Ragam Isi Salam Tabligh: Salah satu ciri orang berpikiran positif adalah mampu melihat peristiwa apa pun yang dialaminya dari sisi positif. Sangat disadari bahwa setiap peristiwa yang kita alami tidak selalu terjadi sesuai dengan apa yang dipikirkan atau diinginkan. Untuk itu, kita perlu selalu mengedepankan pikiran positif dari setiap peristiwa. Bahkan, tatkala menghadapi suatu peristiwa yang tidak mengenakkan pun kita harus selalu berusaha mencari hikmah di baliknya .......... 4
Tafsir al-Qur’an: Surat al-Baqarah ayat 41-43 Setelah diminta untuk menghindari tiga hal yang buruk-buruk, Bani Isra’il diminta untuk melakukan tiga kebaikan, yaitu: melaksanakan shalat, membayar zakat, dan melaksanakan shalat berjama’ah bersama para sahabat dan ummat Nabi Muhammad yang beriman. Dengan melaksanakan tiga hal di atas, jadilah mereka itu orang Islam bahkan mereka bisa menjadi orangorang yang bertaqwa. Dan pantaslah mereka disebut sebagai keturunan Nabiyullah Isra’il atau Nabi Ya’qub ‘alaihis salaam ....... 8
Rabbana dzalamna anfusana, wa in lam taghfir lana wa tarkhamna lanakunanna minal-khasirin. “Ya Tuhan kami, kami telah mendhalimi diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” "Our Lord! we have been unjust to ourselves, and if Thou forgive us not, and have (not) mercy on us, we shall certainly be of the losers." (7:23)
Tuntunan Akidah: Jenis-jenis Syirik dan Bahayanya .............................................................. 18 Tuntunan Akhlak: Adab Berkunjung ......................................... 24 Tuntunan Ibadah: Menghindari Kesalahan Ibadah Haji .................. 29 Tuntunan Muammalah: Khiyar dalam Jual Beli .................................... 41 Syarah Hadits: Surga untuk Haji Mabrur ................................ 49 disain sampul:
[email protected]
BERKALA TUNTUNAN ISLAM
ISLAM
THE WAY OF LIFE
Penasehat Ahli: Drs. H. Muhammad Muqoddas, Lc., M.A., Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.A., Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin, M.A. | Pemimpin Umum: Agus Sukaca | Pemimpin Perusahaan: Ismail TS Siregar. Pemimpin Redaksi: Farid B. Siswantoro. Sidang Redaksi: F. Bambang Siswantoro, Farid Setiawan, Arief B. Ch. Kontributor Materi: dr. H. Agus Sukaca, M.Kes., Drs. H. M. Yusron Asrofie, M.A., Dr. H. Syamsul Hidayat, M.Ag., Dr. Mahli Z. Tago, M.Si., Drs. H. Zaini Munir Fadloli, M.Ag., Ruslan Fariadi, S.Ag., M.SI., Dr. H. Agung Danarta, M.Ag. Manajer Pemasaran dan Periklanan: Agus Budiantoro | Manajer Keuangan: Taufiqurrahman | Manajer Operasional dan Administrasi: Fitri T. Nugroho; Diterbitkan oleh: Majelis Tabligh PP Muhammadiyah. Alamat: Jl. KHA. Dahlan 103 Yogyakarta-55262 telp. +62-274-375025 fax. +62-274-381031 HP. 081804085282, 085328877997, 085712923505. email:
[email protected] Akun bank: Bank Syariah Mandiri nomor: 0300126664 a.n. Berkala Tuntunan Islam MT PPM.
minat berlangganan Tuntunan ISLAM? hubungi agen terdekat: | Ambon 0813.430.86.343 | Balikpapan 0813.90.999.159 | Banjarnegara 0813.9152.7890 | | Batang 0815.654.7164 | Berau 0811.596641 | Blora 0813.2877.1832 | | Bontang 0812.581.9262 | Boyolali 0857.2557.9118 | Demak 0857.2617.1950 | | Grobogan 0813.2562.0937 | Gunungkidul 0878.3916.2755 | | Jakarta Barat 081.707.39.789 | Jakarta Pusat 0815.8415.4260 | | Jepara 0813.2524.1985 | Kebumen 0878.3779.7773 | | Karanganyar 0816.427.9538 | Kendal 08122.564.103 | Klaten 0817.942.742.3 | | Kudus 0291-333.1220 & 0815.7881.6153 | Kulonprogo 0877.3844.8284 | | Labuhan Batu Utara 081370955377 | Langkat 081370439013 | | Lampung 0812.3051.3118 | Luwuk Banggai 0817.693.5003 | | Magelang (kab.) 0813.282.565.22 | Magelang (kota) 0293-363.792 | | Malang 0812.5257.5100 | Manado 0813.5640.3232 | Medan 08126302411 | Muko-Muko 0852.6849.0850 | Padang Sidempuan 081264117005 | | Pekalongan (kab.) 0858.42.0404.77 | Pekalongan (kota) 0856.4220.5499 | | Pematang Siantar 081361173817 | Purwokerto 08564.789.5017 | | Purworejo 08522.692.1756 | Purbalingga 0821.34.600.222 | Samarinda 0812.538.0004 | | Serdang Bedagai 085261658206 | Singaparna-Tasikmalaya 085322.400.124 | | Selawan - Asahan 081375202566 | Sigambal - Rantau Perapat 081397936301 | | Sragen 0852.9371.1479 | Surakarta 0815.4854.6529 | Tapanuli Selatan 081361667759 | Tapanulis Tengah 08126382034 | Temanggung 0877.1919.7899 | | Tegal (kab.) 081228493543 | Tegal (kota) 085327910021 | |Wonosobo 0813.2871.8161 | Yogyakarta 0857.29.844.448 | hotline pemasaran & iklan: 0821.3461.7479 0274-786.3449 hotline bagian admin.: email:
[email protected] 0818.040.85.282 (XL) 08532.887799.7 (As) Akun bank: Bank Syariah Mandiri, nomor rekening: 08571.292.3.505 (IM3) 0300126664 a.n. Berkala Tuntunan Islam MT PPM
Salam Tabligh
MELIHAT SISI POSITIF DARI SETIAP PERISTIWA Agus Sukaca
Pembaca yang budiman! alah satu ciri orang berpikiran positif adalah mampu melihat peristiwa apa pun yang dialaminya dari sisi positif. Sangat disadari bahwa setiap peristiwa yang kita alami tidak selalu terjadi sesuai dengan apa yang dipikirkan atau diinginkan. Untuk itu, kita perlu selalu mengedepankan pikiran positif dari setiap peristiwa. Bahkan, tatkala menghadapi suatu peristiwa yang tidak mengenakkan pun kita harus selalu berusaha mencari hikmah di baliknya. Dalam bukunya yang berjudul Asyiknya Berpikiran Positif, Musa Rasyid al-Bahdal mengatakan bahwa “Bukan berbagai peristiwa yang mempengaruhi kita; bukan berbagai peristiwa yang menekan kita; bukan berbagai peristiwa yang melemahkan hubungan kita dengan orang lain dalam hidup ini; melainkan makna-makna yang kita lekatkan pada berbagai peristiwa itulah yang mempengaruhi kita”. Secara sederhana, pernyataan tersebut mengandung arti bahwa
S
4
Berkala Tuntunan ISLAM
pemaknaan terhadap setiap peristiwa merupakan variabel penting yang dapat mempengaruhi persepsi dan pikiran kita. Sebagai contoh misalnya suatu peristiwa yang saya alami di tahun 1986-an. Saat itu saya diajak makan bandeng segar di daerah Pangkep Sulawesi Selatan. Bandengnya betul-betul segar, karena begitu ditangkap dari empang langsung dibakar. Itulah pengalaman pertama saya makan bandeng segar. Sebelumnya saya hanya makan bandeng tidak segar atau duri lunak. Bandeng segar ternyata lebih enak, hanya saja karena durinya lembut dan banyak, saya merasa kesulitan untuk menikmatinya. Terus terang, saya merasa sangat kurang nyaman dengan duri-duri itu. Ketika teman-teman sudah menghabiskan dua ekor, dan bahkan ada yang lebih, saya belum selesai separuhnya. Saat itu pula, teman saya bertanya: “Kenapa makannya lambat sekali, Pak?” Saya jawab: “Durinya banyak sekali, jadi saya susah makannya!” Mendengar jawaban tersebut, teman saya kemudian memberi saran: “Jangan fokus pada durinya, Pak! Tetapi, lihatlah dagingnya yang enak!”. Saya ikuti saran tersebut. Ternyata benar, begitu fokus pada dagingnya, saya bisa menikmatinya. Dengan fokus kepada
daging yang segar, saya tidak terganggu lagi dengan durinya. Pada akhirnya, saya memiliki pemikiran bahwa duri bandeng merupakan sebuah “biaya” untuk makan daging ikan yang segar dan enak. Kisah di atas memberikan inspirasi bahwa setiap peristiwa memiliki sisi positif dan negatif. Bandeng segar mempunyai sisi positif, yakni rasa dagingnya yang enak. Sedangkan, sisi negatif dari ikan bandeng adalah durinya yang lembut dan banyak. Sampai saat ini masih banyak di antara kita yang tidak suka makan ikan bandeng, sebab durinya banyak dan lembut, sehingga sulit menikmatinya. Pikiran demikian itu pada umumnya didominasi oleh cara pandang negatif kita terhadap ikan bandeng. Padahal, jika kita lihat ikan bandeng dengan pemikiran positif dengan mengalihkan fokus perhatian dari duri ke daging yang enak, maka kita pun dapat menikmatinya.
D
alam menjalani hidup, setiap manusia akan dihadapkan pada dua situasi, yaitu baik dan buruk. Pandangan manusia terhadap situasi tersebut sangat tergantung pada interpretasi yang dikedepankan. Sebagian manusia ada yang memandang suatu peristiwa sebagai situasi yang baik, dan ada pula yang sebaliknya. Sebagai contoh misalnya, ketika seseorang sedang sakit. Mereka yang berpandangan negatif selalu menjadikan situasi sakit sebagai “petaka”, sebab ia tidak bisa bekerja, mendapatkan tekanan finansial, merasa tidak nyaman, memerlukan biaya ekstra, dan tidak bisa ke mana-mana. Sedang-
kan, mereka yang berpikiran positif selalu menganggap situasi sakit dapat memberikan kesempatan tubuh untuk beristirahat, memikirkan ide-ide yang terhambat karena padatnya jadual, serta kesempatan memperoleh perhatian ekstra, baik dari suami/ istri, anak-anak maupun juga keluarga. Oleh sebab itu, pemaknaan terhadap setiap peristiwa sangat tergantung pada kemampuan kita dalam melakukan interpretasi dengan mengedepankan cara pandang masing-masing. Ibaratnya, terdapat sebuah gelas berisi separuh air, dan menyisakan separuh bagian lainnya atau kosong separuh. Dalam memandangnya, Anda boleh mengatakan bahwa gelas tersebut telah berisi separuh, dan boleh pula mengatakan kosong separuh. Semua pendapat yang Anda katakan adalah benar! Perlu dicatat, pendapat Anda dalam memandang gelas tersebut sejatinya mewakili cara berpikir Anda. Jika Anda memandang gelas tersebut berisi separuh, maka Anda telah mewakili cara berpikir positif, dan begitu pula sebaliknya. Selain itu, cara pandang kita juga berdampak siginifikan dalam melakukan penilaian terhadap orang lain. Seperti diketahui bahwa setiap manusia memiliki sisi positif dan negatif. Di antara sisi positif tersebut menyangkut soal kelebihan dan kebaikannya, dan sisi negatif manusia terletak pada kekurangan, keburukan atau aibnya. Orang baik adalah mereka yang lebih banyak sisi positifnya, dan begitu pula sebaliknya. Sebaik apa pun manusia, pasti memiliki sisi negatif, EDISI 14/2013
5
walau hanya sedikit. Manusia tanpa sisi negatif hanyalah Rasulullah SAW, karena beliau ma’sum, yakni terjaga dari kesalahan. Perlu dicatat, orang yang berpikiran positif selalu memperhatikan saudarasaudaranya pada sisi positif. Sisi negatif yang diketahuinya disimpannya rapatrapat agar tidak ada orang lain yang tahu. Pembocoran sisi negatif menurunkan kredibilitas seseorang, sehingga hal itu dapat menyebabkan kepercayaan orang lain menjadi runtuh. Allah SWT mengibaratkan orang yang suka membongkar sisi negatif sahabatnya sebagai orang yang memakan daging mayat sahabatnya. Hal ini dalam firman Allah sebagai berikut: “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan prasangka, karena sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa. Janganlah kamu sekalian mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah kamu sekalian berghibah [menggunjing] satu sama lain. Adakah seseorang di antara kamu sekalian yang suka makan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha penerima taubat lagi maha penyayang” (Q.S. alHujurat: 12).
G
hibah atau menggunjing adalah menyebutkan sesuatu yang terdapat pada saudaranya ketika tidak hadir dengan sesuatu yang benar tetapi tidak disukainya. Sebagai contoh misalnya menggambarkan saudaranya dengan apa 6
Berkala Tuntunan ISLAM
yang dianggap sebagai kekurangan menurut umum untuk meremehkan dan menjelekkan. Yang dimaksud dengan istilah “saudaranya” di sini adalah sesama muslim. Perbuatan yang termasuk sebagai ghibah adalah menarik perhatian seseorang terhadap sesuatu, di mana orang yang dibicarakan tidak suka untuk dikenali seperti itu. Perbuatan ghibah bisa dilakukan melalui pembicaraan lisan, tulisan, isyarat, atau dengan bahasa tubuh. Media cetak dan elektronik menyebabkan efek ghibah menjadi sangat luas. Sayangnya, banyak acara-acara yang bermuatan ghibah menjadi program yang sangat digemari. Hal ini dapat terlihat dari rating- program tersebut yang tinggi. Orang-orang terkenal dan menjadi public figure, misalnya artis, biasanya menjadi obyek ghibah yang beritanya dikejar-kejar oleh media, baik cetak maupun elektronik. Padahal, Allah telah melarang kita mencari-cari kesalahan orang lain, dan ber-ghibah. Bagaimana perasaan kita jika ada orang lain yang menceritakan kekurangan dan keburukan kita? Sebagai orang normal, kita bisa jengkel, marah, stres, merasa tidak nyaman, dan turun semangat. Apalagi jika kekurangan itu menjadi berita publik, sehingga semua orang tahu kekurangan dan kelemahan kita. Dalam situasi seperti ini, kredibilitas kita jatuh, menjadi malu dan rendah diri apabila bertemu orang lain. Keadaan demikian juga akan menjadikan dunia seolah sangat sempit, dan kita pun seperti menjadi mati.
Kondisi seperti itulah yang akan dirasakan orang lain apabila kita ghibah kepadanya. Perbuatan ghibah dapat mematikan kredibilitas orang yang kita gunjingkan. Dalam bahasa al-Qur’an, orang yang suka ghibah ibarat makhluk yang suka memakan bangkai! Ya, seperti kanibal atau manusia pemakan manusia. Dampak lain dari perbuatan ghibah adalah dorongan orang lain untuk melakukan tindakan serupa kepada kita. Artinya, kita akan menjadi sasaran empuk dari perbuatan ghibah orang lain. Hal ini jelas merupakan konsekuensi logis dari setiap perbuatan yang kita lakukan. Kita akan memanen sesuatu sesuai dengan apa yang kita tanam. Rasulullah SAW bersabda: “barangsiapa menutupi aib seorang muslim, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat” (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah). “Dan barangsiapa mengumbar aib saudaranya
[muslim], maka Allah akan mengumbar aibnya hingga terbukalah kejelekannya di dalam rumahnya” (HR. Ibnu Majah dari Ibnu Abbas). Oleh sebab itu, jika ada media, orang, atau majelis yang memberitakan dan memperbincangkan aib orang lain, marilah segera kita tinggalkan. Kita akan jauh terlibat dalam perbincangan tersebut jika tidak segera meninggalkannya. Berhati-hatilah! Keterlibatan dalam perbincangan aib seseorang akan membuat aib kita terbuka. Kepercayaan orang kepada kita terjadi karena Allah menjaga aib kita, sehingga tidak diketahui orang lain. Membongkar aib orang lain sesungguhnya adalah usaha membongkar aib sendiri. Akibatnya, kepercayaan orang akan turun atau bahkan hilang. Na’udzubiilahi min dzalik! Agus Sukaca
[email protected]
TOKO KERTAS - ALAT TULIS / KANTOR
Jl. Bhayangkara 12 (16) Yogyakarta Telp. (0274) 588854 Fax. (0274) 561371
PUTERA KAMPUS Jl. Kaliurang Km. 5,6 no. 9 Yogyakarta
PUTERA BERLIAN
Jl. Affandi (Gejayan) CC XII/38 A Yogyakarta (selatan Pom Bensin Gejayan)
MITRA Jl. Kaliurang Km. 14 Yogyakarta (depan Sentra Pendidikan BRI)
UD. FAJAR
Jl. Godean Km. 4 np. 125 Yogyakarta (barat Pom Bensin Telogorejo)
EDISI 14/2013
7
Tafsir al-Qur’an
SURAT AL-BAQARAH AYAT 41-43
2:41. Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (alQur’an) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Aku-lah kamu harus bertakwa. 2:42. Dan janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, sedang kamu mengetahui. 2:43. Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.
wa aaminuu: Dan berimanlah. Beriman itu artinya membenarkan. bimaa anzaltu: kepada apa yang Aku (Allah) turunkan (yaitu berupa al-Qur’an) dan melaksanakannya. Ini adalah perintah awal Allah yang merupakan hal pokok bagi keimanan adalah beriman kepada al-Qur’an. Di dalam al-Qur’an nanti akan dijelaskan apa saja hal-hal yang perlu atau wajib diimani. Dalam versi yang lebih tegas, Imam 8
Berkala Tuntunan ISLAM
al-Tabari menjelaskan bahwa Iman atau orang-orang yang beriman adalah orangorang yang membenarkan (beriman kepada) Rasulullah shalla Allahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang beliau bawa (alQur’an dan as-Sunnah) kepada mereka adalah benar dari sisi Allah. Mereka beriman kepada hal itu dan membenarkannya (melaksanakannya). mushaddiqan: Membenarkan, menguatkan limaa ma’akum: apa yang
ada padamu (wahai Bani Isra’il yaitu berupa Kitab Taurat). Abul ‘Aaliyah sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir menjelaskan tentang potongan ayat di atas bahwa al-Qur’an itu membenarkan dan menguatkan apa yang terdapat di dalam Kitab Taurat dan Injil bahwa Rasulullah Muhammad itu namanya tertulis di situ. wa laa takuunu aw-wala kaafirin bih: dan kamu jangan menjadi orang yang pertama kafir kepadanya. Kata “kepadanya” bisa bermakna dua hal yang keduanya betul, yaitu bisa berarti kepada al-Qur’an atau bisa juga kepada Nabi Muhammad shalla Allahu ‘alaihi wa sallam. awwala kaafirin: Orang yang pertama kali kafir dari kalangan Bani Isra’il. Hal ini karena telah banyak orang yang kafir sebelum mereka, yaitu orang-orang kafir dari kalangan orang Arab, seperti sebagian orang dari suku Quraisy. Jadi yang dimaksud adalah orang yang pertama kali kafir dari kalangan Bani Isra’il yang tinggal di Madinah. Belakangan, nanti ketika kelompok Bani Isra’il ini menjadi kafir, jahat dan sangat memusuhi Nabi Muhammad shalla Allahu ‘alaihi wa sallam dan umat Islam pada umumnya, maka Allah ta’aala menyebut mereka dengan kaum Yahudi. wa laa tasytaru bi-aayaatii: Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah (yang sedikit, murah). Artinya: kamu jangan menukar iman kamu
terhadap ayat-ayat-Ku dan pembenaran kamu terhadap Rasul-Ku Muhammad dengan materi dunia dan segala isinya yang lain. Materi dunia dan isi dunia yang menggiurkan itu di mata Allah ta’aala adalah sesuatu hal yang murahan dan tidak kekal. tsamanan qaliilaa: harga yang murah, suatu hal yang bersifat sedikit dan kecil harganya. Yaitu dunia dan segala isinya itu di mata Allah ta’aala rendah nilainya. wa-iyyaya fattaquun: dan hanya kepada Aku-lah kamu harus bertakwa wa laa talbisul haqqa bil-baatil: Dan janganlah kamu mencampur-adukkan antara yang benar dengan yang salah, antara kebenaran dan kebohongan. Kaum Bani Isra’il itu berkilah bahwa Muhammad itu memang nabi, tetapi nabi yang dikirim untuk orang Arab bukan untuk kaum Bani Isra’il. Sementara itu Mujahid, pemimpin ahli tafsir pada zaman tabi’in dan murid Ibnu Abbas, mengatakan bahwa secara khusus artinya adalah larangan untuk mencampur aduk antara ajaran agama Islam dengan agama Yahudi dan Nasrani. wa taktumul haqqa: dan kamu menyembunyikan kebenaran. Jika digandengkan dengan ungkapan sebelumnya yang mengandung larangan, maka artinya adalah: Dan janganlah kamu menyembunyikan kebenaran. wa antum ta’lamuun: sedangkan kamu mengetahui. EDISI 14/2013
9
Dan janganlah kamu menyembunyikan kebenaran yang kamu ketahui tentang kebenaran Nabi Muhammad shalla Allahu ‘alaihi wa sallam dan ajaran yang beliau bawa di dalam al-Qur’an dan Sunnahnya.
2:109. Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran se-telah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. wa aqiimush shalaata: dan dirikanlah shalat. Kalimat dirikanlah atau juga mendirikan shalat itu mempunyai pengertian yang dalam. Ungkapan ini tidak hanya sekedar melaksanakan shalat, tetapi mengerjakan shalat dengan tertib dan benar dan membaguskan shalatnya (khusyu’). Ungkapan kata ini dengan segala macam bentuknya memberikan kepada pelakunya pahala yang sangat besar (An-Nisaa’ (4): 162). Secara khusus bahkan kepada Bani Isra’il (dan tentunya kepada orang-orang beriman seluruhnya) dijanjikan bahwa siapa mengerjakan shalat dengan tertib 10
Berkala Tuntunan ISLAM
dan benar dan membaguskan shalatnya (khusyu’), maka Allah akan menghapus dosanya dan memasukkannya ke surga:
5:12. Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israel dan telah Kami angkat di antara mereka dua belas orang pemimpin dan Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku beserta kamu, sesungguhnya jika kamu mendirikan salat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik sesungguhnya Aku akan menghapus dosa-dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang uku; itu kafir di antaramu sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus”. Ungkapan ini diakhiri dengan memperoleh pahala surga. wa atuz zakaata; dan tunaikanlah, bayarlah (kewajiban) zakat. warka’uu ma’ar raaki’iin: rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.
Ruku’ itu membungkukkan badan. Secara khusus ruku’ itu dipakai untuk suatu gerakan dan posisi tubuh di dalam shalat. Secara syar’i dituntunkan bahwa ruku’ itu membungkukkan badan secara rata dan lurus dengan meletakkan kedua telapak tangan di kedua lutut. Ruku’ juga terkadang dipakai untuk menunjukkan rasa merendah, hormat, dan kesopanan. Pada tafsir ayat 40 surat al-Baqarah edisi yang lalu, Allah subhaanaHu wa ta’aala memanggil satu kelompok orang dengan panggilan “Wahai, Bani Isra’il” yang secara keseluruhan ada lima kali panggilan Allah terhadap kelompok atau bangsa ini. Tiga kali panggilan ini ada di surat al-Baqarah. Yang pertama, Allah mengingatkan kepada mereka dan tentu saja juga kepada kita semua tentang banyaknya nikmat Allah yang telah diberikan kepada Bani Isra’il. Setelah itu Allah meminta mereka untuk melakukan dua hal penting, yaitu: memenuhi janji mereka kepada Allah, dan Allah menyuruh mereka beriman kepada al-Qur’an. Adapun tanda keimanan yang dimaksud dan juga tandanya adalah bahwa mereka membenarkan al-Qur’an dan tiga hal yang harus mereka hindari: pertama: Bahwa mereka tidak menjadi orang pertama dari kalangan Bani Isra’il yang kafir atau mengingkari al-Qur’an. Mereka sudah tahu tentang al-Qur’an dan dari Kitab yang ada pada mereka yang masih murni dan belum ada perubahan.
Kedua: Bahwa mereka tidak lebih mementingkan kehidupan duniawi, mengagungkannya dan juga sangat menginginkannya daripada beriman kepada Allah ta’aala, kepada para rasul-Nya (termasuk kepada Nabi Muhammad SAW). Harta dunia itu remeh dan punah tidak dibawa ke akhirat. Ketiga: Bahwa mereka tidak mencampur-adukkan kebenaran dengan kebatilan atau kesalahan. Mereka juga diminta untuk tidak menyembunyikan kebenaran yang mereka ketahui. Setelah diminta untuk menghindari tiga hal yang buruk-buruk tadi, Bani Isra’il juga diminta untuk melakukan tiga kebaikan, yaitu: melaksanakan shalat, membayar zakat, dan melaksanakan shalat berjama’ah bersama para shabat dan ummat Nabi Muhammad yang beriman. Dengan melaksanakan tiga hal di atas jadilah mereka itu orang Islam bahkan mereka bisa menjadi orang-orang yang bertaqwa. Dan pantaslah mereka disebut sebagai keturunan Nabiyullah Isra’il atau Nabi Ya’qub ‘alaihis salaam. Narasumber utama artikel: M. Yusron Asrofie
[email protected]
EDISI 14/2013
11
Boks
PERILAKU DAN KISAH BANI ISRA’IL DI DALAM AL-QUR’AN
B
erikut ini dikutipkan ayat-ayat alQur’an yang berkaitan dengan perilaku Bani Isra’il dan juga beberapa kelebihan mereka yang diberikan oleh Allah ta’aala kepada mereka.
Mereka Suka Membunuh Saudara Sebangsanya Sendiri dan Juga Mengusirnya
Sebagian Besar Orang-Orang Bani Isra’il itu Suka Menyelisihi Janji
Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Isra’il (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling. (QS al-Baqarah/2: 83)
12
Berkala Tuntunan ISLAM
Kemudian kamu (Bani Isra’il) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebahagian al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan
dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. (QS al-Baqarah/2: 85) Mereka Meminta kepada Nabi Musa untuk Dibuatkan Berhala (Lihat juga al-A’raf /7:138 di bawah)
Apakah kamu menghendaki untuk meminta kepada Rasul kamu seperti Bani Isra’il meminta kepada Musa pada zaman dahulu? Dan barang siapa yang menukar iman dengan kekafiran, maka sungguh orang itu telah sesat dari jalan yang lurus. (QS al-Baqarah/2: 108) Mereka Berjanji Ikut Berperang tetapi Ternyata Hanya Sedikit yang Ikut
Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Isra’il sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah”. Nabi mereka menjawab: “Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang.” Mereka menjawab: “Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami?” Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa orang saja di antara mereka. Dan Allah Maha mengetahui orang-orang yang lalim. (QS al-Baqarah/2: 264) Sebagian Mereka Tidak Beriman kepada Allah dan Nabi ‘Isa dan Nabi Muhammad
Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Isra’il) berkatalah dia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?” Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: “Kami lah penolongpenolong (agama) Allah. Kami berEDISI 14/2013
13
iman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri. (Ali Imran/3: 52)
Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: “Hai Bani Isra’il, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)” Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa buktibukti yang nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata”. (QS ash-Shaff/61: 6) Ketika Nabi ‘Isa Masih Hidup Sebagian Bani Isra’il Beriman dan Sebagian Lain Tidak (SeparohSeparoh)
14
Berkala Tuntunan ISLAM
Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong-penolong (agama) Allah sebagaimana Isa putra Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?” Pengikutpengikut yang setia itu berkata: “Kami lah penolong-penolong agama Allah”, lalu segolongan dari Bani Isra’il beriman dan segolongan (yang lain) kafir; maka kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orangorang yang menang. (QS ash-Shaff/ 61: 14) Nabi Nabi banyak dari Bani Isra’il (Keturunan Nabi Ya’qub)
Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi-nabi Bani Isra’il ) dengan Isa putra Maryam, membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu: Taurat. Dan Kami telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran
untuk orang-orang yang bertakwa. (QS al-Maidah/5: 46)
Orang-Orang Bani Isra’il Ingin Membunuh Nabi ‘Isa alaihis salam.
Kaum Bani Isra’il Itu Suka Mendustakan Para Rasul dan Bahkan Membunuhnya
Sesungguhnya Kami telah mengambil perjanjian dari Bani Isra’il, dan telah Kami utus kepada mereka rasul-rasul. Tetapi setiap datang seorang rasul kepada mereka dengan membawa apa yang tidak diingini oleh hawa nafsu mereka, (maka) sebagian dari rasul-rasul itu mereka dustakan dan sebagian yang lain mereka bunuh. (QS al-Maidah/5: 70) Orang-Orang Kafir Bani Isra’il Dilaknat oleh Nabi Dawud
Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Isra’il dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan mereka selalu melampaui batas. (QS al-Maidah/5: 78)
(Ingatlah), ketika Allah mengatakan: “Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan ruhul qudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan (ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil, dan (ingatlah pula) di waktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan izin-Ku, kemudian kamu meniup padanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan (ingatlah), waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku,
EDISI 14/2013
15
dan (ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu Aku menghalangi Bani Isra’il (dari keinginan mereka membunuh kamu) di kala kamu mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir di antara mereka berkata: “Ini tidak lain melainkan sihir yang nyata.” (QS al-Maidah/5: 110) Pada Mulanya Bani Isra’il Ketika Bersama Nabi Musa Itu Berlaku Sabar, Tetapi Kemudian Mereka Ikut-Ikutan Menyembah Berhala
ka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Firaun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka. 138. Dan Kami seberangkan Bani Isra’il ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani Isra’il berkata: “Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)”. Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)”. (QS al-A’raf/7: 137-138) Bani Isra’il itu Suka Berlaku Fasiq Perilaku fasiq itu mengerjakan sesuatu yang keluar dari batas syari’at. Atau sederhananya adalah perbuatan yang melanggar syari’at. Fasiq itu perbuatan maksiat dengan dosa kecil ataupun dosa besar. Fasiq itu lebih umum daripada kafir.
137. Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negerinegeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya. Dan telah sempurnalah perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Isra’il disebabkan kesabaran mere16
Berkala Tuntunan ISLAM
Dan tanyakanlah kepada Bani Isra’il tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka
terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik. (QS al-A’raf/7: 163) Ketika Awal Pertama Bersama Nabi Musa di Tanah Palestina, Bani Isra’il Memperoleh Kediaman dan Rezeki yang Bagus
Dan sesungguhnya Kami telah menempatkan Bani Isra’il di tempat kediaman yang bagus dan kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik. Maka mereka tidak berselisih, kecuali setelah datang kepada mereka pengetahuan (yang tersebut dalam Taurat). Sesungguhnya Tuhan kamu
akan memutuskan antara mereka di hari kiamat tentang apa yang mereka perselisihkan itu. (QS Yunus/10: 93) Mereka Ditetapkan Membuat Kerusakan Di Muka Bumi Dua Kali dan Mereka Berlaku Sangat Sombong
Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Isra’il dalam kitab itu: “Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.” (QS al-Isra/17: 4) Bani Isra’il adalah Kaum yang Banyak Diberi Kitab oleh Allah ta’aala dan Rezaki yang Baik
Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Bani Isra’il Al Kitab, kekuasaan dan kenabian dan Kami berikan kepada mereka rezeki-rezeki yang baik dan Kami lebihkan mereka atas bangsa-bangsa (pada masanya). (QS alJatsiyah/45: 16) [MYA]
EDISI 14/2013
17
Tuntunan Akidah
JENIS-JENIS SYIRIK DAN BAHAYANYA
S
ebagaimana dijelaskan pada edisi lalu bahwa syirik termasuk perkara yang merusak tauhid seseorang, bahkan syirik besar dapat menyebabkan seseorang keluar dari Islam; diharamkan masuk syurga dan ditetapkan sebagai penghuni neraka. Agar kita memiliki pemahaman yang luas mengenai syirik, pada edisi ini akan dijelaskan jenis-jenis syirik dan bahayanya, sebagaimana dikemukakan oleh para ulama’ ahli tauhid, di antaranya oleh Dr. Ibrahim Muhammad bin Abdullah AlBuraikan di dalam bukunya Al-Madkhalu li Dirasatil ‘Aqidatil Islamiyyah ‘ala Madzhabi Ahlissunnah wal Jama’ah. JENIS-JENIS SYIRIK Syirik, bila ditinjau dari segi pengertiannya, mencakup dua macam: Pertama, arti umum; Yakni menyamakan selain Allah dengan Allah dalam apa-apa yang termasuk (hak-hak) khusus bagi Allah. Atas dasar makna ini, maka syirik dibagi menjadi tiga jenis: Pertama, syirik dalam rububiyah. Maksudnya menyamakan Allah dengan sesuatu yang lain dalam hal rububiyah yang menjadi kekhususan Allah atau menisbatkan salah satu makna 18
Berkala Tuntunan ISLAM
rububiyah kepada sesuatu atau seseorang, seperti menciptakan, memberikan rezeki, menghidupkan, mematikan dan lainnya. Jenis ini biasanya disebut tamtsil (penyerupaan) atau ta’thil (peniadaan). Kedua, syirik dalam uluhiyah. Maksudnya, menyamakan sesuatu atau seseorang dalam kelayakan disembah dan ditaati yang menjadi kekhususan Allah SWT. Seperti sholat, puasa, nadzar dan menyembelih kurban untuk selain Allah SWT. Jenis ini secara umum disebut syirik. Ketiga, syirik dalam al-asma’ was sifat (nama-nama dan sifat-sifat) Allah. Maksudnya, menyamakan sesuatu atau seseorang dengan Allah dalam nama dan sifat yang menjadi kekhususan Allah. Jenis ini biasanya juga disebut tamtsil (penyerupaan). Seperti: menyamakan sifatsifat dzatiyah Allah (wajah, tangan, mendengar, melihat dan lainnya) serupa dengan sifat makhluk, atau memberikan sifat-sifat yang khusus bagi Allah untuk makhluk, seperti sifat mengetahui yang ghaib, mengetahui segala sesuatu, hadir dan melihat di setiap tempat, dan. Kedua, arti khusus; Yaitu menjadikan seseorang atau sesuatu selain Allah sebagai tuhan yang berhak diibadahi disamping Allah. Sedang jenis-jenis
ibadah diantaranya: doa, takut, tawakkal, isti’anah (permintaan tolong), isti’adzah (minta perlindungan), nadzar, menyembelih, sujud dan lainnya. Inilah makna syirik secara langsung dipahami ketika ia disebut dalam Al Qur’an, Sunnah dan ucapan kaum Salaf. Maka siapa saja yang menjadikan sesuatu atau seseorang sebagai sembahan yang ditaati selain Allah, maka ia disebut musyrik, dalam bahasa wahyu dan atsar. Allah SWT berfirman surat Yunus: 18:
Dan mereka menyembah selain dari pada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada Kami di sisi Allah”. Katakanlah: “Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) dibumi Maha suci Allah dan Maha Tinggi dan apa yang mereka mempersekutukan (itu). Selain itu, orang yang meyakini adanya hak membuat syari’at pada sesuatu atau seseorang selain Allah SWT, juga menjadi musyrik.
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik Jadi, Allah SWT menjadikan proses menciptakan dan memerintah sebagai hak-Nya semata. Dialah yang membuat syari’at bagi makhluk-Nya karena Dialah pemilik mereka. Adapun sekutu selain Allah, maka mereka tidak berhak untuk itu. Sebab, makhluk ini bukan ciptaanya, sehingga ia tidak berhak memerintah mereka. Dengan demikian, kata syirik, jika diucapkan tanpa ikatan konotasi tertentu, ia meliputi pengertian ibadah kepada selain Allah dan meyakini adanya hak membuat syari’at bagi sembahan lain selain Allah.
EDISI 14/2013
19
Selain ditinjau dari segi pengertiannya, syirik juga ditinjau dari segi hukum dan bobot dosanya. Dalam hal ini syirik dibagi menjadi 3 jenis, yaitu: Pertama: Syirik Akbar Syirik akbar (syirik paling besar) yaitu menjadikan sekutu selain Allah SWT yang disembah dan ditaati sama seperti menyembah dan mentaati Allah SWT. Seperti shalat untuk selain Allah, berpuasa untuk selain Allah, menyembelih hewan (kurban) untuk selain Allah, berdoa untuk orang yang sudah mati, berdoa kepada orang yang tidak ada di hadapannya untuk menolongnya dari urusan yang hanya Allah saja yang berkuasa, dan lainnya.
Dari Ibnu Abbas: seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW -membicarakan suatu urusan-, lalu ia berkata kepada beliau “maa sya’Allahu wa-syi’ta (apa yang dikehendaki Allah dan engkau kehendaki). Rasulullah SAW bersabda: engkau telah menjadikanku dan Allah sebanding, tetapi ucapkan masy’allah (Apa yang dikehendaki Allah) sendiri. (HR al-Baihaqi) Dalam Hadits riwayat Imam Bukhari, Rasulullah SAW bersabda:
Kedua: Syirik Asghar Syirik asghar (syirik paling kecil) adalah menyamakan sesuatu selain Allah dengan Allah SWT dalam bentuk perkataan atau perbuatan. Syirik dalam bentuk amalan adalah riya’. Sedangkan dalam bentuk perkataan lisan adalah lafadz-lafadz yang mengandung makna menyamakan Allah SWT dengan sesuatu yang lain. Misalnya, ia mengatakan: “Apa yang dikehendaki Allah dan engkau kehendaki”. Mengenai soal satu ini niscaya jelas maknanya setelah kita membaca hadits berikut. Dalam hadits disebutkan:
Dari Abu Hurairah dia mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kalimat tanpa diteliti yang karenanya ia terlempar ke neraka sejauh antara jarak ke timur.” Dalam riwayat Imam Ahmad:
Sungguh perkara yang paling kutakutkan dari kalian adalah syirik kecil, lalu ketika beliau ditanya 20
Berkala Tuntunan ISLAM
tentang hal itu, beliau menjawab:”Riya”. Ketiga: Syirik Khafi Syirik khafi (syirik tersembunyi) adalah syirik yang berada antara syirik akbar dan syirik asghar. Atau dengan kata lain, syirik yang dimungkinkan bisa termasuk syirik akbar atau syirik ashghar. Seperti: Bersumpah dengan selain nama Allah adalah syirik ashghar, tetapi jika yang bersumpahnya itu dengan keyakinan bahwa yang dia pakai untuk sumpah itu menyamai keagungan Allah maka ini termasuk syirik akbar. Berdasarkan pengertian di atas, pada hakikatnya, syirik, ditinjau dari segi hukum dan bobotnya, dapat digolongkan ke dalam dua jenis, yaitu: syirik akbar, yakni syirik yang terkait dengan keyakinan hati, dan syirik asghar yakni syirik yang terkait dengan perbuatan, perkataan lisan dan motivasi hati yang tersembunyi. Nampaknya pembagian syirik menjadi tiga jenis di mana syirik khofi merupakan bagian yang ketiganya, didasarkan pada kenyataan bahwa syirik khofi bisa berubah menjadi syirik akbar atau syirik asghar. Kesubliman dan kesamaran itu menuntut kehati-hatian yang tinggi. Agar jangan sampai syirik akbar dianggap syirik asghar atau sebaliknya. Rasulullah SAW bersabda dalam riwayat Imam Ahmad berikut ini, yang menurut ulama hadits ternama Al-Bani, bernilai hasan li ghairih:
Wahai manusia jagalah dirimu dari syirik, karena ia lebih tersembunyi daripada rayapan semut. Seseorang yang dikehendaki Allah bertanya: Bagaimanakah kami menjaganya ya Rasulullah padahal ia lebih tersembunyi dari rayapan semut. Beliau menjawab: ucapkanlah ‘ Ya Allah sesungguhnya kami mohon perlindungan kepada-Mu dari menyekutukanMu dengan sesuatu yang kami ketahui dan mohon ampun kepada-Mu dari sesuatu yang tidak kami ketahui’ (HR. Ahmad) BAHAYA SYIRIK Syirik, apapun jenisnya, adalah sangat berbahaya. Karena itu, setiap muslim seharusnya berupaya dengan sungguhsungguh untuk menjauhinya serta menutup rapat-rapat pintu masuknya. Sekalipun sama-sama berbahaya, syirik akbar jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan syirik asghar. Berikut ini akan dikemukakan bahaya keduanya. Pertama, Bahaya syirik akbar. 1. Merupakan kedhaliman terbesar. Allah berfirman dalam surat Luqman ayat 13: EDISI 14/2013
21
3. Membatalkan seluruh amal kebaikan seseorang. Allah berfirman dalam surat az-Zumar 65: Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. 2. Menyebabkan pelakunya keluar dari Islam yang menyebabkan darah dan harta menjadi halal. Dalam Hadits riwayat Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda :
Dari Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah dan beriman kepadaku serta dengan al-Qur’an yang aku bawa, maka apabila mereka mengucapkan hal tersebut maka sungguh dia telah menjaga harta dan jiwanya dari (seranganku) kecuali disebabkan hak Islam. Dan hisab mereka diserahkan kepada Allah.” (HR Muslim)
22
Berkala Tuntunan ISLAM
Dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang-orang yang merugi. 4. Menyebabkan pelakunya diharamkan masuk syurga dan kekal dalam neraka. Allah berfirman dalam surat al-Maidah ayat:72:
Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orangorang zalim itu seorang penolongpun. 5. Merupakan dosa paling besar dan tidak dapat diampuni oleh Allah SWT tanpa bertaubat. Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS. An-Nisaa‘:48 ). Kedua, Bahaya Syirik Asghar. 1. Membatalkan amal yang dicampurinya sejak awal amal itu dikerjakan atau mendominasi seluruh proses pengerjaan amal tersebut. Dalam Hadits disebutkan:
Dari Abi Huruirah: Rasulullah SAW bersabda: “Allah berfirman: Aku pa ling tidak membutuhkan. Barangsiapa yang melakukan satu amalan yang dia menyekutukanKu padanya dengan selain Aku maka Aku tinggalkan dia dan persekutuannya.”
2. Syirik asghar mempunyai dua kemungkinan: mengharuskan pelakunya masuk neraka atau tergantung kepada kehendak Allah SWT, diampuni atau tetap dimasukkan ke dalam neraka. 3. Pelakunya, sekalipun masih seorang muslim, namun ia memiliki keimanan yang kurang dan dianggap fasiq dalam beragama. 4. Merupakan dosa paling besar diantara seluruh dosa besar yang terbesar.
Dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; “Dosa paling besar di antara dosa besar ialah menyekutukan Allah, membunuh, durhaka kepada orang tua, ucapan dusta. Atau, dalam redaksi lain beliau mengatakan: “Persaksian dusta.” Narasumber utama artikel: Zaini Munir Fadloli EDISI 14/2013
23
Tuntunan Akhlak
ADAB BERKUNJUNG ada urusan apa kamu mendatanginya?’ Laki-laki itu berkata; ‘Sesungguhnya aku mencintainya karena Allah’. Malaikat berkata; ‘Sesungguhnya Aku adalah utusan Allah kepadamu untuk memberitahukan bahwasannya Allah ‘Azza wa Jalla mencintaimu karena kamu mencintai dia karena Allah ‘Azza wa Jalla’ . (HR. Ahmad). Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Ada seorang lakilaki keluar untuk menziarahi saudaranya seiman di sebuah desa lain, maka Allah mengamatinya dengan mengirimkan malaikat. Dan tatkala malaikat itu bertemu dengannya, ia bertanya; ‘Kemana kamu hendak pergi?’ Laki-laki itu menjawab; ‘Aku hendak pergi ke tempat Fulan’. Malaikat bertanya; ‘Apakah karena urusan kerabat?’ Laki-laki itu menjawab; ‘Tidak’. Malaikat bertanya; ‘Lalu apa karena urusan nikmat miliknya yang kamu pelihara?’ Dia menjawab; ‘Tidak’. Malaikat bertanya; ‘Lantas 24
Berkala Tuntunan ISLAM
Kebanyakan orang berkunjung ke tempat orang lain adalah untuk berbagai keperluan, seperti: meminta bantuan, menyampaikan undangan atau informasi, urusan kekerabatan, bisnis, atau, ada yang sekedar ingin mencari teman bicara. Sekalipun banyak tujuan, tetapi niat terbaik dalam berkunjung adalah karena cinta, baik yang dilakukan terhadap saudara atau kerabat, dan tentunya karena cinta kepada Allah SWT. Cinta karena Allah adalah cinta yang didasarkan atas kepatuhan kepada-Nya terhadap semua aktivitas dan tata hubungan yang dibangun antar keduanya. Mereka saling bertemu karena Allah. Pertemuan-
nya diisi dengan kegiatan-kegiatan yang diridhai-Nya, dan jika berpisah pun karena-Nya. Mereka yang saling mencintai karena Allah membuat-Nya juga mencintai keduanya. Allah bahkan akan memberikan perlindungan khusus pada hari di mana tidak ada perlindungan kecuali perlindungan-Nya, yakni di hari kiamat. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda: “Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: ... dua orang laki-laki yang saling mencintai karena Allah; mereka tidak bertemu kecuali karena Allah, dan berpisah karena Allah ...” (HR. Bukhari). Cinta adalah anugerah terindah yang diberikan Allah kepada kita. Dengan cinta, semuanya menjadi terasa menyenangkan. Pertemuan dua orang yang saling mencintai akan menjadikan momentum yang membahagiakan, dan perpisahannya pun menimbulkan kerinduan. Dalam cinta, terdapat perasaan dan semangat untuk memberikan yang terbaik. Seseorang yang mencintai akan berpikir tentang “apa yang bisa diberikan kepadanya?”, dan bukan sebaliknya. Untuk itu, mencintai adalah suatu proses
penting dalam mewujudkan sebaik-baik manusia, yakni orang yang paling banyak memberikan manfaat kepada orang lain. Azim Jamal dan Harvey McKinnon dalam bukunya “The Power of Giving” menjelaskan bahwa manfaat memberi antara lain: (1) membangun hubungan yang lebih baik dan dapat memberikan perubahan positif bagi orang lain; (2) memberikan perasaan aman, sehingga secara emosional menjadi lebih baik; (3) meningkatkan derajat kesehatan; (4) memberikan keuntungan finansial bagi sang pemberi; (5) membantu meraih potensi secara optimal; (6) memberi kita makna, semangat, kedamaian dan kebahagiaan. Perlu dicatat bahwa berkunjung ke tempat sahabat yang didasari karena cinta akan mendatangkan banyak manfaat, di antaranya memupuk silaturrahim antar dua keluarga dan menghadirkan kecintaan Allah. Namun, dari kedua manfaat itu, kecintaan Allah adalah hasil terbesar yang kita peroleh. Sebab, dengan mendapatkan cinta Allah, semuanya akan terasa menyenangkan. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad SAW bersabda: Dari Abu Hurairah, Dia berkata bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Jika seorang muslim menjenguk atau menziarahi saudaranya sesama muslim, -Hasan menyebutkan; - karena Allah ‘Azza wa Jalla, maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: ‘Engkau telah beruntung, dan beruntung, engkau telah menyiapkan rumah di surga” (HR. Ahmad). EDISI 14/2013
25
Berdasarkan hadits di atas, tentu kita semua memimpikan memiliki rumah di surga dan tinggal di dalamnya. Dan rupanya, mengunjungi sahabat atau kerabat karena cinta adalah bagian dari proses menyiapkan rumah di surga. Marilah kita persiapkan dengan sebaikbaiknya, antara lain dengan membuat jadual dan melaksanakan kunjungan kepada sahabat-sahabat dan kerabatkerabat kita. Lantas bagaimana adab mengunjungi sahabat atau kerabat? Di bawah ini akan diuraikan beberapa hal mengenai adab berkunjung. 1. Memilih Waktu yang Tepat Terkait dengan pemilihan waktu berkunjung yang tepat, Allah berfirman sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak [laki-laki dan perempuan] yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh di antara kamu, meminta ijin kepada kamu tiga kali [dalam satu hari], yaitu 26
Berkala Tuntunan ISLAM
sebelum shalat Subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian di tengah hari, dan sesudah shalat ‘Isya. [Itulah] tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain dari [tiga waktu] itu. Mereka melayani kamu, sebagian kamu [ada keperluan] kepada sebagian [yang lain]. Demikian Allah menjelaskan ayatayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. anNuur: 58) Ayat tersebut menjelaskan bahwa ada tiga waktu dalam sehari di mana Allah memberikan privasi lebih kepada seseorang, sehingga pelayan dan anak-anak pun harus meminta ijin apabila hendak bertemu. Pertama, waktu sebelum Subuh, atau disebut pula waktu sahar atau sepertiga malam akhir. Waktu ini adalah waktu terbaik untuk bangun malam. Allah memerintahkan pada bahagian malam ini untuk bertahajjud sebagai amalan nawafil kita. Dia menjanjikan tempat yang terpuji bagi para pengamalnya. Waktu ini hendaknya dimanfaatkan sebaik mungkin untuk beribadah, dan janganlah terganggu oleh urusan pelayanan dan lain-lainnya agar ibadahnya dapat lebih khusyu’. Kedua, waktu tengah hari setelah shalat dhuhur, disebut pula dengan waktu qailullah atau saat tidur siang sejenak. Waktu ini adalah waktu yang baik untuk beristirahat sejenak guna melepaskan rasa penat di badan dan mengembalikan kebugaran tubuh sehingga dapat meneruskan aktivitasnya pada sore hari dengan penuh vitalitas. Ketiga, waktu se-
sudah shalat ‘Isya’. Waktu ini menjadi waktu terbaik untuk bermuhasabah harian, istirahat, bergaul dengan isteri, dan tidur. Allah menjadikan malam utamanya untuk istirahat. Itulah waktu-waktu privasi yang hendaknya dimanfaatkan sebaik-baiknya agar tidak terganggu oleh kegiatankegiatan lainnya, termasuk kegiatan yang melibatkan pembantu dan anak-anak. Karena itu, maka dalam memilih waktu berkunjung, hindarilah ketiga waktu tersebut, kecuali atas kepentingan mendesak yang tidak bisa ditunda-tunda, dan tentu harus seizin tuan rumah. Rasulullah pernah mengunjungi Abu Bakar ba’da Dzuhur ketika Beliau telah diperintahkan berhijrah. Dari ‘Aisyah r.a. berkata; “Sangat jarang tiba sebuah hari selain di hari tersebut Beliau SAW menemui rumah Abu Bakar pada dua ujung siang. Maka ketika Beliau diizinkan untuk berhijrah ke Madinah, tidaklah Beliau meninggalkan kami melainkan Beliau mendatangi kami ketika Dzuhur, lalu
Abu Bakar diberitahu tentang kedatangan Beliau SAW. Maka Abu Bakar berkata: “Tidaklah Nabi SAW menemui kami pada saat seperti ini melainkan pasti karena ada suatu peristiwa yang terjadi” (HR. Bukhari). Kekagetan Abu Bakar atas kehadiran Rasulullah pada waktu qailullah itu menunjukkan bahwa waktu tersebut bukanlah saat yang lazim Beliau melakukan kunjungan. Ternyata memang Rasulullah membawa berita penting agar Abu Bakar segera bersiap mendampingi Beliau berhijrah ke Madinah. Pada zaman kita sekarang ini memilih waktu berkunjung lebih mudah. Kita dapat berkomunikasi langsung dengan sahabat atau saudara yang akan dikunjungi melalui alat komunikasi yang telah banyak tersedia, misalnya hand phone. Dengan menggunakan hand phone, kita dapat secara langsung membuat kesepakatan tentang waktu waktu berkunjung. Jika telah sepakat, maka berusahalan untuk menepatinya. Sebab, kesepakatan merupakan perjanjian.
Dengan menerbitkan buku sendiri di Jiha Publishing, Anda akan mendapatkan pelayanan berikut: a. Editing profesional b. Tataletak yang indah dan rapi c. Desain cover yang elegan d. ISBN yang sudah siap pakai e. Cetak isi HVS 70 gram
efisien dan terjangkau
f. Cetak cover Ivory 230 gram dan laminasi doff.
Hubungi Kami: Gg. Gatotkoco RT.12 RW.03
08122744831
No.267 Wirobrajan Yogyakarta
[email protected] EDISI 14/2013
27
Mengabaikan perjanjian termasuk di antara tanda-tanda nifaq. 2. Shalat Berjama’ah Ketika saat berkunjung masuk waktu shalat fardhu, dan Anda melaksanakan shalat berjama’ah bersama tuan rumah, maka sebaiknya yang menjadi imam adalah tuan rumah. Hal ini sebagaimana dituntunkan dalam hadits berikut:
Dari Abu Mas’ud al-Anshari, katanya Rasulullah SAW bersabda: “Yang berhak menjadi imam atas suatu kaum adalah yang paling menguasai bacaan kitabullah (al-Qur’an). Jika dalam bacaan kapasitasnya sama, maka yang paling tahu terhadap sunnah. Jika dalam as-Sunnah [hadits] kapasitasnya sama, maka yang paling dahulu hijrah. Jika dalam hijrah sama, maka yang pertama-tama masuk Islam, dan jangan seseorang mengimami seseorang di daerah wewenangnya, dan jangan duduk di rumah seseorang pada ‘takrimah’ [tempat khusus tuan rumah], kecuali telah mendapatkan izin darinya” (HR. Muslim). 28
Berkala Tuntunan ISLAM
Tuan rumah adalah sulthan di rumahnya. Dialah yang berhak mengatur segala sesuatunya. Saat diselenggarakan shalat jama’ah di rumah tuan rumah, maka seorang tamu janganlah menawarkan dirinya menjadi imam jika tidak diminta oleh tuan rumah, meskipun ia merasa bacaannya lebih baik. Inilah salah satu bagusnya aturan-aturan ajaran Islam, kita harus menghormati kuasa orang lain. Saat memasuki wilayah kuasa orang lain, adabnya adalah mengikuti aturan-aturan yang berlaku pada wilayah tersebut. Sebagai tamu, kita wajib menghormati dan mengikuti aturan tuan rumah. 3. Duduk di Tempat yang Dipersilahkan Ketika telah dipersilahkan masuk ke dalam rumah, duduklah setelah Anda dipersilahkan oleh tuan rumah di tempat yang ditunjukkan. Hal ini sebagaimana tersebut dalam Hadits Riwayat Muslim dari Abu Mas’ud al- Anshari di atas, “... Dan jangan duduk di rumah seseorang pada ‘takrimah’ (tempat khusus tuan rumah), kecuali telah mendapat izin darinya”. At-takrimah adalah kasur atau selainnya yang dihamparkan untuk tuan rumah dan khusus baginya (an-Nawawi, Syarah Muslim hadits ke 673). Pada zaman sekarang hal itu bisa berupa kursi dan meja baca yang diletakkan di ruang tamu, atau kursi malas, atau kursi tamu yang biasanya menjadi tempat duduk tuan rumah. Agus Sukaca
[email protected]
Tuntunan Ibadah MENGHINDARI KESALAHAN IBADAH HAJI
I
badah Haji adalah puncak ketaatan seseorang kepada Allah SWT. Dikatakan demikian karena di dalam ibadah haji terangkum seluruh amaliah yang terdapat pada Rukun-rukun Islam lainnya. Oleh karena itu, seseorang yang melaksanakan haji seharusnya memperhatikan 2 (dua) prinsip ibadah agar diterima oleh Allah SWT, yaitu: beribadah dengan hati ikhlas dan mengikuti tata cara berhaji, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah shallalaahu alaihi wasallam. Allah berfirman:
Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya [Q.s. al-Bayyinah: 5]. Pada ayat lain, Allah juga berfirman:
Sungguh telah ada pada Rasulullah suri tauladan yang terbaik bagi orang yang mengharapkan Allah dan hari akhir dan bagi orang yang banyak berdzikir kepada Allah” [Q.s. al-Ahzab: 21].
Pada saat Rasulullah SAW melaksanakan Haji Wada’, Beliau bersabda:
Ambillah manasik haji kalian, sesungguhnya aku tidak mengetahui barangkali aku tidak akan mengerjakan haji lagi setelah ini [HR. Ahmad]. Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah rahimahullah, mengatakan bahwa tata cara ibadah haji adalah paling rumit dibanding dengan ibadah-ibadah yang lainnya. Mengingat begitu rumitnya, maka banyak ditemukan kesalahan yang dilakukan seseorang dalam melaksanakan ibadah haji. Pada artikel ini akan diungkap beberapa kesalahan yang sering dilakukan jama’ah haji. Uraian ini didasarkan pada buku “Petunjuk Jama’ah Haji dan Umrah serta Penziarah Masjid Rasulullah SAW”, diterbitkan Departemen Agama dan Waqaf Dakwah, dan buku “Bimbingan Islam” yang disusun oleh sekumpulan ulama, ditambah beberapa keterangan dari penulis. 1. Kesalahan dalam Ihram a. Melewati miqat makani tanpa melakukan ihram. Ini menyalahi peEDISI 14/2013
29
rintah Nabi SAW yang mengharuskan setiap jama’ah haji berihram dari miqat yang dilaluinya. Apabila hal ini terjadi, maka seseorang harus kembali ke miqat yang telah dilaluinya, dan berihram dari miqat jika memungkinkan. Namun, jika tidak memungkinkan, maka para ulama telah bersepakat bahwa, ia diwajibkan membayar fidyah dengan menyembelih binatang kurban di Makkah dan memberikan seluruhnya kepada orang-orang fakir. b. Memahami ihram sekedar mengenakan pakaian ihram. Padahal ihram yang sebenarnya adalah niat untuk masuk ke dalam manasik. Sedangkan mengenakan pakaian ihram merupakan persiapan ihram, sehingga belum berlaku larangan-larangan ihram. c. Tidak melakukan ihram dengan alasan sedang haid. Perempuan yang sedang haid seharusnya tetap melaksanakan ihram. Selain itu, baginya juga berlaku hal-hal yang terkait dengan amaliah dan larangan-larangan ihram, kecuali shalat sunnah ihram. Dari ‘Aisyah r.a. berkata: “Nabi masuk ke tempatku, (dan) aku sedang menangis”. Beliau SAW bertanya: “Apa yang membuatmu menangis?” Aku menjawab: “Demi Allah, aku berkeinginan seandainya aku tidak haji pada tahun ini”. Beliau bertanya: “Barangkali engkau sedang haid?” Aku menjawab: “Benar”. Beliau bersabda:
30
Berkala Tuntunan ISLAM
“Itu adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan untuk perempuan keturunan Adam. Kerjakanlah semua yang dikerjakan oleh orang yang haji, kecuali engkau jangan thawaf di Ka’bah, sehingga engkau suci” [HR. al-Bukhari]. d. Memakai pakaian ihram dengan cara idhthiba’ (membuka pundak sebelah kanan dan menutup sebelah kiri dengan kain ihram). Menurut pendapat Jumhur Fuqaha’, idh-thiba’ tidak disyari’atkan, kecuali ketika seseorang sedang melakukan thawaf, yakni thawaf qudum atau thawaf umrah. Selain itu, idhthiba’ tidak disyari’atkan dan pundak tetap dalam keadaan tertutup dengan pakaian ihram-nya.
Sesungguhnya Nabi SAW thawaf di Baitullah dalam keadaan beridhthiba’ [HR. Ibnu Majah]. 2. Kesalahan dalam Thawaf a. Memulai thawaf sebelum sampai di Hajar Aswad. Menurut HR. Muslim, thawaf yang benar dimulai dari Hajar Aswad. b. Thawaf di dalam Hijr Ismail. Jika hal ini dilakukan, berarti seseorang tidak mengelilingi seluruh Ka’bah, tetapi hanya sebagiannya saja, karena Hijr Ismail itu termasuk Ka’bah. Dengan demikian, thawaf yang dilakukan tersebut tidak sah atau batal. c. Ramal (lari-lari kecil) pada seluruh putaran yang tujuh. Berdasarkan
hadits riwayat Bukhari, ramal itu hanya dilakukan pada tiga putaran pertama dalam thawaf qudum atau thawaf umrah. Sedangkan untuk putaran berikutnya, dan pada thawaf yang lain, dilakukan dengan berjalan biasa. d. Berdesak-desakan, bahkan terkadang saling menjatuhkan untuk dapat mencium Hajar Aswad. Ini tidak boleh, karena lebih besar madlarat daripada manfaatnya. Menyakiti orang lain hukumnya haram, sedangkan mencium Hajar Aswad adalah sunnah. Apalagi amalan tersebut bisa dicukupkan dengan menjamahnya atau berisyarat ketika tidak memungkinkan untuk mencium Hajar Aswad [HR. Bukhari]. e. Mengusap-ngusap Hajar Aswad dengan maksud untuk mendapatkan barakah darinya. Hal ini tidak mempunyai dasar sama sekali dalam syariat Islam. Karenanya, mengusap-usap Hajar Aswad dengan maksud untuk memperoleh barakah dari batu itu termasuk perbuatan bid’ah dlalalah, dan bahkan termasuk perbuatan syirik yang bisa merusak akidah seseorang. Umar bin al-Khaththab r.a. berkata:
“Dan sesungguhnya aku mengetahui bahwa engkau adalah batu, tidak memberi madharat dan tidak bermanfaat. Jika seandainya aku tidak melihat Rasulullah SAW menciummu, maka aku tidak akan menciummu”. f. Mencium Rukun Yamani. Hal ini
merupakan kesalahan, karena Rukun Yamani hanya disentuh dengan tangan saja, tidak dicium. Yang dicium hanyalah Hajar Aswad. Itu pun jika kita mampu untuk menciumnya. Jika tidak mampu, maka cukup diusap, jika tidak bisa diusap juga, maka cukup dengan memberi isyarat dari jarak jauh. Terkait dengan hal ini, Ibnu Taimiyyah berkata bahwa “Menurut pendapat yang sahih, Rukun Yamani tidak boleh dicium”. Sedangkan, menurut Ibnul Qayyim, “Telah sahih dari beliau SAW, bahwa beliau SAW menyentuh Rukun Yamani. Dan tidak ada yang sah dari beliau SAW bahwa beliau SAW menciumnya, atau mencium tangan beliau SAW setelah menyentuhnya”. g. Menjamah setiap pojok Ka’bah, dan bahkan terkadang disertai dengan mengusap-ngusap seluruh dindingnya. Selain itu, jama’ah haji juga ada yang mengusap-usap setiap yang mereka jumpai di dekat Ka’bah, seperti Maqam Ibrahim, dinding Hijr Ismail, kain Ka’bah, dan yang lainnya. Tindakan semacam ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, kecuali pada Hajar Aswad dan Rukun Yamani saja [HR. Abu Dawud]. Karena itu, perbuatan semacam ini termasuk bid’ah dlalalah. Ibnu Taimiyyah berkata: “Adapun seluruh sudut Ka’bah dan Maqam Ibrahim, dan seluruh masjid dan dindingnya, dan kuburnya para Nabi dan orang-orang yang salih, seperti kamar Nabi, dan tempatnya Nabi Ibrahim dan tempat Nabi kita yang dahulu mereka gunakan untuk shalat, EDISI 14/2013
31
dan selainnya dari kuburnya para Nabi serta orang yang salih, atau batu yang ada di Baitul Maqdis, maka menurut kesepakatan ulama, semuanya itu tidak boleh untuk diusap dan tidak boleh juga untuk dicium”. h. Menentukan do’a-do’a dan bacaan-bacaan khusus untuk setiap putaran dalam thawaf. Perbuatan ini terkadang dipimpin oleh seseorang untuk membaca dan ditirukan oleh jamaah lain secara berulang-ulang. Hal ini tidak dibenarkan, karena dua hal, pertama, tidak dijumpai adanya do’a-do’a khusus dari Rasulullah SAW, kecuali dua bacaan, yakni: setiap melewati Hajar Aswad, Beliau bertakbir [HR. Bukhari]; dan, pada setiap akhir putaran antara Hajar Aswad dan Rukun Yamani Beliau membaca: Rabbanaa aatinaa fid-dunyaa hasanah wa fil akhirati hasanah wa qinaa ‘adzaa bannaar. (Wahai Tuhan kami, berilah kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari siksaan api neraka) [HR. Abu Dawud dan as-Syafi’i]. Kedua, do’a secara berjamaah adalah perbuatan bid’ah. Perbuatan ini mengganggu bagi orang lain yang juga sedang thawaf. Ibnu Taimiyyah berkata: “Di dalam hal ini –yakni thawaf– tidak ada dzikir yang khusus dari Nabi, baik perintah atau ucapan. Nabi SAW tidak mengajarkan hal itu. Bahkan setiap orang dibenarkan berdo’a dengan do’a-do’a yang masyru’ (disyariatkan). Adapun yang disebut oleh kebanyakan orang bahwa terdapat do’a tertentu di bawah Mizab dan tempat lainnya, 32
Berkala Tuntunan ISLAM
maka hal itu sama sekali tidak ada asalnya”. Dengan demikian, yang disyariatkan adalah: setiap orang berdo’a sendiri-sendiri tanpa mengeraskan suaranya, dan ia boleh berdo’a apa saja tanpa menentukan do’a-do’a khusus kecuali yang telah diajarkan Rasulullah SAW. i. Berdesak-desakan untuk shalat di dekat Maqam Ibrahim, sehingga dapat mengganggu orang yang sedang thawaf dan shalatnya pun tidak dapat ditunaikan dengan baik. Hal ini tidak perlu dilakukan, karena shalat dua raka’at thawaf itu bisa dilakukan di tempat lain di dalam Masjid Haram. j. Setelah selesai thawaf seseorang tetap memakai kain ihram dalam keadaan idh-thiba’ dan shalat dua raka’at dalam keadaan idhthiba’. Dalam hal ini terdapat dua kesalahan, yaitu pertama, yang sunnah dalam idh-thiba’, yakni ketika Thawaf Qudum. Kedua, mereka terjatuh ke dalam larangan Nabi SAW tentang shalat, sedangkan pundak mereka terbuka. Dari Abu Hurairah r.a., dia berkata; Nabi SAW telah bersabda:
Janganlah salah seorang di antara kalian shalat dengan satu baju yang tidak ada di atas kedua pundaknya sesuatu dari kain [HR. al-Bukhari]. 3. Kesalahan dalam Sa’i a. Sewaktu bertakbir ketika berada di atas Shafa dan Marwa,
seseorang sering mengangkat tangan ke arah Ka’bah, seolah-olah bertakbir untuk shalat. Padahal, menurut hadits yang diriwayatkan oleh alBakhari, sewaktu Rasulullah SAW berada di atas Shafa, Beliau melihat Ka’bah dan mengangkat tangan sewaktu akan memulai berdo’a tanpa diarahkan ke Ka’bah. Melakukan sa’i dalam keadaan idhthiba’. Seharusnya, jamaah haji tidak idhthiba’. Sebab, hal ini tidak ada dalilnya. Imam Ahmad berkata: “Kami tidak mendengar sesuatu (tentang sunnahnya ketika sa’i) sedikitpun juga”. c. Berlari-lari kecil (ramal) pada seluruh putaran. Menurut sunnah Rasul, berjalan cepat itu hanyalah dilakukan antara kedua tanda hijau saja, adapun yang lain cukup dengan berjalan biasa [HR. Muslim]. d. Perempuan ikut berlari-lari kecil (ramal) di antara dua tanda hijau seperti yang dilakukan oleh kaum lelaki. Perempuan tidak dianjurkan untuk ramal, namun berjalan biasa di antara dua tanda hijau. Ibnu Umar berkata: “Bagi kaum perempuan tidak disunnahkan ramal (berlari kecil) di sekitar Ka’bah, dan (tidak) juga antara Shafa dan Marwa”. Syaikh Abdul Aziz bin Baz r.a. berkata: “Adapun kaum perempuan, (ia) tidak disyariatkan untuk berjalan cepat di antara dua tanda hijau, karena perempuan adalah aurat. Akan tetapi, bagi mereka disyari’atkan untuk berjalan di seluruh putaran”. e. Setiap kali menghadap Shafa b .
dan Marwa selalu membaca: Innashshafaa wal-marwata min sya’aairillaah. Padahal yang sunah ialah membaca ayat ini ketika pertama kali menghadap kepada Shafa saja. f. Shalat dua raka’at setelah selesai dari sa’i, seperti ketika selesai thawaf. Shalat dua raka’at setelah selesai thawaf telah ditetapkan oleh sunnah. Adapun shalat dua raka’at setelah selesai sa’i adalah bid’ah yang munkar dan menyelisihi petunjuk Nabi. Dalam masalah ini tidak bisa diqiyaskan, karena bertentangan dengan nash yang sahih dalam sa’i. 4. Kesalahan dalam Wukuf di Arafah a. Melakukan wukuf di luar batas Arafah dan tetap tinggal di tempat ter-sebut hingga terbenam matahari. Wukuf seharusnya dilakukan di Arafah. Apabila seseorang berada di luar Arafah, berarti ia tidak melaksanakan wukuf. Hal ini menyebabkan hajinya batal dan harus diulang lagi pada tahun mendatang. Sabda Nabi SAW:
Haji adalah Arafah, barangsiapa yang datang pada malam harinya sebelum terbit fajar (hari kesepuluh), maka dia telah mendapatkan wukuf [HR. atTirmidzi]. b. Melakukan wukuf dengan cara berdo’a menghadap gunung Arafah EDISI 14/2013
33
(Jabal Rahmah) atau berdesakdesakan untuk dapat naik ke puncak gunung sehingga dapat mendatangkan banyak madlarat. Anggapan seperti ini menyelisihi sunnah, karena yang sunnah dalam hal ini ialah menghadap ke arah kiblat sebagaimana dikerjakan oleh Nabi SAW [HR. Muslim]. Tidak ditemukan riwayat yang menyatakan bahwa beliau pernah naik ke atas gunung Arafah untuk wukuf di atasnya. Syaikh Shalih Alu Syaikh berkata: “Menghadap ke arah bukit Arafah atau tempat lain tidaklah terdapat keutamaan atau anjuran. Bahkan, jika dia mengharuskan hal ini dan meyakini bahwa perbuatan ini afdhal, maka mengerjakannya merupakan bid’ah. Dan naik ke atas bukit dengan maksud beribadah di sana merupakan bid’ah yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi SAW”. c. Meninggalkan Arafah sebelum terbenam matahari. Rasulullah SAW melakukan wuquf di Arafah sampai matahari terbenam dengan sempurna [HR Muslim]. 5. Kesalahan Mabit di Muzdalifah Ketika tiba di Muzdalifah, seseorang sibuk memungut batu kerikil sebelum melaksanakan shalat Maghrib dan Isya. Ia berkeyakinan bahwa batu-batu kerikil pelempar Jumrah itu harus diambil dari Muzdalifah, dan bahkan terkadang batubatu tersebut dicuci. Semestinya, ketika seseorang tiba di Muzdalifah, yang pertama kali dilakukan adalah mendirikan shalat Maghrib dan 34
Berkala Tuntunan ISLAM
Isya’, di-jama’ dan di-qasar, dengan berjamaah [HR. Muslim]. Setelah itu, ia boleh mencari batu kerikil untuk melempar Jumrah Aqabah, dan boleh pula mencari kerikil-kerikil itu di tempattempat lain di Tanah Haram, tanpa dicuci. Syaikh Ibnu Baz berkata: “Apa yang dikerjakan oleh sebagian orang untuk mengambil kerikil ketika sampai di Muzdalifah sebelum mengerjakan shalat, kebanyakan mereka berkeyakinan bahwa hal itu masyru’, maka hal ini merupakan kesalahan yang tidak ada asalnya. Nabi SAW tidak memerintahkan untuk diambilkan kerikil, kecuali ketika Beliau meninggalkan Masy’aril Haram menuju Mina.
Kerikil yang diambil berasal dari mana saja sah baginya, tidak harus dari Muzdalifah, akan tetapi boleh diambil di Mina”. 6. Kesalahan Melempar Jumrah a. Anggapan bahwa ketika seseorang sedang melempar Jumrah, ia sedang melempar setan. Karenanya, di saat melempar Jumrah, ia mengiringinya dengan penuh kemarahan dan disertai caci maki terhadapnya. Anggapan dan tindakan semacam ini tidak berdasarkan sunnah. Melempar Jumrah itu hanya semata-mata disyariatkan sebagai bentuk ketaatan kita kepada perintah Allah SWT dan dalam rangka untuk berdzikir kepada-Nya. b. Melempar Jumrah dengan batu besar, atau dengan sepatu, atau dengan kayu. Perbuatan seperti ini adalah berlebih-lebihan dalam masalah agama, yang dilarang oleh Rasulullah SAW. Yang disyariatkan dalam melempar Jumarah hanyalah dengan batu-batu kecil (kerikil) [HR. Ahmad dan Abu Dawud]. c. Berdesak-desakan, sampai saling memukul, di dekat tempattempat Jumrah untuk dapat melempar. Yang disyariatkan adalah agar melempar dengan tenang dan hati-hati, dan berusaha semampu mungkin tanpa menyakiti orang lain. d. Melemparkan kerikil-kerikil tersebut seluruhnya dan sekaligus. Yang disyariatkan adalah melemparkan batu satu persatu sambil bertakbir pada setiap lemparan. Jika seseorang melemparkan tujuh batu sekaligus, menurut
pendapat para Ulama, maka hanya dihitung satu batu saja. e. Tidak berhenti berdo’a setelah me-lempar Jumrah yang pertama dan kedua pada hari tasyrik. Padahal Nabi SAW dahulu berdiri setelah melempar Jumrah ‘Ula dan Wustha, dengan menghadap ke arah kiblat mengangkat kedua tangannya dan berdo’a dengan do’a yang panjang [HR. Ahmad dan Abu Dawud]. f. Mewakilkan kepada orang lain untuk melempar, sedangkan ia sendiri mampu. Hal ini dilakukan karena yang bersangkutan menghindari kesulitan dan desak-desakan. Mewakilkan untuk melempar itu hanya dibolehkan jika seseorang benar-benar tidak mampu melakukannya, misalnya karena sakit. 7. Kesalahan dalam Thawaf Wada’ a. Meninggalkan Mina pada hari Nafar (tanggal 12 atau 13 Dzulhijjah) sebelum melempar Jumrah, dan langsung melakukan Thawaf Wada’, kemudian kembali ke Mina untuk melempar Jumrah. Setelah itu, mereka langsung pergi dari sana menuju negara masing-masing. Dengan demikian, akhir perjumpaan mereka adalah dengan tempat-tempat Jumrah, bukan di Baitullah. Terkait dengan hal ini, Nabi SAW bersabda yang artinya: “Janganlah sekali-kali seseorang meninggalkan Makkah, sebelum mengakhiri perjumpaannya (dengan melakukan Thawaf) di Baitullah” [HR. Abu Dawud]. Maka dari itu, Thawaf Wada’ wajib dilakukan setelah selesai dari seluruh amalan haji, dan langsung beberapa saat sebelum EDISI 14/2013
35
bertolak. Setelah melakukan Thawaf Wada’, jamaah haji hendaknya jangan menetap di Makkah, kecuali untuk sedikit keperluan. b. Setelah Thawaf Wada’, seseorang keluar dari Masjidil Haram dengan berjalan mundur sambil menghadap ke arah Ka’bah. Saat sampai di pintu Masjidil Haram, ia mengucapkan berbagai do’a seakanakan mengucapkan selamat tinggal kepada Ka’bah. Perbuatan ini adalah bid’ah, dan tidak ada dasarnya sama sekali dalam agama. 8. Kesalahan Ziarah Masjid Nabawi a. Mengusap dinding dan tiang besi ketika menziarahi makam Rasulullah SAW dan mengikatkan benang atau semacamnya pada jendelanya untuk mendapatkan berkah. Tindakan semacam ini tidak disyariatkan, bahkan bisa mendatangkan kesyirikan. Sebab, keberkahan hanyalah terdapat dalam hal-hal yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. b. Pergi ke gua di gunung Uhud, Gua Hira dan Gua Tsur, dan mengikatkan potongan kain di tempat itu, di samping membaca berbagai do’a yang tidak diperkenankan Allah, serta bersusah payah untuk melakukan hal-hal tersebut. Begitu pula menziarahi beberapa tempat yang dianggapnya sebagai tanda peninggalan Rasulullah SAW, mengusap-usap dan mengambil benda-benda darinya dengan mengharapkan barakah. Semua itu adalah bid’ah, tidak ada dasarnya sama sekali 36
Berkala Tuntunan ISLAM
dalam syariat Islam yang suci ini. c. Memohon kepada penghuni kuburan ketika ziarah ke makam Baqi’ dan Uhud, serta melemparkan uang ke makam itu demi mendekatkan diri dan mengharapkan barakah dari penghuninya. Menurut pendapat para ulama, berdasarkan Kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, tindakan ini termasuk kesalahan besar, dan bahkan termasuk perbuatan syirik yang terbesar. Karena sesungguhnya ibadah itu hanyalah ditujukan kepada Allah semata, tidak boleh sama sekali mengalihkan tujuan ibadah selain kepada-Nya, seperti dalam berdo’a, menyembelih hewan kurban, bernadzar dan jenis ibadah yang lainnya. Allah berfirman:
Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. Dalam kesempatan lain, Allah juga berfirman:
Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di samping menyembah Allah. Wallahu a’lamu Bis-Shawab. Narasumber utama artikel: Zaini Munir Fadloli
[email protected]
D
alam sebuah hadits shahih, haji mabrur, kata Rasul, pahalanya tiada lain adalah surga. Rasulullah SAW bersabda: "Haji Mabrur tiada pahala yang layak kecuali surga." Para sahabat bertanya: Apakah haji mabrur itu, wahai Nabi? Rasul menjawab: "Memberi makan dan menebar salam" (HR. Ahmad) Pertanyaan para sahabat itu karena mereka ingin mengetahui lebih jelas dan detail mengenai ciri-ciri dan karakteristik haji mabrur, atau, barangkali Rasul mau mencontohkan sosok haji mabrur diantara sahabat yang ada. Ternyata, dijawab oleh Nabi dengan singkat padat: memberi makan dan menebar salam. Beberapa sahabat yang hadir sedikit terkejut mendengar jawaban Nabi itu. Mengapa Nabi tidak menyebut ciri mabrur dengan, misalnya, orang yang sepulang haji lebih rajin shalatnya atau lebih khusyu dzikirnya; yaitu ukuranukuran yang sangat individu dan subyektif. Melainkan Nabi justru menyebut dengan menggunakan ukuran-ukuran sosial: memberi makan dan menebar salam.
3.bp.blogspot.com
MEMAKNAI KEMABRURAN HAJI
Shalat, puasa, dzikir dan sejenisnya adalah bagian tak terpisahkan dari sistem keimanan dan keislaman seseorang. Seorang muslim, sebelum berhaji pun, dituntut mengerjakan shalat, puasa, zakat, zikir dan ibadahibadah formal lainnya, maka sepulangnya dari ibadah haji mestinya secara otomatis kualitas dan kuantitas ibadah-ibadah tadi harus meningkat. Adalah hal aneh dan keliru besar jika seorang haji kualitas ibadahnya malah menurun. Nabi justru ingin mengarahkan kemabruran kepada sesuatu di luar diri kita dan berorientasi sosial kemasyarakatan. "Memberi makan" yang menjadi ciri pertama haji mabrur tidak saja dalam pengertian harfiah menyediakan makanan kepada orang lain, tetapi memiliki makna yang lebih luas, yaitu menyejahterakan. Seseorang dikatakan sejahtera hidupnya apabila ia dapat memenuhi kebutuhan makanannya. Artinya, haji mabrur adalah haji yang kepulangannya ke Tanah Air memiliki komitmen tinggi pada
EDISI 14/2013
37
kesejahteraan masyarakat, yaitu dengan menunjukkan kepedulian dan sikap empati terhadap penderitaan orang lain. Ia akan menjadi pribadi dermawan yang senantiasa ringan tangan mengulurkan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan. Sementara itu, "menebar salam" yang menjadi ciri kedua dari haji mabrur bermakna pada ketenteraman dan kedamaian sosial. "As-salaam" itu sendiri maknanya adalah kedamaian, maka dalam Al-Quran surga disebut juga dengan "Daarus-Salaam" (Kampung Damai). "As-Salaam" juga merupakan salah satu Nama Suci Allah. Dalam hadits itu, Rasul menggunakan kata "menebar" (ifsyaa'), bukan "mengucapkan" (ilqaa'). "Ifsyaa" (menebar) dan "ilqaa'" (mengucapkan) memiliki makna yang berbeda. Jika dua orang bertemu lalu saling mengucapkan salam dan menyapa, maka disebut "ilqaa'us-salaam". Sedangkan "ifsyaa'" bermakna menebar, mempengaruhi dan mensosialisasikan. Maka, menebar salam artinya menebar ketenteraman dan kedamaian di masyarakat. Dengan demikian haji mabrur adalah haji yang kepulangannya ke Tanah Air dituntut mampu membawa ketenteraman dan kedamaian bagi lingkungannya. Pendeknya, ciri haji mabrur seperti yang ditandaskan oleh Rasulullah SAW itu, memberi makan dan
38
Berkala Tuntunan ISLAM
menebar salam, adalah sikap yang menunjukkan kepedulian, empati dan sikap-sikap yang membawa pada ketenteraman dan kedamaian di masyarakat. Maka, jika sekembalinya dari Tanah Suci seorang haji malah menunjukkan sikap acuh, tak peduli, anti-sosial, dan bahkan kehadirannya menyebabkan keresahan dan kegaduhan di masyarakat, maka kemabrurannya perlu dipertanya-kan, karena tidak sesuai dengan kriteria kemabruran dari Rasulullah SAW. Bukan termasuk haji mabrur jika menunjukkan sikap semakin pelit, semakin angkuh, dan memposisikan dirinya lebih tinggi di hadapan orang banyak dengan menuntut perlakuan istimewa dari masyarakat. Sikap-sikap anti sosial yang berpotensi menimbulkan keresahan dan kegaduhan di masyarakat, sebetulnya telah diajarkan pula ketika seseorang sedang melaksanakan ibadah hajinya. Yaitu larangan berkata dan bersikap tak senonoh yang mengandung pornografi dan pornoaksi (rafats), larangan bertindak yang dapat merusak tatanan sosial (fusuq), dan larangan berbantah-bantahan yang dapat menyebabkan perpecahan dan permusuhan di masyarakat (jidal). "Barangsiapa yang mengerjakan haji di Baitullah, maka tidak boleh rafats, fasik dan berbantahbantahan di dalam masa
photo by Nomad Saleh
mengerjakan haji." (Qs. Al-Baqarah [2]: 197). Dalam Hadits ditegaskan lagi: "Barangsiapa yang berhaji dan dia tidak berbuat rafats dan fasik, maka ia akan kembali (bersih dari dosa) seperti pada hari ia dilahirkan oleh ibunya." (HR. Muttafaq alaih) Jika semuanya itu mampu dipahami, dihayati dan diamalkan oleh setiap haji, maka selain akan mendapatkan kemabruran dengan janji pahala surga dari Allah, sudah barang tentu kehadirannya sungguh sangat dinantikan masyarakat. Kata “mabrur” itu sendiri berasal dari bahasa Arab yang artinya adalah mendapat kebaikan. Seperti halnya "birrul-waalidain" bermakna berbuat baik kepada orang tua (birr = mabrur). Dengan demikian, haji mabrur adalah haji yang mendapat kebaikan.
Kafilah haji bangsa Indonesia merupakan yang terbesar di dunia, yaitu sekitar 220 ribu orang tiap tahunnya. Artinya, setiap tahun bangsa ini akan selalu kedatangan sekitar 220 ribu anggota masyarakat baru yang siap menebar kebaikan melalui sikap kedermawanan dan kesantunannya yang diliputi dengan sikap kasih sayang kepada sesama. Maka, alangkah sejahtera dan damainya negeri ini jika mereka semua benarbenar kembali membawa predikat haji mabrur seperti yang diharapkan Rasul itu. Karenanya, haji mabrur adalah aset sekaligus potensi besar yang dimiliki bangsa ini. Semoga! Makkah al-Mukarramah, 13 Dzulhijah 1434 H.
@AnangRikza dari catatan dalam facebook Ustadz. H. Anang Rikza Masyhadi, Lc. EDISI 14/2013
39
Jl. Menteng Raya 62 Jakarta Pusat 10340 t: @lazismu
MEMBERI UNTUK NEGERI
f: lazismu.org
Da’i Mandiri Program pengiriman Juru Dakwah di wilayah pedalaman dan kawasan suku terasing melalui konsep gerakan dakwah dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat.
Save Our Schools LAZISMU mengembangkan gerakan masyarakat dengan tajuk SAVE OUR SCHOOLS, sebuah gerakan untuk pengembangan pendidikan dan penyelamatan sekolah yang mengalami kerusakan melalui pendekatan Integrated Development for Education (IDE).
Tani Bangkit Penanggulangan kemiskinan di kalangan masya-rakat tani dengan menitikberatkan pemberda-yaan petani sebagai pendekatan operasional, merupakan komitmen LAZISMU & MPM Muhammadiyah dalam mewujudkan kesejahteraan sosial bagi masyarakat Indonesia. Pemberda-yaan petani merupakan perwujudan nyata bagi upaya menanggulangi kemiskinan di Indonesia.
Humanitarian Rescue (PKO) Humanitarian Rescue adalah aksi kerja sinergi LAZISMU dan MDMC ( Muhammadiyah Disaster Management Center) yang bergerak dalam bidang layanan kemanusiaan dengan fokus utama penanganan bencana (baik bencana alam maupun sosial) dan kesehatan masyarakat melalui sistem layanan yang terintegrasi (tanggap darurat/ emergency, rehabilitasi dan rekonstruksi).
1000 SARJANA Program 1000 Sarjana adalah program beasiswa kepada lulusan SLTA dari keluarga kurang mampu untuk melanjutkan pendidikan kejenjang kesarjanaan.
Perempuan Berdaya Tuna Daksa Pantang Menyerah Qurban Pak Kumis Gerakan Orang Tua Asuh Youth Entrepreneurship Micro Finance Development Children Care Telp. 021-31 50 400 Faks. 021-31 432 30 SMS: 0856 1 62 62 22 Pin BB: 2777B132
www.lazismu.org 40
Berkala Tuntunan ISLAM
ternyata,
+62-21-31.50.400
Tuntunan Muamalah
KHIYAR DALAM JUAL BELI
Muqaddimah hiyar merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam melaksanakan berbagai aktifitas bisnis, khususnya dalam persoalan jual beli. Saking pentingnya persoalan ini, maka para ulama fikih (fuqaha’) membahasnya secara panjang lebar dalam pembahasan tersendiri atau setidaknya dalam sub pembahasan tersendiri pada bab buyu’ (jual beli). Atas dasar itulah, maka dalam pembahasan kali ini, penulis membahas persoalan khiyar baik dari aspek definisi khiyar, dasar hukumnya, klasifikasinya, problematikanya, dampaknya serta hikmah disyari’atkannya khiyar. Dalam praktiknya, tidak sedikit orang merasa gelo (menyesal) dalam melakukan transaksi jual beli. Penyesalan tersebut dapat terjadi baik di pihak penjual maupun pihak pembeli. Penyesalan umumnya dapat diakibatkan oleh tidak adanya transparansi, tekhnik penjualan yang tidak oftimal sampai persoalan
K
kualitas barang yang ditransaksikan tidak sesuai dengan harapan, baik karena kesengajaan pihak penjual maupun karena ketidak cermatan, kurang hati-hati (tergesa-gesa) atau faktor-faktor lainnya dari pihak pembeli. Padahal salah satu prinsip pokok dalam transaksi jual beli adalah harus didasari oleh sikap saling suka atau saling ridha (Innamal bai’ ‘an taradin; hanya saja jual beli harus didasari saling meridhai) sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi. Atas dasar itulah, agama memberi kesempatan kepada kedua belah pihak yang melakukan transaksi atau akad jual beli untuk memilih antara dua kemungkinan, yaitu melangsungkan transaksi (akad) jual beli atau membatalkannya, atau yang sering disebut dengan khiyar. Pengertian Khiyar Secara lughah (bahasa), khiyar berarti; memilih, menyisihkan atau menyaring. Secara semantik kebahasaan, kata khiyar berasal dari kata khair yang berarti baik. Dengan demikian khiyar dalam pengertian bahasa dapat berarti memilih dan menentukan sesuatu yang terbaik EDISI 14/2013
41
dari dua hal (atau lebih) untuk dijadikan pegangan dan pilihan. Sedangkan menurut istilah, khiyar adalah; hak yang dimiliki seseorang yang melakukan perjanjian usaha (jual-beli) untuk menentukan pilihan antara meneruskan perjanjian jual-beli atau membatalkannya. Macam-Macam Khiyar Khiyar dalam transaksi atau akad jual beli – sebagaimana dijelaskan oleh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya “Al-Fiqhu Al-Islami Wa Adillatuhu”, banyak sekali ragamnya. Ulama Hanafiyah membagi khiyar menjadi 17 macam, dan ulama Hanabilah membaginya menjadi 8 (delapan) macam, yaitu; Khiyar Masjlis, Khiyar Syarat, Khiyar Ghubn, Khiyar Tadlis, Khiyar Aib, Khiyar Takhbir Bitsaman, Khiyar bisababi takhaluf, dan Khiyar ru’yah. Sementara Ulama Malikiyah membagi khiyar menjadi 2 (dua) macam (khiyar mutlak dan khiyar naqishah), yakni apabila terdapat kekurangan atau aib pada barang yang dijual. Sedangkan Ulama Syafi’iyah berpendap bahwa khiyar terbagi dua; Pertama, khiyar at-tasyahhi, yakni khiyar yang menyebabkan pembeli memperlamakan transaksi sesuai dengan seleranya terhadap barang, baik dalam majlis maupun syarat. Kedua, khiyar naqhisah yang disebabkan adanya perbedaan dalam lafazh atau adanya kesalahan dalam pembuatan atau pergantian. (Lihat Al-Fiqhu Al-Islami Wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili, Juz. IV, hlm. 519-522, Damaskus, Dar AlFikri, cet. Ke-2 th.1985). 42
Berkala Tuntunan ISLAM
Agar tulisan ini dapat menjadi sebuah tuntunan praktis, maka dari berbagai pembagian khiyar sebagaimana dikemukakan oleh para ulama tersebut di atas, disini hanya dibahas tiga macam khiyar yang umumnya dijelaskan dalam kitab-kitab fikih mu’tabar dan banyak dilakukan dalam praktek jual-beli masyarakat. Ketiga macam khiyar tersebut adalah; Khiyar Majlis, Khiyar Syarat dan Khiyar Aib. Pertama: Khiyar Majlis (Hak Pilih di Lokasi Perjanjian) Pengertian khiyar majlis adalah; hak untuk memilih bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi atau perjanjian jualbeli, antara melanjutkan atau membatalkan transaksi/perjanjian selama masih berada dalam majlis akad (seperti; di toko, kios, pasar dan sebagainya). Atau, khiyar majlis adalah; kebebasan untuk memilih bagi pihak penjual dan pembeli untuk melangsungkan jual beli atau membatalkannya selama masih berada ditempat jual beli. Apabila kedua belah pihak telah terpisah dari majlis maka hilanglah hak khiyar sehingga perubahan dalam jual beli itu tidak bisa dilakukan lagi. Dalam ungkapan yang paling sederhana, khiar Majlis adalah tawar menawar antara penjual dan pembeli pada saat mereka masih berada di tempat transaksi, yang menyebabkan terjadinya jual beli atau sebaliknya. Dampak dari khiyar majlis adalah, transaksi jual beli dinilai sah dan mengikat secara hukum semenjak disepakatinya akad jual beli hingga mereka berpisah,
Tutorial
Belajar klasikal privat/
Al-Qur’an
Program: Belajar membaca, menerjemah Metode 10 jam (membaca) & Metode al-Khomsah (terjemah) LPA Al-Fadhl Yogyakarta
DION’S Agency Pleret, Banguntapan, Bantul DIY
menyediakan: Berbagai buku agama, majalah Islam, LKS SD & SMP, dll.
Distributor
Berkala Tuntunan ISLAM wilayah Jogja Timur, dsk. selama mereka berdua tidak mengadakan kesepakatan untuk tidak ada khiyar, atau kesepakatan untuk menggugurkan hak khiyar setelah dilangsungkannya akad jual beli. Landasan Hukum Khiyar Majlis Landasan dasar disyariatkannya khiyar ini berdasarkan hadits-hadits Nabi SAW., antara lain:
“Dari Ibnu Umar ra. dari Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda, “Apabila ada dua orang melakukan transaksi jual beli, maka masingmasing dari mereka (mempunyai) hak khiyar, selama mereka belum berpisah dan mereka masih ber-kumpul atau salah satu pihak memberikan hak
Sumardiyono
0852.9180.4469 “Anda Menelpon Kami Datang” khiyarnya kepada pihak yang lain. Namun jika salah satu pihak memberikan hak khiyar kepada yang lain lalu terjadi jual beli, maka jadilah jual beli itu, dan jika mereka telah berpisah sesudah terjadi jual beli itu, sedang salah seorang di antara mereka tidak (meninggalkan) jual belinya, maka jual beli telah terjadi (juga).” (HR. Al.Bukhari dan Muslim)
“Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Pembeli dan penjual (mempunyai) hak khiyar selama mereka belum berpisah, kecuali jual beli dengan akad khiyar, maka seorang di antara mereka tidak boleh meninggalkan rekannya karena khawatir dibatalkan.” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i).
EDISI 14/2013
43
Kedua: Khiyar Syarat (hak pilih berdasarkan persyaratan) Khiyar Syarat yaitu, khiyar yang dijadikan syarat pada waktu akad jual beli, artinya pembeli atau penjual memilih antara meneruskan atau membatalkan transaksi sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan. Setelah hari yang ditentukan itu tiba, maka jual beli itu harus dipastikan apakah dilanjutkan atau tidak. Dalil yang dijadikan dasar disyariatkan (kebolehan) khiyar Syarat adalah hadits yang diriwayatkan imam al-Bukhari, Musllim, Nasa’i dan Abu Dawud:
“Dari Abdillah bin al-Harits, dari Hakim bin Hizam bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Dua orang yang melakukan jual beli mempunyai hak khiyar dalam jual belinya selama mereka belum berpisah, jika keduanya jujur dan keduanya menjelaskannya (transparan), niscaya diberkahi dalam jual beli mereka berdua, dan jika mereka berdua menyembunyi-kan atau berdusta, niscaya akan dicabut keberkahan dari jual beli mereka berdua. Abu Dawud berkata “sehingga mereka berdua berpisah atau melakukan jual beli dengan akad khiyar.” 44
Berkala Tuntunan ISLAM
(HR. Al-Bukhari-Muslim dan imam ahli hadis lainnya)
“Dari Nafi’ dari Ibnu Umar; bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: Dua orang yang melakukan jual beli, masing-masing mereka memiliki hak untuk memilih atas saudaranya (teman akadnya) selama mereka berdua belum berpisah kecuali jual beli dengan menggunakan akad khiyar.” (HR. Muslim).
“ Nabi SAW bersabda: Apabila kamu menjual maka katakanlah dengan jujur dan jangan menipu. Jika kamu membeli sesuatu maka engkau mempunyai hal pilih selama tiga hari, jika kamu rela maka ambillah, tetapi jika tidak maka kembalikan kepada pemiliknya.” (HR. Ibnu Majah) Secara faktual, khiyar syarat sebagaiman dijelaskan di atas sangat dibutuhkan oleh seseorang dengan berbagai alasan dan pertimbangan, sehingga kedua belah pihak merasa nyaman dan hak-hak mereka terlindungi.
Namun terkait dengan batas maksimal waktu kebolehan khiyar Syarat, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Dalam hal ini pendapat para ulama dapat dikategorikan menjadi tiga pendapat: Pertama: Mazhab Hanafi, Syafi’i dan Zhahiri berpendapat; bahwa tidak boleh bagi kedua belah pihak yang berakad atau salah satunya untuk memberikan syarat lebih dari tiga hari untuk jenis barang apa saja. Jika kedua-nya atau salah satunya menyaratkan lebih dari tiga hari, maka akadnya menjadi rusak (tidak sah). Kedua: Mazhab Hambali, Al-Auza’i dan sebagian ulama Hanafi berpendapat; kedua belah pihak boleh mensyaratkan lebih dari tiga hari asalkan penjual merelakannya (ridha). Sedangkan yang ketiga; Madzhab Maliki berpendapat; bahwa tempo khiyar berbeda-beda berdasarkan perbedaan barang yang dijual apakah ia termasuk barang yang perlu ada khiyar untuk mencari informasi atau meminta pendapat keluarga atau pihak yang ahli di bidangnya, seperti dalam satu, dua atau tiga hari untuk memilih baju, satu bulan untuk membeli tanah, semuanya ditetapkan berdasarkan keperluan dan pertimbangan barang yang dijual. Dari ketiga pendapat ulama’ tersebut, tentu yang paling realistis adalah gabungan dari pendapat yang kedua dan ketiga, yaitu kebolehan untuk melakukan hak khiyar disesuaikan dengan keperluan dan pertimbangan barang serta keridhaan dari pihak penjual. Jika tengggang waktu khiyar yang disyaratkan habis tanpa pernah terjadi pe-
nolakan atau meneruskan akad pada saat tenggang waktu masih tersisa, maka khiyar dianggap gugur, sebab ia terbatas dengan tenggang waktu tertentu, dan sesuatu yang dibatasi dengan batas waktu (limits) tertentu maka ia dianggap habis jika masa itu tiba. Perbedaan dan Persamaan Antara Khiyar Syarat dan Garansi Jika mencermati pengertian, tujuan dan maksud disyariatkannya khiyar Syarat, maka dapat difahami bahwa antara khiyar Syarat dan garansi memiliki perbedaan yang cukup mendasar sekalipun dalam hal tertentu memiliki sisi kesamaan. Perbedaan mendasarnya adalah; bahwa Khiyar Syarat merupakan suatu transaksi antara penjual dan pembeli yang dapat menyebabkan terjadinya pembatalan transaksi jual beli sesuai dengan kesepakan kedua belah pihak. Sedangkan garansi umumnya merupakan salah satu bentuk pelayanan pihak penjual untuk menjamin kualitas barang, dimana selama waktu yang telah ditentukan, penjual memberikan perawatan terhadap barang yang telah dijual jika terjadi sesuatu, baik menyangkut perawatan maupun kerusakan dan tidak berakibat pada pembatalan transaksi jual beli. Adapun persamaannya adalah, baik khiyar Syarat maupun sistem garansi, sama-sama memiliki motip untuk menjamin hak-hak mereka (penjual dan pembeli) sehingga mereka tidak merasa dirugikan dan terciptanya kepuasan dan saling ridha antara mereka berdua sesuai EDISI 14/2013
45
dengan spirit yang diajarkan oleh Rasulullah SAW “Innamal bai’‘an tarhadin” (hanya saja jual beli harus atas dasar saling meridhai). Ketiga: Khiyar ‘Aib (hak pilih karena cacat barang) Yang dimaksud khiyar ‘aib adalah; hak untuk memilih antara membatalkan atau meneruskan akad jual belli apabila ditemukan kecacatan (aib) pada obyek (barang) yang diperjualbelikan, sedang pembeli tidak mengetahui adanya kecacatan pada saat akad berlangsung. Jika seseorang membeli barang yang mengandung kecacatan dan ia tidak mengetahuinya hingga si penjual dan si pembeli berpisah, maka pihak pembeli berhak mengembalikan barang dagangan tersebut kepada 46
Berkala Tuntunan ISLAM
penjualnya, dengan meminta ganti barang yang baik atau meminta kembali uangnya, atau sesuai dengan perbandingan kerusakan dan harganya. Dalam khiyar ‘aib, pembeli memiliki dua pilihan (hak khiyar) apakah ia rela dan puas terhadap barang yang dibelinya ataukah tidak. Jika pembeli rela dan merasa puas dengan kecacatan yang ada pada barang, maka khiyar tidak berlaku baginya. Namun jika ia menolak dan mengembalikan barang kepada pemiliknya, maka akad jual beli tersebut batal. Sehingga konsekuensinya, bagi pihak penjual harus menerima pengembalian barang tersebut jika kecacatannya murni dari pihak penjual (cacat bawaan) dan bukan karena kelalaian ata kesalahan pembeli seperti akibat terjatuh dan lainnya.
Dalam hal mengembalikan barang yang cacat tersebut, pihak pembeli hendaknya mengembalikannya dengan segera tanpa menunda-nunda. Karena menunda-nunda waktu pengembalian – terlebih lagi dalam waktu yang cukup lama – merupakan salah satu bentuk melalaikan tanggung jawab, sehingga ia dapat dianggap rela terhadap barang yang cacat, kecuali karena ada halangan yang dapat dibenarkan dan dimaklumi bersama. Dasar Hukum Khiyar ‘Aib Dasar hukum disyari’atkannya Khiyar aib dapat dijumpai penjelasannya dalam berbagai hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, antara lain hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah, ad-Daruqutni, al-Hakim dan atThabrani dari Uqbah bin Amir ra.:
“Bahwasanya Nabi SAW bersabda: Muslim yang satu dengan Muslim lainnya adalah bersaudara, tidak halal bagi seorang muslim menjual barangnya kepada muslim lain, padahal pada barang tersebut terdapat aib/cacat melainkan dia harus menjelaskannya”. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, AdDaraquthni, Al-Hakim dan Ath-Thabrani) Faktor yang menghalangi pembatalan akad dan pengembalian barang Ketentuan dalam pembatalan akad dan pengembalian barang cacat telah
banyak dirumuskan dalam kitab-kitab fikih, termasuk faktor-faktor yang menghalangi pembatalan akad dan pengembalian barang. Dalam pembahasana ini dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama: Pihak pembeli ridha setelah mengetahui adanya kecacatan barang, baik dengan mengucapkkannya secara langsung atau berdasarkan petunjuk/indikator lainnya. Misalnya; membeli buah yang sudah diumumkan atau diberitahukan kecacatannya oleh pihak penjual seperti sudah layu atau sebagiannya ada yang rusak, lalu pembeli rela/ridha membelinya setelah terjadi penyesuaian harga, maka pembatalan dan pengembalian barang tidak dapat dilakukan (tidak ada hak khiyar ‘aib). Kedua: Menggugurkan Khiyar, baik secara langsung atau adanya indikator/ petunjuk lainnya. Seperti ucapan seorang pembeli, “Aku telah menggugurkan khiyar (hak pilih) ku”, atau setelah ia mengetahui adanya kecacatan barang, si pembeli tidak mengembalikan barang tersebut dalam jangka waktu yang cukup lama atau bahkan barang yang dibelinya sudah berubah wujud atau habis karena telah dikonsumsi. Ketiga: Barang rusak karena perbuatan pembeli atau berubah dari bentuk aslinya. Seperti gelas pecah atau retak karena terjatuh oleh pihhak pembeli, atau sebagian barang ada yang tidak utuh atau hilang akibat kelalaian pembeli. Namun apabila pembeli dan penjual berselisih tentang pihak yang menyebabkan terjadinya kecacatan barang, sementara transaksi sudah selesai diEDISI 14/2013
47
lakukan serta tidak ada bukti yang menguatkan salah satunya, maka menurut para ulama’ pernyataan penjuallah yang dimenangkan atau yang diterima setelah disumpah. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Dari Ibnu Mas’ud ra berkata; Rasulullah SAW bersabda: Apabila penjual dan pembeli berselisih maka perkataan yang diterima adalah perkataan penjual, sedangkan pembeli memiliki hak pilih “. (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad) (Imam at-Tirmidzi menjelaskan bahwa hadis ini termasuk hadis mursal karena salah seorang rawi bernama ‘Aun bin Abdillah tidak bertemu langsung dengan Ibnu Mas’ud, namun AlAlbani menshahihkannya)
“Dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya dari kakeknya; bahwasanya Nabi SAW bersabda dalam khutbahnya: mendatangkan bukti (al-Bayyinah) bagi pengklaim/penuduh dan harus bersumpah bagi yang tertuduh”. (HR. at-Tirmidzi) (hadits ini dikuatkan dari berbagai sumber yang kuat baik dengan 48
Berkala Tuntunan ISLAM
lafaz yang hampir sama maupun dengan lafaz yang berbeda). Hikmah Disyari’atkan Khiyar Hikmah disyariatkannya khiyar (hak untuk memilih) dalam Islam sangat banyak sekali dan bersifat menyeluruh serta jangka panjang. Bahkan khiyar dalam bisnis Islami memiliki peranan yang sangat penting dan strategis untuk menjaga kepentingan, transparansi, kemaslahatan, kerelaan antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi serta melindungi mereka dari bahaya dan kerugian bagi semua pihak. Akhirnya, sebagai kesimpulannya, secara lebih rinci dapat dikemukakan beberapa hikmah disyari’atkan khiyar dalam Islam, antara lain: (1) dapat mempertegas adanya kerelaan dari pihakpihak yang terikat dalam transaksi jual beli; (2) mendatangkan kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak (penjual dan pembeli); (3) menghindarkan terjadinya penipuan dalam urusan jual beli; (4) Menjamin kejujuran dan transparansi bagi pihak penjual dan pembeli; (5) Menjamin kesempurnaan proses transaksi; (6) untuk menjaga agar tidak terjadi perselisihan atau pertengkaran antara penjual dan pembeli, dan lain-lain. Wallahu A’lam bis Shawab. Narasumber utama artikel: Ruslan Fariadi
[email protected]
Sarah Hadits
SURGA UNTUK HAJI MABRUR
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf, telah mengabarkan kepada kami Malik dari Sumayya, maula Abu Bakar bin ‘Abdur Rahman dari Abu Shalih As-Samman dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu bahwa Nabi SAW berkata: “Umrah ke ‘umrah berikutnya menjadi penghapus dosa antara keduanya dan haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga”. [Muttafaq ‘alaih]
Takhrij & Sanad Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dariAbdullah bin Yusuf; yang bersambung kepada Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir; dari Sumayya, maula Abi Bakar Bakar bin ‘Abdur Rahman bin Al Harits bin Hisyam; dari Dzakwan yang dikenal sebagai Abu Shalih As-Saman; dari Abdur Rahman bin Sakhr alias Abu Hurairah. Diriwayatkan juga oleh Muslim, dan 5 ulama perawi hadits yang lain (Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam menyimpulkan ada 6 hadits pembanding lain yang sama dengan riwayat Imam Bukhari, oleh 6 perawi hadits lain). Derajat hadits ini, menurut ijma’ ulama adalah shahih. Semua perawi hadits dinilai oleh mayoritas ulama sebagai tsiqah.
SYARAH Keistimewaan Makkah dan Haji Sebelum membicarakan tentang makna haji mabrur, ada baiknya kita kemukakan tentang keistimewaan Makkah dan keutamaan-keutamaan ibadah haji. Rasulullah SAW adalah warga Makkah. Beliau lahir, tumbuh dan besar di dekat Ka’bah, yaitu di kampung yang bernama Ma’la, terletak di sebelah timur dari Masjidil Haram. Nabi meninggalkan Makkah menuju ke Yatsrib (Madinah) karena perintah Allah untuk berhijrah, akibat tekanan kaum Quraisy yang menentang dakwah beliau. Ketika hendak meninggalkan Makkah tersebut, sambil berjalan pelan Nabi masih terus melihat ke arahnya sambil EDISI 14/2013
49
mengucapkan hadits di atas. Kecintaan beliau terhadap tanah kelahirannya tersebut tidak dapat beliau sembunyikan. Kecintaan kepada tanah air adalah bagian dari naluri manusiawi seseorang yang berbudi dan beradab. Selain faktor manusiawi, kecintaan Nabi kepada kota Makkah ini dapat dilihat pula dari sisi ketuhanan (ilahiyah) yang digambarkan sebagai “bumi yang paling mulia di sisiNya”. Beberapa ayat berikut mengungkapkan tentang keistimewaaan kota Makkah.
Dan Dia-lah (Allah) yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Makkah sesudah Allah memenangkan kamu atas mereka, dan adalah Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Fath/48: 24)
Dan betapa banyaknya negeri yang (penduduknya) lebih kuat dari pada (penduduk) negerimu (Muhammad) yang telah mengusirmu itu. Kami telah membinasakan mereka, maka tidak ada seorang penolongpun bagi mereka. (QS Muhammad/47: 13) Allah SWT telah bersumpah dengan nama kota suci Makkah ini didalam 50
Berkala Tuntunan ISLAM
firman-firman-Nya berikut:
Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Makkah). Dan kamu (Muhammad) bertempat di kota Makkah ini, (QS al-Balad/90: 1-2)
Dan demi kota (Makkah) ini yang aman, (QS at-Tin/95: 3) Kota Makkah ini dijadikan Allah sebagai tempat beribadah para hambanya sepanjang masa, dari manusia pertama Adam a.s., Ibrahim a.s. sampai Nabi Muhammad SAW beserta seluruh ummatnya sampai akhir zaman. Allah SWT membangun “Rumah-Nya” (Baitullah, Ka’bah) di kota ini, sebuah tempat yang tidak boleh seorang pun masuk ke dalamnya kecuali dengan kerendahan hati, khusyu’, dengan kepala terbuka serta meninggalkan bentuk pakaian dan perhiasan dunia. Inilah tempat, dimana Allah SWT menjadikannya sebagai penghapus dosa-dosa masa lalu. Di Makkah pula, Allah menempatkan Masjid-Nya yang mulia, yaitu Masjidil Haram, masjid yang pertama kali di muka bumi, dimana tidak ada suatu masjid pun yang orang shalat di dalamnya yang pahalanya akan dilipatgandakan.
Dari Jabir bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Shalat di masjidku lebih utama seribu kali dari shalat di masjid selainnya, kecuali Masjidil Haram. Dan shalat di masjidil haram lebih utama seratus ribu kali dari shalat di tempat selainnya. “ (HR Ibnu Majah; hadis no. 1396) Jika dihitung dengan kalkulasi matematika, maka pahala keutamaan shalat di Masjidil Haram setara dengan shalat di masjid lain selama 55 tahun 6 bulan dan 20 malam. Dalam kisah yang diriwayatkan oleh Abu Dzar, sebagaimana terekam dalam Shahih Muslim dalam bab ‘al-Masajid” (no. 808), Rasulullah SAW menegaskan bahwa masjid yang pertama kali dibangun di muka bumi ini ialah Masjidil Haram, kemudian Masjidil Aqsha. Jarak pembangunan keduanya ialah 40 tahun. Di dalam al-Qur ’an telah ditegaskan bahwa:
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. (QS Ali Imran/3: 96) Makkah adalah satu-satunya tempat di muka bumi ini, dimana Allah SWT mewajibkan bagi orang-orang mukmin yang mampu mengunjunginya, dan tidak ada sejengkal bumi pun yang Allah wajibkan hamba-hamba-Nya untuk menghadap dan melambaikan tangan,
kecuali kepada Ka’bah, Hajar Aswad dan Rukun Yamani, serta merupakan kiblat kaum beriman sepanjang masa. Di kota suci ini, kaum muslimin menapak-tilasi jejak kehidupan dan peribadatan nenek moyang kaum beriman, yaitu Nabi Ibrahim a.s. Mereka tiada lain ialah para hambanya yang dipilih-Nya untuk menyambut seruan Nabi Ibrahim a.s. sekaligus melaksanakan titah Ilahi.
Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus (karena payah berjalan) yang datang dari segenap penjuru yang jauh (QS al-Hajj/22:27)
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji, padahal dia mampu) maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS Ali Imran/ 3: 97) Puncak ketaatan hamba kepada Allah disimbolkan dalam penyembelihan hewan Qurban. Para ulama berpendapat EDISI 14/2013
51
bahwa menyembelih hewan qurban adalah simbol dari ajaran Islam yang mengajarkan agar sifat-sifat kebinatangan dalam diri manusia harus dikorbankan, seperti sifat rakus, ingin menang sendiri, hidup dengan mengandalkan ototnya dalam mengatasi permasalahan, bukan dengan akalnya yang merupakan kelebihan manusia, dan sebagainya. Menapak tilas kisah Nabi Ibrahim dalam ketaatan melaksanakan perintah menyembelih putranya Ismail, Allah menggantikan Ismail a.s. dengan seekor gibas yang gemuk, padahal kedua bapak-anak itu sudah pasrah untuk menaati perintah Allah. Hal ini menegaskan bahwa mengorbankan manusia (atau kemanusiaan) untuk tujuan ritual, sebagaimana tradisi umat-umat sebelumnya, tidak diperkenankan lagi. Inilah puncak ketaatan hamba kepada Rabb-nya; bahwa apabila perintah Allah telah datang, maka segala sesuatu menjadi tidak berharga, bahkan nyawa sekalipun. Melalui kisah ini, Allah menegaskan bahwa Dzat-Nya, berikut perintah-perintahNya, harus diletakkan lebih tinggi melebihi dari apapun yang ada di dunia ini. Ketika melaksanakan ibadah haji atau umrah, selain Ka’bah dan Makkah, kaum mukminin dapat juga menelusuri jejak perjuangan Rasulullah dari Arafah, Mina, Gua Hira’, Gua Tsur, Tan’im, al-Hudaibiyah, Muzdalifah, Masjid Namirah, hingga Darul Arqam, dan sebagainya. Biasanya, mereka mengunjungi juga kota Madinah al-Munawwaroh untuk berziarah ke makam Rasulullah SAW, Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. dan Umar ibn 52
Berkala Tuntunan ISLAM
Khattab r.a. serta sahabat-sahabat lain yang dimakamkan di pemakaman Baqi’ al-Gharqad, dan memberi salam kepada mereka. Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak seorangpun yang memberikan salam kepadaku, melainkan Allah akan mengembalikan ruhku kepadaku, agar aku bisa membalas salamnya”. (Ibn Taimiyyah menyatakan bahwa hadits ini jayyid, sedangkan menurut al-Albani, hadits ini hasan). Mengunjungi (ziarah) ke Madinah bukanlah rukun haji maupun umrah. Mengunjungi Madinah dilakukan oleh kaum mukminin sebagai bentuk ta’dhim (rasa hormat yang tinggi) kepada Nabi SAW dan para sahabat, sekaligus dalam rangka mengenang jerih payah perjuangan mereka dalam menyebarkan risalah Islam, agar umat Islam terdorong untuk meneladani dan mengembangkannya di segenap penjuru bumi. Rasulullah menganjurkan untuk mengunjungi Masjid Nabawi dalam hadits berikut:
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi SAW. bersabda: “Tidaklah ditekankan untuk berziarah kecuali untuk mengunjungi tiga masjid,
Masjidil Haram, Masjid Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam (Masjid Nabawi, Madinah) dan Masjidil Aqsha”. (Muttafaq ‘alaih) Makna Haji Mabrur Haji mabrur adalah sesuatu yang istimewa, sebagaimana istimewanya Tanah Suci. Namun, ada salah kaprah dalam masyarakat, bahwa haji Mabrur seolah-olah merupakan suatu gelar yang semata-mata melekat begitu saja sepulang dari Tanah Suci. Tidaklah demikian! Menjadi haji mabrur adalah sesuatu yang harus diusahakan dengan amal. Sebab, kata ‘mabrur” itu berakar dari kata ‘albirr” yang bermakna baik atau kebaikan. Kebaikan tidak akan terwujud tanpa diiringi dengan usaha dan amal shaleh. Sebagian ulama mengartikan “mabrur” dengan “maqbul”, yakni haji yang diterima oleh Allah SWT. Dengan kata lain, gelar haji mabrur harus berefek pada sikap dan perilaku sehari-hari yang menunjuk pada hal-hal yang baik dan dapat diterima dalam pandangan Allah dan manusia. Artinya, haji mabrur harus dapat menggabungkan antara aspek keberimanan (amana) dengan amal shaleh (amila al-shalihat), serta harus dapat menyeimbangkan antara hubungan dengan Allah (hablun minallah) dan mu’amalahnya dengan sesama manusia (hablun minannas). Tidak menyakiti orang lain, menghina, berbohong, menipu, dan segala bentuk perbuatan buruk lainnya adalah perilaku yang harus dijauhi dan ditinggalkan. Sebaliknya, Menepati janji, menyantuni
fakir miskin dan anak-anak yatim, menolong orang yang sedang kesusahan, ikut berkiprah dalam mengembangkan lembaga pendidikan Islam, melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, dan segala sesuatu yang baik adalah diantara perilaku yang harus diwujudkan dan senantiasa menghiasi kehidupan seorang haji mabrur. Banyak orang telah menunaikan ibadah haji ke Baitullah, mulai dari orang biasa yang mampu mengumpulkan uang guna membeli tiket ONH ke Tanah Suci, para pedagang, karyawan, guru, dosen, pengusaha, lurah, camat, bupati, gubernur hingga presiden. Tetapi, apakah haji mereka mendapat kemabruran? Ataukah hanya sekedar ‘mabur’ (terbang, bhs. Jawa, karena naik pesawat terbang) Itulah permasalahannya. Haji mabrur, jika dipikirkan secara mendalam, sesungguhnya adalah potensi yang luar biasa sekaligus investasi umat Islam. Seandainya setiap jamaah haji mendapat kemabrurannya, maka alangkah mudah dan cepatnya kita bisa melakukan perbaikan kehidupan dalam segala bidang. Setiap tahun, Indonesia memberangkatkan lebih kurang 200 ribu jamaah haji. Maka, minimal setiap tahun kita akan memperoleh 200 ribuan orang yang siap melakukan perbaikan-perbaikan, apalagi jika mereka bersedia mentransformasikan kebaikan kepada orang lain, baik melalui jabatan strukturalnya maupun secara kultural. Inilah antara lain makna yang harus dihayati dan dilaksanakan oleh seorang yang merasa mendapatkan haji mabrur. EDISI 14/2013
53
hamariweb.com
Sebab, haji mabrur itu balasannya tak lain adalah surga, sebagaimana sabda Nabi yang dituliskan di muka. Tidak mungkin kiranya haji mabrur adalah buah dari ibadah ritual pribadi seseorang kepada Allah, tanpa diikuti oleh usahanya melaksanakan kebaikan-kebaikan yang menjadi kewajiban setiap muslim. Bukanlah disebut kebaikan jika sekedar menghadapkan wajah ke timur atau ke barat, sebagaimana firman Allah berikut.
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaikan (al-birr), akan tetapi sesungguhnya kebaikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Akhir, malaikatmalaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orangorang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; 54
Berkala Tuntunan ISLAM
dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orangorang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orangorang yang bertakwa. (al-Baqarah/2: 177) Tim Redaksi
[email protected] disarikan dari Hadits-Hadits Politik, Anang Rikza Masyhadi, Penerbit Suara Muhammadiyah, 2005
Pondok Pesantren dan Panti Asuhan An-Najwa Dikembangkan oleh Takmir Masjid An-Najwa dan Pimpinan Cabang Muhammadiyah Sewon Utara, Bantul, Ponpes ini tengah membangun gedung pondok pesantren dan panti asuhan di atas tanah wakaf seluas + 1.102 m2. Rencana pembangunan membutuhkan biaya sekitar Rp 2,3 milyar. Saat ini telah menghabiskan dana lebih dari Rp 280 juta. Ponpes dan Panti Asuhan An-Najwa beralamat di Dusun Kweni RT 02, Panggungharjo, Sewon, Jalan Bantul Km. 5 Yogyakarta. Panitia dan PCM Sewon Utara dengan ini mengharapkan bantuan dana zakat, infaq, shadaqah Bapak/Ibu/ Saudara sekalian, yang dapat ditransfer melalui rekening BPD DIY Cabang Bantul Kantor Kas Sewon no. 004.211.022130 atas nama PONPES DAN PANTI ASUHAN AN-NAJWA. Jazakumullah khaira. KONTAK PERSON: Sukiman 0274-372787 | Haryadi 087738316882.
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan harta di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayarannya kepadanya dengan berlipat ganda yang banyak. (QS al-Baqarah: 245)