INTERSEPSI HUJAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEMINDAHAN ENERGI DAN MASSA PADA HUTAN TROPIKA BASAH STUDI KASUS TAMAN NASIONAL LORE LINDU
ABDUL RAUF
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa segala
pernyataan dalam Disertasi ini
berjudul :
Intersepsi Hujan Dan Pengaruhnya Terhadap Pemindahan Energi Dan Massa pada Hutan Tropika Basah ” Studi Kasus di Taman Nasional Lore Lindu “ adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicamtumkan dalam Daftar Pustaka
Bogor, Nopember 2008
Abdul Rauf G261030011
ii
ABSTRACT ABDUL RAUF Rainfall Interception and Effects to Energy and Mass Transfer in Tropical Rainforest “Case Study in Lore Lindu National Park” under Supervision Committee of HIDAYAT PAWITAN, CECEP KUSMANA, TANIA JUNE and GODE GRAVENHORST Field observation of this research was conducted from June 2005 – May 2007 in tropical rainforest at Lore Lindu National Park Central Sulawesi. The main objectives of this research were to study (i) the relationships between interception loss and rainfall properties and vegetation characters and to determine the dominant factors affected (ii) the effect of rainfall interception on energy flux and mass transfer and (iii) the dynamics of vertical energy flux under the forest and grass land. Rainfall interception was 36.34 % of the gross rainfall with 200 rain days, Depth rainfall and LAI factors had strong effects on rainfall interception. The relationships could be expressed as Ic=0,99+0,24P+0,04LAI (R2 = 0.78). The output of this equation was compared with Gash model and the observation value showed that deviation of the equation was 1 % and less than Gash model, so that equation gave as good result as Gash model gave. By considering the data requirements and calculation procedures it was concluded that this equation is applicable for interception prediction. Land use type had effects on radiative and energy balance. Net radiation (Rn) in the forest was 10.66 MJ/m2/day and higher than in the grass land where incident global radiation was similar. Vertical latent heat flux in the forest was 9.53 MJ/m2/day or 89.40% Rn in rainy day and 8.41 MJ/m2/day or 74.56 % Rn in dry day, on the other hand, in the grass land, sensible heat flux was higher than latent heat flux of all weather condition. Direct effect of rainfall interception on energy flux and mass transfer it is needed latent heat 9.0 MJ/m2/rainy day to evaporate the rain intercepted 3.69 mm/rainy day. Effect of rainfall interception had positive correlation with latent heat flux and the negative correlation with sensible heat flux. key word :rainfall interception, energy and mass transfer and tropical rainforest
iii
RINGKASAN ABDUL RAUF. Intersepsi Hujan dan Pengaruhnya Terhadap Pemindahan Energi Dan Massa pada Hutan Tropika Basah ” Studi Kasus Taman Nasional Lore Lindu” dibimbing oleh HIDAYAT PAWITAN, Tania June, CECEP KUSMANA, and GODE GRAVENHORST Intersepsi hujan merupakan salah satu komponen hidrologi yang mengalami gangguan akibat alih fungsi lahan. Proses hidrologi ini tidak hanya penting dari sisi hidrologi terutama produksi air tetapi juga dari sisi meteorologi karena berkaitan dengan limpahan energi sehingga akan berdampak pada neraca energi. Untuk mengungkap fakta empiris peranan hutan terhadap lingkungan biofisik dan dampak yang akan timbul akibat deforestasi maka dilakukan kajian intersepsi hujan sebagai satu kesatuan daur hidrologi yang mengintegrasikan antara karakter vegetasi dan sifat hujan. Penelitian ini merupakan pengembangan dari meteri penelitian kerjasama internasional tentang stsbility of rainforest margin (STORMA) di Taman Nasional Lore Lindu antara IPB dan Univ. Tadolako dari Indonesia dan Kassel Univ dan Gottingen Univ. dari German Tujuan penelitian ini adalah (i) mengkaji hubungan intersepsi hujan dengan karakter vegetasi dan sifat hujan, (ii) mengkaji dinamika energi pada penggunaan lahan yang berbeda, dan (iii) mengkaji pengaruh intersepsi hujan terhadap dinamika energi energi . Hasil yang diperoleh pada penelitian ini berupa (i) nilai intersepsi hujan dan parameter penduga intersepsi (ii) model pendugaan intersepsi hujan, (iii) besaran kuantitatif dan pola aliran vertikal energi pada hutan dan padang rumput melalui neraca radiasi. Diharapkan hasil yang diperoleh dapat memperkaya ilmu pengetahuan dan menjadi masukan pada pengelolaan hutan tropika basah secara umum, khususnya Tanaman Nasional Lore Lindu. Penelitian lapangan dilakukan di hutan Babahaleka dalam Kawasan Taman Nasional Lore Lindu selama Mei 2005 – Juni 2007. Data yang dikumpulkan meliputi karakter vegetasi, curahan tajuk dan aliran batang pada plot sampling. Plot sampling dibuat dengan metode garis berpetak yang secara keseluruhan berjumlah 12 plot dengan ukuran masing masing 20*20 m. Jarak antar garis dan antar plot adalah 100 m. Adapun data meteorologi berupa curah hujan, radiasi neto, radiasi global diukur pada puncak kanopi hutan (48 m dari permukaan tanah) sedangkan data suhu dan kelembaban udara diukur pada tiga level ketinggian yaitu 24,36 dan 69 m dari permukaan tanah). Secara keseluruhan pengukuran tersebut dilakukan pada Tower klimatologi milik STORMA. Untuk melengkapi kajian tentang dinamika energi maka dilakukan pengukuran unsur meteorologi pada padang rumput berupa suhu udara, kelembaban udara pada ketinggian 0,3 dan 2 m dari permukaan tanah, radiasi neto dan radiasi global pada ketinggian 2 m dari permukaan tanah. Analisis dan sintesis data sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, dilakukan dengan mengadopsi dua metode yaitu intersepsi hujan dengan model Gash sedangkan dinamika energi dihitung dengan metode neraca energi bowen ratio (NEBR) Secara umum kerapatan pohon di lokasi penelitian mencapai 246 batang/ha sedangkan kelompok permudaan hutan potensinya sangat besar yakni sebanyak 26275 pohon/ha. Adapun luas tajuk adalah 12,05-99,82 m2 dengan indeks luas daun (ILD) dan penutupan permukaan masing-masing 4,80 – 6,43 dan 68,5 ~ 92,5 %. Hasil pengukuran pada tahap I (Juni 2005 – Mei 2006) diperoleh curah hujan total sebanyak 1.888,9 mm dengan 200 hari hujan atau 9,4 mm per hari hujan. Di kawasan ini curah hujan didominasi oleh jeluk 1-5 mm/hh ( 34,5 % total hari hujan) dengan intensitas 1-10 mm/jam (72 % dari total
iv
hari hujan) dan sifatnya cenderung konsisten pada tahap II (Juni 2006 – Mei 2007). Pengukuran tahap I diperoleh intersepsi hujan sebanyak 36,34 % dari curah hujan tahunan, kapasitas tajuk sebanyak 1,17 mm, curah hujan yang dibutuhkan untuk menjenuhkan tajuk berdasarkan model Gash adalah 1,37 mm. Adapun pengukuran tahap II diperoleh intersepsi hujan sebanyak 601,3 mm dari total hujan sebanyak 1659 mm (36,25 %) dengan 181 hari hujan. Pada curah hujan <5 mm intersepsi hujan mencapai 61,2 % dan nilai ini mngalami penurunan secara nyata menjadi 27,1% pada curah hujan >20 mm. Melalui persamaan regresi antara sifat hujan dan karakter vegetasi dengan intersepsi hujan maka teridentifikasi faktor yang dominan mempengaruhi intersepsi hujan adalah jeluk hujan dan ILD. Hubungan matematika kedua faktor tersebut terhadap intersepsi hujan adalah Ic=0,99+0,24P+0,04LAI (R2 = 0,78). Nilai prediksi intersepsi hujan dari persamaan ini beserta nilai prediksi model Gash baik pada tahap I maupun pada tahap II menunjukkan beda dari persamaan tersebut terhadap hasil pengukuran langsung lebih kecil dibandingkan dengan model Gash. Ini berarti persamaan intersepsi hujan yang diperoleh layak dipergunakan untuk berbagai kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya air di kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Respon fisik suatu permukaan terhadap radiasi global (Rs) yang diterima dicirikan oleh nilai albedo (α). Nilai α hutan yang diperoleh pada penelitian ini adalah 8,1 - 14,2 % atau rata-rata 10,75 %. Ini berarti 89,25 % Rs yang diterima oleh hutan berpotensi disimpan menjadi energi yang tersedia (Rn). Pengukuran Rn pada hutan diperoleh rata-rata sebesar 10,66 MJ/m2/hari dengan kisaran 2,42 - 17,97 MJ/m2/hari pada cuaca hujan dan meningkat menjadi 11,28 MJ/m2/hari dengan kisaran 3,95 -19,42 MJ/m2/hari pada hari tidak hujan. Kedua nilai ini lebih tinggi dibandingan Rn pada padang rumput. Radiasi neto di rumput hari hujan rata-rata hanya 9,28 MJ/m2/hari dengan kisaran 1,59 -17,07 MJ/m2/hari sedangkan hari tidak hujan radiasi neto yang terukur adalah 9,95 MJ/m2/hari dengan kisaran 3,10 - 18,19 MJ/m2/hari. Pola diurnal radiasi neto baik pada hutan maupun padang rumput mengikuti pola radiasi global. Perbedaan bentuk penggunaan lahan menunjukkan nilai bowen ratio (β) yang juga berbeda. Nilai β menggambarkan ratio energi yang dipergunakan untuk pemanasan udara (sensible heat, H) dengan energi yang dipergunakan untuk penguapan (latent heat, LE). Nilai β hutan adalah 0,11 pada hari hujan dan meningkat menjadi 0,30 pada hari tidak hujan. Ini mengindikasikan bahwa energi yang tersedia pada hutan dominan dipergunakan untuk penguapan. Kondisi sebaliknya yang terjadi pada padang rumput di mana nilai β adalah 1,4 baik hari hujan maupun tidak hujan. Fakta empiris dari nilai bowen ratio kedua bentuk penggunaan lahan mengindikasikan bahwa pemindahan massa uap air dari hutan ke atmosfir lebih besar dibandingkan dengan di padang rumput. Rangkaian dari proses fisik ini memungkinkan udara pada lapisan perbatas di hutan lebih sejuk dibandingkan dengan padang rumput. Terkait dengan intersepsi hujan yakni rata-rata sebanyak 3,67 mm/hari hujan maka diperlukan energi latent heat sebanyak 9,0 MJ/m2/hari. Dibandingkan dengan aliran latent heat selama periode hujan yakni 9,53 MJ/m2/hari maka dapat diartikan bahwa limpahan latent heat selama hari hujan 94,44 % dimanfaatkan untuk mengevaporasikan air hujan yang diintersepsi hutan. Melalui regresi antara aliran latent heat (LE) dan aliran sensible heat (H) dengan energi tersedia (Rn), maka diperoleh petunjuk bahwa peningkatan Rn menyebabkan aliran latent heat di hutan mengalami peningkatan yang lebih besar dibandingkan di padang rumput. Sebaliknya peningkatan energi yang tersedia menyebabkan aliran sensible heat di padang rumput mengalami peningkatan yang lebih besar dari hutan
v
Aspek strategis dari hasil penelitian ini terhadap pengelolaan hutan tropika basah dan secara khusus Taman Nasional Lore Lindu adalah mengendalikan deforestasi karena dampaknya akan meningkatkan air hujan yang tiba di permukaan tanah yang berpotensi menimbulkan banjir, selain itu juga berpotensi menimbulkan pemanasan udara. Kedua hal tersebut merupakan masalah serius dalam perubahan lingkungan. Karena itu disarankan agar kondisi hutan di Taman Nasional Lore Lindu dipertahankan atau ditingkatkan pengelolalaanya dengan menghindari alih fungsi hutan sekaligus mengaktifkan usaha konservasi yang menghasilkan penutupan permukaan oleh vegetasi permanen. Lokasi yang memerlukan penanganan diantaranya di kawasan Wanga, Torire dan Lembah Besoa.
vi
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang
mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencamtumkan atau menyertakan sumber a.
Pengutipan
karya
untuk
kepentinan
pendidikan,
penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b.
Pengutipan tiak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
vii
INTERSEPSI HUJAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEMINDAHAN ENERGI DAN MASSA PADA HUTAN TROPIKA BASAH STUDI KASUS TAMAN NASIONAL LORE LINDU
ABDUL RAUF
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agroklimatologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
viii
Ujian Terututup Penguji luar komisi
: :
21 Okber 2008 Dr. Ir. Hendrayanto.M.Agr. (Dekan Facultas Kehutanan IPB, Bogor)
Ujian Terbuka Penguji luar komisi
: :
18 Nopember 2008 Dr.Ir.Chay Asdak, M.Sc (Staf Pengajar pada Fak.Pertanian Univ. Padjadjaran Bandung) Dr.Ir. Hadi S.Pasaribu, M.Sc. (Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Departemen Kehutanan Republik Indonesia)
:
Judul Disertasi : Intersepsi Hujan dan Pengaruhnya terhadap Pemindahan Energi dan Massa pada Hutan Tropika Basah Studi Kasus Taman Nasional Lore Lindu Nama NIM
: Abdul Rauf : G261030011
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr Ir Hidayat Pawitan,M.Sc,E
Dr Ir Tania June, M.Sc.
Ketua
Anggota
Prof. Dr Ir Cecep Kusmana, MS.
Prof. Gode Gravenhorst, Ph.D
Anggota
Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Agroklimatologi
Dr Ir Sobri Efendi, M.Si Tanggal Ujian :
18 Nop 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
.
Prof Dr Ir Khairil A. Notodiputro,MS Tgl Lulus :
ix
PRAKATA Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan KaruniaNya sehingga Disertasi ini dapat
diselesaikan. Disertasi ini menguraikan hasil
penelitian lapangan selama Juni 2005 – Mei 2007 dengan fokus pada Hidrometeorologi hutan dengan judul Intersepsi Hujan dan Pengaruhnya terhadap Pemindahan Energi dan Massa pada Hutan Tropika Basah. Studi Kasus Taman Nasional Lore Lindu. Penelitian ini merupakan pengembangan
dari kegiatan
penelitian tentang Stability of Rainforest Margin (STORMA) kerja sama antara Indonesia dengan German. Penghargaan yang setinggi-tingginya dan terima kasih sebesar-besarnya kami sampaikan kepada 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan,M.Sc.E bapak
Ibu Dr. Ir .Tania June, M.Sc.
Prof Dr Ir H. Cecep Kusmana, MS
dan bapak Prof. Gode
Gravenhorst, Ph.D. yang telah memberikan bimbingan dan petunjuk mulai dari persiapan penelitian sampai pada penyelesaian disertasi. 2. Ketua Dep. Meteorologi dan Geofisika, ketua program studi Agroklimatologi besera segenap dosen dan karyawan di lingkungan program studi Agroklimatologi atas bantuan dan dukungannya selama kami mengikuti pendidikan. 3. Rektor Univ. Tadulako, Ketua Lembaga Penelitian UNTAD, Dekan Fakultas Pertanian beserta ketua Jurusan Budidaya Pertanian atas dukungannya kepada kami selama mengikuti pendidikan. 4. Koordinator STORMA beserta segenap pengelola kegiatan tersebut yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk memanfaatkan peralatan penelitian yang dimiliki STORMA di lokasi penelitian. 5. Dudin Sulaiman, Rikson, SP., Papa Ipon sekeluarga dan Ahmad sekeluarga atas bantuannya dalam pelaksanaan penelitian di lapangan sejak instalasi peralatan sampai dengan demoboliasasi alat. 6. PEMDA Kabupaten Sidrap atas bantuan biaya pendidikan yang diberikan kepada kami. 7. Kepada Isteriku yang tercinta Ir. Andi Rusiah dan Adinda Dra. A.Rusmini beserta ananda AR. Bhallasari dan A.Muhammad Risaldi AR disampaikan terima kasih atas segala pengorbanan, doa restu dan kasih sayang yang senantiasa diberikan selama mengikuti pendidikan. Hal serupa disampaikan
x
kepada seluruh keluarga lebih khusus kepada kedua orang tua kami beserta mertua yang kami cintai atas petunjuk , doa dan kasih sayang yang diberikan selama ini. 8. Teman-teman dalam lingkungan HIMPAS Sulawesi Tengah, seluruh anggota Wacana Prog. Studi Agroklimatologi
IPB dan lainnya yang tidak sempat
disebutkan namanya, kami menyampaikan terima kasih atas dorongan moril dan kebersamaannya selama ini. Akhirnya semoga apa yang kami peroleh ini mendapat Ridha dari Yang Maha Kuasa sehingga dapat memberikan manfaat. Amin Bogor, Nopember 2008
xi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pare-pare pada tanggal 21 Agustus 1960 sebagai putra tunggal dari pasangan H. Muhammad Mante dengan H. Budung. Tahun 1979 penulis lulus dari SMA Neg 1 Rappang Kab. Sidrap provinsi Sulawesi Selatan dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan pada Fakultas Ilmu Pertanian di UNHAS dan lulus tahu 1985. Tahun 1991, penulis melanjutkan pendidikan pada Pascasarjana IPB pada program studi Agroklimatologi dengan beasiswa pendidikan pascasarjana dari DIKTI, Tahun 2003 penulis kembali mendapat kesempatan melajutkan pendidikan program doktor pada program studi yang sama dengan beasiswa dari DIKTI. Setelah menyelesaikan pendidikan S1, penulis bekerja sebagai tenaga pengajar pada Fakultas Ilmu Pertanian Universitas Tadulako di Palu Sulawesi Tengah.
Untuk membangun komunikasi keilmuan, maka penulis menjadi
anggota Perhimpunan Metorologi Pertanian Indonesa (PERHIMPI) – Masyarakat Hidrologi Indonesia (MHI) dan Himpunan Ahli Teknik Hidrologi (HATHI). Selain itu penulis menjadi anggota tim peneliti pada penelitian kerja sama internasional, seperti UCE-CEPI antara Indonesia dengan Canada pada tahun 1997 – 1999 dibidang pengelolaan kawasan pesisir (STORMA)
kerja sama internasional
dan
Stabilty of rainforest margin
bidang penelitian antara IPB-UNTAD-
Kassel Univ. dan Gottingen Univ. Pada tahun 1999 - sekarang
Bogor, Nopember 2008
xii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................... DAFTAR GAMBAR
xvi
..............................................................................
xviii
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xxi
DAFTAR SIMBOL DAN SATUAN ...........................................................
xxiii
I. PENDAHULUAN .................................. ............................................
1
1.1. Latar Belakang
..................................................................... .
1.2. Tujuan dan Manfaat 1.3. Keterbaruan
1
................................................................
5
...........................................................................
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
......................................................... ...........
2.1. Perkembangan Penelitian Intersepsi Hujan 2.2. Intersepsi Hujan dan Aliran Massa
..........................
7 7
........................................
10
................................................
12
...................................................................
15
.....................................................................
18
2.6. Neraca Energi Bowen Ratio ...................................... ...............
22
III. METODOLOGI PENELITIAN ...........................................................
24
2.3. Pendungaan Intersepsi Hujan 2.4. Dinamika Energi 2.5. Neraca Energi
3.1. Kerangka Pemikiran
................................................................
24
3.2. Waktu dan Tempat
.......................................................... ....
25
.......................................................................
26
3.4. Metode Penelitian........................................................................
26
3.5. Penyusunan Model Pendugaan Intersepsi Hujan
..................
33
3.6. Pendugaan Intersepsi Hujan Model Gash ...............................
34
3.7. Evaluasi Nilai Hipotetik Model Intersepsi Hujan
.......................
37
3.8. Dinamika Energi ........................................................................
37
3.9. Simpanan Energi
39
3.3. Bahan dan Alat
....................................................................
xiii
IV. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
.................................................
4.1. Aspek Legal Taman Nasional Lorel Lindu
42
...............................
42
4.2. Kondisi Biofisik Taman Nasional Lore Lindu ..............................
42
4.3. Program Kerja Sama Penelitian STORMA ..............................
46
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
...........................................................
49
.............................................................
49
...........................................................
49
.....................................................................
50
..............................................................................
52
5.1. Karakteristik Vegetasi 5.1.1. Struktur Tegakan 5.1.2. Sifat Tajuk 5.2. Sifat Hujan
5.2.1. Curah Hujan Bulanan dan Hari Hujan
............................
52
....................................................................
53
5.2.3. Durasi Hujan ..................................................................
55
5.2.4. Intensitas Hujan .............................................................
56
5.2.2. Jeluk Hujan
5.3. Mikrometeorologi Hutan
..........................................................
57
5.3.1 Suhu Udara ....................................................................
57
5.3.2. Kelembaban Udara ........................................................
59
5.3.3 Tekanan Uap
................................................................
62
5.3.4. Radiasi ...........................................................................
64
5.4. Mikrometerologi Padang Rumput .............................................
65
5.4.1 Suhu Udara ....................................................................
65
5.4.2. Kelembaban Udara ........................................................
66
5.4.3 Tekanan Uap
................................................................
67
.................................................................
70
5.5.1. Curahan Tajuk ................................................................
70
5.5.2. Aliran Batang
72
5.5. Curah Hujan Neto
............................................................
5.6. Hubungan Intersepsi Hujan dengan Sifat hujan dan Vegetasi
75
xiv
5.7. Pendugaan Intersepsi Hujan Model Gash
..............................
78
5.7.1. Parameter dan Komponen Model ...................................
78
5.7.2. Intersepsi Model Gash
................................................
80
5.8. Aplikasi dan Evaluasi Persamaan Intersepsi dan Model Gash ..
80
5.9. Bowen Ratio
.........................................................................
83
5.10. Radiasi Global ..........................................................................
84
5.11. Neraca Energi Bowen Ratio
85
..................................................
5.12. Pemindahan Energi dan Massa
............................................
92
5.13. Simpanan Energi ....................................................................
97
5.14. Analisis Implementasi ..............................................................
99
VI KESIMPULAN DAN SARAN
.........................................................
102
.............................................................................
102
6.2. Saran ........................................................................................
103
VII. DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................
105
VIII. LAMPRAN – LAMPIRAN ................................................................
112
6.1. Kesimpulan
xv
DAFTAR TABEL No 1.
halaman Kapasitas tajuk dan porositas tajuk pada hutan pegunungan dataran redah ...............................................................................
13
2
Albedo berbagai tipe permukaan
..............................................
20
3.
Rumus pendugaan komponen dan parameter intersepsi model Gash ..........................................................................
36
Karakteristik vegetasi di lokasi penelitian di Hutan Babahaleka TNLL .................................................................................
51
5.
Nilai INP pada hutan Babahaleka TNLL ......................................
51
6.
Curah hujan bulanan dan jumlah hari hujan di hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ....................................................
53
Curah hujan Bulanan dan jumlah hari hujan di hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005-Mei-2006) .......................................................
54
Jeluk hujan pada setiap hari hujan di hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005-Mei-2007) ................................................................
55
Durasi hujan pada setiap hari hujan di hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005-Mei-2007)....................................................................
56
Intensitas hujan pada setiap hari hujan di hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005-Mei-2007) ...................................................................
57
Suhu udara berbagai ketinggian dari permukaan tanah di hutan Babahaleka TNLL ( Juni 2005 – Mei 2006) ................................
58
4.
7 8. 9. 10. 11 12.
Kelembaban relatif udara berbagai ketinggian dari permukaan tanah di hutan Babahaleka TNLL ( Juni 2005 – Mei 2006) .................... 60
13.
Tekanan uap udara berbagai ketinggian dari permukaan tanah di hutan Babahaleka TNLL ( Juni 2005 – Mei 2006) ....................
62
Suhu udara pada padang rumput di Kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ................................................................
65
Kelembaban udara pada padang rumput di Kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ....................................................
67
Tekanan uap di udara pada padang rumput Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006)
di Kawasan ............................
68
Persamaan empiris hubungan curahan tajuk dengan sifat hujan dan karácter vegetasi ...............................................................
71
14. 15. 16. 17.
xvi
18.
Persamaan empiris hubungan aliran batang dengan sifat hujan dan carácter vegetasi ...............................................................
73
19
Nilai parameter intersepsi hujan model Gash ..............................
79
20.
Perbandingan nilai hipotetik dan observasi intersepsi hujan di hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ...........
81
Perbandingan nilai hipotetik dan observasi intersepsi hujan di hutan Babahaleka TNLL (Juni 2006 – Mei 2007) ...........
82
Nilai bowen ratio pada hutan dan padang rumput di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ...............................
83
Radiasi neto pada hutan dan padang rumput di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) .............................
86
Persamaan matematika hubungan radiasi neto dengan radiasi global untuk di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) .................................................................
88
Neraca energi pada hutan dan padang rumput untuk di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) .............
89
Aliran energi dan massa ..............................................................
95
21. 22. 23. 24.
25. 26
xvii
DAFTAR GAMBAR No
Halaman
1.
Model fungsi intersepsi hujan stokastik dua lapis .......................
9
2.
Agihan hujan pada proses intersepsi hujan ...............................
11
3.
Kerangka pemikiran pemindahan energi dan massa
...........
24
4.
Peta lokasi penelitian di Taman Nasional Lore Lindu
.............
25
5.
Sketsa plot sampling pengamatan komposisi vegetasi dan pengukuran proyeksi tajuk pohon di lapangan ...........................
28
Stasiun pengamat cuaca penelitian STORMA di Kawasan Babahaleka TNLL ..................................................................
30
Pengukuran curahan tajuk dan aliran batang beserta instrumen yang dipergunakan di Kawasan Babahaleka TNLL .........
30
8
Diagram analisis intersepsi hujan
............................................
38
9.
Diagram analisis aliran energi
..................................................
41
10.
Peta kawasan Taman Nasional Lore Lindu
.............................
44
11.
Peta penggunaan lahan kawasan Taman Nasional Lore Lindu ...
45
12.
Peta distribusi pengukuran cuaca di Taman Nasional Lore Lindu
46
13.
Struktur vegetasi di lokasi penelitian
........................................
50
14.
Curah hujan bulanan dan jumlah hari hujan priode 2002-2004...
54
15.
Diurnal suhu udara rataan (C) berbagai ketinggian dari permukaan tanah pada hutan di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ............................................................... 58
16
Diurnal suhu udara berbagai ketinggian dari permukaan tanah pada hutan di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) . 59
17.
Diurnal kelembaban relatif udara rataan (%) berbagai ketinggian dari permukaan tanah pada hutan di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ................................................................. 60
18.
Diurnal kelembaban relatif udara (%) berbagai ketinggian dari permukaan tanah pada hutan di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) .................................................................
61
Diurnal defisit tekanan uap rataan (Pa) berbagai ketinggian dari permukaan tanah pada hutan di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ................................................................
62
6 7.
19.
xviii
20.
21. 22. 23.
24.
25.
26
27.
Diurnal defisit tekanan uap (Pa) berbagai ketinggian dari permukaan tanah pada hutan di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ................................................................
63
Neracara radiasi pada hutan di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) .................................................................
64
Dirunal radiasi neto (W/m2) pada hutan di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ......................................................
64
Diurnal suhu udara rataan (C) berbagai ketinggian dari permukaan tanah pada padang rumput di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) .............................
65
Diurnal suhu udara (C) berbagai ketinggian dari permukaan tanah pada padang rumput di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ............................................................
66
Diurnal kelembaban relatif udara rataan (%) berbagai ketinggian dari permukaan tanah pada padang rumput di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ..............................
67
Diurnal kelembaban relatif udara (%) berbagai ketinggian dari permukaan tanah pada padang rumput di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ....................................................
68
Diurnal defisit tekanan uap rataan (Pa) berbagai ketinggian dari permukaan tanah pada padang rumput di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ..............................
69
28
Diurnal defisit tekanan uap rataan (Pa) berbagai ketinggian dari permukaan tanah pada padang rumput di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ................................................... 69
29.
Hubungan antara curahan tajuk dengan jeluk hujan dan ILD.......
70
30.
Hasil uji persamaan pendugaan curahan tajuk ...........................
72
31.
Hubungan aliran batang dengan jeluk hujan dan ILD ..................
73
32.
Hasil uji persamaan pendugaan aliran batang ............................
74
33
Hubungan intersepsi hujan dengan jeluk hujan dan ILD ..............
75
34
Hasil uji persamaan pendugaan intersepsi hujan .........................
76
35
Hubungan intersepsi hujan dengan jeluk hujan pada berbagai carácter vegetasi ..........................................................
77
36.
Hubungan curahan tajuk dengan curah hujan ............................
78
37
Sebaran nilai albedo hutan dan padang rumput pada hari hujan dan tidak hujan ...........................................................
84
xix
38.
Penerimaan radiasi global ...........................................................
85
39.
Diurnal radiasi global pada hutan dan Madang rumput di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ....................
85
Diurnal radiasi neto rataan (W/m2) pada hutan dan padang rumput di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ..............
87
Hubungan antara nilai hipotetik dan observasi radiasi neto pada padang rumput ....................................................................
88
Hubungan antara nilai hipotetik dan observasi radiasi neto pada hutan ...................................................................................
89
40. 41. 42. 43.
Neraca energi pada sitem pada hutan dan paang rumput di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) .................................. 89
44
Hubungan aliran latent heat dengan ketersediaan energi pada pada hari hujan di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) .................................................................
90
Hubungan aliran sensible heat dengan ketersediaan energi pada hari hujan di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ................................................................
90
Hubungan aliran latent heat dengan ketersediaan energi pada pada hari tidak hujan di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ................................................................
91
Hubungan aliran sensible heat dengan ketersediaan energi pada hari tidak hujan di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ................................................................
91
48.
Diurnal aliran sensible heat pada hari hujan ...............................
92
49.
Diurnal suhu udara dan tekanan uap pada hari hujan di hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ................................
93
Diurnal suhu udara dan tekanan uap pada padang rumput di Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) .................................
93
Diurnal aliran latent heat pada sistem vegetasi di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2005) .................................
94
Diurnal aliran sensible heat ke tanah di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ..................................................
96
Diurnal perubahan simpanan energi latent heat dan sensible heat
98
45
46
47
50. 51. 52. 53
xx
DAFTAR LAMPIRAN No 1
halaman Karakteristik pohon sampel intersepsi hujan di kawasan hutan Babahaleka TNLL ........................................................................
113
Diurnal suhu udara dan kelembaban relatif udara pada berbagai ketinggian di atas permukaan tanah di hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) .........................................................
114
Diurnal tekanan uap berbagai ketinggian di atas permukaan tanah di hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ...........
115
Diurnal neraca radiasi pada hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005 Mei 2006)......................................................................................
116
Diurnal suhu udara dan kelembaban relatif udara pada di atas permukaan tanah pada padang rumput Babahaleka TNLL (Juni 2005 - Mei 2006)..................................................................
117
Diurnal tkanan uap udara pada dua ketinggian di atas permukaan padang rumput Kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 Mei 2006)......................................................................................
118
7
Diurnal radiasi neto dan radiasi global pada padang rumput ......
119
8
Curahan tajuk pada berbagai sifat hujan priode Juni 2005-Mei 2006 ..........................................................
120
Aliran batang pada berbagai sifat hujan di hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005-Mei 2006) ........................................................
121
Intersepsi hujan pada berbagai sifat hujan di hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005-Mei 2006) .......................................................
122
Curahan tajuk pada berbagai sifat hujan di hutan Babahaleka TNLL ( Juni 2006-Mei 2007) .......................................................
123
Aliran batang pada berbagai sifat hujan i hutan Babahaleka TNLL ( Juni 2006-Mei 2007 ......................................................
124
Intersepsi hujan pada berbagai sifat hujan di hutan Babahaleka TNLL ( Juni 2006-Mei 2007) ........................................................
125
Neraca energi pada hutan Babahaleka TNLL ( Juni 2005-Mei 2006)...................................................................
126
Neraca energi pada padang rumput Babahaleka TNLL ( Juni 2005-Mei 2006)...................................................................
127
Simpanan energi pada hutan........................................................
128
2.
3. 4. 5.
6.
9 10. 11. 12 13 14 15. 16.
xxi
DAFTAR SIMBOL DAN SATUAN
α β ρ γ c Cp DBH E ea es G H I Ic ILD Km LB LE LT P p Pg’ Pn pt R Rc Ri RH Rs S Sa Sf Sg St Sw T Tf v q Z
Albedo Bowen ratio Kerapatan udara Konstante physicometric Fraksi penutupan tajuk Kapasistas panas udara Diamater batang Evapotrasnpirasi Tekanan uap aktual Tekanan uap jenuh Penasan tanah Sensible heat Intensitas hujan Intersepsi hujan Indeks luas daun Kesalahan model Lilit batang Latent heat Luas Tajuk Jeluk hujan Porositas tajuk Curah hujan untuk penjenuhan tajuk Curah hujan neto Koefisien input batang :konstante gas Nilai hipotetik Nlai observasi Kelembaban relatif Radiasi global Kapasitas tajuk Simpanan sensible heat Aliran batang Simpanan soil heat Kapasitas simpan bantang Simpanan latent heat Suhu Aliran batang Volume air hujan pada kolektor Tf Vulume air hjan pda kolektor Sf Ketinggian dari permukaan tanah
% Kg/m3 1012 J/Kg C cm mm kPa kPa W/m2 , MJ/m2/hari W/m2 , MJ/m2/hari mm/jam mm % cm W/m2 , MJ/m2/hari m2 mm mm mm (287J/kg/K) % W/m2 , MJ/m2/hari mm W/m2 , MJ/m2/hari mm W/m2 , MJ/m2/hari mm W/m2 , MJ/m2/hari oC, K mm cm3 cm3 m
xxii
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sejak dekade terakhir, perubahan lingkungan menjadi salah satu isyu utama dalam pembangunan. Sejalan dengan menguatnya isyu tersebut dan kekhawatiran terhadap dampak negatif yang ditimbulkan, maka sejumlah ahli, peneliti dan pemerhati lingkungan melakukan kajian terkait dengan perubahan lingkungan global. Hasil kajian yang telah dilakukan oleh Kalthoff et al. (1999), Pielke (2001), Twine et al. (2004), dan Tomo’omi Kumagai et al.(2004), secara umum dapat disimpulkan bahwa perubahan lingkungan global memiliki keterkaitan dengan adanya gangguan pada sistem pemindahan energi dan massa antara bumi dengan atmosfir. Penyebab dari gangguan tersebut dideskripsikan menjadi dua yaitu (i) alih fungsi lahan dan (ii) produksi gas rumah kaca. Deforestasi merupakan bentuk alih fungsi lahan yang banyak mendapat perhatian karena diposisikan sebagai salah satu penyebab perubahan lingkungan global.
Ini dapat dipahami, karena hutan memiliki peranan strategis terhadap
lingkungan biofisik. Choudhury et al. (1998) menegaskan bahwa hutan tropika memiliki pengaruh nyata terhadap iklim global dan siklus air global. Selain itu hutan tropika memiliki peranan penting terhadap siklus karbon di alam, karena mampu menyimpan karbon yang mencapai 81% dari karbon yang ada di alam termasuk 28 % yang disimpan dalam tanah (Salomon et al. 1993). Pandangan lain yang menyatakan bahwa perubahan lingkungan global berawal dari terjadinya pemanasan global sebagai akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir. Secara teoritis, berdasarkan sifat dari gas tersebut maka keberadaan gas rumah kaca di atmosfir memungkinkan terjadi perubahan pada pertukaran dan pemindahan energi dan radiasi sehingga menimbulkan efek pada neraca radiasi dan energi. Kedua pandangan di atas menunjukkan bahwa perubahan lingkungan global, merupakan masalah internasional sehingga penanganannya diperlukan keterlibatan banyak pihak. Karena itu perubahan lingkungan global menjadi agenda politik internasional dengan dibentuknya UNFCCC (United Nation Framework on Climate Change Conference) dengan pertemuan akbar tahunannya, seperti COP 13 Desember 2007 di Bali. Berbagai upaya yang dilaksanakan untuk menyamakan presepsi tentang masalah tersebut termasuk langkah dan strategi, baik dalam konteks adaptasi maupun mitigasi terhadap perubahan lingkungan global.
2
Laporan FAO (1993) menunjukkan bahwa secara global luas permukaan bumi yang saat ini yang masih tertutupi oleh hutan tinggal 12 %. Khusus di Indonesia sejak tahun 1990 – 2000 rata-rata deforestasi setiap tahun mencapai 1,3 juta ha. atau 1,2 % dari luas hutan yang ada dan selama periode tersebut laju deforestasi mencapai 0,2 % per tahun (FAO 2003). Data Badan Planologi Kehutanan (2000) menunjukkan luas hutan daratan di Indonesia saat ini hanya 104,89 juta ha (tidak termasuk SUMUT, Riau dan Kalimantan Tengah).
Sedangkan ketiga provinsi
tersebut sesuai dengan TGHK tahun 1999, luas hutannya mencapai 18,49 juta ha. Secara teoritis perubahan penggunaan lahan menyebabkan perubahan sifat dan karakter permukaan. Rangkaian perubahan yang terjadi pada perubahan penggunaan lahan memungkinkan terjadi gangguan pada sistem pertukaran dan atau pemindahan energi, dan massa antara permukaan yang bersangkutan dengan lingkungannya. Kondisi ini berdampak pada perubahan fungsi hidrologi dan fungsi meteorologi
yang pada akhirnya akan menimbulkan
dampak pada kondisi
lingkungan yang lebih luas, antara lain banjir, kekeringan, longsor, udara panas dan kering serta degradasi biodiversiti. Secara mekanistik curah hujan yang diterima oleh vegetasi akan mengalami satu atau lebih dari daur hidrologi berikut yaitu:
a.
diteruskan ke tanah melalui tajuk atau celah tajuk (curahan tajuk)
b.
diteruskan ke tanah melalui batang (aliran batang) dan
c.
dievaporasikan ke atmosfir sebelum mencapai permukaan tanah (intersepsi)
Ketiga proses tersebut menunjukkan bahwa keberadaan vegetasi pada suatu permukaan berpengaruh pada: a. Aspek hidrologi, berupa 1) Jumlah hujan yang tiba di permukaan tanah 2) laju penerimaan hujan yang tiba di permukaan tanah 3) Kandungan energi kinetik curah hujan 4) Distribusi pembasahan permukaan tanah 5) Menghambat transpirasi tetapi meningkatkan evapotranspirasi b. Aspek meteorologi terjadi pertukaran energi dan pemindahan massa antara sistem vegetasi dengan lingkungannya. Pengaruh lain yang potensil terjadi akibat perubahan sifat dan karakter permukaan adalah respon permukaan terhadap dinamika radiasi dan energi akibat dari perubahan albedo dan sifat termal.
3
Uraian di atas menggambarkan bahwa deforestasi akan menimbulkan masalah yang kompleks tidak hanya pada prilaku air yang tiba di lantai hutan tetapi juga berdampak pada pemindahan energi dan massa. Intersepsi hujan merupakan bagian dari komponen hidrologi yang potensial mengalami perubahan akibat perubahan sifat dan karakter permukaan yang ditimbulkan dari alih fungsi lahan. Proses fisik ini merupakan kehilangan air hujan yang diterima oleh vegetasi karena dievaporasikan sebelum mencapai lantai hutan. Karena itu perubahan nilai intersepsi hujan selain berpengaruh pada prilaku air yang akan mencapai lantai hutan juga berdampak pada pertukaran dan aliran energi antara hutan dengan lingkungan atmosfirnya. Kajian intersepsi hujan dalam konteks hidrologi telah banyak dilakukan, seperti pengukuran intersepsi hujan yang dilakukan oleh Matthieu (1867-1877) sebagaimana yang dicatat oleh Andreassian (2004), Horton (1919 diacu dalam Price dan Moses 2003) dan (Zinke 1967 diacu dalam Ramirez dan Senarath 1999 dan Xio et al. 2000). Kemajuan yang dicapai pada penelitian intersepsi hujan telah
memberikan
kontribusi pada ilmu pengetahuan terutama pengayaan metode pengukuran dan pendugaan intersepsi yang diformulasikan dalam bentuk hubungan empris antara intersepsi hujan dengan jeluk hujan. Aspek peraktis dari hasil penelitian intersepsi hujan telah memberikan manfaat penting terhadap pengelolaan sumber daya air. Ini dapat dipahami karena hasil yang diperoleh telah mampu memberikan informasi tentang besaran kuantitatif air hujan yang tiba di permukaan tanah. Disadari bahwa hasil yang diperoleh dari kajian tersebut masih sangat terbatas dan orientasi kajian lebih dominan pada penentuan besaran kuantitatif intersepsi hujan. Formulasi pendugaan intersepsi hujan dalam bentuk hubungan empris antara intersepsi hujan dengan curah hujan memiliki kelemahan, diantaranya bahwa intersepsi hujan pada suatu permukaan hanya ditentukan oleh jeluk hujan sebagai input sedangkan karakter dan sifat dari permukaan yang mengintersepsi hujan diabaikan. Pengukuran curah hujan yang tiba dipermukaan tanah (curah tajuk dan aliran batang) menunjukkan adanya variasi nilai dalam skala ruang dan waktu serta objek vegetasi. Agihan hujan yang diterima oleh vegetasi jika dipandang sebagai proses in put - out put, sebagai input adalah curah hujan (P) dan out put adalah aliran batang (Sf), curahan tajuk (Tf) dan intersepsi (Ic) maka prilaku out put dipengaruhi oleh sifat hujan dan karakter vegetasi. Horton (1919, diacu dalam Ramirez dan Senarath 1999; Price dan Moses 2003) mengemukakan bahwa intersepsi hujan berkaitan erat dengan kapasitas intersepsi yang dipengaruhi oleh sifat tajuk dan tegangan permukaan air. Kapasitas intersepsi merupakan salah satu parameter intersepsi yang
4
menggambarkan tentang volume maksimum air hujan yang dapat tersimpan baik pada tajuk maupun pada batang. Pandangan ini telah diadopsi oleh Gash yang menetapkan besaran curah hujan yang dapat menjenuhkan tajuk (Pg). Parameter ini merupakan fungsi dari jeluk hujan dan fraksi penutupan tajuk sebagai representasi dari sifat fisik tajuk. Selanjutnya Gash membagi curah hujan (P) menjadi dua yaitu (i) P
Pg yang kemudian nilai intersepsi hujan pada masing masing kelompok curah hujan dihitung secara terpisah sebagai komponen intersepsi. Uraian di atas menjadi suatu petunjuk bahwa variasi nilai intersepsi hujan antara satu dengan lainnya berkaitan dengan sifat hujan dan karakter fisik vegetasi. Hal ini sekaligus menjadi justifikasi bahwa perubahan penggunaan lahan akan berdampak pada karakter fisik penutupan permukaan sehingga mempengaruhi agihan hujan yang diterimanya. Aspek fisika dari intersepsi hujan merupakan pemindahan massa air hujan yang diterima vegetasi ke atmosfir sebelum mencapai lantai hutan atau permukaan tanah. Proses fisik ini memerlukan energi untuk merubah
massa air ke bentuk uap
sehingga intersepsi hujan memiliki keterkaitan dengan pertukaran dan pemindahan energi. Dalam koteks ini, hilangnya sebagian curah hujan yang tiba di lantai hutan akibat intersepsi pada perinsipnya merupakan proses evaporasi. Karena itu kajian tentang intersepsi hujan
dalam konteks hidrometeorologi menjadi penting untuk
menemukan fakta empris peranan hutan terhadap lingkungan biofisik melalui aliran massa dan dinamika energi. Menyikapi peranan strategis hutan terhadap kondisi lingkungan maka tekanan dunia internasional semakin menguat terhadap negara tropis untuk menjaga dan mempertahankan sumber daya hutan, di sisi lain tekanan terhadap sumber daya alam tersebut juga semakin kuat sebagai konsekuensi logis dari pertambahan jumlah penduduk dan kebutuhan pembangunan. Kedua bentuk tekanan tersebut yang bersifat antagonis, memerlukan strategi pengelolaan sumber daya hutan yang dapat mempertahankan fungsi ekologi guna memperoleh manfaat luas secara sustainable. Berkaitan dengan ini, banyak pihak menaruh perhatian terhadap
pengelolaan
sumber daya hutan di kawasan tropis seperti halnya kerjasama internasional dalam bidang penelitian antara rainforest margin
Indonesia dengan German pada penelitian Stability of
(STORMA)
di Taman Nasional Lore Lindu Propinsi Sulawesi
Tengah. Berbagai topik yang menjadi objek penelitian, diantaranya water, carbon and nutrient turnover. Falk et al. (2005) yang memfokuskan penelitiannya pada pase I STORMA tentang pertukaran energi dan massa antara atmosfir dengan ekosistem
5
tropis dengan metode eddy korelasi. Salah satu hasil yang dilaporkan bahwa aliran latent heat pada perkebunan kakao lebih kecil dari aliran sensible heat. Proses fisik ini menggambarkan bahwa energi yang tersedia pada perkebunan kakao dominan dipergunakan untuk pemanasan udara dibandingkan dengan pemindahan massa air ke atmosfir. Peneliti lain yang memfokuskan pada intersepsi hujan melaporkan bahwa bentuk penggunaan lahan berpengaruh nyata terhadap jumlah air hujan yang tiba dipermukaan tanah akibat intersepsi hujan. Secara spesifik dilaporkan bahwa intersepsi hujan pada hutan jauh lebih besar dibandingkan dengan intersepsi hujan pada perkebunan kakao dan hutan sekunder (Anwar, 2004). Aspek praktis dari hasil kedua penelitian ini adalah alih fungsi hutan menjadi perkebunan kakao berpotensi menimbulkan pemanasan udara di satu sisi, di sisi lain meningkatkan porsi hujan yang mencapai di permukaan tanah sehingga berpotensi menimbulkan banjir. Melalui kerjasama penelitian STORMA dengan dukungan peralatan yang dimiliki oleh STORMA khususnya berupa tower pengamatan cuaca setinggi 70 m di dalam hutan maka dilakukan kajian intersepsi hujan pada hutan sebagai satu kesatuan proses hidrologi yang mengintegrasikan antara aspek hidrologi dan meteorologi. Penelitian ini sekaligus untuk melengkapi informasi yang belum tersedia dari kedua penelitian di atas. 1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.2.1 Tujuan Tujuan utama penelitian ini adalah (i) mengkaji keterkaitan sifat hujan dan karakter vegetasi terhadap intersepsi hujan,
(ii) mengkaji dinamika energi pada
penggunaan lahan yang berbeda dan (iii) mengkaji pengaruh intersepsi hujan terhadap dinamika energi. Luaran dari penelitian ini adalah menyajikan (i) informasi empiris terkait intersepsi hujan di hutan tropika basah
(ii) model pendugaan
intersepsi hujan beserta nilai parameter penduga intersepsi dan (iii) besaran kuantitatif dan pola aliran vertikal energi pada hutan dan padang rumput. 1.2.2 Manfaat Luaran dari penelitian ini memberikan manfaat berupa (i) menyediakan data dan informasi tentang dinamika energi dan massa pada hutan tropika basah dengan lingkungannya
sehingga dapat dilakukan justifikasi dampak deforestasi terhadap
kondisi ekosistem, (ii) memperkaya pengetahuan iklim hutan dan hidrologi hutan terutama hubungan antara hutan dengan atmosfer dan lebih spesifik berupa aliran
6
energi, dan massa pada sistem hutan tropika basah dan metodologi kuantifikasi peranan hutan terhadap stabilitas lingkungan. Dari sisi implementasi, penelitian ini diharapkan menjadi
masukan dalam
rangka pengelolaan sumber daya hutan di kawasan tropis dan lebih spesifik pada penguatan pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu sebagai bagian dari cagar biosfer. 1.3 Keterbaruan Kajian ini merupakan pengembangan kerangka analisis intersepsi hujan sebagai satu kesatuan komponen daur hidrologi yang mengintegrasikan antara faktor fisik (hujan) dan faktor biologi (vegetasi). Karena itu kajian ini menjelaskan secara spesifik antara intersepsi hujan dengan dinamika energi dan massa.
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Intersepsi dan Perkembangannya Intersepsi hujan merupakan bagian hujan yang tertahan di permukaan vegetasi dan dievaporasikan ke atmosfier sebelum mencapai permukaan tanah. Pada beberapa literatur proses hidrologi ini sering juga disebut interception loss. Penelitian tentang intersepsi hujan telah lama mendapat perhatian bagi ahli hidrologi seperti yang dilakukan oleh Horton (1919) pada tanaman Fagus grandifolia diacu dalam Price dan Moses (2003), Delf (1955) dan Molchanov (1966) pada hutan di kawasan Eropa (diacu dalam Monteith 1975), Zinke (1967) pada hutan alam, semak dan rumput (diacu dalam Ramirez dan Senarath 1999 dan Xiao et al. 2000), Solo (1980, diacu dalam Kaimuddin 1994) pada tegakan tusam dan puspa di Gunung Walat Sukabumi, Di kawasan yang sama, Kaimuddin (1994) melakukan kajian intersepsi pada tegakan
pinus, agathis dan schima.
Ruslan (1983) pada tegakan tusam,
sungki dan hutan alam DAS Riam kanan Kalimantan Selatan, Secara umum penelitian ini berorientasi pada penentuan besaran kuantitatif curah hujan yang tiba di permukaan tanah dan atau curah hujan yang diintersepsi vegetasi. Monteith (1975) dan Xiao et al. (2000) mencatat hasil penelitian intersepsi hujan pada hutan alam yang dilaksanakan oleh Zinke (1967) yaitu 15 - 40 % dari curah hujan tahunan. Bruijnzeel dan Critchley (1994) mendapatkan intersepsi hujan pada hutan tropis adalah 10-25 %. Intersepsi hujan pada hutan alam di Kalimantan adalah 11% dari total hujan, nilai ini mengalami pengurangan menjadi 6 % pada hutan yang telah diolah (Asdak et al.1998). Chappell et al. (2001) melaporkan bahwa intersepsi hujan pada hutan alam di Sabah mencapai 19 % dari total hujan. Price dan Moses (2003) pada penelitiannya di Canada mendapatkan nilai intersepsi hujan dari 28 kejadian hujan adalah 18,6 % atau 48,3 mm dari total hujan 259,3 mm. Di Taman Nasional Lore Lindu tepatnya di Desa Nopu, doperoleh nilai intersepsi pada skunder adalah 23,5 % dari total hujan dan berkurang mejadi 8,8 % pada perkebunan kakao umur 8 - 12 tahun (Anwar, 2004). Salah satu informasi penting dari hasil-hasil penelitian di atas adalah nilai intersepsi hujan bervariasi beradasarkan objek vegetasi, tempat dan waktu pengukuran. Variasi dari hasil-hasil tersebut mengidikasikan adanya faktor yang mengendalikan intersepsi hujan. Hall (2003) mencatat ketergantungan intersepsi hujan karakter tajuk dan tipe hujan. Wells and Blake (1972)
melaporkan bahwa, intersepsi hujan mengalami
peningkatan pada awal hujan dan kemudian berkurang dengan bertambahnya
8
intensitas hujan, Jauh sebelumnya secara tegas oleh Horton (1919, diacu dalam Ramirez dan Senarath 1999; Price dan Moses 2003) mengemukakan bahwa intersepsi hujan berkaitan erat dengan kapasitas intersepsi tanaman yang ditentukan oleh luas daun dan indeks luas daun, intensitas hujan dan tegangan permukaan air. Ketiga pandangan di atas mengindikasikan bahwa, untuk mengenali mekanisme intersepsi hujan sekaligus menentukan besaran kuantitatif curah hujan yang tiba di tanah dan atau yang diintersepsi, pendekatannya harus terintegrasi
antara sifat
hujan dengan karakter vegetasi. Pandangan di atas secara tidak langsung menggambarkan faktor penyebab dari variasi nilai intersepsi hujan adalah sifat hujan dan karakter vegetasi. Gash (1979) menganalisis intersepsi hujan dengan mengintegrasikan antara komponen fisik (hujan) dan komponen biologi (vegetasi). Apa yang dilakukan oleh Gash memiliki nilai strategis untuk menemu kenali faktor-faktor yang mengendalikan agihan hujan yang diterima oleh vegetasi. Terdapat dua hal penting pada kajian Gash yakni: (i) porsi curah hujan yang tiba di tanah ditentukan oleh kapasitas tajuk yang merupakan fungsi dari penutupan permukaan dan intensitas hujan dan (ii) porsi curah hujan yang diintersepsi berbeda menurut jeluk hujan. Terkait dengan hubungan antara intersepsi hujan dengan sifat hujan dan karakter vegetasi maka Gash (1979) membagi jeluk hujan menjadi dua yaitu : (i) curah hujan yang lebih kecil dari kapasistas tajuk, PPg. Sesungguhnya penetapan kapasitas tajuk yang dilakukan oleh Gas (1979) bukanlah hal yang pertama
karena parameter intersepsi ini sudah diper-
hitungkan oleh beberapa peneliti lain jauh sebelumnya seperti yang dicatat oleh Monteith (1975), antara lain Stoltenberg and Wilson (1950), pada tanaman jagung; Burgy and Pomeroy (1958) pada rumput bercampur legum, Leyton (1967) pada hutan deceduous dan Merriam (1961) pada Lolium perenne. Dibandingkan dengan kajian intersepsi sebelumnya, kajian intersepsi yang di laksanakan oleh Gash (1979) adalah lebih maju karena mengintegrasikan antara komponen fisik (sifat hujan) dan komponen biologi (karakter vegetasi) sebagai satu kesatuan pada proses intersepsi hujan. Model Gash 1979 sesungguhnya merupakan penyederhanaan dari model analitik pendugaan intersepsi hujan yang dikembangkan oleh Rutter dengan memanfaatkan laju evaporasi rata-rata dan intensitas hujan rata-rata harian dengan asumsi kejadian hujan hanya sekali sehari. Karena itu asumsi dasar yang dipergunakan pada model Gash adalah hujan pada hari hujan hanya dianggap satu kali.
kejadian
9
Aplikasi model Gash pada pendugaan intersepsi hujan memerlukan beberapa variable tentang tajuk dan struktur tegakan yang direpresentasikan menjadi menjadi empat parameter yaitu kapasitas tajuk (S) dan kapasistas batang (St), porositas tajuk (p) dan koefisien input batang (pt). Keempat parameter ini menjadi data utama yang dibutuhkan untuk menentukan besaran curah hujan yang dibutuhkan untuk menjenuhkan tajuk. Penggunaan data porositas tajuk sebagai elemen utama pada penentuan fraksi penutupan tajuk dinilai memiliki kelemahan karena secara tidak langsung, tajuk dinilai hanya satu lapis sehingga intersepsi hujan hanya dipengaruhi oleh bagian tajuk yang menerima langsung curah hujan. Kelemahan ini semakin nyata jika memperhatikan mekanisme terjadinya curahan tajuk yakni bagian hujan yang diterima pada puncak tajuk yang kemudian menjadi curahan tajuk, selanjutnya menjadi input pada lapisan tajuk di bawahnya. Proses ini akan berlangsung terusmenurus sampai air hujan mencapai tanah sebagai curahan tajuk. Kelemahan dari model Gash 1979
berdampak pada hasil prediksi intersepsi hujan yang kurang
akurat terutama pada ekeosistem seperti hutan karena secara akutual terjadi pengurangan akibat pengaruh individu tajuk pohon. Calder (1996)
mengembangkan model stokhastik dua lapis (Gambar 1)
sebagai pengembangan dari model stokhastik satu lapis. Model stokhastik dua lapis ini selain memperhatikan lapisan tajuk teratas juga mempertimbangkan lapisan di
Gambar 1. Model fungsi intersepsi hujan stokhastik dua lapis (a) tajuk jarang dan (b) tajuk rapat bawahnya yang menerima tumbukan dari butir hujan yang dihasilkan oleh curahan tajuk di atasnya. Pengembangan dan kalibrasi model intersepsi hujan stokastik dua lapis dan hubungannya dengan butir hujan yang dilakukan Calder (1996) walau dikomentari oleh Uijlenhoet dan Stricker (1999) yang menyatakan bahwa asumsi yang dipergunakan dengan mengabaikan variasi ukuran butir hujan berakibat pada tidak
10
konsistennya model yang dikembangkan dan pada akhirnya berdampak serius terhadap out put model. 2.2 Intersepsi Hujan dan Aliran Massa Intersepsi hujan merupakan bagian dari siklus hidrologi yang mempengaruhi agihan hujan sebelum mencapai permukaan tanah. Proses ini memiliki nilai stretegis tidak hanya dalam aspek hidrologi, tetapi juga aspek meteorologi karena berkaitan dengan penerimaan air pada sistem permukaan tanah dan porsi massa air yang dikembalikan ke atmosfir melalui evaporasi. Pengaruh intersepsi hujan dalam konteks hidrologi adalah berkaitan dengan neraca air suatu DAS (Van Dijk dan Bruijnzeel 2001). Asdak et al. (1998), berpendapat bahwa pengaruh intersepsi hujan terhadap neraca air suatu DAS adalah berkaitan dengan mekanisme berlangsungnya proses evaporasi dan transpirasi yang terjadi pada sistem vegetasi. Menurut Lee (1980) bahwa bagian hujan yang mencapai permukaan tanah merupakan akumulasi dari dua proses hidrologi yaitu curahan tajuk dan aliran batang. Nilai kumulatif kedua komponen tersebut disebut curah hujan neto. Secara mekanistik, curahan tajuk merupakan air hujan yang tiba pada suatu permukaan melalui celah tajuk dan atau air hujan yang menetes melalui daun, ranting dan cabang (Ward dan Robinson 1990). Secara alami pada hutan yang tajuknya rapat, curahan tajuk umumnya bertambah dengan meningkatnya jarak dari batang pohon, dan umumnya kosentrasi terbesar di dekat tepi tajuk (Lee 1980). Dihubungkan dengan pendapat
Horton (1919) di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa porsi hujan yang tiba di permukaan tanah melalui curahan tajuk dipengaruhi oleh karakter tajuk yakni penutupan permukaan yang direpresentasikan oleh luas tajuk dan indeks luas daun (ILD). Menurut Hewlett dan Nutter (1969) bahwa aliran batang adalah bagian dari curah hujan yang tertahan sementara oleh batang, terkumpul dan mengalir ke bawah sampai ke permukaan tanah melalui batang. Pandangan ini menunjukkan bahwa karakteristik batang memiliki peranan penting terhadap volume air hujan yang tiba di permukaan melalui aliran batang. Karakteristik batang yang dimaksud adalah lingkar batang, bentuk batang dan tekstur kulit batang (Manokaran 1979 dan Voigt 1960). Secara mekanistik, bagian hujan yang diterima oleh batang bersumber dari curah hujan yang diterima oleh tajuk yang kemudian mengalir menuju batang sehingga dapat dinilai bahwa aliran batang tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik batang melainkan
juga dipengaruhi oleh porsi hujan yang diterima dari tajuk. Dampak
11
hidrologi dari aliran batang memungkinkan terjadi diistribusi lengas tanah mengalami pengurangan dengan bertambahnya jarak dari batang. Uraian di atas memberikan pemahaman secara konseptual bahwa aliran massa air hujan ke sistem tanah melalui vegetasi tidak hanya ditentukan oleh sifat hujan sebagai imput juga dipengaruhi oleh karakter vegetasi sebagai fungsi transfer.
Curah Hujan Total (Pg)
Evapotranspirasi (ETP)
Permukaan Tajuk dan Batang
Curahan Tajuk Tf = p(Pg)
Aliran Batang Sf = pt(Pg)
Intersepssi I = Pg-(Tf+Sf)
Curah hujan bersih (Pn = Pg-I)
Permukaan tanah
Evaporasi tanah (Ep)
Gambar 2. Agihan hujan pada proses intersepsi hujan Berkaitan dengan karakter fisik vegetasi maka ahli hidrologi menetapkan empat parameter intersepsi yaitu : a. Kapasitas tajuk (S) yang merepresentasikan porsi curah hujan yang tertahan di tajuk b. Porositas tajuk (p) yang merepresentasikan porsi curah hujan yang jatuh langsung ke tanah melalui celah tajuk c. Kapasistas batang (St) yang merepresentasikan porsi curah hujan yang tertahan pada batang d. Koefisien input batang (pt) yang merepresntasikan besaran curah hujan yang diterima oleh batang dari tajuk.
12
Penelitian di lembah Yass Australia menunjukkan bahwa kapasitas intersepsi tanaman eucalyptus dan cemara adalah 1,7 dan 2 mm (Crockford dan Richardson, 1990). Kapasitas tajuk merupakan volume maksimum air yang dapat tersimpan baik pada tajuk (S) maupun pada batang (St). Fleischbein et al. (2005) mencatat hasil penelitian yang menetapkan nilai parameter kapasitas tajuk dan porositas tajuk khususnya untuk hutan pegunungan dataran rendah di berbagai negara, yang ditunjukkan pada Tabel 1. 2.3. Pendugaan Intersepsi Hujan Intersepsi hujan sesungguhnya tidak dapat diukur langsung di lapangan, karena itu yang diukur di lapangan adalah (i) curah hujan yang diterima tajuk (P) dan (ii) curah hujan yang tiba di permukaan tanah (Pn) meliputi (a) curahan tajuk (Tf) dan (b) aliran batang (Sf). Nilai intersepsi hujan diduga melalui selisih antara curah hujan yang tiba di permukaan tanah dengan curah hujan yang diterima tajuk (Rutter diacu dalam Monteith 1975). Uraian ini menggambarkan bahwa untuk menduga intersepsi hujan maka faktor-faktor yang mempengaruhi nilai curahan tajuk dan aliran batang perlu mendapat perhatian serius. Pengukuran agihan hujan merupakan kegiatan yang rumit dan memerlukan waktu yang lama. Di sisi lain data ini memiliki arti penting pada perencanaan dan pengelolaan sumber daya air. Permasalahan ini mendorong banyak pihak mengembangkan konsep pendugaan intersepsi hujan. Pendekatan klasik dari pendugaan intersepsi hujan yang umum dilakukan adalah mengintegrasikan antara komponen in put (jeluk hujan) dengan komponen out put (curah hujan neto atau nilai intersepsi) melalui hubungan empiris. Informasi yang dapat diperoleh dari hasil pendekatan ini adalah sangat minim yakni hanya menjelaskan porsi hujan yang hilang dan yang tiba di permukaan tanah baik pada setiap kejadian hujan maupun untuk skala waktu tertentu Konsekeuensi logis dari informasi tersebut maka pemanfaatannya juga terbatas dan menjadi sulit digunakan untuk kepentingan yang lebih luas seperti perencanaan dan pengelolaan sumber daya air suatu kawasan atau DAS. Kelemahan pendekatan di atas diapresiasi oleh beberapa ahli untuk mencari solusinya, diantaranya Gash (1979) yakni melakukan pengkajian dan pengembangan model pendugaan intersepsi hujan yang mengintegrasikan antara komponen fisik dan komponen biologi yang kemudian mengidentifikasi secara terpisah pengaruh masing-masing faktor tersebut terhadap intersepsi hujan. Hasil yang diperoleh kemudian dikenal sebagai model Gash 1979.
Dibandingkan dengan
0.42 (0.14-0.98) Jackson, 1975 0.63 (0.52-0.98) Gash model 0.23 Jackson (1975) 0.05 – 0.13 Gash model Sf/P ratio
2.46 (0 – 10.33) Gash model
1.15 Gash and Morton,1978
5.57 Gash model
3.5 regresi Tf dg P
1.30 – 1.57 Gash model
0.89 Perhitungan untuk setiap kejadian hujan
2
3
4
5
6
7
p
1.91 (0-8.01) Gash dan Morton, 1978
S
1
No
Tamzanaia
Jamica
Costa Rica
Puerto Rico
Puerto Rico
Ecuador
Ecuador
Negara
Upper montane forest
Upper montane cloud forest
Montane cloud forest
Lower montane rain forest
Lower montane rain forest
Lower mpntane forest
Lower montane forest
vegetation
Tabel 1. Kapasitas (S) dan porisitas tajuk (p) diacu dalam Fleischbein et al., (2005)
Jackson (1975)
Hafkensheid (2000)
Kohler (2002)
Schellekens et al (1990)
Schellekens et al.(1990)
All weeks
This study, dry weeks
Sumber
13
13
Australia Australia
1.6 – 8.3 Rainfall simulator
0.39 Regresi Tf dengan P
12
Brunei
0.05 Assined after Gash an Morton, 1978
11
Assigned
0.1
10
Indonesia
Colombia
Negara
0.83 – 1.01 Regresi Tf dan P
0.52 -0.54 Rutter et al. 1971
p
0.04 -1.39 Regresi Tf dan P
-
S
9
8
No
Lanjutan Tabel 1.
Eucalyptus
Tropical rainforest
Lowland rainforest
Low land rainforest
Upper montane cloud forest
vegetation
Crockford and Richardson 1990
Herwitz 1985
Dykes, 1997
Asdak, et al., 1998
Vebeklaas and van Ek (1990)
Sumber
14
14
15
model klasik maka model Gash dapat dinilai lebih maju karena informasi yang diperoleh dari model ini lebih banyak dan memungkinkan untuk diekstrapolasi untuk daerah lain. Kelemahan dari model ini seperti yang dikemukakan pada poin 2.1 yakni penetapan parameter curah hujan yang dibutuhkan untuk menjenuhkan tajuk. Pada parameter ini tajuk hanya diasumsikan dua dimensi. Asumsi ini berarti bagian tajuk yang membutuhkan penjenuhan hanya bagian permukaan tajuk yang menerima langsung hujan. Akan tetapi faktanya tidak demikian karena bagian hujan yang lolos dari permukaan tajuk akan menjadi
input pada lapisan di bawahnya. Ini berarti
penggunaan luas tajuk sebagai representasi dari penutupan permukaan atau kondisi vegetasi masih dinilai lemah karena tajuk memilki tiga dimenasi. Karena itu fraksi penutupan tajuk merupakan fungsi dari ILD. Revisi model Gash 1995 yang merupakan penyempurnaan dari model Gash 1979. Konsekuensi dari perubahan fraksi penutupan tajuk pada revisi model Gash 1995 berdampak pada penetapan besaran kuantitatif parameter intersepsi khususnya nilai curah hujan yang diperlukan untuk menjenuhkan tajuk (Pg). Akibat dari perubahan parameter Pg’ maka selanjutnya mempengaruhi komponen intersepsi hujan seperti jeluk hujan yang dapat menjenuhkan tajuk (m), jeluk hujan yang tidak menjenuhkan tajuk (n) dan evaporasi tajuk selama hujan berlangsung (E). Perubahan ini selanjutnya mempengaruhi nilai intersepsi hujan (Ic). Revisi model Gash 1995 mendapat banyak respon positif dari peneliti hidrologi dan menilainya lebih realistis dibandingkan dengan model Gash 1979 dan memungkinkan digunakan lebih luas. Asumsi-asumsi utama yang disederhanakan oleh Gash, sebagai berikut : a. Pola distribusi hujan dalam bentuk hujan terus-menerus dengan interval periode tidak hujan cukup lama, sehingga memungkinkan tajuk dan batang pohon menjadi kering, b. Kondisi meteorologi selama terjadi penjenuhan tajuk, dianggap sama untuk semua hujan, artinya bahwa rata-rata kondisi hujan dan evaporasi dapat mewakili seluruh data hujan dan evaporasi yang ada, dan c. Bahwa tidak ada penetesan (air yang lolos) selama proses penjenuhan tajuk dan jumlah air pada tajuk setelah hujan akan cepat berkurang (antara 20 – 30 menit) sampai tercapai nilai daya tampung air yang terkecil. 2.4. Dinamika Energi Menurut (Calder 1977 dan 1992, diacu dalam Ramirez dan Senarath 1999) bahwa intersepsi hujan tidak hanya berpengaruh penting pada keseimbangan air,
16
tetapi juga pada neraca energi suatu permukaan lahan. Hal serupa dikemukakan oleh Seller et al. (1997); Ramires dan Senarath (1999) bahwa intersepsi hujan akan mengurangi aliran energi sensible heat dan meningkatkan aliran energi latent heat. Hutan yang dikonversi menjadi lahan pertanian tanaman semusim
(jagung dan
kedelai) menyebabkan radiasi neto dan evapotranspirasi berkurang masing-masing 20 % dan 0,75 mm/hari, di sisi lain aliran permukaan meningkat, kondisi ini akan terjadi sebaliknya bila konversi lahan padang rumput menjadi areal pertanian musiman, besarnya peningkatan evapotranspirasi adalah 0,4 mm/hari atau 45 % (Twine et al. 2004). Tomo’omi Kumagai et al. (2004) melaporkan salah satu hasil penelitiannya bahwa hubungan antara latent heat (λE) dan sensible heat (H) terhadap radiasi neto (Rn) pada hari hujan di musim hujan, menunjukkan slope dari regresinya adalah 0,82 dan nilai ini lebih besar dibandingkan pada hari tidak hujan yakni hanya 0.78. Selanjutnya dijelaskan perbedaan ini dikarenakan pada hari hujan, terjadi aliran eddy yang disebabkan oleh evaporasi dari tajuk yang basah. Lantai hutan yang tidak tertutupi oleh tajuk tanaman menyebabkan jumlah radiasi neto yang tiba di permukaan tanah lebih banyak sehingga limpahan λE dan H meningkat dibandingkan dengan permukaan tanah yang ditutupi oleh tajuk (Law et al. 2000). Selanjutnya dilaporkan pada hasil simulasi dengan ILD= 5,
Net
Ecocsystem Exchange (NEE)
37 %,
limpahan λE hanya 12 %, tetapi pengaruh yang paling nyata adalah pada net photosynthesis yakni mencapai 20 %. Kesimpulan lain yang dikemukakan adalah distribusi radiasi pada tajuk pengaruhnya tidak sebesar dari pengaruh ILD. Uraian di atas mempertegas bahwa intersepsi hujan memiliki pengaruh penting terhadap dinamika energi pada sistem vegetasi.
Pertukaran energi antara suatu
sistem dengan atmosfir memiliki variability dalam skala ruang dan waktu. Simpanan energi pada tajuk merupakan salah satu hal penting bersama energi yang tersedia pada proses pertukaran energi dengan atmofir. McCaughey dan Saxton (1988, diacu dalam Samson dan Lemeur 2000) mengemukakan bahwa simpanan energi pada tajuk dibagi menjadi lima bagian yaitu simpanan energi sensible heat (Sa) dan latent heat (Sw) pada lapisan perbatas, simpanan energi pada biomassa (Sv), energi yang dipergunakan pada fotosintesisi (Sp) dan simpanan pada tanah (Sg). Banyak studi menunjukkan nilai Sg diasumsikan sama dengan nilai aliran energi ke tanah (G) bahkan sering diabaikan karena nilainya yang kecil (Shuttleworth 1994, diacu dalam Samson dan Lemeur 2000). Secara emipiris nilai G pada siang hari adalah 0,5 dan malam hari 0,1 dari radiasi neto (FAO.1988).
17
Penelitian yang dilakukan oleh Samson dan Lemeur (2000) tentang simpanan energi pada hutan dengan tiga kondisi cuaca menunjukkan simpanan sensible heat pada ketiga kondisi cuaca menunjukkan perbedaan pada time to peak dan besaran kuantitatif simpanan energi. Ketiga kondisi cuaca yang dikaji adalah : ■
Cuaca cerah dengan tajuk yang kering
■
Cuaca berawan dengan tajuk kering
■
Cuaca berawan dengan tajuk basah
Pada cuaca cerah dengan tajuk kering diperoleh simpanan energi maksimum terjadi lebih awal yakni pada pukul 10 dan nilainya mencapai ± 40 Wm-2. Sedangkan pada kondisi berawan dengan tajuk kering dan basah simpanan energi maksimum masing masing terjadi pada pukul 11 dan 12 dan nilainya jauh lebih kecil dari kondisi cuaca cerah. Bagian lain hasil yang diperoleh menunjukkan simpanan energi pada tanah baik pola maupun kuantitasnya pada ketiga kondisi cuaca tersebut relatif sama. Oliphan et al. (2004) melaporkan hasil penelitiannya tentang simpanan energi pada hutan bahwa simpanan energi sensible heat memiliki variabilitas yang tinggi dan pengaruhnya nyata terhadap simpanan energi lainnya. Selain itu ditegaskan pula bahwa selama tiga tahun penelitian ternyata simpanan energi pada hutan adalah kecil tetapi konsisten terjadi defisit rata rata 16,18 MJ m-2a-1. Adveksi energi merupakan representasi aliran energi dari dan ke suatu permukaan. Presipitasi merupakan sumber terjadinya adveksi pada sistem vegetasi hutan baik secara horisontal maupun vertikal. Resenberg et al. (1983, diacu dalam Todd et al. 2000) mendefinisikan bahwa adveksi merupakan aliran energi, massa dan momentum secara horisontal akibat dari arah angin ke bawah. Karena itu menurut Todd et al. (2000) bahwa pada kondisi tertentu ratio antara tahanan iklim dengan tahanan aerodinamik nilainya menjadi besar yang dikenali sebagai kondisi oasis. Kondisi yang dimikian umumnya terjadi saat udara panas, kering dan atau pemindahan massa yang berlangsung cepat akibat angin. Konsekuensi dari kondisi ini maka terjadi aliran sensible heat yang tinggi. McCaughey and Saxton (1988) berpendapat bahwa aliran energi ke tanah merupakan komponen penting terhadap simpanan energi. Selanjutnya dijelaskan bahwa pada musim kering atau cuaca cerah simpanan sinsible heat pada tajuk adalah tinggi sedangkan pada musim hujan atau udara lembab simpanan latent heat menjadi tinggi, tetapi fluktuasinya sangat cepat. Hal lain yang disimpulkan adalah terdapat hubungan linier antara jumlah simpanan sensible heat dan biomassa terhadap perubahan suhu pada boundary layers.
18
Komponen neraca energi suatu ekosistem vegetasi memiliki variasi yang nyata bergantung pada karakteristik vegetasi sepeti ILD, umur, tingkat penutupan, dan tinggi vegetasi (Jiquan Cheng et al.). Selanjutnya dilaporkan bahwa energi yang tersimpan akan berkurang secara linier terhadap tinggi vegetasi. Di hutan, atau daerah yang bervegetasi, dinamika energi menjadi tinggi dengan bertambahnya produksi biomassa dengan ketebalan lapisan udara
(Gay 2000). Selanjutnya ditegaskan
bahwa komponen simpanan energi merupakan fungsi dari suhu dan panas jenis dari media. Kapasitas simpan energi pada tanaman pinus scots adalah 7,06 Wm-2. (Jaeger and Kessler 1996 ; Stewart 1998, diacu dalam Gay 2000). Adanya pertukaran energi dan aliran massa uap air pada intersepsi hujan, maka sesungguhnya intersepsi hujan identik dengan kehilangan energi atau heat loss. Ini dikarenakan proses evaporasi
membutuhkan energi untuk merubah air menjadi uap air dan
energi untuk menguapkan air http://www.plantphys.net . Pielke (2001) mengkaji pengaruh penutupan lahan terhadap perubahan iklim dengan menguraikan persamaan neraca energi dan air, Salah satu hasil yang diperoleh bahwa reduksi evapotranspirasi akibat dari keterbatasan lengas tanah menyebabkan limpahan sensible heat dan pemanasan tanah meningkat. Pengurangan lengas tanah dimungkinkan karena run off yang tinggi dan atau presipitasi neto yang rendah dan atau infiltrasi yang terbatas. 2.5. Neraca Energi Menurut Oke (1987, diacu dalam Oliphan et al. 2004) bahwa neraca energi pada ekosistim merupakan gambaran dari energi yang diterima dan yang dilepaskan dan dipengaruhi oleh karakter permukaan dengan lingkungan atmosfir.
Neraca
energi merupakan pernyataan hukum kekekalan energi yang menguraikan tentang energi yang diterima dan yang dilepaskan. Untuk itu neraca energi dapat disajikan sebagai suatu metode untuk
mengenali dinamika energi pada suatu sistem.
Implementasi konsepsi ini kedalam suatu sistem memungkinkan aliran energi dapat dibedakan antara yang tersedia dan penggunaannya dan selalu berada dalam kondisi setimbang. Persamaan dasar neraca energi sesuai dengan hukum kekekalan energi, dapat dituliskan sebagai berikut :
Rn = λ E + H + G (Wm-2 )
……………………… (1)
Rn : radiasi neto (net radition), H : aliran bahang terasa (sensible heat flux density), λΕ : aliran bahang laten (latent heat flux density), G : aliran bahang tanah (soil heat flux density),
19
Nielsen et al., (1981) menyatakan
bahwa neraca energi, terutama fluks
sensible heat, merupakan faktor penentu karakteristik golak (turbulence) dari lapisan batas bumi (Planetary Boundary Layer, PBL). Selain itu neraca energi juga merupakan mata rantai utama yang mengaitkan karakteristik permukaan bumi dengan model sirkulasi umum atau General Circulation Model, GCM (Sellers et al. 1997). Gambaran di atas menunjukkan bahwa dengan neraca energi dapat dikenali limpahan energi suatu sistem, selain itu kondisi iklim lokal.
neraca energi dapat menggambarkan
Contoh sederhana dari gambaran iklim lokal melalui
neraca
energi adalah bila konversi energi yang dominan ke sensible heat (H), maka dapat diartikan bahwa kawasan tersebut mengalami cekaman air atau lengas pemukaan rendah sebagai gambaran kekeringan. Konversi dan limpahan energi di permukaan bumi dipengaruhi oleh sifat termal dan emisivitas permukaan, kekasapan (roughness) dan kandungan lengas tanah (Campbell 1977). Besaran nilai masing-masing komponen neraca energi ditentukan kelembaban udara dan kandungan lengas permukaan
(http://www.balticuniv.uu).
Masing-masing komponen neraca energi memberikan pengaruh terhadap proses fisik dan biologi seperti pemindahan massa uap air, pemanasan atau pendinginan udara dan tanah. Bentuk umum dari limpahan atau pemindahan energi dari suatu tempat ke tempat lain adalah konveksi dan konduksi. Uraian ini menggambarkan bahwa dinamika energi di permukkan bumi berkaitan erat dengan karakteristik permukaan dan berhubungan dengan proses fisik lainnya. Sekalipun demikian kajian tentang neraca energi terutama di daerah lintang rendah masih sangat terbatas seperti halnya di Indonesia. Asdak et al. (1998) menghitung nilai evaporasi hutan berdasarkan perinsip neraca energi sebagai dampak penebangan pada ekosistem hutan alam di Kalimantan Tengah. Penelitian terakhir tentang neraca energi yang memperhatikan kondisi topografi banyak dilakukan untuk kawasan di daerah beriklim subtropis dimana faktor topografi, perubahan tata guna lahan dan kondisi pertanian, dan presipitasi sangat menentukan distribusi spasialnya (Kalthof et al. 1999; Friedrich et al. 2000; Polonia dan Soller 2000). 2.5.1 Radiasi Neto (Rn) Radiasi neto disebut juga energi tersedia. Besaran nilai ini ditentukan oleh jumlah radiasi neto gelombang pendek (Rns) dan radiasi neto gelombang panjang (Rnl) yang diterima. Berkaitan dengan radiasi neto gelombang pendek, maka sifat dan karakteristik permukaan memiliki pengaruh yang cukup besar yang dicirikan oleh
20
albedo (α). Secara khusus neraca radiasi untuk gelombang pendek dan kaitannya dengan nilai albedo adalah sebagai berikut : R ns = RS ↓ (1 − α )
..................................
(2)
Rns : Radiasi neto gelombang pendek Rs : Radiasi global yang diterima α : Albedo permukaan Persamaan ini menjelaskan bahwa albedo sangat mempengaruhi jumlah radiasi neto gelombang pendek yang dapat disimpan menjadi energi tersedia. Persamaan ini juga memperjelas bahwa perubahan penggunaan lahan mempengaruhi ketersediaan energi. Ini dapat dipahami karena masing masing bentuk penggunaan lahan memiliki nilai albedo tertentu seperti yang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Albedo berbagai tipe permukaan No
Tipe Permukaan
Albedo (%)
1.
Tanah pasir kering
25 – 45
2.
Tanah liat kering
20 – 35
3.
Tanah gambut
5 – 15
4.
Tanaman di lapangan
20 – 30
5.
Hutan berdaun lebar
15 – 20
6.
Hutan berdaun jarum
10 – 15
Rosenberg 1983. Perubahan nilai albedo (α) dari 15 % menjadi 25 % dapat menimbulkan variasi radiasi neto mencapai 5% (Tunner 1968, diacu dalam Murdiyarso dan Satjapraja 1991). Nilai dari radiasi neto memiliki arti penting karena terkait dengan jumlah energi yang tersedia untuk dipergunakan pada proses fisik dan biologi dalam sistem biosfer. Berkaitan dengan itu dan keterbatasan
alat ukur, maka peneliti mencoba me-
ngembangkan persamaan empiris untuk menduga besaran nilai Rn. Linacre (1968, diacu dalam Rosenberg 1983) mengembangkan persamaan empiris untuk menduga nilai Rn dengan mengunakan radiasi global, albedo, persen peluang radiasi (n/N) dan suhu udara (oC) dengan persamaan matematika sebagai berikut: Rn = (1-α)Rs-1.11(0.2+0.8n/N)(100-T) Rn : radiasi netto α : Albedo radiasi gelombang pedek
.........
(3)
21
T : suhu udara (oC) 2.5.2 Sensible Heat (H) Pemindahan energi ini umumnya terjadi secara konveksi antara suatu permukaan dengan atmosfer. Aliran energi ini memiliki hubungan dengan suhu antara suatu permukaan dengan udara lingkungannya.
gradian
Pada kondisi suhu
udara yang tinggi dari suhu permukaan, maka aliran energi menuju ke sistem permukaan (negative sensible heat transfer), akibatnya permukaan akan mengalami peningkatan
suhu
sedangkan
atmosfer
mengalami
penurunan
suhu
(http://www.uwsp.edu/geo). Selanjutnya diuraikan bahwa kondisi positive sensible heat transfer terjadi bila suhu permukaan lebih tinggi dari suhu udara. Proses ini disebut juga sebagai sensible heat loss (http://www.plantphys.net) karena sensible heat yang ada pada sistem permukaan mengalami pengurangan. Negative sensible heat transfer umumnya terjadi pada malam hari pada permukaan yang mengalami pendinginan akibat pancaran radiasi gelombang panjang sebelumnya.
Limpahan
sensible heat selain dipengaruhi oleh gradian suhu antara permukaan dengan udara di atasnya, juga dipengaruhi oleh faktor lain berupa
tahanan aerodinamik dan
kerapatan udara serta sifat termal udara seperti yang diformulasikan oleh Snyder and Paw (2001). Schmid et al. (2000) melaporkan bahwa pada musim dingin dan awal musim semi di hutan deciduous sebelum mengalami gugur daun, 80% dari energi yang tersedia dikonversi menjadi sensible heat 2.5.3 Latent Heat (LE) Latent heat (LE) diartikan sebagai limpahan energi yang digunakan untuk menguapkan air ke atmosfer. Menurut Woodward dan Sheehy (1983), Monteith dan Unsworth (1990) bahwa Latent heat adalah jumlah energi yang diperlukan untuk mengubah satu unit massa air menjadi uap pada suhu yang sama. Kondisi ini juga disebut latent heat of vaporization. Bila terjadi evaporasi, maka sistem yang berevaporasi
mengalami
(http://www.plantphys.net)
pengurangan
energi
atau
sedangkan aliran energi
evaporative
heat
loss
bersifat postif atau positive
latent heat flux. (http://www.uwsp.edu/geo). Pada proses ini terjadi konversi latent heat menjadi sensible heat yang kemudian mengakibatkan suhu udara meningkat sebaliknya permukaan mengalami penurunan suhu. 2.5.4 Soil Heat Flux (G)
22
Pengertian dari soil heat flux adalah sejumlah energi radiasi surya yang sampai pada permukaan tanah dan digunakan untuk berbagai proses fisik dan biologi tanah. Bentuk aliran energi ini adalah konduksi yang dapat bersifat fositif dan negatif. Pada kondisi suhu permukaan yang lebih tinggi dari lapisan di bawahnya menyebabkan aliran energi menuju ke lapisan tanah lebih dalam, sebaliknya bila suhu permukaan lebih rendah dari suhu tanah lapisan yang dalam, maka aliran menuju ke permukaan http://www.uwsp.edu/geo. Faktor utama yang mempengaruhi aliran energi ini adalah (i) gradian suhu antara permukaan tanah dengan lapisan di bawahnya, (ii) kapasitas panas, dan (iii) sifat konduktivitas (Snyder dan Paw 2001). Nilai aliran energi ini ke tanah umumnya kecil terutama untuk daerah yang ditutupi vegetasi sehingga sangat sulit dilakukan pengukuran yang sederhana. Oleh karena itu nilai ini biasanya diasumsikan sama dengan 0,1 Rn untuk siang hari dan 0,5 Rn untuk malam hari (FAO. 1998) 2.6. Neraca Energi Bowen Ratio (NEBR). Neraca energi Bowen Ratio dikembangkan oleh Ira S.Bowen (1898-1973) di American Astrophysicist. Pendekatan ini mencoba mengabaikan adanya tahanan aerodinamik pada aliran energi, selain itu kondisi atmosfer diasumsikan netral. Pendekatan ini awalnya dipergunakan untuk mengkaji hubungan antara tanaman dan air seperti yang dilakukan oleh (Fritschen 1966; Malek et al. 1992; Wight et al. 1993; Grant and Meinzer 1991; Todd et al. 1996, diacu dalam Todd et al. 2000). Setelah dilakukan pengujian dengan metode lain maka Todd et al. (2000) berpendapat bahwa metode ini dapat digunanakan untuk mengkaji aliran energi. Penggunaan metode ini untuk mengkaji aliran energi, dapat dinilai sebagai metode tidak langsung karena aliran energi dihitung dari komponen meteorologi lainnya yaitu suhu dan tekanan uap. Selain itu dibutuhkan nilai energi yang tersedia (Rn) dan energi yang tersimpan pada tanah (G). Ditinjau dari kebutuhan data pada metode ini, maka metode ini dapat dinilai sederhana. Akan tetapi berdasarkan asumsi yang digunakan maka kesederhanaan metode ini sekaligus menjadi kelemahan. Bowen ratio secara sederhana merupakan ratio antara
sensible heat (H)
dengan latent heat (LE) (Ohmura 1982 dan Perez et al. 1999).
H LE ρC p ⎛ K h ⎞ ∂t ∂z ⎜ ⎟ = LE ⎜⎝ K w ⎟⎠ ∂e ∂z
β=
..........................
(4a)
23
γ=
ρC p
; K h = K w maka LE ΔT β =γ Δe
……………….
(4b)
Dimana ΔT : Perbedaan suhu pada dua ketinggian Δe : Perbedaan tekana uap pada dua ketinggian γ : tetapan psikrometer, Kh : koofisien difusi untuk perpindahan golak pada bahang Kw : : koofisien difusi untuk perpindahan air ρ : kerapatan udara Nobel (1999 dalam http://www.plantphys.net) melaporkan bahwa nilai Bowen ratio untuk hutan tropika basah adalah 0,2 sedangkan hutan di daerah temperate dan padang rumput nilai Bowen rationya adalah 0,4 - 0,8. McCaughly (1985) melaporkan hasil penelitiannya yang dilaksananakan di Petawawa National Forest Institute, Ontario bahwa nilai Bowen ratio pada hutan
adalah 0.2. Dua laporan di atas
menggambarkan bahwa limpahan sensible heat pada hutan porsinya lebih kecil dari limpahan sensible heat pada padang rumput. Dibandingkan dengan nilai Bowen ratio pada perkebunan kakao di sekitar Taman Nasional Lore Lindu yang dilaporkan oleh Falk et al. (2005)
yakni ≈ 1, maka nilai ini jauh lebih tinggi dari nilai Bowen ratio
pada hutan primer dan sekunder. Laporan ini juga mengindikasikan bahwa pada perkebunan kakao suhu udara pada
bondary layers adalah tinggi dibandingkan
dengan hutan. Informasi penting dari hasil penelitian di atas adalah konversi hutan menjadi perkebunan kakao memungkinkan terjadi pemanasan udara.
III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Perilaku curah hujan yang tiba pada lantai hutan dipengaruhi oleh sifat hujan sebagai input dan karakter fisik hutan sebagai fungsi tranfer. Proses fisik ini menyebabkan aliran massa uap air ke sistem atmosfer disertai dengan pertukaran latent heat dan sensible heat sehingga beperan penting pada sistem hidrologi dan meteorologi yang keduanya saling berhubungan. Akibat alih guna hutan ke bentuk lain maka terjadi perubahan sifat dan karakter permukaan. Perubahan ini tidak hanya berpengaruh pada intersepsi hujan tetapi juga respon permukaan terhadap dinamika radiasi dan energi. Secara konseptual, disajikan pada Gambar 3.
Rs
P
T, e
LAI Rn
S
Tf & Sf
Pn, Sm
Lapisan perbatas
Aliran λE H
Intersepsi
Simapanan energi Sa,Sw
SG , T
Sistem vegetasi
Evaporasi
Sistem Tanah
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Pemindahan Energi dan Massa
25
Keterangan P Curah hujan Rs Radiasi global LAI Indeks luas daun T Suhu e Tekanan uap air Rn Radiasi neto S Kapasitas intersepsi Simpanan sensible Sa heat Sw Simpananl latent heat
H λE Tf Sf Pn G SG Sm
Sensible heat Latent heat Curahan tajuk Aliran batang Curah hujan neto Soil heat flux Simpanan energi dalam tanah Lengas tanah
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian Pengamatan lapangan penelitian ini dilaksanakan Juni 2005 sampai dengan Mei 2007 yang dibagi menjadi dua tahap yaitu: a. Tahap I (Juni 2005 – 2006) pengukuran intersepsi hujan dan aliran enegi b. Tahap II (Juni 2006 – Mei 2007) pengujian model empiris pendugaan intersepsi hujan Penelitian ini dilaksanakan dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu tepatnya di hutan Babahaleka desa Bariri kecamatan Lore Tengah kabupaten Poso provinsi Sulawesi Tengah.
Kawasan ini berada pada elevasi sekitar 1400 m di atas muka
laut. Sesuai dengan klasifikasi hutan berdasarkan elevasi (UNEP-CMC. 2004) maka di lokasi penelitian tergolong lower montane forest. (1200-1800 mdpl) disajikan pada Gambar 4. 120
1
TNLL Tower iklim S :01-39-28 E :120-10-24 Eelevasi : 1425 m dpl
AWS pada lahan terbuka 2
120
Gambar 4. Lokasi Penelitian di Taman Nasional Lore Lindu (TNLL)
26
3.3 Bahan dan Alat Objek penelitian ini adalah vegetasi hutan alam. Adapun peralatan yang dipergunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Pita meter b. Vertex III c. Kamera hemiview d. Soft ware Hemiview AT 3.1 e. Alat ukur curah hujan neto yang terdiri dari :
1) Alat ukur curahan tajuk 2) Alat ukur aliran batang f.
Alat meteorologi
1) PT1000 Vaisala HMP45C 2) RH Vaisala HMP45C 3) Pyranometer 4) Pyranometer Kipp & Zonen CO2 5) Pyranometer Kipp & Zonen CM14 6) Net Pyranometer 7) Tipping bucket Texas TE525 3.4 Metode Penelitian Penelitian ini didasarkan pada pengukuran langsung di lapangan yakni di lokasi penelitan STORMA (stability of rainforest margin) di hutan Babahaleka Taman Nasional Lore Lindu 3.4.1 Komponen yang diamati Komponen yang diamati pada penelitian ini terdiri dari komponen vegetasi dan komponen meteorologi yang meliputi, unsur meteorologi pada hutan, unsur meteorologi pada padang rumput dan agihan curah hujan pada hutan. Unsur pengamatan dari masing-masing komponen, sebagai berikut : a.
Komponen vegetasi, meliputi
1) Tinggi pohon ( Bebas cabang dan total) 2) Diameter batang 3) Luas tajuk 4) Indeks luas daun (ILD) 5) Penutupan tajuk
27 b.
Pegukuran unsur meteorologi pada hutan dilakukan pada tiga level ketinggian dari permukaan tanah yaitu :
1) 24 (dalam tajuk), 2) 36 m ( puncak tajuk) dan 3) 69 m ( di atas tajuk). Unsur-unsur meteorologi yang diukur meliputi:
1) Suhu udara (tajuk, pucak tajuk dan di atas tajuk hutan) 2) Kelembaban udara (tajuk, puncak tajuk dan di atas tajuk hutan) 3) Radiasi global pada puncak tajuk 4) Radiasi gelombang panjang pada puncak tajuk 5) Radiasi neto pada puncak tajuk 6) Curah hujan pada puncak tajuk 7) Aliran energi ke tanah (kedalaman 30 cm) c.
Unsur meteorologi yang diamati pada padang rumput, meliputi:
1) Suhu udara (ketinggian 0.3 dan 2 m dari permukaan tanah) 2) Kelembaban udara (ketinggian 0.3 dan 2 m dari permukaan tanah) 3) Radiasi global pada ketinggian 2 m dari permukaan tanah 4) Radiasi neto pada ketinggian 2 m dari permukaan tanah 5) Aliran energi ke tanah (kedalaman 30 cm) d.
Curah hujan neto pada hutan
1) Curahan tajuk 2) Aliran batang 3.4.2 Pelaksanaan a. Plot Sampling Pengamatan vegetasi dilakukan secara sampling dengan mempergunakan metode garis berpetak yang panjangnya disesuaikan dengan kondisi bentang alam (Gambar 5a). Jarak antar garis adalah 100 m dan pada masing masing garis dibuat plot sampling yang berukuran 20*20 m dengan jarak antar plot adalah 100 m. Secara keseluruhan jumlah plot sampling adalah 12 dan sebagai titik kontrol adalah menara utama (tower klimatologi STORMA) yang tingginya 70 m. Semua tumbuhan berkayu diameter > 10 cm yang terdapat pada plot contoh diidentifikasi diameter batang dan tinggi pohon yang kemudian dipilih salah satu pohon untuk dijadikan sampel pengukuran curahan tajuk dan aliran batang.
28
b
a U
α 100 m
α Plot sample (20*20 m) Posisi Menara Utama Alur
: 45o : pangkal batang : arah pengukuran
Gambar 5. (a) Seketsa plot sampling pengamatan komposisi vegetasi (b) Pengukuran proyeksi tajuk pohon di lapangan b. Pengumpulan Data 1). Kondisi Vegetasi Pengamatan terhadap kondisi vegetasi dilakukan pada plot sampling yang meliputi:
a) Jari-jari tajuk Pengukuran jari-jari tajuk dilakukan dengan cara memproyeksikan tajuk ke permukaan tanah sebanyak delapan arah dengan titik kontrol ádalah pangkal batang, masing masing arah pengukuran membentuk sudut 45o dan panjangnya diukur dengan mempergunakan pita meter Teknik pengukuran jari-jari tajuk seperti yang ditinjukkan pada Gambar 5b..
b) Keliling batang. Pengukuran keliling batang dilakukan dengan mempergunakan pita meter pada ketinggian 1,3 m dari atas permukaan tanah.
c) Tinggi pohon dan tinggi bebas cabang Pengukuran tinggi pohon dan tinggi bebas cabang hanya dilakukan pada pohon yang memiliki DBH > 10 cm. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan VERTEX III.
29 d) Indek luas daun (ILD) dan penutupan tajuk, Parameter ini diukur dengan mempergunakan kamera hemiview pada pohon yang menjadi sampel pengukuran intersepsi hujan. 2). Unsur Meterologi Data meteorologi baik di hutan maupun pada padang rumput, secara otomatik terekam pada sistem logger pada tower klimatologi dan stasiun AWS (automatic weather system) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6. 3) Pengukuran Curah Hujan Neto a) Curahan tajuk (Tf). Data ini diperoleh dari hasil pengukuran.pada plot intersepsi. Pengukuran dilakukan dengan memasang alat ukur di bawah tajuk (Gambar 7) berupa talang dengan panjang 2 m dan lebar permukaan 13.7 cm. Pemasangan alat ini mengukuti jari-jari tajuk pohon dengan kemiringan 10%. Pada bagian terendah dihubungkan dengan selang menuju kolektor. b) Aliran batang (Sf). Data ini diperoleh dari pengukuran pada plot sampel dengan memasang alat ukur pada batang (Gambar 7) berupa talang kolektor. Alat ini berupa selang plastik yan telah dibelah dua kemudian dililitkan pada batang pada ketinggian 1 m dari permukaan tanah. Bagian
ujung yang rendah
dihubungkan dengan selang menuju colector 3.4.3. Analisis dan Sintesis Data a. Vegetasi
1) Diamater batang dihitung melalui persamaan berikut : DBH =
LB π
...............................................................
(5)
DBH : diameter batang (cm) LB : keliling batang (cm) π : 3.14
2) Struktur horisontal vegetasi Struktur horisontal vegetasi diidentifikasi melalui hubungan antara kerapatan dengan diameter batang (DBH). Untuk kepentingan ini maka DBH dibagi menjadi empat klaster yaitu :
a) Kelompok permudaan hutan (DBH < 20 cm) ■ Semai dan pancang dengan DBH <10 ■ Tiang dengan DBH 10,0 - 20 cm
Gambar 6. Stasiun Pengamat Cuaca Milik STORMA
Soil heat flux
throughfall
v
Rain fall
Stem flow
T, rh
Solar panels
Global radiation
Net radiation
Barometric air pressure
Wind direction
24 m
36 m
69 m
Gambar 7. Pengukuran curahan tajuk dan aliran batang beserta instrumen yang dipergunakan
31
31 b) Pohon (DBH> 20 cm) terdiri dari : ■
Pohon dengan DBH 20,0 – 40 cm
■
Pohon dengan DBH 40,0 – 60 cm
■
Pohon dengan DBH > 60,0 cm
3) Struktur vertikal Suturktur vertikal vegetasi diidentifikasi melalui hubungan antara kerapatan dengan tinggi pohon. Untuk kepentingan ini, tinggi pohon dibagi menjadi
empat
klaster yaitu : a) Tinggi 10 – 20 m b) Tinggi 20 - 30 m c) Tinggi 30 – 40 m dan d) Tinggi > 40 m
4)
Luas tajuk. Data ukur jari-jari
tajuk dikonversi menjadi luas tajuk melalui persamaan
berikut :
⎛1 ⎞ LT = π * ⎜ ∑ Ri ⎟ ⎝8 ⎠ LT R i
5)
2
........................................
(6)
: luas tajuk : jari jari tajuk : arah pengukuran ke i
ILD dan Penutupan tajuk Kedua parameter vegetasi ini dihitung dengan mempergunakan soft ware
Hemiview AT 3.0 b. Sifat Hujan Batasan yang dijadikan acuan sebagai hari hujan adalah hari dimana jeluk hujannya ≥ 0,5 mm/hari. Analisis sifat hujan meliputi : 1) Jeluk hujan yaitu curah hujan total pada setiap hari hujan (mm) 2) Lama hujan yaitu lamanya hujan berlangsung setiap hari hujan (menit) 3) Intensitas hujan (mm/jam) pada setiap hari hujan
32
c. Agihan Hujan
1) Aliran batang (Sf) Aliran batang ditentukan melalui hasil pengukuran lapangan yang dikonversi ke dalam tinggi kolom air dengan persamaan berikut :
⎛ v ⎞ Sf i = ⎜⎜ i ⎟⎟ x10 ⎝ LTi ⎠ Sfi vi LTi
……………………............................
(7)
: aliran batang contoh ke – i (mm) : volume aliran batang contoh ke – i (cm3 ) : luas tajuk pohon contoh ke – i (cm2)
2) Curahan tajuk (Tf) Curah tajuk ditentukan ddari hasil pengukuran lapangan yang dikonversi k edalam tinggi kolom air dengan persamaan berikut :
⎛q ⎞ Tf i = ⎜⎜ i ⎟⎟ x10 ⎝ Li ⎠ Tfi qi Li
………………………......................
(8)
: curahan tajuk pohon ke-i (mm) : volume curahan tajuk contoh ke-i (cm3 ) : luas alat penampung curahan tajuk ke-i (cm2)
3) Curah hujan neto (Pn) Curah hujan neto merupakan total curah hujan yang mencapi permukaan tanah yang dihitung dengan persamaan berikut : Pn = Tf + Sf
............................................................
(9)
Pn : curah hujan neto (mm) Tf : curahan tajuk (mm) Sf : aliran batang (mm)
4) Intersepsi hujan (ic) Intersepsi hujan merupakan selisih antara curah hujan yang diterima oleh tajuk dengan curah hujan yang tiba diprmukaan tanah (Pn), dihitung melalui persamaan berikut : Ic = P – Pn Ic : intersepsi hujan (mm) P : curah hujan (mm) Pn : curah hujan neto (mm)
……………………………....
(10)
33
3.5. Penyusunan Model Pendugaan Intersepsi Hujan 3.5.1 Model Pendugaan Model pendugaan dibangun melalui hubungan empiris antara intersepsi hujan dengan kompon hujan dan komponen vegetasi dalam bentuk persamaan regresi. ^
Y = αiXi ± C ^
Y
α X i C
..........................................
(11)
: intersepsi hipotetik (dugaan) : slop regresi : komponen input : Jenis input (jeluk hujan, intesitas hujan, ILD dan luas tajuk) : Galat
Asumsi dasar dari persamaan ini adalah kejadian hujan dalam sehari hanya diasumsikan satu kali. 3.5.2 Paramaterisasi Intersepsi Secara umum parameter intersepsi terdiri dari kapasitas tajuk, porositas tajuk, kapasitas batang dan koefisien input batang. Penentuan nilai dari masing-masing parameter tersebut sebagai berikut : a. Kapasitas Tajuk dan Porositas Tajuk Kapasitas tajuk diperoleh memalui persamaan linier antara curahan tajuk terukur dengan curah hujan pada setiap hari hujan seperti yang dipergunakan oleh Jacson (1975) dan Jeten et al. (1996)
diacu dalam Fleischenben et al. 2005)
sebagai berikut : ^
Tf α C P S
Tf = αP ± C
.....................................................
(12.a)
S = αP − Tf
.....................................................
(12.b)
: curahan tajuk (mm) : koefisien regresihubungan curahan tajuk dengan curah hujan : galat : curah hujan (mm) : kapasitas tajuk
Nilai porositas tajuk dihitung melalui rasio antara bagian hujan yang tiba di permukaan tanah melalui curahan tajuk pada setiap hari hujandengan jeluk hujan pada setiap hari hujan, dengan persamaan sebagai berikut
34 Tf P
p=
...............................................................
(12.c)
p : porositas tajuk Tf : curahan tajuk (mm) P : curah hujan (mm) b.
Kapasitas Batang dan Nilai Input Batang Kapasitas batang diperoleh memalui persamaan linier antara aliran batang
terukur dengan curah hujan pada setiap hari hujan (Jacson 1975 dan Jeten et al. 1996 diacu dalam Fleischenben et al. 2005) sebagai berikut : ^
Sf = αP ± C
.................................................................... (13.a)
St = αP − Sf
..................................................................... (13.b)
Sf P C α St
: aliran batang (mm) : curah hujan (mm) : galat (mm) : koefisien regresi hubungan aliran batang dengan curah hujan : kapasitas batang (mm)
Nilai input
batang dihitung memlaui rasio antara bagian hujan yang tiba di
permukaan tanah melalui aliran batang dan jeluk hujan pada setiap hari hujan dengan persamaan sebagai berikut:
pt =
Sf P
.........................................................................
(13.c)
pt : Koefisien input batang Sf : Aliran batang (mm) P : Curah hujan (mm) 3.6 Pendugaan Intersepsi Hujan Model Gash 3.6.1 Komponen Intersepsi Model Gash
mengklasifikasikan
menjadi lima komponen pada intersepsi
hujan yaitu : a. Intersepsi hujan pada kejadian hujan yang melebihi kapasitas tajuk (Pg>Pg’) b. Intersepsi hujan pada kejadian hujan yang kurang dari kapasitas tajuk (Pg
35
3.6.2 Parameter Intersepsi Model Gash Untuk menghitung nilai dari masing masing komponen intersepsi hujan model Gash dibutuhkan tujuh parameter intersepsi sebagai berikut a. Curah hujan yang dibutuhkan untuk menjenuhkan tajuk (Pg’) b. Kapasitas tajuk (S) c. Porositas tajuk (p) d. Kapasitas batang (St) e. Input batang (pt) f.
Laju evaporasi pada tajuk basah (E)
g. Fraksi penutupan tajuk (c) Adapun rumus penetapan parameter intersepsi dan komponen intersepsi model Gash (1979) dan revisi model Gash (1995), disajikan pada Tabel 3. Fraksi penutupan tajuk pada revisi model Gash 1995, dihitung berdasarkan hukum Lamberg sebagai berikut : ……………………………............. c = 1 – e-kILD c : fraksi penutupan tajuk ILD : Indeks luas daun
(14)
Nilai k dipengaruhi oleh distribusi daun, umumnya nilai ini untuk hutan adalah 0.6 – 0.8 (Ross 1975 diacu dalam van Dijk dan Bruijnzeel 2001). −
■ Nilai
E
adalah slop hujan pada persamaan regresi linier antara intersepsi hujan
−
P
dengan jeluk hujan, sehingga dapat dituliskan sebagai berikut : −
E
= α
...................................................................
(15a)
...................................................................
(15b)
−
P _
_
E = P* α _
E = Evaporasi rata-rata _
P = intensitas curah hujan rata-rata α : Koefisien regiresi hubungan curah hujan dengan intersepsi hujan
)
E = Ew
Laju evaporasi rata-rata pada tajuk basah
Fraksi penutupan tajuk
Kapasitas tajuk 1–p
S
Pg ' = −
( )
j =1
∑
m+n−q
Pgj
⎤ RS ⎡ E ln ⎢1 − ⎥ E ⎣ (1 − p − pt ) R ⎦
Model Gash (1979)
E b = qS t + pt
Hujan yang dibutuhkan untuk menjenuhkan tajuk Pg '
Parameter-parameter
Evaporasi dari batang
E= nS
Evaporasi setelah hujan berhenti
E n ∑ ( Pg − Pg ' ) R j =1
E=
)
RS ⎡ E⎤ ln ⎢1 − ⎥ E ⎣ cR ⎦
c = 1 – e-kL
S = cSc
E = cEc
Pg ' = −
Revisi Model Gash et al. (1995)
j =1
E b = qSt + pt ∑ P gj
n−q
E n Pgj − Pg ' ) ( ∑ R j =1
E=nS
E=
j =1
I = n {cPg ' − S }
j =1
I = n {(1 − p − pt ) Pg ' − S }
m
Revisi Model Gash et al. (1995)
I = c∑ Pgj
m
Model Gash (1979)
I = (1 − p − p t ) ∑ Pgj
Evaporasi pada tajuk basah selama hujan berlangsung
(
Jumlah kejadian hujan (n) yang menjenuhkan tajuk Pg〉 Pg '
(
Jumlah kejadian hujan (m) yang tidak menjenuhkan tajuk Pg ≤ Pg '
Komponen Intersepsi
Tabel 3. Rumus pendugaan komponen dan parameter intersepsi hujan Model Gash et al.
(23)
(22)
(21)
(20)
(19)
(18)
(17)
(16)
Persamaan
36
36
37
3.7 Evaluasi Hasil Prediksi Intersepsi Hujan (Nilai Hipotetik) Pengujian model pendugaan intersepsi hujan difokuskan pada : a. Penilaian terhadap kesalahan relatif melalui perbadingan antara nilai hipotetik dari model pendugaan nilai terukur di lapangan
melalui pesamaan sebagai
berikut:
Em =
Rc − Ri * 100% Ri
..........................................
(24)
b. Penilaian terhadap kualitas hasil melalui persamaan yang digunakan oleh Nash dan Sutcliffe (1970) pada pengujian model Gash sebagai berikut : N
EK = 1 −
∑ ( Ri − Rc) i −1 N
_
∑ ( Ri − R)
2
............................................
(25)
2
i =1
Ri : Nilai observasi Rc : Nilai hipotetik (duga) dari persamaan matematik −
R : Nilai rata rata pengukuran Nilai EK
yaitu
-1 s/d 1. Semakin mendekati
nilai 1 maka persamaan
tersebut semakin valid c. Pengujian konsistensi persamaan pendugaan intersepsi hujan yang diperoleh pada tahap I dan bersama dengan model Gash diaplikasikan pada tahap II (Juni 2006 – Mei 2007) dan hasil dibandingkan dengan hasil pengukuruan langsung. Adapun diagran analisis data disajikan pada Gambar 8. 3.8 Dinamika Energi a. Bowen Ratio (β) Sesuai dengan persamaan 4 nilai bowen ratio dapat diduga melalui data suhu udara dan tekanan uap pada dua ketinggian, sebagai berikut :
β =γ
∂T ∂e
......................................................
eai = (RHi * esi)/ 100
⎛ 17,2 * Ti ⎞ ⎟⎟ esi = 6,11exp⎜⎜ T 237 , 3 + i ⎝ ⎠ δT Ti δe ea γ
(4)
...........................................
(26a)
...............................
(26b)
: Ti+1-Ti : Suhu udara pada hi (oC) : eai+1 -eai : tekanan uap aktual (kPa) : konstante psychrometric (kPaoC-1)
38 RH h es
: kelembaban relatif (%) : ketinggian pengukuran dari permukaan tanah : tekanan uap jenuh (kPa)
Veg
Sf
Tf
Pg >= 0,5mm/HH
^
Pn =Sf+Tf
Tf = αP ± C S = α P − Tf Tf p= P
LT & ILD
^
Jeluk
Sf = αP ± C St = α P − Sf Sf pt = P
Durasi
intensitas
Ic=Pg-Pn Ic2 Model Gash
Ic1 = α±βx1±βx2±βx2±βx3
N
EK = 1 −
∑ ( Ici − Ic) i −1 N
_
∑ ( Ic − Ic)
2
2
Em =
Ici − Ic *100% Ic
i =1
Gambar 8. Diagram Analisis Intersepsi Hujan
b. Limpahan Energi Sensible heat
dan latent heat flux dengan metode Neraca Energi Bowen
Ratio melalui subtitusi persamaan (4) dengan persamaan (1) menjadi :
39 Rn − G − λE λE Rn - G = −1 λE
β=
……………………...............
(27)
maka nilai latent heat dan sensible heat dihitung sebagai berikut:
1 ( Rn − G ) β +1
λE = H= Rn H λE G Β
β β +1
…………………………….
( Rn − G )
(28)
………………………………. (29)
: radiasi neto (W/m2) : sensibel heat : latent heat : soils heat fluks : Bowen ratio
c. Aliran massa air Aliran massa air dihitung melalui
aliran energi latent heat untuk penguapan
sebagai berikut :
λE E= *1 mm / hari λ
……………………………………
(30)
E : aliran massa air (mm/hari) λE : latent heat flux (MJ/m2/hari) λ : latent heat untuk penguapan (2,45 MJ/m2/hari) 3.9 Simpanan Energi Perhitungan simpanan energi hanya difokuskan pada energi yang tersimpan pada lapisan perbatas (latent heat dan sensible heat), yang dibagi menjadi dua, yaitu lapisan udara di atas kanopi sampai pada ketinggian 36 - 69 m dari permukaan (Can) dan lapisan udara dalam kanopi pada ketinggian 24 - 36 m
meter dari per-
mukaan (Top). Perhitungan simpanan energi tersebut dilakukan sesuai metode empirik yang dikembangkan oleh
McCaughey dn Saxton (1988
diacu dalam
Samson dan.Lemeur 2000; dan Oliphant 2004) sebagai berikut : h ⎛ dTa ⎞ Sa = ∫ ρCp⎜ ⎟dz 0 ⎝ dt ⎠
Sw = ∫
h
0
ρCp ⎛ de ⎞ ⎜ ⎟dz γ ⎝ dt ⎠
.......................................................
(31)
......................................................
(32)
40 h ⎛ dTs ⎞ Sg = G + ∫ ρsCs ⎜ ⎟dz 0 ⎝ dt ⎠
......................................................
(33)
Sa Sw ρ Cp γ T e t h G
: Simpanan sensible heat : Simpanan latent heat : kerapatan udara ( kg m-3) : kapasitas panas udara ( 1012 JKg-1oC) : konstante physiocometrik : suhu (oC) : tekanan uap (Pa) : waktu (detik) : ketinggian alat ukur radiasi neto : aliran energi ke tanah ρsCs : panas spesifik tanah (2.1 MJm-3oC) Kerapatan atmosfir dihitung dengan metode empirik dari Smith et al. (1991) diacu dalam FAO. (1998)
ρ=
1000 P Tkv R
...................................................
(34a)
Burman et al. (1987) diacu dalam FAO. (1998)
⎛ T − α1( z − zo ⎞ ⎟⎟ P = Po⎜⎜ Ko T Ko ⎝ ⎠ TKv=1,01( T+273) P ρ R TKv: TKo ea Po z zo g a1
g
α 1R ................................................................
......................................................
: tekanan atmosfir (kPa) : kerapatan atmosfir (kg m-3) : konstante gas (287 J kg-1 K-1) : suhu virtual (K) : suhu referensi pada zo (K) : tekanan uap aktual (kPa) : tekanan atmosfir refernce (101.3 kPa) : elevasi (m) : elevasi reverence (m) : gravitasi (9.807 m s-2) : constant lapse rate (0.0065 K m-1)
(34b) (34c)
β =γ
ΔT Δe
⎞ ⎟ dz ⎟ ⎠
0
Sw = ∫
z
Rn -500≤Rn≤1000
ρCp ⎛ de ⎞ dz γ ⎜⎝ dt ⎟⎠
0≤RH≤125
RH12
Gambar 9. Diagram analisis limpahan energi
e12=(RH12 * es)/ 100
β >-0,75
-40≤T≤70
12,2T es = 0,61078 exp (T + 237,2)
z ⎛ dTa Sa = ∫ ρ Cp ⎜ ⎜ dt ⎝ 0
Ta12
Ts
λE =
H =
( Rn − G ) 1 ( Rn − G ) β +1
β +1
β
h
⎛ dT ⎞ SG = G + ∫ ρ s Cs ⎜ s ⎟ dz ⎝ dt ⎠ 0
-200≤G≤500
G
41
IV
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
4.1 Aspek Legal Taman Nasional Lore Lindu Secara yuridis formal Taman Nasional Lore Lindu
(TNLL) luasnya
217.991,18 ha yang ditetapkan melalui SK Menhutbun No 464/KPTS-II/1999 Tgl 23 Juni 1999 (Herwasono 2004). Letak geografis kawasan ini adalah 110o58’-120o16’ BT dan 1o8’-1o30’ LS. Kawasan ini merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Biromaru, Palolo dan Kulawi Kabupaten Donggala dan Kecamatan Lore Tengah, Lore Utara dan Lore Selatan Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah, seperti yang disajikan pada Gambar 10. 4.2 Kondisi Biofisik TNLL berada pada elevasi 200-2610 m
di atas permukaan laut. Bentuk
topografi yang bergunung dengan tanah yang dangkal serta memiliki erodibilitas tinggi menyebabkan TNLL termasuk kawasan yang tidak sesuai untuk pertanian (Dirjen Perlindungan Hutan dan Koservasi Alam) diacu dalam The Nature Conservancy and USAID, (2001). Pada laporan ini juga dijelaskan bahwa di TNLL mempunyai iklim tropika dengan kelembaban yang tinggi, suhu udara pada siang hari berkisar 26 – 32 oC sedangkan di daerah pegunungan suhu udaranya mencapai 6oC.
Di kawasan ini tidak terdapat perbedaan yang nyata antara musim hujan
dengan musim kering, curah hujan tahunannya adalah 800-1400 mm/tahun. Vegetasi di TNLL terdapat dua tipe yaitu hutan tropika basah dataran rendah dengan elevasi 200 – 1000 m dari muka laut dan hutan tropika basah pegunungan dengan elevasi 1000 – 2500 m (Kartawinata 1985) Komposisi flora hutan dataran rendah ditandai oleh adanya pohon yang dikenal setempat sebagai pawa, ntrode (Pterospermum sp), ndolia (Cananga odorata), lawendaru (Knema atau Myristica), palma saguer (Arenga piñata), take (Arrenga sp), dan lain-lain. Hutan hujan pegunungan yang merupakan 90 % dari luas seluruh areal TNLL didominasi jenis pohon kaha (Castanopsis argentea), palili
bohe, palili nete dan pali pence
(Lithocarpus sp) Podocorpus sp, Elaeorpus sp, Adinandra sp, Litsea sp, Callohyllum sp, Eucaliptus deglupta. Bahkan juga terdapat 33 spesies dari delapan genera untuk flora Palmae (Mogea 2002) TNLL memiliki arti strategis terhadap fungsi ekologi antara lain karena kekayaan hayati yang dimiliki. Di kawasan ini terdapat sejumlah flora dan fauna yang bersifat endemik Sulawesi dan atau langka, seperti ebony, anggrek, maleo, anoa dan sebagainya. Selain itu dalam kawasan TNLL terdapat sebuah danau yaitu
43
Danau Lindu yang merupakan reservoir utama dari DAS Palu. Di sisi lain TNLL juga mempunyai peranan strategis terhadap perekonomian masyarakat Sulawesi Tengah. Ini dikarenakan TNLL merupakan bagian dari hutan tropis basah sekaligus merupakan hulu dari tiga DAS utama yaitu: a. DAS Palu dengan outlet di Teluk Palu b. DAS Puna dengan outlet di Teluk Tomini c. DAS Lariang dengan outlet di Laut Sulawesi Ketiga DAS ini secara ekonomi memiliki peranan strategis terhadap pembangunan sektor pertanian mulai dari bagian tengah hingga hilir,disajikan pada Gambar 10. Bentuk umum pengunaan lahan pada ke tiga DAS tersebut khususnya di luar kawasan Tamanan Nasional Lore Lindu adalah (i) lahan pertanian tanaman pangan dan hortikultura (ii) lahan perkebunan dan (iii) pemukiman. Khusus untuk sumber daya air, pemanfaatannya masih untuk air irigasi. Kekayaan hayati yang dimiliki terutama hasil hutan menjadikan kawasan sebagai
target untuk dieksploitasi
terutana kayu, rotan dan sebagainya. Di sisi lain peningkatan jumlah penduduk yang disertai dengan peningkatan kebutuhan lahan untuk ekstensifikasi pertanian dan perkebunan menjadikan kawasan ini mendapat tekanan yang lebih besar. Penomena ini dicirikan dengan berkembangnya inclave disekitar kawasan/dipinggiran TNLL. seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11. Konsekuensinya adalah terjadinya perubahan penggunaan lahan. Fakta lapangan menunjukkan setelah perambahan hutan yang disertai dengan alih fungsi lahan dari hutan menjadi areal pertanian dan perkebunan yang berawal pada awal tahun 2000 di Kawasan Dongi-dongi (DAS Sopu) maka timbul bencana alam berupa banjir banda (debris flow) pada tahun 2004. Sudah dapat dipastikan bencana tersebut
mengakibatkan banyak per-
masalahan dan kerugian termasuk kerusakaan imprastruktur dasar dan perekonomian dan sebagainya. Di dalam kawasan TNLL terdapat reservoar air yaitu danau Lindu. Out let dari danau Lindu bersama dengan S. Sopu membentuk S. Gumbasa. Fungsi strategis dari sungai gumbasa adalah sebagai sumber air untuk irigasi teknis Gumbasa. Peranan strategis kawasan TNLL
mengharuskan adanya upaya nyata untuk
mempertahankan kelestarian ekosistem tersebut, sehingga fungsi ekologis kawasan ini dapat dipertahankan untuk mendapatkan manfaat ekonomi yang berkelanjutan.
Gambar 10. Peta kawasan Taman Nasional Lore Lindu
Sources:
Automatic Weather Station
Lore Lindu National Park
Altitude (meter):
Scale :
Altitude Map of Lore Lindu National Park in Central Sulawesi :
Gambar 11. Peta penggunaan lahan di kawasan Taman nasional Lore Lindu
45
46
Gambar 12. Peta Lokasi AWS dalam Kawasan Taman Nasional Lore Lindu
4.3 Program Kerjasama Penelitian STORMA 4.3.1 Tinjauan Umum Sebagai salah satu cagar biosfir, maka banyak pihak menaruh perhatian untuk melakukan penelitian di TNLL, diantaranya kerja sama penelitian antara Indonesia
47
dengan German yang dikenal sebagai STORMA (Stability of Rainforest Margin). Kerja sama penelitian ini dari pihak Geman diwakili oleh Kassel University dan Gottingen University sedangkan dari pihak Indonesia yang diwakili
oleh Institut
Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Tadulako (UNTAD). 4.3.2
Issu dan Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian STORMA adalah (i) mengkaji proses dan
penyebab terjadinya kondisi yang tidak stabil pada kawasan Taman Nasional Lore Lindu dan daerah sekitarnya, (ii) mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap stabilitas kasawan tersebut khususnya daerah pinggiran yang selanjutnya (iii) menentukan factor yang dominan pengaruhnya. Berkaitan dengan ini, maka kegiatan STORMA, antara lain meliputi: a. Identifikasi indikator sosio ekonomi dan ekologi yang menyebabkan kondisi tidak stabil b. Mengembangkan prinsip umum dan prosedur penggunaan sumber daya alam untuk mempertahankan stabilitas di kawasan marginal hutan tropis c. Mengindentifikasi nilai-nilai kritis pada pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan dan pengembangan kawasan marginal hutan tropis 4.3.3 Program Penelitian Sesuai tujuan yang akan dicapai, maka program penelitian dibagi menjadi lima grup yakni: a. Social and economic dynamics b. Water, energy and nutrient Turnover c. Biodiversity d. Land use system e. Infrastructural requirement and central service Khusus grup B, fokus kajiannya yaitu aliran air, nutrient, karbon dioksida dan energi pada ekosistem hutan. Diharapkan kegiatan ini akan memberikan gambaran tentang aliran karbon dioksida dan energi beserta siklus air dan nutrisi pada berbagai kondisi dan struktur hutan terhadap ekosistem. Sub grup B1
menfokuskan kajian pada
effects of land use change on the water, carbon dioxide and energy between the rainforest margin area and the atmosphere. Pada pase pertama telah dilakukan penelitian tentang
aliran energi dengan metode eddy correlation flux
pada
perkebunan kakao di Nopu. Hasil yang diperoleh menunjukkan laju evaporasi pada
48
penggunaan lahan tersebut lebih rendah dari hutan. Kondisi ini ditunjukan oleh nilai sensible heat yang tinggi pada boundary layers atmosfir. Sub grup B lainnya yakni B2 melaporkan hasil kajiannya tentang intersepsi hujan pada agroforestry kakao adalah lebih rendah dari hutan sekunder. Dibandingkan dengan intersepsi hujan pada hutan alam, maka besaran kuantitatif dari intersepsi hujan pada hutan sekunder dan agroforestri kakao adalah lebih rendah. Intersepsi hujan ketiga bentuk penggunaan lahan tersebut adalah kebun coklat 56.3 mm (8,8 %), hutan sekunder 149.5 mm (23,5 %), dan hutan alam 165.9 mm (26,1 %) dari total hujan. Sub Group B4 pada fase II mengembangkan hasil penelitian sub Group B2 pada sekala yang lebih luas yaitu pada berbagai tipe hutan dengan variasi elevasi. Berdasarkan hasil yang dicapai oleh Group B pada penelitian STORMA yakni: a. Kajian intersepsi hujan yang dihasilkan oleh Sub Group B2 lebih berorientasi pada produksi air pada berbagai bentuk penggunaan lahan b. Kajian intersepsi yang dilakukan oleh sub Group B4 orentasinya pada produksi air pada berbagai tipe hutan c. Kajian dinamika energi yang dilakukan oleh sub Group B1
oreintasinya hanya
pada limpahan energi. Ketiga hasil yang telah dicapai di atas menunjukkan informasi yang belum lengkap dan sangat penting untuk menjelaskan efek perubahan penggunaan lahan terhadap perubahan lingkungan. Untuk itu penelitian ini memfokuskan aspek biofisik terhadap intersepsi hujan dan pengaruhnya terhadap dinamika energi pada hutan tropika basah. Sebagai pembanding maka dilakukan juga pengukuran dinamika energi pada padang rumput.
V 5.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Vegetasi
5.1.1 Struktur Tegakan Identifikasi vegetasi hutan pada plot sampel di kawasan hutan Babahaleka, menunjukkan populasi pohon atau tegakan yang berdiameter batang (DBH > 20 cm) adalah rata-rata 10 individu per plot, setara dengan 246 pohon per ha. Adapun populasi kelompok permudaan hutan yang terdiri dari semai dan pancang ( DBH < 10 cm), dan tiang (DBH 10 – 20 cm) adalah masing-masing 25825 dan 450 individu per ha. Struktur horisontal tegakan menunjukkan kelompok permudaan hutan berupa tiang lebih dominan dibandingkan dengan kelompok pohon. Khusus kelompok pohon dengan DBH > 60 cm populasinya hanya 31 individu per ha. Analisis populasi tegakan berdasarkan DBH menunjukkan pengurangan populasi tegakan secara ekoponensial dengan bertambahnya diameter batang (Gambar 13). Sesuai dengan populasi tegakan kelompok permudaan hutan, maka di lokasi penelitian memungkinkan berkembang menjadi hutan yang lebih rapat apabila tidak mengalami gangguan. Pengukuran terhadap tinggi pohon dengan mempergunakan VERTEX III menunjukkan pohon tertinggi di hutan Babahaleka adalah 47,9 m dengan diameter batang 111,4 cm dan luas tajuknya mencapai 127,8 m2. Diameter batang pohon yang yang terbesar
adalah 133,6 cm, dengan tinggi pohon 44,8 m dan luas tajuk
mencapai 244,2 m2 sekaligus merupakan pohon tajuknya terluas. Sesuai klaster tinggi pohon, maka struktur vertikal tegakan menunjukkan tajuk hutan di kawasan Babahaleka terdiri dari berbagai lapisan dan didominasi pada kelompok tinggi 20 – 30 m (293 pohon per ha). Terdapat petunjuk bahwa semakin tinggi pohon populasinya mengalami pengurangan. Sebagai ilustrasi struktur vertikal tegakan disajikan pada Gambar 13. Sutisna (1996) melaporkan bahwa kerapatan pohon yang berdiameter > 10 cm di hutan klimaks dataran rendah di Indonesia umumnya adalah 400 – 600 individu per ha. Kerapatan permudaan tingkat pancang pada hutan dataran rendah di Kalimantan Timur adalah 2.290 – 3.675 individu per ha (Rizal 1994). Dibandingkan dengan kondisi hutan di Babahaleka yakni kerapatan individu pohon berdiameter > 10 cm adalah 696 individu per ha, maka terdapat kemiripan dengan kedua laporan tersebut di atas. Menurut Jacobs (1981), kecukupan jumlah tumbuhan untuk dapat
50
horisontal
400,0
Rata-rata
300,0
SD
200,0 100,0 0,0 -100,0
10 - 20
20 -40
40 -60
>60
Populasi( ph/ha)
P opulas i (phn/ha)
500,0
300
Rata-rata
250
SD
200
vertikal
150 100 50 0 -50
10 -20
Diamater batang (cm)
20 - 30
30 -40
>40
Tinggi Pohon (m)
Gambar 13. Struktur vegetasi di hutan Babahaleka TNLL menjaga heteroginitas dan beradaptasi terhadap perubahan-perubahan
ataupun
penyakit yakni berkisar 1.000 – 25.000 individu per ha dengan rata-rata 5.000 individu per ha. Atas dasar ini maka kondisi hutan Babahaleka dapat dinilai memiliki kemampuan untuk mempertahankan heteregonitas dan adaptapilitasnya. 5.1.2
Sifat Tajuk Perhitungan indeks luas daun (ILD) dari kamera Hemivew yang kemudian
dianalisis dengan mepergunakan program aplikasi Hemiview AT-3,0 menunjukkan ILD pohon di kawasan hutan Babahaleka bervariasi dari 4,8 s/d 6,4 atau rata-rata 5,6±0,4. Penutupan permukaan oleh tajuk di kawasan ini adalah 68,5 s/d 92,5 % atau rata-rata 88,9 ± 6,5 %. Adapun luas tajuk adalah 12,1- 99,8 m2 dengan ratarata 55,9±31,8 m2. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 4, sedangkan karakter fisik untuk pohon sample intersepsi disajikan pada Lampiran 1. Analisis vegetasi
seperti yang disajikan pada Tabel 5. menunjukkan pada
kelompok pohon, pohon berdiameter 20 – 40 cm memiliki indeks nilai penting (INP) sebesar 67,4 dan nilai ini mengalami pengurangan dengan bertambahnya kelaster diameter batang pohon. Dibandingkan dengan nilai INP dari kelompok permudaan hutan khususnya kelompok tiang dan pancang yang mencapai 130,9% sedangkan nilai INP pohon secara komulatif hanya 169,1 %
yang berarti kelompok pohon
memiliki peranan yang lebih besar dari kelompok tiang dan pancang. Persebaran pohon menunjukkan distribusi yang baik hal ini ditunjukkan oleh nilai frekeuensi yang berada pada kisaran 0,8 – 1,0. Nilai ini menggambarkan bahwa 80 % dari plot observasi ditumbuhi oleh keempat kelaster pohon, sekalipun populasinya berbeda.
51
Tabel 4. Karakteristik vegetasi di hutan Babahaleka TNLL No
Uraian
1
Populasi
2
3
4
5
6
Satuan
a. Pohon
phn/ha
246
b. Permudaan hutan
Phn/ha
26275
a. Kisaran
m
10,2 – 47,9
b. Kelaster dominan
m
20 - 30
c. Rata-rata
m
24,6 ± 7,9
a. Kisaran
cm
10,2 -133,8
b. Kelaster dominan
cm
20 - 40
c. Rata-rata
cm
31,1 ± 21,9
a. Kisaran
m2
12,1 – 244,2
b. Rata-rata
m2
55,9±31,8
Tinggi pohon
Diameter batang pohon
Luas tajuk
Indek luas daun
*)
a. Kisaran
4,8 – 6,4
b. Rata-rata
5,6±0,4
Penutupan tajuk*) a. Kisaran
%
68,5 - 92,5
b. Rata-rata
%
88,9 ± 6,5
*) Sampel intersepsi Tabel 5. Nilai INP vegetasi di hutan Babahaleka TNLL DBH (cm)
Komponen >60
40 – 60
20 - 40
10 - 20
Kerapatan (individu/ha)
31
63
152
450
Kerapatan Relatif (%)
4,5
9,0
21,9
64,7
Frekuensi
0,8
1,0
1,0
1,0
Frekuensi Relatif (%)
21,7
26,1
26,1
26,1
Dominasi
23,9
22,0
22,1
45,4
Dominasi Relatif (%)
21,1
19,4
19,5
40,1
INP (%)
47,3
54,4
67,4
130,9
52
Berdasarkan data di atas, maka karakterisitik vegetasi di kawasan hutan Babahaleka adalah sebagai berikut :
■ Memiliki potensi permudaan hutan yang besar, yakni mencapai 26275 individu per ha
■ Struktur tegakan secara harisontal, khususnya kelompok pohon, didominasi oleh pohon yang memiliki diameter batang 20,0-40 cm
■ Struktur vertikal terdiri dari berbagai lapisan tajuk dan dominan pada klaster tinggi 20 – 30 m dari permukaan tanah.
■ Indeks luas daun dan penutupan tajuk keduanya relatif homogen yakni masingmasing 4,8 – 6,4 dan 68,5 -92,5 %
■ Luas tajuk relatif heterogen, yakni 12,1 – 244,2 m2 Variabilitas tinggi tegakan di hutan Babahaleka memberikan petunjuk tentang tajuk hutan terdiri dari berbagai lapisan. Dikaitkan dengan struktur horisontal, luas tajuk dan ILD, maka dapat dinilai bahwa penutupan permukaan tanah hutan oleh tajuk adalah cukup baik. Hal ini ditunjukkan oleh nilai pengukuran penutupan tajuk yang mencapai 68,5 - 92,5 %. Nilai ini menggambarkan bahwa kondisi hutan di Bahaleka memiliki potensi yang tinggi untuk mengintersepsi hujan di satu sisi, di sisi lain dapat melindungi permukaan dari daya dispersi oleh butiran hujan (erosivitas). 5.2. Sifat Hujan 5.2.1. Curah Hujan Bulanan dan hari Hujan Batasan tentang hari hujan yang dipergunakan adalah mengacu pada keriteria WMO yakni hari hujan adalah hari dimana jeluk hujan yang terjadi ≥ 0,5 mm. Sesuai keriteria ini, maka jumlah hari hujan selama pengukuran periode I (Juni 2005 sampai dengan Mei 2006) adalah 200 hari atau rata-rata 16 hari hujan per bulan. Jumlah curah hujan selama periode tersebut adalah 1888,9 mm atau rata rata 157,4 mm per bulan. Curah hujan bulanan tertinggi terjadi pada bulan November 2005 yakni 260,4 mm
dengan jumlah hari hujan terbanyak yakni 21 hari. Sebaliknya curah hujan
bulanan yang terendah adalah 101 mm dengan jumlah hari hujan 11 hari terjadi pada bulan Februari 2006, data selengkapnya disajikan pada Tabel 6.
53
Tabel 6. Pengukuran Curah hujan Bulanan dan jumlah hari hujan (Juni 2005-Mei-2006) di Lokasi Penelitian C.hujan (mm/hari)
Juni-05
Hari hujan (hari) 15
Juli-05
20
217,8
38,0
10,9
9,8
Agt-05
13
115,4
31,0
8,9
7,1
Sep-05
14
153,8
21,2
11,0
6,7
Okt-05
19
202,4
62,8
10,7
12,1
Nop-05
21
260,4
49,2
12,4
12,3
Des-05
16
124,8
19,2
7,8
6,0
Jan-06
20
119,2
19,8
6,0
5,4
Feb-06
11
101,0
42,4
9,2
8,1
Mart-06
18
151,8
36,6
8,4
9,7
Apr-06
15
167,6
45,2
11,2
11,1
Mei-06
18
144,2
28,4
8,0
6,6
200
1888,9 35,4
9,4
8,5
Bulan
Total Rata-rata
16,7
C.hujan (mm)
maksimum
rata-rata
130,5
31,4
8,7
7,7
157,4
SD
Pengukuran curah hujan pada periode II yaitu Juni 2006 – Mei 2007 diperoleh jumlah hari hujan sebanyak 181 hari dengan curah hujan total 1659 mm. Curah hujan bulanan tertenggi terjadi pada April 2007 yaitu 360,6 mm dengan jumlah hari hujan adalah 20 hari. Sebaliknya curah hujan bulan terendah terjadi pada Oktober 2006 yaitu 36,8 mm dengan jumlah hari hujan adalah 5 hari. Data selengkapnya disajikan paa Tabel 7. Dibandingkan dengan data curah hujan tahun 2002-2004, curah hujan bulanan di kawasan ini adalah 138,0 – 166,5 mm/ bulan, maka terdapat kesamaan dengan hasil pengukuran selama dua periode baik curah hujan bulanan maupun jumlah hari hujan disajikan pada Gambar 14. 5.2.2 Jeluk Hujan Kelasifikasi hujan berdasarkan jeluk hujan pada periode I menunjukkan curah hujan yang dominan terjadi di kawasan hutan Babahaleka adalah 1 - 5 mm per hari hujan yakni mencapai 69 hari atau 34,5 % dari jumlah hari hujan dengan curah hujan kumulatif sebanyak 196,8 mm atau 10,4 % total. Akan tetapi ditinjau dari hujan
54
Tabel 7. Pengukuran curah hujan bulanan dan jumlah hari hujan (Juni 2006-Mei-2007) di Lokasi Penelitian
Hari hujan
Bulan
C.hujan (mm)
C.hujan (mm/hari)
SD
Juni_06
9
63,8
maximum 14,0
rata-rata 7,1
4,1
Juli_06
12
75,0
18,8
6,3
4,5
Agt_06
9
103,4
40,2
11,5
8,5
Sep_06
14
97,2
23,0
6,9
6,0
Okt_06
5
36,8
22,0
7,4
4,3
Nop_06
15
160,4
33,6
10,7
8,7
Des_06
27
239,0
31,4
8,9
8,8
Jan_07
10
52,2
28,4
5,2
5,3
Feb_07
20
189,6
22,2
9,5
7,0
Mar_07
18
173,4
20,8
9,6
7,1
Apr_07
26
360,6
52,0
13,9
12,1
Mei_07
16
107.6
23.4
6.73
6.31
Total
181
1659,0
Rata-rata
15,1
141,0
27,9
8,8
6,9
Bulan 0
700.00
20
Tahun mm/bln HH/bln
500.00
2002 138,03 15,92
CH-2002
2004 150,13 16,42
40
CH-2003 CH-2004
400.00
60
HH-2002 HH-2003
300.00
80
HH-2004
200.00
100
100.00
120
Hari Hujan (hari)
Curah Hujan (m m )
600.00
140
0.00 1
2
3
4
5
6 7 Bulan
8
9
10
11
12
Gambar 14. Curah hujan Bulanan dan Jumlah Hari Hujan di Lokasi Penelitian tahun 2002 - 2004
komulatif, maka klaster >15 mm per hari hujan mencapai 1063,2 mm atau 56,29 % dari total curah hujan sekalipun kejadiannya hanya 42 hari atau 21 % dari total hari
55
hujan. Dibandingkan dengan kejadian hujan pada periode II, maka terdapat kesamaan yakni curah hujan yang dominan terjadi juga pada klaster 1 – 5 mm dan curah hujan komulatif terbanyak juga terjadi pada klaster klaster >15 mm per hari hujan. Ini berarti suplai air ke permukaan secara kumulatif adalah pada klaster curah hujan > 15 mm sekalipun ferekuensi kejadiannya hanya ± 21,6 % dari total hari hujan. Sebaliknya jeluk hujan 1 – 5 mm sekalipun kejadiannya dominan namun curah hujan komulatifnya kecil. Distribusi kejadian hujan berdasarkan jeluknya disajikan pada Tabel 8. Tabel 8.
Jeluk hujan pada setiap hari hujan Jeluk (mm/hari)
Komponen 0,5 – 1
>1,0 – 5
>5,0 – 10
Jumlah
>10 -15
>15
Periode Juni 2005 – Mei 2006 Jumlah hari hujan
22
69
43
24
42
200
%
11,0
34,5
21,5
12,0
21,0
100
Curah hujan (mm)
16,6
196,8
317,8
294,5 1063,2
1888,9
%
0,9
10,4
16,8
15,6
56,3
100
Rata-rata (mm/hari)
0,8
2,9
7,4
12,3
25,3
9,4
SD curah hujan
0,1
1,2
1,6
1,6
10,9
10,2
Periode Juni 2006 – Mei-2007 Jumlah hari hujan
18
61
39
24
39
181
%
9,9
33,7
21,6
13,3
21,6
100
Curah hujan (mm)
14,8
161,2
280,8
295,6
906,6
1659
%
0,9
9,7
16,9
17,8
54,7
100
Rata-rata (mm/hari)
0,8
2,6
7,2
12,3
23,3
9,2
SD curah hujan
0,2
1,2
1,2
3,3
7,4
8,8
5.2.3 Durasi Hujan Durasi hujan 5 –30 dan 30 – 60 menit per hari hujan pada periode I merupakan klaster durasi hujan yang dominan terjadi yakni mencapai 122 kejadian hujan atau 61,0 %, dengan curah hujan kumulatif mencapai 633,3 mm atau 33,6 % total. Kondisi ini sama dengan pada pengukuran periode II yakni durasi hujan < 60 menit per hari hujan mencapai sebanyak 106 kejadian atau 58,6 % dari total hari hujan dengan
56
jeluk hujan mencapai 453,2 mm setara dengan 27,4% total hujan. Durasi hujan maksimum yang terjadi selama pengukuran periode I dan II masing masing adalah 290 menit dan 300 menit. Distribusi kejadian hujan berdasarkan durasinya disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Durasi hujan pada setiap hari hujan
Komponen
Durasi hujan (menit) 5 – 30
30 -60
60 – 120
120 – 240
Jumlah
>240
Periode Juni 2005 – Mei 2006 Jumlah hari hujan
62
60
49
26
3
200
%
31,0
30,0
24.5
13,0
1.5
100
Curah hujan (mm)
188,1
445,2
527,0
589,2
139,4
1888,9
%
10,0
23,6
27,9
31,2
7,4
100
Rata-rata (mm/hari)
3,0
7,4
10,8
22,7
46,5
9,4
SD curah hujan
3,8
6,0
7,5
11,0
15,7
10,2
Periode Juni 2006 – Mei 2007 Jumlah hari hujan
64
42
46
26
3
181
%
35,4
23,2
25,4
14,4
1,7
100
Curah hujan (mm)
185,2
268,0
606,4
478,8
120,6
1659
%
11,2
16,2
36,6
28,9
7,3
100
Rata-rata (mm/hari)
2,9
6,4
13,2
18,4
40,2
9,4
SD curah hujan
3,5
4,2
7,5
6,8
11,8
8,8
5.2.4 Intensitas Hujan Intensitas hujan yang dominan terjadi adalah 1 – 10
mm per jam yakni
sebanyak 144 hari hujan atau 72 % dari total hari hujan, dengan curah hujan kumulatif sebanyak 866,2 mm atau 45 % dari total curah hujan. Nilai ini jauh lebih besar dibandingkan dengan curah hujan kumulatif pada klaster > 30 mm per jam. Curah hujan kumulatif pada klaster >30 mm per jam hanya mencapai 4,8 % total atau 89,3 mm karena kejadian hujannya hanya 5 hari atau 2,5 %. Sifat hujan ini memiliki kesamaan dengan periode II yakni intensitas dominan pada klaster 1- 10 mm per jam yakni sebanyak 129 hari atau 71,3 %. Dibandingkan dengan curah hujan kumulatif pada intensitas hujan > 30 mm per jam, maka curah hujan kumulatif pada klaster 1-10 mm per jam jauh lebih tinggi yakni mencapai 884,2 mm atau 53,3
57
% total sedangkan pada intensitas > 30 mm per jam curah hujan hanya 36,8 mm atau 2,2 % dari total hujan.
Intensitas hujan maksimum yang terjadi selama
pengukuran periode I adalah 43,2 mm/jam dengan jeluk hujan 14,4 mm. Adapun intensitas hujan maksimum pada periode II adalah 45,1 mm/jam dengan jeluk hujan 18,8 mm. Distribusi kejadian hujan berdasarkan intensitasnya disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Intensitas hujan (mm/jam)
Komponen
Intensitas (mm/jam) 1 – 10
10 – 20
20 – 30
30 -40
Jumlah
>40
Periode Juni 2005 – Mei 2006 Jumlah hari hujan
144
38
13
4
1
200
%
72,0
19,0
6,5
2,0
0,5
100
Curah. Hujan (mm)
866,2
715,0
218,4
74,9
14,4
1888,9
% C.Hujan
45,9
37,9
11,6
4,0
0,8
100
Rata-rata (mm/hari) SD Curah hujan
6,0 2,2
18,8 2,5
16,8
18,7
2,2
14,4
9,4
3,9
-
10,2
Periode Juni 2006 – Mei 2007 Jumlah hari hujan
129
45
5
0
2
181
%
71,3
24,9
2,8
0,0
1,1
100
Curah. Hujan (mm)
884,2
655,4
82,6
0,0
36,8
1659
% C.Hujan
53,3
39,5
5,0
0,0
2,2
100
Rata-rata (mm/hari)
6,9
14,6
16,5
0,0
18,4
9,2
SD Curah hujan
8,9
9,8
11,6
-
0,6
8,8
5.3 Mikrometeorologi Hutan 5.3.1 Suhu Udara Suhu
udara harian (oC) pada berbagai ketinggian, menunjukkan di puncak
tajuk (T_36) suhu udara adalah 18,9 oC dan relatif lebih rendah dibandingkan dengan suhu
udara di atas tajuk (T_69) dan di dalam tajuk (T_24). Secara
keseluruhan, suhu udara pada hari hujan lebih rendah dari suhu udara pada hari tidak hujan terutama pada siang hari, disajikan pada Tabel 11 sedangkan dinamika suhu udara harian disajikan pada Gambar 15 dan 16.
58
Suhu udara (oC) pada berbagai ketinggian di hutan
Tabel 11.
Tinggi Pengukuran (m)
Cuaca Hujan
T_24
tidak hujan hujan
T_36
tidak hujan hujan
T_69
tidak hujan
Siang
Malam
Rata-rata
Harian
21,2
17,8
19,5
19,6
21,6
17,9
19,7
20,3
17,2
18,8
20,7
17,5
19,1
20,2
17,7
19,0
20,3
18,1
19,2
19,1
27
25
T_24
23
T_36
21
T_69
T em peratur (C )
T em peratur (C )
27
18,9
19
hujan
17
25
T_24
23
T_36
21
T_69
19
Tdiak hunan
17
15
15 6
9
12
15
18
Waktu (jam)
21
24
3
6
9
12
15
18
21
24
3
Waktu (jam)
Gambar 15. Diurnal suhu udara (C) rataan pada berbagai ketinggian dari permuka-an tanah di hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005- Mei 2006) Dinamika suhu udara harian (Gambar 15) pada siang hari baik pada hari hujan maupun tidak hujan menunjukkan, suhu udara dalam tajuk T_36 lebih tingi dari suhu udara di atas tajuk (T_69), sebaliknya malam hari suhu udara dalam tajuk lebih rendah dari suhu udara di atasnya maupun lapisan di bawahnya (T_24). Informasi penting dari suhu diurnal adalah laju penurunan suhu di puncak tajuk dan dalam tajuk lebih tinggi dari penurunan suhu di atas tajuk. Data selengkapnya disajikan pada Lampiran 2
59
hari hujan
hari tidak hujan 26
25 24
24
23
22
21
T_24K
T_24H
22 20
18
19 18
16
17 16
20
6
12
18
24
30 5
14
6
12
18
24
24
23
23
22
22
21
21
20
20
19
18
17
17
16
16 6
12
24
15
30 5
12
22
21
21
20
20
T_69K
23
22
19
18
24
30 5
24
30 5
Jam
24
23
19 18
18
17
17 16
6
Jam
24
T_69H
18
30 5
19
18
15
24
Jam
T_36K
T_36H
Jam
16
6
12
18
24
30 5
15
6
12
Jam
18 Jam
Mean Mean Mean
±0,95 Conf. Interval ±0,95 ±0,95 Conf. Conf. Interval Interval
Gambar 16. Diurnal suhu udara (C) pada berbagai ketinggian dari permukaan tanah di hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006)
5.3.2 Kelembaban udara Kelembaban relatif udara (%) menunjukkan, rata rata harian udara di atas tajuk (RH_69)
kelembabannya mencapai 81,1%. Sedangkan di dalam tajuk
60
(RH_24) dan di puncak tajuk (RH_36) kelembaban udara mencapai 85,6 % dan 84,5%. Ini menggambarkan bahwa udara di dalam tajuk dan dipuncak tajuk lebih lembab dibandingkan dengan udara di atas kanopi. disajikan pada Tabel 12, sedangkan dinamika kelembaban relatif udara disajikan pada Gambar 17 dan 18 Tabel 12.
Kelembaban relatif udara (%) pada berbagai ketinggian di hutan
Tinggi tempat (m) RH_24
RH_36
RH_69
Cuaca
Siang
Malam
Rata-rata
hujan
81,3
96,0
88,7
tidak hujan
74,3
90,8
82,5
hujan
80,3
95,0
87,7
tidak hujan
73,7
88,8
81,2
hujan
72,9
84,4
78,7
tidak hujan
77,6
89,6
83,6
85,6
84,5
81,1
RH_24
80
RH_36
70
RH_69
60 50
Kelembaban Relatif (%)
100
90
90 RH_24
80
RH_36
70
RH_69
60
Waktu (Jam)
3
24
21
18
15
12
9
6
3
24
21
18
15
12
50
9
6
Kelembaban Relatif (%)
100
Harian
Waktu (Jam)
Gambar 17. Diurnal kelembaban relatif udara (%) rataan pada berbagai ketinggian dari permukaan tanah di hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005 –Mei 2006) Secara umum dinamika kelembaban relatif udara (Gambar 17 dan 18.) menunjukkan pola yang sama antara hari hujan dengan hari tidak hujan baik dalam tajuk hutan (RH_24 dan RH_36) maupun di atas tajuk (RH_69). Gambaran ini mengindikasikan perubahan kelembaban udara relatif tidak dipengaruhi oleh kondisi cuaca. Kelembaban udara pada malam hari umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan kelembaban udara pada siang hari. Laju peningkatan kelembaban udara
pada
malam hari di atas tajuk (RH_60) lebih lambat dari udara pada tajuk hutan (RH_24
61
dan RH_36) baik pada hari hujan maupun kering. Data selengkapnya disajikan pada Lampiran 2
Tidak hujan
100
100
95
95
90
90 85
85
RH_24K
RH_24H
Hujan
80 75
80 75 70
70
65
65
60 55
60 6
12
18
24
30 5
6
12
100
95
95
90
90
80
30 5
75
80 75 70
70
65
65
60
6
12
18
24
55
30 5
6
12
95
95
90
90
85
85
80
RH_69K
100
80 75
65
60 12
18
30 5
24
30 5
70 65
6
24
75
70
60
18 Jam
Jam
RH_69H
24
85
85
RH_36K
RH_36H
100
60
18 Jam
Jam
24
305
55
6
12
Jam
18 Jam
Mean
±0,95 Conf. Interval
Gambar 18. Diurnal kelembaban relatif udara (%) pada berbagai ketinggian dari permukaan tanah di hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006)
62
5.3.3 Tekanan Uap Rata-rata harian tekanan uap di udara di puncak tajuk adalah 1,8 kP. Dibandingkan dengan tekan uap di dalam tajuk maka nilai ini lebih rendah, tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan uap di atas kanopi. Secara keseluruhan tekanan uap pada hari hujan lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan uap pada hari tidak hujan, disajikan pada Tabel 13. sedangkan diurnal tekanan uap disajikan pada Gambar 19 dan 20. Tabel 13. Tekanan uap (kPa) pada berbagai ketinggian dan kondisi cuaca Cuaca hujan tidak hujan hujan tidak hujan hujan tidak hujan
Harian
2,0
1,9
2,0
1,9
1,9
1,9
1,9
1,9
1,9
1,9
1,8
1,8
1,8
1,7
1,8
1,7
1,8
1,8
1,8
-1000
de_36 de_69
-500 -750 -1000
3
9
-250
12
0 6
3
24
de_24 d
-750
21
18
9
15
Hujan
D efis it te k ana n uap (Pa)
-500
12
-250
1,8
Waktu (Jam)
0 6
D efis it tek anan uap (Pa)
Waktu (Jam)
1,8
24
ea_69
Rata-rata
21
ea_36
Malam
18
ea_24
Siang
15
Tinggi tempat (m)
Tidak hujan de_24 d
de_36 de_69
-1250
Gambar 19. Diurnal defisit tekanan uap (pa) rataan pada berbagai ketinggian dari permukaan tanah di hutan Babahaleka TNLL Juni 2005 – Mei 2006 Dinamika tekanan uap seperti yang disajikan pada Gambar 19 dan 20 menunjukkan pada siang hari udara dalam tajuk dan di atas tajuk mengalami laju penurunan tekanan uap yang lebih tinggi dibandingkan dengan udara di puncak tajuk. Akan tetapi pada malam hari, penurunan tekanan uap di puncak tajuk lebih
63
tinggi dibandingkan dengan udara dalam kanopi. Kondisi ini menyebabkan udara di tajuk hutan pada siang hari lebih tinggi dibandingkan lingkungannya. Data selengkapnya disajikan pada Lampiran 3.
Hari hujan
Tidak hujan
200
200 0
0
-200 -400
-400
de_24K
de_24H
-200
-600
-800 -1000
-800
-1200
-1000 -1200
-600
-1400 6
12
18
24
-1600
30 5
6
12
Jam
18
24
30 5
24
30 5
24
30 5
Jam
0
0 -200
-200
de_36K
de_36H
-400 -400 -600
-600 -800 -1000
-800 -1000
-1200 6
Hujan 12
24
-1400
30 5
6
12
Jam
0
18 Jam
0
-200
-200
-400
-400 de_69K
de_69H
18
-600 -800
-600 -800 -1000
-1000 -1200
-1200 6
12
18
24
30 5
-1400
6
Jam
12
18 Jam
Mean Mean
±0,95 Conf. Interval ±0,95 Conf. Interval
Gambar 20. Dirunal defisit tekanan uap (Pa) pada berbagai ketinggian dari permukaan tanah di hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 200)
64
5.3.4. Radiasi Rata-rata harian jumlah radiasi global (Rs) yang
tiba pada tajuk hutan
adalah sebanyak 17,72 MJ/m2/hari yang kemudian direfleksikan sebanyak 10,7 % sehingga jumlah energi radiasi gelombang pendek yang tersimpan hanya sebanyak 10,83 MJ/m2/hari.
Dinamika radiasi neto gelobang panjang menunjukkan nilai
yang negatif. Ini menggambarkan bahwa radiasi yang dipancarkan oleh sistem permukaan lebih besar dibandingkan dengan radiasi gelobang panjang yang diterimanya, disajikan pada Gambar 21. Data selengkapnya disajikan pada Lampiran 4.
Aliran energi (W/m2)
15,0 10,0 M J /m 2 /h a r i
R.net
800
Hujan Kering Rata-rata
20,0
Rs_net
600
Rl_net
Hujan
400 200 0 6
-200
9
12
15
18
21
24
3
w aktu (jam)
5,0 R.net
Aliran energi (W/m2)
800
0,0 Rs
Rs_out
R_Net
Rl_net
-5,0 -10,0
R.net
600
R.net
Tidak hujan
400 200 0 6
-200
9
12
15
18
21
24
3
w aktu (jam)
Gambar 21.
Neraca radiasi dan diurnal radiasi neto rataan di hutan Babahaleka TNLL Juni 2005 – Mei 2006
600
600
500
500
hujan
400
300
Rn_K
Rn_H
400
200
200
100
100
0
0
-100
6
12
18 Jam
24
30
5
Tidak hujan
300
-100
6
12
18
24
Jam
Gambar 22. Diurnal radiasi neto di hutan Babahaleka TNLL (juni 2005-Mei 2006)
30
5
65
Nilai albedo yang ditemukan lebih rendah dari hasil penelitian pada hutan hujan di Amzon yang didapat oleh Culf at al. (1995); Shuttleworth et al. (1984); Bastable et al (1993) diacu dalam. Giambelluca et al. (1997). Ketiga peneliti tersebut mendapatkan bahwa nilai albedo pada hutan hujan di Amzone adalah bervariasi dari 12.25 sampai dengan 13,4 %. 5.4 Mikrometeorologi Padang Rumput 5.4.1 Suhu Udara Suhu
udara permukaan
padang rumput (T_0,3) mencapai 20,5 oC, dan
dibandingkan dengan suhu udara di atasnya (T_2) maka terjadi perbedaan suhu sebanyak 0,9oC. Suhu udara pada dua ketinggian tersebut menunjukkan nilai yang relatif sama antara hari hujan dengan hari kering. Perbedaan yang lebih nyata hanya antara siang dan malam, disajikan pada Tabel 14. Data selengkapnya disajikan pada Lampiran 5. Tabel 14. Suhu udara pada padang rumput Babahaleka TNLL Ketinggian Pengukuran (m) T_0,3
T_2,0
Cuaca
17,6
20,5
tidak hujan
24,1
16,9
20,5
hujan
21,5
17,6
19,6
tidak hujan
22,0
17,2
19,6
T_2,0
T_0,3 Temperatur udara (oC)
hujan
20 15 10 6
9
Gambar 23.
12
Harian
23,4
30 25
Malam
hujan
T_0,3 Temperatur udara (oC)
Siang
15 18 21 Waktu (jam)
24
3
Ratarata 20,5
19,6
T_2,0
30
Tidak hujan
25 20 15 10 6
9
12
15 18 21 Waktu (jam)
24
3
Diurnal suhu udara pada berbagai ketinggian dari permukaan tanah di padang rumput di Babahaleka TNLL Juni 2005 – Mei 2006
66
Tidak hujan
30
30
28
28
26
26
24
24 T1_K
T1_H
Hujan
22 20
20
18
18
16
16 6
26 25 24 23 22 21 20 19 18 17 16 15
12
18
24
14
30 5
6
12
18
24
530
Jam
Jam
26 24 22 T2_K
14
T2_H
22
20 18 16
6
12
18
24
30 5
14
6
12
Jam
18
24
530
Jam
Mean Mean
±0,95 Conf. Interval
±0,95 Conf. Interval
Gambar 24. Dirunal suhu udara (C) pada berbagai ketinggi dari tanah di padang rumput kawsan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006)
5.4.2 Kelembaban Relatif Udara Rata-rata harian kelembaban relatif udara di atas padang rumput mencapai 84 % dan nilai in lebih tingi dibandingkan dengan di permukaan rumput yakni hanya 78,49 %. Secara umum pada malam hari
kelembaban relatif udara lebih tinggi
dibandingkan pada siang hari, hal serupa juga terjadi pada malam hari kelembaban relatif udara lebih tinggi dibandingkan dengan kelembaban udara pada siang hari, disajikan pada Tabel 15.
67
Tabel 15. Kelembaban realtif udara (%) pada padang rumput
Ketinggian pengukuran (m) RH_0,3
RH_2,0
Siang
Malam
Harian
hujan
70,7
90,2
80,4
tidak hujan
65,6
87,5
76,5
hujan
77,2
95,3
86,3
tidak hujan
70,4
91,8
81,1
RH_0,3
RH_2,0
100
100
80
80
RH (%)
RH (%)
RH_2,0
Cuaca
Hujan
60 40
Ratarata 78,5
83,7
RH_0,3
Tidak hujan
60 40
6
9
Gambar 25.
12
15 18 21 Waktu (jam)
24
3
6
9
12
15 18 21 Waktu (jam)
24
3
Diurnal kelembaban relatif udara (%) rataan pada berbagai ketingian dari permukaan tanah di padang rumput kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006)
Dinamika kelembaban relatif udara harian menunjukkan pola yang sama antara kelembaban relatif udara pada hari hujan dengan kering, demikian pula pada kedua ketinggian pengukuran. Pada pagi hari kelembaban relatif udara mengalami penurunan hingga pukul 13.00 sejalan dengan peningkatan suhu udara. Setelah periode tersebut kelembaban udara mengalami peningkatan hingga mencapai 80 % pada pukul 18,00. Data selengkapnya disajikan pada Lampiran 5. 5.4.3 Tekanan Uap Tekanan uap udara harian pada padang rumput relatif sama antara ketinggian 0,3 m (ea_10,3) dengan ketinggian 2 m (ea_2,0) di atas permukaan tanah. Perbedaan yang terjadi adalah akibat cuaca yakni pada hari hujan tekanan uap lebih tinggi dibandingkan dengan hari tidak hujan yakni mencapai 100 Pa. Perbedaan serupa juga
terjadi antara siang dan malam pada kondisi cuaca yang sama
khususnya pada (e_0,3), disajikan pada Tabel 16. Data selengkapnya disajikan pada Lampiran 6
68
Tidak hujan
100
95
95
90
90
85
85
80
80
75
RH1_k
RH1_H
Hujan
75 70
70 65
65
60
60
55
55
50
50
45 6
12
18
24
30 5
6
12
18
24
30 5
24
30 5
Jam
Jam
100
100 95
90
90 RH2_K
RH2_H
85 80 75
80 70
70 65
60
60 55
6
12
18
24
30 5
50
6
12
Jam
Mean Gambar 26
18 Jam
±0,95 Conf. Interval
Dirunal kelembaban relatif udara (%) pada berbebagai ketinggian dari permukaan tanah di padang rumput kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005-Mei 2006)
Tabel 16. Tekanan uap di udara (kPa) pada padang rumput Ketinggian pengukuran (m) ea_0,3
ea_2,0
Cuaca
Siang
Malam
Harian
hujan
2,0
1,8
1,9
tidak hujan
1,9
1,7
1,8
hujan
1,9
1,9
1,9
tidak hujan
1,8
1,8
1,8
rata-rata 1,9
1,9
69
w aktu (jam)
-1500 6
9
12
15
18
21
24
6
3
9
12
15
18
21
24
3
-2000
hujan
-2500 -3000
de_0,3 de_2,0
-3500
tk anan uap (pa)
-2000 tk anan uap (pa)
w aktu (jam)
-1500
Tidak hujan
-2500 -3000
de_0,3 de_2,0
-3500
-4000
-4000
Gambar 27. Diurnal defisit tekanan uap pada berbagai ketinggian dari permukaan tanah di padang rumput kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005-Mei 2006)
Hujan
Tidak hujan
0
0 -200 -400 -600 -800 -1000 -1200 -1400 -1600 -1800 -2000 -2200
-200 -400 -800
de1_k
de1_H
-600 -1000 -1200 -1400 -1600 -1800
6
12
0
24
30 5
6
18
24
30 5
24
30 5
0
-200
-200
-400
-400 -600
-600 -800
-800 -1000 -1200
-1000
-1400
-1200 -1400
12
Jam
de2_K
de2_H
18 Jam
-1600 6
12
18
24
30 5
-1800
6
12
Jam
18 Jam
Mean
±0,95 Conf. Interval
Gambar 28. Dirunal defisit tekanan uap (Pa) pada berbagai ketinggian dari tanan di padang rumput kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006)
70
5.5 Curah Hujan Neto Curah hujan neto yang dimaksud adalah curah hujan yang mencapai permukaan tanah atau lantai hutan.
Curah hujan yang mencapai permukaan tanah pada
kawasan yang bervegetasi melalui dua proses yaitu (i) curahan tajuk dan (ii) aliran batang. 5.5.1 Curahan Tajuk Curah hujan yang mencapai permukaan tanah melalui curahan tajuk selama 200 kejadian hujan pada pengukuran periode I adalah sebanyak 1.200,5 atau 63,6 % dari total hujan, atau rata-rata 6,0 mm per hari hujan. Curahan tajuk pada berbagai sifat hujan disajikan pada Lampiran 8 dan 11. Hubungan empiris antara curahan tajuk dengan sifat hujan dan karakter vegetasi disajikan pada Tabel 17 Hubungan matematika antara sifat hujan dengan curahan tajuk disajikan pada persamaan 35. Berdasarkan nilai slop regresi antara jeluk hujan dengan intensitas hujan dan memperhatikan nilai koefisien determinasinya serta hubungan antara nilai observasi dan nilai hipotetik maka sifat hujan yang memiliki pengaruh yang dominan terhadap curahan tajuk adalah jeluk hujan (35a). Integrasi antara sifat hujan dan karákter vegetasi seperti yang disajikan pada persamaan 35 dan 36, maka diperoleh petunjuk bahwa pengaruh ILD lebih dominan dibandingkan dengan pengaruh luas tajuk. Berdasarkan hal tersebut maka curahan tajuk dapat diduga melalui persamaan 36a yaitu : Tf= -1.043+0.7597P-0.023ILD
...........................
(36a)
R2 = 0,97
50 40 30 20 10 0
Gambar 29. Hubungan antara curahan tajuk dengan jeluk hujan dan ILD
P
I
P
P
P
P
I
I
I
I
35b
35c.
36a
36b
36c
36d
37a
37b
37c
37d
LT
LT
LAI
LAI
LT
LT
LAI
LAI
-
-
-
y
Input
Tf = -3,2127+1,55*x-0,0034*y-0,0324*x2-0,0003*x*y+3,0863E-5*y2
Tf = 1,8058+0,4924*x-0,0021*y
Tf = -1,5872+1,5699*x-0,633*y-0,0324*x2-0,0061*x*y+0,0589*y2
Tf = 1,817+0,4924*x-0,0233*y
Tf = -0,5307+0,6547*x-0,0044*y+0,0028*x2-0,0001*x*y+3,0863E-5*y2
Tf = -1,054+0,7597*x-0,0021*y
Tf = 1,2377+0,6581*x-0,6692*y+0,0028*x2-0,0019*x*y+0,0589*y2
Tf = -1,0427+0,7597*x-0,0233*y
Tf = 0,4924x + 1,6874
Tf = 1,12*exp(0,104*x)
Tf = 0,7597x - 1,17
Persamaan
0,28
0,20
0,97
0,97
0,21
0,97
R2
1200,5
1200,5
1200,5
1200,5
1200,5
1200,5
1200,5
1200,5
1200,5
1200,5
1200,5
2.488.506,6
1200,8
1200,6
1200,5
1252,8
1200,8
1200,4
1200,5
1200,6
2154,7
1200,5
hipotetik
Output observasi
Persamaan empiris hubungan curahan tajuk dengan sifat hujan dan karákter fisik vegetasi
Tf : curahan tajuk P : jeluk hujan (mm) I: intensitas hujan (mm/jam), LAI : indeks luas daun dan LT : luas tajuk
P
x
35a
No
Tabel 17
-0,26
0,93
-0,19
0,92
0,97
0,97
0,97
0,97
0,92
0,34
0,97
Ek
72
Predicted vs. Observed Values Dependent variable: Tf
60
Uraian
Sataun
50
Nilai
Kejadian Hujan Obesrvasi Hipotetik Ek
hari mm mm
200 1200.5 1200.5 0.97
Observed Values
40 30 20
95% confidence
10 0 -10 -10
0
10
20
30
40
hipotetik
Gambar 30. Hasil Uji Persamaan Curahan Tajuk pada berbagai jeluk hujan dan ILD sesuai persamaan 36a Persamaan 36a lebih realistis sesuai mekanisme dari proses curahan tajuk yakni terjadi peningkatan curahan tajuk dengan bertambahnya input hujan sebaliknya akan mengalami pengurangan dengan bertambah ILD. Implikasi dari persamaan 36a adalah adanya gangguan pada hutan yang menyebabkan ILD berkurang berdampak pada peningkatan curahan tajuk. Jika diasumsikan kapasistas dan laju infiltrasi serta water holding capasity dari lantai hutan tidak berubah maka peningkatan curahan tajuk akan menyebabkan koefisien run off akan meningkat. Rangkaian dari gangauan ini akan menyebabkan neraca air berubah dan potensil menyebabkan banjir dan dalam kondisi yang ekstrim dapat menimbulkan banjir bandang (debris flow). 5.5.2 Aliran Batang Aliran batang pada setiap kejadian hujan rata-rata 0.01 mm. Secara kumulatif, aliran batang sangat kecil yakni hanya mencapai 2.04 mm atau 0,11 % dari total hujan. Kondisi ini menggambarkan bahwa kontribusi aliran batang terhadap suplai air ke sistem tanah adalah sangat kecil dibandingkan dengan curahan tajuk. Hubungan antara aliran batang dengan sifat hujan dan karakter vegetasi seperti yang disajikan pada Tabel 18 menunjukkan faktor dominan yang berpengaruh terhadap aliran batang ádalah jeluk hujan dan ILD.
50
73
Tabel 18. Hubungan aliran batang dengan sifat hujan dan vegetasi
No
Input
Persamaan
R2 0,49
x
Y
37a
P
-
Sf = - 0,003 +0,001*x
37b
P
-
Sf = 0,0011*exp(0,1166*x)
37c.
I
-
Sf= 0,003 +0,001*x
38a
P
LAI
38b
P
39a 39b
Output obser
hipotetik
Ek
2,04
2,06
0,37
2,04
3,62
0,27
0,09
2,04
2,02
0,00
SF =0,07+0,0017*x-0,013*y
0,53
2,04
2,68
0,42
LT
Sf = 0,009 +0,001*x – 0,000*y
0,58
2,04
2,17
0,51
I
LAI
Sf = 0,068+0,001*x-0,0012*y
0,13
2,04
1,63
0,52
I
LT
Sf = 0,015+0,001*x-0,000*y
0,18
2,04
4,75
-0,54
Berdasarkan hal tersebut maka aliran batang pada hutan di Babahaleka dapat diduga melalui persaaan 38a. SF =0,07+0,0017*P-0,013*ILD
..............................
(38a)
R2 = 0,53
0.1 0.05 0
Gambar 31.
Hubungan aliran batang (mm) dengan jeluk hujan dan ILD
Adapun aliran batang pada berbagai sifat hujan disajikan pada Lampiran 9 dan 12. Hubungan matematika kedua komponen tersebut terhadap aliran batang
74
seperti yang disajikan pada Gambar 31. Adapun hasil huji persamaan 38a terhadap pengamatan lapangan disajikan pada Gambar 32.
Predicted vs. Observed Values Dependent variable: Sf
Kejadian hujan Obesrvasi hipotetik Ek Em
Sataun hari mm mm %
Nilai 200 2,04 2,68 0,42 31,37
0,35
Observed Values
Uraian
95% confidence 0,25 0,15 0,05 -0,05 -0,01
0,01 0,00
0,03 0,02
0,05 0,04
0,07 0,06
0,09 0,08
0,10
Predicted Values
Gambar 32. Hasil uji persamaan pendugaan aliran batang pada berbagai jeluk hujan dan ILD sesuai persamaan 38a Secara keseluruhan pada 200 kejadian hujan selama penelitian, curah hujan yang tiba dipermukaan tanah (curah hujan neto) adalah 1.355,41 mm atau 63,61 % dari total hujan atau mengalami pengurangan sebanyak 36,39 %. Bagian hujan yang mencapai permukaan tanah didominasi oleh curahan tajuk yakni sebanyak 1.353,2 mm atau 99,83 % dari curah hujan neto. Adapun bagian hujan yang mencapai permukaan tanah melalui aliran batang jumlahnya sangat kecil yakni hanya 2,24 mm atau kurang 1 % dari curah hujan.
Hasil ini memiliki kesamaan dengan hasil
penelitian sebelumnya. Steinhardt (1979) melaporkan aliran batang pada pohon hutan dataran tinggi yang sudah tua jumlahnya sangat sedikit yakni kurang 1%. Hal serupa juga terjadi pada hutan dataran rendah seperti yang dilaporkan oleh (Lloyd et al. 1988; Ubarana 1996; Tobon Marin et al. 2000). Ruslan (1983) melaporkan curahan tajuk pada hutan alam adalah 73,6 % dari curah hujan. Hal serupa dilaporkan oleh Moses and Price (1999) pada penelitiannya bahwa curahan tajuk dan aliran batang pada hutan masing - masing mencapai 76,4 dan 4,3 % dari curah hujan. Khusus hutan alam di kawasan TNLL, tepatnya di Toro dan Bariri oleh Johannes et al. (2006) melaporkan bahwa porsi curah hujan yang menjadi aliran batang adalah kurang dari 1 %, sedangkan porsi curah hujan yang menjadi curahan tajuk adalah mencapai 46,6 – 69,8 %.
75
5.6 Hubungan Intersepsi Hujan dengan Sifat Hujan dan Karakter Vegetasi Intersepsi merupakan bagian curah hujan yang tertahan di vegetasi dan tidak mencapai permukaan tanah Nilai ini merupakan selisih antara curah hujan yang diterima pada tajuk dan curah hujan neto. Berdasarkan hal tersebut, maka intersepsi hujan selama periode I adalah sebanyak 686,35 mm atau rata-rata 3,4 mm± 2,8 per hari hujan. Ini berarti kondisi vegetasi beserta sifat hujan di lokasi penelitian menyebabkan reduksi hujan yang tiba dipermukaan tanah sebanyak 36,34 %. Nilai intersepsi hujan pada berbagai sifat hujan disajikan pada Lampiran 10 dan 13. Analisis regresi hubungan antara curahan tajuk dengan sifat hujan dan vegetasi, serta hubungan antara aliran batang dengan sifat hujan dan vegetasi hutan, maka diperoleh petunjuk bahwa curah hujan yang mencapai permukaan tanah, dominan dipengaruhi oleh jeluk hujan dan ILD. Ini dapat diartikan bahwa kedua komponen tersebut juga dominan pengaruhnya terhadap intersepsi hujan. Secara matematika hubungan antara jeluk hujan dan ILD dengan intersepsi hujan disajikan pada Gambar 33. dan persamaan 40 Ic = 0.980+0.239P+0.035ILD …………………… R2 = 0,78
(40)
16 12 8 4 0
Gambar 33. Hubungan intersepsi hujan dengan Jeluk hujan dan ILD
Adapun hasil uji persamaan duga intersepsi (40) terhadap nilai observasi disajikan pada Gambar 34.
76
Predicted vs. Observed Values Dependent variable: Ic
Kejadian hujan Obesrvasi (O) Hipotetik (D) Ek Em Deviasi hipotetik
Sataun
Nilai
hari mm mm
200 686,35 686,46 0,78 23,44 0,016
% %
18
Observed Values
Uraian
14
10
6 95% confidence
2
-2
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Predicted Values
Gambar 34. Hasil uji persamaan pendugaan intersepsi hujan pada berbagai jeluk hujan dan ILD sesuai persamaan 40 Hubungan antara intersepsi hujan dengan jeluk hujan dan ILD menunjukkan pengaruh jeluk hujan lebih dominan dibandingkan dengan ILD. Selain itu secara alami variabilitas nilai ILD dan perubahannya lebih kecil dibandingkan dengan jeluk hujan.
Adapun hubungan antara intersepsi hujan dengan jeluk hujan menunjukkan
pola yang bersifat logaritmik. Peningkatan jeluk hujan < 5 mm menyebabkan intersepsi hujan meningkat secara nyata. yakni 61,2% dari curah hujan dengan intensitas hujan rata-rata 4,7 mm/jam Akan tetapi pada jeluk hujan yang melebihi 20 mm dengan intensitas hujan rata-rata 15,2 mm/jam maka porsi curah hujan yang diintersepsi berkurang secara nyata yakni hanya 27,1 %, Secara proporsional terhadap jeluk hujan, intersepsi hujan yang tinggi pada jeluk 0,5-5 mm per hari hujan juga dikarenakan intensitas hujan pada jeluk ini adalah rendah yakni hanya 4,7 mm/jam, sedangkan pada jeluk yang lebih besar dari 20 mm per hari hujan intensitasnya mencapai 15,2 mm. Secara teoritik, jeluk hujan yang tinggi disertai dengan intensitas yang tinggi maka
proses pejenuhan tajuk menjadi
singkat sehingga potensi intersepsi hujan berkurang. Kondisi sebaliknya terjadi jika jeluk hujannya kecil yang disertai dengan intensitas rendah maka dapat dipastikan porsi hujan yang diintersepsi akan lebih besar. disajikan pada Gambar 35.
77
16
Intersepsi hujan pada berbagai jeluk
14 12
Ic = 0,0123+4,6688*log10(x) CH (mm)
R2 = 0,74
Ic (mm)
10 8 6 4 2
Mean
±SE
±0,95 Conf. Interval
0 -2 0,0
10,0
20,0
30,0
40,0
50,0
60,0
0,5-5
>5-20
>20
Total
n (hari)
91
88
21
200
P (mm)
2,3
11,1
33,2
9,4
Ic (mm)
1,44
4,17
8,98
3,43
SD Ic
0,7
1,6
2,9
2,8
Ic/P (%)
61,2
37,5
27,1
36,3
I (mm/jam)
4,7
11,4
15,2
8,8
70,0
P (mm)
Gambar 35. Intersepsi hujan pada berbagai jeluk hujan di Hutan Babahaleka TNLL
Asdak at al. (1998) melaporkan hasil penelitiannya di Kalimatan Tengah bahwa intersepsi hujan pada hutan yang belum terganggu adalah sebanyak 11 % dari curah hujan. Hal serupa yang dilaporkan oleh Bruijnzeel dan Critchley (1994) bahwa nilai intersepsi pada hutan tropis adalah mencapai 10 – 25 %.
Berdasarkan hasil
penelitian di atas maka nilai intersepsi yang diperoleh pada penelitian ini adalah tergolong tinggi. Akan tetapi jika dibadingkan dengan hasil penelitian lainnya maka nilai intersepsi hujan yang diperoleh memiliki kesamaan seperti yang dilaporkan oleh (Zinke 1967) yakni 10 – 40 % dari total hujan. Fleischbein (2005) di Ekuador Selatan mendapatkan intersepsi hujan sebanyak 25 – 52 % dari jeluk hujan. Hasil pengukuran selama periode 2001 – 2004, menunjukkan intersepsi hujan
pada hutan
hujan di Queesland Utara, Australia adalah sebanyak 25 % dari hujan (Wallace and McJannet 2006). Nilai intersepsi hujan yang tinggi sesungguhnya telah ditemukan oleh peneliti sebelumnya seperti yang dilaporkan oleh Cavelier et al. 1979; Scellekens et al. 1999 masing masing memperoleh nilai intersepsi 37 dan 50 % curah hujan (diacu dalam Wallace and McJannet 2006). Besaran kuantitatif intersepsi hujan yang diperoleh menguatkan teori bahwa sifat hujan sebagai input dan karakter vegetasi sebagai tempat berlangsungnya proses agihan hujan merupakan dua faktor penting yang mempengaruhi intersepsi hujan.
Intersepsi hujan dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya air
memiliki peranan yang penting dalam perhitungan neraca air di satu sisi, di sisi lain untuk menganali dan mengetahui besaran kuantitatif air hujan yang tiba dipermukaan tanah yang bervegetasi adalah merupakan pekerjaan yang rumit dan membutuhkan
78
waktu yang tidak singkat. Karena itu
menjadi penting dikembangkan teknik
pendugaan yang dapat dimanfaatkan lebih luas. 5.7 Pendugaan Intersepsi Model Gash 5.7.1 Parameter Komponen Model _
a Laju evaporasi rata-rata ( E ) Intensitas hujan rata-rata pada periode I adalah 8,76 mm per jam. Adapun ratio antara Laju evaporasi rata rata dengan intensitas hujan rata-rata
⎛ _ ⎞ ⎜E⎟ ⎜⎜ _ ⎟⎟ ⎝R⎠
yang
diperoleh melalui regresi antara intersepsi hujan dengan jeluk hujan maka diperoleh nilai slop regresi (β) yaitu 0,24.
Intergrasi kedua nilai tersebut maka diperoleh
evaporasi rata-rata adalah 0,03 mm jam. Nilai ini merupakan gabungan antara evaporasi yang terjadi pada tajuk dan batang c. Kapasistas (S) dan Porositas Tajuk (p) Nilai parameter kapasistas tajuk (S) dan porositas tajuk (p) dihitung melalui hubungan antara curah hujan dengan curahan tajuk. Hubungan matematika kedua komponen tersebut seperti yang disajikan pada persamaan 35a dan Gambar 36.
70,00
55,84 50,00
Tf (mm)
40,00 32,42 26,97 21,63 16,07 10,70 5,35 0,00 -10,00 -10,00 0,00
5,40 16,20 28,40 40,00 10,80 22,20 34,60
60,00 49,20
70,00
P(mm)
Gambar 36.
Hubungan curahan tajuk dengan curah hujan
Sesuai dengan persamaan 11 maka diperoleh kapasitas tajuk sama dengan 1.172 mm. Nilai paramater intersepsi ini menggambarkan bahwa pada saat terjadi hujan, bagian hujan yang tertahan pada tajuk adalah sebanding dengan 1,172 mm. Setelah
79
tajuk tersebut mencapai titik jenuh maka bagian hujan yang diterima oleh
tajuk
selanjutnya akan menunju ke permukaan tanah baik melalui curahan tajuk maupun aliran batang. Adapaun nilai porositas tajuk (p) sama dengan 0,354.
Nilai ini
menggambarkan bahwa 35,4 % dari total curahan tajuk merupakan air yang jatuh langsung ke permukaan tanah melalui celah daun. c. Kapasitas Simpan Batang (St) dan Koefisien Imput Batang (pt) Berdasarkan persamaan 37a tentang hubungan antara curah hujan dengan aliran batang disajikan dan persamaan 12 maka nilai kapasitas batang (St) adalah 0,003 dengan koefisien input
(pt) yang sangat kecil yakni ~0. Kedua parameter
intersepsi ini menggambarkan bahwa aliran batang yang kecil bukan dikarenakan batang memiliki kapasitas simpan yang besar tetapi dikarenakan koefisien input yang sangat kecil. Nilai input batang yang sangat kecil diduga berkaitan langsung dengan sifat arsitektur percabangan dan tajuk tumbuhan. Karena itu menjadi hal penting untuk dilakukan kajian selanjutnya tentang pengaruh sifat arsitektur tajuk dalam kajian intersepsi hujan. Tabel 19. Nilai Parameter Intersepsi model Gash Parameter Hujan total (mm)
1979 1.888,9
Model Gash Revisi 1995 1.888,9
Intensitas hujan (mm/jam)
8,8
8,8
Nisbah laju evaporasi rata-rata dengan intensitas Koefisien pemadaman, k
0,24
0,24
-
0.7
-
5,57
Porositas tajuk , p
0.35
0,35
Fraksi penutupan tajuk, c
0,65
0,979
Kapasitas batang, St
0,003
0,003
Koefisien input batang, pt
0,000
0,000
Kapasitas tajuk , S
1,17
1,17
Laju evaporasi rata-rata tajuk basah
0,03
0,03
Hujan yang menjenuhkan tajuk , Pg’ (mm)
2,27
1,37
Nisbah kapasitas batang dengan koefisien input batang, n
1,29
1,29
Indeks luas daun , ILD
(mm/jam)
80
d) Curah Hujan yang dapat Menjenuhkan Tajuk (Pg’) Curah hujan yang dapat menjenuhkan tajuk (Pg’) sesuai persamaan 18 pada model Gash 1979 adalah 2,267 nilai ini lebih besar dibandingkan nilai Pg’ pada model revisi Gash 1995 yakni 1,370. Perbedaan nilai Pg’ antara model Gash 1979 dengan revisi model Gash 1995 mengindikasikan bahwa peranan ILD sangat besar dibandingkan dengan luas tajuk pada proses intersepsi hujan. Temuan ini memiliki relevansi dengan hasil yang didapat pada persamaan 36a dan 38a. 5.7.2 Intersepsi Model Gash Total intersepsi model Gash 1979 adalah sebanyak 570,99 mm, nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan total intersepsi revisi model Gash 1995 yakni 640,89. Nilai intersepsi hujan yang tinggi pada revisi model Gash 1995 diakibatkan oleh nilai parameter curah hujan yang dapat menjenuhkan tajuk (Pg’) yang lebih kecil dari nilai Pg’ pada
revisi model Gash 1995. Akibat dari nilai Pg’ yang kecil maka jumlah
kejadian hujan yang menjenuhkan tajuk (n) bertambah. Sesuai persamaan 16 dan 17 maka peningkatan jumlah kejadian hujan yang menjenuhkan tajuk (n) berkorelasi positif dengan evaporasi yang terjadi selama hujan dan setelah hujan berhenti. Uraian ini menggambarkan bahwa nilai ”n” yang kecil menyebabkan jumlah air yang dievaporasikan meningkat sehingga curah hujan neto berkurang, dengan kata lain nilai ”n” yang kecil menyebabkan intersepsi meningkat secara nyata disajikan pada Tabel 20. 5.8 Aplikasi dan Evaluasi Persamaan Intersepsi dan Model Gash Jumlah curah hujan selama periode II
(Juni 2006 – Mei 2007)
adalah
sebanyak 181 dengan total hujan 1659,0 mm seperti yang ditunjukan pada Tabel 8. Selama periode tersebut curah hujan yang mencapai permukaan tanah adalah sebanyak 1057,69 mm. Dibandingkan antara curah hujan neto dengan curah hujan total maka
terdapat selisih sebanyak 601,33 mm yang berarti intersepsi hujan
selama periode II adalah sebanyak 36,25 %. Nilai ini menggambarkan kesamaan nilai intersepsi hujan pada periode I. Aplikasi persamaan intersepsi hujan bersama dengan model Gash 1979 dan revisi model Gash 1995 yang hasilnya dibandingkan dengan hasil pengukuran lapangan seperti yang disajikan pada Table 21 menunjukkan nilai prediksi intersepsi hujan dari model Gash adalah lebih kecil, yakni masing-masing -16,81 % untuk revisi model Gash 1979 dan -6,62 % untuk model revisi Gash 1995. Beda halnya dengan hasil prediksi dari persamaan intersepsi (40) yakni nilai prediksi yang diperoleh relatif
EK
Total Intersepsi Hasil pengukuran langsung Selisih nilai hipotetik terhadap pengukuran(%) Em
Evaporasi pada batang (Pg > St/pt)
Evaporasi setelah hujan
-16.81
640.89
570.99
- 6.62
686.36
0,12
0,11
205,10
94,91
19,78
30,05
385,84
Revisi 1995
326,06
45,97
Kejadian hujan (n) yang menjenuhkan tajuk (Pg > Pg’)
Evaporasi pada tajuk basah selama hujan berlangsung
103,94
1979
Kejadian hujan (m) yang tidak menjenuhkan tajuk (Pg < Pg’)
Komponen Intersepsi
Model Gash
0,78
23,44
0.02
686.46
Ic= 0.98+0.239P +0.035ILD (persamaan 40)
Tabel 20. Perbandingan Nilai Hipotetik dengan Oservasi Intersepsi Hujan Priode Juni 2005 – Mei 2006
75
0,14
0,09
0,82
1,31
Ek
- 5,36
49,06
-16,29
609,19
Ic=0,98+0,239*P +0,035*ILD
601,33
569,10
179,32
85,77
503,36
337,13
26,24
26,27
282,44
Revisi 1995
Em
Selisih nilai hipotetik dengan hasil pengukuran (%)
Hasil pengukuran langsung
Total Intersepsi
Evaporasi pada batang (Pg > St/pt)
Evaporasi setelah hujan berhenti
Evaporasi pada tajuk basah selama hujan berlangsung
37,11
Kejadian hujan (n) yang menjenuhkan tajuk (Pg > Pg’)
1979
Model Gash
97,95
Komponen Intersepsi
Perbandingan nilai hipotetik dan observasi intersepsi hujan Priode waktu Juni 2006 – Mei 2007
Kejadian hujan (m) yang tidak menjenuhkan tajuk (Pg
Tabel 21
76
83
sama dengan hasil pengukuran lapangan yakni 686,46 mm. Hasil evaluasi dan pengujian persamaan 40 dan kemudian dibandingkan dengan model Gash revisi maka baik hasil duga maupun konsistensi dari hasil dugaan adalah relatif sama. Akan tetapi model Gash 1979 hasilnya sangat besar deviasinya dari pengukuran langsung, sekalipun hasilnya konsisten. Secara subtansial persamaan 40 dan revisi model Gash 1995 memiliki kesamaan yakni (i) keduanya mengintegrasikan komponen fisik (hujan) dan komponen biologi (vegetasi), dan (ii)
tajuk vegetasi
dianggap terdiri berbagai lapisan yang direpresentasikan oleh ILD. Fakta ini memberikan penguatan empiris tentang peranan sifat hujan dan karakter vegetasi terhadap sistem hidrometeorologi. Perbedaan secara mendasar antara model pendugaan yang diperoleh pada penelitian ini dan model Gash adalah pada model Gash nilai intersepsi dihutung dari curah hujan kumulatif sedangkan pada model pendugaan intersepsi pada penelitian ini, nilai intersepsi hujan dihitung pada setiap hari hujan yang selanjutnya diakumulasikan untuk jangka waktu tertentu 5.9 Bowen Ratio Sesuai keriteria nilai Bowen ratio (β) yang dikemukakan oleh Perez et al. (1999) maka hasil pengukuran selama Mei 2005 – Juni 2006 yang memenuhi keriteria untuk dianalisis aliran energi metode NEBR hanya 213 hari. Jumlah data tersebut terdiri dari
102 hari kejadian hujan dan 111 hari tidak hujan,
nilai
β
disajikan pada Tabel 22. Tabel 22. Nilai Bowen ratio (β) pada hutan dan padang rumput Uraian
Hutan
Observasi
Hujan Rumput 102
Hutan
Tidak hujan Rumput 111
β
0,11
1,40
0,34
1,43
SD
0,71
1,64
2,63
2,03
Oke (1983) menegaskan bahwa nilai β (H dan LE >0) yang tinggi mengidikasikan aliran sensible heat yang melebihi dari nilai aliran latent heat. Ini menggambarkan bahwa pada kondisi β yang tinggi sesungguhnya terjadi penggunaan energi yang tersedia lebih besar untuk pemanasan udara
dibandingkan dengan penggunaan
energi untuk penguapan. Konsep ini secara operasional dapat dijadikan suatu
84
parameter fisik tentang sifat dan karakter dari penutupan permukaan pada proses pertukaran dan pemindahan energi dan massa, namun pandangan ini diperlukan kecermatan untuk menginterpretasi nilai β sebagai suatu parameter respon fisik suatu permukaan terhadap dinamika energi. Sebaran nilai β
padang rumput baik
hari hujan maupun hari tidak hujan dominan pada nilai yang lebih besar dari 1, sedangkan pada hutan dominan pada
nilai >0 s/d 1.
menggambarkan bahwa aliran sensible heat
Sebaran nilai tersebut
pada padang rumput lebih dominan
dibandingkan dengan aliran latent heat. Sebaliknya pada hutan aliran sensible heat lebih kecil – sebanding dengan aliran latent heat. Sebaran nilai β disajikan pada Gambar 37.
Jumlah observasi
100 80 60 40 20 0
Hutan
Rumput
Hutan
Hujan
Gambar 37.
Rumput Tidak hujan
<0
30
2
18
2
0-1
58
18
55
17
>1
14
82
38
92
Sebaran nilai Bowen ratio hutan dan padang rumput di kawasan hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006)
5.10. Radiasi Global Radiasi global (Rs) yang diterima pada hutan dan padang rumput di kawasan Babahaleka TNLL seperti yang disajikan pada Gambar 38 menunjukkan, jumlah radiasi global yang diterima oleh hutan mencapai 17,15 MJ/m2/hari pada hari hujan dan meningkat 8,16 % pada hari tidak hujan menjadi 18,55 MJ/m2/hari Dibandingkan dengan radiasi global yang diterima pada padang rumput, maka radiasi global yang diterima oleh hutan relatif lebih kecil jumlahnya. Radiasi global yang diterima oleh padang rumput mencapai 18,0 MJ/m2/hari dan meningkat menjadi 19,19 MJ/m2/hari pada hari tidak hujan atau mengalami peningkatan sebanyak 6,61 %.
85
Radiasi Global (MJ/hari)
20
10
0
Hutan
Rumput
Hutan
Hujan Rs
17,15
Rumput Tidak hujan
18,00
18,55
19,19
Gambar 38. Penerimaan radiasi global pada sistem vegetasi di Kawasan Babaheleka TNLL (Juni 2005-Mei 2006) Dinamika radiasi peningkatan
global yang diterima pada sistem vegetasi menunjukan
sampai dicapai nilai maksimum pada siang hari dan selanjutnya
berkurang hingga sore hari, disajikan pada Gambar 39.
Rumput
600 400
hujan
200 0 -200
1000
Hutan
6
9
12
15
18
21
24
waktu (h)
Gambar 39.
3
radiasi global (W/m2)
radiasi global (W/m2)
800
Hutan Rumput
800 600
Tidak hujan
400 200 0 -200
6
9
12
15 18 21 24
3
w aktu (h)
Diurnal radiasi global pada hutan dan padang rumput di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005-Mei 2006)
5.11. Neraca Energi Bowen Ratio Neraca energi harian menggambarkan kesetimbangan energi selama 24 jam berupa masukan/ energi tersedia (Rn) dan penggunaannya untuk pemanasan udara (H), penguapan (LE) dan pemanasan tanah (G). Jumlah radiasi neto (Rn) pada hutan baik hari hujan maupun hari tidak hujan lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah radiasi neto pada padang rumput. Dibandingkan dengan radiasi global yang diterima pada kedua bentuk penggunaan lahan tersebut maka pada hutan radiasi
86
neto mencapai 60 % dari radiasi global sedangkan pada padang rumput hanya 50 % dari radiasi global, disajikan pada Tabel
23. Data selengkapnya disajikan pada
Lampiran 14 dan 15. Tabel 23. Radiasi neto pada hutan dan padang rumput Uraian
Satuan
Rs
MJ/m2/hari
Rn
MJ/m2/hari %
Rn/Rs
Hujan Hutan Rumput 17,15± 3,90 18,00±3,72
Tidak hujan Hutan Rumput 18,55±3,79 19,19±3,69
10,66±3,12
9,50±2,79
11,28 ± 2,74
10,21± 2,53
62,12
52,82
60,83
53,17
Perbedaan radiasi neto pada kedua bentuk pengunaan lahan tersebut dominan dikarenakan akibat dari perbedaan karakteristik permukaan yang dicirikan oleh nilai albedo. Hal ini didasarkan jumlah radiasi global yang diterima pada kedua bentuk penggunaan lahan tersebut adalah relatif sama bahkan terjadi kecenderungan radiasi global yang diterima oleh padang rumput lebih banyak dibandingkan dengan hutan. Nilai albedo pada hutan yang didapat pada penelitian ini adalah 10,75 %. Dibandingkan dengan nilai albedo dari penelitian yang telah ada maka nilai albedo yang didapat pada penelitian ini adalah relatif lebih Penelitian yang dilaksananakan oleh Shuttleworth et al. (1984);
kecil.
Bastable et al.
(1993) dan Culf at al (1995) yang dilaporkan oleh Giambelluca, et al (1997) bahwa Albdo hutan di Amazone
mencapai 12,25 – 13,4 %. Berbet dan Costa (2003)
melaporkan hasil pengukuran albedo pada padang rumput di Amazone yang dilakukan oleh Costa dan Foley (2000) adalah 17,6 %. Penelitian Eppel et al (1995) yang diacu oleh Friedrich et al, (2000) menunjukkan albedo pada padang rumput mencapai 25 %. Dikaitkan dengan persamaan umum dari neraca radiasi
yakni
radiasi neto gelobang panjang bersama radiasi neto gelombang pendek merupakan komponen yang menentukan radiasi neto. Albedo merupakan parameter fisik dari radiasi neto gelobang pendek seperti yang disajikan pada persamaan 2. sebagai berikut
Rs net= (1−α) * Rs Rsnet :Radiasi neto gelombang pendek α : albedo Rs : Radiasi global
87
maka dapat disimpulkan bahwa rendahnya nilai radiasi neto pada padang rumput dibandingkan dengan hutan dimungkinkan terjadi karena albedo rumput lebih besar dibandingkan dengan albedo hutan. Dinamika radiasi neto menggambarkan
pola yang relatif sama antara hari
hujan dan tidak hujan. Secara kuantitatif perbedaan jumlah radiasi neto kedua bentuk penggunaan lahan
mulai nyata pada pukul 10.00 – 15.00.
Pola harian
neto memiliki kesamaan dengan pola harian radiasi global (Gambar 38)
radiasi
Penomena ini sekaligus mengindikasikan bahwa radiasi neto dominan menentukan oleh radiasi global. Pada malam hari, radiasi neto berubah menjadi negatif karena radiasi global menjadi nol (0) akibatnya, yang terjadi adalah perubahan pemanasan udara dan tanah menjadi pendinginan, dinamika radiasi neto disajikan pada Gambar 40.
600
Rn (W/m2)
Rn (W/m2)
300
hujan
200 100 0 9
12
15
18
21
24
3
Hutan
500
Rumput
400
-100 6
600
Hutan
500
Rumput
400 300
Tidak hujan
200 100 0 -100 6
9
12
15
18
21
24
3
w aktu (h)
w aktu (h)
Gambar 40. Diurnal radiasi neto pada hutan dan padang rumput di kawsam Babahaleka TNLL (juni 2005 – Mei 2006) Fakta empiris
di atas
sekaligus memperkuat
teori
bahwa
karakter
permukaan sangat besar pengaruhnya terhadap energi yang dapat diabsosrpsi oleh sistem yang bersangkutan.. Adapun hubungan matematika antara radiasi neto dengan radiasi global disajikan pada Tabel 24 dan Gambar 41 dan 42 Persamaan empiris tentang hubungan antara radiasi neto (Rn) dengan radiasi global yang diperoleh pada penelitian ini menggambarkan dua hal penting sebagai berikut : ■
Potensi ketersediaan energi pada hutan lebih tinggi dibandingkan dengan padang rumput pada radiasi global yang sama .
88
Pelepasan energi pada padang rumput di malam hari (Rs=0) adalah 21,63 -
■
37,98 W/m2, dan nilai ini lebih tinggi dari pelepasan energi pada hutan yakni hanya 16,94 – 27,36 W/m2 Tabel 24. Persamaan matematika hubungan Radiasi neto dengan Radiasi Global Lokasi
Sumber
Hasil yang diperoleh
Objek/cuaca
Persamaan
R2
Hutan / hujan
Rn = 0,76 Rs- 27,36
0,90
Hutan/kering
Rn = 0,68 Rs – 16,94
0,91
Rumput/hujan
Rn = 0,71 Rs – 37,98
0,89
Rumput/kering
Rn = 0,63 Rs - 21,63
0,84
Rn = 0,75Rs - 21
0,97
Rn= 0,87Rs-84
0,98
Clipped grass Cloudy day Clipped grass Ames,Iowa Shaw (1956)* Clear day * Rosenberg 1974. Rn: radiasi neto Ames,Iowa
Shaw (1956)*
Rs: radiasi global
Predicted vs. Observed Values
Predicted vs. Observed Values
220 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 20
Dependent variable: Rn 220 200
Hujan
180 Observed Values
Observed Values
Dependent variable: Rn
95% confidence
Kering Tidak hujan
160 140 120 100 80 60
95% confidence
40 40
60
80
100
120
140
160
180
200
Predicted Values
20 20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
Predicted Values
Gambar 41. Hubungan nilai observasi dan hipotetik radiasi neto (Rn) pada padang rumput di kawasan Babahaleka TNLL(Juni 2005-Mei 2006)
Neraca energi seperti yang disajikan pada Gambar 43 dan Tabel 25 menunjukkan energi yang tersedia di hutan (Rn) dominan dipergunakan untuk penguapan yakni 89,40 % Rn pada hari hujan sedangkan pada hari tidak hujan adalah 74,56 %. Kondoisi sebaliknya terjadi pada padang rumput yakni dominan dipergunakan untuk pemanasan udara yakni 58,74 % Rn pada hari hujan dan pada hari tidak hujan porsinya sama yakni 58,77% Rn. Data diurnal neraca energi pada hutan dan padang rumput disajikan pada Lampiran 14 dan 15
89
Predicted vs. Observed Values
Predicted vs. Observed Values
Dependent variable: Rn
Dependent variable: Rn 220
220
200
200
160
Observed Values
Observed Values
Hujan
140 120 100 80
Tidak hujan
95% confidence
160 140 120 100
60
40
40
40
60
80
100
120
140
160
180
200
220
95% confidence
80
60
20 20
Kering
180
180
20 40
60
80
100
120
140
160
180
200
220
Predicted Values
Predicted Values
Gambar 42. Hubungan nilai observasi dan hipotetik radiasi neto (Rn) pada hutan di Babahaleka TNLL (Juni 2005-Mei 2006) Neraca energi pada hutan dan padang rumput
Uraian Kejadian
Hujan
Unit
Hutan
Hari MJ/m /hari
111 11,28 ± 2,74
10,21± 2,53
9,53±5,85
3,98±2,39
8,41±6,50
4,21±2,48
1,06±5,15
5,58±2,58
2,85±6,16
6,00±2,69
MJ/m /hari
0,06±0,73
-0,05±0,24
0,02±0,59
-0,01± 0,22
Rn
H (% Rn)
2
MJ/m /hari 2
G
LE %Rn)
G (%Rn)
12,00 Rn (MJ /hari)
Rumput
9,50±2,79
MJ/m /hari
H
Hutan
10,66±3,12
2
LE
Rumput 102
2
Rn
Tidak Hujan
100 75
8,00
50 25
4,00
0 0,00
-25 Hutan
Rumput Hujan
Hutan
Rumput
Tidak Hujan
Gambar 43. Neraca energi pada sistem vegetasi
Aliran energi (%Rn)
Tabel 25.
90
Hubungan empiris antara aliran latent heat dengan energi yang tersedia pada hutan menunjukkan baik pada hari hujan maupun tidak hujan terjadi terjadi peningkatan aliran latent heat ini dengan bertambahnya ketersediaan energi. Kondisi ini juga terjadi pada padang rumput. Perbedaan
aliran energi latent heat kedua bentuk
penggunaan lahan menunjukkan koefisien regreasi pada hutan lebih besar dibandingkan dengan pada padang rumput. Informasi ini sekaligus mengindikasikan bahwa di hutan
terjadi pemindahan massa air ke atmofir yang lebih besar
dibandingkan dengan di padang rumput, disajikan pada Gambar 44 dan 45
LE = 1,0555+0,409*x
LE= 2,3814+0,8754*x
350,0
374,3 325,1
300,0
Hutan
Padang rumput
250,0
LE (W.m-2)
-2
LE (W.m )
269,7 207,3 173,7 137,4 103,1 69,6 35,9 0,0
200,0 150,0 100,0 64,9 31,9 0,0 -50,0 -100,0 0,0
220,0
204,6
186,9
170,5
154,9
140,0
123,9
91,2
107,9
75,1
40,0
55,9
0,0
20,0
-100,0
18,4
Rn (W.m -2)
40,0 74,2 105,5 136,2 167,9 220,0 58,1 89,4 120,7 151,0 194,2
Rn (W.m -2)
Gambar 44. Hubungan aliarn latent heat (LE) dengan ketersediaan energi (Rn) pada hari hujan di Kawasan Babahaleka TNLL Juni 2005-Mei
600,0
400,0
hutan
311,4 253,5 200,0 107,9 53,8 0,0 -100,0
Padang rumput
150,0 100,0 73,3 49,3 25,0 0,0
Rn (W.m -2)
220,0
200,0
186,2
171,9
156,5
142,7
129,1
114,8
87,5
100,8
73,8
60,0
40,0
-50,0 20,0
-200,0
LE = 3,4779+0,3829*x
200,0
LE (W.m-2)
-2
LE (W.m )
241,4
LE2 = 0,7132+0,7404*x
496,7
-100,0 20,0 35,9
58,3 85,4 113,5 141,0 172,6 72,0 99,5 127,0 154,8
220,0 200,0
Rn (W.m -2)
Gambar 45 Hubungan aliarn latent heat (LE) dengan ketersediaan energi (Rn) pada hari tidak hujan di kawasan Babahaleka TNLL Juni 2005 – Mei 2006
Beda halnya dengan aliran sensible heat sekalipun kedua bentuk penggunaan lahan ini memiliki pola yang sama terhadap aliran energi sensible heat baik pada hari
91
hujan maupun tidak hujan tetapi koefiesien regresi pada padang rumput lebih besar dibandingkan dengan hutan. Gambaran ini menunjukkan bahwa lengas pada system permukaan padang rumput lebih rendah dari hutan, disajikan pada Gambar 46 dan 47 Akibatnya adalah energi yang tersedia pada padang rumput dominant dipergunakan untuk memanaskan udara. Efek meterorologi dari kondisi ini adalah suhu udara pada boundary layers
padang rumput akan meningkat sehingga
menyebabkan defisit tekanan uap semakin besar.
H2 = 2,9405+0,0757*x
H = 5,3355+0,5387*x
300,0
200,0
200,0
150,0
H (W.m-2)
61,7 20,3 -20,2 -63,9 -104,2 -144,4
Padang rumput
-100,0 0,0
208,0
192,9
177,6
160,0
144,2
130,6
88,7
75,1
55,9
40,0
-300,0
20,0
121,6 100,0 79,4 59,1 37,1 13,3 -8,7 -50,0
hutan 116,0
-200,0
102,5
-2
H (W.m )
105,5
18,4
40,0 74,2 105,5 136,2 167,9 220,0 58,1 89,4 120,7 151,0 194,2
Rn (W.m -2)
Rn (W.m-2)
Gambar 46. Hubungan aliarn sensible (H) dengan ketersediaan energi (Rn) pada hari hujan di Kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005-Mei 2006)
H = 3,3809+0,5596*x
200,0
150,0
108,8 59,0 11,8 -35,8 -82,9 -130,9
97,7 70,7 43,9 15,9 -16,9
H (W.m )
200,0
-2
H (W.m-2)
H2 = 6,1932+0,2053*x 300,0
-200,0
-50,0 -100,0
hutan
-314,5
-150,0
Rn (W.m-2)
220,0
200,0
186,2
171,9
156,5
142,7
129,1
114,8
100,8
87,5
73,8
60,0
40,0
-400,0 20,0
Padang rumput
-200,0 20,0 58,3 85,4 113,5 141,0 172,6 220,0 35,9 72,0 99,5 127,0 154,8 200,0
Rn (W.m-2)
Gambar 47. Hubungan aliarn sensible (H) dengan ketersediaan energi (Rn) pada tidak hari hujan di kawasan Babahaleka TNLL Juni (2005-Mei2006)
92
5.12 Pemindahan Energi dan Massa Aliran vertikal sensible heat (H) di hutan maupun pada padang rumput pada hari hujan menunjukkan pada siang hari bersifat upward (dari sistem vegetasi ke atmosfir) sebaliknya pada malam hari berubah menjadi
down ward (dari sistem
atmosfir ke vegetasi). Dinamika aliran vertikal sensible heat penggunaan lahan
pada kedua bentuk
polanya relatif sama dengan limpahan radiasi neto dari masing
masing penggunaan lahan. Akan tetapi secara kuantitatif limpahan sensible heat pada padang rumput lebih besar dari hutan, disajikan pada Gambar 48. Rn
600
100
25 200
0 -25
0
-50 6
-200
9
12 15 18 21 24
waktu (h)
3
-75 -100
Alira n H d a n R n (W/m 2 )
50
hutan
Poly. (H ; %Rn) 100
Padang rumput
500
75 400
Rn
600
Limpahan H (%Rn)
Limpahan energi,H, Rn (W/m2)
H
Poly. (H : %Rn)
80 60
400
40
300
20
200
0
100
-20
0 -100 6
A liran H (% Rn)
H
-40
9
12 15 18 21 24
Waktu (h)
3
-60
Gambar 48 . Diurnal sensible heat pada hari hujan di Kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005-Mei 2006)
Hubungan empiris antara aliran energi sensible heat dengan radiasi neto pada hari hujan di hutan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 45 dan 47 dan dikaitkan dengan kondisi mikrometeorologi yakni suhu dan tekanan uap pada sistem vegetasi dengan atmosfir (Gambar 49 dan 50) maka dapat dideskripsikan sebagai berikut :
a) Suhu udara di sekitar kanopi hutan pada pagi hari lebih rendah dari suhu udara di atasnya, namun pada pukul 9.00 laju peningkatan suhu udara kanopi lebih tinggi dibandingkan dengan suhu udara di atasnya sehingga suhu udara pada kanopi hutan relatif lebih tinggi sampai pada pukul 14.00. Setelah periode waktu tersebut suhu udara di atas kanopi lebih tinggi dari suhu udara kanopi hutan. Secara keseluruhan rata-rata gradian suhu antara lapisan udara di atas kanopi dengan suhu udara disekitar kanopi (T_69 – T_36) pada siang hari adalah 0,12 o
C sedangkan pada malam hari adalah -0,5.
93
b) Sepanjang waktu tekanan uap dalam kanopi hutan lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan uap udara di atasnya. Adapun gradian tekanan uap (e69-e36) pada siang hari adalah -0,09 kPa dan pada malam hari -0,05 kPa.
c) Suhu udara pada padang rumput lebih tinggi dari suhu udara di atasnya pada siang hari, sedangkan pada malam hari suhu udaranya relatif sama. Gradian suhu (T69-T36) pada
siang hari adalah rata-rata -1,85 oC sedangkan pada
malam hari hanya 0,01 oC.
d) Sepanjang siang hari tekanan uap pada padang rumput lebih tinggi dari tekanan uap udara di atasnya yakni rata-rata -0,5 kPa sedangkan malam hari adalah sama.
T-0,3
30
T-2,0
e-0,3
e-2,0
4
Temperatur (oC)
3
20
2,5
15
2 1,5
10
1 5
Tekanan uap (kPa)
3,5
25
0,5
0
0 6
9
12
15
18
21
24
3
Waktu
Gambar 49 . Diurnal suhu dan tekanan uap pada hari hujan di padang rumput Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006)
T_69
T_36
e_69
e_36
24
2,00
22 21 20
1,75
19 18 17
tekanan uap (kPa)
Temperatur (oC)
23
16 15
1,50 6
9
12
15
18
21
24
3
Waktu (h)
Gambar 50. Diurnal suhu dan tekanan uap pada hari hujan di hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006)
94
Berdasarkan persamaan dasar dari Bowen ratio (persamaan 26a) maka kondisi demikian menyebabkan nilai Bowen ratio pada hutan di siang hari lebih kecil dari padang rumput yang menggambarkan bahwa, aliran vertikal sensible heat
lebih
besar pada padang rumput dibandingkan dengan aliran sensible heat pada hutan. Berbeda halnya dengan aliran latent heat yakni aliran latent heat pada hutan lebih besar dari padang rumput.
Perbedaan lain
aliran latent heat pada kedua
bentuk penggunaan lahan ini adalah pada hutan aliran latent heat adalah bersifat upward baik siang hari maupun malam hari. Sedangkan pada padang rumput aliran energi ini bersifat upward pada siang hari dan berubah menjadi downward pada malam hari. Khusus pada malam hari pelepasan latent heat dari hutan ke atmosfir mencapai 55,55 W/m2 Penomena ini mengidikasikan pada malam hari terjadi proses pemindahan massa uap air melalui transpirasi. Rn
hutan
100 50
200
0
0
6
9 12 15 18 21 24 3
Gambar 51
w aktu (h)
-50 -100
Aliran LE, R n (W /m 2)
Aliran Rn, LE (W/m2)
400
Aliran LE (% Rn)
150
600
-200
LE
Poly. (LE :%Rn)
600 500 400 300 200 100 0 -100 6
Rn
Poly. (LE :%Rn)
100 75 Padang rumput
50 25 0 -25
9 12 15 18 21 24
Waktu
3
A lira n L E (% R n )
LE
-50
Diurnal latent heat pada hari hujan di kawasan Babahaleka TNLL (juni 2005-Mei 2006)
Perbedaan besaran kuantitatif aliran latent heat antara hutan dengan padang rumput dikarenakan
lengas kanopi hutan pada hari hujan lebih tinggi akibat
intersepsi hujan. Kondisi ini menyebabkan proses fisik yang dominan terjadi adalah evaporasi, sedangkan pada hari tidak hujan hanya transpirasi. Untuk mengevaporasikan 1 mm per hari dibutuhkan energi sebanyak 2,45 MJ/m2/hari. Monteith (1975) melaporkan hasil penelitian Marriam (1961) dan Leyton (1967) bahwa kapasitas tajuk pada rumput adalah 0,5 – 0,9 mm. Adapun kapasitas tajuk pada hutan yang diperoleh pada penelitian ini adalah 1,72 mm (Tabel 16), Temuan ini menggambarkan bahwa kandungan air pada tajuk hutan untuk curah hujan > 1,72 adalah lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan air pada tajuk rumput. Ini berarti kebutuhan latent heat untuk mengevaporasikan air pada permukaan tajuk hutan lebih besar dibandingkan dengan di rumput. Intersepsi hujan yang diperoleh pada penelitian ini untuk 102 hari hujan adalah rata-rata 3,69 mm/HH yang berarti
95
dibutuhkan energi latent heat sebanyak 9,0 MJ/m2/hari untuk mengevaporasikan massa air diintersepsi hutan.
Berdasarkan hasil perhitungan evaporasi
selama
hujan berlangsung dan setelah hujan dengan metod revisi Gash (Tabel 19) yakni 385,84 dan 205,10
mm dengan kejadian hujan sebanyak 200 hari, ini berarti
dibutuhkan energi LE sebanyak rata-rata 7,24 MJ/m2/hari hujan. Sesuai aliran latent heat pada hari hujan yaitu rata-rata 9,53 MJ/m2/hari maka potensi pemindahan massa air setara dengan 3,89 mm/hari. Dibandingkan dengan nilai intersepsi hujan rata-rata per hari hujan 3,69 mm maka dapat disimpulkan bahwa pemindahan massa air yang terjadi pada hari hujan 94,86 % bersumber dari evaporasi air hujan yang diintersepsi, disajikan pada Tabel 26. Tabel 26. Aliran energi dan massa Uraian
Satuan
n
Hari 2
Hujan Hutan Rumput 102 10,66 9,50
Rn
MJ/m /hari
LE
MJ/m2/hari
9,53
LE/Rn
%
H
2
Tidak hujan Hutan
Ruput 111
11,28
10,21
3,98
8,41
4,21
89,40
41,89
74,56
41,23
MJ/m /hari
1,06
5,58
2,85
6,00
H/Rn
%
9,94
58,74
25,27
58,77
Aliran massa Ic
mm/hari
3,89
1,62
3,43
1,72
mm/hari
3,9
Fakta empiris ini memberikan penguatan pada temuan peneliti sebelumnya sperti Zinke (1967), Horton (1919) bahwa intersepsi hujan mengurangi transpirasi di satu sisi, di sisi lain meningkatkan evaporasi. Fakta ini menjadi semakin nyata dengan membandingkan aliran latent heat pada hari tidak hujan. Pada hari tidak hujan aliran latent heat rata-rata mencapai 8,41 MJ/m2/hari, setara dengan potensi evapotranspirasi sebanyak 3,43 mm/hari. Pada kondisi ini massa air yang dipidahkan dari sistem hutan ke atmosfir sepenuhnya berasal dari proses transpirasi. Dibandingkan dengan massa air yang dipindahkan pada hari hujan maka nilai ini relatif sama. Akan tetapi bila dibandingkan dengan potensi massa air
yang
dipindahkan dari padang rumput, maka massa air yang dipindahkan dari hutan pada hari tidak hujan jauh lebih besar dibandingkan dengan massa air yang dapat dipindahkan oleh pada rumput baik pada hari hujan maupun tidak hujan. Temuan ini
96
mendukung argumen Choudhury et al. (1998) bahwa hutan tropika
merupakan
sumber utama pada evapotranspirasi secara global. Lebih spesifik aliran latent heat pada sistem hutan
tropika dikenali mempengaruhi pola sirkulasi atmosfir global
(Paegle 1987, diacu dalam Tomo’omi et al. 2005). Rata-rata harian aliran energi dari tanah di hutan ke atmosfir baik pada hari hujan maupun tidak hujan jumlahnya sangat kecil yakni kurang dari 1%
yaitu
masing-masing 0,06 MJ/m2/hari dan 0,02 MJ/m2/hari. Beda halnya pada vegetasi rumput justru yang terjadi adalah penerimaan energi sekalipun porsinya juga kecil yakni kurang dari 1 % baik pada hari hujan maupun tidak hujan. Adapun pola diurnal disajikan pada Gambar 52.
150
500
100
hutan
400
50
300
0
200
-50
100
-100
0 -100
6
9
12 15 18 21 24
3
wakt u (h)
Gambar 52
-150
G
Rn
Poly. (G: %Rn)
600 500
Padang rumput
400 300 200 100 0 -100
6
9
12
15
18
21
24
3
60 40 20 0 -20 -40 -60 -80 -100 -120 -140
Aliran G (%Rn)
Poly. (G= %Rn)
Aliran ener gi Rn, G (W/m2)
Rn
Aliran energi (%Rn)
Aliran Rn, G (W/m2/hari)
G
600
Waktu (h)
Diurnal aliran energi pada hari hujan di tanah di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005-Mei 2006)
Fakta empiris di atas tentang aliran energi pada hutan dan padang rumput untuk dua kondisi cuaca mengambarkan bahwa jumlah massa air yang dipindahkan ke atmosfir pada hutan adalah lebih banyak dibandingkan dengan massa air yang dipindahkan dari padang rumput. Konsekuensi dari kondisi tersebut maka pertukaran energi pada hutan lebih tinggi dibandingkan dengan padang rumput. Menurut Jarvis (1981) bahwa kemampuan suatu vegetasi untuk memanfaatkan energi yang tersedia dalam proses ekofisiologi sehingga terjadi pertukaran dan atau pemindahan massa melalui proses evapotranspirasi dapat dinilai dari ratio antara aliran latent heat (LE) dengan energi yang tersedia (Rn). Hal ini berbeda jika menggunakan proporsi sensible heat (H ) terhadap Rn yang hanya mempertimbangkan aspek energi untuk memanaskan atmosfer dan tidak mempertimbangkan aspek air. Berdasarkan fakta empiris yang didapat pada penelitian ini maka hutan dapat dinilai memiliki kemampuan yang tinggi untuk memanfaatkan energi tersedia untuk pertukaran energi dan pemindahan massa.
97
Aspek strategis dari hasil yang dicapai pada penelitian ini adalah dapat dijadikan justifikasi
tentang perubahan lingkungan fisik akibat alih fungsi hutan
menjadi bentuk penggunaan lain, selain itu
dapat pula memberikan penjelasan
mengapa hutan diposisikan sebagai suatu ekosistem yang sangat penting peranannya terhadap lingkungan biofisik. 5.13. Simpanan Energi pada Bounday Layers Hutan Interaksi antara sistem vegetasi dengan atmosfir dalam bentuk pertukaran energi dan massa menunjukkan secara kumulatif pada hari hujan terjadi kehilangan energi latent heat
(Sa_Top) pada lapisan udara di atas kanopi rata-rata per hari
mencapai 0,1 MJ/m2/hari, sedangan pada hari tidak hujan
terjadi kesetimbangan
antara energi yang tersedia dan yang dilepaskan. Perubahan kandungan energi ini menjadi lebih extrim pada lapisan udara dalam kanopi hutan yakni terjadi kehilangan energi sensible heat
sebanyak 0,84 MJ/m2/hari pada hari hujan dan meningkat
menjadi 1,58 MJ/m2/hari pada hari tidak hujan. Berbeda halnya dengan dinamika latent heat, pada hari hujan baik pada lapisan udara di atas kanopi maupun dalam kanopi terjadi peningkatan. Peningkatan kandungan latent heat pada kedua lapisan udara tersebut secara kuantitatif adalah sangat kecil masing masing 0,07 dan 0,06 MJ/m2/hari. Adapun pada hari tidak hujan, kandungan energi latent heat pada kedua lapisan udara tersebut relatif tidak berubah yakni nilainya mendekati nol. Secara kuantitatif perubahan nilai simpanan energi tersebut adalah sangat kecil. Akan tetapi jika dikaji
dengan interval waktu yang lebih singkat (diurnal) maka
perubahan simpanan energi menjadi lebih nyata. Pola perubahan simpanan energi khususnya sensible heat mengikuti pola radiasi neto. Adapun pola perubahan dari simpanan energi latent heat adalah bersifat kontradiktif dengan pola radiasi netto dan aliran latent heat (Gambar 53).
Pancaran radiasi global
menyebabkan radiasi netto meningkat diikuti dengan
pada pagi hari
peningkatan simpanan
sensible heat sampai pada pukul 11.00 yang mengalami pengurangan sampai defisit pada pukul 14.00 (Gambar
53a dan 53 b). Selama tenggang waktu tersebut
peningkatan simpanan energi sensible heat
pada lapisan udara di atas kanopi
rata-rata perjam mencapai 8,69 W/m2 atau 2,8 % dari radiasi \neto. Sedangkan pada kanopi hutan peningkatan energi ini rata rata hanya mencapai 2,9 W/m2. Pada waktu yang bersamaan suhu udara dan tekanan uap di kanopi hutan lebih tinggi dari lapisanudara di atas sehingga
yang menyebabkan aliran latent heat ke atmosfir
yakni rata-rata 226,35 W/m2 atau 73,26 % Rn. Akibat dari proses fisik tersebut maka
-150
0
150
300
450
600
750
-150
0
150
300
450
600
750
6
c
Rn Sw _T
6
a
Gambar 53.
Rn dan H (w/m2)
Rn Sa_T
12
LE Poly. (Sw _T)
Waktu (jam)
12
15
18
18
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
25
Sw _C Poly. (Sw _C)
Hujan
15
Hujan
25
Sa_C Poly. (Sa_C)
Rn dan H (W/m2)
-150
0
150
300
450
600
750
6
6
d
Rn Sw _T
-150
0
150
300
450
600
750
Rn Sa_T
b
9
9
12
LE Poly. (Sw _T)
Waktu (jam)
12
15
-15
-10
18
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
25
Sw _C Poly. (Sw _C)
18
Tidak Hujan
15
-5
0
5
10
15
20
25
Sa_C Poly. (Sa_C)
Tidak Hujan
Tidak hujan
H Poly. (Sa_T)
Simpanan Sa (W/m2)
Simpanan Sa (W/m2)
Diurnal simpanan energi latent heat (Sw) dan sensible heat (Sa) pada kanopi (C) dan di atas kanopi (T)
9
9
H Poly. (Sa_T)
80
`
99
kanopi mengalami defisit latent heat mencapai 1,66 W/m2 atau 0,54 Rn. (Gambar 52c dan 52d). Diurnal simpanan energi disajikan pada Lampiran 16. 5.14. Analisis Implementasi Intersepsi hujan yang diperloeh pada penelitian in adalah sebanyak 36,34 % maka dapat diartikan bahwa keberadaan hutan dengan kondisi seperti saat pengukuran menyebabkan jumlah hujan yang mencapai permukaan tanah berkurang sebanyak 36,34 % dari curah hujan yang diterima pada kanopi. Di sisi lain karákter fisik vegetasi hutan saat ini yang direpresentasikan dari luas tajuk, ILD dan penutupan permukaan memungkinkan lantai hutan terlindungi dari daya dispersi hujan (erosivitas). Penelitian sebelumnya dari sub goup B2 pada fase I mendapatkan intersepsi hujan pada hutan skunder yaitu 23,5 % dan berubah menjadi 8,8 % pada agroforestri kakao umur 8 -12 tahun.
Kedua hasil penelitian di atas dapat
disimpulkan bahwa keberadaan Taman Nsional Lore Lindu memiliki peranan penting terhadap sistem hidrologi sehingga gangguan terhadap kondisi biofisik yang menyebabkan perubahan sifat dan karákter permukaan akan berpotensi merubah karakter air permukaan baik kuantitas maupun regimen aliran. Secara kuantititatif kondisi ideal yang diharapkan adalah perbedaan antara debit maksimum dan debit minimum, tidak nyata dipengaruhi oleh hujan. Terkait dengan uraian di atas maka dapat didiskripsikan sebagai berikut: a.
Perambahan hutan yang menyebabkan hutan primer menjadi hutan sekunder memungkinkan jumlah air hujan yang tiba dipermukaan tanah mengalami peningkatan. Setiap
terbentuk 1 ha hutan sekunder akibat gangguan pada
hutan primer berpotensi meningkatkan curah hujan yang mencapai permukaan tanah rata-rata per bulan sebanyak 1963,5 m3 atau rata-rata 122,72 m3 per hari hujan. b.
Setiap 1 ha hutan primer yang dikonversi menjadi perkebunan kakao pada dengan jarak tanam 3x3 m maka pada umur 8 – 12 tahun akan meningkatkan curah hujan yang mencapai permukaan tanah rata-rata sebanyak 4.131 m3 per bulan. Memperhatikan laja pertumbuhan tanaman perkebunan terkait dengan penutupan permukaan dan konsumsi air maka dapat dipastikan bahwa pada umur < 8 tahun potensi peningkatan air hujan yang mencapai permukaan lebih besar dari 4.131 m3 per bulan. Sedangkan jika alih fungsi lahan dari hutan skunder menjadi agroforestri kakao maka berpotensi meningkatkan curah hujan
100
yang mencapai di permukaan tanah sebanyak 2205 m3 per bulan atau 137,81 m3 per hari hujan Permasalahan yang ditimbulkan akibat peningkatan curah hujan yang mencapai permukaan tanah akan semakin serius ketika curah hujan meningkat baik jeluk maupun intensitasnya karena berpotensi menimbulkan bencana banjir. Perubahan perilaku air pada sistem permukaan akibat alih fungsi hutan sesungguhnya sudah terjadi
di
Taman Nasional Lore Lindu. Akibat perambahan hutan di kawasan Dongi-dongi sub DAS Sopu DAS Palu yang diikuti dengan alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian menyebabkan banjir banda (debris flow) tahun 2004. Dampak yang ditimbulkan akan semakin kompleks karena sudah berkaitan dengan masalah sosial termasuk kerusakan inpra sruktur jalan dan jembatan serta prasarana dasar lainnya.
Hal
serupa juga terjadi di Sub DAS Palu Timur tepatnya di Kawasan Sibalaya dan Lambara yakni banjir banda (debris flow) yang terjadi pada tahun pada Juni dan Juni tahun 2005 setelah daerah hulu mengalami gangguan baik karena pengambilan hasil hutan maupun pembukaan lahan perkebunan. Tanpa mengesampingkan dampak lain yang ditimbulkan akibat bencana Sibalaya maka salah satu parasarana vital di bidang pertanian yang mengalami kerusakan berat adalah jaringan irigasi Gumbasa. Hasil penelitian group B1 STORMA yang dilakukan pada pase I di perkebunan Kakao di Kawasan Nopu menunjukkan menunjukkan nilai bowen ratio ~ 1. Dibandingkan dengan nilai bowen ratio hutan dan padang rumput yang diperoleh pada penelitian ini adalah masing-masing 0,1- 0,3 pada hutan dan 1,4 pada padang rumput. Informasi tentang nilai bowen ratio di atas menggambarkan bahwa perubahan penggunaan lahan dari hutan ke bentuk lainnya menyebabkan aliran energi untuk pemanasan udara lebih besar dibandingkan dengan pemindahan massa air melalui aliran energi latent heat pada proses evaporasi dan transpirasi. Akibat dari kondisi teresebut dapat menyebabkan cekaman panas pada lapisan perbatas (boundary layer). Kedua dampak dari perubahan lingkungan di atas berpotensi terjadi akibat deforestasi dan degradasi hutan. Kondisi ini selanjutnya menyebabkan degradasi biodivesiti menjadi ancaman yang memerlukan perhatian secara serius. Berdasarkan uraian di atas maka beberapa hal strategis yang dapat dijadikan acuan pada pengelolaan hutan dan secara khsus pada Taman Nasional Lore Lindu, yaitu :
101
a.
Mengendalikan usaha atau kegiatan yang berpotensi menyebabkan alih fungsi hutan ke bentuk lainnya karena akan meningkatkan curah hujan yang mencapai permukaan tanah sehingga berpotensi menimbulkan bencana banjir.
b.
Mengaktifkan usaha konservasi yang potensil
memulihkan penutupan
permukaan oleh vegetasi yang memiliki variasi strata, terutama
di kawasan
Dongi-dongi, Lembah Napu antara lain daerah Wanga dan Wasa dan Talabosa yang merupakan daerah
tangkapan
DAS Puna, Kecamatan Lore Utara.
Adapun di Daerah Kecamatan Lore Tengah dintaranya Kawasan Torire dan Lembah Besoa. Upaya tersebut tidak hanya memperbaiki sistem tata air tetapi juga dapat mengendalikan pemanasan udara sebagai efek dari aliran latent heat.
c.
Pemilihan teknologi pada program GNRHL yang dicanangkan oleh pemerintah maka disarankan agar tanaman yang dipergunakan berorientasi pada pembentukan penutupan permukaan oleh vegetasi pohon yang memiliki variasi strata.
d.
Penataan sistem pertanaman pada pembangunan hutan rakyat
baik jenis
maupun densitasnya dengan menyelaraskan aspek lingkungan biofisik dan kepentingan ekonomi. Selain itu pada perencanaan hendaknya memperhitungkan perubahan penutupan permukaan yang tidak nyata berkurang saat dilakukan pemanenan.
VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Sesuai sifat hujan dan karakter vegetasi di
hutan Babahaleka Taman
Nasional Lore Lindu, maka kapasitas tajuk dan curah hujan yang dibutuhkan untuk penjenuhan tajuk hutan di kawasan Babahaleka Taman Nasional Lore Lindu adalah masing masing 1,17 dan 1,35 mm. Intersepsi hujan oleh hutan di kawasan ini mencapai 36 % dari curah hujan tahunan. Dikaitkan dengan jeluk hujan maka pada jeluk hujan <5 mm diperoleh intersepsi hujan sebanyak 61,2 % dan mengalami pengurangan secara nyata menjadi 27,1 % pada jeluk hujan> 20 mm. Jeluk hujan dan indeks luas daun merupakan dua faktor yang dominan mempengaruhi intersepsi hujan. Hubungan matematika kedua fakter tersebut terhadap intersepsi hujan adalah Ic = 0.99+0.24*P+0.04*ILD, R2 = 0,78. Setelah dilakukan pengujian terhadap hasil pengukuran lapangan dan beserta hasil pedugaan intersepsi hujan dengan model Gash maka persamaan tersebut layak dipergunakan untuk menduga potensi curah hujan yang dapat mencapai lantai hutan di kawasan Taman Nasional Lore LIndu Bentuk penggunan lahan memiliki respon yang berbeda terhadap neraca radiasi dan neraca energi yang ditunjukkan oleh nilai albedo dan bowen ratio. Nilai albedo pada hutan Babahaleka adalah 10,7 % dengan nilai bowen ratio 0,1 – 0,3 sedangkan pada padang rumput bowen rationya mencapai 1,4. Dinamika energi yang tersedia pada hutan dan padang rumput di kawasan Babahaleka Tamanan Nasional Lore Lindu mengikuti dinamika radiasi global yang diterimanya sehingga perubahan nilai albedo berpengaruh nyata terhadap ketersediaan energi. Pada siang hari baik di hutan maupun padang rumput aliran latent heat dan sensible heat adalah bersifat upward yakni dari sistem vegetasi ke atmossfir. Kondisi ini berubah menjadi downward pada malam hari, kecuali latent heat pada hutan. Penomena ini mengidikasikan terjadinya pemindahan massa air pada sistem hutan di malam hari. Neraca energi bowen ratio menunjukkan energi yang tersedia (Rn) pada hutan dominan dipergunakan untuk latent heat yakni 75 – 89 % Rn, sedangkan pada padang rumput aliran energi ini hanya 41 % Rn. Hubungan empiris antara aliran energi sensible heat atau latent heat dengan ketesediaan ini energi menunjukkan pola yang linier. Namun demikian peningkatan ketersediaan energi menyebabkan laju aliran latent heat pada hutan mengalami peningkatan yang lebih banyak dibandingkan dengan aliran energi ini pada padang rumput. Bedahalnya dengan aliran sensible heat, peningakatan ketersediaan energi menyebabkan aliran energi ini
103
mengalami peningkatan yang lebih banyak pada padang rumput dibandingkan dengan di hutan. Penomena ini menggambarkan intersepsi hujan pada sistem hutan menyebabkan aliran latent heat lebih dominan dari sensible heat, hal ini ditunjukan oleh
pemindahan massa air pada hari hujan yang mencapai 3,89 mm/hari
sedangkan intersepsi hujan mencapai 3,69 mm. Akibat dari peroses fisik tersebut maka suhu udara harian pada lapisan perbatas di hutan rata-rata hanya 21,4oC sedangkan pada padang rumput mencapai 23,8 oC. Siklus harian menunjukkan simpanan latent heat dan sensible heat pada lapisan udara di atas kanopi dan dalam kanopi relatif tidak mengalami perubahan baik pada hari hujan maupun tidak hujan. Perubahan simpanan energi menjadi nyata pada siklus diurnal yakni terjadi surplus sensible heat pada kanopi dan lapisan udara di atasnya pada siang hari baik hari hujan maupun tidak hujan. Kondisi ini berubah menjadi defisit pada sore hari sampai pagi hari. Simpanan sensible heat di atas kanopi hutan pada siang hari lebih tinggi dibandingkan dalam kanopi, akan tetapi pada malam hari desifit energi tersebut dalam kanopi lebih kecil dibandingkan dengan di lapisan udara di atas kanopi. Intersepsi hujan
pada hutan menunjukkan pengaruh penting tidak hanya
pada perilaku air yang mencapai lantai hutan sebagai bagian dari daur hidrologi tetapi juga aliran energi yang merupakan bagian penting pada sistem meteorlogi. Kondisi ini juga sekaligus memberikan jawaban mengapa hutan dinilai banyak pihak berperan penting terhadap kondisi lingkungan biofisik.
6.2. S a r a n Persamaan pendugaan intersepsi hujan yang didapat pada penelitian ini disarankan untuk dilakukan pengujian pada tempat lain
sehinga dapat diperoleh
hasil yang lebih baik. Untuk mengenali lebih detail keterkaitan pemindahan energi dan massa pada intersepsi hujan
disarankan untuk melalukukan penelitian
selanjutnya terutama pada agroforestri selain itu pengamatan dilengkapi dengan komponen lengas daun. Aspek strategis yang dapat diadopsi dari hasil penelitian ini untuk mempertahankan fungsi ekologi dan ekonomi Taman Nasional Lore Lindu adalah (i) mengendalikan usaha atau kegiatan yang menyebabkan terjadinya alih guna hutan ke bentuk lain terutama menjadi areal terbuka karena selain akan menimbulkan pemanasan udara juga menyebabkan
bagian curah hujan yang mencapai
permukaan tanah akan lebih banyak sehingga berpotensi menimbulkn banjir dan (ii) mengaktifkan usaha konservasi yang potensil memulihkan penutupan permukaan
104
oleh vegetasi yang memiliki variasi strata, terutama antara
di kawasan Lembah Napu
lain daerah Wanga dan Wasa dan Talabosa yang merupakan daerah
tangkapan DAS Puna, Kecamatan Lore Utara. Adapun di wilayah Kecamatan Lore Tengah dintaranya Kawasan Torire dan Lembah Besoa. Upaya tersebut tidak hanya memperbaiki sistem tata air
tetapi juga dapat mengendalikan pemanasan udara
sebagai efek dari aliran latent heat. Khusus pada program GNRHL (gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan) maka disarankan agar memilih tanaman yang bervariasi tajuknya
sehingga
terbentuk penutupan permukaan dari berabagai lapisan tajuk. Selain itu pada pembangunan hutan rakyat disarankan untuk menata sistem pertanaman agar tidak terjadi pengurangan penutupan permukaan tanah secara nyata saat pemanenan kayu.
VII
DAFTAR PUSTAKA
Andreassen V. 2004. Water and forest: from historical controversy. J. Hydrol,291 (2004) 1-27 Anwar, 2004. Pendugaan intersepsi pada beberapa penggunaan lahan hutan di Taman Nasional Lore Lindu-Sulteng. Tesis MSi PS Agroklimatologi, Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Asdak C, Jarvis PG, Van-Gardingen P, and A.Fraser 1998. Rainfall interception loss in unlogged and logged forest areas of central Kalimantan,Indonesia. J.Hydrol, 206: 237–244. Badan
Planologi Kehutanan. Statistik Kehutanan Indonesia http://www.dephut.go.id/INFORMASI/STATISTIK/2001/BAP_01.htm dikunjungi pada 5 April 2005.
2001.
Berbet M.C.L and M.H. Costa 2003. Climate change after tropical deforestation: Seasonal variability of surface albedo and its effect on precipitation change. American Meteorological Society : 2099 - 2104 Bruijnzeel LA and WRS Critchley 1994. Environmental impacts of logging moist tropical forest. IHP Humid Tropics program series No.7. Burgy RH. and CR. Pomeroy 1958. Trans. Am.Geophys.Un. 39:1095-1100 Calder, I. R., 1977. The model of transpiration and interception loss from a spruce forest in Plynlimon, central Wales. J.Hydrol, 33: 247–265. __________, 1992. Hydrological effects of land-use change. Handbook of Hydrology, D. R. Maidment, Ed., McGraw-Hill, 131–1350. Chappell NA, Bidin K, and W. Tych 2001. Modelling rainfall and canopy controls on net-precipitation beneath selectively-logged tropical forest. Plant Ecol. 153: 215–229. Choundhury B, Girolamo NE, Susskind J, Darnell WL, Gupta SK. and G Asrar, 1998. A biophysical process-based estimate of global land surface evaporation using satellite and ancillary data ll Regional and global patterns seasonal and annual variation. J. Hydrol. 205: 186-204. Crockford RH. and DP. Ricardson, 1990. Partitionin of rainfall in a Eucalypt forest and Pine plantation in Southeastern Ausrtalia.IV. The relationship interception and canopy storage capacity, The interception of the forest and the effect on interception of thinning the Pine plantation Hydrol. Process. 4: 169-188. Delfs J. 1955. Die Niedderschlagszuruckhaltung im Walde. Mitt.des Arbeitskr.’Wald und Wasser.’Koblenz.
106
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. The Nature Concervancy & USAID, 2001. Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. Buku Panduan. Falk U. Ibrom A, Oltchev A, Kreilien H, June T, Rauf A, Merklein J, and G.Gravenhorst 2005. Energy and water fluxes above a Cacao agroforestry system in Central Sulawesi Indonesia, indicate effect of land use change on local climate. Meteorologische Zcitscrift 11: 345-360 FAO, 1993. Forest resources Assessment 1990-Tropical Countries. FAO Forestry Paper 112 Rome ____,1998. Crop evapotranspiration Guidelines for computing crop water requirements. FAO irrigation and Drainage paper 56. Rome. ____, 2003. State of the World’s Forest Farahani HJ, Bausch WC, 1995. Performance of evapotranspiration models for maize - bare soil to closed canopy. Trans. ASAE. 38: 1049–1059. Fleischbein K, Wilcke W, Goller R, Boy J, Valarezo C, Zech3 W, and K Knoblich, 2005. Rainfall interception in a lower montane forest in Ecuador: effects of canopy properties. Hydrol. Process. 19, 1355–1371 Friedrich K, Molders N, and G. Tetzlaff 2000. On the influence of surface heterogeneity on the Bowen-Ratio: A. Theoretical Case Study. Theor. Appl. Climatol. 65: 181-196 Fritschen LJ, 1966. Evapotranspiration rates of field crops determined by the Bowen ratio method. Agron. J. 58: 339–342. Gay LW, 2000. Thermal storage rates in the surface energy balance. http://www.arizona.edu. Visited 2 January 2005. Giambelluca TW, Holscher, Bsatos TX, and RR Frazao 1997. Observations of albedo and radiation balance over postforest land surfaces in the Eastern Amazon Basin. American Meteorological Society : 919-928 Grant DA, and FC. Meinzer 1991. Regulation of transpiration in field-grown sugarcane: evaluation of the stomatal response to humidity with the Bowen ratio technique. Agric. For. Meteorol. 53, 169–183. Herwitz SR, 1985. Interception storage capacities of tropical rainforest canopy trees. J. Hydrol. 77: 237–252. Ho¨lscher D, Ko¨hler L, van Dijk, A.I.J.M., Bruijnzeel, L.A., 2004. The importance of epiphytes to total rainfall interception by a tropical montane rainforest in Costa Rica. J. Hydrol. 292: 308–322. Herwasono S. 2004. Panduan Cagar Biosfer Indonesia. Panitia Nasional MAB Indonesia, LIPI Jakarta.
107
Horton RE. 1919. Rainfall interception. Mon. Wea. Rev., 47: 603–623. Jarvis, PG. 1981. Stomatal conductance, gaseous exchange and transpiration. In J. Grace (ed) Plants and their atmospheric environment. Blackwell Scientific Publications. London. 21st Symposium of the British Ecological Society. p:175-200. Jiquan Cheng et al. Biophysical regulation of Energy Budget in Disturbed Ecosystems of a Northern Wisconsin Landscape. Paper Withdrawn. http://www.ams.confex.com/ams/AFAPURBBIO visited 4 January 2005 Johannes D, Holscher D, Christoph C, and Hendrayanto 2006. Rainfall partitioning in relation to forest structure in differently managed montane forest stands in Central Sulawesi, Indonesia Forest Ecology and Management 237: 170–178 Kaimuddin 1994. Kajian model pendugaan intersepsi hujan pada tegakan Pinus merkusii, Agathis loranthifolia dan Schima wallichii di hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan. Tesis. Kalthoff N, Fiedler F, Kohler M, Kolle O, Mayer H, and A. Wenzel 1999. Analysis of energy balance components as s function of orography and land use and comparison of results with the distribution of variables influencing local climate. Theor. Appl. Climatol. 62, 65-84. Kartawinata K. 1985. The Tropical rainforest: Phytogeography, ecology, and altitudinal Zonation. In Remote Sensing in Vegetation Studies. Report of Training course on remote sensing techniques applied to vegetation studies. BIOTROP, Bogor, Indonesia. 4 November-13 December 1985. Law BE, Cescatti A, and DD.Baldocchi 2000. Leaf area distribution and radiative transfer in open canopy forest : implication far mass and energy exchange. http://www.heronpublishing.com/tree/summaries/volume21 Visited 2 January 2005. Lee R. 1980. Forest Hydrology. Columbia University Presss. New York/Guildford, Surrey. Leyton L, Reynolds ERC and FB Thompsom 1967. in ‘Forest Hydrology’ (W.A.Sopper and M.W.Lull. eds.)pp 163-178. Pergamon Press.Oxford Malek E, Bingham GE, and GD. McCurdy 1992. Continuous measurement of aerodynamic and alfalfa canopy resistances using the Bowen ratio-energy balance and Penman–Monteith methods. Boundary-Layer Meteorol. 59:187– 194. Massman, WJ, 1983. The derivation and validation of a new model for the interception rainfall by forest. Agric.For.Meteorol 28:261-286 McCaughey JH and WL Saxton 1988. Energy Balance storage term in a mixed forest. Absrtact. Agri. For. Meteorol 44:1-18.
108
Michael and G.Ryan 1991. Effect of Climatte Change on Plant Respiration. Ecological Application 2:157-167. Mogea, JP. 2002. Preliminary study on the Palm Flore of the Lore Lindu National Park, Central Sulawesi, Indonesia. Biotropia 18:1-20. Molchanov AA, 1960. The Hydrological Role of Forest (Translated A. Gourevitch 1963). Israel Program Sci. Monteith JL. 1975. Vegetation and Atmosphere. Academic Press, London. p: 278 ___________ and Usworth MH. 1990. Principles of Environmetal Physics. 2nd edt. Edward Arnold London, New York p:291 Murdiyarso D, and O. Satjapraja, 1991. Dampak penebangan hutan tropis terhadap variasi iklim. Di dalam Perubahan Iklim Bumi editor, de Rozari dkk., Proceedings Seminar Nasional; Jakarta 18 Oktober 1990. Nielsen LB, Prahm LP, Berkowicz R, and K Conradsen 1981. Net incoming radiation estimate from hourly global radiation and/or cloud observations. J. Climatol. 1: 255-272. Oke, T.R., 1987. Boundary Layer Climates, Routledge, London, p.435. Ohmura A, 1982. Objective criteria for rejecting data for Bowen ratio calculation. J. Appl. Meteorol. 21:595-598.
flux
Oliphant A.J, Grimmond C.S.B., Zutter H.N., Schmid H.P., Su H.-B , Scott S.L.,. Offerle B,. Randolph J.C , and J. Ehman, 2004. Heat storage and energy balance fluxes for a temperate deciduous forest. Agric.For.Meteorol 126 : 185–201 Perez, PJ, Castellvi F, Ibanez M, Rosell JI. 1999. Assessment of reliability of Bowen ratio method for partitioning fluxes. Agric. For. Meteorol. 97:141-150. Pielke, R.A., Sr. 2001: Influence of the spatial distribution of vegetation and soils on the prediction of cumulus convective rainfall. Rev. Geophys. 39:151-177 Polonio D, and Soler MR. 2000. Surface fluxes estimation over agricultural areas. Comparison of methods and the effects of land surface inhomogenety. Theor. Appl. Climatol. 67:65-79. Price AG and Carlyle-Moses 2003. Measurement and modeling of growing season canopy water fluxes in a mature mixed decidouos forest stand, southern Ontario, Canada. Agric. For. Meteorol. 119: 69 – 85 Ramirez JA and SUS Senarath. 1999. A Statistical Dynamical Parameterization of Interception and Land Surface-Atmosphere Interaction. American. Meteorological. Society. 13:4050 – 4063 Rosenberg N.J. 1983. Microclimate: The Biological Environment. Jon Wiley,ons, New York. p:495
109
Ruslan, M. 1983. Intersepsi Curah Hujan pada Tegakan Tusam (Pinus merkusii), Sungkai (Pinus canescens) dan Hutan Alam di DAS Riam Kanan, Kalsel. Tesis. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Samson R. and R.Lemeur 2000. Energy balance storage terms and big leaf evapotranspiration in a mixed deciduous forest. Ann. For Sci 58:529-541 Scmid HP, Grimmond CSB, Cropley F, Su HB, Vogel CS,and PS Curtis 2000. Variability of Energy vapor and CO2 Exchange over two midwestern Deciduous forest. Preprint 24 th Conference on Agric.l For. Meteorol 14-19 Augus 2000, Davis California, Ame. Meteorol Soc., Bostom MA. Sellers PJ, Dickinson RE, Randall DA, Betts AK, Hall FG, Berry JA, Collatz GJ, Denning AS, Mooney HA, Nobre CA, Sato N , Field CB, and HendersonSellers A. 1997. Modeling the exchanges of energy, water, and carbon between continents and the atmosphere (article). Science 275:502-509 Snyder RL and KT Paw, 2001. Sensible heat flux. http://biomet.ucdavis.edu visited 14 December 2004. Solo D, 1980, Studi intersepsi curah hujan pada tegakan tusam(P.merkusii) dan puspa (S.wallichii) di Hutan Tridharma IPB Gunung Walat Sukabumi. Fakuktas Ilmu-Ilmu Pertanian UNHAS afiliasi Fak. Kehutanan IPB. Solomon AM, Prentice IC, Leemans R, and W. Cramer 1993. The interaction of climate and land use in future terrestrial carbon storage and release. Water, Air, Soil Pollution 70: 595-614. Steinhardt U, 1979. Untersuchungen u¨ber den Wasser- und Na¨hrstoffhaushalt eines andinen Wolkenwaldes in Venezuela. Go¨ttinger Bodenkundliche Berichte 56, Go¨ttingen, 185 pp. Stoltenberg NL, and TV Wilson 1950. Trans. Am. Geophys.Un. 31:443-448 Todd RW, Klocke NL, and TJ Arkebauer 1996. Latent heat fluxes from a developing canopy partitioned by energy balance-combination models. In: Camp, C.R., Sadler, E.J., Yoder, R.E. (Eds.), Evapotranspiration and Irrigation Scheduling, Proceedings of the International Conference, San Antonio, TX, 3–6 November 1996. Am. Soc. Agric. Eng., St. Joseph, MI, 606–612. ________, Evett SR, and TA Howell 2000. The Bowen ratio-energy balance method for estimating latent heat flux of irrigated alfalfa evaluated in a semi-arid, advective environment. Agric.For..Meteorol. 103:335–348 Tomo’omi K, Saitoh TM, Sato Y, Takahashi H, Manfroi OJ, Morooko T, Kuraji K,Suzuki M, Yasunari T and H Komatsu 2004. Annual water balance and seasonality of evapotranspiration in a Bornean tropical rain forest (editorial). Agri. For Meteorol. DTD 5, 1-11 Trexler MC, Kosloff, LH, and R Gibbon 2000. Forestry after the Kyoto Protocol: A review of key questions and issues. In Luis Gomez- Echeverri (ed) ‘Climate Change and Development’, UNDP : p131- 152.
110
Twine TE, Choe MT, Donner SD, Kucharick CJ, and JA Foley. Effects of land cover on the energy and water balance of the Mississipi River basin. Jour of Hydrometeorology.(abstract) http://www.sage.wisc.edu visited 14 December 2004 Tobon Marin C, Bouten W, and J Sevink 2000. Gross rain fall and its partitioning intothroughfall, stemflow and evaporation of intercepted water in four forest ecosystem sinwestern Amazonia.J.Hydrol.237:40–57. Ubarana VN,1996. Observations and modeling of rainfall interception at two Experimental sitesin Amazonia.In:Gash JHC, Nobre CA, Roberts JM, and RL Victoria (Eds.), Amazonian Deforestation and Climate .John Wiley, Chichester,pp.151–162. UNEP-WCMC, 2004. Background to Forest Mapping & Data Harmonization. http://www.unep-wcmc.org/forest/fp_background.htm visited 2 April 2005 Van Dijk AIJM, and LA Brijnzeel 2001. Modeling rainfall interception by vegetation of variable dencity using an adapted analytical model 1. Model Description. J.Hydrol 247: 230-238. Voigt GK. 1960. Distrbution of Rainfall Under Forest Stands. Forest Science. 6: 2 – 10. Wallace J. and D. McJannet, 2006. On interception modelling of a lowland coastal rainforest in northern Queensland, Australia. doi:10.1016/j. jhydrol.2006.03.003 Ward RC. and M Robinson Company. 365p.
1990.
Principles of Hydrology. Mc Graw-Hill Book
Wells LP, and GJ Blake 1972. Interception characteristics of some central North Island vegetation and their geographical significance. Proc. Seventh New Zealand Geogr. Conf., Hamilton, New Zealand, 217–224. Whitehead D and FM Kelliher 1991. A Canopy water balance model for a Pinus radiate stand before and after thining. Agric For.Meteorol. 55:109-126 Wight JR, Hanson CL, and JL Wright 1993. Comparing Bowen ratio-energy balance systems for measuring ET. In: Allen, R.G., Van Bavel, C.M.U. (Eds.), Management of Irrigation and Drainage Systems, Integrated Perspectives. Am. Soc. Civ. Eng., New York, pp. 953–960. Woodward FI, and JE Sheehy 1983. Principle and Measurement in Environmental Biology. Butterorths. Toronto. 263p. Xiao Qinfu, McPerson EG, Ustin SL, and E Grismer 2000. A new approach to modeling tree rainfall interception. J.Geophysical Reseacrh 105: 29173 29188. Zeng N, Shuttleworth JW and JHC Gash 2000. Influence of temporal variability of rainfall on interception loss. Part I. Point analysis. J.Hydol. 228: 228-241
111
Zinke PJ. 1967. Forest interception studies in the United States.International Symposium on Forest Hydrology, W. E. Sopper and H. W. Hull, Eds., Pergamon Press, 823 pp. http://www.plantphys.net. Heat Dissipation leaves : The Bowen Ratio. Visited 10 December 2004 http://www.uwsp.edu/geo December 2004
Energy Balance. The Physical Environment. Visited 10
LAMPIRAN-LAMPIRAN
113
Tabe Lampiran 1. Karakteristik Pohon Sample Intersepsi Di Kawasan Hutan Babahaleka Tanaman Nasional Lore Lindu Diameter Sample
Tinggi (m)
Batang (cm)
Cabang
Pohon
Luas Tajuk
ILD
(m 2)
Penutupan (%)
1
31,8
11,7
26,7
36,2
5,6
90,6
2
38,2
12,4
24.8
76,1
5,6
91,5
3
34,1
12,7
24,1
37,4
5,6
90,9
4
21,0
12,1
19,1
17.6
5,2
88,3
5
27,1
11,6
22,5
28,6
6,1
89,3
6
49,3
22,7
44,8
99,8
5,7
92,5
7
44,6
14,4
25,8
90,7
5,5
91,6
8
36,3
14
28,2
91,9
6,4
91,8
9
43,6
25,9
41
84,7
5,5
91,6
10
28,0
16,2
27,9
12,1
4,8
68,5
11
36,6
22
29,4
31,9
5,4
89,5
12
38,2
17,7
30
61,1
5,5
91,1
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 1. 2. 3. 4. 5.
Jam
16,66 17,23 18,39 19,79 21,58 23,29 23,83 24,09 23,89 22,86 21,80 20,56 19,29 18,68 18,36 18,15 17,90 17,72 17,51 17,38 17,22 17,07 16,93 16,79
Hujan
Tdk Hujan 16,20 16,91 18,25 19,95 21,65 23,13 23,79 24,61 24,79 24,38 23,51 21,98 20,40 19,44 18,87 18,48 18,10 17,74 17,39 17,12 16,91 16,79 16,59 16,43
T_24
T_36 Tdk Hujan Hujan 16,20 15,99 16,88 16,90 18,01 18,01 19,38 19,51 20,93 20,87 22,32 22,09 22,88 22,67 22,77 23,14 22,38 23,18 21,52 22,64 20,59 21,88 19,68 20,95 18,56 19,71 18,09 19,02 17,81 18,49 17,62 18,11 17,40 17,77 17,23 17,47 17,01 17,15 16,90 16,94 16,70 16,73 16,54 16,55 16,38 16,37 16,25 16,19 16,60 16,92 17,68 18,91 20,33 21,83 22,48 22,49 22,32 21,69 20,89 19,96 18,98 18,68 18,44 18,21 18,06 17,84 17,64 17,42 17,17 16,96 16,76 16,58
Hujan
Tdk Hujan 16,44 16,85 17,57 18,89 20,29 21,53 22,25 22,62 22,72 22,39 21,63 20,79 19,86 19,25 18,94 18,63 18,37 18,10 17,92 17,60 17,34 17,14 16,90 16,71
T_69
RH_24 RH_36 Tdk Tdk Hujan Hujan Hujan Hujan 96,96 94,91 96,32 92,95 96,39 94,21 95,08 90,71 93,78 90,28 91,48 87,35 88,46 83,34 85,20 80,50 80,91 73,89 78,01 72,35 71,10 65,70 69,67 65,07 67,73 62,50 66,75 62,20 66,83 60,07 67,24 61,05 69,73 60,05 70,81 61,68 75,77 63,04 76,15 64,93 81,57 68,03 81,62 70,05 86,88 75,05 85,62 75,17 92,30 82,33 91,12 81,04 94,15 86,03 92,80 84,18 95,29 88,47 94,10 86,50 95,64 89,21 94,39 87,19 96,23 90,54 94,89 88,52 96,36 91,80 95,24 89,56 96,89 92,55 95,93 90,39 96,92 93,16 95,87 90,68 96,98 93,50 96,20 91,25 97,15 93,33 96,48 91,50 97,18 93,83 96,63 91,94 97,36 94,27 96,71 92,52
RH_69 Tdk Hujan Hujan 92,91 89,47 92,21 88,90 89,43 87,18 84,62 81,16 77,17 72,81 68,28 65,03 64,47 61,31 65,23 60,31 67,23 61,34 71,37 64,03 76,93 69,14 81,05 73,90 85,55 78,27 86,34 80,80 87,49 82,13 88,10 82,78 88,45 83,61 89,26 84,45 89,83 85,04 90,80 85,51 91,34 86,41 92,11 87,11 92,73 88,14 93,42 88,93
Lampiran 2. Suhu Udara (C ) dan Kelembaban Relatif Udara (%) pada Berbagai Ketinggian Pengukuran di atas Permukaan Tanah di Hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006)
114
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 1 2 3 4 5
Jam
ea_24 Tidak Hujan Hujan 1,83 1,75 1,89 1,82 1,98 1,89 2,03 1,92 2,06 1,89 2,00 1,83 1,96 1,81 1,96 1,81 2,01 1,84 2,07 1,87 2,08 1,93 2,07 1,96 2,05 1,96 2,02 1,94 2,00 1,92 1,98 1,89 1,97 1,88 1,95 1,86 1,93 1,84 1,92 1,82 1,90 1,80 1,88 1,79 1,87 1,77 1,86 1,76
ea_36 Tidak Hujan Hujan 1,78 1,69 1,83 1,74 1,89 1,80 1,92 1,82 1,94 1,78 1,89 1,73 1,85 1,70 1,85 1,72 1,90 1,75 1,95 1,78 1,98 1,84 1,97 1,87 1,95 1,86 1,92 1,85 1,92 1,84 1,90 1,82 1,89 1,81 1,87 1,79 1,86 1,77 1,85 1,76 1,83 1,74 1,82 1,73 1,80 1,72 1,79 1,71
ea_69 Tidak Hujan Hujan 1,76 1,67 1,78 1,71 1,81 1,75 1,84 1,76 1,83 1,73 1,78 1,66 1,74 1,64 1,76 1,64 1,79 1,68 1,83 1,72 1,89 1,78 1,88 1,81 1,87 1,81 1,85 1,80 1,85 1,80 1,84 1,78 1,83 1,77 1,82 1,76 1,81 1,75 1,81 1,72 1,79 1,71 1,78 1,70 1,77 1,70 1,76 1,69
es_24 es_36 Tidak Tidak Hujan Hujan Hujan Hujan 1,89 1,84 1,85 1,89 1,96 1,93 1,93 1,96 2,11 2,09 2,07 2,11 2,29 2,31 2,26 2,29 2,54 2,56 2,48 2,54 2,81 2,78 2,71 2,81 2,90 2,89 2,78 2,90 2,93 3,02 2,76 2,93 2,89 3,07 2,69 2,89 2,73 2,97 2,56 2,73 2,55 2,84 2,42 2,55 2,39 2,61 2,30 2,39 2,22 2,38 2,14 2,22 2,14 2,25 2,07 2,14 2,10 2,18 2,04 2,10 2,07 2,12 2,01 2,07 2,04 2,07 1,99 2,04 2,02 2,03 1,97 2,02 1,99 1,98 1,94 1,99 1,98 1,95 1,93 1,98 1,96 1,93 1,90 1,96 1,94 1,91 1,88 1,94 1,92 1,89 1,87 1,92 1,91 1,87 1,85 1,91
es_69 Tidak Hujan Hujan 1,89 1,87 1,93 1,92 2,03 2,01 2,18 2,17 2,38 2,37 2,60 2,56 2,70 2,67 2,70 2,72 2,66 2,74 2,57 2,69 2,45 2,57 2,32 2,45 2,19 2,32 2,15 2,23 2,12 2,19 2,09 2,15 2,07 2,12 2,04 2,08 2,02 2,06 1,99 2,01 1,96 1,98 1,93 1,96 1,91 1,93 1,89 1,90
Lampiran 3. Tekanan uap aktual (kpa) dan Tekanan Uap jenuh (kpa) pada Berbagai Ketinggian Pengukuran di atas Permukaan Tanah di Hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006)
115
116
Lampiran 4. Neraca Radiasi (W/m2) pada Hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) Rn Jam
Hujan
Radiasi Global Tidak Hujan -24,15
Refleksi Hujan
7,94
Tidak Hujan 8,79
Hujan
Rl net Hujan
1,43
Tidak Hujan 1,49
-21,86
Tidak Hujan -31,45
6.
-15,36
7.
42,66
44,60 101,19
111,28
12,56
14,19
-45,97
-52,49
8.
151,10
172,01 270,95
296,16
28,09
30,21
-91,76
-93,93
9.
321,84
353,53 479,87
527,13
47,63
51,32
-110,40
-122,28
10. 504,63
503,74 680,13
672,80
66,02
66,12
-109,48
-102,95
11. 566,50
563,90 738,83
744,52
74,72
75,50
-97,62
-105,12
12. 374,30
370,91 540,94
542,29
72,15
76,15
-94,48
-95,22
13. 468,05
558,29 642,48
752,34
65,65
74,23
-108,77
-119,82
14. 367,00
450,02 545,47
628,27
55,76
62,98
-122,71
-115,27
15. 249,92
334,58 391,33
472,36
39,58
48,63
-101,83
-89,15
16. 114,91
167,56 217,18
279,92
23,69
31,25
-78,58
-81,12
17.
18,54
41,03
78,83
115,62
10,05
14,42
-50,24
-60,16
18.
-25,43
-33,32
4,65
7,04
1,35
1,40
-28,73
-38,96
19.
-23,83
-39,50
-0,18
-1,13
0,74
0,52
-22,91
-37,84
20.
-21,75
-38,07
-0,20
-1,08
0,71
0,48
-20,85
-36,51
21.
-22,45
-36,32
-0,10
-0,99
0,70
0,47
-21,65
-34,85
22.
-21,97
-33,95
-0,18
-1,04
0,71
0,47
-21,07
-32,43
23.
-21,89
-35,63
-0,23
-1,17
0,67
0,45
-20,99
-34,01
24.
-23,26
-37,17
-0,35
-1,28
0,68
0,46
-22,23
-35,43
1
-20,59
-35,22
-0,26
-1,16
0,64
0,45
-19,70
-33,62
2
-19,57
-34,05
-0,22
-1,11
0,64
0,43
-18,71
-32,51
3
-19,67
-35,51
-0,23
-1,10
0,62
0,47
-18,83
-33,94
4
-19,91
-33,37
-0,17
-1,04
0,62
0,47
-19,12
-31,87
5
-18,72
-30,93
-0,20
-0,94
0,64
0,46
-17,89
-29,52
117
Lampiran 5. Suhu Udara (0C) dan Kelembaban Relatif Udara (%) pada Padang Rumput di Kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) T_1 Jam
T_2
RH_1
6.
16,47
Tidak Hujan 15,38
7.
17,92
17,63
17,33
16,96
90,69
90,80
96,72
94,92
8.
20,25
20,52
18,83
18,90
83,42
80,63
90,94
86,96
9.
23,15
23,57
20,63
20,64
72,76
69,11
81,93
77,74
10
25,69
26,18
22,43
22,70
63,40
59,09
72,87
67,06
11
27,36
27,41
24,04
23,79
56,70
53,39
64,18
59,33
12
27,27
27,77
24,52
24,61
56,68
52,07
62,33
57,00
13
27,34
28,29
24,66
25,14
55,30
50,56
62,16
55,05
14
26,30
27,75
23,85
24,98
61,23
52,46
66,57
56,19
15
24,73
26,84
23,09
24,60
67,19
55,59
71,21
59,00
16
22,92
25,03
21,86
23,47
73,90
62,14
77,46
64,65
17
21,18
22,89
20,66
22,13
78,89
69,44
83,04
70,96
18
19,43
20,44
19,36
20,45
84,42
77,05
89,03
78,65
19
18,59
18,79
18,63
19,15
87,69
82,33
92,30
84,88
20
18,23
17,90
18,25
18,28
89,01
85,23
93,89
88,96
21
17,92
17,43
17,95
17,80
90,56
86,80
94,96
90,69
22
17,73
17,02
17,76
17,39
90,55
87,95
95,40
92,28
23
17,48
16,64
17,50
17,00
90,71
88,81
96,13
93,45
24
17,21
16,23
17,25
16,63
91,32
89,47
96,61
94,41
1
17,05
15,99
17,09
16,38
91,43
89,92
96,90
95,06
2
17,00
15,65
17,02
16,11
91,45
90,36
96,97
95,48
3
16,91
15,52
16,91
15,95
91,14
90,46
97,10
95,56
4
16,78
15,37
16,77
15,73
91,28
90,79
97,14
96,03
5
16,65
15,23
16,64
15,63
92,68
90,95
97,24
96,18
Hujan
Hujan
16,48
Tidak Hujan 15,63
RH_2
Hujan
Hujan
88,13
Tidak Hujan 91,47
97,31
Tidak Hujan 96,44
118
Lampiran 6. Tekanan Uap Aktul (kpa) dan Tekanan Uap Jenuh (kpa) pada Padang Rumput Di Kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ea_1 Jam
ea_2
es_1
6.
1,73
Tidak Hujan 1,61
7.
1,90
1,83
1,92
1,84
2,06
2,02
1,98
1,94
8.
2,01
1,93
1,98
1,89
2,38
2,43
2,18
2,19
9.
2,08
1,99
1,99
1,88
2,86
2,93
2,44
2,44
10
2,11
1,98
1,97
1,84
3,33
3,43
2,72
2,77
11
2,08
1,93
1,91
1,75
3,66
3,68
3,00
2,97
12
2,06
1,92
1,90
1,75
3,65
3,76
3,09
3,11
13
2,08
1,92
1,91
1,74
3,68
3,87
3,12
3,21
14
2,08
1,93
1,93
1,76
3,48
3,76
3,00
3,18
15
2,08
1,94
1,98
1,81
3,16
3,56
2,85
3,11
16
2,06
1,96
2,01
1,86
2,83
3,19
2,64
2,90
17
2,01
1,93
2,01
1,88
2,53
2,80
2,45
2,67
18
1,93
1,85
2,00
1,89
2,26
2,41
2,25
2,41
19
1,89
1,79
1,98
1,88
2,15
2,17
2,15
2,22
20
1,87
1,75
1,97
1,87
2,10
2,06
2,10
2,11
21
1,85
1,73
1,96
1,85
2,06
2,00
2,06
2,04
22
1,84
1,71
1,94
1,84
2,03
1,95
2,04
1,99
23
1,82
1,69
1,93
1,81
2,00
1,90
2,00
1,94
24
1,79
1,66
1,90
1,79
1,97
1,85
1,97
1,90
1
1,78
1,64
1,89
1,78
1,95
1,82
1,95
1,87
2
1,78
1,61
1,88
1,75
1,94
1,79
1,94
1,84
3
1,77
1,60
1,87
1,74
1,93
1,77
1,93
1,82
4
1,76
1,59
1,86
1,72
1,92
1,75
1,91
1,79
5
1,75
1,58
1,85
1,72
1,90
1,74
1,90
1,78
Hujan
Hujan
1,83
Tidak Hujan 1,72
es_2
Hujan
Hujan
1,88
Tidak Hujan 1,76
1,88
Tidak Hujan 1,78
119
Lampiran 7. Radiasi Neto dan Radiasi Global pada Padang Rumput Di Kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) Jam
Rn Hujan
Radiasi Global
Tidak Hujan
Hujan
Tidak Hujan
6.
-12,61
-18,76
10,19
13,25
7.
44,39
50,46
108,51
129,21
8.
124,06
144,19
288,47
306,33
9.
295,43
311,89
504,20
514,97
10
439,05
449,26
684,33
685,47
11
478,50
494,37
766,17
773,03
12
436,49
524,61
687,53
794,17
13
391,62
469,25
679,62
724,32
14
331,97
386,89
552,82
597,63
15
239,39
310,48
397,87
490,99
16
102,10
149,03
213,80
280,83
17
7,66
27,69
74,09
109,37
18
-29,79
-38,10
1,96
4,46
19
-26,22
-39,62
-1,73
-2,63
20
-24,50
-38,32
-1,61
-2,48
21
-22,86
-36,49
-1,54
-2,28
22
-23,18
-33,91
-1,52
-2,14
23
-23,04
-36,31
-1,48
-2,17
24
-24,35
-35,18
-1,53
-2,13
1
-20,80
-34,54
-1,41
-2,05
2
-20,14
-33,47
-1,38
-1,98
3
-20,66
-33,67
-1,38
-1,97
4
-19,74
-31,04
-1,32
-1,88
5
-19,67
-29,63
-1,32
-1,77
120
Tabel Lampiran 8. Curahan Tajuk pada Berbegai Sifat Hujan Di Hutan Babahaleka TNLL(Juni 2005 – Mei 2006) Komponen
Kelas Jeluk Hujan (mm)
Satuan 0.5 – 1
Kejadian (n) Curah hujan (P)
Hari % total mm mm/hari mm
Cutahan Tajuk (Tf)
mm/hari %P % Total
Komponen Kejadian (n) Curah hujan (P)
Mm mm/hari Mm
Cutahan Tajuk (Tf)
mm/hari %P % Total
Komponen Kejadian (n) Curah hujan (P)
Satuan Hari % total Mm mm/hari Mm
Cutahan Tajuk (Tf)
mm/hari %P % Total
10,0 - 15
> 15
69
43
24
42
200
11,0
34,5
21,5
12,0
21,0
100,0
16,6
196,8
317,8
294,5 1063,2
1888,9
0,8
2,9
7,4
12,3
25,3
9,4
1,2
81,5
176,4
184,5
756,9
1200,5
0,1
1,2
4,1
7,7
18,0
6,0
6,9
41,4
55,5
62,7
71,2
63,6
6,8 14,7 15,4 Kelas Durasi hujan (menit)
63,1
100,0
0,1 5 – 30
% total
Total
5,0 - 10
22
Satuan Hari
1,0 - 5
30 -60
60-120
Total
120 – 240
>240
62
60
49
26
3
200
31,0
30,0
24,5
13,0
1,5
100,0
188,1
445,2
527,0
589,2
139,4
1888,9
3,0
7,4
10,8
22,7
46,5
9,4
84,5
263,1
329,7
413,8
109,5
1200,5
1,4
4,4
6,7
15,9
36,5
6,0
44,9
59,1
62,6
70,2
78,5
63,6
9,1
100,0
7,0 21,9 27,5 34,5 Kelas Intensitas hujan (mm/jam) 30 – 40
Total
1,0 – 10
10 - 20
20 - 30
>40
144
38
13
4
1
200
72,0
19,0
6,5
2,0
0,5
100,0
866,2
715,0
218,4
74,9
14,4
1888,9
6,0
18,8
16,8
18,7
14,4
9,4
498,2
504,2
141,1
49,2
7,8
1200,5
3,5
13,3
10,9
12,3
7,8
6,0
57,5
70,5
64,6
65,7
54,5
63,6
57,6
221,0
180,8
205,0
130,7
100,0
121
Tabel Lampiran 9. Aliran Batang pada Berbegai Sifat Hujan di Hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) Kelas Jeluk Hujan (mm)
Komponen Satuan 0.5 – 1
Kejadian (n) Curah hujan (P) Aliran batang (Sf)
5,0 - 10
22
69
43
24
42
200
% total
11,0
34,5
21,5
12,0
21,0
100,0
mm
16,6
196,8
317,8
294,5
1063,2
1888,9
mm/hari
0,8
2,9
7,4
12,3
25,3
9,4
mm
0,0
0,1
0,3
0,3
1,3
2,0
mm/hari
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
%P
0,0
0,1
0,1
0,1
0,1
0,1
% Total
0,1
5,2
14,1
16,1
64,6
100,0
Hari
5 – 30
(n) Curah hujan (P) Aliran batang (Sf)
Hari
(n) Curah hujan (P) Aliran batang (Sf)
30 -60
60-120
120 – 240
>240
Total
62
60
49
26
3
200
31,0
30,0
24,5
13,0
1,5
100,0
188,1
445,2
527,0
589,2
139,4
1888,9
mm/hari
3,0
7,4
10,8
22,7
46,5
9,4
mm
0,1
0,4
0,6
0,7
0,2
2,0
mm/hari
0,0
0,0
0,0
0,0
0,1
0,0
%P
0,1
0,1
0,1
0,1
0,2
0,1
% Total
6,1
20,6
27,2
34,1
11,9
100,0
% total mm
Kelas Intensitas hujan (mm/jam)
Komponen Satuan Kejadian
> 15
Kelas Durasi hujan (menit)
Komponen Satuan Kejadian
10,0 - 15
Total
1,0 - 5
10 -20
20 - 30
Hari
144
38
13
4
1
200
% total
72,0
19,0
6,5
2,0
0,5
100,0
866,2
715,0
218,4
74,9
14,4
1888,9
mm/hari
6,0
18,8
16,8
18,7
14,4
9,4
Mm
0,9
0,8
0,3
0,1
0,0
2,0
mm/hari
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
%P
0,1
0,1
0,1
0,1
0,1
0,1
58,8
215,2
186,7
210,3
81,0
100,0
mm
% Total
30 – 40
Total
1,0 – 10
>40
122
Tabel Lampiran 10. Intersepsi hujan pada Berbegai Sifat Hujan Di Hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) Kelas Jeluk Hujan (mm)
Komponen Satuan 0.5 - 1
Kejadian (n) Curah hujan (P)
5,0 - 10
22
69
43
24
42
200
% total
11,0
34,5
21,5
12,0
21,0
100,0
mm
16,6
196,8
317,8
294,5
1063,2
1888,9
0,8
2,9
7,4
12,3
25,3
9,4
15,5
115,2
141,1
109,7
304,9
686,4
0,7
1,7
3,3
4,6
7,3
3,4
93,1
58,5
44,4
37,2
28,7
36,3
2,3
16,8
20,6
16,0
44,4
100,0
Hari
mm/hari mm
Intersepsi
mm/hari
hujan (Ic)
%P % Total
5 – 30
(n) Curah hujan (P)
Hari % total mm mm/hari mm
> 15
Kelas Durasi hujan (menit)
Komponen Satuan Kejadian
10,0 - 15
Total
1,0 - 5
30 -60
60-120
120 – 240
>240
Total
62
60
49
26
3
200
31,0
30,0
24,5
13,0
1,5
100,0
188,1
445,2
527,0
589,2
139,4
1888,9
3,0
7,4
10,8
22,7
46,5
9,4
103,5
181,6
196,8
174,8
29,7
686,4
1,7
3,0
4,0
6,7
9,9
3,4
Intersepsi
mm/hari
hujan (Ic)
%P
55,0
40,8
37,3
29,7
21,3
36,3
% Total
15,1
26,5
28,7
25,5
4,3
100,0
Komponen Satuan Kejadian (n) Curah hujan (P)
Kelas Intensitas hujan (mm/jam) 10 -20
20 - 30
Hari
144
38
13
4
1
200
% total
72,0
19,0
6,5
2,0
0,5
100,0
866,2
715,0
218,4
74,9
14,4
1888,9
6,0
18,8
16,8
18,7
14,4
9,4
367,1
210,0
77,1
25,6
6,6
686,4
2,6
5,5
5,9
6,4
6,6
3,4
mm mm/hari mm
30 – 40
Total
1,0 – 10
>40
Intersepsi
mm/hari
hujan (Ic)
%P
42,4
29,4
35,3
34,2
45,5
36,3
% Total
74,3
161,0
172,8
186,5
190,8
100,0
123
Tabel Lampiran 11. Curahan Tajuk pada Berbegai Sifat Hujan Di Hutan Babahaleka TNLL (Juni 2006 – Mei 200&) Komponen
Kelas Jeluk Hujan (mm)
Satuan 0.5 – 1
Kejadian
1,0 - 5
5,0 - 10
10,0 - 15
Total
> 15
Hari
18
61
39
24
39
181
% total
9,9
33,7
21,6
13,3
21,6
100,0
14,8
161,2
280,8
295,6
906,6
1659,0
mm/hari
0,8
2,6
7,2
12,3
23,3
9,2
mm
2,9
70,3
173,0
188,4
622,1
1056,6
Cutahan
mm/hari
0,2
1,2
4,4
7,9
16,0
5,8
Tajuk (Tf)
%P
19,8
43,6
61,6
63,7
68,6
63,7
0,3
6,7
16,4
17,8
58,9
100,0
(n) Curah hujan (P)
mm
% Total Komponen
Kelas Durasi hujan (menit)
Satuan 5 – 30
Kejadian
120 – 240
>240
Total
64
42
46
26
3
181
% total
35,36
23,2
25,4
14,4
1,7
100,0
mm
185,2
268,0
606,4
478,8
120,6
1659,0
mm/hari
2,89
6,4
13,2
18,4
40,2
9,2
mm
91,7
163,1
387,4
319,6
94,8
1056,6
Cutahan
mm/hari
1,43
3,9
8,4
12,3
31,6
5,8
Tajuk (Tf)
%P
49,5
60,9
63,9
66,8
78,6
63,7
% Total
8,68
15,4
36,7
30,3
9,0
100,0
(n) Curah hujan (P)
Komponen
hari
30 -60 60-120
Kelas Intensitas hujan (mm/jam)
Satuan 1,0 – 10
Kejadian (n) Curah hujan (P)
hari
10 -20
20 - 30
30 – 40
Total
>40
129
45
5
0
2
181
% total
71,27
24,9
2,8
0
1,1
100,0
mm
884,2
655,4
82,6
0
36,8
1659,0
6,85
14,6
16,5
0
18,4
9,2
540,48
432,3
58,5
0
25,3
1056,6
4,19
9,6
11,7
0
12,7
5,8
mm/hari mm
Cutahan
mm/hari
Tajuk (Tf)
%P
61,13
66,0
70,9
0
68,7
63,7
% Total
71,77
164,6
200,6
0
216,7
100,0
124
Tabel Lampiran 12.. Aliran Batang pada Berbegai Sifat Hujan Di Hutan Babahaleka TNLL (Juni 2006 – Mei 2007) Komponen
Kelas Jeluk Hujan (mm)
Satuan 0.5 – 1
Kejadian (n) Curah hujan (P) Aliran batang (Sf)
Komponen
(n) Curah hujan (P) Aliran batang (Sf)
Komponen
(n) Curah hujan (P) Aliran batang (Sf)
10,0 - 15
> 15
Total
18
61
39
24
39
181
% total
9,9
33,7
21,6
13,3
21,6
100,0
14,8
161,2
280,8
295,6 906,6
1659,0
mm/hari
0,8
2,6
7,2
12,3
23,3
9,2
mm
0,0
0,1
0,2
0,2
0,7
1,1
mm/hari
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
%P
0,0
0,0
0,1
0,1
0,1
0,1
% Total
0,3
6,1
15,2
18,9
59,5
100,0
mm
Kelas Durasi hujan (menit)
Satuan hari
30 -60 60-120
120 – 240
>240
Total
64
42
46
26
3
181
35,4
23,2
25,4
14,4
1,7
100,0
185,2
268,0
606,4
478,8 120,6
1659,0
mm/hari
2,9
6,4
13,2
18,4
40,2
9,2
mm
0,1
0,2
0,4
0,3
0,1
1,1
mm/hari
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
%P
0,1
0,1
0,1
0,1
0,1
0,1
% Total
8,7
16,0
36,4
31,3
7,6
100,0
% total mm
Kelas Intensitas hujan (mm/jam)
Satuan 1,0 – 10
Kejadian
5,0 - 10
Hari
5 – 30 Kejadian
1,0 - 5
10 -20
20 - 30
30 – 40
Total
>40
hari
129
45
5
0
2
181
% total
71,3
24,9
2,8
0,0
1,1
100,0
884,2
655,4
82,6
0,0
36,8
1659,0
mm/hari
6,9
14,6
16,5
0,0
18,4
9,2
mm
0,6
0,4
0,1
0,0
0,0
1,1
mm/hari
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
%P
0,1
0,1
0,1
0,0
0,1
0,1
70,7
162,3
227,9
0,0 270,6
100,0
mm
% Total
125
Tabel Lampiran 13. Intersepsi hujan pada Berbegai Sifat Hujan Di Hutan Babahaleka TNLL (Juni 2006 – Mei 2007) Komponen
Kelas Jeluk Hujan (mm)
Satuan 0.5 - 1
Kejadian (n) Curah hujan (P)
39
24
39
181
% total
9,9
33,7
21,6
13,3
21,6
100,0
14,8
161,2
280,8
295,6
906,6
1659,0
0,8
2,6
7,2
12,3
23,3
9,2
11,9
90,9
107,7
107,0
283,9
601,3
0,7
1,5
2,8
4,5
7,3
3,3
80,2
56,4
38,4
36,2
31,3
36,3
1083,8 8301,5
9838,6
9779,3
25940,2
54943,3
mm mm/hari
hujan (Ic)
%P % Total
Kelas Durasi hujan (menit)
Satuan 5 – 30
Curah hujan (P)
Total
> 15
61
mm/hari
(n)
10,0 - 15
18
Intersepsi
Kejadian
5,0 - 10
hari
mm
Komponen
1,0 - 5
hari % total mm mm/hari mm
30 -60 60-120
120 – 240
>240
Total
64
42
46
26
3
181
35,4
23,2
25,4
14,4
1,7
100,0
185,2
268,0
606,4
478,8
120,6
1659,0
2,9
6,4
13,2
18,4
40,2
9,2
93,4
104,8
218,6
158,8
25,7
601,3
1,5
2,5
4,8
6,1
8,6
3,3
Intersepsi
mm/hari
hujan (Ic)
%P
50,5
39,1
36,1
33,2
21,3
36,3
% Total
15,5
17,4
36,4
26,4
4,3
100,0
Komponen
Kelas Intensitas hujan (mm/jam)
Satuan 1,0 – 10
Kejadian (n) Curah hujan (P)
10 -20
20 - 30
30 – 40
Total
>40
hari
129
45
5
0
2
181
% total
71,3
24,9
2,8
0,0
1,1
100,0
884,2
655,4
82,6
0,0
36,8
1659,0
6,9
14,6
16,5
0,0
18,4
9,2
343,2
222,7
24,0
0,0
11,5
601,3
2,7
5,0
4,8
0,0
5,7
3,3
mm mm/hari mm
Intersepsi
mm/hari
hujan (Ic)
%P
38,8
34,0
29,0
0,0
31,2
36,3
% Total
80,1
149,0
144,4
0,0
172,6
100,0
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 1 2 3 4 5
Jam
-15,36 42,66 151,10 321,84 504,63 566,50 374,30 468,05 367,00 249,92 114,91 18,54 -25,43 -23,83 -21,75 -22,45 -21,97 -21,89 -23,26 -20,59 -19,57 -19,67 -19,91 -18,72
Hujan
Tidak Hujan -24,15 44,60 172,01 353,53 503,74 563,90 370,91 558,29 450,02 334,58 167,56 41,03 -33,32 -39,50 -38,07 -36,32 -33,95 -35,63 -37,17 -35,22 -34,05 -35,51 -33,37 -30,93
Rn (W/m2)
-13,31 10,93 26,32 39,34 59,22 46,52 32,53 57,81 7,61 -25,15 -14,53 -21,58 -28,63 -25,87 -16,47 -15,55 -22,83 -12,12 -14,92 -9,21 -12,12 -10,62 -11,21 -8,71
Hujan
Tidak Hujan -12,49 10,36 33,67 48,25 53,28 45,39 40,04 52,96 10,25 -9,21 -12,34 -16,15 -24,68 -28,12 -23,81 -22,26 -19,22 -18,01 -18,40 -18,73 -17,69 -13,38 -14,58 -12,67
S (W/m2) Dalam kanopi H (W/m2) LE (W/m2) Tidak Tidak Hujan Hujan Hujan Hujan -5,55 -7,16 3,51 -4,50 16,64 -0,35 15,09 34,58 131,54 156,83 -6,75 -18,49 296,45 268,10 -13,95 37,18 308,23 254,87 137,18 195,59 526,35 354,70 -6,37 163,82 243,20 455,28 98,57 -124,41 336,33 148,52 73,92 356,81 221,30 304,27 138,09 135,49 188,96 70,87 86,11 272,91 141,28 131,06 -11,84 48,83 31,67 49,99 8,45 7,19 2,77 -8,91 0,43 0,27 0,30 -6,92 1,74 -4,45 -13,30 -12,30 8,02 -1,97 -2,63 -13,00 -4,28 -1,06 -2,65 -12,64 3,51 -2,08 -12,44 -14,33 2,67 -3,29 -6,26 -19,54 -2,08 0,76 -10,48 -1,63 -0,90 -14,86 -5,41 -17,17 -2,03 0,80 -7,94 91,39 -1,12 -113,53 -2,69 -14,09 -6,01 -4,70 -2,44 -11,54 -7,58 -6,72
Tabel Lampiran 14. Neraca Energi pada Hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) Diatas Kanopi LE (W/m2) H (W/m2) Tidak Tidak Hujan Hujan Hujan Hujan 0,84 11,61 -2,88 -23,27 56,54 34,36 -24,80 -0,13 119,98 60,22 4,81 78,12 255,29 161,47 27,21 143,81 332,29 317,68 113,12 132,77 452,76 365,67 67,22 152,85 268,14 245,15 73,63 85,73 297,65 359,44 112,60 145,89 253,70 131,43 105,69 308,34 200,20 388,16 74,87 -44,37 100,33 223,91 29,11 -44,02 12,48 67,64 27,64 -10,46 -12,41 -16,11 15,61 7,47 4,84 -6,17 -2,80 -5,21 3,59 0,73 -8,87 -15,00 -4,97 -7,36 -1,94 -6,70 24,22 36,47 -23,35 -51,19 2,61 35,49 -12,39 -53,11 43,78 -3,49 -52,12 -15,28 -18,31 19,02 6,93 -35,51 12,11 25,48 -19,56 -41,85 -12,69 -17,16 3,64 -4,97 -5,20 -23,42 -3,51 4,63 17,96 -7,58 -27,98 -10,68
126
127
Tabel Lampiran 15. Neraca Energi pada Padang Rumput di Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) Jam 6.
Rn (W/m2) Tidak Hujan Hujan -12,61 -18,76
S (W/m2) Tidak Hujan Hujan -15,67 -17,16
LE (W/m2) Tidak Hujan Hujan 2,38 -0,17
H (W/m2) Tidak Hujan Hujan 0,68 -1,44
7.
44,39
50,46
-13,52
-15,03
72,45
31,56
-14,54
33,94
8.
124,06
144,19
-6,51
-7,94
28,99
56,95 101,57
95,18
9.
295,43
311,89
4,04
2,50
76,31
90,97 215,07
218,42
10. 439,05
449,26
16,84
14,69 166,94
152,40 255,28
282,17
11. 478,50
494,37
28,12
24,67 198,50
201,42 251,88
268,28
12. 436,49
524,61
32,96
31,56 229,08
238,48 174,46
254,57
13. 391,62
469,25
33,85
36,15 156,63
259,31 201,14
173,79
14. 331,97
386,89
29,57
33,06 111,15
140,76 191,24
213,06
15. 239,39
310,48
22,91
27,21
86,79
120,31 129,69
162,97
16. 102,10
149,03
11,80
18,47
45,31
61,26
44,98
69,30
17.
7,66
27,69
2,75
7,72
4,53
3,44
0,38
16,54
18.
-29,79
-38,10
-5,49
-1,16
-34,79
-12,43
10,49
-24,51
19.
-26,22
-39,62
-9,88
-7,24
-15,35
-25,93
-1,00
-6,45
20.
-24,50
-38,32
-12,51
-10,58
-10,83
-23,42
-1,16
-4,32
21.
-22,86
-36,49
-13,76
-12,53
-9,87
-19,76
0,77
-4,21
22.
-23,18
-33,91
-14,67
-13,76
-7,35
-29,37
-1,16
9,22
23.
-23,04
-36,31
-14,82
-14,58
-7,48
-24,01
-0,73
2,28
24.
-24,35
-35,18
-15,07
-15,44
-8,42
-16,24
-0,86
-3,50
1
-20,80
-34,54
-15,42
-16,00
-4,61
-15,58
-0,77
-2,96
2
-20,14
-33,47
-15,28
-16,60
-3,93
-13,38
-0,92
-3,49
3
-20,66
-33,67
-15,15
-16,90
-4,67
-13,68
-0,84
-3,08
4
-19,74
-31,04
-15,29
-17,21
-4,24
-10,70
-0,20
-3,13
5
-19,67
-29,63
-15,35
-17,31
-3,19
-10,01
-1,13
-2,31
128
Tabel Lampiran 16. Simpanan Energi pada Hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) Di Atas Kanopi Hutan
Dalam Kanopi Hutan Jam 6.
2
Sa (W/m ) Tidak Hujan Hujan -0,40 -0,96
2
Sw (W/m ) Tidak Hujan Hujan -1,31 -1,04
Sa (W/m2) Tidak Hujan Hujan -1,59 -2,06
Sw (W/m2) Tidak Hujan Hujan -0,88 -1,91
7.
1,32
1,46
3,97
6,30
6,27
7,77
6,41
7,40
8.
3,98
5,56
7,78
5,56
11,44
11,59
8,46
9,44
9.
4,77
6,70
5,15
3,64
16,82
17,81
6,04
3,61
10.
7,08
7,29
3,64
-1,53
19,21
17,81
-0,19
-7,68
11.
7,12
5,83
-5,33
-4,96
18,65
16,81
-10,68
-11,56
12.
1,39
2,39
-2,27
-1,37
8,78
9,05
-6,39
-5,03
13.
2,24
4,08
-0,26
-0,03
0,47
5,83
2,03
2,12
14.
-0,54
1,48
3,61
2,06
-1,84
0,30
7,17
6,21
15.
-4,08
-0,59
4,45
2,02
-9,55
-5,78
8,41
7,30
16.
-3,85
-3,56
0,05
3,47
-11,83
-9,27
8,73
10,92
17.
-5,44
-7,74
-0,23
2,29
-12,71
-11,78
-1,51
6,06
18.
-4,92
-6,93
-2,30
0,29
-13,49
-13,46
-2,35
0,17
19.
-2,39
-4,28
-2,74
-2,32
-5,88
-8,63
-3,86
-1,69
20.
-1,26
-2,10
-1,87
-1,12
-3,14
-5,20
-0,69
-1,49
21.
-0,87
-1,48
-1,25
-2,47
-2,77
-4,32
-2,88
-4,35
22.
-0,90
-1,41
-1,49
-1,60
-2,45
-3,79
-2,22
-1,90
23.
-0,68
-1,35
-1,72
-1,03
-2,41
-4,12
-2,05
-2,55
24.
-0,61
-1,38
-1,54
-2,49
-2,98
-3,02
-2,13
-2,41
1
-0,52
-1,21
-0,99
-1,23
-2,08
-3,79
-1,60
-4,35
2
-0,42
-0,65
-1,45
-1,72
-3,12
-3,18
-3,42
-2,22
3
-0,39
-0,10
-1,02
-1,14
-2,66
-2,70
-1,93
-1,98
4
-0,36
-0,78
-1,32
-1,37
-2,46
-2,72
-2,21
-1,57
5
-0,49
-0,41
-0,92
-0,62
-2,02
-2,81
-1,78
-1,29