“Indonesia Cerdas & Sehat Berantas TB” Indonesia merupakan Negara yang terkena penyakit Tuberculosis nomor 4 di Dunia dengan jumlah penduduk 210 Juta pada tahun 2004, penyakit TBC menduduki tempat ke 3 terbesar di Dunia setelah China & India. Dari hasil survey kesehatan rumah tangga, penyakit TBC merupakan penyebab kematian Nomor 3 terbesar setelah penyakit kardiovascular dan penyakit saluran pernafasan atas (ISPA) pada semua golongan umur dan gejala dan penyebab penyakit TBC Paru ini adalah Nomor kesatu pada kelompok penyakit Infeksi. WHO memperkirakan bahwa Indonesia setiap tahunnya terjadi 563.000 kasus untuk semua jenis TBC dan 282.000 kasus baru dengan BTA (+). Prevalensi kasus TBC Paru BTA (+) diperkirakan 715.000 dengan angka kematiannya sekitar 140.000 atau secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia 130 penderita TBC Paru baru dengan BTA (+) & menyerang sebagian besar Usia produktif, kelompok ekonomi lemah & berpendidikan rendah. Hasil survey prevalensi TB 2004 mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku menunjukkan bahwa 96% keluarga merawat anggota keluarga yang menderita TB dan hanya 13% yang menyembunyikan keberadaan mereka. Meskipun 76% diantara mereka pernah mendengar tentang TB dan 85% mengetahui bahwa TB dapat disembuhkan akan tetapi mereka masih ragu-ragu akan hal itu dan cenderung memilih untuk mencari nafkah tanpa memikirkan kesehatan mereka. Dari data diatas dapat dilihat kurangnya pengetahuan dan kepedulian masyarakat terhadap TB itu sendiri. Dalam upaya penanggulangan TBC di Indonesia telah ditetapkan tujuan program pemberantasan yang meliputi tujuan jangka panjang yaitu menurunkan angka kesakitan, kematian & penularan TBC dengan cara memutuskan rantai penularan sehingga penyakit TBC tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, & tujuan jangka pendek adalah menyembuhkan minimal 85% penderita baru BTA (+) yang ditemukan, tercapainya cakupan penemuan penderita secara bertahap sampai dengan tahun 2007, 70% mencegah timbulnya resistensi obat TBC di masyarakat.
Sejak tahun 1995 pemerintah telah melakukan pemberantasan penyakit TBC dengan melaksanakan strategi DOTS yang direkomendasikan oleh WHO. Dengan strategi DOTS diharapkan dapat memberikan angka penemuan & kesembuhan yang tinggi untuk menurunkan angka kesakitan & angka kematian akibat penyakit TBC.
Strategi DOTS terdiri dari : 1. Komitmen politisi dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana. 2. Diagnosa TBC Paru dengan pemeriksaan dahak secara Mikroskopis terhadap semua tersangka TBC diunit pelayanan kesehatan. 3. Pengobatan jangka pendek dengan Obat Anti Tubrculosis (OAT) dengan pengawasan langsung oleh PMO (Pengawas Makan Obat). 4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek atau penderita. 5. Pencatatan dari pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program.
Dengan strategi DOTS program sudah masuk ke seluruh Puskesmas di Indonesia, namun Rumah Sakit, Poliklinik dan praktek Dokter masih sangat sedikit menerapkan progaram DOTS ini. Dari hasil evaluasi di Indonesia menunjukkan bahwa dengan strategi DOTS angka kesembuhan (Cure Rate) telah mencapai 87% dari target Nasional 85%, namun cakupan penemuan (Case Detection Rate) baru mencapai 10% dari target Nasional 70% yang seharusnya dicapai untuk mendapatkan dampak. Ini menunjukan kurangnya factor yang mendukung untuk pencegahan dari penularan penyakit ini. Olehnya itu perlu dirumuskannya suatu sistem baru agar pencegahannya maksimal dan dapat memberikan efek jangka panjang seperti apa yang diharapkan. Salah satu pencegahan yang mungkin dapat memberikan efek jangka panjang adalah dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat umum mengenai segala hal yang berkaitan dengan TBC. Untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat ada beberapa rancangan yang dapat diterapakn ke masyarakat, namun berdasarkan data di atas masih sangat kurang dampaknya. Sistem yang dimaksudkan disini adalah sebuah sistem yang tertanam sejak dini kepada masyarakat sehingga dapat memberikan efek jangka panjang. Yang kami maksudkan adalah sistem pendidikan kesehatan dasar bagi masyarakat khususnya para pelajar SD, SMP, dan SMA. Pendidikan kesehatan dasar yang dimaksud adalah menanamkan sejak dini pengetahuan tentang kesehatan dan penyakit-penyakit infeksi kepada siswa. Dan untuk pelaksanaannya dari pemerintah sendiri dapat membuat kurikulum baru untuk itu.
Sebenarnya saat ini pendidikan tentang kesehatan telah ada di kurikulum 2013, tapi menurut kami ilmu dan informasi yang diberikan masih sangat kurang. Karena pendidikan tentang kesehatan ini hanya menjadi beberapa judul bab dalam mata pelajaran Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan, yang seharusnya menurut kami pendidikan tentang kesehatan sejak dini itu sangatlah penting dan dijadikan mata pelajaran wajib tersendiri. Sejauh ini yang telah dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan kepada masyarakat hanya melalui promosi kesehatan, penyuluhan, poster kesehatan dan lain-lain yang menurut kami itu masih kurang efektif. Target kami adalah pelajar, karna pelajar adalah calon penerus bangsa, pelajar ini akan menjadi masyarakat yang dewasa dan mandiri, suatu saat nanti pelajar ini akan bekerja, berkeluarga dan memiliki anak cucu, nanti anak cucu mereka juga akan mendapatkan pendidikan tentang kesehatan umum ini. Bayangkan jika seluruh masyarakat indonesia dibekali pengatahuan kesehatan umum. Otomatis program dan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan taraf kesehatan masyarakat indonesia juga akan lebih mudah tercapai. Jadi menurut kami cara yang efektif, jangka panjang dan berkelanjutan adalah dengan menambahkan mata pelajaran tentang pengetahuan kesehatan umum untuk pelajar. Didalam mata pelajaran kesehatan umum ini bisa dimasukan tentang kesehatan pribadi, imunisasi, PHBS, pendidikan seks sejak dini, bahaya narkoba, kesehatan masyarakat, pencegahan penyakit infeksi (contoh; Pencegahan TB, penularan TB, pengobatan TB dll.), resistensi antibiotik, pengetahuan tentang program pemerintah (JKN-BPJS) dan lain-lain. Karena apapun program dan kebijakan dan usaha pemerintah tidak akan sukses jika tidak ada kesadaran atau pengetahuan dari masyarakat itu sendiri.
#KASTRAD_FK_UHO #IndonesiaCerdasSehat #BerantasTB
Sukseskan Strategi Nasional Stop TB , Ketuk Pintu oleh Kader TB Tuberculosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Kuman batang aerobic dan tahan asam ini dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit (Silvia A Price,2005). Tuberculosis atau biasa disingkat dengan TB adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi kompleks Mycobacterium tuberculosis yang ditularkan melalui dahak (droplet) dari penderita TB kepada individu lain yang rentan (Ginanjar,2008). Indonesia sedang menghadapi ancaman penyakit menular didalam sistem pernafasan atau dikenal dengan Tuberculosis (TB). Tanpa kita ketahui di Indonesia angka kematian akibat penyakit TB tergolong tinggi. Jenis kelamin juga merupakan hal yang berpengaruh dalam penyakit TB , pria merupakan penderita TB tertinggi. Data dari Departemen Kesehatan , pada tahun 2005 pria menderita TB berjumlah 93.114 orang dan 60 persen penderita TB. Pria di usia produktif hampir 21.000 orang dan pada wanita mencapai 16.000. Memperingati hari TB sedunia yang jatuh setiap tanggal 24 Maret Wakil Presiden Jusuf Kalla meluncurkan Strategi Nasonal dan Launching Stop TB , Ketuk Pintu oleh Kader TB. Tema ini mengingatkan dan bertujuan untuk membebaskan seluruh warga Indonesia dari TB dengan menemukan dan mengobati semua penderita TB. Penyakit TB sangat berpengaruh terhadap Sumbe Daya Manusia di Indonesia dimana angka persentase yang tinggi pada penderita TB akan menurukan Sumber Daya Manusia yang ada di Indonesia. Gejala penyakit TB ini bisa diketahui dengan dahak bercampur darah atau batuk darah, sesak nafas dan rasa nyeri pada dada, demam dan meriang lebih dari sebulan, berkeringat pada malam hari tanpa ada sebab yang jelas, badan lemas, nafsu makan berkurang serta terjadinya penurunan berat badan yang drastis. Oleh karena itu, kampanye ini bertujuan agar keikutsertaan seluruh pihak dapat membantu mereka untuk mengurangi persentase penderita penyakit TB yang ada di Indonesia serta diharapkan masyarakat lebih waspada dan peduli terhadap penyatit ini dengan cara mengetahui awal adanya penyakit TB.
Mahasiswa sebagai generasi muda dan akan menjadi penerus ,sebaiknya kita juga ikut terlibat dalam mensukseskan stategi ini dengan cara ikut mempromosikan dan memberi penyuluhan serta ikut berkampanye mengenai stategi ini. Mahasiswa bisa mempromosikan stategi ini di media sosial ataupun terjun langsung ke masyarakat. Kesimpulannya kita bisa belajar serta bisa menolong orang penderita TB terutama pada masyarakat yang usianya produktif dan masyarakat yang belum mengetahui dampak buruk dari penyakit TB ini. Mari kita membantu mensukseskan program kerja wakil Presiden Jusuf Kalla dengan tema “Strategi Nasional Stop TB oleh Kader TB” agar Indonesia menjadi Negara yang bebas dari ancaman penyakit yang bisa berujung pada kematian.
OUR TIME IS NOW! SUPPORT THE GLOBAL PLAN TO END TB
#KASTRATAKSI #BEMAKSI
Hari TB Sedunia Indonesia untuk TB: Sebuah Pencapaian tapi Harus Ditingkatkan
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan bakteri Myobacterium tuberculosis yang dapat menyerang berbagai organ terutama paru-paru. Bakteri ini tersimpan pada pasien dengan BTA positif dan setiap kali pasien batuk dapat menyebarkan tiga ribu droplet nuclei. Sejauh ini Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini, diperkirakan masih terdapat sekitar 9,5 juta kasus baru TB, dan sekitar 0,5 juta orang meninggal akibat TB di seluruh dunia. Sejak tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai problema kesehatan masyarakat yang sangat penting dan serius di seluruh dunia Global Emergency. Berdasarkan data WHO tahun 2006, Indonesia menduduki urutan ke 3 di dunia unuk jumlah kasus TB setelah india dan china. TB di Indonesia bahkan menjadi penyebab kematian ketiga setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan lainnya. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan negara pertama diantara High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada tahun 2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan diobati (data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA+. Dengan demikian, Case Notification Rate untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000 (Case Detection Rate 73%). Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target
global tersebut merupakan tonggak pencapaian program pengendalian TB nasional yang utama. Pencapaian tersebut tentu merupakan dampak dari berbagai program dan strategi pemerintah untuk mengendalikan dan menanggulangi TB mulai marak digalakan. Berbagai program pemerintah ini antara lain:
Pengawas Minum Obat (PMO), Strategi DOTS,
Gerdunas-TB dan pembuatan berbagai buku panduan serta pamflet. Secara umum Indonesia sudah bagus dalam menurunkan jumlah insiden dan angka kematian akibat TB, tapi yang perlu diingat adalah masih tingginya tingkat penularan dan efek Multi Drug Resistance TB. Oleh sebab itu diperlukan solusi untuk menanggapi kedua permasalahan tersebut yaitu dengan kembali menggalakan penyuluhan mengenai bagaimana penularan TB kepada masyarakat, karena dalam beberapa tahun ini strategi penyuluhan ini justru cenderung ditinggalkan, padahal masyarakat masih butuh informasi semacam itu. kemudian mengenai masih tingginya angka penderita TB dengan Multi Drug Resistance baru sepertinya juga ada karena minimnya informasi mengenai pemakaian obat dan peran DPO yang masih perlu dipertanyakan, lamanya waktu yang dibutuhkan penderita TB untuk meminum obat merupakan salah satu permasalahan tersendiri, pemerintah yang menggalakkan program DPO sebenarnya cukup bagus, hanya saja perlu adanya follow up ataupun pemberian informasi yang lebih untuk DPO dan penderita TB mengenai peminuman obat. Apa yang dicapai Indonesia dalam menghadapi TB sudah cukup baik dengan turun drastisnya angka kematian dan insiden TB, namun perlu diingat diluar dua permasalahan tersebut pemerintah harus sadar bahwa tingkat penularan dan angka Multi Drug Resistance masih tinggi, penyuluhan yang dulu menjadi senjata utama untuk TB sepertinya butuh untuk digalakkan kembali, bukan semata-mata untuk dua masalah yang belum selesai tersebut tapi untuk TB seuutuhnya, karena mencegah lebih baik daripada mengobati, begitu kata pepatah zaman dahulu. With Love,
PASKAS BEM FK UMM
Peran Mahasiswa Kedokteran dalam Menyikapi Kejadian Tuberkulosis di Indonesia Departemen Kajian dan Strategi BEM KBMFK-Universitas Muslim Indonesia
PROLOG Tuberkulosis paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah lama dikenal pada manusia. Ditandai pembentukan turbekel dan cenderung meluas secara lokal. Selain itu, juga bersifat pulmoner maupun ekstrapulmoner dan dapat mempengaruhi organ tubuh lainnya. Tuberkulosis paru (TB) disebabkan oleh bakteri Mikobakterium Tuberkulosis, Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Penyakit TBC dapat menyerang pada siapa saja tak terkecuali pria, wanita, tua, muda, kaya dan miskin serta dimana saja. Penularan penyakit TBC adalah melalui udara yang tercemar oleh Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan/dikeluarkan oleh si penderita TBC saat batuk, dimana pada anak-anak umumnya sumber infeksi adalah berasal dari orang dewasa yang menderita TBC. Bakteri ini masuk kedalam paru-paru dan berkumpul hingga berkembang menjadi banyak (terutama pada orang yang memiliki daya tahan tubuh rendah), Bahkan bakteri ini pula dapat mengalami penyebaran melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening sehingga menyebabkan terinfeksinya organ tubuh yang lain seperti otak, ginjal, saluran cerna, tulang, kelenjar getah bening dan lainnya meski yang paling banyak adalah organ paru. Sehingga menyebabkan infeksi pada paru-paru, dimana segeralah terjadi pertumbuhan koloni bakteri yang berbentuk bulat (globular). Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 (WHO, 2010) dan estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB
diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya. Angka MDR-TB diperkirakan sebesar 2% dari seluruh kasus TB baru (lebih rendah dari estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20% dari kasus TB dengan pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus MDR TB setiap tahunnya. Dengan angka nasional proporsi kasus relaps dan gagal pengobatan di bawah 2%, maka angka resistensi obat TB pada pasien yang diobati di pelayanan kesehatan pada umumnya masih rendah. Namun demikian, sebagian besar data berasal dari Puskesmas yang telah menerapkan strategi DOTS dengan baik selama lebih dari 6 tahun terakhir. Probabilitas terjadinya resistensi obat TB lebih tinggi di rumah sakit dan sektor swasta yang belum terlibat dalam program pengendalian TB nasional sebagai akibat dari tingginya ketidakpatuhan dan tingkat drop out pengobatan karena tidak diterapkannya strategi DOTS yang tinggi. Data dari penyedia pelayanan swasta belum termasuk dalam data di program pengendalian TB nasional. Sedangkan untuk rumah sakit, data yang tersedia baru berasal dari sekitar 30% rumah sakit yang telah melaksanakan strategi DOTS. Proporsi kasus TB dengan BTA negatif sedikit meningkat dari 56% pada tahun 2008 menjadi 59% pada tahun 2009. Peningkatan jumlah kasus TB BTA negatif yang terjadi selama beberapa tahun terakhir sangat mungkin disebabkan oleh karena meningkatnya pelaporan kasus TB dari rumah sakit yang telah terlibat dalam program TB nasional.
PERMASALAHAN DAN SOLUSI Melihat permasalahan diatas menunjukkan bahwa penyakit TB masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia. Sebagai mahasiswa, kita tidak usah terlalu jauh memikirkan hal-hal yang besar dan sangat sulit direalisasikan untuk membantu menyelesaikan problematika kesehatan yang terjadi di Indonesia sekarang ini. Sebagai mahasiswa kedokteran, yang harus kita lakukan dalam menyikapi kondisi kesehatan di Indonesia saat ini ialah membantu pemerintah dalam mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa pentingnya menjaga kesehatan kita terhadap suatu penyakit dan memberikan pencerdasan ke masyarakat terhadap penyakit TB (Seminar, Penyuluhan, Aksi dalam aspek edukatif,dll), serta membantu dalam merasionalkan kepada masyarakat tentang sistem ataupun strategi-strategi yang diluncurkan pemerintah guna mengurangi tingkat penderita TB di Indonesia. Karena realita yang terjadi, kurangnya pengetahuan yang didapatkan masyarakat terhadap penjelasan dan bahaya penyakit TB ini, sebagaimana pada Hasil survei prevalensi TB (2015) mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku menunjukkan bahwa hanya
26% dari masyarakat Indonesia yang dapat menyebutkan dua tanda dan gejala utama TB. sehingga hal ini menjadikan banyak masyarakat tidak mengetahui bahkan tidak peduli untuk mencegah penyakit ini terjadi pada dirinya. Menjadi mahasiswa kedokteran, kita harus menyadari posisi kita sebagai mahasiswa yang tidak hanya berkutat dalam ruang lingkup akademis saja, kita jangan hanya terjebak pada rutinitas akademik saja sehingga itu akan membuat kita cenderung apatis dan tidak peduli dengan permasalahan-permasalahan kesehatan di sekitar kita, namun ada beban serta tanggung jawab moril yang lebih besar dari itu. Permasalahan kesehatan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, ini adalah hal yang harus kita hadapi bersama dan menjadi fokus utama kita, terarah secara kolektif yang mengatasnamakan bangsa Indonesia. Serta kita harus mampu memahami bahwa fokus pemikiran didalam diri mahasiswa kedokteran juga ialah masalah-masalah kesehatan dan sistem kesehatan yang ada di Indonesia sekarang. Tak lepas dari itu, peran lembaga untuk mahasiswa kedokteran sangatlah penting. Lembaga harus mampu membentuk karakter mahasiswa yang ideal dengan doktrindoktrin kaderisasi yang dimiliki serta mampu menumbuhkan antusiasme mahasiswa kedokteran dalam aktif berdiskusi mengenai kajian atau pembahasan-pembahasan mengenai kesehatan di Indonesia dengan segala problematikanya seperti masalah TB di Indonesia ataupun memberikan pencerdasan terhadap mahasiswa terhadap isu-isu kesehatan melalui sosial media atau media cetak. Karena realita yang terjadi sekarang, mayoritas mahasiswa tidak peduli dengan permasalahan kesehatan karena kurangnya informasi dan pengetahuan yang dia dapatkan di kampus. KESIMPULAN Dimulai dengan kesadaran, rasa ingin tahu dan pedulinya kita terlebih dahulu terhadap permasalahan kesehatan di Indonesia, hal tersebut akan membuat kita bergerak dan peduli dalam membantu menjadikan bangsa kita ini menjadi bangsa yang sehat seutuhnya, baik dari segi fisik, mental, maupun sosial. Karena pergerakan mahasiswa itu mustahil muncul ketika mahasiswa enggan untuk mengetahui ataupun apatis dengan permasalahan-permasalahan yang terjadi di Indonesia saat ini. Marilah kita bersama-sama membantu segala upaya dalam membebaskan Negara kita dari ancaman penyakit Tuberkulosis. Hidup Mahasiswa!
Berikut hasil kajian tentang “Peran Mahasiswa Kedokteran dalam Menyikapi Kejadian Tuberkulosis di Indonesia” dari Departemen Kajian & Strategi BEM Keluarga Besar Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia periode 2016.
KAJIAN TB “Turunkan dan Lenyapkan TB !!”
Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goals yang disingkat dalam bahasa Inggris MDGs adalah Deklarasi Milenium hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mulai dijalankan pada September 2000, berupa delapan butir tujuan untuk dicapai pada tahun 2015, yang salah satunya adalah Memerangi HIV dan AIDS, malaria serta penyakit menular lainnya sebagaimana pembahasan topik kali ini mengenai penyakit menular (TB). Targetnya adalah tercapai kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat pada 2015. Target ini merupakan tantangan utama dalam pembangunan di seluruh dunia yang terurai dalam Deklarasi Milenium, dan diadopsi oleh 189 negara serta ditandatangani oleh 147 kepala pemerintahan dan kepala negara pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium di New York pada bulan September 2000 tersebut. [1] Pemerintah Indonesia turut menghadiri Pertemuan Puncak Milenium di New York tersebut dan menandatangani Deklarasi Milenium itu. Deklarasi berisi komitmen negara masing-masing dan komunitas internasional untuk mencapai 8 buah tujuan pembangunan dalam Milenium ini (MDG), sebagai satu paket tujuan yang terukur untuk pembangunan dan pengentasan kemiskinan. [2] Penandatanganan deklarasi ini merupakan komitmen dari pemimpin-pemimpin dunia untuk mengurangi lebih dari separuh orang-orang yang menderita akibat kelaparan, menjamin semua anak untuk menyelesaikan pendidikan dasarnya, mengentaskan kesenjangan jender pada semua tingkat pendidikan, mengurangi kematian anak balita hingga 2/3 , dan mengurangi hingga separuh jumlah orang yang tidak memiliki akses air bersih pada tahun 2015. Sementara itu, TB atau Tuberkulosis adalah penyakit menular yang sebagian besar disebabkan oleh kuman Myocobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Kuman
tersebut biasanya masuk ke dalam tubuh manusia melaui udara pernapasan kedalam paru. Kemudian kuman tersebut menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalu sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, melalui saluran napas (bronchus) atau menyebar langsung ke bagian tubuh lainnya. TB dapat terjadi pada semua kelompok umur, baik di paru maupun di luar paru. Gejala klasik infeksi TB aktif yaitu batuk kronis dgn bercak darah sputum atau dahak, demam, berkeringat di malam hari, & berat badan turun. Dahulu TB disebut penyakit “konsumsi” karena orang-orang yang terinfeksi biasanya mengalami kemerosotan berat badan. Infeksi pada organ lain menimbulkan gejala yang bermacam-macam. Diagnosis TB aktif bergantung pada hasil radiologi (biasanya melalui sinar-X dada) serta pemeriksaan mikroskopis dan pembuatan kultur mikrobiologis cairan tubuh. Untuk mencegah TB, semua orang harus menjalani tes penapisan penyakit tersebut dan mendapatkan vaksinasi basil Calmette–Guérin. Para ahli percaya bahwa sepertiga populasi dunia telah terinfeksi oleh M. tuberculosis, dan infeksi baru terjadi dengan kecepatan satu orang per satu detik. Pada tahun 2007, diperkirakan ada 13,7 juta kasus kronis yang aktif di tingkat global. Pada tahun 2010, diperkirakan terjadi pertambahan kasus baru sebanyak 8.8 juta kasus, dan 1,5 juta kematian yang mayoritas terjadi di negara berkembang. Angka mutlak kasus Tuberkulosis mulai menurun semenjak tahun 2006, sementara kasus baru mulai menurun sejak tahun 2002. Target Global TB •
Target penemuan kasus 70%, secara global angka penemuan semua kasus TB di dunia mencapai 65% pada tahun 2010
•
Target keberhasilan pengobatan 85%, secara global anagka keberhasilan pengobatan di dunia mencapai 87% pada tahun 2009
•
Cina, India dan Indonesia telah mendorong percepatan global dalam diteksi penemuan kasus.
•
Pencapaian indikator MDG untuk adalah sbb : 1. Pada ahun 2010 angka insiden tuberkulosis adalah 189/100.000 telah menurun dibandingkan dengan baseline data 1990, maka indikator ini sudah tercapai 2. Angka prevalens adalah 289/100.000 telah menurun sebeesar 35% dari 443/100.000 (baseline 1990), indikator akan tercapai 3. Angka mortalitas sebesar 27/100.000 atau menurun sebesar 71% dari 92/100.000 (baseline 1990), maka indikator ini sudah tercapai
•
Walaupun telah diperoleh kemajuan dan keberhasilan yang signifikan dalam program pengendalian TB, tetapi besaran masalah yang dihadapi saat ini masih cukup besar mengat setiap tahun masih terdapat 450.000 kasus baru dan masih tingginya angka kematian akibat TB yaitu 64.000 pertahun atau 175 orang/hari.
•
Strategi nasional sejalan dengan petunjuk internasional (WHO DOTS dan strategi baru Stop TB), serta konsisten dengan Rencana Global Pengendalian TB yang di arahkan untuk mencapai Targer Global TB 2005 dan Tujuan Pembagunan Millenium 2015. Adapun Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasioanal dalam menjalankan fungsinya, menggunakan fasilitas yang ada dalam struktur pelayanan kesehatan nasional, yaitu Puskesmas. Dalam struktur Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasional, Puskesmas dibagi menjadi tiga kategori menurut fungsi yang berbeda-beda, yaitu:
Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM): melatih para staf laboratorium dan melakukan pembacaan sediaan apus dahak untuk beberapa
Puskesmas Satelit (PS): tidak memiliki fasilitas laboratorium sendiri, dan hanya membuat sediaan apus dahak dan difiksasi, kemudian dikirim ke PRM untuk dibaca hasilnya. Setelah mendapatkan hasil, Puskesmas Satelit akan menentukan rencana pengobatan.
Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM): menyediakan layanan diagnosis dan pengobatan TBC, tanpa bekerja sama dengan Puskesmas Satelit.
Pelayanan TB di Kabupaten/Kota Pelayanan kesehatan di tingkat kabupaten/kota merupakan unit dasara dalam upaya penanggulangan TBC di Indonesia. Fasilitas Mikroskopis tersedia di Rumah Sakit Umum Daerah, Puskemas Rujukan Mikroskopis (PRM) dan Unit Pelayanan Kesehatan swasta. Penderita bisa melakukan pemeriksaan diagnosis di unit pelayanan kesehatan manapun untuk mendapatkan diagnosis, kecuali di Puskesmas Satelit. Pengobatan TB di tingkat kabupaten/kota disupervisi oleh Wakil Supervisor (WASOR) dari Dinas Kesehatan. WASOR akan mengunjungi semua sarana pelayanan kesehatan untuk mendapatkan data mengenai kasus baru. WASOR juga mempersiapkan laporan berkala, memastikan terjadinya koordinasi antar berbagai fasilitas pelayanan kesehatan serta memastikan persediaan obat cukup. Pengawasan menelan obat biasanya dilakukan oleh
anggota keluarga penderita TB setelah menerima obat yang diberikan setiap minggu. Jika seorang pasien TB tidak datang sesuai jadwal berobatnya, maka akan dilakukan kunjungan langsung ke rumah pasien tersebut. Seorang WASOR seharusnya mengawasi tidak lebih dari 20 Puskesmas agar dapat menjalankan semua tugasnya dengan maksimal, sehingga di kabupaten/kota yang luas diperlukan lebih dari satu WASOR. Setiap RS dan Puskesmas setidaknya memiliki satu dokter dan satu staf poliklinik yang bertugas menangani TB, dan tiap PRM memiliki satu petugas laboratorium yang terlatih. Pelayanan TB di Propinsi Tim TB di tingkat propinsi memiliki peran untuk memantau dan memberikan dukungan teknis bagi dinas kesehatan di kabupaten/kota. Oleh karena itu di tingkat propinsi dibentuk tim DOTS diperkuat dengan penambahan tenaga yang terdiri dari Provincial Project Officer (PPO), Provincial Training Coordinator (PTC), serta Provincial Technical Officer (PTO). Namun, apakah program yang sudah di jalankan ini sudah berjalan sesuai dengan yang di harapakan ? Pada kenyataannya di lapangan, fasiltas yang diberikan pun belum merata bagi masyarakat Indonesia bahkan masih ada yang belum tersentuh program pemerintah ini. Masalahnya sekarang adalah Indonesia yang minim dalam hal koordinasi, terbukti dengan koordinasi pusat dan daerah pinggiran yang saat ini masih kurang baik, dengan penyebaran pravalensi TB yang masih banyak di pinggiran. Selain itu Indonesia perlu meningkatkan dan tidak boleh terlena dalam pengendalian penyakit Tuberkulosis yang meliputi penemuan kasus dan pengobatan walaupun telah mencapai target sejauh ini. Pendekatan untuk mengendalikan penyebaran penyakit ini terutama diarahkan pada upaya pencegahan dan pengarusutamaan ke dalam sistem pelayanan kesehatan nasional. Selain itu, pengendalian penyakit harus melibatkan semua pemangku kepentingan dan memperkuat kegiatan promosi kesehatan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Adapun rekomendasi solusi yang di berikan adalah : 1. Dari pemerintah sendiri harus segera meningkatkan koordinasi lagi dalam segala sektor dalam program Penanggulangan TB jika tidak ingin kasus TB bertambah lagi
2. Tindakan preventif lebih sering dilakukan baik itu solialisasi atau kegiatan yang yang lainnya oleh stakeholder maupun pihak-pihak terkait terutama dalam menurnkan resiko kasus baru TB 3. Selain penemuan kasus baru pasien TB, pemerintah juga harus lebih memperhatikan pemerataan pemberian Obat Anti TB pada pasien yang terdiagnosa TB di seluruh provinsi di Indonesia, baik di Puskemas maupun di Rumah Sakit setempat serta melakukan program pengawasan ketat dalam memantau pasien TB dalam miminum obat secara teratur sampai selesai dan dapat dinyatakan sembuh.
KASTRAT BEM FK UNIZAR 2015-2016 #BEM YAKUZA
KAJIAN TEMATIK Mengenal dan berperilaku terhadap permasalahan TB Pedahuluan TB merupakan singkatan dari tuberkulosis.Tuberkulosis ini merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis, yang utamanya menyerang organ paru-paru pada manusia.Di Indonesia sendiri, TB sudah mulai ditangani sejak zaman penjajahan Belanda.Selain itu, sejak tahun 2009-2014 pemerintah menyasar penurunan prevalensi TB yakni dari 235 per 100.000 penduduk menjadi 224 kejadian per 100.000 penduduk.Akan tetapi, target tersebut sepertinya belum tercapai. Berdasarkan Global Tuberculosis Report 2014, yang dikeluarkan oleh WHO, prevalensi kejadian TB di Indonesia mencapai 272 kejadian dari 100.000 penduduk pada tahun 2013. Pada angka kejadian tersebut, Indonesia masih tergolong dalam High Burden Countries (HBC), yang merupakan negara-negara dengan tingkat insidensi TB masih tinggi. Deretan negara yang tergolong dalam HBC antara lain, Afghanistan, Bangladesh, Brazil, Cambodia, China, the Democratic Republic of the Congo, Ethiopia, India, Indonesia, Kenya, Mozambique, Myanmar, Nigeria, Pakistan, the Philippines, the Russian Federation, South Africa, Thailand, Uganda, the United Republic of Tanzania, Viet Nam and Zimbabwe. Fakta-fakta tersebut perlu kita telaah lebih lanjut, guna mengetahui faktor apa yang memungkinkan masih tingginya kejadian TB di Indonesia dan untuk menyikapi bagaimana sebaiknya kita berperilaku untuk menanggapi hal tersebut? Serta apa saja upaya yang telah dilakukan pemerintah menangani permasalahan tersebut? Analisis Masalah Penyakit TB masih saja tetap tinggi di Indonesia, meskipun penanganannya sudah mulai dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda.Faktor penyebabnya adalah karena rendahnya tingkat pengetahuan pasien dan keluarga tentang penyakit TB paru; sikap dan perilaku dari anggota keluarga pada petugas kesehatan seperti masih banyaknya pasien yang tergantung pada petugas kesehatan karena tidak mampu merawat anggota kelurganya yang
mengalami TB.Hal tersebut diperjelas lagibahwa penyebab tingginya pengidap TB dikarenakan minimnya pengetahuan pasien tentang penyakit, penyebab, gejala/tanda, pencegahan, perawatan dan pengobatan. Selain tentang tingkat pengetahuan dari penderita atau keluarga, penularan TBsendiri disebabkan karena banyak pasien yang mengidap TB tidak atau kurang patuh dalam menjalani proses pengobatan sampai tuntas. Penyakit TB memerlukan waktu pengobatan sampai 6 bulan lamanya, waktu tersebut terasa sangat lama bagi para pengidap TB, sehingga banyak pengidap TB yang berhenti berobat ditengah jalan dan penyakit yang dialaminya tidak sembuh benar. Sulitnya menghentikan penularan kasus TB sering terhambat oleh berbagai masalah lainnya seperti penyakit lain yang diderita oleh penderita. Fokus perhatian dilakukan pemerintah utamanya untuk menghindari TB yang terjadi dengan HIV serta TB yang sudah mengalami Multi Drug Resisten (MDR TB) sebab angka kejadian relapse TB lebih banyak terjadi karena kedua hal tersebut. Ini merupakan tantangan karena kedua jenis TB tersebut lebih sulit untuk diobati. Selain pengobatan, upaya pencegahan pun perlu dilakukan diantaranya seperti :menyarankan agar penderitaTB pada waktu batuk atau bersin hendaknya menutup mulut dan hidung, tidak berludah dan membuang dahak disembarang tempat, alat makan dan pakaian setelah dipergunakan direndam dengan desinfektan. Upaya pencegahan penularan TB dapat dilakukan dengan cara memutus rantai penularan yaitu mengobati pasien TB sampai benarbenar sembuh serta melaksanakan pola hidup bersih dan sehat. Pada bayi, pencegahan dilakukan dengan memberikan vaksin berupa vaksin BCG, guna menghindari terjadinya TB yang buruk diwaktu yang akan datang. Perilaku-perilaku pencegahan dan pengobatan tersebut, menurut Green (dalam Mubarak, 2006) dibentuk dari tiga faktor: faktor predisposisi (predisposising factors) yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, dan sebagainya. Faktor pendukung (enabling factors),yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas kesehatan atau sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat–obatan, alat, transportasi, uang dan sebagainya.Faktor–faktor pendorong (reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan yang merupakan refrensi dari perilaku masyarakat. Pentingnya singkronisasi antara factor tersebut perlu dikawal agar terbentuk masyarakat yang paham dan sadar akan kesehatan dan bebas dari penyakit, utamanya TB.
Pencegahan penularan TB terkait dengan perilaku pasien TB itu sendiri dalam mengendalikan pola hidupnya termasuk minum obat.Faktor dari segi pemerintah telah diupayakan. Hal tersebut tertuang dalam kebijakan pemerintah yang meliputi penemuan pasien dan pengobatan yang dikelola dengan menggunakan strategi DOTS (Directly Obseserved Treatment Short-course). Strategi penanggulangan TB yang dikenal dengan strategi DOTStelah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demikian menurunkan insiden TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.
Kesimpulan Untuk menghentikan epidemik TB maka dilakukan langkah-langkah yang berorientasi pada si pasien, diperlukankerjasama dalam menjalankan kebijakan pemerintah tersebut, peningkatan riset, serta inovasi dalam hal pengobatan TB.Semuanya tersebut harus kita lakukan bersama-sama untuk menghentikan epidemik dan penyebaran TB.Menyebarluaskan informasi terkait TB juga penting dilakukan agar, pemahaman masyarakat bisa meningkat.Hal tersebut menjadi kunci agar penyebaran TB bisa dicegah sedini mungkin. Saran Faktor resiko tertular memang lebih besar pada seseorang yang hidup disekitar orang yang menderita TB. Namun, hal ini tidak akan terjadi apabila pasien dan orang yang disekitar lingkungannya bekerja sama. Bagi penderita TBC, setiap kali batuk, haruslah menutup mulut dengan kedua tangannya dan membersihkan tangannya dengan sabun sebersihnya.Selain itu tiap membuang dahak, seorang penderita TBC haruslah membuangnya pada tempat dengan air yang mengalir.Tidak membuang sisa tisu yang telah terpapar dahak penderita TBC di sembarang tempat.Keluarga harus memberi dukungan dengan menyemangati penderita sehingga optimis dengan proses penyembuhan yang diupayakan. Tentunya diiringi dengan upaya membentengi diri sendiri agar tak tertular kuman TB.Membawa pasien ke dokter untuk mendapatkan pengobatan secara teratur, awasi minum obat secara ketat dan beri makanan bergizi.Sirkulasi udara dan sinar matahari di rumah harus baik.Hindarkan kontak dengan percikan batuk penderita, jangan menggunakan alat-alat makan/minum/mandi bersamaan.
Perlunya dukungan penuh dari keluarga sangatlah diperlukan, salah satunya dengan menjadi Pengawas Menelan Obat (PMO)agar penderita TB patuh berobat sampai sembuh sehingga tidak terjadi kebal OAT (obat anti TB) yang akan menimbulkan TB MDR. Kegagalan dalam pengobatan nantinya akan menjadikan penyembuhan penderita TB semakin sulit. Bila TB sudah sulit diobati karena adanya MDR ataupun HIV, dikhawatirkan akan menjadi sumber penularan bagi orang lain.Apa yang perlu dilakukan bila kita menemukan seseorang dengan dugaan mengidap TB?Hal yang perlu dilakukan adalah dengan membawanya ke unit pelayanan kesehatan terdekat, yakni puskesmas. Membawa pasien dengan dugaan TB sedini mungkin, membantu proses pengobatan lebih awal dan menghindari penularan yang mungkin tidak diketahui.
Terakhir kami ingin menyampaikan bahwa mari temukan dan obati sampai sembuh para penderita TB!
Salam,
Kemeneterian Kastrat BEM FK UNRAM
Sumber: http://www.klikpdpi.com/konsensus/TB/TB.html http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin_TB.pdf http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/137094/1/9789241564809_eng.pdf
Pendahuluan Analisis Kajian Tuberkulosis dan Kemiskinan Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat hingga kini. Paling sedikit satu orang akan terinfeksi TB setiap detik. Setiap hari 20.000 orang jatuh sakit TB, artinya setiap 5 detik satu orang jatuh sakit TB di dunia. Setiap hari 5.000 orang meninggal akibat TB, jadi di dunia ini setiap 20 detik satu orang meninggal akibat TB. TB membunuh hampir satu juta perempuan setahunnya. Angka tersebut lebih tinggi dari kematian perempuan akibat proses kehamilan dan persalinan. TB membunuh 100.000 anak setiap tahunnya. Sekitar 40% beban TB di dunia terjadi di negara Asia Tenggara yang tergabung dalam koordinasi WHO South East Asia Regional Office (SEARO). Di kawasan ini setiap tahun terdapat sekitar 3 juta kasus baru dan 750.000 kematian akibat TB, atau hampir 2.000 orang meninggal setiap harinya. Di India saja misalnya, setiap menit ada satu orang yang meninggal akibat TB. Sampai saat ini tidak ada satu negarapun di dunia yang telah bebas TB. 1. Karena itu, tidaklah berlebihan bila banyak orang bertanya, bagaimana gambaran TB di masa datang? Bila situasi penanggulangan TB tetap seperti sekarang ini, maka jumlah kasus TB di tahun 2020 akan meningkat menjadi 11 juta jiwa, artinya 200 juta kasus TB dalam dua dekade pertama abad 21 ini. 2. Insidens TB akan terus meningkat, dari 8,8 juta kasus di tahun 1995 menjadi 10,2 juta kasus di tahun 2000 dan 11,9 juta kasus TB baru di tahun 2005. 3 Data WHO menunjukkan bahwa Indonesia adalah penyumbang kasus terbesar ketiga di dunia. Setiap tahunnya jumlah penderita baru TB menular adalah 262.000 orang dan jumlah seluruh penderita adalah 583.000 orang pertahunnya.
Diperkirakan sekitar 140.000 orang Indonesia yang meninggal setiap tahunnya akibat TB. Setiap satu menit di Indonesia muncul satu penderita baru TB paru, setiap dua menit muncul
satu penderita baru TB paru yang menular, dan setiap empat menit satu orang meninggal akibat TB.4 TB bukan lagi jadi masalah kesehatan masyarakat di satu negara bila jumlah penderita baru yang menular kurang dari satu orang untuk setiap satu juta penduduk. Artinya, untuk Indonesia harus kurang dari 200 orang setahunnya. Tegasnya, tugas kita adalah menurunkan angka 262.000 yang ada sekarang menjadi 200 orang saja. Jelas satu tantangan yang berat.
Directly Observed Treatment Short Course Berbagai program kesehatan telah dilakukan, memang kemajuan telah dirasakan, tetapi kenyataannya TB masih juga jadi masalah. Program penanggulangan TB yang utama kini adalah dengan pendekatan directly observed treatment short course (DOTS). DOTS mengandung lima komponen. Pertama, adanya jaminan komitmen politik untuk menanggulangi TB di suatu negara. Secara umum komitmen pemerintah dibangun atas kesadaran tentang besarnya masalah TB dan pengetahuan tentang program penanggulangan TB yang telah terbukti ampuh. Komitmen itu seyogyanya dimulai dengan keputusan pemerintah untuk menjadikan TB sebagai prioritas penting/utama dalam program kesehatannya. Untuk mendapat dampak yang memadai, maka komitmen politik harus diterjemahkan dalam 3 hal penting, yaitu policy formulation, resource mobilization, dan program implementation. Untuk itu harus dibuat suatu program nasional menyeluruh yang menjelaskan bagaimana DOTS dapat diimplementasikan. Begitu dasar-dasar tersebut telah diletakkan, diperlukan dukungan pendanaan serta tenaga pelaksana yang terlatih untuk dapat mewujudkan program menjadi kegiatan nyata di masarakat. Satu hal penting lain adalah penempatan program penanggulangan TB dalam reformasi sektor kesehatan secara umum, meliputi setidaknya dua hal penting, yaitu memperkuat dan memberdayakan kegiatan dan kemampuan pengambilan keputusan di tingkat kabupaten serta peningkatan costeffectiveness dan efisiensi dalam pemberian pelayanan kesehatan. Kedua, penemuan kasus dengan pemeriksaan mikroskopik, terutama dilakukan pada mereka yang datang ke fasilitas kesehatan karena keluhan paru dan pernapasan. Pendekatan itu disebut passive case finding. Hal itu dipilih mengingat secara umum pemeriksaan mikroskopik merupakan cara yang paling cost effective dalam menemukan kasus TB. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan pemeriksan radiografi dengan kriteria yang jelas yang dapat diterapkan di masyarakat. Ketiga adalah pemberian obat yang diawasi secara langsung, atau dikenal dengan istilah directly observed therapy (DOT). Penderita diawasi secara langsung ketika menelan obatnya. Obat yang diberikan
harus sesuai standar dan diberikan secara gratis pada seluruh penderita TB yang menular dan kambuh. Pengobatan TB memakan waktu 6 bulan. Setelah makan obat 2 atau 3 bulan tidak jarang keluhan penderita telah menghilang, sehingga ia merasa dirinya telah sehat dan menghentikan pengobatannya. Karena itu harus ada sistem yang menjamin penderita mau menyelesaikan seluruh masa pengobatannya. Siapa yang harus melihat pasien menelan obatnya? Itu dapat dilakukan oleh petugas kesehatan, oleh pemuka masarakat setempat, tetangga penderita, atau keluarganya sendiri. Keempat adalah jaminan tersedianya obat secara teratur, menyeluruh, dan tepat waktu. Masalah utama dalam hal ini adalah perencanaan dan pemeliharaan stok obat pada berbagai tingkat daerah. Untuk itu diperlukan pencatatan dan pelaporan penggunaan obat yang baik, misalnya jumlah kasus pada setiap kategori pengobatan, kasus yang ditangani dalam waktu yang lalu (forecasting), data akurat stok di masing-masing gudang, dll. Kelima adalah sistem pemantauan, pencatatan, dan pelaporan yang baik. Setiap penderita TB yang diobati harus mempunyai satu kartu identitas penderita yang kemudian tercatat di catatan TB di kabupaten. Kemanapun penderita pergi, dia harus menggunakan kartu yang sama, sehingga dapat melanjutkan pengobatannya dan tidak sampai tercatat dua kali. Faktor yang paling penting dari proses pencatatan dan pelaporan data adalah pencatatan dengan sistem kohort, yang merupakan cara pengamatan sistematik untuk mengetahui perkembangan pengobatan dan keberhasilan pengobatan
Kemiskinan Dari uraian di atas jelas bahwa komitmen politik merupakan komponen pertama program DOTS. Artinya, pengelola kesehatan harus mampu meyakinkan penentu kebijakan politik bahwa TB adalah masalah yang penting. Untuk itu kita tidak dapat hanya berbicara dari aspek kesehatan semata, aspek ekonomi mungkin akan dapat lebih “bicara” untuk meyakinkan penentu kebijakan publik, apalagi isu kemiskinan. Masalah kesehatan masyarakat memang tidak dapat dipisahkan dari masalah kemiskinan. Setidaknya sekitar 1,3 milyar penduduk dunia adalah orang miskin, yaitu mereka yang harus hidup dengan uang kurang dari 1 US$ per hari. 1Hubungan penyakit dan kemiskinan dapat seperti vicious cycles. Karena miskin, orang jadi kurang gizi, tinggal di tempat yang tidak sehat, dan tidak dapat melakukan pemeliharaa kesehatan dengan baik. Akibatnya, si miskin akan jatuh sakit. Karena sakit maka dia terpaksa berobat. Biaya pengobatan itu cukup mahal, akibatnya si miskin akan makin miskin lagi,
sehingga berhenti berobat, makin parah demikian seterusnya. Publikasi WHO dalam rangka World TB Day 2002 yang mengambil tema Stop TB Fight Proverty menyebutkan:5 1. Beberapa alasan gagalnya pengobatan TB antara lain derajat kemiskinan penderita, sulitnya menjangkau fasilitas kesehatan, kurangnya petugas kesehatan, harga obat yang mahal, dan prosedur yang berbelit. 2. The Commission on Macroeconomic and Health (CMH) menyatakan bahwa biaya total yang harus dikeluarkan oleh masyarakat miskin seringkali “diremehkan.” Tidak jarang biaya tidak langsung untuk mendapatkan pengobatan jauh lebih mahal daripada biaya langsung untuk berobat. Selain itu, tenaga kerja yang sakit tentu akan mengakibatkan memburuknya ekonomi, dan buruh serta petani yang miskin akan menjadi makin miskin kalau mereka jatuh sakit. 3. Pemulihan kesehatan adalah salah satu upaya nyata untuk menuntaskan kemiskinan. Investasi pada kesehatan pada dasarnya adalah investasi pada pengembangan sumber daya manusia yang potensial. 4. TB diperkirakan menghabiskan biaya sebesar US$ 12 milyar dari kaum miskin di seluruh dunia setiap tahunnya 5. Penelitian menunjukkan bahwa 3 atau 4 bulan masa kerja akan hilang karena seseorang sakit TB. Hal itu berpotensi menyebabkan hilangnya 20-30% pendapatan rumah tangga dalam setahun. Bila seseorang meninggal akibat TB, maka keluarganya akan kehilangan sekitar 13-15 tahun pendapatan karena kepala keluarganya meninggal akibat TB. 6. TB dan HIV akan punya dampak ekonomi yang amat luas bagi suatu negara, dapat sampai 12 milyar US$. Bila prevalensi HIV (+) di satu negara sekitar 10-15%, maka dampak akibat TB dan HIV di negara tersebut dapat menurunkan angka pertumbuhan growth domestic product (GDP) sampai sekitar 1% pertahun. Analisis Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKMUI menyatakan bahwa kerugian ekonomi akibat TB dapat juga dilihat dari 4 aspek, yaitu:6 1. Health consumption effect, yaitu kerugian dalam bentuk mengurangi konsumsi barang/jasa kesehatan akibat sakit atau meninggal. 2. Social interaction and leisure effects, yaitu kerugian akibat terhambatnya interaksi sosial dan kurangnya waktu luang untuk santai.
3. Short term production effects, baik berupa keluarnya biaya untuk berobat dan hilangnya hari kerja produktif maupun turun atau hilangnya kesempatan mengurus keluarga dan rumah tangga secara baik. 4. Long term production consumption effect dalam bentuk efek demografis konsumsi serta suplai tenaga kerja.
Penutup Dari uraian di atas jelas bahwa TB masih merupakan masalah kesehatan penting di dunia dan di Indonesia. Memang kini telah ada program DOTS untuk menanggulangi TB, tetapi belum mencakup seluruh penderita TB. Perlu dilakukan upaya akselerasi agar DOTS benar-benar dapat terimplementasi dengan baik di seluruh kawasan dunia, terutama di Indonesia. Disadari bahwa TB adalah giant poverty producing mechanism. Membiarkan TB di satu negara sama saja dengan membiarkan kemiskinan merajalela di negara itu. Sebenarnya bila pemerintah mau menyisakan dana yang cukup maka - kendati rasanya sekarang keluar devisa yang besar di masa datang akan ada penghematan akibat TB yang terkendali.
WHO menyatakan bahwa program pengobatan TB di Indonesia punya benefit cost ratio 55 : 1. Artinya, setiap 1 US$ yang dihabiskan oleh suatu negara untuk program pengobatan TB akan memberi manfaat 55 US$ ke Indonesia dalam 20 tahun mendatang. Data lain dari Thailand menyebutkan bahwa implementasi program DOTS akan dapat menghemat devisa negara itu sebesar 2,3 milyar US$ dalam 20 tahun mendatang. Hal itu sejalan dengan pendapat Bank Dunia yang menyatakan bahwa DOTS adalah salah satu strategi kesehatan yang amat cost effective. Untuk menangani TB -penyakit dan dampak kemiskinannyadiperlukan komitmen politik yang kuat, dengan didukung peran serta masyarakat luas, tentunya termasuk kalangan kesehatan.
Daftar Pustaka 1. Iseman. Tempus Fugit: TB and the 20th century. Int J Tuberc Lung Dis 2000;4(1):1. 2. Dye C. Tuberculosis 2000-2010: control, but not elimination. Int J Tuberc Lung Dis 2000;4(12):S146-52.
3. Pilheu JA. Tuberculosis 2000: problems and solutions. Int J Tuberc Lung Dis 1998;2(9):696-703. 4. Aditama TY. TB, diagnosis, terapi, dan masalahnya. Jakarta: Yayasan Penerbit IDI;2003. 5. World Health Organization. Brochure on World TB Day, 24 March 2002 - Stop TB fight poverty. Geneve: WHO;2003. 6. Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKMUI. Dampak Ekonomi TB di Indonesia. Disampaikan pada Pertemuan Forum Jurnalis Kesehatan, Jakarta 23 Maret 2004.
Tuberkulosis (TB) "TB butuh Komitmen dan Disiplin" Tuberkulosis atau TB adalah salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Dulu dikenal dengan sebutan TBC atau ada juga yang menyebut penyakit tiga huruf atau sakit flek (TB Indonesia, 2015). Prevalensi kasus ini selalu meningkat setiap tahunnya. Penderita TB di Indonesia merupakan urutan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien, sekitar 10 % dari total jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan pada tahun 2004, ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insiden kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk. (Depkes,2007) Hasil Riskesdas 2007, diketahui bahwa prevalensi TB paru cenderung meningkat sesuai dengan bertambahnya umur dan prevalensi tertinggi pada usia lebih dari 65 tahun. Prevalensi TB paru pada laki-laki 20% lebih tinggi dibandingkan perempuan, selain itu prevalensi tiga kali lebih tinggi di pedesaan dibandingkan perkotaan serta empat kali lebih tinggi pada pendidikan rendah dibandingkan pendikan tinggi. Kasus kematian penderita TB paru yang hampir tersebar pada semua kelompok umur, dan paling banyak pada kelompok usia 20-49 tahun (58,3 %) yang merupakan usia produktif dan usia angkatan kerja. Hasil penelitian di Kabupaten Tangerang pada tahun 2009, penderita TB paru sering berpindah-pindah tempat pelayanan kesehatan untuk mencari kesembuhan, hal ini terjadi oleh karena penderita TB kurang yakin pada pelayanan kesehatan karena tidak kunjung sembuh. (Helper Manalu, 2009). Padahal pengobatan TB memang memerlukan waktu yang lama untuk memperlihatkan kesembuhan yaitu sekitar 6 Bulan, sehingga pasien yang belum sembuh dan memutus pengobatan dapat memperburuk kondisinya. 20,8 % penderita TB yang masih hidup putus berobat dengan alasan yang sama yaitu tidak ada
perubahan dan tidak sembuh. dan bahkan bertambah parah. (Herryanto,2004) Ketidak sembuhan tersebut dapat disebabkan salah satunya oleh putus berobat itu sendiri. Putus berobat merupakan hal yang berbahaya bagi penderita TB. Obat - obatan TB harus diminum secara teratur dan tidak boleh putus. Disaat obat terputus kuman yang belum mati akan membentuk kekebalan terhadap jenis obat tersebut. Apabila siklus tersebut terulang jenis obat yang dapat dipakai akan semakin terbatas karena kuman TB sudah membentuk kekebalan terhadap obat - obat yang sebelumnya diputus. Hal ini menyebabkan penderita TB tidak kunjung sembuh karena kuman sudah kebal terhadap obat - obatan yang tersedia. Dari uraian di atas, TB adalah penyakit yang mematikan tapi dapat disembuhkan. Penderita TB harus berkomitmen untuk kesembuhannya, begitu juga dengan orang - orang terdekatnya harus ikut mengawal penderita untuk kesembuhan yang lebih maksimal. Pemerintah dan masyarakat harus tetap waspada terhadap penyakit ini serta bahayanya memutus pengobatan. Kesembuhan pasti akan hadir apabila kita menjalankannya dengan sabar dan teratur.
DAFTAR PUSTAKA TB Indonesia. 2015. 31,8 apa itu tuberculosis. [ diakses pada : 12 Maret 2016] tersedia di : http://www.tbindonesia.or.id/2015/08/31/apa-sih-tb-itu/ Depkes RI ( 2007), Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis edisi 2. Helper
Manalu
dkk
(2009).
Mempengaruhi Ketaatan
Penelitian Berobat
Mengenai Faktor Penderita
TB
Sosial
Budaya
Paru. Laporan
Yang
Penelitian.
Pengembangan Pusat Ekologi Penelitian dan Status Kesehatan, Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI. Herryanto, D.Anwar Musadad dan Freddy M.Komalig (2004), Riwayat pengobatan penderita TB paru meninggal di Kabupaten Bandung, Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 3 No. 1, April 2004: 1 Tjandra Yoga (2007). Diagnosis TB pada anak lebih sulit, Mediakom info sehat untuk semua Departemen Kesehatan
PENERAPAN ANALISIS CLUSTER DAN SPASIAL SEBAGAI SOLUSI LANGKAH PRIMER DALAM PENANGGULANGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA Departemen Kajian Strategis BEM LMFKIK Universitas Warmadewa
Latar Belakang, Permasalahan & Data Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman dari kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium Tuberculosis, suatu basil aerobik tahan asam, yang ditularkan melalui udara (airborn). Tuberkulosis (TB) masih terus menjadi masalah kesehatan di dunia terutama di negara berkembang. Di negara-negara berkembang kematian TBC merupakan 25% dari seluruh kematian, yang sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara berkembang, Berdasarkan Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2007 menyatakan bahwa jumlah penderita Tuberkulosis di Indonesia sekitar 528 ribu jiwa dan berada di posisi tiga dunia setelah India dan Tiongkok. Laporan WHO pada tahun 2009 mencatat peringkat Indonesia menurun ke posisi lima dengan jumlah penderita TBC sebesar 429 ribu orang. Indonesia termasuk 10 negara tertinggi penderita kasus
tuberkulosis paru di dunia. Sejak tahun 1947 hingga sekarang, World Health Organization (WHO) telah melakukan berbagai upaya pengendalian tuberkulosis (TB) paru yang juga di adopsi pemerintah Indonesia, mulai dari pemanfaatan obat TB, pengembangan program pelayanan dan manajemen untuk pengendalian TB hingga mengembangkan strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS). Lebih jauh, sejak tahun 2000, dibentuk Stop TB Partnership untuk lebih meningkatkan pengendalian TB. Namun, upaya pengendalian tersebut kurang berhasil menurunkan insiden kasus TB. Insiden kasus pada periode tahun 2004 _ 2008, hanya mengalami penurunan sekitar 0,7% setiap tahun.
Kajian ini menekankan pada pengendalian tuberkulosis berdasarkan determinan sosial yang sesuai dengan pustaka, karena determinan sosial secara langsung dan melalui faktor risiko tuberkulosis berpengaruh terhadap tuberkulosis. Analisis & Solusi Dalam menurunkan insiden TB, pengendalian TB akan ”bergerak keluar dari kotak TB” dengan menekankan pada isu determinan sosial. Hal tersebut didasari pada kepentingan kebijakan dan intervensi determinan sosial untuk mendukung pengendalian TB. Selain itu, determinan sosial secara langsung atau melalui faktor risiko TB berpengaruh terhadap TB. Pentingnya determinan sosial dalam kesehatan juga dinyatakan oleh WHO dalam Rio Political Declaration on Social Determinant of Health pada tahun 2011. Determinan sosial merupakan terminologi yang merujuk pada pendidikan,
pekerjaan, pendapatan, ras, dan kelas sosial yang menyebabkan terjadi stratifikasi atau diskriminasi dalam masyarakat. Keberadaan stratifikasi tersebut menyebabkan ketidakadilan kesehatan yang merupakan sebagian besar masalah kesehatan. Stratifikasi determinan sosial juga menyebabkan terjadi clustering atau pengelompokkan penderita TB. Hal tersebut disebabkan oleh penderita TB yang sebagian besar mempunyai determinan sosial rendah dan cenderung tinggal berkelompok dengan individu yang berasal dari determinan sosial rendah yang lain sehingga memperbesar risiko untuk terinfeksi TB. Pengetahuan tentang clustering TB tersebut sangat bermanfaat dalam penanggulangan TB karena memberikan informasi wilayah dengan risiko TB tinggi. Namun, hingga saat ini belum dilakukan penerapan analisis clustering dalam penanggulangan TB. Solusi dalam penerapan analisis clustering tersebut dapat ditunjang dengan analisis spasial, dimana berdasarkan definisi, analisis spasial adalah suatu inferensi visual terhadap peta yang merupakan gabungan dari data spasial dan data atribut.
Data spasial merujuk pada suatu lokasi atau posisi di permukaan bumi, yang berupa koordinat, raster atau batasan administrasi wilayah. Sedangkan, data atribut merujuk pada karakteristik yang in situ, yang mencakup abiotik (semua unsur fisik lahan yang ada, yaitu tanah, geologi, iklim, dan air), biotik (flora dan fauna), serta budaya (sosial ekonomi). Dengan analisis spasial, data spasial dan data atribut diolah menjadi informasi spasial, yang dapat digunakan sebagai alat bantu dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang kebumian. Dalam epidemiologi, analisis spasial sangat bermanfaat,
terutama untuk mengevaluasi terjadinya perbedaan kejadian menurut area geografi dan mengidentifikasi clustering penyakit. Kesimpulan Clustering TB terjadi di wilayah dengan determinan sosial yang rendah, yang merupakan populasi berisiko tinggi terhadap TB. Pengetahuan tersebut sangat bermanfaat dalam penanggulangan TB, terutama dalam menurunkan insiden TB, karena memberikan petunjuk di mana populasi tersebut berada. Namun, penerapan analisis cluster berbasis spasial, seperti penerapan analisis spasial lain, belum marak diterapkan pemerintah Indonesia.