesisir, di pantai atau di kali yang menyebabkan ada orang mati (Pasal 444), dalam waktu perang menganjurkan huru-hara, pemberontakan dan sebagainya (Pasal 124 bis), atau menipu, menyampaikan keperluan angkatan perang (Pasal 127 dan 129), pemerasan dengan pemberatan (Pasal 358 ayat 2). Dalam hukum jinayah, hukuman mati hanya dikenakan kepada pelaku perzinahan yang dilakukan orang yang sudah menikah, pemberontakan, murtad dan pelaku pembunuhan dengan sengaja ( Djazuli, 1996, 110)
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa hukuman mati merupakan bentuk hukuman dengan cara menghilangkan nyawa seseorang karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar ketentuan tindak pidana. Tujuannya adalah untuk menegakkan norma hukum dan menakut-nakuti orang agar tidak melakukan pelanggaran yang telah ditetapkan dan menjadi contoh menakutkan bagi setiap orang untuk melakukan pelanggaran yang sama. Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio, hukuman ialah penderitaan atau adanya unsur yang menyakitkan, baik jiwa maupun badan. Bila ditelaah secara seksama, maka kutipan ini menunjukkan bahwa hukuman identik dengan penderitaan. Penderitaan dapat diartikan dengan kesusahan atau kesengsaraan yang dialami oleh seseorang. Selanjutnya, di dalam kutipan di atas juga dikatakan bahwa hukuman merupakan unsur yang menyakitkan. Unsur adalah bagian terkecil dari sesuatu, sedangkan menyakitkan merupakan kata yang mengandung makna menjadikan atau menyebabkan timbulnya rasa sakit. Bila kata unsur dan menyakitkan ini dikaitkan dengan perlakuan, maka unsur dalam batasan ini dapat diartikan dengan sesuatu yang menjadi hakikat dari perlakuan itu sendiri, sedangkan menyakitkan merupakan akibat dari perlakuan tersebut. Hukuman erat kaitannya dengan kedisiplinan, sebab hukuman itu sendiri berasal dari kata hukum yang berarti peraturan yang dibuat dan dirancang untuk mengikat perilaku setiap orang agar tercipta suatu kedisiplinan. Orang yang melanggar hukum dikenakan sanksi atas kesalahannya, sanksi yang diterima atas kesalahan inilah yang disebut dengan hukuman. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Subekti dan Tjitrosoedibio dalam uraian selanjutnya, bahwa hukuman merupakan “penderitaan
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
32
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh seseorang sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan, atau kesalahan” (Subekti dan Tjitrosoedibio, 1983, 45 ) Atau seperti yang dikemukakan oleh Poerwadarminta dengan mengatakan bahwa hukuman adalah “siksa dan sebagainya yang diletakkan kepada orang yang melanggar Undang-undang dan sebagainya” (Poerwadarminta, 2001, 71 ) Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukuman merupakan penderitaan atau perasaan tidak enak yang diberikan dengan sengaja kepada seseorang setelah yang bersangkutan melakukan suatu pelanggaran, kejahatan atau melakukan suatu kesalahan sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukannya. Penderitaan yang diberikan tersebut menimbulkan atau menyebabkan rasa sakit baik terhadap jiwa maupun raganya. Jika diperhatikan secara seksama, maka definisi di atas merupakan pengertian hukuman secara umum. Dikatakan umum karena pemberi derita atau penimbul perasaan tidak enak pada pelaku pelanggaran, kejahatan dan kesalahan tersebut dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan dan di mana saja. Boleh jadi dilakukan oleh guru kepada muridnya di sekolah atas suatu kesalahan, pelanggaran atau kejahatan yang telah dilakukan murid, atau dilakukan oleh orang tua kepada anaknya di rumah atas suatu kesalahan, pelanggaran dan kejahatan yang telah dilakukan anak. Untuk memberikan deskripsi tentang pengertian hukuman secara lebih khusus, maka berikut akan dianalisis berdasarkan pandangan para pakar. Dalam hal ini, Soesilo seperti yang dikutip oleh Riza memberikan batasan bahwa hukuman adalah “suatu perasaan tidak enak (sensara) yang di jatuhkan oleh hakim dengan vonis”. Definisi yang hampir sama juga dikemukakan oleh Pramadya dengan mengatakan bahwa hukuman adalah “suatu keputusan yang dijatuhkan oleh hakim
33
pada akhir sidang pengadilan dengan vonis kepada siapapun yang melanggar hukum pidana, hukum tersebut oleh si pelanggarnya sebagai perasaan tidak enak”. Dengan menelaah kedua kutipan di atas, maka antara pendapat pertama dengan pendapat kedua ditemui adanya satu kesamaan yang mengatakan bahwa hukuman merupakan suatu vonis bagi pelaku tindak pidana, dijatuhkan oleh hakim pada akhir sidang pengadilan, dan vonis tersebut menimbulkan derita atau perasaan tidak enak bagi penerimanya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hukuman merupakan suatu vonis yang dijatuhkan oleh hakim pada akhir sidang pengadilan bagi pelaku tindak pidana yang menimbulkan derita atau perasaan tidak enak bagi yang menerimanya. Jika hukuman merupakan suatu vonis yang dijatuhkan oleh hakim bagi pelaku tindak pidana pada akhir sidang pengadilan yang menimbulkan derita atau perasaan tidak enak bagi yang menerimanya, maka hukuman mati dapat diartikan dengan vonis yang dijatuhkan oleh hakim bagi pelaku tindak pidana pada akhir sidang pengadilan yang menyebabkan penerima vonis harus menghadapi kematian. Definisi ini tentunya masih jauh dari pengertian hukuman mati yang sebenarnya, sebab hanya didasarkan kepada pengertian hukuman seperti yang telah diuraikan sebelumnya dan juga didasarkan kepada analisis penulis setelah merangkai kata hukuman dengan kata mati itu sendiri. Untuk memberikan deskripsi tentang pengertian hukuman mati secara lebih rinci, berikut akan dianalisis berdasarkan pandangan para pakar. Menurut Luluk Widyaman, hukuman mati atau capital punishment berasal dari kata caput (bahasa Latin) yang dipakai orang Romawi untuk mengartikan kepala,
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM hidup, hak masyarakat atau hak individu. Hukuman mati diartikan sebagai hukuman yang dijalankan dengan membunuh orang yang bersalah. Dalam pengertian hukum, hukuman mati merupakan salah satu bentuk sanksi pidana yang mengandung keseluruhan ketentuan dan larangan sekaligus memaksa si terhukum. Penjelasan yang hampir sama juga dikemukakan oleh Naya dengan mengatakan bahwa dalam pengertian hukum, diketahui bahwa hukuman mati merupakan salah satu bentuk sanksi pidana yang mengandung keseluruhan ketentuan-ketentuan dan larangan-larangan sekaligus memaksa si terhukum. Sanksi ini bertujuan menegakkan norma hukum dan secara preventif akan membuat orang takut melakukan pelanggaran yang telah ditetapkan. Si terhukum pun menjadi contoh yang menakutkan bagi setiap orang untuk melakukan pelanggaran (Luluk Widyawan, 2005, 42 ) Berdasarkan kedua kutipan di atas dapat dipahami bahwa hukuman mati ditinjau dari pengertian hukum merupakan salah satu bentuk sanksi pidana dengan membunuh hingga mati pelaku tindak pidana. Dalam hukuman mati berlaku keseluruhan ketentuanketentuan dan larangan-larangan sekaligus memaksa si terhukum, ini artinya pelaksanaan hukuman mati harus mencakup keseluruhan kriteria yang telah ditetapkan dan sekaligus memaksa terpidana untuk menerimanya baik dalam keadaan tidak suka. Dalam perspektif Islam, hukuman mati dikenal dengan istilah rajam. Hukuman rajam adalah hukuman mati yang diyariatkan Allah SWT kepada umat manusia yang melanggar ketentuan-Nya dengan cara dilempari batu. Cara menghukum seperti ini tidak dilakukan kecuali dalam kasus yang sangat tercela dan hanya bila penerima hukuman benarbenar terbukti dengan teramat meyakinkan melakukan sebuah larangan yang berat( Ahmad Sarwat, 2007, 1) Selain rajam, hukuman mati dalam
perspektif Islam juga dikenal dengan istilah qishash. Makna asalnya adalah mengikuti jejak, secara syara’ diartikan dengan memberlakukan seseorang sebagaimana orang tersebut memberlakukan orang lain ( Muhammad Amin Suma dkk, 2001, 1990 ) Ini berarti, pembunuh yang membunuh korbannya dengan sengaja maka dapat dijatuhi hukuman mati dengan cara membunuhnya juga. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukuman mati merupakan salah satu vonis yang ditetapkan oleh hakim pada akhir sidang pengadilan kepada pelaku tindak pidana dengan cara membunuhnya hingga mati dengan memberlakukan seluruh ketentuan dan larangan sekaligus memaksa terpidana untuk menerimanya. Dalam perspektif Islam, hukuman mati dikenal dengan istilah rajam yang berlaku bagi pelaku zina muhshan dengan cara dilempari batu hingga mati atau qishash yang berlaku bagi pelaku pembunuhan dengan cara membunuhnya juga. 1.
Tujuan Pelaksanaan Hukuman Mati Pada pengertian secara umum sebelumnya telah dijelaskan bahwa hukuman merupakan penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja kepada seseorang setelah terbukti melakukan suatu pelanggaran, kejahatan, atau kesalahan. Jika dianalisis secara seksama, maka di dalam rumusan ini terdapat dua ketentuan yang melalui kedua ketentuan tersebut dapat diketahui tujuan dari pelaksanaan suatu hukuman. Ketentuan pertama bahwa penderitaan yang diterima oleh pelaku pelanggaran, kejahatan atau pembuat kesalahan tersebut diberikan “dengan sengaja”. Adanya unsur kesengajaan
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
34
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM ini menunjukkan bahwa pemberian derita tersebut memiliki maksud dan tujuan tertentu. Jika penderitaan yang diterima oleh seseorang bukan karena disengaja, maka hal ini tentunya tidak memiliki maksud atau tujuan dan dengan sendirinya tidak dapat dikategorikan sebagai hukuman. Seperti lutut anak kecil yang terluka akibat terjatuh saat berlari. Ketentuan kedua bahwa penderitaan yang diberikan “sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan atau kesalahan”, ini berarti pemberian derita tersebut memiliki hubungan sebabakibat dengan pelanggaran, kejahatan atau kesalahan. Adanya hubungan sebab-akibat ini menunjukkan bahwa derita yang diberikan sebagai akibat dari kejahatan, kesalahan atau pelanggaran terhadap suatu peraturan, baik peraturan yang disepakati oleh suatu kelompok maupun yang berlaku secara umum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jika dihubungkan antara ketentuan pertama dengan ketentuan kedua, yakni disengaja setelah terjadi pelanggaran, kejahatan atau kesalahan, maka pemberian hukuman itu sendiri sebenarnya memiliki maksud dan tujuan tertentu. Tujuan dari suatu hukuman tentunya tidak terlepas dari tujuan ditetapkannya suatu peraturan. Namun demikian, setiap hukuman sekurangkurangnya bertujuan untuk mencegah agar tidak terjadi pelanggaran terhadap peraturan yang telah disepakati sehingga kehidupan manusia lebih manusiawi, atau seperti yang dikemukakan Riza bahwa hukuman bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya kejahatan, serta menciptakan keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat. Tujuan dari pelaksanaan hukuman mati tentunya juga tidak terlepas dari tujuan ditetapkannya suatu peraturan yang mengharuskan seseorang dihukum
35
mati jika melanggarnya. Jika dianalisis kembali pernyataan Naya sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, maka hukuman mati pada hakikatnya bertujuan untuk menegakkan norma hukum dan secara preventif akan membuat orang takut melakukan pelanggaran yang telah ditetapkan. Berdasarkan pandangan Luluk Widyawan, dalam pelaksanaan hukuman mati pada dasarnya terkandung beberapa tujuan. Di antaranya adalah: a. Pembalasan yang lebih menonjol dalam masyarakat primitif. b. Penghapusan dosa yang dilatarbelakangi pandangan religius untuk menghapus kesalahan dengan penderitaan setimpal. c. Membuat jera pelaku kejahatan lain. d. Melindungi kepentingan umum. e. Memperbaiki penjahat yang akan melakukan kejahatan (. Luluk Widyawan, 2005, 12 ) Dengan menelaah kutipan di atas dapat diketahui bahwa pelaksanaan hukuman mati memiliki beberapa tujuan. Jika diperhatikan satu-persatu, maka tujuan-tujuan yang dikemukakan di atas sebenarnya mewakili berbagai sudut pandang. Dalam pandangan masyarakat primitif, hukuman mati merupakan bentuk pembalasan atas kematian salah satu anggota keluarganya. Hukuman mati dipandang lebih setimpal dan lebih tepat dari pada bentuk hukuman yang lain. Sedangkan dalam pandangan hukum, hukuman mati itu sendiri merupakan bentuk hukuman untuk membuat jera pelaku kejahatan yang lain, melindungi kepentingan umum dan memperbaiki perilaku penjahat yang hendak melakukan kejahatan yang serupa. Di samping itu, hukuman mati tentunya juga bertujuan untuk melindungi masyarakat, menegakkan keadilan dan untuk menertibkan kehidupan komunitas masyarakat.
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan hukuman mati memiliki beberapa tujuan. Di antaranya adalah untuk menegakkan hokum, untuk menjadikan orang takut melakukan pelanggaran, untuk menjadikan terpidana sebagai contoh yang menakutkan bagi setiap pelaku pelanggaran, untuk membuat jera pelaku kejahatan, untuk melindungi kepentingan umum, memperbaiki perilaku penjahat, untuk melindungi masyarakat, menegakkan keadilan dan untuk menertibkan kehidupan komunitas masyarakat. D. Hakikat Hukum Pidana Menurut Mohammad Daud Ali, hukum adalah patokan, tolok ukur atau kaidah mengenai perbuatan manusia. Pengertian ini dapat diketahui berdasarkan batasan pengertian hukum yang dikemukakannya dalam kutipan berikut: 1. Pengertian Hukum Pidana Perkataan hukum yang kita pergunakan sekarang dalam bahasa Indonesia berasal dari kata hukm (tanpa u antara huruf k dan m) dalam bahasa Arab. Artinya norma atau kaidah yakni ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda. Hubungan antara perkataan hukum dalam bahasa Indonesia tersebut di atas dengan hukm dalam pengertian norma dalam bahasa Arab itu, memang erat sekali, sebab, setiap pengaturan, apapun macam dan sumbernya mengandung norma atau kaidah sebagai intinya (Mohammad Daud Ali, 1990) Perdasarkan pengertian hukum di atas, maka secara sederhana hukum pidana dapat diartikan dengan patokan, ukuran atau kaidah-kaidah mengenai perbuatan yang dipidana, atau aturan tentang tindakan kejahatan. Wirjono Prodjodikoro seperti yang dikutip Soesilo
menjelaskan bahwa hukum pidana adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat bentuk-bentuk perbuatan yang tergolong ke dalam tindak kejahatan” Selanjutnya, Subekti dan Tjitrosoedibio memberikan batasan bahwa hukum pidana adalah keseluruhan dari pada ketentuanketentuan hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang ( Subekti dan Tjitrosoedibio, 1983, 45 ). Batasan ini tidak jauh berbeda dengan batasan sebelumnya yang juga mengatakan bahwa hukum pidana adalah rangkaian atau ketentuan yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum pidana adalah hukum yang berkaitan dengan perbuatanperbuatan yang dilarang, atau rangkaian peraturan yang mengikat perilaku seseorang dari perbuatan-perbuatan yang dilarang dan yang digolongkan ke dalam tindakan kejahatan. 2. Tujuan Hukum Pidana Pada hakikatnya, segala bentuk hukum yang direalisasikan bagi anggota masyarakat sebenarnya memiliki tujuantujuan yang spesifik sesuai dengan bentuk dan subtansi dari hukum itu sendiri. Hukum pidana sebagaimana yang disimpulkan di atas adalah hukum yang mengatur tentang bentuk-bentuk perbuatan yang dilarang, atau rangkaian peraturan yang mengikat perilaku dari segala bentuk tindakan kejahatan. Bila hukum pidana adalah hukum yang mengatur dan mengikat perilaku seseorang dari segala bentuk tindak kejahatan, maka penetapan hukum pidana sebagai hukum yang mengatur tentang bentuk-bentuk perbuatan yang dilarang bertujuan agar setiap individu dapat mengenal, memahami dan menghindari segala bentuk perbuatan yang telah dilarang secara hukum. Bagi yang tidak menjalankannya maka akan dikenai konsekuensi berupa hukuman
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
36
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM sesuai dengan bentuk tindak kejahatan yang dilakukannya. Tujuan hukum pidana sebagaimana disebutkan di atas merupakan tujuan umum yang hanya didasarkan kepada analisis penulis terhadap pengertian hukum dan pengertian hukum pidana seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Tentu tujuan ini belum dapat dikatakan sebagai tujuan hukum pidana yang sebenarnya karena tidak didasarkan kepada pandangan para ahli. Untuk mengetahui tujuan hokum pidana yang sesungguhnya, maka berikut di bawah ini akan diuraikan beberapa pendapat para pakar. Menurut Soesilo, tujuan hukum pidana adalah untuk mendapatkan penentuan bagaimanakah hukumnya sesuatu kasus, yaitu bagaimanakah hubungan hukum antara dua pihak yang berperkara itu yang sebenarnya dan seharusnya dan agar segala apa yang ditetapkan oleh pengadilan itu direalisir, kalau perlu dengan pelaksanaan (eksekusi) paksa. Dengan demikian, hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh hukum yang diputuskan atau ditetapkan oleh Pengadilan itu dapat jalan atau diwujudkan. Jika diperhatikan rumusan yang terdapat dalam kutipan di atas, dapat dipahami bahwa tujuan pokok dari hukum pidana adalah untuk menetapkan status hukum atas suatu perkara atau untuk mendapatkan kepastian hukum atas suatu tindakan yang terlarang. Dengan adanya putusan pengadilan, maka status pelaku tindak pidana dapat diketahui secara pasti, apakah ditetapkan bersalah atau tidak, apakah dikenai sanksi pidana atau sekedar peringatan. Sudikno Mertokusumo seperti yang dikutip oleh Naya, memberikan penjelasan bahwa tujuan dari hukum pidana adalah “kepastian hukum dan keadilan hukum”. Tujuan hukum pidana ini sama dengan
37
tujuan-tujuan sebelumnya, hanya saja penjabarannya tidak seluas sebelumnya dan yang dikemukakan hanya subtansi dari tujuan hukum pidana itu sendiri. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari diundangkannya hukum pidana adalah untuk mengatur dan mengikat perbuatan manusia sehingga tidak melakukan tindak kejahatan yang dapat merugikan diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Di samping itu, untuk menetapkan kepastian hukum dan keadilan hukum atas suatu tindak kejahatan yang telah diperbuat oleh seseorang atau sekolompok orang. 3. Sumber dan Asas-asas Hukum Pidana a). Sumber hukum pidana Menurut Soesilo, sumber hukum pidana di Indonesia adalah kemauan pembentuk undang-undang di negeri Belanda di masa lalu. Sumber hukum pidana ini didasarkan Soesilo kepada sejarah keberadaan hukum formal di Indonesia yang pada awalnya dibawa oleh bangsa Belanda sewaktu berdagang di nusantara. Hukum ini mula-mula hanya berlaku bagi orang-orang Belanda dan Eropa yang ada di Indonesia, tetapi melalui berbagai upaya peraturan perundangundangan hukum Barat itu dinyatakan berlaku bagi orang-orang Indonesia Naya, 2007, 3 ) Selanjutnya, Soesilo menjelaskan bahwa dalam perkembangannya hukum pidana Indonesia mengalami banyak perubahan dan sumbernya tidak lagi berpusat pada hukum pidana yang dibawa oleh bangsa Belanda. Secara garis besar sumber hukum pidana ini dapat ditinjau dari tiga sisi, yakni sumber pengenal, sumber isi dan sumber pengikat. Sumber pengenal hukum pidana Indonesia adalah segala peraturan perundang-undangan sejak zaman kolonial
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM dahulu beserta segala perubahannya yang dinyatakan dalam staatsblad atau lembaran negara. Sumber isi hukum pidana Indonesia adalah kemauan pembentuk undangundang di negeri Belanda di masa lalu. Sedangkan sumber pengikat hukum pidana Indonesia adalah kekuasaan negara yang membentuk undang-undang itu dahulu yang melalui aturan peralihan Undangundang Dasar dan kini dilanjutkan oleh alat kekuasaan Negara Republik Indonesia. b). Asas-asas hukum pidana Menurut Bambang Poernomo, secara umum asas-asas dalam hukum pidana ada tiga, yakni asas legalitas, asas nasionalitas dan asas territorialitas atau wilayah. Secara rinci uraian dari ketiga asas tersebut adalah sebagai berikut: 1) Asas legalitas Syarat pertama untuk menindak terhadap suatu perbuatan yang tercela, yaitu adanya suatu ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan perbuatan yang tercela itu dan memberikan suatu sanksi kepadanya. Syarat tersebut bersumber pada asas legalitas. Pada hakekatnya, azas legalitas yang menghendaki adanya suatu peraturan pidana dalam perundang-undang yang ada sebelum perbuatan itu dilakukan dengan tidak mengurangi berlakunya hukum adat pidana yang menetapkan suatu perbuatan itu sebagai suatu tindak pidana. Asas Legalitas mensyaratkan terikatnya hakim pada undang-undang, juga disyaratkan agar acara pidana dijalankan menurut cara yang telah diatur dalam undang-undang. Hal ini dicantumkan dalam pasal 3 KUHP (pasal 1), pasangan dari pasal 1 ayat 1 KUHP. Pasal 1 KUHP menjelaskan bahwa: - Suatu perbuatan dapat dipidana kalau termasuk ketentuan pidana menurut undang-undang. Ketentuan pidana itu harus lebih dahulu dari perbuatan itu; dengan
kata lain, ketentuan pidana itu harus sudah berlaku ketika perbuatan itu dilakukan. Asas Legalitas mengandung tiga perngertian, yaitu: 1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. 2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas). 3) Aturan-aturan pidana tidak berlaku surut. Berlakunya asas legalitas memberikan sifat perlindungan kepada undang-undang pidana, undang-undang pidana melindungi rakyat terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah ini dinamakan fungsi melindungi dari undang-undang pidana juga mempunyai fungsi instrumental. Dengan mengutip pendapat Roeslan Saleh, Bambang Poernomo mengatakan bahwa asas legalitas mempunyai tiga dimensi, yakni: a) Dimensi politik hukum. Artinya politik hukum disyaratkan ini adalah perlindungan terhadap anggota masyarakat dari tindakan sewenangwenang pihak pemerintah. b) Dimensi politik kriminal. Bahwa suatu rumusan undang-undang yang jelas dan tidak menimbulkan keraguraguan tentang kejahatan-kejahatan dan pidana-pidananya akan dapat melakukan fungsi politik kriminal yang baik. Suatu penerapan yang tegas dari asas legalitas akan memungkinkan warga masyarakat “untuk menilai semua akibat merugikan yang ditimbulkan oleh dilakukannya suatu perbuatan pidana, dan ini dapat dipertimbangkannya sendiri dengan tepat”. c) Dimensi organisasi. Asas legalitas dikaitkan dengan peradilan pidana mengharapkan lebih banyak lagi daripada hanya akan melindungi warga masyarakat dari kesewenang-
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
38
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM wenangan pemerintah (Bambang Poernomo, 1982, 27) 2) Asas nasionalitas Asas Nasionalitas terbagi menjadi dua: a) Asas nasionalitas aktif Asas ini bertumpu pada kewarganegaraan pembuat delik. Hukum pidana Indonesia mengikuti warga negaranya kemanapun ia berada. Asas ini menentukan bahwa berlakunya undangundang hukum pidana suatu negara disandarkan pada kewarganegaraan nasionalitas seseorang yang melakukan suatu perbuatan, dan tidak pada tempatnya di mana perbutan dilakukan. Ini berarti, bahwa undang-undang hukum pidana hanya dapat diperlakukan terhadap seseorang warga negara yang melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang dan dalam pada itu tidak menjadi persoalan di mana perbuatan itu dilakukannya di luar negara asalnya, undang-undang hukum pidana itu tetap berlaku pada dirinya. Inti asas ini tercantum dalam pasal 5 KUHP yang berbunyi: “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan republik Indonesia berlaku bagi warganegara Indonesia yang melakukan di luar wilayah Indonesia”. b) Asas nasionalitas pasif Asas ini menentukan bahwa hukum pidana suatu negara (juga Indonesia) berlaku terhadap perbuatanpebuatan yang dilakukan di luar negeri, jika karena itu kepentingan tertentu terutama kepentingan negara dilanggar di luar wilayah kekuasaan negara itu. Asas ini tercantum dala pasal 4 ayat 1, 2 dan 4 KUHP, kemudian diperluas dengan undangundang Nomor 4 tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan. Di sini yang dilindungi bukanlah kepentingan individu orang Indonesia, tetapi kepentingan nasional atau kepentingan umum yang lebih luas. Jika orang Indonesia menjadi
39
korban delik di wilayah negara lain, yang dilakukan oleh orang asing, maka hukum pidana Indonesia tidak berlaku. Diberi kepercayaan kepada setiap negara untuk menegakkan hukum di wilayahnya sendiri. Berlakunya undang-undang hukum pidana dari suatu negara menurut asas ini disandarkan kepada kepentingan hukum (Rechtbelang). Dengan demikian, apabila kepentingan hukum dari suatu negara yang menganut asas ini dilanggar oleh seseorang, baik oleh warga negara ataupun oleh orang asing, baik pelanggaran yang dilakukukan di luar maupun di dalam negara yang menganut asas tadi, maka Undang-undang hak pidana negara itu dapat diperlakukan terhadap si pelanggar. 3) Asas territorialitas atau wilayah Pertama-tama dilihat bahwa hukum piadana suatu negara berlaku di wilayah negara itu sendiri, ini merupakan yang paling pokok dan juga asas yang paling tua. Asas wilayah ini menunjukkan bahwa siapapun yang melakukan delik di wilayah negara tempat berlakunya hukum pidana, tunduk pada hukum pidana itu. Dapat dikatakan semua negara menganut asas ini, termasuk Indonesia. Yang menjadi patokan ialah tempat atau wilayah, sedangkan orangnya tidak dipersoalkan. Pasal 2 KUHP mengandung asas territorialitas, yang menyatakan aturan pidana (Wettelijke Strafbepalingen) dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam wilayah Indonesia. Asas territorialitas berarti undang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di dalam wilayah Negara, yang dilakukan oleh setiap orang, baik sebagai warga negara maupun orang asing. Menurut pasal ini berlakunya undang-undang hukum pidana dititikberatkan pada tempat berbuatan di wilayah negara Indonesia dan tidak disyaratkan bahwa si pembuat harus berada di dalam
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM wilayah, tetepi cukup dengan bersalah dengan melakukan perbutan pidana yang “terjadi” di dalam wilayah negara Indonesia. Asas territorialitas mempunyai dasar logika sebagi perwujudan atas kedaulatan negara untuk mempertahankan ketertiban hukum di dalam wilayah negara, dan kepada siapa saja yang melakukan perbuatan pidana berarti orang itu melanggar ketertiban hukum itu. Dapat dikatakan pula bahwa asas territorialitas untuk berlakunya undang-undang hukum pidana merupakan asas yang prinsip sebagai dasar utama kedaulatan hukum, sedangkan asas-asas yang lain dipandang sebagai pengecualian yang bermanfaat perluasannya. E. Pembahasan 1. Pelaksanaan Hukuman Mati menurut Hukum Pidana Pelaksanaan hukuman mati menurut hukum pidana diatur dalam UU No. 2/Pnps/1964 tentang Tatacara Pelaksanaan Pidana Mati. Jika dianalisis pasal demi pasal bunyi dari UU No. 2/ Pnps/1964 tentang Pelaksanaan Pidana Mati sebagaimana yang terdapat pada lampiran, maka tatacara pelaksanaan hukuman mati tersebut telah tersusun secara sistematis mulai dari tempat, alat, pelaksana, cara melaksanakan hingga ke proses penguburan. Namun demikian, keseluruhan tatacara pelaksanaan hukuman mati tersebut sebenarnya dapat dibagi kepada dua tahap, yakni tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Secara rinci, uraian dari tahap-tahap yang dimaksud adalah sebagai berikut: a. Tahap persiapan Pidana mati dilaksanakan di suatu tempat di daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama (Pengadilan Negeri), dilaksanakan tidak di muka umum (oleh karena itu tidak boleh diliput media) dan dengan cara sesederhana mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden. Pidana mati yang
dijatuhkan atas beberapa orang di dalam satu putusan perkara, dilaksanakan secara serempak pada waktu dan tempat yang sama, kecuali ditentukan lain. Dengan masukan dari Jaksa, Kapolda di mana Pengadilan Negeri tersebut berada menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati Untuk pelaksanaan pidana mati, Kapolda membentuk sebuah regu Penembak yang terdiri dari seorang Bintara, dua belas orang Tamtama dan dipimpinan seorang Perwira, semuanya dari Brigade Mobile (Brimob). Selama pelaksanaan pidana mati mereka di bawah perintah Jaksa. Menunggu pelaksanaan pidana mati, terpidana di tahan dalam penjara atau tempat lain yang ditunjuk oleh Jaksa. Tiga kali 24 jam sebelum pelaksanaan pidana mati, Jaksa memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana mati tersebut. Apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu (keinginan/ pesan terakhir), maka dapat disampaikan kepada Jaksa tersebut. Bagi terpidana hamil, pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan 40 hari setelah melahirkan. b. Tahap pelaksanaan Terpidana dibawa ke tempat eksekusi dengan pengawalan polisi yang cukup. Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani. Terpidana berpakaian sederhana dan tertib, biasanya dengan pakaian yang sudah disediakan. Setibanya di tempat pelaksanaan eksekusi, Komandan pengawal menutup mata terpidana dengan sehelai kain, kecuali jika terpidana tidak menghendakinya. Te r p i d a n a d a p a t m e n j a l a n i pidananya dengan berdiri, duduk atau berlutut. Jika dipandang perlu, terpidana dapat diikat tangan serta kakinya ataupun diikat kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu. Misalnya diikat pada tiang atau kursi. Setelah terpidana berada dalam
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
40
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM posisinya, maka Regu Penembak dengan senjata sudah terisi menuju ke tempat yang ditentukan. Jarak antara terpidana dengan Regu Penembak antara 5 sampai 10 meter. Apabila semua persiapan telah selesai, maka Jaksa memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati. Dengan menggunakan pedangnya sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberikan perintah supaya bersiap, dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan regunya untuk membidik terpidana tepat pada jantungnya dan dengan menyentakkan pedangnya ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak. Apabila masih terlihat tanda-tanda kehidupan, maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk menembak terpidana menggunakan pistol tepat di atas telinganya. Kemudian dokter memeriksa terpidana untuk memastikan kematiannya. Dalam hukum pidana, tindak pidana yang diancam hukuman mati terdiri dari sepuluh kejahatan seperti yang telah dirinci pada bab satu sebelumnya, yakni makar yang dilakukan untuk membunuh Kepala Negara, mengajak negara asing guna menyerang Indonesia dan seterusnya hingga ke tindak pidana menganjurkan pemberontakan ketika Indonesia dalam perang. Jika seseorang atau berkelompok melakukan tindakan ini, maka pemerintah melalui Kejaksaan Tinggi akan memutuskan apakah pelakunya dihukum mati atau diganti dengan hukuman lain. Te r p i d a n a m a t i y a n g t e l a h memperoleh kekuatan hukum tetap dapat mengajukan permohonan grasi kepada presiden (Pasal 2 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002) dan presiden memiliki hak penuh untuk mengabulkan atau menolak permohonan tersebut (Pasal 4). Apabila presiden memberikan pengampunan dan mengganti hukuman tersebut dengan hukuman yang lain, berarti presiden telah
41
memberikan pelajaran dan pengalaman berarti bagi terpidana hukuman mati itu sendiri. Sebab terpidana yang semestinya dihukum mati dan telah bersiap-siap untuk kehilangan nyawanya, ternyata mendapat kesempatan untuk hidup setelah diampuni presiden. Tentu ini akan menjadi pelajaran dan pengalaman yang luar biasa bagi terpidana dan akan diingat sepanjang hidupnya. Pengampunan yang diberikan oleh presiden dapat mempengaruhi jiwa pelaku pembunuhnya. Manakala pelaku pembunuhan terhindar dari hukuman mati setelah diampuni, maka pelakunya akan menyadari betapa mulianya presiden dan betapa besar kedudukannya di mata pelaku pembunuhan itu sendiri. Sehingga dengan sendirinya pelaku pembunuhan akan menyadari kejahatan yang dilakukannya, menyesali perbuatannya dan berusaha memperbaiki sikap dan perilakunya terhadap semua manusia. Intinya, kata pengampunan dari presiden dapat membentuk sikap, perilaku dan kepribadian yang mulia pada diri terdakwa. Ditinjau dari teori pemberian hukuman, maka fungsi dimaafkannya kejahatan yang telah diperbuat oleh terpidana adalah untuk memperbaiki diri terpidana sendiri. Sebab dalam pemberian hukuman dikenal teori perbaikan, kata perbaikan berarti mengurangi frekuensi yang tergolong jahat sehingga yang bersangkutan tidak lagi memiliki sifat-sifat tersebut. Maksud pemberian hukuman di dalam teori ini adalah untuk memperbaiki si pelanggar agar jangan berbuat kesalahan yang sama pada waktu yang berbeda. Berdasarkan pernyataan ini, maka pemberian hukuman pada dasarnya bertujuan untuk memperbaiki perilaku seseorang yang dianggap menyimpang sehingga perilaku tersebut tidak terulang di lain waktu. Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No.
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM 22 Tahun 2002 Tentang Grasi, konsep pengampunan bagi terpidana mati diawali dengan pengajuan permohonan grasi oleh terpidana, keluarga atau oleh kuasa hukumnya kepada presiden setelah terpidana memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 2, ayat 1). Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi terpidana setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung (Pasal 4, ayat1). Pemberian grasi oleh Presiden dapat berupa peringanan atau perubahan jenis pidana, pengurangan jumlah pidana atau penghapusan pidana (Pasal 4, ayat 2). Hak mengajukan grasi diberitahukan oleh hakim atau hakim ketua yang memutus perkara tingkat pertama kepada terpidana (Pasal 5, ayat 1). Permohonan grasi diajukan secara tertulis oleh terpidana, keluarga atau kuasa hukumnya kepada Presiden (Pasal 8, ayat 1) melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana (Pasal 8, ayat 3). Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (Pasal 11, ayat 1). Bagi terpidana mati yang mengajukan permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana (Pasal 13) F. Kesimpulan 1. Hukuman mati menurut hukum pidana antara lain memberi kesempatan kepada pelaku pembunuhan untuk berubah, memperbaiki sikap dan perilaku dan memberi kesempatan untuk menjadi manusia yang baik. 2. Penerapan konsep hukuman mati bertujuan untuk memberikan efek jera dan membuat orang lain
takut untuk melakukan kegiatan yang bertentangan dengan hukum kemudian berakibat sampai kepada hukuman mati. Daftar Pustaka A. Djazuli, Fiqh Jinayah, (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Cet. I, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996 A. Luluk Widyawan, Mempersoalkan Hukuman Mati, Google, (Online), 2005, http://lulukwidyawanpr. blogspot.com, diakses pada tanggal 28 Oktober 2009. Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Cet. 4, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990) Ahmad Sarwat, Hukum Rajam, Google, (Online), 2007, http://blog.re.or.id/ hukum-, diakses pada tanggal 28 Oktober 2009. Abdul Azais Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 6, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2003) Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Cet. 2, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982) Muhammad Riza, Perspektif Keadilan dalam penetapan Hukuman Mati dalam Islam, Google, (Online), 2009, http://one.indoskripsi,com, diakses pada tanggal 28 Oktober 2009. Riza, Perspektif Keadilan dalam Penetapan Hukuman Mati dalam Islam, Google, (Online), 2009, http:// one.indoskripsi.com, diakses pada tanggal 28 Oktober 2009
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
42
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Naya, Hukum Pidana Mengenai Hukuman Mati, Google, (Online), 2007, http:// naya39.ngeblogs.com, diakses pada tanggal 28 Oktober 2009. Muhammad Amin Suma, dkk., Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek dan Tantangan, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2001) Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Cet. IV, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983) W. J. S. Poerwadarminta, Kitab Pelajaran Bahasa Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, t.t.) Muhammad Amin Suma, dkk., Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek dan Tantangan, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2001) Mohammad Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam (Hukum Islam I) Pengantar Ilmu Huku dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Edisi. 1, Cet. 1, (Jakarta: Rajawali, 1990) R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentarkomentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1990)
43
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
44
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM SEKOLAH ISLAM UNGGULAN: Histories, Konsep, dan Realita Oleh: Almuhajir Email:
[email protected] Abstract Leading Islamic school is a school that is developed and managed as well as possible by directing all of its components to achieve results better graduates and skilled human resources to create a synergistic capabilities in the field have IMTAK and IPTEK. Integrating Islamic education into the public school system initiated since the beginning of the 20th century. In the 1980s, Islamic Schools seed has started to grow and develop in several regions in Indonesia. There are several terms used by educational institutions to demonstrate the superiority of Islam including Islamic School/Madrasah Unggul, Model, Percontohan, and Terpadu. To accommodate Islamic Schools seed that has grown throughout Indonesia then formed a container named Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) Indonesia (Indonesia Islamic School Network Integrated), established on 31 July 2003 and engaged in the field of education, non-partisan, non-profit and open. Kata kunci: Sekolah Islam, Unggulan, Histories, Konsep, Realita. A. Pendahuluan Kesadaran tentang pentingnya pendidikan telah mendorong berbagai upaya dan perhatian seluruh lapisan masyarakat terhadap setiap gerak langkah dan perkembangan dunia pendidikan. Pendidikan merupakan satu upaya dalam meningkatkan kualitas hidup manusia yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia menjadi lebih baik. Apalagi pada masa sekarang ini manusia dituntut untuk tahu banyak (knowing much), berbuat banyak (doing much), mencapai keunggulan (being exellence), menjalin hubungan dan kerja sama dengan orang lain (being sociable), serta berusaha memegang teguh nilai-nilai moral (being morally). Manusia “unggul, bermoral, dan pekerja keras” inilah yang menjadi tuntunan dari masyarakat global (Syaodih, 2006:6). Salah satu perkembangan yang sangat mengembirakan dewasa ini dalam masyarakat muslim Indonesia adalah munculnya Sekolah Islam Unggulan.
45
Sekolah Islam Unggulan nampaknya memiliki karakteristik pada pengajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dan sekaligus ada penekanan pada religiusitas dan kesalehan melalui materi pelajaran ke-Islaman. Dalam perspektif sejarah, merebaknya Sekolah Islam Unggulan Islam merupakan salah satu refleksi atas kelangkaan ulama, pemimpin dan ilmuan. Suatu masalah yang banyak dibicarakan. masyarakat Indonesia, terutama karena telah meninggalnya ulama tua/senior. Berkembangnya Sekolah Islam Unggulan dimaksudkan untuk menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kemampuan sinergis di bidang Imtak dan Iptek. Pengintegrasian pendidikan Islam ke dalam sistem persekolahan umum mulai dirintis sejak awal abad ke-20. Yang mulamula merintis langkah pengintegrasian ini, dapat dicatat adalah Madrasah Mambaul Ulum di Surakarta yang menerapkan kurikulum pengetahuan agama dan memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kurikulum itu, dan Sekolah Adabiyah
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM yang didirikan oleh Haji Ahmad di Padang pada tahun 1915. Sekolah Adabiyah yang mulanya diberi nama Madrasah Adabiyah (tahun 1909), menerapkan model dan sistem persekolahan Barat dengan menambahkan muatan kurikulum Al-Quran dan pendidikan agama Islam. Rintisan yang dilakukan Madrasah Mambaul Ulum dan Sekolah Adabiyah menandai langkah awal pengintegrasian pendidikan Islam ke dalam sistem persekolahan umum (Noer, 2005:45-46). Pada era 1980-an, Sekolah Islam Unggulan sudah mulai menjamur di beberapa daerah di Indonesia. Jadi, pengintegrasian keilmuan pendidikan Islam di Indonesia secara global disebabkan dua tantangan, yakni pertama, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi-informasi. Kedua, umat Islam sedang/akan mengalami suatu krisis kader ulama di masyarakat. Di dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim seperti ini, kedua aspek ini ibarat sekeping mata uang yang sulit dipisahkan dari tujuan pendidikan Islam. Di samping masalah pertama dan kedua, juga karena rasa keprihatinan terhadap mutu pendidikan Islam yang rata-tara masih rendah. Opini lama yang sempat muncul kepermukaan adalah banyaknya orang tua muslim yang tidak percaya kepada sekolah Islam. Sehingga mereka banyak yang menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah Missionaris, baik Katolik maupun Protestan, yang sejak jaman Belanda telah dan hingga sekarang masih dikenal dengan kualitasnya yang baik (Azra, 1999:80-81). Melalui keprihatinan inilah akhirnya banyak pihak untuk mengusulkan supaya pendidikan Islam mendirikan sebuah Sekolah Islam Unggulan Islam. Melalui modernisasi dari para praktisi dan konsultan pendidikan muslim dengan menambah porsi keagamaan lebih besar dari kegiatan pembelajaran umum maka mulailah bermunculan Sekolah Islam Terpadu (SIT),
Madrasah Plus/Terpadu, Sekolah Islam Plus, Global Islamic School, Madrasah model/ Sekolah Islam Percontohan dan nama-nama lainnya. Sebagai salah satu alternatif pendidikan kontemporer, Sekolah Islam Unggulan berusaha menampilkan visi orientasi pendidikannya pada dataran realitas. Berbagai kemungkinan masa depan yang bakal terjadi, pendidikan unggulan mencoba menawarkan “nilai jual”, daripada “jual nilai” yang kehilangan realitasnya. Sekolah Islam Unggulan tentu saja mengadopsi dari beberapa sistem pendidikan. B. Konsep Sekolah Islam Unggulan 1. P e n g e r t i a n S e k o l a h I s l a m Unggulan Banyak persepsi yang berkembang di masyarakat kita tentang konsep Sekolah Islam Unggulan. Paradigma pada umumnya adalah bahwa Sekolah Islam Unggulan biasanya memerlukan uang masuk yang cukup besar, setiap tahun selalu banyak peminatnya, tingkat kelulusan yang sesuai standar nasional atau bahkan lebih, banyaknya kegiatan– kegiatan sekolah yang diselenggarakan, mulai dari ekstrakurikuler, cara belajar dan lain sebagainya. Istilah sekolah unggul pertama kali diperkenalkan oleh mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Wardiman Djojonegoro, tepatnya setahun setelah pengangkatannya, tahun 1994. Istilah Sekolah Unggul lahir dari satu visi yang jauh menjangkau ke depan, wawasan keunggulan. Menurut Wardiman, selain mengharapkan terjadinya distribusi ilmu pengetahuan, dengan membuat sekolah unggul ditiap-tiap propinsi, peningkatan SDM menjadi sasaran berikutnya. Lebih lanjut, Wardiman menambahkan bahwa kehadiran sekolah unggul bukan untuk diskriminasi, tetapi untuk menyiapkan SDM
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
46
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM yang berkualitas dan memiliki wawasan keunggulan (Sinergi, 1998: 15). Terkait dengan pijakan terminologi sekolah unggulan ini, Nurkhalis memberikan kritik bahwa sebutan sekolah unggulan itu sendiri kurang tepat. Kata “unggul” menyiratkan adanya superioritas dibanding dengan yang lain. Kata ini menunjukkan adanya “kesombongan” intelektual yang sengaja ditanamkan di lingkungan sekolah (Nurkholis, 2014). Di negara-negara maju, untuk menunjukkan sekolah yang baik tidak menggunakan kata unggul (excellent) melainkan effective, develop, accelerate, dan essential (Susan, 1994:81). Walaupun demikian, mari kita lihat apa makna “unggul”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan unggul adalah lebih tinggi, pandai, kuat, dan sebagainya daripada yang lain, terbaik dan terutama. Sedangkan keunggulan artinya keadaan unggulan; kecakapan, kebaikan dan sebagainya yang lebih dari pada yang lain (Peter, 1991:1685). Secara ontologis Sekolah Unggulan dalam perspektif Departemen Pendidikan Nasional adalah sekolah yang dikembangkan untuk mencapai keunggulan dalam keluaran(output) pendidikannya. Untuk mencapai keunggulan tersebut, maka masukan (input), proses pendidikan, guru, tenaga kependidikan, manajemen, layanan pendidikan, serta sarana penunjangnya harus diarahkan untuk menunjang tercapainya tujuan tersebut (Muhammad, 2009:39). Beberapa lembaga pendidikan Islam ada yang lebih senang memakai istilah “model” ketimbang “unggulan”. Sehingga wajar saja kalau ada istilah “sekolah/madrasah model”, “sekolah/ madrasah percontohan”, atau “sekolah/ madrasah terpadu”. Madrasah atau sekolah Islam model (unggulan) merupakan representasi dari kebangkitan umat Islam untuk kalangan menengah (Azra, 1999:69).
47
Dari sisi ukuran muatan keunggulan, Sekolah Islam Unggulan di Indonesia juga belum memenuhi syarat. Sekolah Islam Unggulan di Indonesia hanya mengukur sebagian kemampuan akademis. Dalam konsep yang sesungguhnya, sekolah unggul adalah sekolah yang secara terus menerus meningkatkan kinerjanya dan menggunakan sumberdaya yang dimilikinya secara optimal untuk menumbuh-kembangkan prestasi siswa secara menyeluruh. Berarti bukan hanya prestasi akademis saja yang ditumbuhkembangkan, melainkan potensi psikis, fisik, etik, moral, religi, emosi, spirit, adversity dan intelegensi (Vera, 2014). Dengan demikian, Sekolah Islam Unggulan dapat didefinisikan sekolah yang dikembangkan dan dikelola sebaikbaiknya dengan mengarahkan semua komponennya untuk mencapai hasil lulusan yang lebih baik dan cakap untuk menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kemampuan sinergis di bidang Imtak dan Iptek. 2. T i p e - t i p e S e k o l a h I s l a m Unggulan Dewasa ini banyak sekolah yang menamakan dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam unggulan. Namun tidak jelas kriteria dan standar yang diberlakukan pada masing-masing sekolah. Kualitas layak tidaknya predikat unggulan bagi suatu sekolah akan mempengaruhi mutu dan kualitas pendidikan Islam dibanding dengan pendidikan atau institusi pendidikan pada umumnya. Menurut Moedjirto (2002:3), setidaknya dalam praktik dilapangan terdapat tiga tipe madrasah atau Sekolah Islam Unggulan, antara lain: Pertama, Tipe madrasah atau sekolah Islam berbasis pada anak cerdas. Tipe seperti ini sekolah atau madrasah hanya menerima dan menyeleksi secara ketat calon siswa yang masuk dengan kriteria memiliki
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM prestasi akademik yang tinggi. Meskipun proses belajar-mengajar di lingkungan madrasah atau sekolah Islam tersebut tidak terlalu istimewa bahkan biasa-biasa saja, namun karena input siswa yang unggul, maka mempengaruhi outputnya tetap berkualitas. Kedua, Tipe madrasah atau sekolah Islam berbasis pada fasilitas. Sekolah Islam atau madrasah semacam ini cenderung menawarkan fasilitas yang serba lengkap dan memadai untuk menunjang kegiatan pembelajarannya. Tipe ini cenderung memasang tarif lebih tinggi ketimbang rata-rata sekolah atau madrasah pada umumnya. Biaya yang tinggi tersebut digunakan untuk pemenuhan sarana dan prasarana serta sejumlah fasilitas penunjang lainnya. Ketiga, Tipe madrasah atau sekolah Islam berbasis pada iklim belajar. Tipe ini cenderung menekankan pada iklim belajar yang positif di lingkungan sekolah/madrasah. Lembaga pendidikan dapat menerima dan mampu memproses siswa yang masuk (input) dengan prestasi rendah menjadi lulusan (output) yang bermutu tinggi. Tipe ketiga ini termasuk agak langka, karena harus bekerja ekstra keras untuk menghasilkan kualitas yang bagus. 3. Karakteristik Sekolah Islam Unggulan Sebagai tolak ukur keunggulan sebuah institusi pendidikan menurut Kementerian Pendidikan Nasional (1993:5) sebagai institusi pemerintah yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan, terletak pada dimensi: a. Masukan (input) berupa siswa yang diseleksi secara ketat. Dengan menggunakan ktriteria tertentu dan prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan. Kriteria yang digunakan itu meliputi: Prestasi belajar siswa
b.
c. d.
e.
f.
g.
h.
i.
yang superior dengan indikator angka raport, danem, dan hasil tes akademik lainnya, Skor-skor tes yang meliputi intelegensi dan kreativitas, dan Tes fisik. Sarana dan prasarana yang menunjang untuk memenuhi kebutuhan belajar siswa serta dapat menyalurkan minat dan bakatnya, baik dalam bidang kurikuler maupun ekstrakurikuler. Lingkungan belajar yang kondusif, baik lingkungan fisik maupun social psikologis. Guru dan tenaga kependidikan mempunyai kualifikasi mutu yang baik, sehingga system rekrutmen diseleksi dengan ketat dan diberikan wahana pembinaan dan pengembangan intelektual serta fasilitas yang menunjang. Kurikulum yang diperkaya yaitu kurikulum yang dilakukan pengembangan improvisasi secara maksimal sesuai tuntunan belajar siswa peserta didik yang mempunyai keunggulan tersebut sehingga perlu dilakukan pengayaan dan/atau percepatan kurikulum. Rentang waktu belajar disekolah lebih panjang sehingga perlu disediakan sarana dan prasarana penunjang. Proses belajar mengajar yang berkualitas dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada siswa, lembaga dan masyarakat. Nilai sekolah unggul terletak pada perlakuan tambahan diluar kurikulum nasional melalui pengembangan materi kurikulum, program pengayaan dan perluasan serta percepatan, pengajaran remedial pelayanan bimbingan dan konseling, pembinaan dan disiplin serta kegiatan ekstrakurikuler lainnya. Sekolah unggul diproyeksikan
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
48
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM untuk menjadi pusat keunggulan bagi sekolah-sekolah disekitarnya, sehingga mampu memberikan resonansi kepada lingkungan disekitarnya. Menurut Djoyo Negoro (Mujtahid, 2014) ciri-ciri sekolah unggul adalah sekolah yang memiliki indikator, yaitu: a) Prestasi akademik dan non-akademik di atas rata-rata sekolah yang ada di daerahnya. b) Sarana dan prasarana dan layanan yang lebih lengkap. c) Sistem pembelajaran lebih baik dan waktu belajar lebih panjang. d) Melakukan seleksi yang cukup ketat terhadap pendaftar. e) Mendapat animo yang besar dari masyarakat, yang dibuktikan banyaknya jumlah pendaftar dibanding dengan kepasitas kelas, dan f) Biaya sekolah lebih tinggi dari sekolah disekitarnya. Sedangkan menurut Abuddin Nata (2001:258) mengungkapkan bahwa ada empat karakteristik system pendidikan Islam unggulan, yaitu. a) Pengembangan tradisi ilmiah. b) Memadukan ilmu agama dan ilmu umum. c) Berpusat pada murid, dan d) Kerja sama dengan pemakai lulusan. Unsur Pendukung Sekolah Islam Unggulan Dalam pelaksanaannya, Sekolah Islam Unggulan perlu mendapat dukungan beberapa unsur pokok yang harus terpenuhi. Idealnya kata unggulan itu memiliki performansi yang sebanding lurus dengan amanah yang diembannya guna memenuhi harapan dan kepercayaan dari stakeholders, orangtua siswa, masyarakat dan pemerintah. Menurut Imron Arifin (2008:12), unsur pendukung madrasah atau sekolah Islam berprestasi (unggul) itu setidaknya ada sembilan faktor, yaitu: a. Faktor sarana dan prasarana. Meliputi: fasilitas sekolah yang lengkap dan memadahi, sumber belajar yang memadahi dan
b.
c.
d.
e.
f.
4.
49
g.
h.
sarana penunjang belajar yang memadahi. Faktor guru. Meliputi: tenaga guru mempunyai kualifikasi memadahi, kesejahteraan guru terpenuhi, rasio guru-murid ideal, loyalitas dan komitmen tinggi, dan motivasi dan semangat kerja guru tinggi. Faktor murid. Meliputi: pembelajaran yang terdiferensiasi, kegiatan intra dan ekstrakulikuler bervariasi, motivasi dan semangat belajar tinggi, dan pemberdayaan belajar bermakna. Faktor tatanan organisasi dan mekanisme kerja. Meliputi: tatanan organisasi yang rasional dan relevan, program organisasi yang rasional dan relevan, dan mekanisme kerja yang jelas dan terorganisasi secara tepat. Faktor kemitraan. Meliputi: kepercayaan dan harapan orangtua tinggi, dukungan dan peran serta masyarakat tinggi, dukungan dan bantuan pemerintah tinggi. Faktor komitmen/sistem nilai. Meliputi: budaya lokal yang saling mendukung dan nilai-nilai agama yang memicu timbulnya dukungan positif. Faktor motivasi, iklim kerja, dan semangat kerja. Meliputi: motivasi berprestasi pada semua komunitas sekolah, suasana, iklim kerja dan iklim belajar sehat dan positif, dan semangat kerja dan berprestasi tinggi. Faktor keterlibatan Wakil Kepala sekolah dan guru-guru. Meliputi: keterwakilan kepala sekolah dalam pembuatan kebijakan dan pengimplementasiannya, keterwakilan kepala sekolah dan guru-guru dalam menyusun kurikulum dan program-program
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM
i.
sekolah, dan keterlibatan wakil kepala sekolah dan guru-guru dalam perbaikan dan inovasi pembelajaran. Faktor kepemimpinan kepala sekolah. Meliputi: piawai memanfaatkan nilai religio-kultural, piawai mengkomunikasikan visi, inisiatif, dan kreativitas, piawai menimbulkan motivasi dan membangkitkan semangat, piawai memperbaiki pembelajaran yang terdiferensiasi, piawai menjadi pelopor dan teladan, dan piawai mengelola administrasi sekolah.
C. A n a l i s i s Te r h a d a p A s p e k Keunggulan Secara umum sekolah yang dikategorikan unggulan harus meliputi tiga aspek diantaranya: 1. Input Menurut Daniel Goleman (Trimantara, 2007:7), kemampuan mengenal diri dan lingkungannya adalah kemampuan untuk melihat secara objektif atau analisis, dan kemampuan untuk merespon secara tepat, yang membutuhkan kecerdasan otak (Intelligence Quotien) dan kecerdasan emosional (Emotional Quotien). Di samping itu, kecerdasan spiritual (Spiritual Quotien) calon siswa hendaknya dapat terukur saat seleksi siswa baru. Dengan demikian, tes seleksi siswa baru hendaknya dapat mengukur ketiga aspek kecerdasan atau bahkan dapat mengukur berbagai kecerdasan (multy intellegence). Sehingga, tes seleksi siswa baru tujuannya tidak semata-mata untuk menerima atau menolak siswa tersebut tetapi jauh ke depan untuk mengetahui tingkat kecerdasan siswa. Untuk sekolah, dapat menyeleksi siswa dengan sistem seleksi yang sangat ketat. Selain seleksi bidang akademis, juga diberikan persyaratan lain sesuai tujuan
yang ingin dicapai sekolah. Sungguh suatu keunggulan luar biasa bila suatu sekolah sudah mampu selektif dalam proses penerimaan siswa baru. Calon siswa nantinya dapat dibina, dibimbing dan belajar sesuai dengan tingkatan kecerdasan mereka, yang nantinya diarahkan untuk menghasilkan lulusan yang unggul. 2. Proses. Dalam proses belajar-mengajar, Sekolah Islam Unggulan ini setidaknya berkaitan dengan (Trimantara, 2007:79): Pertama, Kemampuan Guru. Sekolah Islam Unggulan harus memiliki guru yang unggulan juga. Artinya, guru tersebut harus profesional dalam melaksanakan p r o s e s b e l a j a r - m e n g a j a r. A d a p u n kompetensi guru yang memungkinkan untuk mengembangkan suatu lembaga pendidikan yang unggul yaitu kompetensi penguasaan mata pelajaran, kompetensi dalam pembelajaran, kompetensi dalam pembimbingan, kompetensi komunikasi dengan peserta didik, dan kompetensi dalam mengevaluasi. Kedua, Fasilitas Belajar. Sekolah Islam Unggulan harus dilengkapi dengan fasilitas yang mewadahi, memiliki sarana dan prasarana yang mewadahi bagi siswa untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketiga, Kurikulum. Sekolah Islam Unggulan tidak harus menggunakan kurikulum yang berstandar internasional. Kurikulum nasional dengan berbagai penyempurnaan sesuai kebutuhan perkembangan siswa pun cukup baik. Terutama dari segi bahan, misalnya bidang IPA dan PAI, masih terlalu menekankan bahan-bahan klasik yang memang penting, tetapi kurang memasukkan bahan dan penemuan modern yang lebih dekat dengan situasi teknologi saat ini. Di samping itu, penguasaan bahasa Arab, bahasa inggris dan bahasa Indonesia mutlak diperlukan.
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
50
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Keempat, Metode Pembelajaran, Sekolah Islam Unggulan harus menggunakan metode pembelajaran yang membuat siswa menjadi aktif dan kreatif yang disertai dengan kebebasan dalam mengungkapkan pikirannya. Kelima, Program Ekstrakurikuler, Sekolah Islam Unggulan harus memiliki seperangkat kegiatan ekstrakurikuler yang mampu menampung semua kemampuan, minat, dan bakat siswa. Keragaman ekstrakurikuler akan membuat siswa dapat mengembangkan berbagai kemampuannya di berbagai bidang secara optimal. Keenam, Jaringan Kerjasama, Sekolah Islam Unggulan memiliki jaringan kerjasama yang baik dengan berbagai instansi, terutama instansi yang berhubungan dengan pendidikan dan pengembangan kompetensi siswa. Dengan adanya kerjasama dengan berbagai instansi akan mempermudah siswa untuk menerapkan sekaligus memahami berbagai sektor kehidupan (life skill). 3. Output. Sekolah uggulan harus menghasilkan lulusan yang unggulan. Keunggulan lulusan tidak hanya ditentukan oleh nilai ujian yang tinggi. Indikasi lulusan yang unggulan ini baru dapat diketahui setelah yang bersangkutan memasuki dunia kerja dan terlibat aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Kemampuan lulusan yang dihasilkan dirasa unggulan, bila mereka telah mampu mengembangkan potensi intelektual, potensi emosional, dan potensi spiritualnya dimana mereka berada. D. Kontribusi Terhadap Peningkatan Kualitas Pendidikan Sekolah Islam Unggulan memiliki peranan yang sangat besar dalam pendidikan nasional. Hal ini disebabkan oleh pendidikan nasional tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai agama. Nilai-nilai ilahiyah telah dijadikan sebagai
51
basis dalam pelaksanaan setiap proses pembelajaran di dalam lembaga pendidikan Islam. Sekolah Islam Unggulan mendorong siswa dalam aspek keagamaan yang kuat di samping itu ada pembelajaran dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak kalah mendalam apabila dibandingkan dengan lembaga pendidikan umum yang sederajat. Undang-undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) menyebutkan dalam poin 2 Pasal 1 : “Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”. Pada pasal 3 dinyatakan bahwa : “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Kontribusi Sekolah Islam Unggulan di Indonesia sangat signifikan. Hal ini dibuktikan dengan eksistensi Sekolah Islam Unggulan semenjak awal kemunculannya sampai dengan sekarang berkembang dengan pesat baik secara kuantitas maupun kualitas, hal ini dapat dilihat dari peran dan kontribusi Sekolah Islam Unggulan dalam berbagai aspek (Efendi, 2008:8-9): 1. Aspek Pendidikan (pedagogis). Sebagai lembaga yang bergerak dalam dunia pendidikan, Sekolah Islam Unggulan berperan penting dalam peningkatan SDM yang berkualitas dan melahirkan
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM intelektual muslim yang mampu berkompetisi di era globalisasi dengan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip ke-Islaman. 2. Aspek Moral-Spiritual. Pendidikan Islam bertujuan membina peserta didik menjadi hamba yang suka beribadah kepada Allah Swt. Sekolah Islam Unggulan berupaya memberikan penguatan dan dasar pemahaman keagaamaan secara baik. Mengajarkan nilainilai kejujuran, kerendahan hati, kesederhanaan dan nilainilai keluruhan kemanusiaan. Nilai keluhuran itulah yang mengantarkan peserta didik mendapat penilaian yang baik di sisi masyarakat dan di mata Tuhan-Nya. 3. Aspek Sosio-Kultural. Tidak dapat dipungkiri Sekolah Islam Unggulan memberi pengaruh yang signifikan terhadap corok dan karekter masyarakat. Merespons persoalan-persoalan masyarakat seperti memelihara tali persaudaraan, menciptakan kehidupan yang sehat, berperan aktif dalam masyarakat dan sebagainya. Agar tetap berperan strategis dalam pendidikan nasional, ada beberapa hal yang perlu dipertahankan dan ditingkatkan oleh Sekolah Islam Unggulan, antara lain (Ihsan, 2014): 1. L e m b a g a P e n d i d i k a n I s l a m harus mampu mempertahankan dan meningkatkan ciri atau karakter keislaman di dalamnya. Nuansa dan nilai-nilai islami yang terpraktekkan dalam kehidupan sehari-hari para siswanya adalah hal yang diutamakan daripada hanya sekadar pengetahuan keislaman sebatas teoritis belaka.
2.
3.
4.
Lembaga Pendidikan Islam harus mampu mempertahankan dan meningkatkan ciri unggulan yang melekat pada dirinya atau ‘imej tampil beda’, apabila dibandingkan dengan lembaga pendidikan umum misalnya dalam hal keilmuan (bimbingan plus IPTEK, laboratorium alam, bimbingan intensif bekerjasama dengan bimbel terkemuka), dalam hal keterampilan (komputer, beladiri, seni islami, teknologi tepat guna, usaha kecil, kepanduan, dan lain-lain), atau dalam hal interaksi sosial. Lembaga pendidikan Islam harus mampu meningkatkan kemampuan dalam pola manajeman dan muatan kurikulum, siswa baru yang diseleksi ketat, staf pengajar dan karyawan yang berkualitas, kendali kualitas (quality control) terhadap lulusan, serta sarana dan prasarana yang lengkap. Lembaga pendidikan Islam harus gencar untuk ‘unjuk gigi’ pada setiap kesempatan yang ada agar semakin dikenal dan dipercaya oleh orangtua dalam menitipkan masa depan anak-anaknya. Peluangpeluang besar bagi lembaga pendidikan Islam untuk menjadi lembaga pendidikan teratas di Indonesia adalah keniscayaan, setidaknya peluang itu dapat dilihat dari jumlah penduduk negeri ini yang menganut agama Islam.
E. Ta n t a n g a n S e k o l a h I s l a m Unggulan Sekolah Islam Unggulan sebenarnya memiliki peluang yang sangat besar untuk menarik minat masyarakat. Ketika mendengar nama Sekolah Islam Unggulan, maka masyarakat akan berbondong-bondong untuk memasukkan
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
52
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM anaknya ke sekolah tersebut, karena dalam benak mereka yang ada adalah bahwa Sekolah Islam Unggulan akan mendidik anak-anak mereka menjadi anak-anak yang berprestasi, bukan hanya dalam bidang akademik, namun juga non-akademik. Namun yang disayangkan adalah mahalnya biaya pendidikan di Sekolah Islam Unggulan maupun sekolah model. Dan untuk mencapai tujuan menjadi sekolah unggul, harus dilakukan upaya identifikasi masalah atau tantangan yang berkaitan dengan pencapaian tujuan sebuah sekolah. Berikut tantangan tantangan Sekolah Islam Unggulan, antara lain (Suhaimi, 2012:5-7): Ta n t a n g a n p e r t a m a a d a l a h sistem pendidikan dan kurikulum yang berlaku sekarang ini. Sistem pendidikan memungkinkan penyelenggaraan pendidikan mandiri yang dikelola oleh sekolah selama masih berada dalam koridor kurikulum nasional yang berlaku. Kurikulum sekolah yang disebut Kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) saat ini sudah cukup memadai karena ada kebebasan dalam mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan lokal dan berbasis pada sekolah (School building). Ta n t a n g a n k e d u a a d a l a h pelaksanaan proses pembelajaran. Pada umumnya sekolah di Indonesia masih berorientasi pada penekankan “output”, hasil belajar dengan nilai tinggi di bidang akademik, sebagai akibat tuntutan pemerintah dalam penyelenggaraan Ujian Nasional (UN). Dampaknya, proses pembelajaran pada umumnya menekankan pada kegiatan yang melatih siswa untuk mendapatkan nilai yang tinggi dengan usaha banyak mengerjakan soal-soal latihan dan menghafal. Oleh karena itu, proses pembelajaran harus mengacu pada “proses pembentukan” tanpa melupakan hasil belajar yang tinggi. Kombinasi antara proses dan hasil inilah yang harus dijadikan
53
salah satu keunggulan sekolah di masa depan. Tantangan ketiga adalah kualitas Sumber Daya manusia (SDM). SDM berperan penting dalam mengimprovisasi kegiatan yang telah direncanakan. Kemampuan SDM harus selalu ditingkatkan terus menerus secara berkesinambungan. Misalnya, ditemukan sejumlah guru yang telah menguasai materi pelajaran tetapi cukup banyak pula yang belum menguasai aspek-aspek yang ada dalam kurikulum. Pendeknya, ke depan dibutuhkan guru yang profesional, tidak hanya guru yang menguasai teknik, metode, strategi, dan evaluasi belajar mengajar (to take for technician) tetapi juga memiliki sikap yang profesional (to take for aptitute). Hubungan antarpersonal, baik staf pengajar maupun non-pengajar, harus dapat diciptakan secara harmonis dan terkoordinasi, yaitu hubungan: antara guru-siswa, gurupimpinan sekolah, guru-staf administrasi, guru-orang tua/wali siswa, dan sekolah dengan stakeholders dan lembaga pemerintah. Ta n t a n g a n k e e m p a t a d a l a h pengembangan dan pemanfaatan IPTEK. Banyak siswa sampai saat ini kurang termotivasi untuk belajar. Hal ini disebabkan oleh masalah kedua di atas, belajar hanyalah kegiatan menghafal dan latihan-latihan soal. Selain itu, siswa merasa bahwa apa yang dipelajari kurang ada relevansinya dengan kehidupan nyata. Dengan menyelaraskan antara pelajaran yang dipelajari dengan dunia nyata mendorong siswa untuk belajar lebih jauh karena mereka merasa adanya manfaat dari hasil belajar mereka. Tantangan kelima adalah budaya sekolah. Sekolah merupakan suatu entitas tersendiri yang memiliki kebiasaankebiasaan, “custom, habit, culture”, yang harus dikembangkan dan disosialisasikan kepada seluruh jajaran sekolah: guru, siswa, staf dan non-staf, dan orangtua/
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM wali siswa sebagai bagian langsung dan tak langsung dari sekolah. Kebiasaan ini mulai dari yang bersifat akademis maupun non-akademis. Setiap anggota sekolah sebagai bagian yang bertanggungjawab aktif harus menghormati dan mematuhi kebiasan tersebut untuk dapat mencapai tujuan bersama: menciptakan manusia berhati religius, bertindak rasional, dan berwawasan nasional dan internasional, dan lebih jauh lagi memiliki budaya mutu (quality culture) yang tercermin dalam tindakan perbaikan dan pembaharuan berkelanjutan (continous improvement). Tantangan keenam atau yang terakhir adalah kemampuan pendukung prasarana/sarana yang ada dan anggaran pendidikan dan sumber dana. Untuk mencapai tujuan yang dikehendaki perlu diperhatikan kemampuan sarana/prasarana yang ada.Suatu rencana tanpa adanya faktor pendukung tidak dapat berjalan dengan baik. Oleh sebab itu, harus ada keseimbangan antara kebutuhan dan alat pemenuhan kebutuhan. Keseimbangan ini harus dapat difahami oleh seluruh pelaku yang ada di sekolah. Tanpa pemahaman sulit dicapai suatu suasana kebersamaan dan kestabilan yang ada dan kedua hal tersebut di atas merupakan kunci keberhasilan berorganisasi. F. Prospek Sekolah Islam Unggulan Sekolah Islam Unggulan adalah salah satu model lembaga pendidikan Islam, jika dilihat secara normatif pada dasarnya bersumber dari ajaran agama yang universal. Berdasarkan komitmen ini jelas Sekolah Islam Unggulan akan mampu bertahan dalam perubahan yang terjadi dari masa ke masa. Prinsip universal menunjukan kesanggupannya untuk di satu sisi mempertahankan semangat keIslamannya dan di sisi lain menyesuaikan aspek teknisnya dengan perkembangan zaman. Di dalam artikel Business Week 23-
30 Agustus 1999 mengenai dua puluh satu trend perkembangan kehidupan manusia dalam abad 21, ada dua kecendrungan menarik, pertama peranan agama yang akan semakin relevan, dan kedua trend mengenai kemajuan ilmu dan teknologi yang akan mengubah wajah dan kehidupan manusia (Tilaar, 2004:146). Pernyataan ini paling tidak memberi sebuah prospek kedepan bahwa kebutuhan akan Sekolah Islam Unggulan di masa depan akan menjadi salah satu bagian trend dari kebutuhan masyarakat. Dan ini memberikan peluang yang besar bagi kemantapan eksistensi lembaga pendidikan Islam (Sekolah Islam Unggulan) di tengah arus globalisasi, “menjadikannya salah satu pendidikan alternatif” (Tilaar, 2004:147). Pada sisi lain prospek Sekolah Islam Unggulan sebagai lembaga pendidikan di masa yang akan datang dapat pula dilihat dari angka pertumbuhan Sekolah Islam Unggulan yang semakin meningkat secara kuantitatif. Menurut Azyumardi Azra (2002:89-90), mengatakan bahwa “dalam pengamatan saya, Sekolah Islam Unggulan kelihatan mengalami semacam “kebangkitan”, atau setidaknya menemukan “popularitas” baru. Secara kuantitatif jumlah Sekolah Islam Unggulan kelihatannya meningkat; berbagai Sekolah Islam Unggulan baru muncul di mana-mana, tidak hanya di Jawa, tetapi juga di Sumatera. Kemunculan Sekolah Islam Unggulan bisa jadi merupakan indikasi lebih lanjut tentang kerinduan orang tua-orang tua Muslim untuk mendapatkan pendidikan Islami yang baik, dan sekaligus unggul pula ilmuilmu umum. Sehingga pendidikan Sekolah Islam Unggulan juga kompetitif bagi anakanak mereka”. Disinilah letak kelebihan Sekolah Islam Unggulan sekarang ini, anak-anak mendapatkan pendidikan umum, tetapi juga mendapat kelebihan dalam pendidikan Islam.
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
54
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Yang jelas eksis sebuah Sekolah Islam Unggulan adalah melaksanakan pendidikan yang bersifat student oriented dan diabdikan sepenuhnya untuk mencetak calon manusia unggul yang siap hidup ditengah masyarakat global yang ditandai kemajuan iptek, kalau tidak unggul, maka akan mengurangi nilai ibadah, atau bahkan dapat jatuh menjadi perbuatan dosa karena menelantarkan anak didik yang telah diamanatkan oleh masyarakat untuk di didik secara baik, dan ini menjadi nilai moral bagi pendirian Sekolah Islam Unggulan (Aziz, 2005:23). G. Pengembangan Sekolah Islam Unggulan Dalam rangka mewujudkan pengembangan Sekolah Islam Unggulan memerlukan langkah dan upaya yang fisibel dan kredibel. Sebab saat ini Sekolah Islam Unggulan harus bersaing dengan beberapa lembaga pendidikan yang sedang mencanangkan program rintisan sekolah umum unggul. Penguatan keunggulan lembaga tersebut melalui cara membangun cita dan kultur akademik yang kokoh. Langkah strategis untuk melakukan pengembangan Sekolah Islam Unggulan memerlukan upaya sebagai berikut (Suhaimi, 2012:34): 1. Membangun Mindset Secara Kolektif. Untuk mengembangkan dan Sekolah Islam Unggulan membutuhkan pandangan, citacita, imajinasi, nilai-nilai keyakinan yang kuat dan kolektif. 2. Menciptakan Inovasi secara Terus Menerus. Inovasi merupakan usaha dan kerja nyata untuk mencari dan membuat hal baru demi meraih kemajuan dan keunggulan bagi lembaga pendidikan itu sendiri. Inovasi harus didasarkan pada kebutuhan idealita dan realita agar lembaga madrasah dan sekolah Islam itu
55
terus maju dan berkembang. M e m a n f a a t k a n Te k n o l o g i Informasi. Untuk memajukan Sekolah Islam Unggulan yang merata dan berkualitas membutuhkan energi pikiran, tenaga dan usaha yang tiada henti. Sekolah Islam Unggulan saatnya mengembangkan pembelajaran berbasis digital, selain yang sudah ada, guna mengefektifkan program dan kegiatan pendidikan yang lebih maksimal. Sekolah Islam Unggulan jangan sampai tertinggal di bidang teknologi informasinya. Secara global, terdapat dua model Sekolah Islam Unggulan. Model pertama, sekolah-sekolah umum yang menerapkan kurikulum pemerintah yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional, dan mengombinasikannya dengan memberikan penekanan pada pendidikan agama Islam yang didukung oleh environment keagamaan Islam tanpa siswa menetap dan bermukim di sekolah. Diantara sekolah Islam dengan model ini adalah sekolah Al-Azhar yang dirintis oleh Buya Hamka dengan gagasan awal pendidikan pesantren sebagai basis pendidikan Islam yang diwarnai oleh semangat modernitas keagamaan (Djamas, 2009:73-74). Model kedua, sekolah-sekolah umum yang menerapkan pola pendidikan seperti di pesantren, dimana para siswa mondok di kampus sekolahnya (boarding school) di bawah asuhan para pengasuh lembaga pendidikan tersebut. sekolah Islam model ini menerapkan pola pendidikan terpadu antara penekanan pada pendidikan agama yang dikombinasi dengan kurikulum kurikulum pengetahuan umum yang menekankan pada penguasan sains dan teknologi. Diantara sekolah Islam dengan model pendidikan terpadu ini adalah sekolah Madania di parung yang dirintis Dr. Nurcholish Madjid di bawah naungan yayasan Madania, serta sekolah 3.
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Islam Insan Cendekia yang didirikan oleh mantan Menristek Prof. BJ. Habibie di daerah Serpong Banten dan di Gorontalo (Djamas, 2009:156). H. Wadah Sekolah Islam Unggulan: Jaringan Sekolah Islam Terpadu (Jsit) Indonesia JSIT (Jaringan Sekolah Islam Terpadu) Indonesia adalah organisasi masyarakat yang berdiri pada tanggal 31 Juli 2003 dan bergerak di bidang pendidikan, bersifat non partisan, nirlaba dan terbuka dalam arti siap bekerja sama dengan pihak manapun selama mendatangkan maslahat dan manfaat bagi anggota serta berkesesuaian dengan visi, misi, tujuan dan sasaran JSIT Indonesia. Anggota JSIT Indonesia adalah sekolah Islam Terpadu dan sekolah lainnya yang menjadikan Islam sebagai landasan ideal, konsepsional, dan operasional (JSIT, 2014). Visi dibentuknya JSIT adalah menjadi pusat penggerak dan pemberdaya Sekolah Islam Terpadu di Indonesia menuju sekolah efektif dan bermutu. Sedangkan misi dibentuknya JSIT adalah membangun jaringan efektif antar Sekolah Islam Terpadu di Indonesia, meningkatkan efektifitas pengelolaan Sekolah Islam Terpadu di Indonesia, Melakukan pemberdayaan tenaga kependidikan, melakukan pengembangan kurikulum Sekolah Islam Terpadu di Indonesia, melakukan aksi dan advokasi bidang pendidikan, menjalin kemitraan strategis dengan institusi nasional dan internasional, dan menggalang sumbersumber pembiayaan pendidikan. Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) adalah organisasi yang beranggotakan Sekolah Islam Terpadu dari seluruh Indonesia. Termasuk di dalamnya: Taman Kanak-kanak Islam Terpadu (TKIT), Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT), Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu (SMPIT), Sekolah Menengah Atas Islam Terpadu (SMAIT). Berawal dari lima satuan sekolah dasar yang berdiri pada
1993 di wilayah Jabodetabek, sekolah Islam terpadu (SIT) telah berkembang pesat di seluruh Indonesia. Kelima sekolah yang menjadi cikal bakal model penyelengaraan SIT itu, yakni SDIT Nurul Fikri Depok, SDIT Al Hikmah Jakarta Selatan, SDIT Iqro Bekasi, SDIT Ummul Quro Bogor, dan SDIT Al Khayrot Jakarta Timur. Sejak saat itu, SIT terus bermunculan dan berkembang. Hingga 2013, jumlah sekolah yang berada dalam Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) Indonesia mencapai 1.926 unit sekolah. Yakni, terdiri atas 879 unit TK, 723 unit SD, 256 unit SMP, dan 68 unit SMA (JSIT, 2014). Ketua JSIT Indonesia Sukro Muhab mengungkapkan, inspirasi membangun sekolah Islam bermutu didorong keinginan mendirikan sekolah yang bebas dari sekularisme. Yakni, sekolah yang mengintegrasikan pendidikan umum dan agama dalam suatu jalinan kurikulum, pembelajaran, dan lingkungan terpadu. “Selain itu, ada semangat mendirikan sekolah bermutu layaknya sekolah-sekolah berstandar dunia,” ujarnya (Republika, 2014). Tingginya minat masyarakat menyekolahkan putra-putrinya di SIT, menurut Sukro, tak lepas dari tiga kunci utama keberhasilan proses pendidikan di SIT. Pertama, niat dan dedikasi pendidik di SIT berpijak pada motif menggapai ridha Allah SWT semata. Kedua, kepercayaan dan harapan yang tinggi dari orang tua kepada SIT. Ketiga, dukungan masyarakat, pemerintah, dan pihak lain bagi kebangkitan sekolah Islam bermutu. Kini, perkembangan sekolah Islam menjadi tren yang fenomenal di kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Hal itu ditandai dengan munculnya semangat menolak fenomena sekularisme dalam filosofi pendidikan. Selain menggelar sederet pelatihan, JSIT Indonesia bekerja sama
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
56
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM dengan lembaga pendidikan internasional. Antara lain, International Center for Educational Excellence Malaysia, Association For Academic Quality Pakistan, Sekolah Islam Al Irsyad dan Aljuneid Singapura, Smart Bestari Thailand, dan Khoirat Foundation Turki. Segudang prestasi diraih peserta didik dan SIT dalam ajang nasional dan intenasional. Baik dalam kompetisi olimpiade sains maupun kegiatan olahraga dan seni. Tak kalah pentingnya rata-rata lulusan SDIT mampu menghafal satu juz Alquran, sedangkan SMPIT dan SMAIT lebih dari dua juz. I. Penutup Faktor yang melatarbelakangi pertumbuhan Sekolah Islam Unggulan di Indonesia tidak terlepas dari faktor sejarah perkembangan lembaga pendidikan Islam di Indonesia, sehingga secara umum faktor yang melatabelakanginya adalah corak pemikiran masayarakat yang semakin religius, evaluasi dari lembaga pendidikan Islam sebelumnya, sebuah fenomena sosiologis yang muncul dari kondisi masyarakat yang terus berubah, kesadaran akan kualitas lembaga pendidikan Islam yang lebih rendah disbanding dengan lembaga pendidikan umum, dan Tantangan zaman (termasuk di dalamnya dampak dari kondisi pertumbuhan ekonomi masyarakat). Bagaimanapun juga, harus kita akui bahwa Sekolah Islam Unggulan telah berperan dan memberikan konstribusi yang signifikan dalam upaya peningkatan SDM yang berkualitas di Indonesia. Sekolah Islam Unggulan harus mampu mengembangkan program-program bidang studi yang sesuai dengan kebutuhan tenaga di bidang-bidang tertentu atau sesuai dengan kurikulum dan silabi, relevan dengan kompetensi mencakup spiritual, illahiyah, knowledge, skill, ability dan kultural-sosial yang diarahkan pada kebutuhan pasar. Sebagai Sekolah Islam Unggulan
57
yang memiliki background yang berbasis pendidikan Islam berkewajiban untuk menciptakan suasana religius dilingkungan belajar (sekolah). Penciptaan ini dimaksud dalam rangka mengimplementasikan nilai-nilai bersikap (attitude value), nilainilai penghayatan (experiental value) dan menumbuhkan semangat kesadaran beragama. Karena itu, untuk menciptakan suasana tersebut, perlu dikembangkan model fungsional untuk menciptakan suasana religius yang didasari atas pemahaman bahwa pendidikan agama adalah upaya manusia untuk mengajarkan masalah masalah kehidupan akhirat, disamping aktivitas duniawi yang berpijak pada tatanan moral-etis. Penciptaan ini bersumber pada nilai-nilai normative dan doktrin agama yang telah diyakini kemutlakannya. Untuk mewadahi Sekolah Islam Unggulan yang telah tumbuh berkembang diseluruh Indonesia maka dibentuklah sebuah wadah yang bernama JSIT (Jaringan Sekolah Islam Terpadu) Indonesia. JSIT adalah organisasi masyarakat yang berdiri pada tanggal 31 Juli 2003 dan bergerak di bidang pendidikan, bersifat non partisan, nirlaba dan terbuka dalam arti siap bekerja sama dengan pihak manapun selama mendatangkan maslahat dan manfaat bagi anggota serta berkesesuaian dengan visi, misi, tujuan dan sasaran JSIT Indonesia. Anggota JSIT Indonesia adalah Sekolah Islam Terpadu dan sekolah lainnya yang menjadikan Islam sebagai landasan ideal, konsepsional, dan operasional. Daftar Pustaka A n d r i n i , Ve r a S e p t i . P a r a d i g m a Pengembangan Sekolah Unggulan, artikel diunduh tanggal 25 Maret 2014 dari http://www.vilila.com. html. Arifin, Imron. Kepemimpinan Kepala
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Sekolah dalam Mengelola Sekolah Berprestasi. Yogyakarta: Aditya Media, 2008. Aziz, Abdul. Kesetaraan Status dan Masalah Mutu Lulusan Madrasah. Jurnal Edukasi. Vol. 3, No. 1, Januari-Maret 2005. Azra, Azyumardi. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta, Kompas, 2002. ———————————. Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru. Jakarta: Logos, 1999. Djamas, Nurhayati, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, Jakarta: Rajawali Pers, 2009. Efendi, Arief, Peran Strategis Lembaga Pendidikan Berbasis Islam di Indonesia. Jurnal Pendidikan Islam. El-Tarbawi, No. 1, Vol. 1. Januari 2008. Ihsan, Fungsi Dan Peran Lembaga Pendidikan, http://ululazmi-zabaz. blogspot.com, diakses tanggal 12 juli 2014. Mujtahid, Madrasah dan Sekolah Islam Unggulan, artikel diunduh tanggal 25 Maret 2014 dari http://blog.uinmalang.ac.id. Moedjiarto. Sekolah Unggul. Surabaya: Duta Graha Pustaka, 2002. Mohrman, Susan Albers, et.al. School Based Management: Organizing for High Performance. San Francisco, 1994. Muhammad, Konsep Pengembangan
SekolahUnggulan. Jurnal Kreatif. Vol. 4, No. 1. Januari 2009. Nata, Abuddin. Paradigma Pendidikan Islam. Jakarta, Grasindo, 2001. Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia. Jakarta: LP3ES. Nurkhalis, Sekolah Unggulan Yang Tidak Unggul, artikel diunduh tanggal 25 Maret 2014 dari http://researchengines.com/nurkolis3. html (kumpulan artikel dalam situs resmi Pendidikan Network). Peter Salim dan Yenny Salim. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern English Press, 1991. Qomar, Mujamil. Manajemen Pendidikan Islam. Surabaya: Erlangga, 2007. REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Heri Ruslan, diunduh tanggal 12 juli 2014. SINERGI. Jurnal Populer Sumber Daya Manusia. Volume 1, No. 1. JanuariMaret 1998. Suhaimi, Ahmad. Peluang dan Tantangan Sekolah Unggulan dan Sekolah Model dalam Pengembangan Pendidikan Islam. Tulungagung: STAIN Tulungagung, 2012. Syaodih, Nana, dkk. Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah. Bandung: Refika Aditama, 2006. Tilaar, H.A.R. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta. PT Rineka Cipta, 2004. Tim Penyusun. Sistem Penyelenggaraan
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
58
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA TEKS NASKAH PIDATO MAHASISWA PROGRAM STUDI BAHASA INGGRIS JURUSAN TARBIYAH STAIN MALIKUSSALEH Oleh: Novi Diana. M.Pd Email:
[email protected] Abstract This study titled error analysis of text speak speech student of English Department of Tarbiyah STAIN Malikussaleh. The problem of this study is how the language mistakes in drafting the text of speeches at the level of the selection and use of words, sentence formulation, and preparation of a paragraph. Furthermore, this study aims to describe language errors in the preparation of the text of speeches student of English at the level of the selection and use of words, sentence formulation, and preparation of a paragraph. The approach taken in this study is a qualitative approach for the analysis of research data more descriptive form or in the form of an explanation of the results of the analysis of the error in the text of the speech-language students. The analysis used in this study is more analytical description of the content of the written thoroughly and systematically. Researchers gave an overview of the written language errors in analytical form. Based on the analysis of the selection of errors and word usage, (2) the results of the error analysis and the preparation of the sentence (3) the results of the analysis of paragraph drafting error, the student still needs medalami re-writing abilities. Students need to be more consistent in writing the text. Regarding the text of the speech writing is most students are able to write well, but others still need to make repairs in writing. Students should not be considered easy in writing if they write a lot of experience writing errors. This research is only at the level of the text just is not on how they write a thesis or other form of writing that requires a lot more thinking. Many other writing atuaran rules that need to be considered by students of English. Keywords: Analysis, Error-speaking, speech text . A. Pendahuluan Pembelajaran Bahasa Indonesia merupakan suatu matakuliah pengembangan kepribadian di perguruan tinggi. Matakuliah Bahasa Indonesia sebagai MPK menekankan keterampilan mahasiswa untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Keterampilan berbahasa mahasiswa dapat dibina melalui kegiatan menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Kemampuan berbahasa tersebut belum tentu dapat dikuasai secara
59
instan oleh seseorang dalam hal ini khususnya mahasiswa. Namun perlu proses pembelajaran yang berkelanjutan untuk menguasainya. Kemampuan berbahasa seseorang belum tentu mencakup keempat kemampuan tersebut. Tingkat kemampuan tiap-tiap aspek tersebut tidak sama. Seseorang mungkin mampu mendengarkan atau membaca, tetapi tidak mampu berbicara dan menulis. Jadi, kemampuan reseptif seseorang pada umumnya lebih tinggi daripada kemampuan produktif. Hal
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM ini disebabkan kedua keterampilan tersebut memerlukan latihan yang rutin sehingga dapat menggunakan bahasa yang baku dalam berbicara dan menulis. Dalam penelitian ini peneliti akan membahas tentang keterampilan menulis naskah pidato. Sebelum memulai berbicara / pidato mahasiswa perlu menyusun teks naskah pidato sebagai langkah awal untuk berpidato. Berpidato merupakan salah satu materi untuk meningkatkan kemampuan berbicara. Oleh sebab itu, peneliti ingin melihat bagaimana kemampuan mahasiswa dalam menyusun teks naskah pidato yang nantinya akan menjadi bahan analisis. Kemampuan Berbicara dalam arti pidato untuk memberikan sambutan, berceramah, atau memberikan penyuluhan dalam pertemuan-pertemuan resmi, memerlukan penguasaan bahasa yang cukup tinggi. Begitu juga halnya dengan kemampuan menulis yang bukan hanya sekedar menulis apa yang sudah diketahui dalam bentuk surat namun seseorang juga harus dapat mengungkapkan gagasan dalam suatu karya tulis. Kemampuan menulis sangat penting karena dalam berbicara dalam forum-forum resmi biasanya didahului oleh persiapan tertulis. Pidato atau ceramah sering hanya merupakan pelisanan atau pembacaan karangan yang sudah dipersiapkan sebelumnya.1 Dalam proses belajar mengajar selama ini yang menjadi kendala dosen dalam mengajar di kelas adalah tata cara berbicara mahasiswa masih belum maksimal. Artinya mereka berbicara belum menggunakan bahasa yang baku sesuai dengan Ejaan yang disempurnakan (EyD). Mahasiswa dapat berbicara namun belum beraturan. Misalnya seperti pada kegiatan diskusi, presentasi seminar proposal, microteaching, atau forum-forum harihari besar keislaman sebagai MC. Hal ini perlu diberikan suatu pelatihan untuk meningkatkan kemampuan berbicara
dengan terlebih dahulu menganalisis bagaimana persiapan mahasiswa dalam menyusun atau menulis teks naskah pidato. Dalam menulis teks naskah pidato masih ada kesalahan yang dilakukan oleh mahasiswa yaitu dalam pemilihan dan penulisan kata, penyusunan kalimat, dan penyusunan paragraf. Selain itu, menyangkut penggunaan ejaan, yaitu kata baku dan nonbaku dalam teks naskah pidato yang ditulis mahasiswa belum maksimal. Namun dalam penelitian ini akan dianalisis bagaimana kesalahan berbahasa mahasiswa program studi Bahasa Inggris dalam menulis teks naskah pidato dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan permasalahan di atas maka peneliti mengadakan penelitian terhadap penyusunan teks naskah pidato mahasiswa pada program studi Bahasa Inggris. Dipilihnya program studi ini karena adanya kesinambungan dalam pembelajaran keterampilan berbahasa dalam matakuliahnya yaitu speaking dan writing. Mahasiswa sudah mempelajari tata cara berbicara dan menulis yang baik dalam mempresentasikan hasil pembicaraannya, namun masih ada kesalahan dalam penyampaiannya di depan umum. Oleh sebab itu, perlu dianalisis kembali apa yang menjadi kendala dalam persiapan untuk berbicara yaitu melalui analisis kesalahan berbahasa dalam menyusun teks naskah pidato. Penyusunan awal teks naskah pidato ini dimaksudkan agar mahasiswa lebih dapat mempersiapkan diri dan mental yang baik dalam berbicara. Konsep tulisan yang dilakukan sesuai dengan langkahlangkah penulisan yang ditentukan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah kesalahan berbahasa dalam penyusunan teks naskah pidato dalam Bahasa Indonesia mahasiswa program studi
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
60
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Bahasa Inggris pada tataran pemilihan dan pemakaian kata, Penyusunan kalimat, dan penyusunan paragraf? C. Definisi Operasional Definisi operasional dimaksudkan untuk menghindari perbedaan pengertian atau kekaburan makna. Istilah yang perlu diberikan makna adalah yang menyangkut tentang konsep-konsep pokok dalam penelitian ini, adalah 1. Menurut Andini dan Aditya (2003:34) Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab musabab, duduk perkaranya dan sebagainya). Penguraian suatu pokok atau berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan. Jadi, dalam penelitian ini analisis ditujukan pada penggunaan bahasa yang digunakan oleh mahasiswa dalam teks naskah pidato. 2 . Te k s n a s k a h p i d a t o a d a l a h hasil karangan seseorang atau sesuatu yang tertulis untuk dasar member pelajaran atau berpidato. 3. Analisis kesalahan berbahasa adalah suatu prosedur yang digunakan oleh para peneliti dan para guru yang mencakup pengumpulan sampel bahasa pelajar, pengenalan kesalahankesalahan yang terdapat dalam karangan, pendeskripsian kesalahankesalahan itu, pengklasifikasiannya berdasarkan sebab-sebabnya yang telah dihipotesiskan, serta pengevaluasian keseriusannya.
dilakukan oleh guru atau dosen Bahasa Indonesia atau mahasiswa program studi Bahasa Indonesia. Analisis terhadap penggunaan bahasa Indonesia dalam tulisan bagi mereka sangat penting untuk meningkatkan mutu tulisan bagi peserta didik. Kajian tentang analisis kesalahan berbahasa ini pernah dituliskan oleh Razali dalam Jurnal Lentera yang berjudul Analisis kesalahan Berbahasa dalam Karangan Siswa Sekolah Dasar yang diterbitkan oleh Universitas Almuslim. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Razali menunjukkan bahwa kesalahan pemilihan kata dan pemakaian kata berkaitan dengan fungsi, peran, makna kata, dan frasa dalam kalimat diketahui bahwa sebagian besar karangan siswa terdapat pemakaian kata yang tidak sesuai fungsinya dalam kalimat. Sehingga implikasi makna menurut konteks kurang tepat dan isi kalimat tidak jelas. Kemudian kata-kata yang dipilih banyak tidak sesuai konteks kalimat, konteks bidang maupun konteks situasi. E. Pembahasan 1. Bahasa sebagai alat komunikasi Berkomunikasi berarti menyampaikan pesan kepada seseorang untuk direspon. Agar respon sesuai dengan harapan, bahasa harus disusun dengan baik dan benar untuk dipahami oleh orang lain. Menurut Minto berkomunikasi adalah juga hubungan manusiawi, maka kita harus memperhatikan lawan bicara. Sikap berbahasa kepada teman sebaya tidak boleh dipergunakan juga pada orang tua, guru, dosen, atau orang yang usianya lebih tua, begitupun sebaliknya. Selain itu, dalam berbahasa perlu memperhatikan situasi, suasana atau tempat berbahasa. Berbahasa di pasar berbeda dengan berbahasa di dalam forum resmi, seperti di dalam perkuliahan, diskusi, seminar atau acara-acara resmi lainnya.
D. Penelitian Terdahulu Penelitian tentang kesalahan berbahasa pada teks naskah pidato sudah pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Analisis kesalahan berbahasa ini sering 61 SARWAH, VOLUME
XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Di luar forum resmi dapat menggunakan bahasa sederhana yang penting cukup memberikan informasi kepada lawan bicara dan tidak menyinggung perasaan. Sedangkan dalam forum resmi menggunakan bahasa baku agar informasi yang diberikan lengkap, jelas dan berwibawa. Untuk itu, bagi dosen perlu memberikan suatu pembelajaran dalam matakuliah Bahasa Indonesia bagaimana tatacara berkomunikasi mahasiswa dalam berbicara dan menulis. Kemampuan berkomunikasi dengan bahasa Indonesia dikembangkan melalui empat keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Empat keterampilan itu akan dikuasai dan dikembangkan dengan cara berkelanjutan melalui proses pemahiran yang dilatih dan dialami oleh mahasiswa. Dalam hal ini perlu diajarkan secara mendetil tentang keterampilan menulis teks naskah pidato sebagai fokus dalam pembahasan penelitian ini, yang menjadi objek analisis kesalahan berbahasa. 2. Keterampilan Menulis Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh mahasiswa dalam matakuliah Bahasa Indonesia. Dengan menulis segala perasaan, ide, dan pengalaman dapat diungkapkan kepada orang lain dalam ruang dan waktu yang tidak terbatas. Selain itu, seseorang yang terampil menulis akan mendapatkan berbagai manfaat. Menurut Suparno dan Muhammad Yunus (2002:1.4) manfaat yang didapat dari seseorang yang terampil menulis adalah (1) dengan meningkatkan kecerdasan, (2) mengembangkan daya inisiatif dan kreativitas, (3) menumbuhkan keberanian, dan (4) mendorong kemauan dan kemampuan mengumpulkan informasi. Berdasarkan pendapat ini maka tujuan mahasiswa menulis sangat bermakna untuk perkembangan kepribadiannya
yang akan tampak pada tulisan-tulisan dari wujud gagasan yang dituangkan dalam tulisannya. Dari konsep yang dituliskan berupa teks naskah pidato mahasiswa dapat lebih percaya diri saat berekspresi di depan orang lain. Atau seperti yang sering dinyatakan dalam keseharian hidup bahwa sebelum berbicara atau bertindak kita perlu berpikir terlebih dahulu apa yang akan dibicarakan dalam pertemuan-pertemuan atau acara baik itu ceramah keagamaan atau pidato dalam forum penting. Jadi gagasan, pendapat, sikap dan perasaan yang disampaikan melalui tulisan atau teks naskah pidato dapat dituangkan dalam bentuk kata, kalimat, dan paragraf sehingga memberikan informasi yang jelas kepada pembaca teks. 3. Menulis Naskah Pidato Pidato merupakan kegiatan berbahasa lisan yang sangat diperlukan oleh seseorang dalam berbicara untuk menyampaikan pendapatnya di depan umum. Untuk berbicara di depan orang lain maka diperlukan ekspresi gagasan dan penalaran dengan menggunakan bahasa lisan yang didukung oleh aspek nonbahasa, seperti ekspresi, kontak pandang, dan intonasi suara. Namun sebelum berpidato seseorang atau mahasiswa perlu mempersiapkan teks naskah pidato. Teks naskah ini perlu disusun sebagai kerangka pikir bagi mahasiswa. Maka pada saat mereka tampil di depan umum mereka sudah siap dan percaya diri dalam menyampaikan isi pembicaraannya baik di kampus pada pertemuan-pertemuan ilmiah atau di dalam masyarakat pada saat mereka melakukan kuliah pengabdian masyarakat (KPM). Menulis naskah pidato pada hakikatnya adalah menuangkan gagasan ke dalam bentuk bahasa tulis yang siap dilisankan. Pilihan kosa kata, kalimat dan paragraf dalam menulis sebuah teks naskah pidato sesungguhnya tidak
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
62
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM jauh berbeda dengan kegiatan menulis naskah yang lain. Situasi resmi atau kurang resmi akan menentukan kosa kata dalam menulis. Seperti halnya naskah makalah atau artikel, naskah pidato pun perlu dianalisis, yang dianalisis adalah isi, bahasa, dan penalaran dalam naskah pidato itu. Isinya dicermati kembali apakah sudah sesuai dengan tujuan pidato, sesuai dengan calon pendengar, dan sesuai dengan kegiatan yang digelar. Selain itu, menulis naskah pidato diperlukan jika kegiatan dipersiapkan sebelumnya, tetapi jika pidato dilakukan dengan spontan, maka naskah tersebut tidak diperlukan. Menurut Minto Rahayu bahwa menyunting atau mengedit naskah pidato, untuk menyempurnakan naskah pidato. Hal yang disunting adalah (1) isinya dicermati kembali apakah telah sesuai dengan tujuan pidato, calon pendengar, dan kegiatan yang digelar. Apakah isinya benar, representative dan mengandung informasi yang relevan dengan konteks pidato. Bahasanya diarahkan pada ketepatan pilihan kata, kalimat dan paragraf. (2) penalaran untuk memastikan isi dalam naskah telah dikembangkan dengan tepat. Berdasarkan pendapat tersebut, dalam penelitian ini diarahkan pada analisis kesalahan berbahasa sesuai dengan rumusan masalah bahwa yang akan dianalisis adalah bagaimana penggunaan pemilihan/pemakaian kata, penyusunan kalimat dan penyusun paragraf. 4. Analisis Kesalahan Berbahasa Analisis kesalahan berbahasa (AKB) adalah suatu prosedur yang digunakan oleh para peneliti dan para guru, yang mencakup pengumpulan sampel bahasa pelajar, pengenalan kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam sampel tersebut. Menurut Henry Guntur Tarigan dan Djago T. (1988:71) menyatakan bahwa ada beberapa langkah untuk menganalisis kesalahan berbahasa
63
melalui penyeleksian, pengurutan, dan penggabungan. Hasil modifikasi tersebut adalah (1) mengumpulkan data: berupa kesalahan berbahasa yang dibuat oleh mahasiswa, misalnya hasil ulangan, karangan, atau percakapan, (2) mengidentifikasi dan mengklasifikasi kesalahan: mengenali dan memilahmilah kesalahan berdasarkan kategori kebahasaaan, misalnya kesalahankesalahan pelafalan, pembentukan kata, penggabungan kata, dan penyusunan kalimat, (3) menjelaskan kesalahan: menggambarkan letak kesalahan, penyebab kesalahan, dan memberikan contoh yang benar, (4) memprakirakan atau memprediksi daerah atau butir kebahasaan yang rawan: meramalkan tataran bahasa yang dipelajari yang potensial mendatangkan kesalahan, (5) mengoreksi kesalahan: memperbaiki dan bila dapat menghilangkan kesalahan melalui penyusunan bahan yang tepat, buku pegangan yang baik, dan teknik pengajaran yang serasi. Dari pendapat di atas, langkahlangkah kerja tersebut tujuan akhir dari analisis kesalahan berbahasa diarahkan untuk mencari umpan balik yang dapat digunakan sebagai titik tolak perbaikan teks naskah pidato yang pada gilirannya dapat mencegah atau mengurangi kesalahan yang mungkin dibuat oleh para mahasiswa. F. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas (1) pendekatan, (2) jenis penelitian (3) sumber data, (4) teknik pengumpulan data, dan (5) teknik analisis data. Pendekatan yang paling tepat untuk penelitian ini adalah pendekatan kualitatif karena analisis data penelitian ini lebih banyak berbentuk deskriptif atau berupa penjelasan-penjelasan dari hasil analisis kesalahan berbahasa dalam teks naskah pidato mahasiswa Program studi
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Bahasa Inggris. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini lebih bersifat deskriptif analitik terhadap isi yang ditulis secara menyeluruh dan sistematis. Peneliti memberikan gambaran tentang kesalahan berbahasa tulis dalam bentuk analisis. Jenis penelitian ini adalah kajian kepustakaan yaitu dengan menganalisis kesalahan berbahasa dalam teks naskah pidato yang ditulis oleh mahasiswa Program studi Bahasa Inggris. Teks naskah pidato yang ditulis dalam Bahasa Indonesia. Sumber data dalam penelitian ini adalah 40 buah teks naskah pidato mahasiswa program studi Bahasa Inggris Jurusan Tarbiyah STAIN Malikussaleh yang dijadikan bahan untuk menganalisis kesalahan berbahasa. Menurut Arikunto (1998:88) dalam penelitian kualitatif, yang diutamakan adalah kualitas data, bukan banyaknya data. Kualitas ini ditentukan oleh representative atau tidaknya suatu data. Dari pendapat tersebut maka peneliti mengambil sumber data yang mewakili tulisan mahasiswa dari Program studi Bahasa Inggris. Teks naskah pidato yang dianalisis dalam Bahasa Indonesia bukan Bahasa Inggris. Teknik pengumpulan data dengan pedoman analisis dan panduan eksplanasi. Penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan kesalahan berbahasa dalam karangan mahasiswa yaitu pada tataran pemilihan, pemakaian kata, penyusunan kalimat dan paragraf dengan beberapa langkah-langkah penelitian yaitu (1) mengumpulkan data: berupa kesalahan berbahasa yang dibuat dalam teks oleh mahasiswa, (2) mengidentifikasi dan mengklasifikasi kesalahan: mengenali dan memilah-milah kesalahan berdasarkan kategori kebahasaaan, misalnya kesalahankesalahan pelafalan, pembentukan kata, penggabungan kata, penyusunan kalimat, dan paragraf, (3) menjelaskan kesalahan: menggambarkan letak kesalahan,
penyebab kesalahan, dan memberikan contoh yang benar, (4) memprakirakan atau memprediksi butir kebahasaan yang masih tergolong sulit: meramalkan tataran bahasa yang dipelajari yang potensial mendatangkan kesalahan, dan (5) mengoreksi kesalahan: memperbaiki bila ada kesalahan tulisan. Selanjutnya prosedur analisis data dimulai dari reduksi data, menyimpulkan, interpretasi, dan pembahasan. Dalam penelitian ini data-data yang akan dianalisis adalah teks naskah pidato mahasiswa Program studi Bahasa Inggris. Data ini dianalisis secara kualitatif. Analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terusmenerus sampai tuntas. Aktivitas dalam analisis data yaitu mereduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. G. Kesimpulan Hasil analisis kesalahan berbahasa dalam teks naskah pidato mahasiswa Bahasa Inggris, meliputi tiga aspek yaitu (1) hasil analisis kesalahan pemilihan dan pemakaian kata, (2) hasil analisis kesalahan penyusunan kalimat dan (3) hasil analisis kesalahan penyusunan paragraf. Hasil analisis kesalahan pemilihan dan pemakaian kata sering sekali dilakukan oleh mahasiswa dalam menulis teks naskah pidato. Tujuan penyusunan teks naskah pidato ini untuk memudahkan mahasiswa dalam berpidato. Teks sebagai kerangka pikir untuk berbicara di depan. Dengan adanya teks yang benar tersebut maka mahasiswa dapat berbicara dengan baik tanpa menampilkan yang salah. Dalam pemilihan dan pemakaian kata sebagian mahasiswa sudah dapat memahami hanya saja pada analisis ini mahasiswa ada yang belum bisa membedakan awalan dengan kata depan. Penghilangan huruf dan penggunaan huruf kapital sudah diketahui
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
64
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM namun mahasiswa kurang konsisten dalam menulis. Karena mahasiswa tersebut sudah menerima materi tersebut sejak SD. Selanjutnya, penulisan kata baku dan kata nonbaku dalam teks naskah pidato juga terjadi kesalahan. Berdasarkan analisis kesalahan penyusunan kalimat seperti yang dibahas di atas maka pemilihan kata-kata yang sesuai perlu diperhatikan kembali oleh mahasiswa. Mahasiswa harus lebih banyak perbendaharaan kata untuk menulis. Kalimat rancu perlu dihindari yaitu dengan meneliti kembali apa yang sudah dituliskan. Mahasiswa membaca secara berulangulang dan mengedit kembali tulisannya. Dalam aturan penulisan bahasa lisan dan tulisan tidak dapat disamakan. Karena bahasa tulisan sifatnya sangat kompleks yang mempunyai aturan-aturan atau kaidah dalam penulisan. Lain halnya dengan bahasa lisan yang digunakan dalam kehidapan sehari-hari tanpa aturan namun pembicaraan tidak menyinggung perasaan orang lain. Dalam forum resmi harus menggunakan bahasa lisan yang baku. Hal inilah yang menyebabkan penulisan kalimat bahasa lisan yang dituangkan dalam bahasa tulisan menjadi rancu. Analisis kesalahan berbahasa dalam teks naskah pidato juga terjadi salah penyampaian kepada sasaran pembicaraan. Mahasiswa cenderung menulis dengan baik namun lupa membaca kembali apa yang sudah ditulis. Hasil analisis dalam penyusunan paragraf adalah mahasiswa cenderung sudah baik dalam menulis paragraf, namun masih ada beberapa yang terkendala dalam menulis. Setiap paragraf mengandung satu pokok pikiran. Kecuali jika mahasiswa tersebut tak paham paragraf. Dalam satu paragraf terdiri atas tiga kalimat, yaitu kalimat utama, kalimat penjelas, dan kalimat penutup. Namun rata-rata tulisan mahasiswa sudah baik dan mengarah. Hal ini disebabkan mahasiswa
65
sudah mempunyai landasan berpikir karena matakuliah Bahasa Indonesia sudah mereka dalami pada semester 2. Namun, bagi mahasiswa yang penulisannya belum maksimal dapat terus menambah keilmuannya di bidang Bahasa Indonesia. Daftar Pustaka Chaer, Abdul, Kajian Bahasa: Struktur Internal, Pemakaian dan Pemelajaran, Jakarta: Rineka Cipta, 2007. Bambang dan Maryanto, Contoh-Contoh MC dan Pidato, Surabaya: Apollo, tanpa tahun. Arifin, E. Zainal dan Tasai S. Amran, Cermat Berbahasa Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 2010. Tarigan, Henry Guntur dan Tarigan, Djago, Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa, Bandung: Angkasa, 1988. Badudu, J.S, Inilah Bahasa Indonesia yang Benar IV (Jakarta: PT Gramedia, 1995). Razali, Analisis Kesalahan Berbahasa Indonesia dalam Karangan Siswa Kelas VI Sekolah Dasar. Dalam Jurnal Lentera: Jurnal Ilmiah Sains dan Teknologi, vol. 3, November 2005. Ti m P e n y u s u n , P e t u n j u k Te k n i s Penulisan Proposal dan Skripsi Lhokseumawe: STAIN Malikussaleh, 2012. Tim Penyusun, Bahasa Indonesia Dasar Penulisan Ilmiah, Semarang: Universitas Diponegoro, 2000. Lestari, Endang dan Maliki, Komunikasi
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM yang Efektif, Jakarta: Lembaga Administrasi Negara, 2006. A n d i n i T. N i r m a l a d a n A d i t y a A Pratama, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Masa Kini (Surabaya: Prima Media, 2003) H e n r y G u n t u r Ta r i g a n d a n D j a g o Tarigan, Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa (Bandung: Angkasa, 2011) Minto Rahayu, Bahasa Indonesia di P e r g u r u a n Ti n g g i ( J a k a r t a : Grasindo, 2007) Minto Rahayu, Bahasa Indonesia di P e r g u r u a n Ti n g g i ( J a k a r t a : Grasindo, 2007)
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
66
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM MENYEMAI NILAI AKHLAK BAGI MAHASISWA DALAM BERORGANISASI Saiful Bahri, S.Pd.I, MA Abstract common desire to sow better morals and prudent in running the organization for students to realize an aspiration to success, therefore it is necessary to keep the moral values in daily interaction in running the organization, maintaining an attitude, manners, way of communicating good, plainclothes Islamic way, as well as maintain the cleanliness dilikungkan campus, so that hope into a dream we shared toward welfare, peace, comfort, cleanliness and ketentram in a campus
Pendahuluan Mahasiswa pada saat ini merupakan harapan terbesar bagi masyarakat sebagai penyambung lidah rakyat terutama sebagai perubahan di masyarakat (Agen social of cahange). Sebagai salah satu potensi, mahasiswa sebagai bagian dari kaum muda dalam tatanan masyarakat yang mau tidak mau pasti terlibat langsung dalam tiap fenomena sosial, harus mampu mengimplementasikan kemampuan keilmuannya dalam akselerasi perubahan keumatan ke arah berkeadaban. Dalam kehidupan kampus, institusi akademik, tentunya sangat didambakan munculnya kultur perguruan Tinggi yang sehat dan kondusif, sehingga semua sivitas akademik, termasuk mahasiswa untuk berlomba-lomba meraih prestasi yang unggul. Prestasi yang unggul dalam konteks ini tidak hanya dibatasi prestasi akademik saja, melainkan juga keluhuran akhlak, keangguanan beretika. Mahasiswa diarahkan tidak saja menguasai pengetahuan tetapi kepada intellectual curiosity, tidak saja kepada keterampilan manual dan intelektual tetapi juga kepada life skills (beriman, berakhlak mulia, memiliki etos kerja dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan) dan perkembangan yang menyeluruh dari setiap individu serta bersedia to live together dalam dunia yang semakin diwarnai oleh
67
konflik sosial. Perubahan mind set ini sangat diperlukan agar terciptanya kondisi yang nyaman dan damai. Akhlak mahasiswa jika ditinjau dari segi agama tidak terlepas dari Al-qur’an dan sunnah sebagai sumber agama Islam. Jadi ukuran baik buruknya akhlak berlandaskan kedua sumber Islam tersebut. serta jika ditinjau dari etika akhlak dapat dinilai dengan akal pikiran, maksudnya sesuatu perbuatan dapat dinilai baik buruknya oleh akal pikiran. (Yunahar Ilyas, 2009: 5). Akal pikiran menilai baik buruk berdasarkan pengalaman yang dialami kemudian diolah menurut kamampuan pengetahuannya, akal pikiran hanya bisa menilai secara spekulatif dan objektif. Sedangkan akhlak jika ditinjau dari segi moral, baik buruknya suatu akhlak atau perbuatan tergantung pada budaya dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat (nilai adat). Maksudnya penilaian terhadap baik buruknya seseorang tergantung masyarakat yang menilai, apakah sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat atau tidak, tapi hal ini sangat relatif mengingat budaya dan nilai-nilai antara suatu kelompok masyarakat dengan masyarakat lain berbeda. Oleh karena itu, akhlak mahasiswa harus sesuai dengan apa yang ada dalam kedua sumber pokok agama Islam, apalagi bagi mahasiswa yang selalu
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM berkecimpung dalam organisasi yang jelas-jelas dalam organisasi tersebut akan mendidik mahasiswa yang bermoral, beretika dan bersusila baik di kampus atau di luar kampus. Namun akhlak mahasiswa juga tidak terlepas dari etika dan moral tersebut yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat. Dalam hal ini penulis akan menjelaskan beberapa akhlak bagi mahasiswa yang berorganisasi di lingkungan kampus. A. Organisasi Mahasiswa Dunia organisasi mahasiswa merupakan sebuah alur dalam pembelajaran diri dan wadah pendewasaan. Selain berfungsi sebagai pembelajaran diri, organisasi mahasiswa merupakan wahana bagi mahasiswa berempati dengan situasi yang terjadi di masyarakat. Negara berkembang layaknya Indonesia, banyak dihadapkan masalah-masalah sosial terutama menyangkut kesenjangan ekonomi, kecurangan, ketidakadilan, dan ketidakstabilan politik. Pada dasarnya organisasi mahasiswa adalah sebuah wadah berkumpulnya mahasiswa demi mencapai tujuan bersama. Disamping untuk melatih dan mengajarkan diri mahasiswa untuk menjadi makhluk sosial yang peka terhadap lingkungan disekitarnya organisasi juga menjadikan mahasiswa yang mandiri dan lebih disiplin lagi. Mahasiswa yang aktif berorganisasi secara konsisten semata – mata memiliki pemahan bahwa organisasi kemahasiswaan merupakan sebuah sarana yang efektif dalam mengkader dirinya sendiri untuk ke depan. Mempunyai keyakinan pandangan bahwa kampus merupakan tempat menimba ilmu yang tidak terbatas hanya kepada pelajaran semata. Oraganisasi mahasiswa, BEM misalnya adalah sebuah badan organisasi tertinggi dalam sebuah Universitas, Institut, Politeknik, ataupun Sekolah
Tinggi dan memiliki landasan hukum kuat, berdasarkan KEPMEN No. 155. Keberadaan BEM disebuah Perguruan Tinggi sangatlah fungsional, baik untuk pihak kampus sendiri ataupun untuk Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) berserta civitas akademika Perguruan Tinggi tersebut. BEM adalah singkatan dari Badan Ekseskutif Mahasiswa (BEM), yang menjadi wadah perhimpunan mahasiswa untuk mengaktualisasikan diri dalam mengembangkan minat dan bakat (kreatifitas), selain pengembangan kretifitas Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) juga mempunyai peran penting dalam mengawal segala kebijakan Rektorat (Universitas), baik yang bersangkutan dengan dunia kemahasiswaan ataupun mengenai tentang pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana yang ada di wilayah kampus (Universitas). Disamping itu, BEM juga sebagai lembaga eksekutif yang berperan dalam pembentukan kepribadian dan watak baik bagi anggotanya, mahasiswa di dalam lingkungan kampus maupun masyarakat umum. Melalui BEM, mahasiswa dilatih dan dikembangkan jiwa kepemimpian dan keorganisasiannya sehingga kelak ketika terjun langsung di tengah-tengah masyararakat, mahasiswa tersebut akan mampu bekerjasama dan menjalankan peran dan fungsinya dengan baik, sebagai manusia yang bermoral dan berakhlak mulia. Hal ini seperti yang tercamtum dalam keputusan kementerian pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia No.155/U/1998 tentang pedoman Organisasi Mahasiswa, bahwa organisasi kemahasiswaan antar perguruan tinggi adalah wahana dan sarana pengembangan diri mahasiswa untuk menanamkan sikap ilmiah, pemahaman tentang arah profesi dan sekaligus meningkatkan kerjasama, serta menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan (Kepmen Pendidikan dan
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
68
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Kebudayaan RI, No 155/U/1998). Setelah kesemua itu diperoleh oleh mahasiswa, diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajarnya, sehingga kegiatan organisasi tidak menjadi faktor penghambat dalam memperoleh prestasi belajar yang baik. Namun sebaliknya, menjadi faktor yang dapat mempengaruhi untuk mendapatkan prestasi belajar yang baik. Sehingga dapat diartikan bahwa organisasi Mahasiswa adalah sebuah wadah berkumpulnya mahasiswa demi mencapai tujuan bersama, namun harus tetap sesuai dengan koridor AD/ART yang disetujui oleh semua anggota dan pengurus organisasi tersebut. Organisasi Mahasiswa tidak boleh keluar dari rambu-rambu utama tugas dan fungsi perguruan tinggi yaitu tri darma perguruan tinggi, tanpa kehilangan daya kritis dan tetap berjuang atas nama mahasiswa, bukan pribadi atau golongan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi mahasiswa) Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa organisasi mahasiswa sebagai wadah yang meliputi pengembangan penalaran, keilmuan, minat, bakat, kemimpinan, moral, etika dan akhlakul karimah dan serta kegemaran yang bisa diikuti oleh mahasiswa di tingkat fakultas dan universitas. Tujuannya untuk memperluas wawasan, ilmu dan pengetahuan serta membentuk kepribadian mahasiswa sebagai mahasiswa yang berakhlak mulian dan sebagai agen of change. B. Kedudukan, Fungsi Dan Tugas Organisasi Mahasiswa 1. Kedudukan Organisasi mahasiswa yang memiliki kedudukan resmi dilingkungan kampus dan mendapat pendanaan kegiatan kemahasiswaan dari kampus. Para aktivis Organisasi Mahasiswa Intra Kampus pada umumnya juga berasal dari kader-kader organisasi ekstra kampus
69
ataupun aktivis-aktivis independen yang berasal dari berbagai kelompok studi atau kelompok kegiatan lainnya. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) ialah lembaga kemahasiswaan yang menjalankan organisasi serupa pemerintahan (lembaga eksekutif). Dipimpin oleh Ketua Presiden BEM yang dipilih melalui pemilu mahasiswa setiap tahunnya (http://denbambang. wordpress.com/2012/11/19/organisasikemahasiswaan) Disamping itu bentuk organisasi mahasiswa ini tergantung kepada mahasiswa sebagai hasil musyawarah serta tidak bertentangan dengan undang-undang hal ini sesuai dengan kepmen pendidikan dan kebudayaan RI Yng tertuang dalam Bab II, pasal 3. Poin 2, 3, 4, dan 5, bahwa Poin (2). Organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi dibentuk pada tingkat perguruan tinggi, fakultas dan jurusan. Poin (3). Bentuk dan badan kelengkapan organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi ditetapkan berdasarkan kesepakatan antar mahasiswa, tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, dan statuta perguruan tinggi yang bersangkutan. Poin (4) Organisasi kemahasiswaan pada sekolah tinggi, politeknik, dan akademi menyesuaikan dengan bentuk kelembagaannya. Dan poin (5) Organisasi kemahasiswaan antar perguruan tinggi yang sejenis menyesuaikan dengan bentuk kelembagaannya. (Kepmen Pendidikan, No 155/U/1998) 2. Fungsi dan Tanggungjawab Organisasi Mahasiswa Dalam menjalankan sebuah organisasi bagi mahasiswa mempunyai fungsi yang jelas serta mempunyai dasar hukum yang kuat, sebagaimana tertuang dalam kepmen kementerian pendidikan dan kebuadayaan RI nomor 155/U/1998 tentang pedoman organisasi mahasiswa. Bahwa Organisasi kemahasiswaan mempunyai fungsi sebagai wahana dan sarana:
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM 1. Perwakilan mahasiswa intra kampus untuk menampung dan menyalurkan aspirasi mahasiswa, menetapkan garisgaris besar program dan kegiatan kemahasiswaan; 2. Komunikasi antarmahasiswa; 3. P e n g e m b a n g a n p o t e n s i mahasiswa sebagai insan akademis, calon ilmuwan dan intelektual yang berguna bagi masyarakat; 4. Pengembangan intelektual, bakat dan minat, pelatihan keterampilan, organisasi, manajemen dan kepemimpinan mahasiswa; 5. Pembinaan dan pengembangan kader-kader agama dan bangsa yang berotensi dalam melanjutkan kesinambungan pembangunan nasional; 6. Pemeliharaan dan pengembangan ilmu dan keagamaan yang dilandasi oleh norma akademis, etika, moral dan wawasan kebangsaan. (Kepmen Pendidikan, No 155/U/1998) Namun disamping itu Tanggung jawab sebuah organisasi mahasiswa yang berada dalam lingkungan kampus harus berdasarkan mufakat mahasiswa bagaimana mekanismenya dan harus mengetahui oleh pihak kampus dimana mereka bernaung, sehingga pihak lembaga membuat satu pedoman baru tentang mekanisme atau tata cara berorganisasi dalam kampus tersebut. Sebagaimana yang tercamtum dalam Kepmen pendidikan bab III, pasal 6. Bahwa: Derajat kebebasan dan mekanisme tanggungjawab organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi terhadap perguruan tinggi ditetapkan melalui kesepakatan antara mahasiswa dengan pimpinan perguruan tinggi dengan tetap berpedoman bahwa pimpinan perguruan tinggi merupakan penanggungjawab segala
kegiatan di perguruan tinggi dan/atau yang mengatasnamakan perguruan tinggi. C. Menanamkan Nilai Akhlak Dalam Budaya Berorganisasi Bagi Mahasiswa Organisasi mahasiswa merupakan bagian integral dari kehidupan kampus yang tidak dapat dipisahkan dari aktifitas dan partisipasi mahasiswa dalam membangun citra sebuah perguruan Tinggi, maka hal ini memberikan kontribusi yang signifikan bagi eksistensi perguruan tinggi tersebut. Dalam perjalanannya, setiap organisasi memiliki struktur kepengurusan sebagai bentuk representatif dari bidang-bidang yang tercakup dalam organisasi tersebut, serta memiliki visi dan misi bersama yang hendak dicapai untuk mewujudkan cita-cita organisasi yang diharapkan. Pencitraan organisasi mahasiswa sebagai sebuah wadah proses tingkat pematangan kepribadian sosial mahasiswa ditengah masyarakat kampus melalui pendisiplinan kerja organisasi merupakan langkah awal yang penting untuk dilakukan dengan tujuan menciptakan sistem kerja yang lebih tangguh dan profesional, serta memiliki komitmen tinggi untuk membangun citra organisasi sehingga diakui eksitensinya di kalangan mahasiswa serta menjunjung nilai-nilai akhlak dalam menjalan roda organisasi tersebut. Kampus merupakan suatu komunitas masyarakat intelektual. Sebagai orang Islam, tentu kita sangat mendambakan kampus yang menerapkan nilai-nilai Islam, baik dalam segi muatan pendidikan, perilaku insan kampus maupun lingkungan. Hal ini tercermin dari paradigma dan perilaku manusia kampus itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Islam telah mengatur dan memberi petunjuk tatacara hubungan manusia dengan Tuhannya, sesama manusia dan lingkungannya. Lingkungan kampus merupakan tanggung jawab kita bersama, apalagi bagi mahasiswa yang berkecimpung dalam
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
70
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM organisasi, apakah itu BEM, UKM, HMJ, HMP atau pun organisasi lainya, maka sepatutnya memelihara dan menjaga bersama-sama suana kampus yang islami, tentu sikap dan sopan santun harus terjaga, apalagi segi pakaian, cara bergaul, cara berbicara dan sebagainya, hal ini semua sebagai contoh bagi mahasiswa lain yang tidak tergabung dalam organisasi. Bila kita cermati sebagian besar mahasiswa yang berorganisasi masih belum mencerminkan sikap sebagai insan akademis, banyak sekali para pemimpin mahasiswa yang tidak mengedepankan etika, cara berbicara, cara pergaulan serta dalam menentukan sikap semuanya itu lebih mengedepankan emosional yang tinggi dan kasar sehingga terjadilah keributan antara sesama pemimpin organisasi mahasiswa (ormawa), bahkan bukan hanya itu terhadap para dosen dan para rektorat yang merupakan orang tua mereka di kampus juga tidak dihiraukan perkataannya, padahal dalam berorganisasi selalu diajarkan bagaimana cara berkomukasi yang baik, bersikap ramah, menghormati dan sebagainya bahkan diajarkan untuk menyelesaikan masalah yang sulit dan rumit supaya dapat diselesaikan secara damai dan tentram. Maka dari itu, bagi mahasiswa yang berorganisasi selalu harus menanamkan nilai-nilai akhlakul karimah dalam menentukan sikap baik serta berkomunikasi sesama mahasiswa dan juga sesama dosen, karena mahasiswa yang tergabung dalam organisasi tersebut merupakan pemimpin bagi mahasiswa lain yang tidak bernaung dalam organisasi. Oleh karena itu, bagi kita seorang pemimpin mahasiswa harus menggunakan nalar/pikiran sebelum bertindak, pemahaman terhadap hak, tanggungjawab, dan kewajiban sebagaimana yang diharapkan, baik sebagai dari masyarakat kampus, maupun sebagai ketua dalam berorganisasi.
71
Disamping itu, selain menjaga sikap kita sebagai pemimpin bagi mahasiswa lain dalam berorganisasi, tentu menjaga sikap akhlak yang baik dalam lingkungan kampus misalnya untuk kelangsungan keindahan taman, siapapun tidak boleh berjalan di atas rumput, tidak boleh memetik bunga, menjaga toilet tetap bersih, setiap kita yang menggunakannya sepatutnya menyiram sampai bersih dan tidak meninggalkan bekas bau. Kita sebagai pemimpin mahasiswa lain sebaiknya tidak membuang pembalut bekas di lubang WC bagi mahasiswi. Selain itu, penggunaan air haruslah terjaga dan kran-kran ditutup kembali setelah dipakai. Untuk menjaga keindahan kampus, setiap para pemimpin mahasiswa sepatutnya menempel kertas-kertas informasi pada tempat yang disediakan dan tidak mencoret-coret tembok. Dalam hal pengelolaan sampah, kita sebagai mahasiswa yang berkecimpung dalam organisasi setelah mengetik surat dan sebagainya apabila ada kertas yang rusak sebaiknya membuang sampah pada tempat yang disediakan. Sampah kertas, bekas bungkus makanan dan permen, puting rokok dan plastik-plastik hendaknya dibuang pada tempat sampah. Ini semuanya sebagai contoh kita berikan kepada mahasiswa lain karena kita seorang pemimpin bagi mareka. Maka ajari dan bimbinglah mahasiswa ke arah yang baik secara islami. Untuk itu sebuah harapan kita bersama dalam memelihara keharmonisan dalam lingkungan kampus, kita sebagai pemimpin mahasiswa yang tergabung dalam organisasi perlu bersikap aktif dan responsif, bisa bekerja sama dengan baik dalam kegiatan apapun, menghormati pendapat teman walaupun itu sulit diterima apalagi dengan dosen dan para rektorat dan sebagainya. Singkatnya, kesejahteraan, kedamaian, kenyamanan, kebersihan, dan
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM keamanan di dalam dan luar kampus selalu kita dambakan bersama-sama setiap mahasiswa, khususnya bagi pemimpin organisasi mahasiswa (ORMAWA) yang menjadi panutan dan percontohan bagi mahasiswa lain untuk memudahkan mencapai sukses di perguruan tinggi. Tanpa keterlibatan dan partisipasi kepedulian para petinggi mahasiswa akan sulit untuk diwujudkan sesuatu yang kita dambakan bersama.
Kepmen Pendidikan, No 155/U/1998 Tentang Pedoman Umum Organisasi Mahasiswa, Bab II, Pasal 3. Kepmen Pendidikan, No 155/U/1998
D. Kesimpulan Pencitraan organisasi mahasiswa sebagai sebuah wadah proses tingkat pematangan kepribadian sosial mahasiswa ditengah masyarakat kampus melalui pendisiplinan kerja organisasi merupakan langkah awal yang penting untuk dilakukan dengan tujuan menciptakan sistem kerja yang lebih tangguh dan profesional, serta memiliki komitmen tinggi untuk membangun citra organisasi sehingga diakui eksitensinya di kalangan mahasiswa serta menjunjung nilai-nilai akhlak dalam menjalan roda organisasi mahasiswa tersebut. Daftar Pustaka Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, Yogyakarta: LPPI, 2009. Kepmen Pendidikan dan Kebudayaan RI, No 155/U/1998 Tentang Pedoman Umum Organisasi Mahasiswa, Bab 1, Pasal 1, poin 3. http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_ mahasiswa, donwload tanggal 01 Desember 2013 http://denbambang.wordpress. c o m / 2 0 1 2 / 11 / 1 9 / o r g a n i s a s i kemahasiswaan/ donwload tanggal 01 Desember 2013
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
72
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM APLIKASI TEORI DIFUSI INOVASI DALAM TEKNOLOGI INSTRUKSIONAL Oleh: Susi Yusrianti Email:
[email protected] Abstract Instructional Technology is a field of innovation and berubahan in the education system. The study of the diffusion and institutionalization of instructional technology innovation is essential in improving the quality of community learning. Where the diffusion and institutionalization of innovation is the base of social change (social change) which is at the core of community development, the community that is building feel concerned with innovation, new discoveries, either in the form of ideas, goods, or new tools, as well as the diffusion of innovations can be applied tindakan.Teori in instructional technology. By understanding the factors that influence the adoption of these innovations, the instructional technologists can explain, predict and consider the factors that inhibit and facilitate the diffusion of instructional technology innovations. Keywords: Diffusion, Innovation, Instructional Technology A. PENDAHULUAN Kehadiran teknologi telah memberikan kemudahan-kemudahan kepada manusia dalam mengelola berbagai aspek kehidupan. Aspek pendidikan, misalnya, teknologi telah memainkan peranan penting dalam proses pembelajaran. Sebagian lembaga pendidikan telah mengadopsi teknologi untuk memudahkan proses belajar pembelajaran baik di dalam maupun diluar kelas. Namun, masih banyak juga lembaga pendidikan yang belum akrab dengan teknologi tersebut. Ketidakakraban tersebut, pada satu sisi, dapat diduga sebagai akibat difusi teknologi yang tidak merata. Pada sisi lain, ada kemungkinan karena keterbatasan biaya dan sumber daya manusia dalam lembaga tersebut. Keberhasilan penyebaran teknologi, merupakan suatu inovasi yang dapat melembaga / institusionalisasi dalam suatu masyarakat melalui peran pembaharu, sistem sosial dan organisasi.
73
B. TEORI DIFUSI INOVASI Secara istilah, Everett Rogers (1995) mendefinisikan difusi bahwa: Diffusion as the process by which on inovation is adopted and gains acceptance by members of a certain community. A number of factors interact to influence the diffusion of an innovation. The four major factors that influence the diffusion process are the innovation itself, how information about the innovation is communicated, time,and the nature of the social system into which the innovation is being introduced. Difusi diartikan sebagai proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan, diadopsi dan dimanfaatkan oleh warga masyarakat tertentu. Melalui Proses difusi tersebut memungkinkan suatu inovasi diketahui oleh banyak orang dan dikomunikasikan sehingga tersebarluas dan akhirnya digunakan di masyarakat. Proses difusi biasanya terjadi karena ada pihak-pihak yang menginginkannya, atau secara sengaja merencanakan dan mengupayakannya. Dalam proses difusi
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM terjadi interaksi antara empat elemen, yaitu karakteristik inovasi itu sendiri, bagaiman informasi tentang inovasi dikomunikasikan, waktu, dan sifat system sosial dimana inovasi diperkenalkan. Sedangkan inovasi, purwanto (2000) mengartikannya sebagai ide, temuan, cara atau objek yang dianggap baru oleh individu, organisasi, atau system sosial. Dalam kaitan ini, antara difusi dan inovasi mempunyai hubungan yang erat. Proses difusi dapat terjadi jika ada inovasi. Adanya unsur inovasi merupakan syarat mutlak bagi proses difusi. Ide, cara atau objek baru bisa benar-benar baru jika ia merupakan hasil suatu penemuan (invention) hasil rekayasa: dan dapat pula berupa ide, cara atau objek baru yang diperbaharui (renewal). Dalam konteks teknologi instruksional, inovasi mengacu kepada pemanfaatan teknologi canggih, baik perangkat lunak (software) maupun perangkat keras (hardware) dalam proses pembelajaran. Tujuan utama aplikasi teknologi baru ini adalah untuk meningkatkan mutu pembelajaran, Efektivitas dan efisiensi. Metode dan strategi pembelajaran juga merupakan sebuah inovasi dalam pembelajaran. Teori difusi yang paling banyak dikenal adalah yang diajukan oleh Everett M.Rogers dalam bukunya Diffusion of Innovation, yang menyediakan suatu tinjauan yang komprehensif akan teori difusi inovasi. Buku ini diterbitkan pada tahun 1962 dan sekarang sudah edisi keempat tahun 1962. Rogers mengemukakan empat teori difusi inovasi, yaitu: 1. Teori Proses Keputusan Inovasi Menurut teori ini , suatu inovasi yang didifusikan memerlukan waktu untuk sampai kepada keputusan diterima atau ditolak oleh adopter. Dimana dalam prosesnya akan menjalani lima tahapan berikut; - Knowledge (pengetahuan)
Yaitu mengetahui akan suatu inovasi dan memperoleh suatu pemahaman dasar akan inovasi yang dimaksud. - Persuasion (persuasi) Yaitu memberikan kesan positif atau negatif akan inovasi tersebut. - Decision (keputusan) Yaitu memberikan keputusan apakah inovasi tersebut diterima atau ditolak. - Implementation (implementasi) inovasi yang diterima, secara fakta digunakan. - Confirmation (konfirmasi) Yaitu mencari informasi tentang inovasi untuk melanjutkan atau tidak dalam penggunaan inovasi. Tahapan konfirmasi ini bisa juga menjelaskan terhadap suatu inovasi yang sebelumnya ditolak. 2. Teori Keinovatifan Individual Teori ini menyatakan bahwa untuk inovasi yang sudah ada, sebuah persentase tertentu dari populasi dengan siap akan mengadopdi inovasi, sementara yang lain ada kemungkinan untuk tidak mengadopsi. Menurut Rogers, ada suatu distribusi normal dari kategorikategori pengadopsi yang beragam yang membentuk kurva Bell. orang-orang yang inovatif akan mengadopsi suatu inovasi lebih awal daripada mereka yang kurang inovatif. Berdasarkan teori ini individu dapat digolongkan atau dikelompokkan menjadi lima kategori yang memiliki angka perkiraan tentang jumlah prosentasenya, yang membentuk kurva normal, yaitu dari yang sangat inovatif sampai yang tidak inovatif, Dijabarkan sebagai berikut: 1. Innovators/Venturesome (orang yang siap/berani menerima inovasi) berjumlah 2,5 % 2. Early adopter/respect (Adopter awal, the individual to check with before using a new idea ) berjumlah 13,5 %
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
74
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM 3. 4. 5.
Early majority/deliberate (sengaja mengadopsi inovasi) berjumlah 34 % Late Majority/Skeptical (raguragu dalam mengadopsi inovasi) berjumlah 34 % Laggards/Traditional (kelompok tertinggal dalam mengadopsi inovasi) berjumlah 16 %
3. Teori kecepatan Adopsi Teori ini menyatakan bahwa inovasi didifusikan dalam waktu yang terpola dalam suatu kurva ketajaman yang dikenal S-shaped adoption curve. Kecepatan adopsi suatu inovasi berjalan mulai dari tahapan lambat, tumbuh secara gradual, kemudian bertambah secara dramatik dan cepat, setelah itu diikuti masa stabil. Periode ekspansi yang cepat tersebut terjadi ketika faktor-faktor teknis dan sosial berkombinasi untuk menjadikan inovasi tersebut mengalami pertumbuhan yang dramatik. Sebagai contoh: banyak faktor-faktor yang berkombinasi, sehingga terjadi penerimaan yang meluas akan WWW (Worid Wide Web) antara tahun 1995 dan 2000. 4. Teori Persepsi tentang Atribut Inovasi Menurut teori ini, orang yang berpotensi menjadi adopter menilai suatu inovasi atas dasar persepsinya tentang karakteristik inovasi tersebut. Atribut yang dipersepsikan oleh calon adopter tersebut adalah: 1. Relative advantage (keuntungan relatif) Bahwa setiap adopter lebih cenderung mengadopsi suatu inovasi yang menawarkan keuntungan bagi adopter tersebut. 2. Compability (kesesuaian) Bahwa inovasi akan diadopsi, jika sesuai dengan kebutuhan, kepercayaan dan nilai-nilai adopter tersebut.
75
3.
4. 5.
Complexity (kerumitan) Adopter hanya akan mengadopsi inovasi yang bagi dirinya tidak terlalu rumit dalam penggunaannya dan tentu saja tidak mempersulit adopter tersebut Triabilility (dapat diuji coba) Inovasi tersebut dapat diuji coba sebelum diadopsi Observability (dapat diamati) Maksudnya dapat diteliti oleh para ahli atau masyarakat.
C. Elemen-elemen Difusi inovasi Dalam proses difusi inovasi terjadi interaksi antara empat elemen, dimana elemen tersebut merupakan unsur utama dalam difusi inovasi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Everett Rogers (1995): 1. Innovation Yaitu adanya suatu gagasan (on idea), tindakan (practic), atau objek yang dianggap baru sehingga diadopsi baik oleh individu maupun kelompok. 2. Communication Channels Difusi inovasi dapat terjadi dengan menggunakan saluran komunikasi yang berisi pesan atau ide baru. Dalam difusi inovasi terjadi penyampaian informasi tentang ie baru kepada satu orang atau beberapa orang (kelompok). Proses komunikasi atau penyampaian informasi tersebut dapat terjadi apabila terpenuhi empat syarat yaitu: 1. Adanya ide baru 2. Adanya pihak yang memiliki pengetahuan tentang ide baru 3. Adanya pihak yang belum memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang ide baru 4. Adanya saluran komunikasi yang dapat menghubungkan
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM keduabelah pihak tersebut. 3. Time Dalam menjalani prosesnya, difusi inovasi memerlukan waktu. Hal ini dimaksudkan bahwa dalam proses keputusan individu mulai dari tahap pengetahuan sampai tahap menerima atau menolak inovasi memerlukan waktu, dan butuh waktu yang cukup dalam pengapdosian inovasi baik oleh individu maupun kelompok. 4. Social System Adalah seperangkat jaringan yang terbentuk atas dasar kebersamaan untuk pemecahan masalah atau mencapai suatu tujuan. Proses Difusi atau proses penyebaran inovasi tersebut terjadi dalam sistem sosial. Inovasi masuk ke masyarakat melalui change agent , kemudian diterima oleh seluruh masyarakat atau sebagian besar anggota masyarakat/sistem atau inovasi itu gagal tersebar. Dalam hal ini ada beberapa komponen sistem sosial yang mempunyai peranan penting dalam proses difusi: 1. Agen pembaharu (change agent) 2. Anggota sistem sosial sebagai penerima inovasi (adopter) 3.Tokoh masyarakat sebagai sumber bagi penyebaran ide baru 4. Saluran komunikasi yang dipergunakan dalam proses difusi D. Peran Agen pembaharu dalam proses difusi inovasi Menurut Everett M.Rogers(1995) ada tujuh peranan agen pembaharu dalam proses memperkenalkan inovasi kepada masyarakat, yaitu: 1. Membangkitkan kebutuhan untuk berubah
2. Mengadakan hubungan untuk peubahan 3. Mendiagnosis masalah 4. Menciptakan motivasi untuk berubah pada diri adopter 5. M e r e n c a n a k n t i n d a k a n pembaharuan 6. Memelihara program pembaharuan dari berbagai hambatan 7. Menciptakan kemandirian adopter Dalam menjalani perannya, ada beberapa faktor yang menunjang keberhasilan agen pembaharu tersebut, antara lain: 1. Gencarnya usaha promosi 2. Lebih berorientasi pada klien 3. Bekerjasama dengan tokoh masyarakat 4. Kredibilitas agen pembaharu di mata klien E. Proses Adopsi Inovasi Proses adopsi merupakan proses mental dimana individu mengetahui suatu inovasi dimulai dari mendengar kemudian mengadopsikannya. Menurut Rogers, proses adopsi inovasi dapat dibagi ke dalam lima tahapan, yaitu: 1. Awareness Pada tahap ini, individu sangat menyukai inovasi tetapi tidak memperoleh informasi yang cukup. Namun, ia telah mempunyai kesadaran untuk memiliki suatu inovasi. 2. Interest Pada tahap ini, individu mulai tertarik kepada ide baru dan mencoba mencari informasi tambahan tentang itu. Di sini individu terdorong untuk mencari informasi lebih banyaklagi tentang objek yang diminatinya. 3. Evaluation Pada tahap ini individu secara mental ,engaplikasikan inovasi ke dalam kehidupannya saat ini
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
76
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM dan sekaligus mengantisipasi ke masa akan datang; dan kemudian memutuskan apakah ia mencabanya atau tidak. Tahap ini merupakan tahap selektif terhadap suatu inovai untuk menentukan sikap. 4. Trial Pada tahap ini, individu menggunakan secara penuh suatu inovasi. Jadi, inovasi sudah dimiliki dan menjadi bagian dari kehidupannya sehinga ia membutuhkannya. 5. Adoption Pada tahap ini, individu memutuskan untuk meneruskan menggunakn inovasi secara utuh. Tahap ini merupakan keakraban individu dengan inovasi yang sudah dimilikinya sehingga ia akan menggunakannya secara berkesinambungan Dalam proses adopsi inovasi tersebut, ada konsekuensi yang merupakan perubahan yang terjadi pada individu atau sistem sosial sebagai akibat dari mengadopsi atau menolak suatu inovasi. Terdapat tiga klasifikasi dari konsekuensi yaitu: 1. Konsekuensi yang diharapkan dan tidak diharapkan Konsekuesi yang diharapkan adalah suatu inovasi mempunyai pengaruh fungsional sesuai dengan keinginan individu atau sistem sosial. Sedangkan konsekuensi yang tidak diharapkan adalah suatu dampak yang timbul padahal dampak tersebut tidak dikehendakinya. 2. Konsekuensi langsung dan tidak langsung Konsekuensi langsung adalah inovasi mempunyai pengaruh yang segera terhadap individu atau sistem sosial. Sedangkan
77
konsekuensi tidak langsung adalah inovasi yang memberikan pengaruh secara lambat 3. Konsekuensi Diantisipasi dan Tidak Dapat Diantisipasi Konsekuensi diantisipasi adalah konsekuensi yang telah diperkirakan sebelumnya; sedangkan konsekuensi tidak diantisipasi adalah dampak susulan yang muncul kemudian setelah terjadi adopsi atau menolak inovasi. Konsekuensi yang tidak diantisipasi bisa bersifat positif, dan bisa juga negatif. F. Insitusionalisasi Inovasi Miles, Eckholm, and Vandenburghe (1987), seperti dikutip Reiser dan Demsey, menyatakan “institusionalization takes place when an innovation is assimlated into the structure of an organization and changes that organization in a stable way” Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa institusionalisasi terjadi ketika suatu inovasi terasimilasi kedalam struktur suatu organisasi dan dengan inovasi tersebut terjadi perubahanperubahan secara stabil. Menurut The Regional Laboratory for Educatonal Improvement of the Northeast and Islands (Eisemen, Fleming & Roody, 1990), ada enam indikator institusionalisasi yang secara umum dapat diterima: 1. Diterima oleh peserta yang relevan suatu persepsi bahwa inovasi memiliki legitimasi 2. I n o v a s i b e r s i f a t s t a b i l d a n digunakan secara rutin 3. Penggunaan inovasi secra luas meliputi seluruh lembaga dan organisasi 4. Adanya suatu harapan yang pasti untuk diterapkan dan diteruskan pemakaiannya dalam sutu institusi atau organisasi 5. Keberlangsungan penggunaan
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM tidak hanya oleh individu tetapi juga menjadi budaya dalam organisasi dan struktur sosial 6. adanya lokasi waku dan dana Enam indikator di atas bukanlah sesuatu yang mutlak, tetapi menjadi standar evaluasi; apakah inovasi tersebut sudah terinstitusionalisasi atau belum. Suatu inovasi dikatakan sudah melembaga dalam suatu masyarakat atau system sosial jika inovasi tersebut telah menjadi bagian dari kehidupan warganya atau sudah menjadi bagian integral dalam suatu organisasi atau system sosial. G. Aplikasi Teori Difusi Inovasi dalam teknologi instruksional Berbagai teori dan konsep telah didiskusikan oleh Rogers dalam Diffusion of Innovations dapat diaplikasikan kepada stdi tentang inovasi-inovasi di hampir semua bidang. Sejumlah peneliti telah menggunakan teori-teori dan konsepkonsep tersebut untuk mempelajari difusi inovasi teknologi instruksional. Dalam wilayah teknologi instruksional, teori difusi sangat sering diaplikasikan terhadap studi mengenai pemanfatan teknologi, belajar dan pembelajaran, seperti tehnik-tehnik pembelajaran inovatif (Holloway, 1996). Ernest Burkman (1987) adalah salah satu penulis yang secara khusus menghubngkan teori difusi dengan teknoloi instruksional. Burkman telah menggunakan-menggunakan atributatribut yang menurutnya penting untuk mengembangkan suatu metode/ pendekatan baru dalam mengembangkan produk-produk instruksional yang tentu saja merupakan daya tarik bagi para pengadopsi potensial. Burkman menyebut pendekatan baru tersebut sebagai pendekatan instruksional yang berorientasi pada pengguna “User-Oriented Instruksional Development (UOID)” . Lima langkah dalam UOID Burkman adalah sebagai berkut:
1. Mengidentifikasi pengadopsi inovasi yang potensial 2. Mengukur persepsi-persepsi pengadopsi potensial yang relevan 3. Mendesain dan mengembangkan suatu produk yang sesuai dengan pengguna 4. Menyampaikan informasi kepada adopter potensial 5. Menyedikan pendukung pasca adopsi Selain Burkman, para peneliti lain telah menggabungkan teori difusi ke dalam teknologi instruksional. Misalnya, Stockdill dan Morehouse (1992) telah menggunakan konsep-konsep difusi pada pendidikan jarak jauh dan tekhnologi pendidikan lainnya. Farquhar dan surry (1994) tela menggunkan teori difusi untuk mengidentifikasi dan menganalisa faktor-faktor yang dapat membantu dalam proses adopsi inovasi inovasi instruksional di dalam organisasi-organisasi. Sherry, Lwyer-Brook dan Black (1997) telah menggunakan konsep-konsep difusi sebagai basis untuk suatu evaluasi akan sebuah program, seperti memperkenalkan guru dengan internet. Dan masih banyak lagi penelitian-penelitian lainnya. H. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Inovasi akan terus terjadi karena didorong oleh adanya faktor luar dan faktor dalam diri manusia serta adanya interaksi antar keduanya. Faktor dalam diri misalnya keinginan dan kebutuhan serta adanya potensi untuk meningkatkan dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan faktor luar adalah perubahan-perubhan yang terjadi dilingkungannya. Interaksi antara faktor luar dan faktor dalam menyebabkan terjadinya
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
78
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta inovasi tanpa henti. 2. Dalam proses difusi inovasi kadangkala membawa keberhasilan yang gemilang karena inovasi diterima dengan baik oleh masyarakat; dan kadangkala mengalami kendala sehingga menghambat keberhasilan dan bahkan kegagalan karena ditolak oleh masyarakat. Dengan demikian, proses difusi inovasi mendatangkan konsekuensikonsekuensi. 3. Te o r i d i f u s i i n o v a s i d a p a t diaplikasikan dalam teknologi instruksional. Dengan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi tersebut, maka para teknolog instruksional dapat menjelaskan, memprediksi dan mempertimbangkan faktorfaktor yang menghambat dan memudahkan difusi inovasi teknologi instruksional tersebut.
Romiszowski, A. J.(1981), Designing Instructional System, London: Kogan Page Ltd Barbara B. Seels and Rita C. Richey, (2004) terjemahan Dewi, S. Prawiradilaga, Teknologi Pembelajaran, Definisi dan Kawasannya, Jakarta: UNJ Dewi Salma Prawiradilaga, (2004) Mozaik Teknologi Pendidikan , Jakarta: UNJ Purwanto, et.al, (2005), Jejak langkah P e r k e m b a n g a n Te k n o l o g i Pendidikan di Indonesia , Jakarta: Pustekkom-Depdiknas Sharon E. Smaldino, (2005), Instructional Te c h n o l o g y a n d M e d i a F o r Learning, Pearson Education, New Jersey
DAFTAR PUSTAKA Robert A. Reiser & John v. Demsey, Trends and Issues in Instructional Design and Technology, (New Jersey, Columbus, Ohio: Merrrill Prentice Hall, 2002) Everett M. Rogers, Diffusion of innovation, (New York: The Free Press, 1995) Gagne, Robert M. & Leslic Briggs (1978), Principles of Instructional Design, New York: Holt, Rinchart and Winston Miarso, Yusufhadi (2004), Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, Jakarta: Prenada Media
79
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
80
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM TINGKATKAN SUMBER DAYA MANUSIA Syarboini, MA Abstract The main factors causing the low ability of Islamic educational institutions in unleash its resources is weak leadership pendidikan.Kepemimpinan institution is an ability that is inherent to a lead, which depends on several factors, both internal factors and external factors. Special culture contained in one group in society that is different from the culture of other groups and cultures around the community named principal part special culture (sub-culture) culture eg Acehnese, Batak, Minang Kabau, Sundanese, Javanese, and so on. Culture of each nation can be divided into an infinite number of elements number. Elements of Islamic education learners, educators, educational goals, curriculum, media and environmental education. A. Pendahuluan Di era informasi dan teknologi seperti sekarang ini, salah satu tantangan besar lembaga-lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan Islam adalah bagaimana cara mengobtimalkan semua sumberdaya yang dimilikinya. Optimalisasi sumber daya yang dimiliki oleh lembaga pendidikan Islam adalah suatu keharusan yang tidak bisa ditawar, agar ia eksis dan emiliki daya saing dengan lembagalembaga pendidikan umum lainnya. Dengan melakukan optimalisasi semua sumber daya yang dimiliki lembaga pendidikan tersebut, maka berbagai problematika yang dihadapi oleh lembaga pendidikan Islam dapat dipecahkan, atau setidaknya dapat dikurangi. Potensi sumber daya lembaga pendidikan yang meliputi sumbar daya manusia, sumber pendanaan, partisipasi masyarakat, dan berbagai potensi lain yang dimilikinya sesungguhnya cukup besar. Namun selama ini lembaga-lembaga pendidikan, terutama lembaga pendidikan Islam belum sepenuhnya mampu memberdayakan potensi-potensi tersebut. Faktor utama yang menyebabkan rendahnya kemampuan lembaga pendidikan Islam dalam menberdayakan
81
sumber daya yang dimiliki adalah lemahnya kepemimpinan lembaga pendidikan. Selama ini kepemimpinan lembaga pendidikan agama Islam diyakini belum mampu memberdayakan sumber daya manusia yang dimilikinya untuk berkinerja secara efektif dengan membagun komitmen mereka terhadap nilai-nilai baru, mengembangkan ketrampilan dan kepercayaan mereka dan menciptakan iklim yang kondusif bagi berkembangnya inovasi dan kreativitas. Dimasa sekarang ini dan masa ya n g a ka n d a ta ng , ke p e mi mp i na n lembaga pendidikan Islam dituntut untuk memiliki kemampuan di antaranya (1) mengidantifikasi diri sebagai agen perubahan, (2) berani dan teguh, (3) memiliki kepercayaan kepada orang lain, (4) memiliki sikap pembelajran seumur hidup, (5) mempunyai kemampuan untuk mengahadapi kompleksitas dan ketidak pastian dan terakhir visionaris. B. Kepemimpinan Seorang pemimpin, baik pemimpin formal maupun pemimpin informal menjalankan atau melaksanakan kepemimpinan yang dengan sendirinya berbeda-beda:
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM - Derajatnya; - Bobotnya; - Daerah jangkauannya; - Sasaran-sasarannya. Mari kita perhatikan pandangan sejumlah penulis tentang istilah “kepemimpinan” tersebut. Sudarwan Danim mendefinisikan kepemimpinan adaah setiap tindakan yang dilakukan oleh setiap individu atau kelompok yang dikoordinasi dan memberi arah kepada individu atau kelompok lain yang tergabung dalam wadah tertentu untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (Danim, 2003: 53). Menurut McFarland dalam Sudarwan Danim mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu proses dimana pemimpin dilukiskan akan memberi perintah atau pengaruh, bimbingan atau proses pembaharui pekerjaan orang lain dalam memilih dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pfiffner mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah seni mengkoordinasi dan memberi arah kepada individu atau kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan(Danim, 2003: 54). Kepemimpinan merupakan suatu kemampuan yang melekat pada diri seorang yang memimpin, yang tergantung dari beberapa faktor, baik faktor-faktor intern maupun faktor-faktor ekstern. Adakalanya kepemimpinan seorang pemimpin sangat menonjol/ berkembang pada periode tertentu, sedangkan periode lain hal tersebut mulai mundur (Winardi, 2000: 47). Pada dasarnya, al-qur’an dan hadis tidak membedakan jenis kepemimpinan dalam masyarakat, karena menurut konsep Islam, seorang pemimpin masyarakat, idealnya juga harus bisa memimpin agama. Nabi Muhammad adalah seorang pemimpin masyarakat sekaligus pemimpin agama dan tokoh spiritual pada masyarakat Madinah dan daerah-daerah lain yang ada dalam kekuasaanya. Dalam perspektif
Islam syarat-syarat menjadi pemimpian adalah: - Kuat aqidahnya Kekuatan aqidah menjadi syarat bagi seorang pemimpin, mengingat kekuatan aqidah itulah yang sangat menentukan prilaku kepemimpinannya. Dasar dikuatkan aqidah ini adalah firman Allah swt. yang artinya:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orangorang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman. (Al-Maidah ayat 5 Selain kuat aqidah syarat pemimpin dalam Islam adalah: - Adil dan jujur - Mencintai dan mengutamakan kepentingan rakyat dari pada kepentingan golongan - Mampu menumbuhkan kerja sama dan solidaritas antara sesama umat. Dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim tentang pemimpin yang baik, dengan artinya”Sebaik-baik pemimpin adalah orang-orang yang kalian cintai dan mereka mencintai kalin, mereka mendo’akan kalian dan kalian juga mendo’akan mereka. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian benci dan merekapun benci kepada kalian, mereka kutuk kalian dan kalian mengutuk mereka (H. R. Muslim) C. Budaya Bangsa Setiap bangsa pada umumnya memiliki tradisi dan budaya sendri-sendiri. Perbedaan antara bangsa inilah yang memungkinkan sekali perbedaan citacitanya. Sehingga terjadi pula perbedaan dalam merumuskan tujuan yang dikehendakinya dalam bidang pendidikan.
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
82
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Manusia sebagai insan yang memiliki akal pikiran mengembangkan budaya yang berdampak luas terhadap kehidupan dan lingkungan di permukaan bumi. Sedangkan budaya itu sendiri menurut Samoar dalam Dedi Mulyana adalah sebagai tatanan pengetahuan, kepercayaan, nilai, sikap, makan, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek yang dimiliki yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi kegenerasi melalui usaha individu dan kelompok.Kebudayaan dalam masyarakat adalah ibarat dua sisi mata uang, satu sama lain tdak dapat dipisahkan(Mulyana, 2000: 18). Sistem budaya merupakan serangkaian hubungan komponenkomponen budaya sebagai ungkapan prilaku, perbutan dan tindakan manusia sebagai makluk budaya. Namun demikian dalam mekanisme budaya tersebut tidak terpisah dari hubungan antar manusiasebagai makhluk sosial yang menghubungkan antar individu, antar individu kelompok dan antar kelompok dengan manusia lainnya (Syarifuddin, 2010: 58). Dalam sistem budaya melekat pada diri manusia sebagai komponennya, yaitu filsafat, humaniora, dan ilmu pengetahuan sebagai hasil renungan mendalam dari manusia sendiri, menjadi landasan kearifan dan kebijakan (Syarifuddin, 2010: 59). Berhubungan dengan kebudayaan maka kita membedakan seorang yang beradap. Orang yang beradap adalah orang yang dapat mengembangkan tekniknya, sehingga dapat membangun gedung-gedung bertingkat, menciptakan mesin raksasa, robot, kompoter dan sebagainya. Akan tetapi orang yang pandai membuat segalanya itu berarti orang/ masyarakat tersebut mempunyai sikap yang bijaksana atau perasaan kemanusiaan yang didasarkan pada pandanga hidup, filsafat hidup yang
83
diperoleh karena dari kecil sudah terdidik untuk memandang sesama manusia sebagai kawan bukan sebagai lawan seperti halnya hukum rimba. Kebudayaan yang khusus yang terdapat pada satu golongan dalam masyarakat yang berbeda dengan budaya golongan masyarakat lain maupun kebudayaan seluruh masyarakat bagian yang tidak pokok dinamai kebudayaan khusus (sub culture) umpamanya kebudayaan Aceh, Batak, Minang Kabau, Sunda, Jawa dan sebagainya. Kebudayaan dari tiap-tiap bangsa dapat dibagi kedalam suatu jumlah unsur yang tak terbatas jumlahnya (Noor, 1999: 55). D. Unsur-unsur Pendidikan Islam 1. Peserta didik Dalam dunia pendidikan, fungsi intelektual atau kemampuan akal peserta didik dikenal dengan kognitif. Peserta didik merupakan “raw material” (bahan mentah) dalam proses transformasi dalam pendidikan. Membicarakan peserta didik, ada hal-hal penting yang harus diperhatikan oleh pendidik yaitu: 1) potensi peserta didik. 2) kebutuhan peserta didik. 3) dan sifat-sifat peserta didik (Nizar, 2009: 169). 2. Pendidik Kata pendidik berasal dari kata didik, artinya memelihara dan merawat dan memberi latihan agar seseorang mempunyai imu pengetahuan seperti yang diharapkan. Selanjutnya dengan menambahkan awalan pe sehingga menjadi pendidik. Pendidik menurut Ahmad Tafsir adalah orang yang bertanggung jawab terhadap berlansungnya proses pertumbuhan dan perkembangan potensi anak didik baik potensi kognitif maupun psikomotoriknya (Tafsir, 1992: 74). 3. Tujuan pendidikan Tujuan merupakan hal yang sentral dalam pendidikan, sebab tanpa
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM merumuskan yang jelas tujuan pendidikan perbuatan menjadi acak-acakan, bahkan bisa sesat atau salah langkah. Oleh karena itu perumusan tujuan pendidikan dengan tegas dan jelas menjadi inti dari seluruh pedagogis. Sementara itu para ahli pendidikan Islam merumuskan pula tujuan umumpendidikan Islam, seperti al-Abrashi, dalam Ramayulis tentang pendidikan Islam telah menyimpulkan lima tujuan umum bagi pendidikan Islam yaitu: a. Untuk pembentukan akhlak yang mulia. Kaum muslimin dari dahulu kala sampai sekarang setuju bahwa pendidikan akhlak adalah inti pendidikan Islam, dan bahwa mencapai akhlak yang sempurna adalah tujuan pendidikan yang sebenarnya. b. Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Pendidikan Islam tidak hanya menitik beratkan pada keagamaan saja atau pada keduniaan saja tetapi pada keduaduanya. c. Persiapan untuk mencari rezeki dan memelihara segi manfaat atau yang lebih dikenal sekarang ini dengan nama tujuan-tujuan fokasional dan profesional. d. Menumbuhkan semangat ilmiah pada pelajar dan memuaskan keingin tahuan dan memungkinkan ia mengkaji ilmu demi ilmu itu sendiri. e. M e n y i y a p k a n p e l a j a r d a r i segi profesional, teknikal dan pertukangan supaya dapat menguasai profesi tertentu dan ketrampilan pekerjaan tertentu agar ia dapat mencari rezeki dalam hidup, di samping memelihara segi kerohanian dan keagamaan (Nizar, 2010: 124).
4. Kurikulum Pendidikan Islam Untuk mencapai tujuan pendidikan
Islam yang diharapkan, maka sudah tentu kurikulum yang diformulasikannya pun harus mengacu pada pemikiran yang islami pula, setara dari pandangan hidup dan pandangan manusia (pandangan antropologis) serta diarahkan pada tujuan pendidikan yang dilandasi pada kaidahkaidah yang islami. Menurut al-Asyaibani, prinsip-prinsip yang harus menjadi acuan kurikulum pendidikan Islama adaah sebagai berikut: a. Berorientasi pada Islam, termasuk ajaran dan nilai-nilanya. Maka setiap yang berkaitan dengan kurikulum, termasuk falsafah, tujuan-tujuan, kandungan-kandungan, metode pengajaran, cara-cara perlakuan dan hubungan-hubungan yang berlaku dalam lembaga-lembaga pendidikan harus berlandaskan agama dan akhlak Islam. b. Prinsip menyeluruh (universal) pada tujuan dan kandungankandungan kurikulum. c. Prinsip keseimbangan yang relatif antara tujuan-tujuan dan kandungan-kandungan kurikulum. d. Prinsip-prinsip antar kebutuhan siswa dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat. e. Prinsip pemeliharaan perbedaanperbedaan individu antar peserta didik, baik perbedaan dari segi bakat, minat, kemampuan, kebutuhan dan sebagainya. f. P r i n s i p p e r k e m b a n g a n d a n perubahan sesuai dengan tujuan yang ada dengan tidak mengabaikan nilai-nilai absolut (Syaibani, 1979: 74). Sedangkan dasar-dasar kurikulum pendidikan Islam tidak terlepas dari empat dasar atau landasan, yaitu: a. Dasar agama b. Dasar falsafah c. Dasar psikologis d. Dasar sosial (Syaibani, 1979: 75).
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
84
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM 5.
Metode Pendidikan Islam Mengingat metode sasarannya adalah manusia, maka pendidik dituntut harus barhati-hati dalam penerapannya. Dalam hal ini Hasan Langulung mendefinisikan metode adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan pendidikan. Sedangkan Muhammad Athiyah, metode adalah jalan yang digunakan oleh pendidik untuk memberikan pengertian kepada peserta didik tentang segala macam materi dari berbagi macam proses pendidikan. Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa metode adalah seperangkat cara, jalan dan teknik yang harus dimiliki dan digunakanoleh pendidikdalamupaya menyampaikan dan memberikan pendidikan dan pengajaran kepada peserta didik agar dapat mencapai tujuan pendidikan yang termuat dalam kurikulum yang telah ditetapkan. Lebih lanjut Hasan Langulung berpendapat dalam Rama Yulis berpendapat bahwa penggunaan metode dilandaskan atas tiga aspek pokok yaitu; a. Sifat-sifat yang berkenaan dengan tujuan utama pendidikan Islam, yaitu pembinaan manusia mu’min yang mengaku sebagai hamaba Allah. b. Berkenaan dengan metodemetode yang betul-betul berlaku yang disebut dalam al-Qur’an atau disimpulakan dari padanya. c. Membicarakan tentang pergerakan (motivation) dan disiplin dalam istilah al-Qur’an disebut ganjaran (shawab) dan hukuman (‘ikab) (Nizar. 2010: 215). 6. Alat/ Media pendidikan Media pendidikan yang nonmateri memiliki sifat yang abstrak dan hanya dapat diwujudkan melalui perbuatan dan tingkahlaku seorang pendidik terhadap
85
peserta didik. 7. Lingkungan pendidikan Dalam kaitannya dengan aspek kelembagaan, pendidikan Islam tidak dapat melepaskan diri dari faktor lingkungan pendidikan. Lingkungan pendidikan adalah segala sesuatu yang ada dan terjadi di sekeliling proses pendidikan itu berlansung yang terdiri dari manusia, binatang, tumbu-tumbuhan dan benda mati, keempat kelompok benda-benda lingkungan pendidikan itu ikut berperan dalam rangka usaha setiap siswa/ mahasiswa mengembangkan dirinya. Tetapi manajemen pendidikan menaruh perhatiannya terutama kepada lingkungan yang berwujud manusia yaitu masyarakat (Pidarta, 2004: 177). Lembaga pendidikan sesungguhnya melaksanakan fungsi rangkap terhadap masyarakat yaitu memberikan layanan dan sebagai agen pembaharuan. Dikatakan fungsi layanan karena ia melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat berupa memberikan pendidikan kepada putra putri mereka. Sedangkan agen pembaharuan karena ia harus selalu mengikut sertakan masyarakat dalam setiap mengambil keputusan agar hasilnya efektif dan efesien (Nizar, 2010: 84). Dengan demikian, tampaklah bahwa lembaga pendidikan itu bukanlah badan yang berdiri sendiri dalam membinapertumbuhan dan perkembangan putra-putri bangsa, melainkan ia merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari kalangan masyakat luas. E.
Manajemen Lembaga Pendidikan Islam
1. Eksistensi lembaga pendidikan Islam Pendidikan Islam di Indonesia merupakan warisan peradaban Islam, sekaligus aset bagi pembangunan pendidikan nasional. Sebagai warisan
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM ia merupakan amanat sejarah untuk dipelihara dan dikembangkan oleh umat Islam dari masa ke masa. Sedangkan sebagai aset, pendidikan yang tersebar di berbagai daerah ini membuka kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk menata dan mengololanya sesuai dengan sistem pendidikan nasional (Rahim, 2001: 3). Pimpinan sebagai menejer dan sekaligus pengambil keputusan strategis, diperlukan yang mempunyai kemampuan lebih dibandingkan dengan bawahannya. Lembaga pendidikan Islam merupakan organisasi penyelenggara pendidikan, saat ini dihadapkan kepada perubahan permintaan masyarakat terhadap mutu yang membekali anak didiknya. Tuntutan terhadap kecakapan hidup untuk kehidupan, semakin terasa dengan didasari para lulusan pendidikan formal belum memberikan pemecahan masalah dalam aspek moral masyarakat, nilai ekonomi dalam memasuki dunia kerja dan kemandekan dalam penciptaan lapangan kerja.Kepemimpinan yang diharapkan saat ini adalah kepemimpinan yang mempunyai visi strategis dan taktis, serta produktif dalam memerankan fungsi manajemen. 1. Orientasi pengololaan pendidikan Islam Lembaga pendidika Islam harus mempunyai orientasi yang jelas, ibarat kenderaan, orientasi itu seperti trayek yaitu jalur yang harus dilalui untuk mencapai tujuan. Untuk mewujudkan kualitas pendidikan yang teruji dengan baik, ada beberapa prinsip orientasi strategis dalam mengembangkan pendidikan Islam yaitu: a. Orientasi pengembangan sumber daya b. Mengarah kepada pendidikan Islam multi kulturalis c. Mempertegas misi dasar ‘Li utammima makarimal akhlak’ menyempurnakan akhlak manusia d. Mengutamaka spiritualisasi watak kebangsaan (Fajar, 3004: xxi-xxii).
Empat prinsip tersebut di atas mewakili empat dimensi yang terjalin secara integral yang menjadi orientasi pendidikan Islam, yaitu demensi potensial, dimensi kultural, demensi etik dan dimensi spiritual. Dimensi potensial mengarahkan alur pendidikan pada pengembangan sumber daya manusia menuju terbentuknya masyarakat madani. Demensi kultural mengarahkan gerak pendidikan supaya ramah terhadap budaya lokal sehingga bersikap inklusif; demensi etik mengarahkan alur pendidikan agar benarbenar mengembankan misi menanamkan moral pada seluruh bangsa dan sedangkan dimensi spiritual mengarahkan pendidikan agar mempunyai jiwa keimanan sebagai dasar dalam mengarungi kehidupan seharihari yang penuh godaan. 2. Strategi pengololaan Lembaga Pendidikan Islam Berdasarkan orientasi pendidikan Islam tersebut yang tampaknya berdimensi ganda, lembaga pendidikan Islam dalam semua bentuknya (pesantren, madrasah, sekolah serta perguruan tinggi) harus dikelola dengan strategi tertentu yang mampu menyehatkan lembaga-lembaga Islam tersebut, bahkan dapat mengantar kepada kemajuan yang signifikan. Namun strategi yang dipilih harus mempertimbangkan berbagai kondisi yang dirasakan lembega pendidikan Islam itu, sehingga menjadi strategi yang fungsional. Suatu strategi yang mampu menyelesaikan masalah-masalah yang sedang dihadapi sehingga ia dapat berfungsi selayaknya resep yang mujarab dalam mengatasi dalam berbagai masalah. Strategi semacam itu harus berbentuk langkah-langkah operasional yang dapat dipraktikkan dengan suatu mekanisme tertentu yang memberikan jalan keluar. Beberapa strategi dalam mengolola dan mengembangkan pendidikan Islam baik berupa pesantren, madrasah, sekolah, serta perguruan tinggi yaitu sebagai
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
86
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM berikut: a. M e r u m u s k a n v i s i , m i s i d a n tujuan lembaga secara jelas serta berusaha keras dalam mewudkannya melalui kegiatankeiatan riil sehari-hari. b. Membangun kepemimpinan yang benar-benar profesional (terlepas dari intervensi idiologi, politik, organisasi, dan mazhab dalam menempuh kebijakan lembaga) c. Menyiapkan pendidik benarbenar berjiwa pendidik sehingga mengutamakan tugas-tugas pendidikan dan bertanggungjawab terhadap suksesnya peserta didiknya. d. M e n y e m p u r n a k a n s t r a t e g i rekrutmen siswa/ santri/ mahasiswa secara proaktif dengan “menjemput” bahhkan megejar bola. e. Berusaha keras untuk memberi kesadaran para siswa/ santri/ mahasiswa bahwa belajar merupakan kewajiban dan kebutuhan paling mendasar yang menentukan masa depan mereka. f. Merumuskan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan masyarakat. g. Menggali strategi pembelajaran yang dapat mengakselerasi kemampuan siswa yang masih rendah menjadi lulusan yang kompetitif h. M e n g g a l i s u m b e r - s u m b e r keuangan nonkonvensional dan mengembangkannya secara produktif. i. Membangun sarana dan prasarana yang memadai untuk kepentingan proses pembelajaran, terutama ruang kelas, perpustakaan dan labolatorium. j. M e n g o r i e n t a s i k a n s t r a t e g i pembelajaran pada tradisi
87
pengembangan ilmu, kreativitas, dan ketrampilan k. Memperkuat metodologi baik dalam hal pembelajaran, pemikiran maupun dalam hal penelitian. l. Mengkondisikan lingkungan pembelajaran yang aman, nyaman, dan menstimulasi pembelajaran. m. Mengkondisikan lingkungan yang islami baik dalam ibadah, bekerja, pergaulan sosial maupun kebersiahan. n. Berusaha senantiasa meningkatkan kesejahteraan pegawai di atas rata-rata kesejahteraan pegawai lembaga pendidikan lain. o. Mewujudkan etos kerja yang tinggi dikalangan pegawai melalui kontrak moral dan kontrak kerja. p. Berusaha memberikan pelayanan yang prima kepada siapapun, baik jajaran pimpinan, guru/ ustaz/ dosen, karyawan/ santri/ mahasiswa, maupun tamu serta masyarakat luas. q. Meningkatkan promosi untuk membangun citra (image building) r. Mempublikasikan kualitas proses dan hasil pembelajaran kepada publik secara terbuka. Sebaliknya, ada juga yang harus dihindari dan sedapat mungkin berusaha dikeluarkan dari lembaga pendidikan Islam, yaitu sebagai berikut: a. Politik kepentingan. Apapun kepentingannya, baik kepentingan pribadi, kelompok ataupun organisasi dtidak diperkenankan masuk kedalam lembaga pendidikan Islam. Politik yang boleh masuk dalam lembaga pendidikan Islam hanya satu, yaitu politik pemberdayaan bahkan jenis politik ini harus diwujudkan. b. Kecendrungan bisnis pribadi. Usaha memperoleh laba dari hasil suatu barang dan jasa serta
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM kegiatan lainnya hanya untuk kepentingan lembaga. c. Pemborosan, baik pemborosan waktu, biaya, tenaga dan strategi. Sebab, segala sesuatu harus dilaksanakan secara efektif dan efisien (Qomar, 2007: 57). E. Kesimpulan Efektifitas dari seorang pemimpin dalam kaitan dengan konsekwensi dari tindakannya bagi para pengikut dan para stak holderorganisasi lainnya dapaat di ukur berdasarkan indikator tertentu, seperti kebijakannya, kinerja, kesiapan menghadapi tantangan, jika pemimpin lembaga pendidikan maka tantangan terhadap kemajuan pendidikan harus menjadi proritas utama. Dalam kehidupan berbangsaa dan bernegara tidak terlepas dari suatu budaya bangsa iru sendiri dimana ia menetap, untuk menentukan atau merumuskan tujuan pendidikan Islam maka maka perumus tersebut harus memperhatikan budaya peserta didik supaya mudah berinteraksi dalam proses pembelajaran. Unsur-unsur pendidikan yang harus diperhatikan oleh seorang pemimpin untuk mewujudkan kualitas pendidikan adaala: perekrutan peserta didik, pemberdayaan pendidik, penerapan metode atau strategi untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah dirumuskan dalam kurikulum pembelajaran, menciptakan lingkungan lembaga pendidikan yang nyama dan aman. Untuk mencapai hal tersebut di atas tidak terlepas dari penerapan manajemen kepemimpinan.
Daftar Pustaka
Al-Syaibani, dan Omar Muhammad alTaoumi, Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1979 Danim, Sudarwan, Menjadi Komonitas Pembelajaran Kepemimpinan Transformasi dalam Komonitas Organisasi Pembelajran.Jakarta: Bumi Aksara, 2003 Fajar, A. Malik, “Pendahuluan: Strategi Pengembangan Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi”, dalam M. Zainuddin dan Muhammad. Yogyakarta: Adi Tia Yogyakarta Bekerja sama dengan UIN Press, 2004 Mulyana, Dedi, Komunikasi Antar Budaya. Bandung:Remaja Rosda Karya, 2000 Muhammad Syarifuddin, dan Samsul Nizar, Isu-isu Kontemporer Tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2010 Noor, H. M. Arifin, Ilmu Sosial Dasar. Bandung: Pustaka Setia, 1999 Pidarta, Made, Manajemen Pendidikan Indonesia.Jakarta: Reneka Cipta, 2004 Qomar, Mujamil, Manajemen Pendidikan Islam.t.t.p, Erlangga, 2007 Rahim, Husni, Arah Baru Pendidikan di Indonesia.Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001 Samsul Nizar, dan Rama Yulis, Filsafat Pendidikan Islam.Jakarta: Kalama Mulia, 2009 Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
88
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Perspektif Islam.Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992 Winardi, Kepemimpinan dalam Manajemen. Jakarta: Reneka Cipta, 2000
89
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
90
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM PENERAPAN TEORI BELAJAR DIENES DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Lisa, S.Si., M.Pd
[email protected] Abstract The success of students in learning mathematics in school can be affected by various factors both internal and external factors. One of the internal factors which also determine the success of students in the learning process of mathematics learning model is the approach used by the teacher. Learning theory is the foundation for teachers to design learning activities. One theory, which is based on the theory pieget, and development oriented towards children, so the system he developed that appeal to children who learn mathematics is the theory of Dienes. The principle of the theory of Dienes namely (1) The Dynamic Principle, (2) The Perceptual Variability Principle, (3) The Mathematical Variability Principle, and (4) The Principle Constructivity. The stages of teaching mathematical concepts according to Dienes, namely: (1) Free Games (Free Play), (2) Games Using Rules (Games), (3) Gaming equal nature (Searching for the communalities), (4) Game Representation (representation), (5) Games with a symbol (symboloization), (6) a formalization(formalization). Keywords: Theory Dienes, principle, Learning Mathematics A. Latar Belakang Pada hakikatnya pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan suasana atau memberikan pelayanan agar murid-murid belajar. Dalam menciptakan suasana atau pelayanan, hal yang esensial bagi guru adalah memahami bagaimana murid-muridnya memperoleh pengetahuan, maka ia akan menentukan strategi pembelajaran yang tepat bagi murid-muridnya. Dalam pengembangan psikologi dalam pendidikan, kita akan menemukan banyak teori belajar yang bersumber dari aliran-aliran psikologi sehingga dapat dikatakan semakin berkembang pengetahuan tentang belajar. Setiap pendidik perlu mengetahui berbagai macam teori belajar dan diharapkan mampu mengaplikasikannya dalam proses pembelajaran siswa di sekolah termasuk dalam proses pembelajaran matematika. Pertimbangan psikologis berangkat dari asumsi bahwa matematika harus diajarkan
91
kepada para siswa sesuai dengan metode dan strategi tertentu, sehingga belajar matematika menjadi suatu aktivitas yang menyenangkan dan menarik bagi siswa. Strategi untuk menciptakan proses pembelajaran matematika yang menarik dan menyenangkan bagi siswa bisa dilaksanakan dengan optimal jika guru banyak memahami aspek-aspek psikologis siswa dalam belajar matematika. Penguasaan teori psikologi yang baik oleh guru sangat membantu untuk bisa memahami aspek-aspek psikologis siswa dalam belajar. Pada dasarnya teori belajar manapun yang diterapkan oleh pendidik mempunyai tujuan membantu siswa untuk berhasil dalam belajarnya. Keberhasilan siswa dalam pembelajaran matematika di sekolah dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor internal maupun faktor eksternal. Salah satu faktor internal yang juga sangat menentukan keberhasilan belajar siswa dalam proses pembelajaran matematika
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM adalah pendekatan model pembelajaran yang digunakan oleh guru. Teori belajar merupakan dasar pijakan bagi guru untuk mendesain kegiatan pembelajaran. Dari kegiatan pembelajaran ini nampak pendekatan teori belajar apa yang diterapkan. Dengan tidak mengatakan bahwa teori belajar Dienes lebih unggul dari teoriteori belajar yang lain, disini penulis hanya ingin memaparkan sekilas tentang teori belajar Dienes dan penerapan pendekatan teori Dienes tersebut dalam pembelajaran matematika. B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat diutarakan masalahnya antara lain: 1. Bagaimanakah prinsip dari teori belajar Dienes? 2. Bagaimanakah aplikasi prinsip dan penerapan teori belajar Dienes dalam proses pembelajaran matematika? C. Tujuan Penulisan Berdasarkan permasalahan diatas maka tujuan penulisan ini adalah agar pembaca mengetahui prinsip dari teori belajar Dienes, aplikasi prinsip teori belajar Dienes dalam proses pembelajaran matematika, dan mengetahui penerapan teori belajar teori Dienes dalam pembelajaran matematika. D. Pembahasan Teori belajar Dienes sangat terkait dengan teori belajar yang dikemukakan oleh Piaget, yaitu mengenai teori perkembangan intelektual. Jean Piaget berpendapat bahwa proses berpikir manusia sebagai suatu perkembangan yang bertahap dari berpikir intelektual konkret ke abstrak berurutan melalui empat periode. Urutan periode itu tetap bagi setiap orang, namun usia atau kronologis pada setiap orang
yang memasuki setiap periode berpikir yang lebih tinggi berbeda-beda tergantung kepada masing-masing individu. Periode berpikir yang dikemukakan Piaget adalah sebagai berikut: (1) Periode sensori motor (0 – 2) tahun. (2) Periode pra-operasional (2 – 7) tahun. (3) Periode operasi konkret (7 – 12) tahun. Zoltan P. Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori pieget, dan pengembangannya diorientasikan pada anak-anak, sedemikian rupa sehingga sistem yang dikembangkannya itu menarik bagi anak yang mempelajari matematika. Dienes (dalam Ruseffendi, 1992: 7-8) berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan diantara strukturstruktur dan mengkatagorikan hubunganhubungan di antara struktur-struktur. Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau obyek-obyek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pembelajaran matematika. Makin banyak bentuk-bentuk yang berlainan yang diberikan dalam konsep-konsep tertentu, akan makin jelas konsep yang dipahami anak, karena anak-anak akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajarinya itu. Dalam mencari kesamaan sifat anak-anak mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih anak-anak dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan mentranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan yang satu ke bentuk
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
92
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM permainan lainnya. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan semula. Menurut Dienes, ada tiga jenis konsep matematika yaitu konsep murni matematika, konsep notasi, dan konsep terapan. 1. Konsep matematis murni berhubungan dengan klasifikasi bilangan-bilangan dan hubungan-hubungan antar bilangan, dan sepenuhnya bebas dari cara bagaimana bilangan-bilangan itu disajikan. Sebagai contoh, enam, 8, XII, 1110 (basis dua), dan Ä Ä Ä Ä, semuanya merupakan contoh konsep bilangan genap; walaupun masingmasing menunjukkan cara yang berbeda dalam menyajikan suatu bilangan genap. 2. Konsep notasi adalah sifat-sifat bilangan yang merupakan akibat langsung dari cara penyajian bilangan. Fakta bahwa dalam basis sepuluh, 275 berarti 2 ratusan ditambah 7 puluhan ditambah 5 satuan merupakan akibat dari notasi nilai tempat dalam menyajikan bilangan-bilangan yang didasarkan pada sistem pangkat dari sepuluh. Pemilihan sistem notasi yang sesuai untuk berbagai cabang matematika adalah faktor penting dalam pengembangan dan perluasan matematika selanjutnya. 3. Konsep terapan adalah penerapan dari konsep matematika murni dan notasi untuk penyelesaian masalah dalam matematika dan dalam bidangbidang yang berhubungan. Panjang, luas dan volume adalah konsep matematika terapan. Konsep-konsep terapan hendaknya diberikan kepada siswa setelah mereka mempelajari konsep matematika murni dan notasi sebagai prasyarat. Konsep-konsep murni hendaknya dipelajari oleh siswa sebelum mempelajari konsep notasi, jika dibalik para siswa hanya akan menghafal pola-pola bagaimana
93
memanipulasi simbol-simbol tanpa pemahaman konsep matematika murni yang mendasarinya. Siswa yang membuat kesalahan manipulasi simbol seperti 3x + 2 = 4 maka x + 2 = 4 – 3, = x, a2 x a3 = a6, dan = x + berusaha menerapkan konsep murni dan konsep notasi yang tidak cukup mereka kuasai. Dienes memandang belajar konsep sebagai seni kreatif yang tidak dapat dijelaskan oleh teori stimulusrespon mana pun seperti tahap-tahap belajar Gagne. Dienes percaya bahwa semua abstraksi didasarkan pada intuisi dan pengalaman konkret; akibatnya sistem pembelajaran matematika Dienes menekankan laboratorium matematika, objek-objek yang dapat dimanipulasi, dan permainan matematika. Pembelajaran matematika yang dilakukan agar sesuai dengan teori Dienes, maka perlu dikenal adanya komponen dasar atau prinsip-prinsip yang diberikan oleh Dienes. Prinsip tersebut, diantaranya adalah (Karnasih, 2008; Sriraman & Lyn, 2005): 1. The Dynamic Principle Prinsip ini menyatakan bahwa pemahaman yang benar akan konsep baru merupakan suatu proses yang dilewati pembelajar melalui 3 tahap: a) Preliminary atau tahap bermain Siswa diperkenalkan dengan konsep yang secara relatif tidak berstruktur tetapi tidak didefinisikan sebagai cara yang tidak teratur. Sebagai contoh, ketika siswa mengenal tipe baru benda manipulatif mereka mengkarakteristikkan ’play’ sebagai penemuan baru mainan atau toy. Dienes menjelaskan bahwa aktivitas informal tersebut berlangsung secara alami dan merupakan bagian penting dalam proses belajar dan seharusnya diberikan oleh guru di kelas (Karnasih, 2008). 1) Aktivitas yang lebih berstruktur.
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Pada tahap ini siswa diberikan benda yang mirip (isomorfik) dengan konsep yang dipelajari. 2) Tahap dengan memunculkan konsep matematika secara tepat untuk penggunaan kembali pada real world. Konsep utama Dienes adalah teori ‘game’. ‘playing with knowledge’ atau ‘playing the target mathematical knowledge’ merupakan istilah game yang dimaksud di dalam teori Dienes. Dalam mengajarkan kepada siswa ide matematika, Dienes memberikan bentuk manipulatif sebagai representasi fisik dari ide. Siswa pada tingkat awal dimulai dengan representasi fisik dan secara langsung difokuskan pada sesuatu yang merupakan perbedaan dari game yang dimainkan (tahap games and abstraction). Selanjutnya siswa dibantu untuk membentuk skema dari semua game tersebut dan memformulasikannya dalam bentuk kata atau gambar diagram secara spontan (tahap schematization and formulation). Tahapan dilanjutkan dengan representasi simbol dari skema beberapa ide matematika yang diterima, dan formalisasi dari sifat ide dalam bentuk teori yang sudah jelas kebenarannya (tahap symbolization, formalization and axiomatization) (Sierpinska, 1999). Menurut Dienes (Post & Reys, 1979) gabungan dari proses disebut sebagai lingkaran pembelajaran ’learning cycle’. Lingkaran tersebut nantinya akan dibagi dalam enam tahap belajar secara berurutan sebagai komponen penting yang efektif dalam pembelajaran matematika. 2. The Perceptual Variability Principle Prinsip ini menyatakan bahwa pembelajaran konsep akan maksimal ketika siswa diperkenalkan dengan konsep melalui variasi konteks fisik atau embodiments. Ketentuan dari pengalaman, penggunaan variasi dari bahan, dirancang
untuk mengenalkan konsep matematika. Ketika siswa diberikan kesempatan untuk melihat konsep dengan cara yang berbeda dan dengan kondisi yang berbeda pula, maka siswa akan merasa tertarik dengan konsep dari embodiments konkrit. Siswa memberikan dugaan pada suatu strtuktur terhadap struktur yang lain. Sebagai contoh, mengubah prosedur pengelompokkan pada proses penjumlahan 2 bilangan dengan tipe independen menggunakan benda konkrit. Kita dapat menggunakan kepingan, sempoa atau balok hitung untuk menggambarkan proses ini (Karnasih, 2008; Post & Reys, 1979). Terdapat banyak cara untuk menampilkan konsep matematika dalam bentuk benda konkrit yang lebih menarik siswa untuk mempelajarinya. 3. The Mathematical Variability Principle Prinsip ini menyatakan generalisasi dari konsep matematika dapat ditingkatkan ketika konsep ditampilkan pada kondisi di mana variabel tidak sesuai namun secara sistematis perubahan dijaga agar konsep variabel tetap relevan. Sebagai contoh, untuk mengenalkan jajarangenjang maka dengan prinsip ini dapat diubah sebanyak mungkin dengan kedudukan yang berbeda. Pada contoh ini ukuran sudut, panjang sisi, posisi dari kertas dapat diubah. Dienes mengungkapkan terdapat dua prinsip variability yang digunakan untuk memperkenalkan yaitu proses saling melengkapi dari abstraksi dan generalisasi, keduanya merupakan aspek penting dalam perkembangan konsep (Karnasih, 2008; Post & Reys, 1979). 4. The Constructivity Principle Dienes mengidentifikasi dua jenis pemikir, yaitu pemikir konstruktif dan pemikir analitik. Pemikir konstruktif disamakan dengan tahap operasional konkrit Piaget dan pemikir analitik dengan
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
94
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM tahap operasional formal Piaget sebagai tahap dari perkembangan kognitif. Prinsip ini menyatakan bahwa “construction should always precede analysis”. Artinya pembentukan pemahaman berasal dari analisis awal. Analisis awal diperoleh dari pengalaman sebelumnya. Hal ini dianalogikan secara tegas bahwa siswa seharusnya diberi kebebasan untuk mengembangkan konsep berasal dari pengalaman yang dimiliki. Menurut Dienes, pengalaman tersebut dipilih oleh guru sebagai langkah pertama dalam seluruh pembelajaran matematika. Analisis sebelumnya dapat berasal dari bentuk konkrit (Karnasih, 2008; Post & Reys, 1979). Benda konkrit diberikan sebagai media untuk membentuk pengalaman atau membangkitkan pengalaman sebelumnya yang dimiliki oleh siswa. Pemahaman siswa tentang suatu konsep biasanya diawali dari pengenalannya terhadap beraneka ragam materi konkrit sebagai model (representasi) dari konsep. Alasan tersebut menurut Ruseffendi (2006: 158) dikarenakan: a) D e n g a n m e l i h a t b e r b a g a i contoh siswa akan memperoleh penghayatan yang lebih besar. Misalnya anak-anak lebih dapat memahami arti burung bila disajikan berbagai macam burung; begitu pula ia akan lebih baik memahami konsep segitiga bila representasi segitiga itu ditunjukkan dengan gambar, bidang segitiga, bidang empat, dan yang serupa; beraneka ragam (segitiga lancip, tumpul, siku-siku, samakaki, samasisi), tidak hanya satu macam saja. b) Dengan banyaknya contoh itu ia akan lebih banyak dapat menerapkan konsep itu ke dalam situasi yang lain. Misalnya, anak yang dalam belajar perkalian berpengalaman tidak hanya dengan himpunan tetapi juga
95
dengan jajaran, ia akan lebih cepat mampu menghitung banyaknya kursi di dalam suatu ruangan yang diatur menurut jajaran. Sistem pembelajaran matematika dari Dienes menitikberatkan kepada memanipulasi benda konkrit dan permainan. Apabila banyak bentukbentuk yang berlainan yang diberikan dalam konsep-konsep tertentu, akan makin jelas konsep yang dipahami siswa. Dalam mencari kesamaan sifat terhadap permainan atau benda-benda konkrit yang diberikan siswa diarahkan oleh guru dalam kegiatan menemukan sifat-sifat kesamaan. Kegiatan selanjutnya dapat dilakukan guru dengan mentranslasi permainan ke dalam bentuk yang lain dengan tanpa mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan semula. Hal tersebut dilakukan guru sebagai salah satu cara agar siswa mempelajari dan kemudian akan memahami kesamaan sifat dari bentuk permainan yang lain. Menurut Dienes (dalam Ruseffendi, 1992: 125-127) konsep-konsep matematika akan berhasil jika dipelajari dalam tahaptahap tertentu. Dienes membagi tahaptahap belajar menjadi 6 tahap, yaitu: 1. Permainan Bebas (Free Play) Dalam setiap tahap belajar, tahap yang paling awal dari pengembangan konsep bermula dari permainan bebas. Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktifitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Anak didik diberi kebebasan untuk mengatur benda. Selama permainan pengetahuan anak muncul. Dalam tahap ini anak mulai membentuk struktur mental dan struktur sikap dalam mempersiapkan diri untuk memahami konsep yang sedang dipelajari. Misalnya dengan diberi permainan block logic, anak didik mulai mempelajari konsep-konsep abstrak tentang warna, tebal tipisnya benda yang merupakan ciri/sifat dari benda yang
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM dimanipulasi. 2. Permainan yang Menggunakan Aturan (Games) Dalam permainan yang disertai aturan siswa sudah mulai meneliti polapola dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini mungkin terdapat dalam konsep tertentu tapi tidak terdapat dalam konsep yang lainnya. Anak yang telah memahami aturanaturan tadi. Jelaslah, dengan melalui permainan siswa diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Makin banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, akan semakin jelas konsep yang dipahami siswa, karena akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajari itu. Menurut Dienes, untuk membuat konsep abstrak, anak didik memerlukan suatu kegiatan untuk mengumpulkan bermacam-macam pengalaman, dan kegiatan untuk yang tidak relevan dengan pengalaman itu. Contoh dengan permainan block logic, anak diberi kegiatan untuk membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang berwarna merah, kemudian membentuk kelompok benda berbentuk segitiga, atau yang tebal, dan sebagainya. Dalam membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang merah, timbul pengalaman terhadap konsep tipis dan merah, serta timbul penolakan terhadap bangun yang tipis (tebal), atau tidak merah (biru, hijau, kuning). 3. Permainan Kesamaan Sifat (Searching for communalities) Dalam mencari kesamaan sifat siswa mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih dalam mencari kesamaan sifatsifat ini, guru perlu mengarahkan mereka
dengan menstranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan lain. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan semula. Contoh kegiatan yang diberikan dengan permainan block logic, anak dihadapkan pada kelompok persegi dan persegi panjang yang tebal, anak diminta mengidentifikasi sifat-sifat yang sama dari benda-benda dalam kelompok tersebut (anggota kelompok). 4. Permainan Representasi (Representation) Representasi adalah tahap pengambilan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Para siswa menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu. Setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang dihadapinya itu. Representasi yang diperoleh ini bersifat abstrak, Dengan demikian telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari. Contoh kegiatan anak untuk menemukan banyaknya diagonal poligon (misal segi dua puluh tiga) dengan pendekatan induktif seperti berikut ini. Segitiga segiempat
0 diagonal 2 siagonal Berapakah diagonal Segienam?
5. Permainan dengan Simbolisasi (Symbolization) Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
96
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM simbol matematika atau melalui perumusan verbal. Sebagai contoh, dari kegiatan mencari banyaknya diagonal dengan pendekatan induktif tersebut, kegiatan berikutnya menentukan rumus banyaknya diagonal suatu poligon yang digeneralisasikan dari
6. Permainan dengan Formalisasi (Formalization) Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini siswa-siswa dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut, sebagai contoh siswa yang telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan teorema dalam arti membuktikan teorema tersebut. Contohnya, anak didik telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan suatu teorema berdasarkan aksioma, dalam arti membuktikan teorema tersebut. Pada tahap formalisasi anak tidak hanya mampu merumuskan teorema serta membuktikannya secara deduktif, tetapi mereka sudah mempunyai pengetahuan tentang sistem yang berlaku dari pemahaman konsep-konsep yang terlibat satu sama lainnya. Misalnya bilangan bulat dengan operasi penjumlahan peserta sifat-sifat tertutup, komutatif, asosiatif, adanya elemen identitas, dan mempunyai elemen invers, membentuk sebuah sistem matematika. Dienes menyatakan bahwa proses pemahaman (abstracton) berlangsung selama belajar. Untuk pengajaran konsep matematika yang lebih sulit perlu dikembangkan materi
97
matematika secara kongkret agar konsep matematika dapat dipahami dengan tepat. Dienes berpendapat bahwa materi harus dinyatakan dalam berbagai penyajian (multiple embodiment), sehingga anak-anak dapat bermain dengan bermacam-macam material yang dapat mengembangkan minat anak didik. Berbagai penyajian materi (multiple embodinent) dapat mempermudah proses pengklasifikasian abstraksi konsep. Menurut Dienes (dalam Ruseffendi, 1992), variasi sajian hendaknya tampak berbeda antara satu dan lainya sesuai dengan prinsip variabilitas perseptual (perseptual variability), sehingga anak didik dapat melihat struktur dari berbagai pandangan yang berbeda-beda dan memperkaya imajinasinya terhadap setiap konsep matematika yang disajikan. Berbagai sajian (multiple embodiment) juga membuat adanya manipulasi secara penuh tentang variabel-variabel matematika. Variasi matematika dimaksud untuk membuat lebih jelas mengenai sejauh mana sebuah konsep dapat digeneralisasi terhadap konsep yang lain. Dengan demikian, semakin banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, semakin jelas bagi anak dalam memahami konsep tersebut. Berhubungan dengan tahap belajar, suatu anak didik dihadapkan pada permainan yang terkontrol dengan berbagai sajian. Kegiatan ini menggunakan kesempatan untuk membantu anak didik menemukan cara-cara dan juga untuk mendiskusikan temuan-temuannya. Langkah selanjutnya, menurut Dienes, adalah memotivasi anak didik untuk mengabstraksikan pelajaran tanda material kongkret dengan gambar yang sederhana, grafik, peta dan akhirnya memadukan simbolo - simbol dengan konsep tersebut. Langkah-langkah ini merupakan suatu cara untuk memberi kesempatan kepada anak didik ikut berpartisipasi dalam proses penemuan
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM dan formalisasi melalui percobaan matematika. Proses pembelajaran ini juga lebih melibatkan anak didik pada kegiatan belajar secara aktif dari pada hanya sekedar menghapal. Pentingnya simbolisasi adalah untuk meningkatkan kegiatan matematika ke satu bidang baru. Dari sudut pandang tahap belajar, peranan guru adalah untuk mengatur belajar anak didik dalam memahami bentuk aturan-aturan susunan benda walaupun dalam skala kecil. Anak didik pada masa ini bermain dengan simbol dan aturan dengan bentuk-bentuk kongkret dan mereka memanipulasi untuk mengatur serta mengelompokkan aturanaturan Anak harus mampu mengubah fase manipulasi kongkret, agar pada suatu waktu simbol tetap terkait dengan pengalaman kongkretnya. Kelebihan teori belajar Dienes 1. Dengan menggunakan bendabenda konkret, siswa dapat lebih memahami konsep dengan benar. 2. Susunan belajar akan lebih hidup, menyenangkan, dan tidak membosankan. 3. Dominasi guru berkurang dan siswa lebih aktif. 4. Konsep yang lebih dipahami dapat lebih mengakar karena siswa membuktikannya sendiri 5. Dengan banyaknya contoh dengan melakukan permainan siswa dapat menerapkan kedalam situasi lain Kelemahan Teori Dienes 1. Ti d a k s e m u a m a t e r i d a p a t menggunakan teori Dienes, karena teori ini lebih mengarah permainan 2. Tidak semua siswa memiliki kemampuan yang sama 3. Bila pengajar tidak memiliki kemampuan mengarahkan siswa maka siswa cenderung hanya bermain tanpa berusaha
memahami konsep. E. Penerapan Teori Dienes dalam Pembelajaran Matematika Dalam menerapkan enam tahap belajar konsep dari Dienes untuk merancang pembelajaran matematika mungkin suatu tahap (bisa tahap bermain bebas) tidak cocok bagi para siswa atau kegiatan-kegiatan untuk dua atau tiga tahap dapat digabung menjadi satu kegiatan. Mungkin perlu dirancang kegiatan-kegiatan belajar khusus untuk setiap tahap jika kita mengajar siswa-siswa kelas rendah, tetapi untuk siswa-siswa SMP dimungkinkan menghilangkan tahap-tahap tertentu dalam mempelajari beberapa konsep. Model mengajar matematika dari Dienes hendaknya diperlakukan sebagai pedoman, dan bukan sekumpulan aturan yang harus diikuti secara ketat. Konsep perkalian bilangan bulat negatif akan dibahas di sini sebagai contoh bagaimana tahap-tahap Dienes dapat digunakan sebagai pedoman dalam merancang kegiatan mengajar/belajar. Karena hampir semua siswa belajar menambah, mengurang, mengalikan dan membagi bilangan-bilangan asli, dan menambah dan mengurang bilangan-bilangan bulat sebelum belajar mengalikan bilangan bulat, kita berasumsi bahwa konsep-konsep dan keterampilan-keterampilan itu telah dikuasai oleh para siswa. Bagi para siswa kelas 7 SMP, dapat mulai sesi permainan bebas dengan secara informal mendiskusikan pengerjaan hitung pada bilangan asli dan sifat-sifat aljabar dari bilangan asli. Guru mungkin juga mendiskusikan penjumlahan dan pengurangan pada bilangan bulat dan sifat pertukaran dan pengelompokan penjumlahan. Guru bisa juga mengganti permainan bebas dengan tinjauan informal. Atau tahap bermain bebas dan game bisa digabung menjadi beberapa permainan seperti permainan kartu sederhana berikut:
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
98
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM guru hendaknya menyiapkan meja panjang secukupnya untuk permainan kartu standar sedemikian hingga terdapat satu meja panjang untuk setiap lima siswa dalam kelas. Para siswa yang bermain dalam kelompok lima orang dan setiap anak memegang empat kartu. Setiap siswa mengelompokkan kartukartunya menjadi berpasang-pasangan, kemudian mengalikan kedua bilangan yang ditunjukkan oleh setiap pasang kartu, dan kemudian menjumlahkan kedua hasil kali itu. Siswa yang dapat memasangkan kartu-kartunya sehingga memperoleh jumlah hasil kali terbesar adalah pemenang dalam kelompoknya. Bilangan-bilangan pada kartu hitam (keriting dan waru) dianggap sebagai bilangan positif, dan bilangan-bilangan pada kartu merah (hati dan belah ketupat) sebagai bilangan negatif. Konsekuensinya para siswa langsung dihadapkan pada masalah bagaimana mengelompokkan kartu-kartu negatif untuk mendapatkan hasil kali dan jumlah positif yang besar. Beberapa kelompok mungkin menyepakati aturanaturan yang berbeda untuk menangani hasil kali dua bilangan negatif. Sebagai contoh, kartu hitam 2 dan 4 dan kartu merah 7 dan 5 dapat digunakan untuk membuat 2 x 4 + (-7 x -5) = 43, jika aturan yang benar bahwa hasil kali dua bilangan bulat negatif adalah suatu bilangan bulat positif telah dirumuskan. Jika tidak, maka bilangan-bilangan negatif tidak akan menolong dalam mengorganisasi seorang pemenang. Beberapa siswa tentunya akan saling bertanya atau bertanya kepada guru tentang bagaimana menyekor bilangan bulat negatif. Contoh permainan dengan tahaptahap teori Dienes pada operasi hitung penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. a).
99
Permainan Operasi
Penjumlahan Ada dua teknik menjumlahkan. Jika hasil penjumlahan kurang atau sama dengan 10, maka penjumlahan dapat dilakukan secara langsung dengan cara menjumlahkan suku-sukunya. Jika hasil penjumlahan lebih dari 10, maka penjumlahan suku-sukunya dilakukan dengan teknik “menyimpan” Permainan “menyimpan dan menjumlahkan” berikut memberikan kemudahan mengajarkan operasi penjumlahan. Tujuan : Memperlihatkan bentuk nyata penjumlahan dengan teknik menyimpan sekaligus menjelaskan langkah-langkah sistematis penyelesaian kalimat penjumlahan. Langkah-langkah permainan: 1. Sediakan kantong kain/kantong plastik/kantong dari katon. 2. Sediakan kartu kecil merah untuk puluhan dan kartu kecil putih untuk satuan. 3. Mintalah anak mengerjakan 19 + 27. 4. Mintalah anak menyatukan 9 dan 7 buah kartu putih dan mintalah anak menghitung jumlahnya (jawaban : 16). 5. Mintalah anak menggantikan 10 kartu putih dari 16 kartu putih dengan satu kartu merah. 6. Mintalah anak memasukan kartu merah tersebut ke kantong puluhan dan masukan sisa 6 kartu putih ke kantongan satuan. 7. Mintalah anak menghitung total kartu merah, yaitu 1 + 2 + 1 = 4. Terangkanlah bahwa nilai empat kartu merah tersebut adalah 40. 8. Mintalah anak untuk menjumlahkan hasilnya, yaitu 40 + 6 = 46. b) Permainan Operasi Pengurangan Ikutilah permainan berikut ini untuk memudahkan anak belajar operasi pengurangan dengan teknik meminjam.
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Permainan “menukar dan mengurangkan” Tujuan: Memperlihatkan bentuk nyata pengurangan dengan teknik meminjam sekaligus memperlihatkan langkahlangkah sistematis penyelesaian kalimat pengurangan. Langlah-langkah permainan: 1. Mintalah anak untuk mengurangkan 57 – 28 2. Terangkan karena 7 tidak bisa dikurangi 8 maka ambil 1 kartu merah dan tukar dengan 10 kartu putih sehingga total kartu putih 7 + 10 = 17. Selanjutnya, 17 dikurangi 8 menghasilkan 9. Karena dipinjam 1 maka sisa kartu merah menjadi = 4. Selanjutnya, 4 – 2 = 2 (terangkan bahwa membacanya 20 karena nilainya puluhan) 3. Mintalah anak menjumlahkan hasilnya, yaitu 20 + 9 = 29. 4. Perluas contoh permainannya sampai kebilangan ratusan dan seterusnya. c) Permainan Operasi Perkalian Ikutilah permainan berikut ini untuk melatih anak belajar perkalian dan kelipatan. Permainan “permen perkalian” Tujuan: Menjelaskan makna perkalian. Langkah-langkah permainan: 1. Berikan masing-masing 2 buah permen kepada 3 orang anak. 2. Tanyakan berapakah jumlah total permen yang telah diberikan kepada ketiga anak tersebut. 3. Te r a n g k a n b a h w a h a s i l n y a merupakan perkalian 2 dengan 3, yaitu 6. Perkalian merupakan penjumlahan berulang, misalnya 2 + 2+ 2 atau bentuk lain 3 x 2. Pada kalimat 3 x 2 = 6, 3 dan 2 disebut faktor dari 6, sedangkan 6 merupakan hasil perkalian 2 dan 3. d) Permainan Operasi Pembagian
Permainan berikut ini mempermudah anak memahami operasi pembagian. Permainan “permen pembagian” Tujuan : Menjelaskan makna pembagian Langkah-langkah: 1. Perlihatkan 6 permen di tangan. 2. Bagikan secara merata 3 permen kepada beberapa anak sampai permen habis. 3. Tanyakan berapa anakkah yang akan mendapat permen. 4. Te r a n g k a n b a h w a h a s i l n y a merupakan pembagian 6 dengan 3, yaitu 2. 5. Tanamkanlah pada anak bahwa 6 : 3 = 6 – 3 – 3. Ulangi permainan “permen perkalian dan pembagian” ini sehingga anak mengerti betul makna perkalian dan pembagian serta hubungan keduanya dengan contoh lain Dalam menerapkan enam tahap belajar konsep dari Dienes untuk merancang pembelajaran matematika, mungkin suatu tahap (bisa tahap bermain bebas) tidak cocok bagi para siswa atau kegiatan-kegiatan untuk dua atau tiga tahap dapat digabung menjadi satu kegiatan. Mungkin perlu dirancang kegiatan-kegiatan belajar khusus untuk setiap tahap jika kita mengajar siswa-siswa SD kelas rendah; tetapi untuk siswa-siswa SMP dimungkinkan menghilangkan tahap-tahap tertentu dalam mempelajari beberapa konsep. Model mengajar matematika dari Dienes hendaknya diperlakukan sebagai pedoman, dan bukan sekumpulan aturan yang harus diikuti secara ketat. Contoh lain penerapan teori dienes dalam pembelajaran matematika yaitu konsep perkalian bilangan bulat negatif akan dibahas di sini sebagai contoh bagaimana tahap-tahap Dienes dapat digunakan sebagai pedoman dalam merancang kegiatan mengajar/belajar. Karena hampir semua siswa belajar
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
100
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM menambah, mengurang, mengalikan dan membagi bilangan-bilangan asli, dan menambah dan mengurang bilanganbilangan bulat sebelum belajar mengalikan bilangan bulat, kita berasumsi bahwa konsep-konsep dan keterampilanketerampilan itu telah dikuasai oleh para siswa. Bagi para siswa kelas 6 atau 7, dapat mulai sesi permainan bebas dengan secara informal mendiskusikan pengerjaan hitung pada bilangan asli dan sifat-sifat aljabar dari bilangan asli. Guru mungkin juga mendiskusikan penjumlahan dan pengurangan pada bilangan bulat dan sifat pertukaran dan pengelompokan penjumlahan. Guru bisa juga mengganti permainan bebas dengan tinjauan informal. Atau tahap bermain bebas dan game bisa digabung menjadi beberapa permainan seperti permainan kartu sederhana berikut: guru hendaknya menyiapkan meja panjang secukupnya untuk permainan kartu standar sedemikian hingga terdapat satu meja panjang untuk setiap lima siswa dalam kelas. Para siswa yang bermain dalam kelompok lima orang dan setiap anak memegang empat kartu. Setiap siswa mengelompokkan kartu-kartunya menjadi berpasang-pasangan, kemudian mengalikan kedua bilangan yang ditunjukkan oleh setiap pasang kartu, dan kemudian menjumlahkan kedua hasilkali itu. Siswa yang dapat memasangkan kartukartunya sehingga memperoleh jumlah hasilkali terbesar adalah pemenang dalam kelompoknya. Bilangan-bilangan pada kartu hitam dianggap sebagai bilangan positif, dan bilangan-bilangan pada kartu merah (hati dan belah ketupat) sebagai bilangan negatif. Konsekuensinya para siswa langsung dihadapkan pada masalah bagaimana mengelompokkan kartu-kartu negatif untuk mendapatkan hasil kali dan jumlah positif yang besar. Beberapa
101
kelompok mungkin menyepakati aturanaturan yang berbeda untuk menangani hasilkali dua bilangan negatif. Sebagai contoh, kartu hitam 2 dan 4 dan kartu merah 7 dan 5 dapat digunakan untuk membuat 2 x 4 + (-7 x -5) = 43, jika aturan yang benar bahwa hasilkali dua bilangan bulat negatif adalah suatu bilangan bulat positif telah dirumuskan. Jika tidak, maka bilangan-bilangan negatif tidak akan menolong dalam mengorganisasi seorang pemenang. Beberapa siswa tentunya akan saling bertanya atau bertanya kepada guru tentang bagaimana menyekor bilangan bulat negatif. Untuk memutuskan bagaimana menyelesaikan perkalian dua bilangan negatif, guru hendaknya menyajikan sekumpulan soal yang melibatkan mencari pola (sifat yang sama). Sebagai contoh, soal-soal ini dapat didiskusikan di kelas: Selesaikan daftar berikut: -3 x 3 = -9 -3 x 2 = -6 -3 x -1 = ..... -3 x -2 = ..... -3 x -3 = .... -3 x (7 + -2) = (-3 x 7) + (-3 x -2) = -21 + .....=...... Sebagai guru matematika, kita dapat menyusun contoh-contoh lain yang menunjukkan bahwa hasilkali dua bilangan bulat negatif adalah bilangan bulat positif. Ta h a p r e p r e s e n t a s i u n t u k membentuk konsep perkalian dua bilangan bulat negatif, para siswa dapat mengamati diagram yang menyajikan konsep itu dan mendeskripsikan sifat umum perkalian dua bilangan bulat negatif. Dalam tahap simbolisasi, kelas hendaknya menggunakan sistem simbol bahwa untuk sebarang bilangan asli a dan b, (-a)(-b) = +ab; dan untuk sebarang bilangan bulat x, y, z, x(y + z) = xy + xz. Konsep itu dapat diformalkan dengan mengetahui bahwa pernyataan, “hasilkali dua bilangan bulat negatif adalah
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM bilangan bulat positif,” merupakan suatu aksioma.Teorema seperti y x z = z x y dan x(y + z) = xy + xz dapat diwujudkan dan dibuktikan. F. Kesimpulan dan Saran Setelah memaparkan tinjauan singkat tentang teori belajar Dienes dapat disimpulkan Teori belajar Dienes menekankan pada manipulasi bendabenda konkret yang diterapkan dalam bentuk permainan. Tahap-tahap pengajaran konsep matematika menurut Dienes, yaitu : (1) Permainan Bebas (Free Play), (2) Permainan yang Menggunakan Aturan (Games), (3) Permainan Kesamaan Sifat (Searching for communalities), (4) Permainan Representasi (Representation), (5) Permainan dengan simbolisasi (symboloization), (6) Formalisasi (Formalization) Ada beberapa masukan yang dapat penulis berikan kepada kita semua terutama para pendidik agar perkembangan teori pembelajaran anak berkembang dengan baik, antara lain : 1. S e t e l a h m e m p e l a j a r i d a n mengetahui tentang teori belajar Dienes sebaiknya guru harus bisa menyesuaikan pengajaran dengan materi yang sesuai. Hal ini bertujuan supaya proses pembelajaran dapat berlangsung dengan efektif. 2. Sebagai pendidik hendaknya mempunyai pengetahuan tentang teori belajar 3. Sebagai pendidik hendaknya mampu menciptakan suasana yang menyenangkan bagi siswa sehingga mereka terbiasa untuk mengemukakan pikiran mereka.
Pembelajaran Matematika (Teori Belajar Dienes). Makalah. (online) http://ukiakih.blogspot.com/ 2009/03/ teori-belajar.html (diakses 11 Maret 2009) Boeree, George, 2005, Sejarah Psikologi, Jakarta Prima Shopie Dahar, Ratna Wilis. 1989. Teori-teori Belajar.Erlangga, Jakarta. Karnasih, Ida. (2008). Paper Presentated in Internasional Workshop: ICT for Teaching and Learning Mathematics. Medan: UNIMED. (In Collaboration Between UNIED and QED Education Kuala Lumpur. Malaysia. 23-24 May 2008) Nur, 1999. Teori Pembelajaran Kognitif. Universitas Negeri Surabaya. Ruseffendi. (1992). Pendidikan Matematika 3. Jakarta: Depdikbud Ruseffendi, HET. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan
Daftar Pustaka B a s u k i , d k k . D a s a r- D a s a r P r o s e s
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
102
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM PERBEDAAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS YANG MENERAPKAN MODEL PEMBELAJARAN CTL DAN KONVENSIONAL DI SMPN 2 DEWANTARA KABUPATEN ACEH UTARA Nuraini, S.Si., M.Pd e-mail:
[email protected] Abstrak This study aims to describe differences in mathematical communication ability of students to apply learning models and conventional CTL type of research is quasi-experimental. As for the population in this study were all seventh grade students of SMP Negeri 2 in the District Dewantara, North Aceh district as many as 5 classes. Sedangkankan sample selection is done by randomizing the class of random results obtained grade 2 to grade experimental class is class VII.1 and VII.3, while for the conventional classroom and was elected class VII.4 VII.2. Furthermore, both samples are given different treatment, applying the experimental class and control class CTL learning with conventional learning. Dilkukan data collection by providing a test of mathematical communication skills. Furthermore, to describe the differences in the ability of mathematical communication of data in this study were analyzed using descriptive statistical analysis. Based on the results of research and data analysis mathematical communication skills of students can be concluded that, on average, the proportion of test scores beginning and end of the test control class is 7.69 and 8.17. When observed average proportion of final test scores increased the proportion average score of 0.48. While the experimental group and 15.59 8.37 an increase in the proportion average score of 7.22. Difference in the proportion of the initial test and final test experimental group is greater than the difference in the proportion of test scores for the initial and final test grade control. It is hinted that mathematical communication skills of students with learning CTL higher than students in conventional learning. Based on the criteria of mastery learning for many mathematical communication skills of students who pass the control class is 5 students’ learning of 42 students or 11.90%; whereas in the experimental class there were 26 students from 41 students or 63.41%. These results indicate that learning has advantages compared to conventional CTL when viewed from the completeness students, which means there are differences in mathematical communication ability of students to apply their learning and conventional CTL. A. Latar Belakang Proses pendidikan haruslah berujung kepada pembentukan sikap, pengembangan kecerdasan intelektual serta pengembangan keterampilan anak sesuai dengan kebutuhan, sehingga diharapkan mampu mempersiapkan SDM berkualitas, yang mampu bersikap kritis, logis, mengkomunikasikan gagasan dan sistematis dalam menghadapi dan menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapinya.
103
Kemampuan-kemampuan tersebut dapat dikembangkan melalui pembelajaran matematika, karena kemampuankemampuan tersebut tidak lain adalah merupakan tujuan dari pelajaran matematika itu sendiri sebagaimana yang dinyatakan oleh Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas (2003:3) bahwa mata pelajaran matematika menumbuhkembangkan kemampuan menalar, yaitu berpikir sistematis, logis, kritis, mengkomunikasikan gagasan atau dalam pemecahan masalah.
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Meninjau tujuan pelajaran matematika di atas maka dalam proses pembelajaran matematika, guru haruslah memberikan kesempatan pada siswa untuk belajar secara aktif. Aktif di sini bermakna siswa yang aktif dalam melakukan investigasi dan eksplorasi terhadap konsep-konsep matematika. Siswa mendapatkan pengalaman belajar yang menarik, menyenangkan dan bermakna. Siswa dapat melihat dan mengalami sendiri kegunaan matematika dalam kehidupan nyata, serta memberikan kesempatan pada siswa agar dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuan melalui berbagai aktifitas seperti pemecahan masalah, penalaran, berkomunikasi dan lain-lain yang mengarah pada berpikir kritis dan kreatif. Hal ini senada dengan pendapat Sulivan (Ansari, 2009:3) mengatakan bahwa peran dan tugas guru sekarang adalah memberi kesempatan belajar maksimal pada siswa dengan jalan: 1. Melibatkannya secara aktif dalam mengeksplorasi matematika. 2. Mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan pengalaman yang telah ada pada mereka. 3. M e n d o r o n g a g a r m a m p u mengembangkan dan menggunakan berbagai strategi. 4. Mendorong agar berani mengambil resiko dalam menyelesaikan soal. 5. M e m b e r i kebebasan berkomunikasi untuk menjelaskan idenya dan mendengarkan ide temannya. Dalam NCTM (1991:96) dikatakan bahwa komunikasi adalah wahana antara guru dan siswa untuk saling menghargai ketika proses pemecahan masalah dan penalaran terjadi. Tetapi komunikasi dengan sendirinya juga menjadi penting, karena siswa harus belajar untuk mendeskripsikan fenomena atau masalah melalui berbagai cara, baik tulisan, lisan dan bentuk-bentuk visual lainnya dalam
pembelajaran matematika. Dalam kutipan ini tersirat bahwa komunikasi dalam pembelajaran biasanya hanya terlihat ketika proses pemecahan masalah dan penalaran dilakukan, padahal jika dikaji lebih jauh komunikasi memang memegang peranan penting dalam pembelajaran matematika. Komunikasi adalah salah satu wujud nyata adanya perubahan tingkah laku setelah siswa melakukan proses belajar. Bentukbentuk komunikasi yang dilakukan misalnya ketika siswa mampu mengungkapkan kembali tentang ide-ide matematika baik secara lisan maupun tulisan setelah belajar matematika atau ketika siswa diberikan masalah matematika, mereka akan mencoba merepresentasikan kembali secara sederhana dan mudah dimengerti, lalu dicarikan solusinya. Selain itu jika siswa mampu mengkomunikasikan ideide matematikanya dengan baik itu menunjukkan tingkat pemahamannya terhadap konsep-konsep matematika semakin baik. Oleh karena itu sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika dan beberapa pendapat di atas maka memberi kebebasan berkomunikasi kepada siswa menjadi bagian penting dalam pembelajaran matematika, sehingga perlu dikembangkan. Salah satu alternatif pembelajaran memungkinkan mampu meningkatkan kemampuan komunikasi matematika siswa adalah Contextual Teaching and Learning (CTL). CTL memiliki karakteristik yang memungkinkan terciptanya pertukaran ide secara terbuka dan melibatkan aktivitas siswa dalam mengembangkan kemampuan komunikasi matematikanya. Nurhadi dan Senduk (2003:4) juga mengatakan bahwa “pendekatan kontekstual merupakan suatu konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
104
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan paparan di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa yang model pembelajarannya menerapkan CTL dan konvensional? C. Tujuan Penelitian Dengan memperhatikan rumusan masalah di atas maka adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa yang model pembelajarannya menerapkan CTL dan konvensional. D. Kajian Pustaka 1. K e m a m p u a n K o m u n i k a s i Matematis Baroody (1993) mengatakan dua alasan mengapa pembelajaran matematika difokuskan pada komunikasi yaitu (1) mathematics as a language dan (2) mathematics as learning activity. Sebagai bahasa, matematika tidak sekedar sebagai alat untuk berpikir, alat menemukan pola atau alat untuk menyelesaikan masalah, tetapi matematika juga digunakan sebagai alat untuk menyampaikan ideide atau gagasan secara ringkas, jelas dan tepat. Matematika sebagai aktivitas sosial dalam pembelajaran matematika dimaknai dengan adanya interaksi antar siswa, seperti komunikasi antar guru dan siswa, merupakan bagian penting untuk memelihara potensi matematis siswa. Lebih lanjut Asikin (Muslimatun, 2006) mengatakan bahwa, alasan penting mengapa pelajaran matematika terfokus pada pengkomunikasian, yaitu matematika pada dasarnya adalah suatu bahasa yang disajikan sebagai suatu makna representasi
105
dan makna komunikasi. Matematika juga merupakan alat yang tak terhingga adanya untuk mengkomunikasikan berbagai ide dengan jelas, cermat dan tepat. Collins dkk. (Muslimatun, 2000) menambahkan “salah satu tujuan pembelajaran matematika yang ingin dicapai adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para siswa untuk mengembangkan keterampilan berkomunikasi melalui modeling, speaking, writing, talking and drawing serta mempresentasikan apa yang dipelajari”. Sehingga untuk mensupor pembelajaran agar efektif, guru harus membangun komunitas kelas yang kondusif sehingga para siswa bebas untuk mengekspresikan pemikirannya. Dengan menggunakan istilah multiple eksplanasi, untuk menyebut cara berkomunikasi. Peressini dan Bassett (Aryan) berpendapat bahwa tanpa komunikasi dalam matematika kita akan memiliki sedikit keterangan, data, dan fakta tentang pemahaman siswa dalam melakukan proses dan aplikasi matematika. Hal Ini mempunyai makna bahwa, komunikasi dalam matematika membantu guru memahami kemampuan siswa dalam menginterpretasi dan mengekspresikan pemahamannya tentang konsep dan proses matematika yang mereka pelajari Dalam bagian lain, Lindquist (Aryan) berpendapat bahwa, jika kita sepakat bahwa matematika itu merupakan suatu bahasa dan bahasa tersebut sebagai bahasa terbaik dalam komunitasnya, maka mudah dipahami bahwa komunikasi merupakan esensi dari mengajar, belajar, dan meng-assess matematika. Sehingga jelaslah bahwa komunikasi dalam matematika merupakan kemampuan mendasar yang harus dimiliki pelaku dan pengguna matematika selama belajar, mengajar, dan meng-assess matematika. Dari beberapa pendapat diatas kita dapat mengatakan bahwa komunikasi matematika menjadi salah satu syarat
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM yang memegang peranan penting karena membantu dalam proses penyusunan pikiran, menghubungkan gagasan dengan gagasan lain sehingga dapat mengisi halhal yang kurang dalam seluruh jaringan gagasan siswa. Oleh karena itu untuk dapat mewujudkan beberapa hal diatas maka, guru seharusnya mengontrol siswanya menggunakan bahasa matematika untuk membantu mereka dalam mengembangkan kemampuan komunikasi matematisnya. Misalnya meminta tanggapan dari siswa mengenai suatu penjelasan dari siswa yang lain, atau meminta siswa memberikan contoh-contoh representasi matematika dalam dunia nyata. Hal ini tentu saja berlaku bagi seluruh siswa yang ada dikelas, bukan hanya bagi siswa tertentu. Jadi disini pembelajaran berpusat pada siswa bukan pada guru. Dalam sebuah sumber yaitu NCTM (1991:96) dikatakan bahwa: Mathematical communication can occur when students work in cooperative groups, when a student explains an algorithm for solving equation, when a student presents a unique method for solving a problem, when a student construct and explains a graphical representation of real world phenomena, or when student offers a conjecture about geometric figures. Menurut sumber NCTM ini dikatakan bahwa kemampuan komunikasi matematika dapat terjadi ketika siswa belajar dalam kelompok, ketika siswa menjelaskan algoritma untuk memecahkan suatu persamaan, ketika siswa menyajikan cara unik untuk memecahkan masalah, ketika siswa mengkonstruk dan menjelaskan suatu representasi grafik terhadap fenomena dunia nyata, lalu ketika siswa memberikan suatu konjektur tentang gambar-gambar geometri. Sedangkan Baroody (1993) menyatakan lima aspek komunikasi yaitu (1) representing, (2) listening, (3) reading, (4) discussing dan (5) writing. Writing bisa berwujud summaries,
question, explanation, definitions, word problems, report books dll. Lebih lanjut, Sullivan dan Mousley (Bansu Ansari, 2009:10) juga mempertegas bahwa komunikasi matematika bukan hanya sekedar menyatakan ide melalui tulisan tetapi lebih luas lagi yaitu kemampuan dalam hal bercakap, menjelaskan, menggambarkan, mendengarkan, menanyakan, klarifikasi, bekerja sama (sharing), menulis dan akhirnya melaporkan. Secara umum, matematika dalam ruang lingkup komunikasi mencakup keterampilan atau kemampuan menulis, membaca, discussing and assessing, dan wacana (discourse). Dari definisi-definisi yang ada kita dapat memunculkan indikator-indikator yang menunjukkan bahwa seorang siswa telah mampu berkomunikasi dengan baik. Beberapa pendapat mengenai indikator untuk mengukur kemampuan komunikasi matematika sesuai dengan definisi-definisi pakar antara lain diutarakan oleh Bansu Ansari (2009:10) bahwa standar evaluasi untuk mengukur kemampuan ini adalah: a) Menyatakan ide matematika dengan berbicara, menulis dan demonstrasi. b) Menggambarkannya dalam bentuk visual. c) Menggunakan kosa kata atau bahasa, notasi dan struktur matematik untuk menyatakan ide, menggambarkan hubungan dan pembuatan model. Sedangkan Aryan (2007), menjelaskan bahwa indikator komunikasi matematika dalam pembelajaran matematika pada setiap jenjang pendidikan adalah sebagai berikut: komunikasi matematis atau komunikasi dalam matematika untuk siswa setingkat SD adalah a) menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika, b) menjelaskan ide, situasi dan relasi matematika, secara lisan atau tulisan, dengan benda nyata, gambar, grafik, dan aljabar, c) menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
106
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM matematika, d) mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika. Komunikasi Matematis atau komunikasi dalam matematika untuk siswa setingkat SMP adalah a) membuat model dari suatu situasi melalui lisan, tulisan, benda-benda konkret, gambar, grafik, dan metode-metode aljabar b) menyusun refleksi dan membuat klarifikasi tentang ide-ide matematika c) mengembangkan pemahaman dasar matematika termasuk aturan-aturan definisi matematika. d) menggunakan kemampuan membaca, menyimak, dan mengamati untuk menginterpretasi dan mengevaluasi suatu ide matematika e) mendiskusikan ide-ide, membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan generalisasi f) mengapresiasi nilai-nilai dari suatu notasi matematis termasuk aturan-aturannya dalam mengembangkan ide matematika. Komunikasi matematis atau komunikasi dalam matematika untuk siswa setingkat SMA adalah a) menyusun refleksi dan membuat klarifikasi tentang ide-ide matematika, b) menyusun formulasi dari definisi-definisi matematika dan membuat generalisasi dari temuan-temuan yang ada melalui investigasi, c) mengekspresikan ide-ide matematika secara lisan dan tulisan, d) membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis, e) menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari Dari beberapa pendapat di atas maka yang menjadi indikator komunikasi matematis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Menyatakan peristiwa seharihari dalam bahasa atau simbol matematika. b. Memberikan alasan terhadap suatu pernyataan atau persoalan matematika dalam bentuk argumen yang meyakinkan. 2.
107
Contextual Teaching and Learning
(CTL) Pendekatan CTL berkembang di Amerika dan untuk penerapan pembelajarannya di Amerika Serikat bermula dari pandangan ahli pendidikan klasik John Dewey yang pada tahun 1916 mengajukan teori kurikulum dan metodologi pengajaran yang berhubungan dengan pengalaman dan minat siswa. Teori yang diajukan oleh John Dewey tersebut disebut teori progressivisme yang intinya, siswa akan belajar dengan baik apabila apa yang mereka pelajari berhubungan dengan apa yang telah mereka ketahui, serta proses belajar akan produktif jika siswa terlibat aktif dalam proses belajar di sekolah. Selain teori progressivisme John Dewey, CTL banyak dipengaruhi oleh filsafat konstruktivime yang digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Jean Piaget melalui teori kognitif. Pandangan filsafat konstruktivisme tentang hakikat pengetahuan mempengaruhi konsep tentang proses belajar, bahwa belajar bukanlah sekedar menghafal, tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Siswa akan belajar dengan baik apabila mereka terlibat secara aktif dalam segala kegiatan di kelas dan berkesempatan untuk menemukan sendiri. Siswa menunjukkan hasil belajar dalam bentuk apa yang mereka ketahui dan apa yang dapat mereka lakukan. Belajar dipandang sebagai usaha atau kegiatan intelektual untuk membangkitkan ide-ide yang masih laten melalui kegiatan introspeksi. Melalui landasan filosofi konstruktivisme, CTL dipromosikan menjadi alternatif strategi belajar yang baru. Dengan CTL siswa diharapkan belajar melalui ‘mengalami’ bukan ‘menghafal’. Hal ini sesuai seperti pendapat Zahorik, 1995 dalam Nurhadi dan Senduk: Knowledge is constructed by humans. Knowledge is not a set of facts, concepts, or laws waiting to be discovered. It is not something that exists
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM independent or knower. Humans create or construct knowledge as they attempt to bring meaning to their experience. Everything that we know, we have made. Knowledge is conjectural and fallible. Since knowledge is a construction of humans and humans constantly undergoing new experiences, knowledge can never be stable. The understandings that we invent are always tentative and incomplete. Knowledge grows through exposure. Understand become deeper and stronger if one tests it against new encounters”. Kutipan di atas mempunyai makna bahwa pengetahuan itu dibangun oleh manusia sendiri. Ia bukanlah sekumpulan fakta atau konsep atau hukum untuk ditemukan, juga bukan terjadi begitu saja. Manusia menciptakan dan membangun pengetahuan sebagaimana mereka mencoba makna pada pengalaman mereka. Apapun yang mereka ketahui sudah mereka alami atau telah menjadi pengalaman mereka. Ketika pengetahuan dibangun oleh manusia maka mereka mempunyai pengalaman yang baru. Nurhadi dan Senduk (2003:4) juga mengatakan bahwa “pendekatan CTL merupakan suatu konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat”. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Sedangkan menurut Johnson dalam Nurhadi dan Senduk (2002:25) merumuskan pengertian CTL sebagai berikut: “The CTL system is an educational process that aims to help students see meaning in the academic material they are studying by connecting academic subjects
with the context of their personal, social and cultural circumstances. To achieve this aim, the system encompasses the following eight components: making meaningful connections, doing significant work, self-regulated learning, collaborating, critical and creative thingking, nurturing the individual, reaching high standards, using authentic assessment”. Kutipan diatas mengandung arti bahwa sistem CTL merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka seharihari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadinya, sosial dan budayanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, sistem CTL akan menuntun siswa melalui kedelapan komponen utamanya yaitu : melakukan hubungan yang bermakna, mengerjakan pekerjaan yang berarti, mengatur cara belajar sendiri, bekerja sama, berpikir kritis dan kreatif, memelihara pribadi siswa, mencapai standar yang tinggi dan menggunakan asesmen autentik. Dalam kelas CTL, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual. Sementara itu, Center of Occupational Research and Development (CORD) (Nurhadi dan Senduk, 2003:23) menyampaikan lima strategi bagi pendidik dalam rangka penerapan pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL), yang disingkat dengan REACT yaitu: a) Relating: belajar dikaitkan dengan konteks pengalaman kehidupan
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
108
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM nyata. b) Experiencing: belajar ditekankan kepada penggalian (eksplorasi), penemuan (discovery), dan penciptaan (invention). c) A p p l y i n g : b e l a j a r b i l a m a n a pengetahuan dipresentasikan di dalam konteks pemanfaatannya. d) Cooperating: belajar melalui konteks komunikasi interpersonal, pemakaian bersama dan sebagainya. e) Transferring: belajar melalui pemanfaatan pengetahuan di dalam situasi atau konteks baru. Dengan merujuk pada kelima strategi bagi pendidik dalam melaksanakan CTL diatas maka pembelajaran efektif dengan menggunakan pendekatan CTL melibatkan tujuh komponen utama seperti yang di utarakan oleh Masnur Muslich (2007:43) meliputi (a) constructivism (konstrutivisme, membangun, membentuk), (b) questioning (bertanya), (c) inquiry (menyelidiki, menemukan), (d) learning community (masyarakat belajar), (e) modelling (pemodelan), (f) reflection (refleksi atau umpan balik), dan (g) authentic assessment (penilaian yang sebenarnya). Setiap komponen utama dalam CTL mempunyai prinsip-prinsip dasar yang harus diperhatikan ketika akan menerapkannya dalam pembelajaran. 3. Pembelajaran Konvensional Pembelajaran konvensioanal adalah pembelajaran yang sudah biasa diterapkan di sekolah. Pembelajaran konvensional yang dimaksud dalam penelitian ini mengarah pada pembelajaran ekspositori. Pembelajaran ekspositori adalah suatu pembelajaran yang lebih berorientasi pada guru. Hal ini disebabkan oleh peran guru yang dominan di dalam proses pelaksanaannya. Guru aktif dalam menyampaikan materi sedangkan siswa hanya duduk, mendengar dan mencatat apa
109
yang disampaikan oleh guru. Penyampaian materi masih secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud siswa dapat menguasai materi secara optimal. Pembelajaran ekspositori memiliki beberapa karakteristik antara lain yaitu ekspositori selalu dilakukan dengan cara penyampaian materi secara verbal maksudnya adalah bertutur secara lisan merupakan alat utama atau cenderung dengan disebut dengan ceramah. Kemudian materi yang disampaikan biasanya adalah materi yang sudah jadi, seperti data atau fakta, konsep-konsep tertentu yang harus dihafal sehingga tidak menuntut siswa untuk berpikir ulang. Tujuan utama dari pembelajaran ekspositori adalah penguasaan materi pelajaran itu sendiri, maksudnya adalah setelah pembelajaran usai siswa diharapkan mampu memahami materi dengan benar yang ditunjukkan dengan mengungkapkan kembali materi yang telah disampaikan. Dalam sejarah pembelajaran ekspositori selalu ditandai dengan ceramah yang diiringi dengan penjelasan, serta pembagian tugas dan latihan. Sanjaya (2006: 185) mengatakan bahwa ada beberapa langkah yang digunakan dalam penerapan pembelajaran ekspositori yaitu pertama, persiapan (preparation) kedua, penyajian (presentation) ketiga, menghubungkan (correlation) keempat, menyimpulkan (generalization) dan kelima, penerapan (aplication). Tahap persiapan merupakan langkah yang sangat penting dalam pembelajaran ekspositori, keberhasilan pelaksanaan pembelajaran sangat tergantung pada tahap persiapan. Sanjaya (2006) menambahkan, tujuan yang ingin dicapai pada tahap persiapan adalah untuk mengajak siswa keluar dari kondisi mental yang pasif, membangkitkan motivasi dan minat siswa untuk belajar, merangsang dan menggugah rasa ingin tahu siswa
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM dan menciptakan suasana dan iklim pembelajaran yang terbuka. Pada tahap penyajian, guru harus memikirkan bagaimana agar materi pelajaran dengan mudah ditangkap dan dipahami oleh siswa. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal antara lain penggunaan bahasa, intonasi suara, menjaga kontak mata dengan siswa dan menjaga agar kelas tetap hidup dengan cara menggunakan kalimat atau bahasa yang lucu. Penggunaan bahasa haruslah komunikatif dan mudah dipahami oleh siswa. Selain itu bahasa yang digunakan juga disesuaikan dengan tingkat umur siswa. Pada tahap penyajian guru juga harus mampu mengontrol intonasi suara. Guru yang baik akan memahami kapan harus meninggikan dan melemahkan suaranya. Pengaturan intonasi suara akan membuat perhatian siswa tetap terkontrol, sehingga siswa tidak akan mudah bosan. Dengan menjaga kontak pandang, siswa akan merasa dihargai dan merasa dirinya seolah-olah diajak terlibat dalam proses pembelajaran. Pada tahap korelasi guru mencoba menghubungkan materi yang diajarkan dengan kehidupan nyata siswa. Langkah korelasi dilakukan dengan tujuan untuk membuat kebermaknaan terhadap materi pelajaran yang diajarkan. Melalui langkah korelasi semua pertanyaan tidak perlu ada, sebab dengan mengaitkan materi pelajaran dengan berbagai hal, siswa akan langsung memahaminya. Menyimpulkan adalah tahapan inti dari materi pelajaran yang disajikan. Menyimpulkan berarti memberikan keyakinan kepada siswa tentang kebenaran suatu paparan. Sanjaya (2006:190) mengatakan menyimpulkan dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain, pertama, dengan mengulang kembali inti-inti yang menjadi pokok persoalan, kedua dengan memberikan
beberapa pertanyaan yang relevan dengan materi yang telah disajikan dan ketiga, dengan cara maping melalui pemetaan keterkaitan antar materi pokok-pokok materi. Pada langkah aplikasi, guru akan mengumpulkan informasi tentang penguasaan dan pemahaman materi pelajaran oleh siswa. Tehnik yang biasa dilakukan pada tahap ini antara lain, pertama, membuat tugas yang relevan dengan materi yang telah disajikan kedua, dengan materi pelajaran yang telah disajikan. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan jenis penelitian eksperimen semu (quasi eksperimen) dengan rancangan pretes dan postes dimana terhadap sampel diberikan perlakuan yang berbeda. Sugiyono (2009:107) mengatakan bahwa, “metode penelitian eksperimen dapat diartikan sebagai metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang dikendalikan.” Dengan kata lain penelitian eksperimen mencoba meneliti ada tidaknya hubungan sebab akibat dengan cara membandingkan satu atau lebih kelompok pembanding yang tidak menerima perlakuan. Sebagai langkah awal dalam penelitian ini dipilih dua kelas secara acak kelas yang dijadikan sebagai kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pada kelas eksperimen yang terpilih akan diberikan perlakuan dengan pembelajaran CTL. Sedangkan kelas pembanding yang biasa disebut dengan kelas kontrol akan diberikan pembelajaran konvensional. 2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 2 Dewantara Kabupaten Aceh
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
110
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Utara kelas VII. Adapun alasan pemilihan lokasi di SMP negeri 2 Lhokseumawe dilakukan karena penelitian yang sejenis belum pernah dilakukan dan menurut hasil observasi ke sekolah tersebut dalam pembelajaran khususnya matematika masih menggunakan pembelajaran konvensional. Penelitian ini dilaksanakan di semester II tahun ajaran 2012/2013 di bulan Januari sebanyak 4 kali pertemuan untuk pembelajaran dengan materi bentuk aljabar dan 2 pertemuan untuk pelaksanaan pretes dan postes. 3. Populasi dan Sampel Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas : obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya, sedangkan sampel adalah bagian dari jumlah dan karakeristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2009:117-118). Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini direncanakan adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 2 yang ada di Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara yaitu sebanyak 5 kelas. Sedangkankan pemilihan sampel dilakukan dengan cara mengacak kelas Dari hasil acak kelas diperoleh 2 kelas untuk kelas eksperimen yaitu kelas VII.1 dan VII.3, sedangkan untuk kelas konvensional terpilih kelas VII.2 dan VII.4. Adapun pertimbangan pemilihan dua kelas untuk eksperimen dan dua kelas untuk kontrol adalah dengan harapan agar data berdistribusi normal, mengingat jumlah siswa untuk masing-masing kelas sekitar 20-25 orang saja. 4.
Mekanisme dan Rancangan Penelitian Penelitian ini membandingkan dua kelompok yang dipilih secara random sampling class. Setiap kelompok akan
111
diberikan perlakuan yang berbeda, yang satu akan diberi perlakuan dengan CTL dan lainnya pembelajaran konvensional. Sebelum perlakuan diberikan siswa pada masing-masing kelompok tersebut akan diberikan pretes (soal-soal prasyarat dengan indikator kemampuan komunikasi matematis) untuk mengetahui sejauh mana kesiapan siswa dalam mengikuti pembelajaran pada materi bentuk aljabar. Dan setelah perlakuan diberikan siswa diberikan tes akhir (postes) terkait dengan kemampuan komunikasi matematis. Dengan demikian desain eksperimen dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Keterangan : O : Pretest dan Postest X : Perlakuan dengan CTL Penelitian ini dikategorikan dalam penelitian eksperimen semu. Rancangan yang digunakan dalam penelitian eksperimen ini meliputi tiga jenis tahapan, yaitu (1) tahap pengembangan perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian, (2) tahap uji coba perangkat dan instrumen penelitian, (3) tahap pelaksanaan eksperimen. Setiap tahapan dirancang sedemikian sehingga diperoleh data valid sesuai dengan karakteristik variabel dengan tujuan penelitian. 1. Teknik Pengumpulan Data Tes kemampuan komunikasi digunakan untuk melihat perbedaan kemampuan komunikasi matematis melalui pembelajaran yang menerapkan CTL dan konvensional. Tes diberikan kepada siswa setelah pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran CTL dalam bentuk uraian yang terdiri dari 6 soal. Dalam penyusunan tes kemampuan komunikasi
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM matematis, terlebih dahulu disusun kisi-kisi soal, yang dilanjutkan dengan menyusun soal beserta kunci jawaban. Selanjutnya, untuk menjamin validasi isi (content validity) dilakukan dengan menyusun kisi-kisi soal tes kemampuan komunikasi matematis pada materi Bentuk Aljabar. Penilaian untuk jawaban kemampuan komunikasi matematis siswa disesuaikan dengan keadaan soal dan hal-hal yang ditanyakan, adapun pedoman penyekoran didasarkan pada pedoman penilaian rubrik untuk kemampuan komunikasi matematis 2. Teknik Analisis Data Berkaitan dengan pertanyaan penelitian kemampuan komunikasi matematis dianalisis dengan analisis statistik deskriptif. Agung (1992: 3) menyatakan bahwa statistik deskriptif dapat berbentuk tabel frekuensi, tabel silang dan beberapa statistik dasar seperti rata-rata, median, modus dan varians. Analisis statistik deskriptif dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian ini dengan menggunakan tabel frekuensi, rata-rata dan persentase. Analisis data hasil kemampuan komunikasi siswa secara deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan tingkat kemampuan komunikasi matematis siswa setelah proses pembelajaran. Untuk menentukan kriteria kemampuan komunikasi matematis siswa digunakan kriteria yaitu kurang sekali, kurang, cukup, baik dan baik sekali. Sedangkan penentuan standar minimal kemampuan komunikasi matematis siswa berpedoman pada kriteria ketuntasan minimal (KKM) ≥ 60 (Depdikbud, 1995:39). Berdasarkan hal tersebut hasil postes kemampuan komunikasi matematis siswa dapat disajikan dalam bentuk interval sebagai berikut: 0 ≤ SKKM ≤ 20 Kurang Sekali 21 SKKM 40 Kurang
41 SKKM 60 Cukup 61 SKKM 80 Baik 81 SKKM 100 Baik Sekali Keterangan: SKKM : Skor Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa A. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Analisis Deskriptif Hasil Penelitian Tes kemampuan komunikasi matematis siswa dilakukan dua kali yaitu tes awal (pre-test) yang berisikan tes kemampuan awal siswa dan tes akhir (post-test). Tes awal dan akhir diikuti oleh masing-masing dua kelas dengan total 41 orang siswa pada kelas eksperimen dan 42 orang siswa pada kelas kontrol. Secara kuantitatif, tingkat kemampuan awal komunikasi matematis siswa pada kelas kontrol adalah jumlah siswa yang memperoleh nilai kurang sekali sebanyak 66,67% dan kategori kurang sebanyak 33,33%. Sementara kemampuan awal siswa terhadap kemampuan komunikasi matematis untuk kategori cukup, tinggi dan sangat tinggi tidak ada. Sedangkan pretest kemampuan komunikasi matematis siswa pada kelas eksperimen diperoleh bahwa, jumlah siswa yang memperoleh nilai kurang sekali sebanyak 70,73%; yang memiliki nilai kategori kurang sebanyak 26,82%; kategori cukup sebanyak 2,44%, dan tidak ada siswa yang memiliki kemampuan awal dengan kategori tinggi dan sangat tinggi. Secara kuantitatif, hasil tes akhir kemampuan komunikasi matematis siswa pada kelas kontrol pada kategori penilaian “kurang sekali” sebanyak 45,23%; untuk kategori “kurang” sebanyak 23,81%, untuk kategori “cukup” sebanyak 7,14%, untuk kategori “tinggi” sebanyak 2,38%; untuk kategori “sangat tinggi” sebanyak 0%. Sedangkan post-test kemampuan komunikasi matematis siswa pada kelas eksperimen diperoleh bahwa, jumlah
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
112
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM siswa yang memperoleh nilai kurang sekali sebanyak 14,63%, yang memiliki nilai kategori kurang sebanyak 29,26%, yang memiliki nilai kategori cukup sebanyak 19,51%, yang memiliki nilai kategori tinggi sebanyak 29,26%, dan yang memiliki nilai kategori sangat tinggi sebanyak 7,32%. Bila ditinjau dari tingkat kemampuan komunikasi matematis siswa, maka terdapat perbedaan antara kemampuan komunikasi matematis di kelas eksperimen dengan kelas kontrol. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan konvensional dapat menghantarkan siswa pada kemampuan cukup, sedangkan pembelajaran dengan CTL dapat menghantarkan siswa pada kemampuan tinggi dan sangat tinggi. Berdasarkan deskripsi data di atas hasil tes awal dan tes akhir digambarkan dalam tabel berikut, di mana ditunjukkan skor terendah (Xmin), skor tertinggi (Xmax), Skor rata-rata () dan standard deviasi (s) untuk kelas eksperimen dan kontrol seperti pada Tabel 4.1 berikut:
Rata-rata skor siswa terhadap materi Bentuk Aljabar dirangkum dalam Tabel 4.2 berikut.
Pada Tabel 4.2 dapat dilihat kemampuan komunikasi matematis siswa, rata-rata proporsi skor uji awal dan uji akhir siswa kelas kontrol adalah 7,69 dan 8,17. Bila diperhatikan rata-rata proporsi skor uji akhir terjadi peningkatan rata-rata proporsi skor sebesar 0,48. Sedangkan kelompok eksperimen 8,37 dan 15,59 terjadi peningkatan rata-rata proporsi skor
113
sebesar 7,22. Selisih proporsi uji awal dan uji akhir kelompok eksperimen lebih besar dari selisih proporsi skor uji awal dan uji akhir untuk kelas kontrol. Hal ini memberi petunjuk bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa dengan pembelajaran CTL lebih tinggi dibanding siswa dengan pembelajaran konvensional. Menurut data pada Tabel 4.2, berdasarkan kriteria ketuntasan belajar untuk kemampuan komunikasi matematis banyaknya siswa kelas kontrol yang tuntas belajar adalah 5 siswa dari 42 siswa atau 11,90%; sedangkan di kelas eksperimen ada sebanyak 26 siswa dari 41 siswa atau 63,41%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran dengan CTL memiliki keunggulan dibanding konvensional jika dilihat dari ketuntasan siswa. Sesuai dengan kriteria ketuntasan secara klasikal bahwa suatu pembelajaran dipandang telah tuntas jika terdapat 80% siswa yang telah memiliki skor ≥ 65% dari skor maksimum. Dengan demikian secara klasikal kelas eksperimen maupun kelas kontrol tidak memenuhi kriteria ketuntasan belajar. Namun demikian ketuntasan hasil belajar dan proporsi tes dengan pembelajaran CTL lebih baik dibanding dengan pembelajaran konvensional, hal tersebut mengindikasikan bahwa pembelajaran CTL lebih baik untuk diterapkan dalam pembelajaran matematika pada materi Bentuk Aljabar. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, rata-rata skor kemampuan komunikasi untuk kelas yang diberikan pembelajaran CTL adalah 15.59 dan untuk pembelajaran secara konvensional adalah 8.17. Sedangkan jika ditinjau dari ketuntasan, jumlah siswa yang tuntas di kelas kontrol sebanyak 5 siswa, sedangkan di kelas eksperimen sebanyak 26 siswa. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata skor kemampuan komunikasi matematis siswa dengan menggunakan pembelajaran
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM CTL lebih tinggi, sedangkan dengan pembelajaran konvensional lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa antara pembelajaran yag menerapkan CTL dengan konvensional. Jika kita perhatikan karakteristik pembelajaran dari kedua pembelajaran tersebut adalah suatu hal yang wajar terjadinya perbedaan tersebut. Secara teoritis pembelajaran dengan CTL memiliki beberapa keunggulan, pembelajaran ini menyajikan materi yang dipelajari dengan pengalaman siswa dalam kehidupan sehari-hari di sekitar siswa, sehingga materi yang disampaikan lebih mudah dipahami. G. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data kemampuan komunikasi matematis siswa dapat disimpulkan bahwa, rata-rata proporsi skor uji awal dan uji akhir siswa kelas kontrol adalah 7,69 dan 8,17. Bila diperhatikan rata-rata proporsi skor uji akhir terjadi peningkatan rata-rata proporsi skor sebesar 0,48. Sedangkan kelompok eksperimen 8,37 dan 15,59 terjadi peningkatan rata-rata proporsi skor sebesar 7,22. Selisih proporsi uji awal dan uji akhir kelompok eksperimen lebih besar dari selisih proporsi skor uji awal dan uji akhir untuk kelas kontrol. Hal ini memberi petunjuk bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa dengan pembelajaran CTL lebih tinggi dibanding siswa dengan pembelajaran konvensional. Berdasarkan kriteria ketuntasan belajar untuk kemampuan komunikasi matematis banyaknya siswa kelas kontrol yang tuntas belajar adalah 5 siswa dari 42 siswa atau 11,90%; sedangkan di kelas eksperimen ada sebanyak 26 siswa dari 41 siswa atau 63,41%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran dengan CTL memiliki keunggulan dibanding konvensional jika dilihat dari ketuntasan
siswa yang artinya terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematis siswa yang pembelajarannya menerapkan CTL dan konvensional. DAFTAR PUSTAKA Agung. 1992. Metode Penelitian Sosial: Pengertian dan Pemakaian Praktis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Bansu I. Ansari. 2009. Komunikasi Matematik (Konsep dan Aplikasi). Banda Aceh. Yayasan Pena. Baroody A.J, 1993. Problem solving, Reasoning and Communication, k-8: helping children think mathematically, New York: Merril, an Inprint of Macmillan publishing company. Depdikbud.1995. Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GPPP) mata pelajaran matematika. Jakarta:Depdikbud. Depdiknas. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. NCTM. 1991. Professional Standards for Teaching Mathematics.Virginia. The National Council of Theachers of Mathematics, Inc. Nurhadi dan Senduk. 2003. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK cetakan ke-1. Malang. UMPRESS. Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Edisi 1, cetakan ke-6. Jakarta. Kencana Prenada Media
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
114
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Group. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta. Muslimatun. 2006. Pembelajaran Berbasis Masalah . (tersedia online)http:// digilib.unnes.ac.id , (diakses 10 Oktober 2009) Aryan, Bambang. 2007. Kemampuan Membaca dalam Pembelajaran Matematika.http://rbaryans. wordpress.com/2007/04/25/ kemampuan-membaca-dalam-
115
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
116
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM LEARNING MEDIA USED IN LEARNING VOCABULARY Samhudi, M.Pd Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis media belajar yang digunakan oleh siswa kelas beginner BIMA Lhokseumawe dalam belajar vocabulary, dan mendeskripsikan cara penggunaan media-media belajar tersebut dalam pembelajaran. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas beginner BIMA Lhokseumawe yang berjumlah 14 orang serta guru/ tutor yang mengajar dikelas tersebut. Untuk mendapatkan data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua teknik pengumpulan data, yaitu observasi dan wawancara. Observasi digunakan untuk mengetahui aktifitas siswa dan guru dalam penggunaan media dalam pembelajaran vocabulary. Wawancara diperuntukkan untuk mengetahui alasan penggunaan media tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru menggunakan beberapa media dalam proses pembelajaran vocabulary di kelas beginner. Media-media belajar yang digunakan adalah gambar, CD, menggambar di papan tulis, and benda nyata. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara, dari semua media yang digunakan, media CD merupakan media yang paling menarik bagi siswa. Media ini membuat siswa lebih konsentrasi dalam mendengar dan menonton pengucapan serta arti vocabulary untuk selanjutnya akan diingat lebih lama. Walaupun demikian, media gambar adalah media yang paling sering digunakan guru di kelas beginner BIMA Lhokseumawe dalam mengajar dan mengenalkan kosakata baru dalam bahasa Inggris kepada siswa. A. Introduction English is the first foreign language in Indonesia. Many schools or courses give English as one of the lessons. It seems that interest in the teaching of English to Elementary school is growing well. Even tough, it does not get maximal result. The important point is to children get basic learning in English to make them easier to learn further. Brumfit explains that young children have more opportunities than adult in learning (1991: 28). They are learning all the time without having worries and responsibilities than adult. Their parents, their friends and their neighborhoods help them in learning. Their brains are more adaptable before puberty than after. And acquisition of language is possible without self- consciousness at an early stage. Above all, the most important thing is to give very careful consideration to the techniques for teaching English to children. Including the use of media as working with young learners in the elementary classroom
117
can be a rewarding and a demanding experience. It is necessary to identify what learning a language in school demand from young children in the school environment can offer them. The implication of these demands and needs for the teacher is also need to be acknowledged. As stated before, the use of media as learning aids is mostly believed to facilitate the English classes. Although this is not only factor to increase the quality of English teaching, but the media can be as an object or visual representation of the real thing. Vocabulary is one of the important points of English learning. It is one of the language components and as a base of a language. That is why vocabulary building should be given to children. Getting much vocabulary is better because they will have stronger base in learning and simple vocabulary is the best choice for children (colour, number, fruit and so on). In learning English, the role of
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM vocabulary cannot be ignored in order to achieve the target language. Vocabulary is very useful for anyone who is studying a foreign language. If the students do not know any word of the language, surely he/ she is not be able to communicate. The ability to understand the target language greatly depends on vocabulary. Some linguists also express their ideas about students learning, one of them is Anna in Goodman said that “Many students consider learning vocabulary a tedious job they try to reset list of words, spelling, pronunciation, meaning and synonyms only to realize hour. Later that their result are hardly, satisfactory they start blaming their poor memory. They said the number of words in English and the complete usage discourages the” (1989: 11). In addition, in teaching learning process, an English teacher for the beginners level is plays a very important role, because he/ she is the most influential person in the classroom. They can support the success of the teaching and decisions to be made. Each decision involved a challenge to the skills or accessing a new situation and coming up with new problems. Furthermore, the efficiency of the use of media depends on how well a teacher determined and manipulated the good media for children. According to Sabilah, the function of media is to help and to develop teaching technique of English teacher in teaching four English skills (listening, speaking, reading and writing) (2000: 19). In this study tries to specify only on the vocabulary building because children will get a base of English strongly by enlarge their vocabulary. The writer also interested with the study about media in order to motivate children to learn English with fun and joy. This study is to know the media that used by the teacher in teaching vocabulary and how effective is the media. Hopefully, it
will be useful especially to enlarge the knowledge about teaching English for young learner. Moreover, the researcher is interested in conducting this research to investigate the problems found above. Considering on the explanation above, the researcher wants to conduct a research to answer the following research problem; (1) what kinds of learning media are used by the students at BIMA Lhokseumawe in learning English vocabulary?, and (2) how are the media used by the students at BIMA Lhokseumawe in learning English vocabulary? While the objective of this research was (1) to know the kinds of learning media are used by the students at BIMA Lhokseumawe in learning English vocabulary. (2) to describe the ways in using learning meadia in learning English vocabulary at BIMA Lhokseumawe. This research is scoped on teaching media which are used by the teacher in teaching English vocabulary to the young learner at BIMA Lhokseumawe. The media observed is only limited on the visual media such as pictures, flash cards, puppets, etc. This research is limited on the young learners or the students who are in the beginner group and the teacher who teaches them. B. Review of Literature 1. Definition of Vocabulary According to Richard in Nurrofiah, vocabulary is the one of the most important aspect of the foreign language learning. Further, vocabulary is meaning associated with spelling form (2002: 14). The focus of definition is in the meaning. Thus, teaching vocabulary is the instruction that used to develop student’s ability to use vocabulary items in free in meaning conversation. Learning vocabulary does not mean learning word isolation. Word should be learned in context because a word may have different meaning in different context. In fact, word in isolation frequently does
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
118
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM not match with the intended meaning, the meaning of the word will be depended on the context itself. This idea is supported by French by saying that to know the English words and their meaning would be useless, unless someone know how the words put together meaningfully in a sentence (1983: 1). On the other hand, vocabulary growth is based on the learners’ experiences. Words must be associated with the meaning in order to be useful for communication. According to Ur vocabulary can be defined roughly as the words we teach in foreign language (1996: 60). While Hornby in Advanced Learners’ Dictionary of Current English defined vocabulary as a total number of words that make up a language body of word know to a person or used it for a particular book, subject and test of word used in book (1989: 142). Based on those statements, vocabulary is a word or sound which represents a certain meaning as an utterance unity. It is the most important part in language learning. To achieve four skills, a student must have acquired the vocabulary well. It is clear that vocabulary is a fundamental of language. So, there is no language without vocabulary. 2.
The Importance of Vocabulary In teaching learning English, vocabulary is very important, because without learning any vocabulary, it is difficult to communicate, if we want to know the students’ ability in mastering English, it is needed to know their vocabulary including structure and pronunciations. The students can understand the teacher speaking, because they have gotten some vocabularies in mind and also can express their ideas in writing. On the other hand, they can read a text and translate it into the target language. Therefore, they must learn the meaning of vocabulary, forming and using it in a sentence. However, they often face difficulties when they want to express
119
their idea in English without having any vocabularies. They are weak and unable to communicate each other if they lack of vocabulary. Vocabulary plays an important role because it appears in every language skills. Many experienced instructors know how important the vocabulary is. Krakowian agrees that communication oriented the most presses concern for the learners are the need to master an educational foreign language vocabulary (1988: 34). It means that dealing with learning English as a foreign language, vocabulary is one of the components of language which has the most important role in mastering four language skills. Furthermore, there is another importance of vocabulary. Vocabulary is a basic skill to communicate; people will not be able to communicate easily without knowing it. It means that vocabulary is important in communication. We cannot communicate with others in a certain language if we do not know much words of the language. Finally, without ignoring other language components, it is clear that vocabulary is the most important factors in the teaching learning of English as a foreign language even in all language. So, teachers are expected to have the excellent way to make the students interest in learning vocabulary so that the teaching learning objectives can be carried out successfully. 3.
Young Learner’s Characteristic According to Beaty, there are four young learners’ characteristics that should be get attention from the teacher if they want to create the effective teaching learning process, they are; (1) Physical skill (2) Cognitive skill (3) Communication skill (4) Creative skill (1988: 16). a. Physical Skills The physical growth and
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM development of young children during their school is such obvious occurrence. That we sometimes take it entirely for granted. Children will of course grow bigger, stronger, more agile and more coordinated in their movement without outside help. Teacher should realize that individual differences in development account for many such lags. Some children are slower than other in developing coordination. The problem of lack of opportunity to practice skill may account from other. But no matter what the cause of development lags. Classroom workers can help young learners to improve both large and motor coordination by providing activities, material, and equipment that will gives them practice with basic movement. b.
Cognitive Skills Advancing cognitive skills in young learners involves them develop their intellectual or teaching abilities. Many courses programs have over locked or down played this area of development. Somehow we have the notion that we should not teach children to learn until they enter at age five or six. The courses were declared concern with play. We seem to have overlooked the fact that young learners are progressing in their intellectual development with or without our help. Cognitive development is important as physical or language development. In fact, they go hand in hand. It occurs at the same time and it integrated into every other aspects of the child’s development. We also have forgotten that principal direction of young children is not entertainment or recreation, as it is among adult, but learning. It is essential, therefore that teacher of young learners understand how cognitive abilities develop and how they can utilize play in their classroom to promote cognitive development and give it direction.
c. Communication Skills Most people now agree that the early childhood years, from birth to school entrance are among the most important years of development. At no other time of life does development advance so rapidly in so short a time. Surely one of the most remarkable aspects of this period is the acquisition of a native language. From being totally nonverbal at birth, the young child develops the ability to things and speaks in a native language by the time he or she enters school. How does this happen? Although psycholinguists advance several theories, the process is still something of a mystery. But we do know certain facts. We know that the drive to communicate is inherent in all human beings. We also know that children will strive endlessly to accomplish this goal of communication unless totally confused or frustrated by circumstances. And we know that if verbal ability is not developed during these crucial early years, it can affect a child’s thinking and learning abilities the rest of his life. Physical or mental disability may prevent language development from occurring at its normal time or rate. An abusive or uncaring home environment may discourage children from trying to express themselves verbally. The opposite is also true; if a child’s every need is fulfilled without his having to utter the word, language is often delayed. Some twin satisfies the communication drive by developing their own verbal or nonverbal communication system, thus delaying native language development. We also know that modeling behavior is as important here as in other aspects of development. Children from highly verbal homes seem to speak early and well. While children from homes where nonverbal communication is the norm is often delayed in learning to speak.
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
120
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM d. Creative Skills When it was discussed about creative person, it generally means someone who has originally ideas, who does thing in new and different way, who use imagination and inventiveness to brings about novel forms. Can young learners be creative like this? Not only they can be. Creativity seems to be intuitive in young children, sometime they are born with. From the very beginning they have the capacity to look at things, to hear, taste, and touch thing from on entirely original perspective – their own. After all, they are new unique beings in the strength and complex world. The only way they have to make sense of things around them is to explore the with their senses, try them out see what them the way they are, see if they can be any different. Young children bring to any activity a spirit wonder, great curiosity, and spontaneous drive to explore, experiment, and manipulate in a playful and original style. This is creativity. It is the same impulse that artist, writer, musician and scientist have. Yet, you may respond not all children behave like this, as we note the cognitive skills point. Some children show little interest in anything new. Some will not engage in activities unless directed by the teacher. These are the children who need our special assistance in recapturing the creativity they were born with their skill. As we know, that sometimes people may interfere the foreign language with their mother language. They tend to make mistakes that occur after they have seen they words and pronounce the words as the based to do in their own language. Harrycraft in Nurrofiah for instance stated that there is a contrast between Indonesia language and English. In our native Indonesia we tend to use some words between pronounces and written are same, but in English between word and
121
written are usually different. These kinds of contrast should be taught to the students. Students should be introduced how to pronounce and use English and compare with their own language (2002: 26). 4. Teaching English to the Young Learners Teaching English to the young learners has many aspects. In more formal sense it is concerned with storytelling or sings a song, reading to the young learners, and planed group tasks. There also an informal phase which is very important, consisting of everyday conversation between children and teacher and between children themselves. Young learners have greater immediate read to be motivate by the teacher or the materials in order to learn effectively. More than anything else, young learners are curious. At the same time it is probably true to say that their span of attention or concentration is considerably less than that of an adult. Young learners will often seek teacher approval. The fact that the teacher notices them and shows appreciation of what they are doing is of vital importance. It is suggest that children need constants change of activity. They need activities which are exciting and stimulate their curiosity. They need to be involved in something active. They will usually not sit and listen. They need to be appreciated by the teacher such an important figure for them. It is extremely unlikely that they will have any motivation outside this consideration, and so almost everything of them is depend on the attitude and behavior of the teacher. 5. Media in Teaching Vocabulary Media is the channel of communication. Media are considered as instructional media when they carry massages with an instructional purpose that is to facilitate communication. The teaching media is media that is used
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM to support the instructional interaction between the teacher and the students (2014). Media has a very important role in increasing the children’s interest to follow and pay attention to the lesson. Because by using media, the students do not only listen to what is said and taught by the teacher, but also see, notice, and fell it directly. It can increase students’ motivation in learning, activate student to give responses, enable the student to repeat what they learn, stimulate the student to study harder, and encourage the student to give direct feedback. Teacher of young learners have to use some visuals in their teaching activities to facilitate their teaching. Latuheru states that there are two kinds of teaching media, they are: visual media and audio-visual media (2014). a. Visual Media Foreign language learning needs to be supported by the attractiveness of the language instructional media, they are needed. The visual media is one type of language instructional media, then can be easily get than audio visual media. Visual media classified as follows: picture, flash card, puppet, realia or real objects. 1. Pictures Picture is photographic representation people and things (1964: 162). Picture can translate abstract concept into more realistic or concrete items teachers can get various colorful picture from used magazines, posters, or from newspaper or calendars. According Finocciaro, every classroom have file of three of pictures they are (1) picture of individual persons or individual object; (2) picture of situation in which person are doing something with objects and in which the relationship of object and/or people can be seen; (3) a series of picture in one chart. The advantage of using picture
is they are easy to use because they do not require any equipment and they are inexpensive. Besides they will last long and can be used in many ways at all levels in the primary or the beginner. 2. Flash Cards For active recall of vocabularies, the flash card may have a picture one side and the teacher writes the name of the thing on the other side so that teacher will know that picture is being shown. The teacher will show the picture one by one and the student will mention the name of the thing stated on the pictures. If the students fill, the teacher will mention the first letter of the name of the picture. For example: The teacher will say. “I like eat banana, my name starts with M.” Then the students will guess the answer, it is expected that is very helpful for the student to remember the vocabularies. Flash card is can be in the form of photograph, drawing or picture cut out of the magazines and newspaper. For a language instruction, drawing is not necessary the work of art. Stick figure can be drawn on the whiteboard or cardboard. The picture must be enough, so the student can be see them clearly. 3. Puppets Puppets are very popular among children. They have been popular for hundreds years because they are so much fun. A teacher can do many things with the puppets. He/ she can move them around and make them talk, dance, walk, just like actors in play. There are a lot of different kinds of puppet among other they are (1) Finger puppet (2) Card puppet (3) Glove puppets, here are the explanations of them. a. Finger Puppets You can use your fingers as puppet by painting them fingers paint or
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
122
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM you can make mini puppets that slip over your fingertips. You can decorate each finger in the different way.
illustrating intonation pattern; dialogs and stories for listening and repeating; aural comprehension exercise and event test.
b. Card Puppets Card of puppet are also simple to make. They can be moved with stick taped to the back, or with hidden card strap.
3. Overhead Projector The teacher of young learners needs this kind of equipment. Presenting the material using overhead projector allows the teacher to face the children all the time and provides the children with a common focus of attention. The teacher can come back with the same material whenever he or she wants to and the teacher can use the same material with different classes.
c. Glove Puppet A glove puppet fits on to your hand and when you move your finger, puppet’s arm and head moves. Make a glove puppet of each hand, so that the puppet can talk each other. b. Audio Visual Media Audio visual media is the most powerful aids among the resources for teaching and learning. By using audiovisual media the object can not only show but also heard and seen. There are three kinds of audio visual media, they are (1) Cassette recorder (2) The tape recorder (3) Overhead projector, here are the explanations of them. 1. Cassette Recorder Songs, stories, drama, operas, poems and speeches, as well as the voice of people in the market (all of available on the record) are in valuable teaching foreign language and should be used at which ever step in the lesson they would most appropriate. Language learning can combined with recreation or aesthetic appreciation for a change of face in the classroom to enlarge motivation. 2. Tape Recorder When the tape recorder exist, the teacher should make every attempt to use them extensively. Many kinds of supplementary materials can be places on tape, pronunciation drills where contras are featured; sentences of varying length to teach rhythm; sentence
123
C. Research Method This research was conducted to describe the learning media used by the students at BIMA Lhokseumawe in learning vocabulary. The subjects of this research are the students and the teacher who are thought at beginner class at BIMA Lhokseumawe. The learners were about 9 up to 10 year old. The other subject examined is the media in teaching vocabulary which are used by the teacher at beginner class of BIMA Lhokseumawe. The data was collected by using two research instruments, they were: observation checklist and interview. Observation was used to observe teaching and learning process. The researcher observed the teaching learning process at beginner class. The researcher made observation checklist to observe the activities done by the students in the class. The second instrument used in this research was interview. It was directed to the teacher at beginner class of BIMA Lhokseumawe. D. Data Analysis and Research Finding 1. Data Analysis There are two instruments dealing with the analysis of the data collection. First
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM is the data that researcher got from the interview. The second is the data gathered from the observation. a. Kinds of Media Used in Learning at Beginner Class The media used by the teacher for the students in teaching English were various. The media that used were CD, still pictures (a picture in the paper and the picture can be anything that needed by the teacher), drawing whiteboard and realia. The teacher of beginner class always uses the picture as the media that states in CD, still picture or by drawing blackboard. The teacher realized that the function of media is very important to get the students attention. To make it clear, the following media were explained. 1. CD (Compact Disc) The reason why the teacher uses CD is because it makes the teacher easier to introduce the vocabulary to their students The teacher turns on the CD player and ask the students to repeat the word that appear in every picture, and in the last of the lesson the teacher reviewing the words which already taught. 2. Whiteboard Drawing The teacher uses drawing whiteboard to teach the student about the words that have relation with the students’ environment. The words were like table, chair or car. This media were often used by the teacher because it does not need much preparation, the teacher only needs a board marker and draw the picture depend on the theme or the material would be presented at that day. 3. Picture There are many pictures in the wall of the beginner class, the teacher takes the picture that needed and shows the picture one by one to be guessed by
the students in Indonesian language and the teacher gives them the English words. For example, the teacher takes the solar system picture then asks the students to count the planets and tell them about planets, stars, and sun. Picture is very useful for the English teacher, it can make the students learn two things for example, the teacher takes monkey’s picture and asks the student “what is the monkey doing?” it means that the teacher has already given the students two ways of vocabulary teaching. She already taught the students about monkey and what monkey was doing. 4. Realia The teacher at beginner class shows a square that has different colors and throws the square to the floor and the students try to guess the color shown above. There are black, blue, white, yellow, red, and green. Before throwing the square, the teacher wrote the words of every color to the Indonesia meaning. The square of color is interesting when the teacher throws it to the floor and the students waits to guess what the color will shows in the top of the square, maybe it will makes the situation of the class is crowded but it is ok if the students is learning. They learn English vocabulary actively. The other realia used is the furniture inside the class such as table, chair, and cupboard and the part of the class like windows and door, the teacher is only need to point to the things and the students guess. b. The Ways of Using Media In this section the researcher presents the data concerning to the way of using the media to teach vocabulary for beginner class. Based on the interview and observation, the researcher got some information about the media in teaching
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
124
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM vocabulary for young learners. In this case, beginner class is taken as the subject of this research and it has 15 students. The students are divided into 3 groups, so each group consisted of 5 students with the different seat. The media used by the teacher in teaching vocabulary are CD, picture, blackboard, and realia. Concerning to the CD, the teacher turns on the CD and guided the students to look at the pictures that appear in the television. For this media the teacher told about the alphabet, after spelling the letter together the teacher asks every group to spell those words together, and the last was every student should spell the letter by themselves. In using the picture, the teacher shows the solar system picture and asks the students to count how many planets there are. The students on the beginner class have good eager to count in English. The teacher also gave the other words like star, cloud, sun, and moon. The teacher evaluates the students by asking every group to repeat counting in English. Drawing whiteboard is used by the teacher to teach them about “my country” and “village”. The teacher only needs to bring a board marker and a little beat of drawing ability. She just draws the flag and a map of our country. Before coming to the material, the teacher did brainstorming to the students. She asked about the country we lived and the color of our flag. Realia was used to introduce them about the color and the things in the classroom. The teacher was using a square that has different color in every side. The teacher wrote the color in English and Indonesian meaning then throws the square to the floor and the students will guess the color that shows above group by group. The things inside the class are also useful for the teacher to teach vocabulary such as, table, ruler, blackboard, cupboard, rubbish bin, and so on. The teacher did not
125
found any difficulty in using realia, because those things have already existed in the class. All the teachers have to do is only pointing to the thing and the student will try to say it in English words. Based on the interview done by the researcher, teaching English at beginner class of BIMA is mostly focused on aquaring more vocabulary as the basic skill to master a foreign language in the future. 2. Discussion Basically, there are many media that are used by the teacher at beginner class, and those media are very helpful for the teacher because they attract the students’ attention and the students’ motivation. CD is the most favorite media for the students, the students just sit and wait the picture that will appear on the television. The CD is published by British Broadcasting Organisation (BBC). Realia is used in limited activities, because the teacher has the theme as a limitation. The theme taught by using realia is about the things in the surrounding. This is good for the students because they will learn vocabulary from the things that are familiar with them. The media used by the teacher at beginner class were good enough and also interesting for the students in learning English vocabulary. The most appropriate media was picture and whiteboard drawing. Picture makes the students concentrate but if the class consists of many students the teacher should bring the bigger picture. Whiteboard drawing is also interesting for students but it needs teacher’s ability in drawing. If the teacher cannot draw well she should start to draw a simple subject such as a mountain, a bus, or a house. Based on the observation and interview did by the researcher, the students were interested in picture and drawing whiteboard. On those media they much enjoy the lesson when the teacher draws
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM a picture or when the teacher takes one of picture on the wall. The picture help the students to find out new vocabulary and it can make them easier to memorize English vocabulary. The media given to the students should be appropriate with their ability. In giving the material to the students, of course it should be attractive and interesting. The good media can increase students’ motivation in learning English vocabulary, activate the students to give respond, repeat what they have learnt, and encourage them to give direct feedback. E. Conclusion Based on the result of the research, it was found that the teacher at beginner class used some teaching media in teaching English vocabulary to the student. The media which used by the teacher were picture, CD, drawing whiteboard, and realia. From all the media that use, CD are the most interesting media. This media let the students to concentrate in watching and hearing English words and put them in their mind. Moreover from all the media used drawing picture was very often used by the teacher. The reason is the students were active in guessing picture drawn by the teacher in the whiteboard. References Ary, Donal.1970. Introducing to Research in Education, New York: Holt Rinehart and Winstor.Inc.
for-young-learners.html. Accessed on March 30th 2014 Bogdan, Robert C, Biklen, K.S. 1982. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston London: Allyn & Bacon. Brumfit, Christoper. Jayne Moon and Roy Tange. 1991. Teaching English to Children. London, London: Harper Colling Publisher. Beaty, Jeanice, 1988. Preparing for Primary School Teacher. London: Prentice Hall Finochiaro, Mary. 1964. Teaching Children Foreign Language. New York: Mcgraw Hill Company. French, Virginia Allen. 1983. Technique in Teaching Vocabulary. London: Oxford University Press. Goodman, 1989. Reading a Psycholinguistics. London: Oxford University Press. Harmer, Jeremy. 1991. The Practice of English Language Teaching, New Edition. New York: Longman Ltd. Hornby, AS. 2000. Oxford Advanced Learner’s Dictionary. New York: Oxford University Press.
Bas, Aart. 2001. English Syntax and Argumentation, second edition. New York: Palgrave.
ISP Nation, 1990. Teaching and Learning Language. New York: New Burry House.
Beaty, Jeanice. 1988. Preparing for Primary School Teacher. London: Prentice Hall.
Kasbolah, Kasihani. 1995. Teaching English to Young Learners. Malang: IKIP Malang
Blogspot.com/2008/12/teaching-english-
Krakowian, Bogda. 1988. A vocabulary
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
126
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Building Program is a Necessary Not a Luxury. English Teaching Forum, Vol. XXVI. Latuheru. www;//http// teachingmediadefinitions.edu.69. html. Accessed on June 3rd 2014. Mashur, Syafi’i. 2000. Directive English Grammar. Surabaya : Karya Utama. McCarthy, Michael. http://www.Sil.org:8090/ Silber.2004, accessed on June 27th, 2014 Murcia, Marian. 1969. Teaching English as Second or Foreign Language. California: University of California. Nugroho, Satrio. 2007. Complete English Grammar. Surabaya: Kartika. Nurrufiah, Ade. 2002. A Study on the Technique used of in Introducing New Vocabulary for the Beginner Level of Planet Kids English Course in Malang. Unpublish Thesis. Malang: UMM. Purwaningsih, http://goliat.ecnext. com /coms2/gi/0199-5785232. Accessed on March 30th 2014 Sabilah, Fardini. 2000. A Closer Look at the Used of The Media in English Classes at Elementary Schools. Unpublish Proposal. Malang: UMM Sugiono. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia.
127
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
128
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM VERBAL PROCESS IN KARONESE LANGUAGE Oleh: Jumat Barus, S.S., MS e-mail:
[email protected] Abstrak Artikel ini merupakan hasil penelitian deskriptif, yang berhubungan dengan studi verbal process dalam bahasa Karo, dalam hal process-nya dan participant yang termasuk di dalamnya. Verbal process adalah proses saying ‘ucap’ atau communicating ‘komunikasi’. Dalam bahasa Inggris, hal ini tandai dengan kata-kata kerja seperti say, call, tell, ask, express, declare, dan sebagainya, dan dalam Bahasa Karo hal ini sampaikan dengan kata erdilo ‘memanggil’, ngataken ‘mengatakan’, sungkun ‘bertanya’, ertenah ‘mengundang’, dan lain-lain. Bahasa Karo tidak mengenal tenses, sebagaimana yang dikenal dalam Bahasa Inggris, sehingga untuk menandai waktu Bahasa Karo menggunakan circumstance ‘kata keterangan waktu’. Dengan studi ini diharapkan agar pengguna bahasa Karo akan menjadi termotivasi untuk menjaga kelestarian bahasa tersebut. Sebab nilai yang terkandung dalam warisan budaya berfungsi sebagai bagian dari kekayaan para penutur bahasa Karo yang dengan hal itu persatuan Indonesia bisa tetap terjaga. Keywords: verbal process, participant, sayer, verbiage, receiver, target, range, circumstance, projected, projecting, quoting, reported I. Introduction 1.1 Background of the Research Halliday (1994:95) makes the point that the relationship between the forms of utterances and the type of meaning is based on the principle that what speakers say makes sense in the context in which they are saying it. The term ‘verb’ should actually be used to indicate an activity related to saying but, in fact, traditional as well as modern grammarians use the term to indicate a wide range of activities. ‘Verbs’ in traditional grammar are called ‘processes’ in functional grammar. Verbs may be defined as “doing words” but in a large number of instances processes are not always doing words at all, but rather express state of being or having. Saying or speaking is certainly a kind of action, so it is called a verbal process. Verbal processes are not only related to the process of
129
saying, but also quoting (direct), reporting (indirect), projecting, and responding. In English, it is realized by such verbs as say, tell, announce, ask, report, etc. There are more than a hundred verbs belonging to the type of verbal process. Karonese language, a traditional language spoken by Batak Karo ethnic group, also recognizes verbal process. They are realized by verbs such as erkata ‘say’, kataken ‘tell’, dilo ‘call’, suruh ‘ask’, etc. The verbal process in English is almost similar to that in Karonese Language. However, the position and also the type of the processes in these two languages may be different. In English, verbal process cannot be put at random. It is fixed at the second order as shown in (1).
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Meanwhile, verbal process in Karonese language is much more loose in which it can be put in any position as shown in (2a) and (2b).
Furthermore, in English, processes used in sentences are different according to the type of tenses. English has present, past, and past participle form as shown in (3a,b,c).
The rough or crude descriptions of the two languages indicate that the verbal process is worthwhile studying. Thus, various aspects of verbal process in the two languages are worthwhile analyzing and studying. 1.2 Problems of the Study This study is designed to answer some problems which are formulated as the following: (1) What are the characteristics of verbal process in Karonese language? (2) W h a t p a r t i c i p a n t s a n d circumstances are associated to verbal process in Karonese language? 1.3 Purposes of the Study In relation to the problem, the objectives of this study are 1. to describe the characteristics of Verbal Process based on functional grammar and its related aspects in Karonese language, 2. to show the participants and circumstances which are associated to Verbal Process in Karonese language. 1.4 Scope of the Study The analysis begins with an introduction to Systemic Functional Grammar in terms of the Metafunctions of language: ideational function, interpersonal function, and textual function. Various kinds of process in this theory, such as material process, behavioral process, mental process, verbal process, relational process, existential process, and meteorological process are also covered. The description of verbal process in the Karonese language is on the notion of verbal process: process of saying, process of quoting (direct), process of
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
130
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM reporting (indirect), process of projecting a proposition, process of projecting a proposal and process of responding; and the participants involved: sayer, verbiage, receiver, target, and range. 1.5 Significance of the Study The findings of this study are expected to be useful for helping others in learning Karonese language especially in comprehending verbal processes in the language. This study is also expected to be useful as a valuable input or a reference for those who want to learn more about the topic. The findings also become the basis for the Karonese speakers to appreciate their cultures, and the governments can keep the heritages of the world. II. Theoretical Background A functional grammar is essentially a ‘natural’ grammar, in the sense that everything in it can be explained, ultimately, by reference to how language is used. Systemic Functional Grammar views language as a resource for making meaning (Halliday, 1994: xiii). Basically, the ways in which language is used for different purposes and in different situations have shaped its own structure. In other words, it attempts to describe language in actual use and to focus on texts and their context. It is concerned not only with the structures but also with how those structures construct meaning as well. Thus, to understand linguistic meaning, we have to appreciate the function of items in a structure. Halliday (1994: xiii) states that it is called functional grammar because the conceptual framework on which it is based is a functional one rather than a formal one. It is functional in three distinct although closely related senses: in its interpretation (1) of texts, (2) of the system, and (3) of the elements of linguistic structures. Gerot and Wignell (1994: v) note that functional grammars focus on the
131
purposes and uses of language. They derive from examination of spoken and written language and the contexts of their use. They investigate how language is used, and its effect. In An Introduction to Functional Grammar (1994:xiii), Halliday explains that functional grammar is arranged to explain how the language is used by applying the functional components called metafunction in which all languages are organized around three kinds of meanings: (i) to understand the environment (ideational), (ii) to act on the others in it (interpersonal), and (iii) to explain that language is used to relate what is said or written to real world and to other linguistic events (textual). 2.1 Metafunctions of Language The ways in which human being understands and uses a language in order to fulfill three functions: to represent, to exchange, and to organize experience, are known as metafunctions of language. Technically, these metafunctions are termed by Halliday as ideational function, interpersonal function, and textual function. 2.1.1 Ideational Function The ideational function means that language is used to organize, understand and express our perceptions of the world and of our own consciousness. Gerot and Wignell (1994:12) note that ideational meanings are meanings about phenomenaabout things (living and non-living, abstract and concrete), about goings on (what the things are or do) and the circumstances surrounding these happening and doings. These meanings are realized in wordings through participants, processes and circumstances. Meanings of this kind are most centrally influenced by the field of discourse. Suhadi (2005) points that the experiential function is largely concerned with content or ideas which regard clause
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM as the representations of experience in terms of transitivity structures presented with processes and associated with participants and circumstances. The system of transitivity describes about the types of processes and the elements in each process i.e. the process itself, the participants and the circumstances. 2.1.2 Interpersonal Function The interpersonal function means that language is used to enable us to participate in communicative acts with other people, to take on roles and to express and understand feelings, attitude and judgments (Bloor & Bloor, 1995: 9). It means that people use language to interact with others around them, to establish and to keep the relationship with them and to influence their behavior. In addition, Gerot and Wignell (1994:13) explain that interpersonal meanings are meanings which express a speaker’s attitudes and judgements. In English, the interpersonal function involves mood structures which express interactional meanings such as what the clause is doing, as a verbal exchange between the encoder and the decoder. Furthermore, one of the main purposes of communicating is to interact with other people such as to establish and maintain appropriate social links with them and it is realized with the language. 2.1.3 Textual Function The textual function means that language is used to organize or relate what is said (or written) to the real world and to other linguistic events. This involves the use of language to organize the text itself in terms of theme structures which express the organization of the message; how the clause relates the surrounding discourse and the context of situation in which it is being produced.
Gerot and Wignell (1994:14) state that textual meanings express the relation of language to its environment including both the verbal environment—what has been said or written before (co-text) and the non verbal, situational environment (context). These meanings are realized through patterns of theme and cohesion. Textual meanings are most centrally influenced by mode of discourse. In conclusion, the three categories above are used as the basis for exploring how meanings are created and understood, because they allow the matching of particular types of wording. 2.2 Types of Process A process is associated with three components: (1) the process itself which is realized in verbal group, (2) the participants involved which is realized in the nominal group and (3) circumstance which is realized in the adverbial group or prepositional phrase. There are six different process types identified by Halliday, according to the major class: Material process, Mental process, and Relational process and according to the minor class: Verbal process, Behavioral process, Existential process. As a subcategory of the Relational, the Meteorological process is often regarded as one kind of process, thus giving as if there were seven categories of process. The six different process types are summarized in table 1.
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
132
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM III. METHOD OF RESEARCH 3.1 Research Design The library research conducted in this study is following Herbert’s theory (1990), in which he says that a library research is a research to collect ideas, theories, and reported empirical data within the context of scholarship in the library. Then, since this study describes certain characteristics of verbal processes, it is called descriptive research, and is also following Herbert (1990) in which he claims that descriptive research aims to designated characteristics of a population. In this study, the population is the verbal processes in Karonese language. The theory adopted in this study is from Halliday, namely Systemic Functional G r a m m a r. I n S y s t e m i c F u n c t i o n a l Grammar, language is interpreted as a system of meanings, followed by forms known as lexicogrammar through which the meanings can be realized. Thus, this study is an attempt to highlight how Halliday (1994) extensively postulates a concept called process in his linguistic theory known as Systemic Functional Grammar. This research is especially an attempt to describe certain characteristics of verbal process in Karonese Language. In the analysis, this school of grammar which is developed by his followers such as Bloor and Bloor (1995), Eggins (1994), Gerot & Wignell (1994) is referred to. 3.2 Sources of Data Woolams, (1991) in his A Grammar of Karo Batak stated that Karonese language is a language spoken by Karo people who live in Northern Sumatra, Indonesia. Karo people live to the northwest of Lake Toba, occupying the area of some 5.000 square kilometers roughly between 3o and 3o30’ north latitude, and
133
98 o and 98 o30’ east latitude. Karoland comprises two main areas: 1) the Karo Highlands, which include all of the Karo regency (Kabupaten Karo), the administrative centre of which is the town of Kabanjahe. Highland Karo territory extends southwards into Kabupaten Dairi (in particular the kecamatans or subdistricts of Taneh Pinem and Tiga Lingga), and eastwards into part of kecamatan Si Lima Kuta, in Kabupaten Simalungun. The Karo call it is area of highland settlement Karo Gugung. 2) The Karo Lowlands include the geographically southernmost sub districts of Kabupaten Langkat and Kabupaten Deli Serdang. This area extends from the Karo plateau down to around the villages of Bohorok, Namo Ukur, Pancur Batu and Namo Rambe in the north, and Bangun Purba, Tiga Juhar and Gunung Meriah in the east. The Karo refer to these areas as Karo Jahe (=downstream Karo), and the dialect which is used in this analysis belongs to this Karo Jahe Dialect. The highlands are regarded as the original homeland and cultural centre of the Karo people. There, the language is less subject to external influences, and kinship ties and traditional life a still strongly maintained. The Karo lowlands are also much more subject to coastal Malay influence, often embracing Islam, and sometimes abandoning their patrilineal names and allowing contact with their highland cousins to lapse. Many Karo have also settled in the provincial capital of Medan, some 78 kilometers or two hours by road from Kabanjahe, which has resulted in an inevitable attenuation of both their linguistic
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM “purity” and their cultural ties with the highlands. Being raised in a multi-cultural Indonesian-speaking urban environment, where they comprise only 4% of the population, many first-generation Medanborn Karonese no longer use Karo when speaking with their parents, and readily admit to being less proficient than they would like to be, on those occasions when they visit the ancestral village. The term “Batak” is not much used for self-description by the Karo people, except to help outsiders locate them in the ethnic of Indonesia. Amongst themselves, and to other Bataks, they simply call themselves Kalak Karo or Orang Karo (Karo and Indonesian respectively, meaning “the Karo people”). They call their language Cakap Karo (in Karo) or Bahasa Karo (in Bahasa Indonesia). This study is mostly based on the language used in the Karo Lowlands. It is based on the data drawn from two main sources namely written texts and spoken materials. The written texts are derived from the descriptions and analyses conducted by various linguists in Karonese language. Some specific examples proposed by them are also adopted in this study. The spoken materials are provided by the native speakers of the language. 3.3 Steps of the Research The data are arranged in several steps such as administering, checking, verifying, and classifying the words systematically in accordance with the intuition of the writer as a speaker of Karonese language, and also based on various theories given by various linguists such as, Halliday (1994), Bloor and Bloor (1995), and Gerot, and Wignell (1994).
are derived from the writer’s invention on the basis of his comprehension of the theory as well as his competence of the language. All sentences given are presented in the written forms without phonetic transcription. IV. Discussion 4.1 Notion of the Process Notion of the process in Karonese Language is how we use the verbal process in public because it related to the communication between one person and others in social life. We will use different types of communicating with the people in our circumstance, so the usage of the language is different too. We need various kinds of communication act: to make statements, ask questions, give directives with the aim of getting the hearer to carry out some actions, make an offer of promise, thanking or expressing an exclamation. Therefore, to arrange the words is by using the process. 4.1.1 Process of Saying Language is one of the creations of human’s mind and that is the only one which differs us from other creatures. Language is usually uttered or said. Saying is one of the actions used by the society to communicate in responding to the needs of people as social being. The typical verbs of process of saying in Karonese verbal process are realized by such verbs as nina ‘say’ , kataken ‘tell’, nuriken ‘tell’, suruh ‘ask’, nungkun ‘ask’, ermoumou ‘announce’, etc.
3.4 Data Analysis The data taken will be analyzed descriptively based on the theory given above. Some sentences given as examples
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
134
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM reports only the main point of what was said and the form may be quite different from the original statement. There are several types of reported clause, depending on whether it is a reporting statement, a question, an order, or a suggestion.
However, loose the order, in Karonese language, the process is tightly tied to the Receiver, Target and Range. The relation is fixed. 4.1.2 Process of Quoting (Direct) Process of quoting is similar with the direct speech in which there is no editing or changing to the sentence quoted. Direct speech refers to the repetition of what someone has said. In other words, the exact words or sentence from someone will be reproduced in direct speech (process of quoting). The words quoted are usually marked by quotation mark (“…”).
4.1.5 Process of Projecting a Proposal The projecting a proposal refers to reported offers, suggestions and commands in positive forms or in negative forms. The typical verbs used in projecting a proposal are: - the verb nina ‘say’ - verbs specific to offers and commands such as nganjurken ‘suggest’, mindo ‘request’
4.1.3 Process of Reporting (Indirect) Reporting is an action to retell what someone has said. The speaker usually
135
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM the person or objects, but typically human. The participants are typically realized by subject, direct object, and indirect object in the syntactic structure. Furthermore, as in the other processes, verbal also has participants, they are: sayer, verbiage, receiver, target, and range. 4.1.6 Process of Responding When somebody asks us, we must give the responds to make the conversation connect. Most of the questioning conversation demand information, and the answer expected is a verbal process. Responds are used to answer or to connect sentences such as question, order or reply. Answering sentence is a sentence which is used to answer other people’s sentence (Sibarani, 1997:184). Process of responding means how to respond or reply the statement from someone with the polite manner, and the words for responding should be suitable. There are some verbs which are used in process of responding: nganjurken ‘suggest’, nunjukken ‘indicate’, etc. (4) Ia nunjukken sikapna tertarik man dahinna. (he) (imply) (attitude his) (interested) (in) (job his) ‘He implied that he would be interested in his job.’ (5) Ia nganjurken kita njumpai kepala sekolah.(He) (suggest) (us) (meet) (head) (school) ‘He suggested to us to meet the headmaster.’ 4.2 Participants Involved The participants are involved in verbal process. Participants in the verbal process are mostly human: male, female, adult, kid or clitic. A clitic is a set of words which are uttered as a noun in the brief form of the first person pronoun, the second pronoun, and the third person pronoun. The entities represented can be
4.2.1 Sayer Halliday (1994:140) states that the sayer can be anything that put out a signal. Sayer is the person who produces the utterance. It is one of the participants of Verbal Process which typically human, but not necessarily so. In Karonese language, sayer can be in any position, but usually it is put after verb.
4.2.2 Verbiage The verbiage refers to the function that corresponds to what has been said. This may mean one of the two things. - It may be the content of what is said. (4) Banci katakendu bangku ija bunikenna buku ndai? (can) (tell you) (to me) (where hide he book the). ‘Can you tell me where he has hidden the book?’ (5) Ibabana bukum ndai ku rumahna. (bring) (book your) (the) (to) (house his).
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
136
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM
‘Your book has been brought by him to his house’ - It may be the name of the saying. (6) Anakku nungkun aku sada pertanyaen. (Son my) (ask) (me) (a) (question) ‘My son asks me a question’ (7) Te m a n k u n g a t a k e n l i m a pernyataen. (Friend my) (said) (five) (statement) ‘My friend states five statements’
4.2.3 Receiver The receiver is the one to whom the saying is directed. The receivers are mostly human, and take a position in passive sentences. Meanwhile, the receivers take a position after a verb in active sentences. Active sentence is the form of sentence which is rarely used in written form or spoken form in Karonese Language. (8) Iturikenna masalahna man bapana (tell he) (problem his) (to) (father his) ‘His father was told about his problem by him’. (9) Isungkunina kami uga cara ngerjakensa. (ask he) (we) (how) (way) (do it) ‘We were asked by him how to do it’. (10) Ia mindo maaf man bangku. (he) (ask) (pardon) (to) (me) ‘He asked me for pardon. 4.2.4 Target Target is the person or thing that is targeted by the process. Target is fairly peripheral participant and does not occur with direct or indirect speech. The verbs that
137
are accepting a target include: njelasken ‘describe’, muji ‘praise’, nyanjung ‘exalt’, ngerayu ‘persuade’, ngkritik ‘criticize’. (11) Ia njelasken cara nasakken arsik. (he) (describe) (way) (cook) (arsik) ‘He describes the way how to cook arsik. (12) Ula suruh ia ngerayu aku tentang sie. (Not) (ask) (him) (persuade) (me) (about) (this) ‘Don’t ask him to persuade me about this thing. (13) Ia ngkritik pemerintah tentang proyek parik ndai. (he) (criticize) (government) (about) (project) (river) (the) ‘He criticizes the government about the irrigation project’. 4.2.5 Range Range is the element that specifies the scope of the process. Range in the verbal process refers to the verbiage that has been discussed in the former subtitle. Besides in verbal process, range also occurs in Material, Behavioral, and Mental Process. Range in the verbal process is equivalent to the matters as in other processes. It refers to what has been described or told. The verb related to this matter is expressed by such prepositions as tentang ‘about’ and mengenai ‘concerning’. (14) La kueteh tentang kai si cakapken kalake. (Not) (know) (about) (what) (talk) (they) ‘I don’t know about what they talked. (15) Tentang kai kin sipelajariko jah. (About) (what) (learn you) (there) ‘About what you learnt there. 16) Ia nerangken pelajaren mengenai past tense man muridna. (He) (explain) (lesson) (concerning) (past tense) (to) (students)
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM
‘He explains lesson concerning past tense to his students.
V. Conclusions Having described the subject matter of this study on verbal processes in Karonese Language, conclusions are drawn as the following. First, the characteristics of verbal process in Karonese language consist of process of saying, process of quoting, process of reporting, process of projecting a proposition, process of projecting a proposal and process of responding. Second, different processes in functional grammar have different participants, and verbal processes, it may have five possible participants, they are: sayer, verbiage, receiver, target and range. Bibliography Bloor, T. & Bloor, M. 1995. The Functional Analysis of English. New York: Arnold. Eggins, S. 1994. An Introduction to Systemic Functional Linguistics. London: Printers.
Fungsional Sistemik Terhadap Tata Bahasa dan Wacana. Medan: Program Pascasarjana USU. Suhadi, Jumino. 2005. “Process in Systemic Functional Grammar as a Comprehensive Concept” in Julisa, Vol. 5 No. 2. Medan: Faculty of Literature, UISU Medan. Tarigan, H. G. 1993. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa. Thompson, G. 1996. An Introduction to Functional Grammar. Tokyo: Arnold Ltd. Woolams, Geoffrey Douglas. 1991. A Grammar of Karo Batak. Griffith University. _________. 2004. Tata Bahasa Karo. Bina Media Perintis. Medan. Yusmaniar. et. al. 1987. Struktur Bahasa Karo. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. Jakarta.
Gerot, L. and Wignell. 1994. Making Sense of Functional Grammar. Sydney: Stabler Ltd. Halliday, M.A.K. 1994. An Introduction to Functional Grammar. London: Edward Arnold. Noor, Yusmaniar. 1987. Struktur Bahasa Karo. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. Prinst, Darwin. 2002. Kamus Karo – Indonesia. Medan. Bina Media. Saragih, A. 2001. Bahasa dalam Konteks Sosial. Pendekatan Linguistik
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
138
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM SUPERVISI KEPALA SEKOLAH Oleh : Ramlan, S.Ag, M.Pd Abstract Supervision of teaching is a school principal effort in coaching teachers so that teachers can improve the quality of teaching through the steps of planning, teaching real appearance and make changes in a rational manner in an effort to improve student learning outcomes. Principals as supervisor has an autonomous authority in supervising the functions of teaching, good teachers, curriculum, methods, students, and learning schedule. supervision of the principal goal is to provide services and assistance to teachers and other education personnel in order to develop teaching and learning situations that teachers do in the classroom, which, in turn, to improve the teaching quality of teachers in the classroom so also increase the quality of student learning. Keywords : Supervision Principal A. Pengertian dan Fungsi Supervisi Kepala Sekolah 1. Pengertian Supervisi Kepala Sekolah Menurut Arikunto (2004:4), istilah supervisi berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua akar kata, yaitu super yang artinya “di atas” dan vision mempunyai arti “melihat”, secara keseluruhan maka supervisi diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh pengawas dan kepala sekolah sebagai pejabat yang ber-kedudukan di atas atau lebih tinggi dari guru, untuk melihat atau mengawasi pekerjaan guru. Di dalam Carter Good’s Dictionary of Education (Mulyasa, 2003:155), supervisi diartikan sebagai berikut: “Segala usaha pejabat sekolah dalam memimpin guruguru dan tenaga kependidikan lainnya, untuk memperbaiki pengajaran, termasuk menstimulasi, menyeleksi pertumbuhan dan perkembangan jabatan guru-guru dan merevisi tujuan-tujuan pendidikan, bahan pengajaran dan metode-metode mengajar serta evaluasi pengajaran”. Sutisna (dalam Mulyasa, 2003:155) mendeskripsikan supervisi sebagai bantuan dalam pengembangan situasi
139
belajar mengajar yang lebih baik. supervisi adalah suatu kegiatan pembelajaran yang disediakan untuk membantu para guru dalam menjalankan pekerjaannya agar lebih baik. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa supervisi pengajaran adalah upaya seorang kepala sekolah dalam pembinaan guru agar guru dapat meningkatkan kualitas mengajarnya dengan melalui langkah-langkah perencanaan, penampilan mengajar yang nyata serta mengadakan perubahan dengan cara yang rasional dalam usaha meningkatkan hasil belajar siswa. Usaha dan kegiatan membimbing guru meliputi bimbingan di dalam kelas seperti metode penyampaian, cara mengajar, hubungan siswa dengan guru, dan proses belajar mengajar, bimbingan di luar kelas meliputi teknik membuat satuan pelajaran, menulis dan mereview satuan pelajaran, pengembangan proses, termasuk menstimulasi agar guru memiliki motivasi dalam bekerja, menyeleksi pertumbuhan dan perkembangan jabatan guru-guru, merevisi tujuan-ujuan pendidikan, bahan pengajaran dan metodemetode mengajar serta meng-evaluasi
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM pengajaran untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolahnya. 2. Fungsi Supervisi Kepala Sekolah Kepala sekolah sebagai supervisor punya wewenang yang otonom dalam fungsi mensupervisi pengajaran, baik tenaga pengajar, kurikulum, metode, siswa, dan jadwal pembelajaran. Piet A. Sahertian (2000:102) Tugas kepala sekolah sebagai supervisor adalah membantu guru dalam 1) pembinaan dan peningkatan profesi mengajar, 2) pembinaan dan peningkatan sikap personal dan sikap profesional. Uraian tugasnya kepala sekolah sebagi supervisor antara adalah: a. Membantu guru dalam memahami strategi belajar mengajar b. Membantu guru dalam merumuskan tujuan-tujuan belajar c. Membantu guru dalam menyusun berbagai pengalaman belajar d. Membantu guru dalam menyusun keaktifan belajar e. M e m b a n t u g u r u d a l a m meningkatkan ketrampilan dasar mengajar f. Membantu guru dalam mengelola kelas dan mendinamisasikan kelas sebagai suatu proses kelompok g. Membantu guru dalam memecahkan masalah keluh-kesah h. Membantu guru dalam memecahkan masalah kesejahteraan Gwyn (dalam Suhertian, 2000:22) memandang ada 10 fungsi supervisi, yaitu: 1) membantu guru mengerti dan memahami siswa, 2) membantu mengembangkan dan memperbaiki kualitas guru, 3) membantu seluruh staf sekolah agar lebih efektif dalam melaksanakan proses belajar megajar, 4) membantu guru dalam meningkatkan cara mengajar yang efektif, 5) membantu guru secara individual, 6) membantu guru agar dapat menilai para siswa agar lebih baik, 7) menstimulir guru agar dapat menilai diri
dan pekerjaannya, 8) membantu guru agar merasa bergairah dalam pekerjaan dengan penuh rasa aman, 9) membantu guru dalam melaksanakan kurikulum di sekolah dan 10) membantu guru agar dapat memberikan informasi yang seluasluasnya kepada masyarakat tentang kemajuan sekolahnya. Agar situasi belajar mengajar di sekolah dalam arti yang luas tersebut dapat diperbaiki, maka menurut Wiles (Suhertian, 2000:18), kepoala sekolah selaku supervisor harus memiliki lima keterampilan dasar, yaitu: 1) keterampilan dalam hubungan kemanusiaan, 2) keterampilan dalam proses kelompok, 3) keterampilan dalam kepemimpinan pendidikan, 4) keterampilan dalam mengatur personalia sekolah, dan 5) keterampilan dalam evaluasi. B. Tujuan dan Teknik Supervisi 1. Tujuan Supervisi Dari pengertian supervisi sebelumnya dapat diketahui bahwa tujuan supervisi kepala sekolah adalah untuk memberikan layanan dan bantuan kepada guru dan tenaga kependidikan lainnya dalam rangka mengembangkan situasi belajar mengajar yang dilakukan guru di kelas, yang pada gilirannya untuk meningkatkan kualitas mengajar guru di kelas sehingga meningkat pula kualitas belajar siswa. Dengan demikian, tujuan supervisi kepala sekolah pada hakikatnya bukan hanya untuk memperbaiki kemampuan guru dalam mengajar, akan tapi juga untuk mengembangkan potensi kualitas guru dan memberikan stimuli agar guru memiliki motivasi dalam melaksanakan tugas. Menurut Burhanuddin (1998:100), Secara rinci tujuan dari supervisi adalah sebagai berikut: 1) meningkatkan efektivitas dan efisiensi belajar mengajar, 2) mengendalikan penyelenggara bidang teknis edukatif di sekolah sesuai dengan
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
140
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM ketentuan-ketentuan dan kebijakan yag telah ditetapkan, 3) menjamin agar kegiatan sekolah berlangsung sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sehingga berjalan lancar dan memperoleh hasil yang optimal, 4) menilai keberhasilan sekolah dalam pelaksanaan tugasnya, 5) memberikan bimbingan langsung untuk memperbaiki kesalahan, kekurangan dan kekhilafan serta membantu memecahkan masalah yang dihadapi sekolah, sehingga dapat dicegah kesalahan lebih jauh (Burhanuddin, 1998:100). Sementara itu Amentembun (dalam Mulyasa, 2003:157) merumuskan sembilan tujuan supervisi. Antara lain adalah: a. Membina kepala sekolah dan gurugurus untuk lebih memahami tujuan pendidikan yang sebenarnya dan peranan sekolah dalam merealisasikan tujuan tersebut. b. M e m p e r b e s a r k e s a n g g u p a n kepala sekolah dan guru-guru untuk mempersiapkan siswanya menjadi anggota masyarakat yang lebih efektif c. Membantu kepala sekolah dan guru mengadakan diagnosis secara kritis terhadap aktivitasaktivitasnya dan kesulitankesulitan belajar mengajar, serta menolong mereka merencanakan perbaikan-perbaikan. d. Meningkatkan kesadaran kepala sekolah dan guru-guru serta warga sekolah lain terhadap cara kerja yang demokratis dan komprehensif, serta memperbesar kesediaan untuk tolong menolong. e. Memperbesar semangat guru dan meningkatkan motivasi berprestasi untuk mengoptimalkan kinerja secara maksimal dalam profesinya. f. Membantu kepala sekolah untuk mempopulerkan pengembangan program pendidikan di sekolah
141
kepada masyarakat. g. Melindungi orang-orang yang disupervisi terhadap tuntutantuntutan yang tidak wajar dan kritik-kritik yang tidak sehat dari masyarakat. h. M e m b a n t u k e p a l a s e k o l a h dan guru-guru dalam mengevaluasi aktivitasnya untuk mengembangkan aktivitas dan kreativitas siswa. i. Mengembangkan rasa kesatuan dan persatuan (kolegitas) di antara guru. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan supervisi kepala sekolah adalah untuk mengembangkan potensi guru secara optimal, meningkatkan m o t i v a s i g u r u d a l a m m e n g a j a r, melahirkan kepe-mimpinan yang sanggup meningkatkan efektivitas dan efisiensi program sekolah secara keseluruhan dan memperkaya lingkungan para guru, memberi kesempatan kepada guru untuk bekerja dan meningkatkan kinerja meng-identifikasi serta memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapinya, melibatkan guru dalam merumuskan tujuan-tujuan, menilai kegiatan pendidikan, menilai program sekolah dan segala usaha kepala sekolah dalam penyesuaian pengajaran dengan kebutuhan dan perkembangan siswa. 2. Teknik Supervisi Selain prinsip-prinsip dalam supervisi perlu juga diperhatikan teknikteknik dalam mensupervisi tersebut. Sementara itu teknik dalam pelaksanaan supervisi pengajaran di suatu sekolah bisa berbeda sebagaimana dikemukakan oleh para pakar. Made Pidarta (1996:2) merumuskan beberapa teknik supervisi sebagai berikut: a. Teknik Observasi Kunjungan Kelas.
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Kepala sekolah melakukan observasi kelas yang sedang belajar dibawah bimbingan guru. Tujuannya ingin memperoleh data tentang segala sesuatu yang terjadi di dalam proses belajar mengajar. Hal-hal yang perlu dicatat oleh supervisor: 1) suasana kelas, 2) cara memulai dan menutup pelajaran, 3) kecocokan metode yang dipakai, 4) media yang digunakan, 5) tugas-tugas yang diberikan kepada siswa. Kehadiran Kepala Sekolah untuk mengobservasi dapat diberitahukan kepada guru atau tidak diberitahukan terlebih dulu kedua-duanya mengandung kebaikan maupun kelemahan. b. Pertemuan formal dan informal. Kepala sekolah dengan guru atau sekelompok guru mengadakan pertemuan baik secara terencana maupun tidak guna membahas topik-topik yang berkenaan dengan proses belajar mengajar atau keluhan-keluhan lainnya untuk dicarikan solusi yang lebih baik. c. Teknik supervisi sebaya (tutor sebaya). Hal ini dilakukan oleh guruguru yang sukses yang diberi kesempatan oleh Kepala Sekolah membantu guru yang membutuhkan pertolongan dalam proses belajar mengajar terhadap guru-guru mata pelajaran yang sejenis. Burhanuddin (1998:106), menyatakan bahwa ada banyak teknik supervisi yang dapat dipergunakan dalam peningkatan ke-mampuan personil sekolah diantaranya yaitu: a. Kunjungan sekolah (kunjungan supervisi) Kunjungan dilakukan oleh kepala
sekolah atau pengawas. Teknik ini merupakan teknik yang paling sering dipakai untuk mengamati proses kerja, alat yang dipakai, dan metode yang digunaka. Hasil observasi dianalisis kemudian didiskusikan dengan guru, serta disusun program yang baik untuk memperbaiki proses belajar m e n g a j a r. K u n j u n g a n k e l a s sebaiknya dipersiapkan secara cermat dan dilaksanakan dengan hati-hati. b. Pembicaraan individual Pembicaraan secara individual merupakan teknik supervisi yang efektif sebab memberi kesempatan seluas-luasnya bagi kepala sekolah atau penilik dengan berbicara langsung dengan guru tentang masalah yang berkaitan dengan profesional pribadi mereka. Masalah pengajaran, penggunaan alat peraga dan segala sesuatu yang dibutuhkan guru. c. Diskusi kelompok Diskusi kelompok merupakan suatu kegiatan kelompok dalam situasi tatap muka, bertukar informasi atau untuk memutuskan suatu keputusan tentang masalah tertentu. Dalam diskusi ke-lompok harus sebaiknya tidak mempersoalkan kesulitan yang bersifat pribadi, melainkan membina kerja sama antar guru agar saling mengisi, membantu dalam usaha meningkatkan kemampuan mereka. d. Demonstrasi mengajar Metode ini hampir sama dengan micro teching bagi mahasiswa sewakti melakukan praktek mengajar dihadiri oleh mahasiswa lain yang berperan sebagai siswa, rencana demontsrasi sebaiknya disusun secara teliti
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
142
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM dan mengutamakan penekanan yang dianggap penting. Setelah dilakukan demonstrasi, diadakan diskusi tentang aspek yang ditekankan dan permasalahan yang ada. e. Kunjungan kelas antar guru Kunjungan kelas antar guru biasanya lebih efektif dan disukai karena menciptakan keakraban antara sesama guru. Agar lebih berdaya guna, sebelum melakukan kunjungan perlu diperhatikan hal-hal berikut ini: 1) Terlebih dahulu menyusun tujuan dan hal-hal yang akan diobservasi, 2) Memberikan kesempatan seluasluasnya kepada guru baru yang kurang berpengalaman untuk mengadakan kunjungan kelas, 3) Memberitahukan terlebih dahulu sebelum melakukan kunjungan kepadaguru yang akan dikunjungi, 4) Membuat catatan yang sesuai dengan tujuan kunjungan, 5) Mendiskusikan hasil kunjungan dengan guru kelas yang dikunjungi dan dengan sesama guru lainnya. f. Lokakarya Merupakan suatu kesempatan untuk bekerjasama, mempertemukan ide, mendiskusikan masalah atau meningkatkan kemampuan pribadi guru dalam bidang profesi masingmasing. g. Orientasi pada situasi baru Sebelum melaksanakan tugasnya pada lingkungan baru, guru perlu diberi kesempatan untuk beradaptasi terhadap lingkungan dan tugas baru. Orientasi pada saat awal kerja akan menimbulkan rasa senang dan tenang, selain karena merasa diterima juga dapat mengerti tuntutan yang ada sehingga dapat mengadakan
143
penyesuaian diri secara tepat dan cepat. Orientasi ini mencakup beberapa aspek: 1) O r i e n t a s i p e r s o n i l , y a i t u menjelaskan tugas pada setiap orang dari tingkat yang terendah sampai tertinggi. Orientasi ini ditujukan memberikan kesempatan kepada mereka untuk meminta petunjuk, saran, bantuan, dan lain-lain sesuai dengan tugasnya di lingkungan yang baru. 2) Orientasi terhadap program, menjelaskan rencana dari kegiatan yang berkenaan dengan lingkungan organisasi. Orientasi ini ditujukan untuk menunjukkan peran serta yang diharapkan dari guru baru dalam proses administrasi pendidikan di sekolah. 3) Orientasi terhadap fasilitas, menjelaskan faslitas yang dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi pekerjaan, terutama yang berhubungan dengan tugas guru, misalnya mengenai alat peraga, alat olah raga dan sebagainya. 4) O r i e n t a s i l i n g k u n g a n , memperkenalkan siatuasi dan kondisi yang ada di sekitar sekolah yang berhubungan dengan kegiatan-kegaiatan sekolah, misalnya memperkenalkan guru kepada pen-gurus BP3 baik secara formal maupun informal, memperlihatkan berbagai aktivitas masyarakat terutama yang berhubungan dengan program sekolah dan lain-lain. C. Prinsip-prinsip Supervisi Masalah yang dihadapi dalam melaksanakan supervisi di lingkungan pendidikan saat ini adalah bagaimana cara mengubah pola pikir yang bersifat otokrat dan korektif menjadi sikap yang konstruktif dan kreatif, suatu sikap yang menciptakan situasi dan relasi di mana guru-guru merasa
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM aman dan merasa diterima sebagai subjek yang dapat dikembangkan. Untuk itu, supervisi harus dilaksanakan berdasarkan data dan fakta yang objektif. Menurut Azmi (2002:45), ada tujuh prinsip supervisi yang harus diperhatikan supervisor dalam me-laksanakan supervisi: a. Prinsip ilmiah, yaitu melaksanakan tugas dengan berdasarkan fakta, data konkrit yang objektif. Menggunakan alat ukur atau instrumen yang dapat dijadikan sumber informasi, sebagai feedback terhadap proses belajar mengajar, sistematis, berencana dan berkesimbangan. b. Terbuka, yaitu tidak menyembunyikan sesuatu baik itu jadwal materi maupun hasil ataupun berbagai temuan kelemahan atau kelebihan dalam kinerja profesi. c. Demokratif, yaitu menjalankan kegiatan supervisi dalam suasana saling menghargai, menghormati, sharing dan kekeluargaan dalam visi dan misi yang sama untuk meningkatkan kualitas kinerja profesi. d. Kooperatif, yaitu supervisi harus di-jalankan dengan berlandaskan prinsip kerjasama dan secara optimal diarahkan untuk mencapai tujuan bersama. e. Konstruktif, yaitu kegiatan supervis dijalankan secara optimal untuk membina, membangun dan memberdayakan potensi keilmuan, profesi. f. Integral Komprehensif, maksudnya supervisi harus memperhatikan semua aspek secara terpadu. g. Researchable, artinya superisor harus memandang supervisi sebagai upaya melakukan penelitian perbaikan atau action research dan development research.
Menurut Darma (2003:16), seorang supervisor harus berkomunikasi dengan jelas, mengharapkan yang terbaik dari orang-orangnya, berpegang pada tujuan, dan berusaha untuk memperoleh komitmen. Ke-empat prinsip supervisi tersebut dirincikan dengan penjelasan sebagai berikut: a. Prinsip kerjasama komunikasi Kejelasan berkomunikasi merupakan prinsip yang sangat penting dan prinsip-prinsip lainnya sebenarnya hanya berfungsi sebagai penunjang. Dalam berkomunikasi hendaknya: 1) gunakan kata-kata atau istilah yang dapat dimengerti dengan bahasa yang tidak menimbulkan salah pengertian karena penafsiran yang berbeda-beda, 2) komunikasi yang langsung ke pokok tujuan, 3) penyampaian pesan dengan ringkas dan berisi informasi yang benar-benar diperlukan, dan 4) hindari pesan-pesan yang bertolak belakang. b. Prinsip harapan yang terbaik Dalam mengimplementasikan prinsip harapan yang terbaik ini, hendaknya memperhatikan halhal berikut: 1) hargai martabat bawahan untuk memperoleh rasa hormat dan kerjasama dari orang anda, 2) sampaikan harapan melambung yaitu berbicara dengan penuh keyakinan akan adanya kerjasama dan hasil kerja yang memuaskan, dan 3) tekankan pada ke-butuhan masa datang, bukan pada masa lampau. c. Prinsip berpegang pada tujuan Dalam menerapkan prinsip ini, bentuk komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang terkendali dan terpusat pada tugas yang dihadapi. Untuk bisa berpegang pada tujuan perlu diperhatikan
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
144
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM hal berikut: 1) fokus pada satu topik, jangan bicara banyak hal sekaligus, 2) dorong adanya perilaku yang mengarah pada tujuan, dan 3) batasi adanya interupsi karena komunikasi yang sering terputus jarang produktif. d. Prinsip mendapat komitmen Tujuan utama supervisi adalah untuk memperoleh komitmen bagi ke-ikutsertaan atau keterlibatan dalam hal-hal yang telah diputuskan. Persetujuan dan komitmen dapat diperoleh dengan menggunakan cara-cara sebagai berikut: 1) ringkaskan hal-hal yang telah di-bicarakan, 2) minta keikutsertaan dan keterlibatan dalam hal-hal mengambil kesepakatan, 3) dengarkan sungguh-sungguh saat orang lain berbicara, 3) pastikan bahwa orang lain telah memahami hal-hal yang telah anda kemukakan, 4) pinta persetujuan atau komitmen secara langsung, dan 5) tindak lanjuti hal-hal yang telah dibicarakan dan diputuskan. Burhanuddin (1998:104) mengatakan agar supervisi dapat dilakukan secara efektif dan efisien, perlu diperhatikan prinsip-prinsip berikut: a. Praktis, artinya dapat dikerjakan, sesuai dengan situasi dan kondisi. b. Fungsional, artinya supervisi dapat berfungsi sebagai sumber informasi bagi pengembangan manajemen pendidikan dan peningkatan proses belajar mengajar. c. Relevans, artinya pelaksanaan supervisi seharusnya sesuai dan menunjang pelaksanaan mengajar. d. Ilmiah, artinya supervisi perlu dilaksanakan secara: 1) sistematis, terprogram dan
145
berkesinambungan, 2) objektif, bebas dan prasangka, 3) menggunakan prosedur dan instrumen yang sah dan terandalkan (valid dan reliabel), dan 4) didasarkan pada pendekatan sistem. e. Demokratis, bila supervisi sesuai dengan prinsip demokrasi maka proses yang ditempuh untuk pengambilan keputusan ialah melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Hakikat musyawarah akan dicapai bila semua peserta yang terlibat dalam proses supervisi itu memiliki jiwa dan semangat kekeluargaan sehingga sanggup menerima dan menghormati pendapat orang lain. f. Kooperatif, prinsip kooperatif meng-haruskan adanya semangat kerjasama antar supervisor dengan supervisi (guru). Hasil karya manusia dapat dicapai seoptimal mungkin apabila terjalin kerjasama yang baik antara manusia-manusia yang terlibat dalam suatu usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan bersama, khususnya untuk peningkatan kualitas tenaga kependidikan yang profesional. g. Konstruktif dan Kreatif, supervisi yang didasarkan atas prinsip konstruksi dan kreatif akan men-dorong kepada orang yang dibimbing untuk memperbaiki kelemahan atau kekurangannya serta secara kreatif berusaha meningkatkan prestasi kerjanya. Meskipun supervisi bersifat mengawasi pelaksanaan program pendidikan dan pengajara, tidak berarti supervisor berusaha untuk mencari-cari kesalahan orang lain. D. K e p a l a S e k o l a h s e b a g a i Supervisor
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Perubahan yang dilakukan pemerintah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan melalui profesionalisme guru akan sia-sia tanpa campur tangan dan kerja keras kepala sekolah sebagai “top leader” atau manager yang mampu memenej secara administrativ dan progresif serta “peka” dalam segala persolan yang ada disekolahnya, sebab kepemimpinan merupakan factor penting yang menentukan bejalan atau tidaknya sebuah organisasi. Maka dari itu Kepala Sekolah adalah Pemimpin bagi sekolahnya yang dituntut memiliki kemampuan manejerial sehingga dapat mengarahkan dan mengerahkan segenap sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan organisasi, yaitu pada pencapaian efisiensi dan efektifitas pembelajaran sehingga menjadi suatu keharusan bahwa salah satu tugas kepala sekolah adalah Supervisor, yaitu mensupervisi pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga kependidikan. Pelaksanaan supervisi oleh Kepala Sekolah juga penting untuk mendapatkan perhatian dan dilaksanakan, seperti dinyatakan dalam buku pelaksanaan supervisi oleh kepala sekolah (Depdikbud 1993:1) bahwa: “Peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan merupakan strategi yang harus diusahakan terus menerus oleh semua aparat pendidikan. Untuk mewujudkan strategi pendidikan tersebut maka lembagalembaga pengelola pendidikan hendaklah mem-punyai kemampuan untuk mengendalikan dan menilai secara kontinyu, menggunakan metode penyajian, sarana, dana, tenaga serta waktu yang efisien, sehingga unsur kepengawasan mempunyai makna yang penting dalam pengelolaan pendidikan”. E. Dampak Positif Supervisi Kepala Sekolah Kepala sekolah selaku supervisor, dengan melaksanakan program supervisi,
diharapkan akan membawa dampak yang positif sehingga guru termotivasi untuk melaksanakan tugas-tugas profesi keguru yaitu suatu keadaan atau kondisi yang mendorong dan mengarahkan individu dalam melaksanakan tugasnya secara tekun dan kontinyu, bahkan karena besarnya dorongan/motivasi seorang guru dalam melaksanakan tugasnya tanpa banyak mempertimbangkan berapa imbalan materi yang akan diperoleh atas kinerjanya. Dalam fungsinya sebagai penggerak para guru, Kepala Sekolah harus mampu menggerakkan guru agar kinerjanya menjadi meningkat karena guru merupakan ujung tombak untuk mewujudkan manusia yang berkualitas. Guru akan bekerja secara maksimum apabila didukung oleh beberapa faktor diantaranya adalah kepemimpinan Kepala Sekolah. Menjadi guru tanpa motivasi kerja akan cepat merasa jenuh karena tidak adanya unsur pendorong. Motivasi mempersoalkan bagaimana caranya gairah kerja guru, agar guru mau bekerja keras dengan menyumbangkan segenap kemampuan, pikiran, keterampilan untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Guru menjadi seorang pendidik karena adanya motivasi untuk mendidik. Bila tidak punya motivasi maka ia tidak akan berhasil untuk mendidik atau jika dia mengajar karena terpaksa saja. F. Kinerja Guru sebagai Refleksi Kesuksesan Ta h a p a n m e n g a j a r y a n g harus dilalui oleh seorang guru adalah merencanakan pengajaran, melaksanakan proses belajar mengajar, dan menilai hasil belajar yang merupakan serentetan kegiatan yang saling bertautan dan tidak terpisahkan satu sama lainnya. Kegiatan tersebut bukanlah merupakan pekerjaan mudah yang setiap orang dapat me-laksanakan atau bahkan
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
146
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM setiap guru belum tentu dapat melakukan kegiatan tersebut dengan baik dan benar. Walaupun terasa berat, mau tidak mau, siap atau tidak siap guru dituntut untuk melaksanakannya karena hal ini telah menjadi bentuk dari kinerja guru. Menurut Winardi (2001: 173) Motivasi merupakan suatu kekuatan potensial yang ada pada diri seseorang manusia, yang dapat dikembangkannya sendiri, atau dikembangkan oleh sejumlah kekuatan luar yang pada intinya sekitar imbalan moneter, dan imbalan non moneter, yang dapat mempengaruhi hasil kinerjanya secara positif atau negative, hal mana tergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi orang yang bersangkutan dan jika dalam bertugas guru yang mempunyai motivasi kerja akan sejalan dengan program-program kinerjanya. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Soetjipto dan Kosasi (1999: 230) bahwa, kualitas proses belajar mengajar sangat dipengaruhi oleh kualitas kinerja guru. Tingkat keterampilan merupakan bahan mentah yang dibawa seseorang ke tempat kerja seperti pengalaman, kemampuan, kecakapan antar pribadi serta kecakapan tehknik yang dimilikinya. Oleh karena itu, usaha meningkatkan kemampuan guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar, perlu secara terus menerus mendapatkan perhatian dari penanggung jawab sistem pendidikan. Untuk menanamkan peranannya ini kepala sekolah harus menunjukkan sikap persuasif dan keteladanan. Sikap persuasif dan keteladanan inilah yang akan mewarnai kepemimpinan termasuk didalamnya pembinaan yang dilakukan oleh kepala sekolah terhadap guru yang ada di sekolah tersebut. G. Hubungan Supervisi Kepala Sekolah dengan Kinerja Guru Keberhasilan pelaksanaan
147
pendidikan salah satunya terletak di ujung tombak pelaksana, yaitu kepala sekolah dan guru karena SDM menjadi sumber penentu sukses pengelolaan pendidikan di sekolah. Pendidikan merupakan suatu program yang dapat menyiapkan dan mengatur arah perkembangan masyarakat di masa depan. Untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas mengajar guru, banyak faktor yang mempengaruhinya, di antaranya adalah tanggung jawab kepala sekolah dalam bidang supervisi, sebab kepala sekolah merupakan orang yang berperan penting dalam mengatur aktivitas proses belajar mengajar. Selain itu kepala sekolah juga bertanggung jawab langsung terhadap pelaksanaan segala jenis dan bentuk peraturan atau tata tertib yang harus dilaksanakan baik oleh guru maupun oleh siswa di lingkungan sekolah. Baik dan tidaknya proses pendidikan di sekolah ditentukan oleh supervisi kepala sekolah, sebab kepala sekolah merupakan orang yang ber-tanggung jawab atas segala sesuatunya yang terjadi di sekolah tersebut. Usaha untuk meningkatkan pendidikan di sekolah dapat dilakukan dengan cara meningkatkan mutu guru-guru dan seluruh staf sekolah, misalnya melalui rapat-rapat, diskusi, seminar, observasi kelas, penataran, perpustakaan, dsb. Kegiatan-kegiatan yang demikian ini dapat digolongkan pada kegiatan supervisi. Oleh karena itu, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa salah satu fungsi kepala sekolah adalah sebagai supervisor pendidikan (Lazaruth,1984:21). Berdasarkan teori di atas maka salah satu tugas kepala selah adalah memberikan supervisi kepada guru. Dengan adanya supervisi diharapkan kinerja guru terutama dalam mengajar akan meningkat. Pada kenyataannya banyak guru yang memiliki kinerja belum maksimal. Misalnya guru membuat RPP, Laporan Penilaian, dan membuat administrasi
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM kelas ketika akan di supervisi. Di luar itu guru tidak me-laksanakan hal tersebut. Begitu pula dalam hal mengajar, cara guru mengajar ketika disupervisi berbeda dengan bagaimana cara guru mengajar disetiap harinya. Oleh karena itu diharapkan supervisi Kepala Sekolah akan membawa dampak positif bagi perkembangan kegiatan guru sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik. Jika kepala sekolah dapat menerapkan tipe supervisi yang dapat meningkatkan kualitas mengajar, dengan diimbangi penghargaan yang memadai maka guruguru dalam menjalankan tugasnya akan mendapat kepuasan kerja sebagai imbalan yang di peroleh dari sekolah bersangkutan. Kepala sekolah yang mau memperhatikan dan membantu guru dalam memecahkan masalah-masalah pengajaran, masalah pribadi dan masalah profesi akan dapat memberi kepuasan guru dalam bekerja. Guru akan merasa dihargai dan diperhatikan sehingga guru akan bersikap baik terhadap organisasi dan kepala sekolah. Guru punya persepsi yang positif terhadap pelaksanaan supervisi. Supervsi yang dilakukan oleh Kepala Sekolah kepada guru-guru. secara rutin dan terjadwal dengan harapan agar guru mampu memperbaiki proses pembelajaran yang dilaksanakan. Dalam prosesnya, kepala sekolah memantau secara langsung ketika guru sedang mengajar. Guru mendesain kegiatan pembelajaran dalam bentuk rencana pembelajaran kemudian kepala sekolah mengamati proses pembelajaran yang dilakukan guru. Saat kegiatan supervisi berlangsung, kepala sekolah menggunakan lembar observasi yang sudah dibakukan, yakni Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG). APKG terdiri atas APKG 1 (untuk menilai Rencana Pembelajaran yang dibuat guru) dan APKG 2 (untuk menilai pelaksanaan proses pembelajaran) yang
dilakukan guru. Berdasarkan uraian di atas patut diduga bahwa terdapat hubungan antara Supervisi kepala sekolah dengan kinerja guru. Dengan perkataan lain, makin baik supervisi kepala sekolah maka makin tinggi kepuasan kerja guru yang bermuara pada semakin bagusnya kinerja guru. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan Supervisi kepala sekolah dengan kinerja guru adalah positif. Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi.. Dasar-dasar Supervisi. Jakarta: Rineka Cipta. 2004 Azwar, Saifuddin. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1995. Boeree, C. George. Dasar-dasar Psikologi Sosial. terj. Ivan Taniputera, Jogjakarta: Prismasophie. 2006. B u r h a n u d d i n , Yu s a k . A d m i n i s t r a s i Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. 1994. Danim, Sudarwan. Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok. Jakarta: Rineka Cipta. 2004. Darman, Agus. Manajemen Supervisi. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2003. Fachruddin. Administrasi Pendidikan. Bandung: Cipta Pustaka Media. 2003. Hasibuan, Malayu. Organisasi dan Motivasi. Jakarta: Bumi Aksara. 1999. Mulyasa, E. Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi dan
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
148
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2003
. Poerwanto, M. Ngalim. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Remaja Bandung: Rosdakarya. 2004. Pidarta, Made. Pemikiran Tentang Supervisi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Suhertian, Piet A. Konsep-konsep dan Teknik Supervisi Pendidikan dalam
149
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM
AN ANALYSIS OF FACTORS EFFECTING STUDENTS’ LEARNING RESULT OF ENGLISH SUBJECT Oleh: Zainuddin Hasibuan, S.S., MS Email :
[email protected]
Abstract Bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa yang dianggap susah oleh sebagian pembelajar bahasa, terutama sekali siswa disekolah dan mahasiswa dipergururan tinggi. Mereka sangat banyak sekali menemukan beberapa kejanggalan – kejanggalan pada saat mempelajarinya, ini terbukti pada saat guru dan dosen memeriksa hasil pembelajaran yang dilakukan oleh siswa atau mahasiswa cukup memprihatinkan atau masih rendah dari tingkat nilai maksimal yang diinginkan, ditambahlagi dengan kondisi minat belajar yang kurang dan faktor – faktor yang mempengaruhi lemahnya minat belajar. Adapun tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui mengapa bahasa Inggris itu masih dianggap sebagai mata pelajaran yang rumit bagi siswa atau mahasiswa sehingga hasil belajar mereka masih rendah dan juga ingin mengetahui faktor – faktor apa yang mempengaruhi hasil belajar itu sendiri. Olehkarena itu, berdasarkan tujuan penulisan karya ilmiah yang sudah disebutkan diatas dengan jelas kita mengetahui jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang mengandalkan bahasa sebagai alat pembuktian tentang kebenaran analisa penelitian yang jenisnya berupa studi kasus. Ada dua faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa atau mahasiswa yang sebenarnya terjadi pada saat penelitian dilakukan yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal merupakan faktor yang terjadi diluar diri si siswa atau mahasiswa yang bersangkutan, misalnya lingkungan keluarga, kurikulum, program sekolah, guru, fasilitas, teman kelas, atmosfer ruang kelas dan penerapan pembelajaran. Sedangkan faktor internal adalah faktor yang terdapat dalam diri mereka seperti minat belajar, kecerdasan, tingkah laku, motivasi dan nilai kognitif yang dimilikinya. Hasil belajar siswa atau mahasiswa bisa menjadi lebih maksimal kalau kedua faktor tersebut benar – benar diperhatikan dengan baik dengan bantuan dari beberapa pihak yang bertanggungjawab terutama orangtua, pemerintah dan guru atau dosen yang paling dekat dengan mereka. Keywords: factors affecting, internal factors, external factors, learning result, and English subject. A. Background of the Research English is one of the foreign language which has a very importan role for studying in formal or informal education, because it has a function as an international language in the world. If we are going to continue our study abroad we must be able to communicate with another people by using English language certainly. It has become the first foreign language in our country which must be learnt by the students from Elementary school up to University. The language is
151
very important in our life. So, we can know how to communicate with other in the world. English is not only studied by students, but also studied by most educated people all over the world. People have many reasons, why they are interested in learning the language. They realize English is very important as the medium of communication in their lives. In learning English, there are usually four skills that must be learned and practiced by the learners, they are listening, speaking, reading and writing. To support
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM the four skills the students or the learners of the language need to have vocabulary, pronunciation and grammar well. Grammar is one of the most essential elements to support the four skills before the students are able to use English fluently, especially in learning simple past tense. If we are going to talk something happened in the past time, of course we may use the tense correctly. Sometimes many English learners do not understand the form of tense and its use. So, they ignore to use it. The situation can make anotherone be confused at all. However, English is still reputed as a difficult subject by some of the students so the students’ learning results of English subject is still low. The low of students’ learning result shows the process of English learning is not optimal because students’ learning results are influenced by two factors, there are internal factors and external factors. The cases can also be proved by the result of students’ learning checked by the teachers or lectures, the result should be necessarily paid attention seriously. According to Carrol that students’ learning results are influenced by five factors: (1) aptitude to learn, whether they have a good inerest or not to study (2) the time available for learning, sometimes too much schedul time force them to think hardly, so they cannot follow the lesson at all (3) the ability of individuals, many students have different ability one and another they have to use it well(4) the quality of teaching, process of teaching learning process can also determine the result of learning in the class and (5) environment, it has a big effect to get a good result of learning for the students, because it has an important role to increase the result of learning itself. The factors affecting students’ learning results of internal factors such as, intelligence, interests, talents and
motivation while external factors comes from the family environment, such as how to parents educate the children, the home ambience; from school environment such as teaching methods, curriculum; and from community environment such as students’ activities in the community and friends hang out. Improving learning result in English, it means that improving students’ learning achievement in the English language, and the learning achievement is the result that is used after the learning process. Therefore, the learning process has been going on in a person only can be inferred from the results, because the learning activities that have been performed (Saiful Bahri, 2012: 141). In fact, we may indicate that beside there are many students who are success brilliantly, there are still also many students who received learning results that are less encouraging, may even exist between them who did not pass the grade or the final stage of the evaluation study. The researcher identifies many problems such as: English subject is still reputed as a difficult subject by some of the students so the students’ learning results of English subject is still low and there are some students in this school have lack interests in learning English subject because of some factors affecting them not interest of English subject. Based on the background of the problem, the formulation of this research is: Why is English subject still reputed as a difficult subject by some of the students so the students’ learning results of English subject is still low? and what are the factors affecting students’ learning results of English subject?. So, the purpose of this research are: To know why is English subject still reputed as a difficult subject by some of the students so the students’ learning results of English subject is still low and to know the factors affecting students’ learning results of English subject.
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM B. Operational Definition There are some terms relation to this research that would be discussed as the following: 1. Factor According to some sources, the definitions of factor are: a. Any of the things that cause or influence something (AS Hornby, 1995:414). b. Circumstances, events that have role to influence something t o h a p p e n ( Ti m P e n y u s u n Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1995:239) . 2. According to Slameto learning is process of efforts to obtain someone’s new behavior change as a result one’s own experience in interaction with the environment (Slameto, 2010:2). 3. Learning results are something that can be viewed from two sides of the side of the students and teachers. From the students, learning result is the level of mental development better than the time before learning. The level of mental development is manifested in the types of cognitive, affective, and psychomotor. The learning result is if someone has learned there will be behavior changes in that someone, such as from not knowing to knowing and from not understanding to understanding ( Labarasi, Accessed on 2-02-2013). Based on the results of comprehension and the researcher’s observation, the achievement and students’ learning results are the same thing, because that achievement is a testament to the success of learning or students’ ability in learning activities in according to the expert and it is also a realization of the potential skills or students’ capacity. Learning result
153
or learning achievement can be seen from students’ control of subjects will have gone through, especially for English s ubject. 4. F a c t o r s A ff e c t i n g S t u d e n t s ’ Learning Result From some of the experts’ opinion say that the factors affecting students’ learning results are internal factors such as students’ abilities about the material to be explained, while external factors such as learning strategies used by teacher in teaching and learning process ( Labarasi, Accessed on 2-02-2013). C. Research Methodology Research design is an action plan for a series of first questions that must be answered and a series of answers about the questions (Robert, 2003:27). The research design that the researcher will use for doing this research is Qualitative methodology. In this Qualitative methodology, the researcher did not use statistical data and formula to make numeric calculation, but the characteristic of Qualitative methodology is descriptive explanation that is used to describe the problem and its problem solving. The type in this research is case study method. The researcher chooses case study for this research with the criteria of Qualitative research as Marshal and Rossman in Sugiyono who said “the fundamental method relied on by Qualitative research for gathering information are participation in setting, direct observation in depth interviewing document review” (Sugiono, 2007:305). Case study is a result of deep research of certain social unit which the complete picture and more organized on the certain unit (Sumadi, 2006:80). A case study particularly will be useful when one needs to understand a problem or situation deeply and he or she can identify cases with real information which can be learned from some phenomenon examples
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM in question form (Michael Quinn, 1991:23). The case study aimed to collect data, take the meaning and get an understanding of that the case. Research procedure of the research, The researcher came to the class when the teaching learning process was running, after doing observation, the researcher met the respondents and made interview face to face get more data factual. After collecting all of instruments the researcher reduce the data, next display the data in narrative form and then took the conclusion result . Data collection techniques used were observation and interview. Interview techniques used to capture qualitative data on the needs, interests, opinions, expectations, problems need to be solved, and so on. The implementation can be done individually or in group. Observations and interviews this especially for the data capture process components. Interviews are used to check other data that had already obtained. Interviews is also conducted to obtain data on the factors affecting students’ learning result. While the observation is a technique or how to collect the data observation to be going the activities (Sukmadinata and Nana, 2010:220. The instrument in this research is human instrument. Besides that the researcher also used other instruments, such as: pen, book, pencil, digital camera, laptop and hand phone. In order to not occur the mistake in the research, the researcher used the interview guide. D. Data Analysis and Research Finding a. Data Analysis The function of data analysis is to know the result of the research, where the results of the research consists of observation checklist and interview guide. The researcher made the observation when
teaching learning process was running in the class. After doing observation, the researcher met the respondents and made an interview face to face with the interview guide after finished teaching learning process in the class. The students were interviewed by the researcher consists of two students in class IIa, two students in class IIb and two students in class IIc. So, the total of the students were six as informant to get the data more valid. Before analyzing the data, the researcher collected all of the data in the field with observation checklist and interview guide by using question list. All of the data had found in the field such as data collection. From the data collection, the researcher reduced and displayed it. It means that reduced is to remove the words that are not necessary in the research and displayed the data which showed the words that are really suitable in the research. After having reduced and displayed the data, the researcher concluded the data of the research. After the researcher concluded the data and the last she analyzed the data that obtained in the research. In this part, the researcher also described the result of the research clearly. Before processing the data, the researcher needed to mention the names of the students in different class as correspondences. CLASS
NO. NAMES 1 2 3 4 5 6
Cut Khaira Mauliza Cut Husna Zuchrina Raudhatul A Raudhatul MY
IIa IIa IIb IIb IIc IIc
1. A n a l y s i s t h e R e s u l t o f Observation The objective of analysis the result of observation in this research is
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM to know the teaching learning process in the classroom from beginning pre teaching activities until ending of post teaching activities. Before ending of post teaching activities of course there were while teaching activities, it was the core of teaching learning process in teaching learning process done by the the teacher and followed by the students. In this case there were two object who were concerned of this research they were teacher and students. Therefore, the first object whose necessary to observe was teacher and the second were students. The writer tried to describe the activities which were happened in the classroom between students’ activities and teacher’s activities, the researcher tried to make in the observation checklist form, because according to researcher by using this observation checklist we could know how about the activities of teaching learning process which were happened in the classroom clearely, so in this case the researcher would indicate the observation checklist that ever happened while she did the observation.The researcher had observed the students in the class during teaching learning process was running. The observation was done directly when the teacher and students doing the teaching learning process. The researcher did observation to got the answers of the questions in this research. This process is done by the writer to know how about the process teaching learning in the classroom, what factors were affecting students’ learning result of English subject in Grammar especially about Simple Past Tense and the other. In doing observation, the researcher prepared an observation checklist which is consisted of sixteen ( 16 ) items, the observation checklist was set in form of Yes/No question that could be answered by using a checklist. The researcher got the data in
155
three ( 3 ) sections there were pre teaching activities, while teaching activities and post teaching activities. In this case the researcher was not as a teacher but just an observer in the classroom. Based on the instrument of observation checklist in this research, the researcher found out the data in pre teaching activities before teaching learning process was running that when the teacher came to the class, all of the students were paying attention. The teacher was giving greeting to the students and also the students response the teacher’s greeting in English, but some of them were not enthusiast to English subject when the teaching learning process was running, because they could not study English well. The teacher checked the attendance list of the students and the teacher asked the students’ condition in English, but some of the students response the teacher’s calling based on the attendance list and answered the question’s teacher in Indonesian, because they felt shy and nervous in English language. Before beginning the lesson the teacher asked about the material which had been studied in the last meeting, but some of them forgot the material in the last meeting because they did not repeat again the last material in their house. The last activities from pre teaching activities the teacher gave the motivation to the students so the students always get spirite in studing the lesson, after that the teacher explained a little about the material without telling the topic would be discussed to be learned until they want to give their idea to express and the students could refresh their mind by answering the teacher’s questions. Next, the teacher explained about the objective of learning and started to learn. In while teaching activities the teacher begun to open the lesson, the teacher explained the material and students
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM listened the material which was given by teacher, although some students enjoy with their own business. The teacher used English and than the teacher translated it in to Indonesian. After explaining the material the teacher asked the students’ difficulties in understanding the material, then the teacher gave the examples to the students in distinguishing between the sentence of present tense with past tense but the examples were not regular, so the teacher asked the students to arrange the examples in a sentence which was appropriated for pattern of sentences. Some of students were still confused about the teacher’s instruction, they asked to the teacher that they did not understand what the examples about, so the teacher explained the material once again. The teacher gave some questions as exercises to the students which was related with the material and the students answered the questions exercise which was given by the teacher. The teacher did not use the various learning method, learning media and the other learning sources, but sometimes the teacher used the method which is irrrelevant with material. The researcher did observation directly that the teacher just used one method in teaching learning English. The teacher used the CTL method in teaching learning English. The teacher gave the occasion for students to express their idea to analysis and to solve a problem. The teacher’s assumption were to solve the problem appeared in students’ self confidence were giving more support from their parents, friends and environment, because the support can motivate someone to do something. Only some of the students had self confidence in learning English caused by internal and external factors. Internal factor was their motivation in learning a language and external factor were supporter to them such as their parents,
their friends, their environment, etc., but the most important factor was motivation. The teacher asked to the students about related to something which were not yet understood by students. Not only some of students asked to the teacher about the material which were not yet understood by them, but also some of students’ assumption that they always felt nervous, felt shy and afraid making mistake when they asked the question about the material which were not yet understood by them because their English was still low. They never got support from their friends, if they had mistake when they were asking the question to the teacher, so their friends always laugh them and kidding them. Based on this case, the students which had low English language never try again to learn in other day but the students which had strong English language they had never care and no matter about their friends, they always try and try to improve their knowledge in English. In post teaching activities the teacher and students together made the summary or took the conclusion about the material which was explained by teacher. The teacher gave students the assignment to do in her students’ house for individual’s assignment or groups’ assignment to appropriate for students’ learning results. Additionally, the teacher gave the information about the lesson plan would be explained for the next meeting. Based on researcher’s result of observation that some of students were still feel stressed to follow the English subject, because the students were still difficult to understand the materials were taught by teacher in the class and also influenced by class atmosphere is not enable. Apparently there were some of students who were unhappy to follow the English subject because they disliked English subject. Approximately that 43,33% the students happy to learn the English subject and
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM 56,67% the students unhappy to learn English subject from each class. Actually, in this case although the process of learning make the students were easy to practice English and made them enjoy in English learning, however; there are many students still had lack of confidence in learning English, so the teacher should give some supports and many motivation for the students in teaching learning process. To motivate the students, the teacher should advice what she had had many experience to improve his knowledge. Firstly, the teacher should give greeting students by using English. It can help them to motivate students to be very enthusiastic, and the teacher should explain material clearly. The teacher must explain it in English although she sometimes explain it in Indonesia. When she saw that the students did not understand about explanation, the teacher should describe again patiently into Indonesia. Next, the teacher made students interesting in English by closing and summarizing also used both English and Indonesia. In the end of study, the teacher asked students to study hard in their house. Meanwhile, if the students confused to do exercise, the teacher pointed out that everyone has change to make mistake. The teacher also give attention with students’ condition in learning. The teacher must paid attention to all students. For lazy students, she could know that why the students were lazy, how about students background of life and other. Thus, the teacher could know why the students had problems like that and she could help students to solve their problem. The teacher seldom gives praise or appresiation to the students when they can answer the question. Actually, the teacher can answer at this level either with or without a reward. A reward is “that’s a good question”, “I’m glad you asked that” or that’s a really interesting question”. So
157
that, the students interest to ask again. Therefore, there are many activities done by the teacher in the classroom. 2. Analysis the Result of Interview Beside the researcher made the observation while the teaching learning process in the clssroom, she also made the interview to the teacher and to the some of students who were chosen through observation in the classroom. The aim of this interview is to know more information about what the factors affecting students’ learning result of English subject. The researcher gave some questions for the teacher and students based on information previously, which were for the teacher she had ten ( 10 ) questions while for the students she had also ten ( 10 ) questions. In this case, the researcher used face to face interview, where in this type of interview between the interviewer and the respondents they exist in the same place and facing to each other. There are two result here, the result of interview with one English teacher and the result of interview with many students. The researcher interviewed six students from different class; they are two students in class IIa, two students in class IIb and also two students in class IIc. So there are six students, they were from the population of the research. She interviews them, because she wants to know the answers exactly, which were answered by students in the different class from the population. The interview process will we done as the following description: a. The Result of Interview with the Students In this research, the researcher prepared ten ( 10 ) questions to students as the interviewing to the respondents. After the researcher made an interview face to face with the students, the researcher analyzed their answer. In interview sheet,
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM the researcher asked about the process of teaching learning in the classroom, factors affecting students’ learning result of English subject and the other. The researcher got the results according to the totality answers that had been answered by the students who became samples. The first question, the researcher asked to the students that if they liked or disliked to learn English subject. There were two students responsed that they liked to learn English subject, while four students again responsed that they disliked to learn English subject. The students’ reasons why they liked and disliked to learn English subject. One student said that she liked to learn English language because according to her the English language is an international language and it has a very important role to communicate in the other country. Whereas one student again said that she liked English language because this is an obligation must be followed, if they did not follow this English subject of course they did not get remove to other class. While four students again said that they disliked to learn English language. The students’ reasons why they disliked to learn English subject. One student said that she disliked to learn English subject because according to her the English subject is no easy subject to learn, but the English subject is difficult subject to learn. And also one student again said that English subject is too bored to study because when teaching learning process the teacher explained it fastly. While two students again had the same answers that they dislike English subject because in their class had not many facilities about English, but they just had an English book to study. The researcher gave the solution that the teacher should have a good participation in things to infuse the spirit for the students, indeed the English
language is really so important for learning to remembering global rivalry which is happened in the present and English language that occured in anywhere. The second question, the researcher asked to the students that if the English subject is easy lesson for learning. Two students said that the English subject is easy lesson for learning because they interested to learn about English. While four students again gave their reasons, they regarded that the English subject is not easy lesson for learning becauce if they wanted to study well, so they must had the motivation and support from their parents, their teacher, their friends, etc. The researcher said that if we wanted to study well and we must regard that English subject is easy lesson for learning. Beside that we must love the English subject and the teacher’s English subject. The next question the researcher asked to the students that if they feel bored to follow English subject. Two students said that they did not feel bored to follow English subject because they learned the English subject at 8 o’clock. Their assumption that study in the morning could make them fresh for learning. Whereas two students again said that sometimes they feel bored to follow English subject because their assumption that the teacher’s method when teaching learning was not appropriate for the materials which were explained and the condition was not enable in the class so made them feel bored when learning. The researcher gave the solution that in order to them did not fell bored to follow the English subject in the class, they must change the position in the classroom and they must have much facilities about English in the clssroom. The next question the researcher asked them that how about the English teaching learning process. All of the students who became samples of this research said that the English teaching learning process was running well. The
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM teacher’s English must do English teaching learning process appropriate for lesson plan. The next question the researcher asked the students that how about their idea in the teaching learning process of English subject done by the teacher in the classroom. There were only two students said that the teaching learning process of English subject in the classroom is running well. The next question the researcher asked the students that according to them whether all of the students always pay attention of the teacher’s explanation and ask the question to the teacher if they did not understand the material was explained by teacher. According to two students said that only 43,33% the students who was really pay attention. While four students again said that they paid attention, but sometimes they did not too consentrate and also made them were lazy to learn about material which was explained by teacher, until they did not ask when they did not understand about material which was explained by teacher because they were not only afraid to ask the teacher but also they did not know how to begin for asking the questions to the teacher in English. So, only 43,33% the students asked the question to the teacher if they did not understand the material. Apart from the fact, the researcher said that the attention is needed also to improve the students’ activity in the class and the teacher must be more paid attention to her students, it is also needed by the students when they did not understand the material so they could ask to the teacher. The next question the researcher asked the students that according to them what the difficult materials which were understood by them in English subject and why the students difficult to understand the material which was explained by teacher. According to two students said that had not
159
the difficult materials in English subject if we wanted to study well. While four students again said that the difficult materials which were understood by students about grammar sentences such as present tense, past tense, present continuous, etc. Because they were difficult to understand the way of distinguish between the patterns appeared in tenses mentioned. The researcher gave the suggestion that in order to easier to understand the material about grammar sentences so we must remember the patterns in tenses mentioned and know their distinguish between the usage of patterns mentioned in the process of writing of the sentences. Based on the students’ reasons of their answers, the researcher asked them about how the method that was used by the teacher in teaching English. According to the students which were interviewed by researcher said that the teacher’s method was not very good, 56,67% the students fell bored for the teacher’s method because the teacher just used one method, the way of the teacher in teaching is too fast, she did not smile in teaching. Indeed, it would make some of the students rather afraid to the teacher. A c t u a l l y, t h e s t u d e n t s w e r e unnecessary afraid to the teacher and students fell bored to learn with her, but the students must spirit to learn. Although the teacher just used one method. In the last question the researcher asked any more questions that if the students’ learning result were satisfy or unsatisfy and what the factors affecting students’ learning result of English subject. Two students answered that their learning result were satisfy, because they always studied hard and they had many supports from their parents, and also four students again answered that their learning result were unsatisfy because they did not study and they had lack of confidence in learning English, and 66,67% the students said that
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM their learning results affected by several factor, there were the teacher’s method in teaching, lack of motivation or support from their parents, the way of teaching about the pattern of sentences, their understanding about the use of the suitable grammar in the sentence and they could not able to arrange the sentence in a good sentence. James Drever in Slameto said, the motivation is an effective-conative factor which operates in determining the direction of an individual’s behavior toward an end or goal, consioustly apprehended or unconsioustly (Slameto, 2010:58). So, motivation is connecting with objective which will be achieved. In determining the objective that realizable or not, but to achieve the objective that is necessary and the motivation is as supporter. Therefore, the researcher said that they should be supported to try with new things or ideas. They should be taught to ask question and investigate when things which were not understood. They must be learning to change the mistakes as an occasion for learning rather than something that was unsuccesful. It is also valuable for them to open to other’s ideas so that they could learn how to build their own conceptual knowledge and the students not only expected to have a great ability in grammar, vocabulary or writing, but also how brave they express their idea and use their English in their activity. b. The Result of interview with the Teacher There were ten ( 10 ) points of questions that interviewed to teacher. Actually, the researcher would ask some questions more, but the researcher was sure that the questions were important and the researcher had included all of the data that the researcher wished. Based on the information which were gotten by the researcher, the researcher asked to the teacher that if she
liked to teach the English subject at the second grade. The teacher said that she liked to teach the English subject at the second grade because of that the teaching learning process was running well. But, in this case, she had a difficulty in teaching English to the students. The difficulty was noisily made by some of students in the class. Of course it would be disturbed when she was teaching and she did not know what to do when they were being like that. From the interview result with the teacher, only a small part of the students who were good in English and many of them do not show good ability or understanding, but there were also some students who showed standard understanding about what she taught for the students in the class. Actually, the teacher should have the interest method for teaching until the students did not make noisy in the class and as a teacher must know how her students’ ability in English. The next question the researcher asked the teacher that what the method that the teacher used in teaching learning process. The teacher said that she only used the CTL method when explained the material in teaching English subject because she did not know the other method of teaching but she just knew the CTL method. So, the researcher’s assumption that she was lazy teacher because she just knew only one method it means that her method did not follow the changing of method in teaching, so it made her students be bored to follow English subject. Actually, the teacher shoud have many methods and the interest strategy excepted CTL method for teaching learning such as discussion, story method, grammar translation method, etc., because if the teacher had the interest method and enjoy situation of class so it could make students focused about their study. Furthermore, the researcher asked
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM the teacher any more questions whether she always explained the material to her students or just gave them more exercise to do without explanining more. The teacher answered the researcher’s question that she always explained the material in the class before she was giving them exercise to do. To support their understanding she also gave them the examples about the material. The next question the researcher asked the teacher about common language which is usually used by her and she answered that she used both English and Indonesian because when the students did not understand the material which was explained by teacher, so the teacher translated the material once again by using Indonesian language in teaching English subject, and then the researcher asked that whether the quality of students’ learning of English subject was better in the classroom. According to teacher, the quality of students’ learning of English subject was better, not only all of students but also just some of them who was better in their quality of learning English subject. Actually, the teacher should have more interested for their students in teaching learning English subject. The last question the researcher asked any questions about facility, addition of English course and background of the school. The teacher said that the facility in that school was adequate, but just some facility was not adequate for increasing the students’ quality of learning English, because for English subject just used an English book and had not the other facility and whether beside of teaching English accord with a set time the teacher had given the addition English course for students. She said that besides of teaching English accord with a set time, she also had given the addition English course for students. Actually, to be increasing the students’ quality of learning English should have
161
many facilities for teaching learning English subject and the teacher should have more knowledge and experiences for teaching learning English subject. a. Research Finding In this research the researcher had made a research to find out the answer of the problem namely the factors affecting students’ learning result of English subject in grammar simple past tense. From the previous data analysis, based on researcher’s result of observation that some of students were still feel stressed to follow the English subject, because the students were still difficult to understand the materials were taught by teacher in the class and also influenced by class atmosphere is not enable. Apparently there were some of students who were unhappy to follow the English subject because they disliked English subject. Approximately 43,33% the students happy to learn the English subject and 56,67% the students unhappy to learn English subject from each class. Based on researcher ’s result of interview with six students that there are two students liked English subject and four students disliked English subject. So, the percentages of students mentioned are 33,33% the students liked English subject and 66,67% the students disliked English subject. The researcher found that 66,67% the students said that they had some factors affecting their learning results of English subject in grammar especially about simple past tense such as they did not understand about the pattern of sentences, did not understand about the use of the suitable grammar in the sentence, could not arrange the sentence in a good sentence, the teacher’s method in teaching is not interested, lack of motivation or support from their parents so that the students were still feel stressed to follow the English
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM subject, because the students still had difficult in understanding the materials were taught by teacher in the class and also influenced by class atmosphere is not enable. Some difficulties had faced by students were from themselves and related to the teacher and their situation in learning, such as they were lack of confidence, lack of motivation and sometimes the teacher did not pay attention about their learning result so that it made them did not serious study. Beside that, students’ learning results of English subject affected by two factors there are external factors and internal factors. External factors are the outside factors of the students’ individual. Kinds of the external factors consists of environmental factor and instrumental factor, which are the environmental factors such as family environment, social cultural environment and instrumental factors such as curriculum, school program, teacher, facilities, classmate, classroom atmosphere and learning implementation. While Internal factors are the inside factors of the students’ individual. Kinds of the internal factors consists of physiological factors and psychological factors, which are physiological factors such as physiological condition, sensory condition and psychological factors such as interest, intelligence, talent, aptitude, motivation and cognitive ability. Based on the factors affecting students’ learning result of English subject in grammar about simple past tense, the reseacher wanted to give some suggestions to solve the problem. Firstly, the students had to write as often as possible in English subject, especially in simple past tense. Secondly, the students should remember the pattern of simple past tense. Thirdly, the students should understand about grammar and for students, teachers and also parents had to build good
relationship to make the students success on learning, and if the students still had lack of confidence in learning English, the teacher should give some the motivation and supports for the students in teaching learning process. To motivate the students, the teacher should greeted students by using English. It was did to motivate students to be very enthusiastic, the teacher should be explained material clearly. The teacher must explain it in English although she sometimes explain it in Indonesia. When she saw that the students did not understand about explanation, the teacher should again patiently into Indonesia. Next, the teacher should make the students interesting in English by closing and summarizing also used both English and Indonesia. In the end of study, the teacher asked students to study hard in their house. Meanwhile, if the students confused to do exercise, the teacher pointed out that everyone has change to make mistake. The teacher also should give attention with students’ condition in learning. the teacher must paid attention to all students. For lazy students, she could know that why the students were lazy, how about students background of life and other. Thus, the teacher could know why the students had problems like that and she could help students to solve their problem. Based on the explanation above, the researcher concluded that grammar was very difficult not only for students but also for the teacher in teaching. So, the teacher and students should have a good motivation and method to learn about grammar and the parents also must support their children to study hard and give attention for their children. In determining the objective that realizable or not, but then to achieve the objective that is necessary and the motivation as supporter. Because the motivation is necessary for
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM students in learning. The researcher made the conclusion based on the statement that may be useful for reader. E. Conclusions Based on the results of the research which was conducted by researcher about factors affecting students’ learning results of English subject are: 1. Based on researcher’s result of observation that some of students were still feel stressed to follow the English subject, because the English subject is still reputed as difficult subject by some of them for learning, the students were still difficult to understand the materials were taught by teacher in the class and also influenced by class atmosphere is not enable. Apparently there are some of students were unhappy to follow the English subject because they disliked English subject. So perhaps that 43,33% the students happy to learn the English subject and 56,67% the students unhappy to learn English subject from each class. 2. Based on researcher ’s result of interview with six students that there are two students liked English subject and four students disliked English subject. So, the percentages of students mentioned are 33,33% the students liked English subject and 66,67% the students disliked English subject. 3. The researcher found that 66,67% the students said that they had some factors affecting their learning results of English subject in grammar especially about simple past tense such as they did not understand about the pattern of sentences, did not understand about the using the suitable grammar in the sentence,
163
could not arrange the sentence in a good sentence, the teacher’s method in teaching and lack of motivation or support from their parents. Beside that, the students’ learning results of English subject affected by two factors there are external factors and internal factors. External factors are the outside factors of the students’ individual. Kinds of the external factors consists of environmental factor and instrumental factor, which are the environmental factors such as family environment, social cultural environment and instrumental factors such as curriculum, school program, teacher, facilities, classmate, classroom atmosphere and learning implementation. While internal factors are the inside factors of the students’ individual. Kinds of the internal factors consists of physiological factors and psychological factors, which are physiological factors such as physiological condition, sensory condition and psychological factors such as interest, intelligence, talent, aptitude, motivation and cognitive ability. REFERENCES Bahri, D. Saiful. 2012. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Hornby, AS. 1995. Oxford Advanced Learner’s Dictionary. London: Oxford University Labarasi. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar. http://www. labarasi.wordpress. com.faktor-yang-mempengaruhihasil. Accessed on 2-02-2013. Patton, Michael Quinn. 1991. Metode Evaluasi Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Riyanto, Slamet. 2010. A Handbook of English Grammar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sanjaya, Wina. 2008. Learning Strategy. Jakarta: Kencana Slameto. 1995. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. Sukmadinata dan Syodin, Nana. 2010. Metodologi Penelitian Pendidikan. Cet ke 6. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitative, Kualitative dan R & D. Bandung: Alfabeta. ________. 2006. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Department Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Yin, Robert K. 2003. Case Study Design and Method. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM PERSYARATAN NASKAH JURNAL SARWAH 1. Tulisan bersifat kajian ilmiah murni atas masalah-masalah yang berkembang dalam masyarakat, gagasan orisinil, ringkasan hasil penelitian dan bentuk tulisan lainnya yang dipandang dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan. 2. Ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing yang memenuhi kaidah kedua bahasa tersebut dengan baik dan benar 3. Diketik 1,5(satu koma lima) spasi pada kertas A4 dengan panjang naskah 15-30 halaman untuk topik utama, kajian keilmuan, wawasan dan pemikiran. 4. Diberikan abstrak (bahasa Inggris ) lebih kurang 250 kata 5. Teknik kutipan menggunakan innote (catatan perut) 6. Setiap naskah harus disertai dengan daftar kepustakaan yang ditulis secara Alphabetis 7. Redaksi berhak mengedit semua tulisan yang masuk tanpa mengubah isinya 8. Menyertakan pasphoto,identitas diri, riwayat pekerjaan, karya ilmiah yang dimiliki atau hal lain yang spesifik 9. Naskah belum pernah dipublikasikan 10. Tulisan yang dimuat menjadi milik redaksi 11. Naskah dikirim langsung ke redaksi : Alamat redaksi Jln Lhokseumawe NAD atau Email :Jurnal_Liwauldakwah@yahoo. com
165
SARWAH, VOLUME XIII (I), JANUARI - JUNI 2014