Indonesia Tanah Air ku Volume 2
sebuah kumpulan blog tentang sejarah perjalanan bangsa
januari 2016
catatan pengepul dokumen : sudah lama saya mencari tulisan-tulisan ES Ito yang terbenam di internet. akhirnya kumpulan tulisan tersebut berhasil direcover dari situs web-archive ( https://archive.org/ web/ ). pada volume ini, hanya tulisan dari ES Ito yang dikumpulkan karena memang sebagian besar isinya ttg sejarah-sejarah-sejarah dan sejarah. termasuk sekelumit kenakalan pelaku-pelakunya, sebab sejarah bukan hitam-putih, bukan pahlawan-penjahat. banyak sudut pandang menarik yang dia tawarkan. demikian dokumen ini dikepul/dikumpulkan/disunting secara cepat, semoga bermanfaat bagi pembaca.
cekungan bandung, 30 januari 2016 dodi maryanto subhan.
2
DAFTAR ISI Pertemuan (1)!
5
Pertemuan (2)!
13
Pertemuan (3)!
18
Catatan Seekor Hewan!
26
Yosefat!
29
Menang!
32
Tuan Goen Yang Tidak Lagi Mencatat di Pinggiran!
35
Sebatang Lisong Untuk Mas Willy!
37
107 Tahun Bung Hatta, Begini Inilah Kami Bung!!
39
Sepi!
42
Abu!
43
Pertemuan Ekstra!
45
Berakhirnya Hindia Belanda dan (Sekarang) Indonesia?!
53
Ultima Thule, (Seandainya) Batas Itu Tidak Pernah Terlewati! 56 Dan Aku Menulis….(Lagi)!
59
Si Polan dan Mimpinya !
60
Sukarno; 9 Cinta, 9 Revolusi!
63
Bola, Agama Tanpa Dogma!
66
Samba Belum Kuasa Mengajak Korut Menari!
68
Domenech, absolutisme Louis XVI!
70
Nasionalisme Berbatas Menang Kalah!
72
Meramal Piala Dunia Lewat Tragedi Nusantara!
74
Minangkabau : Masyarakat Komunis Pertama di Dunia!
78
Umar Bakrie (Setelah Reformasi) –menyambung Iwan Fals-!
84 3
Taruna Nusantara!
86
Mama Tweets!
90
Pramudita (1)!
93
Yudhoyokarta !
96
kalah!
98
Surat Untuk Firman!
99
Generasi Mawar!
101
Pramudita (2)!
103
RADIO!
106
Tanpa Nama!
109
Revolusi Lendir!
111
Single!
113
Mata Satu!
115
MALIN KUNDANG!
117
Di Ujung Aspal Sejarah Kita!
122
Sejarah
124
Sutan Sulaiman
126
Peristiwa Tiga Daerah
128
Soekarno dan Para Kolonel
130
Surat Satu
133
Surat Dua
134
4
Pertemuan (1) Posted on February 9, 2009 under Pertemuan http://itonesia.com/pertemuan-1/ Aku dan Jon ada janji ketemu pada saat peluncuran buku salah seorang kawan yang tengah mendaki tangga mencari ruang di loteng kekuasaan. Saking luasnya area peluncuran di sebuah toko buku terkemuka, aku sampai harus kesasar dua kali sebelum menemukan wajah kusut di antara kerumunan manusia yang berjubelan melihat seorang laki-laki mendaki tangga dan mencari ruang di loteng kekuasaan. Nah, akhirnya aku bertatap muka juga dengan Jon, bukan wajah yang enak dipandang. Tetapi sudahlah kami sudah berkawan sekarang, bukankah kita harus ikhlas memberikan kelebihan kita dan menerima kekurangan seorang kawan. Jadi dua wajah kusut di tengah kerumunan wewangian perempuan dan laki bertemu sudah. Hawa kami tidak cocok dalam area dimana demokrasi ditentukan oleh wangi tubuh ini. Maka sedikit menyingkirlah kami ke belakang. Mencari ruang di antara sekat imajiner, antara masyarakat kelas menengah ibukota dan kelas kambing kayak kami berdua ini. “Che, apa aku sudah bilang kepadamu kalau kiamat sudah dekat?”, Jon menatapku serius. Aku tertawa kecil (bukankah di tengah sekat imajiner ini tutur kata dan cara ketawa mesti dijaga). Dari dalam ransel Bodypack-ku nyaris aku keluarkan sebuah payung kecil, sebuah hadiah untuk Jon sebab, ini untuk yang ketujuh kalinya ia melemparkan kalimat yang sama. “Ya, karena Kiamat Sudah Dekat itu pula kan, si Naga Bonar berani berkoar kembali (dan jadi pejabat per-pilem-an pula)?’ , ini jawaban yang ku ulang untuk ketujuh kalinya pula (pastinya Jon juga lupa kalau ini jawaban yang sama. “Aku serius”, Bah, dia benar-benar tidak ingat rupanya sambil terus menyebutkan perhitungan angka dari sebuah buku yang ia baca, “kesimpulannya kiamat akan terjadi pada tahun 2015” “Yaa..dan, Jon, kau sudah tujuh kali melemparkan topik ini padaku dengan teori dan kutipan yang sama”, tidak tahan juga aku untuk men-skak-mat-nya. Aku heran kenapa selalu topik ini yang dia lempar. Bukankah lebih baik dia membicarakan hal lain, misalnya; apakah aku sudah cocok jadi tukang kesting untuk menyeleksi perempuan-perempuan wangi yang akan bermain di lakon yang ia ciptakan. “Tetapi kau belum tahu kan, Imam Mahdi dan Nabi Isa sudah turun ke bumi?”, matanya mencengkeram gerak bola mataku. Ah tapi percuma saja, ini juga teori yang sudah ketujuh kalinya. “Ya, Imam Mahdi-nejad dan Barack Isa Obama kan? Hei Jon, ini sudah ketujuh kalinya pula kau lemparkan aku sampah-sampah cenayang ini”, tidak tahan juga aku memburansang padanya. Aku harap dia berhenti bicara. Sambil kutepuk pundaknya, aku kasih sedikit tawaran menarik, “Nah Jon, bukankah lebih baik kita nongkrong di Batavia’s Planten en Dierenteuin alias Taman Isinya Mak-comblang, eh salah, maksudnya Taman Ismail Marzuki” “Ah tawaranmu untuk keluar dari wewangian ini menarik, ayuklah kalau begitu”, akhirnya muncul juga akal sehat dari kesurupan ala cenayang itu. Aku menarik napas lega. Hidung ini sudah tidak tahan dibekap wewangian kaum Anarcho-Terror-parfumisme. Tidak sanggup pula otak sederhana ini mencerna masa depan Indonesia yang mereka bicarakan dalam coretan kertas dalam sebuah buku yang telah diprospek akan jadi bestseller (Ah, penerbit memang punya seribu cara bikin buku laris…). Aku sudah akan melangkah keluar dari bangunan megah, istana ilmu 5
pengetahuan itu, tetapi teriakan Jon membekukaan gerak kaki dan ayunan tangan. “Che tunggu dulu!” “Kenapa Jon?” “Aku belum sembahyang Maghrib, aku tidak mau menyongsong kiamat minus amalan”, ia bersungguh-sungguh. “Bah..”, tertahan aku mengumpat, sejak kapan ia se-alim ini, tentunya semenjak ia membaca kitab cenayang kiamat ini. Tetapi baiklah, mungkin inilah sisi baik dari kegilaan dia akan kiamat itu, aku tentu tidak boleh melewatkan tawaran berhawa surga ini, …”baiklah kalau begitu..” Maka tidak jadilah mulut ini meneriaki tukang bajaj. Kami balik ke dalam bertanya pada Satpam, dimanakah Musholla dalam bengunan megah nan bernas ini? Jawab si Satpam, “Mas turun ke parkiran, belok kiri sedikit, lantas lurus, belok kiri lagi, lurus, lantas belok kanan; nah di ujung pantat bangunan ini mas bisa Sholat” Aku nyaris tidak percaya dengan ucapan tentara bayaran itu. Tetapi ketika kami berdua menuruni tangga, belok kiri sedikit (bertemu jejeran mobil), lantas lurus (bertemu dua perempuan wangi nan aduhai), belok kiri lagi (nyaris kami menabrak sebuah Range Rover), lurus (di depan ada gerbang parkiran motor), belok kanan (aku bertemu dua kawan dari Jamaah Tabligh, luar biasa mereka, berdakwah hingga sini). Nah tepat di pantat bangunan megah nan bernas, dikentutin oleh knalpot motor, berdiri merana Surau Kami. Logikanya mungkin begini, kalau ilmu sudah tinggi didapatkan dari istana buku, buat apalagi ikut seruan Nabi. Sudahlah, aku lihat Jon sudah mengambil wudlu lantas bersegera masuk Musholla, aku pun turut mengikut. Tetapi, Jon…, aku tidak menemukannya di dalam musholla…kemana pula dia ini, padahal aku ingin meng-imaminya biar tertib sedikit dia punya rukun sholat… “Che……”, terdengar sayup-sayup ada yang memanggil namaku. Seperti panggilan dari dalam kubur. Berdiri juga bulu kuduk awak ini. Tetapi itu suara Jon, secepat inikah ia menyongsong kiamat? “Jon, Antum dimana?”, tentu aku mesti pakai bahasa gaya anak Musholla waktu di kampus dulu, “Jon, ane sudah siap sholat, tapi belum siap untuk men-shalat-kan antum…” “Akhi…berjalanlah ke depan ikuti suara ane…”, wuuiihh,,si Jon rupanya juga bisa berbicara ala anak musholla (tidak cuma bisa logat Papua rupanya dia…) Dengan bulu kuduk dan bulu-bulu lainnya merinding, berjalanlah awak ini mengikuti petunjuk si Yahya (ternyata kalau di musholla Jon mesti berubah nama Arab). Tetapi kemana pun aku berjalan, tiap tiga langkah sudah dihentikan tembok. Tinggal mimbar kecil belum kusinggahi, sedikit ragu, aku bergerak mendekat. Dan sekonyongkonyong………..(musik pengiring film-film Alfred Hicthcock mulai mengalun….diikuti musik mencekam film G30S/PKI………)…aku terjerambab dalam sebuah lubang, tidak kelam tetapi temaram bercahaya. Samar aku melihat Jon tergelatak bagai katak tidak lagi bisa melompat. “Jon, dimana kita ini”, aku ingin memeluknya tetapi secepat kilat Jon mengibaskan tangan. “Terowongan bawah tanah goblok!”, kok di bawah tanah ini Jon cepat emosi ya. Telunjuknya mengarahkan mataku pada liang di depan kami, jauh ke depan hingga batas tidak terterangi cahaya. “Kita mesti cari tahu bagaimana cara kembali ke atas sana…”, aku merasa terjebak dalam petualangan tidak diinginkan. Aku ngeri membayangkan, sepanjang usia ini akan aku habiskan di dasar bumi ini. Aku tidak mungkin bisa bertemu I.Y.M-koe lagi, oh tidak bisa ini, aku harus mencari cara keluar. Mungkin tidak disini pintu keluarnya, mungkin beberapa mil jauhnya, disebuah tepi jurang terjal, di sela deburan ombak di antara cikalcikal kelapa yang menua. Entahlah dimana, aku harus keluar, untuk kehidupanku, untuk nyala dunia sastra Indonesia, untuk I.Y.M yang akan membrojolkan pahlawan-pahlawan 6
baru….”Jon, kita harus keluar..kita harus menemukan pintu keluar”, suaraku bergetar, tanda bahwa (mengutip Hemingway) manusia mungkin dihancurkan tetapi tidak akan bisa dikalahkan. “Eh tolol..”, Jon menjitak kepalaku, “itu liat di belakangmu, ada tangga buat naik ke atas, Cuma enam anak tangga sudah dikentuti lagi kau sama knalpot motor” Aku memutar kepala, Aih, bersemu merah muka ini. Benar saja, itu tangga jelas naik ke atas, wah semua ucapan kepahlawanan di atas jadi tidak berguna dong. Inilah kesilapanku yang nyata, lidah lebih cepat bersua kata daripada mata. Ganti topik ah, “Nah Jon, aku duga sudah ribuan orang pernah bersembayang di dekat mimbar itu, tetapi kenapa cuma kau yang terjerembab ke bawah sini?” “Karena aku percaya Kiamat Sudah Dekat, itu janji Tuhan yang sudah sangat nyata tidak bisa diingkari. Hanya hati yang suci memiliki nyala terang untuk menemukan tempat ini..”, Jon menjawab bersungguh-sungguh. “Bah, terjerembab di bawah tanah yang kayaknya mirip septic tank ini kau anggap karena hatimu yang bersih itu…beruntung sekali aku berkawan denganmu ini”, aku menertawakannya. “Che, kita tidak tahu ada apa di ujung sana..”, telunjuknya kembali mengarah pada ujung tidak bercahaya. “Mungkinkah itu petunjuk menuju harta karun VOC sebagaimana teori dari penulis muda yang beken itu, Jon?” “Entahlah, tetapi kalau dia minta aku jadi sutradara untuk film di bawah tanah sini, aku harus berpikir ulang lagi….” “Ah, lupakan pembual VOC sok beken misterius itu Jon, apa yang akan kita lakukan sekarang, balik ke atas atau bagaimana?” “Ha..Ha…Ha”, Jon tertawa kencang, nyaris aku menduganya kesurupan, “balik katamu, kau memang tidak ada nyali. Seharusnya kau bertanya, Jon, kau yang di depan atau aku untuk menelusuri terowongan bawah tanah ini…” “Baiklah Jon, kau bersabda, aku tidak menyanggah wahai pengikut Mahdi!” Maka berjalanlah awak berdua ini menelusuri ini terowongan duga-duga, Jon tentu saja di muka. Matanya mencacah tiap tanda dan petunjuk seolah dia Dubois dan Koningswald tengah mencari tengkorak manusia purba. Sebenarnya tidak ada apa-apa (jangan dibayangkan dengan serunya penelusuran bawah tanah Cathlyn Zwinckel dalam novel Rahasia Meede dari penulis beken itu). Tiap tetesan air (tentu saja dari rembesan puluhan kakus di atasnya) dianggap Jon sebagai pertanda keabadian. Maka bertingkah pula lah kami layaknya rombongan Alvar Nunez Cabeza de Vaca yang mencari mata air muda di bumi Amerika sana. Setelah berjalan cukup jauh, langkah kami terhenti…. “Sialaaaannn!, kita bukan yang pertama menelusuri liang ini”, Jon berteriak kecewa. Kami menemukan coretan kata di dinding. Norak sekali, khas coretan anak muda ingusan pinggiran ibukota yang dilanda wabah cinta monyet… CA & SA FOREVER! SA & CA FOREVER FOREVER SA & CA FOREVER CA & CA & CA SA FOREVER Begitulah coretan dinding itu terus berulang sepanjang rongga yang kami telusuri. Jon sudah akan membalikkan badan kembali menuju musholla yang dikentutin, tetapi cengkeraman tanganku di pundaknya menghentikan langkah. “Jon, tunggu, sayup aku mendengar suara dan cekikikan kecil..”, keingintahuan yang besar (sebagaimana tiga peneliti Belanda dalam Rahasia Meede, dari penulis beken itu lagi…) telah merundukkan bulu kudukku yang tadi berdiri. Spontan kami berjalan mengikuti sumber suara. Tidak jauh, kami kaget dan kecewa. Sesosok bajingan bergaya 7
punk dengan rambut ereksi tengah mencorat-coret dinding dengan kata-kata yang sama dengan yang kami baca sepanjang liang. “Eh rambut konak, ngapain kau disini”, teriak Jon padanya. Amarahnya benar-benar memuncak mengetahui kenyataan bahkan si rambut ereksi ini pun bisa kemari, bukan cuma pengikut Mahdi layaknya dia. “aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu; tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang”, si rambut ereksi menjawab dengan kalimat yang kami tidak mengerti. Tetapi benar, tangannya bergerak lantang, hasilnya adalah coretan-coretan tidak penting itu. Sepertinya anak itu sudah kehilangan akal sehat, menarik sekali, tidak setiap hari ketemu orang gila di tempat seperti ini. Maka aku mengulurkan tangan padanya. “Kenalkan, namaku Che dan ini kawanku Jon. Dan engkau sendiri punya nama siapa?”, baru kali ini aku mengobral kesopanan pada manusia jenis rambut ereksi ini. “Aku ini binatang jalang….”, ia menatap mataku dalam, jantung ini berdegup kencang, ada kerinduan sangat yang terpendam (percaya deh I.Y.M, ini bukan perasaan yang sama dengan jabat tangan kita) “Dari….?”, Jon ikut terpana “Kumpulannya terbuang…..”, ia lantang menjawab.. “Bah, kau mengaku Chairil Anwar rupanya”, berbarengan aku dan Jon mengumpatinya. Bagaimana mungkin mayat Chairil yang agung itu bisa bereinkarnasi jadi si rambut jingkrak ereksi ini. Kami pun tertawa berbarengan, lepas sudah semua ketegangan mendapati si rambut jingkrak mengaku Chairil Anwar, “nah, bagaimana kau bisa hidup lagi?” “Aku tidak lebih perduli, aku ingin hidup seribu tahun lagi”, ucapnya tanpa mempedulikan tawa kami. Aku dan Jon saling pandang, lantas keluar lagilah tawa kami menyiangi terowongan. Dipikir-pikir pintar juga si rambut ereksi ini, dari tadi ia jawab pertanyaan kami dengan puisi dari Chairil Anwar. Pertama dari Yang Terempas Dan Yang putus, lantas dari “Aku”. Aih tunggu dulu, bukankah CA & SA itu artinya…..Chairil Anwar & Sri Ajati, kisah cinta yang tidak berujung bahagia. Tawa Jon hilang, lama ia menatap laki-laki gila itu. Aku pun begitu, sementara si punk itu meneruskan pekerjaaannya mencoreti dinding dengan katakata yang sama. “Bagaimana kalau dia benar-benar Chairil Anwar?”, bisik Jon kepadaku. “Ah, kau ini memang sudah sakit. Lengkap sudah sekarang, Obama kau bilang Nabi Isa, Presiden Iran kau bilang Imam Mahdi dan sekarang si rambut konak ini kau sebut pula Chairil Anwar….” “Bagaimana kalau sekarang memang kita tengah berada di Karet Bivak?” “Hah…”, bulu kudukku kembali merinding. Tetapi tetap saja laki-laki gila ini bukan Chairil Anwar. Jon hanya mencari peluang pembenaran kalau hanya pengikut Mahdi yang boleh ke bawah sini, “sudahlah Jon, kita balik saja ke musholla..” “Tidak, aku mau tanya dulu sama dia..”, Jon mendekati si rambut ereksi, “bagaimana kami bisa percaya kalau kamu benar si Binatang Jalang?” “Aku hilang bentuk, remuk. Aku mengembara di negeri asing”, ah dia jawab lagi dengan puisi, “Hidup dari hidupku, pintu terbuka Selama matamu bagiku menengadah. Selama kau darah mengalir dari luka. Antara kita Mati datang tidak membelah…” Jon dan aku terpana, kami tersirap dalam permainannya sementara si punk terus mencoret keabadian cintanya untuk Sri Ajati. Tidak yakin kami dia orang gila sembarangan, mungkinkah dia penyair yang frustasi dengan pertempuran antara Boemiputra dan Teater Utan Kayu? Entahlah, yang jelas bukan Sisa pertempuran Lekra dan Manikebu. Tetapi bagaimana kalau dia benar-benar Chairil Anwar, bagaimana kalau kami sudah melewati pintu dunia dan bersua dengan mereka yang tidak lagi berhitung dengan usia? Kami tersirap, wajah itu…wajah itu, benar wajah Chairil yang beda cuma 8
gaya rambut dan tiada rokok di sela jari dari mulut yang enggan menghisap. Kami berpandangan satu sama lain, tetapi belum sempat kami bicara, ia sudah membuka mulut. “Kami cuma tulang-tulang berserakan. Tapi adalah kepunyaanmu. Kau lah lagi yang tentukan nilai-nilai tulang berserakan” Kami tidak berani lagi berkomentar. Bagiku Krawang-Bekasi adalah semangat republik ini, suatu dalil, yang membuatku terus menulis hingga hari ini. Sekarang aku dan Jon benarbenar tidak berani bersuara, kami tersihir. Si punk memberi kami isyarat untuk mengikutinya. Lorong aneh, liang yang muncul begitu saja dari tabir dinding. Tiada berkata-kata lagi kami turuti jejaknya di belakang. Hanya dalam tempo se-penggatianstatus facebook-narsis- (cat : sekarang sudah tidak keren lagi tempo “sepeminuman teh” ala cerita silat) kami ternganga dengan pemandangan. Ruang hampa berisi penuh suara…samar kami melihat dalam sebuah kamar berdinding kaca. Sebelum aku berteriak, Jon sudah lebih duluan terpekik,.. “Itu kan Sutan Sjahrir….”teriak Jon “Ya, benar itu si kancil, tidak salah lagi…”, aku tidak percaya dengan semua ini. Tetapi di depan mata itulah yang jadi pemandangan. Suara musik dari gramofon tua mendayu-dayu (tetapi jauh lebih keren dibanding musik band-band BANCI saat ini), gelas berdentingan. Sementara di tengah pesta kami lihat si kancil duduk satu meja dengan seorang Belanda berkulit pucat. Aku tidak sabar menunggu, aku sudah akan bergerak menerabas kamar dan kerumunan dansa sinyo dan noni. Tetapi si punk mencegahku. “Sekarang bagaimana?”, ini kalimat pertama dari mulut si punk yang tidak berasal dari kutipan puisi. “Ya bagaimana?”, aku melempar jawab pada Jon, ia masih ternganga, aku alihkan pertanyaan, “jadi bagaimana kami harus memanggil bung penyair agung, pujaan berjuta kepala yang masih bernyawa ini?” “Panggil saja Binatang Jalang, ah, tetapi disingkat BJ juga tidak masalah, bung!” “BJ??” Aah, bila situasinya tidak begini tentu aku sudah tertawa, (kenapa tidak sekalian diminta panggil Miyabi he..he) Jon masih terpana, mematung, pasti dia menyesal sangat karena tidak membawa satu pun perekam elektronik yang ia miliki. Kalau ia bawa kamera tentu akan jadi film yang dahsyat, aku sudah siapkan judul untuk usulan, Ayat-Ayat Mayat atau Laskar Liang Lahat atau bisa juga Buruan Cium (sebelum) Kiamat. BJ mengajak kami berdua untuk mencari tempat jauh dari hiruk pikuk suasana. “Kita tunggu disini saja. Bung Sjahrir dan Van Mook sedang berunding..”, ucapnya. “Oh jadi laki-laki itu Van Mook, bukankah semuanya sudah selesai di masa lalu bung BJ?”, Jon akhirnya bersuara. “Wah di alam barzakh ini, semua masalah didekonstruksi ulang bung. Bung Sjahrir dan Van Mook sedang membicarakan tentang Tata Alam Barzakh yang baru. Sejalan dengan percepatan pertumbuhan penghuni disertai dengan asumsi inflasi 2 persen ditambah lagi dengan efek spekulasi dan politik maka aturan-aturan baru harus dirumuskan”, loh kok BJ ngomong kayak Sri Mulyani ya.. “Jadi apa yang mereka bicarakan bung BJ?’, aku ikut bingung, ini tidak terasa lagi seperti di liang kubur malah seperti di hotel mewah tempat orang kaya menggunjingkan masalah-masalah orang miskin. “Masih sisa dari pertemuan kemaren yang deadlock, Churchill dan Truman memaksakan kehendak ingin menjadikan alam barzakh ikut NATO, jadi Sjahrir dan Van Mook menciptakan kubu baru menentang Negara Anglo Saxon itu. Kalian tahu sendiri kan, Bung Sjahrir tidak pernah setuju dengan fasisme walaupun terkadang ia nekad mengajak diskusi Hitler, Tojo dan Mussolini” 9
Kami akhirnya terlibat dalam pembicaraan hangat dengan BJ sementara menunggu Bung Sjahrir keluar dari meja sidang. Tetapi di sela-sela perdebatan kami mendengar raung tangis yang kencang. Suara itu tidak jauh dari tempat kami bersandar. Nun di ujung sana aku melihat seorang laki-laki berkopiah haji terus meraung. “Siapa orang itu Bung?’, tanyaku pada BJ. “Haji Saleh”, jawabnya pendek. “Haji Saleh dalam Robohnya Surau Kami-AA Navis”, aku tidak percaya. Kali ini Jon dan BJ tidak bisa mencegahku lagi. Aku langsung ngacir mendekati Haji Saleh. Aku ingin membuktikan, benarkah ini Haji Saleh dalam Cerpen terbaik sepanjang masa itu. “Pak Haji, kenapa Pak Haji menangis?’, tanyaku “Tuhan menolakku masuk surga, padahal aku telah mengikuti perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Taat beribadah dan teguh beriman, bukankah itu kehendak-Nya. Aku sudah lakukan semuanya (bahkan saking takutnya pada Tuhan, aku tidak berani mengeluakan fatwa haram)” “Alasannya”, aku bertanya penuh selidik. “Entahlah, aku tidak mengerti..” Aku tersenyum puas, bila demikian adanya, ada baiknya aku mengingat-ngingat kutipan kalimat dari Navis, nah bagaimana ya…ya seperti ini, aku jelaskan saja pada Haji Saleh sebagaimana alasan yang ada di cerpen Navis itu. “Pak Haji mungkin begini alasannya, beribadah itu tidak salah. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikit pun.” Aku puas mengutip kata-kata Navis, Haji Saleh menatapku penuh jijik. Perlahan ia buka peci hajinya. Rambut ubannya ia jambak lalu dihadapkan ke muka ku,… ”Eh anak muda, kau adalah orang yang kesekian yang bicara seperti itu padaku, lebih banyak dari jumlah rambut ini. Kalau kau omong itu lagi, aku kasih kau hadiah payung pengiring jasad!!” Bah, di-sinisin seperti itu, awak jadi naik pitam pula lah. Lagi pula teredmark awak yang senang menghitung sudah berapa kali orang omong yang sama diambilnya pula. Untung saja sebelum aku memburansang, siulan dari Jon memanggilku. Aku pun bersegera, berlari-lari anjing mengejar Jon dan BJ. Di seberang sana aku lihat sudah sepi. ”Si Kancil menunggu kita..”, bisik Jon. Jantung ini berdegup kencang…perasaan berdesir-desir tidak karuan (sumpah deh I.Y.M ini beda loh jenisnya dengan degup dan desir denganmu) Kami berjalan lagi, menyeberangi jenis kehidupan tanam tinaman, kilauan cahaya mengamuk waktu dan segala jenis gambaran lain yang tidak mungkin pembaca sekalian bayangkan. Dan, aku akan minta Steve Vai untuk memetik gitar listriknya….Liberty…..nun di ujung sana, si kancil menunggu kami berdua…bertemu Sutan Sjahrir…aduhai……aku tidak bisa lagi menuliskan perasaan ini. ”Om, tamu yang kita tunggu-tunggu sudah datang”, BJ memberi pengantar. Tapi tunggu dulu, tamu yang ditunggu-tunggu….apa maksudnya ini. ”Maaf, kami tidak mengerti ini..”, Jon cepat-cepat menanggapi. ”Tenang Kisanak”, ucap Sjahrir bergaya ala Kamandanu di Tutur Tinular, ”Kalian berdua yang terpilih…” ”Hah, apakah kami juga sudah meninggal-kan dunia,..sudah mati?”, Jon terpekik, kasian sekali dia, belum bertemu idolanya Imam Mahdi sudah mati duluan. ”Tergantung bagaimana kalian memandangnya. Dalam tambo waktu itu acak”, Bah, Sutan Sjahrir mengutip kalimat dari novel Negara Kelima karya penulis muda nan beken 10
itu. ”Jadi Kisanak…eh maaf, Bung…kami ini sudah mati atau belum?”, aku juga tidak sabar ingin mendapatkan penjelasan. BJ memandangku tidak senang. ”Hidup yang tidak dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan bukan?”, ucapan Sjahrir itu membuat aku merinding, begitu agung, ”bila kalian masih berani bertaruh untuk hidup maka kehidupan milik kalian. Tetapi bila, dalam usia muda ini, kalian tidak berani bertaruh, apa bedanya dengan orang mati?” ”Kami berani bertaruh, Bung!”, Jon dan aku berteriak berbarengan. Tentu saja, kami masih ingin hidup kok. Sjahrir dan BJ tidak bisa menahan ketawa, kami hanya melongo saja. ”hidup hanya menunda kekalahan. tambah terasing dari cinta sekolah rendah. dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan sebelum pada akhirnya kita menyerah”, BJ mentertawakan kami berdua dengan syairnya. “Jadi undangan macam apa ini Bung?”, aku beranikan diri untuk bertanya. “Kau bisa menuliskannya dan Kau juga memfilemkannya, bukankah bangsamu sekarang hidup hanya untuk dirinya pada saat ini saja tanpa peduli orang lain, masa lalu dan masa depan? Ini bukan sembarang undangan, sebab kami mesti merayu malaikat untuk menyampaikannya”, Sjahrir merangkul Jon dan aku, bukan main girangnya kami berdua, “aku akan mengajak kalian berplesiran, menziarahi alam barzakh, mengunjungi yang tua, bertanya tentang ma’rifat dan manfaat dan tentu saja aku akan mengajak kalian dugem sampai pagi….” “Nah, bolehlah kalau begitu Bung, “Jon memotong, asal nanti kami bisa kembali. Jadi kami berempat mulai berjalan, Sjahrir paling depan, BJ, Jon dan aku. Entah kemana kami akan dibawanya. Dalam riak air yang kami jejaki, gelembung-gelembung bermuculan dari dalam air, itulah suara teriakan, mungkin di neraka. Melihat aku dan Jon begitu penasaran mendengar teriakan itu, Sjahrir berhenti sejenak. “Kalian tahu teriakan siapa yang paling kencang dari bawah sana?”, tanya Sjahrir “Wah mana tahu kita bung…” “Muso”, jawab Sjahrir pendek. “Apakah karena dia komunis bung?”, tanyaku lugu. “Bukan. Soal dosa, masih banyak yang lebih berat dari Muso. Tetapi tampaknya Tuhan tersinggung dengannya..” “Kenapa?’, tanya Jon, seperti biasa tidak sabar. “Pada saat malaikat menyapanya dengan beberapa pertanyaan, Muso berteriak, Ik Kom Hier om orde te Scheppen! Saya datang kesini untuk menertibkan!, persis seperti ucapan sombongnya pada Bung Karno dulu….Nah Sukarno saja tersinggung, apalagi Tuhan!” Aku ingin tertawa, Jon juga, tetapi mana mungkinlah awak tertawa begitu saja tanpa menunggu komanda dari BJ. Tetapi ngomong-ngomong tentang Surga dan Neraka, satu pertanyaan menggelitikku. “Bung, bagaimana dengan kawan (dan lawan) bung, para pendiri republik dulu, Sukarno, Hata, Tan Malaka, Sudirman, Agus Salim dan lain sebagainya, apakah mereka sudah hidup senang (dengan 72 bidadari untuk Sukarno) di Surga sana?” “Nah sebentar lagi kalian akan tahu jawabannya. Maka kami terus menapaki air, sesekali kakiku menabrak ikan-ikan kecil yang cemburu melihat manusia non permanent resident alam barzakh bisa berjalan di atas air. Akhirnya kami berlabuh pada sebuah pantai kecil berpasir putih, nun di seberang sana, tanpa masuk kita bisa merasakan keindahan dan kedamaian yang sangat. “Nah disinilah batas dari Barzakh dan surga. Kau salah, tidak seorang pun dari kami yang sudah masuk surga, kami masih terdampar di alam barzakh”, ucap Sjahrir penuh kesedihan. “Kenapa bung”, lagi-lagi tidak sabar Jon memotong.. “Coba baca itu..”, tunjuk Sjahrir pada sebuah papan.. 11
“HONDEN EN INLANDER VERBODEN!” “Anjing dan Pribumi dilarang masuk…….wah ini tidak masuk akal…benar-benar tidak masuk akal………”
12
Pertemuan (2) Posted on February 19, 2009 under Pertemuan http://itonesia.com/pertemuan-2/ “Bahh…” (buat yang tidak ngerti kenapa aku ngumpat membuka tulisan, aku anjurkan baca tulisan pertemuan sebelum ini), nah aku lanjutkan ya.. Bagaimana awak tidak mengumpat, sudah di muka bumi dulu moyang awak dilarang untuk menikmati dunia, eh di alam barzakh ini dilarang pula melintasi pintu surga sementara di muka bumi sana, awak dilarang pula merokok dan jadi paderi (maksudnya golput). Jadi aku hanya bisa menatap bergantian antara papan pengumuman itu dan si kancil sementara si BJ seperti biasa terkaing-kaing seperti anjing habis disemprot lada. Dan Jon, kemanakah dia? Tentu pembaca budiman bertanya-tanya. Kenapa aku tidak menyebut nama Jon. Dalam benak pembaca tentu muncul kemungkinan-kemungkinan seperti : a. Jon telah kembali ke musholla yang dikentuti knalpot motor b. Jon mencari lubang hendak mengambil kamera c. Jon tidak tahu kemana rimbanya d. Suka-suka penulis dong Nah tidak salah lagi, tebakan pembaca benar; inilah enaknya jadi penulis, sifat Tuhan bisa aku pinjam dikitlah, berkuasa atas hidup dan matinya seorang tokoh. Jadi, karena aku tidak terlalu sreg dengan Jon, ya aku hilangkan saja dari dia dari petualangan ini. Alasannya, biar pembaca kreatif, coba dicari sendiri penjelasannya. Jadi aku tatap lagi Sjahrir si kancil, mulutku mulai bersuara kembali. “Jadi kisanak, apa pula maksud papan ini. Bukankah papan ini pula yang telah kita hancurkan lewat badai kemerdekaan dulunya. Bukankah pula kita sudah bilang terangterangan mengakui bahwa kemerdekaan kita bukan usaha manusia semata, tetapi juga atas lewat rahmat Allah SWT (tentu lewat sedikit bantuan Jepang). Nah sedemikian rendah hatinya kita bikin deklarasi kemerdekaan kenapa sekarang Tuhan berlaku seperti Belanda pula di alam ini?” Si kancil hanya geleng-geleng kepala menatapku. Ini bukanlah gelengan yang diinginkan setiap cowok yang sedang mendekati seorang cewek. Bukan geleng biasa, tentu itu ucap pemadat di pesisir utara Jawa (geleng : salah satu takaran pemakaian opium jaman moyang kalian pembaca semua belum mengenal pil koplo). “Begini bung, semua yang kau ucapkan tadi sudah pula kami resolusikan pada Tuhan lewat malaikat. Setiap resolusi ditolak kami bikin resolusi baru lagi, demikian terus menerus hingga Sukarno mengelurkan dekrit. Tetapi jawaban-Nya selama sama : ..Bukankah Aku telah menitipkan surga pada kalian di muka bumi tetapi kalian merusaknya semena-mena. Bagaimana aku bisa mempercayakan surga di alam ini, bila Aku kuatir kalian tetap akan merusaknya dan bahkan memperjualbelikannya pula?” “Tidakkah bung yang pintar berdiplomasi punya jawaban untuk kecurigaan Tuhan itu?”, aku tidak percaya Sjahrir mati kutu. “Ya sudahlah, masa sudah dong…”, (lumayan juga update tren bahasa Sjahrir ya..), “awalnya kami kira ini hanyalah masalah bahasa Tuhan yang kami tidak mengerti tetapi sehingga kami utus pula lah The Grand Old Man Agus Salim buat menanyakannya, tetapi tetap saja jawabannya sama. Nah kami baru mengerti belakangan setelah penghuni baru berdatangan. Ya, Indonesia memang surga yang dijanjikan, tanah yang subur, bumi yang kaya, hutan yang lebat, laut kaya ikan nah gambaran lengkapnya kau bisa baca Negara 13
Kelima karangan penulis muda yang beken itu..”, Bah, novel Negara Kelima dari penulis beken itu resensinya sampai pula ke alam barzakh sini…nah si kancil mau melanjutkan, “tetapi bukankah di masa kami telah tiada, kalian rusak semuanya, perjualbelikan semaunya dan atas nama pembangunan kalian tumbangkan setiap pohon yang telah memberi nafas ratusan generasi moyang kalian. Jadi masuk akal, surga dunia telah kalian ingkari, di alam barzakh ini kami yang kena kutukannya…” Aku tidak berani menatap mata Sjahrir, BJ tidak lagi terkaing-kaing, urusan ini serius. Aku terhakimi sebagai generasi yang masih hidup. Semuanya jadi masuk akal, aku tidak lagi berani bertanya. Sementara Tuan- Tuan kaya berpesta di atas bumi sana, moyang mereka terkatung-katung di alam sini. Jadi, aku hanya menundukkan kepala sambil pura-pura memahami semuanya (bah, aku tidak sebodoh itu sehingga perlu memahami segala). Aku hanya menunggu tidak lagi berani berkata-kata. “Tetapi mau bagaimana lagi, kami tidak bisa menghentikan kalian di atas sana Kecuali mendengarkan siaran lewat radio bawah tanah seperti jaman Jepang dulu..” “Radio apa yang sering bung dengarkan”, aku tidak sabar bertanya. “Amboy..radio muara dendang melayunya asoy geboy…”, BJ sudah memotong duluan, sambil jempolnya terangkat di atas rambut konak. “Kalau bung?”, sekarang benar-benar aku arahkan pertanyaan itu pada si kancil. “hmm Hardrock FM…”, jawabnya datar. Alamaak…aku pikir dia masih dengar BBC, RRI atau sejenisnya. Sudah jadi hardrocker pula Sjahrir di alam barzakh ini. Singkat cerita, Sjahrir mengajakku meninggalkan tepian surga. Tampaknya bagi si kancil, tinggal berlama-lama di alam barzakh ini tidak masalah sebab lebih banyak manusia yang menunda pengadilannya dan memilih menetap di alam persinggahan ini. Konon populasi manusia terbesar justru yang menetap di alam sini, tata alam barzakh baru pun terciptakan layaknya orde-orde di muka bumi. Memang manusia tidak bisa hidup dalam pilihan yang tidak bisa mereka ingkari macam surga dan neraka. Alam barzakh seperti kesempatan kedua untuk pasang tampang setelah alam dunia. Jadi dalam perjalanan yang hanya se-cepatdownload-bokep3gp-, aku ternganga melihat kawah besar menganga penuh manusia. Inilah orde baru dunia yang tidak berbeda jauh dengan dunia atas sana kecuali satu hal, di alam sini mereka tidak bisa lagi beranak pinak. Tentu bukan karena kontrasepsi tetapi kemampuan reproduksi akibat cairan langka itu tidak lagi disediakan tubuh. “Nah Chairil, kau sekarang bisa kembali ke mulut barzakh mencuri berita sambil menunggu Sri Ajati- mu itu”, perintah si Kancil pada BJ. “Okelah Om, ciao!”, secepat malaikat BJ langsung ngacir tanpa menoleh lagi padaku. Bahkan seorang penyair agung pun hidup dalam penantian di alam sini. Sudah hidupnya menunggu kekalahan di alam barzakh pun urusan itu tidak selesai-selesai juga. Belum selesai aku merenungi nasib BJ, di hadapanku sudah berdiri seorang laki-laki. Tampangnya tidak masuk dalam memori sejarahku yang luar biasa komplit. Geraknya juga tidak. Jadi siapakah dia? “Perkenalkan, ini Jenderal Sudarsono. Teman baikku di alam barzakh sini..”, ucap Sjahrir. “Hah”, aku kaget, tidak sengaja lepas ucapan ini, “Bukankah ini Jenderal yang terlibat dalam peristiwa 3 Juli 1946. Bukankah dia yang menculik bung, bah, sekarang bung bilang teman baik?” Sjahrir menepuk punggungku, seperti seorang guru yang baru memberitahu muridnya bahwa bumi itu bulat bukan kayak mikrolet, “Bung, biar pun aku ini laksana anak busur yang tidak pernah kembali pada ranah Minang, tapi ada satu petuah yang aku ingat dari moyang kita; konco arek lawan kareh. Nah di alam barzakh itu artinya teman paling dekat disini adalah lawan paling tangguh di muka bumi dulunya…” “Bung, itu tidak masalah tetapi berkawan dengan penculik???”, aku potong juga kayak si Jon dulu jadinya. “Kalian menyebutnya Stockholm syndrome bukan, pada saat si terculik berempati 14
bahkan berusaha melindungi penculiknya. Nah kau tentu paham kenapa si Nils Bejerot, orang utara sana itu mempopulerkan istilah ini setelah perampokan dan penyanderaan di Normalmstorg, kalau tidak salah kejadiannya itu 7 tahun setelah aku pindah ke alam sini…” “Hah, bagaimana bung bisa tahu kejadian yang tidak mungkin terlewatkan oleh usia bung itu?’, decak kagum bercampur iri aku dengan pengetahuan si kancil menembus ruang dan waktu. “Baca Wikipedia dong…”, jawab Sjahrir enteng. Aku makin kagum lagi, internet ternyata juga merambah alam barzakh, tidak sabar aku melihat jejaring sosial mereka, “jadi di alam barzakh ini, kami sudah bosan berkawan dengan teman seperjalanan di bumi dulu, karena ceritanya pasti itu-itu saja. Tentu saja tanda tanya banyak kita tujukan pada mereka yang punya segala macam siasat, intrik dan rahasia untuk mengelabui kita di muka bumi dulu. Perkawanan antara penculik dan yang diculik adalah perkawanan paling populer di alam barzakh sini. Inilah pelajaran awal yang mesti kau serap disini, bung bengong!” Aku masih saja tidak mengerti, penculik dan korban berkawan. Ini perkara aneh, lebih aneh dari pengembaraan alam barzakh ini sendiri. Tetapi keraguan ini musnah seketika kami kami meneruskan perjalanan dan Sjahrir berhenti di depan tiga orang komrad yang tengah berbincang dengan serunya. “Siapa itu Bung?’, tanyaku “Ah, mereka itu salah satu grup pertemanan paling heboh disini. Yani, Bungkus dan Dul Arif. Tentu kau mengenal mereka, bukankah pula sejarah mereka lebih heboh dari gerakan bawah tanahku dulu?” “Jenderal Yani maksudnya, dan Dul Arif dan Bungkus itu Sersan penculik dalam malam mencekam sebagaimana hiperbolisnya film Arifin C Noer itu?” “Nah, itu kau sudah tau” Sungguh, ini tidak bisa dipercaya. Anumerta itu berkawan dengan penculik dan jagalnya. Ini baru cerita seru, aku mulai percaya dengan teori Stockholm Syndrome ala alam barzakh ini. Tetapi setelah aku pikir-pikir ini sebenarnya juga bisa terjadi di muka bumi normal atas sana. Aku coba mengingat-ngingat. “Eh, kau jangan kaget begitu..”, belum aku berpikir Sjahrir sudah memecahnya, “coba kau ingat-ingat (iya kancil aku mengingat-ingat kau memecahkan memori itu), bukankah di duniamu sekarang ini bukankah ini juga sedang ngetren juga?”, Si kancil culas ini kayaknya tahu sesuatu dari dunia sana, ia tengah mengujiku. (nah yang awak ingat Cuma penculikan Cahtleen Zwinckel dalam novel Rahasia Meede dari penulis yang lagi..lagi..sangat beken itu, dan ya benar terjadi Stockholm Syndrome di novel yang ditulis..ah tadi sudah aku bilang ya…ah penulis beken itu lagi) Baiklah, aku coba ingat-ingat dulu. Merunutkan semua kejadian, merangkum berita mulai dari media cetak; dari Lampu Merah sampai Lampu Hijau; media elektronik; mulai dari TVRI hingga TURI (maksudnya pasar Turi di Sby ya I.Y.M ! ), internet ; mulai dari era muslim hingga era fotocopy digital di Margonda Depok. Nah lama mencari, memoriku berhenti sebentar. Cari lagi, berhenti sebentar..putus-nyambung..putus-nyambung, Babi! Kok kayak jadi syair lagu dari anak-anak dedemit yang kualitas suaranya sama kayak Sikumboh di kampungku. Dibekali otak sehat dari gizi yang didapatkan dari program pertanian Suharto tentu saja aku akhirnya menemukan maksud si kancil ini. “Nah bung aku ingat yang bung maksud. Betul sekali itu. Di dunia saat ini, orang-orang yang diculik bergabung dengan penculiknya. Kalau tidak salah mereka membentuk sebuah kelompok GERakanINginDapatRApelan. Di masa lalu orang-orang itu karena terus terancam tidak mendapatkan kue pembangunan, jadi sekarang mereka bergabung dengan penculiknya menuntut agar kue yang tidak mereka dapat itu dirapel dan diserahkan sekarang”, sungguh otak ini memang cerdas, Sjahrir saja dibikin terpana; 15
bagaimana dengan pembaca yang pastinya tidak mungkin secemerlang Sjahrir…. Aku sudah berharap gelontoran pujian akan keluar dari mulut Sjahrir. Tetapi ia hanya manggut-manggut saja, aku benar-benar kesal dibuatnya. Kalau saja diskusi ini dilakukan di warung Ujang, aku sudah menghajar Sjahrir yang tidak kunjung memujiku. Tetapi tanpa hidangan Mienastel (Mie Nasi goreng telur), tidak sangguplah awak menghajarnya. Jadi dengan segala kerendahan hati, aku biarkan Sjahrir bersikap seperti itu. Mengikuti petunjuknya terus berjalan di antara kerumunan manusia yang kalau dilihat dari tatapan Sjahrir, kayaknya mereka hanya jadi figuran di tengah deru dunia yang tidak mereka pahami dulunya. “Kau lihat di ujung sana, di rumah tanpa dinding seorang laki-laki muda yang gagah hanya duduk dan membaca. Sementara pelayannya terus mondar-mandir menyiapkan segala sesuatunya. Kau tau siapa mereka?”, mataku mengikuti telunjuk Sjahrir. Aku berjalan mendekat tidak mempedulikan gerombolan laki-laki yang berlarian mendengar isu Marilyn Monroe menampakkan diri. Semakin aku dekat, semakin kenali dua wajah itu. Ah aku tidak bisa percaya ini. “Bung Karno…”, ucapku pelan menatap pelayan yang bekerja dengan rajin itu dan Tuan muda yang duduk tenang di kursi itu adalah, “Buya Hamka…”, aku menatap si Kancil, ia balas menatapku dengan seyum liciknya, “Bung, aku menyerah, tidak tahu lagi ada apa dengan fenomena ini?” “JUstru kau yang hidup belakangan yang mesti menjelaskannya bukan aku”, balas Sjahrir. “Tetapi bagaimana mungkin Sukarno jadi pelayan Hamka. Pemimpin Besar Revolusi, Panglima Tertinggi, (calon) Presiden Seumur Hidup dan tentu saja pecinta wanita nomor wahid; kok di alam barzakh Cuma jadi pesuruh”, aku mengalihkan pandangan pada Sjahrir, “sedangkan Bung rasanya perannya di alam sini dan di dunia sana sama saja. Bung masih disegani, masih berunding dengan Van Mook, ini tidak adil bung” “Ha..ha..ha”, Sjahrir tertawa kencang, ia menatap Sukarno sinis, “itu karena aku tidak banyak hutang pada orang-orang di dunia ini. Kau tau apa hutang seorang pemimpin, yaitu ketika ia begitu sering memenjarakan orang tanpa sebab. Yah, aku pernah melakukannya terhadap Tan Malaka dulunya (walaupun tidak langsung), tetapi bukankah 16 tahun kemudian karma itu aku bayar lagi. Tetapi Sukarno memenjarakan begitu banyak kawannya karena hasutan dan dengki, inilah akibatnya…” “Dan kenapa hanya Buya Hamka yang dilayani Sukarno, bukan melayani bung atau eks tahanan lainnya?” “Sebab Tuhan hanya membukakan pintu nikmat untuk orang yang selalu mensyukuri nikmat. Jawaban Si Kancil belum memuaskanku, aku ingin menyapa Buya Hamka dan menanyakan apakah benar Nabi Khidr masih hidup di Arab Sana? Ingin pula ku menyapa Bung Karno untuk menanyakan, bagaimana cara berpidato dengan suara perut? Tetapi Sjahrir sudah menarikku menjauh menatap sebuah halaman kecil. Seorang anak kecil dengan wajah jutek terus menerus melemparkan setiap benda yang ada di sekelilingnya penuh amarah. “Anak kecil ini siapa Bung?”, tanyaku “Kau tidak mengenalnya, ah katanya kau penulis, manusia ini kenapa kau tidak tahu?” “Benar Bung, tidak mungkinlah anak kecil ini anak-anak dari penulis-penulis yang belajar nulis dan karena koneksi ibunya maka terbukalah pintu penerbit untuk mereka. Cepat kali mereka mati kalo begitu” “Dialah penulis paling agung yang kalian kenang sehingga melupakan yang lainnya” “Pramudya?”, aku langsung menebak “Ya, betul”, Sjahrir tertawa kecil “Nah macam apa pula ini kok Pram yang tua dan sudah cukup lama menderita itu jadi anak kecil yang tidak jelas tingkahnya ini?” 16
Aku berjalan mendekatinya, tidak setiap hari bisa menatap wajah pak Tua yang mengalami nasib kayak Benjamin Button ini. Tetapi baru saja awak mendekat sudah dilemparnya pula awak dengan benda-benda aneh yang hanya akan bisa ditemui di alam barzakh. Sementara satu orang teman dewasanya terus bantu memungut benda-benda yang berantakan itu. “Dia beruntung jadi anak kecil karena karya-karnya yang begitu agung. Tetapi dia akan selalu begini, marah, jauh dari orang dan terus menjadi kecil….” “Lah, seharusnya Suharto jadi pelayannya dong, seperti Sukarno jadi pelayan Hamka?”, aku memotong lagi. “Seharusnya begitu, apalagi yang namanya Harto itu juga sudah berpindah alam. Tetapi antara dua orang penulis ini ada perbedaan besar. Nah karena ini baru plesiran awal, sengaja aku ajak kau bertemu dua sosok penulis hebat yang pernah dimiliki republik atas sana. Walaupun di alam sana nasib mereka tidak jauh berbeda, tetapi di bawah sini inilah kenyataannya. “Tetapi rasa-rasanya si Pram kecil itu nasibnya di dunia lebih tragis?’, aku protes lagi. “Hamka juga, bahkan Hamka tidak jelas sebab musabab kenapa ia dipenjara. Ah, tapi baiklah anggap si Pram ini lebih menderita, apakah itu membuat dia lebih beruntung dari Hamka?”, Sjahrir menyihirku dengan logikanya, “Hamka dan Pram sama-sama hebat. Hamka menyelesaikan 30 Juz tafsir Alazhar selama dipenjara, Pram punya tetralogi seperti yang sekarang kalian agung-agungkan itu. Tetapi di alam sini, manusia tidak cukup diukur dari karya besarnya di muka bumi, tetapi lebih dari itu adalah kebesaran jiwanya. Hamka dipenjara Sukarno tanpa sebab, tetapi ia bisa memaafkan Sukarno dan mengimami jenazah Sukarno pada saat wafatnya. Pram juga dipenjara Suharto, pada saat keluar ia tidak bisa lari dari kemarahannya, persis seperti anak kecil. Karena perkara kecil itulah nasib mereka sungguh berbeda di alam sini. Ada orang-orang yang terlahir agung tetapi sedikit orang yang mati dalam keagungan. Keberanian untuk memaafkan dan bukan melupakan adalah pintu keagunangan itu. Hamka telah melaluinya” Aku terdiam. Kalau dipikir-pikir mungkin pada beberapa sisi Hamka jauh lebih dewasa dibanding Pram ya. Tetapi sudahlah di alam sini, semakin banyak kita berkomentar makin banyak pula muncul fenomena. Lebih baik awak diam saja. “Bung, siapa laki-laki yang dengan sabar menemani Pram kecil itu?”, aku mengalihkan pertanyaan. “Mochtar Lubis…..”, jawaban Sjahrir yang membuatku nyaris tertawa itu. “Tetapi bukankah mereka..” “Kau ingat hukum di alam barzakh ini; konco arek lawan kareh…” Tidak lagi aku protes. Cukup sudah semua fenomena ini. Aku ingin segera pulang ke atas sana. Kalau tidak, bisa-bisa snewen awak di bawah sini. Tetapi ucapan Sjahrir menghentikan kehendak bebasku itu. “Nah, setelah ini kita ketemu Eyang Harto mu….”
17
Pertemuan (3) Posted on March 13, 2009 under Pertemuan http://itonesia.com/pertemuan-3/ Perempuan-perempuan cantik, bening, molek dengan kulit pantat tidak beda rupa dengan wajah tidak akan aku temui dalam keseharianku di pinggiran Jakarta sana. Tentunya ini jenis perempuan yang hanya akan ditemui bajingan-bajingan Finbus dalam imajinasi kamar mandi (imajinasi itu copy paste di warung Ujang dari laporan pandangan mata seseorang yang baru datang dari Bakerzin Plasa Senayan). Jenis perempuan yang akan membuat setiap penulis akan buru-buru kembali menuangkan gagasannya untuk menghasilkan adikarya yang luar biasa. Adikarya untuk mempesona perempuan tersebut, atau lebih praktisnya duit royaltinya bisa untuk beli itu perempuan. Nah, tulisan macam apa pula ini kok ngomongin perempuan yang sekali seabad aku saksikan dalam kehidupan nyata. Tetapi di alam barzakh ini, jumlah mereka ratusan mungkin ribuan. Bahkan kamar mandi tidak akan sanggup menahan imajinasi ini. “Inilah dunia dimana Harto masih berkuasa…”, ucap Sjahrir seperti menelan amarah “Masih berkuasa, maksud bung apa?” Aku ternganga tetapi tidak sempat menelan amarah sebab nafsu lain lebih dominan. Nah, para pembaca ku yang terkutuk (karena terus menerus meminta lanjutan cerita ini secara gratis), kalian semua bisa bayangkan di alam barzakh anak desa itu masih berkuasa. Bukan hanya berkuasa tetapi wilayah kekuasaannya ini dipenuhi perempuan yang menjadi pagar istana. “Kau bisa bayangkan, sebuah istana yang dijaga ratusan perempuan molek. Tidak satu pun gagasan revolusi akan bisa melewatinya..”, Si Kancil kembali berbisik padaku. “Kenapa Bung?” “Ah revolusi yang digerakkan laki-laki gampang terperosok pada sumur dangkal perempuan”, setan, gaya bicara si kancil ini seolah mencibirku. Bah, awak mana mungkinlah takluk sama perempuan. Beragam macam sudah awak kenal perempuan… tapi hanya saja yang macam bening kayak gini memang selalu berakhir di kamar mandi. “Maksud Bung, macam revolusi ala Sukarno itu?”, aku memancing. “Nah kau sudah tahu itu. Sukarno itu bolehlah kau sandingkan dengan Macan Sumatera. Sendirian di rimba raya, nah tapi sekali ketemunya sama perempuan; lupa lah dia sama jerat pemburu akibat liang nan dangkal itu. Kau boleh salahkan agen-agen asing, PKI atau bahkan Suharto, tetapi Sukarno jatuh itu suatu kehendak zaman untuk macan yang tidak lagi hapal semak di rimba raya…” “Bukannya di alam barzakh ini, semua masalah dunia sudah selesai bung!”, sindirku pada si kancil. “Houd Je Mond!”, teriak Sjahrir. Tutup mulutmu, ah itu kan ucapan dia ketika mendengar Sukarno bersenandung pas mandi di pembuangan mereka di Prapat. Konon, ini konon loh ya, ini pangkal mula perpecahan dua pesohor ini. Aku diam saja dihardik sama Bung kecil, awak tidak mengerti kenapa Sjahrir sekarang emosian (mungkin karena tuntutan kalian pembaca terkutuk, untuk terus menghadirkan dia dalam cerita ini) Asu, gara-gara Sukarno aku lupa pada Suharto. Sudah begitu,awak dibentak pula sama di kancil ini. Sejauh mata memandang, hanya keindahan yang tampak. Padang rumput barzakh yang disela-selanya tumbuh perdu Khuldi terlarang tempat perempuanperempuan berteduh dan meneteki domba berbulu emas. Bangunan-bangunan dengan arsitek yang bahkan tidak akan pernah terbayangkan oleh Arab-Arab Dubai jahiliyah yang sekarang begitu Berjaya dalam dunia bangun membangun itu. Nah untuk masuk ke 18
dalam lingkungan istana, kita musti menyeberangi sungai yang lumayan luas dimana biduk dikelola oleh koperasi dari para anggota Kelompencapir yang telah almarhum. Suharto memang luar biasa, bukan saja di dunia ia gandrung membangun. Di alam barzakh ini pun dia berusaha mewujudkan negeri yang gemah ripah loh jinawi. Tidak semua orang bisa menyeberangi sungai yang lumayan luas itu. Hanya perempuanperempuan cantik yang bebas berkeliaran antara dua sisinya. Aku melirik si Kancil, mungkinkah perjalananku akan berakhir disini? “Kenapa Che?”, suara si Kancil melemah. Tapi ia tidak menatapku. Inilah kali pertama dimana wajah agung ini seperti tunduk oleh kehendak waktu. Matanya tidak lepas memandangi air yang mengalir di sungai. Pada padang rumput, perdu dan nun jauh disana bayangan salju memuncaki gunung. “Bung?”, aku tidak bisa melanjutkan lagi. Baru sekarang aku melihat kesedihan dalam rona wajah si Kancil. Mungkinkah ia tengah melamunkan akhir-akhir masa hidupnya di dunia. Seseorang yang sepanjang hidupnya terus tiada henti berjuang untuk mewujudkan sebuah tanah air merdeka justru harus berakhir hidupnya di negeri asing dengan status sebagai seorang tahanan politik Sukarno. Mungkinkah ia melamunkan negeri Swiss tempat berbulan lamanya ia bertarung sebelum ajal yang menang. Binatang Jalang memang betul, Hidup hanya menunda kekalahan bahkan untuk seorang Sutan Sjahrir yang menganggap hidup tidak lebih dari pertaruhan. Menjelajahi ruang kematian seorang diri bersama si Kancil, aku mulai terjebak pada lara yang mengikat. Kata bertaut menjadi syair, dalam resah seperti ini, bahkan kabar dari I.Y.M ku yang tidak lagi mau bersua tidak akan mampu mengobati hati. Perempuan dan tirani sama saja; mereka memenjarakan tetapi tidak membunuh. Oh I.Y.M untukmu, mestikah aku mengayuh biduk di antara dua karang? Aku jawab sendiri ya, peduli setan! “Jadi bung, apakah perjalanan kita selesai sampai disini?”, tidak ada lagi buncah-buncah keceriaan aku harapkan dari jawaban si Kancil yang sarkas tetapi cerdas. Yang terburuk dari sebuah perjalanan bukanlah kegagalan mencapai tujuan tetapi pada saat bunga keceriaan berbuah duka. “Aku tadi berpikir dan mungkin jawabannya iya. Sekarang aku bertanya-tanya, sebenarnya apa yang ingin aku capai dengan mengundangmu masuk dalam dunia dimana kehidupan bermuara ini. Aku bertanya, bisakah seseorang yang pernah mengunjungi alam kematian bisa memperbaiki kehidupan dunia yang telah kehilangan akal sehatnya?” Pertanyaan yang berat. Mungkin bukan aku atau si Jon yang pertama kali pernah mendatangi alam ini dan mungkin nanti kembali ke alam dunia. Tetapi Sjahrir benar, adakah yang bisa dilakukan seseorang yang pernah mengenal alam kematian menghadapi dunia yang telah kehilangan akal sehatnya. Bisakah ribuan orang yang telah kembali dari kehancuran peperangan berkhotbah di mimbar PBB yang terhormat dan berkata, hentikan produksi senjata! Tidak, orang-orang teraniaya dan potret kematian hanyalah objek cinta dan simpati dari manusia-manusia yang membutuhkan eksistensi. Tidak ada cinta yang menyelami hati mereka yang menderita kala diucapkan di depan kibaran bendera partai atau bangsa. Penderitaan dan kematian adalah reklame segelintir elit yang mendaki tangga berjenjangkan tengkorak manusia. Aih, politisi jaman sekarang tidak lebih baik dari Pol Pot. Demokrasi adalah sebuah sistem dimana manusia menyerahkan diri di bilik suara untuk ditindas dan dimusnahkan keinginan bebasnya. Sjahrir benar dan semangatku mengendur, walaupun kebahagiaanku tidak pupus karena bertemu si kancil ini. “Apakah sekembalinya nanti ke dunia engkau akan menceritakan semua ini?”, lanjut Sjahrir sambil berbisik layaknya kawan akrab denganku, “dan sebenarnya apakah fungsi dari seorang penulis?” 19
“Mungkin Bung, ah tetapi…..”, aku ditimpa kebingungan. Ini pertanyaan sederhana tetapi aku tidak sanggup menjawabnya. Aku membaca ratusan tulisan dari orang-orang yang mengaku penulis dengan beragam kepuasan dengan hingar bingar keagungan mereka muncul ke muka bumi. Ada penulis yang terus menerus mensyukuri nikmat karena anugerah kemampuan penulis dan itu terus menerus ia kampanyekan lewat tulisan di situs yang ia asuh dari sebuah penerbit terkemuka. Saking sibuknya ia bersyukur dengan kutipan-kutipan selangit dari nama-nama yang bahkan tidak pernah masuk lubang pusarku, sampai-sampai dia lupa untuk benar-benar menulis buku. Ada sih bukunya, tapi apa itu bisa disebut buku? Ha..ha..ha awak jadi menilai orang sekarang, tetapi benar kan I.Y.M, dalam kegamangan seperti ini, peduli setan untuk dunia ini! Eh kalian pembaca terkutuk sekalian mau tau siapa orangnya? Tidak usahlah aku kasih tahu, terlalu enak hidup kalian serba disuapi informasi!! “Kau tidak bisa menjawabnya?”, Sjahrir menerka pikiranku, aku menyerah, “ya, kalian para penulis seringkali merasa terlindungi oleh baju zirah yang membuat kalian kebal dari senjata dunia. Dunia yang bebas dimana kata menjaga jarak kalian dari manusia biasa. Kata, yang membuat setiap wanita muda terpikat dan mengikatkan diri dalam untaiannya…..” “Tunggu Bung”, aku memotong. “Kenapa?’, Sjahrir yang telah terjebak dalam kesyahduan kata-katanya sendiri kehilangan selera. “Untuk poin pertama mungkin seperti itu Bung. Tetapi yang kedua, perkara wanita, tidak semua penulis seperti itu. Jangan sama ratakan, ada penulis-penulis sial yang tidak memiliki pengalaman seperti itu…” “Ah kau ini!”, Sjahrir mendengus, “Apa kau tidak mengerti generalisasi dari beberapa sampel yang aku ambil tentu saja ada sampling error. Kau ini memang payah, bukankah di atas dunia sana; manusia Indonesia telah berakhir menjadi angka-angka statistik dimana dengan menggunakan angka acak maka pendapat seorang reponden yang terkena sial didatangi petugas survey swasta bisa mewakili mereka yang tidak kena sial? Bukankah kalian ini, bukan lagi manusia seutuhnya tetapi hanya angka-angka yang dipertaruhkan; untuk rating televisi, untuk kepuasan konsumen, untuk politik dari lembaga survey yang serakah dan tentu saja angka-angka yang siap berderet untuk membeli Breadtalk, Blackberry atau I-phone dalam sebuah masyarakat konsumen yang tidak lagi memiliki akal sehat”, si kancil ini memang gila, dia tidak pernah kehilangan berita dari kehidupan di atas sana, “tetapi baiklah, bisakah kau kasih tau aku sampling error itu?” “Nah salah satunya penulis beken yang menulis Rahasia Meede dan Negara Kelima. Bung pernah mendengarnya?” “Ya pernah. Kalau tidak salah dia menjual abangku ya, Bung Hatta” “begitulah. Perkara baju zirah memang benar, dia sering merasa dunia tidak bisa menyentuhnya. Tetapi perkara perempuan; bah, perempuan muda pula! Hidupnya dikitari orang-orang tua yang butuh seorang bodoh yang mau mendengarkan wasiat mereka tentang masa lalu. Ya ada perempuan, tetapi perempuan-perempuan tua bekas pacarpacar opsir yang dulu gagah berpedangkan samurai Jepang. Nah, penulis macam ini tentu tidak masuk dalam teori bung tadi” “Ah kasian sekali dia, apa benar-benar tidak ada perempuan?” “Ada satu dua, tetapi itu perempuan yang lewat depan warung Ujang yang ia goda dengan gerombolannya layaknya pemuda kampung mencari perhatian gadis kota. kompatriot utamanya seorang berinisial H.H (Adm UI 2001/Aqua-Danone sekarang… budak kapitalis Perancis!), nasibnya tidak jauh beda. ” “Oh begitu, pantas saja karangannya penuh dengan kemarahan dan membosankan!”, Sjahrir mencibir seolah-olah penulis beken itu ada di depannya saat ini, “nah aku lanjutkan ya. Ya penulis itu memang seolah-olah pekerjaan terhormat dan mulia. Kalian seolah-olah menyambungkan dunia yang tercabik oleh waktu dan pertikaian. Tetapi 20
sebenarnya, apabila kalian duduk sendiri tanpa buku, pena atau PDA; coba pikirkan sebenarnya apa yang tengah kalian lakukan. Bukankah kalian hanya menyediakan hawa untuk waktu senggang kelas menengah pekerja. Bukankah berhitung tahun dan bulan kalian bekerja, dia hanya akan berakhir di WC teman buang air si pekerja yang tidak peduli apa yang kau katakan. Bukankah pula, pekerjaan menulis itu sama sekali tidak menyelesaikan masalah orang lain kecuali masalah perut kalian? Ah, aku katakan ya, kalian penulis ini fungsinya tidak lebih baik dari bocah kumuh tukang semir sepatu; mengisi waktu senggang kelas tertentu dari masyarakat dengan kata lain kalian hanyalah jeda dari sebuah kesibukan!” Ck..ck…ck…aku terdiam. Tersengat tetapi tersadar. Ini penjelasan yang masuk akal dan semakin menguatkan tekadku untuk segera pensiun dari dunia tulis menulis yang tiada gunanya ini. Ya, persetan si pengasuh web yang mengaku punya karunia (dan seolaholah) bekerja keras untuk menulis itu. Ada nama-nama besar yang hadir ke dunia ini dan disebut penulis, tetapi bukankah mereka juga tukang semir sepatu. Aku ingat bocah kecil di Proyek Senen, aku melihat diriku sendiri. Aku melihat karya-karya yang dipajang di toko buku, aku melihat karyaku; aku melihat orang melewatinya; aku melihat orang membacanya sekilas; aku melihat manusia dalam kesibukannya dan aku berkubang dengan obrolan masa lalu. Sjahrir benar, penulis itu hanyalah pelayan segelintir orang. Lebih baik jadi petani saja seperti ibuku; hanya petani yang memberi hidup sepanjang masa. Petani adalah sabda Tuhan. “Dan bagaimana dengan para politisi Bung?”, aku tidak ingin kehilangan muka sendiri. “Mereka adalah pelayan setan. Bukankah para politisi yang mengeluarkan Adam dari Surga?”, jawaban lugas yang aku inginkan, jadi aku tidak mendebat lagi. Sjahrir merangkul pundakku. Berdua kami memandangi keramaian di seberang sungai di halaman istana seorang penguasa dunia dan barzakh. Aku mulai merasakan kekalahan sebagaimana Sjahrir. Aku merasa mendekati akhir dari sesuatu yang tidak pernah benarbenar aku selesaikan. Begitu rupa dunia telah merengkuhku, begitu rupa Sjahrir telah menaklukkan dunia sehingga para diplomat dunia menyebutnya Bom Atom dari Asia. Tetapi di alam barzakh sini, Sjahrir memang masih lincah, masih berkawan dengan tokohtokoh dunia tetapi nun di seberang sungai sebuah kekuasaan yang angkuh tidak bisa disentuhnya. Kekuasaan dari seseorang yang bukan apa-apa pada saat Sjahrir mengayuh biduk Republik. Dan ya, untuk kalian pembaca terkutuk; sebenarnya apa sih mau kalian? Apa dengan membaca ini memberikan sesuatu buat kalian, omong kosong! (itu pesan terakhir Sjahrir) “Jadi Bung sama sekali tidak punya gagasan bagaimana caranya kita bisa menyeberang?”, aku masih mencoba. Tetapi Sjahrir menggelengkan kepala. Suharto bukan Van Mook, Schermerhorn atau bahkan Lord Killearn yang bisa diajak bicara dengan logika diplomasi. Dalam dunia Suharto tipu-tipu diplomasi mudah diatasi dengan cara diamanken alias tak pateni kowe! Sudahlah, dua orang kalah ini hanya bisa mendekat ke pinggir sungai melihat tukang perahu memakai caping dengan lambang kepala garuda (Oh tidak, di barzakh sini ternyata ada juga pengikut Gerindra alias gerakan ingin dapat rapelan itu). Pada perbatasan dunia dan akhirat ini, aku merasa menjadi Sjahrir, busur panah yang tidak pernah kembali. Aku sudah hendak melemaskan badan, lalu mencampakkan tubuh ini ke bidang saja mana yang mau menampung manusia kalah. Eit, tapi tunggu dulu, enggak salah nih; apa ga salah lihat ini? Tidak jadi awak melempar badan ini. “Nah Bung, biarkan kali ini awak yang mengurus semua ini…”, giliran aku yang menepuk pundak Sjahrir. Dari raut wajahnya tahulah awak bahwa dia sebenarnya juga berhasrat untuk plesiran di dunia eyang Harto tapi tampaknya itu belum pernah kesampaian. Maka aku berjalan ke tepian sungai. Tidak salah lagi, wajah-wajah yang mendayung perahu itu aku kenal dan ah, bukankah ini menarik. Dulu mereka memegang tongkat komando sekarang pangkal dayung yang diapit ketiak. Inilah wajah pertama yang 21
pertama kali mencuri pandanganku, wajah dingin dan mengesankan, Benny Moerdani. Dia mendayung perahu kecil bersama Jenderal-Jenderal lainnya; disana ada M Jusuf, Sarwo Edhi, HR Dharsono, Panggabean dan puluhan Jenderal lainnya yang mendayung perahu-perahu kecil; mereka pendukung, teman dan bahkan rival Suharto. Apapun bentuk hubungan mereka di atas dunia dulunya, ya buntut-buntutnya di barzah ini Cuma jadi tukang perahu. (bah untung awak urung bercita-cita jadi jenderal). Perahu Benny merapat balik setelah mengantarkan rombongan perempuan-perempuan molek yang bebas berkeliaran. “Jenderal…”, aku mendekat. Benny memandangku dari bawah capingnya, “seberangkan kami Jenderal”, pintaku. Jangankan menaikkan ku di atas perahunya, menyahut saja tidak. Apa memang seperti ini etika dari prajurit komando yang berubah jadi tukang perahu, entahlah. Benny mengacuhkanku, ia malah menyeberangkan lagi beberapa orang yang entah kenapa begitu mudah melintas. Pada saat ia kembali lagi, aku mendekat lagi. “Jenderal, bagaimana cara kami bisa ke seberang?”, aku ulang lagi. “KBA bukan?’, ah syukurlah akhirnya dia bersuara walaupun aku tidak mengerti apa yang ia tanyakan. Aku melirik si Kancil, dia pun angkat bahu. KBA…KBA…KBA….ah..dimana kata-kata itu pernah melekat di benak ini ya. KBA bisa berarti, Kami Bukan Anjing, Kuat Bak Anjing…Kambing Berbulu Anjing…ah tidak mungkinlah masa lalu awak yang berkubang dengan moralitas kata-kata menyimpan memori itu. Jadi apa dong? KBA?? Kick Bung Andy (Noya?), ah itu lebih ngaco lagi; walaupun tampaknya si Bung Andy itu acaranya sudah benar-benar di-Kick sekarang ini. TV memang memperdaya. Aku lirik lagi Si Kancil, tampaknya usaha terakhir ini juga mungkin sia-sia. Pada saat aku nyaris menyerah itulah Benny menyentuh tanganku. Oh Benny..Oh Ben….sentuhannya…ah..ya…aku ingat, kenapa Benny menyentuhku; ia ingin merasakan telapak tangan ini. Aku mengerti sekarang, KBA = Keluarga Besar ABRI (akronim dalam akronim, tentara memang jago menyingkat urusan). Aku memberi isyarat pada si Kancil, kami pasti bisa masuk. Tahukah kalian para pembaca sialan, kenapa aku percaya diri bisa masuk? Nah itulah beda kami dengan kalian orang-orang biasa di zaman orde baru ha..ha..ha. Kami adalah anak-anak Benny Moerdani; anggota terhormat dari Keluarga Besar ABRI dengan stasus siswa SMA Taruna Nusantara. Itu sekolah konon atas andil Jenderal Benny (Nah loh, sekarang tiba-tiba aku bangga lagi dengan kedekatanku dengan tentara). Benny mengamati punggung tangan dan jemariku, aku tahu apa yang dia cari. Inilah paspor ku untuk masuk dalam lingkungan istana Eyang Harto. Sebuah tanda di punggung tangan, rona hitam membekas, kenangan dari jemuran tiap Sabtu siang di Plasa Pancasila dalam apel yang intinya, ya, mencari kesalahan kelas satu. Sementara punggung tangan menahan tubuh dalam posisi setengah push up, AWKEP (ah, kawan-kawan angkatan 7 mana yang tidak ingat dengan inisial Letnan itu) sibuk ber-orasi seenak hatinya. Memang untuk menjadi calon pemimpin bangsa, otak, kepribadian dan fisik mesti di olah (bukan kayak siapa itu namanya yang sok pinter itu, punya acara di metro TV seenak hatinya mau menyiapkan pemimpin bangsa ala Idol-idolan). Nah, sudah diolah sedemikian rupa itu pun belum tentu berhasil, contohnya aku yang gagal ini. Apalagi the next leaders idolidolan bodoh..tolol…dan cupu itu. Sudahlah, intinya Benny menemukan tanda itu. Aku bisa menumpang perahunya, Si Kancil bisa ikut. Tetapi sepanjang kayuhannya, Benny sama sekali tidak mengenali Bung kita yang tersohor di dunia dan alam barzakh ini. “Bung, kenapa Jenderal ini sama sekali tidak mengenali Bung?”, tidak sabar aku berbisik pada si Kancil” “Ah kau ini, bagaimana mungkin seseorang yang sepanjang hidupnya memikirkan bagaimana memusnahkan musuh punya waktu untuk memikirkan seseorang yang sepanjang hidupnya berjuang untuk kemanusiaan dan kebebasan?”, Ah, kepongahan si 22
Kancil itu muncul lagi. Aku senang, si Kancil tidak lagi murung. Sampai di ujung dermaga aku tidak lagi bertanya. “Jenderal, terima kasih….”, aku dan Sjahrir menapaki bagian lain dari alam transisi ini. “Tunggu”, teriakan Benny menghentikan langkahku, “Masihkah prasasti ku berdiri di Sekolahmu itu?” “Ah tentu saja Jenderal. Prasasti itu masih berdiri dengan kokoh, kalau aku tidak salah ingat, di balairung Pancasila” Untuk pertama kalinya sepanjang ingatan ku di dunia dan barzakh, Benny tersenyum. Ah coba si Jon masih ada, tentu ini akan jadi rekaman yang menarik. Tetapi Si Jon perlu aku singkirkan supaya aku menjadi tokoh utama dalam cerita ini (Tidak boleh ada matahari kembar! Nah itu mengutip kata-kata Luhut pada Prabowo sebagaimana diceritakan dalam pamplet pra Pemilu- nya Sintong Panjaitan; eh gossip dikit dulu, biar kalian para pembaca ada gunanya sedikit; ada yang tahu nggak, partai mana atau siapa yang sponsorin Sintong bikin buku ini?). Nah sekarang kami sudah berbaur dengan orangorang yang diijinkan menyeberang. Ada wajah yang akrab, ada pula yang aneh bahkan ada pula remaja yang sibuk berkirap. Semuanya berbinar-binar, bahagia tercukupi. Lakilaki memakai caping dengan kepala garuda sebagai gambarnya, nah yang perempuan, ah gimana ya, ndak usah deh aku kasih kasih tahu kayak gimana, nanti kalian semua pingin cepat-cepat ke alam barzakh lagi. Pokoknya cihuy lah. Dimana-mana ada poster bertuliskan 10 % (Tien Percent, nah kalian generasi band-band banci itu coba tanya pada generasi Malari, apa itu artinya). Setelah berhasil menyeberang dan sekarang kami bergerak menuju istana sang eyang, aku pikir inilah saat yang tepat untukku bertanya pada si kancil. “Bung, bagaimana Suharto mendapatkan semua kemegahan ini, Bukankah ini semua terlalu berlebihan?” “Dia pantas mendapatkannya”, jawab Sjahrir lugas. “Ah mana bisa”, aku mendebatnya, “Oke lah, Suharto mungkin dihitung amalannya dari apa yang dia lakukan dengan pembangunan itu, tetapi bukankah ada hal lain juga yang perlu dihitung? Sesuatu yang bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan amalannya. Kenapa Sukarno tidak mendapatkan hal ini? Bukankah jasanya juga tidak kalah?” “Ah kau ini lupa satu hal, hari pengadilan amal-amal itu masih lama, ini baru alam barzakh” “Tetapi apa penjelasan Bung?” “Nah begini, ada pepatah kuno dari tanah Eropa sana; sebelum memusnahkan manusia, para dewa membuat mereka mabuk terlebih dahulu..”, ck..ck…makin kagum aku sama si kancil ini. “Yang artinya bung?” “Inilah keputusan Yang Maha Kuasa, sebelum mengadili Suharto semua informasi harus didapatkan terlebih dahulu. Caranya bagaimana, ya dengan memberikan dia kesenangan dan kenyaman. Sebab kalau disiksa lebih dahulu oleh malaikat untuk dapat informasi, ah tentu itu kurang beradab” “Informasi macam apa itu Bung. Bukankah di alam sini tidak ada lagi rahasia yang tidak mungkin diungkap?” “Ada satu dan hanya Suharto yang mengetahuinya”, wah hebat sekali bapak pembangunan kita ini, punya rahasia yang seisi alam raya tidak ada yang mengetahuinya. “Rahasia apa?”, ini bagian yang menegangkan. “Tentang Sjam” “Sjam???” “Sjam Kamaruzzaman…”, Sjahrir mengucapkannya bergetar seolah ada ketakutan sendiri ketika menyebutkan nama itu. “Oh kawan Sjam..”, tentu saja aku ingat, dia adalah gigi berkarat menghembuskan asap rokok dalam film besutan Arifin C Noer itu, “Nah Bung, bukankah tidak ada teori yang 23
benar-benar bisa membuktikan bahwa kawan Sjam kita ini ada hubungan dengan sang eyang” “Oke deh Coy”, si kancil kembali bergaya, “Tetapi dimana Sjam sekarang, dimana dia berada di alam sini atau alam kalian atas sana?” “Setahuku, dia sempat di penjara. Mungkin sekarang sudah di alam sini”, aku ragu menanggapi. Sjahrir menyambutnya dengan gelengan kepala. “Tidak ada. Intel-intel malaikat sudah berkeliaran mencarinya tiap sudut tetap tidak ada. Izrail sang Pencabut Nyawa juga sudah ditanya, apakah dia pernah mencabut nyawa itu orang; Izrail malah menjawab, mana ane inget???” “Baiklah, anggap dia tidak ditemukan dimana-mana. Tetapi apa pentingnya sih seorang kawan Sjam itu?” “Begini Bung. Di barzakh ini ada satu kamp pengungsian bernama Parung Bingung. Disitu bermukim sekitar sejuta-an manusia Indonesia yang tidak mengerti kenapa mereka harus mati. Mereka terus menuntut agar diberitahu apa yang terjadi. Bayangkan, kau belum mengecap nikmat dunia tetapi sudah dikirim kesini, betapa tidak membingungkan. Bagaimana kau bisa menikmati sebuah kehidupan baru bila kau tidak bisa menjelaskan masa lalu mu sendiri. Nah orang-orang ini adalah korban dari rentetan peristiwa 65, yah aku ingat, sebab pada masa itu penyakit telah memasungku”, Sejenak Sjahrir berhenti, aku biarkan saja memorinya mengingat masa kelam itu, “Nah orang-orang ini menuntut penjelasan dari Tuhan, malaikat pun diutus tetapi tidak seorang pun dari mereka yang masih hidup dan mati bisa menjelaskan sebenarnya apa yang terjadi pada 30 September 1965 itu. Kuncinya ada pada Sjam Kamaruzzaman. Dan kunci untuk menemukan Sjam ada di tangan Suharto. Dia harus diperlakukan layak untuk menemukan manusia yang telah menciptakan kebingungan di alam semesta ini” Ah, baru aku mengerti sekarang. Tentu saja ini perkara penting. Walaupun aku tidak pernah bersimpati pada PKI (ini masalah pribadi, nyaris aku tidak lahir ke dunia ini garagara bapakku di masa PRRI nyaris dieksekusi oleh batalyon Kombat PKI di Bukittinggi bekerjasama dengan Angkatan Darat pimpinan Yani. Toh akhirnya keduanya kena batu nya juga, Yani mati di tangan PKI, eh PKI malah musnah sama sekali). Tetapi aku bersimpati pada korban-korban yang mati dalam kebingungan karena tingkah Jenderal Angkatan Darat dan para Kamerad Politbiro PKI. “Sjam, dia benar-benar licin. Andai aku tidak berniat pensiun dari dunia menulis novel, tentu aku akan menulis tentang dia”, aku bergumam sendiri. “Kau sudah mengerti kan sekarang, sejuta mayat dalam kebingungan mencari kata jawab dari seseorang dan itu butuh sebuah strategi”, Sjahrir mengucapkannya jumawa seolah strategi ini dia yang mengaturnya sendiri. Kira-kira dua ratus meter menjelang istana. Aku dan Sjahrir ternganga, barisan manusia di kanan dan kiri jalan menyambut kami. Rangkaian itu sambung menyambung tiada terputus menyambut dengan gegap gempita hingga pintu istana. Di depan pintu dua orang penjaga dengan badge bertuliskan “Angkatan Kelima” menyapaku dengan salam hangat, “Bapak sudah ditunggu Bapak Presiden di dalam…”, Bah, di sini Suharto masih dipanggil Bapak Presiden? Aku masih tidak mengerti ada apa dengan semua ini. Tetapi aku melihat raut muka Sjahrir benar-benar berubah. Ia ragu untuk ikut melangkah ke dalam tetapi ia juga tidak mengerti dengan semua ini. Aku yang masih terombang-ambing dalam kebingungan akhirnya mengikuti petunjuk tentara angkatan kelima. Pintu terbuka, aku masuk ke dalam. Astaga….aku menemukan ruang hampa yang kosong dan samar di dalamnya. Dingin menusuk tulang, ini bukan istana sebagaimana kelihatan di luar. Ini sebuah penjara. Seberkas cahaya muncul menyinari sosok di depanku. Cahaya lainnya menyinari ruang yang tertutup. Aku melihat sel, sel…sel….di dalamnya ada…Hatta,..Gandhi,… Tan Malaka….dan bahkan….puluhan orang lainnya yang pernah berjuang untuk kebebasan 24
dan kemanusiaan. Wajah penuh senyum menyapaku. “Saudara Che, atas nama pemerintah saya memberiken penghargaan setinggi-tingginya dari pada jasa saudara yang beken ini. Nah saudara bisa pilih, mau saya beriken satya lencana atau bintang gerilya…”, Eyang Harto terus nyerocos, aku mengawang linglung. Aku mencari Si Kancil untuk menemu kata jawab, tetapi ia tidak lagi di sampingku. Dua orang tentara angkatan kelima meringkusnya, menyeret Sjahrir memasukkannnya ke dalam sel. Ah…bagaimana mungkin. Aku tidak percaya. Aku tidak percaya!!! Suharto memanfaatkanku untuk membawa Sjahrir kesini. “Saudara mungkin bertanya, kenapa saya mengamanken orang-orang ini. Nah, seperti saudara ketahui, alam mana pun butuh stabilitas untuk membangun. Para petualang, tukang renung dan tenung yang menghipnotis manusia lain dan orang-orang yang berpikiran selain pembangunan musti diamanken. Mengingat jasa saudara, maka saya kasih pilihan mau tetap tinggal disini atau mau kembali ke atas sana. Nanti semua Sjam yang mengaturnya…” Bah, Sjam yang mengatur semuanya? Aku benar-benar kehilangan akal sehat. Bukan malaikat yang dibujuk Sjahrir, tetapi Sjam yang mengatur semua ini. Aku datang ke alam sini hanya untuk membantu Eyang Harto menangkap Sjahrir yang licin..sungguh aku benar-benar ingin mati saja (tentu itu bukan pilihan yang tepat sebab hidup dan mati aku terjebak disini) Aku menatap Sjahrir yang tidak lagi bersuara di balik sel. Sjam telah menjadikanku seorang Judas??? NB : 1. Buat kalian para pembaca sekalian, aku kasih tau ya, tidak ada demokrasi antara penulis dan pembaca. Jadi jangan sok-sok intelek seperti beberapa pembaca yang mempertanyakan penokohan dan cerita disini. Nah demokrasi baru ada kalau kalian bayar itu utang rokok-ku 5 bungkus Djarum Super di warung Ujang. 2. Buat I.Y.M; semakin kau jauh semakin ini semua jadi keruh. Penjaramu memang dingin!!
25
Catatan Seekor Hewan Posted on April 11, 2009 under Kolom http://itonesia.com/catatan-seekor-hewan/ Kau hidup dalam kontradiksi dan kau tidak menyadarinya sampai kontradiksi itu berjarak kurang satu millimeter menjangkau otakmu. Kau pernah meludahi kaca depan mobil mewah yang bersisian dengan motor pinjamanmu di lampu merah dekat Departemen Pertanian. Sekarang kau menikmati antar jemput mobil yang setiap saat siap untukmu. kau membutuhkan hanya tiga batang rokok untuk sepuluh halaman tulisan, sekarang tiga bungkus saja tidak cukup karena kau sanggup membelinya. Kau membutuhkan manusiamanusia bodoh yang bersilewaran di plasa dan mall untuk membangkitkan amarahmu. Sekarang kau tidak lagi bisa marah sebab apa yang mereka beli dan lewatkan, kau pun dapat lakukan bahkan lebih dari yang mereka bisa. Kafe-kafe menurutmu adalah jeruji jarak kelas yang sering kau bakar dengan mulut apimu, sekarang kau punya tempat langganan dimana kau membuat janji untuk pembicaraan yang terkadang kau tidak mengerti. Kau menertawakan manusia-manusia organik pekerja kebun koka Jakarta yang tinggal di dalam tembok-tembok beton menjulang. Kau pun pernah tinggal disana tanpa dosa. Kau hanya membutuhkan sedikit rencana kecil dengan keberanian besar untuk mengakhirinya. Kau pernah memikirkan rel kereta, jembatan tinggi dan kematian macam apa yang paling mudah? Tapi bagaimana kau bisa mewujudkannya sementara kau mulai berlembut-lembut kata, mengasihi diri sendiri dan masa bodoh, kau sopan sekali pada setiap orang. Sekarang kau mulai sadar, kau lambat mencerna sebab otak bodohmu itu tidak lagi dilatih berpikir di atas jejalan penumpang Metro Mini 62. Nikmatnya rokok telah hilang sebab bukankah karena yang kurang kau bisa menikmati yang sedikit. Dan tanpa amarah? Bisakah kau melakukan sesuatu. Bila amarahmu telah terbunuh, hanya dibutuhkan sedikit akal sehat untuk berhenti dari apa yang kau lakoni selama ini. Bila kau terlalu sering mengunjungi keramaian, menikmati makanan dan minuman sampah comberan yang diberi label bahasa asing dengan harga selangit; itu akan menghentikan aliran darahmu. Membuat kau tidak lebih baik dari mereka. Kau telah kehilangan kelebihanmu, tanpa itu wajahmu mirip anjing dan babi yang saban malam turun dari mobil mencari keramaian. Bukankah kau sekarang mulai merasakan gemuruh amarah itu perlahan menaik lagi. Bayangkan, anjing dan babi dalam gemerlap pesta; bukankah menjijikkan? Dan pernah kau tinggal di lantai 31 beton yang menjulang, pertama kau pernah membuang keranjang penuh sampah dari jendelanya, kau puas sebab inilah kebudayaan barbar yang mereka takutkan. Tapi lama kelamaan nyalimu ciut sebab kau berbaur dengan kesenangan. Kau tidak perlu tangga, cukup lift; mendaki tanpa keringat, sama buruknya dengan anjing dan babi yang menikmati duit korupsi orang tuanya. Nah sekarang kau mulai membenci mereka lagi kan; ya, sebagian kau kenali…kau sapa….tapi bukankah sudah saatnya kau ingkari. Di Jakarta kau punya seribu satu alasan untuk mengakhiri hidup tetapi kau cukup siapkan satu alasan untuk menghentikan kegilaan itu sebab tiada tempat yang enak untuk mengakhiri semuanya. Jakarta telah menjadikanmu seorang pengecut. Perlahan kau menyadari. Bukan kekurangan yang membuat kau cemas tetapi kecukupan tanpa pernah puas lah kecemasan sejati itu. Bukan bau keringat kaum pekerja di tengah panas sesak kota yang membekapmu tetapi kesendirian di dalam kabin yang nyaman yang memperdaya. Yeah, kebebasan tidak akan pernah kau dapatkan pada saat kau bisa mendapatkan apapun yang kau inginkan; kebebasan hanya bisa bisa kau dapatkan 26
setelah kau kehilangan segalanya. Sekarang kau memikirkan kembali manusia-manusia organic yang selalu sibuk keluar masuk gedung beton. Ah bukankah mereka orang-orang paling nestapa di dunia ini? Mereka melakukan pekerjaan yang mereka tidak sukai hanya untuk membeli barang-barang yang mereka tidak butuhkan. Dan anjing babi yang bersilewaran di malam hari, bukankah mereka makhluk paling sial sebab terusir dari kandang yang nyaman, sebuah rumah yang hangat dari keluarga yang harmonis. Tetapi kau terjebak di dalamnya; kau tidak lagi memiliki amarah, kau telah kehilangan tenaga. Kau menikmati kesenangan maka kau tidak lagi sanggup menularkan kepahitan. Kau memikirkan melintasi jalan tol di tengah mobil berkecapatan tinggi. Kau membayangkan mati bersama pramugari dengan belahan rok hingga perut. Kau mulai kehilangan akal sehatmu pada saat perutmu mulai membuncit, kakimu tidak lagi bisa berlari mengejar sodoran bola dan jemari gemukmu tidak lagi lincah menari di atas keyboard. Pada saat kau bisa mendapatkan apapun yang kau inginkan; dimana timbangan sedih-bahagia mu ditentukan oleh saldo rekening; marah-kasih mu ditentukan oleh hati dan bukan otak; cinta dan benci mu melihat pada bukit dan sumur. Kau hidup mengikut insting, kemauan yang berakar dari sifat hewani dan kau tidak lebih dari seekor hewan. Tinggal kau pilih hewan mana kau suka, pasangkan kulitnya dalam jubah ketakutanmu. Kau memikirkan pemberontakan, sebuah revolusi mungkin, tetapi bagaimana bisa itu kau pikirkan bila perutmu kenyang, uang mu berlimpah dan kakimu tidak lagi pernah menjejak tanah; hanya lantai mobil dan marmer. Kau berbicara bermanis-manis. Di dalam situs jejaring sosial kau tidak bisa ketus pada penggemarmu sebagaimana lakumu seharusnya. Sebagaimana banci-banci kaleng dunia maya, kau bermanis ria berkata-kata seakan-akan kau tidak mau kentut di depan pacarmu sendiri. Kau adalah manusia bodoh nan tumpul yang telah hilang kemauan. Kau memikirkan banyak rencana di Jakarta tetapi kau tidak menemukan tempatnya. Tibatiba otak pendekmu mendapatkan gagasan. Di pagi hari seseorang menjemputmu, mentari mulai terbit pramugari memagutmu, menjelang siang seseorang menjemputmu lagi. Sungguh, kesenangan yang nista. Kau putar jarum jam mu sedikit, kau menjejak kaki di kota lain, telepon genggam memanjakanmu, menghubungkanmu dengan orang-orang yang menantimu. Lalu, tiba-tiba saja kau punya janji, siang hari di sebuah kantor media. Menjelang sore di gedung juang dan malamnya kau menikmati teh telor di arena gaple. Dini hari kau menyambangi posko seorang caleg dan menginap disana. Lalu kau terbangun persis pada saat otak kotor menggelayuti pikiranmu; kau baru ingat bukankah kau kesini bukan untuk menikmati hidup tetapi mengakhirinya. Kau mendatangi tebing curang berdasarkan karang dan air asin. Kau duduk disana hingga laut memagut mentari. Kau ingin mengakhirinya tetapi indah sore di tebing yang sepi menghentikanmu. Tempat ini terlalu indah untuk dikotori oleh beberapa liter darah yang akan muncrat akibat benturan tubuhmu dengan karang. Kau mengurungkannya ,malah layaknya banci kota menemukan suasana, kau mengabadikan sore nan indah itu dengan kamera. Berbulan kau tersesat dalam kesenangan tiada ruang memberimu bahagia. Kau mengangankan bukit nan terjal, di atas sarasah dengan lompatan air nan besar disanalah kau akan mengakhirinya. Tetapi pengecutnya, kau tidak ingin menciptakan horor di tengah objek wisata. Kau mencari tempat, memikirkan sesuatu yang sepi sehingga kau bisa berdialog dengan dirimu sendiri. Kau melewati bukit dan jurang, setiap saat kau bisa terjun ke dasarnya. Tetapi kau berhenti, aroma teh di tengah suhu udara yang dingin membuat kau lupa tujuanmu kesini. Tiba-tiba saja kau merasakan segenggam bahagia. Rona wajahmu berubah dalam sepi. Kau melompat ke tengah rimba raya kebun teh seolah merekam jejak pekerja yang saban waktu datang memanen dan menyiangi. Kau ingin menyangkutkan hatimu di sela ranting teh sehingga bila datang ke kota lain kau tidak lagi perlu membawa belas kasihan. Kau ingin menanggalkan otakmu di 27
sela rerumputan kering sehingga bila kau kembali ke Jakarta, tanpa berpikir pun kau bisa mendapatkan segalanya disana. Kau membayangkan kematian di tengah rentetan peluru gerilyawan; kau menjadi tentara pemerintah, mereka bersembunyi disana; mereka menghabisimu dengan magazin yang terbatas; anehnya kau berteriak histeris kesenangan; kelak kau akan mengubur dirimu sendiri di antara pohon teh, rumput kering dan perdu-perdu pesing bekas kencing. Kau datang jauh-jauh hanya untuk satu tujuan, melepaskan diri dari perbudakan dan kau pikir kematian jalan satu-satunya. Kau berdiri di tengah-tengah kebun markisa. Bukit yang membagi dua danau tidak sama besar. Kau melihat kabut perlahan menyergap menyirnakan pemandangan alam nan indah. Kau lihat di dataran bukit anak-anak bermain bola dengan oksigen yang tipis. Sebagai banci kota kau tidak lupa bawa kamera seolaholah kau menikmatinya. Kau gelisah, mulai mencari tebing nan curam. Kau kencing persis di atas daun talas yang tidak pernah sanggup dibasahkan air. Lalu kau membuang dahak di atas genangan comberan dari tembok yang tidak rata. Hijau muda dahak mengapung sebentar, kau menikmatinya. Kau sudah ingin mengakhirinya, tetapi kau merasakan hawanya. Dingin membekukan gerakmu. Langgam tingkahmu dibaca oleh alam. Kau membuka mata, melepaskan semua kesenangan buatan di ibukota. Kau merengkuh dirimu lagi. Kau ingin mengirimkan bola untuk anak-anak itu. Kau ingin suatu saat mereka bermain di La Paz Bolivia. Tiba-tiba kau membalikkan badanmu. Disini kau merasa menjadi manusia yang telah kehilangan segalanya. Disini kau baru merasakan betapa alam nan elok telah merampok kata dari lidahmu yang kelu. Kau bisa menuliskan jutaan kata untuk melukiskan alam sembari menghabiskan ribuan kuas untuk menggambarkannya; tetapi alam tidak pernah bisa dikalahkan oleh kata dan gambar. Kau tunduk, rubuh di tanah. Bila hidupmu terlalu senang dan sudah begitu lama tidak menjejak tanah; kau menjadi orang yang asing di tanah ciptaan Yang Kuasa. Lalu kau berpikir, bukankah kau berasal dari luhak yang dikenal dengan sebutan; buminya panas, airnya keruh dan ikannya liar? Bukankah di tanah kelahiranmu, orang lebih senang berperang daripada mengenang, lebih suka berterus terang daripada menyarungkan parang. Inilah yang hilang ketika penyair sablon mendominasi ibukota; bermanis katakata, memuja keindahan sambil menyimpan rapat pikiran kotor mereka demi gengsi sastrawi. Kau bisa menelan semua keindahan kata-kata, tetapi lambat laun dia akan keluar juga sebagai kotoran di ujung pantatmu. Manusia-manusia manis yang mendominasi ibukota adalah perampok-perampok buta yang tidak pernah tahu apa yang mereka dapatkan dari kehilangan orang lain. Kau berpikir tidak perlu menjadi mereka. Kau ingin tetap hidup sebab tidak ingin cepat-cepat bermanis-manis dengan malaikat. Sekarang kau tidak ingin menyentuh semua yang telah melenakanmu, tetapi kembali kau pikir itu perlu waktu. Suatu waktu nanti kau akan kembali dengan tekad yang lebih besar. Kau lupa pada eloknya senja, tidak lagi ingat pada dingin kabut memagut danau dan di balik rimbun ded
28
Yosefat Posted on April 15, 2009 under Kolom http://itonesia.com/yosefat/ Dia tergantung dengan sisa-sisa tenaga berusaha mencengkeramkan tangannya pada pelat baja yang meliuk membentuk tulisan “Jayapura City”. Wajahnya ditutup karung beras dengan mulut tersumbat. Derap langkah algojo menari-nari persis di atasnya. Kakikaki itulah yang akan memutuskan seberapa cepat maut akan mencumbunya. Mereka berjumlah tiga orang, tetapi ia tidak tahu siapakah orang-orang itu. Mereka tidak pernah bicara, tidak pernah; bahkan tidak satu suara. Pemuda Yosefat berumur dua puluh empat pada saat maut mendekat. Bukit ini bukan tempat yang asing baginya. Tidak satu kali pun dalam sebulan ia absen mengunjungi bukit ini, Polimak. Penuh riang gembira bercampur bangga ia membonceng pacarnya yang cantik seorang perempuan Perancis (Peranakan Cina Serui) mendaki tanjakan menuju surga Polimak. Kau bisa menikmati indahnya laut di tanjakan Skyline. Kau bisa bergelut dengan ombak kotor di depan Dok II. Bahkan kau bisa menatap kota dari kawasan Angkasa. Tetapi tiada pemandangan lebih indah dan luas dibanding hamparan yang tersaji dari atas Polimak. Di bukit inilah pertama kalinya Yosefat berani memeluk pacarnya sambil memandang lepas jauh menatap indahnya Swissbell Hotel Papua. Kali pertama pula cintanya diwakili oleh genggaman tangan pada sang pacar kala menatap gedung bertingkat DPRD Papua. Menatap laut lepas, mereka berpagut melepas mentari ditelan lautan Pasifik. Di samping kiri, Salib besar mulai menyala menyambut malam. Dalam hening malam, pelat besi Jayapura City memberi terang pada tiap penghuni Jayapura. Tetapi ini malam yang berbeda. Yosefat tergantung di pelat besi tetapi ia percaya Salib besar masih menyala, setidaknya hingga detik terakhir sepatu lars itu menginjak tangannya. Pemuda Yosefat berusia dua puluh tiga tahun pada saat dia kembali dari tanah Jawa. Tugas kuliah tidak ia selesaikan sebab ia merasa gagal menjadi bagian dari manusia Indonesia. Seorang laki-laki timur berkulit hitam, bahu lebar dan rambut keriting tetapi lebih lancar berbicara dengan bahasa Indonesia dibanding orang Jawa kebanyakan tetap dianggap sebagai orang asing. Kau bisa terus meyakinkan dirimu sebagai bagian dari masyarakat kebanyakan tetapi kau tidak akan pernah bisa menghindar dari tatapan mata berbeda dari orang-orang yang kau anggap sama. Begitulah, pemuda Yosefat memutuskan pulang persis pada saat kuliahnya tinggal dua puluh tiga SKS lagi. Yosefat tidak pernah tertarik pada politik. Dia tidak mengerti kenapa damai di tanah Papua selalu diuji. Dia juga tidak paham kenapa desas-desus mudah sekali meletus. Lagipula dia tinggal di Abepura, kota semenjana dimana orang-orang pintar berkumpul dengan segala isu menghiasi udaranya. Karena itu pula Abepura mesti dijaga dengan tensi yang tidak biasa. Satu batalyon brimob bertangsi di tengah kota. Dari Angkasa hingga Sentani berkeliaran tungau-tungau merah, Kopassus. Dan dari balik-balik bukit dengan tombak dan busur siap meluncur, ratusan gerilyawan juga bersiaga. Abepura senantiasa berjaga, sewaktu-waktu membangunkan Papua hanya untuk menyapa dengan kata yang sama bahwa keadaan tiada berbeda. Di Abepura, curiga menjadi lingua franca. Pemuda Yosefat nyaris berusia dua puluh empat pada saat gagasan itu menjerat benaknya. Di tanah Jawa memang dia tidak mendapatkan gelar tetapi banyak ketiadaan di Papua yang dia lihat menjadi keseharian di tanah Jawa. Dia tahu, pendidikan tinggi tanpa gelar tidak akan bisa terus menerus dia jual hanya untuk menjadi tenaga upahan dari setiap penelitian sosial di Papua. Dia ingat warung minum sederhana di tanah Jawa 29
tetapi dia tidak tertarik dengan gerobak angkringan. Makanan kucing itu tidak layak dijual di tanah Papua yang kaya raya. Dia senang sekali menikmati malam di warung kopi milik orang Kuningan. Tempat dimana senda gurau bisa dilempar kapan saja. Pemuda Yosefat masih memiliki tabungan sisa beasiswa Otsus, meminjam tempat tidak jauh dari keramaian kota dia membuka warung kopi sendiri. Di tengah suasana penuh curiga Yosefat ingin melempar canda. Memulai jenis usaha yang baru bukan perkara mudah, warung kopi itu nyaris tidak berkembang. Pemuda Yosefat persis berusia dua puluh empat pada saat dia menyadari sesuatu. Dagangannya tidak menarik minat padahal tidak ada yang salah dengan masakannya. Kopi, susu, dan teh tiada beda rasa dengan yang di Jawa, apalagi dia menambahkan menu minuman lokal, bir dan Saguer. Begitu juga dengan makanan, gurihnya tiada kurang dengan yang ia cicipi di warung kopi orang Kuningan; mi goreng, rebus, kocok, goreng kering, polos, pakai telur dan bahkan nasi goreng; tiada beda rasa, tiada kurang suatu pun jua. Sejenak ia berpikir, sisa-sisa teori manajemen pemasaran masih membekas di benaknya. Dia ingat teori tentang; Product, Price, Place and Promotion, tetapi semuanya sudah dilakukan. Dia berpikir semakin keras, adakah “P” lainnya yang tersisa dan belum teraplikasikan. Bila produk telah tersedia, harga pun telah disesuaikan dengan pilihan tempat yang tidak salah dan promosi dari mulut kemulut juga tiada kurang gencarnya, lalu apa yang salah dengan warung kopi nya? Pemuda Yosefat berpikir semakin keras hingga nyaris pada ujung kata menyerah dia ingat sesuatu. Inilah jenis ilmu yang tidak diajarkan oleh bangku kuliah dari kampus-kampus yang menjadi germo bagi modal kapitalis yaitu kreatifitas. Dalam pemasaran, kreatifitas menjelma menjadi Packaging Product. Yosefat mengerti sekarang, agar tampak menarik, produknya harus dikemas sedemikian rupa tanpa mengubah menu dan masakan. Cukup dikemas menarik. Abepura yang penuh curiga menanti kreatifitas sederhana dari Pemuda Yosefat. Pemuda Yosefat sekarang berusia dua puluh empat, tiga minggu sudah ulang tahunnya lewat. Dalam tempo itu pula warung kopi nya menjadi ramai. Kau tidak perlu mengenakan baju untuk menunjukkan siapa dirimu di warung kopi Yosefat. Kau juga tidak perlu menyesuaikan kondisi psikologis untuk mendatanginya sebab warung Yosefat akan mengubahnya menjadi sukacita. Pemuda Yosefat meraih esensi kreatifitas yang tidak diajarkan bangku kuliah. Menyediakan menu yang sama tetapi ia memberi label bombastis pada setiap produknya. Kau bisa mengubah ketakutan di Abepura menjadi menu yang memuaskan dahaga di warung Yosefat. Kau bisa pesan KOPASSUS alias Kopi Panas Susu. Kau juga bisa pesan OPM alias Ovaltine Panas Manis. Bisa pula kau minta disediakan TPM alias Teh Panas Manis. INTEL alias Indomie Telor atau MRP alias Mie Rebus Polos. Juga bisa kau minta INDOPOL alias Indomie Polos. Nah kalau kau mau bandel sedikit pesanlah Bir-mob. Dan puncak dari kepuasan yang kau dapatkan di warung kopi itu adalah dengan memesan SBY alias Saguer Buatan Yoka. Di warung kopi Yosefat kata-kata yang lekat dengan kekerasan menjadi canda tawa. Kopassus tidak lagi berarti Komando Pasukan Khusus. OPM bukan selalu Organisasi Papua Merdeka. TPM juga bukan Tentara Papua Merdeka. INTEL tentu tidak selamanya Intelijen tukang kuntit. Nah, MRP tentu tidak melulu berarti Majelis Rakyat Papua. INDOPOL pastinya bukan Polisi Indonesia. Birmob apalagi, tentu bukan Brimob. Dan kau bisa bayangkan SBY jelas bukan hanya milik Susilo Bambang Yudhoyono, di Papua inisial SBY berarti; KItorang ada duit, kitorang minum sampai mabuk, kitorang tidur di got. Pada usia dua puluh empat, pemuda Yosefat mengubah Abepura. Kota semenjana itu perlahan tidak lagi dilanda curiga. Kata-kata yang dulu takut diucapkan sekarang menjadi pesanan menu sederhana dilanjutkan gurauan canda tawa di warung kopi Yosefat. Pemuda Yosefat tidak perlu belajar filsafat untuk bisa memahami bagaimana pengaruh arti sebuah kata bisa mengubah ketakutan di tengah masyarakat. Dan lagipula Yosefat 30
tidak pernah memikirkannya. Dalam benaknya hanya ada kepuasan karena berhasil menerapkan semua teori pemasaran tanpa bantuan germo kapitalis bernama universitas. Kau bisa bayangkan, sebuah warung kopi sederhana dari seorang pemuda yang gagal menjadi manusia Indonesia bisa mengubah roman wajah setiap penghuni kota. Tentara dan polisi tidak lagi memasang wajah seram penuh curiga dan gerilyawan pun bebas berkeliaran. Politisi tidak lagi sibuk bolak-balik ke Jakarta hanya untuk mencari sesuap nasi dan bukan sagu. Kau bisa menghancurkan ketakutanmu pada saat kau bisa menertawakannya. Pada usia dua puluh empat lebih sedikit pemuda Yosefat menyongsong maut. Tubuhnya berayun dengan pegangan semakin lemah pada pelat besi Jayapura city. Pemuda Yosefat tentu tidak mengerti kenapa orang-orang ini membawanya kemari dan mengakhiri hidupnya. Tetapi pikirkanlah, pada saat masyarakat mulai menertawakan ketakutan, bukankah penebar ketakutan merasa terusik. Pemuda Yosefat mungkin tidak pernah mengerti bahwa di Abepura dan tanah Papua, ketakutan itu sengaja dipelihara. Setiap kali kendor dikencangkan ikatannya. Sebab hanya di tengah masyarakat yang takutlah tirani-tirani berseragam dengan senapan dan magazine bisa berkuasa. Hanya di tengah masyarakat yang ketakutanlah, orang-orang yang senantiasa menghunuskan tombak dan menarik busur panah bisa bersuara. Dan, seorang pemuda yang gagal menjadi manusia Indonesia berhasil mengubah ketakutan itu lewat menu sederhananya. Untuk kali pertama dalam sejarah Papua, para penebar ketakutan bersatu padu melenyapkan pemuda lugu ini. Mereka melakukan gencatan senjata, sebab apa gunanya mereka saling mengancam di tengah masyarakat yang tidak lagi dilanda takut. Sumber bencana ini perlu mereka lenyapkan; sebab hanya di tengah masyarakat yang takut, mereka bisa mendapatkan semuanya tanpa keringat. Cukup dengan ancam mengancam dan teror berbalas teror. Hanya ditengah masyarakat yang takutlah, curiga bisa ditebarkan, ketegangan antara penduduk asli dan pendatang dibentangkan dan isu-isu agama dimainkan. Ketakutan masyarakat di Abepura adalah sumber rejeki bagi aparat, milisi, gerilyawan dan politisi. Pada Usia Dua puluh Empat, Pemuda Yosefat meregang nyawa. Sebelum pegangan terakhirnya lepas, kepalanya yang terbungkus karung ia tolehkan pada salib besar yang menyala. Batinnya bertanya-tanya, kenapa di tanah Papua ini sebuah tawa selalu mengundang duka. Dan penebusan ini tentu bukan yang terakhir, antreannya terlalu panjang di belakang.
31
Menang Posted on April 22, 2009 under Kolom http://itonesia.com/menang/ Kami telah memenangkannya. Tanpa sukacita, ucapan selamat dan parade. Kami telah memenangkannya dalam diam. Tanpa bendera, leaflet, pamplet dan tidak juga kiriman bunga. Kami telah memenangkannya, sebuah generasi yang memutuskan sendiri nasibnya. Tidak menjadi bidak, ternak ataupun wayang. Kami telah memenangkannya dengan menjadi dalang yang menentukan nasib sendiri. Dan bila kami memenangkannya, kami tidak akan meminta lebih. Kami akan menikmati hari seperti biasanya, dalam lindungan awan, tiupan langit di bawah langit Indonesia yang indah kelabu. Beginilah kami, generasi baru Indonesia. Duduk menikmati hari tanpa dikejar agenda, kami akan terus begini seperti nenek moyang kami yang pernah menang dan seringkali kalah. Sekarang kami tersenyum sendiri membayangkan kalian yang telah kami tinggalkan. Hanya dengan duduk diam kami telah meninggalkan sekian banyak orang yang tidak beranjak dari kemajuan. Dulu kami percaya. Digiring ke bilik-bilik kecil untuk menyerahkan diri. Seseorang akan memberikan pada kami sebuah paku besar untuk menusuk tenggorokan kami menjadikan kami bisu tidak bersuara hampa. Seseorang lainnya menyerahkan kertas gambar untuk membungkam mulut kami, diam seribu bahasa terjebak dalam kekonyolan. Dan kami bagai perawan diperkosa keluar dari bilik kecil. Berjalan tertatih dengan kaki menahan sakit, sebab kami telah menjual diri dalam perniagaan yang tidak menguntungkan. Mereka mengatakan, kami tengah menentukan nasib sendiri. Sekarang kami bertanya, bagaimana bisa seseorang yg lehernya ditusuk paku dan mulutnya disumpal kertas bisa menentukan nasib sendiri. Bagaimana bisa seorang perawan yang telah diperkosa menentukan nasib di tengah wajah-wajah munafik masyarakat yang menudingnya. Di bilik kecil itu kami tidak pernah menentukan nasib sendiri; hanya nasib segelintir maniak yang memperdaya. Kami adalah generasi antara. Aspal yang menjadikan mobil Tuan-Tuan menginjak tanah dengan mulus. Kami adalah semua prasangka baik yang tersisa di republik. Kami berdiri di papan penghitungan suara, kami menyaksikan kecurangan. Kami adalah kurir-kurir di malam hari yang mengantarkan suara menuju kecamatan. Kami lah yang menyaksikan jual beli suara di Panitia Pemilihan Kecamatan. Kami lah generasi antara, yang mengantarkan minuman untuk Tuan dan Nyonya sementara transaksi terus terjadi. Kami lah semua loyalitas yang kalian inginkan. Kami lah massa yang tidak kenal hujan panas. Kami lah yang terus tertidur lelap sementara kalian belanja suara. Kami lah yang hanya bisa mendapati dalam mimpi bahwa beribu suara kami hanya akan berakhir sebagai alat manipulasi. Kami terbangun pagi hari dalam teriakan makian, menyiapkan sarapan untuk Tuan dan Nona Muda yang hendak berangkat sekolah. Kami adalah tukang kebun yang menyaksikan keajaiban Indonesia, satu kuntum suara bisa mekar menjadi seribu bunga. Kami menyaksikan camat-camat menikmati pemilu, ya, kami yang senantiasa tidak berhenti mengantarkan surat melihat, sebuah suara bisa berharga di tangan orang yang tepat. Kami adalah korban sekaligus pelaku yang melukai diri sendiri. Giat kami bekerja, berangkat pagi sekali tiap hari. Kami lah yang menjalankan mesin-mesin. Kami pula buruh-buruh perkasa yang memikul beban produksi. Kami lah gadis-gadis belia yang dipaksa berdandan menor untuk menarik pembeli dari hasil produksi. Di akhir bulan kami 32
mendapati hati yang luka, gaji kami tidak cukup untuk sarapan pagi. Seseorang telah datang menjelang akhir bulan dan merampasnya. Mereka tidak bekerja seperti kami. Hanya datang kepada Tuan-Tuan kami menyodorkan angka-angka. Politik butuh biaya, pengusaha butuh stabilitas ekonomi. Maka mereka merampas gaji kami untuk pestapesta yang tidak akan pernah mengikutsertakan kami. Mereka menyebutnya presentasi, sebuah kata yang tidak akan pernah kami pahami sebagai kuli. Tetapi kami tahu, setiap lima tahun sekali mereka datang hanya untuk merampas jatah sarapan pagi kami. Kami adalah generasi yang terkucil. Pada saat demokrasi telah menjadi plutokrasi, partisipasi ditentukan oleh daya beli. Kami adalah sepasang mata yang terus menyaksikan televisi. Semua orang berbahagia karena demokrasi. Presenter TV perempuan dengan wajah dan tubuh mirip bintang porno dengan earphone tidak lepas dari telinganya memandu masa depan kami. Seorang presenter TV yang sebenarnya tidak punya gagasan kecuali mengikuti bisikan pertanyaan dari produser acara di telinganya telah memperlakukan kami sebagai angka-angka yang bisa dilewatkan, bisa dikebiri kapan saja. Kami yang bekerja di balik riuh kabel dan tali temali lampu studio, di balik kamera dan panggung acara diam membisu melihat segelintir orang memperjualbelikan suara kami dalam koalisi. Berjuta suara kami menjadi ajang transaksi segelintir orang yang dalam lima tahun ke depan akan menikmati keringat kami. Kami adalah supir-supir yang mengantarkan Tuan dan Nyonya untuk berembug menentukan nasib sendiri menjadi saksi sebuah pelukan hangat bisa berarti, esok ribuan dari generasi kami akan mati begitu saja. Kami adalah pelayan hotel yang melayani Tuan dan Nyonya yang sedang menyusun strategi. Kami lah yang mengantarkan makanan dan minuman, sementara Tuan dan Nyonya bergumul di atas ranjang demokrasi. Kami lah yang terus menerus menahan hati sementara kalian berpuas diri. Kami adalah generasi yang murah hati. Kami memberikan suara dengan ikhlas begitu saja tanpa prasangka. Kami menyerahkan mata pada televisi untuk diperlakukan seenak pembawa acara. Kami yang memberikan tenaga kami untuk kursi Tuan dan Nyonya yang wanginya tidak akan pernah kami cium aromanya. Kami mengantarkan kalian ke gedung rakyat, suatu waktu nanti kalian menyambut kami dengan kawat berduri. Kami mengantarkan kalian ke istana tetapi lihatlah, bahkan di jalan raya kami senantiasa harus mengalah pada sirene kalian. Kami adalah generasi yang murah hati, itu pasti. Kami adalah gadis-gadis muda yang bahkan belum menikmati malam pertama yang kalian panggil ke gedung wakil rakyat. Kami melayani kalian sampai kalian bosan dan kami disebut kotoran. Esok hari kalian bersidang tentang etika, agama dan kondom. Kami adalah perjaka pelayan Nyonya kesepian, kami dipanggil ke Kalibata, memberikan tenaga untuk uang kuliah. Esok hari, kami mendapati sebuah keluarga anggota dewan yang bahagia; bapak, ibu dan dua orang anak lengkap dengan tiga babu dan dua anjing peliharaan. Kami adalah generasi yang murah hati; bukankah itu yang demokrasi ajarkan. Kami adalah generasi antara yang menjadi sandal dan alas sehingga kaki kalian tidak perlu menyentuh tanah. Kami adalah seseorang, beberapa orang dan orang-orang yang senantiasa kalian pandang sebelah mata. Kami adalah para pelayan yang memastikan rumah tangga kalian berjalan sebagaimana mestinya. Kami adalah supir yang memastikan kalian tidak pernah dikalahkan waktu. Kami adalah kuli dan buruh dalam kegiatan produksi yang penuh obral janji. Kami adalah tentara dan polisi yang menjaga kalian di balik kawat berduri. Kami adalah perawan dan perjaka yang memastikan kalian tidak onani di tengah sidang, cukup tidur saja. Kami adalah petani, nelayan, tukang ini dan itu yang sesekali melintas dalam pikiran-pikiran hebat kalian. Kami adalah orangorang yang kalian lupakan selama 4 tahun 11 bulan dan hanya 1 bulan mengenal kalian. Kami adalah generasi antara, sekrup kecil dalam mesin peradaban kalian yang gagah. Tetapi pikirkanlah, bagaimana bila sekrup-sekrup kecil ini melepaskan diri? 33
Kini kami mulai melepaskan sekrup-sekrup itu. Mesin kalian masih berjalan tetapi kami percaya hanya masalah waktu untuk rontok. Kami tidak lagi percaya pada partisipasi. Kami mematikan televisi melupakan presenter mirip bintang film porno. Kami mengacuhkan bilik-bilik kecil. Kami membiarkan transaksi suara, sebab tidak ada suara kami di dalamnya. Kami tidak lagi akan melayani kalian. Kami akan membiarkan kalian onani di tengah sidang. Kami diam dan kami menang. Hitunglah, kemenangan kami ini sudah sangat nyata. Kami akan merontokkan kalian, sehingga mesin demokrasi yang kalian agung-agungkan itu akan lepas satu persatu; partai, lembaga survey, birokrasi dan televisi. Kami telah memenangkannya dengan tidak melakukan apa-apa, hanya diam. Kalian bayangkan, bahkan dalam diam pun kami bisa menang; apalagi kami mulai bergerak.
34
Tuan Goen Yang Tidak Lagi Mencatat di Pinggiran Posted on June 28, 2009 under Kolom http://itonesia.com/tuan-goen-yang-tidak-lagi-mencatat-di-pinggiran/ Tuan Goen, masih hidup dia rupanya. Walaupun uban tidak lagi sanggup diperam perawan, dia masih kuasa berjalan. Tuan Goen hidup dari kata dan mantera. Dia menyisipkan pesan mingguan, bagai khutbah manusia prasejarah pada zaman yang tidak lagi menghendakinya. Lihatlah Tuan Goen menapaki jalan, dari belukar Utan Kayu hingga rindangnya Salihara. Dia renta, tertatih dengan langkah terseok tetapi Tuan Goen percaya dia lah pengemban wahyu untuk menyelamatkan peradaban. Tetapi pada zaman ini, siapakah lagi yang mengerti dengan mantera Tuan Goen. Generasi kami, Tuan Goen, bukanlah pemamah biak mantera berbalut estetika. Dan kami tidak punya waktu melayani orang tua cengeng yang sepanjang hidupnya bermimpi menjadi Albert Camus. Kami bukanlah pelayan mimpi-mimpimu Tuan Goen. Tiap minggu kau bisa menggoda kami dengan rayuan gombal catatan pinggirmu, tetapi kau tahu Tuan Goen, karena kami terlahir durhaka maka mudah bagi kami memisahkan dusta dari kata. Lagipula, bukankah tulisanmu lebih banyak kutipan mantra asingnya daripada mantra mu sendiri. Tuan Goen tidak mendapat tempat di generasi kita, lalu dia beralih pada penguasa. Tertatih mendaki tangga istana, Tuan Goen mendapati dirinya dilarikan kereta. Di Bandung sana, Tuan Goen berikrar akan melanggengkan kekuasaaan dengan warna-warni Amerika. Ohh Tuan Goen, sudah pikun dia rupanya, ini Indonesia bukan negara bagian Amerika. Mari ucapkan mantera generasi kita; sudahlah Bro, secara lo udah tuwir gitu loch… Di Bandung sana, Tuan Goen gagah menyampaikan orasi budaya. Dia memulai orasi dengan pekik merdeka tetapi panggungnya dihiasi triwarna merah putih biru. Dia mengungkit Soekarno untuk menyanjung Boediono. Tuan Goen memberi garansi kepada kita, bahwa Boediono dan tentu saja SBY layak untuk dipilih sebab dia bukan politisi juga bukan pemain sinetron. Dan yang lebih penting sepanjang hidupnya, Boediono dihidupi oleh negara bukan lewat bisnis yang menjadi haram dalam panggung itu. Bagi Tuan Goen yang katanya sering berjuang untuk menghilangkan Islamophobia bangsa barat, mengumpulkan kekayaan dari pajak atas jasa pada negara jauh lebih mulia daripada berniaga. Tuan Goen dan anak-anak salah asuhannya tentu, sebagaimana Boediono, sangat percaya pada tangan tidak terlihat yang bisa melakukan intervensi terhadap pasar. Masyarakat sipil perlu diperkuat dengan melemahkan fungsi negara. Wajar bila pengidap sipilis semakin meningkat. Tetapi pernahkah Tuan Goen berpikir, dalam konsep kami masyarakat awam, di pasar-pasar rakyat tangan tidak terlihat itu wujudnya sangat jelas yaitu copet. Itulah jenis manusia yang selalu menerima curiga, sebab senantiasa mengambil sesuatu yang bukan hak nya. Tuan Goen, apakah tangan tidak terlihat yang Tuan suka itu tiada beda dengan tangan tidak terlihat yang kami mengerti? Bukankah, tangan tidak terlihat itu yang membuat jurang antara yang miskin dan kaya semakin besar. Bukankah, tangan tidak terlihat itu yang membuat generasi kami mulai bosan dengan ketidakadilan. Bah, lupa aku, Tuan Goen tentu tidak akan sanggup menjawabnya, sebab dalam referensi Albert Camus, pertanyaan ini belum pernah muncul. Begitulah di Bandung sana, Pak Tua Goen tidak ingin menerima takdir usia senja. Politik adalah sebuah tugas. Tanpa diminta, Tuan Goen menuliskan pembelaannya, kenapa dia memihak. Sang Albert Camus wanna be ini seperti biasa merangkai kata dari beragam kutipan yang panjangnya melebihi gagasannya sendiri. Sederhana bukan, sama sederhananya dengan merangkai meja belajar olympic, bahan dan sekrup sudah tersedia 35
kau tinggal menyatukannya. Lantas kau memuji kerja kau yang tidak seberapa itu sebagai sebuah prakarya pribadi. Tuan Goen tidak usah berkecil hati, kau punya tulisan masih ciamik punya. Bagai rokok, nikmatnya masih melebihi kadar Tar dan Nikotin. Tetapi inilah hukum rokok Tuan Goen, kita menikmatinya tetapi kemudian kita lupa gunanya untuk apa. Kau menulis, Politik adalah tugas merambah jalan di belukar membuka celah agar keadilan itu datang. Terkadang tangan jadi kotor, hati jadi keras – dan itu menyebabkan rasa sedih tersendiri. Aku menghisap mantera mu dalam-dalam Tuan Goen, tetapi nafasku sesak. Paru-paru ku memberontak sementara jantung menginginkan revolusi. Di usia senjamu, kau masih jumawa berkehendak membuka jalan yang tidak kami butuhkan. Kau tahu politik itu kotor Tuan Goen, kau memasukinya lewat rusuk penguasa, ah betapa tambah kotornya kau ini. Kau menyebut nama Munir, berharap keadilan pada penguasa yang tidak kunjung mampu menyelesaikannya. Kau, yang menganggap dirimu intelektual publik, menolak untuk ongkang-ongkang kaki bermatabatkan mahligai. Tetapi Pak Tua, kenapa baru sekarang kau berani berkata, justru pada saat kau menyokong penguasa. Kenapa dulunya mahligai mu itu susah sekali digapai pada saat banyak sekali hal yang tidak sesuai. Tuan Goen yang bercita-cita menjadi martir kebebasan di Indonesia justru di usia senja terpenjara oleh kepikunannya sendiri. Tuan Goen, sudahlah, aku lihat kau sudah lelah. Tiada guna lagi kau berulah. Manteramantera mu tidak lagi bisa mengobati sakitnya generasi kami. Tidak usah pula tubuh rentamu itu kau paksakan untuk memikirkan masa depan kami. Masa-masa dimana kau sudah tidak ada lagi dan kami tidak tahu, akankah kami mengenangmu sebagai seseorang, atau hanya sebuah bidak biasa dalam panggung kampanye presiden Amerika di Bandung sana. Pak Tua Goen, saatnya undur diri, bagi kami kau tiada guna lagi. Perawan-perawan generasi kami tidak lagi tersihir oleh mantera mu. Mereka suka yang praktis Pak Tua, bukan yang rethoris. Kau sudah berbuat, kami tidak akan menghapus jejakmu. Masalah penilaian serahkan kepada masa depan. Pak Tua Goen sudahlah, kau tidak akan pernah lagi bisa mencatat dari pinggiran.
36
Sebatang Lisong Untuk Mas Willy Posted on August 7, 2009 under Kolom http://itonesia.com/sebatang-lisong-untuk-mas-willy/ Menghisap sebatang lisong, tetapi kita tidak lagi bisa melihat Indonesia Raya dan tiada mampu lagi mendengar suara dari 250 juta rakyat; sementara para cukong, dan bukan 2-3 orang lagi, terus mengangkang berak di atas kepala mereka. Mas Willy, ini Lisong yang berbeda tetapi dalam kemuraman yang sama. Anak-anak SLA masih terus mengobel klentit ibu gurunya. Lulusan SLA semakin banyak yang tidak sanggup melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Sementara ilmu yang mereka dapatkan tidak kunjung mampu memecahkan persoalan kehidupan. Kita masih terus membeli rumus-rumus asing tanpa pernah bisa merumuskan keadaan dengan cara kita sendiri. Inilah gambaran nyata dari persoalan serupa. Atas nama demokrasi, hak azasi bisa dikurangi. Yang penting sekarang bukanlah, apatah pembangunan berjalan sebagaimana rencananya tetapi apatah demokrasi sudah bisa meniru tingkah polah Paman Sam sana. Maksud baik semakin dicurigai, Mas Willy. Dan bila maksud baik itu terlaksana, orang akan bertanya; saudara bekerja untuk siapa dan keuntungan macam apa yang saudara terima. Inilah yang lama dan baru di jagad kehidupan Indonesia Raya, sama, serupa; hanya saja kita menghisap lisong yang berbeda. Tentara-tentara berwajah jelek telah digantikan polisi-polisi berperut gendut. Tarifnya sama hanya penagihnya yang berbeda. Opsus telah berganti pengacara haus kasus. Kerjanya sama, menisbikan kebenaran sehingga tanda tanya berubah menjadi nominal angka. Cukong-cukong tidak lagi dari Amerika, Cina dan Jepang tetapi seluruh dunia dan manusia Indonesia yang mampu mengeruk apa saja dengan cara-cara buas. Dan tentu saja Mas Willy, semua itu tidak menjadi persoalan sebab para penyair semakin sibuk dengan anggur dan rembulan. Kesenian sudah pasti terlepas dari derita lingkungan. Televisi sudah membeli semuanya. Donor asing, tentu atas nama penghargaan seni, telah membeli setiap kata yang keluar dari mulut bisu. Kata-kata telah menjadi transaksi buta; perdagangan sampah yang menjadi lazim karena setiap pengucap kata butuh nasi bungkus di onggokan sampah kata-kata yang semakin meninggi. Ah Mas Willy, sekarang kau tidak lagi bisa menyumpah. Tiada lagi jeri bagi pengkhianat kata yang bisa kau maki. Tiba-tiba saja kehidupan jadi membosankan. Jenis pekerjaan semakin luas beraneka rupa tetapi tujuannya menyempit. Yang terhormat di bumi Indonesia ini, hanyalah bila kau bisa mengumpulkan uang banyak dengan cara apa saja sepanjang tidak merugikan dirimu sendiri. Inilah yang lama dan baru di jagad kehidupan Indonesia Raya, sama, serupa; hanya saja kita menghisap lisong yang berbeda. Tidak akan ada lagi pamplet masa darurat. Sebab semuanya akan baik-baik saja, bila kau bisa makan enak, berak lancar dan bila itu tidak cukup; beratus kelab malam menunggumu, cukup pesan 2-3 pil ekstasi yang bebas dijual bandar, sisakan satu pil untuk perempuan yang putus harapan dan jeri mu selesai sudah; kau bebas bergoyang hingga bercinta di kamar mandi. Esok hari, makanmu mungkin kurang enak tetapi yang pasti berak mu semakin lancar. Mas Willy, di masa darurat ini pamplet-pamplet bebas beredar tetapi sayang tiada minat untuk memasangnya. Ini bukan masa darurat, jelas, ini bukan masa darurat; kami baik-baik saja, jauh lebih baik pada saat “meneken” pil ekstasi. Kami pemuda, jelas kami harapan bangsa. Dan bangsa ini akan lebih berharap kepada para pemuda yang bisa ngineks, ngiprit, nyimeng, nyabu dan jago nge*** sambil merekamnya dalam format 3gp. Ah, bukankah kami ini terlihat hebat mas Willy? Ayo di 37
alam sana katakan, “Kalian adalah generasi yang hebat, oke punya. Kalian adalah pewaris Sukarno-Hatta. Kalian bukan lagi tiga, tetapi berjuta menguak takdir. Nasib kalian tidak akan seperti Paman Doblang!”. Tetapi tidak Mas Willy, aku tahu, jauh di alam sana yang jaraknya berlapis ajal, kau akan menangis untuk kami, “Kalian adalah generasi yang sakau akan teladan. Tanpa bimbingan menghadapi ujian kehidupan. Kalian menghadapi satu jalan panjang, tanpa pilihan, tanpa pepohonan, tanpa dangau persinggahan; tanpa ada bayangan ujungnya”. Inilah kami mas Willy, berjujur kata ku berungkap, generasi yang hilang ditelan oleh angan tidak berkesudahan. Kami telah mengganti Lisong dengan Bong. Pagi harinya kami masih berkata, ayo serahkan masa depan bangsa pada kami. Sungguh kurang ajar! Ada yang datang, ada yang pergi. Tetapi di negeri ini, yang datang tidak kunjung mampu menggantikan mereka yang pergi. Masa orang-orang besar telah lewat, Mas Willy mungkin jadi penutupnya. Kehilangan itu pasti, tetapi meneruskan semangat dan jiwamu itu yang semakin tidak pasti. Pada hari-hari dimana hujan merontokkan tekad besar dalam jiwa yang kering berlapis kulit legam; kami menari dalam sepi. Kesenian memang mulai terlepas dari derita lingkungan. Sebab kata tidak lagi berharga bila dia tidak bisa dijual menjadi nada yang enak di telinga. Pemikiran pun semakin terpisah dari masalah kehidupan. Sebab pikiran hebat adalah pikiran yang bisa menciptakan transaksi, mengedepankan angka-angka, menjadikan politik ilmu statistik dan tentu saja memelihara penderitaan si melarat supaya sistem bisa berjalan sebagaimana mestinya. Bila kini engkau telah pergi Mas Willy, kepada siapakah kami mengadu; siapakah lagi yang bisa menghardik meja kekuasaan dan papan tulis yang macet? Inilah yang lama dan baru di jagad kehidupan Indonesia Raya, sama, serupa; hanya saja kita menghisap lisong yang berbeda. Dan inilah Lisong terakhir! Mas Willy, dalam hari-hari berkabung yang semakin memanjang ini, ijinkan aku membakar-kan lisong terakhir ini untukmu. Dalam aroma tembakau yang merekah ini aku bersumpah untuk terus memelihara amarah, bersekutu dengan yang lemah, terus mencurigai kekuasaan dan memajang kembali “kata-kata” dalam pigura kemanusiaan. Sebab kata-kata akan kembali memperoleh kehormatannya bila kita semua percaya bahwa; kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Selamat jalan Mas Willy.
38
107 Tahun Bung Hatta, Begini Inilah Kami Bung! Posted on August 10, 2009 under Kolom http://itonesia.com/107-tahun-bung-hatta-begini-inilah-kami-bung/ Tugas sejati para pecundang adalah mengenang. Itulah bakti terbaik yang bisa kami berikan pada penyuluh zaman. Lainnya, kami hanya menghabiskan waktu untuk cita-cita pendek dalam rentang usia yang terus memanjang. Kami yang hidup sekarang, tidak mau mempersulit diri untuk hal-hal yang berada di luar kepentingan pribadi. Yang kami butuhkan hanyalah kehidupan yang normal; rumah, mobil, tabungan lebih dari cukup, anak-anak yang bersekolah internasional dimana pelajaran sejarah dihapuskan, istri dan kalau bisa dua atau tiga orang simpenan mahasiswi. Itulah kehidupan yang sebenarnya Bung, bukan jenis impian muluk-muluk yang kau miliki. Dan coba bayangkan; mana mungkin kami mau membujang sebagaimana kau hingga usia 43 tahun hanya demi citacita Indonesia merdeka? Hahaha Bung, di zaman sekarang ini, kami akan mencurigaimu menyukai sesama jenis. Intermezo dari rutinitas hidup Bung, adalah liburan bukan penjara. Makanya kami tidak habis pikir, kenapa kau sia-siakan hidupmu di Belanda dengan menentang semua kesenangan yang tersedia disana? Kenapa pula kau mau menginap di hotel Prodeo hanya untuk sebuah impian Indonesie Vrij. Ah pleidoi mu di masa sekarang tidak akan mengubah apa-apa. Sebab, yang kau tidak akan pernah mengerti di zaman kami ini, hukum sudah pasti bisa diperjualbelikan. Bagi kami Belanda adalah surga, bukan neraka dimana api penyucian bisa mengantarkanmu ke nirwana. Kami tidak akan menentang kesenangan yang tersedia, kami akan menikmati sehabis-habisnya. Canabis, ecstasy, mushroom; semuanya tersedia untuk saudara tua. Jadi tidak salah kan Bung, bila sekarang kami bertanya-tanya; kenapa dulu semua kesenangan ini kau lewatkan hanya demi sebuah absurditas Indonesia Merdeka? Exorbinte Rechten, hak-hak istimewa gubenur jenderal, telah mengirimmu ke neraka Boven Digoel. Bukan tempat yang enak, bahkan hingga saat ini. Tetapi kau ini Bung, memang gandrung menyiksa diri. Kau biarkan kapal putih menyeret dirimu menuju camp interniran itu. Kau habiskan hari-harimu bersama orang-orang terhukum lainnya sembari memelihara cita-cita yang absurd tadi. Kau bunuh rasa bosan dengan bercocok tanam. Dan yang aneh, kau ulurkan persahabatan dengan suku asli sana, orang kaya-kaya. Kau menolak bekerjasama, berasmu dijatah, laukmu cuma ikan asin. Sungguh, bagian hidup yang tidak akan pernah kami cita-citakan. Dengar Bung, bagi kami Boven Digoel dan Papua itu bukan lagi tempat pembuangan tetapi sumber pemasukan. Belanda telah lama pergi, gubernur jenderal tidak ada lagi; kami lah pemegang tunggal hak-hak istimewa Exorbinte Rechten. Itu sebabnya kami bebas tanpa kendali di Papua. Kami tidak perlu mengulurkan persaudaraan dengan manusia Papua, sebab kami hanya butuh alam nya. Jakarta saat ini Bung, hanya butuh tembaga, gas, emas dan hutan; coba lihatlah, manusia Papua tidak masuk dalam komoditas yang kami butuhkan. Kalau ada yang keberatan tinggal kirim polisi dan tentara; seenak hati kami bicara, “hei, ko OPM ya! Kitorang kasih mati baru ko tau rasa!” Bung, pada zaman kami ini, yang menang adalah yang praktis bukan yang idealis. Kau akan menjadi orang gila yang asketik di zaman kami ini, Bung. Dan itu jelas akan membuat kesal semua orang. Kenapa sih, kau tabah betul berlama-lama di Banda Neira. Bersama Sjahrir kau jadikan tempat pembuangan itu sebagai tempat plesiran. Kau hanya membuang-buang waktu sembari terus mengulang-ngulang makan malam bersama 39
Tjipto Mangunkusumo, terus mengulang-mengulang…ya ampun…apa kalian tidak bosan seperti itu? Kau dan Sjahrir sama saja, betah berlama-lama dengan anak-anak sana, mengajari mereka dengan ilmu yang standarnya jauh di bawah sekolah internasional. Itulah mimpimu yang tidak masuk akal; di zaman ini yang perlu kau sadari Bung, bahwa bekal ilmu itu tidak berarti banyak bila kau tidak punya uang yang cukup untuk anakmu. Ya, semua anak perlu sekolah tetapi hanya sedikit anak yang mendapatkan pendidikan yang baik. Sisanya, ya Bung, kita masih perlu lebih banyak kuli dari mereka yang tidak terdidik. Kita perlu cukup massa demonstran bayaran dari orang-orang bodoh. Itu sebabnya, pendidikan itu harus eksklusif, tidak terjangkau, setiap kursi ada harganya sebab bila tidak demikian; bagaimana mungkin segelintir manusia bisa tetap memperbudak lebih banyak manusia di bumi Indonesia tercinta ini? Jadi, bila kau hidup di zaman kami ini Bung, solidaritasmu hanya akan berakhir di kolong jembatan. Kami yang wangi ini, tidak akan sudi menjengukmu. Di Pegangsaan 56, kau dan Soekarno pada bulan puasa itu membikin gara-gara. Ah, proklamasi, omong kosong itu bikin revolusi. Dan revolusi itu bikin pembangunan koloni terhenti lima tahun lamanya. Mari Bung, kami ajarkan cara kami; tidak usah ada proklamasi seharusnya sehingga revolusi tidak perlu terjadi. Biarkan tangan terampil Belanda merawat bangsa ini, memang mereka mendapatkan semua kekayaan alam kita tetapi masa sih kita tidak dapat sisanya? Dan itu jumlahnya bukan tidak sedikit kan Bung? Demikianlah cara pintar kami mengelola nusantara ini Bung. Yang mulia bukanlah proklamasi tetapi investasi. Dengan cara seperti itu kami tidak perlu keluar keringat, biarkan bangsa asing yang menggali, biarkan mereka membawa hasilnya ke negeri mereka dan kami, tentu saja masih bisa menikmati sisa-sisanya. Tetapi kau dan Sukarno menolak kompromi, betapa angkuhnya. Kau tidak akan bisa hidup di zaman kami Bung. Kami tidak perlu mengenang proklamasi, dan yah, kami sudah mulai melupakannya. Upacara bendera sudah tidak wajib lagi di sekolah-sekolah yang telah mengganti kata “merdeka” dengan “Yes Sir”. Anak-anak kami tidak perlu lagi hormat pada Sang Saka Merah Putih, biarkan mereka memuja Sang Sakaw Meraih Putaw. Bung Hatta, bagi kami hidupmu adalah rentetan mimpi buruk yang sekuat tenaga akan kami hindari. Bagimu prinsip adalah harga mati sedangkan bagi kami, prinsip itu tergantung pada kompromi. Hanya karena prinsip yang kami tidak peduli, kau mundur sebagai wakil presiden. Bah, mengundurkan diri demi prinsip? Itu sama sekali tidak ada dalam kamus manusia Indonesia modern. Sekarang eranya kompetisi, plutokrasi yang indah bagi kami yang berduit. Kau tidak harus mundur karena prinsip, sebab pada prinsipnya, ya, tidak ada prinsip. Kami tidak akan pernah mau mengorbankan kehidupan nyaman kami yang dibiayai oleh rakyat berakhir begitu saja karena makhluk aneh bernama prinsip. Tidak, kami dan tentu saja, anak, istri dan simpanan-simpanan kami tidak siap untuk hidup melarat. Di zaman ini, mereka yang melarat tidak akan terpandang. Dan itulah anehnya zamanmu itu Bung, orang-orang melarat kok banyak mendapat posisi terhormat di mata rakyat? Bila saja pada tanggal 12 Agustus 1902 di kampung Aur Tajungkang, bukan anak yang kelak diberi nama Mohammad Attar yang keluar dari perut Ibunda Saleha. Tentunya 107 tahun berjarak waktu ini, kita tidak terjebak dalam penyesalan mendalam. Kita hanya mampu mengenang, pertanda kita masih jadi pecundang. Kita tidak memberi tempat hidup bagi nilai-nilai Hatta dalam keseharian kita. Kita menginginkan surga tetapi enggan melewati api penyucian bernama pengorbanan. Kita menghirup nafas kemerdekaan tetapi jiwa kita terpenjara. Kita enggan menengok sejarah sebab itu hanya akan menghambat rutinitas kita. Kita satu bangsa, tetapi sudah berbeda lingua franca; yang berkuasa menumpahkan darah demi seceret air. Bila pada hari ini, jalan hidup yang telah ditempuh 40
oleh Hatta tidak masuk akal bagi kita maka selamanya kita akan menjadi kuli dari kuli bangsa lain. Sampai saat ini, begini inilah kami, Bung!
41
Sepi Posted on October 20, 2009 under Kolom http://itonesia.com/sepi/ Inilah cerita tentang orang-orang yang kesepian. Duduk di ranting paling tinggi, tanpa dahan penyangga dan pohon yang menjadi tiangnya. Dia menatap jauh ke depan, tiada pemandangan tidak pula ada pengharapan. Dia memandang ke bawah tiada dasar tanpa jurang yang menganga. Di atas ranting paling tinggi dia bergelayutan penuh kekhawatiran tetapi tanpa rasa takut. Beginilah bila hidup tanpa ketakutan, yang ada hanya tawa. Sebab sebagaimana ucap Jorge yang buta, “tawa membunuh ketakutan. Tanpa rasa takut tidak akan ada Tuhan”. Dan inilah ucapku, tanpa Tuhan, ranting-ranting akan terus meninggi tanpa dahan penyangga dan pohon yang menjadi tiangnya. Inilah cerita tentang orang-orang yang kesepian. Mereka yang membajak sawah tanpa air. Terus mencumbu tubuh kerbau dengan cambuk. Mereka berharap panen akan datang dalam seratus hari. Padi menguning, pipit nakal menggoda. Tetapi lihatlah, bahkan bendungan penuh dengan bangkai dan kotoran yang semakin meninggi. Tiada air, yang bisa kau panen hanya harapan. Kerbau-kerbau berontak tanduknya merebut caping petani. Mereka menari layaknya badut kaki empat dengan tulang iga menonjol rapi. Tidak ada panen musim ini, kau bisa pulang sebelum berangkat di pagi hari. Tanpa kerja, kau tidak akan pernah menunggu pagi. Tanpa pagi, pengharapan punah sudah. Dalam unggun jerami terakhir, seseorang berkata, “sirami aku dengan bensin” Inilah cerita tentang orang-orang yang kesepian. Dia berada di tengah-tengah keramaian. Orang-orang bekerja di balik meja tanpa sapa. Suara manusia dibungkam oleh ketukan tanpa irama dan sesekali desauan pendingin ruangan. Inilah keramaian yang mencekam. Suara hanya instruksi dan kau tetap sendiri. Kau mesti menyelesaikan suatu hal yang kau tidak pernah tahu akan berakhir seperti apa. Di ujung sana tragedi mungkin saja menyapa banyak orang dengan keramahannya yang mematikan. Dan kau tetap sendiri dengan risiko yang kau tidak akan pernah tanggung sendiri. Hei, lihatlah, tanpa risiko hidup layaknya danau yang tidak akan pernah kering. Terlihat indah dari ketinggian tetapi tercekik dalam sepi. Pada saat fajar menyapa hari, kau akan berteriak, “semoga esok fajar tidak lagi menyapaku” Inilah cerita tentang orang-orang yang kesepian. Mereka yang minggat tetapi selalu kembali. Orang yang terus berbicara masalah semua orang tetapi lupa bahwa dia lah yang menjadi masalah bagi semua orang. Orang-orangan sawah yang telah mati kehendak. Berkhayal tinggi punya daya untuk bergerak sehingga bisa memburu pipit hingga ke sarangnya. Lihatlah, betapa bodohnya kita, tanpa kehendak menyebut diri bebas begitu rupa. Anak-anak muda berlarian dalam ecstasy, dalam perhentian mereka mengisap ganja, terus berlari berharap esok mereka akan menjumpai tempat yang berbeda. Tetapi mereka tetap kembali, karena orang-orang bebas yang mati kehendak tiada angan tiada tujuan hanya menemui tempat perhentian untuk kembali. Sartre benar, “kebebasan adalah hukuman untuk manusia”. Dan biarkan aku menyambungnya dengan Marquez, “kita terhukum untuk seratus tahun kesunyian”. Sepi nyaris menang. Pelan-pelan dia membunuhku. Membenamkan dalam lumpur yang mengeras. Tanganku mencari pegangan tetapi hanya ada akar rapuh dari pohon yang menimpaku. Sekali waktu seseorang datang menjengukku, lalu pergi membawa pesan yang tidak akan pernah sampai. 42
Abu Posted on October 25, 2009 under Kolom http://itonesia.com/abu/ Bohong tidak lagi menjadi syakwasangka. Lihatlah, dia telah menjelma menjadi sesuatu yang nyata. Hal-hal benar yang keluar dari mulut, pahit berduri dan tidak mendapat tempat dalam realita. Inilah yang aneh tetapi tidak baru dalam dunia yang semakin sempit. Pada saat kau berbohong, orang-orang menerimanya karena jelas mereka menyukainya. Dan kau terus berbohong, hingga batas dimana orang-orang bosan dan berkata, “enyah sudah, kami tidak lagi bisa tertawa dengan alasan yang sama”. Lalu kebenaran itu datang tanpa diundang, menusuk perih. Membawa kesadaran yang selama ini hilang dibekap angan, kau sebenarnya hidup sendirian. Tidak ada yang membutuhkan, tiada yang menunggu dan tiada pula yang menanti kau di ujung sana. Lihatlah abu yang diterbangkan angin, tiada tempat yang mau menerima kecuali sementara. Ada perhentian tanpa tempat menunggu. Kau tetap percaya seseorang akan singgah dari jauh sana. Ada keyakinan fiktif yang terus kau pelihara. Dia akan berhenti walaupun sendiri. Kau akan mendengarkan suaranya walaupun satu kata. Dia akan menatapmu sebagaimana kau mengimpikan tentang orang-orang yang membutuhkanmu. Berbatangbatang rokok memenuhi jalanan membentuk bukit kecil kemalangan. Bertumpuk-tumpuk harapan tetapi punah oleh kehampaan. Inilah hal nyata yang selama ini tidak pernah kau perhatikan, pada kenyataannya tidak seorang pun yang pernah berjanji padamu. Tidak satu yang fana pun menitipkan harapan padamu, kecuali kau menciptakannya dalam imajinasi. Janji dan harapan adalah pengikat kehidupan. Masihkah ada artinya kehidupanmu bila tidak seorang pun menitipkan sesuatu padamu. Abu-abu terbang mencari tempat, tanpa ada yang menanti. Sekarang kau mulai mengerti, setelah melupakan banyak hal, kau mulai merasakan bagaimana rasanya dilupakan. Inilah yang kau tidak mengerti dari dunia ini, dia akan mengingatmu pada saat dia membutuhkan keramaian. Dia tidak menginginkan keindahan sebagaimana kau inginkan, sebab semuanya mesti praktis menyesuaikan dengan kebutuhan zaman. Jadi, bila ada keramaian yang lebih dekat buat apa mengingat yang lama. Bila ada peluk yang lebih erat, buat apa menolah pada tangan dingin yang tidak kunjung terhangatkan. Kau akan mengatakan itu sesuatu yang kejam, tetapi lihatlah, inilah kesetimbangan dunia yang mesti terpelihara. Bila hidupnya telah begitu berkecukupan buat apa menerima uluran tangan dari dia yang penuh kekurangan. Inilah yang adil walaupun tidak semua hal bisa diterima. Kau hanya bisa mengingat-ingat, tibatiba dia menyapamu lalu pergi begitu saja seolah-olah dia tidak pernah membuat sampah untuk dibuang kembali. Burung-burung mengepakkan sayap, mengeyahkan abu yang menghinggapinya. Dalam suaka orang-orang yang terlupakan, kau tetap sendirian. Ada pagar-pagar yang membatasimu dengan dunia tetapi itu tidak nyata sementara kau tidak pernah bisa melewatinya. Sekarang kau tidak ingin menunggu apapun, apapun itu. Kau tidak menanti suara, tidak juga rupa. Kau ingin terlewatkan begitu saja, sebagaimana tanda baca yang membatasi angka. Bila tidak ada lagi yang kau tunggu, maka kau tidak perlu lagi membangun harapan. Sebab tanpa ada yang dinanti, buat apa kau menyiapkan perapian. 43
Teruslah berusaha menunda pagi dengan segala cara. Sebab di pagi hari, kau pasti kembali tidak tahu harus berbuat apa. Pelihara terus keyakinan bahwa malam itu abadi. Sebab hanya di malam hari kau tahu, dalam tidur orang-orang sepertimu; terlupakan untuk sesaat. Api menyala menjilat angkasa dan abu-abu beterbangan tidak tahu hendak kemana. Aku adalah abu sisa dari bara yang sempat menyala. Tanpa menunggu dan ditunggu, tiada lagi kayu untuk memelihara nyalanya. Abu-abu memenuhi perapian yang nyaris padam. Rintik-rintik hujan berjatuhan mempercepat padamnya nyala. Abu-abu terpinggirkan, terbenam hilang dalam molekul-molekul yang tidak pernah diinginkan. Tanpa harapan dan yang mengharapkan, aku tahu, tangan ini terus bekerja mengukir nisan bertahun dua ribu sembilan.
44
Pertemuan Ekstra Posted on November 10, 2009 under Pertemuan http://itonesia.com/pertemuan-esktra/ Semenjak Eyang Harto berhasil menangkap dan memenjarakan Sutan Sjahrir alias Si Kancil yang katanya atas berkat jasaku itu, dengan beban dosa yang begitu besar di dada aku tidak tahu harus kemana. Eh Stop Dulu! Bagi kalian para pembaca sok intelek yang tidak mengerti dengan prolog tulisan ini baiknya kalian baca tulisanku berjudul, Pertemuan (1), (2) dan (3) yang dapat kalian temukan di blog ini. Kalau kalian juga tetap tidak mengerti, sudahlah jadi tukang pijat sama pengedar sabu saja kalian kayak si Ong Juliana Gunawan. Dengan begitu, tanpa perlu mematut diri sebagai intelektual berpikiran maju, kalian bisa berkawan dengan elit-elit keren yang senantiasa butuh “duren”. Tetapi sudahlah, kalian mengerti atau tidak, aku tidak pernah peduli. Lagipula dalam dunia yang semakin aneh ini, terkadang kita bebas menulis tanpa perlu dimengerti. Nah, aku lanjutkan cerita petualanganku di dunia antara ini ya. Eyang Harto hendak menjadikanku sebagai juru bicaranya. Tentu saja aku ngeri membayangkannya, juru bicara di alam kubur; bah, mending dia tawarkan saja pada pengamat-pengamat politik yang syahwatnya begitu tinggi untuk jadi jubir presiden. Jadi aku tinggalkan istana Eyang Harto yang penuh dengan perempuan molek, seksi tanpa bekas kudis itu. Tanpa Si Kancil, aku tidak tahu harus kemana. Aku ingin kembali ke atas sana, tetapi tidak tahu cara kembali. Inginku mencari Si Jon kawan seperjalanan, tidak ada jejak yang bisa ditapaki. Mungkinkah Jon masih berkeliaran di alam barzakh ini, tersesat? Atau jangan-jangan dia sudah kembali ke atas sana dan mulai produksi sinetron bersama Tuan Ram? Aku terus berjalan, tanpa tahu kemana arah tujuan. Hingga dalam hari-hari yang tidak mengenal siang dan malam kecuali pekik yang mengingatkan semakin pendeknya umur dunia di atas sana, aku terdampar pada suatu tempat mirip terminal bus kampung rambutan, tentu saja tanpa Metro Mini, PPD, Kopaja, mikrolet dan tukang copet. “Area Penjemputan”, demikianlah terpampang tulisan dalam bahasa Indonesia (tentu tulisan itu paling bawah, jauh di bawah bahasa-bahasa lain). Awalnya aku tidak mengerti, tetapi setelah aku berkeliling dan membaca dokumen dan pengumuman yang ada, otak yang cerdas ini cepat menangkap. Inilah terminal tempat para penghuni Surga menjemput penghuni neraka yang telah membayar semua dosanya di atas dunia dulu kala dan sekarang berhak memanen pahala mereka di surga. Istimewanya, setiap penjemputan disesuaikan dengan peringatan Hari Pahlawan setiap bangsa. Untuk manusia-manusia yang berjuang untuk kemerdekaannya tentu ini saat yang membahagiakan. Bangsa-bangsa yang kemerdekaannya dihadiahkan seperti Malaysia tentu bingung menentukan hari pahlawan mereka. Atau bangsa yang tidak pernah dijajah macam Thailand, arwah pendahulu mereka lebih penasaran lagi, kurang seksi apa tanah air mereka sehingga tiada imperialis yang menjadikan mereka koloni? Aku seperti merasa tidak asing di tengah kerumunan manusia dengan wajah berseri-seri itu. Perawakan orang-orang ini tidak jauh berbeda denganku. Tidak begitu mirip sih, sebab yang menjemput dari Surga kulitnya jauh lebih licin bercahaya sedangkan yang baru keluar dari neraka, mereka nyaris gosong semua. Tetapi intinya, aku merasa mirip dengan mereka. Mungkinkah mereka ini dulu hidup di tanah air Indonesia? Aku coba mengingat-ngingat waktu di alam yang tidak mengenal siang malam ini, jangan-jangan, barangkali….ah..apa iya…bisa saja…… saat ini tanggal sepuluh November, peringatan hari pahlawan Indonesia. Aku pasang kuping penuh perhatian, suara-suara itu tidak asing 45
lagi, mereka bercakap dalam bahasa yang nyaris punah di atas dunia sana (akibat presidennya terlalu sering mengutip sesuatu yang tidak penting dalam bahasa Inggris), tidak salah lagi mereka orang-orang Indonesia dulunya di atas dunia dan hari ini adalah Sepuluh November. Aku terjebak dalam bauran manusia, berkelompok-kelompok mereka. Surga mengutus penghuni terbaik untuk menjemput orang-orang yang satu profesi dengan mereka kala di atas dunia. Petani menjemput petani, buruh juga begitu, pegawai juga, pedagang apalagi dan tentu saja mertua yang baik menjemput menantu yang juga satu profesi. Lama sekali aku terjebak dalam terminal penjemputan ini. Riuh rendah suara dari mereka yang akhirnya bertemu kembali. Semakin lama semakin ramai saja terminal ini, tidak ada yang memperhatikan makhluk dunia fana yang terjebak di alam barzakh ini. Pada puncaknya terminal ini penuh. Lalu perlahan, kerumunan itu mulai berkurang, seiring dengan mereka yang membawa kawan satu profesinya menyeberang menuju surga. Begitulah, orangorang yang beruntung itu semakin menyusut tanpa seorang pun yang mengajakku. Lantas aku berpikir-pikir, apa tidak ada penulis yang masuk surga? Aku kuatir, janganjangan aku akan tinggal sendiri di terminal ini. Aku mengedarkan pandangan ke segala penjuru, nyaris kosong. Tetapi pada satu sudut, aku melihat tiga orang utusan surga yang masih dalam penantian. Aku merasa ada kawan, buru-buru aku menghampiri mereka. Ah, ini tidak mungkin, aku nyaris tidak percaya. Aku mengenali mereka, bukankah orang suci bermuka bersih ini Buya Mohammad Natsir? Di sebelahnya aku juga tahu walaupun tidak begitu kenal, Hoegeng Imam Santoso. Tentu saja aku tahu, sebab dengan seragam polisi lengkap, terpampang papan nama di dada kanannya. Satu orang lagi, aku coba menerka-nerka. Wajah dan perawakannya tidak asing, tetapi penampilannya jauh berbeda. Dengan dandanan ala A Rafieq, dia tampak seperti Pop Star di dunia antara ini. Lirikan matanya, mengingatkan pada seseorang. Tanpa bisa dihentikan lagi, mulut sialan ini bergumam, “Bukankah anda, Baharuddin Lopa?” “Ah, kemana saja kau. Di dunia dulu aku pendekar hukum, di alam sini aku jadi idola surga”, jawabnya dengan logat Mandar. “idola?”, aku semakin bingung, apalagi melihat begitu banyak bekas lipstick di lehernya. Apa di surga juga ada groupies yang kehilangan logika? “Ah mas ini kemana saja toh”, Hoegeng menimpali, “teman kita ini mendadak jadi beken gara-gara kami di bawah sini mendengarkan musik jauh dari atas dunia sana” “Musik?”, nah, aku semakin bingung. “Kemana aja mas? Di atas dunia sana, sebuah band bernama Kuburan mempopulerkan lagu berjudul Lopa. Nah di seluruh penjuru alam ini, mana lagi Lopa selain mas kita ini”, Hoegeng mulai bersenandung, “Lopa, Lopa lagi Jaksanya. Ingat, ingat lagi aksinya…..” Aku tidak tahan mendengar Hoegeng menyanyi dengan irama Lautan Teduh ala Hawainya. Rupanya dia masih ingat masa-masa jayanya setelah pensiun jadi polisi dan mengisi acara di TVRI. Sementara Lopa menyunggingkan senyum jumawa, lagu itu telah menaikkan pamornya di alam sini. Tetapi aku lihat Buya Natsir masih diam seribu bahasa. “Maaf Buya, kenapa masih disini sementara yang lain telah kembali membawa kawankawannya ke surga?’, aku beranikan diri bertanya. “Anak muda”, ucap Buya dengan suara bergetar, “dalam pergaulan ada adabnya. Sebelum berbicara baiknya perkenalkan diri terlebih dahulu. Apa pekerjaanmu?” “Saya penulis, Buya”, jawabku pendek tidak ingin terjebak polemik apakah aku memang sudah pantas berada di alam sini atau belum. “Ah, penulis kau rupanya”, Lopa ikut bersuara, “pantas saja kau masih disini. Rasanya tidak ada pula penulis yang bakal masuk surga. Bukankah pekerjaan kalian mencampuradukkan fakta dan fiksi. Membuat kebenaran menjadi kabur oleh kebohongan. Sudahlah, sia-sia saja kau disini. Sebaiknya kau pergi saja, sebelum 46
malaikat berubah pikiran dan menyerutmu ke neraka” Aku terperanjat mendengar tanggapan Lopa. Ingin rasanya pantatnya ini aku ajak pergi. Tetapi rasa penasaran lebih besar dari keinginan untuk pergi. “Lalu kalian sendiri mengapa masih disini, sementara utusan lain telah kembali?”, aku balik menantang. “Kami masih menunggu”, ucap Buya pendek. “Kenapa begitu lama?”, tanyaku lagi. “Ah begini kawan”, kata Lopa dengan gaya koboinya menepuk pundakku, “aku ini menjemput para jaksa dari neraka. Kau tahu sendiri, pekerjaan kami di atas dunia menelanjangi manusia lewat penuntutan. Nah rupanya, mungkin di alam sini malaikat merasa perlu menelanjangi kami lebih jauh dibanding yang lainnya. Ini hanyalah masalah birokrasi” “Saya tidak jauh berbeda dengan Mas Lopa”, Hoegeng ikut bicara, “tugas saya menjemput para polisi. Di atas dunia dulu, sehari-hari kami menegakkan hukum, melakukan tindakan terhadap pelaku kriminal dan menjaga ketentraman masyarakat. Tentu, ah mungkin, di alam sini perilaku kami ditelisik begitu dalam hingga tindak kriminal yang paling kecil. Ini hanyalah masalah kriminalisasi ala neraka” “Dan bagaimana dengan Buya?”, aku tidak sabar mendengar jawaban tokoh besar Masyumi ini. “Sama saja anak muda. Aku menjemput para politisi. Di dunia dulu kami diberi beban amanah yang besar untuk mengelola negara, menciptakan hukum dan memastikan terpenuhinya hak-hak rakyat. Aku menunggu cukup lama dibanding yang lain karena mungkin begitu banyak yang harus dipertanggungjawabkan para politisi terhadap tindakan mereka di atas dunia dulu. Anak muda, itulah alasan-alasan politisnya” Aku hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala. Terbayang betapa besar harapan mereka untuk bisa bertemu kawan seperjalanan. Tetapi aku masih belum merasa puas dengan jawaban mereka. rasanya jawaban mereka itu terlalu diplomatis, khas gaya birokrat. Sebab setelah aku pikir, kalau Surga dan Neraka ini sudah ada sejak penciptaan dunia tentu masalah birokrasi, kriminalisasi dan politis sudah diantisipasi sedemikian rupa sehingga tidak perlu dipolitisir. “Atau jangan-jangan memang tidak ada kiriman dari neraka untuk kalian bertiga?”, aku terus memancing. “Sorry yee…emangnya kita-kita penulis!”, serempak ketiganya menjawab. Ah, kenapa tiga orang ini begitu sensitif sama penulis. Apa karena aku belum bersedia menulis biografi mereka? “Buktinya kalian masih disini dan belum satu pun dari kawan kalian yang datang?”, karena mereka terus menyerang penulis, aku tidak enggan lagi membalas. “Ah, memang sejak di dunia dulu nasib kami sudah begini. ”, Hoegeng mulai mengeluh, “anda bayangkan saja, sejak republik Indonesia terbentuk, hanya satu polisi yang diangkat sebagai pahlawan nasional” “Dan orangnya tentu saja anda, Jenderal”, sergahku. “Bukan saya Mas, saya juga tidak mengharapkan itu. Dialah Aipda Karel Sasuit Tubun, kebetulan tengah berjaga di rumah Waperdam Leimena, menjadi korban dari G 30S/PKI. Bayangkan mas, pahlawan dari polisi, hanya karena kebetulan berjaga? Oh betapa menyedihkan”, Hoegeng kembali menyenandungkan tembang kenangan dengan suara lirih. Aku tidak tahu, apakah suaranya mirip Bob Tutupoli atau Broeri Marantika. “Sudahlah Geng. Tidak ada pula jaksa karir yang diangkat jadi pahlawan nasional. Sama sajalah kita ini”, Lopa coba menghibur Hoegeng. “Wah kalau itu tidak bisa disamakan dong, Mas. Jaksa mungkin pantas diperlakukan begitu, bukankah kalian seringkali menghentikan perkara yang telah kami limpahkan?”, Hoegeng malah memancing. “Ah kau ini, Geng. Aku kasih hati, kau balas dengan caci. Coba kau sebut, perkara mana 47
yang aku hentikan. Malah perkara yang bikin aku diberhentikan. Mulai dari perkara Toni Gozel yang membuat aku dimutasi sebagai Kajati Sulsel, kasus Soeharto pun aku buka kembali hingga kasus pengusaha-pengusaha kakap yang membuat aku diberhentikan dari kehidupan dunia dengan cara yang misterius”, Lopa membayangkan dunia yang semakin gila, “para politisi lah yang membuat semuanya runyam. Terlalu banyak kepentingan yang bermain sehingga hukum hanya menjadi ornamen keserakahan” Karena Lopa mulai menyinggung-nyinggung politisi, aku menunggu reaksi dari buya Natsir. Tetapi tidak ada tanggapan apa-apa. Sebagaimana riwayatnya, Buya ini tidak mudah diprovokasi. “Wah kalau soal reputasi mas, kita tidak jauh berbeda. Bukan kejahatan yang berhasil kita cegah. Malah kejahatan dan persekongkolanlah yang membuat kita diberhentikan. Tentu Mas Lopa ingat, Soeharto mencopotku sebagai Kapolri gara-gara aku menangkap Robby Tjahjadi, penyelundup kakap yang dekat dengan Cendana itu”, Hoegeng sengit membalas. Kedua orang ini memang punya reputasi luar biasa dalam penegakan hukum di Indonesia. Tetapi di negeri Indonesia yang mungkin berdiri di atas sana, setiap maksud baik selalu dicurigai. Dan bila maksud baik itu menjadi tindakan nyata, maka sang penggagas akan terpental dari singgasana. Itulah negeri dimana orang-orang ramai berteriak kebajikan selagi melakukan kemungkaran secara berjamaah. “Sudahlah Tuan-Tuan, tidak usah pula masalah gelar pahlawaan itu diperdebatkan disini. Toh, kalian sudah mendapatkan ganjaran semestinya di sini”, Buya menengahi keduanya. “Ah Buya sih enak ngomong begitu, secara udah dapat gelar pahlawan gitu loh”, balas Lopa. Ternyata penganugerahan gelar pahlawan untuk Natsir tahun lalu juga terdengar hingga alam sini. “Betul Mas. Mas Buya coba bayangkan, berapa banyak sih politisi? Coba bandingkan dengan kami anggota kepolisian, sudah berjuta jumlahnya mungkin semenjak zaman kemerdekaan. Hanya satu yang diangkat menjadi pahlawan, itu pun karena kebetulan. Apa memang benar-benar tidak ada polisi baik yang patut dijadikan teladan?”, Hoegeng menimpali penuh semangat. “Yang baik tentu ada, tetapi tidak perlu semua jadi pahlawan kan. Lagipula, mungkin begini ya Geng, mungkin tidak banyak polisi yang tercatat dalam perjuangan kemerdekaan. Itu sebab peluang jadi pahlawannya jadi kecil”, Buya mulai terjebak dalam perdebatan ini. “Wah Mas Buya ini rupanya lupa. Pada saat awal berdirinya, Jenderal Soekanto mengatakan tujuan dibentuknya kepolisian republik indonesia adalah, Oentoek bersatoe dengan rakjat dalam perdjoeangan mempertahankan Proklamasi 17 Agoestoes 1945, dengan ini menyatakan Poelisi Istimewa sebagai Poelisi Repoeblik Indonesia”, getar patriotis terdengar dari suara Hoegeng, dia benar-benar bangga kepada korpsnya, “kurang apalagi kami ini Mas Buya, bahkan pak Soekanto saja tidak diangkat jadi pahlawan” “Loh kenapa ?”, aku ikut bertanya. “Soekanto terlalu dekat dengan Sutan Sjahrir. Bahkan hingga alam sini, dia masih saja ikut Sjahrir sehingga tidak pernah sampai di terminal ini”, Buya menjelaskan dengan gamblang. Aku bingung sebab selama perjalananku bersama si Kancil belum pernah sekalipun dia menyebut nama Soekanto. Apa memang polisi pantas untuk dilupakan ya? Aku lihat Lopa diam saja. Dia malah asyik mengisap cerutu kelas satu, kemewahan yang tidak pernah dia kecap di dunia. Ketiga orang ini tentu tidak perlu berdebat bila bicara masalah reputasi menghadapi kehidupan duniawi. Dalam jabatan tinggi, mereka memilih untuk hidup papa tanpa berlebihan meminta fasilitas negara. Natsir mengembalikan mobil dinasnya pada saat berhenti sebagai Perdana Menteri, lantas pulang ke rumah membonceng sepeda. Hoegeng pada saat menjadi Kapolri menolak semua upeti dari para cukong, malah memburunya. Pada saat menjadi kepala jawatan imigrasi dia meminta istrinya menutup toko bunga, karena tidak ingin tiba-tiba semua orang yang 48
berurusan dengannya membeli bunga disitu dan membuat toko lain rugi. Lopa, setali tiga uang, hidup dalam dunia dimana akal sehat telah dikalahkan oleh kehendak hewani kemewahan, Lopa berhasil melawannya. Sebagai Menkumham dan kemudian Jaksa Agung, Lopa benar-benar hidup pas-pasan. Mesin fax dianggapnya mewah. Mobil dinas tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi bahkan sedekar untuk ditumpangi anak ke sekolah. Pada hari pahlawan ini mereka mungkin tengah menunggu sesuatu yang tidak akan pernah datang. “Eh kawan, siapa kau sebenarnya? Rasa-rasanya tampangmu ini tidak beken sama sekali. Kok bisa-bisanya ikut kami dalam penjemputan ini?”, Lopa tiba-tiba bertanya padaku. Aku sebenarnya sedikit tersinggung dibilang tidak beken, tetapi sudahlah, susah juga melawan anak Mandar ini. “Aku tidak berasal dari Surga. Aku berasal dari atas sana. Kemarin aku ikut petualangan bersama Sjahrir yang sekarang terjebak dalam penjara Eyang Harto. “Ah anak muda, kamu ini sudah salah pergaulan. Sudah jatuh ke dalam sini, ikut Sjahrir pula. Makhluk itu tidak mengenal waktu kalau urusan politik, tidak pernah istirahat”, di luar dugaanku mereka sama sekali tidak penasaran dengan penjelasanku. Rupanya nama Sjahrir cukup jadi mantra agar logika menerima semua yang aneh-aneh di bawah sini. Tanpa Si Kancil di dunia antara ini, aku tidak berani berdebat lebih jauh. Aku benar-benar kehilangan si Kancil.. Dalam hitungan waktu normal, mereka sudah menunggu sama lamanya dengan pemadaman listrik bergilir. Menurutku ketiga orang suci ini mulai gelisah. Bayangkan saja, sementara utusan dari profesi lain sudah membawa rekan mereka ke surga, mereka masih menunggu dengan tangan hampa. Lopa merapikan rambut ala A Rafiq nya yang mengkilap. Suasana sepi membekap, Hoegeng tidak lagi bersenandung. Lah, bagaimana dengan si Buya Natsir? Nah kalian para pembaca yang sok tahu tentu juga akan kaget. Buya Natsir mengeluarkan dari kantong jas Armalik nya sebuah Blackberry. Lincah jemarinya menari layaknya anak baru gede yang baru dapat gadget. “Eh Lopa, sudah hampir tembus satu juta”, aku tidak mengerti dengan ucapan Buya, “gerakan satu juta arwah dukung Lopa jadi idola!”, aku shock mendengarnya. Setelah dulu mendengar cerita si Kancil betapa dia sering mencari bahan diskusi di wikipedia, sekarang buya Natsir tergila pada Facebook. “Apa aku bilang Buya. Tidak ada penghuni surga yang tidak kenal aku sejak lagu “Lopa” itu populer di alam sini”, di alam pembalasan amal ini, tentu sah-sah saja menyombongkan diri, “aku yakin Buya, tidak ada yang akan menandinginya” “Sayang sekali Lopa, ada gerakan di atas sana. Seperti yang sudah aku ceritakan, ini gerakan menuntut keadilan, bebaskan Chandra dan Bibit. Pendukungnya di dunia arwah ini melewati jumlah pendukungmu. Gerakan sejuta arwah untuk bebaskan Chandra dan Bibit di atas sana, benar-benar luar biasa”, jawab Buya. “Mas Buya, aku sebenarnya sedih sekali mendengar berita di atas sana. Pedih rasanya hati ini, mendengar kabar buruk tentang polisi”, Hoegeng bicara bersungguh-sungguh. “Kau juga ingin membela mereka di alam sini Geng?”, potong Lopa. “Ah tidak Mas Lopa. Aku tahu, lambat laun masyarakat akan muak dengan perilaku polisi. Yang aku sesali hanyalah, kenapa begitu sedikit waktu yang diberikan padaku untuk dapat berbuat banyak meletakkan dasar keteladanan yang kokoh untuk kepolisian”, wajah Hoegeng benar-benar murung, “rekrutmen polisi itu bermasalah. Sogok menyogok bukan rahasia lagi. Titip menitip apalagi. Tetapi yang lebih bermasalah, orang-orang yang masuk polisi itu sebenarnya lebih berbakat di dunia seni daripada penegakan hukum. Sebagian berbakat jadi sutradara untuk teater rekayasa. sebagian lainnya menjadi aktor yang menjalankan sebuah sandiwara. Sisanya, menjadi kru dalam produksi sinetron yang menjadi tontonan memalukan. Penyelidikan bisa disesuikan dengan kepentingan penonton. Penentuan tersangka, bisa diatur lewat skenario yang mendebarkan. Dalam dunia sinema yang kejar tayang itulah para cukong menebar uang untuk biaya iklan” “Tetapi Geng, ini bukan hanya kesalahan satu generasi. Adik-adik penerusmu di atas 49
dunia sekarang lahir dari generasi sebelumnya. Mereka berpandangan, sebagaimana pendahulunya bahwa menjadi polisi bukan sekedar mengabdi tetapi sekaligus memperkaya diri. Senjata bukan untuk melindungi masyarakat tetapi membantu mereka yang berkuasa. Tidak semua polisi buruk Geng, kita harus berprasangka baik, tetapi yang baik-baik ditelan oleh mulut buaya yang buruk. Sungguh kasihan mereka itu”, Buya Natsir coba menghibur. “Betul Mas Buya, tidak hanya polisi tetapi masyarakat juga bersalah. Mereka membesarkan polisi dengan cara yang salah. Menganggap semua masalah bisa diselesaikan lewat transaksi. Dari jalanan hingga gedung tinggi sudah jadi kebiasaan. Jadi bila polisi hendak dibersihkan, maka pikiran masyarakat perlu disehatkan. Dan aku takut Mas buya, di atas sana mereka tidak cukup punya waktu lagi. Bila kepercayaan pada polisi sudah mencapai titik nadir, hukum tidak lagi mampu ditegakkan, maka republik tercinta hanya menunggu waktu kehancuran tidak lama lagi” “Walaupun langit mau runtuh, hukum tetap harus ditegakkan”, bergetar suara Lopa memotong Hoegeng, “tetapi kenyataannya di dunia sekarang para jaksa menciptakan aksioma baru, walaupun hukum mau runtuh, perut tetap harus diselamatkan. Semuanya kacau Geng, kita mengalami sendiri. kita tersingkir, karena sebenarnya tidak pernah diinginkan muncul dalam dunia hukum Indonesia. Sebagian besar jaksa sebenarnya tidak berbakat menjadi pendekar hukum. Mereka hanyalah para saudagar yang tidak berani bertarung dalam dunia perniagaan sesungguhnya. Tanpa barang, mereka memperdagangkan keadilan. Kasus dilabeli tarif tertentu, tergantung siapa yang sanggup membelinya. Kasus bisa dihentikan sepanjang ada uang pengganti. Kasus juga bisa dicari, bila yang dihadapi adalah orang-orang yang tidak berdaya. Jaksa Agung memberikan target dan bonus kepada Kajati dan Kajari agar mereka menemukan kasus sebanyak mungkin. Logika apa yang dia pakai, orang berharap kejahatan makin berkurang dia malah sebaliknya. Untuk bonus, kasus bisa diada-adakan. Buya, Hoegeng dan kau juga penulis tidak beken; inilah masalah keadilan kita. Kehormatan tidak lagi sesuatu yang mulia, keadilan tidak lagi dijunjung tinggi dan aku juga percaya, di ujung jalan sana republik proklamasi itu tengah meretas jalan menuju ketiadaan” Aku terkesima mendengarkan para jagoan hukum ini berbicara. Reputasi mereka tidak usah dipertanyakan lagi, Tuhan tidak mungkin salah menaruh mereka di surga yang abadi. Walaupun belum tahu pasti aku bisa kembali ke atas sana, aku ngeri sendiri membayangkan republik Indonesia mesti berakhir bukan karena invasi atau wabah, tetapi karena para penegak hukumnya justru menjadi dalang dari kehancuran hukum itu sendiri. Proses itu tengah terjadi di atas sana, aku percaya, pada satu titik orang-orang tidak akan merasa aman lagi berada dalam naungan republik yang sama. Mereka menginginkan alternatif yang lebih menjanjikan harapan. “Hadirin sekalian”, Buya Natsir mulai berbicara layaknya mau khutbah Jumat, “Dulu sekali, kita bersama-sama membangun republik ini dengan pemikiran bahwa di tangan bangsa sendiri, keadilan bisa lebih ditegakkan dibandingkan dengan pemerintah kolonial. Hak-hak rakyat bisa dipenuhi melebihi pemenuhan oleh penjajah. Itulah logika kemerdekaan. Itulah arti darah-darah yang tertumpah di Surabaya sepuluh November. Tetapi bila di tangan bangsa sendiri ternyata ketidakadilan merajalela, hak-hak rakyat tercerabut dan para penegak hukum gila harta; apa artinya semua pengorbanan itu? Aku sedih, negeri yang ditegakkan oleh orang-orang besar sekarang dikelola oleh para bandit. Ah, mungkin salah kami juga para politisi, terlalu banyak ribut dulu kala sehingga Konstituente tidak sempat menyelesaikan konstitusi” “Nah, itu Buya ngaku. Politisi juga berperan besar tuh!”, tanpa dikomando, berbarengan Lopa dan Hoegeng menimpali. “Aku tidak mengingkarinya. Kesalahan besar para pemimpin politik adalah pada saat mereka memberhalakan politik itu sendiri. Padahal politik itu adalah pilihan paling hina untuk membantu masyarakat menata hubungan sesamanya. Pilihan terakhir yang 50
sayangnya telah menjadi segalanya. Pada saat politik menjadi berhala, maka dosa menjadi suatu hal yang biasa. Khianat terhadap kepercayaan rakyat menjadi strategi pemenangan. Uang bertebaran dan layaknya Samiri yang mengkhianati Musa mereka menjadikan uang sebagai sapi suci yang layak disembah. Kekuasaan bukan lagi bertujuan pengabdian tetapi penghambaan pada materi. Inilah sumber kehancuran segalanya. Di atas sana mungkin ada sebagian kecil politisi berdedikasi, tetapi lihat sajalah nanti; pada saat mereka merasakan enaknya kekuasaan maka mereka tidak akan berani menolak kemewahan. Mereka tidak menganggap kekuasaan sebagai ujian malah menuntutnya lantas sujud syukur pada saat mendapatkannya. Orang-orang ini biasa memperdagangkan agama untuk kekuasaan. Membesar-besarkan Sunah Nabi, padahal yang hakiki dari kitab suci seringkali mereka khianati”, penjelasan Buya Natsir begitu jernih. “Buya, setahu saya, di atas dunia sekarang ada partai mirip Masyumi; Partai Kaya Sunah”, ragu-ragu aku memotong sang Buya. “Begini anak muda, Sunah Nabi tentu teladan yang mesti diikuti. Tetapi tidak patut untuk diperjualbelikan dalam strategi politik. Lagipula, kamu jangan sembarangan dong. Masa Partai Kaya Sunah mau disamakan dengan Masyumi yang super keren. Mimpi kali yeee…”, ternyata di alam barzakh ini Buya Natsir narsis juga, “begini anak Muda, Masyumi itu partai yang berakar Indonesia dengan nilai-nilai luhur Islam di dalamnya. Nah kalau partai yang kau sebut itu, aku pernah dengar gosip; Partai itu berakar di padang pasir jauh di Afrika Utara sana, lantas memolesnya sedikit dengan ornamen Indonesia agar bisa mendapatkan kekuasaan. Lihat saja perkembangannya nanti, bila mereka mendapatkan kekuasaan, kelakuannya tidak akan jauh berbeda. Sudahlah, tidak usah mau jadi sok-sok Masyumi, partai kami tiada tandingan” “Ampun Buya….Masyumi memang hebat”, berbarengan aku, Hoegeng dan Lopa menimpali. Lagi-lagi sepi dan sunyi kembali. Ketiga almarhum keren itu, sekarang benar-benar dilanda gelisah. Mungkin mereka berpikir, bisa jadi tidak seorang pun teman satu profesi yang bisa mereka bawa ke surga. Buya tertunduk lesu, Lopa kebingungan dan Hoegeng memegang kepala. “Anak muda, kami ingin jujur kepadamu”, Buya Natsir kembali buka suara. “Baiklah, kenapa Buya?”, aku bingung menanggapinya. “Sebenarnya, sudah sekian hari pahlawan kami lalui di terminal penjemputan ini”, Buya menarik nafas panjang, “dan kau tahu, dalam penjemputan-penjemputan sebelumnya. Tidak seorang pun dari kami bertiga yang berhasil membawa kawan seprofesi ke surga. Aku kuatir bila kali ini kami kembali pulang dengan tangan hampa” “Benar kawan”, Lopa menimpali, “kami iri dengan profesi lain yang banyak membawa kawan ke surga. Tetapi tidak satu pun jaksa, polisi dan politisi yang bisa kami bawa dalam penjemputan sebelumnya” “Semoga kali ini berbeda”, Hoegeng memberikan harapan. Tiba-tiba angkasa bergemuruh. Kilat sambar menyambar, putih bersih warnanya. Aku mulai berpikir-pikir, jangan-jangan wartawan lengkap dengan lampu blitz sudah sampai kemari untuk meliput penulis keren yang terjebak dalam alam yang tidak diinginkan ini. Ternyata pikiran picikku itu salah. Wajah Natsir, Lopa dan Hoegeng bahagia bercahaya. “Akhirnya malaikat datang juga menyampaikan kabar”, bisik Hoegeng. Dari angkasa berjatuhan satu paket besar dan dua amplop. Amplop pertama bertuliskan Politisi, kedua bertuliskan Jaksa sedangkan paket besar bertuliskan Polisi. Setelah kilat berhenti dan (kalau memang benar) malaikat pergi, Buya Natsir tidak sabar membuka amplopnya. Wajah riangnya langsung berubah muram. “Bagaimana Buya?”, tanya Lopa “Sama seperti sebelumnya. Tetap tidak ada. Malah para politisi sekarang tengah melakukan sidang paripurna untuk menetapkan tata tertib di neraka”, Buya benar-benar 51
lemas, lalu balik bertanya kepada Lopa, “bagaimana dengan kawan-kawan jaksamu?” “Ah sama saja Buya. Tuntutan berikut barang-barang bukti terus bermunculan. P-21 Buya, kasus mereka dinyatakan lengkap. Mereka harus membayar kerugian moral akibat perdagangan kasus yang dulu mereka lakukan di muka bumi”, wajah Lopa tidak kalah kuyu. Semua tatapan sekarang tertuju pada Hoegeng. Tampaknya dengan paket besar yang ia terima, hanya Hoegeng yang akan pulang membawa kawan. Dengan wajah berseri-seri, Hoegeng membuka paket. Tetapi raut mukanya seketika berubah. “Hanya sebuah patung dan gundukan semen memanjang, apa artinya ini?”, pekik Hoegeng. “Ah Geng, ini artinya; Cuma ada tiga polisi jujur; kau, patung polisi dan polisi tidur. Beruntung kau kawan, ada juga temanmu di surga”, Lopa menyambutnya dengan tawa. Tanpa mempedulikanku, ketiga orang itu pulang kembali ke surga dengan tangan hampa kecuali Hoegeng. Aku kembali dilanda sepi. Pada hari pahlawan ini, kehidupan baik di dunia dan akhirat sama saja, tidak banyak berbeda. Kita sama-sama dilanda sepi sebab materi telah mematikan reputasi. Dan tanpa reputasi, tidak akan pernah ada sosok pahlawan yang akan menjadi teladan.
52
Berakhirnya Hindia Belanda dan (Sekarang) Indonesia? Posted on December 13, 2009 under Kolom http://itonesia.com/berakhirnya-hindia-belanda-dan-sekarang-indonesia/ Saya membaca Runtuhnya Hindia Belanda-nya Onghokham, lalu tertawa; Pada saat baru diangkat menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda pada tahun 1931, De Jonge mengatakan, “Belanda akan berada di Hindia Timur selama 300 tahun lagi, kalau perlu dengan menggunakan pedang dan pentungan”. Pernyataan De Jonge yang berasal dari kubu konservatif itu keluar di tengah-tengah gairah nasionalisme Indonesia tengah memuncak. Berbeda dengan gubernur jenderal sebelumnya De Graff yang cenderung liberal dan bersikap agak lunak terhadap pergerakan nasionalisme Indonesia, De Jonge merasa perlu melakukan koreksi terhadap politik kolonial. Polietike Inlichtingen Dienst atau PID, dinas polisi yang melakukan pengawasan terhadap aktifitas politik kaum nasionalis mendapatkan energi baru. PID langsung bertanggung jawab kepada Jaksa Agung yang mana kemudian kajian laporan mereka akan sampai di meja Gubernur Jenderal. Dalam tempo waktu yang tidak lama, De Jonge berhasil menegakkan sebuah rezim polisi di Hindia Belanda. Dimana setiap kata terlarang dicatat oleh dinas mata-mata itu. Setiap langkah orang-orang yang dicurigai diikuti hingga kemudian dipastikan mereka mengancam keberlangsungan kolonialisme. Pada masa De Jonge lah, gairah aktifitas politik nasional Indonesia nyaris padam. Para pemimpin ditangkap, dibui dan dibuang. Soekarno dibuang ke Ende, Flores sedangkan Hatta-Sjahrir dibuang hingga Boven Digoel. De Jonge berhasil menegakkan rust en orde lewat rezim polisi yang memenjarakan bumiputera dalam kerangkeng besar Hindia Belanda. De Jonge yang kurus ceking dengan kumis tebal itu digantikan oleh Tjarda van Starkenborgh-Stachower pada tahun 1936. Berbeda dengan De Jonge, dari segi penampilan fisik Tjarda jauh lebih menarik. Tinggi proporsional, wajahnya tidak memancing permusuhan dan tentu saja tanpa kumis tebal menakutkan. Tjarda terbilang muda ditunjuk sebagai gubernur jenderal. Sebelumnya berkarir sebagai diplomat dan kemudian dipuji karena keberhasilannya sebagai gubernur di provinsi Friesland. Banyak harapan muncul seiring pergantian De Jonge. Sebagai orang muda yang telah melihat dunia jauh lebih luas, Tjarda diharapkan jauh akan lebih bijaksana dibanding De Jonge. Dengan wajahnya agak ramah, anggota Volksraad berharap suara mereka akan lebih didengarkan oleh gubernur Jenderal. Tetapi kenyataannya tidak demikian, Tjarda terasing di singgasana negeri yang tidak begitu dikenalnya. Tjarda lebih sering menyembunyikan diri di istana gubernur jenderal, peragu tidak memiliki kemampuan memutuskan. Dalam bahasa sekarang, dalam banyak hal Tjarda sering tidak mau mengambil keputusan yang akan merugikan popularitasnya baik di Hindia Timur maupun di negeri induk Belanda sana. bagi Tjarda yang sangat memuja ratu Wilhelmina ini, menjaga citra diri jauh lebih penting dibandingkan dengan mengambil keputusan yang akan berisiko terhadap citra dirinya. Sebagai Ambtenaar karir, yang sama sekali belum pernah bersentuhan dengan medan kolonial, Tjarda memang tidak terbiasa mengambil keputusan. Tidak banyak yang berubah pada masa Tjarda, rezim polisi masih bertahan sehingga menimbulkan sikap antipati Belanda yang tinggi di kalangan masyarakat Hindia Belanda. Para tahanan politik tidak kunjung dibebaskan hanya dipindahkan tempat pembuangan. Berbagai petisi dari sayap nasionalis Volksraad tidak kunjung diperhatikan. Bahkan anggota Volksraad seperti Hoesni Thamrin terus dibuntuti oleh PID. Tetapi untunglah Tjarda memiliki wakil, seorang 53
Letnan Gubernur yang sarat pengalaman di Hindia Belanda, HJ Van Mook. Sebagai bekas kepala departemen perdagangan Van Mook lah sebenarnya yang mengendalikan pemerintahan Hindia Belanda. Dia memiliki jaringan yang luas, otaknya yang encer dan kemampuan diplomasi tingkat tinggi. Van Mook pula lah yang bisa terus menjaga negosiasi dengan Jepang sebelum perang Pasifik pecah lewat misi perdangangan. Setelah Jepang menyerang Pearl Harbour, perang pasifik tidak terelakkan lagi. Van Mook diminta untuk menyusun pemerintah sipil di pengungsian, Australia; Nederland Indies Civil Administration (NICA). Komando sekutu di Asia Timur terutama Asia Tenggara pasca tenggelamnya kapal perang Inggris Prince of Wales dan Repulse diserahkan kepada gubernur jenderal Hindia Belanda. Tetapi tanpa Van Mook, Tjarda tidak bisa berbuat apaapa. Alih-alih memperkuat pertahanan, dia malah memindahkan administrasi pemerintahan dari Batavia ke Bandung. Dalam masa genting itu, Tjarda masih sempat ingin memoles citra di dunia internasional dengan meminta Ratu Belanda yang mengungsi ke Inggris untuk bisa pindah ke Hindia Belanda. Sejarah dengan murah hati memberi tahu kita, Jepang tidak mengeluarkan keringat untuk meruntuhkan 350 tahun kekuasaan Belanda atas Indonesia. Kecuali pertempuran di laut Jawa yang menghancurkan armada Karel Doorman, tidak ada pertempuran lain yang pantas dikenang. Ribuan tentara sekutu dari Inggris, Amerika dan Australia yang diperbantukan untuk mempertahakan Jawa kecewa pada saat Tjarda memutuskan untuk melakukan perundingan untuk penyerahan kekuasaan dengan Jepang. Pada tanggal 5 Maret 1942, di Kalijati Panglima balatentara Jepang di Jawa Jenderal Hitoshi Imamura melakukan perundingan dengan Tjarda dan panglima KNIL Jenderal Ter Poorten. Lucunya pada saat Jenderal Imamura bertanya kepada Tjarda, apakah dia sebagai gubernur Jenderal dan Panglima Tertinggi menyerah tanpa syarat. Tjarda dengan konyolnya masih berusaha mempertahankan citra dirinya, “Tidak. Sebab itu berada di luar kewenangan saya” (penulis sudah meng-aransemen ulang kata-kata itu biar mirip dengan sosok yang mirip dengan Tjarda pada masa sekarang tetapi intinya Tjarda merasa tidak memiliki kewenangan militer kecuali sipil terhadap Hindia Belanda). Imamura bingung dengan sikap Tjarda, untunglah setelah Imamura mengancam akan menghancurkan Bandung, Ter Poorten mengambil keputusan berani untuk menyatakan penyerahan tanpa syarat. Historia est Magistra Vitae Sejarah pasti berulang; dengan penderitaan yang sama dan cara menikmati kesenangan yang berupa warna. Tahun-tahun belakangan di Republik ini kita mulai didera kekhawatiran terhadap arah rezim demokratis ini. Pemimpin tidak menyandarkan kebijakannya kepada realitas masyarakat tetapi kepada tindakan-tindakan polisi. Setelah lama menjadi anak tiri ABRI, tiba-tiba saja pada masa reformasi, polisi mendapatkan lebih dari yang mereka seharusnya dapatkan. Sebagaimana jaman De Jonge, polisi menjadi andalan rezim berkuasa. Dinas yang satu ini bisa diperintahkan untuk melakukan hal apa saja yang menimbulkan keganjilan di tengah masyarakat. Polisi bebas menangkap atas nama Undang-Undang yang terkadang memenjarakan hati nurani. Kita berhadapan dengan rezim yang sibuk memoles diri di dunia internasional. Tergila-gila akan pengakuan internasional layaknya gubernur jenderal yang butuh pujian dari Staaten General di seberang samudera. Tentara diciutkan perannya sehingga dianggap berhasil dalam masalah penegakan hak azasi manusia. Sedangkan polisi diberikan kewenangan nyaris tidak terbatas sehingga bila dunia internasional memberi perhatian mereka hanya akan bilang masalah domestik, kriminal dan terorisme. Sangat jauh dari isu-isu penegakan HAM. Hari-hari belakangan, di tengah-tengah masyarakat polisi berganti rupa menjadi PID, alat kolonial paling dibenci pada masa pergerakan nasional. Orang-orang baik ditangkapi sehingga pelaku kriminal bebas bernyanyi. Bukti bisa diolah sehingga mata dewi keadilan benar-benar buta tanpa nurani. 54
Tanpa sosok seperti Van Mook yang menjadi wakil, pemimpin yang peragu menjadi bengis dan pemarah. Senyumnya dipaksakan, paranoid terhadap ancaman dan benci terhadap keadaan. Semua yang disusun menjadi berantakan sebab bila semua sudah tersedia di meja, tiada lagi yang berani mengambil keputusan terhadap tumpukan kertas itu. Bila keputusan menanti akan mengganggu citra diri, enteng sekali mengatakan, di luar kewenangan. Sejarah mesti berulang dan siapa tahu kita sekarang berada di tubir jurang kehancuran. Lagipula sebagaimana pernah dikatakan oleh Onghokham dalam Wahyu Yang Hilang, Negeri Yang Guncang; usia negara-kerajaan di Indonesia menurut sejarah paling lama 100-150 tahun dan sebagian besar kurang dari itu. Mungkin bila analisis sejarah itu benar, usia republik ini sudah lebih dari cukup untuk menuai takdir itu. Sekarang tinggal masalahnya ada kepada para pemimpin kita, apakah mereka akan terus menularkan kepanikan massal hanya untuk menyelamatkan diri sendiri. Ataukah mereka cukup punya harga diri untuk mengorbankan diri mereka demi tetap tegaknya republik ini. 68 tahun yang silam, Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer masih cukup punya harga diri dengan mengorbankan dirinya diinternir oleh Jepang, terbuang jauh hingga Manchuria. Saya ragu, pada masa sekarang di negeri ini, masih tersisa sikap ksatria seperti itu. Tiba-tiba saya sedih membayangkan pulau yang terpisah-pisah.
55
Ultima Thule, (Seandainya) Batas Itu Tidak Pernah Terlewati Posted on March 17, 2010 under Kolom http://itonesia.com/ultima-thule-seandainya-batas-itu-tidak-pernah-terlewati/ Hampir dua setengah milenium yang silam Plato menulis Timaeus and Critias. Dibandingkan karya Plato yang lainnya seperti, Republic atau akademi Athena, Timaeus and Critias tidak bisa dikatakan sebagai karya yang istimewa. Kalau bukan karena nukilan dialog di dalam kitab itu, Timaeus and Critias akan terkubur di bawah tumpukan karya Plato lainnya. Nukilan dialog yang bersumber dari cerita Solon yang mendapatkan kisah dari para pendeta di Kota Sais, Mesir kuno itulah yang hingga hari ini menjadi salah satu misteri terbesar di dunia. Sebuah kisah tentang dunia pada masa manusia modern belum mencatatnya sebagai periode sejarah, kisah tentang benua yang hilang, Atlantis. Sejak ratusan tahun silam, orang-orang yang terobsesi dengan kisah Plato itu hidup dalam “dunia konon”, berteori tentang benua yang hilang itu tetapi hingga sekarang belum pernah ditemukan bukti empirik tentang keberadaan benua yang hilang itu. Sampai dengan saat ini, kisah Atlantis hanya menguntungkan penulis fiksi, pembuat film dan pembual-pembual gila di atas panggung. Dulu, kita menikmati berbagai kisah serba konon tentang Atlantis layaknya dongeng pengantar tidur. Cerita mengenai benua yang hilang itu adalah sesuatu yang sangat berjarak dengan alam pemikiran manusia Indonesia. Sebagian kecil dari kita mengamati orang-orang dari luar sana berteori-konon tentang Atlantis. Mulai dari Francesco Lopez de Gomara yang berani menyatakan Atlantis terletak di Amerika. Kemudian tiga orang sejarawan Maya, Abbe Brasseur de Bourbourg, Augustus Le Plongeon dan Edward Herbert Thompson yang percaya bahwa orang-orang Indian Maya adalah keturunan langsung dari orang-orang Atlantis. Sebagian lagi mengangkat teori arkeolog Yunani Spyridon Marinatos yang menyatakan mitos Atlantis diambil dari kisah tenggelamnya Pulau Thera dekat Pulau Creta, Yunani. Pada awal tahun 2005, ketika saya mulai menulis novel Negara Kelima, saya menemukan teori-konon yang ganjil di antara teori-teori serba konon yang berjarak realitas dengan Indonesia. Teori itu berasal dari seorang Amerika bernama William Lauritzen yang coba melakukan penelitian komparatif tentang mitos Atlantis termasuk dengan menggunakan foto udara. Hipotesisnya mengejutkan, terbuka kemungkinan benua yang hilang itu tenggelam di wilayah Nusantara. Dalam cakupan wilayah negara Republik Indonesia. Mengejutkan, tentu saja. Tetapi layaknya perlakuan saya terhadap data sejarah, data-data itu hanya akan berarti bila memiliki daya guna dalam memperkaya tulisan saya. Di Indonesia, Negara Kelima dalam pengaruhnya yang terbatas, menegaskan gosip-gosip tentang benua yang hilang di wilayah Nusantara lewat sebuah kisah fiksi. Ternyata, jauh dari kesadaran saya, pada masa itu seorang saintis dari Brazil juga tengah melakukan penelitian mendalam tentang benua yang hilang itu. Sebuah riset yang dirintis selama bertahun-tahun lamanya. Profesor Santos dengan reputasi akademis yang tidak perlu diragukan lagi menyatakan “Atlantis : Benua yang hilang itu sudah ditemukan”. Kita pun tersentak, sebab penelitian bertahun-tahun itu bermuara pada kesimpulan bahwa benua yang hilang itu tenggelam di wilayah nusantara hingga hanya menyisakan puncakpuncak yang membentuk pulau-pulau dalam sabuk gunung api. Beribu-ribu tahun yang silam, lokasi tempat dimana daratan luas itu tenggelam disebut sebagai Ultima Thule, 56
batas yang tidak mungkin dilewati. Kawasan tidak dikenal yang namanya baru muncul kembali pada awal-awal perhitungan Masehi. Maka pada hari ini, kita menghadapi sebuah realitas sejarah, -yang tentu butuh pembuktian lebih lanjut dan bukan sekedar penyocokan ciri-ciri alam dan peradaban Atlantis sebagaimana ditulis Plato-, bahwa 11600 tahun yang silam sebuah peradaban besar tenggelam di wilayah Nusantara. Kita mendapati realitas sejarah itu layaknya Ultima Thule, batas yang sangat sulit kita lewati. Jangankan membuktikan kesahihan mitos Atlantis, sekedar merumuskan periode sejarah modern Indonesia saja kita masih kesulitan. Dulu, para ahli sejarah kita bersepakat bahwa sejarah Indonesia dimulai sekitar abad kelima Masehi dengan ditemukannya prasasti-prasasti yang menandakan keberadaan kerajaan Kutai di Kalimantan. Tetapi apakah sejarah sebuah bangsa hanya ditentukan oleh prasasti-prasasti lokal. Bagaimana dengan bukti tertulis yang berasal dari kabar dari luar yang menunjukkan interaksi bangsa-bangsa lain dengan nenek moyang bangsa ini. Bukankah bukti-bukti itu jauh lebih menunjukkan eksistensi peradaban kuno kita dibandingkan sekedar batu-batu bergores tulisan? Ada banyak kabar dari luar tentang peradaban kuno kita. Sejak masa permulaan zaman, Nusantara sudah lama dikenal. Dalam sebuah buku Yunani berjudul Periplous tes Erythras Thalasses dengan angka tahun 70 masehi terdapat nama Chryse, istilah Yunani untuk pulau emas. Salah satu bandar dimana negeri India bagian selatan berdagang. Kemungkinan besar yang dimaksud dengan Chryse adalah Pulau Sumatera yang kita kenal saat ini. Dalam buku lainnya karangan Ptolemaues, seorang ahli navigasi dari Iskandariyah Mesir disebutkan nama negeri itu Chrysae Chersonesos, mengacu pada semenanjung Barus, sebuah daerah yang terletak pada bagian barat Sumatera Utara. Satu abad sebelum Masehi, lewat percakapan antara raja Yunani-India, Menandros yang di India dikenal dengan nama Milinda dengan seorang cendikiawan Budha bernama Nagasena tersebut nama Suvannabhumi yang hampir pasti mengacu pada Sumatera. Peninggalan Budha lainnya, Mahaniddesa yang ditulis sekitar akhir abad III Masehi menyebutkan nama-nama Suvannabhumi, Wangka dan Jawa sebagai bagian dari daerah-daerah di Asia. Suvannabhumi mengacu pada Sumatera, Wangka mengacu pada pulau Bangka serta Jawa. Itulah Ultima Thule yang tidak kunjung bisa kita lewati. Jangankan memetik pelajaran dari peradaban masa silam sekedar merajut cerita dari jalinan benang yang terbentang panjang saja kita belum sanggup. Begitu banyak puing-puing tajam yang menghalangi kita untuk berlayar lepas mengarungi samudera sejarah peradaban bangsa ini. Kita hanya bisa menunggu sembari termangu-mangu menyaksikan penemuan bangsa lain di tanah yang kita diami ini. Kita berhenti mencari pada saat orang lain baru memulainya. Kita lebih senang menjadi objek ketimbang menjadi subjek yang meneliti. Dengan pemikiran yang banal itu kebangsaan kita seolah-olah tampak hanya sebagai warisan kolonial Pax Nederlandica. Kenangan kita tentang masa lalu lebih banyak muncul sebagai ratap kekalahan ketimbang gagasan dan harapan. Itu sebabnya kita melangkah ke depan terseok-seok membawa beban sejarah yang tidak pernah kita takar berat dan besarannya. Misteri benua yang hilang hanyalah serpihan kecil dari misteri besar peradaban Indonesia. Kita sengaja melupakannya karena kita merasa tidak akan sanggup menuntaskannya. Kita pura-pura sibuk mengejar kejayaan di masa depan karena sebenarnya kita tidak sanggup berhadapan dengan kenyataan di masa silam. Tanpa memori kolektif yang kuat akan sejarah maka kita tetaplah manusia kera yang berjalan tegak, Phiticantropus Erectus, yang pernah menghuni kepulauan ini ratusan ribu tahun yang silam. Tanpa nalar terhadap masa silam maka kita tidak akan mampu menakar masa depan. Sebuah peradaban tanpa perencanaan layaknya kawanan hewan yang menunggu 57
kepunahan. Kita mesti mulai bertanya-tanya, kenapa begitu banyak persoalan yang tidak terpecahkan sementara alat-alat kemajuan terus kita datangkan. Kenapa kita senantiasa terhambat melangkah ke depan sementara kita telah menjual semua kekayaan bumi pertiwi ini hanya untuk mendapatkan pengakuan. Kita mesti meraba-raba, bisakah kebajikan di masa silam membantu kita merumuskan penyelesaian dari persoalan? Seandainya cerita tentang Atlantis sebagaimana termaktub dalam dialog Timaeus and Critias adalah sebuah fakta sejarah. Seandainya kelak memang terbukti secara logis dan empiris, peradaban itu tenggelam di kawasan nusantara. Kita tentu bertanya, adakah arti dari serpihan-serpihan sejarah itu kepada kita yang hidup 11600 tahun setelah tenggelamnya peradaban itu? Sebagaimana pertanyaan yang biasa kita hadapi, adakah arti dari kenangan lama akan kejayaan Majapahit, Sriwijaya atau Revolusi Kemerdekaan serta Pemerintahan Darurat Republik Indonesia kepada kita yang hidup pada masa sekarang? Menjawab pertanyaan seputar Atlantis, dengan skeptis tentu kita akan menjawab; seandainya pun Atlantis tenggelam di kawasan Nusantara, toh kita yang menghuninya Proto dan Deutero Melayu jelas bukan keturunan langsung Atlantis melainkan keturuan dari bangsa-bangsa Hindia Belakang yang datang sekitar 1500-2000 tahun yang silam. Kita tidak memiliki pertalian darah tetapi tanah yang kita diami ini memberi satu bukti yang tidak terbantahkan. Bahwa sejak mitos Atlantis hingga era eksplorasi perusahaan multinasional, tanah ini kaya akan mineral. Dulu, kekayaan alam ini yang perlahan menjadi sumber petaka Atlantis karena sifat serakah yang menenggelamkan kebajikan. Sekarang ini bukankah keserakahan segelintir orang pula yang menelan kebajikan-kebajikan hubungan sesama manusia dan manusia dengan alamnya? Ada batas yang mesti kita lewati, Ultima Thule sejarah peradaban Indonesia. Kita melakukannya bukan sekedar untuk membangkitkan kebanggaan sempit yang bersumber pada alasan yang tidak logis. Tetapi lebih jauh dari itu, agar kita mampu belajar dari masa silam sembari mengembangkan nalar sehingga kita mampu memecahkan persoalan-persoalan yang kita hadapi sekarang demi menyongsong masa depan yang lebih baik. Sebab sepanjang dunia terus berputar, manusia akan terus menghadapi masalah-masalah yang sama hanya saja dalam bentuk, dimensi dan ruang yang berbeda-beda. Bila batas itu tidak kunjung mampu kita lewati, kita tidak akan pernah belajar untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik. Desakan magma ketidakpuasan tidak akan tertahankan, erupsi sosial akan meledak menjadi bencana yang akan menenggalamkan bangsa ini dalam kehancuran. Semoga kita bisa belajar dari masa silam.
58
Dan Aku Menulis….(Lagi) Posted on May 21, 2010 under Kolom http://itonesia.com/dan-aku-menulis-lagi/ Dahulu, ada hal-hal yang membuat aku terus menulis. Semangat yang muncul dari kesan pengabdian pada peradaban. Aku sempat percaya pada Gabriel Garcia Marques, bahwa cara terbaik bagi seorang penulis untuk melayani revolusi adalah dengan menulis sebaik mungkin. Aku juga percaya, kita membaca untuk belajar, berbicara untuk didengarkan dan menulis untuk dimengerti. Atau mungkin aku terpengaruh oleh Oscar Wilde, bahwa aku senantiasa berbicara tentang omong kosong, sebab itu satu-satunya hal yang bisa aku lakukan. Aku menulis untuk berbagi tentang imaji-imaji yang aku simpan sendiri. Tetapi setelah aku tidak lagi menerima kabar darimu, menulis seolah tiada guna dan arti. Pada akhirnya, aku sadar; dalam banyak hal dengan topik yang berbeda, aku menulis untukmu. Tetapi bila berhitung bulan kau tiada kabar berita, untuk siapakah lagi aku menggoreskan pena? Aku sempat mau berhenti, ada yang bilang aku terlalu sentimentil. Tetapi bila kau merasakan tidak ada lagi yang mengerti tentang apa yang kau tulis, terkadang kau akan meyakinkan dirimu untuk berhenti. Sebab yang paling sulit dalam menulis bukanlah bagaimana cara menulis tetapi bagaimana menyampaikan imaji yang dimengerti. Dan aku berada pada persimpangan kepercayaan diri yang membuat penaku gugup untuk menggores. Lalu aku bertanya-tanya, pada saat pena tersimpan rapi dan kertas-kertas putih teronggok kosong sehingga menjadi tempat tidur yang nyaman bagi Gracie; apa yang bisa aku lakukan selain menulis? Aku iri pada Gracie, kucing betina itu selalu punya sesuatu untuk disampaikan tanpa peduli apakah kita mengerti atau tidak. Seekor kucing tentu tidak peduli dengan komunikasi antar species, tetapi dia tahu suatu waktu dia akan dimengerti ; seonggok makanan akan terhidang dan dia akan berhenti berteriak. Percayalah, bila kau berhenti dari rutinitas dan kau merasa kehilangan; itu artinya kau kehilangan sebuah kesenangan. Tidak peduli seberapa berat pekerjaan yang kita lakukan sehingga membuat kita bertekad, “esok hari aku akan berhenti”, dia akan terus memanggil kita pada permulaan hari. Ada panggilan yang tidak mungkin diacuhkan dan itu membuat kita ingin kembali. Hal-hal sentimentil hanya bisa dibunuh dengan rutinitas yang seringkali membuat kita lupa akan sebuah tragedi. Sehingga pada akhirnya, aku harus meyakinkan diriku sendiri, bahwa aku menulis untuk diriku sendiri. Bila ada yang memahaminya dan tidak mau beranjak pergi, itu hanyalah kado kecil dari publikasi. Tidak peduli kau dimana, tulisanku mungkin suatu saat akan membuat kau kembali. Disinilah penulis malang ini kembali, dengan pena, kertas, keyboard dan monitor. Ada kerja yang belum selesai. Menatap reruntuhan yang mesti dibangun kembali dari puingpuing yang berserakan. Aku percaya pada Tan Malaka , Padi Tumbuh Tidak Berisik
59
Si Polan dan Mimpinya Posted on May 24, 2010 under Kolom http://itonesia.com/si-polan-dan-mimpinya/ Pukul 12 siang, Polan bangun tidur. Sangat terlambat untuk memulai hari, mengejar rejeki. Di dalam kamarnya yang sempit dimana cahaya mentari terhalang oleh tembok gedung yang kokoh, Polan meminang mimpi dengan niatan di hati. Hari ini, dia akan meneruskan langkah-langkah kecil yang terlihat ringkih di tengah dunia yang terus berbicara tentang hal besar dan agung. Di antara tumpukan pakaian kotor, buku-buku hapalan doa dan jampi-jampi usaha kecil dia mencari kunci. Polan mengeluh, “ah, untuk keluar dari kamar saja susahnya minta ampun” Satu gelas besar teh tubruk dengan sedikit gula, nikmatnya minta ampun di tengah panas yang terik. Polan merogoh kantong, duitnya tidak cukup. Untunglah itu warung dia sendiri, induk semang minum tidak dihitung. Polan mengecek dagangan, memastikan hari ini penjaga warung bisa belanja. Dia membaca catatan hutang, bisnis kecil ini tidak bergerak. Uang tidak beredar leluasa di tengah perkampungan yang hidup dari bon dan kata “maaf”. Di televisi, dia melihat tayangan politik, Polan tidak berselera untuk makan. Pada saat dia memikirkan belanja untuk warung kecilnya, duit berhamburan dalam permainan kepura-puraan. Polan menatap warungnya, adakah usaha ini juga sebuah kepura-puraan? Dering suara dari telepon genggamnya yang tanpa warna menyadarkan Polan, hari baru saja dimulai. Hari ini, dia mesti melunasi tagihan giro, membayar sewa kamar, hutang warung belum termasuk membayar pekerja dalam industri yang tengah dirintisnya. Di tengah dunia bon dan maaf, Polan tidak bisa berharap banyak. Dia merogoh kantong, rupanya terselip dua ribu rupiah. Dia menatap nominalnya lekat-lekat, bisakah uang sialan ini memecahkan masalahnya hari ini. Polan beranjak pergi, mencari hutang sana sini. Tetapi di negeri ini, bila kau tidak cakap berbicara dengan hiasan kebohongan, kau tidak akan mendapatkan apa-apa. Masalah itu, Polan tidak mampu. Dia terlalu jujur bahkan untuk sekedar membohongi dirinya sendiri. Setoran pulsa datang dari bisnis yang dikelola tidak hati-hati, Polan girang sementara. Sebelum seeorang datang berkabar tentang motornya ditabrak taksi. Untuk mengeluarkannya dari kantor polisi tentu tidak cuma-cuma. Polan tidak sampai hati, duit pulsa habis untuk cerita yang mengiris hatinya. Dalam hidup, Polan percaya bahwa kebahagiaan hanya bisa didapat jika kita mau berbagi. Terkadang dalam kondisi yang tidak masuk akal. Polan resah, dia telepon sana-sini, hanya kata maaf di seberang telepon. Dia memikirkan pekerjaannya, sebelas orang jumlah mereka. Tinggal di kontrakan sekaligus pabrik kecil makanan, tempat sehari-hari mereka percaya bahwa sebuah mimpi mulia masih punya tempat di negeri ini. Pukul tiga sore hari, Polan mendatangi warung kopi miliknya satu lagi. Ada uang disana tetapi sudah disimpan untuk belanja esok hari. Polan meminjamnya hingga malam nanti. Dia mendatangi ATM, memeriksa tabungannya hanya tersisa 74.760 rupiah. Lumayan bisa diambil 50.000, sayangnya itu ATM pecahan seratus ribu. Dengan keringat mengucur, Polan berlari mencari ATM lain, uang 50.000 sangat besar artinya di siang bolong begini. Dia mendapatkannya, belanja warung tercukupi. Satu jam kemudian, Polan sudah mengitari pasar kemiri. Di tengah becek sisa hujan semalam, dia melihat bisnis berjalan semakin lesu. Dengan alasan kepraktisan, manusia Indonesia telah 60
meninggalkan kegiatan tawar menawar. Mereka hanya mau belanja di tempat dimana harga tidak pernah disepakati. Sekedar berharap diskon tanpa usaha. Hari masih teramat panjang untuk Polan. Pada saat orang-orang pulang bekerja, dia berada pada puncak kesibukan. Menurunkan dagangan di warung, memeriksa stok pulsa dan yang paling penting memastikan, adakah yang mau meminjamkan uang di saat sempit seperti ini? Polan belum beruntung, dia masih belum bisa memecahkan masalah giro yang jatuh tempo, beli bahan-bahan untuk pabrik kecilnya dan uang untuk belanja warung satu lagi. Ada yang mengusulkan Polan untuk mengajukan kredit, tetapi dia tidak punya sesuatu untuk diagunkan. Bank, dengan pelayan-pelannya yang cantik minta ditiduri, tidak memberi tempat kepada anak muda yang berusaha tanpa bersandar pada siapa-siapa. Nona-nona itu hanya akan membuka hati dan paha mereka untuk Tuan-Tuan yang datang dengan Mercy lengkap dengan reputasi utang menggunung. Inilah dunia perbankan Indonesia, kelayakan utang ditentukan oleh reputasi hutang dan apa yang dikenakan ketika memasuki bank. Tanpa mercy dan pakaian yang fancy, Polan tidak akan mungkin menembusnya. Pada pukul tujuh malam, Sule pulang dari kantor. Wajahnya berbinar sebab kali ini dia bisa membeli nasi Padang dengan dua lauk tidak lagi nasi kuah dan kerupuk. Hari ini dia gajian, jumlah tidak seberapa tetapi cukup untuk menyelesaikan persoalan kehidupan. Polan datang di saat yang tepat, Sule tidak kuasa menolak. Bagi orang-orang yang menjaga hubungan tanpa menghitung nominal, angka-angka begitu mudah berpindah tangan. Tagihan giro jatuh tempo terpenuhi, belanja warung juga menemukan solusi. Jumlahnya tidak seberapa, tetapi di saat sulit begini bahkan seonggok nasi padang nikmatnya melebihi semua makanan yang terhidang di hotel-hotel mewah. Polan masih pusing memikirkan pabriknya, sebab tidak cukup uang untuk belanja bahan. Sule tidak lagi bisa membantu sebab sekarang dia juga punya persoalan, apakah cukup uang untuk makan nasi kuah kerupuk untuk sebulan ke depan. Untunglah jam sembilan malam, ada jeda persoalan. Ada yang mengajak main bola di lapangan parkir pinggir jalan. Polan mengolah si kulit bundar, membiarkan waktu terus berputar. Satu setengah jam habis mengeluarkan keringat, dia duduk di pinggir jalan. Bergerombol bercerita apa saja dan meyakinkan diri semua akan baik-baik saja. Pukul sebelas lebih lima, motor bebek datang melambat. Sapaan dari suara perempuan membuat Polan naik darah. Dia lihat bekas pacarnya dengan lelaki baru. Motor berhenti sebentar si perempuan mengenalkan pacar barunya. Polan terbenam, dia ditinggalkan pada saat dia memutuskan untuk hidup dengan caranya sendiri. Bekerja mengikuti citacita sendiri menjadi persoalan bagi perempuan, sebab tidak akan ada kepastian masa depan didapatkan. Perempuan itu berlalu, dalam dengung suara motor mengarungi masa depan dengan pacarnya yang seorang karyawan. Polan datang tanpa uang ke rumah kontrakan yang disulap menjadi pabrik makanan. Di serambi muka, dia lihat tv menyala tanpa penonton. Politisi tengah berdebat tentang pemilihan umum. Polan menarik nafas panjang, dia sudah kehabisan tenaga untuk marah. Politik di Indonesia tidak memberi harapan, hanya meniadakan kesempatan. Uang yang berputar dalam politik melebihi uang yang seharusnya bisa diputar untuk memberi kehidupan kepada banyak orang lewat usaha yang jelas dan bukang omong gombal semata. Pengusaha telah kehilangan akal untuk mengelak dari palakan liar para politisi. Para profesional yang bergelut dalam usaha nyata kehilangan logika mengingat begitu mudahnya uang didapatkan dalam dunia politik. Dan Polan melangkah ragu menghadapi orang-orang yang bekerja dengannya, besok mungkin mereka tidak menghasilkan apaapa.
61
Polan bukanlah pemuda tanpa latar belakang. Dia lulus dari universitas ternama dengan angka-angka luar biasa. Lima perusahaan besar pernah berusaha menariknya, dia sempat bekerja pada dua perusahaan di antaranya. Tetapi di tengah rutinitas itu, Polan bertanya-tanya; adakah dia bekerja untuk mimpinya sendiri atau jangan-jangan dia bekerja untuk mimpi orang lain. Polan tidak pernah menghitung isi kantong, tetapi dia selalu ingat berapa orang yang bisa merasakan rejeki yang dia hasilkan. Dia tidak mungkin memberi hidup bila terus menerus menjadi karyawan. Entah tepat atau keliru, Polan keluar dari pekerjaannya merintis usaha kecil memberi kehidupan kepada lebih banyak orang. Menghasilkan sesuatu yang bisa memberi nilai tambah untuk banyak orang. Terkesan idealis? Tentu saja, bukankah anak muda hidup untuk mimpi-mimpi yang tidak mungkin. Sepi tiada suara di serambi muka, Polan melongok kesana sini. Dia pikir, sebelas orang itu sudah tidur semua sebab tanpa bahan mereka tidak mungkin bekerja. Tetapi Polan salah, di dapur dia menemukan sebelas orang itu giat bekerja dengan bahan-bahan yang ada. Dia bertanya kepada mereka darimana mereka punya uang membeli bahan-bahan itu. Jawaban para pekerja sungguh tidak disangka, mereka mengumpulkan uang kantong mereka demi lanjutnya usaha. Sekarang mereka tidak lagi punya apa-apa tetapi mereka punya bahan untuk dikerjakan. Kenapa mereka mau melakukan itu semua”, “karena kita punya mimpi yang sama”, ucap mereka dengan getar bangga. Pukul sembilan pagi, semuanya baru selesai. Tanpa tidur, motor sudah meraung siap menjajakan makanan ke warung-warung. Polan menatap senang, dia tidak mungkin tidur hari ini.. Seperti kemarin, dia mungkin hanya bisa mencuri tidur setengah jam sebelum azan Zuhur. Di tengah dunia yang tidak ramah, dia harus memecahkan persoalan uang hari ini. Itu akan terus berulang setiap harinya. Tetapi Polan percaya, tiada rintangan akan bisa membunuh cita-citanya.
62
Sukarno; 9 Cinta, 9 Revolusi Posted on May 26, 2010 under Kolom http://itonesia.com/sukarno-9-cinta-9-revolusi/ Bagi Soekarno, tidak ada krisis yang dilalui tanpa cinta. Hasrat besar Soekarno untuk kemerdekaan dan kebesaran bangsanya tidak lepas dari episode cinta yang ia lalui sepanjang hidup. Inilah yang menggoda saya untuk membaca, mempelajari dan coba menuliskan sebagai penghibur lara yang sering menghinggapi hati. Untuk masalah yang satu ini, tentu saya tidak akan bisa belajar dari Hatta atau Tan Malaka. Untuk setiap pecinta yang mencari alasan dari kekalahannya, roman cinta Bung Karno menjadi kekuatan yang meneguhkan asa. Soekarno memang mengakui bahwa ia gandrung dengan kecantikan. Tetapi kecintaan pada perempuan bagi Soekarno bukan sekedar isyarat lima indera kepada hati. Sifat cinta Soekarno tumbuh dalam lingkaran sebab dan akibat yang seringkali terlepas dari makna cinta itu sendiri. Pada saat pertama kali jatuh cinta di usia 14 tahun kepada gadis Indo-Belanda Rike Meelhusyen, Soekarno telah memiliki kesadaran, menaklukkan gadis Indo-Belanda bukan sekedar urusan cinta belaka tetapi adalah satu-satunya cara yang bisa ia lakukan untuk bisa menaklukkan kolonialisme Belanda. Dan ia gagal pada percobaan pertama menaklukkan Belanda, gadis itu tidak pernah membalas cintanya. Jalinan kasih Soekarno dengan Utari, puteri tokoh SI, HOS Tjokroaminoto mulai menunjukkan karakter cinta Soekarno. Hasrat cintanya pada Lak, panggilan sayangnya untuk Utari, sama menggebunya dengan semangat Soekarno untuk memahami ideologi politik Tjokroaminoto. Ketika Lak ia persunting ternyata Soekarno menemukan kehambaran sama seperti kebuntuan yang ia dapatkan dari doktrin ideologi SI Tjokroaminoto. Pada saat menempuh pendidikan di Technische Hogers- school di Bandung, Soekarno menceraikan Utari bersamaan dengan perpisahan ideologinya dengan Tjokro. Soekarno memilih jalan sendiri yang ia ciptakan. Inggit Ganarsih, ibu indekos Soekarno di Bandung yang berbeda usia 12 tahun di atasnya selanjutnya mengisi ruang hati Soekarno. Inggit dengan kesederhanaannnya setia mendampingi Engkus yang mulai menunjukkan sepak terjangnya menentang pemerintah kolonial. Ia rela melakukan apa saja untuk dapat menjenguk Soekarno di penjara Sukamiskin, ikut dalam pembuangan Soekarno di Ende dan kemudian Bengkulu. Tetapi ironisnya justru dalam kesetiaan mendampingi Soekarno dalam pembuangan, Inggrit tersisih oleh kehadiran perempuan lain di Bengkulu. Tidak rela dimadu, Inggrit memilih cerai dengan Soekarno. Perpisahan dengan Inggit adalah perceraian Soekarno dengan semangat belajar dan mencari. Perempuan Bengkulu itu bernama Fatimah, anak seorang tokoh Muhammadiyah disana. Soekarno kemudian mengganti namanya menjadi Fatmawati, suatu aspirasi nasional perlambang kedaulatan yang dicitakan oleh Soekarno. Fatmawati kemudian memang menjadi saksi bagaimana Soekarno mendirikan sebuah republik baru yang merdeka dan berdaulat. Ia ikut menemani Soekarno pada saat-saat genting ketika para pemuda menculik Soekarno ke Rengasdengklok. Ia pula yang terusir dari istana Jogjakarta pada saat suaminya ditangkap dan selanjutnya mesti bertahan hidup di pinggir Kali Code. Fatmawati, ibu negara pertama sang penjahit bendera pusaka, pula yang memberikan keturunan untuk Soekarno.
63
Tetapi sebagaimana Utari dan Inggit, Fatmawati mesti kalah oleh hasrat cinta Soekarno yang bergerak dimainkan krisis pencarian kebesaran Soekarno. Pada tahun 1954, Soekarno kehilangan legitimasi politiknya sebagai presiden dalam sistem politik parlementer. Seolah ingin kembali mendapatkan legitimasi kekuasaan tradisional Jawa, Soekarno menikahi seorang perempuan Solo bernama Hartini. Fatmawati memilih pergi dari istana, tetapi Soekarno tidak menceraikannya. Inilah awal dimana Soekarno membalut krisis dengan permainan cinta. Semuanya menjadi semakin tidak terkendali sejak Soekarno memegang kekuasaan absolut pasca dekrit presiden 5 Juli 1959. Dalam krisis pemberontakan Permesta di Manado pada tahun 1959, Soekarno menikahi Kartini Manoppo. Bekas pramugari Garuda yang berasal dari Bolaan Mangondouw Sulawesi Utara. Soekarno seolah ingin menunjukkan, bahwa cinta bisa meradakan suasana disintegrasi yang memanas. Dua tahun kemudian, Permesta bersamaan dengan PRRI selesai dan sebagaimana sifat cinta yang mengasihi, Soekarno memberikan amnesti umum. Tetapi tidak selamanya politik berbicara dengan kharisma dan senjata, terkadang ia juga bersendawa tentang keindahan. Pada saat Soekarno berkunjung ke Jepang untuk sebuah perundingan tentang pampasan perang, semuanya berjalan dengan a lot. Tetapi Soekarno tahu persis cara memenangkan perang. Bila pampasan perang tidak didapatkan maka dia akan menawan kecantikan bunga Sakura. Dan Soekarno membawa pampasannya sendiri dari Jepang dengan mempersunting seorang geisha di klub Copacobana Jepang, Naoko Nemoko yang ia beri nama Ratna Sari Dewi. Pada tahun 1963, perdebatan tentang akar dan arah kebudayaan nasional tengah memuncak. Para seniman terpolarisasi dalam dua kutub kebudayaan, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifes Kebudayaan (Manikebu). Konon Lekra berbicara tentang Sosialisme, Manikebu berbicara tentang humanisme universal. Lekra berbicara tentang seni untuk rakyat, manikebu seni untuk seni. Sebagai penyambung lidah rakyat, Soekarno tidak menyeru untuk menengahi perdebatan kebudayaan itu, dia memberikan contoh dengan tindakan. Soekarno menikahi seorang penari tradisional dari Jawa Timur, Haryatie. Seolah ingin menunjukkan, apapun visi kebudayaan yang diusung oleh semua kelompok semuanya berasal dari langgam yang sama, kebudayaan tradisional Indonesia. Setahun kemudian di tengah semangat Soekarno menggerakkan kekuatan negaranegara muda dalam Games of New Emerging Forces (Ganefo), ia terhisap gelora muda mempersunting Yurike Sangir, gadis yang masih duduk di bangku kelas VII SMA. Yurike seolah menjadi gambaran dari negara-negara baru eks kolonial yang penuh gelora melawan kekuatan-kekuatan kapitalis lama yang telah ratusan tahun menghisap mereka. Menaklukkan Yurike mungkin sama nilainya dengan memimpin puluhan negara-negara dunia ketiga dengan kegarangan Soekarno di atas podium. Bahkan dalam senjakala kekuasaannya, Soekarno masih mampu menunjukkan cinta sebagai simbol dari sebuah krisis. Pada tahun 1966, ia menikahi seorang gadis asal Tenggarong, Kalimantan, Heldi Djafar. Gadis yang menutup untaian kisah cinta Soekarno itu seakan menggambarkan pula berakhirnya hasrat besar Soekarno untuk menyatukan pulau Kalimantan dalam satu kekuasaan Indonesia. Inilah tahun-tahun dimana Suharto mengirim beberapa utusannya ke Malaysia untuk mengakhiri hasrat Sukarno akan Kalimantan Utara. Ada yang datang, ada pula yang pergi dalam kehidupan cinta Soekarno. Sembilan perempuan dalam kehidupan Soekarno untuk sembilan revolusi yang memutar roda sejarah Indonesia di bawah bendera revolusi Soekarno. Perempuan-perempuan itu mengakui, mereka terhisap oleh rayuan cinta Soekarno dan tidak juga bisa mengelak dari kharisma magis sang pemimpin besar revolusi. Dan sekarang saya mengerti, kita boleh 64
tidak setuju dengan semua yang dilakukan oleh Bung Karno dalam hal politik dan perempuan. Tetapi kita tidak bisa mengelak bahwa di balik cintanya yang besar itulah sebenarnya hadir sosok bapak bangsa sang Pemimpin Besar Revolusi.
65
Bola, Agama Tanpa Dogma Posted on June 16, 2010 under vuvuzela http://itonesia.com/bola-agama-tanpa-dogma/ Dalam sepakbola kita melihat dunia dalam kesejatiannya. 90 menit tempo waktu yang dihabiskan seolah rangkuman kecil dari perjalanan panjang hidup manusia di dunia. Kita melihat drama, tragedi, gembira, sedih, keadilan, kecurangan, emosi dan sering pula simpati. Perjuangan sebelas pasang kaki memberikan banyak cerita tentang kehidupan. Sepakbola seringkali memberikan kesempatan untuk mendapatkan mimpi-mimpi yang tidak terbeli dalam dunia nyata. Dunia dimana terkadang banyak anak-anak seringkali harus membunuh mimpi mereka sebelum mekar di taman bunga kehidupan. Sepakbola menyadarkan kita dari kemurungan bahwa dalam dunia yang terbelah masih mungkin sepasang kaki menyeberangi celah. Di tengah dunia yang penuh dengan debu kotor polusi politik, deru piala dunia terdengar lagi lewat lengking Vuvuzela. Afrika berpesta karena ini kali pertama mereka menjadi penyelenggara. Dunia bisa menikmati jeda dari semua kebisingan yang tidak pernah selesai. Afrika Selatan, sang empu penyelenggara piala dunia, tengah memetik buah dari mantera ajaib sang pemimpin agung, Nelson Mandela, “Forgive but not Forget”. Semangat rekonsiliasi Afrika Selatan pasca tumbangnya politik Apartheid seolah terwakili dalam semangat persamaan dan mimpi-mimpi piala dunia. Lewat layar kaca kita melihat gairah yang menyala, Afrika yang bercahaya dan sebuah harapan bahwa keterbelakangan banyak negara-negara Afrika itu bukanlah sebuah takdir. Bola dan bukan politik yang menyatukan Afrika sebab sepasang kaki ternyata lebih jujur dari pada sebongkah otak. Ritme kehidupan manusia di muka bumi ini berubah dengan seketika. Di Jakarta kutukan kemacetan bergeser tempo waktunya, di warung-warung orang melupakan begitu banyak skandal yang menjemukan, di rumah para istri seringkali harus tidur dengan guling dan bahkan kita nyaris tidak bisa membedakannya dengan hari raya. Ini terjadi nyaris di seluruh permukaan planet ini. FIFA, otoritas tertinggi sepakbola dunia, tampak sebagai lembaga dunia yang paling kokoh melebihi PBB. Dengan semua retorika dan dialektika perdamaiannya, PBB selalu gagal untuk menciptakan dunia yang lebih baik bahkan untuk jeda sementara. Sementara FIFA lewat si kulit bundar dan bukan pasukan internasional berhasil menciptakan perdamaian di banyak daerah konflik walaupun hanya untuk sementara. Sementara PBB seringkali memperlihatkan wajah ganda bila berhadapan dengan beberapa negara, FIFA memiliki kekuatan untuk membekukan otoritas sepakbola nasional bila pemerintah campur tangan. Kita berharap PBB sebagai lembaga dunia yang berwibawa, tetapi kita menemukannya lewat FIFA. Dalam nyala dunia yang terpenjara dalam sekam kebencian, laju kulit bundar seolah hadir menjadi firman kebajikan. Sebuah pertandingan yang ciamik di malam hari mengubah malam itu menjadi malam yang lebih indah dari seribu bulan pertikaian di muka bumi. Di Amerika Selatan sepakbola telah menjadi budaya yang mengambil bentuk agama. Sepakbola Eropa menjadi tanjung pengharapan dalam pencarian dunia baru yang lebih baik. Di Afrika, sepakbola membuat genggam senapan berubah menjadi genggam erat jabat tangan. Di Asia, sepakbola menjadi gambaran nyata kebangkitan kekuatan baru ekonomi dunia. Sepakbola telah menjadi agama yang nyata di balik agama-agama lama yang senantiasa berkhotbah tentang perdamaian dan persamaan tetapi senantiasa berperang dan membedakan. Dia memberikan firman kepada kaum papa, bila dunia tidak memberikan banyak kesempatan, gunakan kakimu dan berlarilah. Sepakbola mungkin 66
tidak akan menggantikan keyakinan agama tetapi dia memberikan pesan yang kuat bahwa sudah saatnya agama-agama berhenti berkhotbah tentang pentingnya penderitaan dan agungnya tragedi. Tetapi sepakbola bukanlah sebuah kesempurnaan sebagaimana dogma agama. Kita melihat dalam dunia yang semakin menyatu ini sepakbola larut sebagai komoditas ekonomi. Gagasan tentang kemenangan, reputasi, hadiah dan nilai jual seringkali menyajikan kehambaran dalam bentuk sepakbola yang pragmatis. Kita semakin khawatir tidak bisa lagi melihat indahnya dunia yang berbeda lewat sepakbola sebab bila semakin sedikit pemain yang “bermain” bola dan semakin banyak dari mereka yang sekedar “bertanding” bola maka kita tidak lagi menikmati 22 orang seniman menari-nari dalam ritual agung sepakbola. Semoga sepakbola tetap menyajikan keindahan, perdamaian dan harapan.
67
Samba Belum Kuasa Mengajak Korut Menari Posted on June 17, 2010 under vuvuzela http://itonesia.com/samba-belum-kuasa-mengajak-korut-menari/ Partai antara tim nasional paling populer seantero jagad dengan tim paling misterius itu telah usai. Angka menyibak fakta, skor 2-1 untuk kemenangan Brazil atas Korea Utara. Carlos Dunga, Pelatih Brazil menyatakan puas dengan hasil positif itu. Sementara pelatih Korut Kim Jong-Hun bangga dengan penampilan anak asuhnya yang berhasil mencuri satu gol dari Brazil. Partai Brazil versus Korut adalah salah satu partai yang saya nantikan penuh keingintahuan. Bertanya-tanya di dalam hati mampukah tarian samba menghapus kemurungan Korut. Lewat tengah malam di depan layar kaca saya menyaksikan, Brazil memang menekuk Korea Utara, gol Maicon cukup mempesona, terobosan Elano juga cukup ciamik dan bahkan satu gol dari Ji Yung Nam sempat memunculkan harapan seru di menit-menit akhir. Tetapi menurut saya Samba gagal menepis kemurungan Korut. Juche, ideologi nasional Korut, terlalu kaku untuk bisa diajak bergoyang. Banyak yang menilai di bawah asuhan Dunga, Brazil tidak lagi menampilkan permainan yang atraktif. Tanpa membawa Ronaldinho, Jogo Bonito seakan-akan sudah dimuseumkan. Sepakbola pragmatis yang mengutamakan kemenangan dengan menihilkan keindahan membuat Dunga dicap sebagai penggerus kebudayaan Brazil. Sepakbola indah, Jogo Bonito telah menjadi kebudayaan nasional Brazil yang terkadang membuat kita lupa akan esensi menang dan kalah dalam sebuah pertandingan. Tetapi jangan salahkan Dunga, dunia telah berubah, Brazil pun menjadi salah satu negara kunci dalam pergeseran kekuatan ekonomi dan politik dunia saat ini. Semenjak Lula Da Silva, putera seorang buruh pelabuhan yang menghabiskan masa kecilnya sebagai tukang semir sepatu dan tidak sempat menamatkan pendidikan SMP naik ke tampuk kekuasaan presiden, Brazil tampil sebagai salah satu kekuatan dunia. Lula yang berasal dari partai buruh dan berkawan erat dengan Hugo Chavez dan Fidel Castro membangkitkan kembali romantisme politik latin dengan mengawinkan Sosialisme dengan teologi pembebasan. Hanya saja dalam hal ini, Lula lebih pragmatis, dia tidak menutup diri dari kapitalisme dan perdagangan bebas walaupun tetap menyimaknya penuh kehati-hatian. Hambre Zero atau kelaparan nihil menjadi kampanye utama Lula ketika meraih tampuk kekuasaan pada tahun 2002. Sekarang kita melihat, Brazil bukan hanya berhasil mengatasi kelaparan tetapi juga berusaha membantu dunia yang lapar akan keadilan. “Saya berubah, Brazil juga berubah”, ucap Lula pada suatu kesempatan. Rupanya Dunga mengamininya, melupakan sepakbola yang indah demi kemenangan juga bukan sesuatu yang terlarang. Bukanlah Lula dianggap sebagai patron baru sosialisme pragmatis, kenapa Dunga juga mesti risau dengan pragmatisme sepakbola? Bagaimana dengan Korea Utara? Pandangan kita tentang sepakbola di Korut seolah tersangkut pada kawat duri zona demiliteriasi Panmunjom. Sisanya, kita hanya bisa berimajinasi tentang Korut. Di tengah dunia yang terus berputar memadat dalam lingkaran yang semakin menyempit, Korut seolah mencicilkan diri di belakang. Bukan karena mereka tidak mau berlari tetapi mereka hanya tidak ingin masuk dalam kerumunan yang menghamba pada satu kekuatan dunia. Juche, ideologi nasional Korut, menandaskan kepercayaan pada kekuatan diri sendiri. Suatu doktrin yang pernah juga ditandaskan oleh Bung Karno lewat Berdikari. Lewat ideologi rintisan Kim Il Sung ini, setiap insan manusia harus menjadi Tuan atas segalanya dan berhak untuk memutuskan semuanya, rakyat Korea adalah Tuan dari revolusi Korea. Dalam prakteknya kita 68
mendengar sayup dari kejauhan ternyata tidak banyak orang yang menjadi Tuan bahkan sekedar untuk dirinya sendiri di Korea Utara. Pada saat tampuk kekuasaan beralih dari Kim Il Sung kepada puteranya Kim Jong Il, Korea Utara lebih tampak sebagai monarchi yang hanya menjadikan demokrasi sebagai jampi-jampi penolak bala. Mungkin pandangan saya benar-benar tersangkut pada kawat duri di Panmunjom, saya melihat Korea Utara yang diam sambil sesekali menyalak penuh kemurungan. Tetapi syukurlah dalam dunia yang terus menerus dihinggapi curiga, masih ada sepakbola. Di lapangan kita tidak melihat semuanya sama dengan imajinasi kita. Di tengah-tengah Brazil yang berlari kencang kita tidak melihat Korea Utara yang diam penuh kekaguman, mereka berani mengejar terkadang menyerang balik dengan tidak kalah kencangnya. Juche hadir dalam sanubari pemain Korea Utara, mereka tidak gugup menghadapi sang juara lima kali. Walaupun tarian samba belum mampu membongkar kemurungan Korut, kita bisa menarik nafas lega ketika pada akhir pertandingan terlihat beberapa pemain Korut bertukaran kaos dengan pemain Brazil. Korut mungkin tidak semurung yang kita duga dan kawat besi Panmunjon tiada kuasa menahan manusia bertukar kekaguman.
69
Domenech, absolutisme Louis XVI Posted on June 18, 2010 under vuvuzela http://itonesia.com/domenech-absolutisme-louis-xvi/ Pada saat Perancis berhasil memastikan lolos ke putaran final piala dunia 2010 lewat kemenangan kontroversial partai play off melawan Irlandia, Eric Cantona mengatakan bahwa, Raymond Domenech adalah pelatih Perancis terburuk sejak Raja Louis XVI. Mungkin Cantona berlebihan, sebab lebih dari dua abad yang silam, walaupun telah dimainkan dalam berbagai bentuk permainan di banyak tempat sepakbola modern belum lah ditemukan. Tetapi apa yang dikatakan oleh Cantona sebenarnya mewakili kemuakan publik sepakbola Perancis terhadap Domenech yang menjadi salah satu pelatih terlama menangani Les Blues. Bagi saya yang mengamati kiprah Perancis dengan tendensi emosi yang lebih rendah, Domenech tidak tampak seperti pelatih, dia lebih tampak seperti Louis XVI pada masa-masa akhir kekuasaannya. Situasi yang dirayakan dunia sebagai Revolusi Perancis. Domenech, sebagaimana Louis XVI, cukup lama menjadi pangeran dalam tim nasional Perancis. Sepanjang era 1993-2004 dia dipercaya menjadi pelatih tim nasional U-21 Perancis. Pada saat Jacques Santini gagal membuat Perancis berbicara banyak dalam putaran final Euro 2004 di Portugal, sang pangeran naik tahta. Domenech ditunjuk menjadi pelatih Les Blues. Banyak suara sumbang menanggapi penunjukan Domenech. Tetapi sebagaimana Louis XVI, dengan kekuasaan absolut yang dimilikinya Domenech terus berkiprah. Pria keturunan Catalunya itu konon sangat percaya dengan astrologi, dia tidak memanggil Robert Pires yang tengah bersinar di Arsenal dan kemudian Villareal karena pemain bersangkutan memiliki zodiak Scorpio. Kursi Domenech sempat goyang tetapi pada putaran final piala dunia 2006 dia berhasil membawa Perancis menjadi Runner-up. Kunci keberhasilan Domenech pada waktu itu sebenarnya bukanlah pada taktik dan strategi tetapi kemampuannya membujuk sang maestro Zinedine Zidane yang telah menyatakan pensiun dari tim nasional untuk kembali memperkuat Les Blues. Zidane ibarat Jenderal Bouille yang berhasil mengungsikan Louis XVI dari la Grande Peur atau ketakutan besar akibat revolusi yang meledak setelah penyerbuan penjara Bastille. Nyamannya tahta empuk skuad Les Blues tidak lama dinikmati oleh Domenech. Menjelang putaran final Euro 2008 Swiss-Austria dia mendapatkan kritikan pedas dari pelatih Chelsea Jose Mourinho yang mengatakan Domenech telah memperlakukan Claude Makalele seperti budak. Pemain veteran yang sudah menyatakan pensiun dari tim nasional masih terus dipanggil tiada henti setelah piala dunia 2006. Bak seorang raja absolut, Domenech menanggapi Mourinho, “sepanjang dia masih bisa berjalan, dia harus bermain. Saya punya hak untuk memanggilnya”. Hasilnya pada putaran final Euro 2008, Perancis tidak lolos dari kualifikasi grup C. Dalam tahta Louis XVI yang semenjana, kita melihat nyala kemarahan dari kelompok radikal Jacobin yang semakin menguat. Tetapi FFF, federasi sepakbola Perancis, masih memberikan kesempatan kepada Domenech menangani Perancis untuk piala dunia 2010. Hasilnya, Perancis tampil berantakan dalam kualifikasi, untunglah dunia ini tidak sempurna, licik tangan Henry memperpanjang tahta Domenech. Menjelang masa akhir kekuasaannya, Louis XVI ditinggalkan oleh begitu banyak bangsawan, aristokrat dan jenderal-jenderal yang melarikan diri ke luar negeri. Di arena piala dunia 2010, kita melihat tim Perancis seperti kumpulan jelata yang mencoba masih bersetia kepada raja. Tidak ada lagi jenderal yang mengatur lapangan tengah, tidak ada 70
lagi bangsawan yang anggun di depan gawang apalagi di barisan belakang kita melihat aristokrat yang bangkrut. Permainan Perancis sungguh menjemukan dan tidak layak untuk dibicarakan. Perancis hanya layak digunjingkan ketika misalnya Gallas sempat “ngambek” karena bukan dia tetapi Patrice Evra yang ditunjuk menjadi Kapten. Atau ketika menteri olahraga Perancis yang mengkritik skuad Les Blues yang memilih tinggal di hotel mewah di tengah krisis ekonomi yang belum selesai. Sisanya, jangan bicarakan permainan membosankan Perancis kala menghadapi Uruguay. Itu sama artinya dengan membayangkan Marie Antoinette tengah berdandan di penjara. Dini hari tadi, kilau Guillotine mulai terlihat kala Meksiko mengacak-acak barisan pertahanan Perancis. Skor 2-0 adalah hasil yang adil kalau tidak dikatakan kurang bagi kemenangan Meksiko. Dengan poin 1 dan menyisakan satu pertandingan melawan tuan rumah Afrika Selatan, peluang Perancis semakin menipis. Laurent Blanc, salah satu pahlawan perancis pada piala dunia 1998, memang telah dikukuhkan menjadi pelatih pengganti Domenech. Ibarat Louis XVI berbagi kuasa dengan parlemen. Tetapi partai akhir yang menjadi penentuan nanti tetaplah akan menjadi arena pengadilan bagi Domenech apakah nasibnya akan berakhir tragis seperti Louis XVI atau publik bisa sedikit memaafkannya kala bisa meloloskan Perancis dari lubang jarum. Tetapi di Perancis sana, orang-orang telah meneriakkan kembali kata-kata dari Maximilien Robespierre, salah seorang pemimpin kelompok Jacobin, “Belas kasihan adalah pengkhianatan. Dan raja harus mati supaya negara tetap hidup”
71
Nasionalisme Berbatas Menang Kalah Posted on June 19, 2010 under vuvuzela http://itonesia.com/nasionalisme-berbatas-menang-kalah/ Beberapa waktu yang lalu para arkeolog di Inggris menemukan puluhan kerangka manusia di sebuah situs yang diduga sebagai reruntuhan benteng Romawi di York Inggris. Melihat kondisi kerangka tulang dan tengkorak, para arkeolog itu berkeyakinan bahwa yang mereka temukan adalah jasad dari para gladiator. Terhukum yang dipaksa untuk menjadi jagoan yang mesti bertahan hidup dengan membunuh terhukum lainnya di amphitheater kuno. Sebuah tradisi yang bengis tetapi menjadi tontonan menarik kala itu. Ternyata Don Fabio Capello bukan orang Italia pertama yang menjadi penguasa di Inggris, enam abad sebelum kelahiran Isa Al Masih kekaisaran Romawi juga pernah bertahta di negeri yang sendu itu. Bila dulu kekuasaan Romawi menjadikan arena gladiator sebagai pengisi waktu senggang, maka Don Fabio penguasa baru dari Italia menjadikan arena sepakbola sebagai sumber kuasa. Capello dipuja kala memuluskan langkah the three lions menuju piala dunia 2010, masalah dia berasal dari reruntuhan pusat kekuasaan Romawi tidak pernah dipertanyakan. Tetapi sekarang, setelah dua kali hasil imbang yang dituai tim Inggris, mungkinkah publik Inggris yang terkenal tajam lidahnya mulai bertanya-tanya, akankah Capello mengubur the three lions layaknya jasad gladiator yang ditemukan di reruntuhan benteng Romawi? Sepakbola dengan segala keindahan dan semangat yang menyertainya, tidak bisa tidak, pada akhirnya pasti berbicara tentang menang dan kalah. Kita mungkin bisa membicarakan keindahan, emosi, kelicikan atau ketabahan sebuah tim tetapi tanpa menang dan kalah pembicaraan kita seolah kapal yang tidak pernah mencapai tepian. Menang dan kalah mempertegas batas perbedaaan kualitas dan itulah sebenarnya yang menjadi sumber kebanggaan. Tim besar seperti Brazil, Italia, Spanyol, Argentina, Jerman atau tim yang punya kenangan akan kebesarannya seperti Inggris, Belanda atau Portugal senantiasa ingin memelihara tradisi kemenangannya, itulah yang membuat Don Fabio misalnya pusing dengan dua hasil seri yang diraih anak asuhnya. Sementara tim-tim medioker senantiasa memposisikan diri sebagai kuda hitam yang tujuan mereka datang terkadang hanya sekedar untuk mengalahkan tim besar tanpa hasrat juara berlebihan. Bagaimana dengan tim-tim kecil yang kadangkala baru sekali berlaga dalam piala dunia, mereka selalu datang penuh rasa syukur karena lolos kualifikasi, tetapi diam-diam berharap memperoleh popularitas tinggi dengan menahan tim besar kalau tidak memberi kejutan. Menang kalah memberi batas tegas nasionalisme tanpa kawat duri atau moncong senjata. Pada saat begitu banyak tesis tentang lenyapnya batas-batas identitas nasional karena globalisasi yang didukung oleh perdagangan bebas serta inovasi teknologi transportasi dan komunikasi, sepakbola masih memberi ruang yang luas untuk nasionalisme. Perang pada era milineum ini bukan lagi pilihan yang bajik bagi seorang laki-laki untuk menunjukkan kecintaan pada tanah airnya (atau sekedar menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang laki-laki). Kita bisa merunut semua perang yang terjadi saat ini, nyaris nihil kita temukan perang yang didukung oleh segenap elemen bangsa dari suatu negara. Sebuah perang yang mampu menyihir setiap warga negara untuk bergerak dan angkat senjata hampir tidak ada. Kita melihat bendera-bendera perang berkibar enggan sebab alasannya dipertanyakan. Mari kita alihkan pandangan ke arena sepakbola, di tribun penonton kita saksikan, bendera negara tidak hanya berkibar tetapi terlukis dari wajah72
wajah penuh gairah. Lagu kebangsaan membuat para pemain seakan-akan tengah menghadapi jihad penghabisan. Gerak laju seorang pemain memberi arti pada emosi sebuah bangsa, pada titik itu muncul kesadaran bahwa semuanya mungkin sepanjang permainan berlangsung dengan adil. Semangat fairplay sepakbola yang memberi ruang kepada tim kecil menahan atau mengalahkan tim besar menyindir ketidakadilan dunia yang terus memperkokoh tirani negara-negara besar di luar penjara kemiskinan negara dunia ketiga. Tadi malam, saya yakin pasti ada pesta di Beograd sana kala Serbia memberi tangisan 1-0 untuk Jerman. Negara yang sudah lama tercabik-cabik oleh disintegrasi itu selama ini begitu banyak menerima bantuan ekonomi dari Jerman, tetapi di lapangan bola, kedaulatan nasional adalah segalanya dan mereka tidak memberi belas kasihan kepada Podolski yang gagal mengeksekusi penalti. Kita juga menyaksikan semangat Amerika tadi malam, tertinggal 2-0 dari Slonevia, The Yanks mampu mengejar ketinggalan hanya karena mereka tidak ingin pujian dari The New York Times kala menahan Inggris akan berubah menjadi kritikan karena tidak bisa mengalahkan negara kecil yang ibukota negaranya sulit dieja. Stadion sepakbola bukan amphitheater, para pemainnya juga bukan gladiator tetapi soal menang dan kalah terkadang keduanya memiliki kesamaan, itu adalah persoalan hidup mati dalam batas-batas tertentu. Kemenangan selalu memberi arti yang besar di lapangan bola. Pada saat sebuah tim memenangkan sebuah pertandingan maka esok harinya media akan mengulas semua hal tentang kemenangan itu, mulai dari strategi pelatih hingga mungkin sejarah terbentuknya bangsa itu. Tetapi pada saat sebuah tim kalah, ulasannya sama persis seperti ekspresi letih seorang pelatih, singkat dan pendek seperti lilin yang nyaris mencair. Kita bisa mengutip ribuan kalimat bijak yang memberi hiburan untuk kekalahan tetapi kalah tetap sebuah kehilangan. Pada titik ini saya setuju dengan John F Kennedi yang pernah mengatakan, “kemenangan memiliki ribuan ayah sementara kekalahan senantiasa menjadi yatim”
73
Meramal Piala Dunia Lewat Tragedi Nusantara Posted on June 20, 2010 under vuvuzela http://itonesia.com/meramal-piala-dunia-lewat-tragedi-nusantara/ Di awal tahun 1938, hati Soeratin Sosrosoegondo dilanda gundah dan gemas. Ini terkait dengan niat dari Nederlandsh Indische Voetbal Unie atau NIVU untuk mengirimkan tim sepakbola Hindia Belanda untuk berlaga dalam Piala Dunia Perancis tahun 1938. Soeratin sang penggagas berdirinya Persatoen Sepakbola Seloeroeh Indonesia (PSSI) merasa NIVU yang didirikan oleh pemerintah karena tidak bisa lagi melawan pamor PSSI lewat Nederlandsch Indie Voetbal Bond (NIVB) telah melanggar kesepakatan yang mereka bikin pada tahun 1937. Dalam kesepakatan yang ditandatangi oleh Soeratin dan Masterbroek dari NIVU di Jogjakarta pada tanggal 5 Januari 1937 itu tercantum klausul bahwa tim nasional yang dibentuk haruslah melewati seleksi lewat pertandingan antara tim PSSI dan NIVU. Nyatanya sebagaimana sifat dasar kolonial Belanda, janji itu tidak ditepati dan tim Hindia Belanda itu berangkat dengan bendera NIVU, sesuatu hal yang tidak pernah direstui oleh Soeratin. Pada saat didirikan pada 19 April 1930, PSSI lahir sebagai salah satu implementasi dari kebulatan tekad Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Pemakaian nama Indonesia adalah wujud dari kehendak bebas lewat dunia olahraga. Soeratin, sang ideolog, meramal nasib Indonesia lewat sepakbola dengan keyakinan kelak ikhtiarnya ini akan berbuah pada kedaulatan sendiri dari bangsa yang telah terhapuskan dari peta dunia selama lebih dari tiga ratus tahun. Ikhtiar ini tidak sia-sia, NIVB terpaksa bubar karena tidak sanggup melawan pamor PSSI dan lima belas tahun setelah PSSI berdiri, bangsa yang hilang itu muncul kembali. Sejarah sepakbola Indonesia berbicara tentang tujuan nasional yang sangat mulia bahkan pada saat negara nasional itu belum berdiri. Tetapi itu masa lalu, hari ini kita tidak perlu berdiskusi panjang lebar tentang sepakbola Indonesia sebab kita hanya akan berbicara tentang pengkhianatan tikus yang mencari makan di lumbung sportifitas. Sebuah tragedi yang kita terima begitu saja. Menghubungkan piala dunia dan Indonesia sama susahnya dengan mengaitkan peradaban perunggu dan penemuan bom atom. Ramai pesta piala dunia di Indonesia sama persis seperti ritual kaum pagan yang tengah membayangkan dewa-dewa tengah berpesta di langit sana. Satu-satunya hubungan Indonesia dengan Piala Dunia bukanlah keriuhan TV atau tulisan dan liputan dari jurnalis-jurnalis konyol yang berbicara tentang kenangan Hindia Belanda pada tahun 1938. Hubungannya terdapat pada kenyataan bahwa piala dunia (seperti biasa) diikuti oleh negara-negara yang bernah bercokol di Nusantara. Enam bangsa yang pernah mengangkangi nenek moyang kita yang pecundang, Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, Perancis dan Jepang berlaga di piala dunia minus si bahlul yang pernah mereka jajah, Indonesia. Berangkat dari situ, penulis yang bahlul ini mencoba meramal nasib enam tim itu dengan mengaitkannya dengan tempo waktu mereka bercokol di bumi nusantara. Perancis akan menjadi tim pertama yang akan pulang lebih cepat dibanding lima tim penjajah lainnya. Periode penjajahan Perancis di Indonesia sangat singkat, cuma tiga tahun. Bermula dari dikuasainya Belanda oleh Napoleon yang mendudukkan adiknya Loius Bonaparte sebagai penguasa Belanda yang kemudian mengirimkan Herman William Deandels sebagai penguasa nusantara. Dari tahun 1808 hingga 1811, Deandel membangun administrasi dan meninggalkan warisan jalan pos Anyer Panarukan di Jawa. Walaupun kemudian Deandels sempat digantikan oleh Deandels, kekuasaan Perancis 74
tidak bisa dipertahankan lagi karena di Eropa Napoleon mesti menghadapi seluruh Eropa yang melawannya. Hanya tiga tahun tempo kekuasaaan Perancis di Indonesia, paling pendek dibanding penjajah lainnya yang pernah bercokol. Nasib tim Perancis setali tiga uang. Sejak babak kualifikasi, penampilan tim Raymond Domenech ini memang tidak meyakinkan. Lolos ke piala dunia pun hanya karena kelicikan Thierry Henry. Di Afrika Selatan kekonyolan Perancis semakin menjadi-jadi, ditahan Uruguay imbang tanpa gol dan kemudian dipermalukan oleh Meksiko dua gol tanpa balas. Keadaan semakin kacau ketika Nicolas Anelka berselisih paham dengan Domenech, dia kemudian dipulangkan. Menghadapi Afrika Selatan yang tidak ingin malu di tanah sendiri pada partai pamungkas nanti, Perancis sepertinya tidak akan mendapatkan kesempatan kedua. Jepang, akan menjadi tim berikutnya yang akan terdepak dari piala dunia. Periode penjajahan Jepang di Indonesia juga cukup singkat, hanya tiga setengah tahun. Mulai dari penyerahan Jenderal KNIL Heinz Teer Porten kepada Letnan Jenderal Hitoshi Imamura pada tanggal 9 Maret 1942 di Kalijati hingga Sukarno Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Pelatih Jepang Takeshi Okada memang memberi target tinggi kepada anak asuhnya yaitu mencapai semi final, suatu capaian yang belum pernah digapai Jepang. Tetapi walaupun diperkuat oleh beberapa pemain yang sedang atau pernah berlaga di liga Eropa seperti, Shunsuke Nakamura, Junichi Inamoto, Daisuke Honda atau Takayuki Morimoto yang bersinar bersama Catania, hasil uji coba jelang piala dunia Jepang tidak meyakinkan. Media Jepang bahkan menganologikan hasil itu dengan target tim samurai seperti Okada tengah mengajak pemain Jepang jalan kaki menuju bulan. Penampilan perdana Jepang memang cukup meyakinkan dengan menggebuk Kamerun 1-0. Tetapi saya melihat ini tidak bisa jadi patokan awal, toh di partai berikutnya Jepang digebuk Belanda 1-0. Pada partai penentuan nanti, saya yakin Denmark akan memulangkan Jepang ke gunung Fuji. Tim berikutnya yang akan pulang lebih cepat adalah Inggris. Bangsa yang selalu menganggap diri paling beradab seantero jagat itu hanya lima tahun bercokol di nusantara. Dimulai pada saat Raffles mengambil alih administrasi dari Janssen pada tahun 1811 hingga Inggris terpaksa mengembalikan nusantara kepada Belanda pada tahun 1816, dan Raffles menemukan surga baru bernama Tumasek atau Singapura. Warisan terbesar Raffles di nusantara adalah catatan yang diberi nama History of Java yang di dalamnya Raffles juga bercerita bagaimana pribumi disini bermain bola dengan menggunakan bola dari kulit jeruk dan rotan. Memang bila analisa ini saya munculkan sebelum putaran piala dunia sulit untuk mempercayainya mengingat kedigdayaan tim Fabio Capello ini di babak kualifikasi. Tetapi lihatlah langkah Inggris yang terseok-seok sekarang, imbang melawan Amerika, imbang pula melawan Aljazair yang notabene kualitas individunya jauh di bawah Inggris. Di lapangan terbukti, mempercayakan lini tengah pada duet Lampard dan Gerrard bukan pilihan yang bagus. Inilah kenyataan yang harus diterima Inggris. Tim yang mungkin sedikit bernafas lebih banyak dibanding tiga tim di atas adalah Spanyol. Walaupun arsip sejarah resmi kita yang sangat payah tidak mencatatnya dengan baik, tetapi saya menemukan kenyataan bahwa Spanyol bercokol cukup lama di salah satu bagian dari bumi nusantara. Pada tahun 1550, ketika Portugis masih berkutat menghisap kekayaan rempah-rempah Maluku, Spanyol sudah mendirikan benteng di Minahasa dengan menipu kepala walak Lolong Lasut dengan kulit sapi dari Benggala. Spanyol memang tidak lama bercokol di Ternate dan Tidore tetapi cukup lama di Minahasa hingga Belanda mengusirnya pada tahun 1677. Sebelum piala dunia berlangsung banyak yang meramalkan juara Eropa ini juga akan bisa merengkuh piala dunia pertama mereka. Dengan skuad yang tidak banyak berubah dibandingkan ketika mereka menjadi jawara Eropa, langkah Spanyol ternyata tidak mampu melewati kokoh 75
gunung Alpen. Pada pertandingan pertama mereka takluk 1-0 dari Swiss. Dengan skill individu rata-rata pemain yang mumpuni mungkin Spanyol masih belum bisa menyelesaikan masalah mereka yaitu masalah nasionalisme. Suatu hal yang bisa diatasi oleh Aragones tetapi mungkin belum bisa dipertahankan oleh Vicente Del Bosque. Tulang punggung dari skuad Spanyol seperti Xavi, Iniesta, Puyol dan Fabregas adalah orangorang Catalunya yang tidak pernah mau tunduk pada nasionalisme ala Castilla. Portugal bernafas lebih panjang dibandingkan Spanyol, tetapi mungkin tidak mencapai partai puncak di final nanti. Kekuasaan Portugall di bumi Nusantara dimulai dari ekspedisi Antonio de Abreu yang dikirim oleh Alfonso De Albuquerqe dari Malaka. De Abreu menjelajahi Madura, Bali, Lombok, Aru hingga kapalnya karam di laut Banda. Francisco Serrao melanjutkan misi ini hingga berhasil mendirikan benteng di Ternate pada tahun 1512. Dalam pasang surut gelombang kolonialisme, Portugis berhasil mempertahankan kekuasaannya hingga terusir dari Larantuka dan membuka pos baru di Lifau atau Oekoessi di Timor Leste pada tahun 1662. Skuad Portugal di piala dunia 2010 ini tidak terlalu layak dipergunjingkan, selain kebintangan Cristiano Ronaldo. Lebih dari separuh anggota skuad Portugal adalah pemain-pemain yang memiliki caps tim nasional kurang dari lima belas kali. Sementara beberapa pemain senior seperti Deco, Simao, Ricardo Calvalho atau Paulo Ferreira sudah padam nyalanya, era generasi emas telah lewat. Tetapi Portugal akan melangkah lebih jauh kendati menuai hasil imbang kala menghadapi Pantai Gading karena faktor CR9. Ronaldo adalah tipe pemain yang mampu menghidupkan nyawa tim seorang diri, kita bisa melihat kiprahnya di Madrid musim lalu. Inilah jawara kita, Belanda bercokol lebih lama dari bangsa manapun di bumi nusantara. Dimulai dari jatuhnya Jayakarta pada tahun 1619 hingga hancurnya armada Karel Dorman oleh kekuatan Jepang di laut Jawa yang berujung pada penyerahan tanpa syarat pada tahun 1942. Kenyataannya di lapangan, soldadu Oranye berada di atas angin. Walaupun belum menampilkan permainan cantiknya, Belanda telah menaruh satu kaki di babak berikutnya setelah mengalahkan Denmark 2-0 dan Jepang 1-0. Skuad inti Belanda saat ini juga diperkuat oleh para pemain yang tengah berada pada usia emasnya. Kecuali kapten Giovanni van Bronchost yang berusia 35 tahun dan Mark Van Bommel 33 tahun, rata-rata anak asuh Bert van Marwijk berada pada usia emas. Kiper Ajax, Maarten Stekelenburg dan komprador klubnya gelandang Demy de Zeeuw bersama dengan gelandang Real Madrid Rafael van der Vaart berusia 27 tahun. Bek Everton John Heitinga, gelandang Inter Milan Wesley Snijder, Penyerang Arsenal Robin van Persie, penyerang Bayern Muenchen Arjen Robben dan ujung tombak AC Milan Klaas Jan Huntelaar berusia 26 tahun. Pemain lain seperti Dirk Kyut juga masih berusia 29 tahun. Belanda senantiasa menjadi tim unggulan dalam turnamen terakbar ini dan mereka selalu gagal untuk merengkuh mahkota piala dunia. Tetapi kali ini, dibantu dengan sedikit ramalan tragedi nusantara, bisa jadi Belanda menjadi kampiun piala dunia. Bukanlah selama 350 tahun, kita sudah memberi cukup banyak hingga mereka mendapatkan segalanya? Bila Soeratin masih hidup tentu dia tersenyum perih melihat analisa abal-abal saya ini. 70 tahun sudah PSSI berdiri dan kita tengah menghadapi sebuah tragedi. PSSI yang pada awal didirikannya menjadi salah satu elemen perjuangan bangsa sekarang menjadi tirani kepentingan segelintir orang. Ada kuning yang tidak ingin pergi dari PSSI lewat kedigdayaan satu keluarga yang senantiasa memberi masalah kepada bangsa ini. Saya dan anda para pembaca adalah bangsa brengsek yang terlahir dari rahim keputusasaan. Kita tidak akan pernah mencapai piala dunia sepanjang kita senantiasa menjadi antithesis dari apa yang dikatakan oleh Mandela, “Forgive but Not Forget”. Bagi kita bangsa brengsek ini berlaku adagium, “Forget but Not Forgive”, kita tidak memberi maaf kepada banyak orang dalam sejarah padahal kita sebenarnya lupa persisnya apa yang pernah mereka lakukan. Kita mudah menghujat tetapi tidak mau belajar mencari sebab. Kita 76
menyalahkan Belanda atas penjajahan tetapi lihatlah bagaimana jurnalis-jurnalis bodoh seolah-olah memberitakan kebanggaan tim Hindia Belanda yang berlaga di Perancis’38 padahal itu bagian dari kampanye kolonial. Lewat analisa abal-abal ini saya menemukan satu tinjauan baru dari bangsa brengsek ini (termasuk saya yang brengsek). Ijinkan saya mengoreksi semua teori tentang manusia Indonesia, entah dari ilmuwan luar maupun dalam negeri. Lewat piala dunia yang diikuti enam bangsa penjajah nusantara nihil si bahlul Indonesia kita bisa berkaca. Bahwa manusia Indonesia memiliki karakter yang menjadi ciri utamanya, “tidak mau menerima hukuman atas kesalahan yang dilakukan sembari mengharapkan hadiah dari perlombaan yang tidak pernah diikuti”. Kita bukanlah bangsa yang sportif. Itulah alasan yang paling masuk akal kenapa kita tidak pernah bisa tampil di piala dunia.
77
Minangkabau : Masyarakat Komunis Pertama di Dunia Posted on July 1, 2010 under Kolom http://itonesia.com/minangkabau-masyarakat-komunis-pertama-di-dunia/ The Father of Our Founding Fathers, Tan Malaka, pernah mengatakan bahwa Minangkabau adalah masyarakat komunis yang tidak mengenal penjara. Pendapat ini bukan sekedar sindiran Tan Malaka terhadap kaum Bolsevhik Soviet yang pasca revolusi gandrung sekali memenjarakan orang. Suatu hal yang menjadi paradoks dari tujuan komunisme untuk membebaskan masyarakat dari penindasan dan keterasingan. Ucapan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka itu berangkat dari sebuah pemahaman mendalam tentang sistem sosial di tengah-tengah masyarakat Minangkabau yang peradabannya telah berlangsung dan berkembang selama beberapa abad. Ini bukanlah tesis baru tentang masyarakat Minangkabau karena sejarah telah membuktikan bagaimana surau pernah menjadi tempat pembibitan komunis sebelum kita menakar komunisme dalam tafsir tunggal anti Tuhan. Surau Jembatan Besi yang menjadi episentrum pendidikan Sumatra Thawalib di Padang Panjang adalah salah satu tempat yang paling aktif sebelum penindasan komunis oleh pemerintah kolonial 1926. Tetapi apakah sejarah komunis di Minangkabau hanya sebatas gelora masa-masa bergerak sebelum exorbinte rechten memberi kebebasan pada pemerintah kolonial untuk membuang setiap kata “tidak” ke neraka Boven Digoel? Ternyata tidak, komunisme di Minangkabau telah tumbuh dan berkembang bahkan sebelum teori itu dicetuskan. Lewat metodogi materialisme sejarah, Karl Marx menyatakan bahwa yang menentukan perkembangan masyarakat bukanlah kesadaran masyarakat, atau apa yang dipikirkan masyarakat tentang dirinya. Tetapi keadaan riil masyarakat itu sendiri yang mencerminkan kondisi dan situasi hidup masyarakat. Sejarah terbentuk dari fakta-fakta yang nyata bukan gagasan abstrak yang pada akhirnya menggiring pada kesadaran palsu dimana kelas tertentu dalam masyarakat menggunakannya sebagai dalih untuk menguasai kelas lainnya. Cikal bakal monarki absolut seringkali muncul dari keyakinan palsu bahwa seorang raja adalah perwujudan Sang Pencipta dalam raga manusia. Masyarakat menerima takdirnya sebagai hamba dari penguasa yang ditentukan oleh garis keturunan. Dengan kesadaran yang demikian maka keluarga raja memiliki hak ekslusif untuk menguasai alat-alat produksi yang memberikan keleluasaan kepada mereka untuk terus mengendalikan masyarakat. Ketika kekuasaan semakin bertumbuh muncullah golongan bangsawan dimana para raja mendelegasikan kekuasaan atas alat-alat produksi dan wilayah kepada mereka. Elitisme ini memunculkan budaya feodal. Sebagaimana kebanyakan kesadaran awal manusia tentang kekuasaan, masyarakat Minangkabau pada awalnya tumbuh dan berkembang dalam budaya monarki yang berakar pada interaksi sosial yang bersifat paternalistik. Dalam tambo adat alam minangkabau dijelaskan, kekuasaan di Minangkabau bersumber dari raja-raja yang diturunkan oleh Sri Maharajo Dirajo. Pada masa itu, raja menjadi sumber kebenaran. Hukum yang tertuang dalam ketentuan simumbang jauah, sigamak-gamak dan silamolamo memberikan gambaran kepatuhan kolektif masyarakat kepada penguasa. Pada saat kekuasaan diwariskan kepada Suri Dirajo, Hukum Tarik Baleh berlaku dimana keadilan ditegakkan dengan cara memberikan balasan setimpal untuk setiap tindakan yang dilakukan. Ini juga memberikan gambaran betapa begitu berkuasanya raja yang menyebabkan rakyat menjadi terasing dan tertekan. 78
Rezim monarki ini kemudian diteruskan oleh putra Suri Dirajo, Datuak Sri Maharajo. Raja ini kemudian menikah dengan putri Indahjaliah dan dikarunia dua orang anak, Sutan Maharajo Basa dan Putri Jamilan. Sayangnya, Datuak Maharajo Basa tidak berumur panjang sehingga sepeninggalnya Putri Indahjaliah menikah lagi dengan Cati Bilang Pandai dan dikarunia seorang anak yang diberi nama Sutan Balun. Lebih dari enam abad sebelum Marx dan Friedrich Engels mencetuskan manifesto komunis Sutan Balun meretas takdirnya sebagai tokoh yang akan melakukan revolusi komunisme di alam Minangkabau. Tentu kita bisa berdebat, apakah dalam tempo sebelum kelahiran manifesto komunis itu semuanya hanya bisa dilabeli dengan sebutan komunisme primitif dan utopis atau jangan-jangan justru inilah komunisme ilmiah yang lahir jauh sebelum komunisme itu menjadi teori reaksi terhadap kapitalisme. Engels menegaskan bahwa sejarah peradaban manusia adalah sejarah pertentangan kelas di antara kelas-kelas yang berkuasa dalam berbagai tahap perkembangan sosial. Pertentangan kelas hanya mungkin terjadi, menurut Marx, jika didahului oleh kesadaran kelas yang didorong oleh identifikasi diri yang sama dan solidaritas. Marx juga menjelaskan bahwa sumber pertentangan kelas adalah masalah ekonomi. Tetapi Max Weber, walaupun setuju dengan Marx, memberi sedikit koreksi bahwa pertentangan kelas juga bisa bersumber pada prestise dan kekuasaan. Dalam kasus Sutan Balun, ketika dia beranjak dewasa, muncul kesadaran dalam dirinya bahwa sebagai saudara satu ibu sang raja yang sama sekali tidak berkuasa terhadap mahkota raja, posisinya tidak jauh berbeda dengan rakyat kebanyakan. Dia mulai merasakan betapa keputusan-keputusan yang menjadikan raja sebagai daulat kebenaran tidak semuanya memberikan maslahat kepada rakyat. Walaupun terlahir dari rahim yang sama, di atas dunia Sutan Balun menyadari bahwa dia berada dalam kelas yang berbeda dengan sang raja. Untuk beberapa tahun dia membuang diri jauh dari Minangkabau, menjadi eksil untuk menghindari pertentangan. Konon ketika Sutan Balun kembali, terjadi sebuah peristiwa unik. Anjing miliknya menggigit seorang dubalang raja. Sutan Balun didakwa di depan raja. Tetapi dalam hukum tarik baleh tercantum ketentuan, untuk setiap tindakan kejahatan harus dibalas dengan cara yang sama. Artinya dubalang raja harus balik menggigit anjing tersebut. Sutan Balun punya kesempatan menggugat kebenaran ala Sutan Maharajo Basa dan seolah-olah mengatakan bahwa raja yang senantiasa memutuskan seorang diri tidak bisa selamanya menjadi sumber kebajikan. Sutan Balun mendesakkan sebuah perubahan, ini menimbulkan kesadaran kelas di kalangan rakyat banyak dengan sebuah keyakinan bahwa karena hukum dipakai oleh rakyat banyak maka ketentuan hukum haruslah juga sesuai dengan aspirasi masyarakat banyak. Bibit-bibit demokrasi mulai tumbuh, mereka yang berhimpun dengan Sutan Balun membentuk Partai Bodi Caniago dan oleh pengikutnya diberi gelar, Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Konon dari asal katanya Bodi Caniago berarti, Budi yang curiga suatu sikap skeptis yang senantiasa mencurigai kekuasaan. Sedangkan para pengikut Sutan Maharajo Basa membentuk partai Koto Piliang yang menurut asal katanya berarti Kata Pilihan, suatu frasa yang menggambarkan sikap aristokrat yang penuh kehati-hatian. Oleh kelompok partisannya, Sutan Maharajo Basa diberi gelar Datuak Katumanggungan. Dalam teori-teori komunisme klasik, -sebelum apa yang disebut komunisme itu muncul lewat sosok monster negara yang menakutkan-, demokrasi menjadi prasyarat penting menuju tahapan masyarakat komunisme yang bebas dari keterasingan, tekanan dan kelangkaan. Demokrasi memberi ruang kepada setiap anggota masyarakat untuk menentukan keputusan ekonomi dan politik. Datuak Parpatiah Nan Sabatang menyadari untuk membebaskan setiap individu dari ketakutan dan ketaatan buta terhadap raja dia harus mampu mendorong identifikasi diri masyarakat dan sikap solidaritas yang bermuara 79
pada kesadaran kelas Bodi Caniago. Dalam pertarungan dialektika antara dua kelompok ini kemudian terbukti Datuak Parpatiah dan Bodi Caniago mampu menyeret Datuak Katumanggungan dan Koto Piliang dalam gelombang perubahan. Di Balai Sari Nan Tujuah Baleh Ruang, demokrasi lahir di alam Minangkabau yang mungkin tempo waktunya tidak berjarak jauh dengan kelahiran Magna Charta di Inggris. Tujuh belas ruang di balai itu dibagi tiga, Balai Nan Saruang atau satu ruang digunakan sebagai tempat merumuskan undang-undang. Delapan ruang sebelah kanan digunakan sebagai tempat perundingan. Sedangkan delapan ruang sebelah kiri digunakan sebagai tempat rakyat menyampaikan suara mereka. Datuak Parpatiah ditunjuk sebagai ketua formatur perumus undang-undang untuk menggantikan hukum raja yang sebelumnya menjadi daulat kebenaran. Dari permufakatan itu muncullah undang-undang yang didasari oleh semangat partisipasi, emansipasi dan aspirasi bernama Tuah Sakato. Pada hakekatnya Tuah Sakato adalah sebuah revolusi konstitusional yang berhasil diinisiasi oleh Partai Bodi Caniago yang mereduksi kekuasaan aristokrat Koto Piliang. Tuah Sakato menandaskan satu hal penting bahwa hukum tidak lagi bisa ditetapkan oleh raja tetapi oleh orang banyak sebab orang banyak pula lah yang akan memakai hukum itu. Maka Tarik Baleh berganti dengan Alur dan Patut. Tuah Sakato mengubah Minangkabau dari monarki absolut menjadi monarki konstitusional. Partai Bodi Caniago dan Koto Piliang disebut dengan istilah Lareh Nan Duo yang hidup di Luhak Nan Tigo. Dalam Tuah Sakato juga dirumuskan apa yang disebut dengan Adat Nan Dibuhua Mati dan Adat Nan Dibuhua Sintak. Adat nan Dibuhua Mati adalah ketentuan adat yang tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan, sedangkan Adat Nan Dibuhua Sintak adalah ketentuan yang menyesuaikan dengan tempat dan waktu. Ini memberi ruang kepada Datuak Parpatiah bergerak lebih jauh memaksa Datuak Katumanggungan untuk memberikan otonomi seluas-seluasnya kepada setiap Nagari yang ada di Minangkabau. Dalam tambo adat alam minangkabau kita bisa mempelajari, semenjak otonomi yang diberikan itu maka nagari tidak lagi be-raja kepada daulat tetapi be-raja kepada mufakat. Negeri-negeri pada akhirnya tidak lebih dari federasi-federasi yang sekedar mengikatkan diri secara simbolik kepada raja. Revolusi secara singkat menurut Mikhail Bakunin memiliki tujuan; kebebasan bagi semua, untuk individu maupun badan-badan kolektif, asosiasi, komune, propinsi, wilayah dan negara, dan adanya jaminan bersama terhadap kebebasan ini oleh federasi Sehingga Negara, lanjut Bakunin, haruslah tidak lebih dari sebuah federasi propinsi-propinsi yang otonom. Secara singkat memang Datuak Parpatiah telah berhasil sejauh itu tetapi anganangannya tentang sebuah masyarakat tanpa kelas dimana negara pada akhirnya tidak lagi diperlukan belumlah tercapai. Syarat mutlak penghapusan kelas, -dan juga negaraadalah penghapusan hak milik pribadi yang sepanjang sejarah peradaban manusia senantiasa membelah masyarakat dalam kelas-kelas dimana satu kelas menguasai kelas lainnya. Kepemilikan individu, sebagaimana kepemilikan manusia primitif terhadap beberapa benda untuk berburu dan meramu, tetap diakui tetapi kepemilikan terhadap sumber-sumber ekonomi penting seperti tanah haruslah dikuasai secara bersama-sama. Marx menegaskan, untuk mencapai penghapusan kepemilikan pribadi itu maka diperlukan sebuah revolusi proletariat. Dimana Marx yakin, revolusi itu akan dimenangkan oleh golongan proletariat. Dalam fase antara kemenangan revolusi dan terbentuknya masyarakat komunis maka diperlukan diktator proletariat yang bersifat sementara untuk secepatnya melakukan perubahan kepemilikan individu terhadap faktor-faktor ekonomi (dan juga politik) menjadi kepemilikan bersama. Sehingga pada akhirnya terbentuklah masyarakat komunis idaman Marx, tanpa kelas dan tanpa negara. Datuak Parpatiah tentu saja menyadari bahwa penguasaan aristokrat Koto Piliang terhadap tanah dan sumber-sumber ekonomi tetap saja menciptakan kelas dalam 80
masyarakat. Bodi Caniago yang kekuatannya telah berhasil mereduksi kekuasaan Datuak Katumanggungan dan aristokrat Koto Piliang seharusnya bisa menggalang sebuah revolusi proletariat (dan hampir pasti mereka menangkan). Tetapi Datuak Parpatiah tidak hidup di dunia Eropa dimana kejahatan tampak begitu nyata disertai wajah bengis manusia Eropa yang menakutkan. Dia hidup dalam alam Minangkabau dimana pertentangan seringkali tersimpan dalam bentuk sindiran. Lagipula semua yang dia citacitakan telah melewati fase-fasenya secara damai dan demokratis. Datuak Parpatiah tidak mungkin mengobarkan revolusi yang berujung pada pertikaian fisik apalagi pertumpahan darah. Konon di dalam tambo, selama masa eksilnya Datuak Parpatiah merantau hingga negeri Cina. Mungkin disana dia belajar fillosofi politik ala Confusius yang mengatakan bahwa negara tidak lebih dari pengejawantahan kehidupan keluarga, struktur kekuasaan negara hanyalah perluasan bentuk struktur keluarga. Confusius mengatakan bahwa anak adalah subordinat dari orang tua, begitu juga adik kepada kakak, istri kepada suami hingga kedaulatan berada di tangan seorang ayah. Dalam konteks negara istilah ini muncul dengan sebutan bapak bangsa. Budaya aristokrat dalam banyak peradaban dunia berakar dari langgam paternalisme yang mengagungkan kekuasaan laki-laki. Laki-laki lah yang menjadi sumber konflik kelas. Datuak Parpatiah percaya bahwa keluarga adalah model dasar dari sebuah negara dengan laki-laki sebagai subjek utamanya. Dia berpikir sebaliknya, bagaimana jika perempuan yang menjadi subjek utamanya. Bagaimana jika dalam sebuah keluarga, perempuan menempati posisi tertinggi, mungkinkah konflik kelas bisa diatasi dan kepemilikan individu bisa dihapuskan. Engels mengatakan bahwa rumah tangga komunis (primitif) dicirikan oleh supremasi perempuan di dalam rumah. Hak eksklusif perempuan ini muncul karena sangat sulit bagi anak untuk mengenali orang tua laki-lakinya. Kegagalan semua revolusi komunis di dunia ini bersumber pada pemahaman bahwa yang diubah adalah kekuasaan bukan struktur masyarakat yang berasal dari keluarga. Revolusi komunis tampak seperti komedi berdarah-darah dari badut-badut Eropa yang tidak mengerti bahwa kepemilikan laki-laki terhadap kekuasaanlah yang menjadi sumber konflik sepanjang zaman. Datuak Parpatiah percaya aristokrasi bisa dihancurkan dengan mengembalikan supremasi rumah tangga kepada perempuan. Tetapi untuk melakukan semua rencana itu, dia tetap saja butuh seorang diktator proletariat. Momentum itu muncul menjelang pertengahan abad ke-14. Adityawarman salah seorang petinggi kerajaan Majapahit yang sempat menjadi perdana menteri, dua kali menjadi utusan ke Cina serta memimpin penyerbuan ke Bali datang dengan balatentaranya. Adityawarman sebenarnya bukan orang yang asing, dia adalah sepupu jauh aristokrat Minangkabau dimana ibunya Dara Jingga berasal dari Darmasraya. Kegaduhan terjadi, tetapi Datuak Parpatiah melihatnya sebagai sebuah peluang untuk revolusi. Sebagai negara tanpa polisi (apalagi tentara) Minangkabau tidak mungkin bisa menggalang milisi untuk menghadapi Majapahit. Maka Datuak Parpatiah mencari jalan tengah yang menguntungkan Adityawarman, juga tidak merugikan Datuak Katumanggungan tetapi yang lebih penting lagi memberi jalan untuk sebuah revolusi. Dia menawarkan Adityawarman mahkota kekuasaan dengan syarat Adityawarman menikahi Putri Jamilan, adik kandung Datuak Katumanggungan sekaligus adik satu ibunya. Bagi Adityawarman yang dibesarkan oleh budaya Jawa, kekuasaan tampak seperti wangsit yang nyata, dia menerimanya. Untuk tidak juga menimbulkan kekecawaan pada Datuak Katumanggungan yang kehilangan mahkota, Datuak Parpatiah menginisiasi revolusi terbesar dalam adat Minangkabau yang disebut dengan Adat Batali Bacambua, “Nan dikatokan adat nan batali cambua, iyolah hubungan mamak dengan bapak, dalam susunan rumah tanggo, sarato dalam korong kampuang. Dek Datuak Parpatiah nan sabatang, didirikan duo kakuasaan, balaku diateh rumah tanggo, iyolah tungganai jo 81
rajonyo, nan korong kampuang barajo mamak, rumah tanggo barajo kali, dirumah gadang batungganai.. Dicambua tali malakek” Adat Batali Bacambua menegaskan terdapatnya dua kekuasaan di rumah tangga yaitu bapak dan mamak (saudara laki-laki ibu). Dimana bapak tidak lagi mewariskan kekuasaan kepada anak tetapi kepada kemenakan (anak saudara perempuan). Sedangkan suku tidak lagi diwariskan oleh bapak kepada anak tetapi dari ibu kepada anak. Secara politik ini memberikan implikasi Adityawarman tidak lebih dari diktator ploretariat sementara sebelum nantinya digantikan anaknya dengan putri Jamilan (yang notabene kemenakan dari Datuak Katumanggungan). Sehingga seolah-olah si anak nantinya menerima warisan ini bukan dari bapaknya tetapi dari mamaknya Datuak Katumanggungan. Dalam hal kekuasaan, Adat Batali Bacambua, menegaskan Adityawarman tidak pernah menjadi raja Minangkabau. Dia ibarat “abu di atas tunggul” setiap saat bisa ditiup karena sumber kekuasaan sekarang berada di tangan putri Jamilan. Implikasi lebih luas dari adat batali bacambua adalah supremasi perempuan di atas kekuasaan bapak dan mamak. Perubahan dari patrilineal yang senantiasa menjadi sumber pertentangan kelas sepanjang zaman ke matrilineal. Kepemilikan harta keluarga berada di tangan perempuan dan kemudian dikelola secara bersama-sama. Karena fitrahnya perempuan tidak mampu mengelola harta terutama dalam bentuk tanah sendirian maka kepemilikan individu terhapuskan menjadi kepemilikan kaum, suku atau paruik. Keputusan-keputusan terkait dengan harta bersama yang disebut harato pusako itu ditentukan oleh musyawarah para mamak. Kepemilikan atas nama perempuan dengan keputusan dan pengelolaan secara kolektif ini akan menjamin tidak seorang pun dari anggota masyarakat akan mengalami keterasingan, tekanan dan kelangkaan. Harta pusaka diwariskan kepada anak perempuan untuk kemudian kembali dikelola secara bersama-sama oleh para laki-laki di dalam rumah gadang. Perlahan-lahan kelas sosial terhapuskan dalam masyarakat Minangkabau sehingga feodalisme nyaris tidak dikenal dalam kebudayaan Minangkabau. Peran negara pun semakin surut bahkan nyaris tinggal sebagai mitos yang tidak menimbulkan ketakutan. Sebab pada saat koloktifisme telah menghapuskan kepemilikan individu maka kesetaraan antar manusia terciptakan. Mereka hidup di dalam Nagari-Nagari yang juga otonom dan tidak be-raja kepada daulat manapun kecuali kepada mufakat atau demokrasi. Sebelum pengaruh Aceh dan Belanda kemudian masuk, komunisme di Minangkabau bukanlah sebuah utopia. Dalam pemahaman sempit saya tentang teori-teori komunisme, revolusi komunisme Datuak Parpatiah Nan Sabatang mungkin satu-satunya revolusi komunis di dunia ini yang berhasil menghapuskan kelas dan negara. Kuncinya bukan pada gegap gempita revolusi berdarah ala badut-badut Eropa tetapi mengembalikan supremasi rumah tangga kepada kaum perempuan. Saya tidak sedang mengagung-agungkan sebuah kebudayaan yang memang sudah terlanjur agung. Tulisan ini hanya refleksi saya terhadap sebuah suku bangsa yang tengah kehilangan identitas, Minangkabau. Yang terjadi di Minangkabau adalah kebalikan dari tesis Marx yang menyatakan komunisme akan mengalahkan kapitalisme. Di Minangkabau saat ini, komunisme (dalam batas-batas pemahaman ilmiah dan primitif yang mungkin sering juga diartikan sebagai komunalisme) terkapar oleh kekuatan kapitalisme. Masyarakat Minangkabau ciut oleh zaman yang tidak siap mereka hadapi. Supremasi perempuan di rumah tangga tergerus oleh peran bapak yang dominan karena semuanya sekarang diukur dengan materi. Para mamak seringkali menjadi pecundang di antara kemenakannya. Tunganai seringkali “bertinju” dengan Rang Sumando untuk harato pusako. Rang Rantau pulang jadi “Pamanggak” dan bukan jadi suri tauladan. Dalam banyak keluarga yang berantakan itu, masa depan Minangkabau tampaknya semakin suram saja. Bila Tan Malaka sekarang masih hidup, tentu suaranya tidak akan lagi nyaring 82
menyatakan bahwa Minangkabau adalah masyarakat komunis tanpa penjara. Minangkabau tengah sekarat.
83
Umar Bakrie (Setelah Reformasi) –menyambung Iwan FalsPosted on July 9, 2010 under Kolom http://itonesia.com/umar-bakrie-setelah-reformasi-%E2%80%93menyambung-iwan-fals/ Tas hitam buatan China, tidak ada lagi kulit buaya. Sebab sekarang buaya berkuasa dengan seragam coklat lengkap dengan sempritan. Guru Umar Bakrie tiada lagi mendapat hangat sapa selamat pagi, sebab istri minggat dengan tengkulak yang bisa memberikannya henpon China mirip Blackberry. Umar Bakrie menyeruput kopi, rasanya pahit sekali sebab di televisi dia lihat politisi berkhotbah tentang anggaran pendidikan. Ini hari, seperti biasa, dia menahan jengkel pada politisi yang telah mengubah ilmu pasti menjadi ilmu partai. Rumus-rumus dituliskan, perhitungan dibuat tetapi hasilnya bisa didiskusikan. Tas hitam buatan China disandang penuh kertas ulangan. Jawaban dari soal ilmu pasti yang banyak coretan. Guru Umar Bakrie membayangkan murid-muridnya menunggu penuh kepasrahan. Suara knalpot motor penuh batuk sebab sepanjang jalan jijik bertemu dengan baliho dan spanduk. Polutan yang efek polusinya lebih besar dari karbondiaksida, itulah spanduk dan baliho pilkada. Sepanjang jalan hingga gerbang sekolah, terpampang foto wajah-wajah licik curang yang hendak menang dalam politik uang. Umar Bakrie mual membayangkan politik, tidak sadar dia sampai di pintu gerbang. Bakrie kaget bukan kepalang, dia melihat polisi-polisi berwajah ganteng tengah bercengkerama dengan guruguru muda. Bakrie tua bingung apa gerangan, dia bertanya pada murid. “Ada menteri, Pak”, jawab murid seperti anggota dewan. Pak Menteri berdiri di podium sekolah. Pejabat lain duduk berderet seperti mengantri sedekah. Di ujungnya kepala sekolah memandang seperti hendak menyembah. Dia berpidato dengan gagah menjelang ujian nasional, kelulusan mesti 100%, anggaran pendidikan akan dinaikkan karenanya, karena itu pula kesejahteraan guru akan ditingkatkan, guru yang sejahtera akan semakin terampil berkompromi dengan orang tua kaya, ya negara kita akan maju sejahtera. Pak Menteri melirik Pak Dirjen. Pak Dirjen mengerti harus bagaimana mengamankan kursi menteri. Pak Dirjen melirik Pak Bupati, sedikit ancaman bila kabupaten ini tidak mencapai kelulusan 100%. Pak Bupati melirik kepala dinas pendidikan, bila petuah tidak diikuti, maka di Pilkada nanti dia tidak akan dipilih kembali. Tentu saja kepala dinas diganti. Kepala dinas melirik kepala sekolah, seperti tahun lalu mereka akan melakukan cara yang sama. Kali ini mereka lebih terampil pastinya. Guru-guru saling pandang satu sama lain, ketika pak menteri melirik mereka; raja lalim patut disembah. Umar Bakrie takut bukan kepalang, dia pasti akan dipaksa berbuat curang. Motor batuk dikebut, Bakrie kabur tidak sabar pulang. Sayang di tengah jalan Bakrie tidak melihat spanduk pilkada yang terbang lepas ikatan. Bakrie kelelepan, terpanting dan terbang. Bakrie roboh, tahu-tahu sudah di rumah sakit. Kaki lecet, tangan terkilir, hidung berdarah lengkap sudah dengan dompet melayang. Suster cantik datang, dengan mata melotot menanyakan surat keterangan miskin Bakrie. Bakrie menggeleng, suster melengos. Dengan jumawa, suster berkata, bapak tunggu disini, selesai bercinta dengan saya, mungkin dokter akan berbaik hati. Di balik pintu suster membuka roknya, seperti biasa dokter akan memeriksa semuanya, Bakrie “kecil” meronta tidak kuat menahan diri. Terhuyung-huyung Bakrie kabur dari rumah sakit, nyawanya mungkin di ujung jalan. 84
Bersyukur dia sampai di rumah, terlelap kembali tidak sadarkan diri. Bakrie sakit, besok dia tidak perlu ikut mengawas sembari membantu ujian siswa. Bakrie tidur, Pak Bupati tidak. Dia pusing memikirkan Pilkada. Lawan-lawannya akan menyorot kelulusan siswa. Dia telpon kepala dinas, kepala dinas bertanya kepada kepala sekolah. Semua akan baik-baik saja, guru telah memegang semua jawaban soal, murid tinggal mengisinya sembari membuat beberapa kesalahan kecil biar nilai sempurna tidak dicurigai. Dua hari ujian nasional, murid dan guru bersukacita. Belum pernah mereka merasakan keakraban sedekat ini. Murid menunduk, guru memperlihatkan kunci jawaban di belahan dadanya. Murid mendongak, guru membuka reitsleiting celananya, jawaban ada disana. Persetan dengan kualitas kelulusan siswa, ini urusan pilkada. Ujian nasional bukanlah persoalan pendidikan nasional, ini persoalan politik yang pelik. Tentang pemilu beberapa tahun lagi, tentang politik yang santun dimana keakraban antara guru dan murid justru terjadi pada saat ujian nasional. Ilmu pasti telah mati, ilmu partai sebagai pengganti. Bakrie bersyukur kepada Tuhan, kecelakaan itu menghindarkannya dari kecurangan. Seminggu kemudian dia sudah bisa kembali berangkat ke sekolah. Tetapi di gerbang sekolah, dia kaget bukan kepalang. Banyak polisi berwajah garang mengangkut guru dengan kendaraan tahanan. Tiada murid di halaman, polisi berwajah garang menyeret Bakrie ikut masuk kendaraan tahanan. Sunyi bisu di dalam kendaraan, guru-guru menangis, Bakrie kebingungan. Dia membayangkan penjara, tetapi dalam hati dia bersyukur pada akhirnya kecurangan ini memperoleh ganjaran semestinya. Bakrie rela berkorban, demi pendidikan yang mengedepankan kejujuran. Bakrie rela jadi martir demi kembalinya ilmu pasti. Guru-guru menangis berpelukan, Bakrie bersiul menikmati pengorbanan. Mobil tahanan berhenti, perintah singkat terdengar, Bakrie tidak sabar menikmati dinginnya jeruji besi. Alangkah kagetnya Bakrie ketika turun dari mobil, dia berada di halaman dinas pendidikan. Di depan mereka kepala dinas pendidikan menunggu dengan muka garang. Ternyata guru-guru salah mengasih soal jawaban, kelulusan 100% terancam, pak Bupati tidak mungkin memenangkan Pilkada dan kepala dinas pasti akan merana tanpa jabatan. Masih ada waktu tersisa sebelum jawaban diproses dalam komputer tanpa nurani. Guru digiring masuk ruangan, membuka kunci jawaban baru dan satu persatu mengoreksi jawaban siswa. Bukan memeriksa tetapi membenarkan jawaban sebelum komputer memberi nilai. Guru-guru bersukacita, ini jauh lebih baik dari penjara. Bakrie melongo, tiada bisa kabur karena pintu dijaga polisi. Dia cuma bisa meraung..hei modar aku..hei modar aku….tidak akan ada lagi otak Habibie!
85
Taruna Nusantara Posted on July 14, 2010 under Kolom http://itonesia.com/taruna-nusantara/ Aku teringat pagi yang sama 14 tahun silam, dibekap kabut Lembah Tidar bis Damri yang kami tumpangi sejak dari Kemayoran Jakarta berhenti persis di jalan raya Purworejo kilometer 5, Mertoyudan Magelang. 21 orang jumlah kami berasal dari Panda III Padang ditemani seorang Letnan Satu dari Perwakilan Ajudan Jenderal Kodam I Bukit Barisan. Itu bukan pagi yang biasa bagi 21 orang bocah yang baru menginjak usia 15 tahun. Di balik kabut yang menutupi pemandangan kami mengemasi perlengkapan menatap samar tulisan di depan pos Keamanan, “SMU Taruna Nusantara”. Aku melihat boulevard yang begitu panjang, suatu pemandangan yang tidak pernah aku saksikan bahkan Jakarta hanya selintas kuingat dalam persinggahan sebelum Damri melarikan kami dengan payahnya. Aku merasakan impian sebagai kekuatan terbesar kita untuk menolak kegagalan. Ini adalah ujian penghabisan, disini bocah-bocah lain dari 27 propinsi menggantungkan asa untuk bisa menempuh pendidikan di sekolah terbaik di negeri ini. Ini mungkin juga pagi yang sama, ketika aku dibangunkan tepat jam 5 pagi oleh terompet panjang sialan itu. Ketika, sebagai bocah 15 tahun, aku juga merasakan kesedihan mengingat ibu, ayah dan kakakku dimana kami sekarang terpisah jauh. Ada jalan panjang yang telah kulalui hingga aku menghadapi ujian penghabisan di sekolah impian ini. Ketika aku masih kelas dua SMP nun di pelosok Magek, perkampungan berjarak 12 kilometer dari Bukittinggi, kakakku yang tengah kuliah di STAN seringkali bercerita tentang anakanak lulusan pertama SMA Taruna Nusantara. Betapa dengan rambut gundul, badan kekar dan kepribadian unggul mereka menarik perhatian setiap lembaga pendidikan tinggi non militer yang mereka ikuti termasuk STAN. Sekolah itu begitu jauh dari impianku, sama jauhnya dengan tempo waktu yang aku habiskan pada saat membaca “The Adventure of Huckleberry Finn” karya Mark Twain edisi Inggris yang dikirimkan oleh kakakku. Aku memang bercita-cita menjadi tentara tetapi bersekolah di Taruna Nusantara terasa begitu jauh dari impianku saat itu. Pada usia belia, sepanjang hari tampak seperti pagi dimana aku menyalakan harapan di tengah perapian Bukit Barisan. Aku mengayuh sepeda sejauh 8 kilometer untuk mendapatkan surat kelakuan baik dari Polsek Pakan Kamis, pada usaha pertama aku diusir dari kantor polisi karena mengenakan sendal jepit. Baru pada usaha kedua, ketika aku tetap datang sendiri mereka mengeluarkan surat sialan itu. Aku mengurus sendiri surat keterangan bersih diri di Koramil tidak jauh dari kantor Polsek, disana aku baru mengerti ternyata tentara berwajah seram menjadi jinak di kandangnya. Ayahku tidak pernah menemaniku mengurus semuanya, sebab beliau bilang, karena aku yang akan menikmati hasilnya kenapa beliau harus ikut sibuk membantu. Ayahku memang pria Minang sejati, dimana anak seharusnya menjadi tanggung jawab sang Mamak, sayang sekali ibuku tidak memiliki saudara kandung laki-laki. Aku adalah bocah bercelana pendek SMP yang seorang diri menempuh perjalanan 3 jam dari kampung untuk datang ke kantor Perwakilan Ajudan Jenderal, Palanjen, Kodam Bukit Barisan di Muara Padang. Setelah lulus di Kodim Bukittinggi, aku harus mengikuti tes disini, ini jauh lebih rumit. Aku melihat anak-anak kota, lantas memandang diriku sendiri, betapa berbedanya kami. Aku memandang mereka diantar oleh ayahnya, aku melihat diriku yang seorang diri. Tanpa tempat menumpang di Padang, aku akhirnya menginap di kantor Palanjen, di dalam ruangan besar itu dengan beberapa teman dari 86
luar kota Padang kami tidur di atas ranjang lapangan serdadu, aku lupa istilahnya. Aku lulus tes akademik tetapi kemudian dinyatakan gagal dalam tes kesehatan, dugaanku sampai sekarang masalah gigi. Yang menyakitkan, pengumuman kegagalan tes kesehatan ini justru dilakukan pada saat kami bersiap-siap mengikuti tes jasmani di GOR Agus Salim. Aku pulang kampung kalau tidak salah bersama dengan temanku yang dijemput ayahnya, dia berasal dari Bahuhampu Sungai Puar. Aku tidak perlu waktu lama untuk melupakan impian Taruna Nusantara. Sebagai anak kampung aku dilanda kutukan pindah rayon bila ingin mendapatkan sekolah negeri bagus di kota Bukittinggi. NEM SMP ku salah satu yang tertinggi di kabupaten, tetapi mengurus pindah rayon bukan perkara mudah. Jarak kampungku dengan ibukota kabupaten, Lubuak Basuang nyaris 3 jam perjalanan dan itu mesti melewati kelok 44 sebelum Danau Maninjau. Sebelum ke kantor depdikbud, aku mampir dulu ke kantor bupati untuk mencari keponakan ayahku, Da Herman. Popularitas Da Herman di kampungku sangat tinggi, dia sudah seperti bupati bagi kami. Sayang di kantor bupati, dia hanya karyawan biasa, tidak banyak orang yang kenal dengannya. Akhirnya aku mengurus sendiri dan untunglah semuanya berjalan mudah. Aku sudah diterima di SMA 3 Bukittinggi, aku pikir jalan hidupku akan seperti kakakku yang juga pernah bersekolah disana. Ada tempo waktu setelah Magrib yang tidak pernah bisa aku lupakan. Ketika mimpi tentang Taruna Nusantara telah pupus dan sirna, seorang tentara dari Koramil menyambangi rumahku. Dia datang membawa sebuah surat perintah, aku diminta datang ke Padang esok hari; ada harapan dari puing-puing kegagalan yang dibawa oleh surat itu. Waktu itu bulan Juni, aku lupa tanggal persisnya. Hanya berselang beberapa hari dengan hari ulang tahunku, 21 Juni, dan yang tidak bisa aku lupakan saat itu sebagai anak kampung aku tergila-gila dengan lagu “June Afternoon” Roxette. Tentu ini, pengaruh dari kakakku, pelukis terbesar yang mewarnai hidupku. Hingga saat ini, di tengah harapan dan keputusasaan, di tengah kreatifitas dan rasa frustasi, setiap kali bulan Juni, aku tidak pernah lupa mendengarkan “June Afternoon”. Ada harapan dari setiap kegagalan yang aku rasakan. Aku berkumpul lagi dengan teman-teman dari SMP lain di Padang, dua orang teman lainnya yang juga dinyatakan gagal tes kesehatan juga dipanggil lagi. Hingga sekarang aku tidak pernah mengerti kenapa kami dipanggil lagi. Di Muara Padang, instruksi dari Kepala Palanjen waktu itu, seorang Kapten dengan kumis rapi, sangat singkat dan pendek; kami diminta untuk menyiapkan diri dalam tempo singkat karena kami yang berjumlah 21 orang dinyatakan lulus untuk mengikuti tes akhir di Magelang. Aku bersorak pulang, kampungku heboh sebab jalan untuk menjadi perwira tentara semakin terkuak. Semenjak kampungku dihancurkan oleh tentara pusat pada tahun 1958, menjadi tentara bagi orang kampungku telah menjadi sebuah keajaiban. Untuk pertama kalinya, ibu ayah dan keluarga besarku mengantarku ke Padang. Kami mencarter mobil panti asuhan Aisyiah Kamang dengan supir handal Makciek Jeh. Aku naik pesawat terbang dari Tabing bersama teman-temanku, pada saat itu episode baru dimulai, aku hidup dibiayai oleh negara. Pesawat terbang yang pertama kali aku tumpangi itu adalah Mandala Airlines pada tahun 1996. Aku ingat kesendirian ibuku karena kedua orang kakakku juga merantau di Jakarta. Aku melewati pagi-pagi penyesuain diri di Lembah Tidar. Aku mengenal Indonesia lewat perwakilan bocah-bocah yang menaruh asa. Pada akhirnya sebagian dari kami mesti pulang setelah melewati tes kesehatan dan wawancara akhir dengan beberapa orang perwira menengah TNI. Di gedung serba guna Taruna Nusantara, beberapa nama dipanggil, mereka adalah calon siswa yang gagal untuk lolos bersekolah disini, namaku tidak pernah dipanggil. Sejak saat itu aku resmi menjadi siswa Taruna Nusantara, angkatan ketujuh dan angkatan pertama dengan siswi putri. 87
Bila aku mengingat lagi, kehidupan di Taruna Nusantara persis seperti gambaran Keanu Reeves dalam film Constantine, “dunia kita diapit oleh surga dan neraka”. Kelas satu hidup di neraka, kelas dua dunia dan kelas tiga, sudah pasti surga. Tentu tidak seburuk itu, kelas satu mengikuti, kelas dua memahami dan kelas tiga memberi instruksi. Dalam semua kegiatan dari olahraga pagi hingga apel malam, kelas satu mesti selalu datang lebih dulu seolah-olah api neraka dinyalakan terlebih dahulu dibanding tiupan angin surga. Kita wajib mengenal detail teman seangkatan dan senior dua angkatan di atas kita. Bila tidak, petaka akan terjadi, tidak terlalu buruk paling hukumannya push up atau kegiatan fisik lainnya tanpa boleh ada kontak fisik. Senior pertama yang memanggilku adalah Abang Daru CS, angkatan kelima, kesalahanku, aku lupa dimana dia berasal pada saat kami satu meja pada jam makan siang. Di malam hari aku datang ke graha enam, siap menanti hukuman. Entah kenapa graha enam ini benar-benar memberikan kutukan kepadaku, satu tahun kemudian pemanggilan lebih parah terjadi karena ulahku pada saat makan siang juga. Aku dianggap kelas dua yang tidak memahami senioritas kelas tiga, kali ini yang memanggil Abang Syafrudin Mandaka. Ya, sekarang mungkin orang-orang geli membaca cerita ini, tetapi bagi kami saat itu; inilah kehidupan yang kami impikan. Di Taruna Nusantara, aku nyaris tidak memiliki prestasi, kecuali sedikit dengan tim volley. Nilai-nilai akademik ku cukup buruk untuk diberitakan. Hanya pada saat kelas dua nilaiku mencapai rata-rata cukup bagus. Kehidupan di asrama, kami menyebutnya graha, bagi orang-orang di luar mungkin tampak membosankan tetapi tidak menurut kami. Keterbatasan dengan segudang aturan yang mengekang justru mendorong tumbuh kembangnya kreatifitas. Mulai dari hal-hal kecil seperti Rudi Wijaya yang gemar memasak nasi goreng dengan menggunakan setrika hingga kabur dari kegiatan olahraga dengan berbagai trik dan tempat sembunyi. Olahraga pagi memang menyiksa, kami telah kehilangan stok lagu pada saat lari keliling kampus, kita kadang jenuh berteriak pada saat senam militer dan kadang kami juga bosan dengan taktik latihan perang yang itu-itu saja, “musang (musuh asing) datang dari utara menyerang negara kita dan kita kalah duluan. Karena itu kita melakukan gerilya (biasanya di perbukitan Kali Angkrik), membina masyarakat dan kemudian mengobarkan perang rakyat semesta”. Tetapi di Taruna Nusantara, rasa bosan tidak pernah benar-benar membunuh sebab selalu ada cara untuk membuat kami terus hidup. Hari ini, almamaterku genap berusia 20 tahun. Aku tidak ingin berbicara tentang ide Jenderal Moerdani untuk mendirikan sekolah ini pada tanggal 14 Juli 1990. Aku juga tidak mau berdebat tentang misalnya, kenapa Departemen Pertahanan bekerja sama dengan Taman Siswa mesti membangun sekolah ini. Atau apakah kami produk Soeharto atau bukan. Biarkan aku menikmati semua kenangan tentang Taruna Nusantara dengan caraku sendiri. Dengan jalan panjang yang pernah aku tempuh pada saat aku masih percaya bahwa mimpi itu pesan Tuhan yang paling nyata. Biarkan aku merenungkan tragedi pendidikan kita sekarang sembari mengingat di masa lalu, bocah kampung seperti kami memiliki kesempatan yang sama dengan bocah-bocah kaya dari kota bersekolah di sekolah terbaik di negeri ini. Taruna Nusantara memang tidak meniadakan perbedaan latar belakang siswanya, tetap saja aku anak kampung disana, si ini cucu Wapres, si itu anak Jenderal atau si entah berasal dari Timor Timur. Tetapi yang terpenting aku bisa mengingat, pernah pada suatu masa di era merdeka ini dimana seorang anak tidak ditakar dengan melihat siapa orang tuanya. Dan aku mengenang. Ibu Ella wali kelas satu-satu, yang begitu perhatian pada tiap anaknya. Pak Goris yang aku takuti karena pelajaran Fisikanya. Pak Sadja, kepala sekolah kami, yang penuh dengan gosip. Ibu Tuti, guru bahasa Indonesia kami, yang hingga sekarang masih ingat nama siswa-siswanya. Seorang guru BP muda yang setiap kali berbicara mendesah dan mengundang gairah, dia tidak bertahan lama. Pak Bambang 88
wali graha 17, dengan panggilan BML, Bambang Menatap Langit. Pak Cecep Iskandar, guru Biologi yang trendi yang selalu membicarakan Alfin Toffler pada masa itu. Pak Maryanto, guru olahraga yang sangat santun, pelatih tim volley kami bersama Pak Henang (kalau tidak salah nama). Pak Yohanes, guru Fisika, yang nyaris memergokiku pada saat kabur ketika tidur malam. Banyak guru lain dengan kenangan lain atau pamong seperti Pak Wastur di P-45 dimana aku sering dihukum karena kamar tidak rapi. Dan aku mengingat dan bersyukur. Albertus Prasetyo, teman sekamarku di graha 17, sekarang dia menetap di Jepang, jagoan fisika nomor satu. Rudi Wijaya, aku menghabiskan liburan di rumahnya di Cepu, sukses dengan bisnis sendiri. Irvan Asido Siagian, teman sekamarku di graha 13, sekarang Ajun Komisaris Polisi. Irwan Dewanto, teman meja makanku nyaris selama setahun kelas dua, sekarang menjadi salah satu manajer di Unilever. Benny Setyowadi, aku nyaris menghabiskan dua minggu liburan di rumahnya di Tuban, sekarang Ajun Komisaris Polisi. Dhani Ramadhona, teman sekamarku di graha satu, sekarang Kapten Angkatan Udara. Ida Bagus Tibu Bening, teman meja makanku selama satu tahun kelas tiga, sekarang jadi Dokter di Bali. Fardinal Umar, kami dulu kabur tengah malam hanya untuk bergantian menengadah menonton TV yang terkunci demi partai MU-Juventus, sekarang Kapten Penerbang TNI AU. Bambang Baskoro Adi, kapten tim volley kami, sekarang Kapten penerbang F-16 di Madiun. Ubaldo Da Silva Monteiro, temanku dari Viqueque Timor Leste yang berada dalam kegalauan karena pada saat lulus bersamaan dengan penentuan pendapat di Timor Leste pada tahun 1999, sekarang sudah menjadi insinyur di sebuah tambang. Ada pertemuan-pertemuan tidak terduga di masa sekarang, bahkan dalam keadaan berlawanan. Aku bertemu Rizki Marlon, lulusan terbaik, Adhi Makayasa Akademi Militer di sebuah tempat dimana kami sangat berbeda pendapat. Aku bertemu Brian Iwan Prang, Marinir lulusan terbaik Akademi Angkatan Laut di markasnya pada saat aku justru bertemu dengan komandannya, akhirnya kami merencanakan makan malam. Lebih menarik lagi, aku bertemu Nugroho Ari Setiawan, lulusan terbaik Akademi Kepolisian, justru pada saat aku menjadi salah satu pimpinan demonstrasi mahasiswa UI di DPR pada tahun 2003, dia yang bertugas mengamankan. Ada lebih banyak kisah lagi dan aku mensyukurinya. Kami berasal dari latar belakang yang berbeda-beda dan kemudian juga hidup dalam batas tegas kehidupan sipil dan militer. Mereka telah menjadi seseorang sekarang, aku masih bukan siapa-siapa. Tetapi aku merasa beruntung bisa menuliskan kisah ini. Bila ada kenangan yang tidak mungkin hilang tentang Taruna Nusantara adalah prasasti Ki Suratman persis di bawah trek lari, “Disiplin Pribadi Mendorong Tumbuh Kembangnya Kreativitas”. Selamat Ulang Tahun dua dekade Almamaterku!
89
Mama Tweets Posted on November 15, 2010 under Kolom http://itonesia.com/mama-tweets/ Dia adalah seorang pecinta kehidupan, karena itu dia tidak banyak tidur. Dalam dunia dimana nasib baik seringkali datang tidak tentu ini, mata tidak boleh terpejam terlalu lama. Pukul enam kurang sepuluh dia bangun pagi. Suaminya bangun lebih cepat, telah berpakaian rapi tidak ingin mentari terlalu tinggi untuk menggorengnya dengan cahaya yang memanaskan besi motor. Dua orang anaknya, satu kelas empat es-de, satu lagi masih te-ka; mulai ribut soal sarapan. Untunglah keluarga sederhana pekerja ibukota ini masih sanggup menggaji seorang pembantu, yang tidak tahu lagi dimana mesti menghabiskan hari tua-nya, kecuali tinggal di kontrakan keluarga ini. Kesadaran dimulai dari sapaan. Dia memahaminya sebagai hukum alam. Sebelum mata penuh terjaga, tangannya merayapi setiap jengkal ranjang. Dia lega, dia menemukannya. Jari lincah menari, saatnya menghadirkan sapaan hangat di pagi hari. “Pagi Tweeps..”, dan dia tenggelam dalam dunia baru itu, realita bertukar tempat. Sejak Blackberry hasil arisan itu dia dapatkan, hidupnya mulai berubah. Apalagi kemudian dia menemukan dunia yang ramah bagi siapa saja yang rajin untuk menyapa, twitter. Di tengah dunia nyata yang memberi curiga pada setiap kata sapa ini, ijazah diploma nya tidak membuka ruang yang luas untuk kehidupan. Apalagi dia menikah cepat dengan jabang bayi yang tidak sabar untuk keluar. Dunia yang gemar memilah ini hanya memberikan peran kecil baginya, menjadi pegawai administrasi di sebuah perusahaan jasa kecil, seorang istri dan ibu dari dua orang anak. Peran yang pada awalnya dinikmatinya sebelum dia terlalu banyak melihat dan kemudian menakar kehidupannya dengan kehidupan orang lain. Fatamorgana memang terlihat indah tetapi dia tidak pernah ada. Sapaan balasan berhamburan, sementara anak-anaknya masih ribut di dapur. Dia membalas lagi sementara suaminya bertanya tentang sepatu proyek yang mau digunakan. Dia bangkit dari tempat tidur dengan blackberry dalam genggaman. Dia tidak mendengarkan keributan di rumah, dia hanya merasakan keramahan dunia. Pagi ini terlalu indah untuk dilewatkan, followernya meningkat pesat seiring tweet nya yang mencapai ribuan. Lebih indah lagi ketika semakin banyak yang me –retweet sapaansapaan sederhananya. Anaknya bertanya tentang uang jajan, tangan kirinya merogoh kantung suami. Anaknya merajuk bekal sarapan, dia perintahkan si bibi memasukkan indomie. Suaminya berpamitan, tangan kirinya melambaikan tangan tanpa pelukan apalagi ciuman. Tangan kanan tidak boleh diganggu, dia sibuk membalas pesan. Deru motor suami meninggalkan rumah. Deru ojek menjemput anak-anak sekolah. Paruparunya terasa lapang, jari tangan semakin lincah menari. Dia mohon pamit sebentar kepada para tweeps, berkemas untuk berangkat ke kantor. Dunia yang ramah itu membalas bertubi-tubi, penuh sanjungan, harapan dan godaan. Ah, betapa indahnya dunia ini. Dia mandi lebih cepat dari biasanya (kalau nanti menang arisan lagi, dia akan minta blackberry yang water resistant). Sarapan hanya sedikit, itu juga buah, sayuran dan omelet. Dia sebenarnya lebih suka nasi uduk, sebagaimana dulu masakan itu menjadi favorit keluarga, “nasi uduk mama”, tetapi setelah dia menjadi warga twitterland, rasanya kurang keren ditulis sarapan nasi uduk. Buah, sayuran ditambah omelet akan menuai pujian sebagai gaya hidup sehat. Dan dia segera berkemas menuju kantor..tangan kanan tidak lepas dari benda berharga itu. Pada saat teman kantornya (yang menang arisan blackberry sebelum dirinya) pertama 90
kali mengenalkan twitter dia mengikutinya dengan polos. Pikirnya ini tentu sama dengan facebook, bertemu teman lama berkenalan teman baru bahas ini itu dan pada akhirnya orang akan tahu juga siapa dia. Dalam Bio singkat dia menulis : karyawan swasta. Dia mem-follow ratusan nama-nama beken, artis, sosialita, eksekutif hingga pejabat kepolisian. Dia masih bingung dengan apa yang dibicarakan orang-orang di dunia kecil itu (tentu lebih kecil dari facebook). Minggu pertama, followernya satu orang (yaitu temannya yang mengenalkan twitter itu). Minggu kedua, bertambah enam orang, itu adalah teman-teman arisan kantor yang dia minta untuk juga main twitter. Minggu ketiga, petaka terjadi, followernya berkurang dua orang, karena mereka ribut soal kocokan arisan. Dia sudah akan mengakhiri petualangannya di dunia twitter ini ketika melihat dunia ini juga tidak memberi ruang yang luas untuknya. Tetapi pantauan sejenak membuat pikirannya berubah. Dia melihat perempuan-perempuan yang malang melintang di dunia ini. Dia membaca bio mereka tidak pernah mencantumkan pekerjaan layaknya KTP. Dia membaca tweet mereka, tidak pernah berurusan dengan hal-hal yang serius apalagi masalah dapur. Dia belajar cara mereka menyapa, membalas dan menggoda. Dia semakin tekun melihat bagaimana cara mencari kata-kata bijak, dipungut dari siapa saja, dilemparkan ke dunia twitter lalu menuai tanggapan. Dan pelajaran paling penting dari semua itu; senantiasa sisipkan bahasa inggris di tengah lingua franca melayu pasar yang payah. Untuk soal terakhir dia tidak terlalu buruk. Bio nya berganti kata : mother of two kids, tweet-lover, workaholic. Dia mulai menyapa siapa saja yang diikuti. Dia mengatur waktunya pada waktu jam-jam kosong dimana kantor dan keluarga tidak membutuhkannya. Usahanya mulai menuai hasil followernya bertambah tapi masih merangkak. Tetapi dia mulai menemukan kebahagiaan. Di dunia ini orang tidak peduli dengan pekerjaannya, mereka hanya ingin mendengar kicau indah tentang fatamorgana. Dia rajin meng-googgling kata-kata bijak, pada awalnya tentang cinta. Ketika dia lihat orang sibuk bicara tentang bumi yang damai, dia juga mulai mencari kata-kata bijaknya. Tidak dinyana followernya tidak lagi merangkak mulai berjalan tegak. Dia mulai memaafkan dirinya ketika kesibukan berbalas kata ini mulai menggerus waktunya bersama anak-anak. Dia mulai menyadari potensi terbesar dalam dirinya yang selama ini terungkap : Dia cepat belajar untuk berkicau. Bio nya berganti kata : mother of two kids, peacelover, world traveller. Pajangan fotonya berganti, dia pilih yang paling enak dipandang. Pada usia 33 tahun, wajahnya tidak bisa dibilang jelek. Malah dia cukup cantik untuk ukuran perempuan yang tidak sampai menghabiskan satu juta rupiah per bulan untuk perawatan kecantikan. Ini potensi terbesar keduanya. Beberapa follower nyasar mulai menyapanya, kebanyakan laki-laki kalaupun ada perempuan mungkin penyuka sejenis. Tetapi itu belum cukup untuk bisa bersanding dengan perempuan-perempuan dengan bio : PR, Editor, Corporate Secretary, Consultant atau Food Lover. Dia melihat mereka berbicara tentang kebebasan, kicauan mereka tentang ancaman agama pedang dan kegilaan mereka pada seni pertunjukan. Dunia ini benar-benar semakin mudah, dia tinggal bertanya pada google, mencuri dari wikipedia dan menambahkan brainyquotes. Dalam tempo singkat dia faseh berbicara inklusifisme, radikalisme, pacifisme, opera, Ahmadiyah,gallery, libretto dan tentu saja libido. Pilihan terbaik dalam dunia yang ramah itu adalah dengan menjadi terbuka, penuh cinta dan sedikit centil. Suaminya mulai mengeluh di rumah karena tiba-tiba pembantu tua itu menjadi istrinya kecuali di ranjang. Pertengkaran terjadi di malam hari, dia sengit membela diri. Kata-kata berhamburan : gender, kesetaraan, KDRT, libretto dan libido. Esok paginya bio nya berganti : happy single mom, I love my Life. Tidak dinyana lagi, followernya bertambah pada saat dia mulai membahas relasi perempuan dan laki-laki walaupun pagi harinya suaminya sudah berdamai dengannya. Demikianlah semuanya dimulai, dari kawan arisan hingga kawan siluman dan kopi darat. Dia mulai menemukan dunianya, dan orang tidak peduli siapa dia sebenarnya. Yang terpenting dalam dunia 91
maya itu, berusahalah untuk tampak bijak terus menerus, cintailah perdamaian sematimatinya, reguplah nikmatnya dunia sehisap-hisapnya dan selalu berada di tengah jangan condong kanan atau kiri dan senantiasa menuliskan catatan di pinggir. Dia bertemu dengan para tweeps, berkencan dengan beberapa orang di antaranya dan seringkali dia pulang malam karena dunia maya ini menjadi semakin nyata. Perlahan-perlahan dia ditelan oleh imajinasi kata-kata, itu semua butuh uang. Jemarinya mengubah dunia dengan mudahnya. Menukar suami dan anak-anak dengan ribuan follower. Mengganti sarapan “nasi uduk mama” dengan “pagi tweeps”. Kehangatan keluarga hilang ditelan *peluk & cium* dalam dunia pura-pura.
92
Pramudita (1) Posted on November 22, 2010 under Kolom http://itonesia.com/pramudita-1/ Dia terlahir kaya, dan itu adalah sebuah dosa Itulah kebenaran yang tidak kunjung menjadi kesadaran di tanah kebohongan. Butuh waktu lama untuk menyadarinya. Setelah nyaris habis menikmatinya, dia menemui jurang hampa. Dan petaka itu datang pada saat dia menginjak semester lima di kampus negeri yang kursinya sekarang bisa dibeli (tentu dengan embel-embel kelas internasional, double degree, jatah daerah dan seribu alasan lainnya demi mengeruk kantung otak kosong penuh uang). Tetapi dia tidak bodoh, termasuk pintar malah. Kaya dan pintar tidak langka, tetapi bila aku kasih tahu kalau dia juga cantik, kau tidak mungkin tak akan melirik. Ayahnya diperiksa KPK karena penyalahgunaan uang negara. Tidak lama kemudian ayahnya disidang dan dijebloskan ke dalam penjara, begitu cepatnya. Vonis dua tahun dikurangi masa tahanan. Ditambah lagi pencopotan dari jabatan. Hukuman yang sangat berat untuk sebuah kejahatan umum yang juga pasti dilakukan laki-laki lain dalam posisi sama. Ibunya bilang, “Tenang, tidak ada yang berubah. Kecuali Papa jarang pulang” Benar saja nyaris tidak ada yang berubah. Kecuali tidak adanya laki-laki gendut, pendek dan pesek yang selama ini penampilannya merusak foto keluarga. Dua orang kakaknya bekerja sebagaimana wajarnya. Mereka sudah tinggal nyaman di rumah masing-masing yang dibelikan sang ayah. Sementara adik laki-lakinya yang masih duduk di bangku SMA, masih menjadi incaran perempuan sebaya karena raungan gitarnya. Untunglah, mereka empat bersaudara tidak seorang pun mewarisi wajah ayahnya. Mereka mendapatkan wajah enak dipandang dari ibu dan rejeki enak digunakan dari ayah. Benar-benar keluarga idaman Indonesia. Dia menunggu sesuatu yang berubah di kampus yang kadang terkenal dengan suara nyaring miriing dan kritis. Tetapi keadaan tetap sama. Orgasisasi mahasiswa, mulai dari kaki tangan PKS hingga antek PKI masih saja menyodorkan proposal dana kepadanya. Dulu ayahnya giat menyumbang, cuci uang kecil-kecilan bersama adik-adik mahasiswa. Ibunya masih gemar pelesiran, Singapore dan Hongkong tentunya. Duit mereka tidak berkurang, deposito senantiasa memperanakkannya. Dan yang lebih menyenangkan lagi, saban akhir pekan papa pulang menjenguk keluarga, senin pagi dia kembali lagi ke penjara. Jatah sang istri lebih enak daripada tangan sendiri. Keadilan itu manusiawi, itu menggugah hatinya Dia tidak mau ribut tentang penegakan hukum yang lemah. Dia tidak perlu mendengarkan bibir ceriwis presenter tivi memprovokasi. Dia hanya merasakan kehidupan ini tidak asik dan ini jauh dari urusan negara apalagi omong kosong nurani rakyat. Tidak asik, itu saja. Setelah bertahun-tahun mendapatkan semuanya, dia mendambakan kehilangan. Sebab tanpa perasaan kehilangan, tidak akan ada rasa memiliki. Semua yang dia dapatkan selama ini hampa. Itu sebab pada saat ayahnya ditangkap, dia berharap suasana baru akan mengisi hatinya. Tetapi ternyata sama saja, dia menghadapi kebosanan yang sama. Alkohol, pil dan injeksi bahkan tidak akan mampu mengatasinya. Orang-orang yang melihatnya frustasi, berprasangka karena ayahnya dipenjara, mereka memberi perhatian lebih dari sebelumnya. Tetapi mereka salah, dia sudah mengetahui ayahnya korupsi sejak dia mengenal lembaran uang seribu rupiah. Dia menikmati setiap rupiah yang dicuri, tetapi dia tidak kunjung merasa memiliki. Dia frustasi sebab dia berharap kehilangan 93
semuanya, hukum Indonesia tidak mengijinkannya. Dia akan melakukannya sendiri. Mulailah dari laki-laki. Jadi Korupsi dimulai dari Laki-Laki Mereka keluar dari sebuah lubang dan seumur hidup terobsesi dengan lubang. Sebagian besar laki-laki Indonesia sudah menjadi pecundang semenjak kelahirannya. Otak, tubuh dan kemaluan kecil; pada saat dewasa nanti semua ini butuh penyesuaian. Sepanjang usia pertumbuhan mereka akrab dengan kemiskinan; anak miskin diasuh orang tuanya yang miskin, anak kaya diasuh oleh pembantunya yang miskin. Itu sebabnya semua lakilaki Indonesia mengubur masa silamnya, sebab mereka ingin menghilangkan jejak perempuan jelek di masa silam. Mereka belajar dengan cepat bahwa kebahagiaan bisa dibeli dengan uang. Mereka melihat ayahnya yang kuli membawa sedikit uang dan mereka bisa makan enak. Mereka melihat ayahnya yang menteri, membawa banyak uang dan mereka bebas menghabiskannya. Mereka memandang om-om mereka, dekil dan jelek tetapi bisa membawa perempuan seronok. Merema memandang otak, tubuh dan kemaluan mereka yang kecil, “oh, ini juga bisa diperbaiki dengan uang”. Mereka rendah diri di hadapan laki-laki asing dan selamanya terobsesi untuk bisa menjadi seperti mereka. Mereka miskin karakter sebab dari kecil tidak terbiasa berolahraga. Mereka tidak belajar keadilan dari lapangan, kompetisi dari trek lari, solidaritas dari permainan tim dan ketahanan dari air; mereka lembek, kelas tiga es em pe perut sudah buncit membusung. Mereka terbiasa santai karena budaya menempatkan mereka berkuasa atas perempuan. Warung kopi penuh laki-laki, dari pagi hingga malam; perempuan sibuk bercocok tanam. Anak perempuan belajar memasak, anak laki-laki merengek minta mainan. Dan tiba-tiba saja dengan segala kemiskinan diri itu mereka harus mendapatkan semuanya dengan banyak, cepat, mudah ; semua demi lubang. Perempuan mahal, laki-laki murah Laki-laki Indonesia selalu rendah diri di hadapan perempuan. Hanya budaya dan agama yang membuat kepala mereka tetap bisa berdiri tegak. Perempuan terlihat mahal di mata laki-laki yang tidak terbiasa berkarya. Menebar janji adalah satu-satunya keahlian laki-laki Indonesia yang susah ditandingi laki-laki lain. Janji menjadi tuntutan bagi perempuan. Bagi hampir semua laki-laki Indonesia, satu-satunya cara memecahkan persoalan adalah dengan uang. Uang langka, karena tenaga kerja Indonesia dihargai murah. Tuntutan kenaikan gaji hanya akan berbuah pemecatan dini. Mencuri pilihan yang masuk akal. Menjilat cara terbaik yang diajarkan sejak di meja makan melihat ayah dipuja puji. Memalsukan semua hal sudah biasa, karena biasa mamanipulasi kekurangan diri. Korupsi adalah keahlian yang umum dikuasai laki-laki Indonesia. Dari gedung tinggi hingga proyek irigasi. Ayah mereka mengajarkan, pemimpin mereka memerintahkan dan sekarang itu menjadi sebuah keharusan. Ya, laki-laki dan perempuan berkomplot dalam soal korupsi. Laki-laki mencari, perempuan menikmati; anak-anak mereka tidak tahu diri. Tetapi semua ini berawal dari lelaki lemah yang seumur hidup tidak pernah bisa memecahkan persoalan kenapa otak, tubuh dan kemaluan mereka kecil. Mereka berusaha menciptakan kebahagiaan dengan terus membeli sehingga tidak pernah tahu apa sebenarnya yang mereka miliki. Bangsa yang tidak bisa mencipta apalagi berkarya akan memakan sesamanya. Kesimpulan yang dangkal mungkin, pikirnya. Namanya Pramudita. Tentu orang tuanya berdoa agar kelak dia jadi pramugari dan bukan pramusaji. Cita-cita dari keluarga yang menanjak kaya (sekarang kaya sekali seiring naiknya pangkat dan golongan). Bapaknya tengah dipenjara, saban sabtu tetap tidur di rumah. Kami bertemu di sebuah kelab malam. Dia menghabiskan tequilla tanpa garam dan jeruk nipis. Dia bilang tengah menyusun rencana kepadaku. Dia bosan dengan dunia 94
yang tidak asik ini; yang memberi begitu banyak ruang untuk kesalahan dan sedikit ruang untuk koreksi. Laki-laki Indonesia payah, sepanjang usia hidup dengan janji. Dia akan memulainya sendiri; dia percaya satu-satunya cara untuk menghukum koruptor adalah dengan mengorupsi kebebasan keluarganya. Ya, termasuk dirinya sendiri.
95
Yudhoyokarta Posted on December 2, 2010 under Kolom http://itonesia.com/yudhoyokarta/ Pada saat presiden Barrack obama mengutarakan keinginannya untuk kelak bisa mengunjungi Yogyakarta bersama dengan keluarganya, mungkin ini mulai menggelitik pikiran Tuan. Ketika begitu banyak bencana, termasuk Merapi yang meninggalkan duka, dikaitkan dengan kesialan diri; mungkin Tuan mulai meradang. Orang-orang mulai bosan dengan orasi datar, air muka yang menjemukan serta pembantu-pembantu Tuan yang berlaku kayak jongos kolonial; mereka memalingkan muka dan ini bencana bagi Tuan. Negeri ini boleh hancur selebur-leburnya hingga jurang dimana setiap kata tidak lagi bisa menyelamatkan, tetapi bagi Tuan citra diri tidak boleh tergores apalagi hancur. Tuan ingin menunjukkan kepada Obama nantinya bahwa Yogyakarta adalah sebuah propinsi demokratis dalam batas-batas sempit terminologi textbook. Dengan meruntuhkan kraton Yogya Tuan ingin melarung sial, menghanyutkannya lewat Kali Progo disambut Ratu Laut Selatan. Tuan ingin mengingatkan semua orang yang berpaling bahwa Tuan tidak begitu membosankan, seperti biasa Tuan suka menimbulkan kehebohan untuk menutupi kehebohan lain yang tidak terselesaikan. Skandal Krakatau Steel butuh timbunan, Tuan mengguncang kraton ngayogyakarta hadiningrat. Presiden kita yang terhormat, beliau tidak gila. Dia sehat, bahkan teramat sehat untuk membuat warga negaranya gila semua. Dia hanya tidak bisa membedakan praktek dengan teori. Tuan kita ini, terlalu sibuk memikirkan pendapat orang lain terhadap dirinya. Tuan kita ini, lucunya, sibuk membangun patung untuk mengabadikan namanya sendiri. Dia telah merencanakan semuanya dengan matang sebagaimana gaya pidatonya yang membosankan; rapi, terukur tentu dengan begitu banyak selipan bahasa Inggris. Inilah indahnya demokrasi, presiden boleh melantur semaunya, bandit parlemen memperdebatkannya dalam sandiwara yang bisa ditebak akhirnya. Dan kita termangumangu menyaksikan tontotan itu dengan jeda iklan mengenai kerusuhan, kematian dan bencana alam. Bagi kawan kita yang santun ini, keistimewaan Yogyakarta tidak bisa diterima oleh akal sehat. Alasannya mudah dicari, sistem seperti ini tidak ada di Amerika tempat dia biasa thawaf mendapatkan syafaat. Mungkin dia berpikir, semoga ini tidak benar, Merapi telah melemahkan Yogya saatnya pemerintah pusat menghancurkan monarki. Tuan presiden kita ini lahir di ujung revolusi, pada masa dimana juru runding pada konferensi meja bundar tengah bertarung dalam debat tidak berkesudahan. Itu sebabnya mungkin, sejarah hanya menempel seperti debu dalam pikirannya. Meskipun Pacitan tidak berjarak jauh dari Yogyakarta. Empat tahun sebelum tangisan “jaim” nya menyapa dunia, Sultan HB IX seorang intelektual pemikir lulusan Belanda, Republiken sejati dan raja pemberani menyatakan diri bergabung dan menjadi bagian dari Republik Indonesia yang baru lahir. Sikap langka yang tidak akan ditemukan kepada raja-raja lain dari kerajaan tradisional di nusantara. Tuan presiden boleh menyebutkan dengan memori pendek Tuan, kerajaan dari pesisir Timur Sumatera hingga raja-raja kecil daulat Bugis, semuanya menjadi alat untuk kembali tegaknya kekuasaan kolonial. Tetapi HB IX yang notabene nya adalah penguasa terkuat di antara mereka memilih lain, dia percaya ada mimpi yang lebih besar bersama republik Indonesia. Dia menyediakan Yogyakarta sebagai kantong kedaulatan Republik. Dia menjadi tameng dari setiap upaya untuk menghabisi nafas republik. Dalam hal yang lebih menyentuh, dia menjamin kehidupan 96
istri-istri pemimpin republik ketika suami mereka ditangkap dan ditawan. Dia berbeda sekali dengan Tuan Presiden, tidak gila hormat, tetapi disegani oleh lawan dan dihormati oleh kawan. Apakah Tuan lebih besar dari Soekarno-Hatta yang tetap menghormati Sultan? Apakah Tuan lupa bahwa ketika RIS terbentuk RI tetap dipertahankan di Yogyakarta sehingga menjadi bidan lahirnya kembali NKRI? Inilah akibatnya punya pemimpin yang selalu ingin menyaingi Agnes Monica, “pengen go international”. Semua ditakar dengan kacamata orang lain sembari mengubur sejarah layaknya aib masa silam. Tanpa mengerti sejarah Tuan, konstitusi tidak ada artinya. Sebab konstitusi adalah kenangan tentang kesepakatan di masa silam. Kami sebenarnya tidak ingin terlalu serius menanggapi ocehan Tuan Presiden, sebab kami tahu, Tuan cuma butuh panggung. Tuan tidak pernah serius dengan apa yang Tuan omongkan, sebab sebenarnya Tuan tidak punya gagasan tentang bangsa dan keadilan. Tuan gila dengan terminologi tetapi Tuan tidak mengerti morfologi. Tuan kesetanan dengan dunia tetapi lupa orang-orang di masa silam membentuk dunia sekarang karena sebab dan tujuan tertentu. Termasuk urusan keistimewaan Yogyakarta. Logika demokrasi Tuan sebenarnya lebih layak masuk tong sampah. Tuan Presiden tidak pernah menakutkan kita. Yang mengkhawatirkan adalah pembantunya yang kesetanan. Preman-preman yang menjadi orang partai dan kemudian menyulap diri menjadi birokrat dan anggota parlemen. Dengan jilatan basahnya mereka akan merampok setiap kesempatan untuk berpikir sehat. Agresi Presiden terhadap Sultan Yogya tidak ubahnya seperti Operasi Gagak , agresi militer kedua Belanda yang menyerbu Yogyakarta. Bedanya, dulu Belanda tidak berani menyentuh Sultan yang notabene nya seorang republiken. Hari ini, Sultan diserbu hanya karena dia patuh pada konstitusi. Menakutkan, tentu saja. Seorang yang seumur hidupnya terobsesi dengan dirinya sendiri jauh lebih berbahaya dari seorang tiran atau fasis. Itu sebabnya kita mesti menolak tunduk. Sebab apabila Yogya menyerah, semua kenangannya akan terhapus. Generasi masa depan tidak akan mendapati Yogyakarta lagi tetapi Yudhoyokarta tanpa raja.
97
kalah Posted on December 27, 2010 under Kolom http://itonesia.com/kalah/ Apakah hidup “kita” memang sekadar menunda kekalahan, pastinya aku ingin bertanya kepada Chairil. Tetapi di malam sunyi pekuburan Karet ini, dingin angin menusuk tulang untuk bangkit dari liang lahat. Tanyaku direnggut angin yang membawanya mengitari langit Jakarta, menyapa setiap mereka yang bangun dan tidur. Menelusup dalam kesadaran dan mimpi. Diam-diam memakzulkan setiap keinginan baik yang tidak kunjung sempat menyapa mentari pagi. Beginilah persoalan yang kita hadapi sekarang, kekalahan adalah rutinitas dan bukan sekedar sesuatu yang tertunda. Kemenangan menjadi langka, hingga kita tidak pernah tahu lagi wujudnya. Dan ketika kemenangan muncul, kita menyikapi layaknya orang-orang yang kalah. Hidup tidak selamanya persoalan kalah dan menang. Tetapi kenyataannya memang demikian. Angka-angka, peringkat, penghargaan dan bahkan bonus mengucilkan manusia pada nasibnya masing-masing. Kita sampai tidak menemukan harga yang tepat pada setiap kekalahan dan kemenangan. Kita jadi tidak mengerti apakah perayaan pantas untuk kemenangan atau malah lebih pantas untuk kekalahan. Kita menyaksikan sebelas orang anak muda berlari dalam peluh tiada henti. Sebenarnya mereka tengah bermain, itu bukan sebuah persoalan. Masalahnya mereka ternyata bermain bukan untuk dirinya sendiri. Mereka telah didaulat menjadi serdadu di ujung negeri, menyelesaikan semua persoalan yang mengerdilkan kita. Mengepakkan sayap garuda yang terperosok dalam timbunan permasalahan bangsa. Mereka tidak lagi bermain mengolah bola tetapi bermain roulette mengundi nasib bangsa. Dan tadi malam bukan lagi sepakbola. Hidup adalah masalah kebiasaan. Bila kita terbiasa kalah maka kita akan jatuh demam ketika mendapatkan kemenangan. Demam penuh racauan tidak masuk akal. Sebelas pasang kaki yang mengolah kulit bundar dianggap pemecah semua persoalan. Politik hendak dimenangkan lewat tim bola. Rating televisi hendak dikatrol lewat berita bola. Dan orang-orang penting berpose seolah-olah mereka pahlawan yang membidani lahirnya pesepakbolaan nasional. Sebelas orang anak muda direnggut begitu saja dari lapangan hijau, tanpa pernah peduli dengan apa yang mereka inginkan. Diarak kesana sini, didoakan beribu mantera dan dicekoki dengan vodka berisi gandum politik. Kita, orangorang yang kalah, telah merenggut kesempatan menang yang mereka miliki. Kita, orangorang tidak peduli, telah menerbangkan mimpi tanpa seorang pun dari mereka punya sayap untuk mengejarnya. Beginilah cara orang-orang kalah menghadapi kemenangan, jatuh demam. Satu-satunya cara untuk sembuh adalah dengan menciptakan kekalahan. Hidup normal jauh lebih baik ketimbang berubah tanpa tahu arah. Tanpa Chairil yang bisa ditemui, kita menemukan jawaban. Bahwasanya hidup kita tidak hanya sekedar menunda kekalahan tetapi lebih dari itu, kita hidup dalam kekalahan. Ini bukan persoalan angka-angka yang bisa dikumpulkan dan diperbandingkan, ini persoalan cara menghadapi hidup. Bahwa para pemenang tidak pernah mempersoalkan kalah atau menang dan para pecundang senantiasa mengukur segala sesuatunya dari menang dan kalah. Pemenang tahu, kekalahan adalah cara terbaik untuk mendapatkan pelajaran kehidupan. Pecundang hanya mengerti, kekalahan adalah akhir dari segalanya; suatu takdir yang menjadi kutukan satu bangsa. Kita tidak seharusnya menjadi pecundang.
98
Surat Untuk Firman Posted on December 28, 2010 under Uncategorized http://itonesia.com/surat-untuk-firman/ Kawan, kita sebaya. Hanya bulan yang membedakan usia. Kita tumbuh di tengah sebuah generasi dimana tawa bersama itu sangat langka. Kaki kita menapaki jalan panjang dengan langkah payah menyeret sejuta beban yang seringkali bukan urusan kita. Kita disibukkan dengan beragam masalah yang sialnya juga bukan urusan kita. Kita adalah anak-anak muda yang dipaksa tua oleh televisi yang tiada henti mengabarkan kebencian. Sementara adik-adik kita tidak tumbuh sebagaimana mestinya, narkoba politik uang membunuh nurani mereka. Orang tua, pendahulu kita dan mereka yang memegang tampuk kekuasaan adalah generasi gagal. Suatu generasi yang hidup dalam bayangbayang rencana yang mereka khianati sendiri. Kawan, akankah kita berhenti lantas mengorbankan diri kita untuk menjadi seperti mereka? Di negeri permai ini, cinta hanyalah kata-kata sementara benci menjadi kenyataan. Kita tidak pernah mencintai apapun yang kita lakukan, kita hanya ingin mendapatkan hasilnya dengan cepat. Kita tidak mensyukuri berkah yang kita dapatkan, kita hanya ingin menghabiskannya. Kita enggan berbagi kebahagiaan, sebab kemalangan orang lain adalah sumber utama kebahagiaan kita. Kawan, inilah kenyataan memilukan yang kita hadapi, karena kita hidup tanpa cinta maka bahagia bersama menjadi langka. Bayangkan adik-adik kita, lupakan mereka yang tua, bagaimana mereka bisa tumbuh dalam keadaan demikian. Kawan, cinta adalah persoalan kegemaran. Cinta juga masalah prinsip. Bila kau mencintai sesuatu maka kau tidak akan peduli dengan yang lainnya. Tidak kepada poster dan umbul-umbul, tidak kepada para kriminal yang suka mencuci muka apalagi kepada kuli kamera yang menimbulkan kolera. Cinta adalah kesungguhan yang tidak dibatasi oleh menang dan kalah. Hari-hari belakangan ini keadaan tampak semakin tidak menentu. Keramaian puluhan ribu orang antre tidak mendapatkan tiket. Jutaan orang lantang bersuara demi sepakbola. Segelintir elit menyiapkan rencana jahat untuk menghancurkan kegembiraan rakyat. Kakimu, kawan, telah memberi makna solidaritas. Gocekanmu kawan, telah mengundang tarian massal tanpa saweran. Terobosanmu, kawan, menghidupkan harapan kepada adikadik kita bahwa masa depan itu masih ada. Tendanganmu kawan, membuat orang-orang percaya bahwa kata “bisa” belum punah dari kehidupan kita. Tetapi inilah buruknya hidup di tengah bangsa yang frustasi, semua beban diletakkan ke pundakmu. Seragammu hendak digunakan untuk mencuci dosa politik. Kegembiraanmu hendak dipunahkan oleh iming-iming bonus dan hadiah. Di Bukit Jalil kemarin, ada yang mengatakan kau terkapar, tetapi aku percaya kau tengah belajar. Di Senayan esok, mereka bilang kau akan membalas, tetapi aku berharap kau cukup bermain dengan gembira. Firman Utina, kapten tim nasional sepak bola Indonesia, bermain bola lah dan tidak usah memikirkan apa-apa lagi. Sepak bola tidak ada urusannya dengan garuda di dadamu, sebab simbol hanya akan menggerus kegembiraan. Sepak bola tidak urusannya dengan harga diri bangsa, sebab harga diri tumbuh dari sikap dan bukan harapan. Di lapangan kau tidak mewakili siapa-siapa, kau memperjuangkan kegembiraanmu sendiri. Di pinggir lapangan, kau tidak perlu menoleh siapa-siapa, kecuali Tuan Riedl yang percaya sepak bola bukan dagangan para pecundang. Berlarilah Firman, Okto, Ridwan dan Arif, seolaholah kalian adalah kanak-kanak yang tidak mengerti urusan orang dewasa. Berjibakulah Maman, Hamzah, Zulkifli dan Nasuha seolah-olah kalian mempertahankan kegembiraan yang hendak direnggut lawan. Tenanglah Markus, gawang bukan semata-mata persoalan kebobolan tetapi masalah kegembiraan membuyarkan impian lawan. Gonzales dan Irvan, bersikaplah layaknya orang asing yang memberikan contoh kepada bangsa yang miskin 99
teladan. Kawan, aku berbicara tidak mewakili siapa-siapa. Ini hanyalah surat dari seorang pengolah kata kepada seorang penggocek bola. Sejujurnya, kami tidak mengharapkan Piala darimu. Kami hanya menginginkan kegembiraan bersama dimana tawa seorang tukang becak sama bahagianya dengan tawa seorang pemimpin Negara. Tidak, kami tidak butuh piala, bermainlah dengan gembira sebagaimana biasanya. Biarkan bola mengalir, menarilah kawan, urusan gol seringkali masalah keberuntungan. Esok di Senayan, kabarkan kepada seluruh bangsa bahwa kebahagiaan bukan urusan menang dan kalah. Tetapi kebahagiaan bersumber pada cinta dan solidaritas. Berjuanglah layaknya seorang laki-laki, kawan. Adik-adik kita akan menjadikan kalian teladan!
100
Generasi Mawar Posted on December 31, 2010 under Kolom http://itonesia.com/generasi-mawar/ Truk peninggalan Jepang itu mereka beri nama King Kong, sebab dia perkasa di segala medan. Tetapi malam itu di tengah rimba raya hutan Sumatera King Kong tidak berdaya. Di tengah hujan deras, liat lumpur mencengkeram dua pasang ban nya. King Kong pada akhirnya menyerah, dia akan menjadi fosil di rimba Sumatera Tengah. Penumpangnya, seorang laki-laki berusia 37 tahun Sjafrudin Prawiranegara bersama dengan belasan pemuda remaja yang menjaganya. Sjafrudin dan para pemuda itu telah melewati beragam ujian, dikejar pasukan infanteri musuh, ditembaki oleh cocor merah dari udara hingga tersasar di tengah rimba raya Sumatera. Mereka terus berjalan, sebab di tangan Sjafrudin amanat begitu besar, menjaga tetap berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Malam disiram hujan itu tanggal 31 Desember 1948, mereka memutuskan berjalan kaki hingga mencapai perkampungan Kiliranjao. Enam ratus tahun silam disanalah tentara Majapahit bermukim sebelum penyerbuan gagal ke Minangkabau. Anak-anak muda itu melewati akhir tahun dengan cara mereka sendiri, ada pesta dalam pelarian. Tahi Bonar Simatupang, 29 tahun, dan dia masih bujangan. Dia seorang pemuda yang penuh gaya, berharap bisa menghabiskan akhir tahun di ibukota Yogyakarta. Dengan pangkat Kolonel di pundak dan jabatan wakil kepala staf Angkatan Perang, dia mewakili tentara dalam setiap perundingan. Itu membuat akhir tahun lebih menjanjikan. Tetapi harapan punah oleh kenyataan, Belanda menyerbu jantung republik, para pemimpin menjadi tawanan. Simatupang terpaksa meninggalkan Jogja, di tengah perjalanan jeep nya dihantam musuh. Dia hanya bisa menggunakan sepasang kaki menyisiri setiap kantong gerilya. Melepas pemuda-pemuda remaja Siliwangi kembali menempuh perjalanan panjang menuju daerah asal mereka. Menyaksikan anak-anak muda tiada gentar menyusup garis musuh di malam hari. Pada malam 31 Desember 1948, Simatupang berada kampung Banaran. Tidak ada sampanye menyambut pergantian tahun tetapi kepala kampung paham ini tetap mesti dirayakan. Satu jerigen Legen menggantikan sampanye, untuk harapan yang sama di tahun berbeda. Sejarah memang membosankan. Tetapi apalagi yang bisa kita lakukan. Sebab untuk bisa melaju ke depan, kita membutuhkan bahan bakar dari masa silam. Setidaknya kita bisa mengingat, pernah pada suatu masa yang singkat, sebuah generasi menentukan kehendaknya sendiri. Generasi yang berisi anak-anak muda tumbuh dewasa karena kemauan mereka sendiri. Generasi yang menolak kalah pada perintah. Anak-anak muda yang percaya bahwa mereka bukan saja bisa mengguncangkan dunia tetapi juga bisa menguasainya. Itu tampak serius di masa sekarang padahal mereka sangat menikmati layaknya kita yang menghabiskan hari di depan komputer, perkantoran, mall dan kelab malam. Tawa mereka sama saja dengan tawa kita sekarang, tiada beda. Sedihnya sama saja dengan keterkucilan yang kita alami sekarang. Sebab yang berbeda di dunia ini hanyalah benda-benda mati yang terus berubah. Mereka adalah generasi mawar. Kembang indah bertangkai duri, memaksa pemetiknya berpikir dua kali. Akhir tahun ini, kita tidak sedang angkat senjata. Tetapi kita tetap menghadapi agresi yang terus berusaha menghancurkan. Membawa kita dalam lubang-lubang persembunyian penuh kecurigaan dan kebencian. Politik telah menjadi bom yang terus membunuh kesadaran bersama kita. Kekuasaan membentengi diri dengan kekacauan yang terjadi. Informasi menjadi ranjau-ranjau yang memakan tuannya sendiri. Kita hidup dalam semua potensi kehancuran. Lalu kita melupakan semua hal baik yang mungkin 101
bisa dilakukan. Semua tampak berakhir buruk. Sebab tiba-tiba saja kita berusaha tetapi mereka yang menentukan. Kita seperti generasi singkong, terpenjara di kedalaman tanah hingga kematian merenggut kita keluar. Untunglah kita hidup di atas tanah yang subur yang memberi hidup pada benih apapun yang disemai. Di tanah tempat tumbuhnya singkong, mawar bisa tumbuh bersemi. Kita melihat gairah di akhir tahun karena sepakbola. Kita ikut dan menjadi saksi betapa narkoba politik tidak selamanya menguasai kita. Anak-anak muda beragam usia tumpah ruah dalam pesta mereka. Anak-anak muda, tidak peduli laki-laki dan perempuan memenuhi stadion, arena terbuka, café dan bahkan warung emperan untuk satu suara Indonesia. Kita mulai menolak untuk didikte. Kita menolak untuk dikendalikan. Kita mengenyahkan kebencian sehingga kita tidak mau diadu dalam kekacauan. Kedamaian kita adalah kegelisahan mereka. Tepuk sorak kompak kita adalah pangkal kebinasaan mereka. Lebih dari itu semua, stamina kita akan memperpendek usia mereka yang selama ini terus menerus berusaha menghancurkan bangsa ini. Kita menolak untuk kalah tetapi kita tidak menginginkan apa-apa. Generasi mawar terlahir kembali, itulah sebuah harapan di penghujung tahun ini. Sebuah generasi yang punya kehendak sendiri. Anak-anak muda yang mulai berhitung dengan jumlah dan kekuatan. Mereka yang terus bekerja penuh cinta menekuni bidangnya masing-masing. Mereka yang tidak peduli lagi dengan rasa takut sehingga meninggalkan lubang-lubang keterasingan. Sehingga kita bisa berbaur tanpa curiga, mengikis habis setiap potensi petaka. Cukuplah politik untuk kalian saja, kita tidak menginginkannya dalam keseharian. Sebab bila politik terus menjadi rutinitas, generasi baru ini akan mengenyahkannya pergi. Cukuplah semua permainan ini, sebab bila tidak, kami yang dipaksa menonton akan turun menghentikannya. Hentikanlah semua sandiwara payah kalian itu, sebab sutradara tua tidak cocok dengan selera kami. Dan yang paling penting sadarlah, usia tua tidak akan menyumbangkan banyak hal kecuali kekacauan dalam kepikunan. Tahun depan, kita tidak tahu pasti apa yang akan terjadi. Satu yang pasti, keadaan tidak akan pernah sama lagi. Kalian tidak akan pernah lagi bisa memetik mawar tanpa duri menusuk jari.
102
Pramudita (2) Posted on January 6, 2011 under Kolom http://itonesia.com/pramudita-2/ Satu botol tequila tidak cukup untuk menghempaskannya. Kepalanya berat memang tetapi tidak cukup bodoh untuk menerima godaan dari laki-laki di kelab yang ingin memboyongnya pulang. Tidak lagi mau menggunakan kendaraan pribadi, dia menyetop taksi. Tidak lagi mau tinggal di rumah orang tuanya yang menjadi sarang korupsi, dia pilih tinggal di kosan kecil tanpa AC dan pemanas air kecuali dia masih terkoneksi dengan dunia luar lewat internet. Matanya terpejam tetapi pikirannya mengembara kemana-mana. Tubuhnya gelisah karena gerah tetapi hatinya tenang sebab dia tidak perlu lagi tinggal bersama keluarganya yang bersusah payah membangun citra diri lewat uang korupsi. Dan tidur dua jam cukup memberikan tenaga baru, dia menghirup pagi yang sangat indah tanpa bungkuk babu lengkap dengan pertanyaan konyolnya. Saatnya berpikir Pramudita……. Sukarton Marmosudjono adalah seorang laki-laki fenomenal yang tidak pantas untuk dilupakan. Tetapi dia dilupakan, memang begitulah keadaannya. Hal-hal baik dilupakan di negeri ini hanya untuk menguatkan keyakinan bahwa korupsi adalah sebuah takdir yang mesti diterima, penyakit genetik yang mesti ditanggung oleh generasi yang tidak mengerti apa-apa. Sebagaimana pemberani lainnya, Sukarton mati mendadak tentunya dengan penjelasan resmi yang telah dipersiapkan sebelum kematiannya. Sebab pasti kematiannya tentu saja misterius dan seperti biasa menjadi rahasia umum dalam persinggahan singkat di otak masing-masing. Tetapi tidak bagi Pramudita, baginya setiap peristiwa pasti memiliki catatan kaki yang lebih panjang dari catatan resmi. Sukarton adalah seorang Laksamana Muda TNI AL ketika dikaryakan menjadi jaksa agung. Sebagai orang laut mungkin dia sudah lupa bagaimana rasanya takut. Inilah kenaifan di tengah kebangkitan uang menguasai republik. Sukarton gerah dengan korupsi yang merusak sendi kehidupan. Dia bosan mesti bekerja sendiri mengejar pencuri tanpa dukungan publik yang sebenarnya dirugikan. Sukarton melihat Harmoko, mulut mantan wartawan Koran kuning itu mampu menjangkau pelosok tanah air lewat TVRI. Hari-hari omong kosong mesti diberi jeda dengan hari-hari partisipasi. Sukarton mengejar koruptor buron, dia memasang tampang mereka di ujung berita nasional TVRI. Terus berulang seperti itu, setiap hari. Kadang dia beruntung, masyarakat melaporkan dan ini memaksa aparat korup untuk menangkap tersangka. Tetapi satu hal yang pasti, masyarakat memahami, di tengah-tengah mereka hidup para pencoleng buron. Koruptor dipermalukan, masalah ini lebih besar dibanding partisipasi. Tidak lama kemudian, 29 Juni 1990 Sukarton mati mendadak, hanya dua tahun setelah dia dikaryakan. Kau tidak butuh otak pintar untuk mengerti kenapa dia mati secepat itu. Pramudita tersenyum kecut. Dipermalukan, itulah ketakutan manusia sesungguhnya. Bahkan mungkin itu juga yang menjadi pangkal dosa asal manusia. Mungkin saja Tuhan merasa dipermalukan ketika Adam tidak mengindahkan larangannya menjauhi pohon sialan itu. Kabil membunuh Habil karena merasa dipermalukan di depan Tuhan. Orangorang Israel membunuh nabi mereka karena merasa dipermalukan mesti menerima orang istimewa dari kalangan biasa. Hitler membunuh Yahudi karena dipermalukan oleh perlakuan bapaknya yang separuh Yahudi. Dan apakah lagi yang membuat kebencian Sukarno begitu bergelora kepada Belanda selain pernah dipermalukan oleh seorang ABG bernama Rieke Melhusyen. Orang-orang mengatakan koruptor di Indonesia tidak lagi 103
punya rasa malu, dia tidak setuju, sebab orang-orang tidak pernah benar-benar melancarkan agresi yang tepat mengenai jantung mereka. Pengadilan hanya sandiwara, semua orang mengerti. Televisi dan media hanya urusan iklan dan rating, itu yang membuat urusan serius menjadi tidak penting. Dipermalukan, dia mengulangi kata itu ribuan kali. Dia telah merencanakannya dengan sempurna. Objeknya dia dan keluarganya. TVRI sudah usang, internet yang akan melakukannya. Dia sudah mencatat segalanya, rekening setiap anggota keluarga, pelat mobil yang biasa digunakan, pekerjaan mereka dan foto-foto akhir pekan ketika ayahnya meninggalkan sel, tenggelam dalam pelukan keluarga. Jejaring sosial akan mengambil alih persoalan. Dia dan keluarganya harus dihukum karena membiarkan, menikmati dan ikut menghisap hasil korupsi bapaknya layaknya candu ganja. Pertama dia memperkenalkan bapaknya, sejarah hidupnya dan kejahatan yang dilakukannya. Setelah itu dia memperkenalkan setiap anggota keluarga, kebiasaan mereka dan bagaimana cara mereka biasanya menghabiskan uang hasil korupsi itu termasuk dirinya. Diikuti kemudian dengan aset-aset haram yang dimiliki keluarganya, termasuk rumah kakak-kakaknya dan bahkan juga laptop yang dia gunakan. Bagian menariknya adalah ketika dia membeberkan tempat mana saja yang menjadi favorit anggota keluarga, mulai dari mall, café, club atau bahkan restoran Sunda. Dan paling seru dia membeberkan pelat mobil setiap anggota keluarga lengkap dengan ciri lengkap mobil yang mereka kendarai. Terakhir dia meng-upload foto-foto keakraban akhir pekan ketika ayahnya rehat dari penjara tentu saja disertai modus operandi dan orang-orang yang terlibat. Informasi sekarang milik publik. Seharusnya tersebar cepat bahkan dibanding kebenaran Tuhan yang dibawa para nabi. Tiba-tiba saja dia pulang ke rumah. Menjadi si bungsu yang melakukan aktifitas sebagaimana mestinya. Kuliah mengendarai mobil, menyambangi mall favoritnya dan ketika malam datang dia bersiap menyambut kehebohan klub. Bukan sebagai pekerja tetapi pengunjung. Dia masih menunggu sebab di negeri ini tidak banyak hal yang bisa ditangkap dengan cepat oleh publik. Mereka butuh dorongan, sugesti dan kesaksian bodoh dari orang-orang yang mengaku pintar. Butuh tiga hari hingga dunia maya heboh dengan data-data yang dia beberkan. Butuh satu minggu untuk geretan pertama di mobilnya yang telah ditandai karena pelat nomor yang dibeberkan di internet. Butuh sepuluh hari ketika terror pertama melanda ibunya yang tengah berada di pusat perbelanjaan. Karena pemerintah tidak juga bereaksi orang-orang akan memilih caranya sendiri untuk menghakimi. Sebuah kesaksian yang memuat data yang sangat pribadi dari sebuah keluarga yang membangun kebahagiaan semu lewat korupsi akan membantu mayarakat mengungkapkan kebencian terdalam mereka. Butuh sebulan bagi pemerintah untuk bereaksi tentang tahanan korupsi yang menjalani hukuman penjara semaunya. Penjelasan yang diberikan juga sederhana, gunakan azas praduga tidak bersalah. Tetapi keluarga ini telah menjadi bulan-bulanan massa. Semua hal tentang kehidupan mereka telah diketahui oleh publik. Keluarga ini tertekan oleh teror yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Pramudita kehilangan temantemannya, mobilnya nyaris tidak bisa digunakan sebab selalu saja ada yang merusak bagian-bagiannya. Keluarganya tertekan tetapi dahaganya terpuaskan. Beginilah seharusnya mereka dihukum atas kejahatan yang mereka nikmati. Pramudita rehat kuliah, dia tidak pulang. Keluarganya berantakan, adik laki-lakinya nyaris berhenti sekolah. Dua orang kakaknya bekerja penuh was was karena mulai menganggap semua orang yang mereka temui adalah orang yang siap mencelakai. Ibunya tidak tahu harus bagaimana, kemanapun dia pergi telah ditandai. Dia hanya bisa mengurung diri di rumah. Dia menyandarkan dirinya di dipan kosan yang lapuk, tertawa sendiri Pramudita bersiap untuk kerja malamnya. Dia dan keluarganya hancur berantakan, itulah hukuman sepadan 104
yang dia impikan. Di balik sel, ayahnya akan menyesali semua yang telah dilakukan. Tidak sekedar dipermalukan tetapi juga dihancurkan. Kali kedua kami bertemu sambil mengisap ganja, tentu saja pikiran jauh lebih jernih. Dia bertanya kepadaku, berapa jumlah anak muda di Indonesia. Aku hanya bisa menjawab usia produktif lebih dari 62 % dari populasi. Lebih dari 140 juta orang. Dia berasumsi, sepertiga dari usia produktif itu berusia 18-30 tahun, jumlahnya masih besar, lebih dari 40 juta orang. Itu adalah usia tanpa beban dimana kita bebas berbuat semaunya. Tetapi tentu sebagian besar berpikir tentang ketakutan akan masa depan. Sebagian lainnya sibuk memikirkan cara membesarkan kemaluan mereka yang kecil dan bagaimana cara mengubah kulit coklat yang menjadi kutukan. Jadi, mungkin hanya seperlima dari jumlah itu yang hidup dengan pikiran bebas mereka, ada 8 juta anak muda. Mari kita hitung lagi dari 8 juta orang itu, mungkin hanya seperempat orang yang melek informasi. 2 juta orang anak muda sekarang berpikiran bebas dan melek informasi. Ah, anggap lagi hanya 10 % dari mereka yang cukup punya nyali untuk berbuat dan tidak hanya bersuara. 200 ribu anak muda, jumlah yang tidak sedikit. Jauh lebih banyak dibandingkan penduduk Vatican. Bisakah mereka berpikir seperti yang dipikirkan Pramudita, bahwa korupsi itu personal sifatnya bukan lagi urusan hukum positif. Bahwa iblis tidak mungkin memenjarakan setan. Itu artinya tidak perlu lagi percaya kepada polisi, jaksa, pengadilan bahkan penjara. Dia sebenarnya tidak pernah peduli dengan urusan orang lain, tetapi di bawah pengaruh ganja dia mulai berhalusinasi tentang anak muda. Kenapa anak-anak muda yang melek informasi dan punya nyali tidak membocorkan semua hal personal tentang koruptor; istri, anak-anak, harta, rumah, pelat mobil, tempat belanja hingga gigolo simpanan istrinya. Itu bukanlah hal yang susah di jaman keterbukaan ini. Kenapa ketika hukum gagal, anakanak muda yang jumlahnya lebih dari populasi Vanuatu di Pasifik itu hanya diam tidak berdaya. Bundelan informasi pribadi berikut deskripsi kejahatan sebuah keluarga jauh lebih berguna dibandingkan hukuman penjara pada seorang kepala keluarga. Biarkan masyarakat menghukum dengan kemarahan yang mereka terima. Biarkan satu keluarga hancur untuk memberikan kehidupan kepada lebih banyak orang. Korupsi adalah sebuah teror jahat, ia mesti dibalas dengan teror masyarakat. Pramudita menyandarkan tubuhnya padaku. Setelah ganja, kami akan mencoba semua yang terlarang lainnya. Ya, orang-orang tua seolah-olah selalu tahu apa yang terbaik untuk kita sembari menyodorkan berlembar-lembar larangan. Tetapi mereka sendiri tidak tahu apa yang seharusnya mereka lakukan kecuali korupsi. Hukum menindas setiap keinginan liar kita sementara dia membiarkan ketidakadilan terjadi dimana-mana. Kenapa kita harus patuh, kenapa kita tidak menentukan cara hidup kita sendiri. Aku bersatu dengan Pramudita. Mawar yang tengah mekar di tengah layu melati.
105
RADIO Posted on January 12, 2011 under Kolom http://itonesia.com/radio/ THE OUTLAW Nama itu hanya akan terlihat samar dalam gelap. “Pembangkang” nama yang sangat pantas untuk sebuah kapal yang tugas utamanya adalah menembus blokade Belanda terhadap perairan Indonesia. “Black Speedboat” demikian All Indian Radio dan BBC memberi julukan pada kapal yang tugas utamanya adalah menyelundupkan komoditas dari kantong-kantong republik di Sumatera dan menukarnya dengan senjata di Singapura dan Phuket. Kapal itu dikomandani oleh John Lie, Mayor Angkatan Laut keturunan Tionghoa. Dengan kemudi kapal di tangan kiri dan injil di tangan kanan, John Lie selalu lolos dari kejaran patroli kapal pemburu Belanda. Pada malam setelah agresi militer Belanda pertama di tahun 1947, The Outlaw bertolak dari semenanjung Malaya menuju Aceh. Karena barang yang dibawanya sangat penting, satu kapal lainnya berisi 12 orang tentara mengawal sejak memasuki perairan Nusantara. Sayangnya keberadaan The Outlaw tercium oleh Belanda, posisi kapal terkunci. Satusatunya pilihan adalah mengorbankan salah satu kapal sebagai pancingan. Demi barang yang dibawa oleh The Outlaw, akhirnya 12 orang tentara pengawal menjadikan kapal mereka sebagai pancingan. Kapal itu kandas oleh serangan Belanda, 12 orang gugur sebagai kusuma bangsa dan The Outlaw bisa merapat di pantai timur Aceh dengan selamat. Kepada gubernur militer Aceh pada masa itu, Teuku Daud Beureuh, John Lie menyerahkan barang yang dibawanya sebuah perlengkapan untuk stasiun radio. RADIO RIMBA RAYA Revolusi adalah sebuah gairah dan itu menembus batas-batas kebangsaan. Di tengah hutan rimba Gayo, stasiun Radio itu dibangun oleh deserterin tentara sekutu dipimpin W Schultz. Sebagai ujung lidah informasi republik di dunia internasional, radio rimba raya menggunakan beragam bahasa pengantar. Siaran bahasa Indonesia Letnan Muda Suryadi. Siaran bahasa Inggris oleh Abdullah seorang desertiran sekutu dari Medan. Siaran dalam bahasa Madras oleh Abubakar yang juga desertiran sekutu. Sedangkan siaran dalam bahasa Tionghoa oleh Wong Fie. Gelombang radio ini bisa ditangkap oleh radio-radio di kawasan Asia yang diteruskan ke Eropa dan Amerika. Radio ini hanya siaran di malam hari karena pesawat capung Belanda terus mencari keberadaannya. Ketika Jogja jatuh dan para pemimpin ditawan oleh Belanda, Radio Rimba Raya mengabarkan sebuah pernyataan penting kepada dunia internasional, “Republik Indonesia masih ada, karena pemimpin republik masih ada, tentara republik masih ada, pemerintah republik masih ada, wilayah republik masih ada dan di sini adalah Aceh”. Tiga bulan kemudian, ini bukan sekedar kata-kata. SMN di SEULAWAH Seulawah artinya gunung emas dan pesawat Dakota DC-3 ini memang berasal dari tumpukan emas masyarakat Aceh yang memberikan sumbangan. Rencana pembelian pesawat ini muncul dari Kepala Staf AURI Suryadarma yang ditindaklanjuti oleh Wieweko Supeno dan Nurtanio. Bung Karno ketika mengunjungi Aceh, lewat gema suara di podium, berhasil meyakinkan rakyat Aceh untuk memberikan sumbangan. Dibeli dengan 20 kg emas, RI-001 Seulawah membuka jalur pertama penerbangan Sumatera-Jawa. November 1948 Seulawah digunakan Bung Hatta untuk perjalanan keliling MaguwoPayakumbuh-Kutaraja. Awal Desember 1948 Seulawah terbang ke Kalkutta India untuk 106
perawatan rutin. Malang dan untung, agresi Belanda terjadi tidak lama kemudian memaksa Seulawah tidak bisa kembali ke tanah air. Dari Kalkutta Seulawah terbang ke Rangoon Burma. Selain mulai bisa melakukan penerbangan komersil di negeri orang, Seulawah juga menyimpan sesuatu yang terpendam dalam perutnya. Sebuah radio pemancar dengan callsign-SMN yang meneruskan berita dari Indonesia ke seluruh dunia. SOMEWHERE IN THE JUNGLE “Zonder jullie allemaal beteken ik helemaal niks”. Tanpa kalian, aku tidak berarti apa-apa. Ucap Sjafrudin Prawiranegara kepada para kru radio yang menyertainya. Pemerintahan darurat pimpinan Sjafrudin berada di rimba raya Sumatera Tengah, suatu tempat tanpa nama. Tanpa radio yang terus mengabarkan, pemerintahan ini sebenarnya tiada. Itu sebabnya, keselamatan peralatan stasiun radio seringkali lebih penting dari keselamatan Sjafrudin. Perangkat radio jenis MK-III itu memang ringan dan praktis dibawa. Tetapi radio ini butuh listrik dari generator. Seringkali generator seberat tiga ton mesti ditarik oleh lima belas orang bergantian di tengah rimba yang tidak datar. Tetapi di belantara Sumatera itulah nyawa republik disambung lewat radio yang tidak henti terhubung dengan Jawa dan Aceh. Semua kesabaran ini hanya menunggu saat yang tepat. RADIO PLAYEN Rumah milik keluarga petani suami istri Pawirosetomo itu terdapat di Playen Wonosari. Sebelum para gerilyawan menyingkir dari Jogjakarta mereka hidup tenang dengan dua anaknya. Tetapi revolusi adalah kehendak dan ketika saatnya tiba Pawirosetomo menjadi bagian dari sejarah republik. Perwira Angkatan Udara Ali Boediardjo menyulap dapur kecil Pawirosetomo menjadi stasiun radio callsign PC-2. Pembangkit listrik disembunyikan dalam tumpukan kayu di tungku tanah. Antena direntangkan antara dua pohon kelapa pada malam hari dan sebelum matahari terbit antena itu diturunkan kembali. Sepanjang pendudukan Belanda terhadap Jogja, radio ini terus mengudara diteruskan oleh stasiunstasiun di Sumatera untuk kemudian diterima di luar negeri sebagai alat diplomasi. Itu sebabnya radio ini menjadi buruan utama Belanda setelah Panglima Besar Sudirman. Tetapi sepanjang penyerbuan infanteri, serangan artileri dan pengeboman dari udara, PC-2 tidak pernah berhasil dihancurkan Belanda. Radio inilah yang akan menghancurkan Belanda. NEW DELHI 3 MARET 1949 Alexander Andries Maramis seusia dengan Tan Malaka tetapi soal pendidikan dia lebih mentereng. Maramis adalah lulusan fakultas hukum Universitas Leiden. Pada saat agresi militer II Belanda, Maramis tengah berada di New Delhi sebagai perwakilan RI untuk India. Ketika Sjafrudin membentuk PDRI, Maramis ditunjuk sebagai menteri luar negeri. Tugas ini sangat berat, meyakinkan dunia internasional tentang eksistensi sebuah republik yang dikendalikan “somewhere in the jungle”. Maramis telah berusaha sekuat tenaga, tetapi jelang tiga bulan usahanya itu dia nyaris frustasi. Kekuatan militer republik belum sanggup menunjukkan eksistensi mereka sehingga Maramis bisa menjadikannya dalih bahwa RI belum lenyap. Tetapi pagi 3 Maret itu, Maramis terlonjak dia bahkan tidak sanggup untuk menahan teriakannya sendiri. Dari dalam perut Seulawah tersiar berita hingga India, “pada tanggal 1 maret 1949, TNI berhasil menguasai Jogjakarta selama 6 jam”. Berita ini cukup untuk Maramis, dia telah menunggunya selama sekian lama. Dia berkemas rapi menghadapi hari-hari panjang yang pasti akan dia menangkan di meja diplomasi. Tanpa Radio, semuanya akan mustahil termasuk kedaulatan republik ini. Serangan Umum 1 Maret 1949 yang diprakarsai oleh Sultan Hamengkubuwono IX dan Kolonel Bambang Sugeng serta dilaksanakan oleh Letkol Suharto adalah momen penting titik balik perjuangan gerilya. Tetapi peristiwa itu tidak akan ada artinya tanpa perencanaan matang 107
TB Simatupang dan Ali Budiardjo untuk menjadikannya sebagai kekuatan diplomasi di dunia internasional. Radio yang dikendalikan oleh AURI memegang peranan penting. Bagaimana berita ini bisa diterima oleh Maramis? Dini hari pukul 02.00 2 Maret 1949 Sersan Udara Basukihardjo, operator PC-2 Playen menyiarkan kabar serangan umum. Berita diterima oleh Sersan Udara Kusnadi, operator radio di Bidar Alam Sumatera Barat. Perlu waktu satu hari bagi Opsir Udara Dick Tamimi untuk menemukan dan melaporkan hal tersebut kepada Sjafrudin Prawiranegara. Pagi 3 Maret 1949, siaran itu diteruskan ke stasiun ZZ Kototinggi yang meneruskannya ke Radio Rimba Raya Aceh. Dari Rimba Raya berita diterima oleh SMN di perut Seulawah. Siaran ini memaksa Dewan Keamanan PBB untuk melakukan sidang tentang Indonesia tidak lebih dari seminggu setelah siaran ini tersebar luas. Sejak saat itu sebenarnya riwayat Belanda di Indonesia sudah tamat. Saya membayangkan siaran-siaran pendek penuh sandi di masa silam menyambung angan-angan pendahulu kita tentang sebuah bangsa yang merdeka. Informasi tidak banyak dan sulit disebarkan, itu sebabnya kita menyebutnya perjuangan. Sekarang, informasi seperti udara bersilewaran dimana-mana. Semuanya tampak menjadi tidak penting. Dunia dipenuhi oleh sampah-sampah pseudo yang sibuk mencari eksistensi dengan kata-kata. Ah, pada saat-saat seperti ini saya membayangkan Maramis dan kegembiraannya.
108
Tanpa Nama Posted on January 26, 2011 under Kolom
http://itonesia.com/tanpa-nama/ Negara ini telah terkapar. Tidak usah berpura-pura mengatakan bahwa kita akan bisa berdiri tegak lagi. Tidak usah menutupinya dengan topeng-topeng nujum dari masa silam tentang masa gemilang yang akan datang. Apalagi berharap bahwa generasi yang akan datang akan mengoreksi kesalahan di masa sekarang. Tidak, semua sudah nyata tampak akan segera berakhir. Negara kita seperti kupu-kupu yang sekarat. Di sekelilingnya semut-semut berlomba mencabik anggota tubuhnya. Kita hidup dalam perlombaan berkepanjangan, ya, tentu saja kita bangsa yang kompetitif. Dengan semangat tinggi berlomba merampok semua yang tersisa. Tentu saja kita bukan bangsa pemalas, kita sangat rajin menghancurkan setiap harapan yang dibangun susah payah. Dan kita juga tidak lupa dengan semangat gotong royong, kerja bakti bagi proyek dengan komisi dibawa lari keluar negeri. Ketika semua hal baik telah dikorupsi dengan tindakan nyata maka kita menjadi bangsa tanpa jiwa. Konstitusi hanyalah dalih untuk membenarkan kejahatan yang terjadi. Kita harus melepaskan diri. Saya membayangkan nama yang hilang. Sebuah nama yang selama lebih dari enam puluh tahun menjadi pembenaran dari pembunuhan, perampokan dan kebohongan. Nama dengan beragam sinonim berisi puja puji yang menjengkelkan. Sebuah nama yang menjadi “atas nama” dari segala peristiwa yang semakin lama semakin kita tidak pahami. Nama ini bukan sesuatu yang romantis, bukan temuan “bangsa” kita apalagi warisan nenek moyang yang tidak pernah ada. Nama ini hanyalah sebuah istilah yang memudahkan dalam peta kolonial. Tidak begitu istimewa, hanya dua frasa yang digabungkan menjadi satu kata. Tidak usah terlalu sentimentil, perlahan-lahan kita hilangkan dari buku sejarah. Dan mungkin bila perlu dalam tempo cepat kita copot dari semua plang dan papan nama. Nama ini hanyalah ilusi dari sebuah komunitas bayangan. Tanpa nama, kita bukan lagi kumpulan siapa-siapa, hanya manusia-manusia yang terlahir di tempat yang tidak berjauhan. Saya menginginkan kota-kota yang hilang. Suatu ranah yang terbiasa mengirim tentara bayaran keluar pulau. Suatu tempat berisi meja-meja yang dipenuhi oleh lembaran kertas yang siap ditandatangani untuk perampokan alam tiada henti, untuk pembunuhan atas nama investasi, untuk perdagangan suara atas nama demokrasi dan untuk semua kejahatan yang bahkan tidak bisa dihentikan oleh setan. Kota-kota yang berisi orang pintar dengan otak kotor. Kota-kota yang dibangun oleh bajingan-bajingan penuh balas dendam dengan masa lalunya yang tidak sempurna. Sebuah kota yang menjadi sarang dari kartel politik, gembong dari semua kekacauan yang terjadi. Kota-kota ini bukan milik kita, jangan pura-pura punya ikatan dengannya. Monumen, gedung dan jalan-jalan hanya akan berakhir sebagai memori singkat dalam pikiran kita. Setiap upaya menghubungkan “kita” dengan “kota” hanya akan berakhir sebagai tindakan konsumsi. Lebih baik kita membuka ladang koka, poppy dan ganja ; dari batas desa kita menghancurkan kota bersama-sama. Saya memimpikan sebuah generasi yang hilang. Suatu generasi yang tidak berhamba kepada yang tua dan tidak beranak kepada yang muda. Sebuah generasi sunyi yang berjalan dengan caranya sendiri. Kita tidak perlu mendengarkan mulut bawel mereka, generasi pikun yang masih cerewet sambil kencing di celana. Maniak-maniak eksibisionis 109
yang sejak dulu kala cuma belajar bicara tetapi tidak pernah paham cara bertindak. Bayangkan kesunyian tanpa mereka yang suka mengutip kuplet dari luar sana. Idamkanlah dirimu sendiri yang hanya berpikir tentang hari ini dan percaya esok belum tentu ada. Camkanlah bahwa yang bisa dilakukan pada hari ini hanyalah menuntaskan semuanya sehingga tiada masalah pada esok yang belum tentu ada. Sebab disini kita terbiasa hidup dalam dalih untuk tidak bertanggung jawab, bahwa esok masih ada untuk memperbaiki segalanya. Karena disini kita percaya pada nujum seorang perempuan pingitan bahwa habis gelap terbitlah terang. Kesadaran palsu yang berangkat dari asumsi-asumsi hukum alam yang tidak pasti. Yang terbaik saat ini, berhentilah berharap bahwa mentari akan selalu membantu kita memerangi gelap. Kita hidup bukan untuk dikenang. Dan saya berdoa untuk desa-desa kita yang terlupakan. Kampung-kampung yang dipetakan tiada mampu memberi banyak ke kota sehingga dilupakan begitu saja. Pada setiap lembah yang berkabut, pada setiap pesisir bercadas karang, pada setiap gunung dan perbukitan tanpa jalanan dan pada setiap hati yang percaya bahwa manusia bisa hidup berdampingan dengan alam. Desa-desa yang masih punya jiwa yang diisi oleh manusia merdeka. Tidak diperbudak oleh kekuasaan apalagi keserakahan sendiri. Desadesa yang mendefinisikan demokrasi dengan cara mereka sendiri, tanpa teksbook apalagi survei politik. Desa-desa yang karena kepentingan satu sama lain berhimpun dalam satu induk kecamatan. Sebuah kecamatan mandiri yang tentu juga mendefiniskan pemerintahan dengan cara mereka sendiri. Dan himpunan dari kecamatan dengan kekuasaan yang menghamba kepada kepentingan masyarakat akan membentuk sebuah kabupaten yang kokoh, bukan sarang dari kroni keluarga. Di wilayah tanpa nama, dengan kota yang tiada dan generasi yang hilang kita bisa bikin konsensus baru. Sebuah kesepakatan yang berasal dari kehendak desa-desa untuk bernegara. Di atas puingpuing masa lalu kita bersepakat untuk hidup pada hari ini tanpa menyisakan utang untuk masa depan. Soal nama, kita bisa pakai apa saja.
110
Revolusi Lendir Posted on March 9, 2011 under Kolom
Untuk A.N.K.A Setetes lendir terkatung pada daun talas di tengah belukar pada puncak bukit yang hanya ditumbuhi perdu. Beginilah semuanya bermula : di malam hari ketika kawanan babi yang lapar melewati semak, lendir berpindah pada tubuh babi paling besar. Dia menuruni bukit menuju kebun penduduk di lereng bukit. Dia merusak sasak bambu yang belum dibentengi pagar hidup. Babi itu membongkar kebun, mencuri dengar setiap nafas tanaman yang ketakutan. Dia tidak menemukan umbi-umbian yang bisa dibongkar dari dalam tanah. Dia menggilas cabe-cabe yang tidak berdaya, hingga merubuhkan bambubambu yang jadi junjungan kacang buncis. Di ujung rasa frustasinya dia menabrakkan tubuh pada pohon pisang yang tengah berbuah. Babi besar itu tidak mendapatkan apaapa tetapi lendir di tubuhnya berpindah ke pohon pisang. Kawanan babi meninggalkan kebun yang trauma menghadapi malam. Kicau murai mengiringi langkah Marhaen menuju kebun. Dia punya pacul milik sendiri, kebun juga miliknya, tanam tinaman tentu saja dan hasilnya cukup untuk hidup bersama istri dan tiga orang anaknya. Marhaen mendapati sasak bambu yang rusak, pohon-pohon cabe ringkih yang rebah dan sebatang pisang yang condong, berdiri enggan roboh tidak mau. Dia lihat buahnya menghijau, diperam empat hari kuningnya akan mengundang selera. Marhaen merasa perlu melakukan tindakan darurat, dengan galah ditahannya pisang yang hendak rebah. Dengan parang, yang tentu juga milik sendiri, dia membebat pohon pisang hingga buahnya bisa dipetik. Tangan Marhaen menahan pisang, lendir lengket di tangannya. Marhaen tiada mempedulikan karena itu lendir mirip sekali dengan getah pisang. Lendir merembes di sela-sela jemari Marhaen. Dia pulang cepat memikul setandan pisang. Marhaen menarik napas panjang, pisang terselamatkan, minggu depan ada pisang penutup makan. Lendir itu, mungkin dahak atau ingus, tanpa tahu empunya siapa. Marhaen mengeluarkan jambu dari kantong baju kain belacunya. Lendir menempel pada jambu, anak keduanya tidak sabar menyambar langsung memasukkannya ke dalam mulut. Sekarang lendir mendapatkan inang baru, tanpa bisa ditahan lagi dia menjadi bibit dari semua kelemahan tubuh. Butuh 21 jam hingga tubuh anak itu melemah, penyakitnya seperti flu dan pilek biasa dengan batuk tiada henti. Penyakit itu cepat menular kepada saudara dan kedua orang tuanya. Mereka tidak henti-hentinya mengeluarkan lendir dari mulut dan hidung. Tetangga menyarankan Marhaen membawa anak-anaknya berobat. Marhaen datang ke rumah sakit yang jaraknya setengah hari perjalanan dari desanya. Disana dia tentu saja ditolak karena tiada uang dan surat keterangan miskin. Marhaen ditolak oleh birokrasi yang lebih kejam dari lendir. Dia pulang ke desa membawa anak istri beserta lendirlendirnya. Di desa itu semua lelaki bernama Marhaen, pemilik tanah garapan dengan peralatan sendiri yang cukup untuk keluarga sendiri. Tidak ada hasil lebih untuk anggaran kesehatan apalagi premi asuransi. Karena taraf hidup mereka semua sama, tidak mungkin menentukan kaya miskin; otomatis tidak mungkin ada surat keterangan miskin. Tanpa menghinakan diri dengan surat keterangan miskin maka birokrasi lendir nan bengis tidak akan memberikan kemudahan. Penduduk desa tidak was was dengan penyakit keluarga Marhaen lendir. Jiwa gotong royong dan tepa selira membuat mereka terus berinteraksi; wabah berkembang. Kampung yang tenang itu berubah gaduh oleh suara batuk, 111
deheman dahak dan semprotan ingus dari hidung. Rumah-rumah di kampung Marhaen dikuasai oleh lendir. Wabah lendir melanda desa, kabar beredar kemana-mana. Satu orang dokter ditambah dua orang bidan diturunkan dengan enggan. Mereka hanya sampai batas desa, tidak berani masuk hingga ke dalam. Tanpa beban mereka katakan munculnya wabah baru “lendir babi” yang tidak kalah menakutkan dibanding flu burung dan babi. Desa itu diisolasi, penduduknya dibatasi ruang gerak menunggu para ahli berhasil merumuskan laporan fiktif dokter malas itu. Polisi dibantu satu kompi tentara berjaga di batas desa. Hari demi hari berlalu para penduduk yang tidak terobati itu mulai gerah oleh kurungan tidak masuk akal itu. Marhaen-Marhaen itu tahu benar setiap semak dan belukar yang bisa dilewati untuk mereka keluar desa tanpa terawasi. Satu persatu berhasil keluar, hingga polisi dan tentara bermasker mulai mendata dan menemukan fakta, 23 orang Marhaen berhasil kabur. Keadaan darurat diberlakukan di kabupaten setempat, polisi memegang senjata api dan tentara ditambah. Penjagaan dilakukan lebih ketat dan keras tentunya menunggu para ahli yang masih berkutat di laboratorium. Sejak penjagaan diperketat, tiga orang penduduk tewas ketika berusaha kabur lewat belukar. Mereka ditembak tanpa ampun, itu dibenarkan demi menjaga tidak meluasnya wabah lendir babi. Wabah desa Marhaen menjadi isu nasional. Politisi memelintirnya menjadi hak angket. Kuli tinta menceritakan penuh dramatisasi betapa penembakan tiga orang itu menjadi legitimasi bagi setiap mereka yang berhasil kabur untuk menyebarkan wabah kepada siapa saja yang mereka temukan. Tentara dan polisi diperbanyak. Setiap orang di belahan nusantara mana pun yang mengeluarkan lendir dari lubang mana pun dicurigai. Negara dinyatakan dalam keadaan darurat, setiap pengidap lendir yang tidak mau bekerjasama atas nama hukum ditembak. Satu bangsa dikontrol oleh lendir yang menjadi sumber ketakutan. Atas nama lendir, tentara berkuasa dan bisa memeriksa siapa saja yang dicurigai mengidap flu, batuk, pilek dan semua yang berlendir. Dalam ketakutan, satu keberanian kecil lebih berharga dari sebuah pesawat tempur penuh senjata. Seorang anak yang kehilangan bapaknya akibat ditembak tentara, mulai berani bertanya. Anak-anak lain ikut bertanya kenapa flu biasa memaksa mereka untuk tidak bisa pergi kemana-mana. Demi melihat anak-anak, orang dewasa tidak ingin mereka jadi santapan peluru tentara. Mereka turut turun ke jalan mengawal bocah-bocah belia. Ya, tubuh mereka dikuasai oleh lendir. Tetapi yang terlupakan oleh penguasa bahwasanya manusia memang berasal dari setetes lendir yang hina. Sekarang, karena penguasa penuh rasa takut, lendir jadi naik kelas jadi wabah yang menakutkan. Di setiap desa dan sudut kota, orang-orang berani keluar menerobos barikade tentara dan polisi. Mereka tidak mau terpenjara karena alasan yang tidak masuk akal. Dari puluhan jadi ratusan, ribuan hingga puluhan ribu orang di setiap kota turun ke jalan. Mereka yang mengidap lendir mempersenjatai diri, lebih baik membunuh sebelum dibunuh oleh tentara. Perang sipil nyaris tidak terhindarkan. Tetapi siapakah lagi yang sudi berpihak pada penguasa? Dan revolusi tidak terhentikan lagi. Setetes lendir pada daun talas di puncak bukit mengubah takdir sebuah bangsa. Bisik-bisik mulai terdengar kalau lendir itu sengaja ditaruh para politisi yang sempat berkemah sambil mendiskusikan reshuffle kabinet.
112
Single Posted on March 24, 2011 under Kolom H-D
Dan Single… Bukanlah kata yang istimewa, tidak akan sanggup menggerakkan ribuan apalagi jutaan nyawa. Hanya salah satu bentuk petunjuk jumlah tanpa menyebut angka. Mungkin tampak istimewa ketika menunjukkan relasi antar manusia, ketidakterikatan, kesendirian dan keterbukaan untuk menerima pasangan. Seringkali tampak seperti kegagalan untuk memikat. Sering pula dikatakan sebagai pilihan hidup tanpa keputusan. Atau sebuah nasib dimana keadaan-keadaan sudah tidak sanggup lagi mengubahnya. Kesendirian adalah sebuah proses yang dijalani setiap manusia, bagi sebagian kecil lainnya sebuah takdir yang mesti diterima. Dan itulah keseharian yang alami. Dan menjadi Single Dulu juga bukanlah sesuatu yang istimewa. Mungkin kehidupan diberi jeda oleh kesedihan. Kadangkala ada rasa hampa dimana harapan telah dibunuh oleh kesendirian kembali. Dalam kekonyolan tertentu ada yang berujung kematian. Tetapi lumrah, manusia hidup dalam pasang surut perasaan. Dan kembali menjadi sendiri sebenarnya tidak lebih dari perayaan atas kepercayaan diri. Tetapi kehidupan sekarang tidak sesederhana itu ketika relasi pribadi menjadi pajangan di papan-papan pengumuman dunia maya. Ini bukan lagi masa dimana perasaan hati terkunci sebagai kemewahan pribadi. Dunia perlu tahu, ini persoalan eksistensi. Ketika kembali menjadi sendiri bukan lagi urusan dua orang anak manusia tetapi menjadi urusan bagi setiap pembaca papan-papan pada kitab tampang, urusan bagi burung-burung gereja yang berkicau sepanjang hari maka semua tampak rumit. Mengubah status di kitab tampang jauh lebih susah ketimbang memutuskan untuk kembali sendiri. Sementara Complicated Bila kita hidup dengan keyakinan begitu banyak mata-mata yang terus mengawasi, tindakan ekstrem adalah petaka. Bila ingin menjaga kata-kata pembaca supaya tidak berhamburan seperti peluru senapan mesin, setiap keputusan sendiri mesti dijelaskan dalam bentuk transisi kerumitan hubungan. Bahkan bila keputusan sendiri sudah lama diikrarkan, dunia maya butuh transisi perasaan dimana para pembaca diberi kesempatan untuk memberikan wejangan, bahwa ini sifatnya sementara. Bahwa “kami” bisa membangunkan harapan “kamu” lagi untuk kembali bersama. Bahwa urusan kesendirian sekarang menjadi topik dunia yang menghangat. Kemewahan pribadi telah terampas ketika orang-orang bersuara demi menunjukkan perhatian palsu mereka. Dan semuanya tampak menjadi lebih rumit. Sesuatu yang sebenarnya telah selesai di dunia nyata. Dan Status Berubah Keputusan ini lebih berat dari kenyataan yang dihadapi. Mengubah status, menunjukkan kesendirian, memberikan kesempatan kepada dunia untuk bertanya dan seringkali menghakimi. Jari tangan di papan ketik terasa begitu berat, teramat berat untuk mengatakan yang mudah terucap dalam mulut. Dunia yang tampak luas pelan-pelan memenjarakan kita untuk memutuskan. Semakin lama kita hidup dalam ketakutan terhadap pandangan orang lain. Ketika semuanya disajikan kepada dunia maka yang tersisa hanya ketakutan. Dan menjadi single sekarang ini, ringan di hati, mudah di mulut tetapi menjadi berat pada status dunia maya. Dunia maya menunggu setiap kata, 113
menggunjingkannya, membakarnya dalam sekam tanpa bara dan kemudian melupakannya begitu saja. Deklamasi dan Deklarasi memenuhi dunia, tidak berhingga jumlahnya. Tidak terhitung perubahannya. Inilah zaman dimana setengah milyar lebih penduduk bumi merasa dirinya penting untuk diperhatikan dan tindak tanduknya pantas untuk dikomentari. Setengah milyar penduduk bumi, bayangkan, betapa bisingnya dunia ini. Deklamasi dan Deklarasi berwujud status yang tidak akan mungkin bisa ditampung oleh setiap papan dan bidang datar di seluruh belahan dunia. Inilah hari-hari dimana peradaban lisan yang menjadi kuasa akal manusia pelan-pelan digerus ketidakacuhan tulisan tetapi penuh ketakutan. Dan hari-hari ke depan tidak akan pernah sama lagi, setiap kata mesti diperhitungkan sebab ratusan atau ribuan orang terus memperhatikan. Dan kita semakin takut membuat keputusan.
114
Mata Satu Posted on April 7, 2011 under Kolom http://itonesia.com/mata-satu/ Pada suatu pagi, tenang sadar kita terganggu oleh sebuah berita. Seorang nasabah bank mati di tangan penagih utang. Di sebuah menara kantor yang tinggi terdapat ruang interogator. Disana bank menunjukkan watak kejinya menagih janji dari perjanjian setan yang pernah ditekan. Di ruangan itu, seorang manusia diperlakukan layaknya pengkhianat negara bahkan mungkin lebih. Dia mengakui kelalaiannya, dia ingin datang menyelesaikan dan dia punya itikad keluar dari jeratan itu. Tetapi dunia dimana uang adalah segalanya tidak memberi ruang untuk kata maaf. Selembar kartu kredit yang pastinya dulu ditawarkan dengan mulut manis menjadi tiket empunya menuju alam baka. Timbul kehebohan, semua berbicara hingga kita tunggu kabar berganti berita yang membuat kita lupa. Hanya berselang hari sebelumnya, seorang perempuan dengan tubuh penuh silikon membuat gempar. Konon dia berhasil merampok uang nasabah prioritas yang selama ini dikelolanya. Semuanya juga berawal dari mulut manis dengan busung dada sebagai bonusnya, bank menarik uang entah berasal dari mana. Bagi bank yang penting adalah bagaimana melipatgandakan uang itu untuk mereka, tidak peduli nasabahnya itu siapa. Kabar burung mengatakan ada jenderal polisi mengadukan. Polisi punya uang milyaran bukan berita baru di republik ini. Bukankah di akademi kepolisian mereka belajar wirausaha dan bukan perlindungan kepada masyarakat. Lalu kita mencongkong di depan televisi, asyik menonton pertunjukan ini. Hingga beritanya ditelan kejahatan lain. Lalu kemanakah Gayus sekarang, tiada yang bertanya. Bukankah dia ingin mendendangkan nyanyian yang penuh dengan daftar penipu pajak. Gayus tidak terdengar lagi, sebab mikrofon telah diambil dan kerumunan orang pergi meninggalkan kehebohan lain. Atau adakah yang bisa menjelaskan kenapa penyerbuan terhadap Ahmadiyah bisa menghentikan spekulasi tentang resuffle kabinet? Dan kenapa pula sepakbola dikorbankan hanya untuk “buying time” dalam transaksi politik? Di atas tumpukan berita yang telah menimbun harapan kita tentang kehidupan yang lebih baik ini, buntut kasus Century sudah tertelan timbunannya. Kita tidak pernah dilarang untuk bertanya, inilah impian demokrasi, tetapi mereka berhak untuk menyuruh kita diam. Dan kita hidup dalam mimpi-mimpi tidak berkesudahan dimana pagi senantiasa masih panjang. Politik itu selamanya kotor dan di belahan bumi mana pun tidak mungkin bersih. Tanpa kebohongan politik hanya akan menjadi slogan-slogan tanpa kenyataan. Justru dengan kebohongannya politik bisa bekerja untuk orang banyak. Tetapi kenapa di banyak tempat politik yang kotor bisa mewujudkan masyarakat yang bersih. Kenapa di beberapa negara, sementara transaksi politik pasti terjadi, tetapi orang-orang bisa menghirup nikmatnya demokrasi. Mungkin nun jauh disana, politik hanyalah ragam kecil dari kebudayaan mereka yang besar. Pastinya disana itu, politik bukan segalanya tetapi cuma sarana bagi para penipu untuk menyalurkan hobbynya. Dan disini kita mengalami tragedi kebudayaan, dimana kehidupan dikendalikan oleh politik. Dimana para penipu mengambil setiap ragam kebudayaan, dari dunia usaha hingga olahraga. Kita adalah manusia-manusia bermata satu. Memandang kehidupan senantiasa untuk kebutuhan diri sendiri. Menyembunyikan begitu banyak hasrat jahat dibalik mulut manis 115
budaya ketimuran yang menjemukan. Kita tidak punya mata lain untuk melihat dunia yang memberi ruang untuk hal-hal baik. Kita hanya punya satu mata, menyaksikan kejahatan dan menonton kejahatan lainnya untuk menutupi kejahatan sebelumnya. Lingkaran setan tanpa penyelesaian. Itu sebabnya politik menjadi penting sebab tugas utamanya memperdaya. Modusnya mudah dengan “buying time”, frase yang agak sulit dicari padanan bahasa Indonesianya tetapi menjadi keseharian kita. Para politisi “buying time” dengan cara menciptakan kekacauan di tengah masyarakat. Pengusaha “buying time” dengan memberikan janji-janji bisnis untuk para politisi. Dan kita semua “buying time” dengan meyakinkan diri belum saatnya untuk revolusi. Kebudayaan kita adalah kebudayaan yang murung meskipun tidak hampa. Kebudayaan yang berakar dari keserakahan untuk mendapatkan segala sesuatunya dengan mudah, nyaris tanpa inovasi. Lihatlah daftar orang-orang kaya hanya berasal dari tiga “industri”, batu bara yang artinya perusakan lingkungan, sawit yang pastinya perambahan hutan dan rokok yang membantu kita mati perlahan-lahan. “Industri” itu dengan gemilangnya kawin dengan politik tidak memberi ruang untuk inovasi. Sebab pikir si mata satu, buat apalagi bekerja keras untuk inovasi bila alam telah memberikan segalanya untuk kita. Dan sejarah akan bersaksi, 65 tahun kemerdekaan Indonesia pastilah menguras alam berlipat ganda dibanding 350 tahun penjajahan. Ada sesobek kain perca basah yang menutup sebelah mata kita. Basah, karena kita tahu bahwa begitu banyak kesempatan hadir bagi kita untuk membuka mata dan melihat dunia dengan utuh. Manusia tidak akan pernah kekurangan energinya untuk berbuat baik dan berkorban untuk angannya, hanya saja seringkali kita tidak pernah jujur dengan keberanian sendiri. Kita harus berani membuka mata dan keluar dari persembunyian panjang. Mengembalikan politik kembali pada sudut kecil kebudayaan sehingga mereka hanya akan memperdaya sesamanya dan kita sibuk dengan dunia yang kita bangun sendiri. Kebudayaan yang tumbuh dari inovasi dan bukan transaksi akan menyibak murung nusantara.
116
MALIN KUNDANG Posted on April 8, 2011 under Kolom http://itonesia.com/malin-kundang/ Malin Kundang tidak berasal dari Padang. Rantau entah berantah yang tampak asing dari ketinggian Luhak yang tiga. Dia lahir dan besar di pegunungan dan perbukitan dataran tinggi Minangkabau. Pada sebuah kampung yang tidak jauh dari Pariangan. Ibunya yang biasa dipanggilnya Mandeh adalah perempuan satu-satunya dari tiga bersaudara. Paman yang paling tua dipanggil Makwo, sedangkan yang muda dipanggil Makdang. Di kampungnya nenek Malin bukanlah orang susah, pewaris tunggal dari berpetak-petak tanah yang dimiliki sebagai pusaka tinggi. Karena Mandeh satu-satunya perempuan di keluarga itu, maka jelas nantinya pusaka tinggi itu akan jatuh ke tangannya. Semuanya tampak sebagaimana harusnya hingga Makwo dan Makdang menikah dan tidak lama kemudian sang nenek meninggal. Makwo dan Makdang adalah jenis lelaki Minang usang yang memandang dunia sejauh angan pendek mereka. Menikah dengan perempuan satu kampung, berharap bisa mendapatkan kehidupan tanpa merantau meninggalkan kampung. Pada awalnya mereka masih bisa menggarap tanah pusaka, membagi hasilnya dengan Mandeh. Tetapi ketika kemudian Mandeh menikah, mereka mulai terancam apalagi suami Mandeh juga menetap di kampung. Mereka jadi Mamak Rumah yang mesti pergi tanpa membawa apa-apa. Istriistri mereka yang kelak dipanggil Malin Kundang dengan sebutan Etek, jenis perempuan Minang klasik, menguasai suami dengan cara membuka permusuhan dengan ipar perempuan. Mereka mulai menghasut Makwo dan Makdang untuk menguasai pusaka Mandeh. Mereka menebar isu kalau hasil dari harta pusaka banyak yang dibawa pergi ke rumah gadang suami Mandeh. Makwo dan Makdang mulai terhasut, tetapi langkah mereka masih tertahan, was-was jika Mandeh nantinya melahirkan anak perempuan yang akan melanjutkan pusaka tinggi itu. Dan kemudian ternyata yang lahir adalah anak laki-laki yang diberi nama Malin Kundang. Tidak berselang lama dari kelahiran Malin, ayahnya meninggal dunia mendadak. Bisikbisik orang kampung mengatakan dia mati karena racun tuba. Dalam bisikan yang lebih hening berembus kabar, Etek Malin menyuruh orang pintar meramu racun dan memasukkannya dalam bingkisan makanan yang mereka berikan. Mereka tidak ingin setelah Malin Kundang lahir, laki-laki itu membuahi Mandeh lagi sehingga akan lahir anak perempuan. Tinggallah Mandeh dengan seorang bayi laki-laki yang kelak juga harus pergi. Tanpa anak perempuan, pusaka tinggi berakhir pada Mandeh. Makwo dan Makdang dengan dorongan dari istri-istri mereka mulai menggerogoti pusaka itu, dan Mandeh tidak ada yang membela. Lama kelamaan pusaka yang selama ini dipegang Mandeh hilang sudah, bahkan kedua saudara laki-lakinya sampai tega mengusirnya dari rumah gadang. Mandeh menemukan gubuk tak berpenghuni di pinggir hutan. Selama tahun-tahun berat membesarkan Malin Kundang, dia tinggal disana. Mandeh bukan tidak mau menikah lagi, tetapi hampir tidak mungkin baginya untuk mendapatkan seorang suami. Ketentuan adat mengharuskan perempuan yang meminang. Bila dia tidak punya paman atau Mamak, tanggung jawab meminang itu ada di pundak saudara laki-lakinya. Dan saudara lakilakinya, jangankan mencarikan suami, mereka malah mengusirnya dari rumah gadang. Karena tidak lagi punya tanah yang menghasilkan, dia hidup dari mencari ranting kayu di hutan. Masyarakat di kampungnya hanya bisa membantu dengan menukar ranting kayu 117
bakar dengan beras dan lauk pauk. Ketika Malin sudah cukup besar, anak itu mulai membantunya dengan tekun. Hingga kemudian dia berusia awal belasan tahun, Malin mulai mengerti apa yang menimpa dirinya dan Mandeh. Malin mulai berani mendatangi Makwo dan Makdang menuntut haknya. Karena jengkel tidak pernah ditemui, dilemparinya rumah mereka dengan batu dan kayu. Etek-Eteknya menebarkan gunjing, betapa Malin Kundang ini anak nakal yang kurang ajar dan mestinya tidak tinggal di kampung mereka. Pada suatu hari, kampung itu kedatangan seorang perantau yang jarang pulang, namanya Sidi Paulah. Konon kabar Sidi bekerja di kapal dan pulang membawa kekayaannya. Membangunkan rumah gadang baru untuk saudara-saudara perempuannya dan kemudian berencana pergi lagi. Makwo dan Makdang yang semakin khawatir dengan gangguan Malin Kundang melihat peluang untuk membuang kemenakan mereka itu. Diam-diam mereka mendatangi Sidi Paulah, dengan memberi kesan sebagai paman yang bertanggung jawab, mereka ingin Sidi membawa pergi Malin biar nanti bisa pulang membebaskan Mandeh dari kemiskinan. Sementara istri-istri mereka sibuk menghasut orang kampung agar mengusir Malin Kundang dari kampung mereka. Demi melihat kesungguhan dua orang itu dan ditambah lagi dengan tuntutan dari orang kampung yang sudah termakan hasutan, Sidi menyanggupi untuk membawa Malin Kundang keluar dari kampung itu. Malin Kundang kaget ketika Sidi Paulah mengajaknya pergi, sementara dia berharap tumbuh besar di kampung dan membereskan urusan dengan kedua pamannya. Tetapi karena orang kampung juga sudah termakan hasutan, dia juga tidak punya tempat di kampung ini. Malin Kundang menerima tawaran Sidi Paulah, kesedihan Mandeh tidak sanggup menahan anaknya pergi. Dia tinggal sebatang kara, tetapi Malin Kundang bersumpah pada Mandeh bahwa kelak dia akan datang dan akan mengambil kembali semua yang menjadi hak mereka. Makwo dan Makdang serta istri-istri mereka menarik nafas lega, Mandeh seorang diri tidak akan sanggup mengganggu mereka. Sidi mengajak Malin menuruni lembah mengikuti aliran Batang Anai hingga mereka tiba di daerah landai berbatas laut disebut Padang. Mereka tinggal menumpang di gubuk kecil milik seorang nelayan di pinggir laut. Berhari-hari mereka tinggal disitu, namun kapal yang kata Sidi akan menjemput mereka tidak juga kunjung datang. Hingga pada suatu pagi Malin terjaga, dia mendapati Sidi tidak ada lagi. Laki-laki itu telah pergi meninggalkannya begitu saja. Di rantau tanpa handai taulan, Malin Kundang mesti bertahan hidup sendiri. Dia tidak ingin kembali pulang sebagai seorang pecundang. Dia belajar melaut dengan para nelayan. Dia melihat kapal-kapal besar datang dan pergi. Dia mulai akrab dengan laut, angin dan bintang-bintang yang jadi pemandu di malam hari. Setiap kali kapal besar datang, timbul keinginannya untuk pergi berlayar jauh menjelajahi samudera tak bertepi. Setiap kapal besar berlabuh didatanginya, tanpa diminta dia bantu mengangkat bawaan kapal, berharap mendapat simpati dan ikut dibawa pergi. Tetapi hari berganti bulan tidak satu kapal pun menerimanya. Hingga suatu hari sebuah kapal besar milik orang Bugis berlabuh. Pemilik kapal bernama Daeng Laut dan usaha pelayarannya tengah menanjak. Segera saja dia tertarik kepada anak muda belasan tahun yang begitu rajinnya di pelabuhan. Keberuntungan menaungi Malin Kundang, dia diajak pergi berlayar. Ketekunannya ditambah dengan kemauan yang keras membuat dia tidak saja bisa bertahan di atas kapal Bugis itu tetapi menjadi salah satu awak kapal yang paling terampil. Berhitung bulan di laut, segera saja posisinya naik dari sekadar pesuruh menjadi kelasi. Hingga berhitung tahun kemudian karena keterampilannya membaca alam, Daeng Laut mempercayakan nakhoda kapal kepadanya. Anak muda ini telah membawa keberuntungan kepadanya. Nyaris tidak ada pelabuhan yang mereka singgahi yang tidak memberikan keuntungan berlipat ganda. 118
Tetapi tidak selamanya bintang keberuntungan menaungi pelayaran, kadang langit gelap menghancurkannya dalam sekejap. Malam itu badai menggila tidak jauh dari selat Malaka. Malin Kundang berusaha keras menahan kapal agar tetap melaju menuju pelabuhan Malaka yang dituju. Tetapi alam terlalu kuat, hingga menyeret kapal jauh ke utara. Tanpa disadari kapal mendekati kawasan laut yang paling ditakuti oleh para pelaut manapun, kawasan Jemaja dimana bajak laut bersarang. Begitu pagi datang, badai menghilang dan kapal terombangambing di laut tak bertuan. Perlu menunggu malam untuk menentukan arah tujuan. Malin Kundang jatuh tertidur, dia terlalu lelah sepanjang malam bertarung dengan alam. Jelang siang, suara ribut di geladak kapal membangunkannya. Terdengar dentingan besi saling beradu diikuti rintihan dan teriakan. Dia segera berlari naik ke atas geladak, didapatinya bajak laut menyerbu kapal. Belasan awak kapal tewas termasuk Daeng Laut. Malin Kundang mengambil benda apa saja untuk melawan bajak laut yang mulai menyerbunya. Dia terdesak, tetapi sebelum parang bajak laut mengakhiri hidupnya, Malin Kundang sempat melihat pemimpin gerombolan lanun ini. Dia tidak percaya dengan penglihatannya, teriakannya menghentikan semua kegaduhan itu. Sidi Paulah, teriaknya. Dan laki-laki itu segera menengok kaget. Walaupun bertahun tidak saling bertemu, mereka masih saling mengenali. Sidi Paulah ternyata pemimpin lanun di Jemaja. Inilah pekerjaan haram yang membuatnya kaya raya. Pekerjaan yang dulu membuatnya ragu mengajak Malin hingga meninggalkan anak muda itu begitu saja di pantai Padang. Dia pernah bersumpah, akan berhenti dari pekerjaan lanun bila di tengah lautan menemukan orang dari kampung halamannya. Dan sekarang dia bertemu dengan Malin Kundang diatas kapal yang tengah dirompaknya. Sidi Paulah memenuhi janjinya, urung merompak dan hendak berlalu pergi. Tetapi Malin Kundang menahannya. Karena awak kapal banyak yang tewas dia meminta para perompak itu tinggal dan menjadi awak kapalnya. Sidi Paulah menerima tawaran itu. Segera saja Malin Kundang menjadi penguasa kapal menggantikan Daeng Laut. Dengan separuh awak kapalnya bekas perompak, kapal Malin Kundang semakin berani berlayar ke tempat-tempat yang tidak terjamah kapal lain. Kekayaan dan kemasyhurannya terdengar kemana-mana. Ketika kapalnya berlabuh di Malaka, raja Malaka malah mengirim pesuruh untuk menjemput Malin Kundang yang akan menjadi tamu istimewanya. Sebagaimana banyak cerita tempo dulu, karena kepentingan ekonomi, raja menikahkan putrinya dengan Malin Kundang serta menghadiahkan tanah yang sangat luas jauh di utara Malaka untuknya. Tetapi Malin Kundang masih gundah teringat janjinya pada Mandeh. Dia mengutarakan niatnya hendak kembali kepada Sidi Paulah, dia ingin menjemput Mandeh, membawanya pergi nanti jauh di utara Malaka. Dimana Mandeh tidak perlu lagi pusing memikirkan tanah-tanah mereka yang telah dirampas oleh pamannya. Akhirnya keputusan diambil, sebelum mendiami tanah di utara Malaka, Malin Kundang harus menjemput ibunya. Kabar kemasyhuran Malin Kundang sampai di kampung halamannya.Mandeh yang sudah renta yakin anaknya itu akan datang memenuhi janji. Sementara Makwo dan Makdang yang tidak kalah renta mulai ketakutan, bila Malin Kundang dan pengikutnya datang tentu dia akan balas dendam. Dalam usia tua itu mereka masih sempat berpikir jahat, berpikir bagaimana caranya membuang Mandeh jauh sehingga Malin akan mencarinya di tempat lain dan tidak sempat mendatangi kampung. Lewat anak-anak mereka yang tidak kalah jahatnya, mereka bermufakat membawa Mandeh ke Padang berharap itu bisa menahan langkah Malin ke pedalaman jika dia datang nantinya. Dengan penuh muslihat mereka menebar kabar kalau Malin Kundang telah tiba di pantai Padang dan tengah menunggu kedatangan ibunya disana. Mandeh terpengaruh oleh kabar itu, dengan segala cara dia berhasil tiba di Padang. Berhitung hari, pekan dan bulan dia menunggu, tiada yang 119
datang. Dia terlunta, hidup dari santunan hingga akhirnya tidak seorang pun yang percaya bahwa dia ibunya Malin Kundang. Penantian Mandeh akhirnya mendapatkan jawaban ketika sebuah kapal besar berlabuh. Malin Kundang turun dari kapal, menghirup udara daratan yang telah bertahun-tahun ditinggalkannya. Ratusan orang menyambutnya, karena ingin sekali melihat sosok pelaut dan pedagang yang masyhur itu. Kuda-kuda diturunkan dari atas kapal, Malin Kundang ingin segera pergi meninggalkan pantai menjemput ibunya nun di pegunungan sana. Tetapi sebelum dia melangkah pergi, seorang perempuan tua menyeruak dari kerumanan orang. “Ini Mandeh, Nak” teriak perempuan itu. Tetapi kerumunan orang ramai segera menyorakinya, meneriaki Mandeh penipu, pengemis yang ingin mencari keuntungan sendiri. Malin Kundang turun dari kudanya. Tanpa mengindahkan teriakan orang-orang dia mendekati perempuan tua itu. Tidak salah lagi, itulah Mandeh, ibunya. Malin Kundang berteriak gembira, orang-orang yang iri tetap tidak bisa menerima kenyataan bahwa perempuan renta yang jorok itu ibu dari seorang pelaut yang masyhur. Mereka meneriaki Malin Kundang sebagai orang bodoh yang mudah ditipu. Tiba-tiba Sidi Paulah dengan tergopoh-gopoh mendekati Malin Kundang. Laut surut, pertanda buruk ucapnya. Mereka telah mengarungi setiap celah lautan dan tahu persis apa yang terjadi bila laut tiba-tiba surut. Sidi Paulah bertanya pada orang-orang, adakah bumi berguncang beberapa saat yang lalu. Kerumunan orang-orang mengiyakan, itu sebabnya semua orang keluar rumah dan berlarian ke pantai bersamaan dengan kedatangan kapal mereka. “Carilah tempat tinggi, tidak lama lagi laut akan menelan daratan”, perintah Malin Kundang pada orang-orang itu. Hanya sedikit yang mau mendengarkan, itu pun pergi penuh cibiran sebagaimana sifat khas orang Minang yang susah menerima kebenaran dari orang lain. Sebagian besar lainnya terus berada di pantai menyoraki Malin Kundang yang tampak bodoh di mata mereka. Sementara Malin Kundang meyakinkan Mandeh untuk segera naik ke atas kapal. Tetapi ibunya menolak karena ingin anaknya terlebih dahulu pulang menyelesaikan urusan dengan paman-pamannya. Malin Kundang terus berusaha meyakinkan tetapi ibunya tetap menolak dan berteriak-teriak sambil menangis. Sidi Paulah mulai gelisah, bila sedikit saja terlambat bergerak, kapal mereka yang sudah semakin ke tengah akan ikut dihempas ke daratan. Malin Kundang tidak punya waktu lagi berdebat, segera dia pangku Mandeh yang terus meronta membawanya lari ke atas kapal. Dari kejauhan orang mendengar Mandeh menyebut Malin Kundang anak durhaka karena tidak memenuhi pinta ibunya yang ingin anaknya pulang kampung dan membalaskan dendamnya kepada saudara laki-lakinya. Gelombang besar itu akhirnya datang sebagai penuntas dari gempa yang terjadi beberapa saat sebelumnya. Dari atas ketinggian orang-orang yang selamat masih sempat melihat kapal Malin Kundang terayun tinggi di atas gelombang. Di geladaknya mereka melihat, Malin Kundang sujud di kaki ibunya. Setelah itu kapal itu hilang ditelan lautan. Orang-orang yang tidak mengikuti kata-kata Malin Kundang hilang ditelan gelombang, Padang hilang pada hari itu oleh bah yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Lalu ketika laut surut, mereka yang selamat melihat gundukan batu mirip manusia mirip penampakan terakhir Malin Kundang di atas kapal. Segera mereka namakan batu Malin Kundang. Ketika kabar ini tiba di dataran tinggi, Makwo dan Makdang menggubahnya menjadi cerita Malin Kundang anak durhaka dengan menghilangkan nama mereka dari keseluruhan cerita. Dan kisah gelombang besar setelah gempa pun tidak dimasukkan dalam cerita Malin Kundang ala mereka itu. Cerita penuntasnya, jelas tidak akan disukai oleh orang-orang Minang picik yang senantiasa senang melihat tragedi hidup orang lain. Kapal Malin Kundang selamat dari 120
gelombang, berlayar kembali hingga ke Malaka. Dari sana Malin Kundang, istrinya, Sidi Paulah dan Mandeh bergerak ke utara. Membuka hutan menjadikannya perkampungan yang diberi nama Negeri Sembilan sebab ada sembilan orang Minang yang selamat hingga disana. Dari situlah asal muasal negeri Minangkabau di semenanjung Malaysia. Hingga saat ini, Negeri Sembilan masih melanjutkan tradisi Minangkabau. Dan hingga sekarang, atas nama kedengkian karena keberhasilan Malin Kundang, orang-orang melupakan cerita gempa dan gelombang besar yang pernah menelan pantai barat Sumatera.
121
Di Ujung Aspal Sejarah Kita http://itonesia.com/di-ujung-aspal-sejarah-kita/
Posted on April 14, 2011 under Kolom In memoriam Rosihan Anwar Satu persatu sahabatnya pergi dilepas dengan obituari. Dia seolah menolak untuk menghitung hari. Dia bersahabat dengan waktu, sebab pada setiap zaman dia memberi kesaksian. Untuk saksi setiap zaman, waktu memberi kompensasi; tubuhnya tidak mengenal renta dan jiwanya tidak mengenal lupa. Maka ketika satu persatu generasi perintis pergi, hanya dia yang bisa mengantarkan mereka dalam kenangan dan ingatan. Dia adalah saksi kecil dari banyak peristiwa besar cum saksi besar dari tak terhitung peristiwa kecil. Kini saksi itu telah pergi sebagai penutup dari obituari sahabatsahabatnya. Apakah ini obituari yang pantas untuknya, mungkin tidak. Saya tidak bisa memanggilnya dengan kata ganti orang kedua, bahkan menggunakan kata ganti orang ketiga pun terasa begitu berat. Sebab sebagaimana tabiat generasi sekarang, saya senantiasa membuang kesempatan untuk bisa bertemu dengannya. Mengenangnya dari serpihan cerita mungkin sebentuk penyesalan yang sangat terlambat. Di ujung penyesalan ini, saya menatap jalan panjang licin tandas beraspal hitam. Sebuah jalan yang dulunya mungkin belukar atau bahkan hutan yang tidak mungkin dilintasi. Pena tajam yang digoreskan dalam tempo waktu yang panjang telah membukanya. Tanpa pena Rosihan, sejarah kita mungkin akan tetap tampak seperti hutan dan belukar yang samar. Tanpa kesaksiannya, tidak akan ada jalan mulus yang mengantarkan kita berjalan sejauh ini. Dia adalah satu dari sedikit orang yang mengerti bahwa kata-kata bisa menjadi pelita yang terang bahkan di malam yang pekat sekalipun. Menyaksikan peristiwa bukan tanpa petaka tetapi baginya hidup memang untuk bersabung nyawa. Mencatat bukanlah pekerjaan tanpa rasa bosan, tetapi tidak bisa membuatnya berhenti. Dan mengabarkan bukan pekerjaan yang mudah tetapi pantas untuk dicintai. Dunia pewarta baginya bukan berarti bebas tanpa pemihakan. Sebab seorang saksi dari segala peristiwa senantiasa akan berpihak pada kemanusiaan bukan kepada paham ideologi, politik penguasa apalagi sekedar komunitas yang “salah arah”. Justru karena keberpihakannya itu, jalan terang bisa dibuka untuk dilalui. Hanya seorang saksi sejati yang bisa membuat sebuah cerita tampak nyata bagi pembacanya. Lewat pena Rosihan kita merasakan betapa gentingnya keadaan ketika dia menemani Letkol Soeharto untuk menjemput Jenderal Soedirman yang enggan menemui Soekarno-Hatta ketika Jogja kembali. Pena nya pula yang menunjukkan kepongahan anak muda yang dilanda cinta, betapa dia tidak punya banyak kenangan ketika bertemu Tan Malaka sebab pada saat itu dia sibuk “ngegombalin” gadis idamannya. Atau hari-hari panjang kesaksiannya ketika mengikuti delegasi Hatta dalam konferensi meja bundar yang menghasilkan penyerahan kedaulatan. Bahkan kebesaran Soekarno tampak menjadi gurauan kala dia menceritakan dialognya dengan Sukarno tentang cara membedakan gadis yang perawan. Di tangan sang Begawan sebuah cerita besar tampak menjadi kecil dan seringkali peristiwa kecil terangkai menjadi kisah besar. Rosihan adalah seorang pewarta yang tidak pernah terhisap oleh ke-diri-annya sendiri. Dia benar-benar menjadikan dirinya sebagai saksi sejati, tanpa perlu menyeret dendam dari masa lalu. Langkahnya bukan tidak berat, dia sempat ditahan oleh Belanda di 122
penjara Bukit Duri. Pedoman, harian yang dipimpinnya dibreidel oleh dua rezim yang mengingkari kemerdekaan yang mereka perjuangkan sendiri. Pertama dibreidel oleh rezim Soekarno dan kemudian juga oleh rezim Soeharto hingga surat kabar itu tidak terbit sama sekali. Tetapi, tidak seperti kebanyakan mereka yang gila eksistensi, Rosihan tidak hendak mendramatisir peristiwa-peristiwa itu dalam dendam pernyataan. Dia senang menyaksikan, gandrung mencatat dan cinta dalam mengabarkan. Itulah hidup sang Begawan yang tidak mungkin bisa dihentikan oleh kekuasaan. Di ujung aspal yang telah dibukanya, kita berhenti. Di depan tampak hutan belukar dengan dedaunan menyembunyikan ketakutan yang samar. Para saksi telah pergi, bagai pohon tua tanpa ada benih pengganti. Sebelum Rosihan, Jusuf Ronodipuro dan Des Alwi juga telah kembali keharibaan-Nya. Sejarah kita berada di ujung aspal berbatas hutan dan belukar. Adakah kita punya kekuatan untuk merambahnya sebagaimana kerja mereka yang tekun. Ataukah kita akan berhenti disini, sembari memancangkan nisan nasib kita yang tidak panjang?
123
Sejarah Selasa, 13 Desember 2011 http://16bj.blogspot.co.id/2011/12/sejarah.html Sebelum sore naas itu, aku sudah melupakan sejarah dalam ingatan. Topik itu telah berubah jadi gelembung-gelembung kecil yang pecah sebelum hangat udara kota sempat mencumbunya. Tanpa memikirkan masa silam, hidup terasa lebih ringan. Tidak ada lagi pertentangan pemikiran yang mengombang-ambing, hidup terasa singkat ketika malammalam dihabiskan dalam keramaian. Beginilah hidup yang seharusnya dijalani, melaju dengan hentakan musik yang menghilangkan ingatan. Sore akhir pekan adalah saat dimana ponsel pintar menentukan nasib pemiliknya. Angkaangka diundi untuk mendapat kata setuju jalan di malam hari. Persis seperti undian yang ditaruh di dalam pukat buaya. Saat-saat yang menyenangkan sebelum bajingan kecil ini datang. Anak muda itu benar-benar membuyarkan harapanku tentang gadis-gadis berpakaian minim dengan motif macan yang tengah tren. Menghapus harapan menatap mereka bergoyang aktif mirip senam SKJ ’88. Senyumnya ketika mengenalkan diri persis seperti imajinasi Taufieq Ismail tentang tiga anak kecil yang malu-malu menaruh karangan bunga di tahun ’66. Senyum yang menyebalkan. “Bagaimana cara menggugah kesadaran anak muda akan sejarah?”. Tanyanya penuh bangga hanya untuk menunjukkan kadar intelektual ala mahasiswanya yang serba peduli. Setan apa yang merasuki anak muda ini. Apakah dia melihat tampangku sekolot Anhar Gonggong, ataukah badanku setambun Onghokham dan atau jangan-jangan dia pikir aku serenta Taufik Abdullah. Ini pertanyaan yang salah pada waktu yang tidak tepat kepada penikmat kehidupan malam. Aku mengalihkan pembicaraan pada topik, apakah dia masih perjaka? Pernah coba narkoba? Bila memang masih perjaka bila dorongan itu ada bagaimana? Dan seratus tiga macam topik lainnya yang seharusnya disukai anak muda. Tetapi ini jenis anak muda yang benar-benar narsis-idealis, gandrung menonjolkan pertanyaan-pertanyaan tidak penting. Kukuh menunggu jawaban.
Sob…atau ..Bro, aku bukan sejarawan!!! Berhitung tahun yang lampau aku mengolah sejarah untuk jadi komoditas popularitas. Dan itu berhasil dengan baik selama beberapa saat, sebelum aku menemukan dunia baru yang lebih palsu dan menggairahkan. Lagipula, pertanyaan macam apa itu yang ditanyakannya. Pertanyaan itu tidak akan menolong anak-anak yang tidak mampu sekolah, tidak akan membantu ibu-ibu melahirkan dan juga tidak akan menyadarkan Tuan-Tuan dan Tante-Tante untuk mengganti kebiasaan membeli dengan memberi. Aku sudah muak dan mulai melancarkan jurus kata-kata bersayap untuk mengusirnya pergi. Tetapi zaman ini memang teramat lain ketika bahasa pesan pendek di ponsel pintar sudah menggantikan komunikasi lisan dan tulisan kita yang indah, orang-orang tidak lagi mengerti kata bersayap. Kecuali bila aku kirimkan pesan lewat ponsel padanya, “capek tau, hush…hush pergi sana….capcuuuussss” 124
Seperempat putaran jarum pendek jam tanganku sudah membuyarkan semua impian keramaian malam ini. Dan setan narsis-idealis ini masih betah menunggu jawaban. Begini saja Sob…atau..Bro, kau jangan mengingkari keadaan bahwa aku tidak punya gagasan untuk menjawab pertanyaanmu itu. Sebab, sejarah itu memang membosankan. Kau seharusnya tidak bicara minat, tetapi gairah. Dan sayangnya sejarah bak perawan tua dengan dandanan menor yang akan membuat kabur setiap petualang birahi. Tetapi sanggahnya dengan gaya sok pintar, bukankah tangkapan indera bisa dipersepsikan lain oleh otak. Jawabku, otakmu ternyata tidak terasah baik di bangku kuliah. Kalau kita tidak bisa mengubah persepsi, ucapnya, kenapa tidak kita tendang saja perawan tua menor itu dan menggantinya dengan yang lebih muda (tentu dengan baju minim motif macan yang sedang tren)? Itu bisa saja, sepanjang kau berani mengubah sejarah jadi taman bermain yang menyenangkan, dimana batas tepiannya tidak terlihat. Selama kau punya keyakinan bahwa masa depan tidak bisa diubah dan masa lalu bisa diubah, maka sejarah akan jadi perempuan muda yang menggairahkan. Bila semesta saja bisa berubah karena bintangbintang yang membangkang, kenapa masa silam tidak bisa kita ubah menjadi ceritacerita yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan di masa sekarang. Kenapa kau melulu harus mendengarkan cerita Pedang di kanan dan keris di kiri Diponegoro dan bukan kisah tentang pasukan Diponegoro yang gemar giting Opium (dan ketika logistik Opium diputus Belanda, moril pasukannya runtuh)? Kenapa generasimu mau saja menerima cerita tentang suci murninya perjuangan revolusi fisik tanpa tahu 17 peti opium ikut menyelamatkan pemerintahan darurat di Sumatera? Sejarah itu bukanlah kisah moyangmu yang baik yang berhasil menaklukkan kekuatan jahat moyang mereka. Para pelaku sejarah adalah anak-anak muda pada zamannya lengkap dengan kenakalannya masing-masing. Jadi kau tidak harus menjadi tua ketika memahami sejarah. Pahamilah jaman mereka dengan jiwa mudamu yang menganga menerima apa saja, baik dan buruk. Gairah itu hanya akan bisa muncul bila kau percaya bahwa kisah anak-anak muda di masa silam bukanlah tulang belulang Dinosaurus di masa sekarang tetapi sebentuk kenakalan yang bisa pula kau mainkan. Jadi kesimpulannya? Tanya si narsis-idealis ini dengan wajah sumringah seakan-akan dia baru saja merayakan terbukanya mulutku setelah bertahun terkunci dari topik ini. Aku pun sudah capek, aku tepuk pundaknya. Aku bilang padanya, Sejarah itu bukanlah dogma yang mesti kau yakini tetapi dongeng yang harus kau nikmati dengan cara terus menerus menyanggah dan mencari kebenarannya. Dia tersenyum puas, aku lemas. Malam ini semua berantakan. Ponsel ku mengingatkan tiga pesan masuk dengan jawaban sama, “Sorry say, kemaleman ngabarinnya. Aku dah jalan sama Om……”
125
Sutan Sulaiman Jumat, 16 Desember 2011 http://16bj.blogspot.co.id/2011/12/sutan-sulaiman.html Sutan Sulaiman tidak sementereng namanya. Bukan raja, melainkan gelar yang disematkan mamaknya berhitung puluh tahun yang silam ketika dia menyempurnakan agama dengan menikahi gadis yang dijodohkan dengannya. Dia tidak bergelimang harta sebagaimana Raja Sulaiman melainkan hidup bersahaja dengan mimpi sederhana yang masih bisa diraba-rasa oleh panca indera. Sutan Sulaiman hidup dari keterampilan tangan ; mengayun cangkul mengolah sawah dan ladang, memainkan perkakas menjadikan kayu jadi perabot rumah tangga, menempa besi menjadikannya pisau dan klewang dan dengan tangannya pula dia membesarkan tujuh orang anaknya. Si sulung perempuan dan enam orang adik laki-lakinya. Mereka hidup di pondok kecil yang asri dan bersih di tengah kebun singkong dan tebu yang juga dijadikan bengkel kerja Sutan Sulaeman. Inilah hidup yang indah. Di pagi hari mereka ke sawah dan ladang. Lepas siang sibuk di bengkel kerja. Dan di sore hari bergabung dengan laki-laki lain melepas penat di lapau dengan analisis politik internasional kelas atas. Mimpi sederhana memang bukan untuk mengubah dunia. Tetapi untuk menjaga kebahagiaan tetap ada. Anak-anak Sutan Sulaiman bersekolah semuanya. Tetapi dia tidak pernah benar-benar menyerahkan masa depan mereka kepada sekolah yang seringkali memberi ketidakpastian. Bagi kebanyakan orang desa, mimpi-mimpi sekolah yang penuh dengan ilusi prestasi akademis seringkali menipu. Sebab sekolah tidak mengajarkan keterampilan untuk menghadapi hidup tetapi mengajarkan mimpi yang bagi kebanyakan anak-anak tidak jelas ujung bayangnya.
Soal menghadapi hidup, Sutan Sulaiman menjadikan sawah ladang, dapur dan bengkel kerja sebagai sekolah anaknya. Sedari kecil anak-anaknya sudah mengerti bagaimana cara menebar benih hingga mengolah padi jadi beras, bagaimana memotong hingga mengampelas kayu hingga jadi perabot yang mengkilat dan bagaimana mengubah pipa besi padat menjadi perkakas. Bagi keluarga yang gandrung akan mimpi-mimpi panjang, hidup yang dipikul oleh anak-anak Sutan Sulaiman tampak berat. Tetapi bukankah yang mereka lakukan adalah insting dasar manusia sebagai insan berakal, bekerja untuk memastikan kehidupan esok hari tidak lebih buruk dari hari ini. Tidak satu pun dari anak-anak Sutan Sulaiman yang mengenyam bangku kuliah. Sehingga tidak seorang pun dari mereka yang perlu menghamba, mengapit map ijazah memohon pekerjaan di kaki Tuan-Tuan yang angkuh. Keterampilan tangan yang diajarkan ayah mereka membuat punggung mereka tidak perlu membungkuk. Si sulung perempuan jadi ibu rumah tangga tanpa meninggalkan pekerjaan di sawah dan ladang. Anak laki-laki paling tua mengolah sawah dan memiliki beberapa ekor kerbau. Tiga orang adiknya 126
membuka bengkel kayu tanpa juga meninggalkan sawah dan ladang. Seorang anaknya lulusan STM negeri bahkan berhasil mengelola cabang usaha tingkat propinsi sebuah perusahaan nasional (yang seringkali membuatnya melakukan perjalanan ke luar negeri), tentu diawali keterampilan tangan. Sedangkan si bungsu, satu-satunya sahabatku sewaktu kecil, yang memang serba rapi bersih dan memikat mengelola toko serba ada lengkap dengan pom bensin eceran, Pertamini. Urang subaliak, demikian kami sekeluarga menyebut mereka (sebagaimana begitu juga mereka menyebut kami). Sebab hanya kami dua keluarga bertetangga. Setiap kali pulang kampung, tidak pernah alpa aku menyambangi mereka. Dan setiap kali menapak kaki di halaman pondok yang semakin sepi itu, aku senantiasa iri. Dari mata renta Sutan Sulaiman tampak kehidupan dan bukan mimpi. Bahwa hidup sebenarnya bukanlah perjuangan untuk mengejar impian yang tinggi, tetapi kerja nyata yang menjadi sumber kebahagiaan. Dan soal materi, mungkin kebanyakan lulusan-lulusan universitas juga kalah dari mereka. Masing-masing punya rumah sendiri, si bungsu dan kakaknya punya mobil sendiri, sisanya punya sepeda motor semua. Sutan Sulaiman mengajarkan tidak membiarkan sekolah memanipulasi mimpi anak-anak. Sekolah yang kejam karena seringkali membuat anak-anak memandang hina kerja orang tuanya di desa. Yang membuat mereka membeli mimpi kota dengan meninggalkan sawah, ladang dan bengkel kerja. Mimpi yang pada akhirnya berakhir di rumah petak, gubuk-gubuk jorok dan kejahatan di perkotaan. Mimpi anak-anak harus tumbuh di tengah-tengah kehangatan keluarga. Sebab anak-anak mewarisi garis tangan orang tuanya dan biarkan mereka mengubah nasib dengan cara mereka sendiri. Setiap kali menyambangi Sutan Sulaiman, aku malu melihat diriku yang terbelit mimpi.
127
Peristiwa Tiga Daerah Senin, 26 Desember 2011 http://16bj.blogspot.co.id/2011/12/peristiwa-tiga-daerah.html Dan kami jatuh cinta. Pada saat hujan menutup musim panen, sorak petani mengalahkan suara kodok. Kami berpagut dalam cinta. Jatuh hati memang begitu saja. Karena mata terbiasa memandangnya, telinga tuli tanpanya dan kulit pucat pasi tanpa sentuhannya. Dan bila kau menemukan sepi di malam sunyi, kau pasti tengah jatuh hati. Dan untuknya seikat padi tidak akan cukup, butuh tiga atau empat ikat lagi sehingga cukup untuk menjaga hatinya. Demikianlah permulaan semuanya di zaman ketika sorak gembira petani berakhir di pematang sawah. Padi tidak pernah menjadi beras di rumah mereka, sebab perang Asia Raya masih jauh dari selesai. Di zaman buntung ini, kau harus pintar-pintar cari peruntungan. Bila kau tidak pandai membaca, seorang lurah akan gampang membujukmu untuk dijadikan kuli sukarela dengan sogokan rokok Kooa. Bila kau tidak pernah pulang, kau dikenang sebagai romusha. Bila kau cukup pintar, kau bisa pilih jadi tentara sukarela. Peruntungan itu tidak akan cukup untuk membuatmu pulang. Kau akan berakhir di barak-barak yang dijaga dengan kawat duri. Mungkin kelak kau akan mati di Sumatera, Kalimantan atau Siam. Tetapi aku yang hidup demi cintaku, pintar membaca peruntungan, aku memilih jadi polisi. Bukan keibodan, tetapi benar-benar polisi yang atasannya cuma sidookan. Dengan demikian aku bisa menjaga jantung hatiku. Sementara perempuan lain menggunakan goni sebagai pakaian, aku bisa mencarikan kain belacu untuknya. Sementara rumah-rumah pengap oleh bau tungku tanpa makanan aku bisa membawakannya beras. Dan pada saat kuli-kuli mengerjakan jalan, kami menapakinya dengan berboncengan sepeda. Itulah jalah yang mesti dilalui hingga pada akhirnya, kata panggilan "suami" aku dapatkan. Setelahnya memang biasa saja, tetapi tujuan berumah tangga untuk mempertahankan yang biasa saja, bukan? Jadi aku tetap saja menjadi polisi sebagaimana dititahkan. Di musim panen berdiam di jalanan ujung pematang sawah memastikan petani tidak membawa hasil panen pulang. Pada musim tanam mengangkangi setiap rumah memastikan tidak seorang pun lupa untuk kerja sukarela. Di musim kering aku memastikan sawah-sawah ditanami pohon jarak dan tidak seorang pun boleh menolak. Dan di kala sepi menggelayuti malam, aku rajin mendengar bisik suara yang akan membawa empunya ke penjara. Memang ada yang tidak senang, tetapi siapa berani melawan kuasa manusia di balik seragam? Bahkan pada masa-masa kemarahan itu memuncak, di rumah pun seragam tiada kutanggalkan. Telah kutimbang-timbang di masa susah ini, tiada yang salah. Tugas polisi itu menjaga ketentraman terutama sekali agar hati Tuan-Tuan kate itu tentram di tengah perang yang memusingkan ini. Mengejar pencuri, menangkap penipu atau menangkap jawara yang meresahkan, itu hanyalah pekerjaan sampingan yang dilakukan apabila ada waktu senggang. Sebab selama hal-hal kecil tidak mengganggu pikiran Tuan-Tuan di atas sana, maka itu bisa dilewatkan begitu saja. Bila ada yang benci, itu pasti iri. Bila ada yang tersakiti, mereka pasti tidak mengerti. Bila ada yang mati, memang sudah ajalnya tiba. Dan aku pulang ke pelukan istriku yang mulai bermimpi tentang kalung emas yang dilihatnya dulu sewaktu gadis. Aku, polisi di zaman sulit, juga mesti memenuhi kebutuhan istri. 128
Pada suatu hari istriku panik memberitahu, dia melihat kobar api di kejauhan padahal tiada jerami setelah sawah tak lagi menghasilkan. Orang-orang mengusiri Jepang dan para romusha pulang kembali berteriak merdeka. Aku hanya menunggu pergantian zaman, setiap kekuasaan butuh ketentraman. Dan polisi akan sama posisinya seperti sedia kala. Yang tidak pernah terpikirkan, revolusi di tiga daerah berlangsung begitu lama. Bahkan ketika pemimpin-pemimpin dari pusat berusaha datang meredakan, itu tidak berdampak apa-apa. Laskar-laskar terbentuk, setiap orang merasa dirinya serdadu. Para romusha menentang samurai. Tentara sukarela jadi tentara republik. Dan aku, polisi, adalah orang yang paling mereka cari. Sebab setelah Tuan-Tuan pergi kemana lagi amarah akan ditumpahkan. Di depan rumah, aku melihat obor menyala terang dan kilauan parang di antaranya. Istriku menjerit-jerit dan aku tidak kuasa mengancingkan seragam. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali menyapa orang-orang itu. Inilah peristiwa tiga daerah.
129
Soekarno dan Para Kolonel Rabu, 04 Januari 2012 http://16bj.blogspot.co.id/2012/01/soekarno-dan-para-kolonel.html Jacob Frederick Waraow, dia biasa dipanggil Joop Warouw gundah. Di awal Pebruari tahun 1958, dia menerima kawat dari sejawat Minahasa nya Ventje Sumual. Pesannya singkat, Sumual meminta Waraouw untuk segera menemuinya di Hongkong. Pada saat itu Kolonel Joop Warouw ditugaskan sebagai Atase Militer pada Kedutaan Besar Indonesia untuk RRC di Beijing. Sedangkan Sumual adalah salah satu aktor utama dari para Kolonel pembangkang yang tengah menyusun kekuatan melawan Jakarta. Di tahun 1956, ketika kegelisahan di Sumatera dan Sulawesi mulai meluas, Jakarta buru-buru membuang Waraouw yang pada saat itu menjabat Panglima TT VII/Wirabuana untuk menjadi atase militer di Beijing. Keputusan yang salah, sebab begitu Warouw pergi dan Sumual mengklaim kursi panglima, hubungan Jakarta dan Sulawesi semakin memburuk. Di Hongkong,Sumual hanya menyampaikan satu pinta kepada Waraouw. Agar dia bersedia menemui Soekarno yang tengah merundingkan pampasan perang (dan) tentu sambil plesiran malam disana. Para Kolonel di Sumatera dan Sulawesi sebenarnya tidak hendak memisahkan diri, mereka hanya menuntut reformasi. Agar presiden memenuhi permintaan mereka supaya Bung Hatta dan Sultan HB IX ditunjuk sebagai formatur kabinet yang lebih mewakili aspirasi daerah. Tuntutan yang dimanipulasi oleh AH Nasution sebagai separatisme kepada Soekarno. Waraow adalah salah seorang Kolonel kesayangan Soekarno. Dua kali dia menyelamatkan Soekarno ; pertama menyelamatkan nyawa Soekarno dari berondongan serdadu Sekutu pada saat pesawat yang ditumpangi Soekarno mendarat di Surabaya. Dan kedua menyelamatkan kekuasaan Soekarno dari rongrongan tentara dalam peristiwa 17 Oktober 1952 dengan mendepak Gatot Soebroto dari TT VII. Warouw menyanggupi permintaan Sumual. Bagi Soekarno Jepang sudah seperti tempat peristirahatan di Puncak saja. Tidak pernah dia menghabiskan waktu kurang dari dua minggu di tanah “saudara tua” itu. Perundingan pampasan perang memang berlarut-larut tetapi tidak ada yang lebih melarutkan Soekarno dan rombongan dibandingkan dunia malam Tokyo. Hotel Imperial jadi pilihan penginapan rombongan yang senantiasa berjumlah besar. Laporan-laporan dari Djuanda tentang kemelut di Sumatera dan Sulawesi tidak mengurngkan niat Soekarno memperlama plesiran di Jepang. Bagi Soekarno, para Kolonel yang gelisah itu tidak lebih dari anak-anaknya yang mencari-cari perhatian sang “Bapak”. Tetapi begitu mendengar kabar tentang Sumual yang memasuki Jepang menggunakan paspor Inggris dengan nama Herman Nicholas Sumual berikut lima orang lainnya, Soekarno cemas. Bisikan mampir di telinganya, Kolonel pembangkang itu tengah merencanakan plot pembunuhan terhadap Soekarno di Jepang. Apalagi kemudian diketahui bahwa Sumual dan rombongannya menginap di Hotel Nikatsu yang berada tidak jauh dari Hotel Imperial. Perdana Menteri Jepang, Nobusuke Kishi tidak bisa memberikan jaminan keamanan di antara padatnya jadwal plesiran Soekarno dan rombongan. Asisten Menteri Veteran Kolonel Sambas Atmawinata dan Konsul Jenderal Iskandar Ishak coba mencari akal. Lewat Oguchi Masami mereka berhasil berhubungan dengan seorang bekas Laksamana Muda yang pada saat itu menjadi politisi sayap kanan terkemuka, Kodama Yoshio. Lebih dari sekedar politisi, Kodama dikenal sebagai “Godfather” yang berhasil menyatukan dua faksi “Yakuza”Yamaguchi-Gumi dan Tosei-Kai. Kodama menyanggupi permintaan pengawalan dengan menyiapkan dua puluh orang “Polisi Ginza” dipimpin oleh Kobayashi 130
Kusuo. Polisi Ginza, sebutan yang diberikan kepada kelompok Yakuza, berhubungan dengan pejabat Indonesia lewat Kubo Masao, pemimpin grup usaha Tonichi. Plesiran berlanjut dengan aman dimana Kubo Masao dengan tekun mempelajari pribadi Soekarno. Sumual frustasi. Tidak hanya di Jakarta dia dihalangi untuk bisa berhubungan langsung dengan Soekarno. Isu plot pembunuhan membuat Waraouw sulit untuk menemui Soekarno. Yang terjadi kemudian adalah diplomasi kurir antara satu pemandian uap ke pamandian uap lainnya. Dari satu klub Geisha ke klub Geisha lainnya. Soekarno tahu cara memanjakan diri, para Kolonel juga belajar untuk menenangkan hati. Ikhtiar Warouw dan Sumual semakin sulit begitu mengatahui dua puluh orang tukang pukul senantiasa mengelilingi Paduka Yang Mulia Soekarno. Pada tanggal 5 Februari Warouw akhirnya berhasil menemui Soekarno. Tidak ada solusi yang didapatkan, karena Soekarno seperti menyerahkan permasalahan ini kepada Nasution. Yang tidak disadari oleh Soekarno bahwa niat Nasution untuk menghancurkan Sumatera dan Sulawesi hanya didukung oleh pasukan Diponegoro yang dipenuhi oleh anasir-anasir komunis. Kolonel Sarbini di Jawa Timur, ancam mengundurkan diri jika pasukannya dipaksa memerangi saudaranya di Sumatera dan Sulawesi. Kolonel Sudirman, bekas panglima Brawijaya yang sekarang ditugaskan di Sulawesi juga akan melakukan hal serupa. Pada tanggal 10 Februari, Kolonel Hussein di Padang memberikan ultimatum kepada Kabinet Djuanda agar memenuhi tuntutan reformasi mereka dan memberikan waktu 5X24 jam. Dua hari kemudian, bukannya mencoba negosiasi dengan para Kolonel pembangkang, Nasution memerintahkan AURI mengebom Padang. Tidak ada jalan pulang untuk para pembangkang, sehingga tanggal 15 Februari Hussein mengumumkan kabinet tandingan dimana Kolonel Joop Warouw ditunjuk sebagai Perdana Menteri PRRI. Tidak lama kemudian Manado juga dibom oleh AURI dengan pilot Mayor Omar Dhani dan Leo Wattimena. Warouw akhirnya mengikut langkah Sumual, membangkang kepada Jakarta. Jejak langkah yang kemudian diikuti oleh atase militer Indonesia untuk Amerika, Kolonel Alexander Evert Kawilarang yang telah dengan segala cara berupaya mencegah perang tidak terjadi. Sejarah memang tampak lain di tengah pribadi-pribadi yang unik. Pemberangusan kaum reformis di Sumatera dan Sulawesi tampak berada di luar kekuasaan Soekarno. Pada saat kembali, Soekarno mendapati perang telah terjadi dan Nasution memintanya duduk manis menunggu hasil. Sementara di Jepang Kubo Masao menyusun rencana untuk mendapatkan kontrak-kontrak bisnis di Indonesia dengan cara menyingkirkan perusahaan saingan yang telah terlebih dahulu mendapatkan kontrak, Kinoshita. Kubo tahu, demi memperlancar bisnis di Indonesia, Kinoshita memberi Soekarno seorang Geisha cantik bernama Sakiko Kanase. Satu-satunya cara untuk mengurangi pengaruh Kinoshita adalah dengan menyingkirkan Kanase, di pertengahan tahun 1959 Kubo Masao memperkenalkan Soekarno dengan Geisha yang lebih cantik bernama Naoko Nemoto. Sejarah berpihak pada Naoko Nemoto. Soekarno jatuh hati padanya, Sakiko Kanase ditemukan bunuh diri di Jakarta dan Naoko Nemoko berganti nama menjadi Ratna Sari Dewi. Sedangkan nasib Warouw berakhir tragis. Pada tanggal 5 April 1960, Warouw ditangkap oleh pasukan resimen 999 pimpinan Kapten Robby Parengkuan. Perpecahan di tubuh angkatan perang revolusioner ditebus oleh Warouw yang dieksekusi mati justru oleh salah satu resimen di dalam angkatan perangnya. Dan keadaan tidak pernah sama lagi. Semenjak para Kolonel menyerah di tahun 1961, dinamika Angkatan Perang semakin 131
tampak membosankan. Dan mungkin, para pembangkang hanya lahir sekali dalam lima puluh tahun. Para Kolonel itu.
132
Surat Satu Sabtu, 04 Februari 2012 http://16bj.blogspot.co.id/2012/02/surat-satu.html Duniaku sempit, bagai daratan terkepung tepian. Erosi mengikis, perlahan menahan langkah merengkuh tujuan. Vakum, terpenjara dalam sepi kertas tanpa tinta. Itu sebabnya aku setuju denganmu, hidupku datar, tidak lagi memberikan getaran kepada siapapun. Terlebih kepadamu. Angin mungkin telah menjemput setiap kenangan tentangku di hatimu. Aku mungkin bisa mengubah dunia, tetapi tidak akan mampu mengubah hatimu. Karena segala yang tampak di dunia punya ukuran, tetapi hati yang tiada terlihat, tak satu alat pun bisa mengukur. Usailah hujan disambut pancaroba panjang. Roda-roda bergerak pelan, meninggalkan sepi suara kerikil bebatuan. Entah kemana arah tujuan sebab di balik kabut impianmu, mataku buta. Mungkin cahaya suar bisa membantu, tetapi tumpukan karang terlalu jauh dariku. Untuk menyeberang laut, aku tiada bisa lagi berenang. Kokoh hatimu telah membekukan samudera yang tiada bisa dilayari. Tiada yang kukuh tanpa perubahan. Arus waktu senantiasa menyeret kita, terkadang membuat kita terapung tak berdaya dalam impian sendiri. Namamu tidak ku lukis di atas pasir tetapi ku ukir di terjal tebing karang. Pasang ombak tiada akan pernah bisa menghancurkannya. Angin badai tidak akan mampu mengikisnya. Masalahnya bukan tentang namanu yang abadi, tetapi tentang aku yang fana. Untuk itu aku hanya bisa menulis dalam pinta.
133
Surat Dua Rabu, 08 Februari 2012 http://16bj.blogspot.co.id/2012/02/surat-dua.html Ambillah kayu kering, bakar di balik semak dan perdu. Ubi ditusuk sate, dekatkan ke perapian. Hangus merasuk hidung, terasa gurih walaupun pahit di pangkal lidah. Apakah petani masih merayakan kesederhanaan saat ini. Sementara kapitalisme meratakan manusia dalam keinginan yang sama akan barang-barang konsumsi. Arus budaya manusia digerakkan oleh produksi benda-benda, bukan lagi interaksi antara sesama. Agaknya kita melupakan esensi kehidupan, bahwa perbedaan menjaga keseimbangan alam. Derita lebih sering muncul karena persamaan bukan perbedaan. Untuk keinginan yang sama, manusia saling meniadakan. Akankah pikiran-pikiran sederhana kan tetap bisa menjaga kita. Soal-soal hidup diselesaikan lewat kata yang meniadakan murka. Spanduk, billboard dan temaram lampu LED yang memperdaya enyah dari pandang mata kita. Bisikan suara hanya bisa diimbangi oleh semilir angin hangat. Ataukah kita tetap ingin hidup dalam gemerlap cahaya yang membutakan. Dimana kita kehilangan arah dalam persamaan pandangan terhadap hidup. Langkah terayun meninggalkan desa, berbondong-bondong memenuhi kota. Ombak sepi oleh kapal nelayan, kebun merindukan cumbuan dari pacul petani. Asap membumbung dari cerobong pabrik, sementara jerami busuk oleh cendawan. Kawanan sapi bergerak pelan mengikut alur sungai yang kering. Amis bau ikan mati korban dari pabrik-pabrik yang memproduksi gaya hidup. Kabar dari desa tiada terdengar lagi sebab kota tidak sempat mendengarkan. Ikatan manusia melonggar justru pada saat kehidupan semakin terhubung. Kawan hanyalah pertemanan basi-basi. Impotensi relasi dalam pencarian status yang tidak masuk akal. Dunia mengalami kemunduran.
134