Al-Zarkasyi, Badru al-Din Muhammad, Al-Burhan fi’Ulum AlQur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), Jilid. I Hitti, Philip K, History of The Arab, Terj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010. 7. Tulisan yang akan mendapat prioritas untuk dimuat adalah yang lulus seleksi oleh tim redaksi menyangkut; a) kebagusan bahasa dan ketikan, b) kesesuaian bidang ilmu dan topik, orisinalitas, kedalaman teori, ketepatan metodologi, ketajaman analisis, inovasi, dan nilai aktual dan/atau kegunaannya, dan c) selama masih tersedia ruang/halaman. Jika ada tulisan yang lulus seleksi dari sisi poin a-b, maka tulisan itu akan dimasukkan untuk edisi berikutnya. 8. Naskah harus disampaikan kepada tim redaksi dalam bentuk print-out dan dilengkapi dengan memberikan hardcopy dalam bentuk CD, atau softcopy melalui flashdisk atau lainnya, atau dengan mengirim ke email;
[email protected]
EPISTEMOLOGI CORAK TAFSIR SUFISTIK Lenni Lestari, S.Th.I, M. Hum Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta Abstract Many ideology interpretations of al-Qur’an have developed until today. One of them is mystical (sufistik) interpretation. This article will explore about epstemology aspects of mystical interpretation and a little bit of it history in grand mapping of al-Qur’an interpretation. In the last of this article will explain about how mysticism interpretation to be faced with verses (ayat) related to Fiqih, Science, Culture, and etc.
Key words: Mysticism (tasawuf), mystical interpretation, epistemology, alQur’an
A. Pendahuluan Fenomena munculnya tafsir sufistik merupakan bukti bahwa umat Islam terus melakukan tajdid al-‘ilm (pembaharuan pengetahuan) dalam merespon relasi antara kalam Tuhan dan konteks masyarakat di zamannya. Imam Sahl Ibn ‘Abdullah al-Tustari, seorang tafsir sufi, pernah mengatakan bahwa Allah itu tak terbatas (unlimited), maka kandungan makna kalam-Nya itu juga tak terbatas. Demikian penggalan pernyataan yang dikutip oleh Syaikh Badruddin al-Zarkasyi dalam karyanya al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran. Mungkin karena hal inilah mengapa secara historis-faktual, seiring dengan perjalanan sejarah peradaban umat Islam, tafsir menggunakan berbagai pendekatan dan perangkat penafsiran.1 Tulisan ini akan memaparkan tentang aspek epistemologi tafsir sufistik, ulasan singkat mengenai dunia tasawuf untuk mengetahui asal-usul munculnya corak tafsir sufi dalam peta penafsiran al-Quran dan di bagian akhir, penulis menambahkan pembahasan tentang bagaimana ketika tafsir sufistik dihadapkan pada ayat-ayat di luar tataran tasawuf seperti fiqih, ayat-ayat kauniyah, kebudayaan, dan lain 1 Abdul Mustaqim. Dinamika Sejarah Tafsir al-Quran. Studi Aliran-aliran Dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer. (Yogyakarta: Adab Press. 2012), hlm. 10
8
Jurnal Syahadah
Epistemologi Corak Tafsir Sufistik
Vol. 2, No. 1, April 2014
Lenni Lestari, S.Th.I, M.Hum
sebagainya, sementara wacana yang berkembang mengatakan bahwa tafsir sufistik lebih mementingkan makna batin daripada aspek lainnya.
B. Pembahasan
1. Sekilas Tentang Tasawuf a. Pengertian Tasawuf Hampir-hampir terdapat kesepakatan para ahli dalam bidang tasawuf tentang sulitnya merumuskan definisi dan batasan tegas berkaitan dengan pengertian tasawuf. Hal ini disebabkan terutama karena kecenderungan spiritual terdapat pada setiap agama, aliran filsafat, dan peradaban.2 Selain itu, istilah tasawuf sendiri tidak pernah dipakai dalam al-Quran ataupun hadis Nabi. Sehingga tidak mengherankan jika sufi atau tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci.3 التصوف Salah satu pendapat mengatakan bahwa kata al-tasawwuf ( ) التصوفadalah bahasa Arab dari kata suf ( ) صوف, atau bulu domba. Orang sufi biasanya memakai pakaian domba صوف sebagai simbol kesederhanaan dan kesucian. Dalam sejarah dise butkan, bahwa orang yang pertama kali menggunakan kata sufi yang bernama Abu Hasyim al-Kufi di Irak adalah seorang َ zahid ْ ْ 4 اب ذ ع ل ا ه ل ب ق ن م ه ر ه الرحْ َمةُ َو َظا اطنُهُ فِي ِه اب َب س َف ِ ِ َ ِ ِ ِ ِ tasawuf َب ب ُ َ ٌ َور لَهُ ب ُ ْينَ ُه ْم ِبsikap َ ض ُِرmeُ َّ makna ٍsebagai (w. 150H). Al-Zahabiُ memberi nyerahkan diri kepada Allah (dan berserah diri) sesuai yang Alَ الرحْ َم س ِ اب َب اَّللِ فَ ُه َو َخي ٌْر لَهُ ِع ْندَ َربِ ِه ٌ ور َلهُ َب ُ ب َب ْي َن ُه ْم ِب َ ض ُِر ِ ذَ ِلكَ َو َم ْن يُعَ ِظ ْم ُح ُر َما َّ ت َّ اطنُهُ ِفي ِه 5 ف lahٍ kehendaki. ْن يُعَ ِظ ْمal-Wafa’ َاَّللِ فَ ُه َو َخي ٌْر لَهُ ِع ْند ذَ ِلكَ َو َمal-Taftazani mencoba mengajukan definisi ِ ُح ُر َماAbu َّ ت
(Depok: Pustaka Iman. 2009), hlm. 43.
2 Alwi Shihab. Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi, Akar Tasawuf Di I ndonesia.
ا ْلبَحْ َري ِْن
3 Lihat Harun Nasution, “Tasawuf” dalam Budhi Munawar Rachman (Ed.), Kon ْلبَحْ َري ِْنIslam ا ان يَ ْل tekstualisasi Doktrin dalam Sejarah. (Jakarta: Paramadina. 1995), ِ ت َ ِق َيhlm. 161. Sebagaimana dikutip oleh Asep Nurdin, Karakteristik Tafsir Sufi: Telaah يَ ْلتَ ِق َي Atas Metodologiان al-Quran Ulama Sufi, Jurnal Studi Ilmu-ilmu الحيوانية النفسAlِ Penafsiran Quran dan Hadis, Vol. 3, No. 2, Januari 2003, Vol. 3, No. 2, Januari 2003. Hlm. 148-149. النفس الحيوانية ان ِ َالَّ يَ ْب ِغي 4 UIN Sunan Kalijaga. Akhlak Tasawuf. (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan َالَّ يَ ْب ِغي29. ِ hlm. Kalijaga. 2005),ان
5 Muhammad Husain al-Zahabi. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun. Jilid IV. (T. Tp: T.th),
hlm. 301.
أ َ ْندَادًا أ َ ْندَادًا
9
yang hampir mencakup seluruh unsur substansi tasawuf, yakni “Sebuah pandangan filosofis kehidupan yang bertujuan mengembangkan moralitas jiwa manusia, yang dapat direalisasikan melalui latihanlatihan praktis tertentu yang membuahkan larutnya perasaan dalam hakikat transedental”. Pendekatan yang digunakan adalah zauq (cita rasa) yang menghasilkan kebahagiaan spiritual. Pengalaman seperti ini tak kuasa diekspresikan melalui bahasa biasa karena bersifat emosional dan personal.6 b. Sejarah dan Perkembangan Tasawuf Timbulnya tasawuf dalam Islam adalah karena adanya segolongan umat Islam yang belum merasa puas dengan pendekatan diri kepada Tuhan melalui ibadah puasa dan haji. Mereka merasa ingin lebih dekat lagi dengan Tuhan dengan cara hidup menuju Allah dan membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi, sehingga tidak diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan dunia lainnya. Al-Zahabi membenarkan bahwa praktik tasawuf semacam di atas telah dikenal sejak masa awal Islam, Nabi Muhammad merupakan orang yang pertama kali mencontohkan praktik kehidupan sederhana,7 banyak diantara sahabat yang melakukan praktik tasawuf yaitu hidup dalam zuhd dan ibadah lainnya, tetapi mereka belum mengenal istilah tasawuf sampai kurun abad kedua Hijriah.8 Pada angkatan berikutnya (abad ke-2 H dan seterusnya), secara berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan dunia menjadi lebih berat. Ketika itulah angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup sederhana lebih dikenal dengan kaum sufiah. Pada masa ini pulalah
6 Abu Al-Wafa’ Al-Taftazani. Al-Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islami, cet. II. (Kairo: Dar al-Saqafah wa al-Tiba’ah wa al-Nasyr. 1976), hlm. 24-25. Dikutip oleh Alwi Shihab. Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi, Akar Tasawuf Di Indonesia. (Depok: Pustaka Iman. 2009), hlm. 46-47. 7 UIN Sunan Kalijaga. Akhlak/Tasawuf, hlm. 41. 8 Muhammad Husain al-Zahabi. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, hlm. 302. Sebagaimana dikutip Asep Nurdin, Karakteristik Tafsir Sufi, hlm. 149.
10
Jurnal Syahadah Vol. 2, No. 1, April 2014
istilah tasawuf mulai dikenal.9 Praktik-praktik zuhud yang dilakukan ulama angkatan I dan II berlanjut sampai pada masa pemerintahan Abbasiyah (4 H), ketika itu umat Islam mengalami kemakmuran yang melimpah, sehingga di kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah. Pada masa itu gerakan tasawuf juga mengalami perkembangan yang tidak terbatas hanya pada praktik hidup sederhana saja, tetapi mulai ditandai dengan berkembangnya suatu cara penjelasan teoritis yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut dengan ilmu tasawuf. Pada masa ini tasawuf telah mengalami percampuran dengan filsafat dan kalam, sehingga muncullah apa yang dikenal dengan tasawuf falsafi nazari dan tasawuf ‘amali. Tasawuf nazari yaitu yang menjadikan tasawuf sebagai kajian dan pembahasan. Adapun tasawuf ‘amali yaitu tasawuf yang dibangun dengan praktik-praktik zuhud taat kepada Allah swt.10 Dari hal tersebut diatas mulai adanya ketidakmurnian dalam tasawuf, orang-orang yang bukan ahlinya mencoba mempelajari tasawuf dengan landasan ilmu yang dianutnya. Sehingga hal tersebut sangat berpengaruh pada bidang lainnya seperti fiqh, hadis, dan tafsir. Pada masa ini pula bermunculan istilahistilah seperti khauf, mahabbah, ma’rifah, hulul dan lain sebagainya. Dan sejak itu pula selanjutnya tasawuf telah menjadi lembaga atau disiplin ilmu yang mewarnai khazanah keilmuan dalam Islam, seperti halnya filsafat, hukum, dan lainnya. c. Tasawuf Sebagai Salah Satu Corak Tafsir Al-Quran Berdasarkan pemetaan Abdul Mustaqim, tafsir corak tafsir termasuk dalam tafsir yang muncul pada abad pertengahan (terhitung sekitar abad III H sampai dengan abad VII/VIII H atau ketika peradaban Islam memimpin dunia). Hal ini ditandai dengan bergesernya tafsir bi al-Ma’sur menjadi tafsir bi al-ra’yi. Penggu9 Muhammad Husain al-Zahabi. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, hlm. 302. 10 Ali Yafie. Syariah, Thariqah, Haqiqah, dan Ma’rifah, dalam Budi Munawar Rachman (e.d), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 181. Dikutip oleh Asep Nurdin, Karakteristik Tafsir Sufi: Telaah Atas Metodologi Penafsiran al-Quran Ulama Sufi, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Quran dan Hadis, Vol. 3, No. 2, Januari 2003, hlm. 149.
Epistemologi Corak Tafsir Sufistik Lenni Lestari, S.Th.I, M.Hum
11
naan rasio semakin kuat, meskipun sering terjadi bias ideologi. Sebagai implikasinya, muncullah berbagai kitab tafsir yang diwarnai dengan corak dan kecenderungan tafsir sesuai dengan disiplin ilmu dan mazhab ideologi para mufassirnya dan bahkan penguasa saat itu.11 Dilihat dari pemetaan ilmu tafsir secara umum, posisi tafsir sufistik terbagi menjadi tiga, yaitu berdasarkan bentuk penafsiran,12 metode penafsiran,13 dan corak penafsirannya.14 Berdasarkan pembagian ini, maka dapat dikatakan bahwa bentuk penafsiran sufistik adalah tafsir bi al-ra’yi. Metode yang mayoritas digunakan dalam menyajikan hasil penafsirannya adalah metode tahlili. Sedangkan coraknya adalah corak sufi atau tasawuf yang dominan digunakan dalam tafsirnya. Corak tafsir yang lahir akibat dari timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, telah mempunyai ciri khusus dan karakter yang membedakannya dengan tafsir lain.15 Bagi para sufi, beberapa ayat dalam al-Quran–tanpa menggunakan kecerdasan yang terlampau tinggi- tampak jelas dan pada saat yang sama dapat dipahami sebagai teks yang menopang mazhab mereka yang spesifik.16 11 Abdul Mustaqim. Dinamika Sejarah Tafsir al-Quran…, hlm. 90. 12 Bentuk penafsiran adalah pendekatan dalam proses penafsiran. Lihat Nashiruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011), hlm. 386. 13 Metode penafsiran adalah sarana yang diterapkan untuk mencapai tujuan. Nashiruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Hlm. 386. 14 Corak Penafsiran adalah tujuan instruksional dari suatu penafsiran. Tiga istilah pembedaan di atas (bentuk, metode, dan corak penafsira) ditawarkan oleh Nashiruddin Baidan yang bertujuan untuk mempermudah para peminat tafsir dalam melakukan kajian tafsir. Lihat Nashiruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011), hlm. 368-386. 15 Abdul Mustaqim. Pembuatan Buku Daras Madzahibu al-Tafsir (Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Kalijaga), hlm. 63. Dikutip oleh Asep Nurdin, Karakteristik Tafsir Sufi…, hlm. 150. 16 D. B. Mac Donald. Aspect of Islam. (New York: 1911), hlm. 75, 186. Sebagaimana dikutip oleh Ignaz Goldziher dalam Mazhab Tafsir, Dari Klasik Hingga
12
Jurnal Syahadah
Epistemologi Corak Tafsir Sufistik
Vol. 2, No. 1, April 2014
Sebagian ulama membagi tasawuf ini menjadi dua bagian, yaitu tasawwuf nazari (teoritis) dan tasawuf ‘amali (praktis). Tasawwuf nazari adalah tasawuf yang berdasarkan pada wacana analisis dan studi (kajian). Sedangkan tasawwuf ‘amali adalah tasawuf yang bersandar pada sikap meninggalkan kesenangan duniawi (taqasysyuf) dan zuhud dan mendedikasikan dirinya hanya kepada Allah swt.17 Tafsir corak ini dapat ditemukan untuk melegitimasi poinpoin ajaran sufi yang plural dan juga dalam kitab-kitab metodologis tafsir yang menafsirkan al-Quran dari bagian awal hingga paling akhir supaya lingkaran pemikirannya dapat berjalan sistematis. Porsi terbesar yang cukup mencolok dalam literatur awal corak ini yang dapat diajukan produknya dari tafsir al-Quran adalah Tafsir al-Quran al-‘Azim karya Sahal al-Tustari (wafat 276 atau 286 H/886 atau 896 M) yang masih tersimpan dalam bentuk tulisan tangan (manuskrip).18 Selain itu ada juga buku yang paling menonjol dalam disiplin tafsir sufi terutama karakteristiknya yang tersebar luas di dunia Islam, yaitu kitab tafsir sarjana sufi Andalusia, Muhyiddin Ibnu ‘Arabi (lahir 562 H/ 165 M, wafat 638 H/ 1124 M). Kitab tafsir ini al-Futuhat, beberapa kali telah mengalami cetak ulang di Timur. Ibnu ‘Arabi19 dikenal sebagai sosok paling populer dalam
Lenni Lestari, S.Th.I, M.Hum
13
ranah tasawuf.20 Selain itu juga ada kitab Haqaiq al-Tafsir karya al-Salmi,21 kitab ‘Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Quran karya Abi Muhammad al-Syairazi22 dan kitab al-Ta’wilat al-Najmiyah karya Najm al-Din Dayah dan ‘Ula’ al-Daulah al-Samanani.23 Ada satu karya lainnya yang dikenal sebagai tafsir sufi, yaitu tafsir Ruh al-Ma’ani karya al-Alusi.24 Namun, al-Zahabi dikutip juga oleh Abdul Mustaqim mengatakan bahwa tafsir ini termasuk kitab corak tafsir bi al-ra’yi al-mahmud dengan metode tahlili, meskipun ada sebagian ulama yang menganggapnya sebagai kitab tafsir bercorak sufi.25 Abdul Mustaqim mengatakan bahwa ada satu kitab tafsir sufistik yang relatif banyak diterima oleh para ulama, yaitu Lataif al-Isyarat karya Abdul Karim Ibn Hawazan Ibn Abd al-Malik Ibn Talhah Ibn Muhammad al-Qusyairi. Kitab ini dinilai positif oleh para ulama karena penafsirannya tidak menyimpang, selalu berusaha mempertemukan antara syariat dan hakikat serta steril dari ideologi mazhab tertentu.26 2. Kategorisasi Tafsir Sufistik Adapun kategorisasi corak tafsir sufi terbagi menjadi dua, yaitu al-tafsir sufi nazari sebagai turunan dari tasawwuf nazari (aliran yang berusaha menemukan wujud Tuhan dalam makhluknya) dan al-tafsir al-sufi al-Isyari sebagai turunan dari tasawwuf 20 Ibid,. hlm. 259-260.
Modern, (penerj. M. Alaika Salamullah). (Yogyakarta: eLSAQ Press. 2010), hlm. 221. 17 Muhammad Husain al-Zahabi. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, hlm. 297. 18 Ignaz Goldziher. Mazhab Tafsir…, hlm. 259. 19 Ibnu ‘Arabi adalah seorang tokoh besar tasawuf falsafi teoritis. Ia menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan penafsiran yang disesuaikan dengan teori-teori tasawufnya, baik di dalam kitab tasawufnya yang populer maupun kitab-kitab lain yang dinisbatkan kepadanya, seperti al-Fusus. Dia adalah penganut paham wihdatul wujud. Lihat Manna’ Khalil al-Qattan. Studi-studi Ilmu Al-Quran. Terj. Mudzakir. AS. (Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa. 2007), hlm. 494. Ibnu ‘Arabi konon lebih mementingkan dan mendahulukan makna batin daripada makna zahir suatu perkataan atau ayat apabila menafsirkan al-Quran. Lihat Syamsuddin Arif. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. (Jakarta: Gema Insani. 2008), hlm. 225, yang dikutip dari Muhammad Husain al-Dzahabi dalam al-Tafsir wa alMufassirun, Jilid. II. (Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah. 1961), hlm. 407.
21 Asep Nurdin, Karakteristik Tafsir Sufi: Telaah Atas Metodologi Penafsiran al-Quran Ulama Sufi, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Quran dan Hadis, Vol. 3, No. 2, Januari 2003, hlm. 150. 22 Muhammad Husain al-Dzahabi. Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid. II. (Kairo: Dar al-Hadisah. 2005), hlm. 341. 23 Ibid., hlm. 344. 24 Subhi al-Salih. Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an. (Beirut: Dar al-‘Ilmi al-Malayiyn. 1988). Hlm. 296. 25 Dilihat dari perspektif “al-taghlib” –meminjam istilah al-Zahabi- maka anggapan bahwa tafsir al-Alusi sebagai tafsir bercorak sufi jelas terlalu berlebihan, sebab porsi sufistiknya ternyata lebih sedikit. Lihat Abdul Mustaqim, Ruh al-Ma’ani karya al-Alusi, dalam buku Studi Kitab Tafsir. (Yogyakarta: TERAS. 2004), hlm. 159. 26 Abdul Mustaqim. Dinamika Sejarah Tafsir al-Quran…. hlm. 130.
14
Jurnal Syahadah Vol. 2, No. 1, April 2014
Epistemologi Corak Tafsir Sufistik Lenni Lestari, S.Th.I, M.Hum
15
التصوف ‘amali (aliran yang berusaha lebih dekat dengan Allah, bahkan ingin menyatu).27 Adapun pembahasannya adalah sebagai berikut: a. Al-Tafsir al-Sufi al-Nazari Di antara kaum sufi ada yang membangun tasawufnya di atas teori dan doktrin filsafat, maka rasional kalau kaum sufi mengkaji al-Quran dengan kajian yang sejalan dengan teori mereka dan sesuai dengan doktrin mereka, hingga dalam menjelaskan al-Quran keluar dari makna dzahir yang dikuatkan syara’ secara bahasa. Sebenarnya suatu hal yang tidak mudah untuk menemukan konsep sufi dalam al-Quran sesuai dengan kajian tasawwuf. Karena al-Quran diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia bukan untuk mengokohkan suatu teori tertentu yang terkadang baru dan jauh dari ruh (esensi) al-Quran dan kepastian akal. Al-tafsir sufi nazari adalah tafsir yang berpegang pada metode simbolis yang tidak berhenti hanya pada aspek kebahasaan saja. Tafsir ini sering digunakan untuk memperkuat teori-teori mistis dari kalangan ahli sufi. Ulama yang dianggap ahli dalam bidang ini adalah Muhyiddin bin ‘Arabi, karena beliau dianggap sering bergelut dengan kajian tafsir ini. Corak tafsir sufi Ibn ‘Arabi ini banyak diikuti oleh murid-muridnya. Selain itu, pemikiran Ibnu Arabi banyak terpengaruh oleh teori-teori filsafat sebagaimana bisa dilihat dalam kitab-kitabnya seperti alFutuhat al-Makkiyah dan al-Fusus. Dalam dua kitab ini kita akan banyak melihat ayat-ayat al-Quran yang ditafsirkan berlandaskan teori sufi filosofis.28 Dalam penafsirannya, Ibnu ‘Arabi terpengaruh dengan teori wahdatul wujud (pantheisme) atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah manunggaling kawulo gusti, yaitu teori tasawwuf tentang persatuan antara Tuhan dan manusia. Menurut al-Zahabi, penafsiran Ibnu ‘Arabi telah keluar dari madlul yang dikehendaki Allah. Dari pernyataan ini, terlihat bahwa al-Zahabi tidak sependapat dengan Ibnu ‘Arabi. 27 Lihat Muhammad Husain al-Dzahabi. Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid. II. (Kairo: Dar al-Hadisah. 2005), hlm. 297. 28 Ibid., hlm. 297-298.
Adapun contoh penafsiran Ibnu ‘Arabi yang terpengaruh صوف dengan teori wahdatul wujud ialah dalam QS. al-Fajr: 29-30,
Maka masuklah dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, Masuklahَ ke dalam َ ِل ِه ا ْلعَذke اب اطنُهُ فِي ِه َالرحْ َمةُ َو َظا ِه ُرهُ ِم ْن قِب ِ اب َب ٌ َور لَهُ ب ُ ِب بَ ْين ُه ْم ب َ فَض ُِر ُ َّ ٍ س syurga-Ku. Ayat ini ditafsirkan: “…masuklahْ ke ُ dalam dimana ia adalah peو َخي ٌْر َله ِعندَ َر ِب ِهsurgaku ِ ذَ ِلكَ َو َم ْن يُ َع ِظ ْم ُح ُر َما َّ ت َ اَّللِ َف ُه lindungku, surgaku tidak ada selain Engkau, Engkau yang melindungiku dengan Zat manusia-Mu, saya tidak tahu apapun kecuali Engkau sebagaimana ada kecuali denganku, maka barangsiapa Engkau Engkau tidak akan tahu pasti ia tahu aku, sedang aku tidak diketahui maka Engkau tidak diketahui التصوف juga. Jika aku masuk surga, maka aku masuk jiwa-Mu…”29 ْ
البَحْ َري ِْن صوف Tafsir dengan corak semacam ini banyak mendapat kritik ان ي َ َي ْلت َ ِق dari para ulama, seperti al-Zahabi yang mengkritik Ibnuِ ‘Arabi yang dianggapnya terlalu batiniyyah (hanya melihat aspek الحيوانية النفس batin)30 dari teks-teks lahiriyah al-Quran dan bahkan melenceng dari syariat Islam.31 Terkadang Ibnu‘يهArabi juga menundukkan اب ِ 32اب َب َفضالَّ ُِر َي َْب ٌ َور لَهُ ب ُ ان ُه ْم ِب ُ َالرحْ َمةُ َو َظا ِه ُرهُ ِم ْن قِبَ ِل ِه ا ْلعَذ َّ ِ ِاطنُهُ ف ٍ س ِ َب ِغيبَ ْين kaidah nahwu di bawah teori tasawufnya. Adapun contoh penafsiran ُ‘ َخي ٌْر لَهArabi اَّللِ فَ ُه َو ت ذَ ِلكَ َو َم ْن يُعَ ِظ ْم ُح ِع ْندَ َربِ ِهIbnu ِ ُر َماterpengaruh َّ yang dengan filsafat adalah pada QS. Al-Rahman: 19-20, َ أ ْندَادًا
“Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya Kemudian bertemu.
ا ْلبَحْ ريْن
ِ َ التصوف
29 Ibnu ‘Arabi. Al-Fusus. Jilid I. Hlm. 191-193. Dikutip oleh al-Zahabi. Al-Tafsir waَ ْ ان صوف ِ يَلت ِق َي al-Mufassirun. Hlm. 299.
فنعى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم في هذه السورة بالموت
30 Ada satu ayat yang sering dijadikan kebatinan, yaitu dalil adanya tafsir الحيوانية QS. النفس Al Hadid:13, َ وَ ُة َمْحالر ٌ بُهَ لور ُ بالتصوفنَ ُه ْم َالَّ يَ َف ْب ِغي اب ب بَ ْي ِ ض ُِر َ ان ُ َظاه ُِرهُ مِ ْن قِبَ ِل ِه ا ْلعَذ َّ َاب بَاطِ نُهُ فِي ِه ٍ س ِ َخي ٌْر ل “Lalu diadakan di antara mereka dinding dalamnya َ اَّللِ فَه َُو ْ صوف ت حُ ُرsebelah ن يُعَ ِظ ْم دَ َر ِب ِهyang هُ عِ ْنmempunyai ذَ ِلكَ َو َم ِ َماdi َّ pintu. ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ siksa.” ada Lihat Subhi al-Salih. Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an..., hlm.297.
التصوف صوف
دًادَاأ َ ْن 31 Al-Zahabi. Al-Tafsir wa al-Mufassirun. Hlm. 299. َ الرحْ َمةُ َو اب ٌ ور لَهُ ب ُ ب بَ ْينَ ُه ْم ِب َ ُر ُ َظاه ُِرهُ مِ ْن قِبَ ِل ِه ا ْلعَذ َّ َاب بَاطِ نُهُ فِي ِه ْن ا ْلبفََحْضر ِي ٍ س 32 Hal ini dapat dicermati dalam penafsirannya tentang QS. Al-Hajj: 30 ِ َ ُ َ الرحْ َمة و اب ظ َاه ُِرهُ ْ مِ ْن َاب بَاطِ نُهُ فِي ِه ٌ سور لَهُ ب ُ ِب بَ ْينَ ُه ْم ب َ فَض ُِر ُ َربقِهبَ ِل ِه ا ْلعَذ ََّ ِاَّلل خي َ ٌْر لهُ عِ ن َانو ٍ َم ْن يُ َع ِظ ْم حُ ُر ِ اَم َّ ت َ ِ َ) يَ ْلتذََل ِقيك ( ِ ِ َ َد َ َُوه ف َاَّللِ ف Ia mengatakan bahwa ‘amil dalam zaraf ( لَ )هُ عِ ْندَ َر ِب ِهadalah َ ه َُوjalan خي ٌْر ذَ ِلكَ َو َم ْن يُعَ ِظ ْم حُ ُر َما ِtasawufnya. َّ ت النفس الحيوانية Lihat al-Zahabi. Al-Tafsir 301-302. wa al-Mufassirun, hlm.
بالموت السورة فيوسلم صلى فنعى هذه عليه هللا هللا رسول َان يِبْغَي َّال ِ ْن ِ ا ْلبَحْ َري
َان ِ يَ ْلت َ ِقي النفس الحيوانية أ َ ْندَادًا
ْن ِ ا ْلبَحْ َري َان ِ يَ ْلت َ ِقي
اب ِ اب َب ٌ ور لَهُ َب ُ ب َب ْينَ ُه ْم ِب َ فَض ُِر ُ َالرحْ َمةُ َو َظا ِه ُر ُه ِم ْن ِق َب ِل ِه ا ْل َعذ َّ اطنُهُ ِفي ِه ٍ س َ فَضُرب بَ ْينَ ُهم ب ْ ابهُ ِم ْن َقِبَ ِله ا ابلعَبذَاب ب ِلةُ ِهب َ ْيوانَ ْل َظهاعَمذَ ِهر الر ْحْ م اب ُه َب ْم ِب ِ ُابم َبة َوري لَِههُ ب ٌ ْالرح ُ ُاطن َ ُض ُِرلَه َّ اطَونُ َظهُا فِ ِهي ُر ِههُفَ ِم ور ِسهُ ٍف ٌَب بَبَ ْين ُ ِ َْ َ ِ ٍ سف ُور له الرحْ َمةُ َوظ ِ َ ٌ ِ َبJurnal ُ ُ ِ ُبSyahadah َّ اط ُنُهُ فِي ِه ْ ُ َ ََضنبُِِر ِهقَِب ٍ س 16 ْ اَّللِ فَ َّ ُه َو َ َخي ٌْر لَهُ ِع ْ َذ ِلك ر َ د ن ت ا م ر ح م ظ ع ي ن م و ِ َّ ُ ِ ُ َ َ َ َ َ ُ ْ Vol. 2, No. 1, April 2014 َ تهُ ِع َّ ْن ْ ُ َ َ ِ َاَّللِيُعَفَ ِظُه ْمَو ُح َخ ُير ٌَمْرال ِ ذَ ِلكَ َو َم ْن يُ َع ِظ ْم ُحذَ ِل ُركَ َما َو َّ ت َم ْن اَّللِ فَ ُه َو َخي ٌْر لَهُ ِع ْندَ َر ِبه ِ اَّللِدَف َرُه ِب َو ِه خي ٌْر لهذَ ِل ِكَعندََو َ َمربِْن ِهيُعَ ِظ ْم ُح ُر َما َّ ت Antara ada batas yang keduanya tidak masing-masing.” dilampaui Ibnu ‘Arabi menafsirkan dua lautan ( ) ا ْلبَحْ َريْنdengan ِ lautan pertama sebagai lautan materi fisik seakan air garam yang ْن ي ر َْح ِ َ ا ْلب ا ْلبَحْ َري ِْن ْ ْن ي ر ب ل ا َْح َ ِ asin, sedangkan lautan kedua sebagai lautan abstrak, ان ِ يَ ْلت َ ِق َيseakan air tawar yang segar. Kata keduanya bertemu ( ان ِ ) يَ ْلت َ ِق َيmaksudnya ان ِ َي ْلت َ ِق َي ان يَ ْلتَ ِق َي ِ الحيوانية adalah bertemu dalam wujud manusia. diantaraالنفس keduanya ada الحيوانية ) النفس الحيوانية (النفس pembatas yangالنفس memisahkan yaitu jiwa hewani الحيوانية ان الَّ يَ ْبmelamِ َ ِغيsaling yaitu jiwa yang tidak jernih. Keduanya juga tidak َّ ال يَ ْب ِغيَان َّال ان paui batas ( ان ِ َي ْب ِغ َيsalِ َ ) الَّ يَ ْب ِغيyaitu antara jasad danِ ruh tidak akan ing mengalahkan. Padahal secara umum, ayat dengan ini ditafsirkan perkem bangan ilmu pengetahuan. Bahwa maksud dari lautan َأ ْندَادًاdua adalah di Selat Gibraltar itu terdapat pertemuan أ َ ْندَادًاdua jenisدًاlaut أ َ ْندَا َأ ْ ًا د َا د ن yang berbeda warna. Seperti ada garis pembatas yang memisah bagian berwarna biru agak gelap dan pada kan keduanya.Satu lebih terang. 33 bagian laintampak بالموت السورةmemberikan عليه وسلم في هذه صلى هللاkriteria رسول هللاdalam فنعىpenafsirAl-Zahabi beberapa 34 السورة هذه السورة في عليه وسلم رسول فنعى رسول هللا فنعى anبالموت nazari, yaitu: هللاهذه صلىفي عليههللاوسلم صلى هللا هللا عليه وسلم في هذه الس صلى هللا بالموترسول فنعى 1) Menjadikan teori filsafat sebagai asas (dasar) dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran. 2) Memberikan perumpamaan terhadap sesuatu yang ghaib (abstrak) kepada sesuatu yang syahid (tampak/jelas). Menurut al-Zahabi, perumpamaan seperti ini terkesan menerka-nerka, padahal masih menurut al-Zahabi - perumpamaan seperti itu tidak boleh dilakukan kecuali ada informasi dari Rasulullah saw sendiri. 3) Terkadang tidak memperhatikan kaidah Nahwu atau Balaghah. Kaidah ini akan digunakan jika senada dengan pemikirannya. Jika tidak, maka kaidah ini diabaikan. Dengan kata lain, kaidah nahwu atau balaghah akan digunakan 33 Menurut penjelasan para ahli kelautan seperti William W Hay, guru besar Ilmu Bumi di Universitas Colorado, Boulder, AS dan mantan dekan Sekolah Kelautan Rosentiel dan Sains Atmosfer di Universitas Miami, Florida AS, serta Prof Dorja Rao, seorang spesialis di Geologi Kelautan dan dosen di Universitas King Abdul-Aziz, Jeddah, air laut yang terletak di selat Gibraltar tersebut memiliki karakteristik yang berbeda, baik dari kadar garamnya, suhu maupun kerapatan air laut. 34 Ibid., hlm. 306.
Epistemologi Corak Tafsir Sufistik Lenni Lestari, S.Th.I, M.Hum
17
bila membenarkan atau menguatkan teori tasawwufnya. b. Al-Tafsir al-Sufi al-Isyari Al-tafsir al-sufi al-Isyari menurut al-Zahabi adalah menakwilkan ayat-ayat al-Quran yang berbeda dengan maknanya yang dzahir berdasarkan isyarat (petunjuk) khusus yang diterima oleh para ahli sufi.35 Tafsir model ini dinisbatkan kepada para pelaku sufi amali dimana mereka ketika menafsirkan al-Quran berdasarkan isyarat-isyarat Ilahi yang diilhamkan Allah swt kepada hambanya berupa instuisi mistik dengan memberi pemahaman dan realisasi makna ayat-ayat al-Quran.36 Dengan kata lain, tafsir isyari ini merupakan usaha menta’wil ayat-ayat al-Quran berbeda dari makna lahirnya menurut isyarat-isyarat rahasia yang ditangkap oleh para pelaku suluk atau ahli ilmu, dan maknanya dapat disesuaikan dengan kehendak makna lahir dari ayat al-Quran. Lahir batin merupakan konsep yang dipergunakan kaum sufi untuk melandasi pemikirannya dalam menafsirkan alQuran khususnya dan melihat dunia umumnya. Pola sistem berpikir mereka adalah berangkat dari yang dzahir menuju yang bathin. Bagi mereka bathin adalah sumber pengetahuan sedangkan dzahir teks adalah penyinar. Rujukan yang mereka pakai adalah pernyataan yang selalu dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib, bahwa setiap ayat al-Quran memiliki empat makna: zahir, batin, had, dan matla’. Al-Ghazali sendiri menegaskan bahwa selain yang dzahir, al-Quran memiliki makna batin. Abdullah (al-Muhasibi) dan Ibn al-‘Arabi memberikan penjelasan pernyataan tersebut, bahwa yang dimaksud dengan zahir adalah ba35 Ibid., hlm. 308. Lihat juga dalam kitab Arsyif Multaqa Ahli al-Tafsir (tanpa pengarang). Jilid I. (T.Tp. T. Th), hlm. 1634. 36 Definisi ini diperketat lagi dengan beberapa kata oleh Khalid Abdurrahman al-‘Ak yaitu: penakwilan ayat-ayat al-Quran yang berbeda dengan zahirnya yang tampak dari teks itu dengan panduan isyarat-isyarat tersembunyi (rahasia) yang dihasilkan oleh orang-orang yang berilmu dan sufi/salik (menuju Allah) dan memungkinkan untuk dikompromikan antara makna isyarat dengan makna lahir (tekstual) dengan salah satu cara dari beberapa cara yang dibenarkan syariat. Al-‘Ak. Ushul al-Tafsir wa Qawa’iduhu. (Damaskus: Dar al-Nafais. 1986), hlm. 205. Sebagaimana dikutip Abbas Arfan Baraja. Ayat-ayat Kauniyah, Analisis Kitab Tafsir Isyari (Sufi) Imam al-Qusyairi….hlm. 57-58.
18
Jurnal Syahadah Vol. 2, No. 1, April 2014
caan dan yang batin adalah takwilnya. Sementara Abu Abdurrahman mengatakan bahwa yang dimaksud dengan zahir adalah bacaannya, sementara yang batin adalah pemahamannya.37 Baik makna zahir ataupun makna batin pada al-Quran, adalah dari Allah. Zahir adalah turunnya (tanzil) al-Quran dari Allah kepada para Nabi dengan bahasa umatnya, sedangkan batin adalah pemahaman di hati sebagian orang mukmin yang berasal dari Allah. Oleh karena itu, dualism lahir-batin dalam wacana al-Quran, pemahaman dan penakwilannya tidak dikembalikan kepada manusia, melainkan kepada Allah. Yang zahir adalah yang bisa diindra (al-Surah al-Hissiyah) dan yang batin adalah al-Ruh al-Ma’nawi.38 Khalid Abdurrahman al-‘Ak membagi tafsir isyari berdasarkan isyaratnya dalam dua bagian, yaitu: pertama, isyarat khafiyah (indikasi yang tersembunyi) dimana yang memperolehnya hanyalah ahli taqwa dan ulama di dalam membaca al-Quran, kemudian mendapat intuisi-intuisi mistik yang bermakna. Kedua, isyarat jaliyah (indikasi jelas) yang dikandung ayat-ayat kauniyah di dalam al-Quran yang mengisyaratkan dengan jelas adanya ilmu-ilmu seperti era modern.39 Dalam fenomena tafsir isyari terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama membolehkan karena itu sebagai tanda keteguhan iman dan sebagai pengetahuan yang murni serta kontrobusi yang positif, sementara sebagian lainnya mengharamkan karena dianggap menyimpang dari ajaran Allah swt. Al-Zahabi menetapkan beberapa syarat diterima tafsir isyari, yaitu: 1) Penafsirannya sesuai dengan makna lahir yang ditetapkan dalam bahasa Arab. Sekiranya sesuai maksud bahasanya, maka tidak berusaha melebih-lebihkan makna lahir. 2) Harus ada bukti syar’i yang bisa menguatkan. 37 Al-Jabiri. Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi. (Beirut: Markaz al-Dirasah al-Wah{dat al‘Arabiyah. 1990), hlm. 277. Sebagaimana dikutip oleh Asep Nurdin, Karakteristik Tafsir Sufi, hlm. 154.
اب ِ اب َب ٌ َور لَهُ ب ُ ب بَ ْينَ ُه ْم ِب َ فَض ُِر ُ َالرحْ َمةُ َو َظا ِه ُرهُ ِم ْن قِبَ ِل ِه ا ْلعَذ َّ اطنُهُ فِي ِه ٍ س َ اب ِ اب َب ٌ وردَ لَ َرهُببَ ِه ُ ُب َوبَ ْي َخنَي ُه ٌْر ْم َل ِبه َ ض ُِرَف ُه ُ َالرحْ َمةُ َو َظا ِه ُرهُ ِم ْن قِبَ ِل ِه ا ْلعَذ َّ اطنُهُ فِي ِه س ِع ٍْن ِ ذَ ِلكَ َو َم ْن يُ َع ِظ ْم ُح ُر َما َّ ت ف ِاَّلل ِ Corak التصوف Epistemologi Tafsir Sufistik 19 َ َ َ ْ َ ف ُه َو خي ٌْر لهُ ِعندَ َربِ ِهLenni ِلكَ َو َم ْنM.Hum ذ ِ ماLestari, َّ ت ِاَّلل َ يُعَ ِظ ْم ُح ُرS.Th.I, صوف syar’i ْن ِ َريَْح ْلب ا 3) Tidak menimbulkan kontradiksi, baiksecara maupun ‘aqli. ا ْلبَحْ َري ِْن يَ ْلت َ ِق َيان 4) Harus mengakuiاب ُالرحْ َمة َن قِبَ ِل ِه ا ْلعَذlahirnya ْ َو َظا ِه ُرهُ ِمayat ُاط ُنه فِي ِهtidak ِ اب َب َور َلهُ ب ٌ menjadiُ ب بَ ْي َن ُه ْم ِ ِب َ َفض ُِر ُ makna َّ dan ٍ س kan makna batin sebagai satu-satunya makna yang berlaku ْ ان ِ يَلت َ ِق َي ْالنفس الحيوانية sehingga menafikan makna lahir.40اَّللِ فَ ُه َو َخي ٌْر لَهُ ِع ْندَ َربِ ِه ِ ذَ ِلكَ َو َمن يُعَ ِظ ْم ُح ُر َما َّ ت Adapun contoh tafsir isyari yang dapatالنفس diterima adalah الحيوانية ان ِ الَّ َي ْب ِغ َي penafsiran al-Tustari terhadap QS. A-Baqarah: 22, ان ِ َالَّ يَ ْب ِغي ا ْلبَحْ َري ِْن kamu mengadakan sekutu-sekutu “…Karena itu janganlah bagi Allah, padaأَ ْندَادًا hal kamu Mengetahui.” ان ِ يَ ْلت َ ِق َي Al-Tustari mengatakan bahwa makna ( ) أَ ْندَادًاadalah laالنفس الحيوانية Jadi, maksud “andaadan” wan. Maksudnya adalah nafsuamarah. adalah bukan hanya patung-patung, setan, tetapi nafsu amarah ِ َالَّ يَ ْب ِغي yang sering dijadikanبالموت manusia Tuhannya, ia انفنعى السورةsebagai وسلم في هذه هللا عليهsehingga رسول هللا صلى terkadang lebih cenderung mengikuti nafsu amarahnya dibandهذه السورة وسلم في عليه صلى هللا هللارسول jangan sampai فنعى diper ingبالموت Tuhannya. Dengan kata lain, manusia 41 budak oleh nafsu amarahnya. Tafsir isyari telah ada sejak masa sahabat. Salah satu conأَ ْندَادًا tohnya adalah penafsiran Ibnu Abbas terhadap QS. Al-Nasr: 1, “Apabila Telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.”
فنعى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم في هذه السورة بالموت Diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibn ‘Abbas bahwa suatu hari Umar mengajak Ibn ‘Abbas bertemu dengan para sahabat Umar bertanya kepada para sa senior perang Badar, kemudian habat, “Apa penafsiran kalian tentang ayat di atas?”. Kemudian sahabat menjawab, “Kita diwajibkan untuk memuji Allah dan memohon ampun kepada-Nya jika kita mendapat pertolongan dan kemenangan”. Lalu Umar bertanya kepada Ibn ‘Abbas, “Apakah seperti itu penafsiranmu?”. Ia menjawab, “Tidak, itu ajal Rasulullah yang disampaikan Allah kepadanya.” Umar ber-
38 Ibid., hlm. 298.
40 Muhammad Husain al-Dzahabi. Al-Tafsir wa al-Mufassirun…, hlm. 330.
39 Ibid., hlm. 58.
41 Al-Tustari. Tafsir al-Tustari. Jilid I. (T. Tp, T.Th), hlm. 8.
ا ْلبَحْ َري ِْن ان ِ يَ ْلت َ ِق َي 20
Jurnal Syahadah
Epistemologi Corak Tafsir Sufistik
Vol. 2, No. 1, April 2014
kata, “Saya tidak tahu tentang ini kecuali dari anda.”42 Sahabat lainnya tidak paham tentang makna batin ayat tersebut, tetapi Umar dan Ibn ‘Abbas sudah paham melalui metode isyarah.43 Melalui penjelasan dan beberapa contoh di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sumber penafsiran Al-tafsir al-sufi al-Isyari adalah intuisi. Adapun metode dalam mensajikan komentar tafsirnya menggunakan metode tahlili. c. Perbedaan Al-tafsir sufi nazari dan Al-tafsir al-Sufi al-Isyari Menurut al-Zahabi, ada dua aspek perbedaan antara Altafsir sufi nazari dan Al-tafsir al-Sufi al-Isyari, yaitu: التصوف 1) Al-tafsir sufi nazari diawali dengan premis-premis yang ada di صوف dalam diri seorang sufi yang kemudian dituangkan dalam penafsiran al-Quran. Sedangkan Al-tafsir al-sufi al-Isyari tidak ilmiah terlebih dahulu, berlandaskan premis-premis akan tetapi berdasarkan riyadah ruhiyah (olah jiwa) yang dilakuَ الرحْ َمةُ َو اب ٌ ور لَهُ ب ُ ب بَ ْينَ ُه ْم ِب َ َفض ُِر ُ َظاه ُِرهُ مِ ْن قِبَ ِل ِه ا ْلعَذ َّ َاب بَاطِ نُهُ فِي ِه ٍ س kan oleh seorang ahli sufi terhadap dirinya hingga mencapai َ ( َُوpetunjuk) ُخي ٌْر لَه اَّللِ فَه ذَ ِلكَ َو َم ْن يُ َع ِظ ْم عِ ْندَ َر ِبisyarat ِ حُ ُر َماkesucian. َّ ت tingkatan terungkapnya ِهtabir 2) Ahli sufi dalam Al-tafsir sufi nazari berpendapat bahwa ayatmempunyai makna tertentu dan penafsirnya ayat al-Quran sebagai pembawa makna. Sedangkan Al-tafsir al-sufi al-Isyari ْن ْا ْلبَح ِ َريartisebaliknya yaitu ada makna lain yang dikandung ayat, nya ayat al-Quran memiliki makna dzahir dan juga makna َان ِ يَ ْلت َ ِقي 44 batin. النفس الحيوانية 3. Kekurangan Tafsir Sufistik َان Tafsir sufistik termasuk dalam periode abad pertengahan, ِ الَّ يَبْغِ ي maka dari itu karakteristiknya juga mengikuti penafsiran pada lebih oleh kepentingan-ke abad pertengahan yang didominasi pentingan politik, mazhab, atau ideologi keilmuan tertentu. Seأ َ ْندَادًا belum menafsirkan al-Quran, seorang mufassir sudah diselimuti 42 Pada bagian akhir tafsir ayat di atas, Ibn ‘Abbas berkomentar: فنعى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم في هذه السورة بالموت
Maksudnya adalah bahwa Rasulullah hendak menyampaikan tentang wafatnya al-Miqbas Tafsir Ibn ‘Abbas. Jilid II. (T. beliau. Lihat Ibn ‘Abbas. Tanwir min Tp, T. Th), hlm. 162.
Lenni Lestari, S.Th.I, M.Hum
الحيوانية النفس 21 ان ِ َالَّ يَ ْب ِغي
“jaket ideologi” tertentu. Akibatnya terjadi pemaksaan dalam penafsirannya. Kekurangan penafsiran periode pertengahan adalah: أَ ْندَادًا a. Pemaksaan gagasan eksternal (al-takalluf fi al-idkhal al-anashir kharijal al-Quran fi al-tafsir) yaitu terjebak dalam arus menon penafsiran Ibn ‘Arabi jolkan kepentingan, sebagai contoh yang menafsirkan di bawah bayang-bayang teori wahdatu alwujud.45 Sebagai contoh ketika Ibnهذه ‘Arabi menafsirkan بالموت السورة وسلم في صلى هللا عليهQS. فنعى رسول هللا Al-Muzammil:8,
“Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh
ketekunan.”
Ibnu ‘Arabi menafsirkan dengan komentar “Ingatlah nama Tuhanmu, yang dia adalah kamu sendiri”. b. Berbasis ideologis, yaitu ada kecenderungan cara berfikir yang berbasis pada ideologi mazhab atau sekte keagamaan atau keilmuan tertentu. Penyebab terjadinya hal ini, diantaranya karena tendensi yang buruk dari sebagian pemalsu riwayat, yang kemudian dinisbatkan kepada Nabi atau sahabat untuk melegitimasi tendensi buruk mereka, terlalu berpegang pada pengertian atau makna lughawi tanpa memperhatikan wacana dan konteks kalimat, dan juga -atau- adanya relasi kuasa yang mengintervensi penafsiran dan mem-back up legitimasi kekuasaan. c. Bersifat repetitif. Sekarang penafsiran mengikuti metode mushafi, sehingga adanya penjelasan berulang bagi ayat-ayat yang memiliki semangat yang sama. d. Bersifat parsial, yaitu uraiannya sepotong-potong, tidak komplit, sehingga informasinya ada yang minim ketika hendak mengkaji tema-tema tertentu.46 e. Penulis menambahkan satu kekurangan lain yang sering ditujukan bagi tafsir sufistik. Di sini penulis mengutip pendapat yang diungkapkan oleh Subhi al-Salih dalam karyanya Mabahis fi ‘Ulum al-Quran. Ia mengatakan bahwa tafsir seperti ini
43 Ibid,. hlm. 310-311
45 Muhammad Husain al-Dzahabi. Al-Tafsir wa al-Mufassirun…, hlm. 351.
44 Ibid,. hlm. 308.
46 Abdul Mustaqim. Dinamika Sejarah Tafsir al-Quran…. hlm. 99-112.
22
Jurnal Syahadah Vol. 2, No. 1, April 2014
biasanya menghasilkan tafsir yang rancu dan bertentangan dengan ushul syari’ah dan kaidah bahasa.47 Pada dasarnya, empat kekurangan pertama di atas merupakan kekurangan yang juga didapatkan pada corak tafsir lainnya, seperti tafsir ‘ilmi, tafsir falsafi, tafsir fiqhi, dan lain sebagai nya. Hal ini karena tafsir yang memiliki corak-corak tertentu mulai muncul pada periode abad pertengahan dan kekurangan di atas merupakan hal-hal yang umum terjadi dalam kitab-kitab tafsir pada masa itu. 4. Tafsir Sufistik: Tinjauan Epistemologi Setelah membahas ketegorisasi tafsir tasawuf, maka dapat dilakukan pemetaan berdasarkan tinjauan epistemologinya. Sumber pengetahuan tafsir sufistik adalah intuisi48 dan teori filsafat. Intuisi diperoleh dari kasyf (penyingkapan) dan mujahadah yang telah mencapai ahwal (pengalaman spiritual karena kesungguhan dalam beribadah). Sumber ini digunakan oleh aliran tafsir al-sufi al-Isyari. Sedangkan sumber pengetahuan tafsir sufistik lainnya adalah teori-teori filsafat. Teori ini diperoleh dari metode ta’wil nazari49 yang dipadukan dengan dasar keilmuan ahli sufi yang mencari teori-teori mistik untuk mempromosikan kelompok atau mazhab tertentu. Sumber pengetahuan 47 Subhi al-Salih. Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an..., hlm. 297. 48 Intuisi adalah pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui penalaran tertentu. Asumsinya adalah bahwa dalam benak kita terdapt kekuatan bawah sadar yang menyerap banyak sekali informasi dan data dari indra kita dan dengan tepat membentuk situasi, memecahkan masalah, dan seterusnya tanpa memerlukan pemikiran yang kaku dan formal. Lihat Nuroni Soyomukti. Pengantar Filsafat Umum. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2011), hlm. 160. 49 Penulis sepakat dengan pembagian ta’wil yang ditawarkan Syahrur, yaitu ta’wil hissi (ta’wil indrawi/empiris) dan ta’wil nazari (ta’wil teoritis). Ta’wil hissi (ta’wil indrawi/empiris) adalah menakwilkan ayat-ayat al-Quran sesuai dengan realitas kebenaran objektif. Sedangkan ta’wil nazari (ta’wil teoritis) adalah ta’wil yang dilakukan dengan melakukan penelitian (istiqra’) dan penyimpulan (istintaj) dengan cara merumuskan teori-teori filsafat dan teori ilmiah dari ayat-ayat alQuran. Model kedua bersifat deduktif, dalam arti berangkat dari teks menuju realitas. Muhammad Syahrur. Al-Kitab wa al-Quran, hlm. 60. Sebagaimana dikutip oleh Abdul Mustaqim. Epistemologi Tafsir Kontemporer. (Yogyakarta: LKiS. 2010), hlm. 213-214.
Epistemologi Corak Tafsir Sufistik Lenni Lestari, S.Th.I, M.Hum
23
ini digunakan dalam Al-tafsir sufi nazari. Dilihat dari metode penafsiran, tafsir corak sufi termasuk dalam metode tahlili yaitu menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dari seluruh aspeknya dengan mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang tersusun di dalam mushaf. Akan tetapi dalam tafsir al-Tustari, ada banyak ayat yang tidak ditafsirkan, baik secara lughawi maupun aspek lainnya. Begitu juga halnya dalam tafsir al-Qusyairi. Maka dari itu, menurut penulis, tafsir corak sufi tidak memenuhi syarat metode tahlili secara utuh. Atau, dapat dikatakan tafsir corak sufi menggunakan metode semi-tahlili. Kuatnya pengaruh idelogi mufassir dalam corak tafsir sufi ini, berimplikasi pada validitas kebenarannya yang berdasarkan siapa penguasa pada zaman itu. Hal ini seperti dikatakan oleh Hassan Hanafi, “The validity of an interpretation lies in its power.”50 Selain itu juga berdasarkan keilmuan dan mazhab mufassirnya. 5. Bagaimana Ahli Sufi Menafsirkan Ayat-ayat di Luar Tataran Tasawuf ? Sebelum membahas lebih lanjut mengenai penafsiran ayat-ayat di luar tataran tasawuf, kiranya perlu diketengahkan terlebih dahulu tentang apakah tafsir sufistik menafsirkan seluruh ayat-ayat al-Quran dalam kerangka berfikir tasawuf?. Mengenai hal ini, penulis melakukan pembacaan sekilas pada tafsir al-Tustari dan al-Qusyairi. Dari pembacaan ini, penulis menemukan bahwa tidak semua ayat-ayat al-Quran ditafsirkan oleh mufassirnya. Ada beberapa ayat yang diloncati dan tanpa alasan. Sebagai contoh dapat dilihat dalam tafsir al-Qusyairi yang tidak memberikan penafsirannya sebanyak 9 ayat dalam surat al-Zariyat, yaitu dari ayat 39-47.51 Pada tafsir al-Tustari penulis menemukan sebanyak 16 ayat dalam surat al-Baqarah, yaitu dari ayat 6-21.52 50 Hassan Hanafi. Method of Thematic Interpretation. Hlm. 197. Sebagaimana dikutip oleh Abdul Mustaqim. Epistemologi Tafsir Kontemporer, hlm. 50. 51 ‘Abdul Karim bin Hawazin bin ‘Abd al-Mulk al-Qusyairi. Lataif al-Isyarat. Jilid VII. (T. Tp, T. Th), hlm. 310. 52 Abu Muhammad Sahl bin ‘Abd Allah bin Yunus bin Rafi’ al-Tustari. Tafsir alTustari. Jilid I. (T. Tp, T. Th), hlm. 7.
24
Jurnal Syahadah
Epistemologi Corak Tafsir Sufistik
Vol. 2, No. 1, April 2014
Dari pembacaan –sekilas- ini, penulis menemukan bahwa tidak semua ayat-ayat al-Quran ditafsirkan oleh mufassirnya dalam nuansa tasawuf. Fenomena ini memberikan dua kemungkinan, pertama, ayat-ayat yang diloncati tampaknya sulit bila ditafsirkan dalam kerangka tasawuf, dan kedua, ada sebagian naskah atau teks yang hilang dan belum ditemukan oleh muhaqqiq. Selanjutnya adalah tentang isu yang menyatakan bahwa para sufi menolak hukum fiqh atau syariah seperti shalat, puasa, zakat dan sebagainya. Hal ini karena mereka lebih menekankan pada aspek hakikat bukan syariat. Oleh karena itu, perlu diketengahkan bagaimana sejarah tasawuf menanggapi isu ini. Dalam sejarah tasawuf, pada sekitar abad ke-14 telah terjadi pergulatan yang tajam antara ahli hakikat yang diperankan oleh para ahli tasawuf dan ahli syariah yang dimainkan oleh para fuqaha. Tetapi setelah itu al-Ghazali berusaha menyatukan kembali dengan menulis berbagai kitab, terutama kitabnya yang terkenal Ihya’ Ulum al-Din. Al-Ghazali sebagai seorang yang dulunya seorang filosof berpendapat bahwa dalam Islam antara syariah dan hakikat tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa hanya mengambil salah satu dari keduanya.53 Ulama sufi –dalam hal ini terutama Ibn ‘Arabi- selalu mengambil makna lebih dari sebuah perintah hukum atau syariat. Ayat-ayat tentang perintah shalat, zakat, dan lainnya tetap diterima sebagaimana ahli fuqaha. Yang berbeda adalah ahli sufi tidak hanya sebatas mengetahui hal itu wajib atau tidak, tetapi menelusuri apa hikmah-hikmahnya. Kelebihan inilah yang jarang dilakukan oleh ahli fuqaha. Ada beberapa contoh penafsiran ahli sufi terhadap ayatayat hukum, diantaranya: a. Ayat-ayat tentang kewajiban menutup aurat. Ibn ‘Arabi dalam karyanya al-Futuhat al-Makkiyah -sebagaimana dikutip oleh Ignaz Goldziher- mengatakan bahwa secara syariah menutup aurat adalah kewajiban, tetapi tidak lepas dari makna batin yaitu kewajiban bagi orang berakal untuk menutup rahasia Tuhan. Hukum yang mengatur tidak bolehnya seorang wanita tanpa tutup 53 Ali Yafie. Syariah, Thariqah, Haqiqah, dan Ma’rifah.., hlm. 184. Dikutip oleh Asep Nurdin, Karakteristik Tafsir Sufi…, hlm. 157.
Lenni Lestari, S.Th.I, M.Hum
25
kepala dalam melaksanakan shalat ditafsirkan sebagai berikut; “seorang wanita i’tibar-nya54 adalah jiwa dan kepala adalah lambang dari kepemimpinan. Maka wajib bagi jiwa untuk menutup kepalanya atau menutup kepemimpinannya di hadapan Tuhan sebagai tanda kepatuhannya kepada Allah, serta membuang setiap pemikiran congkak dan takabbur, kemudian menggantinya dengan kerendahan dan ketundukan”.55 b. Zakat dari aspek bahasa dan asal katanya mempunyai makna kesucian, maka Ibnu ‘Arabi menafsirkan melalui jalan simbolik dan isyarat penentuan syara’ pada delapan golongan yang wajib diberi zakat (mustahiq al-zakah). Berikutnya dia memahami zakat dengan makna penyucian akhlak pada delapan anggota tubuh. Adapun shadaqah sunnah ditafsirkan dengan meratakan penyucian pada seluruh badan.56 c. Sebelum Ibnu ‘Arabi, filosof Ibnu Sina telah menjelaskan konsep yang serupa dalam kajiannya tentang esensi shalat, yang ia sebut sebagai “ibadah ruhani”. Pada saat shalat fisik –yang dikerjakan dengan anggota tubuh dalam bentuk formalistic sekaligus waktu yang telah ditentukan- berbanding lurus dengan tingkatantingkatan jiwa yang rendah, yang membedakan manusia dengan hewan. Hal ini karena shalat merupakan media pembersihan jiwa manusia dari godaan syeitan dan syahwat serta melepaskan diri dari tujuan-tujuan duniawi.57 54 I’tibar (mengambil pelajaran) maksudnya adalah mengambil ruh maknawi yang bersemayam dalam bentuk dzahir. Ibnu ‘Arabi menerapkan metode ini dalam memaknai bentuk-bentuk legislasi dalam Islam. Sebenarnya Ibnu ‘Arabi mempunyai keinginan untuk menghimpun pandangan-pandangan ini dalam sebuah kitab khusus yang memuat kajian ilmu Fiqh ala Ibnu ‘Arabi, tetapi cita-citanya ini tidak terealisasi. Namun ia telah mengajukan beberapa contoh yang representatif tentang hal itu dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyah. Dikutip dari Ignaz Goldziher. Mazhab Tafsir…, hlm. 293. 55 Ibn ‘Arabi. Al-Futuhat al-Makkiyah. Jilid I. hlm. 407. Sebagaimana dikutip oleh Ignaz Goldziher. Mazhab Tafsir…, hlm. 294-295. 56 Al-Ghazali juga tidak merasa puas dengan apa yang dicapai oleh para ulam fiqh yang memahami legislasi dengan pemahaman zahir. Menurutnya ahli fiqh lupa dan hanya menghadap ke dunia. Al-Ghazali. Ihya’, Jilid I, hlm. 226. Dikutip oleh Ignaz Goldziher. Mazhab Tafsir, hlm. 298.
57
Traites Mystiques D’ Avicene. Ed. Mehern. (Leiden.
26
Jurnal Syahadah Vol. 2, No. 1, April 2014
Dari beberapa contoh di atas, dapat diketahui bahwa tidak semua ayat-ayat yang berada di luar tataran tasawuf ditinggalkan oleh mufassir corak sufistik. Melainkan ada beberapa ayat yang memang sengaja “dibawa” ke arah tasawuf, meski terkesan agak dipaksakan. Akan tetapi, menurut penulis, selama hal itu tidak menyimpang, maka sah-sah saja bila ayat nuansa apapun ditafsirkan dalam corak sufistik.
C. Kesimpulan dan Penutup Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal terkait tafsir sufistik, diantaranya: 1. Corak tafsir sufi terbagi menjadi dua, yaitu al-tafsir sufi nazari dan al-tafsir al-sufi al-Isyari. Al-tafsir sufi nazari adalah tafsir yang berpegang pada metode simbolis yang tidak berhenti hanya pada aspek kebahasaan saja. Sedangkan Al-tafsir al-sufi al-Isyari menurut al-Zahabi adalah mentakwilkan ayat-ayat al-Quran yang berbeda dengan maknanya yang dzahir berdasarkan isyarat (petunjuk) khusus yang diterima oleh para ahli sufi. 2. Sumber penafsiran corak tafsir sufi adalah intuisi dan filsafat. Pendekatan yang digunakan adalah takwil. Metode yang digunakan adalah tahlili. Sedangkan validitas penafsiran cenderung pada penguasa yang ada saat itu dan teori keilmuan mufassir. 3. Ada dua aspek perbedaan antara Al-tafsir sufi nazari dan Al-tafsir al-Sufi al-Isyari, yaitu: a. Al-tafsir sufi nazari diawali dengan premis-premis yang ada di dalam diri seorang sufi yang kemudian dituangkan dalam penafsiran al-Quran. Sedangkan Al-tafsir al-sufi al-Isyari tidak berlandaskan premis-premis ilmiah terlebih dahulu, akan tetapi berdasarkan riyadah ruhiyah (olah jiwa) yang dilakukan oleh seorang ahli sufi terhadap dirinya hingga mencapai tingkatan terungkapnya tabir isyarat (petunjuk) kesucian. b. Ahli sufi dalam Al-tafsir sufi nazari berpendapat bahwa ayatayat al-Quran mempunyai makna tertentu dan penafsirnya sebagai pembawa makna. Sedangkan Al-tafsir al-sufi al-Isyari 1894), hlm. 28-43. Sebagaimana dikutip oleh Ignaz Goldziher. Mazhab Tafsir..., hlm. 302-303.
Epistemologi Corak Tafsir Sufistik Lenni Lestari, S.Th.I, M.Hum
27
sebaliknya yaitu ada makna lain yang dikandung ayat, artinya ayat al-Quran memiliki makna dzahir dan juga makna batin. 4. Tidak semua ayat-ayat al-Quran ditafsirkan oleh mufassirnya dalam nuansa tasawuf. Demikianlah pemaparan mengenai tafsir sufistik. Meskipun banyak kekurangan di sana-sini, namun penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat. Kritik dan saran konstruktif sangat penulis harapkan demi perbaikan selanjutnya.
Daftar Pustaka Arif, Syamsuddin. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema Insani. 2008. Arsyif Multaqa Ahli al-Tafsir (tanpa pengarang). Jilid I. T.Tp. T. Th. Baraja, Abbas Arfan. Ayat-ayat Kauniyah, Analisis Kitab Tafsir Isyari (Sufi) Imam al-Qusyairi Terhadap Beberapa Ayat Kauniyah Dalam Al-Quran. Malang: UIN-Malang Press. 2009. Goldziher, Ignaz. Mazhab Tafsir, Dari Klasik Hingga Modern, (penerj. M. Alaika Salamullah). Yogyakarta: eLSAQ Press. 2010. Mustaqim, Abdul. Ruh al-Ma’ani Karya al-Alusi, dalam buku Studi Kitab Tafsir. Yogyakarta: TERAS. 2004. __________. Dinamika Sejarah Tafsir al-Quran. Studi Aliran-aliran Dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer. Yogyakarta: Adab Press. 2012. _________. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKiS. 2010. Nurdin, Asep. Karakteristik Tafsir Sufi: Telaah Atas Metodologi Penafsiran al-Quran Ulama Sufi, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Quran dan Hadis, Vol. 3, No. 2, Januari 2003. Al-Qattan, Manna’ Khalil. Studi-studi Ilmu Al-Quran. Terj. Mudzakir. AS. Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa. 2007. Al-Salih, Subhi. Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar al-‘Ilmi alMalayiyn. 1988. Shihab, Alwi. Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi, Akar Tasawuf Di Indonesia. Depok: Pustaka Iman. 2009. Soyomukti, Nuroni. Pengantar Filsafat Umum. Yogyakarta: Ar-Ruzz
28
Jurnal Syahadah Vol. 2, No. 1, April 2014
Media. 2011. Al-Taftazani, Abu Al-Wafa’. Al-Madkhal ila al-Tas}awwuf al-Islami, cet. II. Kairo: Dar al-Saqafah wa al-Tiba’ah wa al-Nasyr. 1976. UIN Sunan Kalijaga. Akhlak Tasawuf. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga. 2005. Al-Zahabi, Muhammad Husain. Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid. II. Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah. 1961.
CORAK TEOLOGIS-FILOSOFIS DALAM PENAFSIRAN ALQUR’AN Ridhoul Wahidi, MA dan Amaruddin Asra, MA Abstrak This paper examines one mode of interpretation of the theologicalphilosophical style. Where the position of the interpreter in the theological-philosophical or later serve as the subject and the Qoran it self serve as the object of discussion, so that a trend/loaded with interests. The style of the theological-philosophical focus to discuss the themes of the theological-philosophical than forward messages that brought fundamental Qur’an.
Key Words: corak, teologis-falsafi, tafsir
A. Pendahuluan Al-Qur’an merupakan kitab suci yang menempati posisi sentral tidak hanya dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu ke islaman, namun juga sebagai inspirator, pemandu, dan pemadu gerakan umat Islam disepanjang abad kehidupan manusia. Al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad lengkap lafal dan maknanya, dirirwayatkan secara mutawatir yang member faedah untuk kepasstian dan keyakinan. Ayat-ayat al-Qur’an masih bersifat universal. Universalisme merupakan cirri yang paling menonjol dan khas dari al-Qur’an.1 olehkarenya ia menuntun umat Islam melakukan kajian dan studi atas kandungan isisnya atau yang sering disebut dengan tafsir. Visi utamanya dalah untuk berpegang erat pada tali yang kokoh dan mencapai kebahagiaan yang hakiki.2 Mengkaji al-Qur’an sesungguhnya dapat dilakukan dengan melihat obyeknya, mulai aspek kesejarahannya, kodifikasinya, qira’at, asbab nuzulnya sampai pada ranah penafsirannya. Kajian terhadap aspek penafsirannya nampaknya justru yang lebih mengalami perkembangan cukup siginifikan sejak 1 Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran (Yogyakarta: Pustaka, 2007), h. 54 2 Manna Khalil Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir As (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2004), h. 462