PAPER & PRESENTATION
Pameran dan Rangkaian Seminar
Ini Medan Demokrasi Bung
Selasa - Jumat, 24 - 27 Mei 2011
Tempat: Gelanggang Mahasiswa Kampus USU Universitas Sumatera Utara - Medan
Diselenggarakan atas kerjasama Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) Indonesia dengan FISIP Universitas Sumatera Utara Kelompok Kerja Sosial Perkotaan (KKSP) Tempo Institute
Industri perkebunan kelapa sawit di antara keselamatan warga dan kepentingan pasar Oleh : Berry Nahdian Forqan dan Deddy Ratih*
Pendahuluan Sudah 100 tahun industri perkebunan kelapa sawit skala besar hidup di Indonesia sejak pemerintahan kolonial Belanda di tahun 1911, kelapa sawit masuk ke Indonesia pada tahun 1848, dimana awalnya berupa empat pohon yang coba dibudidayakan di Kebun Raya Bogor, dua pohon berasal dari Hortus Botanicus Amsterdam dan dua lagi berasal dari Mauritus sehingga diduga bahwa kelapa sawit yang ada di Indonesia semuanya berasal dari Afrika tetapi melalui jalan yang berbeda. Untuk tujuan memperluas turunan kelapa sawit tersebut ditanam di Banyumas (Jawa), dan Palembang, dan tahun 1875 dibangun perkebunan kelapa sawit di wilayah Deli (Sumatra Utara). Pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit skala besar dilakukan oleh Adrian Hallet tahun 1911 di Sungai Liput (Pantai Timur Aceh) dan Pulo Raja (Asahan). Pada tahun yang sama juga K.L.T. Schadt menanam juga kelapa sawit di Sungai Itam Ulu (Deli). Tahun 1914 luasan perkebunan kelapa sawit mencapai 3.250 Ha. Kebijakan perkebunan skala besar memperlihatkan bahwa upaya pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia hanya memburu rente ekonomi tanpa mempedulikan dampaknya bagi lingkungan dan sosial budaya masyarakat. Perubahan fungsi kawasan secara dratis dan hilangnya kesempatan transformasi ruang produktif rakyat merupakan hal yang tidak bisa dielakan. Konversi hutan menjadi kawasan non hutan masih merupakan penyumbang terbesar dari hilangnya keragaman hayati dan kerusakan hutan secara permanen, peningkatan pemberian ijin bagi usaha perkebunan kelapa sawit skala besar dan pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan.
Luas kawasan perkebunan kelapa sawit berdasarkan data sawit watch
meningkat sebesar 1,26 juta ha naik dari 7,82 juta ha di tahun 2009 menjadi 9,09 juta ha ditahun 2010. Ini belum dihitung land banking yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit skala besar.
Saat ini Indonesia muncul sebagai negara yang
memiliki luas kebun kelapa sawit terluas, yakni 9,1 *
juta Ha (Sawit Watch, 2011) dan
Berry Nahdian Forqan, Direktur Eksekutif Nasional WALHI; Deddy Ratih, Manejer Kampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar WALHI Nasional.
menghasilkan 21,3 juta ton crude palm oil (CPO) (Dirjenbun, 2011). Perkembangan sektor minyak sawit indonesia sampai dengan saat ini dicapai berbasiskan perusahaan skala besar yang menguasai dari hulu ke hilir pada sektor ini. Model pengembangan dan pengelolaan saat ini tidak berbeda jauh dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit pada era kolonial belanda dimana berbasiskan perusahaan skala besar.
Perbedaan terjadi ketika pelibatan masyarakat sekitar dan transmigrasi sebagai
petani kelapa sawit melalui berbagai proyek PIR yang dikembangkan pemerintahan Orde Baru dan pasca orde baru berkembangan petani swadaya. Namun dalam 5 tahun terakhir menunjukkan tren kembali jaman kolonial dimana perkebunan kelapa sawit dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan skala besar dengan dukungan pemerintah dan lembaga keuangan nasional maupun internasional yang cukup masif. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan luas perkebunan secara rata – rata 400,000 ha per tahun bahkan pada tahun 2008 mencapai 800,000 ha (Sawit Watch 2009). Kalimantan Tengah dengan luas perkebunan 980 ribu ha hanya 5% kebun dikelola oleh masyarakat dan itupun dalam skema kemitraan inti plasma. Perkebunan Kelapa sawit skala besar pada tataran makro ekonomi Indonesia memang sepertinya memberikan kontribusi yang cukup besar ini bisa dilihat dari besaran angka yang diperlihatkan pada bagian sumbangan eksport industri tersebut ke dalam devisa negara. Sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia, pada 2010 lalu, menghasilkan 21,3 juta ton crude palm oil (CPO) (Dirjenbun, 2011). Dari jumlah itu, enam juta ton digunakan untuk kebutuhan domestik, sisanya untuk memenuhi pasar ekspor ke China, India dan Uni Eropa. Total keuntungan yang diraih Indonesia sebesar 9,11 miliar dolar AS atau setara dengan 12% dari jumlah APBN. Dilihat dari besaran angka ini maka seolah-olah kontribusi industri tersebut signifikan bagi perkembangan ekonomi nasional. Namun bila kita telisik lebih jauh, maka kontribusi tersebut bisa dibilang sebagai kontribusi semu. Kelapa sawit dan pembangunan ekonomi Rakyat Sejak tahun 2006, pembangunan industri perkebunan kelapa sawit sangat terlihat menitik beratkan pada industri skala besar dan kebijakan yang dibuat mendukung upaya industri
besar untuk mengkooptasi berbagai sisi dari perkelapa-sawitan di Indonesia. Di tahun 2007 melalui Permentan 26/2007 Pemerintah menetapkan satu kebijakan dimana tidak boleh ada pabrik tanpa kebun, memperluas konsesi perusahaan di satu wilayah (kabupaten/propinsi) dimana sebelumnya hanya boleh 20 ribu ha menjadi 100 ribu hektar. Petani semakin terjepit dengan tidak dilibatkannya mereka dalam menentukan harga TBS, dimana untuk menentukan harga TBS dilakukan oleh Perusahaan dan pemerintah yang memposisikan petani sebagai penanggung beban pajak eksport sampai dengan 20%. Beban Petani semakin berat dengan dikeluarkannya SKB 4 menteri terkait revitalisasi perkebunan, dimana pemerintah mewajibkan manajemen satu atap.
Dalam skema yang
dikembangkan, revitalisasi perkebunan mengakibatkan tidak ada lagi petani mandiri, dengan skema ini maka petani tidak berdaulat atas lahan usahanya sendiri model ini juga mengakibatkan petani harus berbagi hasil dengan perusahaan dengan pembagian tak berimbang dimana petani mendapatkan bagian 30% dan perusahaan 70%, itu belum lagi harus dipotong biaya produksi yang jadi tanggungan petani sehingga saat ini berdasarkan study Sawit Watch dan SPKS, petani sawit hanya akan mendapatkan penghasilkan rata-rata 700 ribu rupiah/ha/bulan. SKB ini juga memberikan dampak tanggungan hutang yang besar yang dibebankan kepada petani sedangkan perusahaan mendapatkan profit margin bunga bank yang cukup besar. Dari sisi pekerja atau buruh diperkebunan kelapa sawit skala besar, banyak mitos yang dikembangkan bahwa pembukaan perkebunan kelapa sawit membuka peluang tenaga kerja yang esar dan mampu mengentaskan kemiskinan, namun berdasarkan pengamatan dan kajian lapangan yang dilakukan, peluang tenaga kerja yang dijanjikan tidak semanis kenyataan yang ada.
Rata-rata upah buruh di perkebunan kelapa sawit skala besar di
Indonesia adalah Rp. 35.000 perhari dengan rasio pekerja 0,7 orang per hektar saja dimana hampir 80% pekerja di sektor perkebunan kelapa sawit adalah BHL (buruh harian lepas) yang tanpa jaminan apapun bagi mereka dalam bekerja, sudah memperlihatkan bahwa Industri ini tidak memberikan perbaikan pada ekonomi rakyat terlebih fakta dilapangan menunjukan bahwa rata-rata satu orang pekerja/buruh bekerja pada luasan 2 hektar.
Sisi lain yang kerap muncul dari ekspansi atau pembukaan kebun sawit skala besar adalah konflik tenurial, dimana sepanjang tahun 2009-2011 telah lebih dari 663 konflik dengan kekerasan yang memakan korban jiwa sebanyak 3 orang warga, rata-rata 20 orang warga dikriminalisasi dan di tangkap pertahunnya.
Disamping ketika terjadi upaya penggantian
harga lahan, nampak sekali harga lahan yang digantikan sangat murah, berdasarkan hasil study Sawit Watch, rata-rata harga penggantian lahan tidak ada yang melebihi 1 juta rupiah per hektar ditambah rendahnya harga penggantian tanam tumbuh masyarakat berakibat pada dirugikannya masyarakat karena kehilangan lahan.
Dampak lainnya dari konflik tenurial
tersebut adalah hilangnya kemampuan rakyat dalam melakukan deversifikasi ekonomi mereka. Pekebun Mandiri* Merujuk berbagai dokumen resmi, maka istilah pekebun mandiri dapat segera bisa dikenali dengan menyebutnya sebagai bagian perkebunan rakyat yang tidak memiliki keterkaitan dengan perusahaan. Kelompok ini berbeda dengan perkebunan besar swasta ataupun perkebunan besar nasional. Berbeda pula dengan petani plasma, dimana biasanya dikaitkan dengan perusahaan negara (BUMN), dan swasta nasional ataupun asing. Yang membedakan diantara ketiganya antara lain adalah dari segi skala usaha, dimana pekebun mandiri pada umumnya dimiliki oleh individu-individu dengan luas lahan sempit, sedangkan perkebunan swasta atau nasional diusahakan dalam skala usaha yang besar. Dilihat dari ciri-ciri kemandirian dan otonomi, maka fenomena pekebun mandiri secara teoritis dapat adalah suatu kontinum. Pada satu titik ekstrim dapat disebut perkebunan rakyat hasil pengembangan perkebunan PIR sebagai titik kontinum yang rendah dari sisi kemandirian dan otonomi. Pada ekstrim lain dapat ditunjukkan perkebunan rakyat yang “murni” memiliki ciri-ciri kemandirian dan otonomi yang lebih luas. Contoh dari pola terakhir ini adalah tembawang dan dahas di provinsi Kalimantan Barat, Sonor di provinsi Sumatera Selatan, serta kebunkebun rakyat lainnya. Hal ini sangat berbeda dengan petani sawit swadaya. Petani sawit swadaya adalah petani sawit yang tidak terlibat dalam berbagai skema kemitraan yang diperkenalkan oleh pemerintah. Petani sawit swadaya adalah vis a vis dari petani sawit
*
Abetnego Tarigan dan Asurambo, Pekebun Mandiri, Perluasan Ruang Hidup Masyarakat
kemitraan. Pekebun mandiri melintas dari petani sawit kemitraan, petani sawit swadaya, sampai pekebun tembawang, dan lain sebagainya. Hal yang penting dilihat dalam pekebun mandiri adalah persoalan kemandirian dan otonomi yang terbagi ke dalam: persoalan kontrol rakyat terhadap aset-asetnya, teknik budidaya dan pengembangannya, kelembagaannya, serta kejelian rakyat dalam melihat pasar Oleh karena itu, sistem perkebunan baru yang mengacu pada cita-cita konstitusional, yaitu sistem ekonomi kerakyatan diterapkan melalui penguatan posisi pekebun mandiri di hadapan perusahaan. Pada awalnya dimungkinkan membangun kemitraan sejajar dengan perusahaan yang sudah menguasai begitu banyak aset produksi, tetapi perlahan hendaknya diarahkan ke depan pekebun mandiri sebagai determinan dalam pengelolaan usaha perkebunan sawit. Hal ini sejalan dengan arahan Hatta di mana segala tangkai penghasilan besar yang mengenai penghidupan rakyat harus berdasar pada milik bersama dan terletak di bawah penjagaan rakyat dengan perantaraan Badan-badan perwakilannya. Dalam pada itu, aplikasi sistem ekonomi kerakyatan dapat diusahakan melalui dua pola sekaligus, yaitu pola pekerbunan kerakyatan yang memperkuat posisi pekebun mandiri dan yang memperkuat posisi buruh kebun dalam perusahaan. Pola perkebunan kerakyatan yang kedua menitikberatkan pada peningkatan akses dan kontrol buruh kebun dalam pengelolaan perusahaan. Arahnya adalah agar merekalah yang pada akhirnya ke depan- turut memimpin dan menilik (mengawasi) jalannya perusahaan sawit di Indonesia, untuk kemudian menjadi operatorship perusahaan perkebunan yang dipimpin secara umum oleh pekebun mandiri melalui organisasi (serikat) mereka. Cita-cita menuju kemandirian ini yang menjiwai lahirnya Pasal 33 UUD 1945, sebagai landasan pengelolaan ekonomi Indonesia di masa depan, berdasarkan demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan). Dalam demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Konsepsi inilah yang sejalan dengan visi transformasi struktur ekonomi di mana tidak akan ada lagi segelintir elit (asing) yang menguasai mayoritas asset (omset) ekonomi nasional. Mengingat ungkapan Hatta (1960):
“Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia
belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial, melingkupi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia” Penutup Pembangunan yang tidak mengindahkan keselamatan warga sering kali berdampak turunan jangka panjang yang merugikan baik dari sisi rakyat maupun dari sisi investasinya sendiri, salah satu kasus kehancuran industri besar adalah HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dan Industri turunan kehutanan seperti plywood yang dulu merajai sektor kehutanan di Indonesia, dengan model pengelolaan yang lebih melihat pada kebutuhan pasar sehingga melupakan satu sisi peran sebuah pembangunan yaitu mendorong sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Akibat dari hanya melayani kebutuhan pasar, maka tanpa sadar industri kehutanan telah menggali kuburannya sendiri. Demikian juga hal nya pada industri perkebunan sawit skala besar, apabila hanya melihat pada kepentingan jangka pendek dan tidak mampu mendorong deversifikasi hasil olahannya namun lebih menggantungkan pada penjualan CPO dan perluasan kebun tanpa melihat pentingnya optimalisasi dan kemampuan daya dukung lingkungan, sampai pada satu titik, kurva akan berbalik menurun dan kerusakan lingkungan akan menjadi penyebab utama kebangkrutan industri tersebut disamping semakin jauhnya rakyat menjadi bagian dari pembangunan ekonomi negara. Industri kelapa sawit sampai saat ini belum mampu memberikan kontribusi signifikan bagi keberlanjutan masa depan bangsa ini. Yang terjadi justru sebaliknya, dimana industri rakus lahan ini telah memberikan kontribusi konflik yang berkelanjutan. Pengembangan dan Pengelolaan Perkebunan di Indonesia saat ini sarat dengan pelanggaran HAM.
Sangat sulit bagi perusahaan perkebunan untuk menghindari
pelanggaran HAM. Kebijakan negara dan aktor non – negara tidak cukup melindungi HAM masyarakat di sekitar kebun dan di dalam perkebunan.
Rekomendasi Jangka Pendek Penyelesaian konflik dan sengketa (tersedianya mekanisme dan Sumber daya serta berasaskan
Keadilan) Mendorong dan memfasilitasi Petani mandiri sebagai perwujudan tanggung jawab negara Peninjauan ulang terhadap HGU yang dinilai bermasalah Jangka Panjang Pemerintah Indonesia Harus Melakukan perubahan mendasar untuk mengakhiri : doktrin eminent domain, personifikasi negara, penghapusan pengakuan bersyarat terhadap hak masyarakat adat, penghentian pembangunan berbasis buruh dan tanah murah. Menata ulang: penguasaan, pengeloaan dan distribusi manfaat sektor minyak sawit Indonesia Membuka selebar-lebarnya ruang produktivitas rakyat dan membuka ruang transformasi sosial budaya bagi pengembangan kehidupan dan pembangunan ekonomi rakyat. Melakukan ratifikasi konvensi internasional secara menerapkan penuh