Inisiatif Tenurial Reform Kehutanan di KPK Analisa Terhadap Nota Kepakatan Bersama 12 Kementrian dan Lembaga (NKB 12K/L) Eko Cahyono1
A. Latar Belakang Salah satu tonggak keterlibatan langsung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas persoalan Tenurial Reform Kehutanan adalah sejak masuknya agenda Nota Kesepemahaman Bersama (NKB) Percepatan Pengukuhan kawasan Hutan 12 Kementrian dan Lembaga (NKB 12 K/L) yang ditandatangani pada 10 Meret 2013 lalu di Istana negara. Dapat dikatakan bahwa agenda dalam NKB 12 K/L merupakan kelanjutan dari beberapa upaya sebelumnya dari KPK yang ingin mengembangkan penanganan persoalan korupsi di wilayah kehutanan dan Sumber Daya Alam secara lebih luas. Dasar gagasan pengembangan kajian korupsi di wilayah kehutanan dan SDA adalah pemahaman bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas tidak hanya merugikan keuangan Negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Dengan pemahaman semacam ini maka makna Pemberantasan Korupsi lebih dalam perspektif Penjagaan Hak-hak Sosial dan Ekonomi untuk Kesejahteraan Rakyat. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar dari upaya penyusunan agenda NKB 12 K/L Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan. Dalam sebuah rapat koordinasi dengan 45 penanggung jawab NKB dari 12 K/L, yakni Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kemeneterian Pertanian, Kementerian ESDM, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Dalam negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, Kementerian PPN/Bappenas, Badan Pertanahan Nasional, Badan Informasi Geospasial, Komnas HAM, dan UKP4. Wakil KPK Busyro Muqoddas menjelaskan dasar penyusunan NKB 12 K/L, setidaknya ada tiga hal dasar: Pertama, Kawasan hutan yang mencapai sekitar 128 juta hektare meliputi 70% wilayah darat Indonesia, merupakan salah satu kekayaan negara yang harus dikelola sebaik-baiknya dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 3. Namun demikian, buruknya tata kelola sektor kehutanan belum mampu mewujudkan amanat tersebut, namun justru yang terjadi adalah kerusakan hutan secara masif. Hal ini diperparah dengan belum mantapnya 1
Tim NKB-KPK, Peneliti di Sajogyo Institute, Bogor.
kawasan hutan di Indonesia. Dari luas hutan yang ada, baru 16,18 persen kawasan hutan yang telah ditetapkan dan masih tersisa 63 ribu kilometer kawasan hutan belum ditata batas. Belum lagi batas administratif daerah, baru selesai 130 segmen dari total 957 segmen. Kedua, Buruknya tata kelola di sektor kehutanan dan korupsi menjadi lingkaran tak berujung. Keduanya dianggap terus menggerogoti hak rakyat untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya atas hutan. Kerugiannya yang terjadi pun sangat tinggi. Pada tahun 2005, Kemenhut memperkirakan, akibat illegal loging saja negara dirugikan sebesar Rp35 triliun per tahun. Hanya dengan menghitung tiadanya izin pinjam-pakai, KPK pada 2010 mengkalkulasi hilangnya potensi penerimaan negara bukan pajak akibat pertambangan di dalam kawasan hutan sebesar Rp15,9 triliun per tahun. Ini karena ditemukan 1.052 usaha pertambangan dalam kawasan hutan yang tidak melalui prosedur pinjam-pakai. Ketiga, Hasil kajian KPK sebelumnya, yakni melakukan kegiatan pencegahan berupa kajian Sistem Perencanaan dan Pengelolaan Hutan pada Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan pada 2010. Pengalaman pemantauan tindak lanjut dari hasil kajian tersebut menyadarkan KPK bahwa perlu ada komitmen dan sinergi dari semua K/L terkait untuk bersama-sama menuntaskan persoalan tata kelola kehutanan.2 Tujuan utama dari penandatanganan NKB 12 K/L 11 Maret 2013 adalah bagian dari upaya menyelesaikan akar masalah sektor sumber daya alam atau sektor kehutanan yang sudah puluhan tahun tidak diselesaikan atau belum menemukan alternatif penyelesaian terbaik. Selain itu, salah satu akar masalahnya adalah ego sektoral dalam pengelolaan sumber daya alam. Secara normative NKB yang berlaku sampai 3 tahun sejak ditandatangani ini mempunyai tiga agenda utama, yaitu harmonisasi regulasi dan kebijakan, penyelarasan teknis dan prosedur dan resolusi konflik yang duurunkan ke dalam 93 rencana aksi. Perincian lebih lanjut dari 93 rencana aksi menjadi lima bagian cluster merujuk pada usulan pakar tata kelola kehutanan, Prof. Hariadi Kartodihardjo. Lima klaster tersebut adalah cluster kawasan hutan, kesatuan pengelolaan hutan (KPH), penyelesaian konflik, perencanaan nasional, dan perizinan. Tujuan dari pembagian klaster ini adalah bagian dari penyempurnaan kebijakan dan peraturan serta percepatan pengukuhan kawasan hutan, termasuk kepastian status pihak ketiga dalam kawasan hutan negara. Sementara pada kesatuan pengeloan Hutan (KPH), yakni dengan mendorong beroperasinya 120 KPH model serta berjalannya program-program kemasyarakatan di dalam KPH itu. Sedangkan untuk penyelesaian konflik, yang akan dilakukan adalah pentingnya menyusun regulasi penyelesaian sengketa kehutanan dan terwujudnya konsensus penyelesaian konflik oleh 12 kementerian atau lembaga, yang diikat dalan Renaksi setiap K/L terkait. Disisi lain diperlukan penyusunan perencanaan nasional yang lebih rinci dalam penyelesaian pengukuhan kawasan hutan serta menjadikan penyelesaian pengukuhan kawasan hutan ini menjadi agenda nasional dalam jangka panjang (RPJMN). Untuk persoalan perizinan, perlu disusun kebijakan dan 2
Dikutip dan dikembangkan dari berita yang dirujuk pada: http://www.kpk.go.id/id/berita/berita-kpk-kegiatan/1254-kpk-dan-12kementerian-lembaga-tindak-lanjuti-kesepakatan-percepatan-pengukuhan-kawasan-hutan.
menjalankan proses perizinan secara integratif dan transparan dengan jaminan masa depan perizinan sesuai peraturan-perundangan dan bebas konflik.3 Berikut skema pencegahan korupsi sektor kehutanan KPK:4 mekanisme anti korupsi KPK (UU No. 30/2002)
Pencegahan Korupsi Sektor Kehutanan
Koordinasi Pasal 7
Supervisi Pasal 8
Tugas KPK Pasal 6
Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan
1. 2. 3. 4. 5.
Kejaksaan Kepolisian BPK Inspektorat Jenderal Lain-lain
1. 2. 3. 4. 5.
Kejaksaan Kepolisian BPK Inspektorat Jenderal Lain-lain
1. Lembaga yang memberikan pelayanan publik
Pasal 11
1. Semua kewenangan yang diberikan kepada penegak hukum lainnya oleh UU
Pencegahan Pasal 13
2. Kewenangan tertentu yang tidak diberikan kepada penegak hukum lain
Monitor Pasal 14
B. Sekilas Rute Masuknya Gagasan NKB di KPK Secara umum, masuknya gagasan tenurial reform di KPK yang kemudian menghasilkan bentuk NKB 12 K/L, merupakan buah dari keterbukaan dan kesempatan politik pasca reformasi di satu sisi dan pemanfaatkan kekuatan performance “super body” KPK yang mendapat dukungan dan kepercayaan masyarakat secara umum sebagai salah satu anak kandung agenda Reformasi 1998 yang masih berjalan. Namun, secara khusus gagasan NKB 12 K/L juga merupakan hasil dorongan dari person-person dan kelembagaan di luar KPK yang selama ini menekuni persolan kebijakan kehutanan, terutama dalam hal ini adalah Yayasan SILVAGAMA5. Para aktivis di 3
Ibid. Presentasi Tim Litbang KPK, di pertememuan Seminar sehari dengan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Hotel Cemara Jakarta, 17 April 2013. 5 Yayasan Silvagama meripakan lembaga yang awalnya diisi oleh para alumni dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta, khususnyab para mahasiswa pecinta alam dan aktivis lingkungan yangbermarkas di Yogyakarta. Sejak kepengurusan Timmer Manurung, sekitar tahun 2008/2009 hingga sekarang diisi oleh beragam aktivis multi universitas (tak hanya dari UGM) dan multi 4
Silvagama memiliki hubungan personal yang sangat baik dengan person-person di Internal KPK dalam jangka bantu yang cukup lama, khususnya dengan dua bidang di internal KPK, yakni Bidang Penelitian dan Pengembangan (Litbang) dan Direktorat Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi (PJKKI). Tonggak penting hubungan antar kelembagaan antara Yayasan Silvagama dan KPK adalah agenda pengkajian KPK terhadap Sistem Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Hutan di Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan pada tahun 2010. Dari hasil kajian tersebut KPK merekomendasikan 17 saran perbaikan, yang meliputi aspek regulasi, kelembagaan, tata laksana, dan manajemen SDM. Namun, kajian tersebut belum membuahkan hasil yang diharapakan. Pengalaman pemantauan KPK terhadap implementasi saran perbaikan oleh Kementerian Kehutanan sejak 2011 sampai dengan saat ini, ternyata Kementerian Kehutanan meski telah telah menunjukkan upaya keras untuk melakukan perbaikan dalam hal perencanaan dan pengelolaan kawasan hutan namun melahirkan permasalahan-permasalahan mendasar lainnya yang terkait perencanaan dan pengelolaan kawasan hutan yang penyelesaiannya bersifat terintegrasi dan perlu mendapat dukungan dan sinergi dari seluruh elemen Kementerian/Lembaga antara lain: Kementerian ESDM, Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Badan Informasi Geospasial (BIG), BAPPENAS, Kementerian Hukum dan HAM, dan Komnas HAM. Di sisi lain, Grahat Nagara salah seorang aktivis di Yayasan Silvagama -- juga termasuk salah seorang penulis dalam penyusunan naskah Tenurial Reform Kehutanan oleh CSO Lombok— kerap terlibat memberikan masukan dan update ke internal KPK terkait perkembangan putaran dan capaian serta masalah-masalah yang muncul dari dorongan reform kehutanan oleh kalangan CSO ini. Salah satu catatan reflektif dari putaran Tenurial Reform CSO yang memanfaatkan jalur Kementrian Kehutanan dan Dewan Kehutanan Nasional (DKN) adalah munculnya persoalan berupa ketidakmampuan gerakan CSO dengan agenda Tenurial Reform Kehutanan hasil konferensi Lombok, menembus hambatan politik birokratis “egos ektoral” antar Kementrian yang terkait dengan pengelolaan kawasan hutan. Sudah jamak diketahui bahwa urusan pengelolaan kehutanan, meniscayakan lintas pengeloaan kebijakan antar kementerian dan lembaga. Di sisi lain, kompleksitas warisan persoalan kehutanan sebelumnya yang tak hanya meliputi persoalan regulasi dan kebijakan, tetapi juga meluas pada persoalan paradigma pengelolaan kawasan hutan, kapastian hak-hak tenurial masyarakat adat/lokal, tata batas kawasan, hak dan akses masyarakat atas kawsan hutan, hingga konflik agraria yang masih belum menemukan jalan tuntas akar persoalannya. Kombinasi persoalan batas usaha gerakan CSO dan masih ruwetnya warisan masalah kehutanan sebelumnya, membutuhkan “jalan alternative” untuk dapat menembusnya.
disilin ilmu, hukum, politik, sosiologi dll. Namun masih mempertahankan traadisi merekrut aktivis pencita alam dan aktivis lingkungan. Profil Yayasan Silvagama lebih lanjut dapat dillihat; www. silvagama.org.
Baik dalam diskusi ringan non formal maupun diskusi formal, Grahat Nagara dan Timmer Manurung (aktivis Yayasan Silvagama) kerap mendiskusikan hasil refleksi atas “batas” penembusan dorongan Tenurial Reform CSO hasil konferensi Lombok tersebut ke internal KPK (khususnya di lingkungan Litbang dan PJKKI) sekaligus menjajaki kemungkinan KPK ikut berperan melanjutkan kajian korupsi di kawasan kehutanan. Putaran diskusi yang dilakukan terus menerus di internal KPK serta dorongan momentum situasi eksternal, khususnya semakin menjamurnya persoalan konflik agraria di sekitar kawasan hutan yang belum menemukan jalan keluar yang mendasar, semakin mendorong upaya perwujudan agenda pengkajian KPK terhadap Sistem Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Hutan di Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan yang dilakukan pada tahun 2010 itu. Hasilnya, sebagaimana diungkapkan dimuka adalah, 17 rekomendasi saran perbaikan, yang meliputi aspek regulasi, kelembagaan, tata laksana, dan manajemen SDM. Kajian inilah yang menjadi tonggak dan cikal bakal lahirnya NKB 12 K/L. Namun, naskah NKB yang telah ditandatangani 12 K/L sekarang ini bukanlah hasil usulan desain utuh dari para penggagasnya. Namun lebih tepat disebut sebagai naskah berproses. Sebab, aktivis Yayasan Silvagama sendiri yang massif mengusulkan gagasan tersebut awalnya tidak membayangkan bahwa NKB ini akan menghubungkan banyak lembaga dan kementrian sertaakhirnya dapat ditandatangami oleh 12 K/L. Bayangan awal yang ditargetkan adalah hanya 4-5 kemnetrian saja. Mereka juga tidak membayangkan bahwa naskah NKB ini akan ditandatangani di Istana negara dan disaksikan langsung oleh Presiden RI. Tim Penggagas juga tidak membayangkan sejak awal bahwa putaran NKB pasca ditandatangani 12 K/L akan melibatkan sekian banyak pakar, jaringan dan rute-rute pertemuan diskusi, FGD dan Seminar yang demikian panjang dan meluas seperti sekarang ini.6 Para aktivis Silvagama mengakui bahwa masuknya gagasan NKB banyak dilapangkan jalannya salahsatunya karena kepempimpinan di KPK yang mendukung dan selaras dalam mendorong gagasan NKB, khususnya wakil ketua KPK Busro Muqoddas dan Bambang Wijoyanto. Kedua pimpinan KPK ini, selain sudah sangat lama terlibat bersama aktivis di CSO, juga punya concern mengembangkan kajian korupsi ke wilayah sumberdaya alam dan mendasarkan pada isu-isu kebangsaan lainnya. Dalam kepempimpinan mereka, upaya mengembangkan tafsir baru korupsi yang tak hanya dominan pada makna hukum normatif tetapi juga untuk penegakan keadilan sosial. Sehingga beragam gagasan dalam upaya pengembangan kajian korupsi baik di internal Litbang KPK maupun PJKKI disambut baik oleh pimpinan KPK dan didorong lebih kuat untuk digoalkan.7 Selain itu, masuknya gagasan Tenurial Reform di KPK juga merupakan hasil dukungan serius dari para personel serta pimpinan di kedua bidang di Internal KPK, yakni Litbang dan PJKKI yang sejak awal kajian persoalan kehutanan dengan Ditjend Planologi tahun 2010, hingga 6 7
Hasil wawancara dengan GN dan TM, tanggal 15 Juli 2013. Hasil diskusi dengan beberapa oarng Tim NKB di Litbang dan PJKKI di KPK, juni-juli 2013.
tersusunnya NKB 12 K/L. Seluruh personel dan pimpinan di kedua lembaga ini aktif terlibat langsung dan mendukung penuh semua gagasan pengembangan kajian korupsi di wilayah kehutanan dan Sumberdaya Alam.8 Pasca penandantanganan NKB, dilakukan putaran Forum Groups Discussion (FGD) cukup panjang dengan para pakar hukum, kebijakan, konflik kehutanan untuk menguatkan materi substantif, penyusunan strategi lanjutan, prancangan Rencana Aksi di tiap K/L hingga pendampingan pembahasan Renaksi di 12 K/L. Melibatkan beragam pakar dari lembaga riset, CSO dan jaringan kampus (IPB, UI, UGM, dll) yang dibagi menurut fokus tiga persoalan utama NKB 12 K/L yakni; Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan, Harmonisasi Regulasi dan Peraturan dan Resolusi Konflik. Para Dewan Pakar inilah yang banyak berperan memberikan masukan, arahan, dan koreksi serta strategi sejak awal penyusunan naskah awal white paper NKB hingga pemantapan naskah, serta pendampingan dan pengawalan proses penyusunan Renaksi di 12 K/L.9
8
Hasil pengamatan terlibat penulis sebagai salah satu Tim NKB, dan hasil wawancara dengan Grahat Nugraha (Silvagama) Juli 2013. 9 Hasil Renaksi yang telah disepakati 12 K/L dan SK Dewan Pakar terlampir. Diantara Dewan Pakar Tersebut adalah Prof. Maria Sumardjono (UGM), Prof. Hariadi kartodihardjo (IPB), Prof. Nur Hasan Ismail (UGM), Noer Fauzi Rachman, PhD, Myrna Savitri, PhD, Yando Zakaria (Karsa Jogya), Abdon Nababan (AMAN) dll.
Berikut proses dari rute penyusunan agenda NKB di KPK.10 membangun komitmen bersama
Pemetaan Permasalahan dan Komitmen Bersama
Besar dan luasnya implikasi permasalahan dalam sistem perencanaan SDA, memerlukan tidak hanya kesepahaman bersama tetapi juga komitmen dan rencana aksi yang jelas dan efektif.
Pemetaan masalah
Diskusi serial
Agustus 2012
Membangun komitmen kementerian lintas sektor. Kemhut, BIG, BPN, KemPU, Kementan, Keme n ESDM, Kemenkumham, Kemdagri, Kemenke u, Bappenas, Kementerian LH, Komnas HAM, UKP4, KPK.
Naskah tematik
Seminar dan Lokakarya
13 Desember 2012
NKB
11 Maret 2013
Memetakan persoalan dalam bahasa yang sama. Dipetakan melalui tiga persoalan: 1) harmonisasi kebijakan dan peraturan perundangan 2) penyelarasan teknis dan prosedur pengukuhan kawasan hutan, 3) resolusi konflik.
Sumber: Presentasi Tim NKB KPK, 2013.
C. Hubungan NKB 12 K/L dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 35/PUUX/2012 Munculnya putusan MK/X/2012 yang mengabulkan sebagian tuntutan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), untuk melepaskan hutan adat dari hutan negara, menjadi tambahan agenda dan tersendiri dalam penyusunan Renaksi di tiap K/L penandatangan NKB. Sebab, penyusunan gagasan dan naskah awal NBK, belum membayangkan keberhasilan gugatan AMAN kepada MK tersebut. Namun, di internal Tim Penggagas NKB meski tidak ada naskah tertulis, telah menyepakati bahwa posisi NKB adalah mendukung dan menguatkan keputusan MK/2012. Sehingga banyak penyesuaian gagasan dalam naskah NKB, termasuk penyusunan strategi
10
Presentasi Tim Litbang KPK, di pertememuan Seminar sehari dengan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Hotel Cemara Jakarta, 17 April 2013.
komunikasi dengan K/L terkait, guna menegoisasikan masuknya point-point dalam naskah Renaksi NKB yang terkait dengan putusan MK/X/2012 tersebut.11 Berikut point-point Renaksi NKB 12 K/L yang terkait isunya dengan putusan MK/X/2012 POINT-POIN RENAKSI NKB 12 K/L YANG TERKAIT DENGAN PUTUSAN MK 35/PUU-X/2012 No
1
Nama K/L
ESDM
Point Renaksi
- A.1.7. Melakukan evaluasi - Teridentifikasinya potensi terhadap penetapan wilayah konflik /tumpang tindih pada usaha pertambangan dan potensi peta rancangan Wilayah tumpang-tindihnya dengan Usaha Pertambangan (WUP) perizinan lain. Mineral Logam, Batubara, Radioaktif, Mineral Non Logam dan Batuan, di 7 (cluster) pulau/kepulauan dalam kawasan hutan, dan peta Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang berada di dalam kawasan hutan. Dengan melihat kesesuaian alokasi ruang, perizinan, lingkungan hidup, maupun sosial. - A.2.3. Melakukan revisi terhadap mekanisme perizinan pertambangan, sehingga izin usaha pertambangan menjadi instrumen administrasi negara yang berada di ujung proses mendapatkan izin. Dalam hal berada di dalam kawasan hutan, sebelum penerbitan WIUP yang baru sesuai UU 4/2009 ditetapkan oleh MESDM,
11
Kreteria dan Target Program
- Terbitnya Peraturan Bersama antara Menteri ESDM dan Menteri Kehutanan dalam hal mekanisme perijinan pertambangan dan IPPKH (Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan)
Hasil pengamatan dan analisa penulis sebagai salah satu Tim NKB dan hasil diskusi-diskusi internal di Tim NKB KPK – Silvagama, Juli-Agustus 2013.
2
3
KEMENTAN
KMLH
Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya sudah tercapai kesepakatan dengan Kementerian Kehutanan untuk menerbitkan IPPKH kepada pemenang lelang WIUP Mineral Logam dan Batubara atau pemohon yang sudah mendapatkan peta WIUP Mineral Bukan Logam dan Batuan sebelum mengajukan Permohonan IUP A.2.1. Melakukan revisi terhadap mekanisme perizinan perkebunan, sehingga izin usaha perkebunan menjadi instrumen administrasi Negara yang berada di ujung proses mendapatkan izin. Dalam hal berada di dalam kawasan hutan, IUP diterbitkan setelah pelepasan kawasan hutan.
B12: Rancangan Peraturan Bersama Menteri Pertanian dan Kehutanan tentang mekanisme pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan disampaikan kepada publik
A.3.5. Melakukan revisi terhadap Permentan 26/2007 dengan mengharuskan setiap daerah melaporkan izin yang diterbitkan kepada Kementan dan Badan Informasi Geospasial.
B06: Rancangan Peraturan Menteri Pertanian tentang mekanisme perizinan usaha perkebunan terintegrasi
A.3.6. Menyusun NSPK untuk mengendalikan perizinan yang diterbitkan oleh daerah.
Tersusunnya aturan yang mengatur mekanisme pengendalian penerbitan IUP
A.1.5. Penyelesaian peraturan perundangan yang merupakan penjabaran UU 32/2009 tentang Pelindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terutama yang terkait dengan kebijakan
B06: Tersusunnya hasil inventarisasi peraturan perundangan mengenai perencanaan terkait dengan pemanfaatan SDA
pemanfaatan dan pencadangan Sumber Daya Alam.
4
5
BPN
KEMEN-PU
A.1.6. Kementerian Lingkungan Hidup mengkoordinasikan penyusunan kriteria daya dukung dan daya tampung
B06: Terlaksananya pemetaan peraturan-peraturan mengenai kriteria Kawasan Hutan
A.2.9. Membangun basis data kegiatan usaha SDA yang menggunakan izin lingkungan
Terlaksananya peyebaran Informasi tentang rencana kegiatan/usaha yang telah memiliki izin lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup kepada instansi terkait
A.3.2. Badan Pertanahan Nasional membangun kriteria tanah terlantar dan tindak lanjut pendistribusian tanah terlantar, termasuk jika diperlukan dikembalikan sebagai kawasan hutan dengan melibatkan Kementerian Pertanian
Adanya pengaturan tentang kriteria tanah terlantar yang kemudian dapat ditindaklanjuti secara adil dan dengan Target 1.Terbitnya penyempurnaan PP No. 11 Tahun 2010 dan peraturan pelaksanaanya
B.7.2. Melakukan pendaftaran tanah atas hak-hak lama masyarakat sebagaimana PP Pendaftaran Tanah secara paralel dengan proses penataan batas.
Terdaftarnya / tercatatnya atas hak-hak masyarakat baik di dalam maupun di sekitar kawasan hutan
B.7.3. Melakukan revisi terhadap Permen Agraria/Kepala BPN No. 5/1999 tentang Penyelesaian Masalah hak Ulayat
Disempurnakannya pengaturan hak atas tanah masyarakat hukum adat dalam kawasan hutan. Target 1. Diterbitkannya aturan pengganti Perka BPN 5/1999
A.1.12. Menyusun regulasi terkait
Target 1. Terbitnya peraturan
6
KUMHAM
perencanaan dan pemanfaatan ruang yang menjamin terakomodasinya semua
pemerintah yang menjadi payung bagi kriteria fungsi dan tata guna ruang yang menjamin terakomodasinya semua kepentingan sektoral dan daya dukung dan tampung lingkungan hidup.
A.1.15. Bersama kementerian terkait melakukan inventarisasi atas ketidakharmonisan peraturan perundangan dan kebijakan sektoral yang berkaitan dengan kawasan hutan.
Tersusunnya kajian gap analysis untuk harmonisasi regulasi yang terkait dengan kawasan hutan
A.1.16. Bersama kementerian terkait melakukan harmonisasi peraturan perundangan dan kebijakan sektoral yangberkaitan dengan kawasan hutan.
7
KEMENDAGRI
A.3.10 Melaksanakan pengendalian terhadap izin-izin yang telah diterbitkan Bupati berdasarkan NSPK yang disusun oleh kementerian sektoral. Terinventarisasinya izin-izin pengelolaan SDA yang diterbitkan oleh pemerintah
B.5.3. Menyelesaikan batas wilayah administratif secara
Tersusunnya rancangan regulasi yang diusulkan untuk dilakukan harmonisasi. Target 1. Tersusunnya roadmap harmonisasi regulasi dan kebijakan sumber daya alam.
Terlaksananya Fasilitasi daerah Provinsi dengan Sektor dalam pengendalian izin-izin pengelolaan SDA didalam kawasan hutan Target : Terhimpunnya laporan pengendalian terkait perizinan/pengelolaan SDA di daerah provinsi Terpetakannya wilayah administratif pemerintahan
paralel dengan penataan batas kawasan hutan.
B.6.2. Berkoordinasi dengan pemerintah daerah agar ada aturan daerah yang mensosialisasikan setiap rencana penataan batas dan membuka ruang partisipasi masyarakat dalam kegiatan penataan batas di wilayahnya.
C.1.4. Bekerja sama melakukan pemetaan sosial terhadap masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal yang berada di dalam dan sekitar hutan.
8
BIG
hingga ke tingkat desa. Target 1. Tersusunnya naskah yang mengkaji efektivitas dan validitas Permendagri yang mengatur mengenai desa dan batas desa.
Tersedianya informasi penataan batas kawasan hutan.
Tersedianya data hasil pemetaan sosial masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal di dalam dan sekitar hutan bersama dengan K/L terkait
C.4.6. Berkoordinasi dengan pemerintah daerah, Badan Pertanahan Nasional, dan Kementerian Kehutanan agar pemerintah daerah melakukan inventarisasi dan identifikasi wilayah kelola masyarakat hukum adat khususnya yang berada di dalam kawasan hutan.
Terhimpunnya hasil inventarisasi dan indentifikasi yang dilakukan oleh daerah terhadap wilayah kelola masyarakat hukum adat yang ada didalam kawasan hutan
A.3.12. Membangun basis data dan informasi geospasial terhadap seluruh perizinan sektoral.
Terciptanya Landasan Kesepahaman Bilateral dan Multirateral Untuk Meningkatnya kualitas atribut
pada IGT ijin/konsesi usaha dan titel hak atas tanah secara nasional dengan memanfaatkan pangkalan data JDSN sesuai dengan ISO
B.1.3. BIG mengkoordinasikan pengadaan citra satelit resolusi tinggi (CSRT) dengan melibatkan LAPAN, Bappenas, Kemenkeu dan Kemenhut.
B.1.4. BIG mengkoordinasikan kegiatan kajian untuk memformulasikan skala perpetaan operasional untuk seluruh kegiatan alokasi ruang termasuk dalam proses pengukuhan kawasan hutan dengan melibatkan Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kehutanan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Kementerian Pekerjaan Umum.
B.2.3. Berkoordinasi dengan UKP4 untuk menuntaskan renaksi one map
Tersedianya CSRT, Data DEM, dan Basisdata GCP pengolahan data satelit penginderaan jauh resolusi tinggi untuk keperluan survei dan pemetaan nasional.
Tersusunnya Peraturan Bersama beberapa K/L tentang Formula Skala Peta Operasional untuk Alokasi Ruang
Terbentuknya berbagai peraturan pelaksanaan turunan UU 4/2011 tentang Informasi Geospasial sebagai panduan teknis pelaksanaan
B.3.5. Pengintegrasian IGT untuk mewujudkan One Map, termasuk pengukuhan dan penatagunaan kawasan hutan.
KEMENHUT
A.1.1. Penyempurnaan aturan tentang pengukuhan kawasan hutan.
B15 : - Terselenggaranya Rakortek Pokja IGT untuk mensinergikan penyelenggaraan IGT (Tahap Persiapan)
Target 1. Penyempurnaan aturan mengenai tentang perencanaan hutan, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan, Permenhut P.44/2012, Permenhut P.47/2010 B.15:Rancangan revisi PP 44/2004, Permenhut P.44/2012, Permenhut P.47/2010 disampaikan dan dikonsultasikan kepada publik
A.1.2. Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan.
A.1.3. Kementerian Kehutanan menjabarkan Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) ke dalam perencanaan pemanfaatan kawasan hutan yang lebih rinci
Tersusunnya laporan evaluasi kegiatan pengukuhan kawasan hutan, yang menjelaskan pembelajaran dan permasalahan pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan secara lengkap untuk kepentingan penyempurnaan aturan pengukuhan kawasan hutan.
Tersusunnya penyempurnaan dan pendetilan Rencana Kehutanan yang dapat diselaraskan dengan berbagai
dengan melibatkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
rencana pembangunan sektoral lainnya, maupun alat perencanaan pembangunan lain, seperti RPJM.
A.1.4. Percepatan pembentukan KPH.
Terbentuknya KPH yang berfungsi secara optimal, pada kawasan hutan yang telah ditetapkan
A.2.2. Kementerian Kehutanan mengkoordinasikan kegiatan evaluasi terhadap tindak lanjut pelepasan kawasan hutan dengan melibatkan Badan Pertanahan Nasional dan Kementerian Pertanian.
Terlaksananya evaluasi terhadap tindak lanjut pelepasan kawasan hutan dengan melibatkan BPN, Kementan dan KL terkait lainnya.
A.2.5. Melakukan kajian ulang serta sinkronisasi dengan sektor terkait terhadap mekanisme pelepasan kawasan hutan untuk keperluan perizinan dan pinjam pakai kawasan hutan dengan memperhatikan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas serta sinkronisasi dengan instansi terkait.
Terlaksananya kajian harmonisasi dan sinkronisasi regulasi dalam mekanisme peenggunaan dan pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan sektoral lainnya yang bebas konflik dan bebas dari korupsi.
A.3.1. Kementerian Kehutanan mengkoordinasikan kemungkinan implementasi mekanisme jaminan pelepasan kawasan hutan dengan melibatkan Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian,
Tersusunnya pengaturan mengenai jaminan pelepasan kawasan hutan
Kementerian Dalam Negeri, dan Badan Pertanahan Nasional
B.1.1. Menyusun prioritas penyempurnaan peta penunjukan kawasan hutan.
Tersusunnya dalam rencana makro kehutanan prioritas penyelesaian pengukuhan kawasan hutan, dan termasuk penyempurnaan peta penunjukan kawasan hutan.
B.3.1. Menyempurnakan dan melakukan update berkala terhadap basis data dan informasi hutan dan kawasan hutan.
Tersedianya seluruh data kebijakan dan regulasi terkait kawasan hutan baik yang berbasis spasial maupun non spasial.
B.3.2. Review terhadap aturan inventarisasi hutan yang dipersyaratkan dalam Undangundang Nomor 41 Tahun 1999.
Tersusunnya kajian mengenai pentingnya inventarisasi hutan sebagai bagian dari perencanaan ruang kehutanan dan rekomendasi tentang inventarisasi hutan yang efektif dan efisien, antara lain mengatur 1) mekanisme inventarisasi hutan tidak hanya kayu, tetapi juga sosial, 2) mekanisme inventarisasi hutan sebagai bagian dari pengukuhan kawasan hutan.
B.3.3. Kemenhut mengkoordinasikan inventarisasi
Tersusunnya basis data dan informasi potensi ekonomi dan
sosial-ekonomi desa-desa di sekitar, beririsan dan di dalam kawasan hutan dengan melibatkan Kemendagri dan BPS.
B.4.3. Kementerian Kehutanan mengkoordinasikan kegiatan terkait mekanisme penanganan pengaduan masyarakat terkait dengan pengukuhan dan tenurial kawasan hutan dengan melibatkan Kementerian Dalam Negeri. B.5.1. Menyusun prioritas penataan batas sesuai dengan penunjukan kawasan hutan dan perubahannya.
B.5.2. Kementerian Kehutanan mengkoordinasikan kegiatan pelaksanaan penataan batas kawasan hutan melibatkan Kementerian Dalam negeri, Badan Pertanahan Nasional dan Pemerintah Daerah.
desa disekitar dan dalam kawasan hutan yang menjadi bahan penentuan status hutan dan penatagunaan kawasan hutan Terkoordinasinya kegiatan penanganan pengaduan masyarakat terkait pengukuhan kawasan hutan dan tenurial kehutanan.
Tersusun dan terkoordinasinya rencana dan prioritas penataan batas dalam rencana kerja direktur jendral planologi kehutanan. Terlaksananya penataan batas di seluruh Indonesia secara terkoordinatif dengan memastikan penyelesaian sengketa dan konflik dalam kawasan hutan.
Terbitnya pengaturan mengenai pengukuhan kawasan hutan yang B.6.1. Melakukan penyempurnaan memberikan penguatan kepada aturan pengukuhan untuk PTB dalam rangka penguatan PTB terkait menyelesaikan hak-hak pihak penyelesaian hak-hak pihak ketiga. ketiga.
B.7.1. Mempercepat pencadangan areal hutan kemasyarakatan, hutan
Tersusunnya secara optimum areal hutan yang dicadangkan untuk dikelola oleh masyarakat
desa dan HTR.
dengan mekanismemekanisme pengelolaan berbasis masyarakat yang ada maupun basis hak atas tanah seperti hutan adat maupun hutan hak.
B.9.1. Kementerian Kehutanan mengkoordinasikan upaya untuk mendorong segera terinventarisasi dan terpetakannya kawasan hutan adat melibatkan Kemendagri, Pemerintah Daerah dan Badan Pertanahan Nasional.
Inventarisasi sosial budaya masyarakat di kawasan hutan Target 1. Tersedianya data di Kementerian Kehutanan data wilayah dan hutan yang dikuasai dan dikelola masyarakat
B.9.2. Menyelesaikan PP Hutan Adat.
Terselesaikannya peraturan pemerintah yang mengatur mengenai bagaimana pengelolaan kawasan hutan oleh masyarakat adat yang partisipatif dan berkeadilan.
B.10.1. Berkoordinasi dengan seluruh kementerian terkait untuk melakukan review dan revisi terhadap aturan terkait mekanisme penyelesaian hak-hak pihak yang tedampak dari pengukuhan kawasan hutan, termasuk PP 44/2004.
Disempurnakannya aturan pengukuhan kawasan hutan, sehingga tidak menjadi jalan bagi peminggiran hak masyarakat. Target 1. Revisi Permenhut P.44/2012 dan Permenhut P.47/2010
C.1.2. Membangun kesepahaman tentang permasalahan tenurial kehutanan.
Kesepahaman bersama masalah tenurial kawasan hutan sesuai dengan C.1.1. dan berbagai hal lain meliputi: 1)
Pendefinisian kawasan hutan non-negara. 2) Jaminan dan perlindungan atas hak dasar penghidupan, akses dan pengelolaan masyarakat tempatan atas hutan. 3) Jaminan ruang hidup masyarakat tempatan terhadap hutan dan kawasannya. 4) Penerapan FPIC dalam kebijakan kehutanan. C.1.3. Melakukan identifikasi hak masyarakat dan wilayah adat di dalam kawasan hutan.
C.1.5. Menyusun pedoman teknis penyelesaian tenurial kawasan hutan.
C.2.1. Membangun konsensus penyelesaian konflik tenurial dengan mengoptimalkan struktur organisasi (lembaga) yang telah ada pada masing-masing K/L.
Melakukan pemetaan dan hak masyarakat adat/masy. Lokal. Peta Hutan Adat. Target 1. Tersedianya data dan informasi masyarakat hukum adat di dalam dan sekitar kawasan hutan.
Adanya pengaturan yang mampu menyelesaikan tenurial KH antara lain meliputi 1) Pendefinisian kawasan hutan non-negara. 2) Jaminan dan perlindungan atas hak dasar penghidupan, akses dan pengelolaan masyarakat tempatan atas hutan. 3) Jaminan ruang hidup masyarakat tempatan terhadap hutan dan kawasannya. 4) Penerapan FPIC dalam kebijakan kehutanan.
Target 1. Penyempurnaan aturan tentang pengukuhan
C.3.1. Penguatan pengaturan tentang Panitia Tata Batas.
C.4.1. Memetakan wilayah kelola rakyat.
C.4.3. Memberikan programprogram pendampingan dalam pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat. Melakukan revisi regulasi untuk mempermudah akses masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam.
hutan, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan, Permenhut P.44/2012, Permenhut P.47/2010, yang menguatkan pengaturan panitia tata batas.
Target 1. Penyempurnaan aturan tentang pengukuhan hutan, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan, Permenhut P.44/2012, Permenhut P.47/2010, yang menguatkan pengaturan panitia tata batas.
Peta wilayah pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan. Target 1. Tersusunnya laporan mengenai potensi pengelolaan hutan berbasis masyarakat di seluruh Indonesia.
Target 1: Adanya hutan yang yang dikelola masyarakat yang mendapatkan sertifikasi pada lokus pengukuhan prioritas
C.4.4. Mengakomodir pemetaan lahan yang telah dikelola oleh masyarakat. Terlaksananya penyempurnaan aturan pengukuhan kawasan
hutan yang secara subtansi mengakomodir peta partisipasi masyarakat dan CSO. D. Tantangan dan Batas Inisiatif Reform Kehutanan di KPK dalam Kasus NKB 12/KL Sejak ditandatangani pda tanggal 10 Maret 2013 lalu di Istana Negara dan disaksikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono, NKB 12 K/L yang diinisiasi oleh KPK telah berjalan memasuki setengah tahun pertama. Tim NKB KPK dan Dewan Pakar yang terlibat melakukan serangkaian pendampingan penyusunan Rencana Aksi (Renaksi), monitoring, diskusi dan evalusi dengan 12 K/L sekaligus melakukan pengolahan data Renaksi, penajaman dan analisa atas berjalannya NKB ini. Refleksi atas proses yang telah berjalan dilakukan dalam beberapa level, baik di aspek substantif, startegis dan koordinasi antar lembaga dan kebutuhan-kebutuhan lain yang diperlukan untuk menjawab tantangan dan dinamika eksternal dan internal yang membutuhkan penyelarasan dan penyesuaian. Berikut ini merupakan analisa singkat terkait dengan tantangan-tangan yang muncul dan batasbatas dari inisiatif reform kehutanan di KPK melalui program NKB 12 K/L tersebut; 1) Kurangnya Perangkat Pengetahuan dalam Kajian Korupsi SDA Sejak periode jajaran kepemimpinan Busro Muqoddas dan Bambang Wijoyanto cs, kedekatan KPK dengan kelompok aktivis Civil Soceity makin meningkat. Salah satu kritik sekaligus harapan kalangan aktivis gerakan rakyat baik gerakan aktivis hukum agraria maupun lingkungan terhadap KPK bersimpul pada persoalan ”Bagaimana mengembangkan kajian korupsi di wilayah Sumberdaya Alam (SDA) ?” yang meletakkan kerugian dan korban yang dialami rakyat kecil dan marjinal sebagai tolak ukuranya. Bukan sekedar makna “korupsi” yang lebih condong pada kerugian negara sebagai ukurannya. Tantangan ini merupakan kegelisahan para aktivis yang kini juga menjabat di jajaran pimpinan KPK, seperti Abraham Samad, Busro Muqoddas maupun Bambang Wijoyonto. Sebab periode-periode kepemimpinan KPK sebelumnya banyak di dominasi oleh kelompok jajaran pimpinan yang lebih condong pada kajian penyidikan dan penindakan. Sebab beberapa senior pengurusnya mayoritas adalah orang-orang yang berdedikasi di Kejaksaanmaupun Kepolisian. Tantangan pengembangan perangkat pengetahuan dan tool untuk kajian korupsi di wilayah “swasta” dan lebih khusus kajian SDA yang melihat rakyat sebagai tolak ukurnya, masih terus dilakukan hingga kini. Ketiadaan perangkat pengetahuan ini mulai diisi dengan melakukan kajian pengalaman di negara lain yang lebih maju. Salah satunya naskah Corruption Impact Assesement (CIA) miliknya KPK Hongkong.12 Naskah ini kemudian dijadikan bahan bacaan 12
Naskah ini dijadikan bahan wajib bagi beberapa penilaian dan indikator baru menilai korupsi, meskipun statusnya masih merupakan bahan kajian di Litbang KPK. Dan belum jadikan prosedur baku di keseluruhan kajian korupsi di KPK. Naskah ini
wajib bagi pengembangan kajian-kajian lain di wilayah korupsi sumberdaya alam. 13 Usahausaha yang dilakukan oleh Litbang KPK ini merupakan satu tanda bagaimana pengembangan kajian untuk memperkaya perangkat pengetahuan dan tool kajian korupsi di wilayah SDA masih menjadi satu tantangan tersediri di internal KPK. Riset Perijinan SDA yang menggandeng para akademisi senior dari tiga kampus besar di Indonesia (UGM, IPB dan UI) juga satu langkah terobosan Litbang KPK untuk mengembangkan jaringan dan semakin merapatkan diri dengan jaringan kampus di Indonesia. Selain itu, kajian ini memiliki tujuan untuk melengkapi programprogram kajian lain yang sudah mendahului dalam kajian sejenis, baik di sektor Migas yang sudah membuka satu kasus besar hingga sektor kehutanan yang dibuka dengan NKB 12/KL dan rencana program Indonesia Memantau Hutan (IMH) yang masih sedang dimatangkan desain dan perencanaannya. b) Masalah Klasik itu bernama “Ego Sektoral” Pelaksanaan NKB 12 K/L, sebagaimana telah di duga di awal program, salah satu masalah yang telah diprediksi adalah soal ego-sektoralisme antar departemen dan kementrian di 12 K/L yang telah menandatangani NKB. Dalam rangkain proses pendampingan penyusunan Rencana Aksi (Renaksi) di 12 K/L selama 6 bulan pertama NKB setelah ditandatangani Maret 2013 lalu, terlihat bahwa masing-masing K/L masih memiliki watak birokrasi lama yang terus terwariskan hingga kini. Yakni merasa sebagai “kerajaan-kerajaan” otonom yang saling menutup dan membatasi kewenangan dan otoritas mereka sebagai perlindungannya. Kerap dijumpai dalam diskusi penyusunan Renaksi para elit K/L baik yang ada di jajaran Eselon I, II maupun di tingkat ditjen mereka, idak berani mengambil keputusan apapun dan menolak untuk terlobat terlalu jauh, karena meras bukan “wewenang” dan diluar “Tugas Pokok Aksi” (TUPOKSI) mereka. Meskipun telah dijelaskan ketidakmungkinan mengurus persolan percepatan pengukuhan kawasan hutan, harmonisasai regulasi dan peraturan serta resolusi konflik kawsan hutan (sebagai tiga pilar agenda NKB) tanpa kolaborasi lintas sektor 14. Salah satu yang paling menonjol dari persolan ego sektoral dalam proses penyusunan Ranaksi NKB tersebut adalah ketidaknyambungan antara Kementrian Kehutanan dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kemenhut dengan Kemendagri. Kemenhut dengan Kemenhukam, dst. Sudah menjadi rahasia umum ketegangan ‘abadi’ antara Kemnhut dengan BPN. Dalam banyak kesempatan kedua penguasa daratan Indonesia ini tidak bisa ‘bertemu’ dan saling juga menjadi salah satu rujukan wajib dalam penyusunan pengembangan beragam desain kajian korupsi KPK, termasuk kajian korupsi di sektor SDA. 13 Riset ini merupakan inisiasi Litbang KPK bersama SIlvagama. Selain untuk pengembangan kajian riset korupsi SDA, riset ini juga bertujuan untuk memperkuat perangkat analitik dan pengetahuan empirik kasus-kasus korupsi di wilayah SDA. Judl risetnya adalah Kajian Perijinan Sumberdaya alam. Studi Kasus Sektor Kehutanan, Pertananahan dan Pertambangan) yang telah dimulai sejak September 2013 dan akan dikahiri dengan presentasi laporan kahir di bulan Desember 2013. Koordinator Riset nya adalah Prof.Dr. Maria W. Sumardjono (UGM), sekaligus Koordinator Kajian Sektor Pertanahan, dibantu oleh Prof.Dr. Nur Hasan Ismail (UGM. Koordinator untuk kajian di sektor Kehutanan dipimpin oleh Prof.Dr. Hariadi Kartodihardjo (IPB). Sedangkan untuk kajian Sektor Pertambangan dipimpin oleh Dr. Tri hayati (UI). Kajian di tiga sektor SDA ini diharapkan dapat menunjukkan peta dasar bagi kajian selanjutnya terkait kajian korupsi di sektor SDA secara umum. 14 Data diolah dari notulen pertemuan di tiap K/L penandatangan NKB dan laporan awal analisa Renaksi NKB. (Libang KPK dan SIlvagama), 2013.
melempar tanggung jawab satu kepada lainnya. Dalam kasus NKB ini misalnya, pihak Kemenhut merasa beberapa point Renaksi mereka dibatasai oleh kewenangan BPN, sehingga menolak melaksanakan atau dicantumkan dalam Renaksi mereka. Sebaliknya, pihak BPN juga menolak memasukkan point Renaksi yang terkait pengurusan wilayah tanah yang masih belum clear and clean dari pihak Kemenhut. Hal ini semakin rumit tatkala Putusan MK no 35 tahun 2012 tentang Hutan Adat yang keluar dari Hutan Negara diputuskan. Baik Kemenhut maupun BPN sangat membatasi keterlibatan mereka dalam upaya melaksanakan Putusan tersebut. Pihak BPN meyakini bahwa kawasan Hutan Adat adalah otoritas Kemenhut, meskipun telah dilepaskan dari Hutan Negara. Sebab menurut pihak BPN, tanah tersebut belum memenuhi syarat clear and clean sehingga tidak bisa dimasukkan dalam buku pendaftaran tanah mereka. Sedangkan pihak Kemenhut menegaskan setelah kawasan Hutan Adat keluar dari Hutan Negara maka ia bukal lagi “wewenang” meraka lagi, dan sudah masuk wilayah orotitas BPN-RI. Untuk meneguhkan putusan ini kemudian dibuatkan Surat Edaran Kemenhut (SE. 1/Menhut II/2013) tentang Putusan MK no 35 tersebut, yang salah satu isinya adalah Kemenhut hanya mau “melayani” dan “mengakui” kawasan MHA yang telah ada Peraturan Daerahnya. Sikap ini merupakan salah satu “pertahanan” Kemenhut untuk tidak mau keluar dari zona aman mereka selama ini. Ketika diusulkan oleh Tim NKB KPK perlunya satu gugus kolaborasi lintas Sektor dalam pengurusan Renaksi NKB yang meliputi Kemenhut, Kemendagri dan Kemenhukam sebagai institusi kunci di beberaap point Renaksi NKB, amsih terbentuk “Tupoksi”, kewenangan dan pada gilirannya selalu dihadapkan dengan kesulitas birokratis dan administratif yang ada di masing-masing K/L terebut, termasuk persoalan sharing pendanaannya. Singkatnya, agenda NKB dalam batas tertentu belum mampu menembus egosektoralisme di 12 K/L penandatangan NKB. Karena itu direkomendasikan langkah-langkah alternatif dan sentuhan “preasure” dengan kewenangan yang dimiliki KPK untuk menekan kesanggupan dan kesungguhan masing-masing lembaga untuk sungguh-sungguh melaksanakan agenda Renaksi NKB yangtelah disepakati bersama antar 12 K/L. c) Masalah “Normatifitas” Agenda Laporan Renaksi NKB 12 K/L Selain belum “cair”nya ego sektoralisme antar K/L para penandatangan NKB, watak birokratisasi dan administratif para K/L juga masih kuat terlihat dari laporan hasil Renaksi yangtelah disetorkan kepada Tim NKB KPK. Dari hasil evaluasi Renaksi bersama Dewan Pakar NKB, terlihat beberapa masalah krusial yang muncul di naskah Renaksi 12 K/L, diantaranya: 1) ketidaksingkronan satu agenda point Renaksi satu dengan yang lain. Bahakan sebagian malah berseberangan. Hal ini bisa terjadi karena ketidah fahaman atas substansi dan tujuan NKB atau secara sengaja menuliskannya dengan seramoangan. 2) Masih kuatnya nuansa normatifitas program yang diusulkan dalam Renaksi mereka. Sehingga program yang disusun merupakan bagian progran yang memang seharusnya mereka lakukan secara kelembagaan ada atau tidaknya program NKB ini. 3) Simplifikasi agenda REnaksi dari target dan tujuan yang dimandatkan oleh NKB. Sebagian besar agenda Renaksi seperti hanya untuk sekedar memenuhi syarat minimum atau sekedar “menggugurkan kewajiban” Renaksi NKB semata. Karena itu salah satu
rekomendari hasil evalusi Renaksi ini adalah, mengembalikan Renaksi kepada K/L terkait untuk melengkapai sesuai dengan aturan Renaksi yang sudah disepakati serta pentingnya mekasnisme penekanan dan sangsi bagi para K/L yang tidak mematuhi NKB.15 d) Soal Sangsi dan Batas Kewenangan KPK Pada 12 K/L NKB Salah satu kelemahan yang cukup menonjol –dan hingga kini belum ketemu solusi yang tepatdalam proses pelaksanaan NKB 12 K/L adalah ketiadaan sangsi yangtegas bagi para K/L dengan raport merah. Dengan bahsa lugas sempat ditanyakan “ Kalau para K/L patuh dan taat melaksanakan NKB akan dapat apa? Dan jika tidak taat dan patuh mau diberi sangsi apa?”. pertanyaan sederhana ini telah beberapa kali muncul dalam putaran-putaran awal hingga evaluasi Renaksi NKB di 6 bulan pertama, dan belum mendapat jawaban yang tuntas. Beberapa jawaban yang muncul diantaranya: 1) akan diserahkan pada “sangsi sosial” dari media dan masyarakat secara umum. Sebagaimana umumnya satu hasil kebijakan KPK selalu dilandasi dengan prinsip keterbukaan dan transparansi. Maka setiap hasik agendanya akan dibuka seluas-lauasnya kepada publik termasuk media yang selama ini mendukung kegiatan KPK. Dengan cara ini, diharapakan raport jelek dari K/L yang tidak mau patuh melaksanakan mandat NKB akan diketahui dan dinilai oleh publik secara luas. 2) Penggunaan mekanisme dan prosedur struktural yang berlaku. Mandat NKB telah disepakati dan disetujui oleh Presiden. Karena itu, jika ada masalah-msalah yang terkait dalam pelaksanaannya akan dilaporkan kepada Presiden dan meminta Presiden untuk menyikapinya. Sebagaimana janji Presiden sendiri yang disampaikan saat penandatanganan NKB di Istana Merdeka. 3) perlunya aspek Penindakan dan mengangkat satu kasus korupsi di wilayahlokus NKB sebagai bukti penegasan KPK. Sebab, jika hanya bergerak pada aspek Pencegahan korupsi dan tidak masuk pada aspek Penindakan, para K/L tidak akan terlalu serius merespon agenda KPK. Hal ini berdasarkan pengalaman sebelumnya bersama K/L negara lainnya16. e) Sensitifitas Isu “Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan” Sejak awal disusun, agenda NKB 12 K/L memiliki dilemanya sendiri. Salah satunya adalah soal istilah “Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan”. Dilema istilah “Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan disebabkan oleh beberapa hal berikut: 1) Kawasan hutan yang masih belum jelas secara tenurialnya. Persoalan kompleksitas tenurial kawasan hutan di Indonesia tidak bisa diselesaikan dengan strategi percepatan pengukuhan kawasannya. Yang perlu ditegaskan dulu adalah, percepatan oleh siapa dan untuk siapa? Dikukuhkan oleh siapa dan untuk siapa? Kawasan hutan yang mana yang akan dipercepat pengukuhannya? Siapa yang dinutungkan dan dirugikan dalam hal ini? Wajar jika hal ini dipertanyakan kritis sebab salah satau masalah kehutanan adalah ketidakpastian tenurial kawasan hutan. Hingga kini tak lebih 20 % kawasan 15
Analisa data diolah dari hasil notulensi FGD Evaluasi Renaksi NKB bersama Dewan Pakar NKB, Hotelo Akmani Jakarta, tanggal 11-12 Oktober 2013. 16 Usulan ini ditegaskan oleh Wakil Ketua KPK, Busro Muqoddas saat membuka FGD Dewan Pakar NKB di Jogja,pda tanggal 24 Juni 2013. Danjuga ditegaskan kembali oleh salah seorang mantan Direktur Penidakan KPK, pada saat FGD evaluasi hasil Renaksi NKB bersama Dewan pakar NKB di Hotel Akmani Jakarta, 12 Okt 2013.
hutan yang telah memiliki kejelasan. Selebihnya masih merupakan zona “open acces”. Ketidak jelasan batas kelola negara, swasta dan rakyat/adat menjadikan kawasan hutan sebagai arena kontestasi beragam aktor dan kepentingan (global, nasional dan lokal). gagasan percepatan pengukuhan kawsan hutan mengabaikan persoalan kompleksitas di dalamnya justru akan menimbulkan masalah baru yang tak kalah serius. 2) Sejarah pengelolaan kawasan hutan di Indonesia tak bisa dilepaskan dari proses yang disebut dengan “teritorialisasi” kawasan hutan atau ada juga yang menyebut “negaraisasi hutan” sejak era Kolonial hingga pasca reformasi. Dalam proses ini, negara dan swasta selalu lebih kuasa dan menentukan akses dan kontrol atas kawasan hutan di Indonesia. Sedangkan masyarakat yang hidup di sekitar dan dalam kawasan hutan selalu menjadi korban dan termarjinalkan. Hak-hak mereka untuk akses dan mendapat manfaat atas sumberdaya hutan sering tidak diakuai, termasuk masyarakata adat yangjauh lebih lama hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan, bahkan sebelum negara Indonesia berdiri. Teritorialisasi atau negaraisasi kawasan hutan adalah satu proses bagaimana klaim perluasan dan penguasaan kawasan hutan oleh negara denganberagam legitimsinya merampas hak kelola dan ruang hidup rakyat di sekitar dan dalam kawasan hutan. Dalam satunya adalah dengan cara kategorisasi, klasifikasi atas fungsi peruntukan kawasan hutan sengan segenap legitimasi regulatifnya. Dengan cara tersebut negara dan swasta mengklaim lebih sah dan legitimed dalam menguasai dan mengelola kawsan hutan menurut tujuan-tujuan mereka, meski harus meng-ekslusi dan mengusir masyarakat yang hidup di sekitar dan dalam kawasan hutan. Dengan konteks historis demikian, maka agenda percepatan pengukuhan kawasan hutan jika tak kritis melihat sejarah teritorialisasi dan negaraisasi beserta segenap klaim sepihaknya justru dikuatirkan aakn memperkuat klaim teritorialisasi kawasan hutan oleh negara dan swsata yangtidak berpihak pada kepentingan rakyat. Sebab sumber masalahnya belum dibongkar yakni ketimpangan penguasaan, klaim kepemilikan, pemanfaatan dan peruntukan kawasan hutan oleh negara dan swasta, jika kawasan hutan kemudian dipercepat pengukuhannya, jelas siap ayang diuntungkan dan dirugikan. Negara dan swasta lebih beruntung dan msyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan akan kembali menjadi korbannya. 3) Potensi pembajakan makna atas nama legalitas pengukuhan kawasan hutam. Potret empirik beragam persoalan konflik di sekitar kawasan hutan salah satunya disebabkan oleh klaim legalitas kawsan hutan oleh negara dan swasta. Meskipun banyak yangtelah mengetahui bahwa lebih dari 80 % status kawsan hutan (baik hutan produksi, hutan lindung dan konservasi) masihbelum mendapat tahap Pengukuhan, mayoritas berstatus Penunjukkan. Namun di lapangan semua pengurus kehutanan dengan segenap keamanannya mengggunakan legalitas status “Pengukuhan” sebagai argumen melawan tuntutan hak dari masyarakat sekitar dan dalam kasawan hutan. Sehingga semua masyarakat yang berani melanggar ketentuan bisa dikriminalisasikan dan dianggap melanggar peraturan. Dengan kondisi riil semacam ini, apa yangakan terjadi jika pervcepatan pengukuhan kawasan hutan aakn dipercepat lagi?. Dalam bahasa seorang aktivis dikatakan “Apa sebenarnya maksud percepatan pengukuhan kawsan
hutan NKB-KPK ini? Lah wong yang status kawsan hutannyamsih Penunjukkan seperti sekarang ini saja sudah begitu sewenang-wenang menindas rakyat, apalagi jika statusnya benar-benar dikukuhkan?.17 f)
Signifikansi Mekanaisme Evaluasi dan Strategi Renaksi NKB
Selain persoalan di sisi substansi dan koordinasi antar lembaga untuk memastikan berjalannya inisiatif reform kehuatanan dalam NKB 12 K/L yangtak kalah oenting adalah mekanisme yangtepat untuk evaluasi dan monitoring hasil Renaksi NKB. Meski telah dibentuk Tim Supervisi, Koordinasi, Evalusi dan Monitoring yang mendampingi Dewan Pakar NKB untuk mendampingi penyusunan dan evalusi hasil Renaksi dari 12 K/L, mekansisme yang jitu dan manjur untuk mengaskan 90-an lebih Renaksi beserta penjabaran dan target yang akan dicapai dalam kurun waktu 3 tahun menajdi satu persoalan tersendiri. Sehingga dibutuhkan pendapingan intensif dan supervisi yang intens di setiap perkembangan Renaksi 12 K/L. Sebab, tanpa kontrol dan evalusi yang ketat, potensi sekedar melaksanakan program (sebagaimana diuraiakan di atas) dari 12 K/L sangatlah tinggi. Agenda NKB 12 K/l juga membutuhkan penyesuaian kondisi-kondisi dinamika politik yang terus berubah, baik jangka pendek maupun menengah dalam politik nasional. Sehingga evalusi dan penyikapan serta penyelelarasan dengan cepat. Kasus terbitnya Putusan MK No 35, 2012 tentang Hutan Adat misalnya membawa satu semangat dan perubahan signifikan bagi NKB, tak hanya di level subtansi, tetapi juga strategi aksi dan koordinasi untuk penyelarasan agenda dalam NKB tersebut. Sebab, ketika NKB disepakati, putusan tersebut belum pasti terbitnya, sehinga belum eksplisit memuat agenda tentang Hutan adat, meskipun secara misi dan tujuan ,memiliki banyak irisan kesamaan. Di sisi lain, sebagaimana disepakati di awal penyusunan NKB 12 K/l ini, bahwa agenda yang tertuang di dalamnya tidak hanya berlaku untuk kepemimpinan presiden sekarang namun juga, memiliki agenda bagi Presiden terpilih setelah Pemilu Presiden 2014 nanti. Dengan demikian, sangatlah penting suatu mekanisme evalusi dan startegi yang mampu memastikan agenda NKB 12 K/L ini mampu terus melekat dan menjadi PR bagi siapapun yang memimpin negeri ini. Jika tidak, menurut banyak pengalaman yang sudah terjadi, maka NKB 12 K/L yang diinisiasi oleh KPJ ini akan jatuh “distatus Quokan oleh sistem kekuasaan (negar dan swasta) yang lebih kuat dan melucuti semangat dan cita-cita inisitaif reform kehuatanan oleh KPK. Analisa beberapa tantangan dan batas dari inisiatif reform kehutanan oleh KPK melalui agenda NKB 12 K/L tersebut barulah garis besar yang terlihat dalam prosesnya yang masuk hitungan bulan ke 7 dsejak ditandantangani maret 2013 lalu. Sehingga masih memungkinkan dinamika yang mungkin lebih kompleks atau mungkin biasa-biasa saja tau bahkan mengulang yang sudah terjadi. Hal tersebut sangat tergantung banyak aspek, baik kondisi eksternal (politik nasional dan 17
Kritik seorang Aktivis Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) dalam sebuah diskusi terkait NKB di Komnas HAM, Hotel Sofyan jakarta, 29 Agustus 2013.
global) maupun aspek internal para penggusung NKB 12 K/L KPK ini. Maka, diperlukan update data dan analisa lebihlanjut seiring perkembangan yang akan terjadi dari waktu ke waktu. Demikian laporan awal tentang inisiatif tenurial reform kehutanan yang ada di KPK melalui agenda NKB 12 K/L nya. Tulisan ini akan dikembangkan lebih lanjut selaras perkembangan yang terjadi.