Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio-Keagamaan di Aceh Darussalam Era Sultan Iskandar Muda 1607 – 1636.
Gazali NIM: 2112022100002
Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2016
Interelasi Umara dan Ulama dalam Menata Kehidupan Sosio-Keagamaan di Aceh Darussalam Era Sultan Iskandar Muda 1607 – 1636.
Gazali NIM: 2112022100002
Diajukan Kepada Program Pascasarjana Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Humaniora (M.Hum) Didalam Bidang Sejarah Kebudayaan Islam
Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2016
Kata Pengantar Alhamdulillah, segala puja dan puji penulis munajatkan kepada Allah SWT Azza wa Jalla, Tuhan yang telah memberikan keluasan ilmu serta kemerdekaan bergerak untuk menunaikan tugas akhir (tesis) Ini. Shawalat beriring salam, saya kumadangkan kepada Raja Manusia, Sang Terpercaya (Al-Amin) Muhammad SAW, seorang yang mulia, dan tidak gentar melapangan jalan Islam ke tanah-tanah lainnya di luar kampung halamannya, di Jazirah Arab hingga sampai ke Nusantara. Menulis dan menyusun tesis ini adalah hal yang mengasyikkan, hingga membuat penulis alpa memperhatikan peredaran waktu. Ada batas yang memisahkan keasyikkan ini, yakni masa akhir studi yang kian dekat. Untuk itu, penulis menyingsingkan lengan baju, menyatukan konsentrasi, kembali ke meja tulis dan mulai merapikan kembali draf tesis yang telah dikerjakan, hingga menjadi bentuk utuh seperti sekarang ini. Hubungan ulama dan pemerintah Aceh merupakan suatu pergaulan yang unik untuk diketahui. Kajian historis mengenainya, membawa penulis menaiki mesin waktu, untuk bersua dengan Sultan Iskandar Muda, Teungku Nuruddin ar-Raniri hingga Teungku di Bitay. Dengan catatan menjumpai mereka hanya melalui media makam dan sumber tertulis mengenainya. Hubungan meraka begitu padu dan saling bahu membahu membawa masyarakat Aceh pada sememsta kesejahteraan, ketinggian peradaban dan salah satu kutub keilmuan di Asia Tenggara. Penulis menyadari, tidaklah ada kerja manusia yang sempurna, termasuk dalam tulisan ini. sebab itu, penulis membuka kesempatan seluasnya terhadap saran dan kritik untuk perbaikan tesis ini. hal tersebut akan penulis jadikan landasan untuk selalu teliti dan cermat tatkala menulis atau meneliti di kemudian hari. Dalam kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak, yakni: 1. Ucapan terimakasih saya tujukan kepada Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Prof. Dr. Sukron Kamil M.Ag, yang telah meluangkan waktu, berdiskusi dalam berbagai kesempatan, utamanya ketika saya dan kawankawan sedang gamang akan masalah akademik, beliau menjadi pendegar yang baik, serta memberikan solusi yang bisa diandalkan untuk memecahkan masalah 2. Ungkapan terima kasih saya sampaikan pula kepada jajaran pengurus Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab, terutama i
kepada Dr. Abdullah M.Ag sebagai Direktur Program, serta Dr. M. Adib Misbahul Islam M.Hum serta jajaran dosen-dosen Program Magister SKI yang telah banyak memberikan petunjuk, menyokong dan memberi semangta kepada penulis untuk segera menyelesaikan kewajiban intelektual ini. 3. Ucapan terima kasih, saya sampaikan kepada ayahanda Prof. Dr. M. Dien Madjid dan keluarga, seorang ayah, kakak, dan saudara penulis. Terimakasih atas segala nasehat, bantuan serta untaian kata motivasinya, berizin. 4. Kalimat terima kasih saya sampaikan pula pada teman-teman seperjuangan di Magister SKI, utamanya angkatan 2012. Kalian adalah rekan-rekan yang bijak, selalu memberikan semangat dan keceriaan kepada penulis. Semoga yang belum menyelesaikan tesis dapat segera menyusul. 5. Terimakasih kepada istri tercinta, Sri Rezeki Wahyu Widawati, wanita terhebat, serta pendamping terkuat, selalu memberikan kemesraan dan kasih sayang, menjadi tempat bersandar penulis yang memberikan keteduhan di kala sulit. Kepada anak-anak penulis: Tengku Ihya Raja Gazali, Cut Nyak Soraya Azahra Gazali dan Cut Nyak Kirana Marwah Gazali, kalian adalah pelita hati, pikiran serta kehidupan Ama. 6. Tidak lupa, terima kasih saya sampaikan kepada kedua orang tua saya, , yang telah berpulang. Semoga keduanya selalu diberi ampunan serta rahmat kasih sayang dari Allah SWT. 7. Terakhir, terima kasih penulis sampaikan pula bagi kawan-kawan, serta pihak-pihak lain yang membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Sebaik-baiknya perbuatan adalah yang berlamdaskan ibadah, dan sebaik-baiknya ibadah adalah yang dilakukan dengan iklas. Semoga apa yang kalian lakukan senantiasa dibalas oleh Allah SWT berupa kebahagiaan, kemudahan serta nikmat yang banyak. Saya berharap, semoga tesis saya ini bisa menjadi bagian dari kepusatakaan sejarah Islam Nusantara dan memberikan pengetahuan bagi sesama. Wasalam Depok, 17 Desember 2015
Gazali S. Ag
ii
Abstrak Hubungan antara ulama dan umara (pemerintah) mempunyai ikatan historis yang kuat. Sudah sejak masa yang lama, dibuktikan dengan uraian-urain sumber tertulis lokal, seperti Kronik Gayo, Bustanussalatin maupun Tajussalatin, keduanya terlibat dalam kebersamaan membangun negeri dan menyejahterakan masyarakat. Pemerintah membutuhkan bantuan ulama, utamanya sebagai penasehat juga sumber mendapatkan berbagai keputusan yang dilandasi oleh hukum agama. Sedangkan ulama, membutuhkan umara, untuk mendukung aktivitasnya dalam pelbagai bidang seperti peradilan, pendidikan, kesufian bahkan sampai hal-hal strategis lainnya, seperti membangun angkatan perang. Muara dari kerjasama ini adalah bagaimana caranya menciptakan kesejahteraan masyarakat. Sama-sama diketahui, orang Aceh sudah mencapai tahap examiner (penilai) dalam hal keagamaan. Mereka sudah berada pada taraf pemahaman agama yang di atas rata-rata. Mereka bukan hanya membutuhkan sosok ulama yang tidak saja berkecimpung dalam pendidikan Islam, zikir (dike) maupun dalam perayaan-perayaan tertentu, melainkan juga mereka yang juga siap mengabdikan diri demi kemakmuran. Begitu juga dengan umara, Aceh mempunyai paham kepemimpinan yang bertumpu pada ketundukan rakyat. Ketaatan orang banyak pada pemimpinnya, akan berimbas pada upaya umaramengutamakan kepentingan umat. Tesis ini akan mengupas empat pertanyaan sebagai bahan telaah; 1) Bagaimana hubungan yang terjalain antara ulama dan umara; 2) Bagaimana pandangan masyarakat Aceh terhadap eksistensi ulama dan umara?; 3) Apa saja bentuk kebijakan yang digulirkan umara yang terindikasi dipengaruhi ulama? 4) Apa saja yang dilakukan ulama dan umara dalam memajukan intelektualitas dan pendidikan? Fokus dari kajian ini adalah membincangkan masalah interelasi ulama dan umara dalam mengusahakan kemajuan pada era Sultan Iskandar Muda (16071636). Umara pada pengertian di sini, dimaknai bukan hanya sebatas Sultan, melainkan juga Imam Mukim, Mukim hingga Keuchik (kepala gampong). Sedangkan ulama yang dimaksud, adalah mereka yang menjalankan peran tradisional mereka, yakni sebagai pengajar agama, guru sekaligus tokoh masyarakat, namun juga mereka yang tergabung dalam perankepemerintahan. Kemudian, turut pula dibahas dampak kerjasama keduanya dalam membangun suatu masyarakat yang kuat, berdayaguna, dan dipenuhi dengan nuansa sejahtera. Pendekatan yang digunakan dalam tesis ini adalah menggunakan sudut pandang sosiologis, kaitannya dengan interaksi sosial. Interaksi yang terbangun di antara ulama dan umara, melahirkan kebijakan-kebijakan yang bernuansa pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat. Komunikasi yang terbangun antara keduanya, berkaitan dengan bagaimana mengelaborasi maksud serta tujuan mereka dalam mencanangkan kemajuan bidang keagamaan dan sosial.
v
Pedoman Transliterasi Huruf Arab
Huruf Latin
ا ة ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ه ء ي
tidak dilambangkan b t ̇
j kh d ̇
r z s sy
‘ g f q k l m n w h y
vi
Vokal Pendek _____ = a كتتkataba _____ = i سئلsu ila _____ = u يذهتya ̇
Vokal Panjang ا... = ̅ قبلq ̅ = ايiقيلqila ̅ =يقولyaq̅lu
Diftong =ايkaifaكيف =ا وaula حول
Sumber : Keputusan Bersama Mentri Agama dan Mentri P dan K Nomor 158 tahun 1987Nomor: 0543 b/u/1987.
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................
-
KATA PENGANTAR..................................................................................
i
HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI.....................................
iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING DAN PENGUJI................
iv
ABSTRAKSI.................................................................................................
v
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN..........................................
vi
DAFTAR ISI.................................................................................................
viii
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah........................................................
1
B. Identifikasi Masalah..............................................................
11
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah....................................
12
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian...........................................
14
E. Penelitian Terdahulu..............................................................
15
F. Landasan Teoritis..................................................................
17
G. Metode Penelitian..................................................................
19
H. Sistematika Penulisan............................................................
20
KEADAAN SOSIO-KEAGAMAAN ACEH DARUSSALAM.........................................................................
22
A. Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh..........................
22
B. Berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam..............................
37
C. Terbentuknya Masyarakat Muslim Aceh..............................
38
EKSISTENSI ULAMA DI ACEH DARUSSALAM.................
51
A. Pengertian Ulama..................................................................
51
B. Pembagian Peran Ulama Kesultanan.....................................
53
C. Ulama dalam Pergaulan Masyarakat Bawah.........................
69
UMARA DALAM MASYARAKAT ACEH..............................
76
A. Pengertian Umara..................................................................
76
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Aceh Darussalam merupakan kerajaan yang memiliki warna sendiri dalam perjalanan sejarah bangsa. Posisinya yang strategis di ujung utara pulau Sumatra, tepatnya berdiri di kawasan pesisir, menjadi bukti bahwa kerajaan ini memiliki corak kehidupan maritim. Dalam bentangan nuansa kelautan, kerajaan ini juga menjadi salah satu pusat pelayaran dan perdagangan. Potensinya ini belakangan mampu digarap secara serius hingga menghasilkan berbagai kemajuan yang di kemudian hari dapat dimanfaatkan pula oleh penduduk Nusantara lainnya. Pelayaran dan perdagangan amat kental dalam sejarah Nusantara. Keberadaan rempah-rempah disinyalir menjadi magnet yang mengundang orang asing berdatangan ke gugusan kepulauan ini. Berita Cina yang berangka sekitar permulaan Masehi mengatakan bahwa wilayah Nusantara, yang disebutkan dengan lafal Cina, yang setelah melalui penelitian lebih lanjut diketahui terdapat di Sumatera, Jawa, Kalimantan, menjadi tempat terjadinya perdagangan lintas benua. Bentangan wilayah Barat Nusantara hingga Maluku menjadi jalur penting pedagang asal Cina dan India.1 Pelabuhan Aceh, merupakan satu tujuan penting bagi saudagar dunia. Tercatat, kapal dagang dari Arab, Persia, India, Turki, Cina, Inggris, Portugis, Spanyol, Belanda serta kapal lintas benua lainnya bersauh di Aceh.2 Kehidupan heterogen inilah yang 1
Taufik Abdullah dkk, Sejarah Ummat Islam Indonesia (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991) hlm. 33. 2 Denys Lombard, Kerajaan Aceh; Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) (Jakarta: Balai Pustaka, 1986) hlm. 150-165; lihat juga H.M. Zainuddin, Tarikh Atjeh dan Nusantara (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961) hlm. 250.
1
membuat lingkungan pesisir Aceh lebih terbuka dengan pengaruh luar. Perdagangan antar bangsa membawa banyak produk baru yang memperkaya khazanah hidup masyarakat Aceh Salah satu produk penting yang dihasilkan melalui interaksi antarbangsa di pelabuhan adalah Islamisasi. Sebenarnya, mengenai letak secara pasti dimana awalnya Islam datang ke negeri ini, masih banyak diperdebatkan. Bahkan, posisi awal Aceh sebagai tempat semula kehadiran Islam di Nusantara pun belum disepakati secara umum oleh sidang sejarawan Indonesia. Satu diantara pendapat yang banyak diketahui adalah bersandar pada berdirinya kerajaan Perlak (Peureulak) menginjak abad 12.3 Berdirinya lembaga pemerintahan ini, merupakan puncak gunung es dari interaksi antara masyarakat dengan para pemimpinnya yang telah beralih agama menjadi Muslim. Sebagaimana diketahui, masuknya Islam ke Nusantara, termasuk ke Aceh, adalah melalui beberapa saluran. Paling tidak ada lima saluran utama, yang dianggap sebagai corong berbondong-bondongnya penduduk negeri ini meninggalkan agama lamanya kemudian beralih ke Islam, yakni: perdagangan, pernikahan, tasawuf, pendidikan dan kesenian. Hubungan mesra yang terjalin antara para penjual dan pembeli di pelabuhan pesisir, nyatanya merambah ke arah agama, hingga menyentuh masalah keimanan. Dalam pergaulan kerajaan, pernikahan silang antara saudagar India dan Arab dengan putri para pembesar pribumi turut pula membawa pengaruh baru, khususnya dalam segi kepercayaan di lingkungan istana yang lantas menyebar hingga ke tataran bawah. Tasawuf dan pendidikan menjadi elemen penting dalam segi kebatinan dan intelektualitas. Kesenian turut pula diyakini sebagai wadah tepat mempromosikan agama baru tersebut.4 Di balik upaya keras yang dilakukan guna mendakwahkan Islam ke tanah-tanah Nusantara, tersimpan kiprah para pembaharu yang melatarbelakangi munculnya upaya tersebut yang 3
Zainuddin, Tarikh Atjeh ..., hlm. 95. Noor Huda, Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (Yogyakarta: Arruz Media, 2007) hlm. 45-50. 4
2
dikategorikan sebagai gerakan sosial baru itu, ia lazim disebut ulama. Ulama diasosiasikan sebagai kalangan cerdik pandai yang memiliki pemahaman yang luas akan ilmu-ilmu keislaman. Keberadaan mereka menjadi penting tatkala dakwah Islam mulai disosialisasikan. Walaupun sarana dakwah yang digunakan seringkali beragam dan berbeda-beda antara satu ulama dengan yang lain, namun esensinya tetaplah sama, yakni tersebarnya Islam secara merata ke seluruh penjuru Nusantara. Merujuk pada penjelasan Ismuha, sebutan ulama berasal dari bahasa Arab, yang berupa kata jamak atau plural. Ulama merupakan kata jamak dari „alim yang bermakna orang yang mengetahui, bisa juga diartikan orang yang berilmu. Ulama dapat dipahami pula sebagai para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan atau para ilmiawan.5 Dalam pada itu, ulama yang diangkat dalam penelitian ini adalah ulama Islam, oleh karena wilayah pembahasannya adalah kerajaan Aceh yang juga merupakan kerajaan Islam. Aceh Darussalam merupakan kerajaan yang memiliki dimensi keagamaan yang kuat. Cikal bakal kerajaan ini merupakan kelanjutan dari kerajaan yang semula didirikan oleh Meurah Johan, seorang bangsawan kerajaan Linge Gayo yang diberi tugas dakwah selepas pendidikannya di Dayah Cot Kala pimpinan Syekh Abdullah Kanaan pada abad 13. Dari sekelumit uraian mengenai berdirinya kerajaan Aceh, diketahui, aspek keagamaan sudah sangat kental melingkupi kerajaan Aceh sejak masa berdirinya. Bukan hanya ilmu agama saja yang didapatkan Meurah Johan, melainkan juga ilmu-ilmu lain yang berguna bagi kehidupannya di kemudian hari, salah satunya adalah ilmu ketatanegaraan.6 Peran ulama memiliki sejarah tersendiri dalam kerajaan Aceh Darussalam. Mereka menjadi garda terdepan dalam mengawal jalannya pemerintahan. Nasihat-nasihatnya bukan hanya terbatas pada hal ihwal agama, melainkan menjadi rujukan pula 5
Ismuha, Ulama Aceh dalam Perspektip Sejarah (Jakarta: LIPI, 1976)
hlm.1. 6
A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah (Jakarta: Penerbit Beuna, 1983) hlm. 55.
3
dalam menggulirkan pelbagai kebijakan-kebijakan sosial. Hal ini semakin menandaskan peran sentral ulama dalam memajukan tata ruang bermasyarakat yang baik. Dengan kata lain, posisi mereka mewakili “golongan luar” keluarga kerajaan yang bertugas membantu kerja aparatur kerajaan dalam menghadirkan kondisi ranah keagamaan dan kemasyarakatan yang stabil dan teratur. Menginjak abad 17, Aceh telah menjadi kekuatan penting dalam peta pepolitikan Asia Tenggara. Kegigihan para rajanya menghalau Portugis di hampir sepanjang abad 16, ikut pula menerbangkan reputasi kerajaan ini sebagai lawan tanding utama dalam menghadapi dominasi bangsa Kulit Putih itu. Iklim kerajaan yang semakin kondusif turut menyokong berseminya masyarakat yang makmur. Kesejahteraan ikut pula menghampiri aspek keagamaan. Sektor pendidikan menjadi perhatian penting yang terus diupayakan pertumbuhannya. Di era ini Aceh telah lepas landas menjadi negeri yang kental dengan nuansa intelektual. Kenyataan ini, ditandai dengan hilir mudiknya para sarjana, ulama, pelajar pribumi, regional maupun mancanegara di pelbagai lembaga pendidikan yang tersebar di wilayah Aceh. Di abad ini, terdapat beberapa nama ulama yang memiliki andil besar dalam meengelola dinamika intelektual Aceh. Disamping itu, beberapa dari mereka juga berkiprah di bidang pemerintahan. Syamsuddin as-Sumatrani (wafat 1630)7 salah satunya, dipercaya menjadi penasehat Iskandar Muda, raja terbesar Aceh Darussalam, dalam membina pemerintahan dan segi sosial kemasyarakatan di Aceh. Ulama ini, memiliki andil besar dalam mengembangkan tradisi tasawuf Aceh yang dikenal dengan paham Wujudiyyah. Syamsuddin merupakan murid dari sufi besar Aceh, Hamzah Fansuri (hidup pada paruhan kedua abad ke 16 dan awal abad 17)8 yang dikenang sebagai salah satu sufi terkemuka Nusantara. Kelihaiannya dalam menata kehidupan beragama membuat dirinya dipercaya menduduki jabatan penasehat raja.
7
Amirul Hadi, Aceh; Sejarah, Budaya dan Tradisi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010) hlm. 159. 8 Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 71
4
Terlepas dari kontroversi aliran Wujudiyyah yang lekat dalam diri Syamsuddin, tergelarnya ajaran Islam yang terpadu di Aceh hingga tersohor reputasinya di dunia internasional. Kebesaran nama Syamsuddin sejatinya tidak terlepas dari kontribusi Hamzah Fansuri sebelumnya. Sebagaimana diketahui, Hamzah Fansuri merupakan sosok penting dalam dinamika intelektual Aceh Darussalam. Syair-syairnya amat kental dengan nuansa sufiistik. Konsep panteisme (paham yang menyatakan kebersatuan dzat Tuhan dengan Makhluk-Nya) yang digagasnya memiliki pengaruh kuat dalam kehidupan agama dan masyarakat.9 Menarik kiranya ketika menimbang posisi lembaga pendidikan sebagai penyiar ajaran-ajaran Islam. Beragam masalah keagamaan yang berkembang di Aceh, amat berkaitan dengan eksistensi lembaga-lembaga pendidikan pribumi. Dari sini para ilmuwan dan ulama lahir, lantas berperan aktif dalam meningkatkan taraf kemajuan Aceh. Di lembaga-lembaga pendidikan ini, ulama-ulama memberikan pengajaran dengan sabar dan penuh ketenangan. Hal ini dapat terjadi dilatarbelakangi oleh tata ekonomi yang telah sedemikian rupa baik terbentuk. Stabilitas politik turut pula mempengaruhi kinerja para ulama. Dengan kata lain, kondisi politik yang telah tertata turut menumbuhkan pemikiran-pemikiran untuk memajukan ranah intelektualitas. Denys Lombard memberikan komentarnya mengenai kemajuan intelektualitas Aceh dengan menyatakan bahwa Aceh era Sultan Iskandar Muda yang memerintah tahun 1607 – 1636, dipenuhi dengan para pengarang dan pemikir. Mereka bukan hanya berasal dari dalam negeri saja, melainkan ada pula yang datang dari luar negeri. Beberapa ada yang berasal dari Sumatra, tidak sedikit pula yang berasal dari India. Para cerdik pandai India datang ke Aceh dengan mengikuti jejak kaum dagang. Walaupun mereka berasal dari berbagai belahan dunia, namun ketika mereka masuk ke Aceh dan akan menulis suatu risalah maka mereka tetap menggunakan bahasa lokal, yakni Melayu. Dengan kata lain, para ulama yang ingin menulis buah pemikirannya diharuskan terlebih dahulu memahami tata bahasa Melayu dan sistematika 9
Lombard, Kerajaan Aceh ..., hlm. 217-219.
5
penulisannya. Hal ini tercermin dalam tindakan Nuruddin ar-Raniri asal Gujarat, daripada ia menonjolkan kedudukannya sebagai “orang asing” dalam menulis Bustanussalatin, lebih baik ia menggunakan bahasa Melayu yang ditulisnya beberapa bulan setelah kedatangannya ke Aceh.10 Hal ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari kondisi masyarakat Aceh sebagai medan dakwahnya. Bahasa Melayu dianggap sebagai bahasa populer yang harapannya dapat dipahami oleh seluruh kalangan pribumi. Disamping itu, “keseragaman” pemilihan bahasa tersebut, menjadi indikator betapa ulama kala itu sudah memahami realitas tempat bermukimnya. Ajaran yang dipahami secara luas tentu lebih penting dibanding mengutamakan egoisme pribadi kesukuan atau kebangsaan aslinya, seperti Arab dan Persia. Dengan kata lain, bahasa Melayu dapat dikatakan sebagai bahasa intelektual kala itu. Faktor sosial Aceh, yang secara kebahasaan, dalam kesehariannya menggunakan bahasa Aceh dan Melayu tentu telah dipikirkan secara matang oleh para penulis Muslim kala itu. Penduduk Aceh Darussalam terdiri dari struktur yang unik. Selain terbentuk karena keanekaragaman bangsa, tingkat pemahaman keberagamaan disana pun boleh dikatakan telah mencapai taraf menengah ke atas. Hal ini tidak bisa dipungkiri dari realitas sejarah Aceh yang merupakan salah satu tempat berpijaknya Islam pada masa awal perkembangannya di Nusantara. Bangunan masyarakat Islam telah terbentuk jauh sebelum Aceh Darussalam berdiri. Berdirinya beberapa kerajaan sebelumnya, seperti Perlak, Linge dan Samudra Pasai telah ikut membentuk cikal bakal masyarakat Islam yang terstruktur dan senantiasa berkembang dari masa ke masa. Masyarakat Aceh abad 17 memiliki pandangan tersendiri akan kebersatuan pemerintah dan ulama dalam kehidupan kerajaan. Keharmoniasan di lingkungan istana dapat terjadi berkat adanya dua unsur ini. Hal ini dapat ditemukan melalui berbagai karya historiografi tradisional semisal Bustanussalatin yang salah 10
Lombard, Kerajaan Aceh ... hlm. 204-205.
6
satu penggalan isinya menyebutkan bahwa seorang penguasa yang adil, memiliki pengetahuan yang mendalam dan menghormati ulama akan sampai pada tingkat kemakmuran yang tinggi. Sebaliknya, seorang penguasa tiran (diktator), melanggar ketentuan agama, dan tidak memuliakan para ulama akan mendapatkan ujian yang nyata dalam pemerintahannya, dan kekuasaannya akan berakhir secara tragis. Menurut kacamata masyarakat Aceh, sebagaimana disebutkan oleh para ulama, jabatan seorang raja/sultan memiliki muatan politis dan agama. Dengan kata lain, seorang penguasa memiliki kuasa atas “politik” dan “agama”. Nilai agamis pada posisi tersebut sebenarnya sama dengan yang telah ditampilkan oleh para pemikir Islam. Melalui lembaga kenegaraan, kekhalifahan atau kesultanan, ajaran-ajaran Islam dapat diberlakukan dengan baik. Oleh sebab itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah, pengadaan lembaga kenegaraan menjadi suatu keniscayaan yang dibebankan pada keagamaan. Hal ini dapat pula ditengok dalam bentangan sejarah Aceh, dimana gelar penguasa serta struktur kekuasaan adalah hasil penalaran dan kompromi yang berdasarkan ajaran agama. Beberapa gelar selain sultan yang dinisbatkan pada tata kelola pemerintahan Islam antara lain seperti Khalifat Allah fi al-Ard, Zill Allah fi al-Ard atau Zill Allah fi al-Alam.11 Unsur keislaman yang melekat dalam manajemen pemerintahan Aceh sudah barang tentu membutuhkan peran atau kontribusi dari ulama. Pandangan harmonisasi masyarakat akan keadaan kerajaan yang makmur dan sejahtera menitikberatkan pada hal tersebut. Dengan kata lain, jika tidak ada salah satu dari keduanya atau justru kedua pihak tersebut terlibat dalam perseteruan maka harapan akan ketahanan kerajaan yang baik akan mendapat ancaman serius, utamanya dari sisi internal. Keberadaan ulama di tataran pemerintahan turut membawa aura positif dalam kinerja istana. Saran-saran mereka bagaikan pohon teduh di tengah padang gersang. Tidak jarang, Sultan Aceh 11
Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 161-162.
7
sampai kepala pemerintahan di bawahnya, seperti uleebalang dan keuchik menjadikan ulama sebagai tempat bertanya atas segala permasalahan yang tidak mampu diselesaikannya. Paling tidak, ulama selain menjadi guru agama, juga memiliki tugas sebagai motivator jika pemerintah sedang dalam keadaan gundah gulana. Terkait posisinya tersebut, Erawadi menambahkan bahwa para ulama kerapkali menjadi penasehat dan mitra keilmuan dari seorang sultan/raja. Para ulama disamping menulis karya keagamaan, juga menulis ketentuan-ketentuan atau hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah sosial dan politik, yang beberapa diantaranya ditulis atas pesanan penguasa. Ulama yang berkecimpung dalam pemerintahan, biasanya yang memiliki keahlian di bidang hukum (fuqaha). Mereka menduduki jabatan sebagai mufti, qadhi, atau syaikh al-Islam serta menempati peran penting dalam penetapan dan pelaksanaan hukum dan berbagai kebijakan penguasa. Terdapat sejumlah ulama yang tersohor yang menyokong pemerintahan Iskandar Muda. Di era ini dikenal nama-nama besar yang ikut serta bersama kalangan istana. Selain Syamsuddin asSumatrani dan Hamzah Fansuri, yang sempat disinggung sebelumnya, masih ada nama besar lain seperti Ibrahim asy-Syami asy-Syafi‟i, seorang fakih yang mengabdi dalam dunia pendidikan Aceh khususnya dalam pengajaran fikih.12 Mereka, serta ulama lainnya telah ikut serta mewarnai banyak ketentuan yang diberlakukan oleh pihak istana. Sebagaimana dikemukakan oleh Amirul Hadi, peran dari ulama Aceh abad ini bukan hanya terbatas pada lapangan ilmu pengetahuan dan keagamaan, akan tetapi telah merambah ke dimensi kenegaraan dan politik,13 termasuk pula bidang kemasyarakatan. Selain vital dalam memandu jalannya kerajaan, ulama juga memiliki fungsi strategis membangun kehidupan sosial masyarakat. Kedudukan mereka menempati posisi yang sejajar dengan pemerintah wilayah yakni tingkat mukim (keuleebalangan), hingga gampong. Teungku meunasah memiliki 12 13
Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin, hlm. 16. Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 158.
8
memiliki tanggung jawab besar dalam menata kehidupan rohani masyarakat bawah. Seorang yang dipilih menduduki jabatan ini, bukan hanya mereka yang memiliki pemahaman agama yang dalam, tapi juga pengalaman mengurus aspek sosial. Selain menjalankan tugas sebagai guru mengaji dan imam sembahyang, mereka juga diminta memandu acara khitanan, pernikahan dan memandikan jenazah. Selain itu mereka juga menjadi tempat bertukar pikiran teungku lain serta uleebalang. Disamping itu, ulama memiliki peran yang cakupannya meluas, bukan hanya terbingkai dalam ranah agama semata. Dalam persidangan tingkat gampong misalnya, ulama kerap mendampingi imeum, waki, keuchik serta orang-orang tua dalam menyelesaikan suatu perkara. Terlebih ketika, masalah yang dibahas tergolong wilayah syariat, seperti warisan dan sebagainya, nasehat serta keputusan ulama sangat dibutuhkan.14 Ulama Aceh memiliki kesamaan juga perbedaan dengan ulama pada abad 17 di wilayah Nusantara pada umumnya. Kesamaan yang bisa diketahui adalah mereka sama-sama memiliki kemampuan agama, yang membuatnya mempunyai kedudukan tinggi di mata masyarakat dan pemerintahannya. Perbedaan terdapat tatkala merambah lajur politik. Ulama Aceh cenderung enggan melakukan manuver-manuver politik yang menguntungkan ambisinya. Apalagi jika harus berseberangan dengan kebijakan Sultan maupun perangkatnya. Sebaliknya, di Jawa misalnya, terdapat banyak kasus ulama yang ikut dalam kontestasi politik. Di masa ketika Sultan Agung berkuasa atas Mataram (1613-1646), sekitar tahun 1633, terjadi pertikaian antara Sultan dengan para ulama Tembayat. Belum jelas apa yang melatarbelakangi motif pertengkaran ini, yang jelas, Sultan Agung sampai harus mendatangkan kekuatan militer untuk menenangkan keadaan yang bergolak di sana.
14
K.F.H. Van Langen, Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan, Terj. Aboe Bakar ( Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Dokumen Informasi Aceh, 2002) hlm. 40-41.
9
Hal yang sama juga dilakukan Sultan Agung kepada golongan santri di kawasan Giri Kedaton. Perlawanan santri dilatarbelakangi oleh legitimasi keagamaan. Sekitar tahun 1636, Sultan Agung menghancurkan tempat yang menjadi basis perlawanan itu. Ia mengangkat Pangeran Pekik, yang masih memiliki hubungan darah dengan Sunan Ampel, untuk menyerang Giri. Pada umumnya orang di Giri enggan untuk melawan seseorang yang masih keturunan orang suci, terlebih yang masih keturunan seorang ulama yang memiliki kontribusi luas dalam islamisasi Jawa. Pertempuran ini dimenangkan oleh Sultan Agung.15 Dua kasus tersebut hampir tidak ditemukan di Aceh Darussalam tatkala dipimpin oleh Iskandar Muda. Kebanyakan ulama tidak mempunyai hasrat untuk mengungkapkan pandangan politiknya atau sekedar mengkritik kebijakan sang Sultan. Perbedaan ini tidak bisa dilepaskan dari setting sosial keadaan Jawa dan Aceh pada masa itu. Aceh secara umum sedang berada pada masa stabilitas kerajaan yang teruji. Sedangkan kekuasaan Sultan Agung, mendapat ancaman nyata dari Surabaya dan Banten, kemudian VOC. Dengan kata lain, pemberontakan ulama Tembayat maupun Giri sebetulnya dilatarbelakangi oleh kepentingan politik. Tesis ini akan mengangkat suatu permasalahan mengenai interaksi antara pihak pemerintahan Aceh mulai dari tingkat kerajaan hingga gampong dengan ulama kaitannya upaya mewujudkan masyarakat Aceh yang sejahtera, utamanya di bidang sosio-keagamaan. Sebagaimana diketahui, agama menjadi aspek penting dalam komposisi masyarakat Aceh. Untuk itu sematan agama dalam pola kehidupan sosial, menjadi suatu keniscayaan tersendiri. Tentu saja aspek ini akan diulas lebih lanjut dalam babbab berikutnya. Komunikasi yang terjalin antara umara dan para ulama agaknya masih belum banyak diungkap secara mendalam. Peran ulama dalam pemerintahan Aceh agaknya memang sudah banyak 15
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995) hlm. 71-72.
10
dibahas dalam karya-karya terdahulu. Namun demikian, masih belum tajam menukik ke salah satu wilayah sentral dari tujuan pemerintahan itu sendiri terkait memakmurkan masyarakatnya. Sebagaimana diketahui, jika menimbang kebesaran kerajaan Aceh tentu saja tidak bisa hanya ditilik dari satu sektor semata. Terbukanya gerbang ekonomi dunia turut pula membawa semangat baru bagi tumbuh kembang masyarakatnya. Pada wilayah ini peran raja dibantu oleh pejabat istana terkait tentu menjadi amat dominan. Pejabat istana di sini tentu saja bersikan seorang ulama yang dipilih sebagai penasehat kerajaan.16 Tinjauan mendalam terkait hubungan ulama dengan umara dalam kerajaan Aceh serta wilayah bawahannya tentu amat menarik untuk dikaji lebih lanjut kaitannya dengan upaya mengembangkan kemasyarakatan dan keagamaan. Memang, dalam beberapa karya maupun tulisan yang lalu, hal ini telah dibahas. Namun demikian, keberadaannya belum dikedepankan secara serius oleh karena harus berbagi ruang dengan pembahasan lainnya. B. Identifikasi Masalah Tesis yang akan ditulis menitikberatkan pada aktivitas, komunikasi dan kerjasama yang terjalin antara ulama dan umara di Kerajaan Aceh Darussalam selama masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Umara di sini dimaknai sebagai pemerintah kerajaan Aceh, mulai dari tataran pusat (kerajaan) hingga satuan terkecil pemerintahan, yakni gampong. Objek lain yang diungkap adalah terkait kebijakan bidang sosio-keagamaan, baik yang berasal dari kerajaan sampai dengan gampong, yang perumusannya sudah barang tentu dibantu pula oleh kalangan ulama. Termasuk pula dalam bahasan, adalah peran mereka dalam 16
Aceh dikenal sebagai salah satu pusat perdagangan di Asia Tenggara. Devisa Aceh berasal dari hasil buminya. Menurut Denis Lombard, Aceh dapat dipastikan mengekspor gajah, kuda dan belerang. Dari suatu laporan Eropa dituliskan bahwa komoditas perdagangan di Aceh menjamin distribusi barang untuk “seluruh Nusantara”. Barbagai jenis kayu, rempah-rempah seperti lada dan campli puta. Kesmeua barang ini didistribusikan melalui pelabuhanpelabuhan Aceh. Lihat juga Lombard, Kerajaan Aceh ..., hlm. 147-148.
11
dunia intelektual pendidikan di lingkungan istana, mukim dan gampong. C. Pembatasan dan Perumusan Masalah Oleh karena tema yang diangkat memiliki wilayah pembahasan yang meluas, maka perlu kiranya melakukan pembatasan-pembatasan guna memfokuskan pembahasan. Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah batas waktu tema yang diteliti, yakni hanya berkutat Kerajaan Aceh Darussalam di bawah kepemimpinan Iskandar Muda, yakni sejak 1607-1636.17 Perlu diutarakan, wilayah kekuasaan Aceh masa Sultan Iskandar Muda mencakup hampir sebagian besar Sumatra. Hal ini bisa terjadi mengingat di era itu, Aceh giat melakukan pelebaran pengaruh ke luar wilayah Aceh. Kebanyakan wilayah yang dikuasai, adalah wilayah pelabuhan dan kawasan pantai. Denys Lombard mengutip penjelasan Agustine de Beulieu, pelaut Prancis yang sempat mengunjungi Aceh pada masa Iskandar Muda, bahwa wilayah Aceh masa itu mencakup “bagian yang paling menguntungkan”. Di sebelah timur Aceh memerintah Pedir, Pasai sampai Deli dan Aru. Sedangkan di sebelah barat mencakup Daya, Labu, Singkel, Barus, Bataham, Pasaman, Tiku, Pariaman dan Padang.18 Penggunaan kata umara dalam judul yang memiliki makna pemimpin, presiden, raja, atau ratu, digunakan untuk menyebut pemimpin kerajaan Aceh serta perangkat pemerintahan Aceh pada umumnya, dari tataran kerajaan hingga gampong. Diharapkan, kata ini dapat mewakili peristilahan perangkat pemerintahan masa itu yang mencakup pusat hingga daerah. Sebagaimana diketahui selain pemerintahan tingkat istana yang dikepalai raja, dikenal pula bentuk pemerintahan bawahan yakni mukim/keuleebalangan diketuai oleh imam mukim atau uleebalang, lalu dibawahnya lagi adalah keuchik atau kepala kampung (gampong), yang disebut keuchik. Struktur pemerintahan tersebut baru terbentuk di kala Sultan Iskandar Muda bertahta. 17 18
Zainuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 403-409. Lombard, Kerajaan Aceh ... hlm. 132-133.
12
Mukim, merupakan gagasan baru yang ditetapkan oleh sang Raja. Kawasan ini terbentuk dari tempat-tempat atau kampungkampung yang melakukan ibadah shalat Jum‟at dalam masjid yang sama. Belakangan pemimpin dari wilayah ini, yang disebut imam mukim, merangkap juga sebagai panglima perang, maka sering juga imam mukim disebut uleebalang.19 Perlu disinggung pula mengenai aktifitas ulama di kancah pemerintahan. Ulama yang termasuk dalam kategori ini adalah ulama yang memiliki jabatan struktural sebagai mufti, walaupun di perjalanan kisahnya tetap bersinggungan dengan ulama lain di luar kerajaan. Dengan kata lain, perhatian utama dari ulama yang diangkat dalam tesis ini adalah mereka yang bertindak sebagai fungsionaris kerajaan. Selain itu, ulama dalam penelitian ini, juga dimaknai sebagai pengembang tradisi intelektual di lingkungan istana, sebagaimana yang dilakukan oleh Syamsuddin asSumatrani yang ikut meramaikan forum diskusi kalangan ulama di lingkungan istana. Selain itu pengertian ulama di sini juga diartikan sebagai pengayom masyarakat. Dalam lingkungan luar kerajaan, golongan ulama ini disebut teungku meunasah. Selain mengurusi kebutuhan agama masyarakat, seperti mengaji, mengatur zakat, menjadi imam shalat 5 waktu, mereka juga menjalankan fungsi sosial sebagai pemberi nasehat dalam pengadilan kecil, utamanya mengenai aspek peradilan syariat, seperti pembagian warisan. Beberapa mereka ditunjuk sebagai wakil ketua kampung.20 Ulama pada tataran ini turut pula bermakna sebagai guru bagi masyarakat Aceh.21 Selanjutnya, hal lain yang agaknya perlu diperhatikan adalah berhubungan dengan aspek sosio-keagamaan masyarakat Aceh. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, dimensi kerja raja maupun ulama senantiasa berhubungan dengan upaya memajukan kerajaan, tidak terkecuali aspek kemasyarakatannya. Istilah sosio-keagamaan ini berhubungan dengan bangunan 19
Van Langen, Susunan Pemerintahan ..., hlm. 11-13. Van Langen, Susunan Pemerintahan ..., hlm. 13 dan 40-41. 21 Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 160. 20
13
kemasyarakatan Aceh yang tersusun di atas unsur keagamaan. Bahkan, mereka yang digelari ulama pun bukan hanya menuntut kedalaman ilmu agama melainkan pula pengakuan dari masyarakat.22 Oleh sebab itulah maka aspek kemasyarakatan menjadi wilayah kajian yang menarik ketika membicarakan hubungan raja dan ulama dalam pemerintahan. Rumusan mengenai sosiokeagamaan ini dapat disistematisasikan ke dalam beberapa aspek turunan seperti wilayah sosial (kemasyarakatan), pendidikan, keagamaan bahkan tidak menutup kemungkinan adalah ranah ekonomi dan cakupan lainnya. Untuk lebih memperjelas masalah yang diangkat, maka akan dirumuskan beberapa pertanyaan di bawah ini: 1. Bagaimana hubungan yang terjalin antara ulama dengan umara ? 2. Bagaimana pandangan masyarakat Aceh terhadap eksistensi ulama dan umara ? 3. Apa saja bentuk kebijakan yang digulirkan umara yang terindikasi dipengaruhi ulama? 4. Apa saja yang dilakukan ulama dan umara dalam memajukan intelektualitas dan pendidikan ? D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penulisan tesis ini bertujuan untuk: 1. Memperkaya pengetahuan mengenai eksistensi ulama dalam pemerintahan Aceh Darussalam 2. Mengetahui efektifitas hubungan ulama-umara dalam membentuk iklim sosio-keagamaan yang tertata dengan baik 3. Memahami secara lebih jelas sejarah Aceh Darussalam, khususnya pada wilayah kepemerintahan dan kemasyarakatan Sedangkan kegunaan tesis ini adalah: 22
Ismuha, Ulama Aceh ..., hlm. 14.
14
1. Menambah khazanah pengetahuan sejarah Nusantara, khususnya Aceh Darussalam 2. Menjadi inspirasi bagi Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam mengembangkan wacana kesejarahan Aceh. Selain pula menjadi acuan bagi Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam menggulirkan kebijakan-kebijakan strategis yang terkait dengan tema yang diangkat. 3. Menjadi bahan penelitian lanjutan bagi institusi-institusi terkait lainnya, baik negeri maupun swasta. E. Penelitian Terdahulu Sebenarnya, sudah ada beberapa tulisan terkait mengenai interaksi antara umara dan ulama Aceh Darussalam yang termaktub dalam beberapa buku maupun laporan penelitian mengenai sejarah Aceh. Keberadaannya masih terserak dan kerap dijadikan bahasan sepintas. Dalam pemaparannya pun masih belum disentuh secara mendalam. Studi ini, sebagaimana yang disinggung sebelumnya, akan menyentuh lebih dalam tema terkait yang berarti pembahasan tema yang dipilih, harapannya akan mendekati tingkat komprehensif sebagai pelengkap beberapa karya sebelumnya. Salah satu penelitian yang menekankan objek ulama dalam wawasan kesejarahan Aceh Darussalam adalah apa yang dikerjakan oleh Ismuha yang dipaparkan secara tertulis dalam Ulama Aceh dalam Perspektip Sejarah (1976). Penelitian ini terselenggara atas kerjasama Leknas LIPI dengan Departemen Agama RI. Karya ini masuk dalam seri monografi “Agama dan Perubahan Sosial” dengan mengambil objek mengenai aktivitas ulama yang mengambil kasus sejarah Aceh. Laporan ini sebenarnya menyentuh posisi ulama dalam setiap masa yang ditampilkan secara kronologis, yakni dari kedatangan Islam hingga masa terbentuknya provinsi Daerah Istimewa Aceh. Informasi yang didapat dari karya ini adalah kedudukan ulama dalam masyarakat Aceh serta dinamikanya. Aspek kajian sosial amat dikedepankan dalam karya ini, sehingga pembahasan peran ulama terasa lebih cenderung dekat ke 15
masyarakat. Namun begitu, penjelasan mengenai aktivitas ulama Aceh kaitannya dengan kepemerintahan Aceh belum banyak dibahas dengan tuntas.23 Babakan abad 17 hanya disentuh di bagian pendahuluan, sedangkan bahasan lebih besar mengetengahkan ulama di era kontemporer, yakni sejak mulai era kolonial hingga Indonesia merdeka. Telaah keulamaan Aceh ini amat berbeda dengan judul yang diangkat dalam tesis ini. Penjelasannya masih bersifat umum, dan belum mengetengahkan analisa mendalam, terutama seputar aktivitas ulama era Sultan Iskandar Muda. Literatur lain yang memiliki kesamaan tema yang diangkat dalam tesis ini adalah suatu penelitian Erawadi berjudul Tradisi, Wacana dan Dinamika Intelektual Islam Aceh Abad XVIII dan XIX (2009). Dalam bukunya ini, Erawadi lebih memberatkan perhatian pada tradisi keilmuan, wacana serta dinamika intelektual yang muncul, berkembang lantas berubah dalam ruang lingkup sejarah yang berlanjut dan berkesinambungan. Batasan waktu yang diteliti mencakup abad 18 dan 19.24 Memang, tidak dapat dipungkiri, banyak informasi penting yang didapatkan terkait dengan tema yang diangkat. Erawadi juga dalam beberapa pembahasan turut mengemukakan bagaimana posisi serta kegiatan ulama dalam membantu kerja aparatur kerajaan, salah satunya dari segi wacana intelektualitas. Satu informasi yang menarik adalah ketika sampai pada pembahasan mengenai eksistensi keilmuan Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani dan Nuruddin ar-Raniri yang melalui pelbagai tinjauan karya-karyanya.25 Fokus yang diketengahkan Erawadi ini tentu amat berbeda dengan penelitian tesis ini yang lebih menekankan pada aspek sosial dari ulama itu sendiri, utamanya terkait hubungannya dalam memetakan kemasyarakatan yang bukan hanya penuh dengan kemakmuran melainkan juga disemaraki oleh ajaran agama. Tulisan lain yang memiliki tema serupa terdapat dalam buku Aceh; Sejarah, Budaya dan Tradisi (2010) yang ditulis oleh 23
Ismuha, Ulama Aceh ..., hlm. 2 Erawadi, Tradisi, Wacana dan Dinamika Intelektual Islam Aceh Abad XVIII dan XIX (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009) hlm. 16. 25 Erawadi, Tradisi, Wacana ..., hlm. 32-39. 24
16
Amirul Hadi. Buku ini sebenarnya merupakan kumpulan tulisan ilmiah yang disajikan secara tematik dalam setiap babnya. Terdapat beberapa informasi terkait yang terhimpun dalam beberapa judul antara lain; “Menyingkap Tabir Kehidupan Hamzah Fansuri”, “Kerajaan dan Tradisi Intelektual Aceh”, serta “Adat dan Kajian Hukum Islam di Aceh pada Abad ke-17: Sebuah Kajian Awal”. Dalam tulisan kedua, banyak dipaparkan seputar peran lembaga pendidikan, para intelektual dan ulama serta tidak ketinggalan adalah peran dari kerajaan (pusat kekuasaan). Ketiga elemen ini, diyakini Amirul Hadi, merupakan fondasi utama bagi tegak dan berkelanjutannya tradisi intelektual Aceh abad 17. Aspek sosio-keagamaan yang menitikberatkan pada aktivitas masyarakat terkait kebijakan pihak istana yang berhubungan dengan anjuran ulama. Jikapun disentuh, porsinya sangat sedikit, seperti pandangan masyarakat terhadap eksistensi ulama-raja dalam kepemerintahan Aceh.26
F. Landasan Teoritis Penelitian tesis yang diangkat ini amat dekat kaitannya dengan peran-peran antar subjek. Oleh sebab itu, tepat kiranya jika tesis ini menggunakan pendekatan llmu sosial dalam analisanya. Pendekatan ini bukan hanya menyentuh pergaulan istana, melainkan turut pula menyinggung bagaimana peran mereka dalam menciptakan suatu kemajuan dan kemakmuran di tataran masyarakat. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, masyarakat Aceh bukan hanya terbentuk melalui sekumpulan individu yang tinggal dalam satu daerah dan memiliki visi kehidupan yang cenderung seragam dengan landasan adat istiadat semata, melainkan turut pula diikat dengan kesatuan agama Islam. Jika menyinggung masalah ini, kiprah ulama menjadi penting keberadaannya. Menurut Taufik Abdullah, ulama di Aceh mengalami fase dinamis, yang berujung pada peranan mereka di tengah 26
Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 161.
17
masyarakat. Ketika masa kerajaan Aceh Darussalam berkuasa menyentuh abad 17, ulama banyak berkarya diluar sistem pemerintahan. Mereka aktif mengembangkan keilmuan dan menjaga tradisi keagamaan masyarakat dan istana. Keadaan ini berubah tatkala era kolonial terjadi, terlebih saat menyentuh abad 21, ulama mulai masuk ke dalam sistem pemerintahan. Mereka adalah sosok pengajur perang fi sabilillah juga pemimpin rakyat. Ulama mengalami perluasan profesi yakni ke arah pendidikan dan politik.27 Pada tesis ini konsep ulama yang diusung adalah ulama sebagai guru masyarakat juga menjalankan fungsi sosial dan profesionalnya di lingkungan istana dan masyarakat luar istana. Baik raja, ulama maupun masyarakat memiliki keterhubungan yang dapat dibahas melalui suatu pendekatan sosiologis, yakni menggunakan konsep “interaksi sosial”. Interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial dinamis yang terkait pada relasi antarindividu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok lainnya. Interaksi sosial sendiri adalah kunci bagi keberlangsungan aktivitas dalam kehidupan sosial. Secara sederhana, interaksi sosial bisa terjadi apabila dua orang saling bertemu, saling menegur, saling memperkenalkan diri, bahkan saling mempengaruhi.28 Pendekatan dengan penekanan interaksi sosial dipandang baik guna mengungkap lebih jauh hal ihwal komunikasi yang terjalin antara umara dengan ulama. Tentu akan banyak pengetahuan-pengetahuan yang dapat dituai dari interaksi antara dua elite istana tersebut. Tambahannya, adalah bagaimana hasil perbincangan mereka yang kemudian ditelurkan dalam bentuk kebijakan dapat memajukan kehidupan sosio-agama masyarakat Aceh. G. Metode Penelitian
27
Taufik Abdullah, pengantar, dalam buku Taufik Abdullah, ed, Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: CV Rajawali, 1983) hlm. 9. 28 Yusron Razak, Sosiologi Sebuah Pengantar (Ciputat: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008) hlm. 57.
18
Metode penelitian yang akan digunakan adalah kualitatif yang berbasiskan pada library research atau riset literatur. Tujuan akhir dari proses riset ini adalah penulisan sejarah (historiografi). Untuk sampai pada tingkat tersebut, terlebih dahulu harus melewati upaya rekonstruksi masa lalu melalui metode sejarah. Tahap awal yang dilakukan adalah mengumpulkan sumber-sumber terkait. Sumber-sumber tersebut dapat dikategorikan dalam dua jenis, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sejauh pantauan penulis, sumber primer yang dapat digunakan adalah salah satu karya Nuruddin ar-Raniri berjudul Bustanussalatin, suatu karya tulis sezaman yang berisi informasi seputar sejarah Aceh dan kerajaan-kerajaan Melayu. Pemaparan yang sifatnya historis dalam naskah ini, hanya terdapat dalam bait 12 dan 13.29 Bab 12 berisi tentang raja-raja Melayu keturunan Iskandar Dzulkarnain yang berkedudukan di negeri-negeri Melayu, sedangkan bab 13, menceritakan hal ihwal keadaan Aceh Darussalam era kepemimpinan Sultan Ali Mughayyatsyah sampai Sultanah Tajul Alam Safiatuddin. Sedangkan sumber sekunder adalah data-data yang bukan berasal dari masa seputar kajian historis yang diangkat. Sumber-sumber ini amat berguna dalam merekonstruksi peristiwa masa lalu. Sumber-sumber yang telah terhimpun kemudian diuji keaslian dan kesahihan muatan datanya melalui kritik ekstern dan intern. Setelah fase pengujian dan analisis dilakukan, fakta-fakta yang dikumpulkan kemudian disintesiskan melalui suatu penjelasan atau eksplanasi sejarah. Historiografi sebagai tujuan akhir dari perjalanan penelitian ini, diupayakan dengan selalu mengedepankan aspek kronologis, sedangkan penyajiannya didasarkan pada tampilan tema-tema penting dari setiap perkembangan tema terkait.30
29
Versi Bustanussalatin yang digunakan adalah bentuk print-out dari microfilm Bustanussalatin bait 12 dan 13 Perpustakaan Nasional dengan nomor panggil ML 422. 30 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Tangerang: Logos Wacana Ilmu, 1999) hlm. 91-93.
19
H. Sistematika Penulisan Penyajian tesis ini terdiri atas tiga bagian: Pengantar, Hasil Penelitian dan Kesimpulan. Bagian pertama berisikan bab pendahuluan, sebagaimana yang diuraikan sebelumnya. Didalamnya memaparkan beberapa pembahasan pokok mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, pembatasan masalah, penelitian terdahulu, landasan teorotis, metodologi penelitian dan terakhir, adalah sistematika penelitian. Hasil penelitian kemudian disajikan dalam empat bab berikutnya. penjelasan bab per bab ditampilkan sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Bab dua mengetengahkan pokok tinjauan terkait dengan tumbuh dan berkembangnya kerajaan Aceh Darussalam. Permasalahan yang dibahas dalam bab ini terkait uraian geografis Aceh, pemetaan wilayah kekuasaan kerajaan, modalitas sumber daya alam, serta mengenai kehidupan sosio-keagamaan masyarakatnya. Dijelaskan pula mengenai tradisi intelektual yang terbangun di Aceh. Selanjutnya, pembahasan pada bab tiga, berkaitan dengan tinjaun mendalam terkait kedudukan ulama dalam pemerintahan Aceh Darussalam. Sebelum itu, sebagai pengayaan, akan dijelaskan mengenai pengertian ulama itu sendiri. Turut pula disampaikan bagaimana seorang ulama dapat memperoleh pengakuan kalangan istana serta masyarakat luas terkait keulamaannya. Tidak ketinggalan, dijelaskan pula mengenai dinamika keulamaan yang terjadi di istana. Hal ini mencakup kegiatan ulama, forum diskusi, pertikaian yang terjadi dengan ulama lainnya maupun hal lain yang berhubungan dengan aktivitas ulama di lingkungan kerajaan. Kemudian, bab empat mengetengahkan perihal latar belakang sosio-keagamaan masyarakat Aceh masa Sultan Iskandar Muda. Termasuk dalam pembahasan ini adalah bagaimana masyarakat Aceh terbentuk, kemudian disinggung pula mengenai aspek pelayaran internasional di Aceh yang berkontribusi dalam 20
membantuk masyarakat Aceh yang multietnik. Selain itu, dibahas pula mengenai kedudukan agama dalam masyarakat Aceh. Hal lain yang turut dibahas adalah mengenai pandangan mereka terkait keberadaan ulama dan umara. Pada bab kelima, pembahasan menukik lebih tajam dengan membedah seputar pergaulan dan komunikasi yang terjalin antara umara dan ulama. Disinggung pula mengenai media-media apa saja yang membuat hubungan kedua elite istana ini harmonis. Disinggung pula mengenai pengaruh ulama di lingkungan kerajaan yang berkaitan dengan pengajaan kebijakan istana pada segi sosiokeagamaan. Bagian akhir merupakan kesimpulan atas seluruh pemaparan tesis ini. Diharapkan, pada bagian ini dapat ditarik benang merah dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya sehingga menjadi suatu rumusan yang dipahami. Bab ini sekaligus menjadi bab penutup.
21
BAB II KEADAAN SOSIO-KEAGAMAAN ACEH DARUSSALAM
Aceh merupakan wilayah Indonesia yang memiliki peradaban Islam yang menyejarah. Keberadaannya dalam peta sebaran Islam negeri ini amatlah vital. Tidak aneh jika Aceh seringkali dijuluki negeri Serambi Mekkah. Islam di sana telah berurat akar dan membentuk suatu daur kehidupan yang dipenuhi oleh nuansa keagungan. Membaca kembali sejarah Aceh, ibarat masuk dalam dunia yang sesak dengan kibar-kibar peristiwa masa lampau yang menentukan jalan sejarah bangsa. Membincang sejarah Aceh, tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Aceh Darussalam, suatu kerajaan yang telah menanamkan komitmen kebangsaan dan keislaman yang nuansanya masih amatlah terasa hingga dewasa ini. Kebesaran kerajaan amat disokong oleh pelbagai elemen vital, salah satunya adalah aspek keagamaannya. Mulai dari pergaulan istana hingga lingkungan yang paling sederhana, Islam menjadi ritual kehidupan yang amat dekat dengan nafas keseharian. Hal ini kiraya yang turut membentuk Aceh sebagai motor dakwah Islam Nusantara. Sebelum melangkah lebih jauh perlu kiranya diterangkan mengenai bagaimana Islam dapat tumbuh dan berkembang di Aceh.
A. Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh Sekitar tahun 1978, ditetapkan suatu keputusan yang bersejarah, yang merupakan hasil telaah Seminar sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh mengenai kapan dan di mana masuknya Islam ke Aceh. Seminar ini diselenggerakan oleh Majelis Ulama Provinsi Daerah Istimewa Aceh dari tanggal 10 22
sampai 16 Juli di Banda Aceh. Melalui keputusan tersebut, pertanyaan yang sejak lama menggelayut di pikiran para sejarawan dari masa ke masa seakan sampai pada terminal akhirnya, kendatipun ungkapan terakhir ini tentulah sementara. Minimal, sebagian sejarawan Tanah Air telah membulatkan tekad akan sesuatu perbincangan sekaligus polemik yang tak kunjung usai, mengenai misteri sejarah yang sejak lama belum terungkap. Dalam edaran keputusan itu, diungkapkan bahwa menginjak abad pertama Hijriyah atau abad 6 M, Islam sudah berkembang di Aceh. Perlahan namun pasti Islam mulai berkembang di lingkungan tanpa sekat, yakni mulai dari wilayah pergaulan istana hingga masyarakat bawah, mulai banyak di antara mereka yang meyakini kebenaran Islam. Terserapnya Islam dalam pemikiran orang-orang Aceh, nyatanya tidak hanya sampai pada sebatas keyakinan, tapi telah meluncur jauh hingga ambang batas yang lebih luas, yakni masalah pendirian suatu institusi kepemerintahan. Kemunculan Perlak, Lamuri dan Pasai, menandaskan bahwa Islam telah membuktikan diri sebagai pembentuk peradaban baru.31 Kemunculan Islam di tanah Aceh erat kaitannya dengan tradisi perdagangan maritim yang telah hidup sejak ratusan tahun yang lampau. H. M. Zainuddin mengatakan bahwa pelabuhan Aceh telah dikenal oleh saudagar internasional sejak waktu yang lama. Pada permulaan abad ke-4, tepatnya pada tahun 301 M, Ptolomeus menyebutkan bahwa pulau Ergiyre (pulau Perak) telah dikenal oleh orang-orang Asia Tengah, Asia Barat, bahkan sampai Afrika dan Eropa. Pulau yang dimaksud Ptolomeus ini adalah sebutan lain dari pulau Andalas (Perca). Pernah diberitakan bahwa kamper dari Barus dikapalkan ke Mesir dan menjadi salah satu kelengkapan ramuan pengawet mumi raja Mesir sekitar beberapa ratus tahun sebelum masehi.32
31
A. Hasjmy, Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (t.tp: AlMa‟arif, 1981) hlm. 12. 32 H.M. Zainuddin,Tarich Atjeh dan Nusantara, Jilid I (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961) hlm. 75.
23
Pesisir Aceh menjadi saksi bisu bagaimana pemukiman di sekitar hingga pedalaman disemikan oleh pelita Islam. Para pendatang yang kebanyakan berprofesi sebagai pedagang mampu merebut hati warga pribumi sehingga terjadi konversi keyakinan yang jauh dari ketegangan. Inilah yang perlu digarisbawahi, salah satu keputusan seminar Aceh tahun 1978 di atas adalah mengatakan bahwa tersebarnya Islam di Aceh adalah dengan kebijaksanaan atau dengan kata lain jauh dari unsur pertikaian.33 Wan Hussein Azmi mengungkapkan bahwa sekitar abad 12, reputasi utara Sumatra sebagai pusat grosir rempah masih bersinar kemashurannya. Di sekitar lokasi niaga itu juga merupakan tempat yang tepat untuk menanti musim anginTimur Laut yang membawa kapal-kapal asing kembali ke Tanah Arab. Oleh sebab itu pula kawasan utara Sumatra menjadi tempat yang istimewa bagi perkembangan dakwah Islam dan masyarakat Islam. Di samping itu, terdapat beberapa faktor lain yang mendorong perkembangan masyarakat Muslim di daerah itu, yakni: 1. Perhubungan baik antara saudagar-saudagar Arab dengan pihak pemerintah setempat 2. Saudagar-saudagar Arab Muslim itu tidak mencampuri masalah politik setempat 3. Saudagar-saudagar Muslim mempraktekkan ajaran Islam atas dirinya dan dalam perhubungan dengan masyarakat. 4. Tidak ada paksaan dalam pendakwahan 5. Syiar Islam berjalan menurut acuan yang ditentukan Allah Swt, yang termaktub dalam Quran surah an-Nahl ayat 125. 6. Keindahan ajaran Islam tidak dibandingkan dengan ajaran Hindu dan Budha yang banyak dianut penduduk kala itu.34 Kerajaan Islam pertama yang dicatat sejarah adalah Perlak. Informasi otentik yang memberitakan tentang keberadaan kerajaan ini adalah berasal dari seorang pengembara Italia, Marco Polo, yang pernah mengungjungi Perlak dan beberapa wilayah pesisir 33
Hasjmy, Masuk dan berkembangnya ..., hlm. 12. Wan Hussein Azmi, “Islam di Aceh Masuk dan Berkembangnya Hingga Abad ke XVI” dalam Hasjmy, Masuk dan Berkembangnya ..., hlm. 182183. 34
24
Sumatra Utara lainnya di penghujung abad 13, terkait Perlak ia mengatakan:35 We shall begin with the kingdom of Felech, which is one of the eight. Its inhabitants are for the most part idolaters, but many of those who dwell in the seaport towns have been converted to the religion of Mahomet, by the Saracen merchants who constantly frequent them. Those who inhabit the mountains live in a beastly manner. They eat human flesh, and indiscriminately all other sorts of flesh, clean and unclean. Their worship is directed to a variety of objects, for each individual adores throughout the day the first thing that presents itself to his sight when he rises in the morning. ( ... Dimulai dari kerjaaan Felech, satu dari delapan kerajaan. Banyak dari penduduknya sebelumnya adalah penyembah berhala , dan sebagian besar yang tinggal di kota-kota pelabuhan telah memeluk agama Muhammad karena diajak oleh para pedagang Arab yang sering mengunjungi mereka. Mereka yang mendiami pegunungan masih hidup secara liar. Mereka makan daging manusia serta daging apapun, bersih maupun tidak. Mereka menyambah banyak objek. Bagi setiap individu menyembah sesuatu yang dilihatnya ketika bangun tidur di pagi hari) Hal positif yang dapat diketahui dari informasi di atas adalah ternyata sejak abad 13, sudah ada orang-orang islam yang mendirikan kerajaan di Perlak. Pedagang Arab memainkan peran penting dalam proses konversi keyakinan penduduk lokal. Kalangan niagawan nyatanya tidak saja menjadikan bandar-bandar 35
Manuel Komroff, ed, The Travel of Marco Polo The Venetian (New York: W.W. Norton, 1930) hlm. 155.
25
Aceh sebagai perluasan pangsa pasar semata, melainkan juga menggunakan kesempatan itu sebagai tukar pendapat mengenai keyakinan yang berujung pada kebersediaan penduduk tepi pantai menganut Islam. Perlak muncul sebagai bandar kerajaan yang terkemuka tidak terlepas dari harmonisasi yang dijalin antara penduduk lokal dengan kalangan pendatang. Perilaku terbuka yang dimiliki oleh penduduk pribumi membuat kalangan pendatang betah dan menerbitkan suatu persepsi bahwa kawasan negeri Bawah Angin ini memiliki potensi besar bagi perkembangan Islam kelak. Sepertinya menjadi sesuatu yang dapat dipercaya, bahwa Islam di Aceh telah tersebar dengan cara kebijaksanaan. Satu diantara sumber yang bisa ditelisik mengenai awal mula munculnya kerajaan Perlak adalah diceritakan oleh A. Hasjmy yang menyebutkan bahwa sekitar tahun 173 H atau abad 9 M, berlabuh rombongan orang Arab, Persia dan India, bernama Nakhoda Khalifah yang kira-kira berjumlah 100 orang di Bandar Perlak. Kapal ini sesungguhnya merupakan suatu angkatan dakwah yang menyamar sebagai kapal dagang. Istilah “Khalifah” merujuk pada nama kapten atau nakhoda kapal tersebut, sehingga disebut Nakhoda Khalifah. Di kalangan penduduk Perlak yang kala itu masih menganut agama Hindu Budha bahkan masih ada yang Perbegu (Animisme), nakhoda khalifah dianggap sebagai sosok yang bijaksana dan visioner, sehingga dapat menyatu dengan keadaan masyarakat. Dalam waktu yang kurang dari setengah abad, pihak keluarga dan pejabat kerajaan tertarik untuk mengenal Islam dan mulai banyak yang memutuskan beralih agama, sehingga tanpa menunggu waktu lama kerajaan Perlak menjadi kerajaan Islam. Para rombongan angkatan dakwah pun banyak yang menikahi gadis-gadis Perlak, sehingga semakin eratlah hubungan dua golongan yang berbeda budaya itu. salah seorang pendakwah menikah dengan putri kerajaan Perlak dan beranakan seorang putera bernama Sayid Abdul Aziz. Sang anak inilah yang kemudian didaulat sebagai raja Islam pertama Perlak bergelar Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah. 26
Kisah kedatangan rombongan Arab hingga diangkatnya Sayid Abdul Aziz sebagai raja Perlak pertama terdapat dalam suatu kitab bernama Idharul Haq Fi Mamlakah Ferlak, tulisan Abu Ishak Makarani al-Pasi. Seiring dengan berjalannya waktu, bandar Perlak kemudian dirubah namanya menjadi bandar Khalifah yang perekonomiannya disokong oleh perniagaan maritim lintas benua.36 Pada 1271, datang serangan dari pasukan Sriwijaya ke Perlak. Kemunculan mereka disinyalir guna memperluas wilayah pengaruh Sriwijaya yang ketika itu sedang bergeliat menjadi kerajaan terkuat di Sumatera. Akibat serbuan ini keluarga kerajaan menyelamatkan diri keluar dari istana. Salah satu bangsawan Perlak yang masih keturunan Raja Perlak bernama Meurah Ishak memilih kawasan pedalaman Aceh sebagai tempat pelariannya. Tidak berselang lama menetap, ia membangun kerajaan Lingga (Linge) yang kini terletak di wilayah dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah. Bukan hanya di sekitar Aceh, peredaran sebaran keturunan raja Perlak yang semula melarikan diri ini berada jauh hingga di Aru (Karo) dan Minangkabau.37 Salah seorang keturunan Adi Genali, raja Lingga berikutnya, yang bernama Meurah Johan menjadi murid Syekh Abdullah Kan‟an, mahaguru di Dayah Cot Kala, pusat pendidikan agama terbesar masa Perlak. Suatu ketika, ia mendengar bahwa kerajaan Indrapurba yang masih beragama Hindu diserang oleh pasukan Cina dibawah pimpinan putri Nian Nio. Meurah Johan pun terlibat dalam serangakaian peristiwa yang berupaya untuk menyelamatkan Indrapurba dari invasi Cina. Setelah melalui pertempuran yang besar antara pasukan Indrapurba dan Perlak dipimpin oleh Meurah Johan melawan Cina, kerajaan Indrapurba berhasil dipertahankan, bahkan raja hingga seluruh aparat istana dan rakyatnya menyatakan keislamannya. Sebagai bentuk balas budinya, Meurah Johan dinikahkan dengan anak raja Indrapurba
36
A. Hasjmy, “Adakah Kerajaan Islam Perlak Negara Islam Pertama di Asia tenggara: dalam Hasjmy, Masuk dan Berkembangnya ..., hlm. 146-147. 37 H. M. Zainuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 96-97.
27
bernama putri Indra Kusuma dan diberi sebidang tanah yang menjadi bandar dagang ramai bernama Lamuri.38 Terkait dengan keberadaan Lamuri, Marco Polo yang sempat mengunjungi kerajaan ini memiliki catatan tersendiri, yakni:39 LAMBRI, in like manner, has its own king and its peculiar language. The country produces camphor, with a variety of other drugs. They sow brazil and when it springs up and begins to throw out shoots, they transplant it to another spot, where it is suffered to remain for three years. It is then taken up by the roots, and used as a dyestuff. Marco Polo brought some of the seeds of this plant with him to Venice, and sowed them there; but the climate not being sufficiently warm, none of them came up. In this kingdom are found men with tails, a span in length, like those of the dog, but not covered with hair. The greater number of them are formed in this manner, but they dwell in the mountains, and do not inhabit towns. The rhinoceros is a common inhabitant of the woods, and there is abundance of all sorts of game, both beasts and birds. (Lambri, sebagaimana lazimnya kerajaan lainnya, memiliki raja dan bahasa yang khas. Negeri ini memproduksi camphor (kamper), dengan berbagai macam pengolahannya dalam bentuk obat-obatan. Para petaninya menebarkan biji-bijiannya dan ketika telah tumbuh mereka memindahkannya ke tempat lain, di mana di tempat itu tanaman ini dibiarkan tumbuh selama 38
Pocut Haslinda MD Azwar, Silsilah Raja-Raja Islam di Aceh Hubungannya dengan Raja-Raja Islam Melayu Nusantara (Jakarta: Yayasan Tun Sri Lanang, 2011) hlm. 88; A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah (Jakarta: Beuna, 1983) hlm. 55. 39 Manuel Komroff, ed, The Travel of Marco Polo ..., hlm. 157.
28
tiga tahun. Kemudian, akar-akarnya mulai dipanen dan diolah menjadi bahan-bahan penyeduhan. Saya (Marco Polo) membawa beberapa biji-bijian ini ke Venezia dan menanamnya di sana. Namun, karena iklimya tidak hangat, tumbuhan ini gagal berkembang. Di kerajaan ini juga ditemukan manusia berekor panjang seperti anjing, namun tidak berbulu. Sebagian besar dari mereka memiliki perangai yang sama dan tinggal di kawasan pegunungan dan tidak mendiami perkotaan. Badak menjadi penghuni di hutan-hutannya. Di sana juga diramaikan dengan tingkah polah burung-burung dan banyak binatang buas.) Manuel Komroff yang menyunting kisah A Travel of Marco Polo ini menyebutkan bahwa dalam perbincangan masa, telah berkembang kisah mengenai sosok manusia berekor seperti di atas baik di Afrika, Borneo, kepulauan India dan Cina. Namun, pada kenyataannya hingga sekarang, tidak pernah terbukti kesahihamnnya mengenai penangkapannya. Di Eropa abad Pertengahan juga pernah beredar informasi bahwa terdapat orangorang Inggris (Eglishmen) yang memiliki ekor pendek.40 Pada tahun 1205, Pasca meninggalnya Maharaja Indra Sakti, Raja Indrapurba, Meurah Johan diangkat menjadi raja Indra Purba bergelar Sultan Alaiddin Johan Syah. Kerajaan Indrapurba dirubah menjadi kerajaan Islam bernama Darussalam. Tidak berapa lama dibangunlah ibukota baru yang terletak di tepi sungai Kuala Naga (Krueng Aceh sekarang) yang diberi nama Bandar Darussalam.41 Samudra Pasai menjadi kerajaan lain yang tidak kalah penting dalam era keemasan Aceh sebagai pusat Islam berikutnya. Merujuk pada penjelasan Uka Tjandrasasmita, Samudra Pasai didirikan oleh Meurah Silu yang diprakarsai oleh para saudagar 40 41
Manuel Komroff, ed, The Travel of Marco Polo ..., hlm. 157 A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh ..., hlm. 55-56
29
Arab yang sejak beberapa waktu sebelumnya telah rajin menyambangi bandar yang masih sederhana itu untuk berniaga. Kemunculan kerajaan ini juga ditengarai akibat melemahnya peran Sriwijaya dalam mengelola pelabuhannya, sehingga para pedagang Arab mulai menimbang keberadaan pelabuhan alternatif yang kapasitas serta standarisasinya tidak kalah dengan Sriwijaya. Selain itu, ditilik dari jarak tempuh, tidaklah sejauh Sriwjaya sehingga dapat memangkas biaya perjalanan.42 Sumber tertulis yang menjadi acuan keberadaan kerajaan Samudra Pasai dapat ditelisik dari prasasti raja pertamanya, Malikus Saleh yang sebagaimaa tertulis di nisannya, meninggal pada tahun 1297. Informasi historis mengenai mangkatya tertulis di sisi badan nisan yang isinya sebagai berikut: Dunia ini akan musnah; sifatnya berubah-ubah. Ibaratnya seperti rumah tenunan laba-laba. Wahai orang-orang yang mengejar keduniawian, mereka itu hanya akan puas dengan sarana hidup. Berilah perhatian kepada hidupmu, karena setiap orang yang lahir di dunia ini akan mati. Inilah kubur orang saleh, terhormat, darah luhur, orang besar, tawakal, seorang pahlawan yang bergelar Sultan Malikus Saleh. Ia meninggal dalam bulan Ramadhan tahun 696 sepeninggal Nabi. Slamet Muljana memberikan catatan tersendiri perihal tahun wafatnya Sultan Samudra Pasai pertama ini. Penyataan mengenai perhitungan tahun Islam dengan ungkapan “pasca meninggalnya Nabi” terdengar janggal, karena tarikh Islam itu biasanya disebutkan dengan ungkapan “hijrah Nabi”. Hal ini pula yang menyebabnya dalam sistem tanggalan Islam dikenal dengan tahun hijriyah atau hijrah. Antara “hijrah Nabi” dan “Wafat Nabi” terdapat selisih 10 tahun. Dengan begitu tahun berpulangnya
42
Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia Dari Abad XIII Sampai XVIII Masehi (Kudus: Penerbit Menara Kudus, 2000) hlm. 19.
30
Sultan Malikus Saleh bisa jatuh pada 1297 atau 1307, namun sampai sekarang yang masih diyakini adalah 1297. Selain itu, Marco Polo juga sempat mengunjungi kerajaan ini, yang dalam catatannya disebut dengan Samara. Di tempat ini Marco Polo melihat penduduk pribumi yang memakan daging temannya sendiri. Di samping itu, di sekitar lingkungannya terdapat suatu parit besar yang berakhir di pantai tempat bersandarnya kapal-kapal. Dikatakan pula bahwa ikan yang ada di perairan Samara adalah yang terbaik di dunia. Di negeri ini tidaklah ditemukan tepung, melainkan nasi. Wine pun tidak ada di sini, namun penduduknya terampil menyuling air tanaman sejenis palm guna dihidangkan dalam sajiannya. Disebutkan pula bahwa di sini ditemukan banyak “kacang India” (Indian-nut) yang merupakan sebutan Marco Polo atas kelama (coco-nut) besarnya se-kepala manusia, rasanya enak dan buahnya seputih susu.43 Memasuki pertengahan abad 14, Ibnu Batutta dikabarkan pernah mengunjungi kerajaan Samudra. Ia mengabadikan kunjungannya itu dalam catatan perjalanannya yang berjudul Rihla. Dalam catatannya ini, Samudra dikatakan terletak di sisi sebuah sungai yang mengalir ke bawah dari pegunungan liar di daerah pedalaman sebelah barat laut. Kunjungannya ini terjadi ketika Samudra dipimpin oleh Malikuz Zahir, raja ketiga Samudra Pasai. Di kerajaan ini ia dan rombongannya disambut dengan hangat oleh sang raja yang berdiam di dalam kota yang berdinding kayu itu. kota itu terletak beberapa mil di sebelah hulu sungai dari pemukiman pelabuhan. Ia menyimpan kesan bahwa sang raja amat menikmati perbincangan mengenai hukum Islam dengan sejumlah kecil sarjana hukum. Tradisi di istana memiliki corak hasil adopsi dari unsur Hindu-Budha yang lazim ditemukan di Melayu. Ibnu Batutta memiliki pengalaman unik, yakni ketika menukar celananya dengan kain sarung, dan sebelum tampil di 43
Manuel Komproff, Travel of Marco Polo ..., hlm. 156-157.
31
istana ia memakai seperangkat pakaian mewah adat setempat. Ketika ia datang ke Samudra ia mendatangi seorang perwira tinggi militer yang dikenalnya. Ia berkenalan ketika sang perwira yang beberapa tahun sebelumnya pernah mengunjungi Delhi dalam rangka misi diplomatik. Sang perwira pula yang mengantarkan Ibnu Batutta menghadap sultan Samudra. Ia duduk di samping kiri sang raja dan terlibat pembicaraan seputar perjalanan dan urusannya di Delhi. Menurut penuturannya ia hanya tinggal 2 minggu di Samudra.44 Adanya ketiga bandar dagang itu, memiliki fungsi utama dalam tersebarnya Islam di Aceh. Para pedagang bukan hanya bertindak sebatas kebutuhan ekonomi, namun juga mengupayakan motif lain,yakni sebagai wahana memperkenalkan Islam. Belakangan, sebagaimana yang dijelaskan Uka Tjandrasasmita, mereka juga berkeinginan menjalin suatu kemitraan dengan penguasa lokal untuk membangun institusi pemerintahan dalam hal ini adalah kerajaan guna mengakarkan tali silaturahmi sekaligus memperkuat tradisi niaga yang sebelumnya telah dibangun para pedagang pendahulu. Jika dilihat dalam perilakunya, para ulama memainkan peran penting dalam pembentukan institusi pemerintahan lokal. Dilihat dari kasus berdirinya Perlak, Sayid Abdul Aziz bukanlah sosok birokrat tulen, melainkan adalah seorang yang paham akan ajaran agama. Pun dengan Syekh Abdullah Kan‟an, mahaguru Dayah Cot Kala, menjadi mentor utama dalam pembentukan karakter seorang Meurah Johan. Besar kemungkinan, hubungan mereka bukan hanya sebatas guru, malainkan juga seperti orang tua. Syekh Abdullah bukan hanya mengajarkan dasar-dasar ilmu agama, melainkan juga budi pekerti sekaligus ilmu kepemimpinan sehingga Meurah Johan percaya diri memimpin bala tentara gabungan Perlak dan Indra Purba. Kejadian serupa agaknya juga dialami Meurah Silu. Kebulatan tekadnya semakin kuat dengan
44
Ross E. Dunn, Petualangan Ibnu Batutta Seorang Musafir Muslim Abad 14, terj. Amir Sutaarga (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011) hlm. 291291.
32
disokong para saudagar Arab yang tentu saja beberapa dari mereka memiliki tingkat pemahaman agama yang tinggi. Tradisi kemitraan ulama dengan umara (pemimpin) bukan hanya terpahat di kawasan pesisir Aceh. Melainkan telah terjadi pula di pedalaman Aceh, yakni di negeri sultan Aceh pertama Meurah Johan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, ia merupakan anak dari Adi Genali yang merupakan Raja kerajaan Linge. Salah satu sumber menyebutkan bahwa ia merupakan menantu Raja Rum (Turki?) asal usul Adi Genali dalam Kronik Gayo45 adalah seorang anak negeri Rum yang menikah dengan sepupunya, Putri Terus Mata. Pasangan ini sebenarnya merupakan dua orang yang berasal dari satu garis keturunan. ayah mereka adalah kakak beradik. Hal ini dapat diketahui dari kronika Gayo berikut ini: Ara roa jema i negeri Rum. Jema wa murum sara ine a-ma. Keta si bensu memega-ng hukum. Abenge umum rakyat jelata. Tentang ni tun ne gere ara maklum. Gere sahpe mepum kedelen jema. Lagi menulis gere ara maklum. Ike rakyat umum i waktu oya. Kati selese ku ulaki miyen. Enti muligen kati terang nyata. Ngiye si bensu menjadi sultan. Keta abange rakyat biasa. Si bensu pitu anake banan. Nguk iperinen bewene peteri. Si tue pitu anake rawan. Menurut bilangan tujuh lelaki. Ada dua orang di negeri Rum. Orang itu kumpul satu ibu bapa. Lalu yang bungsu memegang hukum. Abangnya umum rakyat jelata. Tentang tahunnya tidak ada yang tentu. Tidak seorang pun faham kebanyakan orang. Lagi pula menulis tidak ada maklum. Jika rakyat umum di waktu itu. 45
Kronik Gayo merupakan istilah Mukhlis PaEni yang menampilkan suatu bentangan tradisi bertutur yang memiliki muatan historis terhadap tumbuh kembang etnis Gayo. Seperti banyak legenda lainnya, dalam kronik ini juga didapati beberapa hal yang irasional dan belum banyak diungkap secara akademik.
33
Supaya jelas kuulangi lagi. Jangan keliru supaya terang nyata. Maka abangnya si bungsu menjadi sultan. Lantas abangnya rakyat biasa. Yang bungsu tujuh anaknya perempuan. Boleh dikatakan semua puteri. Yang tua tujuh anaknya jejaka. Menurut hitungan tujuh lelaki. Genali sendiri merupakan anak dari seorang rakyat biasa, sedangkan bakal istrinya merupakan anak sang raja. Nasib pun berbalik, Genali yang sebelumnya anak seorang biasa mendapat bantuan dari Raja Rum yang dibawa bersamaan dengan kedatangan calon istrinya itu ke Buntul Linge, pulau tempat Genali terdampar, ketika sebelumnya terombang-ambing ketika memancing. Di sana pasangan ini mendirikan kerajaan Linge. Hal ini tersebut pula dalam Kronika Gayo, sebagai berikut: ... Hukum i osah ku Bujang Genali. Sah kin suami peteri Terus Mata. Umur lanyut rum mudah rejeki. Laki isteri aman sentosa. Jema ini le mulo menjadi reje. I Nenggeri Gayo menjadi kepala. Nge ara tanoh tempat ni kute. Kenak ni Tuhen te menjadi pora-pora. Ini le mulo asal kerejeen Linge. Kati sudere mumuham makna. I jemen kelamin beta kedah mulo. Menurut berite dahulu kala. Asal ni Linge ari Leinge, Ara i penge gere berjema. Sewaktu kapal mulo i talue. Ling i penge nggih telas ku mata. Hukum (nikah) diberikan kepada Bujang Genali. Sah menjadi suami “Puteri Terus Mata”. Umur lanjut rezeki mudah. Suami isteri aman sentosa. Orang inilah menjadi mula-mula raja. Di negeri Gayo menjadi kepala. Sudah ada tanah tempat dijadikan kota. Kehendak Tuhan menjadi sedikitsedikit. Inilah mula-mula asal kerajaan Linge. Supaya saudara tahu akan makna. Di zaman dahulu kala begitu kira-kira. Menurut berita dahulu kala. Asalnya Linge dari suaranya. Ada di dengar tidak ada berorang. Sewaktu kapal 34
dipanggilnya. Suara di dengar tidak tampak di mata. Dalam tradisi pemerintahan yang dikenal di Gayo, dikenal pula suatu dewan kerajaan yang bernama Sagi Pendari, yakni suatu dewan penasihat yang terdiri dari menteri dan ulama. Hal ini disebutkan pula dalam Kronika Gayo. Penjelasan istilah ini dibumbui cerita ketika Raja Rum, yang tak lain adalah paman Genali, bingung akan rumahnya yang dikirimi Genali ikan yang didalamnya berisi emas dan intan, redaksinya sebagai berikut:46 Emas urum entan nge mureruah. Wan si belah tuke e pedet. Sulthan mengucep alhamdu lillah. Kurnie Allah ini nge depat. Delem pede beta Sulthan tenggersah. Kerna gere penah ara beta buet. Ini mulo hal sana diye surah. Tentu le udah ara sara alamat. I talu Sulthan sagi pendari. Perdana menteri si mupangkat. Alim ulama si pane mengaji. Rakyat rami genap mupakat. Emas dan intan berlimpah ruah. Dalam perut ikan telah padat. Sulthan mengucap alhamdu lillah. Karunia Allah ini telah dapat. Dalam pada begitu pun Sulthan gelisah. Karena tidak pernah ada begini kejadian. Ini suatu hal apa gerangan makna. Tentu saja ada barangkali suatu alamat. Dipanggil sultan sagi pendari. Perdana menteri yang berpangkat. Alim ulama yang pandai mengaji. Rakyat ramai teman bermufakat/musyawarah. Kronik Gayo merupakan salah satu sumber lokal Aceh Tengah yang belum banyak diungkap dalam menelisik perkembangan Islam di Aceh kawasan Tengah. Memang, dalam 46
Lihat lampiran Kronika Gayo di Mukhlis PaEni, Riak di laut Tawar; Kelanjutan Tradisi dalam Perubahan Sosial di Gayo Aceh Tengah (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia dan Gadjah Mada University Press, 2003) hlm. 233-245.
35
sumber ini tidak dijelaskan secara spesifik mengenai kapan Islam datang ke Aceh Tengah, oleh karena pengkisahannya berangkat dari negeri bernama Rum, yang kerap dikaitkan sebagai daerah Turki atau Istanbul. Terkait hubungan lebih jauh antara Gayo dan Turki memang belum dibuktikan secara menyeluruh dan perlu diadakan penelitian lebih lanjut. Terdapat penjelasan lain mengenai terbentuknya entitas masyarakat Gayo. Menurut H.M. Zainuddin dengan mengutip dari Gerini, masyarakat Gayo sebenarnya berasal dari nenek moyang yang awalnya tinggal di kawasan pesisir, yakni orang-orang Samudra. Ketika terjadi penyebaran Islam, mereka memutuskan untuk mengundurkan diri di kawasan pedalaman sebagai yakni ke kawasan hulu sungai Peusangan. Karena hal ini mereka disebut “Kayo” yang berarti “ketakutan” yang kemudian berubah menjadi “Gayo”. 47 Kerajaan-kerajaan pesisir ditambah kerajaan Linge di atas menjadi pintu dari tersiarnya Islam di bumi Aceh. Perlahan komunitas Muslim mulai terbentuk, utamanya mereka yang berasal dari negeri asing. Di beberapa sisi pasar maupun tempat keramaian mulai disesaki oleh para pedagang asing dan beberapa dari mereka mulai mencari tempat persinggahan untuk memperlancar urusannya dengan penduduk lokal. Tidak jarang mereka membangun suatu koloni tersendiri. Hal tersebut disepakati oleh Uka Tjandrasasmita yang menyebutkan bahwa besar kemungkinan para pedagang Muslim yang datang ke suatu tempat perdagangan di Nusantara tidak lantas kembali ke tempat asal mereka. Mungkin mereka menunggu barang dagangannya habis terjual dan kembali dengan mengangkut komoditas hasil bumi setempat. Masa jeda pulang pergi sang saudagar juga dimungkinkan terjadi karena menunggu waktu pelayaran kembali yang tergantung pada musim. Untuk itu mereka pun harus bermukim selama beberapa bulan. Lambat laun, para pedagang itu berkumpul dalam suatu pemukiman tersendiri. Pemukiman semacam ini adalah satu 47
H.M. Zainuddin. Tarich Atjeh ..., hlm. 26.
36
kawasan yang dihuni kaum Muslim yang berasal dari Persia, India dan Arab. Perlahan, akan terbangun pula komunikasi sekumpulan orang asing ini dengan masyarakat setempat yang memungkinkan terhubungnya islamisasi, terlebih di antara penduduk setempat terjadi perkawinan sehingga terbentuklah keluarga-keluarga Muslim yang kian banyak yang kemudian menjelma menjadi masyarakat Muslim.48
B. Berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam Bentuk-bentuk penyempurnaan Aceh sebagai suatu peradaban Islam sampai ketika masa pemerintahan Aceh Darussalam. Terdapat dua pendapat besar mengenai sejak kapan kerajaan ini berdiri. Pertama, ada yang menganggap bahwa Aceh Darussalam merupakan bentuk pengembangan dari kerajaan Aceh yang dirintis oleh Meurah Johan pada abad 13. Atau ada pula yang mengatakan baru dimulai sejak masa Ali Mughayat Syah. Sebagaimana yang disebutkan dalam Busatanus Salatin yang mengatakan bahwa yang pertama mengampukan kerajaan Aceh Darussalam adalah Sultan Ali Mughayat Syah pada hari ahad bulan Jumadil Awal tahun 913 H. Disebutkan pula bahwa Ali Mughayat Syah merupakan sultan pertama yang masuk Islam dan menetapkan (mengersakan) agama Islam dalam kerajaannya. Ar-Raniri juga menyebutnya sebagai penguasa perkasa yang menaklukkan Pedir, Samudra dan negeri-negeri kecil. Ia turun tahta pada 928 H.49 Terlepas dari polemik tersebut, Aceh Darussalam merupakan wajah kegemilangan pemerintahan Islam di Aceh yang menabalkan kerajaan ini sebagai kekuatan yang paling diperhitungkan di tataran regional Asia Tenggara. Hal ini bisa dilihat dari kemunculannya sebagai emporium yang memiliki pasukan kuat sehingga siap menghadapi gempuran Portugis, lawan politiknya, yang pada tahun 1511 telah menguasai Malaka. 48 49
Uka Tjandrasasmita, Kota-Kota Muslim ..., hlm. 28-30. Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin, hlm. 12.
37
Di masa-masa setelahnya Aceh Darussalam disemaraki oleh hari-hari yang amat sibuk dan kosmopolit. Selain mempersiapkan diri dalam perang estafet menghadapi Portugis, para rajanya tidak begitu saja abai dalam pembangunan kerajaannya. Dikuasainya Pedir dan Pasai merupakan satu babakan penting dalam tumbuh kembang ekonomi maritim kerajaan ini. Dua kerajaan ini telah memiliki keunggulan dalam perniagaan antar bangsa, sehingga penguasaan atasnya turut memperbanyak kas perbendaharaan kerajaan.50 Dalam bidang intelektualitas, Aceh menjadi sentra ilmu pengetahuan terkemuka di dunia. Tidak dapat dipungkiri, perdagangan antar bangsa ikut menggiring kebesaran tradisi keilmuan Aceh ke pentas dunia. Sejak itu, para sarjana Islam mulai berdatangan ke kerajaan ini, baik untuk belajar dan mengajar.
C. Terbentuknya Masyarakat Muslim Aceh Pada masa sebelum datangnya Islam, kehidupan masyarakat Aceh, sebagaiana yang terjadi di negeri-negeri Nusantara lainnya, masih diliputi oleh suasana keagamaan dan kebudayaan Hindu Budha. Hubungan dagang India dan Nusantara, termasuk dengan Aceh, yang terbangun sejak masa lampau, disinyalir menjadi jembatan maraknya bentuk-bentuk peradaban India di ruang pergaulan masyarakat Aceh. Merujuk pada catatan Cut Nyak Kusmiati, pengaruh Hindu terhadap masyarakat purba Indonesia, hendaknya jangan disempitkan hanya pada wilayah agama Hindu semata. Lebih jauh, Hindu telah merasuk dalam alam pikiran dan tingkah laku manusia Nusantara. Pengaruh ini menyebabkan perubahan cara hidup manusia Nusantara baik dalam segi kehidupan bermasyarakat, perekonomian dan keagamaan.
50
Amirul Hadi, Aceh; Sejarah Tradisi dan Budaya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 200) hlm. 15.
38
Sudah sejak masa prasejarah telah terbangun hubungan maritim India dan Nusantara. Di antara mereka sudah terbangun pengertian dan toleransi oleh sebab tradisi yang mereka punya terdapat kesamaan, sehingga kedatangan orang-orang India tidak dimaknai sebagai suatu bentuk penjajahan. Uraian dari Cut Nyak Kusmiati tersebut agaknya masih membicarakan kehidupan bangsa Nusantara secara umum dan belum menukik lebih jauh perihal kehidupan masyarakat Aceh pra Islam. Jikapun ada, maka informasinya belumlah dikatakan cukup. Ia hanya menambahkan bahwa kemungkinan masyarakat Aceh pra Islam masih menjalani kehidupan mengembara ataupun berkelompok.51 Namun begitu, pendapat lain terkait eksistensi kerajaankerajaan pra Islam Aceh agaknya dapat dijadikan acuan bahwa Aceh telah mengenal suatu bentuk kepemerintahan jauh sebelum Islam datang. Jika ada pemerintahan ditambah perdagangan seperti telah disinggung sebelumnya, maka sudah barang tentu masyarakat Aceh sudah mencapai taraf yang tinggi dan telah jauh lepas landas dari pola hidup yang dikatakan masih sederhana. Adanya kerajaan Indrapurba seperti diungkapkan sebelumnya, menjadi tonggak informasi bahwa penduduk Aceh sudah mengenal suatu bentuk produk peradaban, dalam hal ini kepemerintahan, yang di kala itu dapat dikatakan merupakan suatu bukti kemajuan pola pikir manusia. Masuknya Islam ke Aceh sudah barang tentu ikut merenovasi arsitektur pergaulan masyarakat Aceh. Jika ditilik dari beberapa sumber seperti Bustanussalatin dan Kronik Gayo, di atas, maka dapat diperoleh gambaran Islam telah merasuk dan membumi dalam sendi kehidupan lokal. Bukan hanya itu, ajaran 51
Cut Nyak Kusmiati, “Manusia dan Kebudayaan Aceh Menjelang Kedatangan Islam”, dalam A. Hasjmy, Sejarah Masuk Islam ..., hlm. 90-91. Beberapa peninggalan arkeologis yang menandakan adanya pengaruh Hindu di Aceh adalah terdapat di Aceh Besar, dekat Krueng Raya, di kaki gunung Seulawah. Menurut riwayat lama, di Lamu Panaih (Lam Panaih), Kalee, Biheue dan Laweueng pernah berdiri kerajaan-kerajaan kecil Hindu. Luhat Zainuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 42,
39
Islam kemudian dimanifestasikan dalam undang-undang kenegerian yang mengatur hampir di setiap bidang kehidupan masyarakat. Pengaruh Islam tentu saja bertalian dengan gelombang dakwah yang dilakukan oleh para pendatang dari Arab, India maupun Persia. Budaya dan adat baru sudah tentu mereka bawa. Awalnya masyarakat hanya menjadi penyimak, lalu kemudian, setelah terjalin keakraban di antara mereka melalui kepentingan niaga, barulah dialog yang lebih intensif merambah ke ranah tradisi, budaya maupun agama. Hubungan yang tadinya hanya sebatas ekonomi pun telah mencair digantikan dengan pembicaraan yang lebih ringan, renyah, dan melebar ke topik-topik lain. Baik si pedagang maupun pembeli, sudah tentu harus membangun hubungan yang intens. Terlebih jika sudah menjadi pelanggan, tentu ada beberapa manfaat yang diberikan penjual untuk memanjakan pembelinya agar tidak berpindah ke lain pedagang. Bentuk-bentuk pergaulan sederhana seperti inilah yang kemudian bergulir ke arah yang lebih serius, termasuk dalam hal kepercayaan, jika tidak demikian niscaya dakwah di kalangan penduduk yang telah memiliki keyakinan, dalam hal ini Hindu maupun Budha, tentu menapaki jalan terjal. A.K. dasgupta menambahkan, bukan hanya peradaban India yang larut dalam komposisi peradaban Aceh, melainkan juga dipengaruhi dari Batak. Keduanya menjadi dua aliran yang turut mewarnai corak kebudayaan Aceh. Dasgupta mencatat bahwa baik Batak dan Aceh sebenarnya merupakan daerah landasan peradaban India, keduanya mengadakan liberalisasi bahasa Sanskrit yang kemudian digunakan sebagai bahasa Sanskrit model lokal. Ia masih menyangsikan, kapan waktu dua aliran kebudayaan ini ikut serta menjadi komposisi Aceh. Belum ada kejelasan waktu, apakah dua-duanya datang di masa awal pembentukan Aceh atau di masa setelahnya.52 India mungkin memiliki daya pengaruh yang lebih kuat dibanding Batak, mengingat banyak pula para ahli yang 52
A.K. Dasgupta, Aceh In Indonesian Trade and Politics: 1600-1641 (England: Universisebagaty of Microfilm, 1962) hlm. 3.
40
menyatakan bahwa budaya India turut hidup dan berkembang di Aceh. Kepentingan bermukim bagi para saudagar asing sudah tentu akan bersinggungan dengan izin dari penguasa, selain pula mereka sudah dipertemukan ketika membayar bea masuk dan bongkar muat di pelabuhan. Intensitas pertemuan yang demikian tinggi ketika mengurus suatu kepentingan birokratis, turut melapangkan hubungan para saudagar dengan para penguasa dari tataran bawah hingga mereka yang duduk di istana. Ini pula yang kemudian membuka jalur komunikasi antara saudagar serta ulama asing pada para raja maupun jajarannya, sehingga Islam kemudian dapat diperkenalkan dan belakangan bahkan menjadi agama kerajaan atau justru menginisiasi lahirnya kerajaan baru. Dasgupta mengutip suatu kronik yang mengatakan bahwa pada 601 H (1205) datang seorang asing dari barat yang memperkenalkan Islam menikah dengan bidadari dan tinggal di kawasan Kandang Aceh. Ia mendapat gelar kehormatan dari Sultan Johan Syah, Sultan Aceh pertama. Beredarnya legenda seperi ini menunjukkan sudah demikian dekatnya komunitas Arab sehingga muncul kisah dimana ia menikah dan tinggal di Kandang, suatu kawasan yang hanya dihuni oleh keluarga kerajaan Aceh terlebih mendapat orang asing itu dianugrahi gelar oleh Sultan Johan Syah.53 Sebagaimana telah diungkapkan di bab 1, penulis membatasi studi sejarah Aceh pada abad 17. Dengan begitu, seputar kehidupan sosio-keagamaan yang diterangkan hanya terfokus di abad tersebut. Sebagaimana diketahui, dalam sumbersumber lokal berbahasa Melayu, tidak dipaparkan secara spesifik mengenai gambaran bentangan kehidupan masyarakat Aceh. Yang terekam, hanyalah bahwa raja memiliki perhatian yang besar terhadap tumbuh kembang bidang keagamaan. Dalam memotret sosok Iskandar Muda contohnya, Bustanussalatin menceritakannya sebagai raja yang menegakkan ajaran Islam, menyuruh rakyatnya
53
Dasgupta, Aceh In Indonesian ..., hlm. 12.
41
sembahyang, puasa ramadhan, puasa sunnah, melarang rakyatnya minum arak dan berjudi.54 Namun begitu, sumber ini memberikan semacam clue lainnya yang memang menandakan terdapat perhatian pemerintah yang cukup besar terhadap perkembangan Islam di seantero Aceh. Dari segi fisik, Baitul Maal mulai direorganisasi fungsinya dan pembangunan masjid Baiturrahman. Dalam uraian sebelumnya, arRaniri tidak menjelaskan secara spesifik kemajuan apa yang dituai di masa Sultan Aceh pra Iskandar Muda. Besar kemungkinan, arRaniri merasakan betul kemajuan yang telah ditorehkan oleh Iskandar Muda, sehingga harus dicatat dalam karyanya. Tidak dapat dipungkiri, dalam mengunduh informasi dari sumber lokal, terdapat kelemahan tersendiri, yakni munculnya kesan amat dekatnya arah tulisan ke lingkungan istana. Hal ini erat kaitannya dengan pertimbangan si penulis dalam menimbang segala kemungkinan akan setiap bait yang ditulisnya. Tentu akan menimbulkan masalah yang cukup pelik jika karyanya ini mengungkap banyak keburukan yang berarti pula berseberangan dengan garis kekuasaan kala itu. Namun begitu, hal tersebut jangan dijadikan suatu pembenaran untuk keharusan meminggirkan sumber lokal hanya karena subjektifitasnya. Banyak hal lain yang tentu dapat diperoleh utamanya mengenai informasi awal akan suatu kejadian maupun peristiwa masa lampau. Hal ini diingatkan lebih lanjut oleh Uka Tjandrasasmita yang mengatakan bahwa dalam menyusun sejarah Indonesia, khususnya sejarah Islam, sumber-sumber manuskrip lokal memiliki kontribusi yang penting. Naskah-naskah tersebut mengandung informasi melimpah tentang masyarakat pada zamannya.55 Bersandar pada pendapat Uka, posisi Bustanussalatin nyataya memiliki fungsi serupa guna merekonstruksi kembali 54
Bustanussalatin, hlm. 16. Uka Tjandrasasmita,Naskah Klasik dan Penerapannya Bagi Kajian Sejarah Islam di Indonesia (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan badan Litbang dan Diklat Kementeriaan Agama RI, 2012) hlm. 17. 55
42
bentangan keadaan masyarakat Aceh abad 17. Pembangunan masjid yang disponsori pihak kerajaan menjadi indikasi betapa Islam telah dikembangkan oleh penguasa yang nantinya digunakan sebagai kepentingan bersama. Dengan begitu dapat ditarik suatu gambaran, masyarakat Islam telah terbentuk dengan baik disamping pula terdapat seruan dari penguasa untuk melakukan perintah agama dan menjauhi larangannya. Kemungkinan selanjutnya yang dapat ditarik dari seruan iskandar Muda untuk menjauhi judi dan arak adalah suatu penegasan bahwa kerajaannya ingin memberantas dua penyakit masyarakat tersebut. Larangan tentu saja tidak akan begitu saja terucap, jika tidak ada sesuatu yang melatarbelakangi larangan tersebut. Pendapat ini boleh dikatakan masih terlalu dini, oleh sebab belum adanya informasi yang valid mengenai penyimpangan sosial yang direkam oleh sumber lokal. Adalah petualang asal Prancis, Agustin de Beaulieu, pada 1621 sempat mengunjungi Aceh Darussalam. Dalam catatannya, ia merekam orang-orang yang dijatuhi pidana, yakni:56 ... Setiap hari raja memerintahkan dilaksanakan hukum potong atas rakyatnya, kadangkala memotong hidung, telinga, kaki, mencungkil mata, kadangkala mengebiri seseorang hanya karena kesalahan sepele dengan cara yang begitu kejam dan memilukan sehingga algojo meminta upah sejumlah uang kepada para korban untuk mempersingkat derita mereka. Uang tersebut harus dibayar di muka supaya hukuman dapat dipercepat, jika tidak, hidung korban akan dipotong sedalam-dalamnya sehingga bagian otaknya terurai dari luka itu. jika kaki yang dipotong, dapat dilakukan dengan sekali tebas atau beberapa kali. Jika telinga yang dipotong, bagian pipi bisa ikut terpotong, begitu seterusnya. 56
Bernard Dorleans, Orang Indonesia dan Orang Prancis; Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006) hlm. 71-72.
43
Jika benar apa yang diungkapkan maka wajah Aceh mercerminkan kehidupan seperti ditemukan di tempat lain, di mana kebaikan dan kejahatan beriringan. Dua catatan dari saksi sejarah itu setidaknya menyokong pendapat demikian. Sulit kiranya jika hanya menyandarkan rekontruksi perilaku masyarakat Aceh dari Bustanussalatin, perlu pula kiranya menengok catatancatatan lain yang merekam suatu masa yang sama. Hasjmy mengatakan bahwa penduduk Aceh sebelum datangnya Islam berasal dari suku-suku dari negeri-negeri Atas Angin lainnya seperti dari Hindia (India), Siam, Funan, Kamboja dan Campa. Mereka semua adalah pecahan dari bangsa Mon Khmer dan suku Mantra (Mantir, yang kemudian oleh orang Aceh disebut Manteu. Setelah Aceh telah didakwahi ajaran Islam, terjadi perubahan komposisi masyarakatnya, menjadi lebih kaya dan heterogen. Orang Persia, Arab dan Afrika berdatangan dan menetap menjadi warga negara. Belakangan, mereka pun banyak yang duduk di kursi pemerintahan. Seiring berjalannya waktu, tidak ada lagi sekat pembeda diantara mereka, dan bangsa Aceh yang disaksikan sekarang ini merupakan campuran di antara anasir suku yang pernah mendiami Aceh.57 Denys Lombard memberikan catatan tambahan mengenai hadirnya orang asing ke Aceh. Seperti di Malaka dan di Ayuthia (Thailand), bangsa yang beragam ini dikelompokkan dalam kampungnya masing-masing. John Davis, seorang pelaut Belanda pertama yang datang ke Aceh pada 1625 mengungkapkan bahwa di Aceh kala itu ada kampung Portugis, kampung Gujarat, kampung Arab, Kampung Bengali dan Kampung Pegu. Mereka yang menyembah berhala pun mempunyai meru-meru (tempat ibadah) mereka sendiri. Ada pula kampung Cina dan Eropa yang rumahnya saling berhimpitan dan ada pula kampung lain yang rumahnya letaknya berjauhan.58
57
A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh ..., hlm. 140-141. Denys Lombard, Kerajaan Aceh; Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Terj. Winarsih Arifin (Jakarta: Balai Pustaka, 1986) hlm. 61. 58
44
Masyarakat pribumi, selain berdagang, juga menggantungkan hidup pada beberapa mata pencaharian. Menurut Lombard, orang Aceh pada umumnya sejak dahulu dikenal bangsa Eropa sebagai nelayan yang hilir mudik di teluk dengan mengendarai perahu mereka yang bercadik dua. Menangkap ikan adalah bagian penting dalam keseharian orang Aceh. Ikan di perairannya sangat melimpah di sungai maupun laut. Ikan termasuk dalam makanan sehari-hari. Guillaume Dampier, pelaut asal Prancis, mengatakan bahwa nelayan tergolong yang paling kaya dari semua orang yang mempunyai keahlian. Selain nelayan, pengrajin merupakan profesi yang juga populer. Masih menurut Dampier, di Aceh banyak terdapat pandai besi yang baik-baik mengerjakan segala macam pekerjaan besi, baik yang termasuk pekerjaan berat maupun yang berupa pisau, keris, mata lembing dan senjata lainnya. Sepertinya sulit mencari padanan atas keahlian mereka. De Beaulieu juga mengatakan bahwa terdapat tukang-tukang tuang meriam. Mereka juga menuang berbagai macam alat dari kuningan seperti kandil, lampu, bokor. Mereka juga banyak melakukan pelarikan, baik yang berbahan tembaga atau kayu. Pandai emas juga dianggap sebagai profesi yang istimewa. Dikatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat besar perhatianya pada batu permata dan emas.59 Masyarakat yang terbentuk di Aceh adalah berkomposisi heterogen. Bukan hanya diikat oleh hubungan dagang, melainkan juga persamaan keyakinan. Kondisi ini dianggap sebagai kekuatan potensial yang harus terus dijaga, salah satu bentuk penjagaannya adalah dengan membangun fasilitas yang mendukung agar hubungan antara penduduk pribumi dengan pendatang yang kemudian bermukim dapat menguat. Fasilitas yang paling efektif untuk merawat keharmonisan ini adalah masjid. Ar-Raniri menyebutkan bahwa ketika Iskandar Muda bertahta, pembangunan masjid menjadi kegiatan kerajaan yang banyak dilakukan. Bukan hanya Baiturrahman, aparat kerajaan juga banyak membangun masjid di tempat lainnya. 60 Gagasan ini 59 60
Denys Lombard, Kerajaan Aceh ..., hlm. 64-65. Bustanussalatin, hlm. 16.
45
agaknya masih dilakukan ketika Iskandar Thani naik tahta, di Bandar Darussalam yang semakin ramai, dibangun masjid yang bernama Baitul Musyahadah. Ramainya pasar-pasar pesisir menyebabkan kebutuhan akan tempat ibadah tentu saja meningkat. Pembangunan masjid ini sekaligus membuktikan bahwa aparatur kerajaan tidak hanya menilik eksistensi umat pesisir hanya melalui kacamata ekonomi, melainkan turut pula memberikan suatu tempat yang layak bagi mereka untuk beribadah sambil melepas lelah. Denys Lombard menyokong uraian tersebut dengan mengatakan bahwa Iskandar Muda selalu berusaha membangun masjid dalam jumlah besar. Masjid Baiturrahman sendiri dibangun pada 1614. Bangunan ini pernah mengalami kebakaran ketika masa pemerintahan putri Nurul Alam (1675-1678). Merupakan suatu keuntungan tersendiri bahwa Peter Mundy yang singgah di Aceh pada 1637 masih memiliki gambaran masjid ini. Disebutkan bahwa bangunan itu sangat khas, bentuknya persegi empat, dikelilingi tembok dengan atap susun empat dan bubungan yang langsing; seperti meru (atap yang biasa di temukan di pura) di Bali daripada masjid di Timur Tengah. Uraian ini agaknya masih memiliki kemiripan dengan gambaran William Dampier yang menceritakan arsitektur masjid lain di Aceh pada 1888. Katanya: “Hampir semuanya dibangun empat persegi dan beratap genteng; tetapi tidak tinggi atau luas. Setiap pagi ada laki-laki yang berisik sekali di atas atap itu (orang sedang azan). Tetapi tak saya lihat ada menara atau menara lonceng untuk naik ke atas atap seperti biasa terdapat di Turki.” Dengan ini diketahui bahwa arsitetur keagamaan lokal berhasil dipertahankan terlepas dari segala model Barat. Di masjid ini raja dan rakyatnya bersembahyang pada hari-hari raya dengan upacara besar.61 Semakin membludaknya penduduk Aceh Darussalam di masa Iskandar Muda diakui pula oleh Uka Tjandrasasmita. Menurutnya, saat menginjak abad 17, pembangunan di bidang politik, ekonomi-perdagangan serta kebudayaan semakin pesat 61
Denys Lombard, Kerajaan Aceh ..., hlm. 60-61 dan 185.
46
disesuaikan dengan peran Banda Aceh sebagai ibukota kerajaan. Menurut Thomas Bowrey, di kota ini terdapat sekitar 7.000 atau 8000 rumah. Oleh sebab begitu padatnya pemukiman di Aceh dan sekitarnya itu, sehingga di saat Iskandar Muda mengumpulkan 40.000 orang tentara bukanlah perkara yang terlampau sulit.62 Kemeriahan yang terpancar dari aneka ragamnya suku bangsa yang ada di Aceh tergambar dalam momen perayaan keagamaan. Anthony Reid berhasil mengumpulkan sumbersumber Eropa yang menceritakan hal ini. Upacara-upacara setelah dan sebelum puasa dirayakan dengan penuh kemegahan. Idul Adha suatu “perayaan besar”, yang termaktub dalam tanggalan Islam tampaknya memang hari besar yang paling penting di Aceh. Perayaan Idul Adha di Aceh, jelas Reid,selain pula dapat dijumpai dalam Adat Aceh juga ditemukan rekamannya dalam catatan-catatan bangsa Eropa. Salah satu bagian yang menarik perhatian, adalah arak-arakan besar dari istana ke masjid Baiturrahman. Dalam Adat Aceh diterengkan terdapat 30 kelompok yang ikut dalam arak-arakan itu. Sultan sendiri sambil menunggang gajah kerajaan bernama Lela Manikam, termasuk dalam kelompok ke-24. Perayaan itu juga dimeriahkan oleh pedagang asing yang mengambil tempat masing-masing di kelompok ke-27, tapi jumlah terbesar jutru berada di barisan terakhir dari iring-iringan besar itu. dalam kelompok ke-28 dan 30, ada 30 gajah berhias dan 7.000 prajurit berbagai ragam; semua menyandang senjata dan mengenakan pakaian yang indah; dalam kelompok ke-29 sama; dalam kelompok ke-30 ada 50 gajah, banyak di antaranya yang memiliki nama, dan ribuan prajurit.63 Di tempat pemberhentian akhir, yakni di masjid itu, Sultan dan para pembesar masuk ke dalam untuk melaksaakan ibadah yang diperintahkan. Lalu kemudian Sultan keluar ke halaman masjid untuk melakukan sayatan pertama pada hewan kurban. 62
Uka Tjandrasasmita, Kota-Kota Muslim .... 37. Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011) hlm. 117-119. 63
47
Akhirnya seluruh iring-iringan kembali ke dalam disemarakkan dengan musik. Dikabarkan, upacara ini sangat indah, sampaisampai penonton yang melihatnya amatlah mebeludak hingga sulit untuk ditertibkan. Reid mengutip sedikit uraian dari masalah ini, sebagai berikut:64 Ibu-ibu sedang hamil yang jua keluar pada hari raya itu untuk menyaksikan Johan „Alam, banyak yang melahirkan anak di jalan atau di pasar, dan ada kelompok-kelompok orang yang tidak menemukan tempat perayaan kaarena banyaknya orang yang berkeliaran ke sana-sini. Reid menengarai kemungkinan angka-angka yang terdapat dalam kitab syair istana ini adalah hasil dari penggelembungan atau dibesar-besarkan. Hal ini menurutnya kerena merupakan kesulitan tersendiri ketika membayangkan berapa banyak manusia dan gajah yang dapat ditampung di tanah yang hanya seluas 500 meter antara istana dan masjid itu. Namun begitu, inti dari penjelasan upacara ini dipertegas oleh Peter Mundy, yang menyaksikan sendiri upacara Idul Adha yang pertama di bawah Sultan Iskandar Thani pada 1637. Seperti kata Takeshi Ito, jumlah prajurit dalam upacara itu mungkin sudah berkurang akibat kekalahan besar yang dialami Aceh dan posisi Isknadar Thani yang lebih lemah dibandingkan dengan pendahulunya. Walaupun demikian, Mundy menyaksikan secara langsung sebuah iring-iringan yang luar biasa besar dari istana ke masjid: ... Kemudian muncul iring-iringan gajah dengan sesuatu seperti sebuah menara kecil di punggung masing-masing, dan di dalam setiap menara itu terdapat seorang prajurit berseragam merah dan bersenjatakan sebuah tombak dalam tangannya sembari berdiri tegap ... Barisan pertama pasukan gajah (ada empat baris pasukan gajah), masing-masing gajah memiliki dua pedang besar, 64
Anthony Reid, Menuju Sejarah .., hlm. 117-119;
48
atau sebenarnya dua belah besi pipih panjang yang diikatkan kepada kedua gadingnya ... Kemudian setelah itu tampil iring-iringan gajah dengan menara kecil ... di atasnya ditempatkan meriam kecil ... setelah ini muncul gajah-gajah lain dengan menara kecil di punggung masingmasing dan di dalam tiap menaranya ada 2 orang pasukan ... lalu muncul barisan gajah dengan bendera-bendera panjang ... ; gajah-gajah yang lain berselimut dari kepala hingga kaki ...65 Sama halnya dengan perayaan di bulan Kurban, festival Idul Fitri juga disemarakkan dengan iring-iringan dari masjid ke istana, bentuknya kurang lebih sama dengan momen di atas. Bunyi-bunyian gegap gempita mewarnai dan tembakan-tembakan senjata di sekitar istana terjadi waktu memulai dan mengakhiri puasa. Dalam catatan Reid, hal ini diselenggarakan untuk mengagungkan raja yang dikemas dalam perayaan-perayaan hari besar Islam ortodoks. Momen Idul Fitri di Aceh yang serba ramai tidak luput dari perhatian orang asing. Satu hal yang menjadi ingatan mereka adalah suasana hiruk pikuk. Pada 1600, Frederick de Houtman mencatat bahwa semua kaum bangsawan mengenakan pakaian masing-masing yang terindah untuk datang ke istana pada 29 Sya‟ban, awal bulan puasa. Begitu aba-aba diberikan, semua gendang ditabuh dan trompet ditiup serta semua bedil ditembakkan, demikian pula dengan tujuh arquebus (kanon kaki tiga) di luar istana. Hal ini merupakan tanda dimulainya puasa.66
65
Anthony Reid, Menuju Sejarah ..., hlm. 117-119; Tekeshi Ito, “The World of the Adat Aceh. A Historical Study of the Sultanate of Aceh”, tesis PhD ( Canberra: Australian National University, 1984) hlm. 231-238 dan 243; Adat Aceh dari satu Manuscript India Office Library, disalin oleh Teungku Anzib Lamnyong (Banda Aceh:PLPIS, 1978) hlm. 34-46; Sir Richard Temple, ed, The Travels of Peter Mundy in Europe and Asia, 1608-1667, Vol. III, Part I (Londona, 1919). 66 Anthony Reid, Menuju Sejarah ..., hlm. 120.
49
Kehidupan meriah ini menandakan betapa kondisi sosiokeagamaan berada pada tataran yang matang. Kematangan di sini diukur dengan meriahnya perayaan agama yang menyatukan segenap elemen masyarakat Aceh yang asalnya bukanlah etnik yang seragam. Perayaan ini hendaknya jangan hanya dimakanai sebatas keramaian, melainkan adalah perwujudan dari upaya raja menciptakan suasana keagamaan yang dirasakan oleh seluruh rakyat Aceh. Keadaan ini memungkinkan raja dan rakyatnya bersua dan hanyut dalam suka cita. Makna lain yang dapat diungkap adalah merawat stabilitas negeri dan memupuk semangat keagamaan melalui sesuatu yang dapat dinikmati orang banyak.
50
BAB III EKSISTENSI ULAMA DI ACEH DARUSSALAM
A. Pengertian Ulama Sebagaimana telah disinggung di atas, ulama menempati posisi penting dalam struktur masyarakat Aceh. Wilayah profesinya bukan hanya ditelisik di lapangan terbawah dalam pergaulan masyarakat Aceh, melainkan seperti angin, melesat meliuk sampai ke ranah teratas yakni pergaulan istana. Perannya yang fleksibel ini, membuatnya dekat, baik dengan para penganjur kebijakan hingga ke objek kebijakan itu sendiri, yakni masyarakat. Melalui lembaga pendidikan, para ulama memainkan peran penting dalam tumbuh kembang pengetahuan yang berimplikasi pada perkembangan masyarakat. Sebelum melangkah lebih jauh, kiranya perlu diketahui dahulu pegertian ulama. Ditinjau secara kebahasaan, menurut Ismuha, kata ulama berasal dari bahasa Arab yang secara gramatika berbentuk jamak (plural) dari kata alim, yang berarti orang yang mengetahui atau orang yang berilmu. Dengan demikian ulama berarti para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan atau juga para ilmuwan. Dalam konteks Indonesia, pemakaian kata ulama mengalami sedikit pergeseran dari pengertian asalnya dari bahasa Arab. Di Indonesia alim diartikan sebagai orang yang jujur dan tidak banyak bicara. Perkataan ulama digunakan dalam arti mufrad (singular), sehingga jika digunakan dalam konteks jamak, ditambahkan kata pendahulu “para” menjadi “para ulama” atau “ulama-ulama”. Di Aceh khususnya dan di Indonesia pada umumnya, sebutan ulama hanya dialamatkan bagi ahli agama Islam saja. 51
Terdapat dinamika menarik terkait perjalanan sebutan ulama. Soekarno lewat Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959, menggunakan juga sebutan ulama untuk para ahli agama Budha dan Hindu, juga bagi para ahli agama Kristen katolik dan Protestan. Atas hal tersebut, dalam golongan MPRS terdapat golongan ulama yang terdiri dari ulama Islam, Ulama Katolik, Ulama Protestan, Ulama Hindu dan Ulama Budha. Dalam konteks Aceh dan Indonesia pada umumnya, sebutan ulama hanya merujuk pada ahli agama Islam.67 Awalnya orang yang disematkan gelar ulama, bukanlah mereka yang berasal dari kalangan penduduk pribumi, melainkan orang asing yang tinggal di sekitar pelabuhan Aceh. Mereka memiliki hubungan yang cukup dekat dengan kalangan istana. Besar kemungkinan kedatangan mereka berhubungan dengan motif dagang antara orang Islam luar negeri dengan penduduk lokal. Hal ini telah banyak disinggung di bab 2.68 Menurut Snouck Hurgronje, pengertian ulama di mata masyarakat Aceh merupakan sosok cerdik pandai yang luas ilmunya. Seorang ulama dapat dikategorikan sebagai doktor yang dapat memberi penjelasan meyakinkan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hukum dan doktrin agama. Ulama merupakan tingkat tertinggi dalam tatanan ilmuwan Aceh. Banyak warga Aceh yang karena kedudukannya mereka diharuskan menjadi sosok yang banyak belajar. Beberapa dari mereka ada yang sudah merasa puas dengan sekedar menelaah kitab-kitab bahasa Melayu karena sudah cukup sebagai kelengkapan memegang jabatan tertentu seperti teungku meunasah atau bahkan sebagai kali. Selain itu, di antara sarjana agama dikenal pula dengan sebutan leube atau malem atau juga alem. Baik teungku meunasah, kali, leube maupun malem belum disebut menempati posisi seperti ulama, jika tidak memiliki persyaratan dan pengalaman khusus yang ditempuh oleh sarjana yang di kemudian hari digelari ulama.
67
Ismuha, Ulama Aceh ..., hlm. 1. James T. Siegel, The Rope of God (Barkeley & Los Angeles: University of California Press, 1969) hlm. 48. 68
52
Untuk mendapatkan gelar doktor atau ulama, demikian Hurgronje, bukan hanya mensyaratkan rajin belajar, melainkan juga berada di bawah bimbingan ilmuwan kompeten yang memandu pengajaran hukum dan doktrin agama melalui kitabkitab berbahasa Arab. Disebutkan pula bahwa di Aceh terdapat perbedaan metode belajar yang lain dari yang dipakai oleh orang Jawa maupun Sunda sejak dulu kala. Metode ini sepertinya lebih rasional namun mengandung banyak kesulitan sehingga bagi para penggunanya sering patah semangat sebelum tujuan mereka tercapai.
B. Pembagian Peran Ulama Kesultanan Sejak masa yang lama, Aceh menjadi daerah pesisir terbuka bagi pergaulan masyarakat dunia. Angin-angin yang berasal dari Negeri Atas Angin berhasil membawa para pencari rempah dari Barat untuk datang dan mendiami dunia Timur. Aceh menjadi spot penting bagi mereka. Selain karena daya tarik pasarpasar yang menjajakan rempah dan emas, kota ini juga menawarkan sejuta pesona sehingga membuat para pelancongnya betah berlama-lama, bahkan tak jarang mereka memutuskan untuk menetap di sini. Kalangan ulama, menjadi pendatang luar negeri yang memang telah mempersiapkan diri untuk tinggal di Aceh dalam waktu yang tidak sebentar. Mereka menjadikan pesisir Aceh sebagai ladang untuk menegakkan syiar Islam ke wilayah yang lebih jauh. Perlahan namun pasti, mereka berhasil menyita para pemuka masyarakat setempat sehingga bermurah hati dalam rangka menyebarkan lebih luas beragam bentuk kemajuan yang dikemas dengan nilai-nilai kenabian (profetik). Bustanussalatin mencatat beberapa kunjungan ulama luar negeri yang memiliki reputasi mengagumkan dalam dunia intelektual Tanah Arab. Ketika kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Ali Riayatsyah (1567-1575), diberitakan bahwa Aceh kedatangan ulama bermazhab Syafi‟i asal Mesir bernama Muhammad Azhari, bergelar Syekh Nuruddin. Di Aceh ia 53
mengajar ilmu ma‟kulat (akal). Pengabdiannya di Aceh berujung sampai ia wafat. Nuruddin ar-Raniri memberitakan pula bahwa ketika Aceh dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah yang berasal dari Perak (Malaka), ulama-ulama yang berdiam di Aceh merasakan kasih dan perhatian yang diberikan pihak kerajaan. Sang raja dikenal sebagai sosok yang relijius dan menjauhkan diri dari gelimang kebesaran duniawi laiknya yang disandang oleh seorang raja sebagaimana mestinya. Diceritakan, dalam kesehariannya ia hanya memakai jubah dan sorban. Dengan tak jemu-jemunya, ia menyerukan kepada rakyatnya untuk rajin menunaikan shalat 5 waktu, puasa dan zakat. Di masa pemerintahan sultan ini, datang seorang cerdik pandai dari Mekkah bernama Syekh Abul Khair bin Syekh Ibnu Hajar. Ia adalah penulis kitab Syaiful Qoti‟ dan mengajar fikih di Aceh. Beberapa waktu kemudian datang pula cendikiawan lain bernama Syekh Muhammad Yamani yang diketahui merupakan pakar ushul fikih. Dalam suatu kesempatan, kedua ulama ini pernah berjumpa dan terlibat dalam perdebatan sengit mengenai a‟yan al-tsabitah. Pokok pembahasan itu bukanlah suatu masalah yang mudah dipecahkan, oleh sebab telah berkaitan dengan masalah tasawuf atau hubungan intim antara hamba dengan Tuhannya. Merujuk pada uraian Erawadi, Pengetahuan atau ilmu Tuhan menyatakan dirinya dalam bentuk “yang dikenal” dan “yang diketahui”. Pengetahuan Tuhan yang dikenal disebut ala‟yan al-tsabitah yakni kenyataan mengenai segala sesuatu. Ala‟yan al-tsabitah disebut juga suwar al-„ilmiyyah, yakni bentuk yang dikenal, atau dengan istilah lain, al-haqiqat al-asyya‟, yakni hakekat segala sesuatu di alam semesta dan ruh idhafi, yaitu ruh yang terpaut.69 Perdebatan mereka berjalan dengan ketat, masing-masing pihak melemparkan masalah-masalah yang amat menguras pikiran dalam menjawabnya. Oleh sebab tidak ditemukanya titik terang 69
Erawadi, Tradisi, Wacana ..., hlm. 254.
54
berupa jawaban yang meyakinkan keduanya, akhirnya mereka sepakat menghentikan sementara debat mereka dan bersama-sama berlayar ke Gujarat guna bertemu dengan Syekh Muhammad Jailani bin Hasan bin Muhammad Hamid guna meminta pendapatnya. Syekh Muhammad Jailani sendiri merupakan ulama yang berasal dari Ranir, namun ia bukanlah asli orang Gujarat melainkan berdarah Persia. Ia dikenal pula sebagai ulama mazhab Syafi‟i. Tidak dijelaskan lagi, apakah kedua ulama yang berdebat itu menemukan jawaban yang memuaskan dari ulama itu. Syekh dari Gujarat itu belakangan mulai tertarik datang ke Aceh. Lawatan lintas negeri itu baru terlaksana ketika kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh Sultan Alauddin Riayat Syah (Sayyidil Mukammil) (1585-1604). Di negeri ini, Syekh Muhammad Jailani mengajar ilmu mantik (logika), pelbagai cabang ilmu bahasa Arab seperti ma‟ani, ilmu bayan dan badi, serta ilmu fikih dan ushul fikih. Selain beberapa bidang ilmu itu, animo pelajar yang ingin belajar tasawuf padanya pun tidak kalah mebludak. Ia pun segera mengalokasikan waktu yang tepat bagi mereka yang ingin belajar menyucikan jiwa melalui serangkaian metode tasawuf yang ia kuasai. Menurut ar-Raniri, Syekh Muhammad Jailani sempat menuntut ilmu ke Mekkah.70 Membincang komposisi masyarakat Aceh, demikian Siegel, terdiri dari empat kelompok besar. Sultan, uleebalang, ulama dan rakyat. Dalam pengelompokkan ini sultan dan uleebalang sebenarnya menempati posisi yang serupa yakni pengatur kerajaan, perbedaannya hanya pada porsi dan wewenangnya. Di antara ketiga kelompok ini, ulama berada pada tempat yang spesial. Mereka terlahir di tengah kehidupan masyarakat luas dan memiliki kebebasan untuk meninggalkan masyarakatnya untuk menggapai status yang lebih tinggi. Meninggalkan di sini bisa dimaknai sebagai perpindahan karir dari yang sebelumnya berpusat dari desa ke desa, kini bisa mencapai wilayah yang lebih tinggi seperti antar kesagian atau bahkan langsung berkiprah di istana.
70
Bustanussalatin, hlm. 15.
55
Peran pengabdian dalam hal penyelenggaraan lembaga pendidikan, sebagaimana diungkapkan dalam Bustanussalatin di atas, juga menjadi tanggung jawab ulama. Siegel tidak menampik, bahwa terkadang unsur kekerabatan dengan aparatur pemerintahan, turut mempermudah peran ulama dalam membuka suatu sekolah agama atau menata masyarakat Muslim. Ini tentu saja bukanlah suatu persyaratan, mengingat ulama dinilai dari kepakaran pengetahuan agama,bukan semata hanya pertalian darahnya dengan penguasa. Ulama juga dicirikan sebagai golongan yang memiliki mobilitas luas, tidak sebatas pada realitasnya di tempat ia hidup. Mereka yang tinggal di istana dapat leluasa memberikan pengajaran bagi orang banyak. Pun bagi mereka yang tinggal di kawasan terpencil, tidak menutup kemungkinan, memiliki akses luas untuk masuk di pusaran pergaulan istana. Pengadaan lembaga pendidikan merupakan manifetasi akan eksistensinya. Setiap dari mereka, demikian Siegel, memandang diri sebagai wakil dari masyarakat Aceh yang dihubungkannya pada pengabdian di kancah sosial maupun sekolah agama. Ini pula yang menjadi daya tawar kuat mereka ketika kalangan pemerintah, baik raja maupun uleebalang, terlibat suatu hubungan yang saling melengkapi.71 Menginjak abad 17, ulama dalam daur kehidupan istana Aceh, memiliki kontribusi penting dalam berbagai hal. Untuk mempermudah pembahasan, selanjutnya akan dipaparkan peran ulama dalam pelbagai bidang, yakni: 1. Ulama dan Pemerintah Pergaulan hidup istana, amat terpusat pada satu kekuatan, yakni berada ditangan raja. Hal seperti ini merupakan karakter yang tidak bisa dilepaskan dalam pola pemerintahan sistem monarki. Raja memiliki otoritas penting dalam pusaran kepemimpinan kerajaan. Namun begitu, tentu tidak semua tugas negara dapat diselesaikan oleh seorang raja. Ia tentu membutuhkan staf khusus guna menjalankan suatu tugas. Di saping itu, raja biasanya memiliki penasehat yang 71
Siegel, The Rope of God ..., hlm. 11.
56
berasal dari kalangan cerdik padai. Ulama di kalangan pemerintah Aceh. Penjelasan cukup gamblang coba diketengahkan oleh K.F.H. van Langen yang memaparkan peran-peran ulama di kepemerintahan Aceh. Awalnya ulama memang banyak berkontribusi di bidang kerohanian. Wilayah aktivitas mereka tidak dapat dilepaskan dari masjid. Ulama mulai tersebar di lapangan kerja lain, baru ketika Iskandar Muda berkuasa, yakni ketika ditetapkannya pembagian ketatanegaaan Aceh dalam bentuk mukim. Iskandar Muda menyadari akan posisinya. Semakin luasnya wilayah Aceh dan urgensi dakwah Islam yang juga harus terus diperlebar, menuntutnya untuk memodifikasi tata pemerintahannya agar dapat terdesentralisir hingga menjangkau semua titik kekuasaannya. Sebagai raja yang terlahir dari rahim peradaban Islam yang tinggi, ia pun menggunakan potensi keislaman untuk membentuk tata negara Islam yang dapat mempererat kalangan istana dan masyarakatnya. Hal ini bisa tercapai, manakala sistem kerajaan terorganisir dengan baik. Zainuddin mengingatkan bahwa ulama merupakan elemen sentral dalam penyelenggaraan kerajaan serta hukum dalam masyarakat Aceh. Iskandar Muda menetapkan formula tata negara yang disokong oleh 4 pilar, yakni: a. Adat merupakan wilayah Sultan dibantu dengan para penasehat dan staf kerajaannya (Orang Besar) b. Urusan hukum menjadi tanggung jawab Syekh Nuruddin ar-Raniri dan Syekh Abdurrauf Singkel sebagai Syaikhul Islam atau Qadhi Malikul Adil serta ulama-ulama lainnya c. Urusan Kanun, tata cara bermajelis, sopan satun dan tata tertib dalam pernikahan menjadi kebijakan Maharani (Putri Pahang, permaisuri Iskandar Muda) d. Perihal Resam, diserahkan kepada Panglima Kaum atau Bentara yang tersebar di masing-masing kenegerian. 57
Keempat pilar itu terekam dalam peribahasa: Adat bak po teumereuhom Hukom bak syiah kuala Meujeuleueih kanun bak potue phang Resam bak bentara-bentara Dalam masa pemerintahanya, Iskandar Muda pernah menyelenggarakan sidang rancangan dengan mengundang pejabat terkait dan ulama-ulama serta para uleebalang dan Orang Kaya untuk merumuskan adat yang nantinya menjadi acuan bersama dari kalangan istana sampai masyarakat luas. Undang-undang ini juga belakangan diberlakukan di seluruh wilayah taklukan di luar Aceh Besar. Pertemuan ini diselenggarakan di balai masjid Baiturrahman. Setelah melewati perdebatan yang sehat, maka ditetapkanlah hasil dari sidang itu, yakni berupa undangundang yang dinamakan Adat Meukuta Alam. Dalam undang-undang ini terdapat bagian mengenai pembagian tugas aparatur kerajaan hingga tingkat keuleebalangan, termasuk pula kedudukan ulama di pemerintahan. Walaupun Sultan Aceh merupakan pemegang supremasi tertinggi di seantero wilayah kekuasannya, namun dalam praktik penyelenggaraannya, ia diwajibkan untuk mengangkat beberapa staf yang membantunya yang sekaligus menjadi kontrol atas setiap kebijakan yang diambilnya. Untuk itu, sultan yang berkuasa wajib mengangkat: a. Mengangkat para ahli hukum, yakni para ulama b. Mengangkat orang-orang bijak, yakni para pakar yang kredibel mengurus negara (wazir, menteri, dan lainlain) c. Mengangkat orang yang perkasa yang bertugas mempertahankan negeri, yakni para uleebalang, panglima perang dan lain-lain 58
Peran dari ketiga pejabat itu juga dijabarkan dalam perundangan, adapun para ulama memiliki tugas: a. Menjadi penasihat sultan menyangkut perkara agama dan memberikan pengajaran kepada rakyat tentang keteguhan iman mereka kepada Tuhan serta kebajikan yang berlandaskan ajaran agama b. Menjadi qadhi sultan dalam memutuskan kebijakan dalam negeri c. Menerima wilayah (limpahan wewenang) dari sultan, panglima sagi ataupun uleebalang, untuk menikahkan orang yang tidak berwali d. Dan lain-lain yang menyangkut hukum agama72 Terkait hubungan agama dengan sultan, Amirul Hadi memberikan catatan tersendiri. Ia mengatakan bahwa kalangan istana, dalam hal ini raja, sebenarnya turut pula memegang otoritas keagamaan. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya gelar kebesaran seperti khalifatullah fil ardi, zillullah fil ardi atau juga zillullah fil alam. Meskipun begitu, gelar-gelar itu tidak serta merta menunjukkan bahwa sang sultan memiliki kedalaman ilmu agama. Tentu saja bukanlah larangan, jika para raja memiliki pengetahuan agama yang tinggi bahkan digelari sebagai ulama. Namun, dalam bentangan sejarah kerajaan khususnya abad 16 dan 17- tidak ada seorang raja pun yang mempunyai pemahaman agama luas, sehingga pantas digelari ulama. Oleh sebab itu, keberadaan ulama di lingkungan istana, dianggap sebagai pemegang otoritas keagamaan yang sejatinya. Semementara itu, otoritas keagamaan yang digenggam oleh penguasa bisa dikatakan sebagai “otoritas yang diberikan nilai keagamaan” (religiously sanctioned authority). Di wilayah inilah makna penting kehadiran golongan agamawan dalam masyarakat dan kerajaan. Ketergantungan penguasa terhadap ulama adalah keniscayaan. Karena itu, banyak ulama yang ditempatkan 72
Zainuddin, Singa Aceh ..., hlm. 89-98.
59
di posisi strategis dalam struktur pemerintahan, baik sebagai penggenggam otoritas agung keagamaan, yaitu Syaikhul Islam, deputi sultan. Penasihat sultas, sekaligus guru bagi penguasa. Lebih jauh, peran mereka merambah ke bidang lainnya seperti sosial, politik, budaya bahkan ekonomi.73 2. Ulama dan Masalah Keagamaan Beberapa lembaga terkait yang di kemudian hari merupakan wilayah gerak ulama mulai dibangun. Belakangan diketahui, peran ulama mengalami “evolusi” dari sebelumnya hanya terlibat di sekitar masjid dan pengajaran agama, menjadi lebih banyak menangani masalah kepemerintahan dan kemasyarakatan. Beberapa diantaranya adalah Imam Masjid Raya. Masjid merupakan tempat aktivitas asal kalangan ulama. Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, golongan ini ruang lingkup hanya kegiatannya awalnya hanya pada masalah seputar masjid, namun kemudian mengalami desentralisasi profesi sehingga banyak pula ulama yang kemudian menyebar di jabatan-jabatan lain. Masjid Raya Baiturrahman merupakan tempat berkumpulnya para ulama. Meskipun begitu, di abad 17 belum ada organisasi yang mengikat para ulama masjid. Agamawan yang berada di lingkungan masjid, dibagi dalam tiga bagian; imeum (imam shalat), khatib (pembaca khotbah) dan bilal (penyeru azan). Imam masjid pertama yang diketahui adalah Syekh Abdurrauf Singkel. Dialah yang kemudian diserahi tugas dalam melaksanakan peraturan-peraturan agama semasa Iskandar Muda. Ia juga merangkap sebagai khatib Masjid Raya. Jabatan Imam Masjid Raya tidaklah turun-menurun, namun, pada tahun-tahun terakhir kerajaan Aceh, jabatan ini bisa diwariskan ke anak cucunya, dengan catatan ia memiliki kadar pengetahuan agama yang luas. 73
Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 162.
60
Penghidupan Imam Masjid Raya bergantung pada hasil bumi berupa sawah, kebun kelapa dan kebun rumbia yang dihadiahkan oleh raja.Di kalangan orang Aceh, sawah tersebut dikenal dengan sebutan umong sara yang terhampar di daerah Blang Punge dan Blang Padang. Sawah-sawah ini tidak boleh dijual atau diwariskan melainkan hanya sebagai sumber penghasilan Imam Masjid. Dalam pengerjaannya, sang imam diperbolehkan menggunakan jasa buruh tani atau orang lain. Apabila imam tidak bisa merangkap tugasnya sebagai khatib, maka orang lain dapat diangkat menempati posisi itu, setelah sebelumnya mendapat restu sultan. Tidak seperti jabatan Imam Masjid Raya, Khatib Masjid Raya biasanya tidak bisa diturunkan. Untuk itu, maka dalam setiap periodenya, dipilih seorang khatib yang memiliki suara yang merdu dan dikenal saleh serta memiliki pemahaman hukum-hukum Islam yang tidak diragukan. Sekiranya imam mendaulat khatib sebagai pendampingnya ketika menyampaikan khotbah atau melakukan tugas-tugas keagamaan lainnya, maka imam harus pula menjamin nafkahnya. Jika ini tidak bisa dilakukan, maka Panglima Masjid Raya, yakni uleebalang mukim setempat, menyeru rakyat di bawah kuasanya agar sebagian zakat padi dan barang-barang lain yang bisa dijadikan zakat atau fitrah diberikan pada sang khatib. Khatib juga mendapatkan penghasilan sampingan lain dari side job-nya, seperti ketika ia didapuk sebagai pembaca doa ketika sultan mangkat, kematian uleebalang, ulama, sayid, atau tokoh masyarakat lainnya. Jabatan bilal biasanya juga tidak bisa diturunkan. Sering ditemukan kasus, seorang imam mengangkat bilal seorang asing yang miskin. Kadang-kadang jumlah bilal bisa bertambah dan sementara yang lain azan, yang satunya memukul tabuh, yakni sejenis gendrang besar tanda masuknya waktu shalat.
61
Pendapatan bilal diatur sebagaimana tugas bilal. Di samping itu, mereka juga mendapat hadiah dari sultan dalam bentuk emas setiap hari baik yakni ketika perayaan besar Islam. Van Langen memberikan catatan tambahan bahwa yang disebut hari-hari besar yakni; hari Asyura atau hari ke 10 bulan Muharram, hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, hari pertama bulan Syawal (lebaran), hari idhul adha, malam peringatan isra mi‟raj Nabi SAW. Para bilal juga dikenakan tugas tambahan mengumpulkan zakat padi dari orang-orang yang wajib zakat di daerah Masjid Raya dan mukim-mukim lain yang ingin menyerahkan zakat mereka. Imam juga mengangkat para garim (orang yang terbebani masalah hutang) dari kalangan orang miskin yang diserahi tugas membersihan Masjid Raya dan sekitarnya. Di antara mereka ada yang menjabat sebagai badal bilal, jika dalam suatu kesempatan bilal yang ditunjuk berhalangan hadir. Upah garim diatur oleh imam. Mereka juga biasa menerima makanan dari penduduk sekitar masjid. Imam masjid atau ulama yang beraktivitas di masjid sering memberikan pengajian kepada publik. Materi yang mereka sampaikan biasanya ringan dan bukan termasuk ajaran yang sulit dicerna jamaah yang berasal dari kalangan umum. Sebagai contoh materi yang disampaikan adalah mengenai shalat, puasa dan zakat. Walaupun mereka lebih banyak menghabiskan hariharinya di lingkungan masjid, namun tidak membuat mereka terasingkan dari pergaulan sekitar maupun istana. Mereka menjadi tempat bertanya ulama lain, pejabat kerajaan dan uleebalang. Dalam beberapa kesempatan pendapat mereka banyak digunakan sebagai inspirasi memutuskan suatu perkara di bidang pemerintahan dan peradilan.
62
Para ulama masjid juga kerap diundang dalam perayaan-perayaan baik di lingkungan istana maupun luar istana. Mereka juga sering mendapat hadiah uang atau barang ketika dimintakan nasihat atau ketika ia ditunjuk sebagai mediator dalam suatu perkara. Hadiah lain juga didapatkan ketika mereka diundang ke pernikahan, penguburan, sunatan. Pembagian warisan, perkara perdata, menghadiri sidang-sidang pengadilan serta memberikan pandangan dalam suatu pelanggaran atau kejahatan. Di samping itu mereka juga mendapat sebagian penghasilan dari zakat dan fitrah. Zakat dan fitrah dikumpulkan oleh teungku meunasah atas perintah para uleebalang. Zakat itu berupa: a. Padi, yaitu 1 gunca setiap 10 gunca hasil padi b. Hewan ternak, yaitu 1 ekor sapi setiap 40 ekor c. Emas urai yang digali sebayak 1 dari 12 jumlah yang diperoleh d. Keuntungan perdagangan sebanyak 2 ½ % Zakat itu diperutukkan bagi empat golongan, yakni: a. Orang-orang fakir b. Orang-orang miskin c. Orang-orang mualaf d. Orang-orang yang berhutang akibat ditipu orang, kebakaran, kapal karam atau perampokan Agak aneh memang, demikian pula yang dirasakan Van Langen, mengapa zakat hanya didistribusikan bagi empat golongan, sedangkan dalam ajaan Islam disebutkan bahwa ada delapan golongan yang berhak mendapatkan zakat.
63
Sedangkan fitrah yang dimaksud adalah suatu hasil penyisihan harta yang dikategorikan dalam pajak berupa beras sebanyak 2 bambu. Bambu di sini adalah sejenis takaran yang kurang lebih setara dengan 1,6 kg. Fitrah ini setara dengan 48 ringgit Spanyol yang dikeluarkan pada akhir bulan puasa. Tanah-tanah wakaf yang ada di sana dikerjakan oleh orang lain. 1/3 hasilnya dipergunakan sebagai biaya pemeliharaan masjid, keperluan para pengurusnya. Kemudian, untuk perbaikan-perbaikan yang memakan dana besar, maka dibebankan kepada penduduk. Setiap orang yang merasa terpanggil untuk mengajar, mereka akan datang memberikan pengetahuan agama. Tempat dan materinya ia sendiri yang menentukan. Gelar haji tidak terlalu diperlukan. Pun dengan pakaian model orang Arab, jarang dikenakan di Aceh.74 3. Ulama dan Peradilan Peradilan merupakan tempat berkumpulnya para pengadil. Tidak jarang, di antara mereka ada yang memiliki pengetahuan agama yang luas, terutama di bidang hukum Islam. Aceh merupakan negeri yang menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Untuk itu, lembaga-lembaga terkait banyak didirikan guna memandu keadilan dalam kehidupan masyarakatnya. Berikut merupakan lembaga-lembaga yang ditunjuk melaksanakan hukum, yakni: a. Balai Majelis Mahkamah Agung Balai ini merupakan lembaga tertinggi dalam bidang kehakiman (sama dengan Mahkamah Agung yang dipimpin oleh Wazir Sultan Menteri Mizan (Menteri Kehakiman). Lembaga ini dibantu oleh 10 ulama fakih yang merangkap Hakim Agung. Kanun Meukuta Alam 74
K.F.H. Van Lengen, Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan, Terj. Aboe Bakar (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Dokumen Informasi Aceh, 2002) hlm. 38-42.
64
menyatakan bahwa tugas dari Balai Majelis Mahkamah Agung adalah mengurus setiap perkara dan memeriksa setiap perkara kehakiman negeri, maupun dari mereka yang berasal dari luar negeri. b. Qadhi Malikul Adil Qadhi Malikul adil sebenarnya merupakan salah satu jabatan tertinggi di tataran istana Aceh. Orang yang mendudukinya dikenal pula sebagai tangan kanan raja. Selain itu, mereka juga menjalankan tugas sebagai Penuntut Umum (Jaksa Agung), yang tugasnya menuntut hukuman atas terdakwa yang terbukti melanggar kanun negara. Siapapun akan dituntut oleh qadhi tanpa pandang bulu. Jabatan Qadhi Malikul Adil sudah dianggap sebagai jabatan yang berhak mengurus masalah agama di istana maupun daerah-daerah bawahan. Ketetapan ini sudah dinyatakan dalam Sarakata Sultan Syamsul Alam yang dikeluarkan pada tahun 1726 yang menerangkan bahwa Qdhi Malikul Adil, Orang Kaya Sri Paduka Tuan, Orang Kaya Raja Bendahara dan semua ahli fiqih diinstruksikan menerapkan hukum Islam di beberapa wilayah tertentu, bukan hukum adat. Ketentuan ini belakangan juga ditemukan dalam kumpulan peraturan masa Iskandar Muda, yang dikenal dengan sebutan Adat Meukuta Alam. Di ayat 25, 26, 27 dan 28, dari ketentuan Iskandar Muda itu, membicarakan tentang hukuman qisas dan diyyat (denda).75 Qadhi Malikul Adil menampilkan diri sebagai kepala kantor kehakiman (adhyaksa). Ia tidak segan berseberangan dengan ulama lainnya mengenai suatu pendapata agama. Hal ini pernah terjadi ketika Hamzah Fansuri mengungkapkan dalam syairnya mengenai anjuran meminum arak. Pendapat ini ditentang oleh qadhi pada masa itu. Hamzah menjelaskan bahwa arak 75
Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 177.
65
yang dimaksud adalah semacam “minuman mistis” yang mengantarkan seseorang untuk menyatu dengan Tuhannya. Bahkan Hamzah mengatakan qadhi pun perlu meminumnya. Bait-bait sajak Hamzah di atas mendapat tentangan keras pula dari kalangan fuqaha. Besar kemungkinan, Hamzah meminjam arak sebagai istilah untuk mengungkapkan sesuatu. Namun, di satu sisi lainnya, pada saat itu, masyarakat Aceh maupun orang asing banyak yang mengonsumsi minuman yang memabukkan. Dengan demikian apa yang diungkapkan Hamzah dianggap bertentangan dengan hukum agama.76 c. Mufti Empat Para ulama yang duduk di jabatan ini digelari Syaikhul Islam. Mereka adalah cerdik pandai yang memiliki otoritas mengeluarkan fatwa atau mufti untuk satu mazhab. Para hakim yang akan memutuskan perkara, boleh berpedoman pada mazhab Syafi‟i. Maliki. Hanafi atau Hambali. d. Qadhi Panglima Sagi dan Qadhi Uleebalang. Mereka yang duduk di jabatan ini, selain sebagai orang kedua (wakil dari Panglima Sagi dan Uleebalang) dalam suatu pemerintahan daerah, juga bertugas menjadi hakim. e. Qadhi Mukim Selain sebagai pembantu Imam Mukim, Qadhi Mukim juga biasanya merangkap sebagai hakim, qadhi nikah dan imam shalat Jumat. f. Imam Rawatib
76
Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 178.
66
Selain memiliki tugas pokok sebagai imam shalat lima waktu, mereka juga bertugas membantu keuchik, saksi nikah dan pembantu hakim damai. Selain beberapa jabatan di atas, dalam peradilan Aceh dikenal pula suatu derajat mahkamah, yang setiap tingkatnya mengurusi kasus-kasus yang disesuaikan dengan kadar perkaranya. Mahkamah ini terdiri dari beberapa tingkat yakni: a. Hukom-Peujroh, yaitu peradilan pendamai yang ada di setiap gampong. Ketuanya adalah keuchik, wakilnya imam meunasah (imam rawatib) dan anggotaaggotanya adalah tuha peuet (para tetua kampung). Tugasnya adalah mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa. b. Mahkamah Mukim, yakni pengadilan tingkat rendah. Ketuanya adalah imam mukim, Wakilnya adalah qadhi mukim dan anggotanya adalah beberapa keuchik dan ulama terkemuka. Pengadilan ini bertugas mengadili setiap perkara, dan apabila tidak bisa diselesaikan, maka perkaranya diserahkan kepada pengadilan yang lebih tinggi (pengadilan uleebalang). c. Mahkamah Uleebalang, pengadilan tingkat ini disebut juga pengadilan negeri yang bertugas mengadili perkara-perkara yang tidak dapat diselesaikan di tingkat Mahkamah Mukim, atau yang bersengketa tidak menerima keputusannya. Hakimnya adalah uleebalang, wakilnya qadhi uleebalang dan anggotanya beberapa imam dan qadhi mukim. d. Mahkamah Panglima Sagi, pengadilan ini memiliki tanggung jawab menuntaskan perkara-perkara yang tidak selesai di tingkatan Mahkamah Uleebalang. Ketuanya adalah panglima sagi, wakilnya qadhi panglima sagi dan anggotanya adalah beberapa uleebalang dan qadhi uleebalang. 67
e. Mahkamah Agung, pengadilan ini adalah pengadilan tertinggi dalam kerajaan yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara banding dari mahkamah-mahkamah bawahannya, serta mengadili perkara-perkara besar yang ditentukan oleh keputusan sultan. Ketuanya adalah sultan sendiri, wakilnya qadhi malikul adil, anggota-anggotanya: wazir sultan, menteri sultan, ulama-ulama faqih dan mufti empat. Van Langen menyebutkan bahwa terjadi perombakan besar di tubuh peradilan Aceh ketika masa desentralisasi kekuasaan dari istana ke tangan para uleebalang pada abad 18. Pedoman hukum yang telah ada, kendati tidak banyak dijadikan acuan lagi, namun tetap menjadi inspirasi di peradilan tingkat daerah. Meskipun demikian, kedudukan ulama tetaplah menjadi elemen vital dalam penyelenggaraan peradilan baik di pusat maupun daerah. Jika terjadi suatu perkara kejahatan, si korban akan mencari sendiri yang berbuat jahat padanya dan diselesaikan secara kekeluargaan. Atau jika tidak, ia akan menempuh jalan hukum yakni “menuntut bela” dengan membawa si pelanggar ke hadapan ketua meunasah atau kampung. Persengketaan kecil atau kejahatan ringan biasanya diselesaikan oleh teungku meunasah yang dibantu oleh orang-orang tua setempat. Penjatuhan vonis jarang terjadi, sebisa mungkin dua belah pihak didamaikan melalui suatu kesepakatan bernama hukuman kebaikan (hukom peujroh). Kasus-kasus yang diselesaikan secara demikian berkisar pada kejahatan skala kecil seperti pencurian. Si pencuri diperintahkan mengembalikan barang yang diambilnya kepada pemiliknya atau menggantinya dengan uang dan meminta maaf kepada si korban. Biasanya sang mediatornya adalah teungku setempat, yang setelah selesai perkara itu diberi sedikit upah. Kejahatan perdata ringan juga diselesaikan dengan cara serupa, namun tidak disertai formalitas permohonan ampun. Dua orang yang berkelahi, dapat didamaikan jika mereka yang bertikai mau 68
didamaikan. Bagi mereka yang memulai perkara atau setelah disinyalir menjadi penyebab perkelahian, diwajibkan menyerahkan sirih kepada pihak lawannya. Di tataran masyarakat bawah, yakni setingkat gampong atau mukim, ulama setempat memiliki andil yang sama besar dengan keuchik atau imam mukim dalam penyelenggaraan suatu peradilan. Sebelum sidang dimulai, yakni sebatas perkara perdata, pihak yang mengajukan perkara menyerahkan uang jaminan yang dalam istilah Aceh disebut hak ganceng, yang tujuannya bukan hanya agar pemutusan hukum berjalan dengan baik, tapi juga berfungsi sebagai jaminan, bahwa ongkos-ongkos perkara akan dilunasi sebagaimaa mestinya sesaat setelah pihak yang bersengketa menerima keputusan hakim. Ongkos perkara (hak bale) berjumlah untuk setiap empat ringgit yang dipersengketakan, satu sukee (seperempat) yang dibagi di antara para hakim. Jumlah tersebut didapatkan dari potongan uang jaminan, atau digantikan dengan uang jika jaminannya berbentuk barang berharga seperi perhiasan atau senjata-senjata hias.77 C. Ulama dalam Pergaulan Masyarakat Bawah Merujuk pada uraian Erawadi, dalam tradisi istana Islam, nafas intelektual menjadi sesuatu yang dekat dengan keseharian hidup istana. Mereka yang mengemban fungsi ini adalah ulama yang memang memiliki kompetensi dalam mengembangkan bidang tersebut. Untuk itu, ulama kerapkali diangkat menjadi patron keilmuan sultan namun juga merangkap sebagai penasehat istana.78 Lebih jauh, nasehat ulama bukan hanya didengar di lingkungan istana, namun juga telah mendarah daging hingga ke kehidupan sosial rakyat. Di tingkat gampong (desa) terdapat tiga unsur utama yang bertanggung jawab atas pelbagai kepentingan masyarakat gampong, yaitu keuchik, teungku dan ureung tuha. Keuchik adalah 77 78
Van Langen, Susunan Pemerintahan ..., hlm. 44-45. Erawadi, Tradisi, Wacana ..., hlm. 27.
69
pemimpin atau kepala gampong yang diserahi wewenang dari uleebalang, terkadang juga dari imeum mukim, di wilayah yang membawahi gampong tersebut. Di masa kesultanan, biasanya jabatan ini diwariskan secara turun temurun. tugas keuchik berkisar pada urusan adat. Selain itu, ia juga bertanggungjawab menyeru penduduk gampong untuk beribadah dan memakmurkan masjid atau meunasah. Unsur kedua, adalah teungku meunasah. Ia bertugas memandu hal-hal yang berhubungan dengan keagamaan. Penguasaan ilmu agama sudah seyogyanya dimiliki oleh seorang teungku meunasah, namun hal ini tidak berarti membutakan dirinya akan realitas sosial, utamanya terhadap adat tradisi masyarakat setempat. Untuk itu, persyaratan lain yang tidak boleh tertinggal baginya adalah pengetahuan akan tradisi walaupun hanya sekedarnya, minimal pada hal-hal yang prinsipil. Sedangkan ureung tuha adalah kaum yang dituakan di lingkungannya, berpengalaman, bijaksana, dan memahami adat dalam suatu gampong. Umumnya mereka telah berusia lanjut. Orang muda yang memiliki kapasitas pengetahuan adat yang memadai pun dapat dijadikan ureueng tuha. Ketiga unsur tersebut termasuk pada tingkat elit di gampong.79 Perbendaharaan lama masyarakat Aceh juga menampilkan “adat” dan “agama” sebagai dua unsur dominan dalam kepemerintahan masyarakat ujung utara Sumatra ini. Dalam lapisan masyarakat Aceh, Sultan dan uleebalang (hulubalang) merupakan dua pilar yang mendukung nuansa adat masyarakat. Dua wajah pemerintah ini bahkan menjadi simbol eksistensi dan corak pengaruh adat dalam kehidupan rakyat Aceh. Di pihak lain, ulama menjadi pilar utama yang menyokong serta memperjuangkan agama sebagai ide yang melandasi kehidupan ritual serta sosial masyarakat. Ditinjau dari kacamata politis, baik sultan, uleebalang maupun ulama, merupakan sekumpulan peran yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Dalam menjalankan roda 79
Erawadi, Tradisi, Wacana ..., hlm. 74; Snouck, Aceh vol. 1 ..., hlm.
80-85.
70
kerajaannya, sultan membutuhkan kedua pilar lainnya sebagai penghubung antara dirinya yang bermukim di puncak stratifikasi sosial dengan rakyat biasa yang berada di struktur terbawah. Di wilayah lain, uleebalang dan ulama memerlukan sultan. Bagi kalangan uleebalang, yang dikenal pula sebagai raja kecil, pada dasarnya sultan merupakan distributor tongkat kekuasaan bagi mereka. Pada umumnya, seorang uleebalang diakui sebagai penguasa ketika telah mendapat pengakuan dan atau pengesahan dari sultan. Pihak kerajaan mengeluarkan sarakata sebagai legitimasi kekuasaan seorang uleebalang dalam wilayah tertentu. Sarakata sendiri berbentuk surat pernyataan pengakuan yang dibubuhi Cap Sikureung (Cap Sembilan) yang merupakan stempel resmi kerajaan. Selanjutnya, kehadiran dan kekuasaan sultan juga dibutuhkan ulama. Sultan menjadi naungan yang memberi perlindungan diri dan kepentingan mereka. Kepentingan yang dimaksud adalah terletak pada penegakan nilai, norma dan pelaksanaan perintah agama. Mereka juga membutuhkan dukungan serta penjagaan sultan ketika mengupayakan tersiarnya ajaran Islam tanpa dibatasi oleh otoritas yang dimiliki para uleebalang. Dengan berpayungkan perlindungan dan pengakuan sultan terhadap kehadiran dan peran ulama dalam masyarakat, para ulama mengharapkan kerjasama dengan para uleebalang yang menguasai daerah-daerah tertentu. Kesalinghubungan di antara ketiga pilar tersebut sebenarnya sudah berlangsung lama terhitung sampai Belanda menaklukkan Aceh secara resmi pada tahun 1903. Tidak bisa dipungkiri, dalam perjalananya, keadaan hubungan ulama dan pemerintah mengalami fluktuasi dilatarbelakangi oleh suatu kejadian tertentu. Terkadang, satu pilar ingin lebih terdepan dibanding pilar lainnya, namun secara garis besar tidak merubah pola koneksi kedua pilar itu dan dapat dikatakan berjalan dalam keadaan yang cukup stabil. Kondisi ini semakin menunjukkan harmonisasi hubungan antarsegmen dalam masyarakat Aceh yang
71
sudah tentu didukung pula oleh kuatnya stabilitas di lapisan bawah.80 Sumber lain mengatakan bahwa terbentuknya pemerintahan di daerah-daerah tidak bisa dilepaskan dari sejarahnya yang berakar pada ritual shalat berjamaah di masjid. Ketika Sultan Iskandar Muda bertahta, dibangun banyak masjid, di antara yang terkenal adalah: 1. 2. 3. 4.
Masjid Baiturrahim terletak di Kotaraja (Dalam) Masjid Baiturrahman Masjid Indrapuri di XXII Mukim Masjid Indrapurwa di Kuala Neujid atau Pancu di VI Mukim sagi XXV 5. Tiga buah masjid di Ladong Cadek dan Krueng Raya di XXVI Mukim Masjid berperan sentral dalam penguatan masyarakat Islam Aceh. Awalnya, masjid hanya digunakan sebagai pusat kegiatan ibadah, utamanya shalat 5 waktu, yang dipimpin oleh imam. Lama kelamaan, para imam masjid mulai mengetahui dan memahami kondisi di mana ia hidup dan bersosialisasi. Ketika masjid digunakan menunaikan shalat Jum‟at, jumlah jamaahnya bisa semakin membengkak, bukan hanya berasal di sekitaran masjid melainkan mengundang pula penduduk dari kampung-kampung lain. Kenyataan ini membuat para imam semakin rajin bersua dengan masyarakat yang tentu saja dalam momen-momen tertentu, dimungkinkan terjadi interaksi hal-hal yang sifatnya duniawi atau juga mengupas kepentingan sosial. Para imam pun mendapat tugas tambahan sebagai sosok yang dihormati bukan hanya sebagai imam shalat melainkan juga imam bermasyarakat. Lambat laun, ketika sudah tidak sanggup lagi menyelesaikan urusan-urusan keagamaan, mereka pun memilih berkonsentrasi di bidang kemasyarakatan, dan menyerahkan tugasnya semula kepada orang-orang lain, untuk lebih mengefektifkan kedua peran tersebut. Atas dasar itulah, maka kerapkali dijumpai seorang ketua yang memerintah suatu mukim 80
Erawadi, Tradisi, Wacana ..., hlm. 74-76.
72
dinamakan imeum mukim atau imam adat untuk membedakan dengan imeum seumayang di dalam masjid. Seiringan dengan dinamika peran itu, ikut pula memunculkan fenomena baru dalam tatanan pemerintahan lokal yang sebelumnya tidak ada. Model pemerintahan asli, yakni gampong, melebur dalam ketatanegaraan yang diwakili oleh mukim. Implikasinya, kepala kampung atau keuchik menjadi bawahan seorang imeum mukim. Semakin bertambahnya jumlah penduduk dan meluasnya lahan pemukiman, dengan sendirinya memunculkan permasalahan baru di antara para anggota keluarga yang terkendala dalam mengurus suatu kepentingan keluarga dan umum, salah satunya adalah dalam hal ibadah. Timbul keinginan untuk lebih merekatkan diri dalam ikatan kesatuan agama agar lebih merasakan kebersamaan dalam melakukan kegiatan-kegiatan agama, seperti shalat lima waktu, melaksanakan pendidikan agama bagi anak-anak dan sebagainya. Harapan ini terobati dengan dibangunnya tempat ibadahnya yang bangunannya lebih kecil dari masjid, namun tidak mengurangi fungsinya di bidang sosiokeagamaan. Tempat ini dinamakan binasah atau meunasah. Demikian, semakin banyaknya pemukiman, maka semakin banyak pula dibangunnya meunasah di lorong-lorong kampung. Seorang teungku meunasah terkadang dianggap sebagai wakil keuchik oleh karena perannya yang tidak bisa dilepaskan dari pelayanan kepentingan umum.81 Adat Meukuta Alam ikut pula mengatur fenomena meluasnya wilayah Aceh dengan membangun meunasah dan tempat pendidikan.82 Fungsi meunasah dalam bagi masyarakat Aceh memiliki dimensi yang lebih kaya ketimbang suatu tempat untuk sembahyang. Merujuk pada penjelasan A. Verheul, bagi orang Aceh, meunasah merupakan perwujudan dari suatu keutamaan dalam perjalanan hidupnya. Bertambahnya kadar keimanan, ketentraman jiwa dan ketetapan beragama amat dipengaruhi oleh 81
Ridwan Azwad, peny, Lembaga-Lembaga Tradisional di Aceh (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 2003) hlm. 2-4. 82 Zainuddin, Singa Aceh ..., hlm. 100-101.
73
intensitas mendatangi meunasah. Bukan terbatas hanya dalam tataran individu, pemahaman ini juga bertalian pula dengan keluarga si muslim dan masyarakatnya. Pelbagai bentuk perayaan Muslim, seperti perkawinan dan kematian, adalah pula kepentingan meunasah. 83 Di beberapa belahan persada Aceh, seperti di Pasai (Pase), meunasah mengalami perluasan makna, dari yang hanya disandarkan pada kepentingan sosio-keagamaan menjadi lebih luas hingga ke tataran pemerintahan. Di kenegerian ini, meunasah dimaknai sebagai kesatuan teritorial. Daerah Pasai yang merupakan suatu kenegerian kemudian dibagi dalam beberapa meunasah. Di luar daerah meunasah, hanya dijumpai hutan-hutan dan rawa-rawa yang tidak didiami manusia. Daerah-daerah tak berpenghuni itu, merupakan daerah kerajaan Aceh Darussalam, namun dianggap orang Pasai bukan merupakan wilayah meunasah. Setiap orang Aceh di Pasai termasuk dalam suatu meunasah tertentu. Oleh sebab itulah, meunasah dapat dipahami pula sebagai model organisasi terkecil yang membentuk suatu kenegerian. Setiap meunasah memiliki suatu penghasilan sendiri dan ini merupakan suatu kekhasan dari pola kumpulan manusia ini. Teritorial ini memiliki suatu lingkungan kepentingan yang dikuasai oleh organ-organnya sendiri tanpa intervensi raja atau orang lain di luarnya. Pembentukan meunasah sendiri bukan hanya dilakukan di wilayah Pasai, namun di setiap tempat yang didiami oleh sekumpulan orang Pasai. Bagi mereka, sekalipun jauh di perantauan, meunasah tidak bisa ditiadakan. Hanya saja perlu adanya keterbukaan dengan tradisi lokal di mana mereka hidup sehingga dapat meminimalisir gap tradisi yang mungkin saja bisa terjadi. Belakangan diketahui, sistem sosial meunasah bukanlah lahir dan tumbuh di Pasai, melainkan merupakan bentuk “penyempurnaan” dari model serupa yang dibawa dari Pidie dan Meuredu. Konsep ini kemudian dibawa ke Pasai dalam suatu 83
Ridwan Azwad, Lembaga-lembaga ..., hlm. 22.
74
rentangan migrasi yang lama. Di Pasai, maket kekerabatan ini kemudian mengalami beberapa penyesuaian kemudian mulai digunakan sebagai pengikat antarindividu dalam suatu kelompok tradisional setempat. Pada awalnya, keberadaan meunasah dalam suatu kampung Aceh hanyalah berbentuk rumah bersama yang digunakan sebagai tempat bermusyawarah dan melakukan kewajiban-kewajiban agama. Sebagai perbandingan, di wilayah Aceh Besar, bangunan meunasah dianggap sebagai titik pusat sebuah masyarakat hukum yang kemudian dinamakan meunasah. Setiap meunasah memiliki nama sendiri-sendiri. Biasanya, pemberian nama terinspirasi dari nama sejenis pohon atau keadaan topografis (berkaitan dengan keadaan geografis suatu tempat; misal, atas ngarai, bawah bukit, samping hutan dan lain sebagainya) tempat tersebut. nama itu, selain digunakan bagi meunasah, sering digunakan pula pada suatu komunitas hukum setempat. penetapan nama dilakukan secara bersama-sama tanpa ada upacara-upacara khusus.84
84
Ridwan Azwad, Lembaga-lembaga ..., hlm. 23-24.
75
BAB IV UMARA DALAM MASYARAKAT ACEH
A. Pengertian Umara Kata Umara yang digunakan dalam tesis ini, diambil dari kata Arab yang berarti pemimpin atau dalam konteks kerajaan biasa dikenal dengan raja. Merujuk pada Kamus Arab-Indonesia yang disusun oleh Mahmud Yunus, Umara adalah jamak taksir (bentuk perubahan kata yang menyatakan lebih dari dua, dan bentuk katanya berubah menjadi tidak beraturan) dari kata amir yang bermakna raja atau anak raja. Umara berasal dari kata amara, yang bermakna menyuruh.85 Golongan umara memiliki otoritas serta kebijakan dalam mengendalikan suatu sistem pemerintahan. Porsi mereka amat besar dan paling berpengaruh, yakni sebagai pusat perintah sekaligus tanggung jawab dari setiap kebijakan kerajaan. Antara keputusan dan tanggung jawab yang dimiliki mereka, berada dalam satu kepalan tangan. Jika keputusan yang diambil tepat, maka tata kelola kerajaan beserta masyarakatnya akan mengarah pada suatu keberaturan dan kesejahteraan, namun sebaliknya jika keputusan yang diambil adalah salah, maka mereka beserta rakyatnya akan menanggung beban dari suatu keadaan yang tidak diinginkan. Baik dan buruk langkah kerajaan, amat bergantung dengan seni seorang raja memimpin bawahannya. Sebelum membincang perkembangan kerajaan Aceh, agaknya perlu dikemukakan cikal bakal tumbuhnya sistem kerajaan sebagai sistem pemerintahan di Aceh. Sistem kerajaan model pemerintahan Aceh awalnya dikenal sejak masa yang belum diketahui kepastiannya. Namun dalam suatu keterangan yang dipaparkan K.F.H. Van Langen menunjukkan bahwa sejak masa 85
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia ( Jakarta: P.T. Hidakarya Agung, tanpa tahun) hlm. 48
76
Aceh didiami oleh orang Mante, leluhur dari masyarakat Aceh, sistem pengakatan raja sudah mulai dikenal dan mengalami perkembangan ketika beranjak ke masa kejayaan Hindu-Budha yang dimulai sejak tahun satu masehi.86 Selain dikenal dari penemuan batu-batu nisan dan makammakam bertulisan di Tanoh Abee dan Reueng-reueng (di pedalaman XII Mukim), yang merupakan beberapa temuan arkeologis tentang keberadaan pengaruh Hindu di Aceh, di masyarakat Aceh juga terdapat cerita mengenai Raja Hindu di Indrapuri bernama Rawana yang kerajaannya terbentang mencakup kerajaan Hindu yang bernama Indra Purwa yang terdapat di Kuala Neujid atau Pancu dan Indra Patra yang berdiri kira-kira di sekitar Lam Nga dekat Kuala Gigieng.87 Cerita tentang Raja Rawana menandaskan bahwa di masa Hindu, masyarakat Aceh telah mengenal sistem kerajaan yang tetap dipelihara hingga berdirinya kerajaan Aceh Darussalam. Sebelumnya struktur model pemerintahan Aceh masa Hindu-Budha sedikit banyak mempunyai kemiripan dengan yang terjadi di negeri-negeri Melayu pada umumnya. Dalam konsep Hindu dinyatakan bahwa masyarakat harus tunduk kepada para dewa. Dewa dianggap sebagai simbol dari suatu kekuasaan atau pemimpin. dalam struktur masyarakat Hindu, golongan masyarakat dibagi dalam empat kasta, yakni: Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. golongan yang berhak menjadi pemimpin adalah kalangan berkasta tertinggi. masyarakat Hindu mengenal konsep kepemimpinan beraja-raja atau aristokrasi, dan dalam masyarakat Melayu dikenal dengan nama ketemanggungan. konsep ini kemudian diturunkan dalam banyak contoh tentang kesetiaan rakyat atau perangkat kerajaan kepada rajanya, seperti yang tergambar dalam cerita kepatuhan Hang Tuah pada Sultan Malaka. Untuk membuktikan kesetiaannya, Hang Tuah sampai tega membunuh kawan karibnya, Hang Jebat dan Hang Kesturi.
86
K.F.H. Van Langen,Susunan Kesultanan Aceh Semasa Kesultanan, Terj. Aboe bakar (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Dokumen Informasi Aceh, 2012) hlm. 4 87 .F.H. Van Langen,Susunan Kesultanan Aceh ...., hlm. 5.
77
Berbeda dengan Hindu, masyarakat yang mengamalkan ajaran Budha tidaklah mengenal kasta. status kemuliaan orang, termasuk di kalangan penguasa, adalah kemampuannya menunaikan ajaran Budha sembari meninggalkan segala yang dilarang. Setidaknya ada lima larangan yang harus dihindari di antaranya membunuh, mencuri, main perempuan, minumminuman keras dan alkohol. Keputusan ini ditetapkan atas mufakat perangkat masyarakat.88 Perlu pula disampaikan bagaimana pengaruh Islam meresap kemudian merubahan tata pola penyelenggaraan kerajaan model Hindu. Tentu saja ini terjadi tatkala munculnya kerajaan Islam pertama di Aceh. Dalam Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dimulai tanggal 10 sampai dengan 16 Juli 1978 menyimpulkan bahwa Perlak, Lamuri dan Pasai merupakan tiga kerajaan kerajaan Islam pertama di Aceh.89 Di antara ketiganya, Perlak lah yang merupakan kerajaan Islam Aceh terawal. Dengan begitu bisa dikatakan sejak masa Perlaklah pola pemerintahan Islam sedikit banyaknya sudah dikenal dan diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam butir kesimpulan seminar di atas yang lain, disebutkan pula bahwa di masa Perlak dan Pasai struktur pemerintahan sudah teratur.90 Kegoncangan sebenarnya biasa muncul dari perubahan penguasa di Perlak. Merupakan suatu keniscayaan bahwa friksi atau gesekan politik lahir dari pergantian rezim penguasa. Jika di tingkat elite, dalam hal ini di lingkungan keluarga raja, tidak terjadi, disebabkan ayah dari Raja Perlak Islam pertama, seorang Arab keturunan Sayid menikah dengan putri Raja Perlak yang belum beragama Islam, kegoncangan yang lain mungkin terjadi, hanya saja keberadaannya tidak sampai menggoyahkan stabilitas kerajaan.
88
Suwardi, Raja Alim Raja Disembah; Eksistensi Kebudayaan Melayu dalam Menghadapi Era Global (Pekan Baru: Alaf Riau, 2005) hlm. 42-43. 89 A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (t. tp: Almaarif, tanpa tahun) hlm. 12 90 A. Hasjmy, Sejarah Masuk ..., hlm. 12.
78
Suwardi menyebutkan bahwa sepeninggal konsep kepemimpinan Hindu-Budha, tradisi ketaatan rakyat kepada rajanya memperoleh format baru tatkala langgam pemerintahan Islam menjadi tren di kerajaan Melayu termasuk Aceh. Ajaran Islam menyatakan bahwa Sultan adalah wakil Tuhan di dunia. Sejak dianutnya Islam menjadi agama legal di kerajaan hingga wilayah bawahannya, perlahan-lahan ketentuan serta hukum Islam juga mulai digunakan sebagai hukum kerajaan. Meskipun begitu, ajaran Islam yang digunakan sebagai hukum kerajaan diperkaya serta mengalami pribumisasi, melebur dengan ketentuan adat setempat. Perkawinan hukum Islam dan hukum adat inilah yang tercermin dalam ungkapan adat bersendi syara, syara bersendikan kitabullah. Dalam tradisi Melayu sendiri dan juga populer di sejarah pemerintahan Aceh Darussalam, masyarakat tidak membabi buta tunduk di hadapan raja. Tetap ada kontrol dan kritik yang dilayangkan perangkat kerajaan maupun tokoh masyarakat apabila sang raja lalai dalam tugasnya. Keadaan tersebut terpancar dalam ungkapan raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah.91 Kedudukan raja yang sedemikian tinggi biasanya mendapatkan ketundukan yang besar dan luas di kalangan rakyatnya. Kemuliaan raja berjalan bersamaan dengan karya-karya yang kemudian diciptakannya. Namun, dalam spektrum Asia Tenggara khususnya Melayu, keagungan dan kebesaran raja juga membutuhkan umpan balik berbentuk ketaatan rakyatnya. Dua elemen tersebut saling bertalian dan tidak bisa dilepaskan. A. C. Milner mengatakan bahwa masyarakat Melayu menganggap dirinya tidaklah hidup di bawah kuasa Tuhan, melainkan di bawah kekuasaan raja. Tentu saja pendapat ini bukan dilihat dari sisi keagamaan, melainkan dari sudut tata pemerintahan. Pandangan ini merupakan warisan yang mengakar bersumber dari tradisi India. kata “kerajaan” yang merupakan padanan dari kata state maupun government, secara harfiah dapat diartikan sebagai “keadaan yang mempunyai raja”. Raja diaggap sebagai pusat dari kesetiaan sekaligus pusat bagi setiap aspek kehidupan orang Melayu. Segala bentuk kemajuan di sektor 91
Suwardi, Raja Alim ..., hlm. 43.
79
strategis, ekonomi dan militer misalnya, tidaklah banyak berarti jika berada di luar kerajaan. raja dianggap sebagai pemegang legitimasi sekaligus orang yang dijunjung tinggi.92 Lebih lanjut C. Snouck Hurgronje menyebutkan bahwa penghormatan masyarakat Aceh terhadap raja terletak pada adat. Dari junjungannya tersebut, adat dan ketentuan hukum Aceh disusun dan menjadi pedoman hidup masyarakatnya. Hukum adat yang dirumuskan oleh sultan dan perangkatnya dianggap sebagai suatu sumbangan yang besar dalam merekonstruksi hubungan masyarakat agar tertib, teratur dan mengedepankan keadilan. Dalem (istana) yang merupakan tempat tingga raja, dianggap sebagi simbolisasi kekuasaan raja yang sejak masa yang lampau ikut serta mengembangkan peradaban Aceh.93 B. Pemerintahan Kesultanan Aceh era Sultan Iskandar Muda merupakan kerajaan Islam yang tersohor di Nusantara, utamanya di kawasan selat Malaka dan sekitarnya. Sebagaimana telah disebutkan di bab yang lalu, berbagai bentuk kemajuan ditorehkan Iskandar Muda sehingga disebut-sebut sebagai masa keemasan Aceh. Kesejahteraan yang perlahan mampu dibangun, tidak lepas dari kemahiran dan kecermatannya mengelola biduk kerajaan serta keberaniannya menelurkan beragam kebijakan strategis yang dialamatkan tidak saja bagi kalangan elit, melainkan juga masyarakat bawah. Potret kedekatan Iskandar Muda pada masyarakat bawah disebutkan oleh Nuruddin ar-Raniri bahwa Sultan Aceh ini amat memperhatikan kelangsungan hidup kaum papa. Hampir setelah melakukan ibadah shalat Jumat, Raja ini menyedekahkan sebagian hartanya bagi kalangan miskin.94 Ini menjadi kekhasan tersendiri, 92
A.C, Milner, “Islam dan Martabat Raja Melayu” dalam Ahmad Ibrahim dkk, peny, Islam di Asia Tenggara Perspektif Sejarah(Jakarta: LP3ES, 1989) hlm. 48-49. 93 C. Snouck Hurgronje, Aceh Di Mata Kolonialis, Jilid II, Terj. Ng. Singarimbun (Jakarta: Yayasan Sokoguru, 1985) hlm. 160. 94 Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin, bait 12 dan 13, (Jakarta: Perpustakaan Nasional, Tanpa Tahun) hlm. 16.
80
di mana Raja berupaya mendekatkan diri pada golongan yang tidak berpunya. kesejahteraan massa bawah, menunjukkan pada keseriusan kerajaan membangun kubah sosial masyarakatnya yang kuat dan bisa menaungi semua kelompok masyarakat tanpa terkecuali. Penetapan Iskandar Muda sebagai Sultan Aceh dengan visi pembangunannya yang memukau, merupakan prestasi tersendiri bagi sistematika uji kelayakan calon Sultan Aceh. Kepemimpinan di Aceh ternyata tidak hanya didasarkana pada keturunan semata, melainkan juga prinsip kepemimpinannya yang tepat dengan semangat zaman dan yang terpenting mampu menuntaskan segala problem kerajaan dan masyarakat. Kepemerintahan yang tertib menjadi prasyarat menjemput segala bentuk manfaat tergelarnya kemajuan. Memang, dalam sejarahnya, tidak semua raja dan ratu Aceh memiliki potensi kepemimpinan sebaik Iskandar Muda. Paling tidak dari sosok Sultan Aceh ini, gambaran seorang raja yang luhur, mengedepankan paradigma kepemimpinan baik dan didukung segenap pejabat kerajaan dan rakyatnya bisa didapatkan dan ditelaah relevansinya. Dalam tata pengangkatan Sultan Aceh Darussalam, ulama dan orang-orang besar kerajaan memiliki wewenang menguji kelayakan dan kecakapan calon Sultan Aceh baru. Calon Sultan Aceh harus memenuhi persyaratan yang merupakan cerminan dari hukum agama Islam dan adat Aceh. Dua unsur tersebut adalah dasar yang dijadikan tempat berpijak seluruh tindakan kerajaan, termasuk dalam pengangkatan Raja Baru. Oleh karena itu dikenal pepatah yang menyebutkan bahwa hukum dan adat bagaikan zat dengan sifat (lagee zat ngon sipheuet). Adapun syarat-syarat kelayakan Sultan Aceh menurut hukum agama adalah sebagai berikut: 1. mempunyai kecakapan untuk menjadi kepala negara a. merdeka b. dewasa c. berpengetahuan (hukum dan adat), dan d. adil cakap mengurus negeri, hukum dan peperangan
81
2. mempunyai kebijaksanaan dalam melaksanakan hukum dan adat
menimbang
dan
Peristiwa penobatan Iskandar Muda sebagai Sultan Aceh merupakan momentum yang tepat terjadinya. Denys Lombard mengutip informasi dari Agustine de Beaulieu mengenai kejadian yang menyebabkan diangkatnya Iskandar Muda menjadi raja. Dikisahkan, pada suatu hari Iskandar Muda berselisih paham dengan Sultan Muda atau Sultan Ali Riayatsyah, Sultan Aceh yang memerintah pada 1604 -1607, yang menyebabkan Iskandar Muda mencari suaka pada gubernur Pedir. Di sana, Iskandar Muda berhasil mempengaruhi penguasa Pedir menggerakkan pasukan Pedir menyerbu istana Aceh. Sultan Muda, yang tidak lain adalah pamannya, sudah mengetahui kabar datangnya pasukan pemberontak, telah lebih dulu pula menyiapkan garda pasukan Aceh. Pertempuran pecah, pasukan Aceh menahan serbuan pasukan Pedir. Lama kelamaan, pasukan Aceh berhasil memukul mundur kekuatan Pedir. Tidak lama kemudian, Iskandar Muda berhasil diringkus dan dibawa ke istana Aceh dengan kaki dirantai lalu dimasukkan ke istana. Di pihak lain, Portugis yang mendapat kabar tentang perselisihan internal para penguasa Aceh, mengambil kesempatan dengan mendaratkan pasukan di pantai Aceh dan mengadakan penyerbuan di tengah kemelut kerajaan. Raja Muda yang telah mengetahui kedatangan Portugis, menimbang untuk mencari panglima yang mampu mengusir Portugis. Raja Muda teringat, Iskandar Muda merupakan salah satu panglima perang terbaik kepunyaan Aceh. Segera ia membebaskan keponakannya itu dan memeberikan gelar panglima dan memimpin pasukan Aceh. Perang segera berkecamuk, Iskandar Muda dengan serangkaian taktik andalannya berhasil mengusir musuh. Pada malam harinya, suatu peristiwa menyedihkan terjadi, Sultan Aceh berpulang. Dengan tanpa menunggu waktu lama, dinobatkanlah Iskandar Muda sebagai Sultan Aceh. Ia menganggap pamannya
82
yang lain, penguasa Pedir, sebagai ancaman. dikirimlah sejumlah pembunuh bayaran untuk membunuh pamannya itu.95 Terdapat versi lain yang dikemukakan terkait dengan latar belakang naiknya Iskandar Muda ke tampuk tertinggi kepemimpinan Aceh Darussalam. M. Zainuddin menceritakan bahwa Sultan Ali Riayat Syah atau Muda Syah, Sultan Aceh, terlibat pertengkaran serius dengan saudaranya Raja Hussain Syah, penguasa Pidie (Pedir). Muda Syah telah berbuat culas dengan memaksa ayahnya, Sultan Alaiddin Riayat Syah Sayidil Mukammil, Sultan Aceh sebelumnya (1585-1604) turun tahta. Pertikaian itu memuncak dengan perang saudara antara pasukan Aceh dan pasukan Pidie di kaki gunung Seulawah. Saat itu Raja Hussain dibantu oleh seorang panglima perang bernama Perkasa Alam. Nama terakhir itulah yang kelak menjadi Sultan Iskandar Muda. Pertempuran dapat dimenangkan pasukan Aceh dan berakhir dengan kematian Raja Hussain dan ditawannya Perkasa Alam. Ditangkapnya Perkasa Alam ternyata menimbulkan masalah baru, yakni munculnya gelora perlawanan dari para simpatisannya. Keadaan ini sempat mengacaukan keadaan dan membuat perekonomian mundur. Keadaan tersebut diperparah dengan ketidakcakapan raja memberikan solusi atas masalah kelaparan rakyat akibat gagal panen dikarenakan musim kemarau. Kerajaan Aceh seketika jatuh dalam kemelut. Dari kejauhan, Portugis melihat kemunduran Aceh sebagai peluang untuk menguasai kerajaan itu. Pasukan Portugis datang berbondong-bondong memasuki wilayah Aceh. Sultan Aceh kemudian mengeluarkan Perkasa Alam dan menitahkannya memimpin pasukan menghalau kedatangan musuh. Pertempuran Aceh-Portugis pun segera berkecamuk. dalam suatu kesempatan. Perkasa Alam berhasil mengalahkan Portugis. Wibawa kerajaan dapat diselamatkan. Tidak lama setelah kemenangan penting itu,
95
Denys Lombard, Kerajaan Aceh; Jaman Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636), Terj. Winarsih Arifin (Jakarta: Balai Pustaka, 1986) hlm. 94.
83
Sultan Aceh mangkat dan diangkatlah Perkasa Alam sebagai Sultan Aceh.96 Peristiwa pengangkatan Iskandar Muda di atas perlu disampaikan sebagai salah satu kasus bahwa kepala kerajaan yang dipilih, haruslah orang yang memiliki kapabilitas menjaga dan mengatur kerajaan. Ikut sertanya Iskandar Muda dalam konflik antarelit penguasa Aceh hingga didapuknya dirinya menjadi Sultan Aceh boleh saja dinilai sebagai kejadian politik semata, namun jika melihat pengalaman serta kedudukan Iskandar Muda ditambah keberhasilannya mengalahkan armada Portugis merupakan prestasi yang memenuhi kelayakan seorang raja. Beberapa penyelesaian tugas Iskandar Muda bisa dikatakan sebagai pembuktian bahwa dirinya merupakan kandidat raja terkuat sepeninggal pendahulunya. Ketika seseorang telah berhasil menduduki jabatan Raja/Sultan Aceh, kepadanya diberi tiga hak yang menyokong penyelenggaraan pemerintahannya, yaitu: 1. mengangkat kalangan ahli hukum (ulama) 2. mengangkat orang-orang yang bijak (cerdik pandai, yaitu orang-orang yang patut menguru negara seperti wazir, menteri dan lain-lain, dan 3. mengangkat orang yang perkasa untuk menjaga keamanan negeri yakni uleebalang, panglima perang dan lain-lain. Ketiga golongan tersebut berperan penting dalam penyelenggaraan kebijakan-kebijakan kerajaan. Mereka menjadi tulang punggung akan teratur dan lancarnya tugas-tugas kerajaan dalam mengurusi kepentingan masyarakat. Kesuksesan dan konsistensi mereka amat bertalian dengan kesejahteraan kerajaan. Di samping itu, kepada merekalah Sultan menyerahkan sebagian perintahnya yang langsung diterjemahkan dan diberdayakan sesuai dengan tugas dan posisi mereka. Adapun tugas dari ketiga golongan tersebut dalam pemerintahan Aceh adalah: Ulama 96
H. M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, Djilid I (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961) hlm. 403-404.
84
1. menjadi penasehat Sultan dan pemerintahan dalam permasalahan keagamaan serta memberikan edukasi ke masyarakat akan pentingnya keteguhan iman dan senantiasa berbuat kebajikan di jalan agama 2. menjadi kadi Sultan dalam menyelesaikan masalahmasalah dalam negeri 3. bertugas menikahkan orang yang tidak mempunyai wali, baik di kalangan kerajaan, maupun di pemerintahan uleebalang dan panglima sagi. menteri-menteri 1. menjadi penasehat dan pembimbing raja 2. memikirkan urusan tata negara 3. menjalankan suatu langkah-langkah diplomatik dan siasat, serta mengurus pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan peraturan negeri sesuai dengan arahan Sultan. Uleebalang 1. menjaga negeri (peutimang nanggroe) 2. menjalankan setiap perintah Sultan terkait penangkapan orang-orang yang mengingkari keputusan hukum dan adat 3. mempersiapkan pasukan pertahanan negeri97 Dalam penyelenggaraan pemerintahan, kalangan agamawan atau ulama sebenarnya berdiri di dua wilayah, di dalam pemerintahan dan di luar pemerintahan. Pendek kata mereka memainkan peran ganda. Tatkala tugasnya terkait pada pengurusan masalah-masalah dalam negeri maka saat itulah ia menjadi umara, namun ketika ia berada di tengah masyarakat maka kedudukannya adalah sebagai ulama yang tidak terikat dengan permasalahan kerajaan dan bertugas sebagai guru agama semata. Dengan kata lain, ketika berada di tengah masyarakat, ia tidaklah memberikan pengetahuan atau segala informasi mengenai kerajaan beserta urusan yang dikelolanya. Ia hanya mengedepankan diri sebagai pelayan masyarakat yang membimbing ritual keagamaan. Posisi ini sebenarnya unik, karena di antara para pejabat kerajaan pusat, ulamalah yang bisa dikatakan paling dekat dengan masyarakat. Bisa dikatakan, pintu rumah 97
H. M. Zainuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 333-334.
85
mereka akan senantiasa terbuka menerima aduan serta keluhan masyarakat. Ini berbeda dengan para pejabat kerajaan yang selesai menjalankan tugasnya di kantor istana, mereka kembali ke rumah berkumpul dengan keluarganya dan bisa disebutkan bahwa persentuhan dengan masyarakat bawah tidaklah sesering kalangan ulama. Peran ulama di masyarakat juga berguna membantu evaluasi kinerja kerajaan. Dapat dibayangkan, dalam suatu acara rakyat di daerah, semisal pernikahan atau upacara kematian, mereka menjadi golongan yang dipercaya menghadiri dan tidak jarang memimpin acara tersebut, khususnya ketika acara doa maupun ceramah. Dalam satu sesi, mereka juga mendengarkan keluh kesah para pemimpin daerah. Mereka juga bisa mendapatkan informasi dari murid-murid yang berasal dari masyarakat kebanyakan tentang keadaan masyarakat. Ulama menjadi kalangan yang dihormati sekaligus dijadikan sebagai pengayom masyarakat. oleh sebab itu, seakan tidak ada batasan birokratis yang menyekat ulama sebagai pemerintah tatkala di istana dengan masyarakat yang diperintah. Batasan itu perlahan lenyap dalam suatu pertemuan yang melibatkan tokoh masyarakat bawah. Dalam penyelenggaraan kerajaan, Sultan Iskandar Muda membentuk pula Mahkamah Agung sebagai salah satu alat kelengkapan pemerintahannya yang berdasarkan pada hukum Islam. Jabatan kadi, yang merupakan kepala mahkamah agung memiliki tempat penting dalam struktur pemerintahan Islam. jabatan kadi atau lengkapnya Kadi Malikul Adil bertugas menyesuaikan hukum Islam dan adat kebiasaan. Dengan begitu, keputusan kadi memiliki kekhasan tersendiri dan sedikit banyaknya berbeda dengan kadi di kerajaan Islam lainnya, utamanya di belahan dunia Islam mancanegara. Kehadiran kadi dalam suatu persidangan amatlah dinantikan, karena kemunculannya dianggap syarat mutlak keabsahan mahkamah agung. Dalam perkara-perkara kejahatan yang tidak berat, yang merupakan bentuk pidana ringan dan termasuk dalam kategori pelanggaran menengah ke bawah, dapat diputuskan oleh kadi atau ulama yang menjadi staf peradilan di luar ikut sertanya anggota-anggota majelis Sultan lainnya. Namun 86
jika perkaranya termasuk “hukuman besar”, dalam rangka mendapatkan vonis yang diketahui segenap pejabat kerajaan, maka kehadiran seluruh anggota majelis sangat diutamakan sebagai bentuk absahnya vonis sidang.98 Kadi biasanya juga dibantu oleh empat orang mufti yang menetapkan hukum-hukum Islam.99 Selain itu, pemimpin militer bergelar laksamana juga diangkat mengepalai balai laksamana, yang merupakan markas besar ketentaraan Aceh yang dibagi dalam dua divisi, darat dan laut. menteri dirham juga diangkat mengurus masalah finansial kerajaan. mereka semua bertanggung jawab langsung kepada Sultan. Terdapat badan kerajaan lainnya yakni Baitul Maal (perbendaharaan negara) yang memiliki jawatan bawahan bernama Balai Furdah yang bertugas memungut bea dan cukai pelabuhan. Administrasi kerajaan juga merupakan badan inti kerajaan, yang mengepalai lembaga ini dinamakan keureukon katibulmuluk. Jabatan tersebut dipegang oleh dua orang, masing-masing bergelar Sri Indrasura dan Sri Indramuda. Seluruh jabatan tersebut boleh dikatakan sama dengan jabatan-jabatan eksekutif pada pemerintahan zaman sekarang. A. Hasjmy menambahkan beberapa lembaga musyawarah kerajaan antara lain adalah Balai Rong Sari, yakni suatu majelis permusyawaratan kerajaan beranggotakan menteri-menteri inti yang bergelar “hulubalang empat” dan “ulama tujuh”. Ada pula yang bernama Balai Gading yakni majelis perdana menteri yang beranggotakan para menteri kabinet yang bergelar “hulubalang delapan” dan “ulama tujuh”. Selanjutnya, adalah Balai Majelis Mahkamah yang merupakan kantor mahkamah tertinggi yang beranggotakan 10 orang fuqaha (ulama fikih atau ahli hukum) di bawah koordinasi menteri kehakiman atau Wazir Mizan. Aceh Darussalam juga sudah mengenal sistem pemerintahan semi-demokrasi yakni dibuktikan dengan adanya lembaga legislatif, penyeimbang pemerintahan raja, dan 98
K.F.H. van Langen, Susunan Pemerintahan Aceh ..., hlm. 49. Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan Atjeh dalam Th. 1520 – 1675 (Medan: Monora, tanpa tahun) hlm. 91. 99
87
merupakan representasi wakil rakyat. Adalah Balai Majelis Mahkamah Rakyat, yakni semacam Dewan Perwakilan Rakyat masa kini. lembaga ini beranggotakan 73 orang yang mewakili mukim-mukim di daerah federasi Aceh Besar. Selain lembaga-lembaga tersebut, Hasjmy menambahkan terdapat lembaga-lembaga lain yang termasuk dalam jenis “jawatan pusat” atau “balai”. Orang yang mengepalai lembagalembaga tersebut digelari imam. jawatan-jawatan itu adalah: 1. Balai Malikul Islam, yakni kantor Sultan sendiri 2. Balai Qadli Malikul Adil, yakni kantor Qadli Malikul Adil 3. Balai Malikul Habib (belum jelas kegunaannya) 4. Balai Setia Hukama, mungkin tempat berkumpulnya cerdik pandai/hukama 5. Balai Sri Suara (belum jelas kegunaannya) 6. Balai Setia Ulama, kantor tempat para ulama bermusyawarah 7. Balai Setia Purba (belum jelas kegunaannya) 8. Balai Malikul Mahmud (tidak jelas maksudnya) 9. Balai Sri Purba Wangsa (tidak jelas kegunaannya) 10. Balai Sri Setia Salih (tidak jelas tugasnya) 11. Balai Sri Purba Setia (mungkin kantor seorang pejabat tinggi) 12. Balai Ahli Siyasah (kantor urusan politik) 13. Balai Musafir (kantor urusan pariwisata atau perjalanan) 14. Balai Silaturahim (mungkin semacam kantor biro) 15. Balai Mufti Empat (kantor mufti empat) 16. Balai Baitul Rijal (kantor urusan kaum pria, mungkin juga kantor urusan ketenagakerjaan) 17. Kantor Balai Baitur Rahim (kantor sekretariat masjid istana) 18. Balai Taubah (kantor urusan grasi dari Sultan) 19. Balai Safinah (kantor urusan perkapalan atau pelayaran) 20. Balai Darul Asyikin (belum jelas maksudnya) 21. Balai Baitul Fakir Miskin (kantor urusan kesejahteraan sosial, utamanya fakir miskin)100 100
A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah (Jakarta: Beuna, 1983) hlm. 77-79
88
Agustin de Beaulieu sempat mengamati sekitar istana Aceh ketika ia diundang menemui Sultan Iskandar Muda. Ia menyebutkan bahwa di sekitar bangunan istana terdapat beberapa bangunan lembaga yang beberapa fungsinya sama dengan yang dipaparkan di atas. Berikut kutipan lengkap pengamatannya:101 ... mereka juga mempunyai pengadilan sendiri dan beberapa pengelompokan dengan kapten masing-masing, bahkan punya pangoulou cavalo (penghulu kepala ?) atau jabatan perwira jaga sendiri seperti halnya di luar istana. Sistem pemerintahan kerajaan di Aceh mengalami evolusi yang cepat tatkala kerajaan Aceh Darussalam berdiri serta mengalami puncaknya tatkala Iskandar Muda berkuasa.102 Kuatnya aturan pemerintahan disinyalir bersumber dari Hadih Maja, suatu Undang-Undang yang disahkan kerajaan dan dirumuskan untuk mengatur kehidupan orang Aceh, dari tingkatan atas hingga bawah. Dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala pemerintahan, Iskandar Muda dibantu oleh suatu kabinet yang terdiri dari perdana menteri (mangkubumi) dan beberapa orang menteri (wazir). Mahkamah agung berwenang sebagai badan pengadilan yang paling tinggi dan terletak di Kotaraja. Sedangkan untuk urusan administrasi kerajaan Aceh, diangkatlah dua orang sekretaris (keureukon katibulmuluk) dengan titel Sri Indasura dan Sri Indramuda. jabatan sekretaris biasanya turun temurun, namun dengan syarat harus memiliki kecakapan dan dipilih dari kalangan famili di sekretaris yang digantikan sebelumnya. Di samping itu, Masa Iskandar Muda juga diwarnai dengan reorganisasi pemerintahan, menjadi lebih dinamis dan mengakar hingga ke masyarakat bawah. Sang Sultan kemudian melatih keempat divisi pemerintahan Aceh yakni: kaum lhee reutoih, kaum Tok Batee, kaum Imeum peuet dan kaum ja sandang. Keempat 101
Bernard Dorleans, Orang Indonesia dan Orang Pracis; Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX, Terj. Tim Penerjemah UI (Jakarta: KPG, 2001)hlm. 65. 102 A. Hasjmy, Sejarah Masuk ..., hlm. 13.
89
divisi pemerintahan tersebut dalam tugasnya berdiri kokoh di atas aturan serta ketetapan agama (ketuhanan), relijius (kepercayaan dan sastra (kecerdasan). Distribusi tugas dan kekuasaan membuat pemerintahan Aceh tertib dan teratur. K.F.H. van Langen memberikan catatan tersendiri terkait empat kaum tersebut. terbentuknya keempat golongan itu terjadi di kala Aceh Darussalam berada di bawah pemerintahan Sultan Alaiddin al-Kahar (1530-1552). Sukee lhee reutoih (suku tiga ratus) berasal dari orang-orang Mante-Batak, golongan Hindu termasuk kaom imeum peuet (kaum imam empat), orang-orang yang berdatangan dari berbagai tempat dinamakan kaom tok batee (kaum yang mencukupi batu). Terakhir yang terbentuk adalah kaom ja sandang (kaum penyandang). Kaom imeum peuet adalah orang Hindu yang kemudian memeluk Islam. awalnya mereka bermukim di Tanoh Abee, Lam Leuot, Montasiek dan Lam Nga. Keempat kaum atau golongan ini masing-masing dipimpin oleh panglima kaom.103 Meraka inilah yang mewarnai struktur sosial dan pemerintahan Aceh Darussalam. Segera setelah, Iskandar Muda menetapkan susunan adat yang disebut Adat Meukuta Alam yang juga disebut-sebut sebagai undang-undang kerajaan Aceh, peran serta fungsi dari panglima mukim dihapuskan. Tugas mereka digantikan oleh teungku meunasah yang merupakan kepala dari suatu meunasah (tempat beribadah) serta keuchik yang membawahi suatu gampong. Dengan begitu, saat terciptanya komponen pemerintahan administratif yang kemudian disahkan kerajaan, yakni uleebalang, mukim, gampong dan meunasah, sistem pemerintahan di bawah panglima kaom tidak digunakan lagi.104 Menurut Denys Lombard, pemaknaan jabatan raja, di masa Iskandar Muda, tidak sebatas pada pemeliharaan keserasian dan ketertiban alam, tapi termasuk pula pada jaminan ketertiban moral dalam masyarakat. Raja dianggap sebagai sumber segala bentuk tata moral, sehingga suaranya ditaati oleh pejabat dan bawahannya. Namun, seiring dengan reorganisasi tata kelola pemerintahan, 103
K.F.H. Van Langen, Susunan Pemerintahan ..., hlm. 6-8 H.M. Zainuddin, Singa Atjeh; Biographi Seri Sulthan Iskandar Muda (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1957) hlm. 100. 104
90
peran ini kemudian diemban pula oleh para polisi atau bawahan raja yang loyal yang menjalankan tugas yang datang dari lisan raja. Keberadaan cap wangsa Moghul Besar dalam suatu surat cukup menggantikan keberadaan fisik raja, terlebih dalam kepatuhan terhadap perintah dan wewenang.105 C. Pemerintahan Daerah Sepenuhnya disadari bahwa pusat kerajaan tidaklah mampu mengurus seluruh keperluan negeri yang menjadi bawahan Aceh. Pemerintah pusat membutuhkan kepanjangtanganan yang memegang otoritas pemerintahan di setiap daerahnya. Sultan Aceh tidak saja bertindak sebagai kepala pemerintahan melainkan juga kepala agama. Untuk itu sektor agama di setiap daerah juga tentu membutuhkan sosok yang dipercaya mampu mengemban amanah ummat. Setelah dirundingkan, maka Sultan akhirnya memutuskan membentuk pemerintahan-pemerintahan daerah atau yang lazim disebut Mukim, yang jumlahnya sesuai dengan lingkungan masjid yang biasa digunakan untuk ibadah shalat jumat. Dengan kata lain satu masjid shalat jumat ditetapkan menjadi satu mukim. Pendapat yang negatif disuarakan Denys Lombard yang mengatakan bahwa tata pemerintahan Aceh di wilayah pedalaman belumlah terungkap secara spesifik. Sebetulnya, Aceh Darussalam merupakan kerajaan yang menjalankan pemerintahan model kota dagang. Belakangan, setelah wilayah Aceh meluas ke pedalaman, barulah kampung-kampung ditetapkan sebagai federasi. Sultan Iskandar Muda tentu memiliki orang-orang kepercayaan yang mengawasi ladang-ladang padi dan daerah-daerah pinggiran kota yang luas serta para gubernur setia yang berkedudukan di wilayah pesisir. Model pemerintahan bawahan tingkat daerah ini belumlah dirawat dan diatur secara terstruktur.106 Uraian lain justru menerangkan pemerian organisasi pemerintahan Aceh dengan cukup memadai. Dalam tata pemerintahan Aceh dikenal 5 jenis tumpuk atau organisasi 105 106
Denys Lombard, Kerajaan Aceh ..., hlm. 233-234. Denys Lombard, Kerajaan Aceh ..., hlm. 104.
91
pemerintahan dari tingkat atas (pusat) hingga bentuk yang paling kecil, yakni: 1. negeri (kerajaan, pusat) 2. mukim 3. gampong/kampung 4. meunasah (surau) 5. seuneubok Negeri (nanggroe) merupakan tingkat pemerintahan daerah yang berada persis di bawah pemerintah pusat yang dikepalai oleh uleebalang. Uleebalang sebenarnya sama dengan hulubalang yang keduanya berasal dari bahasa Sansekerta. Dalam pemerintahan kerajaan-kerajaan Indonesia, khususnya di tanah Melayu, hulubalang merupakan jabatan perangkat kerajaan dalam bidang ketentaraan. Di Aceh, uleebalang juga memiliki tugas serupa, hanya saja mereka juga ditugasi untuk mengepalai suatu negeri. Di daerah inti Aceh (Aceh Besar) uleebalang menerima jabatannya langsung dari Sultan. Di wilayah luar daerah inti Aceh, sebelum terbentuknya kerajaan Aceh Darussalam, banyak wilayah pesisir dan kerajaan-kerajaan kecil yang berdiri merdeka. Di antara mereka ada yang menggunakan gelar sultan, meurah, syahbandar dan lain sebagainya. ketika Aceh Darussalam melebarkan pengaruhnya dan memasukkan kerajaan kecil dan daerah yang diperintah mandiri lainnya menjadi bawahannya, status daerah tersebut disamakan dengan negeri atau nanggroe, dan kepalakepala daerah tersebut digelari uleebalang. Struktur pemerintahan negeri itu juga disamakan dengan negeri yang terdapat di Aceh Besar. Di Gayo dan Alas, daerah yang diperintah oleh uleebalang disebut kejurun dan pemimpinnya disebut reje. Para reje juga langsung menerima kekuasaan dari Sultan Aceh. Kedudukan uleebalang umumnya dapat diwariskan turun temurun. Mereka yang menduduki kursi uleebaang, biasanya adalah kalangan bangsawan, dan mendapat sebutan “teuku” di depan namanya. Panggilan terhadap seorang uleebalang adalah “teuku ampon”. Mekipun bisa diwariskan secara turun temurun, pengangkatan uleebalang harus mendapat persetujuan sultan, dibuktikan dengan adanya surat pengangkatan yang disebut sarakata. Surat tersebut dibubuhi cap kerajaan yang dinamakan 92
cap sikureung (cap sembilan). Cap ini merupakan lambang kekuasaan Sultan Aceh. Di antara uleebalang, ada yang menerima hak-hak istimewa dan tugas-tugas khusus dari Sultan. Mereka dinamakan uleebalang poteu. Kekuasaan uleebalang amatlah luas. Mereka memimpin wilayah yang terbentang lebar dan memiliki sumber daya alam dan manusia yang melimpah. Banyak pula urusan-urusan strategis yang tidak mampu dijangkau pemerintah kerajaan diserahkan pada uleebalang. Urusan seperi pengelolaan hasil bumi, perkebunan,persawahan hingga pertahanan negeri dengan membentuk barisan pasukan di daerahnya, juga menjadi sebagian tugas uleebalang. Oleh sebab luasya wilayah kerja uleebalang, tidak salah kiranya jika suatu negeri menjadi potret dari pemerintahan otonom dalam kerajaan Aceh. Uleebalang memiliki cara tersendiri, terlepas dari intervensi pusat, dalam mengelola wilayah kuasanya. Seringkali dijumpai,uleebalang tampil sebagai pemimpin yang merdeka, sedangkan kuasa Sultan hanyalah dianggap sebagai formalitas. Uleebalang memiliki tugas utama yakni memimpin suatu negeri, menjalankan setiap perintah Sultan yang tertulis dalam sarakata, menjalankan instruksi sultan, adat dan hukum serta menyediakan angkatan perang ketika dibutuhkan. Dalam tugastugasnya, ia banyak dibantu oleh imam mukim (pemimpin mukim) dan keuchik (pemimpin gampong). Uleebaang dibantu pula oleh seorang kali (berasal dari bahasa Arab, qadhi), yakni seorang hakim pengadilan. Dalam wilayah militer, uleebalang mengangkat seorang panglima perang, yang memiliki ciri khas sematan “pang” di depan namanya, sebagai gelar ia adalah seorang panglima perang. Panglima perang ini bertugas melatih dan menyiapkan penduduk nanggroe menjadi prajurit yang siap tatkala dbutuhkan. Di samping itu, banyak pula pembantu uleebalang lainnya yang membantu kerja atasannya.107 Mukim, sebagaimana yang disebutkan di atas, adalah tingkat pemerintahan yang bergantung dengan keberadaan masjid untuk shalat Jumat. Di masa pemerintahan Iskandar Muda, jumlah 107
Zakaria Ahmad, Keradjaan Atjeh ..., hlm. 89 – 90.
93
masjid di wilayah Aceh belumlah banyak. Dengan begitu, penetapan pemerintahan berdasarkan keberadaan masjid dianggap logis mengingat masjid merupakan simbolisasi tempat berkumpulknya masyarakat. Suatu mukim dijabat oleh imam mukim. Imam dimaknai sebagai orang yang berdiri di depan atau kurang lebih adalah pemimpin. Nuruddin ar-Raniri memberitakan bahwa di masa Sultan Iskandar Muda mulai digiatkan pembangunan masjid.108 Termasuk dalam proyek tersebut adalah pembangunan masjid Baiturrahman. Ini menandakan bahwa pemerintahan tingkat mukim baru diinisiasi setelah masjid-masjid tersebut terbangun dan mulai digunakan sebagai sarana ibadah lantas kemudian digunakan pula sebagai sarana sosial masyarakat. Adapun Pemerintahan mukim terbentuk manakala kedua fungsi utama masjid telah berjalan dengan baik. Dari manfaat tersebut mulai tumbuh kesadaran di kalangan penguasa serta masyarakat akan pentingnya pengadaan pemerintahan di wilayah luar ibukota kerajaan. K.F.H. Van Langen menyebutkan bahwa di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, di Aceh Besar baru berdiri 5 masjid, yaitu: 1. Masjid Baiturrahim terletak di Kutaraja (Dalem) 2. Masjid Baiturrahman 3. Masjid Indrapuri di Mukim XXII 4. Masjid Indrapurwa di Kuala Neujid atau Pancu di Mukim XXV 5. Ketiga buah Masjid di Ladong, Cadek dan Krueng Raya di Mukim XXVI109 Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, Imam mukim awalnya dijabat oleh orang-orang yang mengurus kepentingan kerohanian di masjid. Lambat laun, oleh karena masjid mengalami perluasan fungsi dari yang awalnya hanya memperhatikan masalah agama bergeser menjadi pusat perkumpulan warga dalam 108
Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin ..., hlm. 16. K.F.H. Van Langen, “De Inrichting van Het Atjehsche Staatbestuur Onder het Sultanaat” (s‟Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1888) hlm. 10-12; Lihat Juga Ridwan Azwad (peny), Lembaga-Lembaga Tradisional di Aceh (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 2003) hlm. 3. 109
94
bermufakat. Meluasnya fungsi masjid, ikut pula menambah peran imam masjid sebagai kepala pengurus kepentingan masyarakat. Tugas mereka akhirnya berubah menjadi kepala pemerintahan dalam suatu mukim.110 Biasanya,masjid tersebut berdiri di tengah gamponggampong yang secara administratif berada di bawah mukim. Jika tidak di tengah, paling tidak terletak di satu tempat yang paling dekat diakses oleh penduduk dari gampong-gampong sekitarnya. Terciptanya mukim merupakan dampak dari kuatnya pengaruh ulama di pemerintahan Aceh. Pada awalnya, seorang yang diangkat menjadi imum haruslah memiliki pengetahuan agama yang luas atau di Aceh dikenal dengan sebutan malem. Namun, sejalan dengan perkembangan zaman, setelah urusan masjid diserahkan pada petugas khusus, imum diangkat dari kalangan cerdik pandai dan jabatannya pun umunya bersifat turun temurun.111 Adapun gampong atau kampung adalah pemerintahan wilayah yang dikepalai oleh keuchik yang bertanggung jawab pada imam mukim. wilayah suatu gampong terbentang seluas pemukiman rakyat yang mengerjakan sembahyang lima waktu dan pengajian tingkat anak-anak di suatu meunasah atau dayah (pesantren). Meunasah sendiri biasanya dikepalai oleh teungku meunasah. Awalnya teungku menasah hanya membaktikan diri pada masalah-masalah ibadah namun belakangan ia terlibat aktif dalam masalah sosio-keagamaan seperti pernikahan, perceraian, waris, zakat, kematian di lingkungannya. Dalam membina masyarakatnya, biasanya keuchik dan teungku meunasah saling bahu membahu. Namun demikian,wewenang teungku meunasah berada dibawah keuchik. Gampong merupakan bentuk pemerintahan terkecil di kerajaan Aceh. Dalam suatu gampong terdapat satu atau dua meunasah. bangunan tersebut selain digunakan sebagai sarana ibadah, juga merupakan tempat rapat dan seringkali dijadikan 110
K.F.H. Van Langen, “De Inrichting van Het Atjehsche ...”, hlm. 1012; lihat juga Ridwan Azwad, Lembaga-Lembaga ..., hlm. 3 111 Zakaria Ahmad, Keradjaan Atjeh ..., hlm. 88 – 89.
95
tempat tidur pada pemuda lajang dan persinggahan atau penginapan para musafir.112 Zakaria Ahmad menyebutkan bahwa gampong merupakan susunan pemerintahan terbawah dari kerajaan Aceh. Gampong dapat disamakan dengan Desa di Jawa, Dusun di Sumatera Selatan, Huta di Batak dan Kampung di daerah-daerah Melayu lainnya. Bagian dari sebuah kota, atau wilayah pelabuhan atau bandar termasuk dalam kategori gampong. Mengenai proses terbentuknya gampong, tidaklah berbeda dengan proses terbentuknya daerah-daerah hukum terbawah di daerah-daerah lainnya. Serupa dengan tata pemerintahan kerajaan, gampong juga memiliki struktur pemerintahan, meskipun bentuknya masih sederhana. Dalam tugasnya, keuchik dibantu oleh wakilnya yang dinamakan waki. Staf-staf yang membantu kerja keuchik lainnya adalah teungku meunasah dan ureung tuha atau para cerdik pandai dan tokoh masyarakat yang berpengalaman dan mengetahui seluk beluk tradisi dan adat suatu gampong. Dalam masalah peradilan, keuchik dan perangkatnya bertindak sebagai hakim yang memandu jalannya sidang beserta pemberi ganjaran bagi suatu pelanggaran atau dalam istilah Aceh disebut adat meulangga. Umumnya mereka mempersidangkan perkara pidana yang kecil, cakupannya hanya ditingkat gampong.113 Selain gampong, dikenal pula pemerintahan tingkat petani yang disebut seuneubok yang dikepalai oleh peutua. Anggota masyarakatnya terdiri dari para petani. Wewenang peutua hanyalah mengurus masalah ekonomi dan pertanian masyarakat. Dalam bertugas, ia bisa langsung berkoordinasi dengan para imam mukim, uleebalang bahkan sampai Sultan serta kalangan yang memiliki modal. Peutua sama sekali tidak berhak mengurus kepentingan pemerintahan sekalipun di kalangan masyarakatnya. Jika peutua berhalangan biasanya ia menunjuk seorang yang menjadi wakilnya yang disebut seunebok peutua bibeueh.
112 113
Zainuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 314-315. Zakaria Ahmad, Keradjaan Atjeh ..., hlm. 86.
96
Seiring berjalannya waktu, banyak mukim-mukim baru tumbuh. Muncul penggunaan model pemerintahan federatif yang membawahi beberapa mukim. Federasi inilah yang dikepalai oleh uleebalang. Seorang yang diangkat uleebalang memperoleh sarakata, yakni semacam surat pengesahan dari Sultan Aceh. Uleebalang diberi mandat untuk mengatur sendiri wilayahnya, membuka perkebunan baru (seuneubok), memperluas lahan persawahan, mengurus sektor perikanan, peternakan dan lain sebagainya. Rakyat diberikan kebebasan membuka sawah dan kebun. Jika suatu lahan telah menjadi sawah atau kebun, rakyat boleh memilikinya asalkan membayar biaya raja talu (radja taloe), semacam pajak sawah dan kebun.114 Seneubok, menurut Zakaria Ahmad, bisa berubah menjadi gampong apabila telah memenuhi persyaratan memadai pendirian suatu gampong. Terdapat perbedaan informasi mengenai penjelasan terjadinya seuneubok menurut Zainuddin di atas. Zakaria berpendapat bahwa seuneubok merupakan daerah yang dihuni sekumpulan orang yang datang dari berbagai gampong. Keadaan ini bisa terjadi karena gampong seringkali mengalami ledakan penduduk, sehingga salah satu solusinya adalah membuka wilayah baru sebagai tempat tinggal. Boleh dikatakan seuneubok merupakan wilayah pra-gampong.115 Seuneubok sebenarnya tidak hanya dipandang sebagai pelengkap struktur kepemerintahan Aceh, melainkan adalah simbol dari persatuan masyarakat agraris. Sebagaimana yang sudah dipaparkan, wilayah perkebunan serta pertanian Aceh merupakan sumber penting bagi penghasilan kerajaan. Untuk itu, pengawasan untuk menjaga mutu hasil kebun dan tani sudah semestinya dilakukan. Merupakan suatu bentuk dari pengawasan, apabila menjadikan sekumpulan petani ke dalam suatu kelompok administratif tertentu. Hal ini dilakukan untuk mempermudah konsolidasi yang bersifat kooperatif, serta mempermudah komunikasi antara peutua seunebok dengan pejabat yang mengurusi masalah pertanian dan pejabat lainnya.
114 115
H. M. Zainuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 315 Zakaria Ahmad, Keradjaan Atjeh ..., hlm. 86.
97
Selain itu, keberadaan seuneubok merupakan bentuk layanan terpadu yang difasilitasi kerajaan bagi masyarakat petani. Sebagaimana diketahui, sebaran lahan pertanian dan perkebunan yang luas, seringkali membuat petaninya sedikit terasing dengan komunitas gampongnya. Jarak menjadi pemisah ditambah dengan akses jalan yang terkadang masih sulit di tempuh antara daerah pemukiman dengan lokasi perkebunan. Keberadaan seuneubok bisa pula membantu kerja keuchik dan teungku meunasah untuk mengurus masalah-masalah sosial masyarakat yang tergabung dalam komplek perkebunan atau pertanian yang sama. Dengan begitu, seuneubok memaksimalkan fungsinya pula sebagai agen pemberdayaan sosial. Tingkatan pemerintahan Aceh mulai dari negeri smpai gampong hanya ditemui di wilayah Aceh Besar atau Aceh Tiga Sagi. Adapun nama Tiga Sagi baru dijumpai tatkala masa pemerintahan Sultahan Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675). Kala itu mukim-mukim seluruh Aceh Besar masuk ke dalam federasi Tiga Sagi, yakni; Sagi XXII, Sagi XXV dan Sagi XXVI. Kesagian dipimpin oleh Panglima Sagi yang secara administratif berada di bawah Ratu Aceh. Adapun wilayah-wilayah takluk Aceh yang berada di luar kawasan Aceh Besar atau Aceh Tiga Sagi, berada langsung di bawah Sultan Aceh.116 Daerah kekuasaan Aceh amatlah luas dan memiliki kedudukan administratif yang berbeda. Ada yang sifatnya hanya pengakuan biasa, atau merupakan suatu bawahan yang dikenakan pembayaran upeti tahunan. Teuku Iskandar menyebutkan bahwa dalam surat Iskandar Muda yang dikirimkan kepada Raja James I, Raja Inggris kala itu, menyebutkan bahwa dirinya adalah penguasa banyak daerah dan raja yang diberkati Tuhan. Termasuk dalam kekuasaan kerajaannya di sebelah Timur meliputi Lubuk, Pidir, Samarlanga, Pesangan, Pasai, Perlak, Besitang, Tamiang, Deli, Asahan, Tanjung, Panai, Batu Sawar, Perak, Pahang dan Inderagiri. Sedangkan di sebelah Barat mencakup daerah Calang, Daya, Barus, Pasaman, Tiku, Pariaman, Salida, Inderapura, Selebar, Palembang dan Jambi menyatakan kesetiannya. Kecuali Palembang dan Jambi, seluruh daerah yang telah disebutkan dalam 116
H. M. Zainuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 314-316
98
masa yang pendek atau panjang menjadi bawahan Aceh. Tujuan terdepan dari politik regional Aceh ini bukan hanya sebatas menguasai, namun ingin menciptakan Pan- Melayu.117 Dalam skema perkembangan politik, A.F.K. Organski memasukkan periode masa dimana kerajaan menjadi tren pola pemerintahan dalam tipe politik unifikasi primitif. Pada tahap ini, tujuan dari para pemerintah amatlah banyak, di antaranya adalah meningkatkan harga diri dan kekuasaan nasional, sebagian yang lain juga turut menyisipkan agenda perkembangan ekonomi. Meskipun begitu, fungsi utama pemerintah tetaplah satu, yakni menciptakan persatuan nasional. Apapun masalah-masalah kenegaraan yang dihadapi, sumbernya adalah problem unifikasi. Hal tersebut dikarenakan suatu kerajaan biasanya berdiri di atas negeri-negeri yang saling berbeda dan ini selalu menjadi masalah yang membuat frustasi pemimpin kerajaan.118 Pendapatan Sultan, menurut Denys Lombard, berasal dari dua sektor, yakni tanah dan laut. Panen hasil ternak, kebun serta perikanan darat menjadi komoditas yang setiap hari dibawa pedagang ke ibukota. Tugas bendahara kerajaan menyisihkan jumlah yang diperlukan untuk pangan istana. Termasuk beras, disisihkan untuk kemudian dibagikan kepada hamba-hamba Sultan. Pajak tahunan juga menjadi sumber pendapatan raja. Dikisahkan bahwa Sultan Iskandar Muda memperhatikan pengelolaan tanah-tanah pertanian, terutama beras. Sultan Aceh tersebut berhasil mendongkrak produktivitas beras dari yang sebelumnya mengalami kelangkaan menjadi bahan pangan yang melimpah ruah. Di samping itu, pendapatan raja lainnya berasal dari kedudukannya sebagai pewaris harta masyarakatnya yang meninggal dan tidak memiliki anak laki-laki, dan anak gadis yang belum menikah sewaktu ayahnya meninggal. Para gadis tak 117
Teuku Iskandar, “Aceh as a Muslim-Malay Cultural Centre (14th – 19 Century)”, makalah dibawakan dalam First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies di Banda Aceh 24 – 27 Februari 2007, hlm. 1718. 118 A.F.K. Organski, Tahap-Tahap Perkembangan Politik, Terj. Nooroso Kuhardjo (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985) hlm. 7. th
99
berorangtua lengkap banyak yang dijadikan dayang istana dan warisannya masuk ke perbendaharaan kerajaan. Terpidana mati atau yang menjalani masa hukuman, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, hartanya ada yang disita dan menjadi sumber kekayaan kerajaan. Pajak kapal-kapal asing yang biasanya datang ke pelabuhan Aceh untuk berniaga masuk dalam kas istana. Sultan juga merupakan pewaris harta dan kekayaan orang-orang asing yang meninggal di wilayahnya dan surat wasiat mereka tidaklah berlaku. Di samping itu, Raja juga mendapatkan penghasilan dari Hak Tawan Karang. Hak tersebut adalah suatu kebijakan bahwa semua kapal yang bisa diselamatkan dari kapal karam dan mencapai pesisir pantai disita oleh kerajaan Aceh. Agustin de Beaulieu, pelaut Prancis yang sempat mengunjungi Aceh pada masa pemerintahan Iskandar Muda menerangkan pula bahwa hadiah merupakan bentuk penghasilan lain yang diterima sultan. Kedudukan hadiah agaknya setara dengan pajak dan hampir dianggap sebagai suatu kewajiban yang harus dipenuhi. Menurutnya, bentuk hadiahnya macam-macam, ada yang berupa cendera mata seperti senjata bernilai tinggi, batubatuan indah dan ada pula yang memberikan intan. Hadiah ini dianggap sebagai biaya tambahan yang tidak bisa diremehkan keberadaannya.119 Adakalanya, Sultan memerlukan dana khusus untuk pengeluaran-pegeluaran istimewa. Biasanya, Sultan akan mengirim utusan ke daerah-daerah bawahannya dengan membawa surat perintah khusus yang isinya diantaranya mencantumkan sejumlah biaya yang dibutuhkan.120 Penghasilan utama dari uleebalang serta panglima sagi yang diantaranya adalah imam mukim mengandalkan pada hasil sawah sendiri atau dari sawah-sawah Sultan yang dipinjam dan pengerjaannya diserahkan kepada rakyat. Para buruh tani tersebut mendapat bayaran sebesar 1/3 dari penghasilan sawah tersebut.
119 120
Denys Lombard, Kerajaan Aceh ..., hlm. 96-100. K.F.H. Van Langen, Susunan Kesultanan Aceh ...., hlm. 54.
100
Di samping itu, uleebalang juga mendapat bagian dari denda serta biaya dari perkara-perkara. Rakyat diwajibkan memberikan bantuan material ringan berupa pengadaan bambu, atap dan sebagainya untuk rumah-rumah yang ditinggali uleebalang atau anak-anaknya. Rakyat juga berkewajiban memperbaiki kerusakan-kerusakan kecil dari tempat tinggal uleebalang, pembangunan pagar, mengatapi rumah hingga membantu renovasi rumah pemimpinnya itu. Juga merupakan kegiatan lumrah ditemui bahwa para rakyat mengambil keuntungan dari penggarapan sawah-sawah uleebalang, sementara sang pemimpinnya menyediakan makanan bagi mereka. Sebenarnya, tidak ada peraturan spesifik yang mewajibkan rakyat memberikan jasa atau pemberian lain kepada para uleebalang mereka. Semua itu bersandar pada wibawa pribadi dan otoritas pribadi masing-masing uleebalang.121 Terlihat, betapa rekatnya hubungan rakyat dengan uleebalangnya. Hal yang sama sepertinya juga terbentuk dalam lingkungan pemerintahan di tingkat gampong dan meunasah. Bahkan, bisa dikatakan pada tingkatan inilah persentuhan masyarakat dengan pemerintahan administratif terkecil bisa dilihat keberadaannya. Pendapatan keuchik dan teungku meunasah juga diperkirakan sama dengan yang didapat para uleebalang dan imam mukim, hanya saja jumlahnya saja yang mungkin tidak sama. Pada praktiknya, antara tugas pemerintah sebagai administratur negeri dengan pemerintah sebagai sosok yang memahami agama tidaklah bisa dipisahkan.
121
K.F.H. Van Langen, Susunan Kesultanan Aceh ...., hlm. 55.
101
BAB V KERJASAMA ULAMA-UMARA DALAM MEMBENTUK KEHIDUPAN SOSIO-KEAGAMAAN ACEH DARUSSALAM
A. Terbentuknya Relasi Umara-Ulama Jika dilihat di bab sebelumnya, antara ulama dengan umara dalam beberapa segi, terhubungkan dalam peran yang serupa. Seorang pejabat kerajaan seperti Kadi Malikul Adil yang banyak bertugas memimpin dan menyelenggarakan peradilan di istana harus memiliki spesialisasi yang mumpuni dalam bidang hukum Islam, begitu pula dengan staf pembantunya. Kadi merupakan salah satu contoh yang mewakili peran umara. Di pihak lain, seorang mufti kerajaan, yang berasal dari kalangan ulama, di samping memiliki otoritas dalam mengeluarkan fatwa, juga dituntut mampu bersinergi dengan kebijakan raja selaku pemimpin kerajaan. Sudah barang tentu sang mufti juga dilengkapi dengan pengetahuan akan tata pemerintahan yang baik. Mufti Aceh, sebagai contoh, ketika dijabat oleh Syekh Syamsuddin as-Sumatrani, merupakan jabatan yang fleksibel dengan keadaan. Mufti Aceh ini, disamping menjalankan perannya sebagai mufti, juga memegang tugas-tugas lain yang penting di istana Aceh. Lombard mengutip Hikayat Aceh yang menyebutkan bahwa ia disebut sebagai pemimpin rohaniah masyarakat. Dia yang membaca al-Fatihah (dalam momen-momen besar atau tertentu) dan menerima laporan dari para peziarah yang kembali dari Mekkah. Ia juga menjadi orang yang diserahi tugas menjamu tamu, penjelajah atau duta yang berasal dari Eropa. Antara rentang waktu 1600 hingga 1630, dalam beberapa catatan Eropa, para tamu asing
102
itu kerap menyebut jabatan as-Sumatrani dengan sebutan “uskup” (bishop atau eveque).122 Pekerjaan menjamu tamu-tamu asing sudah tentu harus ditunjang dengan pengetahuan manca negara dan bahasa yang baik. Bukan tidak mungkin, orang seperti as-Sumatrani mempunyai keahlian berbahasa asing agar pembahasanpembahasan mengenai perekonomian serta sekedar membincangkan keadaan dua negara dapat berjalan dengan baik, dan yang terpenting memberikan keuntungan dua belah pihak. Kualifikasi ini pula kiranya yang membuat nama as-Sumatrani begitu diperhitungkan tidak hanya sebagai ulama namun juga dalam wilayah penting seperti ekonomi dan kebijakan internasional. Dengan begitu, dapat disebutkan bahwa sesungguhnya antara ulama adan umara, tidaklah terkelompokkan secara dikotomis, melainkan dua unsur yang dalam beberapa peran, bersama ketika menjalankan tugasnya. Kadang – kadang, umara pun bisa bertindak sebagai ulama, dalam kapasitas keilmuannya. Masa di kala Iskandar Muda memimpin kerajaan, merupakan masa-masa krusial bagi dinamika keagaamaan di lingkungan istana, lantas menyebar ke wilayah lainnya. Sejak awal pemerintahannya, sudah banyak nama-nama besar ulama yang muncul, yang kedudukannya amat dihormati oleh sesama ulama, pemerintah juga masyarakat luas. Kepopuleran mereka tidaklah semata-mata disandarkan hanya pada posisi mereka yang dekat dengan raja, melainkan dedikasi mereka dalam membangun pancang-pancang kuat yang menjadi titik pijak pembangunan aspek religio-sosial di masa-masa setelahnya. Beberapa waktu sebelum Sultan Iskandar Muda ditahbiskan sebagai raja, publik Aceh dan dunia Melayu telah mengenal kebesaran sosok Hamzah Fansuri. Azyumardi Azra menyebutkan bahwa Hamzah Fansuri merupakan sosok ulama besar yang banyak melakukan lawatan ke sejumlah negara di luar 122
Denys Lombard, Kerajaan Aceh; Jaman Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636), Terj. Winarsih Arifin (Jakarta: Balai Pustaka, 1986) hlm. 218.
103
Aceh. Dikabarkan, ia pernah mengunjungi beberapa pusat-pusat keilmuan di Timur Tengah, seperti di Mekkah, Madinah, Yerussalem dan Baghdad. Di kota terakhir itu, Hamzah dikabarkan masuk dalam tarekat Qadariyah. Dilaporkan pula, ia juga sempat mengunjungi tempat-tempat lain di Pahang, Kedah dan Jawa. Di pulau terakhir ia bahkan menyebarkan ajaran-ajarannya. Hamzah dikenal banyak menguasai bahasa asing seperti Arab, Persia dan besar kemungkinan Urdu. Ia merupakan penulis produktif dalam bidang keagamaan dan beberapa bentuk tulisannya adalah prosa-prosa yang memuat ajaran tasawuf. Oleh karena kepakarannya dalam dunia sastra itulah ia diyakini menempati posisi penting dalam perkembangan awal tulisan sufi di kawasan Melayu-Indonesia serta tokoh tersohor dalam tradisi kesusatraan Melayu. Amirul Hadi menambahkan, sejak masa Sultan Alaiddin Riayatsyah al-Mukammil, Hamzah menjalin hubungan yang baik dengan penguasanya itu. Selain menjalankan perannya sebagai pejabat tinggi keagamaan atau mungkin bergelar Syaikhul Islam. Saat mengunjungi Aceh pada tahun 1599, John Davis menyebutkan bahwa di kerajaan Aceh terdapat seorang pemuka agama yang dihormati oleh rakyat serta penguasa. Saat melakukan audiensi dengan Sultan Aceh pada September 1599, Frederick de Houtman sempat melihat seorang syekh yang bertindak selaku penasehatnya. Syekh ini pula yang kemudian pada Januari 1601, membujuknya untuk masuk Islam, setelah sebelumnya Kadi gagal melakukan hal yang sama. James Lancaster, duta kerajaan Inggris, pada tahun 1602, mengunjungi Aceh untuk melakukan perjanjian niaga. Di sana ia dihadapkan pada “uskup kepala” yang di kerajaan ini dikenal dengan gelar Syaikhul Islam. Orang yang disaksikan ketiga orang Eropa tersebut barangkali adalah Hamzah. Jika muncul pendapat bahwa orang itu adalah Syamsuddin as-Sumatrani, maka peluang pendapat itu amat kecil kebenarannya. Hal ini mengingat di masa
104
itu, Syamsuddin belumlah menjadi pejabat penting di istana, dan bisa dikatakan ia masih merintis karirnya.123 Antara Hamzah Fansuri dengan Syamsuddin as-Sumatrani terlibat dalam hubungan yang tidak jelas. Kebanyakan dari para ahli menyebut mereka bersahabat, namun yang lain berpendapat hubungan keduanya adalah seperti guru dan murid. Akan tetapi, yang diceritakan lebih banyak berkiprah di pemerintahan era Sultan Iskandar Muda adalah Syamsuddin as-Sumatrani. Dialah yang disebut-sebut sebagai chiefte bishop.124 Di bawah asuhan gurunya, Syamsuddin as-Sumatrani tentu saja mendapat pengetahuan lain disamping pengetahuan agama, seperti tata pemerintahan Aceh, pengetahuan geografis dunia dan amat mungkin bahasa. Kedudukannya sebagai perwakilan atau juru bicara Sultan tatkala menyambut para penjelajah Aceh, sedikit banyak dipelajarinya dari mendiang gurunya. Sepertinya, Hamzah Fansuri benar-benar mencetak Syamsuddin as-Sumatrani sebagai penggantinya di pemerintahan Aceh. Tidak bisa dipungkiri, ketokohan Syamsuddin di kancah pemerintahan Aceh, membuat Sultan Iskandar Muda mendapat partner yang sepadan, yang siap menyokong visi pemerintahannya. Sebagian besar kemajuan intelektual dan agama di Aceh merupakan wujud dari dedikasi tinggi Syamsuddin melayani atau menaggapi ide-ide sang Raja. Tentu tidak semua bentuk pembaruan berasal dari buah pikiran Iskandar Muda. Kebedaraan kabinet pemerintahan yang telah diterangkan di bab sebelumnya, merupakan organisasi pemerintahan yang juga banyak menyumbangkan gagasan serta menjalankan pekerjaan yang dititahkan oleh sang Sultan. Yusny Saby mengungkapkan bahwa as-Sumatrani, dan Hamzah Fansuri, juga berperan sebagai guru tarekat atau sufi bagi Sultan. Profesi inilah yang ikut menaikkan wibawanya di 123
Amirul Hadi, Aceh; Sejarah, Budaya dan Tradisi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010)hlm. 76. 124 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII (Jakarta: Kencana, 2007) cet. 3, hlm. 198-200.
105
lingkungan kerajaan Aceh. Hubungan antara guru rohani dan murid dalam dunia sufi terjalin dengan amat dekat. Bahkan, sang guru sufi kerap dianggap sebagai penuntun ke arah penyingkapan rahasia keilahian. Perannya semakin kompleks manakala asSumatrani dipercaya sebagai perwakilan Aceh menemui Sir James Lancaster, utusan Kerajaan Inggris pada 1602. Kemungkinan besar, kala itu Sultan Iskandar Muda belum lama naik tahta sebagai Sultan Aceh, sehingga membutuhkan bantuan pembimbingn menjalankan roda pemerintahan. Untuk persoalan yang menyangkut hubungan internasional, adalah layak jika dirinya menunjuk as-Sumatrani sebagai wakilnya. Di sisi lain, Lancaster menaruh penghormatan yang besar kepasa sosok asSumatrani.125 Amirul Hadi menambahkan bahwa kerjasama antara ulama dan umara pada masa Iskandar Muda, sampai-sampai termaktub dalam penerbitan sarakata. Amirul Hadi mengutip G.L. Tichelman yang menyebutkan bahwa sarakata adalah surat kesepakatan, jaminan, keputusan penguasa, keputusan pemerintahan, kode (undang-undang) penyelenggara pemerintahan. Meskipun sarakata dikeluarkan oleh Sultan, namun pada praktiknya, sebelum dikeluarkan, umumnya juga mengadopsi masukan dari para ulama. Setiap sarakata mungkin saja memuat isi yang saling berbeda. Namun, kesemuanya merupakan hasil dari kerja bersama dari Sultan, bangsawan dan ulama.126 Kepaduan bertindak antara Iskandar Muda dan Syamsuddin as-Sumatrani inilah yang diantaranya membentuk model kerjasama umara-ulama yang kemudian dianut pula oleh pemerintahan tingkat daerah, dari mukim hingga gampong dikemudian hari. Harapannya tentu saja, agar formula kesepadanan berkarya yang dilakukan umara dan ulama di tingkat pusat dapat menular dan semakin berkembang di seluruh wilayah Aceh.
125
Yusny Saby, “The Ulama in Aceh: A Brief Historical Survey”, on Studia Islamika, Vol. 8, no. 1, 2001, hlm. 17. 126 Amirul Hadi, Islam and State in Sumatra; A Study of SeventeethCentury Aceh (Leiden: Brill, 2004) hlm. 52.
106
Sebagai kerajaan yang memiliki wilayah supremasi politik yang luas dan besar, sudah sepatutnya Sultan dan jajaran stafnya memformulasikan suatu maket pemerintahan yang mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan mengikat keloyalan mereka kepada rajanya. Maksud tersebut sepertinya mendasari pembentukan tata kelola pemerintahan bawahan istana seperti mukim, gampong, meunasah hingga seuneubok. pihak istana berupaya mengikat ketundukan masing-masing negeri dengan memberikan sarakata, yang berarti pula suatu simbol bahwa wilayah tersebut, secara de facto, berada di bawah pemerintahan Sultan Aceh, yang kedaulatannya diwakili lewat sosok Imam Mukim. Hal yang terjadi di lingkungan istana, terkait dengan kesamaan fungsi dan tugas umara dan ulama, agaknya terjadi pula di wilayah tingkat daerah. Di wilayah gampong misalnya, sebagai potret satuan administratif pemerintahan Aceh terkecil, tugas-tugas sosio-kemasyarakatan yang diemban oleh keuchik, juga ada pula yang dibantu oleh teungku meunasah, tertutama ketika kegiatan tersebut berhubungan dengan nuansa keagamaan. Kedua belah pihak sudah saling mengetahui pembagian kerja masing-masing sehingga kekhawatiran terjadinya kompetisi yang tidak sehat, kecil kemungkinan terjadi. Kerekatan hubungan umara dan ulama di Aceh, sebenarnya terbentuk sudah sejak masa yang lama. Bisa dipastikan, dalam bentangan sejarahnya, tumbuh dan berkembangnya suatu kerajaan di wilayah Aceh, sejak masa Perlak, Linge hingga Aceh Darussalam, baik itu di wilayah pedalaman hingga pesisir Aceh, selalu melibatkan kontribusi ulama maupun sosok yang mengerti ajaran agama Islam lainnya. Di samping itu, persekutuan yang begitu mendarah daging antara dua kelompok masyarakat tersebut, ditopang pula oleh kondisi latar kehidupan rakyat Aceh yang memang disamping teratur dalam segi sosial, namun juga tertib pula dalam menjalankan ajaran agama. Bahkan, penghayatan agama di keseharian masyarakat Aceh sudah bukan lagi dimaknai sebagai keyakinan individu melainkan sudah mencapai taraf keyakinan 107
kolektif. dengan bahasa lain, agama sudah benar-benar menjelma menjadi faktor elemental penyokong kubah pergaulan hidup orang Aceh. Tidak berfungsinya peran pemerintah, tentu saja dapat membahayakan stabilitas kerajaan. Jika dilihat dari kesehariannya saja, ulama sudah amat disibukkan dengan pelbagai kegiatan keagamaan seperti mengajar, dari tingkatan anak-anak yang pendidikannya berjenjang, belum lagi siang atau sore harinya mengisi kegiatan kerohanian orang dewasa atau memenuhi undangan dari masyarakat yang memiliki hajat tertentu. Bisa dipastikan, untuk mengurusi administrasi pemerintahan berikut pelayanan publik lainnya, seorang ulama hampir kesulitan mengatur waktunya untuk menutaskan tugas-tugas itu seluruhnya. Sebaliknya, umara tidak memiliki pengetahuan agama yang luas untuk kemudian dapat memenuhi segala macam kegiatan yang berhubungan dengan profesi ulama. Jikapun ia mempunyai pengetahuan agama yang dalam, kendala lainnya adalah tersedianya waktu yang amat terbatas, mengingat dalam kesehariannya umara banyak mengurus masalah pemerintahan dan sosial masyarakat. Di masa Iskandar Muda, perhatian yang besar dicurahkan untuk memajukan syiar Islam. Bustanussalatin menyebutkan bahwa di masa ini pembangunan masjid-masjid di seantero pelosok Aceh mulai digalakkan.127 Ini merupakan suatu bentuk penghargaan pemerintah terhadap kegigihan para tokoh agama membangun kejiwaan dan moralitas masyarakat. Sultan Aceh kala itu kelihatannya sudah merencanakan bahwa pembangunan kerajaan bisa dikatakan berhasil tidak hanya sebatas pelebaran wilayah serta manajemen birokrasi yang luas dan teratur, melainkan juga akan mengarah pada upaya pembenahan kondisi keagamaan masyarakatnya. Untuk menunjang lancarnya visi tersebut, maka ulama sebagai pihak yang berkecimpung dalam aktivitas tersebut sudah selayaknya difasilitasi.
127
Nuruddin ar- Raniri, Bustanussalatin, bait 12 dan 13 (microfilm)( Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, tanpa tahun) hlm. 16.
108
Perhatian dari pihak kerajaan, ditanggapi pihak ulama dengan kooperatif. Mulai sejak itu, syiar Islam semakin rata memasuki wilayah-wilayah pedalaman Aceh, dari yang masih minim pengaruh Islam hingga wilayah-wilayah yang masuk dalam kategori belum memeluk Islam. Keberadaan masjid membuat penyelenggaraan agenda-agenda dakwah Islam dapat berjalan dengan lancar, yang berarti pula semakin meluasnya sebaran Islam di tengah masyarakat. Belakangan, masjid ternyata dipandang tidak mampu mewadahi umat Islam yang jumlahnya semakin membesar. Pendirian meunasah kemudian dimanfaatkan untuk merawat tradisi keagamaan masyarakat dalam cakupan lingkungan yang lebih kecil. berdirinya meunasah, selain belakangan juga dijadikan tempat bermusyawarah, juga dijadikan wahana untuk mempelajari ajaran Islam. Seorang teungku meunasah memiliki tanggung jawab dalam mengajarkan ilmu-ilmu dasar Islam seperti bacaan alQur‟an, fikih, tauhid serta beberapa pengetahuan dasar lainnya kepada anak-anak kecil yang tinggal di lingkungan meunasah. Di antara anak-anak muridnya, biasanya ada yang memiliki keinginan tinggi untuk memahami seluk beluk seluruh ajaran agama. Setelah menamatkan pelajarannya di meunasah, mereka akan melanjutkan pendidikannya dengan materi yang jauh lebih kaya di lembaga pendidikan yang disebut dayah.128 Untuk sampai ke dayah, pengetahuan yang didapat di meunasah menjadi sesuatu yang harus dikuasai, sehingga ketika nanti sudah di dayah tidak harus mengulang lagi dari awal. Teungku meunasah merupakan figur yang mengayomi dan mempunyai otoritas penuh dalam membentuk orang Aceh sejak dini yang taat agama serta mau berkorban demi kepentingan agamanya kelak. Snouck Hurgronje menyebutkan bahwa sejak lebih dari tiga abad yang lalu, yakni abad 16, 17 dan 18, 3 cabang keilmuan Islam (fiqih, usul dan tasawwuf; atau dalam istilah Aceh disebut pikah, 128
Ada pendapat yang menyebutkan bahwa penyebutan dayah berasal dari kata bahasa Arab zawiyah. Lihat Oman Fathurrahman dkk, peny, Katalog Naskah Dayah Tanoh Abee Aceh Besar (Depok: Penerbit Komunitas Bambu, 2010) hlm. X.
109
usuy dan teusawoh), sudah menjadi mata pelajaran yang amat populer dikaji oleh para pelajar Aceh. Biasanya mereka juga melengkapinya dengan pengetahuan tata bahasa Arab. Dari ketiga cabang ilmu tersebut, Hukum (fikih) menjadi pelajaran yang paling digemari oleh karena bisa langsung dirasakan kegunaan praktisnya. Banyak pelajar yang mencari ilmu di daerah sendiri, namun tidak sedikit pula yang belajar hingga sampai ke Mekkah dan Malaka. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, oleh karena sejak abad 16 dan 17, raja-raja pesisir Aceh sudah mendulang begitu banyak keuntungan, kemakmuran tersebut menular pula pada gairah intelektual di Aceh. Pada rentang waktu tersebut, sudah banyak ditemukan kitab berbahasa Melayu mengenai ajaran Islam yang beredar di Aceh. Di antara para pengarang yang terkenal, baik yang berhaluan mistik (tasawwuf) maupun ortodoks (hukum), lebih banyak yang berasal dari negeri asing (luar Aceh) dan tidak ditemukan ulama asli Aceh yang menulis kitab serupa.129
B. Kiat-Kiat Ulama-Umara Dalam Menyelesaikan Problem Sosial Sebagaimana telah disampaikan, kuatnya pemerintahan Iskandar Muda adalah karena di tubuh pemerintahan Aceh terdapat manajemen organisasi yang kuat dan sehat. Hampir setiap komponen kerajaan berjalan dengan teratur sehingga bisa dikatakan suhu politik dalam negeri stabil. Tentu tidaklah mungkin terjadi, manakala kebijakan politik sang raja, yang mengusung misi menjadikan Aceh sebagai sentra kekuatan maritim di Sumatra, ternyata keropos di dalam. Jikapun terjadi, tentu saja masanya tidak lama, mengingat pergolakan internal kerapkali mengganggu stabilitas kerajaan. Keharmonisan antara penguasa dengan ulama menjadi kunci penting dalam merumuskan langkah-langkah strategis
129
C. Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis, Jilid I, Terj. Ng. Singarimbun (Jakarta: Yayasan Sokoguru, 1985) hlm. 21.
110
mengenai pemberdayaan sosial. Yahaya bin Jusoh menyitir suatu manuskrip berjudul Majlis Aceh atau Adat Aceh, tertulis bahwa: Apabila raja itu hormat akan segala pendita jadilah berdiri agama dan apabila raja hormat akan segala menteri menakuti oleh segala rakyat akan menteri barang pekerjaan raja oleh menteri itu Secara lebih spesifik Yahaya bin Jusoh menarik benang merah bahwa rangkaian bait di atas adalah pentingnya fungsi konsultasi di kalangan pejabat kerajaan.130 Konsultasi dicontohkan misalnya saja terjadi tatkala sedang menghadapi suatu persidangan, baik penguasa maupun ulama, saling memberikan pandangan terkait putusan yang tepat dijatuhkan akan suatu perkara. Pemerintah yang dikatakan sebagai menteri, meskipun memiliki otoritas mengeluarkan putusan, tetap saja diharuskan meminta pertimbangan para ulama (pendita). Suatu putusan yang datang dari keduanya adalah menjadi putusan yang dianggap sebagai kebijaksaaan. Lebih jauh Yahaya bin Jusoh menegaskan bahwa konsultasi dalam negara (kerajaan) yang berbasiskan hukum Islam sudah menjadi suatu identitas. Pertemuan atau suatu musyawarah untuk mencapai mufakat merupakan satu bentuk konsultasi, yang seiring berjalannya waktu, telah menjelma menjadi adat.131 Kesalinghubungan ini berimbas pada penguatan ikatan yang seterusnya menjadi suatu tradisi. Mufakat bagi penguasa berarti pula adanya restu dari kalangan ulama, utamanya ulama yang menjadi pendamping selama masa jabatannya. Kerekatan penguasa dengan ulama dalam kepemerintahan ditengarai sebagai faktor penting tergelarnya keharmonisan serta kemakmuran bagi masyarakat Aceh. Namun, tujuan tersebut tentu saja tidaklah mudah dicapai, mengingat banyak cara maupun tindakan yang dilakukan. Agar pembahasan menjadi lebih rinci, begikut akan disampaikan kiat apa saja yang dilakukan penguasa 130
Yahaya bin Jusoh, “Majlis Aceh (Adat Aceh)” tesis, University of Kent , 1986 (tidak dipublikasikan) hlm. 109 – 110. 131 Yahaya bin Jusoh, “Majlis Aceh ...”, hlm. 111.
111
dan ulama dalam mengupayakan kesejahteraan di tengah rakyat Aceh: 1. Memperteguh persatuan melalui adat Adat menjadi salah satu alat perekat sosial. Sekumpulan manusia yang hidup bersama bisa saling merasakan dan menghargai manakala di antara mereka sudah muncul suatu identitas yang menunjukkan bahwa mereka adalah sama satu dengan lain, dan di antara mereka ada sesuatu yang mengikat. Salah satu ikatan kelompok manusia itu adalah adat. Adat Aceh merupakan hasil dari perpaduan hukum lokal dengan hukum Islam. Di dalam tata peraturannya, hukum Islam tidaklah dimaknai dengan kearifan lokal. Meskipun nuansa keilslaman begitu dominan, namun antara hukum Aceh dengan pelaksanaan hukum Islam di belahan bumi lainnya, sedikit banyak mempunyai perbedaan. Perbedaan ini sifatnya khas, ini dilatarbelakangi dengan proses dialog antara ajaran Islam dengan latar budaya masyarakat setempat. Posisi ibukota Aceh yang berada di wilayah pesisir, ikut mempengaruhi pola pikir masyarakat Aceh. Banyaknya orang asing yang datang perlahan membuat mata mereka semakin terbuka melihat betapa semaraknya bangsa-bangsa dunia dengan beragam adat tradisinya. Lama kelamaan, semakin terbiasa orang Aceh mengenal dan berdialog dengan para pendatang asing, utamanya dalam urusan perdagangan. Kian akrab, pembicaraan kian mengarah ke bidang lain seperti keluarga, tradisi dan tema lain adalah keyakinan atau keagamaan. Jika dibayangkan, kurang lebih, ilustrasi dialektika di atas bisa dikatakan sebagai pintu masuk dikenalnya Islam di lingkungan orang Aceh. Dalam lingkungan yang penuh kekerabatan antara kaum pendatang dan pemukim itulah, perlahan Islam dipeluk oleh masyarakat Aceh secara luas, hingga menyentuh wilayah pedalaman. Pada akhirnya, orang Aceh pun mengetahui, di antara para pedagang asing itulah ada kelompok ulama, yakni sosok yang dianggap paham mengenai hukum Islam. 112
Oleh karena kekurangan tenaga ahli yang mengajarkan Islam, maka ulama-ulama dari mancanegara itupun diminta untuk mengajari pribumi dalam mengenal agama barunya. Pada tahap ini, ulama bukan lagi dianggap orang lain, namun sudah dianggap sebagai pengayom masyarakat, yakni sosok yang menampung kegelisahan batin dan sesekali masalah kehidupan seseorang. Ulama di tengah masyarakat menjadi pemegang supremasi utama dalam bidang agama. Kedudukannya ini mempunyai dimensi luas, yakni membuatnya fleksibel menjelajahi segenap ruang – ruang kehidupan manusia. Mulai dari tingkat pemerintahan hingga tataran masyarakat bawah, ulama mampu bersinergi dengan para tokoh yang relevan sehingga ilmu yang dimilikinya bukan hanya diamalkan, namun juga menjadi petunjuk bagi para raja, pejabat serta tokoh masyarakat serta rakyat luas. Rushdi Ali Muhammad mengatakan bahwa dalam beberapa literatur klasik, ulama dikenal dengan istilah al-ijtihad, yaitu segolongan orang yang mempunyai keahlian atau kepakaran sehingga dianggap pantas melakukan ijtihad, yakni upaya maksimal dari seorang ahli fikih (fakih) dalam menyelesaikan masalah hukum syariat yang bersifat zhanni. Orang yang mengeluarkan ijtihad disebut mujtahid. Seorang mujtahid diyakini mampu memberikan nasihat serta arahan guna menuntaskan masalah – masalah yang tidak saja berdimensi agama namun juga sosial. Rushdi mengatakan bahwa seorang ulama yang telah digelari mujtahid, hendaknya mampu memenuhi persyaratan spesifik yang meliputi: a. Menguasai al-Qur‟an dan hadis b. Mengetahui ijma‟ (ketetapan tertentu sebagian besar ulama) sehingga ia tidak sampai mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan ijma‟. c. Menguasai bahasa Arab sehingga memungkinkannya menggali hukum dari al-Qur‟an dan Sunnah secara baik dan benar d. Menguasai ilmu Ushul Fiqih, karena melalui ilmu inilah diketahui dasar – dasar serta metode berijtihad 113
e. Mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang dihapusakan) f. Mengetahui perkara seputar qiyas, mencakup persyaratan – persyaratannya, illat – illat hukum serta metodologi istinbath-nya dari nash g. Memiliki pemahaman mengenai maqashid al-syar‟iyyah dalam menetapkan hukum. Yang dimaksud dengan maqashid al-syar‟iyyah adalah usaha menjaga kemaslahatan manusia dengan cara mengambil manfaat serta menolak mudharat bagi manusia. Dengan mengutip pendapat Imam Gazali, Rushdi meringkas ketentuan – ketentuan di atas menjadi dua, yaitu; a. Menguasai tujuan syariat serta mampu menangkap maksud pengerjaan hukum Islam dengan mengerahkan kemampuan nalarnya dan dapat men-taqdim-kan atau men-ta‟khir-kan sesuatu menurut seharusnya. b. Bersifat adil dan jauh dari perilaku maksiat; sebab orang yang maksiat fatwanya tidak bisa dipegang sebagai suatu hukum Setiap persyaratan di atas, tentu bukanlah sesuatu yang sifatnya baku. Beberapa pendapat lain justru memberikan persyaratan yang lebih berat atau sebaliknya. Misalnya saja pengetahuan tentang al-Qur‟an, ada yang mencukupkan hanya sebatas ayat – ayat hukum saja. Demikian pula halnya dengan hadis, ada yang mengatakan cukup dengan penguasaan 500 hadis. Namun, Ahmad bin Hanbal, dalam suatu riwayat, menyebutkan harus menguasai 500.000 hadis.132 Seiring berjalannya waktu, ulama yang telah bersinergi menjadi elemen vital dalam kerajaan Aceh, semakin menemukan penguatan tatkala di masa Iskandar Muda dirumuskan suatu perundang-undangan yang mengatur kehidupan bernegeri seluruh Aceh Darussalam yang dinamakan Adat Meukuta Alam. Undang – 132
Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari‟at Islam di Aceh; Problem, Solusi dan Implementasi ( Jakarta: Logos, tanpa tahun) hlm. 75 – 76.
114
undang ini merupakan suatu produk dari komposisi hukum agama dan adat yang menjadi pembuktian bahwa antara umara dan ulama memiliki komitmen untuk bersama membangun kerajaan yang lebih teratur dan bermartabat. Adat Meukuta Alam membagi empat tugas yang berkisar pada masalah adat, agama, kanun dan pertahanan. Kanun yang bisa diartikan sebagai majelis yang mengurus masalah sopan santun dan perkawinan sejatinya bisa disamakan dengan adat. Sedangkan pertahanan menyangkut masalah teknis penjagaan kerajaan atas serangan musuh dari dalam dan luar. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa unsur yang membentuk perundangan Aceh adalah sebagian besar diambil dari produk adat dan hukum agama. Dua sosok yang memiliki andil mengurus wilayah itu adalah raja (umara) dengan ulama.133 Undang – undang Aceh tersebut menjadi pembuktian tersendiri bagi ulama, bahwa kedudukan mereka masih sangat berpengaruh dalam pemerintahan Aceh. Wawasan hukum agama yang dimilikinya merupakan keistimewaan yang begitu dihargai di lingkungan pemerintahan. Terlebih, Aceh menjadi kerajaan besar berkat perkembangannya yang senantiasa disokong oleh perekonomian di mana bangsa – bangsa asing yang menjadi penggeraknya adalah orang Islam. Sosok – sosok asing yang kemudian turut mewarnai pemerintahan serta kehidupan sosial Aceh kelak, dan belakangan menjadi pribumi yang disebut orang Aceh itu sendiri. Menghargai dan menggunakan pengetahuan ulama sebagai landasan merumuskan kebijakan merupakan suatu manfaat tersendiri. Perpaduan antara simbolisasi raja dengan kebesaran adat yang dijaga secara turun temurun dengan ulama sebagai pemasok hukum – hukum Islam nyatanya mampu membawa masyarakat Aceh sebagai bangsa yang besar dengan mentalitasnya. Tentu saja, ini bisa dimaknai sebagai suatu kerjasama filosofis merumuskan dasar kenegerian yang menjadi landasan masyarakat Aceh di masa – masa setelahnya. 133
Zainuddin, Singa Aceh; Biographi Seri Sulthan Iskandar Muda (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1957) hlm. 89.
115
Pada tahun 1642, Pieter Willemz melaporkan suatu kisah mengenai proses hukum yang pernah terjadi di Aceh ketika Sultanah Safiatuddin berkuasa. Terdapat seorang Aceh yang divonis mati oleh Qadhi Malikul Adil dan dewan hakim lainnya dalam kasus pembunuhan. Sang terpidana mengajukan permohonan untuk mengganti hukuman itu dengan denda berupa uang sebanyak 388 tahil. Permohonan itu dibawa kehadapan Sang Sultanah. Sang Ratu tidak segera memberikan keputusan, namun ia memeirntahkan agar perkara itu diselesaikan menurut suatu kebiasaan yang berlaku dan hukum yang dianut.134 Potret peristiwa di atas, menunjukkan kerjasama yang sudah matang terpelihara antara pihak kerajaan dengan dewan kehakiman. Sang Ratu tidak lantas segera menjatuhkan perintahnya, dengan alasan bahwa tugas itu sebenarnya adalah bukan wewenangnya. Namun, keberadaan permohonan yang diajukan terpidana ke hadapan Sultanah, mengindikasikan bahwa dalam beberapa kasus qadhi juga membutuhkan arahan atau masukan dari orang yang berpengaruh di kerajaan. Jika dikatakan kerjasama semacam ini pernah terjadi di masa lampau, maka, apa yang dirumuskan pemerintahan Iskandar Muda dengan perangkat istananya ini, adalah suatu penyegaran akan cita perundangan Aceh. Suatu satuan hukum kerajaan yang dirumuskan sebagai alat mengatur kenegerian dan sebagai wahana menciptakan ketertiban sosial dan kesepemahaman sosial. Sesuatu yang kemudian membawa dampak positif pula bagi keberlangsungan kehidupan beragam di tataran daerah luar istana. 2. Pendidikan Sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya, salah satu fungsi ulama adalah transformator ilmu pengetahuan bagi masyarakat luas. Melalui pengajian atau temu ilmiah, baik yang diadakan di balai pendidikan ibukota hingga dayah – dayah yang tersebar di gampong – gampong, ulama tampil sebagai sosok pemberi jawaban bagi kegelisahan intelektual masyarakat Aceh. Ulama dianggap sebagai sekelompok orang yang di balik sisi kemanusiaannya terkandung berlimpah – limpah pengetahuan 134
Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 175.
116
yang memang menyiapkan diri sebagai tempat bertanya sekaligus penyebar kebijaksanaan bagi orang banyak. Rusjdi Ali Muhammad mengatakan bahwa dalam sejarah Aceh, ulama sebenarnya mempunyai fungsi sebagai pewarta ilmu dan dakwah Islam, di samping fungsinya sebagai pendamping kekuasaan atau raja. Ulama dan sultan dipandang sebagai mitra sejajar yang bekerja memimpin dan mendidik masyarakat serta membangun kehidupan yang adil dan makmur berbasiskan kecerdasan tingkat berpikir masyarakatnya. 135 Ulama beserta pemerintah memandang kesejahteraan yang diwujudkan tidak semata – mata ditunjukkan dengan perkembangan pesat ekonomi serta stabilitas politik semata. Terciptanya kehidupan masyarakat yang agamis dan ilmiah justru merupakan tujuan yang lebih luhur ketimbang dua aspek itu. Sebagaimana yang telah dipaparkan, Banda Aceh, di era Sultan Iskandar Muda menjadi mercusuar intelektual yang dikenal di Sumatera dan di dunia Melayu serta tidak menutup kemungkinan di belahan Nusantara lainnya. Tidak dapat dipungkiri, tersohornya Aceh sebagai kiblat intelektual di Asia Tenggara mampu dicapai berkat kerja keras serta pengabdian para ulama, yang memang membawa misi penerang bagi kegelapan berpikir dan bernalar suatu umat. Melalui pelbagai kegiatan intelektual, mulai dari diskusi, ceramah, debat serta penulisan kitab merupakan sebagain cara efektif yang dikerjakan ulama berikut para muridnya untuk membudayakan langgam belajar di tengah kehidupan rakyat. Erawadi menyebutkan bahwa dalam tradisi intelektual Islam, nilai – nilai relijius sesungguhnya telah pula mempengaruhi kehidupan istana.136 Keadaan itu disebabkan oleh semakin rekatnya hubungan para pembesar kerajaan dengan kalangan cerdik pandai, penasehat, mufti yang kebanyakan dari mereka adalah ulama. Posisi mereka yang tidak tergantikan sebagai sosok 135
Rusjdi Ali, Revitalisasi …, hlm. 80. Erawadi, Tradisi, Wacana dan Dinamika Intelektual Islam Aceh Abad XVIII dan XIX (Jakarta: Departemen Agama Puslitbang Lektur Keagamaan , 2009) hlm. 27. 136
117
yang dituakan, dianggap sebagai pengasuh dan pemberi ketenangan bagi raja di kala menghadapi keadaan yang serba sulit, membuat aktivitas mereka begitu intens mengembangkan misi mereka sendiri yakni sebagai agen penyebar ajaran Islam dan tidak menutup kemungkinan pengetahuan lainnya, baik di dalam maupun dilur tembok istana. Lebih lanjut, para ulama menjadi pendamping setia Sultan serta perangkat pemerintah lainnya, (termasuk hingga tataran pemerintah daerah), dengan memberikan pandangan – pandangannya terkait bagaimana mengatur masalah sosial dan politik kerajaan. Tidak jarang, raja meminta para ulama untuk merumuskan dan menuliskan hukum serta undang – undang yang berlaku di kerajaan. Akibat pengabdiannya itulah, pihak kerajaan menaruh perhatian lebih untuk memfasilitasi keperluan para ulama dalam berdakwah di samping memang adanya keinginan luhur dari pihak istana akan hal itu. Begitu pula halnya terhadap keadaan pendidikan dan pengajaran di lingkungan kota hingga pedesaan. Sebenarnya, keterkaitan ulama dan umara bukanlah terjadi begitu saja di masa Iskandar Muda. Apa yang banyak diuraikan sebelumnya hanyalah suatu tampilan yang sudah terbentuk sejak masa yang lama. Dengan kata lain dapat dikatakan, kegiatan intelektual yang diagendakan kerajaan di masa ulama terlibat di dalamnya, sudah dilakukan dan ditumbuhkan sejak masa yang lama. Erawadi menambahnkan bahwa pada masa perdana perkembangan lembaga kesultanan, tradisi dan aktivitas keilmuan tidak hanya dilakukan oleh para ulama, tetapi juga Sultan berkecimpung di dalamnya. Dalam kasus Aceh, contoh perihal keterlibatan Sultan dalam dunia intelektual diceritakan oleh Ibnu Bathutah, seorang pengembara asal Maroko yang berkunjung ke Pasai pada 1345 dan 1346. Ia menyatakan bahwa raja negeri itu sebagai pribadi yang saleh dan gemar berdiskusi dengan para ulama fikih mazhab Syafi‟i. Oleh sebab itu, ia membentuk suatu majlis khusus tempat para ulama menelaah dan mengkaji hal – hal yang berhubungan dengan agama. Setiap Jumat, Sultan berjalan kaki menuju masjid sebagaimana orang kebanyakan. Sepanjang 118
jalan, digunakannya untuk bertatap muka dengan rakyatnya. Setelah shalat Jumat, Sultan meneruskannya dengan membuka pengajian hingga menjelang Ashar. Sultan juga giat mendukung tersebarnya Islam hingga ke pedalaman Sumatera. Di kesempatan yang lain, masih di Aceh, Ibnu Batutta berjumpa dengan dua orang pejabat istana Pasai, yang pertama adalah ahli fikih dari kelompok orang – orang Timur Tengah bernama al-Qadhi al-Syarif Amir Sayyid al-Syirazi dan Taj al-Din al-Isfahani dari Persia. Erawadi menyitir keterangan Yusuf bin Ismail al-Nabbani dalam kitabnya Jami‟ Karamat al-Auliya, menyatakan bahwa seorang ulama bernama al-Yafi‟i, seorang syekh tasawwuf terkenal di Mekkah berguru pada seorang “alJawi” (Melayu) yang bernama Syekh Abu Abdillah Mas‟ud bin Abdillah al-Jawi pada sekitar abad 13 H. Informasi itu menunjukkan bahwa di Mekkah sudah ada seorang ahli tasawwuf asal Nusantara. Hikayat – hikayat Melayu juga mengisahkan adanya kegiatan intelektual di kalangan istana dan di lingkungan masyarakat. Hikayat Raja – Raja Pasai misalnya, juga menyebutkan adanya sejumlah pembesar negeri di masa Malik alSaleh yang melibatkan diri dalam dunia akademik. Di antara mereka adalah Sayyid Ali Ghiatuddin (Tun Sri Kaya) dan Sayyid Asmayuddin (Tun Baba Kaya). Keduanya berprofesi sebagai guru kerajaan. Paska mangkatnya Sultan Malik al-Zhahir (putra Malik al-Saleh) kedua anaknya yang bernama Sultan Malik al-Mahmud dan Sultan Malik al-Manshur, menjadi murid dari dua guru istana di atas. Sayyid Ali Ghiatuddin menjadi pengasuh dan guru Sultan Malik al-Mahmud, sedangkan Sayyid Asmayuddin menjadi pengasuh dan guru Sultan Malik al-Manshur. Ketika Sultan Malik al-Mahmud didapuk menjadi Sultan Pasai, Sayyid Ghiatuddin dipercaya sebagai perdana menteri Kerajaan Pasai, sedangkan Sayyid Asyamuddin menjadi perdana menteri Kerajaan Samudra. Kegiatan keilmuan di Aceh semakin menunjukkan kemajuan tatkala memasuki abad XVI. Munculnya beberapa ulama dan ahli tasawwuf yang menulis buah pemikirannya menjadi salah satu indikator utamanya. Semangat keilmuan dan kecintaan akan 119
tradisi kesufian membawa kemajuan pula pada aspek sastra. Syairsyair bernuansa sufi semakin dicintai dan didendangkan di Aceh. Di antara ulama sufi tersebut adalah bernama Hamzah Fansuri. Ia menjadi sosok sufi Nusantara yang syair – syairnya memiliki tingkat spiritualitas yang tinggi.137 Ia dan muridnya, Syamsuddin as-Sumatrani menjadi sosok yang berpengaruh dalam kemajuan intelektual di Aceh hingga menyentuh pertengahan abad 17. Hamzah Fansuri adalah seorang sufi yang rajin menulis buah pemikirannya. Di antara karya-karyanya antara lain; 1) Syarabul Asyikin, Zinatul Muwahhidin, yang membahas masalah tarekat, hakikat dan makrifat; 2) Asrarul Arifin Fi Bayani Ilmis Suluk Wat Tauhid, yang mengupas masalah ilmu suluk dan tauhid; 3) al-Muntahi, yang berisi masalah-masalah Wahdatul Wujud, dan; 4) Rubai Fansuri, yakni berisi kumpulan puisi-puisi.138 Sedangkan beberapa karya Syamsuddin as-Sumatrani antara lain; Miratul Mukminin (cermin perbandingan bagi orang mukmin), Jauharul Haqaaiq (permata kebenaran), Risalatul Baijin Mulahadhatil Muwahhidin „alal Mulhidi fi Zikrillah (Tinjauan para ahli Tauhid tentang orang-orang yang menyesatkan Allah), Kitabul Harakah (mungkin tentang ilmu bahasan), Nurul Daqaaiq (cahaya yang murni) dan lain sebagainya.139 Perbincangan mengenai ilmu sepertinya menjadi topik yang cukup mengesankan di lingkungan masyarakat Aceh. Kitab – kitab yang belakangan ditulis ulama Aceh, menunjukkan bahwa kebebasan intelektual telah tercipta meskipun dengan keadaan yang bisa dikatakan tidak boleh berseberangan dengan kepentingan kerajaan. Menjadi suatu hal yang lumrah jika karir seorang ulama di istana amat berhubungan dengan bagaimana ia bergaul dengan kalangan istana. Jika mereka pandai mencairkan suasana dan menunjukkan keterbukaan serta pribadi yang santun, maka mereka akan mendapat tempat dalam pergaulan istana. Satu contoh menarik dari hal tersebut adalah tergambar dalam kisah hidup serta dedikasi Nuruddin ar-Raniri dalam 137
Erawadi, Tradisi dan Wacana …, hlm. 29. Hasjmy, Kebudayaan Aceh ..., hlm. 196 – 197. 139 Untuk lebih lengkapnya mengenai karya as-Sumatrani lihat Hasjmy, Kebudayaan Aceh ..., hlm. 198. 138
120
memadukan antara hasrat intelektual yang tetap berpijak pada realitas politik di mana ia hidup. Sebagaimana telah disinggung di bagian sebelumnya, Nuruddin ar-Raniri merupakan ulama yang kontra dengan paham Wujudiyah yang sebelumnya disebarkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani. Saat ia menjabat sebagai penasehat kerajaan, menggantikan Syamsuddin as-Sumatrani, ternyata, ia menunjukkan ketidaksetujuan akan paham Wujudiyah dengan jalan menulis suatu kitab. Nuruddin ar-Raniri merupakan salah satu ulama kaliber internasional yang berkarir di Aceh. Setelah menamatkan pendidikan dasarnya di Ranir, ia melanjutkan pendidikannya ke Hadramaut, Yaman. Namun, pendapat lain mengatakan ia langsung pergi ke Haramain, untuk melanjutkan studinya sekaligus menunaikan ibadah haji. Sangat mungkin di sana ia sempat berkenalan dan bergaul dengan jamaah haji Jawi sebelum kembali ke Gujarat. Salah satu guru yang paling terkenal dari ar-Raniri, bernama Abu Hafs Umar bin Abdullah Ba Syaiban at-Tarimi alHadrami(w. 1656). Ba Syaiban inilah yang menurunkan dan mengajarkan amalan tarekat Rifaiyah kepada ar-Raniri.140 Hermansyah melakukan penelisikan terkait kitab Tibyan fi Ma‟rifat al-Adyan yang merupakan salah satu karya Nuruddin arRaniri. Kitab ini ditulis untuk memenuhi permintaan Sultanan Safiatuddin Tajul Alam Syah untuk memperkuat fatwa Nuruddin ar-Raniri mengenai kesesatan penganut Wujudiyah, yang dikeluarkannya sejak era Sultan Iskandar Thani. Naskah ini ditulis untuk menjembatani kelompok – kelompok yang saling bertikai mengenai paham keagamaan di Aceh. Dalam naskah ini disebutkan pula kesetujuan Nuruddin atas kepemimpinan seorang ratu di Aceh. Mungkin, yang terakhir merupakan bentuk terima kasih atau semacamnya, sebagai penghormatan pada ratu yang memeberikan kepercayaannya pada dirinya.141
140
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abd XVII & XVIII (Jakarta: Kencana, 2007) hlm. 205. 141 Hermansyah, “Naskah Tibyan fi Ma‟rifat al- Adyan: Interpretasi Aliran Sesat di Aceh Menurut Nuruddin ar – Raniri” dalam Jumantara, edisi 01, Vol. 5 Tahun 2014. hlm. 45.
121
Meskipun pada masa itu Aceh disibukkan dengan silang sengkarut paham keagamaan, Nuruddin ar-Raniri agaknya masih tetap menjaga martabatnya sebagai seorang ulama Aceh yang bijak. Memang dalam beberapa redaksi dikatakan bahwa gesekan antara penganut Wujudiyah dengan mereka yang tidak menghendaki keberadaan paham ini cukup memanas, namun arRaniri dapat tampil dengan solusi yang di masa itu menginspirasi lahirnya kebijakan kerajaan. Ar-Raniri menampilkan sisinya sebagai sosok penyokong kebijakan kerajaan di tengah pertikaian antargolongan di Aceh. Jika melihat dari aktivitas ar-Raniri di atas, menunjukkan bahwa tradisi kepengarangan sudah menemukan bentuknya yang modern di masanya. Ar – Raniri tampil bukan hanya sebagai sosok yang rajin memberikan nasihat serta pendapat di istana, melainkan juga masih mendawamkan aktivitas kepengarangannya. Suatu kegiatan yang memang sudah dimulai sejak masa sebelumnya. Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani, merupakan dua tokoh yang paling dikenal dan bukan tidak mungkin Nuruddin arRaniri mendapatkan inspirasi dari aktivitas dua seniornya itu, utamanya mengenai bagaimana ia membangun komunikasi efektif dengan pemerintah Aceh. Tradisi kepengarangan di Aceh era arRaniri, bisa dikatakan merupakan masa lanjutan dari apa yang dimulai oleh dua pendahulunya. Ar-Raniri juga merupakan ulama yang mendedikasikan aktivitasnya dalam dunia kepenulisan. Banyak di antara fatwa maupun buah pemikirannya yang dituangkan dalam catatancatatan. beberapa dari karyanya antara lain; ash-Shiratal Mustaqim (tentang fiqih), Busthanussalatin fi Zikril Awwalin wal Akhirin (tentang sejarah dan akhlak), Darul Faraid Bisyahril Aqaid (tentang tauhid dan filsafat), Akhbarul Akhirah fi Ahwali Yaumal Qiyamah (tentang hari kiamat dan akhirat), Maul Hayati fi Ahlil Mamati, Umdatul I‟tiqad, dan lain sebagainya.142 Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, Ulama yang bertempat di luar istana, mulai dari tataran mukim hingga gampong, dikenal sebagai pamong rakyat. Bahkan, teungku meunasah pun dipercaya sebagai jabatan yang dihormati dan 142
Hasjmy, Kebudayaan Aceh ..., hlm. 201.
122
memiliki legitimasi dalam memutuskan suatu perkara. Pendapatnya bisa memperkuat suatu mufakat, atau juga membatalkannya, jika menurut hematnya bertentangan dengan ketentuan adat dan agama, sekaligus memperhitungkan baik dan buruk implikasi yang kemudian diciptakan. Ulama melengkapi tugas yang diemban keuchik, imam mukim hinga tingkat uleebalang. Oleh karena itu, seorang ulama dituntut memahami serta selalu siap memberikan solusi ketika pemimpin dan masyarakatnya ditimpa suatu masalah yang berat. Keakraban antara ulama, umara serta masyarakat tidak begitu saja tercipta, jika di antara ketiganya tidak ada suatu sinergi yang kuat. Mereka harus masuk dalam lingkaran saling membutuhkan dan menggantungkan agar roda kehidupan sosial dapat terus berjalan dengan baik. Satu tugas awal yang harus dilakukan agar seorang ulama mampu berperan banyak hingga mencapai kedudukan yang berpengaruh, adalah seberapa lihai ia menjalin komunikasi dengan kedua perangkat sosial lainnya, yakni pemerintah dan rakyat. Komunikasi di sini jangan dipersempit dengan persepsi bahwa ulama harus terkesan menghamba pada pemerintah dan melakukan segala cara agar pandangannya di terima rakyat, termasuk dengan sogokan atau langkah teror misalnya, melainkan harus diartikan dalam wilayah yang lebih luas. Komunikasi yang dijalin oleh ulama luar pemerintahan bisa di mulai dari kedekatannya dengan umat. Masjid serta meunasah merupakan areal di mana ulama memiliki andil besar. Berduyun – duyun masyarakat melakukan ibadah wajib lima waktu, serta berbagai aktivitas sosial lainnya, membuat rumah ibadah serasa menjadi rumah kedua yang harus ada dalam lingkungan masyarakat Aceh, meskipun hanya sebesar meunasah. Orang Aceh merasa dirinya memiliki ketergantungan dengan ulama oleh kerana di sini ulama mampu menjelma menjadi pelindung serta orang yang dituakan sekaligus dituruti nasihatnya. Hal itu tentu saja tidak terlepas dari keseharian ulama yang memang harus berinteraksi dengan umatnya. Masjid Baiturrahman, yang menjadi simbol kebesaran kesultanan Aceh Darussalam, dikatakan M. Dien Majid sebagai 123
salah satu universitas besar di Banda Aceh. Ketika masa Sultan Iskandar Muda, masjid ini dipenuhi oleh ulama dan pelajar dari banyak negeri Muslim seperti dari India, Turki, Arab dan Persia. Mereka senantiasa terlibat dalam diskusi hangat mengenai pelbagai topik dari beragam disiplin ilmu.143 Amirul Hadi mengutip pada catatan seorang pengembara Eropa bernama John Davis yang mengunjungi Aceh Darussalam selama dua tahun (1599 – 1601) menyebutkan bahwa di Aceh Darussalam sudah ditemukan anak – anak yang belajar di banyak sekolah di sekitar kerajaan. Meskipun catatan ini sedikit, paling tidak dapat diketahui bahwa kegiatan belajar mengajar sudah banyak dikenal oleh masyarakat Aceh.144 Belum dapat diketahui benar bagaimana format pembelajaran, kurikulum serta metode pembelajaran Aceh Darussalam. Sepertinya, masalah ini masih perlu banyak diungkap ke depannya. Khususnya mengenai lembaga pendidikan di tingkat daerah atau luar tembok istana. Hikayat Aceh yang disunting oleh Teuku Iskandar memberikan sedikit informasi mengenai pendidikan di Aceh menjelang awal abad 17. Diceritakan bahwa seorang kerabat kerajaan bernama Pancagah - yang tidak lain adalah panggilan Iskandar Muda semasa belia -, cucu Sultan Aceh yang bernama Syah Alam, diajar oleh seorang ulama bernama Fakih Raja Indera Purba. Ia mengaji di halaman istana, di bangunan balai angkat – angkatan (rangkang ?) bertiang gading beratapkan emas permata. Oleh sebab keberhasilan sang ulama mengajar cucu raja, maka ia dinobatkan menjadi Kadi Malikul Adil kerajaan Aceh.145 Jika benar bahwa tempat belajar model rangkang sudah dikenal di masa itu, maka dapat dipastikan bahwa model pengajaran rangkang sudahlah ada di masa Iskandar Muda naik tahta. Di masa sekarang pun, masih dapat dijumpai tempat belajar agama di rangkang yang berada di bagian depan suatu dayah atau pesantren di Aceh. 143
M. Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2013) hlm. 118; lihat juga A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah (Jakarta: Penerbit Beuna, 1983) hlm. 194. 144 Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 159. 145 T. Iskandar, De Hikajat Atjeh ( „S-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1958) hlm. 149 – 150.
124
Ulama di Aceh jangan diartikan sebagai sosok yang berdiam di menara gading, dengan hanya mengharapkan sedekah dan penghormatan dari masyarakat sekitar. Mereka justru dikenal sebagai pribadi yang ramah, yang tidak segan menegur serta menjadi teman pembicaraan yang membangun lawan bicaranya. Hubungan antara seorang teungku meunasah dengan para muridnya, biasanya akan meluas kearah hubungan dengan orang tuanya, saudara – saudara si murid yang kebetulan berdiam di kampung yang sama hingga meluas ke tetangga – tetangga orang tua si murid dan seterusnya.146 Muhammad AR menjelaskan bahwa di Aceh, antara guru dan murid memiliki hubungan yang khusus yang bisa bertalian pula pada hubungan dengan orang tua si murid. Dalam suatu dayah misalnya, tempat di mana seorang anak menuntut ilmu, maka orang tua si anak pun dalam momen tertentu akan berjumpa dengan guru dayah tersebut. Kedatangan mereka selain menjenguk anaknya, juga tidak jarang mereka ingin berkonsultasi dengan sang guru mengenai masalah yang sedang dihadapi. Orang tua maupun masyarakat memang sengaja datang ke kediaman ulama dayah untuk menanyakan masalah perkawinan, talak, rujuk, persoalan halal dan haram yang biasanya dilakukan pada waktu – waktu tertentu seperti musim libur belajar, bulan puasa serta waktu – waktu yang disesuaikan dengan para penanya. Tentu saja hal ini dilakukan tatkala sang guru selesai menjalankan tugas utamanya sebagai pendidik serta pengajar santri-santrinya.147 Uraian di atas merupakan suatu ikatan tradisional yang telah begitu kuat dijaga oleh masyarakat Aceh. Tentu saja, suatu tradisi tidaklah terjadi begitu saja tanpa mengalami proses pembentukan yang panjang. Boleh jadi, apa yang sudah menjadi tradisi di Aceh tersebut mengalami penguatan pada abad 17, di masa Iskandar Muda memimpin Aceh Darussalam. Nuansa Islam 146
Ilustrasi ini diambil dari hasil penelitian yang menyatakan ada akulturasi nilai – nilai persaudaraan dari dayah Aceh ke masyarakat sekitarnya. Lihat Muhammad A.R, Akulturasi Nilai – Nilai Persaudaraan Islam Model Dayah Aceh (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Kementerian Agama, 2010) hlm. 141. 147 Muhammad AR, Nilai – nilai ..., hlm. 141.
125
telah sedemikian tersebar dan menguat menjadi adat sejalan dengan kebijakan penguasa mendirikan masjid – masjid148 serta menghidupkan fungsi ulama sebagai sosok yang berperan membantu kinerja pemerintahan, mulai dari pusat hingga daerah. Konsep mengenai dayah memiliki kemiripan dengan pesantren yang ada di Jawa. Zamakhsyari Dhofier menjelaskan bahwa terdapat lima elemen yang menyokong keberadaan pesantren yakni: pondok, masjid, pengajaran kitab Islam klasik, santri dan kyai.149 Unsur-unsur demikian terdapat pula dalam suatu dayah, meskipun dengan beberapa elemen mengalami perbedaan nama. Misalnya, sebutan kyai di Aceh tidak dikenal, diganti dengan sebutan teungku. Sebutan mureb (murid) lebih populer dibanding santri. Contoh dari geliat tumbuhnya lembaga pendidikan di tengah masyarakat Acah adalah tercermin dari kisah pendirian Dayah Tanoh Abee, Seulimum. Sekitar paruh kedua abad 17, ini masih dikategorikan masa ketika Sultan Iskandar Muda baru beberapa tahun akan atau bahkan sudah turun tahta, Dayah Tanoh Abee didirikan oleh seorang anak Syekh Fayrus al-Baghdadi, bernama Syekh Nayan.150 Dua saudara Syekh Nayan lainnya mendirikan dayah di wilayah Seulimum lainnya yakni di Klut dan Leupung Ngoum. Satu saudaranya lagi mendirikan dayah di Lampucuk, Inderapuri. Syeikh Nayan sendiri merupakan sosok ulama keturunan yang gemar menuntut ilmu pada ulama Aceh lainnya. Ia merupakan salah satu murid dari Syeikh Baba Daud, seorang ulama yang juga berasal dari mancanegara, yakni Turki. Syekh Baba Daud bernama asli Daud bin Ismail Rumi dan lebih dikenal dengan nama kesehariannya yakni Teungku Chik di Leupeu. 148
Ridwan Azwad, peny, Lembaga – Lembaga Tradisional di Aceh (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 2003) hlm. 3. 149 Zamakhsyari Dhofier, TradisiPesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2011) hlm. 79 – 99. 150 Syekh Nayan adalah salah satu murid Syekh Abdurrauf Singkel. Lebih lanjut lihat Fakhriari, “Tradisi Intelektual Aceh Di Dayah Tanoh Abee dan Dayah Ruhul Fata”, dalam al-Qalam, Vol. 20, No. 2, Desember 2014, hlm. 180.
126
Syeikh Baba Daud juga diceritakan pernah menimba ilmu mengenai Terekat Syattariyah pada Syekh Abdurrauf bin Ali alJawi al-Fansuri. Dayah ini mengalami masa keemasan ketika dipimpin oleh Teungku Tanoh Abee atau Syekh Abdul Wahab. Kala itu dayah ini menampilkan diri sebagai skriptorium, yakni tempat pengumpulan dan penyalinan manuskrip – manuskrip berbahasa Arab, Arab-Melayu (Jawi) dan Aceh.151 Tentu saja masa keemasan yang dituai Syekh Abdul Wahab merupakan puncak dari kerja keras dari para pendahulunya menguatkan sendi-sendi dakwah Islam melalui pendidikan. Syekh Fayrus al-Baghdadi (pendatang dari Persia)
Syekh Nayan Anak ke III (pendiri Dayah Tanoh Abee) (pend. dayah di Indrapuri)
Anak ke II (pend. dayah di Seulimun)
Jejaring kekerabatan dayah Tanoh Abee (Sumber: Oman Fathurrahman: 2010, x-xi) Oman Fathurrahman menyebut bahwa Syekh Baba Daud merupakan salah seorang yang murid dari Syekh Abdurrauf Singkel. Panggilan Baba, biasanya disematkan pada syekh atau ahli yang mendalami pengetahuan mistik di Turki dan India. Namanya terdapat dalam kolofon kitab Tarjuman al-Mustafid yang ditulis oleh sang guru. Di dalam kolofon kitab itu, Baba menyebut dirinya sebagai “murid yang paling miskin dan pelayan yang paling sederhana bagi dia (Syekh Abdurrauf Singkel). Memang tidak mudah untuk melacak keberadaan pemukiman Turki pada abad ke 17, namun dengan adanya Baba Dawud, maka menambah informasi mengenai adanya ulama Turki yang ikut 151
Oman Fahurrahman, Katalog Naskah ..., hlm. x-xi.
127
mengembangkan Darussalam.152
dan
menyemarakkan
intelektualitas
Aceh
3. Penguatan bidang strategis Hal lain, yang bisa dilakukan oleh para ulama dan umara dalam membentuk masyarakat Aceh yang sejahtera, adalah dengan memberdayakan masyarakat itu sendiri. Dalam beberapa kasus yang ditemukan, di samping pendidikan, di mana pengajaran ilmu keagamaan menjadi kegiatan utamanya, ulama dan pemerintah Aceh juga gencar melakukan pembangunan sektoral di bidang – bidang lain, khususnya mengenai masalah – masalah strategis, seperti ekonomi dan pertahanan. Salah satu informasi yang menarik mengenai hal tersebut adalah ditemukan dalam aktivitas keberadaan orang Turki di Aceh. Turki Usmani merupakan kerajaan Muslim kuat yang sempat menjalin hubungan diplomatik dengan kerajaan Aceh Darussalam sejak awal abad 16.153 Selain melakukan kontak internasional di bidang modernisasi persenjataan, tenyata, jejak – jejak pengaruh Turki juga terlihat di kehidupan sosial masyarakat Aceh. Pengaruh ini memang tidak bisa dikatakan adalah jiplakan dari Turki, namun merupakan wujud dari keragaman budaya yang memperkaya budaya dan tradisi Aceh. Baiquni Hasbi mengungkapkan bahwa salah satu pengaruh Turki yang melekat dalam tradisi Aceh adalah terlihat di bidang pakaian. Banyak penduduk Aceh hingga menyentuh abad modern menggunakan ikat pinggang di mana di sisi kiri atau kanan diselipkan senjata. Selain itu di kalangan wanita Aceh dikenal pakaian model rok lebar yang pada masa ketika hubungan Turki dan Aceh sedang menguat, yakni abad 16 dan 17, merupakan tren di Turki. Yang paling mencolok, tentu saja adalah penggunaan kopiah merah tinggi yang disebut sebagai kopiah fez, yang amat 152
Oman Fathurrahman, “New Textual Evidence for Intellectual and Religious Connections between the Ottomans and Aceh” dalam A.C.S. Peacock and Annabel Teh Gallop, ed, From Anatolia to Aceh; Ottoman, Turks and Southeast Asia (Oxford: Oxford University Press, 2015) hlm. 308-309. 153 Baiquni Hasbi, Relasi Kesultanan Aceh Darussalam dan Kerajaan Turki Usmani (Banda Aceh: LSAMA, 2014) hlm. 49.
128
identik dengan kopiah yang ada di Turki. Masih sulit memang menyebutkan apakah itu semua pengaruh dari Turki secara langsung, mengingat budaya Aceh juga terbentuk dari beragam tradisi lainnya, seperti India dan Persia.154 Di wilayah Banda Aceh terdapat suatu kampung yang bernama kampung Bitay. Kampung ini dahulunya dikenal sebagai tempat pemukiman orang – orang Turki, di mana di dalamnya juga dibangun suatu tempat pendidikan militer yang bernama Bayt alAskari Muqaddas. Keseharian kampung ini juga dihidupkan dengan aktivitas pendudukanya menempa alat – alat militer termasuk rencong. Suatu zawiyah (tempat kaum sufi) juga dikatakan pernah didirikan di sini dan tempat ini cukup terkenal di masanya. Besar kemungkinan, kampung ini didiami orang Turki sejak pertengahan abad 16. Masa di mana banyak tenaga diperbantukan dari Turki didatangkan ke Aceh untuk mereformasi persenjataan dan ketentaraan Aceh. Sebenarnya, dalam suatu kampung seperti Bitay, di mana tempat latihan militer dalam hal ini pusat aktivitas manusia berdampingan dengan zawiyah merupakan suatu yang lumrah. Selain diajari seni dan metode berperang, besar kemungkinan orang Turki juga mengajarkan tentang pengetahuan agama, khususnya mengenai jihad melawan bangsa asing Kristen yang dikatakan bukan hanya musuh Aceh tapi juga musuh Tuhan. Fikih jihad menjadi asupan tambahan yang penting diketahui oleh para prajurit dan perwira Aceh yang menyebutkan bahwa mereka bukan hanya berperang membela negerinya melainkan memperjuangkan agar agama Islam dapat terus tegak dan menyebar luas. Pengetahuan semacam ini besar kemungkinan dimasukkan dalam kurikulum pendidikan militer di Aceh kala itu. Nama Bitay begitu dikenal dalam sejarah Aceh, karena di sana dimakamkan seorang ulama yang dikenal dengan panggilan Teungku di Bitai. M. Zainuddin mengungkapkan bahwa ulama ini sempat menjadi guru Perkasa Alam (Sultan Iskandar Muda) ketika masih kecil. Secara berkala ia dan teman sebayanya datang ke
154
Baiquni Hasbi, Relasi Kerajaan ..., hlm. 109.
129
Bitai untuk mendalami agama. Teungku di Bitai dikenal sebagai sarjana Islam yang ahli ilmu falak dan ilmu firasat.155 Meskipun Teungku di Bitay mengajar seorang anak raja, ia bukanlah ulama yang aktivitas politiknya setenar Hamzah Fansuri atau Syamsuddin as-Sumatrani. Oleh sebab itu, ia lebih tepat jika dikategorikan sebagai ulama luar istana. Di literatur-literatur penting sejarah Aceh, seperti Adat Aceh, Bustanussalatin dan Sulalatussalatin, namanya tidak disebut – sebut mengemban jabatan penting dalam kepemerintahan Aceh Darussalam. Pengajian yang diasuh oleh Teungku di Bitay ini tidak menutup kemungkinan adalah satu potret lembaga pendidikan di era Iskandar Muda. Belum diketahui secara lengkap mengenai aktivitas kampung Bitay semasa Sultan Iskandar Muda. Namun, bisa disebutkan bahwa banyak prajurit senior maupun perwira Aceh yang ikut dalam peperangan melawan Portugis semasa Iskandar Muda di antaranya adalah alumni dari sekolah – sekolah militer yang diasuh oleh guru – guru militer Turki. Di antara para guru perang dari Turki sudah tentu ada yang memiliki pengetahuan agama yang mendalam, sehingga ia ditunjuk oleh kaumnya untuk memberikan pengajaran agama bagi pribumi Aceh di sela – sela latihan militer. Dalam surat balasannya kepada Sultan Alaiddin Riayatsyah al-Kahhar, Sultan Salim II, Raja Turki menyebutkan sebagai berikut: Kalian harus melakukan yang terbaik dalam segala persoalan menyangkut agama dan negara kita; dengan berusaha merebut benteng – benteng kaum yang tidak beriman dan menghapuskan intimidasi terhadap kaum Muslimin, dengan bantuan Allah kalian harus membersihkan daerah tersebut dari noda – noda kekafiran. Dengan demikian kaum Muslim
155
H.M. Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 25.
130
di wilayah itu dapat hidup tenang dan damai di bawah daulat kita.156 Dari petikan surat di atas, Sultan Salim II mengharapkan agar ahli militer yang dikirimkan dari Turki tidak saja mengemban misi mengajarkan pengetahuan perang pada pasukan Aceh, melainkan lebih dari itu yakni membebaskan Muslim tertindas dan menjaga kondisi keagamaan di daerah setempat. Para ahli militer yang disediakan pun sudah barang tentu adalah pilihan. Mereka tidak saja dituntut mampu mengajarkan cara perang a la Turki dengan baik, namun juga bagaimana bersikap sebagai pasukan Muslim yang kuat, jiwa maupun raganya. Untuk masalah memperteguh kejiwaan prajurit Aceh, guru – guru perang yang juga pandai memberikan pengetahuan agama dan akhlak sudah tentu tersedia di antara para guru Turki lainnya. Potret dari keberadaan sosok ulama dalam kelompok guru – guru perang Turki di atas merupakan satu kasus di mana ulama dan umara memiliki tanggung jawab besar dalam membangun kejiwaan masyarakat Aceh, khususnya mereka yang tergabung dalam barisan tentara Aceh. Ulama dan umara tampil bukan hanya sebagai kalangan elite yang hanya bisa mempekerjakan prajurit di medan perang, tapi juga menanamkan ajaran luhur dalam jiwanya tentang bagaimana menjadi prajurit yang siap membela negara dan agama. Jika raja, laksamana serta perwira pandai mengobarkan semangat perang melalui seruannya, maka ulama menjadi sosok penyeru bahwa apa yang dilakukan pasukan Aceh dalam menumpas kekuatan asing, semata – mata adalah ibadah dan jikalau ia mati maka matinya adakah syahid dan tidak ada balasan lain dari Allah kecuali surga. Bukan tidak mungkin apa yang diserukan ulama Aceh di masa perang melawan Portugis, adalah bentuk awal dari semangat jihad Aceh yang begitu ditakuti hingga menyentuh permulaan abad 20, ketika orang Aceh berhadapan dengan tentara Belanda. Ilustrasi mengenai eratnya hubungan orang Aceh dengan bangsa Turki juga ditunjukkan oleh pengkisahan Francois Martin yang mengunjungi Aceh pada 1604. Angka tahun tersebut 156
Baiquni Hasbi, Relasi Kerajaan ..., hlm. 150.
131
menunjukkan tiga tahun sebelum Iskandar Muda diangkat menjadi Sultan Aceh. Martin melihat, orang Turki tinggal dalam suatu koloni di Aceh. Mereka membeli lada dari penduduk Aceh. Satu di antara mereka bahkan menawarkan kepada Martin untuk membeli lada mereka. Besar kemungkinan hubungan ini masih terus terjadi di masa – masa setelahnya. Belum jelas benar, di manakah letak koloni Turki yang dimaksud Martin. Gampong Bitay, menjadi indikasi kuat mengingat di kampung ini banyak ditemukan makam – makam orang – orang Turki yang berdiam sebelum Iskandar Muda ditabalkan sebagai Sultan Aceh.157 Ibrahim Alfian menyebutkan bahwa, sejak masa Sultan Iskandar Muda yang giat melawan kedudukan Portugis di Malaka, wacana mengenai Perang di Jalan Allah (war in the path of Allah) sudah dikumandangkan. Ungkapan tersebut bahkan terdapat dalam seuatu hikayat158 yang ditulis sekitar abad 17, yakni Hikayat Malem Dagang, yakni:159 Why are you afraid of going to war againts the Jews (sic!) Such a war originally was from the Prophet Why are you afraid of going to war in the way of Allah Our Master Ali is in command Today the King (Iskandar Muda) is waging war Malem Dagang has been appointed as commander
157
Ismail Hakki Goksoy, “Hubungan Turki Usmani – Aceh yang Terekam dalam Sumber – Sumber Turki”, dalam R. Michael Feener dkk, ed, Memetakan Masa Lalu Aceh (Jakarta: KITLV, 2011) Hlm. 79. 158 Ada perbedaan yang signifikan antara hikayat di Aceh dengan di kawasan Melayu lainnya. Hikayat Aceh biasanya berbentuk puisi, sedangkan hikayat di Melayu berbentuk ceita prosa. Lebih lanjut lihat G.W.J. Drewes, ed, Hikajat Potjut Muhamat (The Hague: Martinus Nijhoff, 1979) hlm. 3. 159 Teuku Ibrahim Alfian, “Aceh and The Holy War (Prang Sabil)” dalam Anthony Reid, ed, Verandah of Violance; The Background to the Aceh Problem (Singapore: NUS Press, 2006) hlm. 11.
132
C. Skema piramida terbalik interaksi umara, ulama dan masyarakat Umara, ulama dan masyarakat merupakan tiga elemen yang membentuk konstruksi sosial Aceh Darussalam. Baik sebelum dan sesudah era Iskandar Muda, ketiganya sudah terlibat dalam jalin jemalin yang harmonis. Pemerintah memposisikan diri sebagi pelindung kedua elemen tersebut. Ulama bertanggung jawab memberikan arahan atau masukan agar pemerintahan berjalan dengan baik. Masyarakat, sebagi objek dari relasi kedua elemen tersebut, menjadi objek dari beragam produk menyejahterakan yang dikeluarkan kerajaan. Baik pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah, agaknya memiliki pola yang hampir sama terkait bagaimana membentuk tatanan yang teratur dan makmur. Istana, sebagai pusat legitimasi Aceh yang melahirkan beragam kebijakan pengembangan daerah, turut pula bekerjasama dengan para pemimpin daerah. Keberadaan masjid yang imamnya kemudian diangkat menjadi imam mukim merupakan fenomena khas di mana aktivitas agama mampu bertransformasi menjadi aktivitas sosial. Demikian halnya dengan yang terjadi di gampong. Keuchik sebagai pemimpin gampong membutuhkan nasihat dan arahan dari teungku meunasah untuk mendapatkan keputusan paripurna dalam menghadapi suatu perkara. Masyarakat Aceh pun dikenal sebagai entitas yang berada di taraf dewasa dalam beragama. Merujuk pada penjelasan Mohammad Said, masyarakat Aceh, sekitar abad 17, sudah mampu menganalisa beberapa perbedaan pandangan di kalangan ulama. Pertanyaan yang menyulitkan Nuruddin ar-Raniri dari para mahasiswa Aceh kala pertama ia menjadi guru di salah satu lembaga pendidikan di sana, menjadi salah satu buktinya. Keterbatasannya memberikan penjelasan yang memuaskan inilah yang menyebabkan dirinya bertolak ke Makkah untuk memperdalam ilmunya, hingga sampai masanya ia kembali ke Aceh.160 160
Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad Jilid I (Medan: Waspada, 1981) hlm. 252
133
Pengetahuan agama yang cukup memadai diterima masyrakat merupakan imbas dari kesejahteraan yang terjamin. Anak – anak yang rajin menuntut ilmu di lembaga – lembaga pendidikan menunjukkan bahwa sudah ada pembagian peran secara umum dalam keluarga Aceh. Paling tidak dapat dikatakan bahwa pemuda – pemuda Aceh sudah sadar bahwa menuntut ilmu sebagai bekal hidup merupakan kewajiban. Meskipun mereka akan sampai pada saat di mana harus memilih apakah akan meneruskan diri sebagai ulama atau profesi lainnya, mereka telah mengetahui hukum – hukum pokok Islam. Gambaran zawiyah Bitay di mana penduduk Aceh tidak hanya diajarkan seni berperang namun juga pelajaran Islam menjadi contoh betapa sudah ada semacam pendidikan ketentaraan Islam terpadu, di mana mereka yang belajar perang harus pula mengikuti materi – materi keislaman, salah satunya mungkin adalah fikih jihad. Loyalitas serta totalitas perang pasukan Aceh yang mentradisi hingga menyentuh perang melawan kolonial Belanda beberapa abad setelahnya, merupakan bukti bahwa profesionalisme beriringan dengan pemahaman agama yang memadai. Aceh Darussalam abad 17 disemaraki dengan kerjasama rekat antara agamawan dengan penguasa. Masyarakat, sebagai tujuan dari kerjasama itu, juga merespon dengan ketaatan pada raja serta kesungguhan melaksanakan perintahnya. Dari situ, maka akan didapati suatu skema seperti di bawah ini: Ulama
Umara
Masyarakat
Skema Piramida Terbalik
134
Skema tersebut diberi nama skema piramida terbalik mengingat bentuknya sepeti segita terbalik. Keterlibatan ulama dalam pemerintahan Aceh, baik di tingkat pusat maupun daerah, pada umumnya membawa dampak positif di kalangan masyrakat Aceh. Hal ini dari keterlibatan ketiga unsur di atas. Panah – panah di atas menunjukkan relasi di antara ketiganya. Ulama berkolaborasi dengan raja dan perangkat kerajaan untuk bersama – sama mengusahakan kesejahteraan di tataran rakyat. Di samping itu, baik ulama maupun umara memiliki cara tersendiri dalam membangun masyarakat. Misalnya saja, ulama bertindak sebagai agen pencerah di bidang pendidikan serta pemimpin relijius masyarakat, sedangkan pemerintah bertindak melalui kebijakan – kebijakan yang tidak saja bermanfaat membangun masyarakat, namun juga menghidupkan kerajaan. Meskipun keduanya mempunyai cara masing – masing dalam perencanaan maupun tindakannya. Sebelum masa Iskandar Muda, di kalangan pemerintahan istana Aceh sudah dikenal nasehat-nasehat yang memberitahukan kedudukan penting ulama di sisi raja. Adalah Bukhari Jauhari161, dalam kitabnya Tajussalatin, dalam pasal ke 17, menyeru pada raja-raja agar jangan melalaikan aktivitas para ahli ilmu dan ahli beramal (berbuat kebajikan) dan agar senantiasa mengikuti kata mereka.162 Nasehat ini sepertinya masih diingat dan dilakukan oleh sebagian raja-raja Aceh sampai kepada Sultan Iskandar Muda. 161
Belum ada jawaban yang pasti mengenai siapa sebenarnya Bukhari Jauhari, R. O. Winstedt menyatakan bahwa ia adalah ahli perhiasan (mutiara) dari Persia. Kitab ini bukanlah ditulis di Melayu, melainkan di Persia. Kitab ini sampai di Melayu melalui sumber India, oleh karena pada abad 17 hubungan Melayu dan Persia terputus. Berbeda dengan Teuku Iskandar yang menyebutkan bahwa kitab ini ditulis di Melayu dan menggunakan bahasa Melayu oleh seorang yang berkebangsaan Persia. Nama penulisnya, Bukhari al-Jauhari bukanlah merujuk pada ahli permata, melainkan lebih dekat dengan sebutan Bukhari al-Johori (orang Bukhara dari kerajaan Johor. Lihat Saleh Partaonan Daulay, Taj Al-Salatin Karya Bukhari Al-Jauhari (Sebuah Kajian Filologi dan Refleksi Filosofis) (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, 2011) hlm. 25 – 26. 162 Bukhari al-Jauhari, Tajussalatin, hlm. 99. naskah berbahasa Arab Melayu versi Dewan Bahasa Malaysia, diunduh dari www.sabrizain.org pada Minggu 29 Maret 2015, pukul 21. 25.
135
Keterlibatan Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani dan Nuruddin ar-Raniri di istana Aceh menjadi bukti bahwa sultan dan perangkatnya membutuhkan arahan dari para ulama. Sebagai informasi, kitab Tajussalatin, ditulis Bukhari Jauhari pada sekitar tahun 1603, sebagai persembahan kepada Sultan Aceh kala itu, Sultan Alaiddin Riayat Syah yang memimpin Aceh Darussalam sejak 1589 hingga 1604.163 Dari kitab ini didapat gambaran betapa penghormatan akan ulama merupakan sesuatu yang sudah menjadi tradisi di lingkungan istana Aceh. Bukan hanya menghormati, para sultan maupun perangkat istana Aceh telah terbiasa mendengarkan dan menjadikan nasehat ulama sebagai bahan renungan guna merumuskan suatu kebijakan. Dalam terminologi sosiologi, antara umara, ulama dan masyarakat Aceh terlibat dalam hubungan yang dikatakan sebagai interaksi sosial. Soerjono Soekanto mengakatan bahwa interaksi sosial sebagai stimulasi dan tanggapan antar manusia, atau hubungan timbal balik antara pihak – pihak tertentu.164 Relasi sosial mendasari keterjalinan seorang manusia dengan manusia lainnya. Keragaman peran dan ketidakmampuan manusia melakukan seluruh hal membuat dirinya perlu mendapatkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Interaksi antara umara dan ulama sebenarnya telah teranyam secara kuat dibuktikan dengan kontribusi keduanya dalam pembangunan Aceh. Di istana Aceh, ulama begitu dimulyakan, hingga hampir jabatan – jabatan penting distana, sebagaimana banyak diterangkan dalam bab sebelumnya, dijabat oleh kalangan cerdik pandai atau orang yang mengerti akan masalah agama. Dari sosok ulama kerajaan seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani dan Nuruddin ar-Raniri, dapat ditarik benang merah mengenai begitu khususnya hubungan ulama dengan penguasa. Kencangnya laju gerak intelektualitas di Aceh, 163
Saleh Partaonan, Tajussalatin ..., hlm. 4; lihat juga Denys Lombard, KerajaanAceh di Jaman Sultan Iskandar Muda (1607 – 1632) (Jakarta: Balai Pustaka, 1991) hlm. 201; V. I. Barginsky, Yang Indah, Berfaedah dan Kamal; Sejarah Sastra Melayu Abad 7 – 19 (Jakarta: INIS, 1998) hlm. 322. 164 Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi (Jakarta: CV Rajawali, 1985) hlm. 245.
136
di mana ulama menjadi katalisatornya, pun didukung penuh oleh penguasa. Besar kemungkinan, kedekatan Iskandar Muda dengan kalangan ulama, di masa mudanya, menjadi inspirasi, betapa kehadiran orang – orang berilmu ini sangat penting dalam istana Aceh. Syamsuddin as-Sumatrani dan Teungku di Bitay menjadi dua guru Iskandar Muda yang berpengaruh dalam kehidupannya kelak. Syamsuddin as-Sumatrani belakangan menjadi orang berpengaruh di lingkungan istana, mendampingi Sultan Iskandar Muda. Begitu pula dengan kampung Bitay, yang dikenal sebagai tempat mukim orang Turki, menjadi besar dan dikenal luas karena keberadaan zawiyah dan tempat menuntut ilmu di mana Teungku di Bitay mengajar. Di sana, pusat pendidikan militer berada. Besar kemungkinan Iskandar Muda banyak mendapat imajinasi kebesaran Aceh kelak ketika berguru di Bitay. Sembari mengaji, tentu ia melihat bagaimana kebesaran pasukan Aceh dibangun. Intensitas kedatangannya ke Bitay, perlahan membentuk hasrat kebesaran Aceh yang diusahakannya kelak ketika menjadi raja.165 Mukim dan gampong sebagai sentra perkumpulan masyarakat, juga tidak lepas dari relasi umara dan ulama. Bisa dikatakan keberadaan keuchik dan teungku meunasah ibarat ayah dan ibu bagi sebuah gampong. Keuchik bertugas memimpin administrasi pemerintahan, teungku meunsah bertindak sebagai imam shalat, serta mengajar al-Qur‟an dan ilmu Islam lainnya. Dalam suatu persidangan atau musyawarah, keuchik tampil sebagai pemeberi putusan dan teungku meunasah bertindak sebagai penasehat, yang tugasnya antara lain seperti memberikan pertimbangan berdasarkan wawasan keagamaan akan suatu keputusan. Kerjasama keuchik dan teungku meunasah merupakan cerminan diberlakukannya hukum adat dan agama dalam kepemimpinan Aceh.
165
Menurut sumber lisan, dikatakan bahwa bukan hanya Sultan Iskandar Muda saja yang pernah berguru di kampung Bitay, melainkan juga Sultan Deli dan Raja Daya. Banyak pula ulama dari Persia dan Palestina yang pernah belajar di sana. Lihat http://atjehpost.co/m/read/60/Riwayat-Kampung-Turki-di-Aceh, diunduh pada pukul 09.08, 13 Februari 2015.
137
Tuha peut atau ureung tuha yang biasanya terdiri dari empat orang, bertindak selaku DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Biasanya tuha peut terdiri dari pemuda yang belum menikah, orang kaya, orang pandai dan ahli agama. Mereka yang duduk dalam dewan tuha peut memiliki pengalaman dan berpengetahuan luas mengenai kepemerintahan gampong berikut serba – serbi keadaannya serta memahami hukum adat.166 Kualifikasi pengetahuan agama dalam kepengurusan tuha peut menjadi unsur yang juga tidak boleh tertinggal. Keberadaan ulama sebagai pemandu jalannya pemerintahan di Aceh, nyatanya belum bisa dikatakan berjalan secara sempurna. Dalam beberapa segi masih terdapat ketidakhadiran mereka dalam menyuarakan persamaan hak dan kewajiban rakyat yang setara. Hal ini tercermin tatkala Sultan Iskandar Muda melakukan penyerangan terhadap wilayah-wilayah tertentu, beberapa di Semenanjung Melayu misalnya, setelahnya terdapat suatu fenomena yang begitu membuat rakyat negeri musuh menderita, yakni ancaman perbudakan. Di masa ini, banyak orangkaya-orangkaya yang memiliki budak, dan banyak diantara mereka adalah rakyat dari negeri taklukan. Dalam Bustanussalatin, padahal sosok Iskandar Muda dilukiskan sebagai sosok yang egaliter dan dekat dengan fakir miskin, namun pada kenyataannya ia tidak bisa menghapuskan perbudakan. Fakta ini didapatkan dari catatan para pelancong asing menyebutkan perbudakan adalah dampak dari suatu peperangan Aceh. Begitu pula dengan kelompok ulama Aceh, belum ditemukan bukti-bukti terpercaya tentang pembelaan hak-hak rakyat taklukan, di mana pemulihan status terjadi dan integrasi ke dalam rakyat Aceh berjalan dengan baik. Pada titik ini, kelompok ulama Aceh absen dalam menyuarakan suatu pandangan tentang penghargaan atas rakyat negeri terjajah.167
166
Septi Satriani, “Dinamika Sejarah Gampong dan kampung di Aceh”, artikel ini didapatkan dari perpustakaan LIPI, Hlm. 57. 167 Ingrid Saroda Mitrasing, “The Age of Aceh; The Evolution of Kingship 1599-1641”, (disertasi), Universitas Leiden, belum diterbitkan, 2011. hlm. 234-235.
138
Masyarakat, sebagai tujuan dari pelayanan pemerintah serta penyerap ilmu serta gagasan ulama, memberikan reaksi dengan kepatuhannya kepada ulama dan umara-nya. Tradisi penghormatan kepada ulama serta pemerintah, sebagaimana yang ditemukan di Aceh, tidak dapat dimaknai dalam konteks seremonial semata, di mana yang dibawah harus menghormati yang di atas saja. Lebih dari itu, pihak kerajaan serta ulama menyadari, bahwa loyalitas serta kepatuhan rakyat tentu amat berhubungan dengan bagaimana pemerintahnya bersinergi dengan mereka. Jaminan keamanan serta kesejahteraan dari sektor perniagaan merupakan dua faktor kunci, mengapa rakyat begitu patuh pada kelas penguasa (the ruling class). Hal ini pula yang kemudian mengkristal dalam suatu ungkapan Melayu, raja alim raja disembah, raja zalim raja disanggah.
139
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan Tesis ini dapat disimpulkan dalam empat poin, antara lain: Pertama, hubungan yang tercipta dari kerjasama antara umara dan ulama dalam membangun etalase sosial di Aceh bisa dikatakan harmonis dan kooperatif. Masing – masing pihak sejatinya mempunyai strategi tersendiri mengenai bagaimana menyejahterakan masyarakat. Pada umumnya ulama menggunakan kepandaiannya dalam ilmu agama sebagai modalitas untuk bisa berkontribusi menghidupkan intelektualitas yang berujung pada peningkatan pemahaman keagamaan masyarakat. Umara mengeluarkan regulasi di bidang politi, ekonomi, pertahanan dan lain – lain untuk mengupayakan ketenraman dan menjamin kelangsungan hidup warganya. Namun, seringkali di bidang sosiokeagamaan, ulama terlibat hubungan serius dengan umara guna menelurkan gagasan serta aksi memecahkan masalah – masalah sosial di Aceh. Kedua, Masyarakat Aceh begitu menghargai kedudukan umara dan ulama. Bagi mereka, sosok umara merupakan pusat kekuasaan, yang dalam doktrin kepemimpinan Islam – Melayu merupakan bayangan Allah di bumi (zillullah fil ardhi). Menaati pemimpin tidak ubahnya menaati Tuhan. Hukum – hukum yang dikeluarkan kerajaan, yang saripatinya banyak didapatkan dari adat dan ajaran agama, haruslah mereka taati, karena hukum kenegerian dianggap penting dalam mengatur kehidupan bermasyarakat. Pemimpin yang mereka harapkan tentu saja haruslah memperhatikan kelangsungan hidup mereka, sebagaimana terekam dalam pepatah raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah. Ulama, menjadi kelompok elit yang juga begitu diagungkan 140
masyarakat Aceh. Mereka tidak ubahnya sebagai penyambung ajaran Nabi Muhammad SAW yang risalahnya berasal dari Tuhan. Untaian kata serta uraian mereka, di mana pertimbangan agama menjadi dasarnya, dianggap penting dalam mufakat. Fatwa-fatwa mereka kerap dijadikan pegangan dalam menelurkan suatu kebijakan. Dalam hal lain, mereka juga memiliki posisi sangat vital sebagai pemimpin upacara seremonial keagamaan, seperti kematian, pernikahan, serta acara doa bersama. Di kerajaan serta di lembaga kepemimpinan bawahannya, mereka dikenal sebagai golongan yang kerap memainkan fungsi sebagai penasehat raja, imam mukim, serta keuchik. Ketiga, banyak dari kebijakan – kebijakan Kerajaan Aceh Darussalam yang dikeluarkan berdasarkan fatwa para ulama. Kebijakan mengenai pendirian masjid – masjid serta menghidupkan aktivitas sosial seperti pendidikan dan musyawarah warga merupakan beberapa kebijakan masa Iskandar Muda yang ikut pula didukung oleh ulama. Perumusan Adat Meukuta Alam, sebagai dasar undang – undang kenegerian Aceh pun tidak lepas dari peran ulama. Dalam perumusan peraturan kenegerian tersebut, ulama mampu bersinergi dengan pemerintah dan kalangan cerdik pandai yang memahami tentang adat Aceh, sehingga ajaran agama mampu dikawinkan dengan peraturan adat sebagai muatan undangundang. Pendirian lembaga – lembaga pendidikan di dalam dan di luar tembok istana juga diinisiasi oleh kalangan ulama. Keempat, umara menampilkan diri sebagai pengayom masyarakat. Ketaatan serta kepatuhan yang didapat dari masyarakat, beriringan dengan upaya mereka membangun masyarakat mereka sendiri. Wilayah perdagangan dan perkebunan menjadi sektor strategis yang difasilitasi kerajaan agar masyarakat dapat menuai penghidupan yang layak. Kesejahteraan tersebut pada akhirnya ikut membangun geliat intelektual di Aceh. Masjid – masjid yang dibangun era Iskandar Muda mnampakkan diri sebagai tempat ibadah, pengajaran agama, serta sentra berkumpulnya maysrakat. Secara berkala, ulama – ulama yang berasal dari mancanegara, seperti sosok Teungku datang atau didatangkan untuk menambah amunisi pengajar Islam di Aceh.
141
Sudah menjadi takdir sejarah, bahwa kebersamaan ulama dan umara di Aceh mendapat tantang ketika memasuki masa pendudukan Belanda. Kerjasama mereka mendapat ujian tatkala Belanda mengupayakan pendudukan atas Aceh sejak abad 19 hingga menyentuh awal abad 21. B. Saran Saran yang disampaikan adalah bahwa tesis ini kedepan bisa dijadikan inspirasi bagi mulculnya penulisan serupa. Memang banyak penulis maupun peneliti yang mengupas masalah hubungan ulama dan pemerintah, namun belum banyak yang mengangkat dialog antarkeduanya yang terjadi di luar istana Aceh. Sosok ulama Aceh seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri dan Abdurrauf Singkel sudah begitu banyak dikupas para peneliti, namun kajian serupa mengenai ulama Aceh lainnya seperti Teungku di Bitai, Teungku di Leupeu, Teungku Imum Lueng Bata dan ulama yang nama dan makamnya terdengar dan terlihat, belum ada informasi mengenainya. Disadari, penulisan sejarah yang mengungkap kerjasama pemerintah dan ulama di wilayah yang lebih spesifik seperti mukim atau gampong masuk dalam kajian sejarah lokal. Dinamika yang terjadi di istana tentulah mempunyai karakteristik berbeda dengan yang terjadi di daerah. Topik mengenai relasi antara ulama dan pemerintah menjadi topik yang krusial dalam bentangan sejarah Nusantara. Dari tema tersebut, keteladanan, sikap serta pelajaran dapat dituai untuk kemudian diaplikasikan sebagai langkah masa kini.
142
Daftar Pustaka
Sumber Primer Ar-Raniri, Nuruddin. Bustanussalatin, bait 12 dan 13 (microfilm), Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, tanpa tahun. Dorleans, Bernard.Orang Indonesia dan Orang Prancis; Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2006. Iskandar, Teuku. De Hikajat Atjeh, „S-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1958. Jauhari, Bukhari, Tajussalatin, ditulis tahun 1967, edisi Dewan Bahasa Malaysia diunduh dari sabrizain.org. Kronik Gayo dalam PaEni, Mukhlis.Riak di laut Tawar; Kelanjutan Tradisi dalam Perubahan Sosial di Gayo Aceh Tengah, Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia dan Gadjah Mada University Press, 2003. Temple, Sir Richard, ed. The Travels of Peter Mundy in Europe and Asia, 1608-1667, Vol. III, Part I, Londona, 1919. Sumber Sekunder Abdullah, Taufik dkk. Sejarah Ummat Islam Indonesia. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991. Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Tangerang: Logos Wacana Ilmu, 1999. Ahmad, Zakaria.Sekitar Keradjaan Atjeh dalam Th. 1520 – 1675, Medan: Monora, tanpa tahun. A.R, Muhammad. Akulturasi Nilai – Nilai Persaudaraan Islam Model Dayah Aceh, Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Kementerian Agama, 2010. Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, Jakarta: Kencana, 2007. Azwad, Ridwan. Peny. Lembaga-Lembaga Tradisional di Aceh. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 2003. 143
Barginsky, V. I. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal; Sejarah Sastra Melayu Abad 7 – 19, Jakarta: INIS, 1998. Dasgupta, A.K..Aceh In Indonesian Trade and Politics: 16001641, England: Universisebagaty of Microfilm, 1962. Daulay, Saleh Partaonan. Taj Al-Salatin Karya Bukhari Al-Jauhari (Sebuah Kajian Filologi dan Refleksi Filosofis), Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, 2011. Dhofier, Zamakhsyari. TradisiPesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2011. Drewes, G.W.J., ed. Hikajat Potjut Muhamat, The Hague: Martinus Nijhoff, 1979. Dunn, Ross E. Petualangan Ibnu Batutta Seorang Musafir Muslim Abad 14, terj. Amir Sutaarga, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011. Erawadi. Tradisi, Wacanadan Dinamika Intelektual Islam Aceh Abad XVIII danXIX. Jakarta: Departemen Agama RI, 2009. Fakhriari, “Tradisi Intelektual Aceh Di Dayah Tanoh Abee dan Dayah Ruhul Fata”, dalam al-Qalam, Vol. 20, No. 2, Desember 2014. Fathurrahman, Oman dkk, peny. Katalog Naskah Dayah Tanoh Abee Aceh Besar, Depok: Penerbit Komunitas Bambu, 2010. Feener, R. Michael dkk, ed. Memetakan Masa Lalu Aceh, Jakarta: KITLV, 2011. Hadi, Amirul. Islam and State in Sumatra; A Study of SeventeethCentury Aceh, Leiden: Brill, 2004. _____. Aceh; Sejarah, Budaya dan Tradisi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010. Hasbi, Baiquni. Relasi Kerajaan Aceh Darussalam dan Kerajaan Turki Usmani, Banda Aceh: LSAMA, 2014. Hasjmy, A. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Jakarta: Almaarif, tanpa tahun. _____. Kebudayaan Aceh dalam Sejarah. Jakarta: Penerbit Beuna, 1983.
144
Haslinda, Pocut MD Azwar.Silsilah Raja-Raja Islam di Aceh Hubungannya dengan Raja-Raja Islam Melayu Nusantara, Jakarta: Yayasan Tun Sri Lanang, 2011. Hermansyah, “Naskah Tibyan fi Ma‟rifat al- Adyan: Interpretasi Aliran Sesat di Aceh Menurut Nuruddin ar – Raniri” dalam Jumantara, edisi 01, Vol. 5 Tahun 2014. Huda, Noor. Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia.Yogyakarta: Arruz Media, 2007. Hurgronje, Snouck. Aceh di Mata Kolonialis. Vol. 1. Terj. Ng. Singarimbun dkk. Jakarta: Yayasan Sokoguru, 1985. _____. Aceh di Mata Kolonialis. Vol. 2. Terj. Ng. Singarimbun dkk. Jakarta: Yayasan Sokoguru, 1985. Ibrahim, Ahmad dkk, peny. Islam di Asia Tenggara Perspektif Sejarah, Jakarta: LP3ES, 1989. _____. “Aceh as a Muslim-Malay Cultural Centre (14th – 19th Century)”, makalah dibawakan dalam First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies di Banda Aceh 24 – 27 Februari 2007. Ismuha. Ulama Aceh dalam Perspektip Sejarah. Jakarta: LIPI, 1976. Ito, Tekeshi. “The World of the Adat Aceh. A Historical Study of the Sultanate of Aceh”, Tesis, Canberra: Australian National University, 1984. Jusoh, Yahaya bin. “Majlis Aceh (Adat Aceh)” tesis, (tidak dipublikasikan), University of Kent , 1986. Komroff, Manuel, ed.The Travel of Marco Polo The Venetian, New York: W.W. Norton, 1930.. Lamnyong, Teungku Anzib. Adat Aceh, Banda Aceh:PLPIS, 1978. Lombard, Denys. Kerajaan Aceh; Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Balai Pustaka, 1986. Madjid, M. Dien. Catatan Pinggir Sejarah Aceh, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2013. Mitrasing, Ingrid Saroda. “The Age of Aceh; The Evolution of Kingship 1599-1641”, (disertasi), Universitas Leiden, belum diterbitkan, 2011. Muhammad, Rusjdi Ali. Revitalisasi Syari‟at Islam di Aceh; Problem, Solusi dan Implementasi, Jakarta: Logos, tanpa tahun. 145
Organski, A.F.K..Tahap-Tahap Perkembangan Politik, Terj. Nooroso Kuhardjo, Jakarta: Akademika Pressindo, 1985. PaEni, Mukhlis.Riak di laut Tawar; Kelanjutan Tradisi dalam Perubahan Sosial di Gayo Aceh Tengah, Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia dan Gadjah Mada University Press, 2003. Peacock, A.C.S dkk, ed.From Anatolia to Aceh; Ottoman, Turks and Southeast Asia, Oxford: Oxford University Press, 2015. Razak, Yusron. Sosiologi Sebuah Pengantar. Ciputat: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008. Reid, Anthony, ed.Verandah of Violance; The Background to the Aceh Problem, Singapore: NUS Press, 2006. ____________. Menuju Sejarah Sumatra, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011. Saby, Yusny. “The Ulama in Aceh: A Brief Historical Survey”, on Studia Islamika, Vol. 8, no. 1, 2001. Said, Mohammad. Aceh Sepanjang Abad Jilid I, Medan: Waspada, 1981. Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995. Satriani, Septi. “Dinamika Sejarah Gampong dan kampung di Aceh”, artikel ini didapatkan dari perpustakaan LIPI. Siegel, James T. The Rope of God, Barkeley & Los Angeles: University of California Press, 1969. Soekanto, Soerjono. Kamus Sosiologi, Jakarta: CV Rajawali, 1985. Suwardi. Raja Alim Raja Disembah; Eksistensi Kebudayaan Melayu dalam Menghadapi Era Global, Pekan Baru: Alaf Riau, 2005. Tjandrasasmita, Uka. Kota-Kota Muslim di Indonesia; Dari Abad XIII sampai XVIII Masehi. Kudus: Menara Kudus, 2000. _____. Naskah Klasik dan Penerapannya Bagi Kajian Sejarah Islam di Indonesia, Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan badan Litbang dan Diklat Kementeriaan Agama RI, 2012. Van Langen, K.F.H. “De Inrichting van Het Atjehsche Staatbestuur Onder het Sultanaat”, s‟Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1888. 146
_____. Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan, Terj. Aboe Bakar. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Dokumen Informasi Aceh, 2002. Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: P.T. Hidakarya Agung, tanpa tahun. Zainuddin, H.M. Singa Atjeh. Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1957. _____, Tarikh Atjeh dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961. On Line http://atjehpost.co/m/read/60/Riwayat-Kampung-Turki-di-Aceh. http://sabrizain.org.
147