VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER 2014
ISSN : 1673-7090
SARWAH
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM
Diterbitkan Oleh : Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri ( STAIN) Malikussaleh Lhokseumawe
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM
Sarwah JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM
PENANGGUNGJAWAB
REDAKTUR
Editor/ Peyunting
DESIGN GRAFIS : MUHAMMAD IKHSAN, MA
: DR HAFIFUDDIN, M.Ag
: DARMADI, M.Si : Drs. Mahdi Syihab, MH
SEKRETARIAT : DEWI SAPUTRI, S.Ag
Redaksi Ahli: Dr. Hafifuddin, MAg (STAIN Malikussaleh) Prof. Dr. Rusjdi Ali Muhammad, SH, MA (IAIN Ar-Raniry) Prof Dr. Farid Wajdi, MA (IAIN Ar-Raniry) Prof.Dr Hasan Asari,MA (PPS IAIN Sumatera Utara) Prof.Dr. Hasbi Amiruddin. MA (IAIN Ar-Raniry) Prof. Dr Irwan Abdullah, MA (PPS UGM ) Prof Dr Ahmad Nur Fadil Lubis, MA (IAIN Sumatera Utara) Prof, Dr, Djamaludddin, SH, M,Hum (Unimal-Lhokseumawe) Dr A.Rani Usman, MSi ( IAIN Ar-Raniry) Prof Dr Nur Wajah Ahmad, MA (UIN Gunung Djati) Prof. Dr. Imam Suprayogo, MA (UIN Malang) Dr. Jamaluddin Idris, M. Ed (IAIN Ar-Raniry) Ridwan Hasan, Ph.D (STAIN Malikussaleh)
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER 2014
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM ISSN:1693 7090
DAFTAR ISI
PANTI ASUHAN DALAM PERGULATAN IMTAQ DAN IPTEK (Kontribusi Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe dalam Membentuk Karakter Anak Asuh) Oleh: Almuhajir, M.Ag.................................................................................................................... 1 THE MAIN CHARACTER’S DEVOTION DEPICTED IN THE KITE RUNNER WRITTEN BY KHALED HOSSEINI Oleh: Jumat Barus.......................................................................................................................... 17 ANALISIS YURIDIS TERHADAP 4 (EMPAT) ORANG SAKSI DALAM KASUS PERZINAAN MENURUT FIQH JINAYAT Oleh: Drs. Usammah, M. Hum...................................................................................................... 33 PEMBERDAYAAN EKONOMI BERBASIS SYARIAH DI DAYAH MODERN DAN TRADISIONAL (STUDI KASUS DI KOTA LHOKSEUMAWE) Oleh: Harjoni Desky,Dkk................................................................................................................. 49 PEMBELAJARAN BAHASA KEDUA (ARAB dan INGGRIS) PADA ANAK USIA PRASEKOLAH Oleh: Said Alwi, Dkk........................................................................................................................ 63 PERKEMBANGAN DAN PENERAPAN HUKUM ADAT (Harmonisasi dan Kontroversi Dalam Implementasi Qanun Jinayah Di Aceh) Oleh: Bastiar S H.I, MA..................................................................................................................... 79 REFORMULASI BAITUL MAL MENJADI BADAN LAYANAN UMUM Oleh: Taufiq, S.HI, MA.....................................................................................................................
91
MODUS, MODALITAS, DAN EVIDENSIALITAS BAHASA ACEH DALAM KAJIAN SEMANTIK Oleh : Drs. M. Nazar, M.Hum.......................................................................................................... 95 MAQASHID AL-SYARI’AH: SEBUAH METODE ALTERNATIF IJTIHAD KONTEMPORER Oleh: Safriadi. S.HI, MA.................................................................................................................. 101 PENYUSUNAN HANDBOOK UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP DASAR MATEMATIKA MAHASISWA PRODI TADRIS MATEMATIKA STAIN MALIKUSSALEH LHOKSEUMAWE Oleh : Dr.
Mahdalena
Dkk............................................................................................................. 111
KEPEMIMPINAN PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM Oleh: Syarboini, MA......................................................................................................................... 123 TERORISME DAN JIHAD DALAM PERSPEKTIF NEGARA DAN ISLAM Oleh: Alimuddin, S.Ag., M.Ag.......................................................................................................... 139 HARTA PUSAKA SUAMI UNTUK PEREMPUAN YANG DITALAK BA’IN MENURUT FIKIH SYAFI’IYAH DAN MALIKIYAH Oleh : Nazaruddin, S.Hi., MA.......................................................................................................... 149 ANALISIS FUNGSI TEKNOLOGI ICT DALAM MEDIA MASSA BAGI KEHIDUPAN MANUSIA Oleh: Dr. H. Hamdani. AG, MA........................................................................................................ 161 ALAMAT REDAKSI JLN Medan-Banda Aceh Desa Alue Awe TELP (0645) 47267 FAX (0645) 40329 Website: WWW.Stainmal.go.Id
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM PANTI ASUHAN DALAM PERGULATAN IMTAQ DAN IPTEK Kontribusi Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe dalam Membentuk Karakter Anak Asuh Oleh: Almuhajir, MA Email:
[email protected] Abstrak One medium to instill character formation in children is through the orphanage, where the orphanage is a group or social institutions or government agencies that use to manage children orphans, orphans and abandoned children to earn a decent living in physically and spiritually. The Orphanage of Muhammadiyah Lhokseumawe that has been established since 1968, capturing the social reality that occurs in people of Aceh as an opportunity to help the community by providing more comprehensive care for the education of some children who do not have the educational opportunities as appropriate. The Orphanage of Muhammadiyah Lhokseumawe role and facilitate the foster children as media institutions of formal education, non-formal, and informal. Efforts undertaken by The Orphanage of Muhammadiyah Lhokseumawe in shaping the character of foster care consists of various aspects, among others aspects of intellectual and spiritual, physical aspects, social aspects, psychological aspects and economic aspects . Kata Kunci: Panti Asuhan, Muhammadiyah, Karakter A. PENDAHULUAN Pembentukan karakter akhirakhir ini ramai dibicarakan dan ingin dikembalikan lagi pada inti pendidikan kita. Pendidikan tanpa karakter hanya akan membuat individu tumbuh secara parsial, menjadi sosok yang cerdas dan pandai, namun kurang memiliki pertumbuhan secara lebih penuh sebagai manusia. Pembentukan karakter diharapkan mampu mengatasi krisis moral yang sedang terjadi di Negara kita. Karakter sama dengan akhlak dalam pendangan Islam, akhlak dalam pandangan Islam ialah kepribadian. Kepribadian komponennya ada tiga yaitu tahu (pengetahuan), sikap dan perilaku (Abdul Majid, 2011: iv).Secara umum pembentukan karakter dibutuhkan sejak anak berusia dini. Apabila karakter seorang sudah terbentuk sejak usia dini, ketika dewasa tidak akan mudah berubah meski godaan atau rayuan begitu datang menggiurkan. Dengan adanya pembentukan karakter sejak usia dini,
1
diharapkan persoalan mendasar dalam dunia pendidikan yang akhir-akhir ini sering menjadi keprihatinan bersama dapat diatasi (Akhmad, 2011: 15). Salah satu media untuk menanamkan pembentukan karakter pada anak-anak yaitu melalui Panti Asuhan, di mana Panti Asuhan merupakan kelompok atau lembaga sosial atau lembaga pemerintah yang gunanya untuk mengelola anak-anak yatim piatu, yatim dan anak-anak terlantar untuk mendapatkan penghidupan yang layak secara lahir maupun batin. Sesuai dengan jiwa seseorang yang ada perasaan kasihan terhadap sesama manusia, perasaan mulia yang dititipkan di hati orang tua antara lain perasaan kasihan, bimbingan, arahan yang selalu mengikuti perkembangan jiwa anak. Panti Asuhan sebagai lembaga pengganti keluarga memainkan peranan penting dalam proses pelaksanaan proses pembentukan karakter anak yang mandiri dan religius. Dalam lembaga Panti Asuhan
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM tersebut anak-anak sudah didik dan diarahkan serta dibina sedemikian rupa agar terbentuk perilaku mandiri dan akhlak yang mulia diantara sesama. Dalam perjalanan sejarahnya, Panti Asuhan banyak dikelola oleh pihak swasta, salah satunya adalah organisasi Muhammadiyah (Deliar Noer, 1980: 84). Muhammadiyah merupakan suatu gerakan Islam yang mempunyai tugas dakwah Islam dan amar makruf nahi munkar dalam bidang kemasyarakatan. Sudah dengan sendirinya banyak usaha-usaha ditempatkan dalam bidang kemasyrakatan salah satunya adalah mendirikan Panti Asuhan anak yatim baik putra maupun putri untuk menyantuni mereka (Musthafa, 2000: 90). Kondisi Aceh yang silih berganti antara “damai” dan “perang” serta ditambah dengan kesenjangan strata sosial dan ekonomi antara pusat dan daerah, mengakibatkan sebagian kehidupan masyarakat terpaksa kehilangan tulang punggung keluarganya, baik karena meninggal karena konflik maupun sulitnya lapangan kerja. Padahal secara geografis, Aceh termasuk salah satu daerah “Syurga” di Indonesia ini. Sehingga fenomena anakanak terlantar menjadi pemandangan sehari-hari di Aceh, terutama di daerahdaerah pedalaman. Ada anak yang harus meninggalkan bangku sekolahnya demi membantu orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, bahkan ada yang terpaksa harus menjadi tulang punggung keluarganya. Serta ditambah lagi dengan derasnya arus globalisasi yang menjadi tantangan tersendiri bagi generasi Aceh terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga yang memiliki segala “keterbatasan”. Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe menangkap realitas sosial yang terjadi di dalam masyarakat Aceh tersebut sebagai sebuah peluang untuk membantu masyarakat dengan
memberikan perhatian yang lebih komprehensif bagi pendidikan sebagian anak yang belum memiliki kesempatan memperoleh pendidikan sebagaimana mestinya yaitu membantu memberikan pembinaan dan kesempatan menempuh pendidikan bagi anak-anak asuhnya. Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe yang telah berdiri sejak tahun 1968 telah mengahsilkan alumni yang telah siap bersaing di tengah derasnya arus modernisasi. Ada diantara mereka yang jadi militer, tenaga pendidik (guru dan dosen), tenaga medis, tenaga perbankan, pengusaha, dan lain sebagainya. Ada fenomena yang menarik jika kita telesuri napak tilas Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe, terutama ketika kita berbicara tentang profile anak asuhnya. Dilihat dari latar belakang keluarga anak asuh, Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe memiliki anak asuh tidak hanya anak yatim dan piatu dari keluarga fakir dan miskin, namun juga ada anak yang berasal dari keluarga yang orang tuanya berpisah (cerai) dan dari keluarga yang memiliki anggota keluarganya dalam jumlah yang banyak sehingga tidak mampu diayomi, serta ada yang berasal dari keluarga mantan kombatan GAM, Dari sisi pemahaman keluarga anak asuh, Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe memiliki anak asuh yang keluarganya memiliki pemahaman berasal dari muhammadiyah, simpatisan muhammadiyah, non-muhammadiyah, bahkan ada yang dari anti muhammadiyah, sehingga ada sebagian anak ada yang labil jiwanya karena sebagian masyarakat masih memandang “miring” terhadap Muhammadiyah ketika ia ditanya “kamu sekolah dimana? atau “kamu tinggal di Panti mana?”. Letak geografis Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe di tengah Kota Lhokseumawe, berada di dalam komplek Kantor Pimpinan Muhammadiyah
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
2
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Kota Lhokseumawe, berdampingan dengan STIKES Muhammadiyah Kota Lhokseumawe, membuat suasana Panti Asuhan lebih dinamis dan juga dilengkapi berbagai sarana dan prasarana untuk mendukung pembentukan karakter anak asuh yang di salurkan oleh para donator baik dari daerah, pusat maupun luar negeri. Berangkat dari fenomena tersebut diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan sebuah penelitian etnografi di Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe untuk melihat bagaimana kehidupan mereka selama berada di Panti Asuhan ditengah derasnya era globalisasi, karena ada diantara mereka setelah tidak lagi terikat dengan Panti Asuhan atau sudah “mandiri”, menjadi “Tokoh Pembaharu Kehidupan” ditengah masyarakatnya terutama bagi keluarganya. Dengan fokus pembahasan pada proses input, bentuk program, dan output anak-anak Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe dalam membentuk karakter anak asuh. B. HAKIKAT PANTI ASUHAN Panti Asuhan terdiri dari dua kata yaitu Panti dan Asuhan. Menurut PP Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1988 Pasal 1 ayat 6, pengertian Panti dinyatakan sebagai berikut: Panti adalah lembaga atau kesatuan kerja yang merupakan sarana dan prasarana yang memberikan pelayanan sosial dengan berdasarkan profesi kerja sosial (Pustaka Yustisia, 2010: 108). Asuhan adalah berbagai upaya yang dilakukan kepada anak yang tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak terlantar, dan anak yang mengalami kelakuan yang bersifat semnetara sebagai pengganti orang tua atau keluarga agar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara jasmani, rohani, maupun sosial. (Pustaka Yustisia, 2010: 108) Menurut W.J.S. Purwadarminta (2010: 710), mengatakan bahwa Panti
3
Asuhan adalah tempat atau rumah untuk memelihara atau merawat dan mendidik anak-anak yatim atau piatu. Sedangkan menurut Badan Pembinaan Kondisi dan Pengawasan Kegiatan (BPKPKK), Panti Asuhan dapat diartikan sebagai suatu lembaga untuk mengasuh anak-anak, menjaga dan memberikan bimbingan dari pimpinan kepada anak dengan tujuan agar mereka dapat menjadi manusia dewasa yang cakap dan berguna serta bertanggung jawab terhadap dirinya dan terhadap masyarakat kelak dikemudian hari. Dari pengertian tersebut peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa fungsi Panti Asuhan bukan hanya semata menyantuni anak yatim piatu, akan tetapi Panti Asuhan juga berfungsi sebagai pengganti orang tua yang telah tiada, dan orang tua yang tidak mampu menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya. Selain itu fungsi Panti Asuhan juga sebagai tempat yang memberikan pelayanan kepada para anak yatim piatu melalui bimbingan kearah pengembangan pribadi yang berakhlak dan berintelektual tinggi, serta keterampilan kerja. Ada beberapa tujuan Panti Asuhan yang didirikan oleh sebuah lembaga baik pemerintah maupun pihak swasta, tujuan tersebut antara lain: Membantu Pemerintah ; Meningkatkan pelayanan sosial secara kualitas dan kuantitas; Pembina, pengarah, pendamping bagi anak-anak yang “tersisih”; Membantu memecahkan dan mengatasi masalah yang dihadapi anak asuh; Memupuk dan meningkatkan rasa santun dan kesadaran sosial ditengah masyarakat; dan Pengganti orang tua (meninggal dunia). Berdasarkan tujuan diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan didirikannya Panti Asuhan adalah mempersiapkan generasi yang akan datang yang mandiri dan memberikan bekal pelatihan untuk menciptakan lapangan kerja sendiri, sehingga program pemerintah dalam hal pengentasan kemiskinan dapat berjalan
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM dengan sesuai tujuan yang diinginkan. Adapun dasar atau landasan panti asuhan dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, antara lain: a. Dasar yuridis/hukum formal, antara lain Dasar idiologi, yakni dasar yang bersumber dari Filsafat Negara yaitu Pancasila, terutama sila kelima; Dasar konstitusional, yaitu dasar dari undang-undang yang sedang berlaku, yaitu UUD 1945, sebagaimana tercantum pada bab XIV pasal 34; dan Dasar operasional, yaitu adalah dasar secara langsung mengatur pelaksanaan tentang pelayanan kesejahteraan sosial di Indonesia, diantaranya UU No. 23 Tahun 2002: Perlindungan Anak, UU No. 11 Tahun 2009: Kesejahteraan Sosial, dan UU No. 4 Tahun 1979: Kesejahteraan Anak. b. Dasar Religius, yakni dasar hukum yang diambil dari ajaran Agama Islam, yakni yang tertera di dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi Saw., diantaranya:
Artinya: Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?, Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin. Sedangkan dasar yang bersumber dari hadist Nabi saw. adalah:
Artinya: Barang siapa yang mengikutsertakan seorang anak yatim
diantara dua orang tua yang muslim, dalam makan dan minumnya, sehingga mencukupinya maka ia pasti masuk surga.” (HR. Abu Ya’la dan Thobroni) C. PEMBENTUKAN KARAKTER Karakter merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seorang dari yang lain. Karakter juga bisa dipahami sebagai tabiat atau watak. Dengan demikian orang yang berkarakter adalah orang yang mempunyai karakter, mempunyai kepribadian, atau berwatak (Akhmad, 2011: 15). Sedangkan Doni Koesoema, memahami bahwa karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri, atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan (Koesoema, 2010: 80). Dari penjelasan tersebut diatas maka karakter dapat disimpulkan sebagaimana yang dinyatakan oleh Fatchul Mu’in karakter merupakan kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku yang ditampilkan. Memahami bahwa karakter sama dengan kepribadian, kepribadian dianggap sebagi ciri atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima lingkungan misalnya keluarga pada masa kecil, juga bawaan sejak lahir (Fatchul, 2011: 160). Karakter tidak diwariskan, tetapi sesuatu yang dibangun secara berkesinambungan hari demi hari melalui pikiran dan perbuatan, pikiran demi pikiran, tindakan demi tindakan. Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara (Muchlas, 2011: 41). Berdasarkan grand design yang
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
4
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM dikembangkan Kemendiknas (2010: 5), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development.). Metode pembentukan karakter berkaitan langsung dengan tahapan perkembangannya. Tahapan tersebut terbagi dalam tiga tahapan yaitu: a. T a h a p a n k a r a k t e r lahiriyah (karakter anak-anak), metoda yang digunakan adalah pengarahan, pembiasaan, keteladanan, penguatan (imbalan) dan pelemahan (hukuman) serta indoktrinasi. b. Ta h a p a n k a r a k t e r b e r k e s a daran (karakter remaja), metoda yang digunakan adalah penanaman nilai melalui dialog yang bertujuan meyakinkan, pembimbingan bukan instruksi dan pelibatan bukan pemaksaan. c. Tahapan kontrol internal atas karakter (karakter dewasa), metoda yang diterapkan adalah perumusan visi dan misi hidup pribadi, serta penguatan akan tanggungjawab langsung kepada Allah. Tahapan diatas lebih didasarkan pada sifat daripada umur (Meilani, 2014). Dengan mengetahui tahapan pembentukan karakter, maka bisa diketahui bahwa akar dari perilaku atau karakter
5
itu adalah cara berfikir dan cara merasa seseorang. Sehingga untuk mengubah karakter seseorang, kita bisa melakukan tiga langkah berikut: a. L a n g k a h p e r t a m a a d a l a h melakukan perbaikan dan pengembangan cara berfikir yang kemudian disebut terapi kognitif, dimana fikiran menjadi akar dari karakter seseorang. b. Langkah kedua adalah melakukan perbaikan dan pengembangan cara merasa yang disebut dengan terapi mental, karena mental adalah batang karakter yang menjadi sumber tenaga jiwa seseorang. c. Langkah ketiga adalah melakukan perbaikan dan pengembangan pada cara bertindak yang disebut dengan terapi fisik, yang mendorong fisik menjadi pelaksana dari arahan akal dan jiwa. Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pembentukan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Sang Khalik, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. D. P R O F I L PA N T I A S U H A N M U H A M M A D I Y A H LHOKSEUMAWE Muhammadiyah berdiri di Lhokseumawe pada tahun 1927, berdasarkan dokumen yang ada bahwa tahun 1927 Buya A.R.Sutan Mansur Almarhum (Bekas Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode tahun 1953-1956) datang dari sumatera
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM barat ke Lhokseumawe dan menginap dirumah bapak Marsikin seorang montir perbengkelan mobil di kampung jawa Lhokseumawe. Buya A.R.Sutan Mansur berada di Lhokseumawe sekitar 3 bulan. Dengan berdirinya Muhammadiyah cabang Lhokseumawe pada tahun 1927 kemudian mendapatkan pengesahan dari pengurus besar Yogyakarta dengan SK.No.193 tgl. 26 November 1928. Sejak kegoncangan politik meletus peristiwa Gerakan 30 September 1965 PKI menyebabkan krisis ekonomi di Indonesia pada umumnya khususnya di Provinsi Daerah Istimewa Aceh pada waktu itu seiring dengan peristiwa itu pula meningkatnya angka kemiskinan karena suhu politik yang tidak menetu. Dengan kesepakatan tokohtokoh Muhammadiyah, Aisyiah, Pemuda Muhammadiyah dan simpatisan Muhammadiyah Aceh baik dari wilayah maupun cabang diantaranya: Tgk. M. Usman Aziz, M. Hasyimi, M. Amin Sukanegara, Tgk. A. Latief Ben, SM Nurdin, Syamsul Bahri Aminy, H. Nyak Teh, Said Umar Mahmud, H. Ali Akbar, H. Muhammad Amin, Ramli Abbas, Tgk.Ibrahim Mahmud Al-Haidar, dan Nurhadiyah. Atas dasar firman Allah Surat al-Ma’un dengan bermodal kumpulan beras segenggam serta mencari donatur tetap tiap bulan, maka pada tanggal 28 Februari 1968 didirikan Panti Asuhan Muhammadiyah dengan nama Badan Penyantun Anak Yatim Muhammadiyah Lhokseumawe. Tempat penampungan awal Anak Yatim bertempat di Perguruan Muhammadiyah, Jln. Teuku Umar No.1, Lancang Garam Lhokseumawe, pada waktu itu untuk tahap pertama ditampung 25 Anak Yatim pria. Alhamdulillah, pada tahun 1970 Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe dipindahkan ke Jln. Darussalam Hagu Selatan ditanah wakaf seorang hamba Allah keturunan Arab yang bernama Syekh Muhammad Al-Kalali, beliau membuat pembaharuan dari ulama
yang bernama Syech Muhammad Abduh dan Syech Rasyid Ridha dari Mesir. Tanah wakaf tersebut seluas 4192,50 m2 telah didirikan bangunan gedung Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe dengan 2 lantai terdiri dari asrama Anak Yatim, Mushalla, Kantor, Rumah Pengasuh, Klinik Pengobatan, Toko, Lapangan Olahraga, Ruang Makan, Dapur dan sarana lainnya. Kepengurusan Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe bergulir setiap periodenya selama 5 tahun bertugas. Kepengurusan ini di pilih oleh Pengurus Daerah Muhammadiyah Lhokseumawe, dan setiap habis periode, kepengurusan berikutnya ditentukan lewat musyawarah kembali oleh Pengurus Daerah Muhammadiyah Lhokseumawe.
Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe yang merupakan sebuah instituisi atau lembaga, maka visi dan misi merupakan suatu hal yang harus dimiliki. Adapun visi Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe adalah dengan semangat kekeluargaan yang dilandasi nilai-nilai agama kita wujudkan warga binaan sosial yang berdaya, mandiri dan sejahtera. Sedangkan misi Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe adalah: a. M e n i n g k a t k a n p e l a y a n a n kehidupan sosial masyarakat. b. Meningkatkan kualitas pendidikan. c. Meningkatkan kemandirian dengan usaha dan kewiraswastaan. d. Menciptakan kehidupan yang kondusif untuk mendorong
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
6
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM semangat dan peran serta masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. e. Meningkatkan iman dan taqwa masyarakat, memajukan pendidikan dan berusaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Sumber keuangan untuk operasionalnya, Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe didapatkan dari beberapa elemen masyarakat dan stakeholder. Secara global sumber keuangan Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe dapat dikelompokkan kedalam lima kategori, yaitu: a. Keluarga besar Muhammadiyah, baik dari Pengurus Pusat Muhammadiyah, Daerah, maupun Kabupaten/Kota yang ada di Propinsi Aceh. b. Simpatisan masyarakat, terdiri dari pedagang, PNS, nelayan, dan lainlain. c. Perusahaan Proyek Vital yang ada disekitar Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe, yaitu PT. Arun, PT. PIM, PT. AAF, dan Exxon Mobil Oil. d. Pemerintah, yaitu dari Departemen Sosial Jakarta, Dana BBM, Subsidi Gubernur Aceh, Subsidi APBD Pemerintah Daerah Aceh Utara yang dilanjutkan dengan subsidi APBD Pemerintah Kota Lhokseumawe. e. U s a h a e k o n o m i p r o d u k t i f Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe, antara lain usaha pangkas rambut dan pembuatan peci bermotif Aceh, penggemukkan sapi, dan usaha perkebunan. Sumber keuangan tersebut diatas, bersifat tidak mengikat, ada yang spontanitas, berjangka waktu bulanan, dan berjangka waktu tahunan. Namun dari kesemuanya itu, sampai dengan sekarang (2014) ada yang masih aktif dan ada pula
7
yang sudah tidak aktif lagi. Dana yang telah di subsidi oleh beberapa stakeholder diatas, diperuntukkan untuk dana operasional Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe. E. PROSES INPUT ANAK ASUH Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe telah banyak menampung anak-anak asuhnya yang berasal dari beberapa kabupaten di Propinsi Aceh, antara lain dari daerah Aceh Timur, Aceh Utara, Lhokseumawe, dan Bireuen, yang terdiri dari suku Aceh dan Jawa. Dalam hal ini Panti Asuhan, tidak melihat darimana asal anak itu datang, selama mereka memenuhi syarat yang telah ditentukan maka anak tersebut diterima sebagai anak asuh di Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe. Anak asuh yang berada di Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe, kesemuanya berjenis kelamin laki-laki. Dengan usia minimal mereka bisa masuk ke Panti Asuhan adalah 8 tahun dan maksimal 15 tahun, dengan analisis pada usia 8 tahun anak tersebut sudah mampu mengurus diri sendiri yang bersifat pribadi, sedangkan usia 15 tahun anak tersebut baru saja menamatkan pendidikan setara SLTP, sehingga ketika mereka masuk ke Panti Asuhan langsung melanjutkan pendidikan tingkat SLTA dan berada di Panti Asuhan lebih kurang selama 3 tahun. Pilihan pihak Panti Asuhan memprioritaskan anak lakilaki dan tidak menerima anak perempuan, Ust Saifuddin Abbas menyebutkan karena beberapa pertimbangan, antara lain: Tidak tersedianya fasilitas untuk anak perempuan; Terbatasnya tempat/ lokasi; dan Susahnya mencari pengasuh perempuan. Ada beberapa hal yang melatar belakangi anak asuh masuk ke Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ust. Saifuddin Abbas, antara lain: Karena
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM telah meninggal salah satu dari orang tuanya (terutama ayah); Anak terlantar, yakni anak yang hidup “liar” atau bebas di tengah masyarakat yang tidak memiliki sanak keluarganya; Fakir miskin, yaitu anak yang berasal dari keluarga yang tidak mampu secara ekonomi; dan Broken home yakni anak yang berasal dari keluarga yang “bermasalah”. Untuk proses perekrutan anak asuh yang dilakukan oleh Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe, ada beberapa model, antara lain: Mengutus utusan ke desa-desa; Menginformasikan melalui alumni panti asuhan dan anak asuh yang sedang magang di panti asuhan, ketika mereka pulang ke desanya masingmasing untuk mencari anak-anak yang layak menjadi anak asuh panti asuhan; Konfirmasi beberapa tokoh muhammadiyah dibeberapa ranting muhammadiyah yang ada dalam catatan Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe; dan Menerima langsung dari wali/orang tua yang mengantar anaknya ke Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe. Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe dalam pengelolaam penerimaan anak asuh baru telah menetapkan beberapa syarat. Hal ini dilakukan agar tertibnya administrasi baik prosesnya maupun pertanggungjawabannya. Adapun syarat yang ditetapkan oleh Panti Asuhan adalah: Surat keterangan Yatim/Miskin; Surat Perjanjian/Izin orang tua/wali; Photo Copy Kartu Keluarga; Photo Copy KTP Ibu/Ayah/Wali; Photo Copy Rapor/Ijazah SD/MI, SMP/MTs; Surat Pindah Sekolah; Akte/Surat Keterangan Kelahiran; Surat Keterangan Sehat dari Puskesmas; dan Menandatangani Surat Permohonan Asuhan. Jumlah anak-anak yang diasuh oleh Panti Asuhan Muahammadiyah Lhokseumawe, Ust. Saifuddin Abbas menjelaskan bahwa dari awal berdirinya sampai dengan sekarang, jumlah anak asuh sangat
bervariatif. Dari tahun 1968 sampai dengan tahun 2004, jumlah anak asuh setiap tahunnya berkisar ± 80-an anak (Penerimaan anak asuh disesuaikan dengan jumlah anak yang keluar). Pasca Tsunami (2004) sampai dengan sekarang (2014), kuantitas anak asuh di Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe mengalami penurunan. Penurunan jumlah anak asuh (salah satu penyebabnya) disebabkan oleh “menjamurnya” lembaga panti asuhan diseputar Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara, karena banyaknya LSM dan NGO dalam dan luar negeri yang “memperhatikan” anak-anak Aceh pasca tsunami, sehingga anak-anak memiliki banyak pilihan untuk panti asuhan. Berangkat dari data dan pemaparan diatas, proses input anak asuh yang dilakukan oleh Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe menunjukkan bahwa awal dari pembentukkan karakter teradap anak sudah dibentuk dari awal. Hal ini terlihat dari syarat-syarat yang telah ditentukan. Dengan persyaratan yang diberlakukan menunjukkan bahwa Panti Asuhan, bisa melaksanakan berbagai program terhadap anak asuh dengan “leluasa” sesuai dengan titah yang telah ditetapkan oleh para pendiri Muhammadiyah. Dengan keleluasaan tersebut maka pihak Panti Asuhan, tidak ragu-ragu menjalankan programnya walaupun dalam proses perjalanannya terkadang harus melakukan sedikit “punishment educative” terhadap anak asuh, semua ini dilakukan demi kebaikan anak asuh. Untuk pengembangan pendidikan formal, Ust. Saifuddin Abbas menjelaskan bahwa, anak-anak yang sudah diterima sebagai anak asuh Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe, diarahkan untuk melanjutkan pendidikannya sesuai dengan jenjang yang telah di tentukan oleh Pengasuh Panti, lembaga yang
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
8
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM telah ditentukan tersebut adalah: SD Muhammadiyah, SMP Muhammadiyah, MTs Muhammadiyah, SMA Muhammadiyah, MA Muhammadiyah, dan Dayah Modern Ihyaaussunnah, untuk jenjang MTs dan MA. Pada lembaga-lembaga tersebut mereka dididik dan dibimbing berbagai ilmu pengetahuan umum, seperti matematika, fisika, biologi, ekonomi, komputer, dan sebagainya. F. BENTUK PROGRAM Ada beberapa program dan pengadaan yang dilaksanakan oleh Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe dalam rangka untuk mendukung berbagai kegiatan/operasional dalam membentuk karakter anak asuh, antara lain: 1. Fasilitas Untuk mendukung berbagai operasional dan kegiatan anak asuh, Panti Asuhan telah menyediakan berbagai macam fasilitas yang memadai untuk kebutuhan mereka. Sampai saat ini, Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe telah memiliki berbagai macam fasilitas antara lain:
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe telah memiliki fasilitas yang sangat memadai untuk kebutuhan anak asuhnya. Pengadaam fasilitas tersebut berasal dari para donatur dan beberapa stakeholder. Fasilitas yang diberikan ada
9
dalam bentuk benda jadi (siap pakai) dan ada pula dalam bentuk financial (pengadaannya di kelola oleh pihak Panti Asuhan). 2. Pengasuh/Pembimbing Pengadaan pengasuh/pembimbing oleh Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe menjadi orang tua asuh sekaligus pembimbing mereka dalam berbagai dimensi kehidupan, baik pembentukan internal maupun eksternal anak. Untuk pengadaan pengasuh/ pembimbing di Panti Asuhan, dilakukan melalui musyawarah Pengurus Daerah Muhammmadiyah Lhokseumawe, dengan beberapa kriteria penting yang telah ditetapkan melalui musyawarah, antara lain Memiliki background ilmu agama; Loyal terhadap organisasi Muhammadiyah; Siap mematuhi segala aturan yang berlaku; Memiliki keteladanan; dan Tidak Merokok Lizan Abbas menjelaskan bahwa, pengasuh/pembimbing yang mengabdikan diri di Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe, keberadaan mereka tidak ditetapkan dengan batas waktu tertentu dan silih berganti pengasuh/pembimbing sejak berdirinya. Kebiasaannya, masuknya pengasuh/pembimbing karena ada salah seorang pengasuh/pembimbing yang keluar, dikarenakan adanya tugas ditempat lain, sehingga harus meninggalkan kegiatan di Panti Asuhan. Pada saat ini Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe memiliki lima orang pengasuh/pembimbing, yaitu:
Para pengasuh/pembimbing yang telah ditetapkan oleh pengurus Daerah Muhammmadiyah Lhokseumawe, menjalankan tugasnya sesuai dengan apa yang telah diamanatkan. Dari lima
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM pengasuh/pembimbing, tiga diantaranya menetap di komplek Panti Asuhan. Dari kelima mereka memiliki job description yang berbeda-beda. Ada yang menangani kebutuhan makan dan minum anak asuh, belajar dan peribadatan, kebutuhan sekolah, dan perilaku anak. Walaupun demikian mereka tetap sinergi saling koordinasi menangani berbagai kebutuhan dan persoalan anak asuh, baik secara internal maupun eksternal. 3. Proses Belajar Mengajar dan Kurikulum Anak-anak yang berada di Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe telah memiliki proses belajar mengajar dan kurikulum yang telah disusun secara sistematis, sehingga apa yang akan dilakukan oleh si anak sudah termenej dengan baik. Begitu juga halnya dengan pengasuh/pembimbing, sehingga interaksi langsung antara anak dengan pengasuh/ pembimbing dapat berjalan dengan baik. Disamping anak asuh Panti Asuhan menempuh pendidikan melalui jalur formal, (ditunjuk oleh pengasuh Panti), mereka juga harus menjalankan proses belajar mengajar di Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe. Pada pendidikan formal proses belajar mengajar dilaksanakan disekolah masingmasing, yakni SD Muhammadiyah, SMP Muhammadiyah, MTs Muhammadiyah, dan SMA Muhammadiyah dengan kurikulum resmi dari dinas P dan K. Di lembaga formal tersebut anak asuh menimba ilmu pengetahuan umum, sehingga mereka mendapatkan ilmu dalam bidang IPTEK. Hal ini tampak dari kegiatan anak asuh, dimana mereka telah mampu mengoperasikan komputer, kemampuan bahasa inggris dan arab, walaupun dengan secara sederhana. Dan memahami ilmuilmu science. Pada pendidikan non formal, mereka mendapatkan ilmu tambahan khusus dibidang agama di Panti Asuhan
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
10
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Muhammadiyah Lhokseumawe. Dimana mereka pada waktu-waktu tertentu wajib mengikuti kegiatan keagamaan, seperti shalat berjamaah, mengaji setelah shalat, mengikuti kajian dengan berbagai macam materi, seperti kajian Alquran, tauhid/akhlak, fiqh, ibadah, tafsir, dan kemuhammadiyahan. Dari materi yang diajarkan, ada kompetensi yang diharapkan dari anak asuh, dengan tujuan agar anak asuh memiliki persepsi yang sama terhadap materi yang diajarkan. Berikut kompetensi masing-masing materi kajian: Dari materi yang disampaikan, para pembimbing dalam menyampaikan materinya menggunakan berbagai macam metode, antara lain: tanya jawab, diskusi, ceramah, dan demontrasi/praktek. Pada waktu-waktu tertentu, pihak Panti Asuhan kedatangan atau mendatangkan tokoh tertentu untuk memberikan spirit/motivasi bagi anak asuh, baik dalam bidang keagamaan maupun yang bersifat umum. 4. Kegiatan Ekstrakurikuler Disamping kegiatan proses belajar mengajar yang bersifat intrakurikuler, Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe juga melakukan kegiatan yang bersifat ekstrakurikuler. Ust. Saifuddin Abbas menjelaskan, ada beberapa bentuk kegiatan ekstrakurikuler, antara lain: a. Olah raga, kegiatan ini bertujuan untuk membentuk/menjaga fisik anak asuh agar tetap fresh dalam berbagai kondisi dan menghilangkan kejenuhan mereka selama berada di komplek Panti Asuhan serta mengembangkan potensi dan bakatnya. Media olah raga yang difasilitasi oleh pihak Panti Asuhan adalah futsal, bola volly, dan bela diri. b. Darmawisata, kegiatan ini bertujuan untuk rihlah, menghilangkan
11
kejenuhan, serta mengajak anakanak asuh untuk melihat suasana alam yang ada disekitarnya (ibrah), dengan mengambil lokasi diseputaran Kota Lhokseumawe dan sekitarnya, bahkan terkadang dalam waktu tertentu ke kabupaten dan kota lain yang ada di Propinsi Aceh. c. Sosial, kegiatan ini bertujuan untuk membentuk kepribadian anak yang berjiwa sosial. Jenis kegiatan ini antara lain mengunjungi (silaturrahmi/takziyah) keluarga besar Panti Asuhan baik yang masih aktif ataupun alumni, membantu kegiatan sosial yang ada di lingkungan Panti Asuhan, seperti gotong royong. 5. Reward dan Punishment Dalam proses pembentukan karakter anak asuh, reward dan punishment bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kegiatan Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe. Indikator reward dan punishment yang di berlakukan adalah tata tertib/aturan yang telah dibakukan oleh pengurus Panti Asuhan. Ust. Saifuddin Abbas menjelaskan, bahwa reward yang diberikan oleh pihak Panti Asuhan sangat bervariasi, ada yang berbentuk materi dan non-materi. Berbentuk materi, dari pihak Panti Asuhan mengapresiasi anak asuhnya pada moment-moment tertentu, misalnya ketika menjelang hari raya; dan Berbentuk non-materi, pengasuh/ pembimbing memberikan kata-kata pujian bagi anak yang melakukan hal-hal yang positif dan memberikan kepercayaan untuk “amanah” tertentu. Sedangkan punishment ini di berlakukan untuk mengantisipasi halhal yang tidak diinginkan terjadi di Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe. Dengan berbagai latar belakang asal daerah, keluarga, pemahaman, dan
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM pendidikannya, tidak tertutup kemungkinan pelanggaran akan terjadi. Jadi dengan adanya tata tertib/aturan yang diberlakukan di Panti Asuhan tersebut, anak asuh dapat dibentuk dalam satu visi dan misi yang telah dibangun oleh Panti Asuhan. Ust. Saifuddin Abbas menjelaskan, bahwa klasifikasi punishment yang diberlakukan di Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe, adalah: a. Mendapat teguran dan nasehat bagi mereka yang belum faham. b. M e n j a l a n i h u k u m a n s e r t a diiring dengan nasehat seperti membersihkan kamar mandi, halaman, dan sebagainya (bagi anak yang sudah faham aturan namun melakukan kesalahan). c. Pemanggilan orang tua/wali (bagi anak yang melanggar aturan sudah berulang-ulang kali). d. Dikeluarkan dari Panti Asuhan, bagi mereka yang telah menempuh punishment 1 sampai 3, dan tidak bisa lagi dibina sesuai aturan yang berlaku. Dari klasifikasi punishment tersebut diatas menunjukkan bahwa Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe melakukan proses punishment sesuai dengan metode pendidikan pada umumnya pada sebuah lembaga pendidikan. Punishment yang diberikan sangat erat kaitannya dengan proses pembinaan terhadap anak asuh bukan dalam rangka untuk menyakiti si anak, baik fisik maupun mental. G. PROSES OUTPUT ANAK ASUH Input dan proses, Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe telah menghasilkan output. Dalam out putnya, Ust. Saifuddin Abbas menjelaskan, bahwa ada dua bentuk proses, antara lain: Formal, yakni mereka yang keluar dari Panti Asuhan setelah menamatkan jenjang pendidikan tingkat SLTA. Bagi mereka yang selesai tingkat SLTA pihak Panti Asuhan
setiap tahunnya memilih anak-anak yang berprestasi untuk dilanjutkan ke perguruan tinggi; Non-Formal, yakni mereka yang keluar karena permintan walinya (tidak betah) atau mereka yang dikeluarkan dari Panti Asuhan. Dikeluarkan karena pelanggaran yang dilakukan oleh anak asuh tidak bisa ditolerir lagi, sehingga dikeluarkan di “tengah jalan”, ada yang keluar di kelas 2 SLTP, kelas 2 SLTA, dan sebagainya. Dari kedua proses tersebut, proses yang pertama merupakan proses yang membuahkan hasil dari anak asuh, ketika mereka meninggalkan Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe. Dengan berbagai didikan dan pengetahuan, telah di perankan oleh pihak panti asuhan, (IMTAQ dan IPTEK), walaupun terjadi berbagai macam kendala dalam menjalankan program-programnya. Tidak ada syarat tertentu ketika mereka keluar dari Panti Asuhan, namun secara adminstratif anak asuh baru bisa dikatakan sebagai alumni jika telah menamatkan jenjang pendidikan formal tingkat SLTA. Bagi mereka yang menyelesaikan “pendidikan” di Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe, pada umumnya telah memiliki berbagai pengetahuan baik Agama maupun Umum, sehingga secara “bekal hidup” mereka telah diberikan modal awal dalam meniti kehidupan ini dengan berbagai ketrampilan dan ilmu, yang insyallah ketika mereka berada di tengah masyarakat bisa dimanfaatkan dengan baik, baik untuk dirinya, keluarganya, maupun masyarakat. Setiap lembaga pendidikan pasti memiliki alumni, hanya saja yang membedakan antara satu lembaga dengan lembaga yang lain adalah dari sisi loyalitas, kuantitas, kualitas, dan penyebarannya. Pembinaan keilmuan anak asuh selama selama berada Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe, seimbang antara IMTAQ dan IPTEK. Sehingga setiap anak yang
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
12
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM telah selesai magang di Panti Asuhan bisa melanjutkan studinya sesuai dengan “citacitanya”, hal ini terbukti dengan berbagai macam profesi yang digeluti oleh para alumni. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ust. Baihaqi Muhammad, bahwa alumni Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe sejak awal berdirinya, dengan bekal keilmuan yang telah mereka dapatkan, telah tersebar ke beberapa daerah di Indonesia dan ada sebagian diluar negeri dengan berbagai macam profesi. Ada yang sebagai guru, dosen, militer, pedagang, birokrat, karyawan perusahaan, da’i/ustadz, dan sebagainya. Secara kuantitas, Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe, tidak mencatat secara khusus, berapa sudah alumni panti. Pembentukan karakter yang telah dibentuk selama mereka berada Panti Asuhan, dari pihak panti tidak berlepas tangan begitu saja, namun mereka masih terus menjalin hubungan komunikasi. Hubungan komunikasi ini dilakukan untuk terus memantau sejauh mana perkembangan anak asuh yang selama ini dididik. Tidak hanya antara lembaga dengan alumni, namun sesama alumni juga mereka melakukan komunikasi. Nilai plus dari komunikasi ini, bagi lembaga bisa memanfaatkan kondisi alumni jika mereka suatu saat telah menjadi orang yang “berhasil”, maka pihak panti bisa meminta bantuan kepada mereka untuk membantu adik-adiknya di Panti Asuhan. Bagi antar alumni, bisa meminta bantuan informasi lowongan pekerjaan/lapangan kerja, karena diantara mereka sudah terjalin hubungan emosional sejak berada di Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe. Pada bagian lain buah hasil dari pembentukan karakter anak asuh oleh pihak Panti Asuhan, dapat terlihat dengan kunjungan alumni ke Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe pada waktu-waktu tertentu. Biasanya terjadi pada hari-hari moment tertentu, misalnya hari
13
raya, bulan ramadhan, kenduri bersama, dan lain sebagainya, disamping mereka telah menjadi anak yang mandiri untuk keluarga dan masyarakatnya bahkan ada menjadi panutan dalam masyarakatnya. H. PENUTUP Pembentukan karakter yang dibentuk oleh Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe terhadap anak asuhnya, secara global telah sesuai dengan apa yang telah didefiniskan oleh pakar, bahwa karakter merupakan kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku yang ditampilkan. Adapun upayaupaya yang dilakukan Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe dalam membentuk karakter anak asuh terdiri dari berbagai aspek: 1. Aspek Intelektual dan Spiritual Upaya yang dilakukan oleh Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe adalah dengan memfasilitasi anak asuh untuk mengenyam pendidikan formal dan bimbingan keagamaan (spiritual). Pembinaan dalam aspek intelektual dan spiritual, secara global dikelompokkan dalam dua aspek yaitu: Pertama, Aspek intelektual religius, Anak asuh mendapatkan berbagai pemahaman keagamaan di lingkungan panti Asuhan dengan berbagai program yang telah diprogramkan oleh pengurus Panti Asuhan dan juga sebahagian kecil di sekolahnya. Pembinaan intelektual keagamaan terhadap anak asuh dilakukan setiap harinya dengan waktu-waktu tertentu dan materi-materi tertentu serta dilakukan secara kontinu, diantaranya tauhid, aqidah akhlak, hadits, fiqh, Alquran, dan kemuhammadiyahan. Kedua, Aspek intelektual non religius. Pengurus Panti Asuhan, mengarahkan anak asuh untuk melanjutkan pendidikan formal sesuai
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM jenjang pendidikannya, SD, SLTP, dan SLTA. Di lembaga formal inilah anak asuh mengenyam pendidikan umum dengan berbagai materi yang harus di pelajari, diantaranya ada ilmu-ilmu eksakta (matematika, biologi, fisika, kimia, dan TIK/komputer), ilmu-ilmu sosial (agama, bahasa inggris, bahasa arab, bahasa daerah, sejarah, ekonomi, seni dan ketrampilan, dan olah raga). Target yang diharapkan dari aspek intelektual non religius adalah agar si anak terbuka wacana pemikirannya dan tidak tabu dalam mengahadapi era globalisasi yang terus berkembang dari masa ke masa terutama di bidang science, bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan umum berikutnya, dan minimal bisa memanfaatkan keilmuannya untuk membuka usaha secara mandiri. 2. Aspek Fisik Upaya yang dilakukan oleh Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe adalah dengan melakukan kegiatan olah raga, yaitu bela diri (tapak suci), futsal, berenang, bola volly, dan sebagainya, dengan jadwal yang telah diatur secara sistematis serta dikawal/dibimbing langsung oleh instrukturnya. Kegiatan ini dilakukan agar anak asuh memiliki ketahanan tubuh yang baik dan mampu melaksanakan berbagai kegiatan selama mereka berada di Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe, baik yang bersifat formal (sekolah), non-formal (Panti Asuhan), dan informal (masyarakat). Tujuan lain yang diharapakan adalah untuk menggali bakat si anak baik olah raga maupun bakat fisik yang lain. 3. Aspek Sosial Upaya yang dilakukan oleh Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe adalah dengan menanamkan rasa kebersamaan dan rasa tanggung jawab ketika berada di dalam lingkungan maupun diluar lingkungan panti asuhan. Salah satu bentuk penanamannya adalah merasakan
dan tanggung jawab bersama semua suasana yang ada di panti, misalnya makan/sarapan dengan waktu yang telah terjadwal dan dengan menu yang sama, begitu juga halnya jenis pakaian yang diterima dari pihak panti, uang jajan dalam jumlah yang sama, menyayangi yang junior, menghormati yang senior, dan lain sebagainya. Adapun aspek sosial diluar lingkungan panti asuhan, dibentuk dengan mengikuti acara kemasyarakatan, seperti gotong royong, takziah, dan lain sebagainya. 4. Aspek Ekonomi. Salah satu tujuan didirikan panti asuhan baik oleh pemerintah maupun oleh swasta adalah untuk membantu kebutuhan hidup anak-anak yang hidup secara tidak layak. Bantuan ini tidak hanya terhadap individu si anak tetapi juga berimbas terhadap keluraganya. Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe secara mikro telah mengambil peran untuk meringankan beban hidup anakanak dibawah garis kemiskinan (ekonomi) dengan memberikan berbagai fasilitas kebutuhan sehari-harinya (kebutuhan sekunder dan primer). Adapun secara makro Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe telah meringankan beban hidup keluarga miskin yang ada diseputar linkungannya. 5. Aspek Psikologis Panti Asuhan Muhammadiyah Lhokseumawe, memposisikan dirinya sebagai orang tua anak asuh, sebagaimana peran orang tuanya begitulah berlebih kurang pihak panti memposisikan dirinya. Sehingga anak asuh tidak merasa kehilangan orang tuanya secara totalitas, walaupun panti asuhan tidak bisa menggantikan orang tua secara totalitas. Setidaknya, anak asuh telah memiliki orang-orang tempat mereka mengadu bebagai macam kebutuhannya baik
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
14
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM kebutuhan yang sifatnya abstrak maupun non-abstrak. Aspek psikologis merupakan aspek yang paling awal (prioritas) dari Panti Asuhan untuk merubah paradigma anak asuh. Dengan berbagai macam problematika yang dihadapi anak asuh sebelum magang, membuat pihak Panti Asuhan bekerja secara ekstra untuk memberi pemahaman dan membentuk psikologisnya agar “normal” untuk menjadi anak seusia mereka ketika sudah menjadi anak asuh.
KTSP Pada Sekolah dan Madrasah, Jakarta: Raja Grafindo Perasda, 2008. Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam (Dalam Perspektif
DAFTAR PUSTAKA Azzet, Akhmad Muhimin, Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia, Yogyakata: Ar-Ruzz Media, 2011. Dirjen Kelmbagaan Agama Islam, Panduan Kegiatan Ekstrakurikuler Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Depag, 2005. Koesoema, Doni A, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Jakarta: Grasindo, 2010. Majid, Abdul, Pendidikan Karakter dalam Persepektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011. Marpaung, Meilani Putri, Proses Pembentukan Character Building, halttp://wordpress.com, diakses tanggal 22 April 2014. Mu’in, Fatchul, Pendidikan Karakter: Kontruksi Teoritik dan Praktik, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011. Muchlas Samani dan Hariyanto, ”Konsep dan Model” Pendidikan Karakter, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011. Muhaimin, dkk, Pengembangan Model
15
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
16
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM THE MAIN CHARACTER’S DEVOTION DEPICTED IN THE KITE RUNNER WRITTEN BY KHALED HOSSEINI Jumat Barus, S.S., MS e-mail:
[email protected] Abstrak Artikel ini merupakan hasil studi tentang kesetiaan yang terdapat dalam novel “The Kite Runner” karya Khaled Hosseini. Kesetiaan (devotion) adalah usaha untuk tidak melanggar atau mengkhianati janji bersama, perjuangan, dan anugerah serta mempertahankan rasa cinta dan menjaga janji bersama. Kesetiaan ini merupakan suatu pengorbanan yang berat, sikap dan tingkah laku yang berpegang teguh pada komitmen awal dan bertanggung jawab atas semua sikap dan tindakan yang dilakukan. Hal ini merupakan satu hal yang tampak sangat mencolok dalam novel tersebut, yang dilakukan oleh Hassan sebagai salah satu tokoh sentral novel ini. Novel ini menceritakan tentang persaudaraan, cinta, pengkhianatan, dan penderitaan, yang sangat menarik untuk dijadikan sebagai bahan renungan agar pembaca tidak melakukan kesalahan yang fatal dalam hidupnya. Ada dua masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini, yaitu: bentuk kesetiaan yang dilakukan Hassan terhadap Amir, dan kedua, efek dari kesetiaan tersebut bagi pelakunya sendiri. Penelitian deskriptif kualitatif ini menggunakan pendekatan psikologi karena membahas aspek psikologis tokoh sentral yang terkait dengan kesetiaannya. Oleh karena itu, selain teori sastra, peneliti juga menggunakan teori psikologi yang berkaitan dengan kesetiaan. Setelah melakukan analisis yang mendalam, peneliti menyimpulkan sebagai berikut: Pertama, Hassan memiliki sikap yang sangat baik yang mengorbankan jiwa dan raganya untuk membuat Amir bahagia. Demi kebahagiaan Amir, dia melakukan segalanya, bahkan mempertaruhkan nyawanya. Bentuk pengabdian atau loyalitas yang ditunjukkan oleh Hassan terhadap Amir dalam kehidupan sehari-hari adalah: menutupi kesalahan Amir, patuh melayani Amir, mengorbankan jiwa dan raganya demi kebahagiaan Amir, selalu jujur terhadap Amir, menyembunyikan penderitaannya, menghormati dan menghargai Amir setiap waktu dan kondisi. Kedua, pengabdian yang tidak terbatas yang dilakukan oleh Hassan menyebabkannya selalu mendapat perlakuan yang tidak baik dari Amir. Keywords: devotion, sacrifice, respect, mistreatment, suffered, courage, I. INTRODUCTION 1.1 Background of the Research Devotion is always there in people’s lives when they interact in their everyday lives. It is a high sacrifice for others. It is the attitude and behaviour which are sticking to the innitial commitment and be responsible for all the attitude and actions done. To do faithfully is not easy, as it requires struggle and sacrifice that is not easy to do. In doing the devotion, man often faces a very serious challenge that sometimes makes
17
him abandon his loyalty and switching to a betrayal of the commitment. This devotion is a moral to be learned by every human being as a social creature, so he could choose to always act faithfully and always avoid guilt in his attitude and action. It can be learnt in various ways, one of them is through a literary work. As it is known that literature is depiction of life and imaginative awareness which are given by men of letters in the form and structure of language. Incidence,
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM deeds and other things that are heard and seen by humans which in this regard are also called as experience of human life are well depicted into various forms of literary works through strong power of imaginative thought of their authors. The scope of literature covers all conditions of human life, namely human life with all of his feelings, mind, and insights (Tarigan, 2011: 3) . As explained above the literature covers the entire side of human life including loyalty, guilt, sadness, suffering, betrayal, struggle and so forth. In the novel The Kite Runner written by Khaled Hosseini, the researcher found many important lessons that can be used as a reference or mirror in the next life. The Kite Runner is a powerful story about brotherhood, love, betrayal, struggle and loyalty. Therefore, the researcher wanted to analyze the devotion described by one of the main characters in the novel. The devotion was described very well by the author so that it can be made as valuable reference to the readers to do faithfully and always stay away from any action that could harm either themselves or others. Faithfulness in this novel is consistently demonstrated by Hassan, a Hazara who is the son of a servant. 1.2 Problems of the Study Referring to the background of the research above, the researcher had formulated two research questions, they were: a. How is the main character ’s devotion depicted in The Kite Runner written by Khaled Hosseini? b. What is the effect of devotion done by the main character depicted in The Kite Runner written by Khaled Hosseini? 1.3
Purposes of the Study Based on the problems formulated above, the researcher had the following
purposes: a. To show and elaborate the main character’s devotion depicted in The Kite Runner written by Khaled Hosseini; and b. To elaborate the effect of devotion done by the main character depicted in The Kite Runner written by Khaled Hosseini. 1.4
Scope of the Study The novel “The Kite Runner” written by Khaled Hosseini provides a lot of moral lessons that can be used as a mirror for readers in his daily life such as: brotherhood, love, devotion or loyalty, betrayal, guilt and suffering, but in this study the researcher only focused on exploring and analyzing the devotion done by Hassan towards Amir and its effect specifically to Hassan. 1.5
Significance of the Study The research provided important information about the devotion showed by the main character to provide knowledge of moral lessons to the readers about the way to run good friendship in life. It was also expected to be a guide for readers to behave, socialize, and run their everyday life in order that they may perform favorable way of life. It was also expected to be a reference for the readers to establish and maintain their friendship and peers loyalty, so as not to make mistakes or guilt that can harm themselves, others, and the good relationship between them. II. THEORETICAL BACKGROUND 2.1 Concept of Devotion In this research, the researcher equalized the term loyalty and devotion, it means that the devotion meant here is loyalty. Liv (2013:5) explained that loyalty requires an individual to be willing to make some significant personal sacrifices to avoid causing harm to the group or
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
18
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM to prevent or relieve harm suffered by members of the group. While, Sundaraj (2014) explained that: Devotion is a deeprooted virtue within the subconscious of every individual around the globe. To understand the concept of devotion one must define its meaning by diving into the web that binds human existence. Human existence over the evolution of time is thanks to its ability to band together into a community in order to survive. The survival of a community depends on the collective contribution of every individual. A matter of speaking in order for a person to survive, one must align with a community to fulfill his or her basic necessities in life. In more detail, Abduh (2014) explained that devotion is sincerity, not to break a promise or betrayal, struggle and grace, as well as maintaining love and keeping appointments. Loyalty between husband and wife must include loyalty to even little things that exist in their lives. So that, both can live with overflowing love, affection, respect and sincerity in the heart, not to hurt each other. Devotion means struggle, grace, sacrifice, and patience. The way is to: give him/her attention; keep and not leave him/her alone; worrying of all things that might hurt him/her; keep his/her feelings, appreciate the struggle; thank him/her for what he/she is doing; no shortage of spit and keep secrets; trying to be happy and praise the excess; remember the goodness, and forget his/her mistakes; and after the split, recall memories and moments with him/her that is full of beauty. Loyal nature will not converge with suspicion, jealousy, condescending, tyrannize, deny, hurt, accuse and so on. If a spouse did wrong, then nothing is done by a loyal person but soon to forget, forgive, and not to fling it to others, while recalling the goodness and its benefits. Furthermore, Abduh also added that loyalty to the broader sense will not
19
be realized unless the ties that bind the two stand on a strong, a good, and a solid foundation and is supported by the principles and clear objectives. There are three main elements in the devotion, they are love, humanist, and faith. Love serves as a driver, humanist serves as a guard and medium for sustained, as well as faith which serves as a reinforcement, falsifies and developers. 2.2 Understanding of Novel “The Kite Runner” The Kite Runner is the first novel by Afghan-American author Khaled Hosseini, published firstly in 2003 by Riverhead Books, it tells the story of Amir, a young boy from the Wazir Akbar Khan district of Kabul, whose closest friend is Hassan, his father’s young Hazara servant. The story is set against a backdrop of tumultuous events, from the fall of Afghanistan’s monarchy through the Soviet military intervention, the exodus of refugees to Pakistan and the United States, and the rise of the Taliban regime. The unforgettable, heartbreaking story of the unlikely friendship between a wealthy boy and the son of his father’s servant, The Kite Runner is a beautifully crafted novel set in a country that is in the process of being destroyed. It is about the power of reading, the price of betrayal, and the possibility of redemption; and an exploration of the power of fathers over sons—their love, their sacrifices, their lies. A sweeping story of family, love, and friendship told against the devastating backdrop of the history of Afghanistan over the last thirty years, The Kite Runner is an unusual and powerful novel that has become a beloved, one-of-a-kind classic. Hosseini has commented that he considers “The Kite Runner” to be a father–son story, emphasizing the familial aspects of the narrative, an element that he continued to use in his later works.
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Themes of guilt and redemption feature are prominently in the novel, with a pivotal scene depicting an act of violence against Hassan that Amir fails to prevent. The latter half of the book centers on Amir’s attempts to atone for this transgression by rescuing Hassan’s son over two decades later. The Kite Runner became a bestseller after being printed in paperback and was popularized in book clubs. It was a number one New York Times bestseller for over two years, with over seven million copies sold in the United States, and has been translated into 42 languages all over the word including Indonesian. Reviews were generally positive, though parts of the plot drew significant controversy in Afghanistan. A number of adaptations were created following publication, including a 2007 film of the same name, several stage performances, and a graphic novel (Hosseini, 2014). III. METHOD OF RESEARCH 3.1 Research Design In conducting the research, the researcher used qualitative approach, whereby research findings were not presented through statistical procedures, and it was used because the research aimed more toward the effort of exploring the educational values contained in a literary work. Based on the place of conducting the research, it was a library research by using descriptive method, in which the research was conducted in the library by searching and exploring the data from books to collect relevant information on topic or the object of the research. A library research has both primary and secondary sources. The primary source is a source which is used by the researcher to find data directly, while the secondary is a data source which is used indirectly (Sugiono, 2007: 62). Widi (2010: 84) explained that desciptive method is a method of research that describes all data or the condition of
subject/object of the research, and they will be analyzed and compared based on the fact that is in progress at the moment and try to provide the solution. Regarding the above explanation, the researcher considered it as a descriptive qualitative research which was done in library. He conducted the research by finding some books which provided information about the theme concerned that was about devotion. The data found were collected, reduced, displayed, and concluded verbally. 3.2
Research Procedure a. Providing Data Widi (2010:162) said that in providing data, a researcher will find appropriate sources which provide significant information related to the values concerned. The appropriate source will be done a careful repeated reading, to sort the data needed. While reading, all data concerned should be sorted into small units to be easily analyzed. To obtain accurate data, the researcher repeatedly read the novel concerned and other books related to the topic concerned provided by some experts. After that, he reduced unappropriate data, displayed and analyzed it descriptively and concluded the data. b. Subject of the Research As noted in the previous section, the sources used in this research included primary and secondary sources. In this case, the researcher used the novel The Kite Runner (Gold Edition) written by Khaled Hosseini which was translated into Indonesian by Berliani M. Nugrahani and published by Qanita, PT. Mizan Pustaka in 2010 as the primary source or the subject of the research. While, the secondary sources were other related books and former researches which had close relation with the concept of devotion and guilt in the
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
20
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM novel as the theme of this research. 3.3 Technique of Analysing Data Analysis includes data presentation and discussion conducted qualitatively and conceptually. In analyzing the data, the researcher adopted Miles and Huberman’s theory which was cited by Sugiono, that qualitative analysis has three stages, namely data reduction, data display, and drawing conclusion/ verification (Sugiono, 2007:92). a. Data Reduction This stage is the process for selecting the data and reducing the unappropriate data in order to gain the accurate data. The researcher made careful repeated reading on the novel concerned, especially story about the educational value reflected in it. After that he sorted the obtained data in order to find the real data needed that were about the devotion done by one of the main characters of the novel. b. Data Display This stage was the stage of displaying data and providing deeply the analysis on the data obtained. The researcher presented the data taken from the novel and then analyzed it qualitatively. In this action of displaying data, he also supported his analysis with appropriated reason and it was described in detail description. c. Drawing Conclusion/Verification This stage was the last stage of analysing data, that was drawing conclusions or verification. This conclusion stage became the answers to the research questions given in the previous chapter. The researcher, in this stage, concluded the main characters’ devotion depicted in the novel concerned and he also provided lesson that could be taken from story that had been analyzed in the displaying stage. IV. DISCUSSION After reading the novel The Kite Runner repeatedly, the researcher obtained
21
data quite a lot about the devotion shown by Hassan towards Amir. Hassan, the son of Ali who was a servant of a rich man named Baba, who also had a son in the same age with Hassan, named Amir. In the story, the quite remarkable loyalty was shown by Hassan to Amir. From the data obtained, it was known that it applied Marx’s theory, that the relationship between the upper class and the lower class is a power relationship: the one ruling over the other. The power—which is essentially based on the ability of employers to exclude the workers opportunity to work and earn a living—is used to suppress the desire of workers to take control of their own work , to suck in order the workers working entirely for the sake of them. Therefore, essentially, the upper class is the oppressor class, and the lower class is the oppressed class (Yasa, 2012:55-56). 4.1 The Main Character’s Devotion 4.1.1 Covering up Amir’s mistakes Hassan had always shown his loyalty to Amir, because he considered him a son of his employer who must be respected and must also be faithful to him. It is known at some excerpts on some condition below: “ Ya , A y a h , ” H a s s a n a k a n menggumam, menunduk memandangi kakinya. Tapi dia tak pernah mengadukanku. Tak pernah sekali pun mengatakan bahwa cermin itu—seperti juga membidikkan biji kenari pada anjing tetangga—selalu berawal dari gagasanku. (Hosseini, 2010:16) Hassan was always become a shield or bamper for Amir for all the mistakes he did. In the above quotation Hassan would never sue Amir’s wrongdoing to his father, Baba. All bad idea and things happened were actually belonged to Amir, but all were recognized by Hassan as his own ideas and deeds. Hassan never reported to Amir’s father about the mistake
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM he had done before . Hassan did it to protect Amir from his father’s anger. 4.1.2 Serving Amir obediently Hassan also used to try to forget the bad things done by Amir against him, and used to try to think the acts as if it never happened, as found below: Keesokan paginya, saat menyiapkan sarapanku, Hassan menanyakan adakah hal yang membuatku terganggu. Aku membentaknya, mengatakan padanya bahwa ini bukanlah urusannya. (Hosseini, 2010:41) In this quotation, it is clear that the mistakes done by Amir previously was considered as if it was never happened by Hassan. He behave normally and even trying to make Amir did not feel guilty in a way admonished him as he did every day. Any time wherever they were, Hassan still be polite and kind and do anything that could make Amir felt better. Even, Hassan often did duty that should not be done by him, as contained in the following excerpt: Selama masa sekolah, hari-hari kami lalui dengan rutin. Saat aku berhasil menyeret tubuhku keluar dari tempat tidur dan terhuyunghuyung menuju kamar mandi, Hassan sudah berpakaian rapi, menunaikan shalat shubuh bersama Ali, dan menyiapkan sarapanku: teh hitam panas dengan tiga bongkah gula kubus dan sepotong naan panggang dengan olesan selai ceri masam kesukaanku, semuanya tertata rapi di meja makan. Saat aku makan dan mengeluhkan PR-ku, Hassan merapikan tempat tidurku, menyemir sepatuku, menyetrika baju yang akan kukenakan hari itu, mengemasi buku dan pensilku. (Hosseini, 2010:45-46) From the quotation above, it can be explained that Hassan did not only perform household tasks such as cleaning the house, preparing meals, making beds, and ironing Amir’s clothes, but he also packed books and pencils that would be brought by Amir to his school. Most of the task he did should not be Hassan’s mandatory,
but he always gladly and willingly did all of that for Amir. In conducting the merits towards his employer’s son, Hassan frequently experienced Amir’s anger and ridicule, but he still tried not to show his emotions, on the contrary he was always smiling to Amir. Things like this can be seen in the following quotation: “Tetap saja, aku tidak tahu.” Kalaupun dia bisa merasakan ejekanku, wajahnya yang selalu tersenyum tidak menunjukkannya. (Hosseini, 2010:48) Hassan, who had never attended school and could not read, frequently asked Amir to read him story. However, due to the inability of Hassan in reading, it was exploited by Amir to ridicule him, and sometimes deceived him by telling something that did not exist in the story which was being read. Although Hassan was illiterate person, he sometimes knew that Amir teased him by telling him untruth story. But, that did not lead Hassan hate his friend as well as the son of his employer, even he was always smiling. 4.1.3 Sacrificing his soul and body for the sake of Amir’s happiness In showing of his respect and affection against Amir, Hassan did not only protect him mentally but also physically as well. Hassan tried his best to do what was best for Amir, he did not want him hurt by someone else and he was also ready to become a victim in protecting Amir, as the story below: Seketika aku merasakan gerakan cepat di belakangku, dari sudut mataku aku melihat Hassan membungkuk dan berdiri dengan sigap. Tatapan Assef melayang pada sesuatu di belakangku dan matanya pun melebar karena terkejut. Ekspresi kekagetan yang sama kulihat pada wajah Kamal dan Wali saat mereka melihat yang terjadi di belakangku. Aku berbalik dan berhadapan
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
22
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM langsung dengan ketapel Hassan. Hassan telah menarik tali elastisnya yang lebar jauh kebelakang. Di tengahnya, batu sebesar biji kenari siap dibidikkan. Hassan mengarahkan ketapelnya tepat ke wajah Assef. Tangannya gemetar menahan tegangan tali elastis dan butiran-butiran keringat bermunculan di keningnya. (Hosseini, 2010:64) The above occured when Assef and his friends, known as the most feared thug in Kabul at the time, felt out with Amir because his father received the Hazara tribe to live and play with them. Assef and his friends considered it as an insult to the Pashtuns, a high rate in Afghanistan. Therefore, Assef along with his friends was angry and wanted to seriously gang and hurt Amir. Before that happened, Hassan swiftly and boldly tried to protect Amir, and threatened Assef with his slingshot. As a result of Hassan’s courage, Amir survived, Assef his friend went away. Hassan was aware of the effects and risks that would be received by him for having the courage to do it against Assef and his friends. He took a very big risk for the safety of his soul to help his friend, Amir. Hassan did not care eventhough he would meet a difficult condition after that, the most important thing for him was the salvation of Amir. On the other part, Hassan used to try as much as possible to make Amir happy in any condition, and by with what he could do. Hassan wanted to make Amir happy and to earn him praise from his father, Baba. He wanted to make Baba proud of his son, Amir, he wanted to realize that Amir could be the expected son as his father did, as the winner in the kite competition. Baba wanted his son to be the winner in the competition and be a child who could live independently and bravely. To achieve that all, Hassan was doing whatever he could, and one of his efforts to achieve that goal was as set out in the following quotation:
23
Tapi saat itu Baba melakukan sesuatu, menggerakkan tangannya seolaholah hal darurat terjadi. Lalu aku mengerti. “Hassan, kita—” “Aku tahu,” katanya, melepaskan diri dari pelukanku. “Insya Allah, kita nanti akan merayakannya. Sekarang aku akan membawa layang-layang biru itu padamu.” Dia menjatuhkan gulungan benang dan segera berlari, bagian belakang chapan hijaunya terseret di salju. “Hassan!” panggilku. “Kembalilah dengan layang-layang itu!” (Hosseini, 2010:97) In Afghanistan at that time, kite competition was the prestigious one, and the winning participant would receive tremendous praise. During the previous competition, Amir had never won the game and he wanted to win on the competition times. It was a very understandable by Hassan, and he wanted to make it happen for the sake of Amir. In the above quote, Amir with the tremendous help of Hassan was able to win the kite championship at the time. At that time, Kite which was waving in the air was theirs, but it was not sufficient without being able to hold the last defeated kite. To that end, Hassan was also not standing still, he promised to pursue the kite and would bring it back to for Amir. Hassan ran to compete with other children as might as he can, and after running far and long distance enough, eventually he managed to get the defeated kite. When he wanted to bring the kite and gave it to Amir, he was intercepted by Assef and his friend, the bully. They wanted to seize the kite back and take revenge against him because they had been dared to threaten them when he protected Amir. They forced him to give the kite, but Hassan with any vengeance and way he protected the kite so as not to be taken by force by Assef and his friends. Bahkan dari tempatku berdiri, aku bisa melihat rasa takut merayapi
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM mata Hassan, namun dia menggelengkan kepalanya. “Amir agha memenangi turnamen dan aku mengejar layang-layang ini untuknya. Aku mendapatkannya dengan adil. Ini layang-layang milik Amir agha.” “Hazara yang setia. Seperti anjing,” kata Assef. Tawa Kamal terdengar melengking, dia gugup. “Tapi sebelum kamu mengorbankan diri untuk majikanmu, pikirkan ini: Mungkinkah dia melakukan hal yang sama untukmu? (Hosseini, 2010:104) Assef and his friends forced Hassan to give the kite to him, and said that Amir will not do the same for Hassan. But, Hassan did not care about whether Amir willing to sacrifice to do the same action him or not, and the most important thing for him was he had to fight and give the kite to Amir. He did not care eventhough he would not be treated well by Assef and his friends, and he again threatened them with stones that they let him go and immediately gave the kite to Amir. Knowing Hassan’s courage, Assef changed his mind and let Hassan get the kite, and he did anything else to him. Assef and his friends immediately ganged up on Hassan, and Assef performed immoral acts against Hassan. He before his friends sodomized Hassan. Hassan tried his best to resist, but he could not do much against them, finally he resigned to save the kite for his friend, Amir. This can be seen in the following story: Hassan menjawabnya dengan mengacungkan tangannya yang menggenggam batu. “Terserahlah.” Assef membuka kancing mantel musim dinginnya, melepasnya, melipatnya dengan perlahan dan tenang, meletakkannya di dekat tembok. Aku membuka mulutku, nyaris mengatakan sesuatu. Nyaris. Sisa hidupku akan kujalani dengan berbeda jika aku melakukannya. Aku hanya menonton. Terpaku....................”Aku berubah pikiran,” kata Assef. “Aku akan membiarkanmu
mendapatkan layang-layang itu, Hazara. Aku membiarkanmu memilikinya, agar kamu selalu mengingat yang akan kulakukan sekarang.” (Hosseini, 2010:105) In the quotation above, it is understood that Hassan, besides bend over power to save himself, he also attempted to rescue the kite which was in his hand. His attempt to save himself was not as big as his efforts to save the kite, because he had promised to present it to Amir. As a friend, he kept his commitment very much, and more altruistic than his safety. Actually, he could have left the kite and saved himself, but he did not commit it, because of his desire to please Amir in the presence of Baba was extraordinary. He wanted to make Amir happy to be praised by his father, Baba. After doing the immoral deeds, Assef let Hassan go and bring the kite. He was released by swarms of thugs as it was night time and hence Hassan had not done his maghrib prayer. For the kite, he had not to perform the prayer that he never previously left off. Hassan always obeyed his God’s commands, performed the five daily prayers even while playing. S a a t a k u m e n c a p a i p a s a r, matahari hampir terbenam di balik bukit dan langit senja berwarna merah muda dan lembayung. Beberapa blok kemudian, dari Masjid Haji Taghoub, seorang mullah melantunkan azan, memanggil mereka yang beriman untuk membentangkan sajadah dan bersujud kearah kiblat. Hassan tak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Bahkan saat kami tengah bermain, dia akan meninggalkanku, mengambil air wudhu dari sumur di halaman, menyucikan diri, dan menghilang ke dalam pondoknya. Dia akan keluar beberapa menit kemudian, menyunggingkan senyum, mendapatiku duduk bersandar pada tembok atau duduk di atas pohon. Malam ini dia akan meninggalkan shalatnya, gara-gara aku.
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
24
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM (Hosseini, 2010:99-100) The quotation above is the story H a s s a n t o o k t h e k i t e a n d where the result of the guilt of Amir against immediately met Amir and gave it. Amir, Hassan was already very worrying, and he received the kite very happily and he did did not understand how to cope with the not care about things he had seen which guilt. Because of that, he decided to expel happened to Hassan. He only noticed Hassan and his father from their home by the kite carefully, in case there were accusing them of stealing money and his damaged or dirty. Hassan tried his best watch, the deed that actually had been not to show his pain before Amir after he done by Amir himself. He did it and told got humiliating mistreatment from Assef lie to Baba, so that he drove Hassan and and his friends, and the most important Ali. Amir thought when they did not live thing for him was to see Amir happy. Dia in the house, Amir would be able to live membawa layang-layang biru itu; itulah freely without the feeling of guilt that he yang pertama kali kuperhatikan. Dan experienced during the time. sekarang aku tak bisa menutupi kenyataan Baba asked Hassan, whether bahwa saat itu mataku menelusuri layang- he had stolen Amir’s money and watch. layang itu, mencari-cari adanya cacat di Actually, Baba knew that Hassan and sana. Chapan yang dikenakan Hassan Ali were very honest and would not do bernoda lumpur di bagian depannya dan stealing, and Hassan also knew that Baba kemejanya sobek tepat di bagian bawah would believe anything he and his father kerahnya. Dia berhenti menyeimbangkan said. When Baba asked him, Hassan also kakinya, seolah dia tak mampu menahan knew the risks he would face, and when he tubuhnya. Lalu dia menegakkan tubuh. admitted it they would be evicted from the Menyerahkan layang-layang itu padaku. house, and if he did not admit it then Amir (Hosseini, 2010:111) would receive Baba’s anger. Of the two After submitting the kite to Amir, options, Hassan was forced to admit the Hassan with incredible hold not to say acts that he had never done, he admitted anything about the treatment he had stealing Amir’s property. As a result of the experienced. At that time, Hassan felt the confession, Hassan and Ali, his father, profound pain and sadness, he suffered were expelled from the small house they physically and spiritually. Physically, he was had occupied since long before Hassan sexually abused by Assef and his friends, was born. while mentally, he knew that Amir had seen Things done by Hassan at that time the incident but he did not want to help him, was only to protect Amir from his father’s to save him. In that case, what had been anger. Hassan and Ali loved him very much said by Assef was true that Amir would not and they understood their position in the want to do the same sacrifice for Hassan house and did not want to see Amir suffered as he did it to Amir. from his own actions. On other occasion, Hassan also did something astonishing. He admitted 4.1.4 Always be Honest towards Amir what he had never done. He admitted As a friend as well as a servant to stealing Amir’s property, as contained in the Amir, Hassan was a very honest person. following excerpt: Baba tidak membuang He always said the right thing to Amir, and waktu untuk bertanya, “benarkah kau to prove it, he said that it was better for him mencuri uang itu? Benarkah kau mencuri to consume soil than lied to him, as found arloji Amir, Hassan?” in the story below: Hassan menjawabnya dengan satu kata, dengan suara serak dan begetar: SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER 25 “Ya.” (Hosseini, 2010:146)
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Dia menatapku. Butir-butir keringat mengalir dari kepalanya yang botak. “Mungkinkah aku berbohong padamu Amir Agha?” Saat itu juga aku memutuskan untuk sedikit bercanda dengannya. “Aku tak tahu. Mungkinkah?” “Lebih baik aku makan tanah,” katanya, terlihat tersinggung. “Yang benar saja? Kau mau melakukannya?” (Hosseini, 2010:80) In the piece of the story above, the researcher saw that Hassan actually would never lie to Amir, and the honesty he showed to Amir by saying that he was better consuming land than lied to, and he really meant it. As a friend, Hassan would not deny his friend and employer. To demonstrate the seriousness that he would not lie to Amir, he repeated the words several times, and it was repeated back to him in the following sections: “Kalau kau menyuruhku, aku akan melakukannya,” akhirnya dia berkata, tatapannya tertuju tepat padaku. Aku mengalihkan tatapanku. Hingga hari ini, aku merasa kesulitan menatap langsung orang-orang seperti Hassan, orang-orang yang benar-benar serius terhadap katakata yang mereka ucapkan. (Hosseini, 2010:81) Hassan’s honesty was evident from his words and the way he looked at the Amir. As a servant’s child, Hassan was keeping his honesty and always wanted to convince his employer that he would never lie to his employer. Hassan’s sharp eyes also hinted that he was really serious about what he was said, and it made Amir was not able to make eye contact with Hassan. 4.1.5 Hiding his suffering Although the blood was dripping from between his legs, he tried to hold back the pain and he did not cry in front of Amir. Nothing was said to Amir but to suggest him home as he was convinced that his father, Baba must be worry about them for not coming home.
Dia berusaha mengatakan sesuatu dan suaranya pecah. Dia menutup mulutnya, membukanya, dan menutupnya lagi. Hassan mundur selangkah. Menyeka wajahnya. Dan itulah hal terdekat yang kami lakukan dalam usaha kami membahas kejadian di gang itu. Kupikir tangisnya akan segera pecah, namun aku lega karena ternyata dia tidak menangis, dan aku berpura-pura tidak mendengar suaranya yang pecah. Aku juga berpura-pura tidak melihat noda gelap di bagian pantat celananya. Atau cairan yang menetes dari sela-sela kakinya, menodai salju dengan warna hitam. “Agha sahib akan cemas,” hanya itulah yang dikatakannya. Dia meninggalkanku dengan terpincangpincang. (Hosseini, 2010:112) After the incident, Hassan still would not tell Amir about his bad experiences. He tried to cover up his feelings in front of Amir and people around him. He did not want to lessen Amir’s happiness because of his suffering. He was asked several times by Amir, he kept it a secret as contained in the following quote: Setelah turnamen adu layanglayang itu, dia pulang dengan sedikit luka-luka dan kemejanya pun sobek. Aku menanyakan padanya, apa yang terjadi, dan dia bilang, tidak ada yang terjadi, dia hanya terlibat dalam pertikaian kecil dengan beberapa anak untuk memperebutkan layang-layang itu. (Hosseini, 2010:115) After the incident, Hassan remained nice and performed the tasks as he did, and tried to shake Amir’s feeling of guilt that he had never revealed it to anyone else. He did not want Amir feeling guilty and Hassan tried to eliminate the bitter things they had ever experienced from the memory of Amir by inviting Amir to play as usual. “Aku berharap kau mau pergi denganku,” katanya. Dia terdiam. Sesuatu terantuk ke pintu, mungkin keningnya. “Aku tidak tahu apa yang telah kulakukan,
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
26
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Amir agha. Kuharap kau mengatakannya padaku. Aku tidak tahu kenapa kau tidak mau lagi bermain denganku.” “Kau tidak melakukan apa-apa, Hassan. Pergi sajalah.” “Kau bisa memberitahuku. Aku tidak akan melakukannya lagi.” ......kuharap dia membalasku saat itu juga, mendobrak pintu kamarku dan memakimaki diriku—itu akan membuat segalanya lebih mudah, lebih baik. Tapi dia tidak melakukannya..... (Hosseini, 2010:124125) In these quotations, it can be understood that Hassan had started trying to forget what had happened to him in order to please Amir. Even though he suffered both physically and mentally, he was still trying to hide the true condition. He even considered it never happened, and always tried to communicate as usual with Amir. As usual, he sometimes ignored by Amir, but Hassan still greeted and invited him to play together, but unfortunately, at the time Amir did not want to play with him. In other part of the story, when they were going to play, Hassan was again doing extraordinary things to Amir. Kami memetik selusin buah delima dari pohonnya. Aku mebuka lipatan kertas berisi cerita yang kubawa, memandangi halaman pertamanya, lalu meletakkannya. Aku berdiri dan memungut buah delima masak yang jatuh ke tanah. “Apa yang akan kau lakukan kalau aku melemparmu dengan ini?” kataku seraya mempermainkan buah delima itu. Hassan tersenyum lemah. Dia terlihat lebih tua dari yang kuingat...... “Apa yang akan kaulakukan?” ulangku. .......Aku melemparkan buah delima itu pada Hassan. Tepat mengenai dadanya, pecah dan menyebarkan butiran-butiran biji semerah darah. Keterkejutan dan kesakitan menyatu dalam teriakan Hassan. “Balas aku!” bentakku. Tatapan Hassan beralih dari noda di dadanya kepadaku. “Ayo bangun! Lempari aku! Jeritku. Hassan memang berdiri, namun dia hanya
27
terdiam.... (Hosseini, 2010:129) In these quotations, Hassan saw that he really felt for Amir, though he got bad treatment in which he was thrown right on his chest by Amir with pomegranate, he did not reply though. Hassan was very surprised and morbidity due to hit the throw. At that time he could only fight back what Amir had done to him, but he did not do that, he was just silent and endure the pain. In this case, Hassan had a very unusual attitude both in respecting and loving Amir. In life of our environment, we can see that whenever things like the above occurs, for example a child who is very dear to her parents, and she suddenly threw her father hardly, his father will certainly be very angry, and may hit his son back for doing it to him. But, what was shown by Hassan against Amir was very much different, the form of extraordinary compassion. Hassan, although often treated no better from Amir, still gave pity for Amir, he always noticed him with extraordinary attention, and he secretly had been preparing a birthday present for him. “Kata Hassan, buku milikmu sudah usang dan rusak, dan beberapa halamannya telah hilang,” ujar Ali. “Semua gambar dalam buku ini digambar tangan dengan menggunakan pena dan tinta,” tambahnya dengan bangga, menatap lekat-lekat buku yang tidak bisa dibaca baik olehnya ataupun anaknya. (Hosseini, 2010:144) The piece of story was the story of Amir’s birthday, in which Ali, Hassan’s father gave him a book as birthday gift which he had prepared with Hassan since long. Hassan had told his father that Amir liked to read books very much, and the books he often read were broken and some pages had been lost. Therefore, Hassan with his father had prepared their gifts in the form of a book that the contents and the images of the book had been drawn and written by Hassan directly. From this piece
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM of the story, it is known that Hassan loved Amir, bodily and wholeheartedly. He was willing to sacrifice his own on writing that he could not read even, he draw what he did not do in a short time. All was done with his own hands without the help of advanced tools. All was done, and through his father he gave it to Amir on his birthday. 4.1.6 Respecting and Appreciating Amir In other part of the story, Hassan showed that he really missed and loved Amir, as contained in the following excerpt: Saat kami menikmati teh setelah menyantap shorwa, Hassan menanyakanmu. Aku memberitahunya bahwa kau tinggal di Amerika, tapi hanya itu yang kutahu. Hassan menanyakan begi banyak hal tentangmu. Sudahkah kau menikah? Apa kau punya anak? Setinggi apa dirimu. Apa kau masih suka menerbangkan layang-layang dan pergi ke bioskop? Apa kau bahagia? Dia bercerita bahwa dia berteman dengan seorang guru tua yang mengajar bahasa Farsi di Bamiyan, yang mengajarinya membaca dan menulis. Kalau dia menulis surat untukmu, maukah aku menyampaikannya padamu? Dan apakah menurutku kau akan membalasnya? Aku menceritakan segalanya yang kutahu tentangmu yang kudapat dari pembicaraan teleponku dengan ayahmu.....Hassan membenamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya dan tangisnya pun pecah. Sepanjang malam itu, dia terisak-isak seperti seorang anak kecil. (Hosseini, 2010:280) The story in the citation occurred long time after Hassan and Ali evicted from his home, where Amir and Baba had moved to America because of the conflict happened in Afghanistan. At that time, Amir already had a wife and Baba had died for suffered severe pain. The above story occurred when Amir, from America, visited Rahim Khan, a close relative of Baba, who was being ill. Rahim Khan told about
Hassan to Amir. Hassan, in his meeting with Rahim Khan at that time, asked many things about Amir. With a very deep feeling, he asked Amir and showed that he missed him very much. He asked whether Amir married, whether he already had a son, how high Amir was, did he still like to fly kites and go to the cinema, was Amir happy or not, and Hassan wrote a letter, whether Amir would reply it or not? All those indicated that Hassan loved or felt of Amir very much, and he did not mention the events he had ever experienced before. Hassan, though he had ever been accused by his own friend to conduct something which he never did, still respected Baba and Amir as his former employer. It can be seen in the following quotation: .....Kami menuju Kabul. Aku masih ingat, saat kami berlalu, Hassan menyempatkan diri untuk menengok rumahnya untuk yang terakhir kalinya. Saat kami tiba di Kabul, aku baru tahu bahwa Hassan sama sekali tidak berkeinginan untuk tinggal di dalam rumah. “Tapi semua kamar itu kosong, Hassan jan. Tak ada seorang pun yang akan menghuninya,” bujukku. Tapi dia bersikeras. Katanya ini adalah masalah ihtiram, masalah kehormatan. Dia dan Farzana memindahkan barang-barang mereka di pondok halaman belakang, tempatnya dilahirkan. Aku memohon kepada mereka untuk menempati salah satu kamar tamu di lantai atas, namun Hassan tak mau mendengar perkataanku. “ Apa yang akan dipikirkan Amir agha?” katanya padaku. “Apa yang akan dipikirkannya saat dia kembali ke Kabul setelah perang usai dan mendapatiku tinggal di dalam rumahnya?” Lalu, sebagai tanda berkabung atas meninggalnya ayahmu, Hassan mengenakan pakaian hitam selama 40 hari berturut-turut.
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
28
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM (Hosseini, 2010:281) The story was also a story told by Rahim Khan to Amir. When Amir and his father had long since moved to the United States, at the time, Rahim Khan had been lived in their former house. At one point on their way to Kabul, Hassan and his wife did not forget to take a look at the house where he had been born and grown up. He was persuaded by Rahim Khan to stay at the house and to occupy Amir’s former living room, but, he did not care and still did not want to occupy even a room in the house, eventhough no one lived in the house except Rahim Khan. Hassan and his wife, Farzana, preferred to occupy his former small room which was actually not habitable. He did not want to occupy a bed of his former employer, since he did not want to hurt his master. Besides, even though they had long separated one another, when Hassan got the information from Rahim Khan that Baba had died, he was very sad and wearing black clothes for 40 consecutive days as a sign of his condolence over Hassan’s sorrow. Hassan always hoped that Amir was always in good condition, he used to longed Amir, and was remembering the happy memories they had together. The longing had been written his letter to Amir, and few of the contents of the letter are as follows: Farzana jan, Sohrab, dan aku selalu berdoa supaya saat surat ini tiba di tanganmu, kau sehat dan berada di bawah naungan cahaya suci Allah. Tolong sampaikan ucapan terima kasihku yang terhangat untuk Rahim Khan sahib karena telah membawa surat ini kepadamu. Aku berharap semoga suatu hari nanti tanganku akan memegang balasan yang kau berikan untuk surat ini dan membaca tentang kehidupanmu di Amerika. Mungkin selembar foto dirimu akan menyejukkan mata kami. Aku telah begitu banyak bercerita tentangmu pada Farzana jan dan
29
Sohrab, tentang kita berdua yang tumbuh bersama dan kesukaan kita bermain dan berlarian di jalanan. Mereka selalu tertawa saat aku bercerita tentang kenakalankenakalan kita! (Hosseini, 2010:291) In the letter, Hassan implied that he really missed Amir, always prayed for him wishing he always in good condition. There was not the slightest hatred came for Amir, even to his wife, Farzana, he had never told Amir’s ugliness. His very deep longing to Amir and towards their childhood memories showed that his loyalty would never been end. From the evens and story above, it can be concluded that Hassan made devotion towards Amir because he realized his position as a person who was at unfortunate position. Apart from being a maid child, he was also from Hazara tribe which was the poorest tribe in Kabul. Hazara people who were the underdog in level, generally worked as the workers for those Pashtuns. Hassan had excellent characteristics, honest, trustworthy, hardworking, independent, able to control emotional well, and put the interests of his employer more than his own interests. With his good nature and his realization that he was a man who came from the lower class made him always did good things to evoke Amir. He thought that he obliged to provide full services to his employers whenever needed. The loyalty he had showed to Amir was to do not only any work that was commonly done by servants, but also other things that should not be his own job. 4.2 The Effect of Devotion Every attitude and actions will bring out its effect to the perpetrator and its environment. Doing unlimited devotion also had impact on the doer. Unlimited devotion done by Hassan towards Amir had made Amir feeling that he had to be respected and to be served well by his kid friend. Since Amir always got good service from
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Hassan, he felt to have the precedence in all things, and the result was Amir often performed bad deed to Hassan, mocked, hurt, slandered, and even expel him from his house.
umeister, Roy F., et.al. 1994. Guilt: An Interpersonal Approach in Psychological Bulletin 1994, Vol. 115, No. 2
V. CONCLUSIONS After analyzing the data, the researcher concluded that Hassan was an extremely loyal person towards Amir. He showed his loyality on any attitude and activity done everyday. He showed it by very good performances, such as: covering up Amir’s mistakes, serving Amir obediently, sacrificing his soul and body for the sake of Amir’s happiness, always be honest towards Amir, hiding his suffering, respecting and appreciating Amir in any time and condition. The devotion performed by Hassan as one of the main characters of the novel provided not only positive effect but also the negative one. Devotion was actually a good attitude, but unlimited devotion done by Hassan made Amir feeling that he had to be respected and to be served well. The unlimited devotion shown gave negative effects for Hassan himself, in which obeidience, honesty, and helping attitude he gave made him often got careless treatment from Amir, he always became the target of Amir’s anger, he had always been hurt and ridiculed and even he was accused of stealing Amir’s money and valuables properties.
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, M o d e l , Te o r i , d a n A p l i k a s i . Yogyakarta: CAPS.
BIBLIOGRAPHY
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Abduh, Hasan. Kesetiaan adalah Perjuangan dan Anugerah, http://www.jasadesainwebsite. net/renungan/kesetiaan-adalahperjuangan-dan-anugerah.php Amin, Safwan. 2005. Pengantar Psikologi Pendidikan. Banda Aceh: Yayasan PeNa.
Hosseini, Khaled. 2010. The Kite Runner. (Gold Edition, Translated by Berliani M. Nugrahani). Bandung: Qanita, PT. Mizan Pustaka. Hosseini, Khaled. The Kite Runner: Synopsis, http://khaledhosseini. com/books/the-kite-runner/ synopsis/ Jeffferson, Ann and Robey, David. 1993. M o d e r n L i t e r a r y T h e o r y. A Comparative Introduction. London: B.T. Batsford Ltd. Liv, Nomos. 2013. Loyalty. Edited by Sanford Levinson, et.l. New York: New York University Press. Miller, Christian. 2010. Guilt and Helping. In Advances in Psychology Research. Alexandra Columbis (ed.). Volume 68. New York: Nova Science Publishers.
Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa. Singh, Kalu. 2001. Guilt: Ideas in Psychoanalysis. USA: Totem Book.
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
30
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Sinha, Manindranath. 1985. A Handbook of the Study of Literature. India: Prakash Book Depot. Sugiono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Sundaraj, Simon S. The Concept of Loyalty: A Misguided Ideal or a Dying Virtue, http://simonsundarajkeun. wordpress.com/2012/11/22/theconcept-of-loyalty-a-misguidedideal-or-a-dying-virtue/ Tarigan, Henry Guntur. 2011. Dasar-Dasar Psikosastra. Bandung: Angkasa. Tarigan, Henry Guntur. 2011. PrinsipPrinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Waugh, Patricia. 2006. Literary Theory and Criticism. New York: Oxford University Press. Widi, Restu Kartiko. 2010. Asas Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Graha Ilmu. Wiyatmi. 2009. Pengantar Kajian Sastra. Yo g y a k a r t a : P u s t a k a B o o k
31
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
32
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM ANALISIS YURIDIS TERHADAP 4 (EMPAT) ORANG SAKSI DALAM KASUS PERZINAAN MENURUT FIQH JINAYAT Oleh: Drs. Usammah, M. Hum Email;
[email protected] Abstract Islamic criminal law covering hudud, qishas and diyat and takzir, is is very of the comprehensive law of universal Islamic law, but is often used and questioned when running legal Islamic criminal law against the perpetrators of acts which have been forbidden in Islam. It is often mistakenly perceived terhapa execution under Islamic law, especially with regard to Jinayat. Not only Muslims as the owner of the implementation of Islamic law itself even though non-Muslims also questioned the implementation of the sentence in jinayat, which is then used as an excuse for human rights issues. For the case / act of adultery, then Islam has menyapkan formally a form of punishment that is 100x volumes (Koran) and stoning (Hadith). But the problems that emerged later in testimony by four (4) people in the act of adultery is incompetence and inequality in watching fornication by each such witness. It is becoming skeptical about the execution of the sentence for adultery. There are several views on the testimony of fornication which must 4 (four) witnesses whose testimony should be the same even the smallest things. Otherwise, the suspect or offender can not be punished. Moreover, Sharia legal experts to develop a system to prevent evidence of sexual offense punishable. This study used a qualitative method with descriptive nature. Sources of data and data collection used was the review of the books of fiqh jinayat especially the book of Abdul Qadir ‘Ouda and also books or other books as supporting and strengthening the analysis of this study. The results of this study show that the punishment for adultery is a very severe punishment and result in death, not arbitrary Islamic law establishes severe penalties so without experiencing humanitarian considerations mature enough so as to punish a person who commits adultery is declared not necessarily be implemented. A statement or testimony is intended strengthen the charges on the person in charge. Testimony in the case of adultery required four men who had witnessed the occurrence of fornication perfectly, not just simply a matter of confidence and witness a formal but qualifies that four witnesses who meet the criteria as a witness. Keyword: Perzinaan,, fiqh jinayat PENDAHULUAN A. Latarbelakang Masalah Kejahatan adalah perbuatanperbuatan tercela (al-qabih) (Abdurrahman al-Maliki dan Ahmad Ad-Da’ur, terjh. Syamsuddin Ramadlan, 1990 : 3). Suatu perbuatan termasuk dalam kategori tercela jika syariat telah menetapkan bahwa perbuatan tersebut adalah suatu kejahatan, jika syariat menyatakan tercela maka perbuatan tersebut pasti sebagai kejahatan tanpa harus memandang tingkat ketercelaannya, artinya tidak lagi dilihat besar atau kecil perbuatan yang dilakukan, akan tetapi syariat hanya menentukan
33
sanksi hukuman yang pantas untuk perbuatan terlarang atau tercela tersebut. Kejahatan bukanlah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya pada setiap orang dan tidak pula merupakan profesi yang diusahakan bahkan tidak merupakan penyakit dalam masyarakat. Kejahatan merupakan perbuatan yang melanggar aturan hukum baik itu hukum agama yang sudah jelas ditentukan dalam Alquran dan Hadis maupun yang telah disepakati dalam hukum negara. Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum (C.S.T Kansil, , 1989: 346), menerima hukum sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban,
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga negaranya. Oleh karena itu, hukum bekerja dengan cara memberikan petunjuk tentang tingkah laku dan karena itu pula hukum berupa norma. Hukum yang berupa norma dikenal dengan norma hukum, yang mengikat masyarakat sebagai tempat bekerjanya hukum tersebut. Konsekuensi dari itu semua adalah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negaranya. Setiap tindakan warga negara diatur oleh hukum, bahkan hal yang sangat privat atau pribadi sekalipun, hukum memegang peran yang cukup besar dalam mengaturnya. Hukum yang terdapat dalam syariat Islam secara jelas dan tegas, cukup diambil begitu saja sesuai dengan ketentuan dankebutuhan yang terdapat dalam syariat Islam dan dilaksanakan apa adanya, karena memang sudah jelas dan tegas disebutkan Allah swt. dalam al-Quran. Hukum Islam yang masih belum tegas dan jelas disebutkan baik melalui dalil-dalil maupun melalui kaedah hukumnya, maka itu diperlukan adanya upaya ijtihad yang mesti dilakukan oleh para ulama mujtahid dalam menentukan dan memutuskan hukum. Merumuskan, menentukan dan memutuskan pelaksanaan hukum Islam diperlukan melalui pemahaman agama yang kuat dan benar, pemahaman tersebut dapat berwujud dalam bentuk fiqih sehingga pelaksanaan hukum Islam terhadap perbuatan dan kejahatan akan benar-benar terlaksana dengan baik. Terhadap perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan kejahatan dan pelanggaran hukum Islam telah mengaturnya sedemikian baik dalam hukum pidana Islam atau disebut juga dengan fiqh jinayat. Hukum pidana Islam atau fiqh jinayat membagi kejahatan dalam dua kategori, yaitu hak Allah dan hak manusia (individu). Apabila perbuatan seseorang melanggar hak Allah maka hukuman harus dilaksankan sesuai dengan aturan yang telah ditentukan dalam hukum Islam (syariat Islam) seperti terhadap kejahatan hudud, sebaliknya jika seseorang telah melanggar hak perorangan (individu) maka diberikan kebebasan pada korban atau keluarga dari korban untuk melaksanakan hukuman ataupun korban dan anggota keluarganya memaafkan si pelaku. Hukum pidana Islam yang sering disebut dengan fiqh jinayat, adalah ilmu
tentang hukum syara’ yang berhubungan perbuatan-perbuatan yang dilarang agama dan diancam dengan hukuman yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci atau tafshili. Dalam hal ini perbuatan yang dilarang agama merupakan perbuatan yang membentuk kepada kejahatan dan pelanggaran atau tidak dengan itu yaitu hanya dalam bentuk meninggalkan kewajiban (meninggalkan yang diperintahkan Allah), sehingga dengan itu dapat diterapkan hukuman had atau takzir. Untuk terpenuhinya perbuatan kejahatan atau pelanggaran dapat dikenakan hukuman hudud/had, maka mesti terpenuhi beberapa unsur, antara lain: a. Unsur formal; yaitu yang menentukan bahwa setiap perbuatan yang dikatakan sebagai kejahatan atau pelanggaran telah ada dalil yang menyebutkan untuk itu. b. Unsur materiel; yaitu perbuatan tersebut telah terbukti dengan meyakinkan sehingga membentuk pada perbuatan yang dapat dihukum dengan hukuman had atau takzir. c. Unsur moral; yaitu perbuatan tersebut dilakukan oleh orang yang dewasa (mukallaf) yang sempurna, sehingga kepadanya dapat dimintai pertanggungjwaban atas apa yang dilakukan (Djazuli, 1997: 3). Perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud adalah perbuatan-perbuatan yang telah disebutkan nashnya dalam AlQuran dan Hadis Nabi saw. Salah satu diantara sekian banyak perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud adalah pada perbuatan perzinaan. Para fuqaha membuat batasan-batasan yang berbeda-beda dalam memberikan pemahaman mengenai perbuatan zina. Mazhab Maliki sebagaimana dikutib oleh Abdul Qadir ‘Audah, menyebutkan bahwa perbuatan zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh orang mukallaf terhadap faraj manusia (wanita) yang dilakukan dengan sengaja dan wanita itu bukan
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
34
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM miliknya (Ahsin Sakho Muhammad dkk, 2007: 153). Ulama Hanafiyah mendefinisikan zina adalah perbuatan lelaki yang menyetubuhi perempuan di dalam qubul tanpa ada milik dan menyerupai milik. Ulama Syafi’iyah mendefinisikan zina adalah Apabila seorang laki-laki dari kalangan penduduk negeri Islam menyetubuhi seorang perempuan yang diharamkan keatasnya, yaitu tanpa aqad yang sah atau aqad yang syubhat, tanpa wujud milik yang sah atau milik yang syubhat dan laki-laki itu pula seorang yang berakal, baliq dan melakukan perbuatan itu dengan pilihannya, tahu tentang pengharamannya, maka wajiblah atasnya hukuman had, jika dia seorang muhsan maka wajiblah atasnya hukuman rajam (Mat Saad Abd. Rahman, 1993: 5). Perbuatan zina sebagaimana pendapat para ulama di atas, terdapat beberapa halyang penting terhadap perbuatan zina yaitu; tentang persetubuhan yang haram; dilakukan dengan sengaja; dengan kemauan sendiri dan orang yang melakukan adalah baliq atau dewasa yang sehat akalnya. Dengan perbuatan zina dapat merusaknya hubungan rumah tangga, menghilangkan harkat keluarga, memutuskan tali pernikahan/perkawinan yang membuat buruknya pendidikan yang diterima oleh anak-anak, hal ini tak kurang yang menyebabkan anak-anak memilih jalan-jalan yang menurutnya bisa menyenangkan hatinya, melakukan penyelewengan dan pelanggaran hukum lainnya. Dalam perzinaan terselib unsur menyia-nyiakan keturunan da terjadinya kepemilikan harta terhadap orang yang tidak berhak. Zina merupakan pembebanan yang justru menimpa diri pezina itu sendiri, dimana degan hamilnya wanita yang dizinainya itu maka pelakunya terpaksa harus mendidik/mengasuh anak yang secara hukum bukan anaknya. Perbuatan zina yang harus dijatuhi hukuman hudud hanya bisa dibuktikan oleh empat hal, yaitu ( Ahsin Sakho Muhammad dkk, 190): 1) Kesaksian 2) Pengakuan 3) Qarinah (indikasi), dan 4) Sumpah Li’an. Islam menetapkan hukum
35
berdasarkan dan setelah pertimbangan bahwa menghukum si pelaku zina dengan hukuman yang berat adalah lebih adil ketimbang membiarkan rusaknya moral masyarakat yang disebakan oleh merajarelanya perbuatan-perbuatan zina. Sungguh tak diragukan lagi bahwa bahaya dari perbuatan perzinaan tidak sebanding denganbahaya yang ditimbulkan dari masyarakat itu sendiri dengan merajalelanya perzinaan, kemungkaran dan palcuran. Hukuman yang dijatuhkan atas diri pezina memang mencelakakan dirinya tetapi melaksanakan hukuman itu mengandung arti memelihara jiwa, mempertahankan kehormatan, melindungi keutuhan keluarga yang justru merupakan unsur utama masyarakat. Bukankah baiknya suatu masyarakat sangat tergantung pada baik-buruknya suatu keluarga yang ada didalamnya. Dengan kata lain esistensi suatu masyarakat sangat tergantung terhadap kebaikan moral atau akhlak dari suatu masyarakat itu sendiri. Para Ulama telah sepakat bahwa tindak pidana zina tidak bisa dibuktikan kecuali dengan empat orang saksi. Karena apabila kurang dari empat orang saksi, kesaksiannya tidak bisa diterima. Hal tersebut sesuai dengan dasar hukum yang ada di al-Quran dan Hadis Rasulullah saw. Tidak semua saksi dapat diterima kesaksiannya. Saksi haruslah memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi baik syarat-syarat umum atau syarat-syarat khusus untuk tindak pidana zina yakni: 1) Syarat-syarat umum terdiri dari: Baliq (dewasa), Berakal, Kuat ingatan, Dapat berbicara, Dapat melihat, Adil, Islam, Tidak ada penghalang persaksian 2) Syarat-syarat Khusus untuk tindak pidana Zina terdiri dari : Laki-laki, Harus menyaksikan dengan mata kepala sendiri, Peristiwa Zina belum kadaluwarsa, Persaksian harus dalam satu majelis, Bilangan saksi harus empat orang, Persaksian harus meyakinkan, diterima, dan dianggap sah oleh hakim. Persoalan yang muncul kemudian dalam penyaksian oleh 4 (empat) orang pada perbuatan zina adalah ketidakmampuan dan ketidaksamaan dalam menyaksikan perbuatan zina oleh masing-masing saksi tersebut. Hal ini
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM menjadi ragu terhadap pelaksanaan hukuman bagi pelaku zina. Ada beberapa pandangan terhadap kesaksian perbuatan zina yang mesti 4 (empat) orang saksi mata yang kesaksiannya harus sama bahkan sampai hal yang sekecil-kecilnya. Jika tidak demikian, si tersangka atau pelaku tidak dapat dihukum. Dari itu, para pakar hukum Syariah mengembangkan sebuah sistem untuk mencegah pembuktian pelanggaran seksual yang dapat dihukum. Dalam kasus orang yang telah mengaku menarik kembali pengakuannya dan 4 saksi tidak dihadirkan, hukuman had dapat dibatalkan. Jika seorang pria (atau wanita) menarik kembali perbuatannya di hadapan para saksi yang telah bersaksi, hukuman had dapat dibatalkan. Hanya bila 4 saksi pria Muslim dapat menggambarkan tindak perzinaan atau pelanggaran itu secara terperinci, maka pihak-pihak yang bersalah dapat dihukum. Namun bahaya sebenarnya yang mengancam orang yang mendakwa/menuduh atau memfitnah adalah jika ia tidak dapat menghadirkan 4 saksi mata yang diwajibkan, ia sendiri akan mendapatkan 80 cambukan. Jika hanya satu saksi berkontradiksi dengan saksisaksi lainnya dalam kesaksiannya, maka keempat saksi itu semuanya menerima 80 cambukan. Oleh karena kesulitan-kesulitan ini, hampir-hampir mustahil untuk membuktikan perzinaan dengan cara menghadirkan 4 orang saksi. Semua saksi berada dalam bahaya akan dicambuk karena sebuah cacat dalam kesaksian mereka. Di samping itu mustahil mengobservasi tindakan seperti itu secara dekat dan menggambarkannya secara terperinci kepada para hakim yang cermat terhadap hal-hal yang kecil. Hukuman-hukuman untuk menuduh/fitnah yang tidak dapat dibuktikan sangat mengakar dalam hidup orang Muslim: Jika seorang ayah berkata kepada putranya: “Engkau bukan anakku” dan tidak dapat membuktikannya, maka ia akan menerima 80 cambukan. Jika seseorang mengklaim bahwa putra dari seorang pria tertentu bukanlah anak sah pria itu dan tidak dapat menemukan 4 saksi atas perkataannya itu, maka ia harus dicambuk. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latarbelakang masalah di atas dapatlah diuraikan
beberapa rumusan masalah dalam bentuk pertanyaan operasional, antara lain; a. Bagaimana prinsip hukum 4 (empat) orang saksi dalam kasus zina menurut hukum Islam b. Bagaimana kedudukan hukum terhadap keabsahan 4 (empat) orang saksi dalam perbuatan zina c. Mengapa hukum Islam menetapkan 4 (empat) orang saksi terhadap perbuatan zina. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berkenaan dengan tujuan dari penelitian ini anatara lain, yaitu a. Untuk mengetahu dan menjelaskan prinsip hukum 4 (empat) orang saksi dalam kasus zina menurut hukum Islam b. U n t u k m e n g e t a h u i d a n menjelaskan kedudukan hukum terhadap keabsahan 4 (empat) orang saksi dalam perbuatan zina c. Untuk mengetahui dan menjelaskna tentang hukum Islam menetapkan 4 (empat) orang saksi terhadap perbuatan zina Adapun berkenaan dengan manfaat penelitian, adalah: Secara teoritis; penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi pemikiran terhadap persoalan kejahatan dan pelanggaran yang berkaitan dengan perbuatan zina, bukan saja pemahaman perbuatan zina tersebut namun untuk pembuktian perbuatan zina dengan menghadirkan 4 (empat) orang saksi.. Di samping itu secara keilmuan bagi peneliti merupakan penguat dan pengembangan bidang keahlian dalam Fiqih Jinayat. Secara praktis; penelitian ini harus mampu memberikan perbaikan terhadap penyusunan Qanun tentang Jinayat dan juga Qanun Acara tentang Jinayat, yang kesemua itu merupakan wujud terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh, dengan harapan pemerintah mampu merumuskan, menetapkan dan memutuskan perkara jinayat sesuai dengan Hukum Islam, dan yang lebih penting lagi penelitian ini merupakan kerangka pemikiran untuk penelitian selanjutnya. D. Landasar Teoritis A. Pengertian Perzinaan
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
36
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Zina secara harfiah berarti fahisyah, yaitu perbuatan keji. Zina dalam pengertian istilah adalah hubungan kelamin antara seorang lelaki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam hubungan perkawinan (Abdurrahman Doi, 1991: 31). Zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh seorang lelaki dengan seorang perempuan tanpa nikah yang sah mengikut hukum syarak (bukan pasangan suami isteri) dan kedua-duanya orang yang mukallaf dan persetubuhan itu tidak termasuk dalam takrif (persetubuhan yang meragukan). Jika seorang lelaki melakukan persetubuhan dengan seorang perempuan dan lelaki itu menyangka bahawa perempuan yang disetubuhinya itu ialah isterinya, sedangkan perempuan itu bukan isterinya atau lelaki tadi menyangka bahawa perkawinannya dengan perempuan yang disetubuhinya itu sah mengikut hukum syarak, sedangkan sebenarnya perkawinan mereka itu tidak sah, maka dalam kasus ini kedua-dua orang itu tidak boleh didakwa dibawah ke zina dan tidak boleh dikenakan hukuman hudud, kerana persetubuhan mereka itu adalah termasuk dalam wati’ subhah yaitu persetubuhan yang meragukan. Kata perzinaan berasal dari kata dasar zina yang berarti; 1) Perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh tali perkawinan (pernikahan). 2) Perbuatan bersenggama antara seorang lakilaki yang terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya, atau seorang perempuan yang terikat perkawinan dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya. Sedangkan menurut Purwadarminta, zina merupakan perbuatan bersetubuh yang tidak sah, seperti besundal, bermukah dan bergendak. Istilah zina merupakan istilah serapan yang diambil dari bahasa Arab. Penyerapan istilah dari bahasa asing ini dimaksudkan bahwa kata zina terlalu banyak sinonimnya di dalam istilah bahasa Indonesia, bermukah dan bergendak. Secara umum pun, pemakaian kata zina untuk menunjuk pada suatu perbuatan bersetubuh di luar perkawinan yang sah banyak digunakan oleh masyarakat dalam pembicaraan sehari-hari. Ulama Malikiyah mendefinisikan zina dengan me-wathi-nya seorang laki-
37
laki mukallaf terhadap faraj wanita yang bukan miliknya dilakukan dengan sengaja dan ulama Syafi’iyah mendefinisikan bahwa zina adalah memasukkan zakar ke dalam faraj yang haram dengan tidak subhat dan secara naluri memuaskan hawa nafsu (A. Djazuli, 1997:35). Pebuatan zina merupakan perbuatan yang haram dan termasuk dalam dosa besar, dan sepakat para ahli bahwa zina termasuk dalam katergori jarimah dan karenanya juga diberikan hukuman had (Wahbah Zuhaili, , 1997 : 5345). Zina secara bahasa dan secara istilah mempunyai makna yang sama, dia adalah watha’ seorang laki kepada seorang perempuan pada qubul (faraj) (Wahbah Zuhaili, , 1997 : 5345). Zina adalah hubungan seksual antara seorang laki-laki dan perempuan yang tidak didasari oleh suatu pernikahan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Wiryono Prodjodikoro bahwa kesusilaan itu mengenai juga tentang adat kebiasaan yang baik, tetapi khusus yang sedikit banyak mengenai kelamin (sex) seorang manusia. Zina pada hakekatnya adalah melakukan hubungan badan di luar nikah. sayangnya dalam pasal 284 KUHP yang berlaku sekarang mengalami penyempitan makna menjadi zina hanya dilakukan oleh orang yang salah satunya terikat perkawinan dengan orang lain. B. Dasar Hukum dan Sanksi Hukum Perzinaan Al-Quran telah menerangkan bahwa perbuatan zina merupakan perbuatan yang termasuk dalam kategori fahisyah yaitu dosa besar, namun al-Quran hanya melarang manusia untuk tidak dekat dengan perbuatan zina atau perbuatan yang mengarah kepada zina (QS. Al-Isra; 32). Pelarang ini dimaksudkan supaya manusia dapat terhindar dari hukuman yang sangat berat, yaitu bagi orang yang telah melakukan perzinaan dihukum dengan dera 100 (seratus) kali cambuk sebagaimana Al-Quran menyebutkannya (QS. An-Nur; 2). Sementara bagi orang yang melakukan tuduhan terhadap perempuan atau orang lain dalam kaitannya dengan perbuatan zina, maka orang yang melakukan tuduhan mesti menghadirkan 4 orang saksi sebagai alat bukti atas kebenaran tindakan ucapannya (QS. AnNur; 4), namun jika tuduhan tersebut tidak
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM dapat menghadirkan 4 (empat) orang saksi sebagai alat bukti maka baginya si penuduh mewajibkan hukum sumpah atas nama Allah sampai 4 (empat) kali (QS. An-Nur; 6) yang dibaringi dengan kata-kata lakna Allah atas dirinya jika tuduhan tersebut tidak berdasarkan fakta dan bukti. Hadis juga banyak yang menyatakan bahwa hukuman terhadap perbuatan zina ini selain jilid (cambuk) juga dihukum dengan rajam, hal ini didasari pada status pelaku perbuatan zina. C. Pembuktian Perbuatan Perzinaan Tindak pidana zina yang harus dan dapat dijatuhkan hukuman hudud adalah hanya yang bisa dibuktikan oleh 4 (empat) hal; yaitu: (1) Kesaksian, (2) Pengakuan, (3) Qarianah (indikasi) dan (4) sumpah li’an, namun perlu diketahui bahwa pembukatian dengan menggunakan alat bukti berupa qarinah (indikasi) terjadi perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha. Di dalam kasus perzinaan, pembuktian perbuatan dengan menggunakan saksi merupakan hal yang pertama dituntut dalam memperjelas perilaku zina. Saksi adalah orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian) atau saksi adalah orang yang dimintai hadir pada suatu peristiwa yang dianggap mengetahui kejadian tersebut agar pada suatu ketika, apabila diperlukan, dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguhsungguh terjadi (http://www.google.com./ artikata.com/arti-348679-saksi). Dalam persaksian terhadap kasus zina, maka Al-Quran telah menyebutkan bahwa masti ada 4 (empat) orang saksi, dan para ulama telah sepakat bahwa zina adalah tidak bisa dibuktikan kecuali melalui 4 (empat) orang saksi, hal ini didasari pada firman Allah QS. An-Nisa’; 15 dan QS. An-Nur; 4, 13. Asy-Syafi’i rahimahullah, berkata bahwa kitab dan sunnah menunjukkan bahwa tidak boleh dalam zina itu kurang dari empat orang saksi, dan kitab serta sudah menjadi ijma bahwa tidak boleh menjadi saksi kecuali dalam keadaan adil, merdeka dan berakal untuk yang disaksikan atasnya (Al-Imam Asy-Syafi’i, terjh. Ismail Yakub, 1992: 127). Dasar dari suatu pembuktian suatu perbuatan atau perkara adalah kesaksian dan untuk memenuhi kesaksian mestilah diperlukan beberapa syarat
sehingga kesaksian dalam perbuatan tertentu dapat diterima sebagai perbuatan yang melanggar agama. Kesaksian hanya akan terwujud bila ada al-mu’ayanah atau hal-hal yang serupa dengan al-mu’ayanah, seperti mendengar, melihat dan hal-hal lain yang serupa (Abdurrahman al-Maliki dan Ahmad Ad-Da’ur, terjh. Syamsuddin Ramadlan, 322). E. Penelitian Terdahulu Berikut akan penulis paparkan beberapa tulisan dan karya ilmiah yang dapat mendukung terhadap penelitian ini, yaitu; a) Buku berjudul; Hukuman Cambuk sebagai Alternatif Pemidanaan dalam rangka Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Penulis: Madiasa Ablisar, merupakan Disertasi yang telah dipertahankan yangdibukukan. Tahun 2011. b) Buku berjudul; Problematika Hukuman Cambuk di Aceh, Penulis: Muslim Zainuddin dkk, Tahun 2011 c) B u k u b e r j u d u l ; K o n s e p Ancaman Pidana Takzir: Analisi Pelaksanaan Syariat Islam dan Upaya Legislasi Hukum Pidana Aceh, Penulis: Nasrullah Yahya, Tahun 2012 F. Metode Penelitian 1) Sifat dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini bersifat Deskriptif, Metode penelitian ini dipergunakan untuk menggambarkan berbagai gejala dan fakta yang terdapat dalam kehidupan sosial secara mendalam tertutama persolaan menghadirkan 4 (empat) orang saksi dalam kasus perbuatan zina dari Fiqh Jinayatnya. Pendekatan yang digunakan adalah pedekatan hukum, sejarah dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 93). Pendekatan tersebut digunakan untuk menelaah secara hukum yang berkaitan dengan kesaksian 4 (empat) orang dalam kasus perbuatan zina, sedangkan pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembangan dalam bidang hukum pidana Islam (fiqh Jinayat).
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
38
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM 2) Sumber Data Sumber data terdiri dari tiga macam, yaitu sumber data primer, sumber data sekunder dan juga sumber data tertier. Sumber data primer yang diperoleh dan didapat secara analisis dari berbagai bahan referensi yang mempunyai kaitan erat dengan judul di atas dalam bidang Jinayat, Sumber data sekunder berasal dari bahan-bahan dan buku-buku pendukung yang mempunyai keterkaitan dengan masalah yang diteliti, sedangkan sumber data tersir berupa bahan-bahan hukum yang berasal dari kamus, internet dan juga enksiklopedi. 3) Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka yang meliputi sumber primer dan juga sumber sekunder yang berkaitan langsung dengan judul dan relevan dengan permasalahan yang diteliti (Abdulkadir Muhammad. 2004 : 81). Sedang tersier, merupakan pengumpulan data melalui pencarian jawaban dari permasalah melalui bahawan-bahan yang berasal dari kamus Hukum dan Kamus Bahasa Indonesia serta ensiklopedi. Studi pustaka dilakukan melalui tahap-tahap identifikasi sumber data, identifikasi bahan hukum yang diperlukan dan inventarisasi bahan hukum (data) yang diperlukan tersebut. Data yang sudah terkumpul kemudian diolah melalui tahap pemeriksaan, penandaan, penyusunan, sistematisasi berdasarkan pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang diidentifikasi dari rumusan masalah. 4.
Analisis Data Melalui proses pencarian, proses penyusunan secara sistematis dari perolehan data baik primer, sekunder dan tersir, yang berupa dokumentasi dan bahan-bahan referensi hukum lainnya akan dilakukan pengorganisasian data dalam kategori memilih mana yang lebih penting dan mempunyai keterkaitan dengan masalah yang sedang dibahas/ diteliti, dipelajari dan membuat kesimpulan sehingga dapat dipahami baik untuk diri sendiri maupun untuk para pembaca. Data yang berupa hasil dari b e r b a g a i s u m b e r ( d a t a p r i m e r, sekunder dan tersir), hasil pengolahan tersebut dianalisis secara kualitatif,
39
komprehensif dan lengkap, kemudian dilakukan pembahasan. Berdasarkan hasil pembahasan kemudian diambil kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. PEMBAHASAN A. Prinsip Hukum 4 (Empat) Orang Saksi Dalam Kasus Zina Menurut Hukum Islam Hukum pembuktian (law of evidence) dalam berperkara merupakan bagian yang sangat kompleks dalam proses ligitasi. Keadaan kompleksitasnya makin rumit, karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa lalu (past event) sebagai suatu kebenaran (truth). Meskipun kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan baik pidana, perdata dan muamalah bukan kebenaran yang bersifat absolut (ultimate truth), tetapi bersifat kebenaran relatif atau bahkan cukup bersifat kemungkinan (probable), namun untuk mencari kebenaran yang demikianpun, tetap menghadapi kesulitan. Kesulitan menemukan dan mewujudkan kebenaran, terutama disebabkan beberapa faktor : 1. Faktor sistem adversarial; Sistem ini mengharuskan memberi hak yang sama kepada para pihak yang berperkara untuk saling mengajukan kebenaran masing – masing, serta mempunyai hak untuk saling membantah kebenaran yang diajukan pihak lawan sesuai dengan proses adversarial. 2. Kedudukan hakim dalam proses pembuktian, sesuai dengan sistem adversarial adalah lemah dan pasif. Tidak aktif mencari dan menemukan kebenaran di luar apa yang diajukan dan disampaikan para pihak dalam persidangan. Hakim perdata dalam menjalankan fungsi mencari kebenaran, dihalangi oleh berbagai tembok pembatasan. Misalnya, tidak bebas memilih sesuatu apabila hakim dihadapkan dengan alat bukti yang sempurna dan mengikat (akta otentik, pengakuan dan sumpah). Dalam hal itu, sekalipun
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM kebenarannya diragukan, hakim tidak mempunyai kebebasan untuk menilainya. 3. M e n c a r i d a n m e n e m u k a n kebenaran semakin lemah dan sulit, disebabkan fakta dan bukti yang diajukan para pihak tidak dianalisis dan dinilai oleh ahli (not analyzed and appraised by experts). Dalam hukum Islam pembuktian dengan alat bukti dan saksi dianggap telah memenuhi untuk menyatakan suatu dakwaan, namun ada yang lebih penting juga yang dianggap sebagai alat bukti yaitu sumpah. Sumpah didasari atas suatu pengakuan dari sesuatu dakwaan. Karena itu hadis menyebutkan bahwa “bukti itu wajib bagi yang mendakwa sedangkan sumpah itu wajib bagi orang yang mengingkarinya” sumpah juga berasal dari sesuatu yang meyakinkan dan pasti, tatkala orang mendakwa bersumpah untuk memperkuat dakwaannya. Pembuktian merupakan salah satu rangkaian dalam peradilan yang memegang peranan penting. Hal ini disebabkan pembuktian merupakan proses yang menentukan bersalah atau tidaknya seseorang. Apabila bukti yang disampaikan di pengadilan tidak mencukupi atau tidak sesuai dengan yang disyaratkan maka tersangka akan dibebaskan. Namun apabila bukti yang disampaikan mencukupi maka tersangka dapat dinyatakan bersalah. Karenanya proses pembuktian merupakan proses yang penting agar jangan sampai orang yang bersalah dibebaskan karena bukti yang tidak cukup. Atau bahkan orang yang tidak bersalah justru dinyatakan bersalah. Pembuktian dibebankan pada penguggat (affirmanti incoumbil probato), bahwa mendapatkan hukum yang sesuai petitum gugatannya, seorang penguggat harus mengemukakan bukti-bukti yang membenarkan dalil-dalil gugatannya. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan. Dengan pembuktian akan menentukan nasib seseorang yang didakwa dalam suatu perkara pidana. Jika hasil pembuktian melalui alat-alat bukti sebagai bentuk pernyataan kebenaran suatu perkara yang
ditentukan secara Undang-undang masih dianggap tidak/belum cukup maka nasih orang yang dituduh atau diduga mesti dibebaskan dari hukuman. Namun sebaliknya jika suatu kesalahan orang yang diduga atau didakwa telah melakukan tindak pidana berdasarkan hasil membuktikannya maka kepadanya mesti dapat dihukum sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya. Dalam hukum Islam, pembuktian itu dapat terjadi dalam perkara pidana dan juga dalam perkara perdata, sama halnya seperti hukum positif Indonesia, hanya saja bahwa hukum Islam didasari pada dalil-dalil alQuran dan Hadis serta ijtihad para ulama. Sejauh ini bukti yang paling penting adalah kesaksian dari saksi, begitu banyak istilah bukti (Bayyinah) kadang dipakai sebagai sinonim untuk para saksi. Dalam teori bukti lebih lemah dari pada kesaksian para saksi dan agar memperoleh pengakuan penuhnya sebagai alat yang paling meyakinkan dan tak terbantahkan untuk menciptakan kewajiban harus dibuktikan dengan kesaksian para saksi (Joseph Schacht, 2010 : 272). Dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan yang memiliki sifat adil diperlukan sebagai saksi dalam perkara hukum. Jumlah saksi yang banyak tidak menambah nilai kesaksian. Di luar perkara hukum (di luar Pengadilan), tuntutan terhadap saksi yang tidak sepenuhnya memenuhi syarat tidak begitu ketat, bahkan bukti dari dua orang perempuan hanya dinilai sah jika berkenaan dengan hal-hal yang mana perempuan tersebut memiliki pengetahuan khusus tentang apa yang dipersaksikan di depan hukum (Joseph Schacht, 2010 : 272). Oleh karena itu, bukti yang didapatkan dari jalan tertentu, atau jalan yang bisa mengantarkan kepada keyakinan, maka bukti semacam ini termasuk bukti yang meyakinkan. Sedangkan bukti yang tidak diperoleh dari jalan seperti itu, maka bersaksi dengan bukti tersebut tidak diperbolehkan. Karena bukti tersebut bukanlah bukti yang meyakinkan. Jika bukti tersebut berasal dari sesuatu yang meyakinkan, maka secara otomatis seorang saksi boleh memberikan kesaksiannya (dengan bukti-bukti tersebut). Informasi yang ia dengar itu telah membuat dirinya yakin, meskipun ia tidak menjelaskan
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
40
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM keyakinannya itu dengan kesaksiannya. Sebab, keyakinan yang ia miliki merupakan sesuatu yang telah lazim bagi dirinya, sehingga dirinya sah untuk memberikan kesaksian. Demikian pula halnya dengan sumpah. Sumpah juga harus berasal dari sesuatu yang meyakinkan dan pasti. Tatkala orang yang mendakwa bersumpah untuk memperkuat dakwaannya (pada kondisi tidak ada saksi), kecuali hanya seorang saksi dalam masalah harta (amwal), maupun pada kasus-kasus yang lain; atau ketika terdakwa bersumpah (karena bukti dakwaan dari orang yang mendakwa lemah), maka keduanya tidak boleh bersumpah kecuali berdasarkan keyakinan yang pasti. Jika mereka bersumpah berdasarkan keraguan (dzan), maka keduanya tidak sah melakukan sumpah. Allah swt mengancam dengan sangat keras atas sumpah palsu. Hadis Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Amru: Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda: “Ada lima hal yang tidak ada kafarah baginya, (yaitu) menyekutukan Allah, membunuh jiwa tanpa hak, menipu seorang mukmin, lari dari medan perang, sumpah yang digunakan untuk mengambil harta milik orang lain tanpa hak” Sama seperti kesaksian dan sumpah, seluruh bukti, baik itu berupa pengakuan, dokumen-dokumen perdagangan, dan bukti-bukti tertulis, harus (bersifat) pasti dan meyakinkan. Semua bukti tersebut tidak boleh meragukan (dzan). Bukti-bukti tersebut merupakan bukti (penjelas) untuk memperkuat dakwaan, sekaligus sebagai hujjah orang yang mendakwa atas dakwaannya. Sesuatu yang ingin dijadikan bukti dan hujjah tidak bisa dijadikan bukti dan hujjah, kecuali (bersifat) meyakinkan. Semua ini merupakan dalil bahwa keberadaan suatu kesaksian harus meyakinkan. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa ketetapan (hukum) yang dihasilkan harus (selalu) dibangun di atas sebuah keyakinan. Keputusan boleh dibangun di atas prasangka kuat (ghalabat ad-dzan).
pengadilan. Seandainya orang yang bersaksi menyampaikan kebenaran namun bukan di dalam suatu sidang pengadilan maka hal itu tidak diakui sebagai suatu kesaksian. Sebab sidang pengadilan merupakan syarat pokok suatu keabsahan kesaksian. Kesaksian diperutukan untuk memperkuat dakwaan atas orang yang di dakwa. Di samping itu ada kesaksian yang tidak harus dilakukan di depan sidang pengadilan dan kesaksian itu boleh dengan mendengar melalui orang lain, seperti kesaksian dalam pernikahan, kesaksian dalam nasab, kematian, dalam kasus-kasus mahar perkawinan, pembebasan, wali dan wakaf, dan lain-lainnya. Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang caracara yang dibenarkan hukum (Undangundang) membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan dalam hukum yang boleh dipergunakan oleh hakim dalam sidang perkara di pengadilan untuk membuktikan dakwaan terhadap terdakwa. Karenanya pengadilan (dalam hal ini hakim) tidak boleh sembarangan atau sesukanya (sewenang-wenang) membuktikan kesalahan terdakwa. Dalam hukum Islam perkara membuktikan suatu peristiwa pidana, maka dibutuhkan kepada empat macam alat bukti sebagai pertanda bahwa peristiwa pidana telah terjadi. Macam alat bukti tersebut antara lain adalah berupa pengakuan, sumpah, kesaksian (keterangan saksi) dan dokumen-domkumen tertulis yang sifatnya meyakinkan hakim dalam memutuskan perkara. Pengakuan dalam suatu perkara pidana telah ditetapkan sebagai alat bukti yang dapat membenarkan atau menyatakan tentang keadaan suatu perkara. Penetapan pengakuan sebagai alat bukti berdasarkan dalail yang tercantum dalam QS; alBaqarah, 84, yaitu;
B. Kedudukan dan keabsahan saksi dalam kasus perzinaan Suatu kesaksian yang diakui hanya kesaksian yang disampaikan dalam proses persidangan, karena syarat suatu kesaksian mesti terjadi dalam sidang
41
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM “Dan (ingatlah), ketika kami mengambil janji dari kamu (yaitu): kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, Kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya.” Kekuatan pengakuan sebagai dasar pengambilan keputusan untuk penetapan hukuman memang tidak diperselisihkan lagi kecuali dalam hal jumlahnya. Seorang hakim tidak boleh mencukupkan pengakuan hanya dari si terdakwa, pengakuan itu harus bisa dibuktikan untuk mengetahui apakah orang yang memberi pengakuan tersebut memahami bahwa dengan pengakuannya itu berarti ia menjadi orang yang mendakwa atau diri berhak dikenai sanksi jika pengakuannya itu keliru ataau berbohong. Ini menunjukkan bahwa seorang hakim harus melakukan investigasi sejauh mungkin terhadap orang yang memberikan pengakuannya pada perkara perzinaan. Seorang hakim tidak boleh mencukupkan pengakuan seseorang itu hanya dengan pengakuannya, namun pengakuan orang yang mengaku itu harus dapat meyakinkan. Menurut pendapat para ulama dari kalangan Hanafi bahwa pengakuan itu tidak kurang dari empat kali yang dinyatakan dalam majelis hakim yang berbeda. Dalam pada itu Imam Ahmad, Ishaq dan lainnya juga sependpat dengan pendapat imam Hanafi tentang jumlah pengakuan, namun tidak disyaratkan adanya empat majelis yang berbeda (Joseph Schacht, 2010 : 272). Te r h a d a p a l a t b u k t i s u m p a h , maka dimaksudkan dengan sumpah adalah sumpah atas apa yang telah dilakukakannya dimasa yang lalu, jadi bukan atas apa yang dilakukan pada masa yang akan datang. Sumpah yang tergolong dalam perkara pembuktian adalah sumpah atas apa yang telah dilakukannya. Yang harus diperhatikan adalah tatkala seorang hakim meminta sumpah dari peendakwa atau terdakwa, harus didasarkan pada niat orang yang meminta sumpah, yaitu atas niat hakim dan dalam itu tidak boleh adanya tauriyah. Hadis Rasulullah saw menyebutkan; “Sumpahmu adalah apa yang saudaramu membenarkannya tentang dirimu” juga dalam riwayat Muslim
Rasulullah menyebutkan; “sumpah itu wajib didasarkan pada niat orang yang meminta” (Al-Maliki dan Ahmad Ad-Da’ur, 315). Setiap sumpah mestiya tetap menunjukkan pada niat orang yang melakukan sumpah tersebut, walaupun di dalam sumpah tersebut boleh dilakukannya tauriyah dan hal-hal yang kontroversi, namun perilaku semacam ini hanya berlaku pada kasus dimana hakim atau orang yang berhutang tidak meminta sumpah kepada seseorang, akan tetapi jika terjadi sebaliknya maka tetap berlaku bahwa niat menjadi sandaran terhadap orang yang bersumpah atau yang diminta bersumpah. Sumpah harus dikaitkan kepada Allah, maka bagi orang yang beragama, yang percaya kepada Allah, sumpah itu mempunyai nilai agung dan dianggap sakti atau keramat. Hal demikian didasari pada keyakinan bahwa janji atau sumpah itu adalah seuatu yang harus ditepati. Bagi yang meyakininya, takut akan ditimpa dosa dan bahkan lebih besar daripada sanksi kafarah terhadap yang melanggarnya. Kemudian alat bukti lain berupa dokumentasi atau surat-surat sebagai dukungan dalam menyatakan sebagai bukti untuk proses peradilan. Dalam alQuran bukti dokumen hanya disebutkan menyangkut persoalan perdagangan, Allah Swt berfirman: (QS. Al-Baqarah; 282); “Dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu tidak menulisnya. ” Ayat ini menunjukkan bahwa bukti-bukti tertulis, baik berupa dokumendokumen perdagangan, laporan-laporan tertulis, dan lain-lain, termasuk bukti-bukti syar’iy. Sedangkan indikasi (qarinah) tidak dianggap sebagai bagian dari buktibukti syar’iy, baik yang disebut dengan indikasi yang pasti (qath’iy) maupun yang tidak. Sebab, tidak ada satu dalil pun yang menunjukkan bahwa indikasi (qarinah) merupakan bukti yang syar’iy. Manyoritas fukaha menyatakan bahwa semua saksi kasus zina harus
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
42
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM laki-laki, mereka tidak menerima kesaksian perempuan dalam kasus zina karena dalil nas secara tegas menyatakan dan menjelaskan bahwa saksi tidak boleh kurang dari empat orang (Alie Yafie, 2007: 203). Dan kesaksian seorang laki-laki sama dengan kesaksian dua orang perempuan. QS. Al-Baqarah; 282;
“ajukanlah empat orang saksi. Apabila tidak bisa maka hukuman had akan dikenakan terhadapmu.”- Akan tetapi tidak semua orang bisa diterima untuk menjadi saksi. Ada syarat-syarat persaksian yang berlaku untuk semua jarimah, ada pula syarat-syarat khusus untuk persaksian jarimah zina.
“...jika tidak ada saksi dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan diantara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika seorang yang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya...” Jika kata empat adalah sebutan untuk jumlah saksi, cukuplah kasus perbuatan zina empat saksi, jika dalam jumlah tersebut terdapat perempuan, jumlah tersebut tidak mencukupi karena jumlah minimal saksi dalam hal ini menjadi lima orang, ini jka ada perempuan diantara saksi tersebut. Hal ini tidaklah akan sesuai berdasarkan dalil al-Quran, selain itu kesaksian tersebut akan ada syubhat karena perempuan dikhawatirkan akan salah dalam bersaksi. Dalam hal ini bahwa kesaksian perempuan akan menimbulkan syubhat maka hukuman hudud (had) dalam kasus zina tidak dapat dilaksanakan karena dalam hukuman hudud (had) syubhat itu harus dihindari. Para ulama telah sepakat bahwa jarimah zina tidak bisa dibuktikan kecuali dengan empat orang saksi. Apabila saksi itu kurang dari empat maka persaksian tersebut tidak dapat diterima. Hal ini apabila pembuktianya itu hanya berupa saksi semata-mata dan tidak ada bukti-bukti yang lain. Dasar hukumnya adalah: QS; An Nisaa’, ayat 15; QS; An Nuur ayat 4; QS; An Nuur ayat 13; Hadits Nabi s.a.w dari Anas putra Malik r.a ia berkata: li’an pertama yang terjadi dalam Islam adalah bahwa Syarik putra Sahma dituduh oleh hilal putra umayyah berzina dengan isterinya. Maka Nabi bersabda kepada hilal: “ajukanlah empat orang saksi. Apabila tidak maka engkau dikenakan hukuman had.” Dalam riwayat lain Nabi bersabda:
C. Penetapan 4 (empat) orang saksi terhadap kasus zina menurut hukum Islam Saksi adalah orang yang akan memberikan suatu keterangan terhadap suatu peristiwa atau perbuatan yang berkenaan dengan hal-hal keadaan peristiwa tersebut. Orang yang menjadi sebagai saksi adalah orang yang memiliki sejumlah informasi dan pengalaman terhadap suatu kejadian, semua orang dapat menjadi sebagai saksi dalam upaya membuktikan apa yang terjadi, peraan dan fungsi inilah yang kemudian membuat tidak semua orang dapat memberkan keterangan untuk suatu proses hukum. Karenanya seorang yang akan menjadi saksi harus memiliki beberapa syarat untuk dapat didengar keterangan dalam pengadilan. Untuk dapat diterima persaksian, harus dipenuhi syarat-syarat yang umum berlaku untuk semua jenis persaksian dalam setiap jarimah. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut; a) Balig (dewasa) b) Berakal c) Kuat ingatan d) Dapat berbicara e) Dapat melihat f) Adil g. Islam h. Tidak ada penghalang persaksian Di samping syarat-syarat umum yang telah disebutkan, untuk persaksian dalam jarimah zina harus dipenuhi syaratsyarat khusus. Syarat-syarat khusus ini antara lain; a) Laki-laki dan orang yang dewasa b) Al-Ishalah (harus asli) c) Peristiwa zina belum kedaluwarsa d) Pesaksian harus dalam satu majelis e) Bilangan saksi harus empat orang f) Persaksian harus meyakinkan, diterima dan dianggap sah oleh hakim.
43
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM g) M e n g h u k u m b e r d a s a r k a n kehamilan. Semua bentuk hubungan kelamin yang menyimpang dari ajaran agama Islam dianggap zina yang dengan sendirinya mengundang hukuman yang telah ditetapkan, sebab zina merupakan salah satu diantara perbuatan yang telah dipastikan hukumannya. Zina dinyatakan oleh agama sebagai perbuatan yang terlarang dan melanggar hukum jika dilakukan dan sudah semestinya akibat perbuatan itu pelakunya akan dihukum menurut hukum yang sudah ditetapkan dalam agama. Terhadap perbuatan zina ini hukumanpun adalah hukuman yang maksimal diberikan kepada pelakunya sebab akibat yang ditimbulkan dari perbuatan zina itu sangatlah buruk, lagipula mengundak kejahatan lain serta dosa besar. Hubungan bebas dan segala bentuk hubungan kelamin lainnya di luar ketentuan agama merupakan perbuatan yang sangat berbahaya dan mengancam keutuhan masyarakat di samping menimbulkan penyait kelamin yang sangat susah diobati. Dalam al-Quran, Allah swt hanya melarang supaya tidak dekat dengan yang namanya zina, buka melarang jangan melakukan zina, QS. Al-Isra; 32, menyatakan;
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan merupakan jalan yang sangat buruk” Zina merupakan sebab langsung menularnya berbagai penyakit kelamin yang sangat membahayakan dan juga bisa turuntemurun, di samping itu dengan adanya perbuatan zina akan berakibat kepada seseorang akan melakukan perbuatan yang lain berupa pembunuhan misalnya, rasa cemburu karena penyelewengan dalam perbuatan hubungan kelamin. Tidak sedikit laki-laki atau perempuan karena perbuatan itu mengakibatkan rusaknya rumah tangga, menghilangkat harkat keluarga, memutuskan tali perkawinan dan membuat buruknya pendidikan yang diterima anak-anaknya. Dengan akibat yang begitu banyak dari perbuatan zina tersebut maka Islam menetapkan hukuman yang paling berat bagi barang saipa yang melakukan
zina. Islam memandang bahwa dengan memberikan hukuman yang paling berat kepada pelaku zina adalah lebih baik dan adil ketimbang membiarkan rusaknya akhlak dan moral masyarakat dengan merajeralanya perbuatan perzinnaan. Dengan melihat besarnya bahaya yang ditimbulkan dari perbuatan zina dan juga beratnya hukuman yang harus diterima oleh pelaku zina maka Islam dengan berbagai pertimbangan membolehkan seorang lakilaki untuk melakukan pologimi sebagai alternatif dari penyelewengan tersebut dan dengan ini juga dimaksudkan agar tidak dalih seseorang untuk melakukan zina. Untuk melaksanakan hukuman atas pelaku zina, Islam juga menentukan syarat yang berat bagi terlaksananya hukuman, antara lain; a. Hukuman dapat dibatalkan bila masih terdapat keraguan terhadap peristiwa atau perbuatan zina tersebut (harus benar-benar terjadi). b. Untuk keyakinan dan meyakinkan hakim/qadhi perihal telah terjadinya perbuatan zina tersebut haruslah ada empat orang saksi laki-laki yang adil. Dengan demikian kesaksian empat orang wanita tidak cukup untuk dijadikan bukti, sebagaimana kesaksian empat orang laki-laki yang fasik. c. Kesaksian empat orang yang adilpun masih memerlukan syarat, bahwa masing-masing mereka telah melihat prosesi terjadinya zina, seperti ketika masuknya kemaluan laki-laki (zakar/penis) ke bibir kemaluan perempuan (vagina) dan ketika terbenamnya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan perempuan. d. A n d a i k a n s e o r a n g d i a n t a r a mereka (laki-laki) menyatakan kesaksian yang lain dari kesaksian tiga orang lainnya atau salah seorang diantaranya mencabut kesaksiannya, maka terhadap mereka semuanya dijatuhi hukuman menuduh zina (qadzaf) (Sayyid Sabiq, 305). Sebagaima yang telah disebutkan bahwa persyaratan untuk menjatuhkan hukuman zina itu sangatlah sulit terpenuhi, dan inilah sebabnya hukuman tersebut lebih
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
44
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM ditekankan sebagai usaha pencegahan (preventif) ketimbang pembalasan. Dianggap usaha pencegahan hukuman bukan berarti ketetapan Islam dalam hal hukuman atas perbuatan zina tidak mempunyai nilai kekuatan hukumnya atau nilai doktrinalnya, akan tetapi dengan sulitnya pelaksanaan hukuman disebabkan syarat tersebut menunjukkan bahwa hukum pidana Islam telah mempertimbangkan dari berbagai aspek terlaksananya hukuman tersebut. Adanya ketetapan hukuman yang berat terebut merupakan sejenis pencegahan yang sungguh-sungguh agar orang tidak melakukan zina. Suatu perbuatan mempunyai banyak motif dan faktor, terlebih karena insting seks (boleh dikatakan satu diantara insting yang peling bergelora dalam diri mansuia), adalah relevan jika terhadap isnting yang demikian keras harus dihadapkan dengan hukuman yang begitu berat juga. Para ulama telah sepakat (dalam ijmak) bahwa zina tidak dapat dibuktikan kecuali melalui empat orang saksi, hal ini didasari pada firman Allah swt;
“dan para perempuan yang melakukan perbuatan keji diantara perempuan-perempuan kamu, hendaklah terhadap mereka ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya)...” (QS. An-Nisa; 15)
“dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali....” (QS. An-Nur; 4)
“mereka mereka yang menuduh itu tidak datang membawa empat orang saksi?,
45
oleh karena mereka tidak membawa saksisaksi meka mereka itu dalam pandangan Allah adalah orang-orang yang berdusta” (QS. An-Nur; 13).
Salah satu hadis Sa’ad bin ‘Ubaidah berkata kepada Rasulullah saw; “Apa pendapattmu, seandainya aku mendapati istriku bersama dengan laki-laki, lalu (apakah) aku membiarkannya sampai datang empat orang saksi? Rasulullah saw berkata; benar” ( Abdurrahman Al-Maliki dan Ahmad Ad-Da’ur, 1990: 44). Dengan demikian hukum pidana Islam telah menetapkan empat orang saksi dalam perkara zina tidak lain adalah untuk menghidarkan manusia berbuat aniaya taerhadap orang lain dengan berbagai modus dan faktornya. Justru hukum Islam sangat menghormati dan menjaga jiwa dari tuduhan-tuduhan yag tidak sanggup dibuktikan. Bukan saja itu bahwa hukum pidana Islam ingin menunjukkan betapa pentingnya menjaga dan menghidari diri dari perbuatan perzinaan tersebut. KESIMPULAN 1) Hukuman terhadap perbuatan zina merupakan hukuman yang sangat berat dan berakibat pada kematian, tidak sembarangan hukum Islam menetapkan hukuman yang berat demikian tanpa mengalami pertimbangan kemanusiaan yang cukup matang sehingga untuk menghukum seseorang yang dinyatakan berbuat zina tidak serta-merta dapat dilaksanakan. Untuk itu hukum pidana Islam telah menetapkan terhadap pembuktian perbuatan zina itu dengan empat orang saksi, terkadang hukum Islam terlihat memberikan hukuman yang berat namun membuat syarat sulit terpenuhi, sehingga terlihatlah bahwa menghukum pelaku zina mesti memenuhi syarat formal dan syarat materialnya. Inilah yang dikatakan bahwa hukum pidana Islam harus sangat hati-hati dalam melaksanakan hukuman.
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM 2) Suatu keterangan yang akan disampaikan dalam bentuk kesaksian dapat diterima bagi orang yang bersaksi karena kesaksian itu didasari pada keyakinan. Di sini jelas bahwa hakekat maksud dari kesaksian itu adalah upaya untuk menyampaikan suatu kebenaran terhadap suatu perkara. Suatu kesaksian yang diakui hanya kesaksian yang disampaikan dalam proses persidangan, karena syarat suatu kesaksian mesti terjadi dalam sidang pengadilan. Kesaksian diperuntukkan memperkuat dakwaan atas orang yang di dakwa. Kesaksian dalam perkara zina diperlukan empat orang laki-laki yang telah menyaksikan telah terjadinya perbuatan zina dengan sempurna, tidak hanya cukup sebuah keyakinan dan mempersaksikan suatu perkara tapi memenuhi syarat formalnya yaitu empat orang saksi yang memenuhi kriteria sebagai saksi. 3) Dengan akibat yang begitu banyak dari perbuatan zina tersebut maka Islam menetapkan hukuman yang paling berat bagi barang siapa yang melakukan zina. Islam memandang bahwa dengan memberikan hukuman yang paling berat kepada pelaku zina adalah lebih baik dan adil ketimbang membiarkan rusaknya akhlak dan moral masyarakat dengan merajeralanya perbuatan perzinnaan. Dengan melihat besarnya bahaya yang ditimbulkan dari perbuatan zina dan juga beratnya hukuman yang harus diterima oleh pelaku zina maka Islam dengan berbagai pertimbangan membolehkan seorang laki-laki untuk melakukan pologimi sebagai alternatif dari penyelewengan tersebut dan dengan ini juga dimaksudkan agar tidak dalih seseorang untuk melakukan zina. Untuk melaksanakan hukuman atas pelaku zina, Islam juga menentukan bahwa hukuman dapat dibatalkan bila masih terdapat keraguan
terhadap peristiwa atau perbuatan zina tersebut (harus benarbenar terjadi) dan harus dapat meyakinkan hakim/qadhi perihal telah terjadinya perbuatan zina tersebut dengan ada empat orang saksi laki-laki yang adil, adilpun masih memerlukan syarat, bahwa masing-masing mereka telah melihat prosesi terjadinya zina, andaikan seorang diantara mereka menyatakan kesaksian yang lain dari tiga orang maka hukumannya akan berbalik kepada orang yang menuduh. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman al-Maliki dan Ahmad Ad-Da’ur, terjh. Syamsuddin Ramadlan, Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian dalam Islam (Nidzam al-‘uqubat dan Ahkam albayyinat), cet. I, Bogor: Pustaka Tariqul Izzah, 199 Abdurrahman Doi, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, Jakarta: Rrieka Cipta, 1991 Abi Ishaq As-Syathibi, al-Muwafaqat fi ushul al-syariah, juz II, tahun 1427H A. Djazuli, Fiqh Jinayat (Uapaya menanggulangi kejahatan dalam Islam), cet. II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997 Ahsin Sakho Muhammad dkk, (ed), Ensiklopedi Hukum Pidana Islam IV (selanjutnya disebut buku IV), alih bahasa, Dadi M. hasan Basri dkk, Jakarta; Kharisma Ilmu, 2007 Al-Imam Asy-Syafi’i, terjh. Ismail Yakub, Jilid 11, Kitab Induk; Al-Umm, Kuala Lumpur: Victory Agencie, 1992 Alie Yafie (Pembaca Ahli), Ahsin Sakho Muhammad (dewan Editor), Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, jilid IV, Bogor: Kharisma Ilmu, 2007 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
46
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Indonesia (edisi revisi), cet.1 Jakarta: Sinar Grafika. 2001 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,cet.1 Jakarta: Sinar Grafika. 2005
http://www.google.com./artikata.com/arti348679-saksi.html/diakses/. http://ngobrolislami.wordpress.com/ konsep hukum pidana Islam;
Beni Ahmad Saebani, Pengt. Tajul Arifin, Metode Peneltian Hukum, Cet. I, Bandung: Pustaka Setia, 2009 C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989 Ibnu Hazm, Al-Muhalla, juz IX, Beirut: Maktabah Tijariyah, tt Joseph Schacht, terjh. Joko Supomo, Pengantar Hukum Islam (An Introduction to Islamic Law), Cet. I, Bandung: Nuansa, 2010 Mohamed Al Awabdeh, History and Prospectof Islam Criminal Law With Respect to The Human Rights dalam Madisa Ablisar, Hukuman Cambuk, Cet. I, Medan: USU Press, 2011 Mat Saad Abd. Rahman, Undang-undang Jenayah Islam, Jenayah Hudud, Kelantan: Hizbi Shah Alam, 1993 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet, II, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 3, Pengtr. Imam Hasan al-Banna, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2004 Syarah az-Zarqani ‘ala Mukhtasar Khalill, Jilid VIII, Penerbit Muhammad Afandi Mustafa. Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa adillatuh, Darul Fikri Maashir, 1997 Ya h y a
Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, edisi kedua, cet. Keempat, Jakarta: Sinar Grafika, 2002
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, Cet.1 Jakarta: Sinar Grafika. 2007 47
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
48
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM PEMBERDAYAAN EKONOMI BERBASIS SYARIAH DI DAYAH MODERN DAN TRADISIONAL (STUDI KASUS DI KOTA LHOKSEUMAWE Oleh: Harjoni Desky, M.Si dan Iskandar, S.HI.,M.Si
[email protected] /
[email protected] Abstract Dayah in Aceh has an interesting role to be investigated, especially in the field of Islamic-based economic empowerment. The purpose of this study, first, want to know the sharia-based economic empowerment is done in those from modern and traditional Islamic schools; second, differences in the implementation of sharia-based economic empowerment is done in those from modern and traditional; and third, to mengetahuai economic empowerment model is ideal for Boarding School in Aceh. The method used in this study is a qualitative method to illustrate the approach fenomenalogis dayah institutional activity in implementing the sharia-based economic empowerment in the city of Lhokseumawe. Data was collected by means of interviews with the research informants. Informants in this study is a cleric, cleric and the students. Determination of prospective informants in the study was determined by stratified random sampling. The results showed that, first, sharia-based economic empowerment is done in those from modern (Dayah Ulumuddin dan Yapena) and Traditional Boarding School (Darul Ulum Alue Awe and Darul Yaqin Ulee Jalan) dayah done through a cooperative, savings and loans. Especially for traditional Islamic schools coupled with the entrepreneurial activities of a few students, female students, and the cleric. Second, the difference is the Sharia-based economic empowerment in the cooperative governance, the amount of turnover in the area of entrepreneurship and creativity of the students and teachers. While the third, the ideal model of economic empowerment for dayahs in Lhokseumawe city is to implement a typical model that corresponds to develop entrepreneurial potential of the Islamic boarding school. Keywords: Economic Empowerment, Sharia, dayah Modern, Traditional Boarding School, Lhokseumawe A. Pendahuluan Pada masa penjajahan Belanda, dayah atau pesantren masih memainkan peranan yang terbatas. Dayah hanya mengkaji ilmu-ilmu keislaman klasik dengan nuansa kesederhanaan, bahkan sering diidentikkan dengan ‘pedesaan’. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, kehadiran dayah/pesantren di Indonesia semakin penting peranannya. Salah satu yang menarik dari peran dayah tersebut adalah peran edukatif yang murni mengajarkan ilmu- ilmu keislaman. Karena itu, Dayah dengan label pendidikan agama yang diemban, diharapkan akan berkontribusi penting dalam pembenahan ‘kemiskinan
49
spiritual’ masyarakat. Kurikulum dayah menawarkan kajian yang sangat penting yang tidak hanya terbatas pada bagaimana membangun relasi dengan Tuhan, namun juga relasi dengan sesama manusia maupun lingkungan. Dayah dengan berbagai harapan dan predikat yang dilekatkan padanya, sesungguhnya berujung pada tiga fungsi utama yang senantiasa diemban, (A. Halim, Rr.Suhartini, dkk, 2005 : 233). yaitu: pertama, sebagai pusat pengkaderan pemikir-pemikir agama (center of excellence). Kedua, sebagai lembaga yang mencetak sumber daya manusia (human resource). Ketiga, sebagai lembaga
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM yang mempunyai kekuatan melakukan pemberdayaan pada masyarakat (agent of development). Dayah juga dipahami sebagai bagian yang terlibat dalam proses perubahan sosial (social change) di tengah perubahan yang terjadi. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dalam mencetak kader-kader pemberdayaan masyarakat tersebut, seperti yang ditetapkan oleh pondok pesantren adalah: menumbuhkembangkan jiwa wirausaha dikalangan santri dan masyarakat; menumbuhkembangkan sentra dan unit usaha yang berdaya saing tinggi; membentuk Lembaga Ekonomi Mikro berbasis nilai Islam; dan mengembangkan jaringan ekonomi dan pendanaan di pesantren baik horisontal maupun vertical (Achmad Faozan, 2006, 88-102). Salah satu prinsip dalam pemberdayaan adalah penguasaan terhadap kemampuan ekonomi yaitu, kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi, pertukangan dan jasa. Kemampuan dalam konteks ini menyangkut kinerja individu yang merupakan wujud kompetensi individu tersebut dapat meningkat melalui proses pembelajaran maupun terlibat langsung di lapangan, seperti kompetensi mengelola ekonomi. Kemampuan (pengetahuan dan keterampilan pengelola ekonomi) yang perlu ditingkatkan; sebagaimana diungkapkan oleh Damihartini dan Jahi adalah menyangkut aspek: sumberdaya manusia; kewirausahaan/enterpreneurship; administrasi dan manajemen (organisasi); dan teknis pertanian (Damihartini dan Jahi. 2005:1). Pengetahuan dan keterampilan merupakan salah satu instrumen dalam mencapai kompetensi kerja. Pemberdayaan yang dilakukan oleh dayah terhadap santrinya yaitu pemberdayaan melalui peningkatkan kompetensi ekonomi para santri agar nantinya para santri tersebut
setelah berada kembali di lingkungan masyarakatnya dapat menjadi panutan baik dalam bidang ekonomi produktif atau sebagai kader-kader pemberdaya ekonomi, di samping peran utamanya sebagai ustadz/ustadzah yang mempunyai kemampuan dalam bidang ilmu agama Islam. Usaha pemberdayaan ekonomi tersebut, bukan hanya tugas dan kewajiban pemerintah semata. Akan tetapi juga menjadi tanggung jawab institusi-institusi atau organisasi lokal (dayah/pondok pesantren) yang ada di masyarakat. Hal ini dapat dijelaskan bahwa secara mendasar dan substantif, organisasi lokal memiliki kegiatan internal dan eksternal. Kegiatan internal berupa konsolidasi dan koordinasi ke dalam dengan membangun solidaritas dan komitmen. Sedang kegiatan eksternal berupa usaha-usaha pemberdayaan dan pelayanan kepada masyarakat. Aceh sebagai daerah yang dikenal sebagai Serambi Mekkah, juga memiliki keterikatan/hubungan dengan Dayah/ pesantren. Bahkan sebagian besar masyarakat di Aceh sangat mengenal dayah. Hal tersebut karena peran-peran dayah secara kelembagaan kepada masyarakat (santri) nya. Merujuk kepada Sejarah Kerajaan Islam Pereulak, Dayah secara historis telah ada sejak abad IX Masehi, demikian pendapat Tgk Muslim Ibrahim dalam tulisannya masyarakat Yang Adil dan Bermartabat. Keberadaan Dayah di Aceh telah ada bersamaan dengan masuknya Islam ke Aceh pada akhir masa kekhalifahan Usman bin Affan. Beberapa Dayah yang berkembang saat itu diantaranya; Dayah Cot Kala, Dayah Kuta Karang, Dar as-syariah Mesjid Raya, namun semua Dayah ini telah diobrak-abrik Belanda. Menurut Abdul Qadir Djailani dalam bukunya Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia, Samudera Pasai merupakan pusat
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
50
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM pendidikan Islam pertama di Indonesia dan dari sini berkembang ke berbagai daerah lain di Indonesia, hingga sampai ke Pulau Jawa. Salah seorang santri alumni Samudera Pasai adalah Maulana Malik Ibrahim, ia datang ke Gresik Jawa Timur pada tahun 1399 dan wafat pada tahun 1419, setelah melakukan dakwah selama dua puluh tahun lamanya, sebelumnya, Maulana Malik Ibrahim bertugas sebagai Muballigh di daerah Campa yang merupakan daerah Kesultanan Samudera Pasai, setelah Maulana Malik Ibrahim wafat, Dayah juga diteruskan oleh anak beliau Raden Rahmat (Sunan Ampel). Secara pasti tidak diketahui kapan sebenarnya Dayah masuk ke Aceh. Namun, A. Hasyimi seorang Sejarawan Aceh, beliau berpendapat bahwa Dayah masuk ke Aceh sejak awal berdirinya Kerajaan Islam Pereulak pada Muharram 225 H/840 M (Ziemek Manfred, 1986 : 211). Salah satu penyebab sulitnya mengetahui dengan pasti kapan sebenarnya Dayah masuk ke Aceh karena minimnya penelitian dan perhatian yang cukup untuk menggali sejarah perkembangan Dayah, walaupun Anthony Reid dalam bukunya The Rope God, membahas tentang lembaga ini, tetapi hanya dibahas perkembangan pada masa abad ke-19 M dan pertengahan abad ke 20 M. Tidak hanya Anthony Reid, Hasbi Amiruddin dalam bukunya Ulama Dayah Pengawal Agama Masyarakat Aceh, juga membahas tentang Dayah tetapi lebih terfokus pada peranan ulamanya, bukan pada Dayah itu sendiri (Ziemek Manfred, 1986 : 211). Jika merujuk pada hasil seminar tentang masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara yang dilaksanakan di Rantau Pereulak pada tanggal 25-30 September 1980, mengenai tahun berdirinya Kerajaan Islam Pereulak sebagai Kerajaan Islam tertua, maka Dayah Cot Kala merupakan Dayah pertama di Aceh bahkan di Asia Tenggara. Setelah lahirnya Dayah Cot
51
Kala, maka sesuai dengan tujuan pendirian dayah sendiri, yaitu untuk mencetak kader ulama sebagai petunjuk ummat, maka Dayah Cot Kala kala itu telah melahirkan para sarjananya yang dapat menyebarkan Islam ke seluruh Aceh sehingga lahirlah Dayah-dayah baru seperti Dayah Serele di bawah Pimpinan Tengku Syekh Sirajuddin yang didirikan pada tahun 1012 sampai dengan 1059 M. Dayah Blang Priya yang dipimpin oleh Tengku Ja‘kob yang didirikan antara tahun 1155-1233 M, Dayah Batu Karang di Kerajaan Tamiang yang dipimpin oleh Tengku Ampon Tuan, Dayah Lam Keuneuen dari Kerajaan Lamuria Islam di bawah pimpinan Tengku Syekh Abdullah Kan‘an yang didirikan antara 1196 sampai dengan 1225 M. Dayah Tanoeh Abee antara Tahun 1823-1836 M dan Dayah Tiro di Kecamatan Tiro Kabupaten Pidie antara tahun 1781-1795 M, dan dayah-dayah lainnya yang tersebar di seluruh Aceh di kala itu (Billah dalam Dawam Rahardjo, 1985: 291). Saat ini menurut data dari Badan Dayah Provinsi Aceh jumlah Dayah di Aceh 856 dayah (BPS, 2013, Aceh dalam Angka, 2013). Dayah dari jenisnya di Aceh terbagi 2 (dua), yaitu: dayah tradisional dan dayah modern (terpadu). Dayah tradisional biasanya dikenal sebagai dayah salafi yang mengkaji kitab-kitab kuning dan para santri dayah pada pagi hari biasanya pergi kesekolah umum (kampus) di luar dayah dan pada sore hari sampai malam hari belajar kitab di dayah dengan ustad mereka. Sementara dayah modern (terpadu) biasanya santri sudah diasramakan dan mereka belajar dengan kurikulum terpadu ada materi kedayahan (kitab-kitab) dan materi umum lainnya. Provinsi Aceh sekarang ini terdiri dari 23 kabupaten/kota, dan Aceh sekarang ini telah memiliki dayah yang tersebar di seluruh kabupaten/kota termasuk juga di Kota Lhokseumawe. Menurut catatan data
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM di BPS, Kota Lhokseumawe sekarang ini memiliki 33 (tiga puluh tiga) dayah, yang terdiri dari 9 (sembilan) dayah modern dan 24 dayah tradisional dengan jumlah keseluruhan santri yang berada di dayah tersebut (modern dan tradisional) adalah berjumlah 8.638 jiwa (Lhokseumawe: BPS, 2013 :122). Bagi masyarakat kota Lhokseumawe dayah posisi sangat penting, dayah tidak saja melahirkan ulama kharismatik yang diakui keilmuannya sampai ke negara tetangga seperti Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam, tetapi juga tempat bagi anak-anak mereka menimba ilmu pengetahuan dan wadah untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat. Pemberdayaan ekonomi sendiri memiliki model dan bentuk tersendiri, salah satunya adalah pemberdayaan ekonomi berbasis syariah. Pemberdayaan ekonomi berbasis syariah kini telah menjadi trend. Dan sepantasnya dayah/pesantren menjadi salah satu media yang mempelopori pelaksanaan pemberdayaan ekonomi berbasis syariah di Kota Lhokseumawe. Masih kurangnya penelitian mengenai pemberdayaan ekonomi di dayah berbasis syariah modern dan tradisional di kota Lhokseumawe, menarik minat peneliti untuk meneliti topik ini. Dari beberapa literatur yang ada, maka indikator untuk pemberdayaan ekonomi di dayah tersebut, penulis akan menggunakan indikator, yaitu: adanya peningkatan skill, motivasi, pengembangan potensi diri, membangkitkan kesadaran, menciptakan iklim dan prasarana mendukung, input, akses/peluang, nilai dan budaya kerja keras, tanggung jawab, terbuka dan hemat. Pemberdayaan ekonomi berbasis syariah ini sangat menarik untuk diamati karena memiliki paradigma sendiri, yaitu paradigma syariah. Paradigma syariah diturunkan dari tiga sumber hukum dalam Islam yaitu: Al-Qur’an, Hadist, dan Fiqh (Abdalati, 1975: 65). Sumber-sumber
tersebut urut secara hirarkhi tidak dapat mendahului satu terhadap yang lainnya. Sumber yang pertama adalah selalu Al-Qur’an, kemudian diikuti oleh Hadist, kemudian Fiqh dan seterusnya. Tujuan utama syari’ah adalah mendidik setiap manusia, memantapkan keadilan dan merealisasikan keuntungan bagi setiap manusia di dunia maupun di akhirat, yang meliputi upaya untuk memelihara agama; memelihara jiwa; memelihara akal; memelihara keturunan dan memelihara harta (Abdalati, 1975: 65). Dengan kata lain, syari’ah adalah berkenaan dengan peningkatan keadilan dan kesejahteraan masyarakat dengan menetapkan fondasi dasar bagi moral, sosial, politik dan filsafat ekonomi masyarakat tersebut. B. P e m b e r d a y a a n E k o n o m i Berbasis Syariah yang Dilakukan di Dayah Modern dan Dayah Tradisional Pemberdayaan ekonomi memiliki peran dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kegagalan sistem perekonomian Indonesia selama ini, menumbuhkan harapan lain bagi masyarakat kepada lembaga-lembaga rakyat yang sudah teruji dan lulus dalam sejarah kehidupan masyarakat dan berbangsa bahkan tahan di tengah badai krisis ekonomi, yaitu: lembaga-lembaga ekonomi mikro yang berbasis rakyat. Industri kelas menengah kecil seperti home industri justru memiliki daya ketika berhadapan dengan krisis ekonomi. Dayah kenyatannya adalah lembaga potensial untuk bergerak ke arah ekonomi berbasis rakyat, sebagaimana kekuatan yang dimilikinya. Jika dayah atau pesantren (Ponpes) hanya menjadi penonton di era yang akan datang, maka lembaga-lembaga ekonomi mikro lain boleh jadi bergerak ke arah kemajuan. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan ini berusaha melihat bagaimana
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
52
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM pemberdayaan ekonomi berbasis syariah yang dilakukan di dayah modern yaitu: dayah Ulumuddin dan dayah Modern Arun Yapena. Beberapa hasil wawancara dan observasi yang telah peneliti lakukan menunjukkan bahwa pemberdayaan ekonomi berbasis Syariah yang dilakukan di Dayah Modern Ulumuddin dan Dayah Modern Yapena berjalan pada pelaksanaan koperasi, simpan pinjam syariah (tanpa bungga) dan materi pembelajaran bagi para santri. Keberadaan koperasi di dayah Ulumuddin dan dayah Yapena telah menerapkan prinsip syariah, diantaranya koperasi di dayah tersebut menggunakan prinsip syirkah, tidak menetapkan harga atas produk yang dijual terlalu mahal. Artinya koperasi yang ada di dayah modern tersebut tidak semata-mata mencari keuntungan saja melainkan menggunakan azas ta’awud (tolong-menolong) sesuai dengan prinsip syariah yang diajarkan dalam ekonomi islam. Peran para santri dalam koperasi di dayah modern tidak dilibatkan dalam, disebabkan kedua dayah tersebut merasa bahwa para santri telah terlalu banyak dibebani dengan materi-materi pembelajaran dan waktu mereka (para santri) lebih sering disibukkan dengan kegiatan belajar di sekolah. Hal tersebut sedikit banyak membuat kreativitas santri dalam bidang ekonomi (kreativitas untuk membuat dan menjual hasil karya mereka misalnya kaligrafi arab dan hasil karya lain) kurang berkembang. Menyangkut peran para santri dua dayah modern tersebut masih bersifat sebagai konsumen (pembeli) saja di koperasi, tidak dilibatkan sebagai pengelola koperasi. Berbeda halnya dengan para guru dan karyawan pada kedua dayah modern tersebut, mereka (para guru) diberikan beluang untuk menjadi anggota koperasi dan menikmati fasilitasi simpan
53
pinjam yang ada di koperasi tersebut. Bahkan mereka juga telah beberapa kali mengikuti kegiatan pelatihan dalam rangka peningkatan pengetahuan dan skiil yang mereka miliki dalam hal tata kelola koperasi, baik yang dilakukan oleh dinas terkait, baik itu di tingkatan Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Utara maupun Provinsi Aceh. Tak jauh dengan dayah modern, dayah tradisional di Kota Lhokseumawe juga memiliki koperasi. Awal keberadaan koperasi pada prinsipnya untuk memenuhi kebutuhan para santri dan para ustad/ ustadzah, sekaligus sebagai tempat untuk melaksanakan praktek jual beli yang diajarkan dalam fiqh muamalah. Karena itu, koperasi dayah layaknya disebut sebagai warung serba ada, yang menjual mulai dari sabun mandi sampai keperluan lainnya. Terkait dengan peran santri, para santri di dayah tradisional juga memiliki peran yang sama dengan santri di dayah modern, mereka tidak dilibatkan sebagai pengurus koperasi, disebabkan keterbatasan waktu yang mereka miliki. Kebanyakan waktu para santri dihabiskan untuk pergi ke sekolah umum dan kuliah di pagi dan sore hari dan pada malam hari untuk belajar kitab di dayah dengan para ustad. Di sisi lain, ada perbedaan yang menarik yang terjadi antara santri di dayah tradisional dan dayah modern. Para santri di dayah taradisional, mereka memiliki motivasi yang lebih tinggi untuk melakukan kegiatan ekonomi berbasis syariah dan diwujudkan dengan kegiatan kewirausahaan, seperti yang dipraktekkan selama ini oleh para santriwati di dayah Darul Yaqin Ulee Jalan, mereka memiliki kegiatan membuat dan menjual pernakpernik wanita seperti jelbab bondir dalam lain sebagainya kepada teman-teman mereka, dengan sistem pembayaran dibayar tunai maupun melalui cicilan. Tak jauh berbeda mengenai
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM aktivitas yang dilakukan para ustad/ staf pengajar antara dayah modern dan dayah tradisional dengan aktifitas santri kedua dayah tersebut. Hasil penelitian menunjukkan, para pengajar (ustadz/tgk) di dayah tradisional memiliki kegiatan kewirausahaan yang sangat baik sementara para pengajar di dayah modern tidak memiliki hal tersebut. Seperti yang dilakukan oleh Tgk. Razali dalam kegiatan agribisnis penanaman buah pepaya yang dilakukannnya selama ini. Hasil panen dari usaha agribisnis penanaman buah pepaya ini bahkan telah dijual ke medan oleh Tgk. Razali. Tgk Razali dalam mengelola usaha ini juga sering melibatkan para santri di dayahnya untuk mengajari sekaligus menumbuhkan di jiwa para santri motivasi untuk melakukan usaha agribisnis. Hasil penelitian secara keseluruhan menunjukkan pemberdayaan ekonomi berbasis syariah di dayah modern dan tradisional telah terjadi atau dilakukan, baik itu dikalangan para ustad/ustadzah maupun para santri sesuai dengan indikator yang telah peneliti tetapkan sebelumnya, yaitu: pemberdayaan ekonomi itu dilihat dari adanya peningkatan skill, motivasi, pengembangan potensi diri, membangkitkan kesadaran, menciptakan iklim dan prasarana mendukung, input, akses/peluang, nilai dan budaya kerja keras, tanggung jawab, terbuka dan hemat. Keberhasilan dan semangat kewirausahaan yang dimiliki oleh para santri dan para ustad di dayah tradisional, menunjukkan keterbukaan mereka selama ini dengan dunia luar, khususnya hubungan (kemitraan) yang mereka lakukan perlu dipertahankan dan ditingkatkan untuk menumbuhkan semangat dan keberhasilan dalam bidang pemberdayaan ekonomi baik itu untuk kalangan santri maupun kalangan pengajar. Kemitraan tersebut bisa dilakukan antara lembaga dayah dengan perguruan terdekat dan instansi daerah terkait,
maupun kemitraan antara para guru/ustad/ tgk dengan lembaga perguruan tinggi dan instansi yang terkait, bisa juga para santri dengan perguruan tingggi atau instansi pemerintah terkait. C. P e r b e d a a n P e l a k s a n a a n Pemberdayaan Ekonomi Berbasis Syariah yang Dilakukan di Dayah Modern Dan Tradisional Pemberdayaan merujuk pada pengertian perluasan kebebasan memilih dan bertindak. Bagi masyarakat miskin, kebebasan ini sangat terbatas karena ketidakmampuan bersuara (voicelessness) dan ketidakberdayaan (powerlessness) dalam hubungannya dengan negara dan pasar (Rr.Suhartini A.Halim,dkk, 2005: 24). Karena kemiskinan adalah multi dimensi, masyarakat miskin membutuhkan kemampuan pada tingkat individu (seperti kesehatan, pendidikan dan perumahan) dan pada tingkat kolektif (seperti bertindak bersama untuk mengatasi masalah). Memberdayakan masyarakat miskin dan terbelakang menuntut upaya menghilangkan penyebab ketidakmampuan mereka meningkatkan kualitas hidupnya. Unsur-unsur pemberdayaan masyarakat pada umumnya adalah: inklusi dan partisipasi; akses pada informasi; kapasitas organisasi lokal; dan profesionalitas pelaku pemberdaya (Totok Mardikanto, 2012 : 12). Keempat elemen ini terkait satu sama lain dan saling mendukung. Inklusi berfokus pada pertanyaan siapa yang diberdayakan, sedangkan partisipasi berfokus pada bagaimana mereka diberdayakan dan peran apa yang mereka mainkan setelah mereka menjadi bagian dari kelompok yang diberdayakan. Akses pada informasi, adalah aliran informasi yang tidak tersumbat antara masyarakat dengan masyarakat lain dan antara masyarakat dengan pemerintah. Organisasi lokal adalah kemampuan masyarakat untuk bekerja
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
54
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM bersama, mengorganisasikan perorangan dan kelompok-kelompok yang ada di dalamnya, memobilisasi sumber-sumber daya yang ada untuk menyelesaikan masalah bersama. Masyarakat yang organized, lebih mampu membuat suaranya terdengar dan kebutuhannya terpenuhi. Dan profesionalitas pelaku pemberdaya adalah kemampuan pelaku pemberdaya, yaitu aparat pemerintah atau LSM, untuk mendengarkan, memahami, mendampingi dan melakukan tindakan yang diperlukan untuk melayani kepentingan masyarakat. Dayah yang merupakan berasal dari masyarakat termasuk juga di dalamnya para santri dan para ustad dan mereka juga diluar dari aktifitas mereka di dayah juga memiliki aktifitas yang sama di tengahtengah masyarakat. Bahkan para santri setelah menyelesaikan pendidikannya di dayah, tentu mereka akan dikembalikan di tengah-tengah masyarakat kembali. Karena itu, tentu saja memiliki hak yang sama untuk menjalankan pemberdayaan ekonomi bahkan punyak hak yang sama untuk mendapatkan pemberdayaan itu sendiri. Beranjak dari persoalan ini, maka penelitian ini tentu saja penting untuk dilakukan. Demikian juga bila dibedah lebih mendalam lagi antara dayah modern dan dayah tradisional. Tentu kedua model dayah ini memiliki perbedaan dalam pemberdayaah ekonomi itu sendiri. Hasil penelitian yang selama ini dilakukan peneliti terkait perbedaan pemberdayaan ekonomi berbasis syariah antara dayah modern dan dayah tradisional di Kota Lhokseumawe secara sederhana dapat dilihat pada tabel 1.1. Ta b e l . 1 . 1 P e r b e d a a n Pemberdayaan Ekonomi Berbasis Syariah yang Dilakukan di Dayah Modern dan Tradisional di Kota Lhokseumawe
55
Sumber : Hasil wawancara dan observasi peneliti (diolah) 2014. Data yang disajikan dalam tabel 1.1 menunjukkan ada 5 (lima) bidang yang berbeda dalam pemberdayaan berbasis syariah yang dilakukan antara dayah modern dan dayah tradisional di Kota Lhokseumawe. Lima bidang tersebut adalah: legalitas hukum koperasi, tata kelola koperasi, omset koperasi, kegiatan kewirausahaan yang dilakukan santri dan kegiatan kewirausahaan yang dilakukan ustad/ustadzah. Perbedaan yang signifikan antara koperasi yang didirikan oleh dayah modern baik itu dayah Ulumuddin dan Dayah Modern Yapena dengan Dayah Tradisional, yaitu Dayah Darul Ulum Alue Awe dan Dayah Darul Yaqin Ulee Jalan adalah Koperasi yang dikelola Dayah Modern sudah memiliki izin (badan hukum) seseuai dengan ketentuan yang ada. Sementara, koperasi yang ada di dayah tradisional masih dalam pengurusan. Selanjutnya perbedaan yang lain yaitu dari segi tata kelola koperasi. Koperasi dayah modern tersebut tata kelolanya lebih baik, laporan dibuat setiap tiga bulan dan diberikan kepada ketua koperasi dan setiap tahun (tutup) buku diadakan rapat tahunan untuk melihat kemajuan dan kelemahan koperasi selama satu tahun dan bagaimana posisi keuntungan yang didapat selama satu tahun apakah dibagikan atau ditambah menjadi modal untuk tahun berikutnya. Sementara di dayah tradisional, prinsip koperasi seperti adanya laporan bulanan dan rapat tahunan kadang-kadang
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM sering tidak dilakukan. Perbandingan omset terjadi di antara jenis dayah tersebut. koperasi yang dimiliki oleh dayah modern lebih banyak dibandingkan omset koperasi di dayah tradisional. Hal ini disebabkan santri yang ada di dayah modern mereka tidak diizinkan keluar (diasrama) dari pagi sampai malam jadi kebutuhan mereka, mereka bisa beli dikantin selain itu jumlah santri dayah modern juga lebih banyak. Sementara di dayah tradisional santrinya memiliki aktifitas di luar dayah seperti sekolah dan kuliah mereka baru datang dan menetap di asrama pada waktu sore sampai malam hari, sehingga mereka sering membeli keperluan mereka dari luar, ditambah lagi jumlah santrinya lebih sedikit dibandingkan santri yang ada di dayah modern (terpadu). Disisi lain, soal kreativitas santri di bidang kegiatan kewirausahaan lebih menonjol para santri di dayah tradisional di bandingkan dayah modern (terpadu). Hal ini disebabkan mereka (para santri) dari dayah tradisional lebih sering melakukan kontak (hubungan) dengan dunia luar dayah, seperti ke kampus dan bertemu orang lain, sehingga mendapat informasi-informasi yang tidak didapati di dalam dayah. Salah satu buktinya ada satu dan dua santriwati yang membuat pernak-pernik wanita (jelbab) yang dijual kepada teman-temannya secara cicilan maupuan tunai. Demikian juga dari sisi staf pengajarnya, para guru yang ada di dayah modern (terpadu) sudah disediakan fasilitas dan finansial sehingga mereka diwajibkan tinggal dan fokus (terikat) untuk mendidikan dan mengajari santri di dayah. Sementara di dayah tradisional para guru (ustad/tgk) memiliki waktu yang lebih bebas (tidak terikat) pagi sampai siang, sehingga banyak diantara mereka yang bekerja di luar dayah seperti melakukan kegiatan agribisnis. Semangat kewirausahaan ini sering diberikan kepada santri, seperti yang dilakukan oleh Tgk. Razali yang mengajak santrinya untuk
membantunya melakukan kegiatan agribisnis tanaman pepaya tersebut. D. Model Pemberdayaan Ekonomi Ideal Bagi Dayah Di Kota Lhokseumawe Problem Indonesia terkait dengan ekonomi tentu tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan ekonomi global. Artinya, bahwa ada saling ketergantungan. Tidak dapat diingkari, bahwa sistem ekonomi yang berkembang di Indonesia dewasa mini adalah lebih condong kepada sistem ekonomi liberal atau mungkin neoliberal. Gerakan privatisasi yang tidak bisa dihentikan adalah salah satu buktinya. Jika di Cuba terjadi nasionalisasi perusahaan asing, maka di Indonesia justru gencar mengembangkan privatisasi. Bukti lain dari sistem ekonomi liberal di Indonesia, adalah impor barang secara bebas. Seperti yang terjadi saat ini, negara dengan pantai terbesar di dunia dengan hasil garam yang melimpah harus mengimpor garam dari negara lain. Bahkan gula dan kentang pun diimpor. Sebagai negara agraris, maka Indonesia juga penghasil kentang dengan kualitas yang baik. Akan tetapi harus mengimpor kentang dari Cina karena perdagangan bebas. Jadi negara tidak bisa melindungi warganya untuk hidup sejahtera dengan menjual barang produksinya. Ada daging impor, apel impor, anggur impor dan masih banyak lagi yang semuanya bisa merusak produk dalam negeri. Sejak berdiri pada abad ke 14 masehi, pesantren memiliki fungsi sebagai lembaga dakwah, lembaga pendidikan dan pengkaderan ulama serta pusat perjuangan ummat dalam melawan penjajah; maka pada tahun 1980-an, melalui Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), dunia pesantren memperoleh tambahan fungsi baru, yaitu sebagai pusat pemberdayaan
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
56
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM masyarakat. Kemudian di era 2000an, pesantren memperoleh tambahan fungsi baru lagi yaitu sebagai pusat pengembangan ekonomi kerakyatan. Berdasarkan hal tersebut maka sangat model pemberdayaan ekonomi yang dilakukan oleh dayah tradisional maupun dayah modern yang ada di Kota Lhokseumawe. Dapat melaksanakan model khas mengembangkan koperasi. Artinya: dayah tradisional maupun dayah modern dapat menggunakan potensi yang dimiliki dayah, mulai dari: para santri, para ustadz/uztadzah dan lahan untuk melakukan kegiatan agribisnis di lahan perkebunana dayah. Selanjutnya hasil agribisnis tersebut diolah dan dipasarkan melalui koperasi yang dimiliki dayah. Hasil perkebunan itu sangat penting diolah untuk menghasilkan nilai tambah lalu dijual di koperasi dayah baik koperasi yang ada di dayah, maupun koperasi dayah di luar area dayah. Sebagai contoh, dayah menyediakan lahan perkebunan singkong (ubi), ubi dari kebun dayah tersebut lalu diolah menjadi kripik ubi, baik kripik pedas, kripik manis, kripik gurih, selanjutnya dikemas dengan memberikan logo dayah pada kemasannya setelah itu dipasarkan ke koperasi yang dimiliki dayah, baik dalam area dayah maupun koperasi dayah di luar area dayah. Atau dayah bisa juga melakukan usaha ternak ikan atau ayam potong yang dikelola oleh santri dan para ustad. Ikan dan ayam potong ini bisa langsung dipasarkan bila sudah besar/ layak dijual, atau bisa juga diolah agar menghasilkan nilai tambah lebih banyak misalnya seperti digoreng menjadi ikan goreng tepung, ayam kentaki, lalu dikemas sedemikian rupa dengan logo dayah lalu dipasarkan. Model-model pemberdayaan seperti ini seharusnya menjadi pemikiran setiap pimpinan dayah baik yang tradisional maupun dayah modern untuk meningkatkan usaha mikro baik untuk penambahan
57
pendapatan di dayah, para ustad/ustadzah maupun para santri, maupun wadah sebagai pelatihan bagi santri di dayah tersebut. Apalagi bila mengingat usaha mikro dan usaha kecil selama ini telah memberikan kontribusi yang signifikan kepada perekonomian nasional. Sebagai gambaran saja, pada tahun 2000 tenaga kerja yang diserap industri rumah tangga (salah satu bagian dari usaha mikro sektor perindustrian) dan industri kecil mencapai 65,38% dari tenaga kerja yang diserap sektor perindustrian nasional. Mewujudkan model ideal pemberdayaan ekonomi bagi dayah, maka sangat memerlukan langkah-langka pengoptimalisasian peran dayah yang ada di Kota Lhokseumawe dalam bidang pemberdayaan ekonomi. Minimal ada langkah-langkah yang diperlukan untuk mewujudkan hal tersebut menurut penulis, yaitu: pertama, pembaharuan sistem pendidikan di dayah dan yang kedua, pemberdayaan potensi ekonomi yang dimiliki dayah. Pembaharuan sistem pendidikan di dayah dapat dilakukan dengan 3 (tiga) tahapan yaitu: pertama, pembaruan dan peninjauan kembali kurikulum pendidikan; kedua, pembaruan metode pembelajaran di dayah; dan ketiga, perbaikan manajemen pendidikan pesantren. Pembaruan dan peninjauan kembali kurikulum pendidikan dilakukan dengan cara menelaah lebih mendalam terkait rujukan kitab yang digunakan, dalam artian kitab kuning klasik tidak bisa menjawab semua problematika ekonomi kontemporer, maka sangat wajar untuk dipadukan dengan kitabkitab mu’asirah, kitab-kitab karya ulama kontemporer. Jika tidak, maka pola pikir pesantren dan santri -sebagaimana dikatakan Yusuf al-Qardhawi berdasar pola pikir ulama yang hidup ratusan tahun lalu, padahal kita hidup pada saat ini. Dalam kajian fiqh, disamping menggunakan kitab fiqih klasik,
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM seharusnya juga menggunakan kitab fiqih kontemporer. Disamping mengkaji akadakad muamalah klasik, agar kajian fiqh muamalah dipesantren membumi, maka juga diperlukan kajian aplikasi kontemporer atas akad-akad tersebut. Juga diperlukan kajian fiqh atas fenomena dan realitas kontemporer yang belum ada dalam kitabkitab kuning, berdasarkan perangkat yang telah disediakan oleh Islam, yaitu metode usul fiqh, agar kehidupan kita berada dalam naungan syariah. Sementara, pembaruan metode pembelajaran di dayah dapat dilakukan dengan inovasi model pembelajaran yang diterapkan dayah itu sendiri. Metode pembelajaran sorogan dan bandongan yang cenderung monoton dan pasif, mesti ditransformasikan dan diperkaya dengan berbagai metode instruksional modern agar lebih mendekatkan kepada pemahaman, lebih menyenangkan dan lebih membuka eksplorasi cakrawala pemikiran peserta didiknya. Perbaikan manajemen pendidikan pesantren; Proses keberhasilan sistem pendidikan pesantren sangat dipengaruhi oleh penataan manajerialnya. Perbaikan manajemen ini mencakup manajemen kepegawaian dan manajemen santri. Manajemen kepegawaian, termasuk didalamnya ustadz dan guru mutlak diperbaiki. Manajemen ini bertujuan bagaimana kualitas para ustadz selalu meningkat, karena salah satu penunjang kualitas pendidikan adalah kualitas ustadz/ gurunya. Menciptakan suasana kerja yang nyaman dan peningkatan Kesejahteraan mereka adalah salah satu tugas manajerial pendidikan pesantren. Selanjutnya, pemberdayaan potensi ekonomi yang dimiliki dayah. Pengembangan ekonomi dayah disamping dimaksudkan untuk menopang kemandirian dayah, tentu juga kesan bahwa santri hanya pintar mengaji dan berdoa dapat dijawab dengan bukti nyata. Kemandirian
hidup dalam bidang ekonomi pada dasarnya merupakan implementasi ajaran Islam yang dikaji di dayah. Optimalisasi pengembangan potensi ekonomi dayah ini dapat dijalankan dengan beberapa langkah: pertama, Perbaikan Sumber Dayah Manusia (SDM) perekonomian, baik manajemen maupun akuntansi. Pelatihanpelatihan yang berkaitan dengan hal ini harus diadakan. Dayah bisa menggandeng Lembaga Perekonomian Umat (LPU) yang sudah ada seperti Bank Syariah, BMT dan BPRS maupun Lembaga Pengembang Ekonomi Swadaya Masyarakat (LPESM) seperti INKOPONTREN dan PINBUK. Kedua, perbaikan manajemen pengelolaan lembaga ekonomi menuju pengelolaan yang profesional dan berbasis syariah. Manajemen yang jelek merupakan faktor dominan bagi tidak berkembangnya ekonomi dayah selama ini. dan ketiga, membangun jaringan, baik dengan LPU, LPESM, alumni, masyarakat maupun pemerintah. Jaringan Koperasi dayah melalui induknya (INKOPONTREN) yang sudah ada perlu dioptimalkan agar menciptakan multiefek yang besar, baik dibidang usaha maupun pemasarannya. E. Penutup 1. Simpulan Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan tentang Pemberdayaan Ekonomi Berbasis Syariah yang dilaksanakan di dayah modern dan dayah tradisional, dapat disimpulkan, bahwa: a. Pemberdayaan ekonomi berbasis syariah yang dilakukan di dayah modern (Dayah Ulumuddin dan Dayah Modern Yapena) dan Dayah Tradisional (Dayah Darul Ulum Alue Awe dan Dayah Darul Yaqin Ulee Jalan) dilakukan melalui koperasi dayah, simpan pinjam, dan khususnya bagi dayah tradisional ditambah lagi dengan kegiatan kewirausahaan yang dilakukan beberapa santriwati di dayah
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
58
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Darul Yaqin Ulee Jalan, demikian juga dengan kegiatan kewirausahaan yang dilakukan oleh Ustad Razali di dayah Darul Ulum Alue Awe seperti kegiatan agribisnis. Namun, secara keseluruhan menunjukkan pemberdayaan ekonomi berbasis syariah di dayah modern dan tradisional telah terjadi atau dilakukan, baik itu dikalangan para ustad/ustadzah maupun para santri sesuai dengan indikator yang telah peneliti tetapkan sebelumnya, yaitu: pemberdayaan ekonomi dilihat dari adanya peningkatan skill, motivasi, pengembangan potensi diri, membangkitkan kesadaran, menciptakan iklim dan prasarana mendukung, input, akses/peluang, nilai dan budaya kerja keras, tanggung jawab, terbuka dan hemat. b. Perbedaan pemberdayaan ekonomi berbasis syariah yang dilakukan di Dayah Modern dan Tradisional di Kota Lhokseumawe adalah koperasi yang ada di dayah modern telah memiliki badan hukum, sementara koperasi dayah tradisional belum (proses), tata kelolah koperasi di dayah modern lebih baik dari pada tata kelola koperasi di dayah tradisional, jumlah omset koperasi yang dimiliki modern lebih besar dari dayah tradisional. Namun, dari sisi kreativitas di bidang kewirausahaan para santri dan pengajar dayah tradisional lebih kreatif dari pada dayah para santri dan para pengajar di dayah modern. c. Model pemberdayaan ekonomi yang ideal bagi dayah di Kota Lhokseumawe adalah dengan melaksanakan model khas mengembangkan koperasi. Artinya: dayah tradisional maupun dayah modern dapat menggunakan potensi yang dimiliki dayah, mulai dari: para santri, para ustadz/uztadzah
59
dan lahan untuk melakukan kegiatan agribisnis di lahan perkebunana dayah. Selanjutnya hasil agribisnis tersebut diolah dan dipasarkan melalui koperasi yang dimiliki dayah
2. Saran Berdasarkan analisis dan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini, maka diajukan beberapa saran, sebagai berikut: a. Disarankan untuk pimpinan dayah dan para guru (ustad/Tgk dan ustadzah) untuk melaksanakan secara maksimal program pemberdayaan ekonomi berbasis syariah kepada santri dan para ustad/ustadzah dengan model pemberdayaan yang disesuai dengan potensi ekonomi yang dimiliki (SDM dan SDA) dayah. b. Disarankan kepada pimpinanan dayah, para ustad/ustadzah untuk melakukan kerjasama dengan lembaga pendidikan dan instansi pemerintah yang terkait dalam rangka pemberdayaan ekonomi berbasis syariah. c. Disarankan kepada pemerintah dan instansi terkait untuk berperan aktik melakukan pembinaan dan pemberdayaan kepada dayah tradisional maupun dayah modern untuk menumbuhkan jiwa kewirausahaan untuk melaksanakan usaha mikro baik dalam rangka untuk penambahan pendapatan di dayah, para ustad/ustadzah maupun para santri, maupun sebagai wadah pelatihan bagi santri di dayah tersebut. DAFTAR PUSTAKA Abdalati, 1975. Islam in Focus, Indiana, USA: American Trust Publications.
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Antonio, Muhammad Syafi’I, 2006. Membangun Ekonomi Islam di Indonesia sebagai Post Capitalist Economy , Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun Ke XXI No. 245, April 2006 nard, L.L., 1934. The field and Methods of Sociology, New York, Rinehart and Company Inc.
………………, 1958 Metode-metode Anthtropologi dalam PenjelidikanPenjelidikan Masjarakat dan Kebudayaan di Indonesia; Sebuah Ichtisar, (Djakarta, Penerbitan Universitas, 1958),
Billah dalam Dawam Rahardjo, 1985. Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah. Jakarta: P3M.
Lessa, William A and Evon Z Vogt, 1979. Reader in Comparative Religion; An Antropologi Approach, New York; Harper and Row Publishers
BPS, 2013. Lhokseumawe dalam Angka 2013
Manfred, Zieme, 1986. Pesantren dalam Perubahan Sosial, Jakarta: P3M, 1986.
Chapra, Umar, 2000. Islam dan Tantangan Ekonomi, terj. Ikhwan Abidin Basri, Jakarta: Gema Insani Press Damihartini dan Jahi sebagaimana dikutip dalam Nuhfil Hanani, 2005. Peranan Kelembagaan dalam Pengembangan Agribisnis, Pamator, Volume 2 Nomor 1. 2005, h. 67-69. Faozan, Achmad Faozan, 2006. Pondok Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi, Ibda: Jurnal Studi Islam dan Budaya, Vol 4, No. 1, 2006, h. 81-95.
Koentjaraningrat, 1987. Sejarah Teori Antropologi, Jakarta, UI-Press
Moleong, Lexy J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya Offset. N a s i r, M o h a m m a d , 2 0 0 0 . M e t o d e Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia Nawari. 2006. Pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat Desa Oleh Pesantren. Depok: Tesis FISIP Universitas Indonesia. Nawawi, Hadari, 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta, Gajah Mada: University Press.
Halim, A. Rr.Suhartini, dkk, 2005. Manajemen Pesantren, Yogyakarta: Pustaka Pesantren Kelompok Penerbit LkiS.
Nugroho, Syahid Widi, 2005. Peran Pondok Pesantren Dalam Pembangunan D e s a . D e p o k : Te s i s F I S I P Universitas Indonesia
K a r t a s a s m i t a , G i n a n j a r, 1 9 9 6 . Pemberdayaan Masyarakat: Konsep Pembangunan yang berakar pada Masyarakat, Jakarta: Bappenas
Pranarka, A. M. W. dan Vidhandika Moeljarto, 1996. Pemberdayaan (Empowerment) dalam Onny S. Prijono dan A.M.W Pranarka (eds), 1996. Pemberdayaan;
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
60
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Konsep, Kebijakan dan Implementasi, CSIS, Jakarta Rahman,Afzalur, 1995. Doktrin Ekonomi Islam, terj. Soeroyo dan Nastangin Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. Soetomo. 2006. Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung : Refika Aditama Sumodiningrat, Gunawan, 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaringan Pengaman Sosial, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Strauss Claude Levi, 2005 Antropologi
61
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
62
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM PEMBELAJARAN BAHASA KEDUA (ARAB dan INGGRIS) PADA ANAK USIA PRASEKOLAH Oleh : Said Alwi, Cut intan, Novi Diana, Sofyan Ariyanto, Yusnaini Ilyas Dosen Jurusan Tarbiyah Abstrak Article describes learning a second language is Arabic and English to preschoolers. Language is a means of communication among humans. Using language communication skills in social environment begins when the child is able to speak. In the preschool years, children’s language skills are important, and need to be considered. Learning a second language (Arabic and English) for the age group of preschool children require special handling that is different from teaching to other age groups. Based on the fact it was found that not all teachers are able and managed to teach the children. It may be because the required teaching children’s ability to delve into the world of children and their abilities are still very imaginary. In addition, teachers also need to pay attention to the development of students both in terms of age, materials, and strategies used. This article aims to explain the process of learning a second language in preschool children and constraints faced by early childhood teachers / kindergarten in learning a second language. The argument of this article confirms that the ability to understand or produce spoken or written text that is realized in the four language skills, ie listening, speaking, reading and writing. Kata Kunci : Pembelajaran, Bahassa Kedua (Arab dan Inggris), Usia Prasekolah. A. Pendahuluan Dalam berkomunikasi, bahasa merupakan alat yang sangat penting bagi setiap manusia. Melalui bahasa anak akan mampu mengembangkan kemampuan bergaul (social skill) dengan lingkungannya. Penguasaan keterampilan bergaul dalam lingkungan sosial dimulai semenjak anak menguasai kemampuan berbahasa, karena tanpa adanya bahasa seseorang tidak akan mampu berkomunikasi dengan orang lain. Anak akan mampu mengekspresikan pikirannya dengan menggunakan bahasa yang baik sehingga orang akan mudah menangkap apa yang dipikirkan oleh anak. Komunikasi antara anak juga dapat terjalin baik dengan bahasa sehingga anak dapat membangun hubungan dan mampu bekerja sama dengan anak lainnya, dan tidak mengherankan banyak yang beranggapan
63
bahwasanya hal tersebut merupakan salah satu indikator kesuksesan anak. Anak yang banyak berbicara kadang merupakan cerminan anak yang cerdas, namun hal tersebut tidak mutlak dapat dikatakan anak yang pendiam adalah anak yang tidak cerdas, kemungkinan anak tersebut mengkonsepkan terlebih dahulu input yang diterimanya. Selanjutnya pada kesempatan lain anak akan mengungkapkan katakata pada saat ia membutuhkan kata tersebut untuk dikeluarkan. Dalam proses penerimaan bahasa dari lingkungan disebut pemerolehan dan pembelajaran bahasa. Pemerolehan bahasa merupakan proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal yang disebut dengan pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama (Bl)
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM (anak) terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, anak lebih mengarah pada fungsi komunikasi daripada bentuk bahasanya. Pemerolehan bahasa anak-anak dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit. Hal inilah yang merupakan permasalahan yang dihadapi oleh anak prasekolah dalam masa-masa pemerolehan bahasa. Selanjutnya, bagaimana pembelajaran yang dilakukan oleh gurunya pada masa pendidikan untuk anak prasekolah atau anak usia dini. Anak usia TK merupakan masa peka bagi perkembangan kepribadian anak. Selama masa ini, beberapa kepribadian mulai terbentuk. Pada masa ini pula, perbedaan kepribadian setiap anak semakin jelas terlihat. Kemampuan yang terbentuk dan berkembang dengan pesat pada masa ini antara lain yaitu perkembangan fisik dan kemampuan berbahasa(Soemiarti Patmonodewo, 2003:23). Pada masa prasekolah, kemampuan berbahasa anak menjadi penting dan perlu untuk diperhatikan. Hal tersebut dikarenakan dengan bahasa yang digunakan tersebut, seorang anak prasekolah dapat berkomunikasi dengan teman-temannya atau orang-orang dewasa di sekitarnya. Bahasa juga membantu anak prasekolah untuk meminta dan meraih apa yang diinginkan, mampu menjaga diri serta melatih kontrol diri (Papalia, D. E., & Olds, S. W, 1986 : 95). Oleh sebab itu, anak usia prasekolah perlu dibekali dengan pemerolehan bahasa pertama yang mantap untuk meneruskan kemampuannya pada proses pembelajaran bahasa kedua. Dewasa ini, pembelajaran pada tingkat PAUD dan TK selain mengajarkan bahasa pertama juga mengajarkan bahasa Arab dan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua.
Hal tersebut berdasarkan asumsi bahwa anak lebih cepat belajar bahasa asing dari pada orang dewasa. Sebuah penelitian yang dilakukan Johnson dan Newport, menunjukan bahwa imigran asal Cina dan Korea yang mulai tinggal di Amerika pada usia 3 sampai 7 tahun kemampuan Bahasa Inggrisnya lebih baik dari pada anak yang lebih tua atau orang dewasa (Santrock, J. W, 1999 : 98). Penelitian lain mengenai korelasi antara usia dan tingkat kefasihan berbahasa kedua memperlihatkan bahwa pembelajar yang berusia di bawah 15 tahun mampu mencapai tingkat kefasihan berbahasa yang setara dengan penutur asli http://www.tc.colombia.edu/academic/ tesol/Gina Laporta.htm. Penelitian terkait yang menyatakan kebermanfaatan menguasai bahasa asing lebih dini, bahwa anak akan memiliki kelebihan dalam hal intelektual yang fleksibel, keterampilan akademik, berbahasa dan sosial. Selain itu, anak akan memiliki kesiapan memasuki suatu konteks pergaulan dengan berbagai bahasa dan budaya. Sehingga ketika dewasa anak akan menjadi sumber daya manusia yang berkualitas dan bisa berprestasi (Kumara, A. 2000 :1-9). Pemahaman dan apresiasi anak terhadap bahasa dan budayannya sendiri juga akan berkembang jika anak mempelajari bahasa asing sejak dini. Alasannya karena mereka akan memiliki akses yang lebih besar terhadap bahasa dan budaya asing nantinya. Pembelajaran bahasa (language learning) berkaitan dengan prosesproses yang terjadi pada waktu seorang anak-anak mempelajari bahasa kedua. Berlangsung secara formal dan berkaitan dengan bahasa keduanya, ketiga dan seterusnya, termasuk juga bahasa asing. Pembelajaran bahasa asing ini dapat dimulai jika anak telah memperoleh bahasa pertamanya (bahasa ibunya). Dalam proses pembelajaran bahasa ini, anak akan melakukan asimilasi bahasa ibunya
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
64
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM dengan bahasa asing yang dipelajarinya. Artinya, kata-kata bahasa asing yang diasimilasi anak tidak dilakukan secara langsung tapi lewat perantara bahasa ibu. Dalam melakukan pembelajaran tersebut juga harus diperhatikan pula perbedaan-perbedaan individu. Jenisjenis perbedaan individu itu antara lain perbedaan kecerdasan, perbedaan pengetahuan, perbedaan bakat, perbedaan kepribadian, perbedaan sikap, perbedaan kebiasaan, perbedaan motif, perbedaan cita-cita, perbedaan hasil belajar, perbedaan keadaan jasmani, perbedaan tempo perkembangan, perbedaan etika, perbedaan penyesuaian sosial dan emosional, perbedaan latar belakang keluarga, dan perbedaan anak yang cerdas dan yang lamban dalam belajar. Pembelajaran bahasa kedua (Arab dan Inggris) untuk kelompok usia anak prasekolah menuntut penanganan khusus yang berbeda dengan pengajaran kepada kelompok umur yang lain. Ini terbukti dari kenyataan bahwa tidak semua guru mampu dan berhasil mengajar anakanak. Boleh jadi karena dalam mengajar anak dibutuhkan kemampuan menyelami dunia anak dan kemampuan memasuki dunia mereka yang masih sangat imajiner. Selain itu, guru juga harus memperhatikan perkembangan siswa baik dari segi usia, materi, dan strategi yang digunakan. Dalam menentukan waktu yang tepat atau diusia berapa anak sebaiknya mulai diperkenalkan dengan bahasa asing baik secara formal maupun informal harus tetap mempertimbangkan perbedaanperbedaan individu di atas. Berdasarkan hasil observasi, pembelajaran bahasa kedua yang akan dilaksanakan pada anak TK/PAUD yang ada di kota Lhokseumawe yaitu TK/PAUD yang dipilih adalah TKIT Bunayya, TK Bhayangkari, dan TK AzZaitun Kecamatan Banda Sakti. Beberapa TK ini sudah menerapkan pembelajaran Bahasa Inggris dan Bahasa
65
Arab dasar. Namun peran guru dan proses pembelajaran bahasa kedua diterapkan sejak dini bagi anak menjadi hal yang perlu dibahas bagaimana penerapannya. Adapun masalah yang dirumuskan dalam artikel ini adalah Bagaimana proses pembelajaran bahasa kedua pada anak usia prasekolah? Dan Bagaimana kendala yang dihadapi guru PAUD/TK dalam pembelajaran bahasa kedua? Untuk menjawab masalah di atas, artikel ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan psikologis. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha untuk mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi saat sekarang yang timbul di lapangan dimana peneliti berusaha menggambarkan sebagaimana mestinya (Nana Sudjana, 1999 : 64). Sedangkan kualitatif menurut Bogdan dan Taylor sebagaimana dikutip oleh Moleong adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang dan perilaku yang dapat diamati (Lexy J. Moleong, 2000 : 3). Metode penelitian kualitatif sering disebut metode penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi alamiah (natural setting), disebut juga metode etnographi karena pada arahnya metode ini lebih banyak digunakan untuk bidang antropologi budaya, disebut kualitatif karena data yang terkumpul dan analisisnya bersifat kualitatif. Jadi penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan “apa adanya” tentang suatu variabel, gejala atau keadaan (Suharsimi Arikunto, 2003 : 310). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian lapangan (field research), karena yang diteliti adalah sesuatu yang terjadi di lapangan secara langsung berupa pemerolehan dan proses pembelajaran bahasa kedua anak usia prasekolah. Penelitian ini direncanakan
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM selama tiga bulan yaitu dari bulan mei-juli 2014, terhitung sejak persiapan proposal hingga penulisan laporan penelitian. Subjek penelitian merupakan sumber tempat memperoleh informasi melalui seseorang ataupun sesuatu yang dapat dijadikan data berupa keterangan. Dalam hal ini yang menjadi subjek penelitian adalah guru PAUD/TK Se-kecamatan Banda Sakti kota Lhokseumawe, siswa PAUD/TK dan Kepala sekolah sebagai data pendukung. TK-TK tersebut adalah TKIT Bunayya, TK Bhayangkari, dan TK AzZaitun Kecamatan Banda Sakti. Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri yang langsung ke lapangan dan berintegrasi dengan subjek penelitian. Selain peneliti sendiri, instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa pedoman wawancara, pedoman observasi dan alat dokumentasi sebagai data penunjang. Sebagai langkah awal, peneliti melakukan langkah administrasi untuk mengumpulkan data dan informasi melalui kontak langsung dengan kepala sekolah untuk meminta izin melakukan agar dapat melakukan penelitian mengenai Perkembangan dan pemerolehan bahasa kedua pada anak usia Prasekolah. Pengumpulan data tersebut dilakukan melalui beberapa teknik pengumpulan data yaitu observasi, wawancara, dan dokumentasi. Metode observasi adalah penyelidikan yang digunakan untuk mengamati gejala-gejala yang terwujud dalam perilaku anak-anak yang diteliti. Observasi dilakukan dengan cara mendatangi tempat berlangsungnya proses kegiatan pendidikan anak. Wawancara digunakan untuk mengumpulkan data melalui kata-kata atau ungkapan subjek penelitian. Wawancara yang dilakukan dengan guru-guru dan kepala sekolah yang ada di PAUD/TK, berkaitan dengan pemerolehan dan pembelajaran bahasa kedua anak usia prasekolah hingga
kendala-kendala yang dihadapi oleh pihak sekolah dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa kedua bagi anak usia prasekolah. Wawancara juga digunakan untuk menggali informasi lebih lanjut mengenai pelaksanaan pembelajaran di PAUD/ TK se-kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe. Metode dokumentasi atau pengumpulan dokumen adalah mengumpulkan data dari sumber lainnya, seperti kegiatan belajar mengajar dan hasil pengamatan dari peneliti terhadap perkembangan pembelajaran anak usia prasekolah di tiga TK/PAUD kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe. Metode dokumentasi dalam penelitian ini dilakukan untuk menelusuri dan menemukan informasi mengenai keadaan gedung, sarana dan prasarana PAUD/TK, serta fasilitas dan media pembelajaran bahasa bagi anak. Berdasarkan prosedur pengumpulan data, maka data penelitian diperoleh melalui: observasi, wawancara dan dokumentasi. Proses analisis data ditempuh melalui display data, reduksi data, dan penarikan kesimpulan hasil penelitian. Reduksi data meliputi: pemilihan dan penyederhanaan data-data kasar yang diperoleh di lapangan. Kemudian data tersebut diseleksi, diringkas dan dikelompokkan dalam satuan-satuan pokok pikiran. Data yang tidak perlu dan tidak berkaitan dengan masalah penelitian dibuang dan kemudian digantikan dengan data-data yang sesuai. B. Hasil Penelitian 1. Penerapan Kurikulum Kurikulum merupakan pedoman bagi guru dalam melaksanakan proses pembelajaran di kelas. Jika pedoman ini tidak ada maka pembelajaranpun tidak berjalan secara bersistem. Oleh sebab itu, perlu disusun suatu kurikulum terhadap pembelajaran bahasa asing untuk anak
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
66
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM usia prasekolah. Dalam hal ini untuk anak TK/PAUD. Kurikulum adalah suatu kerangka yang membantu guru dalam proses mengajar pada situasi yang sudah dirancang, dan juga membantu siswa untuk belajar secara efektif dan seefisien mungkin pada situasi yang sudah dirancang. Berkaitan dengan definisi kurikulum yang dapat diartikan ke dalam tiga ranah yaitu 1) kurikulum sebagai rencana belajar bagi peserta didik, 2) kurikulum sebagai rencana pembelajaran, dan 3) kurikulum sebagai pengalaman belajar peserta didik. Kurikulum adalah sebagai rencana belajar (curriculum is a plan for learning) (Munir, 2008). Untuk itu, biasanya kurikulum terdiri dari tujuan, materi/isi, strategi pembelajaran dan evaluasi. Dalam konteks bentuk-bentuk belajar yang direncanakan memerlukan penjelasan yang lebih komprehensif. Penjelasan tersebut sangat erat kaitannya dengan teori lain yang relevan seperti psikologi belajar, anak, dan sebagainya. Selain itu, kurikulum sebagai rencana pembelajaran di lembaga pendidikan baik formal maupun non formal, akademik maupun profesional mencakup sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh dan dipelajari serta dikuasai peserta didik pada jenjang dan satuan pendidikan tertentu. Ini bermakna bahwa proses pendidikan di lembaga pendidikan yang termasuk dalam kurikulum hanya mata pelajaran yang harus dipelajari peserta didik sedangkan proses kegiatan belajar mengajar yang terjadi tidak termasuk ke dalam kurikulum (Mulyasa, 2009). Berdasarkan hasil observasi di beberapa TK tersebut, kurikulum yang digunakan merupakan kurikulum yang disusun sendiri berdasarkan hasil rapat kerja para kepala sekolah. Untuk kurikulum yang sesungguhnya belum ada kurikulum yang secara khusus mempelajari bahasa
67
asing, namun pembelajaran bahasa asing dilakukan secara terintegrasi dengan pelajaran lainnya. Rapat kerja yang dilakukan oleh kepala sekolah untuk kurikulum ini dilaksanakan di awal tahun. Rapat kerja dilakukan selama 4 hari, hasil rapat didiskusikan kembali dengan menambah muatan jika diperlukan. Mengenai penerapan bahasa Asing (bahasa Arab dan bahasa Inggris) dibahas secara khusus dalam rapat kerja tahunan di kota Lhokseumawe. Untuk anak usia prasekolah sangat baik untuk memperkenalkan bahasa asing, karena pada usia mereka pemerolehan dan pembelajaran bahasa kedua dapat mudah dilakukan. Dalam kurikulum yang sudah disepakati, pembelajaran bahasa Arab dan Inggris dilakukan secara serentak dan spontan atau terintegrasi dengan materi pelajaran lainnya. Hal ini dilakukan guru karena anak pada usia dini masih pada tahap pengenalan bahasa kedua setelah mempelajari atau memperoleh bahasa pertama (bahasa Ibu). Bahasa pertama anak usia prasekolah juga sangat menentukan keberhasilan dari pembelajaran bahasa kedua. Bahasa pertama merupakan bahasa pengantar untuk mempelajari bahasa kedua. Jika bahasa pertama dapat dikuasai dengan baik maka tak ada masalah pada pembelajaran bahasa kedua. Pada pembelajaran bahasa kedua anak dituntut untuk dapat menterjemahkan kata-kata yang diucapkannya. Hal ini merupakan dasar strategi dalam pembelajaran bahasa kedua. Maka, dalam proses pembelajaran bahasa kedua guru atau lembaga dituntut untuk dapat mengkonstruk terlebih dahulu kurikulum sebagai landasan atau perencanaan yang matang untuk proses pembelajaran bahasa kedua. Namun di TKIT Bunanya, TK Bhayangkari dan Az-Zaitun memang sudah mempunyai
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM kurikulum yang disepakati bersama dalam Rapat Kerja yang dilaksanakan setiap tahunnya. Hal ini merupakan suatu kerja sama yang baik, bahwasanya ketiga sekolah ini sudah menerapkan pembelajaran bahasa asing dalam proses pembelajaran meskipun masih berupa pengenalan bahasa asing saja. 2. G u r u s e b a g a i S u m b e r Pembelajaran Bahasa Asing Guru merupakan kunci keberhasilan dari anak didik. Oleh sebab itu sebagai seorang guru, maka wajib menguasai kedua bahasa tersebut. Menurut ibu Listyawati, S.Pd.I. selaku kepala sekolah Bunayya bahwa jika ada guru yang tidak menguasai bahasa asing tersebut maka akan dilakukan pembinaan dengan mengikuti pelatihan-pelatihan bahasa Arab dan bahasa Inggris. Pelatihan yang dilakukan dengan cara mengundang pakar ke sekolah. Hal ini dilakukan secara kontinu yaitu dua minggu sekali, disamping juga mereka diwajibkan untuk menyetor hafalan al-Qur’an (Wawancara 6 September 2014). Namun berdasarkan pembicaraan di atas bahwa pakar bahasa asing yang dihadirkan ke sekolah tersebut adalah yang betul-betul menguasai kedua bahasa tersebut yaitu bahasa Arab dan Inggris. Dalam proses pembelajaran yang integratif, guru selalu disupervisi dan dimotivasi oleh kepala sekolah. Hal ini dilakukan agar proses pembelajaran dapat berjalan secara lancar. Kedisiplinan guru akan menjadi lebih baik jika selalu dimonitoring oleh kepala sekolah. Ini adalah suatu bentuk apresiasi untuk mendapatkan mutu atau kualitas yang lebih baik di sekolah tersebut, khususnya pada ketiga TK tersebut. Guru yang telah berpengalaman mengajar akan menerapkan teknik yang sekiranya tepat dalam pengajarannya yang disesuaikan dengan tingkat berpikir dan perkembangan anak. Untuk
mengenalkan kosakata pada anak usia prasekolah ini dapat dilakukan dengan teknik langsung, artinya kosakata yang diajarkan dihubungkan dengan bendabenda melalui nyanyian-nyanyian atau dengan cara apa saja yang bisa dipahami oleh anak. Jadi, guru dituntut harus kreatif menerapkan metode dalam pembelajaran bahasa asing. 3. Proses Pembelajaran Bahasa Asing Bahasa Arab sebagai bahasa asing tetap menempati posisi penting di Indonesia, khususnya bagi umat Islam, karena kedudukan bahasa Arab sebagai bahasa utama dalam mempelajari ilmu agama Islam. Dimana Bahasa Arab merupakan alat untuk dapat mempelajari al-Qur’an dan hadis yang keduanya merupakan dasar agama Islam serta bahasa kebudayaan Islam seperti filsafat, ilmu kalam, ilmu hadis, tafsir dan lain sebagainya. Demikian juga dengan pembelajaran bahasa Inggris yang mempunyai andil cukup besar dalam dunia pendidikan. Kedua bahasa ini merupakan bahasa internasional, dimana pembelajaran bahasa Arab dan Inggris perlu dibiasakan dan dikembangkan sejak usia dini. Dari uraian tersebut, tergambar dengan jelas betapa urgennya pembelajaran bahasa asing bagi tumbuh kembangnya kemampuan berbahasa anak. Pada dasarnya semua memahami bahwa pendidikan usia dini memiliki peran yang cukup strategis dan sekaligus krusial bagi proses perkembangan anak dalam masyarakat, karena pada usia dini berbagai aspek kepribadian seseorang mulai berkembang dan tumbuh. Pertumbuhan dan perkembangan pada suatu tahap menentukan keberhasilan seseorang dalam menjalankan tugas pada tahap perkembangan selanjutnya, termasuk dalam hal perkembangan bahasa. Dalam pemerolehan dan
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
68
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM pembelajaran bahasa asing anak-anak lebih cepat memperoleh bahasa tanpa kesukaran dibandingkan orang dewasa. Anak akan menggunakan bahasa dengan baik sebelum umur lima tahun, ia juga belajar bahasa lebih mudah pada tahuntahun ini dibandingkan pada masa berikutnya oleh karena keadaan fisik otaknya yang sedang berkembang. Dari pendapat tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa masa kanak-kanak adalah masa yang sangat penting untuk membentuk mental yang positif bagi kehidupannya. Anak dapat diberi modal dasar berupa keterampilan bahasa asing, mengingat pada masa ini anak masih sangat baik ingatannya. Pengajaran bahasa pada anak bila dimulai sejak dini akan lebih bagus dan optimal hasilnya daripada pengajaran kepada orang dewasa. Hal ini dikarenakan pada saat itu otak anak masih lentur sehingga dapat diukir ucapan yang akurat. Proses belajar mengajar merupakan suatu kegiatan melaksanakan kurikulum suatu lembaga pendidikan agar dapat mempengaruhi peserta didik dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan pendidikan pada dasarnya mengantarkan siswa menuju perubahan tingkah laku baik intelektual, moral maupun sosial agar dapat hidup mandiri sebagai individu dan makhluk sosial Sistem pembelajaran bahasa asing (Arab dan Inggris) dilakukan secara serentak atau terintegrasi. Proses pembelajaran bahasa asing berdasarkan kurikulum yang disepakati guru harus dapat mengajar untuk kedua bahasa tersebut. Berikut pemaparan secara rinci. a. Materi Pembelajaran Bahasa Arab dan Bahasa Inggris Untuk mempelajari suatu bahasa baik bahasa ibu atau bahasa kedua. maka, setiap pengguna bahasa harus memiliki penguasaan terhadap 4 keterampilan
69
berbahasa. Keterampilan berbahasa yang dimaksud adalah menyimak (mendengar), berbicara, membaca, dan menulis. Keempat keterampilan tersebut saling berhubungan. Oleh sebab itu, anak usia prasekolah tentunya belum semua keterampilan ini dapat dikuasainya. Maka, berhubungan dengan materi yang akan disampaikan dalam kurikulum. Guru mengajarkan anak terlebih dahulu tentang kosa kata sederhana. Kosa kata yang dimaksud adalah perbendaharaan kata untuk anak dapat berbicara dalam sehari-hari. Misalnya tema tentang warna, anggota keluarga, nama hari, binatang, angka, anggota tubuh, sapaan/percakapan dan buahbuahan. Beberapa kosa kata di atas merupakan hal yang diajarkan di sekolah yang berhubungan dengan lingkungan anak. Dalam pembelajaran bahasa Arab atau bahasa Inggris penguasaan kata-kata di atas menjadi objek pembelajarannya. b. M e t o d e d a n S t r a t e g i Pembelajaran Metode pembelajaran adalah metode yang digunakan pendidik atau guru dalam mengajar. Hal ini merupakan suatu kunci pokok keberhasilan suatu kegiatan pembelajaran yang dilakukan di sekolah. Selama ini metode pembelajaran yang digunakan di taman kanak-kanak adalah metode bercerita, tanya jawab, sosiodrama atau bermain peran, karya wisata, demontrasi, eksperimen dan pemberian tugas. Beberapa metode ini sering dilakukan di dalam proses pembelajaran di kelas. Berdasarkan hasil observasi metode yang sering diterapkan guru pada ketiga TK ,yaitu TKIT Bunayya, TK Bhayangkari dan TK Az-Zaitun ini dalam proses pembelajaran adalah metode pembelajaran sentra. Pada beberapa TK yang dimaksud dominan menggunakan metode sentra.
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Apalagi saat ini TKIT Bunayya sudah terakreditasi A. Tentunya mempunyai pengaruh yang cukup baik untuk pengembangan sebuah TK di Kota Lhokseumawe. Kepala TKIT Bunayya yaitu Ibu Listyawati, S.Pd.I saat ini selaku Ketua Ikatan Guru TK se-Kota Lhokseumawe. Beliau membawa suatu metode pembelajaran di TK ini mengarah pada metode sentra. Dengan metode sentra ini diharapkan dapat mengubah karakter moral anak menjadi lebih baik. Metode Sentra merupakan paradigma baru di bidang pendidikan dan pengajaran di TK. Selama ini mungkin guru hanya menggunakan metode konvensional, hasilnya perkembangan anak dalam belajar tidak maksimal. Berdasarkan hasil observasi, dalam pembelajaran dengan Metode Sentra, kurikulum tidak diberikan secara individu, melainkan secara klasikal disesuaikan dengan tahap perkembangan masing-masing anak. Maka, jumlah murid dalam satu rombel dibatasi, maksimal 15- 20 anak. Basis pembelajaran adalah bermain sambil belajar. Suasana belajarmengajar dibangun untuk memberikan rasa nyaman dan menyenangkan. Untuk mencapai suasana tersebut, guru bersama murid duduk dalam lingkaran, supaya posisi mata guru sejajar dengan mata para murid, sehingga tidak ada jarak hierarkial. Materi ajar disampaikan secara interaktif dan kongkret, dengan menempatkan murid sebagai pusat. Guru pun menyapa para murid dengan sebutan “teman.” Ketika memasuki kelas, guru tidak datang dengan sikap “akan mengajar apa kepada anak hari ini” melainkan “aku akan belajar apa dari anak hari ini.” Metode ini membangun “kecerdasan jamak” secara bersamaan dan berimbang: kecerdasan logika-matematika, bahasa, tubuh (kinestetik), ruang (spasial), kemandirian (intrapersonal),
kepedulian sosial (interpersonal), music (http://paud-anakbermainbelajar.blogspot. com). Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala sekolah di TK tersebut bahwa metode pembelajaran yang digunakan adalah metode sentra. Ada 5 sentra yang disediakan agar anakanak bisa bermain dengan semangat dan mendapatkan banyak pilihan dalam pembelajaran. Kelima sentra tersebut adalah: 1. Sentra Bahasa merupakan sentra yang berhubungan dengan persiapan. Anak berusaha membangun kemampuan keaksaraan yaitu dengan mengenal huruf-huruf dan angka-angka untuk pembelajaran dalam berbicara. Aspek berbicara menjadi kebutuhan khusus bagi anak tersebut. Apalagi anak saat di TK ini sudah mulai diajarkan bahasa Arab dan bahasa Inggris. Anak diajarkan aksara di kelas melalui media-media gambar yaitu jenis-jenis gambar bunga, mengenal huruf vokal, flash card (kartu kata) yaitu suku kata, tempelan di dinding tentang kosa kata bahasa Inggris dan bahasa Arab (judul I can speak English), dan banyak tersedianya buku cerita anak. 2. S e n t r a B u d a y a a d a l a h a n a k diberikan waktu untuk menonton bersama-sama tentang suatu cerita yang memuat seni dan budaya Indonesia yang beragam melalui LCD atau proyektor. Hal ini dilakukan untuk membangun kreatifitas, sensori motor, dan kerjasama. Pada kesempatan lainnya anak dituntut untuk menampilkan seni budaya daerah sendiri seperti lagu-lagu daerah dan tarian daerah Aceh. 3. Sentra Bermain peran merupakan ajang ekspresi diri bagi anak. Di
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
70
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM dalam sentra tersebut anak dapat mambangun imajinasi, daya hidup, adaptasi, kemandirian, kebahasaan, dan kepemimpinan. Melalui sentra ini anak dapat bermain peran dengan media yang disediakan oleh pihak sekolah seperti: dapur mini, supermarket, ruang praktek dokter cilik, dan mainan lainnya yang menunjang perkembangan kreativitas anak bermain peran. 4. Sentra Motorik Halus adalah sentra yang dapat mengajarkan anak untuk dapat mengembangkan motoric halusnya melalui kegiatan menggambar, mewarnai, melukis, menjahit, meronce, dan menempel. 5. Sentra Balok digunakan untuk merangsang kemampuan konstruksi, prediksi, presisi, akurasi, geometri dan matematika. Untuk kemampuan tersebut sekolah menyediakan pipapipa, balok kayu serta permainan edukasi yang terbuat dari kayu menjadi bahan untuk permainan anak-anak. Pada sentra ini anak dituntut untuk mampu membentuk bangun dari balok-balok yang disediakan. 6. Sentra Bahan Alam merupakan pengenalan dengan bahan-bahan alam yang berupa hasil bumi seperti bahan-bahan masakan (rempahrempah), kerang, kuaci, hal ini dimaksudkan untuk membangun sensori motor, fisika sederhana, pemahaman akan batasan dan sebab-akibat. Anak diberikan tugas untuk menanam biji-bijian dengan media tanah dan biji untuk ditanam dan dirawat, hasilnya mereka selalu menyiram dan memperhatikan pertumbuhan biji tersebut. 7. Sentra iman dan Taqwa merupakan sentra yang sangat penting bagi anak. Untuk memamdirikan anak dalam pembelajaran mengenai
71
agama. Di TK biasanya disediakan ruang untuk musholla sebagai tempat latihan anak-anak dalam belajar praktek salat. Ketiga TK tersebut sudah menerapkan beberapa sentra di atas, jadi, setiap hari, anak bermain di Sentra tersebut secara bergantian. Kemampuan klasifikasi anak dibangun secara terus-menerus agar mereka bisa memiliki konsep berpikir yang benar, kritis, dan analitis. Semua pengetahuan (knowledge) diberikan secara kongkret, tidak abstrak. Anak-anak dirangsang untuk “menemukan sendiri” konsep-konsep faktual mengenai bentuk, warna, ukuran, ciri, tanda, sifat, habitat, manfaat, serta rangkaian sebab-akibat. Namun ada masanya ada pergantian dalam penggunaan sentra tersebut bagi anakanak. Agar setiap anak akan merasakan perbedaan-perbedaan dari masing-masing sentra. Oleh sebab itu, sejak dini, anakpun dirangsang untuk bisa mengekspresikan diri dengan baik melalui lisan, tulisan dan gambar. Selama proses belajar-mengajar, guru melakukan komunikasi interaktif dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, agar cara kerja otak anak pun terstruktur dengan baik. Hal inilah yang membuat kepala sekolah dari ketiga TK ini membentuk anak melalui metode sentra. Selain metode sentra, strategi pembelajaran yang diterapkan guru dalam pembelajaran bahasa asing yaitu dengan strategi bernyanyi. Pembelajaran menjadi semarak dan menyenangkan dalam belajar bahasa asing. Pembelajaran bahasa asing di TK dilakukan secara terintegrasi (terpadu) dengan pelajaran lain. Diantara lagu yang diajarkan dalam bahasa asing adalah: Dalam bahasa Inggris: Hello…thum-thum 2x How are you. I am fine
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Thank you How about you 2x If you happy and you know clap your hand If you happy and you steps your feet If youre happy and you know and you really want to now If your happy and go now sah oke Dalam bahasa Arab: Li yadani yumna wa yusra Fie kulli yadien khamsu asshabi ya Hiyya ibhamu, assa batu, al wushta, albinsaru, alkhinsaru. c. Media Pembelajaran Bahasa Asing Media pembelajaran merupakan suatu alat untuk membantu guru dalam mentransfer ilmu kepada anak didik. Bentuk media yang sering digunakan guru dalam proses pembelajaran adalah media gambar. Apalagi jika guru mengajar di TK/PAUD tentunya banyak sekali media-media yang harus disediakan dalam berbagai macam bentuk. Penerapan media-media gambar tersebut dalam proses pembelajaran cukup signifikan. Media gambar sangat penting digunakan dalam usaha memperjelas pengertian pada anak sehingga dengan menggunakan media gambar anak lebih memperhatikan terhadap tanda benda atau hal-hal yang belum pernah dilihatnya yang berkaitan dengan materi pengajaran. Gambar dapat membantu guru dalam mencapai tujuan pembelajaran, karena gambar termasuk media yang mudah dan murah serta besar artinya untuk mempertinggi nilai pengajaran. Dengan gambar, pengertian dan pengalaman peserta didik menjadi lebih luas, lebih jelas dan tidak mudah dilupakan serta lebih konkrit dalam ingatan dan asosiasi anak. Sebagai calon pengajar bahasa, seorang guru harus memahami sifat dan asumsi dasar mengenai anak prasekolah
dalam proses belajar mengajar. TKIT Bunayya, TK Bhayangkari dan TK AzZaitun merupakan lembaga pendidikan yang mengarah pada pembentukan kebiasaan Islami pada diri anak didik baik dalam segi kehidupan sehari-hari yang bersifat pribadi maupun kehidupan kemasyarakatan. Secara umum tujuan Pengembangan kehidupan Beragama (PKB) di TK adalah menanamkan benihbenih keimanan dan ketaqwaan sedini mungkin dalam kepribadian anak didik sebagaimana terlihat dalam perkembangan kehidupan jasmaniah dan rohaniah sesuai dengan tingkat perkembangannya. Berdasarkan observasi yang dilakukan, pengajaran bahasa Arab dan Bahasa Inggris di TKIT Bunayya, TK Bhayangkari dan TK Az-Zaitun ini belum dilaksanakan secara intensif dan optimal. Bahasa Arab dan Bahasa Inggris baru diajarkan dalam bentuk yang sangat sederhana dan hanya sebatas pada pengenalan angka-angka. d. Penguasaan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris Berdasarkan hasil observasi, proses pembelajaran Bahasa Arab dan bahasa Inggris tingkat penguasaan anak masih pada tahap penguasaan kosa kata saja. Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa pembelajaran hanya terfokus kepada keterampilan menyimak dan berbicara. Dari aspek keterampilan berbahasa (language skills), menunjukkan bahwa keterampilan mendengarkan (listening) dan berbicara (speaking) menjadi keterampilan utama yang diajarkan di TK. Sedangkan kemampuan membaca (reading) dan menulis (writing) dilakukan masih pada tahap pengenalan huruf saja. Untuk keterampilan mendengarkan, proses pembelajaran berbasis pada bercerita yang dilakukan oleh guru. Sedangkan aspek berbicara, guru memberikan penekanan bahasa Arab dan Inggris
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
72
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM melalui penguasaan kosa kata saja. Jadi, prioritas pembelajaran pada keterampilan mendengarkan dan berbicara di TK ini sesuai dengan konsep belajar anak usia dini yang masih bersifat pemerolehan bahasa. Substansi kegiatan belajar bahasa asing/kedua mencakup kompetensi dan keterampilan berbahasa seperti menyimak (listening), berbicara (speaking), membaca (reading), dan menulis (writing). Keterampilan tersebut diajarkan secara integratif dan terpadu dengan apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (Aceng Rahmat, PBS FKIP UMS. 2010). Pembelajaran bahasa asing di beberapa TK ini cukup sederhana. Pembelajaran bahasa asing tidak terlalu dipaksakan kepada anak tapi dilakukan secara bermain namun bersistem. Untuk keterampilan membaca dalam kurikulum belum diterapkan tapi hanya belajar sambil bermain. Sesi pembelajaran Bahasa Arab dan bahasa Inggris diajarkan secara serentak, sesuai dengan standar pembelajaran anak usia dini. Anak dapat mengucapkan 1 atau 2 patah kata mengenai kata-kata dalam kehidupannya sehari-hari. Selanjutnya, dapat memahami perintah-perintah yang diberikan gurunya. Berdasarkan kurikulum, untuk penguasaan bahasa Arab dan Inggris disepakati kosa kata perkelas, kosa kata dipraktekkan dalam keseharian dan bagi guru diadakan pelatihan bahasa asing (sesuai lampiran). Untuk guru yang secara khusus menguasai bahasa asing belum ada. Dalam mengajar bahasa asing guru, khasanah keilmuan dalam menguasai bahasa asing di TK tersebut juga ada perpustakaan mini. Namun secara khusus untuk menyediakan buku dalam bahasa asing belum ada di ketiga TK tersebut. Berikut urutan penguasaan bahasa anak di ketiga TK tersebut yang diajarkan secara terintegratif dengan pelajaran lain yaitu:
73
Berikut pembelajaran kosa kata yang menyangkut pada 8 tema di atas yang sudah diajarkan pada anak usia prasekolah di TK tersebut. Tahap pembelajaran Bahasa Arab adalah sebagai berikut: 1. Warna-Warna
3. Tema nama hari
4. Tema binatang (melalui media gambar dan bercerita)
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM apalagi pembelajaran bahasa kedua dilakukan melalui strategi bernyanyi. Bahkan menurut orang tua wali murid, anak tersebut dapat menyanyikannya kembali di rumah. Selain itu, anak juga dapat mendemontrasikan kedua bahasa tersebut di depan kelas secara sederhana. Anak juga ada yang bertanya jika ada kesulitan dalam pembelajaran kosa kata yaitu mengenai arti kata yang tidak dipahaminya. e. K e s u l i t a n a t a u k e n d a l a yang dihadapi guru dalam pembelajaran Bahasa Asing Menurut kepala sekolah, kendala yang dihadapi dalam pembelajaran bahasa asing yaitu ketersediaan SDM saja. Guru yang mengajar bahasa asing perlu diberikan masukan-masukan, dan menjaga kompetensi diri terhadap materi pembelajaran bahasa asing. Selain itu, kurikulum dan silabus belum ada. Di samping itu juga pengucapan bahasa asing bagi siswa yang mengalami kesulitan yang signifikan. Orang tua juga andil dalam pembelajaran bahasa asing di sekolah. Walaupun di tingkat TK diberi pembelajaran ini. Jadi, jika ada kendala Ketiga TK tersebut langsung mencari solusi. Solusi tersebut selalu didiskusikan dalam rapat kerja yang dilakukan pada awal tahun.
Beberapa contoh tema di atas, pembelajaran bahasa Arab dan bahasa Inggris diajarkan oleh para guru sambil bermain dan tegur sapa antara guru dan anak setiap hari baik di dalam kelas atau di luar kelas. Dalam sentra-sentra tersebut diajarkan pada anak bahasa secara integratif. Jadi pembelajaran bahasa Arab dan Inggris berlangsung cukup baik. Sikap siswa dalam pembelajaran bahasa asing sangat antusias, senang
C. Kesimpulan dan Rekomendasi Kemampuan berkomunikasi dalam pengertian yang utuh adalah kemampuan berwacana, yakni kemampuan memahami atau menghasilkan teks lisan atau tulis yang direalisasikandalam empat keterampilan berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membacadan menulis. Keempat keterampilan inilah yang digunakan untuk menanggapi atau menciptakan wacana dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, matapelajaran
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
74
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Bahasa Arab dan bahasa Inggris diarahkan untuk mengembangkan keterampilanketerampilan tersebut agar lulusan mampu berkomunikasi dan berwacana dalam bahasa Arab dan Inggris pada tingkat literasi tertentu. Kebijakan dimasukkannya bahasa Arab dan Inggris sebagai salah satu mata pelajaran muatan lokal di TK telah mendapat sambutan positif dari masyarakat. Akan tetapi, dalam penyampaiannya juga banyak sekali kendala sehingga peserta didik kurang bisa menerima. Mulai dari kurang pahamnya peserta didik terhadap kosakata asing, faktor tenaga pendidik yang kurang mumpuni dalam penguasaan materi, faktor metode yang kurang tepat sebagai alat interaksi hingga faktor motivasi siswa dalam pembelajaran. Semua faktor tersebut sangat mempengaruhi pembelajaran Bahasa Arab dan bahasa Inggris.
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. XXVII, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000, h. 3
Daftar Pustaka
Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.
Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoretik, Jakarta:Rineka Cipta, 2003. ___________, Kajian Bahasa: Struktur Internal. Pemakaian dan Pemelajaran, Jakarta: Rineka Cipta, 2007. Dardjowidjojo, S. Echa : Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Jakarta : Grasindo, 2001. Hurlock, Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Janice J. Beaty, Observasi Perkembangan Anak Usia Dini, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013 Kumara, A. Peran Aktif Orangtua terhadap Ekspresi Tulis Anak. Jurnal Psikologi. 2000, Th. XXVII. No. 1.
75
La Porta, A Critical Look at The Critical Period Hypothesis, http://www. tc.colombia.edu/academic/tesol/ Gina Laporta.htm, diakses pada 18 April 2014 Monks, dkk, Psikologi Perkembangan, Yo g y a k a r t a : G a d j a h M a d a University Press, 2002 Mar”at, S. Perkembangan Bahasa Seorang Anak (Suatu Tinjauan Psikolinguistik). (dalam : Bunga Rampai Psikologi Perkembangan Pribadi : dari bayi sampai lanjut usia. Ed : Munandar, S. C. U). (Jakarta : Universitas Indonesia, 2001).
Papalia, D. E., & Olds, S. W. Human Development. Singapore : McGraw- Hill Book Co, 1986) Mar’at, Samsunuwiyati, Psikolinguistik, Bandung: Refika Aditama. Cet. I, 2005. Sumarsono, Sosiolinguistik, Yogyakarta: SABDA (Lembaga Studi Agama, Budaya dan Perdamaian), 2007 Soemiarti Patmonodewo, Pendidikan Anak Usia Praasekolah, Jakarta: Rineka Cipta Cet. II, 2003. Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, 2003 Santrock, J. W. Life-Span Development.
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Seventh Edition.Boston : McGrawHill College, 1999. Steinberg, L., Meyer, R. B., & Belsky. J. Infancy, Childhood, Adolescent Development in Context. New York : McGraw-Hill, Inc, 1991 Tai Meng Guat, Pemerolehan Bahasa Kanak-kanak : Satu Analisis Sintaksis, Jurnal Penyelidik IPBL, Jilid 7, 2006 Yu d h o B a w o n o , P e n g u a s a a n Pembendaharaan Kata Anak Usia Taman Kanak-kanak Ditinjau dari Inteligensi dan Aktivitas Menonton Televisi, www.psikologi.ugm.ac.id. Diunduh 18 April 2014. Itta The, Kemampuan Berbahasa Inggris Anak Dengan Pembelajaran Bilingual, Jurnal Pendidikan Pendidikan Penabur, No 01, Th, ke-6, 2008.
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
76
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM PERKEMBANGAN DAN PENERAPAN HUKUM ADAT
(Harmonisasi dan Kontroversi Dalam Implementasi Qanun Jinayah Di Aceh) Oleh: Bastiar Absract: In Aceh, the judiciary is not only four, but there are two legal institutions are not formal institutions that Indigenous Justice, and Justice Ulama Consultative Assembly of the carrier “cult”. The existence of Customary Courts have generally not been clear recognition. On the one hand, there is still no recognition, on the other hand the existence of customary settlement cases were recognized, which then led to controversy. This study wanted to know why there is controversy in the implementation of the common law with provisions jinayah qanun and how then the controversy into harmony. This is a qualitative study, the analytical form of prescriptive normative juridical approach supported by primary and secondary data. Primary data, covering a bylaw jinayah. Secondary data, in the form of normative legal research material, legislation, draft legislation, research relevant experts. RESULTS: First, History commencement custom behavior in Aceh begins with the birth of the kingdom of Aceh Darussalam. The entry of Islam into the kingdom of Aceh Darussalam greatly affect the process of formation of customary law. Top results consensus royal dignitaries, formed a system of customary law that came into effect in the Kingdom of Aceh Darussalam. Implementation of customary law running order due to the cooperation between the government, traditional institutions and communities. Second, the history of the establishment, enforcement and provision jinayah qanun. Aceh has the privilege to apply Islamic law kaffah. This legitimacy is given by the central government to meet the expectations of the Acehnese people who want this area apply Shari’a law as the imperial period. The central government made the Law 44 of 1999 concerning Islamic law in Aceh, which was followed by the formulation of regulations. The existence of Law 18 of 2001 on Special Autonomy for the Province of Aceh Special Region Aceh province also brought progress in the judicial system, and passed Law No. 11 of 2006 on the government of Aceh. Third, efforts to harmonize customary law and qanun jinayah, namely: forming customary institutions and admitted in accordance with their respective position. The authority of traditional institutions to reconcile the case made by the indigenous village meeting, led by Geuchik. Traditional institutions strive to be sensitive to local wisdom in settling disputes with emphasis on settlement through peace. Seek the support of various parties, especially the Government and Indigenous Assembly of Aceh as its leading sector and all components to disseminate, implement and enforce the Qanun on the Development of Indigenous Life in the midst of society. Judge seeks to explore, understand the legal values and sense of justice in society, and settle his case A. Pendahuluan Secara yuridis, ada empat peradilan di Indonesia, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama (Mahkamah Syar’iyah), Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Di Aceh, lembaga peradilan tidak hanya ada empat, namun ada dua lembaga peradilan yang bukan lembaga resmi pemerintah berdasarkan Undang-
77
Undang No. 4 Tahun 2004. Kedua lembaga peradilan itu adalah Peradilan Adat, dan Peradilan Majelis Permusyawaratan Ulama terhadap pembawa “aliran sesat”. Munculnya Peradilan Adat di Aceh, bersamaan dengan munculnya sejumlah aturan yang mengatur tentang pelaksanaan syari’at Islam di Aceh. Ada lima aturan yang berkaitan dengan pelaksanaan syari’at
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Islam, yaitu Qanun Aceh No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, Qanun Aceh No. 12 Tahun 2003 tentang Larangan Minuman Keras, Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003 tentang Larangan Perjudian, Qanun Aceh No. 14 Tahun 2003 tentang Larangan Khalwat/Mesum, Qanun Aceh No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat. Saat ini, pengakuan atas keberadaan Peradilan Adat secara keseluruhan belum jelas pengakuannya oleh negara. Di satu sisi, tidak diakui keberadaannya, tetapi di sisi lain masih ditemukan adanya pengakuan atas keberadaannya. Dalam analisa sistem politik hukum unifikasi yang dipraktikkan di Indonesia bahwa menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat, dan bahan baku pembentukan hukum nasional, tidak dapat lagi dipahami demikian, melainkan lebih dari itu, kedua sistem hukum itu diakui keberadaannya dan dapat saja diberlakukan secara positif bila masyarakat menghendakinya. Selain itu, meskipun bidang peradilan merupakan kewenangan pusat, realitas menunjukkan sebaliknya. Pemahaman tentang peradilan hanya sebatas hierarki proses peradilannya bukan materi hukumnya, namun di sisi lain Pemerintah Pusat mengisyaratkan dan memberi wewenang kepada daerah untuk mencari penyelesaian-penyelesaian sengketa hukum alternatif yang diharapkan lebih sesuai dengan rasa keadilan. Dari argumen tersebut dapat dijelaskan bahwa meskipun keberadaan Peradilan Adat Aceh tidak diakui secara formal, kedudukannya dalam menyelesaikan sengketa di tengah masyarakat diakui oleh Pemerintah. Berdasarkan hal tersebut, kajian ini ingin melihat bagaimana ketentuan hukum adat dan ketentuan qanun jinayah dan mengapa terjadi kontroversi dalam
implementasi kedua hukum tersebut serta apa yang harus dilakukan untuk mengharmonisasikannya, dengan judul kajian “Perkembangan dan Penerapan Hukum Adat: Harmonisasi dan Kontroversi dalam Implementasi Qanun Jinayah di Aceh”. B. Sejarah Perkembangan dan Penerapan Hukum Adat di Aceh Sejarah dimulainya hukum adat di Aceh diawali dengan lahirnya Kerajaan Aceh Darussalam. Masuknya Islam ke Kerajaan Aceh Darussalam dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1511 – 1530 M sangat mempengaruhi proses terbentuknya hukum adat. Penyebaran Islam pada masa itu berkembang luas dan cepat karena Islam sangat cocok dengan karakteristik masyarakat Aceh. Atas mufakat pembesar-pembesar kerajaan, terbentuklah suatu sistem hukum adat yang mulai diberlakukan di Kerajaan Aceh Darussalam. Pelaksanaan hukum adat tersebut berjalan tertib karena adanya kerjasama yang solid antara pemerintah, lembaga adat dan masyarakat (Muhammad Umar (EMTAS), 2007: 2). Ketika Sultan Iskandar Muda memimpin kerajaan selama tahun 1607 – 1636 M, Aceh mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satunya termasuk aspek penataan hukum adat. Hukum adat Aceh sangat dikenal di seluruh dunia, karena beberapa faktor: a. Hubungan diplomatis yang sangat erat dengan pemerintah Turki. Hasil dari hubungan bilateral ini Sultan sering berbagi pengalaman tentang kondisi kemajuan di Aceh, termasuk adat-istiadatnya. b. Luasnya daerah yang berhasil ditaklukkan oleh Kerajaan Aceh. Daerah yang berhasil ditaklukkan sebagian besar adalah daerahdaerah Melayu. Misi Sultan adalah
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
78
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM menyebarluaskan Islam dan juga memperkenalkan adat-istiadat Aceh. Secara tidak langsung, daerah yang berhasil ditaklukkan harus mengikuti aturan Kerajaan Aceh. Kepiawaian Sultan Iskandar Muda juga tergambar jelas ketika berhasil mempersatukan beberapa suku yang masih menganut adat budaya masingmasing menjadi adat nasional (hukum adat yang dikendalikan oleh kerajaan). Sebelum Sultan Iskandar Muda memimpin, di Aceh tersebar empat suku besar, yaitu: 1. Suku Lhee Reutoh (Tiga ratus), yang berasal dari orang-orang mante dan Karo/Batak 2. Suku Imuem Peut (Imam Empat), yang berasal dari orang-orang Hindu 3. Suku Tok Batee, kaum asing yang berasal dari Arab, Parsi, Turki, dan Hindi yang sudah lama menetap di Aceh 4. Suku Ja Sandang, yaitu kaum Hindu, tukang tuak yang pertama sekali datang ke Lampanaih. Keempat suku ini saling mengklaim bahwa budaya mereka adalah yang terbaik diantara suku-suku lain. Sultan-sultan sebelumnya sangat sulit mempersatukan keanekaragaman adat masing-masing suku. Masa ini dalam sejarah juga sering disebut adat plakpleung yaitu adat yang beranekaragam. Kejadian ini hampir sama seperti negara Indonesia yang terdiri dari ratusan suku. Kemudian oleh pemerintah suku-suku tersebut dipersatukan dalam satu wadah dan satu bahasa sebagaimana yang tersurat dalam Sumpah Palapa. Kemudian atas nasehat dari mufti kerajaan dan ahli-ahli agama, maka Sultan dapat menyatukan suku-suku yang berbeda tersebut dalam satu wadah pemerintahan. Sehingga muncullah hadih maja yang masih dikenal sampai sekarang, yaitu: adat bak Poteu Meureuhom, hukom
79
bak Syiah Kuala, kanun bak Putroe Phang, reusam bak Laksamana, hukom ngon adat lage zat ngon sifeut (Muhammad Umar (EMTAS),( 2007 : 2). Hadih maja di atas menjadi sebuah filsafat hidup rakyat Aceh yang harus dijalankan secara menyeluruh. Adanya pembagian kekuasaan yang merata dan sumber pegangan masyarakat telah menjadikan hadih maja ini sakral bagi masyarakat. Pengertian hadih maja ini sebagai falsafah hidup rakyat Aceh berarti: 1. Segala cabang kehidupan negara dan rakyat haruslah berjiwa dan bersendi Islam 2. Wajah politik dan wajah agama Islam pada batang tubuh masyarakat dan negara Aceh telah menjadi satu 3. Sifat gotong-royong yang menjadi ciri khas Islam menjadi landasan berpijak bagi rakyat Aceh dan Kerajaan Aceh Darussalam Kemudian maksud hukom dalam hadih maja tersebut yaitu hukum Islam, karena Undang-undang Dasar Aceh yang bernama Qanun Adat Meukuta Alam menegaskan bahwa hukum yang berlaku dalam Kerajaan Aceh Darussalam adalah Hukum Islam dengan sumber hukumnya al-Qur’an, al-Hadis, al-Ijma’, dan al-Qiyas. Nyatalah bahwa hadih maja tersebut adalah falsafah kehidupan rakyat Aceh dan Kerajaan Aceh Darussalam dan telah menjadi ketentuan pasti sebagai Jalan Hidup (way of life) dari rakyat Aceh. Berpegang pada prinsip di atas, maka kerajaan juga membuat kategori adat itu pada tiga hal, yaitu : 1. ‘Adatulllah, yaitu hukum dari Allah 2. Adat Mahkamah, yaitu adat yang disusun oleh majelis kerajaaan. Contoh adat ini seperti adat blang, adat laot, adat gle, adat peukan, adat kuala, adat seuneubok, dan sebagainya. 3. Adat tunaih, adat ini berlaku di
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM masing-masing daerah. Biasanya disusun secara musyawarah oleh Panglima Sagoe, Uleebalang, dan utusan masyarakat untuk menunjang hukum dan adat raja (adat mahkamah). Selain tiga jenis adat di atas, ada beberapa ketentuan hukum dan adat yang tidak dapat diberikan keputusan oleh majelis ulama dan uleebalang, masyarakat boleh meminta ketetapan hukum dan adat pada Pengadilan Tinggi Syaikhul Islam dan Majelis Tinggi yang diketuai oleh Sri Baginda sendiri dan ditempatkan di Balai Baiturrahman. Lancarnya kehidupan adat di Aceh didukung oleh kepemimpinan Sultan yang adil bijaksana, rakyat Aceh senantiasa hidup tenteram, damai, dan makmur sejahtera. Hampir jarang didengar adanya kesenjangan sosial sesama masyarakat. Rakyat mematuhi pimpinannya, karena mereka bekerja untuk kepentingan umum dan berlaku adil sesuai ajaran-ajaran Islam dan adat Aceh. Kuatnya posisi hukum dan adat telah menjadi contoh bangsa lain untuk berguru pada Kerajaan Aceh Darussalam. Malah beberapa bangsa Melayu mencontoh bentuk ini untuk diterapkan kepada masyarakatnya, seperti Brunei, Pattani, dan Malaya. Penerapan hukum adat merupakan bagian dari upaya pelestarian serta membantu kerja-kerja aparat penegak hukum baik dari institusi kepolisian, pengadilan, dan lainnya. Hukum Adat subtansinya berisikan rambu-rambu dalam bentuk peraturan yang disepakati dan dibakukan berdasarkan kesepakatan masyarakat sendiri. Pada prinsipnya hukum adat melindungi dan mengatur hak dan kewajiban dalam masyarakat adat setempat. Sedangkan tujuan filosofinya hukum adat bertujuan untuk menjaga dan mewujudkan kembali ‘keseimbangan’ komunal dan menjaga agar kehidupan
kemanusiaan bisa berjalan dengan baik dan lancar. Kepatuhan masyarakat adat terhadap hukum adat sebagai pedoman hidup merupakan nilai efektivitas hukum yang sangat tinggi, sebab hukum adat lahir berdasarkan tata cara yang memang tumbuh dan berkembang, disepakati dan dijadikan acuan dalam menjalani kehidupan bersama dalam masyarakat adatnya. Mekanisme implementasi dari hukum adat melalui pranata pengadilan adat. Peradilan adat melibatkan struktur pemerintahan yang berada di level gampong. Jika ditinjau dari sudut pandang hukum formal yang berlaku di Indonesia. Eksistensi keberadaan peradilan adat di Aceh hampir tidak dinyatakan secara tegas dalam subtansi hukum formal. Akan tetapi faktanya hampir semua urusan terkait kasus di lingkungan masyarakat adat diselesaikan ditataran peradilan adat Aceh tersebut. Dalam aturan daerah (qanun) yang berlaku di Aceh, telah mengatur tentang mekanisme penyelesaian yang dianggap dapat membawa keadilan bagi masyarakat melalui peran serta masyarakat, seperti Qanun No. 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong dan Qanun No. 3 Tahun 2004 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Adat Aceh, serta Qanun No. 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat, dimana memposisikan Geuchik, Tuha Peut, Imuem Meunasah, dan Mukim sebagai penyelenggara Peradilan Adat. Lebih detail lagi bentuk aturan (qanun) di Aceh juga mengatur secara eksplisit tentang mekanisme Peradilan Adat di Provinsi Aceh. Di dalam Qanun. No. 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat Istiadat, dalam Pasal 13 ayat (1) mengatur ada 18 kasus/perselisihan yang dilimpahkan penyelesaiannya melalui Peradilan Adat di Aceh, yaitu (Nurdin MH, 2010 :115-116): a) Perselisihan dalam rumah tangga
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
80
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM b) Sengketa antara keluarga terkait dengan Faraidh c) Perselisihan antar warga d) Khalwat Meuseum e) Perselisihan tentang Hak Milik f) Pencurian dalam keluarga g) Perselisihan harta sehareukat h) Pencurian ringan i) Pencurian ternak peliharaan j) Pelanggaran Adat tentang ternak, pertanian, dan hutan k) Persengketaan di laut l) Persengketaan di pasar m) Penganiayaan ringan n) Pembakaran hutan dalam skala kecil o) Pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik p) Pencemaran likungan q) Ancam mengancam r) Perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat istidat. Ta h a p a n d a l a m m e k a n i s m e penyelesaian terbagi menjadi; pertama melalui tingkat gampong di pimpin Geuchik Gampong, Kedua; melalui tingkatan mukim dimana putusan di tingkat mukim merupakan putusan bersifat akhir dan mengikat. Dalam hal penyelesaian ini institusi penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan) harus serius serta tidak mengintervensi selama proses penyelesaian melalui hukum adat dan pengadilan adat berlangsung. Praktek menerapkan Peradilan Adat berlandaskan kekuatan hukum. Dalam beberapa undang-undang resmi ditegaskan, bahwa penguatan hukum adat dan peradilan adat harus dimulai dari gampong dan mukim. Sementara jenis sanksi peradilan adat sebagai keputusan adat antara lain (Amrullah, 14/09/2013): 1. Nasihat; Keputusan ini bukan berupa sebuah denda yang diberikan kepada pelaku namun hanya kata-kata nasihat atau
81
2.
3.
4.
5.
wejengan yang diberikan oleh tokoh adat kepada si pelaku atau yang melakukan kesalahan. Keputusan nasihat diberikan dalam kasus-kasus ringan, misalnya adanya permasalahan fitnah dan gosip yang tidak ada buktinya atau pertengkaran mulut antara warga karena masalah kecil. Teguran; Hampir sama dengan nasehat, teguran diberikan oleh pihak yang mengadili (perangkat desa/mukim) kepada yang melakukan kesalahan. Permintaan maaf; Keputusan permintaan maaf sangat tergantung kepada kasus. Dalam kasus yang bersifat pribadi, permintaan maaf juga dilakukan oleh seorang yang bersalah kepada korbannya secara langsung secara pribadi. Namun adakalanya permintaan maaf dilakukan secara umum karena melanggar ketertiban umum. Misalnya orang yang berkhalwat (berduaan di tempat sepi antara dua orang berlainan jenis) di suatu desa, menurut warga desa ia harus minta maaf karena sudah mengotori desa. Diyat; Dalam sanksi ini pelaku membayar denda kepada korban sesuai dengan kasus atau masalah yang terjadi. Dalam kasus yang menyebabkan keluarnya darah atau meninggal dunia, maka hukuman dan denda dinamakan dengan diyat. Diyat dilakukan dengan mebayar uang atau terhantung keputusan ureung tuha gampong (peradilan adat). Denda; Hukuman denda dijatuhkan sesuai dengan kasus yang terjadi. Denda juga bias digantikan dengan wujud tidak mendapatkan pelayanan dari perangkat desa selama waktu yang tertentu.
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM 6. Ganti Rugi; Hampir sama dengan denda, ganti rugi biasanya dijatuhkan pada kasus pencurian dan atau kecelakaan lalu lintas. 7. Dikucilkan; Hukuman bisa juga diberikan oleh warga desa kepada seseorang yang sering membuat masalah di suatu desa. Misalnya seseorang yang tidak pernah ikut gotong royong, tidak pernah ikut rapat, tidak pernah ikut dalam kegiatan orang meninggal dan pesta perkawinan di desa, maka ia akan dikucilkan. Artinya, jika ia mengalami masalah dan atau ada memiliki hajatan maka masyarakat tidak peduli dan tidak membantu orang tersebut mengatasi masalah. 8. Dikeluarkan dari Gampong; Seorang yang melanggar adat bisa juga dikeluarkan dari gampong oleh masyarakat. Hal ini terjadi bila seseorang mempunyai perangai seperti yang disebutkan sebelumnya ditambah lagi ada melakukan pekarjaan yang mengotori desa (mencemarkan nama baik desa). 9. Pencabutan Gelar Adat; Hal ini dilakukan bila perangkat adat di desa terbukti melawan hukum adat. Misalnya kalau seorang teungku meunasah terbukti melakukan khalwat ia akan langsung dicabut gelar teungku dan tidak berhak lagi memimpin upacara keagamaan. 10. To e p M e u n a l e e ; S a n k s i i n i dikenakan kepada seseorang yang menuduh tanpa adanya bukti. Maka orang yang menuduh, karena sudah mencemarkan nama baik orang yang dituduh, ia harus membayar denda dengan nama toep meunalee (menutup malu).
C. S e j a r a h P e m b e n t u k a n , Pemberlakuan dan Ketentuan Qanun Jinayah Aceh adalah salah satu daerah dalam wilayah Republik Indonesia yang memiliki keistimewaan untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah. Legitimasi ini diberikan oleh pemerintah pusat untuk memenuhi harapan masyarakat Aceh yang menginginkan daerah ini berlaku hukum syariat sebagaimana dahulu kala di masa kesultanan Aceh. Akhirnya pemerintah pusat menyetujui dengan membuat UU No. 44 Tahun 1999 yang antara lain mengatur tentang syariat Islam di Aceh. Selanjutnya untuk mengatur tentang pelaksanaan Syariat Islam tersebut, dibuat Perda No. 5 Tahun 2000. Perda No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam menyatakan bahwa seluruh aspek syariat akan diterapkan, termasuk yang berhubungan dengan ‘aqidah, ibadah, transaksi ekonomi, akhlak, pendidikan dan dakwah; baitu al-mal; kemasyarakatan, termasuk cara berbusana bagi Muslim; perayaan hari raya Muslim; pembelaan Islam; struktur peradilan, peradilan pidana dan warisan. Membentuk wilayatu alhisbah (WH) sebagai badan pengawasan dan penegakan syariat. UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam membawa perkembangan dalam sistem peradilan. Pasal 25 – 26 UU No. 18 Tahun 2001 mengatur mengenai Mahkamah Syar’iyah yang merupakan peradilan syariat Islam sebagai bagian dari sistem peradilan nasional. Mahkamah Syar’iyah adalah lembaga peradilan yang independen dan berlaku untuk pemeluk agama Islam. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah diatur dengan Qanun. Selain undang-undang di atas, masih ada beberapa undang-undang lain
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
82
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM tentang pemberlakuan syariat Islam di Aceh, termasuk yang terakhir disahkan yaitu UU No. 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Dalam pasal 125 ayat (1) undang-undang ini diatur bahwa syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syariah dan akhlak; ayat (2) syariat Islam tersebut meliputi: ibadah, ahwal al-syakhshiyyah (hukum keluarga), mu’amalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar dan pembelaan Islam. Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam untuk pertama kalinya memperluas jangkauan wewenang hukum pengadilan agama hingga di luar hukum keluarga dan warisan, termasuk transaksi ekonomi yang sebelumnya tidak termasuk dalam yurisdiksi pengadilan agama, dan juga kasus-kasus pidana (jinayat). Mu’amalat meliputi masalah jual beli; permodalan; bagi hasil pertanian; pendirian perusahaan; pinjam meminjam; penyitaan properti untuk membayar hutang; hipotek; pembukaan lahan; pertambangan; pendapatan; perbankan; perburuhan; dan bermacam-macam bentuk infaq dan sedekah. Pelanggaran pidana dibagi menjadi tiga kategori. Pelanggaran hudud meliputi zina, tuduhan palsu tentang berzina; mencuri, merampok, mengkonsumsi minuman keras, kemurtadan dan pemberontakan, adalah pelanggaran yang hukumannya ditetapkan dalam Alquran. Qishash diyat berhubungan dengan masalah pembunuhan dan penganiayaan, dan biaya dari pelaku kepada keluarga korban. Pelanggaran ta’zir adalah pelanggaran di luar hudud dan qishash, yaitu kejahatan yang mana hukumannya tidak ditetapkan dalam Alquran, karena itu tergantung kebijaksanaan hakim. Pelanggaran ini termasuk perjudian, penipuan, pemalsuan dokumen, khalwat, tidak berpuasa dalam bulan Ramadan
83
dan meninggalkan shalat. Ta’zir juga dapat termasuk pelanggaran yang mengganggu ketertiban umum atau merusak kepentingan umum seperti pelanggaran lalu lintas (Rusjdi Ali Muhammad, 2003 : 152). Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan hukum Islam di bidang aqidah, ibadah dan syiar Islam adalah peraturan pertama yang melarang tingkah laku tertentu dibawah hukum Islam, antara lain, melarang penyebaran ajaran sesat. Mengharuskan seluruh pemeluk Islam untuk berbusana Muslim yaitu pakaian yang menutup aurat (untuk lakilaki aurat termasuk lutut hingga pusar, untuk perempuan seluruh tubuh kecuali telapak tangan, kaki dan wajah); tidak transparan; dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh. Mewajibkan seluruh kantor pemerintah dan institusi-institusi pendidikan untuk mengharuskan busana Muslim di tempatnya masing-masing. Terakhir, menugaskan Wilayatu al-Hisbah untuk memberi imbauan bagi para pelanggar dan memberlakukan hukuman ta’zir bagi yang mengulangi perbuatannya. Qanun inilah yang digunakan untuk menghukum perempuan yang tidak memakai jilbab. Qanun No. 12, 13 dan 14/2003 tentang khamar (menjual dan mengkonsumsi minuman keras), maisir (judi) dan khalwat (larangan berduaan di tempat sepi bagi yang bukan muhrim) menganggap tiga perbuatan ini sebagai perbuatan. Untuk pertama kali, hukuman secara Islam ditetapkan dalam peraturan hukum, khususnya hukuman cambuk. Untuk efektivitas pelaksanaan qanun ini di samping adanya lembaga penyidikan dan penuntutan, juga dilakukan pengawasan yang meliputi upaya pembinaan terhadap pelaku jarimah oleh Wilayatu al-Hisbah. Di samping itu juga kepada masyarakat diberikan peranan untuk mencegah terjadinya jarimah dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai seorang muslim untuk melakukan amar
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM
ma’ruf nahi mungkar. Berikut ini ringkasan ketentuan dalam Qanun Jinayah yang akan dijalankan oleh Qanun Acara Jinayah. Dari pemetaan di atas, tampak bahwa kebanyakan tindak pidana yang diatur merupakan delik pengaduan. Dengan demikian, delik seperti ini menuntut adanya mekanisme beracara yang dapat memberi pembuktian dengan baik. Keterangan para
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
84
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM saksi memegang peranan kunci dalam delik seperti ini. Berikut ini diberi gambaran tentang ringkasan isi Qanun Acara Jinayat. Adapun kandungan Qanun Acara Jinayat dapat digambarkan sebagai berikut:
85
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Dari gambaran di atas terlihat bahwa Qanun Acara Jinayah telah mengatur segala sisi yang dapat memaksimalkan pelaksanaan hukum materil Qanun Jinayat. Makalah ini tidak akan mengkritisi semua bagian dalam Qanun Acara Jinayat, tapi hanya menelusuri satu hal yang dianggap sangat berpengaruh bagi pelaksanaan qanun ini. Hal tersebut adalah tentang pijakan transendental yang memberi sikap menerima dari masyarakat, keberadaan penyelidik, dan tentang pembuktian. Dengan memperhatikan daftar di atas, tampak bahwa secara umum, beberapa ‘uqubat yang diancamkan dengan hukuman cambuk dalam Qanun Jinayat diatur berdasar ketentuan yang telah dirumuskan dalam fikih. Semua ketentuan cambuk itu memiliki rujukan kepada nass melalui per-istinbât-an fuqahâ’ klasik sebagai pijakan bagi ancaman yang ditetapkan. D. Upaya Mengharmonisasikan Hukum Adat dan Qanun Jinayah Di samping adanya lembaga hukum formal yaitu Mahkamah Syari’ah yang menangani pelanggaran syari’at Islam, juga ada lembaga informal yaitu lembaga adat yang sangat berpengaruh pada pola kehidupan masyarakat Aceh. Lembaga adat memiliki landasan hukum yaitu Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat dan Qanun No. 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam penyelenggaraan kehidupan adat, daerah dapat menetapkan berbagai kebijakan dalam upaya pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat serta lembaga adat di wilayahnya yang dijiwai dan sesuai dengan Syari’at Islam. Kemudian, daerah juga dapat membentuk lembaga adat dan mengakui lembaga adat yang sudah ada sesuai dengan
kedudukannya masing. Kewenangan lembaga adat dalam penyelesaian perkara yaitu untuk mendamaikan perkara dengan rapat adat gampong, yang dipimpin oleh Geuchik. Apabila dalam jangka waktu dua bulan kasus tersebut tidak dapat diselesaikan, maka kasus itu dapat diteruskan ke tingkat kemukiman yang dipimpin oleh imum Mukim dan seterusnya bila imum Mukim dalam jangka waktu satu bulan tidak dapat menyelesaikannya, kasus tersebut baru dapat diteruskan kepada aparat hukum yaitu Mahkamah Syari’ah. Tata cara dan syarat-syarat penyelesaian dilaksanakan sesuai dengan ketentuan adat pada masing-masing kabupaten/kota/ kecamatan/mukim dan gampong (www. perkembangan hukum Adat.com). Pelanggaran yang dilakukan oleh warga gampong dapat diselesaikan terlebih dahulu melalui Rapat Adat Gampong. Ketentuan ini seyogianya diketahui oleh pihak penyidik, yaitu petugas Wilayatul Hisbah, dan masyarakat umum, sehingga siapa saja dari ketiga unsur ini yang melakukan penangkapan, maka ia menyerahkan pelakunya kepada aparat gampong, sedangkan jika pelaku bukan warga gampong, maka diserahkan langsung kepada penyidik. Lembaga adat memang menjadi salah satu mekanisme penyelesaian berbagai persoalan. Peka terhadap kearifan lokal diakui menjadi salah satu pilihan pagi penyelesaian masalah sosial. Masyarakat Aceh memiliki suatu budaya yang mengutamakan penyelesaian sengketa apa saja melalui perdamaian. Ada beberapa ungkapan populer yang berkembang dalam masyarakat Aceh, misalnya: “Yang rayeuk tapeu ubit, nyang ubit tapeugadoh” artinya masalah besar diperkecil, yang kecil dihilangkan. Juga ungkapan yang menggambarkan betapa masyarakat Aceh sebenarnya sangat mencintai perdamaian dalam penyelesaian
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
8
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM sengketa seperti misalnya: “Meunyo tatem to megot got harta bansot syedara piha” artinya, bila mau berbaik baik harta/ biaya tidak habis, persaudaraan tetap terpelihara. Q a n u n N o . 9 Ta h u n 2 0 0 8 tentang lembaga adat, menegaskan bahwa lembaga adat yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh sejak dahulu hingga sekarang mempunyai peranan penting dalam membina nilai-nilai budaya, norma-norma adat dan aturan untuk mewujudkan keamanan, ketertiban, ketentraman, kerukunan dan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh sesuai dengan nilai Islami. Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat dalam pasal 8) menyatakan bahwa, “Masyarakat berperan serta dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan perbuatan khalwat/ mesum. Masyarakat wajib melapor kepada pejabat yang berwenang baik secara Lisan maupun tulisan apabila mengetahui adanya pelanggaran terhadap larangan khalwat/mesum”. Sesuai dengan adanya peran serta dari lembaga adat dalam mewujudkan suatu kesejahteraan bagi masyarakat Aceh, yang telah ada ketentuan yang mengatur sampai dimana lembaga adat boleh mengambil suatu kebijakan untuk menyelesaiakn kasus khalwat/ mesum. Kebijakan yang dilakukan oleh lembaga adat tersebut, berupa laranganlarangan kepada warga yang melakukan pelanggaran syri’at. Dalam menyelesaikan sebuah kasus lembaga adat lebih memilih untuk diselesaikan secara kekeluargaan. Satu hal lagi yang membedakan sistem penyelesaian perkara menurut hukum adat Aceh dibandingan dengan system hukum nasional adalah ditegaskannya tanggungjawab keluarga pelanggar atas terlaksananya sanksi adat yang dijatuhkan kepada anggota keluarganya (Pasal 16). Ketentuan
87
tersebut, telah mengembangkan paham tanggungjawab sebagaimana selama ini dipraktekkan dalam system hukum pidana nasional. Selama ini, kecuali dalam pidana korporasi, semua tanggungjawab pidana dibebankan secara pribadi pada si terpidana, sebagai tanggungjawab masing-masing atas segala kesalahan atau kejahatannya, tidak dibebankan pada keluarganya. Masalahnya sekarang adalah diperlukan dukungan berbagai pihak, terutama Pemerintah Aceh dan Majelis Adat Aceh sebagai leading sector-nya beserta dengan seluruh komponen untuk sesegera mungkin melakukan sosialisasi, menerapkan dan menegakkan qanun tentang pembinaan kehidupan adat di tengah-tengah masyarakat. Sosialisasi qanun ini idealnya harus berorientasi pada pengembangan nilai-nilai dan normanorma adat Aceh, yang dapat mewujudkan dan memperkuat perdamaian. Perkembangan hukum biasanya sering tertinggal dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Karena itu, hakim di pengadilan dalam menjalankan fungsi mengadili kadang kala berhadapan dengan kasus atau peristiwa yang belum diatasi hukumnya secara tertulis atau sudah diatur tapi tidak jelas. Seperti halnya dengan lembaga adat yang memutuskan perkara secara adat gampong tanpa laporam kepada pihak yang berwenang. Untuk itu hakim harus menciptakan Undang-undang baru sesuai dengan kondisi masyarakat hari ini, kalau tidak maka, akan ada pihakpihak tertentu yang akan memanfaatkan kondisi hari ini dengan mangatakan qanun syari’at itu tidak kuat dengan alasan masih ada pelaku khalwat yang di berikan sanksi secara adat tanpa pemberitahuan kepada pihak yang berwenang. Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, maka untuk menyelesaikan persoalan/kasus kongkrit,
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM diharapkan hakim harus menempuh jalan keluar yaitu melalui penemuan hukum (Rachtsvinding). E. Penutup Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Sejarah dimulainya hukum adat di Aceh diawali dengan lahirnya Kerajaan Aceh Darussalam. Masuknya Islam ke Kerajaan Aceh Darussalam dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1511 – 1530 M mempengaruhi proses terbentuknya hukum adat. Penyebaran agama Islam pada masa itu berkembang luas dan cepat karena agama Islam sangat cocok dengan karakteristik masyarakat Aceh. Atas hasil mufakat pembesar-pembesar kerajaan, terbentuklah suatu sistem hukum adat yang mulai diberlakukan di Kerajaan Aceh Darussalam. Pelaksanaan hukum adat tersebut berjalan tertib karena adanya kerjasama yang baik antara pemerintah, lembaga adat dan masyarakat. 2. S e j a r a h P e m b e n t u k a n , pemberlakuan dan ketentuan Qanun Jinayah. Aceh memiliki keistimewaan untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah berdasarkan UU No. 44 Tahun 1999 yang mengatur tentang syariat Islam di Aceh. Untuk mengatur pelaksanaan Syariat Islam, dibuat Perda No. 5 Tahun 2000. dimana seluruh aspek syariat diterapkan, termasuk yang berhubungan dengan ‘aqidah, ibadah, transaksi ekonomi, akhlak, pendidikan dan dakwah; baitu al-mal; kemasyarakatan, termasuk cara berbusana bagi
Muslim; perayaan hari raya Muslim; pembelaan Islam; struktur peradilan, peradilan pidana dan warisan. Membentuk wilayatu al-hisbah (WH) sebagai badan pengawasan dan penegakan syariat. UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam juga membawa perkembangan dalam sistem peradilan. Dimana Mahkamah Syar ’iyah yang merupakan peradilan syariat Islam menjadi bagian dari sistem peradilan nasional. UU No. 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh juga menjadi landasan pemberlaukan Sayriat Islam. Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam mengatur tentang wewenang Mahkamah Syar’iyah. 3. upaya mengharmonisasikan hukum adat dan qanun jinayah, yaitu: membentuk lembaga adat dan mengakuinya sesuai dengan kedudukannya masing-masing. Kewenangan lembaga adat untuk mendamaikan perkara dilakukan dengan rapat adat gampong, yang dipimpin oleh Geuchik. Lembaga adat berupaya untuk peka terhadap kearifan lokal dalam penyelesaian perkara dengan mengutamakan penyelesaian melalui perdamaian. Mengupayakan dukungan berbagai pihak, terutama Pemerintah dan Majelis Adat Aceh sebagai leading sector-nya beserta seluruh komponen untuk melakukan sosialisasi, menerapkan dan menegakkan Qanun tentang Pembinaan Kehidupan Adat di tengah-tengah masyarakat. Hakim berupaya menggali, memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
88
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM yang hidup dalam masyarakat, dan menyelesaikan perkaranya melalui penemuan hukum (Rachtsvinding). DAFTAR PUSTAKA Abubakar Al Yasa’, Syariat Islam di Aceh. (Jakarta, Sinar Grafika, 2005). Abubakar, Al Yasa’ dan Marah Halim., Hukum Pidana Islam di Aceh, (Dinas Syari’at Islam Nanggroe Aceh Darussalam, 2006). Abubakar, Al Yasa’, Sulaiman M. Hasan, Perbuatan Pidana dan Hukumnya Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, (Dinas Syari’at Islam Nanggroe Aceh Darussalam, Takengon, 2006). Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: PT Raja Grafindo, Jakarta, 2001).
KANUN Jurnal Ilmu Hukum, Edisi April 2010, (Banda Aceh: Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, 2010). Lilik Mulyadi, Hukum dan Putusan Adat Dalam Praktik Peradilan Negara, makalah disampaikan dalam dialog Nasional dengan tema, “Merumuskan Kedudukan Peradilan Adat Dalam Sistem Peradilan Nasional”, di Hotel Royal Kuningan, Jakarta, 10 Oktober 2013. Mahdi, Eksistensi Peradilan Adat di Aceh, Hunafa, Jurnal studia Islamika, Vol. 8 No. 2, Desember 2011. Muladi, Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2005). Muhammad Umar (EMTAS), Peradaban Aceh (Tamadun II), Membahas Hukum, Qanun, Reusam, (Banda Aceh: Yayasan BUSAFAT, 2007).
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Jakarta,Sinar Grafika, 2004). Mohd. Din, Stimulasi Pembungaunan Hukum Nasiona Dari Aceh Untuk ——————————————-, Hukum Indonesia, (Bandung: Unpad Press, Pidana Islam, (Seranga: Sinar 2009). Grafika, 2004). Alvi Syahrin, Ilmu Hukum Pidana dan Moehammad Hoesin, Adat Atjeh, (Provinsi Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Daerah istimewa Atjeh: Dinas Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Pendidikan dan Kebudayaan, 1970). Pustaka Bangsa Press, 2002). Soejono Soekonto, Pengantar Penelitiian Amrullah Ahmad (editor). Dimensi Hukum Hukum, (Jakarta: Universitas Islam Dalam Sistem Hukum Nasional. Indonesia, UI Press, 1986). (Jakarta: Gema Insani Press, 1996). Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan AsasA. Hasymi, Kebudayaan Aceh Dalam asas Hukum Adat, (Jakarta : CV Haji Sejarah, (Jakarta: Beuna, 1983). Mas Agung). Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996).
89
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 10, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999).
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Tjua Suryaman, Politik Hukum di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukannya, Cet. Pertama. (Bandung: Raja Rosdakarya, 1991). Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keistimewaan Provinsi di Nanggroe Aceh Darussalam. Undang-Undang R.I Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Nanggroe Aceh Darussalam. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 12 Tahun 2003 tentang Khamar. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 13 Tahun 2003 Maisir ( tentang Judi). Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2003. tentang Khalwat/Mesum Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
90
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Reformulasi Baitul Mal menjadi Badan Layanan Umum Oleh: Taufiq, S.HI, MA Abstrac Konflik regulasi dalam pengelolaan zakat sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada Baitul Mal di Aceh sampai saat ini belum menemukan titik temu penyelesaiannya. Pada tahun 2013 BPK RI perwakilan Provinsi Aceh menemukan adanya penyalahgunaan wewenang terhadap mekanisme dana zakat yang telah dihimpun sebagai PAD. Yaitu bertentangan dengan beberapa peraturan tetang keuangan Negara/daerah. Sedangkan ketentuan dasar zakat itu sendiri dalam pendistribusian harus disegerakan. Sehingga menimbulkan permasalahan antara zakat yang disyariatkan untuk segera disalurkan dengan aturan Negara yang harus mengikuti mekanisme ketentuan PAD murni. Ketentuan zakat sebagai PAD merupakan amanah UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Yang jela menyebutkan zakat ebagai salah satu sumber PAD. Maka upaya melakukan singkronisasi antara peraturan hukum zakat dengan aturan pengelolaan keuangan negara/ daerah adalah dengan menjadikan Baitul Mal sebagai Badan Layanan Umum Daerah. Peralihan ini dapat merujuk pada ketentuan UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, PP No. 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, Permendagri 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan BLUD dan PP N0. 41 tahun 2007 tentang Organisasi A. Pendahuluan Te r c a p a i n y a t u j u a n d a r i pensyariatan zakat itu sangat tergantung dengan siapa dan bagaimana cara pengelolaan zakat. Dan tentunya sangat terkait pemahaman mengenai fungsi-fungsi dan unsur-unsur manajemen pengelolaan. Sehingga Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat, pasal 1 ayat 12 menyebutkan Pengelolaan zakat adalah serangkaian kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat oleh Badan Baitul Mal. Sedangkan dalam Qanun No. 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal, dalam pasal 1 ayat 23 bahwa Pengelolaan Harta Agama adalah serangkaian kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pemeliharaan, pelaksanaan dan pengawasan terhadap penetapan, pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan oleh Baitul Mal. Bahkan kedua qanun tersebut mengisyaratkan bahwa salah satu kriteria pimpinan Badan Baitul Mal adalah mempunyai pengetahuan
91
tentang zakat dan manajemen. Baitul Mal sebagai badan amil zakat yang dimiliki oleh Pemerintah Aceh mampu menghimpun potensi zakat di provinsi Aceh yang sangat besar. Menurut data yang ada tahun 2012 zakat yang terhimpun Rp. 28.78 M, pada tahun 2013 berjumlah Rp. 39.5 M, itu belum termasuk zakat yang dihimpun dari Baitul Mal Kabupaten/ Kota. Zakat pun telah disalurkan dan didayagunakan untuk berbagai senif dan program, sehingga berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteran dan kualitas ummat. Apalagi di prediksi jika zakat di Aceh dikelola dengan optimal akan berpotensi terkumpul triliunan rupiah (http:// theglobejournal.com/opini/optimalkanzakat-rakyat-aceh sejahtera/index). Sejak tahun 2001 dengan diterbitkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, semua penerimaan zakat yang dilakukan oleh Baitul Mal menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi provinsi Aceh (qanun
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Nomor 10 Tahun 2007 tentang Baitul). B. Z a k a t d i A c e h s e b a g a i Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sektor pendapatan daerah memegang peranan yang sangat penting, karena melalui sektor ini dapat dilihat sejauh mana suatu daerah dapat membiayai kegiatan pemerintah dan pembangunan daerah (Abdul Halim, 2007 : 94). Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 menyebutkan Pendapatan Asli Daerah yaitu sumber keuangan daerah yang digali dari wilayah daerah yang bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Aturan yang melegalkan zakat sebagai salah satu sumber PAD bagi Aceh sangatlah jelas, yaitu Pasal 180 ayat 1 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, disebutkan sumbersumber Pendapatan Asli Daerah PAD) bagi Provinsi Aceh salah satunya bersumber dari zakat Dari segi pengelolaannya sebagai PAD, Pasal 180 ayat 2 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, menyebutkan: Pengelolaan sumber PAD Aceh dan PAD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Pasal tersebut menyebutkan bahwa mekanisme pengelolaan keuangan daerah salah satunya yang bersumber PAD harus mengikuti prosedur undang-undang yang berkaitan dengan PAD tersebut.
Acuan yang dijadikan adalah aturan-aturan sebagai mana disebutkan sebelumnya. Seperti PP Nomor 58 tahun 2005, maka yang terjadi adalah hilangnya fleksibelitas dalam pengelolaan dana zakat sesuai dengan tujuan zakat itu sendiri. C. Menjadikan Baitul Mal sebagai Badan Layanan Umum (BLU) Implementasinya zakat sebagai PAD malah justru menimbulkan masalah hukum. Dalam beberapa kasus, ada Baitul Mal yang menyalurkan zakat langsung kepada mustahik tanpa menyetor lebih dahulu ke kas daerah seperti ketentuan PAD murni. Pencairannya juga tak melalui mekanisme Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). Akibatnya, realisasi penyaluran zakat oleh Baitul Mal kerap jadi temuan BPK setiap akhir tahun, karena tidak tercantum dalam laporan PAD. Temuan yang sering dijumpai BPK adalah penggunaan Penerimaan Asli Daerah (PAD) yang digunakan langsung, penggunaan anggaran Zakat, Infaq dan Sadaqah (ZIS) tidak sesuai qanun, pengelolaan PAD yang belum tertib dan jumlah PAD yang kurang setor ke Kas Daerah. Seperti contoh, tahun 2012, melalui Undang-undang No. 18 tahun 2001 Gubernur Aceh ketika itu menginstrusikan BAZIS menyerahkan zakat ke kas daerah sebagai PAD, yang terhimpun Rp.120 juta. Selanjutnya timbul masalah setelah penyetoran dengan status sebagai PAD, karena dana tersebut tidak dapat dicairkan selama 6 tahun untuk dibagikan ke delapan asnaf, karena tidak adanya aturan mengenai penggunaan dana APBD yang bersumber dari PAD zakat untuk dibagikan sebagaimana ketentuan zakat itu sendiri (Tabloid Suara Darussalam, 2014: 30). Tahun 2014, temuan BPK, Baitul Mal Aceh dianggap menyalahi aturan dengan penggunaan langsung penerimaan zakat tanpa melalui mekanisme APBD
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
92
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM (APBA) sejumlah Rp. 450 juta. Bahkan berbenturan dengan Qanun No. 1 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Keuangan Aceh, Pasal 1 ayat 8 dan 9. Dan beberapa peraturan mengenai pengelolaan anggaran daerah, seperti Undang-undang nomor 17 tahun 2003tentang Pengelolaan Keuangan Negara Bab IV Pasal 16 sampai dengan pasal 20. Konflik regulasi tersebut akan membawa kepada tidak optimalnya pengelolaan zakat bahkan pendistribusiannya tidak akan tepat waktu sebagaimana disyariatkan untuk disegerakan. Untuk itu salah satu jalan keluarnya adalah memformulasikan institusi Baitul Mal tersebut, yaitu badan hukum yang mengacu pada Badan Layanan Umum (BLU). Usulan tersebut pernah ditawarkan oleh Amrullah ( mantan kepala Baitul Mal Provinsi Aceh), yaitu: 1. Pemerintah harus menetapkan z a k a t s e b a g a i PA D - S u s (Pendapatan Asli Daerah yang bersifat Khusus). Sudah dimuat dalam Rancangan Qanun tentang Batul Mal. Tetapi DPRA pada saat itu menolak usul tersebut dengan alasan UU. No 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tidak menyebutkan zakat sebagai PAD khusus. 2. Melakukan perpaduan (mathing) dengan memanfaatkan beberapa aturan mengenai pengelolaan keungan daerah, yang mengarah kepada Badan Layanan Umum (BLU). Dan ini lebih fleksibel dalam mengelola sumber-sumber PAD (Armiadi Musa, banda Aceh 13-14 Agustus 2014). . Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Pasal 1, menyebutkan pengertian BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan
93
kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Pada pasal 2 PP tersebut menyebutkan, BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat. Dalam hal pengelolaan keuangan BLU sangat fleksibel dan berbeda dengan instansi atau satuan kerja pemerintah lainnya. Untuk melihat perbandingan satuan kerja Non BLU dengan satuan kerja BLU dapat dilihat pada tabel dibawah ini (Disarikan dari PP No.23 Tahun 2005):
Perubahan Baitul Mal menjadi BLU juga dapat memanfaatkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.37/2009 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Keistimewaan Kabupaten/ Kota Prov. Aceh menetapkan sekretariat
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Baitul Mal Kabupaten/Kota (BMK) sebagai Satuan Kerja Perangkat Kabupaten/Kota SKPK dalam jabatan struktural eselon III.a dan IV.a. serta peralihan dapat berpedoman pada PP No. 23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Dan tehnik perubahan diatur dalam Permendagri 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan BLUD. Dari segi persyaratannya tidaklah bermasalah, sebagaimana yang disebutkan dalam PP No. 23 Tahun 2005, pada poin c tentang persyaratan subtantif disebutkan bahwa “pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat.” Bahkan UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pasal 68 dan Pasal 69 UndangUndang tersebut, instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya memberi pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. Undang-undang juga ini salah satunya dijadikan sebagai alat ukur dalam memeriksa manajemen pengelolaan pendapatan di Baitul Mal Peralihan Baitul Mal sebagai BLUD dapat disinergikan dengan PP N0. 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, pada pasal 22 ayat 6 dijelaskan, bahwa pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pilihan, berdasarkan pertimbangan adanya urusan yang secara nyata ada sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah.
Perubahan ini akan menjadikan Baiul Mal fleksibel dalam mengoptimalkan dana zakat, terutama dalam pendistribusian.
D. Penutup Guna menghindari konflik regulasi dalam pengeolaan zakat sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD) bagi Aceh adalah dengan memformulasikan Baitul Mal Provinsi dan Kabupaen/Kota menjadi Badan Layanan Umum (BLU).
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Provinsi Aceh
Daftar Bacaan “Peluang dan Tantangan Zakat Sebagai PAD”, Tabloid Suara Darussalam, Edisi I, tahun 2014 Abdul Halim, Akuntansi Sektor Publik : Akuntansi Keuangan Daerah, Edisi 3, Jakarta: Salemba Empat, 2007 Armiadi Musa, Kontribusi Pemerintah dalam Mengelola Zakat di Aceh (Kontestasi Penerapan Asas Lex Specialis dan Lex Generalis), makalah disampaikan pada Internasional Conference “Enhacing Zakat as a Pillar of Islamic Civilization”, Banda Aceh 13-14 Agustus 2014. Delky Nofrizal Qutni, Optimalkan Zakat, Rakyat Aceh Sejahtera, http:// theglobejournal.com/opini/ optimalkan-zakat-rakyat-aceh sejahtera/index. php, PP No.23 Tahun 2005 Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Qanun Nomor 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal Tanggung Jawab Keuangan Negara. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelola dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Perimbangan
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
94
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM MODUS, MODALITAS, DAN EVIDENSIALITAS BAHASA ACEH DALAM KAJIAN SEMANTIK Oleh : Drs. M. Nazar, M.Hum Abstract Among these modes, a mode implies that overlap like optative mode, desideratif mode, and the mode kohortatif because both contain the meaning of the speaker attitude about the proposition in the form of hope, desire, and necessity. Evidensialitas associated with factuality obtained from sources of information known about the proposition speaker was saying. Evidensialitas considered as an epistemic modality yamg containing SSR assessment / appraisal speakers of the evidence to support his words. The purpose of this paper is to show how other languages such as Aceh also has a semantic study. To solve the problem in the field of semantic circulation solution is to use metalanguage to describe the language of the rules through the relation of meaning, the meaning of words related to each other, this relationship is called a relation of meaning. Keyword: Langguange, Aceh I.
Kerangka Konsep dan Teori Modus Modus adalah perangkat bentuk yang berbeda-beda yang digunakan untuk menunjukkan modalitas. Terdapat berbagai jenis modus yakni modus gramatikal, modus indikatif atau dekleratif, modus imperatif, modus subjungtif, modus kondisional, modus generik, modus negatif, modus interogatif, modus optatif, modus desideratif, modus kohortatif, modus jusif, modus potensial, modus eventif, modus dubitatif, modus hipotetikal, dan modus aletik (Siregar, 2010, Catatan Kuliah Fonologi). Dalam Bahasa Aceh, tidak semua modus tersebut dijumpai sehingga hanya modus-modus yang ada dalam bahasa tersebutlah yang dibahas dalam makalah ini. Karena luasnya pembahasan mengenai setiap modus, konsep atau teori singkat masing-masing disajikan hanya pada bagian pembahasan. . Di antara modus-modus ini, sejumlah modus mengandung makna yang tumpang tindih seperti modus optatif, modus desideratif, dan modus kohortatif karena sama-sama mengandung makna
95
sikap penutur tentang proposisinya dalam wujud harapan, keinginan, dan keharusan. Tetapi, ada di antara modus-modus itu yang mengandung makna yang lebih luas dari makna modus-modus lainnya Berkaitan dengan itu, dalam makalah ini, contoh-contoh modus-modus yang maknanya tumpang tindih tidak dicatat secara berulang-ulang tetapi contohcontoh modus yang tidak dikandung modus-modus lainnya akan disajikan. Untuk kejelasan modus dalam Bahasa Aceh, dicantumkan modus obligatif yang tidak diperikan secara eksplisit dalam referensi tadi. Modus obligatif adalah modus yang menyatakan keharusan (Kridalaksana, 1982). Modalitas Modalitas dipahami sebagai satu segi daya ilokusi yang ditunjukkan dengan menggunakan alat-alat gramatikal (yakni, modus) yang menyatakan (i) sifat ilokusi atau maksud umum yang diberikan seorang penutur atau (ii) tingkat tanggung jawab penutur terhadap isi proposisi yang diucapkan, misalnya kadar keyakinan, kewajiban, keinginan, dan realitas (Siregar,
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM 2010, Catatan Kuliah Fonologi). Secara umum, modalitas terdiri atas modalitas epistemik dan modalitas deontik. Modalitas epistemik merupakan pengetahuan, kepastian atau bukti yang digambarkan penutur dalam proposisinya. Modalitas deontik merupakan tingkat keharusan, keinginan, keizinan, dan tanggung jawab yang digambarkan penutur dalam proposisinya. Evidensialitas Evidensialitas berhubungan dengan faktualitas yang diperoleh dari sumber informasi yang diketahui penutur tentang proposisi yang diucapkannya. Evidensialitas dianggap sebagai satu modalitas epistemik yamg mengandung peniliaian/taksiran penutur mengenai bukti untuk mendukung ucapannya. Evidensialitas meliputi evidensial sensoris yang terdiri atas evidensial visual dan evidensial nonsensoris serta evidensial auditoris. Evidensial sensories adalah evidensial yang menunjukkan bahwa bukti kebenaran ucapan penutur berasal dari pengalaman inderawi penutur sendiri Evidensial visual merupakan evidensial yang menunjukkan bahwa bukti kebenaran ucapan penutur berasal dari penglihatan. Evidensial nonvisual adalah evidensial yang menunjukkan bahwa bukti kebenaran ucapan penutur bukan penglihatan melainkan perasaan atau pendengaran (auditoris). Evidensialitas dapat dilihat dari sudut tingkat keterangan dalan (degree of realibility), keyakinan (belief), kesimpulan (inference), kabar orang/angin atau desasdesus (hersay), dan harapan umum (general expectation). Evidensialitas terakhir tidak ditemukan dalam Bahasa Aceh Bahasa Aceh Aceh terletak di ujung Barat pulau Sumatra. Bahasa Aceh terdiri dari tiga
Bahasa yaitu; bahasa Aceh, bahasa Gayo dan bahasa Alas. Bahasa Aceh digunakan di sepanjang pesisir Aceh sedangkan bahasa Gayo dan bahasa Alas digunakan di pedalaman Aceh. Seperti bahasa lainya di Dunia, bahasa Acehpun memiliki kelas – kelas bahasa lainya. Dalam pengetahuan ini untuk melihat apakah ada perbedaan makna antara satu bahasa dengan bahasa lainya, termasuk bagaimana bunyinya, bagaimana membangun kalimat, dan tentang makna secara jamak dan tunggal. Dalam kasus ini, untuk meninvestigasi bermacam macam pengetahuan semantic dalam bahasa Aceh lebih deatail. Dalam diskusi pengetahuan tentang sematik akan diarahkan kepada investigasi pada tingkat yang lebih komprehensif dan berkonsentrasi pada makna linguistic dalam bahasa Aceh. Secara teori pengembangan bahasa dan system symbol yang lain adalah suatu pertanyaan yang terbuka apa yang tampak jelas dalam suatu bahasa. Menganalisa suatu pengetahuan semantic adalah suatu yang menarik dan menantang, saya berharap saya bisa mendapat ide –ide melalui teori yang ada dalam semantik. Teori ini juga secara sederhana akan memberikan makna secara ungkapan bahasa, kemudian definisi kata digabungkan untuk membentuk frasa maupun kalimat dengan kata lain mendalami makna semantic dari pendekatan teoris kepada pendekatan praktis. Analisa semantic adalah suatu bahagian yang terpenting dalam bidang bahasa bahwa menganalisa linguistic tidaklah lengkap tanpa semantik. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menunjukan bagaimana bahasa lain seperti bahasa Aceh juga memiliki kajian semantic. Untuk mengatasi masalah secara sirkulasi dibidang semantic solusinya adalah menggunakan metalanguage mendiskripsikan peraturan peraturan
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
96
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM bahasa melalui relasi makna, makna kata saling berhubungan, hubungan ini disebut relasi makna. Modalitas dalam Bahasa Aceh tidak dikodekan dengan gramatika seperti dalam bahasa Inggris melainkan dalam wujud kata. Modalitas dalam ini terdiri atas modalitas epsitemik dan modalitas deontik.
kondisional (klausa terikat) dan klausa hasil (klausa bebas) sama-sama memikul pengodean kondisional yakni kata meunye untuk klausa kondisional dan kata neuk po untuk klausa hasil (terikat). Sebagai catatan, posisi klausa kondisional dan kalausa hasil dapat dipertukarkan, tergantung pada tema proposisi.
Modalitas Epistemik Dalam Bahasa Aceh, modalitas epistemik disampaikan dengan berbagai modus yakni:
3. Modus Negatif Modus ini yang merupakan pernyataan negasi ditandai dengan kata hanna ‘tidak’ di depan verba yang diikuti dengan subjek serta di depan ajektiva dan pronomina . Contoh: hanna meufom cara jih.’Dia tidak mengerti’, hanna masak boh jambee nyan ‘jambu itu belum matang’, dan Ken jih nyeng poh. ’Bukan dia yang memukul’.
1. Modus Indikatif atau Dekleratif Modus indikatif atau dekleratif yang merupakan pernyataan factual dalam Bahasa Aceh dapat dilihat pada contoh berikut: Lumo nyan mukubang’Lembu itu berkubang’, Jih tengoh manou’ Dia sedang mandi.’ 2. Modus Kondisional Modus kondisional yang menyatakan ketidakpastian atau pengandaian diekspresikan dengan kata meunye seperti dalam Meunye Lon na sayep akan Lon neuk po lam awan’Jika saya ada sayap saya akan terbang di awan’. Modus ini yang terdiri atas dua klausa yakni klausa kondisional atau syarat (Meunye lon na sayep) dan klausa hasil (Lon neuk po lam awan) tidak dikodekan oleh kata meunye ‘jika’. Trok lon keunou ‘kedatanganku’ dalam proposisi itu menunjuk kala yang akan datang (future conditional). Jika hal itu menunjuk Han trok lon keunou, ‘ketidakdatanganku’ karena fakta bahwa saya tidak mempunyai uang (present atau past conditional dalam bahasa Inggris), proposisi tersebut dikodekan dengan kata hian (tidak dapat diterjemahkan dengan tepat) pada klausa hasil menjadi Lon neuk po dalam awn, sehingga proposisi itu berbunyi Meunye lon na sayep. Dengan demikian, klausa
97
4. Modus Potensial Modus ini ditandai dengan kata sang, dan nye. Kata sang dan nye bermakna mungkin. Tataran potensi sang dan nye bersifat subjektif dan sulit dibedakan. Contoh: sang jih nyang pulop bola.’ Mungkin dia yang cetak gol’ dan nye jih nyang trok barou .’Ibu mungkin pulang besok.’ Kata sang lazim didahului oleh kata jih ‘dia’ yang disingkat dengan jih jika berfungsi sebagai prefiks seperti dalam sang jih dan nye jika berfungsi sebagai prefiks pemarkah orang kedua dan ketiga tunggal dan jamak seperti dalam jih po ‘dia punya’, kah po ‘kau punya’, awknyan po‘kalian punya’, . Khusus untuk orang pertama jamak, digunakan preposisi kamoe yang merujuk kata kita menjadi kamoe po ‘kami punya’. 5. Modus Dubitatif Modus dubitatif yang menunjukkan ketidakyakinan penutur direalisasaikan dengan frasa Uempeun manok. Contoh: Sou jok uempeun manok nyan? ‘Siapa kasih makanan ayam itu.’ Sang keun jih jok uempeun manok nyan? Mungkin bukan
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM dia yang beri makanan ayam itu? Itu tidak mungkin!’ Modalitas Deontik Modalitas deontik yang menunjukkan keharusan, keinginan, dan tanggung jawab yang digambarkan penutur dalam proposisinya direalisasikan dengan modus optatif, modus imperatif, modus desideratif, modus obligatif, dan modus kohartatif. 1. Modus Optatif Modus Optatif yang menunjukkan harapan direalisasikan dengan kata lakee dan partikel meuharap Contoh: Kamoe lakee bak po beubagah na jodoh ‘Semoga dia segera mendapat jodoh’. 2. Modus Desideratif Modus desideratif yang menunjukkan keinginan direalisasikan dengan kata hawa atau adakjeut seperti dalam contoh: Lon hawa neuk jeut ke pilot atau adakjeut ke pilot.’Saya ingin menjadi pilot’ 3. Modus Imperatif Modus imperatif yang menunjukkan perintah atau permohonan direalisasikan dengan kata sie dan partikel kawe dalam bentuk pertanyaan seperti dalam contoh Sie lumo agamnyan? ‘potong lembu jantan itu.’ Perintah atau permintaan juga dapat direalisasikan dengan menggunakan kata jeut dan partikel na kuasa meaf dan na kuasa seperti dalam mea,peuh jeut lon bantu mee beban nyan dan na kuasa untuk neumee beban itu!. ‘Tolong bawakan beban ini .’ Perintah atau permintaan pada contoh terakhir dianggap kurang sopan dan biasanya disampaikan kepada orang yang lebih muda dari penutur. Modus imperatif yang menunjukkan perintah telah terkandung dalam modus optatif seperti contoh di atas. Tetapi propisisi yang menunjukkan ajakan atau undangan dalam modus ini direalisasikan
dengan menggunakan kata meaf ‘ayo’ seperti dalam kalimat meaf jeut Lon Bantu! ‘Maaf bisa saya bantu.’ Untuk menyatakan larangan, digunakan kata bek seperti dalam bek kapubuet nyan! ’Jangan kau kerjakan itu!’ 4. Modus Obligatif Modus obligatif yang menunjukkan keharusan direalisasikan dengan kata nyan ‘harus seperti dalam nyan beleuh singeuh’Pekerjaan ini harus selesai besok.’ 5. Modus Kohartatif. Modus ini tidak diperikan lagi karena sudah dikandung oleh modusmodus lainnya yakni modus optatif, modus imperatif, modus desideratif, dan modus obligatif. II.
Evidensial dalam Bahasa Aceh Evidensial Quotatif Evidensial quotatif yang menunjukkan bahwa seseorang merupakan sumber pernyataan yang diucapkan, dalam Bahasa Aceh, direalisasikan dengan haba indatu ‘ujar’ yang diikuti dengan partikel nye dan persona seperti dalam nye jih hanna le udep, dia sudah tiada.’ Evidensial seperti ini merupkan evidensial nonvisual auditoris karena penutur menunjukkan bukti kebenaran proposisinya yang diperoleh melalui pendengaran yakni proposisi yang diucapkan . Selain evidensial auditoris, evidensial nonvisual lainnya yaitu bukti yang diperoleh melalui perasaan juga dikenal dalam Bahasa Aceh. Evidensial seperti itu direalisasikan degan kata betoi yang penggunaannya sama dengan yang disampaikan pada bagian modus potensial terdahulu. Di samping evidensial nonvisual, evidensial visual dikenal dalam Bahasa Aceh yaitu bukti kebenaran proposisi yang diperoleh penutur melalui penglihatan.
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
98
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Contoh, betoi jih reut bak ucong kayee.’betul dia jatuh dari pohon kayu’ Proposisi ini didasarkan pada apa yang dilihat penutur. Evidensialitas dalam Bahasa Aceh dikodekan adengan pemakaian kata-kata tertentu. Evidensialitas dalam bahasa ini dapat menunjukkan tingkat keterandalan (degree of realibility), keyakinan (belief), kesimpulan (inference), dan kabar orang/ angina atau desas-desus (haersay). 1. Tingkat Keterandalan (Degree of Realibility) Tingkat keterandalan diekspresikan dengan pemakaian kata sang yang penggunaan dan contohnya dapat dilihat pada bagian modus potensial terdahulu. Selain dari pemakaian katakata tersebut, pemakaian kata sang dapat menunjukkan tingkat keterandalan nonprototipikalitas seperti dalam sang nyou neuk ujeun.’Sepertinya hujan akan turun.’
Analisis Leksikostatistik terhadap Bahasa-bahasa Batak.Universitas Padjadjaran.Bandung Siregar. Bahren Umar. (2010). Catatan Kuliah Semantik. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan Hanafiah, Adnan. (1984). Struktur Bahasa Aceh. Pusat Pembinaan dan pengebangan Bahasa. Jakarta Hanum, Syarifah. (1983). Sistem
2. Keyakinan Keyakinan diekspresikan dengan pemakaian kata hanna dan sang yang pemakaian dan contohnya dapat dilihat pada bagian modus potensi terdahulu. III. Kesimpulan Kesimpulan didasarkan pada fakta yang dimiliki penutur seperti dalam (a) hanna le ureung di rumoh nyan.’Tidak ada lagi orang di rumah itu. (b)Sang ureung jih ka jipinah Mungkin orang itu sudah pindah. Pada point (a) merupakan bukti yang dimiliki penutur, sedangkan point (b) merupakan kesimpulan. Sebagai catatan, kesimpulan yang dinyatakan dengan sang termasuk pernyataan lemah. Referensi Kridalaksana, Harimurti. (1982). Kamus Linguistik. PT Gramedia.Jakarta Panggabean, Himpun. (1994). Suatu
99
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
100
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM MAQASHID AL-SYARI’AH: SEBUAH METODE ALTERNATIF IJTIHAD KONTEMPORER Oleh: SAFRIADI. S.HI, MA Abstrak his study raised about maqashid Al-Shariah: An Alternative Method Contemporary Ijtihad. In this study, the authors use the research library (library research), and data collection is done by reviewing the book and the book of Al-Shariah maqashid, usul, and rules about mashlahah as the primary ingredient, and other books related to discussion of this research as a secondary material, so that qualitative shaped pattern. In addition, analysis by the writer is descriptive analysis. From the results of this study found the conclusion that maqashid al-Sharia is confidential and wisdom is the purpose behind the adoption of any laws. Substance is realizing the benefits to humans both in this world and in the hereafter. How to know maqashid al-Sharia is by combining Zahir lafaz and reasoning, into a form that does not damage the sense of Zahir lafaz, as well as understanding the essential purpose based on the orientation of the benefit. Mashlahah can be viewed from various perspectives that gave birth to the division of the variety. Demands can be affordable custom dimension lesson, while the dimension of worship is solely ta’abbud. Maqashid Shariah mutlaq necessary in order to create a contemporary ijtihad fiqh humanist, elastic, and egalitarian. With character maqashid al-Shariah elastic, across space and time are expected to dialectic with the problems that continue to emerge. Key Word: Maqashid al-Syari’ah, Ijtihad Kontemporer. A. Pendahuluan Berbicara tentang maqashid alSyari’ah tidak terlepas dari peranan tokoh ushul fiqh yang mengembangkan teori tersebut yaitu Imam Syatibi. Intensitas pergumulan al-Syathibi dalam bidang maqashid telah menjadikannya dijuluki bapak maqashid, namun demikian, ia bukan satu-satunya penarik gerbong maqashid sekaligus peletak embrionya, sebab, pada abad ketiga Hijriyah, telah muncul peletak pertama term maqashid bernama Abu Abdillah Muhammad bin Ali yang populer dengan panggilan alTurmudzi al-Hakim. Menurut Ahmad Raisuni, ia merupakan yang pertama kali menyuarakan maqashid al-Syari’ah melalui buku-bukunya, al-Shalah wa Maqashiduhu, al-Haj wa Asraruh, ‘Ilal alSyari’ah. Selain Turmudzi, banyak sekali tokoh utilitarianis yang antara lain adalah Abu Mansyur al-Maturidi (w. 333 H) penulis Ma’khadz al-Syara’i, Abu Hamid al-Ghazali
101
(w. 505 H) lewat karyanya al-Mustasfa, dan lain-lain. (Ahmad al-Raisuni,1995:39) Deretan pakar-pakar tersebut secara konkrit menunjukkan bahwa diskursus maqashid merupakan akumulasi pemikiran para teoritisi hukum sepanjang sejarahnya. Penguasaan terhadap Maqashid al-Syari’ah mutlaq diperlukan dalam upaya melakukan istinbath al-ahkam, hal ini dikarenakan seorang mujtahid dituntut menguasai seperangkat undang-undang yang telah diatur sebagai metode istinbath. Tujuannya tak lain agar ia terhindar dari kesalahan dalam ber-istinbath. Demi keperluan ini, para ulama ushul fiqh telah meletakkan berbagai kaidah, baik yang berhubungan dengan kebahasaan maupun yang berkenaan dengan tujuan-tujuan di balik pembebanan setiap hukum syar’i (Maqashid al-Syari’ah). Penguasaan seseorang mujtahid tentang Maqashid al-Syari’ah khususnya mutlak diperlukan, karena melalui konsep ini, seseorang
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM mujtahid tidak akan pernah mengabaikan ruh-ruh syari’at dalam setiap penalarannya. Karenanya, sebagian ulama seperti alSyathibi menempatkan penguasaan mujtahid terhadap Maqashid al-Syari’ah sebagai syarat pertama di antara sejumlah syarat-syarat ijtihad. (Al-Syathibi, n.d:5262) Berdasarkan uraian di atas, maka yang perlu dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai Maqashid al-Syari’ah, serta kaitannya dengan solusi alternatif bagi perkembangan ijtihad kontemporer. B. Pembahasan 1. Pengertian Maqashid al-Syari’ah Secara lughawi, Maqashid al-Syari’ah terdiri dari dua kata yakni “maqashid” dan “al-syari‘ah”. Maqashid merupakan bentuk jamak dari kata “maqshid” yang berarti tempat tujuan. Sedangkan al-syari‘ah berarti jalan menuju sumber air atau sumber pokok kehidupan (Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, 2005: 1996). Dalam istilah, al-syari’ah mempunyai beberapa pengertian, salah satunya adalah: ketentuan-ketentuan yang diturunkan oleh Allah SWT kepada hambanya melalui Nabi, yang mencakup ‘aqidah, amaliyah, dan akhlak. Dengan demikian, Maqashid al-Syari’ah secara lughawi dapat dimaknai dengan “tujuantujuan syari’at”. Di antara ulama ada yang mengartikan syari’ah sebagai aturanaturan yang diciptakan Allah untuk dipedomani oleh manusia dalam mengatur hubungannya dengan Allah dan dengan manusia, baik yang muslim maupun non muslim. Arti lainnya adalah hukum-hukum yang diberikan Allah kepada hambanya untuk dipedomani dan diamalkan demi kepentingan mereka di dunia dan akhirat. Dalam terminologi ushul fiqh, menurut Wahbah al-Zuhaili, Maqashid al-Syari’ah adalah nilai-nilai dan sasaran syara’ yang tersirat dalam segenap atau
sebagian besar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syari’ah, yang ditetapkan oleh al-Syari’ (pembuat syari’at) dalam setiap ketentuan hukum (Wahbah al-Zuhaili, 2005:307). Dengan demikian, Maqashid al-Syari’ah merupakan suatu kandungan nilai yang menjadi tujuan akhir pemberlakuan hukumhukum syar’i. 2. Pembagian Maqashid al-Syari’ah Subtansi teori Maqashid al-Syari’ah adalah mewujudkan kemaslahatan hamba dengan cara mendatangkan manfaat bagi mereka dan menolak kemudharatan dari mereka. Dalam hal ini, menurut al-Syathibi, Maqashid al-Syari’ah dapat dilihat dari dua bentuk, yaitu: a. Maqashid al-Syari‘ (tujuan Allah sebagai pembuat hukum) b. Maqashid al-Mukallaf (tujuan mukallaf sebagai pelaksana hukum) Dalam pembahasan maqashid alSyari‘, al-Syathibi membagi kategori ini ke dalam empat aspek yang terdiri dari: 1) Tu j u a n a w a l S y a r i a t , y a k n i kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Aspek ini berkaitan dengan hakikat Maqashid alSyari’ah. 2) Syariat sebagai sesuatu yang harus difahami. Aspek ini berkaitan dengan urgensi bahasa agar Syariat dapat difahami dan mashlahah dapat dicapai. 3) Syariat sebagai hukum taklif yang harus dilaksanakan. Aspek ini berkaitan dengan pelaksanaan ketentuan-ketentuan Syariat dalam rangka merealisasikan mashlahah. Selain itu juga berkaitan dengan kemampuan manusia dalam melaksanakan Syariat. 4) Tujuan Syariat dalam membawa manusia ke bawah naungan
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
102
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM hukum. Aspek ini berkaitan dengan kepatuhan manusia sebagai mukallaf terhadap Syariat, di mana ia bertujuan untuk membebaskan manusia dari kekangan hawa nafsu (Al-Syathibi, n.d: 2-3). Keempat aspek ini mempunyai kaitan yang erat antara satu sama lain. Namun aspek pertama merupakan inti Maqashid al-Syari’ah. Aspek pertama ini dapat terwujud melalui pelaksanaan hukum taklif (pembebanan hukum) terhadap hamba-hamba yang mukallaf (aspek ketiga). Taklif ini tidak akan dapat dilakukan kecuali apabila Syariat dapat difahami dan mashlahah dapat diketahui melalui kemampuan pemahaman yang benar (aspek kedua). Apabila kedua aspek ini telah diraih maka pemahaman dan pelaksanaan taklif ini dapat membawa manusia berada di bawah lindungan hukum Tuhan, hingga mereka dapat terlepas daripada kekangan hawa nafsu (aspek keempat). Dalam kaitan inilah mashlahah sebagai tujuan pemberlakuan Syariat, baik di dunia maupun di akhirat (sebagai aspek pertama) dapat terealisasi. Al-Syathibi mengeksplorasi bahwa mashlahah ini dapat diwujudkan bila lima unsur pokok dalam Syari‘ah dapat direalisasikan, yakni: [1] Pemeliharaan atas agama (hifzh al-din) [2] Pemeliharaan atas jiwa (hifzh al-nafs) [3] Pemeliharaan atas akal (hifzh al-‘aql) [4] Pemeliharaan atas keturunan (hifzh al-nasl), dan [5] Pemeliharaan atas harta (hifzh al-mal) (Al-Syathibi, n.d:4). Lima unsur pokok di dalam Syariah ini dalam istilah jurisprudensi Islam disebut dengan al-mabadi’ al-khamsah atau alushul al-khamsah yang berarti lima unsur pokok. Sebelum al-Syathibi, teori ini sudah pernah diformulasikan dan dipublikasikan oleh para ulama pendahulu al-Syathibi, seperti al-Ghazali dalam kitabnya, alMustashfa min ‘Ilm al-Ushul (Al-Ghazali, n.d:287). Namun konsep ini kemudian
103
dikembangkan secara sistematis oleh al-Syathibi, sehingga al-Syathibi dalam hal ini dinobatkan sebagai pencetus teori Maqashid al-Syari’ah. Adapun yang menjadi maqashid mukallaf, prinsip dasarnya seperti dikemukakan oleh al-Syathibi adalah bahwa setiap perbuatan mukallaf tergantung pada niatnya, dan maksud mukallaf ada pada setiap perbuatannya, baik berupa ibadah maupun adat kebiasaan. Selain itu, setiap maksud mukallaf harus sesuai dengan maksud Allah. Semua perbuatan yang melanggar maksud Allah, maka perbuatan itu dianggap batal. 3. Cara Mengetahui Maqashid al-Syari’ah Dalam rangka memahami hal ini, para ulama terbagi dalam tiga kelompok dengan corak pemahaman yang berbedabeda. Tiga kelompok ulama tersebut adalah: Pertama, ulama Zhahiriyyah. Kelompok ini berpendapat bahwa Maqashid al-Syari’ah adalah sesuatu yang abstrak dan tidak dapat diketahui kecuali melalui petunjuk Tuhan secara zhahir yang terdapat dalam teks-teks syar’i. Petunjuk ini tidak bisa telusuri melalui penelitian, yang terkadang malah bertentangan dengan kehendak bahasa, karena cara melacaknya tidak bisa diketahui sama sekali atau tidak diketahui secara penuh. Akibat bersikukuh dengan pandangan seperti ini, maka kelompok pertama ini menolak analisis hukum melalui bentuk qiyas. Kedua, kelompok Bathiniyyah (salah satu sekte dalam aliran Syi’ah). Mereka tidak menempuh pendekatan zhahir lafaz untuk mengetahui Maqashid al-Syari’ah. Kelompok ini terbagi dua, yaitu: a. Kelompok Bathiniyyah yang berpegang bahwa Maqashid alSyari’ah bukan dalam bentuk zhahir maupun maksud yang ditunjukkan zhahir lafaz. Tetapi Maqashid al-Syari’ah merupakan
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM aspek lain di balik petunjuk zhahir lafaz hingga tiada siapa pun yang dapat berpegang dengan zhahir lafaz tersebut. b. Kelompok fanatik qiyas yang berpendapat bahwa Maqashid al-Syari’ah tidak harus dikaitkan dengan pengertian lafaz, sebab zhahir lafaz tidak harus mengandung petunjuk mutlak. Dengan demikian bila ada pertentangan zhahir lafaz dengan nalar maka yang harus diutamakan adalah nalar, baik dengan keharusan menjaga kemaslahatan maupun tidak. Ketiga, ulama yang mengkombinasikan dua pendekatan di atas dalam suatu bentuk yang tidak merusak pengertian zhahir lafaz, maupun maksud esensial pengertiannya berdasarkan orientasi kemaslahatan, agar Syariah berjalan secara harmonis tanpa adanya kontradiksi-kontradiksi yang justru akan menggiring Syariah ke dalam kekacauan pengertian dan kekeliruan pemahaman. Oleh al-Syathibi kelompok ini disebut ulama al-rasikhin yang berarti ulama yang berpengetahuan mendalam. Dalam memahami Maqashid al-Syari’ah ini, nampak jelas alSyathibi mengkategorikan dirinya ke dalam kelompok ulama ketiga, dengan menegaskan bahwa pendapat merekalah yang menjadi pegangan. 4. Klasifikasi Mashlahah Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa subtansi Maqashid al-Syari’ah adalah mashlahah. suatu hal baru dianggap sebagai mashlahah bila mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan. Menurut Muhammad Thahir ibn ‘Asyur, Mashlahah itu dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu: a. Dari sisi kekuatan dan pengaruhnya untuk kesejahteraan ummat. Pada aspek
ini, mashlahah terbagi tiga macam, yaitu: 1) Dharuriyat Secara bahasa dharuriyyat berarti kebutuhan yang mendesak. Dharuriyyat ini dikatakan mendesak karena merupakan sendi dari eksistensi kehidupan manusia yang harus ada. Mashlahah dharuriyat adalah sesuatu yang mesti ada bagi manusia demi tegaknya kemaslahatan agama dan dunia. Apabila hal ini tidak ada, maka akan menimbulkan kerusakan, dan terancamnya kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Mashlahah ini disebut sebagai mashlahah primer. Yang termasuk ke dalam mashlahah dharuriyat adalah: Pertama. Pemeliharaan atas agama (hifzh al-din). Kedua. Pemeliharaan atas jiwa (hifzh al-nafs). Ketiga. Pemeliharaan atas akal (hifzh al-‘aql). Keempat. Pemeliharaan atas keturunan (hifzh al-nasl), dan kelima. Pemeliharaan atas harta (hifzh al-mal) (Muhammad Thahir ibn ‘Asyur, 1966:80). Cara kerja dari kelima dharuriyyat di atas adalah masing-masing harus berjalan sesuai dengan urutannya. Menjaga al-din harus lebih didahulukan daripada menjaga yang lainnya; menjaga al-nafs harus lebih didahulukan dari pada al-aql dan al-nasl, dan begitulah seterusnya. Urutan kelima dharuriyyat ini bersifat ijtihady bukan naqly, artinya ia disusun berdasarkan pemahaman para ulama terhadap nash yang diambil dengan cara istiqra. Dalam merangkai kelima dharuriyyat ini (ada juga yang menyebutnya dengan al-kulliyyat al-khamsah), Imam Syathibi terkadang lebih mendahulukan aql dari pada nasl, terkadang nasl terlebih dahulu kemudian aql dan terkadang nasl lalu mal dan terakhir aql. Namun satu hal yang perlu dicatat bahwa dalam susunan yang manapun Imam Syathibi tetap selalu mengawalinya dengan din dan nafs terlebih dahulu. Untuk menjaga yang lima tadi dapat ditempuh dengan dua cara yaitu:
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
104
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM pertama, dari segi adanya (min nahiyyati al-wujud) yaitu dengan cara manjaga dan memelihara hal-hal yang dapat melanggengkan keberadaannya. Dan kedua, dari segi tidak ada (min nahiyyati al- ‘adam) yaitu dengan cara mencegah hal-hal yang menyebabkan ketiadaannya. Contohnya, untuk menjaga agama dari segi al-wujud misalnya dengan mengucap dua syahadat, sedangakan menjaga agama dari segi al-‘adam misalnya jihad dan hukuman bagi orang murtad. Kelima mashlahah dharuriyat di atas adalah hal mutlak yang harus ada pada manusia. Karenanya Allah menyuruh manusia melakukan segala upaya bagi keberadaan dan kesempurnaannya. Sebaliknya Allah melarang melakukan perbuatan yang dapat menghilangkan atau mengurangi salah satu dharuriyat tersebut. 2) Hajiyat Mashlahah Hajiyyat adalah sesuatu yang sebaiknya ada bagi keteraturan hidup manusia, agar mereka terhindar dari kesulitan. Kalau sesuatu ini tidak ada, maka ia tidak akan menimbulkan kerusakan atau kematian, hanya saja akan mengakibatkan masyaqqah dan kesulitan. Mashlahah seperti ini disebut mashlahah sekunder. Hukum-hukum yang lahir berdasarkan pertimbangan mashlahah hajiyat terdapat dalam semua bab-bab fiqh. Dalam masalah ibadat seperti rukhsah melakukan jama’ dan qashar shalat bagi orang musafir. Dalam fiqh yang berdimensi adat seperti dibolehkan memakan binatang buruan. Dalam fiqh muamalat seperti dibolehkan akad al-qiradh, al-salam, dan lain-lain. sedangkan dalam fiqh jinayat seperti menetapkan diyat terhadap keluarga si pembunuh (Al-Syathibi, n.d:4). Sebagian dari mashlahah hajiyat merupakan pelengkap bagi mashlahah dharuriyat, seperti menetapkan peradilan dalam persengketaan. Sebagian lainnya malah termasuk ke dalam al-kulliyat alkhamsah (lima unsur pokok) yang ada
105
pada dharuriyat. Hanya saja ia tidak sampai pada tingkat dharuriyat, seperti penetapan had al-qazf (hukuman karena menuduh seseorang berbuat zina). Dari penetapan had al-qazf dapat dipahami juga bahwa perhatian syari’ terhadap mashlahah hajiyat hampir sama dengan perhatiannya kepada mashlahah dharuriyat. Karenanya, syari’ menetapkan had pada sebagian kasus yang berpotensi menghilangkan mashlahah hajiyat (Muhammad Thahir ibn ‘Asyur, 1966:84-85). 3) Tahsiniyat Maslahah Tahsinat adalah sesuatu yang sebaiknya ada demi sesuainya dengan keharusan akhlak yang baik atau dengan adat. Kalau sesuatu ini tidak ada, maka tidak akan menimbulkan kerusakan atau hilangnya sesuatu, juga tidak akan menimbulkan masyaqqah dalam melaksanakannya, hanya saja dinilai tidak pantas dan tidak layak menurut ukuran tatakrama dan kesopanan. Mashlahah seperti ini disebut mashlahah tersier. Di antara contohnya dalam fiqh ibadat adalah thaharah, menutup aurat, dan menghilangkan najis. Dalam fiqh adat seperti adab makan dan minum. Dalam fiqh muamalat seperti larangan menjual benda yang najis. Sedangkan dalam fiqh jinayat seperti larangan membunuh wanita dan anak-anak dalam peperangan. Pembagian mashlahah pada tiga hal tersebut, sekaligus menunjukkan peringkat kepentingannya masing-masing. Tingkat dharuriyat lebih tinggi dari hajiyat, dan tingkat hajiyat lebih tinggi dari tahsiniyat. Maka bila terjadi pertentangan antara dharuriyat dengan hajiyat, tentulah dharuriyat yang mesti diutamakan. Dan bila pertentangan terjadi antara hajiyat dengan tahsiniyat, maka hajiyat yang perlu diutamakan. b. Dari sisi keterkaitannya dengan kepentingan umum dan individu. Pada aspek ini, mashlahah terbagi dua macam, yaitu:
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM 1) Kulliyah Mashlahah kulliyah adalah mashlahah yang kembali kepada kepentingan ummat Islam secara umum, atau kepada kelompok yang besar. Muhammad Thahir ibn ‘Asyur memberi contoh mashlahah ini seperti menjaga dua tanah haram (makkah dan Madinah) agar jangan sampai jatuh ke tangan orang-orang kafir. Demikian pula masalah-masalah lain di mana kemaslahatannya ditujukan untuk umum. Dan bila kemaslahatan ini tidak tercapai maka mafsadahnya juga kembali kepada ummat secara umum. 2) Juz’iyah Mashlahah juz’iyah adalah mashlahah yang kembali kepada individu ummat atau golongan yang kecil dari mereka. Menurut Ibn ‘Asyur, contohcontoh kemaslahatan ini sudah tercover dalam semua hukum-hukum syari’at yang berhubungan dengan muamalat (Muhammad Thahir ibn ‘Asyur, 1966: 90). c. Dari sisi tingkat kebutuhan kepadanya. Pada aspek ini, mashlahah terbagi tiga, yaitu: 1) Qath’iyyah Mashlahah qath’iyyah adalah mashlahah yang dipahami dari dalil-dalil berupa nash yang tidak mempunyai kemungkinan takwil. Selain itu, termasuk juga ke dalam mashlahah qath’iyah apa saja yang bisa dikategorikan sebagai mashlahah dharuriyat, dan hal-hal yang menurut akal terdapat kemaslahatan yang besar. 2) Zhanniyah Mashlahah zhanniyah adalah apa saja hasil penalaran akal yang bersifat zhanniy, seperti memelihara anjing di rumah sebagai penjaga pada saat merasa terancam. Termasuk juga mashlahah zhanniyah, masalah-maslah yang bersumber kepada dalil zhanniy. 3) Wahmiyyah Mashlahah wahmiyyah adalah hal-hal yang dianggap kemaslahatan
melalui khayalan semata. Ketika penalaran dilakukan secara mendalam, didapatkan bahwa sebenarnya hal-hal tersebut merupakan kemudharatan. Seperti mengkonsumsi minuman keras dan obatobat terlarang. 6. Hak Allah dan Hak Mukallaf Sebagimana telah disebutkan di atas bahwa dasar tuntutan ibadat untuk ta’abbud, dan dasar perbuatan adat melihat kepada hikmah, yang tak lain adalah kemaslahatan hamba. Karena itu, ibadat merupakan hak Allah, sedangkan perbuatan adat merupakan hak hamba. Menurut Abdul Wahab Khallaf, hukum-hukum yang telah disyari’atkan, dalam hal ini dapat dibagi empat, yaitu: a. Hak Allah semata-mata. Yang dimaksudkan dengan ini adalah apa saja hukum yang disyari’atkan dengan tujuan tegaknya kemaslahatan dan kesejahteraan umum. Bagian ini terdiri dari: (1) Ibadat yang murni (al-‘ibadah al-mahdhah) seperti shalat, zakat puasa, dan lain-lain. (2) Ibadat yang di dalamnya ada pembebanan lantaran orang lain, seperti zakat fitrah, nafkah, dan lain-lain. (3) segala bentuk hukuman (hudud) yang selain qisas. (4) dan lain-lain. pada bagian ini, mukallaf tidak memiliki pilihan selain melaksanakannya. b. Hak mukallaf semata-mata. Yang dimaksudkan dengannya ialah hukum-hukum yang disyari’atkan dengan tujuan kemaslahatan khusus. Cirinya adalah bila kemaslahatan ini tidak tercapai maka yang merasa dirugikan bukanlah ummat secara umum, tetapi individu dari ummat. Contohnya seperti memiliki barang yang kita beli, menerima pembayaran hutang, menerima pembayaran terhadap benda yang dirusak orang, dan sebagainya. Dalam bagian ini, kepada mukallaf diberikan hak untuk memilih. Jika ia menghendaki maka boleh mengambilnya, dan boleh juga
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
106
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM menggugurkannya, karena di sini tidak terdapat kemaslahatan umum, yang bila tidak tercapai akan merugikan ummat secara umum pula (Abdul Wahab Khallaf, 1978: 210). c. Kombinasi hak Allah dan hak mukallaf, tetapi hak Allah lebih kuat. Yang dimaksudkan dengan ini ialah hukum-hukum yang mengandung kemaslahatan umum dan kemaslahatan khusus, namun kemaslahatan umumnya lebih dominan. Bagian ini diumpamakan dengan hukuman (had) karena menuduh isteri berbuat zina. Apabila ditinjau dari sisi hukuman itu mendatangkan kebaikan kepada masyarakat, dan mencegah pembunuhan yang mungkin timbul akibat tuduhan, nyatalah bahwa ia adalah hak Allah. Dan apabila ditinjau bahwa hukum had itu dilakukan untuk menolak keaiban dari orang yang dituduh dan mengembalikan nama baiknya, nyatalah bahwa ia itu hak hamba. Namun karena kemaslahatan umum di sini lebih kuat, maka hak Allah padanya lebih kuat. Oleh sebab itu tidak boleh yang bagi orang yang tertuduh itu menggugurkan hukum itu dari orang yang menuduh, dan tidak boleh hukum itu dilaksanakan sendiri oleh yang dituduh. d. Kombinasi hak Allah dan hak mukallaf, tetapi hak mukallaf lebih kuat. Maksud dari bagian ini ialah hukumhukum yang mengandung kemaslahatan umum dan kemaslahatan khusus, namun kemaslahatan khususnya lebih dominan. Bagian ini dicontohkan dengan hukuman qishash. Dari sisi hukuman qishas dapat memberi kehidupan dan keamanan hidup bagi manusia, nyatalah ia mengandung kemaslahatan umum, maka ia termasuk hak Allah. Namun dari sisi hukuman itu dapat menenangkan dan memadamkan api dendam keluarga orang yang terbunuh, nyatalah ia sebagai kemaslahatan khusus,
107
karenanya ia merupakan hak mukallaf. Tetapi kemaslahatan khusus pada contoh ini lebih kuat, maka hak mukallaf di sini lebih kuat. Oleh karena itu, keluarga orang terbunuh boleh saja memaafkan dan menggugurkan qishas secara cumacuma, atau dengan mengambil diyat (Abdul Wahab Khallaf, 1978:214). Penjelasan mengenai hak Allah dan hak mukallaf yang dijabarkan oleh al-Syathibi dan Abdul Wahab Khallaf memiliki sedikit perbedaan. Ini karena cara pandang dua ulama tersebut yang berbeda. Al-Syathibi lebih menekankan sisi ta’abbud dan ma’qul ma’na dari masingmasing bagian. Sedangkan Abdul Wahab Khallaf membuat penekanan pada aspek kemaslahatan umum dan khusus yang dikandungnya. 7. Maqashid Syari’ah sebagai Metode Ijtihad Kontemporer Ibnu ‘Asyur mengatakan bahwa wajib bagi para ulama untuk mengetahui ‘illat-‘illat tasyri’ serta tujuannya secara tersurat (dhahir) maupun tersirat (bathin). Jika ditemukan sebagian hukum yang tersembunyi, karena mereka sudah mengetahui tujuannya, baik itu secara tersurat maupun tersirat, niscaya mereka mengerti dalam memberikan fatwa-fatwa hukum. Pemahaman-pemahaman tersebut meliputi: pertama, mengetahui perkataan-perkataan dan faedah dalildalil dalam bentuk lughawi dan kaidahkaidah lafdhiyah untuk menemukan hukum-hukum fiqh, kedua, membahas dalil-dalil yang bertentangan dari yang sudah dinashakhkan, atau mengaitkan tujuan pengamalannya, atau menjelaskan hubungan dalil yang satu dengan dalil yang lain, ketiga, qiyas digunakan jika aqwal syara’ (perkatan-perkataan syara’) belum ditemukan hukumnya, keempat, memberikan suatu hukum yang tidak ada nash dan qiyas di dalamnya, kelima,
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM menemukan hukum-hukum syari’ah yang bersifat ta’abbudi jika sekiranya tidak ada pembahasan tentang ‘illat-‘illat hukum. Dengan demikian, Maqashid alSyari’ah ini akan membantu para mujtahid dalam menentukan kedhabitan aturanaturan hukum serta mashlah2ah dan mafsadah, pengetahuan tentang Maqashid al-Syari’ah, dan pengetahuan tentang ‘illat‘illat hukum. Dalam upaya mengembangkan pemikiran hukum Islam, terutama dalam memberikan pemahaman dan kejelasan terhadap berbagai persoalan hukum kontemporer, para mujtahid perlu mengetahui tujuan pensyari’atan hukum Islam. Selain itu, tujuan hukum perlu diketahui dalam rangka mengenal pasti, apakah suatu ketentuan hukum masih dapat diterapkan terhadap suatu kasus tertentu atau karena adanya perubahan struktur sosial, hukum tersebut tidak dapat lagi dipertahankan. Dengan demikan, pengetahuan mengenai Maqashid alSyari’ah menjadi kunci bagi keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya. (Ahsan lihasanah, 1990:27) Karena mengingat, hukum itu selalu berkembang sesuai dengan perkembangan tempat, zaman, dan keadaan. Seperti hukum perempuan yang keluar dalam perjalanan (musafir) tanpa disertai muhrimnya dan perjalanan tersebut bukanlah perjalanan dalam bermaksiat kepada Allah Swt. Hal ini pada zaman Rasulullah Saw, sangat dilarang karena takut akan timbul fitnah disamping menjaga keselamatan perempuan tersebut. Namun seiring dengan berkembangnya tempat, zaman, dan keadaan. Perempuan bisa berjalan dengan sendiri dengan aman dan nyaman tanpa ada merasa takut gangguan, maka hukum ini tentunya juga akan berubah. Atau ada suatu kasus yang dalil untuk menetapkan hukumnya tidak ditemukan dalam AlQur’an dan Hadits, maka di sinilah peran Maqashid
al-Syari’ah untuk memecahkan hal-hal tersebut dengan berlandaskan kepada kemaslahatan. Disamping contoh di atas, ada beberapa permasalahan, ada beberapa cara dan bentuk yang dilakukan dalam hal hasil ijtihad para zaman kontemporer yang didasari atas bentuk kemaslahatan, di antaranya: (Amir Syarifuddin, 2005: 77-89). 1. K e b i j a k s a a n a d m i n i s t r a t i f , misalnya dalam hal perkawinan perlu dilakukan pencatatan nikah secara resmi di lembaga KUA, yang dalam fiqh klasik hal ini tidak disebutkan. 2. Aturan tambahan, misalnya menetapkan aturan bahwa adanya hukum wasiat wajibah, seperti yang ditetapkan di negara Mesir. 3. Talfiq, seperti permasalahan perkawinan yang terjadi di Turki, dimana dalam fiqh munakahat mengamalkan mazhab Hanafi, sedangkan dalam perceraian menganut mazhab Maliki, sedangkan dalam hal menafkahi istri diamalkan mazhab Syafi’i. 4. R e i n t e r p r e t a s i - r e f o r m a s i , aktualisasi cara ini dilakukan dengan mengubah bagian-bagian dari hukum fiqh yang tidak sesuai dan tidak aktual lagi dengan kondisi kekinian untuk dikaji kembali dalilnya, seperti kebolehan untuk memiliki keturunan sebanyakbanyaknya bagi pasangan suami istri tanpa adanya pembatasan. Namun dalam kondisi sekarang ini melonjaknya jumlah pertumbuhan penduduk semakin pesat, sehingga menjadi suatu kendala bagi pemerintah untuk mengaturnya, maka untuk mengantisipasi ini pemerintah mencanangkan program Keluarga Berencana (KB). Berdasarkan uraian di atas jelaslah
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
108
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM betapa pentingnya mengedepankan fiqh al-Maqashid yang menempatkan kemaslahatan sebagai pertimbangan hukum. Berangkat dari kenyataan tersebut, dan dengan mempertimbangkan bahwa spektrum realitas yang terus bertambah dan semakin menemukan intensitas pemahamannya, maka mengedepankan konsep al-Maqashid al-Syari’ah adalah sebuah keharusan demi terwujudnya eksistensi fiqh yang humanis, elastis dan egaliter. C. Penutup Dari berbagai uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa Maqashid al-Syari’ah adalah rahasia dan hikmah yang menjadi tujuan dibalik penerapan setiap hukum-hukum. Subtansinya adalah mewujudkan kemaslahatan bagi manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak. Maqashid al-Syari’ah terdiri dari Maqashid Syari’ dan Maqashid mukallaf. Cara mengetahui Maqashid al-Syari’ah adalah dengan mengkombinasikan pendekatan zhahir lafaz dan penalaran, ke dalam suatu bentuk yang tidak merusak pengertian zhahir lafaz, maupun maksud esensial pengertiannya berdasarkan orientasi kemaslahatan. Mashlahah dapat dilihat dari berbagai sudut pandang sehingga melahirkan pembagian yang beragam. Tuntutan berdimensi adat dapat terjangkau hikmahnya, sedangkan yang berdimensi ibadat adalah semata-mata ta’abbud. Mengenai hak Allah dan hak mukallaf dapat dilihat dari sisi kemaslahatan umum dan khusus yang dikandungnya, atau dari sisi ta’abbud dan ma’qul ma’na yang ada padanya. Maqashid Syari’ah mutlaq diperlukan dalam ijtihad kontemporer demi terciptanya fiqh yang humanis, elastis, dan egaliter. Dengan karakter alMaqashid al-Syari’ah yang elastis, lintas ruang dan waktu diharapkan mampu
109
berdialektika dengan problematika yang terus bermunculan.
Daftar Pustaka Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, Cet XII, Kuwait: Dar al-Qalm, 1978 Al-Ghazali, Abi Hamid Muhammad ibn Muhammad, al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, Jld I, Beirut: Dar Ihya’ alturats al-‘Arabi, n d Al-Syathibi, Abi Ishaq Ibrahim ibn Musa, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, Jld II, IV, Beirut: Dar al-Fikr, n d Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad, Jakarta: Ciputat Press, 2005 Hasbi Umar, Nalar Fiqi Kontemporer, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007 Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Terjm: Saefullah Ma’shum, dkk), Cet VIII, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
110
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM PENYUSUNAN HANDBOOK UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP DASAR MATEMATIKA MAHASISWA PRODI TADRIS MATEMATIKA STAIN MALIKUSSALEH LHOKSEUMAWE Oleh : Mahdalena, Rosimanidar, Setiawan, Lisa, Abstrak: Mathematics has a very important role both in everyday life as well as in studying the other. So as to be able to master science and technology, the main base that must be mastered is mathematics. Student math Tadris units have still not been up and tend to be low in some subjects. One contributing factor is the mastery of basic math concepts that are often used in understanding the subject has not been fully mastered, there are still many misconceptions that occur in the basic concepts, the basic concept is already supposed to be inherent to the students since they have started entering the college gate. This study aims to describe the difficulties experienced by students in understanding the basic concepts of mathematics and Develop a handbook based on the difficulty students to the basic concepts of mathematics. This research is a qualitative descriptive by taking a sample of students STAIN Malikussaleh the number of 108 people consisting of students from second semester students, IV and IV. Based on the analysis of test results and interviews of students showed that students have difficulty mastering of the basic concepts of mathematics, especially on the properties of the basic concepts of mathematics itself. Aside from the lack of rootedness concept that has been introduced during the school year in their memories. One proposed solution is the use of the student handbook. Handbook was first compiled directed at aspects of the introduction of the concept for understanding the process of discovering and understanding, pattern, and nature. The second aspect is the aspect of understanding the concept, this aspect is an advanced introduction to the concept, after the students familiar with the concept, the student must be able to understand the concept by applying the concepts outlined in simple matters is the application of the concept itself and the third aspect is the aspect development concept, this aspect is a student’s skill in applying mathematical concepts that have been known before, the development of this concept contained in the issue or issues of non routine or application containing the reasoning and analysis. Kata Kunci: Konsep Dasar, Matematika, Kesulitan, Handbook PENDAHULUAN Pelajaran matematika merupakan salah satu pelajaran yang dianggap sangat bergengsi dikalangan siswa maupun orang tua siswa. Ini dapat terlihat pada saat pembagian rapor atau hasil evaluasi tiap semester, siswa maupun orang tua siswa paling bangga jika nilai matematika yang diperoleh tinggi. Hal ini disebabkan oleh masih adanya anggapan bahwa matematika merupakan pelajaran yang sulit. Padahal jauh dari itu, matematika mempunyai peranan yang sangat penting baik di dalam kehidupan sehari-hari
111
maupun di dalam mempelajari ilmu yang lain. Peranan ini sangat jelas terlihat pada era sekarang ini, dimana ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi sangat pesat perkembangannya. Sehingga untuk mampu menguasai ini semua, maka dasar utama yang harus dikuasai adalah matematika. Begitu pentingnya matematika, sehingga pemerintah serius dalam menentukan tujuan pembelajaran matematika yang diajarkan di sekolah dasar hingga menengah atas. Ini terlihat pada Permendiknas No. 22 Tahun 2006
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM dikemukakan bahwa tujuan pembelajaran matematika adalah : (1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah; (2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; (3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan dan menafsirkan solusi yang diperoleh; (4) mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; (5) memiliki sikap menghargai matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas, Jakarta, tahun 2006). Untuk mewujudkan tujuan yang telah dicanangkan oleh pemerintah, maka dibutuhkan guru matematika yang handal dan terampil dalam melaksanakan proses pembelajaran matematika kepada siswa. Sehingga sejak dari bangku perkuliahan pada Perguruan Tinggi pada jurusan pendidikan matematika ataupun yang setingkat dengannya, mahasiswa sebagai calon guru matematika harus sudah tertanam rasa tanggung jawab sebagai guru matematika. Rasa tanggung jawab itu dapat direalisasikan dengan kesadaran mahasiswa itu sendiri untuk sungguhsungguh belajar dan memperdalam matematika serta mampu mengembangkan potensi dirinya selama masa perkuliahan. Menurut Dwi Sulisworo bahwa ada banyak perbedaan lingkungan belajar antara SMU atau yang sederajat dengan lingkungan belajar di kampus. Perbedaan
terlihat pada rasa tanggung jawab. Ada kecenderungan di SMU, guru menjadi pengendali aktivitas. Tetapi di kampus, mahasiswa diperlakukan sebagai orang dewasa yang punya tanggung jawab atas dirinya untuk keberhasilan belajarnya sendiri. Jadi belajar di kampus, dibutuhkan keaktifan dari mahasiswa (Dwi Sulisworo, Artikel pada Moral dan Intelectual Integrity, 2010),. Selain tanggung jawab diri atas cita-cita menjadi guru matematika dan kepercayaan diri akan keberhasilan dalam perkuliahan, maka penguasaan akan materi-materi kuliah serta kemampuan penguasaan konsep-konsep dasar matematika merupakan salah satu faktor utama menjadi seorang guru matematika. Berdasarkan pengalaman peneliti yang sekaligus merupakan dosen pada STAIN Malikussahleh Lhokseumawe jurusan tarbiyah prodi Tadris matematika, hasil belajar yang diperoleh mahasiswa Prodi Tadris Matematika masih belum maksimal dan cenderung rendah pada beberapa matakuliah. Beberapa faktor penyebabnya adalah penguasaan konsep dasar matematika yang sering digunakan dalam memahami matakuliah tersebut belum dikuasai sepenuhnya, masih banyak miskonsepsi yang terjadi pada konsep dasar tersebut, seharusnya konsep dasar tersebut sudah harus melekat pada diri mahasiswa semenjak mereka sudah mulai memasuki gerbang perguruan tinggi. Seyogyanya mahasiswa pendidikan matematika pada masa perkuliahan sudah langsung menggunakan konsep dasar matematika dalam setiap matakuliah matematika, dimana konsep dasar tersebut sudah mereka peroleh sejak dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Karena tanggung jawab dosen tidak lagi pada penguasaan konsep dasar matematika, tetapi pada pengembangan dari konsep dasar matematika itu sendiri.
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
112
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Kurangnya pemahaman konsep dasar matematika bagi mahasiswa memberikan efek kurangnya motivasi belajar, malas untuk bertanya dan jika ditanya, mahasiswa kurang merespon. Sehingga aktivitas pembelajaran di kelas jelas tidak hidup dan kaku. Pemahaman konsep matematika yang baik sangatlah penting karena untuk memahami konsep yang baru diperlukan prasyarat pemahaman konsep sebelumnya. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Hudojo bahwa: “Mempelajari konsep B yang mendasari kepada konsep A, seseorang perlu memahami terlebih dahulu konsep A. Tanpa memahami konsep A tidak mungkin orang itu memahami konsep B” (Herman Hudojo. 1988 : 3). Kemampuan mahasiswa dalam matematika merupakan kesanggupan untuk menguasai konsepkonsep matematika yang dipelajari. Untuk mempelajari suatu konsep pada matematika perlu suatu konsep yang mendasarinya. Faktor penyebab selanjutnya adalah penyaringan test masuk perguruan tinggi STAIN Malikussaleh khususnya tidak banyak memberikan soal-soal matematika bagi calon mahasiswa yang masuk pada prodi pendidikan matematika, hanya 4% dari totalitas soal yang diujikan (10 soal matematika dari 250 soal yang diujikan). Sehingga mahasiswa yang tersaring pada prodi ini kurang mempunyai potensi dibidang matematika. Banyak mahasiswa suka menjadi guru matematika, tetapi mereka tidak mempunyai dasar matematika pada saat perkuliahan. Sehingga banyak mahasiswa yang kesulitan dalam memahami materi pada perkuliahan. Akibat dari ini akan membuat mahasiswa malas belajar secara mandiri dan berakibat pada hasil belajar akan rendah. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, maka permasalahan yang paling mendasar adalah kecenderungan
113
mahasiswa yang tidak mampu menguasai konsep-konsep dasar matematika yang seharusnya sudah dikuasai sejak masih di Sekolah Menengah Atas. Sehingga akan mempengaruhi pemahaman dan penyelesaian permasalahan pada matakuliah yang diikuti. Salah satu penyelesaian untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan cara memberikan pemahaman ulang kepada mahasiswa mengenai konsep dasar matematika dengan cara menyediakan buku pegangan (handbook) yang berisikan materi konsep–konsep dasar matematika yang berhubungan dengan matakuliah yang dipelajari, berdasarkan hasil jawaban mahasiswa pada saat ujian. Hal ini bertujuan 1) mengingatkan kembali konsep dasar matematika, 2) memberikan pemahaman konsep dasar matematika bagi mahasiswa yang masih mengalami miskonsepsi terhadap konsep dasar tersebut, 3) mempermudah mahasiswa dalam mengikuti proses pembelajaran di kelas. Dengan tercapainya tujuan ini diharapkan mahasiswa tidak mengalami kendala dalam memahami dan penyelesaian masalah yang terkait dengan materi yang belum pernah mereka dapat sebelumnya, tetapi di konsep dasarnya sudah pernah mereka dapatkan selama di sekolah. Sehingga hasil belajar akan mengalami progres yang lebih baik. Namun demikian belum tentu pemberian pemahaman konsep dasar matematika dengan cara memberikan handbook memudahkan mahasiswa untuk segera memahaminya. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kognitif dan bakat mahasiswa itu sendiri untuk menjadi guru matematika. Mahasiswa yang masuk pada Prodi Tadris Matematika sangat heterogen, baik asal sekolah maupun kemampuan yang dimilikinya. Sehingga sangat diperlukan kerjasama pihak STAIN Malikussaleh itu sendiri
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM dalam menyeleksi mahasiswa Prodi Tadris Matematika agar lebih selektif. Ini berefek nantinya pada kualitas calon guru yang akan diluluskan oleh STAIN Malikussaleh itu sendiri. Berdasarkan latar belakang masalah, maka masalah penelitian yang akan diselidiki dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Kesulitankesulitan apa saja yang dialami mahasiswa dalam memahami konsep dasar matematika? 2) Bagaimanakah bentuk handbook yang disusun berdasarkan kesulitan mahasiswa pada konsep dasar matematika? METODE PENELITIAN a. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini peneliti ingin menggali secara mendetail dan mendalam tentang kesulitan-kesulitan konsep dasar matematika yang ada dalam pikiran mahasiswa sehingga digunakan pendekatan kualitatif, sebab dalam proses pengumpulan data: 1. Mahasiswa tidak dikondisikan dalam kondisi tertentu, namun dibiarkan berperilaku secara alami. 2. Mahasiswa sebagai alat atau instrumen yaitu peneliti menjadi alat pengumpul data utama. 3. Data yang dikumpulkan berupa kumpulan lembaran jawaban subyek penelitian dari ujian tulis, jawaban verbal subyek yang direkam dengan tape recorder selama wawancara, tulisan yang diberikan subyek selama wawancara, dan catatan pengamat tentang pengalaman subyek selama wawancara. 4. Format wawancara dapat berubah sesuai dengan jawaban subyek sewaktu wawancara. Hal ini sesuai dengan pendapat moleong yang menyatakan karakteristik penelitian (Moleong, L.J. 2005 : 4-7). Hasil
penelitian ini akan penulis deskripsikan untuk dapat digunakan oleh dosen matematika dan penyusun bahan ajar matematika sehingga penelitian ini termasuk penelitian jenis deskriptif. b. Kehadiran Peneliti Dalam hal ini peneliti mengamati proses pembelajaran di kelas, lalu menganalisa lembaran jawaban mahasiswa untuk digunakan sebagai dasar penyusunan materi wawancara, materi wawancara dapat berubah sesuai informasi yang berkembang pada saat wawancara. Selanjutnya akan disusun handbook berdasarkan data tersebut. Oleh karena itu maka kehadiran peneliti mutlak diperlukan. c.
Lokasi Penelitian Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan di Prodi Tadris Matematika Jurusan Tarbiyah STAIN Malikussaleh Lhokseumawe, dengan pertimbangan sebagai berikut. 1. Penelitian ini belum pernah d i l a k s a n a k a n d i S TA I N Malikussaleh Lhokseumawe. 2. Peneliti adalah staf pengajar matematika di STAIN Malikussaleh Lhokseumawe. Hal ini cukup menguntungkan peneliti karena telah mengenal dan dikenal baik oleh mahasiswa tersebut, sehingga akan memudahkan terlaksananya penelitian ini. 3. Materi ini belum pernah diteliti disini. 4. Adanya dukungan dari sesama dosen matematika. d. Data dan Sumber Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi hal-hal berikut ini. 1. Data dari lembaran jawaban subyek penelitian ujian tulis yang diberikan. 2. Data yang diperoleh dari hasil
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
114
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM wawancara yang meliputi jawaban verbal subyek yang direkam dengan tape recorder selama wawancara, tulisan yang diberikan subyek selama wawancara, dan catatan pengamat tentang pengalaman subyek selama wawancara. Sumber data dalam penelitian ini adalah mahasiswa prodi tadris matematika tahun akademik 2013/2014. e. Prosedur Pengumpulan data Untuk memperoleh data yang diperlukan, dalam penelitian ini dilakukan pengumpulan data melalui kegiatankegiatan berikut ini. 1. Pemilihan Subyek Penelitian Sumber data dalam penelitian ini adalah mahasiswa prodi tadris matematika tahun akademik 2013/2014 yang sedang mengikuti mata kuliah kompetensi matematika. Pemilihan subyek penelitian berdasarkan dua pertimbangan, pertama mahasiswa yang memperoleh nilai tinggi, sedang, dan rendah, kedua mahasiswa yang dipilih menjadi subyek penelitian adalah mahasiswa yang mudah diajak berkomunikasi sehingga memudahkan peneliti untuk menggali kesulitan konsep dasar matematika yang ada dipikiran mahasiswa. 2. Tes tulis Tes tulis dilakukan untuk melihat pemahaman subyek penelitian meliputi kendala ataupun kesulitan dalam konsep dasar matematika mahasiswa. Agar subyek mengerjakan tes dengan kesungguhan sehingga data yang diperoleh adalah data alami maka tes diberikan oleh peneliti di ruang kuliah seperti biasanya tempat subyek berada dan dimasukkan dalam bagian dari Quis. 3. Wawancara terhadap subyek penelitian Untuk menggali kesulitan konsep dasar matematika yang ada dalam pikiran mahasiswa secara mendalam dilakukan
115
wawancara. Wawancara dilaksanakan setelah selesai ujian tulis, dan secara umum mahasiswa ditanyakan mengapa menjawab seperti yang tertera dalam lembaran jawabannya, pertanyaan ini berpedoman dari analisis lembaran jawaban mahasiswa dari tes tertulis, jawaban ini melahirkan pertanyaan berikutnya sampai ditemukan bagaimana cara memancing mahasiswa agar dapat memberikan kejelasan yang baik terhadap kesulitan konsep dasar matematika mahasiswa. Oleh karena itu format wawancara tidak dibakukan dan dibuat sefleksibel mungkin. f. Analisis data Data penelitian terdiri dari lembaran jawaban dari tes tertulis, tulisan subyek sewaktu wawancara, rekaman wawancara, dan catatan pengamat sewaktu wawancara kemudian dianalisis. Teknik analisis data akan mengacu pada pendapat Miles dan Huberman yang menyatakan bahwa analisis data meliputi reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan dan verifikasi data. Berdasarkan pendapat diatas peneliti akan melakukan langkah-langkah sebagai berikut. 1. M e n e l a a h d a n m e m e r i k s a semua data-data yang telah dikumpulkan dari sumber data. Hasil penelaahan ini merupakan deskripsi data yang terdiri dari jawaban mahasiswa terhadap tes, jawaban verbal mahasiswa selama wawancarayang direkam dengan tape recorder, tulisan mahasiswa selama wawancara, dan catatan pengamat selama wawancara. 2. M e n g e l o m p o k k a n d a t a d a r i jawaban tes tertulis dan wawancara berdasarkan jenis kesulitan. 3. Melakukan verifikasi deskripsi data
g.
Pengecekan Keabsahan Data Untuk menjamin keabsahan data
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM digunakan teknik triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yanng lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap terhadap data itu. Menurut Moleong, teknik triangulasi yang paling banyak dilakukan adalah pemeriksaan dengan sumber lainnya (Moleong, L.J. Metodologi Penelitian : 330). dalam penelitian ini, peneliti akan membandingkan data hasil wawancara, lembar jawaban subyek dilokasi tempat penelitian berlangsung. Data yang dibandingkan adalah bagaimana kesulitan terhadap konsep dasar matematika, apakah prosedur yang dibuat subyek sudah benar dan apakah subyek sudah dapat menunjukkan alasan yang tepat dari tiap langkah yang dituliskan dalam menyelesaikan permasalahan konsep dasar matematika. h. Tahap-tahap penelitian Penelitian ini dilakukan dalam 7 tahap, ketujuh tahap itu meliputi hal-hal berikut ini. 1. Observasi pembelajaran di kelas 2. Mengelompokkan mahasiswa atas tiga kategori, yaitu kemampuan tinggi, sedang dan rendah 3. Menyiapkan tes tulis dalam bentuk uraian 4. Melakukan tes terhadap subyek penelitian 5. Menganalisis lembaran jawaban mahasiswa dan menyusun dasar pertanyaan wawancara 6. Melakukan wawancara terhadap subyek penelitian tentang pemahaman terhadap materi dan soal tes 7. Menyusun handbook berdasarkan analisis data dari tes tulis, wawancara, dan catatan pengamat HASIL PENELITIAN Te s b e r u p a k e m a m p u a n matematika dasar diikuti sebanyak 108
orang mahasiswa STAIN Malikussaleh Lhokseumawe yang terdiri dari mahasiswa semester II sebanyak 33 mahasiswa, semester IV sebanyak 39 mahasiswa dan semester VI sebanyak 36 mahasiswa dan dilakukan selama 2 hari. Adapun materi tes kemampuan matematika dasar terdiri dari bilangan, pecahan, eksponen, logaritma, geometri, persamaan kuadrat, pertidak samaan kuadrat, fungsi, himpunan dan bentuk aljabar dengan total soal sejumlah 26 butir. Secara umum hasil tes kemampuan matematika dasar dapat dibagi menjadi 3 tingkatan kemampuan, yaitu kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Pembagian tingkatan tersebut berdasarkan pembagian range dari nilai A, B, C, D dan E pada penilaian mahasiswa. Untuk nilai A berarti berkemampuan tinggi, B dan C berkemampuan sedang serta D dan E berkemampuan rendah. Berdasarkan hasil tes kemampuan konsep dasar matematika yang diikuti oleh 108 mahasiswa memperoleh 106 mahasiswa yang mempunyai tingkat kemampuan rendah dengan nilai paling terendah 6 dan tertinggi 54, sedangkan 2 mahasiswa lainnya mempunyai tingkat kemampuan sedang dengan nilai terendah 59 dan tertinggi 63. Kemudian hasil jawaban mahasiswa terhadap tes kemampuan matematika dasar berdasarkan butir soal dengan tiga kriteria yaitu jawaban sempurna, ada usaha menjawab tapi masih salah dan tidak menjawab sama sekali. Berdasarkan jawaban mahasiswa dengan kriteria jawaban sempurna sebanyak 21,30 %, kriteria ada usaha menjawab tapi masih salah sebanyak 40, 10 % dan kriteria tidak menjawab sama sekali sebanyak 53,99%. Secara jelas dapat dilihat pada grafik berikut:
Grafik Hasil Tes Berdasarkan 116 SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI Gambar. - DESEMBER Kriteria Jawaban Kemudian untuk menentukan hasil
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM
tes mahasiswa berdasarkan materi soal dapat dilihat pada tabel berikut:
Berdasarkan tabel di atas, hampir semua materi tes mahasiswa banyak tidak menjawab sama sekali, kecuali pada materi pecahan dan bilangan. Analisis data wawancara diawali dengan melakukan wawancara mendalam dengan informan. Informan tersebut adalah mahasiswa dari semester II, IV dan VI yang dipilih berdasarkan hasil tes kemampuan konsep dasar matematika, masing-masing semester terpilih mahasiswa yang memiliki kemampuan rendah, sedang dan tinggi. Hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa kesulitan yang dihadapi mahasiswa dalam penguasaan konsep dasar matematika dari hasil wawancara kelima belas mahasiswa tersebut adalah: 1. Lemah dalam hal operasi hitung bilangan bulat dan bilangan pecahan, misalkan NA masih lupa -t × -t = 2t seharusnya t2 dan Za kesalahan menyederhanakan pecahan campuran menjadi
117
pecahan biasa -1 (1/3) = -3/4 seharusnya -4/3 2. Kesulitan dalam memaknai dan menalar soal cerita 3. K e s u l i t a n m e n y e l e s a i a k a n soal-soal dalam bentuk aljabar misalkan untuk persamaan baik linier maupun kuadrat serta pertidaksamaan belum dapat membedakan tanda < dan >, penyelesaian pertidaksamaan tidak ditentukan nilai dibawah tanda akar tidak boleh negatif atau harus e 0 4. Kesulitan dalam memahami soal-soal geometri bidang datar, misalkan tidak mengertinya tentang jajargenjang 5. Bingung mengenai fungsi injektif sujektif 6. T i d a k m e m a h a m i c a r a menggambar grafik dari sebuah fungsi 7. Tidak mengerti soal tentang akar pangkat 8. Tidak mengerti dan memahami konsep logaritma dan eksponen, misalkan RI masih belum memahami konsep (ab)c Kesulitan-kesulitan tersebut menurut pengakuan mahasiswa yang telah diwawancarai disebabkan oleh beberapa hal yaitu: (1) Kurang persiapan mahasiswa mengikuti tes, (2) Waktu yang tersedia untuk mengikuti tes tidak cukup atau kurang, sebagaimana pengakuan dari EM dan FF karena banyak perhitungan jadi perlu tambahan waktu, (3) Keseriusan menjawab soal masih rendah , (4) Latar belakang pendidikan dari sekolah kejuruan. Mahasiswa yang diwawancari tiga belas orang memberikan usulan-usulan agar adanya solusi atau penyelesaian dari kesulitan-kesulitan dasar matematika yang dirasakan. Adapun usulan-usulan solusi tersebut adalah : (1) Dosen mengulang kembali konsep dasar matematika yang
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM terkait materi perkuliahan sebagai prasyarat, (2) Kegiatan pelatihan dasardasar matematika, (3) Tersedianya buku saku, diktat dan juga modul yang berisikan rangkuman-rangkuman konsep dasar matematika. PEMBAHASAN Secara umum, berdasarkan uraian jawaban mahasiswa terlebih dahulu dibahas kondisi kemampuan mahasiswa pada tiga kategori. Hal ini dimaksudkan untuk dapat menggali kesulitan-kesulitan konsep dasar matematika yang dialami mahasiswa. Kategori pertama adalah pengelompokan mahasiswa berdasarkan kemampuan tingkat tinggi, sedang, dan rendah. Berdasarkan pembagian range dari nilai A, B, C, D dan E, maka hasil tes kemampuan konsep dasar matematika yang diikuti oleh 108 mahasiswa, diperoleh 106 mahasiswa yang mempunyai tingkat kemampuan rendah dengan nilai paling terendah 6 dan tertinggi 54, sedangkan 2 mahasiswa lainnya mempunyai tingkat kemampuan sedang dengan nilai terendah 59 dan tertinggi 63. Pada kategori ini kemampuan mahasiswa dominan di tingkat rendah, artinya mahasiswa masih mengalami kesulitan dalam aspek pengenalan konsep. Ini menunjukkan bahwa mahasiswa yang yang berada ditingkat rendah belum mengetahui rumus maupun sifat-sifat dari materi. Sehingga materi tes yang diberikan tidak tercapai ketuntasannya. Kategori kedua adalah pengelompokan kemampuan dasar matematika mahasiswa per semester. Hasil tes untuk semester II mempunyai nilai tertinggi sebesar 54 dan nilai terendah sebesar 10, hasil tes pada mahasiswa semester IV mempunyai nilai tertinggi sebesar 63 dan nilai terendah sebesar 6 sedangkan hasil tes pada mahasiswa semester VI mempunyai nilai tertinggi sebesar 59 dan nilai terendah sebesar
8. Namun demikian nilai yang diperoleh dari mahasiswa persemeteran tidak menunjukkan nilai ketuntasan belajar. Ini juga menunjukkan bahwa setiap kelas yang diuji tidak terdapat kemampuan mahasiswa yang heterogen. Sehingga mahasiswa sangat sulit menjadikan tutor sebaya sesama teman kelasnya. Pada kategori ini mahasiswa lebih banyak mempunyai kemampuan yang sedang dari kelasnya. Kategori ketiga adalah pengelompokan kemampuan dasar matematika mahasiswa berdasarkan butir soal dengan tiga kriteria yaitu jawaban sempurna, ada usaha menjawab tapi masih salah dan tidak menjawab sama sekali. Hasil jawaban mahasiswa yang menjawab soal dengan kriteria jawaban sempurna sebanyak 21,30 %, kriteria ada usaha menjawab tapi masih salah sebanyak 40, 10 % dan kriteria mahasiswa yang tidak menjawab sekali atau mempunyai nilai 0 yang disebabkan uraian penyelesaian sama sekali tidak mengarah pada kebenaran. Berdasarkan hasil perhitungan menunjukkan bahwa rata-rata butir soal yang mempunyai nilai 0 sebanyak 14 butir soal permahasiswa. Ini berari setiap mahasiswa hanya mampu menyelesaikan materi tes rata-rata sebesar 53,99 %. Pada kriteria ini mahasiswa dominan berada pada kriteria tidak menjawab sama sekali. Hal ini diperkuat oleh data jawaban mahasiswa terhadap materi tes yang diberikan, dimana hampir semua materi tes mahasiswa banyak tidak menjawab sama sekali, kecuali pada materi pecahan dan bilangan. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa masih sangat kesulitan dalam dasar matematika untuk aspek pengenalan konsep, pemahaman konsep dan pengembangan konsep. Selanjutnya kondisi kemampuan mahasiswa berdasarkan hasil wawancara menunjukkan mahasiswa masih mengalami kesulitan dalam materi tes yang diberikan. Adapun kesulitan-kesulitan yang terjadi
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
118
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM meliputi kesulitan dalam hal operasi hitung bilangan bulat dan bilangan pecahan, misalkan masih lupa -t × -t = 2t seharusnya t2, penyederhanaan pecahan campuran menjadi pecahan biasa -1 (1/3) = -3/4 seharusnya -4/3, kesulitan dalam memaknai dan menalar soal cerita, kesulitan menyelesaiakan soalsoal dalam bentuk aljabar misalkan untuk persamaan baik linier maupun kuadrat serta pertidaksamaan yang sederhana saja belum dapat membedakan tanda < dan > serta kesulitan menentukan penyelesaian pertidaksamaan seperti tidak ditentukan nilai dibawah tanda akar tidak boleh negatif atau harus e” 0 penyelesaiannya hanya mengkuadratkan kedua ruas, kesulitan dalam memahami soal-soal geometri bidang datar, misalkan tidak mengerti tentang jajargenjang, kesulitan mengenai fungsi injektif sujektif, tidak memahami cara menggambar grafik dari sebuah fungsi, tidak mengerti soal tentang akar pangkat, tidak mengerti dan memahami konsep logaritma dan eksponen, misalkan masih belum memahami konsep (ab)c. Hasil tes dan wawancara mahasiswa menunjukkan bahwa mahasiswa mengalami kesulitan penguasaan terhadap konsep dasar matematika terutama pada sifat-sifat konsep dasar matematika itu sendiri. Selain dari itu kurang berakarnya konsep yang telah diperkenalkan selama masa sekolah dalam ingatan mereka. Kesulitan ini seharusnya untuk level mahasiswa tidak terjadi lagi, karena yang diuji adalah materi-materi yang sudah diperoleh di SMP dan SMA dan merupakan konsep awal yang wajib dipahami agar dapat memahami konsep berikutnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Hudojo yang mengatakan bahwa “Mempelajari konsep B yang mendasari kepada konsep A, seseorang perlu memahami terlebih dahulu konsep A. Tanpa memahami konsep A tidak mungkin orang itu memahami konsep B” (Herman Hudojo. 1988 : 3).
119
Karenanya berdasarkan hal ini, maka perlu diupayakan kepada pembenahan terhadap kemampuan mahasiswa dalam penguasaan konsep dasar matematika. Hal ini sangat penting dilakukan karena akan berefek pada kemampuan penerimaan materi pada level perkuliahan, dimana pada level perkuliahan konsep dasar matematika sudah dianggap selesai pada level sekolah menengah dan tidak diajarkan lagi pada level perkuliahan, pada level ini hanya menerapkan kembali konsep dasar matematika untuk memahami konsep materi perkuliahan. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi persoalan penguasaan konsep dasar matematika khususnya dari tim pengajar, misalnya dengan mengulang kembali konsep dasar matematika sebelum materi perkuliahan dimulai, namun cara seperti ini akan menghabiskan waktu mengajar konsep dasar matematika dibanding waktu untuk mengajar materi perkuliahan. Penggunaan sistem remedial khusus pada konsep dasar matematika, tutor sebaya, penggunaan bahan ajar seperti buku, modul, diktat, handbook dan sebagainya. Tentu saja setiap cara ini harus dipilih sesuai dengan situasi ketersediaan pengajar, disiplin ilmu dari seorang pengajar, gaya belajar mahasiswa, kapasitas mahasiswa dalam kelas, kemampuan mahasiswa, dan karakteristik lainnya yang tidak mungkin terdeteksi semuanya yang penuh dengan ketidakpastian. Mengacu pada uraian di atas, mengingat jumlah pengajar yang tidak proporsional dengan jumlah mahasiswa, jumlah mahasiswa dalam kelas mencapai relatif banyak berkisar 45-50 orang, gaya belajar mahasiswa yang cenderung pasif, kemampuan mahasiswa yang dominan rendah, maka dalam hal ini solusi yang ditawarkan untuk persoalan penguasaan konsep dasar matematika dipilih penggunaan bahan ajar yaitu
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM handbook. Adapun penyusunan handbook mengacu pada kesulitan mahasiswa yang diperoleh berdasarkan hasil tes mahasiswa dan hasil wawancara terhadap materi uji yaitu bilangan, pecahan, eksponen, logaritma, geometri, persamaan kuadrat, pertidaksamaan kuadrat, fungsi, himpunan dan bentuk aljabar dengan total soal sejumlah 26 butir. Handbook yang disusun diarahkan pertama sekali pada aspek pengenalan konsep untuk proses menemukan dan memahami pengertian, pola, dan sifat. Dengan mengenal konsep secara benar, maka mahasiswa akan mampu menerapkan konsep matematika dalam permasalahan matematika baik yang sederhana maupun kompleks. Aspek kedua yaitu aspek pemahaman konsep, aspek ini merupakan lanjutan pengenalan konsep, setelah mahasiswa mengenal konsep maka mahasiswa harus mampu memahami konsep tersebut dengan cara menerapkan konsep tersebut yang dituangkan dalam soal-soal sederhana yang bersifat penerapan dari konsep itu sendiri dan aspek yang ketiga yaitu aspek pengembangan konsep, aspek ini merupakan suatu ketrampilan mahasiswa dalam menerapkan konsep matematika yang telah dikenal sebelumnya, pengembangan konsep ini tertuang dalam permasalahan atau soal-soal non rutin yang mengandung penalaran dan analisis. Hudojo menyatakan bahwa pemahaman terhadap bahan pelajaran itu dapat diperkuat bila disajikan latihanlatihan soal yang berhubungan dengan bahan yang disajikan itu. Apabila siwa sudah trampil mengerjakan latihanlatihan itu berarti memori menjadi kuat dan terjadi retensi. Dengan memori ini diharapkan siswa mampu mengaplikasikan bahan-bahan yang sudah dipelajari itu ke situasi yang lain (Herman Hudojo, 2005 :104). Berdasarkan pendapat
Hudojo ini, penggunaan handbook akan membuat memori mahasiswa semakin kuat dalam memahami konsep. Sehingga diharapkan nantinya dapat melatih dan mengembangkan cara berpikir, mampu menghubung-hubungkan antara satu konsep dengan konsep yang lain (kemampuan mengkontruks pengetahuan) dan trampil dalam menerapkan konsep pada pemecahan masalah sehari-hari maupun pada persoalan yang lebih komplek. Dalam menyusun handbook ini diperhatikan urutan logis materi, diawali aspek pengenalan konsep, pemahaman konsep dan pengembangan konsep dari tiap materi, bahasa yang baik dan benar, layout atau desainnya agar menarik dan menumbuhkan minat pembaca. Dengan handbook ini juga akan menjadi salah satu bahan ajar yang akan digunakan untuk matrikulasi mahasiswa baru untuk program studi matematika tahun berikutnya, sehingga kesulitan konsep dasar matematika mahasiswa dapat diminimalkan. Selengkapnya handbook yang sudah disusun dapat dilihat pada lampiran. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Mulyono. 1999. Pendidikan bagi Anak Berkesulitan Belajar, Jakarta: Depdikbud dan PT Rineka Cipta. Ansari, B. I. 2009. Komunikasi Matematika Konsep dan Aplikasi. Banda Aceh: Yayasan PeNA. Arikunto, S. 2007. Prosedur Penelitia: Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi VI. Jakarta: Rineka Cipta. Bloom, B.S. 1986. Taxonomy of Educational Objectives. Handbook 1: Cognitive domain. New York: David McKay.
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
120
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Dahar, R. W. 1988. Teori-teori Belajar. Bandung: Gelora Aksara Pratama Departemen Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah no.22 tahun 2006 pada Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika SMP & MTs, (Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas, Jakarta, tahun 2006).
Ilmu. Reigeluth, C.M. 1983. Instructional Design Theory of Models: An Overviuw of the their Current Status. London: Prentice Hall. Riduwan 2004, Belajar Mudah Penelitian Untuk Guru, Karyawan dan Peneliti pemula, Bandung: Alfabeta
Diknas. 2004. Pedoman Umum Pemilihan dan Pemanfaatan Bahan Ajar. Jakarta: Ditjen Dikdasmenum.
Romizowski, Aj. 1981. Design Instructional S y s t e m . N e w Yo r k : N i c h o l Publishing Company.
Dwi Sulisworo, Rugi Bila Mahasiswa Tidak Aktif, Artikel pada Moral dan Intelectual Integrity, Edisi 1 Agustus 2010, Universitas Ahmad Dahlan.
Ruseffendi, E.T. 1991. Pengajaran Matematika Modern untuk Orang Tua, Murid, Guru, dan SPG Seri Kelima. Tarsito: Bandung.
Gronlund, N.E. 1985. Measurement and Evaluation in Teaching. New York: Macmillan Publishing, Co. Herman Hudoyo. 1988. Strategi Mengajar. Malang : IKIP Malang Heruman 2007. Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Moleong, L.J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:Penerbit PT Remaja Rosdakarya. Nurhadi. 2004. Kurikulum 2004 Pertanyaan dan Jawaban. Jakarta: Grasindo. R.Soedjadi. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Rahayuningsih. 2007. Pengelolaan Perpustakaan. Yogjakarta: Graha
121
______. 1988, Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA, Tarsito, Bandung. Sholeh, M.. 1998. Pokok- pokok Pengajaran Matematika di Sekolah. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta Syah, Muhibbin. 1995. Psikologi Pendidikan: Suatu Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Syaiful Bahri Djamarah. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Tim PLPG. 2008. “Metodologi Pembelajaran Matematika” Modul Pelatihan Pendidikan Guru. Medan: Jurusan Pendidikan Matematika, Unimed.
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM (tidak dipublikasi). Thohir, Noorhadi dan Basuki Haryono. 1996. Jurnal Rehabilitasi dan Remidiasi. Surakarta: Pusat Penelitian dan Remidiasi Lembaga Penelitian UNS. Warkitri, dkk.. 1990. Penilaian Pencapaian Hasil Belajar. Jakarta : Karunika UT.
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
122
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM KEPEMIMPINAN PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM Oleh: Syarboini, MA Abstract: In Islam itself, leadership gets a share of the discussion is not small. Not a few verses of the Koran and the Hadith that Membincang the importance of leadership in a community. Some terms Qur’an related to leadership, among others, the caliphate (Khilafah), priest (Imamate) and leader. Problem formulation: How Leadership in Islamic Education review? The purpose of this study was to determine the leadership of the Islamic Education review. Research Methods research in this study using this type .Teknis Qualitative data collection in this qualitative study using documentary analysis of data taken from the Koran, asunnah and books of Islamic education as a primary source. Books, books, dealing with the problems of data ditelitianalisis content authors use the technique Analysis. While the results of research leadership in the Qur’an there perbedaaanya. It can be seen from the general understanding that leadership is a relationship affects the process that occurs in a community that is geared to the achievement of common goals. While the concept of leadership in the Qur’an that the caliph, priests, and uli al-Amri with all nsyarat-condition assessed more comprehensively in defining a leadership that would eventually give birth to leaders who are reliable and can bring a benefit for the life man.beucase these two concepts are in expressing the properties of an ideal leader, equally touching the side of materialism and idealism. For example, the concept of public leadership, leader trait among others, has physical and mental energy, having a sense of purpose and direction, have enthusiasm, and so forth. While the concept of the leader of Al-Quran preformance among others have properties that is, Islam, devoted, understanding the situation and condition of the society, has the charisma and authority before men, consistent with the truth, sincerity, and behave well. A. Pendahuluan Kepemimpinan merupakan bagian terpenting dari organisasi lembaga pendidikan. Hal ini dapat dilihat pada kenyataannya ketika seorang pemimpin telah menjalankan tugasnya memanej organisasinya dengan baik maka organisasi tersebut akan menjadi baik pula. Dalam Islam sendiri, kepemimpinan mendapatkan porsi bahasan yang tidak sedikit. Tidak sedikit ayat al-Qur’an dan Hadits yang membincang akan pentingnya kepemimpinan dalam sebuah komunitas. Beberapa istilah al-Quran yang terkait dengan kepemimpinan antara lain, khalifah (khilafah), imam (imamah) dan uli al-Amri. Bila kita cermati kehidupan Rasulullah kita akan menemukan banyak sekali keistimewaan dan pelajaran yang seakan-akan tidak pernah habis. Dalam hal kepemimpinan lihatlah bagaimana Rasullah
123
membangun kepercayaan dan kehormatan dari kaumnya. Sebelum menjadi nabi, Rasullullah sudah mempunyai gelar alamin yang artinya dapat dipercaya. Sebuah gelar yang tidak bisa dikatakan biasa karena menununjukkan kredibilitas beliau di mata kaumnya. Kemudian lihatlah bagaimana daya kepemimpinan beliau ketika menyelesaikan kasus pengembalian Hajar Aswad ke dalam ka’bah setelah direnovasi karena banjir. Semua orang bergembira karena beliaulah yang terpilih menjadi hakim pada perkara tersebut. Dan cara penyelesaiannya pun sungguh cerdas dan menyenangkan semua pihak. Setelah menjadi pemimpin tertinggi Negara Islam madinah pun Rasullullah tetap menunjukkan daya kepemimpinan yang luar biasa. Berkali-kali beliau memimpin sendiri pasukan perang untuk menghadapi
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM orang-orang kafir, menyelesaikan masalahmasalah yang terjadi di tubuh umat yang semakin kompleks, menjadi pemimpin bagi beragam suku arab dan agama yang ada di madinah kala itu. Namun, di tengahtengah kesibukannya dalam mengurus Negara, beliau masih sempat mencandai istri, bahkan menjahit sendiri terompahnya yang putus dan gamisnya yang robek. Dan semua kualitas tersebut menjadikan Rasullullah sebagai pemimpin terhebat sepanjang sejarah. Dalam waktu singkat, 23 tahun kurang lebih, risalahnya telah menembus batas-batas akal manusia. Barisan-barisan inti yang kokoh siap melanjutkan risalah yang dibawanya. Pengikut ajarannya pun semakin bertambah banyak. Dalam waktu sekejap sejarah mencatat bahwa ajaran islam yang dibawanya telah meluas dari jazirah kecil tak ternama menjadi sepertiga dunia yang makmur dan digdaya. Bagaimana Rasulullah menjadi dapat menjadi pemimpin yang demikian hebatnya? Jawabannya hanya satu, karena Rasulullah memimpin dengan kekuatan spiritualitasnya, bukan karena posisi, jabatan, atau sesuatu yang dibeli dengan uang dan kekuasaan. Yang ditaklukan oleh Rasulullah bukan posisi atau jabatan tetapi hati para pengikutnya. Disamping itu disebutkan juga prinsip-prinsip kepemimpinan, yang mana prinsip tersebut harus dimilki oleh seorang pemimpin walaupun tidak secara totalitas untuk itulah penulis merasa tertarik meneliti tentang judul “Kepemimpinan dalam Perspektif pendidikanIslam”. 1. Rumusan Masalah Berdasarkan latarbelakang masalah di atas maka dalam hal dapat peneliti rumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah Kepemimpinan dalam tinjauan Pendidikan Islam 2. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Kepemimpinan dalam tinjauan Pendidikan Islam 3. Manfaat Penelitian Sebagai aset pustaka yang diharapkan dapat dimanfaatkan oleh seluruh kalangan masyarakat dan akademisi, baik dosen maupun mahasiswa, dalam upaya memberikan pengetahuan, informasi, dan sebagai proses pembelajaran mengenai kepemimpinan dalam perspektif Islam. Manfaat praktis dalam penelitian ini yaitu untuk bisa mengaplikasikan dalam kehidupan siapa saja yang membacanya mengenai nilai-nilai kepermimpinan baik ditinjau dari al-qur’an maupun as-sunnah. 4. Metode Penelitian Jenis penelitian dalam penelitian ini menggunakan jenis kualitiatif deskriptif. Berdasarkan masalah yang penulis utarakan di atas maka untuk mencari data penelitian dengan mengunakan Penelitian kepustakaan (Library Reserch) yaitu studi kepustakaan tentang data yang merupakan landasan kepustakaan dalam penulisan Kualitatif yaitu dengan mempelajari Literatur yang ada kaitannya dengan penelitian dan dapat menghasilkan tujuan yang diharapkan (Sutriano Hadi , 1982:19). Dalam penelitian kepustakaan data hanya bersumber dari bahan-bahan tertulis yang dipublikasikan dalam bentuk kitab dan buku-buku lain yang di anggap perlu. Teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif ini menggunakan metode analisis dokumenter (Burhan Bungin, 2003 : 78). Yaitu mencari data mengenai hal-hal variabel yang berupa catatan, transkrip buku, surat kabar, majalah, prasasti, catatan agenda dan sebagainya. Dalam penelitian ini data diambil dari al-Qur’an, asunnah dan buku pendidikan Islam sebagai sumber primer. Buku, kitab, yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Adapun dalam menganalisis data penulis menggunakan
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
124
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM teknik content Analysis. Dalam penelitian ini peneliti mengunakan 3 tahab, yaitu: Reduksi data, Disply data, Verifikasi data dan pengambilan kesimpulan (Burhan Bungin, 2003 : 287). B. Landasan Teori 1. Pengertian Kepemimpinan Mengenai definisi kepemimpinan, banyak perbedaan pendapat mengenai definisinya. Hal ini disebabkan berbedanya sudut pendang dari masing-masing peneliti, mereka mendefinisikan kepemimpinan sesuai dengan perspektif-perspektif individual dan aspek dari fenomena yang paling menarik perhatian mereka. Jacobs & Jacques mendefinisikan kepemimpinan sebagai sebuah proses memberi arti (pengarahan yang berarti) terhadap usaha kolektif, dan yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran (Gary Yukl, 1994 : 2). Sedangkan menurut Tannenbaum, Weschler & Massarik kepemimpinan adalah pengaruh antarpribadi, yang dijalankan dalam suatu sistem situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi, ke arah pencapain satu tujuan atau bebrapa tujuan tertentu(Gary Yukl, 1994 : 2). Dari pengertian di atas ditarik kesimpulan bahwa kepemimpinan merupakan suatu hubungan proses mempengaruhi yang terjadi dalam suatu komunitas yang diarahkan untuk tercapainya tujuan bersama. Disamping itu jika melihat rumus kepemimpinan yang diajukan oleh Paul Hersey dan Kenneth H. Blanchard, maka hubungan natara pemimpin dan yang dipimpin tidak harus selalu berada dalam hubungan yang hirarkis. Secara sederhana, apabila berkumpul tiga orang atau lebih kemudian salah seorang di antara mereka “mengajak” teman-temannya untuk melakukan sesuatu seperti: nonton film, berman sepek bola, dan
125
lain-lain, orang tersebut telah melakukan “kegiatan memimpin”, karena ada unsur “mengajak” dan mengkoordinasi, ada teman dan ada kegiatan dan sasarannya. Tetapi, dalam merumuskan batasan atau definisi kepemimpinan ternyata bukan merupakan hal yang mudah dan banyak definisi yang dikemukakan para ahli tentang kepemimpinan yang tentu saja menurut sudut pandangnya masing-masing. Dari definisi-definisi di atas, paling tidak dapat ditarik kesimpulan yang sama, yaitu masalah kepemimpinan adalah masalah sosial yang di dalamnya terjadi interaksi antara pihak yang memimpin dengan pihak yang dipimpin untuk mencapai tujuan bersama, baik dengan cara mempengaruhi, membujuk, memotivasi dan mengkoordinasi. Dari sini dapat dipahami bahwa tugas utama seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya tidak hanya terbatas pada kemampuannya dalam melaksanakan program-program saja, tetapi lebih dari itu yaitu pemimpin harus mempu melibatkan seluruh lapisan organisasinya, anggotanya atau masyarakatnya untuk ikut berperan aktif sehingga mereka mampu memberikan kontribusi yang positif dalam usaha mencapai tujuan. 2. Ciri-ciri Pemimpin Penilaian sukses atau atau gagalnya pemimpin antara lain dilakukan dengan mengamati dan mencatat ciri-ciri dan kualitas perilakunya. Diantara para penganut teori sifat/ kesifatan dari kepemimpinan (the traitist theory of leadership) adalah Ordway Tead. Menurut Ordway, ada sepuluh sifatsifat kepemimpinan, yaitu ; a) Energi jasmaniah dan mental (Psysical and nervous energy) b) Kesadaran akan tujuan dan arah (A sense of purpose and direction) c) Antusiame (enthusiasm) d) Keramahan dan kecintaan (Friendliness and affectio e) Integritas (integrity)
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM f) Penguasaan teknis (technical mastery) g) Ketegasan dalam mengambil keputusan (decisiveness) h) Kecerdasan (intelligence) i) Kepercayaan (faith) (Kartini Kartono, 1998: 37-43). 3. Pengertian Pendidikan Islam Pendidikan pada hakikatnya suatu kegiatan yang secara sadar dan sengaja, serta penuh tanggung jawab yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak sehingga timbul interaksi dari keduanya agar anak tersebut mencapai kedewasaan yang dicita-citakan dan berlangsung terus menerus. Disilah pentinya kelestarian, nilai pendidikan sangat diutamakan. Menurut Naquib Al-attas sebagaimana yang dikutib dari Ahmad Tafsir istilah-istilah ta‘dib adalah istilah yang paling tepat digunakan untuk mengembangkan pengertian pendidikan, sementara istilah tarbiyyah terlalu luas karena pendidikan istilah ini mencakupi juga pendidikan untuk hewan. Ia juga mendefinisikan bahwa pendidikan menurut islam adalah usaha agar orang mengenali dan mengakui adanya tuhan dalam kehidupan ini (Ahmad Tafsir, 2000 : 29). Muhammad SA. Ibrahim (Bangladesh) sebagaimana yang dikutip dari Ahmad Tafsir menyatakan bahwa pendidikan yang memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupan sesuai dengan idiologi Islam, sehingga dengan mudah ia dapat membentuk hidupnya sesuai dengan ajaran Islam (Ahmad Tafsir, 2000 : 38). Selanjutnya dapatlah diketahui bahwa pendidikan itu adalah upaya yang dilakukan secara terarah, terpadu, sistematis untuk mengantarkan anak didik ke arah kedewasaan dalam berfikir, bertindak serta berprilaku yang baik dalam kehidupan mereka sehari-hari sesuai dengan moral dan etika yang berlaku serta
sesuai dengan kaidah-kaidah itu sendiri. Abdurrahman an-Nahlawi sebagaimana yang dikutip dari Ahmad Tafsir merumuskan bahwa definisi pendidikan dari kata at tarbiyyah. Dari segi bahasa, kata at-tarbiyyah berasal dari tiga kata, yaitu pertama, kata rabayarbu yang berarti bertambah, bertumbuh. Kedua, rabiya-yarba yang berarti menjadi dasar. Ketiga dari kata rabba-yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga, memelihara (Ahmad Tafsir, 2000 : 29). Menurut Abdul Fattah Jalal sebagaimana yang dikutip dari Ahmad Tafsir proses ta‘lim lebih umum dibandingkan dengan proses at-tarbiyyah (Ahmad Tafsir, 2000 : 30). Ia juga menjelaskan bahwa ta‘lim tidak berhenti padapengetahuan yang lahiriyah saja, juga tidak hanya sampai pada pengetahuan taklid. Ta‘lim mencakup juga pengetahuan teoritis, mengulang dan menerapakan pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan islam yang utama dan utama adalah pengembangan intektualitas, moralitas dan profesionalitas (M. Nasir Budiman, , 2001: 2). Berdasarkan teori-teori para pakar di atas dapat saya simpulkan bahwa pengertian ilmu ialah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain untuk menjadi muslim semaksimal mungkin. Tersebut tiadak terlepas dari maksud dan tujuan pendidikan itu sendiri yaitu untuk meningkatkan kualitas pribadi dan masyarakat untuk mencapai kecerdasan dan keterampilan guna untuk mengankat harkat dan martabat serta untuk membangun diri dan masa depannya yang lebih cerah. Apalagi pendidikan Islam, yang selalu menuntut untuk bisa memahami kaedah-kaedah yang terkandung dalam al quran merupakan pedoman hidup bagi semua kehidupan manusia. 4. Sumber Pendidikan Islam Dasar atau landasan merupakan
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
126
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM tempat berpijak atau tegaknya suatu tersebut tegak kokoh berdiri. Demikian pula dasar pendidikan islam yaitu yang menjadi azas agar pendidikan agama islam dapat tegak berdiri, tidak mudah roboh karena tiupan angin kencang berupa idiologi yang muncul baik sekarang maupun yang akan datang. Dengan adanya dasar ini maka pendidikan Islam akan tegak berdiri dan tidak mudah diombang ambingkan oleh pengaruh luar yang mau merobohkan ataupun mempengaruhinya (Abdurrahman An-Nahlawi, 1995 : 28). Sumber pendidikan Islam adalah landasan utama dalam pelaksanaan pendidikan yang mengarahkan kegiatan pendidikan. Tanpa dasar maka pendidikan tidak mempunyai arah dan tujuan yang hendak dicapai, sehingga proses pendidikan tidak sistematis, efektif dan efisien. Demikian juga halnya dengan pendidikan agama Islam, kegiatan pendidikan agama tentunya mempunyai dasar atau landasan yang menentukan gerak langkah dan tujuan kegiatan pengembangan pendidikan. Hal ini senada dengan pendapat Ahmad Marimba yang menjelaskan bahwa yang menjadi landasan atau dasar pendidikan diibaratkan sebagai sebuah bangunan sehingga isi alquran dan hadist menjadi pondamen, karena menjadi sumber kekuatan dan keteguhan tetap berdirinya pendidikan. 1. Alquran Alquran adalah firman Allah berupa wahyu yang disampaikan oleh malaikat jibril kepada Nabi Muhammad saw, di dalamnya terkandung ajaran pokok yang dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad. Ajaran yang terkandung dalam alquran itu terdiri atas dua prinsip dasar yaitu yang berhubungan dengan masalah keimanan dan yang berhubungan dengan syari‘ah. Ajaran-ajaran yang berkenaan dengan iman tidak banyak dibicarakan dalam alquran, tidak sebanyak ajaran yang
127
berkenaan dengan amal perbuatan. Ini menunjukkan bahwa amal itulah yang paling banyak dilaksanakan, sebab semua perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan masyarakatdan dengan alam sekitar, termasuk ruang lingkup amal shalih. Menurut M Nasir Budiman bahwa istilah-istilah dalam syari‘ah adalah ibadah, mu‘amalah dan akhlak. Pendidikan termasuk ke dalam usaha atau tindakan untuk membentuk manusia, termasuk ke dalam ruang lingkup mu‘amalah. Karena itu pendidikan menjadi pentingmemperhatikannya, karena ia turut menentukan corak dan bentuk amal dan kehidupan manusia, baik pribadi maupun masyarakat. Di dalam Alquran banyak ide atau gagasan kegiatan atau usaha pendidikan, antara lain sebagaimana yang tergambar dalam surat luqman, ayat 12 sebagai berikut: Artinya:Dan Sesungguhnya Telah kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah, dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.(Q.S. Luqman: 12) Ayat di atas menerankan tentang kisah lukman mengajarkan anaknya. Prinsip pendidikan yang terkandung didalamya antara lain tentang pendidikan iman, akhlak, ibadah, sosial dan ilmu pengetahuan. Sedangkan pada ayatayat yang lain menjelaskan tujuan hidup manusia dan nilai-nilai suatu kegiatan amal shalih. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pendidikan islam harus menggunakan alquran sebagai landasan hidup manusia. 2. As-Sunnah As-sunnah ialah “perkataan, perbuatan ataupun pengakuan Rasulullah saw.” Sunnah merupakan sumber ajaran
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM kedua sesudah alquran. Secara harfiah Sunnah berarti jalan, metode dan program secara istilah Sunnah adalah perkara yang dijelaskan melalui sanad yang shahih baik itu berupa perkataan, perbuatan atau sifat Nabi Muhammad saw (Qurash Shihab, 2001 :13). Isi kandungannya sama dengan Alquran, yaitu aqidah, syari`ah serta petunjuk atau pedoman untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala aspeknya, demi terbinanya umat manusia menjadi manusia seutuhnya, mukmin yang bertaqwa. Dengan demikian Rasulullah saw dapat dikatakan sebagai seorang guru atau pendidik utama bagi manusia dalam mendidik, membimbing dan mengarahkan manusia ke jalan kebaikan. Sebagamana Allah berfirman dalam surat an-Nisa` ayat 59 Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Dalam dunia pendidikan asSunnah memiliki dua fungsi yang besar, yaitu: 1). Menjelaskan sistem pendidikan Islam yang terdapat dalam alquran atau menerangkan hal-halyang tidak terdapat didalamnya. 2). Menyimpulkan metode pendidikan dari kehidupan Rasulullah SAW bersama anak-anaknya dan penanaman keimanan ke dalam yang dilakukannya. 3. Ijtihad Adapun sebagai dasar hukum keharusan menertibkan jenjang dalam
ber-istidlal dengan 4 macam dalil hukum (NasirBudiman,Pendidikan ,: 9). Tersebut adalah wawancara Rasulullah saw dengan Muadz bin jabal sesaat ia dilantik sebagai penguasa untuk negeri Yaman. Kata beliau: Artinya: “Dari Anas bin Malik, Sesungguhnya Rasul ketika akan mengutus Muadz ke Yaman. Beliau bersabda: bagaimana caranya kamu memutuskan perkara yang dikemukakan padamu?” “ku hukumi dengan kitab Allah,” Jawabnya, “jika kamu tidak mendapatkannya didalam kitab Allah, lantas bagaimana? Sambung Rasulullah, “Dengan Sunnah Rasulullah, lalu bagaimana? Tanya Rasulullah lebih lanjut, “ Aku akan menggunakan ijtihad pikiranku dan aku tidak akan meninggalkannya, “ jawabnya dengan tegas. Rasulullah SAW, lalu menepuk dadanya seraya memuji, katanya, Alhamdulillah Allah telah memberi taufiq kepada utusan rasulullah sesuai apa yang diridhai Allah dari Rasul-Nya.” ( HR. Ahmad, Abu Dawud dan al-Turmudzi). Dasar ideal pendidikan Islam selain alquran dan as-Sunnah adalah adanya Ijtihad para Ulama, sebagai bahan penjelasan Alquran dan as-Sunnah. Ijtihad merupakan “salah satu istilah yang sering dipergunakan dalam ilmu fiqh, dimana para fuqaha menggunakan daya nalar untuk menetapkan hukum syari`at Islam dalam hal yang ternyata belum ditegaskan oleh alquran dan as-Sunnah (Nasir Budiman, Pendidikan ,: 9). Bila ditinjau dari tujuan Pendidikan Islam setiap aktivitas manusia mempunyai tujuan karena dengan adanya tujuan dapat mendorong manusia untuk lebih giat berusaha demi tercapainya tujuan yang ditetapkannya. Adanya pendidikan sesuai dengan tujuan hidup manusia yaitu persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat. Untuk mencapai tujuan pendidikan diperlukan adanya perencanaan kegiatan belajar-mengajar yang matang (NasirBudiman,Pendidikan ,: 14). Tujuan pendidikan islam berkisar
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
128
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM kepada pembinaan pribadi muslim yang terpadu pada perkembangan dari segi spiritual, jasmani, emosi dan sosial. Perumusan tujuan pendidikan Islam harus berorientasi pada hakikat pendidikan yang meliputi beberapa aspek, yaitu: 1). Tujuan dan tugas hidup manusia. Manusia hidup bukan karena kebetulan dan sia-sia. Ia diciptakan dengan membawa tujuan dan tugas hidup tertentu. Tujuan diciptakan manusia hanya untuk mengabdi kepada Allah swt. 2). Memerhatikan sifat-sifat dasar (nature) manusia, yaitu konsep tentang manusia sebagai makhluk unik yang mempunyai beberapa potensi bawaan, seperti fitrah, bajat, minat, sifat dan karakter yang berkecendrungan pada alhanief (rindu akan keberadaan Tuhan) berupa agama Islam. 3). Tuntutan masyarakat. Tuntutan ini baik berupa pelestarian nilai-nilai budaya yang telah melembaga dalam kehidupan suatu masyarakat, maupun pemenuhan terhadap tuntutan kebutuhan hidupnya dalam mengantisipasi perkembangan dunia modern. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam. Kehidupan dunia ideal Islam mengandung nilai yang dapat meningkatkan kesejahtraan hidup manusia di dunia untuk mengelola dan memanfaatkan dunia sebagai bekal kehidupan di akhirat, serta mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan di akhirat yang lebih membahagiakan. Sebagai manusia di tuntut agar tidak terbelenggu oleh rantai kekayaan duniawi atau materi yang dimiliki. Namun demikian kemelaratan dan kemiskinan dunia harus di berantaskan, sebab kemelaratan dunia bisa menjadi
129
ancaman yang menjerumuskan manusia pada kekufuran (Zuhairini dkk, 1992: 14). Keseimbangan antara kedua kepentingan hidup ini menjadi daya tangkal terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari berbagai gejolak kehidupan yang menngoda ketentraman dan ketenangan hidup manusia. Demikian pula pesan pendidikan Islam di kalangan umat Islam untuk melestarikan, mentranformasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai Islam tersebut kepada generasi penerusnya, sehingga nilai kultural-religius yang dicita-citakan dapat tetap berfungsi dan berkembang dalam masyarakat dari waktu ke waktu (Ramayulis, 2008: 132). Dalam Alquran, secara ekspilisit memang tidak ditentukan secara langsung yang menjelaskan tentang pendidikan, namun dapat diinterprentasikan dari beberapa ayat Alquran surat al-Baqarah ayat 30 sebagai berikut: Artinya:Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Ayat di atas menjelaskan tentang kehendak Allah untuk menciptakan manusia yaitu Adam as. Sebagai khalifah di muka bumi yang kemudian dibekali dan diajarkan oleh Allah swt tentang al-Asma Kullahu. Menurut Ahmad Tafsir, memberikan tujuan pendidikan islam adalah “untuk terbentuknya orang yang berkepribadian muslim (Tafsir, Ilmu. 46).” Jadi dapat dipahami bahwa pendidikan Islam sangat penting dalam membentuk kepribadian anak-anak, sehingga dapat mencapai
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM kesempurnaan dan kebahagiaan hidup yang sebenar-sebenarnya, baik di dunia maupun di akhirat kelak yang merupakan kehidupan yang abadi. Dalam konteks sosiologi pribadi sebagai pribadi yang bertaqwa menjadi rahmatan lil‘alamin, baik dalam skala kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang dapat disebut juga sebagai tujuan akhir pendidikan. Tujuan khusus yang lebih spesifik menjelaskan apa yang yang ingin dicapai melalui pendidikan Islam. Konsep pendidikan Islam jadinya tidak sekedar idealisasi ajaran-ajaran Islam dalam bidang pendidikan. Dengan kerangka tujuan ini dirumuskan harapan-harapan yang ingin dicapai di dalam tahap-tahap tertentu proses pendidikan, sekaligus dapat pula dinilai hasil-hasil yang telah dicapai (Tafsir, Ilmu. 358). Tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah (Tafsir, Ilmu. 361). Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup manusia itu menurut Allah ialah beribadah kepada Allah seperti dalam Alquran surat Ad-Zariyat ayat 26. Artinya: Maka dia pergi dengan diamdiam menemui keluarganya, Kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk. Sebagian orang mengira ibadah itu terbatas pada menunaikan shalat, shaum pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat, ibadah Haji, serta mengucapkan syahadat. Tetapi sebenarnya ibadah itu mencakup semua amal, pikiran, dan perasaan yang dihadapkan (atau disandarkan) kepada Allah.aspek ibadah
merupakan kewajiban orang islam untuk mempelajarinya agar ia dapat mengamalkan dengan cara yang benar. Ibadah ialah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, persaan, pemikiran yang disangkutkan dengan Allah. Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang beramal (Abdurrahman, Pendidikan Islam,h. 80). Sebenarnya, agama Islam memiliki tujuan yang lebih kompherensif dan integrative di banding dengan system pendidikan sekular yang semata-mata menghasilkan para anak didik yang memiliki paradigma yang pragmatis. Tujuan utama pendidikan dalam Islam adalah mencari ridha Allah swt. Dengan pendidikan, diharapkan akan lahir individu-individu yang baik, bermoral, berkualitas, sehingga bermanfaat kepada dirinya, keluarganya, masyaraakatnya, negaranya dan ummat manusia secara keseluruhan. Disebabkan smanusia merupakan fokus utama pendidikan, maka seyogiyalah institusi-institusi pendidikan memfokuskan kepada substansi kemanusiaan, membuat sistem yang mendukung kepada terbentuknya manusia yang baik, yang menjadi tujuan utama dalam pendidikan (Abdurrahman, Pendidikan Islam, 358). Dalam pandangan Islam, manusia bukan saja terdiri dari komponen fisik dan materi, namun terdiri juga dari spiritual dan jiwa. Oleh karena itu, sebuah institusi pendidikan bukan saja memproduksi anak didik yang akan memiliki kemakmuran materi, namun juga yang lebih penting adalah melahirkan individu-individu yang memiliki diri yang baik sehingga mereka akan menjadi manusia yang bermanfaat
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
130
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM bagi ummat dan mereka mendapatkanlah kebahagiaan di dunia dan diakhirat. Institusi pendidikan perlu mengarahkan anak didik supaya mendisiplinkan akal dan jiwanya, memiliki akal yang pintar dan sifat-sifat, jiwa yang baik, melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik dan benar, memiliki pengetahuan yang luas, yang akan menjaganya dari kesalahankesalahan, serta memiliki hikmah dan keadilan. Institusi-institusi pendidikan sepatutnya melahirkan individu-individu yang baik, memiliki budi pekerti, nilai luhur dan mulia, yang dengan ikhlas menyadari tanggung jawabnya terhadap Tuhannya, serta memahami dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada dirinya dan yang lain dalam masyarakatnya, dan berupaya terus-menerus untuk mengembangkan setiap aspek dari dirinya menuju kemajuan sebagai manusia yang beradab. Berdasarkan uraian di atas maka disimpulkan , tujuan pendidikan agama adalah untuk menanamkan jiwa agama anak-anak supaya mereka menjadi muslim yang sebenarnya, yaitu mendapat kebahagiaan dunia akhirat dan untuk membiasakan anak-anak berlaku akhlak yang baik serta membentuk jiwa kepribadian dan jiwa kemasyarakatan mengerjakan apa yang di suruh serta meninggalkan apa yang dilarang. C. Hasil Penelitian Arti Kepemimpinan Islam Imamah atau kepemimpinan Islam adalah konsep yang tercantum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, yang meliputi kehidupan manusia dari pribadi, berdua, keluarga bahkan sampai umat manusia atau kelompok. Konsep ini mencakup baik caracara memimpin maupun dipimpin demi terlaksananya ajaran Islam untuk menjamin kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat sebagai tujuannya. Kepemimpinan Islam, sudah merupakan fitrah bagian
131
setiap manusia yang sekaligus memotivasi kepemimpinan yang Islami. Manusia di amanahi Allah untuk menjadi khalifah Allah (wakil Allah) di muka bumi: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S.al-Baqarah:30) Kholifah bertugas merealisasikan misi sucinya sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta. Sekaligus sebagai abdullah (hamba Allah) yang senantiasa patuh dan terpanggil untuk mengabdikan segenap dedikasinya di jalan Allah. Sabda Rasulullah:”Setiap kamu adalah pemimpim dan tiap-tiap pemimpin dimintai pertanggungjawabannya (responsibelitiynya)”. Manusia yang diberi amanah dapat memelihara amanah tersebut dan Allah telah melengkapi manusia dengan kemampuan konsepsional atau potensi [fitrah]: Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama bendabenda itu jika kamu mamang benar orangorang yang benar!” (Q.S.al-Baqarah:31), serta kehendak bebas untuk menggunakan dan memaksimal potensi yang dimilikinya. Konsep amanah yang diberikan kepada manusia sebagai khalifal fil ardli menempati posisi senteral dalam kepemimpinan Islam. Logislah bila konsep amanah kekhalifahan yang diberikan kepada manusia menuntut terjalinannya hubungan atau interaksi yang sebaikbaiknya antara manusia dengan pemberi amanah (Allah), yaitu: (1) mengerjakan
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM semua perintah Allah, (2) menjauhi semua larangan-Nya, (3) ridha (ikhlas) menerima semua hukum-hukum atau ketentuan-Nya. Selain hubungan dengan pemberi amanah (Allah), juga membangun hubungan baik dengan sesama manusia serta lingkungan yang diamanahkan kepadanya (Q.S.Ali Imran:112). Tuntutannya, diperlukan kemampuan memimpin atau mengatur hubungan vertical manusia dengan Sang Pemberi [Allah] amanah dan interaksi horizontal dengan sesamanya. Jika kita memperhatikan teoriteori tentang fungsi dan peran seorang pemimpin yang digagas dan dilontarkan oleh pemikir-pemikir dari dunia Barat, maka kita akan hanya menemukan bahwa aspek kepemimpinan itu sebagai sebuah konsep interaksi, relasi, proses otoritas maupun kegiatan mempengaruhi, mengarahkan dan mengkoordinasi secara horizontal semata. Konsep Islam, kepemimpinan sebagai sebuah konsep interaksi, relasi, proses otoritas, kegiatan mempengaruhi, mengarahkan dan mengkoordinasi baik secara horizontal maupun vertikal. Kemudian, dalam teori-teori manajemen, fungsi pemimpin sebagai perencana dan pengambil keputusan (planning and decision maker), pengorganisasian (organization), kepemimpinan dan motivasi (leading and motivation), pengawasan (controlling) dan lain-lain. Uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa, kepemimpinan Islam adalah suatu proses atau kemampuan orang lain untuk mengarahkan dan memotivasi tingkah laku orang lain, serta ada usaha kerja sama sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama. Sedangkan mengenai sifat-sifat dalam Islam. Sifat-sifat Pemimpin yang Ideal tidak diragukan lagi bahwa Muhammad Rasululloh Saw adalah sosok manusia yang paling ideal, sempurna dalam segala hal. Beliau bukan hanya seorang nabi dan rasul pilihan, juga sebagai kepala rumah
tangga yang harmonis bagi keluargakeluarganya, sahabat yang baik bagi sesamanya, guru yang berhasil bagi murid-muridnya, teladan bagi ummatnya, panglima yang berwibawa bagi prajuritnya dan pemimpin yang besar bagi kaumnya. Segala akhlak mulia ada padanya, sehingga Allah sebagai Pencipta pun memujinya, dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. Keberhasilan beliau sebagai pemimpin, dilandasi sifat-sifat/ kriteria-kriteria pemimpin yang ideal: 1) Bertaqwa kepada Allah Swt sebagai syarat muthlak sebagai pemimpin. yang telah menjadi karakter kepribadiannya. 2) Amanah artinya jujur, tidak pernah berdusta, menepati janji, berani mengatakan yang haq, bertindak adil dan profesional. Sifat ini harus menetap pada seseorang jauh sebelum dia menjadi pemimpin. 3) S h i d d i q m e m b e n a r k a n d a n meyakini apa saja yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya sekalipun tidak dapat difahami oleh akal. Tokoh pemimpin berkarakter ini, adalah Abu Bakar Ashiddiq. Seorang Shidiq sanggup berkata jujur, berani menyampaikan alhaq dengan segala resikonya, walaupun ia harus terusir dari negerinya. 4) Fatha nah Artinya pintar, cerdas, cermat, cepat mengambil keputusan, tepat menentukan tindakan, mampu membaca keadaan, dan memahami segala permasalahan. 5) Tabligh artinya menyampaikan, Pemimpin sebagai informan
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
132
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM tentang segala sesuatu yang penting diketahui oleh umat. Khususnya mengenai pesanpesan agama. 6) Tegas dan teguh pendirian Dalam urusan tauhid dan al-haq dari Allah seorang pemimpin tidak boleh lemah dan ragu. Rasulullah selalu tegas dalam membela agama Islam, tidak tergoda dengan rayuan dan sogokan. Hai nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka adalah Jahannam dan itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali. 7) Lemah Lembut Rasulullah Saw terkenal dengan sifatnya yang peramah, bukan pemarah, halus tutur katanya, tidak menyinggung perasaan orang lain. Allah mengabadikannya dalam Q.S Al-Fath: Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. 8) Pemaaf manusia tidak terlepas dari kesalahan dan dosa, apalagi prajurit, staf atau rakyat biasa, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan. Rasulullah sangat pemaaf walaupun kesalahan sebagian sahabatsahabatnya sangat fatal yang mengakibatkan kaum Muslimin kalah perang di Uhud, dengan besar hati beliau memaafkan sahabatnya dan memohon ampunan bagi mereka. 9) S e n a n g b e r m u s y a w a r a h Musyawarah bukan untuk memaksakan kehendak, menolak usulan, otoriter dan merasa benar sendiri. 10) Bertawakal kepada Allah Kemudian apabila kamu Telah membulatkan
133
tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. Tawakal artinya menyerahkan segala urusan kepada Allah setelah bersungguh-sungguh menyusun rencana yang dianggap matang. 11) Adil 12) Sabar 13) Bertanggung jawab D. Analisis Penelitian Dalam peradaban Islam seringkali kepemimpinan itu dimaknai dengan khilafah, imarah, riasah dan imamah dan pemimpinnya disebut khalifah, amiir, rois dan imam. Dalam postingan ini hanya akan membahas tentang imam. Imam asal katanya amma yaummu imaman yang bermakna berada di depan (amam), mengasuh (ummah), menyempurnakan (atammah), menenangkan (yanamma) yang berarti orang yang memimpin atau memberi petunjuk (yuqtada), Amir: Yang memberi perintah (seperti dalam ayat: Amarna mutrafiha) juga sesuatu yang mengagumkan (seperti dalam ayat: laqad ji’ta syai’an imra). Khalifah: Para fuqaha mendefinisikannya sebagai suatu kepemimpinan umum yang mencakup urusan keduniaan dan keagamaan, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi SAW yang wajib dipatuhi oleh seluruh umat Islam. Menurut Imam Al-Mawardi sama dengan al-Imamah, karena inilah asal dari kepemimpinan di masa Nabi SAW, yaitu untuk memimpin agama dan keduniaan. Menurut Ibnu Khaldun, pemimpin adalah penanggungjawab umum di mana seluruh urusan kemaslahatan syariat baik ukhrawiyyah maupun dunyawiyyah kembali kepadanya. Sebagai sebuah agama yang komprehensif dan secara lengkap mengatur segala aspek kehidupan
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM manusia, agama Islam memiliki prinsipprinsip mendasar yang secara khusus mengatur penjabaran visi, misi, kewajiban, fungsi, tugas, wewenang, tanggung jawab manusia dimuka bumi ini. Setiap pribadi yang mendapat amanah sebagai pemimpin harus tetap memegang prinsip-prinsip Islam yang sangat mulia. Sebagaimana firman-Nya : “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu “(Al-Baqarah [2] :208). Berkaitan dengan kepemimpinan, Islam juga telah memberikan konsep dan prinsip yang lengkap dan sempurna. Diantara prinsip yang paling utama untuk membentuk pemimpin yang ideal adalah: (1) Prinsip Ibadah, Seorang pemimpin yang pada hakekatnya adalah makhluk ciptaanNya, maka sudah seharusnya dalam seluruh amal perbuatannya didasarkan pada tujuan utama ikhlas mencari ridha Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya : “Dan tidak Ku ciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk mengabdi kepadaKu” (QS. Adz-Dzariyat [51] :56), dan juga pada ayat lain, “Dan hendaklah kamu beribadat kepada Allah saja dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun jua dan hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, rekan sejawat, orang musafir yang terlantar dan juga hamba sahaya yang kamumiliki”.(QS. An-Nisa’ [4]: 36. (2) Prinsip Amanah, Seorang pemimpin yang mengaku beriman dan Islam, harus menjalankan 2 jenis amanah yang dibebankan kepadanya. Amanah yang pertama berasal dari Allah SWT dan RasulNya. Yaitu kewajiban untuk menjalankan segala perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, serta menjauhi segala larangan-Nya dan larangan Rasul-Nya. Menjalankan perintah
dan menjauhi larangan itu, meliputi segala bidang, baik yang bersifat pibadi, maupun umum. Baik yang berhubungan langsung dengan Allah SWT (hablum minallah) yang mengandung aspek ritual, maupun yang berhubungan dengan sesama manusia (hablum minannas) yang mengandung aspek sosial. Amanah yang kedua adalah yang berasal dari manusia. Amanah ini meliputi berbagai hal yang menyangkut hajat hidup manusia sehari-hari, baik dalam urusan pribadi, maupun urusan bersama. Setiap individu yang mendapat amanah dari manusia untuk pemimpin mendapat beban amanah untuk mengurus, mengatur, memelihara dan melaksanakan kewajiban itu secara baik dan benar. Sebagaimana firman Allah SWT, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan RasulNya dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu sedangkan kamu mengetahui (akibatnya)” (QS. Al-Anfal [8]: 27-28), dan juga ayat-ayat lain yang bermakna sama. (3) PrinsipProfesionalitas, maksudnya adalah semua pekerjaan itu harus dilakukan berdasarkan dengan ilmu pengetahuan, sebagaimana firman Allah : “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan mengenainya “(QS. Al-Isra’ [17]: 36). Selain itu masih banyak ayat-ayat dalam Al Qu’an yang menggambar pentingnya ilmu, termasuk ayat yang pertama kali turun memerintahkan untuk iqra’ (membaca). Nabi Muhammad SAW dalam salah satu hadist yang sudah sangat sering kita dengar mengatakan bahwa, “Jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya (tidak memiliki kapasitas untuk mengembannya), maka tunggulah saat kehancurannya” (H.R. Bukhari bab Ilmu). Dan juga Imam Syafi’i yang merupakan salah satu ulama besar Islam mengatakan bahwa “barangsiapa yang menginginkan
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
134
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM dunia maka hendaklah dengan ilmu, barangsiapa yang menginginkan akhirat maka hendaklah dengan ilmu, dan barangsiapa yang menginginkan duaduanya maka hendaklah dengan ilmu.” (Al-Majmu’ Imam An-Nawawi). (4)Prinsip Keadilan, Allah SWT adalah yang Maha Adil dan sangat mencintai keadilan, hal itu dapat kita lihat dengan banyaknya perintah untuk berbuat adil di dalam Al Qur’an. Beberapa diantaranya adalah : “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”(QS. An-Nisa [4]: 135), dan juga “Katakanlah : Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan. Dan: Luruskanlah muka mu di setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan keta’atanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan “(QS. Al-A’raaf [7]: 29). (5) Prinsip Etos Kerja / Kedisiplinan, Islam adalah agama yang mengajarkan kerja keras dan usaha disamping berdoa untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Islam tidak pernah mengajarkan untuk hanya tinggal berharap dan berpangku tangan. Sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT bahwa, “yang demikian itu karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Anfal [8]: 53). Pada ayat :”Apabila telah ditunaikan
135
shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung” (QS. Al-Jumu’ah [62]: 10), Allah SWT memerintahkan kepada manusia untuk segera bekerja setelah beribadah dan tidak hanya pasrah dengan alasan zuhud atau tawakkal. Maha benar Allah SWT yang telah berfirman :” Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu dari negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari duniawi… “(QS. Al-Qashash [28] : 77). (6)Prinsip al-Akhlaq al-Qarimah, Sebagai seorang yang beriman sudah sepantasnya kita mencontoh Rasulullah SAW dalam seluruh aspek kehidupan terutama menyangkut masalah akhlak. Semua orang yang mengenal beliau, baik kawan maupun lawan pastilah akan memuji kemuliaan akhlak dan kepribadian beliau. Bahkan ‘Aisyah istri beliau ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah, mengatakan bahwa seperti al-Qur’an. Allah SWT sendiri dalam salah satu ayat memuji beliau dengan mengatakan : “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS. Al-Qalam [68]: 4). Allah SWT juga telah menyampaikan kepada manusia apabila ingin memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat agar mencontoh dan meneladani akhlak beliau, sebagaimana tersirat dalam ayat berikut, “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu dan bagi orang yang mengharap Allah dan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al-Ahzab [33]: 21). Kepemimpinan transformasional dipandang sebagai kepemimpinan yang refresentatif dan sesuai dengan tuntutan zaman. Beberapa karakteristiknya telah mampu menggambarkan bagaimana sebuah organisasi dapat maju dan berkembang jika di pegang oleh pemimpin transformasional. Demikian halnya ketika dibandingkan dengan teori
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM kepemimpinan Islam, kepemimpinan transformasioanal banyak memiliki kesamaan. Karakteristik kepemimpinan transformasional nampaknya merupakan bagian dari karakteristik kepemimpinan Islam. Diantaranya, Kepemimpinan transformasional bersesuaian dengan prinsip ilmu/profesionalitas, keadilan dan prinsip etos kerja/kedisiplinan. Disamping prinsip lainnya yang belum tersebut dalam paparan di atas. Namun, dalam beberapa hal, teori kepemimpinan transformasional masih perlu dilengkapi. Prinsip ibadah, amanah dan al-akhlaq al-karimah, sebagai contoh, tidak tersinggung di dalamnya. Nilai religius seperti ini hanya dimiliki oleh kepemimpinan Islam. Walaupun dalam kepemimpinan transformasional sangat memperhatikan nilai moral, hal ini tidak cukup. Sebab konsep moral sangat berbeda dengan prinsip al-akhlaq alkarimah. Mulyasana mengatakan bahwa moral tidak mengenal dosa, yang dikenal dalam moral hanyalah penyesalan atau rasa bersalah. Dalam nilai-nilai religius, disamping mengandung nilai moral sosial (hablumminannas), juga mencakup nilai transendental (hablumminallah) yang akan mendasari segala nilai yang ada. Inilah yang sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. sebagai pemimpin efektif masa lalu yang harus diambil pelajarannya. Tanpa nilai transendental yang menghiasi pribadi pemimpin, maka kepemimpinan akan terasa hampa. Kecemasan yang mendalam dan stress yang berkepanjangan, sebagai contoh, bisa membuat moralitas seorang pemimpin menurun, bahkan hilang. Obat yang paling mujarab untuk itu tiada lain hanyalah nilai transendental, dalam wujud Iman kepada Allah Swt. dengan segala konsekuensinya. Kepemimpinan merupakan ujian dari Allah SWT, tanpa disertai keimanan yang kuat tidak mungkin bisa lulus menghadapinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT.:”Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya
dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesuangguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata: (Dan saya mohon juga) dari keturunanku. Allah berfirman: Janji-Ku ini tidak mengenai orang-orang yang dzalim”(QS. Al-Baqarah [2]: 124. Para ilmuwan dan pemikir Islam seharusnya berusaha lebih keras dalam melakukan pengembangan prinsip-prinsip kepemimpinan Islam, sehingga diharapkan nantinya dapat menjadi penyeimbang konsep kepemimpinan modern yang cenderung sekularistik. Konsep dan rumusan prinsip mulia yang dimiliki Islam apabila dapat diintegrasikan secara tepat dan cermat dengan konsep psikologi dan manajemen modern akan menghasilkan suatu konsep baru dalam menciptakan model kepemimpinan yang ideal. Seorang pemimpin tidak hanya dapat membawa organisasi yang dipimpinnya melesat maju, akan tetapi yang terpenting adalah bisa membawa kebaikan di dunia dan akhirat untuk dirinya dan orang lain. Konsep kepemimpinan secara umum dan konsep kepemimpinan dalam Al-Qur’an ada perbedaaanya. Hal ini dapat dilihat dari pengertian kepemimpinan secara umum yang merupakan suatu hubungan proses mempengaruhi yang terjadi dalam suatu komunitas yang diarahkan untuk tercapainya tujuan bersama. Sedangkan konsep kepemimpinan dalam Al-Qur’an yaitu khalifah, imam, dan uli al-Amri dengan segala nsyarat-syaratnya dinilai lebih komprehensif dalam memaknai sebuah kepemimpinan yang akhirnya akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang handal dan dapat membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Selain itu, kedua konsep tersebut dalam mengemukakan sifat-sifat pemimpin yang ideal, sama-sama menyentuh sisi materialisme dan sisi idealisme. Misalnya dalam konsep kepemimpinan umum,
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
136
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM sifat pemimpin antara lain, mempunyai energi jasmaniah dan mental, mempunyai kesadaran akan tujuan dan arah, mempunyai antusiame dan lain sebagainya. Sedangkan konsep pemimpin dalm AlQur’an antara lain memiliki sifat-sifat yaitu, Islam, bertaqwa, memahami situasi dan kondisi masyarakatnya, mempunyai karisma dan wibawa dihadapan manusia, konsekuen dengan kebenaran, ikhlas, dan bertingkah laku yang baik. Dari dua konsep tentang pemimpin ideal di atas, dapat dilihat bahwa, walaupun kedua konsep tersebut sama-sama menyentuh sisi materialisme dan sisi idealisme, namun konsep yang ditawarkan oleh Al-Qur’an lebih ditekankan pada aspek idealisme. Karena aspek idealisme merupakan kunci dari semua tingkah laku yang ada. Misalnya ikhlas, dari orang yang ikhlas tidak akan pernah ada penyelewengan karena orang yang ikhlas hanya berniat mencari ridla Allah semata. Lain halnya dengan konsep kepemimpinan umum, dalam konsep ini aspek materialisme lebih dikedepankan. Misalnya mempunyai energi jasmaniah dan mental serta mempunyai kesadaran akan tujuan dan arah. Sifat ini sangat jelas orientasinya lebih pada materialisme. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa konsep kepemimpinan dalam Al-Qur’an lebih komprehensif jika dibandingkan dengan konsep kepemimpinan secara umum. Karena Al-Qur’an merupakan firman Allah yang tentu saja sangat jauh dari kekurangan. Disamping itu, Allah adalah pencipta manusia yang lebih tahuterhadap hal-hali yang dibutuhkan oleh manusia. E. Kesimpulan Kepala sekolah merupakan faktor penggerak, penentu arah kebijakan sekolah yang akan menentukan bagaimana tujuan sekolah dan pendidikan pada umumnya. Kepala sekolah dituntut senantiasa meningkatkan efektifitas kinerja. Melihat
137
penting dan strategisnya posisi kepala sekolah dalam mewujudkan tujuan sekolah, maka seharusnya kepala sekolah harus mempunyai nilai kemampuan relation yang baik dengan segenap warga di sekolah, sehingga tujuan sekolah dan tujuan pendidikan berhasil dengan optimal. Ibarat nahkoda yang menjalankan sebuah kapal mengarungi samudra, kepala sekolah mengatur segala sesuatu yang ada di sekolah. Dalam al-Quran telah terdapat nilai-nilai agung tentang arti pentingnya kepemimpinan. Di samping itu, konsepkonsep bagaimana seharusnya seorang pemimpin berbuat telah terdapat dalam banyak penulis jelaskan dalam makalah ini. Akhirnya penulis hanya berharap semoga makalah ini dapat menjadi pencerahan baru bagi para kepala sekolah dan caloncalon manajer lembaga pendidikan di masa yang akan datang. DAFTAR PUSTAKA Sutriano Hadi , Metode Reserch, Yogyakarta: Fakultas Psikilogi UGM, 1982 Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif,Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003 G a r y Yu k l , K e p e m i m p i n a n D a l a m Organisasi, terj. Jusuf Udaya, Jakarta: Prenhallindo, 1994 Kartini Kartono, Pemimpin Dan Kepemimpinan; Apakah Pemimpin Abnormal itu, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000 M. Nasir Budiman, Pendidikan dalam
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Perspektif Alquran, Jakarta: Madani Press, 2001 Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam, Jakarta: GIP, 1995 Qurash Shihab, Wawasan Alquran, Bandung:Mizan,2001 Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam,
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
138
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM TERORISME DAN JIHAD DALAM PERSPEKTIF NEGARA DAN ISLAM Oleh: Alimuddin, S.Ag., M.Ag Abstract Etymologically, terrorism (terrorism) is derived from the word terror. According to the Oxford Paperback Dictionary, terror means extreme fear (fear outstanding), a terrifying person or thing (someone or something horrible). Terrorism is defined as the use of violence and intimidation, especially for political purposes (the use of violence and intimidation, mainly for political purposes) .Terorisme is a term that is vague and ambiguous (ambiguous). In academia or socio-political scientists was no agreement on the definition of the term limits it sounded terrible. Terrorism has a distinctive character, namely the systematic use of violence to achieve political goals. Its method was blasting, piracy, murder, hostage taking, or in short: “armed violence”. Keyword: Islam, Terorisme, A. PENDAHULUAN Di dunia sekarang pada umumnya dan kususnya di Idonesia, sedang gencargencarnya memburu dan menumpas teroris, yang menurutnya kelompok ini sangat membahayakan bagi Negara dan ketenteraman masyarakat, salah satu Negara yang sangat takut terhadap aksi teroris ini adalah Amerika Sarikat, Negara ini sanggup melakukan provokasi politik kepada Negara-negara lain untuk mengejar kelompok teroris, yang notabenenya bersimbul Islam diantara kelompok yang sangat ditakuti oleh amerika sekarang adalah al-Qaida, Isis. Tak ayal mereka juga sangat menakuti terhadap ummat Islam yang fanatic, imbas dari itu terdengarlah namanama baru yang di nobatkan kepada orang Islam, diantaranya, Islam garis keras, Islam Radikal, Islam Haluan kiri bahkan juga terdengar sebagai Islam Fatikan,. Semua ini berhujung kepada penggerebekan terhadap pesantren, kelompok jihad yang bersasaran kepada tokoh-tokoh Islam, sehingga ada kekhawatiran dan merasa terusik dari kelompok Islam tertentu untuk mengeksiskan diri, yang anehnya provokasi politik Amerika ini terkunyah
139
mentah-mentah oleh negera-negara yang berpenghuni muslim, salah satunya Indonesia. Akibat dari proaktif pemerintah dalam hal ini maka ada satu hal yang dikhawatirkan, yaitu terjadinya pelampiasan kekecewaan kolompok yang menamakan diri dengan jihad untuk membalas dendam terhadap kolompok non muslim di Indonesia sehingga terjadinya perang horizontal sebagaimana yang telah terjadi di ambon dan Maluku. Dari fenomena ini kata tidak mendukung dan menyalahkan satu sama lain. Timbul suatu pertanyaan, apakah mereka yang dikejar-kejar di Indonesia sekarang sebagai teroris atau kelompok jihad sebagaimana yang di legalkan dalam islam?, mari kita simak analisa berikut ini. B. PEMBAHASAN Terorisme sebenarnya merupakan istilah yang kabur dan bermakna ganda (ambiguous). Di kalangan akademisi atau ilmuan sosial-politik pun tidak ada kesepakatan tentang batasan pengertian (definisi) istilah yang kesannya mengerikan itu. Sebelum kita membahas tentang akar terorisme atau sumber, faktor, atau
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM penyebab lahirnya aksi-aksi teror, ada baiknya kita harus menyepakati dulu tentang definisi terorisme. Tidak ada satu pun definisi terorisme yang diterima secara universal dan disepakati. Secara etimologis, terorisme (terrorism) berasal dari kata terror. Menurut Oxford Paperback Dictionary, terror artinya extreme fear (rasa takut yang luar biasa), a terrifying person or thing (seseorang atau sesuatu yang mengerikan). Terrorism diartikan sebagai use of violence and intimidation, especially for political purposes (penggunaan kekerasan dan intimidasi, utamanya bagi tujuan-tujuan politik). Terorisme memiliki karakter khas, yaitu penggunaan kekerasan secara sistematis untuk mencapai tujuan politik. Metodanya adalah pengeboman, pembajakan, pembunuhan, penyanderaan, atau singkatnya: “aksi kekerasan bersenjata”. Dr. Knet Lyne Oot, seperti dikutip M. Riza Sihbudi, mendefinisikan terorisme sebagai: a. S e b u a h a k s i m i l i t e r a t a u psikologis yang dirancang untuk menciptakan ketakutan, atau membuat kehancuran ekonomi atau material; b. Sebuah pemaksaan tingkah laku lain; c. Sebuah tindakan kriminal yang bertendensi mencari publisitas; d. Tindakan kriminal bertujuan politis; e. Kekerasan bermotifkan politis; dan Sebuah aksi kriminal guna memperoleh tujuan politis atau ekonomis(1 M. Riza Sihbudi, 1991: 94.) Jika definisi tersebut dipakai, menurut Riza, maka perang atau usaha memproduksi senjata pemusnah umat manusia dapat dikategorikan sebagai terorisme. Para pemimpin negara industri maju (Barat) dapat dijuluki “biang teroris” karena memproduksi senjata pemusnah
massal seperti peluru kendali. Sementara Encyclopedia Americana, menyebutkan, terorisme adalah penggunaan atau ancaman kekerasan yang terbatas pada kerusakan fisik namun berdampak psikologis tinggi karena ia menciptakan ketakutan dan kejutan. Keefektifan terorisme lebih bersifat politik ketimbang militer. Dengan demikian, aksi teroris dimaksudkan untuk mengkomunikasikan sebuah pesan. Di sini, terorisme bisa dipahami sebagai salah satu bentuk komunikasi dengan kandungan “pesan politik”. Secara konvensional, “terorisme” ditujukan pada aksi-aksi kaum revolusioner atau kaum nasionalis yang menentang pemerintah, sedangkan “teror” merujuk pada aksi-aksi pemerintah untuk menumpas pemberontakan. Pada prakteknya, pembedaan antara “terorisme” dan “teror” tidak selalu jelas. Istilah terorisme, menurut Noam Chomsky, mulai digunakan pada abad ke-18 akhir, terutama untuk menunjuk aksi-aksi kekerasan pemerintah yang dimaksudkan untuk menjamin ketaatan rakyat. Istilah ini diterapkan terutama untuk “terorisme pembalasan” oleh individu atau kelompok-kelompok (Noam Chomsky: 1991:19-20) Sekarang, pemakaian istilah terorisme dibatasi hanya untuk pengacaupengacau yang mengusik pihak yang kuat. Inilah yang terjadi sekarang. Dalam Kamus Amerika Serikat (AS), terorisme adalah tindakan protes yang dilakukan negara-negara atau kelompok-kelompok “pemberontak”. Pembunuhan seorang tentara Israel oleh HAMAS, misalnya, disebut aksi terorisme. Namun, ketika tentara Israel membantai puluhan, ratusan, bahkan ribuan warga Palestina bukanlah aksi teror, melainkan aksi “pembalasan”. Fenomena ini mrupakan suatu ketidak adilan dalam berfikir dan bertindak namun hal tersebut terus dipaksakan demi kepentingan politik. Demikian pula ketika pesawat-
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
140
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM pesawat tempur AU AS mengebom Irak, itu bukan terorisme, tetapi “pembalasan” (retaliation). Atau ketika Israel berkali-kali menindas dan membantai rakyat Palestina, mengebom basis pejuang Hizbullah di Libanon, atau markas HAMAS dan Jihad Islam, bukanlah terorisme tetapi pembalasan( kata Amerika), serangan untuk mendahului sebelum diserang (preemptive strike), atau tindakan hukuman (punitive action). Namun ketika PLO — atau salah satu faksinya— melakukan aksi kekerasan dipandang AS dan Israel sebagai aksi “terorisme”, bahkan PLO pada awalnya dinilai sebagai “organisasi teroris” dan pemimpinnya, Yasser Arafat, sebagai “biang teroris”. Contoh lain, ketika pasukan India menembaki para pejuang Muslim Kashmir atau membantai penduduk Kashmir, bukanlah terorisme tetapi “mengatasi gerakan separatis”. Demikian halnya ketika pasukan pemerintah Filipina menggempur para pejuang Muslim Moro di Filipina Selatan. Namun, adalah terorisme ketika para pejuang Kashmir menyerang tentara India dan pejuang Muslim Moro menyerang tentara Filipina. Jadi, terorisme dapat dipandang sebagai alat perjuangan kemerdekaan atau alat merusak kemanusiaan dengan kezaliman. Yang jelas, sebuah aksi yang kemudian disebut “teror” dilontarkan satu pihak manakala kepentingannya dihancurkan. Banyak kelompok pejuang terpaksa mengambil jalan kekerasan sebagai alternatif terakhir —dengan risiko dicap “teroris”— untuk mencapai tujuan politisnya. Penculikan, pembunuhan, dan serangan “bom bunuh diri” kelompok HAMAS terhadap tentara Israel, misalnya, merupakan bagian dari intifadhah untuk mengusir penjajah Israel dari tanah Palestina. Dengan cara itu juga mereka menunjukkan eksistensinya. Para pejuang Kurdi juga terpaksa menempuh jalan kekerasan agar
141
tuntutannya tentang sebuah negara merdeka bagi bangsa Kurdi (Kurdistan) dipenuhi. Ketika pada 1993 lalu mereka secara besar-besaran menyerang lembagalembaga pemerintah Turki (kedutaan besar, konsulat, bank) di 29 kota di seluruh Eropa, tidak lain untuk menekan Turki agar memenuhi tuntutan mereka diberi hak kemerdekaan di wilayah tenggara Turki. Terorisme yang menjadi isu utama dunia saat ini adalah aksi kekerasan oleh kelompok tertentu untuk melawan dominasi Amerika Serikat di pentas politik-ekonomi internasional. Kelompok-kelompok yang merasa dizalimi oleh AS kemudian melakukan perlawanan dalam bentuk serangan-serangan terhadap berbagai fasilitas atau kepentingan AS di mancanegara. Ketika kita sekarang berbicara tentang terorisme, sebenarnya kita sudah terjebak pada wacana yang dimunculkan AS. AS-lah yang menjadi agenda setter dalam wacana terorisme ini, ketika negara adidaya itu merekayasa peristiwa 11 September 2001 disusul dengan Kampanye Antiterorisme Internasional. Sebenarnya kalau kita mencari akar terorisme, maka akan kita dapati dua hal, yakni adanya dominasi AS sebagai satu-satunya negara superpower dan perilaku politik (political behavior)-nya yang hipokrit serta ketidakadilan yang diakibatkannya. Sudah bukan rahasia lagi, AS bisa semaunya menerapkan standar ganda. AS tidak suka Irak, Iran, dan Pakistan menjadi negara nuklir. Di pihak lain, AS membiarkan Israel dan India membangun kekuatan nuklirnya. Amerika Sarikat, berteriak mendukung tegaknya demokrasi, namun ketika demokrasi itu melahirkan kekuatan yang cenderung “tidak bersahabat” seperti FIS di Aljazair, AS pun membiarkannya dilibas junta militer dukungan Prancis – sekutu AS di Eropa. AS menerikkan penegakkan
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM HAM, namun terus-menerus mendukung kebiadaban penjajah Israel di bumi Palestina. Maka, ketika muncul berbagai kekuatan yang melakukan penyangkalan (denial), perlawanan (resistance), dan bahkan rasa kebencian (hatred) terhadap dominasi Amerika, AS mulai merasakan adanya gangguan terhadap dominasinya. Maka, di-setting-lah agenda tentang terorisme itu. AS menjadikan kelompokkelompok penentangnya itu sebagai musuh yang memudahkannya menggalang dukungan dari sekutunya. Sayangnya, yang menjadi target dan korbannya adalah umat Islam karena merekalah yang menunjukkan penyangkalan (denial), perlawanan (resistance), dan memiliki rasa kebencian (hatred) terhadap AS. Wajar jika banyak kalangan menilai, teroris sejati adalah AS sendiri. Dialah yang menjadi sumber aksi-aksi kekerasan yang merebak di dunia sekarang. AS pula yang paling sering membuat warga dunia ketakutan dan mati. Serangan AS ke Irak adalah terorisme yang menakutkan rakyat Irak. Serangan AS ke Afghanistan adalah terorisme yang menakutkan rakyat Afghanistan. AS-lah pengacau dunia sesungguhnya. pengacau dunia Tanggal 29 Oktober 2002 muncul sebuah dokumen CIA yang menyebutkan, bahwa akar terorisme adalah ketidakstabilan di Afganistan, usaha Iran dan Suriah untuk membangun persenjataan, memburuknya konflik Israel-Palestina, dan generasi muda yang menggeliat di negara-negara berkembang yang sistem ekonomi dan ideologi politiknya di bawah tekanan yang berat. Mantan Menlu RI Ali Alatas pernah menyatakan, “Terorisme bisa berawal dari ketidakadilan, juga rasa ketidakadilan secara ekonomi dan politis.” Timbul pertanyaan; 1. s i a p a y a n g m e n c i p t a k a n ketidakstabilan di Afghanistan?
2. M e n g a p a S u r i a h d a n I r a n membangun persenjataan? 3. Kenapa konflik Israel-Palestina memburuk? 4. Kenapa generasi muda menggeliat dalam situasi ekonomi dan ideologi yang tertekan? Secara jelas dapat dipahami bahwa; Afghanistan tidak stabil karena AS tidak ingin ada rezim Islam yang kuat di sana. Suriah dan Iran membangun persenjataan karena merasa terancam oleh kehadiran Israel yang didukung penuh AS. Konflik Israel-Palestina memburuk karena AS selalu berada di belakang Israel. Kaum muda di negara-negara berkembang, khususnya negara Muslim, melakukan perlawanan karena mereka menyadari kuatnya kendali AS terhadap penguasa. Singkatnya, dari arah mana pun kita mencari akar terorisme, kita akan menemukan penyebab utamanya adalah Amerika Serikat. Wajar, jika dunia akan aman-damai jika kekuatan AS lemah, bahkan hancur, dan Islam yang rahmatan lil ‘alamin menjadi acuan peradaban dunia, bukan materialisme-kapitalisme yang selama ini dicekokkan AS kepada warga dunia. Dalam Q.S, at-Taubah; 29; Allah berfirman; Artinya; Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (Q.S, at-Taubah;29) Sebagai ayat perbandingan lain sebagai dalil, firman Allah .Q.s. al-Baqarah; 190 dan 191 di bawah ini menjelaskan; Artinya; Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
142
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, Karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.(Q.s.al-Baqarah;190) Artinya; Dan Bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka Telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), Maka Bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir. .(Q.s.al-Baqarah;191) Bila kita telaah terhadap al-qur’an, kita menemukan beberapa ayat yang tersebur dibeberapa surat, diantaranya, albaqarah, al-maidah, at-taubah juga al-isra’, yang menyeru ummat Islam untuk berjihad/berperang dijalan Allah dengan maksud membela agama, namun dalam penelusuran penulis, perintah jihad itu ditujukan kepada orang-orang kafir yang memusuhi Islam dan kalau tidak dibunuh, mereka pasti akan membunuh, demikian juga kepada orang munafik, murtad, bila kafir tersebut dzimmi maka dilarang membunuhnya, namun dikenakan pajak(jiz’ah), Alqur’an melarang pembunuhan terjadi sesama muslim, jika juga terjadi maka kepada pembunuh dikenakan qisas/ diyat jika disetujui oleh warisnya, kecuali beberapa golongan yang dibenarkan membunuhnya dengan cara rajam, qisas atau pancung. Sebagai etika dalam berjihad Rasulullah saw bersabda sebagaimana terdapat dalam kitab hadits sahih Muslim melaui sanad sebagai berikut; Artinya: Dari yahya bin yahya, muhammad bin rum dari al laits dari qutaibah bin said dari Nafi dari Abdullah menceritakan bahwa; Rasulullah saw pernah menemukan jasad seorang wanita; maka Rasulullah pun melarang pembunuhan terhadap wanita dan anak-
143
anak ( H.R.Muslim)(Sahih Muslim, hadits 3279) Dalam sumber lain berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui sanad sebagai berikut; Artinya: Dari Abdullah bin Ju’Fiy, dari Abu Ahmad Azzubairy, Abdurrahman Bin Al ghasil, dari Hamzah bin Usaid berkata; Rasulullah saw berkata kepada kami ketika perang badar; Jika mereka telah mendekati kalian, maka lemparilah mereka dan seranglah mereka dengan anak panah kalian (H.R. Bukhary) ( Sahih Bukhary, Hadits 3686) Kedua sumber hadits diatas menjelaskan bahwa peprangan memiliki aturan yang tidak boleh dilanggar, seperti larangan membunuh wanita dan anakanak, dalam hadits selanjutnya disebutkan bahwa dalam kancah peperangan bila orang kafir yang mendahului menyerang maka orang Islam wajib membela diri dengan segenap perbekalan yang ada. Dalam realita sekarang pembunuhan terjadi bukan hanya dalam konsep jihad murni, namun adanya unsur dendam, kekecewaan misi politik, di Indonesia kususnya dan dunia umumnya dikenal dengan teroris sebagai pelaku pengeboman atau mereka menamakan diri sebagai jihad, apakah mereka jihad atau bukan Dalam kontek lain yang menyerupai jihad adalah mereka-mereka yang memerangi orang kafir atau Negara non muslim yang sudah jelas-jelas memerengi dan mengacaukan orang/ Negara Islam seperti Israel terhadap cina ata sekutunya yang memasokkan senjata untuk memerangi Islam atau ingin menguasai Negara Islam seperti yang terjadi di Irak sekarang. Untuk mengawali analisis ini mari kita menyimak kutipan ayat al-qur’an dibawah ini; Artinya;Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM suatu (alasan) yang benar[853]. dan barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya kami Telah memberi kekuasaan[854] kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. (Q.S. ISRA;33) Sejauh penelusuran, kami tidak menemukan asbabunnuzul ayat ini. Maksud nomor kode diatas; maksudnya yang dibenarkan oleh syara’ seperti qishash membunuh orang murtad, rajam dan sebagainya. Maksudnya: kekuasaan di sini ialah hal ahli waris yang terbunuh atau Penguasa untuk menuntut kisas atau menerima diat. Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema’afan dari ahli waris yang terbunuh yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. Pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguhnangguhkannya. bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukumhukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, Maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih. Diat ialah pembayaran sejumlah harta Karena sesuatu tindak pidana terhadap sesuatu jiwa atau anggota badan. Imam ar-Razi dalam tafsirnya menjelaskan sebagai nerikut; Sesuai dengan penjelasan ArRazi dalam tafsirnya, bahwa membunuh seseorang sangat dilarang oleh Islam, pelarangan ini menunjukkan kepada haram, kecuali dengan jalan yang dibenarkan oleh Islam. Kalimat “haramallah”, pada ayat diatas merupakan pengulangan dalam
penyebutan haram, pengulangan ini menunjukkan kepada penguatan, kemudian keharaman ini dikecualikan dengan adanya sebab-sebab yang dibenarkan oleh syariat. Kalimat “illa bilhaq”, disini meliputi dua hal sebagaimana yang akan disebutkan berikut ini yaitu; Pengertian dengan cara yang benar menurut al-qur’an yang diistilahkan dengan haq, sehingga dibenarkan untuk membunuh ada 3 katagori yaitu’ 1. Kafir setelah beriman, 2. Zina setelah menikah,dan 3. Qisas. Analisis Dalil Yang dikatakan jihad dalam alqur’an, adalah memerangi orang kafir untuk membela agama, dan mereka berencana untuk memerangi orang Islam, bukan mereka yang dhimmi, dalam ayat al-qur’an banyak ditemukannya ayat-ayat yang memerintahkan untuk memerangi mereka yang melawan Islam, ingin menghalang-halangi jalannya Islam, pernyataaan ini dapat dilihat dalam Q.s al-maidah; 33) Artinya; Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,(Q.s. Al-Maidah;33) maksudnya ialah: memotong tangan kanan dan kaki kiri; dan kalau melakukan lagi Maka dipotong tangan kiri dan kaki kanan. Jizyah ialah pajak per kepala yang dipungut oleh pemerintah Islam dari orang-orang yang bukan islam, sebagai imbangan bagi keamanan diri mereka. Jizyah ialah pajak per kepala yang dipungut oleh pemerintah Islam dari orangorang yang bukan islam, sebagai imbangan bagi keamanan diri mereka.
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
144
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Artinya; Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka Telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolongpenolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling[330], tawan dan Bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong. Riwayat Asbabunnuzul Diriwayatkan bahwa beberapa orang Arab datang kepada Rasulullah s.a.w. di Madinah. lalu mereka masuk islam, Kemudian mereka ditimpa demam Madinah, Karena itu mereka kembali kafir lalu mereka keluar dari Madinah. Kemudian mereka berjumpa dengan sahabat nabi, lalu sahabat menanyakan sebab-sebab mereka meninggalkan Madinah. mereka menerangkan bahwa mereka ditimpa demam Madinah. Sahabat-sahabat berkata: Mengapa kamu tidak mengambil teladan yang baik dari Rasulullah? sahabat-sahabat terbagi kepada dua golongan dalam hal ini. yang sebahagian berpendapat bahwa mereka Telah menjadi munafik, sedang yang sebahagian lagi berpendapat bahwa mereka masih Islam. lalu turunlah ayat Ini yang mencela kaum muslimin Karena menjadi dua golongan itu, dan memerintahkan supaya orang-orang Arab itu ditawan dan dibunuh, jika mereka tidak berhijrah ke Madinah, Karena mereka disamakan dengan kaum musyrikin yang lain. Sebagai ayat perbandingan lain sebagai dalil, firman Allah di bawah ini; Artinya; Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, Karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.(Q.s.al-Baqarah;190)
145
Artinya; Dan Bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka Telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah[117] itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), Maka Bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir. .(Q.s.alBaqarah;191) C. KESIMPULAN Analisis Terhadap Realitas Teroris Bila kita telaah terhadap al-qur’an, kita menemukan beberapa ayat yang tersebur dibeberapa surat, diantaranya, albaqarah, al-maidah, at-taubah juga alisra’,yang menyeru ummat Islam untuk berjihad/berperang dijalan Allah dengan maksud membela agama, namun dalam penelusuran penulis, perintah jihad itu ditujukan kepada orang-orang kafir yang memusuhi Islam dan kalau tidak dibunuh, mereka pasti akan membunuh, demikian juga kepada orang munafik, murtad, bila kafir tersebut dzimmi maka dilarang membunuhnya, namun dikenakan pajak(jiz’ah), Alqur’an melarang pembunuhan terjadi sesama muslim, jika juga terjadi maka kepada pembunuh dikenakan qisas/ diyat jika disetujui oleh warisnya, kecuali beberapa golongan yang dibenarkan membunuhnya dengan cara rajam, qisas atau pancung. Dalam realita sekarang pembunuhan terjadi bukan hanya dalam konsep jihad murni, namun adanya unsure dendam, kekecewaan misi politik, di Indonesia kususnya dan dunia umumnya dikenal dengan teroris sebagai pelaku pengeboman atau mereka menamakan diri sebagai jihad, apakah mereka jihad atau bukan?, Penulis melihat bahwa teroris yang beredar di Indonesia sekarang dan melakukan aksi pengeboman duta besar,
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM hotel dan sualayan, bukan merupakan jihad yang dibenarkan agama akan tetapi tidak lebih dari kefanatikan golongan tersebut yang dilandasi oleh dokrin kelompok yang jauh dari misi mempertahankan agama, buktinya yang lebih banyak menelan korban adalah kolompok seagama(Islam) dan mereka yang zhimmi yang notabenenya dalam Islam melindungi mereka. Kegiatan teroris di Indonesia akan membawa malapeteka dan kegelisahan social bagi ummat, perbuatan tersebut secara Islam dilarang keras. Dalam kontek lain yang menyerupai jihad adalah mereka-mereka yang memerangi orang kafiratau Negara non muslim yang sudah jelas-jelas memerengi dan mengacaukan orang/ Negara Islam seperti Israel terhadap cina ata sekutunya yang memasokkan senjata untuk memerangi Islam atau ingin menguasai Negara Islam seperti yang terjadi di Irak sekarang. Dalam sebuah khutbah jum’at yang berjudul “Al-Irhâb Bainat Tadmîr wat Tabrîr”, di Mesjid Jâmi’ Khalid bin Al-Walid, kota Riyadh, Syaikh Sulthôn bin ‘Abdurrahmân Al-‘Ied hafizhohullâh menjelaskan tentang makna terorisme. Beliau menyatakan “Sesungguhnya kalimat Al-Irhâb (terorisme) mempunyai makna dengan bentuk-bentuk yang beraneka ragam. Tercakup dalam (makna); membuat takut dan ngeri orang-orang yang aman tanpa kebenaran, melayangkan jiwa-jiwa yang tidak berdosa, menghancurkan harta-harta yang terpelihara, merusak kehormatan-kehormatan yang terjaga, memecah tongkat (persatuan) kaum muslimin, mencerai beraikan jama’ah mereka dan keluar terhadap pemimpinnya dan memanas-manasi anak muda untuk berhadapan (berseberangan) dengan negara mereka serta membenturkan mereka dengan penguasa dan ulamanya dalam berbagai front dan benturan.”
Dan dalam sebuah wawancara Harian “Asy-Syarq Al-Ausath” bersama Prof. DR. Syaikh Shôlih bin Ghônim AsSadlân hafizhohullâh mengenai masalah irhâb (terorisme), beliau menerangkan tentang terorisme dengan penjelasan sangat jelas dan terang. Beliau berkata, “Bila kita hendak berbicara tentang irhâb, sudah selayaknya untuk meletakkan gambaran tentang makna irhâb. Apakah irhâb itu secara bahasa?, dan apa yang dimaksud dengannya secara istilah ?. Al-Irhâb secara bahasa adalah melakukan sesuatu yang menyebabkan kepanikan, ketakutan, membuat gelisah orang-orang yang aman, menyebabkan kegoncangan dalam kehidupan dan pekerjaan mereka dan menghentikan aktivitas mereka serta menimbulkan gangguan dalam keamanan, kehidupan dan interaksi. Adapun maknanya dalam syari’at adalah segala sesuatu yang menyebabkan goncangan keamanan, pertumpahan darah, kerusakan harta atau pelampauan batas dengan berbagai bentuknya. Semua ini dinamakan irhâb. (Allah) Ta’âla berfirman, “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian meng-irhâb (teror) musuh Allah dan musuh kalian”. (QS. Al-Anfâl : 60). Yakni hal itu menyebabkan ketakutan pada mereka dan pengurungan keinginan mereka (yang tidak baik) terhadap kaum muslimin dan hal lainnya. Inilah maknanya secara istilah. Berangkat dari keterangan di atas tampak bagi kita bahwa Al-Irhâb kadang boleh dan kadang haram. Al-Irhâb beraneka ragam hukumnya tergantung dari maksudnya. Keberadaan kita mempersiapkan diri, menambah kekuatan, latihan senjata (militer), membuat senjata dan menyiapkan kekuatan yang membuat irhâb terhadap
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
146
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM musuh sehingga tidak lancang terhadap kita, agama, aqidah dan individu-individu umat. Ini adalah perkara yang dituntut (diinginkan) keberadaannya pada kaum muslimin. Maka tidak pantas bagi kaum muslimin untuk dilalaikan oleh Al-Lahwu (perkara tidak bermanfaat), perhiasan dan gemerlapnya kehidupan sehingga lengah dari maksud dan sasaran musuh-musuh mereka. Bahkan wajib bagi mereka untuk memiliki kekuatan sebagaimana firman Allah, “Kamu meng-irhâb (teror) musuh Allah dan musuh kalian”. (QS. Al-Anfâl : 60). Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Saya ditolong dengan Ar-Ru’bi (timbulnya rasa takut/gentar pada musuh) selama perjalanan satu bulan”. Inilah Al-Irhâb yang disyari’atkan. Adapun Al-Irhâb yang terlarang adalah apa yang dikerjakan oleh pelaku (irhâb) ini dengan cara mendatangi orangorang yang dalam keadaan aman, tentram dan lapang yang tidak mempunyai urusan dengan masalah kekuatan, peperangan dan kezholiman, lalu disergap secara tiba-tiba dengan pembunuhan, perusakan harta benda, menimbulkan berbagai macam ketakutan atau selain itu, baik dari kalangan orang kafir atau dari kalangan kaum muslimin. Diperkecualikan darinya apa yang terjadi antara negara muslim dan negara harby. Kalau negara (muslim) memerangi negara kafir dan tidak ada antara keduanya mu’âhad atau hilif (perjanjian) dan antara keduanya ada peperangan dan saling menyerang secara tiba-tiba, maka dalam keadaan ini (boleh) bagi kaum muslimin untuk melakukan apa yang dengannya bisa mengalahkan musuh mereka, dan menahan musuh dan kezholimannya, mengembalikan harta benda mereka, menjaga bumi dan kehormatan mereka dan selainnya. Semua ini dianggap perkara yang
147
boleh. Adapun apa yang berkaitan dengan irhâb terhadap orang-orang yang aman dan lengah dari laki-laki dan perempuan kaum muslimin, orang-orang kafir dan selain mereka, maka mereka itu tidak boleh diserang secara tiba-tiba khususnya kalau antara kaum muslimin dan bangsa-bangsa (kafir) ini ada mu’âhad, hilif dan selain itu.” Tersimpul dari keterangan Syaikh Shôlih bin Ghônim As-Sadlân di atas bahwa Al-Irhâb (terorisme) terbagi dua : Satu : Al-Irhâb yang disyari’atkan. Ya i t u k e b e r a d a a n u m a t I s l a m mempersiapkan diri, menambah kekuatan, latihan senjata (militer), membuat senjata dan menyiapkan kekuatan yang membuat irhâb terhadap musuh sehingga tidak lancang terhadap mereka, agama, aqidah dan individu-individu umat. Dan terorisme dengan makna ini adalah suatu hal yang wajar menurut pandangan setiap orang yang berakal sehat dalam menciptakan keamanan dan kesejahteraan manusia. Dan bukanlah ini makna terorisme yang ramai dibicarakan saat ini. Karena sangat tidak layak kalau Islam dikaitkan dengan terorisme sedangkan nilai-nilai Islam yang agung nan luhur sangat bertolak belakang dengan terorisme itu sendiri. Dua : Terorisme tercela. Inilah terorisme yang telah kita uraikan tentang definisinya dan maksud pembahasan dalam tulisan ini. Namun perlu kami ingatkan disini, bahwa musuh-musuh Islam sengaja melancarkan isu-isu terorisme dan berusaha untuk mengaitkan Islam dengan terorisme secara langsung maupun tidak langsung, dan mereka mempunyai maksud dan makar yang sangat besar di belakang hal tersebut, yaitu misi menyamarkan prinsip-prinsip Islam yang agung sekaligus meruntuhkannya, menutup pintu dakwah di jalan Allah dalam rangka penyebaran Islam yang membawa rahmat bagi semesta alam, memerangi Islam dan kaum muslimin dengan jalan yang jelek dan menjijikkan, dan membuat manusia takut dan lari dari
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM ajaran Islam. Perhatikan bagaimana mereka menjelekkan syari’at jihad, dan cermati bagaimana mereka meronrong keyakinan kaum muslimin dalam hal Al-Walâ‘ wal Barô‘ (Loyalitas untuk Islam dan kaum muslimin, kebencian dan berlepas diri dari kekafiran dan penganutnya) dan mereka menyangka bahwa tuntunan-tuntunan itu adalah sumber terorisme! Demi Allah, sungguh mereka telah berdusta dalam hal ini, seluruh prinsip-prinsip Islam sangat agung dan mulia membawa kebaikan dan rahmat bagi semesta alam. Sangat disayangkan bahwa sebagian kaum muslimin termakan oleh makar-makar para musuh tersebut sehingga mereka menjelekkan agama mereka sendiri. Dan juga seperti biasanya, hal tersebut sangat dimanfaatkan oleh kaum munafiqin yang telah sekian lama mengintai sasaransasaran tepat pada kaum muslimin. Kerahkanlah seluruh makar kalian, sungguh agama Allah akan tetap jaya dan dijayakan, “Dan sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul, (yaitu) sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan. Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang.” (QS. AshShaffât : 171-173) REFERENSI Âdil ‘Abdul Jabbâr, Al-Irhâb Fii Mîzân AsySyarî’ah.
Isma’il Luthfi Al-Irhâb wal ‘Unfu wat Tatharruf Fii Mîzânisy Syar’i hal. 9 ‘Ali bin ‘Abdul ‘Azîz Asy-Syibl Al-Judzûr AtTârikhiyah lihaqiqatil Guluwwi wat Tatharruf wal Irhâb wal ‘Unfi Bukhary, Sahih Bukhary, Hadits 3686 CD Maktabah Syamilah Haitsam Al-Kailâny, Al-Irhâb Yu‘assisu Daulah Haitsam Al-Kailâny, Al-Irhâb Yu‘assisu Daulah. M. Riza Sihbudi, Bara Timur Tengah, Bandung: Mizan, 1991 M. Riza Sihbudi, Bara Timur Tengah, Bandung: Mizan, 1991 M. Riza Sihbudi, Bara Timur Tengah, Mizan Bandung Muhammad ‘Azîz Syukry, Al-Irhâb AdDuwaly Muhammad Al-Husainy Al-Irhâb Mazhôhiruhu wa Asykâluhu Muslim, Sahih Muslim, hadits 3279, Maktabah Syamilah
CD
Muthî’ullah Al-Harby Haqiqutul Irhâb
Abdurrahman Ar-Razi,Tafsir ar-Razi, juz 10, CD Maktabah Syamilah, Al-Bukhâry no. 335, 438, Muslim no. 521, An-Nasâ‘i 1/209. Dan dikeluarkan pula oleh Al-Bukhâry no. 2977, 6998, 7013, 7273, Muslim no. 523, An-Nasâ‘i 6/3-
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
148
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM HARTA PUSAKA SUAMI UNTUK PEREMPUAN YANG DITALAK BA’IN MENURUT FIKIH SYAFI’IYAH DAN MALIKIYAH Oleh : Nazaruddin, S.Hi., MA Absract One of the requirements is the inheritance of the heirs who will receive the legacy is still alive and there is in him one of the causes of inheritance barrier. But the wife against the husband who divorced ba’in among scholars Syafi’iyah and Malikiyah occur dissent which according to scholars Syafi’iyah against women who are divorced by her husband bain not inherit different from what was proposed by scholars Malikiyah that the divorced wife bain fixed inheritance. The scholars Malikiyah found bain divorced wife by a husband who was terminally ill have inheritance rights. The reason they think like that is because the act of a husband divorces his wife was seriously ill when the husband is presumed possibility to shy away from the rules of inheritance in the hope she does not get the estate; second, Syafi’iyah Among scholars say that the (former) wife was not entitled to inheritance inheritance law divorce her husband because both when his health or for illness is the same. The marital bond has been exhausted by the divorce before her husband’s death. So because obtaining heritage has been lost. Keyword: Fikih Syafi’iyah A. PENDAHULUAN Kalangan ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa si (mantan) istri itu tidak berhak atas kewarisan harta pusaka suaminya karena hukum talak –baik di kala sehat maupun di kala sakit adalah sama saja. Argumentasi yang mereka kemukakan bahwa dalam kondisi yang sama sang suami tidak berhak pula atas kewarisan harta pusaka istrinya, maka demikian pula sang istri; bahwa sang suami tidak punya hak rujuk sehingga ia sebenarnya bukan lagi suami dari si istri (perempuan); bahwa sang istri tidak ber-iddah dengan ‘iddah wafat melainkan dengan ‘iddah talak; dan bahwa sang suami boleh menikah saudari (perempuan) dari si istri dan juga boleh menikahi empat perempuan lainnya. Semua itu menunjukkan bahwa si istri itu sesungguhnya bukanlah lagi istri dari sang suami; dan Allah menetapkan hubungan kewarisan selama terdapat hubungan suam iistri di antara keduanya.(Asnawi, 2011: 174-175). Dalam mazhabMalik berpendapat bahwa istri yang ditalak sekaligus oleh suami yang sakit keras tetap mendapat warisan bekas suaminya,
149
baik dalam masa iddah maupun tidak, baik sudah kawin lagi dengan orang lain maupun belum. Bahkan meskipun istri tersebut telah menikah lagi dengan sepuluh suami. Dengan kata lain bahwa wanita tersebut tetap mewarisi harta dari suaminyabetapapun panjang waktunya. Alasan mazhabMalik bahwa istri yang ditalak ba’in oleh suami yang sedang sakit mendapat warisan adalah karena alasan menghindari dan mencegah terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan. Karena suami tersebut mempunyai maksud yang tidak baik maka ia harus diperlukan dengan kebalikan dari maksudnya tersebut. Demikian itu karena suami yang sedang sakit yang dalam sakitnyaitu mentalak istrinya dapat dituduh bahwa ia beremaksud menghapuskan bagian warisan istrinya, untuk menghindari maksud jahat suami maka istri tetap mendapat warisan meskipun iddahnyahabis atau sudah kawin lagi. (Muhammad Jawad Mughniyah, :2003). B. Pendapat Syafi’iyah dan Malikiyah Te n t a n g H a r t a P u s a k a U n t u k
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Perempuan Yang Ditalak Ba’in T erdapat banyak perkawinan yang harus berakhir dengan perceraian. Perkawinan tidak lagi dianggap sesuatu yang sakral sehingga apabila terjadi perceraian maka merupakan hal yang biasa dan bukan merupakan hal yang tabu, bahkan dikalangan tertentu perceraian bisa dijadikan sebagai sarana untuk meningkatkan popularitas. Oleh karena itu perceraian semakin banyak terjadi tidak hanya di kalangan masyarakat awam, akan tetapi juga banyak terjadi di kalangan masyarakat golongan intelektual. Apabila terjadi suatu perceraian tentu akan membawa akibat hukum sebagai konsekuensi dari percerian tersebut yaitu: status suami atau istri, kedudukan anak, maupun mengenai harta bersama yang diperoleh sepanjang perkawinan. Menentukan status kepemilikan harta selama perkawinan penting untuk memperoleh kejelasan bagaimana kedudukan harta itu jika terjadi perceraian atau kematian salah satu suami atau istri, mana yang merupakan hartapeninggalan yang akan diwaris ahli waris masingmasing. Demikian pula apabila terjadi perceraian harus ada kejelasan mana yang menjadi hak istri dan mana yang menjadi hak suami. Jangan sampai suami mengambil hak istri atau sebaliknya jangan sampai istri mengambil hak suami. (Ahmad Azhar Basyir, 2000. Hukum Islam memberi hak kepada masing-masing suami istri untuk memiliki harta benda secara perseorangan, yang tidak dapat diganggu oleh pihak lain. Suami yang menerima pemberian, warisan, dan sebagainya tanpa ikut sertanya istri, berhak menguasai sepenuhnya harta yang diterimanya itu. Demikian pula halnya istri yang menerima pemberian, warisan, mahar, dan sebagainya tanpa ikut sertanya suami, berhak menguasai sepenuhnya harta benda yang diterimanya itu.
Hukum kewarisan sebagai suatu pernyataan tekstual yang tercantum dalam al-Qur’an merupakan suatu hal yang absolut dan universal bagi setiap muslim untuk mewujudkan dalam kehidupan sosial. Sebagai ajaran yang universal, hukum kewarisan Islam mengandung nilainilai abadi dan unsur yang berguna untuk senantiasa siap mengatasi segala kesulitan sesuai dengan kondisi ruang dan waktu.( Idris Djakfar, Taufiq Yahya, 1995: 1). Rasulullah SAW juga memerintahkan kita membagi harta pusaka menurut kitab al-Qur’an, dalam sabdanya: Artinya: Dari Abbas r.a., berkata, Rasulullah saw., bersabda: Bagikanlah harta pusaka antara ahli waris menurut kitabullah (al-Qur’an).(HR. Muslim) Hadits diatas menjelaskan betapa pentingnya al-Qur’an sebagai sumber dalam hukum warisan, namun demikian masih terdapat masalah-masalah mengenai hukum waris yang tidak tercantum dalam alQur’an sehingga menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan ahli hukum fiqh, diantara salah satunya adalah harta pusaka atau hak-hak istri yang ditalak ba’in oleh suaminya, dalam hal ini dikalangan ulama mazhab berbeda pendapat, diantaranya: 1. Menurut Syafi’iyah Tentang talak waktu sakit tidak ada ketentuan hukumnya baik dari al-Qur’an maupun sunnah, hanya dari fatwa sahabat. Namun tentang jatuhnya talak dari orang sakit, para ulama fiqh sepakat bahwa talak seorang suami yang sedang sakit dapat terjadi atau sah, sebagaimana terjadinya talakketika sehat. (Wahbah Zuhaily,1989: 452). Sehingga kesepakatan tersebut membawa konsekuensi terjadinya akibatakibat hukum talak termasuk dalam hal kewarisannya. Kalangan ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa si (mantan) istri itu tidak berhak atas kewarisan harta pusaka
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
150
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM suaminya karena hukum talak baik dikala sehat maupun dikala sakit adalah sama saja. Argumentasi yang mereka kemukakan, yakni bahwa dalam kondisi yang sama, sang suami tidak berhak pula atas kewarisan harta pusaka istrinya maka demikian pula sang istri; bahwa sang suami tidak punya hak rujuk sehingga ia sebenarnya bukan lagi suami dari si istri (perempuan); bahwa sang istri tidak beriddah dengan iddah wafat melainkan dengan iddah talak; dan bahwa sang suami boleh menikahi saudari (perempuan) dari si istri dan juga boleh menikah empat perempuan lainnya. Semua itu menunnjukkan bahwa si istri itu sesungguhnya bukanlah lagi istri dari sang suami; dan Allah SWT menetapkan hubungan kewarisan selama terdapat hubungan persuamiistrian di antara keduanya.( Asmawi, : 2011: 174175). Menurut salah satu ulama syafi’iyah Al-Bakri al-Dimyathi dalam kitab I’anah al-Thalibin: Artinya: “Atau talak haram, seperti talak bid’ah, yaitu menjatuhkan talak kepada istri yang telah digauli, tepat dimasa haidnya, tanpa tebusan dari pihak istri (khulu’) atau diwaktu suci, sedangkan dia telah menggaulinya. Contoh lain dari talak bid’ah adalah menjatuhkan talak kepada istri yang belum memenuhi bagian gilirannya, juga seperti menjatuhkan talak disaat si suami sedang sakit keras, dengan maksud agar si istri terhalang dari mewaris hartanya”.( Al-Bakri al-Dimyathi,: 36) Dalam kutipan ini dipahami bahwa menurut beliau, haram terhadap suami untuk mentalak istrinya apabila sedang sakit parah. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari pihak suami untuk tidak memberikan warisan kepada istri. Dalam arti lain apabila pihak suami mentalaknya, istri tetap mendapatkan warisan. Sedangkan dalam al-Umm Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita yang ditalak sekaligus oleh orang yang sakit keras masih berhak mewarisi laki- laki,
151
jika suaminya meninggal dalam masa iddah, sedangkan jika suami meninggal sesudah habis masa iddahnya maka wanita tersebut tidak berhak waris. Sebagaimana dijelaskan: Artinya: “Al-Syafi’i rahimahullah berkata: “Hanya saja saya manapun yang saya berpendapat maka saya berkata: “Perempuan tidak mewarisi suaminya bila suami mentalaknya dalam keadaan sakit yang laki-laki itu padanya tidak memiliki ruju’, lalu habis iddahnya dan menikah (dengan orang lain)”. Pendapat ini sesuai dengan kaidah dan prinsip-prinsip dasar, karena hubungan perkawinan antara kedua orang tersebut telah putus dengan selesainya masa iddah. Sebab, dengan berakhir masa iddah terebut, dia boleh dikawini oleh laki-laki lain. Sedangkan setiap wanita yang boleh dikawini oleh laki-laki lain tidak berhak mewarisi orang (laki-laki) yang pernah memiliki hubungan perkawinan dengannya. Prinsip seperti ini tidak bisa dibuang begitu saja kecuali dengan adanya ayat Al-Quran atau Hadits yang kuat yang bertentangan dengan hal itu.( Muhammad Jawad Mughniyah, : 2003: 580). Terkait pendapat imam Malik yang memahami adanya kekhawatiran untuk menghindari dan mencegah terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan (sazalzari’ah), ulama Syafi’iyah membantah pendapat tersebut adalah pendapat yang yang tidak dapat diterima (mardud) berdasarkan keumuman lafaz firman Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 230, yaitu: Artinya: Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (QS. Al-Baqarah: 230) Keumuman lafaz nash di atas tidak membedakan antara dalam keadaan sehat maupun sakit. Dan juga berdasarkan hadits Nabi: Artinya: Ada tiga hal yang sungguh-
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM sungguh, jadi serius dan gurauannya jadi serius (juga) : nikah, talak, dan rujuk.( Ibnu Hajar al-Asqalani,: 1108). Dan talak yang dijatuhkan oleh orang yang sedang sakit tidak dapat diketahui apakah ia sungguh-sungguh ataukah hanya main- main, maka menurut Imam Syafi’i talaknya dihukumi sah. Menurut salah seorang ulama Syafi’iyah Syamsuddin Muhammad bin Khatib Syarbaini dalam kitabnya Al-Mughni sebagaimana dikutib oleh Muhammad Jawad Mughniyah mengatakan, terhadap wanita yang ditalak oleh suami apabila ‘iddahnya telah habis maka wanita itu telah menjadi wanita lain yang tidak lagi berhak menerima waris.( Muhammad Jawad:580) Pendapat bahwa istri tersebut memperoleh warisan selama ia masih berada dalam masa ‘iddah, mengemukakan alasan bahwa ‘iddah itu termasuk salah satu akibat hukum perkawinan. Seolah mereka mempersamakan istri tersebut dengan istri yang ditalak raj’i. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar ra. dan ‘Aisyah ra. Sedang fuqaha yang mensyaratkan belum kawin lagi bagi kepewarisan istri tersebut beralasan dengan kesepakatan kaum Muslim bahwa seorang perempuan itu tidak dapat menerima warisan dari dua orang suami, di samping karena adanya tuduhan (hendak menghapuskan bagian warisan istri) itulah yang merupakan sebab yang mewajibkan hak mewaris. 2. Menurut Malikiyah Sebagaimana diketahui mengenai orang sakit yang menjatuhkan talak ba’in kemudian meninggal karena penyakitnya, maka Imam Malik dan segolongan fuqaha berpendapat bahwa istrinya (yakni bekas istri) menerima warisan. Sedang Imam Syafi’i dan fuqaha lainnya berpendapat bahwa istrinya itu tidak menerima warisan. ( Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid Wa Nihayah al Muqtasid:1409 H/1989: 62). Dalam kitab al-Kafi Fi Fiqh ahl
al-Madinah al-Maliki diterangkan bahwa Menurut Imam Malik setiap orang yang benar-benar sakit yang mentalak istrinya pada waktu sakit kemudian meninggal akibat sakitnya, maka istrinya berhak untuk menerima warisan, baik suaminya tersebut meninggal pada saat masih dalam masa iddah maupun sesudah habisnya masa iddah, baik talaknya berupa talak satu, talak dua maupun talak tiga dan talak sekaligus. Hal ini berdasarkan keputusan (qadha’) Utsman yang menjadikan hak waris bagi istri ‘Abd. al- Rahman Ibn ‘Auf. Hal ini sebagaimana Imam Malik dalam kitabnya al-Muwatta menegaskan: Artinya: Y a h y a menyampaikan kepadaku (hadis) dari Malik, dari Ibn Shihab bahwa Talha ibn ‘Abdullah ibn ‘Awf berkata, dan ia lebih mengetahui daripada mereka, dari Abu Salama ibn ‘Abd ar-Rahman ibn ‘Awf bahwa ‘Abd ar-Rahman ibn ‘Awf menceraikan istrinya sepenuhnya (talaq ba’in) ketika ia sedang benar-benar sakit dan ‘Utsman ibn ‘Affan menjadikan si istri sebagai salah satu pewarisnya di akhir masa “iddahnya. (HR. Malik). Pernyataan di atas menunjukkan bahwa dalam perspektif Malik bahwa seorang suami yang dalam kondisi sakit parah menjatuhkan talak ba’in kemudian tidak berapa lama suami tersebut meninggal dunia, maka istrinya (mantan istrinya) menerima warisan. Kalangan Malikiyah berpendapat bahwa istri yang ditalak sekaligus oleh suami yang sakit keras tetap mendapat warisan bekas suaminya, baik dalam masa iddah maupun tidak, baik sudah kawin lagi dengan orang lain maupun belum. Bahkan meskipun istri tersebut telah menikah lagi dengan sepuluh suami. Dengan kata lain wanita tersebut tetap mewarisinya betapapun panjang waktunya.( Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh...,: 174). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Muwatta: Artinya: Y a h y a
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
152
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM menyampaikan kepadaku (hadits) dari Malik bahwa ia telah mendengar Ibn Shihab berkata; “Jika seorang laki-laki yang sedang benar-benar sakit(menjelang ajal) menceraikaan isterinya tiga kali, maka ia menjadi pewarisnya”. Berdasarkan kutipan di atas, Imam Malik berpendapat bahwa istri yang ditalak bain oleh suami yang sedang sakit parah dan menjelang ajal mendapat warisan, hal ini dilakukan untuk menghindari dan mencegah terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan (sazal-zari’ah). Karena suami tersebut mempunyai maksud yang tidak baik maka ia harus diperlakukan dengan kebalikan dari maksudnya tersebut. Demikian itu karena suami yang sedang sakit yang dalam sakitnya itu mentalak istrinya dapat dituduh bahwa ia bermaksud menghapuskan bagian warisan istrinya; untuk menghindari maksud jahat suami maka istri tetap mendapat warisan meskipun iddahnya habis atau sudah kawin lagi.( Muhammad Jawad Mughniyah,: 580). Fuqaha yang menetapkan istri menerima warisan terbagi tiga golongan. Golongan pertama berpendapat bahwa istri menerima warisan selama ia masih berada dalam masa ‘iddah (ketika suaminya meninggal). Di antara fuqaha yang berpendapat demikian adalah Imam Abu Hanifah bersama para pengikutnya dan ats-Tsauri. Golongan kedua berpendapat bahwa istri mendapat warisan selama ia belum kawin lagi. Fuqaha yang berpendapat demikian antara lain Imam Ahmad dan Ibnu Abi Laila. Golongan ketiga berpendapat bahwa istri menerima warisan tanpa dibedakan apakah ia masih berada dalam masa ‘iddah atau tidak, dan apakah ia sudah kawin lagi atau belum. Ini adalah pendapat Imam Malik dan al-Laits. (Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid..., : 62) Diantara tiga golongan yang telah disebutkan di atas terkait harta warisan untuk wanita yang ditalak ba’in, Fuqaha juga berselisih pendapat mengenai, apabila
153
permintaan talak datang dari pihak istri sendiri, atau suami telah memberikan hak menceraikan kepadanya (tamlik), kemudian istri tersebut menceraikan dirinya. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa istri tersebut tidak menerima warisan sama sekali. Al-Auza’i mengadakan pemisahan antara hak tamlik dan talak. Ia berpendapat bahwa istri tidak memperoleh warisan pada tamlik, dan memperoleh warisan pada talak. Dalam hal ini Imam Malik mempersamakan keduanya, sehingga mengatakan, “Jika istri mati, maka suami tidak memperoleh warisan daripadanya, Tetapi jika suami mati, maka istri mewarisinya. Pendapat ini menurut Ibnu Rusyd sama sekali bertentangan dengan aturan-aturan pokok. Terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama mazhab ini disebabkan oleh perselisihan mereka tentang keharusan diterapkannya sadd az-al-zari’ah (azal-zari’ah). Demikian itu karena suami yang sedang sakit yang dalam sakitnya itu menceraikan istrinya, dapat dituduh bahwa ia bermaksud menghapuskan bagian warisan istrinya. Oleh karenanya, fuqaha yang memegang dalil sadd az-alzari’ah (az-al-zari’ah) menetapkan bagian warisan istri tersebut. Sedangkan fuqaha yang tidak memegang dalil sadd az-alzari’ah (az-al-zari’ah) berpendapat bahwa talaknya terjadi, mereka tidak menetapkan hak mewaris bagi istri tersebut. Demikian itu karena fuqaha ini berpendapat bahwa apabila talak terjadi, maka semua akibat hukumnya juga harus terjadi. Karena mereka berpendapat bahwa suami tidak memperoleh warisan dari istri jika istri meninggal. Sedang apabila talak tidak terjadi, maka ikatan suami istri masih tetap dengan segala akibat hukumnya. Oleh karenanya, bagi lawan-lawan mereka harus mempunyai salah satu dari dua jawaban. Karena pada dasarnya sulit dikatakan bahwa dalam syara’ terdapat suatu jenis talak yang mempunyai sebagian akibat hukum talak
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM dan mempunyai pula sebagian akibat hukum perkawinan. Akan lebih sulit lagi untuk mengatakan adanya pemisahan antara talak yang sah dengan talak yang tidak sah. Karena dengan demikian akan menjadi talak yang akibat hukumnya bergantung pada sah atau tidaknya talak tersebut. Kesemuanya ini sulit untuk dikatakan terdapat dalam syara’. Akan tetapi fuqaha yang memegang pendapat ini nampaknya sudah cukup puas, karena pendapat tersebut difatwakan oleh Utsman ra. dan Umar ra., sehingga ulama Maliki mengatakan bahwa pendapat tersebut merupakan ijma’ sahabat. Pada dasarnya, perkataan mereka ini tak ada artinya, karena pendapat Ibnu Zubair ra. yang menentangnya sudah terkenal. Fuqaha yang berpendapat bahwa istri tersebut memperoleh warisan selama ia masih berada dalam masa ‘iddah, mengemukakan alasan bahwa ‘iddah itu termasuk salah satu akibat hukum perkawinan. Seolah mereka mempersamakan istri tersebut dengan istri yang ditalak raj’i. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar ra. dan ‘Aisyah ra. Sedang fuqaha yang mensyaratkan belum kawin lagi bagi kepewarisan istri tersebut beralasan dengan kesepakatan kaum Muslim bahwa seorang perempuan itu tidak dapat menerima warisan dari dua orang suami, di samping karena adanya tuduhan (hendak menghapuskan bagian warisan istri) itulah yang merupakan sebab bagi fuqaha yang mewajibkan hak mewaris. Menurut Muhammad Jawad Mughniyyah bahwa Imamiyah mengatakan: apabila seorang suami mentalak istrinya di saat dia (suami) sedang berada dalam keadaan sakit menjelang mati, baik talaknya itu talak raj’i atau talak ba’in, seperti talak tiga, talak terhadap wanita yang belum dia campuri, dan talak terhadap wanita-wanita yang telah memasuki masa menopousa,
lalu laki-laki itu meninggal dunia sebelum lewat satu tahun sejak jatuhnya talak tersebut, maka wanita tersebut berhak mewarisinya dengan tiga syarat: 1. K e m a t i a n l a k i - l a k i t e r s e b u t disebabkan oleh sakit yang terjadi saat dia menjatuhkan talak kepada istrinya itu. 2. Wanita tersebut belum kawin lagi dengan laki-laki lain. 3. Talak tersebut dijatuhkan bukan atas permintaan wanita tersebut Para ulama mazhab Imamiyah mendasarkan pendapat ini pada berbagai riwayat dari Ahlul Bait (Muhammad Jawad Mughniyah: 2003: 579-580). Dengan mengkaji pendapat para ulama di atas, maka tampaklah pendapat Malik yang dalam perspektifnya bahwa seorang suami yang dalam kondisi sakit parah menjatuhkan talak ba’in kemudian tidak berapa lama suami tersebut meninggal dunia, maka istrinya (mantan istrinya) menerima warisan. Alasan Malik berpendapat seperti itu adalah (1) karena wanita makhluk yang lemah, maka ia harus dilindungi hak-haknya, untuk itu isteri yang ditalak bain oleh suami yang sedang sakit parah mendapat warisan; (2)suami yang sedang sakit parah kemudian ditalak, mungkin saja suami punya niat jahat agar istrinya tidak mendapat warisan; (3) untuk menghindari maksud jahat suami maka isteri tetap mendapat warisan meskipun iddahnya habis atau sudah kawin lagi; (4) istri yang tidak mendapat warisan tersebuthidupnya nanti akan menderita karena itu isteri pantas menerima warisan.( Ibnu Rusyd,) Adapun memberikan hak waris kepada istri setelah dia menikah dengan lelaki lain, sebagaimana yang diungkapkan oleh kalangan Malikiyyah, menyebabkan seorang istri dapat mewarisi harta peninggalan dari dua suami sekaligus. Hal ini bertentangan atau berbeda dengan ijma ulama yang berpendapat bahwa seorang
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
154
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM istri tidak dapat mewarisi harta peninggalan dari dua suami sekaligus dalam satu waktu. Sedangkan pendapat kalangan Syafi’iyyah yang berbunyi bahwa secara mutlak istri tidak dapat mewarisi, bertentangan dengan ijma para sahabat. Setidaknya dengan Usman r.a. ketika dia memutuskan hak mewarisi bagi Tamadhir binti al-Ashbagh al-Kalabiyyah dari Abdurrahman bin Auf, yang telah mentalak ba’in istrinya dalam keadaan sakit keras. Keputusan ini sudah menyebar di kalangan sahabat, namun tidak ada satu pun dari mereka yang mengingkarinya. Riwayat lain adalah dari Urwah yang mengatakan, “Sesungguhnya, Utsman berkata kepada Abdurrahman, ‘Jika Anda meninggal dunia, aku akan mewariskan harta peninggalanmu kepada istrimu.’ Abdurrahman menjawab, ‘Aku sudah tahu hal itu.( Abdus Syakur: 2013). Menurut analisis penulis bahwa alasan yang dikemukakan Imam Malik sangat masuk akal karena mungkin saja seorang suami punya niat untuk mencurangi hak-hak istrinya. Sehingga seorang suami dengan tega merampas hak waris istrinya dengan cara-cara yang licik dan halus yaitu dengan menjatuhkan talak pada saat ia merasa akan meninggal dunia. Untuk itu masalah kejahatan suami perlu dicegah dengan tetap memberikan hak pada istri mendapat warisan dari suaminya yang menjatuhkan talak pada saat sakit keras kemudian meninggal dunia. Perbuatan suami yang mencurangi istrinya ini tampaknya sudah diantisipasi oleh Imam Malik. Karena itu pendapat dan pemikiran Imam Malik bisa dikatakan mengangkat harkat martabat dan hak-hak seorang wanita dalam hal ini istri. Tampaknya Imam Malik melihat nasib kaum wanita yang kurang menguntungkan dimana posisinya sangat lemah dan seringkali diperlakukan tidak adil. Berhubungan dengan status wanita yang ditalak masih dalam masa iddah atau tidak penulis merujuk pada
155
pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih AlUtsaimin sebagaimana dikutib dalam kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram bahwa Wanita yang ditalak, jika suaminya meninggal ketika masih dalam masa iddah, ada dua kemungkinan, yaitu talak raj’i (yang bisa di rujuk) dan talak ba’in (tidak bisa di rujuk). Jika itu talak raj’i maka statusnya masih sebagai istri sehingga iddahnya berubah dari iddah talak ke iddah wafat (iddah karena ditinggal mati suami). Talak raj’i yang terjadi setelah campur tanpa iwadh (pengganti talak), baik talak pertama maupun talak yang kedua kali, jika suaminya meninggal, maka si wanita berhak mewarisinya.( Syaikh Ibnu Utsaimin: 820: 321). Hal ini berdasarkan firman Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 228, yaitu: Artinya: Wa n i t a - w a n i t a yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. (QS. Al-Baqarah: 228) Ayat ini memerintahkan kepada setiap perempuan yang ditalak agar tetap tinggal di rumah suaminya pada masa iddah. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah terhadap keduanya untuk rujuk apabila mereka menghendaki perdamaian. Karena semua bisa terjadi diluar dugaan manusia, hal ini sebagaimana disebutkan dalam surat At-Thalaq ayat 1 yaitu: Artinya: Kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru. (QS. At-Thalaq: 1) Ayat di atas menjelaskan Jika wanita yang ditinggal mati suaminya
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM dengan tiba-tiba itu dalam keadaan talak ba’in (yang tidak dapat di rujuk), seperti talak yang ketiga kali atau si wanita memberikan pengganti mahar kepada suaminya agar ditalak, atau sedang pada masa fasah (pemutusan ikatan pernikahan), bukan iddah talak, maka ia tidak berhak mewarisi dan statusnya tidak berubah dari iddah talak ke iddah ditinggal mati suami. Namun demikian, ada kondisi dimana wanita yang di talak ba’in tetap berhak mewarisi, yaitu seperti; jika sang suami mentalaknya ketika sedang sakit dengan maksud agar si istri tetap mendapat hak warisan walaupun masa iddahnya telah berakhir selama ia belum menikah lagi. Tapi jika ia telah menikah lagi maka tidak boleh mewarisi. Dari pendapat di atas dapatlah diketahui terdapat persamaan antara pendapat Syafi’iyah dan Malikiyah bahwa istri yang ditalak ba’in oleh suami yang sakit keras masih berhak untuk menerima warisan jika suami tersebut meninggal pada masa iddah, dengan kata lain wanita tersebut tetap mewarisinya betapapun panjang waktunya. Namun dapat dipahami yang menjadi perbedaan pendapat antara keduanya terletak pada keadaan iddah istri pada saat meninggalnya suami. 1. Dalil dan Metode Yang Digunakan Syafi’iyah dan Malikiyah Dalam Mengistimbathkan Hukum Harta Pusaka Suami Untuk Perempuan Yang Ditalak Ba’in Metode dan dasar-dasar istinbat yang digunakan Imam Malik dan pengikutnya adalah (Umar Syihab, 1990 :105) : 1) Al-Quran Seperti halnya para imam mazhab yang lain, Imam Malik meletakkan AlQur’an di atas semua dalil karena AlQur’an merupakanpokok syariat dan “hujahnya. Imam Malik mengambil dari: a. Nash yang tegas yang tidak menerima takwil dan mengambil
bentuk lahirnya; b. Mafhum muwafaqah atau fahwa alkhitab, yaitu hukum yang semakna dengan satu nash (Al-Qur’an dan Al-Hadis) yang hukumnya sama dengan yang disebutkan oleh nash itu sendiri secara tegas; c. M a f h u m m u k h a l a f a h , y a i t u penetapan lawan hukum yang diambil dari dalil yang disebutkan dalam nash (Al-Qur’an dan AlHadis) pada sesuatu yang tidak disebutkan dalam nash; dan d. ‘Illat-’illat hukum (sesuatu sebab yang menimbulkan adanya hukum). 2) Sunnah Sumber hukum kedua yang dijadikan hujjah oleh Imam Malik dan pengikutnya adalah Sunnah, diantaranya; a. Sunnah Mutawatir b. S u n a h m a s y h u r , b a i k kemasyhurannya itu di tingkat tabiin ataupun tabi’ at-tabi’in (generasi sesudah tabiin). Tingkat kemasyhuran setelah generasi tersebut di atas tidak dapat dipertimbangkan; dan c. Khabar (hadis) ahad yang didahului atas praktek penduduk Madinah dan kias. Akan tetapi kadangkadang khabar ahad itu bisa tertolak oleh kias dan maslahat 3) Praktek penduduk Madinah Hal itu dipandang sebagai hujah, jika praktek itu benar-benar dinukilkan dari Nabi Saw. Sehubungan dengan itu praktek penduduk Madinah yang dasarnya ra’yu (akal, penalaran) bisa didahulukan atas khabar ahad. Imam Malik mencela ahli fikih yang tidak mau mengambil praktek penduduk Madinah, bahkan menyalahinya. 4) Fatwa Sahabat Hal itu dipandang sebagai hujah, jika praktek itu benar-benar dinukilkan dari Nabi Saw. Sehubungan dengan itu praktek penduduk Madinah yang dasarnya ra’yu
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
156
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM (akal, penalaran) bisa didahulukan atas khabar ahad. Imam Malik mencela ahli fikih yang tidak mau mengambil praktek penduduk Madinah, bahkan menyalahinya. Sementara itu, masalah manasik haji tidak mungkin bisa diketahui tanpa adanya penukilan langsung dari Nabi Saw. Imam Malik juga mengambil fatwa tabiin besar, tetapi tidak disamakan kedudukannya dengan fatwa sahabat. 5) Qiyas, al-Maslahah al-Mursalah, dan Istihsan. Imam Malik mengambil kias dalam pengertian umum yang merupakan penyamaan hukum perkara, yakni hukum perkara yang tidak ditegaskan dengan hukum yang ditegaskan. Hal ini disebabkan adanya persamaan sifat (illat hukum). Sementara istihsan adalah memandang lebih kuat ketetapan hukum berdasarkan maslahat juz’iyah (sebagian) atas ketetapan hukum berdasarkan kias. Jika dalam kias ada keharusan menyamakan suatu hukum yang tidak tegas dengan hukum tertentu yang tegas, maka maslahat juz’iyah mengharuskan hukum lain dan ini yang diberlakukan, yang kemudian dinamakan istihsan. Akan tetapi dalam Mazhab Maliki, istihsan itu sifatnya lebih umum yang mencakup setiap maslahat, yaitu hukum maslahat yang tidak ada nash, baik dalam tema itu dapat diterapkan kias ataupun tidak, sehingga pengertian istihsan itu mencakup al-maslahah al-mursalah. 6) Al-Zara’i’, yaitu sarana yang membawa pada hal-hal yang diharamkanmaka akan menjadi haram pula, sarana yang membawa pada hal-hal yang dihalalkan maka akan menjadi halal juga, dan sarana yang membawa pada kerusakan maka diharamkan juga. Sarana yang membawa pada kerusakan (mafsadah) dalam Mazhab Maliki dibagi menjadi empat. Pertama, sarana yang secara pasti membawa pada kerusakan, seperti
157
menggali sumur di belakang pintu rumah. Kedua, sarana yang diduga kuat akan mengantarkan pada kerusakan, seperti jual-beli anggur dengan dugaan akan dibuat khamar (minuman keras) oleh pembelinya. Ketiga, sarana yang jarang bisa membawa pada kerusakan, seperti menggali sumur di suatu tempat yang tidak membahayakan orang lain. Keempat, sarana yang banyak mengantarkan pada kerusakan, tetapi tidak dipandang umum, seperti jual-beli dengan tenggang waktu yang dapat membawa pada praktek riba. Beberapa metode istinbat yang telah penulis sebutkan di atas tidak terjadi perbedaan antara fiqh Syafi’iyah dan Malikiah dalam mengistinbat hukum, khususnya yang berhubungan dengan warisan terhadap istri yang ditalak ba’in oleh suami. Namun yang membedakan pendapat keduanya adalah terletak pada pemakaian sadd al-zari’ah (al-zari’ah) sebagai dalil yang dijadikan pijakan. Dalam hubungannya dengan dengan hak waris istri yang ditalak ba’in oleh suami yang sedang sakit parah, maka dalil yang digunakan Imam Malik yaitu sadd al-zari’ah (al-zari’ah). Imam Malik terkenal banyak menggunakan landasan sadd al-zari’ah (al-zari’ah) dalam membentuk mazhabnya. Salah satu contoh dari fatwanya yaitu seorang istri yang ditalak ba’in (talak) ketika suaminya sakit keras tetap mendapat harta warisan dari suami yang menceraikannya, meskipun suami itu baru wafat setelah habis iddahnya. Alasannya, tindakan suami menceraikan istrinya waktu sakit keras patut diduga kemungkinan suami ingin menghindar dari aturan waris dengan harapan istrinya tidak mendapat harta warisan. Dikalangan ulama ushul terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan kehujjahan sadd al-zari’ah (al-zari’ah) sebagai dalil syara. Ulama Malikiyyah dan Hambaliah dapat menerima kehujjahannya sebagai salah satu dalil syara. Alasan
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM mereka antara lain tentang seperti firman Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 104 tentang larangan memaki berhala; Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi Katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih. (QS. Al-Baqarah:104) Larangan tersebut disebabkan orang Yahudi menggunakan kata-kata “raa’ina” itu untuk memaki Nabi Saw, maka orang dilarang mengucapkannya untuk menutup peluang (sadd al-zari’ah (alzari’ah) dari makian mereka terhadap Nabi. Tentang kehujjahan Sadd al-Dzari ‘ah ada beberapa pendapat: a. Imam Malik dan Imam Ahmad Ibnu Hambal dikenal sebagai dua orang Imam yang memakai sadd al-zari’ah (al-zari’ah). Oleh karena itu, kedua Imam ini menganggap bahwa sadd aal-zari’ah (al-zari’ah) dapat menjadi hujjah. Khususnya Imam Malik yang dikenal selalu mempergunakannya di dalam menetapkan hukumhukum syara’. Imam Malik di dalam mempergunakan sadd alzari’ah (al-zari’ah) sama dengan mempergunakan masalih mursalah dan Uruf wal Adah. Demikian dijelaskan oleh Imam Al-Qarafi, salah seorang ulama ulung di bidang ushul dari mazhab Maliki. b. Imam Ibnu Qayyim mengatakan, bahwa penggunaan sadd al-zari’ah (az- al-zari’ah) merupakan satu hal yang penting sebab mencakup 1/4 dari urusan agama. Di dalam sadd al-zari’ah (al-zari’ah) termasuk Amar (perintah) Nahi (larangan). c. Ulama Hanafiyyah, Syafi’iyah, dan Syi’ah menerima sadd al-zari’ah (alzari’ah) sebagai dalil dalam masalahmasalah tertentu dan menolaknya dalam kasus-kasus lain. Imam Asy-Syafi, membolehkan seseorang
yang karena udzur, seperti sakit dan musafir, untuk meninggalkan salat Jum’at dan menggantinya dengan salat Zhuhur. Akan tetapi, menurutnya, ia secara tersembunyi dan diam-diam mengerjakan salat Zhuhur tersebut, agar tidak dituduh sengaja meninggalkan salat Jum’at. Demikian juga dalam masalah puasa. Orang yang tidak berpuasa karena udzur agar tidak makan di hadapan orang-orang yang tidak mengetahui udzurnya, sehingga ia terhindar dari fitnah. Contoh lain adalah Imam Asy-Syafi’i mengatakan bahwa seseorang yang membunuh tidak berhak mendapatkan harta warisan dari yang ia bunuh, karena apabila ia diberi harta warisan, maka anak akan berusaha membunuh ayahnya agar ia segera mendapatkan bagian warisan. d. Imam Al-Qarafi mengatakan: sesungguhnya sadd al-zari’ah (alzari’ah), sebagaimana wajib kita menyumbatnya. Karena sadd alzari’ah (az-al-zari’ah) dimakruhkan, disunahkan, dan dimudahkan. Sadd al-zari’ah (al-zari’ah) adalah wasilah, sebagaimana sadd alzari’ah (al-zari’ah) yang haram diharamkan dan wasilah kepada yang wajib diwajibkan, seperti berjalan menunaikan salat Jum’at dan berjalan menunaikan ibadah haji.” Dari uraian tersebut di atas, jelaslah bahwa al-zari’ah merupakan dasar dalam fiqih Islam yang dipegang oleh seluruh fuqaha, tetapi mereka hanya berbeda dalam pembatasannya. Imam Malik banyak berpegang pada sadd alzari’ah (al-zari’ah) (Ibnu Rusyd, : 586). Sedangkan Imam Syafi’i dan Abu Hanifah tidak seperti Malik walaupun mereka tidak menolak al-al-zari’ah secara keseluruhan dan tidak mengakuinya sebagai dalil yang
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
158
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM berdiri sendiri. Menurut Syafi’i dan Abu Hanifah, al-zari’ah ini masuk ke dalam dasar yang sudah mereka tetapkan, yaitu qiyas menurut Syafi’i dan istihsan menurut Hanafi. Suatu analisis ilmiah yang mendalam menyimpulkan dua dasar: a. Al-zari’ah, itu dijadikan pegangan apabila ia menyebabkan kerusakan yang disebutkan nash. Namun, dijadikan qiyas, apabila membawa kebolehan yang disebutkan nash. Wajib menutup al-zari’ah pada yang membawa kerusakan disebabkan kerusakan itu diketahui nash. Sebaliknya, wajib membuka alzari’ah yang membawa kebolehan disebabkan kemaslahatan itu diketahui nash. Hal ini karena maslahah atau mafsadah yang diketahui dengan nash adalah diyakini, maka al-zari’ah di sini ditujukan untuk tunduk kepada nash. b. Segala urusan yang berhubungan dengan amanat menurut hukum syari’atnya tidak boleh dicegah karena kadang-kadang menimbulkan khianat. Bahaya yang diakibatkan oleh menutup al-zari’ah lebih banyak daripada bahaya yang bisa dihindarkan dengan meninggalkan al-zari’ah itu. Sekiranya ditinggalkan perwalian terhadap anak yatim karena menutup al-zari’ah, akan berakibat tersia-sianya urusan anak yatim. Jika kesaksian ditolak karena menutupi al-zari’ah mengakibatkan terjadinya kedustaan saksi, sehingga banyak hak yang akan tersia-sia. Dengan demikian, maka mukallaf wajib benar-benar mengetahui akan bahaya menggunakan atau bahaya meninggalkan al-zari’ah. Mereka pun harus menarjihkan di antara keduanya, kemudian harus mengambil mana yang rajih (unggul).
159
Dari penjelasan ulama Syafi’iyah dan Malikiah yang telah penulis sebutkan di atas terdapat perbedaan pendapat antara keduanya. Mengacu Pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’ i di atas terlihat perbedaannya, bahwa menurut Imam Malik istri yang ditalak sekaligus oleh suami yang sakit tetap berhak mendapatkan warisan meski telah habis masa iddahnya dan sudah kawin lagi, dengan kata lain wanita tersebut tetap mewarisinya betapapun panjang waktunya. Sedangkan menurut pendapat Imam Syafi’i, istri yang ditalak sekaligus oleh suami yang sakit tidak berhak mendapatkan warisan jika suami meninggal sesudah habis masa iddahnya. C. PENUTUP/ KESIMPULAN Dari beberapa penjelasan yang telah disebutkan sebelumnya, maka penulis setuju dengan pendapat dan metode istinbath hukum Syafi’iyah dengan alasan seperti yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i, dengan sebab ikatan suami istri telah habis dengan adanya talak sebelum kematian suami. Sehingga sebab memperoleh warisan telah hilang. Tentang adanya dugaan adanya niat melepaskan diri dari memberikan warisan kepada istrinya itu tidak dapat dijadikan dasar hukum. Pada pokoknya hukum itu berdasarkan kedaan lahiriahnya, bukan kepada maksud-maksud yang masih tersembunyi. Jadi terhadap istri yang ditalak ba’in oleh suami yang sakit tidak berhak mendapatkan warisan jika suami meninggal sesudah habis masa iddahnya. Begitu juga perobahan iddah dari iddah haid kepada iddah beberapa bulan bagi perempuan yang mengalami sekali haid atau dua kali haid lalu putus haidnya, maka disaat ini ia wajib beriddah tiga bulan. Sebab ia tidak mungkin menjalani iddah dengan sempurna, karena telah putus haidnya. Tetapi yang mungkin ialah ia mulai dengan iddah beberapa bulan
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM dengan sempurna, dan iddah beberapa bulan ini sebagai ganti dari iddah haidnya. ( Sayyid Sabiq:1987:152). Alasan di atas adalah dikarenakan talak yang dijatuhkan oleh orang yang sedang sakit diprasangkai untuk menghalangi bagian pusaka yang seharusnya didapat oleh isteri kalau aqad perkawinannya masih utuh. Bagi barang siapa yang berpendapat saddud dzaaraa’i dapat dipakai ia mengharuskan pemberian pusaka kepada bekas istrinya. Bagi yang tidak menggunakan saddud dzaraa’i, tetapi melihat adanya talak, ia tidak memberikan pusaka kepada bekas istrinya itu. Karena itu golongan ini berpendapat: “jika talak telah sah, segala akibatnya berlaku seluruhnya”. Mereka juga berpendapat: bekas suami juga tidak mewarisi pusaka, jika yang mati itu bekas istrinya. REFERENSI Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yokyakarta: UII Press, 2000 Al-Bakri al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, Juz. II, Semarang: Thaha Putra Al-Imam Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir al-Asbahi, Muatta Malik, Mesir: Tijariyah Kubra, t.th
Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz. 3, Beirut: Darul Kutub Alamiah, 1992. Jalaluddin al-Suyuti as-Syafi’i, Tanwîr alHawâlîk, juz II, Semarang: Toha Putra, tth. Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, “Fiqih Lima Mazhab”, Jakarta: Lentera, 2003 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazdhab: Jakarta: Lentera, 2003 Syamsuddin Muhammad bin Khatib Syarbaini, Al-Mughni, Juz. 4, Mesir: Maktabah Taufiqiyyah, 1422 H Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jld. 8, Bandung: Alma’arif, 1987 Syafi’i, Al-Umm, Jld. 4, Libanon: Beirut, 2002 Syaikh Ibnu Utsaimin, Fatawa Nur ‘Ala Ad-
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011 Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid Wa Nihayah al Muqtasid, Juz 2, Beirut: Dar Al- Jiil, 1409 H/1989. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terj. Imam Ghazali Said, dan Achmad Zaidun, Jakarta: Pustaka Amani, 2002 Idris Djakfar, Taufiq Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1995
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
160
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM ANALISIS FUNGSI TEKNOLOGI ICT DALAM MEDIA MASSA BAGI KEHIDUPAN MANUSIA Oleh: Dr. H. Hamdani. AG, MA Abstract Internet is no longer a luxury item, the dominance of the elite or political means of business communication and upscale, but it belongs to all people - no matter the urban and community jet set. Not unless, about investments, currency exchanges, commodity exchanges to the cost of treatment of children became contens internet. When the unclean berfatwa East Java MUI facebook some time, we all hail as rapid response clerical attitude anti crime. Understandably, because it is used as a means of cheating facebook. In fact, a kind of social networking media facebook, twitter, blog, e - mail, chat rooms, youtube, the benefits are vast - from just silaturrahmi and long-distance communication, to business information, education, politics, mass media to entertainment, both local scope, regional, and even between countries and continents with super cheap cost. Apparently, the presence of information technology and communication technology (ICT) which encourages the emergence of virtual media , this fngsinya much more positive for human life than negative function - limited to courtship or cheating. As with other technologies, when first introduced to the public certainly many who think negative. Remember, when a knife, machete, machete found to mark the transition of technology in the stone age . Many people worry about the murder everywhere because the three bladed, very easy to kill the opponent than the previous stone weapons . A. Pendahuluan 1. Sekilas Sejarah Internet Revolusi terbesar dalam bidang komunikasi dalam 40 tahun terakhir adalah penemuan teknologi internet – salah satu bentuk komunikasi digital. Internet adalah jaringan computer dunia yang mengembangkan ARPANET, suatu sistem komunikasi yang terkait dengan pertahanan dan keamanan Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Melalui jaringan computer, modem dan warnet serta layanan-layanan lain, internet hadir untuk publik. Melalui teknologi digital ini, beragam bentuk dan sistim komunikasi bisa dilakukan melintasi batas negara dan benua. Mulai komunikasi interpersonal (via email, ruang chatting), komunikasi kelompok (kelompok milis, blog, facebook), komunikasi massa (e-paper dan media online), hingga fasilitas jejaring sosial
161
lainnya (twitter, you tube). Internet telah berkembang secara fenomenal, bari dari segi host computer (computer induk) maupun dari segi jumlah penggunanya dalam 15 tahun terakhir. Host Computer adalah sebuah computer induk yang menyimpan informasi yang dapat diakses. Periode 1995 – 1999 jumlah host computer meningkat dari 5,9 juta menjadi 43,3 juta (Network Wizard, 1999). Jumlah pengguna internet juga mengalami peningkatan lebih signifikan lagi, dari 83 juta pengguna Web di AS pada tahun 1999, naik 26% dibandingkan tahun sebelumnya. Data lainnya menyebutkan 79,4 juta orang dewasa atau 38 % dari populasi warga AS berusia 16 tahun keatas adalah pengguna internet pada bulan Maret 1999. (Intelli Quest, 1999). Itu kondisi 15 tahun lalu, bagaimana dengan perkembangan pengguna computer dan pengakses internet tahun 2014 atau 10
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM tahun ke depan pada 2024 mendatang – yang tidak tertutup kemungkinan semua pnduduk dunia tidak bisa lagi melepaskan diri dari sarana komunikasi digital tersebut. Faktor utama penyebab pesatnya pertumbuhan pengguna internet adalah potensi e-commerse (transaksi bisnis via internet). Transaksi bisnis sangat mudah, cepat dan praktis dilakukan melalui internet, selain juga cost-nya lebih murah, dibandingkan sistim konvensional. Kecuali itu, transaksi perbankan juga lebih aman dengan e-banking, suatu sistim transaksi bank sangat praktis – tanpa kehadiran nasabah di kantor bank atau ruang ATM. Belakangan muncul pula e-office, e-conference, e-fax, e-file dan e-government, semuanya membuat kehidupan manusia – khususnya komunikasi menjadi serba mudah. 2. Revolusi Media Massa Internet memungkinkan hampir semua orang di seluruh dunia untuk saling berkomunikasi dengan cepat dan mudah dalam waktu bersamaan. Fitur internet yang paling popular adalah e-mail dan world wide web (www). Dengan dua fitur ini (e-mail dan www) sudah cukup membuat berbagai kemudahan dalam beragam model komunikasi – termasuk komunikasi massa (media massa). Sejak fitur www dikenal luas dalam masyarakat, media massa pun perlahan-lahan berusaha menyesuaikan diri, diantaranya muncul e-paper yaitu surat kabar biasa yang dirilis melalui internet dan media online yaitu media yang hanya menyajikan informasi/ beritanya melalui internet. Proses revolusi media massa dalam dua dasawarsa terakhir (1990 – 2010) berlangsung sangat signifikan, khalayakpun seperti dihadapkan pada satu alternatif untuk suka atau tidak suka menerima media massa baru itu – media online maupun e-paper. Hampir semua surat kabar nasional yang terbit di Jakarta memiliki
e-paper seperti Kompas, Media Indonesia, Bisnis Indonesia, Suara Karya, Republika, Suara Pembaruan, Poskota, dan lainlain. E-paper menyajikan semua isi surat kabar edisi hari ini dalam fitur www, sehingga seseorang yang berada di benua lain dengan jarak beribu-ibu kilometer dari Indonesia bisa membaca Harian Kompas, Bisnis Indonesia, Suara Karya atau Republika edisi hari ini, dengan berita dan tampilan tak berbeda. Sementara, media online adalah sebuah media yang hanya tampil dalam bentuk teks atau foto di fitur www, yang menyajikan perkembangan berita setiap saat sehingga contens media online terus berubah sepanjang hari sesuai perkembangan suatu peristiwa. Kecepatan penyajian berita media online belum tertandingi radio maupun televisi – kecuali sebatas berita running teks televisi, sehingga memungkinkan berita media online dikutip oleh surat kabar harian seperti mereka mengutip kantor berita biasa. Media online pertama di Indonesia adalah Detik.Com yang menggebrak dunia maya pada medio 1997, ketika banyak orang masih meragukan efektifitas dan feasibilitas media model baru ini sebagai lahan bisnis. Pasalnya, banyak orang masih sulit memprediksi sumber margin bagi pengelola media ini karena semua orang bisa mengakses secara gratis, sementara pemasang iklan pun belum tertarik karena sulit menebak jumlah pengunduh situs media ini. Tetapi, ternyata Detik.com bisa bertahan dan bahkan menjadi media online paling popular, menjadi referensi dan paling banyak dikutip koran harian selama beberapa tahun dipenghujung dekade 1990-an. Sejalan dengan itu, pemasang iklan pun mulai berdatangan, mereka tidak ragu lagi mengontrak space-space khusus halaman depan meski dipatok dengan tarif tinggi. Baru belakangan muncul mediamedia online lainnya, baik evolusi dari
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
162
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM bentuk sebelumnya seperti Kompas-Online, Bisnis Indonesia-Online, Media Indonesiaonline, maupun media online baru seperti Viva News.Com, dan lain-lain. Proses evolusi surat kabar biasa ke media online, diyakini sebagai strategi dalam menyahuti persaingan bisnis media yang semakin ketat dalam lingkup nasional maupun global. Internet memang mengubah komunikasi massa dengan sangat fundamental. Media massa tradisional menawarkan model komunikasi “satu untuk banyak” sedangkan, internet merubahnya menjadi: “banyak untuk satu” yaitu e-mail ke satu alamat sentral atau banyaknya pengguna yang berinteraksi dengan satu website, dan “banyak untuk banyak” (e-mail, milis, kelompok jejaring sosial), yang menawarkan potensi komunikasi yang terdesentralisasi dan lebih demokratis dibandingkan media massa konvensional. Internet juga mengubah performance media massa, sehingga menyebabkan perbedaan antara media massa menjadi sangat tipis dengan sebelumnya. Dulu, kita baca suratkabar berbentuk cetakan yang diperoleh di kios atau berlangganan, tetapi dengan teknologi website sekarang kita bisa membaca suratkabar dari personal computer (PC) yang di connec ke internet, tanpa harus ke luar rumah atau meninggalkan ruang kerja. Demikian juga berita televisi dan radio, kita tidak perlu lagi nongkrong didepan TV berlama-lama, tetapi cukup meng-klik website-nya bisa membaca semua berita yang sudah dan akan disajikan pada program berita. Bahkan, kini teknologi computer dengan TV yang disebut Web-TV, yaitu suatu sistim yang memadukan receiver (penerima siaran) dengan keyboard yang dapat mengakses web/internet. Dalam teknologi komunikasi digital dikenal banyak fitur-fitur hasil proses evolusi, seperti dunia maya (cyberspace), virtual reality (VR), komunitas maya (virtual
163
community), chat rooms, MUD dan Bot, interaktivitas, hypertext, dan multimedia. Fitur-fitur tersebut memiliki karakteristik dan peruntukan tersendiri sesuai teknologi yang dirancang, meskipun konsep dasarnya untuk mendukung aktifitas komunikasi dengan beragam modelnya. Namun, dalam pembahasan makalah ini lebih difokuskan hanya pada teknologi informasi (internet), yang mencakup fungsi, tujuan dan sasaran teknologi bagi manusia. B. Fungsi Teknologi Secara garis besar fungsi teknologi – khususnya teknologi informasi dan komunikasi (ICT) dapat dilihat dari empat aspek, yaitu; informasi, edukasi, sosial kontrol dan hiburan. Dilihat dari peruntukannya fungsi teknologi ini, nyaris tidak berbeda dengan fungsi komunikasi atau fungsi jurnalistik secara umum, hal ini wajar karena memang teknologi ICT diarahkan kepada ke empat aspek tersebut. 1. Informasi Fungsi teknologi dalam aspek informasi cukup banyak dirasakan manusia dewasa ini, dalam beragam bentuk dan model komunikasi. Hampir semua bentuk komunikasi via internet berisikan pertukaran informasi antara dua orang atau lebih, sehingga semakin sulit membedakan mana sumber dan mana receiver, siapa komunikator dan siapa komunikan. Dengan teknologi internet orang memperoleh informasi melalui fasilitas telepon, e-mail, chatting rooms, facebook, twitter, blog, youtube, millis atau lewat media maya seperti e-paper, media online, dan lain-lain. Dengan ICT memungkinkan sebuah informasi kecil di pelosok pedalaman di Aceh dalam hitungan detik sudah bisa diketahui orang di seluruh dunia[3]. Penyebaran informasi global tidak lagi mengenal batas negara dan benua, jarak, waktu dan ruang. Dulu, kita membaca surat kabar yang hanya bisa
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM menyajikan peristiwa dua-tiga hari bahkan seminggu sebelumnya, tetapi kini dengan teknologi multimedia (ICT) muncul e-paper dan media online yang menyajikan berita atau informasi setiap saat – tidak kecuali siang atau malam. Orang pun tak harus keluar rumah atau meninggalkan ruang kerja hanya untuk baca koran, tetapi cukup men-download situs media-media tertentu di personal computer (PC) dalam sesaat akan muncul berita-berita koran yang diinginkan secara utuh, di seluruh dunia. Kecuali itu, teknologi ICT juga membuat komunikasi antar individu (interpersonal) yang berbeda tempat, ruang dan waktu semakin mudah, murah dan praktis melalui fasilitas jejaring sosial. Sehingga tidak heran, kalau seorang remaja Aceh memiliki teman chatting (ngobrol) di Jakarta, Makassar atau bahkan di luar negeri sekalipun – tinggal penguasaan bahasa saja untuk menyambung komunikasi mereka. Atau seorang teknisi Kilang LNG Arun bisa melacak sparepart (komponen) mesin kilangnya yang rusak langsung ke pabrik produsennya di Jerman, Perancis, Jepang atau Korea, hanya dengan mengunduh situs-situs iklan produk tertentu di Internet. Atau bidder (peserta tender) di Medan dapat mengikuti sebuah pelelangan proyek (tender) di Seoul atau di Sidney melalui online, tanpa ke hadirannya di ruang pelelangan. Demikian juga, seorang nasabah bank dapat melakukan transaksi (transfer, pembayaran credit card, bayar telepon, angsuran properti, dll) tanpa harus hadir di kantor bank melainkan cukup dengan fasilitas e-banking di PC atau handphone. 2. Edukasi Fungsi kedua teknologi ICT adalah dalam bidang pendidikan (edukasi). Begitu besar kontribusi internet bagi dunia pendidikan, sehingga keduanya (internet dan pendidikan) nyaris tidak bisa
lagi dipisahkan. Sulit membayangkan, bagaimana seorang mahasiswa dapat menyelesaikan pekerjaan rumah (PR)-nya tentang suatu topik yang belum pernah didengar sebelumnya. Tetapi, dengan ICT semua bisa terjadi – tinggal mengetik kata kunci di mesin pencari (google atau yahoo) dalam hitungan detik sudah muncul di layar komputer apa yang diperlukan. Berbagai warisan ilmu pengetahuan dan sejarah ratusan abad silam bisa dinikmati masyarakat saat ini. Meskipun masih ada kalangan yang menolak sumber internet sebagai referensi karena kurang jelas sumber penulisnya, tetapi saat ini sangat banyak karya ilmiah mahasiswa Strata-1, Strata-2 dan Strata-3, bahkan para guru besar dan ilmuwan menjadikan internet sebagai referensi dan data rujukan paling aktual dan valid untuk karyanya. Alasannya sederhana, karena di internet tersedia referensi teks dan data berbagai cabang ilmu – baik ilmu eksak (scientific science) maupun ilmu non eksak (social science). Mulai dari cabang ilmu teknik (sipil, arsitektur, chemical, mekanikal, electric dan elektronika), ilmu politik ekonomi, hukum, kedokteran, sejarah, komunikasi, pendidikan dan berbagai ilmu terapan lainnya ada referensinya di internet. Kenapa ini bisa terjadi, karena internet memang sebuah “kebun global” yang semua orang dari beragam latar belakang ilmu, agama, etnis, budaya dan karakter bebas mengunjunginya, mengaksesnya, menempatkan gagasan, ide, buah pikiran, karya dan iklan produkproduknya di sini. Atau seorang guru besar di Jepang, membimbing tesis atau disertasi mahasiswanya yang tinggal di Indonesia melalui fasilitas facebook atau blog, tanpa harus bertemu face to face. Kecuali sebagai referensi rujukan, melalui tehnologi ICT sekarang orang yang tinggal di negara berbeda bisa bertukar pendapat, diskusi, atau belajar bersama
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
164
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM dengan fasilitas blog. Sehingga seorang mahasiswa Monas University di Australia, mahasiswa UI di Jakarta, mahasiswa UKM di Malaysia, mahasiswa McGill University di Canada dan mahasiswa Oxford University di Inggris bisa membentuk sebuah kelompok belajar atau diskusi, tanpa harus kumpul di sebuah ruangan. Melalui kelompok diskusi antar negara ini, akan terjadi interaksi dan proses transfer ilmu pengatahuan yang sangat signifikan sesama peserta diskusi, tanpa harus membayar transportasi yang mahal. 3. Sosial Kontrol Fungsi teknologi ketiga dalam ICT adalah sosial kontrol. Fungsi sosial kontrol pada teknologi ICT tidak berbeda dengan fungsi sosial kontrol oleh media massa. Bahkan, fungsi sosial kontrol melalui ICT (internet) lebih komplek sebab semua pengguna jejaring sosial bisa melakukannya sendiri tinggal menulis di situsnya apa yang mau disampaikan ke publik, tanpa harus menunggu jasa wartawan. Masih ingat kasus Prita Muliasari ? Ketika ibu muda ini memprotes tarif tinggi RS Omni Internasional, di facebook-nya medio 2009 lalu, sehingga ia ditahan polisi atas pengaduan RS asing tersebut. Contens facebook yang kemudian menimbulkan reaksi jutaan publik pengguna facebook di Tanah Air; prihatin dan mengumpulkan coin, keprihatinan pemerintah dan membebaskannya dari tuntutan pidana dan perdata. Atau ketika artis Luna Maya memprotes arogansi wartawan infotaiment di facebook-nya, hingga berbuntut boikot terhadap artis muda itu oleh sejumlah wartawan. Dua kasus diatas adalah contoh bentuk sosial kontrol publik terhadap institusi pemerintah atau swasta melalui fasilitas teknologi internet. Sebab tanpa ICT melalui fasitas facebook, twitter, blog, atau you tube, mustahil masyarakat biasa (publik) bisa melakukan sosial
165
kontrol sebagaimana media massa. Selain sosial kontrol oleh publik, melalui ICT juga semakin memudahkan media massa – khususnya media e-paper dan media online melalukan misi yang sama. Pasalnya, kedua produk media maya itu tidak membutuhkan banyak waktu dan biaya untuk mempublikasi sebuah isu. Sasaran kontrol pun bebas ditujukan ke subjek lokal, nasional maupun global karena jangkauan internet bisa mencapai seluruh pelosok dunia. 4. Hiburan Fungsi hiburan dari teknologi ICT boleh dibilang fungsi yang cukup menonjol – mulai dari musik, film, game, dan (maaf) pornografi serta beragam situs bernuansa hiburan lainnya dengan mudah diakses di situs-situs tertentu. Banyak warnet di kotakota besar belakangan ini buka sampai pagi, khusus bagi penggemar game online dengan tarif murah, sehingga mereka bisa begadang sampai pagi. Orangpun kini tidak perlu lagi ke swalayan untuk membeli kaset, CD, DVD atau nonton ke bioskop. Tetapi cukup men-download situs tertentu di internet, semua sudah ada tinggal pilih musik atau film apa yang disukai. Bahkan, dengan ICT masyarakat zaman ini masih bisa menyaksikan sekalian melihat performance para bintang music dan film idola zaman itu. Dengan demikian ICT atau internet, bisa mengantarkan kita zaman yang lalu, tanpa harus berhalusinasi seperti dalam dunia mistik. C. Tujuan Teknologi Tujuan teknologi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kehidupan manusia, yang meliputi empat aspek, yakni kualitas manusia, relasi, membentuk kepribadian serta membentuk sistim. Namun, dalam makalah ini hanya dibahas teknologi yang bertujuan untuk mewujudkan kualitas manusia. Baik kualitas kesejahteraan (kesehatan, pendapatan, sandang, pangan dan papan), kualitas pendidikan, yang meliputi (wawasan,
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM intelektual dan pola pikir) maupun kualitas lingkungan (keamanan, kekeluargaan, dan lingkungan hidup). a. Kualitas kesejahteraan merupakan salah satu tujuan inti dari kemajuan teknologi dan pembangunan, sebab inti sejahtera adalah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, seperti kesehatan, pendapatan, pangan, pakaian dan perumahan. Standar kesejahteraan dari perspektif kesehatan dapat dilihat dari kuantitas penderita penyakit, pencegahan penyakit m e n u l a r, i n t e n s i t a s a n g k a kematian ibu dan bayi. Tingginya angka penderita penyakit menular pada suatu komunitas dianggap belum sejahtera. Demikian juga, pendapatan per kapita menjadi barometer tingkat kesejahteraan, baik dilihat dari jumlah pendapatan, sumber pendapatan maupun jenis pekerjaannya. Apakah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum keluarganya dan apakah pekerjaannya sebuah profesi dari sebuah skill ? Begitu juga pangan, pakaian dan perumahan, ketiga kebutuhan dasar ini sejak lama menjadi standar kesejahteraan di Indonesia. b. Kualitas Pendidikan, merupakan tujuan terpenting kedua dari untuk meraih kesejahteraan dan kemajuan lainnya. Kualitas pendidikan dapat Semakin sempit wawasan, rendah intelektualitas serta negatifnya pola pikir suatu komunitas maka semakin buruk pula kualitas pendidikan pada komunitas tersebut. Intelektual adalah generasi terpelajar dan inovatif pelopor peradaban baru yang lebih maju dan modern. Antara teknologi dan intelektual seperti mata uang dengan dua sisi,
sulit dipisahkan, karena; “teknologi melahirkan intelektual dan intelektual mendorong teknologi”. Dengan kata lain; “teknologi tidak berarti tanpa intelektual, dan intelektual tidak akan berarti tanpa adanya inovasi dan teknologi”. c. Kualitas lingkungan, merupakan kebutuhan lainnya yang tak kalah urgen dibanding dengan kesejahteraan dan pendidikan. Kualitas lingkungan bisa diukur kondisi keamanan, kekeluargaan dan lingkungan hidup. Keamanan atau kenyamanan menjadi sangat mahal ketika orang tidak berani keluar rumah, takut ke bank, tidak nyaman bepergian. Demikian halnya dengan kekeluargaan atau silaturrahmi akan merenggang kalau lingkungan kurang nyaman. Dan terakhir adalah kualitas lingkungan hidup, yakni lingkungan pemukiman, kebersihan, tata ruang dan kerukunan hidup. Semua persoalan di atas yang tersimpul dalam ketiga aspek kualitas tersebut dapat diatasi dengan kemajuan teknologi yang tepat guna dan tepat sasaran. Dan dengan memperhatikan tiga aspek tersebut kualitas manusia bisa ditingkatkan menjadi lebih baik dan beradab sebagai khalifah bumi. D. Sasaran Teknologi Sasaran teknologi, secara umum dapat dilihat dari dua aspek, yaitu peradaban (civilization) dan budaya (culture). Kedua aspek ini dinilai sama pentingnya sebagai sasaran teknologi bagi umat manusia. Peradaban dimaksudkan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan kehidupan manusia, keturunan dan spesiesnya di bumi, sedangkan budaya dimaksudkan untuk mendorong kesejahteraan dan kualitas kehidupan.
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
166
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Peradaban dan budaya adalah dua hal yang sulit dipisahkan satu sama lain, sehingga dapat dirinci sebagai berikut: Dari aspek budaya, sasaran teknologi dapat dilihat dari dua hal yakni; 1. Sistim Mata Pencaharian. Mata pencaharian masyarakat menjadi suatu barometer untuk mengukur tingkat pendapatan dan kesejahteraan. Sebagai contoh mata pencaharian petani, nelayan, peternak sampai saat ini masih tergolong mata pencaharian dasar yang secara umum belum mampu memberikan suatu tingkat pendapatan yang handal bagi pelakunya. Banyak faktor yang mengganjal kehidupan para petani, kecuali sistim perdagangan komoditi dan gabah, ketersediaan sarana produksi pertanian (saprotan) juga sering bermasalah, sehingga kemiskinan tetap sangat bersahabat dengan petani. Karena itu, untuk memperbaiki pendapatannya petani harus eksodus ke jenis pekerjaan lainnya di luar pertanian – dagang atau industri kecil, misalnya. Caranya, membekali diri dengan ketrampilan bisnis dan industri, tanpa itu mustahil bisa keluar dari lilitan kemiskinan. Dengan memiliki ketrampilan atau skill khusus, masyarakat miskin bisa meningkatkan kualitas diri yang memperbaiki kehidupan diri dan keluarganya. Kedua hal ini – pekerjaan dan kualitas diri, terkait dengan upaya internal suatu komunitas untuk bangkit menata dirinya. 2. Sistim ekonomi; Yang dijalankan pemerintah adalah efek eksternal, yang memberi pengaruh signifikan terhadap seluruh kegiatan ekonomi dalam negeri. Sistim ekonomi kerakyatan lebih memberi ruang bagi setiap kegiatan ekonomi rakyat untuk tumbuh dan berkembang menjadi tuan di negerinya sendiri, pemerintah hanya mendorong dengan bantuan modal usaha, pembinaan manajemen dan membantu peluang ekspor. Kelemahan sistim ini, investasi
167
sulit dipacu, pertumbuhan ekonomi lambat dan penerimaan negara seret. Sementara sistim ekonomi liberal atau kapitalis, lebih banyak membuka kesempatan kepada pemilik modal besar (domestik atau asing) untuk melakukan kegiatan ekonomi, meskipun masyarakat miskin secara tidak langsung terpinggirkan. Namun, sistim ini dapat mendorong laju investasi dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Dari Aspek Peradaban dapat dijelaskan sebagai berikut: Dari aspek perubahan peradaban manusia, teknologi memiliki peranan sangat penting bahkan menjadi instrumen dasar yang menandai pergantian dari satu peradaban ke peradaban baru. Bahkan, tak jarang teknologi yang mengiringi perubahan peradaban selalu mendatangkan ketegangan di tengah masyarakat, terutama terkait fungsi negatif dan positif teknologi. Beberapa alih teknologi yang dapat di paparkan dalam tulisan ini, diantaranya adalah: a. Peralihan zaman batu ke zaman besi ditandai dengan penemuan senjata tajam seperti pisau, parang, golok, kerisi, kampak, dan lain-lain. Meski diakui senjatasenjata tajam dari tempahan besi ini, memberi banyak manfaat positif bagi kehidupan manusia baik dalam pekerjaan pertanian, rumah tangga dan bahkan senjata menghadapi musuh, tetapi tidak kurang yang memandangnya negatif sebab bisa digunakan (lebih efektif) untuk membunuh orang. Ketegangan ini mungkin sirna, ketika orang meyakini aspek negatif atau positif suatu teknologi tergantung user (pengguna), bukan teknologi itu sendiri. b. Peralihan sistim transportasi nonmesin (jalan kaki, kuda, pedati, kereta angin, sampan, perahu layar, dll) ke bermotor (sepeda motor,
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM beca motor, mobil, truck, kapal motor, bus, kereta api diesel, bahkan pesawat, dll). Perubahan teknologi dunia transportasi ini tidak kurang melahirkan ketegangan di masyarakat terutama dilihat dari aspek akibat jika terjadi kecelakaan. Jika kecelakaan sepeda, kuda pedati atau sampan paling hanya lecet atau terkilir, tetapi kecelakaan motor, mobil, truk, kereta api paling kurang setengah mati, bahkan 99% tewas jika jatuh pesawat udara. Ketegangan teknologi selalu terkait keselamatan jiwa manusia selaku subjek teknologi. c. Hal yang sama terjadi dalam dunia pertanian terutama teknologi pengolahan tanah (traktor) dan mesin perontok (power threser), pengairan, bibit unggul hibrida, pupuk, pestisida, dan lain-lain yang awalnya mendapat respon negatif petani sebagai sesuatu yang melawan kodrat. Ketika semua teknologi tersebut memberi manfaat positif barulah mereka mengadopsinya sebagai difusi baru. d. Demikian juga ketika teknologi ICT pertama kali dipekenalkan sebagai sarana komunikasi digital, yang bukan hanya memudahkan mobilisasi informasi, data, foto, dokumen tetapi juga film, permainan (game), dan lain-lain yang mendatangkan unsur negatif seperti pornografi dan kekerasan. Ketika internet digembar-gembor sebagai biang penyebaran pornografi, semua berteriak bahwa teknologi penghancur moralitas generasi, tetapi ketika semua orang merasakan manfaat teknologi ini semua jadi mahfum. Bahkan, kini banyak orang
menamakan peradaban manusia memasuki “era internet” atau “zaman komputer”. Kedua faktor sasaran teknologi dari aspek budaya dan peradaban, ini memberi pengaruh amat signifikan bagi kehidupan manusia, terutama dalam mendorong kesejahteraan dan kualitas kehidupan. Dengan kemajuan dan penerapan ICT secara baik manusia mampu memperbaiki pendapatan dan kualitas diri, sistim ekonomi yang memihak rakyat, perubahan peradaban dan teknologi yang ekstrim serta respon positif atas risiko sebuah teknologi baru. E. Kesimpulan Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa internet atau ICT membawa dampak yang amat positif bagi kehidupan manusia, baik di lihat dari perspektif fungsi, tujuan dan sasaran teknologi diciptakan. Memang, terdapat sejumlah faktor negatif sebagai akibat hadirnya teknologi ICT, seperti pornografi, dominasi informasi oleh Barat, penjajahan budaya dan ruang hidup serta ancaman terhadap ideologi dan nilai-nilai sosial. Te t a p i s e m u a i t u b u k a n l a h tujuan dan sasaran utama dari teknologi, melainkan efek samping yang kerap dijumpai dalam setiap perubahan dan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, sehingga tidak perlu dirisaukan apalagi menyalahkan teknologi pembawa bencana. Karena itu, hendaknya positif thinking saja terhadap kehadiran teknologi ICT yang dapat membawa manusia pada suatu kemajuan peradaban dan budaya baru yang lebih menjanjikan kesejahteraan dan kehidupan. Daftar Pustaka Faules, Don F & Pace, R.Wayne. Komunikasi Organisasi; Strategi
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
168
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM Meningkatkan Kinerja Perusahaan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005 J. Severin, Werner – Tankard Jr, James W. Teori Komunikasi; Sejarah, metode, dan Terpan dalam Media Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005 L.Rivers, William, et.al. Media Massa & Masyarakat Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003. L.Rivers, Willian & Mathews, Cleve. Etika Media Massa dan Kecendrungan untuk Melanggarnya. Jakarta: Gramedia Putaka Utama, 1994. Mc Quail, Dennis. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Erlangga, 1987.
169
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - DESEMBER
170
JURNAL PENCERAHAN INTELEKTUAL MUSLIM PERSYARATAN NASKAH JURNAL SARWAH 1. Tulisan bersifat kajian ilmiah murni atas masalah-masalah yang berkembang dalam masyarakat, gagasan orisinil, ringkasan hasil penelitian dan bentuk tulisan lainnya yang dipandang dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan. 2. Ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing yang memenuhi kaidah kedua bahasa tersebut dengan baik dan benar 3. Diketik 1,5(satu koma lima) spasi pada kertas A4 dengan panjang naskah 15-30 halaman untuk topik utama, kajian keilmuan, wawasan dan pemikiran. 4. Diberikan abstrak (bahasa Inggris ) lebih kurang 250 kata 5. Teknik kutipan menggunakan innote (catatan perut) 6. Setiap naskah harus disertai dengan daftar kepustakaan yang ditulis secara Alphabetis 7. Redaksi berhak mengedit semua tulisan yang masuk tanpa mengubah isinya 8. Menyertakan pasphoto,identitas diri, riwayat pekerjaan, karya ilmiah yang dimiliki atau hal lain yang spesifik 9. Naskah belum pernah dipublikasikan 10. Tulisan yang dimuat menjadi milik redaksi 11. Naskah dikirim langsung ke redaksi : Alamat redaksi Jln. MedanB.Aceh Desa Alue Awe Buket Rata Kota Lhokseumawe NAD atau Email :
[email protected]
171
SARWAH, VOLUME XIII (II), JULI - dESEMBER