10
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang masih menerapkan hukuman mati dalam aturan pidananya. Padahal, hingga Juni 2006, lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktek hukuman mati baik secara de jure atau de facto. Di tengah kecenderungan global akan moratorium hukuman mati, praktek ini justru makin lazim diterapkan di Indonesia. Paling tidak selama empat tahun berturut-turut (2006 s/d 2009) telah dilaksanakan eksekusi mati terhadap 9 orang narapidana. Prokontra penerapan hukuman mati ini semakin menguat, karena tampak tak sejalan dengan komitmen Indonesiaa untuk tunduk pada kesepakatan internasional yang tertuang dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.1 Akhir-akhir ini media massa sibuk menyiarkan berita bertalian dengan eksekusi pidana mati. Ada yang pro ada pula yang kontra. Sesungguhnya kontroversi tentang pidana mati sudah mulai lebih kurang sejak abad ke-17. Pada waktu itu di Inggris si pencopet, bahkan anak baru gede yang mencuri sendok teh pun dipidana mati. Pidana mati dahulu kala lazimnya dilakukan secara “extra mural”. Artinya dilaksanakan di luar tembok penjara. Pada waktu itu bentuk 1
http://www.kontras.org/hmati/data/Working%20Paper_Hukuman_Mati_di_ Indonesia.pdf. Diakses tanggal 13 Agustus 2010.
Universitas Sumatera Utara
11
pelaksanaan pidana mati melalui tiang gantungan dengan seorang algojo sebagai pelaksana. Pidana mati diselenggarakan di lapangan terbuka dengan harapan agar pidana mati berupa digantung di tiang gantungan akan dijadikan semacam “deterrent” alias menakutkan calon penjahat. Akan tetapi, apa yang terjadi? berdasarkan literatur sejarah pidana mati, ketika kerumunan orang banyak datang untuk menyaksikan pergantungan sang pencopet para pencopet lainnnya tidak takut, tetapi memakai kesempatan itu untuk menggerayangi saku para penonton yang sedang melihat bagaimana maut datang merampas nyawa si pencopet. Hingga saat ini secara legal dalam Hukum Pidana Indonesia masih diberlakukan pidana mati bagi delik pidana tertentu biarpun sudah banyak negara yang tidak lagi menerapkannya karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan zaman, serta tidak sesuai dengan Hak Asasi Manusia. Biarpun bertahan hingga sekarang, bukan berarti tidak ada kontroversi mengenai penerapan pidana mati tersebut. Kontroversi seputar pidana mati sebenarnya sudah lama berlangsung. Mantan Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra2 mengklaim bahwa pidana mati adalah bagian yang sah dari sistem hukum nasional. Ia melandasi argumennya pada analisa biaya keuntungan. Biaya yang ditanggung abolisi pidana mati tidak setimpal dengan keuntungan yang diperoleh. Mantan menteri kehakiman lainnya, Muladi, berkeyakinan sama. Baginya, korban yang
2
http://wyrahadi.blog.friendster.com/, “Hukuman Mati”, Diakses tanggal 13 Agustus
2010.
Universitas Sumatera Utara
12
ditimbulkan pelaku justru merupakan pelanggaran HAM yang lebih besar.3 Kontroversi jenis hukuman tersebut mulai memanas kembali setelah adanya vonis pidana mati terhadap beberapa terpidana kerusuhan Poso, diantaranya Fabianus Tibo, Marianus Riwu, Dominggus dan Silva pada tahun 2007 lalu. Sebelumnya juga sempat memanas ketika hakim memvonis mati Astini pada tahun 1996, terpidana mati kasus pembunuhan multilasi yang akhirnya meregang nyawa di hadapan regu tembak Brimob Polda Jawa Timur. Astini merupakan perempuan pertama yang dihukum mati dan ketika itu Astini sempat mengatakan bahwa ia masih ingin terus hidup. Penjatuhan pidana mati terhadap seorang terpidana dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka yang menaruh kepedulian atas hak-hak asasi manusia berpandangan bahwa kewenangan mencabut hak untuk hidup dapat digolongkan sebagai pelanggaran hak-hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights). Karena merenggut salah satu hak yang tak boleh ditangguhkan pemenuhannya. Tindakan ini merampas hidup yang merupakan hak dasar dalam diri seseorang yang tak pernah bisa tersembuhkan atau tergantikan. Pidana mati persis menunjukkan adanya kewenangan mencabut hak untuk hidup dan dirasa kejam, tak berperikemanusiaan serta menghina martabat manusia.4 Dari argumen tersebut banyak orang yang menilai bahwa eksekusi mati dianggap pelanggaran serius oleh negara betapa pun seriusnya perbuatan 3
J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Jakarta. CV Rajawali, 1982, hal. 66 4 E. Utrecht, Hukum Pidana I, Bandung. Penerbitan Universitas, 1968, hal. 107
Universitas Sumatera Utara
13
pidana yang dilakukan seseorang. Jika UUD dan UU HAM melindungi hak untuk hidup bagi setiap orang, seharusnya UU lainnya mematuhi perintah yang terdapat di dalamnya. Tapi persoalannya justru masih banyak ketentuan pidana yang tidak konsisten atau bertentangan dengan UUD dan UU HAM tersebut. Biarpun demikian pidana mati tetap dipertahankan hingga saat ini karena memang dianggap sesuai dengan prinsip-prinsip hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Sebagian orang menilai bahwa pidana mati itu secara legal bersumber dari ajaran Islam. Memang di dalam Hukum Pidana Islam yang dianut oleh mayoritas ulama' akan kita temui beberapa delik pidana yang diancam dengan hukuman mati, seperti zina muhsan, Murtad (Riddah), Pembunuhan Sengaja (qotla amd), dan lain-lain.5 Biarpun sama-sama melegalisasi pidana mati, ada perbedaan antara Hukum Pidana Indonesia dengan Hukum Pidana Islam. Terpidana mati kasus bom Bali, Imam Samudra adalah salah satu orang yang menganggap berbeda antara pidana mati di dalam Hukum Pidana Indonesia dengan pidana mati dalam Hukum Pidana Islam. Oleh karena itu dia tidak mau dieksekusi dengan ditembak ataupun dengan cara lainnya kecuali dengan dipancung yang menurutnya sesuai dengan Syari'at Islam.6 Terlepas dari konsep tersebut, bahwa setiap ketentuan agama Islam,
5
Ahmad, Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada. 1995, hal. 39 6 http://wyrahadi.blog.friendster.com/, “Hukuman Mati”, Diakses tanggal 13 Agustus 2010.
Universitas Sumatera Utara
14
termasuk hukum pidananya akan bertumpu pada pemenuhan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia serta kepentingan manusia. Di kalangan para ulama' dikenal dengan apa yang disebut maqosid syari'ah, yaitu tujuan Hukum Pidana Islam yang mencakup perlindungan terhadap lima hal yang menjadi tonggak keberadaan manusia yakni agama (akidah), nyawa, akal, nasab atau harga diri, dan harta benda.7 Dalam kitab-kitab fikih, pembahasan tentang hukuman mati menjadi bagian dari pembahasan tentang kriminalitas (aljinayah) seperti pencurian (assariqah), minuman keras (al-khamr), perzinaan (az-zina), hukum balas/timbal balik (al-qishas), pemberontakan (al-bugat), dan perampokan (qatta’u tariq). Dalam wilayah lain, hukuman mati juga dijatuhkan kepada pelaku perzinaan dalam bentuk dilempar batu hingga mati (ar-rajam) untuk pelaku perzinaan yang sudah menikah. Juga hukuman mati dilakukan dalam kasus pemberontakan (al-bugat) dan pindah agama (al-riddah) yang dikenal sebagai hukuman (al-had / al-hudud) atas pengingkaran terhadap Islam. Termasuk dalam kasus meninggalkan ibadah shalat, beberapa ulama mempersamakannya dengan murtad (al-riddah). Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, kekafiran yang menyebabkan orang tersebut keluar dari Islam, diancam hukuman mati, jika tidak bertaubat dan tidak mengerjakan shalat.” Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i mengatakan, “Orang yang meninggalkan adalah fasik dan tidak kafir”, namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukumannya, menurut Imam Malik dan 7
Noerwahidah, Pidana Mati dalam Hukum Islam. Surabaya, Al-Ikhlas. 1994, hal. 13
Universitas Sumatera Utara
15
Syafi’i “diancam hukuman mati (al-hadd/al-hudud)”, dan menurut Imam Abu Hanifah “diancam hukuman ta’zir, bukan hukuman mati”.8 Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk membahas tentang pelaksanaan eksekusi mati ini dalam bentuk tulisan yang berjudul “Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia Ditinjau dari Perspektif Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif” yang akan dibahas lebih lanjut dalam penulisan Skripsi ini.
B. Permasalahan Dari latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah ini adalah: 1. Bagaimana tata cara pelaksanaan hukuman mati menurut Hukum Pidana Islam? 2. Bagaimana pelaksanaan eksekusi hukuman mati menurut Penpres Nomor 2 Tahun 1964? 3. Bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap pelaksanaan eksekusi hukuman mati?
C. Tujuan dan manfaat penulisan 1. Tujuan a. Untuk mengetahui tata cara pelaksanaan hukuman mati menurut Hukum Pidana Islam b. Untuk mengetahui pelaksanaan eksekusi hukuman mati menurut 8
Mawardi A.I, Hukuman Mati Menurut Islam, Yogyakarta, Fakukltas Ekonomi UGM. 1980, hal. 79
Universitas Sumatera Utara
16
Penpres Nomor 2 Tahun 1964 c. Untuk mengetahui tinjauan Hukum Islam terhadap pelaksanaan eksekusi hukuman mati 2. Manfaat 1. Secara Teoritis a. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang Hukum Pidana, khususnya yang berkaitan dengan tinjauan hukum pidana Islam terhadap tata tata pelaksanaan hukuman mati di Indonesia b. Pelaksanaan eksekusi pidana mati yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan. 2. Secara Praktis Dapat diajukan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekanrekan mahasiswa, masyarakat, lembaga penegak hukum, praktisi hukum dan pemerintah dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap tata tata pelaksanaan hukuman mati di Indonesia.
D. Keaslian Penulisan Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati dalam Perspektif Hukum Pidana Islam” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun oleh penulis
Universitas Sumatera Utara
17
sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pidana mati dalam peraturan perundang-undangan Hukuman mati tercantum di dalam KUHP yang diwariskan pemerintah kolonial Belanda, dan tetap dinasionalisasi dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 bahkan sesudah Indonesia merdeka, beberapa undang-undang yang dikeluarkan kemudian, ternyata juga mencantumkan ancaman hukuman mati di dalamnya. Dengan demikian, alasan bahwa hukuman mati tercantum dalam KUHP pada waktu diberlakukan oleh pemerintah kolonial, didasarkan antara lain oleh “alasan berdasarkan faktor rasial”9 mungkin hanya berlaku dahulu saja dan tidak lagi saat ini, karena pemerintah Republik Indonesia juga mengeluarkan undang-undang di samping KUHP, yang mengandung ancaman hukuman mati.10 Dengan demikian, hukuman mati yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP tetap berlaku hingga saat ini. Eksistensi hukuman mati yang berlaku di Indonesia tercantum dalam tiga kelompok hukum, yaitu sebagai berikut:
9
J.E. Sahetapy, Op.cit, hal. 38. Andi Hamzah dan Sumagelipu, Op. cit, hal. 18.
10
Universitas Sumatera Utara
18
a. Pidana Mati Dalam KUHP Roeslan Saleh di dalam bukunya yang berjudul “Stelsel Pidana Indonesia”, menyatakan bahwa KUHP membatasi kemungkinan dijatuhkannya hukuman mati atas beberapa kejahatan yang berat saja. Yang dimaksudkan dengan kejahatankejahatan berat yaitu:11 1) Kejahatan terhadap negara (Pasal 104, 111 ayat (2), 124 ayat (3), dan Pasal 140 ayat (3) KUHP. 2) Pembunuhan dengan berencana (Pasal 340 KUHP). 3) Pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan orang luka berat atau mati,sebagaimana yang disebut dalam Pasal 365 ayat (4). 4) Pembajakan di laut, di pantai, di pesisir, dan di sungai yang dilakukan dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 444 KUHP. b. Pidana Mati dalam Perundang-undangan di Luar KUHP Sanksi hukuman mati bukan saja diatur dalam KUHP, tetapi juga diatur di dalam perundang-undangan di luar KUHP. Hal ini dapat ditemui dalam undang-undang sebagai berikut:12 1) Tindak pidana ekonomi (UU No. 7/Drt/1955) 2) Tindak pidana narkotika dan psikotropika (UU No. 22 Tahun 1997 dan UU No. 5 Tahun 1997) 3) Tindak pidana pemberantasan korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun
11 12
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1978, hal. 17. Analisis Dokumentasi Hak Asasi Manusia Elsam, Edisi Maret-April 2007.
Universitas Sumatera Utara
19
2001) 4) Tindak pidana terhadap Hak Asasi Manusia (UU No. 26 Tahun 2000) 5) Tindak pidana terorisme (UU No. 15 Tahun 2003). c. Pidana Mati dalam RUU KUHP Nasional Indonesia Rancangan Undang-undang KUHP Nasional Indonesia yang diajukan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat, menyatakan bahwa hukuman mati itu sebagai hukuman pidana yang bersifat khusus. Ancamannya tidak lagi mutlak seperti yang diatur dalam KUHP yang kini masih berlaku dan bersifat alternatif. 13 Tindak pidana yang diancam hukuman mati dalam RUU KUHP yaitu:14 1) Pasal 242 yang berbunyi sebagai berikut: “setiap orang yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat missal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa, dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyekobyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas umum atau fasilitas internasional, dipidana karena melakukan terorisme dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun”. 2) Pasal 244 yang berbunyi sebagai berikut: “setiap orang yang menggunakan bahan-bahan kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya untuk melakukan terorisme, diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun”. 13
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM Tahun 2006, Rancangan Undang-undang Republik Indonesia tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 14 Ibid
Universitas Sumatera Utara
20
3) Pasal 247 yang berbunyi sebagai berikut: setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 s/d Pasal 246, diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun”. 4) Pasal 249 yang berbunyi sebagai berikut: “setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kemudahan, sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pembuat tindak pidana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 s/d Pasal 246 RUU KUHP”. 5) Pasal 250 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut: “dipidana karena terorisme setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 256 dan 257 dengan pidana penjara seumur hidup atau paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun, dan Pasal 258 dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun”. 6) Pasal 250 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut: “setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 252, 255, 260, 261 dan Pasal 262, dipidana karena terorisme dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan tersebut dilakukan dengan tujuan atau maksud untuk melakukan terorisme”. 7) Pasal 251 yang berbunyi sebagai berikut: “permufakatan jahat, persiapan atau percobaan, dan pembantuan melakukan terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242, 243, 244 dan Pasal 250 RUU KUHP, dipidana sesuai dengan Pasal-Pasal tersebut”. 8) Pasal 262 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut: “jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang atau hancurnya pesawat udara tersebut,
Universitas Sumatera Utara
21
maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun”. 9) Pasal 269 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut: “jika makar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kepala negara mati, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun”. 10) Pasal 505 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut: “setiap orang tanpa hak melawan hukum menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika dalam bentuk tanaman, atau memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika yang bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama lima belas tahun, dan pidana denda paling sedikit kategori IV dan paling banyak kategori VI”. 11) Pasal 505 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut: “tanaman atau yang bukan termasuk jenis narkotika ditetapkan berdasarkan undang-undang”. 12) Pasal 506 yang berbunyi sebagai berikut: “setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum memproduksi atau menyediakan narkotika, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun, dan pidana denda paling sedikit kategori IV dan paling banyak kategori VI”. 13) Pasal 513 yang berbunyi sebagai berikut: “setiap orang yang melakukan tindak pidana narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 505 ayat (1), Pasal 506 s/d 508 di luar wilayah Negara Republik Indonesia, diberlakukan pula ketentuan undangundang ini”. 14) Pasal 515 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut: “setiap orang yang memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika, dipidana dengan pidana mati atau penjara
Universitas Sumatera Utara
22
seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun, dan pidana denda paling sedikit kategori IV dan paling banyak kategori VI”. 15) Pasal 520 yang berbunyi sebagai berikut: “setiap orang yang melakukan tindak pidana psikotropika sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 515 ayat (1) dan Pasal 516 di luar wilayah Negara Republik Indonesia, diberlakukan pula ketentuan undangundang ini”. 16) Pasal 521 yang berbunyi sebagai berikut: “setiap orang yang tanpa hak melawan hukum mengimpor, mengekspor, memproduksi, menjual, mengedarkan, memiliki, atau menggunakan bahan-bahan untuk pembuatan psikotropika, dipidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama lima belas tahun, dan pidana denda paling sedikit kategori IV dan paling banyak kategori VI”. 17) Pasal 572 yang berbunyi sebagai berikut: “setiap orang yang dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun”. Ancaman pidana mati terhadap beberapa tindak pidana dalam RUU KUHP terlihat tidak jelas indikator penetapannya. Misalnya, apakah diberikan berdasarkan dampak kejahatan, atau dilihat dari segi tingkat keseriusan kejahatan yang dilakukan oleh terpidana (gravity of the crime)”. Di samping itu juga terlihat tidak adanya konsistensi dalam menentukan kategori penetapan ancaman hukuman mati, misalnya pembunuhan berencana diancam dengan hukuman mati sementara kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida tidak hanya diancam hukuman minimum khusus dan maksimum (315 tahun), dimana jika dilihat dari tingkat keseriusan kejahatan dan
Universitas Sumatera Utara
23
dampaknya, kejahatan ini mempunyai gravity yang lebih berat karena jenis kejahatan ini dalam Statuta Roma dinyatakan sebagai the most serious crimes.15
2. Pidana mati dalam Hukum Pidana Islam Menurut ilmu bahasa perkataan jinayah adalah bentuk jamak, sedang mufradnya berbunyi jinayah yang artinya “perbuatan dosa, perbuatan salah atau kejahatan”. Fi’ilnya berbunyi janiya ”si berbuat disebut jana dan orang yang dikenai perbuatan jahat itu disebut mujna ’alaihi. Menurut istilah para fuqaha’ yang dinamakan jinayah itu adalah: ”Perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik mengenai jiwa, harta atau lainnya.”16 Menurut ilmu bahasa jarimah adalah bentuk masdar (asal) artinya perbuatan dosa, perbuatan salah atau kejahatan. Fi’ilnya berbunyi jarama yang artinya berbuat dosa, berbuat salah atau berbuat jahat. Pelaku disebut jarama sedang orang yang dikenai perbuatan itu disebut mujromu ’alaihi. Apabila term pidana berarti ”hukuman” sebagaimana yang dikatakan Subekti dan Tjitrosoedibio dalam bukunya ”Kamus Hukum”, maka ”Pidana
15
http://www.prakarsa-rakyat.org/download/Perundang-undangan/Position%20Paper %20Elsam%20RUU%20KUHP%203.pdf. Diakses tanggal 13 Agustus 2010, hal. 26. 16 Marsum, Jinayat (Hukum Pidana Islam), Fakultas Hukum UI, Yogyakarta, 1991, hal. 51
Universitas Sumatera Utara
24
Mati” berarti hukuman yang dikenakan terhadap pelaku tindak pidana dengan menghabisi nyawanya.17 Pidana mati merupakan pidana mutlak, sehingga bila terjadi kesalahan, hakim dapat menjatuhkan pidana karena keterangan saksi dan alat bukti lainnya pada waktu perkara diperiksa belum lengkap, tidak dapat diperbaiki lagi.18 Seseorang yang membunuh orang lain, ia tidak dapat menghormati orang prinsip hak hidup manusia, jika prinsip itu diingkari maka tidak perlu lagi terjadi pembunuhan-pembunuhan yang banyak jumlahnya. Sebaliknya orang yang mengadakan hukuman mati untuk menjaga supaya tidak terjadi pembunuhan dan seakan-akan ia menghidupkan seluruh manusia.19
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Menurut Soerjono Soekanto penelitian hukum dapat dibagi dalam:20 a. Penelitian hukum normatif b. Penelitian hukum sosiologis atau empiris Skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doctrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku
17
Noerwahidah, Op. cit, hal. 60 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve. Jakarta, 1996, hal. 51 19 Mawardi A.I, Op. cit, hal. 88 20 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI: Press, Jakarta, 2006, hal. 15. 18
Universitas Sumatera Utara
25
(law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process)21. Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.22 2. Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari: a. Bahan Hukum Primer Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang.23 Dalam tulisan ini di antaranya Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait. b. Bahan Hukum Sekunder Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan hukuman mati dalam perspektif hukum pidana Islam, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.
21
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, 2006,
hal. 118. 22
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta, 2003, hal. 3. Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 19. 23
Universitas Sumatera Utara
26
c. Bahan Hukum Tertier Yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia dan lain-lain.
3. Teknik pengumpulan data Teknik
pengumpulan
data
dilakukan
dengan
cara
penelitian
kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan. Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut:24 a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan degan objek penelitian. b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel- artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan. c. Mengelompokan data-data yang relevan dengan permasalahan.
24
Ronitijo Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 63.
Universitas Sumatera Utara
27
d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.
4. Analisa data Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik dengan skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesui dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.
G. Sistematika Penulisan BAB I
:
Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan kepustakaan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.
BAB II
:
Bab ini akan membahas tentang pembahasan tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati Dalam Hukum Pidana Islam, yang isinya antara lain Tindak pidana yang Diancam dengan Hukuman Mati dalam Hukum Pidana Islam dan Tata Cara Eksekusi Hukuman Mati Menurut Hukum Islam
BAB III
:
Bab ini akan membahas tentang Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia menurut Penpres No. 2 tahun 1964, yang memuat
Universitas Sumatera Utara
28
tentang Tindak Pidana yang Diancam dengan Hukuman Mati dan Proses pelaksanaan eksekusi mati di Indonesia Menurut Penpres Nomor 2 Tahun 1964 BAB IV
:
Bab ini akan dibahas tentang Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi Hukuman Mati Menurut Penpres No. 2 Tahun 1964, yang isinya memuat antara lain tentang Analisis Hukum Pidana Islam terhadap latar belakang lahirnya Penpres no. 2 tahun 1964 dan Analiss Hukum Pidana Islam terhadap Proses Pelaksanaan Hukuman Mati Menurut Penpres No. 2 tahun 1964
BAB IV
:
Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.
Universitas Sumatera Utara