INTEREST RATE PASS-THROUGH TERHADAP SUKU BUNGA PERBANKAN DAN PEREKONOMIAN : Studi Komparatif di ASEAN+3
OLEH KHAIRANI PUTRI H1052206
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN
KHAIRANI PUTRI. Interest Rate Pass-Through terhadap Suku Bunga Perbankan dan Perekonomian : Studi Komparatif di ASEAN+3 (dibimbing oleh NOER AZAM ACHSANI). Perkembangan ekonomi negara di kawasan Asia akhir-akhir ini menjadi titik perhatian dikalangan ekonom, terlebih lagi karena struktur perekonomiannya yang semakin dinamis. Rencana penyatuan kawasan ini menjadi single market 2015 serta pembentukan ASEAN community 2020 semakin memperbesar kemungkinan kawasan ini menjadi salah satu kutub perekonomian dunia selain Amerika Utara dan Uni Eropa. Namun pengalaman krisis di berbagai negara kawasan Asia, terutama sejak krisis keuangan asia tahun 1997/1998, telah mengakibatkan muncul fungsi baru yang menjadi perhatian utama bank sentral yaitu mengenai pentingnya menjaga stabilitas sistem keuangan. Salah satu pelaku dalam sistem keuangan yang paling penting untuk dijaga dan diawasi adalah perbankan. Sebab melalui lembaga ini langkah moneter yang ditempuh bank sentral akan ditransmisikan sampai pada sektor riil sebagai bentuk intermediasi. Salah satu instrumen kebijakan yang signal-nya cepat direspon adalah suku bunga. Suku bunga official ini merupakan benchmark bagi para pelaku ekonomi di pasar, termasuk perbankan. Oleh karena itu pergerakan suku bunga bank sentral ini akan diikuti oleh suku bunga perbankan, baik deposito maupun kredit. Dalam berbagai literatur, Interest rate pass-through diartikan sebagai perubahan suku bunga official bank sentral yang ditransmisikan pada suku bunga pasar uang dan suku bunga perbankan. Mekanisme pass-through memainkan peran yang sangat penting dalam kebijakan moneter. Dengan kata lain, kecepatan dan kepenuhan pass-through dari suku bunga official menuju pasar uang dan perbankan menjadi kekuatan transmisi kebijakan moneter (De Bondt, 2002). Kesehatan perbankan pada gilirannya menjadi syarat mutlak bagi keberlangsungan kebijakan moneter dan perekonomian di suatu negara. Penelitian ini memiliki empat tujuan utama. Pertama, menganalisis derajat passthrough of interest terhadap suku bunga perbankan dan perekonomian. Kedua, menganalisis pengaruh guncangan suku bunga official bank sentral terhadap suku bunga perbankan dan perekonomian. Ketiga, menganalisis kontribusi suku bunga official dalam menjelaskan variabilitas suku bunga perbankan dan perekonomian. Terakhir, menguji hubungan jangka panjang antara suku bunga official dengan tingkat harga dan pendapatan nasional. Penelitian ini menggunakan data sekunder time series dari bulan Mei 1999 sampai bulan September 2008. Data diperoleh dari International Financial Statistic dan CEIC Asia Database. Negara yang diamati adalah Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Jepang, dan Korea Selatan. Model penelitian ini mengacu pada model penelitian Donnay, et al (2001) dan Burgstaller (2003), yaitu mengasumsikan bahwa tidak ada contemporaneous effect pada guncangan suku bunga perbankan terhadap suku bunga official (previous variable). Sedangkan dalam perhitungan derajat pass-through, penelitian mengacu pada model Sato, et al (2005) dan McCarthy (2006) dalam Achsani, et al (2009) dengan menggunakan cholesky decomposition untuk mengidentifikasi guncangan struktural. Selanjutnya data akan dianalisis dengan menggunakan metode
Structural Vector Autoregression (SVAR) yang dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan menjadi Vector Error Correction Model (VECM) jika data terintegrasi pada ordo yang sama. Dari hasil empiris ditemukan mekanisme over pass-through dan noncomplete passthrough di ASEAN+3. Fenomena over pass-through terjadi pada pembentukan kedua suku bunga perbankan di Singapura dan suku bunga kredit di Malaysia, sedangkan fenomena noncomplete pass-through terjadi pada pembentukan kedua suku bunga perbankan di Indonesia, Thailand, Filipina, Jepang, Korea serta suku bunga deposito Malaysia. Dari analisis ini juga diketahui bahwa derajat pass-through relatif lebih kuat pada pembentukan suku bunga deposito daripada suku bunga kredit. Sedangkan terhadap perekonomian, derajat pass-through relatif kecil yaitu lebih kecil dari satu persen yang sekaligus mengindikasikan bahwa perubahan suku bunga kebijakan tidak ditransmisikan sampai pada perekonomian Selain itu simulasi IRF menunjukkan bahwa guncangan pada suku bunga official akan direspon positif dan permanen oleh suku bunga perbankan masing-masing negara ASEAN+3, kecuali Singapura yang merespon negatif dan permanen. Lebih jauh lagi perekonomian yang dicerminkan oleh tingkat harga akan merespon negatif dan permanen, kecuali Indonesia, Malaysia, dan Jepang. Sementara pendapatan nasional juga turut merespon negatif dan permanen, kecuali Indonesia dan Jepang. Sementara itu melalui simulasi FEVD ditemukan bahwa peranan suku bunga official relatif kuat dalam menjelaskan fluktuasi suku bunga perbankan, sedangkan terhadap perekonomian hampir tidak terlihat. Meskipun dalam komposisi yang relatif kecil, kontribusi bank sentral cukup terlihat pada variabilitas GDP Indonesia, Singapura, Thailand, dan Jepang serta variabilitas tingkat harga di Indonesia, Singapura, dan Jepang. Hasil empiris berikutnya memperlihatkan bahwa diantara negara ASEAN+3, hanya Jepang satu-satunya negara yang memiliki kointegrasi antara suku bunga official bank sentral dengan tingkat harga. Sementara terhadap laju inflasi, hanya Korea Selatan dan Thailand yang terkointegrasi. Sedangkan terhadap pendapatan nasional, tidak ada satu pun negara yang suku bunga official-nya terkointegrasi. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kebijakan moneter melalui jalur suku bunga belum efektif dalam mempengaruhi perekonomian. Karena dalam jangka panjang tidak cukup bukti empiris untuk menunjukkan hubungan antara suku bunga official bank sentral dengan tingkat harga dan pendapatan nasional. Karena dari hasil simulasi menunjukkan bahwa kebijakan moneter melalui suku bunga belum cukup efektif dalam mempengaruhi fluktuasi perekonomian, disarankan untuk mempelajari dan menganilisis instrumen fiskal sebagai penggantinya. Apabila ditemukan kebijakan fiskal mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, mungkin ada baiknya mengkombinasikan kebijakan moneter dan kebijakan fiskal dalam mencapai tujuan akhir kebijakan. Selain itu dalam mendukung hasil penelitian dan rekomendasi Hasanah, et al (2008), adapun negara yang menetapkan inflation targeting dengan menggunakan sasaran antara jumlah uang beredar agar lebih berhati-hati. Bedanya, hasil penelitian ini menguji hubungan antara suku bunga sebagai sasaran operasional dengan tingkat harga. Hasil menunjukkan tidak cukup bukti empiris untuk menunjukkan adanya hubungan jangka panjang antara suku bunga dengan tingkat harga. Keterbatasan penelitian ini adalah tidak menambahkan komponen risiko suku bunga untuk melihat symmetric/asymmetric effect dalam mekanisme interest rate passthrough. Sehingga untuk penelitian selanjutnya disarankan dapat menambah komponen tersebut untuk hasil yang lebih baik. Selain itu penelitian ini juga hanya menganalisis secara umum dampak guncangan suku bunga official terhadap suku bunga perbankan dan perekonomian di negara ASEAN+3.
INTEREST RATE PASS-THROUGH TERHADAP SUKU BUNGA PERBANKAN DAN PEREKONOMIAN : Studi Komparatif di ASEAN+3
OLEH KHAIRANI PUTRI H14052206
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Khairani Putri
NRP
: H14052206
Departemen
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Interest Rate Pass-Through Terhadap Suku Bunga Perbankan dan Perekonomian: Studi Komparatif di ASEAN+3
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Noer Azam Achsani, Ph.D NIP. 19681229 199203 1 016
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 19641023 198903 2 002
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR DIGUNAKAN
HASIL SEBAGAI
KARYA SKRIPSI
SAYA ATAU
SENDIRI KARYA
YANG ILMIAH
BELUM PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor,
Agustus 2009
Khairani Putri H14052206
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Khairani Putri, lahir pada tanggal 27 Januari 1988 di Medan. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Bapak Muhammad Nasir dan Ibu Sri Hartati. Jenjang pendidikan penulis dimulai pada tahun 1992 di bangku Taman Kanak-kanak Yayasan Mitra Inalum. Kemudian pada tahun 1993 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 1 Tanjung Gading. Pada tahun 1999 penulis melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi lagi yaitu SLTP Negeri 2 Tanjung Gading dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMAN 1 Tebing Tinggi dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2005 penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan berhasil diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis cukup aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan di IPB termasuk kepanitiaan berbagai event yang diadakan oleh Departemen Ilmu Ekonomi.
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Interest Rate Pass-Through Terhadap Suku Bunga Perbankan dan Perekonomian di ASEAN+3”. Penelitian ini pada dasarnya melihat bagaimana keefektifan kebijakan moneter secara komparatif di masingmasing negara ASEAN+3. Melalui jalur transmisi suku bunga, penulis ingin mengetahui bagaimana perbankan dan perekonomian akan merespon setiap guncangan yang terjadi. Dengan demikian akan diketahui seberapa besar pengaruh kebijakan moneter terhadap pembentukan suku bunga perbankan (interest rate pass-through) dan perekonomian. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Noer Azam Achsani yang telah memberikan bimbingan sepenuh hati serta menyisihkan waktu luangnya untuk penulis berkonsultasi selama proses pengerjaan skripsi ini. Tidak hanya sekedar bimbingan, nuansa kekeluargaan pun senantiasa terbina selama proses pengerjaan skripsi. Ucapan terima kasih juga tidak lupa penulis sampaikan kepada segenap pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penyelesaian skripsi ini, diantaranya : 1. Bapak Muhammad Firdaus, Ph.D, selaku dosen penguji utama dalam sidang skripsi yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. 2. Bapak Syamsul Hidayat Pasaribu, M.Si, selaku dosen penguji dari komisi pendidikan yang turut memberikan masukan atas berbagai penulisan skripsi sekaligus kritik yang membangun. 3. Kedua orang tua penulis, Bapak Muhammad Nasir Dulyahya dan Ibu Sri Hartati, dan satu-satunya adik tersayang, Fathimah, yang senantiasa mencurahkan kasih sayang, cinta, dukungan, senyuman, serta mendoakan penulis setiap waktu.
4. Abrorri, teman baik yang selalu ada dan bersedia “antar-jemput” serta menghibur selama penulis menyelesaikan skripsi ini. 5. Fickry Widya Nugraha, terima kasih atas masukan dan bantuannya meskipun hanya berkomunikasi lewat e-mail. 6. Tim Intercafe (Kak Ade Holis, Kak Rizki Sabili, dan Teh Heni), terima kasih atas bantuannya yang semuanya sangat bermanfaat bagi penulis. 7. Teman-teman satu bimbingan Tia Rahmina, Amalia Ayuningtyas, dan Suryarisman Pratama, sahabat yang senantiasa memberikan bantuan, bertukar pikiran, bercanda, dan berdiskusi selama proses penyelesaian skripsi ini. 8. AlCatraZ (Dian, Tri, Windi, Asti, Diah, Lidya, Puspita, Safina, Sally, dan Aan), temen-temen seperjuangan sekaligus saudara yang telah memberi warna kehidupan selama penulis masih tinggal bersama di AlCatraZ. 9. Rekan-rekan di departemen Ilmu Ekonomi angkatan 42 yang telah memberikan warna baru dan nuansa kekeluargaan selama penulis jauh dari keluarga (khususnya Maryam, Tias Arum, Eti, Rininta, Lina, Sechafia, Aditya Putri, Vivi, Uci, Riri, Lala, dan Masrukhin). 10. Tata usaha di departemen Ilmu Ekonomi, yang semuanya sangat membantu segala proses yang berkaitan dengan skripsi ini. 11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah banyak membantu kelancaran skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang semata-mata ditujukan untuk memperbaiki serta membangun sangat penulis harapkan. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi pembacanya sekaligus menambah khazanah pengetahuan kita.
Bogor,
Agustus 2009
Khairani Putri H14102090
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xv DAFTAR ISTILAH ......................................................................................... xvii I.
PENDAHULUAN ....................................................................................
1
1.1. Latar Belakang.................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah .........................................................................
4
1.3. Tujuan Penelitian .............................................................................
7
1.4. Manfaat Penelitian ...........................................................................
7
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ...............................................................
8
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ...................
9
2.1. Teori Suku Bunga ............................................................................
9
2.2. Pendekatan Konseptual Interest Rate Pass-Through ...................... 11 2.2.1. Mekanisme Ineterest Rate Pass-Through ............................ 14 2.2.2. Determinasi Interest Rate Pass-Through............................. 15 2.3. Transmisi Kebijakan Moneter Melalui Jalur Suku Bunga .............. 17 2.4. Penelitian Terdahulu ........................................................................ 22 2.5. Kerangka Pemikiran ........................................................................ 28 III. METODE PENELITIAN.......................................................................... 31 3.1. Jenis dan Sumber Data .................................................................... 31 3.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data ............................................ 32 3.2.1. Analisis Structural Vector Autoregressive (SVAR) ............ 33 3.2.2. Analisis Vector Error Correction Model (VECM) ............. 37 3.2.3. Restriksi Sementara ............................................................. 38 3.2.4. Model Restriksi .................................................................... 39 3.2.5. Data Generating Process .................................................... 43
3.2.5.1. Pengujian Stasioneritas Data ................................. 43 3.2.5.2. Penetapan Lag Optimal ......................................... 45 3.2.5.3. Pengujian Stabilitas VAR ...................................... 46 3.2.5.4. Pengujian Kointegrasi............................................ 46 3.2.6. Innovation Accounting ......................................................... 47 3.2.6.1. Impulse Response Function ................................... 47 3.2.6.1. Forecast Error Variance Decomposition .............. 48 3.2.7. Derajat Pass-Through .......................................................... 49 IV. RESPON SUKU BUNGA PERBANKAN DAN PEREKONOMIAN TERHADAP GUNCANGAN SUKU BUNGA OFFICIAL DI ASEAN+3 ............................................................................................ 50 4.1. Trend Suku Bunga di ASEAN+3 .................................................... 50 4.2. Data Generating Process ................................................................ 53 4.2.1. Pengujian Stasioneritas Data ............................................... 54 4.2.2. Penetapan Lag Optimal........................................................ 56 4.2.3. Pengujian Stabilitas VAR .................................................... 58 4.2.4. Pengujian Kointegrasi .......................................................... 59 4.3. Derajat Interest Rate Pass-Through ................................................ 60 4.4. Respon Suku Bunga Perbankan terhadap Shock Suku Bunga Official Bank Sentral di ASEAN+3 ................................................ 60 4.4.1. Respon Suku Bunga Deposito terhadap Shock Suku Bunga Official ................................................................................. 66 4.4.2. Respon Suku Bunga Kredit terhadap Shock Suku Bunga Official ................................................................................. 69 4.5. Respon Perekonomian terhadap Shock Suku Bunga Official Bank Sentral di ASEAN+3 .............................................................. 74 4.5.1. Respon Tingkat Harga terhadap Shock Suku Bunga Official ................................................................................. 74 4.5.2. Respon Pendapatan Nasional terhadap Shock Suku Bunga Official ................................................................................. 77 4.6. Kontribusi Suku Bunga Official dalam Perilaku Suku Bunga Perbankan .................................................................... 79 4.7. Kontribusi Suku Bunga Official dalam Perilaku Perekonomian ..... 83
4.8. Hubungan Kointegrasi Antara Suku Bunga Official dengan Tingkat Harga dan Pendapatan Nasional di ASEAN+3 ..... 87 4.9. Pembahasan Keseluruhan ................................................................ 90 V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ................................... 93 6.1. Kesimpulan ...................................................................................... 93 6.2. Implikasi Kebijakan ......................................................................... 94 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 96 LAMPIRAN ..................................................................................................... 99
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
2.1.
Pendekatan Pada Jalur Transmisi Suku Bunga .................................... 12
2.2.
Beberapa Penelitian Terdahulu ............................................................ 25
3.1.
Variabel dan Sumber Data ................................................................... 32
4.1.
Uji Stasioneritas Data ASEAN-5 ......................................................... 55
4.2.
Uji Stasioneritas Data Jepang dan Korea Selatan ................................ 55
4.3.
Penetapan Lag Optimal VAR ............................................................... 56
4.4.
Uji Stabilitas Model VAR .................................................................... 58
4.5.
Pengujian Kointegrasi .......................................................................... 59
4.6.
Derajat Pass-Through terhadap Suku Bunga Perbankan di ASEAN+3 ........................................................................................ 60
4.7.
Derajat Pass-Through terhadap Perekonomian di ASEAN+3 ............. 62
4.8.
Kecepatan Penyesuaian (Speed of Adjustment) ................................... 64
4.9.
Respon Suku Bunga Deposito dan Suku Bunga Kredit Berbagai Negara di ASEAN+3 atas Guncangan Suku Bunga Official Sebesar Satu Standar Deviasi ............................................................... 73
4.10. Keefektifan Suku Bunga Official ......................................................... 90
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.1.
Transmisi Kebijakan Moneter Melalui Jalur Suku Bunga ................... 20
2.2.
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia ...................... 21
2.3.
Kerangka Pemikiran Teoritis ............................................................... 29
2.4.
Kerangka Pemikiran Operasional ......................................................... 30
4.1.
Pergerakan Suku Bunga Official, Suku Bunga Perbankan, dan Inflasi di ASEAN+3 ........................................................................................ 51
4.2.
Respon Suku Bunga Official terhadap Shock Suku Bunga Official di ASEAN+3 ........................................................................................ 66
4.3.
Respon Suku Bunga Deposito Perbankan terhadap Shock Suku Bunga Official di ASEAN+3 ........................................................................... 68
4.4.
Respon Suku Bunga Kredit Perbankan terhadap Shock Suku Bunga Official di ASEAN+3 ........................................................................... 70
4.5.
Respon IHK terhadap Shock Suku Bunga Official di ASEAN+3 ........ 75
4.6.
Respon GDP terhadap Shock Suku Bunga Official di ASEAN+3 ....... 77
4.7.
Dekomposisi Varian Suku Bunga Deposito di ASEAN+3 .................. 80
4.8.
Dekomposisi Varian Suku Bunga Kredit di ASEAN+3 ...................... 82
4.9.
Dekomposisi Varian Tingkat Harga di ASEAN+3 .............................. 85
4.10. Dekomposisi Varian Pendapatan Nasional di ASEAN+3.................... 86
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman INDONESIA Lampiran 1.
Estimasi Persamaan VECM Pass-Through of Interest ............ 100
Lampiran 2.
VAR First Difference untuk Hubungan Suku Bunga Official dengan Tingkat Harga .............................................................. 102
Lampiran 3.
VAR First Difference untuk Hubungan Suku Bunga Official dengan Pendapatan Nasional .................................................... 104
MALAYSIA Lampiran 1.
Estimasi Persamaan VECM Pass-Through of Interest ............ 105
Lampiran 2.
VAR First Difference untuk Hubungan Suku Bunga Official dengan Tingkat Harga .............................................................. 107
Lampiran 3.
VAR First Difference untuk Hubungan Suku Bunga Official dengan Pendapatan Nasional .................................................... 109
SINGAPURA Lampiran 1.
Estimasi Persamaan VECM Pass-Through of Interest ............ 110
Lampiran 2.
VAR First Difference untuk Hubungan Suku Bunga Official dengan Tingkat Harga .............................................................. 112
Lampiran 3.
VAR First Difference untuk Hubungan Suku Bunga Official dengan Pendapatan Nasional .................................................... 114
THAILAND Lampiran 1.
Estimasi Persamaan VECM Pass-Through of Interest ............ 115
Lampiran 2.
VAR First Difference untuk Hubungan Suku Bunga Official dengan Tingkat Harga .............................................................. 118
Lampiran 3.
VAR First Difference untuk Hubungan Suku Bunga Official dengan Pendapatan Nasional .................................................... 120
FILIPINA Lampiran 1.
Estimasi Persamaan VECM Pass-Through of Interest ............ 121
Lampiran 2.
VAR First Difference untuk Hubungan Suku Bunga Official dengan Tingkat Harga .............................................................. 123
Lampiran 3.
VAR First Difference untuk Hubungan Suku Bunga Official dengan Pendapatan Nasional .................................................... 125
Lampiran 4.
Respon Suku Bunga Official dan Suku Bunga Perbankan atas Shock pada Suku Bunga Official ....................................... 126
Lampiran 5.
Respon Perekonomian atas Shock pada Suku Bunga Official ................................................................. 126
Lampiran 6.
Variabilitas Suku Bunga Perbankan ......................................... 127
Lampiran 7.
Variabilitas Perekonomian ....................................................... 127
JEPANG Lampiran 1.
Estimasi Persamaan VECM Pass-Through of Interest ............ 128
Lampiran 2.
VECM untuk Hubungan Suku Bunga Official dengan Tingkat Harga ........................................................................... 130
Lampiran 3.
VAR First Difference untuk Hubungan Suku Bunga Official dengan Pendapatan Nasional .................................................... 132
KOREA SELATAN Lampiran 1.
Estimasi Persamaan VECM Pass-Through of Interest ............ 133
Lampiran 2.
VAR First Difference untuk Hubungan Suku Bunga Official dengan Tingkat Harga .............................................................. 135
Lampiran 3.
VAR First Difference untuk Hubungan Suku Bunga Official dengan Pendapatan Nasional .................................................... 137
DAFTAR ISTILAH
No
Istilah
Keterangan
1.
Interest Rate Pass-Through
= Proses perubahan suku bunga official bank sentral yang ditransmisikan pada suku bunga pasar uang dan suku bunga perbankan, baik deposito maupun kredit,
2.
Opportunity cost
= Biaya imbangan dalam menahan sejumlah aset,
3.
Nominal interest = Rate yang dapat diamati di pasar atau tingkat bunga rate yang dibayar bank,
4.
Real interest rate
= Tingkat bunga yang sesungguhnya setelah suku bunga nominal dikurangi dengan laju inflasi yang diharapkan,
5.
Fisher effect
= Hubungan satu-untuk-satu antara tingkat inflasi dan tingkat bunga nominal,
6.
Official atau benchmark
= Acuan,
7.
Complete PassThrough
= Perubahan suku bunga perbankan sebanding dengan perubahan suku bunga official bank sentral,
8.
Noncomplete Pass-Through
= Perubahan suku bunga perbankan tidak sebanding dengan perubahan suku bunga official bank sentral,
9.
Over PassThrough
= Perubahan suku bunga perbankan melebihi perubahan suku bunga official bank sentral,
10.
Symmetric
= Perbankan merespon sejalan dengan kebijakan bank sentral,
11.
Asymmetric
= Perbankan merespon tidak sejalan dengan kebijakan bank sentral,
12.
Time lag
= Selang waktu,
13.
Bank’s collusive pricing
= Kecenderungan perbankan bersama-sama berkolusi dalam menaikkan atau menurunkan tingkat suku
arrangements
bunga,
14.
Quantity Theory of Money
= Teori kuantitas uang,
15.
Income effect
= Pengaruh suku bunga terhadap konsumsi berkaitan erat dengan peranan bunga sebagai komponen pendapatan masyarakat dari deposito,
16.
Substitution effect
= Kegunaan suku bunga kredit sebagai sumber pembiayaan konsumsi,
17.
Cost of borrowing
= Biaya modal,
18.
Cash flow
= Arus kas,
19.
Speed of adjustment
= Kecepatan penyesuaian,
20.
Degree of passthrough
= Derajat pass-through,
21.
Rigidity
= Kekakuan,
22.
Impulse Response Function
= Respon dinamika setiap variabel apabila terdapat inovasi (shock) tertentu sebesar satu standar deviasi pada satu variabel tertentu,
23.
Forecast Error Variance Decomposition
= Kontribusi atau inovasi variabel tertentu dalam menjelaskan variabilitas variabel lainnya.
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Perkembangan ekonomi negara di kawasan Asia akhir-akhir ini
mendapat perhatian banyak ekonom, terlebih bagi yang concern terhadap rencana integrasi di Asia. Rencana penyatuan kawasan ini menjadi single market 2015 serta pembentukan ASEAN community1 2020 semakin membuka peluang kawasan ini menjadi salah satu kutub perekonomian dunia selain Amerika Utara dan Uni Eropa. Namun pengalaman krisis, terutama sejak krisis keuangan tahun 1997/1998, telah memunculkan fungsi baru yang menjadi perhatian utama bank sentral yaitu mengenai pentingnya menjaga stabilitas sistem keuangan. Selain itu dalam menghadapi krisis keuangan, bank sentral memiliki peran strategis untuk memitigasi risiko terjadinya instabilitas sistem keuangan. Melalui instrumen dan kebijakan yang dimiliki, bank sentral dapat segera mengurangi tekanan likuiditas sehingga mempercepat pemulihan kepercayaan masyarakat dan menetapkan kebijakan yang tepat atas dasar hasil monitoring dan surveillance terhadap sistem keuangan. Pengalaman krisis juga membuktikan bahwa semakin kompleks dan terintegrasinya
sistem
keuangan,
mengandung
konsekuensi
semakin
meningkatnya risiko yang bersifat sistemik. Kegagalan sistem keuangan pada gilirannya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian,
1
Pada tanggal 7 Oktober 2003 ditandatangani Bali Concorde II yang menyepakati terbentuknya ASEAN Community pada tahun 2020 dengan tiga pilar utama yaitu ASEAN Security Community, ASEAN Economic Community, dan ASEAN Socio-Culture Community (Achsani, 2008).
merupakan tantangan bagi bank sentral di setiap negara untuk menjaga kestabilan sistem keuangan sekaligus pertumbuhan ekonomi. Salah satu pelaku dalam sistem keuangan yang paling penting untuk dijaga dan diawasi adalah perbankan. Sebab melalui lembaga ini langkah moneter yang ditempuh bank sentral akan direspon hingga sampai pada sektor riil sebagai bentuk intermediasi. Salah satu jalur transmisi kebijakan yang signal-nya cepat direspon adalah suku bunga. Suku bunga official ini merupakan benchmark bagi para pelaku ekonomi di pasar, termasuk perbankan. Oleh karena itu keputusan bank sentral merubah besaran suku bunga official akan mempengaruhi suku bunga pasar dan suku bunga perbankan yang pada gilirannya akan berdampak pada perekonomian agregat. Kesehatan perbankan pada akhirnya menjadi syarat mutlak bagi keberlangsungan kebijakan moneter dan perekonomian di suatu negara. Dalam berbagai literatur, interest rate pass-through diartikan sebagai perubahan suku bunga official bank sentral yang ditransmisikan pada suku bunga pasar uang dan suku bunga perbankan. Mekanisme pass-through memainkan peran yang sangat penting dalam kebijakan moneter. Dengan kata lain, kecepatan dan kepenuhan pass-through dari suku bunga official menuju pasar uang dan perbankan menjadi kekuatan transmisi kebijakan moneter (De Bondt, 2002). Namun mekanisme pass-through dapat berbeda-beda antarnegara, tergantung pada kebijakan ekonomi dan derajat pengendalian pemerintah (control power). Banyak faktor yang mempengaruhi jalannya mekanisme pass-through seperti, siklus ekonomi, informasi yang tidak sempurna, kondisi internal perbankan, maupun risiko volatilitas yang menyebabkan perbankan tidak dapat merespon
segera kebijakan ini. Inilah yang disebut asymmetric pass-through (Kuan M., Binh N.T.T., dan Hui W.S, 2008). Kajian tentang tema ini sudah cukup banyak dilakukan, misalnya Scholnick (1996), Donnay, M. dan H. Degryse (2001), Weth (2002), De Bondt (2002), Iregui, A. M., Milas, C., dan, Otero, J (2002), Tieman (2004), Horváth, C., Judit K., dan Anna N (2004), Sander dan Kleimeier (2002, 2004, dan 2006), Liu, M., Dimitri M., dan Alireza T (2005), Burgstaller (2005), Kuan et al (2008), Ếgert, B, Jesus C.C., dan, Thomas R (2006), dan Marotta (2009). Akan tetapi semua literatur tersebut hanya terfokus pada negara-negara maju, khususnya di negara-negara Uni Eropa, New Zealand, Australia, dan Amerika Serikat. Oleh sebab itu kajian sejenis sangat mendesak dilakukan di negara-negara yang belum banyak dikaji, khususnya di Asia. Dalam membahas interest rate pass-through, hal yang paling utama adalah mengetahui seberapa besar perbankan akan merespon setiap guncangan yang terjadi pada suku bunga official. Hal ini dapat diketahui dengan mengitung derajat pass-through dari suku bunga perbankan, baik deposito maupun kredit. Semakin besar derajat pass-through maka semakin efektif kebijakan moneter membentuk suku bunga perbankan. Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa perbankan melandaikan suku bunganya terhadap kebijakan meskipun terdapat tenggat waktu (time lag) untuk menyesuaikannya. Kondisi internal dan eksternal perbankan menjadi faktor penting dalam menetapkan besaran suku bunga yang akan diberikan kepada masyarakat.
1.2.
Perumusan Masalah Pertumbuhan ekonomi riil dan laju inflasi umum digunakan sebagai
indikator untuk melihat baik atau tidaknya perekonomian di suatu negara. Berdasarkan kondisi ekonomi yang sedang terjadi (boom/depression), bank sentral dapat menetapkan kebijakan moneter ekspansif atau kontraktif melalui peningkatan atau penurunan jumlah uang beredar. Dari sejumlah literatur 2 terdapat temuan menarik yaitu dalam jangka panjang semakin melemahnya hubungan antara jumlah uang beredar dengan pertumbuhan ekonomi dan sempurnanya hubungan antara pertumbuhan uang beredar dengan inflasi (Warjiyo, 2004). Temuan ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang kebijakan moneter hanya akan berdampak pada inflasi dan tidak banyak pengaruhnya terhadap kegiatan ekonomi riil. Berdasarkan pengalaman Jerman dan Selandia Baru yang menargetkan inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan moneter, telah membuat banyak negara juga turut mengikuti jejak kedua negara tersebut. Dalam konteks ini, satu-satunya sasaran akhir yang hendak dicapai bank sentral adalah tingkat inflasi yang telah ditentukan sebelumnya. Apabila inflasi melebihi yang ditargetkan maka bank sentral akan segera merubah strategi kebijakannya untuk meredam laju inflasi. Dalam mencapai sasaran akhir tersebut, bank sentral dapat menggunakan berbagai jalur transmisi dan strategi kebijakan yang diyakini mampu mencapai target yang diharapkan. Salah satu jalur transmisi yang cukup krusial pengaruhnya terhadap
2
Konsensus dari temuan empiris dalam literatur mengenai pengaruh jangka pendek dari uang beredar menunjukkan bahwa kebijakan moneter menyebabkan pergerakan aktivitas ekonomi riil yang sedikit menaik dan kemudian menurun (hump-shaped). Penjelasan lebih rinci dapat dibaca pada text book Carl E. Walsh, Monetary Theory and Policy, MIT Press (2001), khususnya bab 1.
pasar keuangan domestik adalah suku bunga. Ditinjau dari sudut pandang suku bunga, apabila ada indikasi laju inflasi mulai menunjukkan peningkatan maka umumnya bank sentral akan segera merespon dengan menaikkan suku bunga official untuk menyerap likuiditas dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap pasar domestik. Pada gilirannya perubahan suku bunga official ini akan diikuti oleh suku bunga perbankan, baik deposito maupun kredit, setelah melalui berbagai penyesuaian di pasar uang. Ketika bank sentral menerapkan kebijakan moneter ketat dengan menaikkan suku bunga official, menjadi dilema bagi perbankan dalam menyalurkan kredit terkait risiko moral hazard dan adverse selection yang akan menyebabkan meningkatnya rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL). Sebaliknya ketika bank sentral mengendurkan kebijakan moneternya dengan menurunkan suku bunga official, hal tersebut bias dipandang sebagai indikasi bahwa perekonomian sedang lesu sehingga perlu diberi stimulus. Namun setiap langkah moneter dalam melumasi roda ekonomi akan menjadi sia-sia jika perbankan tidak ikut melandaikan suku bunganya. Dalam studi literatur terdahulu, derajat pass-through of interest menjadi kekuatan transmisi kebijakan moneter. Dikatakan complete pass-through apabila perbankan merespon penuh setiap perubahan kebijakan moneter, noncomplete pass-through apabila perbankan tidak dapat merespon penuh setiap perubahan kebijakan moneter, dan over pass-through apabila perbankan merespon melebihi kebijakan moneter yang ditetapkan. Complete pass-through adalah yang diharapkan dari setiap strategi kebijakan. Artinya, langkah moneter yang
ditempuh bank sentral dapat tersampaikan secara penuh melalui perbankan sebagai lembaga intermediasinya. Di negara-negara maju sekalipun, ditemukan derajat noncomplete pass-through dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang ada kemungkinan derajat pass-through menjadi complete. Hal ini sangat tergantung pada perbankan masing-masing negara dalam menyerap transmisi kebijakan moneter dan selang waktu (time lag) yang dibutuhkan untuk menyesuaikannya. Temuan pada studi terdahulu juga menyatakan bahwa perbankan tidak dapat merubah suku bunganya pada waktu yang bersamaan dengan perubahan suku bunga official. Oleh karena itu fokus utama penelitian ini adalah menguji derajat passthrough of interest terhadap suku bunga perbankan dan perekonomian secara komparatif di negara ASEAN+3 untuk melihat apakah ada perbedaan derajat pass-through of interest antara negara maju dengan negara berkembang. Selain itu akan dilihat bagaimana respon suku bunga perbankan dan perekonomian apabila terdapat guncangan pada suku bunga official. Selanjutnya yaitu menguji keberadaan kointegrasi antara suku bunga official dengan tingkat harga dan pendapatan domestik bruto untuk melihat ada atau tidaknya hubungan jangka panjang diantaranya. Berdasarkan uraian di atas maka terdapat beberapa permasalahan yang akan diteliti, yaitu : 1.
Bagaimana derajat pass-through of interest terhadap suku bunga perbankan dan perekonomian yang terjadi di ASEAN+3 ?
2.
Bagaimana dampak guncangan dan kontribusi suku bunga official terhadap pembentukan suku bunga perbankan dan perekonomian di ASEAN+3 ?
3.
Apakah terdapat hubungan kointegrasi antara suku bunga official dengan tingkat harga dan pendapatan nasional di masing-masing negara ASEAN+3 ? Dari analisis ini maka akan diperoleh informasi secara umum dan empiris
mengenai keefektifan kebijakan moneter di masing-masing negara ASEAN+3.
1.3.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini terkait dengan
permasalahan yang telah dijelaskan sebelumnya adalah : 1.
Menghitung derajat pass-through of interest yang terjadi di ASEAN+3 (complete, non-complete, atau over pass-through).
2.
Menganalisis pengaruh guncangan suku bunga official terhadap suku bunga perbankan dan perekonomian di ASEAN+3.
3.
Menganalisis kontribusi suku bunga official dalam menjelaskan variabilitas suku bunga perbankan dan perekonomian di ASEAN+3.
4.
Mengetahui ada/tidaknya hubungan antara suku bunga official dengan tingkat harga dan pendapatan nasional.
1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi wacana bagi bank sentral untuk
mengambil langkah kebijakan yang tepat dalam menghadapai guncangan
struktural dari sisi penawaran maupun permintaan. Diperlukan kajian yang tepat untuk menentukan besaran tingkat suku bunga official agar tidak berdampak pada instabilitas sistem keuangan maupun perekonomian. Kajian tersebut tidak hanya meliputi bagaimana menarik investor dan menahan capital outflow dengan tingkat suku bunga yang tinggi. Tetapi adanya konsekuensi lain atas penetapan suku bunga, seperti pergerakan sektor riil yang cenderung sangat berperan memacu pertumbuhan ekonomi. Sebab, keputusan menaikkan atau menurunkan suku bunga official akan mempengaruhi suku bunga perbankan yang akan diberikan kepada masyarakat.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini hanya terbatas pada perhitungan derajat
pass-through of interest dari suku bunga official bank sentral ke suku bunga perbankan dan perekonomian. Selanjutnya akan dilihat apakah guncangan suku bunga official akan direspon secara signifikan oleh perbankan dan perekonomian. Analisis berikutnya yaitu melihat ada atau tidaknya hubungan antara suku bunga official dengan tingkat harga dan pendapatan nasional secara bivariate. Secara umum akan diperoleh informasi mengenai keefektifan kebijakan moneter di masing-masing negara ASEAN+3. Variabel yang akan digunakan adalah suku bunga nominal official bank sentral, suku bunga nominal pasar uang antarbank, suku bunga nominal deposito, suku bunga nominal kredit, produk domestik bruto riil, dan indeks harga konsumen.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Beberapa teori relevan yang mendukung sebagai pustaka teoritis dalam menganalisis dampak perubahan suku bunga official bank sentral terhadap suku bunga perbankan dan perekonomian adalah sebagai berikut : 2.1.
Teori Suku Bunga Suku bunga adalah biaya yang harus dibayar oleh peminjam atas
pinjaman yang diterima dan merupakan imbalan bagi pemberi pinjaman atas investasinya (Nopirin, 1996). Suku bunga juga akan mempengaruhi keputusan individu terhadap pilihan membelanjakan uang lebih banyak saat ini atau akan datang karena adanya opportunity cost dalam memegang sejumlah uang. Dari sisi perbankan terdapat dua jenis suku bunga yang biasa diberikan kepada masyarakat, yaitu suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman. Bunga simpanan adalah bunga yang diberikan sebagai rangsangan atau balas jasa bagi nasabah yang menyimpan uangnya di bank. Bunga simpanan juga merupakan harga yang harus dibayar bank kepada nasabahnya, contohnya adalah jasa giro, bunga tabungan, dan bunga deposito. Sedangkan bunga pinjaman adalah bunga yang diberikan kepada para peminjam atau harga yang harus dibayar oleh nasabah peminjam kepada bank, contohnya adalah bunga kredit. Kedua macam bunga ini merupakan komponen utama faktor biaya dan pendapatan bagi bank konvensional. Bunga simpanan merupakan biaya dana yang harus dikeluarkan kepada nasabah sedangkan bunga pinjaman merupakan pendapatan yang diterima dari nasabah (Kasmir, 2004).
Tingkat suku bunga dibedakan menjadi dua, yaitu suku bunga nominal dan suku bunga riil. Suku bunga nominal (nominal interest rate) adalah rate yang dapat diamati di pasar atau para ekonom menyebutkan sebagai tingkat bunga yang dibayar bank. Sedangkan suku bunga riil (real interest rate) adalah konsep yang mengukur tingkat bunga yang sesungguhnya setelah suku bunga nominal dikurangi dengan laju inflasi yang diharapkan sekaligus menjelaskan kenaikan dalam daya beli. Persamaan Fisher menjelaskan bahwa tingkat suku bunga nominal merupakan jumlah dari tingkat bunga riil dan tingkat inflasi. Secara matematis persamaannya dapat ditulis sebagai berikut (Mankiw, 2003) : 𝑖 =𝑟+𝜋
(2.1)
dimana, i
= tingkat bunga nominal,
r
= tingkat bunga riil,
π
= tingkat inflasi yang diharapkan. Persamaan di atas menunjukkan bahwa tingkat bunga nominal dapat
berubah karena dua alasan, yaitu karena tingkat bunga riil berubah atau karena tingkat inflasi berubah. Sementara dalam teori kuantitas uang (teori Irving Fisher) menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan uang menentukan inflasi. Secara matematis Fisher menuliskan persamaannya sebagai berikut (Pratomo, 2006) : 𝑀𝑉 = 𝑃𝑇
(2.2)
dimana, M = jumlah uang beredar, P
= tingkat harga barang atau jasa,
V
= velositas atau perputaran uang,
T
= banyaknya transaksi. Menurut Fisher, velositas uang dan transaksi perdagangan dalam jangka
pendek bersifat tetap (V dan T konstan) karena tidak mungkin merubah kebiasaan masyarakat dalam aktivitas ekonomi dengan cepat. Oleh karena itu menurut Fisher dalam teori kuantitas uang, apabila jumlah uang beredar bertambah maka secara langsung akan menyebabkan harga-harga menjadi naik yang artinya pertumbuhan uang berbanding lurus dengan tingkat harga. Teori kuantitas dan persamaan Fisher sama-sama menyatakan bagaimana pertumbuhan uang mempengaruhi tingkat bunga nominal. Menurut teori kuantitas, kenaikan dalam petumbuhan uang sebesar 1 persen menyebabkan kenaikan dalam tingkat harga sebesar 1 persen. Sedangkan menurut persamaan Fisher, kenaikan 1 persen dalam tingkat inflasi akan menyebabkan kenaikan dalam tingkat bunga nominal. Hubungan satu-untuk-satu antara tingkat inflasi dan tingkat bunga nominal ini disebut efek Fisher (Fisher effect).
2.2.
Pendekatan Konseptual Interest Rate Pass-Through Interest rate pass-through diartikan sebagai proses perubahan suku
bunga official bank sentral yang ditransmisikan pada suku bunga pasar uang dan suku bunga perbankan, baik deposito maupun kredit (Kuan et al, 2008). Dengan
kata lain, proses ini akan menjelaskan seberapa besar keefektifan dan peranan bank sentral dalam mempengaruhi suku bunga pasar dan perbankan. Semakin besar derajat pass-through maka semakin efektif kebijakan bank sentral dalam membentuk suku bunga pasar dan perbankan, begitu pula sebaliknya. Efek perubahan suku bunga official (pass-through effect) dapat dilihat dari dua sisi, yaitu : (1) mengukur seberapa besar perubahan suku bunga kebijakan akan ditransmisikan pada suku bunga pasar dalam jangka pendek dan jangka panjang, dan (2) menguraikan bagaimana perubahan tingkat bunga pasar akan mempengaruhi suku bunga deposito dan suku bunga kredit bank (Egert et al, 2006). Beberapa pendekatan yang digunakan oleh Egert, et al (2006) untuk melihat bentuk transmisi kebijakan moneter dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.1. Pendekatan Pada Jalur Transmisi Suku Bunga Monetary Policy Approach Policy rate
short-term/long-term deposit rate
Policy rate
short-term/long-term lending rate
Cost of Funds Approach 1st stage : Yield Curve Policy rate 1m Money Market Rates (MMR)
12m MMR/T-bill rate
G-bond rate
2nd stage : Cost of Funds a) 1m MMR/12m T-bill/MMR loan rate) b) 1m MMR/12m T-bill/MMR
short-term deposit rate
short-term loan rate (long-term loan rate)
c) G-bond rate
long-term deposit rate
d) G-bond rate
long-term loan rate
Sumber : Egert et al, 2006.
short-term loans (long-term
long-term loan rate
Dalam prosesnya, derajat pass-through dapat berbeda-beda pada tiap mekanismenya (Sander dan Kleimeier, 2004). a.
Complete Pass-Through Jika perubahan suku bunga official bank sentral sebanding dengan
perubahan suku bunga perbankan, maka disebut complete pass-through. Dengan kata lain proporsi penyesuaian antara suku bunga official dengan suku bunga perbankan sebanding, yang artinya perbankan benar-benar merespon kebijakan secara penuh. Misalnya jika diasumsikan bank sentral menerapkan kebijakan moneter ketat dengan menaikkan suku bunga nominal sebesar 100 basis points (bps), maka perbankan akan merespon dengan menaikkan suku bunga sebesar 100 bps. b.
Noncomplete Pass-Through Apabila perubahan suku bunga official bank sentral tidak sebanding
dengan perubahan suku bunga perbankan, maka disebut noncomplete passthrough. Misalnya jika diasumsikan bank sentral menerapkan kebijakan moneter longgar dengan menurunkan suku bunga nominal sebesar 100 bps, maka perbankan akan merespon tidak dengan menurunkan suku bunga sebesar 100 bps. Dengan kata lain proporsi penyesuaian antara suku bunga official dengan suku bunga perbankan kurang dari satu (< |1|), yang artinya perbankan tidak merespon kebijakan secara penuh. c.
Over Pass-Through Perubahan suku bunga bank sentral tidak hanya direspon penuh atau
kurang penuh oleh perbankan, tetapi juga dapat melebihi kebijakan. Fenomena ini
disebut over pass-through. Kondisi ini terjadi apabila proporsi penyesuaian suku bunga perbankan lebih besar dari suku bunga official (> |1|), artinya perbankan merespon kebijakan lebih dari yang semestinya. Misalnya jika diasumsikan bank sentral menerapkan kebijakan moneter ketat dengan menaikkan suku bunga nominal sebesar 75 bps, maka perbankan akan merespon dengan menaikkan suku bunga melebihi 75 bps.
2.2.1.
Mekanisme Interest Rate Pass-Through Kuan, et al (2008) menyebutkan bahwa sejalan dengan mekanismenya
akan terdapat berbagai hambatan yang menyebabkan proses pass-through tidak berjalan sempurna. Hal ini terutama dikarenakan adanya informasi tidak sempurna, risiko suku bunga, dan struktur keuangan internal perbankan yang menyebabkan terjadinya mekanisme symmetric atau asymmetric. Mekanisme pass-through dikatakan symmetric apabila perbankan dapat merespon dengan sempurna atau sejalan dengan kebijakan bank sentral. Misalnya diasumsikan jika bank sentral menaikkan suku bunga dalam rangka koreksi kebijakan, maka perbankan juga akan merespon dengan turut menaikkan suku bunganya meskipun tidak secara penuh. Mekanisme pass-through dikatakan asymmetric apabila perbankan merespon tidak sejalan dengan kebijakan bank sentral. Misalnya diasumsikan jika bank sentral menurunkan suku bunga untuk menggerakkan sektor riil, maka perbankan tidak segera merespon dengan menurunkan suku bunganya. Hal ini karena adanya selang waktu (time lag) untuk melakukan berbagai penyesuaian
internal dan eksternal sebelum perbankan menentukan tingkat bunga yang akan diberikan kepada masyarakat.
2.2.2.
Determinasi Interest Rate Pass-Through Ketidaksempurnaan dalam mekanisme pass-through dapat dilihat melalui
dua hal. Pertama, mengacu pada derajat pass-through, yaitu proses transmisi dimana perubahan pada suku bunga official direspon sampai pada suku bunga perbankan. Kedua, kecepatan pass-through, yaitu seberapa lama proses penyesuaian akan tercapai. Perbedaan kekuatan dan kecepatan transmisi ini pada umumnya disebabkan oleh beberapa hal diantaranya disintermediasi, intensitas kompetisi antarbank, modal dan posisi likuiditas bank, serta kebijakan moneter dan volatilitas suku bunga (Horváth et al, 2004). a.
Disintermediasi Derajat disintermediasi dan peran lembaga keuangan non-bank
memberikan pengaruh terhadap elastisitas suku bunga perbankan. Apabila bank kekurangan dana sementara permohonan pinjaman/kredit meningkat, maka yang dilakukan oleh bank agar kebutuhan dana tersebut cepat terpenuhi adalah dengan meningkatkan suku bunga simpanan. Namun peningkatan bunga simpanan ini akan mendorong kenaikan pada bunga kredit. Selanjutnya dapat dilihat bahwa permintaan kredit akan sangat tergantung pada tingkat bunga yang ditawarkan. Bila bank pada akhirnya memberikan tingkat suku bunga kredit yang cukup tinggi, perusahaan atau rumah
tangga akan beralih pada lembaga pembiayaan lainnya yang menawarkan suku bunga lebih rendah. Hal inilah yang membuat peran intermediasi bank berkurang.
b.
Kompetisi antarbank Intensitas kompetisi antarbank juga akan berpengaruh terhadap elastisitas
suku bunga kredit dan suku bunga deposito. Bila di suatu negara hanya terdapat beberapa bank ataupun lembaga non-bank yang menyebabkan persaingan diantaranya tidak sempurna (oligopolis), maka hal ini akan mempengaruhi proses pembentukan harga (bunga) dan memungkinkan terjadinya collusive pricing arrangements. c.
Modal dan Posisi Likuiditas Bank Modal dan tingkat likuiditas bank juga akan mempengaruhi mekanisme
pass-through, meskipun hanya sedikit. Paling tidak dengan kecukupan modal dan posisi likuiditas yang baik akan memudahkan bank dalam menyesuaikan tingkat suku bunganya. d.
Kebijakan Moneter dan Volatilitas Suku Bunga Selain disintermediasi, kompetisi antarbank, dan posisi likuiditas,
elastisitas bunga bank juga dipengaruhi oleh perubahan kebijakan moneter. Pada umumnya peningkatan suku bunga official bank sentral akan lebih cepat direspon oleh kenaikan suku bunga kredit. Namun sebaliknya bila terjadi penurunan pada suku bunga official, perbankan tidak dapat langsung menurunkan suku bunga kredit dan suku bunga depositonya pada waktu yang bersamaan. Perubahan
kebijakan ini menyebabkan bank-bank melakukan berbagai penyesuaian terhadap biaya-biaya internal karena terkait dengan berbagai risiko volatilitas maupun kondisi internal perbankan itu sendiri.
2.3.
Transmisi Kebijakan Moneter Melalui Jalur Suku Bunga Secara spesifik Taylor dalam Warjiyo (2004) mendefinisikan transmisi
kebijakan moneter sebagai “the process through which monetary policy decisions are transmitted into changes in real GDP and inflation“. Sejalan dengan perubahan struktur perekonomian dan perkembangan yang cukup pesat di bidang keuangan, terdapat lima saluran atau channels transmisi kebijakan moneter yang sudah sering dikemukakan dalam teori dewasa ini (Mishkin, 1995; Kakes, 2000; De Bondt, 2000; dan Bofinger, 2001 dalam Pohan, 2008). Kelima saluran tersebut adalah jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi. Salah satu jalur transmisi yang memiliki peran penting adalah jalur suku bunga. Berbeda dengan jalur langsung yang menggunakan Quantity Theory of Money dan menekankan aspek kuantitas pada proses perputaran uang, saluran suku bunga lebih menekankan pentingnya aspek harga di pasar keuangan terhadap berbagai aktivitas ekonomi di sektor riil. Dalam kaitan ini, kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral akan berpengaruh terhadap perkembangan berbagai suku bunga di sektor keuangan dan selanjutnya akan mempengaruhi tingkat inflasi dan output riil. Mekanismenya yaitu, tahap pertama, operasi moneter bank sentral akan direspon suku bunga jangka pendek dan selanjutnya akan berpengaruh pada suku bunga deposito yang ditawarkan bank kepada masyarakat penabung dan
suku bunga kredit yang dibebankan bank kepada debiturnya. Namun proses perubahan suku bunga bank yang akan diberikan kepada masyarakat ini tidak berlangsung segera, tetapi ada tenggat waktu (time lag) terutama disebabkan oleh kondisi internal bank dalam pengelolaan aset dan kewajibannya. Tahap selanjutnya, transmisi suku bunga dari sektor keuangan ke sektor riil akan tergantung pada pengaruhnya terhadap permintaan konsumsi dan investasi. Pengaruh suku bunga terhadap konsumsi berkaitan erat dengan peranan bunga sebagai komponen pendapatan masyarakat dari deposito (income effect) dan bunga kredit sebagai sumber pembiayaan konsumsi (substitution effect). Sementara itu, pengaruh suku bunga terhadap investasi terjadi karena bunga kredit merupakan komponen biaya modal (cost of capital) disamping yield obligasi dan dividen. Pengaruh perubahan suku bunga terhadap investasi dan konsumsi ini selanjutnya akan berdampak pada permintaan agregat yang pada gilirannya akan menentukan tingkat inflasi dan output riil (Pohan, 2008). Maski (2007) menjelaskan bahwa fokus utama jalur tingkat suku bunga adalah pada perubahan suku bunga jangka pendek yang merupakan instrumen yang secara penuh bisa dikendalikan oleh otoritas moneter. Sinyal perubahan pada short term interest rate instrument akan diteruskan pada long term-nya yang memiliki relevansi dengan investasi atau aktivitas penempatan kekayaan dengan maksud memaksimalkan hasil, misalnya pembelian barang-barang tahan lama yang tidak lain adalah aktivitas konsumsi. Selanjutnya suku bunga akan menimbulkan dampak pada cost of borrowing dan cash flow. Kemudian perubahan ini juga akan merubah nilai
marjinal biaya peminjaman, tingkat tabungan, dan akhirnya permintaan agregat turut berubah. Dampak pada cash flow akan terjadi pada saat suku bunga berubah dan hal ini berarti merubah pula pola perilaku cash flow pada borrowers dan lenders. Jadi akan terdapat dampak marginal dan average dari perubahan tingkat suku bunga. Sedangkan untuk memperjelas efek yang ditimbulkan di antara keduanya, diperlukan adanya penekanan pada konsep tingkat suku bunga nominal dan riil. Tingkat suku bunga riil mempengaruhi cost of borrowing yang akhirnya menentukan keputusan untuk melakukan aktivitas spending atau saving. Akan tetapi, kenaikan tingkat suku bunga nominal sama sekali tidak memberikan dampak pada nilai marginal dari aktivitas borrowing. Kondisi ini mencerminkan adanya ekspektasi inflasi yang terus meningkat yang kemudian akan mengubah cash flow dan balance sheet dari borrower seiring dengan perubahan tingkat suku bunga nominal. Permintaan agregat secara otomatis akan turut berubah dalam sequence seperti ini. Selain itu Maski (2007) juga memaparkan bahwa perubahan suku bunga memiliki pengaruh yang tidak langsung terhadap harga-harga aset (indirect effect via asset prices). Kebijakan merubah suku bunga memiliki dampak pada tingkat harga aset yang akhirnya mampu memberikan pengaruh kepada permintaan agregat. Yang dikategorikan sebagai aset disini adalah obligasi, saham, dan real estate. Misalnya, kenaikan suku bunga akan menurunkan harga aset dan balance sheet yang berujung pada menurunnya pula output dan pendapatan. Selanjutnya aktivitas ekonomi akan mengalami penurunan dan semuanya akan bermuara pada
permintaan agregat dan inflasi. Alur transmisi melalui jalur suku bunga dapat dilihat pada bagan berikut :
Deposits rate Monetary operation (policy rate)
Money market rate
Banking retail rates Lending rate
Consumption
Income effect
Substitution effect
Investment
Cost of capital
Aggregat Demand
Inflation and economic growth
Gambar 2.1. Transmisi Kebijakan Moneter Melalui Jalur Suku Bunga Selain jalur suku bunga, masih terdapat empat jalur transmisi lainnya yang lazim digunakan oleh bank sentral untuk mencapai sasaran akhir kebijakannnya seperti jalur nilai tukar, jalur kredit, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi. Sebagai contoh, gambar berikut memperlihatkan alur transmisi kebijakan untuk masing-masing jalur dengan contoh kasus di Indonesia.
SBI Auction
Interst rate
Open market operation
Credit Rupiah Intervention
Discount Facility
Asset price
Money market Liquidity
Domestic supply
Domestic inflation pressures
Domestic demand
I N F L A S I
Expectation & Confidence
RR
Foreign inflation pressures
Exchange rate
FX Sterilitation
Indicators : - M1, M2 - Bank’s loan Indicative targets : - Monetary base - NDA, MK - Liquidity support
-
Indicators : MMR Deposits rates Lending rates IHSG Exchange rate
Indicators : - Import price index
-
Indicators : Surveys Leadings Output gap Policy severity
Indicators : - CPI - Underlying core - Asset price - Other price - Adm/non - Trade/non - Food/non
Sumber : Maski, 2007.
21
Gambar 2.2. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
2.4.
Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan Kuan, et al (2008) menguji keberadaan
mekanisme pass-through pada suku bunga kredit. Dengan menggunakan model Threshold Autoregressive (TAR) dan Momentum-TAR (M-TAR) ditemukan bahwa terjadi asymmetric adjustment of pass-through pada suku bunga perbankan. Risiko suku bunga juga telah menyebabkan kointegrasi yang asimetris sekaligus menyebabkan kekakuan (rigidity) dalam jangka pendek. Liu, et al (2005) juga menguji degree of pass-through dan speed of adjustment dari berbagai suku bunga sebagai respon perubahan benchmark wholesale di New Zealand. Ditemukan fenomena complete long-term passthrough untuk beberapa suku bunga perbankan. Hasil empiris selanjutnya menunjukkan bahwa pemberlakuan Official Cash Rate (OCR) telah meningkatkan pass-through terhadap suku bunga deposito dan suku bunga mengambang lainnya, tetapi tidak pada suku bunga kredit tetap. Dengan kata lain, suku bunga official telah memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap suku bunga perbankan. Hovart, et al (2004) juga turut menguji mekanisme interest rate passthrough di Hungary. Melalui metode ECM ditemukan bahwa penyesuaian suku bunga perbankan mengalami incomplete pass-through dan kekakuan. Sementara melalui metode TAR ditemukan bahwa kecepatan penyesuaian suku bunga bank tergantung pada ukuran perubahan suku bunga official dan keseimbangan jangka panjang. Guncangan yield dan volatilitas juga turut mempengaruhi kecepatan penyesuaian.
Burgstaller (2003) melihat respon dinamis suku bunga kredit terhadap perubahan suku bunga kebijakan dan suku bunga pasar uang di Austria. Melalui metode Structural Vector Autoregression (SVAR), Burgstaller menunjukkan bahwa kekuatan dan kecepatan transmisi suku bunga tergantung apakah tingkat bunga naik atau turun. Implementasi European Monetary Union (EMU) tahun 1999 juga berdampak signifikan telah mengurangi efek asimetris dan mempercepat transmisi. Sama halnya dengan De Bondt (2002) yang juga menguji interest rate pass-through dengan menggunakan data beberapa negara di euro area. Penelitiannya menemukan bahwa proporsi pass-through atas perubahan suku bunga official terhadap suku bunga perbankan dalam satu bulan paling tinggi hanya sekitar 50 persen. Pass-through akan lebih tinggi dalam jangka panjang, terlebih pada suku bunga kredit yang hampir mendekati 100 persen. Sama dengan hasil penelitian Burgstaller (20030 bahwa sejak pemberlakuan euro proses passthrough berjalan lebih cepat. Donnay, et al (2001) menguji mekanisme pass-through dari suku bunga official terhadap berbagai suku bunga kredit, government bond, dan perekonomian di 12 negara Eropa. Melalui metode SVAR, hasil simulasi menunjukkan bahwa terdapat kondisi asimetris pada suku bunga kredit. Sementara dampak perubahan suku bunga official terhadap perekonomian (investasi dan konsumsi) akan tergantung pada magnitude dari pass-through. Menambahkan beberapa penelitian lain terkait interest rate pass-through, diantaranya yaitu Sander dan Kleimeier (2002) yang memperoleh hasil bahwa
dengan persaingan yang tidak sempurna dan kerangka penyesuaian biaya, telah terjadi kekakuan yang semakin meningkat pada suku bunga deposito dan kekakuan yang menurun pada suku bunga kredit di negara-negara Eropa. Temuan ini mendukung hipotesis bank’s collusive pricing arrangements. Sementara itu berdasarkan data Malaysia dan Singapura, hasil penelitian empiris Scholnick (1996) juga tidak menolak hipotesis ini. Lebih lanjut lagi, penelitian Lim (2001) menemukan bahwa bank-bank akan menunjukkan perilaku kekakuan yang meningkat pada kedua suku bunga perbankan di Australia. Sedangkan Iregui et al (2002) memperoleh hasil bahwa bank-bank di Colombia dan Mexico menunjukkan perilaku kekakuan yang rendah pada pembentukan suku bunga perbankan. Ketiga temuan terakhir ini juga turut mendukung hipotesis bank’s collusive pricing arrangements. Dalam menghitung derajat pass-through of interest, penelitian ini berbeda dari penelitian sebelumnya yang telah dipaparkan. Metode perhitungan derajat pass-through mengacu pada penelitian Sato, et al (2005) dan McCarthy (2006) seperti pada Achsani, N.A dan Khairani P. (2009). Metode perhitungan derajat pass-through sebelumnya digunakan untuk menghitung exchange rate pass-through terhadap indeks harga produsen dan indeks harga konsumen seperti yang diteliti oleh Nugraha, F.W dan N.A. Achsani (2008). Dengan menggunakan metode SVAR yang dikombinasikan Vector Error Correction Model (VECM), derajat pass-through dihitung melalui kumulatif Impulse Response Function (IRF) suku bunga perbankan terhadap guncangan suku bunga official dibagi dengan kumulatif IRF suku bunga official terhadap guncangan suku bunga official itu
sendiri. Melalui perhitungan ini akan ditemukan apakah derjat pass-through berjalan complete, noncomplete, atau over. Tabel berikut meringkas beberapa penelitian terdahulu dengan topik terkait, yaitu interest rate pass-through. Tabel 2.2. Beberapa Penelitian Terdahulu No
Peneliti
Metode
Kesimpulan
1.
Achsani, et al (2009)
SVAR dan Vector Error Correction Model (VECM)
1. Kondisi over passthrough terjadi pembentukan suku bunga deposito Indonesia dan kedua suku bunga perbankan di Vietnam. Selebihnya mengalami noncomplete passthrough. 2. Dapat dikatakan bahwa perbankan akan merespon signifikan guncangan pada suku bunga official.
Objek Pengamatan 8 negara Asia : Indonesia, Thailand, Singapura, Filipina, Malaysia, Vietnam, Jepang, dan Korea Selatan (periode 1999-2008)
3. Peranan suku bunga official di negara Indonesia, Malaysia, dan Vietnam cukup besar dibanding negara lainnya. 2.
Wang, et al (2008)
Threshold Autoregressive (TAR) dan MomentumTAR
1. Ditemui adanya mekanisme asymmetric adjustment of passthrough pada suku bunga kredit. 2. Terjadi kointegrasi yang asimetri antara suku bunga pasar dengan suku bunga kredit di Taiwan yang membuat kekakuan dalam penyesuaian bunga perbankan dalam jangka pendek.
Taiwan (Periode 1986-2005)
3.
Liu, et al (2005)
Ordinary Least Square (OLS) dan Error Correction Model (ECM)
1. Ditemukan adanya fenomena complete longterm pass-through untuk beberapa suku bunga perbankan.
New Zealand (Periode 1994-2004)
2. Pemberlakuan Official Cash Rate (OCR) akan meningkatkan passthrough pada suku bunga deposito dan suku bunga mengambang lainnya, tetapi tidak pada suku bunga kredit tetap. 4.
Horváth, et al (2004)
Threshold Autoregressive (TAR) dan Error Correction Model (ECM)
1. Melalui metode ECM, ditemukan bahwa mekanisme penyesuaian suku bunga deposito dan suku bunga kredit rumah tangga incomplete dan kaku.
Hungary (Periode 2001-2004)
2. Sementara melalui model TAR, kecepatan penyesuaian bunga perbankan tergantung pada ukuran perubahan bunga official yang menjadi benchmark. 5.
Burgstaller (2003)
Structural Vector Autoregression (SVAR)
1. Proses transmisi suku bunga di Austria adalah asimetris. 2. Pemberlakuan EMU memberikan dampak signifikan terhadap proses pass-through.
Austria (periode 1995-2002)
3. Penyesuaian suku bunga kredit relatif lebih kuat ketika suku bunga kebijakan menurun dan sebaliknya. 6.
Gabe De Bondt (2002)
Vector Autoregression (VAR)
1. Ditemukan fenomena incomplete pass-through dalam jangka pendek, sementara dalam jangka panjang bunga kredit memiliki derajat pass-
Euro Area (Periode 1996-2001)
through yang lebih tinggi yaitu mendekati 100 persen.
7.
Marie Donnay dan Hans Degryse (2001)
Structural Vector Autoregression (SVAR)
2. Sejak pemberlakuan mata uang euro pada Januari 1999, proses passthrough suku bunga perbankan berjalan lebih cepat. 1. Ditemukan kondisi asimetris pada pembentukan kredit di 12 negara Eropa. 2. Dampak banking lending rate pass-through pada kondisi makro ekonomi (konsumsi privat dan investasi) berbeda-beda tergantung pada besarnya pass-through.
12 negara Eropa : Austria, Spanyol, Portugal. Belgium, Belanda, Francis, Finlandia, Yunani, Irlandia, Italia, Inggris, dan Jerman (Periode 1980-2000)
2.5.
Kerangka Pemikiran Mekanisme pass-through suku bunga official terhadap suku bunga
perbankan menekankan bahwa pergerakan suku bunga bank sentral dapat mempengaruhi tinggi/rendahnya suku bunga perbankan yang selanjutnya akan berdampak pada perekonomian. Perhitungan derajat pass-through ditujukan untuk mengetahui seberapa besar perubahan kebijakan moneter melalui jalur suku bunga akan ditransmisikan pada suku bunga perbankan dan perekonomian. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini mengadopsi interest rate pass-through suku bunga kredit di Eropa yang diteliti oleh Donnay, et al (2001) dan Burgstaller (2003), namun dengan memperpanjang fokus pengamatan sampai pada perekonomian. Bagan berikut merupakan alur pemikiran teoritis dan operasional yang digunakan untuk melihat keefektifan kebijakan moneter dengan menghitung derajat pass through of interest dan respon guncangan suku bunga official di masing-masing negara ASEAN+3.
ASEAN+3
Bank Sentral
Jalur Transmisi
Nilai Tukar
Harga Aset
Suku Bunga (policy rate)
Ekspektasi
Kredit
Tergantung : 1. Siklus ekonomi 2. Asymmetric information 3. Volatilitas suku bunga 4. Kondisi internal perbankan
Suku Bunga Pasar (Money market rate)
Suku Bunga Perbankan (Banking Retail rates)
Suku Bunga Deposito (Deposits rate)
Suku Bunga Kredit (Lending rate)
Pendapatan Nasional dan tingkat harga
keterangan : = Fokus utama penelitian
Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Teoritis
Bank Sentral di ASEAN+3
Transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga
Permasalahan : 1.
2. 3. 4.
Derajat pass-through of interest, yaitu seberapa besar perubahan suku bunga official bank sentral akan ditransmisikan pada suku bunga perbankan dan perekonomian. Respon suku bunga perbankan dan perekonomian apabila terdapat guncangan pada suku bunga official. Kontribusi suku bunga official dalam menjelaskan variabilitas suku bunga perbankan dan perekonomian. Hubungan jangka panjang antara suku bunga official dengan tingkat harga, laju inflasi, dan pendapatan nasional secara bivariate.
Indikator derajat pass-through : 1. Complete pass-through, = 1 2. Noncomplete pass-through, < |1| 3. Over pass-through, > |1|
Metode Analisis SVAR dan VECM
Simulasi IRF
Simulasi FEVD
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
Gambar 2.4. Kerangka Pemikiran Operasional
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
dalam bentuk deret waktu bulanan (monthly time series) periode Mei 1999 sampai dengan September 2008, kecuali Malaysia dan Thailand.3 Negara yang akan diamati adalah ASEAN+3 (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina, Jepang, dan Korea Selatan). Data diperoleh dari International Financial Statistic (IFS) versi online dan CEIC Asia database. Selain itu penulis juga melakukan studi pustaka dengan membaca jurnal, artikel internet, dan berbagai literatur lainnya yang berkaitan dan relevan dengan permasalahan yang diteliti. Untuk mendapatkan hasil analisis yang lebih valid dan konsisten maka seluruh data ditransformasi ke dalam bentuk logaritma natural (ln) dan diubah menjadi tahun dasar 2000, kecuali data suku bunga. Untuk data Gross Domestic Product (GDP) dan Indeks Harga Konsumen (IHK) yang merepresentasikan perekonomian akan diubah terlebih dahulu menjadi seasonal adjustment.4 Secara rinci, sumber data dan variabel yang digunakan dalam penelitian ini dicantumkan dalam Tabel 3.1 berikut :
3 4
Malaysia (April 2004 – September 2008) dan Thailand (Mei 1999 – Februari 2008) EViews 6 Package (ratio moving to average)
Tabel 3.1. Variabel dan Sumber Data No
Jenis Variabel
1.
Suku Bunga Official
2.
3.
4.
Suku Bunga Pasar Uang
Suku Bunga Deposito
Suku Bunga Kredit
Negara
Proksi yang digunakan
Sumber Data
Ind Malay Sing Thai Filip Jpg Korea
SBI-rate: 30 days Overnight Policy Rate Interbank Rate: Overnight Repurchase Rate: 1 Day Overnight RRP Rates Discount Rate Base Rate: Bank of Korea
Ind Malay Sing Thai Filip Jpg Korea
Call money rate: 1 day Interbank rate : Overnight Interbank rate: 3 months Interbank rate : Overnight: BOT Interbank call loan rates Call money rate Call rates: Overnight
IFS
Ind Malay Sing Thai Filip Jpg Korea
3-months deposits NC Fixed deposits 3 months Time deposit rate (3 months) Deposit rate Deposit rate:time (61-90 days) Deposit rate Time dep.at DMB:1 yr.or more
IFS
Ind Malay Sing Thai Filip Jpg Korea
Working capital : comm. banks Average lending rate Prime lending rate Prime lending rate Average lending rate Av. Loans & discount rate Lending rate
IFS
CEIC
5.
Produk Domestik Bruto Riil
ASEAN+3
Gross Domestic Product
CEIC
6.
Tingkat harga
ASEAN+3
Consumer Price Index
CEIC
3.2.
Metode Pengolahan dan Analisis Data Dampak perubahan suku bunga official bank sentral terhadap bunga
perbankan (interest rate pass-through) dan perekonomian di ASEAN+3 akan
dianalisis dengan menggunakan metode Structural Vector Autoregression (SVAR). Apabila terdapat kombinasi linear diantara variabel nonstasioner yang terkointegrasi pada ordo yang sama, model SVAR akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan (error correction model) menjadi cointegrating VAR atau disebut dengan istilah Vector Error Correction Model (VECM) untuk dilakukan pengujian kointegrasi. Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan bantuan software atau perangkat lunak microsoft excel 2007 dan Eviews 6.
3.2.1.
Analisis Structural Vector Autoregression (SVAR) Pemodelan Vector Autoregression (VAR) adalah bentuk pemodelan yang
digunakan untuk menganalisis multivariate time series yang pada umumnya digunakan pada data makroekonomi sebagai alternatif dari persamaan simultan (Lütkepohl, 2005). Model VAR pertama kali dikembangkan oleh Cristoper A. Sim (1980), dimana pemodelan VAR merupakan suatu sistem persamaan yang memperlihatkan setiap peubah sebagai fungsi linear dari konstanta dan nilai lag peubah itu sendiri serta nilai lag dari peubah lain yang ada dalam sistem. Dalam VAR, pemisahan variabel eksogen dan endogen diabaikan serta menganggap bahwa semua variabel yang digunakan dalam analisis berpotensi menjadi variabel endogen. Spesifikasi model VAR sesuai dengan kriteria Sim (1980) meliputi pemilihan variabel sesuai dengan teori ekonomi yang relevan dan sesuai dengan pemilihan lag yang digunakan dalam model. Dalam pemilihan selang optimal yang akan dipakai dalam sistem, beberapa kriteria informasi seperti Akaike
Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SC), maupun Hannan-Quinn Criterion (HQ) dapat dimanfaatkan sebagai panduan. Model VAR dikembangkan sebagai solusi atas kritikan terhadap model persamaan simultan (Amisano dan Giannini dalam Nugraha, 2008), yaitu : 1. Spesifikasi dari sistem persamaan simultan terlalu berdasarkan agregasi dari model keseimbangan parsial tanpa adanya fokus untuk menghasilkan hubungan yang hilang (omitted interrelation). 2. Struktur dinamis dari model seringkali dispesifikasikan dengan tujuan memberikan restriksi yang perlu dalam mendapatkan identifikasi dari bentuk struktural. Oleh karena itu muncul pemodelan VAR untuk mengatasi kritikan di atas, terutama dalam hal menentukan pengelompokan variabel endogen dan eksogen. McCoy dalam Nugraha (2008) menyebutkan bahwa pendekatan VAR berusaha membiarkan ”let data speaks for themselves” dengan membuat semua variabel berpotensi menjadi variabel endogen. Dengan demikian dalam kerangka VAR setiap variabel, baik dalam level maupun first difference diperlakukan secara simetris di dalam persamaan yang mengandung regressor set yang sama. Pemodelan Structural Vector Autoregression (SVAR) merupakan bentuk perluasan dari metode VAR. Analisis SVAR juga dianggap sebagai jembatan antara
teori
ekonomi
dengan
multiple
time
series
analysis.
Sebagai
konsekuensinya, metode ini seringkali harus berhubungan dengan suatu analisis guncangan (analysis of disturbances).
Dalam model VAR tidak dibuat suatu restriksi teoritis (atheoretic restriction) tertentu berdasarkan teori ekonomi yang relevan pada variabel yang digunakan dalam analisis, sedangkan dalam SVAR dibuat suatu restriksi berdasarkan teori ekonomi yang relevan. Restriksi tersebut disusun berdasarkan hubungan yang kuat akan skema peta hubungan dalam bentuk urutan (ordering) variabel-variabel yang digunakan dalam sistem VAR. Oleh karena itu SVAR juga dikenal sebagai bentuk VAR yang teoritis (theoritical VAR). Dalam analisis VAR, interaksi dinamis diantara variabel biasanya diperoleh melalui simulasi impulse response atau forecast error variance decomposition. Untuk mengidentifikasi inovasi ini biasanya memerlukan asumsi dari teori yang relevan karena proses identifikasi ini tidak dapat diperiksa melalui alat analisis statistik (statistical tools). Oleh sebab itu model SVAR dikembangkan sebagai kerangka kerja untuk mengidentifikasi restriksi terhadap inovasi yang akan diperoleh melalui analisis impuls respon (Lütkepohl, 2005). Spesifikasi model SVAR yang digunakan dalam penelitian ini untuk melihat dampak perubahan suku bunga official terhadap suku bunga perbankan dan perekonomian di negara ASEAN+3 adalah sebagai berikut :
1 b 21 b31 b41 b51 b61
b12 1 b32 b42 b52 b62
b13 b23 1 b43 b53 b63
b14 b24 b34 1 b54 b64 B
b15 b25 b35 b45 1 b65
b16 b26 b36 b46 b56 1
At 10 11 B t 20 21 Ct 30 31 Dt 40 41 Et 50 51 Ft 60 61 yt
0
12 22 32 42 52 62
13 23 33 43 53 63
14 24 34 44 54 64 Γi
15 25 35 45 55 65
16 26 36 46 56 66
At i B t i Ct i Dt i Et i Ft i
1t 2t 3t 4 t 5t 6 t
yt-i
εt (3.1)
Menurut Zivot (2000), persamaan SVAR untuk model diatas dapat diringkas menjadi: n
BYt 0 iYt i t
(3.2)
i 1
dimana : B
= matrix n x n yang mengandung parameter struktural dari variabel endogen,
yt
= vektor variabel endogen policy rate (PR), suku bunga pasar uang (MM), suku bunga deposito (DR), suku bunga kredit (LR), GDP riil (GDP), dan indeks harga konsumen (IHK),
0
= intersep,
Γi
= matriks polinomial (finite order matrix) dengan lag operator i,
yt-i
= vector autoregressive dengan lag operator i,
εt
= vector white noise. Persamaan (3.2) di atas memiliki masalah dalam representasi. Hal ini
disebabkan oleh koefisien dari matriks B yang tidak diketahui dan setiap variabel memiliki efek kontemporer (contemporaneous effect). Oleh karena itu tidak mungkin untuk menentukan nilai parameter dalam model tersebut karena model tersebut tidak dapat diidentifikasi secara penuh. Oleh sebab itu, persamaan (3.2) memungkinkan untuk ditransformasi kedalam persamaan reduced-form (McCoy, 1997). Persamaan reduced-form yang terbentuk akan merepresentasikan sebuah bentuk Vector Moving Average (VMA) atau dikenal dengan istilah world representation, dimana persamaan ini dapat digunakan untuk menghilangkan
korelasi antar eror yang terjadi dalam model estimasi VAR. Menurut Zivot (2000), persamaan matematis VMA adalah sebagai berikut :
yt B 1 0 B 11 yt 1 B 1 t a0 A1 yt 1 ut
(3.3)
Sistem pada persamaan (3.3) disebut sebagai model VAR standar (standar VAR representation). Error term (ut) adalah kombinasi linear dari eror struktural (εt), dimana error term tersebut memiliki nilai rata-rata nol (zero mean) dan nilai kovarian yang konstan. Pada model SVAR, cholesky factorization (Ω) dari matriks Σ digunakan untuk merepresentasikan perpindahan dari non-orthogonal VMA ke orthogonal VMA (Amisano dan Giannini dalam Nugraha, 2008). Matrix ∑ merupakan varian/kovarian dari residual (ut) yang berasal dari sistem VAR standar, dimana persamaan matematis matrix ∑ adalah sebagai berikut (Zivot, 2000) :
E ut ut' B 1 E t t' B 1 B 1 DB 1'
3.2.2.
(3.4)
Analisis Vector Error Correction Model (VECM) Kointegrasi merupakan kombinasi linear diantara variabel nonstasioner
yang terkointegrasi pada ordo yang sama (Enders, 2000). Apabila terdapat dua atau lebih variabel bersifat nonstasioner yang terlibat dalam suatu persamaan pada tingkat level, maka kemungkinan terdapat hubungan kointegrasi pada persamaan
tersebut. Jika setelah dilakukan pengujian kointegrasi ditemui adanya hubungan kointegrasi maka model SVAR akan dikombinasikan dengan Vector Error Correction Model (VECM) untuk mengantisipasi hilangnya informasi jangka panjang. Melalui pemodelan ini pula akan diperoleh informasi kecepatan penyesuaian (speed of adjustment) atas ketidakstabilan hubungan jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang. Adapun persamaan VECM secara sistematis ditunjukkan oleh persamaan berikut (Verbeek dalam Nugraha, 2008) : k 1
Yt i Yt i Yt 1 t
(3.5)
i 1
dimana : π
= koefisien hubungan jangka pendek,
β
= koefisien hubungan jangka panjang,
γ
= kecepatan menuju keseimbangan (speed of adjustment).
3.2.3.
Restriksi Sementara Tujuan utama penggunaan model SVAR adalah untuk memperoleh non-
recursive ortogonal dari error term untuk selanjutnya dianalisis impulse response atau forecast error variance decomposition-nya. Oleh karena itu dalam model SVAR akan dimasukkan sejumlah restriksi untuk mengidentifikasi komponen struktural atau ortogonal dari error term. Dalam penelitian ini akan dimasukkan sebanyak 1 K K 1restriksi bernilai nol untuk memperoleh just identification 2
struktural inovasi dalam matriks B. Identifikasi restriksi ini merupakan restriksi jangka pendek yang memiliki dampak sementara (contemporaneous restrictions)
(McCoy, Amisano & Giannini dalam Nugraha, 2008; Lütkepohl, 2005). Variabel yang menempati urutan pertama akan mempengaruhi variabel yang kedua, yang kedua akan mempengaruhi yang ketiga, dan seterusnya, namun tidak mempengaruhi variabel sebelumnya (previous variable). Dengan demikian, jumlah restriksi bernilai nol yang harus dimasukkan kedalam persamaan SVAR pada penelitian ini adalah sebanyak 15 karena persamaan memiliki 6 variabel. Oleh karena itu akan diperoleh sebanyak 21 persamaan untuk restriksi model jangka pendek.
3.2.4.
Model Restriksi Model restriksi yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada
model penelitian Donnay, M. dan H. Degryse (2001) dan Burgstaller (2003), yaitu mengasumsikan bahwa tidak ada contemporaneous effect pada guncangan suku bunga perbankan terhadap suku bunga official (previous variable). Suku bunga official yang digunakan oleh Donnay et al (2001) adalah suku bunga pasar uang (money market rate). Sedangkan Burgstaller (2003) menempatkan tingkat inflasi sebagai faktor eksternal (first ordering) yang menyebabkan suku bunga official berubah dan selanjutnya akan mempengaruhi transmisi kebijakan moneter terhadap suku bunga kredit dan pertumbuhan jumlah kredit. Donnay et al (2001) menggunakan dua metode untuk mengamati passthrough of interest yaitu bivariate dan multivariate SVAR. Bivariate SVAR digunakan untuk melihat hubungan struktural antara suku bunga official dengan suku bunga perbankan (lending rate), sementara multivariate SVAR digunakan
untuk menambahkan pengaruh variabel makroekonomi terhadap perubahan suku bunga official yang akan ditransmisikan pada suku bunga perbankan. Berbeda dengan pemodelan Donnay et al (2001) dan Burgstaller (2003), pada penelitian ini mekanisme pass-through diberi urutan menurut jalur transmisi traditional interest rate effects dikombinasi dengan credit view. Penelitian ini dapat dikatakan menggunakan metode multivariate SVAR dengan urutan variabel : suku bunga official, suku bunga pasar uang, suku bunga deposito, suku bunga kredit, tingkat harga, dan pendapatan nasional (GDP). Model restriksi SVAR yang digunakan untuk melihat dampak perubahan suku bunga official terhadap suku bunga perbankan dan perekonomian di ASEAN+3 adalah sebagai berikut :
1 b 21 b31 b41 b51 b61
0 1 b32 b42 b52 b62
0 0 1 b43 b53 b63
0 0 0 1 b54 b64
0 0 0 0 1 b65
Bij
0 0 0 0 0 1
e pr mmr e e dr lr e e cpi gdp e e
Z ij
1t 2t 3t 4 t 5 t 6 t
Zij
εij (3.6)
dimana : Bij = elemen dari B, e
= residual (error term) dari guncangan ortogonal,
Zij = cholesky restrictions, εit = vektor guncangan ortogonal.
Struktur dasar model ini dimulai dengan : (1) guncangan pada suku bunga official bank sentral; (2) setiap perubahan suku bunga ini akan segera direspon oleh suku bunga pasar uang; (3) selanjutnya melalui berbagai mekanisme penyesuaian internal dan eksternal, maka perbankan akan menetapkan suku bunga deposito yang akan diberikan pada nasabahnya (short-run nominal interest rate); (4) sebagai konsekuensinya, besarnya suku bunga deposito akan mempengaruhi besarnya suku bunga kredit. Lebih jelasnya perumusan model dapat dilihat pada persamaan matematis berikut :
PRi Et n PRi ipr
(3.7)
MM i Et n MM i 1i eipr imm
(3.8)
DRi Et n DRi 1i eipr 2i eimm idr
(3.9)
LRi Et n LRi 1i eipr 2i eimm 3i eidr ilr
(3.10)
Selanjutnya akan dilihat dampak perubahan bunga official bank sentral hingga sampai pada sektor riil yang tercermin melalui pembentukan GDP dan IHK, sehingga persamaan akan ditulis menjadi :
IHKi Et n IHKi 1i eipr 2i eimm 4 i eidr 5i eilr icpi
(3.11)
GDPi Et n GDPi 1i eipr 2i eimm 4i eidr 5i eilr 6 i eicpi igdp (3.12) dimana,
PRi
= suku bunga acuan di negara i,
MMi
= suku bunga pasar uang di negara i,
DRi
= suku bunga deposito di negara i,
LRi
= suku bunga kredit di negara i,
GDPi
= tingkat GDP di negara i,
IHKi
= tingkat IHK di negara i,
Et-n (PRi)
Et-n (MMi)
Et-n (DRi)
=
lag suku bunga acuan berdasarkan n periode sebelumnya di negara i,
=
lag suku bunga pasar uang berdasarkan n periode sebelumnya di negara i,
=
lag suku bunga deposito berdasarkan n periode sebelumnya di negara i,
Et-n (LRi)
= lag suku bunga kredit berdasarkan n periode sebelumnya di negara i,
Et-n (GDPi)
= lag output berdasarkan n periode sebelumnya di negara i,
Et-n (IHKi)
= lag IHK berdasarkan n periode sebelumnya di negara i,
itpr
= guncangan suku bunga acuan (policy rate),
itmm
= guncangan suku bunga pasar uang,
itdr
= guncangan suku bunga deposito,
itlr
= guncangan suku bunga kredit,
itgdp
= guncangan output (GDP),
itcpi
= guncangan IHK,
i
= negara,
t
= periode waktu (bulan),
n
= panjang selang (lag).
3.2.5.
Data Generating Process
3.2.5.1. Pengujian Stasioneritas Data Sebelum mengestimasi model yang akan digunakan, langkah awal yang harus dilakukan adalah Data Generating Process (DGP). Salah satu tahapan DGP yaitu uji stasioneritas data atau unit root test. Pengujian ini sangat penting dilakukan dalam proses analisis menggunakan data deret waktu. Hal ini dikarenakan data deret waktu pada umumnya mengandung akar unit (unit root), dimana nilai rata-rata dan variansnya berubah sepanjang waktu. Apabila data yang mengandung unit root atau nonstasioner dimasukkan dalam perhitungan statistik model regresi sederhana, maka kemungkinan besar estimasi akan gagal mencapai nilai yang sebenarnya atau disebut juga spurious estimation (Thomas, 1997). Karena menurut Gujarati (2003), data yang stasioner akan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-rata dan berfluktuasi di sekitar nilai rata-ratanya. Untuk menguji ada atau tidaknya akar unit pada data yang digunakan, maka dalam penelitian ini menggunakan Augmented Dickey-Fuller Test (ADFTest). Uji stasioneritas data dengan menggunakan ADF-Test dimulai dari sebuah proses autoregresi orde pertama, yaitu :
Yt Yt 1 ut
(3.13)
dimana, ut adalah white noise error term dengan mean nol dan varians konstan. Kondisi di atas disebut random walk, dimana variabel Yt ditentukan oleh variabel sebelumnya (Yt-1). Dengan demikian apabila nilai ρ = 1, maka persamaan
(3.13) mengandung akar unit atau tidak stasioner. Selanjutnya metode pengujian ADF-Test dapat dilakukan dengan memodifikasi persamaan (3.13) dengan mengurangi Yt-1 pada kedua sisi persamaan, sehingga persamaan menjadi:
Yt Yt 1 Yt 1 Yt 1 ut 1 Yt 1 ut
(3.14)
persamaan diatas dapat ditulis,
Yt Yt 1 ut
(3.15)
dimana δ = (ρ-1) dan Δ (delta) merupakan perbedaan pertama (first difference). Oleh karena itu hipotesis pada persamaan (3.15) adalah H0 : = 0 dan hipotesis alternatifnya atau H1 : < 0. Nilai H0 : = 0 menunjukkan bahwa persamaan tersebut tidak stasioner, sementara H1 : < 0 menunjukkan bahwa persamaan tersebut mengikuti proses yang stasioner. Jadi apabila probabilitas (taraf nyata 1 persen, 5 persen, atau 10 persen) menyatakan menolak H0, artinya data time series tersebut bersifat stasioner, begitu pula sebaliknya. Pada persamaan (3.15) diasumsikan bahwa error term (ut) tidak berkorelasi. Apabila terdapat kasus error term-nya berkorelasi, maka contoh persamaan yang dapat diuji stasioneritasnya melalui ADF-Test dapat ditulis sebagai berikut (Gujarati, 2003): m
Yt 1 2 t Yt 1 i Yt i t i 1
(3.16)
dimana, εt adalah pure white noise error term dan Yt 1 Yt 1 Yt 2 ,
Yt 2 Yt 2 Yt 3 , dan seterusnya. Untuk kasus persamaan seperti ini, pengujian hipotesis yang dilakukan masih sama dengan sebelumnya yaitu H0 : = 0 (tidak stasioner) dan hipotesis alternatinya adalah H1 : < 0 (stasioner). Artinya, jika H0 ditolak maka data yang digunakan stasioner dan begitu juga sebaliknya. Persamaan yang digunakan untuk mengetahui apakah sebuah data deret waktu bersifat stasioner atau tidak adalah ordinary least squares (OLS) dengan melihat nilai t-statistik dari estimasi δ. Persamaan matematisnya yaitu :
t hit
S
(3.17)
Dimana, δ adalah nilai dugaan parameter dan Sδ adalah simpangan baku dari δ. Apabila nilai t-statistik lebih kecil dari nilai t-statistik ADF (dalam nilai kritikal 1 persen, 5 persen, atau 10 persen), maka keputusannya adalah tolak H0 atau dengan kata lain data bersifat stasioner.
3.2.5.2. Penetapan Lag Optimal Langkah penting selanjutnya yang harus dilakukan dalam menggunakan model SVAR dan VECM adalah penentuan jumlah lag optimal yang digunakan dalam model. Pengujian panjang lag optimal dapat memanfaatkan beberapa kriteria informasi yaitu Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SIC) dan Hannan-Quinn Criterion (HQ). Kriteria informasi ini telah digunakan secara luas dalam proses analisis data deret waktu untuk mengetahui
ketepatan lag yang akan digunakan dalam model. Dalam penelitian ini untuk dapat menentukan lag optimal, maka akan digunakan kriteria SIC dengan nilai terkecil.
3.2.5.3. Pengujian Stabilitas VAR Metode yang digunakan untuk menghitung derajat pass-through, analisis pengaruh guncangan suku bunga official, dan kontribusi suku bunga official terhadap suku bunga perbankan adalah analisis impulse response function (IRF) dan analisis peramalan dekomposisi ragam galat (FEVD). Namun sebelum melakukan kedua analisis tersebut, sistem persamaan VAR yang telah terbentuk harus diuji terlebih dahulu kestabilannya melalui VAR stability condition check. Menurut Windarti dalam Sitaresmi (2006), uji stabilitas VAR dilakukan dengan menghitung akar-akar dari fungsi polinomial atau dikenal dengan istilah roots of characteristic polinomial. Jika semua akar dari fungsi polinomial tersebut berada didalam unit circle atau jika nilai absolutnya lebih kecil dari satu (< 1), maka model VAR telah stabil sehingga IRF dan FEVD yang dihasilkan dianggap valid.
3.2.5.4. Pengujian Kointegrasi Uji kointegrasi bertujuan untuk menentukan apakah variabel-variabel yang tidak stasioner dalam level memiliki kointegrasi atau tidak. Konsep kointegrasi dikemukakan oleh Engle dan Granger (1987) sebagai kombinasi linear dari dua atau lebih variabel yang tidak stasioner akan menghasilkan variabel yang stasioner. Kombinasi linear ini dikenal dengan istilah persamaan kointegrasi dan dapat diinterpretasikan sebagai hubungan keseimbangan jangka panjang diantara
variabel. Dalam penelitian ini, untuk menguji keberadaan kointegrasi diantara variabel-variabel akan digunakan Johansen Cointegration Test (1991, 1995a) yang ditunjukkan oleh persamaan matematis berikut : p
yt 0 yt 1 i yt 1 t
(3.18)
i 1
Jika trace statistic > critical value (MacKinnon-Haug-Michelis p-value), maka persamaan tersebut terkointegrasi. Dengan demikian hipotesis nul-nya (H0) adalah non-kointegrasi dan hipotesis alternatifnya (H1) adalah kointegrasi. Oleh sebab itu jika trace statistic > critical value, maka H0 ditolak atau dengan kata lain menerima H1 yang artinya terjadi kointegrasi. Setelah jumlah persamaan yang terkointegrasi telah diketahui maka tahapan analisis dilanjutkan dengan analisis Vector Error Correction Model (VECM).
3.2.6.
Innovation Accounting
3.2.6.1. Impulse Response Function Menurut Enders (2000), cara yang paling baik untuk mencirikan struktur dinamis dalam model adalah dengan menganalisa respon dari model terhadap guncangan. Ada dua cara untuk melakukan hal tersebut, yaitu dengan analisis Impulse Response Function (IRF) atau analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD). Melalui analisis IRF akan dapat dilihat hubungan dinamis diantara variabel dengan menunjukkan bagaimana variabel endogen bereaksi terhadap sebuah shock dalam variabel itu sendiri ataupun variabel endogen lainnya.
Menurut Pindyk dan Rubinfeld dalam Sitaresmi (2006), IRF adalah metode yang digunakan untuk menentukan respon suatu variabel endogen terhadap suatu shock tertentu, karena sesungguhnya shock variabel (misalnya ke-i) tidak hanya berpengaruh terhadap variabel ke-i itu saja tetapi akan ditransmisikan kesemua variabel endogen lainnya melalui struktur dinamis atau struktur lag dalam VAR. Dengan kata lain, IRF mengukur pengaruh suatu shock pada satu waktu terhadap variabel endogen pada saat tersebut dan dimasa yang akan datang. Analisis IRF dalam penelitian ini dilakukan untuk menilai respon dinamik suku bunga perbankan dan perekonomian terhadap guncangan (shock) pada variabel suku bunga official bank sentral. Oleh karena itu permasalahan pertama dan kedua akan terjawab melalui analisis ini.
3.2.6.2. Forecast Error Variance Decomposition Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) merupakan metode yang dilakukan untuk melihat perubahan dalam suatu variabel yang ditunjukkan oleh perubahan error variance yang dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya. Selain itu metode ini juga merupakan alternatif dalam melihat hubungan dinamis diantara variabel dalam VAR (Lütkepohl, 2005). Melalui metode ini dapat dilihat kekuatan dan kelemahan masing-masing variabel dalam mempengaruhi variabel lainnya dalam kurun waktu yang panjang. Jadi, melalui FEVD dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi dari variabel tertentu. Melalui analisis ini akan diidentifikasi bagaimana peranan dari suku bunga official bank sentral dalam mempengaruhi perilaku suku bunga perbankan dan perekonomian.
3.2.7.
Derajat Pass-Through Dalam menghitung derajat pass-through of interest, metode yang
digunakan mengacu pada Sato, et al dan McCarthy dalam N.A. Achsani (2009). Dimana cholesky decomposition digunakan untuk mengidentifikasi guncangan struktural dan menghitung derajat pass-through melalui analisis impulse response. Derajat pass-through dihitung berdasarkan kumulatif impulse response suku bunga perbankan (deposito dan kredit) terhadap guncangan suku bunga official dibagi dengan kumulatif impulse response suku bunga official terhadap guncangan suku bunga official itu sendiri. Adapun persamaan matematisnya dapat ditulis sebagai berikut : n
Derajat pass-through =
br nt
pr nt
i 1 n
i 1
(3.19)
Keterangan : 1.
Complete pass-through, jika nilai sama dengan satu (= 1),
2.
Noncomplete pass-through, jika nilai lebih kecil dari satu (< |1|),
3.
Over pass-through, jika nilai lebih besar dari satu (> |1|).
dimana, n
i 1
br nt
= kumulatif respon banking retail rates (suku bunga deposito dan suku bunga kredit) terhadap inovasi policy rate untuk negara tertentu (t) dari horizon pertama sampai ke-n,
n
i 1
pr nt
= kumulatif respon suku bunga official terhadap inovasi suku bunga official itu sendiri untuk negara tertentu (t) dari horizon pertama sampai ke-n.
IV.
RESPON SUKU BUNGA PERBANKAN DAN PEREKONOMIAN TERHADAP GUNCANGAN SUKU BUNGA OFFICIAL DI ASEAN+3
Pada bagian ini akan dibahas secara empiris hasil analisis structural vector autoregression (SVAR) dan Vector Error Correction Model (VECM). Secara berurut, akan dijelaskan terlebih dahulu trend suku bunga di masingmasing negara. Selanjutnya memaparkan data generating process meliputi uji stasioneritas data, penetapan lag optimal, uji stabilitas VAR, dan uji kointegrasi. Bagian selanjutnya menganalisis derajat pass-through of interest. Terakhir, membahas dampak dan peranan suku bunga official terhadap suku bunga perbankan dan perekonomian di ASEAN+3.
4.1.
Trend Suku Bunga di ASEAN+3 Analisis dimulai dengan memberikan gambaran pergerakan suku bunga
official, suku bunga perbankan, dan tingkat inflasi di ASEAN+3 periode Mei 1999 sampai September 2008 untuk memperoleh gambaran umum perilaku berbagai suku bunga dan tingkat inflasi yang mungkin bersifat sama untuk negara lain dalam satu kawasan. Dari Gambar 4.1 terlihat bahwa terdapat korelasi yang cukup kuat antara suku bunga official, suku bunga perbankan, dan laju inflasi. Kenaikan suku bunga official searah dengan kenaikan laju inflasi dan kenaikan suku bunga deposito dan suku bunga kredit. Lebih jauh lagi dapat dilihat bahwa posisi suku bunga kredit hampir selalu berada di atas suku bunga deposito.
Malaysia
33
19
28
16
23
13
persen (%)
persen (%)
Indonesia
18 13
10 7 4
8 3
1
-2
-2
Thailand 19
16
16
13
13
persen (%)
persen (%)
Singapura 19
10 7 4
10 7 4
1
1
-2
-2
Jepang
19
19
16
16
13
13
persen (%)
persen (%)
Filipina
10 7 4
10 7 4
1
1
-2
-2
Korea Selatan 19
persen (%)
16 13 10 7 4
Keterangan: = bunga official = bunga deposito = bunga kredit = inflasi
1 -2
Sumber : CEIC Asia Database (diolah).
Gambar 4.1. Pergerakan Suku Bunga Official, Suku Bunga Perbankan, dan Inflasi di ASEAN+3
Secara umum terdapat beberapa esensi penting dari Gambar 4.1, yaitu : Pertama, terjadi structural breaks sebelum tahun 1999. Terlihat pada pangkal awal grafik yang menunjukkan penurunan dari periode sebelumnya. Diduga kuat hal ini disebabkan oleh fenomena krisis keuangan di Asia pada tahun 1997/1998. Dari gambar terlihat bahwa negara yang mengalami kenaikan suku bunga cukup tajam adalah Indonesia, Thailand, dan Filipina. Berbeda dengan Singapura, Jepang, dan Korea yang terlihat cukup stabil sebelum tahun 1999. Sedangkan untuk Malaysia tidak terlihat gejolak pada suku bunga karena periode pengamatan yang jauh dari tahun 1999. Peningkatan suku bunga official waktu itu ditujukan untuk menjaga agar tidak terjadi capital outflow besar-besaran dari pasar domestik karena tingginya angka inflasi di kawasan Asia pada masa itu. Indonesia menempati posisi suku bunga tertinggi di kawasan ASEAN yaitu 30,67 persen periode September-1998. Selain itu dapat pula dilihat bahwa suku bunga deposito dan suku bunga kredit akan bergerak searah suku bunga official bank sentral. Kedua, pasca terjadinya krisis keuangan di Asia terlihat suku bunga perlahan-lahan menurun. Penurunan suku bunga ini menandakan bahwa berangsur-angsur perekonomian Asia mulai pulih dari krisis. Namun diantara negara-negara ASEAN, Indonesia tetap menempati posisi suku bunga tertinggi yang menandakan bahwa tingkat inflasi di Indonesia masih yang tertinggi di kawasan ASEAN. Periode September-2008, inflasi Indonesia berada pada posisi 12,14 persen. Tingkat inflasi ini jauh berbeda dengan Singapura yang hanya berkisar 6,72 persen dan Thailand yang hanya 6,05 persen (CEIC Database). Bisa dikatakan bahwa angka inflasi Indonesia hampir dua kali lipat negara tetangganya.
Ketiga, suku bunga terendah dan dikatakan cukup stabil adalah suku bunga Singapura dan Jepang, meskipun Singapura sedikit mengalami fluktuasi di tahun 2007. Hal ini wajar saja terjadi, sebab kedua negara ini merupakan negara maju yang perekonomiannya cukup stabil diantara negara ASEAN. Ketika suatu negara sedang tumbuh dan kembang maka akan mendorong peningkatan transaksi ekonomi. Dengan meningkatnya aktivitas ekonomi tentunya menyebabkan kenaikan jumlah permintaan uang dan jumlah uang yang beredar. Apabila otoritas moneter tidak mengimbangi jumlah uang yang beredar dengan peningkatan jumlah permintaan uang di masyarakat maka akan mendorong kenaikan suku bunga. Kenaikan suku bunga ini dilakukan untuk mengantisipasi gejolak ekonomi yang terjadi akibat adanya ekspektasi bahwa akan terjadi inflasi yang lebih tinggi lagi di masa mendatang karena kenaikan permintaan agregat. Oleh sebab itu, secara teori suku bunga akan berhubungan negatif dengan output dan berhubungan positif dengan tingkat harga.
4.2.
Data Generating Process Data Generating Process (DGP) merupakan langkah awal sebelum
masuk pada tahap estimasi dan analisis model. Pada tahap ini akan dilakukan berbagai pengujian pra-estimasi meliputi pengujian akar unit (unit root test), penetapan lag optimal, uji stabilitas VAR, dan uji kointegrasi. Hal ini penting dilakukan karena pada umumnya data time series yang akan dimasukkan ke dalam analisis multivariate mengandung akar unit yang akan membuat hasil estimasi menjadi lancung (spurious regression) dan tidak valid (Gujarati, 2003).
4.2.1.
Pengujian Stasioneritas Data Metode pengujian yang digunakan untuk uji stasioneritas data adalah
Augmented Dickey Fuller-Test (ADF-Test) dengan taraf nyata sepuluh persen. Dalam uji ini digunakan automatic lag selection berdasarkan kriteria Schwarz Information Criterion (SIC) dengan lag maximum berjumlah 12. Jika nilai t-ADF lebih kecil daripada nilai kritis MacKinnon, maka dapat disimpulkan bahwa data yang digunakan bersifat stasioner (tidak mengandung akar unit). Pengujian data dilakukan pada tingkat level sampai dengan first difference. Hasil pemeriksaan kestasioneran data untuk masing-masing negara dapat dilihat dalam Tabel 4.1 dan Tabel 4.2. Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa 90 persen data yang digunakan tidak stasioner pada tingkat level karena nilai t-ADF yang lebih besar daripada nilai kritis MacKinnon. Setelah dilakukan pengujian lanjutan pada perbedaan pertama (1st difference), semua data terlihat stasioner pada taraf sepuluh persen. Dengan demikian diketahui bahwa data yang digunakan pada penelitian ini terintegrasi pada ordo 1. Karena ditemukan data terintegrasi pada ordo 1, maka metode SVAR akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan (error correction model) atau VECM. Penggunaan metode VECM ini untuk mengantisipasi hilangnya informasi jangka panjang karena penggunaan data first difference sebagaimana yang dikatakan Sims dalam Nugraha (2008).
Tabel 4.1. Uji Stasioneritas Data ASEAN-5
Variabel
Indonesia level
Malaysia
1st diff
level
Singapura
1st diff
level
1st diff
Thailand level
Filipina
1st diff level 1st diff
PR
-2,104 -8,002 -0,905 -7,514 -1,157 -9,804 -1,529 -6,617 -1,903 -5,394
MMR
-3,982 -14,029 -0,882 -6,760 -1,402 -9,430 -1,601 -4,661 -2,123 -7,173
DR
-2,531 -5,412 -1,666 -3,340 -0,899 -7,325 -2,326 -4,377 -2,151 -10,878
LR
-2,105 -6,396 -1,420 -2,907 -1,503 -7,604 -1,530 -8,613 -2,664 -15,818
IHK
-2,677 -8,618 -1,792 -5,501
GDP
0,508
Keterangan
1,116
-3,627 -0,891 -7,505 -2,078 -4,981
-6,210 -2,176 -2,972 -1,998 -3,455 -2,851 -5,536 -1,668 -3,943
: Cetak tebal menunjukkan data stasioner pada taraf 10 persen.
Tabel 4.2. Uji Stasioneritas Data Jepang dan Korea Selatan Jepang
Variabel
Korea Selatan
level
1st diff
level
1st diff
PR
-0,428
-9,890
-1,115
-5,022
MMR
-0,422
-6,736
-1,028
-6,586
DR
-2,237
-8,994
-0,081
-6,731
LR
-0,868
-3,519
-0,544
-7,689
IHK
0,361
-9,382
-2,348
-9,295
GDP
-1,799
-2,719
-2,921
-1,773
Keterangan
: Cetak tebal menunjukkan data stasioner pada taraf 10 persen.
4.2.2.
Penetapan Lag Optimal Pengujian panjang lag optimal ini sangat berguna untuk menghilangkan
masalah autokorelasi dalam sistem VAR. Penggunaan lag optimal sangat penting karena lag dari variabel endogen akan digunakan sebagai variabel eksogen dalam sistem (Enders, 2000). Penentuan lag optimal dalam penelitian ini berdasarkan pada nilai Schwarz Information Criterion (SIC) yang terkecil. Hasil pengujian lag optimal dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3. Penetapan Lag Optimal VAR Schwarz Information Criterion (SIC) Lag
Indonesia Malaysia Singapura Thailand
Filipina
Jepang
Korea
0
-9,189
-32,571
-23,559
-20,594
-9,157
-34,174
-24,994
1
-11,127
-35,338
-23,956
-21,331
-9,952
-35,018
-25,002
2
-11,274
-34,345
-24,095*
-22,409
-10,342*
-34,713
-24,467
3
-11,126
-32,648
-23,235
-22,410*
-9,681
-33,680
-23,888
4
-9,972
-31,059
-22,228
-22,322
-8,790
-32,650
-22,749
Keterangan
: Cetak tebal menunjukkan SIC terkecil, *) ditentukan berdasarkan AIC.
Dari hasil pengujian diketahui bahwa lag 1 digunakan untuk persamaan negara Malaysia, Jepang, dan Korea. Lag 2 digunakan untuk persamaan pada negara Indonesia, Singapura, dan Filipina. Lag 3 digunakan untuk persamaan pada negara Thailand. Penentuan lag optimal yang diberikan tanda asterisk “*” diperoleh dari Akaike Information Criterion (AIC), karena lag optimal yang diperoleh dari informasi SIC menunjukkan lag 0. Dengan demikian, persamaan umum VAR untuk masing-masing negara dapat ditulis sebagai berikut :
Indonesia 2
2
2
2
2
2
i 1
i 1
i 1
i 1
i 1
i 1
1
1
1
1
1
1
i 1
i 1
i 1
i 1
i 1
i 1
2
2
2
2
2
2
i 1
i 1
i 1
i 1
i 1
i 1
3
3
3
3
3
3
i 1
i 1
i 1
i 1
i 1
i 1
2
2
2
2
2
2
i 1
i 1
i 1
i 1
i 1
i 1
1
1
1
1
1
1
i 1
i 1
i 1
i 1
i 1
i 1
1
1
1
1
1
1
i 1
i 1
i 1
i 1
i 1
i 1
Z t i Prt i i mmrt i i Drt i i Lrt i i IHKt -i i GDPt -i t
(4.1)
Malaysia Z t i Prt i i mmrt i i Drt i i Lrt i i IHKt -i i GDPt -i t
(4.2)
Singapura Z t i Prt i i mmrt i i Drt i i Lrt i i IHKt -i i GDPt -i t
(4.3)
Thailand Z t i Prt i i mmrt i i Drt i i Lrt i i IHKt -i i GDPt -i t
(4.4)
Filipina Zt i Prt i i mmrt i i Drt i i Lrt i i IHKt - i i GDPt - i t
(4.5)
Jepang Z t i Prt i i mmrt i i Drt i i Lrt i i IHKt -i i GDPt -i t
(4.6)
Korea Selatan Z t i Prt i i mmrt i i Drt i i Lrt i i IHKt -i i GDPt -i t
(4.7)
dimana : Zt
=
variabel analisis yang terdiri dari suku bunga kebijakan bank sentral (Pr), suku bunga pasar uang (mmr), suku bunga deposito (Dr), suku bunga kredit (Lr), output (GDP), dan tingkat harga (CPI),
Γ
=
parameter dalam bentuk matriks polinomial (finite order matrix) dengan lag operator i,
εt
=
vector white noise,
i
=
panjang lag VAR (dimana i = 1, 2, dan 3).
4.2.3.
Pengujian Stabilitas VAR Estimasi sistem persamaan SVAR yang telah terbentuk perlu diuji
stabilitasnya melalui VAR stability condition check. Hal ini dilakukan agar analisis IRF dan FEVD menjadi valid. Pengujian ini berupa roots of characteristic polynomial terhadap seluruh variabel yang digunakan dikalikan jumlah lag dari masing-masing sistem VAR. Sistem dikatakan stabil apabila nilai modulus dari seluruh roots of characteristic polynomial lebih kecil dari satu (Lütkepohl dalam Eviews 6 User’s Guide, 2007). Tabel berikut merupakan ringkasan pengujian stabilitas SVAR untuk masing-masing negara. Tabel 4.4. Uji Stabilitas Model SVAR Negara
Kisaran Modulus
Indonesia
0,341 - 0,904
Malaysia
0,090 - 0,584
Singapura
0,298 - 0,792
Thailand
0,287 - 1,041
Filipina
0,247 - 0,656
Jepang
0,106 - 0,737
Korea Selatan
0,085 - 0,563
Melalui uji stabilitas dapat disimpulkan bahwa sistem VAR yang digunakan bersifat stabil karena nilai modulus yang berada di bawah satu (< 1). Lain halnya dengan negara Filipina, dimana sistem VAR dapat dikatakan tidak stabil karena nilai modulus lebih besar dari satu (> 1).
4.2.4.
Pengujian Kointegrasi Uji kointegrasi yang digunakan adalah Johansen Cointegration Test
berdasarkan nilai trace statistic untuk mengetahui jumlah persamaan yang terkointegrasi dalam sistem. Apabila nilai trace statistic lebih besar dari nilai kritis sepuluh persen, maka pada tingkat tersebut dapat diterima hipotesis alternatif (H1) yang menyatakan jumlah rank kointegrasi. Hasil pengujian kointegrasi selengkapnya ditampilkan pada Tabel 4.5. Tabel 4.5. Pengujian Kointegrasi Trace Statistics Negara
H0
R =0
R ≤1
R ≤2
R ≤3
R ≤4
R ≤5
H1
R ≥1
R ≥2
R ≥3
R ≥4
R ≥5
R ≥6
Indonesia
124,40
78,33
39,98
18,40
6,41
2,41
Malaysia
117,32
76,02
41,49
20,78
5,02
0,01
Singapura
91,43
51,89
29,47
14,75
5,49
0,42
Thailand
95,62
59,41
39,09
22,37
7,31
0,03
Filipina
122,31
57,68
30,95
12,97
3,98
1,20E-05
Jepang
111,98
80,54
51,33
29,89
16,52
4,37
Korea Selatan
127,29
82,93
43,03
24,06
10,09
0,06
91,11
65,82
44,49
27,07
13,43
2,71
10 % critical value
Keterangan : Cetak tebal menunjukkan rank kointegrasi dengan menolak H0.
Berdasarkan Tabel 4.5, diketahui bahwa untuk masing-masing persamaan terdapat minimal satu rank kointegrasi dan maksimal enam rank kointegrasi dalam taraf nyata sepuluh persen. Rank satu terdapat pada persamaan negara Singapura, Thailand, dan Filipina. Rank dua terdapat pada persamaan negara Indonesia, Malaysi, dan Korea Selatan. Terakhir, rank enam terdapat pada persamaan negara Jepang.
4.3.
Derajat Interest Rate Pass-Through Setelah dilakukan perhitungan kumulatif IRF guncangan suku bunga
official terhadap suku bunga perbankan, maka derajat pass-through pada masingmasing negara dapat ditabulasikan seperti pada Tabel 4.6 Tabel 4.6. Derajat Pass-Through Terhadap Suku Bunga Perbankan di ASEAN+3 Derajat Pass-Through Negara Suku Bunga Deposito
Suku Bunga Kredit
Indonesia
0,944
0,570
Malaysia
0,254
1,022
-11,709
-9,627
Thailand
0,744
0,350
Filipina
0,538
0,297
Jepang
0,500
0,469
Korea
0,729
0,743
Singapura
Keterangan :
Cetak tebal menunjukkan nilai terbesar, Cetak tebal dan miring menunjukkan nilai terkecil.
Tabel di atas memperlihatkan bahwa terdapat fenomena noncomplete pass-through dan over pass-through di antara negara ASEAN+3. Kondisi over pass-through terdapat pada pembentukan suku bunga deposito dan suku bunga kredit Singapura masing-masing sebesar -11,709 dan -9,627 serta pembentukan suku bunga kredit Malaysia dengan koefisien derajat 1,022. Sedangkan kondisi noncomplete pass-through terdapat pada pembentukan suku bunga deposito Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Jepang, dan Korea, serta pada pembentukan suku bunga kredit di negara Indonesia, Thailand, Filipina, Jepang, dan Korea. Melalui hasil empiris dapat dijelaskan bahwa bank sentral di masingmasing negara ASEAN+3 belum dapat dikatakan kredibel dalam menjalankan kebijakannya melalui jalur suku bunga, karena signal moneter ini belum direspon utuh oleh perbankan. Berbeda dengan Singapura dan Malaysia. Akan tetapi bila melihat koefisien derajat pass-through secara umum, mungkin masih relevan dikatakan kebijakan moneter cukup efektif dalam mempengaruhi suku bunga perbankan. Untuk negara yang mengalami over pass-through perlu pengawasan yang lebih ketat lagi terhadap perbankan, dikarenakan adanya kemungkinan terjadi kolusi diantara bank-bank. Hal ini menjadi indikasi bahwa bank bersamasama meningkatkan/menurunkan suku bunga melebihi suku bunga official. Dampak ini akan sangat terasa apabila yang mengalami over pass-through positif adalah suku bunga kredit, seperti pada Malaysia. Apabila kondisi ini dibiarkan maka akan berdampak signifikan pada pergerakan sektor riil dan perekonomian agregat.
Secara umum, derajat pass-through terhadap pembentukan suku bunga deposito relatif lebih kuat daripada suku bunga kredit. Diduga kuat bahwa perbankan akan merespon terlebih dahulu dalam proses penetapan suku bunga deposito yang tujuan utamanya untuk menghimpun dana masyarakat. Karena suku bunga deposito merupakan beban biaya bagi bank maka selanjutnya bank akan menentukan suku bunga kredit sebagai komponen pendapatannya. Biasanya nominal suku bunga kredit lebih besar daripada suku bunga deposito, karena net interest margin ini merupakan salah satu bentuk keuntungan perbankan. Selanjutnya menganalisis bagaimana perubahan suku bunga official akan direspon oleh perekonomian, sehingga akan diketahui apakah bank sentral melalui kebijakannya mampu mempengaruhi perkembangan perekonomian. Tabel 4.7. Derajat Pass-Through terhadap Perekonomian di ASEAN+3 Derajat Pass-Through Negara Tingkat Harga
Pendapatan Nasional
Indonesia
0,009
0,002
Malaysia
0,003
-0,001
Singapura
-0,493
-1,619
Thailand
0,004
-0,008
Filipina
0,003
-0,005
Jepang
0,008
0,040
Korea
-0,001
-0,007
Keterangan :
Cetak tebal menunjukkan nilai terbesar, Cetak tebal dan miring menunjukkan nilai terkecil.
Melalui hasil empiris, diketahui bahwa derajat pass-through terhadap tingkat harga dan pendapatan nasional relatif kecil yaitu dibawah 1 persen (Tabel 4.7). Sehingga dapat disimpulkan bahwa perubahan kebijakan moneter melalui jalur suku bunga tidak terlalu direspon dan berpengaruh pada perekonomian masing-masing negara ASEAN+3. Sebab sebagai sasaran akhir kebijakan, sulit bagi bank sentral untuk mempengaruhi secara langsung target yang hendak dicapai. Oleh sebab itu pentingnya strategi kebijakan dan jalur transmisi dalam mencapai sasaran akhir (ultimate goal) melalui sasaran operasional dan sasaran antara-nya. Berbeda dengan Singapura, dimana perubahan kebijakan moneter akan mempengaruhi tingkat harga dan pendapatan nasional masing-masing sebesar 49,3 persen dan 161,9 persen. Artinya, hanya Singapura satu-satunya negara yang kebijakan moneter melalui jalur suku bunga efektif meskipun dengan nilai negatif. Namun bias dikatakan bahwa suku bunga merupakan jalur transmisi yang tepat untuk Singapura, karena otoritas moneter Singapura (Monetary Authority Singapore) menggunakan jalur nilai tukar dalam transmisinya. Karena perekonomian Singapura lebih ditopang oleh tingginya aktivitas perdagangan dunia, sehingga dengan menaikkan atau menurunkan nilai Dollar Singapura dipandang lebih efektif dan berpengaruh signifikan terhadap perekonomian. Secara umum, temuan ini mengindikasikan bahwa kebijakan moneter belum efektif dalam mempengaruhi perekonomian. Lebih jauh lagi, untuk negara-negara yang terdapat hubungan kointegrasi diantara variabel-variabelnya maka dapat diketahui kecepatan penyesuaiannya
(speed of adjustment) seperti pada Tabel 4.8. Hasil empiris menunjukkan bahwa untuk suku bunga deposito, kecepatan penyesuaian yang signifikan secara statistik hanya terdapat pada negara Thailand sebesar 0,2001. Artinya, ketidakseimbangan jangka pendek suku bunga deposito akan dikoreksi menuju keseimbangan jangka panjangnya. Sedangkan kecepatan penyesuaian suku bunga kredit yang signifikan secara statistik hanya terdapat pada negara Indonesia (0,0181), Thailand (0,0978), Filipina (0,0801), dan Korea Selatan (0,2811). Dari hasil empiris ini dapat diketahui pula bahwa Indonesia memiliki speed yang paling lambat di antara negara lainnya, yang artinya perbankan di Indonesia tidak responsif terhadap perubahan suku bunga official. Tabel 4.8. Kecepatan Penyesuaian (Speed of Adjustment) Koefisien Penyesuaian Negara
Suku Bunga Deposito
Suku Bunga Kredit
IHK
GDP
Indonesia
0,0060
-0,0181*
0,0006*
-6,88E-05
Malaysia
0,2175
0,5690
-0,1051
0,0131
Singapura
-0,0113
-0,0266
0,0017
-0,0032*
Thailand
-0,2001*
-0,0978*
0,0027*
-0,0010*
Filipina
0,1295*
-0,0801*
0,0001
4,64E-05
Jepang
-0,1154
0,0561*
0,0045
0,0081*
Korea Selatan
-0,2890
-0,2811*
0,0039
0,0141*
Keterangan : * ) Signifikan pada taraf 10 persen.
Hasil empiris berikutnya, kecepatan penyesuaian GDP menuju keseimbangan jangka panjang hanya terdapat pada negara Singapura dan
Thailand. Sedangkan kecepatan penyesuaian tingkat harga tidak terdapat pada negara manapun. Artinya, ketidakseimbangan jangka pendek tingkat harga tidak terkoreksi menuju keseimbangan jangka panjang.
4.4.
Respon Suku Bunga Perbankan Terhadap Shock Suku Bunga Official Bank Sentral di ASEAN+3 Dalam analisis ini akan dilihat respon dinamis suku bunga deposito dan
suku bunga kredit di negara ASEAN+3 terhadap guncangan sebesar satu standar deviasi pada suku bunga official. Gambar 4.2 sampai dengan Gambar 4.4 memperlihatkan respon suku bunga official, suku bunga deposito, dan suku bunga kredit masing-masing negara selama 48 horizon waktu.5 Dari Gambar 4.2 terlihat bahwa guncangan suku bunga official memberikan pengaruh positif dan permanen terhadap suku bunga official itu sendiri di semua negara, kecuali Singapura yang justru dalam jangka panjang akan direspon negatif. Pada periode pertama, respon terlihat sama yaitu terapresiasi. Secara empiris dapat dilihat bahwa respon tertinggi pada periode pertama adalah suku bunga official-nya Indonesia (30 persen) dan respon terendah adalah suku bunga official-nya Jepang (4,7 persen). Secara umum respon mulai terlihat stabil setelah periode ke 16, kecuali Singapura (setelah periode ke 9) dan Indonesia (setelah periode ke 42). Dari simulasi ini diketahui bahwa Indonesia merupakan negara yang rentan terhadap guncangan dan cukup lama mencapai kestabilan, sementara Singapura meskipun merespon cukup kuat di awal periode namun lebih cepat menuju kestabilan. 5
Filipina dapat dilihat di lampiran
Indonesia
Malaysia
0.6
0.6
0.45
0.45
0.3
0.3
0.15
0.15
0
0 1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
1
Singapura
Thailand
0.6
0.6
0.45
0.45
0.3
6 11 16 21 26 31 36 41 46
0.3
0.15 0.15 0 -0.15 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46
0 1
Jepang
Korea Selatan
0.6
0.6
0.45
0.45
0.3
0.3
0.15
0.15
0
0 1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
6 11 16 21 26 31 36 41 46
1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
Gambar 4.2. Respon Suku Bunga Official Terhadap Shock Suku Bunga Official di ASEAN+3
4.4.1.
Respon Suku Bunga Deposito Terhadap Shock Suku Bunga Official Melalui analisis IRF, akan dianalisis respon dinamis suku bunga deposito
masing-masing negara ASEAN+3 terhadap inovasi (shock) sebesar satu standar
deviasi pada suku bunga official. Respon suku bunga deposito perbankan terhadap guncangan selama 48 horizon waktu ditunjukkan oleh Gambar 4.3. Pada Gambar 4.3 terlihat bahwa suku bunga deposito masing-masing negara secara signifikan merespon guncangan suku bunga official meskipun dengan nilai berbeda-beda. Hasil analisis IRF menunjukkan bahwa guncangan suku bunga official akan direspon dengan terapresiasinya suku bunga deposito pada periode pertama, kecuali Singapura. Seluruh negara ASEAN+3 dalam jangka panjang akan merespon positif dan permanen. Lain halnya dengan Singapura yang yang memberikan respon negatif dan permanen dalam jangka panjang. Dari gambar juga dapat dilihat bahwa seluruh negara mencapai keseimbangan jangka panjang, kecuali Indonesia. Respon suku bunga deposito di masing-masing negara dapat dikatakan symmetric, sebab sejalan dengan kebijakan moneter meskipun dalam nilai dan lag menuju kestabilan yang berbedabeda. Respon suku bunga deposito tertinggi di antara negara ASEAN+3 adalah Indonesia, yaitu 53,5 persen pada bulan ke-13. Secara umum respon suku bunga perbankan sejalan dengan suku bunga official, yaitu terapresiasi. Namun lain halnya dengan Singapura yang justru terdepresiasi. Penyesuaian suku bunga deposito terhadap kenaikan atau penurunan suku bunga official tidak dapat terjadi pada waktu yang sama. Hal ini dikarenakan berbagai penyesuaian yang tergantung pada kondisi internal dan eksternal perbankan itu sendiri. Selain itu diharapkan bank-bank besar yang memulai terlebih dahulu menurunkan suku bunga deposito, sehingga nantinya bank-bank lain secara bersama akan turut menurunkan suku bunga depositonya.
Indonesia
Malaysia
0.6
0.6
0.45
0.45
0.3
0.3
0.15
0.15
0
0 1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
Singapura 0
Thailand 0.6
-0.01 1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
0.45
-0.02 0.3 -0.03 0.15
-0.04
0
-0.05
1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
Jepang
Korea Selatan
0.6
0.6
0.45
0.45
0.3
0.3
0.15
0.15
0
0 1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
Gambar 4.3. Respon Suku Bunga Deposito Perbankan Terhadap Shock Suku Bunga Official di ASEAN+3
4.4.2.
Respon Suku Bunga Kredit Terhadap Shock Suku Bunga Official Setelah sebelumnya menganalisis respon suku bunga deposito, pada
bagian ini akan dilihat bagaimana respon suku bunga kredit terhadap guncangan suku bunga official sebesar satu standar deviasi (Gambar 4.4). Secara umum respon suku bunga kredit dan suku bunga deposito hampir memiliki pola yang serupa meskipun dengan magnitude berbeda pada masing-masing negara. Sama halnya dengan suku bunga deposito, pada Gambar 4.4 terlihat suku bunga kredit masing-masing negara akan merespon guncangan suku bunga official sejalan dengan respon suku bunga official. Analisis IRF juga turut menunjukkan bahwa guncangan akan mengakibatkan suku bunga kredit turut terapresiasi di semua negara, kecuali Singapura yang terdepresiasi sebesar 3,4 persen. Dari gambar juga dapat dilihat bahwa seluruh negara akan mencapai kondisi keseimbangan dalam jangka panjang. Berbeda dengan Filipina yang terindikasi tidak mencapai kondisi seimbang, dan hal ini tentunya menjadi bias apabila dianalisis lebih jauh. Salah satu penyebabnya adalah sistem persamaan VAR yang tidak stabil. Oleh karena itu seluruh gambar respon suku bunga perbankan akan ditampilkan dalam lampiran.
Indonesia
Malaysia
0.4
0.4
0.3
0.3
0.2
0.2
0.1
0.1
0
0 1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
1
Singapura 0 -0.01
6 11 16 21 26 31 36 41 46
Thailand 0.4
1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
0.3
-0.02
0.2
-0.03
0.1
-0.04
0 1
Jepang
Korea Selatan
0.4
0.4
0.3
0.3
0.2
0.2
0.1
0.1
0
6 11 16 21 26 31 36 41 46
0 1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
Gambar 4.4. Respon Suku Bunga Kredit Perbankan Terhadap Shock Suku Bunga Official di ASEAN+3
Melihat cukup besarnya respon suku bunga perbankan terhadap guncangan pada suku bunga official bank sentral, sebaiknya bank sentral harus
memperhitungkan secara matang dalam memutuskan kebijakan moneter. Terlebih bila sasaran akhir kebijakan moneter adalah tingkat harga dengan menggunakan jalur suku bunga sebagai transmisinya. Sebaiknya bank sentral tidak hanya terpaku pada tingkat inflasi dalam mengendalikan perekonomian domestik. Meskipun tidak secara tertulis, bank sentral pada umumnya sangat memperhatikan tingkat harga. Bila terdapat indikasi inflasi mengalami kenaikan, bank sentral langsung merespon dengan menaikkan suku bunga untuk menyerap likuiditas masyarakat. Alangkah baiknya ditinjau terlebih dahulu, apakah kenaikan inflasi ini benar-benar disebabkan oleh kenaikan permintaan agregat dan peningkatan jumlah uang beredar. Bila demikian, mungkin benar bila suku bunga dinaikkan dengan maksud menyerap uang beredar sehingga kenaikan permintaan dapat diatasi dan produsen akan menahan kenaikan harga-harga yang pada akhirnya laju inflasi dapat diredam. Tetapi apabila suku bunga official terus dinaikkan tanpa melihat variabel ekonomi lainnya, tentu kebijakan moneter menjadi tidak efektif dan sangat kaku. Padahal bisa saja variabel ekonomi lain telah menunjukkan perlambatan, namun karena satu-satunya sasaran kebijakan adalah laju inflasi maka suku bunga terus dinaikkan bila memang laju inflasi terus mengalami kenaikan. Bila hal ini terus berlanjut tentu fatal akibatnya dan bisa jadi perekonomian jatuh pada resesi. Sebab hal ini terkait dengan peran intermediasi perbankan karena secara langsung perbankan akan mengikuti pergerakan suku bunga kebijakan bank sentral. Bila diasumsikan otoritas moneter sedang menerapkan kebijakan kontraktif, maka kenaikan suku bunga akan direspon dengan kenaikan suku bunga deposito dan
suku bunga kredit perbankan yang diharapkan dapat menyerap likuiditas pasar. Sebab bank akan menarik dana masyarakat dengan bunga yang cukup tinggi. Tetapi perlu diingat kembali bahwa dengan berbagai risiko pasar dan prinsip kehati-hatian bank akan mempersulit bank untuk menyalurkan kembali dana yang terkumpul dalam bentuk kredit. Prinsip kehati-hatian bank dalam memilih nasabah debitur semakin mengurangi kucuran dana ke sektor pemakai dana. Padahal bunga murah merupakan penggerak sektor riil, karena hampir seluruh aktivitas ekonomi di sektor riil pembiayaannya bersumber dari kredit bank. Masih banyak hal yang harus dilakukan agar goal kebijakan dapat tercapai, baik terjaganya tingkat harga maupun pertumbuhan ekonomi. Sebagai contoh dengan memperbaiki kondisi riil seperti perluasan lapangan pekerjaan, perbaikan infrastruktur, atau hal lainnya yang bersifat nyata dan langsung, yang harapannya dapat meningkatkan daya beli masyarakat sekaligus menjaga tingkat penawaran agregat. Karena seberapapun angka inflasi apabila diikuti dengan peningkatan daya beli masyarakat, bukan menjadi masalah yang serius. Hanya saja perlu diredam lajunya agar tingkat harga domestik tetap stabil. Karena bila terjadi penurunan inflasi, dapat dikatakan daya beli masyarakat pun turut menurun dan tidak menjadi insentif bagi produsen-produsen dalam berproduksi. Tabel 4.9 berikut meringkas hasil respon suku bunga perbankan (deposito dan kredit) terhadap guncangan suku bunga official. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa hanya Singapura yang merespon guncangan suku bunga official dengan negatif dan permanen. Namun respon ini sejalan dengan respon
suku bunga official itu sendiri yang dalam jangka panjang juga turut terdepresiasi. Artinya, perbankan di Singapura benar-benar melandaikan suku bunganya. Tabel 4.9. Respon Suku Bunga Deposito dan Suku Bunga Kredit Berbagai Negara di ASEAN+3 atas Guncangan Suku Bunga Official Sebesar Satu Standar Deviasi Guncangan Suku Bunga Official Negara
Respon Suku Bunga Deposito
Respon Suku Bunga Kredit
Indonesia
Positif dan permanen, stabil tidak dapat dipastikan
Positif dan permanen, stabil tidak dapat dipastikan
Malaysia
Positif dan permanen, stabil mulai periode ke-23
Positif dan permanen, stabil mulai periode ke-19
Singapura
Negatif dan permanen, stabil mulai periode ke-19
Negatif dan permanen, stabil mulai periode ke-10
Thailand
Positif dan permanen, stabil mulai periode ke-31
Positif dan permanen, stabil mulai periode ke-33
Filipina
Tidak menunjukkan kestabilan jangka panjang
Tidak menunjukkan kestabilan jangka panjang
Jepang
Positif dan permanen, stabil mulai periode ke-15
Positif dan permanen, stabil mulai periode ke-15
Korea Selatan
Positif dan permanen, stabil mulai periode ke-23
Positif dan permanen, stabil mulai periode ke-6
Meskipun negara lainnya merespon positif dan permanen atas guncangan suku bunga official, namun respon ini juga sejalan dengan respon suku bunga official itu sendiri yang terapresiasi. Jadi, dapat dikatakan bahwa seluruh perbankan di negara ASEAN+3 akan merespon perubahan kebijakan sejalan dengan yang ditetapkan.
4.5.
Respon Perekonomian Terhadap Shock Suku Bunga Official Bank Sentral di ASEAN+3 Setelah sebelumnya menganalisis respon suku bunga perbankan atas
guncangan suku bunga official, maka pada bagian ini akan dianalisis respon pendapatan nasional dan tingkat harga sebagai proksi perekonomian. Melalui analisis ini dapat diketahui apakah kebijakan moneter dapat dikatakan efektif dalam mengendalikan dan mempengaruhi perekonomian (monetarist view). Bila ditemui pendapatan dan tingkat harga merespon signifikan, artinya kebijakan moneter mampu mempengaruhi perekonomian.
4.5.1.
Respon Tingkat Harga Terhadap Shock Suku Bunga Official Gambar 4.5 menunjukkan bagaimana respon tingkat harga (IHK) akibat
guncangan suku bunga official selama 48 horizon waktu. Dari hasil analisis IRF terlihat bahwa dampak guncangan suku bunga official direspon sangat kecil oleh tingkat harga pada masing-masing negara ASEAN+3. Secara umum dalam jangka panjang tingkat harga akan merespon negatif dan permanen atas guncangan suku bunga official, kecuali Indonesia, Malaysia, dan Jepang yang justru positif. Dengan kata lain meskipun dalam nilai yang relatif kecil, terapresiasinya suku bunga official yang diikuti dengan terapresiasinya suku bunga perbankan telah menyebabkan tingkat harga tumbuh negatif dan permanen di Singapura, Thailand, dan Korea.
Indonesia
Malaysia
0.005
0.005
0.004
0.004
0.003
0.003
0.002
0.002
0.001 0.001
1.1E-17 -0.001 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46
0 1
Singapura 0.0005
6 11 16 21 26 31 36 41 46
Thailand 0
-5E-18
-0.0005
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46
-0.0005 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 -0.001 -0.001 -0.0015
-0.0015 -0.002
-0.002
Jepang 0.005 0.004 0.003 0.002
Korea Selatan 0.0005 -1E-17 -0.0005 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 -0.001
0.001 1.1E-17 -0.001 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46
-0.0015 -0.002
Gambar 4.5. Respon IHK Terhadap Shock Suku Bunga official di ASEAN+3
Dari gambar di atas terlihat bahwa di antara negara lainnya, Indonesia yang akan merespon paling tinggi. Berbeda dengan Malaysia dan Jepang, yang meskipun merespon positif tetapi masih lebih rendah. Sedangakan negara lainnya
akan merespon negatif atas guncangan suku bunga official. Oleh karena itu kebijakan inflation targeting masih belum optimal bila diterapkan di negara Indonesia, Malaysia, dan Jepang. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa suku bunga bank sentral merupakan benchmark bagi perbankan. Dengan meningkatnya suku bunga official maka akan menyebabkan kenaikan suku bunga perbankan. Peningkatan suku bunga kredit membuat ongkos produksi menjadi mahal dan produsen akan merespon dengan menaikkan harga barang-barang yang justru memicu laju inflasi. Dengan demikian terdapat hubungan positif antara suku bunga dengan tingkat harga. Namun perlu diingat kembali bahwa peningkatan suku bunga juga akan menyebabkan aktivitas ekonomi (investasi dan konsumsi) menurun yang selanjutnya berdampak pada penurunan permintaan agregat. Apabila bank sentral tidak terlalu kaku dalam menjalankan kebijakannya, tentunya kenaikan inflasi tidak langsung direspon dengan menaikkan suku bunga. Capital outflow menjadi salah satu alasan klasik bank sentral dalam menaikkan suku bunga karena tingginya angka inflasi. Padahal bila suku bunga ditahan pada level yang lebih rendah, tentu akan membantu pergerakan sektor riil yang lebih dominan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, dan tingkat harga pun niscaya tetap stabil karena tidak adanya tekanan dari sisi penawaran (misalnya, biaya produksi).
4.5.2.
Respon Pendapatan Nasional Terhadap Shock Suku Bunga Official Setelah sebelumnya menganalisis respon tingkat harga, pada bagian ini
akan dilihat bagaimana respon pendapatan nasional (GDP) terhadap guncangan suku bunga official seperti yang terlihat pada Gambar 4.6 berikut.
Indonesia 0.004
Malaysia 0.0002
0.003
-0.0006 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46
0.002
-0.0014
0.001
-0.0022
-4.34E-1
-0.003 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46
Singapura
Thailand
0.002
0.002
-2E-18
-2E-18
-0.002 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46
-0.002 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46
-0.004
-0.004
-0.006
-0.006
-0.008
-0.008
Jepang 0.004
Korea Selatan 0.0002
0.003
-0.0006 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46
0.002
-0.0014
0.001
-0.0022
-4.34E-1
-0.003 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46
Gambar 4.6. Respon GDP Terhadap Shock Suku Bunga official di ASEAN+3
Secara umum dalam jangka panjang GDP akan merespon negatif dan permanen atas guncangan suku bunga official, kecuali Indonesia dan Jepang. Meskipun dalam nilai yang relatif kecil, terapresiasinya suku bunga official yang diikuti dengan terapresiasinya suku bunga perbankan telah menyebabkan pendapatan nasional tumbuh negatif dan permanen di Malaysia, Thailand, dan Korea. Berbeda dengan Indonesia dan Jepang yang justru membuat GDP terapresiasi. Bahkan respon Jepang labih besar dibandingkan Indonesia. Oleh karenanya kebijakan moneter melalui jalur suku bunga cukup berpengaruh di Indonesia dan Jepang meskipun sangat kecil. Respon GDP Indonesia dan Jepang merupakan anomali. Namun dapat dijelaskan bahwa terdapat kasus berbeda di kedua negara ini. Sebab mungkin perubahan kebijakan moneter tidak terlalu direspon oleh pasar. Sehingga aktivitas investasi dan konsumsi yang dipengaruhi oleh aspek harga di sektor keuangan (tingkat bunga), tidak terlalu mempengaruhi sektor riil dan perekonomian tetap tumbuh. Berbeda dengan Singapura, seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya bahwa suku bunga bukanlah jalur transmisi utama otoritas moneter melainkan nilai tukar. Hal ini disebabkan aktivitas perdagangan global yang merupakan komponen utama pencetak angka pertumbuhan ekonomi di negara singa tersebut. Sebagai negara kecil dengan jumlah penduduk yang kecil pula, ternyata Singapura mampu membuktikan bahwa perekonomian mereka dapat tumbuh besar.
4.6.
Kontribusi Suku Bunga Official dalam Perilaku Suku Bunga Perbankan Analisis selanjutnya adalah FEVD yang tujuannya menganalisis
kontribusi suku bunga official dalam pembentukan suku bunga perbankan di ASEAN+3 selama 48 horizon waktu.6 Dengan demikian dapat diketahui faktor dominan apa saja yang memiliki pengaruh atas variabilitas suku bunga perbankan (Gambar 4.7 dan Gambar 4.8). Analisis ini sekaligus akan menjawab permasalahan ketiga dalam penelitian ini. Melalui hasil FEVD diketahui bahwa untuk setiap periode peramalan, inovasi pada suku bunga deposito sendirilah yang masih memberikan kontribusi terbesar dalam menjelaskan variabilitas suku bunga deposito di ASEAN+3. Namun sedikit berbeda dengan Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Singapura. Di Malaysia peranan suku bunga official sangat dominan menjelaskan variabilitas suku bunga deposito. Sementara di Singapura terlihat bahwa suku bunga official, suku bunga pasar uang, dan suku bunga deposito itu sendiri memberikan kontribusi yang cukup sebanding. Berbeda dengan Thailand dimana terdapat kontribusi tingkat harga dalam menjelaskan variabilitas suku bunga deposito, selain inovasi suku bunga deposito sendiri. Untuk Indonesia, kontribusi suku bunga official, suku bunga kredit, dan suku bunga deposito itu sendiri terlihat cukup sebanding dalam menjelaskan variabilitas suku bunga deposito.
6
Filipina dapat dilihat di lampiran
Indonesia
Malaysia
100%
100%
80%
80%
60%
60%
40%
40%
20%
20%
0%
0% 1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
1
6
Singapura
Thailand
100%
100%
80%
80%
60%
60%
40%
40%
20%
20%
0%
11 16 21 26 31 36 41 46
0% 1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
1
6
Jepang
11 16 21 26 31 36 41 46
Korea Selatan
100%
100%
80%
80%
60%
60%
40%
40%
20%
20%
0%
0% 1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
Keterangan : = Policy rate
= MMR
=Deposits rate
= Lending rate
= IHK
= GDP
Gambar 4.7. Dekomposisi Varian Suku Bunga Deposito di ASEAN+3
Apabila ditinjau lebih jauh, terlihat bahwa peranan suku bunga official cukup signifikan dalam menjelaskan variabiliatas suku bunga deposito. Artinya dalam menentukan suku bunga deposito, bank-bank masih memperhitungkan suku bunga kebijakan sebagai acuan. Sehingga sangat krusial akibatnya apabila bank sentral menaikkan suku bunga terlalu tinggi dalam menghadapi gejolak ekonomi, karena kebijakan tersebut akan direspon oleh perbankan yang nantinya akan turut menaikkan suku bunga deposito. Karena kenaikan suku bunga deposito akan diikuti oleh kenaikan suku bunga kredit, maka pada akhirnya akan berdampak pula pada sektor riil. Hal ini disebabkan kenaikan suku bunga kredit menjadi komponen biaya (cost of capital) bagi para peminjam dana. Sementara itu dari Gambar 4.8 memperlihatkan hasil FEVD untuk suku bunga kredit di ASEAN+3. Inovasi suku bunga official relatif kuat mempengaruhi fluktuasi suku bunga kredit, terutama di Malaysia, Singapura, Jepang, dan Korea. Di Indonesia, inovasi suku bunga kredit sendirilah yang relatif menjelaskan variabilitas suku bunga kredit. Sementara di Thailand terlihat bahwa inovasi suku bunga deposito dan tingkat harga yang menjelaskan variabilitas suku bunga kredit. Berdasarkan analisis ini, dapat disimpulkan bahwa hampir sebagian besar negara di kawasan Asia pengaruh otoritas moneter sangat dominan dalam pembentukan suku bunga perbankan. Oleh sebab itu perlu adanya konsolidasi yang kuat antara perbankan dan bank sentral agar hubungan yang selaras dan sinergis dapat terbina. Dengan demikian, semakin terintegrasinya sistem keuangan akan memperkuat stabilitas keuangan dalam mendukung perekonomian nasional.
Malaysia
Indonesia 100%
100%
80%
80%
60%
60%
40%
40%
20%
20%
0%
0% 1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
1
6
Thailand
Singapura 100%
100%
80%
80%
60%
60%
40%
40%
20%
20%
0%
11 16 21 26 31 36 41 46
0% 1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
Korea Selatan
Jepang 100%
100%
80%
80%
60%
60%
40%
40%
20%
20% 0%
0% 1
6
1
11 16 21 26 31 36 41 46
6
11 16 21 26 31 36 41 46
Keterangan : = Policy rate
= MMR
=Deposits rate
= Lending rate
= IHK
= GDP
Gambar 4.8. Dekomposisi Varian Suku Bunga Kredit di ASEAN+3
Implikasi dari analisis ini adalah inovasi suku bunga official diketahui lebih dominan dalam menjelaskan variabilitas suku bunga kredit daripada suku bunga deposito. Oleh sebab itu, kenaikan atau penurunan suku bunga official oleh bank sentral haruslah disertai pertimbangan yang beralasan. Sebab bila bank sentral memutuskan menaikkan suku bunga sebagai respon kenaikan laju inflasi, maka akan mendorong kenaikan pada kedua suku bunga perbankan. Kenaikan pada suku bunga kredit diperkirakan akan memperlambat fungsi intermediasi perbankan dikarenakan adanya prinsip kehati-hatian bank dalam memilih nasabah peminjam terkait risiko kredit macet (non performing loan). Oleh sebab itu, dana yang dapat disalurkan dalam bentuk kredit (loanable fund) menganggur dan bankbank komersial akan mengalami kelebihan likuiditas. Kelebihan likuiditas perbankan mungkin ditempatkan pada surat-surat berharga yang lebih aman dan memiliki spread positif. Tetapi bila ditinjau lebih jauh, penempatan likuiditas ini justru dapat memicu inflasi. Karena jumlah uang beredar akan lebih banyak lagi ketika jatuh tempo.
4.7.
Kontribusi Suku Bunga Official dalam Perilaku Perekonomian Pada bagian ini akan dianalisis kontribusi suku bunga official dalam
menjelaskan variabilitas tingkat harga dan pendapatan nasional sebagai proksi perekonomian. Gambar 4.9 dan Gambar 4.10 memperlihatkan inovasi berbagai variabel dalam menjelaskan variabilitas tingkat harga dan pendapatan nasional di ASEAN+3. Dari Gambar 4.9 terlihat jelas bahwa inovasi suku bunga official menjelaskan fluktuasi tingkat harga hanya di Indonesia, Singapura, dan Jepang.
Meskipun sesungguhnya dari gambar terlihat bahwa kontribusi suku bunga official di ketiga negara ini komposisinya sangat kecil. Secara umum, inovasi tingkat harga sendirilah yang menjelaskan variabilitas tingkat harga di masingmasing negara. Selanjutnya adalah kontribusi suku bunga official terhadap pembentukan GDP di ASEAN+3 (Gambar 4.10). Hasil empiris menunjukkan bahwa peranan bank sentral dalam pembentukan pendapatan nasional hanya terlihat pada negara Jepang, Singapura, Thailand, dan Indonesia. Namun secara umum inovasi dari GDP sendirilah yang menjelaskan variabilitas GDP. Meskipun demikian, inovasi variabel lainnya juga turut menjelaskan variabilitas GDP, seperti suku bunga pasar uang (Korea), suku bunga deposito (Singapura, Indonesia, dan Malaysia), suku bunga kredit (Jepang, Korea, Malaysia), dan tingkat harga (Malaysia). Implikasi dari analisis ini adalah kebijakan moneter belum begitu efektif mempengaruhi perekonomian masing-masing negara ASEAN+3. Dikatakan demikian karena komposisi suku bunga official sebagai cermin langkah moneter tidak terlalu dominan dalam menjelaskan fluktuasi tingkat harga maupun pendapatan nasional. Oleh sebab itu perlu langkah yang lebih kongkret untuk menggerakkan dan memajukan perekonomian negara-negara di kawasan Asia selain mengandalkan kebijakan moneter. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pandangan kaum monetaris belum dapat diaplikasikan bagi negara-negara berkembang seperti di kawasan Asia.
Malaysia
Indonesia 100%
100%
80%
80%
60%
60%
40%
40%
20%
20% 0%
0% 1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
1
6
Thailand
Singapura 100%
100%
80%
80%
60%
60%
40%
40%
20%
20%
0%
11 16 21 26 31 36 41 46
0% 1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
Korea Selatan
Jepang 100%
100%
80%
80%
60%
60%
40%
40%
20%
20% 0%
0% 1
6
1
11 16 21 26 31 36 41 46
6
11 16 21 26 31 36 41 46
Keterangan : = Policy rate
= MMR
=Deposits rate
= Lending rate
= IHK
= GDP
Gambar 4.9. Dekomposisi Varian Tingkat Harga di ASEAN+3
Malaysia
Indonesia 100%
100%
80%
80%
60%
60%
40%
40%
20%
20%
0%
0% 1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
1
6
Thailand
Singapura 100%
100%
80%
80%
60%
60%
40%
40%
20%
20%
0%
11 16 21 26 31 36 41 46
0% 1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
1
6
Korea Selatan
Jepang 100%
100%
80%
80%
60%
60%
40%
40%
20%
20%
0%
0% 1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
1
11 16 21 26 31 36 41 46
6
11 16 21 26 31 36 41 46
Keterangan : = Policy rate
= MMR
=Deposits rate
= Lending rate
= IHK
= GDP
Gambar 4.10. Dekomposisi Varian Pendapatan Nasional di ASEAN+3
4.8.
Hubungan Kointegrasi Antara Suku Bunga Official dengan Tingkat Harga dan Pendapatan Nasional di ASEAN+3 Pada sub bab ini akan dijelaskan secara empiris mengenai hubungan
antara kebijakan moneter melalui jalur suku bunga (policy rate) dengan tingkat harga dan pendapatan nasional secara bivariate di negara ASEAN+3. Apabila ditemukan keberadaan hubungan jangka panjang, maka kebijakan moneter cukup efektif dalam mempengaruhi kedua variabel tersebut. Sebab guncangan jangka pendek akan dikoreksi menuju keseimbangan dalam jangka panjang. Namun bila tidak ditemui adanya hubungan jangka panjang, maka menjadi tanda tanya apakah kebijakan moneter yang dijalankan benar-benar bertujuan untuk perkembangan ekonomi yang berkelanjutan. Analisis yang digunakan untuk menjawab permasalahan keempat ini yaitu dengan pemodelan VAR difference untuk variabel yang tidak terkointegrasi dan menggunakan VECM untuk variabel yang terkointegrasi. Penelitian ini mengacu pada Hasanah, H., Ascarya, dan N.A. Achsani (2008) yang menguji hubungan antara jumlah uang beredar konvensional dan jumlah uang beredar islam dengan tingkat harga di Indonesia. Penelitiannya secara empiris memperlihatkan tidak ada kointegrasi diantara variabel yang dimaksud. Sehingga sasaran antara jumlah uang beredar (JUB) yang digunakan bank sentral Indonesia dalam mencapai target inflasi masih harus dipertimbangkan, karena dalam jangka panjang tidak ditemui hubungan antara JUB dengan tingkat harga. Berdasarkan hasil empiris tersebut, peneliti juga tertarik menguji keterkaitan antara suku bunga official dengan tingkat harga dan pendapatan nasional secara parsial untuk melihat
hubungan kointegrasi diantaranya. Sebab, suku bunga merupakan jalur transmisi penting dalam kebijakan moneter yang terkait dengan aspek harga di pasar keuangan. Meskipun terdapat jalur transmisi lain yang diyakini mampu mencapai target antara maupun target akhir, namun peranan suku bunga official tetap penting dalam mempengaruhi suku bunga pasar keuangan domestik. Berbeda dengan Hasanah, et al (2008) yang hanya menguji tingkat harga dan JUB, penelitian ini mencoba menambah variabel pendapatan nasional untuk diuji. Dengan demikian akan diperoleh informasi mengenai keefektifan jalur transmisi suku bunga dalam mempengaruhi perekonomian di masing-masing negara ASEAN+3. Melalui simulasi yang telah dilakukan hasil empiris memperlihatkan bahwa di antara negara ASEAN+3, hanya Jepang satu-satunya negara yang memiliki kointegrasi di antara variabel suku bunga official dengan tingkat harga. Sementara negara lainnnya tidak ada satu pun yang menunjukkan keseimbangan jangka panjang (kointegrasi). Dengan demikian jalur suku bunga bisa dikatakan cukup efektif dalam mengendalikan tingkat harga di Jepang karena ditemukan adanya hubungan jangka panjang di antaranya. Temuan ini juga mengindikasikan bahwa kebijakan moneter melalui jalur suku bunga tidak terbukti efektif dalam mempengaruhi tingkat harga dalam jangka panjang hampir di semua negara ASEAN+3. Secara lengkap, hasil estimasi VECM dan VAR first difference dapat dilihat pada Lampiran 2 masing-masing negara. Berikutnya yaitu dengan menguji keberadaan hubungan antara suku bunga official dengan pendapatan nasional. Melalui simulasi ditemukan secara
empiris bahwa tidak ada satu pun di antara negara ASEAN+3 yang kebijakan moneternya memiliki hubungan jangka panjang terhadap pendapatan nasional. Meskipun guncangan suku bunga official direspon oleh pendapatan nasional pada analisis sebelumnya, namun secara bivariate tidak ditemukan hubungan dalam jangka panjang di antaranya. Artinya, pandangan kaum monetaris yang menyatakan bahwa kebijakan moneterlah satu-satunya yang mempengaruhi perekonomian tidak terbukti berlaku di negara ASEAN+3. Secara lengkap, hasil estimasi VAR first difference dapat dilihat pada Lampiran 3 masing-masing negara. Melalui analisis yang dilakukan secara komparatif pada masing-masing negara ASEAN+3, secara umum dapat disimpulkan bahwa kebijakan moneter melalui jalur suku bunga belum efektif dalam mempengaruhi perekonomian. Karena dalam jangka panjang tidak cukup bukti empiris untuk menunjukkan hubungan antara suku bunga official bank sentral dengan tingkat harga dan pendapatan nasional. Mendukung hasil penelitian Hasanah, et al (2008), untuk negara yang menargetkan inflasi sebagai sasaran akhir perlu dikaji ulang apakah jalur suku bunga merupakan jalur yang cukup efektif dalam mempengaruhi tingkat harga dalam jangka panjang. Karena temuan empiris pada penelitian ini menolak adanya hubungan jangka panjang diantaranya. Tabel 4.10 berikut meringkas hasil analisis mengenai keefektifan kebijakan moneter melalui jalur suku bunga terhadap tingkat harga dan pendapatan nasional melalui pengujian kointegrasi secara bivariate.
Tabel 4.10. Keefektifan Suku Bunga Official Hubungan Kointegrasi Antara Suku Bunga Official Terhadap Negara Tingkat Harga
Pendapatan Nasional
Indonesia
Tidak
Tidak
Malaysia
Tidak
Tidak
Singapura
Tidak
Tidak
Thailand
Tidak
Tidak
Filipina
Tidak
Tidak
Jepang
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Korea Selatan
4.9.
Pembahasan Keseluruhan Berdasarkan hasil empiris, banyak informasi yang dapat dipaparkan
mengenai dampak perubahan suku bunga official bank sentral terhadap suku bunga perbankan (interest rate pass-through) dan perekonomian yang dianalisis secara komparatif di masing-masing negara ASEAN+3. Melalui hasil perhitungan kumulatif IRF dalam menentukan derajat passthrough, ditemukan bahwa mekanisme yang terjadi di ASEAN+3 adalah over pass-through dan noncomplete pass-through. Fenomena over pass-through terjadi pada pembentukan kedua suku bunga perbankan di Singapura dan suku bunga kredit di Malaysia, sedangkan fenomena noncomplete pass-through terjadi pada pembentukan kedua suku bunga perbankan di Indonesia, Thailand, Filipina, Jepang, Korea serta suku bunga deposito Malaysia. Dari analisis ini juga diketahui bahwa derajat pass-through relatif lebih kuat pada pembentukan suku bunga
deposito daripada suku bunga kredit. Sedangkan terhadap perekonomian, derajat pass-through relatif kecil yaitu lebih kecil dari satu persen. Lain halnya dengan Singapura yang cukup besar derajat pass-through-nya. Sementara itu melalui simulasi IRF diperoleh informasi bahwa ketika suku bunga official diguncang sebesar satu standar deviasi maka masing-masing suku bunga official itu sendiri akan merespon positif dan permanen, kecuali Singapura yang dalam jangka panjang terdepresiasi. Terapresiasinya suku bunga kebijakan ini direspon positif (apresiasi) dan permanen oleh suku bunga perbankan, baik suku bunga deposito maupun suku bunga kredit di masingmasing negara. Namun berbeda dengan Singapura, dalam jangka panjang justru suku bunga perbankan akan merespon negatif dan permanen. Namun respon ini sejalan dengan perubahan suku bunga official-nya yang juga turut terdepresiasi dalam jangka panjang. Hasil empiris ini sesuai dengan yang berlaku secara umum, dimana ketika bank sentral menaik atau turunkan suku bunga acuannya maka akan direspon oleh kenaikan atau penurunan suku bunga perbankan meskipun tidak sempurna dan penuh. Temuan ini sejalan dengan penelitian-penelitian terdahulu (lihat Scholnick (1996), Donnay et al (2001), Weth (2002), De Bondt (2002), Iregui et al (2002), Tieman (2004), Hovárt et al (2004), Sander dan Kleimeier (2002, 2004, dan 2006), Liu et al (2005), Burgstaller (2005), Kuan et al (2008), Egert et al (2006), Marotta (2009), dan lainnya) yang menyatakan bahwa perbankan tidak dapat merespon penuh perubahan kebijakan. Dengan demikian diketahui bahwa baik di negara maju maupun negara berkembang, perbankan sama-sama bersifat kaku (rigid) dalam menetapkan harga. Tetapi penelitian ini
sekaligus membuktikan bahwa suku bunga official bank sentral merupakan benchmark bagi perbankan. Terbukti perbankan merespon signifikan guncangan pada suku bunga official. Selain respon suku bunga perbankan, guncangan suku bunga official juga turut mempengaruhi perekonomian yang tercermin pada tingkat harga dan pendapatan nasional meskipun dalam nilai yang relatif kecil. Secara empiris ditemukan bahwa pendapatan nasional akan merespon negatif dan permanen atas guncangan suku bunga official, kecuali Jepang dan Indonesia. Sedangkan tingkat harga akan turut merespon negatif dan permanen, kecuali Indonesia, Malaysia, dan Jepang yang justru merespon positif dan permanen. Analisis berikutnya yaitu melihat seberapa besar kontribusi suku bunga official dalam menjelaskan fluktuasi suku bunga perbankan dan perekonomian. Secara empiris ditemui bahwa bank sentral berperan relatif kuat dalam menjelaskan fluktuasi suku bunga perbankan, sedangkan terhadap perekonomian hampir tidak terlihat. Meskipun dalam komposisi yang relatif kecil, kontribusi suku bunga official cukup terlihat pada variabilitas GDP di Indonesia, Singapura, Thailand, dan Jepang serta variabilitas tingkat harga di Indonesia, Singapura, dan Jepang. Terakhir adalah melihat hubungan di antara suku bunga official dengan tingkat harga dan pendapatan nasional. Secara umum tidak cukup bukti empiris untuk menunjukkan bahwa dalam jangka panjang terdapat hubungan di antaranya. Sehingga dapat dikatakan kebijakan moneter belum efektif dalam mempengaruhi perekonomian di masing-masing negara ASEAN+3.
V.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
5.1.
Kesimpulan
(1)
Hasil empiris pada penelitian ini menunjukkan bahwa telah ditemukan mekanisme over pass-through dan noncomplete pass-through di ASEAN+3. Fenomena over pass-through terjadi pada pembentukan kedua suku bunga perbankan di Singapura dan suku bunga kredit di Malaysia, sedangkan fenomena noncomplete pass-through terjadi pada pembentukan kedua suku bunga perbankan di Indonesia, Thailand, Filipina, Jepang, Korea serta suku bunga deposito Malaysia. Sedangkan terhadap perekonomian, derajat pass-through relatif kecil yaitu lebih kecil dari satu persen yang sekaligus mengindikasikan bahwa perubahan suku bunga kebijakan tidak ditransmisikan secara penuh sampai pada perekonomian.
(2)
Simulasi IRF menunjukkan bahwa guncangan pada suku bunga official akan direspon positif dan permanen oleh suku bunga perbankan masingmasing negara ASEAN+3, kecuali Singapura yang merespon negatif dan permanen. Lebih jauh lagi perekonomian yang dicerminkan oleh tingkat harga akan merespon negatif dan permanen, kecuali Indonesia, Malaysia, dan Jepang. Sementara pendapatan nasional juga turut merespon negatif dan permanen, kecuali Indonesia dan Jepang.
(3)
Dalam menjawab permasalahan ketiga melalui simulasi FEVD ditemukan bahwa peranan suku bunga official relatif kuat dalam
menjelaskan fluktuasi suku bunga perbankan, sedangkan terhadap perekonomian hampir tidak terlihat. Meskipun dalam komposisi yang relatif kecil, kontribusi bank sentral cukup terlihat pada variabilitas GDP Indonesia, Singapura, Thailand, dan Jepang serta variabilitas tingkat harga di Indonesia, Singapura, dan Jepang. (4)
Hasil empiris berikutnya memperlihatkan bahwa diantara negara ASEAN+3, hanya Jepang satu-satunya negara yang memiliki hubungan kointegrasi antara suku bunga official dengan tingkat harga. Sedangkan terhadap pendapatan nasional, tidak ada satu pun negara yang suku bunga official-nya terkointegrasi. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kebijakan moneter melalui jalur suku bunga belum efektif mempengaruhi perekonomian. Karena dalam jangka panjang tidak cukup bukti empiris untuk menunjukkan adanya hubungan antara suku bunga official bank sentral dengan tingkat harga dan pendapatan nasional.
5.2.
Implikasi Kebijakan
(1)
Melihat relatif besarnya peranan suku bunga official dalam pembentukan suku bunga perbankan melalui derajat pass-through, maka bank sentral dipandang perlu mengambil kebijakan yang lebih fleksibel. Hal ini mengingat bahwa jalur suku bunga lebih bersifat short-term dan sekaligus mampu menjaga peran intermediasi perbankan akibat volatilitas suku bunga. Selain itu perlunya konsolidasi dan hubungan yang sinergis antara bank sentral dan perbankan agar tujuan kebijakan
yang ingin dicapai dapat terlaksana, melalui perbankan sebagai lembaga intermediasinya. (2)
Karena dari hasil simulasi menunjukkan bahwa kebijakan moneter melalui suku bunga belum cukup efektif dalam mempengaruhi fluktuasi perekonomian,
disarankan
untuk
mempelajari
dan
menganilisis
instrumen fiskal. Apabila ditemukan bahwa kebijakan fiskal mampu mendorong
pertumbuhan
ekonomi,
mungkin
ada
baiknya
mengkombinasikan kebijakan moneter dan kebijakan fiskal dalam mencapai tujuan akhir kebijakan. (3)
Dalam mendukung hasil penelitian dan rekomendasi Hasanah, et al (2008), adapun negara yang menetapkan inflation targeting dengan menggunakan jalur suku bunga agar lebih berhati-hati. Sebab hasil penelitian ini membuktikan bahwa di sebagian besar negara ASEAN+3 tidak cukup bukti empiris untuk menunjukkan adanya hubungan jangka panjang antara suku bunga dengan tingkat harga.
(4)
Sebagai saran untuk penelitian lanjutan, ada baiknya memasukkan komponen
risiko
volatilitas
suku
bunga
agar
terlihat
adanya
symmetric/asymmetric effect dalam mekanisme interest rate passthrough.
DAFTAR PUSTAKA
Achsani, N.A. 2008. Integrasi Ekonomi ASEAN+3: Antara Peluang dan Ancaman. Brighten Institute, Bogor. Achsani, N.A. dan Khairani P . 2009. Respon Perbankan Terhadap Guncangan Suku Bunga Acuan di Negara ASEAN+3. Jurnal Keuangan dan Perbankan, 11 (1) : 61-74. Burgstaller, J. 2003. Interest Rate Transmission to Commercial Credit Rates in Austria. Department of Economics. Johannes Kepler University of Linz (Austria). Working Paper No. 0306. De Bondt, G. 2002. Retail Bank Interest Rate Pass-Through: new evidence at the euro area level. European Central Bank (Germany). Working Paper No. 136. Donnay, M. dan H. Degryse. 2001. Bank Lending Rate Pass-Through and Differences in the Transmission of a Single EMU Monetary Policy. Departement of Economics. Katholieke Universiteit (Leuven). Discussion Paper DPS 01.17. Ếgert, B, Jesus C.C., dan, Thomas R. 2006. Interest Rate Pass-Through in Central and Eastern Europe : Reborn From Ashes Merely to Pass Away ?. William Davidson Institute (The University of Michigan). Working Paper No. 851. Enders, W. 2000. Applied Economic Time Series. John Wiley & Son, Ltd. New York, USA. Gujarati, D. 2003. Ekonometrika Dasar. Sumarno ZainA [penerjemah]. Erlangga. Jakarta. Iregui, A. M., Milas, C., dan, Otero, J. 2002. On the Dynamics of Lending and Deposit Interest Rates in Emerging Markets: A Non-Linear Approach. Studies in Nonlinear Dynamics and Econometrics, 6 (3) : 1093-1093. Hasanah, H., Ascarya, dan Noer A.A. 2008. Perilaku Agregat Moneter dalam Sistem Kuangan/Perbankan Ganda di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, 23 (2) : 143-163. Horváth, C., Judit K., dan Anna N. 2004. Interest Rate Pass-Through: The Case of Hungary. National Bank of Hungary. Working Paper No. 8.
Kasmir. 2004. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Edisi Ke-6. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Kuan M., Binh N.T.T., dan Hui W.S. 2008. Dynamic hetero-risk : the Major Determinant of Loan Rate Pass-Through Mechanism in Taiwan. Banks and Banks System, 3 (4) : 12-15. Lim, G.C. 2001. Bank Interest Rate Adjustments: Are They Asymmetric?. The Economic Record, 77 (237) : 135-147. Liu, M., Dimitri M., dan Alireza T. 2008. Monetary Policy Transparency and Pass-Through of Retail Interest Rates. Journal of Banking and Finance, 32 (4) : 501-511. Lütkepohl, H. 2005. Structural Vector Autoregressive Analysis for Cointegrated Variables. Department of Economics. European University Institute (Italy). Working Paper No. 2. Mankiw, N.G. 2003. Teori Makroekonomi. Edisi Kelima. Imam Nurmawan [penerjemah]. Wisnu C. Kristiaji [editor]. Erlangga, Jakarta. Marotta, G. 2009. Structural Breaks in the Lending Interest Rate Pass-Through and the Euro. Economic Modelling, 26 (1) : 191-205. Maski, G. 2007. Transmisi Kebijakan Moneter : Kajian Teoritis dan Empiris. BPFE-Unibraw. Bayumedia publishing. Malang. McCarthy, J. 2006. Pass-Through of Exchange Rate and Import Prices to Domestic Inflation in Some Industrialized Economies. Research Departement. Federal Reserve Bank of New York (New York). Staff Reports No. 111. McCoy, D. 1997. How Useful is Structural VAR Analysis for Irish Economics?. A Paper Presented at an Internal Seminar of the Central Bank of Ireland, February 6th 1997, and at the 11thAnnual Conference of the Irish Economics Association, 4-6 September 1997, Athlone. Mojon, B. 2000. Financial Structure and the Interest Rate Channel of ECB Monetary Policy. ECB Working Paper No. 40. Nopirin. 1996. Ekonomi Moneter. Buku I dan II. BPFE-UGM. Yogyakarta. Nugraha, F.W. dan Noer A.A. 2008. Efek Perubahan (pass-through effect) Kurs terhadap Indeks Harga Konsumen di ASEAN-5, Jepang, dan Korea Selatan. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, 1 (1) : 90109.
Pohan, A. 2008. Kerangka Kebijakan Moneter & Implementasinya di Indonesia. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Pratomo, W. A. 2006. Buku Ajar Teori Ekonomi Makro. Fakultas Ekonomi. Universitas Sumatera Utara. Sander, H. dan Kleimeier S. 2002. Asymmetric Adjustment of Commercial Bank Interest Rates in the Euro Area: An Empirical Investigation Into Interest Rate Pass-Through. Kredit und Kapital, 35 (2): 161-192. Sander, H. dan Kleimeier S. 2004. Convergence in Euro-Zone Retail Banking? What Interest Rate Pass-Through Tells Us about Monetary Policy Transmission, Competition and Integration. Journal of International Money and Finance, 23 : 461-492. Sander, H. dan Sander K. 2006. Convergence of Interest Rate Pass-Through in a Wider Euro Zone. Economic System, 30 (4) : 405-423. Sato, K., Takatoshi I., dan Yuri N. S. 2005. Pass-Through of Exchange Rate Changes and Macroeconomics Shocks to Domestic Inflation in East Asian Countries. RIETI Discussion Paper Series 05-E-020. Japan. Sitaresmi, N. 2006. Analisis Pengaruh Guncangan Kurs Yen Dan Usd Terhadap Rupiah Dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Melalui Jalur Nilai Tukar Di Indonesia. [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Scholnick, B. 1996. Asymmetric Adjustment of Commercial Bank Interest Rates: Evidence from Malaysia and Singapore. Journal of International Money and Finance, 15 : 485-496. Tieman, A. 2004. Interest Rate Pass-Through in Romania and Other Central European Economies. IMF Working Paper No. 211. Thomas, R.L. 1997. Modern Econometrics an Introduction. First Edition. Westley Longman Ltd, London. Warjiyo, P. 2004. Bank Sentral Republik Indonesia : Sebuah Pengantar. Edisi pertama. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK). Bank Indonesia. Jakarta. Weth, M. A. 2002. The Pass-Through from Market Interest Rates to Bank Lending Rates in Germany. Economic Research Centre of Deutsche Bundesbank. Discussion Paper 11. Zivot, E. 2005. Notes on Structural VAR Modeling. Economics Class.
INDONESIA
Lampiran 1. Estimasi Persamaan VECM Pass-Through of Interest Vector Error Correction Estimates Sample (adjusted): 1999M09 2008M09 Included observations: 109 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1
PR(-1)
1.000000
MMR(-1)
-0.433239 (0.47645) [-0.90931]
DR(-1)
-3.078301 (0.90010) [-3.41994]
LR(-1)
4.579283 (1.16887) [ 3.91771]
IHK(-1)
-139.4891 (22.4817) [-6.20457]
GDP(-1)
254.4548 (41.8741) [ 6.07666]
C
-2647.678
Error Correction:
D(PR)
D(MMR)
D(DR)
D(LR)
D(IHK)
D(GDP)
CointEq1
0.041019 (0.01102) [ 3.72127]
0.026100 (0.06701) [ 0.38948]
0.006072 (0.00602) [ 1.00815]
-0.018150 (0.00627) [-2.89534]
0.000615 (0.00027) [ 2.27382]
-6.88E-05 (4.3E-05) [-1.58775]
D(PR(-1))
0.264606 (0.10668) [ 2.48039]
0.686867 (0.64855) [ 1.05908]
0.266981 (0.05829) [ 4.58046]
0.209865 (0.06067) [ 3.45916]
-0.000624 (0.00262) [-0.23802]
-2.02E-05 (0.00042) [-0.04817]
D(PR(-2))
-0.273669 (0.08391) [-3.26153]
-0.098798 (0.51012) [-0.19368]
-0.078983 (0.04585) [-1.72281]
0.006327 (0.04772) [ 0.13258]
-0.003881 (0.00206) [-1.88380]
0.000156 (0.00033) [ 0.47429]
D(PR(-3))
-0.086218 (0.08689) [-0.99224]
0.394885 (0.52826) [ 0.74752]
0.120227 (0.04748) [ 2.53239]
-0.064665 (0.04942) [-1.30857]
-0.002344 (0.00213) [-1.09837]
4.85E-05 (0.00034) [ 0.14204]
D(MMR(-1))
0.059308 (0.01725) [ 3.43829]
-0.596840 (0.10487) [-5.69146]
0.014043 (0.00942) [ 1.49008]
0.003321 (0.00981) [ 0.33858]
5.71E-05 (0.00042) [ 0.13480]
1.20E-05 (6.8E-05) [ 0.17688]
D(MMR(-2))
0.038322 (0.01953) [ 1.96242]
-0.367109 (0.11872) [-3.09227]
-0.001998 (0.01067) [-0.18729]
-0.007587 (0.01111) [-0.68315]
-0.000105 (0.00048) [-0.21878]
5.61E-05 (7.7E-05) [ 0.73111]
D(MMR(-3))
0.023583 (0.01695) [ 1.39131]
-0.151691 (0.10305) [-1.47201]
-0.000898 (0.00926) [-0.09695]
-0.007896 (0.00964) [-0.81909]
-0.000306 (0.00042) [-0.73404]
-2.35E-05 (6.7E-05) [-0.35295]
D(DR(-1))
0.159456 (0.18169) [ 0.87760] -0.279268
1.317909 (1.10461) [ 1.19310] -1.838601
0.576224 (0.09927) [ 5.80440] 0.033184
0.290561 (0.10333) [ 2.81194] -0.090988
0.009464 (0.00446) [ 2.12122] -0.005953
0.000205 (0.00071) [ 0.28729] 0.001001
D(DR(-2))
(0.21052) [-1.32656]
(1.27985) [-1.43657]
(0.11502) [ 0.28850]
(0.11972) [-0.75998]
(0.00517) [-1.15164]
(0.00083) [ 1.21066]
D(DR(-3))
0.318836 (0.12495) [ 2.55171]
1.328936 (0.75963) [ 1.74945]
-0.188837 (0.06827) [-2.76604]
0.098712 (0.07106) [ 1.38914]
0.000715 (0.00307) [ 0.23310]
-0.001302 (0.00049) [-2.65345]
D(LR(-1))
0.564288 (0.17586) [ 3.20867]
1.306472 (1.06916) [ 1.22196]
0.363510 (0.09609) [ 3.78310]
0.169455 (0.10001) [ 1.69429]
0.023322 (0.00432) [ 5.40065]
0.000551 (0.00069) [ 0.79749]
D(LR(-2))
0.181085 (0.21713) [ 0.83398]
-0.781324 (1.32006) [-0.59188]
0.117115 (0.11864) [ 0.98717]
-0.099955 (0.12349) [-0.80944]
0.000757 (0.00533) [ 0.14191]
-0.000806 (0.00085) [-0.94493]
D(LR(-3))
-0.066160 (0.18800) [-0.35192]
-0.644693 (1.14293) [-0.56407]
-0.149420 (0.10272) [-1.45466]
-0.095084 (0.10692) [-0.88933]
0.006321 (0.00462) [ 1.36932]
-0.000169 (0.00074) [-0.22926]
D(IHK(-1))
11.70575 (4.24085) [ 2.76024]
-24.20095 (25.7821) [-0.93867]
2.891221 (2.31710) [ 1.24778]
4.328023 (2.41180) [ 1.79452]
-0.050303 (0.10414) [-0.48305]
-0.009662 (0.01666) [-0.57996]
D(IHK(-2))
0.955693 (4.16198) [ 0.22962]
27.06036 (25.3027) [ 1.06947]
1.030746 (2.27401) [ 0.45327]
-1.340165 (2.36695) [-0.56620]
-0.384022 (0.10220) [-3.75759]
-0.007543 (0.01635) [-0.46137]
D(IHK(-3))
2.636728 (4.17836) [ 0.63104]
-10.43683 (25.4022) [-0.41086]
-0.304212 (2.28296) [-0.13325]
-1.571356 (2.37627) [-0.66127]
-0.089340 (0.10260) [-0.87075]
-0.010666 (0.01641) [-0.64981]
D(GDP(-1))
-62.54240 (26.6873) [-2.34353]
-136.1801 (162.245) [-0.83935]
-2.339720 (14.5813) [-0.16046]
-14.10060 (15.1773) [-0.92906]
0.571910 (0.65532) [ 0.87272]
1.707417 (0.10484) [ 16.2861]
D(GDP(-2))
53.05299 (38.8702) [ 1.36488]
45.17292 (236.310) [ 0.19116]
2.190491 (21.2378) [ 0.10314]
24.39592 (22.1058) [ 1.10360]
-1.242803 (0.95447) [-1.30209]
-1.402349 (0.15270) [-9.18377]
D(GDP(-3))
-48.91927 (25.1894) [-1.94206]
-33.70530 (153.138) [-0.22010]
2.834774 (13.7629) [ 0.20597]
-13.95073 (14.3254) [-0.97384]
0.451911 (0.61854) [ 0.73061]
0.468030 (0.09895) [ 4.72974]
C
0.206022 (0.11605) [ 1.77526]
0.629262 (0.70553) [ 0.89190]
-0.018332 (0.06341) [-0.28911]
-0.058153 (0.06600) [-0.88111]
0.015297 (0.00285) [ 5.36800]
0.001106 (0.00046) [ 2.42516]
0.612190 0.529399 8.052700 0.300799 7.394415 -12.67325 0.599509 1.093334 -0.032018 0.438480
0.396071 0.267142 297.6277 1.828697 3.072018 -209.4093 4.209345 4.703170 -0.028257 2.136151
0.927124 0.911566 2.403952 0.164349 59.59214 53.21144 -0.609384 -0.115559 -0.088165 0.552661
0.729521 0.671779 2.604471 0.171066 12.63402 48.84514 -0.529269 -0.035443 -0.094954 0.298594
0.400210 0.272166 0.004855 0.007386 3.125547 391.3707 -6.814142 -6.320316 0.007384 0.008658
0.874050 0.847162 0.000124 0.001182 32.50676 591.1341 -10.47953 -9.985700 0.004306 0.003023
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
1.21E-14 3.58E-15 884.9039 -13.92484 -10.81374
Lampiran 2. VAR First Difference untuk Hubungan Suku Bunga Official dengan Tingkat Harga Vector Autoregression Estimates Sample (adjusted): 1999M08 2008M09 Included observations: 110 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] DPR
IHK
DPR(-1)
0.382777 (0.06836) [ 5.59949]
0.000816 (0.00160) [ 0.51050]
DPR(-2)
-0.081856 (0.05417) [-1.51121]
0.001785 (0.00127) [ 1.40979]
IHK(-1)
12.73286 (4.18990) [ 3.03894]
1.079343 (0.09794) [ 11.0202]
IHK(-2)
-12.82622 (4.19767) [-3.05556]
-0.079070 (0.09812) [-0.80582]
C
0.352265 (0.74728) [ 0.47139]
0.005775 (0.01747) [ 0.33060]
0.428899 0.407142 13.64763 0.360524 19.71383 -41.30294 0.841872 0.964621 -0.048182 0.468230
0.998763 0.998716 0.007457 0.008428 21202.49 371.8631 -6.670238 -6.547489 4.943814 0.235223
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
8.60E-06 7.84E-06 334.4594 -5.899262 -5.653763
Uji Kointegrasi Antara Suku Bunga Official dengan Tingkat Harga Trend assumption: Linear deterministic trend Series: PR IHK Lags interval (in first differences): 1 to 3 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.1 Critical Value
Prob.**
None At most 1
0.082196 3.57E-05
9.353002 0.003891
13.42878 2.705545
0.3337 0.9490
Trace test indicates no cointegration at the 0.1 level
Uji Kointegrasi Antara Suku Bunga Official dengan Pendapatan Trend assumption: Linear deterministic trend Series: PR GDP Lags interval (in first differences): 1 to 4 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.1 Critical Value
Prob.**
None At most 1 *
0.043220 0.034973
8.616339 3.844663
13.42878 2.705545
0.4021 0.0499
Trace test indicates no cointegration at the 0.1 level
Lampiran 3. VAR First Difference untuk Hubungan Suku Bunga Official dengan Pendapatan Nasional Vector Autoregression Estimates Sample (adjusted): 1999M09 2008M09 Included observations: 109 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] DPR
DGDP
DPR(-1)
0.604117 (0.09524) [ 6.34287]
-0.000329 (0.00032) [-1.02638]
DPR(-2)
-0.109391 (0.07785) [-1.40519]
0.000230 (0.00026) [ 0.87819]
DPR(-3)
0.040845 (0.05425) [ 0.75284]
-6.57E-05 (0.00018) [-0.35986]
DGDP(-1)
-58.97673 (29.3830) [-2.00717]
1.736231 (0.09882) [ 17.5690]
DGDP(-2)
60.82939 (42.1514) [ 1.44312]
-1.475151 (0.14177) [-10.4054]
DGDP(-3)
-38.30555 (27.9965) [-1.36823]
0.477077 (0.09416) [ 5.06666]
C
0.147473 (0.08568) [ 1.72116]
0.001182 (0.00029) [ 4.10076]
0.382975 0.346680 12.81225 0.354415 10.55156 -37.98273 0.825371 0.998210 -0.032018 0.438480
0.853116 0.844476 0.000145 0.001192 98.73783 582.7545 -10.56430 -10.39146 0.004306 0.003023
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
1.77E-07 1.55E-07 545.1186 -9.745296 -9.399618
MALAYSIA
Lampiran 1. Estimasi Persamaan VECM Pass-Through of Interest Vector Error Correction Estimates Sample (adjusted): 2004M07 2008M09 Included observations: 51 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1
PR(-1)
1.000000
MMR(-1)
-1.054941 (0.04128) [-25.5527]
DR(-1)
-1.039019 (0.16721) [-6.21396]
LR(-1)
0.283155 (0.05314) [ 5.32857]
IHK(-1)
1.201437 (0.19749) [ 6.08347]
GDP(-1)
0.075337 (0.14760) [ 0.51041]
C
-4.945201
Error Correction:
D(PR)
D(MMR)
D(DR)
D(LR)
D(IHK)
D(GDP)
CointEq1
2.624715 (1.07151) [ 2.44955]
0.707796 (0.14623) [ 4.84031]
0.217568 (0.16524) [ 1.31671]
0.569074 (0.93798) [ 0.60670]
-0.105191 (0.13120) [-0.80174]
0.013143 (0.02493) [ 0.52712]
D(PR(-1))
-2.940225 (1.16520) [-2.52336]
0.178589 (0.15902) [ 1.12308]
-0.147530 (0.17968) [-0.82105]
-0.154050 (1.02000) [-0.15103]
0.128831 (0.14268) [ 0.90296]
-0.013472 (0.02711) [-0.49687]
D(PR(-2))
0.456519 (0.90966) [ 0.50186]
0.211696 (0.12414) [ 1.70527]
0.116918 (0.14028) [ 0.83348]
0.902248 (0.79630) [ 1.13305]
-0.032942 (0.11139) [-0.29575]
-0.009345 (0.02117) [-0.44147]
D(MMR(-1))
-0.746284 (0.92383) [-0.80782]
-0.275617 (0.12608) [-2.18613]
-0.098722 (0.14246) [-0.69297]
-0.651240 (0.80871) [-0.80529]
0.047430 (0.11312) [ 0.41929]
0.012409 (0.02150) [ 0.57724]
D(MMR(-2))
0.268163 (0.20345) [ 1.31809]
0.042094 (0.02776) [ 1.51610]
0.035399 (0.03137) [ 1.12830]
0.453336 (0.17810) [ 2.54546]
0.010218 (0.02491) [ 0.41018]
-0.001848 (0.00473) [-0.39040]
D(DR(-1))
1.559003 (1.26919) [ 1.22834]
0.175058 (0.17321) [ 1.01068]
0.526917 (0.19572) [ 2.69220]
0.093545 (1.11103) [ 0.08420]
-0.089719 (0.15541) [-0.57731]
-0.000637 (0.02953) [-0.02156]
D(DR(-2))
-1.052471 (1.02382) [-1.02799]
0.078501 (0.13972) [ 0.56184]
-0.259443 (0.15788) [-1.64328]
0.302409 (0.89624) [ 0.33742]
0.009713 (0.12536) [ 0.07748]
-0.017680 (0.02382) [-0.74213]
D(LR(-1))
-0.184390 (0.30190) [-0.61076]
-0.118117 (0.04120) [-2.86685]
-0.043173 (0.04656) [-0.92734]
-0.424575 (0.26428) [-1.60652]
0.006517 (0.03697) [ 0.17630]
-0.004815 (0.00703) [-0.68547]
D(LR(-2))
0.091984 (0.22830) [ 0.40292]
-0.045166 (0.03116) [-1.44970]
0.035165 (0.03521) [ 0.99885]
-0.047344 (0.19985) [-0.23690]
-0.003049 (0.02795) [-0.10907]
0.005898 (0.00531) [ 1.11033]
D(IHK(-1))
-0.180936 (1.61025) [-0.11237]
-0.898757 (0.21975) [-4.08988]
0.054742 (0.24831) [ 0.22046]
-1.898917 (1.40959) [-1.34714]
0.343588 (0.19717) [ 1.74259]
-0.040681 (0.03747) [-1.08570]
D(IHK(-2))
-2.522385 (1.79813) [-1.40278]
-0.679556 (0.24539) [-2.76926]
-0.102519 (0.27729) [-0.36972]
-1.169269 (1.57406) [-0.74284]
-0.149403 (0.22018) [-0.67856]
-0.041400 (0.04184) [-0.98945]
D(GDP(-1))
3.585074 (5.93045) [ 0.60452]
-2.265952 (0.80933) [-2.79978]
-0.167140 (0.91453) [-0.18276]
-6.670938 (5.19143) [-1.28499]
-0.707981 (0.72617) [-0.97495]
0.969485 (0.13800) [ 7.02535]
D(GDP(-2))
0.734526 (5.40542) [ 0.13589]
2.589108 (0.73768) [ 3.50979]
0.208137 (0.83356) [ 0.24970]
7.329484 (4.73183) [ 1.54898]
0.329150 (0.66188) [ 0.49729]
-0.526459 (0.12578) [-4.18552]
C
0.050239 (0.03360) [ 1.49541]
0.015719 (0.00458) [ 3.42847]
0.003389 (0.00518) [ 0.65410]
-0.004957 (0.02941) [-0.16855]
0.002158 (0.00411) [ 0.52470]
0.003016 (0.00078) [ 3.85802]
0.532968 0.368876 0.094551 0.050551 3.247978 88.04038 -2.903544 -2.373239 0.015686 0.063632
0.989670 0.986040 0.001761 0.006899 272.6644 189.6143 -6.886834 -6.356529 0.015765 0.058389
0.726323 0.630166 0.002248 0.007795 7.553509 183.3823 -6.642444 -6.112139 0.002745 0.012818
0.557886 0.402549 0.072455 0.044252 3.591451 94.82795 -3.169723 -2.639418 -0.000588 0.057251
0.205073 -0.074226 0.001418 0.006190 0.734242 195.1440 -7.103688 -6.573383 0.003350 0.005972
0.701505 0.596629 5.12E-05 0.001176 6.688874 279.8317 -10.42477 -9.894468 0.004376 0.001852
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
4.64E-25 6.77E-26 1043.645 -37.39784 -33.98873
Lampiran 2. VAR First Difference untuk Hubungan Suku Bunga Official dengan Tingkat Harga Vector Autoregression Estimates Sample (adjusted): 2004M06 2008M09 Included observations: 52 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] DPR
DIHK
DPR(-1)
-0.049537 (0.14211) [-0.34859]
0.010854 (0.01298) [ 0.83611]
DIHK(-1)
1.314972 (1.51998) [ 0.86512]
0.252153 (0.13885) [ 1.81602]
C
0.011722 (0.01054) [ 1.11243]
0.002298 (0.00096) [ 2.38750]
0.018676 -0.021378 0.198907 0.063713 0.466270 70.93542 -2.612901 -2.500329 0.015385 0.063043
0.071122 0.033208 0.001660 0.005820 1.875895 195.3749 -7.399035 -7.286463 0.003314 0.005919
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
1.36E-07 1.20E-07 266.6798 -10.02615 -9.801003
Uji Kointegrasi Antara Suku Bunga Official dengan Tingkat Harga Sample (adjusted): 2004M07 2008M09 Included observations: 51 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend Series: PR IHK Lags interval (in first differences): 1 to 2 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.1 Critical Value
Prob.**
None At most 1
0.081595 0.032908
6.047503 1.706562
13.42878 2.705545
0.6899 0.1914
Trace test indicates no cointegration at the 0.1 level
Uji Kointegrasi Antara Suku Bunga Official dengan Pendapatan Sample (adjusted): 2004M07 2008M09 Included observations: 51 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend Series: PR GDP Lags interval (in first differences): 1 to 2 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.1 Critical Value
Prob.**
None At most 1
0.055646 0.000846
2.963109 0.043163
13.42878 2.705545
0.9685 0.8354
Trace test indicates no cointegration at the 0.1 level
Lampiran 3. VAR First Difference untuk Hubungan Suku Bunga Official dengan Pendapatan Nasional Vector Autoregression Estimates Sample (adjusted): 2004M06 2008M09 Included observations: 52 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] DPR
DGDP
DPR(-1)
-0.066727 (0.14272) [-0.46755]
-0.000354 (0.00312) [-0.11351]
DGDP(-1)
2.222877 (4.39415) [ 0.50587]
0.640290 (0.09605) [ 6.66603]
C
0.006196 (0.02200) [ 0.28161]
0.001506 (0.00048) [ 3.13059]
0.008863 -0.031591 0.200896 0.064031 0.219094 70.67673 -2.602951 -2.490379 0.015385 0.063043
0.476673 0.455313 9.60E-05 0.001400 22.31589 269.4796 -10.24922 -10.13664 0.004443 0.001896
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
7.97E-09 7.08E-09 340.3566 -12.85987 -12.63473
SINGAPURA
Lampiran 1. Estimasi Persamaan VECM Pass-Through of Interest Vector Error Correction Estimates Sample (adjusted): 1999M09 2008M09 Included observations: 109 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1
PR(-1)
1.000000
MMR(-1)
-1.220134 (0.14567) [-8.37573]
DR(-1)
0.568349 (0.46363) [ 1.22587]
LR(-1)
0.797927 (0.78484) [ 1.01668]
IHK(-1)
4.367514 (5.37571) [ 0.81245]
GDP(-1)
1.725278 (2.06355) [ 0.83607]
C
-42.78501
Error Correction:
D(PR)
D(MMR)
D(DR)
D(LR)
D(IHK)
D(GDP)
CointEq1
-0.260673 (0.09593) [-2.71725]
-0.062128 (0.11152) [-0.55711]
-0.011343 (0.02042) [-0.55554]
-0.026661 (0.01624) [-1.64193]
0.001749 (0.00154) [ 1.13880]
-0.003256 (0.00104) [-3.11784]
D(PR(-1))
-0.151925 (0.12090) [-1.25665]
0.069152 (0.14054) [ 0.49206]
0.027401 (0.02573) [ 1.06488]
0.021436 (0.02046) [ 1.04754]
0.001153 (0.00194) [ 0.59554]
0.003068 (0.00132) [ 2.33104]
D(PR(-2))
-0.106715 (0.08820) [-1.20997]
-0.025628 (0.10252) [-0.24997]
0.001311 (0.01877) [ 0.06983]
-0.001506 (0.01493) [-0.10085]
-0.000765 (0.00141) [-0.54205]
0.001015 (0.00096) [ 1.05671]
D(PR(-3))
-0.030147 (0.07784) [-0.38732]
0.070542 (0.09048) [ 0.77964]
0.007454 (0.01657) [ 0.44995]
0.006850 (0.01317) [ 0.51997]
-0.001577 (0.00125) [-1.26597]
-7.65E-05 (0.00085) [-0.09030]
D(MMR(-1))
-0.042271 (0.16977) [-0.24899]
-0.052823 (0.19735) [-0.26767]
0.032828 (0.03613) [ 0.90851]
-0.025706 (0.02873) [-0.89461]
0.001544 (0.00272) [ 0.56800]
-0.003777 (0.00185) [-2.04376]
D(MMR(-2))
0.323732 (0.15982) [ 2.02560]
-0.055127 (0.18578) [-0.29673]
-0.008645 (0.03402) [-0.25414]
-0.026353 (0.02705) [-0.97419]
-0.002117 (0.00256) [-0.82753]
-0.003855 (0.00174) [-2.21586]
D(MMR(-3))
-0.084422 (0.13816) [-0.61103]
-0.041946 (0.16061) [-0.26117]
-0.002002 (0.02941) [-0.06809]
-0.010653 (0.02339) [-0.45553]
-0.002336 (0.00221) [-1.05608]
-0.001979 (0.00150) [-1.31605]
D(DR(-1))
0.954731 (0.92489) [ 1.03226]
0.174882 (1.07515) [ 0.16266]
0.003012 (0.19686) [ 0.01530]
0.016772 (0.15655) [ 0.10714]
0.006255 (0.01481) [ 0.42248]
-0.008882 (0.01007) [-0.88209]
D(DR(-2))
-0.134434 (0.85564) [-0.15711]
-0.792766 (0.99465) [-0.79703]
0.142672 (0.18212) [ 0.78341]
-0.081486 (0.14482) [-0.56266]
0.026878 (0.01370) [ 1.96233]
-0.004759 (0.00932) [-0.51086]
D(DR(-3))
0.223113 (0.85076) [ 0.26225]
0.137461 (0.98897) [ 0.13899]
0.023001 (0.18108) [ 0.12702]
-0.114365 (0.14400) [-0.79422]
-0.011523 (0.01362) [-0.84613]
-0.005108 (0.00926) [-0.55146]
D(LR(-1))
-0.953787 (1.09590) [-0.87032]
2.123656 (1.27394) [ 1.66700]
0.344200 (0.23325) [ 1.47565]
0.265199 (0.18549) [ 1.42972]
0.008960 (0.01754) [ 0.51075]
0.007670 (0.01193) [ 0.64289]
D(LR(-2))
1.860534 (1.06370) [ 1.74912]
-1.021366 (1.23650) [-0.82601]
-0.294458 (0.22640) [-1.30062]
-0.130741 (0.18004) [-0.72618]
-0.022783 (0.01703) [-1.33802]
0.007901 (0.01158) [ 0.68233]
D(LR(-3))
0.892758 (1.05112) [ 0.84934]
0.573071 (1.22189) [ 0.46900]
0.056856 (0.22372) [ 0.25413]
0.099058 (0.17791) [ 0.55678]
0.015012 (0.01683) [ 0.89216]
-0.001544 (0.01144) [-0.13496]
D(IHK(-1))
-9.207386 (6.39035) [-1.44083]
-2.938772 (7.42852) [-0.39561]
1.702219 (1.36013) [ 1.25151]
1.043180 (1.08162) [ 0.96446]
-0.161461 (0.10230) [-1.57838]
0.078084 (0.06957) [ 1.12240]
D(IHK(-2))
-3.537434 (6.31357) [-0.56029]
-3.173008 (7.33928) [-0.43233]
-0.150354 (1.34379) [-0.11189]
0.985746 (1.06862) [ 0.92245]
0.080591 (0.10107) [ 0.79741]
0.012544 (0.06873) [ 0.18251]
D(IHK(-3))
2.281832 (6.08285) [ 0.37513]
0.639593 (7.07107) [ 0.09045]
1.756389 (1.29468) [ 1.35662]
1.521613 (1.02957) [ 1.47791]
0.296737 (0.09737) [ 3.04743]
-0.100161 (0.06622) [-1.51252]
D(GDP(-1))
-13.86648 (9.66271) [-1.43505]
-7.424256 (11.2325) [-0.66096]
2.739974 (2.05663) [ 1.33227]
0.689788 (1.63549) [ 0.42176]
0.422112 (0.15468) [ 2.72896]
1.634492 (0.10519) [ 15.5379]
D(GDP(-2))
13.66561 (14.4797) [ 0.94378]
14.62923 (16.8320) [ 0.86913]
-3.037189 (3.08187) [-0.98550]
-1.084870 (2.45080) [-0.44266]
-0.771371 (0.23179) [-3.32793]
-1.205359 (0.15763) [-7.64658]
D(GDP(-3))
-3.510815 (8.95409) [-0.39209]
-4.546176 (10.4088) [-0.43676]
1.231305 (1.90580) [ 0.64608]
1.032326 (1.51555) [ 0.68116]
0.496435 (0.14334) [ 3.46346]
0.345774 (0.09748) [ 3.54715]
C
0.043420 (0.03319) [ 1.30837]
-0.006434 (0.03858) [-0.16679]
-0.017146 (0.00706) [-2.42739]
-0.012733 (0.00562) [-2.26687]
0.000665 (0.00053) [ 1.25150]
0.000713 (0.00036) [ 1.97285]
0.568013 0.475791 3.709000 0.204142 6.159205 29.57761 -0.175736 0.318089 -0.004679 0.281956
0.167650 -0.010043 5.012020 0.237307 0.943480 13.16893 0.125341 0.619166 -0.002294 0.236125
0.249570 0.089366 0.168023 0.043450 1.557824 198.2232 -3.270151 -2.776325 -0.011651 0.045532
0.197349 0.025997 0.106256 0.034553 1.151715 223.1978 -3.728400 -3.234575 -0.003853 0.035011
0.334484 0.192408 0.000950 0.003268 2.354256 480.2578 -8.445098 -7.951272 0.001347 0.003636
0.915359 0.897290 0.000440 0.002222 50.65821 522.2822 -9.216186 -8.722361 0.004179 0.006935
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
5.33E-20 1.58E-20 1556.893 -26.25491 -23.14381
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Lampiran 2. VAR First Difference untuk Hubungan Suku Bunga Official dengan Tingkat Harga Vector Autoregression Estimates Sample (adjusted): 1999M07 2008M09 Included observations: 111 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] DPR
DIHK
DPR(-1)
0.048709 (0.09659) [ 0.50430]
0.000439 (0.00127) [ 0.34676]
DIHK(-1)
-8.418500 (7.45244) [-1.12963]
-0.002608 (0.09771) [-0.02669]
C
0.009181 (0.02843) [ 0.32294]
0.001281 (0.00037) [ 3.43525]
0.016575 -0.001637 8.579226 0.281846 0.910137 -15.41183 0.331745 0.404975 -0.002072 0.281616
0.001197 -0.017299 0.001475 0.003695 0.064714 465.6903 -8.336763 -8.263532 0.001275 0.003664
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
1.05E-06 9.90E-07 452.3389 -8.042142 -7.895681
Uji Kointegrasi Antara Suku Bunga Official dengan Tingkat Harga Trend assumption: Linear deterministic trend Series: PR IHK Lags interval (in first differences): 1 to 2 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.1 Critical Value
Prob.**
None At most 1
0.078990 0.010221
10.18144 1.130126
13.42878 2.705545
0.2670 0.2877
Trace test indicates no cointegration at the 0.1 level
Uji Kointegrasi Antara Suku Bunga Official dengan Pendapatan Trend assumption: Linear deterministic trend Series: PR GDP Lags interval (in first differences): 1 to 4 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.1 Critical Value
Prob.**
None At most 1
0.022845 0.002421
2.757671 0.261761
13.42878 2.705545
0.9768 0.6089
Trace test indicates no cointegration at the 0.1 level
Lampiran 3. VAR First Difference untuk Hubungan Suku Bunga Official dengan Pendapatan Nasional Vector Autoregression Estimates Sample (adjusted): 1999M09 2008M09 Included observations: 109 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] DPR
DGDP
DPR(-1)
0.043718 (0.09834) [ 0.44455]
0.000959 (0.00082) [ 1.17004]
DPR(-2)
-0.106144 (0.09857) [-1.07684]
5.62E-05 (0.00082) [ 0.06846]
DPR(-3)
-0.003500 (0.09570) [-0.03658]
4.26E-05 (0.00080) [ 0.05343]
DGDP(-1)
0.487652 (10.8970) [ 0.04475]
1.788860 (0.09083) [ 19.6955]
DGDP(-2)
-2.186983 (17.7639) [-0.12311]
-1.366056 (0.14806) [-9.22638]
DGDP(-3)
12.13132 (11.1906) [ 1.08406]
0.418502 (0.09327) [ 4.48687]
C
-0.051786 (0.03514) [-1.47366]
0.000638 (0.00029) [ 2.17779]
0.076561 0.022241 7.928568 0.278803 1.409445 -11.82659 0.345442 0.518281 -0.004679 0.281956
0.893944 0.887706 0.000551 0.002324 143.2931 509.9896 -9.229167 -9.056328 0.004179 0.006935
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
4.18E-07 3.66E-07 498.4051 -8.888166 -8.542489
THAILAND
Lampiran 1. Estimasi Persamaan VECM Pass-Through of Interest Vector Error Correction Estimates Sample (adjusted): 1999M10 2008M02 Included observations: 101 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1
PR(-1)
1.000000
MMR(-1)
-1.931044 (0.20894) [-9.24196]
DR(-1)
0.506585 (0.17650) [ 2.87013]
LR(-1)
0.660203 (0.27535) [ 2.39765]
IHK(-1)
-13.57146 (9.65631) [-1.40545]
GDP(-1)
12.59716 (4.85818) [ 2.59298]
C
-118.4846
Error Correction:
D(PR)
D(MMR)
D(DR)
D(LR)
D(IHK)
D(GDP)
CointEq1
-0.001023 (0.05616) [-0.01821]
0.148846 (0.06607) [ 2.25292]
-0.200172 (0.07252) [-2.76021]
-0.097853 (0.05413) [-1.80765]
0.002722 (0.00140) [ 1.95071]
-0.001088 (0.00043) [-2.52730]
D(PR(-1))
-0.109375 (0.16107) [-0.67905]
0.040854 (0.18948) [ 0.21562]
0.367418 (0.20798) [ 1.76659]
-0.007353 (0.15525) [-0.04737]
0.000544 (0.00400) [ 0.13599]
-0.000794 (0.00123) [-0.64347]
D(PR(-2))
-0.220752 (0.15829) [-1.39464]
0.094036 (0.18620) [ 0.50503]
-0.056394 (0.20439) [-0.27592]
-0.227326 (0.15256) [-1.49005]
0.000644 (0.00393) [ 0.16371]
0.000611 (0.00121) [ 0.50351]
D(PR(-3))
0.121630 (0.15632) [ 0.77808]
0.651888 (0.18389) [ 3.54500]
0.022648 (0.20185) [ 0.11220]
0.122290 (0.15067) [ 0.81165]
0.000760 (0.00388) [ 0.19577]
-0.002832 (0.00120) [-2.36366]
D(PR(-4))
-0.361493 (0.16924) [-2.13599]
-0.381096 (0.19909) [-1.91423]
0.027109 (0.21853) [ 0.12405]
0.017214 (0.16312) [ 0.10553]
0.002591 (0.00421) [ 0.61605]
-0.001886 (0.00130) [-1.45378]
D(MMR(-1))
0.272524 (0.13065) [ 2.08591]
0.026030 (0.15369) [ 0.16937]
-0.245647 (0.16870) [-1.45610]
-0.013544 (0.12593) [-0.10756]
-0.000945 (0.00325) [-0.29111]
-0.001065 (0.00100) [-1.06382]
D(MMR(-2))
0.194937 (0.12781) [ 1.52525]
-0.127304 (0.15035) [-0.84674]
-0.016679 (0.16503) [-0.10107]
0.040921 (0.12319) [ 0.33219]
-0.000298 (0.00318) [-0.09375]
-0.000644 (0.00098) [-0.65741]
D(MMR(-3))
0.094283 (0.12307) [ 0.76607]
-0.167925 (0.14478) [-1.15988]
0.023901 (0.15892) [ 0.15040]
-0.182586 (0.11862) [-1.53921]
-0.004216 (0.00306) [-1.37869]
0.000972 (0.00094) [ 1.03089]
D(MMR(-4))
0.105249 (0.12243) [ 0.85964]
0.223925 (0.14403) [ 1.55476]
0.051479 (0.15809) [ 0.32563]
0.006807 (0.11801) [ 0.05768]
-0.002293 (0.00304) [-0.75369]
0.000151 (0.00094) [ 0.16043]
D(DR(-1))
0.210648 (0.09207) [ 2.28785]
0.233821 (0.10831) [ 2.15881]
0.120957 (0.11889) [ 1.01740]
0.142572 (0.08874) [ 1.60656]
0.002513 (0.00229) [ 1.09842]
3.18E-05 (0.00071) [ 0.04502]
D(DR(-2))
0.104638 (0.09053) [ 1.15588]
0.002289 (0.10649) [ 0.02149]
0.187709 (0.11689) [ 1.60584]
0.080187 (0.08725) [ 0.91902]
0.001428 (0.00225) [ 0.63499]
0.001474 (0.00069) [ 2.12430]
D(DR(-3))
0.134297 (0.09300) [ 1.44398]
0.160974 (0.10941) [ 1.47133]
0.006496 (0.12009) [ 0.05409]
0.137617 (0.08964) [ 1.53518]
0.001045 (0.00231) [ 0.45215]
0.000783 (0.00071) [ 1.09911]
D(DR(-4))
-0.060758 (0.09047) [-0.67155]
-0.064039 (0.10643) [-0.60170]
0.040605 (0.11682) [ 0.34758]
0.093030 (0.08720) [ 1.06682]
0.002357 (0.00225) [ 1.04847]
8.84E-05 (0.00069) [ 0.12744]
D(LR(-1))
0.258916 (0.12467) [ 2.07684]
0.336453 (0.14665) [ 2.29420]
0.060661 (0.16098) [ 0.37683]
0.002810 (0.12016) [ 0.02339]
0.000366 (0.00310) [ 0.11802]
0.000482 (0.00096) [ 0.50446]
D(LR(-2))
-0.041946 (0.12314) [-0.34064]
-0.111764 (0.14486) [-0.77155]
-0.342791 (0.15900) [-2.15587]
-0.045951 (0.11869) [-0.38716]
-0.002285 (0.00306) [-0.74679]
-0.001421 (0.00094) [-1.50577]
D(LR(-3))
-0.034166 (0.12421) [-0.27507]
0.043397 (0.14611) [ 0.29701]
0.156380 (0.16038) [ 0.97505]
0.124480 (0.11972) [ 1.03979]
0.002535 (0.00309) [ 0.82134]
-0.000718 (0.00095) [-0.75386]
D(LR(-4))
-0.132944 (0.11985) [-1.10924]
-0.274465 (0.14099) [-1.94673]
-0.009384 (0.15476) [-0.06064]
-0.147089 (0.11552) [-1.27330]
-1.50E-05 (0.00298) [-0.00504]
0.000384 (0.00092) [ 0.41801]
D(IHK(-1))
3.651757 (4.57693) [ 0.79786]
6.859458 (5.38411) [ 1.27402]
8.580026 (5.90994) [ 1.45179]
-0.913657 (4.41145) [-0.20711]
0.313919 (0.11373) [ 2.76033]
0.042234 (0.03508) [ 1.20407]
D(IHK(-2))
4.046481 (4.97664) [ 0.81309]
1.346915 (5.85431) [ 0.23007]
1.219456 (6.42607) [ 0.18977]
0.844674 (4.79671) [ 0.17609]
-0.083684 (0.12366) [-0.67674]
0.038499 (0.03814) [ 1.00943]
D(IHK(-3))
1.542599 (4.94026) [ 0.31225]
5.744680 (5.81152) [ 0.98850]
2.346139 (6.37909) [ 0.36779]
7.464975 (4.76164) [ 1.56773]
0.075039 (0.12275) [ 0.61130]
-0.040754 (0.03786) [-1.07645]
D(IHK(-4))
5.809086 (4.81873) [ 1.20552]
5.633265 (5.66855) [ 0.99378]
13.32566 (6.22217) [ 2.14164]
6.726845 (4.64450) [ 1.44835]
-0.108710 (0.11973) [-0.90793]
0.056696 (0.03693) [ 1.53529]
D(GDP(-1))
-4.899689 (13.9339) [-0.35164]
-1.059632 (16.3912) [-0.06465]
21.69963 (17.9921) [ 1.20607]
16.27930 (13.4301) [ 1.21215]
0.127082 (0.34622) [ 0.36705]
1.424100 (0.10678) [ 13.3363]
D(GDP(-2))
-3.402179 (24.9384) [-0.13642]
11.50411 (29.3365) [ 0.39214]
-3.528764 (32.2016) [-0.10958]
-41.00564 (24.0367) [-1.70596]
-0.781871 (0.61966) [-1.26178]
-0.861777 (0.19112) [-4.50914]
D(GDP(-3))
-5.709936 (24.3484) [-0.23451]
-33.71301 (28.6425) [-1.17703]
-7.254310 (31.4398) [-0.23074]
45.13070 (23.4681) [ 1.92307]
0.943573 (0.60500) [ 1.55963]
-0.055757 (0.18660) [-0.29881]
D(GDP(-4))
-0.522334 (13.4361) [-0.03888]
7.222174 (15.8057) [ 0.45693]
16.37216 (17.3494) [ 0.94367]
-18.39106 (12.9503) [-1.42012]
-0.557383 (0.33385) [-1.66954]
0.278745 (0.10297) [ 2.70707]
C
0.063563
0.037786
-0.188919
-0.040121
0.003201
0.000807
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
(0.04956) [ 1.28241]
(0.05831) [ 0.64807]
(0.06400) [-2.95184]
(0.04777) [-0.83984]
(0.00123) [ 2.59936]
(0.00038) [ 2.12525]
0.490634 0.320845 1.501736 0.141503 2.889672 69.21639 -0.855770 -0.182571 0.024653 0.171705
0.560473 0.413963 2.078132 0.166458 3.825513 52.81160 -0.530923 0.142277 0.014554 0.217442
0.445110 0.260147 2.503873 0.182716 2.406476 43.39994 -0.344553 0.328646 -0.022277 0.212424
0.378722 0.171630 1.395106 0.136387 1.828760 72.93578 -0.929421 -0.256222 -0.016337 0.149851
0.268384 0.024512 0.000927 0.003516 1.100511 442.4112 -8.245766 -7.572567 0.002315 0.003560
0.906733 0.875644 8.82E-05 0.001084 29.16570 561.2150 -10.59832 -9.925118 0.003965 0.003075
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
1.74E-18 2.92E-19 1295.399 -22.44354 -18.24899
Lampiran 2. VAR First Difference untuk Hubungan Suku Bunga Official dengan Tingkat Harga Vector Autoregression Estimates Sample (adjusted): 1999M07 2008M02 Included observations: 104 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] DPR
DIHK
DPR(-1)
0.401066 (0.08910) [ 4.50116]
-0.000207 (0.00199) [-0.10441]
DIHK(-1)
9.296051 (4.30724) [ 2.15824]
0.282984 (0.09599) [ 2.94816]
C
-0.006761 (0.01801) [-0.37543]
0.001663 (0.00040) [ 4.14457]
0.197158 0.181261 2.372696 0.153271 12.40157 49.00932 -0.884795 -0.808514 0.023383 0.169390
0.079362 0.061132 0.001178 0.003416 4.353285 444.6093 -8.492487 -8.416207 0.002296 0.003525
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
2.73E-07 2.57E-07 493.8539 -9.381807 -9.229246
Uji Kointegrasi Antara Suku Bunga Official dengan Tingkat Harga Trend assumption: Linear deterministic trend Series: PR IHK Lags interval (in first differences): 1 to 2 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.1 Critical Value
Prob.**
None At most 1
0.075837 0.023553
10.57827 2.454962
13.42878 2.705545
0.2388 0.1172
Trace test indicates no cointegration at the 0.1 level
Uji Kointegrasi Antara Suku Bunga Official dengan Pendapatan Trend assumption: Linear deterministic trend Series: PR GDP Lags interval (in first differences): 1 to 4 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.1 Critical Value
Prob.**
None At most 1
0.042136 0.018510
6.235033 1.887057
13.42878 2.705545
0.6677 0.1695
Trace test indicates no cointegration at the 0.1 level
Lampiran 3. VAR First Difference untuk Hubungan Suku Bunga Official dengan Pendapatan Nasional Vector Autoregression Estimates Sample (adjusted): 1999M09 2008M02 Included observations: 102 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] DPR
DGDP
DPR(-1)
0.330943 (0.10081) [ 3.28299]
-0.000858 (0.00074) [-1.16638]
DPR(-2)
0.053525 (0.10738) [ 0.49845]
0.000675 (0.00078) [ 0.86215]
DPR(-3)
0.175582 (0.10127) [ 1.73383]
-0.001567 (0.00074) [-2.12044]
DGDP(-1)
13.23094 (12.3861) [ 1.06821]
1.549346 (0.09037) [ 17.1439]
DGDP(-2)
-12.81225 (16.5873) [-0.77241]
-1.274679 (0.12103) [-10.5323]
DGDP(-3)
3.090971 (11.4985) [ 0.26882]
0.387824 (0.08390) [ 4.62266]
C
-0.002630 (0.03765) [-0.06986]
0.001396 (0.00027) [ 5.08178]
0.208759 0.158785 2.333714 0.156734 4.177416 47.92138 -0.802380 -0.622235 0.024314 0.170887
0.874483 0.866556 0.000124 0.001144 110.3116 549.8012 -10.64316 -10.46302 0.004030 0.003130
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
3.18E-08 2.76E-08 598.3028 -11.45692 -11.09663
FILIPINA
Lampiran 1. Estimasi Persamaan VECM Pass-Through of Interest Vector Error Correction Estimates Sample (adjusted): 1999M09 2008M09 Included observations: 109 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1
PR(-1)
1.000000
MMR(-1)
0.258699 (0.34217) [ 0.75607]
DR(-1)
-5.988276 (0.75801) [-7.89996]
LR(-1)
6.725378 (0.87768) [ 7.66267]
IHK(-1)
-107.6832 (18.6290) [-5.78041]
GDP(-1)
99.74989 (19.1808) [ 5.20050]
C
-901.4506
Error Correction:
D(PR)
D(MMR)
D(DR)
D(LR)
D(IHK)
D(GDP)
CointEq1
0.030483 (0.01745) [ 1.74732]
0.045948 (0.01280) [ 3.59076]
0.129583 (0.02623) [ 4.93945]
-0.080087 (0.03561) [-2.24930]
0.000140 (0.00014) [ 0.99974]
4.64E-05 (0.00011) [ 0.41358]
D(PR(-1))
-0.115120 (0.12340) [-0.93291]
0.914702 (0.09051) [ 10.1060]
0.966607 (0.18556) [ 5.20905]
-0.109682 (0.25185) [-0.43551]
0.001331 (0.00099) [ 1.34754]
-0.000457 (0.00079) [-0.57533]
D(PR(-2))
0.112036 (0.20028) [ 0.55941]
0.644233 (0.14690) [ 4.38554]
0.485712 (0.30117) [ 1.61275]
-0.218541 (0.40875) [-0.53466]
0.000933 (0.00160) [ 0.58185]
0.001298 (0.00129) [ 1.00725]
D(PR(-3))
-0.132427 (0.13820) [-0.95819]
0.083723 (0.10137) [ 0.82591]
-0.213769 (0.20783) [-1.02859]
-0.216448 (0.28206) [-0.76738]
0.000227 (0.00111) [ 0.20493]
-0.000506 (0.00089) [-0.56920]
D(MMR(-1))
0.442212 (0.16449) [ 2.68832]
-0.243992 (0.12065) [-2.02226]
0.043800 (0.24736) [ 0.17707]
0.180233 (0.33572) [ 0.53686]
0.000519 (0.00132) [ 0.39436]
0.001499 (0.00106) [ 1.41705]
D(MMR(-2))
0.106919 (0.15089) [ 0.70860]
-0.565582 (0.11067) [-5.11040]
-0.535225 (0.22690) [-2.35888]
-0.018352 (0.30795) [-0.05959]
-0.003160 (0.00121) [-2.61581]
-0.001172 (0.00097) [-1.20755]
D(MMR(-3))
0.035718 (0.15889) [ 0.22479]
-0.342044 (0.11655) [-2.93483]
-0.116513 (0.23894) [-0.48762]
0.151111 (0.32429) [ 0.46597]
0.000600 (0.00127) [ 0.47140]
-0.000379 (0.00102) [-0.37116]
D(DR(-1))
0.123019 (0.08529) [ 1.44237]
0.175564 (0.06256) [ 2.80643]
0.274765 (0.12825) [ 2.14234]
0.091531 (0.17407) [ 0.52583]
0.000906 (0.00068) [ 1.32662]
-0.000758 (0.00055) [-1.38189]
D(DR(-2))
-0.035008 (0.07798) [-0.44892]
-0.004060 (0.05720) [-0.07098]
0.201998 (0.11727) [ 1.72255]
0.132700 (0.15915) [ 0.83378]
0.000763 (0.00062) [ 1.22151]
-4.34E-05 (0.00050) [-0.08656]
D(DR(-3))
-0.014415 (0.05873) [-0.24543]
0.015974 (0.04308) [ 0.37080]
0.126131 (0.08832) [ 1.42810]
0.139683 (0.11987) [ 1.16530]
0.000800 (0.00047) [ 1.70065]
-0.000193 (0.00038) [-0.51026]
D(LR(-1))
-0.142099 (0.10107) [-1.40591]
-0.192976 (0.07413) [-2.60304]
-0.602130 (0.15199) [-3.96166]
-0.309157 (0.20628) [-1.49873]
-0.000543 (0.00081) [-0.67161]
0.000272 (0.00065) [ 0.41908]
D(LR(-2))
-0.043967 (0.07874) [-0.55841]
-0.013463 (0.05775) [-0.23312]
-0.205255 (0.11840) [-1.73356]
-0.137388 (0.16069) [-0.85497]
-0.000511 (0.00063) [-0.81060]
0.000109 (0.00051) [ 0.21579]
D(LR(-3))
-0.024355 (0.05427) [-0.44875]
-0.032820 (0.03981) [-0.82446]
0.060827 (0.08161) [ 0.74530]
-0.002366 (0.11077) [-0.02136]
-0.001062 (0.00043) [-2.44345]
6.86E-05 (0.00035) [ 0.19654]
D(IHK(-1))
10.83956 (13.1844) [ 0.82215]
-2.847305 (9.67055) [-0.29443]
14.85098 (19.8263) [ 0.74905]
-36.28716 (26.9083) [-1.34855]
0.613530 (0.10556) [ 5.81211]
0.132556 (0.08481) [ 1.56299]
D(IHK(-2))
6.192547 (15.3628) [ 0.40309]
27.96797 (11.2684) [ 2.48199]
67.41771 (23.1021) [ 2.91825]
9.217473 (31.3542) [ 0.29398]
0.071565 (0.12300) [ 0.58182]
0.043730 (0.09882) [ 0.44251]
D(IHK(-3))
12.97632 (15.8648) [ 0.81793]
6.093702 (11.6366) [ 0.52367]
31.01010 (23.8569) [ 1.29984]
-10.71161 (32.3787) [-0.33082]
0.049469 (0.12702) [ 0.38946]
-0.340566 (0.10205) [-3.33723]
D(GDP(-1))
5.256574 (23.7488) [ 0.22134]
5.341922 (17.4193) [ 0.30667]
-54.98475 (35.7126) [-1.53964]
41.02864 (48.4692) [ 0.84649]
0.099585 (0.19014) [ 0.52373]
2.022252 (0.15276) [ 13.2377]
D(GDP(-2))
42.85230 (34.3235) [ 1.24848]
-3.490051 (25.1757) [-0.13863]
25.76738 (51.6145) [ 0.49923]
-44.21405 (70.0512) [-0.63117]
-0.297628 (0.27481) [-1.08303]
-2.042790 (0.22079) [-9.25236]
D(GDP(-3))
-39.06666 (27.8575) [-1.40237]
-3.263142 (20.4330) [-0.15970]
-36.46156 (41.8911) [-0.87039]
92.64521 (56.8547) [ 1.62951]
0.115567 (0.22304) [ 0.51815]
0.664874 (0.17919) [ 3.71037]
C
-0.200791 (0.11046) [-1.81783]
-0.160154 (0.08102) [-1.97677]
-0.252777 (0.16610) [-1.52183]
-0.221040 (0.22543) [-0.98051]
0.001586 (0.00088) [ 1.79326]
0.002030 (0.00071) [ 2.85759]
0.455800 0.339623 12.08579 0.368504 3.923309 -34.80151 1.005532 1.499358 -0.027523 0.453468
0.743617 0.688883 6.502109 0.270291 13.58612 -1.016738 0.385628 0.879454 -0.031908 0.484585
0.578430 0.488432 27.32972 0.554144 6.427136 -79.27046 1.821476 2.315302 -0.023908 0.774766
0.425225 0.302521 50.34122 0.752085 3.465435 -112.5618 2.432326 2.926151 -0.011220 0.900536
0.498023 0.390859 0.000775 0.002950 4.647304 491.3968 -8.649482 -8.155657 0.004659 0.003780
0.816426 0.777235 0.000500 0.002370 20.83246 515.2553 -9.087252 -8.593427 0.004036 0.005022
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
3.54E-14 1.05E-14 826.3302 -12.85009 -9.738996
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Lampiran 2. VAR First Difference untuk Hubungan Suku Bunga Official dengan Tingkat Harga Vector Autoregression Estimates Sample (adjusted): 1999M07 2008M09 Included observations: 111 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] DPR
DIHK
DPR(-1)
0.219351 (0.09422) [ 2.32802]
0.000601 (0.00064) [ 0.94584]
DIHK(-1)
4.507927 (11.4044) [ 0.39528]
0.610676 (0.07692) [ 7.93904]
C
-0.044087 (0.06806) [-0.64781]
0.001803 (0.00046) [ 3.92714]
0.052040 0.034485 21.26330 0.443714 2.964406 -65.78579 1.239384 1.312614 -0.031532 0.451569
0.383347 0.371927 0.000967 0.002993 33.56949 489.1009 -8.758574 -8.685344 0.004610 0.003776
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
1.75E-06 1.66E-06 423.6471 -7.525174 -7.378713
Uji Kointegrasi Antara Suku Bunga Official dengan Tingkat Harga Trend assumption: Linear deterministic trend Series: PR IHK Lags interval (in first differences): 1 to 2 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.1 Critical Value
Prob.**
None At most 1
0.100923 0.003076
12.04139 0.338899
13.42878 2.705545
0.1550 0.5605
Trace test indicates no cointegration at the 0.1 level
Uji Kointegrasi Antara Suku Bunga Official dengan Pendapatan Trend assumption: Linear deterministic trend Series: PR GDP Lags interval (in first differences): 1 to 2 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.1 Critical Value
Prob.**
None At most 1
0.094108 0.002975
11.19962 0.327696
13.42878 2.705545
0.1995 0.5670
Trace test indicates no cointegration at the 0.1 level
Lampiran 3. VAR First Difference untuk Hubungan Suku Bunga Official dengan Pendapatan Nasional Vector Autoregression Estimates Sample (adjusted): 1999M07 2008M09 Included observations: 111 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] DPR
DGDP
DPR(-1)
0.139461 (0.09152) [ 1.52386]
-0.001589 (0.00090) [-1.75636]
DGDP(-1)
36.61055 (10.2580) [ 3.56898]
0.726595 (0.10142) [ 7.16408]
C
-0.184702 (0.06044) [-3.05600]
0.000887 (0.00060) [ 1.48369]
0.150821 0.135096 19.04757 0.419960 9.590852 -59.67840 1.129341 1.202571 -0.031532 0.451569
0.322187 0.309635 0.001862 0.004152 25.66796 452.7555 -8.103702 -8.030471 0.004092 0.004997
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
3.04E-06 2.88E-06 393.0909 -6.974611 -6.828150
Lampiran 4. Respon Suku Bunga Official dan Suku Bunga Perbankan atas Shock pada Suku Bunga Official
4
Filipina
2 0 1
-2
6 11 16 21 26 31 36 41 46
-4
Suku Bunga Official
4
2
Filipina
2
Filipina
1 0
0 1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
-2
-1
1
6 11 16 21 26 31 36 41 46
-2
Suku Bunga Deposito
Suku Bunga Kredit
Lampiran 5. Respon Perekonomian atas Shock pada Suku Bunga Official
0.01
0.05
Filipina
0.005
0 1
0
6 11 16 21 26 31 36 41 46
-0.05 1
Filipina
6 11 16 21 26 31 36 41 46
-0.005
-0.1
Tingkat Harga
Pendapatan Nasional
Lampiran 6. Variabilitas Suku Bunga Perbankan
100%
100%
80%
80%
60%
60%
40%
40%
20%
20% 0%
0% 1
6
1
11 16 21 26 31 36 41 46
Suku Bunga Deposito
6
11 16 21 26 31 36 41 46
Suku Bunga Kredit
Lampiran 7. Variabilitas Perekonomian
100%
100%
80%
80%
60%
60%
40%
40%
20%
20%
0%
0% 1
6
11 16 21 26 31 36 41 46
1
Tingkat Harga
6
11 16 21 26 31 36 41 46
Pendapatan Nasional
Keterangan : = Policy rate
= MMR
=Deposits rate
= Lending rate
= IHK
= GDP
JEPANG
Lampiran 1. Estimasi Persamaan VECM Pass-Through of Interest Vector Error Correction Estimates Sample (adjusted): 1999M08 2008M09 Included observations: 110 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1
PR(-1)
1.000000
MMR(-1)
0.288648 (0.30349) [ 0.95109]
DR(-1)
-0.010462 (0.09337) [-0.11205]
LR(-1)
-1.848608 (0.39308) [-4.70292]
IHK(-1)
-4.579970 (3.04124) [-1.50595]
GDP(-1)
-6.554231 (1.20608) [-5.43434]
C
101.3604
Error Correction:
D(PR)
D(MMR)
D(DR)
D(LR)
D(IHK)
D(GDP)
CointEq1
-0.091845 (0.08985) [-1.02225]
0.057959 (0.04399) [ 1.31762]
-0.115462 (0.12193) [-0.94696]
0.056138 (0.01953) [ 2.87423]
-0.004533 (0.00350) [-1.29367]
0.008083 (0.00295) [ 2.74237]
D(PR(-1))
0.125407 (0.13925) [ 0.90058]
0.280736 (0.06818) [ 4.11782]
0.491753 (0.18898) [ 2.60220]
0.020517 (0.03027) [ 0.67775]
0.014978 (0.00543) [ 2.75771]
-0.008788 (0.00457) [-1.92382]
D(PR(-2))
0.044462 (0.14238) [ 0.31227]
-0.087206 (0.06971) [-1.25101]
0.324775 (0.19322) [ 1.68082]
-0.011849 (0.03095) [-0.38281]
0.004357 (0.00555) [ 0.78458]
-0.012186 (0.00467) [-2.60902]
D(MMR(-1))
0.055528 (0.24709) [ 0.22473]
0.314432 (0.12097) [ 2.59922]
0.342563 (0.33532) [ 1.02160]
0.063187 (0.05371) [ 1.17636]
-0.007651 (0.00964) [-0.79390]
0.012410 (0.00811) [ 1.53109]
D(MMR(-2))
-0.001823 (0.21831) [-0.00835]
-0.159518 (0.10688) [-1.49247]
0.817275 (0.29626) [ 2.75860]
0.039239 (0.04746) [ 0.82683]
-1.46E-05 (0.00851) [-0.00172]
-0.006273 (0.00716) [-0.87600]
D(DR(-1))
-0.242552 (0.07498) [-3.23504]
-0.082092 (0.03671) [-2.23638]
-0.241204 (0.10175) [-2.37057]
-0.017243 (0.01630) [-1.05792]
0.002778 (0.00292) [ 0.95008]
0.000124 (0.00246) [ 0.05049]
D(DR(-2))
0.055403 (0.07435) [ 0.74518]
0.024110 (0.03640) [ 0.66238]
-0.257797 (0.10090) [-2.55507]
-0.004844 (0.01616) [-0.29972]
0.002292 (0.00290) [ 0.79027]
0.003878 (0.00244) [ 1.59000]
D(LR(-1))
0.661975 (0.45682) [ 1.44909]
0.322131 (0.22365) [ 1.44031]
-1.612054 (0.61995) [-2.60031]
0.156611 (0.09931) [ 1.57703]
-0.010702 (0.01782) [-0.60065]
-0.023289 (0.01499) [-1.55407]
D(LR(-2))
0.072654 (0.43343) [ 0.16762]
-0.145584 (0.21220) [-0.68606]
-0.743837 (0.58821) [-1.26459]
0.232505 (0.09422) [ 2.46760]
0.029747 (0.01691) [ 1.75965]
0.032973 (0.01422) [ 2.31906]
D(IHK(-1))
-2.510189 (2.69014) [-0.93311]
-0.041731 (1.31706) [-0.03169]
-1.588034 (3.65074) [-0.43499]
0.668784 (0.58480) [ 1.14361]
0.076852 (0.10492) [ 0.73246]
0.078099 (0.08825) [ 0.88500]
D(IHK(-2))
0.276947 (2.60260) [ 0.10641]
0.045960 (1.27420) [ 0.03607]
-0.210519 (3.53194) [-0.05960]
0.009138 (0.56577) [ 0.01615]
-0.178537 (0.10151) [-1.75884]
-0.132714 (0.08538) [-1.55447]
D(GDP(-1))
3.898590 (2.24926) [ 1.73328]
1.053629 (1.10121) [ 0.95679]
1.530960 (3.05243) [ 0.50155]
0.401322 (0.48896) [ 0.82076]
-0.114420 (0.08773) [-1.30427]
1.308949 (0.07379) [ 17.7400]
D(GDP(-2))
-2.304202 (2.48382) [-0.92769]
0.381852 (1.21605) [ 0.31401]
3.003296 (3.37075) [ 0.89099]
-0.085089 (0.53995) [-0.15759]
-0.014422 (0.09688) [-0.14887]
-0.653378 (0.08148) [-8.01891]
C
0.002235 (0.00534) [ 0.41866]
0.001879 (0.00261) [ 0.71896]
-0.011607 (0.00725) [-1.60191]
-0.001847 (0.00116) [-1.59121]
0.000147 (0.00021) [ 0.70594]
0.000437 (0.00018) [ 2.49751]
0.194962 0.085947 0.214890 0.047312 1.788389 187.0127 -3.145686 -2.801988 0.002273 0.049487
0.533436 0.470256 0.051508 0.023163 8.443046 265.5738 -4.574069 -4.230372 0.004227 0.031825
0.322334 0.230566 0.395758 0.064207 3.512510 153.4256 -2.535010 -2.191313 0.004264 0.073197
0.542457 0.480498 0.010155 0.010285 8.755094 354.8807 -6.197830 -5.854133 -0.002009 0.014270
0.165780 0.052812 0.000327 0.001845 1.467500 543.8662 -9.633931 -9.290233 -2.76E-05 0.001896
0.812352 0.786941 0.000231 0.001552 31.96897 562.9046 -9.980084 -9.636387 0.001204 0.003362
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Determinant resid covariance (dof adj.) 1.96E-24 Determinant resid covariance 8.67E-25 Log likelihood 2110.782 Akaike information criterion -36.74149 Schwarz criterion -34.53200
Lampiran 2. VECM untuk Hubungan Suku Bunga Official dengan Tingkat Harga Vector Error Correction Estimates Sample (adjusted): 1999M08 2008M09 Included observations: 110 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1
PR(-1)
1.000000
IHK(-1)
-26.09986 (7.11889) [-3.66628]
C
119.5292
Error Correction:
D(PR)
D(IHK)
CointEq1
0.022608 (0.02132) [ 1.06065]
0.002601 (0.00075) [ 3.45729]
D(PR(-1))
0.019803 (0.10274) [ 0.19274]
0.003856 (0.00363) [ 1.06337]
D(PR(-2))
-0.031799 (0.10320) [-0.30814]
-0.002822 (0.00364) [-0.77482]
D(IHK(-1))
-0.484394 (2.61810) [-0.18502]
0.084836 (0.09241) [ 0.91805]
D(IHK(-2))
0.806589 (2.57262) [ 0.31353]
-0.170704 (0.09080) [-1.87993]
C
0.002318 (0.00481) [ 0.48236]
-3.44E-05 (0.00017) [-0.20287]
0.015748 -0.031571 0.262728 0.050262 0.332806 175.9581 -3.090148 -2.942849 0.002273 0.049487
0.164717 0.124559 0.000327 0.001774 4.101732 543.7962 -9.778112 -9.630813 -2.76E-05 0.001896
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
7.93E-09 7.09E-09 719.8861 -12.83429 -12.49059
Uji Kointegrasi Antara Suku Bunga Official dengan Tingkat Harga Trend assumption: Linear deterministic trend Series: PR IHK Lags interval (in first differences): 1 to 2 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.1 Critical Value
Prob.**
None * At most 1
0.114659 0.020190
15.63964 2.243619
13.42878 2.705545
0.0476 0.1342
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.1 level
Uji Kointegrasi Antara Suku Bunga Official dengan Pendapatan Trend assumption: Linear deterministic trend Series: PR GDP Lags interval (in first differences): 1 to 3 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.1 Critical Value
Prob.**
None At most 1
0.077390 0.017578
10.71284 1.932996
13.42878 2.705545
0.2298 0.1644
Trace test indicates no cointegration at the 0.1 level
Lampiran 3. VAR First Difference untuk Hubungan Suku Bunga Official dengan Pendapatan Nasional Vector Autoregression Estimates Sample (adjusted): 1999M08 2008M09 Included observations: 110 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] DPR
DGDP
DPR(-1)
0.008849 (0.09805) [ 0.09025]
-0.001111 (0.00336) [-0.33032]
DPR(-2)
-0.013973 (0.09801) [-0.14257]
-0.001022 (0.00336) [-0.30397]
DGDP(-1)
5.044441 (2.22352) [ 2.26867]
1.298446 (0.07626) [ 17.0269]
DGDP(-2)
-2.883641 (2.21952) [-1.29922]
-0.675056 (0.07612) [-8.86815]
C
-0.000277 (0.00513) [-0.05399]
0.000458 (0.00018) [ 2.60179]
0.051850 0.015730 0.253091 0.049096 1.435488 178.0134 -3.145699 -3.022950 0.002273 0.049487
0.758430 0.749228 0.000298 0.001684 82.41437 549.0122 -9.891131 -9.768381 0.001204 0.003362
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
6.78E-09 6.18E-09 727.4240 -13.04407 -12.79857
KOREA SELATAN
Lampiran 1. Estimasi Persamaan VECM Pass-Through of Interest Vector Error Correction Estimates Sample (adjusted): 1999M08 2008M09 Included observations: 110 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1
PR(-1)
1.000000
MMR(-1)
-1.103992 (0.06392) [-17.2713]
DR(-1)
0.036159 (0.03912) [ 0.92430]
LR(-1)
0.008643 (0.08871) [ 0.09742]
IHK(-1)
-6.238556 (1.42587) [-4.37525]
GDP(-1)
3.786469 (1.09279) [ 3.46495]
C
-15.89640
Error Correction:
D(PR)
D(MMR)
D(DR)
D(LR)
D(IHK)
D(GDP)
CointEq1
0.104010 (0.19365) [ 0.53709]
0.322294 (0.13876) [ 2.32275]
-0.289055 (0.26093) [-1.10779]
-0.281168 (0.16661) [-1.68757]
0.003933 (0.00563) [ 0.69793]
0.014106 (0.00399) [ 3.53899]
D(PR(-1))
0.196015 (0.26388) [ 0.74282]
0.384234 (0.18907) [ 2.03221]
0.584993 (0.35555) [ 1.64532]
0.199957 (0.22703) [ 0.88075]
-0.007327 (0.00768) [-0.95426]
-0.007161 (0.00543) [-1.31852]
D(PR(-2))
0.417243 (0.22244) [ 1.87578]
0.339477 (0.15938) [ 2.13000]
0.364802 (0.29971) [ 1.21718]
-0.100707 (0.19138) [-0.52623]
-0.002764 (0.00647) [-0.42712]
0.003335 (0.00458) [ 0.72846]
D(MMR(-1))
-0.322439 (0.31867) [-1.01182]
-0.337524 (0.22833) [-1.47821]
-0.402089 (0.42938) [-0.93644]
0.324551 (0.27417) [ 1.18375]
0.008453 (0.00927) [ 0.91164]
0.001220 (0.00656) [ 0.18606]
D(MMR(-2))
-0.242687 (0.23555) [-1.03031]
-0.236796 (0.16877) [-1.40305]
-0.061192 (0.31738) [-0.19281]
0.179836 (0.20265) [ 0.88740]
-0.001613 (0.00685) [-0.23534]
-0.002549 (0.00485) [-0.52575]
D(DR(-1))
0.037772 (0.08899) [ 0.42447]
0.033019 (0.06376) [ 0.51788]
0.295099 (0.11990) [ 2.46124]
0.164254 (0.07656) [ 2.14546]
-0.000780 (0.00259) [-0.30119]
0.001541 (0.00183) [ 0.84160]
D(DR(-2))
0.022333 (0.08808) [ 0.25357]
0.000705 (0.06311) [ 0.01118]
-0.123622 (0.11867) [-1.04171]
0.002511 (0.07578) [ 0.03314]
-0.000669 (0.00256) [-0.26122]
0.003304 (0.00181) [ 1.82257]
D(LR(-1))
0.198552 (0.14382) [ 1.38055]
0.196009 (0.10305) [ 1.90209]
0.094893 (0.19378) [ 0.48969]
-0.077526 (0.12374) [-0.62654]
0.000360 (0.00418) [ 0.08600]
-0.002938 (0.00296) [-0.99234]
D(LR(-2))
0.077623 (0.13198) [ 0.58815]
0.125819 (0.09456) [ 1.33054]
-0.170616 (0.17782) [-0.95946]
-0.093250 (0.11355) [-0.82125]
0.001283 (0.00384) [ 0.33418]
-0.004849 (0.00272) [-1.78511]
D(IHK(-1))
4.364649 (3.66362) [ 1.19135]
5.019917 (2.62502) [ 1.91233]
-1.741623 (4.93634) [-0.35282]
3.283681 (3.15201) [ 1.04177]
0.130415 (0.10660) [ 1.22344]
0.199168 (0.07541) [ 2.64122]
D(IHK(-2))
-2.351674 (3.82355) [-0.61505]
-1.814803 (2.73961) [-0.66243]
-0.357865 (5.15183) [-0.06946]
-0.901984 (3.28961) [-0.27419]
-0.038962 (0.11125) [-0.35022]
-0.064864 (0.07870) [-0.82421]
D(GDP(-1))
-3.842493 (5.54195) [-0.69335]
0.500463 (3.97086) [ 0.12603]
10.36582 (7.46719) [ 1.38818]
6.178779 (4.76804) [ 1.29587]
-0.126560 (0.16125) [-0.78488]
1.376092 (0.11407) [ 12.0637]
D(GDP(-2))
8.732730 (5.48608) [ 1.59180]
2.954189 (3.93084) [ 0.75154]
5.168776 (7.39192) [ 0.69925]
-5.138464 (4.71998) [-1.08866]
0.010513 (0.15962) [ 0.06586]
-0.991840 (0.11292) [-8.78364]
C
-0.017109 (0.02358) [-0.72553]
-0.015039 (0.01690) [-0.89005]
-0.074660 (0.03177) [-2.34968]
-0.026835 (0.02029) [-1.32267]
0.002973 (0.00069) [ 4.33274]
0.002060 (0.00049) [ 4.24315]
0.185830 0.075578 1.117633 0.107898 1.685499 96.32644 -1.496844 -1.153147 0.004545 0.112222
0.432832 0.356028 0.573779 0.077310 5.635541 132.9963 -2.163570 -1.819872 0.003364 0.096339
0.275993 0.177951 2.029033 0.145381 2.815036 63.52743 -0.900499 -0.556801 -0.011636 0.160347
0.301114 0.206474 0.827283 0.092831 3.181658 112.8717 -1.797666 -1.453969 -0.013545 0.104210
0.038261 -0.091974 0.000946 0.003139 0.293783 485.4136 -8.571157 -8.227459 0.002699 0.003004
0.695850 0.654663 0.000473 0.002221 16.89489 523.4893 -9.263442 -8.919745 0.004044 0.003779
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
5.37E-20 2.37E-20 1548.776 -26.52320 -24.31372
Lampiran 2. VAR First Difference untuk Hubungan Suku Bunga Official dengan Tingkat Harga Vector Autoregression Estimates Sample (adjusted): 1999M07 2008M09 Included observations: 111 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] DPR
DIHK
DPR(-1)
0.176245 (0.09435) [ 1.86790]
-0.001097 (0.00260) [-0.42120]
DIHK(-1)
3.267705 (3.43075) [ 0.95247]
0.126052 (0.09468) [ 1.33131]
C
-0.004878 (0.01382) [-0.35299]
0.002318 (0.00038) [ 6.07683]
0.040630 0.022864 1.316973 0.110427 2.286955 88.59562 -1.542263 -1.469033 0.004505 0.111712
0.017299 -0.000899 0.001003 0.003048 0.950603 487.0861 -8.722272 -8.649041 0.002644 0.003046
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
1.13E-07 1.07E-07 575.7859 -10.26641 -10.11995
Uji Kointegrasi Antara Suku Bunga Official dengan Tingkat Harga Trend assumption: Linear deterministic trend Series: PR IHK Lags interval (in first differences): 1 to 2 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.1 Critical Value
Prob.**
None At most 1
0.034904 0.008294
4.824188 0.916176
13.42878 2.705545
0.8272 0.3385
Trace test indicates no cointegration at the 0.1 level
Uji Kointegrasi Antara Suku Bunga Official dengan Pendapatan Trend assumption: Linear deterministic trend Series: PR GDP Lags interval (in first differences): 1 to 3 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.1 Critical Value
Prob.**
None At most 1 *
0.050942 0.031330
9.168700 3.469604
13.42878 2.705545
0.3500 0.0625
Trace test indicates no cointegration at the 0.1 level
Lampiran 3. VAR First Difference untuk Hubungan Suku Bunga Official dengan Pendapatan Nasional Vector Autoregression Estimates Sample (adjusted): 1999M08 2008M09 Included observations: 110 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] DPR
DGDP
DPR(-1)
0.111663 (0.09401) [ 1.18782]
-0.002343 (0.00217) [-1.07809]
DPR(-2)
0.254018 (0.09541) [ 2.66252]
0.001794 (0.00221) [ 0.81333]
DGDP(-1)
-0.548062 (5.18028) [-0.10580]
1.412327 (0.11976) [ 11.7929]
DGDP(-2)
5.674454 (4.92120) [ 1.15306]
-0.879063 (0.11377) [-7.72657]
C
-0.018980 (0.01749) [-1.08532]
0.001820 (0.00040) [ 4.50236]
0.120278 0.086765 1.207619 0.107243 3.588965 92.06741 -1.583044 -1.460295 0.004545 0.112222
0.585396 0.569602 0.000645 0.002479 37.06350 506.4503 -9.117277 -8.994528 0.004044 0.003779
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
7.01E-08 6.39E-08 598.9704 -10.70855 -10.46305