Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISSN : 978-979-8940-29-3
Phenologi Pertumbuhan dan Produksi Gandum pada Lingkungan Tropika Basah Amin Nur1), Trikoesoemaningtyas1), Nurul Khumaida2) dan Sriani Sujiprihati2) 2)Pengajar
1)Pasca Sarjana IPB Agronomi dan Hortikultura IPB
Abstrak Perubahan fenologi pertumbuhan dan produksi suatu tanaman merupakan fenomena yang sudah lazim ketika terjadi perubahan lingkungan tumbuh yang sangat besar. Khusus tanaman gandum perubahan lingkungan tumbuh dari subtropis ke tropis merupakan perubahan lingkungan yang sangat besar pengaruhnya terhadap perubahan fenologi dari seluruh fase pertumbuhan dan produksi, perubahan fenologi akan terjadi lebih besar lagi ketika di lingkungan tropis memiliki temperatur yang cukup tinggi. Penelitian ini melihat beberapa fenomena fenologi pertumbuhan dilingkungan tropika basah pada beberapa genotipe gandum. Sebanyak sepuluh genotipe gandum dan dua varietas pembanding Dewata dan Selayar diuji di dua lingkungan yaitu dataran tinggi (>1000 m dpl) Cipanas dan dataran rendah (< 400 m dpl) Bogor, masing-masing disusun dalam Rancangan Acak Kelompok 3 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan lingkungan tumbuh dari dataran tinggi ke dataran rendah pada lingkungan tropika basah menyebabkan terjadinya penurunan daya berkecambah benih, penurunan tinggi tanaman, penurunan jumlah anakan produktif dari setiap genotipe. Hal ini terlihat pada tinggi tanaman dan jumlah anakan setiap genotipe di dataran tinggi tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata, namun pada dataran rendah baik tinggi tanaman dan jumlah anakan setiap genotipe memberikan respon yang berbeda. Karakter komponen hasil pada dataran rendah semua peubah yang diamati memberikan respon yang berpengaruh nyata pada setiap genotipe, sedangkan di dataran tinggi terdapat beberapa peubah yang tidak memberikan respon seperti umur berbunga, panjang malai dan jumlah biji/malai. Kata Kunci : Fenologi, genotype gandum, tropika basah
tinggi seperti sayuran dan tanaman hortikultura lainnya yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Perubahan lingkungan tumbuh dari lingkungan subtropis ke lingkungan tropis secara spontan dapat merubah fenologi pertumbuhan dan produksi gandum, khususnya jika mengalami suatu cekaman seperti suhu tinggi. Meurut Philips (1980), perubahan fenologi terjadi diduga merupakan sebuah respon dari tanaman terhadap faktor-faktor lingkungan pada suatu daerah yang mana merupakan manifestasi dari interaksi komponen struktur dan fungsi tanaman terhadap lingkungannya. Perbedaan dapat disebabkan karena kondisi cahaya, temperatur, substrat dan nutrisi.
Pendahuluan Gandum merupakan komoditas yang banyak dikembangkan di daerah subtropis, dimana siklus hidupnya membutuhkan suhu udara antara 4-13oC dengan suhu optimum rata-rata 20oC untuk tumbuh dan berproduksi dengan baik (Fisher 1980). Oleh karena itu, di Indonesia sebagai lingkungan tropis, gandum lebih sesuai dibudidayakan di dataran tinggi (>800 m dpl) dengan temperatur sekitar 22 – 24oC. Kondisi iklim yang demikian hanya dapat ditemukan di beberapa wilayah di Indonesia dan bila gandum dibudidayakan di daerah tersebut, maka akan bersaing dengan komoditas yang sering ditanam di dataran 188
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISSN : 978-979-8940-29-3
Fenologi merupakan karakter yang paling penting yang terlibat dalam adaptasi tanaman terhadap lingkungan tumbuh mereka (Sadras dan Tra'pani 1999). Baik panjang musim dan durasi relatif phenophases merupakan kunci penting penentu hasil biji (Calvin et al., 2003; Kantolic Slafer 2005; Miralles et al., 2000; Slafer et al., 2001). Upaya untuk meningkatkan nilai ekonomi gandum di Indonesia perlu ada usaha ekstensifikasi dan lebih memasyarakatkan tanaman gandum pada lingkungan di dataran < 400 m dpl. Kendala utama yang dihadapi adalah adaptasi tanaman gandum di dataran rendah < 400 mdpl adalah cekaman lingkungan yang sangat tinggi, khususnya cekaman suhu tinggi dan belum adanya varietas yang dihasilkan untuk adaptasi dataran < 400 m dpl. Suhu yang sangat tinggi, menyebabkan kerusakan parah dan bahkan kematian sel dapat terjadi dalam beberapa menit (Schoffl et al., 1999). Cekaman suhu tinggi pada fase akhir pertumbuhan (terminal heat stress atau post-anthesis heat stress) sering menjadi faktor pembatas pada produksi gandum di beberapa negara (Yang et al., 2002). Pada suhu tinggi, laju perkembangan tanaman meningkat sehingga mengurangi potensi akumulasi biomas. Secara umum, pengaruh suhu tinggi terhadap perkembangan bulir pada serealia meliputi laju perkembangan bulir yang lebih cepat, penurunan bobot bulir, biji keriput, berkurangnya laju akumulasi pati dan perubahan komposisi lipid dan polipeptida (Stone, 2001). Suhu 35 – 36°C selama 3 atau 4 hari dapat merubah morfologi bulir dan mengurangi ukuran bulir pada gandum (Wardlaw dan Wrigley, 1994 dalam Maestri et al., 2002).
Setiap genotipe memiliki kemampuan yang berbeda dalam mengatasi stres suhu tinggi. Variasi yang sangat besar di dalam spesies memiliki potensi untuk perbaikan toleransi terhadap cekaman suhu tinggi melalui materi genetik yang ada melalui pemuliaan tanaman (Ehlers, dan Hall 1998; Camejo et al., 2005). Salah satu upaya awal yang perlu dilakukan adalah mempelajari phenologi dan produksi tanaman gandum pada dataran rendah, khususnya pada lingkungan tropika basah. Hal ini sangat perlu dilakukan untuk mengetahui karakter yang berpengaruh terhadap peningkatan/penurunan produksi gandum. Tujuan penelitian ini adalah melihat phenologi pertumbuhan dan produksi beberapa genotipe gandum dilingkungan tropika basah.
Bahan dan Metode Penelitian dilaksanakan di dua tempat ketinggian yaitu ketinggian >1000 mdpl di kebun Balithi, Cipanas dan Ketinggian <400 mdpl dikebun Seameo-Biotrop, Bogor. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei – September 2010. Materi genetik yang digunakan pada penelitian ini adalah 10 gandum introduksi (OASIS/SKAUZ//4*BCN, HP 1744, LAJ/MO88, RABE/MO88, H-21, G-21, G-18, MENEMEN, BASRIBEY, ALIBEY) dan 2 varietas pembanding (Selayar dan Dewata). Penelitian setiap ketinggian dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 3 ulangan, ukuran plot 1,5 x 5 m. Tiap nomor ditanam 6 baris sepanjang 5 m dengan jarak tanam antar baris 25 cm, benih dilarik dalam baris. Tanaman dipupuk dengan dosis 150 kg.ha-1 Urea, 200 kg.ha-1 SP36 dan KCl 100
189
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISSN : 978-979-8940-29-3
kg.ha-1 pada umur 10 hst dan pemupukan kedua dengan dosis Urea 150 kg.ha-1 pada umur 30 hst. Sebelum ditanam benih diberi Carbofuran pada saat tanam pada lubang larikan. Pengamatan dilakukan terhadap parameter-parameter sebagai berikut:
ga pematangan biji/buah tanaman. Berlangsungnya fase-fase tersebut sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar, seperti ketinggian tempat, lamanya penyinaran, suhu dan kelembaban udara (Fewless, 2006). Hasil pengamatan beberapa hari setelah tanam hingga umur 55 Hst memperlihatkan bahwa perkecambahan benih gandum di dataran rendah mengalami tekanan hingga beberapa hari dari kondisi normal dimana harus berkecambah. Hingga umur 30 hst perkembangan anakan pada dataran rendah mengalami tekanan, jika dibandingkan dengan perkembangan anakan di dataran tinggi. Anakan gandum di dataran rendah baru mulai berkembang pada umur 35 – 40 hst, hal ini juga sangat ditentukan oleh genotipe gandum itu sendiri. Tahap perkecambahan benih gandum 2 hingga 55 hst (gambar 1) Variasi lingkungan merupakan komponen utama yang menentukan fenologi tanaman gandum. Variasi lingkungan selama penelitian di lokasi penelitian memiliki variasi suhu rata-rata 20OC, kelembaban 83%, curah hujan 12 mm dengan lama penyinaran 42% di Cipanas dengan ketinggian > 1000 m dpl sedangkan di Bogor variasi suhu rata-rata 25,8OC, kelembaban 83,7, curah hujan 15,1 mm dengan lama penyinaran 64,2%. Hal ini dapat dilihat bahwa semakin rendah ketinggian suatu tempat variasi suhu semakin meningkat dan hal ini berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman gandum. Kombinasi antara suhu dengan kelembaban, curah hujan dan lama penyinaran yang tinggi menambah tingkat cekaman terhadap pertumbuhan tanaman gandum.
1. Umur berbunga dihitung dari saat tanaman sampai 50% tanaman dalam plot telah berbunga 2. Tinggi tanaman setiap minggu, dihitung dari permukaan tanah sampai ujung malai tidak termasuk bulu selama 5 minggu, mulai umur 35 hst 3. Jumlah Anakan setiap minggu selama 5 minggu, mulai umur 35 hst 4. Umur panen, dihitung dari saat tanam sampai malai berisi penuh biji, biji keras, kadar air biji sekitar 25% 5. Jumlah biji/malai, diambil dari 10 contoh malai 6. Bobot biji/malai, diambil dari 10 tanaman sampel 7. Jumlah spiklet, diambil dari 10 contoh malai 8. Jumlah spiklet yang hampa, diambil dari 10 contoh malai 9. Bobot 1000 biji, biji diambil secara acak 10. Bobot biji/Petak
Hasil dan Pembahasan Variasi Lingkungan dan Phenologi Tanaman Gandum Fenologi merupakan karakter yang paling penting dalam adaptasi suatu tanaman terhadap perubahan lingkungan tumbuh yang dapat terjadi secara alami atau dikondisikan pada lingkungan tertentu. Fenologi terkait dengan terjadinya perubahan fase-fase pertumbuhan, perkembangan, pembungaan hing-
190
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISSN : 978-979-8940-29-3
Dataran tinggi (>1000 mdpl)
2 hst
3 hst
4 hst
10 hst
30 hst
55 hst
30 hst
55 hst
Dataran rendah (>400 mdpl)
2 hst
3 hst
10 hst
4 hst
Gambar 1. Periode perkecambahan dan Pertumbuhan tanaman gandum pada umur 2 hst hingga 55 hst di dataran tinggi (>1000 mdpl) dan dataran rendah (<400 mdpl).
Pengaruh jangka panjang stres suhu tinggi pada pengembangan benih dapat mencakup tertundanya perkecambahan atau kehilangan vigor, pada akhirnya menyebabkan berkurangnya kemunculan dan pembentukan bibit. Di bawah suhu rata-rata harian, pertumbuhan koleoptil jagung berkurang pada 400C dan berhenti pada 450C (Weaich et al., 1996). Berdasarkan Gambar 2, penampilan pertumbuhan gandum pada umur 30 hst mem-
perlihatkan variasi yang cukup besar antara lingkungan di Bogor dan di Cipanas, begitu pula setelah memasuki fase generatif. Variasi tersebut diduga bahwa di lingkungan dataran rendah (Bogor) memiliki variasi suhu yang tinggi, kelembaban dan curah hujan yang cukup tinggi, sehingga cekaman lingkungan yang dihadapi oleh tanaman gandum pada lingkungan ini cukup besar dibanding lingkungan tumbuh di Cipanas.
Bogor, 30 HST
Bogor, Fase Generatif
Cipanas, 30 HST
Cipanas, Fase Generatif
Gambar 2 Penampilan Tanaman gandum di Bogor dan Cipanas 191
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISSN : 978-979-8940-29-3
Keragaan Karakter Agronomi Gandum
tanan spesies dan kultivar terhadap suhu tinggi juga sangat bervariasi dan sangat dipengaruhi oleh tahap perkembangan tanaman. Dengan demikian produksi tanaman di bawah suhu tinggi, sangat penting untuk mengetahui tahap-tahap perkembangan tanaman dan proses yang paling sensitif terhadap cekaman suhu tinggi (Wahid et al., 2007). Rata-rata tinggi tanaman dan analisis ragam tanaman gandum setiap minggu pada dataran tinggi (>1000 m dpl) dan dataran rendah (<400 m dpl) di lingkungan tropika basah disajikan pada Tabel 1. Uji Dunnet memperlihatkan bahwa tinggi tanaman di Cipanas umur 35 hst, 42 hst, 49 hst dan 55 hst genotipe yang diuji tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata dengan varietas pembanding Selayar, namun pada
Berdasarkan hasil penelitian tanaman gandum (Tabel 1) pada dua lingkungan tumbuh memperlihatkan bahwa tinggi tanaman setiap minggu tidak memberikan respon yang nyata pada setiap genotipe yang diadaptasikan di dataran tinggi (>1000 m dpl), sedangkan pada saat lingkungan tumbuh diturunkan ketinggiannya (< 400 m dpl) terjadi penurunan tinggi tanaman dibandingkan lingkungan di dataran tinggi, hal ini juga mengakibatkan terjadi perubahan respon yang nyata dari setiap genotipe yang diadaptasikan. Besarnya respon genotipe di dataran rendah disebabkan karena perubahan lingkungan yang sangat besar, khususnya terhadap cekaman suhu, kelembaban dan deraan curah hujan yang tinggi. Keren-
Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman dan analisis ragam tanaman gandum setiap minggu pada data ran tinggi (>1000 mdpl) dan dataran rendah (<400 mdpl) dilingkungan tropika basah Bogor (< 400 m dpl) Entry
T35
T42
TT49
Cipanas (>1000 m dpl) T55
TA
T35
Hari Setelah Tanam
T42
T49
T55
TTA
Hari Setelah Tanam
OASIS
32,7
36,9
40,2
49,2
63,4
33,6
39,9
47,5
59,9
65,57
HP 17
31,6
39,9
56,3 s+
59,8 s+
59,1
32,1
45,4
55,2
59,3
71,93
LAJ
32,6
35,5
37,2
43,1
57,5
33,2
40,9
47,2
66,1
69,77
RABE
31,8
34,9
40,4
47,2
59,4
33,4
41,9
49,3
57,3
63,30
H-21
36,4
41,4
44,0 s+
56,0
73,8 s+
35,9
45,2
51,3
62,5
73,30
G-21
38,0
41,4
46,2 s+
49,0
74,4 s+
34,2
43,4
51,1
59,0
77,33
G-18
34,7
39,6
41,5
51,9
70,9
33,9
43,5
49,5
57,2
66,30 s+
MENEMEN
31,2
35,4
37,7
47,5
56,6
32,6
40,9
48,0
59,6
65,87
BASRIBEY
32,7
35,9
38,4
43,3
55,9
32,7
40,9
48,5
56,8
70,80
ALIBEY
33,1
36,6
40,3
52,2
58,4
32,6
39,5
45,9
53,2
62,90
SELAYAR
31,2
33,5
35,1
45,1
58,5
33,3
40,2
46,8
65,2
56,07
DEWATA
34,5
37,7
39,9
46,4
50,8
36,2
45,3
51,5
54,6
65,57
Rata
33,36
37,4
41,4
49,2
61,6
33,7
42,3
49,3
59,3
67,39
Entry
tn
tn
**
**
**
tn
tn
tn
tn
tn
KK
10,4
9,6
8,4
9,7
9,8
8,1
6,7
8,0
11,2
11,64
Dunnet 0.05
2,99
2,99
2,99
2,99
2,99
2,99
2,99
2,99
2,99
2.99
Keterangan : TT = Tinggi Tanaman (cm); TTA = Tinggi tanaman akhir (cm); *,** : Berpengaruh nyata pada taraf 5% dan 1%, tn: Tidak berbeda nyata; s+/- = Berbeda nyata lebih atau kurang dibanding kontrol (Selayar) pada Uji
192
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISSN : 978-979-8940-29-3
tinggi tanaman akhir hanya genotipe G-18 yang memperlihatkan perbedaan yang nyata lebih tinggi dibanding varietas Selayar. Lain halnya di Bogor hanya umur 35 hst dan 42 hst tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata dengan varietas selayar. Mulai umur 49 hst, 55 hst dan tinggi tanaman akhir genotipe yang diuji memperlihatkan perbedaan yang nyata dengan varietas Selayar. Terjadinya perubahan lingkungan yang sangat besar variasinya menyebabkan terjadinya perubahan fenologi pertumbuhan tanaman. Menurut laporan Subagyo (2001) di dataran tinggi, tinggi tanaman gandum dapat mencapai 102 cm.
Hasil pengamatan jumlah anakan (Tabel 2) memperlihatkan bahwa jumlah anakan setiap minggu tidak memberikan pengaruh yang nyata pada setiap genotipe yang diadaptasikan di dataran tinggi (>1000 m dpl), sedangkan pada saat lingkungan tumbuh diturunkan ketinggiannya (< 400 m dpl) jumlah anakan memperlihatkan respon yang nyata dari setiap genotipe yang diadaptasikan. Hingga umur 55 hst jumlah anakan pada dua lokasi tersebut tidak terdapat perbedaan yang begitu besar. Jumlah anakan yang produktif terjadi perbedaan yang begitu besar antara dataran tinggi (>1000 m dpl) dengan dataran rendah (<400 m dpl). Hal ini disebabkan karena kondisi ling-
Tabel 2. Rata-rata Jumlah anakan dan Anakan produktif serta analisis ragam tanaman gandum setiap minggu pada dataran tinggi (>1000 m dpl) dan dataran rendah (<400 m dpl) di lingkungan tropika basah Bogor (< 400 m dpl) JA35 Entry OASIS
JA42
JA49
Cipanas (>1000 m dpl)
JA55
AP
JA35
Hari Setelah Tanam 2.2
4.0
JA42
JA49
JA55
AP
Hari Setelah Tanam
5.5
7.1
2.3
2.5
4.0
5.5
6.5
6.7
1.6
2.9
4.3
4.9
5.8
5.8
HP 17
1.9
2.8
2.4
3.1 s-
LAJ
2.8
4.8
6.6
7.9
2.9
2.6
4.2
5.5
6.6
6.8
RABE
2.1
3.4
4.5
5.9
2.3
2.8
3.9
5.2
6.3
6.5
H-21
2.7
4.7
7.7
7.7
2.7
2.7
4.2
5.2
6.3
6.9
G-21
2.8
5.2
7.4
8.4
3.4
2.9
4.6
6.9
8.2
9.5s+
G-18
2.0
3.9
5.4
6.7
1.9
2.9
4.4
6.0
6.9
7.7
MENEMEN
1.9
3.5
4.7
5.9
2.7
2.8
4.6
6.3
7.6
8.9
BASRIBEY
1.9
2.6
3.9
6.7
2.5
2.6
4.2
5.4
6.5
7.4
ALIBEY
1.9
2.8
3.9
4.9
2.8
2.6
4.0
5.5
6.6
6.8
SELAYAR
2.8
4.2
5.3
6.4
3.7
2.5
4.2
5.2
6.1
6.1
DEWATA
2.9
5.6
7.9
8.8
-
3.0
4.1
5.2
6.6
7.3
Rata
2.3
3.9
5.4
6.6
2.6
2.7
4.2
5.6
6.7
7.2
Entry
*
**
**
**
tn
tn
tn
tn
tn
tn
KK
8.4
9.3
11.5
10.4
15.8
12.1
7.6
13.6
15.9
19.7
Dunnet 0.05
2.9
2.9
2.9
2.9
2.9
2.9
2.9
2.9
2.9
2.9
Keterangan : JA = Jumlah Anakan; AP = Anakan produktif. *,** : Berpengaruh nyata pada taraf 5% dan 1%, tn: Tidak berbeda nyata; s+/- = Berbeda nyata lebih atau kurang dibanding kontrol (Selayar) pada Uji Dunnett taraf 5%
193
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISSN : 978-979-8940-29-3
kungan di dataran rendah memiliki variasi yang sangat besar, utama suhu tinggi, kelembaban tinggi dengan intensitas curah hujan yang tinggi. Hal ini berdampak terhadap perkembangan cendawan/jamur yang tinggi, sehingga anakan yang terbentuk pada umur 55 hst tidak sempat membentuk malai karena mati akibat dari serangan penyakit. Perbedaan ketinggian tempat juga menyebabkan karakter umur berbunga dan umur panen berbeda. Di Bogor umur berbunga dan umur panen lebih cepat dibandingkan di Cipanas, artinya semakin tinggi lokasi penanaman semakin lambat tanaman berbunga dan panen. Uji Dunnett menunjukkan bahwa untuk umur berbunga di Bogor terdapat 9 genotipe yang tidak berbeda nyata dengan Selayar yaitu Oasis/Skauz//4*BCN Var-28, HP 1744, Laj/Mo88, Rabe/Mo88, H-21, G-21, G-18, Menemen,dan Basribey. Di lain pihak untuk umur panen terdapat 2 genotipe yang tidak berbeda nyata dengan Selayar yaitu Laj/Mo88 dan H21. Umur berbunga di Bogor berkisar 43 72 hst lebih cepat dibandingkan di Cipanas dengan kisaran 59 – 68 hst. Genotipe yang paling cepat berbunga di Bogor adalah HP 1744 (43 hst) sedangkan yang paling lambat adalah G-21 (72 hst). Penelitian di beberapa daerah lainnya di Indonesia membuktikan bahwa gandum dataran rendah (tropis) dapat berbunga lebih cepat yaitu 35 – 51 hst dibandingkan dengan gandum dataran tinggi yaitu 55 – 60 HST (Aqil et al., 2011). Hasil pengujian menunjukkan karakter panjang malai tidak nyata di Cipanas sedangkan di Bogor karakter panjang malai, jumlah spikelet, dan spikelet hampa berbeda nyata (Tabel 3). Panjang malai di Cipanas berkisar 7,98 – 11,92 cm, dimana genotipe yang tertinggi adalah HP
1744 (11,92 cm) dan terendah Laj/Mo88 (7,98 cm), sedangkan di Bogor berkisar 6.69 – 8.66 cm, dimana genotipe tertinggi adalah H-21 (8.66 cm) dan terendah Laj/Mo88 (6,69 cm). Berdasarkan uji Dunnett dari karakter panjang malai, jumlah spikelet, dan spikelet hampa semua genotipe tidak berbeda nyata dengan Selayar di Cipanas sedangkan di Bogor, untuk karakter panjang malai terdapat 6 genotipe yang tidak berbeda nyata dengan Selayar yaitu Oasis/Skauz//4*BCN Var-18, HP 1744, Laj/Mo88, Rabe/Mo88, Menemen, Basribey, dan Alibey. Genotipe Oasis/ Skauz//4*BCN Var-18, HP 1744, Rabe/MO88, dan Alibey tidak berbeda nyata dengan Selayar untuk karakter jumlah spikelet. Hasil analisis ragam komponen hasil genotipe gandum (Tabel 4) menunjukkan bahwa hanya karakter jumlah biji per malai di Cipanas yang tidak berpengaruh nyata untuk semua genotipe sedangkan di Bogor terdapat 7 genotipe yang tidak berbeda nyata dengan Selayar yaitu Oasis/Skauz//4*BCN Var-28, H21, G-21, G-18, Menemen, Basribey, dan Alibey. Karakter bobot biji per malai pada Oasis/ Skauz//4*BCN Var-28, HP 1744, H-21, G-21, Menemen, Basribey, dan Alibey tidak berbeda nyata dengan Selayar di Cipanas sedangkan di Bogor hanya HP 1744 dan Rabe/Mo88 yang berbeda nyata lebih rendah dari Selayar. Semua genotipe di Cipanas untuk karakter bobot 1000 biji tidak berbeda nyata dengan Selayar, dilain pihak Menemen dan Basribey berbeda nyata lebih rendah dari Selayar di Bogor. Oasis/Skauz//4*BCN Var-28, H-21, G-18, Basribey, dan Alibey tidak berbeda nyata dengan Selayar untuk karakter bobot biji per petak di kedua lokasi. Kisaran jumlah biji per malai (13,4032,70 g), bobot biji per malai (0,31-1,11g), dan bobot 1000 biji (21,91- 31,02 g). Bobot 194
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISSN : 978-979-8940-29-3
Tabel 3. Rata-rata karakter agronomi genotipe gandum pada dataran tinggi (>1000 m dpl) dan dataran rendah (<400 m dpl) di lingkungan tropika basah Genotipe
Cipanas
Bogor
UB
UP
PM
JSP
SHM
UB
UP
PM
JSP
SHM
OASIS/SKAU
62
99
9.00
20,83
9,88
62
93
7,63
14,40
4,77
HP 1744
64
98
11,92
19,40
10,16
43
80
7,21
12,73
7,83
LAJ/MO88
64
97
7,98
18,00
8,46
68
101
6,69s-
12,98
6,46
RABE/MO88
59
94
8,18
18,20
8,32
70
94
6,98
13,04
6,34
H-21
62
99
8,38
18,60
8,82
69
101
8,66 s+
17,39 s+
9,53
G-21
66
100
9,20
19,97
8,91
72
100
8,64s+
16,31 s+
7,57
G-18
61
105
9,75
21,30
10,41
69
100
8,32s+
16,09 s+
5,28
MENEMEN
68
105
9,25
21,20
10,51
67
96
7,74
14,74
4,74
BASRIBEY
62
99
8,93
20,57
8,96
67
90
7,45
16,56 s+
5,71
ALIBEY
64
96
8,17
19,10
9,49
57
86
7,58
14,50
4,56
SELAYAR
66
100
8,32
19,77
10,16
68
108
7,32
13,58
5,69
DEWATA
64
99
8,90
20,97
10,62
-
-
-
-
-
Rata-rata
63
99
9,00
19,83
9,56
65
95
7,66
14,76
6,22
Genotipe
tn
**
tn
**
**
**
**
**
**
**
KK (%)
6,7
3,1
17,5
5,4
13,6
4,9
3,3
3,0
5,1
16,6
Dunnett 0.05
2,9
2,9
2,9
2,9
2,9
2,9
2,9
2,9
2,9
2,9
Keterangan : UB:Umur berbunga (hst), UP:Umur panen (hst)PM:Panjang malai (cm), JSP:Jumlah spikelet, SHM: Spikelet hampa, *,** : Berpengaruh nyata pada taraf 5% dan 1%, tn: Tidak berbeda nyata; s+/- = Berbeda nyata lebih atau kurang dibanding kontrol (Selayar) pada Uji Dunnett taraf 5%
1000 biji tertinggi pada genotipe Laj/Mo88 yaitu 31,02 g di Cipanas dan terendah Basribey 21,92 g di Bogor. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian gandum di Merauke dimana bobot 1000 biji pada Oasis/Skauz//4*BCN Var -28 mencapai 31,40 g (Balitsereal 2009).
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan 1. Variasi lingkungan pada dua ketinggian mempengaruhi phenologi beberapa genotipe tanaman gandum.
195
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISSN : 978-979-8940-29-3
Tabel 4. Rata-rata komponen hasil genotipe gandum rata-rata karakter agronomi genotipe gandum pada dataran tinggi (>1000 m dpl) dan dataran rendah (<400 m dpl) di lingkungan tropika basah Genotipe
Cipanas
Bogor
JBM
BBM
B1B
BPT
JBM
BBM
B1B
BPT
OASIS/SKAUZ
22,40
0,77
24,75
904,70
28,90
0,50
27,91
429,67
HP 1744
24,80
0,89
26,83
1290,37 s-
13,40 s-
0,31 s-
2585
227,99 s-
LAJ/MO88
24,10
0,81 s+
31,02
1149,05 s-
19,50 s-
0,63
25,93
220,09 s-
RABE/MO88
29,60
1,09 s+
30,37
1251,11 s-
20,10 s-
0,41 s-
2422
255,51 s-
H-21
29,30
1,11
29,43
1344,31
22,00
0,58
29,00
344,90
G-21
31,70
1,07
28,17
1063,45 s-
23,40
0,56
25,63
214,05 s-
G-18
32,70
1,09 s+
29,28
758,47
32,50
0,82
29,44
367,53
MENEMEN
32,10
0,97
22,32
1293,79 s-
30,00
0,60
23,08 s-
317,00
BASRIBEY
29,60
1,05
24,10
1116,25
32,60
0,67
21,91 s-
367,91
ALIBEY
29,70
0,92
25,96
1368,09
29,80
0,50
24,66
391,39
SELAYAR
28,80
0,75
23,24
1382,58
27,20
0,65
30,66
490,02
DEWATA
20,60
0,63
22,05
904,70
-
-
-
-
Rata-rata
27,90
0,93
26,46
1174,74
25,40
0,56
26,21
329,64
Genotipe
tn
*
*
**
**
**
*
**
19,2
19,8
14,0
14,7
10,6
14,6
10,3
10
2,9
2,9
2,9
2,9
2,9
2,9
2,9
2,9
KK (%) Dunnett 0.05
Keterangan: JBM: Jumlah biji per malai, BBM: Bobot biji per malai (g), B1B: Bobot 1000 biji (g), BPT: Bobot biji per petak (g)(data ditransformasi Arc sin), *,** : Berpengaruh nyata pada taraf 5% dan 1%, tn: Tidak berbeda nyata; s+/- = Berbeda nyata lebih atau kurang dibanding kontrol (Selayar) pada Uji Dunnett taraf 5%
2. Penurunan ketinggian tempat < 400 mdpl mempengaruhi tinggi tanaman pada umur 49 hst, 55 hst dan Tinggi Tanaman Terakhir serta jumlah anakan yang terbentuk
4. Panjang malai dan jumlah spiklet pada genotipe H-21, G-21 dan G-18 di dataran rendah nyata lebih tinggi dibanding varietas Selayar.
3. Penurunan ketinggian tempat <400 mdpl mempengaruhi semua karakter agronomi setiap genotipe yang diamati, sedang ketinggian tempat >1000 m dpl karakter umur berbunga, panjang malai dan jumlah biji/malai tidak berpengaruh nyata.
5. Berat biji/malai genotipe LAJ/M088, Rabe/M088 dan G-18 nyata lebih tinggi dibanding varietas Selayar di dataran tinggi, sedangkan di dataran rendah tidak terdapat genotipe yang lebih baik dibanding varietas selayar untuk karakter jumlah biji/malai, bobot biji/malai, bobot 1000 biji dan bobot biji/petak. 196
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISSN : 978-979-8940-29-3
Saran
Perlu pengujian lebih lanjut untuk melihat stabilitas hasil gandum, khususnya di dataran rendah
Perlu peningkatan keragaman genetik melalui persilangan dan mutasi untuk memperbaiki adaptasi tanaman gandum pada dataran rendah
Kantolic AG, Slafer GA. 2005. Reproductive development and yield components in indeterminate soybean as affected by post-flowering photoperiod. Field Crops Res. 93, 212–222. Maestri E, Klueva N, Perrotta C, Gulli M, Nguyen HT, Marmiroli N. 2002. Molecular genetics of heat tolerance and heat shock proteins in cereals.Plant Mol. Biol. 48, 667–681. Miralles DJ, Richards RA, Slafer GA. 2000. Duration of the stem elongation period influences the number of fertile florets in wheat and barley. Aust. J. Plant Physiol. 27, 931–940.
Daftar Pustaka Aqil M, Marcia BP, dan Muslimah H. 2011. Inovasi Gandum Adaptif Dataran Rendah. Sinar Tani Edisi 26 Januari-1 Februari 2011 No.3390 Tahun XLI.
Philips RC 1980. Phenology and taxonomy of seagrasses. In : Handbook of seagrass biology : an ecosystem perpective (R.C> Philips and CP McRoy, eds). Garland STPM Press, New York : 29-40.
Balitsereal. 2009. Highlight Balitsereal. [Tersedia Berkala]. http://balitsereal. litbang. deptan. go.id. html [20 Mei 2011].
Sadras VO, Tra´pani N, 1999. Leaf expansion and phenologic development: key determinants of sunflower plasticity, growth and yield. In: Smith, D.L., Hamel, C. (Eds.), Physiological control of growth and yield in field crops. Springer-Verlag, Berlin, pp. 205–232.
Camejo D, Rodr´ıguez P, Morales MA, Dell’a mico JM, Torrecillas A, Alarc´on JJ. 2005. High temperature effects on photosynthetic activity of two tomato cultivars with different heat susceptibility. J. Plant Physiol. 162, 281–289. Calvin˜o PA, Sadras VO, Andrade FH. 2003. Development, growth and yield of late -sown soybean in the southern Pampas. Eur. J. Agron. 19, 265–275.
Slafer GA, Abeledo LG, Miralles DJ, Gonzalez FG, Whitechurch EM. 2001. Photoperiod sensitivity during stem elongation as an avenue to raise potential yield in wheat. Euphytica 119, 191– 197
Ehlers JD, Hall AE. 1998. Heat tolerance of contrasting cowpea lines in short and long days. Field Crops Res. 55, 11–21.
Schoffl F, Prandl R, Reindl A. 1999. Molecular responses to heat stress. In: Shinozaki, K., Yamaguchi-Shinozaki, K. (Eds.), Molecular Responses to Cold, Drought, Heat and Salt Stress in Higher Plants. R.G. Landes Co.,Austin, Texas, pp. 81– 98.
Fewless G. 2006. Phenology. hhtp://www. uwgb.edu/biodiversity/phenology/ index.htm. (Diakses 19 September 2010) Fischer RA. 1980. Wheat. Paper Presented at The Symposium on Potential Productivity of Field Crops Under Different Environments. IRRI.
Subagyo. 2001. Uji adaptasi atau persiapan pelepasan dan gandum di Jawa Tengah. Seminar Nasional. Balai Pengawas dan Sertifikasi Benih. Semarang: Tanaman Pangan dan Hortikultura II.
Guerena A, Ruiz-Ramos M, Diaz-Ambrona CH, Conde JR, Minguez MI. 2001. Assessment of Climate Change and Agriculture in Spain Using Climate Models. Agron. J. 93, 237–249.
Stone P. 2001. The effects of heat stress on cereal yield and quality. In: Basra, A.S. 197
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISSN : 978-979-8940-29-3
(Ed.), Crop Responses and Adaptation to Temperature Stress. Food Products Press, Binghamton, NY, pp. 243–291.
factors using the visible symptoms in foliage. Environ. Pollut. 137, 455–465. Wahid A. Gelani S., Ashraf M. Foolad MR. 2007. Heat tolerance is plants an overview. Emiron Exp Bot 61:199-223.
Yang, J., R.G. Sears, B.S. Gill, G.M. Paulsen. 2002. Growth and senescence characteristics associated with tolerance of wheat-alien amphiploids to high temperature under controlled conditions. Euphytica 126: 185–193.
Weaich, K., Briston KL., Cass A. 1006. Modeling preemergent maize shoot growth II. High temperature stress conditions Agric. J. 88:398-403.
Vollenweider P, Gunthardt-Goerg MS. 2005. Diagnosis of abiotic and biotic stress
198