INDUKSI SEBAGAI CORAK BERNALAR Nur Halimah Abstract This paper present the result of a study on the use of induction. It aims at (1) identifying the proportion of induction, (2) describing the mentioning of the sources of induction. The result shows that in mo`st of induction proportion clear identities of the sources are provided.
A. Pendahuluan Dalam tulisan ini jalan pikiran atau proses penalaran adalah landasan bagi sebuah argumentasi. Argumentasi dipahami sebagai dasar paling fundamental dalam ilmu pengetahuan. Dan dalam dalam dunia ilmu pengtahuan, argumentasi itu dalah upaya untuk mengjukan bukti-bukti atau menentukan kemungkina-kemungkina untuk menyatakan sikap atau pendapat mengenai suatu hal. Dasar-dasar itu meliputi pengertian inferensi, implikasi, evidensi, dan cara menilai fakta dan evidensi untuk dipergunakan dalam sebuah argumentasi. Dengan dasar-dasar sebagai dikemukakan di atas dalam tulisan ini dipahami sebagai corak penalaran yang induktif yang dapat dipakai sebagai alat dalam argumentasi. Proses penalaran atau jalan pikiran manusia pada hakekatnya sangat kompleks dan rumit, dan dapat terdiri dari suatu mata rantai evidensi dan kesimpulan-kesimpulan. Karena kekompleksan dan kerumitan itulah maka tidak mengherankan bila ahli-ahli logika dan psikologi tidak selalu sepakat mengenai unsur penalaran itu. Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai unsur-unsur tersebut kiranya akan sangat bermanfaat bila dikemukakan beberapa dasar umum yang biasa dipelajari dalam logika untuk menambah pengertian mengenai cara menghubungkan mata rantai itu sehingga dapat
diperoleh suatu kesimpulan (inferensi) yang baik. Untuk maksud itu dalam tulisan ini akan memaparkan deskripsi mengenai proses penalaran induksi.
B. Pembahasan Induksi adalah suatu proses berpikir yang brrtolak dari satu atau sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu kesimpulan (inferensi). Proses penalaran ini mulai bergerak dari penelitian dan evaluasi atas fenomena-fenomena yang ada. Karena semua fenomena harus diteliti dan dievaluasi terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh ke proses penalaran induktif, maka proses penalaran itu juga disebut sebagai suatu corak berpikir ilmiah. Namun, induksi sendiri tidak akan banyak manfaatnya kalau tidak diikuti oleh proses berpikir jenis lain, yaitu deduksi. Pengertian fenomena-fenomena individual sebagai landasan penalaran induktif harus diartikan pertama-tama sebagai data-data maupun sebagai pernyataan-pernyataan, yang tentunya bersifat faktual pula. Sehingga induksi dapat bertolak dari fenomena-fenomena yang berbentuk fakta-fakta atau pernyataan-pernyataan (proposisi-proposisi). Proses penalaran yang induktif dapat dibedakan lagi atas bermacam-macam variasi yaitu 1) generalisasi, 2) hipotesis, dan teori, 3) analogi induktif, 4) kausal. Variasi-variasi itu akan dipaparkan berikut ini: 1. Generalisasi Generalisasi adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu inferensi yang bersifat umum yang mencakup semua
fenomena tadi. Tetapi sebagai sudah dikatakan di atas, proses berpikir yang induktif tidak ada banyak artinya kalau tidak diikuti proses berpikir yang deduktif. Sebab itu generalisasi hanya akan mempunyai makna penting, kalau kesimpulan yang diturunkan dari sejumlah fenomena tadi bukan saja mencakup semua fenomena itu, tetapi juga harus berlaku pada fenomenafenomena lain yang sejenis yang belum diselidiki. Bila berbicara mengenai data atau fakta dalam pengertian fenomena individual tadi, maka pikiran akan selalu terarah pada pengertian mengenai sesuatu masalah yang individual. Dalam kenyataanya data atau fakta yang dipergunakan itu sebenarnya merupakan generalisasi juga, yang tidak lain dari sebuah hasil penalaran yang induktif. Bia seorang nelayan asal Manado berkata: napa pajeko for macari deng basimpang ikang-ikang dari lao ‘pajeko adalah semacam kapal laut berukuran sedang untuk mencari dan pengangkut ikan’, maka pengertian pajeko dan semacam kapal laut untuk mencari ikan berukuran sedang merupakan hasil generalisasi juga. Dari bermacam-macam tipe kendaraan dengan ciri-ciri tertentu penutur bahasa Manado mendapat sebuah gagasan mengenai pajeko, sedangkan dari bermacam-macam alat untuk mengangkut sesuatu lahirlah abstraksi yang lebih tinggi (=generalisasi lagi) mengenai kendaraan pengangkut ikan. Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa bila pada suatu waktu kita menghadapi fenomena individual, kita segera menghubungkannya dengan pengalamanpengalaman kita pada masa lampau. Semua pengalaman itu secara alamiah menciptakan dalam pikiran kita suatu generalisasi yang mencoba menghubungkan semua peristiwa melalui ciri-ciri yang menonjol. Induksi dan juga generalisasi sebagai dikemukakan di atas sebenarnya mempunyai variasi yang beraneka ragam sehingga penjelasan-penjelasan yang cermat kadang-
kdang sukar ditampilkan. Tetapi mengenai generalisasi sendiri yang berbentuk locatan induktif; dan bukan loncatan induktif. Loncatan induktif adalah sebuah generalisasi yang bersifat loncatan induktif tetapi bertolak dari beberapa fakta, namun fakta yang digunakan belum mencerminkan seluruh fenomena yang ada. Fakta-fakta tersebut atau proposisi-proposisi yang digunakan itu kemudian dianggap sudah mewakili seluruh persoalan yang diajukan. Bila ahli-ahli sosiologi agama Indonesia berdasarkan pengamatan mereka mengenai kerukunan umat beragama di Sulawesi Utara kemudian mereka menarik suatu kesimpulan bahwa di Sulawesi Utara terdapat beberapa agama, maka ini merupakan locantan induktif. Bila berdasarkan beberapa pengalaman mengenai beberapa orang yang dijumpai, seorang mengambil suatu kesimpulan untuk mengatakan suku Polahi di Gorontalo Sulawesi Utara masih sangat terkebelakang, maka hal ini juga merupakan contoh yang jelas mengenai loncatan induktif. Tanpa loncatan induktif, sebuah generalisasi tidak mengandung loncatan induktif bila fakta-fakta yang diberikan cukup banyak dan menyakinkan, sehingga tidak terdapat peluang untuk menyerang kembali. Sebab itu, perbedaan antara generalisasi dengan loncatan induktif dan tanpa loncatan induktif sebenarnya terletak dalam persoalan jumlah fenomena yang diperlukan. Tetapi di pihak lain, berapa banyak fenomena yang diperlukan untuk merumuskan sebuah generalisasi yang kuat, tidak dapat ditetapkan dengan pasti. Ada generalisasi yang sudah akan kuat bila mempergunakan beberapa fenomena saja. Tetapi ada juga kasus yang menunjukkan bahwa 500 fenomena, bahkan lebih pun, belum cukup untuk dijadikan landasan kuat untuk merumuskan sebuah generalisasi.
Sebenarnya generalisasi merupakan proses biasa dilakukan oleh setiap orang, bagi orang kebanyakan, generalisasi itu tidak lain dari penambahan setengah sadar akan hal-hal yang umum berdasarkan pengalamannya dari hari ke hari. Bila suatu waktu seorang mahasiswa mendapat pujian dari dosennya karena tugasnya mendapat nilai baik yang dicapainya, maka belum ada suatu sikap yang timbul pada dirinya, tetapi bila peristiwa semacam itu dialaminya berulang-ulang kali, dan juga dialami oleh kawan-kawan lainnya, maka mau tidak mau akan timbul suatu generalisasi mengenai dosennya itu: Dosennya adalah seorang yang ‘baik’. Karena generalisasi pada orang kebanyakan terjadi karena pengalaman, maka jarang seorang awam memikirkan adanya proses jalan pikiran yang bersifat induktif yang tercakup di dalamnya. Generalisasi bagi seorang awam adalah suatu proses berpikir yang mendahului penyelidikan atas fenomena-fenomena yang khusus dalam jumlah yang cukup banyak untuk menuju kepada suatu kesimpulan umum mengenai semua hal yang terlibat, sebaliknya bagi seorang sarjana atau seorang peneliti, generalisasi harus didahului bukan mendahului penyelidikan atas sejumlah fenomena. Ia harus mengadakan observasi, penyelidikan dengan penuh kesadaran dan bersikap objektif untuk sampai kepada sebuah generalisasi. Karena generalisasi itu sering mendahului observasi atas sejumlah peristiwa yang cukup meyakinkan, maka perlu diadakan pengecekan atas evaluasi atas generalisasi tersebut. Pengujian atau evaluasi tersebut terdiri dari: Pertama, harus diketahui apakah sudah cukup banyak jumlah peristiwa yang diselidiki sebagai dasar generalisasi tersebut (ciri kuantitatif). Tidak ada suatu kepastian mengenai jumlah peristiwa yang diperlukan untuk membentuk sebuah generalisasi yang kuat; tergantung kasus
yang dihadapi. Tetapi yang jelas adalah dengan memperbesar jumlah peristiwa yang diselidiki, berarti menambah pula kepastian mengenai generalisasi tersebut. Kedua, apakah peristiwa-peristiwa merupakan contoh yang baik (sampel yang baik: ciri kualitatifnya) bagi semua segi dari peristiwa yang diselidiki? Dengan memiliki peristiwaperistiwa yang khusus, boleh dikatakan bahwa generalisasi akan kuat kedudukannya. Umpamanya: dengan memilih unsur-unsur daerah yang rawan tsunami dan masalah-masalah pada daerah-daerah yang rawan longsor, dapat dibuktikan bahwa orang-orang di wilayah rawan tsunami dan rawan longsor pasti terdapat pada keluarga-keluarga yang berdomisili di pantai dan perbukitan yang mengandung tanah gembur yang rawan longsor. Ketiga, memperhitungkan kekecualian-kekecualian yang tidak sejalan dengan generalisasi itu. Kekecualian itu harus diperhitungkan juga dengan suatu dasar yang rasional atau didasarkan pada suatu pemikiran yang logis, kalau tidak generalisasi itu harus mengalami perubahan, lebih-lebih jika kekecualian itu cukup banyak jumlahnya. Dalam hal terakhir ini tidak mungkin diadakan generalisasi. Bila kekecualian itu sedikit jumlahnya, maka harus diadakan perumusan dengan hati-hati, terutama harus dihindari katakata seperti semua, tiap-tiap, biasa, selalu, tidak pernah, dan sebagainya. Perumusan generalisasi itu sendiri juga harus absah. Artinya apa yang dirumuskan benar-benar merupakan konsekuensi logis dari data-data, fakta-fakta atau proposisi-propisisi yang telah dikumpulkan itu. Janganlah rumusan itu dilakukan kurang cermat atau menyimpang, sehingga dapat memberi interpretasi lain.
Dalam merumuskan generalisasi itu sendiri sering dilakukan kesalahan karena melanggar prinsip-prinsip generalisasi. Pola-pola kesalahan dalam melakukan generalisasi disebabkan karena manusia untuk memperoleh sesuatu kebenaran terakhir selalu menggunakan jalan pikiran yang kritis, sering dihalangi oleh kekeliruan-kekeliruan karena kekurangan-kekurangan pada sifat manusia itu sendiri. Rintangan-rintangan yang praktis menghalangi seseorang untuk menyelidiki suatu subjek sedalam-dalamnya. Walaupun masih terdapat rintangan-rintangan semacam itu, masih terdapat beberapa cara lain untuk menguji proses penalaran yang menghubungkan evidensi-evidensi dari persoalan yang tengah diselidiki itu. Dengan demikian dapat diketahui, apakah jalan pikiran itu benar atau tidak, untuk kemudian dapat menentukan sikap terhadap persoalan tadi. Salah nalar yang umum yang sering terjadi dalam jalan pikiran manusia pada waktu mengemukakan sesuatu persoalan adalah a) generalisasi sepintas lalu, b) analogi pincang, c) semua alih-alih beberapa, d) kesalahan dalam hubungan kausal, e) kesalahan karena tidak menerti persoalan. Generalisasi sepintas lalu, biasanya berasal dari keinginan yang kuat untuk menyederhanakan suatu persoalan yang kompleks. Bila diteliti lebih mendalam, generalisasi sepintas lalu berasal dari mentalitas yang lamban, dan tidak mau berusaha untuk meliti faktafakta atau tidak mau mendalami semua bagian dari sebuah topik pembicaraan. Cara ini sering disebut pemikiran tabloit, sebab seperti halnya dengan judul utama dari sebuah tabloid (tabloid = surat kabar yang mudah dibaca umum), ia berkecenderungan untuk menyderhanakan topik yang sangat kompleks agar lebih mudah dipahami dan diterima oleh pembaca. Suatu generalisasi sepintas lalu mengenai peristiwa tewasnya juru kunci gunung Merapi 3 November
2010 lalu misalnya, yang sangat kompleks itu adalah penyederhanaannya menjadi “Mbah Marijan tidak mampu menaklukan gunung Merepi yang dijaganya selama bertahun-tahun.” Dalam argumentasi penalaran semacam ini dapat ditolak dengan memperlihatkan, bahwa peristiwa-peristiwa yang khusus belum cukup banyak diselidiki untuk menetapkan kebenaran konklusi itu. Perlu dicari lagi fakta-fakta yang cukup banyak jumlahnya untuk memperkuat konklusi itu. Semua generalisasi sepintas lalu yang didasarkan atas kebangsaan, keagamaan atau watak etnis harus diterima dengan sangat hari-hati. Apakah benar ucapan-ucapan yang mengatakan, Semua orang Manalu di Sangir itu berkulit hitam, atau Semua orang Islam adalah teroris?. Analogi yang pincang, merujuk pada pemahaman bahwa sebuah analogi induktif masih diterima sebagai sebuah corak penalaran yang logis. Tetapi tidak semua analogi merupakan corak penalaran yang induktif. Ada analogi yang tidak sempurna, pincang, atau terlalu dipaksakan seolah-olah analogi induktif, bila tidak ada kemiripan antara dua hal yang diperbandingkan, atau apabila dari sebuah analogi penjelas diusahakan untuk membentuk sebuah penalaran yang logis. Contoh: Pembangunan Lima Tahun bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, meningkatkan taraf hidup seluruh rakyat. Mereka yang pesimistis terhadap rencana pembangunan ini mengatakan, bahwa Negara sudah terlalu banyak berhutang. Dengan Pembangunan Lima Tahun kita harus menimbun utang terus menerus dari tahun ke tahun. Pembangunan Lima Tahun menurut mereka dianalogikan dengan rakyat dan bangsa Indonesia disuruh naik sebuah balon besar, yang bertambah lama bertambah besar karena diisi dengan gas (analogi utang) dan akhirnya meledak (analogi Negara hancur). Semua penumpangnya (analogi rakyat dan bangsa Indonesia) akan jatuh dan menemui
ajalnya. Sebab itu, lebih baik kita tidak naik balon itu daripada jatuh mati berantakan. Apa betul demikian analogi itu?. Semua alih-alih Beberapa, mengacu kepada pengertian bahwa salah nalar lain yang sering dilakukan dalam menyusun suatu jalan pikiran adalah penggunaan kata semua alih-alih beberapa. Dalam hal ini sebenarnya kita berhadapan dengan silogisme yang mengandung term tengah, tetapi fakta-faktanya tidak memberi jaminan kebenaran. Semua orang Indonesia adalah partai Golkar. Ia seorang Indonesia. Sebab itu, dia adalah anggota partai Golkar. Fakta yang tidak memberi jaminan adalah bahwa kualitas universal afirmatif yang dinyatakan dengan kata semua tidak memberi jaminan kebenaran pernyataan itu. Mereka yang mengenal selukbeluk sistem politik Indonesia akan mengatakan bahwa premisnya salah, walaupun dalam bentuk entimem kesalahan itu mungkin tidak terlalu tampak. Jalan pikiran di atas akan diterima sebagai penalaran yang benar, kalau dirumuskan sebagai berikut; “Beberapa atau kebanyakan orang Indonesia adalah termasuk dan menjadi anggota Partai Golkar”. Tetapi kalau proposisi ini dijadikan premis mayornya, maka sesudah itu tidak dapat ditarik kesimpulan, karena ada orang Indonesia yang masuk Partai Golkar, dan ada juga yang tidak. Kesalahan semacam ini sering dilakukan oleh seseorang bila ia mengatakan: “Ilmu Bahasa telah menganalisa bahasabahasa di wilayah Sulawesi Utara,” atau “Semua orang Manado sepakat dengan Pemilihan ulang untuk Walikota dan calon Walikota, dan sebagainya, yang benar adalah bila penulis atau pengarang mengatakan bahwa; “Beberapa ahli bahasa telah menganalisis bahasa-bahasa di wilayah Sulawesi Utara”. Atau Beberapa orang Manado sudah sepakat dengan pemilihan ulang untuk menentukan walikota dan calon walikota.
Kesalahan Hubungan Kausal, merujuk kepada pengertian bahwa dari sebuah rangkaian jalan pikiran sebab ke akibat, sering timbul kesalahan karena suatu peristiwa terjadi sesudah berlangsungnya suatu peristwia yang lain. Peristiwa yang terjadi lebih dahulu selalu dianggap menjadi sebab, sedangkan peristiwa yang terjadi sesudahnya dianggap sebagai akibatnya. Misalnya: “Karena matahari terbit sesudah ayam berkokok, maka kokok ayamlah menyebabkan matahari terbit”. Seorang yang mendapat kenaikan pangkat karena meneruskan sms rantaibahagia, beranggapan bahwa kenaikan pangkatnya merupakan akibat dari tindakannya meneruskan sms rantai-bahagia itu. Jalan pikiran yang salah semacam ini disebut: post hoc ‘sesudah ini’, ergo ‘sebab itu’, proper hoc ’karena ini’. Kesalahan lain yang mirip dengan jalan pikiran ini adalah apa yang disebut non sequitur ’tidak bisa diikuti’. Kesalahan ini terjadi karena suatu kesimpulan sebenarnya tidak diturunkan dari premis-premisnya. Misalnya: Dorang so mo jadi presiden terkenal, sebab dorang pe bae deng bae-bae ‘Ia akan jadi presiden besar, karena ia orang baik’. Begitu pula kecenderungan pada sementara orang yang mengatakan, bahwa karena ia tidak bisa mengurus rumah tangganya, maka ia juga tidak bisa mengurus rumah tangga negara. Benarkah jalan pikiran seperti ini?”. Kesalahan karena tidak Mengerti Persoalan, seringkali terjadi bahwa pada waktu seseorang menjawab suatu pertanyaan, ia sama sekali tidak menerti isi pertanyaan itu; ia tidak menangkap inti persoalannya, sehingga menjawab atau memberi uraian yang menyimpang pokok pembicaraaan. Dalam ujian-ujian, baik lisan maupun tertulis, sering mahasiswa menguraikan sesuatu hal secara panjang lebar, tetapi apa yang diuraikannya itu sebenarnya sama sekali tidak ditanyakan. Karena sebenarnya menjawab suatu pertanyaan yang lain sama sekali. Misalnya kepada seorang mahasiswa ditanyakan: Bahasa mana yang dianggap sebagai
bahasa proto yang menurunkan bahasa-bahasa Minahasa”? Karena tidak mengerti pertanyaan dengan baik, maka mahasiswa menjawab: Bahasa-bahasa Austronesia Timur meliputi bahasabahasa Polinesia, Mikronesia, dan Melanesia. 2. Hipotesis dan teori Generalisasi dan hipotesis tumpang tindih sifatnya, namun membedakan dua istilah itu sangat perlu. Istilah hipotesis itu sendiri juga tidak menimbulkan kesepakatan di antara para ahli. Tetapi untuk mudahnya kita memberi batasan berikut sebagai pegangan untuk membedakannya dengan generalisasi. Hipotesis (hypo ‘di bawah’; tithenai ‘menempatkan’ adalah semacam teori atau kesimpulan yang diterima sementara waktu untuk menerangkan fakta-fakta tertentu sebagai penuntun dalam meneliti fakta-fakta lain lebih lanjut. Sebaliknya teori penuntun sebenarnya merupakan hipotesa yang secara relatif lebih kuat sifatnya bila dibandingkan dengan hipotese. Teori adalah azas-azas yang umum dan abstrak yang diterima secara ilmiah dan sekurang-kurangnya dapat dipercaya untuk menerangkan fenomena-fenomenea yang ada. Hipotese merupakan suatu dugaan yang bersifat sementara mengenai sebab akibat atau relasi antara fenomena-fenomena, sedangkan teori merupakan hipotesa yang telah diuji dan dapat diterapkan kepada fenomena-fenomena yang relevan atau sejenis. Dengan demikian, walaupun hipotesa merupakan cara yang baik untuk mempertalikan fakta-fakta tertentu, suatu hipoteses itu dapat ditolak karena fakta-fakta baru yang dijumpai bertentangan atau tidak lagi menunjang hipotesis tadi. Sebab itu persoalan yang dihadapi adalah bagaimana merumuskan sebuah hipotesis yang kuat.
Untuk merumuskan hipotesis yang baik ada beberapa ketentuan sebagai berikut: (a) secara maksimal memperhitungkan semua evidensi yang ada; semakin banyak evidensi yang digunakan semakin kuat hipotesa yang diajukan (ciri kuantitatif); (b) bila tidak ada alasan-alasan lain, maka antara dua hipotesa yang mungkin diturunkan, lebih memiliki yang sederhana daripada yang rumit. “Bila menghadapi seorang mahasiswa yang tidak lulus ujian, apakah harus mengatakan bahwa ia tidak lulus karena tidak belajar dan tidak menguasai pelajarannya, atau karena para dosen menaruh sentiment terhadapnya sehingga memberi nilai yang menjatuhkannya?”; (c) hipotesa tidak pernah terpisah dari semua pengetahuan dan pengalaman manusia, sebab itu, sebuah hipotesa tidak akan bertahan kalau tidak cocok dengan pengetahuan manusia walaupun mungkin fakta-faktanya menyakinkan. Fakta harus dinilai mana yang dipat dipergunakan sebagai evidensi yang sering dikenal dengan istilah koherensi. Semua fakta yang akan digunakan sebagai evidensi harus pula koheren dengan mengalaman manusia, atau sesuai dengan pandangan atau sikap yang berlaku. Bila penulis menginginkan agar sesuatu dapat diterima, ia harus meyakinkan pembaca atau pendengarnya bahwa karena pembaca/pendengara
setuju
atau
menerima
fakta-fakta
dan
jalan
pikiran
yang
dikemukakannya, maka secara konsekuen pula pembaca harus menerima hal lain, yaitu konklusinya. Dalam menerangkan sesuatu hal, maka ada baiknya kalau penulis/pembicara bertolak dari hal-hal yang sangat intim dalam kehidupan manusia, baru kemudian menuju kepada hal yang umumnya. Misalnya dalam menerangkan bahasa atau akibat yang timbul dari utang-piutang Negara setiap tahun bertambah, penulis dapat mulai dari pengalaman pribadi. Berapa la dapat bertahan bila belanja tiap bulan selalu melebihi penghasilannya sebulan. Kecuali harus bekerja ekstra untuk menutupi kekurangan itu. Masalah yang dihadapi Negara
sama saja. Akibat bagi keduanya sama saja, yaitu kehancuran, kecuali seperti dikatakan tadi kalau orang itu atau Negara harus belerja lebih giat untuk meningkatkan penghasilannya, atau berusaha memperkecil belanjanya. (d) hipotesa bukan hanya menjelaskan fakta-fakta yang membentuknya, tetapi juga harus menjelaskan juga fakta-fakta lain sejenis yang belum diselidiki, jadi harus meneliti fenomena agar dapat melakukan hipotesa-hipotesa. 3. Analogi Induktif Sering juga disebut sebagai analogi yaitu suatu proses penalaran yang bertolak dari dua peristiwa khusus yang mirip satu sama lain, kemudian meyimpulkan bahwa apa yang berlaku untuk sesuatu hal akan berlaku pula untuk hal yang lain. Sebab itu sering timbul salah pengertian anatara analogi induktif atau analogi logis dengan analogi deklaratif atau analogi penjelas yang termasuk dalam soal perbandingan. Analogi penjelas atau analogi deklaratif yang dirujuk dalam tulisan ini adalah suatu metode untuk menjelaskan sesuatu hal yang tidak dikenal dengan mempergunakan atau membandingkannya dengan sesuatu hal lain yang sudah dikenal. Dalam hal ini saya mengemukakan perbandingan sifat-sifat khusus antara dua hal yang berlainan, yaitu dua hal yang termasuk dalam kelas yang berbeda, sebagai metode penjelasan, analogi deklaratif ini merupakan suatu cara yang sangat bermanfaat, Karena gagasan yang baru itu dapat diterima bila dihubungkan dengan apa yang sudah diketahui. Analogi induktif atau analogi logis sebagai suatu proses penalaran bertolak dari suatu kesamaan aktual antara dua hal. Berdasarkan kesamaan aktual itu, penulis dapat menurunkan
suatu kesimpulan bahwa karena kedua hal itu mengandung kemiripan dalam hal-hal yang penting, maka mereka akan sama pula dalam aspek-aspek yang kurang penting. 4. Kausal Hubungan kausal untuk tujuan praktis dapat diterima sebagai dasar bahwa semua peristiwa mempunyai sebab yang mungkin dapat diketahui, bila manusia berusaha menyelidikinya dan memiliki pengetahuan cukup untuk melakukan penyeldidikan itu. Dalam abad millennium ini, kadang-kadang hubungan antara sebab dan akibat tertentu tidak mudah diketahui, tetapi itu tidak berarti bahwa apa yang dicatat sebagai suatu akibat tidak mempunyai sebab sama sekali. Pada umumnya hubungan kausal dapat berlangsung dalam tiga pola berikut: sebab ke akibat, akibat ke sebab, dan akibat ke akibat. (a) Sebab ke akibat. Hubungan sebab ke akibat mula-mula bertolak dari suatu peristiwa yang dianggap sebagai sebab yang diketahui, kemudian bergerak maju menuju kepada suatu kesimpulan sebagai efek atau akibat yang terdekat. Efek yang ditimbulkan oleh sebab tadi dapat merupakan efek tunggal, tetapi dapat juga berbentuk sejumlah efek bersama-sama, atau serangkaian efek. Misalnya kalau saya menekan tombol lampu; penekanan tombol sebagai satu sebab akan menimbulkan sejumlah efek yaitu lampu menyala. Tetapi hujan sebagai satu sebab akan menimbulkan sejumlah efek serentak, yaitu tanah-tanah menjadi becek dan berlumpur, selokan penuh banjir, pakaian yang dicuci tidak lekas kering, mereka yang tidak tahan udara lembab, dingin, akan jatuh sakit dan sebagainya, sebaliknya sebab dan akibat berantai terjadi. Contoh lain, kenaikan harga minyak menyebabkan biaya transport naik, biaya transport naik menyebabkan para penyalur bahan makanan menaikkan harga-harga bahasan makanan, harga
bahan makanan naik menimbulkan kesulitan hidup, kesulitan hidup dalam semua bidang menyebabkan kaum buruh menuntut kenaikan upah, dan seterusnya. (b) Akibat ke sebab dipahami sebagai hubungan akibat ke sebab yang menyatakan suatu proses berpikir yang induktif juga dengan bertolak dari suatu peristiwa yang dianggap sebagai akibat yang diketahui, kemudian bergerak menuju sebab-sebab yang mungkin telah menimbulkan akibat tadi. Ada seorang pasien pergi ke dokter karena sakit kulit gatal yang dideritanya. Fenomena ini adalah sebuah akibat. Dokter yang diminta bantuannya harus menemukan sebabnya utnuk memberikan pengobatan yang tepat. Ia menetapkan bahwa sakit yang diderita pasien disebabkan oleh alergi terhadap udara dingin. Jadi jalan pikiran dari akibat yang diketahui (dari kulit pasien) menuju kepada sebab (udara dingin). Kedua pola hubungan kausal di atas dapat diuji kebenarannya melalui prosedur-prosedur berkut: Apakah cukup terdapat sebab untuk menghasilkan sebuah akibat? Tahyul yang hidup di semenetara kalangan merusak kaidah ini. Mereka yang percaya bahwa karena melewati sebuah sungai tertentu, seseorang dapat berubah menajdi ular, sebenarnya tidak memberikan sebab yang cukup kuat dan jelas bagi akibat semacam itu. Begitu pula dalam menerima sebuah jalan pikiran dari sebuah akibat atau sebaliknya, harus dapat diyakini bahwa arah jalan pikiran itu sudah cukup lengkap dan tidak akan dihalangi oleh faktor-faktor luar. Cara lain yang dapat dipakai untuk menguji kebenaran sebab akibat adalah mengajukan pertanyaan : Apakah tidak mungkin ada sebab lain yang menimbulkan akibat itu?, jika dapat ditetapkan bahwa tidak ada sebab lain yang menimbulkan akibat itu, maka proses penalaran tadi dianggap benar. Suatu proses penalaran yang salah mengenai sebab akibat ini adalah apa yang dinamakan jalan pikiran yang
mengatakan bahwa karena sesuatu terjadi sesudah sesuatu hal yang lain, maka peristiwa itu disebabkan oleh peristiwa lain yang terjadi lebih dahulu. (c) Akibat ke Akibat adalah hubungan kausal yang memperlihatkan proses penalaran yang bertolak dari suatu akibat menuju suatu akibat yang lain, tanpa menyebut atau mencari sebab umum yang menimbulkan kedua akibat tadi. Penalaran dari suatu akibat ke akibat. Dari contoh yang dikemukakan dalam hubungan sebab ke akibat, terjadilah sejumlah akibat karena turun hujan, tanah-tanah menjadi becek dan berlumpur, selokan penuh banjir. Pengujian bagi pola hubungan kausal ini mempergunakan pola penalaran yang cara pengujiannya sama dengan ke dua pola di atas. Tetapi yang menjadi persoalan adalah: apakah sebab itu sudah cukup kuat untuk menghasilkan kedua akibat itu?; Apakah tidak ada sebab lain yang dapat menimbulkan satu atau kedua akibat itu? Apakah tidak mungkin terdapat suatu sebab lain yang mungkin mempengaruhi sebab atau akibatnya?
C. Kesimpulan Dalam induksi, hal penting yang harus dilakukan adalah melakukan identifikasi terhadap suatu objek yang diamati. Objek itu lalu diidentifikasi menurut bagian-bagian dengan fungsinya masing-masing. Lalu dibuat uraian untuk menuju kepada suatu kesimpulan umum mengenai hakikat objek tadi secara keseluruhan. Dengan melakukan identifikasi terhadap suatu objek yang dilakukan secara langsung melalui pengamatan, seorang peneliti dapat mempengaruhi sikap atau pendapat orang lain, agar mereka itu percaya dan akhirnya bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh peneliti ketika ia memaparkan hasil penelitiannya. Hasil pengamatan peneliti terhadap objek yang menjdi sasaran diungkap melalui suatu proses berpikir yang
berusaha menghubung-hubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA Carnap, Phil. 2008. Mind. Oxford: Blackwell Ernest, Huten. 2010. Probability Sentence in Inductive Point of View. Oxford: Blackwell Keraf, Gorys. Eksposisi dan Deskripsi. Ende: Nusa Indah Kridalaksana, Harimurti dan Djoko K. Seminar Bahasa Indonesia. Ende: Nusa Indah Levy and Roth. 2006. Element of Probability. Oxford: Oxford University Press Levin, Gerald. 1966. A Brief Handbook of Rhetoric. New York: Harcourt, Inc. Monroe, Alan. 2007. Principles and Types of Speech. Chicago: Scott Press Oliver, Robet, 1958. New Training For Effective Speech. New York: Harcourt, Inc Reichenbach. 2010 The Theory of Probability. California: University of California Press Rosidi, Ayib. 1977. Laut Biru Langit Biru. Jakarta: Pustaka Jaya Shuter, Robert. 2006. Critical Thinking Its Expression in Argument. New York: McGrow.